RATU KEMBANG MAYAT
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode:
Ratu Kembang Mayat 128 hal.
JODOH RAJAWALI
Ratu Kembang Mayat
1
GADIS cantik berparas lonjong berjalan mera-
patkan badan di sebelah kiri pendekar tampan; Yoga
Prawira yang mengenakan baju selempang dari kulit
beruang coklat yang membungkus baju putih lengan
panjang di dalamnya. Bukan hanya berdebar mesra
saja hati gadis itu, tapi juga merasa bangga dapat seir-
ing melangkah bersama seorang pendekar yang na-
manya cukup dikenal di kalangan tokoh-tokoh rimba
persilatan yaitu: Pendekar Rajawali Merah.
Gadis cantik berambut panjang yang disanggul
kecil di tengah dengan sisanya meriap ke samping, me-
rasa damai hatinya manakala ia dibiarkan menggeng-
gam lengan Pendekar Rajawali Merah yang kekar, ga-
gah. dan tampak perkasa itu. Gadis itu membiarkan
jubah ungu berlengan longgar yang menutup pakaian
hijaunya berkibar disapu angin. Seakan sang angin
sendiri merasa ikut gembira melihat langkahnya yang
santai dengan diselingi obrolan-obrolan mesra.
Sementara itu, di belakang mereka berdua ber-
jalan seorang wanita cantik yang usianya lebih tua dari
yang menggandeng Yoga, dan wanita cantik itu me-
nyimpan rasa iri yang tak mungkin dilampiaskan. Si-
kapnya yang penuh waspada memandang kanan-kiri
menandakan sikap seorang pengawal. Wanita cantik
berwajah mungil dengan rambut berponi itu tak lain
adalah Lembayung Senja, yang bertugas menjaga kese-
lamatan ketua perguruannya, yaitu Kembang Mayat.
Hati Lembayung Senja sendiri sebenarnya Ikut
merasakan gembira, karena Kembang Mayat berhasil
menyiasati Yoga, si Pendekar Rajawali Merah itu, den-
gan mengatakan bahwa di tempatnya banyak terdapat
bunga Teratai Hitam. Yoga terkecoh sebenarnya, dan ia
bernafsu sekali untuk ikut ke Pesanggrahan Belalang
Liar demi mendapatkan Teratai Hitam. Kalau bukan
karena merasa iba melihat nasib Mahligai yang terkena
Racun Edan dan harus disembuhkan dengan bunga
Teratai Hitam, mungkin Yoga tak akan ikut ke tempat
tinggal Kembang Mayat (Baca Jodoh Rajawali dalam
kisah: "Misteri Topeng Merah").
Sejauh ini, Pendekar Rajawali Merah memang
belum tahu bahwa dirinya ditipu untuk dipancing su-
paya ikut bersama Kembang Mayat, sebab hati Kem-
bang Mayat semakin lama semakin terkesan oleh ke-
lembutan Yoga, juga terkesan oleh ketampanan dan
senyumnya yang memikat. Namun sebagai Ketua Per-
guruan Belalang Liar, tentu saja Kembang Mayat tidak
menampakkan perasaan hatinya.
Ketika ia mengajaknya bermalam ke rumah
seorang sahabat, Kembang Mayat pun tidak kelihatan
mengumbar cintanya. Di rumah sahabatnya itu, ia ju-
stru banyak bicara dengan Lembayung Senja di dalam
sebuah kamar. Sementara itu, Yoga ada di kamar lain
dan tak tahu apa yang dibicarakan mereka.
"Padahal kalau kita mau bergerak cepat, kita
sudah sampai ke pesanggrahan sebelum matahari
tenggelam," kata Lembayung Senja pada malam itu.
Kembang Mayat tertawa kecil dan berkata,
"Sengaja ku perpanjang perjalanan, supaya aku
punya banyak kesempatan menikmati alam bebas ber-
sama Pendekar Rajawali Merah. Apa katamu itu me-
mang benar, Lembayung Senja. Dia memang lebih
layak mendapat gelar atau julukan sebagai pendekar
tampan pemikat hati wanita! Karena saat ini begitu ce-
pat aku dapat merasakan daya pikatnya yang luar bi-
asa. Padahal selama ini aku tidak pernah merasakan
terpikat sebegitu hebat terhadap seorang pemuda. Tapi
terhadap pendekar tampan itu, rasa terkesan ku su-
dah berubah menjadi terpikat, dan akhirnya menjadi
ingin memiliki dia! Apakah hatimu tidak begitu, Lem-
bayung Senja?"
“Tidak, Ketua!" jawab Lembayung Senja.
"Mengapa kau tidak terpikat olehnya?"
"Saya takut jatuh cinta, Ketua!"
"Apa yang kau takuti? Jatuh cinta itu indah!"
"Saya takut tidak bisa lepas dari orang yang
saya cintai. Jadi saya menutup diri untuk tidak jatuh
cinta pada siapa pun!"
"Aha, aneh juga kau rupanya!" Kembang Mayat
tertawa pelan.
Padahal di dalam hati Lembayung Senja tidak
seperti apa yang diucapkannya. Ia justru lebih dulu
terpikat ketimbang sang Ketua. Namun karena pende-
kar tampan itu diincar oleh sang Ketua, ia tidak berani
bersaing, dan secara tidak langsung mengundurkan
diri dari hasratnya. Ia merasa cukup menyimpan pera-
saan hatinya jauh di dasar sanubarinya dan tak berani
dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu-
lah, Lembayung Senja bisa merasakan kebahagiaan
yang tumbuh di hati sang Ketua, manakala ia berjalan
dl belakang sang Ketua yang menggenggam lengan
pendekar tampan itu.
Langkah mereka terhenti ketika dari tikungan
jalan muncul seorang berpakaian hitam, berkumis,
dan berkepala mendongak. Orang itu adalah Jalak Hu-
tan, yang pernah mendapat tendangan jurus 'Rajawali
Paruh Pendek' dari Yoga sehingga kepalanya tetap
mendongak tak bisa kembali seperti biasanya.
Melihat ada orang berdiri menghadang dalam
keadaan menyamping, dengan mata memandang miring, Kembang Mayat segera memberi isyarat kepada
Lembayung Senja untuk maju ke depan. Lembayung
Senja cepat melangkah dan mendekati Jalak Hutan
dengan tangan siap mengambil cambuknya dari ping-
gang. Tetapi terdengar suara Yoga berseru,
"Biar aku yang temui dia, Lembayung Senja!"
Lembayung Senja memandang Kembang Mayat.
Isyarat kecil diberikan oleh Kembang Mayat sehingga
Lembayung Senja mundur dan membiarkan Yoga
mendekati Jalak Hutan.. Sekalipun begitu, Kembang
Mayat tetap menyertainya, Lembayung Senja tetap
menjaganya.
"Agaknya kau sengaja menemuiku, Jalak Hu-
tan!" kata Yoga.
"Benar! Aku memang sengaja menemuimu, wa-
lau sulit bagiku mencarimu, Pendekar Rajawali Me-
rah!" jawab Jalak Hutan tidak sekasar sebelumnya,
sehingga Yoga sendiri bersikap tenang.
"Apakah kau masih ingin melanjutkan perta-
rungan kita kemarin?"
"Tidak! Ada beberapa hal yang ingin kukatakan
padamu secara empat mata, Yoga!"
Kembang Mayat berkerut dahi, merasa tak su-
ka mendengar ucapan tersebut. Seakan ia ingin dis-
ingkirkan dari pembicaraan mereka berdua. Maka
Kembang Mayat pun segera berkata,
"Bicaralah di sini, tak perlu harus empat mata!"
"Ini soal pribadi!" kata Jalak Hutan kalem.
"Kau juga telah mengganggu perjalanan priba-
diku!" balas Kembang Mayat dengan suara sedikit
tinggi. Yoga mulai menangkap adanya gelagat tak baik
dalam perasaan Kembang Mayat yang pasti tersing-
gung dengan kata-kata Jalak Hutan tadi. Maka, Yoga
pun segera berkata,
"Beri aku kesempatan bicara dengannya, Kem-
bang Mayat. Antara aku dan dia pernah bertarung ga-
ra-gara pedang pusaka milik guruku. Mungkin dia in-
gin mengatakan sesuatu dan malu jika didengar ka-
mu."
Dengan napas terhempas menahan dongkol
dan wajah sedikit murung, akhirnya Kembang Mayat
mengizinkan Yoga bicara dengan Jalak Hutan berdua.
Mereka segera melangkah ke bawah sebuah pohon, se-
dikit berlindung di belakang pohon itu.
"Kita lupakan dulu pertikaian antara kita ber-
dua," kata Jalak Hutan, dan Yoga menyahut,
"Kalau itu maumu, aku tak pernah keberatan!
Lalu apa maksudmu bicara empat mata denganku, Ja-
lak Hutan?"
Sambil tetap mendongakkan kepala, Jalak Hu-
tan menjawab, "Aku mempunyai seorang keponakan
yang cantik...."
"Kau mau menukar keponakanmu itu dengan
pedang pusakaku ini?" potong Yoga kaget.
"Dengar dulu kata-kataku, Yo!" sergah Jalak
Hutan sedikit keras. Hal itu membuat Lembayung Sen-
ja mencabut cambuknya dan melangkah mendekati
Yoga. Tangan Yoga memberi isyarat bahwa di situ tidak
terjadi hal yang membahayakan. Maka Lembayung
Senja pun kembali berdiri di samping Kembang Mayat
dengan cambuk tetap di tangan, sewaktu-waktu siap
dilecutkan.
Melihat sikap jaga-jaganya Lembayung Senja,
Jalak Hutan segera bertanya kepada Yoga,
"Apakah kau punya hubungan intim dengan
Kembang Mayat dan orang Perguruan Belalang Liar
itu?"
'Tidak se intim dugaanmu! Aku hanya ada urusan sedikit dengan Kembang Mayat untuk menolong
seseorang! Lanjutkan saja kata-katamu!"
"Begini, Yo..., aku mempunyai seorang kepona-
kan yang sangat ku sayangi! Dia mengenal kamu, dia
pernah bertemu dengan kamu, dan dia menyuruhku
mencari kamu untuk menyampaikan kabar darinya,
bahwa dia rindu sama kamu! Dia mengharapkan keda-
tanganmu, Yo!"
"Siapa nama keponakanmu itu?"
"Mutiara Naga!" "Oooh... dia keponakanmu?!"
"Benar, Yo!"
Pendekar Rajawali Merah manggut-manggut
sambil tersenyum. Terbayang wajah Mutiara Naga yang
berhidung mancung, wajah bulat telur, mata bulat in-
dah, dan rambutnya yang panjang diikat jadi satu
dengan tali pita merah. Sisa pitanya cukup panjang
hingga melambai-lambai bagaikan ekor burung cende-
rawasih.
"Datanglah padanya, Yo. Dia sangat merindu-
kan kamu. Sebenarnya aku enggan menemuimu den-
gan sikap seperti saat ini, tapi karena dia merengek te-
rus padaku, dan aku tak bisa bilang apa-apa lagi, ma-
ka kucari juga kau, Yo! Dan... dan... yah, mau tidak
mau kita berhenti dululah dari pertikaian kita!"
"Heh... lucu sekali!" kata Yoga sambil tertawa
pendek dan pelan.
"Dia mencintaimu, Yo! Dia tekadkan hati untuk
kawin denganmu! Jadi, karena itulah kuharap kau
mau datang padanya. Yo!"
Tiba-tiba suara Kembang Mayat menyahut dari
jarak empat tombak.
'Tidak bisa! Yoga punya urusan sendiri dengan-
ku dan harus diselesaikan sekarang juga!"
Yoga dan Jalak Hutan tertegun memandang ke
arah Kembang Mayat. Rupanya Kembang Mayat guna-
kan ilmu penyadap suara, sehingga dari jarak sejauh
itu pun ia masih bisa dengarkan suara bisik-bisik per-
cakapan kedua lelaki itu.
"Yo, kita lanjutkan perjalanan kita dan jangan
hiraukan omongan orang mabuk itu!" kata Kembang
Mayat yang telah menyusul sambil menarik tangan
Pendekar Rajawali Merah.
Jalak Hutan segera berseru,
"Hei, jangan campuri dulu urusan pribadiku,
Kembang Mayat!"
"Kau yang merampas urusan pribadi orang
dengan mencegat seenaknya saja!" bentak Kembang
Mayat.
Yoga menengahi, "Kembang Mayat, sebaiknya
ku beri keputusan dulu kepada Jalak Hutan bahwa...."
"Kalau kau masih mengurus dia, tidak akan ku
izinkan kau memetik bunga itu dari tempatku!" ancam
Kembang Mayat dengan ketus.
Pendekar Rajawali Merah menjadi bimbang. ia
bu-tuh sekali bunga Teratai Hitam itu agar Mahligai
lekas sembuh, namun ia perlu memberi jawaban past!
kepada Jalak Hutan bertalian dengan permohonan
Mutiara Naga itu. Tetapi di lain sisi ia diancam oleh
Kembang Mayat dan tak enak jika sampai mengecewa-
kan sahabat barunya itu.
"Kembang Mayat!" seru Jalak Hutan setelah
mereka melangkah makin jauh, "Jangan paksa aku
melepaskan amarahku kepadamu! Biarkan Yoga ikut
denganku, Kembang Mayat!"
"Lembayung Senja, urusi dia!" perintah Kem-
bang Mayat kepada Lembayung Senja dan wanita can-
tik itu bergegas membalikkan langkah sambil menca-
but cambuknya.
Yoga mulai cemas dan berusaha menahan apa
yang ingin dilakukan Lembayung Senja.
"Lembayung Senja, tahan dulu...!"
Tapi terlambat, Lembayung Senja cepat berge-
rak dan cambuknya segera melecut ke arah Jalak Hu-
tan. Taaar...! Jalak Hutan melompat ke kiri, ternyata
gerakan cambuk itu seperti kibasan ekor buaya, ia
bergerak ke kanan namun sesungguhnya ujung cam-
buk mengarah ke kiri. Maka tak ayal lagi, Jalak Hutan
pun terkena lecutan cambuk pada pahanya. Craas...!
"Auh...!" Jalak Hutan memekik kesakitan.
Ujung cambuk itu setajam mata pedang. Paha Jalak
Hutan robek, lukanya menguak dan darahnya menga-
lir deras. Darah itu lama-lama menjadi kehitam-
hitaman, itu pertanda racun dari ujung cambuk telah
membaur dengan darah di tubuh Jalak Hutan.
"Jangan serang dia!" sentak Yoga sambil me-
nyambar cambuk dari tangan Lembayung Senja. Tapi
Lembayung Senja mempertahankan dan berkata kepa-
da Yoga,
"Ini perintah dari Ketua!"
"Penyelesaiannya tidak harus dengan cara ke-
ras begini!"
Tiba-tiba Jalak Hutan melepaskan pukulan
bercahaya merah melesat menuju Lembayung Senja.
Melihat kilatan cahaya merah itu, Yoga segera menyen-
takkan tangannya dan melepaskan cahaya merah pula
ke arah cahayanya Jalak Hutan.
Blaaar...! Cahaya itu pecah di pertengahan dan
tak jadi mengenai tubuh Lembayung Senja.
Tetapi akibat ledakan itu, Lembayung Senja
terpental keras, hanya untungnya segera dipeluk oleh
Yoga untuk diselamatkan dari hempasan kuat, se-
dangkan Jalak Hutan terpental dan berguling-guling
mendekati pohon di mana tadi ia berdiri.
Melihat Lembayung Senja dipeluk oleh Yoga,
Kembang Mayat menjadi semakin jengkel, karenanya
ia segera berseru,
“Yo, mau ikut aku atau tidak! Kalau tidak, ku
tinggalkan kau di sini!" Kembang Mayat mempercepat
langkah dan melesat pergi. Terpaksa Yoga segera men-
gejarnya karena takut kehilangan arah. Lembayung
Senja masih tinggal di tempat dan kembali mengham-
piri Jalak Hutan.
Racun yang meresap dalam darah Jalak Hutan
membuat tubuhnya menjadi lemas. Akibatnya, ketika
Lembayung Senja menghajarnya, Jalak Hutan tidak
bisa membuat perlawanan. Apalagi keadaan kepalanya
masih kaku mendongak begitu, maka dengan seenak-
nya Lembayung Senja menghajar memakai cambuk-
nya. Akibatnya Jalak Hutan menderita luka-luka cu-
kup banyak dan ia segera melarikan diri.
Untung Lembayung Senja tak sampai membu-
nuhnya. la merasa puas melihat lawannya menderita
banyak luka cambukan, berarti lawan dalam keadaan
semakin lemas tubuhnya termakan racun dari ujung
cambuk. Kemudian ia bergegas pergi menyusul Kem-
bang Mayat dan Pendekar Rajawali Merah.
Jalak Hutan berusaha mencari tempat yang le-
bih aman lagi. Sasaran arah adalah pondok Tabib Pe-
rawan. Setidaknya di sana ia bukan saja mendapat
tempat aman, melainkan juga bisa mendapat obat un-
tuk melawan racun dari ujung cambuk tadi. Tetapi
agaknya langkahnya sudah sangat lemah, tenaganya
bagai hilang. Jalak Hutan hanya merapatkan badan di
bawah pohon besar dan terengah-engah di sana mena-
han luka. Ia berusaha menyembuhkan lukanya sendiri
dalam keadaan susah payah, karena kepalanya tetap
mendongak dan tak bisa dipakai untuk melihat luka-
lukanya.
Beberapa saat kemudian, ketika hari mulai me-
rayap siang dan matahari pun mendekati titik perten-
gahannya, Jalak Hutan melihat sekelebatan warna me-
rah jambu. Warna itu adalah pakaian seseorang yang
berkelebat di balik semak antara delapan tombak da-
rinya. Jalak Hutan sengaja memekik untuk memanc-
ing perhatian orang tersebut, dan ternyata usahanya
itu berhasil. Orang tersebut berpaling ke arahnya dan
segera mendekatinya. Ternyata orang itu adalah seo-
rang gadis cantik yang mengenakan pakaian merah
jambu dan menyandang pedang bergagang dua kepala
burung rajawali yang bertolak belakang berwarna pu-
tih keperakan di punggungnya. Jalak Hutan terkejut
sesaat melihat kehadiran gadis cantik itu.
"Pasti itu Pedang Sukma Halilintar, milik Dewi
Langit Perak!" pikir Jalak Hutan dalam keterbengon-
gannya. "Lalu siapa gadis ini? Muridnya Dewi Langit
Perak?! Jadi..., ada dua pendekar rajawali sekarang
ini? Benarkah begitu?!"
Mata gadis cantik yang ternyata bernama Lili
itu memandangi Jalak Hutan dengan dahi berkerut
Semakin dekat semakin berkerut dahinya itu. ia pun
segera bertanya,
"Siapa yang melukaimu sebanyak ini, Pak
Tua?"
Sambil mendongak ke atas karena memang be-
gitu keadaan kepalanya, Jalak Hutan pun menjawab,
"Seseorang dari Perguruan Belalang Liar! Kalau
kau bisa tolong aku, tolonglah. Kalau tak bisa, tinggal-
kan saja aku!"
Karena kepala Jalak Hutan memandang ke
atas, maka Lili yang berjuluk Pendekar Rajawali Putih
pun ikut memandangi ke atas pohon. Lili menyangka
lawan Pak Tua itu ada di atas pohon. Ia hampir saja
melepaskan pukulan tenaga dalamnya untuk memanc-
ing agar orang yang di atas pohon itu turun mene-
muinya. Tetapi Jalak Hutan mencegahnya,
"Mau apa kau?!"
"Melepaskan pukulan agar lawanmu turun dari
atas pohon!"
"Lawanku sudah lari!"
"Lalu, kenapa kau mendongak terus begitu?"
"Memang beginilah nasib kepalaku, tak bisa di-
kembalikan seperti semula sejak aku berselisih dengan
Pendekar Rajawali Merah!"
"Hah...?! Kau bertarung dengannya?!" Lili terke-
jut.
"Ya, tapi itu beberapa waktu yang lalu! Seka-
rang aku sudah berdamai dengannya, tapi dia lupa
mengembalikan kepalaku ke tempat semula! Bahkan
tadi pun dia pergi begitu saja tanpa sempat memulih-
kan keadaanku ini!"
Lili membatin dalam hatinya, "Pasti orang ini
kena tendangan 'Rajawali Paruh Pendek'! Hmm...! Me-
mang suka usil juga Yoga itu!"
Pendekar Rajawali Putih yang matanya sudah
tidak terkena pasir lagi itu, segera bertanya kepada Ja-
lak Hutan,
"Jadi kau tadi juga bertemu dengan Yoga?"
"Ya! Kulihat dia berjalan dengan dua perem-
puan cantik."
Lili tersentak dan jantungnya mulai bergemu-
ruh. Hatinya pun membatin, "Hmm.... Rupanya dia
pergi dengan dua perempuan cantik. Awas kalau ku-
temukan nanti!"
"Sekarang ke mana dia perginya? Kau bisa tunjukkan padaku di mana dia berada?" tanyanya kepada
Jalak Hutan.
"Bisa!" jawab Jalak Hutan. 'Tapi dengan syarat
kau mau pulihkan kembali kepalaku ini dan obati lu-
ka-lukaku."
"Apakah yang melukaimu ini juga Yoga?"
"Bukan! Sudah kukatakan tadi, orang Pergu-
ruan Belalang Liar yang melukai ku, Nona Manis!"
Lili memeriksa keadaan luka Jalak Hutan, lalu
ia berkata, "Lukamu ini beracun!"
"Benar! Dan apakah kau bisa menawarkan ra-
cunnya?"
"Baiklah! Akan ku coba! Tapi kau harus tun-
jukkan dl mana Yoga berada, kalau tidak... kau akan
ku bantai lebih kejam dari ini!"
"Baik. Aku berjanji!"
Karena Lili tahu kunci melepaskan jurus
'Rajawali Paruh Pendek', maka ia pun segera menghan-
tam bagian di bawah tulang dekat leher depan. Dengan
kedua tangan menguncup, Lili sentakkan tangan itu ke
arah tempat tersebut. Deeb, deeb...! Dan kepala Jalak
Hutan pun seketika terkulai ke depan. Wuuut...! Lega
rasanya. Kemudian Lili juga salurkan hawa murninya
ke tubuh Jalak Hutan, sehingga darah hitam semakin
banyak yang keluar dari setiap lukanya. Makin lama
darah itu semakin bening, menjadi merah seperti da-
rah pada umumnya. Itu pertanda racun di dalam da-
rah tersebut telah keluar habis.
"Sekarang giliranmu menolongku, Pak Tua!
Tunjukkan di mana Yoga pergi dan ke mana arah-
nya?!" kata Lili menagih janji.
"Dia pergi ke Perguruan Belalang Liar. Dia
agaknya terpikat kepada Ketua Perguruan Belalang
Liar itu yang bernama Kembang Mayat!"
Terpikat?!" Lili berdebar-debar.
'Yang ku khawatirkan, dia terkena Racun Bun-
ga Asmara! Itu berbahaya! Sebab jika ia terkena Racun
Bunga Asmara, ia tak akan kenal siapa-siapa kecuali
Kembang Mayat saja!"
"Celaka...!" Lili menjadi tegang dan menahan
amarah.
*
* *
2
BEBERAPA saat lagi mereka akan tiba di Pe-
sanggrahan Belalang Liar. Sepanjang perjalanan Yoga
sibuk membujuk Kembang Mayat yang cemberut kare-
na merasa tak suka dengan pembicaraan yang dilaku-
kan Yoga terhadap Jalak Hutan. Beberapa kali Yoga
terpaksa harus meyakinkan Kembang Mayat, "Aku tak
punya hubungan apa-apa dengan Mutiara Naga, selain
hanya sahabat biasa!"
"Aku mendengar sendiri dari ucapan Jalak Hu-
tan kalau gadis itu mencintaimu dan mengharapkan
kau datang padanya!"
'Tapi aku tidak menyuruhnya mencintai ku dan
aku belum datang kepadanya! Kenapa kau harus tak
suka dengan percakapan itu?!"
"Kurasa Mutiara Naga harus dibunuh!" "Jangan
begitu, Kembang Mayat! Dia manusia, sama halnya
dengan kamu, kalau dia tertarik padaku itu wajar, ka-
rena aku lelaki! Kau pun wajar kalau tertarik padaku,
Lembayung Senja juga wajar atau perempuan mana
pun wajar tertarik padaku, karena aku lawan jenis mereka! Mengapa kau ingin mempersalahkan Mutiara Na-
ga?"
"Aku tidak menyalahkan dia, aku hanya ingin
melenyapkan dia, karena dia akan menjadi penghalang
ku nantinya!" kata Kembang Mayat dengan sikap te-
gas.
"Penghalang dalam hal apa?"
"Dalam hal... dalam hal memiliki kamu!"
Pendekar Rajawali Merah hentikan langkah ka-
rena terkejut mendengar pengakuan yang terang-
terangan itu. Kembang Mayat menatapnya dalam, tak
peduli Lembayung Senja yang ada di sampingnya sete-
lah menyusul tadi, memperhatikan ke arah mereka
berdua.
"Aku memang ingin memiliki kamu, karena aku
tertarik padamu!"
Yoga tertawa pendek, "Ini hal yang lucu, Kem-
bang Mayat!"
"Di mana letak lucunya?"
"Kita baru saja saling bertemu kau sudah bisa
jauh hati padaku! Bukankah itu hal yang lucu?"
"Itu hal yang aneh!" sahut Kembang Mayat.
"Dan seumur hidupku belum pernah aku merasa sea-
neh ini, Yo!"
"Aku... aku...," Yoga cengar-cengir kebingun-
gan. "Aku jadi tak tahu harus bersikap apa dan bagai-
mana terhadapmu!"
Kembang Mayat semakin mendekatkan wajah.
Lembayung Senja risi dan segera palingkan wajahnya
ke arah lain. Lalu terdengar olehnya sang Ketua ber-
tanya kepada Yoga dengan suara pelan dan lembut,
Tidakkah kau ingin memiliki diriku juga, Yo?!"
