REMBULAN BERDARAH
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali
dalam episode: Rembulan Berdarah
112 hal.
1
GEMURUH suara dentuman terdengar bukan be-
rasal dari sebuah gunung yang meletus. Gemuruh su-
ara dentuman itu justru datang dari sebuah lembah
tandus yang jarang ditumbuhi pepohonan. Rumput
pun hanya sebagian kecil saja yang tumbuh di lembah
tersebut. Mungkin karena pengaruh tanahnya yang ti-
dak begitu subur itu, sehingga tanaman tak banyak
tumbuh di sana.
Gemuruh tersebut adalah dentuman yang ditim-
bulkan akibat benturan dua tenaga dalam berbeda si-
nar. Sinar putih perak dan sinar merah bara beradu di
pertengahan jarak dua orang yang sedang bertanding
ilmu kanuragan. Mereka adalah Ketua Partai Bajak
Samudera yang dikenal dengan nama Raga Dewa, dan
si Manusia Kabut yang dikenal dengan nama Tua Usil.
Sinar putih perak itu meluncur cepat dari tangan
kiri Tua Usil ketika ia terpojok dan diserang dengan si-
nar merah bara yang keluar dari ujung tanduk di topi
besi Raga Dewa. Kalau saja Tua Usil terlambat le-
paskan jurus mautnya itu, maka tubuhnya akan han-
cur berkeping-keping dan mungkin tak bisa dipungut
lagi. Sinar merah dari tanduk topi besi itu merupakan
jurus andalan Raga Dewa dari delapan jurus maut
yang dimilikinya.
Akibat dentuman yang membahana itu, Raga
Dewa terpelanting jatuh dengan tubuh telentang, se-
dangkan Tua Usil terhempas membentur gugusan batu
cadas yang amat keras. Ia sempat menyeringai karena
rasakan sakit di bagian punggungnya.
Sambil menahan rasa sakit di tubuh, keduanya
sama-sama berusaha bangkit dan menampakkan kete
garannya. Jarak mereka menjadi sekitar sepuluh lang-
kah jauhnya. Tapi wajah mereka masih terlihat jelas
memendam kemarahan yang belum semuanya tercu-
rahkan.
Dari tempatnya jatuh tadi, Raga Dewa masih se-
rukan kata dengan suara kerasnya,
"Menyerahlah, Tua Usil! Berikan pisau Pusaka
Hantu Jagal itu kepadaku, dan aku tidak akan meng-
ganggu mu lagi! Kau akan kuanggap saudara yang se-
lalu akan ku bela dalam perkara apa pun! Tapi jika
kau tetap bersikeras untuk tidak serahkan pusaka itu,
maka sampai kapan pun aku tetap akan memburu
nyawamu, Tua Usil!"
"Bagaimana kau akan membelaku kalau kau
sendiri tak bisa membela dirimu dalam melawanku?"
kata Tua Usil sambil maju dua tindak.
"Gggrrhh...!" Raga Dewa menggeram. Beberapa
pohon yang ada dalam jarak saling berjauhan itu men-
jadi bergetar, daun-daunnya rontok akibat suara ge-
ram Raga Dewa.
Seperti telah dikisahkan dalam episode: "Jejak
Tapak Biru", Raga Dewa sengaja datang ke tempat itu
untuk mencari Tua Usil. Ia membutuhkan pisau Pusa-
ka Hantu Jagal yang ada di tangan Tua Usil untuk
membalas sakit hatinya kepada Dewi Gita Dara. Tiga
kali lamarannya ditolak oleh Dewi Gita Dara, dan itu
sangat menyakitkan hati Raga Dewa.
Padahal Dewi Gita Dara sudah keluarkan sayem-
bara, barang siapa bisa serahkan kepadanya sebuah
pisau Pusaka Hantu Jagal, sang penguasa Teluk
Gangga yang cantik itu akan bersedia menjadi istri si
pembawa pisau tersebut. Atau barang siapa bisa mem-
bunuh seekor naga titisan Ratu Gaib yang selalu
mengganggu ketenteraman rakyat Teluk Gangga, Dewi
Gita Dara bersedia menjadi istri orang tersebut. Pe-
rempuan cantik itu memang mempunyai sumpah tidak
akan mau menikah dengan siapa pun sebelum Naga
Bara yang selalu mengganggu kedamaian penduduk
Teluk Gangga itu mati ataupun lenyap untuk sela-
manya. Itulah sebabnya Dewi Gita Dara menolak tiap
lamaran seorang lelaki, termasuk Raga Dewa. Setiap
pelamar selalu ditantang untuk lakukan dua hal terse-
but; pisau Pusaka Hantu Jagal atau bunuh Naga Bara.
Tetapi Raga Dewa bersemangat sekali untuk da-
patkan pisau pusaka itu bukan untuk mengawini Dewi
Gita Dara, bukan pula untuk membunuh Naga Bara.
Ia justru ingin mainkan wanita cantik itu hingga sakit
hatinya terbalas, dan tetap membiarkan Naga Bara hi-
dup di Teluk Gangga.
Sayangnya ia tak mudah merebut pisau pusaka
itu dari tangan Tua Usil. Andai saja Tua Usil belum
mendapat pindahan ilmu dari Ki Pamungkas dan Nyai
Kuku Setan, mungkin Raga Dewa dapat dengan mu-
dah kalahkan Tua Usil dan rebut pisau itu. Tapi kare-
na Tua Usil yang sekarang adalah Tua Usil yang sudah
mendapat ilmu kesaktian tiban, maka siapa pun tak
mudah merebut pisau Pusaka Hantu Jagal dari tan-
gannya. Terbukti, kedua anak buah Raga Dewa yang
semula berjumlah delapan orang, baru saja mati di
tangan Tua Usil karena jurus maut milik Nyai Kuku
Setan yang mengalir ke dalam raganya.
Kini Raga Dewa hanya sendirian, tanpa mempu-
nyai anak buah lagi. Sekalipun demikian, hal itu tidak
membuat Raga Dewa urungkan niat. Ia bahkan lebih
heran lagi, lebih ganas lagi, dan sangat berkeinginan
untuk membunuh Tua Usil sekejam mungkin.
Itulah sebabnya kali ini Raga Dewa cabut senja-
tanya berupa kapak dua mata dengan ujungnya ber
bentuk runcing tombak. Ketika Tua Usil berkata den-
gan tegas,
"Apa pun yang terjadi, aku tak akan serahkan
pusaka ini padamu!"
Maka Raga Dewa pun segera melompat setelah
berlari pendek, lalu gagang kapak itu ditariknya turun
dan menjadi rantai panjang, kapak itu segera dis-
abetkan ke arah tubuh Tua Usil. Wuuung...! Kapak be-
sar itu ternyata lolos dari sasaran, karena Tua Usil
sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya terlempar naik
ke atas dalam gerakan bersalto satu kali.
Namun alangkah kagetnya Tua Usil setelah kem-
bali mendaratkan kaki ke atas tanah gersang itu, ka-
rena ia segera sadari bahwa ujung kain bajunya telah
terbakar. Buru-buru ia padamkan api tersebut dengan
satu genggaman tangan. Api yang digenggamnya itu
segera padam. Tangan yang digunakan menggenggam
tidak terasa panas. Tua Usil segera berkata dalam ha-
tinya,
"Cukup hebat jurus kapak terbangnya itu. Seka-
lipun tidak mengenai tubuhku, tapi hawa panasnya
mampu membuat bajuku hampir saja terbakar habis.
Tapi aneh
nya kenapa tubuhku tidak rasakan panas sedikit
pun? Mungkinkah ada ilmu penolak hawa panas yang
dimiliki oleh mendiang Ki Pamungkas dan Nyai Kuku
Setan itu?!"
Di lain pihak, Raga Dewa juga membatin kata,
"Manusia yang satu ini kurang ajar sekali ilmunya! Ge-
lombang hawa panas dari kapakku tidak membuatnya
tersengat api sedikit pun. Kulit tubuhnya tetap utuh.
Hanya saja, bajunya hampir-hampir terbakar. Bi-
asanya orang yang menghindari kapak maut ku dalam
jarak sedekat itu, tubuhnya akan mengalami melepuh
sebagian karena hawa panas yang terpancar dari ka-
pakku, apalagi sampai terkena kapakku tadi, pasti tu-
buhnya bukan hanya terpotong menjadi dua bagian,
namun juga akan meleleh lumer bagai cairan lahar
gunung berapi! Rupanya orang ini cukup alot untuk
dikalahkan. Terpaksa aku gunakan jurus andalan
yang satunya lagi!"
Namun sebelum jurus andalannya yang lain dile-
paskan. Raga Dewa masih berusaha bujuk Tua Usil
kembali dengan berkata,
"Tak ada gunanya kau melawanku, Tua Usil! Aku
bukan tandingan mu! Jadi sebaiknya kita berdamai sa-
ja."
"Tak ada waktu untuk berdamai bagi orang yang
mau rebut Pusaka Hantu Jagal Ini! Akulah yang men-
dapat wewenang untuk memegang pusaka tersebut,
Raga Dewa!"
"Baiklah kalau begitu! Tak ada pilihan lain bagi
ku. Terimalah jurus 'Tombak Murka' ini! Heaaah...!"
Tua Usil terkejut ketika Raga Dewa sentakkan
kapaknya bagai disodokkan ke depan. Dari ujung ka-
pak yang berbentuk runcing itu, keluar mata tombak
berturut-turut jumlahnya puluhan buah. Semuanya
menyerang Tua Usil dengan ganasnya.
Dalam keadaan bingung dan terkejut itu, tiba-
tiba tangan Tua Usil bergerak di luar kemauan ha-
tinya. Kedua tangan berkuku runcing itu berkelebat
dari pertengahan dada melebar ke samping kanan-kiri.
Pada saat itulah keluar sepuluh larik sinar merah se-
perti kawat-kawat pagar betis.
Tombak-tombak putih mengkilap itu akhirnya
menghantam sinar-sinar merah tersebut, dan meman-
tul balik saling berbenturan dengan mata tombak yang
sedang menuju ke arah lawan. Perbenturan mata tombak yang jumlahnya lebih dari dua puluh itu timbul-
kan ledakan beruntun dan saling sambung-
menyambung.
Ledakan itu menyerupai gemuruh gunung mele-
tus yang juga mengguncangkan tanah di sekitar tem-
pat itu. Semakin lama semakin kuat guncangan terse-
but, sehingga keretakan terjadi dl permukaan tanah di
beberapa tempat. Tubuh Raga Dewa sendiri terom-
bang-ambing bagai dipermainkan oleh gempa bumi,
membuat serangannya terhenti dan sibuk menjaga ke-
seimbangan badannya. Matanya yang lebar meman-
dang sekelilingnya dengan tegang.
Ketika kesepuluh jari berkuku tajam itu pelan-
pelan bergerak ke arah depan, sinar-sinar merahnya
yang seperti bentangan kawat-kawat itu menghantam
kapak yang masih digenggam oleh Raga Dewa.
Praaang...! Kapak itu pecah menjadi serpihan-
serpihan. Raga Dewa kian kaget dan cepat lompatkan
diri ke arah lain. Karena jika ia tidak melompat, maka
tubuhnya akan menjadi sasaran kesepuluh larik sinar
merah dari kuku runcing Tua Usil itu.
Jurus 'Kuku Iblis' telah dikeluarkan oleh Tua Usil
dan membuat Tua Usil heran sendiri melihatnya. Se-
bab apa yang dilakukan sangat di luar kesadaran ha-
tinya. Ia tak sangka dapat keluarkan jurus sehebat itu.
Namun ia segera tahu, jurus tersebut pasti milik men-
diang Nyai Kuku Setan. Bukan milik Ki Pamungkas.
Rupanya Raga Dewa tak mau kalah, ia sentakkan
kedua tangannya ke depan dengan masing-masing
jempol terlipat dan kedelapan jari tangan itu lurus ke
depan. Dari ujung jari tangan itu keluar delapan larik
sinar kuning lurus yang menghantam ke arah Tua Usil
dari arah samping. Zzzraaap...!
Jraaab...!
Tua Usil terkena pukulan delapan larik sinar
kuning. Tubuhnya menjadi tegak, kaku, dan matanya
mendelik. Mulutnya yang ternganga keluarkan asap
kehitam-hitaman. Raga Dewa hentikan serangannya
dan tertawa bagai orang menggumam. Ia merasa lega
dapat kenai jurus mautnya ke tubuh Tua Usil. Ia yakin
Tua Usil sebentar lagi akan roboh dan sekujur tubuh-
nya akan pecah-pecah menjijikkan.
Tua Usil bagaikan tak sadar atas musibah yang
menimpanya. Bahkan ia tak sadar telah gerakkan ke-
dua tangannya bagaikan menari. Gerakan tangan itu
sangat pelan, dari bawah ke depan dan berputar balik,
kemudian kedua telapak tangannya merapat di dada
bagaikan orang semadi.
Asap yang keluar dari mulutnya semakin hitam.
Tubuhnya bergetar, keluarkan peluh, Dalam sekejap
peluh itu menjadi sangat banyak, dan akhirnya asap
itu hilang.
Napasnya terasa ringan untuk dihela. Sedangkan
Raga Dewa terheran-heran memperhatikannya.
"Manusia apa dia sebenarnya? Jurus 'Hasta
Sukma'-ku tak bisa membuatnya mati? Rangkap bera-
pakah nyawa orang itu? Atau... sebenarnya dia telah
mati dalam keadaan berdiri? Mengapa tidak bergerak-
gerak lagi?" sambil membatin begitu, Raga Dewa men-
dekati Tua Usil dengan pelan-pelan dan sangat hati-
hati sekali. Tua Usil masih tetap diam, tak bergerak
dan tak berkedip, kedua tangannya saling rapat di da-
da. Padahal waktu itu Raga Dewa sudah mencapai ja-
rak tiga langkah dari tempatnya berdiri. Tua Usil me-
mang seperti orang mati berdiri.
Tetapi dengan sangat tiba-tiba sekali dan menge-
jutkan Raga Dewa, kaki kanan Tua Usil berkelebat
menendang dalam setengah lingkaran. Tendangan itu
tepat kenai dada_ Raga Dewa. Buuhg...! Raga Dewa
terhuyung-huyung mundur bagai hilang kesadaran da-
lam sekejap.
Pada saat itulah, tangan Tua Usil bergerak sendi-
ri mengeluarkan pisau Pusaka Hantu Jagal dari balik
bajunya, lalu la melompat menyerang Raga Dewa sam-
bil cabut pisau itu. Dan dengan gerakan yang sangat
cepat, tahu-tahu pisau tersebut telah menghunjam
masuk ke dada Raga Dewa. tepat di bagian jantung-
nya. Juuub...!
"Ggggrrrhh...!" Raga Dewa mendelik sambil
menggeram, tangannya berusaha mencabut tangan
Tua Usil dari dadanya. Geraman itu timbulkan getaran
hebat pada tanah, daun-daun semakin berguguran.
Lalu, tubuh Raga Dewa mulai menyala merah
bening. Lama-lama cahaya yang membungkus tubuh
Raga Dewa itu mengalir dan berpindah ke tangan
Tua Usil, Kejap berikutnya tubuh Tua Usil yang berca-
haya merah bening, sedangkan tubuh Raga Dewa tidak
bercahaya lagi.
Perpindahan cahaya tersebut menandakan per-
pindahan ilmu Raga Dewa yang masuk ke tubuh Tua
Usil. Ketika cahaya merah bening itu padam, maka be-
rarti seluruh ilmu Raga, Dewa telah tersedot habis dan
menjadi satu dengan ilmu-ilmu lainnya di dalam tubuh
Tua Usil.
Pisau pun dicabut, tanpa darah dan tanpa basah.
Tubuh Raga Dewa masih berdiri dengan mata mende-
lik putih tak bergerak dan tak bernapas lagi. Beberapa
saat kemudian, ketika datang angin kencang tubuh itu
pun tumbang terkapar di tanah yang tak sempat retak
itu.
Tua Usil terkejut pandangi kematian Raga Dewa.
Ia hanya membatin, "Rupanya aku telah membunuh
nya dengan pisau ini?!" sambil ia pandangi pisau Pu-
saka Hantu Jagal itu. Segera ia masukkan pisau itu
dalam sarungnya dan ia selipkan di balik baju coklat-
nya. Rupanya Tua Usil juga tak sadari apa yang telah
ia lakukan terhadap Raga Dewa. Ada satu kekuatan
tersendiri yang menggerakkan tangan, kaki, pikiran,
dan sebagainya, yang semuanya itu bukanlah kekua-
tan asli milik Tua Usil. Mungkin saja kekuatan dari il-
mu Nyai Kuku Setan, atau kekuatan dari ilmunya Ki
Pamungkas, atau pula kekuatan yang ada di dalam pi-
sau keramat tersebut. Tua Usil tak bisa memastikan
jawabannya.
Yang jelas angin berhembus semakin lama sema-
kin kencang. Rambut tipis Tua Usil meriap-riap di-
hempas angin. Ia segera memandang ke atas, langit
sebelah barat, ternyata seekor burung rajawali putih
sedang menghampirinya. Rupanya angin yang ber-
hembus itu datang dari kibasan sayap burung rajawali
besar yang ditunggangi oleh seorang gadis cantik ber-
pakaian merah jambu dengan jubah putih tipis. Siapa
lagi gadis itu jika bukan I Lili, si Pendekar Rajawali Pu-
tih yang menyandang pedang perak di punggungnya di
mana pada ujung gagang miliknya terdapat ukiran dua
kepala burung saling bertolak belakang.
"Kaaakk...! Keaaak...!" burung rajawali putih ber-
jenis betina itu sepertinya memberi ucapan selamat
atas keberhasilan Tua Usil membunuh Raga Dewa. Te-
tapi ucapan selamat itu tidak terlontar dari mulut Lili,
yang segera melompat turun begitu sang rajawali me-
rendahkan kakinya, menunggu penerbangan selanjut-
nya.
Wajah gadis itu tampak bersungut-sungut me-
mandangi mayat-mayat yang tergeletak di sana-sini.
Tua Usil tahu, gadis itu pasti sedang marah, dan ia tak
berani mengajaknya bicara lebih dulu. Tua Usil hanya
salah tingkah menghadapi Lili, apalagi setelah ia di-
pandang oleh majikan perempuannya itu dengan mata
tajam, Tua Usil menjadi semakin tak mengerti harus
bersikap bagaimana.
Dengan nada marah Lili berkata, "Sudah berapa
kali ku ingatkan padamu; jangan membunuh! Lukai
saja lawanmu dan biarkan dia melarikan diri! Kalau
kau selalu membunuh, maka kau akan menjadi seo-
rang pembantai berdarah dingin!"
"Maaf, Nona Li...." ucap Tua Usil dengan takut
dan bersikap sedikit membungkuk karena menghor-
mat.
"Jadi manusia jangan serakah! Memang kau bisa
memperoleh banyak ilmu dari orang yang kau bunuh
dengan pisau pusaka itu, tapi tugasmu bukan
menjadi penjagal manusia! Pisau itu hanya boleh kau
gunakan dalam keadaan yang sangat terpaksa. Aku
sudah ingatkan hal itu berkali-kali. Tapi mengapa kau
masih lakukan juga?!"
Suara Tua Usil agak lirih, "Maaf, Nona Li. Saya
lakukan dengan sangat terpaksa. Raga Dewa menye-
rang, saya terus dan menghendaki pisau pusaka ini.
Saya bertahan agar pisau ini tidak jatuh ke tangan
orang sesat seperti dia. Tapi dia mendesak saya terus
dan saya hampir mati oleh jurus-jurus mautnya, Nona
Li. Jadi, mau tak mau saya lakukan hal ini. Saya su-
dahi masa hidupnya yang sesat dengan pisau ini!"
"Apakah kau tak bisa lari menghindar?"
"Sudah saya coba lari, Nona Li. Tapi saya dikejar-
kejar oleh mereka, seperti seekor babi hutan yang se-
dang diburu. Saya capek lari terus, Nona Li. Maka saya
coba lawan mereka. Saya ingin lumpuhkan mereka
tanpa harus membunuhnya, tapi mereka sepertinya
memaksa saya harus bertindak lebih. Daripada saya
mati di tangan mereka dan pusaka ini jatuh ke tangan
Raga Dewa, lebih baik saya yang bunuh mereka demi
keselamatan nyawa saya sendiri, Nona."
Pendekar Rajawali Putih tarik napas dalam-
dalam. Ketika dihempaskan, bersamaan dengan kata,
"Ya sudah...! Tapi lain kali usahakan hindari tindakan
seperti ini! Tak baik bagi jiwamu sendiri jika kau harus
selalu bertindak seperti ini. Paham?"
Tua Usil anggukkan kepala. "Paham, Nona Li."
Alasan itu cukup kuat menurut Lili. Memperta-
hankan diri, mempertahankan nyawa, mempertahan-
kan pusaka agar tidak jatuh ke tangan orang sesat,
terkadang membutuhkan tindakan yang lebih keras
lagi dari sekadar mengusir atau menghindar. Lili hanya
takut, jika keberadaan Tua Usil bersama pisau pusa-
kanya itu akan membuat jiwa Tua Usil menjadi ganas
dan selalu mencari korban untuk pisaunya. Tapi sete-
lah mendengar alasan Tua Usil tadi, hati Lili merasa
lega dan kemarahannya sedikit demi sedikit menjadi
berkurang.
"Mengapa tuanmu Yoga belum sampai rumah ju-
ga? Ke mana dia?"
"Wah, saya tidak tahu, Nona Li."
"Mengapa sampai tidak tahu? Bukankah kau.
Bocah Bodoh, dan Yoga yang antarkan Nini Bungkuk
Renta ke Bukit Kematian untuk diserahkan kepada
muridnya, si Iblis Mata Genit itu?!"
"Memang benar, Nona Li. Tapi Tuan Yo dan Bo-
cah Bodoh memisahkan diri setelah mereka melihat
serombongan tandu Nona Dewi Gita Dara melintasi
pantai. Saya sendiri segera pulang. karena saya butuh
pertimbangan masak-masak tentang niat Dewi Gita
Dara yang ingin meminjam pisau pusaka ini, Nona Li.
Jadi saya tidak tahu ke mana mereka berdua sebenar-
nya. Apakah ikut mengantar kepulangan Dewi Gita
Dara, atau ke suatu tempat dengan keperluan lain.
Dan waktu saya menuju pulang inilah, saya dicegat
oleh Raga Dewa."
Pendekar Rajawali Putih berwajah cemberut. Ia
menahan kekesalan hati. Gerutunya terdengar di telin-
ga Tua Usil,
"Mengantar Dewi Gita Dara...?! Untuk apa men-
gantar ke sana? Ke Teluk Gangga? Ih, seperti lelaki tak
punya harga diri saja dia itu!"
Tua Usil diam, ia tahu Nona Lili-nya sedang di-
landa rasa cemburu. Tua Usil tak berani ganggu den-
gan canda apa pun. Ia biarkan Lili berjalan mondar-
mandir dengan gelisah. Akhirnya Tua Usil dengar sua-
ra Pendekar Rajawali Putih itu berkata,
"Di mana kau lihat kapal mereka bersandar?"
"Saya tidak lihat kapal, Nona Li. Saya hanya ikut
rombongan tandu Dewi Gita Dara menyusuri pantai,
kemudian Tuan Yo dan Bocah Bodoh bergegas meng-
hampiri mereka!"
"Dasar laki-laki mata keranjang!" gerutu Lili den-
gan gemas. "Aku akan mencarinya di sepanjang pantai!
Kalau kau mau pulang, pulanglah dengan segera!" Lili
melangkah hampiri burung rajawalinya.
"Baik, Nona Li!" Tapi dalam hati Tua Usil sempat
cemas dan berkata, "Bagaimana kalau ternyata Tuan
Yo ikut mengantar sampai Teluk Gangga? Repotnya la-
gi, bagaimana kalau ternyata Dewi Gita Dara jatuh cin-
ta pada Tuan Yo dan tak izinkan Tuan Yo pulang?
