..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 11 Maret 2025

JODOH RAJAWALI EPISODE WASIAT DEWA GELEDEK

matjenuh khairil

 

WASIAT DEWA GELEDEK
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode:
Wasiat Dewa Geledek 128 hal.
JODOH RAJAWALI
Wasiat Dewa Geledek

SATU

TANAH tak bertuan terletak di Teluk 
Benggala. Tempatnya sunyi, berkesan 
angker. Udaranya lembab dan berbau tanah 
basah. Air laut dari Teluk Benggala 
kadang sampai memenuhi wilayah tanah tak 
bertuan jika air laut pasang. Tak heran 
jika tanah di situ jarang bisa kering. 
Pohon-pohon yang menjulang tinggi, sering 
rubuh seketika karena disambar petir.
Hembusan angin laut yang sering 
membadai membuat tanah tak bertuan itu 
menjadi semakin kuat oleh cerita lama, 
tentang keangkeran dan keganasan hutan 
nya dari roh-roh jahat. Barangkali karena 
cerita lama yang dituturkan dari mulut ke 
mulut itulah yang membuat manusia enggan 
melintasi tanah tak bertuan itu. Hanya 
orang yang tersesat dan terdesak saja 
yang mau berada di hutan tanah tak 
bertuan.
Seperti halnya seorang gadis bergaun 
kuning, terpaksa mengarahkan larinya ke 
tanah angker tersebut karena suatu hal. 
Jika bukan karena menghindari bahaya, 
tentunya gadis berambut panjang yang 
diikat kain merah itu tak mau singgah dan 
bersembunyi di tanah tersebut
Gadis itu berwajah cantik, namun 
tampak dihinggapi ketegangan. Matanya 
yang bulat bening dan berbulu lentik itu

kelihatan menyimpan kecemasan, yang 
membuat gerakannya serba cepat. la 
melompat dari batu ke batu, sampai tiba
di gundukan tanah yang menyerupai kuburan
panjang Itu.
Kuburan membukit bertanah kering, 
tapi berumput duri. Beberapa bebatuan
tersembul di sana, bahkan ada yang
tingginya seukuran manusia dewasa. Gadis 
itu menyelinap di balik bebatuan besar 
dengan mata melirik ke kanan - kiri penuh 
ketegangan. Namun tiba-tiba gadis berbaju
kuning dengan ikat pinggang selendang 
warna biru muda dan menyelipkan pedang 
pendek di selendang itu, menjadi tertegun 
dalam satu sentakan mengejutkan.
"Ha ha ha...! Mau bersembunyi di mana 
kau, Mahligai?”
Orang bertampang ganas tiba-tiba 
mencegatnya dan tahu-tahu sudah berada di 
depan gadis berbaju kuning yang ternyata
bernama Mahligai. Orang bertampang ganas 
itu mempunyai mata lebar dan tubuh lebih 
besar dari Mahligai. Kumisnya tebal dan 
rambutnya panjang diikat dengan logam 
tembaga. Di tengah logam tembaga itu ada 
hiasan mulut singa yang menganga lebar, 
menambah kesan ganas pada wajah lelaki 
itu. la mengenakan pakaian serba biru tua 
dan sabuk warna hitam lebar. Di sabuknya 
terselip pedang lebar berujung lengkung 
dan runcing. Pedang itu menimbulkan kesan

bahwa si pemiliknya gemar memancung leher 
lawannya tanpa ampun lagi.
"Kau tak akan bisa lari untuk meng-
hindari perjanjianku dengan gurumu, 
Mahligai!" kata orang berwajah angker itu 
dengan suara besar.
"Aku tak punya urusan dengan perjan-
jianmu itu, Mata Neraka!" Mahligai 
mencoba menangkis anggapan si Mata 
Neraka.
"Siapa bilang tak ada urusan? Justru 
kalau bukan gurumu Sendang Suci 
menjanjikan perkawinanku dengan dirimu, 
aku tak akan mau mengobati sakit gurumu 
itu! Dan sekarang aku sudah bisa 
menyembuhkan gurumu, maka janjinya pun 
harus dipenuhi! Dia harus mengawinkan aku 
denganmu, sebagai murid tunggalnya!"
"Mata Neraka!" kata Mahligai 
memaksakan diri untuk tetap kelihatan 
berani, "Guru tidak pernah mempertaruhkan 
aku sebagai jaminan kesembuhannya! Jangan 
kau memaksa diriku untuk menerima 
lamaranmu, Mata Neraka!"
"Pada waktu aku buat perjanjian itu 
dengan Sendang Suci, kau ada tak jauh 
dari kami, dan kau mendengar apa yang 
dikatakan oleh gurumu! Kau tidak 
membantah dan mengajukan keberatan! 
Sekarang kau mau berlagak tidak tahu 
menahu dengan perjanjian itu! Jelas itu 
tidak bisa kuterima, Mahligai! Apa pun

yang terjadi, kau harus menjadi istriku 
karena itulah upahku mengobati sakit 
gurumu!"
Mahligai masih berdiri dengan sikap 
dibuat setenang mungkin. Dalam hatinya ia 
membatin,
"Sebenarnya ini hanya siasat yang 
kuciptakan bersama Guru. Tapi ternyata 
Guru tidak mau mencegah tindakan Mata 
Neraka. Apa maksud Guru membiarkan Mata 
Neraka mengejarku?! Apakah dia benar-
benar mau menjodohkan aku dengan Mata 
Neraka? Apakah Guru tega melihat aku 
mempunyai suami manusia sesat ini?! Oh, 
tidak! Aku tidak mau jika harus menyerah 
menjadi suami Mata Neraka! Aku harus 
melawannya dan lebih baik mati daripada 
menjadi suami tokoh sesat ini!"
Setelah kesunyian terjadi beberapa 
kejap melingkupi mereka berdua, maka 
terdengarlah suara Mata Neraka yang 
menggetarkan jantung Mahligai itu,
"Bagaimana? Sudah kau ingat-ingat 
perjanjian itu. Mahligai?"
"Aku tidak Ingat!" jawab Mahligai
dengan ketus. "Aku menolak menjadi 
istrimu!"
Si Mata Neraka mulai pancarkan 
pandangan marahnya, Suaranya sedikit 
menggeram ketika ia berkata,
"Mahligai, Jangan kau buat hatiku 
kecewa dengan penolakanmu! Aku bisa

celakai gurumu lagi dengan racun yang tak 
bisa disembuhkan oleh siapa pun kecuali 
olehku. Dan usia gurumu akan pendek! Atau 
aku bahkan tak segan-segan menghabisi 
nyawamu jika kau masih menolakku dan 
mengecewakan hatiku, Mahligai!"
Mahligai bahkan mencibir sinis dan 
berkata, "Hrnrn...! Rupanya kau telah 
membongkar rahasiamu sendiri, Mata 
Neraka! Berarti kaulah orang yang telah 
melukai Guru dengan jarum racunmu itu, 
ketika Guru sedang dalam perjalanan 
pulang dari Bukit Mawar! Guru menderita 
luka racun yang tak bisa disembuhkan oleh 
siapa pun. Lalu, kau tampil berlagak 
sebagai tabib, karena kau punya rencana 
ingin memperistriku! Rupanya kau buat 
Guru berhutang budi padamu, sehingga Guru 
mau membantumu membujukku supaya menerima 
lamaranmu! Sekarang buatku jelas sudah 
tipu muslihatmu itu, Mata Neraka!" ,
"Ha ha ha...! Kalau sudah jelas, 
lantas bagaimana?!"
“Aku tetap menolak lamaranmu!"
"Itu berarti kau memaksaku mem-
bunuhmu, Mahligai!"
"Apa boleh buat jika memang itu, yang 
harus kutempuh demi membayar hutang Guru 
kepadamu!" 
"Benar-benar kau adalah perempuan 
bodoh, Mahligai! Tidak sembarang perem-
puan ingin kukawini sebagai istriku yang

sah! Hanya kamu yang terpilih di hatiku! 
Biasanya aku hanya merenggut kesuciannya, 
atau menikmati mahkotanya barang sejenak, 
selesai itu kubuang atau kubunuh! Tapi
terhadapmu, Aku bermurah hati dan tak 
ingin membuangmu, Mahligai!. Kau akan 
kurawat dan kusayangi sepanjang hidupmu, 
kau akan kumanjakan kapan saja!"
"Persetan dengan semua itu! Aku tak 
sudi menjadi istrimu!"
Panas hati si Mata Neraka mendengar 
penolakannya yang terang-terangan itu. Ia 
diam "memandangi Mahligai dengan wajah 
menjadi kaku, dingin namun angker. 
Mahligai tahu gelagat, pasti sebentar 
lagi orang keji itu akan menyerang, 
karena itu Mahligai segera mencabut 
pedangnya. 
Sraangng...! 
"Lakukan apa yang ingin kau lakukan
padaku, Mata, Neraka. Aku sudah siap 
menghadapi mu!" ucap Mahligai dengan 
ketus sekali.
Mata Neraka masih diam memandangi tak 
berkedip dengan wajah semakin tampak 
lebih angker lagi. Kejap berikutnya, bola 
mata orang berkumis lebat itu tiba-tiba 
menjadi hijau menyala. 
Mahligai mundur setindak dan agak 
kaget. Dengan, cepat ia melesat ke 
samping, tubuhnya bagai melayang ke atas 
batu yang setinggi pundaknya. Tepat pada

"Aku tahu kekuatanmu sudah berkurang 
jika tanpa pedang pendekmu itu, Mahligai! 
Karena itu, jangan kamu memaksaku lagi 
untuk membunuhmu! Menyerahlah dan Jadilah 
istriku sesuai perjanjianku dengan gurumu 
itu!"
"Kawini saja mayatku! Haiaaah...!" 
Wuuk... wwukkk...! Mahligai bersalto 
mundur dua kail, lalu dari tangan 
kanannya ia lepaskan pukulan jarak jauh 
yang memancarkan sinar lebar berwarna 
kuning. Zlaaap...!
Si Mata Neraka kibaskan pedang 
lebarnya dari kanan ke kiri. Wuuut...! 
Lalu pedang itu berhenti di atas kepala 
sebelah kiri, dan memancarkan sinar hijau 
bergelombang-gelombang. Sinar itu 
bagaikan suatu kekuatan yang mampu 
menghisap sinar kuning dari Mahligai. 
Zrruubb! Dalam sekejap sinar kuning pun 
lenyap tanpa menimbulkan bunyi ledakan 
apa pun.
"Gila! Pedang itu mampu menyerap 
jurus "Badai Darah' ku!" ucap Mahligai 
dalam hatinya. "Gawat! Terpaksa aku 
menggunakan selendang ini! Kurasa dia tak 
akan sanggup menahan jurus selendangku 
yang bernama 'Ekor Naga Murka' Ini!"
Agaknya Mahligai benar-benar tak mau 
menyerah dan pasrah menjadi Istri manusia 
sesat itu. Ia menggunakan selendang 
birunya dan selendang itu dikibaskan

dalam satu hentakkan ke arah si Mata 
Neraka. Wuuusss...!
Selendang itu berkelebat cepat 
menghantam kepala si Mata Neraka. Tetapi
pedang lebar Mata Neraka menangkisnya dan 
selendang biru itu tertahan ujungnya di 
sana. Weertt...!
"Uhg...!" Mahligai bertahan ketika 
pedang Mata Neraka bergerak ingin menarik 
selendang tersebut dalam sentakan. 
Mahligai tidak mau terbawa oleh tarikan 
selendang suteranya itu, sehingga ia 
kerahkan tenaganya untuk menahan kekuatan 
lawan yang berusaha menarik selendang. 
Sementara, Mata Neraka sendiri tampak 
kerahkan tenaga pula berusaha untuk 
menarik selendang dan pemiliknya agar 
terpental maju ke arahnya.
Tetapi, begitu melihat di belakangnya 
ada pohon, Mahligai segera memutari pohon 
itu dua kali. Selendangnya tersangkut di
pohon itu dalam keadaan terentang. Lalu, 
tubuhnya yang ramping itu melesat naik di 
atas rentangan selendang dan berlari 
dengan cepat ke arah lawannya. Mata 
Neraka tidak menyangka Mahligai mampu 
berlari di atas rentangan selendangnya, 
bahkan tahu-tahu telapak kaki gadis itu
menjejak wajah Mata Neraka dengan kuat. 
Plookkk...! Deesss!.
Dua kali tendangan sama-sama telah 
mengenai Wajah Mata Neraka. Wajah itu

tersentak ke belakang pada saat Mahligai 
bersalto di udara satu kali dan hinggap
di rentangan selendangnya lagi. Namun 
setelah itu ia melompat turun dengan 
segera, karena selendangnya terlepas dari 
lilitan ke pedang besarnya Mata Neraka. 
Sedangkan tubuh Mata Neraka terguling-
guling ke belakang, tiga tombak jauhnya. 
dan terakhir punggungnya membentur akar 
pohon besar. 
Duuggg...! 
Dilihatnya Mahligai telah sigap 
berdiri dengan selendang birunya di 
tangan kanan dalam keadaan memendek 
seperti ukuran semula. Mata Neraka 
menjadi semakin marah. Maka dengan cepat 
ia bangkit dan matanya berubah menjadi 
merah. Kemudian dari dua bola mata yang 
hijau menyala itu melesatlah sinar hijau 
dua larik yang menjadi satu di 
pertengahan, lalu sinar hijau yang 
panjang dan lurus itu menghantam tubuh 
Mahligai bagai tak kenal ampun lagi.
Wutt…
Blaaarr
Seberkas cahaya merah bagai lempengan 
logam yang menyala melesat dari arah lain 
dan menghadang sinar hijau tersebut. 
Benturan cahaya merah dan hijau itu 
timbulkan ledakan dahsyat dan membuat 
tubuh Mahligai terpental jauh ke arah 
belakang sampai disamping pedangnya yang

tergeletak di rerumputan.
Mata Neraka terperanjat dan segera
memandang ke arah kiri, sebab ia tahu 
sinar merah itu bukan berasal dari tangan 
Mahligai, tapi dari tangan orang lain 
Maka, segeralah dilihatnya seorang pemuda
tampan berambut panjang lurus dan lemas, 
berdiri dengan tegapnya di bawah sebuah
pohon berakar gantung. Pemuda itu 
berbadan tegap, kekar, mengenakan 
selempang dari kulit beruang coklat yang 
membungkus baju putih lengan panjang di 
dalamnya. Celananya merah diikat kain 
hitam pada pinggangnya.
“Jahanam Kau. Mau ikut campur urusan 
orang, hah? Mau jadi dewa penolong untuk 
gadis dungu itu, hah?!" gertak si Mata 
Neraka.
Tetapi, pemuda itu bahkan berkata 
kepada Mahligai, "Larilah! Kutangani 
orang ini dan selamatkan dirimu jika kau 
tidak mau menjadi istrinya!"
Mahligai berkata dalam hatinya, 
"Siapa pemuda ini? Aku tidak mengenalnya, 
tapi agaknya dia tadi mendengar 
perdebatanku dengan si Mata Neraka, 
sehingga dia tahu persoalanku sebenarnya 
Rasa-rasanya baru sekarang aku jumpa dia. 
Hmmm… tampan juga wajahnya. Ia mempunyai 
sorot mata yang menggetarkan hatiku! 
Siapa dia sebenarnya dan mengapa ia 
membelaku?"

Rasa-rasanya Mahligai ingin diam dan 
melihat pertarungan pemuda tampan itu 
dengan si Mata Neraka. Tetapi Mahligai 
merasa punya peluang baik untuk melarikan 
diri, seperti yang disarankan pemuda 
berlengan kekar itu. Mahligai tak tahu,
apakah pemuda itu mampu menaklukkan si 
Mata Neraka yang terkenal tinggi ilmunya 
itu atau tidak, tapi langkah yang terbaik
memang lari dan segera menyelamatkan diri
sementara si Mata Neraka biar dihambat 
pengejarannya oleh pemuda tampan itu. 
Maka, dengan cepat Mahligai pun angkat 
kaki dari tempat tersebut setelah ia 
menyambar pedangnya yang masih tergeletak 
di rerumputan itu. 
Wess,..!
"Mahligai! Tunggu...!" seru si Mata 
Neraka.
Pemuda itu segera menyentakkan 
telapak tangan kirinya ke depan dan 
melesatlah pukulan tenaga dalam yang tak 
terlihat bentuknya itu. Pukulan tersebut 
tepat mengenai pinggang belakang Mata 
Neraka saat orang berwajah angker itu 
ingin mengejar Mahligai.
Duuub...!
"Uhhg...!" Mata Neraka tersentak ke 
depan seperti dihantam dengan sebatang 
pohon gelondongan tepat di pinggangnya. 
la melengkung ke depan dan akhirnya jatuh 
tersungkur.

Dengan cepat Mata Neraka bangkit 
kembali dan tak hiraukan rasa ngilu di
tulang belakangnya. la segera menatap 
pemuda tampan yang gagah perkasa itu 
dengan mata liarnya. Ia pun menggeram 
sambil mengusap kumisnya yang tebal 
memakai tangan kiri, lalu berkata,
"Biadab kau! Rupanya kau sengaja 
bikin perkara denganku, hah?!"
"Aku hanya tak suka melihat caramu 
memaksa gadis Itu untuk kau jadikan 
istrimu! Kudengar kau yang bernama Mata 
Neraka?!"
"Betul! Pasti kau tadi telah menyadap
perdebatanku dengan Mahligai!" ucap Mata 
Neraka sambil napasnya sedikit terengah-
engah karena menahan luapan amarah kepada 
pemuda Itu. la berkata lagi,
"Dan kau... kalau tak kusalah 
pandang, kau pasti muridnya Empu 
Dirgantara yang punya gelar Dewa Geledek 
itu! Kau yang bernama Yoga!"
"Dari mana kau tahu tentang diriku?!"
"Sudah kuincar dirimu bersama gurumu 
itu! Tapi aku belum sempat lakukan 
penyerangan kepada kalian! Agaknya, aku 
harus membunuh muridnya dulu. setelah itu 
gurunya yang kubunuh!"
"Ada dendam apa kau kepadaku sehingga 
ingin membunuhku?"
"Dendamnya sudah jelas, kau membuat 
Mahligai lari, kau mencampuri urusanku

dengan Mahligai, kau berlagak menjadi 
dewa penolongnya, dan itu berarti kau 
sudah bosan hidup! Soal dendamku kepada 
gurumu memang tidak ada, tapi karena dia 
adalah musuh bebuyutan kakakku, maka ada 
baiknya jika aku membunuh si Dewa Geledek 
itu!"
Yoga memandang lawannya dengan 
menyipitkan mata, dan dalam hatinya la 
berkata, "Rupanya dia punya niat yang 
sungguh-sungguh untuk membunuh Guru! 
Kulihat tangannya menggenggam kuat sekali 
saat ia lontarkan niatnya untuk membunuh 
Guru! Jadi, aku pun tak boleh tanggung-
tanggung melawannya. Bukan lantaran ingin 
menyelamatkan gadis itu saja, melainkan 
juga harus menyelamatkan Guru sebelum 
bahaya datang dari si Mata Neraka Ini!"
Sementara itu, si Mata Neraka pun 
berkata dalam hati ketika ia menatap Yoga 
tanpa berkedip sedikit pun. Ini lah 
saatnya memancing si Dewa Geledek keluar 
dari persembunyiannya selama ini Pemuda 
didepanku itu sesuai dengan ciri-ciri
yang disebutkan beberapa orang sebagai 
murid si Dewa Geledek. Jadi kurasa dengan 
membunuh muridnya, maka Dewa Geledek akan 
muncul dan ikut campur lagi di rimba
persilatan! Dia tak akan menjadi petapa 
lagi dan membatalkan niatnya untuk 
mengasingkan diri dari dunia persilatan!"
Beberapa saat ketika mereka berdua

saling pandang dan saling membatin, tiba-
tiba sekilas sinar hijau kecil melesat 
dari mata orang berwajah angker itu. 
Claappp!! Dua sinar kecil hijau itu
melesat bersamaan dan menghantam mata 
Yoga dengan cepatnya.
“Ouhh…?” Yoga terkejut. Pandangan 
matanya menjadi gelap. Bola matanya pedih 
dan sakit sekali. la meraba-raba sambil 
bergerak. Lalu ia rasakan hembusan angin 
dingin mendekati lehernya. Buru-buru ia 
merunduk, setelah itu berguling ke tanah 
dengan cepat, dan bangkit dengan kaki 
berlutut sebelah.
Wuukkkk...!
Pedang besar itu lolos dari leher
Yoga, karena Yoga menghindar saat hawa 
dingin dari logam baja putih pedang lawan 
ingin menebas lehernya. Sementara itu, 
Yoga segera menjadi berdebar-debar 
setelah ia sadar dan berkata dalam 
hatinya,
"Oh, gelap sekali! Aku tak melihat
apa-apa!" 
"Ha ha ha ha! Nyawamu tinggal 
beberapa helaan napas lagi, Yoga! Kau tak 
akan bisa melawanku dalam keadaan buta 
begitu! Ha ha ha ha...!" seru si, Mata 
Neraka dengan bergerak mengelilingi Yoga, 
sementara itu, Yoga meraba-raba di udara 
mencari keseimbangan indera.
Tiba-tiba ia rasakan kembali hembusan

angin dingin yang mendekat di 
punggungnya. Pedang lawan ingin membelah 
punggung. Tapi tiba-tiba ia mendengar 
suara, triingng...! Lalu suara lawan 
terpekik tertahan, "Uuhg...!"
Dan setelah itu, wuutttt...! Tubuh 
Yoga bagai ada yang menyambarnya, 
membawanya pergi dengan gerakan secepat 
hembusan badal mengamuk.
*
* *
DUA


PADA sisi hutan yang lain, sebuah 
pondok dibangun dalam kerimbunan tanaman 
jalar. Udara di sekitar pondok Itu cukup 
dingin, karena terletak di ketinggian 
lereng yang mendekati puncak sebuah 
gunung yang bernama Gunung Tiang Awan. 
Walau matahari mencapai pertengahan edar, 
tapi permukaan lereng gunung tersebut 
masih diselimuti kabut tipis.
Di Gunung Tiang Awan itulah, Dewa 
Geledek yang bernama asli Empu Dirgantara 
itu membawa muridnya yang bandel. Kakek 
tua berbadan kurus dengan rambut serba 
putih sampai pada kumis dan jenggotnya 
itu, sedang menyembuhkan luka di mata 
Yoga akibat serangan si Mata Neraka. Luka 
yang bisa membutakan mata Yoga termasuk


belum terlambat, sehingga dengan me-
nyalurkan hawa murninya di dalam ubun-
ubun Yoga, Empu Dirgantara berhasil 
membuat muridnya terhindar dari kebutaan. 
Sekalipun untuk itu sang Guru terpaksa 
kerahkan tenaganya yang sedang dalam 
keadaan sakit-sakitan itu.
"Lain kali jangan lakukan tindakan 
sebodoh ini, Yo!" kata sang Guru sambil 
memberikan ramuan obat penyegar darah 
yang harus diminum oleh Yoga. Lanjutnya 
lagi.
"Kalau kau selalu lakukan tindakan 
sebodoh ini, umurmu tidak sampai satu 
hari, Yo! Kau cepat mati dan merepotkan 
orang lain yang harus menguburkan 
mayatmu!"
Setelah meneguk ramuan penyegar 
darah, Yoga pun berkata kepada sang Guru,
"Aku hanya menyelamatkan gadis yang 
hampir dibunuh oleh si Mata Neraka itu, 
Guru! Gadis itu cantik dan tak seimbang 
ilmunya dengan...."
'Yang kau selamatkan kecantikannya 
atau nyawanya?" potong Empu Dirgantara 
alias si Dewa Geledek itu.
Yoga tersipu malu mendengar per-
tanyaan itu. ia tak bisa menjawab, karena 
dalam hatinya sejak tadi memang mengakui 
kecantikan Mahligai yang tak membosankan 
dipandang mata. Yoga memang merasa sayang 
jika kecantikan itu rusak ataupun hilang

tanpa nyawa. Yoga juga merasa tak rela 
jika gadis secantik Mahligai akhirnya 
jatuh bertekuk lutut dan pasrah menjadi 
suami si Mata Neraka yang bengis dan 
kasar itu.
Dewa Geledek bicara lagi kepada 
muridnya setelah ia duduk bersila di 
depan sang murid.
“Tidak semua gadis cantik harus kau 
campuri urusan pribadinya, Yo. Hati-
hatilah dengan kecantikan, yang bisa 
berubah menjadi perangkap maut bagi 
dirimu!"
"Balk, Guru. Akan kuingat nasihat 
Guru ini!"
"Dan lagi, belum waktunya kau melawan 
Malaikat Gelang Emas dalam keadaan ilmumu 
masih serendah ini! Kau tidak imbang 
melawan Malaikat Gelang Emas, Yo!"
"Yang kulawan si Mata Neraka, Guru! 
Bukan Malaikat Gelang Emas!"
"Si Mata Neraka adalah adik dari 
Malaikat Gelang Emas. Dia mempunyai ilmu 
sedikit lebih rendah dari Malaikat Gelang 
Emas."
“Tapi si Mata Neraka juga mengancam 
ingin membunuh Guru, setelah ia 
mengenaliku sebagai murid Guru! Apakah 
aku harus diam saja terhadap orang yang 
akan membunuh Guru?!"
“Tak heran jika si Mata Neraka ingin 
membunuhku, sebab Malaikat Gelang Emas;

kakaknya, adalah musuh bebuyutanku. 
Tentunya si Mata Neraka ingin membantu 
kakaknya dalam melenyapkan aku dari 
permukaan bumi ini!”
Yoga terbungkam sesaat melihat sang 
Guru termenung dengan mata lurus ke depan 
menerawang pada satu rasa permusuhan yang 
terpendam. Yoga ingin menanyakan sebab-
sebab permusuhan antara gurunya dengan 
Malaikat Gelang Emas, namun ia ragu dan 
tak berani, karena sepertinya ada amarah 
yang tersembul dari hati kecil sang Guru, 
yang membuat sang Guru bungkam beberapa 
saat lamanya.
Rupanya bungkamnya mulut Dewa Geledek 
itu bukan semata-mata sikapnya yang 
sedang larut dalam lamunan, melainkan 
karena suatu pertimbangan yang bergumul 
dalam hati sanubarinya.
"Sepertinya sudah saatnya kuturunkan 
semua ilmuku kepadanya. Penyakit tuaku 
Ini seakan sudah tak mampu menahan ilmu 
yang ada padaku. Lebih baik sekarang 
kulakukan hal itu, dari pada aku mati
sebelum menurunkan semua ilmuku kepada 
Yoga."
Pada saat itu, Yoga sengaja 
melemparkan pandangannya ke arah seekor 
burung rajawali berbulu merah yang 
melompat-lompat di samping pondok. Burung
itu sesekali mengibaskan sayapnya yang 
besar dan lebar itu. Sesekali terdengar