Senyum Pendekar Rajawali Merah yang mem-
bual hati itu mengembang, matanya memandang ke
atas berkeliling, sebagai sikap memandang yang salah
tingkah. Belum sempat Yoga melontarkan jawaban, ti-
ba-tiba terdengar suara Lembayung Senja berseru,
"Ketua...! Kelihatannya orang yang menuju ke-
mari itu Rahsumi!"
Kembang Mayat dan Yoga sama-sama meman-
dang ke arah yang ditunjuk Lembayung Senja. Kem-
bang Mayat semakin terperanjat setelah tahu orang
yang memakai pakaian kuning dan sedang berlari-lari
itu memang anak buahnya yang bernama Rahsumi.
Kembang Mayat yang tegang segera menyambut keda-
tangan Rahsumi dengan berlari menjemputnya. Rah-
sumi pun roboh di atas rerumputan dalam keadaan
tubuhnya terluka. Banyak luka bakar maupun luka
sayatan pedang pada tubuh Rahsumi. Hal itu mem-
buat wajah Kembang Mayat yang jelita menjadi merah
karena menahan murkanya sendiri
"Apa yang terjadi, Rahsumi?! Siapa yang men-
ganiaya kamu seperti ini?! Siapa...?!" Kembang Mayat
membentak karena tak sabar.
"Perguruan... diserang orang... dibakar!" ucap
Rahsumi dengan suara lemah. Kembang Mayat dan
Lembayung Senja saling bertatap pandang dengan ma-
ta terbelalak lebar.
Lembayung Senja segera bertanya kepada Rah-
sumi, "Ceritakan dengan jelas, siapa pelakunya, Rah-
sumi?!"
"Mereka... orang-orang kita... tewas semua...
hanya sebagian yang masih hidup, dan... dan aku lari
mencari Ketua untuk... untuk melaporkan kerusuhan
itu!"
"Siapa pelakunya...!" sentak Kembang Mayat.
"Manusia... manusia bertopeng merah...!"
"Hahh...?!" Kembang Mayat dan Lembayung
Senja kembali tersentak kaget mendengar jawaban itu.
Yoga pun menjadi terperanjat mendengarnya, wajah-
nya berubah tegang. Ke arah utara ia memandang,
samar-samar terlihat asap mengepul di sela relung ta-
naman di tempat jauh sana.
"Topeng Merah...?! Mengapa ia lakukan hal
itu?!" pikir Yoga.
Ia tak sempat berkecamuk dalam hati terlalu
panjang, karena Kembang Mayat segera berkata kepa-
da Lembayung Senja,
"Pergi dan hadapi dia secepatnya!"
"Baik, Ketua!" Lembayung Senja pun melesat
pergi lebih dulu. Kembang Mayat bertanya kepada
Rahsumi yang semakin tipis nafasnya,
"Sekarang lari ke mana si Topeng Merah itu?"
"Mas... masih... masih di sana, Ketua...!"
"Berapa orang yang menyerang perguruan ki-
ta?"
"Hanya... hanya dia... Topeng Merah sendiri...."
"Biadab!" geram Kembang Mayat dengan napas
mulai memburu cepat karena dadanya bagai ingin me-
ledak menyimpan murka.
"Tolong dia!" katanya kemudian kepada Yoga,
lalu tanpa pamit lagi Kembang Mayat segera mening-
galkan tempat. Yoga tahu maksudnya, bahwa ia dis-
uruh menolong mengobati Rahsumi. Tetapi apa yang
harus ditolong jika begitu Kembang Mayat pergi, Rah-
sumi menghembuskan napas terakhir. Ia mati dengan
terlalu lemas. Yoga pun segera menyusul Kembang
Mayat untuk memberi bantuan. Setidaknya menahan
tindakan Topeng Merah yang sampai saat itu belum
diketahui siapa orangnya.
Namun baru saja Pendekar Rajawali Merah me-
lesat antara lima belas tombak dari mayat Rahsumi
tergeletak, tiba-tiba sebaris cahaya biru melintang di
depan langkahnya dalam jarak lima langkah. Cahaya
biru itu lebarnya tiga jengkal, membentang lurus dari
pohon kiri ke pohon yang kanan. Tingginya sekitar li-
ma jengkal dari permukaan tanah.
Yoga hentikan langkah melihat sinar biru
membentang dari pohon ke pohon. Ia hanya menggu-
mam dengan tubuh melemas menahan jengkel.
"Pagar Kematian! Ini pasti perbuatan Lili...!"
Pendekar Rajawali Merah yakin betul, pasti ada
Pendekar Rajawali Putih di sekitar tempat itu. Karena
ia tahu, sinar biru yang membentang itu adalah 'Pagar
Kematian' yang biasanya dipakai sebagai jebakan maut
bagi pengejaran lawan yang gegabah. Siapa pun me-
lompati, atau meloloskan diri dari bawah sinar itu,
pasti akan mati terbakar. Apalagi menerobosnya, jelas
akan hancur tubuh orang tersebut.
Yoga pun bisa memasang 'Pagar Kematian', ka-
rena ilmu itu ia peroleh juga dari mendiang gurunya.
Karena itu, dengan menarik napas panjang dan mena-
hannya dl dada, Yoga menggerakkan tangannya dari
kanan ke kiri dalam satu kelebatan. Zruub...! Sinar itu
padam dan hilang. Kemudian ia berseru,
"Guru...! Keluarlah!"
Dari balik sebuah pohon muncul seraut wajah
cantik yang melebihi wajah bidadari. Wajah cantik itu
cemberut dan memandang sinis kepada Yoga. Wajah
cantik itu adalah wajah Lili; guru angkatnya Yoga.
Lili melangkah dengan tenang namun penuh
kedongkolan dl hatinya. la mendekati Yoga dan me-
mandang tak berkedip, menampakkan kemarahannya
Pendekar Rajawali Merah hanya tersenyum-senyum
dan berkata,
"Mengapa aku tak boleh lewat?"
"Bukan urusanmu!"
"Aku ingin menolong Kembang Mayat, karena
Topeng Merah mengamuk di sana dan membakar ha-
bis perguruan yang diketuai oleh Kembang Mayat itu,
Guru!"
"Gurumu adalah aku, bukan dia!" kata Lili den-
gan tegas. "Kau harus patuh padaku, bukan kepada
dia!"
Senyum Yoga semakin mengembang dan mem-
buat gemas hati Lili. Yoga berkata lagi,
"Aku hanya ingin menolongnya, Guru!"
"Setiap perempuan cantik apakah harus kau to-
long?"
"Kau cemburu kepadanya?" ucap Yoga pelan
dengan mata memandang lembut kepada Lili.
"Jangan lontarkan lagi pertanyaan seperti itu
kalau tak ingin kutampar mulutmu!"
"Lalu kenapa kau menghalangiku ke sana? Apa
alasannya?"
"Kau terlalu jauh melibatkan diri dalam urusan
perguruan lain! Kau bukan dari perguruan itu. Yoga!"
"Apakah dalam menolong kita harus meman-
dang perguruan?"
"Aku tidak berkata begitu!" jawab Lili dengan
tegas. “Tapi aku tidak suka kau selalu ikut campur
urusan pribadi orang, sementara urusan pribadimu
sendiri belum bisa kau selesaikan!"
"Bukankah Guru mengajarkan juga agar kita
lebih mementingkan pertolongan untuk orang lain da-
ripada mementingkan diri sendiri?!"
"Artinya, kita menolong sebatas kemampuan ki-
ta dan tidak perlu sampai berlebih-lebihan!"
"Pertolonganku kepada orang-orang Belalang
Liar itu tidak berlebihan!"
"Dengan menyelam ke dalam jiwa dan pribadi
ketuanya yang genit itu, kau sudah berlebihan membe-
ri pertolongan, Yo!"
"Kurasa tidak! Kurasa tidak ada salahnya kalau
aku datang ke sana untuk melerai pertarungan antara
Topeng Merah dan Kembang Mayat! Bukankah tugas
kita juga mencegah tindakan yang sewenang-wenang
dan tidak manusiawi?!"
'Topeng Merah sudah kelewat batas! Dia telah
menyerangku dan membela Mata Neraka saat aku ber-
tarung dengan adik si Malaikat Gelang Emas itu!"
Pendekar Rajawali Merah terperanjat menden-
garnya. Matanya menatap dengan tajam di iringi keru-
tan dahi. Ia melangkah dua tindak agar lebih dekat lagi
dengan Lili, kemudian segera berkata pelan,
"Kau telah melawan Mata Neraka?"
"Ya!" Lili buang muka. "Kudengar percakapan-
nya dengan Panglima Makar, bahwa kuburan kakek-
nya tidak boleh dilangkahi siapa pun, supaya kelak da-
lam masa tiga tahun kemudian dapat bangkit kemba-
li!"
"Lalu apa yang kau lakukan?"
"Aku melompati makam Itu."
"Berhasil?"
'Tidak! Dia menggagalkan gerakanku. Kami pun
segera membuka pertarungan! Sebenarnya Mata Nera-
ka bisa kubunuh, tapi Topeng Merah muncul dan
membantunya! Sekarang aku melarikan diri dari me-
reka, dan agaknya Mata Neraka masih mengejarku!"
"Mengapa kau harus lari?! Mengapa Topeng
Merah tidak kau bunuh sekalian?! Barangkali dia me-
mang sekutunya Malaikat Gelang Emas!"
"Mataku terkena semburan pasir dari batu yang
di ledakkannya. Aku terpaksa harus mencuci mataku
lebih dulu sebelum meneruskan pertarungan!"
Pendekar Rajawali Merah menghembuskan na-
pas panjang, pandangannya terlempar jauh ke arah
kepulan asap di seberang sana. Tapi pikirannya mene-
rawang pada wajah si Mata Neraka. Di dalam hati, Yo-
ga menyimpan kemarahan mendengar Lili dikejar-kejar
oleh si Mata Neraka. Tapi kemarahan itu dipendamnya
dengan rapi dan ia tetap bersikap tenang. Bahkan se-
karang ia bertanya dengan suara pelan,
"Lalu untuk apa kau berada di sini sekarang?"
"Mata Neraka mencarimu juga!"
"Ya, aku tahu! Tapi dari siapa kau tahu aku
menuju kemari?"
"Pak Tua yang pernah kau tendang dengan ju-
rus 'Rajawali Paruh Pendek' itu yang menunjukkan
arah kemari! Dia yang menceritakan bahwa kau dalam
pengaruh kecantikan Kembang Mayat! Kau dibawanya
pulang oleh perempuan yang layaknya menjadi seo-
rang gundik! Bukan seorang istri yang baik!" ketus Lili
dengan penuh kebencian. Wajahnya semakin cembe-
rut.
"Kita belum tahu persis siapa Kembang Mayat,"
kata Yoga, "Jadi tak pantas memberikan penilaian jelek
terhadapnya!"
"Pak Tua yang terluka itu menyebutkan adanya
Racun Bunga Asmara yang dimiliki oleh Kembang
Mayat!"
"Apa kehebatan Racun Bunga Asmara itu?"
"Jika kau terkena racun itu, kau akan lupa se-
gala-galanya, tak ingat dengan siapa pun. Yang kau
ingat hanya Kembang Mayat! Karena itu aku akan
mencegahmu datang ke sana, supaya kau tetap ingat
padaku!"
"Itu omong kosongnya si Jalak Hutan, yang kau
temui di jalan tadi! Jangan mau percaya dengan bua-
lan orang sinting itu, Guru!"
Pendekar Rajawali Putih melangkah pelan
mendekati bawah pohon yang berdaun rindang, dan
Pendekar Rajawali Merah mengiringinya di samping
kanan. Pada waktu itu, Pendekar Rajawali Putih masih
cemberut dan berkata,
“Terlepas omongan Pak Tua itu bualan atau ju-
jur, tapi kekhawatiran itu memang ada padaku, Yo!"
"Maksudnya, kau khawatir kalau aku lupa pa-
damu?"
"Ya! Itu adalah musuh yang paling ku takuti!
Malaikat Gelang Emas berani kuhadapi, seribu pun
orang macam dia tetap berani kuhadapi! Tapi keadaan
dirimu yang melupakan aku, adalah ha! yang paling ku
takuti dan membuatku gelisah dan cemas, Yo!"
"Mengapa sampai sebegitu takut? Apa sebab-
nya?" desak Yoga.
Lili berhenti, tepat di bawah pohon rindang itu
mereka hentikan langkah secara bersamaan. Kemu-
dian dengan memandang tajam penuh makna dari hati
ke hati,
Lili menjawab pertanyaan Yoga yang tadi.
"Kau satu-satunya muridku! Wajarlah rasanya
kalau seorang guru takut kehilangan muridnya, kare-
na sang Guru tidak mau ambil murid lain lagi!"
"Hanya karena hubungan itukah yang mem-
buatmu takut, Guru?!"
"Apa maksudmu mendesak ku terus?" Lili ganti
bertanya dan Yoga menjadi terpojok sendiri. Ia gelaga-
pan dan hanya bisa tersenyum-senyum sambil me-
mandang ke arah lain.
Pada saat memandang ke arah lain itulah, Yoga
melihat sekelebat sinar hijau melesat ke arah Lili. Dengan cepat Yoga menarik tubuh Lili untuk menghindar
dari sinar hijau yang datang dari belakang tubuh Lili
itu.
Wuuut...! Sreeb...! Lili dipeluknya dengan kuat.
Sinar hijau melesat tiga jengkal di belakang Lili. Sinar
hijau itu menghantam sebatang pohon yang agak jauh
dari mereka.
Duaaar...! Pohon tersebut hancur berkeping-
keping dari akar sampai ranting kecilnya.
Kalau bukan karena ada bahaya, mau rasanya
Lili dipeluk terus oleh Yoga seperti Itu Bahkan mung-
kin ia tak mau merenggangkan jarak sedikit pun. Tapi
karena adanya bahaya yang menyerangnya, Lili ter-
paksa cepat menarik diri dan menghadap ke tempat
yang tadi di punggunginya.
Wuuut...! Jleeg...!
Sesosok tubuh agak gemuk gurun dari atas po-
hon. Wajahnya angker, menyandang golok besar beru-
jung lengkungan runcing yang layak disebut pedang
lebar Orang itu tak lain adalah Mata Neraka. Ia tertawa
terbahak-bahak melihat Lili sudah berada bersama Yo-
ga.
"Huah, ha, ha, ha, ha...! Ini baru seru! Tak sia-
sia aku meninggalkan makam kakekku, karena aku
berhasil menemukan kelinci buruanku dua-duanya
sekaligus! Hua, ha, ha, ha...!"
Claap...! Tiba-tiba Pendekar Rajawali Merah
melemparkan sesuatu dari tangannya. Ternyata seber-
kas sinar merah pipih yang melesat dengan cepat ke
tubuh si Mata Neraka. Bersamaan dengan itu, Pende-
kar Rajawali Putih juga melemparkan sesuatu dari
tangan kirinya. Ternyata juga seberkas sinar merah pi-
pih sama seperti yang dilemparkan Yoga.
Tawa si Mata Neraka terhenti seketika melihat
dua sinar itu melesat ke arahnya secara bersamaan.
Cepat-cepat ia sentakkan kedua tangannya ke depan
dan sinar pipih keduanya tertahan oleh telapak tan-
gannya, satu dl kanan satu lagi di kiri.
"Grrrmmm...!" Mata Neraka seperti mendorong
benda berat ketika sinar biru membungkus telapak ta-
ngannya kanan-kiri untuk menahan sinar merah terse-
but. Tubuhnya gemetar pada saat itu. Urat-uratnya
bagaikan mau keluar dari lapisan kulitnya. Wajah
angker itu semakin tambah menyeramkan karena
menjadi merah. Jelas sudah, Mata Neraka mengerah-
kan segenap tenaganya untuk menahan dua berkas
sinar pipih yang berusaha didorongnya kembali ke
tempat semula.
"Menyebar, serang dia dengan jurus 'Rajawali
Menembus Langit'!" bisik Pendekar Rajawali Putih.
"Baik, Guru!"
Kemudian kedua pendekar rajawali itu menye-
bar ke kanan-kiri. Pada waktu itu sinar merah berhasil
ditolak balik ke arah semula, tapi Yoga dan Lili sudah
tidak ada di tempat awal, sehingga sinar merah itu me-
lesat terbang dua-duanya menghantam pohon di ke-
jauhan.
Blaar...! Blaaar...!
"Heaaat...!"teriak Lili.
"Hiaaah...!" teriak Yoga.
Keduanya bergulingan ke tanah dua kali dan
tahu-tahu sudah berada di bawah kaki Mata Neraka;
Lili di sebelah kanan, Yoga di sebelah kiri. Maka, den-
gan cepat kedua pendekar rajawali itu melakukan ge-
rakan mencakar dengan sangat cepat dari kaki Mata
Neraka sampai ke bagian wajahnya.
Cras, cras, cras, cras, cras, cras...!
"Uaaa...!" Mata Neraka menjerit karena tubuh
nya bagaikan terkena sengatan yang amat panas. Sen-
gatan itu merayap dengan cepatnya dari kaki sampai
kepala dan tak sempat ditangkis lagi. Sengatan itu se-
benarnya luka cakar yang merobek kulit dan daging
dari kaki sampai kepala.
Begitu gerakan mencakar sampai di kepala,
Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih
berhenti serempak, lalu kaki mereka sama-sama ber-
kelebat menendang dengan tendangan samping.
"Hiaaah...!" mereka sama-sama menyentak
dengan suara keras. Kaki mereka sama-sama masih
membentang tegak dan diam di tempat, sementara tu-
buh lawannya terpental jauh hingga membentur pohon
dan membuat daun-daun pohon berguguran.
Wuuurrr...!
Kaki mereka yang hampir membentuk garis te-
gak lurus itu sama-sama ditarik dalam sentakan man-
tap bersamaan. Wurrt...! Lalu kedua pendekar tampan
dan cantik itu berdiri dengan kaki sedikit merenggang,
tangan di samping sama-sama mengepal kuat. Mereka
memandangi tubuh Mata Neraka yang koyak habis
dengan darah menyembur dari mulut, hidung, dan te-
linganya pada saat ditendang bersamaan tadi.
Mengerikan sekali keadaan Mata Neraka. Ia ba-
gaikan habis dikoyak-koyak serombongan singa lapar.
Baju dan kulit serta serat dagingnya lengket menjadi
satu dalam keadaan tercabik-cabik Kepalanya pun
menjadi retak karena benturan kuat saat mengenal ba-
tang pohon tadi.
Mata Neraka pun akhirnya menghembuskan
napas terakhir dengan keadaan jenazahnya yang tak
layak lagi dipandang orang. Melihat lawannya telah
mati, Yoga segera memandang Lili, dan gadis cantik itu
pun segera memandang Yoga. Mereka sama-sama memendam rasa kagum terhadap perpaduan dua jurus
mereka yang begitu dahsyatnya itu.
Akhirnya, Pendekar Rajawali Putih berkata ke-
pada Pendekar Rajawali Merah, "Sekarang kita cari si
Topeng Merah! Habisi dia dengan jurus seperti tadi!"
“Topeng Merah...?! Kita belum tahu siapa dia
sebenarnya, mengapa kita bertekad menghabisinya?!"
kata Yoga yang agak keberatan dengan usul tersebut.
Lili menggeram gemas, dan cepat mendengus buang
muka.
*
* *
3
KEPULAN asap itu sudah menipis ketika Yoga
dan Lili tiba di Pesanggrahan Belalang Liar. Keadaan
pesanggrahan itu sudah tinggal reruntuhan yang hi-
tam. Bangunan-bangunan yang ada di sana telah han-
gus dimakan api. Mayat-mayat bergelimpangan dl sa-
na-sini.
Suasana sepi dan hening menyelimuti Pergu-
ruan Belalang Liar. Tak ada suara lain kecuali derak
kayu arang yang terdengar sesekali atau sisa percikan
bara api yang belum padam. Di antara reruntuhan hi-
tam itulah, dua pendekar rajawali nan tangguh me-
langkah dengan penuh rasa prihatin melihat nasib
perguruan tersebut.
'Topeng Merah benar-benar membumihan-
guskan perguruan ini!" kata Pendekar Rajawali Putih.
"Bukan hanya membumihanguskan saja, me
lainkan juga membantai habis seluruh orang Pergu-
ruan Belalang Liar," sahut Pendekar Rajawali Merah
dengan ma-tanya yang memandang ke sana-sini. Ia
menatap setiap mayat yang dijumpainya, namun tak
ditemukan mayat Lembayung Senja dan sang Ketua.
'Tak kulihat mayat kedua perempuan yang ke-
girangan berjalan denganmu tadi!" kata Lili dengan
nada menyindir "Mungkinkah mereka sedang menan-
timu dl perempatan jalan menuju neraka?"
Yoga hanya tertawa pendek dan pelan. Tercetus
dari mulut Yoga kalimat yang membuat Lili semakin
merah pipinya,
"Kau punya kecemburuan yang berlebihan,
Guru Li!"
"Aku tidak pernah cemburu kepada siapa pun!"
Lili berkata ketus sambil cemberut dan tetap melang-
kah pelan dl antara reruntuhan yang masih mengepul-
kan sisa asap dengan tipis itu.
Yoga ingin mengatakan sesuatu di sela senyu-
man-nya, namun terpaksa dibatalkan, karena samar-
samar la mendengar suara orang merintih. Dahl Yoga
berkerut dengan telinga di telengkan. Agaknya Lili pun
mendengarkan suara rintih pelan itu, sehingga ia pun
menyimak dari mana arah datangnya suara tersebut.
Ia sempat berucap kata,
"Ada yang selamat! Agaknya menderita luka be-
rat!.
"Sepertinya suara itu datang dari balik tembok
tinggi di sebelah timur itu, Guru Li!"
"Kurasa juga begitu," Lili bergegas menuju ke
arah timur.
Bentangan tembok yang diduga bekas dinding
pembatas ruangan itu tampak jebol dan berlubang be-
sar pada bagian tengahnya. Agaknya tembok itu jebol
karena pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi. Dan
melalui lubang itulah Lili serta Yoga menembus ke se-
berang tembok.
Apa yang mereka duga memang benar. Dari se-
kian banyak korban yang bergelimpangan, ada satu
yang masih hidup walau harus menderita luka cukup
parah. Lili dan Yoga menemukan orang tersebut dalam
keadaan terhimpit bongkahan dinding yang runtuh.
Yoga sangat terkejut, karena ia kenal betul dengan pe-
rempuan yang masih hidup itu, yang tak lain adalah
Lembayung Senja.
"Lembayung Senja, bertahanlah...! Kami akan
mengeluarkan mu dari himpitan itu...!" ucap Yoga den-
gan suara menegang. "Guru LI, bantu aku mengangkat
bongkahan tembok Ini...!"
Dengan memandang rada sinis, Lili melangkah
mendekati bongkahan tembok yang menghimpit bagian
batas paha ke bawah dari tubuh Lembayung Senja. Pe-
rempuan itu menderita luka di bagian lambung juga,
sepertinya luka karena senjata tajam yang merobek
kulit lambung. Juga ada memar di pipi kanan serta
dagunya.
Agaknya Lembayung Senja sempat melakukan
perlawanan hebat ketika ia bertemu dengan lawannya.
Ter-bukti, pada dada kirinya pun terdapat bekas luka
yang menghitam akibat pukulan jarak jauh yang ber-
tenaga dalam cukup tinggi. Kain pakaiannya pada da-
da kiri berlubang dengan bekas bakaran.
Setelah tubuh Lembayung Senja berhasil di-
angkat dari bongkahan tembok, ia dibawa oleh Lili dan
Yoga ke tempat yang lebih lega, yaitu di !uar pagar
areal pesanggrahan, di bawah sebuah pohon yang
daunnya tidak ikut terbakar, kecuali hanya !ayu seba-
gian sisi saja.
"Bagian dalamnya ikut terbakar," kata Pende-
kar Rajawali Putih. "Ada racun yang membakarnya dan
menyerang pada paru-paru serta sebagian jantungnya.
Se-bentar lagi orang ini akan mati!" ,
"Dapatkah kau menyembuhkannya?"
"Mudah sekali! Tapi untuk apa harus" disem-
buhkan?" Lili masih berucap kata dengan sinis, karena
ia khawatir perempuan itu jika ditolong dan menjadi
sembuh bisa berbalik menjadi lawannya, terutama la-
wan da-lam merebut hati Pendekar Rajawali Merah.
"Berpikirlah bijak, Guru Li! Jangan terlalu me-
nuruti nafsu kecemburuan mu saja!"
"Aku tidak cemburu!" sentaknya dengan jeng-
kel, karena setiap ia dituduh cemburu, wajahnya men-
jadi panas dan kulit pipinya yang putih mulus itu men-
jadi merah karena menahan rasa malu.
Terdengar suara Lembayung Senja mengerang
tipis. Matanya terbuka sedikit, dan Yoga segera meng-
gunakan kesempatan itu untuk bertanya,
"Di mana sang Ketua, Lembayung Senja?"
Dengan suara lirihnya Lembayung Senja men-
jawab, "Lari...."
"Lari ke mana?"
"Mengajar... Topeng Merah... ke selatan!" "Da-
patkah kau mengetahui siapa si Topeng Merah itu?"'
"Be... belum...! Tapi sang Ketua... bertekad un-
tuk mengupas pembungkus tubuh orang itu, dan...
dan akan mengulitinya!"
Yoga dan Lili saling bertatapan pandang seben-
tar, kemudian Yoga yang semula jongkok, kini berdiri
dan memandang ke arah selatan. Ia menerawangkan
pandangan matanya itu sambil berkata dalam hati,
"Mereka pasti akan bertarung sampai mati. Aku
tak tahu apa kemauan Topeng Merah selama ini, tapi
aku merasa dia selalu melindungiku dari bahaya mu-
suh! Sa-yang sekali kalau dia harus mati dl tangan
Kembang Mayat. Sedangkan Kembang Mayat pun san-
gat disayangkan jika harus mati dl tangan Topeng Me-
rah, karena Kembang Mayat mempunyai bunga Teratai
Hitam! Aku membutuhkan bunga tersebut dan...," Yo-
ga menyapu-kan pandangan matanya ke seluruh tem-
pat di sekeliling-nya, di sekitar reruntuhan pesanggra-
han itu. Tapi ia tidak menemukan tempat yang mem-
punyai bunga Teratai Hitam. Di mana Teratai Hitam
itu tumbuh, tak terlihat di sekitar tempat itu. Maka,
Yoga pun membatin kata lagi dalam hatinya,
"Pasti hanya Kembang Mayat yang mengeta-
huinya! Aku harus segera mengejar mereka supaya ti-
dak saling bunuh! Setidaknya aku harus menjaga agar
Kembang Mayat tetap hidup, supaya dia bisa memberi
tahu di mana bunga itu tumbuh!"