Wah, bisa geger besar!"
* * *
2
SEPANJANG pantai utara disusuri lewat atas oleh
Pendekar Rajawali Putih. Beberapa nelayan yang meli-
hat seekor burung besar terbang ditunggangi gadis
cantik segera bersujud di tempatnya masing-masing,
karena mereka anggap Lili adalah bidadari yang turun
dari kayangan. Lili tidak hiraukan mereka, karena pi-
kirannya terpusat pada kekasihnya yang juga murid
angkatnya itu.
Lili tak ingin Yoga ikut ke Teluk Gangga. Sejujur-
nya hati Lili tak dapat ditipu, bahwa ia punya kecema-
san begitu melihat kecantikan Dewi Gita Dara. Gadis
yang hampir tergolong perawan tua itu mempunyai
daya pikat tersendiri bagi lawan jenisnya. Lili khawatir
jika Yoga sampai terpikat oleh kecantikan Dewi Gita
Dara. Sebab dalam hati Lili mengakui, bahwa kecanti-
kannya dengan kecantikan Dewi Gita Dara terpaut tak
begitu banyak. Lili hanya merasa unggul sedikit, itu
pun mungkin karena pengaruh usianya yang lebih
muda dari usia Dewi Gita Dara. Kecemasan itulah yang
membuat Lili tak sabar ingin segera temukan Yoga.
"Jangan-jangan ia benar-benar ikut ke Teluk
Gangga?!" kekhawatiran seperti itu berulang kali mun-
cul dalam benak Lili, membuatnya semakin resah dan
tersiksa batinnya.
Ketika menjelang senja tiba, hati Lili mulai mera-
sa tenang karena ia melihat sesosok tubuh berpakaian
selempang coklat membungkus baju putih lengan pan-
jang yang menyandang pedang merah tembaga di
punggungnya. Siapa lagi pria tampan itu kalau bukan
Pendekar Rajawali Merah.
Hanya saja, hati Lili menjadi sedikit berdebar ke
tika melihat Yoga ternyata sedang bertarung dengan
seseorang di pantai luas itu. Semakin dekat semakin
jelas, bahwa orang yang bertarung melawan Yoga itu
tak lain adalah Malaikat Gelang Emas. Serta-merta Lili
perintahkan kepada burung rajawali putih itu untuk
menukik ke arah pertarungan tersebut,
Malaikat Gelang Emas adalah tokoh sakti berali-
ran hitam yang menjadi musuh bebuyutan dari sejak
kedua guru Yoga dan Lili masih hidup. Malaikat Ge-
lang Emas selalu mengincar dua pedang pusaka yang
sekarang menjadi milik Lili dan Yoga itu. Tokoh yang
satu ini memang sulit ditumbangkan. Ia adalah kakak
seperguruan Nini Bungkuk Renta dan punya ilmu
'Bayang Siluman', yaitu bisa tembus tembok dan tak
bisa disakiti. Lili dan Yoga selalu terdesak dalam ba-
haya jika melawan Malaikat Gelang Emas.
Seperti kali ini, Lili lihat sendiri Pendekar Rajawa-
li Merah yang hanya mempunyai satu tangan itu terde-
sak oleh serangan jurus gelang-gelang maut dari la-
wannya. Sinar kuning melingkar-lingkar itu menghan-
tam Yoga berulang kali, dan hanya ditangkis oleh kiba-
san pedang pusaka Pendekar Rajawali Merah.
Bunyi ledakan terdengar berulang kali setiap pe-
dang Yoga berhasil tebas sinar gelang kuning tersebut.
Dalam keadaan terdesak oleh serangan beruntun, tiba-
tiba Malaikat Gelang Emas yang bertubuh gemuk dan
besar itu keluarkan semburan serbuk merah dari mu-
lutnya. Bruuus!
Lili mengetahui serbuk merah itu adalah Racun
Kematian. Siapa pun yang tersiram serbuk merah itu
gelembung-gelembung darah merahnya akan pecah
dan detak jantungnya akan berhenti. Sebab itu, Lili
cepat sentakkan telapak tangannya dan keluarlah asap
putih berangin kencang yang menghempas ke arah
pertarungan. Wooosss...! Angin kencang itu membuat
serbuk merah bertebaran ke arah balik, membuat Ma-
laikat Gelang Emas terkejut dan melompat menghinda-
rinya. Tepat pada saat itu burung rajawali putih turun
merendah dengan kibasan sayapnya yang mempunyai
hembusan angin badai.
"Biar kuhadapi sendiri dia!" kata Yoga kepada Lili
begitu Lili turun dari burungnya.
"Tak mungkin bisa, Yo! Gabungkan jurus kita!"
Saat itu, Malaikat Gelang Emas kerahkan tenaga
pukulannya yang berupa gumpalan kabut merah ke-
luar dari dua tangan yang pergelangannya saling bera-
du, telapak tangan keduanya terbuka. Wooosss!
Lili cepat berseru. "Pedang Bintang!" sambil ia
mencabut pedangnya sendiri yang menimbulkan suara
gelegar di angkasa, Seketika itu Yoga melakukan jurus
'Pedang Bintang' bersama-sama dengan gerakan jurus
'Pedang Bintang'-nya Lili.
Clap, claap...! Dari ujung pedang mereka masing-
masing keluar sinar lurus sebesar kelingking, panjang
menghantam gumpalan kabut merah yang menyerang
ke arah mereka. Sinar Pedang Bintang itu berwarna
putih berkerilap sedikit kekuning-kuningan. Keadaan
Yoga dan Lili ada dalam jarak kurang dari satu lang-
kah.
Dua sinar putih berkerilap itu menghantam
gumpalan kabut merah secara bersamaan. Akibatnya
timbul ledakan yang maha dahsyat saat itu.
Bleggaaarrrr...!
Bumi bagai dilanda bencana alam. Tanah ter-
sumbul keluar dan berdentum semburkan pasir-
pasirnya. Pepohonan roboh lebih dari sepuluh pohon
di sekitar tempat itu. Bebatuan yang ada tak jauh dari
situ terlempar ke segala penjuru akibat gelombang le
dakan tersebut. Air laut pun bergolak melambung
tinggi dalam bentuk gelombang besar. Hujan turun se-
ketika itu juga, deras dan berangin badai.
Malaikat Gelang Emas terpental jauh ke lautan
dan digulung ombak. Burung rajawali putih langsung
lari terbang ketakutan. Tetapi Yoga dan Lili tetap ber-
diri di tempat. membiarkan dirinya disiram hujan.
Membiarkan pula petir menyambar-nyambar dan ta-
nah pantai merekah di beberapa tempat. Kejadian
mengerikan itu sungguh menyerupai kiamat kecil yang
terjadi di sekitar pantai. Bahkan seekor ikan besar
tampak melambung tinggi dan jatuh bergemuruh dite-
lan ombak.
Perkampungan nelayan yang tadi dilintasi Lili
bersama rajawali putihnya itu menjadi heboh. Karena
di sana terjadi bencana kecil, rumah-rumah rusak,
atapnya menyingkap terbuka, benda-benda beterban-
gan, bahkan perahu-perahu yang ditambatkan di pan-
tai pun terlempar terbawa ombak dan badai. Para pen-
duduk kampung nelayan yang letaknya cukup jauh itu
menyangka saat itu terjadi kiamat yang akan mero-
bohkan langit Sebab warna langit bukan biru atau pu-
tih, melainkan merah membara disertai lintasan petir
biru yang menggelegar ke sana-sini. Mereka berlarian
kalang kabut disertai teriakan-teriakan yang penuh
kepanikan.
Air hujan masih mengguyur tubuh mereka. Cu-
kup lama dua pendekar rajawali itu diam terpaku me-
mandangi akibat penggunaan jurus 'Pedang Bintang'
secara bersamaan. Lili dan Yoga sama-sama menduga
tidak akan sedahsyat itu hasilnya. Karena jika jurus
'Pedang Bintang' hanya dilakukan oleh satu orang dan
satu pedang, guncangan yang terjadi tidak sampai me-
nyerupai kiamat kecil.
"Dahsyat sekali...?!" gumam Yoga seperti bicara
pada diri sendiri.
"Inilah akibatnya kalau jurus kita digabungkan,"
kata Lili pelan.
"Apakah kau yakin Malaikat Gelang Emas telah
mati?"
"Kurasa belum. Dia hanya luka parah dan ter-
lempar oleh gelombang ledakan tadi. Suatu saat dia
pasti akan muncul lagi menyerang kita dengan jurus
andalan. Ia pasti sedang mencari lawan jurus 'Pedang
Bintang' kita. Sebaiknya, lekas tinggalkan tempat ini!"
Deru hujan membuat Yoga masih diam di tempat
walaupun Lili sudah bergegas hendak pergi. Lili me-
mandang heran kepada Yoga.
"Ada apa?" tanya Lili curiga.
Yoga bagai sadar dari ketermenungannya. "Tak
apa," jawabnya sedikit gugup, kemudian segera berlari
mencari tempat berteduh bersama kekasih yang men-
jadi gurunya itu. Agar cepat mencapai pondok, mereka
terpaksa gunakan jurus 'Langkah Bayu'. yang dapat
bergerak cepat melebihi melesatnya anak panah dari
busurnya.
Malam dibiarkan lewat. Ada kegelisahan di hati
Pendekar Rajawali Merah. Mulanya kegelisahan itu dis-
impannya dalam hati. Tapi ketika Tua Usil datang
menjelang tengah malam, kegelisahan itu tak bisa dis-
embunyikan lagi, karena Tua Usil bertanya,
"Mana si Bocah Bodoh itu, Tuan Yo?"
"Itulah yang ku pikirkan sejak tadi."
"Ada apa dengan dia, Tuan," suara Tua Usil
membisik takut didengar oleh Lili yang sedang tidur.
"Bocah Bodoh ikut pergi ke Teluk Gangga."
"Bersama Nona Dewi Gita Dara?"
"Ya. Dia nekat mau kalahkan kerusuhan di sana.
Dia mau bunuh seekor naga titisan Ratu Gaib itu!"
"Bocah itu bukan bodoh saja, tapi juga edan,
Tuan!"
"Ku coba untuk mencegahnya, tapi ia nekat naik
ke kapalnya Dewi Gita Dara. Repotnya lagi, Dewi Gita
Dara memohon padaku untuk membiarkan Bocah Bo-
doh ikut dengannya. Aku tak bisa membantah kalau si
cantik itu yang memohon begitu!"
Tua Usir manggut-manggut dan merenung. Ma-
lam menjadi sepi. Kasak-kusuk mereka hilang untuk
sementara waktu. Yoga pun diam dalam ketermenun-
gannya. Lili masih tetap tidur dengan nyenyak di se-
buah kamar khusus yang hanya diperuntukkan di-
rinya. Yoga melangkah mondar-mandir mencoba mere-
dakan kegelisahannya.
Ia kembali dekati Tua Usil dan berkata dalam bi-
sik, "Bocah itu bergerak tanpa perhitungan. Dia tak
pikirkan keselamatan dirinya. Yang penting dia ingin
berbuat sesuatu untuk Dewi Gita Dara. Padahal Naga
Bara itu bukan sembarang ular naga yang sekali bacok
bisa luka.
Tentunya Naga Bara itu punya kesaktian tersen-
diri, apa lagi dalam siraman cahaya bulan purnama,
kekuatannya tentu sangat tinggi."
"Menurut saya, Bocah Bodoh pergi ke Teluk
Gangga untuk bunuh diri!"
"Kira-kira memang begitulah kesimpulannya."
Setelah menarik napas sebentar, Tua Usil berkata
ajukan usul,
"Bagaimana kalau kita menyusulnya ke sana,
Tuan? Culik dia dan paksa bawa pulang kemari!"
"Aku takut menyinggung perasaan Dewi Gita Da-
ra."
"Setidaknya kita ingatkan dia, bahwa jangan melawan ular naga jelmaan Ratu Gaib itu. Kita bujuk dia.
Dia itu bodoh dan mudah dibujuk dengan sedikit ti-
puan, Tuan!"
Yoga merenung sambil manggut-manggut. Ke-
mudian berkata lagi masih tetap dengan suara berbi-
sik,
"Baiklah. Besok kita susul dia ke Teluk Gangga.
Kau mau ikut?"
"Ya. Tentu saya ikut, Tuan. Saya bisa membujuk
si Bocah Bodoh!"
"Tapi aku ke sana dengan naik rajawali merah,
kau bersedia?"
"Yaaah... kalau bukan naik rajawali bagaimana?
Saya sering mual kalau habis terbang, Tuan. Kalau bi-
sa, naik perahu saja!"
"Terlalu banyak makan waktu, Tua Usil. Nanti ki-
ta tiba di tempat, si Bocah Bodoh sudah tak bernyawa
karena melawan naga siluman itu."
Tua Usil tak bisa kasih pendapat lagi. Wajahnya
murung sedih membayangkan akan mual jika terbang
menunggang rajawali. Dia masih belum bisa membia-
sakan diri untuk pergi ke mana-mana melalui udara.
Tapi agaknya memang tak ada pilihan lain, karena
memang mereka harus berpacu dengan waktu. Menu-
rut perhitungan Tua Usil, empat hari lagi akan tiba
saat bulan purnama. Mungkin malah kurang dari em-
pat hari. Jika perjalanan ke Teluk Gangga ditempuh
dengan perahu, bisa memakan waktu lebih dari empat
hari. Belum lagi jika harus hadapi gangguan ombak
besar di tengah lautan, pasti akan lebih lama lagi per-
jalanan yang ditempuh dengan perahu.
Pagi itu, ternyata Yoga sudah memanggil burung
rajawali merahnya. Lili yang ada di dalam pondok ter-
kejut mendengar suara burung memekik-mekik. Ia
pun bergegas keluar dan melihat rajawali merah sudah
ada di depan rumah. Burung itu sedang diusap-usap
oleh Yoga. Lili memandang dengan heran. Ia tahu kea-
daan seperti itu biasanya merupakan tanda bahwa Yo-
ga akan lakukan perjalanan jauh.
Lili pun segera menegur dalam tanya, "Mau ke
mana kau? Mengapa sepagi ini sudah memanggil si
Merah?"
"Aku mau ke Teluk Gangga."
"Apa?! Ke tempat perempuan cantik itu? Tidak!
Aku tidak izinkan!" Lili cemberut seketika itu juga.
"Aku harus ke sana. Guru!"
"Kau suka sama perempuan itu?!"
"Ini soal nyawa Bocah Bodoh, Guru!"
Wajah yang melengos itu segera berbalik menatap
Yoga dengan dahi berkerut dan mata memandang den-
gan tajam.
"Ada apa dengan Bocah Bodoh?!"
"Kemarin lusa ia ikut berangkat ke Teluk Gangga
bersama kapal Gita Dara. Dia nekat mau membunuh
Naga Bara. Padahal dia tidak mempunyai pusaka Han-
tu Jagal yang merupakan satu-satunya senjata yang
bisa untuk membunuh naga titisan Ratu Gaib itu! Dia
hanya mempunyai Pedang Jimat Lanang, dan aku
khawatir pedang itu tak bisa dipakai untuk mengalah-
kan naga tersebut!"
Lili diam sejenak, setelah itu berkata, "Jangan
remehkan pedang pusaka Itu. Aku yakin pedang itu
bisa untuk membunuh Naga Bara! Kau tak perlu susul
dia ke sana. Dia akan selamat!"
"Dia tidak akan selamat!" bantah Yoga. "Kita yang
harus selamatkan dia dengan membujuknya, agar dia
mau urungkan niatnya itu!"
"Kalau begitu, cukup kau mengutus Tua Usil saja!"
"Tua Usil tidak bisa naik rajawali sendirian,
Guru!"
"Suruh dia naik perahu atau carikan kapal se-
waan!"
"Waktu perjalanan tak cukup. Sebentar lagi ma-
lam bulan purnama akan tiba. Bocah Bodoh pasti su-
dah siap menghadang keluarnya naga siluman itu. Tua
Usil akan terlambat tiba di sana jika menggunakan pe-
rahu atau kapal. Satu-satunya sarana yang bisa di-
tempuh dalam waktu singkat adalah menunggang ra-
jawali, Guru! Coba pikir baik-baik!"
Tua Usil diam di bawah pohon, tak berani ikut
campur perdebatan sepasang kekasih itu. Salah-salah
dia kena damprat atau kena tampar tangan Lili jika
ikut membela pendapat Yoga. Apalagi Lili sudah cem-
berut memasang wajah curiga penuh kecemburuan
itu, Tua Usil benar-benar tak berani ikut campur da-
lam perdebatan itu.
"Bocah Bodoh cari penyakit saja dia!" gerutu Lili
menahan jengkel atas tindakan Bocah Bodoh. Dalam
hatinya ia sendiri merasa sayang jika harus kehilangan
Bocah Bodoh. Hubungannya selama ini telah membuat
Lili merasa bahwa Bocah Bodoh ataupun Tua Usil me-
rupakan bagian dalam lingkup keluarganya. Apa pun
yang terjadi dia harus lakukan pembelaan atau penye-
lamatan terhadap kedua orang tersebut.
"Izinkan aku berangkat bersama Tua Usil, Guru!"
bujuk Yoga dengan lembut. Kali ini ia raih kedua pun-
dak Lili, ia putar pelan-pelan sehingga wajah mereka
saling berhadapan. Ia tatap lembut-lembut wajah itu
dengan senyum indah yang menawan hati setiap wani-
ta itu.
"Aku tak akan lama. Secepatnya aku akan segera
pulang dengan membawa Bocah Bodoh."
"Kau berjanji tak akan lakukan apa-apa disana?"
"Mana mungkin aku lakukan apa-apa di sana?
Apakah aku harus diam saja dan bengong-bengong se-
perti orang hilang pikiran?"
"Maksudku, kau tidak akan berbuat yang bukan-
bukan terhadap Dewi Gita Dara?" jelas Lili sambil me-
nahan malu karena kecemburuannya terpaksa dikata-
kan apa adanya.
Yoga tersenyum menahan tawa. Tangannya me-
nyingkapkan anak rambut yang bergerai di kening
Pendekar Rajawali Putih yang cantik jelita itu sambil
berkata pelan,
"Tak perlu curiga, tak perlu cemas. Aku berkata
dengan sesungguhnya, tak ada perempuan secantik
apa pun yang mampu menggeser mu dari dalam hati-
ku, Guru."
Lembut sekali ucapan itu. Teduh nian rasa hati
Lili mendengarnya. Ia pun menarik napas dan mena-
hannya sesaat, bagai angin menyimpan keteduhan itu.
Lalu, ia berkata, "Berangkatlah, dan hati-hati!"
Maka, rajawali merah pun terbang melintasi sa-
mudera dengan gagahnya. Seorang pendekar tampan
duduk di punggung burung besar itu dengan rambut-
nya. yang panjang meriap ke belakang, membuat se-
seorang yang duduk di belakangnya pejamkan mata
beberapa kali karena takut tercolok rambut-rambut
itu.
Tua Usil memeluk perut Yoga kuat-kuat karena
takut jatuh dari punggung burung. Karena kuatnya
pelukan itu, napas Yoga sampai terasa sesak dihela.
Maka Yoga pun menyuruh Tua Usil sedikit mengen-
durkan pelukannya.
"Burung ini terlalu cepat dalam terbangnya,
Tuan. Kalau pegangan saya kendurkan, saya bisa ja-
tuh!"
Yoga pun segera berseru kepada sang rajawali,
"Merah, kurangi sedikit kecepatan mu. Tua Usil takut."
"Kaaak, kaaak, kaaak...!"
Yoga tertawa dan berkata, "Tua Usil, kau diterta-
wakan oleh si Merah. Dikatakan pengecut. Apa tak ma-
lu kau dibilang pengecut oleh seekor burung seperti si
Merah ini?"
"Biar sajalah!" kata Tua Usil pasrah.
Tiba-tiba senyum Yoga hilang, matanya meman-
dang ke arah timur. Ia melihat seseorang sedang berdi-
ri di atas sehelai kayu papan yang lebarnya tak lebih
dari dua telapak kaki. Kayu papan itu bergerak sendiri
dengan cepat di atas permukaan air laut. Orang yang
ada di atasnya itu berdiri dengan kedua tangan berse-
dekap dan jubahnya berkelebat ke belakang bagaikan
sehelai bendera.
"Tua Usil, apakah kau kenal dengan orang itu?!"
Tua Usil menatap ke arah orang tersebut. Cukup
lama ia diam untuk perhatikan baik-baik, karena jarak
orang sakti dl atas sepotong papan itu cukup jauh dari
penglihatan. Kejap berikutnya, Tua Usil berkata,
"Kalau tak salah lihat, dia yang bernama Banteng
Tato, Tuan! Dia orang dari Selat Garong."
"Tokoh hitam atau putih menurutmu?"
"Dia tokoh hitam, Tuan. Dia perampok kapal-
kapal dagang asing. Selat Garong masuk dalam wi-
layah kekuasaan Partai Bajak Samudera, namun
mempunyai kepemimpinan sendiri!".
"Hmmm...! Kalau begitu dia sekutunya Raga De-
wa."
"Tentunya begitu, Tuan. Sebaiknya kita tak perlu
dekati dia, Tuan. Hanya cari perkara saja."
"Tidak. Aku tidak akan dekati dia. Aku cuma ter-
tarik ingin tahu ke mana arah perginya dengan hanya
gunakan sepotong papan begitu?"
"Jika memang arahnya ke utara terus, berarti dia
menuju ke Teluk Gangga, Tuan. Karena Teluk Gangga
merupakan teluk teramai di kawasan kepulauan laut
utara ini."
"Hmmm... ada apa dia ke Teluk Gangga? Apakah
ia mau bikin kacau keadaan di sana?"
"Saya rasa tidak. Sebab dia sendirian. Biasanya
dia kalau mau bikin kekacauan selalu membawa se-
jumlah anak buahnya yang ganas-ganas. Mungkin...
mungkin juga arahnya tidak ke Teluk Gangga!"
Tiba-tiba orang yang disebut Tua Usil bernama
Banteng Tato itu palingkan wajah memandang ke arah
rajawali merah. Ia mulai tertarik dan perhatikan raja-
wali cukup lama. Tiba-tiba ia sentakkan tangannya
dan lepaskan pukulan jarak jauh bercahaya hijau ber-
gelombang-gelombang. Cahaya hijau itu membentuk
lingkaran-lingkaran yang makin mendekati sasaran
semakin besar. Tua Usil berseru,
"Lihat, dia mulai mengganggu kita secara iseng,
Tuan!"
"Biarkan saja!" kemudian Yoga berkata kepada
burungnya, "Merah, ada yang menyerangmu dari ka-
nan!"
Burung itu menoleh ke kanan, dari kedua mata
burung itu keluar sinar merah lurus dua larik.
Zlaaap...! Sinar itu menembus lingkaran-lingkaran hi-
jau dan menimbulkan suara ledakan yang menggema.
Blaang!
Rajawali merah menukik ke kiri, sementara itu
Banteng Tato terpental jatuh dari atas papan pijakan-
nya. Ia mengutuk dengan suara tak jelas. Tapi tangan
nya terlihat mengancam diacung-acungkan.
* * *
3
KEPERGIAN Yoga membuat Lili termenung sendi-
rian. Apalagi kepergian Yoga kali ini bersamaan. den-
gan kepergian Bocah Bodoh dan Tua Usil, Pendekar
Rajawali Putih merasa lebih kesepian lagi ditinggalkan
oleh mereka. Sesuatu yang membuat hati Lili masih di-
liputi kecemasan tipis adalah wajah Dewi Gita Dara. Ia
tahu persis, Yoga punya jiwa tidak mudah tega terha-
dap gadis cantik yang dalam kesulitan. Jika Dewi Gita
Dara mengeluh kepada Yoga dari memohon Yoga agar
jangan pergi sampai tiba saat kesulitan itu terselesai-
kan, itu berarti Yoga akan tinggal di Teluk Gangga le-
bih lama dari yang direncanakan semula. Lili menjadi
amat khawatir kalau saja Yoga tidak tega meninggal-
kan gadis secantik Dewi Gita Dara dalam kesulitannya.