suaranya yang serak, seakan ingin ikut 
bicara dengan mereka berdua. Burung 
rajawali besar itu menggerak-gerakkan 
matanya ketika ia berada dalam posisi 
berhadapan jauh dengan Dewa Geledek, 
seperti memberi suatu isyarat tertentu 
yang membuat Dewa Geledek akhirnya 
berkata kepada Yoga Prawira, muridnya.
"Apakah si Mata Neraka yakin betul 
bahwa kau adalah muridku?"
"Ya, Guru! Kurasa ia sudah mendapat 
kabar dari beberapa tokoh sakti yang 
mengetahui aku menjadi murid Guru, dan ia 
mencocokkan ciri-ciri yang ada padaku, 
sehingga ia bisa langsung tahu bahwa aku 
adalah murid Guru. Aku pun mengakui di 
depannya bahwa aku adalah murid Dewa 
Geledek dan akan menjadi orang pertama 
yang menghadang maut yang ingin menyerang 
Guru!"
"Berarti Malaikat Gelang Emas pun 
akan mencarimu untuk dibunuh!" kata Dewa 
Geledek yang berpakaian serba putih itu. 
Kemudian katanya lagi sambil memandangi 
Yoga.
"Hati-hatilah jika bertemu Malaikat 
Gelang Emas. Dia berilmu tinggi. Sampai 
sekarang aku belum menemukan jurus yang 
bisa untuk mengalahkan kesaktiannya. 
Malaikat Gelang Emas adalah tokoh sakti 
yang sesat dan tak segan-segan membunuh 
lawannya, entah dia anak kecil ataupun

perempuan tua. Dia mempunyai ilmu 'Bayang 
Siluman', yang membuatnya tak bisa 
disentuh oleh benda apa pun. Tapi dia 
sendiri bisa menyentuh semua benda, bisa 
menembus dinding, bahkan pintu baja pun 
bisa diterabasnya masuk tanpa harus 
merusak atau membuka pintu tersebut. 
Itulah jurus yang paling ditakuti olah 
tokoh sakti dalam melawan Malaikat Gelang 
Emas!"
Pemuda berambut panjang sebatas lewat 
pundak yang tidak mengenakan ikat kepala 
itu terangguk-angguk kepalanya merenungi 
cerita sang Guru, ia sengaja tidak 
memotong kata untuk sementara ini, karena 
ia lebih tertarik untuk membiarkan sang 
Guru bercerita dengan sendirinya tentang 
Malaikat Gelang Emas yang mempunyai
kesaktian sehebat itu. Maka, setelah diam 
beberapa saat, sang Guru pun melanjutkan 
kata-kata-nya dengan nada arif dan 
bijaksana,
"Kesaktian dari Malaikat Gelang Emas 
itulah yang membuat aku terpisah dari 
istriku yang memiliki tunggangan seekor 
burung rajawali juga tetapi berwarna 
putih. Sebenarnya pada waktu itu, kami 
berdua bisa mengalahkan Malaikat Gelang 
Emas dengan memadukan pusaka kami, yaitu 
Pedang Lidah Guntur dengan Pedang Sukma 
Halilintar. Tetapi Dewi Langit Perak, 
atau Istriku itu, kehilangan pedangnya

yang jatuh ke lautan saat dalam
pengejaran, sebelum ia bergabung 
denganku. Akibatnya, kami menyerang 
Malaikat Gelang Emas tanpa pusaka! Hanya 
ada satu pusaka di tanganku, yaitu Pedang 
Lidah Guntur, tapi itu tidak membuat 
Malaikat Gelang Emas mudah kami 
kalahkan."
Sekarang Yoga punya rasa penasaran 
dan ingin tahu, sehingga ia berani 
menyela kata dengan mengajukan pertanyaan 
pada gurunya,
"Apa persoalannya sehingga Malaikat 
Gelang Emas menyerang Guru dan Nyai 
Guru?"
"Dia ingin memiliki kedua pusaka 
kami, yaitu Pedang Lidah Guntur dan 
Pedang Sukma Halilintar. Kami memper-
tahankan, sampai pada akhirnya kami sama-
sama terdesak dan lari berpencar arah. 
Hingga sekarang, aku tak pernah bertemu 
dengan Dewi Langit Perak, istriku itu. 
Aku tak tahu di mana dia berada, dan dia 
tak tahu di mana aku berada. Sampai suatu 
saat, kutemukan seorang perempuan yang 
mengandung bayinya dalam keadaan hamil 
tua. Perempuan itu bernama Nurmala Wening 
atau berjuluk Angin Teratai. Aku kenal
perempuan itu, dia adalah istri dari 
Paksi Jagat. Sedangkan Paksi Jagat adalah 
murid sahabat baikku, yaitu Ki Gentar 
Swara, yang sekarang sudah tiada. Paksi

Jagat bukan saja murid dari Ki Gentar 
Swara, namun juga anak kandung dari Ki 
Gentar Swara...."
"Apakah murid dan anak kandung Ki 
Gentar Swara yang bergelar Paksi, Jagat 
itu sekarang masih hidup, Guru?" tanya 
Yoga semakin ingin tahu kisah hidup masa 
lalu dari gurunya.
Dewa Geledek menjawab dengan tarikan 
napas memberat, "Paksi Jagat sudah tiada 
juga. Dan orang yang membunuh Paksi Jagat 
tak lain dari Malaikat Gelang Emas, 
karena ia diserang oleh Paksi Jagat yang 
menuntut balas atas kematian ayahnya di 
tangan Malaikat Gelang Emas."
"0, jadi... ayah Paksi Jagat yang 
bernama Ki Gentar Swara itu juga mati di 
tangan Malaikat Gelang Emas?"
"Benar. Dan karena Paksi Jagat telah 
dibunuhnya, sedangkan Paksi Jagat 
mempunyai istri cantik bernama Angin 
Teratai itu, maka Malaikat Gelang Emas 
bermaksud mengambil istri Paksi Jagat 
yang kala itu memang terkenal cantik. 
Tetapi, Angin Teratai tak sudi dijadikan 
pemuas nafsu Malaikat Gelang Emas. 
Sebenarnya, Angin Teratai mempunyai Ilmu 
cukup tinggi juga, tapi karena ia sedang 
hamil tua, ia tak bisa banyak berbuat 
apa-apa kecuali hanya melarikan diri dan 
melahirkan di sebuah hutan. Pada saat 
itulah aku datang dan mengenalinya, lalu

segera menolong Angin Teratai melahirkan
bayinya. Sang jabang bayi bisa tertolong, 
tapi Angin Teratai tak bisa kutolong 
jiwanya. ia meninggal setelah bayinya 
lahir, dan diusap-usapnya beberapa saat.
Angin Teratai juga sempat menceritakan 
padaku apa yang terjadi pada keluarganya. 
la menitipkan anak tunggalnya itu padaku 
dan memintaku memberi nama bayi tersebut 
dengan nama: Yoga Prawira!"
Seperti petir menyambar tepat di 
gendang telinganya, Yoga terbelalak 
matanya, kaget mendengar akhir dari kisah 
tersebut. Jantung pemuda itu berdebar-
debar sangat keras, membuat di dalam 
dadanya terasa gemuruh membendung 
berbagai rasa yang menggumpal menjadi 
satu antara dendam, sedih, dan keharuan.
Ia memandangi Dewa Geledek, gurunya 
tanpa kedip. Sang Guru sendiri memandang 
sedikit sayu karena ditikam perasaan iba. 
Sejak dulu, kisah inilah yang tak bisa 
dituturkan lewat mulutnya, dan baru 
sekarang ia berhasil menceritakannya 
kepada sang murid, yang tak lain adalah 
anak dari Paksi Jagat dan Angin Teratai.
Berhari-hari Yoga merenungi kisah 
itu. Berhari-hari pula ia mengingat-ingat 
nama kedua orangtuanya, termasuk nama 
kakeknya; Ki Gentar Swara. Semakin ia 
tajam mengingat nama orangtuanya, terasa 
semakin tajam pula rasa dendam mencuat di

dalam hatinya. Dendam itu tak lain 
ditujukan kepada Malaikat Gelang Emas 
yang membunuh kakeknya, lalu membunuh 
ayahnya, mengejar-ngejar ibunya, dan 
terakhir memisahkan gurunya dengan istri 
sang Guru.
Agaknya Malaikat Gelang Emas 
merupakan tokoh sakti yang harus 
dimusnahkan dari permukaan bumi ini. 
Rasa-rasanya tak ada ampun lagi untuk 
tokoh sesat itu, sehingga pada suatu 
pagi, sang Guru melihat muridnya berkemas 
untuk pergi meninggalkan pondok. Maka 
bertanyalah sang Guru kepada muridnya,
"Hendak ke mana kau, Yo?"
"Guru, aku harus mencari Malaikat 
Gelang Emas untuk menuntut balas atas 
kematian kakekku, kematian ayahku, juga 
atas kematian ibuku yang melahirkan di 
hutan karena ulah si sesat itu! Aku juga 
harus menuntut balas atas pecahnya Guru 
dengan Nyai Guru yang sampai sekarang 
membuat Guru merana hidupnya di lereng 
puncak gunung ini! Aku tak bisa menahan 
kesabaran lagi. Guru!"
"Murid bodoh!" geram Dewa Geledek. 
"Sudah kubilang, kau tak akan berhasil 
melawan kesaktian Malaikat Gelang Emas! 
ilmu tandingannya belum ada yang punya! 
Kau hanya sia-sia mengorbankan nyawa 
tanpa memperoleh kemenangan sedikit pun!"
"Aku tak peduli, Guru! Hatiku sudah
telanjur sakit dan terluka parah setelah 
mendengar cerita dari Guru beberapa hari 
yang lalu!"
Dewa Geledek hanya menarik napas 
panjang-panjang. Sesuatu yang ditakutkan 
dari dulu kini telah terjadi dan nyata 
dihadapi tuntutan balas dendam muridnya 
pasti akan terjadi. Itulah sebabnya dari 
dulu Dewa Geledek menjaga mulutnya rapat-
rapat untuk tidak menceritakan siapa 
orangtua Yoga sebenarnya. Tetapi, agaknya
hal itu tak bisa dipendamnya lebih lama 
lagi. dan tuntutan dendam telah tumbuh di
hati Yoga, sulit untuk dipadamkan jika 
sudah begini.
"Tak bisa kutunda lagi niatku untuk 
turunkan semua ilmu padanya. Napasku 
terasa kian hari kian memberat." kata 
Dewa Geledek dalam hatinya. Kemudian ia 
memandang muridnya dengan lembut.
"Baiklah, Yoga...," kata Dewa Geledek 
bernada menyerah. "Kalau kau memang ingin 
membalas dendam kepada Malaikat Gelang 
Emas, itu adalah nalurimu yang tak bisa 
kucegah lagi. Tetapi aku tak bisa 
melepaskan kau pergi begitu saja, Yo." 
"Apa maksud Guru?"
"Semua ilmuku, semua kekuatanku, akan 
kutitipkan padamu, Dan..."
Dewa Geledek bergegas ke satu sudut 
ruangan di dalam pondoknya. Kemudian ia 
kembali menemui muridnya dalam keadaan

sudah membawa sebuah pedang bergagang 
merah, di ujung gagangnya ada hiasan 
kepala burung rajawali sepasang bertolak 
belakang juga berwarna merah, satu 
menghadap ke kiri, satu menghadap ke 
kanan.
"Kuserahkan pusaka Pedang Lidah 
Guntur ini padamu sebagai bekal
perjalananmu turun gunung!" kata Dewa 
Geledek yang membuat hati ,Yoga berdebar-
debar.
Tentu saja hati Yoga berdebar-debar, 
karena ia tak menyangka akan mendapat 
pusaka Pedang Lidah Guntur yang sudah 
sering didengar kehebatannya dari mulut 
sang Guru. Pedang itu punya keistimewaan, 
mampu merobek lawan dari jarak satu 
tombak dan mengeluarkan cahaya merah yang 
sangat membahayakan. Pedang itu mampu 
menebas lawan tanpa mengeluarkan darah-
nya, dan membuat lawan mati tanpa merasa 
sakit.
"Duduklah," kata Dewa Geledek yang 
membuat Yoga segera duduk bersila di 
depan gurunya yang masih berdiri.
Dewa Geledek mencabut pedang itu dari 
sarungnya. Ssstt...! Pedang tersebut 
ternyata menyala merah membara, seperti 
besi dipanggang api tapi mempunyai warna 
merah berpijar-pijar. Pada saat itu pun, 
di angkasa terdengar ledakan dahsyat yang 
menggelegar bagai memenuhi seluruh bumi.

Glegarrr...!
Guntur bagai membelah langit satu 
kali, tanpa hujan, tanpa mendung dan 
tanpa badai. Empu Dirgantara memandangi 
pedang yang menyala merah itu beberapa 
saat, setelah itu memasukkan ke dalam 
sarungnya kembali. Kemudian ia duduk 
bersila di depan muridnya.
"Kurasa memang saatnya telah tiba, 
Yo. Kaulah pewaris pusaka Pedang Lidah 
Guntur ini, yang dulu membuat namaku 
kondang dan menjadi dikenal dengan nama 
Dewa Geledek. Kuharap kau tidak keberatan 
menerima warisan pusaka Pedang Lidah 
Guntur ini, Yo!"
"Aku siap, Guru!" kata Yoga dengan 
duduknya yang tegak dan menampakkan kesan 
tegas dan sigapnya.
"Kau tak akan bisa banyak berbuat 
dengan pusaka ini jika kau tidak memiliki 
ilmu dan kekuatan hawa yang ada padaku. 
Karena itu, sekarang pejamkan matamu dan 
ulurkan kedua telapak tanganmu ke depan!"
Perintah itu dituruti oleh Yoga, la 
mengulurkan kedua tangannya dengan 
telapak tangan terbuka menghadap sang 
Guru. Kemudian sang Guru menggerakkan
kedua tangannya dengan penuh curahan 
tenaga hingga bergetar seluruh tubuhnya. 
Mata sang Guru sedikit terpejam penuh 
dengan pengerahan konsentrasi yang kuat. 
Dan tiba-tiba ia sentakkan kedua jari

tengahnya dari masing-masing tangannya. 
Jari tengah itu masing-masing melepaskan 
enam larik sinar; yaitu sinar hijau, 
merah, kuning, putih, biru, dan ungu. 
Sinar-sinar yang memancar dari masing-
masing jari tengah itu menghantam ke 
telapak tangan Yoga.
Kejap berikutnya, tubuh Yoga gemetar 
dan berkeringat basah. Tubuh anak muda 
itu dilapisi oleh enam sinar yang tidak 
saling bersentuhan satu dengan lainnya. 
Pada saat tubuh Yoga dilapisi enam sinar 
dari ujung kaki sampai kepala itu, tubuh 
tersebut semakin gemetar kuat hingga 
terguncang-guncang. Sementara itu, di
luar pondok, burung rajawali besar 
memperdengarkan suaranya yang melengking 
tinggi bagai mengundang segala macam 
satwa di hutan itu.
"Kraaahk..! Kraaahk..! Kreeaaahkk..!" 
Buug bug bug buggg...! Sayapnya pun 
ditebas-tebaskan, kejap berikutnya datang 
angin badai yang dari kecepatan pelan 
menjadi sedang dan makin lama menjadi 
kuat. Suara deru hembusan badai 
melingkupi lereng dl puncak Gunung Tiang 
Awan. Langit menjadi mendung dan awan 
hitam bergulung-gulung. Tak ketinggalan 
pula petir menyambar-nyambar, menggelegar 
bagai ingin meruntuhkan langit.
Enam sinar masih menyembur dari kedua 
jari tengah Dewa Geledek. Mereka berdua

seakan tidak peduli dengan alam yang 
mengamuk dan tanah yang terguncang bagai 
hendak dilanda gempa. Mereka berdua tetap
hikmat dan khusuk, sampai akhirnya sinar 
ungu padam, tapi sinar lainnya masih 
menyembur ke telapak tangan Yoga.
Kini sinar hijau padam, tinggal empat 
sinar yang masih memancar dari kedua 
ujung jari tengah Dewa Geledek. Makin 
lama semakin membuat kulit tubuh Yoga 
menjadi merah bagai terpanggang api. 
Keringatnya pun telah membasah kuyup di 
sekujur tubuhnya yang kekar itu. Dan Yoga 
masih merasakan aliran hawa hangat yang 
meresap masuk ke sekujur tubuhnya melalui 
kedua telapak tangannya.
Satu demi satu sinar itu padam dalam 
jarak tak bersamaan. Kini tinggal satu 
sinar merah yang masih membias lewat 
ujung jari tengah Dewa Geledek. Pada saat 
itu, badai di luar pondok mulai mereda 
dan gumpalan awan hitam mulai menipis. 
Petir pun sudah jarang mengguntur di 
angkasa. Sampai akhirnya alam menjadi 
damai kembali ketika sinar merah itu 
berhenti dan padam tak berbekas sedikit 
pun di telapak tangan Yoga.
Dewa Geledek segera tundukan kepala 
dengan napas terhela memberat. Cukup lama 
ia menundukkan kepala, dan Yoga pun ikut 
menundukkan kepalanya dengan napas 
terengah-engah. Kulit tubuhnya yang tadi

memerah bagai terpanggang api, sekarang 
sudah kembali seperti sediakala, yaitu 
coklat sawo matang.
"Yo...," terdengar suara Dewa Geledek 
menyapa. muridnya dengan nada pelan dan 
lirih.
"Ya, Guru!" jawab Yoga sambil 
tengadahkan wajah, dan ia melihat gurunya 
masih menundukkan kepala seperti orang 
sedang semadi.
"Ambillah pedang di depanmu itu!"
"Baik, Guru," jawab Yoga lagi, 
kemudian ia mengambil pedang pusaka itu 
dengan dua tangan, mengangkatnya tinggi 
hingga di atas kepala. Kejap berikut
terdengar suara gurunya berkata lagi,
"Sekarang semuanya telah menjadi 
milikmu, Yo! Sekarang aku telah kosong. 
Kau adalah Dewa Geledek muda yang akan 
berkelana di rimba persilatan! Tetapi 
jangan kau gunakan nama julukanku itu!"
"Baik, Guru! Aku tidak akan 
menggunakan julukan Dewa Geledek!!”'
"Karena Rajawali Merah itu sekarang 
juga menjadi tunggangan mu dan kau adalah 
tuannya, maka kau kuberi gelar Pendekar 
Rajawali Merah!" kata Dewa Geledek dengan 
tetap menundukkan kepala, memejamkan mata 
dan bersuara lemah.
"Baik, Guru! Aku akan menggunakan 
gelarku, yaitu Pendekar Rajawali Merah!"
Tapi ingat, Yo... jika kau ingin

mengalahkan Malaikat Gelang Emas, kau 
harus tetap mencari Rajawali Putih. 
Burung rajawali merahmu itu adalah suami 
dari burung Rajawali Putih. Jurus 
'Rajawali Merah' jika digabungkan dengan 
Jurus 'Rajawali Putih' dapat untuk 
mengalahkan kekuatan dahsyat yang di
miliki Malaikat Gelang Emas, atau 
kekuatan dahsyat siapa pun juga yang 
memilikinya! Penggabungan jurus 'Rajawali 
Merah' dengan jurus 'Rajawali Putih', 
akan membentuk satu kekuatan dahsyat yang 
tiada tandingnya! Karena itu, carilah 
Rajawali Putih terlebih dulu sebelum 
melawan Malaikat Gelang Emas! Carilah
Dewi Langit Perak, si penunggang Rajawali 
Putih, karena pada dirinya itulah jodoh 
dari ilmu yang kutitipkan padamu, Yo!"
"Saya mengerti, Guru!" jawab Yoga 
lebih menghormat lagi. "Saya akan patuhi 
pesan dan wasiat dari Guru ini!" 
Dewa Geledek diam beberapa saat 
lamanya. Kemudian Yoga memberanikan diri 
mengajukan pertanyaan,
"Bolehkah saya turun gunung sekarang 
juga, Guru?"
Agak lama Yoga menunggu, tapi tak ada 
jawaban. Ia mengulangi pertanyaan yang 
sama, namun tetap tak ada jawaban. Sampai 
tiga kail tak ada jawaban, Yoga menjadi 
curiga. Kemudian ia memeriksa keadaan 
Guru dan ia terkejut melihat gurunya

sudah tak bernapas lagi.
"Guruuu...?! Guruuu...?!" teriak Yoga 
dengan panik.
*
* *
TIGA


ANGIN bersalju berhembus ke arah 
timur. Sesosok tubuh kekar masih berdiri 
menundukkan kepala di depan sebuah tanah 
yang menggunduk dan berbatu nisan. Itulah 
makam Dewa Geledek, yang baru saja 
selesai dikuburkan oleh murid tunggalnya,
Pendekar Rajawali Merah. Sementara di 
seberang pemuda tampan bertubuh tegap dan 
gagah itu, berdiri pula seekor burung 
rajawali besar berbulu merah. Burung itu 
bagai menyekap kedua sayapnya sendiri dan 
menundukkan kepalanya, seakan ingin ikut 
menangisi kematian sang Guru, Dewa 
Geledek.
Bertahun-tahun ia ikut Empu 
Dirgantara yang bergelar Dewa Geledek 
itu. Bertahun-tahun ia merasakan pahit 
getirnya hidup bersama sang Empu yang 
ahli membuat berbagai macam senjata, 
sampai akhirnya ia melihat sang Empu 
menjadi tokoh sakti di rimba persilatan 
yang sukar ditandingi kecuali Malaikat 
Gelang Emas. Rajawali itu bagaikan sedang

mengenang masa-masa bercanda dengan Empu 
Dirgantara, atau terbayang saat sang Empu 
menemukan beberapa jurus 'Rajawali Maut' 
yang ditimbulkan dari gerakan sayap atau 
cakarnya.
Kini perpisahan dengan sang Empu 
seakan membungkus kesedihan yang dalam di 
hati sang Rajawali Merah. Tadi pun ia 
ikut menimbun tanah ke liang kubur, 
seakan ikut mengucapkan selamat berpisah 
dengan majikan lamanya, dan selamat jalan 
bagi sang Dewa Geledek yang sering 
dilihat keperkasaannya semasa mudanya.
Yoga dapat membaca gerak isyarat 
burung rajawali tersebut. Bahkan Dewa 
Geledek pernah mengajarinya menerjemahkan 
bahasa burung sehingga ketika Rajawali 
Merah itu menyerukan suaranya yang 
memanjang, Yoga pun segera mendekati 
burung tersebut dan berkata,
"Sudahlah, jangan kita terlalu 
berlarut-larut tenggelam dalam kesedihan. 
Kita semua akan mengalami saat-saat 
seperti ini, yaitu mati untuk kembali 
kepada Sang Pencipta!"
"Kraahk...! Kreeakh...!" burung itu 
manggut-manggut, kelopak matanya 
berkedip-kedip dengan gerakan lambat.
Yoga mengusap-usap leher burung 
tersebut yang kini berdiri di sampingnya, 
lebih tinggi dari ukuran tinggi tubuh 
Yoga. Sambil mengusap-usap bulu bagian

leher belakang, Yoga berkata,
"Jangan cemas, Rajawali Merah, aku 
akan laksanakan apa yang menjadi wasiat 
Guru! Aku juga akan mencarikan istrimu; 
si Rajawali Putih, yang hilang bersama 
Nyai Guru Dewi Langit Perak. Kita akan 
melalang buana untuk mencari mereka 
sampai dapat! Apakah kau setuju?"
"Kraaahk...! Kraaahk...!" burung itu 
manggut-manggut lagi. Kini ia membuka 
sayapnya dan mengipas-ngipaskan dua kali. 
Itu pertanda dia tak sabar, ingin cepat 
pergi mencari kekasihnya; burung Rajawali 
Putih. Mungkin si Rajawali Merah sudah 
teramat rindu ingin jumpa dengan Rajawali 
Putih.!
Angin masih berhembus pelan,
menaburkan busa-busa salju yang kecil dan 
tipis. Pada saat Yoga ingin bergegas naik 
ke punggung burung besar itu, tiba-tiba 
gerakannya terhenti karena kemunculan 
seorang gadis di balik bebatuan yang 
menggugus tinggi itu. Gadis itu melompat 
dan tahu-tahu hinggap di atas bebatuan 
berjarak sekitar empat tombak dari 
kuburan Dewa Geledek.
Yoga terkesiap memandang gadis cantik 
itu. Ia kembali teringat pada saat 
matanya menjadi buta oleh kekuatan sinar 
dari mata adik Malaikat Gelang Emas, 
yaitu si Mata Neraka. Karena ia ingat 
peristiwa itu, maka ia pun Ingat nama

gadis cantik berpakaian kuning dengan 
selendang biru melilit pinggangnya dan 
pedang pendek terselip di pinggang itu. 
Maka, Yoga pun menyapa gadis itu dengan 
senyum tipis,
"Mahligai..?!" 
Gadis itu menyunggingkan senyum tipis
sambil cepat melompat turun dari atas
gugusan batu. Jleeg...! Kemudian ia 
berdiri di seberang makam, memandang 
dengan raut wajah ikut berkabung.
"Mahligai, bagaimana kau bisa tahu 
aku ada di sini?" 
"Aku tidak sengaja menemukan sebuah 
pondok di atas sana. Lalu kususuri 
telapak kaki manusia yang menuju kemari, 
dan ternyata disini kutemukan kau sedang 
memakamkan jenazah orang tua yang kau 
sebut-sebut sebagai Guru! Apakah yang kau 
makamkan ini jenazah gurumu?"
"Benar!” jawab Yoga dengan tegas. 
"Kukenali wajah jenazah itu sebagai 
wajah si Dewa Geledek, tokoh sakti yang 
sudah lama menghilang. Dulu waktu aku
berusia dua belas tahun, ia pernah jumpa 
dengan guruku dan aku melihatnya. Apakah
benar kau murid dari Dewa Geledek?”
"Tidak salah dugaanmu, Mahligai! Tapi 
apakah kau tahu namaku?" 
“Aku baru ingin menanyakannya."
"Namaku Yoga! Guru sering
memanggilku, Yo!"