Lembayung Senja semakin parah keadaannya.
Ia memuntahkan darah kental berwarna merah kehi-
tam-hitaman. Memang tak banyak darah yang dimun-
tahkan itu, tapi sudah merupakan pertanda bahwa ra-
cun yang membakar dalam tubuhnya mulai mem-
bungkus bagian jantung.
"Guru Li, ku mohon kau menyembuhkan lu-
kanya demi kemanusiaan!" Setelah berkata begitu Yoga
melompat ke arah timur. Pendekar Rajawali Putih se-
gera berseru kepadanya.
"Yo...! Kau mau ke mana?"
"Mengejar mereka! Mencegah agar jangan saling
membunuh!"
"Mengapa harus repot-repot begitu?! Biarlah
mereka saling mempertahankan harga diri masing-
masing! Mereka punya urusan yang sangat pribadi dan
tak bisa dicampuri, Yo!"
"Aku harus menyelamatkan Kembang Mayat!"
"Yo...!"
Tapi Pendekar Rajawali Merah sudah lebih dulu
melesat kabur dari tempat itu. Pendekar Rajawali Putih
mendengus kesal dengan kaki menghentak ke tanah
satu kali.
Lili segera berkata kepada Lembayung Senja,
"Akan ku sembuhkan dirimu, tapi kau tidak boleh de-
kati dia lagi. Setuju?!"
Lembayung Senja tak bisa menjawab karena si-
buk menahan rasa sakitnya. Lili terpaksa melakukan
apa yang diperintahkan Pendekar Rajawali Merah tadi
tanpa menunggu jawaban dari Lembayung Senja la
mulai menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh
Lembayung Senja, juga angin kutub disalurkan oleh-
nya melalui dada Lembayung Senja.
Pada waktu Lili mengobati Lembayung Senja
yang ditelentangkan di tanah dengan sebagian pakaian
dilepaskan supaya tidak mengganggu peredaran da-
rahnya, tanpa disadari Lili dalam keadaan terancam
keusilan seseorang. Ada kabut tipis mendekatinya. Ka-
but itu merayap di permukaan tanah. Warnanya ham-
pir serupa dengan asap sisa pembakaran. Itulah se-
babnya, Lili tidak menaruh curiga terhadap kabut ter-
sebut
Semakin lama kabut itu semakin dekat dengan
kaki Lili. Kejap berikutnya mulai merambah telapak
kaki Pendekar Rajawali Putih. Kabut itu didiamkan sa-
ja oleh Lili. Ia masih sibuk mengobati luka-luka Lem-
bayung Senja.
Tetapi setelah beberapa saat, agaknya Lili me-
rasa perlu menghentikan pengobatan yang tinggal se-
dikit itu.
Ia merasakan betisnya seperti sedang diusap
usap oleh tangan manusia Lili segera menyadari
adanya kabut yang membungkus kedua kakinya. Se-
makin lama semakin ia rasakan gerakan mengusap
oleh sebuah tangan yang tak tahu milik siapa. Lili me-
nyadari, bahwa rasa usapan di betisnya itu telah me-
rambat naik menyelusup ke dalam celah gaunnya.
"Kabut ini agaknya kabut tak beres," pikir Lili.
Tapi hatinya sempat sane is sekejap, karena yang ia li-
hat hanyalah gumpalan kabut. Semakin tebal gumpa-
lannya semakin jelas rasa betisnya diusap-usap sam-
pai ke bagian lutut dan sebentar lagi akan merayap di
paha.
"Kabut setan...!" geramnya dalam hati secara
diam-diam. Kemudian ia segera mencabut pedangnya
dari punggung. Sreet...! Blaar..! Petir menggelegar di
angkasa tanpa mendung dan tanpa hujan sedikit pun.
Itulah tandanya jika Pedang Sukma Halilintar keluar
dari sarungnya.
Jruub...! Pedang yang menyala putih menyilau-
kan itu ditancapkan dl tanah. Kemudian Lili pun naik
dan berdiri di atas gagang pedang yang berdiri tegak
itu.
Lembayung Senja yang mulai bisa melihat den-
gan jelas walau masih lemas, merasa heran meman-
dang apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Putih itu.
Ia melihat ada gumpalan kabut yang membungkus
mata pedang. Percikan api keluar setiap kabut Itu
mendekati mata pedang yang menancap dl tanah. Per-
cikan api itu berwarna biru dan memercik-mercik ba-
gaikan serabut petir yang mengagumkan. Setiap terjadi
percikan akibat kabut menyentuh mata pedang, maka
kabut tersebut bagai tersentak menyebar, lalu men-
gumpul lagi mendekati mata pedang, dan menyebar
kembali apabila terjadi percikan biru pada mata pedang yang menyilaukan itu.
Pendekar Rajawali Putih masih berdiri di atas
pedangnya dengan satu kaki. Lalu, tangannya men-
gembang ke samping atas, mengeras keduanya, dan ti-
ba-tiba tangan itu menyentak ke bawah, wuuut...!
Claap...!
Sinar putih perak berkilauan melesat dari ke-
dua telapak tangan Pendekar Rajawali Putih. Sinar itu-
lah yang membuat kabut tersebut terserap menjadi sa-
tu dan membentuk gulungan besar seperti gentong.
Kemudian gulungan kabut itu dihantam lagi oleh Pen-
dekar Rajawali Putih melalui pukulan jarak jauhnya
yang berwarna hijau bening.
Claaap...!
Gulungan kabut itu terpental membentur ba-
tang pohon, buugh...!
"Uhg...!" ada suara orang memekik tertahan,
tapi tak terlihat ujud manusianya. Hati Pendekar Ra-
jawali Putih semakin yakin dengan kecurigaannya tadi.
Maka dengan cepat la kembali sentakkan tangannya
yang memancarkan sinar hijau bening bagaikan sepo-
tong tongkat pendek itu.
Claap...!
"Uuhg...!" makin jelas suara itu, makin heran
pula Lembayung Senja yang sempat menyaksikan ke-
jadian aneh tersebut.
"Keluarlah dari kabut itu! Kalau tak mau ke-
luar, ku-hancurkan dengan pedangku ini!" kata Lili
membentak sambil turun dari atas pedang, dan pe-
dang tersebut di cabut dari tanah, lalu digenggamnya
dengan kedua tangan.
Lembayung Senja saat itu membatin, "Bicara
dengan siapa dia? Sepertinya yang dipandang adalah
gulungan kabut itu. Tapi apakah kabut itu bisa bicara?"
Ternyata memang bisa. Kabut itu bisa berbica-
ra, terbukti setelah mendengar ancaman Lili tadi, ada
suara yang berkata
"Jangan..! Jangan hancurkan aku, Nona Can-
tik...!" suara itu bagai mengandung gema dan bergetar,
sepertinya suara seorang kakek.
"Keluar kau!" sentak Lili lagi.
"Baik! Aku akan keluar, tapi ku mohon kau
jangan menghukumku, Nona Cantik yang budiman!"
kata suara kabut itu.
"Kau perlu dihukum atas tindakan usil mu!"
'Tidak, tidak...! Aku tidak akan berani usil lagi! Aku ti-
dak akan melakukan hal seperti tadi lagi! Jangan kau
hukum aku, Nona Cantik! Ku mohon sekali padamu,
jangan menyerangku!"
Lembayung Senja merasa heran sekali ada ka-
but bisa bicara. Bam sekarang ia melihat kejadian sea-
neh itu. Matanya yang masih sayu itu memandang ke
arah kabut dengan punggung dan kepala sudah ber-
hasil di sandarkan pada batang pohon dengan me-
rayap-rayap tadi.
"Cepat keluar...!" "Bba... ba... baik...!" Bluuub...!
Wuuus...!
Kabut itu pecah dengan sendirinya, menyebar
ke seluruh penjuru. Pecahnya gumpalan kabut itu me-
nampakkan sosok tubuh lelaki tua yang berpakaian
coklat muda, berambut putih dengan kumisnya yang
tak begitu lebat juga berwarna putih uban Rambutnya
diikat dengan ikat kepala kain hitam, yang sama den-
gan warna sabuknya. Orang itu berusia sekitar enam
puluh tahun, bermata sedikit sipit.
Lembayung Senja semakin heran melihat ke-
munculan orang yang saat itu nyengir takut-takut kepada Pendekar Rajawali Putih. Tapi bagi Lili, kemuncu-
lan orang itu tidak terlalu mengherankan sekali, kare-
na ia sudah menduga bahwa kabut itu bukan semba-
rang kabut.
"Siapa kau, Tua Usil?!" tanya Lili dengan suara
ketusnya.
"Ku mohon, jangan serang aku! Sarungkanlah
pedangmu, Nona!" agaknya orang yang langsung diju-
luki oleh Lili sebagai Tua Usil itu ketakutan sekali me-
lihat sinar pedang yang berkilauan. Maka, Lili pun se-
gera menyarungkan pedangnya ke punggung. Tua Usil
nyengir dengan merasa lega.
"Jawab pertanyaanku tadi, siapa kau?!" mata
Lili mendelik galak.
"Hmm... eh... anu... namaku Pancasona, tapi
orang banyak menjuluki ku sebagai Manusia Kabut,
karena aku mempunyai ilmu 'Halimun."
Lili berjalan cepat mendekati orang itu dan ber-
henti tepat di depan orang tersebut yang punggungnya
sudah terdesak ke batang pohon. Dengan mata masih
membelalak garang, Lili berkata,
"Sekali lagi kau berani berbuat kurang ajar pa-
daku, kubunuh kau saat itu juga! Mengerti?!"
Dengan takut-akut orang itu menjawab.
"Meng... mengerti!"
"Bagus!"
Plak, plak, plak, ploook...!
Pendekar Rajawali Putih melepaskan tamparan
beruntun beberapa kali. Yang terakhir kali tamparan-
nya membuat Tua Usil terpental ke samping dengan
tulang pinggulnya membentur sebongkah batu.
Taak...!
"Aaoow...!"
Pancasona memekik kesakitan. Lili menghampiri-nya, mencengkeram baju Pancasona dengan tan-
gan kiri, mengangkatnya, wuuut...! Dengan ringan se-
kali Lili menenteng Tua Usil dan berkata,
"Kau tidak pantas menjadi orang bernama Pan-
casona! Mulai sekarang namamu adalah Tua Usil!
Mengerti?!"
Plook...! Buuhg...!
Lili menghantam telak dagu Tua Usil, kemudian
menghantam pula perutnya dengan tangan kiri. Dan
orang tersebut kembali mental ke belakang dan jatuh
tak beraturan. Bruuuk...!
"Auuuh...!" ia menggeliat sambil memegangi
pinggangnya. Kejap berikut terdengar suaranya di sela
rintihan kesakitan,
"Nona, kau sudah berjanji tidak akan menghu-
kum ku, tapi mengapa sekarang kau menghajar ku?!"
"Aku tidak pernah berjanji apa-apa padamu!"
Wuuut...! Rook...! Kaki Lili menendang dada
orang itu dengan kelebatan keras, dan Pancasona ter-
pental kembali dengan berguling-guling. Ia mengerang
dan memaki-maki di sana. Tanpa sengaja tangannya
memegang batu satu genggaman, dan batu itu dilem-
parkan ke arah Pendekar Rajawali Putih yang sedang
berang itu.
"Kau curang, Nona...!"
Wuuut...! Batu melayang, dan Pendekar Raja-
wali Putih melompat ke kiri. la hinggap di atas selem-
bar daun ilalang yang tingginya sebatas lutut itu. Se-
lembar daun ilalang itu tidak patah atau pun rubuh,
bahkan meliuk rendah pun tidak sama sekali. Padahal
daun ilalang itu digunakan kedua kaki Lili untuk ber-
diri memandang ke arah si Tua Usil. Dan sana ia ber-
seru,
"Kelancangan dan keusilan tanganmu sepatut
nya ku potong, Tua Usil! Tapi bersyukurlah, bahwa
aku masih memandang kasihan pada dirimu yang tua
renta dan peot kempot itu! Lain kali tak akan kuberi
ampun lagi kau!"
Tua Usil tidak menjawab. Rintihan dan seringai
kesakitannya hilang. Matanya tak berkedip meman-
dangi kaki Lili yang bisa berdiri di atas ilalang. la me-
mandang dengan sorot pandangan mata yang penuh
kekaguman dan keheranan.
Cepat-cepat si Tua Usil bangkit bagaikan lupa
dengan pinggang dan pinggulnya yang sakit. Kemudian
ia mendekati Lai dan mendongakkan kepala untuk bi-
sa memandang wajah Lili yang masih berdiri di atas
Ilalang itu.
"Nona...! Bagaimana caranya bisa berdiri di atas
ilalang begitu? Bagaimana caranya, Nona?"
Lili hanya mendenguskan nafas kekesalannya.
Kemudian ia turun dari atas ilalang dan mendekati
Lembayung Senja. SI Tua Usil ikut mendekat dan ber-
kata,
"Nona, ajarilah aku berdiri di atas ilalang! To-
longlah, aku ingin sekali bisa berdiri dl atas ilalang!"
Tapi Lili tak menanggapi malah berkata ketus
kepada Lembayung Senja, "Berbaliklah! Ku lanjutkan
pengobatan ku yang tertunda tadi melalui punggung-
mu!"
Lembayung Senja mengangguk, tak mau ba-
nyak bicara karena masih lemas tubuhnya, masih ada
sisa sakit yang terasa. la membalik seakan menyodor-
kan punggungnya. Kemudian Lili menempelkan kedua
jarinya di punggung Lembayung Senja. Terdengar sua-
ra si Tua Usil yang dengan takut-takut mencoba men-
dekat lagi,
"Nona, tolonglah aku! Ajarilah ilmu berdiri di
atas ilalang! Dari bayi, bahkan dari sejak belum lahir,
aku sudah kepingin sekali bisa berdiri di atas ilalang!"
Lili diam saja sekalipun si Tua Usil membujuk-
nya dengan berbagai macam kibulannya. Kedua jari Li-
li me-nyala hijau bening saat menempel di punggung
Lembayung Senja. Si Tua Usil berkata lagi,
"Aku akan mengabdi padamu kalau kau mau
mengajari ku berdiri di atas ilalang, Nona Cantik yang
budi man! Tolonglah... sebentar saja, Nona! Nanti ku-
ceritakan bagaimana hebatnya saat kelahiranku dari
perut ibuku! Tolonglah, Nona Cantik... ajar! aku berdiri
di atas ilalang! Aku hanya...."
Plaaak ..! Dengan berkelebat cepat Lili menam-
par wajah si Tua Usil. Tamparan itu membuat tubuh
Tua Usil terpental, jatuh, dan pingsan. Lalu, Lili kem-
bali melanjutkan pengobatannya di punggung Lem-
bayung Senja.
*
* *
4
TOPENG Merah akhirnya berhenti di kaki bukit
cadas yang tak seberapa tinggi itu. Bisa saja ia menda-
ki bukit dan terus melarikan din. Tetapi agaknya ada
sesuatu yang ia lakukan untuk memancing Kembang
Mayat menjauhi tempatnya yang sudah dibakar itu.
Pelarian Topeng Merah rupanya bukan pelarian
se-mata-mata takut menghadapi Kembang Mayat. Pe-
larian itu ternyata disebabkan karena ia sempat meli-
hat sekelebat bayangan Yoga di kejauhan sana, yaitu
sebelum Yoga mencapai reruntuhan pesanggrahan
bersama Lili. Karena itulah Topeng Merah memancing
Kembang Mayat ke tempat lain untuk melanjutkan
pertarungannya.
Kini Topeng Merah sengaja menunggu pengeja-
ran lawannya. Sang lawan segera berhenti setelah me-
lakukan lompatan bersalto dua kali di udara dan ka-
kinya mendarat di depan Topeng Merah.
"Lelah juga kau melarikan diri rupanya?! Seka-
rang giliranmu untuk minggat ke neraka sana, Topeng
Merah! Heaaat...!"
Kembang Mayat menebaskan pedangnya den-
gan gerakan cepat dan penuh tenaga dalam. Bunyi ge-
rakan pedangnya sampai menyerupai gaung seribu le-
bah; wuuung... wuuung... wuuung ..! Itu terjadi jika
Topeng Merah bergerak menghindari pedang tersebut.
Tapi jika
Topeng Merah menangkisnya, maka akan terja-
di bunyi lengking yang menggema panjang berkali-kali;
triing...! Triiing...! Triiing...! Dan pada saat itu, setiap
denting perpaduan pedang terdengar, dua-tiga daun dl
sekitar tempat mereka itu jatuh dengan sendirinya, pa-
tah dari tangkainya akibat bunyi denting yang berke-
kuatan tinggi itu. Agaknya kedua pedang itu juga me-
rupakan pedang pusaka yang mempunyai kekuatan
tersendiri.
Bahkan ketika Kembang Mayat berteriak keras-
ke-ras sebagai pencurahan tenaga dalamnya saat me-
mainkan ilmu pedangnya, Topeng Merah pun menge-
rahkan tenaga dalam ke dalam pedangnya tanpa berte-
riak sedikit pun. Kedua pedang itu beradu di udara
dan menimbulkan bunyi dentang yang keras mengge-
ma panjang,
Traaang...! Traaang...!
Bebatuan yang ada di sekitar mereka pecah ka-
rena bunyi dentang tersebut. Daun bukan hanya ron-
tok dari tangkainya, tapi beberapa ranting patah dari
dahannya. Jika keduanya tidak berilmu cukup tinggi,
sudah pasti kedua gendang telinga mereka akan pecah
mendengar bunyi dentang tersebut. Bahkan ada dua
ekor burung yang tiba-tiba jatuh berkelojotan dengan
telinga berdarah, sedang sisa burung lainnya buru-
buru terbang meninggalkan tempat tersebut.
Kejap berikutnya mereka saling tangan dan
keduanya sama-sama terpental setelah terdengar
bunyi ledakan, blaar...! Wuuus...! Bruuk...!
Kembang Mayat jatuh lebih dulu di samping
sebuah pohon, sedangkan tubuh Topeng Merah mem-
bentur dinding bukit cadas itu. Nafasnya terengah-
engah, dan ketika ia meludah, ternyata darah yang di-
ludahkan. Tapi
Topeng Merah tidak tampak jera sedikit pun.
Bahkan ia kemudian membuka jurus pedang yang se-
jak tadi tidak digunakan la bersiap menyerang lawan-
nya.
"Biadab kau, Iblis!" sentak Kembang Mayat
yang masih berusia muda namun sudah punya kesak-
tian cukup tinggi itu. "Jangan merasa ilmumu lebih
tinggi dariku setelah kau bisa membuat telapak tan-
ganku hangus begini! Heh!"
Kembang Mayat melirik kembali pada telapak
tangannya, dan kemarahan semakin membara di da-
lam hatinya melihat telapak tangannya menjadi han-
gus. Ia segera menahan napas, menggerakkan tangan
kirinya yang hangus itu dengan kekuatan besar. Tan-
gan tersebut gemetar di depan dadanya. Pelan-pelan
meremas kuat. Tubuhnya ikut gemetar karena kuatnya
menggenggam, dan kejap selanjutnya genggaman itu
pun mengendur. Pelan-pelan telapak tangan yang han-
gus dan menggenggam itu bergerak membuka tanpa
kekuatan sekeras tadi. Ternyata warna hitam pada
tangan tersebut telah hilang, tidak hangus lagi, dan
hal itu membuat mata di balik topeng warna merah itu
terkesiap. Tapi tak satu pun orang yang tahu bahwa
mata itu sedang terkesiap melihat telapak tangan
Kembang Mayat mulus kembali.
Bahkan sekarang telapak tangan itu memercik-
kan api warna merah. Bunga-bunga api itu berlonca-
tan dari tengah telapak tangan. Jelas ada jurus baru
yang dilakukan Kembang Mayat dan siap untuk me-
nyerang lawannya.
Topeng Merah rupanya tidak gentar juga meli-
hat hal itu. Ia berlari dengan tanpa berteriak sedikit
pun. Pedangnya siap ditebaskan ke arah lawan, dan ia
pun melompat dengan bersalto satu kali. Tetapi pada
saat itu Kembang Mayat sentakkan tangan yang sudah
memercikkan bunga api itu ke depan, Wuuut...!
Zraaakk...!
Berlarik-larik sinar merah berkelok bagaikan
rajutan benang maut itu terlepas dari telapak tangan
Kembang Mayat. Jumlah benang-benang membara ba-
gai serat petir itu lebih dari dua puluh larik. Gerakan-
nya sangat cepat, sasarannya menghantam tubuh To-
peng Merah yang sedang bersalto.
Namun agaknya manusia bertopeng merah su-
dah menduga akan terjadi serangan seperti tadi. Maka
dengan cepat ia gerakkan pedangnya berkelebat bebe-
rapa kali di depannya, memenggal rajutan benang
membara yang ingin menghantam tubuhnya.
Tret... tret... treeet.... Blaaar...!
Topeng Merah berhasil menangkis rajutan be-
nang merah tersebut. Ia melakukan dengan kibasan
pedangnya yang agaknya mampu dipakai untuk mene-
bas kekuatan dahsyat seperti itu. Tetapi ketika terjadi
ledakan, tubuh Topeng Merah tidak bisa bertahan dl
tempat, melainkan terlempar kembali ke belakang,
hampir mendekati tempat asalnya.
Kembang Mayat pun oleng ke belakang akibat
gelombang ledakan tersebut, namun ia tak sampai ja-
tuh. Tangan yang memegangi pedang berhasil menda-
pat pegangan sebatang pohon dan membuat tubuhnya
tertahan di sana.
"Jahanam...!" gerutu Kembang Mayat dalam
makian yang menggeram menahan amarah yang tak
mampu terlepaskan secara tuntas.
Topeng Merah hanya membatin, "Setan! Jurus-
nya yang kali ini sempat membuat napas ku sesak! Bo-
leh juga mainan setan perempuan itu! Tapi... oh, siapa
yang berlari kemari itu? Hmmm...! Sial! Dia lagi!"
Kembang Mayat baru mau melepaskan seran-
gan jarak jauhnya lagi, tetapi Topeng Merah sudah
menghilang. Berkelebat dengan cepat dan tertangkap
oleh pandangan mata Kembang Mayat Maka gadis itu
pun berseru dengan garangnya,
"Jangan lari kau, Iblis...!" lalu ia segera menge-
jarnya.
Kembang Mayat tak tahu bahwa Yoga sudah
ada di belakangnya dan sedang memburunya. Melihat
kedua orang yang bertarung itu saling kejar-mengejar
lagi, maka Pendekar Rajawali Merah pun kerahkan te-
naga untuk menyusul mereka.
Duaar...! Daaar .! Kembang Mayat lepaskan se-
rangan jarak jauh sambil mengejar lawannya. Topeng
Merah sedikit kebingungan menghindari pukulan jarak
jauh yang dapat menghancurkan tubuhnya itu. la ber-
lari terus mencari tempat yang menurutnya enak dipakai untuk melanjut-kan pertarungannya.
Karena dihujani oleh pukulan-pukulan maut
lawannya, Topeng Merah tidak sengaja mengarahkan
pelariannya ke makam kakeknya Malaikat Gelang
Emas. Pada waktu itu, makam tersebut dijaga oleh
Nyali Kutu. Dan orang berwajah bundar itu hanya bisa
terbengong memandangi dua orang yang saling kejar.
Nyali Kutu tahu persis, mereka adalah orang-orang be-
rilmu tinggi, terlihat dari cara Kembang Mayat mele-
paskan serangan jarak jauhnya sambil lari, dan gera-
kan si Topeng Merah yang mampu melompat dalam la-
rinya berpindah-pindah tempat dengan hanya sedikit
menapakkan kaki dari tanah ke tanah.
Karena Nyali Kutu terbengong kagum, tak sa-
dar ia telah membiarkan kedua orang itu berlari ke
arah makam tersebut. Dan dengan mata terbuka lebar
dan mematung dl tempat, Nyali Kutu melihat jelas To-
peng Merah melompati makam tersebut untuk meng-
hindari serangan dari belakang. Jika ia tidak melom-
pat, maka ia akan menjadi sasaran pukulan ganas
Kembang Mayat.
Wuuut...! Topeng Merah melangkahi makam
tersebut tak peduli makam siapa itu. Dan Nyali Kutu
hanya tersentak dengan mulut terbuka satu kali tanpa
bisa bersuara lagi. Sedangkan Kembang Mayat masih
terus mengejar Topeng Merah yang tetap melarikan diri
itu.
Tinggallah Nyali Kutu mendelik dengan ketaku-
tan setelah kedua orang itu menghilang dari tempat
makam kakek Malaikat Gelang Emas. Jantung Nyali
Kutu menjadi berdetak-detak karena Topeng Merah te-
lah melangkahi makam tersebut. Padahal tugas Nyali
Kutu adalah menjaga supaya jangan ada orang me-
langkahi makam tersebut. Artinya ia harus menyerang
orang yang akan melangkahi makam. Ternyata ia tadi
justru hanya terbengong dengan rasa kagum dan ke-
mudian menjadi dicekam rasa takut.
"Celaka! Makam itu sudah dilangkahi orang!
Past! Malaikat Gelang Emas akan menghukumku jika
ia tahu bahwa makam kakeknya sudah dilangkahi
orang. Sebaiknya... sebaiknya aku tidak melaporkan
hal ini kepada Malaikat Gelang Emas. Toh dia tidak
melihatnya!" kata
Nyali Kutu dl dalam hatinya.