Pendekar cantik yang kecantikannya sering di-
ungkapkan sebagai kecantikan melebihi bidadari itu,
duduk termenung di tepi sungai berbatu-batu tak jauh
dari pondoknya. Di sana ia tenggelam dalam lamunan
cintanya yang sampai sekarang belum bisa terwujud
dalam perkawinan, karena menurut Resi Gumarang,
calon penghulu mereka, Lili dan Yoga belum bisa me-
nikah karena masih ada urusan yang belum diselesai-
kan. Lili sendiri tak tahu, urusan apa yang dimaksud
itu, sehingga ia selalu bertanya-tanya dan mencari ja-
wabannya di dalam hati sendiri.
Rasa penasaran itu akhirnya membuahkan gaga-
san untuk datang ke tempat pengasingan Resi Guma
rang. Lili ingin desak Resi Gumarang supaya diberi ta-
hu urusan apakah yang harus diselesaikannya itu. Ji-
ka Lili tidak tahu persis tentang urusan yang harus
diselesaikannya itu, maka harapannya terasa bagaikan
terkatung-katung dalam ketidak pastian. Dan hal itu
makin lama dirasakan makin menyiksa batin. Lili ha-
rus tahu tentang urusan tersebut, supaya dia mempu-
nyai kepastian kapan saatnya ia harus melangsungkan
perkawinan dengan muridnya yang juga kekasihnya
itu.
Maka bergegaslah Lili pergi menemui Resi Guma-
rang. Sayangnya niat itu terhalang oleh kemunculan
tiga orang aneh yang belum pernah dikenalnya sama
sekali. Tiga orang aneh itu melompat dari suatu ke-
tinggian dan hinggap di atas bebatuan sungai yang le-
taknya berjarak dua-tiga lompatan.
Lili sedikit kaget, namun bisa cepat kuasai diri
dan menegur dengan tegas, "Siapa kalian?!"
Seseorang yang menggenggam terompet pendek
ukuran satu hasta terbuat dari lilitan kulit bambu itu,
menjawab dengan suaranya yang cempreng pecah,
"Kami utusan dari Biara Sita!"
"Biara Sita...?" Lili semakin merasa heran karena
baru sekarang mendengar nama Biara Sita.
"Namaku Juru Kubur," kata orang yang bertubuh
kurus ceking berpakaian abu-abu. Gigi depannya ron-
tok semua, tinggal bekas-bekasnya. Rambutnya pan-
jang kucai diikat kain coklat. Wajahnya lonjong dengan
dagu panjang, kumisnya tipis kaku seperti kumis ti-
kus.
Juru Kubur berkata lagi, "Sedangkan mereka
berdua adalah temanku, Tambur Pati dan Roh Gan-
tung!"
Yang bernama Roh Gantung tersenyum sekejap
lalu kembali berwajah kaku. Lili memperhatikan orang
pendek itu dengan perasaan aneh, geli, dan jijik. Roh
Gantung mengenakan pakaian hijau berikat pinggang
hitam. Tubuh tidak terlalu gemuk, tapi perutnya mem-
buncit seperti perempuan hamil enam bulan. Roh Gan-
tung mempunyai mata sipit, tapi hidungnya lebar, pi-
pinya tebal mirip bakpau, kepalanya botak tengah,
rambut yang tumbuh di tepiannya tergolong tipis. Ia
menyelipkan dua lempengan logam seperti piringan ti-
pis tak bergerigi, tapi tepiannya terlihat tajam bagaikan
mata pedang. Benda itu terselip di pinggang kanan-
kirinya.
Sedangkan yang bernama Tambur Pati itu bertu-
buh besar, gemuk. Kepalanya gundul polos, matanya
lebar ganas, kumisnya sedikit tebal melengkung ke
bawah hampir lewat dagu. Tambur Pati membawa gen-
derang putih mengkilat yang dicantolkan pada ikat
pinggangnya, sewaktu-waktu bisa dilepas. Dua kayu
penabuh genderang juga terselip di pinggang kanan.
Pakaiannya warna merah, ketat, seperti sesak karena
terlalu besar badannya. Alis matanya tebal dan sering
bergerak-gerak naik turun sendiri. Wajahnya sangar
tapi lucu.
"Kau benar yang bernama Nona Lili, bukan?!" ka-
ta Roh Gantung yang bersuara besar dan bulat, sesuai
dengan bentuk wajahnya yang bundar.
"Benar. Aku Lili: Pendekar Rajawali Putih. Tapi
aku tidak kenal dengan kalian dan tidak tahu tentang
Biara Sita!"
"Itulah sebabnya kami menjemput mu, Lili." kata
Tambur Pati dengan nada suara seperti wanita genit.
Matanya sambil melirik-lirik dan alis matanya berge-
rak-gerak sendiri. Sungguh tak sesuai dengan perawa-
kannya yang gemuk sangar tapi suaranya bernada
banci. Senyumnya pun mekar seperti senyum perem-
puan genit.
Sebenarnya Lili ingin tertawa, namun karena me-
rasa aneh dan kurang suka dengan sikap mengha-
dangnya mereka tadi, tawa itu jadi terpendam dan be-
ralih kecurigaan besar.
"Kalian ingin menjemputku? Mau dibawa ke ma-
na?"
"Ke Biara Sita!" jawab Tambur Pati dengan mata
berkedip-kedip ganjen. Ia mengusap kumisnya dengan
lagak gerakan tangan seorang wanita membelai ram-
but.
"Aku tak punya urusan dengan pihak Biara Sita!"
kata Lili.
"O, kau belum tahu, bahwa kau punya urusan
dengan Putri Kumbang, ketua kami di Biara Sita!" kata
Juru Kubur yang suaranya sangat tidak enak didengar
itu.
"Siapa pula Putri Kumbang itu? Aku merasa tak
punya urusan! Sebaiknya, tinggalkan aku dan jangan
ganggu aku lagi!"
"Tak bisalah...!" kata Tambur Pati sedikit meleng-
gok ganjen.
Roh Gantung segera melompat turun dari atas
batu ke daratan. Jleehg...! Kemudian ia berkata den-
gan wajah kaku,
"Kau punya urusan dengan biara kami, Nona Lili!
Menurut beberapa saksi mata, kau telah memiliki ilmu
'Sirna Jati' yang bisa melenyapkan seluruh ilmu milik
seseorang."
"Ya. Memang benar!" kata Lili mengaku secara te-
gas.
"Ilmu 'Sirna Jati' hanya ada di dalam Kitab Jagat
Sakti!"
"Betul!"
"Kitab Jagat Sakti, adalah kitab larangan dan tak
boleh dipelajari oleh siapa pun!"
"Kata siapa?!"
"Hukum rimba persilatan telah ditentukan dalam
musyawarah besar beberapa puluh tahun yang lalu,
bahwa tak seorang pun boleh memiliki dan mempelaja-
ri Kitab Jagat Sakti, karena kitab itu adalah kitab pa-
radewa yang tidak boleh dijamah manusia. Ketua ka-
mi; Putri Kumbang, adalah penegak hukum dan un-
dang-undang rimba persilatan! Kau telah melanggar
hukum rimba persilatan, sehingga kau harus diadili
dengan menyerahkan kembali Kitab Jagat Sakti!"
"Omong kosong!" bentak Pendekar Rajawali Putih
dengan beraninya. Mengenai Kitab Jagat Sakti, Lili tak
pernah mendengar ada larangannya. Sama sekali ia
tak percaya bahwa Kitab Jagat Sakti adalah kitab para
dewa yang tak boleh dipelajari manusia. Ini suatu ala-
san yang aneh dan pasti punya maksud-maksud ter-
tentu di baliknya, (Mengenai Kitab Jagat Sakti bisa di-
baca dalam kisah: "Sumur Perut Setan").
Juru Kubur segera melompat dari atas batu, kini
berada di samping Roh Gantung dan berkata kepada
Lili,
"Sebaiknya kau ikut saja ke Biara Sita, mengha-
dap Putri Kumbang. Jangan sampai di antara kita ada
pertikaian berdarah. Aku sudah bosan melihat darah."
Tambur Pati pun segera melompat menyusul dua
rekannya dan berkata dengan gaya wanita manja,
"Jangan lupa ya kitabnya dibawa juga! Hi, hi, hi, hi...!"
"Aku tidak bersedia ikut kalian. Apalagi menye-
rahkan Kitab Jagat Sakti, sama sekali tidak bersedia!"
Lili bersedekap tangan di dada. Ia tampak lebih tegas
dan berwibawa, Tiga orang utusan Biara Sita itu saling
pandang sebentar. kemudian Roh Gantung berkata
kepada Lili,
"Jika kau tidak bersedia ke pengadilan. terpaksa
kami harus menyeret mu dengan tidak hormat!"
"Aku tidak membuka permusuhan, tapi kalau ka-
lian kehendaki begitu, aku pun siap layani kemauan
kalian!" kata Lili tetap tenang.
Tambur Petir menyambut, "Jangan keras kepala,
Dik. Sayangilah wajah ayu mu itu," Lalu ia mengusap
kumisnya dengan gemulai.
"Terserah apa yang ingin kau lakukan, yang pent-
ing aku tetap tidak akan serahkan kitab kuno itu!"
Tambur Pati menggeram genit. "Uuuh...! Dasar
bandel!" ia mencabut pemukul tambur, kemudian ber-
kata,
"Kau tak akan bisa melawan kami! Melawanku
saja belum tentu kau bisa lolos, Dik! Coba hadapi ju-
rus 'Genderang Neraka' ini!"
Duuurrr...! Tambur Pati memukul genderangnya
secara beruntun dengan kedua tangan berkayu kecil.
Suara genderang bergemuruh, menghadirkan tembu-
san angin dari permukaan genderangnya. Hembusan
angin itu menerpa rambut dan jubah Lili hingga berke-
lebat ke belakang. Lili tetap melipat tangan di dada
dengan mata sedikit menyipit karena tertiup angin.
Suara gemuruh tambur membuat alam menjadi
mendung seketika. Matahari tertutup mega hitam, seo-
lah-olah getaran tambur itu menggerakkan gumpalan
awan hitam hingga menutup matahari. Daun-daun
pohon beterbangan, semakin lama semakin ber-
gemuruh. Bebatuan besar mulai terkelupas kepingan-
kepingannya. Air sungai berguncang-guncang bagai di-
landa gempa. Seekor burung yang terbang melintasi
mereka tiba-tiba jatuh dan berkelojotan sebentar lalu
mati karena terkena getaran tambur beraliran tenaga
dalam cukup tinggi. Tetapi Pendekar Rajawali Putih te-
tap berdiri tenang di tempatnya, tanpa bergeser sedikit
pun.
Suara gemuruh tambur berhenti. Alam menjadi
sepi. Sisa angin masih terasa menghembus dan mem-
buat dedaunan bergemerisik. Ketika mata Lili melirik
ke arah sebuah pohon di sebelah kirinya, dalam hati ia
terkejut melihat pohon itu menjadi gundul. Semua
daunnya rontok. Padahal sebelum itu daun pohon ter-
sebut cukup lebat dan rindang. Kini tinggal dahan dan
ranting-rantingnya saja.
"Hebat juga jurus 'Genderang Neraka'-nya itu!"
pikir Lili diam-diam. Dada Lili sendiri sebenarnya me-
rasa sesak saat mendengar suara tambur dipukul be-
runtun. Tapi karena ia mempunyai lapisan tenaga da-
lam cukup tebal, ia mampu menahan dan mengatasi
getaran tenaga dalam tersebut. Dan ternyata hal itu
membuat tiga utusan Biara Sita tertegun kagum me-
mandangi Pendekar Rajawali Putih.
Roh Gantung berkata dalam hatinya, "Gadis ini
jelas memiliki ilmu yang tinggi. Biasanya seseorang
yang mendengar suara tambur seperti tadi akan mun-
tah darah, dari lubang telinga dan hidung pun akan
mengucurkan darah. Tetapi gadis ini tidak kelihatan
terluka sedikit pun. Jika ia tidak berilmu tinggi ia tidak
akan bisa tetap tenang seperti saat ini!"
Terdengar Lili berkata kepada Juru Kubur, "Ka-
takan kepada ketua Biara Sita, aku tidak bersedia
mempercayai kata-kata kalian! Katakan pula, bahwa
Pendekar Rajawali Putih tak akan bisa ditipu dengan
cara selicik apa pun!"
"Aku terpaksa bertindak melumpuhkanmu, No-
na!" kata Juru Kubur. Ia mundur satu langkah dan
berkata, "Kalau kau mampu menahan Genderang Ne-
raka, tapi belum tentu kau mampu menahan jurus
'Jeritan Kubur'-ku ini!" kemudian Juru Kubur pun
memasukkan ujung terompet ke mulutnya, dan di-
tiupnya terompet itu dengan nada yang lengking pecah
namun tidak punya irama tertentu. Seakan ditiup den-
gan irama sembarangan.
Toeeettt... trete... teeetttt... tuuueeet... treeettt...!
Suara itu membisingkan telinga. Sangat tak enak di-
dengar. Suara itu juga dialiri tenaga dalam tinggi yang
membuat batu-batu sebesar kepala manusia saling re-
tak dan pecah dengan sendirinya. Dahan-dahan retak
terbelah. Ada yang patah karena getaran gelombang
suara tersebut. Ranting-ranting berguguran bagai kayu
kering yang lapuk diterpa angin badai. Tiupan terom-
pet itu pun hadirkan angin besar yang membuat bebe-
rapa tanaman perdu jebol dari akarnya dan beterban-
gan searah hembusan angin terompet. Tetapi, Pende-
kar Rajawali Putih hanya memandangi dengan mata
sedikit menyipit, kaki tegak agak renggang dan tangan
tetap bersedekap di dada.
"Mengagumkan sekali gadis ini?" pikir Juru Ku-
bur yang sudah berhenti meniup terompet saktinya.
"Biasanya lawanku akan terpental jauh dan pecah
gendang telinganya, tapi gadis itu bagaikan pilar beton
berselubung baja! Tetap tegar dan kokoh berdiri. Gila!"
Roh Gantung penasaran melihat ketegaran Lili. Ia
segera mencabut dua piringan yang menurut istilah
alat musik disebut simbal. Piringan itu segera diadu-
kan dan diguncang-guncangkan sehingga keluarkan
bunyi gemerincing yang amat memekakkan gendang
telinga. Creeeng...! Creeeengngng...! Grrrreeeeng...!"
Rumput di bawah kaki mereka mulai layu dan
menjadi coklat. Gemerincing benda itu timbulkan hawa
panas yang menyebar ke mana-mana, hingga beberapa
tanaman kering yang ada tak jauh dari tempat itu la-
ma-lama kepulkan asap dan akhirnya terbakar dengan
api menyala-nyala. Bahkan sebatang pohon yang telah
gundul tanpa daun pun segera merengas mati, lalu ke-
pulkan asap, makin lama makin besar dan berubah
menjadi nyala api yang berkobar membakar pohon ter-
sebut. Sedangkan Lili masih tetap diam dan meman-
dangi Roh Gantung dengan mulut terkatup rapat, wa-
jah tidak tampak tegang sedikit pun. Pakaiannya
hanya bergerak melambai-lambai namun tidak terba-
kar.
Sambil masih membunyikan simbal yang geme-
rincing menggema ke mana-mana itu, Roh Gantung
berkata dalam hatinya,
"Benar-benar bandel gadis ini! Tak ada bagian
tubuhnya yang terbakar sedikit pun. Bahkan seujung
benang pakaiannya pun tidak terbakar. Padahal mes-
tinya dia sudah menjerit karena dibungkus api!"
Karena jengkelnya, Roh Gantung segera meng-
hantam-hantamkan dua piringan itu dengan kerasnya
sambil berteriak tak beraturan,
"Heeeaaa...!"
Tangan kanan Lili segera ambil sikap tegak di de-
pan dada, tiga jarinya menggenggam, dua jari lainnya
berdiri lurus hampir menyentuh pertengahan kening,
Matanya terpejam memusatkan kekuatan batinnya.
karena dari dua piring itu keluar sinar bergelombang
separo lingkaran warna merah, tertuju ke arah Pende-
kar Rajawali Putih,
Juru Kubur segera merapatkan diri dengan Roh
Gantung dengan berlutut satu kaki lalu meniup te-
rompetnya secara tidak beraturan. Suara terompet itu
lebih keras dari yang tadi, dan memancarkan gelom
tu yang diinjaknya dengan kaki pecah. Remuk dan ak-
hirnya lembut, lalu telapak kaki itu pun terbenam di
tanah sebagian.
Namun tiba-tiba dari arah timur berkelebat se-
buah bayangan yang melintas di depan Lili. Bayangan
itu menerjang tiga tubuh utusan dari Biara Sita.
Brrruuuss...! Ketiganya tumbang dan berguling-guling
bagai habis diseruduk kerbau yang sedang mengamuk.
Suara bising itu pun hilang lenyap berganti sebaris
makian-makian kasar.
Lili pun hentikan pengerahan tenaga dalam pe-
lindung, Napasnya sempat terengah-engah sedikit. Ia
melihat tiga orang, itu saling tindih dan saling berebut
untuk bangun hingga menjadi gaduh dan semrawut.
Juru Kubur berteriak-teriak karena keberatan ditindih
tubuh Roh Gantung dan Tambur Pati yang saling be-
rebut untuk bangkit.
Tetapi mata Lili segera menangkap sesosok tubuh
yang berdiri di sebelah barat, di atas sebuah gugusan
batu hitam. Sosok tubuh itu milik seorang pemuda
tampan berpakaian biru muda dengan rambut dikun-
cir tinggi. Kuncirnya dililit pita merah. Sebagian ram-
butnya terjuntai di samping kanan-kiri telinganya. Pe-
muda itu tampak tegap, gagah dan rupawan. Hidung-
nya mancung, matanya indah, alisnya sedikit tebal
namun teratur rapi. Kedua tangannya mengenakan
pembalut dari kulit harimau menutup tepat di perge-
langan tangan.
Lili sempat lupa berkedip ketika memandang ke-
tampanan pemuda itu. Sedangkan si pemuda hanya
melirik sebentar, lalu kembali memandang tiga orang
yang saling berjatuhan itu. Ia tersenyum melihat ketiga
utusan Biara Sita tampak kewalahan menerima seran-
gan kilatnya tadi. Senyumnya itu membuat hati Lili
menjadi berdebar-debar aneh. Bahkan Lili jadi lebih
gelisah lagi saat pemuda itu meliriknya sekilas.
"Sial, sial, siaaal...!" maki Tambur Pati. "Aku ben-
ci sekali! Aku benci sekali kalau dia yang muncul!" Ia
menggeram sambil mengusap-usap kepala gundulnya
dan dicubit-cubit sendiri. Matanya tertuju pada pemu-
da berpakaian biru muda dengan dada terbuka sedikit
itu.
Juru Kubur yang kini sudah berdiri segera berse-
ru, "Setan! Kenapa kau ikut campur urusan kami,
Pandu Tawa?! Mau cari mampus?!"
"Sudah bosan hidup kau, Pandu Tawa?!" bentak
Roh Gantung.
Pemuda yang dipanggil sebagai Pandu Tawa itu
segera tertawa dengan satu tangan bertolak pinggang.
"Hua, hah, hah, hah, hah...!"
Tawa itu cukup panjang. Lili berkerut dahi ketika
melihat tiga utusan dari Biara Sita itu juga menjadi
tertawa. Dari tawa pelan, bertambah keras, semakin
keras, dan kini mereka tertawa terbahak-bahak, ter-
pingkal-pingkal, bahkan sampai terbungkuk-bungkuk.
Wajah marah mereka berubah total menjadi wajah
orang kegelian yang luar biasa terpingkal-pingkalnya.
Suara mereka dalam tawa pun menjadi sangat keras.
Bahkan Tambur Pati sampai nyaris tak terdengar lagi
suaranya karena terlalu keras tawanya.
Padahal Pandu Tawa sudah diam dan kembali
berwajah tenang. Ia melompat turun dari atas gugusan
batu, lalu menghampiri Lili dengan langkahnya yang
tegap dan gagah. Seulas senyum tersungging di bibir
pemuda itu. Sungguh menawan senyuman itu. Lili tak
bisa bohong pada penilaian hati kecilnya sendiri.
Tetapi gadis itu belum bisa berbuat sesuatu ka-
rena masih terganggu oleh suara tawa ketiga utusan
dari Biara Sita itu. Roh Gantung sampai terduduk-
duduk memegangi perutnya yang sakit, namun ta-
wanya tak bisa dihentikan. Sedangkan Jurus Kubur
sampai tertungging-tungging sambil menghabiskan ta-
wa yang ternyata tiada kunjung habis. Tambur Pati ja-
tuh terkapar. Tubuhnya yang gemuk tersentak-sentak
dengan suara tawa sampai terdengar kecil sekali.
"Nona, kusarankan sebaiknya tinggalkan mereka.
Pergilah dari sini. Mereka orang-orang sesat dari Biara
Sita!" kata Pandu Tawa.
Lili bingung, bagaikan orang bodoh. Ia mengang-
guk-angguk seakan menurut dengan perintah Pandu
Tawa. Tapi ia juga masih terpaku perhatiannya pada
tiga utusan Biara Sita yang masih belum berhenti ter-
tawa itu. Lili heran sekali, dan akhirnya bertanya den-
gan wajahnya yang kebodoh-bodohan,
"Me... mereka... mereka tertawa terus...?"
"Ku tebarkan racun tawa saat aku tertawa tadi!
Racun tawa itu dapat diarahkan kepada orang terten-
tu. Racun tawa pun bisa membuat orang akhirnya ma-
ti karena terlalu banyak tertawa tiada hentinya. Seo-
rang musuhku pernah tewas karena kehabisan napas
pada waktu tertawa. Dan.. karena itulah aku dinama-
kan Pandu Tawa!"
Oh, hmmm... ehh... iya... hmmm.... Aku Lili, eh...
ah, hmmn, iya!"
Aneh. Lili jadi gugup dan kehilangan ketegasan-
nya begitu berhadapan dengan Pandu Tawa. Ilmu apa
yang dimiliki pemuda tampan itu? Sedangkan tiga utu-
san dan Biara Sita itu masih saja tertawa hingga ber-
guling-guling, padahal wajah mereka sudah menjadi
merah kehitam-hitaman karena terlalu banyak kuras
tenaga. Tawa mereka tidak mau berhenti sebentar pun
dan sukar di kendalikan. Lalu, apa hubungannya dengan kegugupan Lili? Terkena semacam racun yang
bernama racun gugup, atau karena hatinya berdebar-
debar menghadapi ketampanan pemuda yang melebihi
ketampanan Yoga itu?
* * *
4
UTUSAN Biara Sita dibiarkan terkapar pingsan di
tepi sungai. Lili bergegas kembali ke pondok. Tapi ru-
panya Pandu Tawa ikuti kepergian Lili sampai ke pon-
dok. Lili semakin kaget dan salah tingkah setelah tahu
pemuda tampan itu ternyata mengikutinya. Sebelum
masuk ke pondok, Lili sempatkan berhenti dan mem-
biarkan Pandu Tawa mendekat. Ia justru sunggingkan
senyum seakan sangat senang disusul oleh Pandu Ta-
wa.
"Maaf, aku terpaksa susul kamu kemari, karena
aku lupa tanyakan siapa namamu."
"Namaku...?" gadis itu tersipu malu, dengan se-
dikit menunduk ia menjawab, "Namaku Lili."
"Ooo...!"
Pandu Tawa manggut-manggut dengan senyum
menawan. Lalu ia berkata sambil berlagak memandang
sekeliling,
"Aku pernah mendengar nama Lili. Tapi dia seo-
rang pendekar yang bergelar Pendekar Rajawali Putih."