"Lalu aku harus memanggilmu apa?"
"Terserah," Yoga semakin menyung-
gingkan senyumnya. Yang jelas, namaku 
Yoga, atau kau boleh menyebutku Pendekar 
Rajawali Merah? Kau boleh memanggil 
dengan nama depannya saja, atau dengan 
nama lengkapku, atau kau punya nama 
panggilan sendiri padaku, silakan saja! 
Selagi nama itu bagus, aku akan senang 
menerimanya!”
"Aku tidak terlalu peduli dengan 
namamu. Aku sengaja mencarimu ke sini
karena aku ingin mengucapkan terima kasih
atas pertolonganmu, yang membuat aku 
terhindar dari amukan si Mata Neraka. Aku 
melihat kau dibawa lari oleh sekelebat 
bayangan putih, dan aku mengikutinya, 
tapi aku tersesat dihutan sampai beberapa 
hari, dan secara tak sengaja kutemukan 
dirimu, Yo!"
"Kini kau telah sampaikan ucapan
terima kasihmu padaku, apa lagi yang 
ingin kau lakukan?”
Gadis cantik berhidung bangir itu 
mengalihkan pandangan matanya, karena ia 
tak tahan menatap mata pemuda tampam itu 
yang menimbulkan debar-debar keindahan 
yang menggoda dalam hatinya. la berkata 
saat itu dengan pandangan mata ke arah 
pepohonan sekelilingnya.
"Karena kau telah menyelamatkan aku, 
menolong jiwaku lolos dari amukan si Mata

Neraka, maka aku bermaksud menolongmu 
jika diperlukan, Yo. Apa yang bisa 
kuperbuat untukmu?"
"Aku berniat mencari Istri mendiang 
guruku, yaitu Dewi Langit Perak. Karena 
menurut wasiat dari mendiang Guru, aku 
harus mencari Dewi Langit Perak yang 
menunggang seekor burung rajawali besar 
berbulu putih."
Mahligai menatap Yoga dengan dahi 
sedikit berkerut. la berkata bagaikan 
orang menggumam untuk dirinya sendiri,
"Sepertinya aku pernah mendengar nama 
Dewi Langit Perak itu! Hmmm.,, tapi di 
mana dan kapan aku mendengarnya, aku 
sudah lupa!"
Gadis itu melangkah sambil mengingat-
ingat. Dahinya berkerut dan matanya 
tertuju pada tanah yang dipijaknya. 
Sementara itu, burung Rajawali Merah itu 
juga ikut memandangi gadis cantik ter-
sebut, seakan menunggu suatu kabar yang 
menggembirakan. Tetapi agaknya Mahligai 
tidak menemukan apa yang sedang dicari 
dalam ingatannya. Maka, Pendekar Rajawali 
Merah yang kini sudah menyandang pedang 
di punggungnya itu segera berkata, 
"Sudahlah, tak perlu kau peras otakmu 
jika kau tak mampu mengingatnya! Aku akan 
pergi mencarinya sendiri!"
"Eh, eh... tunggu dulu!" sergah 
Mahligai. "Aku ingat sekarang, orang yang

pernah menyebutkan nama Dewi Langit Perak 
adalah guruku sendiri; yaitu Bibi Sendang
Suci!"
"Kau yakin orang yang bernama Sendang 
Suci itu tahu tentang Dewi Langit Perak?"
"Ya. Karena Bibi Sendang Suci, selain 
bibiku juga guruku itu, pernah bercerita 
padaku tentang perempuan sakti yang 
mengendarai seekor rajawali dan bernama 
Dewi Langit Perak. Cerita itu dituturkan 
padaku ketika aku masih kecil, kira-kira
berusia sepuluh tahun!"
"Kalau begitu, aku perlu bertemu 
dengan beliau!"
"Aku bersedia mengantarmu, Yo! Tapi 
kalau bisa jangan menunggang burung itu! 
Aku takut menunggang burung!" sambil 
Mahligai tersipu.
"Merah," panggil Yoga kepada burung 
rajawali besar Itu. "Aku akan pergi 
bersama Mahligai mencari kabar tentang 
Istrimu, si Rajawali Putih! Ikutilah aku 
dari atas!"
"Kreaahk...!" burung itu mengangguk-
angguk.
Wuurrss...! Burung itu melesat 
terbang dengan kibasan sayapnya yang 
menyingkapkan kerimbunan semak dan daun-
daun kering beterbangan. Burung itu pergi 
mengitari angkasa setelah Yoga dan 
Mahligai pun meninggalkan makam Dewa 
Geledek, yang meninggal akibat seluruh

kekuatan dan ilmunya disalurkan ke dalam 
tubuh muridnya.
Hati Mahligai amat senang bisa 
berjalan berdampingan dengan pemuda 
tampan itu. Mahligai merasa menemukan 
kebahagiaan ketika berjalan bersama Yoga, 
la tak pernah temukan pemuda setampan dan 
segagah Pendekar Rajawali Merah itu.
"Auuh...!" Mahligai sengaja membuat 
Kakinya tergelincir jatuh ketika menuruni 
tanah miring. Tangan Yoga cepat 
menangkapnya, sehingga tubuh itu tak 
terbawa sentakan ke tepi jurang.
"Oh, untung kau cepat menangkapku, 
kalau tidak aku bisa tergelincir masuk ke 
jurang sebelah kiri, Yoga!" 
"Hati-hatilah kalau berjalan, jangan
sambil melamun!"
"Aku tidak melamun!" sanggah Mahligai 
karena malu diketahui sedang melamun, 
padahal sedang memikirkan cara untuk bisa 
lebih dekat lagi bersama Pendekar 
Rajawali Merah itu.
"Kurasa kita berjalan pelan-pelan 
saja...! Jangan lari seperti tadi, nanti 
kau tergelincir lagi."
"Aduuuh... kakiku terkilir, tak bisa 
dipakai untuk menapak, Yo!" Mahligai 
merengek, mulai menampakkan kemanjaannya.
"Kalau begitu biar kuurut sebentar!" 
"Apakah kau bisa mengurutnya?" "Aku 
pernah mendapat pelajaran memijat dari

Guru!” sambil berkata begitu, Pendekar 
Rajawali Merah mulai mengurut mata kaki 
Mahligai yang dianggapnya terkilir itu. 
Mahligai tersenyum-senyum dalam hati, 
merasa kegirangan kakinya itu diusap-usap 
oleh tangan Yoga.
"Rasa sakitnya sampai ke betis, Yo!" 
rengek Mahligai semakin menjadikan 
dirinya sebagai gadis manja.
"Urat telapak kaki memang menjalar 
sampai ke betis. Tapi dengan sedikit 
urutan pada urat betis, pembengkakan bisa 
diatasi!" sambil Yoga memijat pada bagian 
betis Mahligai, dan gadis itu kian 
berbunga-bunga hatinya. ia berharap 
pijatan itu jangan lekas-lekas selesai. 
Tapi apa yang diharapkan itu justru 
terbalik. Yoga menghentikan pijatannya 
dan berkata, "Kurasa sudah lemas urat 
kakimu!"
"Kenapa hanya sebentar memijatnya?”
"Kalau terlalu lama justru akan 
timbul pembengkakan pada urat yang menuju
tumit!"
“Tapi kakiku masih sakit, Yo! Masih 
tak bisa dipakai untuk menapak! Aduh, 
bagaimana ini?!" 
Kalau begitu kau kutinggalkan disini 
sampai saatnya kau bisa berjalan dan 
pulang menuju rumah bibimu itu!" jawab 
Yoga sedikit agak dongkol dengan 
kemanjaan itu.

"Kalau aku di sini mati dimakan 
harimau, bagaimana?"
"Itu salah harimaunya, bukan 
salahku!"
"Aaah... kamu jahat kalau begitu!" 
Mahligai cemberut dan buang muka sambil 
tetap duduk di atas sebongkah batu 
setinggi satu lutut. 
"Lalu apa saranmu?" 
"Gendonglah aku, mungkin beberapa 
saat lagi urat-urat kakiku menjadi 
lemas!"
"Aku tak mau!" 
"Kalau kau tak mau, aku juga tak akan 
membawamu kepada Bibi!"
Pendekar Rajawali Merah menghembuskan 
napas panjang, pertanda menahan kejeng-
kelan dalam hatinya. Kemudian, dengan 
sangat terpaksa ia pun menggendong gadis 
cantik tersebut dan membawanya lari lebih 
cepat dari sebelumnya. Mahligai tertawa 
kegirangan di dalam hatinya. la berlagak 
takut dibawa lari dalam gendongan kedua 
tangan Yoga, karenanya dia punya alasan 
kuat memeluk leher Yoga rapat-rapat.
Tiba-tiba sebatang pohon tumbang 
tepat di depan Yoga. Brukkk...! Pohon itu 
merintangi jalan dan langkah Pendekar
Rajawali Merah. Mau tak mau Pendekar 
Rajawali Merah melompat ke samping sambil 
tetap membawa tubuh Mahligai dengan kedua 
tangannya.

"Apa itu, Yo?"
"Sebatang pohon tumbang!" jawab Yoga 
pelan, tapi matanya yang jeli itu segera 
melirik ke arah sekelilingnya. la mulai 
curiga dengan pohon yang tahu-tahu 
tumbang sendiri. Ia berpendapat, pohon 
yang masih segar dan kokoh, tak mungkin 
bisa tumbang sendiri jika tidak ada yang 
menumbangkannya.
"Ada seseorang yang sengaja meng-
hentikan langkah. kita, Mahligai!" bisik 
Yoga yang masih menggendong Mahligai.
"Si Mata Neraka itukah orangnya?"
"Entahlah! Aku belum melihat gerakan 
aneh di sana-sini!" Yoga melangkahkan 
kakinya ke arah samping, ke tempat akar 
pohon yang mencuat keluar dari tanah itu. 
Kedua tangannya masih belum sadar 
menggendong tubuh si gadis cantik itu.
Tiba-tiba selarik sinar terlihat
berkelebat melesat dari atas sebuah pohon 
berdaun rimbun. Sinar itu berwarna merah 
dan melesat dengan cepatnya. Wuuusst...!
Pendekar Rajawali Merah segera 
sentakkan kakinya dan tubuhnya melesat ke 
atas dengan bersalto dua kali ke
belakang. Tubuh dalam gendongannya masih 
tetap ada dan ikut terguling-guling 
bersamanya.
Duaarrr...! Sinar merah itu mengenai 
pangkal pohon yang tumbang, sehingga 
bagian yang terkena sinar merah itu

menjadi pecah berhamburan. Akar pohon itu 
pun menjadi serpihan-serpihan kecil. 
Kalau saja Yoga tidak segera melompat 
menghindarinya, maka tubuhnya dan tubuh 
Mahligai akan menjadi serpihan-serpihan 
kecil seperti nasib pohon itu.
"Arahnya dari atas pohon, Yoga!" 
bisik Mahligai.
"Ya, aku tahu!" balas Yoga berbisik. 
Lalu, dengan cepat ia bergerak melompat 
dan memutarkan tubuhnya. Wuuttt.! Kakinya 
menendang dalam gerak mengibas cepat. 
Kibasan kaki itu melepaskan sebuah 
tendangan jarak jauh yang tidak 
memancarkan sinar warna apa pun, namun 
menimbulkan hawa panes yang segera 
melesat ke arah kerimbunan pohon lebat 
itu. Wuuugh...! Grusssaakkk. Buuhg...!
Sekelebat bayangan hitam jatuh dari 
atas pohon tersebut dengan menimbulkan
bunyi bergedebuk cukup keras. Tapi tak 
ada suara pekik dan jerit kesakitan dari 
bawah pohon berdaun lebat itu. Sementara 
itu, daun-daun pohon yang tadi terkena 
tendangan hawa panas Yoga kini menjadi 
layu dan mengkerut.
"Keluarlah kalau kau ingin menemui
ku!" seru Yoga masih belum menyadari 
bahwa dia sebenarnya bisa menurunkan 
tubuh Mahligai dari gendongannya. 
Sedangkan Mahligai sendiri yang menyadari 
hal itu, diam saja dan merasa semakin

betah berada dalam gendongan pemuda 
tampan yang menawan hatinya itu.
Kejap selanjutnya, seorang lelaki 
berpakaian serba hitam muncul dari balik 
pohon yang berdaun rimbun itu. Orang 
tersebut sudah memasang wajah angker 
dengan pandangan mata yang sangar dan 
dingin. Orang itu berkumis agak lebat, 
turun ke bawah hingga mencapai tepian 
dagunya yang tidak berjenggot. Di
perkirakan oleh Yoga, usia orang berambut 
abu-abu pendek berikat kain putih Itu 
sekitar empat puluh tahun, Tapi Yoga 
merasa tidak mengenal orang tersebut dan 
baru kali itu berjumpa. Hanya saja, 
Mahligai segera berkata seakan bicara 
pada dirinya,
"Paman Jalak Hutan...?!"
"Siapa pemuda gila itu, Mahligai?!"
"Dia Pendekar Rajawali Merah yang 
bernama Yoga, Paman! Mengapa Paman 
menghadang langkah kami?!"
"Aku tertarik dengan pedang di 
punggung anak muda itu! Kalau tak salah 
lihat, itulah Pedang Lidah Guntur milik 
Empu Dirgantara!"
Yoga menyahut, "Benar! Akulah murid 
Empu Dirgantara dan pewaris Pedang Lidah 
Guntur!"
"0, pantas...! Rupanya cukup lama 
Empu Dirgantara menghilang dari rimba 
persilatan karena mendidik seorang murid

yang akan dijadikan pewaris seluruh 
ilmunya?" kata Jalak Hutan dengan 
pandangan mata tidak bersahabat.
"Lalu apa maumu, Paman?" tanya Yoga 
bernada menantang.
Jalak Hutan memandangi beberapa saat 
tanpa bicara. Sementara itu, Yoga 
berbisik kepada Mahligai,
"Siapa orang itu, Mahligai?"
"Dia orang yang dari dulu meng-
harapkan cinta bibiku, tapi tak pernah 
disambut oleh Bibi! Dia sangat mencintai 
Bibi, tapi Bibi sama sekali tidak 
mencintainya, namun juga tidak memusuhi-
nya!"
"Hmmm...! Yoga menggumam pendek dan 
sedikit mengangguk-anggukkan kepalanya. 
Mata masih menatap tajam ke arah Jalak 
Hutan yang berpakaian serba hitam dan 
menyandang golok di pinggangnya.
Orang itu segera berkata kepada Yoga, 
"Kusarankan padamu, Anak Muda... jangan 
kau membawa-bawa pedang itu! Karena 
pedang tersebut akan menjadi incaran 
banyak orang. Hampir setiap tokoh sakti 
ingin memiliki Pedang Lidah Guntur itu! 
Jadi, alangkah baiknya jika kau titipkan 
padaku untuk kusimpan dan kuselamatkan!"
"Terima kasih, Paman Jalak Hutan! Aku 
cukup mampu menyelamatkan pedang ini, 
karena memang wasiat dari guruku melarang 
aku menyerahkan pedang ini kepada siapa

pun!"
'Ternyata kau anak muda yang bodoh, 
hanya tampan wajahmu tapi tumpul otakmu! 
Serahkanlah padaku, akan kusimpan pedang 
itu!" 
“Tidak!"
"Kalau begitu aku harus merebutnya, 
supaya pedang itu tidak membawa korban 
tak bersalah!"
"Kau kelihatan bernafsu sekali ingin 
memiliki pedang ini, Paman Jalak Hutan!" 
kata Mahligai dari gendongan Yoga.
"Ini bukan urusanmu, Mahligai! Jangan 
ikut bicara!" bentak Jalak Hutan. Lalu ia 
berkata kepada Yoga.
"Pendekar Rajawali Merah, demi 
keselamatan umat manusia dari ancaman 
maut pedang itu, aku terpaksa merebutnya 
darimu!"
"Aku terpaksa mempertahankannya!”
"Kurang ajar! Berani kau menentang 
kehendakku, hah? Hiaaat...!"
Jalak Hutan mencabut goloknya dan 
langsung menyerang Yoga dengan satu 
lompatan yang siap menebaskan golok 
tersebut. Tetapi, di luar dugaan, 
Pendekar Rajawali Merah yang sedang 
menggendong Mahligai mampu melesat naik 
lebih tinggi lagi hingga melampaui 
ketinggian lompat Jalak Hutan.
Wuuttt...! Golok itu ditebaskan dan 
tentu saja mengenai tempat kosong. Orang

yang ditebasnya sudah ada di atas dan 
dengan gerakan kaki begitu cepat, Yoga 
menendang tengkuk kepala dan bagian 
belakang kepala lawannya. Des des des 
des...!
Ujung jempol kaki yang dipakai 
menendang beberapa kali dengan gerakan 
yang tak bisa dilihat oleh mata 
telanjang. Gerakan tendangan pada ujung 
jempol kaki yang begitu cepat itulah yang 
dinamakan jurus 'Rajawali Paruh Pendek'.
"Ahg...!" kepala Jalak Hutan 
tersentak mendongak dengan mulut 
ternganga. Tubuh berpakaian hitam itu 
diam tak bergerak sesaat, namun kejap 
berikutnya ia tampak menggeram dan dengan 
susah payah mengembalikan kepalanya agar 
tidak mendongak. Namun agaknya ada tulang 
dan urat yang terkunci akibat pukulan 
jurus 'Rajawali Paruh Pendek' itu, 
sehingga Jalak Hutan tak bisa gerakkan 
kepalanya ke kiri atau ke kanan, bahkan 
menunduk ataupun tegak sudah tak bisa 
lagi.
"Keparat...!" geramnya sambil
mengerahkan tenaga untuk menundukkan 
kepala, namun sama sekali tak bisa 
bergerak sedikit pun. la menjadi sulit 
memandang ke depan, dan sulit berpaling 
ke mana-mana.
"Kau memang kurang ajar, Pendekar 
Rajawali Merah! Kurasa untuk kali ini

pertemuan kita sampai di sini dulu! Aku 
berjanji akan kembali lagi setelah aku 
berhasil mengembalikan keadaan kepalaku 
ini!"
Wuuuttt...! Jalak Hutan cepat-cepat 
melarikan diri dengan kepala selalu 
menghadap ke langit. Yoga ingin menge-
jarnya, tapi Mahligai yang masih dalam 
gendongannya itu melarang.
*
* *
EMPAT


MAHLIGAI dirawat dan diasuh oleh Bibi 
Sendang Suci sejak la berusia tujuh 
tahun. Mahligai bukan anak piatu, tapi ia 
mempunyai sebelas saudara dan orang
tuanya orang tak mampu. Lalu, Sendang 
Suci bermaksud meringankan beban kedua 
orangtua Mahligai dengan merawat dan 
mengasuh salah satu dari kedua belas anak 
adiknya itu. Mahligai lah yang terpilih, 
karena pada waktu itu Mahligai lah anak 
yang paling nakal dan bandel, melebihi 
kakak lelakinya yang berjumlah tiga orang 
itu. Mahligai adalah anak yang keenam, 
jadi ia masih mempunyai lima saudara tua 
dan enam saudara muda. Mereka tinggal 
bersama orang tua Mahligai, jauh dari 
tempat Bibi Sendang Suci merawat dan


mengasuhnya.
Sendang Suci perempuan berusia empat 
puluh lima tahun yang masih kelihatan 
cantik dan muda berkat ramuan obat-obatan 
yang sering digunakannya. !a cukup ahli 
dalam ramuan obat-obatan, karena itu 
banyak yang memanggilnya dengan julukan 
Tabib Perawan. Dijuluki sebagai Tabib 
Perawan, karena selain Sendang Suci ahli 
meracik obat-obatan juga dia dalam usia 
setua itu masih perawan dan belum pernah 
dijamah seorang lelaki mana pun juga.
Tabib Perawan atau Sendang Suci 
pernah patah hati semasa remajanya. 
Kekasihnya mati terbunuh oleh lawan yang 
tidak diketahui siapa pembunuhnya. Tabib 
Perawan bertekad tidak mau menerima cinta 
seorang lelaki lagi, karena ia takut 
kecewa jika lelaki yang dicintainya itu 
mati. Baginya, kematian seorang kekasih 
merupakan kepergian yang amat kejam dan 
tak bisa dibendung lagi. Hal yang paling 
sulit dilakukannya adalah mencegah 
kepergian kekasih ke alam baka.
Dalam kesendiriannya di Lembah Bukit 
Berhala itu, ia menekuni ilmu pengobatan
dari rempah-rempah dan segala sesuatu 
yang bersifat alami. Untuk mengisi agar 
hidupnya tak sepi, ia mengajarkan ilmu 
silatnya kepada Mahligai. Hampir semua 
ilmu silatnya telah diturunkan kepada 
sang keponakan itu, tapi ilmu

pengobatannya hanya beberapa bagian saja 
yang baru diturunkan kepada Mahligai.
Namun ketika suatu saat ia diserang 
oleh penyerang gelap dengan jarum 
beracun, Sendang Suci tak bisa sembuhkan 
dirinya. la tak bisa melenyapkan racun 
yang hampir-hampir merenggut nyawanya 
itu. Sampai suatu saat, datang si Mata 
Neraka dan berjanji akan menyembuhkan 
luka racun di tubuh Sendang Suci, jika 
Sendang Suci mau mengizinkan serta 
membujuk Mahligai agar menjadi istri si 
Mata Neraka.
Sendang Suci menyetujui, karena ia 
tak tahu bahwa orang yang menanamkan 
racun dalam tubuhnya itu tak lain adalah 
si Mata Neraka sendiri, dan semua itu 
adalah siasat Mata Neraka, agar dalam 
upayanya memperistri Mahligai, Sendang 
Suci tidak ikut campur. Mata Neraka tahu 
kekuatan ilmu Sendang Suci, yang bila tak 
waspada bisa mencelakai dirinya. Karena 
itu, Sendang Suci ditundukkan dengan 
perjanjian tersebut. Sendang Suci pun tak 
bisa berbuat banyak ketika si Mata Neraka 
mengejar Mahligai yang melarikan diri 
dari Lembah Bukit Berhala.
Kini setelah gagal mengejar Mahligai, 
si Mata Neraka datang kepada Sendang Suci 
untuk menagih janjinya. Dengan hati yang 
dongkol dan memendam kemarahan besar, si 
Mata Neraka berkata kepada Sendang Suci

atau si Tabib Perawan itu.
"Aku menyesal telah mengobatimu, 
Sendang Suci! Kalau kutahu kau akan 
biarkan Mahligai lari, aku tak akan sudi 
menolong nyawamu!"
"Aku tak menghalangi niatmu, Mata 
Neraka! Mengapa kau marah kepadaku?" 
sanggah Sendang Suci yang berpakaian 
longgar putih berlengan panjang dengan 
rompi ketat yang rapat sepanjang betis 
berwarna ungu menyala itu. "Bukankah aku 
tidak membantu melarikan Mahligai?!"
"Memang, tapi seharusnya kau buat 
Mahligai untuk tetap di tempat!"
"Kupikir kau cukup mampu mengejar 
gadis kecil seperti dia! Kau cukup mampu 
menundukkan jiwanya dan membuatnya 
bertekuk lutut padamu! Jadi kurasa tak 
perlu lagi aku ikut campur tangan menahan 
Mahligai!"
"Hmmm...! Aku tahu semua ini adalah 
rencana busukmu, Sendang Suci! Kau 
beberkan perjanjian kita di depan 
Mahligai, kau ceritakan bahayanya menjadi 
istriku, dan kau ceritakan keburukan-
keburukan ku sehingga hati Mahligai 
memberontak dan berkesimpulan untuk 
melarikan diri! Kau memang tidak 
menyuruhnya lari, tapi kau buat ia 
mengambil keputusan itu dengan 
sendirinya!"
Dalam hati, perempuan bertubuh sedang

dengan rambut di sanggul di tengah yang 
sisanya meriap di sekeliling itu, berkata 
membatin,
"Rupanya dia tahu siasatku 
menyelamatkan Mahligai! Tapi mengapa ia 
tidak bisa menangkap Mahligai? Apakah ia
tak berhasil mengejarnya, atau Mahligai 
membuatnya terdesak? Ah, kurasa tidak 
begitu. Ilmu yang dimiliki Mahligai tidak 
sebanding dengan ilmu si Mata Neraka. 
Lelaki ini mempunyai ilmu yang jauh lebih 
tinggi dari Mahligai, tak mungkin ia 
terdesak mundur oleh serangan Mahligai!"
Terdengar suara Mata Neraka menyentak 
keras, "Sekarang kuminta kau serahkan 
Mahligai padaku dalam waktu satu hari 
satu malam! Kalau tidak, kucabut nyawamu 
tanpa ada perjanjian apa-apa lagi!"
"Aku tidak tahu di mana Mahligai 
berada!" balas Sendang Suci bernada ketus 
dan berani, Tangkaplah dengan ilmumu 
sendiri gadis kecil itu, Mata Neraka! 
Bukankah ilmumu jauh lebih tinggi 
daripada ilmunya?!"
"Ada pihak lain yang ikut campur 
dalam pengejaranku, Sendang Suci!"
Terkesiap mata Sendang Suci 
memandang! orang berkumis lebat itu. 
Kemudian, setelah diam sesaat, Sendang 
Suci perdengarkan suaranya,
"Siapa yang ikut campur dalam masalah 
ini?"