Matanya segera memandang ke arah setangkai
bunga kuning yang mirip mawar dan tumbuh di atas
kuburan itu. Mata Nyali Kutu terbuka lebar lagi, sebab
bunga tersebut tiba-tiba menciut, menjadi layu sedikit
demi sedikit dalam perubahan yang jelas sekali. Bunga
yang se-mula mekar dan berdiri tegak itu kini menjadi
meleng-kung ke bawah dalam keadaan kelopaknya sal-
ing menguncup, namun belum terlihat kering betul.
'Wah, mati aku!" katanya dengan deg-degan.
"Bunga itu menjadi layu, dan Malaikat Gelang Emas
pasti tahu bahwa kuburan kakeknya sudah dilangkahi
orang! Aduh, celaka aku kalau begini...!"
Nyali Kutu memandang jauh, kembali meman-
dang bunga itu, lalu memandang sekelilingnya lagi
dengan cemas dan panik, lalu menatap ke arah gubuk
yang baru saja selesai dibetulkan atapnya itu. Ia bin-
gung mencari cara agar Malaikat Gelang Emas tidak
mengetahui apa yang telah terjadi pada makam ka-
keknya.
Dengan tangan gemetar, Nyali Kutu menegak-
kan kembali setangkai bunga kuning itu. Tapi beru-
lang kali ditegakkan, berulang kali pula bunga tersebut
meliuk turun dan menunduk. Terkulai lemas tanpa tenaga apa pun.
Nyali Kutu bertambah panik. Kemudian ia
mencari sebatang lidi. Ia menemukan sebatang lidi di
samping gubuk itu. Lidi tersebut di tancapkan di
samping bunga, lalu tangkai bunga diikatkan pada lidi
tersebut dengan tali gedebong pisang. Sepintas tak ter-
lihat bunga itu telah layu karena bisa berdiri tegak
berkat bantuan lidi tersebut. Hanya kelopaknya saja
yang tak bisa mekar lagi, melainkan menguncup layu.
"Mudah-mudahan Malaikat Gelang Emas tidak
memperhatikan kemekaran bunga itu, melainkan kete-
gakkannya yang diperhatikan!" pikir Nyali Kutu sambil
melangkah mundur sampai mendekati gubuk. Tapi
mendadak matanya kembali melebar. Bunga itu terku-
lai kembali, tertunduk lemas dan lidi pengikatnya pa-
tah karena tertarik tangkai bunga yang terkulai lemah
itu. Taak...!
"Yaaah... patah lidinya?! Sial betul bunga itu!"
gerutu Nyali Kutu. Ia menukar lidi tadi dengan lidi
yang lain, yang agak besar. Tapi Keadaannya menjadi
sama seperti tadi. Setelah tangkai bunga diikat dengan
lidi, tiba-tiba bergerak menunduk pelan-pelan dan lidi
itu menjadi patah. Hal itu membuat Nyali Kutu menja-
di bertambah tegang dan berkeringat dingin.
"Hei, Nyali Kutu...!" sapa seseorang dari bela-
kangnya.
Nyali Kutu terlonjak kaget dan terpekik mulut-
nya. Ia hampir saja melarikan diri. karena menyangka
orang yang menegurnya itu adalah Malaikat Gelang
Emas. Ternyata bukan!
Orang yang menegurnya adalah Pendekar Ra-
jawali Merah. Namun begitu melihat kehadiran Pende-
kar Rajawali Merah itu pun Nyali Kutu menjadi geme-
tar dan menggigil tubuhnya. la sangat ketakutan, ka-
rena menyangka Pendekar Rajawali Merah ingin menyerangnya, sebab pada waktu bersama Rahang Baja
dan Panglima Makar, Nyali Kutu tahu persis bahwa
wajahnya sangat dikenali oleh Pendekar Rajawali Me-
rah.
"Ddii... dia... dia sudah mati kok! Sud... sudah
aman...!" kata Nyali Kutu menceritakan keadaan Pan-
glima Makar. Tetapi Pendekar Rajawali Merah itu
hanya tersenyum dengan tenang dan berkata,
"Siapa yang kau maksud sudah mati itu, Nyali
Kutu?"
"Tuuu... tuan... Tuan Panglima Makar!" jawab
Nyali Kutu menggeragap, apalagi ketika Yoga mende-
kat, ia semakin menggigil tubuhnya.
"Aku kemari bukan untuk mencari Makar! Aku
mencari manusia bertopeng merah. Apakah kau meli-
hat manusia bertopeng merah yang sedang dikejar-
kejar oleh perempuan berjubah ungu?"
"O, hmmm... iya... betul, aku melihatnya! Be-
lum lama aku benar-benar melihatnya...," Nyali Kutu
menjawab dengan bersemangat bercampur rasa takut.
Ia berharap dengan menyebutkan arah pelarian si To-
peng Merah, ia akan mendapat pengampunan dari Yo-
ga dan tidak akan dicelakai sebagai pengganti dari
tuannya; Panglima Makar.
"Ke mana arah larinya mereka, Nyali Kutu?!"
"Ke sana...!" Nyali Kutu menuding ke arah sela-
tan. Maka Pendekar Rajawali Merah pun segera mene-
puk-nepuk punggung Nyali Kutu sambil berkata,
"Baik, baik...! Terima kasih!" setelah itu Pende-
kar Rajawali Merah berlari menyusul Kembang Mayat
ke arah selatan. Nyali Kutu hanya memandanginya
dengan mulut dan mata masih terbengong.
Sementara itu, matanya segera berpindah ke
arah bunga. Ternyata keadaan bunga mulai kecoklat
coklatan. Nyali Kutu takut hal itu akan menjadi tanda
bagi Malaikat Gelang Emas. Maka, sebelum orang se-
sat itu da-tang, Nyali Kutu lebih dulu meninggalkan
kuburan tersebut dan lari mencari tempat untuk ber-
sembunyi dari incaran Malaikat Gelang Emas. Sejauh
mana pun tempat yang dirasakannya aman ditempuh-
nya demi menyelamatkan diri dari amukan besar si
Malaikat Gelang Emas nanti.
Pada waktu itu, pengejaran Kembang Mayat
terhadap diri Topeng Merah pun terhenti di atas tanah
datar yang menjadi bibir tebing. Kembang Mayat ber-
henti, karena Topeng Merah terdesak ke bibir tebing
berjurang dalam. Ia tak punya jalan lagi untuk melari-
kan diri. Topeng Merah terpaksa hams menghadapi la-
wannya dl situ, karena Kembang Mayat segera berkata,
"Habis sudah riwayatmu sampai di sini, Topeng
Iblis! Hiaah...!" tiba-tiba seberkas sinar merah pipih se-
perti daun segera melesat dari tangan kiri Kembang
Mayat. Wuuut...! Zlaaap...!
Topeng Merah tahu-tahu sudah berpindah
tempat. Ia melesat lewat udara bagaikan terbang den-
gan cepat, tahu-tahu sudah berada di belakang Kem-
bang Mayat. Kakinya segera menendang Kembang
Mayat dan kena tepat di bagian punggung gadis ketua
perguruan itu. Buuhg...!
Wuuut...! tubuh Kembang Mayat terlempar.
Hampir saja ia terjungkal ke jurang. Untung ia mampu
menghentikan gerakan tubuhnya dengan menan-
capkan pedang di tanah dan berpegangan pedang ter-
sebut. Jika tidak, habislah riwayatnya masuk ke ju-
rang yang dalam itu.
Cepat-cepat la tegakkan kembali badannya dan
ia pijakan kembali kakinya dengan kokoh. Matanya
memandang tajam pada lawannya yang sejak tadi tak
terdengar suaranya. Pedang sudah dicabut dari tanah,
sekarang digenggam dengan tangan kanan dan dis-
ilang-kan ke depan dada. Tangan kirinya ada di atas,
siap lepaskan pukulan jarak jauh.
"Ke mana pun kau lari tetap kukejar, Topeng
Iblis! Karena kau harus menyusul nyawa-nyawa mu-
ridku ke alam baka sana!" geramnya.
Topeng Merah diam saja. Berdiri tegak meman-
dang Kembang Mayat dari balik topengnya. Tangan
kanannya juga tetap memegang pedang yang sudah
diangkat tegak di sisi pundak kanan. Dan tiba-tiba sa-
ja dari mata topeng itu keluar sinar biru dua larik se-
perti besi panjang membara biru. Zlaap !
"Tahaaan...!" teriak suara dari arah samping.
Yoga berkelebat menyambar tubuh Kembang
Mayat untuk menghindarkan diri dari sinar biru yang
tak di-sangka-sangka melesat dari mata topeng itu.
Wuuut...!
Tapi bertepatan dengan gerakan itu, tubuh To-
peng Merah sedang berkelebat ingin menyusul seran-
gan sinar birunya yang gagal mengenai sasaran itu.
Gerakan Topeng Merah yang cepat itu dibarengi den-
gan tebasan pedang. Wuuut...! Craaas...!
"Aaa...! " teriakan itu bukan datang dari mulut
Kembang Mayat, melainkan dari mulut Pendekar Ra-
jawali Merah.
Kembang Mayat terlempar dari raihan tangan
kanan Yoga, ia terpelanting dari cepat berdiri. Kini
Kembang Mayat dan Topeng Merah sama-sama terte-
gun dengan tak bergeming sedikit pun. Mereka bagai
tidak percaya melihat Pendekar Rajawali Merah itu
terpotong tangan kirinya dan sekarang dalam keadaan
berlutut menahan rasa sakit. Potongan tangan kiri se-
batas siku itu jatuh tergeletak satu langkah dl samping
Yoga.
Mata Kembang Mayat tak berkedip melihat
pendekar tampan itu putus tangan kirinya. Darah
mengucur deras dari potongan tangan tersebut. Dan
hal itu membuat Yoga mulai berkunang-kunang ma-
tanya, untuk kejap berikut ia rubuh. Jatuh dan ping-
san.
Topeng Merah tersentak mundur satu langkah.
Gerakan kepalanya yang patah-patah menandakan di-
rinya sedang gelisah. Sementara itu, napas Kembang
Mayat semakin terengah-engah dan pancaran matanya
membara penuh nafsu untuk membunuh Topeng Me-
rah. Ia berteriak dalam luapan murkanya,
"Iblis keji! Kau telah membuat cacat diaaa...!
Hiaaat...!"
Melihat Kembang Mayat mulai bergerak dengan
pedangnya, tangan Topeng Merah menyentak dengan
sangat cepat. Zlaaap...! Sinar ungu menghantam telak
da-da Kembang Mayat. Zruub...!
"Aaahg...!" Kembang Mayat terpekik sekejap,
kemudian tubuhnya terlempar mundur dan terjungkal
ke dalam jurang tersebut.
"Aaaaa...!" jeritannya terdengar menggema pan-
jang, makin lama semakin mengecil, lalu hilang bagai
ditelan bumi.
Topeng Merah diam terpaku beberapa saat dl
dekat tubuh Yoga yang pingsan. Keadaan Yoga yang
tanpa lengan itu membuat Topeng Merah mendekati
dan jongkok dengan pelan-pelan. Sikapnya tampak
serba salah, ingin menolong atau membiarkan pende-
kar tampan itu telentang begitu saja, sungguh meru-
pakan hal yang sulit dipastikan. Topeng Merah benar-
benar tak mengerti apa yang harus dilakukannya saat
itu. Dan tiba-tiba saja kepalanya menyentak ke belakang, karena ia mendengar suara langkah orang me-
nuju ke arahnya.
Dengan cepat, Topeng Merah melesat pergi me-
ninggalkan Yoga yang terkapar berlumur darah. Ia se-
gera menghilang sebelum ada orang yang datang ke
tempat itu.
*
* *
5
PANCASONA alias si Tua Usil itu mempunyai
tempat tinggal di tengah hutan. Pondoknya itu terbuat
dari kayu-kayu batang pohon yang dibelah menjadi
dua bagian. Dengan belahan kayu itulah ia memban-
gun pondok yang tidak seberapa lebar, namun cukup
untuk berteduh enam orang.
Menurut pengakuannya yang disangsikan ke-
benarannya oleh Lili, si Tua Usil dulu mempunyai sau-
dara lima orang, tiga lelaki dan tiga perempuan. Si Tua
Usil adalah anak bungsu dari kelima saudaranya. Me-
reka bukan orang-orang baik. Mereka orang-orang se-
sat yang masing-masing mempunyai ilmu tinggi.
Hanya Pancasona yang tidak mau mengikuti jejak ke-
lima saudaranya itu. "Pernah dengar julukan Lima Pe-
rampok Kubur?" "Belum," jawab Lili.
"Sayang sekali," kata si Tua Usil. "Lima kakak-
ku itu yang menamakan diri mereka sebagai Lima Pe-
rampok Kubur! Kalau memenggal orang tidak pernah
tanggung-tanggung. Tak heran jika lawannya sering
didapati mati terpotong tiga belas bagian atau lebih.
Dan aku tidak mau seperti mereka, Nona! Aku bukan
keturunan perampok, melainkan keturunan orang
baik-baik!"
"Ke mana mereka sekarang?"
"Sudah kukirim ke neraka semua!"
"Kau yang membunuh mereka?"-
"Benar! Seorang satria dalam menegakkan ke-
benaran dan keadilan tidak memilih lawan dan tidak
pandang bulu! Biar saudara sendiri, tapi kalau hidup-
nya merugikan orang banyak, harus ditumpas habis!"
Entah benar atau tidak cerita itu, Pendekar Ra-
jawali Putih tidak mementingkannya. Yang ia penting-
kan adalah tempat tinggal untuk sementara. Si Tua
Usil tidak keberatan menerima Lembayung Senja dan
Lili di tempat tinggalnya itu. Ia justru sangat berse-
nang hati karena punya harapan bisa membujuk Lili
agar diberi pelajaran cara berdiri di atas ilalang.
Pada dasarnya Lili hanya membutuhkan tempat
buat Lembayung Senja sebagai tempat istirahat. Luka
di dalam tubuh Lembayung Senja membutuhkan masa
istirahat yang agak lama. Sebenarnya Lili bisa saja ti-
dak peduli lagi dengan Lembayung Senja setelah ia me-
lakukan pengobatan. Tetapi karena ingin menunjuk-
kan kepada Yoga, bahwa ia menjalankan apa yang di-
perintahkan Yoga, maka Lili pun merawat Lembayung
Senja dengan balk-baik. Setidaknya hal itu diharapkan
bisa menyenangkan hati Pendekar Rajawali Merah. Ka-
rena Lili pun akan senang jika hati pendekar tampan
itu merasa gembira.
Tetapi kepergian Yoga ternyata mengundang
kecemasan yang cukup besar bagi Lili. Kecemasan itu
makin meresahkan hatinya setelah Lembayung Senja
berkata,
'Tak ada orang yang bisa mencegah Pendekar
Rajawali Merah untuk tidak mendekati sang Ketua.
Apa pun larangannya pasti akan diterjang oleh Yoga,
dan Yoga tetap ingin mendekati Kembang Mayat."
"Mengapa begitu?" tanya Lili.
Yoga telah terkena aji 'Candra Kasmaran' di
perjalanan. Aji 'Candra Kasmaran' pasti telah dilancar-
kan Kembang Mayat sewaktu kami dalam perjalanan
menuju ke pesanggrahan, sebelum bertemu Rahsumi
yang akhirnya mati itu!"
"Apa keistimewaan aji 'Candra Kasmaran' itu?"
tanya Lili.
"Memikat hati lelaki sehingga lelaki itu inginnya
selalu memburu Kembang Mayat ke mana pun pergi."
"Apakah sama dengan 'Racun Bunga Asmara'?"
“Tidak. Lebih berbahaya 'Racun Bunga Asmara'!
Tapi aji 'Candra Kasmaran' pun bisa membuat Yoga
enggan berpikir tentang wanita lain!"
Ha! itulah yang mencemaskan hati Lili, bahkan
diam-diam Lili menaruh rasa benci kepada Kembang
Mayat. Dalam hatinya, Lili berkata sendiri,
"Yoga harus kusingkirkan dari Kembang Mayat!
Aji 'Candra Kasmaran' akan membuat Yoga tidak mau
berpikir tentang diriku lagi! Oh, jangan sampai hal itu
terjadi! Jangan sampai...!"
Kecemasan itulah yang membuat Pendekar Ra-
jawali Putih bergegas pergi setelah menempatkan Lem-
bayung Senja di pondoknya si Tua Usil. ia pergi me-
nyusul Yoga, mengikuti arah kepergian pendekar tam-
pan itu, walau tak yakin apakah bisa bertemu atau ju-
stru tersesat di hutan.
Dan dalam pencariannya itulah, ia menemukan
sebuah tebing datar yang merupakan bibir sebuah ju-
rang yang dalam. Di situlah Lili terperanjat kaget me-
nemukan Yoga terkapar dan buntung tangannya. Ia ti-
dak tahu siapa yang membuntungi tangan Yoga, si To
peng Merah atau Kembang Mayat. Bahkan ia tak tahu
di mana mereka berdua, karena sebelum Lili tiba di
tempat itu, Topeng Merah sudah lebih dulu pergi me-
ninggalkan Yoga.
Hati Lili menjadi sangat sedih. Ia sempat me-
nangis di samping tubuh Yoga yang masih terkapar
pingsan itu. Dendam dan tangisnya yang menggumpal
di dada, menghentak-hentak bagai ingin mendobrak
dadanya Lili hampir saja ingin membawa Yoga untuk
mencebur kan diri bersama-sama ke dalam jurang
yang amat dalam itu. Untunglah kesadarannya segera
datang, dan ia tak mau lakukan tindakan konyol se-
perti itu. Lili segera membawa Yoga pulang ke pondok
Pancasona.
Kalau saja Lili tahu bahwa orang yang memo-
tong tangan Yoga adalah Topeng Merah, sudah pasti ia
akan memburu si Topeng Merah ke mana pun larinya
orang misterius itu. Sudah pasti pula Pendekar Raja-
wali Putih tak akan hentikan pertarungannya sebelum
Topeng Merah terpenggal kepala, tangan, dan kakinya.
Sayang sekali ia tidak tahu siapa pemenggal lengan
Yoga, sehingga ia tak bisa lampiaskan dendamnya.
Bukan hanya Lili yang menangisi nasib Yoga
yang sekarang menjadi pendekar buntung itu, melain-
kan Lembayung Senja juga turut memandangi Yoga
dengan hati sedih dan terharu. Bahkan di salah satu
tempat di bawah pohon, seorang gadis terisak-isak
menangis dengan air mata membasahi pipinya yang
halus mulus itu.
Gadis cantik berambut panjang yang diikat jadi
satu dengan tali merah itu, tak lain adalah Mutiara
Naga. Di bawah pohon itu rupanya Mutiara Naga su-
dah sejak tadi menangis seorang diri, sehingga ketika
ia berhenti menangis, matanya menjadi sembab dan
agak sipit.
Mutiara Naga menangis karena kehadiran dua
orang yang berhenti dari larinya, tak berapa jauh dari
tempatnya berada. Kedua orang tersebut salah satunya
bertubuh tinggi, besar, dan kekar seperti raksasa. Wa-
jahnya lebih lebar dari ukuran wajah manusia biasa.
Tulang rahang, dagu, pipi, dan tulang hidungnya, se-
mua serba besar. Di keningnya ada dua benjolan sebe-
sar jeruk peras, terletak tepat di kanan-kiri kening.
Orang tersebut sangat dikenal oleh Mutiara Naga seba-
gai tokoh ganas yang berjuluk Tanduk Iblis.
Sedangkan pemuda yang lumayan tampan tapi
matanya tidak selembut dan seteduh Yoga itu tak lain
adalah Tamtama, saudara sepupu dari Mutiara Naga
sendiri. Tamtama terkesiap mata ketika melihat Mutia-
ra Naga menangis. Walaupun air mata sudah dikering-
kan, tapi sembabnya mata dan murungnya wajah
membuat Tamtama tahu bahwa Mutiara Naga habis
menangis. Maka menegurlah Tamtama dengan nada
sedih mengejek,
"Rupanya kau masih ingat untuk menangis ju-
ga, Mutiara Naga?! Hmmm...! Kalau boleh ku tahu,
mengapa kau menangis, Mutiara Naga?"
"Kau tak perlu tahu, Tamtama!"
"Sebagai saudara sepupu, aku perlu tahu ten-
tang kesulitanmu! Mungkin hatiku berkenan untuk
membantumu, Mutiara Naga!"
Dengan wajah masih murung dan memandang
ke arah lain, Mutiara Naga menjawab sedikit parau,
"Semua ini gara-gara si Pendekar Rajawali Me-
rah!"
O, sangat kebetulan sekali kita punya masalah
yang sama, Mutiara Naga! Agaknya kau telah dikece-
wakan olehnya dan perlu bikin perhitungan! Tapi kalau boleh ku tahu, apa yang dilakukan oleh Yoga ter-
hadap diri mu, sehingga kau jadi menangis begitu? Ka-
takanlah, agar aku tidak tanggung-tanggung lagi da-
lam bergerak mencarinya bersama sahabatku; si Tan-
duk Iblis ini!"
"Ya, katakan apa yang dilakukan orang itu ke-
padamu, Mutiara Naga! Katakan saja!" desak Tanduk
Iblis dengan suaranya yang pelan tapi bernada besar.
Mutiara Naga diam, tundukkan kepala dengan
sedih. Hatinya bertanya-tanya kepada diri sendiri, "Ha-
ruskah aku menceritakan kejadian yang sebenarnya?
Haruskah mereka berdua mengetahui masalah priba-
diku? Apakah mereka nanti tidak akan menertawai ku
jika aku bicara apa adanya kepada mereka?"
Cukup lama Mutiara Naga diam dan memper-
timbangkan keputusan batinnya. Tamtama tak sabar
dan segera berkata,
"Kalau kau tak mau menceritakan masalahnya,
aku tak bersedia membantumu, Mutiara Naga!"
"Pergilah! Tinggalkan aku sendirian di sini!" ka-
ta Mutiara Naga.
"Ceritakan dulu apa yang terjadi!" desak Tam-
tama, diperkuat oleh bujukan dari Tanduk Iblis yang
berwajah angker itu.
"Lekas ceritakan supaya tidak membuang
buang waktu!"
Mutiara Naga kembali diam. Matanya meman-
dang arah lain. Ia berdiri bersandar pada batang pohon
dengan raut wajah makin sedih. Lalu, ia pun mencoba
memaksakan diri untuk mengungkapkan kesedihan-
nya di depan saudara sepupunya itu,
"Yoga, Pendekar Rajawali Merah itu, tidak mau
menghiraukan aku lagi! Ia telah terpikat dengan ke-
cantikan si Kembang Mayat!"
"Ha, ha, ha, ha...!" Tamtama tertawa keras. Mu-
tiara Naga memandang dengan tajam dan menden-
guskan napas kejengkelannya.
"Rupanya tangis kesedihan mu itu karena ke-
cemburuan?! Hmmm...! Alangkah bodohnya kau ini,
Mutiara Naga! Orang seperti dia tidak perlu dicemburui
dan jangan mau menangis untuknya! Lelaki dl dunia
ini banyak dan...."
"Tapi tidak ada yang setampan dan sesakti dia!"
sahut Mutiara Naga dengan cepat dan menyentak.
"Dengar kataku, Mutiara Naga.... Kau memang
tidak layak berdampingan dengan Pendekar Rajawali
Merah! Dia watak lelaki yang gemar main perempuan!
Kalau kau jatuh cinta padanya, itu berarti kau lebih
bodoh daripada seekor kerbau!"
"Setan! Dengan berkata begitu, kau sama saja
menambah hatiku semakin sakit!"
"Ha, ha, ha, ha...! Maafkan aku kalau begitu,
Mutiara Naga! Tapi, apa pun kebodohanmu, aku tetap
akan mencari Yoga bersama Tanduk Iblis! Jangan ta-
kut, Yoga akan kubunuh begitu kami bertemu den-
gannya. Se-tidaknya sakit hatimu oleh sikapnya akan
terobati, Mutiara Naga! Diamlah. Jangan menangis la-
gi!"
Tanduk Iblis menyahut, "Kalau aku tidak tahu
kau adalah saudara sepupunya Tamtama, aku tak su-
di membantumu, Mutiara Naga! Karena kau pernah
menyerang ku ketika aku bertarung melawan Jalak
Hutan!"
"Aku tidak butuh bantuanmu, Manusia Gajah!"
ucap Mutiara Naga dengan mata menyipit benci. Tan-
duk Iblis mundur dua tindak dan tak mau membantah
dengan kata apa pun.
“Tanduk Iblis," kata Tamtama, kemudian."...
sebaiknya kita langsung saja ke Perguruan Belalang
Liar! Karena kurasa Yoga ada di sana, sedang bercum-
bu dengan Kembang Mayat!"
"Baik. Kita berangkat sekarang! Aku sudah tak
sabar, ingin segera menguliti tubuh Pendekar Rajawali
Merah yang digembar-gemborkan sebagai pendekar
yang tangguh itu!"
Tamtama dan Tanduk Iblis segera meninggal-
kan tempat tersebut. Tetapi tiba-tiba tubuh Mutiara
Naga cepat menjejak ke tanah dan melesat bagaikan
terbang. Di udara ia bersalto satu kali, kemudian men-
darat dan jatuh di depan langkah Tamtama dan Tan-
duk Iblis.
"Hmmm...! Ada apa lagi, Mutiara Naga?!" tegur
Tamtama.
"Kalau tujuanmu mencari Yoga untuk dibunuh,
kau harus berhadapan denganku dulu, Tamtama!"
Tamtama tidak langsung menyahut, melainkan
memandang ke arah Tanduk Iblis. Pada saat itu Tan-
duk Iblis memang sedang menatapnya. Tanduk Iblis
hanya angkat bahu, seakan terserah Tamtama mau
ambil kebijakan yang mana; menuruti kemauan Mutia-
ra Naga untuk tidak menyerang Yoga, atau menyerang
Yoga sesuai rencana dengan cara menyingkirkan Mu-
tiara Naga, sepupunya?
"Sebaiknya kita mengurus kepentingan diri
sendiri saja, Mutiara Naga! Aku pun akan mengurus
kepentinganku, bukan kepentinganmu!"
