..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 15 Maret 2025

JODOH RAJAWALI EPISODE JEJAK TAPAK BIRU

matjenuh khairil

 

JEJAK TAPAK BIRU
Serial Silat
JODOH RAJAWALI.
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali
dalam episode; Jejak Tapak Biru 
112 hal.

1

KABUT mendung melingkupi langit di atas Bu-
kit Lidah Samudera. Agaknya langit mendung itu me-
rupakan suatu pertanda datangnya kemelut yang akan 
menimpa penduduk Bukit Lidah Samudera. Satu-
satunya penduduk yang mendiami Bukit Lidah Samu-
dera tak lain adalah Nyai Sembur Maut, ibu dari Cola 
Colo yang dikenal dengan nama panggilan: Bocah Bo-
doh, (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Pe-
dang Jimat Lanang").
Rupanya hari itu perempuan tua yang lumpuh 
dan hanya bisa duduk di atas kursi terbang telah ke-
datangan tamu istimewa. Seorang lelaki berusia sekitar 
tujuh puluh tahun menyambangi rumah pondok di le-
reng bukit tersebut. Sekalipun sudah lanjut usia, na-
mun lelaki berperawakan gemuk dan bertambang ben-
gis itu masih kelihatan gagah serta mampu berteriak 
dengan suara lantang.
"Sembur Maut...! Keluar kau, Keparat!"
Seruan itu bagaikan menggeledek di telinga 
Nyai Sembur Maut. Ia segera mengintai dari balik jen-
dela pondoknya yang terbuka sedikit. Dipandanginya 
seorang lelaki berambut pendek yang mengenakan topi 
besi bertanduk satu di bagian dahinya itu. Kumis dan 
jenggotnya yang berwarna putih dengan baju hitam 
yang dirangkap baju pelapis dada berwarna merah 
tebal, merupakan ciri-ciri yang segera dapat dikenali 
oleh Nyai Sembur Maut. Selain itu juga senjata kapak 
dua mata yang bagian tengahnya berbentuk runcing 
tombak itu merupakan senjata khas milik musuh be-
buyutannya Nyai Sembur Maut.
Tak heran jika Nyai Sembur Maut segera meng-
geram pelan dengan darah bagai bergolak sepanas la

har,
"Raga Dewa...?! Rupanya dia masih hidup juga 
sampai sekarang?"
Lelaki gemuk berbadan tinggi itu memang ber-
nama Raga Dewa. Dia adalah ketua Partai Bajak Sa-
mudera yang berkuasa dan berjaya di atas kapalnya 
bernama Kapal Raja Bajak. Tentu saja saat itu dia da-
tang tidak sendirian. Di belakangnya terdapat delapan 
anak buahnya yang masing-masing siap dengan senja-
ta dan menunggu perintah serang dari sang ketua Par-
tai Bajak Samudera itu.
"Kepung rumah ini!" teriak Raga Dewa dengan 
suara garangnya. Maka mereka pun bergegas menge-
pung rumah pondok yang terbuat dari lapisan-lapisan 
kayu itu.
Braak...!
Nyai Sembur Maut segera keluar dari rumah-
nya dengan mendobrak pintu saat dirinya melesat ber-
sama kursi terbangnya. Perempuan berusia sekitar de-
lapan puluh tahun itu dalam sekejap sudah berada di 
hantaman depan rumahnya, memandang orang-orang 
yang mengepung rumah itu dengan mata dingin.
"Huah, ha, ha, ha, ha...! Akhirnya kau me-
nyambut kedatanganku juga, Sembur Maut! Kau telah 
menyambut ajalmu sendiri dengan rasa kaget melihat 
kedatanganku, bukan? Huah, ha. ha, ha...!" orang ge-
muk itu terbahak-bahak hingga badannya berguncang.
Nyai Sembur Maut masih diam memandang 
dengan hati menggeram menahan luapan amarahnya. 
Dari atas kursi terbangnya, perempuan berjubah putih 
itu serukan kata,
"Apa maksudmu datang menyambangiku ke-
mari, Raga Dewa?!"
"Kau pikir aku ingin apa? Tentunya kau sudah 
tahu, bahwa aku datang untuk mencabut nyawa tua

mu, juga keturunanmu! Sekaranglah saatnya kutebus 
kekalahanku beberapa puluh tahun yang lalu! Seluruh 
keturunan Wiragatra harus kubantai habis, tak kusi-
sakan. Karena begitulah cara Wiragatra, suamimu, 
menanam dendam di hatiku dengan membantai habis 
dua puluh satu orang anak buahku dari Partai Bajak 
Samudera!"
"Partaimu partai sesat, layak jika almarhum 
suamiku menumpas habis kejahatan kalian!" kata Nyai 
Sembur Maut dengan suara tajam.
"Jika kau beranggapan begitu, maka kau pun 
pasti mengakui bahwa niatku membalas habis keluar-
gamu juga merupakan tindakan yang layak kulaku-
kan, Sembur Maut!"
"Jika kau pandang layak, aku pun siap meng-
hadapi mu, Raga Dewa!"
"Bagus!" sentak Raga Dewa. lalu ia berseru ke-
pada delapan anak buahnya yang segera mengelilingi 
Nyai Sembur Maut,
"Anak-anak, serang si lumpuh itu!"
"Heaaaat...!"
Delapan anak buah Raga Dewa serempak maju 
menyerang Nyai Sembur Maut dari berbagai penjuru. 
Masing-masing melompat dengan mengarahkan senja-
ta ke tubuh Nyai Sembur Maut.
Perempuan berambut putih rata itu segera sen-
takkan kedua tangannya membuka ke samping kanan-
kiri.
"Hiaaah...!" Wuuut...!
Angin kencang menghempas dari tubuh Nyai 
Sembur Maut ke segala penjuru. Angin kencang itu 
disertai tekanan tenaga dalam cukup kuat. sehingga 
dalam kejap bersamaan kedelapan anak buah Raga 
Dewa terhempas bagaikan daun-daun kering disapu 
badai.

Braaak...! Braaass...!
Dua di antaranya menghantam dinding dan 
pintu rumah hingga jebol, yang lainnya jatuh tunggang 
langgang tak tentu arah. Ada yang terpelanting mem-
bentur batang pohon hingga kepalanya berdarah, ada 
yang menabrak batu dinding lereng sampai patah tu-
lang iganya. Jika bukan kekuatan dari orang berilmu 
tinggi, mereka tak mungkin menderita nasib seperti 
itu.
Raga Dewa diam terpaku melihat delapan anak 
buahnya terpental dengan hanya satu gebrakan. Nyai 
Sembur Maut tetap memandang Raga Dewa dengan 
sorot pandangan sedingin salju.
Akhirnya Raga Dewa menggeram penuh murka, 
"Ggrrhh...!" Suara geramnya itu mengguncangkan pe-
pohonan di sekitar tempat itu. Bahkan ketika kakinya 
menghentak ke tanah. Duuhg...! Daun-daun pun ber-
guguran, ranting-ranting kering berjatuhan, bahkan 
tanah lereng sebagian longsor dan bebatuannya jatuh 
ke bawah. Jelas geram dan hentakan kaki itu penuh 
dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi dan 
besar.
Nyai Sembur Maut membatin, "Makin tua se-
makin hebat ilmunya! Rupanya selama ini ia sengaja 
mempertinggi ilmunya untuk membalas dendam kepa-
da keluargaku. Hmmm...! Ke mana tadi anakku; si Co-
la Colo? Apakah dia masih berburu kelinci di hutan? 
Celaka! Kalau dia datang, pasti dia akan dijadikan sa-
saran empuk bagi Raga Dewa. Mudah-mudahan Cola 
Colo jangan datang dulu sebelum kawanan bajak laut 
ini berhasil kusingkirkan!"
Seorang anak buah Raga Dewa melemparkan 
tombaknya dari arah belakang Nyai Sembur Maut. 
Tanpa berpaling lebih dulu, Nyai Sembur Maut memi-
ringkan kepala dan badan ke kanan, dan tombak itu

lolos tak mengenainya. Wuuus...!
Traaak...! Tombak itu patah karena disentil oleh 
tangan Raga Dewa. Jika tidak begitu, tombak tersebut 
akan menancap di perut Raga Dewa karena lolos dari 
tubuh Nyai Sembur Maut. Raga Dewa pun membentak 
anak buahnya yang melemparkan tombak itu, "Mo-
nyet! Hati-hati kau!"
"Maaf, Ketua!" seru sang anak buah dengan ra-
sa takut.
Ketika anak buah yang lain mau menyerang 
Nyai Sembur Maut, Raga Dewa cepat berseru,
"Tahan! Minggirlah kalian semua! Biar kuhada-
pi sendiri perempuan lumpuh itu! Mungkin dia butuh 
bantuanku untuk menuju ke akhirat!"
Maka beberapa anak buah Raga Dewa pun mu-
lai menjauh, Mereka tak mau menjadi korban salah 
sasaran jurus-jurus mautnya Raga Dewa yang setahu 
mereka, jika sedang bertarung sering membahayakan 
pihak yang tidak terlibat dalam pertarungan itu.
"Sembur Maut, kita berhadapan langsung saja!"
"Jangan banyak mulut! Lakukan apa yang ingin 
kau lakukan!" kata Nyai Sembur Maut dengan tetap 
tenang.
Raga Dewa belum mau cabut senjatanya dari 
pinggang. Tapi dengan menggunakan dua jari kanan-
nya, ia lepaskan pukulan bersinar hijau bagaikan sela-
rik tambang yang berkelebat menghantam kepala Nyai 
Sembur Maut. Ziaaap...!
Wuuut...! Nyai Sembur Maut melompat bersa-
ma kursi terbangnya. Dalam keadaan tetap duduk, 
kursi itu melayang di udara setinggi batas sinar hijau 
yang menyerangnya. Sinar itu menghantam jendela 
rumah dan hancur berkeping-keping kayu jendela ter-
sebut. Praaak...
Bregh...! Kursi itu kembali mendarat di tanah.

Pada saat itu, tangan kanan Nyai Sembur Maut meng-
gebrak besi kursi yang menjadi tempat sandaran tan-
gannya. Daahg...! Dan dari ujung tangan kursi itu ke-
luar sebuah pisau putih berkilat melesat ke arah Raga 
Dewa. Wuuut!
Serta-merta Raga Dewa melompat ke samping 
sambil cabut senjatanya dan menghantamkan ke arah 
pisau tersebut. Blaaar...!
Ledakan terjadi begitu dahsyat. Bumi bergun-
cang dan dua anak buah Raga Dewa ada yang jatuh 
karena oleng ke kanan-kiri. Ombak lautan yang tam-
pak di kaki bukit itu bergolak menyingkap tinggi dan 
berdebur menghantam gugusan karang. Duuuur...!
"Hebat juga senjatanya?" pikir Raga Dewa. Ke-
mudian ia melompat maju dengan kapak dua mata 
siap dihantamkan ke kepala lawannya.
Namun dalam kejap berikutnya, mulut Nyai 
Sembur Maut keluarkan udara panas dalam sentakan 
keras.
Udara panas itu menghantam Raga Dewa dan 
blaaab...! Tubuh Raga Dewa terbakar oleh nyala api 
yang berkobar-kobar sambil tersentak mundur.
"Ketua terbakar! Serang dial" teriak salah seo-
rang. Maka, yang lainnya pun maju menyerang. Tapi 
sekali lagi Nyai Sembur Maut lepaskan hentakannya 
dari kedua tangan yang menyentak ke kanan-kiri, dan 
mereka terhempas kembali seperti tadi.
Raga Dewa berdiri tak bergerak membiarkan 
tubuhnya dibungkus api yang berkobar-kobar. Tetapi 
dalam kejap berikutnya, api tersebut tiba-tiba padam 
dengan sendirinya. Wuub...! Bahkan bekas kepulan 
asapnya pun tak ada. Api Itu bagaikan diserap habis 
keseluruhannya ke dalam tubuh Raga Dewa.
"Hah, ha, ha, ha...!" Raga Dewa tertawa, mere-
mehkan kehebatan ilmu Nyai Sembur Maut, membanggakan dirinya yang mampu melumpuhkan jurus 
'Sembur Lahar'-nya Nyai Sembur Maut itu.
"Makin tua makin seperti anak kecil kau, Sem-
bur Maut' Masih suka bermain api rupanya?! Hah, ha, 
ha, ha...!"
Nyai Sembur Maut diam saja. Dalam hatinya 
membatin, "Kurang ajar! Dia mampu padamkan jurus 
'Sembur Lahar'-ku dengan mudahnya. Rupanya seka-
rang dia benar-benar sudah berilmu tinggi?! Aku harus 
lebih hati-hati padanya."
Sreek...! Raga Dewa menarik gagang kapaknya, 
ternyata berubah menjadi rantai sepanjang satu depa. 
Kemudian ia memutar-mutarkan rantai itu dengan 
mata kapak menggaung mengelilingi atas kepalanya.
"Terimalah jurus 'Kapak Dewa' ini! Tandingilah 
kalau kau mampu! Heaaah...!" kaki Raga Dewa meng-
hentak ke tanah. Duuhg... ! Dan keluarlah sinar merah 
bergelombang dari putaran kapak di atas kepalanya. 
Wuuungng...!
Sinar merah bergelombang-gelombang itu men-
garah ke tubuh Nyai Sembur Maut. Firasat perempuan 
itu mengatakan, bahwa jurus tersebut sangat berba-
haya jika ditangkis maupun dilawan. Maka dengan ke-
kuatan tenaga dalamnya, Nyai Sembur Maut melesat 
bersama kursinya, terbang ke arah samping dan me-
mutar arah hingga kini berada di belakang Raga Dewa.
Perginya Nyai Sembur Maut membuat sinar me-
rah bergelombang itu salah sasaran. Seorang anak 
buahnya yang berdiri di belakang Nyai Sembur Maut 
terkena sinar merah bergelombang itu, dan tanpa bisa 
berteriak sepatah kata pun, orang tersebut segera ro-
boh dalam keadaan terpotong menjadi beberapa ba-
gian.
Kini keadaan Nyai Sembur Maut yang ada di 
belakang Raga Dewa membuat ia punya kesempatan
menghantam lawannya. Maka sebuah pukulan bersi-
nar biru pun dilepaskan dari kedua tangan Nyai Sem-
bur Maut yang menghentak ke depan bersamaan. 
Wuuuusstt...!
Tetapi Raga Dewa sedikit merendahkan putaran 
kapaknya hingga membentuk perisai bagi punggung-
nya. Akibatnya, sinar biru itu tak sempat menghantam 
punggung Raga Dewa, melainkan tertangkis oleh gera-
kan kapak tersebut.
Duaaar...!
Ledakan timbul dengan cukup kuat. Hentakan 
gelombangnya membuat Nyai Sembur Maut terjungkal 
ke belakang bersama kursinya. Ia tertindih kursi ter-
bangnya, sementara Raga Dewa hanya tersentak maju 
dan terhuyung-huyung tiga langkah. Dengan cepat ia 
berbalik badan dan mengetahui Nyai Sembur Maut ter-
tindih kursinya.
Taab...! Gagang kapak digenggam oleh Raga 
Dewa, kemudian dengan satu teriakan keras dan satu 
kaki menghentak ke tanah, kapak itu disodokkan ke 
depan. Duuuhg...! Ciaaap...!
Sinar putih perak keluar dari ujung kapak yang 
membentuk runcing tombak itu. Sinar putih perak 
dengan telaknya menghantam Nyai Sembur Maut yang 
sedang berusaha bangkit menyingkirkan kursinya.
Blaaar...!
Nyai Sembur Maut terlambat, tak bisa meng-
hindar dan menangkisnya. Kursinya hancur berkep-
ing-keping, tapi tubuh Nyai Sembur Maut masih utuh. 
Hanya saja, keadaannya kini hangus terbakar dengan 
kulit tubuh yang mengelupas di sana-sini.
"Modar kau, Sembur Maut! Hah, ha, ha, ha...!" 
Raga Dewa kegirangan. Ia menghampiri lawannya yang 
sudah tak berdaya lagi itu sambil tertawa terbahak-
bahak. Nyai Sembur Maut hanya bisa mengerang tipis

dengan mata terbeliak-beliak dan napas tersendat-
sendat.
"Tak akan kupercepat kematianmu, Sembur 
Maut! Biar kau merasakan tersiksa lebih dulu, nan-
tinya kau akan mati dengan sendirinya!"
Agaknya Raga Dewa yang berhati keji itu senga-
ja membiarkan Nyai Sembur Maut merasakan sakitnya 
dalam keadaan sekarat. Ia sengaja tidak mempercepat 
kematian Nyai Sembur Maut, karena ia yakin tanpa 
dipercepat. nyawa Nyai Sembur Maut tinggal beberapa 
hitungan saja. Karena selama ini tak pernah ada lawan 
yang mampu hidup dan bisa bertahan sampai seratus 
hitungan jika terkena jurus 'Kapak Jalang'-nya.
Raga Dewa berkata kepada anak buahnya yang 
tinggal tujuh orang itu sambil bertolak pinggang, dan 
matanya tetap memandang liar,
"Sembur Maut punya satu anak lelaki yang bo-
doh bernama Cola Colo! Cari dia di dalam rumah dan 
bantai dia sekarang juga! Kerjakan!"
Wuuut...! Mereka segera masuk ke dalam ru-
mah dan mengobrak-abrik keadaan di dalamnya. Me-
reka mencari Cola Colo; si Bocah Bodoh itu. Tapi me-
reka segera keluar kembali dengan tangan hampa.
"Di dalam tidak ada siapa-siapa, Ketua!"
"Mungkin dia bersembunyi!" bentak Raga Dewa.
"Semua tempat sudah kami cari dan kami gele-
dah, tapi tetap tidak ada seseorang di dalamnya, Ke-
tua!" kata salah seorang anak buahnya.
"Gggrrh...!" Raga Dewa menggeram, pepohonan 
berguncang dan tanah pun bergetar. Lalu ia berseru: 
"Cari di sekitar bukit ini! Anak itu pasti ada di sekitar 
bukit ini!"
Maka, mereka pun mulai menyebar, masuk ke 
hutan, sebagian ada yang menyusuri lereng. Raga De-
wa tampak tak sabar, ingin cepat membantai habis ke

turunan Wiragatra. Rasa tidak sabar menunggu anak 
buahnya memperoleh hasil membuat Raga Dewa pun 
bergegas pergi mencari Bocah Bodoh dengan sesekali 
menggeram dan membuat tanah berguncang, dedau-
nan pun bergetar.
Nyai Sembur Maut masih punya sisa napas. Ia 
berharap agar anaknya jangan sampai ditemukan oleh 
Raga Dewa. Dalam hatinya yang masih sempat beru-
cap dalam penderitaan, Nyai Sembur Maut berkata,
"Pergilah jauh anakku. Pergilah, dan jangan da-
tang kemari. Bersembunyilah di tempat yang aman, 
supaya kau selamat dari kekejian Raga Dewa...."
Pada waktu itu, Bocah Bodoh sedang dalam 
perjalanan pulang dengan menenteng tiga ekor kelinci 
buruannya. Tetapi langkahnya segera terhenti karena 
mendengar suara langkah kaki orang yang menginjak 
semak-semak kering. Bocah Bodoh bersembunyi di ba-
lik pohon untuk memastikan siapa orang tersebut.
Dua orang terlihat bergerak di arah timur, satu 
orang tampak bergegas di arah barat. Bocah Bodoh 
berkerut dahi sambil bertanya di dalam hatinya,
"Siapa mereka itu? Mengapa menghunus senja-
ta semua? Apa yang mereka cari? Hmmm... jangan-
jangan mereka orang-orang jahat? Kalau begitu, aku 
harus cepat-cepat pulang dan memberitahukan kepada 
Ibu, supaya Ibu berhati-hati!"
Bocah Bodoh tinggalkan hasil buruannya di 
bawah pohon itu, lalu la berlari menuju ke pondoknya. 
Gerakan kakinya dianggap oleh anak buah Raga Dewa 
sebagai gerakan kaki berlari dari teman sendiri, se-
hingga hal itu tidak diperhatikan oleh mereka. Bocah 
Bodoh dapat keluar dari hutan dengan selamat dan 
langsung menuju ke rumahnya.
Tetapi alangkah terkejutnya ia begitu melihat 
rumahnya rusak sebagian, ada mayat terpotong mengerikan di pohon samping, dan lebih terkejut lagi ia 
melihat keadaan ibunya yang terkapar di samping re-
runtuhan kursi terbangnya. Bocah Bodoh segera pergi 
hampiri ibunya.
"Ibu!..?!" Bocah Bodoh menjadi amat sedih me-
lihat Keadaan ibunya yang hitam hangus dengan kulit 
melepuh serta terkelupas di sana-sini.
Ibunya masih punya sisa napas dan bisa men-
dengar suara tangis anaknya. Perlahan-lahan ia beru-
saha membuka mata walau hanya kecil saja, kemu-
dian dengan suara lirih ia berkata kepada sang anak,
"Ambil Pedang Jimat Lanang, pergilah dengan 
cepat dan jangan temui Raga Dewa. Pergilah, Anakku. 
Bawalah pedang pusaka itu ke mana pun kau pergi. 
Lekas...! Lekaaasss...!"
"Ibuuu...!" Bocah Bodoh tak mampu serukan 
kata karena tersekap tangis. Ibunya hembuskan napas 
terakhir dan tak bergerak lagi selamanya. Bocah Bodoh 
tersekap duka yang tiada taranya. Namun ia segera in-
gat pesan ibunya, sekalipun sudah tiada namun ia te-
tap tak berani melanggar pesan itu.
Maka dengan cepat Bocah Bodoh lari ke arah 
pantai. Ia menggali pasir pantai yang ada di bawah gu-
gusan batu karang berbentuk gunung kecil itu. Den-
gan kedua tangan ia mencakar-cakar pasir pantai itu, 
sampai akhirnya ia temukan Pedang Jimat Lanang se-
bagai pusaka warisannya. Rupanya untuk menghinda-
ri bahaya datang, pedang tersebut disimpan dalam pa-
sir pantai di bawah gugusan batu karang tersebut. Tak 
seorang pun akan menduga bahwa pedang pusaka itu 
tersimpan di luar rumah, bahkan terhitung jauh dari 
rumah.
Pedang yang dilapisi kain beludru merah ber-
bingkai logam emas itu segera diselipkan ke pinggang 
kiri. Pada waktu itulah Bocah Bodoh mendengar se

buah seruan dari arah lereng bukit,
"Itu dia anaknya! Tangkap dia! Tangkaaap...!" 
Rupanya kemunculan Bocah Bodoh di pantai merupa-
kan suatu pemandangan jelas yang dapat dilihat dari
lereng perbukitan. Raga Dewa berteriak serukan perin-
tah, dan beberapa anak buahnya pun segera berlarian 
ke arah Bocah Bodoh.
Melihat keadaan seperti itu, Bocah Bodoh pun 
segera melarikan diri sesuai pesan mendiang ibunya, 
bahwa ia harus cepat-cepat lari tinggalkan tempat itu.
"Kejar dia...! Lekas kejar dan bunuh di tempat!" 
teriak orang gemuk bersuara lantang itu. Maka, mere-
ka pun beramai-ramai mengejar Bocah Bodoh dengan 
seruan-seruan seperti orang mengejar babi hutan.
"Wao, wao...! Kejar! Kejar! Tangkap! Kepung ke 
timur! Kepung...! Maliiing... malliing...!" mereka mem-
buat Bocah Bodoh panik, namun justru semakin cepat 
pelarian si Bocah Bodoh itu.
Raga Dewa memanggil satu anak buahnya, 
"Jalmo! Pimpin pengejaran itu dan kasih laporan pa-
daku setelah tertangkap. Aku akan menuju ke arah 
utara untuk mencari Pusaka Hantu Jagal itu!"
"Baik, Ketua."
"Susul aku setelah kalian berhasil penggal ke-
pala bocah itu!"
"Kami kerjakan, Ketua!"
Rupanya bukan hanya semata-mata untuk ba-
las dendam saja keperluan Raga Dewa turun dari ka-
palnya yang berlabuh di pantai selatan. Dia punya tu-
juan lain, yaitu memburu Pusaka Hantu Jagal. Dia te-
lah mendengar kabar tentang pusaka tersebut yang te-
lah berada di tangan seseorang bernama Tua Usil. Tapi 
dia belum tahu dl mana tepatnya si Tua Usil itu bera-
da. Tapi apa pun yang terjadi dan bagaimanapun ca-
ranya, Raga Dewa bertekad untuk bisa dapatkan pisau

Pusaka Hantu Jagal tersebut untuk satu keperluan 
yang maha penting baginya.
"Aku tak akan berlayar kembali sebelum kuda-
patkan pisau pusaka itu!" pikirnya. "Sekalipun harus 
mengorbankan semua nyawa anak buahku, aku tak 
peduli. Pisau pusaka itu harus berhasil kudapatkan. 
Orang yang bernama Tua Usil itu harus bisa kubunuh 
jika tak mau serahkan pusaka tersebut. Tapi... kabar-
nya Tua Usil selalu didampingi oleh Pendekar Rajawali 
Putih dan Pendekar Rajawali Merah? Apakah benar? 
Dua pendekar itu kukenal namanya dari mulut ke mu-
lut. Tapi mungkinkah dua pendekar itu mau menjadi 
pengawal si Tua Usil? Alangkah hebatnya si Tua Usil 
jika benar ia bisa jadikan dua pendekar kondang itu 
sebagai pengawalnya demi selamatkan pisau pusaka 
tersebut? Dan jika benar, maka yang kulakukan per-
tama kali adalah menyingkirkan dua pendekar itu. Tak 
sulit menyingkirkan mereka bagi ku. Mereka belum ta-
hu siapa Raga Dewa dan sedahsyat apa jurus-jurus 
maut yang kumiliki. Mereka tak akan mampu menan-
dingi ku!"
* * *
2


PELARIAN Bocah Bodoh tak kenal arah. Ba-
ginya yang penting menjauh dan jangan sampai ter-
tangkap oleh para pengejarnya. Sebenarnya Bocah Bo-
doh ingin berteriak minta tolong, tapi ia tak lihat ada 
orang lain yang bisa diharapkan memberikan pertolon-
gan padanya, karena itu Bocah Bodoh hanya diam saja 
sambil nafasnya ngos-ngosan membuat dada terasa 
sakit.