"Murid Dewa Geledek!"
Makin terkejut Tabib Perawan itu 
mendengarnya. Ia menggumam lirih,
"Murid Dewa Geledek...?! Sejak kapan 
Dewa Geledek mempunyai murid? Aku tak 
pernah dengar kabar nya mendidik seorang 
murid! Mungkin hal itu sengaja ia 
sembunyikan dari telinga para tokoh di 
dunia persilatan untuk membuat suatu 
kejutan baru?."
"Kalau murid Dewa Geledek itu tidak 
ikut campur, Mahligai sudah mati di 
tanganku!"
"O, kalau Mahligai tewas, jelas aku 
turun tangan dan mencarimu, Mata Neraka! 
Sebab perjanjiannya bukan merenggut nyawa 
muridku itu!" kata Sendang Suci dengan 
beraninya.
"Kalau Mahligai menolak lamaranku, 
maka ia harus mau menerima nasibnya, 
yaitu kucabut nyawanya dalam sekejap!"
"Dan aku ada di depan Mahligai. jika 
hal itu kau lakukan, Mata Neraka! Tak 
kuizinkan siapa pun mencabut nyawa 
muridku sebelum ia berhasil membunuhku!"
Sikap berdiri Sendang Suci sudah 
mulai menampakkan keadaan siap bertarung. 
Mata Neraka pun memandang dengan menyipit 
benci, lalu keluarlah kata-kata pedas 
dari mulutnya yang berbibir tebal itu,
"Kalau aku harus membunuhmu, 
sangatlah disayangkan jika hanya

kulakukan seperti membunuh lawan-lawanku 
lainnya. Khususnya untuk kamu, Tabib 
Perawan, kau harus dibunuh setelah kau 
merasakan cumbuan hangatku lebih dulu, ha 
ha ha...!"
"Tutup mulutmu, Mata Neraka!" bentak 
Sendang Suci dengan mulai semakin 
terpancing amarahnya
"Kau perawan tua, Sendang Suci! Rugi 
kalau kau mati belum pernah merasakan 
nikmatnya cumbuan lelaki! Jadi kalau kau 
menghendaki aku membunuhmu sebelum 
membunuh muridmu, itu berarti kau 
menyuruhku untuk segera mencumbumu, Tabib 
Perawan!".
Semakin geram hati Sendang Suci 
mendengar ucapan lawannya, kemudian ia 
segera berkata dengan mata terbuka 
menantang
"Majulah kalau kau ingin kuremukkan 
kepalamu, Mata Neraka!"
Seet...! Sendang Suci mencabut kipas 
dari pinggangnya. Kipas lebar itu mulai 
dibentangkan membuka di depan dadanya. 
Pandangan matanya semakin tajam dan penuh 
sorot tatapan mata permusuhan.
"Rupanya kau memang memancingku agar 
memperkosamu, Perawan Tua! Ha ha ha 
ha...!" Mata Neraka mulai melangkah dalam 
gerak ke samping, mengitari Sendang Suci 
dengan tangan siap melakukan serangan. 
Sendang Suci sendiri pun melangkah


menyamping dengan mata tak berkedip 
memandangi tiap gerakan anggota tubuh 
Mata Neraka. Ha! yang paling selalu 
diperhatikan adalah mata dari lawannya, 
karena ia tahu lawannya mempunyai jurus 
maut pada pancaran matanya.
Dugaan Sendang Suci memang benar, 
mata lawannya segera berubah menjadi 
hijau menyala. Tak lama kemudian mata itu 
melepaskan sinar hijau dua larik yang 
menghantam ke tubuh Sendang Suci. Clap, 
clap!
Sendang Suci mengibaskan kipasnya 
dengan cepat. Wuutt wuuttt! Dua sinar 
hijau itu bisa ditangkis keduanya, 
dibelokkan arahnya hingga menghantam dua 
buah pohon di kejauhan sana.
Duarrr, duaarrr...! Kedua pohon itu 
segera rubuh dalam keadaan hancur pada 
bagian yang terkena sinar hijau Itu. Dan 
setelah merasa kilatan sinar dari matanya 
mudah ditangkis dengan kipas lebar itu, 
si Mata Neraka segera mencabut pedang 
lebarnya. Wusss...! Ia mulai memainkan 
jurus pedang. Pedang itu digenggam dengan 
kedua tangan dan segera kakinya menyentak 
ke tanah, tubuh pun melesat maju dalam 
keadaan melompat bagaikan terbang. Pedang 
besar itu ditebaskan dari samping kanan 
ke kiri. Wuusss...!
Trangng...! Kipas Sendang Suci 
menghadang gerakan pedang lawan. Kipas

itu tidak patah, robek, ataupun 
terpotong. Kipas itu menjadi sekeras 
baja, dan bisa dipakai menahan tebasan 
pedang besar. Maka dengan cepat kaki 
Sendang Suci bergerak menendang ke arah 
rusuk kiri lawannya. Wuutt...! Duuggh...!
"Ahg. .!" si Mata Neraka tersentak 
dalam pekik tertahan. Tulang rusuknya 
terasa patah sebagian karena tendangan 
berat itu.
Pada saat si Mata Neraka terhuyung-
huyung ke samping, Sendang Suci segera 
menutupkan kipas besarnya. Kipas itu 
menjadi seperti sebuah senjata dari baja 
keras, dan dapat dikibaskan ke leher 
lawannya. Wuuttt...! Claap..! Seberkas 
sinar keluar dari ujung kipas, berwarna 
ungu seperti bentuk bintang. Trangng...! 
Wuusss...!
Sinar itu dihadang oleh seberkas 
sinar hijau yang melesat dari mata lelaki 
berkumis tebal itu. Zlaapp...! 
Blaarrr...!
Benturan dua sinar itu mengakibatkan 
ledakan besar yang membuat kedua tubuh 
terpental saling menjauh. Sendang Suci 
sendiri terpental hingga empat tombak 
jauhnya, dan si Mata Neraka hanya 
terpental antara dua tombak ke belakang. 
Tapi keadaan si Mata Neraka masih tetap 
berdiri, sedangkan Sendang Suci jatuh 
tersimpuh di samping sebongkah batu

sebesar tubuhnya sendiri.
Brukkk...!
Pada waktu itu, si Mata Neraka segera 
menggeram dan bola matanya menjadi hijau. 
Lalu, dari bola mata itu melesatlah sinar 
hijau dua larik yang mengarah ke tubuh 
Sendang Suci. Kehadiran sinar hijau itu 
tak sempat diperhatikan oleh Sendang 
Suci, sebab saat itu perempuan tersebut
sedang terbatuk-batuk dan memuntahkan 
darah segar dari mulutnya akibat 
gelombang ledakan tadi.
Duaaar...! Blaarrr...!
Dua larik sinar hijau terpotong 
meledak di pertengahan jarak sebelum 
mencapai Sendang Suci. Sinar tersebut 
tertahan oleh sinar kuning yang membentuk 
seperti dua cakram berkelebat dari arah 
tiga pohon terjajar merapat. Kalau sinar 
hijau dari mata lelaki berpakaian serba 
biru itu tidak terpotong sinar kuning 
berbentuk cakram, maka tubuh Sendang Suci 
akan hancur berkeping-keping dan tak akan 
tertolong lagi jiwanya.
Dari tiga batang pohon terjajar itu 
muncullah sesosok tubuh berpakaian hijau 
lengan panjang komprang dengan rompi 
putih rapat membungkus dadanya. Orang itu 
mengenakan tudung hitam yang segera 
dikenali oleh si Mata Neraka.
"Jahanam kau, Tudung Hitam! Rupanya 
kau pun Ingin ikut campur urusanku ini,

hah?!"
Tudung Hitam segera melompat dengan 
bersalto satu kali, dan ia tiba di depan 
Sendang Suci yang telah sanggup berdiri 
lagi itu.
"Tamtama," kata Sendang Suci, 
"Menyingkirlah, biar aku yang menangani 
masalah ini!"
"Tidak, Bibi! Silakan Bibi mundur dan 
saya akan menghadapi si Mata Neraka yang 
berwatak jahanam itu, Bibi!"
“Tamtama, ilmumu tidak seimbang 
dengan ilmunya! Jangan melawan dia, 
Tamtama."
"Saya tidak peduli, Bibi! Tadi saya 
dengar dia ingin memperistri Mahligai 
atau membunuhnya! Itu berarti dia harus 
berhadapan dengan saya, Bibi!"
Kesempatan lengah itu digunakan oleh
si Mata Neraka untuk melepaskan pukulan 
jarum beracunnya dari telapak tangan 
kanan. Wuuttt...! Werrr...!
Puluhan jarum hitam beracun menyembur 
keluar dari telapak tangan dan mengarah 
ke punggung si Tudung Hitam. Sendang Suci 
segera terpekik kaget melihat jarum 
beracun,
"Awas...!"
Sentakan itu membuat gerakan naluriah 
dilakukan oleh si Tudung Hitam dengan 
melepas tudungnya dan mengibaskan ke 
depan. Wuuuttt...!


Jrabbb...! Puluhan jarum beracun itu 
menancap di tudung tersebut. Mengepulkan 
asap putih kebiru-biruan, membuat tudung 
tersebut menjadi hangus terbakar dan
kejap berikutnya menjadi arang yang 
tergeletak di tanah. 
"Terimalah pembalasanku, Jahanam! 
Heeeaaah...!"
Tamtama atau si Tudung Hitam yang 
sudah tidak mengenakan tudung lagi segera 
menyentakkan kedua tangannya ke depan. 
Pada saat itu, segeralah melesat sinar 
berkelok-kelok seperti akar pohon 
beringin yang warnanya kuning. Sinar 
tersebut segera menyerang tubuh si Mata 
Neraka dengan gerakan cepat. .
Tetapi Mata Neraka hanya menggunakan 
satu tangan menghentakkan telapak tangan 
kanannya hingga keluarkan sinar berkelok-
kelok semacam akar itu, tetapi berwarna 
hijau. Kedua sinar itu bagaikan saling
melilit berbelit-belit di pertengahan 
jarak. Craattt... traatt... cratt! 
Percikan bunga api terjadi bagai 
pertarungan dua kekuatan yang sama-sama 
hebatnya.
Sendang Suci segera melompat ke 
kanan, lalu dengan gerakan kaki 
merenggang lebar, ia menyentakkan 
kipasnya ke depan. Suttt...! Dan dari 
kipas itu keluar sinar lebar warna ungu 
yang segera menghantam ke pertemuan dua

sinar tersebut. Zrruubb...!
Traattt... ttar... taarr... 
ttrratttt... trat... tar...!
Tiga sinar beradu dengan sama-sama 
kuatnya. Sendang Suci bermaksud membantu 
Tamtama untuk mengalahkan sinar hijaunya 
si Mata Neraka. Tetapi tiba-tiba dari 
hiasan mulut singa yang ada di ikat 
kepala si Mata Neraka itu keluar pula 
sinar biru sebesar ibu jari. Zuuuttt...!
Blaarrr..,!
Sinar biru itu mengakhiri perang 
kekuatan tenaga dalam berbentuk sinar. 
Begitu sinar biru itu menghantam ketiga
sinar yang ada di pertengahan jarak, tiga 
orang Itu sama-sama terpental akibat 
ledakan dahsyat yang sempat
mengguncangkan pepohonan di sekitar 
mereka. Tubuh ketiga orang itu sama-sama 
terpental berbeda arah. Tetapi jarak 
terpentalnya yang paling jauh adalah 
Tamtama. la terpental dan berguling-
guling bagai disapu badai besar sejauh 
enam tombak, sedangkan Sendang Suci dan 
Mata Neraka hanya terpental dalam jarak 
sekitar empat tombak.
Sendang Suci kembali mengeluarkan 
darah dari mulutnya. Tapi hanya sedikit. 
Sedangkan Tamtama banyak mengeluarkan 
darah dari lubang hidung, telinga, dan 
mulutnya. Agaknya sentakan daya ledak 
tadi cukup kuat menghantam dadanya,

sehingga dada kiri Tamtama kelihatan
sedikit hangus. Pakaian yang menutupi 
dada Itu menjadi hitam dan berasap tipis.
'Tamtama...!" seru Sendang Suci 
dengan cemas. Cepat-cepat ia melompat dan 
bersalto dua kali di tanah, lalu segera 
menolong Tamtama yang berwajah pucat. 
Sendang Suci menjadi iba hatinya melihat 
pembelaan pemuda yang selama ini dikenal 
sebagai kekasih Mahligai itu. Sudah pasti 
Tamtama siap mati untuk membela Mahligai, 
karena ia sangat mencintai Mahligai, 
walaupun selama ini Mahligai tidak pernah 
memberi tanggapan secara sungguh-sungguh 
terhadap cinta Tamtama.
"Tamtama, bertahanlah...! Bibi akan 
salurkan hawa murni ke dalam tubuhmu! 
Bertahanlah...!"
Dari seberang sana, si Mata Neraka 
berteriak, "Sendang Suci! Saatnya telah 
tiba untuk membunuh kalian berdua! 
Heaaah...!" Zlaaap...!
Kembali sinar biru sebesar ibu jari 
tangan itu melesat bagaikan tongkat baja 
yang membahayakan, keluar dari hiasan 
kepala singa yang ada di tengah dahinya. 
Gerakan sinar itu amat cepatnya, sehingga 
Sendang Suci tak sempat menghindar 
sedikit pun.
Hanya saja, gerakan sinar biru yang 
cepat itu tiba-tiba terhenti di udara, 
tepat dalam jarak dua jengkal dari tubuh

Sendang Suci. Sinar biru yang ganas itu 
tiba-tiba bergerak memendek, bagaikan 
didesak untuk kembali masuk dari 
sumbernya. Sendang Suci merasa heran, 
karena ia tidak melakukan tindakan 
seperti itu. Dan semakin heran lagi 
setelah di depannya mulai tampak samar-
samar sesosok tubuh besar yang memung-
gunginya. Bayangan itu makin lama semakin 
jelas dan akhirnya benar-benar nyata 
dalam penglihatan siapa saja.
Zluuub...! Sinar biru itu kembali 
masuk ke hiasan mulut singa di kening 
Mata Neraka. Masuknya sinar tersebut 
membuat Mata Neraka tersentak mundur tiga 
tindak. Kemudian ia memandang gemas 
kepada orang yang muncul dari bayangan 
tadi, yaitu orang bertubuh besar dan 
berwajah lebih angker dari si Mata 
Neraka. Tinggi tubuh orang Itu sejajar 
dengan tinggi tubuh Mata Neraka. Tapi 
perutnya lebih tampak besar orang 
tersebut.
Orang itu berpakaian abu-abu dengan 
dirangkap jubah berlengan longgar yang 
panjang warna hitam bertepian merah 
mengkilap. Rambutnya botak separo kepala, 
sisanya panjang ke belakang sebatas 
pundak. Ia mengenakan ikat kepala merah 
dengan bagian tengah dahi terdapat hiasan 
dari logam emas berbentuk simbol 
swastika, ia berkumis tebal turun ke

bawah dan menjadi satu dengan jenggotnya 
yang pendek itu. Matanya lebar dan alis 
matanya lebat ke atas bentuknya. Orang 
itu menyelipkan senjatanya di pinggang 
kanan kiri berupa logam gelang berwarna 
kuning emas, di mana setiap gelang emas 
Itu mempunyai tepian yang bergerigi 
tajam.
Sendang Suci menggumam lirih, 
"Malaikat Gelang Emas...?!" Ia kelihatan 
menggumam dengan wajah cemas, karena ia 
tahu bahwa Malaikat Gelang Emas ilmunya 
jauh lebih tinggi dari adiknya; si Mata 
Neraka itu. Tapi agaknya kali ini 
Malaikat Gelang Emas punya urusan sendiri 
dengan sang adik, sehingga ia menghampiri 
Mata Neraka dan dengan gerakan cepat 
tangannya berkelebat menampar. Plakkk...!
Mata Neraka tak berani membalas. Ia 
terlempar dan berguling-guling di tanah, 
lalu Malaikat Gelang Emas menghampiri dan 
menenteng bajunya hingga terangkatlah 
tubuh Mata Neraka.
"Kuperintahkan kau menjaga makam 
kakek, mengapa kau minggat sampai di 
sini, hah! Dasar bocah setan!"
Plook...! Plookkk...! Buugh...! Mata 
Neraka dihajar kakaknya.
"Pulang kau ke makam kakek! Jangan ke 
mana-mana sebelum genap tiga tahun 
jenazah kakek terkubur! Pulang ke sana, 
lekas!"

"Ba...baik! Baik, Kak...!
Mata Neraka segera lari pergi, dan 
Malaikat Gelang Emas pun pergi ke arah 
lain, tanpa menghiraukan Sendang Suci dan 
Tamtama lagi.
*
**
LIMA


KEPERGIAN Malaikat Gelang Emas masih 
memukau Sendang Suci beberapa saat. 
Karena Sendang Suci tak menyangka kalau 
Malaikat Gelang Emas hanya datang untuk 
menghajar adiknya sendiri dan menyuruhnya 
kembali sebagai penjaga makam kakek 
mereka. Semula Sendang Suci menyangka 
Malaikat Gelang Emas datang untuk 
membantu pertarungan adiknya, setidaknya 
membalaskan beberapa serangan yang 
berhasil mengenai adiknya. Ternyata
dugaan itu meleset.
Sendang Suci segera sadar akan 
keadaan Tamtama yang semakin memucat 
wajahnya. la segera membawanya masuk ke 
dalam rumahnya. Pemuda tampan berambut 
ikal itu sudah tak bisa bicara apa-apa, 
bahkan bernapas pun tampak susah sekali. 
la dibaringkan di atas dipan pembaringan 
yang ada di ruang tamu rumah tersebut.
"Belum terlambat! Belum terlambat!"

ucap Sendang Suci sendirian. la segera 
menyiapkan ramuan obat untuk menyembuhkan 
luka dalam yang mengandung racun 
berbahaya itu.
Tak seberapa jauh dari rumah kediaman 
Sendang Suci, ada sebuah kedai yang cukup 
ramai dikunjungi pembeli. Sendang Suci 
bergegas lari ke kedai itu untuk membeli 
arak. Ia membutuhkan arak sebagai 
campuran ramuan obatnya. Kebetulan 
persediaan arak di rumah sudah habis, 
sehingga Sendang Suci terpaksa lari ke 
kedai tersebut.
Ternyata di depan kedai orang 
berkumpul di antara lelaki berpakaian 
hitam-hitam. Orang yang berpakaian hitam 
itu tak lain adalah Jalak Hutan yang 
kepalanya masih terdongak ke atas karena 
terkena jurus 'Rajawali Paruh Pendek'
itu.
Mulanya Jalak Hutan bertemu dengan 
seorang kenalannya di depan kedai 
tersebut dan berkata dengan nada keras,
"Sambara...! Apakah kau melihat Tabib 
Perawan di sekitar sini?!"
Sambara yang tidak tahu keadaan Jalak 
Hutan itu segera ikut mendongakkan 
kepala, memandang ke langit sambil 
berkata,
"Sepertinya tak kulihat Tabib Perawan 
di sana! Mana...?!"
"Justru aku mencari dia! Barangkali

saja dia ada di sekitar sini?!" kata 
Jalak Hutan.
Sambara berseru kepada temannya yang 
bernama Kambas, "Hei, Kambas... apakah 
kau melihat Tabib Perawan?"
Karena Sambara kembali mendongak ke 
langit, maka mata Kambas pun ikut 
mendongak ke langit, mencari-cari Tabib 
Perawan di langit sana. Kejap berikutnya, 
Kambas pun menjawab,
"Ah, tak kulihat Tabib Perawan di 
sana?! Mungkin dia masih ada di 
rumahnya!"
"Kalau begitu aku harus segera pergi 
ke rumahnya!" kata Jalak Hutan sambil 
tetap mendongak ke atas. Kini bukan hanya 
Kambas dan Sambara saja yang ikut 
mendongak keatas, melainkan dua orang 
yang baru saja keluar dari kedai Ikut 
mendongak ke atas, ikut memandangi
langit, mencari sesuatu yang dianggapnya 
sedang dipandangi oleh Jalak Hutan dan 
kedua orang lainnya Itu.
"Apa yang mereka lihat di atas sana?" 
tanya salah seorang yang baru saja keluar 
dari kedai. Temannya menjawab,
"Entahlah, mungkin bintang jatuh!" 
Pada waktu itu, Jalak Hutan berbicara 
pelan kepada Sambara, menceritakan 
perasaan hatinya dengan tetap mendongak 
ke atas, demikian pula Sambara yang ikut 
mendongak ke atas tanpa tabu persis apa

yang dilihat Jalak Hutan. Mereka berdua 
tidak tahu bahwa banyak orang yang ikut-
ikutan memandang ke atas. Bahkan ketika 
Sendang Suci bergegas masuk ke kedai 
untuk memesan arak, ia kembali keluar 
sebentar dan ikut memandang ke atas.
"Apa yang mereka lihat di sana? Tak 
ada apa-apa?!" gumam Sendang Suci, 
kemudian ia tinggalkan orang-orang yang 
mendongak ke atas itu dan ia pun segera 
membeli arak.
Begitu ia hendak pulang, ia kembali 
penasaran dan ikut mendongak ke atas 
sambil bertanya kepada Jalak Hutan.
"Ada apa di langit sana, Jalak 
Hutan?!"
Sambara cepat-cepat berkata, "Nah, 
ini dia si Tabib Perawan?! Mengapa kau 
mencarinya di langit sana?"
"Siapa yang mencarinya di langit?" 
bantah Jalak Hutan. , .'
"Buktinya kau mendongak ke atas, 
sehingga aku pun ikut mendongak ke atas!"
"Dasar bodoh! Aku mendongak ke atas 
karena tulang dan uratku terkunci oleh 
tendangan si Pendekar Rajawali Merah!"
"Pendekar Rajawali Merah?" Sendang 
Suci menyahut dengan nada heran. 
"Bukankah Dewa Geledek sudah mengasingkan 
diri dan tidak ikut campur lagi di dunia 
persilatan?"
"Bukan Dewa Geledek, melainkan

muridnya! Murid yang kurang ajar itu 
telah membuat kepalaku jadi begini terus 
menerus, Tabib Perawan!"
"Mengapa kau dibuat sampai begitu, 
Jalak Hutan?" tanya Sendang Suci sambil 
memandang antara geli dan heran.
"Ini gara-gara muridmu, Mahligai!"
Terkesiap mata Sendang Suci dan 
segera bertanya, "Ada apa dengan Mahligai 
muridku?"
"Dia diculik oleh Pendekar Rajawali 
Merah! La dilukai dan dibuatnya lumpuh. 
Aku bermaksud menolongnya, tapi ternyata 
anak muda itu telah lebih dulu menotok 
jalan darahku, mengunci urat-urat 
tengkukku hingga aku tak bisa gerakkan 
kepala lagi. Oh, Tabib Perawan... bisakah 
kau bantu aku untuk memulihkan urat-
uratku agar kepalaku bisa bergerak 
lagi?!"
"Akan kuusahakan! Tapi benarkah 
Mahligai dilumpuhkan oleh Pendekar 
Rajawali Merah?!"
"Benar! Aku melihatnya sendiri! Kalau 
aku tidak melihatnya, aku tidak akan 
bertarung dengannya dan dibuat seperti 
ini!"
"Keparat murid Dewa Geledek itu!" 
geram Sendang Suci. Kemudian tangannya 
bergerak dalam keadaan menguncup dan 
menotok beberapa bagian di punggung Jalak 
Hutan. Deb deb deb...!

"Aaauh...!" Jalak Hutan mengerang 
kesakitan. Kepalanya tak bisa kembali 
seperti semula. Maka, Sendang Suci 
melakukan gerakan menotok lagi di 
beberapa tempat, terutama di tubuh bagian 
belakang dan pada tengkuk Jalak Hutan. 
Tetapi kepala Jalak Hutan masih belum 
bisa kembali seperti sediakala.
"Urat-uratmu telah menjadi keras 
seperti batu di bagian kepala dan leher," 
kata Sendang Suci. "Kau harus meminum, 
ramuan obat yang kupakai untuk melemaskan 
urat dan otot!"
"Kalau begitu, apakah aku harus ke 
rumahmu sekarang juga?!" 
"Besok saja! Aku sedang menyembuhkan 
seseorang yang terkena racun berbahaya! 
Aku tak bisa menolongmu sekarang, Jalak 
Hutan!"
"Jadi, aku harus mendongak terus 
begini sampai esok pagi?!"
Ucapan itu tidak dilayani oleh 
Sendang Suci. la segera melesat pergi 
tinggalkan tempat. la tak bisa menunda 
pengobatan lebih lama lagi, karena 
keadaan Tamtama benar-benar sangat gawat. 
Terlambat sedikit lagi, racun berbahaya 
itu akan menyerang jantung dan Tamtama 
akan mati.
Kepedulian Sendang Suci terhadap luka 
Tamtama itu hanya semata-mata dia tahu 
bahwa Tamtama sangat sayang kepada

Mahligai. Tamtama pernah melamar langsung 
kepada Sendang Suci untuk mengawini 
Mahligai, tetapi Mahligai masih jinak-
jinak merpati dan malu-malu kucing 
memberi jawaban yang pasti. Terlepas dari
perasaan yang ada pada hati Tamtama, 
Sendang Suci melihat sikap baik Tamtama 
yang tidak semata-mata ingin mengumbar 
nafsu saja, namun ingin bertanggung jawab 
terhadap segala hidup dan matinya 
Mahligai dengan wujud lamaran tersebut.
Tapi Sendang Suci belum mengetahui 
perkembangan hati Mahligai, terutama 
setelah gadis itu bertemu dengan Yoga; si 
Pendekar Rajawali Merah. Buat Mahligai, 
membuka pintu hati untuk Yoga ternyata 
lebih mudah daripada membuka pintu hati 
untuk Tamtama. Apalagi ia sudah berhasil 
mengelabui Yoga dengan membelokkan arah 
tujuan ke rumah bibinya. Seharusnya 
perjalanan bisa ditempuh setengah hari, 
namun Mahligai membuat arah jauh yang 
mengakibatkan waktu perjalanan menjadi 
sehari semalam. Dan dalam waktu selama 
itu, Yoga bagai manusia tak mengenal 
lelah. Ia tetap menggendong Mahligai yang 
selalu mengatakan bahwa kakinya belum 
bisa dipakai untuk menapak karena luka 
terkilirnya. Padahal Mahligai sudah bisa 
menapak sejak dari semula sebelum 
digendong Yoga.
Barulah ketika mereka tiba di depan

rumah Sendang Suci, Mahligai turun dari 
gendongan Yoga. Itu pun karena Sendang 
Suci tampak menjadi marah melihat 
keponakannya digendong oleh Yoga, ia 
menyangka Mahligai benar-benar lumpuh dan 
hendak diculik seperti apa kata Jalak 
Hutan.
Dengan kipasnya, Sendang Suci segera 
menyerang Pendekar Rajawali Merah yang 
masih menggendong tubuh Mahligai. Kipas 
itu dalam keadaan tertutup dan disodokan 
ke wajah Pendekar Rajawali Merah. Namun 
dengan gesitnya kepala anak muda yang 
tampan dan punya senyum sangat menawan 
itu berkelit menghindari sodokan kipas 
yang mengeluarkan hawa panas tersebut. 
Wuuuttt...!
Dengan cepat Sendang Suci memutar 
tubuh dan melayangkan tendangan kaki 
kanannya. Wuuus...! Tendangan Itu 
dihindari pula oleh Yoga dengan satu 
seruan,
"Mengapa kau menyerangku?!"
"Bibi, hentikan serangan itu! Jangan 
serang dia, Bibi!"
"Mahligai, apakah kau masih ingin 
membela orang yang telah melumpuhkan 
kakimu itu, hah?!" Sendang Suci marah 
kepada muridnya.
"Siapa bilang kakiku dilumpuhkannya?"
"Jalak Hutan memberikan laporan 
begitu padaku!"