"Jika kepentinganmu adalah membunuh Yoga,
maka kau berarti berurusan denganku, Tamtama!"
"Minggirlah, Mutiara Naga! Jangan menghalangi
langkahku!" bentak Tamtama. "Nanti kalau kesaba-
ranku hilang, kuhajar wajah cantik mu itu!" "Mengapa
tidak kau lakukan, hah?!" "Benar-benar perlu dihajar
kau ini! Hiahhh...!" Tamtama menghantam wajah Mu-
tiara Naga dengan gerakan cepat, tapi oleh Mutiara
Naga pukulan itu hanya ditangkis dengan tangan kiri.
Plak...! Dan tangan kanannya segera menyodok dagu
Tamtama Plook...! Maka terdongak wajah Tamtama
sambil menahan seringai kesakitan. Sedangkan kepala
yang terdongak itu belum sempat kembali turun tahu-
tahu sudah mendapat sentakan kuat di bagian perut-
nya, buuhg...! Tendangan Mutiara Naga mengenai pe-
rut itu dengan telaknya. Tamtama jatuh seketika da-
lam keadaan perut merasa muai.
'Tanduk Iblis! Mengapa diam saja?! Hajar dial"
seru Tamtama dengan berang. Tapi Tanduk Iblis hanya
diam saja dan berkata,
"Aku tak pernah melawan perempuan, Tamta-
ma! Maaf saja, aku tak bisa membantumu!"
"Aah!" Tamtama mendesah jengkel. Kemudian
ia menghantamkan tapak tangannya ke tanah. Buhg...!
Dan dari tanah memerciklah sinar merah yang melesat
naik ke arah dada Mutiara Naga. Seketika itu Mutiara
Naga melompat ke samping dan menghantam sinar
merah tersebut dengan sinar hijau dari punggung tan-
gannya yang disodokkan. Claap...! Biaaar!
Sraang...! Tamtama mencabut pedangnya, dan
Mutiara Naga pun Udak mau kalah, ia segera menca-
but pedangnya juga. Sreet...! Sedangkan Tanduk Iblis
mundur beberapa tindak, memandangi pertarungan
itu dengan sikap tenang sekali.
"Apakah kau benar-benar sudah siap korban-
kan nyawamu untuk melindungi si kunyuk itu, Mutia-
ra Naga?!"
'Ya! Aku siap!" katanya dengan menggeram. Pe-
dangnya pun segera berkelebat ke samping kiri dan di
sambut dengan tangan kirinya, sehingga pedang itu
menempel rapat di telapak tangan kirinya, di atas
pundaknya.
"Baiklah kalau kau memang siap mati untuk
kunyuk itu! Aku pun tak merasa sayang kehilangan
saudara sepupu sendiri! Hiaaah...!"
Tamtama maju dengan menghujam pedangnya,
tapi pedang Mutiara Naga segera menebas ke bawah,
traang...! Trang...! Wuuut...! Kaki Tamtama menendang
wajah Mutiara Naga, namun segera dapat dielakkan.
Sebaliknya, ketika itu Mutiara Naga lekas putarkan
badan dan kakinya berkelebat menendang, wuuut...!
Plook...! Wajah Tamtama menjadi sasaran empuk bagi
kaki itu. Tamtama sempoyongan. Mutiara Naga segera
mengejar untuk menebaskan pedangnya merobek dada
Tamtama.
Wuuut...!
Traaang...!
Pedang Mutiara Naga tertangkis, tapi bukan
oleh pedang Tamtama, melainkan tertangkis oleh pe-
dang Jalak Hutan. Lelaki itu muncul pada saat Tam-
tama mestinya robek dadanya oleh pedang Mutiara
Naga.
Melihat kehadiran Jalak Hutan, Mutiara Naga
segera mundur dua tindak dan hentikan serangannya.
"Mengapa Paman halangi seranganku?!" sentak
Mutiara Naga dengan wajah memancarkan kekece-
waan. Jalak Hutan yang tidak lagi mendongak kepa-
lanya itu segera memasukkan pedangnya sendiri ke
sarung pedang.
"Jangan kalian saling membunuh! Tamtama
adalah saudara sepupu mu juga, Mutia!"
“Tapi dia ingin membunuh Pendekar Rajawali
Merah, Paman! Aku harus melindungi Yoga dan meng-
gagalkan rencananya!"
Tamtama segera tegak dan berkata kepada Ja-
lak Hutan, "Uruslah keponakanmu itu, jangan sampai
dia mati di tanganku, Paman Jalak Hutan! Aku bosan
bertarung dengannya!"
"Itu pertanda kau tidak bisa mengalahkan dia,
Tamtama!" kata Jalak Hutan bernada membela Mutia-
ra Naga.
Tanduk Iblis geram melihat kemunculan Jalak
Hutan. Ia ingin menyerang, meneruskan pertarungan-
nya yang tertunda tempo hari. Tetapi ia melirik Mutia-
ra Naga dan segera membatalkan niatnya, karena pi-
kirnya percuma melawan Jalak Hutan saat itu, pasti
Mutiara Naga akan ikut campur lagi.
“Tanduk iblis, cepat kita pergi dari sini!" kata
Tamtama bagai seorang ketua yang memberikan perin-
tah pada bawahannya. Tanduk Iblis menurut. Kedua-
nya segera melesat pergi dengan menggunakan tenaga
peringan tubuh.
Mutiara Naga ingin mengejar Tamtama, tapi di-
hadang oleh Jalak Hutan. Mutiara Naga menjadi tam-
bah jengkel dan cemberut.
"Aku akan mengikutinya. Paman! Jika dia mau
bunuh Yoga, aku yang akan melindunginya!"
"Itu tak perlu kau lakukan, Mutia!" kata Jalak
Hutan.
"Kenapa tak perlu?! Sekalipun Paman tadi su-
dah memberitahukan padaku tentang hubungan Yoga
dengan Kembang Mayat, tapi aku tetap mencintainya,
Paman"
"Iya! Aku tahu itu! Tapi kau tak perlu bersikap
begitu, Mutia! Pendekar Rajawali Merah bisa jaga diri
sendiri dan dia lebih hebat dari kau! Jadi kalau kupi-
kir-pikir, kau ini bukan mau lindungi dia malah mau
bikin repot dia saja, Mutia!"
"Macam mana aku bikin repot, karena aku yang
akan bunuh Tamtama kalau Tamtama mau bunuh di-
al"
"Ah, sudahlah...!" Jalak Hutan menepiskan tan-
gan sendiri. "Lupakan saja soal itu! Tak perlu kau ce-
maskan. jiwanya, Mutia! Sekarang yang perlu kau pi-
kirkan, bagaimana menarik perhatian Pendekar Raja-
wali Merah supaya pindahkan hatinya dari Kembang
Mayat kepada dirimu!"
"Maksud Paman bagaimana?" Mutiara Naga be-
rubah sikap dan menjadi lebih bersemangat lagi.
"Aku punya sahabat, dan kau kenal dengan
orang itu pasti! Aku bisa mintakan padanya agar dia
mau ajarkan jurus kemesraan padamu, supaya kau
bisa lawan Pendekar Rajawali Merah pakai jurus ke-
mesraan itu, dan Pendekar Rajawali Merah akan jatuh
cinta padamu!"
"Maksud Paman, semacam ilmu pelet, begitu?!"
"Ya! Betul, betul...! Ah, bagaimana? Kau setu-
ju?!" Jalak Hutan berseri-seri dalam seringainya.
Mutiara Naga diam, memunggungi pamannya.
Agaknya ada sesuatu yang ia pertimbangkan.
"Jurus itu bisa bikin Yoga bertekuk lutut pa-
damu saat itu juga, Mutia! Jurus itu lebih berbahaya
daripada 'Racun Bunga Asmara'," kata Jalak Hutan,
lalu ia mendekat punggung Mutiara Naga dan berbisik,
"Terus terang saja, jurus itu membuat Yoga
akan terpikat padamu dan gairah kejantanannya akan
tumbuh dan mengejarmu sepanjang masa! He, he, he,
he...! Bagaimana? Kau bersedia?"
"Itu namanya aku berbuat jahat padanya, Pa-
man!" hanya itu jawaban Mutiara Naga yang membuat
Jalak Hutan tertegun bengong
*
* *
6
PENDEKAR Rajawali Merah baru saja siuman
dari pingsannya. Hampir seharian penuh ia tak sadar-
kan diri. Ketika ia siuman, bumi telah dikelilingi oleh
selubung hitam karena datangnya malam. Pertama kali
la membuka mata yang ia pandang adalah seraut wa-
jah cantik melebihi bidadari. Tentu saja wajah itu ada-
lah wajah Guru Lili. Itulah sebabnya, dalam kereman-
gan cahaya pelita penerang rumah pondok Pancasona,
Yoga menyipitkan matanya untuk menangkap lebih je-
las lagi wajah ayu itu, lalu ia berucap pelan, "Guru...!"
Hampir saja Lili mencucurkan air mata kembali
mendengar sapaan pelan itu. Seolah-olah ia menden-
gar rintihan memelas dari seorang pendekar yang telah
tak berdaya lagi itu. Lili hanya mengeraskan hatinya
untuk tidak menitikkan air mata lagi. Ia menggenggam
tangan kanan Yoga kuat-kuat. Di sanalah sebenarnya
tangis itu ditahan sekuat mungkin.
"Guru Li..., tanganku hilang satu. Guru...!"
Lembayung Senja yang mendengar ucapan itu
menjadi tak mampu menahan air matanya. Ia menan-
gis dengan tundukkan kepala dan memalingkan wajah.
Hatinya iba mendengar ucapan seorang pendekar tam-
pan yang memikat hati setiap wanita itu, kini dalam
keadaan buntung tangannya. Duka yang ada di hati
mereka itu sebenarnya adalah duka yang timbul akibat
rasa sayang, kasihan, dan dendam kepada si pemeng-
gal tangan tersebut. Tega-teganya orang itu membun-
tungi tangan seorang pemuda tampan yang begitu
memukaunya jika dipandang walau sampai berapa la-
manya.
"Siapa yang melakukannya, Yo?!" tanya Lili
dengan suara pelan.
Pertanyaan itulah yang sampai dua hari tidak
terjawab oleh Yoga. Setiap Lili mendesaknya dengan
pertanyaan itu, Yoga selalu menjawabnya,
"Aku tidak ingat lagi. Guru Li! Pandangan ma-
taku gelap ketika itu dan aku tak tahu siapa yang me-
nebaskan pedangnya hingga tangan kiriku menjadi
buntung begini!"
"Apakah kau diserang dari belakang, dan tahu-
tahu orang itu memenggal tanganmu?!"
"Mungkin begitu!" jawab Yoga dengan tenang.
Tetapi hati kecil Pendekar Rajawali Putih sangsi
dengan pengakuan Yoga itu. Ia tak percaya kalau Yoga
bisa diserang dari belakang. Seingatnya, guru Yoga
yang bernama Dewa Geledek itu orang yang paling su-
lit diserang dari belakang karena mempunyai ilmu
yang dinamakan 'Sandi Indera'. Ilmu itu membuat De-
wa Geledek selalu punya gerakan cepat untuk meng-
hindar atau menangkis jika diserang dari belakang se-
cara sembunyi-sembunyi. Apakah jurus 'Sandi Indera'
tidak diturunkan kepada Yoga? Rasa-rasanya itu tak
mungkin menurut hati nurani Lili. Jadi sangat aneh ji-
ka Yoga mengaku diserang orang dari belakang se-
hingga tangan kirinya putus sebatas siku.
"Ada sesuatu yang kau sembunyikan, Yo!" de-
sak Lili lagi.
"Aku tidak menyembunyikan apa-apa," jawab
Yoga
"Pengakuanmu itu palsu! Aku tak percaya kau
tidak mengenali si penyerang mu itu! Kau berlari men-
gejar Kembang Mayat, Kembang Mayat berlari mengejar Topeng Merah. Lalu siapa di antara mereka berdua
yang ganti melawanmu dan memenggal tangan kirimu
sebenarnya?"
"Aku tak jumpa mereka!"
“Tak mungkin!"
"Mereka berlari dengan cepat dan aku tak
sanggup mengejar!"
"Itu semakin tak mungkin!" bantah Pendekar
Rajawali Putih. "Kau punya jurus 'Petir Selaksa' yang
mampu bergerak melebihi gerakan kilat! Aku pun juga
punya! Tak mungkin kau tak berhasil kejar mereka,
Yo! Tak mungkin!" Lili geleng-gelengkan kepalanya.
Pendekar Rajawali Merah tidak membantah. Ia
diam saja, hanya menghela napas dan memandang ca-
haya pagi dengan embun-embunnya yang belum ker-
ing di permukaan dedaunan. Terdengar lagi Pendekar
Rajawali Putih berkata,
"Apalagi kita sama-sama mempunyai jurus
"Langkah Bayu', yang membuat kita bagai menghilang
dalam satu kali sentakan kaki, ini jelas tidak mungkin
membuat mu kehilangan jejak mereka atau tak mam-
pu mengejar mereka!"
"Aku tersesat, Guru Li!" kata Yoga, bagaikan
baru saja menemukan gagasan dan alasan yang kuat.
"Mungkin mereka membelok ke timur sedangkan aku
membelok ke barat, atau sebaliknya"
Sekarang Lili yang termenung. Alasan itu me-
mang masuk akal. Tapi apakah Yoga tidak bisa mela-
cak dari bau wewangian yang dimiliki oleh Kembang
Mayat? Lili sendiri sampai sekarang masih hapal den-
gan wewangian khas yang ada di tubuh Kembang
Mayat, padahal kala itu ia datang menemui Yoga ma-
nakala Kembang Mayat telah pergi beberapa saat yang
lalu, yaitu sebelum mereka berdua akhirnya membunuh Mata Neraka.
Sebenarnya Yoga tak bisa berbohong terlalu
banyak kepada Lili. Tapi agaknya hal itu memang per-
lu ia lakukan, supaya Lili tidak lampiaskan dendam-
nya kepada orang yang membuat tangan Yoga putus.
Padahal di dalam hati, Yoga tahu persis siapa orang
yang memutuskan tangannya. Dia adalah Topeng Me-
rah.
Ya, memang Topeng Merah. Tetapi Yoga melihat
sinar penyesalan yang dalam dari gerakan mata di ba-
lik topeng itu. Hanya sekilas dan memang tak seberapa
jelas diterima oleh pandangan mata Yoga. Tetapi pada
saat itu Yoga punya naluri yang mengatakan, bahwa
Topeng Merah menyesal sekali atas jurusnya yang sa-
lah tebas itu. Yoga yakin seyakin-yakinnya, bahwa To-
peng Merah tidak bermaksud membuntungi tangan-
nya. Tetapi apakah alasan seperti itu bisa diterima oleh
Lili jika Yoga mengatakan yang sebenarnya?
"Tidak. Lili tidak bisa menerima kenyataan ini,"
pikir Pendekar Rajawali Merah. "Kalau kukatakan yang
sebenarnya, Lili pasti akan memburu Topeng Merah
dan membantainya lebih keji dari putusnya tanganku
ini! Sedangkan naluri ku mengatakan, Topeng Merah
tidak punya maksud jahat kepadaku, justru ia selalu
melindungi ku! Tapi Lili pasti tidak akan peduli jika
kukatakan bahwa Topeng Merah memutuskan tangan
kiriku dengan satu tindakan yang tidak sengaja! Aku
tahu persis, Lili kecewa padaku karena aku tidak mau
menyebutkan siapa orangnya. Namun rasa-rasanya
memang lebih baik merahasiakan hal itu, dari pada
timbul peristiwa yang tak kuinginkan.!”
Yoga pun sebenarnya tahu bahwa Kembang
Mayat mati karena jatuh ke jurang pada saat ia belum
pingsan. Tetapi demi menjaga rahasianya, Yoga mengaku tidak mengetahui bagaimana nasib Kembang
Mayat ketika Lembayung Senja menanyakannya di de-
pan Lili juga.
"Kalau aku bertemu dengan mereka, maka aku
pasti tahu bagaimana nasib mereka; Kembang Mayat
di bunuh Topeng Merah, atau Topeng Merah yang di-
bunuh Kembang Mayat! Karena aku tak bertemu den-
gan mereka, maka aku tak tahu nasib mereka!"
Lembayung Senja juga merasa kecewa atas ja-
waban itu. Namun lambat laun ia mulai percaya. Satu
saat ia menghampiri Yoga yang sedang dalam keadaan
sendirian, di bawah sebuah pohon yang ada di samp-
ing rumah si Tua Usil itu.
"Lukamu belum kering juga dan akan menjadi
busuk kalau tak segera diobati," kata Lembayung Sen-
ja.
"Agaknya memang begitu," jawab Yoga tetap te-
nang. "Ini pun sudah ditangani oleh Guru Lili, kalau
belum pasti sudah sejak kemarin menjadi busuk dan
menjalar ke seluruh tubuh."
"Racun itu agaknya hanya bisa dilenyapkan
oleh sang Ketua! Dia tahu persis soal racun, karena
neneknya dulu, yaitu Guru Sangkal Pati, adalah jago
racun yang mendapat julukan Ratu Racun. Ilmu itu di
turunkan semuanya kepada Kembang Mayat. Kalau
sekarang kau tahu di mana Kembang Mayat, kau bisa
minta bantuan kepadanya untuk menangkal racun da-
lam lukamu. Pedang orang itu pasti beracun dan san-
gat berbahaya jika tergores sedikit pun! Kalau pedang
itu tidak beracun, maka lukamu itu tidak akan mem-
punyai warna biru pada tepiannya!"
"Aku percaya."
"Karena itu kusarankan pergilah kepada Kem-
bang Mayat dan mintalah bantuannya agar dia mau
mengobati lukamu!"
"Ke mana?" Pendekar Rajawali Merah berlagak
bodoh.
"Yah... ke mana sajalah, aku tak tahu di mana
sang Ketua sekarang berada!" kata Lembayung Senja.
"Apakah kau tak bisa mencarinya sendiri? Tentunya
kau tahu di mana dia bersembunyi, sebab jika dalam
keadaan darurat, sang Ketua selalu memberitahukan
kepada salah satu orang yang dipercaya tentang di
mana dia berada. Orang itulah yang akan dipakai se-
bagai perantara antara dirinya dengan orang lain!"
"Kalau aku tahu di mana Kembang Mayat bera-
da, aku akan ke sana!" kata Yoga dengan suara pelan
dan mata menerawang.
"Jadi kau benar-benar tidak tahu?"
"Tidak! Mungkin kau tahu? Karena biasanya
sebagai murid atau anggotanya, kau tahu di mana ha-
rus bersembunyi jika dalam keadaan yang sangat ber-
bahaya!" Yoga membalikkan tuduhan tak langsung itu.
"Aku tidak tahu! Kami tidak punya tempat se-
perti itu!"
"Berarti aku memang tidak punya kesempatan
untuk sembuh!" Yoga berkata bagaikan orang patah
semangat. Hal itu membuat Lembayung Senja menarik
napas dalam-dalam karena kasihan melihat nasib
Pendekar Rajawali Merah yang sangat gagah dan ru-
pawan itu.
"Aku berani bersumpah, aku tidak tahu di ma-
na dia berada!" kata Lembayung Senja sambil melang-
kah pergi meninggalkan Yoga, ia masuk ke dalam ru-
mah, dan segera menemui Lili di sana. Yoga melihat
sekelebat pakaian Lili didekati Lembayung Senja, lalu
mereka merapat di tempat yang tak terlihat dari luar
rumah. Yoga hanya tersenyum dalam hati. Ia tahu,
pertanyaan Lembayung Senja tadi adalah atas perintah
Lili, yaitu perintah untuk memancing keberadaan
Kembang Mayat ataupun Topeng Merah.
"Menurutku," kata Lembayung Senja kepada Li-
li, "Dia benar-benar jujur dan tak bertemu dengan
Kembang Mayat ataupun si Topeng Merah!"
"Kalau begitu, siapa yang memutuskan tangan-
nya itu?!" gigi Lili menggeletuk pertanda menahan
dendam untuk suatu pembalasan.
"Nona Lili...!" si Tua Usil muncul dari dapur.
"Saya sudah buatkan air hangat untuk mandi Tuan
Yoga!"
"Bagus!"
"Jadi kapan saya akan mendapat pelajaran ten-
tang bagaimana bisa berdiri di atas ilalang?!"
"Mintalah pada Yoga! Dia punya jurus begitu
juga!" kata Lili.
Si Tua Usil bernada kecewa, "Oh, Nona Lili...
kau masih saja tak mau mengajari ku untuk bisa ber-
diri di atas ilalang! Lama-lama aku bisa bunuh diri jika
kau selalu menolaknya!"
"Bunuh dirilah! Mungkin itu pilihan terbaik
menurut selera mu!" jawab Lili sambil bergegas pergi
dan menghampiri Yoga, menyuruhnya mandi dengan
air hangat.
Racun dalam luka memang cukup berbahaya.
Sekalipun Lili telah menangkalnya dengan menyalur-
kan hawa murninya dan menutup kulit luka dengan
hawa sakti yang dapat mempercepat keringnya luka,
tapi nyatanya racun itu masih mampu menembus ha-
wa sakti walau tidak secepat biasanya. Luka busuk
akan terjadi bukan hanya pada bagian yang terpotong
saja, namun juga pada seluruh lengan, sampai ketiak
apabila racun busuk itu mulai merayap ke sana, dibawa oleh peredaran darah. Bahkan bisa membuat bu-
suk sekujur tubuhnya.
"Aku harus menemui Tabib Perawan!" kata Yo-
ga. "Kurasa dia bisa menyembuhkan luka ini, terma-
suk menangkal keganasan racun ini!"
'Tabib Perawan...?! Sepertinya aku pernah den-
gar kau menyebutkan nama itu!" kata Lili.
"Ya. Tabib Perawan bernama Sendang Suci, dia
bibinya Mahligai!"
"Ooo... jadi kau ingin menjenguk Mahligai, si
gadis gila itu, dengan alasan menemui Tabib Pera-
wan?!"
"Kecemburuan mu berlebihan, Guru! Ini akan
membahayakan diriku sendiri!"
"Siapa yang cemburu padamu!" sentaknya
sambil ia berhenti menyisir rambut Yoga.
"Baik. Baiklah... kau tidak cemburu, lantas apa
namanya jika kau selalu curiga apabila aku menemui
Mahligai?!"
"Aku... aku hanya sekadar menggoda mu saja!"
Lili memaksakan diri untuk tersenyum, biar ada kesan
kata katanya tadi hanya bercanda. Tetapi senyum itu
kaku, canda itu tak enak dilihat dan didengar, karena
Yoga pun berkata,
"Hilangkan kecurigaan seperti itu. Nanti akan
menyiksa-dirimu sendiri, Guru!"
"Aku tidak curiga!" tandasnya tegas.
"Kau curiga!"
"Tidak!"
"Kau mencintai ku, Guru!"
"Yo...! Jangan bicara selancang itu!"
"Kau tak mau mengakuinya?!"
"Aku sedang tak berselera bicara soal itu!" ja-
wab Lili menutupi perasaan sebenarnya.
"Tapi... sayang sekarang tanganku sudah bun-
tung satu, sehingga mengurangi rasa cinta seseorang
pada diriku!"
"Jangan berkata begitu!" tegasnya lagi.
"Memang nyatanya aku kehilangan tangan satu
begini! Aku sekarang sudah cacat dan buntung! Tak
layak mendapatkan cinta dari seseorang!"
"Siapa bilang?!"
"Tak ada lagi orang menaruh hati padaku,
Guru!"
"Masih ada!"
"Siapa?"
"Siapa saja!" jawab Lili sambil berlagak acuh
tak acuh.
"Orang yang menaruh hati, jika besar kecembu-
ruannya akan menyiksa diri sendiri! Dan itulah orang
yang bodoh!"
"Aku tidak curiga, tidak cemburu, tidak apa-
apa padamu! Kalau kau mau pergi ke Tabib Perawan
pergilah sana! Kalau kau mau bertemu dengan Mahli-
gai untuk melepas rindu, bertemulah sana! Aku pun
tidak mau dibuat susah oleh anggapan-anggapan mu
tadi. Aku punya urusan sendiri, aku punya tugas sen-
diri untuk mencari pemandu hatiku!"
Pendekar Rajawali Putih memang bicara den-
gan santai, seakan tidak mempunyai tekanan kecewa,
tidak mempunyai nada cemburu, tidak mempunyai si-
kap marah, tapi mempunyai arti yang cukup dalam da-
ri seluruh kata-katanya itu. Yoga menyadarinya, tapi
Yoga tidak mau bilang apa-apa kecuali hanya menga-
takan,
"Aku boleh berangkat ke rumah Tabib Perawan
sekarang juga?"
"Berangkatlah," jawab Lili sambil merapikan
pakaian Yoga "Hati-hati di perjalanan, jangan sampai
tangan kananmu ganti yang terpotong oleh kebodo-
hanmu!"
"Kebodohan ku?" Yoga tersenyum. Geli sendiri
mendengar ucapan Lili yang masih bernada meremeh-
kan dirinya.
"Rasa sakit mu bagaimana?"
"Bisa ku atasi sendiri, Guru!"
"Ajaklah si Tua Usil itu buat jaga-jaga dirimu di
perjalanan!"
"Apakah dia tidak akan merepotkan diriku den-
gan keusilannya?"
"Kurasa dia tidak berani bertingkah macam-
macam. Dan kalau dia minta diajarkan bagaimana ca-
ra berdiri di atas ilalang, katakan saja, hanya aku yang
bisa melakukannya! Jangan kau ajarkan ilmu itu ke-
padanya. Paham?"
"Sangat paham, karena aku tahu kau tidak in-
gin lebih rendah dariku. Guru Li...!I"
"Bukan soal itu! Tua Usil tak pernah mau jujur
tentang dirinya. Sebatas apa kebisaannya, setinggi apa
ilmunya, dia tak pernah mau tunjukkan sedikit pun
pada ku. Tapi aku punya naluri mencurigainya, bahwa
sebenarnya dia itu berilmu tinggi! Tak banyak orang
tahu tentang tingginya ilmu si Tua Usil."