Pelarian yang menyusuri pantai itu membuat 
pengejarnya lebih enak lakukan tugas. Mereka tak 
akan kehilangan jejak. Sejauh apa pun Bocah Bodoh 
melarikan diri, pandangan mata mereka masih bisa 
menangkapnya, sehingga ke mana arah yang harus 
mereka tuju tidaklah sulit.
Napas sudah hampir putus dan terkuras habis. 
Bocah Bodoh tak sanggup lagi berlari cepat. Kedua ka-
kinya bagaikan digelayuti batu amat besar. Akhirnya ia 
jatuh. Sengaja menjatuhkan diri di samping sebuah 
batu besar. Di sana ia bersandar sambil terengah-
engah, membiarkan para pengejarnya mendekat.
"Nah, mau lari ke mana kau, Tikus Busuk?!" 
geram seseorang sambil terengah-engah pula. Bocah 
Bodoh hanya memandang dalam duduknya sambil 
berkata,
"Aku capek, Kang. Aku mau istirahat dulu!"
"Aku juga capek!" kata yang satunya. "Kita isti-
rahat dululah!"
"Larimu cepat juga, Tikus Busuk!" kata yang 
berbaju merah.
"Karena takut, maka aku bisa lari... cepat! 
Uuuh... capeknya bukan main!" Bocah Bodoh yang se-
benarnya sudah tua itu mengusap keringatnya dengan 
lengan baju.
Dua orang pengejar ada yang duduk menggelo-
so di pasir pantai sambil terengah-engah. Semuanya 
berjumlah enam orang. Yang bernama Jalmo belum ti-
ba karena tertinggal saat ia bicara dengan Raga Dewa 
tadi. Dan ketika Jalmo datang, ia menjadi berang meli-
hat teman-temannya duduk santai melepas lelah di 
sekitar buruannya.
"Hei, apa-apaan kalian ini, hah?! Mengapa ikut-
ikutan istirahat seperti dia?! Tugas kita adalah mem-
bunuh dia dan memenggal kepalanya untuk kita beri

kan kepada Raga Dewa sebagai bukti kerja kita!"
"Nanti dululah...! Badanku letih semua," kata 
salah seorang.
"Tidak bisa! Bunuh dia sekarang juga!"
"Heaaat...!'' salah seorang segera melompat 
hendak menebaskan goloknya ke leher Bocah Bodoh. 
Tapi Bocah Bodoh lekas sentakkan tangannya dan tu-
buhnya melenting di udara, bersalto dua kali dan 
mendarat di pasir pantai dengan tegak.
"Agaknya aku harus melawan mereka karena 
sudah terpepet. Kata Ibu, kalau aku sudah terdesak 
sekali, aku baru boleh gunakan ilmu ku. Sekarang aku 
terdesak. Mereka mau bunuh aku. Jadi terpaksa aku 
gunakan ilmu ku!" kata Bocah Bodoh dalam hati.
Maka pertarungan satu melawan tujuh orang 
pun tak bisa dihindarkan lagi. Bocah Bodoh berkelit ke 
sana kemari dengan lincahnya, membuat lawan sulit 
melukai tubuhnya. Bahkan ketika Jalmo melepaskan 
pukulan tenaga dalamnya yang mempunyai sinar kun-
ing itu, Bocah Bodoh menghantam sinar kuning terse-
but dengan sinar biru yang keluar dari pergelangan 
tangannya. Claaap...! Duaaarrr...!
"Monyet! Rupanya dia punya isi juga! Hati-hati, 
Kawan!" seru Jalmo kepada leman-temannya.
Salah seorang sudah telanjur menyerang dari 
belakang dengan golok siap disabetkan dari atas ke 
bawah, sasarannya membelah kepala Bocah Bodoh. 
Tetapi kaki Bocah Bodoh segera menjejak ke belakang 
tanpa berpaling lebih dulu. Kaki itu pun masuk men-
genal ulu hati penyerang dari belakang. Buuhg...!
"Heeegh...!" orang itu terpental tiga tombak 
jauhnya.
Enam orang lainnya segera mengurung Bocah 
Bodoh membentuk lingkaran yang bergerak searah. 
Senjata mereka dikibaskan ke sana-sini untuk menga

caukan pandangan mata Bocah Bodoh. Orang yang ta-
di terkena tendangan Bocah Bodoh itu memuntahkan 
darah kental dari mulutnya dan tak bisa ikut bergerak 
untuk beberapa saat.
Bocah Bodoh berkata, "Sudahlah, jangan mu-
suhi aku! Kalian sudah bunuh ibu, ya sudahlah. Jan-
gan bunuh juga aku. Kita damai saja!"
"Tugas kami bukan membuat perdamaian den-
gan mu, Tikus Sawah! Tugas kami adalah memenggal 
kepalamu untuk diberikan kepada sang Ketua!" kata 
Jalmo yang tampak paling bernafsu untuk membunuh 
Bocah Bodoh.
"Kalau begini caranya, aku bisa membunuh 
mereka satu-persatu. Padahal itu tidak baik, bukan?!"
"Persetan dengan celotehmu! Heaaat...!" Jalmo 
menyerang maju, diikuti oleh kelima temannya. Bocah 
Bodoh diserang secara serempak dengan senjata ber-
kelebat menghantam ke tubuhnya.
Wuuut...!
Bocah Bodoh melesat dalam satu sentakan kaki 
ke tanah. Tubuhnya terangkat ke atas dan bersalto sa-
tu kali, keluar dari lingkaran yang mengurungnya. Se-
dangkan senjata-senjata yang saling dihantamkan ke 
arah. Bocah Bodoh itu kini saling beradu sendiri me-
nemui tempat kosong.
Traaang...! Praaang...!
Mereka sama-sama terkejut, karena mata me-
reka bagai tak melihat gerakan Bocah Bodoh yang me-
lompat dan keluar dari kurungan mereka. Mereka se-
gera memandang ke arah di mana Bocah Bodoh bera-
da. Ternyata lelaki kekanak-kanakan yang berusia se-
kitar lima puluh tahun itu sekarang sedang mene-
ruskan pelariannya.
"Kejar diaaa... !" teriak Jalmo, yang membuat 
semua temannya berlari mengejar, termasuk orang

yang memuntahkan darah tadi. Mereka ada yang me-
motong jalan, sehingga tiga orang segera berada di de-
pan Bocah Bodoh, menghadang dengan pasang kuda-
kuda siap serang. Bocah Bodoh kembali hentikan 
langkahnya dan hempaskan napas dengan jengkel.
"Sudah kubilang, kita damai saja! Jangan pak-
sa aku membunuh kalian. Itu tak balk!" katanya sam-
bil menyeringai sedih.
"Hantam dia! Heaaahh...!" teriakan Jalmo 
membuat mereka kembali bergerak serempak menye-
rang Bocah Bodoh. Dengan terpaksa Bocah Bodoh le-
paskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar yang mem-
buat kepungan mereka berulang kali berantakan. Ru-
panya Bocah Bodoh masih belum mau membunuh me-
reka, karena ia berharap agar mereka jera dan tidak 
mengganggunya lagi.
Namun semakin Bocah Bodoh bertahan, sema-
kin sering ia terkena pukulan dan tendangan bertena-
ga dalam lumayan beratnya. Bocah Bodoh dibuat ter-
guling-guling beberapa kait, bahkan satu kali tersung-
kur hampir menelan batu. Dadanya yang membentur 
batu itu menjadi sakit dan membuat nafasnya mulai 
sesak dihela.
"Am.... ampuuun...! Ampun, Kang...! Jangan 
paksa aku membunuh kalian. Ampuuun...!" Bocah Bo-
doh memohon-mohon. Tapi Jalmo tidak peduli. Ketika 
Bocah Bodoh berlutut menyembah-nyembah mohon 
pengampunan agar tidak di paksa lagi untuk lakukan 
pembunuhan, pedang Jalmo menghantam kuat dari 
atas ke bawah, memancung leher Bocah Bodoh.
Claaap...! Traaang...!
Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat meng-
hantam pedang Jalmo. Pedang itu patah seketika men-
jadi kepingan-kepingan berjumlah lebih dari enam po-
tong. Mereka sangat terkejut, lalu segera memandang

ke arah datangnya sinar merah tadi. Ternyata sinar 
tersebut datang dari atas. Di atas sana mereka melihat 
seorang pemuda tampan berpakaian selempang dari 
kulit beruang coklat dan baju putih lengan panjang di 
dalamnya mengendarai seekor burung rajawali besar. 
Burung itu berwarna merah dan sedang terbang-
rendah.
"Awaaass...!" teriak Jalmo sambil berlari ketika 
burung rajawali merah itu menuju ke arah mereka. 
Maka, mereka pun bubar tak tentu arah. Burung raja-
wali merah serukan suaranya,
"Keaaak...! Keaaakk...!"
Wuuus...! Ploook...!
"Aaauh...!" salah seorang berteriak sambil ter-
jungkal karena kepalanya disambar oleh cakar rajawa-
li. Kepala itu sempat tergores dan sedikit berdarah. 
Burung rajawali itu pun kepakkan sayapnya kian ke-
ras. Kepakan sayap menghadirkan angin badai dan 
membuat mereka terlempar, terjungkal tunggang lang-
gang dan sebagian ada yang terpental sampai ke perai-
ran laut.
"Keaaak...! Keaak...!".
Burung itu hinggap di tanah pasir. Pemuda pe-
nunggangnya yang tak lain adalah Pendekar Rajawali 
Merah bernama Yoga itu, segera berseru kepada Bocah 
Bodoh yang masih berlutut mencium tanah.
"Bocah Bodoh! Lekas naik kemari."
Mendengar seruan itu, Bocah Bodoh segera 
dongakkan kepala karena ia kenal betul dengan suara 
tersebut. Maka, ia pun segera bangkit berdiri dan ber-
seru,
"Tuan Yo...?!"
"Lekas naik!" ulang Pendekar Rajawali Merah 
sambil ulurkan tangannya ketika burung besar itu 
mendekam merendah. Bocah Bodoh segera hampiri
burung besar itu, tapi ia segera mundur karena takut 
melihat wajah sang burung menyeramkan. Alisnya ke 
atas pertanda ingin marah. Yoga terpaksa berseru,
"Tak apa, Bocah Bodoh! Si Merah ada di pi-
hakmu! Ayo, naik...!"
Bocah Bodoh memberanikan diri. Dengan di-
bantu tangan Yoga yang kanan, Bocah Bodoh berhasil 
naik ke punggung rajawali besar Itu. Ia duduk di bela-
kang Yoga dan memeluk perut Yoga kuat-kuat dengan 
wajah pucat.
"Cabut, Merah!" perintah Yoga kepada burung 
rajawali itu. Maka, sang burung pun segera terbang 
kembali dengan serukan suaranya yang menggema di 
sepanjang pantai. Salah seorang anak buah Raga Dewa 
baru saja menepi dari perairan laut. Melihat burung 
itu terbang rendah ke arahnya, ia kembali ceburkan 
diri ke laut dan menyelam sebisa-bisanya.
"Siapa mereka, Bocah Bodoh?!"
Tak terdengar jawaban dari Bocah Bodoh. Yang 
di rasakan Yoga hanyalah perut yang kian sakit karena 
dipeluk kuat-kuat oleh Bocah Bodoh, dan punggung-
nya tersentak-sentak karena detak jantung Bocah Bo-
doh. Rupanya rasa takut Bocah Bodoh telah mem-
buatnya tak bisa gerakkan lidah, hingga tak mampu 
serukan kata apa pun. Sekujur tubuhnya gemetar ke-
tika rajawali merah itu terbang kian tinggi.
Setelah rajawali besar itu mendarat di perbuki-
tan sepi. Yoga menyuruh Bocah Bodoh untuk segera 
turun. Rupanya rasa takut membuat tulang-tulang 
Bocah Bodoh menjadi lemas. Ia turun dengan merosot 
dan jatuh di dekat kaki burung. Bluugh! Matanya meli-
rik ngeri ke arah sepasang kaki burung bercakar ko-
koh itu.
Yoga segera membawanya agak jauh, di bawah 
pohon rindang yang tidak berbatu dan hanya berum

put pendek. Di situ nafas Bocah Bodoh mulai tampak 
terengah-engah di sela wajah pucatnya yang mulai 
memudar. Pendekar Rajawali Merah sempat tertawa 
pelan melihat ketakutan Bocah Bodoh dalam pener-
bangan tadi.
"Kau terlalu penakut. Semestinya tak perlu kau 
sampai selemas dan sepucat ini, Bocah Bodoh."
"Saaa... saya... saya belum pernah terbang, 
Tuan Yo."
"Ini pengalaman barumu, supaya kelak kau ti-
dak merasa takut lagi jika harus terbang ke mana-
mana."
Bocah Bodoh menelan ludah, diam termenung. 
Yoga menyangka Bocah Bodoh sedang tenangkan ha-
tinya. Ternyata justru sebaliknya. Bocah Bodoh tam-
pakkan genangan air di matanya. Wajahnya pun terli-
hat duka. Yoga berkerut dahi, segera ingat pertarun-
gan tadi, lalu bertanya,
"Apa sebenarnya yang terjadi, Bocah Bodoh?"
"Ibu...," hanya itu jawaban Bocah Bodoh, tak 
mampu dilanjutkan. Berulang kali Bocah Bodoh mene-
lan ludahnya, menahan isak tangis yang amat meng-
haru di hati. Bocah Bodoh termenung beberapa saat 
karena sengaja beri kesempatan kepada Bocah Bodoh 
untuk tenangkan tangisnya. Tapi Yoga yakin, pasti ada 
sesuatu yang amat menyedihkan.
Beberapa saat kemudian terdengar Bocah Bo-
doh perdengarkan suara paraunya,
"Saya tak sangka, Ibu mengalami nasib sema-
lang itu."
"Apa yang terjadi dengan ibumu?" "Meninggal," 
jawabnya sangat lirih sambil tundukkan kepala.
Pendekar Rajawali Merah terkejut, lalu tarik 
napas dalam-dalam, setelah itu baru bertanya lagi, 
"Siapa yang membunuhnya?"

"Raga Dewa, bekas musuh Ayah dan Ibu zaman 
dulu. Rupanya Raga Dewa balas dendam dan ingin pu-
la bunuh saya, Tuan Yo!"
"Raga Dewa..,?" gumam Yoga sambil berpikir, 
lalu ia berkata seperti bicara pada dirinya sendiri,
"Pernah kudengar nama itu dari mulut orang-
orang di kedai. Apakah Raga Dewa yang dimaksud 
adalah Ketua Partai Bajak Samudera?"
"Benar, Tuan Yo. Dulu ibu sering ceritakan ten-
tang pertarungan Ayah dengan Raga Dewa. Tapi saya 
baru kali ini melihat sosok orangnya. Itu pun hanya 
sekilas dan saya segera lari karena dikejar anak buah-
nya!"
"Mengapa tak kau lawan mereka?"
"Saya... saya tidak punya ilmu cukup tinggi un-
tuk kalahkan Raga Dewa sebab Raga Dewa bisa kalah-
kan Ibu, apalagi saya, pasti bisa dikalahkan dengan 
mudah. Ilmunya sangat tinggi."
"Bukankah kau membawa pusaka Pedang Ji-
mat Lanang? Mengapa tak kau gunakan untuk mela-
wan mereka?"
"Pesan Ibu, ke mana pun saya pergi saya dis-
uruh membawa-bawa pedang ini. Hanya membawanya. 
Ibu tidak bilang kalau saya boleh gunakan pedang ini 
jika terpaksa, Tuan Yo."
Pendekar Rajawali Merah hanya geleng-geleng 
kepala sambil tarik napas. Kemudian ia berkata den-
gan lebih mendekat pada Bocah Bodoh,
"Tentu saja ibumu izinkan kau menggunakan 
pedang itu, Bocah Bodoh. Ibumu suruh kau bawa pe-
dang ke mana pun pergi, maksudnya buat perlindun-
gan dirimu. Bukan hanya sekadar dibawa-bawa."
"O, jadi...?" Bocah Bodoh memandang dengan 
mulut melompong.
"Jadi kau boleh saja gunakan pedang itu, se

masa demi membela kebenaran dan menjaga kesela-
matan."
Bocah Bodoh kini termenung dan berucap kata, 
"Mengapa ibu tak jelaskan hal itu padaku? Apakah ka-
rena nyawa Ibu tinggal sedikit, jadi ibu hanya bilang 
begitu?"
Yoga tak bisa salahkan Bocah Bodoh yang ma-
sih polos dalam menerima perintah dan pesan dari 
orang tuanya. Bocah Bodoh terlalu patuh dan hormat 
kepada orangtuanya, sehingga kemampuan mencerna 
perintah kurang lugas. Daya pikir yang kekanak-
kanakan itulah yang membuat Cola Colo walau sudah 
cukup usianya tapi masih dikatakan sebagai bocah. 
Toh hal itu tidak membuatnya sakit hati atau unjuk 
rasa. Dengan senang ia mau menerima julukan seba-
gai Bocah Bodoh.
Setelah cukup banyak menerima penjelasan da-
ri Yoga mengenal pesan dan amanat sang Ibu, Bocah 
Bodoh pun setuju usul Yoga untuk kembali ke Bukit 
Lidah Samudera.
"Ibumu harus dimakamkan dan mendapat 
penghormatan yang layak dari anaknya," kata Yoga.
"Lalu, bagaimana dengan Raga Dewa dan anak 
buahnya itu, Tuan Yo? Bagaimana jika mereka masih 
di sana dan mencari-cari pedang ini?"
"Akan ku atasi mereka jika memang mereka 
masih di sana. Yang panting, jangan biarkan jenazah 
ibumu dalam keadaan membusuk tanpa ada pemaka-
man semestinya."
"Baiklah. Tapi saya tak mau naik burung lagi, 
Tuan Yo. Saya takut sekali terbang dengan burung 
itu," sambil
Bocah Bodoh memandang ke arah burung ra-
jawali berbulu merah berukuran besar itu.
"Tak apa. Burung itu tak akan celakakan ka

mu. Dia baik pada orang yang ada di pihak yang be-
nar. Dia akan hati-hati membawamu terbang."
"Tidak. Saya tidak mau, Tuan Yo. Saya lebih 
baik berjalan kaki saja daripada harus putus jantung."
Yoga berpikir, jika mereka harus jalan kaki, ter-
lalu jauh jarak yang ditempuh. Bisa-bisa sampai tem-
patnya jenazah Nyai Sembur Maut sudah membusuk. 
Maka, serta-merta tangan Yoga menotok tubuh Bocah 
Bodoh. Taaab...!
"Maaf, aku tak bermaksud jahat!" katanya.
Bocah Bodoh menjadi lemas bagai tanpa tulang 
dan urat sedikit pun. Kemudian Yoga menaikkan ke 
punggung burung rajawalinya, dan Bocah Bodoh pun 
kembali dibawa terbang menuju Bukit Udah Samude-
ra. Dalam keadaan begitu, Bocah Bodoh tidak sadar 
apa yang sedang dilakukan oleh Pendekar Rajawali 
Merah dan apa yang terjadi pada dirinya; Ketika Bocah 
Bodoh sadar, ia sudah temukan dirinya berada di de-
pan rumah sendiri.
"Apa yang terjadi? Mengapa saya tiba-tiba ada 
di sini, Tuan Yo?"
"Angin bukit yang membawamu kemari," jawab 
Yoga sambil segera bergegas mendekati jenazah Nyai 
Sembur Maut.
"Cukup tinggi ilmu Raga Dewa hingga membuat 
mayat Nyai Sembur Maut dalam keadaan seperti ini," 
pikir Yoga. "Tapi benarkah dia datang hanya ingin ba-
las dendam? Mengapa rumah itu isinya morat-marit? 
Jangan-jangan dia kehendaki pedang pusakanya Bo-
cah Bodoh itu? Kalau benar begitu, berarti aku harus 
mendampingi Bocah Bodoh supaya pedang pusakanya 
tidak jatuh ke tangan orang sekeji Raga Dewa itu!"
Sementara Yoga mendampingi Bocah Bodoh 
demi menjaga pusaka Pedang Jimat Lanang agar jan-
gan jatuh ke tangan tokoh sesat, sementara itu pula

sebenarnya jiwa Tua Usil terancam bersama pisau Pu-
saka Hantu Jagal-nya. Padahal Tua Usil saat itu tidak 
bersama Pendekar Rajawali Putih. Gadis yang kecanti-
kannya sering diungkapkan sebagai kecantikan mele-
bihi bidadari itu sedang bingung mencari-cari Yoga, ia 
berkelana dalam penerbangannya bersama burung ra-
jawali besar warna putih yang menjadi tunggangannya. 
Burung itu adalah kekasih dari burung rajawali merah 
tunggangan Yoga.
* * *
3


PERANGAI tinggi dimiliki oleh setiap tokoh silat 
yang tak bisa kendalikan nafsu amarahnya. Biasanya 
nafsu amarah itu timbul manakala melihat rekan se-
perguruan mati, atau saudara sendiri, atau pula keka-
sih yang terbunuh. Biasanya perangai tinggi itulah 
yang menyulut dendam dan pembalasan bagi si pelaku 
pembunuhan tersebut. Bukan sekadar nafsu untuk 
membalas, namun juga nafsu untuk menjaga harga di-
ri dan kehormatan martabat di rimba persilatan sering 
membuat seseorang lakukan penyerangan secara tiba-
tiba.
Tak beda halnya dengan tokoh berusia lima pu-
luh tahun yang ke mana-mana selalu kenakan pakaian 
compang-camping dan tambal sulam. Tokoh kurus 
berpakaian serba hitam yang membawa tongkat den-
gan rambut abu-abunya dikenal sebagai Ketua Partai 
Pengemis Liar. Jalannya tertatih-tatih tak bisa lurus 
dengan tubuh loyo bagai kurang tenaga. Tapi sesung-
guhnya dia termasuk tokoh yang sulit dirobohkan la-
wan. Ia dikenal dengan nama julukan: Paku Juling,

(Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Geger Si-
luman Perawan').
Dalam keadaan biasa, Paku Juling terlihat se-
bagai orang yang tak berdaya, lemah, dan tak memiliki 
kekuatan untuk berlari cepat. Namun kali ini Paku 
Juling unjukkan jati dirinya dengan lakukan serangan 
bersalto ke arah seorang perempuan cantik berpakaian 
jingga yang mengendong seekor burung beo hitam pa-
ruh kuning di pundaknya. Perempuan bertahi lalat ke-
cil di sudut bibir kirinya itu tak lain adalah putri Adi-
pati Windunegara, murid dari Jubah Peri, yang dikenal 
sebagai Gadis Penakluk Hati karena memiliki daya pi-
kat tinggi bagi lawan jenisnya. Perempuan itu lebih di-
kenal dengan nama aslinya sendiri: Lintang Ayu.
Serangan bersalto dari Paku Juling hampir saja 
kenai punggung Lintang Ayu jika burung beonya tidak 
berseru: "Awas maling!"
Begitulah tanda bahaya yang sering dikenali 
oleh Lintang Ayu jika terjadi serangan dari belakang. 
Lintang Ayu cepat sentakkan kakinya, melompat ke ki-
ri bersamaan sang burung beo yang terbang menjauh. 
Wuuut...! Tendangan Paku Juling kenai sasaran ko-
song. Lintang Ayu bisa saja langsung menghantamkan 
pukulan jarak jauhnya ke arah Ketua Partai Pengemis 
Liar itu, tetapi agaknya Lintang Ayu tak mau bertan-
gan ringan. Ia hanya pandangi Paku Juling seraya ber-
kata dengan nada penuh wibawa, tapi berkesan ketus,
"Apa maksudmu menyerangku dari belakang, 
Paku Juling?!"
"Jangan berlagak bodoh, Lintang Ayu. Aku 
kenal betul dengan jurus pedangmu yang bernama ju-
rus "Pedang Rajang'!" kata Paku Juling sambil melang-
kah ke kiri. Pandangan matanya masih biasa, itu be-
rarti Paku Juling belum kerahkan tenaga kemarahannya.