"Itu fitnah, Bibi! Aku tidak lumpuh. 
Aku masih bisa berdiri dan berjalan 
biasa! Lihat..!" lalu Mahligai berkata 
kepada Yoga,
"Turunkan aku...!"
Mahligai turun dari gendongan Yoga, 
ia melompat dan bersalto satu kali di 
udara. Kemudian ia memperagakan jurus 
tendangan beruntun yang diajarkan oleh 
gurunya. Setelah itu, ia kembali 
mengambil sikap berdiri tegak dan sigap.
Sendang Suci tertegun melihat 
keponakannya masih sehat, tidak seperti 
yang dilaporkan Jalak Hutan kepadanya. 
Lebih tertegun lagi Pendekar Rajawali 
Merah, yang mulai merasa dikelabui oleh 
Mahligai sejak dari kemarin. Dalam 
keadaan terbengong, Yoga berkata kepada 
gadis cantik yang nakal dan bandel itu.
"Rupanya kau dalam keadaan sehat, 
Mahligai? Kakimu berguna dengan baik 
sekali! Kau telah menipuku, Mahligai!"
Mahligai tersipu malu. Tapi segera ia 
tutupi perasaan malunya itu dengan 
membuang pandangan ke arah lain sambil 
berkata,
“Tadi memang terasa sakit. Tapi 
begitu aku bertemu dengan Guru, sakit di 
kakiku ini sembuh seketika!"
Pendekar Rajawali Merah tersenyum 
sambil geleng-geleng kepala. la sadar 
bahwa dirinya telah dikelabui oleh gadis

"Aku tak sadarkan diri sampai tengah 
malam. Rupanya Bibi berhasil mengobatiku, 
sehingga pagi ini aku sudah segar walau 
belum pulih seperti sediakala, Mahligai!"
Sambil berkata begitu, sesekali mata 
Tamtama melirik ke arah Yoga dengan sikap 
pandang tak enak di hati. Yoga merasa 
dipandang kurang bersahabat, sehingga ia 
pun mencoba mempelajari sikap pemuda yang 
sebaya dengannya itu. Apalagi saat itu 
Tamtama berkata,
"Seharusnya kau menghubungiku jika si 
Mata Neraka mengejar-ngejarmu begitu. 
Kurasa itu lebih baik dari pada kau minta 
tolong kepada orang lain, Mahligai!"
Mahligai menjawab dengan nada ketus 
yang tak enak dicerna di hati siapa pun,
"Apa pedulimu dengan diriku, Tamtama? 
Aku meminta pertolongan pada orang lain 
atau tidak sama sekali, kau tak berhak 
menganjurkan seperti itu!"
"Aku hanya mengingatkan kamu, agar 
orang lain tidak merendahkan kamu setelah 
habis menolongmu, Mahligai!"
"Justru kaulah yang merendahkan aku 
karena menganggap aku tak layak minta 
pertolongan pada orang lain!"
Sendang Suci hanya menarik napas. la 
tahu, Tamtama menaruh rasa cemburu 
melihat Mahligai pulang bersama pemuda 
yang lebih tampan darinya. la juga tahu 
bahwa Mahligai mempertahankan sikapnya

Tak perlu kau hiraukan omongan orang yang 
bukan anggota keluarga di rumah ini, 
Yoga!"
Yoga yang tahu gelagat segera 
menjawab, “Tak usah. Biarlah aku di luar 
saja. Aku perlu bicara dengan Bibi gurumu 
itu!"
Tamtama yang sudah telanjur panas 
hatinya segera menyahut,
"Kurasa itu memang lebih baik 
daripada kau duduk di dalam rumah 
terhormat ini! Rumah Bibi Sendang Suci 
hanya untuk menerima tamu-tamu 
terhormat!" 
"0, jadi kau juga memilih di luar 
rumah saja?!"
"Aku orang terhormat, Kunyuk!" sentak 
Tamtama yang hanya mendapat senyuman 
ringan dari Yoga.
"Kasar sekali kau, Tamtama!" bentak 
Mahligai dengan mata melotot.
"Mengapa aku harus berbuat sopan 
dengan orang macam dia yang tak banyak 
bedanya dengan gelandangan jalanan?!" 
sambil Tamtama menuding Pendekar Rajawali 
Merah.
"Jaga mulutmu, Tamtama!" ucap Sendang 
Suci dengan pelan.
"Saya tak bisa menjaga mulut dan 
omongan saya sebelum gelandangan itu 
pergi dari sini, Bibi!"
"Perlukah aku yang menjaga mulutmu,

Orang terhormat?." sahut Pendekar 
Rajawali Merah dengan pandangan mata 
tajam ke arah Tamtama.
"Apa maksudmu?!" hardik Tamtama 
dengan mata terbuka lebar.
"Mungkin kau butuh seseorang untuk 
membungkam mulutmu biar terjaga dalam 
bicaranya?" jawab Yoga masih dengan 
tenang dan kalem.
"O, kau ingin memancing kemarahanku, 
hah?! Kau ingin mencoba ilmuku, Orang 
Hina?!"
"Tamtama...! Sendang Suci 
mengingatkan, tapi tidak digubrisnya.
"Tahan pukulanku kalau kau memang 
ingin menjajal ilmuku! Hiaaah!"
Wuutt..! Sinar hijau dilepaskan dari 
telapak tangan Tamtama dalam jarak hanya 
tiga tombak. Tapi dengan cekatan tangan 
Yoga berkelebat mengibas, dan angin 
kibasannya cukup kuat, hingga membuat 
sinar hijau itu melesat naik dan 
menghantam dahan pohon. Duaarrr...!
Brruuusss...! Dahan pohon itu jatuh 
dan hancur sementara mereka yang ada di 
bawahnya melompat menyebar ke lain arah. 
Kini keadaan Tamtama berhadapan persis 
dengan Yoga. Wajah Tamtama kelihatan 
garang dipanggang api kemarahan, 
sedangkan Yoga tetap tenang.
Tamtama segera mencabut pedangnya. 
Tapi dengan cepat kedua tangan Yoga

menyodok ke depan dengan telapak tangan 
terbuka dan tengadah ke atas. Zuuuttt...! 
Sodokan kedua telapak tangan itu membuat 
tubuh Tamtama tersentak ke belakang 
dengan sangat kerasnya dan masuk di sela-
sela dua batang pohon yang tumbuh 
bersebelahan, hampir merapat itu. 
Brusss...! Terjepitlah tubuh Tamtama di 
sana dan tak bisa bergerak, tak mampu 
berteriak kecuali erangan dengan suara 
tertahan.
Mahligai dan Sendang Suci bergegas 
menghampirinya dan berusaha mengeluarkan 
tubuh Tamtama yang terjepit kuat itu. 
Tapi mereka tak berhasil, sedangkan wajah 
Tamtama sudah merah kebiru-biruan bagai 
terjepit benda keras pada bagian ulu hati 
dan perutnya.
"Dia bisa mati kalau tidak segera 
dilepaskan dari dua pohon itu!" kata 
Sendang Suci kepada Yoga setelah ia 
bergegas mendekati Yoga.
“Yo, lepaskan dia...!" seru Mahligai.
Kemudian Pendekar Rajawali Merah 
berlari dan melompat ke udara, bersalto 
satu kali ke arah pertengahan atas kedua 
pohon tersebut. Lalu dengan dua kakinya 
yang menjejak ke kanan kiri dengan kuat 
pohon-pohon Itu tersentak ke samping dan 
salah satunya tumbang dengan akar 
tersentak keluar dari tanah. Brukkk...! 
Kraakkk...! Sedangkan pohon yang satunya

lagi hanya miring ke arah samping. Dengan 
begitu, tubuh Tamtama yang terjepit kuat 
itu kini bebas dari jepitan dua batang 
pohon besar, dan hal itu membuat Sendang 
Suci tertegun kagum memandangi kehebatan 
daya sentak kaki pemuda tampan tersebut.
*
* *
ENAM


SENDANG Suci membalutkan rempah-
rempah adonannya di sekujur tubuh 
Tamtama. Pengobatan itu dimaksudkan untuk 
memperlancar kembali aliran jalan darah. 
Karena pada bagian perut sampai ulu hati 
pemuda itu menjadi biru dan cekung 
membentuk benda yang telah menghimpit 
tadi.
Mahligai ada di dekat pembaringan 
itu. Wajahnya masih bersungut-sungut 
menahan jengkel. Suaranya terdengar 
seperti orang menggerutu,
"Kalau aku tidak mengingatkan Yoga, 
kau tidak akan dilepaskan dari himpitan 
dua pohon itu selamanya, Tamtama!"
"Kenapa kau tidak menyuruhnya 
membunuhku saja?" Tamtama pun bersungut-
sungut menahan kedongkolan hatinya, 
sambil menahan rasa sakit karena perutnya 
terasa linu jika dipakai bicara. Mahligai

menyahut,
"Yoga bukan seorang pembunuh yang 
keji. Dia seorang pendekar beraliran 
putih. Dia hanya akan bertindak demi 
kedamaian sesama umat manusia!"
"Hmm...! Kau selalu saja memujinya!"
Mahligai diam saja. Terbayang dalam 
benaknya saat ia saksikan sendiri Tamtama 
bertarung dengan para peserta landing 
laga di Bukit Sengkala. Pada waktu itu, 
pihak perguruan Tamtama mengadakan uji 
landing bagi murid-muridnya. Guru Tamtama 
yang sekarang sudah wafat itu; Ki Jipang 
Saga, sengaja memanggil beberapa jago 
dari Tanah Hulu. Jago-jago dari Tanah 
Hulu itulah yang akan diadu oleh beberapa 
murid pilihan Ki Jipang Saga, satu di 
antaranya adalah Tamtama.
Bagi Tamtama, terpilih sebagai murid 
yang akan diadu merupakan suatu 
kebanggaan tersendiri. la kabarkan hal 
itu kepada Mahligai. Dengan berapi-api 
saat itu Tamtama berkata,
"Aku terpilih sebagai murid teladan 
Ki Jipang Saga, Mahligai!"
"Apa maksudnya murid teladan?" tanya 
Mahligai kala itu.
"Dari sekian banyak murid Ki Jipang 
Saga, ada beberapa yang memang mampu 
memperdalam pelajaran dengan cepat, ada 
yang lamban. Aku dinilai dapat perdalam 
ilmu dengan cepat bersama kesembilan

temanku lainnya. Ketangkasan kami telah 
diuji sesama teman. Akhirnya dari 
kesepuluh murid dipilih lima orang untuk 
dinyatakan sebagai murid tercepat, 
tertangkas dan pandai menggunakan siasat 
bertarung. Lima murid itu adalah aku. 
Untuk menguji kegigihan kami, Guru 
memanggil lima jago dari Tanah Hulu. Tiga 
hari lagi kami akan diadu di Bukit 
Sengkala dengan lima jago Tanah Hulu 
itu."
"Kau juga akan diadu di sana?"
“Tentu. Karena aku satu-satunya murid 
yang punya nilai tertinggi dan diandalkan 
oleh guruku. Kau harus hadir di Bukit 
Sengkala untuk melihat kehebatan jurus-
jurusku, Mahligai." , ,
"Aku tak bersedia," jawab Mahligai 
cepat.
"Mengapa?" Tamtama mulai kecewa.
"Aku takut melihatmu terluka atau 
babak belur."
"Ha-ha ha ha...! Itu tidak mungkin, 
Mahligai. Tidak mungkin! Tamtama yang 
sekarang bukan Tamtama yang kau kenal 
beberapa tahun yang lalu. Karenanya, 
hadirlah dalam tanding laga di Bukit 
Sengkala nanti supaya kau tahu siapa 
diriku sebenarnya!"
Desakan itu akhirnya membuat Mahligai 
menuruti kehendak Tamtama. Tapi dalam 
hati kecil Mahligai sudah timbul rasa

tidak percaya akan ketangkasan Tamtama. 
Sebab dalam kesehariannya, jika Mahligai 
marah dan menyerang Tamtama, pemuda itu 
jarang bisa hindari serangan Mahligai. 
Bisa saja dikarenakan sikap mengalahnya 
Tamtama, tapi bisa juga dikarenakan 
kurang tangkasnya pemuda itu.
Pada hari yang sudah ditentukan, 
Tamtama membawa Mahligai ke Bukit 
Sengkala. Kehadirannya bersama Mahligai 
menjadi bahan kasak-kusuk oleh beberapa 
teman seperguruannya. Bahkan salah 
seorang teman sempat berkata kepada 
Tamtama.
"Kau memang layak mendapatkan gadis 
secantik dia. Tapi alangkah memalukan 
gadismu jika dalam pertarungan nanti kau 
tidak dapat tumbangkan dua lawanmu, 
Tamtama!"
Dengan rasa bangga dan tinggi hati, 
Tamtama menjawab, "Kelima jago dari Tanah 
Hulu akan kutumbangkan sekaligus! Aku tak 
ingin kecewakan Mahligai!"
"Bagus, bagus...!"temannya itu 
manggut-manggut dengan bangga.
Ki Jipang Saga mulai nadir bersama 
lima jago Tanah Hulu. Mereka berperawakan 
tinggi besar, rata-rata berkumis tebal. 
Wajah mereka berkesan angker dan berdarah 
dingin. Sebenarnya mereka adalah sahabat 
Ki Jipang Saga yang selalu ikut membina 
perkembangan perguruan tersebut, sehingga

sebelum mengawali pertarungan landing 
laga, Ki Jipang Saga lebih dulu berkata 
kepada para muridnya yang berkumpul 
mengelilingi arena landing tersebut.
"Murid-muridku, pertarungan ini kita 
adakan bukan sebagai permusuhan yang 
mempunyai dasar kebencian ataupun dendam. 
Pertarungan ini merupakan bagian dari 
pelajaran yang harus kalian terima, 
terutama bagi kelima murid teladan yang 
kupilih. Jadi kuharap, selesai 
pertarungan jangan timbulkan dendam di 
dalam hati kalian, jangan timbulkan 
kesombongan dalam sikap kalian. 
Pertarungan ini hanya sebagai penguji 
nyali dalam menghadapi orang asing yang 
tidak kalian kenal sebelumnya. Ingat, 
pertarungan ini tidak diperkenankan 
menggunakan senjata apa pun. Hanya boleh 
dilakukan dengan tangan kosong, tanpa 
tenaga dalam bersinar. Pertarungan ini 
bukan untuk saling membunuh, melainkan 
untuk saling mencuri kelemahan lawan. 
Paham?!"
"Pahaaam...!" jawab kelima murid 
teladan yang akan bertanding, termasuk
Tamtama. Kala itu, Tamtama berbisik 
kepada Mahligai yang berdiri dengan mulut 
terbungkam di sampingnya,
"Lihat saja permainanku nanti! Kau 
akan kagum melihat kecepatanku merubuhkan 
mereka satu persatu!"

Mereka sepertinya berdarah dingin dan 
tak kenal belas kasihan. Sekali kau 
gagal, mereka akan mencecarmu terus 
sampai kau tak berdaya lagi. Bisa-bisa 
satu pukulan mereka bisa bikin kau cedera 
berat, Tamtama. Kau harus hati-hati betul 
melakukannya!"
'Tenang saja. Tenang...!" Tamtama 
menepuk-nepuk pundak Mahligai. "Tak akan 
kubiarkan satu pun menyentuh tubuhku 
selain tangan dan kakiku! Mereka akan 
kubuat tercengang-cengang melihat 
kehebatan ku! Ingat, Mahligai.... mereka 
akan kubuat tercengang oleh kehebatanku!"
Mahligai hanya manggut-manggut kecil. 
Kemudian terdengar suara tepuk tangan 
riuh ketika teman Tamtama yang bernama 
Jayengrana tampil sebagai peserta pertama 
melawan orang berbaju kuning berperut 
sedikit buncit itu. Keadaan pun menjadi 
sedikit tegang ketika Jayengrana terdesak 
serangan lawannya, hingga akhirnya 
Jayengrana jatuh tersungkur tak mampu 
bangkit lagi. ia terpaksa digotong keluar
dari arena dan mendapatkan pengobatan 
seperlunya. Orang yang melakukan 
pengobatan itu juga dari pihak Tanah 
Hulu.
Diam-diam Mahligai berbisik, "Hati-
hati betul, Tamtama. Kelihatannya aliran 
silat mereka mempunyai gerakan-gerakan 
pendek namun berkecepatan tinggi. Kau

harus atur jarak dengan mereka."
“Tenang saja, itu sudah kupikirkan 
sebelum kau bicara! Jayengrana tidak mau 
gunakan siasat bertarung, jadi dia roboh 
dalam waktu singkat. Masa' hanya lima 
jurus saja dia sudah nungging begitu, he 
he he he...!"
Seorang teman lagi tampil, ia bernama 
Pratikta. Orang ini sedikit mampu imbangi 
permainan jurus jarak pendek lawan. la 
sedikit lumayan ulet hingga bisa membuat 
orang berbaju kuning itu terdesak mundur 
dan akhirnya menyerah. Lalu orang 
berpakaian serba hitam tampil melawan 
Pratikta. Orang berbaju hitam itu 
memainkan jurus-jurus jarak jauh. 
Pratikta mampu imbangi sampai delapan 
jurus, namun akhirnya ia tumbang karena 
kalah cepat bergerak dengan lawannya.
KI Jipang Saga berseru, "Baik. 
Sekarang giliran Tamtama, maju ke arena!"
Dengan gagah dan bangga Tamtama pun 
tampil setelah sebelumnya sempat berbisik 
kepada Mahligai,
"Lihat, perhatikan baik-baik, dan 
ingat...!"
Mahligai hanya mengangguk dengan 
sikap tetap tenang. Tamtama tampil 
menghadapi orang berbaju kuning yang tadi 
menumbangkan Jayengrana dengan lima 
jurus.
"Heaaat...!" Tamtama membuka jurus

pertama dengan gaya seekor naga ingin 
menyerang mangsanya. Orang berbaju kuning 
itu masih tenang-tenang saja. Tamtama 
melompat ke kiri, lalu ke kanan dan ke 
kiri lagi, melakukan gertakan-gertakan 
tipuan bagi lawan. Namun lawan tampak 
tetap tenang dengan matanya tak berkedip 
pandangi Tamtama.
Kejap berikutnya, Tamtama lakukan 
lompatan memutar dengan tendangan 
kipasnya. Wuutttt...! Tapi ternyata lawan 
lebih dulu dan lebih cepat bergerak 
menggunakan jurus sama. Wuusss...! Plak 
plak prak! Buuhg...! Pak, pak...!
Braasss..!
Tendangan dan pukulan beruntun 
dilancarkan oleh orang berbaju kuning. 
Tamtama gelagapan tak bisa hindari 
serangan tersebut. la pun terpental 
ketika lawan lakukan tendangan putar 
sekali lagi. Mulutnya semburkan darah dan 
ia pun jatuh terkapar tak berdaya lagi.
"Huuu...!" teman-temannya mengecam 
bersama. Tamtama tak dapat bangkit lagi. 
Kepalanya terasa mau pecan, dadanya 
bagaikan mau jebol. Hanya tiga jurus, 
Tamtama dibuat tak berkutik oleh 
lawannya. Mahligai diam saja, hanya 
tersenyum sinis dan meninggalkan arena 
dengan hati kecewa. Di perjalanan 
Mahligai waktu itu menggerutu,
"Omong besar! Masih mending

Jayengrana, mampu bertahan lima jurus. 
Dia baru tiga jurus sudah tak berdaya 
begitu! Hmmm...!"
Satu hal yang terjadi di luar dugaan 
Mahligai kala itu, bahwa ternyata 
sikapnya yang keluar dari kerumunan dan 
meninggalkan Bukit Sengkala itu merupakan 
tindakan yang dianggap menyinggung pera-
saan dan menghina perguruan. Ki Jipang 
Saga melihat kepergian Mahligai, kemudian 
segera perintahkan kepada beberapa 
muridnya untuk menangkap dan membawa 
kembali Mahligai. Tentu saja hal itu 
sangat mengejutkan Mahligai. la menolak 
untuk diajak kembali ke Bukit Sengkala.
"Jika kau ingin hadir sebagai 
penonton, kau harus menontonnya sampai 
selesai acara tanding laga itu. Jangan 
pergi begitu saja. Seolah-olah kau
meremehkan perguruan kami dan menghina 
jago-jago dari Tanah Hulu itu. Kami 
tersinggung dengan caramu seperti itu!" 
kata salah seorang teman Tamtama yang 
termasuk mendapat tugas membawa Mahligai 
kembali ke Bukit Sengkala.
Mahligai berkata, "Aku tidak ber-
maksud menghina perguruanmu. Aku hanya 
merasa tidak tertarik melihat pertarungan 
seperti itu. Kubayangkan akan terjadi 
pertarungan yang hebat, ternyata tidak 
hebat. Biasa-biasa saja, dan aku merasa 
tidak perlu menyaksikan sampai selesainya

acara tersebut!"
"Itu namanya meremehkan perguruan 
kami dan jago-jago Tanah Hulu!"
Perdebatan di kaki bukit mengundang 
perhatian mereka yang di atas. Ki Jipang 
Saga segera turun untuk hampiri Mahligai, 
semua muridnya ikut turun, bahkan jago-
Jago Tanah Hulu pun turun pula. Mereka 
segera membentuk lingkaran besar 
mengelilingi Mahligai yang sedang 
berdebat dengan tiga murid Ki Jipang 
Saga.
Dalam keadaan sempoyongan, Tamtama 
pun ikut turun dari atas bukit, maksudnya 
mau memintakan maaf kepada gurunya atas 
sikap Mahligai, tapi ia disingkirkan oleh 
teman-temannya. Kini Ki Jipang Saga hanya 
berdua dengan Mahligai di tengah 
lingkaran para muridnya.
"Maafkan saya, Ki Jipang Saga. Saya 
tidak bermaksud menghina perguruan Ki 
Jipang Saga maupun orang-orang Tanah 
Hulu. Saya hanya ingin pulang, karena 
sahabat saya; Tamtama itu, ternyata telah 
keok melawan jago-jago Tanah Hulu."
"Maaf tetap kami berikan. Tapi 
perasaan terhina kami belum lebur. Kau 
seolah-olah ingin mengatakan, bahwa 
perguruan kami tidak ada apa-apanya 
dibandingkan perguruanmu. Sekarang 
sebaiknya kau tunjukkan kepada kami, 
bagaimana seharusnya menghadapi lawan

seperti orang-orang dari Tanah Hulu itu."
"Ki Jipang Saga memaksaku untuk 
bertarung melawan lima jago dari Tanah 
Hulu itu?!"
"Anggaplah begitu. Setidaknya dengan 
begitu kau telah tunjukkan bahwa 
kepergianmu bukan semata-mata meremehkan 
perguruanku!"
Mahligai tarik napas panjang-panjang 
memendam kedongkolan. Tapi akhirnya ia 
berkata, "Baiklah! Akan kutebus 
kesalahanku ini!"
Maka, Ki Jipang Saga menyingkir dari 
arena, la bicara sebentar dengan kelima
jago dari Tanah Hulu itu. Kemudian, orang 
berbaju kuning yang tadi bikin Tamtama 
babak belur itu tampil lebih dulu. ia 
segera lakukan serangan mendadak kepada 
Mahligai. Dengan sigap dan lincah 
Mahligai sentakkan kakinya dan tubuhnya 
pun melenting di udara dengan cepat. 
Ketika ia mendarat kembali, orang berbaju 
kuning itu telah lancarkan tendangan 
kipasnya. Tapi Mahligai cepat kelebatkan 
tangan menangkis tendangan itu. 
Plaakkk...! Lalu, Mahligai memutar badan 
dengan cepat dan kakinya masuk ke perut 
lawan dengan telak.
Buhhg...! Wuuusss...!
Tendangan itu membuat lawan terpental 
sampai menabrak para penonton yang ada di 
belakangnya. Orang itu menyeringai dalam

keadaan terkapar di tanah, sukar 
bernapas. Hal Itu membuat murid-murid Ki 
Jipang Saga menjadi tercengang. Salah 
seorang bergumam lirih,
"Gila! Hanya satu jurus saja gadis 
itu bisa bikin orang ini tak berdaya 
lagi?! Ternyata dia lebih hebat dari 
Tamtama?.'"
Mahligai disambar orang berbaju hitam 
yang tadi kalahkan Pratikta. Sambaran 
kaki orang tersebut membuat tangan 
Mahligai berkelebat menghantam mata kaki 
dengan dua jarinya. Taakk...! Orang Itu 
langsung jatuh dan memekik tak tanggung-
tanggung lagi.
"Aaaa...!" ia merasakan sakit dari 
mata kaki sampai ke ubun-ubun.
Dua jago dari Tanah Hulu lainnya 
segera maju serempak. Namun dengan hanya 
satu jurus, Mahligai mampu tumbangkan 
mereka secara bersamaan. Bahkan orang 
terakhir dari Tanah Hulu yang tampil 
menyerang Mahligai, sempat dibuat 
terpental jauh, sekitar sepuluh tombak, 
sebelum ia sempat menyentuh Mahligai 
sedikit pun. Orang itu muntah darah di 
tempatnya jatuh terkapar.
Lima jago dari Tanah Hulu mampu 
dikalahkan Mahligai dalam waktu yang amat 
singkat. Tentu saja hal itu membuat para 
murid Ki Jipang Saga terkagum-kagum 
hingga tak bisa keluarkan suaranya.

Tamtama yang melihat kejadian itu merasa 
malu sekali, ia hanya bisa tundukkan 
kepalanya, tak berani memandang Mahligai.
Ketika Ki Jipang Saga mendekati 
Mahligai, gadis itu bertanya,
"Sudan puaskah orang-orangmu melihat 
kejadian ini, Ki Jipang Saga?"
Ki Jipang Saga diam sebentar, 
kemudian ia bahkan bertanya, "Kau murid 
perguruan mana, Nona?"
"Aku tidak punya perguruan!" jawab 
Mahligai sedikit ketus karena masih 
merasa dongkol dipaksa harus bertarung di 
depan para murid Ki Jipang Saga itu. 
Mahligai kembali ajukan tanya,
"Boleh aku tinggalkan tempat ini?!"
Dengan jujur dan kesatria, Ki Jipang 
Saga mengakui kehebatan Mahligai dan 
berkata, "Silakan. Terima kasih atas 
kesediaanmu memberikan contoh terbaik 
pada murid-muridku."
Gadis itu pun segera tinggalkan 
tempat tersebut, tanpa peduli suara para 
murid Ki Jipang Saga menjadi bergemuruh 
seperti ratusan lebah bergaung. Mereka 
saling berkasak-kusuk sambil pandangi 
kepergian Mahligai. Tamtama segera 
memburunya dengan langkah lambat. la 
memanggil-manggil Mahligai, namun 
Mahligai tak mau berhenti ataupun 
berpaling satu kali pun.

*
**
Mahligai tergugah dari lamunan 
panjang, karena suara Tamtama yang 
menyuruhnya meninggalkan dirinya di 
pembaringan sendirian. Mahligai pun 
pergi. la mencari-cari bibinya, ternyata 
sang Bibi sedang bicara dengan Yoga di 
bawah sebuah pohon, di belakang rumah. 
Mahligai membiarkan bibi gurunya terlibat 
percakapan penting dengan pemuda tampan 
itu, walau sesekali Sendang Suci mencuri 
pandang dan menyimpan kekaguman dalam 
hatinya terhadap ketampanan Yoga. 
Sekalipun demikian, Sendang Suci bisa 
bersikap wajar-wajar saja dalam 
bicaranya, sehingga tak seorang pun tahu 
isi hatinya.
"Aku mengenal nama Dewi Langit Perak 
sebagai perempuan sakti yang sering 
menunggangi burung Rajawali Putih," kata 
Sendang Suci ketika percakapan mereka 
mencapai pada masalah yang sedang 
dihadapi Yoga. Sendang Suci berkata lagi,
"Seingatku, dialah istri dari Dewa 
Geledek yang dulunya bernama Empu 
Dirgantara."
"Memang benar. Dewi Langit Perak 
adalah nyai guruku, istri dari guruku 
sendiri! Wasiat dari Guru sebelum 
meninggal, aku harus mencari Nyai Guru

Dewi Langit Perak bersama burung rajawali 
nya. Tapi aku tak tahu dimana beliau 
berada dan ke mana arah yang harus 
kutempuh pertama kalinya?"
"Apakah kau bermaksud berguru lagi
dengan Dewi Langit Perak?"
"Aku belum bisa menjawab, karena aku 
belum pernah Jumpa dengan beliau! Tidak 
semua orang sakti mau menerimaku sebagai 
muridnya!"
"Memang benar," jawab Sendang Suci. 
Tapi seandainya kau tidak berguru lagi
kepada Dewi Langit Perak, ilmumu pun 
sudah cukup tinggi, Yo! Dari caramu 
menghindari serangan Tamtama dan caramu 
menghajar Tamtama sampai membelah dua 
batang pohon itu, aku yakin hanya orang 
berilmu tinggi yang bisa melakukannya 
begitu. Kurasa kau sudah tidak perlu 
mencari seorang guru lagi, Yo!"
"Terlepas dari soal berguru ataupun 
tidak, tapi aku harus melaksanakan amanat 
dari guruku, Bibi! Aku harus mencari Nyai 
Guru!"
"Kalau begitu, kau harus menuju ke 
arah Gunung Menara Salju. Karena beberapa 
orang pernah melihat burung Rajawali
Putih terbang ke arah sana dengan dua 
penunggangnya. Tapi sejak itu, karena tak 
pernah lagi melihat burung Rajawali Putih 
terbang mengelilingi angkasa. Barangkali 
Dewi Langit Perak bersemayam di Gunung

Menara Salju'"
"Dua orang penunggang...?!" gumam 
Yoga sambil berkerut dahi.
"Kabar yang terakhir kudengar dari 
seorang pengelana memang begitu. Apakah 
benar dua orang penunggang atau hanya 
satu tapi kelihatannya seperti dua orang, 
itu tak tahu dengan pasti! Tapi 
menurutku, kau bisa mencari keterangan 
dengan penduduk yang tinggal di kaki 
Gunung Menara Salju! Kabar itu kudengar 
lima tahun yang lalu, tapi sejak itu tak 
pernah lagi ada orang membicarakan 
tentang burung Rajawali Putih. Jadi 
menurut dugaanku, sudah lima tahun yang 
lalu Dewi Langit Perak bersemayam di 
sana, mungkin juga lebih dari lima 
tahun!"
"Jika begitu," kata Yoga setelah diam 
beberapa saat, "Aku harus segera 
berangkat ke Gunung Menara Salju, Bibi!"
"Mengapa harus tergesa-gesa? Tidakkah 
kau ingin beristirahat di pondokku untuk 
beberapa saat?"
“Tidak, Bi. Amanat dari mendiang Guru 
kalau tidak segera kukerjakan, terasa 
mengganjal dalam hidupku, Bi!"
Mata Sendang Suci menatap tak 
berkedip, berkesan penuh kelembutan yang 
sarat dengan makna kejiwaan. Dengan tutur 
kata yang lembut pula, Sendang Suci 
berkata kepada Yoga.

"Barangkali kau membutuhkan seorang 
penunjuk Jalan, Yo! Dan rasa-rasanya aku 
punya kesanggupan untuk menjadi penunjuk 
jalanmu!"
Yoga tersenyum dalam keramahan. 
Senyum itu membuat hati Sendang Suci 
bergetar kuat dan bahkan jantungnya pun 
terasa cepat detakannya. Yoga segera 
berkata dengan lembut pula,
"Terima kasih, Bi! Kesanggupanmu 
menjadi penunjuk jalanku bukan kutolak, 
tapi aku merasa cukup sendirian pergi ke 
sana! Kurasa bantuanmu menceritakan 
tentang Gunung Menara Salju tadi sudah 
banyak membantu pencarian ku terhadap 
Nyai Guru Dewi Langit Perak.
Aku tak ingin merepotkan Bibi terlalu 
banyak lagi!"
Sendang Suci juga sunggingkan senyum 
tuanya yang masih manis dan enak di 
pandang mata itu, kemudian la berkata,
"Aku tak akan memaksakan kehendak
jika memang Itu keputusanmu, Yo. Tetapi 
pesanku, jika- kau sudah berjumpa dengan 
Dewi Langit Perak, sampaikan salamku 
kepada beliau. Beliau pasti mengenal aku 
karena dulu aku pernah ditolongnya dari 
serangan orang-orang Mongol. Dan jika kau 
pulang dari Gunung Menara Salju, jangan 
lupa, sempatkan mampir ke pondokku ini, 
Yo!"
Zraap...! Tiba-tiba ada sekelebat

bayangan yang melintas cepat di 
kerimbunan pohon, jauh dari tempat mereka 
berdua berbicara. Namun, baik Yoga maupun 
Sendang Suci sama-sama melihat kelebatan 
aneh yang ada di kerimbunan pohon 
seberang sana. Mereka sama-sama saling 
pandang dan Yoga segera berkata,
"Ada orang yang mengintai kita 
rupanya!"
"Kurasakan begitu juga," jawab 
Sendang Suci. "Diamlah di sini. Aku akan 
memeriksa hutan seberang sana!"
Sendang Suet merasa bertanggung jawab 
terhadap keamanan dan keselamatan 
tamunya. Karena itu, Sendang Suci segera 
melesat pergi mencari sesosok bayangan 
yang tak jelas wujudnya itu di kerimbunan 
hutan seberang. Sementara itu, Yoga 
segera menuju ke rumah setelah beberapa 
saat ia menunggu Sendang Suci dan 
perempuan itu belum juga kembali. Yoga 
ingin menemui Mahligai untuk membicarakan 
apa yang sudah dibicarakan dengan Bibi 
Sendang Suci.
Pada saat Yoga tiba di sana, Tamtama 
sedang berusaha bangkit dari rebahannya 
dengan menyeringai kesakitan. Mahligai 
yang membantu Tamtama untuk bangkit dan 
duduk itu, menjadi terperanjat dan tak 
enak hati, sebab Yoga pasti melihat 
tangan Mahligai memegangi punggung 
Tamtama. Mahligai takut Yoga cemburu,

tetapi ternyata Yoga justru tersenyum dan 
berkata kepada Tamtama,
"Maafkan sikapku tadi, Tamtama! 
Sebaiknya kucoba memulihkan kekuatanmu 
dan menghilangkan rasa sakitmu itu. 
Berbaliklah ke belakang, Tamtama!"
Namun mata Yoga dipandangi oleh 
Tamtama dengan sikap tidak bersahabat. 
Yoga hanya tersenyum dan tetap ramah 
kepada Tamtama. Lalu, pelan-pelan Tamtama 
memutar tubuhnya dan memunggungi Yoga.
Punggung yang tanpa baju itu terbuka 
lebar di depan Yoga. Kemudian, dua jari 
tengah Yoga ditempelkan Ke punggung 
tersebut. Kedua jari tengah Yoga itu 
menyala biru lembut. Yoga memejamkan 
matanya beberapa saat dengan tangan 
sedikit gemetar. Kejap berikutnya nyala 
biru pada kedua jari tengah Yoga Itu 
menjadi padam. Yoga pun menarik kembali 
kedua jarinya dan segera berkata,
"Moga-moga tak berapa lama lagi 
keadaanmu pulih, Tamtama! Dan aku mohon 
pamit kepada kalian berdua!"
"Yo...?! Kau mau ke mana?!" Mahligai 
mulai bernada cemas.
"Aku harus pergi ke Gunung Menara 
Salju. Karena menurut keterangan bibimu, 
berita terakhir yang diterimanya tentang 
Dewi Langit Perak dan burung Rajawali 
Putihnya, terbang ke arah Gunung Menara 
Salju! Sekalipun hal itu terjadi lima

tahun yang lalu, tapi bibimu menyarankan 
agar aku mencarinya ke sana, menanyakan 
kepada para penduduk yang tinggal di kaki 
gunung tersebut."
"Aku ikut!" sahut Mahligai. 
"Bibi tidak akan mengizinkan kau ikut 
dengannya, Mahligai," kata Tamtama dengan 
cepat dan dengan perasaan tak suka 
terhadap usul Mahligai.
Pendekar Rajawali Merah pun berkata 
dalam senyumnya, "Tak perlu ada yang ikut 
denganku? ini urusan pribadi yang tak 
bisa melibatkan orang lain terlalu dalam, 
Mahligai! Kurasa kau tetaplah tinggal 
bersama bibi gurumu di sini!"
'Tidak. Aku harus ikut! Kau belum 
tahu betapa sulitnya menembus hutan 
Gunung Menara Salju, Yo! Untuk menuju ke 
sana pun kau harus melewati ngarai yang 
curam dan licin!"
"Aku bisa atasi semua itu! Justru 
kalau kau ikut, aku akan kerepotan 
menjaga keselamatanmu!"
Yoga sengaja berkata begitu di depan 
Tamtama, supaya Tamtama tahu bahwa Yoga 
tidak punya maksud merebut kekasih 
Tamtama. Dan Tamtama melihat sendiri 
wajah Mahligai menjadi cemberut dan 
bersungut-sungut
Yoga bergegas keluar dari rumah 
ketika melihat langkah Sendang Suci 
pulang dari memburu pengintai gelap itu.

Di depan pintu Yoga berdiri dan Sendang 
Suci berkata pelan bagai berbisik,
“Tak kutemukan siapa pun di sana!" 
"Lupakanlah, Bi! Yang penting 
waspadalah terhadap hal-hal yang 
sekiranya nanti terjadi. Dan, agaknya aku 
harus pamit sekarang juga, Bi!"
Sejenak Tabib Perawan yang belum 
pernah mengagumi seorang lelaki untuk 
yang kedua kalinya, kali ini memandang 
kagum lagi kepada Yoga. Menurutnya, wajah 
itu lebih menawan dari wajah bekas 
kekasihnya yang dulu mati dibunuh orang 
tak dikenal. Tabib Perawan bagaikan 
memuaskan diri menikmati ketampanan dan 
pesona indah yang ada pada diri Pendekar 
Rajawali Merah itu. Setelah merasa puas 
memandang, perempuan tersebut pun berkata 
dengan pelan,
"Berangkatlah dan hati-hati di jalan! 
Aku tak ingin mendengar berita tentang 
dirimu yang menemui celaka apa pun, Yo!"
"Kuperhatikan pesan Bibi itu!" jawab 
Yoga sambil tersenyum.
Mahligai segera muncul dari dalam 
rumah dan berseru, "Yo, aku ikut 
denganmu!"
"Jangan, Mahligai!" cegah bibinya.
"Aku hanya ingin mengantar dia sampai 
di ngarai saja!"
Tamtama keluar dari kamar, badannya 
sedikit lemas tapi rasa sakitnya sudah

lenyap. Rupanya cara penyembuhan yang 
dilakukan oleh Yoga tadi mempercepat 
hilangnya rasa sakit dan memulihkan 
kekuatannya, walau tak sepenuh 
sebelumnya.
Tamtama langsung berkata, "Mahligai, 
tak pantas seorang gadis memaksakan diri 
mendampingi pemuda yang tidak mau 
bersamanya!"
"Kau tidak berhak melarangku!" sergah
Mahligai sambil berpaling ke belakang.
"Aku hanya mengingatkan kamu, supaya 
kamu punya harga diri di depan pemuda 
itu!"
"Dia lebih bisa menghargai diriku 
ketimbang kau, Tamtama!" debat Mahligai 
dengan keras. Tamtama merasa jengkel dan 
menggerutu tak jelas.
*
**
TUJUH


TERNYATA orang yang terlihat
mengintip percakapan Yoga dengan Sendang 
Suci Itu adalah seorang gadis cantik 
bertubuh ramping dan berpakaian warna 
merah dengan rompi ketat biru muda yang 
bagian depannya terkancing rapat. ia 
mempunyai bentuk wajah yang sedikit 
lonjong tapi kecantikannya cukup memukau

lawan jenis. Gadis berambut panjang yang 
diikat menjadi satu dengan pita merah 
sutera itu adalah keponakan dari Jalak 
Hutan yang bernama Mutiara Naga. 
Hubungannya dengan Sendang Suci cukup 
baik, sering minta nasihat tentang segi 
pengobatan.
Sebenarnya Mutiara Naga tadi ingin 
temui Tabib Perawan itu, namun demi 
melihat seraut wajah tampan milik seorang 
pendekar muda, Mutiara Naga urungkan 
niatnya datang ke pondok Sendang Suci. la 
lebih merasa senang memandang pemuda 
tampan itu dari balik persembunyiannya, 
karena dengan begitu apa yang ingin 
dipandangnya dapat dilakukan tanpa rasa 
kikuk dan malu kepada Sendang Suci.
"Menarik sekali dia. Hatiku bisa 
bergetar bila memandanginya. Getaran ini 
cukup indah. Tapi... agaknya Mahligai pun 
menaruh minat kepada pemuda itu. Tak enak 
jika aku tampilkan diri di depan mereka. 
Ada baiknya kuikuti saja nanti jika 
pemuda itu pergi dari rumah Tabib 
Perawan. Aku bisa berkenalan dengannya 
secara bebas jika tidak di rumah Bibi 
Sendang Suci itu!" pikir Mutiara Naga 
yang membuat ia bertahan di 
persembunyiannya.
Maka ketika ia melihat Yoga 
tinggalkan tempat itu, la pun segera 
mengikutinya dari jarak tak seberapa

jauh. Namun tiba-tiba langkahnya 
dipatahkan oleh kekuatan tenaga dalam 
yang dilepaskan dari Jarak jauh. Angin 
padat menghantam pinggang Mutiara Naga, 
membuatnya jatuh terjungkal dan 
berguling-guling di tanah.
"Keparat! Siapa yang berani 
menyerangku dengan sembunyi-sembunyi?! 
Melihat jenis serangannya yang begitu 
kuat tanpa bunyi dan hawa sedikit pun, 
pasti serangan itu datangnya dari orang 
Perguruan Belalang Liar! Hmmm... siapa 
orangnya yang menggunakan pukulan jarak 
jauh milik orang Perguruan Belalang Liar 
tadi?!"
Mata tajam Mutiara Naga memandang 
sekelilingnya dengan penuh selidik. 
Kemudian pandangan matanya tertuju pada 
serumpun bambu dalam jarak delapan tombak 
darinya. Serumpun bambu itu mencurigakan, 
sehingga Mutiara Naga pun mengirimkan
pukulan jarak jauhnya ke arah tersebut 
dengan melepaskan sinar merah dari 
telapak tangan kirinya.
Wuuut...! Wesss...!
Duaar...!
Sinar merah itu menghantam hancur 
serumpun bambu tersebut. Tapi tak ada 
sesosok bayangan yang berkelebat 
meninggalkan tempat tersebut. Mutiara 
Naga menyipitkan pandangan matanya yang 
mencari orang yang menyerangnya di

sekeliling serumpun bambu yang sudah 
hancur berantakan itu.
Rupanya Mutiara Naga salah sasaran. 
Orang yang dicarinya ada di bawah tanaman 
perdu yang tingginya hanya sebatas 
pinggul itu. Orang tersebut bersembunyi
di sana dengan menelungkupkan tubuhnya. 
Orang itu sekarang bangkit dan 
menampakkan diri setelah ia puas melihat 
Mutiara Naga kebingungan mencarinya. 
Orang itu langsung tertawa dengan suara 
lengking meninggi, membuat gendang 
telinga terasa mau pecah. Mutiara Naga 
segera menutup kedua telinganya dengan 
menggunakan telapak tangannya.
"Hik hik hik hik hiiik...! Kau 
seperti kucing kehilangan ekornya, 
Mutiara Naga! Hik hik hik hiiik...!"
Setelah tawa itu terhenti, kedua 
tangan Mutiara Naga pun dilepaskan dari 
telinga. Tapi ia siap bergerak menutup 
telinga lagi jika didengarnya perempuan 
yang berdiri dalam jarak delapan langkah 
itu akan tertawa lagi. Mutiara Naga tahu, 
tawa itu jelas tawa yang mengandung 
kekuatan tenaga dalam untuk memecahkan 
gendang telinga lawan. Hanya orang-orang 
Perguruan Belalang Liar saja yang bisa 
melakukan tawa seperti itu.
"Biadab kau, Merak Betina!" maki 
Mutiara Naga kepada perempuan berusia 
antara dua puluh tujuh tahun itu.

Perempuan cantik berwajah mungil 
indah, bermata bundar dan bertahi lalat
kecil dl ujung dagu kirinya itu hanya 
menyunggingkan senyum sinis sambil maju 
dua tindak. la mengenakan pakaian hijau 
muda dengan rompi panjang sebetis 
berwarna kuning gading. Rambutnya panjang 
sebahu diikat kain merah yang melilit di 
kepalanya. Selain ia menyelipkan pisau 
besar semacam pisau berburu, juga 
mengenakan sabuk dari kulit binatang 
warna hitam yang mempunyai banyak pisau 
kecil melingkari pinggangnya. Pisau-pisau 
terbang itu dalam keadaan slap cabut dan 
siap melayang ke arah lawannya kapan 
saja.
"Tiba saatnya kita bikin perhitungan, 
Mutiara Naga!" ucap Merak Betina dengan 
lantangnya. "Kalau dulu kau membunuh tiga 
orang perguruanku, sekarang aku sendiri 
yang akan menebus nyawa mereka dengan 
mencabut nyawamu, Mutiara Naga!"
"Aku terpaksa membunuh ketiga 
orangmu, karena mereka melukai adikku 
hingga cacat kakinya! Jadi pantaslah 
kalau aku berbuat kejam terhadap mereka, 
karena mereka mendului bertindak kejam 
pada keluargaku, Merak Betina!"
Terbayang wajah adik lelakinya di 
benak Mutiara Naga yang bernama Wibawa 
Arga. Sebenarnya hubungan Mutiara Naga 
dengan Wibawa Arga tidak terlalu rukun.

Sering terjadi selisih paham dan cekcok, 
terkadang mereka sampai berkelahi hanya 
perkara kecil. Wibawa Arga selalu dibela 
oleh ayah Mutiara Naga, sehingga Mutiara 
Naga akhirnya memilih hidup menyendiri 
walau tidak berarti berkelana jauh dari 
keluarganya.
Tetapi ketika ia mendengar Wibawa 
Arga mengalami nasib buruk, sebagai 
kakak, Mutiara Naga tetap saja tak tega 
untuk membiarkan adik kandungnya bernasib 
buruk. Mutiara Naga segera pulang ke 
rumah dan ia sangat terkejut melihat 
kedua kaki adiknya ternyata telah 
buntung. Mendidih darah Mutiara Naga kala 
itu.
"Siapa yang lakukan semua ini, Wibawa 
Arga?! Katakan, siapa?!" sentak Mutiara 
Naga.
"Mereka yang lakukan!"
"Mereka siapa? Jawab dengan jelas!"
Wibawa Arga diam sebentar, kemudian 
menjawab, "Orang-orang Perguruan Belalang 
Liar."
Terdengar gigi Mutiara Naga 
menggeletuk menahan kemarahannya. Lalu, 
Wibawa Arga menceritakan duduk perka-
ranya. Ia ingin jumpa dengan gadis yang 
ditaksirnya, murid Perguruan Belalang 
Liar yang bernama Merak Betina. Tetapi ia 
justru terlibat pertikaian dengan gadis 
lain, hingga diluar kesadarannya ia telah

membunuh gadis itu.
Wibawa Arga akhirnya ditangkap oleh 
orang-orang Perguruan Belalang Liar yang 
dipimpin oleh Kembang Mayat. Wibawa Arga 
diadu dengan seorang murid Kembang Mayat 
yang jago pedang. Akhirnya, Wibawa Arga 
bernasib malang. Kedua kakinya berhasil 
dibuntungi oleh orang tersebut, kemudian 
ia dibuang di tepi jalan menuju ke 
kadipaten. Seseorang menemukannya, lalu 
mengantarkan Wibawa Arga pulang. Sejak 
itulah, Mutiara Naga benci dan menaruh 
dendam kepada orang Belalang Liar dan 
berhasil membunuh tiga anggota perguruan 
tersebut.
Kini ia bertemu dengan Merak Betina, 
dan saat itu Merak Betina berkata, "Kau 
berhutang nyawa pada kami, dan harus kau 
bayar!"
"Kalau itu kehendakmu, terimalah 
pukulan 'Naga Setan' ku ini! Hiaaah...!" 
Mutiara Naga berkelebat tangannya 
seperti membuang sesuatu ke arah depan. 
Pan bersamaan dengan itu terlepaslah 
sinar merah berpendar-pendar yang 
melayang cepat menghantam tubuh Merak 
Betina. Tetapi agaknya perempuan berwajah 
mungil Itu cukup sigap menghadapi 
serangan lawannya. la sentakkan telapak
tangan kirinya yang mengeluarkan cahaya 
sinar putih bagai sebatang tongkat tak 
lebih dari satu jengkal panjangnya.

Wuuttt..,! Sinar putih perak itu 
menghantam sinar merah dan terjadilah 
benturan dan dentuman yang cukup hebat. 
Blarrr...!
Gelombang getaran yang timbul dari 
ledakan itu menghempas kedua arah. Merak 
Betina tersentak mundur tiga tindak, 
sedangkan Mutiara Naga terpental sejauh 
lima langkah dan terhuyung-huyung jatuh.
Melihat lawannya terhuyung-huyung, 
dengan cepat kedua tangan Merak Betina 
melepaskan sesuatu ke depan. Wuutt, 
wuuttt...! Ternyata ia telah mencabut dua 
pisau terbangnya yang dilemparkan dengan 
gerakan amat cepat ke arah tubuh lawan. 
Zingng, zingng...!
Kemilau dua sinar yang timbul dari 
pantulan matahari ke logam putih pisau 
terbang itu membuat mata Mutiara Naga 
terkesiap sekejap, lalu ia melompat 
dengan sentakan kakinya dan pedang pun 
tercabut dengan cepat. Sraat...! Lalu 
dikibaskan ke arah datangnya dua pisau
kecil tersebut.
Tring, tring...! Pisau itu berhasil 
dihalaunya dan mental ke arah sebatang 
pohon. Keduanya sama-sama menancap di 
satu batang pohon yang ada di sebelah 
kiri Mutiara Naga. Jrub, jruub...!
"Hiaaat...!" Mutiara Naga cepat 
melompat dan bersalto di udara dua kali, 
kemudian ketika tubuhnya hendak mendarat,

pedangnya ditebaskan ke arah dada 
lawannya. Wuuttt...
Merak Betina berhasil menghindari 
tebasan itu dengan lompat ke belakang 
satu tindak. Dengan cepat ia cabut pisau 
besarnya dan ganti menebaskannya ke perut 
Mutiara Naga. Wuusss...!
Hampir saja perut Mutiara Naga robek 
oleh pisau besar itu seandainya ia tidak 
segera menarik diri mundur dalam satu 
lompatan cepat. Bersamaan dengan itu, 
kaki Merak Betina berkelebat menendang 
dan berhasil mengenai wajah Mutiara Naga. 
Wuuutt...! Plokkk...!
"Biadab kau!" geram Mutiara Naga 
setelah merasakan bibirnya berdarah 
akibat tendangan Merak Betina.
Maka dengan cepat Mutiara Naga 
kibaskan pedangnya ke sana-sini hingga 
terdengar bunyi menggaung; wuungng, 
wuung...! Dan mata Merak Betina mengikuti 
tiap gerakan pedang karena takut datang 
menyerang sewaktu-waktu. Namun ternyata 
jurus itu hanya jurus tipuan belaka, 
sehingga Merak Betina tak sempat 
menghindar ketika pukulan jarak jauh 
berwarna hijau gelap itu terlepas dari 
tangan kiri Mutiara Naga. Zlaap...! 
Buhhg...! "Aaahg...!"
Sinar hijau sebesar lebar telapak 
tangan Itu menghantam telak dada Merak 
Betina. Tubuh yang terhantam sinar hijau

gelap itu terpental mundur dan membentur 
sebatang pohon. Tubuh Merak Betina 
mengerang kesakitan di bawah pohon itu, 
sambil memegangi dada kanannya yang 
terbakar dan hangus. Pakaiannya menjadi 
hitam dan bolong serta mengepulkan asap 
putih kehitaman.
Melihat lawannya terkulai tak 
berdaya, Mutiara Naga segera sentakkan 
kakinya, tubuhnya segera meluncur terbang 
ke arah lawan dengan pedang terarah 
kedepan, siap menusuk dada lawannya.
Tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan 
melintas di depan mata Mutiara Naga.
Jrubb...! Ujung pedang itu menusuk 
batang pohon hingga masuk hampir separo 
bagian. Mutiara Naga terkesiap melihat 
Merak Betina telah lenyap dari bawah 
pohon itu. Cepat-cepat Mutiara Naga 
mencabut pedangnya itu dan berpaling ke 
belakang.
"Oh, kau...?!" gumamnya kaget begitu 
melihat seorang pemuda tampan berpakaian 
putih lengan panjang dilapis selempang 
warna coklat dan celana merah diikat 
menjadi satu dengan baju bulunya dengan 
kain warna hitam tebal. Pemuda berambut 
panjang tanpa ikat kepala itu tak lain 
adalah Pendekar Rajawali Merah.
Mutiara Naga yang berdiri di depan 
pendekar tampan dalam jarak tiga tombak 
itu tiba-tiba jatuh terkulai karena

kepalanya mendadak pusing dan berat 
sekali. la tidak tahu bahwa pada saat 
Pendekar Rajawali Merah berkelebat 
menyambar tubuh Merak Betina, ia telah 
melepaskan pukulan lembut bercahaya putih 
yang sangat cepat. Pukulan itu dinamakan 
pukulan 'Cakar Ger-sang', yang dapat 
membuat lawan menjadi pusing, berat 
kepalanya dan mual perutnya. Tak terlalu 
berbahaya, tapi cukup untuk melumpuhkan 
lawan dalam sekejap.
"Kenapa dengan diriku...?!" ucap 
Mutiara Naga tak sadar.
Pendekar Rajawali Merah berkata, 
"Maaf, aku tidak bermaksud memihak lawan
mu dan mencelakai kamu! Aku hanya ingin 
memisahkan pertarungan kalian dan 
menyelamatkan perempuan yang sudah tak 
berdaya ini, Nona! Terpaksa kulepaskan 
pukulan 'Cakar Gersang' untuk menghen-
tikan seranganmu yang sangat berbahaya 
bagi keselamatan nyawa perempuan ini!" 
"Kau... kau... aduh, kepalaku sakit 
sekali!" Mutiara Naga terkulai jatuh 
semakin terbaring. Napasnya terengah-
engah dan keringat dinginnya pun keluar. 
Terdengar Yoga berkata dari jarak lebih 
dekat lagi, "Aku membutuhkan perempuan 
ini, karena tadi kudengar ia tertawa 
begitu lengkingnya, bisa untuk dipakai 
memanggil seekor burung di angkasa! 
Sekali lagi, maaf... kupinjam sebentar

lawanmu ini untuk satu keperluan! Kelak 
akan kukembalikan padamu, Nona!"
Setelah berkata begitu, Yoga 
berkelebat pergi sambil membawa Merak 
Betina yang terkulai di atas pundak kiri 
Yoga. Mutiara Naga hanya memperhatikan 
kepergian Yoga, tak bisa mengejar karena 
sekujur badannya menjadi lemas lunglai 
untuk beberapa saat.
*
**
DELAPAN


KALAU tidak segera ditangani Yoga, 
Merak Betina tidak akan tertolong lag! 
jiwanya. Pukulan Mutiara Naga sungguh 
dahsyat dan berbahaya. Beruntung sekali 
Merak Betina mempunyai suara tawa yang 
lengking, sehingga menarik perhatian Yoga 
dan segera disembuhkan oleh Pendekar 
Rajawali Merah itu. 
Tetapi agaknya ada salah pengertian 
pada diri Merak Betina. Ketika ia sadar 
penolongnya adalah seorang pendekar 
tampan dan punya daya pikat tinggi itu, 
Merak Betina merasa mendapat kesempatan 
untuk membuka hatinya. Pikirnya, Pendekar 
Rajawali Merah itu telah terpikat olehnya 
dan karena itu membawanya lari dari 
pertarungannya dengan Mutiara Naga.

Tak heran jika Merak Betina sejak 
saat itu merapatkan diri terus kepada 
Pendekar Rajawali Merah dan menampakkan 
kesetiaan dan kelembutan kasih sayangnya. 
Yoga sendiri mulai membaca sikap yang 
salah arti itu, sehingga terang-terangan 
Yoga berkata,
"Aku menolongmu dan membawamu lari 
karena kudengar kau mempunyai suara tawa 
yang lengking. Suara tawamu itu dapat 
dipakai untuk memanggil seekor burung 
Rajawali Putih yang sedang kucari-cari. 
Karena itu, aku ingin mengajakmu ke 
Gunung Menara Salju dan memperdengarkan 
suara tawamu di sana. Jujur saja, suara 
tawamu itu mirip sekali dengan panggilan 
minta tolong bagi seorang burung 
rajawali!"
"Aku mau membantumu mencari burung 
Rajawali Putih di Gunung Menara Salju, 
tapi aku harus mendapatkan sesuatu dari 
pertolonganku itu! Aku minta upah!"
"Berapa upah yang kau minta?" tanya 
Yoga sambil tersenyum geli.
"Bukan berupa uang atau emas 
permata!"
"Lalu, upah apa yang kau minta?"
"Perhatian darimu!"
Yoga tertawa lepas. Tawanya itu 
membuat Merak Betina malu dan bersungut-
sungut menahan senyum sambil mencubit
lengan pemuda ganteng Itu. Si pemuda

ganteng tak merasakan cubitan tersebut, 
tapi lebih berpikir tentang cara 
menolaknya. Satu-satunya cara yang bisa 
dilakukan hanya dengan berkata,
"Beri aku kesempatan untuk 
memikirkannya setelah kutemukan burung 
Rajawali Putih itu!"
"Uhhg...!" tiba-tiba Merak Betina 
terpekik dengan tubuh tersentak ke depan, 
hampir jatuh jika tidak berpegangan 
lengan Yoga. Rupanya ada seseorang yang 
melepaskan pukulan jarak jauh ke punggung 
Merak Betina dari belakang.
Setelah menangkap tubuh Merak Betina 
yang tersentak ke depan sambil 
menyeringai kesakitan itu, Pendekar 
Rajawali Merah segera berpaling ke 
belakang, dan ia menemukan seorang gadis 
nakal dan bandel telah berdiri di bawah 
sebuah pohon dengan wajahnya yang murung 
dan cemberut. Gadis berpakaian kuning itu 
tak lain adalah Mahligai, murid dan 
keponakan Tabib Perawan.
Merak Betina segera tegakkan badannya 
dan menahan sakit setelah mengetahui 
penyerangnya adalah gadis cantik. 
Kemarahan Merak Betina bertambah besar, 
sebab Mahligai ternyata sudah mengenal 
Yoga dan dari tempatnya ia berseru,
"Mengapa kau justru mengajak 
perempuan ini, Yo?! Dia tak akan bisa 
melindungimu, selain hanya akan

merepotkan kamu dalam perjalanan ke 
Gunung Menara Salju!"
"Apakah kau pikir kau bisa melindungi 
Pendekar Rajawali Merah jika kau diajak 
ikut ke Gunung Menara Salju, Gadis 
Bodoh?!" sentak Merak Betina. "Aku tahu 
kau murid Tabib Perawan yang tak laku 
kawin itu! Kau pikir dengan mendekati 
Pendekar Rajawali Merah ini kau bisa 
dijodohkan gurumu dengannya?! Tidak!"
"Merak Betina, jangan berkata 
begitu!" sergah Yoga.
Mahligai menjawab dengan suara 
lantang, "Lancang betul mulut liarmu, 
Merak Betina! Sepantasnya mulut orang-
orang Perguruan Belalang Liar yang kotor-
kotor itu dihancur lumatkan dengan 
pukulan 'Kobra Gila' Ini! Hiaaat...!"
Zaappp...! Selarik sinar ungu keluar 
dari telapak tangan Mahligai yang 
disentakkan ke depan. Selarik sinar ungu 
itu berkelok-kelok jalannya bagai seekor 
ular kobra kehilangan arah. Gerakannya 
yang liar itu tidak memungkinkan dihantam 
dengan jurus lain kecuali hanya bisa 
dihindari. Maka, Merak Betina pun segera 
sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya 
melenting di udara. Wuuttt...!
Dari atas sana ia pun melepaskan 
pukulan berbahaya berupa serbuk merah 
bintik-bintik yang menyala terang tiap 
bintiknya. Serbuk merah itu melesat

dengan cepat setelah pukulan 'Kobra Gila' 
menghantam pohon dan membuat pohon 
tersebut menjadi hangus seketika tanpa 
keluarkan api kecuali asap putih.
"Merak Betina! Mahligai! Tahan amarah 
kalian!" seru Yoga, dan seruan itu 
kembali tak dihiraukan oleh mereka.
Pukulan serbuk merah bintik-bintik 
itu sudah telanjur menyerang Mahligai, 
dan gadis itu tak sempat menghindarinya. 
Zruubbb...! Serbuk merah bintik-bintik 
itu menerpa dada Mahligai dan membuat 
gadis itu tersentak mundur dua tindak. 
Tetapi segera tertegun beberapa saat.
Terdengar Merak Betina tertawa 
lengking yang membuat Pendekar Rajawali 
Merah menutup telinga,
"Hiih hik hik hik hiiikkk...! Kau 
pikir hanya kau sendiri yang mempunyai 
jurus gila, Mahligai?! 'Kobra Gilamu
tidak seberapa berbahaya dibandingkan 
pukulan 'Racun Edan' yang kini meresap 
dalam dadamu! Tak akan ada orang yang 
mampu menawarkan dan melenyapkan Racun 
Edan kecuali diriku sendiri! Gurumu, si 
Tabib Perawan, belum punya obat pemunah 
Racun Edan! Biar sampai botak kepalanya, 
Tabib Perawan tak akan bisa sembuhkan 
dirimu, Mahligai!"
"Gggrrr...! Jahanam kau! Kubunuh kau, 
Merak Betina! Hiaaat...!"
"Hai, tunggu...! Tahan semuanya!

Tahan...!" seru Yoga kebingungan 
sendiri..
Mahligai berlari menyerang Merak 
Betina, tapi yang diserang sudah lebih 
dulu melarikan diri dengan gerakan 
peringan tubuh yang cukup tinggi. 
Mahligai mengerang buas sambil mengejar 
lawannya, la bagai tak pedulikan lagi 
dengan pendekar ganteng yang dilintasinya 
itu.
"Sial!" Yoga memaki jengkel 
sendirian. "Dasar perempuan bodoh semua! 
Perselisihan tak punya makna dilakukan! 
Bodoh! Aku tak mau mengejar perempuan-
perempuan bodoh itu! Aku tak mau peduli 
lagi dengan mereka! Biarlah aku ke Gunung 
Menara Salju seorang diri saja! Tak perlu 
membawa Merak Betina! Bikin susah dan 
menghambat langkah saja perempuan-
perempuan itu!"
Pendekar Rajawali Merah teruskan 
perjalanan seorang diri. la merasa lebih 
tenang dalam kesendirian, ketimbang harus 
ditemani seorang wanita yang dapat 
menimbulkan kericuhan dalam pikirannya. 
Walaupun dalam hati Yoga mengakui bahwa 
kecantikan dan lekuk tubuh Merak Betina 
memang menarik hati dan menggiurkan 
sekali, tapi untuk kali ini Pendekar 
Rajawali Merah memaksakan diri untuk 
tidak berpikir ke arah situ, la lebih 
memusatkan perhatiannya ke Gunung Menara

Salju, dan hatinya pun sempat bertanya-
tanya,
"Jika Nyai Guru Dewi Langit Perak 
tidak kutemukan di Gunung Menara Salju, 
lantas ke mana lagi kira-kira aku harus
mencari beliau? Jangan-jangan beliau 
telah melarikan diri sampai ke dataran 
Cina atau ke Tibet? Mungkinkah aku harus 
melawatnya sampai ke sana?!"
Langkah pun terhenti, sebuah jurang 
dengan ngarai terjalnya membentang di 
depan Yoga. Gemuruh suara air terjun yang 
tinggi itu terdengar bagaikan ombak 
1autan yang sedang mengamuk. Untuk 
melihat ke arah dasar air terjun terlalu 
dalam, sehingga tak ada yang bisa dilihat 
dari atas tebing mulut jurang itu.
"Mahligai mengatakan, aku harus
melintasi ngarai dan jurang terjal yang 
amat dalam ini! Jika kulakukan dengan 
melintas di tepian air terjun itu, 
keadaannya sangat licin dan berbahaya. 
Belum lagi aku harus menyeberangi lautan 
untuk mencapai sebuah daratan di mana 
terletak Gunung Menara Salju. Rasa-
rasanya jika kutempuh dengan jalan kaki, 
harus memutar jauh untuk mencapai daratan 
yang sebenarnya masih menjadi satu dengan 
tanah di sini! Hmm...! Kurasa lebih baik 
meminta bantuan si Merah saja!"
Yoga segera sentakkan tangan kanannya 
ke atas. Jari kelingking, jari telunjuk

dan ibu jarinya berdiri tegak ujung-ujung 
jari itu keluarkan sinar merah yang 
melesat lurus ke angkasa dan bertemu di 
sana menimbulkan dentuman yang menggaung-
gaung. "Bung, wung, wung, wung...!" 
Itulah bahasa isyarat memanggil Rajawali 
Merah. Dan suara gaung itu hanya bisa 
dipahami oleh Rajawali Merah karena 
mempunyai nada tersendiri serta alunan 
irama yang khas bagi pendengaran Rajawali 
Merah. Maka dalam beberapa saat kemudian, 
seekor burung Rajawali Merah besar datang 
dan mendarat di dekat Yoga.
"Kraahk...! Keeaahk...!" burung itu 
bagai memberi salam pada pendekar ganteng 
yang akan menungganginya.
"Kita mencari kekasihmu ke Gunung 
Menara Salju! Apakah kau tahu arahnya?!"
"Kaahk...! Khaaak...!" burung jantan 
itu manggut-manggut sambil menggerakkan 
sayapnya: yang belum merentang lebar.
"Baiklah kalau kau tahu, kita 
berangkat ke sana, Merah!”
Yoga segera naik ke atas punggung 
rajawali jantan Itu, kemudian dalam 
beberapa saat saja Yoga telah berada di 
angkasa, terbang dengan menunggang seekor 
burung Rajawali Merah yang besar dan 
berparuh kekar itu. Ia dibawanya 
berkeliling satu kali, kemudian segera 
burung besar itu meluncur terbang ke arah 
utara. Dengan gagahnya Yoga bertengger di

atas punggung burung itu, menerabas awan 
putih yang sesekali tampak, sesekali 
membuatnya lenyap bagai ditelan awan. 
Pendekar itu tampak jauh lebih gagah 
daripada ia menunggang kuda.
Dalam ketinggian itu ternyata angin 
berhembus cukup kencang. Yoga 
memerintahkan agar burung Rajawali Merah 
terbang jangan terlalu tinggi. Maka 
burung itu pun merendah, dan kini mereka 
sedang menyeberangi langit di atas 
lautan. Maka Yoga memandang sekeliling 
sambil mencari-cari siapa tahu menangkap 
gerakan seekor burung Rajawali Putih. 
Namun sepanjang penerbangannya itu, yang 
mereka temui hanyalah burung-burung 
kecil, camar laut, dan kadang juga seekor 
elang hitam. Mereka lari terbirit-birit 
ketika melihat seekor rajawali besar 
terbang mendekati mereka.
Tak ada burung atau hewan lain yang 
berani mendekati jalur penerbangan 
Rajawali Merah. Bahkan seekor ikan paus 
yang muncul di permukaan air laut itu 
buru-buru menenggelamkan diri sewaktu 
Rajawali Merah melintas diatasnya.
Agaknya burung Rajawali Merah itu juga 
mempunyai semacam kharisma tersendiri di 
antara para hewan, yang membuat mereka 
sungkan berhadapan dengan sang Rajawali 
Merah itu.
Puncak Gunung Menara Salju mulai

kelihatan. Warnanya putih keabu-abuan, 
dan bagian bawahnya membiru. Yoga 
memerintahkan Rajawali Merah untuk 
terbang lebih cepat lagi ke arah gunung 
tersebut. Dan dengan suara khasnya, 
Rajawali Merah menyerukan kesanggupannya 
untuk terbang lebih cepat. Sayapnya yang 
tegar dan perkasa mengibas kuat bagai 
ingin menyingkirkan mega-mega. Penung-
gangnya sendiri tampak lebih bersemangat 
lagi untuk segera mencapai tempat yang
dituju. Rambutnya yang panjang meriap-
riap dibelakang tersapu angin, satu
tangannya berpegangan pada bulu bagian 
leher burung, satunya lagi sedang 
menunjuk-nunjuk ke arah gunung tersebut, 
tentu saja diiringi dengan ucapan-ucapan 
yang tak terjangkau oleh pendengaran 
orang yang melihatnya dari daratan.
Semakin dekat dengan gunung tersebut, 
semakin rendah terbang sang rajawali. 
Tetapi Yoga merasakan adanya angin aneh 
yang berhembus dari arah depan-nya. Angin 
itu berkecepatan tinggi dan membawa hawa 
hangat yang terasa mulai memanas di 
kulit. Yoga segera berteriak kepada 
rajawalinya,
"Hati-hati, ada angin kiriman yang 
tak jelas maksudnya!"
"Kreeaahg...! Krraahg...!"
Rajawali melakukan gerakan menukik. 
Wuuttt...! Ia bagai menghindari gelombang

hawa panas yang makin dekat dengan gunung 
itu semakin terasa jelas. Kini ia terbang 
lebih rendah lagi, tak seberapa tinggi 
dari permukaan air laut.
Tetapi kejap berikutnya, angin panas 
itu berubah menjadi badai. Hembusannya 
begitu kuat, hingga membuat binatang 
besar itu terhenti di udara karena tak 
sanggup mendesak hembusan angin dari arah 
depannya. Angin badai Itu bagaikan ingin 
melemparkan rajawali besar bersama 
penunggangnya. Sang rajawali bertahan 
dengan mencoba menukik lebih ke bawah 
lagi. Tapi semakin ke bawah badai semakin 
mengamuk kuat. Ombak lautan bergulung-
gulung bagaikan ikut mengamuk. Sementara 
itu, Yoga berpegangan kuat-kuat pada 
bulu-bulu di bagian leher burung dengan 
posisi setengah tengkurap di punggung 
burung itu.
"Kraahk...! Kraahg...!" Rajawali 
Merah menjerit-jerit dan bergerak memutar 
bagai terhempas kehilangan kendali dan 
keseimbangan.
"Meraaah...! Hati-hati...!" teriak 
Yoga dengan berusaha menjaga keseimbangan 
tubuhnya. Tetapi karena badai begitu 
kuatnya, maka tubuh kecil di atas 
punggung burung besar itu terhempas jatuh 
ke laut. 
"Meraaaah...!". 
"Kraaahk...! Kraahg...! Kraahg...!"


Rajawali Merah bermaksud menyambar tubuh 
Yoga yang sedang melayang turun mendekati 
permukaan air laut, tetapi cakar rajawali 
segera ditariknya kembali karena ombak 
lautan datang bergulung-gulung tingginya 
seukuran pohon kelapa di pantai. Besar 
dan ganas ombak itu, sehingga Rajawali 
Merah menyelamatkan diri dengan terbang 
ke atas lebih cepat lagi. Sedangkan Yoga 
tak tertolong, jatuh ke lautan berombak 
ganas. Byuurrr..!
Rajawali Merah masih berkeliling, 
terbang mengitari lautan tempat jatuhnya 
Yoga. Badai yang mengganas itu telah 
reda. Tapi ombak masih bergulung-gulung 
bagai ingin menelan benda apa pun yang 
ada di depannya.
Burung besar itu hanya memekik-mekik 
selama di angkasa, karena ia melihat 
gerakan tubuh Yoga yang berusaha 
menyelamatkan diri dari gulungan ombak, 
namun justru terseret masuk dalam gerakan 
air yang memutar.
"Kraaahk...! Kraahg...!" Rajawali 
Merah bagai memekik tegang melihat Yoga 
semakin tenggelam karena masuk dalam 
pusaran arus gelombang yang sangat 
berbahaya itu. Sampai pada akhirnya 
burung besar itu memekik keras dan 
panjang ketika Yoga jelas-jelas tersedot 
pusaran arus tanpa bisa berkelit dan 
menghindari lagi.

"Krraaahhg...!"
Yoga hanya mendengar pekikan burung 
besar itu sekilas, setelah itu ia tak 
mampu mendengar apa-apa lagi. Ia berjuang 
melawan pusaran air laut itu yang makin 
lama semakin menyedotnya lebih ke dalam. 
Tangan dan kakinya menggapai-gapai, namun 
tubuhnya tetap terpelanting berputar-
putar sampai di kedalaman yang paling 
dalam. Semakin ke dalam putaran itu 
semakin lamban, dan dengan satu sentakan 
kuat Yoga berhasil melepaskan diri, 
keluar dari lingkaran arus air yang 
berputar-putar itu. Zruub...!
Ia berenang sejadinya dan berusaha 
keluar dari perjalanan di dalam laut itu, 
tapi tubuhnya terlalu lemas. Bahkan 
gerakan gelombang bawah laut begitu kuat 
dan menghempaskan tubuh lemas itu. 
Wuuhg...!"
*
* *
Tak ada upaya dari seseorang yang 
sia-sia. Ada kalanya perjuangan 
membutuhkan kekuatan yang melebihi daya 
kemampuan. Namun bagaimanapun juga nasib 
manusia tetap ada di tangan Yang Mana 
Kuasa.
Demikian halnya dengan Yoga. 
Perjuangannya dalam mempertahankan hidup


terasa sudah melebihi daya yang ada. 
Hempasan gelombang bawah laut itu 
ternyata hanya membuatnya tak sadarkan 
diri beberapa saat.
Ketika ia sadar dari pingsannya, 
terpaksa ia sudah berada di sebuah relung 
tebing karang. Lidah ombak masih menyapu 
wajahnya bagai cemeti yang jahat. Yoga 
berusaha merayap untuk lebih masuk ke 
relung itu. Ternyata relung tersebut 
punya lorong ke atas dan memungkinkan 
untuk didaki. Yoga pun segera mendaki 
lorong tersebut, sehingga ia terbebas 
dari air laut yang bergelombang besar 
itu.
Rupanya di dasar laut itu ada gua 
yang tidak terkena siraman air laut. Gua 
itu pada mulanya berbentuk lorong yang 
memanjang ke atas dan cukup tinggi. Di
ujung lorong itulah terdapat ruangan 
lebar, yaitu sebuah gua bebas air laut, 
karena gua itu sepertinya berada di dalam 
perut gunung karang yang ada di dasar 
laut. Bahkan gua tersebut dalam keadaan 
terang, karena mempunyai tanaman sejenis 
lumut yang menyala hijau memenuhi dinding 
gua. Yoga menjadi seperti berada dalam
ruang lingkup bermandikan cahaya hijau. 
Tapi dengan cahaya lumut aneh itulah, 
mata Yoga bisa memandangi keadaan 
sekeliling gua.
Dengan sisa tenaganya yang masih

lemas, Yoga menyusuri lorong gua yang 
berkelok-kelok dan seluruhnya terdiri 
dari batuan jenis karang. Yoga tak berani 
menyentuh lumut menyala hijau itu, karena 
takut lumut itu beracun ganas.
Langkah menyusuri lorong itu 
terhenti, karena ia tiba di persimpangan. 
Ada tiga lorong yang bisa ditempuhnya, 
satu lorong berpenerangan cahaya hijau, 
yaitu yang dilewatinya tadi, satu lorong 
sebelah kanannya dalam keadaan gelap, 
sedangkan lorong sebelah kirinya 
mempunyai cahaya merah. Yoga memandangi 
lorong itu dan berkata dalam hatinya, 
"Sepertinya ada cahaya api di sana! 
Mungkinkah ada orang di dalam lorong 
bercahaya merah api itu?!"
Tiba-tiba dari lorong yang gelap itu, 
Yoga melihat sekelebat sinar putih perak 
melesat ke arahnya. Cepat-cepat Yoga 
melompat untuk menghindarinya, tapi sinar 
putih perak itu ternyata membelok arah 
dan memburu-nya. Buuhg...! Sinar putih 
perak itu menghantam punggung Yoga bagai 
sebuah tendangan kaki kuda yang beratnya 
tiga kali lipat tenaga kuda.
"Uuhg...!" Yoga mengerang dan sulit 
bernapas, akhirnya ia jatuh pingsan lagi 
dalam keadaan terpuruk di lantai gua.


SEMBILAN

KETIKA Pendekar Rajawali Merah itu 
sadarkan diri, tahu-tahu ia sudah berada 
di ruangan besar berpenerangan nyala api
obor. Jumlah obornya yang mengelilingi 
dinding tak rata itu lebih dari sepuluh 
dan dalam keadaan besar. Anehnya, nyala 
api itu tidak menimbulkan asap hitam yang 
membuat hangus bagian atas di mana obor 
itu diletakkan. Jelas obor itu 
menggunakan jenis bahan bakar bukan dari 
minyak tanah, mungkin dari sari minyak 
ikan yang dapat menimbulkan api tanpa 
asap hangus yang membekas di 
sekelilingnya.
Yoga sungguh merasa heran melihat 
keadaannya sendiri. la berada di sebuah 
pembaringan yang terbuat dari susunan 
batu dan mempunyai tikar dari lumut-lumut 
kering yang dirakit sedemikian rupa. 
Bahkan barang-barang di sekitarnya pun 
mengingatkan Yoga pada cerita zaman 
purba, di mana segalanya serba alami. 
Batang-batang obor itu pun terbuat dari 
tulang ikan besar, mungkin bagian tulang 
punggung ikan. Batu-batuan jenis karang 
yang sudah dihaluskan tersusun rapi di 
sana-sini, membentuk semacam meja atau 
kursi tempat duduk. Tetapi anehnya 
ruangan berpenerangan api obor itu 
mengabarkan bau wangi, bukan bau amis. 
Bau wangi itu seperti bau cendana yang

ada di sarung pedangnya. Mungkinkah bau 
harum cendana dari sarung pedang Yoga 
dapat mengabar memenuhi ruangan besar 
itu?
"Siapa penghuni ruangan besar ini?! 
Hmmm.. Kurasa aku masih berada dl gua 
bawah laut! Dinding-dindingnya berton-
jolan, Itu menandakan dinding gua yang 
tak berlumut hijau seperti lorong yang 
kulewati tadi..Lalu, siapa yang membawaku 
kemari? Siapa yang menyerangku di 
persimpangan lorong tadi? Mungkinkah 
makhluk peri dasar laut yang menawanku di 
ruangan besar ini?"
Yoga memeriksa pedangnya, ternyata 
sudah terlepas dari punggung dan berada 
di samping pembaringan. Dalam hatinya 
Yoga berkata lagi:
"Kurasa siapa pun yang membawaku ke 
ruangan ini, dia bukan bermaksud jahat 
padaku! Terbukti dia tinggalkan pedang 
pusaka ini di sampingku! Kalau dia 
bermaksud jahat, pasti dia akan 
menyembunyikan pedang ini, atau... atau 
dia tidak tahu benda apa yang ada di 
punggungku tadi? Mungkin dia tidak 
mengenal pedang. Tapi... hei?! Lenganku 
telah dibalutnya! Oh, mungkin tadi 
lenganku terluka saat mendaki lorong dari 
dasar laut. Aku tak sadar kalau lengan 
kiriku terluka dan... dan sekarang telah 
dibalut dengan kain! Hmmm... kain ini

sepertinya kain jenis sutera lama. Oh, 
ada rempah-rempah yang digunakan sebagai 
pengering luka?! Siapa yang telah 
membalut lukaku ini sebenarnya? Mengapa 
ruangan lebar ini sepi-sepi saja?!"
Ada lorong yang membelok ke arah 
kanan di ujung sana. Ada juga lorong yang 
lurus dan berkeadaan remang-remang. Yoga 
memperhatikan kedua lorong tersebut 
dengan keragu-raguan. la ingin melangkah 
menyusuri lorong yang remang-remang, tapi 
takut ada jebakan yang mematikan di sana. 
Ia ingin menyusuri lorong yang membelok 
ke kanan itu, tapi seingatnya lorong 
Itulah yang menjadi tempatnya pingsan 
akibat serangan orang tak diketahui 
wujudnya Itu. Jangan-jangan di lorong itu 
dia mengalami nasib serupa tadi?
Pendekar Rajawali Merah itu akhirnya 
hanya duduk di tepi pembaringan, 
merenungi langkah yang harus diambilnya. 
Tapi beberapa saat kemudian, dari lorong 
yang membelok ke kanan itu muncul seraut 
wajah yang membuat Yoga terperangah dan 
tertegun beberapa saat Mulutnya ternganga 
sedikit, matanya melebar, gerakkannya 
mematung seketika. Jantungnya pun terasa 
berdetak lebih cepat dari biasanya. Lidah 
Yoga merasa kelu, hingga untuk 
mengucapkan sepatah kata pun sulit . 
sekali rasanya. la masih tetap ternganga 
ketika raut wajah itu datang mendekatinya

perlahan-lahan.
Seraut wajah itu adalah seraut wajah 
cantik sekali. Serupa betul dengan wajah-
wajah para bidadari dari kayangan. Si 
cantik itu berpakaian merah jambu. la 
mempunyai rambut panjang sebatas punggung 
dengan bagian tengahnya disanggul 
sederhana.
Yoga memperkirakan usia si cantik itu 
antara dua puluh empat tahun, tiga tahun 
lebih tua darinya. Karena memang si 
cantik itu kelihatan lebih dewasa dari 
Yoga sendiri. Matanya yang bulat bening 
dengan sedikit poni di keningnya memang 
kelihatan mempermuda wajah cantiknya, 
tapi tidak bisa menyembunyikan kedewa-
saannya. Hidungnya yang mancung, bibirnya 
yang mirip sekuncup mawar segar, cahaya 
dari sorot matanya jika memandang, 
mengesankan sikap dewasa yang melebihi 
Yoga. Ditambah lagi dengan rambut yang 
disanggul tengah dengan dililit lempengan 
perak berukir, menampakkan sekali cara 
dandanannya yang cukup dewasa.
Mata Pendekar Rajawali Merah tertarik 
pada pedang yang ada di genggaman tangan 
kanan perempuan itu. Pedang tersebut 
bersarung perak berukir, gagangnya putih, 
di ujung gagangnya ada hiasan dua kepala 
burung rajawali yang bertolak belakang. 
Makin berdebar saja hati Yoga melihat 
ciri-ciri pedang tersebut, sehingga ia

pun bermaksud mengajukan pertanyaan, tapi 
sudah didahului oleh perempuan cantik 
itu.
"Siapa kau sebenarnya, sehingga kau 
menyandang pusaka Pedang Lidah Guntur?"
Terkejut hati Yoga mendengar 
perempuan secantik bidadari itu 
menyebutkan nama pusaka pedangnya. 
Berkerutlah dahi Yoga dalam memandangi-
nya. Setelah beberapa saat ia terbungkam 
heran, barulah ia memberikan jawaban 
dengan suaranya yang pelan dan lembut.
"Namaku Yoga Prawira; akulah Pendekar 
Rajawali Merah, murid dari Dewa Geledek!"
Mata perempuan cantik itu terkesiap. 
Bulu matanya yang lentik itu merapat 
sejenak. Kemudian ia maju dua tindak 
hingga berjarak sekitar empat langkah 
dari tempat Yoga duduk.
"Kalau begitu dugaanku tadi tak 
salah," katanya. Dan Yoga buru-buru 
bertanya,
"Kaukah yang bernama Dewi Langit 
Perak?!" Tapi perempuan cantik itu hanya 
diam menatap tak berkedip dengan sorot 
pandangan mata yang aneh, punya kesan dan 
makna tersendiri, yang hanya bisa 
dirasakan dl dalam hati Yoga. Kejap 
berikutnya perempuan itu berkata, ikutlah 
aku…!"
Karena perempuan cantik itu bergerak 
melangkah, maka Yoga pun menuruti langkah

kaki perempuan tersebut. Rupanya Yoga 
dibawanya ke lorong yang remang-remang 
itu. Dan langkah mereka berhenti di 
sebuah ruangan kecil yang penuh dengan 
nyala api kecil dari pelita yang terbuat 
dari tulang-tulang ikan. Api kecil itu 
mengitari sesosok kerangka yang mempunyai 
bagian masih utuh. Kerangka manusia itu 
terletak di atas selembar kain jubah 
warna merah jambu. Wujudnya tinggal 
tulang-belulang yang sudah kering tapi 
antara satu dan lainnya masih merekat
utuh.
"Tulang-belulang siapa itu?" tanya 
Yoga. 
"Guruku; Dewi Langit Perak!" 
"Oh...?!" Sekejap wajah Yoga 
terperanjat kaget dengan mata melebar 
memandangi kerangka manusia itu. Kemudian 
Yoga membungkukkan badan, memberi hormat 
kepada kerangka tersebut. Setelah itu 
mundur dua tindak, dan perempuan itu 
segera melangkah kembali ke tempat 
semula, Yoga mengikutinya dari samping 
kiri.
"Lima tahun yang lalu kami terdampar 
di gua ini!" kata perempuan cantik itu. 
Yoga masih belum mengajukan pertanyaan, 
karena ia sengaja membiarkan perempuan 
itu melanjutkan ceritanya sambil 
melangkah pelan-pelan menuju ruangan 
lebar yang terang benderang itu.

"Lima tahun yang lalu, Guru 
menyelamatkan aku dari kejaran Malaikat 
Gelang Emas! Kami melarikan diri ke 
Lembar Pusar Bumi, yaitu sebuah tempat di 
dasar jurang yang amat dalam dan tak 
diketahui oleh siapa pun. Di Lembah Pusar 
Bumi itulah Guru menemukan ragaku. Aku 
dalam keadaan terluka parah. Pada waktu 
itu aku berusia tujuh tahun. Aku jatuh 
dari lereng jurang karena sengaja dibuang 
oleh sekelompok manusia yang membenci 
keluargaku, yang tak kutahu siapa mereka 
Itu. Dan sampai sekarang aku sudah lupa, 
siapa mereka dan siapa orangtuaku 
sebenarnya."
Perempuan berbibir menggiurkan itu 
duduk di tepi pembaringan, sedangkan Yoga 
berdiri di depannya dengan pundak kiri 
bersandar pada dinding ruangan yang tidak 
runcing. Perempuan itu meneruskan 
kisahnya dengan sesekali menatap Yoga.
"Aku dididik dan dibesarkan oleh Guru 
di Lembah Pusar Bumi itu! Sampai aku 
dewasa, aku diizinkan untuk muncul di 
dunia persilatan, tapi harus menjauhi
tokoh sesat yang berjuluk Malaikat Gelang 
Emas. Namun, pertemuan itu tak bisa 
dihindari lagi, aku dikejar-kejar oleh 
Malaikat Gelang Emas, karena ia mengincar 
pedang yang kubawa ini!" sambil perempuan 
itu menunjukkan pedang tersebut. Yoga 
menyahuti,

"Pusaka Pedang Sukma Halilintar!"
"Benar! Pada masa lalu, Guru terpisah 
dari Kakek Guru Dewa Geledek juga akibat 
mempertahankan pedang pusaka mereka. Tapi 
pedang ini jatuh ke laut, beberapa waktu 
kemudian berhasil ditemukan oleh Guru 
lagi, namun keadaan mereka sudah terpisah 
jauh dan saling tak mengetahui di mana 
tempat masing-masing berada. Aku pernah 
diajak berkeliling mencari Kakek Guru 
Dewa Geledek, tapi kami tak pernah 
menemukan beliau. Kabarnya pun tak pernah 
kami dengar."
"Lantas bagaimana dengan pengejaran 
Malaikat Gelang Emas itu?"
"Aku lari ke Lembah Pusar Bumi, dan 
Malaikat Gelang Emas mencari tahu tempat 
persembunyian Guru. Maka sebelum Malaikat 
Gelang Emas menyerang, Guru mengajakku 
lari. Kami terbang dengan menunggang 
seekor burung Rajawali Putih dengan arah 
tujuan Gunung Menara Salju. Tapi di 
perjalanan, kami diserang oleh Malaikat 
Gelang Emas. Guru terluka, dan Rajawali 
Putih terhempas badai, sehingga kami 
berdua jatuh ke laut, tersedot pusaran 
arus yang akhirnya membawa kami ke gua 
ini. Guru dalam keadaan terluka parah. 
Aku berusaha mengobatinya sesuai petunjuk 
beliau, tapi jiwanya tak tertolong lagi. 
Guru hanya bertahan hidup tiga hari atau 
empat hari, aku tak pasti, dan setelah

itu beliau wafat!".
Wajah perempuan cantik itu tampak 
menahan duka yang hampir-hampir membuat 
air matanya meleleh. Yoga buru-buru 
melontarkan pertanyaan agar duka Itu 
tidak memeras air mata si perempuan 
cantik,
"Mengapa kau tidak keluar dari gua 
Ini selama lima tahun?"
"Aku tidak punya jalan keluar! Jika 
aku harus keluar dari lorong dasar laut, 
kemungkinan selamat sangat tipis. Sebelum 
Guru wafat, beliau pernah bilang padaku, 
bahwa satu-satunya jalan untuk keluar 
dari gua ini adalah melewati lorong 
tembus yang bisa membawa kami ke lereng 
Gunung Menara Salju. Aku ditugaskan 
mencari lorong berbentuk persegi empat. 
Kutemukan lorong itu, tapi dalam keadaan 
tertutup batu kristal yang amat besar. 
Kucoba menggeser dan menghancurkannya, 
tapi tak berhasil sedikit pun. Kata Guru, 
batu kristal itu adalah Mata Iblis, yang 
sulit dihancurkan oleh benda pusaka apa 
pun."
"Kelihatannya Guru Dewi Langit Perak 
tahu seluk-beluk gua ini?!"
"Menurut ceritanya, beliau semasa 
kecil pernah terperosok di sebuah sumur 
yang ada di lereng Gunung Menara Salju. 
Beliau masuk ke sumur tanpa dasar bersama 
pamannya yang kala itu mengajaknya

berburu. Sumur itu ternyata adalah lorong 
yang tembus ke gua ini. Dan semasa itu, 
di gua ini hidup seekor ular naga 
bertanduk satu. Ular naga itu sangat 
ganas, dan akan menjadi busuk tubuhnya 
jika terkena air, sebab itu ia sering 
menunggu mangsanya yang terperosok ke 
dalam sumur tanpa dasar itu. Lalu, untuk 
menghindari kejaran ular naga tersebut, 
paman dari Guru Dewi Langit Perak menutup 
lorong persegi empat dengan kekuatan 
ilmunya yang mengkristal dan bernama Batu 
Mata Iblis. Sebuah lapisan batu yang bisa 
tembus pandang tapi tak bisa dihancurkan 
oleh siapa pun."
"Lalu, pada saat kau masuk gua ini 
bersama Nyai Guru, apakah naga bertanduk 
satu itu masih ada?"
"Sudah tiada! Mungkin air laut meluap 
dan sampai menggenangi gua ini, sehingga 
naga itu mati. Hanya sisa kulitnya yang 
telah rapuh kami temukan menjadi lapisan 
karang yang ada di dekat rongga menuju ke 
laut itu." 
Yoga menarik napas panjang-panjang. 
Kemudian ia duduk di samping perempuan 
cantik itu, dan berkata,
"Apa saja yang kau lakukan selama
lima tahun di dalam gua ini?"
"Mempelajari kitab Rembulan Putih 
yang selalu dibawa Guru ke mana-mana itu. 
Kitab Rembulan Putih adalah rangkuman

dari jurus-jurus yang dimiliki oleh Guru 
dan Kakek Guru; Dewa Geledek. Tapi sampai 
saat ini belum bisa kuselesaikan hingga 
tamat, karena aku masih belum tahu 
beberapa jurus yang dirahasiakan oleh 
Kakek Guru Dewa Geledek, dan jurus itu 
hanya ditulis namanya saja di dalam Kitab 
Rembulan Putih."
"Jurus apa yang kau maksud?"
"Banyak. Antara lain; jurus 'Rajawali 
Membelah Matahari!’
Yoga tersenyum dan berkata, "Aku 
menguasai jurus itu!"
"0, ya...?!" wajah perempuan cantik 
itu mulai berseri sedikit. 'Tapi apakah 
kau menguasai jurus 'Rajawali Membelah 
Bulan'?"
Yoga menggelengkan kepala dan 
berkata, "Kurasa kau menguasainya, karena 
itu jurus ciptaan Nyai Guru Dewi Langit 
Perak!"
"Sangat menguasai," jawab perempuan 
cantik itu dengan senyum bangganya. Yoga 
menatapnya beberapa saat, hingga keduanya 
menjadi saling bungkam tapi saling beradu 
tatapan mata. Kejap berikutnya, perempuan 
itu memalingkan wajahnya, tak tahan 
menerima sesuatu yang mendebarkan 
hatinya. Sementara itu, Yoga segera 
bertanya,
"Sekarang kita ditakdirkan untuk 
bertemu di gua Ini: Tapi aku belum tahu

siapa namamu?"
"Panggil saja aku; Lili, karena 
begitulah Guru memanggilku!"
"Lili...," gumam Yoga sambil merenung 
sesaat Perempuan cantik cepat berpaling 
menyangka dirinya di panggil. Mata mereka 
kembali saling bertemu, dan Yoga berkata,
"Sebuah nama yang bagus, mudah 
diingat dan mudah melekat di hati!" 
senyum Yoga mekar kian tebar. Lili 
tersipu dan mengalihkan pandangannya ke 
arah lain. Tapi ia segera berpaling 
menatap Yoga kembali karena Yoga berkata,
"Tidakkah kau ingin keluar dari 
penjara ini, Lili?!"
"Keinginan itu sudah menjadi karang 
di dalam hatiku, Yo. Aku sudah tidak 
punya keinginan keluar, karena aku tahu 
tak ada lagi jalan untuk menuju ke alam 
bebas, sebab batu kristal Mata Iblis itu 
tak bisa digempur dengan semua ilmu yang 
sudah kumiliki."
"Mengapa tidak kau izinkan aku 
mencoba menggempur Batu Mata Iblis itu? 
Apakah kau sangsi dengan kedahsyatan 
Pedang Lidah Guntur ini?!"
"Kalau kau ingin mencobanya, aku tak 
keberatan mengantarmu ke lorong itu!"
Maka, dengan tanpa ragu-ragu lagi, 
mereka berdua bergegas menuju lorong 
berbentuk persegi empat. Lorong itu 
semacam pintu gua yang sudah tertutup

oleh lapisan kristal. Kristal tersebut 
dalam keadaan buram, mungkin karena sudah 
cukup lama tersekap lembab di sana. 
Kristal berbentuk bundar bagaikan bola 
besar yang mengganjal tepat di tengah 
pintu tersebut dulunya berwarna putih 
bening, tapi sekarang selain buram juga 
berwarna kehijau-hijauan.
"Gempurlah dia, jika berhasil, maka 
kita akan bisa lolos dari penjara alam 
ini!" kata Lili setelah beberapa saat 
Pendekar Rajawali Merah itu memperhatikan 
bola kristal tersebut.
"Mundurlah, akan kugunakan jurus 
'Rajawali Lebur Jagat'...!" kata Yoga 
sambil mengatur jarak berdirinya. 
Sementara itu Lili pun berdebar-debar 
karena ia berharap dapat keluar dari 
tempat itu dengan berhasilnya Yoga 
memecahkan Batu Mata iblis tersebut.
Sekelebat sinar merah bening melesat 
dari telapak tangan Yoga.
Claaap...! Buuush...!
Sinar merah bening itu padam saat 
membentur Batu Mata Iblis. Batu kristal 
itu masih tidak bergeming sedikit pun. 
Bahkan Yoga mencobanya, sampai tiga kali, 
tapi pukulan 'Rajawali Lebur Jagat' tidak 
berhasil membuat Batu Mata Iblis menjadi 
serbuk lembut seperti benda-benda lainnya 
yang terkena pukulan tersebut.
"Cakar Gerhana...!" seru Yoga, dan

tangannya berkelebat bagaikan mencakar 
sesuatu, dari kelima jarinya keluar 
barisan sinar merah berkelok-kelok yang 
segera menghantam Batu Mata Iblis itu.
Zrraab...! Zuuurrp...!
Lima sinar merah itu hanya 
memercikkan bunga api dan asap putih, 
untuk kemudian padam. Sedangkan Batu Mata 
Iblis masih tetap kokoh dan tak tergores 
sedikit pun. Padahal biasanya jurus 
'Cakar Gerhana’ itu bisa membuat benda 
apa pun rontok dan menjadi butiran-
butiran sebesar kacang hijau.
"Luar biasa kekuatan Batu Mata Iblis 
ini!" gumam Yoga, dan ia melirik Lili, 
ternyata perempuan cantik itu sedang 
menertawakan dirinya sambil menyembu-
nyikan senyum. Yoga menjadi semakin 
penasaran dan ingin menutupi rasa malu 
akibat kegagalannya. Sejenak ia mendengar 
Lili berkata,
"Kekuatan sejenis itu sudah kupakai 
beberapa kali tapi tak ada yang bisa 
membuatnya hancur!"
"Baiklah! Agaknya Batu Mata Iblis Ini 
salah satu lawan yang tangguh dan luar 
biasa saktinya! Tapi belum tentu ia mampu 
menahan pedang pusakaku; Lidah 
Guntur...!"
Srrrt...! Yoga mencabut Pedang Lidah 
Guntur. Bumi terasa berguncang sejenak. 
Di luar gua terjadi satu ledakan petit

yang menggelegar, namun tak didengar oleh 
Yoga dan Lili. Pedang Lidah Guntur 
menyala merah pijar, membuat mata Lilt 
sempat memandang penuh rasa kagum. Tapi 
rasa kagum itu hanya dipendamnya dalam 
hati.
Yoga segera menebaskan pedangnya ke-
samping, wuuuttt...! Dan melesatlah 
cahaya itu yang menghantam batu tersebut. 
Tapi keadaannya masih sama saja. Batu 
Mata Iblis tidak bergeming dan tergores 
sedikit pun tidak. Padahal nyala sinar 
merah akibat kibasan pedang tadi biasanya 
bisa merobek pohon sebesar apa pun, bisa 
merobek batu setangguh apa pun, lebih-
lebih tubuh manusia, bisa hancur 
tercabik-cabik oleh sinar merah tersebut.
Setelah Yoga melakukan usaha 
penggempuran Batu Mata Iblis beberapa 
kali, baik dengan keampuhan pedangnya 
maupun tenaga dalamnya, dan masih tidak 
membawa hasil apa-apa kecuali lelah, maka 
Lili segera mencabut pedangnya yang 
bernama Pedang Sukma Halilintar. Sent...!
Ggrrr...! Tanah gemuruh, bumi bagai 
dilanda gempa sepintas. Di luar sana, 
guntur menggelegar tak didengar oleh 
mereka. Hal itu membuat mata Yoga 
terkesiap dan tertegun beberapa saat. la 
memandangi pedang Lili yang menyala pilar 
putih warna perak sedikit kebiru-biruan. 
Sama membaranya dengan Pedang Lidah

Guntur.
Yoga ingat cerita mendiang gurunya 
tentang Pedang Sukma Halilintar itu yang 
konon bisa keluarkan sinar putih perak 
untuk menjerat lawan dan susah lepas. 
Pedang itu jika melukai lawan bisa 
keluarkan asap putih dan luka menjadi 
hitam, tapi darah lawan menjadi putih 
seperti getah pohon, sukar diselamatkan 
lagi nyawanya. Bahkan pedang itu pun 
menurut cerita mendiang guru Yoga, dapat 
mengeluarkan hawa panas yang mampu 
melelehkan baja. Jika ternyata Lili
selama ini tak sanggup menghancurkan Batu 
Mata Iblis, maka itu pertanda batu 
tersebut melebihi baja kerasnya, mungkin 
seratus kali lipat dari kekerasan logam 
baja.
"Yo, kita gabungkan kekuatan pusaka 
kita masing-masing, siapa tahu bisa 
meleburkan Batu Mata Iblis!" kata Lili.
"Baik! Bersiaplah....'"
"Hiaaat...!" Lili menebaskan pedang 
dengan gerakan singkat namun tepat. 
Pedangnya disentakkan ke depan dan 
keluarlah sinar putih terang, sedangkan 
pedang Yoga mengeluarkan sinar merah. 
Kedua sinar putih merah itu menghantam 
Batu Mata Iblis, tapi batu tersebut tetap 
tidak tergores seujung kuku pun. 
"Hiaatt..,!"
"Jodoh Rajawali!” teriak Yoga sambil

mengibaskan pedangnya dan membentur 
pedang Lili hingga membentuk silang. 
Trangng...! Dari persilangan kedua pedang 
itu keluarlah sinar ungu yang melesat 
cepat dan tak terputus sedikit pun. Sinar 
ungu itu menghantam Batu Mata Iblis tepat 
di bagian pertengahannya. Blarrr...! 
Glegaarrr...!
Kedua tubuh pendekar rajawali itu 
terpelanting dan terpental ke belakang. 
Batu Mata Iblis pecah dan semburkan 
serpihannya. Bahkan pintu lorong 
berbentuk persegi empat itu pun hancur 
dalam keadaan tak berbentuk lagi. Seluruh 
gua dan lorong yang ada di situ 
bergemuruh, berguncang-guncang, langit 
gua rontok beberapa bagian, namun tak 
sempat membuatnya rubuh.
"Kita berhasil, Yo...!" seru Lili 
dengan wajah sangat kegirangan.
"Ternyata perpaduan jurus 'Jodoh 
Rajawali' kita menghasilkan kekuatan yang 
maha dahsyat, Lili!"
"Benar! Selama lima tahun aku 
merindukan hancurnya Batu Mata Iblis itu, 
tapi baru sekarang terjadi nyata apa yang 
kuimpi-impikan selama ini! Oh, senangnya 
hatiku, Yoga! Kau telah membebaskan aku 
dari penjara abadi ini!" tanpa sadar, 
karena perasaan girang yang meluap tak 
terkendalikan, Lili memeluk Yoga dan 
tertawa-tawa berburai air mata.

"Lili, sebaiknya kita cepat susuri 
lorong itu dan kau perlu selekasnya 
menghirup udara segar di luar gua ini!"
"Ya, ya...! Aku setuju," jawab Lili 
dengan penuh semangat. Maka, mereka pun 
segera menyusuri lorong dari sumur yang 
dikabarkan sebagai sumur tanpa dasar itu. 
Dalam beberapa waktu kemudian, ternyata 
mereka muncul juga di permukaan bumi 
lewat sebuah lubang yang ada di lereng 
Gunung Menara Salju itu.
Sudah tentu kegirangan Lili menjadi 
semakin berkepanjangan. Ia merasa telah 
bebas dari penjaranya selama lima tahun 
hidup dalam kesendirian dan kesunyian. 
Kemunculan Yoga merupakan kebebasan bagi
Lili, dan karenanya Lili sesekali 
mengucapkan terima kasih atas pertolongan 
Yoga yang dianggapnya sebagai dewa 
penolong. Tapi Yoga berkata,
"Bukankah aku sendiri terperosok 
masuk dalam penjara abadi Itu? Kalau tak 
ada pedangmu, aku pun tak mampu pecahkan 
Batu Mata Iblis Itu. Jadi bukan aku yang 
menolongmu, melainkan kita sama-sama 
berhasil mengalahkan kekuatan dahsyat 
dari Batu Mata Iblis tersebut! Perpaduan 
jurus 'Jodoh Rajawali' kita itulah yang 
bisa kalahkan kekuatan apa pun juga!"
"Oh, ya... kurasa memang begitu! Eh, 
hmm... tapi, aku rindu sama si Putih! Ke 
mana aku harus mencari si Putin?!"

"Cobalah kau panggil dengan caramu 
sendiri, barangkali burung Rajawali
Putihmu itu ada di sekitar gunung ini!"
Kemudian, Lili pun memasukkan dua 
jarinya ke mulut dan meniupnya panjang-
panjang, "Siiiuuuttt...! Siiiuuuttt...! 
Siiuuuttt...!"
Yoga sendiri juga meniup jarinya, 
"Suiitt...! Suiittt...!"
Kepala mereka mendongak memandang 
langit, mencari-cari benda bergerak di 
angkasa. Beberapa saat terlihat burung 
Rajawali Merah datang dari arah timur. 
Gerakannya begitu gesit menuju ke arah 
suara yang memanggilnya.
"Hal, itu Rajawali Merah! Kaukah 
pemiliknya?!" tanya Lili.
"Ya! Dan... dan lihat ke barat! 
Bukankah di sana seperti ada sesuatu yang 
sedang bergerak kemari?!"
"Oh, ya...! Benar. Itu dia si 
Putih... Lalu, Lili pun meniup jarinya 
lagi panjang-panjang. "Siiuuut...! 
Siiuuut...!" Irama dan nadanya hampir 
sama dengan suitan memanggil Rajawali 
Merah, tapi sebenarnya punya perbedaan 
tersendiri.
"Kraaahg...! Kraahg...!" terdengar 
jeritan Rajawali Merah dari timur. Suara 
itu bagaikan disahut dari arah barat.
"Kreeaahg...! Kreeeaaahg...!" Lalu 
kedua burung itu bersahutan dan tak jadi

menukik ke arah dua pendekar rajawali 
itu. Kedua burung itu saling melintas di 
udara, berputar-putar sambil jejeritan. 
Seakan keduanya saling melepas rindu 
setelah tiga puluh tahun tidak saling 
jumpa. Sedangkan Lili dan Yoga yang 
memandangnya dari bawah sama-sama tertawa 
geli melihat kedua burung itu saling 
melepas rindu di udara, saling cakar, 
saling mematuk, saling kejar, dan pada 
akhirnya si jantan yang berwarna merah 
lebih dulu menukik ke bumi, si putih yang 
betina pun mengikutinya.
Tapi mendadak kedua pendekar 
berkendaraan burung rajawali itu sama-
sama melompat dan bersalto terpisah, 
karena sekelebat sinar merah bagai 
piringan baja itu menghantam ke arah 
mereka. Wuuttt...! Sinar merah lebar itu 
berhasil dihindari, dan akibatnya sinar 
merah tersebut menghantam satu pohon, 
tetapi tiga pohon di belakangnya ikut 
tumbang dan hancur. Blarrr...! 
Wuuurrrsss...!
Yoga berseru, "seseorang telah 
menyerang kita, Lili!"
“Ya. Aku hafal dengan jenis 
serangannya! Sinar merah itu milik 
Malaikat Gelang Emas!"
"Kulihat gerakan berkelebat ke arah 
selatan! Aku mengejarnya!" 
Wuuttt...! Yoga berlari lebih dulu,

sedang Lili tersentak cemas. la pun 
segera berseru,
"Yooo...! Tunggu!" dan Lili cepat-
cepat berlari menyusul Yoga. Sementara 
itu, dua ekor burung rajawali besar 
berwarna merah dan putih segera terbang 
mengikuti kedua pendekar itu dari
angkasa.
Benarkah penyerangnya Malaikat Gelang 
Emas? Mampukah mereka mengalahkan tokoh 
sesat yang sangat sakti itu? Lalu, 
bagaimanakah petualangan 'Jodoh Rajawali’
selanjutnya? 


                         SELESAI



Ikuti kisah selanjutnya!!! serial 
Jodoh Rajawali dalam episode:
MISTERI TOPENG MERAH




Share:

0 comments:

Posting Komentar