"Kau ingin dia jujur padamu?"
"Ya!" jawabnya dengan tegas dan pendek.
Maka berangkatlah Yoga bersama si Tua Usil
menuju ke lembah Bukit Berhala, tempat kediaman si
Tabib Perawan alias Sendang Suci. Dalam perjalanan-
nya, Tua Usil selalu bertanya ini-itu tentang hubungan
Yoga dengan UN, atau hubungan Yoga dengan Kem-
bang Mayat, atau bertanya tentang jurus-jurus yang di
miliki oleh Lili. Tak ketinggalan pula ia bertanya,
"Jadi, siapa orang yang memutuskan lenganmu
itu, Tuan Yo?"
"Seseorang yang mempunyai pedang!"
"Siapa orang itu?"
"Aku tak tahu! Kurasa kau pun tak perlu tahu,
Tua Usil."
"Tapi aku bisa menduga," katanya. "Bagaimana
dugaanmu?"
"Kulihat ilmu pedang Kembang Mayat cukup
hebat. Topeng Merah melarikan diri karena terdesak
oleh ilmu pedang Kembang Mayat. Lalu kau mengejar-
nya dan bermaksud mencegah pertarungan itu. Tinda-
kanmu itu, sangat mengecewakan hati Kembang
Mayat, Tuan Yo. Tak heran jika Kembang Mayat marah
padamu. Tapi ia pun diserang oleh Topeng Merah. Ge-
rakan pedang Kembang Mayat dapat menghindari dan
menangkis jurus pedang Topeng Merah. Dan pada saat
itulah, Topeng Merah kehilangan kendali geraknya, se-
hingga memotong lenganmu yang mungkin waktu itu
ada di dekat Kembang Mayat!"
Dalam hati Yoga terkejut mendengar penjaba-
ran si Tua Usil itu. Cara berpikirnya agak simpang siur
tapi akhirnya ke arah jawaban yang benar. Diam-diam
Yoga menjadi cemas, kalau-kalau mulut Tua Usil tidak
bisa dijaga dan bocor ke telinga Lili. Karenanya, Yoga
berlagak menertawakan dugaan Tua Usil.
"Dugaanmu sama sekali meleset, Tua Usil!"
"Baiklah kalau memang itu kau anggap dugaan
yang meleset, Tuan Yo. Tapi bagaimana jika dugaan itu
kubicarakan dengan Nona Li?"
Terkesiap mata Yoga, terhenti langkahnya seke-
tika itu. Kemudian ia berkata sambil memandang Tua
Usil yang tersenyum-senyum memamerkan satu gi-
ginya yang ompong sebelah kanan itu.
"Jaga mulut usil mu itu, nanti bikin perkara di
hati Guru Li!"
"He, he, he, he...! Kau takut aku bicara yang
sebenarnya, bukan?"
"Bukan takut kau bicara sebenarnya, tapi takut
dugaan bodoh mu itu dipercaya oleh guruku, sehingga
akan timbul pertarungan salah sasaran, Tua Usil!"
"Aku tetap akan bicara pada Nona Li, kecuali
kau mau ajarkan aku tentang bagaimana bisa berdiri
di atas ilalang!"
"Apakah kau pernah lihat aku berdiri di atas
ilalang?"
"Belum. Hanya Nona Li yang kulihat berdiri di
atas ilalang!"
"Kalau begitu, mintalah belajar padanya! Jan-
gan padaku!"
"Tapi menurut cerita Nona Li, kalian berdua
punya ilmu yang sama! Pendekar Rajawali Putih den-
gan Pendekar Rajawali Merah, dan jika Nona Li bisa
berdiri di atas ilalang, tentunya kau pun bisa, Tuan
Yo!"
Guru Li punya ilmu sendiri yang tidak kumiliki!
Jadi kau bisa minta diajarkan ilmu berdiri di atas ila-
lang kepadanya! Karena itu adalah salah satu kelebi-
hannya yang tidak kumiliki!"
"Baiklah kalau kau tak mau mengajarkannya
padaku, aku tetap akan bicara tentang dugaanku itu
kepada Nona Li!"
Tua Usil melangkah lebih dulu dengan rasa
bangga, seakan ia yakin betul siasatnya itu akan men-
jerat Yoga dan membuat keinginannya terpenuhi. Se-
mentara itu, Yoga sendiri memang menjadi cemas dan
gelisah. Lili berpesan agar jangan ajarkan ilmu berdiri
di atas ilalang, sementara itu Tua Usil mulai mengancam dengan sesuatu yang dirahasiakan baik-baik agar
tak diketahui Lili Jika sudah begini, Yoga tak tahu
mana yang harus dilakukan? Membocorkan raha-
sianya sendiri melalui mulut si Tua Usil itu, atau me-
langgar larangan sang Guru?
*
* *
7
SENDANG Suci terperanjat ketika keluar dari
rumahnya, tahu-tahu Yoga sudah berjalan mendekati
pintu rumah tersebut. Untuk beberapa saat Sendang
Suci tertegun memandangi tangan Yoga yang buntung
itu dan masih membasah pada lukanya. Wajah Sen-
dang Suci menjadi pucat, terbungkus oleh kesedihan
yang nyaris tak bisa ditahan lagi. Bahkan ia menjadi
serba salah dalam memandang ketika Yoga menatap-
nya dengan lembut dan berkata,
"Maaf, aku belum bisa dapatkan bunga Teratai
Hitam itu, Bi!"
Menelan ludah pun terasa sulit bagi Sendang
Suci. Namun ia paksakan diri sedapat mungkin, dan
berkata, "Masuklah, Yo!"
Ketika Sendang Suci mendahului masuk ke da-
lam rumah, dan Pendekar Rajawali Merah bergegas
mengikutinya, si Tua Usil berkata,
'Tuan Yo, kalau Tuan berkenan, izinkan aku di
luar saja!"
"Kenapa?"
"Aku... aku... aku tak mau campuri pembica-
raanmu dengan Tabib Perawan itu, Tuan Yo!"
Pendekar Rajawali Merah menghembuskan na-
pas panjang lalu berkata kepada si Tua Usil itu,
"Jangan jauh-jauh dari tempat ini! Aku tak la-
ma di sini!"
"Baik, Tuan Yo!"
Hati Yoga menjadi lebih haru lagi melihat Mah-
ligai terkapar lemah di atas sebuah dipan kayu. Tan-
gan dan kakinya dipasung, sementara ketika ia melihat
kehadiran Yoga, ia hanya menyeringai. Seringai itu bu-
kan seringai keramahan, melainkan seringai kegana-
san.
"Saya mendapat halangan, Bi!" kata Pendekar
Rajawali Merah sebagai pemberitahuan, bukan sebagai
keluhan.
"Hanya untuk bunga Teratai Hitam saja kau
sampai korbankan tanganmu begitu, Yo! Sungguh sua-
tu pengorbanan yang mahal!"
"Hanya sebuah kecelakaan kecil saja," kata Yo-
ga dengan sikap tenang dan tabah. "Barangkali Dewata
sudah menggariskan saya harus mengalami perjalanan
hidup selanjutnya dengan satu tangan! Saya tak boleh
menolaknya, bukan?"
"Ya, memang! Tak ada yang bisa menolak ke-
hendak Dewata yang merupakan jalur garis takdir itu!"
"Cuma, kalau saja suatu saat aku bertemu
dengan si Topeng Merah, dia akan kupenggal menjadi
beberapa potong, Bi!"
Terkesiap mata Sendang Suci saat itu, lalu dia
berkata, "Apakah dendam seperti itu akan mengemba-
likan tanganmu yang sudah putus begitu?"
"Memang tidak. Tapi...."
"Jangan mau diperbudak oleh dendam, Yo! Hi-
dup ini bukan berisi dendam dan pembalasan saja, ta-
pi juga ada kebaikan dan kebijakan. Bagiku, hilangnya
tangan mu itu sangat membuat sedih di dalam hati.
Tetapi toh kesedihan itu hanyalah kesedihan, tak bisa
membuat tanganmu utuh kembali!" "Memang begitu."
"Dan jika kau tambah dengan dendam, maka
kau akan semakin terjerumus dalam penentangan ter-
hadap sang takdir!"
"Benarkah dendam itu tak baik dilakukan oleh
seseorang jika demi menjaga kewibawaan dan harga
dirinya?"
Sendang Suci terbungkam untuk beberapa
saat. Matanya berkaca-kaca ketika memandangi luka
di lengan Yoga. Sejenak kemudian barulah terdengar ia
bicara dengan suara lemah,
"Kadang-kadang memang kita tak bisa membe-
dakan antara dendam dan harga diri. Di dalam den-
dam itu memang ada harga diri, tetapi tidak selamanya
lahir harga diri dari segumpal dendam."
"Jadi, bagaimana menurutmu, Bi? Apakah aku
harus membalas hal ini kepada Topeng Merah?"
Diam sekejap Sendang Suci, lalu menjawab,
"Kalau itu sesuatu yang baik buat harga dirimu, laku-
kanlah! Apa yang kau rasakan berbeda dengan apa
yang ku rasakan. Sama-sama sedih, tapi pasti beda
kadar kesedihannya antara aku dan kau, Yo! Jadi aku
tak berani kasih keputusan apa pun, karena itu me-
nyangkut pribadi dan harga dirimu! Kaulah yang bisa
mengukurnya sendiri, Yo!"
Pendekar Rajawali Merah mengangguk-
anggukkan kepala sambil menggumam beberapa saat.
Setelah itu, dipandanginya Mahligai yang masih mena-
tapnya liar sejak tadi. Yoga pun berkata kepada Sen-
dang Suci,
"Menyedihkan sekali keadaan Mahligai itu, Bi!
Aku bertekad untuk mendapatkan Teratai Hitam setelah luka tanganku mulai sembuh nanti! Kudengar
Kembang Mayat mempunyai Teratai Hitam sehingga
aku ingin memintanya secara baik-baik darinya. Jadi
aku tak perlu lagi ke Telaga Bangkai di Gunung Tam-
bak Petir itu, Bi!"
"Kembang Mayat...?! Mengapa kau begitu per-
caya dengan Kembang Mayat yang cantik dan muda
itu?"
"Maksud Bibi bagaimana?" Yoga kerutkan da-
hinya.
"Kembang Mayat tidak mempunyai bunga Tera-
tai Hitam, Yo! Teratai Hitam hanya ada di Telaga
Bangkai, di dalam Gua Mulut Iblis! Hanya ada satu
tempat yang terdapat bunga Teratai Hitam."
"Jadi... Kembang Mayat tidak mempunyainya?"
"kurasa dia menipumu untuk menarik perha-
tianmu! Kembang Mayat sama sekali tidak mempunyai
bunga itu! Neneknya dulu pernah mencangkok bunga
tersebut yang diambil dari telaga di dalam Gua Mulut
Iblis, tetapi ketika sampai di tempatnya bunga itu mati
dan tak bisa ditanam di mana pun juga!"
Pendekar Rajawali Merah tercengang dan kini
termenung sendiri. Hatinya membatin dalam geram
kedongkolan,
"Sial betul sang Ketua itu! Jika memang benar
dia tidak memiliki bunga itu, berarti dia hanya ingin
mempermainkan diriku saja! Dia pasti punya maksud-
maksud tertentu yang bersifat pribadi. Aku telah ter-
kecoh dan terpedaya olehnya! Kecemasan ku yang
membuat aku menyelamatkan dia dari Topeng Merah
itu ternyata sia-sia saja. Dan berarti pengorbanan ku
ini juga sia-sia belaka! Aku seperti mengejar impian
yang tak pernah menjadi nyata di depan Kembang
Mayat! Mestinya aku tak mudah percaya pada dia! Sial!
Benar-benar bodoh diriku ini. seperti apa kata Guru Li
itu!"
Melihat raut wajah dibungkus kecewa, Sendang
Suci segera berkata kepada pendekar yang masih keli-
hatan tampan dan menawan itu,
"Apakah hubunganmu dengan Kembang Mayat
sudah telanjur jauh?"
"Hmmm... yah, sejauh perjalanan kami menuju
pesanggrahannya saja, Bi! Tak ada yang kami perbuat
lebih jauh dari itu. Ketika aku tiba di pesanggrahan-
nya, keadaan di sana sudah habis terbakar dan Kem-
bang Mayat mengejar Topeng Merah, karena Topeng
Merah-lah yang membantai habis murid-murid Pe-
sanggrahan Belalang Liar itu, serta yang membakar
tempat tersebut Lalu aku mengejarnya untuk mence-
gah pertarungan antara Kembang Mayat dengan To-
peng Merah...."
"Mengapa kau ingin mencegahnya?"
"Karena dalam pikiranku, kalau Kembang
Mayat mati, aku akan kehilangan sumber bunga Tera-
tai Hitam yang ada dalam jarak dekat. Tapi jika Topeng
Merah mati, aku pun menyayangkannya."
"Mengapa kau menyayangkan kematian Topeng
Merah? Apakah dia temanmu atau...."
"Setahuku dia selalu membelaku jika aku se-
dang berselisih dengan siapa saja! Aku tak tahu apa
alasan pembelaan itu, dan aku juga belum tahu siapa
dia sebenarnya, Bi! Menurutku, dia bersikap baik pa-
daku, karena itu aku juga harus membalas sikap
baiknya. Dia pernah membelaku dalam sebuah perta-
rungan dan aku harus membelanya dalam sebuah per-
tarungan juga! Kira-kira begitulah jalan pikiran ku!"
"Tapi... bukankah kau tadi bilang bahwa yang
memotong tanganmu itu adalah si Topeng Merah?"
"Benar! Tapi sejujurnya kukatakan padamu,
Bi... bahwa naluri ku mengatakan hal itu dilakukan
oleh Topeng Merah di luar kesengajaan! Aku sempat
melihat kilatan cahaya matanya yang menandakan pe-
nyesalan melihat tangan kiriku terpotong oleh pedang-
nya!"
Wajah Sendang Suci menampakkan rasa ha-
runya, lalu berkata dengan nada pelan namun jelas
terdengar dl pendengaran Yoga,
"Rasa-rasanya, kau layak membalas memotong
tangan kiri Topeng Merah!"
"Mengapa begitu?"
"Supaya ia tidak hidup dalam penyesalan yang
panjang!"
"Topeng Merah belum tentu sejalan dengan pe-
rasaanmu, Bi! Dan aku mencoba melupakan peristiwa
itu! Sekarang yang ku pikirkan adalah mengobati lu-
kaku ini, Bi! Luka ini agaknya beracun dan memba-
hayakan keselamatanku. Setidaknya begitulah pertim-
bangan beberapa temanku, termasuk si Tua Usil itu!
Jadi aku ke sini untuk minta bantuanmu, menangkal
racun yang ada dalam lukaku!"
"Pedang si Topeng Merah beracun menurut-
mu?"
"Kurasa memang begitu! Tidakkah kau bisa
menyembuhkan dan menawarkan racun tersebut?"
Sendang Suci memandangi luka itu dengan hati
bagai tersayat-sayat. Ia ingin menangis namun dita-
hannya kuat-kuat. Ia menarik nafas dan berkata,
"Ya, aku bisa! Sebentar... ku carikan obat un-
tukmu!"
"Benarkah racun itu bisa merenggut nyawaku,
Bi?" "Benar. Racun itu akan membuat sekujur tubuh-
mu menjadi busuk!"
"Dalam berapa waktu?"
"Seharusnya dalam satu hari sekujur tubuhmu
sudah membusuk. Tapi agaknya kau punya tabib sen-
diri sehingga bisa memperlambat gerakan keganasan
racun tersebut. Racun itu namanya Racun Pusar Ko-
bra. Jarang dimiliki orang, dan jarang ada yang bisa
menangkalnya secara keseluruhan!"
"Apakah kau bisa menangkal secara keseluru-
han?"
"Akan ku coba!" jawab Sendang Suci dengan
suaranya yang pelan.
Sempat pula didengar oleh Pendekar Rajawali
Merah suara Sendang Suci yang berkata dari ruang
rempah-rempah,
"Lain kali kau ke sini jangan membawa Panca-
sona!"
"Kenapa, Bi?!" pertanyaan itu tak dijawab. Yoga
bergegas mendekat ke ruang rempah-rempah yang ter-
buka tabirnya itu, bahkan masuk ke ruang tersebut
dan bertanya ulang,
"Kenapa tak boleh membawa si Tua Usil, Bi?"
"Aku muak padanya!" jawab Sendang Suci
sambil berpaling ke belakang, dan wajahnya hampir
berbenturan dengan wajah Pendekar Rajawali Merah
yang tampan dan mengagumkan itu. Hati Sendang Su-
ci berdebar-debar. Matanya jadi tertancap lekat di ma-
ta Yoga.
Bibirnya bergetar-getar saat berucap kata,
"Mengapa kau masuk kemari?"
"Maaf kalau ini kamar larangan! Maksudku
hanya mau menanyakan hal itu tadi, Bi!"
Tapi mata Sendang Suci masih tetap lekat me-
mandangi mata Yoga. Pandangan itu diterima aneh
oleh Yoga, dan Yoga pun berkata,
"Maaf, aku akan segera keluar, Bi!" Yoga pun
segera beranjak meninggalkan tempat itu, tetapi jari-
jari tangan Sendang Suci menahan bahu Yoga, sehing-
ga Pendekar Rajawali Merah itu kembali memandang-
nya lagi.
"Kalau kau suka menungguku meracik obat di
sini, tetaplah di sini! Aku tak akan mengusirmu, walau
kamar ini tak pernah dimasuki oleh pria lain kecuali
kamu, Yo!"
"Hmmm... eh... tapi...." Yoga menjadi menggera-
gap dan salah tingkah ketika Sendang Suci semakin
dekat dengannya, semakin terasa hangatnya hembu-
san nafas perempuan cantik yang usianya sudah cu-
kup banyak itu. Sekalipun usianya sudah cukup ba-
nyak, dan layak menjadi bibinya Yoga, namun Sen-
dang Suci masih kelihatan muda, segar, dan kecanti-
kannya masih memancarkan daya pikat tersendiri.
Tiba-tiba mereka mendengar suara percakapan
antara Pancasona, si Tua Usil itu, dengan seseorang.
Lalu terdengar pula suara orang memanggilnya dari
luar rumah,
"Tabib Perawan...! Keluarlah sebentar, aku in-
gin bicara padamu!"
Sendang Suci yang berada di dalam ruang rem-
pah-rempah itu terkejut, ia segera menarik wajahnya
yang tinggal dua jari lagi mendekati wajah Yoga Ha-
tinya kecewa sekali, tapi ia harus telan kekecewaan
itu, karena ia kenal betul suara orang yang memang-
gilnya tersebut.
"Tabib Perawan...! Sendang Suci...!"
"Tetaplah di sini. Jangan keluar!"
"Suara siapa itu?"
"Jalak Hutan!" dan Sendang Suci bergegas ke-
luar. Ia menemui Jalak Hutan dengan hati dongkol.
"Mau apa kau kemari lagi, hah?!" geram Sen-
dang Suci dalam hardikan. Tetapi hardikan itu segera
sedikit tertahan begitu ia melihat kehadiran Jalak Hu-
tan tidak sendirian, melainkan bersama seorang gadis
cantik yang tak lain adalah Mutiara Naga.
"Sendang Suci, aku datang untuk satu keper-
luan berkenaan dengan keponakanku ini!"
"Tentang apa?"
"Hmmm...!" Jalak Hutan melirik si Tua Usil du-
duk di bawah pohon depan rumah. Jalak Hutan mera-
sa tak enak bicara di situ karena akan didengar si Tua
Usil.
"Bisa aku bicara di dalam rumah saja? Aku tak
suka ada dia di situ!" seraya Jalak Hutan memandang
Tua Usil.
Terdengar Tua Usil menyahut, "Aku akan men-
jauh kalau keberadaanku di sini mengganggu kalian!"
sambil berkata begitu, Tua Usil berdiri dan menatap
tak ramah pada Jalak Hutan, lalu melangkah pergi
menjauhi mereka.
"Katakan di sini saja keperluan kalian apa?" de-
sak Sendang Suci.
Tapi Mutiara Naga menukasnya dengan perta-
nyaan, "Apa yang dikerjakan orang tua itu di sini, Bi?"
"Apakah tadi kalian belum bertegur sapa?"
"Memang sudah! Tapi kami hanya bicara ten-
tang keusilan dia! Paman Jalak Hutan mengancam
akan membunuhnya jika ia berani usil dengan ilmu
kabutnya itu!"
"Katakan, apa keperluan Pancasona ada di si-
ni?" desak Jalak Hutan, dan Sendang Suci hanya men-
jawab,
"Biasa. Minta obat! Aku tidak kasih, tapi dia ti-
dak akan pergi sebelum aku memberi obat yang dimintanya itu!"
Jalak Hutan menggumam sambil memandang
sinis ke arah Tua Usil yang ada jauh di pojokan sana,
"Pasti obat kuat yang dimintanya!"
"Jangan hiraukan tentang dia. Katakan saja
apa keperluan kalian datang kemari?!"
"Hmmm... begini, Sendang Suci.... Aku membu-
tuhkan dirimu untuk menolong keponakanku!"
"Dalam hal apa?"
"Satu jurus saja, tolong ajarkan kepadanya!"
kata Jalak Hutan yang membuat dahi Sendang Suci
berkerut heran.
"Jurus apa?"
"Jurus 'Kamasuta'!"
"Gila!" sentak Sendang Suci yang terperanjat
kaget. "Jurus 'Kamasuta' tidak boleh dipermainkan
dan tak boleh digunakan sembarangan, Jalak Hutan!
Kau tahu jurus itu akan membuat seorang lawan jenis
menjadi tergila-gila dan berhasrat tinggi! Jika hasrat-
nya tidak terpenuhi dia bisa mati bunuh diri!"
"Kurasa keponakanku ini bisa mengatasi orang
yang akan diserangnya dengan jurus 'Kamasuta' itu,
Sendang Suci. Dia sangat mencintai orang tersebut
dan siap memberikan kehangatan kapan saja orang itu
menginginkannya!"
"Aku tidak berani memberikan jurus itu! Bah-
kan keponakanku sendiri tak kuajarkan jurus
'Kamasuta'! Itu sangat berbahaya!"
"Sendang Suci, cukup lama kita bersahabat,
cukup lama aku menunggu hatimu luluh, sampai ak-
hirnya sepanjang hidupku hanya menemui kekece-
waan dan kekecewaan lagi. Apakah sekarang pun akan
begitu?" Jalak Hutan memelas.
"Bibi Sendang Suci, tolonglah aku! Aku sudah
terjerat ke dalam khayalan jiwaku sendiri, Bi! Aku ter-
gila-gila dengan pemuda itu! Tak banyak yang ku mo-
hon darimu kecuali jurus 'Kamasuta', Bi!"
Jalak Hutan berkata lagi, "Sendang Suci, aku
berjanji tidak akan mengganggu hidupmu lagi dengan
pengejaran cintaku jika kau mau ajarkan jurus
'Kamasuta' kepada keponakanku ini! Aku hanya ingin
menjalin persaudaraan atau persahabatan yang baik
denganmu, Sendang Suci. Jadi ku mohon, tolong ban-
tu keponakanku ini. Kasihan dia!"
Sendang Suci diam beberapa saat. Ia memang
merasa sudah muak jika diganggu oleh pengejaran cin-
ta Jalak Hutan yang tiada mengenal lelah, tiada men-
genal malu dan tiada mengenal patah semangat itu.
Rasa-rasanya hidupnya akan lebih tenang dan tidak
terganjal oleh kekonyolan cinta Jalak Hutan yang dari
dulu mengejar-ngejarnya itu, jika ia mau turuti per-
mohonan Jalak Hutan dan Mutiara Naga. Tetapi apa
yang dimintanya itu sungguh berat buat Sendang Suci.
Ia tahu persis tentang bahayanya orang yang terkena
jurus 'Kamasuta'; jika gagal terpenuhi hasratnya selain
bisa bunuh diri juga andai orang itu bertahan, maka
orang itu akan menjadi gila. Gilanya adalah gila yang
amat memalukan, sehingga ia berani lakukan perbua-
tan tak senonoh bersama binatang atau apa pun yang
akan dilakukan di depan orang banyak.
"Jalak Hutan," kata Sendang Suci setelah
mempertimbangkan langkah dan keputusannya, "Jika
kau mendesak ku untuk memberikan jurus
'Kamasuta', aku tak sanggup! Tapi kalau hanya mem-
buat seseorang agar mencintai Mutiara Naga, barang-
kali ada cara lain yang bisa ditempuh!"
"Cara apa?"
"Jurus 'Darah Kasih Dewa'!" jawab Sendang
Suci.
Mutiara Naga bersemangat dan bertanya, "Mak-
sud mu bagaimana, Bi?"
"Sebuah pukulan halus yang tak terasa menge-
nai lawan, dan membuat lawan menjadi kasmaran, se-
lalu merindukan kita, dia amat sayang kepada kita dan
punya kesetiaan tinggi!"
"Kalau begitu, aku mau mendapatkan jurus itu,
Paman!" kata Mutiara Naga kepada pamannya. Ia tam-
pak girang sekali mendengar hal itu.
Jalak Hutan pun berkata, "Kurasa itu juga bo-
leh, Sendang Suci!"
"Tapi, kalau boleh aku ingin tahu, siapa pria
yang kau tuju itu Mutiara Naga?"
Mutiara Naga ragu untuk menjawab, karena ia
tahu beberapa waktu lalu Pendekar Rajawali Merah
berbicara dengan akrabnya bersama Sendang Suci. Ia
juga tahu bahwa Mahligai, keponakan Sendang Suci,
menaruh hati kepada Yoga, si Pendekar Rajawali Me-
rah itu. Mungkinkah Sendang Suci mau memberikan
jurus itu jika yang diincar Mutiara Naga adalah pende-
kar tampan itu?
Mutiara Naga pun hanya bisa memandang pa-
mannya, dan Jalak Hutan rupanya juga mempunyai
kesangsian yang sama, sehingga ia tidak bisa menen-
tukan jawaban yang pasti. Sebab Jalak Hutan pun ta-
hu bahwa Sendang Suci bersahabat akrab dan baik
dengan Yoga.