"Akulah itu!" sergah Lili, lalu segera sadar dan
sembunyikan semangat kegembiraannya. Tak seha-
rusnya ia bersikap seperti itu, seakan menampakkan
rasa bangganya mendengar Pandu Tawa sebutkan ge-
lar kependekarannya. Rasa sesal itu membuat Lili kian
malu.
"Jadi, kau adalah murid Eyang Dewi Langit Pe-
rak?"
Kali ini Lili benar-benar kaget. "Dari mana kau
tahu?"
"Dari kakekku. Dia sahabat Dewi Langit Perak,
dan tahu persis percintaannya dengan Eyang Dewa
Geledek yang bersemayam di Gunung Tiang Awan itu."
"Sssi... siapa...? Siapa nama kakekmu?" Lili jadi
tambah grogi.
"Aku cucu dari Eyang Wejang Keramat yang ting-
gal di Bukit Gobang Wetan! Mungkin kau pernah den-
gar nama Wejang Keramat?"
"O, ya! Pernah!" lebih semangat lagi Lili dalam
menjawab. "Guru pernah ceritakan tentang Eyang We-
jang Keramat. Tapi,.. Guru tidak pernah ceritakan
bahwa Eyang Wejang Keramat punya cucu bernama...
bernama...." Lili berpikir dengan gelisah. "Bernama...."
"Pandu Tawa," sahut pemuda itu.
"O, ya! Pandu Tawa!" Lili tertawa kikuk, menutupi
kegugupannya. Apalagi setelah ia dipandangi Pandu
Tawa beberapa helaan napas, ia merasa semakin salah
tingkah dan tahu harus bicara apa padanya.
"Kau tinggal di rumah ini?"
"Ya Tinggal di rumah ini," jawab Lili sambil terse-
nyum bingung.
Pandu Tawa manggut-manggut, berharap dipersi-
lakan mampir, tapi Lili tak tahu harus ucapkan kata
seperti itu karena gugupnya. Lili sendiri jengkel dalam
hati, mengapa ia menjadi gugup dan seperti anak kecil
begitu? Seharusnya ia bersikap seperti biasanya; tegas,
berwibawa, dan tegar. Tapi mengapa begitu bertemu
Pandu Tawa ia menjadi tak bisa bersikap seperti itu?
Perlahan-lahan Lili kuasai diri, redakan debar
debar dalam hatinya. Ia menelan napas beberapa kali
untuk mengusir kegugupan itu. Dan ia sedikit berha-
sil, walau masih sering menggeragap jika tiba-tiba ma-
tanya beradu pandang dengan si tampan penggoda ha-
ti wanita itu.
"Aku tak sangka kalau kau terlibat persoalan
dengan orang-orang Biara Sita?"
"Aku sendiri... eh, ya... aku sendiri tak sangka."
Pandu Tawa berkerut dahi, "Maksudmu bagaimana?
Apakah sebelumnya kau tidak ada persoalan dengan
orang-orang Biara Sita?"
"Tidak. Eh, maksudku... tidak ada persoalan se-
belum ini. Mereka mau memaksaku menghadap Ketua
Biara Sita yang bernama Putri Kumbang!"
"Oh, bahaya! Kau bisa dipengaruhi dan menjadi
pengikutinya. Dia tokoh sesat. Ilmunya memang cukup
tinggi, tapi aku yakin tidak setinggi ilmumu!"
"Ah, kurasa tidak juga," jawab Lili sambil terse-
nyum dan menunduk. "Mereka tuduh aku melanggar
undang-undang dan hukum yang sudah disepakati
oleh para tokoh rimba persilatan!"
"Undang-undang macam apa itu?" "Aku tidak ta-
hu. Tapi... tapi aku dituduh melanggar hukum karena
menyimpan sebuah kitab kuno, yang menurutnya ti-
dak boleh dipelajari oleh manusia, karena kitab itu
adalah kitab para dewa!"
Pemuda berwajah bersih itu manggut-manggut
sambil kerutkan dahi. Lalu ia berkata dengan kedua
tangan bersedekap di dada,
"Aku memang pernah dengar, ada kitab yang di-
namakan kitab para dewa. Tapi tak pernah dengar ada
larangan bagi manusia untuk mempelajari isinya!"
"Aku akan diadili oleh Putri Kumbang dan harus
serahkan kitab itu. Lalu aku bertahan."
"Benar, Kau harus bertahan. Putri Kumbang itu
tokoh licik yang memang ingin menguasai seluruh
rimba persilatan. Ia ingin semua tokoh rimba persila-
tan tunduk kepadanya. Ia ingin menjadi Ketua Maha
Raja di dunia persilatan. Tapi sampai sekarang niatnya
tak pernah tercapai, karena dia masih bisa dikalahkan
oleh beberapa tokoh sakti lainnya! Hati-hati terhadap
mereka. Kau bisa kena tipu."
"Eeh... hmmm... iya Terima kasih atas nasihat-
mu!" "Kalau mereka datang lagi mengganggumu, jan-
gan sungkan-sungkan melawannya. Serang saja, biar
mereka tak berani mengganggumu lagi."
"Iiyy... iya. Akan ku lawan mereka. Aku tak akan
ragu-ragu lagi."
"Kalau begitu, aku permisi sekarang juga."
"Hmmm... ehh... anu... eh, kau mau ke mana,
Pandu Tawa?"
"Aku mau ke teluk Gangga."
"Oh...?!" Lili terperanjat. "Maksudku... maksud-
ku... mau apa kau pergi ke Teluk Gangga?"
"Membunuh seekor naga," jawab Pandu Tawa. "Di
sana ada seekor naga yang ganas, munculnya setiap
bulan purnama, titisan dari Ratu Gaib. Aku harus
membunuh naga itu, karena ayahku hilang ditelan
oleh naga tersebut!"
Sekarang Lili kembali gugup lagi seperti semula,
karena ia tahu rahasia naga tersebut. Sedangkan ia
tahu Pandu Tawa bertekad membalas dendam atas
kematian ayahnya yang ditelan Naga Bara. Tapi hal itu
akan membahayakan jiwa Pandu Tawa, sebab pemuda
itu akan mati secara sia-sia jika hanya mengandalkan
keberanian dan tekadnya saja. Karena itu, Lili pun se-
gera berkata, "See... see... sebaiknya kau batalkan saja
niatmu itu!"
"Tak bisa! Dendam ini sudah lama berkarang ke-
ras di dalam hati. Aku harus lakukan hal itu."
"Tap... tap... tapi... tapi tidakkah kau tahu bahwa
Naga Bara itu sukar dibunuh? Tak bisa dilukai dengan
senjata apa pun?"
"Aku tahu. Kakekku telah banyak ceritakan ten-
tang naga tersebut. Bahkan kakekku pun menyaran-
kan agar aku tidak bertindak dengan gegabah dan
hanya memburu dendam saja."
"Maksudku... begini. Maksudku, naga itu hanya
bisa dibunuh dengan sebuah pisau keramat yang ber-
nama Pusaka Hantu Jagal!"
"Benar. Eyang Wejang Keramat juga katakan hal
itu."
"Lalu...?"
"Lalu aku diberitahu Kakek, bahwa pusaka terse-
but sekarang sudah ditemukan oleh seseorang yang
bernama Tua Usil atau Pancasona. Dan aku sudah
berhasil bertemu dengan Tua Usil, kemarin! Aku ber-
hasil membujuknya, menukar pisau pusaka itu den-
gan ilmu 'Angin Saka',"
"Hahh...?! Bbbab... bab... bagaimana?" Lili sema-
kin tampak gugup.
"Ku salurkan jurus 'Angin Saka' ke dalam tubuh-
nya, sehingga tubuhnya bisa punya ilmu peringan dan
bisa berdiri di atas ilalang. Lalu, ilmu itu ditukarnya
dengan pisau Pusaka Hantu Jagal."
Pandu Tawa keluarkan pisau tersebut dengan
merogoh di balik belahan bajunya. Ia perlihatkan se-
buah pisau yang sarung dan gagangnya berlapis kun-
ing emas. Gagangnya berhias kepala raksasa. sarung-
nya berukir-ukir indah.
Lidah Lili semakin kelu tak bisa berkata apa-apa.
Hatinya memendam kedongkolan kepada Tua Usil. Ia
tahu, pisau di tangan Pandu Tawa memang pisau Pu-
saka Hantu Jagal. Tapi ia tak sampai berpikir bahwa
pisau itu akan ditukarkan oleh Tua Usil dengan se-
buah ilmu yang bernama 'Saka Angin'. Benar-benar
satu tindakan yang bodoh telah dilakukan oleh Tua
Usil, dan hal itu membuat hati Lili menjadi memendam
kemarahan.
Tetapi tertegunnya Pendekar Rajawali Putih itu
diartikan lain oleh Pandu Tawa. Pemuda itu menyang-
ka gadis cantik tersebut sangat terkagum-kagum meli-
hat pisau pusaka itu. Padahal baru melihat bagian
luar dan wujudnya saja, belum melihat kehebatannya.
Pandu Tawa menduga, gadis itu akan lebih terkagum-
kagum lagi setelah menyaksikan kedahsyatan pusaka
tersebut!
Cepat-cepat pisau itu disimpan kembali ke balik
bajunya. Pandu Tawa sunggingkan senyum kebang-
gaan, kemudian berkata,
"Sebenarnya aku ingin sekali bicara lebih lama
denganmu, Lili. Tapi aku harus selesaikan dulu uru-
sanku, supaya tidak terlambat. Setelah nanti aku sele-
saikan urusanku itu, aku akan singgah ke sini untuk
menemuimu. Moga-moga belum ada pria lain yang
menemani mu!"
Hanya seulas senyum yang bisa disampaikan
oleh Lili kepada tamunya itu. Ketika tamunya melang-
kah pergi, hati Lili menjadi gundah. Ia buru-buru
mengejar sebelum Pandu Tawa menghilang dari pan-
dangan mata. Ia berseru memanggil, "Panduuu...!"
Pemuda itu hentikan langkah dan berpaling ke
belakang. Ia tersenyum melihat Lili menghampirinya
dengan berlari. Setibanya di depan pemuda itu, Lili
menjadi gugup lagi, namun ia paksakan diri untuk
mengatakan sesuatu.
"Pandu. kau kenal dengan penguasa Teluk Gang-
ga?'
"Ya. Dewi Gita Dara namanya. Kenapa?"
"Dia punya sayembara. Siapa bisa bunuh Naga
Bara, dia mau dijadikan istrinya atau...."
Pandu Tawa segera menyahut dalam senyuman
indahnya, "seekor naga, bukan mencari jodoh."
"Hmm... maksudku... maksudku kalau kau mau,
kau bisa ambil dia sebagai istrimu yang tercinta."
"Aku belum berpikir ke arah sana. Kita lihat saja
nanti, apakah aku kembali lagi kemari membawa dia
atau sendirian."
Lili-mengangguk sambil menelan ludah. Sikapnya
yang serba salah tingkah itu menjengkelkan hati sen-
diri. Akhirnya ia berkata,
"Berangkatlah...!" dan sebelum Pandu Tawa me-
langkah, Lili sudah lebih dulu berlari pulang ke pon-
dok. Ia tak berani menengok ke belakang lagi. Bahkan
begitu masuk ke dalam rumah, Lili cepat-cepat tutup
pintu rumah itu.
Kemudian ia duduk dengan napas terengah-
engah, tertegun diam sampai beberapa lama baru me-
nyadari keadaan dirinya. Dalam hati ia berkata, "Men-
gapa perasaanku jadi seperti ini? Edan benar aku ini!
Aku menjadi gugup berhadapan dengannya. Aku men-
jadi malu, namun punya kecemasan yang tak kumen-
gerti. Aku punya niat ingin menahannya agar jangan
pergi. Kenapa harus begitu? Kenapa aku harus berlari-
lari menyusulnya" hanya untuk suatu pembicaraan
yang sebenarnya tak penting? Terkena apa aku ini, se-
hingga kehilangan ketegasan dan kewibawaan ku? Be-
nar-benar aku tak mengerti, mengapa hatiku jadi ber-
debar-debar terus dan merasakan sebentuk keindahan
yang amat panjang. Sampai sekarang aku masih merasa senang dan senang terus. Gila! Kurasa dia mempu-
nyai kekuatan yang dapat membuatku senang terus
begini?! Jika benar begitu, berarti dia punya ilmu cu-
kup tinggi juga? Bisa-bisa aku bertekuk lutut dan tun-
duk dengan perintahnya jika aku terlalu lama bersa-
manya!"
Lili berusaha membuang perasaan senang itu. Lili
takut keracunan rasa suka yang membuatnya tak bisa
lepas dari pemuda tampan itu. Maka, ia segera ambil
sikap semadi dan menenangkan pikirannya. Ia mene-
robos batin sendiri untuk membersihkan diri dari sega-
la sesuatu yang timbul dan dilakukan di luar kesada-
rannya.
Setelah beberapa saat ia menenangkan pikiran
dan mengendalikan batinnya, maka yang terbayang
dalam benaknya adalah pisau Pusaka Hantu Jagal itu.
Rasa senang di hati Lili berubah menjadi letupan-
letupan kemarahan. Marah kepada Tua Usil yang telah
bertindak ceroboh. Menukar pisau pusaka dengan se-
buah ilmu adalah tindakan terbodoh yang pernah dili-
hat Lili seumur hidupnya.
"Ternyata dia jauh lebih bodoh dari si Bocah Bo-
doh itu!"
geram Lili dalam batinnya. "Seharusnya hal itu
tidak ia lakukan. Kalau toh harus dilakukan, tentunya
ia minta pertimbangan dulu kepadaku dan kepada Yo-
ga. Benar-benar menjengkelkan si Tua Usil itu. Apakah
dia tidak bisa ukur nilai sebuah pisau pusaka seperti
itu dengan sebuah ilmu yang bisa membuatnya berdiri
di atas ilalang?"
Kecamuk batin Lili terhenti sebentar. Ada sesua-
tu yang menyelinap dalam pikirannya. Terbayang saat
Yoga pergi bersama Tua Usil, tujuannya hanya ingin
membujuk Bocah Bodoh agar membatalkan niatnya
dalam melawan Naga Bara.
"Mengapa tujuan mereka hanya ingin membujuk
Bocah Bodoh? Mengapa tidak bertujuan membunuh
Naga Bara sekalian? Bukankah Tua Usil mestinya me-
rasa mampu mengalahkan naga titisan Ratu Gaib itu?
Apakah karena ia menyadari bahwa pisau Pusaka
Hantu jagal sudah tidak lagi di tangannya, lantas dia
tidak berani punya gagasan untuk melawan atau
membunuh naga tersebut?! Apakah itu berani Yoga ju-
ga sudah tahu tentang pisau yang tidak lagi di tangan
Tua Usil? Bagaimana jika Yoga tidak tahu hal itu, dan
masih menganggap pisau pusaka ada di tangan Tua
Usil? Bagaimana jika Bocah Bodoh nekat melawan, la-
lu Yoga ingin selamatkan Bocah Bodoh dari naga silu-
man itu, sementara Yoga beranggapan bahwa pisau
pusaka ada di tangan Tua Usil? Jika mereka sudah te-
lanjur berhadap muka dengan naga itu, tentu saja me-
reka terpaksa harus bertarung dengan sang naga. Te-
tapi tanpa pisau Pusaka Hantu Jagal, apa yang akan
mereka peroleh? Hanya kematian yang sia-sia saja!"
Timbul rasa khawatir di hati Lili terhadap kese-
lamatan Yoga dan Bocah Bodoh di Teluk Gangga. Jika
Tua
Usil terlambat memberitahukan tentang pisau itu
kepada Yoga, maka Yoga dan Bocah Bodoh bisa-bisa
menjadi santapan Naga Bara.
"Aku harus menyusul mereka dan membicara-
kannya dengan Yoga!"
Begitulah keputusan hati Lili setelah merenung-
kan berbagai pertimbangan. Maka ia pun segera me-
manggil burung rajawalinya. Kedua tangan yang
menggenggam beradu di depan dada, lalu dari perten-
gahan genggaman itu melesat sinar putih perak ber-
bentuk gelombang-gelombang lingkaran yang melesat
menuju ke langit. Sinar hijau itu timbulkan suara den-
gung yang semakin tinggi semakin menggema meme-
nuhi angkasa. Pada saat seperti itulah, sang rajawali
putih yang berada di tempat mana saja segera terbang
memburu ke arah datangnya suara dengung, karena
dengung tersebut merupakan panggilan khusus ba-
ginya yang tidak dipahami oleh burung-burung lain-
nya.
Dengan mengendarai burung rajawali putih, Lili
segera terbang menuju Teluk Gangga. Ia melintasi sa-
mudera luas hanya dengan seekor burung besar itu
saja. Ia duduk di atas punggung burung dengan tegar
dan sangat mengagumkan, sebagai pendekar perem-
puan yang punya keberanian tinggi. Dalam keadaan
seperti itu, cahaya wibawa memancar dari wajah dan
sikap penampilannya. Lili kelihatan sebagai gadis can-
tik yang berkharisma tinggi. Bukan gadis bodoh yang
serba gugup seperti yang dialaminya di depan Pandu
Tawa.
Deeg...! Hati Lili kembali tersentak, namun kali
ini hanya sekejap. Sesuatu yang membuat hatinya ter-
sentak adalah suatu pemandangan di permukaan air
laut yang bergelombang tenang itu. Sebuah perahu
berlayar kecil ditunggangi oleh seorang pemuda berpa-
kaian biru muda. Siapa lagi dia kalau bukan cucu
Eyang Wejang Keramat yang bernama Pandu Tawa.
Pemuda itu berlayar sendirian mengarungi lautan den-
gan perahu kecil dan layar kecil. Namun laju perahu
cukup pesat. Padahal angin tidak terlalu besar. Te-
nang-tenang saja.
"Jika bukan digerakkan oleh suatu kekuatan te-
naga dalam tinggi, perahu itu tak mungkin bisa melaju
dengan cepatnya. Tak seimbang dengan keadaan angin
yang kala ini bertiup dengan lamban. Bahkan boleh
dikata, lautan ini sekarang tanpa angin! Agaknya pe-
muda itu memang punya ilmu tinggi yang mengagum-
kan."
Pandu Tawa tidak tahu kalau di atasnya diikuti
seekor burung rajawali putih. Merasa sendirian, Pandu
Tawa saat itu sedang mengamat-amati pisau pusaka
tersebut dengan perasaan bangga dan girang. Ia tidak
tahu, bahwa sepasang mata gadis cantik sedang mem-
perhatikan dari atas, lebih cenderung ke arah bela-
kangnya. Ketinggian burung itu sedang-sedang saja,
sehingga kibasan sayapnya tak sampai mengguncang-
kan perahu yang melaju dengan pesatnya.
Pada kesempatan lain, mata Lili melihat sebuah
kapal berlayar lebar sedang bergerak memotong jalan
perahunya Pandu Tawa. Perahu yang tak seberapa be-
sar itu ditunggangi oleh seorang lelaki tinggi mengena-
kan jubah abu-abu. Lili perhatikan terus lelaki berju-
bah abu-abu itu, sampai ia temukan ingatannya yang
mengatakan bahwa laki-laki berusia sekitar tujuh pu-
luh tahun itu adalah orang yang bernama Jubah
Jangkung. Lili pernah jumpa orang itu dalam sebuah
pertemuan para tokoh sakti di sebuah bukit.
Jubah Jangkung adalah kekasih Nyai Kuku Se-
tan yang pernah mau tuntut balas kepada Tua Usil,
namun saat itu Tua Usil dibela oleh Nyai Bungkuk
Renta (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Je-
jak Tapak Biru"). Lili pun pernah dengar cerita itu dari
Tua Usil.
Melihat gerakan kapal yang ingin memotong jalur
lintas pelayaran perahu kecil tersebut, Lili dapat men-
duga bahwa Jubah Jangkung yang berwajah sedingin
es itu punya maksud kurang baik terhadap Pandu Ta-
wa. Maka perhatian Lili pun tak mau lepas dari mere-
ka! Bahkan ia suruh burungnya terbang lebih tinggi
dan memutar-mutar di tempat itu, membayang-
bayangi Panda Tawa.
Pandu Tawa terkejut ketika ia mendengar gemu-
ruh ombak berbeda dengan yang tadi. Ia lebih terkejut
lagi setelah tahu di depannya ada kapal bertiang layar
tunggal. Buru-buru ia sembunyikan pisau tersebut di
balik baju birunya. Setelah ia tahu Jubah Jangkung
ternyata berdiri di atas geladak kapal dengan mata
memperhatikan ke arahnya, Pandu Tawa mulai curiga
terhadap lelaki bermata cekung bersorot pandang din-
gin itu.
Kapal itu sengaja dibuat mendekati perahu Pan-
du Tawa, Kecepatan lajunya menjadi sama. Pasti Ju-
bah Jangkung juga kerahkan tenaga dalamnya secara
diam-diam agar layar perahunya dapat tertiup lebih
kencang dari hembusan angin yang ada.
"Singkirkan kapal mu, Jubah Jangkung. Perahu
ku bisa pecah terhantam oleh kapal mu!"
Jubah Jangkung hanya menjawab, "Aku memang
ingin hancurkan perahu mu dan dirimu sendiri, ke-
cuali kau mau serahkan pisau Pusaka Hantu Jagal itu
padaku!"
"Aku tidak memilikinya!"
"Aku melihatnya!" jawab Jubah Jangkung berna-
da datar.
"Huah, hah, hah, hah, hah...!" Pandu Tawa le-
paskan suara tawanya berkepanjangan. Itu pertanda ia
sedang tebarkan racun yang membuat seseorang men-
jadi tertawa terus hingga tak sadarkan diri.
Tetapi orang berwajah angker dan tak pernah
mau tersenyum itu tetap saja diam memandangi Pan-
du Tawa. Rupanya ia bisa tolak kekuatan yang dina-
makan Racun Tawa itu, sehingga jurus yang diguna-
kan Pandu Tawa itu tidak berlaku. Pandu Tawa me
nyadari hal itu, dan ia mulai cemas serta kecewa. Ter-
nyata ada orang yang mampu menahan kekuatan Ra-
cun Tawa-nya dengan tanpa mengedipkan matanya
sedikit pun.
Perahu yang ditunggangi Pandu Tawa itu berhen-
ti total. Pandu Tawa sempat berkerut dahi. Pasti peker-
jaan Jubah Jangkung yang membuat perahunya ber-
henti. Dengan kekuatan tenaga dalam yang terpancar
melalui pori-pori tubuhnya, Pandu Tawa berusaha ke-
rahkan angin agar perahu jalan kembali. Namun usa-
hanya itu gagal. Jubah Jangkung tetap pandangi di-
rinya dengan kedua tangan bersedekap di dada. Ram-
but kucainya yang panjang itu dibiarkan meriap-riap
dihembus sepoi angin samudera.
"Jangan menggangguku, Jubah Jangkung. Nanti
kau kecewa sendiri!" gertak Pandu Tawa dengan nada
tak terlalu keras.
Zlaaap...! Jubah Jangkung hilang dari pandan-
gan mata Pandu Tawa. Pemuda itu mencari-carinya,
tahu-tahu orang yang dicari sudah ada di atas pera-
hunya, berdiri tenang bersedekap di belakangnya. Sua-
ra orang itu terdengar mengagetkan Pandu Tawa,
"Bersiaplah! Aku akan merebut pisau yang kau
selipkan di balik bajumu itu, Pandu Tawa!"
"Kau tak akan berhasil, Jubah Jangkung!" geram
Pandu Tawa.
Jubah Jangkung menuding layar perahu. Tiba-
tiba tali layar putus dengan sendirinya. Taaas.! Sampai
di bawah, layar itu kepulkan asap dan terbakar dengan
nyala api cukup besar, Tentu saja hal itu membuat
Pandu Tawa marah. Namun ia harus bisa menahan
kemarahannya karena yang dihadapi bukan manusia
biasa melainkan orang berilmu tinggi.