"Aku tak mengerti apa maksudmu menye-
butkan jurus pedangku?"
"Kau tak usah sembunyikan diri dari perbua-
tanmu Lintang Ayu. Kau telah membunuh adikku; si 
Rencong Geni dengan jurus 'Pedang Rajang'-mu!"
"Jangan menuduhku sembarangan. Aku tak 
punya masalah apa-apa dengan Rencong Geni, adik-
mu!"
"Hmmm...!" Paku Juling sunggingkan senyum 
sinis dalam keadaan tubuh tegap, tak tampak sebagai 
pengemis. "Mengapa kau coba ingkari perbuatanmu 
sendiri? Apakah karena kau takut karena aku ingin 
membalas kematian adikku kepadamu? Apakah kau 
tak sanggup hadapi ilmuku?"
Burung beo hitam paruh kuning berseru sambil 
terbang berkeliling, "Pitnah, pitnah... itu pitnah...!"
Paku Juling tambah jengkel. Tongkatnya dis-
odokkan ke arah burung yang sedang terbang itu. 
Zuuut...! Tapi Lintang Ayu segera tanggap, bahwa bu-
rungnya dalam bahaya, karenanya dengan cepat le-
paskan pukulan jarak jauh tanpa sinar ke ujung tong-
kat tersebut. Wuut! Traaak...!
Tongkat itu tersentak. Begitu kuatnya sampai 
membuat tubuh Paku Juling tersentak berputar. 
Wuuus...! Tapi justru putaran tubuh Paku Juling itu 
keluarkan gelombang badai yang cukup kuat dan 
membuat tubuh Lintang Ayu terdorong mundur tiga 
tindak.
"Gila! Dia keluarkan tenaga dalamnya dalam 
bentuk putaran tubuh. Cukup kuat juga tenaga dalam 
itu!" pikir Lintang Ayu.
Paku Juling berkata, "Rupanya kau sudah tak 
sabar, ingin cepat hadapi ilmuku, Lintang Ayu! Kau te-
lah berani serang aku lebih dulu. Maka terimalah ju-
rus 'Gelap Gentar'-ku ini! Heaaah...!"

Claaap...!
Sinar putih terang benderang keluar dari ujung 
tongkat Paku Juling: Pada saat itu, mata si Paku Jul-
ing telah berubah. Manik hitamnya ada dl sudut ba-
wah keduanya. Tongkatnya yang tadi diurut dalam se-
kelebat berubah menjadi besi panjang dan runcing 
semacam paku besar. Sentakan kedua tangan dengan 
kaki ditarik ke belakang melepaskan sinar putih terang 
benderang menyilaukan. Hanya sekejap. Sinar itu le-
kas padam dan membuat pandangan mata Lintang 
Ayu menjadi gelap, tak bisa melihat apa-apa.
"Oh, celaka!. Aku menjadi buta?! Kurasa ini 
pengaruh sinar terang yang membuat pandangan mata 
bagaikan buta sesaat. Tapi ini berbahaya. Aku tak ta-
hu dia bergerak menyerangku atau diam saja?" pikir 
Lintang Ayu. dengan kedua tangan bergerak meraba 
udara.
Wuuut...! Plaaak...!
Tendangan dari Paku Juling berhasil ditangkis 
dengan kelebatan tangan Lintang Ayu. Kini perempuan 
cantik itu bergerak dengan mengandalkan indera pe-
raba, pendengaran dan penciuman. Ketika Paku Juling 
tebaskan tongkat besi runcingnya untuk merobek dada 
Lintang Ayu, perempuan itu rasakan hembusan angin. 
kencang yang amat kecil dari arah kirinya. Serta-merta 
ia lompat ke atas dan lepaskan sentakan tangannya 
yang memancarkan cahaya merah terang benderang. 
Claaap...!
Wuuus...! Dalam sekejap tempat itu dikuasai 
oleh angin panas. Rerumputan menjadi layu dan cepat 
kering, demikian pula dedaunan lainnya. Tubuh Paku 
Juling pun tersengat panas dan menggeram sambil 
melompat ke sana-kemari.
"Kurang ajar! Dia gunakan hawa panas mene-
bar sekeliling tempat ini. Tak ada tempat dingin bagi

ku," pikir Paku Juling.
Pada saat itu kegelapan mata Lintang Ayu mu-
lai pudar dan berganti terang kembali. Ia melihat Paku 
Juling menancapkan tongkat paku besinya ke tanah 
dan berpegang kuat-kuat pada tongkat besi itu. Dari 
tongkat besi keluar busa-busa putih yang makin lama 
semakin banyak. Hawa panas itu ternyata sedang di-
lawan dengan hawa salju yang ia keluarkan dari pen-
gerahan tenaga inti dinginnya. Dengan tubuh sedikit 
gemetar dan mata tetap memandang juling, ia berhasil 
kalahkan hawa panas tersebut dengan udara dingin 
salju yang dikerahkannya.
"Hiaaah...!" Lintang Ayu segera cabut pedang-
nya dan ditebaskan ke arah tangan Paku Juling. Tapi 
dengan gerakan amat cepat, Paku Juling tiba-tiba su-
dah berada di belakang Lintang Ayu. Ia segera meng-
hunjamkan tongkat runcingnya ke punggung Lintang 
Ayu.
"Awas maliiing...!" teriak burung beo di kejau-
han. Lintang Ayu cepat putar tubuh sambil kibaskan 
pedangnya. Traaang...! Pedang itu menghantam besi 
yang hendak menghunjamnya. Terjadi percikan bunga 
api cukup banyak ketika pedang beradu dengan tong-
kat. Keduanya sama-sama terpental mundur tiga tin-
dak. Lalu diam dalam ketegakan berdiri.
"Tubuhku seperti dirayapi jutaan semut gara-
gara beradu senjata dengannya," pikir Lintang Ayu. 
"Kurasa aku harus lebih hati-hati lagi menghadapi 
orang juling itu."
Sedangkan Paku Juling pun membatin, "Edan! 
Hampir saja aku kelojotan seperti tersiram air panas di 
sekujur tubuh karena benturan pedangnya dengan 
tongkatku! Rupanya dia tidak main-main menghadapi-
ku. Aku pun tak boleh lengah sedikit saja."
"Heaaahh...!" Paku Juling melompat sambil

memutar tongkat.
"Hiaaah...!" Lintang Ayu pun melompat ke de-
pan dengan pedang siap menebas. Tetapi tiba-tiba Pa-
ku Juling lemparkan tongkatnya menancap di tanah, 
tangannya menyentak di ujung tongkat membuat tu-
buhnya melenting lebih tinggi dan bersalto melewati 
kepala Lintang Ayu. Perempuan itu merasa tertipu oleh 
gerakan tersebut. Ia sudah telanjur tebaskan pedang-
nya menghantam tongkat besi tersebut. Namun tiba-
tiba ia harus berguling ke depan karena kaki Paku Jul-
ing hampir saja menyerang punggungnya dengan ten-
dangan ganda. Jika Lintang Ayu tidak berguling ke ta-
nah. maka tulang punggungnya akan patah oleh ten-
dangan bertenaga dalam tinggi itu.
Wuuuk...! Zaaap...!
Lintang Ayu cepat sentakkan tangan kirinya 
begitu selesai berguling. Dari tangan kirinya itu mele-
paskan sinar ungu yang berbahaya. Sinar ungu itu 
menghantam dada Paku Juling, namun dengan cepat 
tangan Paku Juling menghadang di pertengahan dada. 
Tapak tangan itu membara biru ketika sinar ungu 
mendekatinya, lalu menghantamnya.
Duaaar...!
Andai tidak ditahan dengan tangan bercahaya 
biru, sudah pasti dada Paku Juling akan jebol tanpa 
ampun lagi. Tapi karena ditahan dengan telapak tan-
gan tersebut, Paku Juling hanya terpental empat tom-
bak jauhnya dan jatuh terbanting cukup keras. 
Buuhg...!
"Uhhg...!" Paku Juling tersentak ke depan, ke-
palanya tergolek, mulutnya keluarkan darah kental 
warna merah kehitaman. Dalam hatinya segera mem-
batin,
"Sial! Kena juga aku akhirnya! Untung tidak 
terlalu parah bagiku!"

Lintang Ayu terkesiap melihat Paku Juling ma-
sih bisa berdiri, padahal biasanya lawan yang terkena 
pukulan ungu itu akan mengkristal dan pecah jika 
terkena benda keras. Rupanya jurus itu tidak berlaku 
demikian bagi Paku Juling. Jika Paku Juling bukan 
orang berilmu tinggi, tidak mungkin ia masih bisa ber-
diri dan siap lakukan serangan lagi.
"Heaaah...!" Paku Juling lepaskan sinar biru 
dari kedua telapak tangannya. Sedangkan Lintang Ayu 
segera lepaskan sinar merah dari sentakan balik ga-
gang pedangnya. Clap, claap...! Kedua sinar itu sama-
sama meluncur cepat di pertengahan jarak. Tetapi ti-
ba-tiba seberkas sinar putih perak menghantam kedua 
sinar tersebut sebelum beradu di pertengahan jarak. 
Blaaar...! Glegaaarr...!
Dentuman itu sangat hebat, menggelegar dan 
menggema sampai ke seluruh penjuru. Kedua tokoh 
yang sedang bertarung itu sama-sama terpental dan 
saling berguling-guling. Tetapi keduanya segera sama-
sama bangkit dalam satu sentakan tubuh yang men-
cuat. Jleg, jleeg!
Seekor burung rajawali putih terbang rendah, 
mendekati mereka. Rupanya siar putih perak itu da-
tang dari tangan penunggang burung rajawali putih 
yang tak lain adalah Lili; si Pendekar Rajawali Putih. 
Lintang Ayu dan Paku Juling sama-sama terkesiap me-
lihat kedatangan gadis pendekar yang cantik rupanya 
itu.
Lili segera turun dari punggung rajawalinya. Ia 
hampiri Lintang Ayu dan Paku Juling. Pada saat itu, 
Paku Juling segera berkata.
"Apa perlumu mencampuri urusanku dengan 
perempuan kejam itu, Pendekar Rajawali Putih? Apa-
kah kau ingin membelanya walau kau tahu dia telah 
membunuh adikku; Rencong Geni itu?!"

Dengan tenang gadis berpakaian merah jambu 
dengan jubah putih tipis itu berkata, "Sudah kuduga 
kalian pasti terlibat kesalahpahaman!"
Lintang Ayu berkata, "Sebaiknya tinggalkan 
kami, biar kami selesaikan urusan ini, Lili. Dia tetap 
bersikeras menuduhku sebagai pembunuh Rencong 
Geni."
"Aku tidak sekadar menuduh!" sahut Paku Jul-
ing. "Tapi memang terbukti jenazah adikku kutemukan 
mati dalam keadaan terpotong-potong menjadi tiap 
ruas tulangnya. Orang yang bisa lakukan pembunu-
han sekejam itu hanya kau, Lintang Ayu. Karena kau 
mempunyai jurus pedang yang mampu membuat la-
wan mati seperti itu!"
"Dugaanmu tidak benar, Paku Juling!" kata Lili 
dengan tetap kalem.
"Kau tak perlu membelaku, Lili!" kata Lintang 
Ayu. "Aku masih sanggup membuktikan bahwa diriku 
bukan pembunuh Rencong Geni!"
"Aku hanya ingin meluruskan perkara ini. Bu-
kan Lintang Ayu yang membunuh Rencong Geni, Paku 
Juling."
Sambil mendekati tongkat besinya Paku Juling 
berseru, "Lantas siapa orang yang bisa membunuh 
Rencong Geni sedemikian rupa?!" "Seseorang yang 
memegang senjata pisau Pusaka Hantu Jagal!"
"Hahh...?!" Paku Juling terkejut. Matanya su-
dah tidak juling lagi. Tongkat besi runcing menyerupai 
paku itu segera diurut dan menjadi tongkat kayu biasa 
kembali. Setelah langkahkan kedua kaki dua kali de-
kati Pendekar Rajawali Putih, Paku Juling bertanya,
"Siapa orang yang memegang pisau Pusaka 
Hantu Jagal itu? Ki Pamungkas? Resi Gutama? Atau 
murid mereka?"
"Carilah sendiri. Tapi aku melihat jelas orang

itu telah membunuh Nyai Kuku Setan!"
Makin tersentak lagi Paku Juling mendengar-
nya. "Nyai Kuku Setan telah dibunuhnya?! Mungkin-
kah itu?"
"Kenapa tidak? Sebelum ia membunuh Nyai 
Kuku Setan, ia telah menikamkan pisau itu ke tubuh 
Ki Pamungkas yang mendesaknya untuk mempercepat 
kematian!"
"Itu berarti orang tersebut telah menyerap il-
munya Ki Pamungkas?" ucap Paku Juling dengan ka-
gum.
"Dugaanmu kali ini benar, Paku Juling. Ia juga 
telah mendapatkan ilmu-ilmunya Nyai Kuku Setan dan 
tentunya kau tahu bahwa seluruh ilmu yang dimiliki 
lawannya telah berpindah menjadi milik orang yang 
menikamkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu!"
Paku Juling bersungut-sungut, lalu menggu-
mam seperti bicara pada dirinya sendiri, "Alangkah 
saktinya dia, menyerap banyak ilmu orang sakti?! Pan-
tas jika ia bisa bunuh Rencong Geni dalam keadaan 
seperti itu, tentunya ilmunya Ki Pamungkas yang men-
galir dalam dirinya yang menyebabkan kematian Ren-
cong Geni seperti itu. Aku tahu, Ki Pamungkas juga 
mempunyai jurus yang dapat memotong-motong la-
wannya tanpa pedang atau senjata lainnya."
"Syukurlah jika kau sudah bisa memahami 
penjelasanku," kata Pendekar Rajawali Putih. Kepala 
lelaki itu manggut-manggut, lalu, ia perdengarkan sua-
ranya yang melemah, tidak segalak tadi,
"Mengapa kau tak mau sebutkan siapa orang-
nya?"
"Karena aku tak punya hak untuk mengadukan 
hal ini kepadamu. Kalau kau ingin nekat menemui 
orangnya dan berani bertarung melawannya, carilah 
dia. Cirinya, dia membawa pisau Pusaka Hantu Jagal,"

Paku Juling menghela napas. "Jika dua ilmu 
bersatu dalam dirinya, yaitu ilmunya Ki Pamungkas 
dan Nyai Kuku Setan, maka... itu berarti ia punya ilmu 
lebih tinggi dariku!"
Lintang Ayu memandangi Lili saat Lili hanya 
angkat bahu. Kemudian, Paku Juling berpaling mena-
tap Lintang Ayu dan berkata,
"Maafkan aku! Kurasa untuk sementara ini, ki-
ta cukupkan sampai di sini saja!" Paku Juling pun se-
gera sentakkan kaki dan pergi sambil berseru tanpa 
berpaling ke belakang,
"Terima kasih atas penjelasan mu, Lili...!"
Pendekar Rajawali Putih dan Lintang Ayu 
hanya diam saja memandangi kepergian Paku Juling, 
Kejap berikutnya, terdengar suara Lintang Ayu yang 
bernada wibawa namun berkesan angkuh,
"Untung kau cepat datang dan jelaskan perkara 
ini. Jika tidak, dia bisa mati di tanganku."
"Firasat ku mengatakan ada kesalahpahaman 
di antara kalian. Padahal aku bermaksud singgah me-
nemui mu untuk menanyakan tentang Yoga."
Lintang Ayu cepat palingkan wajah pandangi 
Lili. Ia bertanya dengan nada datar,
"Apa maksudmu tanyakan Yoga padaku?"
"Aku mencarinya. Kusangka ia bersamamu."
"Kau sangka aku merebut kekasihmu?"
"Belum tentu. Tapi Yoga punya kegemaran bi-
cara dengan perempuan cantik. Jadi tak ada salahnya 
jika ku tanyakan padamu, barangkali kau melihat di 
mana Yoga berada."
"Aku tak pernah pedulikan dia, karena di bu-
kan kekasihku. Kalau aku jadi kekasihnya, tak akan 
kubiarkan dia pergi tanpa aku! Itu untuk menunjuk-
kan kesetiaan ku padanya. Setidaknya aku tidak akan 
kehilangan dia dan menjadi bingung jika hatiku se

dang rindu!"
"Kurasa kau tak perlu nasihati aku seperti itu, 
Lintang Ayu! Kau dan aku mempunyai pendapat dan 
pandangan hidup yang berbeda!"
Lili bergegas dekati burung rajawalinya yang 
menunggu di bawah pohon rindang. Tetapi tiba-tiba 
terdengar suara Lintang Ayu berseru,
"Kalau ketemu Tua Usil, suruh dia berhati-
hati!" Langkah itu terhenti, wajah Lili berpaling dengan 
rasa heran. Kemudian dari depan burungnya Lili ber-
seru,
"Apa maksudmu berkata demikian?"
Dengan lagak angkuh wibawa, Lintang Ayu me-
langkah dekati Lili sambil membiarkan burungnya 
hinggap di pundak kiri. Lalu dalam jarak tiga langkah 
ia berhenti dan berkata,
"Seseorang sedang mencari-cari pelayanmu; si 
Tua Usil. Dia akan dibunuh oleh orang itu." "Siapa 
orang itu?" Tapak Biru!"
Lili kian kerutkan dahinya karena baru seka-
rang mendengar nama julukan Tapak Biru. Lalu, kare-
na ia merasa belum mengenali tokoh tersebut, ia pun 
bertanya kepada Lintang Ayu,
"Siapa orang yang bernama Tapak Biru itu?"
"Seseorang yang jika melangkah tinggalkan be-
kas biru di tanah. Semakin tinggi kemarahannya se-
makin nyata bekas biru pada jejak kakinya. Tapi jika ia 
tidak sedang marah besar, tapak biru itu baru akan 
terlihat beberapa saat setelah ia pergi."
"Apakah kau mencoba mengacaukan kami, Lin-
tang Ayu?" Lili curiga. Matanya memandang dengan 
nada sinis. Lintang Ayu sunggingkan senyum,
"Kalau aku mau kacaukan kalian, kuculik ke-
kasihmu itu dan ku sembunyikan di suatu tempat 
yang tak terjangkau oleh alam pikiran manusia. Tapi

hal itu tidak kulakukan, karena aku memang tidak in-
gin bikin persoalan denganmu. Kukatakan hal ini su-
paya kau berhati-hati."
Setelah hembuskan napas. Lili pun berkata, 
"Baiklah. Terima kasih kau telah mengingatkan aku. 
Tap! kalau boleh ku tahu, mengapa orang bergelar Ta-
pak Biru itu ingin bunuh Tua Usil?"
"Dia Ingin dapatkan pisau Pusaka Hantu Jag-
al!"
"Hhhmmm...!" Lili mangut-manggut sambil 
memandang ke arah lain. Kejap berikutnya kembali ia 
perdengarkan suaranya,
"Kurasa Tua Usil bisa atasi Tapak Biru dengan 
ilmu-ilmu yang mengalir dalam dirinya dari Ki Pa-
mungkas dan Nyai Kuku Setan."
"Belum tentu," bantah Lintang Ayu. Tapak Biru 
ilmunya di atas Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan. 
Kelak kau akan tahu sendiri!"
Setelah berkata demikian, Lintang Ayu pun se-
gera melangkah pergi tinggalkan Lili bersama burung 
rajawali putihnya. Langkahnya cukup tegak dan tegar. 
Lili pun sempat berseru lagi, "Apakah kau kawan dari 
si Tapak Biru itu?!"
"Aku hanya kenal dia, tapi aku bukan sahabat-
nya!" seru Lintang Ayu. "Dia menanyakan kepadaku di 
mana Tua Usil dan kujawab, cari saja Pendekar Raja-
wali Putih karena dia adalah majikannya! Entah dia 
dengar atau tidak, paham atau tidak, tapi sudah kuka-
takan apa yang bisa kukatakan padanya. Juga kepa-
damu telah kukatakan apa yang bisa kukatakan pa-
damu!" sambil ia berjalan mundur, kemudian berbalik 
dan berjalan lagi semakin jauhi Lili.
Dalam hati. Pendekar Rajawali Putih bertanya-
tanya, "Siapa orang yang bernama Tapak Biru itu? 
Siapa yang jejak kakinya meninggalkan bekas warna

biru itu? Pasti orang berilmu tinggi dan punya racun di 
telapak kakinya. Hmmm...! Aku harus segera hubungi 
Tua Usil dan Yoga untuk ceritakan berita dari Lintang 
Ayu tadi!"
* * *
4


MASIH ingat si Tua Usil? Orang yang mempu-
nyai ilmu 'Halimun' sehingga bisa berubah menjadi se-
gumpal kabut yang bergerak? Hanya itu ilmu yang di-
miliki oleh Pancasona yang disebut-sebut sebagai Tua 
Usil. Tetapi belakangan ini Tua Usil menjadi orang be-
rilmu tinggi sejak memiliki pisau Pusaka Hantu Jagal. 
Jika pisau itu dipakai membunuh oleh si Tua Usil, 
maka seluruh ilmu milik orang yang dibunuh mengalir 
pindah menjadi milik si Tua-Usil, (Baca serial Jodoh 
Rajawali dalam episode: "Pusaka Hantu Jagal"). Dua 
orang berilmu tinggi telah dibunuh oleh Tua Usil dalam 
keadaan yang sangat terpaksa, yaitu Ki Pamungkas 
dan Nyai Kuku Setan.
Itulah sebabnya Tua Usil sekarang mampu me-
lakukan gerakan-gerakan silat berilmu tinggi. Bahkan 
dari tangannya keluar kuku runcing yang merupakan 
kuku gaib milik mendiang Nyai Kuku Setan. Tetapi ke-
beradaannya sekarang masih membuat Tua Usil seba-
gai orang yang rendah diri. Sekalipun ia memiliki ilmu 
hitam milik Nyai Kuku Setan, namun Lili selalu mem-
bimbingnya agar Tua Usil tidak mudah menggunakan 
ilmu hitam untuk bertindak jahat. Jika tanpa penga-
rahan dari Lili dan Yoga, tentunya Tua Usil sudah 
menjadi orang sesat karena tingginya ilmu yang dimilikinya.

Ia masih menganggap dirinya adalah pelayan 
dua pendekar rajawali itu. Tua Usil masih patuh den-
gan nasihat dan perintah Lili maupun Yoga. Bahkan 
kadang dirinya lupa bahwa ia sudah berilmu tinggi, 
sehingga sesekali Tua Usil sering dibuat takut jika 
menghadapi seseorang bertampang bengis yang sebe-
narnya ilmunya lebih rendah darinya. Sungguh suatu 
keberuntungan besar buat Tua Usil mendapatkan ilmu 
tiban seperti itu. Jarang orang menjumpai nasib sebe-
runtung dia.
Namun sebagai manusia tentunya Tua Usil juga 
memiliki rasa bangga terhadap dirinya. Rasa bangga 
itulah yang sering menampakkan kesombongan dl de-
pan diri sendiri, Seperti hari itu, ia hampir seharian 
penuh berdiri di atas ilalang yang sedang tumbuh. Ke-
dua kakinya dengan santai dapat berdiri menginjak 
ujung ilalang tanpa membuat ilalang itu patah atau-
pun roboh.
Hal itu dikarenakan ilmu yang pernah dimiliki 
oleh Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan mempunyai 
jurus peringan tubuh yang cukup tinggi. Semasa hi-
dupnya, Ki Pamungkas dan Nyai Kuku Setan juga per-
nah berdiri di atas ilalang, atau berdiri di atas air den-
gan beralaskan selembar daun kecil. Tak heran jika 
sekarang Tua Usil mampu melakukan hal itu, di mana 
sebelumnya ia sangat berharap sekali dapat kuasai il-
mu peringan tubuh seperti itu.
Cukup lama ia membujuk dan menunggu den-
gan sabar agar Lili mau ajarkan ilmu berdiri di atas ila-
lang. Sekarang ia bisa lakukan walau tanpa mendapat 
pelajaran peringan tubuh dari Lili. Karena senangnya, 
ia menikmati hal itu dari pagi hingga malam, dari ma-
lam hingga pagi lagi, dan sekarang hampir tengah hari. 
Ia lupa tidur, lupa makan, dan lupa mandi. Ia benar-
benar nikmati suatu keinginan yang kini sudah tercapai itu.
Kadang ia berjalan dari pucuk ilalang yang satu 
ke pucuk ilalang yang satunya lagi. Kadang ia berhenti 
dan tertawa-tawa sendiri melihat ilalang yang diinjak-
nya tidak roboh. Ia biarkan angin berhembus mener-
panya, embun datang membalutnya, lalu sinar mata-
hari kembali mengeringkannya. Ia berdiri di atas ila-
lang tanpa hiraukan apa pun yang terjadi pada alam 
sekelilingnya.
"Sekarang aku bisa menundukkan daun-daun 
ilalang ini! Ooh... lega hatiku rasanya. Ku puaskan di-
riku menikmatinya, supaya aku tidak mengejar-ngejar 
Nona Lili lagi untuk minta diajarkan ilmu ini! Oh, 
alangkah indahnya berdiri di atas ilalang begini. Walau 
tak ada yang memuji dan mengagumi ku, namun aku 
sangat puas memuji diri sendiri!"
Hembusan angin makin lama terasa semakin 
kencang. Tua Usil masih tidak peduli. Bahkan hembu-
san yang kian kuat itu terasa datang dari arah bela-
kang, namun Tua Usil tetap tak pedulikan. Ia segera 
peduli setelah terdengar kepakan sayap di atas kepa-
lanya dan suara seekor burung berteriak keras, 
"Keaaak...! Keaaak...!"
"Oh, Nona Li datang...?!" ucapnya sambil terse-
nyum lebar, ia melambai-lambaikan tangan kepada Lili 
tanpa turun dari ujung ilalang. Sementara itu mata Lili 
memperhatikan keadaan Tua Usil sambil geleng-geleng 
kepala.
Buat Lili apa yang dilakukan Tua Usil tak men-
jadikan ia heran. Karena ia tahu, Ki Pamungkas dan 
Nyai Kuku Setan pasti bisa lakukan hal seperti itu. 
Yang membuatnya sedikit dongkol adalah sikap Tua 
Usil yang tidak mau turun dari pucuk ilalang walau ia 
tahu Lili sudah turun dari burung rajawalinya dan
berkata kepada si Putih,

"Tinggalkan aku sebentar."
Burung itu pun terbang menikmati bebas tu-
gasnya, sedangkan Lili segera hampiri Tua Usil yang 
masih saja tetap berdiri di atas pucuk ilalang. Hati ga-
dis cantik itu segera dapat memaklumi, karena ia tahu 
betul bahwa berdiri di pucuk ilalang adalah sesuatu 
yang amat diinginkan oleh Tua Usil. Karena itu, Lili 
pun tidak jadi merasa dongkol, namun justru merasa 
geli dalam hatinya.
"Dia memang seperti anak kecil yang mendapat 
baju baru. Ke mana pun selalu dipakainya karena 
gembira dan senang hatinya. Tapi biarlah dia begitu, 
asal jangan di depan orang lain," kata Lili dalam ha-
tinya sambil memandangi Tua Usil dengan senyum 
tersungging tipis.
"Nona Ki, lihatlah! Saya bisa berdiri di atas ila-
lang sekarang!" seru Tua Usil sengaja memamerkan di-
ri di depan orang yang dihormati.
"Lakukanlah, asal jangan di depan orang. Nanti 
kau disangka pamer ilmu dan sombong diri!" kata Lili 
sambil menatap sekeliling dengan lirikan mata indah-
nya. "Apa menurut pendapat Nona Li melihat saya bisa 
begini?"
"Kau hebat, Tua Usil. Tapi jangan sampai kehe-
batanmu kau gunakan untuk mencari sanjungan, nan-
ti yang kau dapat hanyalah permusuhan! Dan kau ha-
rus ingat, setinggi-tingginya ilmumu masih ada yang 
lebih tinggi lagi."
"Betulkah begitu. Nona Li?" ucapnya dari atas 
ilalang.
Lili segera menggerakkan tangannya berkelebat 
bagai mengipas sesuatu di depannya. Wuuut...! 
Praass...! Dalam sekejap ilalang-ilalang itu pun terpo-
tong habis dan Tua Usil pun jatuh karena kehilangan 
tempat berpijak. Buuuhg...!".

"Auuh...!" Tua Usil menyeringai kesakitan sam-
bil pegangi pantatnya yang membentur batu segeng-
gaman tangan. Gadis cantik itu hanya tertawa kecil 
dan di sembunyikan. Ia geli melihat Tua Usil jatuh ter-
duduk membentur batu.
"Nona Li jahat! Mengapa ilalang-ilalang itu No-
na tebas habis dengan hanya sekali mengipaskan tan-
gan?." Nona Li sengaja mau celakai saya?" Tua Usil 
mengeluh sambil bangkit bersungut-sungut.
"Aku hanya ingin buktikan padamu, setinggi-
tinggi ilmumu masih ada orang yang lebih tinggi lagi. 
Jadi jangan sampai kau sombongkan diri karena me-
rasa berilmu tinggi. Aku pun merasa masih ada orang 
yang punya ilmu lebih tinggi dariku, sehingga aku tak 
ingin sombongkan kepandaianku ini hanya semata-
mata untuk cari pujian."
Sambil masih bersungut-sungut Tua Usil ber-
kata, "Sombong sebentar tak apalah, Nona. Mumpung 
tak ada orang lain di sini."
"Maafkan aku, Tua Usil," Lili menahan geli. 
"Aku datang sengaja menemuimu karena ada masalah 
penting yang harus kamu ketahui," katanya lagi.
"Masalah apa? Perkawinan Nona dengan Tuan 
Yo? Ah, itu urusan Nona sendiri. Saya tak berani ikut 
campur."
"Bukan soal itu, Tua Usil. Ketahuilah, kau se-
dang dalam buruan seseorang. Kau dicari-cari seseo-
rang untuk dibunuh jika kau tak mau berikan pisau 
Pusaka Hantu Jagal itu!"
Tua Usil diam, tercengang memandang Lili. Mu-
lai tampak rona ketakutan menghias di wajah tuanya 
yang berkumis dan berjenggot tipis warna putih. Bah-
kan kini ia mendekati Lili dalam jarak dua langkah dan 
berkata dengan nada heran,
"Seseorang sedang mencari saya untuk dibunuh? Siapa orang itu, Nona Li?!"
"Entah. Tapi dia berjuluk Tapak Biru. Hati-
hatilah jika bertemu dengan orang itu. Pusaka mu pas-
ti di incarnya."
Wajah Tua Usil tengok sana-sini dengan cemas, 
kemudian lebih mendekati Lili dan berkata dengan li-
rih,
"Tolong, Nona. Tolong lindungi saya. Saya tak 
mau mati di tangan siapa pun, kecuali kehendak Yang 
Maha Kuasa!"
"Kenapa kau jadi takut begini?"
"Ya tentu saja saya takut, Nona. Siapa orang-
nya yang tak takut jika dirinya terancam dan mau di-
bunuh oleh seseorang yang belum dikenal ciri-cirinya."
"Bukankah kau punya pusaka? Kau bisa mela-
wannya jika terpaksa demi melindungi diri, menyela-
matkan nyawamu sendiri."
"O, iya, ya...?!" Tua Usil mulai ceria kembali. 
"Benar apa kata Nona Li. Saya punya pusaka dan saya 
sudah bisa mainkan beberapa jurus cukup lumayan 
buat melawan orang jahat! Aduh, saya lupa!" Ia mene-
pak kepalanya sendiri. Rasa cemas dan takutnya sege-
ra hilang.
"Itu saja yang ingin kusampaikan. O, ya... kau 
tahu ke mana Tuan Yo-mu berada?"
"Tidak, Nona Li! Saya tidak melihat beliau sejak 
kemarin."
Wajah Lili kelihatan sedikit gelisah, sehingga 
Tua Usil ajukan tanya, "Ada gerangan apa Nona men-
cari Tuan Yo? Pentingkah?" "Ya Aku harus berangkat 
ke Pulau Kana memenuhi
undangan Wisnu Patra, si Dewa Tampan itu!"
Tua Usil berkerut dahi mengingat nama Wisnu 
Patra, kemudian ia berkata, "Bukankah Tuan Wisnu 
Patra sudah menjadi raja di Pulau Kana yang berpenduduk orang-orang keturunan raksasa itu?"
"Benar. Dia sudah menjadi raja di sana dan su-
dah punya istri."
"Apakah mereka dalam bahaya?" "Hmmm... 
yah, sedikit bahaya. Menurut utusan yang menemuiku 
di pondok kita, Wisnu Patra sudah mempunyai bayi. 
Istrinya melahirkan bayi perempuan yang konon wa-
jahnya mirip aku. Sudah empat puluh hari bayi itu la-
hir, tapi tali pusarnya belum bisa diputus oleh senjata 
apa pun. Kabarnya, menurut Pendeta Agung Ganesha, 
tali pusar bayi itu bisa diputus dengan senjata milik-
ku, yaitu, Pedang Sukma Halilintar. Jadi, Wisnu Patra 
sangat mengharap kedatanganku untuk menolong 
memutuskan tali pusar bayinya, sambil ingin menga-
dakan pesta untuk memberi nama bayinya itu.".
"Aneh sekali bayi itu?" gumam Tua Usil. "Men-
gapa tali pusar bayi itu hanya bisa diputuskan dengan 
pedang pusaka Nona Li?"
"Entahlah apa yang dilakukan Wisnu Patra saat 
menggauli istrinya hingga hamil itu. Ada-ada aja?" Lili 
geleng-geleng kepala. "Mungkin dia masih menyimpan 
perasaan cinta padaku hingga menjerat hati dan ji-
wanya, atau... tak tahulah aku mengapa bayinya bisa 
begitu. Yang jelas aku harus segera ke sana, dan aku 
ingin ajak Yoga supaya dia tak menaruh kecurigaan 
dan cemburu apa-apa padaku."
"Kalau begitu, Nona Li bisa tetap tinggal di 
pondok kita saja, biar saya yang carikan Tuan Yo!"
"Tidak. Aku akan mencari sampai esok siang, 
dan kau juga mencari dia. Kalau dia tidak kita temu-
kan, esok siang aku akan berangkat sendiri ke Pulau
Kana atau Pulau Keramat itu."
"Baiklah, Nona Lili! Saya mencari ke timur dan 
Nona Lili mencarinya ke barat! Kita bertemu besok 
siang, Nona Li."

Baru saja mereka akan bergerak, tiba-tiba ter-
dengar suara dari arah belakang Lili. Suara itu adalah 
suara tawa yang aneh dan sedikit serak karena penga-
ruh usia tua.
"Hek, hek, he, hek, hek...! Jangan dulu pergi, 
Nona Lili!"
Tua Usil dan Lili sama-sama terkejut. Lebih 
terkejut lagi setelah mereka sama-sama memandang 
ke arah datangnya suara tawa itu, ternyata di sana te-
lah berdiri seorang perempuan tua berjubah abu-abu 
dengan pakaian dalamnya warna putih lusuh. Tak ter-
dengar sedikit pun langkah kedatangannya. Tak terasa 
ada angin berhembus dari gerakan tubuhnya. Tahu-
tahu perempuan itu sudah muncul di belakang Lili da-
lam jarak sekitar tujuh langkah. Bahkan Tua Usil yang 
sejak tadi menghadap ke tempat itu pun tidak melihat 
kelebatan nenek tua yang datang ke tempat itu.
Pendekar Rajawali Putih mulai memandang 
dengan sikap curiga. Nenek tua renta itu tersenyum-
senyum dengan mulut tanpa gigi satu pun. Wajah tua-
nya yang berkeriput dan kempot bisa ditaksirkan se-
bagai wajah tua berusia sekitar seratus tahunan. 
Rambutnya yang putih digulung ke atas dengan men-
genakan tusuk konde dari taring babi hutan. Nenek itu 
bertubuh kurus kering dan bungkuk, menggenggam 
tongkat pemandu jalan berbentuk lengkung dari rotan 
coklat. Ketika ia melangkah untuk lebih mendekati Lili, 
jalannya terhuyung-huyung mau jatuh dan gerakan-
nya lamban sekali. Kakinya yang kecil itu seakan tak 
kuat menyangga tubuhnya, sepertinya akan roboh jika 
diterpa angin sedikit besar.
Tua Usil segera menyambut dan menuntun 
langkah nenek itu dengan pelan-pelan dan hati-hati 
sekali. Tua Usil berkata,
"Nenek mau ke mana? Sudah setua ini masih

saja keluyuran?"
"Siapa yang jual sayuran?" katanya salah den-
gar.
"Keluyuran! Saya bilang, Nenek sudah tua ke-
napa masih keluyuran di hutan begini? Ada perlu 
apa?"
"Ooo.... Aku cuma ingin temui gadis cantik itu. 
Bukankah gadis itu tadi kau sebut dengan nama Lili?"
"Benar. Dia memang Nona Lili; Pendekar Raja-
wali Putih," kata Tua Usil sambil berhenti di depan Lili 
kira-kira satu tombak jaraknya.
Tua Usil segera dekati Lili yang masih meman-
dang dengan heran ke arah nenek itu. Tua Usil berbi-
sik,
"Nenek itu sepertinya budek, tapi tajam juga 
pendengarapnya. Buktinya dia bisa tangkap suara 
saya waktu memanggil Nona Lili. Apakah Nona kenal 
dengannya?"
"Tidak sama sekali," jawab Lili pelan. Kemudian 
ia bertanya kepada nenek itu, "Maaf, Nek... kau siapa,
sehingga kau ingin bertemu denganku?"
Nenek bungkuk itu diam saja. Mulutnya men-
gunyah-ngunyah seperti makan sesuatu. Matanya 
memandangi sekeliling terutama ke tanah, seakan ia 
mencari-cari giginya yang jatuh. Karena ia diam saja, 
Tua Usil berkata dengan suara sedikit keras,
"Nek, Nona Lili bertanya, kau siapa? Beliau be-
lum kenal!"
"Apanya yang kental?" nenek itu salah dengar 
lagi. "Kenal!" Tua Usil dekatkan mulut ke telinga sang 
nenek. "Nona Lili belum kenal siapa dirimu!" "O, mau 
kenal?"
"Betul, Nek," jawab Lili sedikit keras tapi sopan.
"Akulah yang dikenal dengan nama Nini Bung-
kuk Renta!" sambil ia melangkah pelan-pelan sekali

menuju ke bawah pohon, lalu tangannya berpegangan 
pada batang pohon supaya tak mudah jatuh.
Sementara itu, Lili sedang berpikir dengan alls 
mengernyit, karena ia merasa baru sekarang menden-
gar nama Nini Bungkuk Renta. Tua Usil dipandanginya 
sebentar, Tua Usil juga angkat bahu pertanda dia tidak 
mengenal nama itu.
"Lalu, mau apa kau menemuiku, Nini Bungkuk 
Renta?" tanya Lili.
"Siapa yang ke sini menemuimu?" si nenek gan-
ti bertanya,
Tua Usil jelaskan, "Nenek ini kemari kan mau 
bertemu dengan Nona Lili?!"
"Iya. Benar. Benar!" jawabnya mengangguk-
angguk.
"Keperluannya apa?!"
"Keperluannya siapa?!" Tua Usil menghem-
paskan napas menahan kejengkelan. Lalu dengan sa-
bar ia mengulang, "Keperluanmu menemui Nona Lili 
mau apa?!"
"Ooo... keperluan ku?!" Nini Bungkuk Renta 
yang sudah susah diajak bicara itu manggut-manggut. 
Memandang Lili dengan matanya yang cekung dan bu-
ram. Kemudian ia berkata dengan suara pelan,
"Aku ingin bunuh kamu, Lili." "Lho...?!" Tua 
Usil terpekik kaget. Lili hanya berkerut dahi. Tua Usil 
berkata, "Apa tidak salah ucapanmu itu, Nini Bungkuk 
Renta?"
"Ucapan... ucapan yang mana?" nenek bungkuk 
itu bingung sendiri.
"Kau bilang tadi, keperluanmu datang kemari 
mau bunuh Nona Lili. Apa itu tak salah ucap?"
"Tidak. Tidak," ia geleng-geleng kepala sambil 
menggaruk kepala. Kini ia menatap Tua Usil beberapa 
saat, lalu sedikit terperanjat dan berkata dengan suara

agak keras,
"Apakah... apakah kau yang bernama Pancaso-
na?!"
"Iya. Betul. Bagaimana kau bisa mengenaliku, 
Nek?"
"Hek, hek, hek, hek, hek...!" nenek bungkuk 
tertawa. "Dulu aku pernah melihat kau dengan sauda-
ra-saudara mu memburu babi hutan. Kuperhatikan di-
rimu yang bodoh itu jatuh bangun karena takut dis-
eruduk babi hutan. Waktu itu kudengar saudaramu 
memanggilmu Pancasona. Nama itu, dan wajahmu ju-
ga, tetap kuingat dalam pikiranku. Bagaimana seka-
rang, apakah babi hutan itu sudah berhasil kalian 
tangkap?"
"Ngaco sekali dia," katanya kepada Lili. "Peris-
tiwa itu terjadi sudah hampir dua puluh tahun lebih, 
Nona. Tapi saya sama sekali tidak kenali dirinya."
"Sebaiknya kutinggalkan saja dia. Aku harus 
segera mencari Yoga!"
"Ya, ya...! Tinggalkan saja. Biar saya urus ne-
nek ini! Kalau perlu saya pulangkan ke asalnya. 
Mungkin dia tersesat datang kemari."
Pendekar Rajawali Putih cepat tinggalkan tem-
pat. Tetapi baru dua langkah Nini Bungkuk Renta su-
dah berkata.
"Tahan langkahmu, Lili!"
Angin berhembus dari depan Lili. Gadis itu ber-
kerut dahi karena ia tak dapat gerakkan kakinya un-
tuk lanjutkan langkah. Sepertinya ada kekuatan yang 
menahan kaki Lili untuk tidak teruskan langkahnya. 
Dalam hati Lili membatin,
"Ada apa ini? Mengapa aku tidak bisa terus me-
langkah? Kekuatan apa yang disalurkan oleh ucapan 
nenek bungkuk itu?"
Mau tak mau Lili segera berpaling kembali

menghadap ke Nini Bungkuk Renta. Lalu dengan tetap 
sabar Lili ajukan tanya,
"Apa maksudmu menahan langkahku, Nini 
Bungkuk Renta?"
"Sudah kubilang tadi, aku ingin membunuh-
mu!" katanya seenaknya.
"Mengapa kau ingin membunuhku?"
"Karena aku tidak suka kau hidup," jawabnya 
sembarangan saja sepertinya. Tapi Lili menangkap ada 
maksud tertentu dari jawaban itu. Nini Bungkuk Renta 
kembali berkata,
"Kau boleh hidup tapi harus lepaskan semua 
ilmu mu. Kau tak boleh memiliki ilmu sedikit pun. Bu-
kankah begitu. Pancasona?!"
Tua Usil yang diajak bicara segera menjawab, 
"Bukan! Kau tak berhak melarang siapa pun mempu-
nyai ilmu, Nini Bungkuk Renta. Apa alasanmu mela-
rang Nona Lili mempunyai ilmu?"
"Karena dia telah membuat muridku kehilan-
gan ilmu, Pancasona!"
"Siapa muridmu itu?" sergah Lili. "Iblis Mata 
Genit!" jawab Nini Bungkuk Renta. Lili terkesiap dan 
Tua Usil terperanjat sambil cepat-cepat beradu pan-
dang dengan Lili. Rupanya nenek bungkuk itu guru 
dari Iblis Mata Genit yang ilmunya telah dimusnahkan 
oleh Lili, sehingga menjadi manusia biasa tanpa ilmu 
sedikit pun (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: 
"Geger Perawan Siluman"). Balk Lili maupun Tua Usil 
tidak menyangka bahwa gurunya Iblis Mata Genit itu 
masih hidup. Padahal Iblis Mata Genit sendiri sudah 
berusia tujuh puluh tahun. Berarti berapa usia nenek 
bungkuk itu sebenarnya?"
"Nini Bungkuk Renta." kata Lili. "Hal itu kula-
kukan karena muridmu semena-mena dalam bertin-
dak. Ia mengandalkan kesaktiannya dan berjalan di ja

lan yang sesat. Aku terpaksa melenyapkan ilmunya 
demi kedamaian dan ketenteraman hidup di bumi!"
"Ngomong apa dia?" tanyanya kepada Tua Usil 
Lalu, Tua Usil mengulang ucapan Lili dengan suara je-
las dan keras, sehingga Nini Bungkuk Renta pun ber-
kata, "Tak ada alasan apa pun yang bisa kuterima! 
Yang jelas, sekarang aku akan melenyapkan ilmu-
ilmumu supaya kau menjadi seimbang dengan murid-
ku. Tapi karena aku tak punya jurus penyerap ilmu 
dan belum memiliki alatnya, maka terpaksa kubunuh 
saja kau, Gadis Cantik!"
Wuuut...! Nini Bungkuk Renta mengibaskan 
tongkatnya dari bawah ke atas. Ada selarik sinar hijau 
yang berkelebat menghantam Lili. Namun Pendekar 
Rajawali Putih tak kalah sigap. Ia cepat sentakkan ka-
kinya m lompat hingga tubuhnya terlempar ke atas 
dan hinggap di atas pohon pada sebuah dahan besar.
Sinar hijau itu melesat terus dan menghantam 
pohon di seberang. Pohon yang terhantam sinar hijau 
tersebut menjadi lenyap tanpa bekas sedikit pun. Bah-
kan dua tiga pohon di sekelilingnya ikut lenyap bagai 
tak pernah tumbuh di tanah tersebut
Hal itu membuat Tua Usil terperangah bengong. 
Lili sendiri juga tertegun memandang kehebatan ilmu 
nenek bungkuk tersebut. Sang nenek celingak-
celinguk mencari lawannya. Bahkan bertanya kepada 
Tua Usil,
"Ke mana dia tadi?"
"Di atasmu," jawab Tua Usil bagai tak sadar. 
Nini Bungkuk Renta mendongak, memandang Lili yang 
bertengger di atas pohon, kemudian ia berkata, "Ja-
tuh...!"
Dan tiba-tiba tubuh Lili bagai terpelanting dari 
atas dahan, lalu tubuh itu pun melayang ke bawah
dan jatuh tak bisa menjaga keseimbangan badannya.

Buuhg...!
"Gila! Nona Li bisa dibuatnya jatuh dengan se-
kali ucap saja?!" gumam Tua Usil sambil terperangah 
bengong.
Nini Bungkuk Renta segera melompat ke arah 
Lili dengan gerakan melayang bagaikan daun terbang. 
Tongkatnya disambarkan agar mengenai tubuh Lili. 
Tetapi Lili segera berguling ke samping dan tongkat itu 
melesat dalam jarak satu jengkal di pundak Lili. 
Wuusss!.
Sekalipun melesat berjarak satu jengkal, na-
mun Lili merasakan bagai disambar angin panas sepa-
nas lahar gunung berapi. Ia sempat terpekik kaget ka-
rena disengat rasa panas yang luar biasa itu. Bahkan 
pakaian jubahnya sempat membekas hangus pada 
ujung pundak.
Lili cepat bangkit ketika nenek bungkuk berka-
ki kecil itu mendarat di tanah datar, lima langkah dari 
tempat Lili berdiri. Tangan Lili memegangi bagian pun-
dak yang kena luka bakar. Dalam hatinya ia memba-
tin,
"Haruskah kulayani nenek bungkuk ini? Il-
munya cukup tinggi dan membahayakan. Tapi jika ku 
lawan dan aku menang, alangkah malunya aku bisa 
unggul melawan nenek setua dia?!"
Saat Lili dalam kebimbangan, Tua Usil pun se-
gera maju menghadang di depan Lili menghadap ke 
arah nenek bungkuk itu. Tubuh nenek itu meliuk-liuk 
nyaris tumbang karena ada angin sedikit besar. Tapi 
matanya masih tetap terarah kepada Lili dengan tajam.
"Jangan menghalangi seranganku, Pancasona!" 
"Tidak. Kau tidak boleh menyerang Nona Lili. Kalau 
kau mau bunuh dia, hadapilah aku, Nini Bungkuk 
Renta."
"Malas, ah!" jawabnya sambil garuk-garuk paha. "Yang kubutuhkan adalah nyawanya, bukan nya-
wamu! Yang punya kesalahan dia, bukan kamu. Jadi 
aku harus balas dendam padanya. Minggirlah. Panca-
sona!"
"Aku tidak akan minggir sebelum kau berjanji 
untuk tidak memusuhi majikanku ini, Nini Bungkuk 
Renta!"
"Bocah bandel...!" gerutu Nini Bungkuk Renta 
sambil mulutnya mengunyah-ngunyah lagi seperti ma-
kan sesuatu, matanya memandang sekeliling bagai 
mencari sesuatu yang jatuh ke tanah. Kesempatan itu 
digunakan oleh Tua Usil untuk berbisik,
"Nona Li, lekas tinggalkan dia. Saya akan urus 
dia. Agaknya dia punya ilmu lebih tinggi dari kita! 
Ucapannya bisa menjadi pisau pembunuh yang amat 
tajam. Buktinya Nona tadi benar-benar jatuh dari atas 
pohon. Tinggalkan segera tempat ini dan carilah Tuan 
Yo!"
"Dia akan membunuhmu jika tak ada aku!"
"Saya akan bujuk dia Agaknya dia sedikit jinak 
bila berhadapan dengan saya, Nona. Lekaslah!"
"Aku tak tega jika harus melawannya. Kuterima 
saran mu dan hati-hati menjaga dirimu, Tua Usil," bi-
sik Lili. Kemudian dengan satu kali sentakan kaki, Lili 
telah lenyap bagaikan menghilang karena cepatnya ge-
rakan yang menggunakan jurus 'Langkah Bayu' itu.
Tua Usil segera dekati Nini Bungkuk Renta 
yang memandang dengan mata sedikit menyipit ke 
arah sekelilingnya. Terdengar nenek bungkuk itu ber-
kata seperti bicara pada dirinya,
"Ke mana gadis cantik tadi?"
"Mau apa kau cari?"
"Aku dulu juga secantik dia!"
"Dia telah pergi."
Mata buram itu menatap tajam pada Tua Usil,

lalu ia menggeram, "Mengapa kau biarkan dia pergi? 
Dia belum kubunuh! Kalau dia sudah kubunuh baru 
boleh pergi!"
"Sudahlah, Nini Bungkuk Renta. Jangan mena-
namkan permusuhan dengannya. Dia majikanku, dan 
aku hidup tergantung dirinya," bujuknya.
"Bodoh! Jangan mau hidup tergantung dengan 
orang yang sebentar lagi akan mati! Lebih baik hidup 
tergantung pada diriku, karena biar usiaku sudah 
mencapai seratus lima belas tahun tapi aku masih 
punya masa hidup lebih panjang lagi!"
Tua Usil tertegun mendengar jumlah usia yang 
disebutkan, antara percaya dan tidak ia membatin, 
"Sangat tua sekali dia jika benar berusia sebanyak itu? 
Awet muda juga dia. Apa rahasianya?"
Nini Bungkuk Renta berjalan tertatih-tatih 
hampir jatuh. Tua Usil segera menuntunnya sebagai 
bujukan dari bertanya, "Mau ke mana, Nini?" "Mau ke-
jar gadis itu!"
"Tak usahlah. Nini di sini dulu bersamaku," bu-
juk Pancasona supaya nenek itu tak bisa kejar Lili. Ta-
pi rupanya bujukan itu ditanggapi dengan sungguh-
sungguh. Ia memandang Tua Usil dan berkata,
"Benarkah kau mau bersamaku di sini sela-
manya?"
"Selamanya? Oh, tak mau aku kalau selamanya 
ada di sini!" kata Tua Usil. "Sebaiknya kita jalan-jalan 
saja ke tempat lain, Nini!"
"Jalan-jalan...?! Kau telah mengecewakan aku 
karena aku kehilangan gadis itu!"
"Karena itu buat mengobati kekecewaanmu, ki-
ta jalan-jalan menikmati pemandangan alam di sekitar 
sini, Nini."
"Tidak, tidak! Aku tidak mau. Aku mau pergi ke 
Perguruan Gerbang Bumi saja!"

"Nah, itu juga baik." 
"Tapi kau harus antarkan aku ke sana." 
"Aku tidak keberatan." 
"Aku harus digendong." 
"Hahh...?.!" Tua Usil mendelik. 
"Aku minta gendong kamu, Pancasona! Minta 
gendong! Kalau tidak, aku lebih baik kejar gadis itu ta-
di dan membunuhnya!"
"Ya, ya... baik! Akan kugendong kau, Nek!" ja-
wab Tua Usil dengan terpaksa, daripada nenek bung-
kuk yang sakti itu memburu Lili.
"Hek, hek, hek, hek...!" Nini Bungkuk Renta ter-
tawa kegirangan. Ia segera naik ke punggung Tua Usil 
dengan satu lompatan. Bruuuk...!
"Eehhg...!" Tua Usil mendelik dan mengerahkan 
urat-uratnya. Dalam hati ia berkata, "Nenek ini kurus-
nya bukan main, tapi beratnya melebihi menggendong 
seekor kerbau?! Pasti karena tingginya ilmu yang dimi-
liki, sehingga badan kurus kering kelihatannya ringan 
menjadi seberat ini. Uuuh...! Edan! Mau tak mau aku 
harus tetap menggendongnya sampai ke Perguruan 
Gerbang Bumi."
Nenek bungkuk tertawa-tawa ketika dibawa ja-
lan dalam gendongan punggung Tua Usil. Ia berkata, 
"Tak ada ruginya kau menggendongku, Pancasona. 
Seumur-umur baru sekarang ada lelaki sudi menggen-
dongku. Kau baik sekali, Pancasona. Tidak seperti Ma-
laikat Gelang Emas yang tak pernah mau menggen-
dongku."
"Malaikat Gelang Emas?!" Tua Usil kaget. "Kau 
kenal dengannya?"
"Aku adik seperguruan Malaikat Gelang Emas. 
Hek, hek, hek, hek...!"
* * *

5

JENAZAH Nyai Sembur Maut dimakamkan bu-
kan di Bukit Lidah Samudera, melainkan di Lembah 
Separo Nyawa, tempat ditemukannya pusaka Pedang 
Jimat Lanang itu. Bocah Bodoh sempat teringat saat 
terlibat percakapan dengan mendiang ibunya menje-
lang tidur di suatu malam, bahwa sang Ibu ingin agar, 
kelak jika ia meninggal dimakamkan di Lembah Separo 
Nyawa. Karena itu, Yoga pun menyarankan agar pesan 
tersebut benar-benar dituruti oleh sang anak.
Selesai memakamkan jenazah Nyai Sembur 
Maut, Yoga mengajak Bocah Bodoh untuk pulang ke 
pondoknya, yang sebenarnya merupakan rumah ke-
diaman Tua Usil itu.
"Sekarang saya tak punya siapa-siapa lagi. 
Saya ingin ikut Tuan Yo dan Nona Lili saja. Biarlah 
saya jadi pelayan Tuan Yo dan Nona Lili seperti si Tua 
Usil itu," kata Bocah Bodoh dengan nada iba.
"Kalau begitu, sekarang juga kita lekas pulang 
ke pondok. Firasat ku mengatakan, Lili sedang menca-
ri-cari aku dan ingin jumpa denganku. Sepertinya ada 
sesuatu yang ingin disampaikannya kepadaku."
"Tapi saya tak mau naik burung rajawali lagi, 
Tuan. Saya pusing dan perut saya mual."
Yoga tertawa pelan, "Itu namanya mabuk uda-
ra. Baiklah, kita jalan kaki saja." Lalu, Yoga dekati bu-
rung rajawali merahnya yang ikut berwajah sedih saat 
pemakaman jenazah Nyai Sembur Maut dilakukan.
"Merah, tinggalkan aku. Pergilah dulu, nanti 
kalau aku memerlukan kau akan kupanggil. Biarkan 
aku pulang ke pondok bersama Bocah Bodoh dengan 
jalan kaki."
"Keaaak...!" selesai serukan suara sebagai tanda patuh, burung itu pun segera berkelebat terbang 
dengan timbulkan angin kencang.
Perjalanan mereka ditempuh melalui perbuki-
tan. Dari ketinggian lereng bukit itu, tiba-tiba mereka 
melihat serombongan orang mengusung tandu. Tandu 
berhias mewah dengan warna-warna kuning emas di-
usung oleh empat orang lelaki berpakaian biru-biru. 
Tiga orang wanita berusia sama mudanya berada di 
depan usungan tandu, mereka kenakan seragam kun-
ing kunyit. Agaknya tiga orang itu merupakan pengaw-
al terdepan dari usungan tandu tersebut. Sedangkan 
di belakang tandu serta di samping kanan-kiri tandu 
juga terdapat pengawal berpakaian seragam biru mu-
da, lebih muda warnanya dari pakaian pengusung tan-
du tersebut. Pada umumnya mereka terdiri dari wani-
ta-wanita muda. Hanya beberapa orang saja yang lela-
ki berusia sama dengan yang wanita, sekitar dua pu-
luh lima tahunan.
Bocah Bodoh hentikan langkahnya ketika Pen-
dekar Rajawali Merah menatap ke arah usungan tandu 
tersebut. Rupanya mereka bukan sekadar berjalan ka-
ki, melainkan ada beberapa pengawal terbelakang yang 
menggunakan kuda. Mereka berjumlah sekitar enam 
orang berkuda, termasuk seekor kuda putih berpelana 
bias. Sedangkan dari arah depan muncul satu orang 
berkuda yang menghampiri pengawal berpakaian kun-
ing.
Mereka terlibat pembicaraan sebentar sambil 
tetap melangkah, Rupanya penunggang kuda berpa-
kaian hitam itu adalah pengawal yang bertugas meme-
riksa keamanan jalan yang akan dilalui oleh rombon-
gan tandu. Penunggang kuda itu juga seorang perem-
puan berambut rapi dengan pedang di punggungnya.
"Siapa yang ada di dalam tandu bagus itu, 
Tuan?" tanya Bocah Bodoh.

"Mana aku tahu? Aku sendiri tidak mengenali 
ciri tandu dari daerah mana itu? Mungkin rombongan 
dari sebuah kadipaten," kata Yoga sambil segera me-
langkah kembali. Ia tambahkan kata,
"Biarkan saja mereka! Tak perlu kita dekati, 
nanti justru menjadi salah paham. Dikiranya kita 
orang jahat." "Tapi, tunggu sebentar, Tuan!" sergah 
Bocah Bodoh dengan mata lebih melebar memandang 
ke arah kaki perbukitan.
"Apa yang membuatmu tegang, Bocah Bodoh?" 
tanya Yoga.
"Saya melihat sekelebat anak buah Raga Dewa 
di kerumunan pohon sebelah sana, Tuan!" sambil ia 
menuding ke arah yang dimaksud.
Yoga memandang lebih tajam lagi ke arah ter-
sebut. Sebentar kemudian ia berkata,
"Benar. Aku melihat tiga orang mengendap-
endap di balik semak. Agaknya mereka ingin mengha-
dang rombongan tandu."
Tetapi kedua orang itu belum mau bergerak tu-
run ke bawah. Mereka masih memperhatikan dari se-
buah ketinggian. Dan apa yang diduga oleh Pendekar
Rajawali Merah ternyata memang benar. Apa yang di-
duga
Bocah Bodoh juga benar. Anak buah Raga De-
wa muncul dari persembunyiannya, talu menyerang 
orang-orang pembawa tandu tersebut.
"Mereka bertempur, Tuan!" ucap Bocah Bodoh 
dengan nada tegang.
Yoga hanya menggumam, belum mau bertindak 
apa pun selain hanya memperhatikan pertarungan me-
reka. Ternyata Raga Dewa juga ada di antara para pe-
nyerang tersebut. Denting pedang dan senjata lainnya 
beradu mulai terdengar serabutan. Suara pekik tak je-
las artinya juga menggema sampai di atas bukit. Raga

Dewa dan anak buahnya berhasil lumpuhkan para 
pengawal tandu terdepan. kini tiba giliran pengawal 
belakang maju menghadapi serangan Raga Dewa.
"Orang gendut bertopi besi itulah yang bernama 
Raga Dewa, Tuan!" kata Bocah Bodoh dengan mata tak 
berkedip.
"Tampaknya ilmu orang itu cukup tinggi. Lihat, 
sekali berkelebat dua-tiga lawan tumbang, Dan, ooh... 
lihat, dengan kaki menghentak ke bumi, tanah seki-
tarnya bergetar bagaikan mengalami gempa, daun-
daun runtuh beterbangan. Jelas dia gunakan ilmu te-
naga dalam yang disalurkan lewat suara dan kaki."
Para pengawal rombongan tandu morat-marit. 
Kuda mereka sempat ada yang hancur kepalanya di-
hantam pukulan tenaga dalam Raga Dewa. Tapi sisa 
para pengawal yang belum roboh masih tetap berjuang 
pertahankan agar Raga Dewa dan anak buahnya tidak 
menyerang tandu tersebut.
Sedikitnya empat orang tewas dalam pertempu-
ran itu. Sisanya terluka dan tak berdaya. Yang masih 
bisa mempertahankan tandu sekitar enam orang. Itu 
pun sekarang sedang didesak oleh anak buah Raga 
Dewa.
Akhirnya dari dalam tandu tersebut melesat se-
sosok tubuh menembus atap tandu. Braas...! Sosok 
manusia yang keluar dari tandu itu mengenakan pa-
kaian biru muda mengkilap bagai terbuat dari bahan 
kain satin. Bocah Bodoh makin terbelalak melihat 
orang yang menerobos dari dalam tandu itu ternyata 
seorang perempuan cantik dengan mahkota kecil 
menghiasi rambutnya yang terurai panjang, disanggul 
sebagian di tengah kepala.
"Tuan. Tuan... lihat perempuan itu!"
"Hmmm...! Kenapa maksudmu?"
"Dia... dia kelihatan cantik sekali, Tuan."

"Apa kau bisa menilai kecantikan seseorang?"
Bocah Bodoh memandang Yoga sebentar, ter-
bengong, lalu kembali menatap ke pertarungan di kaki 
bukit. Ia semakin kagum dengan perempuan muda 
bermahkota yang saat itu sedang hadapi serangan dari 
dua lawannya. Dalam satu gebrakan kecil, dua lawan-
nya jatuh terjungkal dan berguling-guling. Sementara 
itu, anak buahnya yang masih mampu lakukan perla-
wanan tinggal empat orang.
Bocah Bodoh menampakkan kecemasannya ke-
tika perempuan bermahkota itu sedang hadapi kapak 
dua mata milik Raga Dewa. Tangan dan jari-jarinya 
Bocah Bodoh bergerak-gerak bagaikan menahan ke-
gemasan. Maka, serta-merta dia berkata kepada Yoga 
dengan menatap pendekar tampan bertangan buntung 
itu,
"Tuan, bolehkah saya Ikut bantu rombongan 
tandu itu?"
"Apa kau berani?"
"Kata Tuan, saya boleh gunakan pedang untuk 
lindungi kebenaran dan menumpas kejahatan? Raga 
Dewa dan anak buahnya itu jahat, Tuan."
"Yoga tersenyum sambil mengangguk satu kali, 
"Lakukan, tapi jangan menjadikan dirimu buas dan 
liar!"
Tanpa menunggu perintah kedua dan saran 
apa pun lagi Bocah Bodoh segera lari menuruni bukit, 
menghambur ke tengah pertarungan mereka. Saat itu, 
salah seorang anak buah Raga Dewa ada yang menge-
nali kehadiran Bocah Bodoh dan segera berteriak,
"Bocah itu muncul lagi! Bunuh sekali dia! Bo-
cah itu muncul lagi!"
Seruan itu membuat beberapa anak buah Raga 
Dewa, termasuk Raga Dewa sendiri menjadi hentikan 
serangannya. Mereka memandang ke arah Bocah Bodoh yang segera. berhenti dari gerakannya dan tercen-
gang kaget serta tegang. Ia merasa anak buah Raga 
Dewa mulai berpindah amukan ke arahnya. Ia menjadi 
mundur dua tindak namun berusaha tenangkan hati 
dan jantungnya yang berdebar-debar. Wanita cantik 
bermahkota itu juga menatap ke arah Bocah Bodoh,
sehingga Bocah Bodoh menjadi kikuk bersikap di de-
pannya.
Raga Dewa segera maju dekati Bocah Bodoh 
dan berhenti dalam jarak tujuh langkah, sejajar den-
gan jarak perempuan bermahkota kecil itu. Dengan 
suara lantangnya manusia bertopi besi yang mempu-
nyai tanduk di tengah dahinya itu berkata kepada Bo-
cah Bodoh,
"Bagus! Bagus! Kau datang juga untuk serah-
kan nyawamu, Nak! Bagus sekali itu! Huah, ha, ha, ha, 
ha...!"
"Aku... aku datang untuk membela putri tandu 
ini! Dia tidak bersalah, tapi kau menyerangnya dengan 
kejam, Raga Dewa!"
"Huah, ha, ha, ha, ha...! Dengar, tikus sawah 
ini sekarang sudah berani berbicara padaku! Mungkin 
karena sebentar lagi dia akan susul nyawa ibunya ke 
neraka! Huah, ha, ha, ha, ha...!"
Suara tawa itu sejak tadi membuat dedaunan 
berguguran di sana-sini. Tapi Bocah Bodoh tidak pedu-
likan. Ia segera dikurung oleh anak buah Raga Dewa, 
dan anehnya wanita bermahkota kecil itu ikut masuk 
dalam kepungan tersebut. Kini ia berhadapan dengan 
Bocah Bodoh, memandang dengan mata indahnya 
yang lembut namun punya ketajaman wibawa yang 
menggetarkan hati. Bocah Bodoh hanya terbengong 
memandangi kecantikan perempuan yang mengenakan 
anting tindik batu putih berkerilap di cuping hidung 
kirinya itu.

"Mengapa kau masuk dalam arena ini? Keluar-
lah dan jangan libatkan dirimu! Aku punya urusan 
sendiri dengan Raga Dewa yang pernah kutolak cin-
tanya dan kini menaruh dendam serta kebencian ter-
hadapku. Aku tahu dia ingin membunuhku dan me-
musnahkan penduduk Teluk Gangga! Ini bukan uru-
sanmu, keluarlah dari arena ini dan jangan korbankan 
nyawamu untuk rakyat Teluk Gangga!"
"Sa... saya... saya tak bisa keluar. Saya juga 
akan dibunuh oleh mereka. Jadi... jadi... biarlah saya 
hadapi mereka."
"Siapa dirimu sebenarnya?"
"Saaa... saya... Cola Colo, dipanggilnya; Bocah 
Bodoh."
"Baiklah kalau memang itu tekadmu. Aku Dewi 
Gita Dara; penguasa Teluk Gangga! Dan...."
Kata-kata itu terhenti karena suara keras Raga 
Dewa,
"Habisi mereka berdua! Seraaang...!"
"Hiaaat...!" tujuh orang anak buah Raga Dewa 
melompat bersamaan menyerang Bocah Bodoh dan 
Dewi Gita Dara. Tetapi perempuan cantik beranting 
tindik di cuping hidung kirinya itu segera memutar tu-
buhnya dengan cepat bagai menari, lalu diam dalam 
keadaan berlutut satu kaki, kedua tangan saling rapat 
di dada. Pada waktu ia berputar tadi, keluar sinar kun-
ing yang memancar menyebar ke segala penjuru. Wak-
tu itu, Bocah Bodoh jatuh terpelanting oleh sentuhan 
siku Dewi Gita Dara, sehingga sinar kuning yang me-
nyebar itu tidak sempat kenai tubuh Bocah Bodoh, 
melainkan menghantam ke tubuh tujuh anak buah 
Raga Dewa.
Craasss...!
"Aaaahg...!" Mereka terlempar bersama-sama ke 
belakang dan berjumpalitan tak tentu arah. Tubuh

mereka menjadi pucat semuanya dengan keluarkan 
darah dari tiap lubang hidung. Sedangkan Raga Dewa 
yang terkena sinar kuning itu hanya tersentak mundur 
dua tindak, tanpa keluarkan darah sedikit pun dari 
hidungnya.
"Gggrrrh...!"
Duuhg...! Raga Dewa menggeram dan menghen-
takkan kakinya ke tanah. Dedaunan runtuh, bahkan 
sekarang ada batang pohon yang retak karena gelom-
bang getar yang ditimbulkan dari suara geramnya itu.
Bocah Bodoh segera bangkit ketika terdengar 
suara Raga Dewa berseru kepada anak buahnya,
"Tolol semua! Serang lagi mereka dengan jurus 
'Laba-laba Hutan'!"
Sreet...! Bocah Bodoh segera cabut pedang pu-
sakanya. Pedang pendek itu sepertinya pedang biasa 
saja.
Namun ketika anak buah Raga Dewa menye-
rang dengan sinar hijau berlarik-larik dari telapak tan-
gan mereka, Bocah Bodoh segera sentakkan pedang-
nya satu kali, dan pedang tersebut bisa berubah men-
jadi panjang bagaikan sebuah samurai.
Bocah Bodoh seperti tak sadar dalam gerakan-
nya. ia terbawa oleh gerakan pedang yang mampu ber-
gerak sendiri memainkan jurus pedang dengan sangat 
cepatnya. Ia bergerak mengerling Dewi Gita Dara sea-
kan memberikan perlindungan sambil menebas ke sa-
na-sini, menangkis tiap sinar yang keluar dari tangan 
anak buah Raga Dewa.
"Hiaaah...!" Bocah Bodoh berteriak sambil ber-
guling-guling di tengah, menebaskan pedangnya ke ta-
nah beberapa kali, hingga membuat Dewi Gita Dara 
memandang heran melihat jurus pedang yang tak per-
nah dilihatnya itu.
"Aaahg...! Uuuhg...! Aaa...!"

Anak buah Raga Dewa saling terpekik. Rupanya 
Bocah Bodoh menghantamkan pedangnya ke bayangan 
mereka yang jatuh di tanah. Setiap bayangan yang di-
tebasnya, timbulkan luka di tubuh orang yang memili-
ki bayangan tersebut. Sehingga dalam waktu singkat, 
empat anak buah Raga Dewa telah jatuh tak berkutik 
dan tak bernyawa lagi.
Zlaaap...! Sekelebat bayangan coklat putih 
mendekati Bocah Bodoh, lalu menahan gerakan tan-
gan Bocah Bodoh. Di lain pihak, Dewi Gita Dara terke-
jut melihat seorang pendekar tampan sudah berada di 
dekatnya.
"Tahan, Bocah Bodoh!" seru pendekar tampan 
yang tak lain adalah Yoga itu. Tetapi Bocah Bodoh 
mengamuk bagaikan tak sadar. Ia meronta dari pegan-
gan tangan Yoga, lalu melompat menyerang salah seo-
rang anak buah Raga Dewa. "Hiaaah...!"
Wuuut...! Craas...! Dengan kedua tangannya 
Bocah Bodoh berhasil menebaskan pedang dengan ke-
cepatan yang tak dapat dilihat mata manusia biasa itu. 
Akibatnya, orang tersebut pun tumbang tak bernyawa.
Ketika Bocah Bodoh hentakkan kakinya untuk 
lakukan satu lompatan, tiba-tiba kaki Yoga segera 
menggaetnya dengan cepat. Plaak...! Bruk! Bocah Bo-
doh jatuh tersungkur dan cepat diinjak tangannya oleh 
Yoga seraya berseru,
"Hentikan, Bodoh! Kau bukan seorang penjagal 
manusia!"
Bocah Bodoh berusaha melepaskan diri dari pi-
jakan kaki Yoga, namun ia tak berhasil. Sementara itu, 
Raga Dewa memandang dengan mata menyipit dan se-
gera berkata dengan nada geram.
"Dewi Gita Dara, ku tangguhkan niatku mem-
balas penghinaanmu tempo hari, karena ada urusan 
yang lebih penting. Tapi Ingat, kalau urusanku sudah

selesai nanti, akan kubalas penghinaan itu. Yang pasti 
akan melayang nyawamu di tanganku!"
Tanpa bicara lebih panjang lagi, Raga Dewa ce-
pat tinggalkan tempat dan sisa anak buahnya yang 
tinggal dua orang itu segera ikut-ikutan tinggalkan 
tempat itu. Dalam hati Raga Dewa berkata,
"Bocah itu mempunyai pedang pusaka yang 
cukup dahsyat. Tidak begini cara melawan dan mem-
bunuhnya! Dan agaknya pemuda tampan itu juga be-
rilmu tinggi. Kurasa aku bisa babak belur jika mereka 
bertiga maju serempak melawanku. Aku harus cari 
siasat menyerang mereka tidak dalam kebersamaan! 
Kutunggu kelengahan mereka, baru kuhabisi nyawa 
mereka satu persatu!"
Yoga berhasil sadarkan Bocah Bodoh. Pedang 
Jimat Lanang berhasil dimasukkan dalam sarungnya 
yang pendek. Anehnya, pedang yang dalam keadaan 
panjang itu bisa cukup masuk ke dalam sarung pen-
dek, seakan menjadi berkerut pendek dengan sendi-
rinya. Dewi Gita Dara memperhatikan hal itu dengan 
menyimpan rasa kagum dalam hatinya.
"Ingat, Bocah Bodoh," kata Yoga, "Lain kali kau 
tak boleh menjadi seorang pembantai! Kejahatan me-
mang perlu dilawan, tapi tidak harus melalui pemban-
tai sekejam ini!"
Bocah Bodoh terbengong memandangi mayat-
mayat para pengikut Dewi Gita Dara. Mulutnya men-
gucapkan gumam lirih namun didengar oleh mereka,
"Ya ampun...?! Apa yang telah saya lakukan 
kepada mereka? Lima orang anak buah Raga Dewa 
mati seperti itu, pasti diserang oleh seseorang yang cu-
kup keji."
"Kaulah penyerangnya!" kata Yoga memotong.
"Saya...?!" Bocah Bodoh merasa heran. "Saya... 
saya merasa tidak menyerang mereka, Tuan Yo! Saya

hanya bergerak mengikuti gerakan pedang. Saya diba-
wanya ke sana-sini sampai pontang-panting dan tak 
bisa hentikan gerakan tersebut."
Pendekar Rajawali Merah diam termenung wa-
lau matanya memandang ke arah Bocah Bodoh yang 
berwajah polos. Mau tak mau Yoga segera memaklumi 
tindakan Bocah Bodoh, karena menurut penjelasan 
dari mendiang ibu Bocah Bodoh, pedang tersebut da-
pat bergerak dengan sendirinya memainkan jurus pe-
dang yang luar biasa hebatnya, sehingga pemegangnya 
hanya bisa lakukan gerakan mengikuti gerakan pe-
dang itu. Pedang Jimat Lanang juga dapat membunuh 
lawan melalui bayangannya, sehingga pemegang Pe-
dang Jimat Lanang tak perlu serang langsung ke tu-
buh lawannya. Itulah kehebatan Pedang Jimat Lanang 
setahu Yoga. Dan ternyata kehebatan itu telah terbukti 
di depan mata Yoga, juga di depan mata perempuan 
cantik bermahkota kecil itu.
"Maafkan tindakannya. Dia bergerak di luar ke-
sadaran dirinya. Jangan anggap dia seorang pembantai
yang keji!" kata Yoga kepada Dewi Gita Dara dengan 
mata lembut menatap dan senyum tipis memikat.
"Aku justru ingin ucapkan terima kasih kepada 
kalian. Kalian telah selamatkan aku dari ancaman Ra-
ga Dewa!" kata penguasa Teluk Gangga itu dengan pe-
nuh wibawa. Perempuan yang kenakan perhiasan 
lengkap itu kembali berkata
"Suatu saat, Raga Dewa pasti masih ingin men-
coba membalas sakit hatinya atas penolakan ku ketika 
ia tiga kali melamar ku. Mungkin ia akan balas dengan 
mempermalukan aku, atau menghilangkan nyawaku. 
Yang jelas, Ketua Partai Bajak Samudera itu tetap 
akan memusuhi orang-orang Teluk Gangga akibat ke-
kecewaan hatinya terhadapku."
"Kalau begitu, kau perlu hati-hati," kata Yoga
kepada Dewi Gita Dara yang sejak tadi dipandanginya 
dengan perasaan kagum. Dewi Gita Dara sendiri tak 
mau berkedip ketika menatap Yoga dan menyimpan 
debar-debar indah di dalam hatinya.
"Bagaimana... bagaimana kalau saya ajukan di-
ri untuk menjadi pengawal Nona?" kata Bocah Bodoh 
beranikan diri walau tampak gugup.
Dewi Gita Dara sunggingkan senyum tipis. Tipis 
sekali, hingga nyaris tak terlihat. Ia hampiri tandunya 
dan segera berbalik arah sambil berkata kepada Bocah 
Bodoh,
"Masih perlu ku pikirkan, karena perjalananku 
sendiri masih belum mencapai tujuannya."
"Hendak ke mana kau sebenarnya, Dewi Gita 
Dara?" tanya Yoga yang tadi segera mencatat dalam 
otaknya ketika Raga Dewa sebutkan nama perempuan 
berkulit kuning itu.
"Aku ingin mencari seseorang yang bernama 
Tua Usil."
Bocah Bodoh dan Yoga sama-sama terkejut, la-
lu mereka saling pandang mata, membuat Dewi Gita 
Dara berkerut heran dan bertanya,
"Apakah kalian sudah mengenal orang bernama 
Tua Usil?"
Bocah Bodoh ingin menjawab, namun Yoga le-
bih dulu menyahut,
"Ya, kami memang pernah mendengar nama 
itu. Tapi kalau boleh kami tahu, untuk apa kau ingin 
bertemu dengan orang yang bernama Tua Usil?"
"Aku mencari pisau Pusaka Hantu Jagal!"
Yoga dan Bocah Bodoh saling pandang kembali. 
Dalam hati mereka sama-sama bertanya: "Perempuan 
ini sebenarnya lawan atau kawan?"
* * *
6

BERUNTUNG sekali di dalam tubuh Tua Usil 
mempunyai tenaga dalam yang cukup besar, sehingga 
dengan sedikit menahan napas ia mampu menggen-
dong-gendong Nini Bungkuk Renta sampai jauh. Hal 
yang membuat Tua Usil menjadi segan menggendong 
Nini Bungkuk Renta adalah sikap nenek tua itu yang 
menjadi seperti gadis belasan tahun genitnya. Sesekali 
ia mencium telinga atau pipi Tua Usil sambil terkekeh-
kekeh kegirangan. Jika sudah begitu, Tua Usil bersun-
gut-sungut penuh gerutu yang tak digubris oleh Nini 
Bungkuk Renta.
Karena jengkel diperlakukan demikian, Tua Usil 
pun berhenti di sebuah lembah yang teduh, Nini 
Bungkuk Renta diturunkan dari gendongannya. Nini 
Bungkuk Renta merengek seperti gadis perawan yang 
manja.
"Kenapa berhenti?! Aku masih ingin digendong 
kamu, Pancasona! Ayolah jalan lagi, biar tubuhku te-
tap merapat dengan badanmu."
"Aku capek!" ketus Tua Usil berlagak ngos-
ngosan. "Aku capek gendong kamu terus, Nini!"
"Tapi hatimu senang, karena sering mendapat 
ciuman dariku, bukan? Hek, hek, hek, hek...!" sambil 
berkata demikian, dagu Tua Usil dicubitnya, wajahnya 
di pandangi dekat-dekat di sela senyum keriput karena 
mulut tak bergigi sama sekali itu.
Tua Usil mendesah kesal hatinya. Ia mene-
piskan tangan yang mencubit dagunya seraya berkata,
"Jangan begitu, ah! Aku mau istirahat dulu!"
"Bobo sini di pangkuan ku, Sayang...," Nini 
Bungkuk Renta duduk di rerumputan dan menepuk-
nepuk pangkuannya. Tua Usil hanya melirik dengan

hati dongkol. Tangannya ditarik oleh nenek tua itu. 
Sedikit tarikan membuat Tua Usil jatuh terduduk. 
Brruk...!
"Ayolah bobo sini, biar capek mu hilang, Panca-
sona-ku...!" Nini Bungkuk Renta merangkul Tua Usil 
dan memaksakan Tua Usil agar tidur berbantalan 
pangkuannya. Tapi Tua Usil meronta dan kembali ber-
diri dengan wajah cemberut kesal. Dalam hatinya ber-
kata,
"Kalau gadis cantik yang masih muda, boleh-
boleh saja berlagak genit seperti itu. Enak-enak saja 
aku tidur di pangkuannya. Tapi kalau nenek seusia 
dia, waaah... sama saja aku tidur di pangkuan Bocah 
Bodoh, Baunya apek!"
Nini Bungkuk Renta agaknya sedang mengala-
mi perubahan balik dari perilaku dan sikapnya. Ia su-
dah berubah menjadi seperti gadis remaja yang sedang 
kasmaran. Agaknya ia cukup tertarik dengan Tua Usil 
yang menurut pandangan matanya termasuk lelaki 
tampan menawan hati. Tetapi Tua Usil selalu bergidik 
merinding jika mendapat perlakuan mesra dari nenek 
berusia seratus lima belas tahun yang kembali menga-
lami masa puber entah yang ke berapa puluh kalinya 
itu.
Sekalipun demikian, Tua Usil tak berani meno-
lak secara kasar sikap yang menurutnya bukan mesra 
namun menjijikkan itu. Ia tahu, Nini Bungkuk Renta 
adalah adik seperguruan dari Malaikat Gelang Emas, 
tokoh sesat yang untuk saat itu dikenal kekejamannya. 
Jika melawan Nini Bungkuk Renta, belum tentu bisa 
berhasil kalahkan nenek tersebut. Bisa jadi ia mati di 
tangan nenek itu, jika ia terlalu kecewakan sang ne-
nek. Karenanya, Tua Usil sedang mencari cara untuk 
bisa lepas dari tuntutan masa puber sang nenek.
Ternyata yang bisa dilakukan Tua Usil hanya

mengalihkan bicara dari persoalan cinta, yang sejak 
tadi dibicarakan dalam perjalanan, ke masalah pergu-
ruan yang ingin dituju oleh Nini Bungkuk Renta. Se-
bab Tua Usil pun pernah datang ke Perguruan Ger-
bang Bumi, yang dulu dipegang oleh Ki Pamungkas. 
Bahkan Tua Usil pun pernah didesak oleh murid-
murid perguruan tersebut untuk menjadi ketua dan 
guru di sana, sebab dianggap titisan dari mendiang Ki 
Pamungkas. Tetapi karena Tua Usil merasa tidak pan-
tas menjadi guru maupun ketua, maka ia pun tidak 
menyanggupi jabatan tersebut.
"Sebenarnya apa yang mau kau cari di Pergu-
ruan Gerbang Bumi itu, Nini Bungkuk Renta?!" tanya 
Tua Usil mengawali pengalihan pembicaraan.
"Jangan takut, aku tidak mau cari lelaki gan-
teng di sana. Jangan cemburu, Sayang," jawabnya 
sambil sesekali cubit-cubit pipi Tua Usil. Dengan sedi-
kit gemas Tua Usil mendesak,
"Jadi apa yang mau kau cari di sana? Siapa 
yang mau kau temui?"
Nenek bungkuk itu diam sebentar, agaknya 
otaknya kembali ke persoalan dendam sebagai guru Ib-
lis Mata Genit. Mulutnya mengunyah-ngunyah bagai-
kan makan sesuatu. Setelah itu, Nini Bungkuk Renta 
segera berkata dengan suara pelan.
"Aku ingin menemui murid-murid nya Ki Pa-
mungkas. Kudengar Ki Pamungkas sudah mati di tan-
gan Resi Gutama!"
"Itu memang benar," jawab Tua Usil. "Lalu, apa 
tujuanmu temui murid-murid Ki Pamungkas?"
"Aku ingin cari pusakanya Pamungkas. Dia 
punya pusaka berupa sebuah pisau yang punya kesak-
tian dapat sedot semua ilmu lawan jika pisau itu diti-
kamkan. Pisau itu bernama Pusaka Hantu Jagal!"
seperti mendengar guntur menggelegar telinga

Tua Usil mendengar ucapan itu. Jantungnya berdetak-
detak karena ia merasa menyelipkan pusaka yang di-
cari Nini Bungkuk Renta. Pusaka itu terselip di ping-
gang, tertutup baju coklatnya. Hal itu membuat Tua 
Usil menjadi cemas dan semakin ingin cepat-cepat per-
gi jauhi Nini Bungkuk Renta.
Nenek itu berkata lagi, "Dengan gunakan pisau 
itu, aku akan bisa hilangkan semua ilmu Lili. Hanya 
sekali hunjamkan pisau ke tubuhnya, maka ilmu gadis 
itu akan lenyap dan itu berarti hutangnya terhadap 
muridku; si Iblis Mata Genit, menjadi impas! Setidak-
nya aku dapat goreskan pisau pusaka itu berkali-kali 
ke tubuhnya sampai ia kehilangan ilmunya, tapi tetap 
dalam keadaan hidup."
Tua Usil diam saja. Ia menahan kegelisahan ha-
tinya sambil berusaha sedikit menjauhi Nini Bungkuk 
Renta dalam duduknya. Kerongkongan Tua Usil terasa
kering demi mendengar rencana tokoh tua itu. Bahkan 
kali ini, Nini Bungkuk Renta berkata sambil meman-
danginya,
"Tapi menurut kabar yang kudengar dari mulut 
ke mulut, pisau pusaka itu tidak ada di tangan murid 
Ki Pamungkas. Kabarnya sudah ada di tangan seseo-
rang yang bernama Tua Usil. Aku jadi bingung, Panca-
sona, apakah aku harus mencarinya di Perguruan 
Gerbang Bumi, atau harus mencari orang yang berna-
ma Tua Usil Itu. Menurutmu bagaimana?"
Pertanyaan bernada manja itu tidak digubris 
oleh Tua Usil yang termenung menahan ketegangan ji-
wa, Nini Bungkuk Renta belum tahu bahwa orang yang 
bersamanya sejak tadi itu adalah orang yang dicari dan 
bernama Tua Usil. Nini Bungkuk Renta juga tidak ta-
hu, bahwa sejak tadi ia bersama pusaka yang dibu-
runya. Perempuan tua itu hanya mengenal nama Tua 
Usil sebagai Pancasona. Ia tidak pernah dengar sebutan Pancasona sebagai Tua Usil. Sebab sebutan dan 
julukan itu timbul setelah Pancasona mengenal Pen-
dekar Rajawali Putih. Gadis itulah yang memberinya 
julukan nama Tua Usil, yang sampai sekarang lebih 
kondang ketimbang nama aslinya: Pancasona.
"Hei, mengapa melamun? Kau cemburu aku 
menyebut pria lain?" tegur Nini Bungkuk Renta sambil 
bergelendot di lengan dan pundak Pancasona seperti 
gadis manja berusia tujuh belas tahun. Pancasona se-
gera tarik napas dan menjawab,
"Tidak. Aku tidak cemburu."
"Syukurlah kalau kau bukan seorang pencem-
buru. Tapi, menurutmu bagaimana dengan kebingun-
gan ku tadi, Pancasona? Apakah aku datang ke Pergu-
ruan Gerbang Bumi untuk menanyakan tentang pisau 
itu? Jika ternyata jawaban mereka tertuju pada lelaki 
bernama Tua Usil, maka aku harus mencari orang 
bernama Tua Usil itu?"
"Terserah kamu saja," jawab Tua Usil dengan 
suara gemetar.
"Kalau aku harus mencari lelaki itu, kau mau 
dampingi aku dalam memburu orang bernama Tua 
Usil, Pancasona? Kau mau, bukan?" "Lihat saja nanti."
Nini Bungkuk Renta tersenyum girang. "Aku 
tahu, kau tak akan tega meninggalkan aku. Kau tak 
akan berani biarkan aku kesepian, tapi kau malu 
mengutarakannya, Pancasona. Hek, hek, hek, hek...! 
Indah sekali berduaan bersamamu. Kau lelaki yang 
malu-malu tapi mau! Hek, hek, hek, hek...!"
Tua Usil salah tingkah dan tak mengerti harus 
berbuat apa pada saat itu. Lengannya selalu dipegangi 
oleh Nini Bungkuk Renta, seakan nenek tua itu tak 
mau di tinggalnya walau sebentar.
Ternyata banyak juga orang yang mencari Tua 
Usil. Selain Nini Bungkuk Renta, Raga Dewa, Dewi Gi

ta Dara, juga Ketua Partai Pengemis Liar yang bernama 
Paku Juling itu berusaha temukan Tua Usil. Ia ingin 
balas dendam atas kematian adiknya; si Rencong Geni. 
Tapi ia belum pernah bertemu dengan Tua Usil dan tak 
tahu seperti apa wujud Tua Usil itu.
Buat Paku Juling, pertemuannya dengan Raja 
Tipu adalah suatu hal yang kebetulan sekali. Raja Tipu 
menaruh dendam kepada Tua Usil karena pernah di-
hajar. habis-habisan di atas semak-semak berduri 
hingga sekujur tubuhnya penuh luka. Maka ketika Pa-
ku Juling menanyakan ciri-ciri Tua Usil, Raja Tipu 
memberikan keterangan selengkap-lengkapnya. Selain 
ia menjelaskan ciri-ciri Tua Usil sampai pada hal yang 
terkecil sekalipun.
Ia pun tambahkan kata,
"Jika kau bilang Tua Usil telah bunuh Rencong 
Geni, itu memang benar. Sebab aku sempat dengar 
percakapan Tua Usil dengan seseorang yang tidak ku-
kenal."
"Apa katanya?"
"Dia memang rencanakan mau bunuh Rencong 
Geni. Bahkan bilamana perlu kakaknya Rencong Geni 
pun akan dibunuhnya. Dia bernafsu sekali untuk 
menjadi Ketua Partai Pengemis Liar, dan mengecam 
kepemimpinan mu tak becus hadapi perkembangan 
dunia persilatan, sehingga Partai Pengemis Liar diang-
gapnya sekelompok golongan tanpa isi alias ompong!"
"Kurang ajar dia!" geram Paku Juling, panas 
hatinya kian bertambah, dan Raja Tipu semakin girang 
karena ia memang sengaja membakar hati Paku Juling 
agar tak tanggung-tanggung membunuh Tua Usil.
Maka ketika Paku Juling lewat tak jauh dari 
tempat Tua Usil dan Nini Bungkuk Renta beristirahat, 
pandangan matanya sempat terkesiap. Seseorang yang 
punya ciri seperti disebutkan Raja Tipu itu terlihat

olehnya. Paku Juling ingat, Tua Usil punya nama Pan-
casona menurut penjelasan Raja Tipu. Karenanya, ke-
tika ia hendak hampiri Tua Usil, terlebih dulu ia panc-
ing dengan panggilan nama asli Tua Usil, "Pancasona!"
"Ya!" Tua Usil menjawab dengan cepat, di luar 
kesadarannya. Ia pun segera palingkan wajah ke bela-
kang, dan dilihatnya seorang berpakaian kumal dan 
compang-camping itu berdiri menatapnya. Tua Usil 
berdiri dan kerutkan dahi ketika Paku Juling berjalan 
mendekatinya. Ia merasa asing dengan kehadiran Paku 
Juling. Tapi Nini Bungkuk Renta ternyata lebih men-
genali Paku Juling sebagai Ketua Partai Pengemis Liar. 
Maka dengan cepat Nini Bungkuk Renta menyapa,
"Sudah setua itukah dirimu, Pengemis Liar?! 
Ku sangka kau masih semuda dulu! Hek, hek, hek, 
hek...! Rupanya kali ini kau datang untuk selesaikan 
masalah yang sudah lama terkubur ditelan zaman, 
hah?!"
Paku Juling segera ingat Nini Bungkuk Renta. 
Ia pernah terlibat bentrokan dengan Nini Bungkuk 
Renta ketika tiga anak buahnya dibantai dengan kejam 
oleh nenek bungkuk itu. Paku Juling tahu, Nini Bung-
kuk Renta berilmu tinggi dan juga adik seperguruan 
Malaikat Gelang Emas. Tapi ia segera besarkan hati 
karena merasa punya urusan dengan lelaki bernama 
asli Pancasona itu, bukan dengan perempuan bungkuk 
tersebut. Maka Paku Juling pun berkata,
"Maaf, Nini Bungkuk Renta. Aku hanya ingin 
berurusan dengan orang di sampingmu itu! Bukan 
dengan dirimu, Nini Bungkuk Renta."
"Aku tak kenal siapa kau, dan merasa tak 
punya urusan denganmu!" Tua Usil cepat menyahut.
"Aku Paku Juling, kakak kandung dari Rencong 
Geni! Kau yang membunuh Rencong Geni itu, bukan?! 
Sekarang aku menuntut balas padamu!"

"O, Rencong Geni...?! Ya, ya... aku pernah bu-
nuh dia. Tapi hanya satu kali. Setelah itu tak pernah 
lagi!" jawab Tua Usil dengan sikap tak khawatir sedikit 
pun. Ia tak sadar ucapannya itu membuat Paku Juling 
kian merah telinganya dan bertambah mendidih da-
rahnya.
"Sekarang aku akan membalaskan kematian 
adik ku! Secepatnya akan kutagih hutang nyawamu 
sekarang juga! Heaaah...!"
Paku Juling membuka jurus pertama dengan
matanya menjadi juling dan tongkatnya diurut dengan 
cepat, lalu berubah menjadi paku besar berujung 
runcing. Nini Bungkuk Renta maju selangkah dengan 
tubuh meliuk bagai mau jatuh, tapi segera ditahan 
oleh tangan Tua Usil. Ia segera lantunkan tembang li-
rih bersyair polos:
"Rembulan gading, rembulan berkabut. Jangan 
adu tanding, jika tak ingin tersambar maut Tajamnya 
paku tak setajam sembilu, jika kau ingin serang keka-
sihku, hadapilah dulu diriku. Oooohhh... juwita pujaan 
hati, tiada pernah kau ingkar janji
Sekali coba kau ancam pati, tak kan luput di-
rimu dari mati...."
Tua Usil memandang Nini Bungkuk Renta se-
bentar dengan perasaan heran. Dalam hatinya Tua 
Usil bertanya-tanya, "Untuk apa dia melantunkan 
tembang seperti itu? Apa artinya syair demikian?"
Tetapi Tua Usil segera mendapat jawaban sete-
lah ia melihat tubuh Paku Juling bergetar. Semakin 
lama getaran tubuhnya semakin kencang. Mata Tua 
Usil melihat kulit tubuh Paku Juling bergerak-gerak 
bagai melepuh di beberapa tempat. Tubuh yang segera 
berminyak itu semakin merah warnanya. Mata Paku 
Juling bukan lagi juling tapi terbeliak-beliak putih 
semua. Rupanya ia sedang menghadapi serangan ke

kuatan tenaga dalam yang disalurkan oleh Nini Bung-
kuk Renta lewat tembangnya.
Tiba-tiba Paku Juling berteriak bagai mem-
buang rasa sakitnya.
"Haaaahhh...!" dan tongkatnya yang sudah be-
rubah menjadi besi runcing besar itu dihunjamkan ke 
dada Nini Bungkuk Renta. Wuuut...!
Dengan gerakan tak terlihat, tongkat rotan Nini 
Bungkuk Renta berkelebat menghantam besi runcing 
itu. Traaang...! Seperti suara besi beradu dengan besi. 
Lalu, arah runcing besi tersebut berbalik dan bergerak 
cepat menuju ke pemiliknya sendiri.
Wuuut...!
Traaang...! Tangan Paku Juling menghadang 
gerakan tongkat runcingnya. Tangan itu bagaikan be-
rubah menjadi baja yang mampu menahan luncuran 
besi runcing tersebut. Begitu besi runcing itu meng-
hantam telapak tangannya, Paku Juling cepat me-
nyambar dengan tangan kiri, dan memutarkan besi 
tersebut ke sekeliling kepalanya. Wuuung...!
Dari ujung besi runcing itu keluar semacam 
serbuk putih yang menyebar ke segala penjuru. Sema-
kin cepat berputar semakin banyak serbuk-serbuk pu-
tih yang menyebar. Angin berhembus menerbangkan 
serbuk putih itu, hinggap di batang-batang pohon, 
daun-daun serta dahan-dahan lainnya. Alam sekitar-
nya ternyata berubah menjadi dingin. Serbuk putih itu 
rupanya busa-busa salju yang menyebarkan hawa din-
gin menggigilkan tubuh manusia.
Tetapi Nini Bungkuk Renta hanya diam sambil 
celingak-celinguk mencari-cari sesuatu di tanah, mu-
lutnya seperti mengunyah makanan. Namun rumput 
yang diinjaknya menjadi hangus terbakar. Api mulai 
menjalar membakar rumput lainnya dan merayap 
mendekati tempat Paku Juling berdiri memutar

mutarkan tongkat besinya itu.
"Inilah kesempatan untuk lari!" pikir Tua Usil. 
Maka, selagi Paku Juling sibuk hadapi perlawanan Ni-
ni Bungkuk Renta, Tua Usil pun cepat larikan diri, 
tinggalkan tempat itu tanpa diketahui oleh siapa pun. 
Ia tak tahu lagi apa yang terjadi terhadap rumput dan 
tanah yang dipijak oleh Nini Bungkuk Renta.
Tua Usil bahkan tak melihat bahwa sebagian 
kaki Paku Juling telah dibungkus api, dan ternyata api 
itu sukar dipadamkan. Paku Juling merasa dalam ba-
haya besar jika tidak segera tinggalkan lawannya yang 
berilmu jauh lebih tinggi darinya itu. Maka, dengan ce-
pat Paku Juling pergi larikan diri tanpa pamit lagi. Ha-
tinya hanya membatin,
"Kurang ajar! Pancasona alias si Tua Usil itu 
dibela oleh Nini Bungkuk Renta! Jelas aku tak bisa 
membunuhnya. Lebih baik kutunggu saat yang baik 
untuk melakukan balas dendam ku ini, terutama jika 
kutemukan Tua Usil sendirian, tanpa Nini Bungkuk 
Renta...!"
Paku Juling sendiri tak sadari bahwa Tua Usil 
sudah tidak ada di belakang Nini Bungkuk Renta. Ne-
nek tua itu menjadi kebingungan sendiri ketika lawan-
nya lari tinggalkan pertarungan dengan menahan ma-
lu. Nini Bungkuk Renta mencari-cari Pancasona, me-
manggil-manggilnya dengan suara lirih, melongok se-
tiap semak-semak sambil jalannya tertatih-tatih tak 
bisa lurus.
"Ke mana kau, Sayangku...?! Jangan takut, la-
wan mu telah pergi!" ucapnya sambil masih mencari.
Tua Usil lari ke arah utara, sedangkan Paku 
Juling ke arah selatan. Tentu saja mereka tidak berte-
mu dan itu suatu keberuntungan bagi Tua Usil. Sema-
kin cepat ia berlari, semakin cepat rasanya senja menua.

Rasa lega di hati Tua Usil, ternyata hanya se-
bentar.
Karena kejap berikutnya, ia terpaksa harus ku-
rangi kecepatan larinya, karena ia melihat Nini Bung-
kuk Renta sudah berada di jalan depan yang akan di-
laluinya. Tua Usil terperanjat melihat nenek tua itu 
sudah ada di sana seakan menghadang larinya. Den-
gan nada kecewa ia hempaskan napasnya, karena ia 
tahu akan sulit lagi menghindar dari nenek tua yang 
sedang diserang masa puber itu.
"Kau tak perlu takut. tak perlu lari, siapa pun 
yang ingin celakai dirimu, aku akan menghajarnya ha-
bis-habisan!" kata Nini Bungkuk Renta ketika akhirnya 
Tua Usil hentikan langkah berjarak tujuh tindak. Tua 
Usil hanya diam, tak bisa bilang apa-apa ketika Nini 
Bungkuk Renta tersenyum-senyum sambil bermanja 
menggelendot di pundaknya.
* * *
7


SAMBIL mempertimbangkan langkah yang ha-
rus diambil. Yoga terpaksa dampingi perjalanan Dewi 
Gita Dara yang telah kehilangan empat pengawalnya 
itu. Baik Yoga maupun Bocah Bodoh masih belum 
mengaku sebagai orang yang kenal baik dengan Tua 
Usil, sehingga Dewi Gita Dara tidak mengetahui siapa 
orang yang menyertai perjalanannya itu. Dewi Gita Da-
ra sengaja tidak mau masuk ke dalam tandu, sekali-
pun tandu sudah diperbaiki. Ia lebih memilih berjalan 
dengan di dampingi Yoga dan Bocah Bodoh di kanan-
kirinya.
"Sudah lama aku mencari pisau Pusaka Hantu

Jagal itu," tutur Dewi Gita Dara. "Tetapi tak seorang 
pun bisa menolongku. Padahal aku sudah membuka 
sayembara, barang siapa yang bisa serahkan Pusaka 
Hantu Jagal kepadaku, bagaimanapun keadaan 
orangnya, aku mau menjadi istrinya atau saudara 
angkatnya."
Bocah Bodoh melirik Yoga sebentar, tapi Yoga 
tidak sedang memperhatikannya. Yoga memandang ke 
arah depan dan bertanya,
"Mengapa kau sampai membuka sayembara se-
perti itu?"
"Selama ini, aku sulit merasa tertarik dengan 
seorang pria. Tapi aku sadar, bahwa aku sudah men-
jadi perawan tua dan sudah waktunya untuk menikah. 
Hanya saja, karena ada satu masalah yang belum ku-
selesaikan, maka aku bersumpah pada diriku sendiri, 
bahwa aku tidak akan kawin sebelum masalah ku itu 
bisa kuselesaikan," jawab Dewi Gita Dara dengan sua-
ra tegas dan jelas. Bocah Bodoh hanya manggut-
manggut, sementara Pendekar Rajawali Merah diam 
sebentar mencerna arti kata-kata itu. Kemudian, ia 
kembali ajukan pertanyaan,
"Boleh ku tahu apa masalah mu itu?"
"Mendapatkan pisau Pusaka Hantu Jagal."
"Untuk apa pusaka itu?"
"Untuk membunuh seekor naga," jawab Dewi 
Gita Dara dengan polos. Jawaban itu membuat Yoga 
dan Bocah Bodoh memandanginya, lalu kembali ter-
dengar suara Yoga ajukan tanya,
"Apakah yang kau maksud benar-benar bina-
tang berbentuk seekor naga atau hanya nama julukan 
saja?"
"Benar-benar seekor naga," jawab Dewi Gita 
Dara sambil menatap Yoga sebentar, lalu ia sambung 
kata dengan teruskan langkahnya yang terkesan santai dan tidak terburu-buru itu,
"Sudah cukup lama penduduk Teluk Gangga di 
ganggu oleh kemunculan seekor naga yang bernama 
Naga Bara. Setiap bulan purnama tiba, Naga Bara 
muncul dan menelan korban lima sampai sepuluh 
orang. Bisa dilakukan dalam satu malam atau dua ma-
lam. Hanya setiap bulan purnama muncul, Naga Bara 
pun muncul. Kian lama penduduk Teluk Gangga se-
makin habis binasa menjadi santapan Naga Bara."
"Apakah tak ada yang bisa bunuh itu naga?" 
tanya Bocah Bodoh.
"Dulu pernah ku sayembarakan, tapi tak satu 
pun ada yang bisa bunuh itu naga, bahkan mereka 
menjadi santapan Naga Bara sendiri. Lama-lama ku 
hapuskan sayembara itu, walau secara tak resmi, ka-
rena tak ada lagi orang yang mencoba melawan Naga 
Bara. Padahal dulu aku sudah sediakan diri untuk rela 
menjadi istri orang yang bisa bunuh naga tersebut. 
Tapi usaha itu sia-sia. Lalu, seorang begawan kutemui 
dan beliau menjelaskan bahwa Naga Bara tak bisa di-
bunuh karena ia jelmaan dari Ratu Gaib."
"Siapa itu Ratu Gaib?" tukas Yoga dengan ber-
semangat dan tertarik akan cerita tersebut. Dewi Gita 
Dara segera jelaskan,
"Ratu Gaib dulu penguasa Selat Mati, yang le-
taknya tak jauh dari Teluk Gangga. Ratu Gaib mem-
punyai dendam kepada leluhurku dan ingin menjadi 
penguasa Teluk Gangga. Tapi Ratu Gaib dikalahkan 
oleh leluhurku, dan ia menitis menjadi seekor naga un-
tuk balas dendam kepada setiap penguasa Teluk 
Gangga."
Yoga menggumam sambil manggut-manggut. 
Lalu, Bocah Bodoh bertanya dengan polosnya,
"Besarkah naga itu, Nona?"
"Sangat besar. Menurut para saksi mata naga

itu besarnya seukuran badan seekor singa jantan, ber-
tanduk dan bermata lebar. Panjangnya seukuran po-
hon kelapa, ekornya buntung, namun bersisik tajam. 
Ia mempunyai tanduk di tengah kepalanya. Dari hi-
dungnya sering semburkan uap panas yang membuat 
tubuh manusia melepuh. Ia mempunyai enam kaki 
pendek yang berkuku tajam, namun jika berlari cepat-
nya seperti seekor rusa. Ia cukup tangkas dan ganas. 
Mulutnya sesekali keluarkan semburan api yang bisa 
mencapai jarak tujuh langkah jauhnya. Kulitnya san-
gat keras dan tak bisa dilukai dengan senjata apa 
pun."
Bocah Bodoh bergidik membayangkan bentuk 
dan ukuran naga tersebut. Sama halnya dengan Yoga, 
Bocah Bodoh sedikit sangsi, antara percaya dan tidak. 
Bahkan Yoga berkata,
"Naga seperti itu hanya ada dalam dongeng sa-
ja."
"Setahuku memang begitu. Tapi naga yang satu 
ini boleh dikata adalah naga siluman. Jelmaan dari roh 
jahat dapat berbentuk makhluk aneh yang mengeri-
kan. Tujuannya hanya ingin menghabisi penduduk Te-
luk Gangga dan merongrong penguasa setempat den-
gan kekejamannya. Mungkin cerita ini sulit dipercaya, 
tapi jika kalian datang sendiri dan melihat jejak-jejak 
naga tersebut di sekitar gua tempat persembunyian-
nya, kalian baru akan percaya."
"Mengerikan sekali," gumam Bocah Bodoh.
"Begawan yang ku hubungi itu menjelaskan; 
Naga Bara tak bisa dibunuh jika tidak gunakan pisau 
Pusaka Hantu Jagal. Sebab itu aku ingin bertemu den-
gan orang yang bernama Tua Usil dan meminjam pisau 
pusakanya itu jika benar ia adalah orang yang mem-
bawa Pusaka Hantu Jagal tersebut. Setelah Naga Bara 
mati, pusaka itu akan kukembalikan."

Hati pendekar tampan itu merasa lega. Ru-
panya Dewi Gita Dara tidak punya maksud jahat un-
tuk merebut pisau Pusaka Hantu Jagal dari tangan 
Tua Usil, namun ingin meminjamnya secara baik-baik. 
Setidaknya, dengan begitu Yoga bisa simpulkan bahwa 
seandainya ia bantu Dewi Gita Dara untuk bertemu 
dengan Tua Usil, hal itu tidak membahayakan kesela-
matan si Tua Usil.
"Mengapa harus gunakan pisau Pusaka Hantu 
Jagal?" tanya Yoga. "Apakah begawan yang kau temui 
itu tahu persis kekuatan pisau pusaka tersebut?"
Dewi Gita Dara menjawab, "Ya. Dia tahu persis 
tentang pusaka tersebut, karena dia berhasil melacak 
kekuatan pusaka itu dengan indera keenamnya. Me-
nurutnya, naga titisan Ratu Gaib itu akan kalah jika 
berhadapan dengan pisau tersebut. Sebab semasa hi-
dupnya, Ratu Gaib adalah kekasih Hantu Jagal. Dia 
sangat mencintai Hantu Jagal. Tapi karena cintanya 
tak sampai, akhirnya ia menjadi liar dan sesat, ganas 
dan kejam. Dia hanya bisa ditundukkan oleh Hantu 
Jagal, karena baginya lebih baik mati di tangan Hantu 
Jagal daripada di tangan orang lain. Karena itu, bega-
wan tersebut mengatakan bahwa kelemahan Naga Ba-
ra terletak di tangan orang yang membawa Pusaka 
Hantu Jagal. Begawan itu pun berkata, bahwa jika pi-
sau Pusaka Hantu Jagal telah menggores tubuh Naga 
Bara, maka kesaktian Naga Bara itu sendiri akan men-
galir dalam tubuh orang yang menikamkan pisau ter-
sebut. Dan sebagai tanda kematiannya, maka sang 
rembulan pada saat itu akan menjadi merah bagaikan 
berdarah, sebagai perlambang bahwa darah Naga Bara 
yang terkena pisau Pusaka Hantu Jagal akan memer-
cik hingga melumuri rembulan. Sebab, kekuatan Ratu 
Gaib semasa hidupnya ada dalam cahaya sinar bulan 
purnama."

Cerita itu bukan sekadar cerita menarik yang 
layak dituturkan menjelang tidur kepada anak-cucu, 
melainkan juga cerita yang mempunyai kekuatan ter-
sendiri, membuat seseorang menjadi ingin tahu. Begi-
tulah perasaan Yoga pada saat itu; ingin melihat seper-
ti apakah Naga Bara yang diceritakan perempuan be-
rusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu.
Pendekar Rajawali Merah akhirnya berterus te-
rang tentang hubungannya dengan Tua Usil. Ia pun 
menceritakan riwayat Tua Usil mendapatkan pisau Pu-
saka Hantu Jagal itu. Cerita itu dituturkan ketika me-
reka beristirahat di sebuah lembah yang teduh, dalam 
sebuah tenda yang didirikan oleh anak buah Dewi Gita 
Dara. Tenda itu khusus untuk beristirahat sang pen-
guasa yang oleh mereka disebutnya: Gusti.
Pendekar Rajawali Merah sedikit heran, karena 
pada saat ia menuturkan cerita tentang riwayat Tua 
Usil mendapatkan pisau pusaka itu. Bocah Bodoh ti-
dak ikut berada di dalam tenda tersebut. Bocah Bodoh 
duduk termenung di bawah sebuah pohon rindang, 
menyendiri di seberang sana. Melihat Bocah Bodoh 
melamun sejak tadi, Yoga tertarik untuk mendekatinya 
dan menanyakan penyebabnya. Bocah Bodoh menja-
wab dengan ragu,
"Saya... saya kagum dengan kecantikan Dewi 
Gita Dara, Tuan Yo!"
Pendekar Rajawali Merah tertawa dengan suara 
tertahan, tapi tubuhnya bergerak-gerak kecil. Bocah 
Bodoh menunduk karena malu ditertawakan. Pende-
kar Rajawali Merah menangkap arti sikap tersebut, la-
lu ia pun ajukan tanya,
"Kau menyukai kecantikannya?"
"Ya. Saya... saya bahkan kepingin punya istri 
seperti dia."
"Sebuah keinginan yang bagus!" kata Yoga

membesarkan semangat Bocah Bodoh yang tampak 
minder. "Setiap lelaki punya hak untuk berkeinginan 
sepertimu, Bocah Bodoh."
"Tapi... apakah dia mau punya suami bodoh 
seperti aku, Tuan Yo?"
"Kau bisa tanyakan sendiri kepadanya."
"Saya... saya tidak berani, Tuan Yo. Saya malu 
dan takut kalau Nona Dewi Gita Dara itu marah den-
gan ucapan saya. Saya takut disangka bersikap ku-
rang ajar kepadanya."
"Laki-laki bukan hanya berani bertarung den-
gan lawan saja, namun harus berani utarakan cin-
tanya di depan gadis yang dicintainya!"
"Begitukah?!" Bocah Bodoh memandang Yoga, 
dan Yoga anggukkan kepala dengan senyum yang 
meyakinkan. Bocah Bodoh termenung sebentar, ke-
mudian berkata lagi,
"Tidak, Tuan. Saya belum sanggup untuk bica-
ra tentang perasaan saya kepadanya. Saya... saya cu-
ma punya satu keinginan untuk mencapai harapan ha-
ti saya."
"Apa keinginanmu?"
"Saya akan kalahkan Naga Bara. Saya harus 
bisa bunuh Naga Bara dengan Pedang Jimat Lanang 
ini!"
"Kau gila! Itu bukan pekerjaan yang mudah. 
Bukankah kau dengar sendiri bahwa Naga Bara hanya 
bisa dibunuh oleh pisau Pusaka Hantu Jagal?!" kata 
Yoga mengingatkan Bocah Bodoh.
"Saya harus mencobanya, Tuan! Saya akan ka-
lahkan dengan pedang pusaka ini!"
"Berarti kau bunuh diri di depan naga siluman 
itu!"
"Saya tak keberatan mati demi memperjua-
ngkan kebebasan Dewi Gita Dara, Tuan Yo! Saya siap

mati untuknya!"
Yoga menghela napas panjang. Dia mulai sadar 
bahwa orang sebodoh Cola Colo pun ternyata punya 
cinta yang berkobar-kobar. Orang sepolos Bocah Bo-
doh ternyata punya hasrat untuk membuktikan cin-
tanya di depan gadis yang dicintainya. Yoga tahu, te-
kad Bocah Bodoh bukan semata-mata tekad yang 
tumbuh hanya semusim, namun sebuah tekad yang 
tumbuh dari hati nuraninya. Sebenarnya Yoga tidak 
berhak menghalangi niat dan tekad itu. Tapi demi ke-
selamatan yang tidak diperhitungkan. Yoga terpaksa 
harus cegah keinginan hati yang membabi buta itu. Ia 
harus ajarkan kepada Cola Colo untuk gunakan perhi-
tungan yang matang setiap kali ingin bertindak.
Tiba-tiba percakapan Yoga dengan Bocah Bo-
doh itu terhenti sejenak karena kedatangan seorang 
pengawal berkuda yang kala itu datang menghampiri 
Yoga tanpa kuda. Ia berkata dengan wajah tegang,
"Tuan, Gusti Dewi Gita Dara terluka oleh se-
rangan gelap seseorang dari kerimbunan semak sebe-
lah barat!"
"Terluka?!" Bocah Bodoh terpekik dan cepat 
bangkit. Bahkan ia berlari lebih dulu sementara Yoga 
bergegas menemui Dewi Gita Dara.
Dewi Gita Dara terkena senjata rahasia di ba-
gian punggungnya. Tubuh wanita cantik itu menjadi 
panas karena racun senjata rahasia. Salah seorang 
pengawalnya mengatakan, senjata rahasia itu milik 
orang-orang Partai Bajak Samudera. Mereka mengenali 
senjata tersebut.
Bocah Bodoh melesat pergi menerabas rerum-
putan tinggi dan kerimbunan semak di sebelah barat. 
Yoga tahu, Bocah Bodoh menjadi marah melihat Dewi 
Gita Dara dalam keadaan tak berdaya. Bocah Bodoh 
ingin kejar orang yang lemparkan senjata rahasia itu.

Sementara Yoga mencoba mengobati luka di punggung 
Dewi Gita Dara dengan ilmu 'Tapak Serap'.
Beberapa saat kemudian, Bocah Bodoh kembali
lagi ke tempat Yoga yang lakukan pengobatan di luar 
tenda, karena saat itu Dewi Gita Dara terluka ketika 
ingin temui Yoga dan Bocah Bodoh. Dengan napas te-
rengah-engah dan wajah merah karena marah, Bocah 
Bodoh berkata,
"Saya tidak berhasil mengejar orang itu, Tuan 
Yo! Tapi saya akan cari Raga Dewa sampai ketemu se-
karang juga."
"Tak perlu," cegah Yoga dengan kalem, "Nona 
Dewi sudah sembuh. Lihat... wajahnya telah kembali 
segar. Biarkan mereka lari, suatu saat pasti akan jum-
pa dengan kita!"
Rona merah di wajah Bocah Bodoh mulai surut. 
Ia merasa lega melihat Dewi Gita Dara telah segar 
kembali dan tidak rasakan sakit sedikit pun. Dewi Gita 
Dara berkata,
"Untung dalam rombongan ini ada tabib sakti, 
kalau tidak, sudah pasti nyawaku melayang karena ra-
cun ganas senjata rahasia itu!"
Pendekar Rajawali Merah tersenyum sambil 
alihkan pandang, tak berani tatap perempuan cantik 
berdada sekal terlalu lama. Dewi Gita Dara ingin 
ucapkan terima kasih. Namun baru saja ia buka mu-
lutnya yang berbibir ranum itu, tiba-tiba angin ber-
hembus kencang dari arah atas. Disusul suara seekor 
burung memekik membuat kuda-kuda menjadi berin-
gas, meringkik, dan melompat-lompat. Dewi Gita Dara 
tak jadi ucapkan kata-katanya, karena terkesima meli-
hat seekor burung rajawali putih berukuran besar 
mendarat di depan tempat peristirahatannya.
Lili turun dari punggung rajawali dengan wajah 
cemberut. Ia melihat Yoga tampak dekat dan akrab

dengan seorang gadis cantik yang belum dikenalnya. 
tingkah Lili yang cepat dan tegas itu membuat Yoga 
sembunyikan senyum dan berbisik kepada Bocah Bo-
doh,
"Gawat! Guru pasti ngamuk melihat aku berde-
katan dengan Dewi Gita Dara."
"Terima saja nasib yang ada, Tuan Yo," balas 
Bocah Bodoh berbisik.
Kehadiran Lili dihadang oleh empat pengawal 
bersenjata, namun dengan satu kali kibasan tangan, 
angin kibasan itu membuat keempat pengawal ter-
jungkal tak tentu arah; Dewi Gita Dara sempat tersing-
gung dengan sikap itu, lalu hendak menyerang Lili. 
Tapi Yoga menghadang dan menahannya.
"Dia guruku, Pendekar Rajawali Putih. Jangan 
serang dia!"
Lili memandang Dewi Gita Dara dengan sinis, 
berkesan nada cemburu. Dengan ketus ia berkata ke-
pada Yoga,
"Apa kerjamu di sini?"
"Jangan marah, Guru. Biar Bocah Bodoh yang 
jelaskan...."
Lalu, Bocah Bodoh pun terpaksa memberi pen-
jelasan kepada Lili dengan panjang lebar. Kemarahan 
Lili sedikit berkurang, dan ia segera berkata kepada 
Yoga,
"Aku dapat undangan untuk datang ke Pulau 
Kana. Wisnu Patra telah mempunyai bayi, tapi tali pu-
sarnya tak bisa putus. Dia meminta tolong padaku. 
Kau harus ikut denganku ke sana sekarang juga, Yo!"
"Baik. Aku ikut denganmu. Guru. Tapi bagai-
mana dengan Tua Usil? Dia sedang diburu oleh Raga 
Dewa dan...."
"Dan dia memang dalam bahaya," sahut Lili. 
"Lintang Ayu beritahukan padaku, Tua Usil sedang di

cari-cari oleh tokoh sakti yang berjuluk Tapak Biru. 
Konon tokoh itu sangat berbahaya dan bisa bunuh Tua 
Usil. Tapi aku tak tahu siapa yang berjuluk Tapak Biru 
itu?"
Dewi Gita Dara tiba-tiba menyahut, "Tapak Bi-
ru adalah Nini Bungkuk Renta, adik seperguruan den-
gan Malaikat Gelang Emas!"
Lili terperanjat tegang, demikian juga Yoga. Lili 
berkata,
"Bahaya! Aku justru meninggalkan dia bersama 
Nini Bungkuk Renta!"
* * *
8


PAGI-PAGI sekali, Tua Usil sengaja pergi ting-
galkan rumah kuno yang dipakainya bermalam dengan 
Nini Bungkuk Renta. Rumah itu kotor dan tak ber-
penghuni lagi, karenanya digunakan bermalam oleh 
Nini Bungkuk Renta dan Tua Usil. Itu pun atas desa-
kan dan rengekan Nini Bungkuk Renta.
Tua Usil hanya berhasil tidur sebentar, karena 
Nini Bungkuk Renta mengganggunya dengan hasrat 
masa pubernya yang menggelora. Tua Usil terpaksa 
menolaknya berulang kali dengan cara halus, sampai 
akhirnya Nini Bungkuk Renta tertidur menjelang fajar. 
Saat itulah Tua Usil punya kesempatan untuk lari dari 
cengkeraman nenek tua yang diserang hasrat masa 
pubernya kembali itu.
Namun pelarian Tua Usil tak bisa mulus, kare-
na ketika matahari mulai meninggi dan burung-
burung telah hentikan kicaunya, mendadak langkah 
Tua Usil terpaksa harus berhenti, karena di depannya

berdiri seorang lelaki berusia enam puluh tahun lebih, 
mengenakan jubah abu-abu dan bertubuh tinggi ku-
rus. Tua Usil sempat ingat siapa lelaki berwajah lon-
jong itu yang tak lain adalah si Jubah Jangkung. Tapi 
Tua Usil sungguh tak tahu jika ternyata lelaki itu pun 
sedang mencari-carinya.
Jubah Jangkung perdengarkan suaranya yang 
besar dan bulat itu, "Kucari kau ke kolong semut, ter-
nyata kutemukan di sini! Rasa-rasanya memang sudah 
waktunya aku membalas kematian calon istriku yang 
kau bunuh itu, Pancasona!".
"Apa maksudmu bicara begitu, Jubah Jang-
kung?!"
Orang berambut kucai dengan ikat kepala putih 
dan wajah sedingin es itu berkata dengan nada bicara 
datar,
"Jangan berlagak menjadi orang tak berdosa, 
Pancasona! Kutemukan jenazah calon istriku; dan ku-
lihat di manik matanya ada bayangan mu bersama se-
pasang pendekar tampan dan cantik. Kulihat di manik 
matanya, kau menyerangnya dan membunuhnya!"
"Siapa orang yang kau maksud itu?" Tua Usil 
kerutkan dahi.
"Nyai Kuku Setan! Dan... ternyata jari tangan-
mu pun mempunyai kuku-kuku yang sama dengan 
kuku milik calon mempelai istriku itu!" sambil Jubah 
Jangkung pandangi jari-jari tangan Tua Usil.
Mata Tua Usil terkesiap mendengar nama itu 
disebutkan oleh Jubah Jangkung, lalu ia berkata, 
"Maafkan aku, Aku tidak tahu kalau dia calon istrimu, 
Jubah Jangkung."
"Ku maafkan kau, tapi pembalasan tetap harus 
tiba pada saatnya! Sekaranglah saat yang terbaik un-
tuk lepaskan dendam ku padamu!" kata Jubah Jang-
kung dengan wajah tidak tampakkan kebencian atau

keramahan. Datar-datar saja, bahkan berkesan dingin 
dengan sorot mata cekungnya yang seolah-olah ingin 
membekukan darah lawannya.
"Kurasa kau perlu dengar dulu penjelasan ku, 
Jubah Jangkung...."
"Tak perlu!" sahut Jubah Jangkung, lalu kedua 
tangannya diangkat naik dan terdengar suara angin 
berat berkelebat, wuuuukk...! Baru angkat dua tangan 
saja suaranya sudah cukup membuat lawan merind-
ing.
Dari kedua tangan itu terlepaslah sinar merah 
bergelombang-gelombang yang menghantam tubuh 
Tua Usil. Wuuuung...! Tapi tiba-tiba di depan Tua Usil 
muncul sosok tubuh tua dan bungkuk yang tak lain 
adalah Nini Bungkuk Renta. Ia muncul begitu saja, tak 
terlihat gerakannya. Bahkan ia segera angkat tongkat-
nya ke depan dan bergerak memutar dengan cepat di 
antara sela-sela jemarinya. Gerakan tongkat memutar 
itu memancarkan sinar hijau bening bagai memben-
tengi tubuhnya. Akibatnya sinar merah bergelombang 
itu menghantam sinar hijau bening, membuat tubuh 
Jubah Jangkung terlempar ke belakang bersamaan 
dengan suara ledakan yang dahsyat. Blaaar...!
"Tubuh Nini Bungkuk Renta dan Tua Usil tetap 
tegak berdiri tanpa terganggu oleh hentakan gelom-
bang ledak tadi. Namun tubuh Jubah Jangkung terli-
hat jelas membentur pohon, dan pohon itu menjadi hi-
tam hangus dalam waktu kurang dari satu helaan na-
pas. Tubuh itu pun jatuh ke tanah. Namun mata Tua 
Usil segera mendelik, karena tubuh Jubah Jangkung 
lenyap bagai ditelan bumi. Zlaaap...! "Aku di sini, Nini 
Bungkuk Renta!"
Tua Usil berpaling ke belakang, ternyata Jubah 
Jangkung sudah berdiri tegak di sana dalam keadaan 
segar bugar. Tua Usil bingung dan menjadi takut

menghadapi lawannya. Ia segera berpaling memandang 
Nini Bungkuk Renta. Tapi orang yang dipandangnya 
itu pun telah lenyap dari tempat semula. Tua Usil se-
makin bingung, ia segera memandang Jubah Jang-
kung yang hendak melepaskan pukulan dari dua ja-
rinya itu.
Namun tiba-tiba, jleeg...! Nini Bungkuk Renta 
sudah ada di belakang Jubah Jangkung dan berkata,
"Aku di sini, Jubah Jangkung!"
Wuurrt...! Beehg...!
Tubuh Jubah Jangkung tersentak ke depan ka-
rena disodok dengan ujung tongkat Nini Bungkuk Ren-
ta. Tubuh jangkung yang melayang cepat itu hampir 
saja menabrak Tua Usil secara total. Tua Usil berkelit 
ke samping, namun tengkuk kepalanya terkena kiba-
san dua jari Jubah Jangkung. Taab...! Dan tubuh Ju-
bah Jangkung pun terjungkal berjumpalitan di tanah. 
Sementara itu, Tua Usil menjadi sulit gerakkan selu-
ruh anggota tubuhnya. Semuanya terasa kaku sekali. 
Rupanya ia telah tertotok oleh dua jari Jubah Jang-
kung yang berkelebat menyambarnya secara cepat ta-
di. Tua Usil hanya bisa lihat apa yang ada di depannya 
dan mendengar apa yang ada di sekelilingnya.
"Kalau kau ingin bunuh dia, kau harus langka-
hi dulu mayatku, Jubah Jangkung! Tak akan kubiar-
kan siapa pun melukai kekasihku!" kata Nini Bungkuk 
Renta sambil maju untuk lakukan serangan tadi. Tapi 
tubuh Jubah Jangkung cepat lenyap bagai tersedot ke 
dalam tanah. Tubuh bungkuk renta itu pun lenyap da-
lam satu kali lakukan lompatan ke arah samping. 
Zlaaap...! Kemudian Tua Usil tak bisa lihat lagi 
apa yang terjadi, tapi ia dengar suara berbaku hantam 
dan pekikan tertahan yang seakan-akan ada di depan-
nya. Suara beradunya tangan dengan tangan pun ter-
dengar jelas: plak, plak, plak, buuhg...! Plak!

Suara gaduh itu pun segera hilang setelah ter-
dengar suara pekik tertahan dari mulut seorang lelaki. 
Kejap berikutnya mata Tua Usil dapat melihat sesosok 
tubuh bagai terlempar dari suatu tempat yang tak jelas 
asalnya. Buuuhhg...! Ternyata tubuh Jubah Jangkung 
yang menderita memar di bagian wajahnya, membiru 
legam bagai terbakar parah. Orang jangkung itu me-
nyeringai sambil berusaha bangkit. Pada pakaian da-
lamnya yang berwarna kuning lusuh itu terdapat be-
kas dua telapak tangan menghitam. Itu pertanda dia 
terkena pukulan dahsyat dari Nini Bungkuk Renta.
"Tunggu pembalasanku!" terdengar Jubah 
Jangkung lontarkan kata ancaman, tapi dirinya segera 
melompat ke satu arah dan lenyap begitu saja. Semen-
tara itu, Nini Bungkuk Renta terlihat muncul dari balik 
pohon dengan mata memandang kepergian Jubah 
Jangkung. Tua Usil hanya bisa melihat dan melihat sa-
ja, tanpa bisa bicara dan bergerak.
Tua Usil juga melihat rona kemarahan di wajah 
Nini Bungkuk Renta. Dan yang membuatnya terkejut, 
ia melihat telapak kaki Nini Bungkuk Renta kepulkan 
uap putih tipis. Tiap ia melangkah selalu tinggalkan je-
jak biru di tanah. Bekas telapak kakinya yang bagai-
kan mengandung serbuk biru itu membuat Tua Usil 
kian cemas dalam hatinya, karena ia ingat kata-kata 
Lili bahwa dirinya sedang dicari-cari oleh seorang yang 
dikenal dengan nama Tapak Biru. Rupanya Nini Bung-
kuk Renta itulah orang yang mencari-carinya selama 
ini dan yang bergelar Tapak Biru.
"Kalau tak ingat keadaanmu begitu, akan kuke-
jar si Jubah Jangkung dan kubunuh di mana saja ku-
temukan dia!" kata Nini Bungkuk Renta. "Tapi aku le-
bih berat meninggalkan dirimu, walaupun kau tidak 
berat meninggalkan diriku di rumah kosong itu, Keka-
sihku! Hek, hek, hek!"

Di salah satu sisi tempat itu, Raga Dewa sedang 
kasak-kusuk dengan seorang lelaki pendek berpakaian 
abu-abu, mengenakan ikat kepala kuning. Orang ter-
sebut tak lain adalah Raja Tipu, yang sedang menun-
juk ke arah Tua Usil dan Nini Bungkuk Renta.
"Itu...! Itu orang yang bernama Tua Usil. Nah, 
selamat merebut pusaka itu, Tuan. Pasti pusaka itu 
akan jatuh di tangan Tuan!"
Raja Tipu cepat tinggalkan tempat setelah men-
dapat upah dari Raga Dewa. Pada waktu itu, Nini 
Bungkuk Renta akan bebaskan pengaruh totokan pada 
diri Tua Usil. Namun tiba-tiba tubuhnya terasa bagai 
diterjang angin badai yang cukup kencang hingga ia ja-
tuh terjengkang. Rupanya Raga Dewa bergerak cepat 
bagaikan hembusan badai dan menerjang Nini Bung-
kuk Renta. Bruuus...! Bluuhg....!
Dua orang pengikut Raga Dewa tetap diam di 
balik persembunyian sesuai dengan isyarat Raga Dewa 
tadi. Kini Raga Dewa berbalik arah dan segera cabut 
senjata kapak dua mata dari pinggangnya sambil se-
rukan tawa terbahak-bahak,
"Huah, ha, ha, ha....! Sekarang saatnya kita 
bertemu, Tua Usil! Rupanya kau ada di sini dengan 
nenekmu, hah?!"
Tua Usil melirik sedikit. Ia melihat wajah Raga 
Dewa tapi tidak mengenalinya. Ia ingin bicara tapi mu-
lutnya bagaikan dipatri dan rahangnya tak bisa berge-
rak. Nini Bungkuk Renta segera bangkit dengan ter-
huyung-huyung. Telapak kakinya semakin tebal kelua-
rkan asap dan tinggalkan bekas biru di tanah yang di-
pijaknya.
"Bocah jalang!" geram Nini Bungkuk Renta. 
"Mengapa kau menerjang ku sampai jatuh, hah?! Tak 
tahukah kau bahwa orang jatuh itu sakit?!"
"Huah, ha, ha, ha, ha...! Maaf, Nek. Kau meng

halangi langkahku yang ingin menerjang si Tua Usil 
itu, jadi kau yang kena sasaran! Sekarang, minggirlah! 
Akan ku penggal kepala si Tua Usil itu kalau tak mau 
serahkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu!"
"Tunggu dulu...!" Nini Bungkuk Renta berkerut 
dahi dan pandangi Tua Usil beberapa saat. "Jadi... kau 
yang bernama Tua Usil, Pancasona? Kau yang memiliki 
pusaka itu, Sayang?!"
Tua Usil tak bisa menjawab karena masih da-
lam pengaruh totokan. Tapi detak jantungnya semakin 
kuat dan tubuhnya cucurkan keringat dingin. Ia ngeri 
dipandangi Nini Bungkuk Renta beberapa saat la-
manya.
"Nenek budek! Lekas menyingkir darinya, aku 
akan paksa dia agar mau serahkan pusaka itu! Aku 
sangat membutuhkannya untuk membalas sakit hati-
ku atas penolakan lamaranku oleh Dewi Gita Dara!"
Nini Bungkuk Renta diam memandang Raga 
Dewa. Sorot pandangan matanya itu tampak biasa-
biasa saja. Tapi tiba-tiba bola mata Raga Dewa menjadi 
merah. Makin lama semakin basah, dan basahnya itu 
karena darah. Raga Dewa segera sadar bahwa ia telah 
diserang oleh nenek bungkuk itu dengan mengguna-
kan kekuatan pada matanya.
"Jahanam kau, Nenek Peot! Heaaah...!" Raga 
Dewa segera tarik gagang kapaknya menjadi rantai 
panjang, lalu ia memutarkan rantai itu hingga mata 
kapaknya mengeluarkan suara dengung memekakkan 
telinga manusia biasa. Suara dengung itu membuat 
beberapa dahan pohon menjadi retak secara susul-
menyusul. Wuuungngng...!
Trak! Kraak...! Praaak...! Rekatak...! Kraaak...!
Nini Bungkuk Renta masih diam saja, meman-
dangi Raga Dewa yang pejamkan matanya sambil ma-
sih memutar-mutar kapaknya yang dialiri tenaga da

lam cukup tinggi, hingga meretakkan pepohonan. Ke-
jap berikutnya, Nini Bungkuk Renta lemparkan tong-
kat rotannya ke arah putaran kapak tersebut. 
Wuuutt...! Zraaak...!
Putaran kapak terhenti akibat dililit tongkat. 
Pada saat itulah tubuh kurus kering itu melompat ba-
gaikan terbang. Kedua kakinya terarah ke depan dan 
menghantam dada Raga Dewa. Baaahg...!
"Uuhg...!" Raga Dewa tersentak ke belakang dan 
jatuh di kerimbunan semak. Dari tubuhnya keluar 
asap tipis. Warna biru membekas jelas di dada Raga 
Dewa yang mengenakan baju pelapis dada merah itu. 
Ia berkelojotan di semak-semak itu bagaikan ayam dis-
embelih karena terkena racun biru dari telapak kaki 
Nini Bungkuk Renta.
Kedua anak buahnya segera menolongnya, 
mengangkat dan membawanya lari menjauhi nenek 
bungkuk yang berbahaya itu. Pada saat tubuh Raga 
Dewa diangkat, tampaklah wujud kulit tubuhnya yang 
tersayat-sayat bagai habis dihajar dengan cambuk 
berpisau. Pakaiannya pun tersayat pula, bahkan sam-
pai bagian wajahnya bergaris-garis merah seperti luka 
bekas sayatan, lebih dari lima puluh sayatan. Ia tak 
dapat bicara sedikit pun kecuali matanya terbeliak-
beliak dengan napas tersentak-sentak.
Raja Tipu ternyata belum jauh dari tempat itu, 
karena ia ingin mengintip kematian Tua Usil. Ternyata 
justru Raga Dewa yang menderita luka parah dari di-
bawa lari oleh dua anak buahnya. Raja Tipu segera 
temui mereka dan berkata,
"Bawalah tuanmu itu ke Gerojogan Gaib! Di se-
belah selatan arahnya. Di sana ada air terjun yang 
mempunyai kekuatan gaib, bisa sembuhkan luka se-
seorang dengan cara memandikannya di sana!"
"Kami tidak tahu tempatnya. Antarkanlah ka

mi!"
"Boleh saja, asal upahnya sama dengan yang 
diberikan pada tuanmu tadi. Kalau kau setuju, kuan-
tarkan ke sana!"
"Soal upah, nanti kubicarakan dengan sang Ke-
tua. Yang penting beliau harus segera tertolong!"
Raja Tipu dan dua anak buah Raga Dewa itu 
segera lari ke arah selatan. Kalau saja mereka berlari
ke arah timur, maka akan berpapasan dengan rom-
bongan tandu Dewi Gita Dara. Sayang mereka berge-
rak ke selatan sehingga tak melihat bahwa rombongan 
tersebut akhirnya tiba di tempat Tua Usil dan Nini 
Bungkuk Renta berada. Pada saat itu, Nini Bungkuk 
Renta sedang pertimbangkan untuk memaksa Tua Usil 
dengan kasar agar mau serahkan pisau Pusaka Hantu 
Jagal itu atau membujuknya dengan kelembutan dan 
kemesraan. Ia belum lepaskan totokan Tua Usil, se-
mentara dalam hati Tua Usil menjerit-jerit minta dile-
paskan dari pengaruh totokan jalan darahnya itu.
"Tua Usil...!" seru Bocah Bodoh begitu melihat 
sosok Tua Usil sedang diam mematung di samping ne-
nek tua itu. Bocah Bodoh segera berkata tegang kepa-
da Dewi Gita Dara,
"Nona... itu dia yang bernama Tua Usil!"
Dewi Gita Dara segera suruh pengusung tandu
berhenti, kemudian ia melompat turun dari dalam tan-
du tersebut. Tapi langkahnya sempat terhenti melihat 
seorang nenek ada di dekat Tua Usil. Ia kenal dengan 
wajah nenek itu, sehingga mulutnya menggumam,
"Celaka! Dia bersama Nini Bungkuk Renta?!"
"Diakah yang bernama Tapak Biru, Nona?"
"Benar," jawabnya pelan, lalu berkata kepada 
para pengawalnya, "Kurung tempat ini!"
Wuuurrrt...! Dalam sekejap tempat tersebut te-
lah dikepung oleh sisa anak buah Dewi Gita Dara. Hal

itu menarik perhatian Nini Bungkuk Renta, sehingga ia 
memandang berkeliling dengan penuh curiga yang tak 
kentara. Bocah Bodoh segera berlari dekati Tua Usil. 
Tapi ia dipandang tajam oleh Nini Bungkuk Renta. Ia 
menjadi takut dan gemetar, bahkan lupa bahwa di-
rinya membawa Pedang Jimat Lanang. Bocah Bodoh 
pun segera undurkan diri dan dekati Dewi Gita Dara. 
Ia berbisik,
"Nona, apakah saya harus serang nenek bung-
kuk itu?"
"Jangan. Ilmunya sangat tinggi. Kau kalah den-
gannya. Sebaiknya, aku bicara dengannya secara baik-
baik saja!"
Bocah Bodoh menjadi jengkel. Matanya me-
mandang ke sana-sini mencari Yoga. Tetapi saat itu 
Yoga dan Lili tidak ikut bersama rombongan. Mereka 
berpencar mencari Tua Usil. Berada di atas punggung 
rajawali putih berduaan.
"Siapakah kau, Gadis Cantik?!" tanya Nini 
Bungkuk Renta dengan mata sedikit menyipit ketika 
Dewi Gita Dara mendekatinya.
"Aku penguasa Teluk Gangga, Nini. Namaku, 
Dewi Gita Dara!"
"Lho, bukankah penguasa Teluk Gangga adalah 
Padmi Gana?"
"Itu nenekku, sekarang beliau sudah wafat! 
Akulah penggantinya!" sambil berkata demikian mata 
Dewi Gita Dara melirik ke telapak kaki nenek kurus 
itu. Ternyata kepulan asap yang ada di kedua telapak 
kakinya sudah menjadi biru. Itu pertanda hati Nini 
Bungkuk Renta sedang diliputi kemarahan yang terta-
han. Racun yang keluar dari telapak kakinya lebih 
berbahaya dibanding saat kaki itu kepulkan asap pu-
tih. Itulah sebabnya Dewi Gita Dara tak berani bersi-
kap kasar kepada Nini Bungkuk Renta.

"Apa maksudmu datang menemuiku kemari?"
"Saya ingin bicara dengan Tua Usil, Nini!"
"Aku harus tahu, kau mau bicara apa? Tua Usil 
ini kekasihku, tapi bisa juga jadi musuhku jika dia tak 
mau serahkan Pusaka Hantu Jagal padaku! Katakan, 
kau mau bicara apa?"
"Aku mau minta tolong padanya untuk... mem-
bunuh seekor naga yang ada di Teluk Gangga, Nini! 
Naga itu...."
Kata-kata Dewi Gita Dara terhenti karena hem-
busan angin kencang datang dari atas. Rupanya see-
kor burung rajawali putih melintas di atas mereka. Bo-
cah Bodoh segera berteriak keras-keras,
"Tuan Yooo...! Kami di sini dalam bahayaaa...!" 
Seruan itu tertangkap oleh telinga Lili, kemudian ke-
dua pendekar itu sama-sama memandang ke bawah 
dan melihat Tua Usil ada di sana. Maka burung raja-
wali putih itu pun merendah lalu hinggap di tanah tak 
seberapa jauh dari tempat mereka berkumpul. Lili ser-
ta Yoga lekas berlari temui Dewi Gita Dara dan Bocah 
Bodoh. Lili terperanjat melihat Tua Usil diam mema-
tung di belakang Nini Bungkuk Renta. Mata nenek 
peot itu mulai terbuka dan berkata,
"Kau datang tepat pada waktunya, Lili! Saatnya 
telah tiba untuk membalaskan sakit hati muridku yang 
kau lenyapkan semua ilmunya!"
"Yo, bersiaplah hadapi dia!" bisik Lili. "Dialah 
yang berjuluk Tapak Biru yang kuceritakan tadi!"
"Baik, akan kuhadapi sendiri dia!"
Seet...! Blaaar...! Petir menggelegar ketika Yoga 
cabut pedang pusakanya dari punggung. Pedang Lidah 
Guntur membuat semua orang terperangah karena 
memancarkan cahaya kemerah-merahan dengan kila-
tan lidah petir kecil yang bergerak memutar mata pe-
dang tersebut. Sedangkan Nini Bungkuk Renta segera

terperanjat dan berseru,
"Pedang Lidah Guntur! Oh, rupanya kau murid 
si Dewa Geledek?!"
Yoga berkata dengan tenang, "Lepaskan Tua 
Usil dan jangan ganggu lagi dia! Lupakan tentang pu-
saka itu."
Wajah Nini Bungkuk Renta mulai kelihatan 
memerah. Kemarahannya mulai timbul. Ia menggeram 
dengan suara lirih tapi memanjang. Tongkatnya yang 
sudah diambil sejak tadi itu kini dalam keadaan di-
genggam dengan satu tangan. Tongkat itu menyala si-
nar biru bening yang membuat sekujur tubuh Nini 
Bungkuk Renta menjadi bersinar biru pula.
"Kau tak akan bisa halangi kemauanku, Anak 
Muda! Pusaka itu harus ada di tanganku, karenanya 
jangan coba-coba dekati Tua Usil ini! Pergilah semua! 
Atau kulepaskan murka ku sekarang juga!"
"Kami akan pergi jika bersama Tua Usil!"
"Keparat! Heaaaahhhh...!" Nini Bungkuk Renta 
yang tadi tubuhnya lemah dan jalannya terhuyung-
huyung itu, kini berubah menjadi gesit dan lincah da-
lam keadaan tubuh menjadi biru. Ia mampu melompat 
dengan gerakan cepat dan menebaskan tongkatnya 
dengan cepat. Wuuus! Cahaya biru menyebar, tapi se-
gera dilawan oleh tebasan pedang Yoga yang memer-
cikkan sinar merah berkelok-kelok. Zlaaap...! Blaaar!
Yoga terpental hampir saja jatuh karena leda-
kan tersebut, sedangkan Nini Bungkuk Renta tetap 
berdiri setelah pijakkan kakinya ke tanah. Ia memain-
kan jurus tongkatnya dengan lincah dan membuat be-
berapa dahan retak serta patah akibat gelombang an-
gin yang di timbulkan dari kibasan tongkat berkali-kali 
itu. Beberapa anak buah Dewi Gita Dara pun terpental 
mundur, bahkan ada yang terpelanting jatuh karena 
angin gelombang bertenaga dalam tinggi.

Claaap...! Tiba-tiba Lili sentakkan kedua tan-
gannya ke depan dan dari telapak tangan itu keluar 
dua tarik sinar ungu. Sinar tersebut melesat dan ber-
temu di pertengahan jarak, berubah menjadi sinar pu-
tih keperakan yang segera menghantam pinggang Nini 
Bungkuk Renta.
Melihat sinar berbahaya Itu, Nini Bungkuk 
Renta segera lepaskan pukulan dahsyatnya melalui 
ujung tongkat yang menyala biru itu. Ujung tongkat itu 
keluarkan sinar merah terang melebar membentuk 
lingkaran bagai piring besar yang menghadang sinar 
putih perak tersebut. Tetapi Yoga segera lakukan lom-
patan cepat dengan pedang mengarah ke dada Nini 
Bungkuk Renta. Nenek itu bingung menghadapi seran-
gan ganda dari Lili dan Yoga. Akibatnya, ia lebih kha-
watir dengan serangan Pendekar Rajawali Merah yang 
hendak menembus dadanya itu. Maka, pukulan sinar 
merah sebagai penangkis sinar putih perak itu dibatal-
kan, tangannya cenderung menghadang ujung pedang 
yang membara merah tersebut. Namun rupanya Yoga 
segera tarik pedang tersebut dan ia tolakkan kakinya 
ke pohon sehingga bergerak balik dalam lingkaran ber-
salto.
Wuuut...! Nini Bungkuk Renta merasa tertipu 
oleh serangan Pendekar Rajawali Merah yang hanya 
mengacaukan pusat pikirannya saja. Tetapi ia telah 
terlambat tak bisa lagi tahan sinar putih perak itu. Si-
nar tersebut akhirnya menghantam pinggang kanan 
Nini Bungkuk Renta.
Zlaaap...!
Dalam sekejap sinar putih perak menguasai se-
kujur tubuh Nini Bungkuk Renta. Lalu sinar itu pa-
dam, dan tubuh Nini Bungkuk Renta pun jatuh terku-
lai di tanah. Ia berusaha untuk bangkit walaupun si-
nar putih perak yang membungkus tubuhnya telah

padam seketika. Namun ia tidak berhasil lakukan hal 
itu. Bahkan ketika ia berusaha sentakkan tangannya, 
ternyata tangannya sangat lemas dan tidak berkekua-
tan seperti semula. Beberapa hal ia coba lakukan, na-
mun tetap gagal, Akhirnya ia meraung dalam tangisnya 
sambil berseru,
"Ilmuku hilaaang...! llmuku hilaaang...!"
Semua orang yang ada di situ memandang den-
gan tertegun dan iba. Nenek sakti itu akhirnya menga-
lami nasib seperti muridnya juga, yaitu kehilangan il-
mu karena pukulan 'Sirna Jati' yang dilepaskan oleh 
Lili tadi.
Nenek sakti itu akhirnya tak ubahnya seperti 
manusia jompo yang tak mampu gerakkan kakinya un-
tuk bangkit sedikit pun. Ia menangis meraung-raung 
dan tak mau hiraukan bujukan siapa pun. Ia benar-
benar berubah seperti anak kecil yang baru berusia 
antara dua atau tiga tahun. Bicaranya pun menjadi 
cadel, dan hal itu semakin mengharukan hati mereka.
"Kurasa itu lebih baik daripada harus membu-
nuhnya!" kata Dewi Gita Dara yang agaknya setuju
dengan langkah yang diambil Lili. Tambahnya lagi, "Il-
mumu cukup tinggi, aku kagum padamu, Pendekar 
Rajawali Putih!"
"Kurasa biasa-biasa saja. Kalau jurus pancin-
gan Yoga tadi tidak dilakukan, belum tentu aku berha-
sil melepaskan jurus 'Sirna Jati' dan kena pada sasa-
ran. Kulihat dia punya jurus penangkis yang hampir 
saja menggagalkan jurus 'Sirna Jati'-ku."
Yoga selesai melepaskan totokan Tua Usil. Ke-
mudian Tua Usil membujuk agar Nini Bungkuk Renta 
diam dari tangisnya. Ternyata memang hanya Tua 
Usil-lah yang mampu redakan tangis nenek tua itu, 
dan hal itu membuat beberapa orang menertawakan-
nya. Tua Usil bagai bermain dengan bocah cilik yang

amat menurut kepadanya.
"Kalau sudah begini mau diapakan orang ini?" 
tanya Tua Usil kepada Bocah Bodoh. Dan Bocah Bo-
doh menyahut,
"Ajak pulang saja ke rumahnya! Atau serahkan 
kepada muridnya, jadikan satu dengan Iblis Mata Ge-
nit di Bukit Kematian!"
"Benar," kata Yoga. "Aku akan antarkan kamu 
ke sana Tua Usil."
Dewi Gita Dara segera menyahut, "Bagaimana 
dengan Pusaka Hantu Jagal itu? Bolehkah aku memin-
jamnya untuk keperluan yang amat penting itu, Tua 
Usil?"
Tua Usil diam, memandangi Dewi Gita Dara 
dengan tak mengerti harus bersikap bagaimana dalam hal ini? Serahkan, atau tidak?!


                            Selesai


Segera menyusul:


REMBULAN BERDARAH


Share:

0 comments:

Posting Komentar