"Mengapa kalian diam semua? Mengapa tak
kau jawab pertanyaanku, Mutiara Naga?" "Hmmm...
ehh... aku... aku malu, Bi!" "Katakan saja, aku ingin
tahu siapa orangnya!" "Dia... dia seorang pendekar
tampan!" hanya itu jawaban Mutiara Naga, selebihnya
ia tak bisa memberi jawaban yang pasti.
Tetapi Sendang Suci bukan orang bodoh. Den-
gan hanya menyebutkan 'seorang pendekar yang tam-
pan' itu saja ia sudah bisa tahu bahwa Yoga-lah orang
yang dimaksud Mutiara Naga. Karena itu, hati Sen-
dang Suci mulai cemas setelah tadi mengalami senta-
kan mengejutkan. Siapa lagi pendekar tampan yang
sedang menjadi bahan incaran banyak wanita jika bu-
kan Pendekar Rajawali Merah itu?
Akhirnya Sendang Suci memberikan cairan da-
lam guci kecil berwarna hitam. Ia serahkan guci hitam
itu kepada Mutiara Naga sambil berkata,
"Minumlah habis cairan di dalam guci ini. Ia
akan bercampur dengan darahmu, nafasmu, dan selu-
ruh kekuatanmu. Jika kau lepaskan pukulan dari da-
lam pusar yang mengalir lewat kelingking, maka akan
terlepaslah kekuatan dahsyat yang bernama 'Darah
Kasih Dewa'! Arahkan pada bagian dadanya, persis di
tengahnya. Pukulanmu yang keluar lewat kelingking
itu tidak akan bersinar, tidak akan terasa sakit sedikit
pun pada orang tersebut! Beberapa kejap berikutnya,
dia akan mengalami perubahan dalam hatinya, otak-
nya, dan jiwanya. Dia akan takluk padamu dan tum-
buh rasa cinta serta ingin menyayangi mu!"
Mutiara Naga menyunggingkan senyum kegi-
rangannya. Ia mengucap kata terima kasih berulang-
ulang kepada Sendang Suci. Tabib Perawan itu berpe-
san,
"Tapi jangan sekali-kali kau mempermainkan
cintanya! Kalau dia sudah kecewa, kau bisa diburunya
dan dicincang habis olehnya!"
"Tidak, Bi! Tidak! Aku tidak akan mengecewa-
kan dia sedikit pun, karena aku amat mencintai dia!"
"Terima kasih banyak atas kebaikanmu, Sen-
dang Suci," ucap Jalak Hutan dengan rasa bangga pu
la.
Setelah mereka berdua pergi, Sendang Suci se-
gera kembali ke ruang rempah-rempah. Ternyata Yoga
sudah keluar dari ruangan itu dan dalam keadaan se-
dang mengusap-usap rambut Mahligai dengan hati
trenyuh memandangi nasib gadis yang pertama kali
dikenalnya itu.
Melihat Sendang Suci telah kembali masuk ke
dalam rumah dan mau menuju ke ruang rempah-
rempah, Yoga segera menyapanya,
"Sudah pulang, Bi?"
"Ya. Mereka sudah pulang!"
"Aku mendengar semua percakapan mu tadi,
Bi!" Sendang Suci menatap merasa tak bisa memban-
tah. Kemudian ia hanya bertanya,
"Jika kau mendengarnya, lantas apa tangga-
panmu tentang Mutiara Naga itu, Yo?"
"Agaknya dia memang mencintai ku!"
"Kau ingin membalasnya?"
"Tidak! Tapi mengapa Bibi berikan ramuan
'Darah Kasih Dewa' itu kepada Mutiara Naga, Bi? Apa-
kah itu tidak membahayakan diriku?"
"Yang kuberikan adalah racun yang memati-
kan! Aku telah menipunya!"
"Racun...?!" yoga tersentak kaget.
*
* *
8
SENDANG Suci menyarankan agar Yoga berma-
lam di pondoknya supaya pengobatan yang habis dilakukan itu dapat segera menyerap ke dalam darah. Jika
digunakan untuk perjalanan pulang, maka obat itu ti-
dak akan cepat menyerap ke dalam darah yang digu-
nakan untuk bergerak Anjuran itu memang beralasan,
tetapi jelas keberadaan Yoga di rumah Tabib Perawan
akan menimbulkan kecemburuan bagi Lili.
Maka Pendekar Rajawali Merah itu segera men-
gutus si Tua Usil untuk segera pulang dan memberita-
hukan hal itu kepada Lili. Katanya kepada si Tua Usil,
"Kalau Guru Li marah-marah di sana, suruh
dia datang ke sini dan ikut bermalam di sini!"
"Baik, akan kusampaikan pesanmu ini, Tuan
Yo! Tapi kalau Nona Lili masih berkeras hati tidak mau
mengajari ku untuk bisa berdiri di atas ilalang, aku ti-
dak mau mengantarnya kemari!"
"Lakukan apa yang terbaik menurutmu, Tua
Usil!" Tua Usil pergi meninggalkan Lembah Bukit Ber-
hala. Semangatnya cukup menyala-nyala, karena ia
punya senjata untuk memaksa Lili agar mau mengaja-
rinya berdiri di atas ilalang, senjata tersebut ialah ala-
mat tempat tinggal Tabib Perawan, yang dulu sering
digerayanginya jika ia sedang berubah menjadi manu-
sia kabut. Tapi sejak Tabib Perawan itu memasang ke-
kuatan tenaga dalam dan melapisi kulit tubuhnya
dengan hawa panas, Pancasona tak pernah lagi ber-
buat usil kepada tabib yang benar-benar masih, pera-
wan itu.
Matahari hampir tenggelam di dasar bumi. Tua
Usil berlari cepat agar segera tiba di rumahnya sebe-
lum petang menjelang. Tetapi di perjalanan langkah-
nya terhenti karena berpapasan dengan Nyali Kutu
yang juga berlari dalam ketakutan.
Ketika Nyali Kutu melihat Pancasona yang sudah dikenalnya sebagai Manusia Kabut itu, Nyali Kutu
punya sedikit kelegaan. Ia segera menemui Pancasona
dengan nafas terengah-engah.
"Ki Pancasona... tolong aku, Ki!"
"Apakah kau dikejar mayat hidup?"
"Tidak! Bukan karena itu, Ki! Oh, tolong sem-
bunyikan aku! Sembunyikanlah aku, Ki Pancasona!"
Orang tua berambut agak panjang dan putih
itu terkekeh sendiri.
"Kau ini seperti perawan saja, minta disembu-
nyikan segala! Apa kau tak bisa bersembunyi sendiri?!"
"Mak... maksudku, aku tidak punya tempat
yang aman untuk bersembunyi, Ki Pancasona! Jadi,
tolong carikan tempat untukku, Ki! Oh, celaka sekali!
Aku bisa mati jika tidak bersembunyi, Ki!"
"Apakah kalau kau bersembunyi, lantas umur-
mu bisa panjang, bisa mencapai ribuan tahun?!"
"Aduh, Ki...! Bodoh amat kau ini!" Nyali Kutu
jadi jengkel sendiri dengan si Manusia Kabut itu. "Aku
dalam bahaya besar, Ki! Aku dalam ancaman kematian
yang sangat luar biasa berbahayanya!"
"Ah, dasar kau manusia tanpa nyali sedikit
pun, Nyali Kutu! Bahaya kecil juga kau katakan besar!
Tempo hari kau minta tolong padaku karena mengha-
dapi bahaya besar, tak tahunya kau hanya dikejar-
kejar babi hutan!"
"Kali ini bukan babi yang mengejarku, Ki!
Sungguh! Aku tidak mengada-ada! Tolonglah aku!"
"Siapa yang mengejarmu kali ini? Ayam hu-
tan?!"
"Bukan!"
"Lantas siapa?"
"Malaikat Gelang Emas!"
"Hahh...?!" Pancasona terkejut, matanya mendelik, wajahnya ikut-ikutan menjadi tegang.
"Sumpah, Ki! Sumpah sejuta kali aku juga be-
rani! Aku dalam ancaman maut Malaikat Gelang Emas,
Ki! Tolonglah aku!"
"Persoalan apa sampai kau dikejar-kejar oleh
Malaikat Gelang Emas? Kau bukan tokoh sakti yang
setanding dengannya!"
Lalu, Nyali Kutu pun menceritakan tentang tu-
gasnya sebagai penjaga makam karena si Mata Neraka
pergi. Diceritakan pula tentang kekuatan ajaib pada
makam tersebut, sampai lompatnya Topeng Merah
yang dikejar-kejar oleh Kembang Mayat, dan berte-
munya Pendekar Rajawali Merah dengan dirinya.
"Jadi, Pendekar Rajawali Merah juga mengejar
mereka berdua?"
"Aku yakin memang begitu, Ki. Sebab, dia me-
nemuiku dan menanyakan ke mana arah larinya Kem-
bang Mayat dan manusia bertopeng merah itu. Aku
menunjukkan dan dia berlari mengejar mereka lagi!"
Tertegun si Tua Usil sambil mengusap-usap
kumis putihnya yang tipis itu. Lalu, dalam hatinya ia
membatin, "Kalau begitu. Pendekar Rajawali Merah
pasti tahu dl mana Kembang Mayat! Setidaknya dia
pasti melihat persis bagaimana nasib pertarungan an-
tara Kembang Mayat dan Topeng Merah. Berarti benar-
lah apa yang kuduga sejak tadi; pasti salah satu dari
mereka yang membuat tangan Yoga putus; Kembang
Mayat atau Topeng Merah?! Ini bisa kujadikan senjata
buat Nona Lili agar gadis cantik itu mau mengajari ku
berdiri di atas ilalang!"
Angin berhembus agak cepat. Rambut mereka
menyingkap dan tergerai-gerai disapu angin. Makin
lama makin cepat, semakin besar hembusannya. De-
daunan pun mulai runtuh di sana-sini. Angin besar itu
membuat Nyali Kutu menjadi semakin cemas, karena
biasanya kedatangan Malaikat Gelang Emas sering di
dului dengan angin berhawa panas. Walau angin yang
berhembus kala itu adalah berhawa biasa-biasa saja,
tapi hati Nyali Kutu menjadi lebih ketakutan dari sebe-
lumnya. Tetap saja ia memendam kecemasan dan keti-
daksabaran.
"Ki Pancasona, ayolah... tolong aku! Aku tak
tahu harus bersembunyi di mana dari amukan Malai-
kat Gelang Emas itu!"
"Baiklah, kau bersembunyi di rumahku saja!"
"Baik, aku mau! Aku mau sekali, Ki! Tapi... aku tidak
tahu di mana kau tinggal, Ki!"
"Jalanlah lurus menuju ke dua batang pohon
kelapa kuning yang kelihatan dari sini! Di seberangnya
ada hutan, carilah hutan yang pepohonannya tidak
terlalu rapat. Di tengah sana ada rumah kayu beratap
sirap. Itulah tempat tinggalku!"
"Kau sendiri mau ke mana, Ki?"
"Aku ya mau pulang!"
"Kalau begitu, kita bersama-sama saja ke sa-
nanya!" "Tidak bisa! Aku tidak mau bersama-sama
kau! Sebab aku tidak mau terlibat dalam urusanmu
itu! Kalau aku bersamamu dan menyembunyikan ka-
mu secara terang-terangan, maka jika Malaikat Gelang
Emas memergoki kita, aku bisa kena getahnya, Nyali
Kutu!"
"Yaah... kena-kena sedikit tak apalah, Ki!"
"O, tidak bisa! Aku tidak mau terkena getah apa
pun kecuali getah dari perbuatanku sendiri!"
"Baiklah, kalau begitu aku jalan dulu, dan kau
menyusul di belakangku. Jika kau tiba di rumah aku
belum ada, berani aku tersesat di perjalanan dan
mungkin tak akan sampai di pondokmu!"
"Atau mungkin juga kau dibunuh Malaikat Ge
lang Emas!" tambah Pancasona lagi. Nyali Kutu men-
jadi bersungut-sungut karena takut.
"Hei, mengapa kau tidak pulang ke Tanah Ge-
rong saja?" Pancasona memberikan gagasan baru sebe-
lum Nyali Kutu berangkat.
"Tidak. Aku tidak mau ke sana, sebab Malaikat
Gelang Emas pasti akan menyangka aku pulang ke
sana! Dia pasti mencariku di sana!"
"Hmmm...!" Tua Usil manggut-manggut. "Bagus
juga pemikiran mu! Sudah, berangkatlah sana agar ti-
dak terjebak gelap di perjalanan!"
Maka, Nyali Kutu pun segera pergi sesuai arah
yang ditunjukkan oleh si Tua Usil. Sementara itu, si
Tua Usil terkekeh-kekeh sendiri dan berkata dengan
pelan,
"Dasar bocah goblok! Bukan nyalinya saja yang
sebesar kutu, tapi otaknya juga sebesar kutu! Apakah
dia tidak tahu kalau hutan di seberang dua kelapa
kuning itu adalah sarang ular? He, he, he, he...! Kura-
sa esok pagi aku akan menemukan mayatnya mati di-
gigit ular, atau mungkin dimakan ular besar separo
bagian?"
Tua Usil berjalan lagi dengan senyum keme-
nangan. Ia juga berkata dalam hatinya, "Biar mampus
itu anak! Dulu ketika dia menjadi pelayannya Panglima
Makar, dia semena-mena padaku! Sekaranglah saat-
nya menghajar sikapnya biar tidak semena-mena lagi
kepada orang lain!"
Tua Usil tahu persis bahwa Nyali Kutu sangat
berharap bisa mendapat tempat bersembunyi yang
sangat aman. Harapan itu memang ada di dalam hati
Nyali Kutu, karenanya ia berlari cepat sebatas kecepa-
tan gerakannya yang tidak bisa melebihi kecepatan lari
seekor kuda. Sambil berlari, sebentar-sebentar ia men
cari tanda dua batang pohon kelapa kuning itu.
Karena matanya memperhatikan tanda terse-
but, akhirnya Nyali Kutu tersungkur jatuh di tempat
yang berbau busuk. Kakinya telah menyandung sesua-
tu dan membuatnya jatuh tersungkur. Sesuatu yang di
sandungnya itu tiba-tiba dilihatnya dan ia pun menje-
rit ketakutan,
"Waooow...! Mayaaat...!" teriaknya sambil lari
dengan panik dan kakinya terbelit akar, maka untuk
kedua kalinya Nyali Kutu jatuh tersungkur dengan wa-
jah hampir membentur batu besar. Bruuussk...!
"Uuhhgg...!" Ia menyeringai kesakitan. Tapi in-
gat mayat yang tadi tersambar kakinya, ia pun segera
bangkit ketakutan. Ia pandangi sebentar mayat itu
dengan mata menyipit ngeri, dan tiba-tiba mata itu
menjadi terbuka lebar dan terbelalak.
"Ya ampun...! Bukankah itu mayat... mayat si
Mata Neraka?! Oh, ja... jadi dia sudah meninggal?
Iiih... mengerikan sekali keadaan jenazahnya! Hancur
lebur begitu dan membusuk! Pasti sudah beberapa ha-
ri dia tergeletak di situ!"
Nyali Kutu tak sanggup memperhatikan lebih
lama lagi. Ia pun kembali melarikan diri ke arah dua
pohon kelapa kuning itu. Namun ketika ia berbalik
arah untuk melanjutkan pelariannya, tiba-tiba ia
membentur pohon dan tersentak jatuh ke belakang.
Anehnya ia tak merasakan sakit sama sekali ketika
wajah dan bagian tubuh depannya membentur pohon
tadi. Maka mendongaklah wajah Nyali Kutu untuk
memperhatikan pohon tersebut.
"Hahh...?!" Nyali Kutu terpekik dengan wajah
langsung pucat pasi. Yang dibenturnya tadi ternyata
bukan pohon, melainkan tubuh orang besar yang ber-
kumis lebat melengkung sampai di dagunya. Orang itu
tak lain adalah Malaikat Gelang Emas.
Gemetar sekujur tubuh Nyali Kutu melihat pe-
rawakan besar Malaikat Gelang Emas berdiri di de-
pannya. Jantungnya belum-belum sudah merasa sulit
dipakai untuk bernapas. Sesak sekali dadanya saat
itu.
"Bangun....!" geram Malaikat Gelang Emas den-
gan mata tajam memandang, menampakkan kemur-
kaan nya.
"Kenapa kau pergi dari makam kakekku, hah?!
Apa kau tak mendengar perintahku waktu itu?!"
"Hmmm... anu... saya... saya takut sendirian di
kuburan itu, Tuan! Saya... tak berani menunggunya
sendirian! Maksud... maksud saya, mau panggil seo-
rang teman buat menemani saya untuk menghilang-
kan rasa takut dl kuburan itu, Tuan!"
"Kau telah melanggar perintahku, Nyali Kutu!
Kau pasti takut karena kuburan itu sudah dilangkahi
oleh seseorang! Benar, bukan?!" bentak Malaikat Ge-
lang Emas.
"Anu... hmm... sebenarnya... begini, anu...
eeh...!"
"Jawab yang benar!" sentaknya tiba-tiba. Tu-
buh Nyali Kutu hampir saja terlonjak tinggi-tinggi ka-
rena kagetnya. Malaikat Gelang Emas berkata lagi,
"Kuperiksa makam itu, dan ternyata bunganya
telah layu, itu pertanda makam sudah dilangkahi se-
seorang! Benar, bukan?! Jawab!"
"Eehh..., ehhmmm... iyyy... iya, benar!"
Paaak...! Sebuah tamparan keras berkelebat tak
sempat dilihat. Tahu-tahu wajah Nyali Kutu bagai dis-
embur api yang berdaya didih cukup tinggi. Tubuhnya
sendiri terlempar akibat tamparan itu, jaraknya sekitar
enam langkah dari tempatnya berdiri. Dan ketika ia
memegangi pipinya sambil mengaduh, ternyata kulit
pipinya dalam keadaan terkelupas perih sekali.
"Edan tamparan itu tadi! Kulit pipiku sampai
terkelupas dan... oh, apa ini... mengganjal di mu-
lutku...? Oh, hmm...! Puih...!" Nyali Kutu meludah.
Pruk...! Ternyata dua gigi gerahamnya copot akibat
tamparan tadi. Nyali Kutu terkejut namun juga ber-
tambah takut.
Malaikat Gelang Emas mendekatinya dengan
mata angker yang tidak terbayangkan lagi menyeram-
kannya,
"Siapa yang melangkahi makam kakekku,
hah?!"
"Buk... bukan saya, Tuan! Bukan saya yang
melangkahinya!"
"Siapaaa...!" bentaknya membuat jantung Nyali
Kutu bagaikan pecah. Untung ia hanya terlonjak sedi-
kit dari tempatnya berdiri.
"Seseorang, Tuan...!"
"Seseorang siapa? Yang Jelas!"
"Sssa... saya tidak tahu namanya, Tuan! Saya
tidak sempat berkenalan dengannya, tapi... tapi saya
tahu ciri-cirinya, Tuan!"
"Apa ciri-cirinya! Sebutkan!" "Pakaian merah
dan memakai topeng berwarna merah juga, Tuan!"
"Topeng Merah...?!" geram Malaikat Gelang
Emas. "Jahanam orang yang mengenakan topeng me-
rah itu!" ucapnya dengan penuh murka yang tak bisa
dilampiaskan. Matanya yang mendelik bergerak liar
menyusuri tempat tersebut. Lalu, mata itu semakin
terbelalak ketika melihat sesosok mayat tergeletak di
seberangnya. Ia segera menarik tangan Nyali Kutu,
menyeretnya ke seberang dan dilepaskan setelah sam-
pai di samping mayat itu. Malaikat Gelang Emas makin
merah wajahnya setelah mengetahui mayat busuk itu
adalah mayat adiknya sendiri.
"Jahanaaammm...! Heh!" ia menjambak rambut
Nyali Kutu dan kepala itu di dongakkan sambil bicara
dengan gigi menggeletuk,
"Siapa yang membunuh adikku itu, hah?! Sia-
pa?!"
"Buk... bukan saya, Tuan! Sumpah mati tujuh
kali, bukan saya yang membunuhnya!"
Plook...! Sebuah pukulan dihantamkan telak di
pipi yang tidak lecet itu. Hantaman tersebut tidak bisa
membuat Nyali Kutu berteriak karena kelewat sakit.
Mulutnya saja yang ternganga saat ia terhempas di ta-
nah akibat hantaman keras itu.
Sekali lagi, gigi gerahamnya copot dua, ditam-
bah gigi taringnya patah dl pertengahan. Gigi yang pa-
tah itu tertelan olehnya, hingga mata Nyali Kutu men-
delik kaget.
Terdengar Malaikat Gelang Emas menggerutu
penuh luapan dendam.
"Melihat bekas lukanya, agaknya luka karena
cakaran! Kurasa Pendekar Rajawali Merah itulah yang
membunuh si Mata Neraka! Bangsat busuk anak itu!
Ku beset habis kulitnya nanti! Ku bakar hidup-hidup
anak itu biar impas menebus kematian adikku!"
Kemudian Malaikat Gelang Emas berseru den-
gan geramnya,
"Topeng Merah, Pendekar Rajawali Merah...! Ku
hancurkan tubuh kalian kapan saja kutemukan!
Tunggu pembalasanku, Topeng Merah dan Pendekar
Rajawali Merah! Kalian berdua sama-sama bangsat...!"
Wuuus...! Tubuh Malaikat Gelang Emas yang
berperawakan besar itu cepat tinggalkan tempat terse-
but dengan tanpa sentakkan kaki ke tanah. Hanya satu lompatan, ia sudah lenyap bagaikan ditelan bumi.
Nyali Kutu yang melihatnya sempat tak bisa berkedip
karena kagumnya. Tapi hatinya menjadi lega dan ber-
kata,
"Selamat, selamat...! Untung aku tidak dibu-
nuhnya! Kalau saja tadi ia tidak terpancing perhatian-
nya kepada mayat Mata Neraka past! nyawaku sudah
melayang sejak tadi...!"
Tiba-tiba ada seseorang yang menyapa Nyali
Kutu dari belakang,
"Hai, Nyali Kutu...!"
Dengan cepat Nyali Kutu berbalik. "Hahh...?!"
Malaikat Gelang Emas kembali lagi. Begitu Nya-
li Kutu terperanjat kaget, tiba-tiba Malaikat Gelang
Emas sentakkan tangannya dan meluncurlah dari len-
gannya bulatan cahaya kuning emas menyerupai ge-
lang yang tak lebih besar dari mulut poci. Dua berkas
sinar berbentuk gelang warna kuning emas itu melesat
dan memburu tubuh Nyali Kutu.
Wuuut, wuuut...!
Jraab..! Keduanya menghantam tubuh Nyali
Kutu di bagian dada Nyali Kutu sempat menunduk
memperhatikan dua sinar bergelang itu menghantam
dadanya. Ia tidak merasa sakit, namun tiba-tiba jari
tangannya berjatuhan sendiri. Bahkan telapak tan-
gannya jatuh ke tanah. Pluuuk…! Plook..! Daun telin-
ganya juga jatuh sendiri tanpa darah. Puuk...!
Kejap berikutnya, kepala Nyali Kutu mengge-
linding jatuh dan tak bernyawa lagi setelah kepala itu
sempat mengucap kata,
"Yaaah... mati juga aku...."
Lebih dari delapan bagian tubuh Nyali Kutu
mati terpotong-potong tanpa darah setetes pun yang
membekas pada potongan tubuhnya itu.
*
* *
9
LILI si Pendekar Rajawali Putih itu, wajahnya
menjadi muram setelah si Tua Usil menyampaikan pe-
san dari Yoga. Rasa-rasanya, ingin sekali Lili melabrak
ke tempat Tabib Perawan itu untuk menyeret Yoga
agar tidak bermalam di sana. Tetapi alasan yang di-
dengarnya dari mulut si Tua Usil memang masuk akal.
Yoga perlu istirahat supaya obat pemunah racun itu
cepat larut dalam darahnya, jika Yoga pulang malam
itu juga, maka obat itu tidak bisa cepat larut dalam
darah karena darah dipakai bekerja selama perjalanan
pulang.
Alasan itu cukup masuk akal, sehingga Pende-
kar Rajawali Putih yang menyimpan cinta di hatinya
itu hanya bisa menahan dongkol dan bersungut-
sungut sejak tadi. Si Tua Usil tambahkan kata,
"Tuan Yo juga berpesan, apabila hal ini tidak
berkenan di hatimu, Nona Li, maka Tuan Yo mengha-
rapkan Nona Li datang ke sana dan ikut bermalam di
tempatnya si Tabib Perawan itu!"
Lili diam merenung, Lembayung Senja berani-
kan diri ikut bicara,
"Untuk menenangkan hatimu, sebaiknya kau
datang ke sana dan bermalamlah di sana, Lili!"
"Tidak!" ucap Lili setelah diam beberapa saat.
"Terlalu rendah harga diriku jika ikut-ikutan bermalam
di sana! Biarlah Yo istirahat di sana. Aku tak perlu ter-
lalu mencemaskan dirinya, toh dia belum tentu men-
cemaskan diriku! Tak perlu aku mencemburuinya, toh
dia belum pernah mencemburui ku!"
"Biasanya cemburu itu cinta, bukan?" kata si
Tua Usil sambil cengar-cengir. Lembayung Senja terse-
nyum mengedipkan mata kepada si Tua Usil. Lem-
bayung Senja sudah sejak kemarin menduga bahwa Li-
li menaruh hati pada muridnya. Itulah sebabnya Lem-
bayung Senja tak mau tunjukkan rasa terpikatnya ke-
pada ketampanan Yoga, walau sebenarnya hati Lem-
bayung Senja ingin sekali mencoba mendekati Pende-
kar Rajawali Merah itu.
"Ada satu kabar lagi yang kubawa pulang, Nona
Li!" si Tua Usil mulai memancing kepenasaran Lili lagi
dengan maksud-maksud tertentu. Kata-kata Tua Usil
itu membuat Lili yang termenung segera palingkan wa-
jah dan tatap mata si Tua Usil dengan dahi berkerut.