Pandu Tawa pandangi nyala api yang membakar
layarnya itu. Dalam sekejap nyala api itu menjadi pa-
dam. Blaab...! Tinggal asapnya yang mengepul dan sisa
layar yang hangus tak bisa dipakai lagi itu.
Trak...! Prak...! Doog...!
Suara apa itu? Pikir Pandu Tawa. Kemudian ia
rasakan perahunya makin lama semakin rendah. Te-
piannya kian dekati permukaan air laut. Air laut pun
mulai menggenangi dasar perahu. Maka sadarlah Pan-
du Tawa bahwa perahunya telah dibuat bocor oleh Ju-
bah Jangkung dengan kekuatan batinnya.
"Kurang ajar! Dia telah membuat perahu ku bo-
cor!" geram Pandu Tawa dalam hatinya. Kejap berikut-
nya kembali terdengar suara,
Draaak.,.! Praaak...! Braaak...!
Jubah Jangkung gerakkan bola matanya pelan,
melirik ke arah kapalnya. Ternyata kapal itu sudah
miring ke kanan. Jubah Jangkung sadar, bahwa lam-
bung kanan pasti telah dirusak oleh kekuatan batin
yang dimiliki oleh Pandu Tawa, Kapalnya pun makin
lama makin tenggelam, sementara perahu itu pun ma-
kin lama makin penuh dengan air. Dalam hati Jubah
Jangkung hanya membatin,
"Bocah ini rupanya punya kekuatan batin tingkat
tinggi juga?! Sebaiknya kuserang dengan kasar! Belum
tentu dia punya kecepatan gerak menyamaiku!"
Zlaaap...! Buuuhg...!"
Pandu Tawa seperti terkesiap dikagetkan oleh
suatu gerakan. Tiba-tiba ia sadari dirinya telah jatuh
di lantai perahu dan digenangi air laut. Rupanya Ju-
bah Jangkung telah memukulnya dengan satu gerakan
cepat yang tak mudah dilihat oleh mata.
"Uuh...! Dadaku panas sekali. Uuuh...! Aku... su-
lit bernapas!" Pandu Tawa berusaha bangkit, namun
jatuh kembali. Kekuatannya bagai telah dilumpuhkan
dengan hanya. satu kali pukulan telapak tangan ber-
kekuatan tinggi. Sementara itu, Jubah Jangkung su-
dah berada di tepian geladak kapalnya yang makin
miring makin tenggelam.
Melihat keadaan Pandu Tawa yang tak bisa
bangkit, Lili yang ada di atas burung Segera mengeta-
hui bahaya yang sedang dihadapi Pandu Tawa. Maka
dengan cepat ia perintahkan rajawali putihnya untuk
menukik dan menyerang Jubah Jangkung.
"Serang si Jubah Jangkung itu, Putih!" Clap,
clap...! Seberkas sinar putih perak melesat dari kedua
mata burung itu. Blaaar...! Kapal itu dihantam sinar
putih dan meledak, Jubah Jangkung sendiri jatuh ter-
gelincir ke bawah. Byuuur!
Wuuut...! Cakar rajawali menyambar badan Pan-
du Tawa dan membawanya lari, terbang kian tinggi,
semen
tara Pandu Tawa merasa tak bisa berbuat apa-
apa. Sekujur tubuhnya menjadi lemas. Ia pasrah di da-
lam cengkeraman cakar rajawali besar itu.
* * *
5
RAJAWALI putih diperintahkan mendarat di se-
buah pulau kecil tak berpenghuni. Di sana, Lili laku-
kan pengobatan untuk Pandu Tawa. Dalam waktu
singkat ternyata Lili telah berhasil sadarkan Pandu
Tawa, lalu kekuatan pemuda itu berangsur-angsur
membaik.
Kalau saja Lili mau lakukan, sebenarnya ia bisa
saja mencuri pisau bersarung emas yang terselip di balik baju Pandu Tawa ketika pemuda itu pingsan tadi.
Tapi Lili tak mau lakukan karena hati nuraninya ber-
tentangan dengan perbuatan tersebut.
"ini kesalahan Tua Usil jika pisau pusaka sampai
jatuh ke tangan orang lain. Pandu Tawa toh tidak
mencurinya. Jadi aku tak perlu mencuri pisau Ini! Bi-
arlah nanti Pandu Tawa dan Tua Usil yang berurusan
tentang pisau ini!"
Pendekar Rajawali Putih hanya lakukan pertolon-
gan, karena hal itu dianggapnya suatu balas jasa atas
pertolongan Pandu Tawa, saat Lili terdesak hadapi tiga
utusan dari Biara Sita itu. Pandu Tawa sendiri merasa
lega dan tenang, karena ia berhasil ditolong dan dis-
elamatkan oleh Lili. Bahkan ia berkata kepada Lili, Tak
kusangka kau ternyata menyusul ku juga!" "Suatu hal
yang kebetulan saja!" jawab Lili dengan tenang. Seka-
rang ia bisa bersikap tenang, tegas. dari berwibawa.
Mungkin karena ia telah lakukan semadi penguat jiwa,
sehingga ia tak mengalami kegugupan dan perasaan
aneh seperti di depan pondoknya itu. Lili merasa se-
nang karena bisa bersikap tenang. Malahan ia berani
berkata,
"Aku akan pergi ke Teluk Gangga juga untuk satu
keperluan. Kau mau ikut denganku atau mau jalan
sendiri?"
"Kalau kau tak keberatan, aku numpang pada-
mu!. Aku tak punya kendaraan lagi," kata Pandu Tawa
dengan kalem dan tetap sunggingkan senyum mena-
wan. Siiirr! Hati Lili berdesir, namun ia mampu mena-
han dan menyembunyikan desiran tersebut.
Pada saat Pandu Tawa membonceng di belakang
Lili, duduk di atas punggung sang rajawali, kegunda-
han hati Lili mulai terasa lagi. Karena pada saat itu,
Pandu Tawa memegangi pundak Lili selama dalam penerbangan. Lili tak bisa melarang karena keadaannya
sangat beralasan. Akibatnya sentuhan tangan Pandu
Tawa hadirkan kegelisahan serta debar-debar aneh la-
gi.
"Celaka! Aku kembali alami perasaan seperti ini!
Diakah yang membuatnya begini atau perasaanku
sendiri yang amat peka oleh sentuhan suasana seperti
ini?" pikir Lili dengan mulut terbungkam. Ia tetap be-
rusaha kendalikan batinnya dengan susah payah. Ma-
kin lama ia rasakan makin ada sesuatu yang mende-
sak batinnya untuk menikmati debaran-debaran in-
dah. Ada kekuatan yang memaksa batinnya untuk
menerima perasaan senang dan menikmati kesenan-
gan itu tanpa perlawanan apa pun. Maka Lili pun sege-
ra berkata dalam batinnya,
"Perasaan senang, gembira, dan bangga, terlalu
kuat menekan batin ku, seakan memaksakan diri un-
tuk di terima. Kalau begitu, jelas ini perbuatan batin
Pandu Tawa. Dia sengaja kirimkan kekuatan batin ke
dalam jiwa ku, supaya aku kehilangan ketegasan, ke-
beranian, dan wibawa seperti biasanya! Aih, kenapa
baru sekarang kusadari hal ini?!"
Terdengar suara Pandu Tawa berkata pelan, Apa-
kah Jubah Jangkung tak kau bunuh?"
Tidak," jawab Lili dengan pendek. Sengaja ia pak-
sakan mulutnya untuk tidak lebih dari sepatah kata
saja dalam menjawab, supaya ia tidak hanyut dalam
kekuatan batin yang membuainya itu.
"Berarti dia masih hidup?" tambah Pandu Tawa
bagai memancing kata.
"Masih!" jawab Lili pendek lagi.
Lama-lama Pandu Tawa merasakan kejanggalan
itu. Setiap ia bertanya, hanya dijawab satu kata. Ia jadi
curiga dan akhirnya bertanya dengan suara sedikit
berbisik,
"Mengapa sikapmu berubah?" "Karena aku tak
suka kau kirimkan kekuatan batin yang bersifat men-
desak batin ku!"
"Aku tidak..."
"Jangan bohong! Aku tahu kau punya kekuatan
batin tinggi. Kau bisa lakukan sesuatu dengan hanya
gunakan kekuatan batinmu. Dan kau telah buai aku
dengan keindahan batinmu yang mau tak mau terpak-
sa kuterima. Kau tak tahu, hal itu sangat menyakitkan
hati, karena merasa batin ku di perbudak oleh kehen-
dak batinmu!"
Pandu Tawa diam, sedikit menahan malu yang di
sembunyikan. Untung ia berada di belakang Lili, se-
hingga tak merasa terlalu berat menerima kecaman
seperti itu. Akhirnya Pandu Tawa pun berkata,
"Kalau kau ingin pelajari kekuatan batin yang di-
namakan ilmu 'Serat Jiwa', aku sanggup mengajar-
kannya padamu!"
"Terima kasih." Hanya itu jawaban Lili, selebih-
nya diam tak berucap. Tapi dalam hatinya ia bicara
dengan dirinya sendiri,
"Harus kupelajari kekuatan batin itu! Ternyata
cukup penting. Dalam Kitab Jagat Sakti ilmu itu di-
namakan Aji Sukma'. Aku akan pelajari ilmu 'Aji Suk-
ma', dan Yoga pun harus bisa kuasai ilmu itu."
*
* *
Rakyat Teluk Gangga mulai gelisah. Banyak yang
menghadap Dewi Gita Dara mengemukakan kecema-
sannya, karena sebentar lagi malam bulan purnama
akan tiba. Mereka diliputi perasaan takut menjadi kor
ban seekor naga siluman itu. Mereka menuntut perlin-
dungan. Tuntutan itulah yang membuat Dewi Gita Da-
ra merasa terlalu dirongrong kewibawaannya. Para
penduduk yang diam di dekat kaki Bukit Palagan di-
ungsikan untuk sementara waktu. Tempat di sekitar
gua persembunyian Naga Bara itu dikosongkan sebe-
lum purnama tiba dan naga tersebut mencari mangsa.
Pada saat itu, Bocah Bodoh yang memang men-
dengar sendiri keluhan dan kecemasan penduduk, se-
gera berkata kepada Dewi Gita Dara,
"Sebaiknya beritahukan saja kepada mereka,
bahwa saya datang untuk membunuh Naga Bara.
Dengan berkata begitu, penduduk pasti merasa te-
nang, Nona Dewi."
"Sebetulnya aku hanya ingin mengangkatmu se-
bagai pengawalku karena kau telah berjasa sela-
matkan aku dari serangan Raga Dewa. Aku tidak ingin
kau melawan naga itu, karena sangat membahayakan
jiwamu." Untuk lebih jelasnya baca serial Jodoh Raja-
wali dalam episode: "Jejak Tapak Biru").
Bocah Bodoh tampak kecewa, ia berkata pelan,
"Kalau begitu, percuma saya datang kemari, Nona De-
wi!"
"Tidak percuma. Bukankah kau akan bekerja di
sini sebagai pengawalku dan selalu tinggal di istana ini
bersamaku?"
"Ya. Memang," katanya dengan malas-malasan.
"Tapi, saya ingin bebaskan Nona Dewi dari beban an-
caman Naga Bara yang setiap bulannya minta korban
itu!"
Dewi Gita Dara yang mengenakan anting tindik di
cuping kiri hidungnya itu tersenyum manis, hati Bocah
Bodoh seperti mendapat durian runtuh. Senangnya
bukan main. Lalu, Dewi Gita Dara berkata,
"Aku tahu maksudmu sebenarnya, Bocah Bodoh.
Kau ingin mengabdi padaku dan berani berkorban un-
tukku. Tapi aku tak mau kau berkorban senekat itu.
Berkorban tanpa perhitungan sama saja mati konyol."
Dengan wajah sedikit tertunduk, Bocah Bodoh
berkata, "Itu sama saja Nona Dewi Gita Dara mere-
mehkan kemampuan pedang pusaka saya! Padahal
pedang pusaka ini saya peroleh dengan menimbulkan
banyak korban, dan banyak pula yang mengincarnya!"
"Bocah Bodoh, aku tidak meremehkan pedang
pusaka mu itu. Aku lihat. sendiri kedahsyatan nya ka-
la itu. Tetapi, kalau kau gagal dengan pedangmu, kau
akan mati ditelan naga itu. Dan hal ini yang tidak
kuinginkan.
Jika orang lain ingin mencoba melawan naga itu,
biarlah dia mencoba, kalau ditelan naga atau mati di
sana, aku tidak merasa kehilangan. Tapi jika kau yang
mati disana, aku merasa sangat kehilangan."
Hati Bocah Bodoh yang usianya sudah mencapai
lima puluh tahun itu mempunyai perasaan tenteram
mendengar kekhawatiran Dewi Gita Dara. Tetapi ia
berpikir, "Kalau ada orang yang bisa bunuh naga itu,
berarti Dewi Gita Dara diperistri orang itu. Lalu bagai-
mana dengan diriku? Padahal aku ingin bunuh naga
itu supaya punya hak untuk menjadi suami Dewi Gita
Dara. Aku kepingin sekali tidur di atas pangkuannya,
makan bersamanya dan... ah, pasti aku akan bahagia
jika menjadi suaminya. Tanpa melalui jalan membu-
nuh naga itu, aku tidak akan bisa jadi suaminya. Dewi
Gita Dara punya hak untuk menolak lamaranku. Tapi
kalau aku bisa bunuh naga itu, Dewi Gita Dara tak
akan berani tolak lamaranku!"
Bocah Bodoh bingung mendengar keberatan Dewi
Gita Dara terhadap niatnya itu. Apakah keberatan
sang penguasa Teluk Gangga itu dikarenakan rasa cin-
ta, atau dikarenakan rasa yang lainnya? Bahkan da-
lam pikiran Bocah Bodoh sempat berpendapat,
"Jangan-jangan dia tidak izinkan aku membunuh
Naga Bara, karena dia takut kalau aku berhasil mem-
bunuhnya lalu dia harus mau menjadi istriku? Jan-
gan-jangan begitu, ya?!"
Sambil berpikir dan berkecamuk sendiri, Bocah
Bodoh menikmati hawa sejuk di bawah pohon beringin
kembar yang ada di pelataran istana Teluk Gangga itu.
Ia duduk di sana sendirian dan tak ada pengawal yang
berani melarangnya. Sebab Dewi Gita Dara sudah
umumkan kepada para pengawal dan pegawai istana,
bahwa Bocah Bodoh telah diangkat menjadi pengawal
pribadinya, dan bebas berada di mana saja. Dewi Gita
Dara pun menceritakan kepahlawanan Bocah Bodoh
saat mereka diserang oleh orang-orang Partai Bajak
Samudera.
Pengangkatannya itu membuat Bocah Bodoh di-
hormati dan disukai oleh para pengawal lainnya, ter-
masuk para pegawai istana sampai ke juru masak se-
gala. Tetapi penghormatan dan sikap baik mereka itu
tidak membuat hati Bocah Bodoh menjadi senang se-
belum ia diizinkan melawan naga berkaki enam itu.
Makin sedih hati Bocah Bodoh ketika Dewi Gita
Dara kedatangan tiga orang tamu dari lain daerah. Ti-
ga orang tamu itu bermaksud menjadi peserta dalam
sayembara membunuh naga. Walau sayembara itu su-
dah lama tidak pernah dibicarakan lagi, tapi bagi bebe-
rapa orang yang tergiur oleh kecantikan dan daya pikat
tubuh yang dimiliki Dewi Gita Dara, sayembara itu
masih berlaku dan selalu dikejar.
Tiga orang yang ingin melawan seekor naga ganas
pada malam bulan purnama nanti adalah: Barong
Bangkai, dari Perguruan Tebing Setan. Sakuntala, dari
Partai Pengelana Tunggal. Dan. Jin Arak dari Lembah
Gempa.
Hal yang menjengkelkan hati Bocah Bodoh, ter-
nyata, Dewi Gita Dara memberi kesempatan bagi me-
reka bertiga untuk mencoba membunuh Naga Bara.
Padahal menurut Bocah Bodoh, ketiganya tidak ada
yang mempunyai wajah tampan, tidak ada yang pantas
menjadi suami Dewi Gita Dara seandainya ada yang
bisa membunuh naga itu.
Barong Bangkai bertubuh tak begitu gemuk, na-
mun wajahnya totol-totol bagai habis terkena penyakit
kulit Brewokan dan matanya sedikit cacat karena ter-
lalu melotot keluar. Badannya sendiri sedikit bungkuk
dan tak kelihatan gagah.
Sakuntala kurus kering. Kepalanya botak bagian
depan, rambut belakangnya panjang. Ia bertubuh se-
dikit tinggi namun tidak termasuk jangkung. Matanya
kecil, kumisnya melengkung ke bawah melewati perba-
tasan mulut. Usianya sekitar empat puluh tahun, sa-
ma dengan usia Barong Bangkai, juga usia Jin Arak.
Sakuntala bersenjatakan tombak berujung bulan sabit,
sedangkan Barong Bangkai bersenjata pedang besar
tanpa sarung.
Jin Arak sendiri bertubuh gemuk, perutnya maju
ke depan. Punggungnya bagaikan ada dua. Kepalanya
gundul dan hanya memakai baju rompi pendek yang
tak pernah bisa ditutupkan karena besarnya badan tak
sesuai dengan besarnya rompi. Jin Arak sangat tidak
pantas menjadi suami Dewi Gita Dara, kalau toh di-
paksakan jadi suaminya, kasihan Dewi Gita Dara yang
bertubuh mulus, langsing, sekal, dan lembut kulitnya.
Jin Arak berkulit kasar, banyak noda hitam bekas ko-
reng.
Dalam hati Bocah Bodoh benar-benar tak rela ji-
ka salah satu dari ketiga orang itu ada yang menjadi
suami Dewi Gita Dara. Bocah Bodoh diam-diam men-
cari cara agar ketiga orang itu batal dan tak berhasil
menjadi pembunuh seekor naga liar itu
Terdengar Barong Bangkai berkata kepada Dewi
Gita Dara, "Aku ingin melihat tempat yang biasa digu-
nakan naga itu untuk keluar-masuk ke sarangnya."
"Pengawalku akan mengantarmu ke sana, Barong
Bangkai!" kemudian Dewi Gita Dara perintahkan dua
pengawalnya untuk mengantar Barong Bangkai ke
daerah yang biasa digunakan naga itu mencari mang-
sa, tepatnya di kaki Bukit Palagan yang mempunyai
lebih dari tujuh gua besar. Tapi tak ada satu pun gua
yang digunakan untuk bertapa, karena salah-salah
mereka masuk ke gua sarang naga.
Rupanya bukan hanya Barong Bangkai yang in-
gin melihat tempat tersebut, melainkan Sakuntala dan
Jin Arak pun ingin melihatnya. Bahkan Bocah Bodoh
diam-diam mengikuti langkah mereka yang diantar
oleh dua pengawal. Ketika mereka tiba di tempat itu,
tiba-tiba Bocah Bodoh mempunyai pemikiran yang rin-
gan tapi menguntungkan bagi dirinya. Ia berkata da-
lam dirinya,
"Kalau aku bisa membunuh ketiga orang itu, be-
rarti pada malam bulan purnama nanti hanya ada aku
seorang yang menghadapi naga tersebut. Tapi kalau
aku harus bunuh mereka, aku akan dinilai jahat oleh
Dewi Gita Dara. Alangkah baiknya jika ku adu saja
mereka bertiga, sehingga nantinya aku hanya punya
satu orang lawan yang harus beradu kesaktian den-
ganku dalam melawan seekor naga itu."
Tiga orang itu memeriksa semak-semak di sekitar
kaki bukit. Tampak ada beberapa tanaman yang rebah
dan membentuk jalur panjang. Pasti bulan lalu habis
digunakan lewat naga tersebut.
Bocah Bodoh ikut pula memeriksa semak-semak.
itu tanpa tahu mengapa harus diperiksa. Tetapi ke-
sempatan itu digunakan oleh Bocah Bodoh untuk
memperkenalkan diri sebagai pengawal pribadi Gusti
penguasa Teluk Gangga. Untuk membuktikan kekua-
saannya, Bocah Bodoh berseru kepada dua pengawal
yang mengantar mereka,
“Tinggalkan tamu-tamu kita, nanti kami biar
kembali sendiri ke istana!" sambil Bocah Bodoh sedikit
busungkan dadanya biar gagah.
Kedua pengawal itu pun segera pergi, dan ketiga
tamu itu percaya bahwa Bocah Bodoh punya jabatan
di Teluk Gangga itu. Maka setelah mereka selesai
mempelajari keadaan setempat, mereka pun berjalan
menuju ke pantai untuk melihat kemungkinan sang
naga bisa lari sampai ke pantai. Itu pun atas usul Bo-
cah Bodoh yang berkata,
"Kalian dengar suara debur ombak? Nah, itu tan-
danya tak jauh dari tempat ini ada laut. Laut pasti
punya pantai. Mungkin saja Naga Bara itu lari masuk
ke laut, atau munculnya dari laut. Jadi sebaiknya mari
kita periksa keadaan di sekitar pantai."
"Aku setuju!" kata Sakuntala. Jin Arak hanya
menggumam dan manggut-manggut. Sebentar-
sebentar ia meneguk araknya yang dibawa-bawa me-
makai kantong kulit binatang. Kantong kulit itu bertali
dan diselempangkan dari pundak kiri ke pinggang ka-
nan. Jalannya sebentar-sebentar seperti terantuk batu
dan sering salah arah. Yang lainnya ke utara, dia ber-
gerak ke barat. Setelah sadar baru kembali menyusul
ke utara.
Pada saat mereka berjalan berempat menuju
pantai, Bocah Bodoh sempat berkata, "Apakah kalian
akan maju bersama menyerang naga itu nantinya?"
Barong Bangkai menjawab, "Tidak mungkin kami
maju bersama. Nanti tidak ketahuan siapa yang berha-
sil membunuh naga itu!"
"Kurasa kami akan maju satu persatu," kata Sa-
kuntala.
"Bagus. Itu bagus!" kata Bocah Bodoh berlagak
pintar. "Tapi kalian nanti harus jujur dan tidak boleh
sakit hati."
"Maksudnya bagaimana?"
"Kalau Sakuntala yang berhasil membunuh naga,
maka dia yang akan menikah dengan Dewi Gita Dara.
Barong Bangkai dan Jin Arak tak boleh sakit hati. Sa-
kuntala yang berhak menikmati kesenangan dan ke-
mesraan Gusti Dewi! Demikian pula kalau Barong
Bangkai yang berhasil bunuh naga itu, yang lain tak
boleh iri!" "Ya, ya..; aku mengerti!" kata Sakuntala.
"Tapi kurasa yang bakal mendapatkan Gusti Dewi ada-
lah Jin Arak!"
Jin Arak menyahut, "Ya, ya... aku mau! Aku
mau!" "Mengapa kau menjagokan Jin Arak?!" hardik
Barong Bangkai.
"Karena kulihat Jin Arak punya tanda-tanda ke-
saktian lebih tinggi dari kalian berdua!" pancing Bocah
Bodoh yang dalam keadaan seperti itu menjadi pintar,
tapi pintar-pintar bodoh.
Sakuntala tersinggung mendengar ucapan itu, la-
lu berkata dengan suara keras, "Apa kesaktian Jin
Arak? Dia tidak ubahnya seperti kambing yang sering
bingung arah menuju ke kandangnya! Belum tentu dia
bisa menghantam kepala Naga Bara dengan tepat. Bi-
sa-bisa yang dihantamnya kepala orang!"
"Huah, ha, ha, ha...!" Barong Bangkai tertawa
sambil tetap berjalan menuju pantai. "Jin Arak punya
kesaktian kalau di bawah ketiak gundiknya! Ha, ha,
ha...!"
"Heiii...!" kata Jin Arak dengan menuding Bocah
Bodoh. "Kau jangan bicara sembarangan, ya?!"
"Lho, yang bicara Barong Bangkai. Bukan aku!
Dia di sebelah sana!"
"O, iya...! Mana Barong Bangkai...?!" Jin Arak
membetulkan arah tudingan tangannya. Lalu ia berka-
ta kepada Barong Bangkai,
"Barong Bangkai, kau harus minta maaf padaku
karena ucapanmu tadi merendahkan harga diriku, ta-
hu?!" sambil bicaranya meliuk-liuk karena terlalu ba-
nyak minum arak.
"Tak sudi aku minta maaf padamu! Kalau Sakun-
tala pantas minta maaf padamu. Tapi Barong Bangkai
tak pantas meminta maaf pada siapa pun! Jangan
anggap aku serendah Sakuntala!"
Sakuntala tersinggung, "Kenapa kau rendah-
rendahkan aku, hah?!" Ia mendorong punggung Ba-
rong Bangkai. Yang didorong makin tersinggung dan
membelalakkan mata yang semakin lebar itu.
"Kau berani bersikap kasar padaku, Sakuntala?!
Kau belum tahu siapa aku?. Aku orang Tebing Setan!"
Apa hebatnya orang Tebing Setan? Kau pikir aku
gentar mendengar nama Tebing Setan?!"
"Sakuntala! Jangankan hanya kau seorang. Ka-
lian berdua maju bersama aku tak akan mundur se-
jengkal pun!"
Barong Bangkai membuat kedua orang itu ma-
rah. Jin Arak segera berkata dengan suaranya yang
mengambang,
"Hanya orang bodoh yang berani menantangku,
Barong Bangkai! Kau dan Sakuntala maju bersama. Silakan serang aku jika kalian berdua ingin remuk kepa-
lanya! Ayo, serang aku...!"
Bocah Bodoh mulai menjauh setelah mereka tiba
di pantai. Hati mereka telah sama-sama panas. Maka
terjadilah pertarungan di antara mereka bertiga. Bocah
Bodoh diam di bawah pohon sedikit bersembunyi sam-
bil hatinya merasa girang karena bisa membuat mere-
ka saling bernafsu untuk membunuh.
Apa yang diharapkan Bocah Bodoh kali ini ber-
hasil. Sakuntala dihajar habis oleh Jin Arak. Sekalipun
dalam pertarungannya Jin Arak sempoyongan dan jika
menyerang salah sasaran. Tapi gerakan kaki dan tan-
gan yang tak diduga-duga itu membuat Sakuntala ter-
pelanting beberapa kali.
Sakuntala gunakan senjatanya. Tongkat beru-
jung pisau bulan sabit yang mirip ekor kelabang itu
diputar-putarkan di sekeliling tubuhnya dengan dua
tangan yang bergantian. Putaran cepat senjata itu
memercikkan api ke mana-mana, membuat Jin Arak
melompat-lompat takut terkena percikan api itu. Tetapi
dengan sekali tepuk kedua tangannya; plaak...! Sakun-
tala tersentak ke belakang bagai dihantam keras kepa-
lanya. Jin Arak tepuk lagi satu kali dengan keras, ma-
ka Sakuntala pun terpelanting jatuh dengan kepala re-
tak.
Plaaak...! Jin Arak kembali tepuk tangan satu
kali. Sakuntala tersentak kaku, kemudian tak bisa
bernapas dan matilah dia dalam keadaan kepala ber-
lumur darah. Rupanya jurus 'Tepuk Tangan' yang di-
gunakan Jin Arak itu sangat berbahaya bagi lawan
siapa saja.
Tetapi tidak demikian bagi Barong Bangkai. Ia
hanya mencibir meremehkan jurus aneh yang menurut
Bocah Bodoh mempunyai kehebatan yang luar biasa
itu. Jin Arak yang tak pernah bisa berdiri tegak dan
tak pernah bisa diam badannya itu kembali berkata,'
"Kau sekalian maju kalau mau seperti Sakunta-
la!"
Barong Bangkai yang merasa tertantang, segera
melayani tantangan tersebut dengan jurus anehnya. Ia
berlari mengelilingi Jin Arak. dan makin lama larinya
semakin cepat sehingga Jin Arak dibuat bingung me-
mandangi lawannya. Badan gemuk itu ikut berputar
untuk menjaga serangan sewaktu-waktu. Tetapi gera-
kan lari Barong Bangkai semakin lama semakin lebih
cepat lagi namun tidak segera lakukan serangan ke
arah lawan.
Jin Arak merasa pusing dan segera sadar bahwa
hal itu adalah merupakan kelemahan yang ditunggu
oleh lawan. Maka Jin Arak segera berhenti, tak mau
ikut berputar. Barong Bangkai masih berlari memutari
Jin Arak. Dengan suara geram memanjang, Jin Arak
akhirnya bertepuk tangan satu kali seperti menangkap
seekor nyamuk di udara.
Plook...! Bruuus...! Barong Bangkai jatuh ter-
sungkur.
Plok...! Ploook...! Plook...!
Jin Arak bertepuk tangan berulang kali dengan
jarak waktu tertentu. Setiap tepukan membuat tubuh
Barong Bangkai menggerinjal dengan suara pekik ter-
tahan. Akibatnya, Barong Bangkai memuntahkan da-
rah kental cukup banyak. Sedangkan Jin Arak masih
bertepuk terus dengan sentakan kuat. Ploook...!
"Uuuhg...!"
"Kurasa kau akan mampus, Barong Bangkai!
Huub..!" Plook...!
"Eeehg...!" Barong Bangkai tersentak, kejang se-
saat, kemudian terkulai lemas dengan tubuh tak ber
nyawa lagi. Dari tiap lubang yang ada di tubuhnya
mengeluarkan darah kental merah kehitam-hitaman.
Bocah Bodoh tertegun melihat kematian Barong
Bangkai. Dalam hatinya ia berkata, "Sekarang tinggal
satu lawanku. Tapi dia begitu sakti?!"
* * *
6
DENGAN tubuh sempoyongan, Jin Arak dekati
Bocah Bodoh ketika Bocah Bodoh ingin membawanya
pulang ke istana. Matanya yang merah itu memandang
sayu sambil sesekali cegukan. Agaknya Jin Arak dalam
keadaan mabuk berat, sehingga tak bisa diajak bicara
dengan baik-baik.
"Kau...," tudingnya ke arah kosong, padahal
maksudnya mau menuding ke arah Bocah Bodoh. Hal
itu membuat Bocah Bodoh merasa takut namun juga
agak geli.
"Kau mau ikut susul manusia gangsing ini,
hah?!" sambil ia menunjuk ke arah mayat Barong
Bangkai dengan arah tak tepat.
Melihat keadaan Jin Arak menyeramkan begitu,
Bocah Bodoh menjadi gemetar. Perasaan takut melipu-
ti jiwanya, membungkus keberaniannya. Tubuhnya
pun menjadi gemetar dan mulut terasa kaku untuk bi-
cara. Apalagi Jin Arak melangkah sempoyongan sema-
kin dekat, Bocah Bodoh kian dicekam perasaan ngeri
melihat bentuk badan yang besar, gundul, dan berma-
ta merah ganas itu. "Kau mau ikut mereka, ha...?!"
"Tid... tidak. Tidak mau!" Bocah Bodoh geleng-
geleng kepala.
"Kenapa kau ikut-ikutan berputar seperti Barong
Bangkai?!"
"Ak... aku tidak berputar. Aku... aku diam di
tempat!" Mata Jin Arak kian tajam memandang. "O, ti-
dak
ya?!"
"Sebaiknya... sebaiknya kita pulang ke istana, Jin
Arak," bujuk Bocah Bodoh. Jin Arak menyentak keras
membuat Bocah Bodoh terlonjak di tempat,
"Siapa yang punya. istana!"
"Bu... buk... bukan saya, Jin Arak. Bukan saya.
Sumpah!"
Jin Arak menepuk-nepuk dada dengan tangan
lemas, "Aku yang punya! Aku pemiliknya. Ngerti?!"
"Iiiy... iya, ngerti!"
Jin Arak lebih mendekat lagi. Ia mencengkeram
baju Bocah Bodoh sambil mendekatkan wajahnya dan
berkata,
"Aku calon suami Dewi Gita Dara! Tahu?! Calon
suami!"
"Iiiy... iya. Calon suami."
"Naga itu akan kubunuh sekarang juga. Mana
dia. hmm...?! Mana?"
"Tid... tidak tahu. Bukan saya yang memba-
wanya!"
Dengan sekali angkat tubuh Bocah Bodoh dilem-
parkan ke arah laut. Wuuut...! Dan Jin Arak berseru,
"Bodoh!"
Bruus...! Untung jatuhnya di pasir, kalau bukan
di pasir pantai. sudah pasti tubuh Bocah Bodoh akan
terluka atau terkilir. Ia dapat dilambungkan dengan
hanya menggunakan satu tangan. Ini menandakan Jin
Arak dalam keadaan mabuk mempunyai kekuatan
yang amat besar.
Bocah Bodoh tetap menyeringai karena rasa ta-
kut yang ingin membuatnya menangis. Sambil bangkit
berdiri ia menggerutu pelan.
"Menyeramkan sekali orang itu. Aku tak punya
keberanian untuk melawannya. Bisa-bisa kepalaku
hancur seperti Sakuntala jika ia bertepuk tangan satu
kali saja! Tapi... oh, bukankah aku mempunyai Pedang
Jimat Lanang? Mengapa aku takut? Mengapa tidak
kugunakan saja Pedang Jimat Lanang ini? Tebas
bayangannya sebelum ia bertepuk tangan, mati sudah
orang itu!"
Baru saja tangan Bocah Bodoh mau meraih ga-
gang pedang, Jin Arak sudah berseru, "Hei, hei, hei...!
Mau cabut pedang kau, ha...?!" sambil tangannya siap-
siap bertepuk.
Bocah Bodoh takut dan berkata, "Tid... tidak.
Saya mau garuk-garuk perut!" dan ia pun terpaksa
menggaruk-garuk perutnya untuk kelabuhi anggapan
Jin Arak.
Angin pantai berhembus cukup kencang, Aneh-
nya hanya di tempat mereka berada saja. Bocah Bodoh
sendiri heran, lebih-lebih Jin Arak yang mabuk, mera-
sa heran diterpa angin besar yang menurutnya cukup
aneh.
Ketika mereka mendongak ke atas dan menden-
gar seruan seekor burung, barulah mereka tahu hem-
busan aneh itu datang dari kepak sayap burung besar
warna merah. Seekor rajawali warna merah sedang
merendah bersama dua penumpangnya; Yoga dan Tua
Usil. Mereka mendarat di pantai itu karena melihat
Bocah Bodoh dilemparkan oleh orang gemuk dan se-
dang dihampirinya dengan kesan terancam,
"Bocah Bodoh! Kami datang! Tenang, tenang...,!"
seru Tua Usil ketika burung itu melintas tepat di atas
kepala Bocah Bodoh untuk kemudian mendarat di
tempat sedikit jauh dari Bocah Bodoh dan Jin Arak.
Dan melihat kedatangan Yoga, Bocah Bodoh benar-
benar merasa tenang serta gembira. Ia berani meringis
di depan Jin Arak yang memandang burung dengan
mata sedikit menyipit dan mulut terbengong.
"Mereka temanku. Tua Usil dan Tuan Yo!" kata
Bocah Bodoh sambil cengar-cengir tanpa rasa takut
seperti tadi.
"Apa benar dia naik burung perkutut?" tanya Jin
Arak.
"Itu bukan burung perkutut! Huhh... dasar ma-
buk! Burung rajawali dikatakan burung perkutut?!"
Bocah Bodoh berani mengecam sekarang. Ia melihat
yoga dan Tua Usil berlari mendekatinya. Semakin be-
rani ia bersikap di depan Jin Arak.
"Bagaimana keadaanmu, Bocah Bodoh?! Kau ce-
dera?!" tanya Tua Usil yang menduga telah terjadi per-
tarungan seru antara Bocah Bodoh dengan tiga orang
tak dikenal. Dua orang di antaranya sudah tergeletak
menjadi bangkai, satu orang lagi masih hidup dan di-
anggap sedang berusaha ditumbangkan oleh Bocah
Bodoh.
Yoga cepat bertanya kepada Bocah Bodoh setelah
menatap ke arah mayat Sakuntala dan mayat Barong
Bangkai,
"Apa yang terjadi di sini, Bocah Bodoh?!"
"Aku yang bunuh mereka berdua. Mau apa ka-
lian?!" Jin Arak tunjukkan sikap tidak bersahabat. Tua
Usil memandang dengan gemas, tapi Yoga memberi
isyarat supaya Tua Usil tidak bertindak. Yoga tahu,
orang gemuk itu sedang mabuk. Buktinya orang ge-
muk itu segera meneguk araknya lagi dari kantong ku-
lit.
Setelah mendengar penjelasan dari Bocah Bodoh
secara lengkap, maka Pendekar Rajawali Merah pun
berkata,
"Sebaiknya kita menghadap Dewi Gita Dara! Ba-
wa kami ke istana itu, Bocah Bodoh. Aku ingin bica-
ranya padanya!"
"Baik, Tuan Yo! Tapi bagaimana dengan kedua
mayat itu?"
"Tak perlu dibawa dulu. Biar nanti orang-orang
Dewi yang mengurusnya. Kita perlu laporkan hal ini
kepada sang penguasa itu!"
Jin Arak dibujuk oleh Yoga sehingga akhirnya
mau diajak pergi ke istana walau sepanjang perjalanan
selalu bikin ulah yang menjengkelkan hati Tua Usil.
Bocah Bodoh sempat ingatkan kepada Tua Usil dengan
berbisik,
"Hati-hati terhadap Jin Arak. Hanya dengan ber-
tepuk tangan dia bisa bunuh lawannya dengan mudah.
Ilmunya tinggi!"
Tua Usil hanya manggut-manggut menahan ke-
jengkelan. Sampai akhirnya mereka berhasil mengha-
dap Dewi Gita Dara yang bertindak sebagai ratu di is-
tana megah tersebut. Kehadiran Yoga dan Tua Usil
disambut hangat oleh Dewi Gita Dara. Perempuan itu
tampak riang dan berseri-seri melihat kehadiran Yoga
dan Tua Usil.
"Sudah kuduga kalian pasti akan datang juga,"
kata Dewi Gita Dara sambil menatap ke arah Yoga.
"Baru saja aku datang sudah melihat kejadian
yang tak sehat, Dewi. Kusarankan kau buat pengu-
muman baru."
"Pengumuman tentang apa?"
"Pembatalan sayembara itu! Tutup saja sayemba-
ra itu supaya tidak timbulkan banyak korban sia-sia,
seperti yang dialami Sakuntala dan Barong Bangkai
itu!"
Dewi Gita Dara tertegun diam setelah menerima
laporan lengkap dari Bocah Bodoh. Kemudian, Yoga
tambahkan kata,
"Akan terjadi saling bunuh seperti ini jika sayem-
bara mu tidak segera ditutup. Akibatnya banyak yang
mati bukan karena melawan naga itu, melainkan me-
lawan sesamanya sendiri. Kau akan dikecam sebagai
penguasa penyebar petaka di dunia persilatan!"
"Kecaman itu sudah telanjur kuterima sebenar-
nya. Tapi itu bukan salahku. Aku tidak pernah menyu-
ruh mereka untuk saling bunuh. Aku menyuruh mere-
ka untuk membunuh Naga Bara!"
"Benar! Tapi akibat dari apa yang kau suruhkan
itu adalah bencana besar bagi kaum lelaki. Jujur saja
kukatakan, semua kaum lelaki berminat menjadi sua-
mimu, dan itu akan mengundang mereka untuk saling
bunuh. Kau belum terlambat, Dewi Gita Dara. Kau
masih bisa menghapus kecaman itu di mata dunia
persilatan!"
Rupanya Jin Arak yang ada di belakang jauh dari
Yoga itu mendengar percakapan tersebut. Dari tem-
patnya duduk di lantai dengan santai, ia berseru ke-
ras-keras,
"Aku tidak setuju!" lalu ia bangkit dan mengge-
loyor hendak Jatuh. Jin Arak berjalan limbung dekati
Dewi Gita Dara. Dalam jarak empat langkah ia berhen-
ti dan berseru;
"Aku tidak setuju kau menutup sayembara mu,
Dewi Gita Dara. Aku sudah telanjur datang kemari.
Sayembara itu harus tetap berjalan. Kalau tidak, akan
ku obrak-abrik istana ini!"
Yoga segera mengatasi ancaman tersebut dengan
berkata, "Jin Arak, jangan turuti nafsumu sendiri. Pi-
kirkan nasib para peserta lainnya yang menderita ke-
matian seperti Sakuntala dan Barong Bangkai itu! Me-
reka mati bukan membunuh naga, bukan melawan
Naga Bara, tapi melawan dirimu!"
"Itu salah mereka sendiri, mengapa mereka bera-
ni menghina dan mengusik Jin Arak?!" bantahnya.
"Kau pun bisa kubuat senasib dengan mereka jika be-
rani menentang kehendakku!"
Tua Usil panas hatinya mendengar ucapan Jin
Arak. Belakangan ini, ia memang tak bisa banyak me-
nahan kesabaran seperti dulu. Ia cepat menjadi panas
hati dan mudah tersinggung oleh kata-kata lawan
ataupun orang yang belum dikenalnya. Karena itu, Tua
Usil segera berkata kepada Jin Arak,
"Jin Arak. kuharap kau bersikap sopan di depan
tuan ku!"
"Aku sopan?! Ya. Aku telah bersikap sopan. Tapi
dia punya usul yang membahayakan dan mempenga-
ruhi pikiran Dewi Gita Dara! Aku tidak setuju dengan
caranya itu! Kalau memang dia mau ikut jadi peserta
sayembara, jangan begitu caranya!"
"Tuan Yo tidak ingin jadi peserta sayembara.
Tuan Yo hanya inginkan supaya Nona Dewi tidak men-
dapat kecaman buruk di mata dunia persilatan. Harap
kau mau mengerti."
"Tidak mau!" bantahnya dengan suara keras dan
gerakkan tangan berkelebat lemas. "Aku tidak mau
mengerti, karena aku sudah telanjur ingin membunuh
Naga Bara! Aku ingin buktikan di mata dunia persila-
tan bahwa Jin Arak adalah tokoh sakti yang layak
mendapat penghargaan besar, yaitu menikah dengan
Dewi Gita Dara! Ha, ha, ha...!"
Tua Usil dan Yoga sama-sama pandangi Dewi Gita Dara, sementara Bocah Bodoh menatap ke arah Tua
Usil dengan mulut terbungkam. Dewi Gita Dara men-
jadi bingung memutuskan hal itu. Kejap selanjutnya ia
pun berkata,
"Begini saja Yoga... beri aku waktu semalam un-
tuk mempertimbangkan usul dan saranmu itu!"
Jin Arak menyahut, "Tidak bisa! Kau tidak boleh
tutup sayembara ini jika tidak ingin kubuat hancur
kekuasaanmu! Kalau pemuda itu mau ikut campur,
kuhancurkan sekalian kepalanya!" sambil ia menunjuk
Bocah Bodoh, walau yang dimaksud adalah Yoga.
Tua Usil segera berkata dengan suara memben-
tak, "Jin Arak! Kalau kau berniat hancurkan kepala
Tuan Yo, kau harus berhadapan denganku lebih dulu!"
Jin Arak memandang Tua Usil sambil menggeram
keras karena merasa ditantang. Dengan mata mendelik
merah dan tubuh bergoyang-goyang Jin Arak berkata,
"Kau membuatku marah, Tikus Sawah! Kubukti-
kan kesaktianku!"
Jin Arak baru saja mau bertepuk tangan, tapi
Tua Usil sudah lebih dulu sentakkan tangan kirinya
dengan cepat. Wuuut...! Telapak tangan kiri itu belum
sampai menyentuh perut besar Jin Arak, tapi orang
gemuk itu sudah terlempar keras, melayang keluar da-
ri serambi depan istana.
Bluuhg...! Terdengar suara jatuhnya di halaman
depan istana itu cukup jelas. Tua Usil melompat men-
gejarnya tanpa hiraukan seruan Yoga yang mencegah-
nya,
"Jangan layani dia, Tua Usil! Dia dalam keadaan
mabuk!"
Tua Usil sampai di depan istana, pada tangga ke-
dua dari bawah. Bocah Bodoh, Yoga, Dewi Gita Dara,
dan dua pengawal lainnya bergegas susul Tua Usil ke
luar. Pada waktu itu, Jin Arak segera bangkit dan le-
paskan pukulan bersinar dari tangannya. Pukulan itu
keluarkan cahaya kuning bagaikan besi lurus ke dada
Tua Usil. Namun dengan cepat bagai tangan bergerak
sendiri, seberkas sinar hijau berkelebat dari dua jari
Tua Usil dan menghantam sinar kuningnya Jin Arak.
Blaaar...!
Benturan itu timbulkan suara ledakan yang bagai
ingin meretakkan dinding-dinding istana. Tua Usil di-
am di tempat sedangkan Jin Arak terlempar lagi ke be-
lakang dalam jarak cukup jauh, sekitar tujuh tombak.
"Tua Usil, tahan napas mu...!" Yoga mengin-
gatkan. Tapi Tua Usil berkata dengan wajah marah,
"Sudah telanjur, Tuan! Saya bereskan sekalian
dia!" Wuuut...! Tua Usil sentakkan kaki di lantai tang-
ga, tubuhnya melayang jauh ke depan dan mendarat di
depan Jin Arak dalam jarak tiga langkah. Jin Arak ba-
ru saja berdiri dengan sempoyongan. Begitu melihat
lawannya sudah berdiri di depannya, ia segera angkat
kedua tangan dan bertepuk satu kali. Plook...!
Tua Usil hanya kibaskan badan ke samping. Ia
tetap berdiri di tempatnya. Ketika Jin Arak ingin berte-
puk satu kali lagi, Tua Usil cepat berkelebat maju dan
menghantamkan telapak tangannya ke dada orang ge-
muk itu. Buuhg...!
"Uuuhgg...!" Jin Arak terdorong-ke belakang dan
terbungkuk sebentar dengan mulut ternganga serukan
pekik tertahan. Mulutnya keluarkan darah kental hi-
tam kemerah-merahan.
"Tua Usil, tahan...!" seru Yoga, ia segera bergegas
hampiri Tua Usil karena tak menghendaki Tua Usil
membunuh Jin Arak.
Namun sebelum Yoga tiba di tempat, Jin Arak
sudah lebih dulu sentakan kaki dan melompat lari
tinggalkan istana sambil berteriak,
"Akan kubalas kau secepatnya! Akan kubalas ke-
kalahan ku ini!"
Tua Usil ingin mengejar, tapi tangan Yoga cepat
menyambar pundaknya dan mencengkeramnya. Tua
Usil hentikan langkah dan berpaling kepada Yoga.
"Tahan. Jangan turuti amarah mu. Tua Usil.'"
Pelan-pelan Tua Usil. kendurkan ketegangannya.
Wajahnya terlihat lunak kembali. Kemarahannya surut
perlahan-lahan. Kejap berikutnya ia menjadi heran
sendiri dan bertanya,
"Apa yang telah saya lakukan tadi, Tuan Yo...?!"
Pendekar Rajawali Merah hanya tarik napas da-
lam-dalam.
Dewi Gita Dara terdengar berucap kata, "Hebat
juga dia! Pukulannya bukan pukulan kelas ringan!"
Bocah Bodoh melirik tanpa senyum. Mereka me-
mandang Yoga yang menuntun Tua Usil untuk kembali
ke serambi istana.
* * *
7
SATU malam sudah Yoga menginap di istana itu.
Ternyata menurut perhitungan penduduk Teluk Gang-
ga, malam bulan purnama tepat jatuh pada esok ma-
lam. Tentu saja pada malam itu, Yoga membahas ma-
salah sayembara tersebut dengan Dewi Gita Dara. Me-
reka bicara di taman, hanya berduaan.
Sekalipun belum tiba saat purnama, tapi rembu-
lan sudah bertengger di angkasa. Sinarnya telah teran-
gi bumi, dan membuat taman menjadi asri. Suasana
itu sungguh indah untuk sepasang anak manusia yang
ingin berkasih-kasihan. Tetapi tidak demikian halnya
dengan Yoga-dan Dewi Gita Dara. Mereka justru terli-
bat pembicaraan yang tidak menyinggung-nyinggung
kemesraan sedikit pun. Dewi Gita Dara banyak berce-
rita tentang leluhurnya dan Naga Bara.
Malam itu diputuskan, Dewi Gita Dara akan tu-
tup pengumuman sayembara tersebut. Menurut Yoga,
jika tidak disebarluaskan tidak akan dianggap sah oleh
mereka yang ingin mengikuti sayembara tersebut. Dewi
Gita Dara setuju untuk menyebarluaskan penutupan
sayembara tersebut. Esok ia akan suruh pegawainya
untuk atur hal itu.
Tetapi kesibukan Dewi Gita Dara dalam mengata-
si para penduduk yang mengeluh dan dicekam pera-
saan takut itu membuatnya lupa memerintahkan pe-
gawainya untuk menangani masalah penutupan
sayembara. Apa lagi esok harinya Dewi Gita Dara ke-
datangan tamu penting, yaitu seekor burung rajawali
putih yang membawa dua penumpangnya, Lili dan
Pandu tawa.
Kehadiran Lili di Teluk Gangga membuat wajah
Tua Usil makin ceria. Namun tidak demikian halnya
dengan Yoga. Wajah pemuda itu berkesan murung dan
tampak menahan kedongkolan. Bukan karena kehadi-
ran Lili yang membuat hati Yoga dongkol, namun ke-
bersamaan Lili dengan Pandu Tawa yang tampan itu-
lah yang membuat dada Yoga bergemuruh dan ingin
meledak rasanya.
Lili segera ambil kesempatan bicara berdua den-
gan Yoga, sementara Pandu Tawa bicara dengan Dewi
Gita Dara mengenai maksudnya membunuh Naga Ba-
ra. Di sudut halaman samping yang tertata indah itu,
Yoga bicara dengan Lili sedikit bernada cekcok. Pada
dasarnya Yoga cemburu Lili naik rajawali berdua den-
gan Pandu Tawa. Namun Lili segera jelaskan permasa-
lahan sebenarnya.
"Dan semua sudah kuceritakan padanya tentang
siapa diriku dan siapa dirimu. Dia tahu kalau aku ke-
kasihmu. Dia berjanji tidak akan mengganggu hubun-
gan kita, bahkan ingin berkenalan dengan baik pada-
mu, Yo! Tolong, pahami dulu niatnya itu, Jangan ma-
rah dulu, Yo!"
Agaknya Lili punya rasa takut juga jika Yoga te-
lah cemburu begitu. Ia berusaha membujuk muridnya
sebisa-bisa mungkin, sampai akhirnya Yoga pun mele-
paskan perasaan itu, membuangnya jauh-jauh, dan
hati Lili menjadi lega kembali.
"Sebenarnya ada sesuatu yang penting ingin ku-
bicarakan padamu. Tak bisa ditunda, Yo. Karenanya
aku menyusulmu kemari." "Tentang apa?"
"Pisau Pusaka Hantu Jagal itu sudah di tangan
Pandu Tawa."
"Hahhh...?!" Pendekar Rajawali Merah belalakkan
matanya lebar-lebar. Rupanya ia sangat terkejut dan
belum mengetahui hal itu.
"Aku melihatnya sendiri. Melihat dengan jelas se-
kali, karena Pandu Tawa memperlihatkannya padaku,
Yo!"
"Bagaimana mungkin pisau itu ada di tangan-
nya?" Yoga bersungut-sungut dengan wajah menegang.
"Ini kesalahan Tua Usil. Ia menukar pisau itu
dengan sebuah ilmu milik Pandu Tawa: Namanya jurus
'Angin Saka'. Jurus itu membuat Tua Usil bisa berdiri
di atas ilalang, seperti apa yang diinginkannya dulu.
Padahal sebelum peristiwa ini, aku lihat sendiri dia
sudah bisa berdiri di atas ilalang!"
"Tolol sekali orang itu!" gerutu Yoga dengan jengkel.
"Pandu Tawa memiliki pisau itu sengaja untuk
membunuh Naga Bara."
"Dia ingin menjadi suami Dewi Gita Dara?"
"Bukan. Dia hanya ingin membalas dendam, ka-
rena ayahnya dulu seorang pendekar yang mati dima-
kan Naga Bara!"
"Celaka betul kalau pisau itu sudah di tangan
orang! Tempo hari Dewi Gita Dara ingin meminjamnya
saja tidak diberikan, sekarang malahan ditukar dengan
satu ilmu! Uuuh...!" Yoga menggeram menahan kema-
rahan hatinya.
"Mungkinkah pisau itu bisa kita minta lagi secara
baik-baik, Yo?"
"Kurasa tak mungkin. Pandu Tawa jelas bukan
orang bodoh!"jawab Yoga sambil cemberut. "Kita temui
si Tua Usil itu!"
Yoga bergegas lebih dulu, Lili mengikutinya. Tapi
mereka tidak menemukan Tua Usil, lalu, Yoga ber-
tanya kepada salah seorang penjaga pintu gerbang is-
tana. Orang itu memberitahukan bahwa Tua Usil pa-
mit mau ke pantai, sebab sejak pagi Bocah Bodoh pergi
ke pantai namun belum kembali sampai sesiang ini.
Maka Lili dan Yoga pun bergegas pergi ke pantai untuk
memarahi Tua Usil.
*
* *
Di pantai, Bocah Bodoh sudah cukup lama du-
duk di atas sebuah batu. Ia termenung di sana, bicara
pada dirinya sendiri, memikirkan jika sayembara itu
ditutup oleh Dewi Gita Dara. Menurutnya, jika sayem-
bara ditutup, berarti siapa pun yang berhasil membunuh Naga Bara belum tentu menjadi suami Dewi Gita
Dara. Tapi selama sayembara itu belum ditutup, siapa
yang membunuh Naga Bara boleh memperistri Dewi
Gita Dara. Sedangkan sampai sesiang itu Dewi Gita
Dara belum kasih perintah kepada pegawainya untuk
mengumumkan penutupan tersebut.
Menurut pemikiran Bocah Bodoh, peluang ini se-
benarnya ada di tangan Tua Usil, karena Tua Usil-lah
yang mempunyai pisau Pusaka Hantu Jagal, yang da-
pat dipakai membunuh Naga Bara. Jika Tua Usil da-
tang ke Teluk Gangga, berarti Tua Usil nanti malam
pasti akan melawan Naga Bara demi keselamatan pen-
duduk Teluk Gangga. Setidaknya Yoga dan Lili perin-
tahkan Tua Usil untuk lawan Naga Bara.
Itulah sebabnya Bocah Bodoh merasa sedih dan
kecewa atas kedatangan Tua Usil ke Teluk Gangga.
Dengan kedatangan Tua Usil ke Teluk Gangga, maka
Dewi Gita Dara lebih percaya bahwa Tua Usil-lah yang
mampu kalahkan Naga Bara ketimbang dirinya, pikir
Bocah Bodoh. Akibatnya nanti, Tua Usil-lah yang
mendapat tempat di hati Dewi Gita Dara. Terbukti
waktu Tua Usil melawan Jin Arak, Dewi Gita Dara su-
dah menunjukkan rasa kagumnya terhadap kehebatan
Tua Usil.
"Lalu untuk apa Nona Dewi mengangkat ku men-
jadi pengawal pribadinya? Pasti tidak ada gunanya.
Pasti dia akan memilih Tua Usil sebagai pengawal pri-
badinya sekaligus sebagai suaminya ketimbang aku.
Ah, Tua Usil pakai datang kemari segala! Dia bikin ka-
cau rencanaku! Kalau sudah begini, lalu apa yang
akan kuterima dari pengorbanan ku dan kesetiaan ku
terhadap Dewi Gita Dara? Padahal... aku sangat suka
sama perempuan itu. Aku ingin sekali dipeluknya den-
gan hangat!"
Lamunan dan kecamuk batin Bocah Bodoh ter-
putus, rasa dongkolnya kian membengkak di dada, ka-
rena saat itu Tua Usil datang untuk memberi tahu
bahwa Nona Li tiba di Teluk Gangga. Ternyata berita
kehadiran Lili tidak menarik bagi Bocah Bodoh, ia te-
tap diam termenung dengan wajah cemberut kesal.
"Kau dicari oleh Nona Li! Dia ingin bertemu den-
gan mu, Bocah Bodoh!"
Tak ada jawaban apa pun dari Cola Colo, si Bo-
cah Bodoh itu. Bahkan memandang Tua Usil pun tak
mau.
Tua Usil merasa heran dan bertanya-tanya dalam
hatinya; apa yang membuat Bocah Bodoh semurung
itu. Maka ia pun menanyakan dengan ikut duduk di
batu sebelahnya,
"Ada apa sebenarnya? Kau tampak murung dan
cemberut begitu?"
"Tidak ada apa-apa," jawab Bocah Bodoh dengan
ketus.
"Nada bicaramu berbeda, Bocah Bodoh." "Biar sa-
ja!"
Tua Usil memandang dengan dahi makin berke-
rut. ia mencoba menerka-nerka dalam hatinya. Namun
ia tidak bisa temukan apa penyebab kemurungan Bo-
cah Bodoh itu. Maka, sekali lagi ia mendesak dengan
bertanya,
"Sebenarnya ada apa kau ini, Bocah Bodoh? Ka-
takanlah!"
Dengan makin ketus Bocah Bodoh akhirnya men-
jawab, "Aku muak padamu! Muak sekali!" sambil Bo-
cah Bodoh bangkit dan melangkah maju.
Tua Usil mengejar dan berseru, "Kenapa kau ber-
sikap begitu padaku? Apa salahku, Bocah Bodoh?!"
"Jangan pura-pura tidak tahu!" sentak Bocah
Bodoh. "Kau datang ke sini pasti untuk membunuh
naga siluman itu!"
"Justru aku datang untuk mengajak mu pulang!"
sanggah Tua Usil.
"Aku berani bertaruh, kau pasti nanti malam
akan tampil sebagai pahlawan Teluk Gangga, karena
kau punya pisau Pusaka Hantu Jagal yang bisa dipa-
kai untuk melawan dan mengalahkan Naga Bara!"
"Kalau toh itu terjadi, aku hanya semata-mata
menolong Dewi Gita Dara saja!"
"Iya! Kau bisa saja beralasan begitu. Tapi Dewi
Gita Dara akan memujimu dan mengagumimu. Akhir-
nya kau akan dijadikan suaminya sesuai dengan
sayembara yang belum sempat ditutup ini!"
Tua Usil menarik napas. Ia tahu masalah sebe-
narnya. Rupanya Bocah Bodoh merasa tersaing den-
gan kedatangan Tua Usil di Teluk Gangga itu. Tua Usil
menyadari kehadirannya hanya mengecewakan hati
seorang sahabat. Maka, Tua Usil pun berkata,
"Baikah. Kalau begitu besok aku akan segera pu-
lang dan tak ingin mengganggu rencanamu."
"Rencanaku sudah telanjur kau obrak-abrik, Tua
Usil. Dewi Gita Dara telanjur mengagumimu. Dan se-
bentar lagi dia akan terpikat olehmu, lalu menjadi is-
trimu!"
Tua Usil masih paksakan diri untuk ajak terse-
nyum Bocah Bodoh sambil berkata, "Itu namanya na-
sib dan keberuntungan ku!"
"Iya, nasib dan keberuntunganmu kau peroleh
dari merebut kesempatan milik teman sendiri! Padahal
tanpa pisau pun aku bisa membunuh naga itu. Kau
pikir hanya kau sendiri yang punya pusaka? Aku pun
punya!"
Sreeet...! Bocah Bodoh menarik pusaka Pedang
Jimat Lanang. Tua Usil kaget, dan segera naik pitam
merasa ditantang adu pusaka. Maka dengan cepat Tua
Usil melompat mundur dan mencabut pisau Pusaka
Hantu Jagal dari balik baju coklatnya. Seet...!
"Kau pikir hanya kau sendiri yang bisa pamer
pusaka? Aku juga bisa. Ayo, mau apa kau sekarang?!"
"Kau sendiri mau apa?! Mau adu pusaka? Boleh!"
Wuuut...! Bocah Bodoh melompat untuk ambil
jarak. Kini keduanya sama-sama siap lepaskan seran-
gan dengan gunakan pusaka masing-masing, yang sa-
tu menggunakan pusaka Pedang Jimat Lanang, yang
satunya lagi menggunakan Pusaka Hantu Jagal. Pa-
dahal kedua pusaka itu sama kuatnya dan sama he-
batnya, Hanya saja mempunyai kegunaan khusus
yang berbeda-beda. Karena itu, baik Tua Usil maupun
Bocah Bodoh merasa tidak mau saling mengalah. Me-
reka sama-sama merasa punya kekuatan lebih di luar
kemampuan diri mereka masing-masing.
"Majulah kalau kau ingin celaka!" seru Tua Usil.
"Serang aku kalau kau bisa!" balas Bocah Bodoh. Pada
waktu itu, Yoga dan Lili muncul di pantai tersebut. Me-
reka sama-sama terkejut melihat Bocah Bodoh dan
Tua Usil bertarung dengan menggunakan pusaka mas-
ing-masing. Mereka sangat cemas. Lalu keduanya sa-
ma-sama melompat menyambar satu-persatu. Yoga
menyambar Tua Usil dan Bocah Bodoh disambar oleh
Lili. Mereka saling dijauhkan. Tapi mereka sama-sama
meronta. Bahkan Tua Usil sempat memukul dada Yoga
dengan tangan kirinya. Buhhg...!
"Lepaskan aku! Jangan ikut campur urusanku!"
Yoga tersentak ke belakang. Kaget bukan kepalang me-
lihat Tua Usil berani melawannya. Sementara itu, ia
pun melihat Bocah Bodoh dikuasai oleh keberanian
dan kemarahannya. Ia meronta dari pertahanan Lili.
Bahkan dengan cepat dan gesit, ia berhasil membant-
ing tubuh Lili sambil berseru,
"Jangan campuri urusan kami! Akan kubunuh si
Tua Usil itu!"
Buuhg...! Lili terbanting karena tidak melakukan
perlawanan dan pertahanan. Sementara itu, Tua
Usil berseru,
"Kau pun akan kubunuh dengan pusaka ini, Bo-
cah Bodoh!" Tua Usil berlari.
"Heaaattt...!"
Bruukk...! Kakinya disengkat oleh kaki Yoga
hingga ia jatuh tersungkur. Pada waktu itu, Bocah Bo-
doh pun berlari dengan hasrat membunuh sangat be-
sar. "Hiaaah...!"
Sambil mengangkat Pedang Jimat Lanang yang
siap ditebaskan, Bocah Bodoh melangkahi tubuh Lili
yang masih berada di tanah. Begitu ia melompat, tan-
gan Lili menyambar kakinya dan menariknya.
Bruus...! Bocah Bodoh jatuh tak bisa lanjutkan
pelariannya. Lili cepat menghantamkan kakinya den-
gan tumit ke pergelangan tangan Bocah Bodoh.
Duuhg...! Pedang terlepas dan Lili menyambarnya.
Wuuut..! Sedangkan di pihak Tua Usil, Yoga berhasil
memelintir tangan Tua Usil dengan kuat. Tua Usil
memekik. Pisau itu terlepas dari genggamannya dan
segera disambar oleh Yoga pula. Wuuut...!
Yoga berlari ke pertengahan jarak, demikian pula
Lili. Keduanya merasa lega karena telah selamatkan
kedua pusaka yang amat berbahaya itu. Lalu, Lili pun
berseru kepada Tua Usil dan Bocah Bodoh,
"Nah, sekarang kalau kalian mau bertarung, ber-
tarunglah! Ayo, saling hantamlah kalian, asal jangan
gunakan pusaka-pusaka ini!"
Bentakan kemarahan Lili membuat Tua Usil di
am. Bocah Bodoh pun terbungkam. Wajah mereka mu-
lai surut dari kemarahan. Kemudian Tua Usil terben-
gong dan berkata, "Apa yang telah saya lakukan, Nona
Li?!"
Bocah Bodoh pun berkata, "Apa yang terjadi,
Tuan Yo? Mengapa pedang saya ada di tangan Nona
Li?"
Kedua pendekar itu saling hembuskan napas ke-
legaan. Mereka saling menyadari, bahwa ada satu ke-
kuatan yang mendorong nafsu mereka untuk saling
bunuh dan berani menentang Lili dan Yoga. Mereka
tak jadi menyalahkan Tua Usil dan Bocah Bodoh. Pu-
saka mereka pun dikembalikan ke pemilik masing-
masing.
"Jaga batinmu! Kendalikan nafsumu!" kata Lili
kepada Tua Usil. "Sudah berapa kali ku ingatkan pa-
damu, jaga batinmu dan kendalikan nafsumu! Jika
kau tidak bisa lakukan, kau akan binasa oleh kekua-
tanmu sendiri. Mengerti?!"
"Mengerti, Nona Li," jawab Tua Usil dengan pelan
dan takut.
"Kau juga begitu, Bocah Bodoh! Tak boleh men-
gumbar nafsu amarah yang tidak beralasan!"
"Baik, Nona Li," jawab Bocah Bodoh dengan le-
mah. Mata Lili segera tertuju ke tangan kiri Tua Usil
yang masih memegangi pisau pusaka. Pisau itu sudah
disarungkan, tapi membuat Lili terheran-heran. Yoga
pun mengikuti arah pandangan mata Lili, kemudian
mengerti maksud keheranan Lili. Maka Yoga pun ber-
kata,
"Dia masih mempunyai pisau Pusaka Hantu Jag-
al?!"
"Iya. Padahal aku melihat sendiri Pandu Tawa
mempunyainya pula!" kata Lili bernada heran. Kemu
dian Lili dan Yoga dekati Tua Usil dan bertanya kepada
orang berkumis dan berjenggot putih tipis itu,
"Apakah kau kenal dengan orang bernama Pandu
Tawa?"
"Pandu Tawa...?!" Tua Usil merenung sebentar.
"Tidak. Saya tidak kenal, Nona Li!"
"Apakah kau pernah menukar pisau itu dengan
ilmu seseorang?"
"Sama sekali tidak pernah, Nona Li. Saya berani
bersumpah!" Tua Usil agak ngotot.
"Aneh...?" gumam Lili sambil memandang Yoga.
Pada waktu itu, Pandu Tawa pun muncul. Tu-
juannya ingin bicara dengan Lili tentang rencananya
nanti malam. Ia sudah mendapat izin dari Dewi Gita
Dara untuk kuasai Bukit Palagan begitu malam tiba.
Tetapi kehadiran Pandu Tawa di pantai itu membuat-
nya menjadi berkerut dahi pertanda mengalami kehe-
ranan. Ia melihat Tua Usil yang belum sempat berke-
nalan dengannya itu memegang pisau yang sama den-
gan pisau pusaka yang dibawanya.
"Dia dapatkan dari mana pisau pusaka itu?" ta-
nyanya kepada Lili.
"Justru aku ingin bertanya begitu kepadamu,
Pandu Tawa. Benarkah kau mempunyai pisau Pusaka
Hantu Jagal?"
Pandu Tawa segera keluarkan pisaunya dari balik
baju. Mereka tercengang, termasuk Tua Usil dan Bo-
cah Bodoh. Pandu Tawa segera berkata,
"Kudapatkan pisau pusaka ini dari seseorang
yang bernama Tua Usil!"
Yoga menyahut, "Ini yang namanya Tua Usil!"
sambil menepuk pundak Tua Usil. Tapi Pandu Tawa
memandanginya beberapa saat dengan dahi kian berkerut tajam.
"Bukan. Bukan ini orangnya."
Tua Usil berkata, "Bagaimana ciri-ciri orang yang
mengaku bernama Tua Usil itu, Tuan Pandu?!"
"Hmmm... dia punya badan agak gemuk, rambutnya
panjang tapi tipis. Usianya berkisar lima puluh tahun.
Dia kenakan ikat kepala kuning dan kenakan pakaian
abu-abu."
"Agak pendek?"
"Benar!"
"Hmmm...! Tahu saya!" cetus Tua Usil. "Dia ada-
lah Tambayon!"
"Siapa itu Tambayon?" tanya Yoga. "Raja Tipu!"
"Oooo...." Lili, Yoga, dan Bocah Bodoh hampir
bersamaan serukan kata tersebut. Mereka pun mang-
gut-manggut.
"Dia pandai memalsukan barang apa saja. Itu ke-
lebihannya. Dia telah memalsukan Pusaka Hantu Jag-
al karena dia pernah lihat saat saya membawanya dan
hampir tertipu menyerahkan kepadanya."
Pandu Tawa menggeram jengkel. Tapi masih be-
rusaha tidak mempercayai keterangan mereka. Ia ber-
kata, "Kurasa ini yang asli. Milikku ini Pusaka Hantu
Jagal yang asli!"
Tua Usil melepas pisau itu dari sarungnya dan
memperlihatkan ciri-ciri Pusaka Hantu Jagal yang asli.
Mata pisaunya berwarna hitam, tapi dikelilingi cahaya
merah. Pandu Tawa pun mencabut pisaunya itu, ter-
nyata mata pisau berwarna putih mengkilat tanpa si-
nar apa pun.
"Yang asli punya sinar merah, Tuan Pandu," kata
Tua Usil.
"Keparat prang itu!" geram Pandu Tawa antara
malu dan marah. "Padahal sudah ku tukar dengan ju-
rus 'Angin Saka'!"
Bocah Bodoh menimpali, "Dia memang jago tipu.
Jika tidak bisa menipu Tuan Pandu, bukan Raja Tipu
namanya!"
Wuuut...! Tiba-tiba hadir di antara mereka seo-
rang berjubah hitam tapi tidak kenakan baju dalam.
Celananya pun hitam. Tubuhnya agak besar. Rambut-
nya panjang dan wajahnya berkesan bengis. Orang itu
adalah orang yang dilihat oleh Yoga dari atas rajawali
sedang berjalan di atas permukaan air laut dengan gu-
nakan sepotong kayu papan. Orang itu segera dikenali
pula oleh Tua Usil.
"Banteng Tato...?"
Orang yang badannya penuh dengan tato itu se-
gera menggeram dan berkata. "Aku dengar percakapan
kalian. Aku sangsi dengan pengakuan kalian itu. Se-
bab aku pun mempunyai pisau Pusaka Hantu Jagal.
Karenanya aku datang kemah untuk bunuh Naga Bara
itu, biar aku bisa jadi suami Dewi Gita Dara!" kemu-
dian Banteng Tato keluarkan pisau bergagang dan ber-
sarung emas berukir. Sama persis dengan milik Pandu
Tawa dan Tua Usil. Tapi ketika dicabut, ternyata mata
pisaunya berwarna putih dan tidak mengandung ca-
haya apa pun.
"Pisaumu itu palsu, Kawan!" kata Pandu Tawa.
"Sama dengan pisauku! Kau dapatkan dari mana pisau
itu?",
"Seseorang yang bernama Tua Usil bersedia me-
nukar pisau ini dengan tiga cincin emas berlian ku!"
Ketika ditanyai ciri-cirinya, Banteng Tato se-
butkan ciri-ciri yang ada pada diri Raja Tipu. Maka
Pandu Tawa pun tersenyum geli sambil geleng-geleng
kepala dan berkata,
"Kau tertipu, Kawan. Nasibmu sama denganku.
Orang itu bukan Tua Usil melainkan Tambayon, si Ra
ja Tipu! Tua Usil adalah dia!" sambil menunjuk Tua
Usil.
"Bangsat!" geram Banteng Tato dengan menggele-
tukkan giginya, mengepalkan tangannya kuat-kuat,
matanya menerawang menyipit. Katanya lagi,
"Akan kucari dia dan ku rajang habis seluruh tu-
buhnya!"
Nasib Banteng Tato memang sama dengan nasib
Pandu Tawa. Kedatangannya ke Teluk Gangga sung-
guh merupakan pekerjaan yang sia-sia. Tak mungkin
mereka berani melawan Naga Bara jika mereka sebe-
lumnya sudah tahu betul, bahwa Naga Bara hanya bi-
sa dibunuh dengan pisau Pusaka Hantu Jagal. Tapi
apalah artinya jika mereka datang dengan pisau palsu
dan bermaksud kalahkan Naga Bara?
Namun, Banteng Tato segera punya pemikiran
lain. Di depan mereka ia bicara dengan Tua Usil, "Ku-
bayar pisaumu itu berapa pun harganya! Sebutkan
apa yang kau inginkan dan berapa uang yang harus
kuberikan padamu untuk membeli pisau itu."
"Tak akan kujual dengan harga berapa pun, Ban-
teng Tato!"
"Gggrrhmm...! Kalau begitu, aku terpaksa mere-
butnya dari tanganmu, Bocah Kunyuk! Heaaat...!"
Wuuut...! Plook...! Sebongkah batu melayang ce-
pat dari samping Banteng Tato tepat kenai wajahnya
sendiri. Padahal batu itu tidak ada yang melempar-
kannya. Tentu saja hal itu membuat Banteng Tato ke-
labakan sendiri. Bingung mencari pelemparnya.
"Kau tak boleh merampas hak milik orang lain
begitu, Kawan!" kata Pandu Tawa. Lili segera melirik
pemuda itu dan cepat tanggap, bahwa Pandu Tawa te-
lah gunakan kekuatan batinnya untuk lemparkan batu
itu ke wajah Banteng Tato hingga memar membiru.
Karena itu. Banteng Tato memutuskan gagasannya
untuk segera larikan diri dan jauhi tempat itu. Sekali-
pun ia berlari, masih saja batu-batu yang dilaluinya itu
berkelebat menghujani tubuhnya hingga ia lari sambil
berteriak-teriak kesakitan dan cepat lompat ke sepo-
tong papan di perairan. Ia melesat pergi tinggalkan Te-
luk Gangga dengan keadaan tubuh luka babak belur.
Yoga dan yang lainnya hanya tersenyum geli menerta-
wakan nasib aneh orang itu.
* * *
8
DENGAN jujur dan watak kesatrianya, Pandu
Tawa temui Dewi Gita Dara dan berkata, bahwa di-
rinya tak jadi membunuh Naga Bara karena pisau yang
dibawanya adalah pisau pusaka palsu. Dewi Gita Dara
tampak sedikit kecewa mendengar hal itu. Wajah Pan-
du Tawa dipandanginya dengan rasa iba dan kasihan.
Tapi Pandu Tawa segera berkata,
"Sekalipun begitu, aku tetap akan bantu Tua Usil
untuk lakukan penyerangan terhadap Naga Bara den-
gan kemampuanku seadanya."
"Tua Usil...?! Apakah kau yakin Tua Usil mau la-
kukan hal itu walau dia memiliki pisau Pusaka Hantu
Jagal?"
"Kurasa dia bersedia,"
"Kalian sudah bicarakan hal itu?"
"Memang belum. Tapi untuk apa dia ke sini kalau
bukan untuk membunuh Naga Bara?"
"Dia datang untuk menyusul Bocah Bodoh."
Pandu Tawa tertegun diam, ia tak mengerti maksud kedatangan Tua Usil yang sebenarnya. Ketika hari
menjelang sore, atas usul Pandu Tawa, mereka men-
gadakan pertemuan di bangsal samping istana. Perte-
muan itu dihadiri oleh Tua Usil, Yoga dan Lili, Dewi Gi-
ta Dara, Bocah Bodoh, dan Pandu Tawa sendiri.
Di depan mereka, Pandu Tawa menanyakan ke-
sanggupan Tua Usil untuk melakukan penyerangan
terhadap Naga Bara nanti malam. Tapi Tua Usil justru
berkeringat dingin menandakan sedang menahan rasa
takutnya. Tiba-tiba Bocah Bodoh memberanikan diri
berkata,
"Kalau kau tidak berani. biar aku yang hadapi
naga itu!"
"Dengan mengandalkan pedang pusaka mu itu?"
tanya Pandu Tawa sedikit meremehkan Pedang Jimat
Lanang.
"Tuan Pandu, kata ibu saya, pedang ini bisa un-
tuk membelah baja. Kalau baja saja bisa dibelah, ten-
tunya daging naga pun bisa dibelah."
"Baja tidak mempunyai kekuatan gaib, Bocah
Bodoh. Tapi naga itu mempunyai kekuatan gaib. Ke-
kuatan itu bertambah besar manakala ia terkena sinar
bulan purnama!"
Bocah Bodoh diam, menampakkan rasa kece-
wanya. Tapi sebelum yang lain bicara, Bocah Bodoh
beranikan diri lagi untuk berkata,
"Bagaimana kalau aku meminjam pisau pusaka
mu, Tua Usil? Sebagai jaminannya, kuserahkan pe-
dang pusakaku ini! Nanti kalau aku sudah selesaikan
tugas membunuh Naga Bara, kukembalikan pisaumu
itu!"
Agaknya Bocah Bodoh sangat bernafsu untuk
melakukan hal itu demi menunjukkan sikap pengab-
dian dan kesetiaannya kepada Dewi Gita Dara. Tetapi
sayangnya Tua Usil berkata dengan suara lemah,
"Pesan Ki Pamungkas, pisau ini tidak boleh dis-
erahkan kepada siapa-siapa. Tidak boleh jatuh ke tan-
gan orang lain. Harus tetap ada bersamaku! Jadi...
maaf saja, aku tidak bisa meminjamkannya kepadamu,
Bocah Bodoh."
"Kalau tak boleh dipinjam, kau harus berani la-
kukan!" sentak Bocah Bodoh sambil bersungut-sungut
jengkel sendiri.
Yoga berkata kepada Bocah Bodoh, "Tenanglah.
Jangan bersikap seperti itu." Bocah Bodoh pun tenang,
tapi masih menggerutu tak jelas. Kemudian Yoga ber-
kata kepada Tua Usil,
"Kalau kau tak berani, kau akan ku dampingi.
Aku akan melindungimu jika terjadi sesuatu padamu!"
Lili menyahut, "Aku pun akan menjaga mu dari
bahaya. Sebelum bahaya itu datang kau akan ku sam-
bar lebih dulu!"
Pandu Tawa akhirnya berkata, "Tua Usil tak per-
lu takut. Aku ada di sana dan memancing naga itu
agar lengah, lalu kau membunuhnya dari belakang.
Setidaknya aku akan menahan ekornya dengan kekua-
tan batin ku, seperti aku melemparkan batu-batu ke
tubuh Banteng Tato tadi. Kau tak akan celaka.
"Nah, sudah banyak yang mau melindungimu.
Apa masih belum berani juga?" kata Bocah Bodoh.
"Percuma jadi laki-laki kalau begitu saja tak berani.
Kalau kau punya istri, bagaimana kau nanti melin-
dungi istrimu dari serangan orang jahat?!" Bocah Bo-
doh agaknya sengaja menjatuhkan Tua Usil agar Dewi
Gita Dara punya penilaian rendah terhadap Tua Usil.
Yoga pun mengerti arah tujuan kata-kata Bocah
Bodoh itu. Sebab Yoga tahu, Bocah Bodoh merasa iri
jika nantinya Tua Usil akan disanjung dan dikagumi
oleh Dewi Gita Dara. Bocah Bodoh takut kehilangan
perhatian dari gadis cantik yang menawan hatinya itu.
Sementara itu, di dalam hati Tua Usil timbul per-
golakan batin. Ia malu dikecam Bocah Bodoh di depan
orang-orang terhormat itu. Ia benci pada dirinya sendi-
ri yang punya perasaan takut melawan seekor naga
sakti. Ia juga malu memiliki pusaka sehebat itu jika ti-
dak mempunyai keberanian. Karenanya, hatinya kini
membulat dan pikirannya menyatu membentuk nyali
yang cukup besar. Ia berkata kepada mereka,
"Baiklah. Saya akan hadapi Naga Bara itu. Tapi
saya minta satu syarat!" lalu setiap wajah dipandan-
ginya satu-persatu.
Dewi Gita Dara bertanya, "Apa syaratnya?" "Jan-
gan ada yang ikut campur dengan pertarungan saya
dengan Naga Bara nanti. Jika ada yang ikut campur,
saya akan tinggalkan pertarungan dan tak mau laku-
kan apa-apa lagi."
Pernyataan itu membuat hati mereka berdesir.
Lalu senyum mereka pun mengembang dengan kesan
bangga dan kagum. Tapi Bocah Bodoh diam saja dan
semakin bersungut-sungut jengkel. Ternyata kata-
katanya tadi justru menjadi pancingan keberanian Tua
Usil dan membuat Dewi Gita Dara menjadi bangga
mendengar pernyataan itu.
"Seharusnya aku tidak perlu berkata apa-apa se-
jak tadi. Kalau begini, Tua Usil justru dihormati dan
dibanggakan oleh Dewi Gita Dara. Uuuh...! Nasibku je-
lek amat. Mau dapat istri cantik saja sudah diserobot
teman sendiri!" gerutu Bocah Bodoh dalam hatinya.
Petang mulai tiba. Rembulan pun telah nampak
di cakrawala. Bergerak perlahan-lahan meninggalkan
curahan sinarnya, memamerkan kecantikannya yang
utuh. Langit cerah, tak berawan, dan tak bermendung
sedikit pun. Langit bagaikan permukaan cermin biru
yang bersih dan hanya ada sepucuk rembulan yang
menghiasinya.
Tua Usil bersiap hadapi lawannya yang kali ini
bukan sembarang lawan. Ia harus berhadapan dengan
seekor naga yang belum diketahui jurus-jurusnya di
mana titik kekuatan serta titik kelemahannya. Tetapi
Pandu Tawa segera mendekatinya dan berkata,
"Kakekku bercerita tentang naga titisan itu. Be-
liau bilang, kalau aku melawan naga itu, aku harus bi-
sa menghunjamkan pisau tersebut di telinga kirinya.
Konon, kekuatan naga itu ada di seluruh tubuhnya.
Tapi kelemahannya hanya ada di lubang telinga ki-
rinya."
"Ya. Terima kasih atas saran Tuan Pandu," jawab
Tua Usil dengan suara tegas, tanpa getar sedikit pun.
"Kami akan mengantarmu ke kaki Bukit Pala-
gan!"
"Tapi saya tidak ingin ada yang ikut campur."
"Kami hanya mengantar, setelah itu kami lepas
kau bertarung sendiri dengan Naga Bara."
Ketika petang mulai menua dan rembulan kian
meninggi, Tua Usil pun segera berangkat ke kaki Bukit
Palagan. Ia diberi kehormatan oleh Dewi Gita Dara un-
tuk di usung memakai tandu, dibawa ke tempat perta-
rungannya nanti. Tandu mewah telah disiapkan, dan
tandu itu membuat Bocah Bodoh melirik sinis dengan
hati dongkol sekali.
"Baiklah. Biarkan kami memberimu penghorma-
tan," kata Dewi Gita Dara. Bocah Bodoh segera berke-
lebat pergi lebih dulu, tak mau melihat Tua Usil naik
ke dalam tandu seperti seorang pangeran.
Tetapi ternyata Tua Usil tidak bersedia naik ke
dalam tandu. Ia berkata kepada, Dewi Gita Dara,
"Saya manusia biasa. Saya rakyat jelata. Saya
hanya tunaikan tugas sebagai manusia, membela ke-
benaran dan melawan kejahatan!"
Sayang Bocah Bodoh tidak mendengar ucapan
itu. Kalau ia mendengar, ia akan bisa mengambil ke-
simpulan bahwa Tua Usil lakukan tugas itu bukan ka-
rena punya pamrih apa-apa. Bocah Bodoh ada di pintu
gerbang, bermaksud keluar lebih dulu. Tapi tubuhnya
segera di terjang dua puluh orang yang berlarian ma-
suk halaman istana dengan panik.
Bocah Bodoh jatuh dan terinjak-injak mereka
yang dicekam rasa takut begitu tinggi. Orang-orang itu
adalah utusan dari rakyat yang ingin memberikan la-
poran serta tuntutan kepada Dewi Gita Dara. "Gusti,
naga itu telah muncul!" teriak salah seorang. Semua
yang ada bersama Dewi Gita Dara menjadi terperanjat
tegang. Tua Usil masih tetap tenang mendengar seruan
itu. Namun ia perhatikan tiap orang yang bicara kepa-
da Dewi Gita para itu.
"Anak saya telah dimakannya! Anak saya, Gus-
ti...! Oooh...!" seorang ibu menangis ambil mencium
kaki Dewi Gita Dara.
"Naga itu sudah mencari mangsa. Karena di tem-
patnya tak ada manusia lagi, ia bergerak kemari. Seka-
rang sedang menuju ke alun-alun, dan para penduduk
berlarian ke segala arah."
"Rumah saya dihancurkannya, Gusti. Rumah
saya itu bagaimana?!" seorang lelaki tua renta menan-
gis karena kehilangan rumahnya. Seorang anak kecil
juga menangis memanggil-manggil bapaknya. Rupanya
bapak anak itu telah mati dimakan Naga Bara titisan
Ratu Gaib. Tua Usil terbakar amarahnya melihat pen-
deritaan mereka. Kemudian ia bertanya kepada Dewi
Gita Dara, "Di mana letak alun-alun?" "Sebelah utara
sana...!"
Wuuut...!
Tua Usil cepat larikan diri tanpa banyak me-
nunggu perintah lagi. Pada waktu ia mau melewati pin-
tu gerbang, serombongan manusia datang menyerbu
dengan teriakan kepanikan. Pada saat itu juga Bocah
Bodoh baru saja bangkit dari jatuhnya. Ia diterjang
rombongan manusia panik lagi hingga jatuh dan terin-
jak-injak kembali.
Entah ilmunya siapa, yang bekerja dalam diri Tua
Usil saat itu, ia mampu melompati tembok pagar ista-
na yang tinggi itu, dan berlari dengan cepatnya menuju
ke alun-alun. Suasana malam yang cerah telah beru-
bah menjadi gaduh, panik, jeritan-jeritan kengerian
terdengar di mana-mana. Langkah Tua Usil semakin
lebih cepat lagi.
Tepat ketika ia tiba di alun-alun, tepat pula see-
kor naga sedang menumbangkan sebuah rumah yang
ada tak jauh dari sana. Rumah itu telah kosong dan
tidak berpenghuni, sehingga naga itu bagaikan marah
karena kecewa. Ekornya yang buntung itu mengibas
dan meremukkan rumah tersebut.
Alun-alun sangat sepi. Cahaya rembulan bersinar
terang nyaris membuat bumi bagaikan slang. Tua Usil
berdiri di tengah alun-alun menunggu kedatangan
sang naga. Kejap berikutnya, rombongan Yoga, Lili,
Pandu Tawa, Dewi Gita Dara, dan yang lainnya tiba di
tempat itu. Namun mereka segera merapat ke tepi ja-
lan yang mengelilingi alun-alun itu. Bocah Bodoh tam-
pak pula ada di balik sebuah pohon dalam keadaan
babak belur karena terinjak-injak manusia panik tadi.
Mereka memperhatikan Tua Usil dengan tenang, dan
seekor naga sedang bergerak mendekati pertengahan
alun-alun.
Naga yang mempunyai badan sebesar singa na-
mun panjang seukuran batang kelapa itu bergerak pe-
lan, bagai mengincar mangsanya yang tersedia di alun-
alun. Naga itu mempunyai sisik tebal dan tajam, kulit-
nya tampak keras, di tengah-tengah kepalanya yang
bermata besar itu terdapat tanduk tajam dan kokoh.
Naga yang punya enam kaki itu menyembur-
nyemburkan asap panas dari hidungnya.
Mereka yang memperhatikan Tua Usil diam saja
itu menjadi sangat tegang. Naga itu mengendap-endap
dengan langkahnya yang menggetarkan pepohonan di
sekitar tempat itu. Bocah Bodoh menggigil di balik po-
hon melihat binatang panjang sebesar itu. Ia tak sadar
jika celananya telah menjadi basah. Berulang kali ia
gagal memegang gagang pedangnya karena gerakan
tangannya sangat gemetar dan lemas.
Wooosss... Naga itu semburkan api dari dalam
mulutnya yang lebar, tapi jarak semburnya belum
mencapai tempat Tua Usil berdiri. Melihat keadaan se-
perti itu, Tua Usil segera cabut pisau Pusaka Hantu
Jagal. Seeet...! Pisau menyala merah. Sinar bulan
membuat pisau itu memancarkan sinar merah lebih
terang dan lebih lebar lagi. Hal itu membuat naga ter-
sebut cepat hentikan langkahnya. Ia mundur pelan-
pelan. Tua Usil tahu, naga itu takut melihat pisau pu-
saka tersebut, maka Tua Usil pun melangkah pelan-
pelan mendekatinya.
Kepala naga bergerak-gerak bagai menggeleng.
Semburan uap dari hidungnya telah berhenti. Kini na-
ga itu berhenti, seakan tak mengerti apa yang harus
dilakukannya. Makin lama Tua Usil makin lebih dekat.
Naga itu keluarkan suara aneh yang tak bisa ditiru-
kan, tapi badannya segera merendah dan menyentuh
tanah. Kepalanya pun terkulai di permukaan tanah.
Matanya masih memandangi pisau di tangan Tua Usil.
Semakin Tua Usil mendekati semakin suara naga
itu berubah pelan. Satu hal yang membuat Tua Usil
heran adalah air mata yang keluar dari mata besar itu.
Air tersebut adalah air mata naga yang sepertinya me-
nangis sedih melihat pisau tersebut.
Rupanya Naga Bara tahu pisau itu adalah pisau
Pusaka Hantu Jagal. Hantu Jagal adalah orang yang
dicintai oleh Ratu Gaib semasa hidupnya. Tapi cinta
mereka tidak sampai berlanjut ke jenjang perkawinan.
Kini, Naga Bara sepertinya mengenang sedih seorang
kekasih yang masih tersimpan di hatinya. Naga itu ba-
gaikan pasrah kepada pisau Pusaka Hantu Jagal.
Melihat keadaan naga seperti itu, Tua Usil yang
sudah berjarak tujuh langkah dari naga tersebut sege-
ra melompat dengan satu teriakan yang membuat jan-
tung para penontonnya kian menghentak-hentak,
"Heaaaahhh...!"
Wuuut...! Tua Usil bersalto satu kali di udara.
Buuhg...! Ia jatuh terduduk di punggung naga besar
itu, lalu dengan menggunakan tangan kiri, Tua Usil
menancapkan pisau tersebut di telinga kiri sang naga,
Jrrub...!
"Heaaaa,..!" sambil ia berteriak bagai orang kese-
tanan.
Naga itu meraung panjang dengan suara bercam-
pur serak. Tubuhnya bagai tak bisa bergerak lagi wa-
lau menggerinjal-gerinjal bagai ingin berontak. Pisau
itu tetap tertancap di telinga kirinya. Tua Usil menggi-
gil diserbu kemarahan yang amat hebat. Dan tiba-tiba
seluruh badan Naga Bara berubah menjadi merah me-
nyala. Warna merah itu segera mengalir dan kini ganti
tubuh Tua Usil yang menyala merah dan tubuh naga
padam seperti biasanya.
Terdengar suara Lili tersentak kaget, "Ilmunya
masuk! Ilmu naga itu masuk ke dalam diri Tua Usil...!"
Tapi tak ada yang menyahut karena semua ter-
pana dan terpaku di tempat menyaksikan perubahan
warna dan keberanian Tua Usil itu. Beberapa saat ke-
mudian, naga itu terkulai lemas, dan menghembuskan
napas terakhir. Sedangkan warna merah yang menyala
di tubuh Tua Usil itu pun padam.
Tua Usil turun dari punggung naga, pisau pun
dicabutnya. Pisau pusaka itu dimasukkan kembali ke
dalam sarungnya. Satu-persatu mereka mulai berani
mendekat. Namun sempat tersentak mundur karena
tubuh naga itu berubah menjadi asap. Makin lama
makin tebal, membubung tinggi, dan dalam kejap beri-
kutnya mereka sama-sama memandang ke arah rem-
bulan kuning. Ternyata rembulan kuning sudah terno-
da merah sebagian. Warna merah gelap itulah konon
darah Naga Bara yang memercik sampai ke permukaan
rembulan.
Lebih mengherankan lagi, ketika asap itu hilang,
tubuh naga berubah menjadi tubuh seorang wanita
cantik berpakaian serba kuning. Ia terkapar tak ber-
nyawa. Menurut Dewi Gita Dara, perempuan, itulah
yang berjuluk Ratu Gaib. Tubuh itu pun kembali bera-
sap dan akhirnya lenyap bagai ditelan bumi.
Rakyat Teluk Gangga bersorak semeriah-
meriahnya. Mereka mengelu-elukan Tua Usil, sebagai
pahlawan penyelamat rakyat Teluk Gangga. Mereka
menyerbu Tua Usil secara berbondong-bondong dan
melintasi bawah pohon. tempat Bocah Bodoh duduk
terkulai lemas menyaksikan peristiwa tadi. Akibatnya,
Bocah Bodoh dilanda puluhan kaki yang menginjak-
injaknya dengan di luar kesadaran mereka.
Bocah Bodoh tidak melihat Tua Usil diarak berkeliling Teluk Gangga dengan dielu-elukan, karena pada
waktu itu, Bocah Bodoh dalam keadaan pingsan kare-
na terinjak-injak rombongan manusia sampai tiga kali.
Bocah Bodoh siuman setelah ia berada di sebuah
kamar dalam istana. Sepi, tak ada siapa-siapa. Mereka
sedang merayakan pesta kemenangan dan kebebasan
pada malam itu juga. Tua Usil dinobatkan sebagai pah-
lawan dan pendekar Teluk Gangga. Bocah Bodoh se-
benarnya ingin keluar dari kamar, tapi karena kepa-
lanya masih pusing, ia akhirnya merebah saja dan la-
ma-lama tertidur sampai pagi.
Dewi Gita Dara berkata kepada Tua Usil secara
pribadi, "Sayembara itu lupa belum kututup. Jadi ma-
sih berlaku aturan mainnya. Apakah kau ingin men-
gambil hadiahnya?"
Tua Usil tersenyum, lalu berkata, "Berikan saja
untuk sahabat saya, si Bocah Bodoh itu!"
"Akan kutawarkan padanya," kata Dewi Gita Dara
yang tidak ingin ingkar dari janjinya dalam sayembara
itu.
"Bocah Bodoh, sayembara itu belum kututup dan
janjinya masih harus ditepati. Tapi Tua Usil tidak ber-
sedia mengambil hadiahnya. Dia menyerahkan ha-
diahnya kepadamu. Apakah kau mau mengambilnya?"
"Hadiah apa?"
"Mengawini ku."
"Hahhh...?!" Bocah Bodoh mendelik seketika
sampai matanya seolah-olah mau lompat keluar. Ia
gemetar, menggigil, dan pucat pasi wajahnya. Menelan
ludah pun tak sanggup. Jantungnya terasa berhenti.
"Apakah kau bersedia?'" ulang Dewi Gita Dara.
Bocah Bodoh geleng-geleng kepala dengan me-
rinding. Tak sanggup berkata apa pun. Lalu ia berge-
gas lari temui Tua Usil dan berkata,
"Mari kita pulang! Ternyata aku tak mampu me-
nerima sesuatu yang melebihi takaran diriku. Mari kita
pulang, Tua Usil...!"
Tua Usil hanya longok-longok kebingungan, tak
mengerti maksud sahabatnya itu. Ia hanya ikut saja
ketika ditarik tangannya oleh Bocah Bodoh.
SELESAI
Segera terbit!!!
SETAN DARI BIARA
0 comments:
Posting Komentar