"Aku punya kabar bagus untukmu, Nona Li. Te-
tap tidak akan kukatakan kepadamu, sebelum kau
berjanji akan mengajari ku berdiri di atas ilalang!"
"Kabar tentang apa?" tanya Lili.
"Kabar tentang siapa orang yang membuntungi
lengan Tuan Yo!"
Terperanjat Lili jadinya, bersemangat sekali ia
mendengarkan kabar tersebut. Duduknya pun berpin-
dah ke bangku dekat si Tua Usil. Lembayung senja ju-
ga tertarik dengan kabar tersebut, sehingga perhatian-
nya tercurah sepenuhnya kepada si Tua Usil. Tapi
yang diperhatikan hanya cengar-cengir dan tak mau
cepat-cepat melanjutkan kata-katanya, sehingga Lili
segera mendesaknya,
"Ceritakan kabar itu! Siapa yang membuntungi
lengan Yoga?"
"Oho, tidak akan kuceritakan sebelum Nona Li
berjanji akan mengajari ku berdiri di atas ilalang!" goda
si Tua Usil sambil terkekeh.
"Ayolah, Tua Usil...!" Jangan bikin hatiku panas
dan ingin menghajarmu malam ini juga!"
"Berjanjilah dulu, Nona Lil Kita saling bertukar
jasa!"
Hati Pendekar Rajawali Putih geram sekali se-
benarnya. tapi tak bisa dia asal pukul begitu saja. Dia
tahu si Tua Usil sangat ingin bisa mempelajari jurus
berdiri di atas ilalang, wajar rasanya jika si Tua Usil
menggunakan berbagai macam cara untuk menda-
patkan jurus itu dari Lili. Keadaan Lili sekarang bagai
sedang dalam ancaman si Tua Usil. Itu yang membuat
Lili jengkel dan geregetan. Akhirnya, Lili hanya berka-
ta,
"Baiklah! Akan kuajarkan jurus itu padamu,
tapi tidak dalam waktu dekat ini. Tunggu sampai aku
bisa membuntungi orang yang telah memenggal tangan
Yoga!"
"Kurasa itu mudah sekali, Nona Li! Kejar orang
itu dan tebaskan pedang saktimu itu, maka habis su-
dah dendammu padanya!"
"Biarpun semudah itu tapi kalau tidak ku tahu
siapa pelakunya, sama saja itu hal yang sulit kulaku-
kan, Tua Usil! Karena itu, sekarang ceritakanlah kabar
yang kau dengar dalam perjalananmu tadi!"
"Baiklah! Dengar Nona Li..., di perjalanan tadi
aku bertemu dengan anak buah Panglima Makar, yaitu
si
Nyali Kutu. Dia dalam ketakutan karena dike-
jar-kejar Malaikat Gelang Emas...."
"Nyali Kutu dikejar Malaikat Gelang Emas...?!"
Lembayung Senja menampakkan rasa herannya men-
dengar kabar itu. Ia berkata lagi,
"Ah, jangan-jangan itu hanya kibulan mu saja,
Tua Usil!"
"Aku berani angkat sumpah, apa yang kukata-
kan ini adalah apa yang kudengar dari mulut si Nyali
Kutu!" kata si Tua Usil meyakinkan, dan kemudian ia
menuturkan apa yang didengarnya dari Nyali Kutu se-
cara keseluruhan, sampai pada bunga di atas makam
yang menjadi layu itu.
Hening tercipta beberapa saat setelah si Tua
Usil menceritakan apa yang didengarnya dari Nyali Ku-
tu. Samar-samar terdengar suara Pendekar Rajawali
Putih berkata dalam gumam yang lirih,
"Berarti sudah ada orang yang melompati ma-
kam itu, dan itu artinya kakek si Malaikat Gelang
Emas tidak akan bangkit lagi selamanya. Syukurlah
kalau begitu!" Lili manggut-manggut sejenak, kemu-
dian berkata lagi sambil memandang si Tua Usil.
"Jadi menurut keterangan dari Nyali Kutu, Yoga
da-tang kepadanya dan menanyakan ke mana arah pe-
larian Kembang May at dan Topeng Merah?"
"Benar, Nona Li! Dan aku yakin Tuan Yo pasti
tahu apa yang terjadi dengan nasib kedua orang itu.
Mungkin Topeng Merah telah mati dibunuh oleh Kem-
bang Mayat. Buktinya sampai sekarang Topeng Merah
tidak pernah kelihatan muncul di beberapa tempat."
"Tapi bisa juga Kembang Mayat yang dibunuh
Topeng Merah! Buktinya sudah beberapa hari ini Lem-
bayung Senja menunggu kemunculan Kembang Mayat
di reruntuhan pesanggrahannya, tapi Kembang Mayat
tidak pernah muncul-muncul lagi!"
Lembayung Senja menyahut, "Mungkin kedua-
nya sama-sama mati!"
Lili memandang Lembayung Senja dan men-
ganggukkan kepalanya setelah diam sesaat. Lili juga
membenarkan dugaan Lembayung Senja, dan segera
berkata, "Tapi jika keduanya sama-sama mati, lantas
siapa yang memotong tangan Yoga?"
Si Tua Usil nyeletuk, "Aku yakin salah satu dari
mereka pasti ada yang hidup! Jika mereka tidak mun-
cul lagi selama ini, itu lantaran mereka bersembunyi
karena mereka takut adanya balas dendam yang akan
dilakukan oleh Tuan Yo!"
Lembayung Senja berkata juga, "Kurasa benar
apa dugaan Tua Usil, Lili. Tetapi aku yakin itu bukan
pekerjaan. sang Ketua. Kembang Mayat tak akan tega
memotong tangan Yoga, karena dia sangat tertarik
dengan Yoga. Jadi kesimpulanku mengatakan, Topeng
Merah-lah yang memotong tangan Yoga! Sedangkan
Kembang Mayat mungkin mati atau terluka entah di
mana!"
"Topeng Merah...?" geram Pendekar Rajawali
Putih sambil matanya menerawang penuh dendam.
Lembayung Senja berkata lagi, "Kembang Mayat
pernah bilang padaku, dia sangat tertarik kepada Yoga
dan ingin memilikinya. Selama Ini, baru kepada Yoga
dia punya perasaan begitu terpikat Jadi tidak mungkin
Kembang Mayat memotong tangan orang yang
diharap-kan bisa menjadi pasangan hidupnya! Dan ka-
lau saat ini Kembang Mayat masih hidup, maka dia
akan membela mati-matian sebelum Yoga terpotong
tangannya oleh pedang Topeng Merah! Jadi kurasa
Kembang Mayat dibunuh lebih dulu oleh Topeng Me-
rah, barulah Topeng Merah memenggal tangan kiri
muridmu itu, Lili!"
Kata-kata Lembayung Senja berpengaruh da-
lam jiwa Lili, sehingga gadis cantik itu menggebrak me-
ja dan berkata,
"Akan kucari si Topeng Merah tanpa setahu Yo-
ga, dan akan ku buntungi kedua kaki dan kedua tan-
gannya! Jangan satu pun dari kalian bet dua ada yang
menceritakan rencanaku ini kepada Yoga!"
Tua Usil menyahut, "Aku tidak akan mencerita-
kannya jika kau segera mengajari ku berdiri di atas ila-
lang, Nona Li! Tapi jika kau tak mau mengajari ku,
maka...."
"Maka kepalamu yang akan kupenggal!" geram
Lili dengan jengkel sekali mendengar ancaman-
ancaman usil dari mulut si Tua Usil itu. Akibatnya, si
Tua Usil mengkerut dan takut, ia tak berani meman-
dang Lili yang tampak sedang mengendalikan amarah-
nya dengan susah payah.
Mereka bertiga memang tak satu pun yang bisa
punya kepastian. Semuanya bersifat dugaan dan ke-
simpulan-kesimpulan yang masih mengambang dalam
benak. Tak ada yang tahu, bahwa Topeng Merah masih
hidup dan Kembang Mayat jatuh ke jurang.
Bahkan dari mereka tak satu pun ada yang ta-
hu bahwa Kembang Mayat sebenarnya masih hidup.
Yoga sendiri tidak akan mengira kalau Kembang Mayat
masih hidup. Yoga melihat Kembang Mayat jatuh ke
jurang, tapi Yoga tidak melihat seseorang telah menye-
lamatkan Kembang Mayat.
Orang yang menyelamatkan Kembang Mayat itu
berbadan gemuk, berkepala gundul bersih, tapi jeng-
gotnya panjang berwarna putih dan alisnya pun ber-
warna putih juga. Ia mengenakan pakaian kain kuning
berhias kalung tasbih di lehernya sebesar kelereng
berwarna putih. Orang tersebut adalah Pendeta Gane-
sha yang sedang melakukan semedi di dasar jurang
tersebut.
Pada waktu itu, suara jeritan Kembang Mayat
menggema di seluruh dinding jurang dan sampai ke te-
linga Pendeta Ganesha. Cepat-cepat orang berbadan
gemuk dan tinggi mirip raksasa itu mendongak ke
atas, lalu ia melihat sesosok tubuh yang terlempar tu-
run ke dasar jurang.
Dalam keadaan tetap bersila, orang berusia se-
kitar tujuh puluh tahun itu melesat ke atas. Tubuhnya
terangkat dengan sendirinya dengan kedua kaki tetap
dalam keadaan bersila. Tubuh Pendeta Ganesha itu
seolah-olah menyambut kedatangan Kembang Mayat,
sehingga Kembang Mayat jatuh dalam pangkuan Pen-
deta Ganesha. Begitu menerima tubuh Kembang Mayat
dengan kedua tangan, tubuh Pendeta Ganesha kemba-
li bergerak turun dalam keadaan tetap bersila.
Kejap berikutnya Kembang Mayat pingsan sete-
lah menyadari dirinya ada yang menolong. Ia pingsan
akibat pukulan tenaga dalam yang dideritanya dan To-
peng Merah. Pendeta Ganesha menyembuhkan luka
dalam itu dengan hanya menempelkan ujung jari ten-
gahnya ke ulu hati Kembang Mayat. Ketika Kembang
Mayat siuman, ia sudah dalam keadaan sehat tanpa
luka sedikit pun baik di luar maupun di dalam tubuh-
nya. Tapi ia terperanjat melihat orang tua berjenggot
panjang dan berbadan besar ada di sampingnya.
"Siapa kau, Pak Tua?!" tanya Kembang Mayat
sambil berdiri dan mengambil pedangnya yang ada di
tanah.
Pendeta Ganesha membungkukkan badan,
memberi hormat dengan cukup hikmat. Tutur katanya
cukup lembut dan penuh kesabaran,
"Selamat datang, Gusti Ratu! Saya Pendeta Ga-
nesha menghaturkan sembah kepada Gusti Ratu!"
Dalam hatinya Kembang Mayat berkata, "Orang
ini gila barangkali! Dia menyembahku dan memanggil-
ku Gusti Ratu!" Lalu, Kembang Mayat berkata kepada
Pendeta Ganesha, "Namaku Kembang Mayat, dan aku
bukan seorang ratu, Pendeta Ganesha!"
"Memang benar. Tapi agaknya dewata membe-
rikan seorang ratu kepada kami! Sudah beberapa wak-
tu lamanya saya bertapa di sini dan memohon kepada
dewata untuk mendapatkan seorang ratu atau raja
yang akan memimpin rakyat kami, dan yang akan
menggantikan kedudukan raja kami yang telah me-
ninggal lebih dari lima purnama ini. Ternyata, dewata
memberikan Gusti Ratu Kembang Mayat kepada saya.
Sudah menjadi adat dan tata cara di negeri kami, bah-
wa seorang ratu atau raja diangkat bukan dari anggota
masyarakat kami, melainkan dari luar anggota masya-
rakat kami. Di mana pun saya bertapa untuk memo-
hon kepada dewata seorang pemimpin kami, maka
orang yang datang kepada saya itulah yang dipercaya
oleh rakyat kami sebagai pemimpin negeri kami. Orang
yang datang kepada saya itulah calon ratu atau raja
kami!"
"Negerimu di mana?" sambil Kembang Mayat
menyarungkan pedangnya.
"Negeri kami adalah Negeri Linggapraja, terletak
di Pulau Kana Dan karena Gusti Ratu Kembang Mayat
adalah orang yang kail ini datang kepada saya dalam
keadaan bagaimanapun, maka Gusti Kembang Mayat-
lah calon ratu di negeri kami! Rakyat Linggapraja akan
sangat gembira menyambut kedatangan Gusti Ratu
Kembang Mayat! Mohon kiranya Gusti Ratu tidak ke-
beratan jika saya boyong ke Pulau Kana sekarang ju-
ga!"
Berdebar-debar hati Kembang Mayat, seperti
tak percaya bahwa dirinya akan dijadikan seorang ratu
untuk sebuah negeri. Bahkan Kembang Mayat me-
nampakkan kesangsiannya dengan bertanya,
"Apakah pengangkatan diriku nantinya tidak
akan menimbulkan pemberontakan dl Negeri Lingga
praja, Pendeta Ganesha?"
"Tidak, Gusti Ratu! Saya adalah Pendeta Agung
di negeri itu! Semua rakyat mempercayakan tugas ini
kepada saya! Siapa pun orangnya yang saya bawa pu-
lang ke Pulau Kana, rakyat akan langsung menga-
kuinya sebagai pemimpin kami!"
"Apakah di Pulau Kana keadaannya menye-
nangkan?"
"Sangat menyenangkan, Gusti Ratu! Keadaan
tanahnya subur, makmur, dan kami mempunyai tam-
bang emas sendiri. Rakyat kami punya rasa pengab-
dian dan kesetiaan kepada pemimpin cukup tinggi.
Kami membangun istana sebagai tempat tinggal pim-
pinan negeri dengan bangunan berlapiskan emas dan
berhiaskan berlian! Negeri kami adalah negeri yang
sukar ditundukkan lawan karena mempunyai sejum-
lah pasukan yang tangguh dan siap mati demi ratu!"
Mendengar istana emas berhiaskan batu-batu
berlian dan permata lainnya hati Kembang Mayat san-
gat tertarik. Setidaknya dia ingin melihat sebuah nege-
ri yang konon berkeadaan subur, makmur, serta ber-
limpah kemewahan itu. Maka, ia pun segera menyetu-
jui rencana Pendeta Ganesha, yang konon menjabat
sebagai Pendeta Agung di Pulau Kana itu.
Kepergian Kembang Mayat ke Pulau Kana ber-
sama Pendeta Ganesha bukan melalui jalan darat atau
laut, namun melalui jalan udara. Kembang Mayat be-
rada dalam gendongan Pendeta Ganesha, lalu orang
bertubuh besar itu melompat dengan ringan dan cepat,
dari ujung batu ke ujung batu yang semua gerakannya
itu tak mungkin bisa di lihat dengan mata telanjang.
Dan memang begitulah tata cara bagi masyarakat Pu-
lau Kana dalam membawa seorang calon pemimpin
negara. Di situlah kehebatan sebagai Pendeta Agung
yang juga dihormati serta disegani oleh rakyat Lingga-
praja.
Menurut keterangan Pendeta Ganesha, nege-
rinya bukan tidak mampu mencari seorang pemimpin
negara dari penduduk Pulau Kana, melainkan sengaja
dicari orang di luar Pulau Kana untuk memimpin nege-
rinya. Hal itu dilakukan secara turun temurun, supaya
dalam memberikan keputusan pengadilan, seorang ra-
ja atau ratu tidak memandang bulu, tidak mempertim-
bangkan segi persaudaraan, dan sebagainya. Dengan
mengambil pemimpin dari luar Pulau Kana, mereka
yakin betul bahwa segala keputusan yang diambil oleh
sang pemimpin adalah sesuatu yang adil dan seadil-
adilnya. Raja atau ratu hanya akan diganti jika wafat.
Tetapi bag) mereka yang sudah menjadi raja atau ratu,
lalu ingin pulang ke tempat asalnya, maka rakyat Pu-
lau Kana siap menghadang di seluruh pantai dan
membunuhnya.
Tetapi menurut penjelasan Pendeta Agung itu,
selama ini belum ada satu orang pun yang ingin mela-
rikan diri dari jabatannya sebagai raja atau ratu. Se-
bab mereka yang sudah menjadi pimpinan di sana
akan merasa betah dan senantiasa bahagia hidupnya,
sampai beranak-cucu. Jika sang Raja wafat maka ke-
turunannya akan diperlakukan sebagai kelompok ma-
syarakat terhormat.
Kehadiran Kembang Mayat di Pulau Kana ter-
nyata disambut dengan sorak-sorai yang amat meriah
oleh rakyat negeri Linggapraja. Semua wajah menam-
pakkan keceriaan dan kegembiraannya, apalagi mere-
ka kali ini mendapat seorang ratu yang masih muda
dan cantik. Semua mata memandang dengan penuh
rasa kagum dan senang. Namun mereka tetap menjaga
diri untuk tetap menghormat dan menghargai Kembang Mayat sebagai ratu mereka.
Hanya saja, Kembang Mayat merasa merinding
dan kaget saat pertama jumpa dengan orang-orang Pu-
lau Kana itu. Hal yang membuat Kembang Mayat ngeri
adalah melihat keadaan masing-masing penduduk Pu-
lau Kana itu semuanya menyerupai raksasa. Wajah
mereka ada yang jelek, ada yang cantik, ada yang ga-
gah, ada yang sedang-sedang saja. Tetapi ukuran tu-
buh mereka tinggi-tinggi Sudah tinggi, besar dan ba-
dan mereka sepertinya berotot keras atau berkulit teb-
al. Orang yang paling pendek dl Pulau Kana berukuran
satu setengah tombak lewat sedikit. Jika Kembang
Mayat berdiri di samping orang yang paling pendek di
Pulau Kana itu, maka batas ketinggian tubuh Kem-
bang Mayat hanya mencapai ketiak orang tersebut. Ji-
ka yang terpendek saja berukuran seperti itu, bagai-
mana jika yang tidak ter-hitung pendek?
Tetapi mereka itu ramah-ramah dan tidak buas
seperti raksasa pada umumnya. Mereka bersikap so-
pan, sekalipun para pemudanya sering memandang
dengan sikap kagum dan senyum menawan hati. Bebe-
rapa prajurit yang mengawal Kembang Mayat pada
umumnya berwajah tampan, berbadan tegak, kekar
dan besar. Salah satu prajurit pengawal ratu yang ser-
ing mencuri pandang adalah seseorang yang bernama
Gandaloka. Konon orang itu masih berusia dua puluh
dua tahun dan belum mempunyai istri. Ia termasuk
prajurit paling tampan dan banyak diincar oleh gadis-
gadis cantik berbadan besar di Pulau Kana itu.
"Gusti Ratu," kata Pendeta Agung Ganesha
yang menjabat sebagai penasihat ratu dalam urusan
hukum adat, "Kami akan melakukan penobatan untuk
Gusti Ratu Kembang Mayat. Tetapi hal itu tidak bisa
kami lakukan sekarang. Karena menurut adat di sini,
seseorang akan dinobatkan sebagai ratu, apabila ia
sudah menikah dan pernikahan itu dilakukan di depan
rakyat Linggapraja. Jadi, kami sedang mempersiapkan
pesta perkawinan yang harus segera dilakukan sebe-
lum purnama tiba! Apabila sampai purnama tiba Gusti
Ratu Kembang Mayat belum melakukan perkawinan,
maka kami dengan sangat sedih akan membunuh
Gusti Ratu, karena kami anggap sebagai orang pem-
bawa sial yang datang ke Pulau Kana ini!"
"Jadi... aku harus menikah dulu, baru dino-
batkan sebagai ratu secara resmi?"
"Begitulah hukum adat di sini, Gusti!" jawab
Pendeta Ganesha. "Oleh karena itu, silakan mulai se-
karang Gusti memilih pemuda atau lelaki mana saja
yang Gusti sukai untuk dijadikan calon pengantin pria
yang akan duduk di samping Gusti Ratu Kembang
Mayat!"
"Aku... aku harus memilih salah satu pria di si-
ni untuk menjadi suamiku? Wow...! Mereka besar-
besar, Pendeta Agung! Aku ngeri mempunyai seorang
suami berukuran sebesar mereka!"
Tapi ini hukum adat yang berlaku di sini Gusti
Kembang Mayat! Apa pun alasannya, Gusti harus
mencari calon suami yang secepatnya dan kami akan
mengawininya!"
Kembang Mayat tertegun, dadanya terasa se-
sak. Ia harus menikah dengan salah satu pria raksasa
di negeri itu, adalah hal yang mengerikan. Melihat jari-
jari tangan mereka yang besar-besar saja Kembang
Mayat sudah merasa ngeri, apalagi ia membayangkan
pada malam pertama nanti. Oh, sungguh mengerikan
buat Kembang Mayat. Karenanya, Kembang Mayat pun
bertanya kepada Pendeta Agung,
"Bolehkah aku mencari suami dari luar Pulau
Kana?"
“Tidak ada larangan, Gusti! Itu boleh-boleh sa-
ja. Yang terpenting bagi kami, seorang ratu atau raja
harus sudah berkeluarga, supaya kerukunan dan ke-
damaian serta kemesraan sang Ratu akan menjadi
berkah bagi kehidupan keluarga kami, dan akan men-
jadi panutan bagi para suami-istri yang ada di bawah
titah paduka ratu!"
Kembang Mayat menghela napas panjang-
panjang. Sebenarnya sungguh menyenangkan menjadi
ratu di negeri itu. Seperti apa kata Pendeta Ganesha,
negeri itu adalah negeri yang subur, makmur, dan ber-
limpah kekayaan. Istana itu benar-benar terbuat dari
emas dengan hiasan batu-batu berlian dan permata
lainnya Sungguh sebuah istana yang megah dan
menggiurkan siapa pun yang berhati jahat untuk me-
rebutnya. Tetapi selama ini tak pernah ada yang ber-
hasil menguasai Pulau Kana dengan segenap isinya,
karena pulau itu mempunyai pasukan yang tangguh
dan berbadan besar.
Dalam satu pertemuan untuk menentukan ca-
lon suami ratu, Gandaloka sejak tadi menatap Kem-
bang Mayat dengan hati berdebar-debar. Pria itu mem-
punyai mata bagus, hidung mancung, kulit bersih
berwarna kuning langsat, bibirnya pun indah dan
menggemaskan. Maka, ketika Pendeta Agung memang-
gil para pemuda yang dijadikan calon untuk dipilih se-
bagai suami Kembang Mayat, satu di antara pemuda
itu adalah Gandaloka sendiri.
Kembang Mayat tersenyum ketika Gandaloka
menatapnya, lalu ia memanggil Gandaloka agar men-
dekat,
"Datang kemari, Gandaloka!"
Semua mata tertuju pada Gandaloka yang ber
pakaian putih dengan rambut ikal dan berkumis tipis.
Ganteng sekali dia dengan kumis tipisnya itu. Semua
orang menyangka Gandaloka terpilih sebagai suami ra-
tu nantinya. Gandaloka sendiri bersorak girang ha-
tinya. Tetapi kegirangan itu menjadi sirna ketika Kem-
bang Mayat berkata,
"Kuperintahkan padamu, Gandaloka... pergi ke-
luar Pulau Kana dan cari pemuda ganteng yang ber-
nama Yoga dan bergelar Pendekar Rajawali Merah!
Bawa dia kemari, karena aku ingin mengawininya!"
"Kami akan lakukan, Gusti Ratu Kembang
Mayat!" jawab Gandaloka.
"Bila mana perlu, bawa pasukan untuk menda-
patkan Pendekar Rajawali Merah! Aku ingin secepat-
nya kalian membawa dia kemari!"
Maka berangkatlah Gandaloka dengan pasu-
kannya mencari Yoga, si pendekar tampan itu. Jumlah
pasukan yang dibawanya tidak begitu banyak. Hanya
lima orang, enam bersama Gandaloka sendiri. Tapi me-
reka dikenal sebagai pasukan atau prajurit-prajurit
yang tangguh dan terpilih. Bukan hanya berbadan be-
sar dan kekar saja, namun mereka mempunyai ilmu
yang tergolong tinggi dan menjadi andalan kekuatan
pertahanan Pulau Kana.
Gandaloka memang kecewa, karena ternyata
bukan dia yang terpilih menjadi suami Kembang
Mayat. Tetapi Gandaloka sudah terbiasa menyingkir-
kan kekecewaan itu, membuang kepentingan pribadi
dan mengutamakan kepentingan negara. Karenanya,
Gandaloka tidak merasa sakit hati dan tetap berse-
mangat mencari Pendekar Rajawali Merah itu.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Merah sendiri
sudah punya kekasih yang jinak-jinak merpati, yaitu
Pendekar Rajawali Putih, gurunya sendiri. Jika kedatangan Gandaloka dan tujuan orang-orang Pulau Kana
itu diketahui oleh Lili, lantas bagaimana sikap Lili da-
lam mempertahankan Yoga untuk tetap menjadi pen-
dampingnya? Mampukah Lili mengamuk dan menga-
lahkan enam orang sakti dari Pulau Kana itu?
Bagaimana pengobatan Sendang Suci terhadap
luka potong di tangan Yoga itu? Apakah berhasil, atau
semakin parah? Seandainya berhasil, maka cacat pada
tangan Yoga itu apakah tidak mengurangi kesaktian
dan kekuatannya? Bagaimana jika Yoga mendak aja-
kan Gandaloka untuk datang ke Pulau Kana dan ha-
rus bertarung dengan enam raksasa Pulau Kana itu,
apakah ia mampu mengalahkannya dengan satu tan-
gan? Atau mungkinkah Topeng Merah masih tetap
muncul untuk membela Yoga?
Berhasilkah Lili memburu Topeng Merah dan
membalaskan cacat yang terjadi pada diri Yoga? Lalu,
bagaimana dengan Mutiara Naga yang membawa guci
berisi racun itu? Apakah dia tahu bahwa guci itu adalah racun yang mematikan, bukan Darah Kasih Dewa yang diharapkan itu?
Semuanya bisa terjadi. Kemungkinan apa pun
bisa saja timbul dalam kisah selanjutnya. Silakan mengikuti.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar