..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 13 Maret 2025

JODOH RAJAWALI EPISODE SUMUR PERUT SETA

matjenuh khairil

 

SUMUR PERUT SETAN 
Serial Silat 
JODOH RAJAWALI 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit 
Serial Silat Jodoh Rajawali daiam episode : Sumur Perut 
Setan 128 hal. 



GADIS cantik berhidung mancung itu masih dibaringkan di 
atas balai oleh pamannya; Leak Parang. Gadis itu sedang dalam 
pengobatan akibat luka berat bagian dalamnya. Kalau saja ia 
tak segera datang ke pondok Leak Parang, mungkin jiwanya 
tidak akan tertolong lagi. Leak Parang pun dalam 
pengobatannya dibantu oleh Nyai Kubang Darah, sehingga kini 
gadis berbaju merah yang tak lain dari Kencana Ratih itu 
tinggal menunggu pulihnya kekuatan tubuh yang hilang akibat 
luka parah itu.

Pemuda tampan berpakaian baju selempang dari kulit 
beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di 
dalamnya itu masih berdiri di samping balai dengan wajah 
penuh sesal. Pemuda- itu tak lain adalah Yoga, si Pendekar 
Rajawali Merah yang telah selamat dari pengaruh Jarum Jinak 
Jiwa. Wajah sesalnya itu sepertinya sulit hilang, karena ia 
mendapat cerita dari Mahligai, keponakan Sendang Suci yang 
telah berhasil mengobatinya itu, bahwa Jarum Jinak Jiwa itu 
telah membuatnya menjadi ganas. Lupa akan dirinya, lupa akan 
sahabatnya, dan salah satu korban yang nyaris mati di 
tangannya adalah Kencana Ratih itu, (Baca episode: "Mempelai 
Liang Kubur"). 
"Tak kusangka aku menjadi orang yang paling jahat di muka 
bumi ini!" kata Yoga dalam nada pelan, sepertinya bicara pada 
diri sendiri. Kala itu, bukan hanya Kencana Ratih yang 
mendengar ucapannya, melainkan Leak Parang dan Nyai 
Kubang Darah pun mendengarnya. Leak Parang pun berkata, 
"Jangan hanyut dalam penyesalan, Yoga. Carilah makna dari 
peristiwa yang menimpamu itu! Manusia hidup diwajibkan 
belajar dari pengalaman yang ada dalam peristiwa demi 
peristiwa. Kalau hanya terbelenggu oleh penyesalan saja, maka 
hidup manusia itu tidak akan punya makna bagi dirinya 
sendiri." 
Kencana Ratih yang lemah dipandangi dengan sorot mata 
lembut, penuh rasa iba yang amat dalam. Yoga sepertinya 
hampir saja membenci dirinya sendiri jika mengingat, betapa 
teganya dan betapa kejamnya ia memperlakukan sahabat 
sebaik Kencana Ratih hanya untuk memburu nafsu pribadinya. 
"Kapan saja kau ingin balas dendam pada diriku, aku siap 
menerimanya. Kencana Ratih! Lakukanlah sesukamu, dan aku 
tidak akan melawan ataupun membalasnya."

Dengan suara lemah Kencana Ratih berkata, "Lupakanlah 
semuanya," ia sunggingkan senyum, lesung pipitnya terlihat 
jelas. Hati Yoga makin tersayat pilu. Pada saat ia melihat lesung 
pipit itu, ia terbayang wajah seorang kekasih yang menjadi 
gurunya; Pendekar Rajawali Putih. Timbul pertanyaan di batin 
Yoga pada saat itu, 
"Di mana Lili sekarang?" 
Kencana Ratih melanjutkan ucapannya, "Aku tak akan 
menuntut balas apa-apa padamu, karena aku tahu kau dalam 
keadaan tak sadar pada waktu itu. Jangankan untuk mengingat 
diriku, untuk mengingat siapa dirimu saja kau tak mampu, Yo! 
Jadi, wajarlah jika kau menyerangku dengan jurus mautmu itu. 
Kuanggap, bukan kau yang menyerangku, melainkan pengaruh 
jahat dari jarum itu yang hendak membunuhku waktu itu. 
Sekarang, semua itu sudah tidak ada. Semua itu sudah berlalu, 
tak perlu kau merasa bersalah." 
Tangan Kencana Ratih meraih tangan Yoga yang ada di 
sampingnya, la menggenggam tangan itu seraya sunggingkan 
senyum lagi dan berkata, 
"Aku akan sembuh. Aku akan sehat seperti sediakala!" 
"Kau memaafkan aku?" 
"Sangat memaafkan!" jawab Kencana Ratih berusaha untuk 
tegas walau dengan suara lemah karena keadaan tubuhnya 
memang lemah. 
"Kau tahu ke mana perginya Lili?" 
"Waktu itu, aku bertarung dengan Mahligai, ia jalan 
menyusulmu ke Candi Langu bersama si tampan Wisnu Patra!" 
"Wisnu Patra...?!"

"Benar. Kau ingat Wisnu Patra, yang dulu juga pernah mau 
merebut bunga Teratai Hitam itu?" 
"Ya, ya...! Aku ingat jelas wajahnya. Tapi mengapa Lili pergi 
bersama dia? Ada hubungan apa sebenarnya antara Lili dengan 
Wisnu Patra?!" Pendekar Rajawali Merah menerawang 
memikirkan gadis cantik yang melebihi kecantikan bidadari itu. 
Ada rasa cemburu yang muncul dengan diawali rasa curiga. 
Kencana Ratih menangkap adanya nada cemburu itu, sehingga 
ia tersenyum bersama ucapan lemahnya, 
"Kau curiga aneh kepadanya? Apakah benar kau menyimpan 
hati untuk Pendekar Rajawali Putih itu?" 
Tapi Pendekar Rajawali Merah alihkan kata, "Apakah 
menurutmu Lili dan Wisnu Patra pernah sampai ke Candi 
Langu?" 
Kencana Ratih paham dengan pengalihan kata itu, ia kembali 
makin lebarkan senyumnya dan menjawab, 
"Rasa-rasanya mereka tak pernah sampai ke Candi Langu. 
Karena ketika aku menyusul ke sana, yang kutemukan hanya 
kau bersama orang-orang Candi Langu itu. Kemudian kau 
menyerangku dan aku lari, tanpa pernah jumpa lagi dengan 
Pendekar Rajawali Putih itu. Barangkali saja mereka berbelok 
arah untuk satu maksud dan tujuan yang tak kumengerti. 
Tentunya hanya mereka pribadi yang memahami mengapa 
harus berbelok arah dan tak jadi membebaskan kamu dari 
pengaruh jarumnya Galuh Ajeng itu!" 
"Berbelok arah...?!" Yoga menggumam dan semakin panas 
hatinya. 'Aku harus mencari mereka dan bikin perhitungan 
dengan Wisnu Patra!" 
Kencana Ratih tak bisa mencegah keinginan Pendekar 
Rajawali Merah. Bahkan saran Leak Parang agar Yoga

beristirahat beberapa hari di pondoknya juga ditolak secara 
halus. Hati yang menyimpan geram kecemburuan atas perginya 
Lili dengan Wisnu Patra itu membuat Yoga terpaksa bersuit 
beberapa kali, kemudian seekor burung rajawali besar berbulu 
merah datang menghampirinya. Dengan menunggang burung 
rajawali merah itulah Yoga meninggalkan pondok kcnlLniMii I o 
ak Parang, melesat terbang mencari di mana si I'oikIii kar 
Rajawali Putih berada. 
"Jangan terlalu tinggi, Merah! Aku tak bisa iiioMImi gerakan 
manusia jika kau terbang terlalu tinggi. Meren dahlah sedikit!" 
"Kraaak...!" burung itu seakan mengerti bahasa ma nusia 
dan menjawab dengan satu seruan sambil kepalanya 
mengangguk-angguk. Kemudian burung besar itu pun 
merendah dan terbang dalam jarak tak seberapa jauh dari 
pucuk-pucuk pohon. Gerakannya pun pelan, sayapnya 
mengepak-ngepak dengan santai, namun berkesan perkasa dan 
gagah. 
Setiap orang yang dilewati burung besar itu selalu 
mendongak ke atas dan memandang dengan kagum. Mereka 
tahu, penunggang burung besar itu tak lain adalah Pendekar 
Rajawali Merah yang mulai banyak dikenal orang cerita tentang 
kesaktian dan ketinggian ilmunya. Setiap orang yang 
mendongak pada umumnya melambaikan tangan dengan rasa 
ingin bersahabat dengan pendekar tampan bertangan satu itu. 
Tetapi dari beberapa orang yang dilewati oleh burung besar itu, 
Yoga tak melihat seraut wajah milik Lili. Bahkan bentuk rambut 
dan pakaian gadis itu pun tak terlihat ada di antara mereka. 
Melalui udara itu, Yoga sempat melihat reruntuhan candi 
yang tak lain adalah Candi Langu, tempat dirinya nyaris 
menjadi pengantin dengan Galuh Ajeng, la juga melihat dua 
tanah yang menggunduk. Itulah dua kuburan Galuh Ajeng dan 
Nini Sambang. Tapi ia tidak melihat mayat lain di sana.

Cemplon Sari yang kabarnya terkena senjata rahasia Mahligai, 
tidak ada di antara reruntuhan candi. Selamatkah ia? 
"Merah! Kita menuju ke arah pantai. Di candi itu tidak kulihat 
mereka! Mungkin mereka menuju ke pantai untuk berkasih-
kasihan!" 
"Kreeeak...! Kreeeak...!" burung itu mengerti maksud 
majikan mudanya, lalu segera meluncur ke arah pantai dengan 
gerakan tetap berkesan santai. 
Tetapi tiba-tiba Yoga merasakan ada hembusan angin dari 
bawah yang menghentak ke atas. Wuuuk...! Burung itu agak 
oleng dengan menyerukan suara sebagai tanda bahaya. 
"Ada yang hendak mencelakai kita, Merah!" 
"Kraaak...!" burung rajawali merah itu memancarkan 
matanya dengan kelopak naik pertanda ia sendiri menjadi 
marah. 
Seseorang telah melepas pukulan tenaga dalam jarak jauh 
ke atas. Tetapi pukulan itu tak seberapa besar, sehingga tidak 
membuat burung rajawali itu terpental dalam penerbangannya. 
Dua kali hal itu dirasakan oleh Yoga, namun matanya belum 
menangkap siapa orangnya dan di mana ia berada. 
"Ke arah timur, Merah! Kita periksa keadaan di balik bukit 
kecil itu!" seru Yoga dan burung itu berseru kembali, lalu 
membelokkan arah penerbangannya ke timur. 
Melintas bukit kecil itu, tiba-tiba dua benda berkelebat 
menyerang Yoga dari bawah. Wuuut, wuuut...! Yoga hanya 
berteriak, 
"Awasss...!" 
Burung rajawali itu memiringkan tubuh. Yoga hampir saja 
jatuh. Ternyata burung itu menghindari dua anak panah yang

dilepaskan ke arahnya. Bahkan sekarang bukan dua anak 
panah lagi, melainkan lebih dari sepuluh anak panah 
menghujani Yoga dan rajawali merahnya. 
Clap, clap, dap, clap...! 
Yoga sibuk menangkis anak panah dengan tebasan 
tangannya. Sayap burung rajawali itu pun mengepak-ngepak 
menimbulkan hembusan angin keras, sehingga arah anak 
panah berbelok ke tempat lain. Tetapi ada satu anak panah 
yang berhasil melesat dan mengenai dada kiri Yoga. Craab...! 
"Auh...! Merah, aku kena...!" Yoga menyeringai sambil 
berusaha mencabut anak panah yang menancap di dada 
kirinya, dekat pundak. 
"Kraak...! Kraaak...!" 
Burung rajawali besar itu mengamuk melihat tuan mudanya 
terkena anak panah. Terbangnya menjadi lebih cepat, menukik 
ke bawah dan menghampiri sepuluh orang lebih yang berbaris 
di kaki bukit kecil itu. Sayapnya dikepakkan dengan keras, dan 
angin menghembus bagaikan badai. Orang-orang itu 
terhempas, terlempar ke sana-kemari. 
Sekalipun demikian, masih juga ada yang sempat 
melepaskan anak panahnya ke arah burung tersebut. Prak...! 
Praak...! Sayap rajawali merah itu menghantam patah setiap 
anak panah yang mengarah kepadanya. Gerakannya semakin 
meliuk mondar-mandir dalam keadaan rendah. Lalu, salah satu 
orang yang ada di lereng bukit kecil itu dihampirinya dan 
disambarnya dari belakang. Wuuut...! Cakar rajawali 
mencengkeram kepala orang itu, kemudian ketika orang itu 
berteriak-teriak dibawa terbang tinggi, cakar itu 
melepaskannya. Wuuus...!

"Aaa...!" Orang itu menjerit ketika dijatuhkan dari ketinggian. 
Dan ia pun jatuh di antara bebatuan dengan kepala lebih dulu 
sampai ke bumi. Tentu saja nyawa orang itu pun lekas pergi 
tinggalkan raganya karena tak mau punya kepala yang remuk 
begitu. 
Panah yang menancap di dada kiri Yoga sudah berhasil 
dilepaskan. Tapi agaknya panah itu mengandung racun yang 
melemaskan seluruh urat dan persendian. Tubuh Yoga menjadi 
limbung tak mampu mengendalikan keseimbangan. Ketika ia 
dibawa menukik oleh rajawali merah, tubuhnya menyerosot 
dan jatuh di atas semak-semak yang agak jauh dari bukit kecil 
itu. Bruuus...! 
"Uuh...!" Yoga seperti orang mabuk. Matanya terbe-liak-
beliak. la terkapar di semak-semak itu. Rajawali merah segera 
menukik turun. Tetapi suara orang beramai-ramai 
menghampirinya masih sempat terdengar oleh telinga Yoga, 
sehingga Yoga berkata kepada burung rajawali itu, 
"Merah... larilah! Lekas lari...!" "Kraaak...!" burung itu tak 
mau lari dan justru berba-lik menghadap ke arah datangnya 
suara orang itu. Agaknya burung tersebut bermaksud 
menghadapi orang-orang yang ingin mencelakakan majikan 
mudanya itu. Sayap burung tersebut telah dibentangkan lebar-
lebar. "Kraaak...!" 
Ketika orang-orang itu mendekat, sayap itu dikibaskarfke 
depan dengan kerasnya. Wuuukkk...! Dan orang-orang itu 
terpental tunggang-langgang disapu angin badai yang cukup 
besar dari kibasan sayap burung tersebut. Bahkan dua batang 
pohon menjadi tumbang pula akibat kibasan sayap yang 
menghadirkan angin badai itu. Dua dari beberapa orang itu 
mati tertimpa pohon yang tumbang. Lainnya luka-luka dan 
berjumpalitan tak beraturan. Ada yang terbentur batu

kepalanya, ada yang patah tangannya, ada yang terkilir kakinya 
dan ada pula yang tertindih temannya. 
Ternyata dari arah yang berlawanan datang pula suara orang 
bergemuruh dengan teriakan-teriakan liarnya. Orang-orang itu 
pun bermaksud menyerang Yoga dan burung rajawalinya. 
Melihat keadaan seperti itu, Yoga masih sempat berpikir bahwa 
jumlah yang dihadapi bukan hanya sepuluh orang, namun lebih 
dari dua puluh orang. Ini cukup berbahaya jika harus dihadapi 
dalam keadaan luka lemas begitu. Maka ia putuskan untuk 
selamatkan diri. Itu pun tak mungkin dilakukan jika ia dalam 
keadaan tak mampu bergerak lagi. 
"Merah! Lekas pergi kau! Terbang tinggi dan tinggalkan aku 
untuk sementara! Aku bisa hadapi mereka. Pergi kau, Merah! 
Cepat lari!" 
Karena sang majikan bagai memberi perintah dengan 
sentakan, maka burung besar itu patuh dan lekas terbang 
dengan meneriakkan suara yang menggema ke mana-mana. 
Kibasan sayapnya kembali datangkan angin badai, sehingga 
mereka yang baru datang pun terjungkal tunggang-langgang. 
Mereka tak sempat membidikkan panah ke arah burung 
tersebut, dan burung itu akhirnya pergi meninggalkan majikan 
mudanya. Orang-orang pun segera berlarian mendekati Yoga. 
Keadaan Yoga semakin lemas. Pandangan matanya mulai 
buram. Tapi ia masih sadar, jumlah orang yang mendekatinya 
cukup banyak dan mereka adalah orang-orang bertubuh tinggi-
besar. Cepat-cepat batin Yoga mengatakan, "Orang-orang 
Pulau Kana rupanya...?!" 
Samar-samar pula ia melihat Gandaloka berdiri memberi 
perintah kepada pasukannya. Rupanya Gandaloka telah mampu 
sembuhkan diri dari luka pertarungan dengan Lili, dan kini ia

diperintahkan kembali untuk memburu Yoga dengan membawa 
sejumlah pasukan pemanah. 
"Tangkap dan ikat dia!" perintah Gandaloka. Anak buahnya 
yang punya perawakan sama dengannya itu segera bergegas 
mengikat tubuh Yoga dengan tambang. Salah seorang ada 
yang berusaha nakal, mencabut pedang pusaka dari punggung 
Yoga. 
Blaaar...! Petir menyambar di angkasa ketika pedang itu 
dicabut dari sarungnya. Pedang yang memancarkan cahaya 
merah dengan bunga api merah berlompatan mengelilingi mata 
pedang itu menjadi bahan pandangan beberapa orang. 
Pemegang pedang itu tersenyum bangga merasa bisa memiliki 
pedang tersebut. 
Namun di luar dugaan, tiba-tiba orang yang memegang 
pedang itu menghujamkan pedang ke perutnya sendiri. 
Jraaab...! Tentu saja pedang itu tembus ke belakang, dan 
orang itu pun menjadi limbung dengan mata terbeliak. Luka itu 
tidak keluarkan darah setetes pun Ta pi membuat beberapa 
temannya terbelalak kaget. Salah seorang cepat-cepat 
mencabut pedang itu dari tubuh orang pertama. 
"Bodoh!" sentak orang itu kepada orang pertama. Dan orang 
pertama segera tumbang, terkejang-kejang sebentar, lalu 
menghembuskan napas dan mati. Teman-temannya menjadi 
tambah tegang dan bergerak mundur. 
Orang kedua pun mendadak menggorok lehernya sendiri 
dengan pedang pusaka tersebut. Sreet...! Tentu saja leher itu 
terkoyak lebar dan hampir putus. Lalu orang kedua pun jatuh 
dan tidak bernapas lagi. 
Pedang segera dipungut oleh orang ketiga setelah Gandaloka 
berseru,

"Kuperintahkan kalian mengikatnya, mengapa ada yang 
mencabut pedang itu, hah?!" 
Orang ketiga itu sebenarnya bermaksud menyerahkan 
pedang itu kepada Gandaloka. Tetapi,*barit berjalan tiga 
langkah, pedang itu menukik sendiri dan menghujam perut 
orang ketiga sepertinya orang tersebut melakukan bunuh diri di 
depan Gandaloka. Tentu saja orang itu pun mati tanpa 
keluarkan darah setetes pun. 
Kejadian tersebut segera membuat mereka menjadi semakin 
tegang dan masing-masing hati punya suara pendapat yang 
sama, bahwa pedang itu tidak boleh dipegang oleh siapa pun. 
Barang siapa memegang pedang tersebut, maka orang itu akan 
bunuh diri karena gerakan pedang yang menuntun tangan si 
pemegangnya. 
"Jangan sentuh lagi pedang itu!" seru Gandaloka. la berseru 
begitu karena seseorang berusaha mencabut pedang tersebut 
dari tubuh orang ketiga. Mendengar seman Gandaloka yang 
mengejutkan itu, maka orang tersebut segera melepaskan 
pedang itu dan dibuang begitu saja dengan perasaan takut. 
"Sudah kukatakan. Pendekar Rajawali Merah ini orang 
berilmu tinggi. Kalian lihat sendiri, pedangnya bisa membunuh 
lawan tanpa digerakkan oleh pemiliknya! Sebab itu kuingatkan 
kepada kalian, ikat dan bawa pulang Pendekar Rajawali Merah 
ini. Kita serahkan kepada Gusti Ratu Kembang Mayat sebelum 
purnama tiba. Jangan ada yang coba-coba mau curi pedang itu 
kalau ingin selamat!" 
Zlaaap...! Sruuub...! 
"Hahh...?!" mereka terkejut dengan mata membelalak. 
Pedang itu ternyata bergerak sendiri. Melesat dengan cepat, 
masuk ke sarungnya, untuk kemudian diam di sana tanpa ada 
gerakan lagi. Pada waktu itu, Yoga sudah tak sadar akan

dirinya, la hanya melihat pedangnya masuk ke sarung pedang, 
dan setelah itu ia tak sadarkan diri. 
"Angkat! Bawa ke kapal!" perintah Gandaloka. Maka, salah 
seorang segera mengangkat tubuh Yoga yang telah terikat dari 
batas dada sampai kaki. Pedang itu tetap tersandang di 
punggung dan masuk dalam ikatan tambang tersebut. 
Sebuah kapal berlayar dua telah menunggu di pantai. 
Mereka membawa Yoga ke kapal tersebut. Wajah-wajah 
mereka ada yang ceria, ada pula yang murung. 
Mereka yang murung karena merasa sedih atas kema-tian 
teman-temannya. Mereka yang ceria karena merasa berhasil 
menangkap pendekar tampan yang sulit dibujuk untuk dibawa 
pulang ke Pulau Kana atau Pulau Keramat. 
"Kalau saja dia bukan calon suami Gusti Ratu, pasti kita akan 
bunuh dia, karena dia sudah bunuh banyak orang utusan dari 
Pulau Kana!" kata salah seorang yang hendak naik ke kapal. 
Temannya menyahut, "Sayang sekali Gusti Ratu Kembang 
Mayat tidak izinkan kita balas dendam padanya! Kalau 
diizinkan, sudah kutantang bertarung saat di bukit kecil tadi!" 
"Tapi bagaimana dengan lukanya itu? Gusti Ratu Kembang 
Mayat pasti akan murka jika tahu Pendekar Rajawali Merah kita 
lukai?!" 
"Itu urusan Gandaloka! Pasti Gandaloka akan sembuhkan 
luka itu dan menjadi hilang seperti tak pernah terluka. Pasti kita 
tidak diizinkan untuk bicarakan soal luka itu kepada Gusti Ratu, 
sebab Gusti Ratu bisa murka kepada Gandaloka dan kita juga." 
"Kalau Gandaloka gagal sembuhkan Yoga sebelum tiba di 
Pulau Kana, bagaimana?! Apakah kita akan sembunyikan dulu 
orang itu sampai lukanya hilang dan bersih?"

"Mana mungkin? Gusti Ratu harus cepat melangsungkan 
pernikahan, karena waktunya tinggal dua hari lagi. Dua hari lagi 
malam purnama akan tiba. Jika Gusti Ratu tidak segera 
menikah, maka dia akan kita bunuh, sebab Gusti Ratu Kembang 
Mayat telah menunjukkan bahwa ia manusia pembawa sial bagi 
rakyat Negeri Linggapraja." 
Kapal bertiang layar ganda segera berlayar menuju Pulau 
Kana. Kapal itu membawa tawanan calon suami Kembang 
Mayat. Jika Kembang Mayat tidak segera menikah sebelum 
purnama tiba, maka dia akan dihukum mati karena dianggap 
ratu pembawa sial. Sedangkan ratu baru bagi rakyat Negeri 
Linggapraja itu tidak mau menikah dengan pria lain kecuali 
Pendekar Rajawali Merah. 
* * * 


KAPAL warna hitam melaju dengan cepat karena angin 
berhembus cukup kencang. Layarnya berkembang dengan lebar 
dan melembung ke arah depan. Di kapal itu, Yoga masih 
dibaringkan di atas pembaringan kayu berlapis kain tebal. Yoga 
masih dalam keadaan tak sadar. Kamarnya dijaga deh dua 
orang prajurit bertubuh tinggi, besar, dan bersenjata pedang 
lebar. Kapal itu adalah kapal yang biasa untuk mengangkut 
tawanan. 
Seharusnya Gandaloka menjemput Yoga tidak menggunakan 
kapal tawanan, melainkan menggunakan kapal kehormatan. 
Tetapi karena dua kali Gandaloka diutus untuk menjemput 
Yoga tapi justru menderita kekalahan dengan terbunuhnya 
beberapa anak buahnya itu, maka kali ini Gandaloka sengaja 
menjemput dengan kapal tawanan dan disertai oleh pasukan

sejumlah dua puluh tujuh orang. Tujuh di antaranya meninggal 
saat terjadi penyerangan di bukit kecil itu. 
Gandaloka menengok keadaan Yoga di kamarnya. Ternyata 
masih belum sadar akibat pengaruh racun di ujung panah yang 
melukainya. Kemudian Gandaloka pergi meninggalkan kamar 
itu, dan kamar kembali ditutup rapat dengan penjagaan ketat. 
Gandaloka sempat berkata kepada kedua penjaga berkepala 
botak itu, "Hati-hati, jangan sampai ia lolos jika ia sadar nanti!" 
"Baik, Perwira!" 
Tak ada yang tahu bahwa Yoga saat itu sebenarnya sudah 
mencapai tingkat kesadaran sempurna. Tetapi jiwanya seperti 
tertahan oleh suatu kekuatan yang membuatnya tak bisa 
membuka mata dan tak bisa bergerak sedikit pun. 
Sebelumnya, di ambang batas antara sadar dan tidak, Yoga 
seperti melihat seekor burung rajawali merah terbang melintas 
di depannya. Burung rajawali merah itu mendekatinya dari arah 
depan, lalu tiba-tiba wajah burung itu berubah menjadi wajah 
gurunya, yaitu Dewa Geledek. 
"Muridku, bangunlah...!" wajah Dewa Geledek itu sepertinya 
bicara jelas kepadanya. Yoga pada waktu itu seakan-akan 
dalam keadaan tidak terikat, sehingga ia segera memberikan 
sembah dan hormat kepada bayangan wajah sang Guru. 
Kemudian terdengar suara sang Guru berkata, 
"Sudah menjadi suratan takdirmu, bahwa kau akan menjadi 
bahan rebutan pada wanita cantik. Jangan membuatmu kecil 
hati dan besar hati, Muridku. Bersikaplah bijak dan wajar-wajar 
saja. Tak ada yang lemah dalam dirimu, tak ada yang hebat 
dalam dirimu juga." 
"Guru, saya ingin bertemu dengan Lili."

"Akan terjadi," jawab bayangan wajah gurunya. "Tetapi kau 
harus melalui sederetan peristiwa-peristiwa penting yang akan 
membuatmu semakin matang dalam berpikir, dewasa dalam 
bersikap. Semua dukamu, semua sukamu, adalah pelajaran 
berharga yang tak boleh kau hindari!" 
"Agaknya orang-orang Pulau Kana ini akan membawa saya 
kepada Kembang Mayat dan saya akan dikawinkan dengan 
Kembang Mayat, Guru." 
"Memang. Tapi semua keputusan terletak dalam hati 
sanubarimu sendiri, Muridku!" 
"Saya bosan berurusan dengan kawin paksa, Guru!" 
"Bosan atau tidak bosan, kau harus melewatinya sebelum 
kau menemukan akhir dari perjalanan cintamu." 
"Di mana letak akhir perjalanan cinta saya ini, Guru?" 
"Nanti kau akan tahu sendiri. Kehadiranku ini hanya ingin 
sampaikan pesan padamu, tabah dan tegakkan selalu 
kebenaran. Bantulah yang lemah, lawanlah yang jahat. Kali ini 
perjalanan cintamu punya makna besar. Kau harus selamatkan 
sebuah kitab kuno yang punya kekuatan dahsyat di dalamnya! 
Jangan sampai jatuh ke tangan orang-orang tak bertanggung 
jawab, tapi jangan pula membuat dirimu sesat!" 
"Kitab apa namanya, Guru?!" 
"Carilah dalam pengalaman batinmu sendiri." 
"Harus kukemanakan kitab itu nantinya?" 
"Simpan dan serahkan kepada keturunanmu kelak." 
Yoga merasa heran ketika itu. "Mengapa keturunan saya 
yang berhak menerimanya, Guru?"

"Karena kalian yang telah menyelamatkan kitab itu dari 
angkaramurka! Dan keturunan kalianlah yang mampu 
kendalikan isi kitab itu. Nah, sekarang dekatlah kemari." 
Rasa-rasanya saat itu Yoga mendekati gurunya. Kemudian 
tangan sang Guru terjulur, telunjuknya menempel pada bekas 
luka panah di dada kiri Yoga. Telunjuk itu menyala merah 
terang seperti cahaya dalam pedang pusakanya. Yoga 
merasakan hawa sejuk meresap masuk ke sekujur tubuhnya. 
"Kekuatanmu bertambah, lukamu sembuh, tapi godaan cinta 
semakin bertambah pula. Hati-hati kau memilihnya," ucap sang 
Guru yang ketika dipandangi Yoga ternyata berubah menjadi 
kepala seekor burung rawajali merah. Makin lama burung itu 
makin menjauh, lalu bayangan burung itu menghilang lenyap. 
Dan pada saat itulah Yoga mengalami sulit bergerak, sulit 
membuka mata, namun telinganya mendengar suara deru 
ombak lautan dan angin membadai. la merasakan kapal 
berguncang-guncang dipermainkan ombak. 
Beberapa saat kemudian, barulah ia bisa membuka matanya 
dalam satu sentakan napas kaget, la mulai sadar bahwa apa 
yang dialaminya tadi hanya sebuah mimpi. Tapi dalam hati 
kecilnya ia bertanya, 
"Benarkah Guru hadir dalam mimpi? Mengapa badanku 
terasa segar sekali, dan tidak merasakan sakit seperti tadi? 
Rasa-rasanya luka panah di dadaku sudah lenyap tanpa bekas. 
Dan kurasakan ada tenaga besar dalam denyut nadiku." 
Yoga berusaha merenggangkan tangan dan kaki, tapi buru-
buru dikendurkan lagi. Hatinya kembali berkata, 
"Tambang keras ini sepertinya mudah kupatahkan dalam 
satu sentakan. Berarti tenagaku memang bertambah besar. 
Lalu, apa artinya bayangan wajah Guru tadi? Mengapa 
bayangan wajah Guru menyatu dengan bayangan si Merah?

Apakah rajawali merah itu adalah jelmaan dari Guru? Kurasa 
bukan! Karena saat Guru masih hidup, rajawali merah itu sudah 
ada dan menjadi kendaraan Guru bila ke mana-mana. Kurasa 
itu tadi hanya perlambang, bahwa kasih sayang Guru kepadaku 
sama juga kasih sayang si Merah kepadaku." 
Kecamuk batin Yoga terhenti karena pintu kamar dibuka. 
Gandaloka masuk, lalu memandang Yoga dengan senyum 
kalem, seolah-olah tidak menampakkan sikap permusuhannya. 
Gandaloka pun berkata, 
"Mari kubantu untuk duduk!" 
Tanpa kasar sedikit pun Gandaloka membantu Yoga untuk 
bangkit dan duduk. Setelah itu ia mengambil air minum yang 
ada di rak tertutup dekat dengan pintu keluar, la mengeluarkan 
sebutir obat berbentuk seperti kotoran kambing, warna hitam 
kecoklatan. Sambil mengambil air minum Gandaloka berkata, 
"Maaf, aku terpaksa melakukan dirimu seperti ini! Aku tak 
punya jalan lain. Gusti Ratu mendesakku harus bisa menangkap 
dan membawa pulang dirimu, jika tidak kepalaku dipenggalnya! 
Sedangkan aku tahu, betapa sulitnya membawa kau pulang ke 
Pulau Kana." 
"Aku bisa memahami perasaanmu, Gandaloka!" 
'Terima kasih. Sekarang, sebaiknya minumlah obat ini untuk 
menyembuhkan lukamu!" 
'Tak perlu," jawab Yoga sedikit dingin sikapnya. 
"Ini bukan racun! Aku berani bersumpah apa pun, ini obat 
pengering luka dan penghilang rasa sakit! Waktu aku terluka 
oleh Lili, aku juga menelan obat ini!" 
"Kau terluka oleh Lili?!"

"Ya. Dia membela Wisnu Patra. Tak rela kalau Wisnu Patra 
kulukai! Agaknya Lili menaruh hati kepada...." 
"Cukup! Tak perlu bicara mereka lagi!" sergah Yoga karena 
hatinya merasa panas jika terlalu lama mendengar uraian 
Gandaloka itu. 
"Baiklah. Sekarang kau mau minum obat ini?" 
"Simpan saja untuk dirimu kelak." 
"Pendekar Rajawali Merah..., kumohon minumlah supaya kau 
tidak terluka. Kalau kau kuserahkan kepada Gusti Ratu dalam 
keadaan terluka, aku bisa habis kena murkanya! Tolong 
mengertilah akan keadaanku yang serba salah ini, Pendekar 
Rajawali Merah." 
Yoga diam sebentar, berpikir sesuatu, kemudian ia menatap 
Gandaloka dan berkata, 
"Barangkali aku tidak membutuhkan lagi obat itu untuk saat 
ini!" 
"Kau dalam keadaan lemah. Kau harus sehat dan segar 
seperti sediakala, Yoga!" 
"Aku sudah sehat!" jawab Yoga, kemudian tangan dan 
kakinya menyentak mengembang, dan dalam satu sentakan 
tambang-tambang pengikat tubuh itu putus menjadi beberapa 
potong. Trasss...! 
"Kau lihat sendiri aku sudah sehat, bukan?!" 
Gandaloka tidak menjawab karena terkesima melihat 
tambang-tambang alot itu dapat putus dalam satu sentakan. 
Semakin kagum lagi Gandaloka setelah melihat luka bekas 
tusukan panah itu tidak ada. Kering sama sekali. Bahkan kain 
dari beruang coklat yang dipakai Yoga itu tidak terlihat robek

lagi. Gandaloka baru sadari hal itu setelah melihat tambang 
bisa putus dalam satu sentakan. 
"Kalau aku mau lari, aku bisa lari sejak tadi. Kalau aku mau 
bunuh kamu, aku bisa lakukan sejak kau menengokku tadi. 
Tapi tahukah kau kenapa aku tidak lakukan semua Itu?" 
"Karena kau menghormatiku?" Gandaloka mencoba 
menebak. 
Yoga menggeleng. "Karena agaknya aku harus melewati 
jalan ini, yaitu ditawan dan dibawa di Pulau Kana. Sudah 
berapa kali aku menghindar dan menolak, toh akhirnya terjadi 
juga begini. Berarti memang ini adalah jalan yang harus kulalui, 
dan tentu saja punya tujuan tertentu yang tidak mudah 
dipahami oleh orang lain, juga oleh diriku sendiri." 
"Aku salut padamu," kata Gandaloka tiba-tiba, setelah 
mereka sama-sama diam beberapa saat. "Aku sebenarnya 
mengagumimu, walau kau telah membunuh anak buahku. Tapi 
aku mengakui, kau orang hebat!" 
'Tidak ada kehebatan apa pun dalam diriku! Aku dan kau 
biasa-biasa saja dan sama! Hanya kadang yang membuat kita 
berbeda adalah kesempatan yang kita peroleh! Kesempatan 
untuk menang dan kesempatan untuk kalah!" 
"Di negeri ini tidak ada orang sehebat kamu." 
Yoga tersenyum, memandang ke arah jendela kecil dari kaca 
berbentuk bundar, la menatap lautan lepas di sana, lalu berkata 
dengan suaranya yang penuh kesan bersahabat, 
"Bisa kubayangkan beratnya tugasmu, Gandaloka. Aku tahu 
jiwamu bukan jiwa orang sesat! Tapi jika negerimu diperintah 
oleh Kembang Mayat, maka rakyatmu akan menjadi orang 
sesat pula! Sebab Kembang Mayat tidak punya jiwa sebersih 
kau."

"Jangan menyanjungku." 
"Tidak. Kukatakan dengan sebenarnya. Kau telah memilih 
pemimpin negara yang salah!" 
"Dewata yang telah memilihnya melalui semadinya Pendeta 
Ganesha." 
"Mungkin benar. Tapi dewata punya maksud memberikan 
contoh yang tidak baik, supaya jangan diikuti oleh rakyatmu. 
Kalau tidak ada contoh jelek, bagaimana rakyatmu bisa 
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk?" 
"Aku makin kagum padamu, Yoga. Kau sangat bijaksana 
dalam berpikir!" Gandaloka menarik napas, lalu melangkah 
mendekati Yoga yang masih berdiri di samping jendela bundar 
itu. Gandaloka berkata, 
"Kalau kita bersahabat, dan kalau aku punya waktu cukup 
lama berada bersamamu, aku akan menjadi secerdas kau, 
Yoga." 
Buhg...! Yoga memukul pelan dada Gandaloka sambil 
tertawa. 
"Jangan berlebihan menilaiku. Pikirkan saja kapalmu ini." 
"Apa maksudmu berkata begitu?" 
"Di sebelah barat ada badai bergulung-gulung. Perintahkan 
pada nahkoda untuk putar haluan ke utara saja!" 
Gandaloka terkejut mendengar kata-kata Yoga. la 
memandang ke arah barat melalui jendela kamar itu. Tapi ia 
tidak melihat awan bergulung dan badai menghitam di sana. 
Gandaloka menjadi sempat bimbang, la diam merenungkan 
ucapan Yoga, sedangkan Yoga hanya duduk di pembaringan 
sambil memandangi tangannya yang buntung itu.

"Kau ingin memperdaya diriku, Yoga?" Gandaloka bertanya 
karena penasaran, tak bisa tentukan sikap. 
"Untuk apa? Kalau kau anggap kata-kataku bohong, untuk 
apa aku membohongimu? Untuk melarikan diri? Hrnm...! 
Kudobrak kamar ini dan aku lompat ke laut dengan menyelam 
sedalam-dalamnya, tak akan mungkin kau dan orang-orang 
kapal ini bisa menangkapku kembali. Tapi toh itu tidak 
kulakukan?" 
Gandaloka diam dan kembali dalam kebimbangan. Yoga 
berkata lagi, 
"Kalau tidak segera rubah haluan, kapal ini akan pecah 
diamuk ombak badai. Mungkin kita semua akan mati!" 
"Akan kuturuti saranmu!" Gandaloka pun segera keluar dari 
kamar. Yoga tetap diam di dalamnya tanpa ada rasa terpenjara, 
la bahkan berdiri kembali di dekat jendela bundar itu. Matanya 
memandang ke arah barat, hatinya berkata, 
"Mengapa Gandaloka tak bisa melihat gulungan awan badai 
di cakrawala barat itu? Apakah daya penglihatannya tidak 
sampai? Atau barangkali sejak kudapatkan kekuatan baru dari 
bayangan wajah Guru tadi, penglihatanku menjadi lebih tajam 
dari manusia biasa? Atau... atau mungkin firasatku tergambar 
dalam penglihatan mata? Anehnya, aku yakin ada badai besar 
di sana! Tapi... tapi kenapa kapal ini tidak segera ganti haluan? 
Badai itu makin bergerak ke arah barat, sepertinya 
menghadang jalannya kapal ini?!" 
Yoga bergegas keluar dari kamar tersebut. Ternyata 
Gandaloka sengaja tidak mengunci pintu kamarterse-but. 
Namun dua penjaga berkepala botak itu segera menyerang 
Yoga ketika mereka melihat Yoga keluar dari kamar.

'Tahan dulu!" seru Yoga. "Aku hanya akan menemui 
Gandaloka dan bicara dengan nahkoda!" 
"Masuk!" bentak salah seorang dengan menodongkan golok 
besarnya. 
Yoga terpaksa berbalik arah, namun ternyata kakinya cepat 
menendang ke belakang. Tendangan kaki itu mengenai senjata 
lawan dan senjata itu patah seketika. Traak...! 
Pemilik senjata itu menjadi tertegun bengong. Tapi 
temannya segera menebaskan golok besarnya yang mampu 
memancung leher dengan sekali ayun itu. Wuuung...! Yoga 
merunduk, kemudian ketika senjata itu lewat di atas kepalanya, 
ia menyentakkan pukulannya ke atas dan tepat mengenai 
logam lebar senjata tersebut. Traaak...! Senjata itu pun patah 
dan membuat pemiliknya tertegun bengong. 
Penjaga yang senjatanya patah pertama kali tadi, segera 
menghantamkan pukulannya dengan kuat ke arah kepala Yoga. 
Tapi dengan sigap pukulan itu dipegang oleh tangan Yoga. 
Tabb...! Lalu kaki kanan Yoga menendang ke bagian pusar, 
sedikit ke bawah. Tendangan itu merupakan totokan jalan 
darah menggunakan ujung jempol kakinya. Wuuut...! 
Tuub...! 
"Uhg...!" Orang itu melengkung ke depan, diam tak bergerak 
dengan mulut ternganga, la menjadi seperti patung karena 
terkena totokan jalur pusar. Sedangkan temannya segera 
menyerang dengan tendangan kaki besarnya ke arah dada 
Yoga. Wuuus...! 
Yoga menggerakkan tangannya yang menguncup bagaikan 
paruh rajawali mematuk mangsanya. Tees...! Patukan itu 
mengenai mata kaki lawan, membuat lawan menyeringai dan

tak bisa gerakkan anggota tubuhnya lagi. la juga menjadi 
seperti patung yang meringis kesakitan. 
"Maaf, terpaksa kulakukan pada kalian!" kata Yoga, 
kemudian cepat berlari menuju ruang nahkoda. Rupanya 
beberapa awak kapal melihat perkelahian di depan pintu kamar 
tadi. Dua orang segera berlari menyerang Yoga dengan 
teriakan panjang sebagai penggugah kesadaran para awak 
kapal lainnya. 
Yoga yang berlari ke arah dua orang itu segera melompat 
dan dua kakinya menendang ke kanan-kiri secara bersamaan. 
Prook...! Kedua wajah orang itu menjadi sasaran kaki Yoga. Kini 
Yoga pun menaiki tangga dan menuju ruang nahkoda. Di ujung 
tangga ada seorang bersenjata tombak yang menghadang. 
Yoga tetap maju bagai tidak hiraukan lagi orang yang 
menghadangnya itu. w -i 
"Berhenti! Berhenti kataku!" 
Orang itu mengancam ingin lemparkan tombaknya, tapi Yoga 
tetap maju dan tombak itu benar-benar dilemparkan ke arah 
tubuh Yoga. Namun dengan satu kali berkelit, tombak itu lolos 
dari tubuh Yoga, hampir mengenai orang yang mengejar Yoga 
dari belakang. 
"Hiaaat...!" orang yang men ghadang itu menyerang dengan 
tendangan kakinya. Yoga menangkis dengan gerakan patuk 
seperti tadi. Kali ini betis besar orang itu yang kena sasaran 
patuk rajawalinya Yoga. Orang itu mengerang keras dengan 
bercjuling-guling kesakitan. 
Seolah-olah betisnya ditusuk dengan tombak. 
Kini Yoga tiba di ruang nahkoda. Ternyata di sana sedang 
terjadi perdebatan antara Gandaloka dengan jurumudi. Mereka 
sibuk berdebat tentang arah kapal dan badai yang dianggap

tidak ada itu. Mereka tidak hiraukan pertarungan Yoga dengan 
para awak kapal yang menghadang larinya tawanan. 
Ketika Yoga masuk ke ruang nahkoda, jurumudi dan 
Gandaloka diam berdebat dan saling memandang Yoga. 
"Percayalah apa kata Gandaloka itu! Arahkan haluan ke 
selatan! Badai ganas menghadang jika kita menuju ke arah 
barat!" 
Jurumudi yang brewokan itu berkata dengan ngo-tot, 
"Lihatlah dengan matamu baik-baik, tak ada awan hitam di 
sana. Langit cerah dan angin pun berkecepatan sedang! Mana 
mungkin ada badai?!" 
Tiga orang masuk dengan bersenjatakan pedang. Gandaloka 
segera sadar bahwa Yoga dianggap tawanan oleh mereka. 
Perginya Yoga dari kamar dianggap hendak meloloskan diri. 
Karena itu, Gandaloka segera berkata kepada Yoga, 
"Kembalilah ke kamarmu! Anak buahku menganggap kau 
tawanan yang akan lari!" 
"Baik. Tapi bujuk s'i brewok itu agar hindari badai besar 
nanti!" 
"Akan kuatasi dia!" kata Gandaloka pelan. 
Yoga pun kembali Ike kamarnya. Ketika mau keluar dari 
ruang nahkoda, seorang pengawal bersenjata pedang menarik 
lengan Yioga dengan kasar. Yoga berontak dengan sentakkan 
sikunya yang masuk ke perut orang itu. Duuhg...! 
"Uuhg...!" orang itu menyeringai kesakitan sambil 
terbungkuk-bungkuk. Wajahnya menjadi pucat seketika. Dua 
orang lagi yang mau membawa pulang Yoga ke kamar, kini 
dipandangi Yoga dengan mata tajam. Kedua orang itu menjadi

ciut nyali melihat wajah marah Pendekar Rajawali Merah itu. 
Mereka sama-sama diam dan salah tingkah. 
Gandaloka berkata, "Jangan perlakukan dia seperti tawanan! 
Ingat, dia adalah Pendekar Rajawali Merah. Kalian tak akan 
mampu mengalahkannya jika bertarung di atas geladak kapal 
ini!" 
Gandaloka menjaga sikap, la sendiri tidak bermaksud 
memusuhi Yoga. Karena itu, anak buahnya segera diberi 
pengarahan tentang bagaimana seharusnya bersikap kepada 
Yoga. Sementara itu, Pendekar Rajawali Merah di dalam 
kamarnya hanya diam dengan hati dongkol. Perasaan cemas 
makin menggoda jiwa. la semakin yakin kapal itu akan 
dijungkirbalikkan oleh badai ombak yang mengamuk, dan entah 
berapa orang yang akan selamat nantinya. Keyakinan seperti 
itu makin kuat, makin membuatnya heran, sehingga Pendekar 
Rajawali Merah pun bertanya dalam hatinya, 
"Mengapa aku punya firasat sekuat ini? Apakah karena 
mendapat hawa sejuk dari bayangan wajah Guru tadi?!" 
* * * 


FIRASAT Yoga benar. Badai datang, ombak mengamuk. 
Kapal dihempaskan angin badai, diombang-ambingkan ombak 
samudera. Akhirnya kapal itu pecah, para awak kapalnya 
banyak yang menemui ajal. Gandaloka tak sempat selamatkan 
anak buahnya, la sendiri hampir saja mati kejatuhan tiang 
layar. 
Dari sekian banyak penumpang kapal, hanya empat orang 
yang selamat. Mereka terdampar di sebuah pulau kecil yang

cukup subur. Mereka yang selamat adalah Gandaloka, Juru 
Mudi, Rowulu, dan Asoma, si penjaga kamar tawanan yang 
pernah mendapat totokan jalur pusar dari Yoga. Sedangkan 
Yoga sendiri sempat dianggap mati oleh mereka. Tetapi ketika 
mereka mencoba mencari sambil menyusuri pantai, mereka 
temukan Yoga dalam keadaan sehat. Duduk di atas batu 
karang sambil termenung. 
Mereka terkejut melihat Yoga, dan Yoga pun terkejut melihat 
mereka. Rupanya Yoga pun menganggap mereka telah mati 
semua. Sehingga, pada waktu mereka bertemu, rasa gembira 
meliputi diri mereka. Satu nyawa yang selamat dan ditemukan, 
sepertinya satu anggota keluarga yang hilang dan telah 
diketemukan kembali. Anehnya, mereka berempat menjadi 
tidak lagi beranggapan bahwa Yoga adalah tawanan. Mereka 
seperti menemukan saudara sendiri. 
"Kalau saja kata-kataku dipercaya, tentunya tidak akan 
begini jadinya," kata Yoga kepada Juru Mudi, dan ucapan itu 
membuat Juru Mudi menjadi murung sedih, la segera 
menjauhkan diri dari mereka. 
"Jangan kau sesali peristiwa ini, tapi jadikanlah pelajaran biar 
kau menjadi orang bijak!" tambah Yoga kepada Juru Mudi, 
namun yang diajak bicara diam saja. la termenung di seberang 
sana, duduk di bawah sebuah pohon pantai sejenis kelapa, 
namun mirip pohon pinang. Batang pohon itu besar, sehingga 
bayangannya dapat untuk berteduh. 
"Kita kehilangan kapal, Perwira!" kata Rowulu. 
"Jangan bicara begitu. Sama saja kau bicara tentang 
kebodohanmu. Karena kita semua tahu bahwa kita telah 
kehilangan kapal. Kalau mau bicara, bicaralah tentang 
bagaimana mencapai Pulau Kana!" kata Asoma dengan 
bersungut-sungut. Gandaloka hanya tersenyum tipis.

Dengan bersikap bijak, Gandaloka berkata kepada Rowulu 
dan Asoma, 
"Banyak jalan untuk mencapai Pulau Kana. Kita cari saja, 
yang mana jalan yang tercepat!" 
"Pulau apa ini namanya?" tanya Yoga sambil memandang 
sekeliling. 
'Tak jelas," kata Gandaloka. "Pulau ini tidak pernah kami 
lihat dalam setiap pelayaran menuju tempatmu atau ke tempat 
lain." 
Rowulu menyahut, "Mungkin Juru Mudi tahu, karena dia lahir 
dan besar di kapal! Coba kita tanyakan 
pada...," Rowulu berhenti bicara, la terkejut memandang 
Juru Mudi dan berseru, 
"Hei, apa yang mau dia lakukan itu?!" 
Gandaloka pun terperanjat. "Celaka! Dia mau bunuh diri?!" 
Juru Mudi duduk dengan bersila. Tangannya mengembang 
dengan keluarkan otot dan tenaga cukup kuat. Lalu, ketika 
Gandaloka berlari ke arahnya, Juru Mudi telah pegang 
kepalanya dengan dua tangan, atas dan bawah, kemudian 
kepala itu disentakkan dalam gerakan pelintir yang sangat kuat. 
Kraak...! Maka, matilah Juru Mudi dengan cara bunuh diri yang 
dipilihnya sendiri. 
"Bodoh!" Gandaloka membentak jengkel, karena dia 
terlambat mencegah gerakan Juru Mudi. Mereka datang 
terlambat, Juru Mudi sudah tidak bernapas lagi. Yoga 
memeriksanya dan merasa tak bisa menolong. 
Napas Gandaloka terengah-engah, matanya berkedip-kedip 
memandangi mayat Juru Mudi. Wajahnya menampakkan rasa 
jengkel dan sedih. Terdengar Rowulu ucapkan kata,

"Mengapa dia bunuh diri? Alangkah bodohnya dia?" 
"Perasaan bersalah menghantuinya!" jawab Yoga. "Dia 
merasa sangat bersalah, karena dialah orang yang ngotot 
sewaktu aku dan Gandaloka menyuruhnya putar haluan. Dia 
tidak mau karena dia tidak melihat ada badai di depan kapal. 
Setelah terjadi peristiwa ini, dia merasa bersalah, karena 
menjadi pembunuh nyawa teman-temannya sendiri. Baginya 
tak ada jalan lain buat menebus kesalahan itu kecuali dengan 
cara bunuh diri!" 
Asoma angkat bicara setelah tarik napas dalamdalam, 
"Kurasa dia ingin menjadi juru mudi yang baik. Kapal pecah, 
jiwanya pun ikut pecah. Kapal mati, dia pun harus ikut mati!" 
Gandaloka segera lepaskan diri dari kedukaannya, la segera 
berkata kepada Asoma, "Kuburkan dia di sini! Dan kau, 
Rowulu... bantu aku tebangi pohon. Kita bikin rakit untuk 
mencapai Pulau Kana!" 
"Bagaimana dengan aku?" tanya Yoga kepada Gandaloka. 
"Istirahatlah! Biar kami yang kerjakan semua ini!" 
"Tak adil! Aku juga harus ikut kerja!" kata Yoga membuat 
Gandaloka tak bisa bicara lagi. Maka, mereka bertiga bergegas 
memilih pohon kelapa yang lurus untuk dijadikan rakit. 
Asoma menghantam batang pohon kelapa dengan tangan 
kosong. Duub! Kraak...! Brruuss...! Batang pohon kelapa itu 
pun tumbang seketika. Begitulah mereka menebangi pohon 
kelapa dengan tenaga dalam masing-masing. Tetapi orang-
orang Pulau Kana itu sempat dibuat bengong oleh cara kerja 
Pendekar Rajawali Merah. 
Yoga memilih tiga batang pohon kelapa yang berjajar, la 
menghantamkan tangan kanannya pada pohon pertama. 
Duub...! Pohon itu roboh. Tapi dua pohon lainnya pun ikut

roboh bersusulan. Rupanya satu pukulan dapat kenai tiga 
batang kelapa sekaligus. Tentu saja mereka terbengong-
bengong memandangi Yoga. 
"Mengapa kita tidak bisa seperti dia?" bisik Rowulu. 
Gandaloka menjawab pelan, "Karena ilmunya lebih tinggi 
daripada ilmu yang kita miliki." 
"Kenapa dia punya ilmu setinggi itu?" 
"Kita berbeda aliran! Dia aliran guntur, kita aliran bumi!" 
"Bagaimana kalau kita berguru saja dengannya?" 
"Bukan waktunya," jawab Gandaloka sambil mengangkat 
batang kelapa yang baru tumbang untuk dijajarkan dengan 
yang lain. Satu pohon utuh diangkatnya sendiri, dan itu 
merupakan pekerjaan yang ringan buat orang-orang Pulau 
Kana yang bertubuh seperti raksasa itu. 
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara pekikan Asoma yang 
sedang menguburkan mayat Juru Mudi. "Aaahg...!" 
"Asoma...?! Kenapa dia?!" Rowulu menjadi tegang. 
Gandaloka cepat berkelebat menghampiri Asoma. Yang lainnya 
segera menyusul, termasuk Pendekar Rajawali Merah. Tapi 
mata Pendekar Rajawali Merah cepat menyapu seluruh tempat 
yang terjangkau oleh pandangan matanya. Keadaan tampak 
tenang-tenang saja dan sepi, tanpa gerakan apa pun, kecuali 
gerakan angin dan suara deru ombak pantai. 
Asoma jatuh berlutut di samping tanah yang baru saja 
dipakai menguburkan Juru Mudi. Mulutnya menyeringai 
kesakitan sambil mendekap dadanya. Tangan yang dipakai 
mendekap dada itu berlumur darah. Gandaloka segera 
memeriksanya, ternyata dada Asoma berlubang sebesar 
kelingking. Warna darahnya merah kehitam-hitaman.

"Seseorang telah menyerang kita!" Rowulu menggeram, lalu 
matanya cepat memandang sekitar tempat itu Bahkan ia nekat 
menerabas masuk ke semak-semak pantai sampai di 
kedalaman. Yoga hanya memandangi gerakan lincah Rowulu 
yang mampu melentingkan tubuh besarnya ke udara dan 
hinggap di salah satu dahan pohon, la memeriksa sekelilingnya 
dari atas pohon tersebut. 
Yoga mulai menggunakan firasatnya, la memejamkan 
matanya dan merasakan sesuatu yang tak bisa dirasakan oleh 
orang lain. la mencium bau daging mentah, bahkan lebih aneh 
dari bau daging mentah yang sebenarnya. Agak bercampur 
kelembaban tanah dan... susah dikatakan jenis bau yang 
tercium Pendekar Rajawali Merah itu. Yoga juga mendengar 
seperti suara gigi menggeletuk dan mengerat-ngerat. 
Cepat-cepat ia buka mata dan berkata kepada Gandaloka, 
'Tempat ini ternyata tidak aman! Lekas cari tempat untuk 
berlindung!" 
"Maksudmu, masuk ke dalam hutan dan mencari gua?" 
"Kira-kira begitu!" 
Gandaloka menatap sejenak wajah Pendekar Rajawali 
Merah, la mulai kenali kesungguhan Yoga sejak peristiwa kapal 
disuruh alih haluan itu. Wajah Yoga kali ini, sama dengan wajah 
Yoga saat mengatakan akan datang badai di sebelah barat. 
Maka Gandaloka pun merasa perlu mengikuti saran Yoga. 
"Rowulu...!" panggil Gandaloka. Orang yang dipanggil segera 
menghadap dengan menerobos dedaunan semak. Rowulu 
langsung berkata, 
'Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini!" 
"Tapi kita dalam ancaman bahaya!" kata Gandaloka. "Kita 
cari tempat aman untuk bersembunyi sementara waktu!"

"Bagaimana dengan Asoma? Dia banyak kehilangan darah!" 
Aneh. Hati Yoga seakan yakin betul bahwa ia bisa mengobati 
luka itu dalam sekejap. Keyakinan itu begitu kuat datangnya, 
sehingga ia pun segera mendekati Asoma yang masih berlutut 
dan menyeringai menahan sakit. Tangan Asoma diturunkan, 
kemudian telapak tangan Yoga ditempelkan pada luka tersebut. 
Zrrepp...! Telapak tangan itu berasap tipis. Kejap berikutnya 
dilepaskan. Gandaloka, Rowulu, dan Asoma sendiri kaget 
melihat luka itu hilang lenyap. Tak ada bekasnya sedikit pun 
kecuali bekas darah di tangan Asoma. Dada itu seperti tidak 
pernah terluka oleh benda apa pun. Rasa sakit juga hilang dan 
tidak dirasakan lagi oleh Asoma. 
Bukan hanya mereka yang heran, melainkan Yoga sendiri 
juga merasa heran dan bertanya dalam hatinya, 
"Sejak kapan aku bisa lakukan pengobatan dengan cara 
seperti itu? Rasa-rasanya aku belum pernah lakukan. Lili 
memang pernah, tapi aku belum pernah! Dan mengapa bisa 
menjadi seperti ini diriku?" 
Yoga kembali ingat saat ia seperti di alam tak sadar bertemu 
dengan bayangan gurunya. Jari telunjuk gurunya menempel 
pada luka bekas panah, dan jari itu menyala merah terang. Lalu 
Yoga rasakan pula hawa sejuk meresap masuk ke dalam 
tubuhnya. Apakah itu pertanda roh Dewa Geledek, gurunya, 
membekali ilmu lagi untuk menempuh kehidupan yang penuh 
tantangan ini? 
Apakah itu juga bisa diartikan penambahan ilmu telah terjadi 
pada diri Pendekar Rajawali Merah? 
Baru saja mereka berempat mau melangkah, tiba-tiba 
datang sinar biru bintik-bintik yang melesat cepat dan 
sasarannya pada tubuh Gandaloka. Sinar biru bintik-bintik itu 
berbentuk seperti sepotong besi yang panjangnya satu jengkal.

Begitu cepatnya gerakan sinar tersebut sampai-sampai 
Gandaloka tidak menyadari bahwa dirinya terancam maut. 
Tetapi mata Yoga melihat gerakan sinar tersebut. Maka dengan 
cepat kakinya menendang tubuh Gandaloka dari belakang. 
Buhg! 
Gandaloka terjungkal ke depan menabrak Asoma, lalu Yoga 
sentakkan tangannya sambil sedikit memutar ke kiri dan 
melesatlah sinar merah dari telapak tangan itu. Sinar merah 
tersebut menghantam sinar biru bintik-bintik, dan tabrakan itu 
pun timbulkan suara dentuman yang cukup hebat. 
Blegaaarrr...! 
Asoma, Gandaloka, dan Rowulu terlempar ke atas cukup 
tinggi, dan jatuh berdebam di semak-semak. Sedangkan Yoga 
sendiri hanya tersentak mundur dengan terhuyung-huyung 
beberapa langkah, hampir sampai ke perairan pantai. Rowulu 
segera bangkit dan menghampiri Yoga dengan wajah marah, la 
membentak Yoga, 
"Mengapa kau menyerang kami?!" 
"Aku hanya menyelamatkan Gandaloka!" jawab Yoga dengan 
tenang, matanya melirik sekeliling hutan tepi pantai. Kejap 
berikutnya ia melangkah dekati Yoga dan berkata, 
"Maaf, hanya cara itu yang bisa kugunakan untuk 
menyelamatkan dirimu!" 
"Aku mengerti!" jawab Gandaloka. "Aku melihat gerakan 
sinar merahmu menghantam sinar biru bintik-bintik, entah milik 
siapa." 
Tiba-tiba ada suara yang menjawab, "Milikku...!" 
Semua berpaling memandang ke arah utara. Ternyata di 
sana sudah berdiri sesosok tubuh bercelana hitam dengan baju

model rompi panjang warna hitam tak dikancingkan. Mereka 
terkejut sekali melihat kehadiran orang tersebut, karena orang 
itu mempunyai wajah dan rambut pirang serupa dengan seekor 
singa. Asoma segera menggumam, 
"Manusia singa...?!" 
Rowulu mundur setindak di belakang Yoga. Merasa ngeri 
melihat manusia berwajah seekor singa lengkap dengan bentuk 
taringnya, matanya, dan hidungnya. Hanya saja bentuk 
mulutnya tidak terlalu monyong ke depan seperti mulut seekor 
singa. Namun kulit wajah dan kulit tubuhnya menyerupai kulit 
seekor singa. Bedanya hanya tidak berekor saja. Dan bau 
daging mentah ternyata menyebar dari tubuh orang berkepala 
singa tersebut. 
Hal yang membuat Yoga heran adalah kemunculan orang 
tersebut yang secara tiba-tiba dalam jarak lima langkah di 
samping Yoga. Tak ada yang melihat gerakannya saat ia 
datang, tak ada yang mendengar suara apa pun saat ia muncul. 
"Kau yang menyerang kami sejak tadi?" tanya Gandaloka. 
"Benar!" jawab manusia singa dengan suaranya yang besar. 
Sebuah pedang pendek yang terselip di pinggangnya masih 
belum disentuh. Orang itu berkata lagi kepada Gandaloka, 
"Kalian masuk wilayah kami tanpa izin dan merusak 
pepohonan! Kalian kami anggap musuh yang harus 
dimusnahkan!" 
"Kami terdampar tanpa sengaja di pulau ini. Kami tidak tahu 
kalau pulau ini berpenghuni!" 
"Baik. Jika begitu kalian memang perlu tahu keadaan kami!" 
Setelah bicara begitu, manusia singa itu bertepuk satu kali. 
Tepukan tangannya itu memancarkan sinar kuning terang

dalam percikan menyilaukan. Mata mereka berkedip kaget, dan 
semakin kaget setelah kembali memandang sekelilingnya. 
Ternyata sebuah kehidupan asing ada di antara mereka. 
Kehidupan asing itu sepertinya terjadi sudah sejak tadi, sejak 
mereka terdampar dan saling sadar. Tentu saja mereka 
menjadi terbengong-bengong melihat perahu-perahu 
ditambatkan di tepi pantai, kesibukan orang menarik jala-jala 
ikan, kesibukan orang memperbaiki perahu mereka, dan 
kesibukan orang mengurung mereka membentuk lingkaran 
besar. Hal yang membuat Gandaloka dan kawan-kawan 
menjadi lebih heran lagi ialah, bahwa masyarakat yang ada di 
situ semuanya berkepala singa. Yoga pun segera berbisik 
kepada Gandaloka, 
"Kita terjebak di peradaban siluman!" 
"Apakah mereka siluman? Setahuku mereka sekelompok 
manusia singa!" bisik Gandaloka juga. 
"Mereka ada sejak tadi, orang yang menyerang kita itu telah 
membukakan selaput mata indera keenam kita sehingga bisa 
melihat kehidupan seperti ini, yang tentd saja tidak bisa dilihat 
oleh orang lain di luar kelompok' mereka." 
"Apa yang harus kita lakukan?" bisik Asoma. 
"Jangan menyerang dulu! Ikuti dulu apa kemauan! mereka. 
Kita telah terkurung, dan mereka tampaknya ganas-ganas!" 
jawab Gandaloka didengar oleh kelompoknya sendiri. 
Orang berpakaian hitam yang tadi bertepuk tangan satu kali 
itu berkata lagi, 
"Inilah kami...! Kalian telah lakukan kesalahan besar, datang 
tanpa permisi, langsung merusak alam milik kami! Kalian harus 
dihukum sesuai dengan keputusan Kala Ratak, ketua kami!"

Orang-orang yang mengurung mereka jumlahnya lebih dari 
lima belas. Beberapa di antaranya ada yang menggeram-gerarh 
seperti suara singa, pancaran mata mereka memandang buas, 
seakan tak sabar ingin segera menerkam. Asoma dan Rowulu 
sempat cemas, karena empat orang berwajah singa yang ada di 
belakangnya sesekali menghentak dalam erangan buasnya. 
Beberapa saat kemudian, muncul seorang berwajah singa 
yang mengenakan jubah merah dan bermahkota, la didampingi 
dua orang pengawal yang bertubuh kekar, namun tidak sebesar 
dan setinggi Gandaloka dan dua temannya itu. Ketika orang 
bermahkota itu datang, para pengurung segera memberi jalan 
dan tundukkan kepala sebentar sebagai hormat kepada orang 
bermahkota. Orang itu bagai tak pedulikan hormat tersebut, ia 
langsung mendekati kelompoknya Gandaloka. 
Matanya memandang dengan berbinar-binar buas, seperti 
seekor singa menemukan mangsanya dalam keadaan lapar. 
Setiap wajah diperhatikan oleh orang bermahkota itu tanpa ada 
sikap bersahabat sedikit pun. Kemudian ia berkata dengan tak 
ramah, 
"Siapa kalian? Berani-beraninya kalian masuk wilayahku, 
hah?!" 
Gandaloka yang menjawab, "Kapal kami pecah, dan kami 
terdampar. Lalu kami bermaksud membuat rakit untuk pulang. 
Kami tidak punya perahu atau kapal untuk kembali ke asal 
kami." 
"Kalian agaknya orang-orang Pulau Kana!" 
"Benar!" jawab Gandaloka menampakkan ketegasannya. 
"Kalian pasti memata-matai tempat kami untuk merebut 
Pulau Singa ini! Kalian harus dipotong untuk pesta rakyat Pulau 
Singa!"

"Tunggu dulu!" sergah Gandaloka, karena beberapa orang 
sudah bersiap untuk menyergapnya. "Kami bukan mata-mata. 
Kami tiba di sini tidak dengan maksud jahat sedikit pun. Kami 
terkena musibah. Dan kami tidak lihat kalau di sini ada 
kehidupan seperti ini! Kalau kami tahu, kami pasti akan 
menemuimu untuk meminta izin, sekaligus meminta tolong! 
Kalau saja sekarang juga kami punya perahu, kami akan pergi 
secepatnya, karena kami sendiri punya urusan penting!" 
Kemudian orang bermahkota yang tentunya adalah raja 
singa atau ketua mereka itu, segera berkata kepada orang yang 
pertama kali dilihat oleh Gandaloka dan kelompoknya, 
"Siapkan kurungan!" 
"Baik Kala Ratak Sangar...!" orang itu segera bergerak pergi 
memenuhi permintaan tersebut. Tapi tiba-tiba orang 
bermahkota yang dipanggil sebagai Kala Ratak Sangar itu 
berseru, 
"Kosongkan saja kurungan di dalam istana itu!" "Baik, Kala 
Ratak...!" jawab orang yang tadi bertepuk satu kali, dan segera 
lanjutkan langkahnya. 
Kini, Yoga mulai angkat bicara kepada Kala Ratak Sangar 
dengan tenang dan sikap tegas, 
"Kala Ratak, semestinya kau bisa memahami keadaan kami, 
bahwa keberadaan kami di sini adalah di luar kehendak kami. 
Kami tidak punya maksud jahat sedikit pun. Kalau kami punya 
maksud jahat, sekarang juga kami bisa serang kalian!" 
"Kau tidak berhak mengatur keputusanku! Aku penguasa di 
Pulau Singa ini!" 
"Aku tidak mengaturmu! Tapi aku minta kebijaksa-anmu 
untuk melepaskan kami!"

"Aku harus pertimbangkan dulu keputusan itu! Sekarang 
kalian adalah tawananku. Jangan coba-coba memberontak 
kalau ingin aku berkeputusan bijak." 
Yoga melirik Gandaloka, seakan merasa tidak bisa mengajak 
Kala Ratak Sangar untuk berembuk baik-baik. Tapi hembusan 
napas Yoga yang terlepas itu memberikan isyarat yang 
dipahami Gandaloka, bahwa untuk sementara mereka jangan 
melakukan perlawanan apa-apa. Gandaloka pun tahu, bahwa 
Kala Ratak Sangar pasti sedang mempertimbangkan keputusan 
dengan melihat sikap para tawanannya. Itulah sebabnya 
Gandaloka berbisik kepada kedua anak buahnya agar mereka 
tetap tenang. Pada saat mereka berempat dibawa sebagai 
tawanan, mereka menurut saja. 
*** 
4

 
SEBUAH ruangan besar dibangun di tengah pulau itu. 
Ruangan besar itu dianggap sebagai istana Kala Ratak Sangar, 
pusat pemerintahan rakyat Pulau Singa. Di dalam bangunan 
besar itu, terdapat singgasana yang terbuat dari kerangka ikan 
besar. Di sanalah Kala Ratak Sangar duduk dan berembuk 
dengan beberapa orangnya. 
Ruangan besar itu mempunyai lantai dari marmer hitam, 
berdinding membentuk lingkaran. Di tepian lantai, di setiap 
dinding, terdapat tengkorak-tengkorak manusia yang dijadikan 
sebagai hiasan. Beberapa kamar juga terdapat mengelilingi 
ruangan tersebut. Satu kamar berpintu jeruji besi kokoh ada di 
sana. Di dalam kamar berjeruji kokoh itulah Gandaloka dan 
kelompoknya ditawan.

Kamar tahanan itu berbau amis, tidak terlalu lebar dan tidak 
mempunyai tempat duduk atau tempat untuk tidur. Hanya 
sebidang kamar berlantai dingin yang sudah berlumut. Perut 
mereka merasa mual berada di kamar tahanan tersebut. Dari 
tempat mereka dikurung, bisa melihat langsung keadaan di 
tengah ruangan besar atau di depan singgasana. Mereka juga 
melihat Kala Ratak Sangar berbincang-bincang dengan 
beberapa orangnya dengan suara gemuruh tak jelas. Istana itu 
beratap tinggi, sehingga gemanya cukup banyak dan membuat 
tiap ucapan pelan menjadi kabur dari pendengaran. 
Sehari semalam mereka dikurung di kamar amis itu. 
Gandaloka sempat gelisah karena batas waktu yang diberikan 
untuk membawa Yoga ke Pulau Kana sudah hampir habis. 
Kegelisahan itu disembunyikan oleh Gandaloka, tetapi Yoga 
mengerti dan melihatnya, sehingga Yoga segera berkata pelan 
kepada Gandaloka, 
"Kau takut menghadapi mereka?" 
"Yang kupikirkan bukan mereka, tapi saat bulan purnama 
datang. Nanti malam adalah tepat pertengahan bulan purnama. 
Seharusnya aku sudah berhasil membawamu ke Pulau Kana. 
Hari ini juga kita harus bisa lolos dari Pulau Singa ini." 
"Kau siap memberontak melawan mereka semua?" 
"Mereka bukan orang-orang berilmu rendah. Melakukan 
pemberontakan di sini sepertinya hanya melakukan kematian 
yang konyol." 
"Barangkali buatmu memang benar begitu. Tapi buatku 
tidak," kata Yoga. "Kalau kau setuju, akan kupotong jeruji pintu 
ini dengan pedangku dan akan kulawan mereka agar kita bisa 
lolos!" 
"Kita tidak mempunyai perahu."

"Kita bisa curi perahu di pantai." 
"Bagaimana kalau mereka menghilang dari pandangan mata 
kita? Apakah kita bisa peroleh perahu? Apakah kita bisa melihat 
ada perahu di pantai?" 
Rupanya Asoma mencuri dengar percakapan itu, sehingga 
tiba-tiba ia ikut menimpali dengan kata, 
"Kuatasi mereka, sementara salah seorang lari mencari 
perahu sebelum mereka buat kita tidak bisa melihat dunia 
mereka lagi!" 
Yoga dan Gandaloka berpaling menatap Asoma. Mereka 
sama-sama diam dan saling tatap. Kemudian Rowulu ikut 
berkata, 
"Benar apa kata Asoma! Pegang perahu mereka dahulu 
sebelum kita dibuat tak bisa melihat mereka." 
"Itu bukan pekerjaan yang mudah," kata Gandaloka. 
"Lebih tidak mudah lagi jika kita hanya diam di sini 
menunggu keputusan mereka!" kata Asoma dengan penuh 
semangat. 
"Ssst...! Jangan keras-keras!" kata Gandaloka mengingatkan. 
"Percakapan kita bisa didengar oleh mereka yang ada di sana!" 
Para penjaga yang ada di sekitar singgasana itu memandang 
ke arah kamar tawanan. Gandaloka dan kelompoknya segera 
bicara soal lain. 
Tiba-tiba seorang pelayan datang menyodorkan empat 
rangsum makanan melalui lubang di bawah pintu jeruji itu. 
Pelayan wanita itu juga berkepala singa, rambutnya lebih 
panjang dan berwarna kuning pirang. Seperti rambut jagung. 
Lewat giwang di telinganya, pelayan itu bisa dikenali sebagai

makhluk berjenis perempuan. Tapi wajahnya sungguh tidak 
punya nilai kecantikan bagi manusia biasa. 
"Kala Ratak suruh kalian makan!" kata pelayan itu dengan 
suara jenis suara perempuan. Kemudian ia pergi setelah 
serahkan empat rangsum makanan. 
Gandaloka dan orang-orangnya hanya memandangi rangsum 
tersebut. Asoma sempat bergidik, lalu muntah tanpa keluarkan 
apa-apa. Mereka tak ada yang mau menyantap makanan 
tersebut karena terdiri dari daging mentah, bahkan masih ada 
yang berkulit dan berbulu. Sepertinya yang mereka sajikan 
adalah daging monyet yang masih basah dan memerah, 
tampak habis dipotong beberapa saat yang lalu. Gandaloka tak 
mau menyentuh makanan itu, ia hanya menggeram jengkel, 
"Mereka pikir kita ini binatang buas, seperti keturunan mereka!" 
Pendekar Rajawali Merah sempat tersenyum geli dan 
bertanya, "Kau tak mau memakannya?" 
"Tak sudi," kata Asoma. Begitu pula Rowulu menyahut, 
"Aku pun tak sudi menyentuhnya." 
Kepada Gandaloka, Yoga bertanya, "Dan kau juga tak mau 
memakannya?" 
Gandaloka menjawab, "Kalau kau doyan, makanlah 
semuanya!" 
"Baiklah!" kata Yoga, "Kalau kalian tak ada yang mau 
memakannya, aku pun tak mau makan hidangan ini! Mual 
perutku melihatnya saja!" 
Gandaloka sempat tersenyum geli mendengar ucapan Yoga. 
Kemudian Yoga berkata lagi,

"Memang sebaiknya kita jangan terbelenggu oleh kesedihan, 
kemarahan, dan kecemasan. Kita harus ceria, supaya otak kita 
lebih terbuka lagi dan bisa temukan jalan keluar dari pulau ini!" 
Ucapan mereka terhenti, Kala Ratak Sangar berganti jubah. 
Kini yang dikenakan jubah biru mengkilap. 
Kala Ratak Sangar berjalan mendekati kamar tahanan itu. la 
berhenti dalam jarak antara tujuh langkah dari kamar tahanan 
tersebut. Sementara itu, orang-orang berkepala singa lainnya 
mulai memasuki ruangan besar tersebut dan berkumpul 
berkeliling sambil mata mereka tertuju ke kamar tahanan. 
Apa yang ingin mereka lakukan? Tak ada yang tahu dari para 
tawanan tersebut. Tetapi setelah Kala Ratak Sangar bicara, 
mereka baru mengetahui apa sebab orang-orang berkeliling 
membentuk lingkaran di sekitar lantai depan singgasana itu. 
"Kami akan membebaskan kalian, tapi dengan satu syarat; 
salah satu dari kalian harus bisa kalahkan prajurit pilihanku!" 
"Setuju!" jawab Yoga cepat-cepat. 
"Harus ada yang bertarung melawan Jagora, prajurit 
pilihanku. Jika ada yang bisa kalahkan Jagora, kalian bebas. 
Jika yang kalah kalian, berarti kalian mati dan menjadi 
santapan kami!" 
"Kami minta satu perahu untuk pulang jika kami menang!" 
kata Gandaloka dengan Kala Ratak Sangar. 
Setelah diam sebentar, Kala Ratak Sangar mengangguk dan 
berkata, 
"Baik. Kusiapkan perahu untuk kepergian kalian. Tapi..., aku 
sangsi dari kalian ada yang bisa kalahkan Jagora!" 
Gandaloka berkata, "Aku yang akan hadapi Jagora!"

Tapi tahu-tahu Asoma maju ke jeruji pintu dan berkata 
kepada Kala Ratak Sangar, "Aku Asoma! Aku yang akan lawan 
prajuritmu!" 
"Tidak! Aku saja!" sahut Rowulu dengan geram. Sepertinya 
sudah tak sabar ingin lampiaskan kemarahannya. 
Gandaloka menyahut, "Kalian diam di tempat! Aku pimpinan 
kalian, jadi akulah yang harus hadapi musuh pertama kali!" 
"Tidak bisa!" sanggah Asoma. 
"Diaaam...!" bentak Kala Ratak Sangar. "Aku yang akan 
tentukan siapa orangnya yang harus bertarung melawan 
Jagora!" 
Gandaloka dan kelompoknya saling pandang dalam 
bungkam. Kejap berikutnya. Yoga angkat bicara dengan tenang 
kepada Gandaloka, 
"Bujuk dia supaya memilih aku!" 
Gandaloka geleng-gelengkan kepala. "Kau tawan-anku. Kau 
tak boleh bertarung membelaku." 
"Gandaloka...," Yoga mengeluh kecewa. "Kala Ratak sudah 
memberikan satu kesempatan bagi kita untuk lolos, mengapa 
harus kau sia-siakan dengan langkah yang bersifat untung-
untungan! Akulah yang harus membuka kunci kebebasan kita, 
Gandaloka!" 
Gandaloka tarik napas dan berkata pelan, "Seharusnya kau 
menyerangku, bukan membelaku! Aku tak bisa bujuk dia untuk 
pilih kamu. Maaf, Yoga...!" 
Bisik-bisik itu terhenti karena suara Kala Ratak Sangar 
terdengar menyentak, "Hei, kau... yang berbaju hijau!" 
"Aku...?!" Asoma maju dan memegang dadanya saat 
bertanya begitu.

"Ya. Kau yang kumaksud! Kau orang pertama yang harus 
melawan Jagora!" 
"Haaa, ha, ha, ha...!" Asoma tertawa kegirangan mendapat 
giliran untuk mengalahkan lawan. "Akhirnya akulah yang 
terpilih sebagai kunci kebebasan kita!" 
Rowulu menyergah dengan ucapan, "Bodoh kau! Temanku 
ini sedang mengidap racun di tubuhnya! Kalau kau makan, kau 
akan mati!" 
Wuuut...! Buuhg...! Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan 
oleh pengawal bersenjatakan tombak berujung pedang. Rowulu 
terpental mundur dengan satu gerakan keras dan jatuh 
membentur dinding belakangnya. 
"Buka pintu, keluarkan orang berbaju hijau itu!" perintah 
Kala Ratak Sangar kepada pengawalnya. Lalu, pintu tahanan itu 
dibuka dan Asoma sebelum diseret sudah lompat keluar dengan 
bangganya. 
"Asoma! Hati-hati!" seru Gandaloka dengan sedikit kecewa 
karena bukan dia yang dipilih. 
Dengan gagah dan berani, Asoma tampil di tengah arena 
tanpa senjata, karena senjatanya hanyut ketika ia terlempar 
ombak. Tapi semangat pertarungannya masih tetap menyala-
nyala. 
Kala Ratak Sangar berkata dari singgasananya, "Kau boleh 
pilih senjata di sudut sana! Ambil sesukamu!" 
Asoma segera menuju ke sudut, tempat dipajangnya 
beberapa senjata dalam tempat khusus, la mengambil tombak 
berujung pedang lebar. Sangat mantap untuk memenggal leher 
lawan, la mainkan sebentar pedang bergagang tombak yang 
punya pita merah panjang di atasnya itu. Wut, wuut, wuuut...! 
Terasa seimlung untuk bergerak ke mana saja. Kemudian

dengan wajah berseri-seri, Asoma maju ke tengah arena, la 
ber-< liri dengan gagahnya menghadap rekan-rekannya yang 
,ida di dalam penjara, seakan menampakkan dirinya se-hagai 
orang yang layak maju ke pertarungan saat itu. 
"Mana lawanku, Kala Ratak!" Asoma bersikap tak sabar. 
Kala Ratak Sangar berseru, "Jagora! Tampakkan dirimu!" 
Zraaap...! 
Gandaloka dan yang ada di dalam penjara terkejut. Orang 
yang bernama Jagora itu ternyata sudah sejak tadi ada di 
tengah arena, la menampakkan diri seperti cahaya hijau yang 
keluar dari lantai dan bergerak ke atas membentuk semacam 
bumbung. Cahaya hijau itu segera pecah menjadi serpihan dan 
hilang, lalu tampak sosok tubuh kekar yang bernama Jagora. 
"Dia bukan lawan Asoma! Pertarungan itu pasti tidak 
sebanding!" gumam Rowulu dengan tegang. "Mestinya aku 
yang melawan orang itu!" 
Gandaloka yang sebenarnya sependapat dengan Rowulu 
hanya diam saja. la menghembuskan napas bernada kecewa, la 
menampakkan sikap tidak punya harapan atas kemenangan 
Asoma. Seakan ia tahu persis, bahwa Asoma akan mati 
melawan Jagora. 
"Tenang," kata Yoga sambil menepuk pundak Gandaloka. 
"Yakinkan saja dalam hatimu bahwa Asoma pasti unggul!" Tapi 
Gandaloka tidak menjawab sepatah kata pun. Pandangan 
matanya sedikit sayu. 
Jagora juga berwajah singa. Bahkan taringnya sedikit keluar 
dari pertengahan mulut. Matanya tajam dan buas memandang 
lawan. Rambutnya meriap, warna kuning pirang. Badannya 
bukan saja kekar, namun berkulit gelap, seakan kebal senjata 
apa pun. Jagora menyandang senjata pedang di punggungnya,

tapi kuku di jari-jari tangannya itu sudah bisa mewakili pedang 
ketajamannya. Kuku itu panjang dan runcing. Tepiannya 
tampak berkilat karena tajamnya. 
Tetapi Asoma memandang lawannya dengan ter-senyum-
senyum. la bersiap melawan Jagora tanpa ada rasa ngeri atau 
takut sedikit pun. Sedangkan Jagora masih berdiri tegak 
dengan kaki sedikit merentang dan tangan keduanya ke 
samping bawah, la sepertinya menunggu perintah dari Kala 
Ratak Sangar. Maka, penguasa Pulau Singa itu pun berseru, 
"Bunuh dia, Jagora!" 
Seet...! Jagora segera ambil jurus dan kuda-kudanya 
ditonjolkan. Kedua tangannya terangkat, yang satu melewati 
atas kepala, la perdengarkan suara menggeram seperti seekor 
singa hendak menerkam mangsa. Sedangkan Asoma segera 
mainkan senjatanya ke ka-nan-kiri dengan gerakan cepat 
hingga timbulkan suara angin mendesau. Wuung, wuung...! 
"Hiaaah...!" Asoma memekik sambil melompat tinggi. 
Badannya yang bagai raksasa itu seakan ingin menelan Jagora. 
Ujung tombaknya segera ditebaskan dari kiri ke kanan, 
tujuannya adalah leher Jagora. 
Wuuut...! 
Tapi Jagora justru melompat maju melewati batas pedang 
besar di ujung tombak itu. Jaraknya menjadi sangat dekat 
dengan Asoma. Lengan kanannya dipakai menangkis tongkat 
tombak. Tertahannya tongkat tombak itu membuat Asoma 
kikuk bergerak dalam sekejap. Tapi seketika itu pula, Jagora 
menggerakkan tangan kirinya, berkelebat dari bawah ke atas 
sampai tubuhnya meliuk miring ke kanan. Wuuut...! Craaas...!

"Aahg...!" Asoma terpekik kesakitan karena terkena cakar 
tajam dari perut kanan sampai ke mata kirinya. Terkoyak tubuh 
itu sampai darahnya memercik ke luar. 
Ketika Asoma terhuyung-huyung dan jatuh, orang-orang 
berkepala singa itu bersorak riuh. Gandaloka, Rowulu, dan 
Yoga menjadi tegang. Gandaloka sendiri berseru, 
"Bangkit! Bangkit, Asoma! Ayo lawan dia! Lawan terus!" 
Asoma tidak mendengar seruan itu karena riuhnya tepukan 
dan sorak-sorai para manusia singa yang mengelilingi ruangan 
besar itu. Asoma tetap bangkit dan berusaha bertahan. Tetapi, 
baru saja ia berdiri, tubuh Jagora melesat bagaikan terbang 
dan kedua tangannya menghantam dada Asoma memakai 
cakar tajamnya. Jraaab...! 
"Uhg...!" Asoma masih berdiri mendelik. Tangan Jagora 
menerobos masuk menjebol dada. Begitu ditarik, ternyata 
sudah menggenggam jantung Asoma. Jantung itu ditunjukkan 
kepada rakyatnya, lalu dengan terangkatnya tangan Jagora 
maka semua yang hadir di situ bersorak lebih girang lagi. Kala 
Ratak Sangar tertawa terbahak-bahak. Sedang Asoma roboh 
tak bernyawa lagi. 
Gandaloka dan konco-konconya mendelik melihat apa yang 
dilakukan oleh Jagora terhadap diri Asoma. Gandaloka sendiri 
menggeletukkan gerahamnya ketika Jagora berputar-putar 
dengan mengangkat tangan yang menggenggam jantung 
Asoma itu. Jantung itu dilemparkan kepada para penonton, lalu 
mereka berebut untuk menyantapnya. 
"Jahanam busuk!" geram Rowulu. Matanya mulai merah 
karena marah, la melihat Asoma diseret keluar dari arena, dan 
lantai dibersihkan dari bercak-bercak darah. Setelah itu 
terdengar Kala Ratak Sangar berseru sambil menuding Rowulu,

"Kau...! Yang berbaju hitam itu! Seret dia ke arena!" 
"Rowulu! Biar aku yang menggantikan kamu!" kata Yoga. 
"Jangan! Kita hadapi secara ksatria saja!" cegah Gandaloka. 
"Ini kesempatanku melampiaskan murka!" kata Rowulu 
sebelum pintu tahanan dibuka. Ketika pintu itu dibuka, Rowulu 
langsung berlari keluar dan menuju arena. Di sana Jagora 
sedang menunggu dengan tenang. Tapi Rowulu langsung 
menyerang dengan satu lompatan bersalto dan tangannya 
lepaskan pukulan tenaga dalam warna biru. Claaap...! 
Jagora diam saja, hanya pandangi sinar itu yang makin 
mendekati wajahnya. Tapi sinar itu tiba-tiba berhenti di udara, 
lalu padam dengan sendirinya. Hilang entah ke mana, tanpa 
bunyi dan tanpa angin sedikit pun. Asap tak ada dari hilangnya 
sinar itu. 
"Bangsat...! Heaaah...!" Rowulu sangar bernafsu, la 
melompat dan menghantamkan telapak tangannya yang 
bercahaya biru terang ke dada Jagora yang tidak kenakan baju 
itu. Tapi Jagora diam saja dan membiarkan asap mengepul 
akibat tangan Rowulu menempel di kulit dadanya Rowulu 
tampak kerahkan tenaganya lebih banyak lagi, terlihat dari 
nyala biru di tangannya yang lebih terang lagi. 
Celakanya oukulan itu dianggap angin lalu oleh Jagora. Kini 
justru kedua tangan Jagora mengeras dan cakarnya 
direnggangkan Lalu dari kanan-kiri Rowulu, sepasang tangan 
bercakar itu menghantam kepala Rowulu secara bersamaan. 
Craaak...! 
"Aaahg...!" Rowulu jatuh berlutut dengan kepala rusak. 
Kejap berikutnya ia pun tumbang tak bernyawa. Dan sorak-
sorai kembali memenuhi ruangan besar itu. Tawa Kala Ratak

Sangar terbahak bergelak-gelak. la tampak puas sekali meiihat 
kehebatan prajurit pilihannya. 
Kini tinggal Gandaloka dan Yoga yang ada,di kamar 
tawanan. Kala Ratak Sangar masih memilih siapa yang harus 
maju melawan Jagora lagi. Gandaloka dan Yoga pun sama-
sama saling pandang, namun tak bicara apa-apa. Sikap 
Gandaloka terlihat lebih tegang ketimbang Yoga. Sampai 
akhirnya Kala Ratak Sangar perdengarkan suaranya, 
"Hei, kau yang bertangan buntung... maju!" 
Yoga tersenyum memandang Gandaloka. la tampak girang 
sekali terpilih maju lebih dulu sebelum Gandaloka. Tapi 
Gandaloka justru berwajah murung dan tidak memberi ucapan 
apa pun ketika Yoga keluar dari kamar tahanan itu dan 
melangkah menuju arena. Jagora menatap dengan tidak 
berkedip. Agaknya Jagora tahu bahwa lawannya yang kali ini 
punya ilmu lebih tinggi dari yang sudah-sudah. Maka, Jagora 
pun segera mencabut pedangnya. Dan hal itu membuat Kala 
Ratak Sangar berkerut dahi dan berkata dalam hati, "Berarti 
orang buntung itu berilmu tinggi. Terbukti Jagora belum-belum 
sudah mencabut pedangnya. Biasanya pedang itu ia cabut jika 
berhadapan dengan orang yang dipandangnya berilmu cukup 
tinggi, setidaknya sejajar dengannya!" 
Yoga tetap tenang melihat Jagora mulai melangkah 
berkeliling menunggu kesempatan lengah lawannya. Pedangnya 
siap menebas sewaktu-waktu. Suaranya menggeram-geram 
dengan buas, tampak ganas. Matanya pun berkesan liar dan 
sangat bernafsu untuk membunuh Yoga. 
Pendekar Rajawali Merah tersenyum tipis, lalu pelan-pelan ia 
memegangi gagang pedangnya sambil ikut berputar di tempat 
karena lawannya berputar terus. Ketika pusaka Pedang Lidah 
Guntur yang di ujung gagangnya terdapat ukiran dua kepala

burung saling bertolak belakang itu akhirnya dicabut juga, 
gelegar suara petir di angkasa mengguncangkan bangunan 
tersebut, membuat Kala Ratak Sangar dan beberapa orang di 
situ menjadi tegang. Tak satu pun ada yang berucap kata, 
sehingga suasana menjadi hening. Semua mata tertuju pada 
Pedang Lidah Guntur yang menyala merah dengan percikan-
percikan bunga api mengelilingi pedang tersebut. 
Jagora berhenti bergerak, Yoga juga berhenti bergerak. Tapi 
Jagora segera melompat ke depan dengan satu teriakan 
liarnya, 
"Heaaahhh...!" 
Claaap...! Pendekar Rajawali Merah mundur satu tindak dan 
menebaskan pedangnya ke samping. Tebasan itu 
menghadirkan loncatan sinar merah ke arah tubuh Jagora. 
Pedang Jagora ditembusnya dan patah, lalu sinar merah itu 
bagai pisau tajam menyabet leher Jagora dengan cepat. Dan 
Jagora diam di tempat tak bergerak. Masih berdiri dengan mata 
mendelik. Kejap berikutnya, ketika orang-orang saling bertanya 
dalam hati, tiba-tiba kepala Jagora menggelinding jatuh tanpa 
darah setetes pun. Orang-orang berseru kaget, "Hahhh...?!" 
Yoga memandang Kala Ratak Sangar dengan tersenyum. 
Yang dipandang hanya terbengong melompong. Yoga berseru, 
"Dari sini pun aku bisa penggal kepalamu juga, Kala Ratak!" 
Yang diajak bicara jadi gemetar dan mulai tampak gelisah. 
*** 


KALA Ratak Sangar menepati janjinya. Maka pulanglah 
Gandaloka ke Pulau Kana dengan membawa Yoga. Mereka

menunggang sebuah perahu berlayar tunggal mengarungi 
samudera lepas. Gandaloka berwajah murung, bukan hanya 
karena kehilangan semua anak buah yang dibawanya, 
melainkan juga mengalami keterlambatan waktu. Pelayaran 
menuju Pulau Kana sendiri memakan waktu sehari semalam. 
Ketika mereka tiba di Puiau Kana, keadaan sudah berbeda. 
Kembang Mayat sedang dalam persiapan menjalani hukuman 
mati. Pendeta Ganesha yarg memimpin hukuman mati untuk 
Kembang Mayat. Perempuan itu meronta-ronta karena dijarat 
memakai tali urat naga yang tak bisa diputuskan oleh benda 
apa pun. 
Pelaksanaan hukuman mati itu dilakukan di alun-alun, 
supaya disaksikan dan diketahui oleh seluruh rakyat negeri 
Linggapraja, bahwa orang yang dianggap penyebab kesialan 
rakyat negeri itu dihukum mati dengan cara digantung di atas 
tanah persembahan. 
Tanah persembahan ada di alun-aiun, berupa tempat datar 
berumput, tapi dengan menggerakkan tiang bendera yang ada 
di tepi alun-alun itu, tanah tersebut akan terbuka, bagai 
merekah dan dipakai membuang mayat yang sudah digantung 
Sedangkan tiang gantungan disiapkan di atas tanah yang 
nantinya akan terbuka merekah itu. Dengan terbuangnya 
mayat oraruj yang digantung ke dalam tanah persembahan, 
maka rakyat Pulau Kana merasa sudah mempersembahkan 
korban bagi sang dewa, sehingga kutuk dan sial tidak akan 
menimpa rakyat negeri Linggapraja. Tetapi rakyat tetap 
berusaha mencari ratu atau raja baru yang bukan berasal dari 
pulau tersebut dan yang harus segera menikah. 
Sebenarnya, kalau saja Kembang Mayat mau menuruti saran 
Pendeta Ganesha, maka ia tidak akan dijatuhi hukuman mati. 
Pendeta Ganesha sudah sarankan agar Kembang Mayat cepat 
lakukan pernikahan dengan salah satu pemuda Pulau Kana

untuk selamatkan diri dari kutuk djjjn hukum adat. Tetapi 
Kembang Mayat menolak, la berkata, 
"Aku tidak akan menikah jika bukan Pendekar Rajawali 
Merah calon suamiku! Aku harus menikah dengannya!" 
Pendeta Ganesha berkata, "Pendekar Rajawali Merah belum 
berhasil kita boyong kemari, Gusti Ratu! Sedangkan malam 
purnama tinggal sebentar lagi. Kalau Gusti Ratu tidak segera 
mengambil keputusan untuk menikah dengan siapa saja yang 
Gusti pilih, nanti Gusti Ratu akan dituntut oleh hukum adat dan 
harus dibunuh karena dianggap penyebab datangnya kutukan 
pada dewa." 
"Aku percaya Pendekar Rajawali Merah akan datang pada 
waktunya! Gandaloka sudah membawa pasukan pemanah dan 
orang-orang sakti lainnya! Mereka pasti berhasil membawa 
pulang Yoga!" 
Kembang Mayat sudah telanjur tergila-gila oleh Pendekar 
Rajawali Merah, sehingga hatinya tidak bisa menerima pemuda 
lain. Apalagi ia metasa punya kekuatan, punya kekuasaan, 
sehingga dengan mudah akan memperoleh pemuda tampan 
pemikat hati wanita Itu, dengan memerintahkan Gandaloka dan 
orang kuat lainnya. 
Pada waktu malam purnama tiba, Pendeta Ga'~e-sha segera 
menghubungi Kembang Mayat yang sudah dianggap sebagai 
pimpinan negara di negeri Linggapraja itu. Pendeta Ganesha 
mengatakan, "Masih ada kesempatan untuk lakukan pernikahan 
malam ini juga dengan pria siapa saja, Gusti Ratu! Karena 
rakyat sudah berkerumun di alun-alun dan menunggu upacara 
pernikahan ratu mereka!" 
"Tidak-akan kulakukan pernikahan dengan siapa pun kecuali 
dengan Pendekar Rajawali Merah! Titik!"


"Tapi malam purnama sudah tiba, Gusti Ratu!" 
"Persetan dengan malam purnama!" 
Esok paginya, ketika Kembang Mayat bangun dari tidur, 
tahu-tahu tubuhnya telah terikat seluruhnya dengan taii yang 
tak bisa diputuskan oleh kekuatan tenaga dalamnya. Pendeta 
Ganesha telah masuk ke kamar per aduan ratu dan menjerat 
perempuan itu dengan tali yattg keluar dari telapak tangannya 
dan melilit sendiri ke tubuh Kembang Mayat. 
Agaknya keputusan itu sudah mutlak harus dijalan! sesuai 
adat yang berlaku. Kembang Mayat berusaha meronta-ronta 
ketika dibawa ke alun-alun untuk digantung, namun usahanya 
itu sia-sia. Orang-orang bertubuh tinggi-besar itu membawanya 
dengan kuat dan meletakkan tubuh ramping itu di atas tanah 
persembahan Tali gantungan segera dikalungkan ke leher 
Kembang Mayat. Apabila tiang bendera di dorong ke samping, 
maka tanah akan terbuka dan kaki Kembang Mayat akan 
tergantung. Maka akan matilah Kembang Mayat dalam keadaan 
terjerat lehernya. Lalu, tali itu nantinya akan diputuskan, 
dengan begitu tubuh Kembang Mayat akan jatuh ke dalam 
bongkahan tanah persembahan. Setelah itu tanah kembali akan 
ditutup rapat 
"Aku minta waktu!" teriak Kembang Mayat. "Aku minta 
waktu sampai matahari mau tenggelam. Kalau ternyata 
Pendekar Rajawali Merah belum juga datang, maka gantunglah 
aku sesuai adat!" 
Pendeta Ganesha berembuk dengan para tetua di Pulau 
Kana. Akhirnya mereka putuskan untuk tetap melaksanakan 
hukuman gantung itu. Pendeta Ganesha yang selalu memimpin 
upacara-upacara ritual itu berseru di depan rakyat yang 
berkumpul di alun-alun,

"Hari ini, manusia yang kita anggap calon ratu kita, ternyata 
manusia pembawa sial dan terkutuk. Terbukti, cukup banyak 
orang-orang pilihan kita yang mati di pulau seberang hanya 
untuk memburu pemuda yang bernama Yoga, alias Pendekar 
Rajawali Merah. Belum lagi sekarang, Gandaloka pergi dengan 
sejumlah pasukan tapi belum datang pula. Mungkin mereka 
sudah mati, atau mungkin mereka dalam kecelakaan besar. 
Yang jelas, itulah bukti bahwa kehadiran calon ratu kita 
ternyata pembawa kutuk dan pembawa sial. Sebab itu, ia harus 
dikorbankan!" 
"Gantung dia! Gantung dia! Kembalikan kesialan 
dan kutuk itu kepada para dewa!" seru mereka saling 
bersahut-sahutan. 
Dua orang sudah siap menarik tiang bendera yang 
merupakan sebagai kunci pembuka tanah persembahan 
tersebut. Kembang Mayat berdebar-debar tak punya harapan 
lagi. la menangis dan menyesal, bahkan sempat berseru, 
"Baiklah! Aku akan menikah dengan salah satu pemuda di 
sini!" 
Pendeta Ganesha menyahut, "Sudah terlambat! Sudah lewat 
dari malam purnama!" 
Tali urat naga itu ternyata membuat kesaktian Kembang 
Mayat pun bagaikan terpenjara, tak bisa diandalkan lagi. 
Berulang kali ia kerahkan tenaga dalamnya untuk 
memberontak, namun kekuatan itu bagaikan terpasung dan tak 
bisa digunakan lagi. Sorot matanya yang biasanya bisa 
keluarkan cahaya hijau, saat itu juga tidak mampu digunakan 
lagi. Seolah olah semua ilmu dan kesaktiannya hilang setelah 
tubuhnya terjerat tali urat naga yang keluar dari telapak tangan 
Pendeta Ganesha itu. Kembang Mayat pun akhirnya pasrah 
dalam tangis penyesalannya.

Bertepatan dengan akan dilaksanakan hukuman gantung itu, 
muncullah Gandaloka dan Pendekar Rajawali Merah dalam satu 
lompatan yang bersamaan. Mereka tiba di dekat Pendeta 
Ganesha yang sedang membakar tempat pedupaan berukuran 
besar, di depan tiang gantungan. Suara gemuruh para 
penonton di sekeliling alun-alun membuat kepala Pendeta 
Ganesha yang tertunduk menjadi tegak memandang Gandaloka 
dan seorang pemuda tampan buntung tangan kirinya itu. 
Kembang Mayat yang menangis dalam keadaan tertunduk pun 
segera angkat wajahnya dan terbelalak kaget melihat kehadiran 
Gandaloka dan Yoga. la segera berseru, 
"Yooo...!" sambil berdebar-debar kegirangan. "Yooo... tolong 
aku!" 
Wanita cantik itu hanya dipandangi oleh Pendekar Rajawali 
Merah dengan dahi berkerut. Yoga tahu, wanita itu memang 
Kembang Mayat, tapi heran mengapa Kembang Mayat yang 
punya ilmu lumayan tingginya itu bisa ditaklukkan sampai 
digiring ke tiang gantungan? Pertolongan yang dimintanya 
pastilah pertolongan kesediaan Yoga untuk menjadi suaminya. 
Gandaloka bicara dengan Pendeta Ganesha yang dikerumuni 
oleh para tetua dan pejabat istana lainnya. Rupanya mereka 
berunding setelah mendengarkan cerita Gandaloka tentang 
musibah badai di lautan itu. 
"Musibah itu adalah kutuk dan sial yang ditimbulkan dari 
perempuan itu!" kata salah seorang tetua yang berjenggot 
panjang. "Sedangkan sekarang sudah lewat dari malam 
purnama, sudah waktunya membuang dia kalau tak ingin lebih 
banyak lagi kematian yang menimpa rakyat kita!" 
Gandaloka berkata, "Apakah tidak punya kebijakan satu kali 
lagi untuk memberi kesempatan kepada sang Ratu? Bukankah

sekarang masih termasuk hari purnama, hanya bedanya siang 
dan malam saja?!" 
Pendeta Ganesha segera mengambil sikap, "Apa salahnya 
kalau kita berbijak hati demi meluruskan garis kehidupan? 
Sebaiknya kita bicara dengan Pendekar Rajawali Merah!" 
Pada waktu itu, Pendekar Rajawali Merah sedang bicara 
dengan Kembang Mayat. Perempuan cantik itu memohon-
mohon agar dibebaskan dari hukuman gantung kepada Yoga, 
namun Yoga berkata, 
"Kau telah terjerat oleh hukum adat, Kembang Mayat. Kau 
juga terjerat oleh perasaanmu sendiri yang tak mau gunakan 
otak! Aku tak berani mencabut pedangku dan mengamuk di 
sini, karena aku tak punya permusuhan dengan mereka!" 
"Aku tak menyuruhmu mengamuk di sini, tapi aku hanya 
minta kesediaanmu menikah denganku, Yo!" 
"Aku tak punya kesediaan untuk itu, Kembang Mayat! 
Maafkan aku!" 
"Hanya sebagai simbol saja! Siasat saja, Yo! Beberapa waktu 
kemudian kau boleh menceraikan aku!" 
Yoga diam berpikir dalam kegelisahan dan kebimbangan. 
Pada waktu itulah, Pendeta Ganesha mendekat bersama 
Gandaloka. Yoga segera menundukkan kepala memberi hormat 
setelah Gandaloka memperkenalkan Pendeta Ganesha 
kepadanya. Kemudian, Pendeta Ganesha berseru ditujukan 
kepada mereka yang mengelilingi alun-alun, 
"Rakyat Negeri Linggapraja yang tercinta... ternyata 
Pendekar Rajawali Merah telah hadir di sini bersama 
Gandaloka, sang Perwira! Pendekar Rajawali Merah inilah 
sebenarnya yang ditunggu-tunggu oleh calon ratu kita, untuk 
dijadikan mempelai pria dan suaminya. Karena hari ini adalah

masih termasuk hari purnama, hanya, bedanya siang hari, 
bukan malam hari, maka masih ada kesempatan untuk 
menikahkan calon ratu kita dengan pemuda pilihannya. Tetapi, 
kesempatan ini tergantung dari jawaban sang Pendekar 
Rajawali Merah. Karena itu, aku; Pendeta Ganesha, ingin 
bertanya kepada Yoga atau sang Pendekar Rajawali Merah nan 
perkasa...." Pendeta Ganesha berbalik arah dan bertanya 
kepada Yoga. Semua orang diam mendengarkan, hingga 
suasana menjadi hening dan sepi. 
"Pendekar Rajawali Merah, bersediakah Tuan Pendekar 
menikah dengan calon ratu kami?!" 
Sekalipun tampak tenang, namun sebenarnya di dalam hati 
Yoga mengalami kegundahan yang cukup besar. Matanya 
memandang Pendeta Ganesha, lalu memandang Gandaloka, 
memandang kepada Kembang Mayat, menunduk, memandang 
lagi ke arah Kembang Mayat, dan saat itu Kembang Mayat 
berkata dengan suara gemetar serta air mata berlinang, 
"Yo... tolonglah aku...!" 
Yoga masih diam dan alihkan pandangan mata kepada 
orang-orang yang memperhatikannya, la tahu, bahwa ia tak 
akan bisa meminta waktu untuk mempertimbangkannya 
beberapa hari. Karena itu, ia harus mempunyai keputusan saat 
itu juga dalam pertimbangannya untuk bersedia menikah 
dengan Kembang Mayat atau tidak. Jika tidak, maka Kembang 
Mayat akan mati di tiang gantungan, jika bersedia menikah, 
maka ia telah mengkhianati cintanya kepada Lili, si Pendekar 
Rajawali Putih. Padahal hati Yoga tidak ingin berkhianat seperti 
itu. la sangat mencintai Lili dan ingin hidup berumah tangga 
sepanjang masa. Kalau ia menikah dengan Kembang Mayat, 
walau hanya siasat, toh itu berarti ia akan menjadi duda jika 
terjadi perceraian. Dan Lili berarti akan menikah dengan

seorang duda, bekas suami orang. Oh, alangkah kasihan nasib 
Lili jadinya. 
"Aku tak punya cinta kepada Kembang Mayat, mengapa aku 
harus menipu pada diriku sendiri dengan bersedia kawin 
dengannya? Kalau aku menikah dan segera cerai, itu pun belum 
tentu bisa. Pasti Kembang Mayat tidak mau diceraikan, itu 
artinya aku terjerat dengan siasatku sendiri. Lalu, bagaimana 
dengan Lili? Oh, aku tak tega harus menyakiti hati guru 
angkatku itu. Aku sangat tak tega." 
Karena Yoga diam terlalu lama, maka Pendeta Ganesha pun 
mengulangi pertanyaannya tadi, 
"Tuan Pendekar, bersedliakah Tuan menikah dengan calon 
ratu kami?" 
Sukar sekali lidah Yoga untuk digerakkan, la paksakan diri 
dan akhirnya menjawab, 
"Aku... tidak bersedia!" 
Wwwrrr...! Suara gemuruh orang begitu banyak bagai jutaan 
lebah menggaung mt;menuhi alun-alun. Kembang Mayat 
sendiri segera berteriak kuat-kuat, 
"Jahaaat...! Jahaaat kau, Yoga...!" tangisnya kian menjadi. 
Yoga menundukkan kepala sambil berkata, "Maafkan aku. Ini 
menyangkut masa depan keturunanku!" 
Mereka yang berkerumun .'saling berteriak bersahutan, 
"Gantung! Gantung dia! Peirsembahkan kepada para dewa! 
Gantuuung...!" 
Pendeta Ganesha kembali angkat tangannya dan semua 
menjadi diam. Di sela sepi itulah Pendeta Ganesha berseru, 
"Perempuan ini, ternyata memang harus kita persembahkan 
kepada para dewa. dengan segala kutuk dan sial yang kita

kembalikan. Tetapi seperti telah tertulis dalam kitab hukum 
adat, bahwa setiap korban persembahan mempunyai hak 
mengajukan satu permintaan terakhir sebelum 
dipersembahkan. Maka, aku pun akan ajukan pertanyaan 
kepada calon korban persembahan...," Pendeta Ganesha 
berpaling memandang Kembang Mayat dan bertanya, 
"Kau punya permintaan apa? Sebutkanlah, kecuali 
permintaan pengampunan, kami tak bisa kabulkan!" 
Dengan geram dan penuh nafsu kebencian, Kembang Mayat 
berkata, 
"Kuminta Pendekar Rajawali Merah juga harus dihukum 
seperti aku! Karena dia telah membunuh beberapa utusan dari 
negeri ini, berarti telah menghina negeri ini juga! Jika dia tidak 
jalani hukuman seperti aku, maka akan kukutuk tanah pulau ini 
dan akan datang bencana setiap hari dari arwahku!" 
Semua terperanjat mendengar ucapan Kembang Mayat. 
Pendeta Ganesha sendiri terbungkam mulutnya. Permintaan 
terakhir seorang korban persembahan harus dipenuhi. Begitu 
bunyi tertulis dalam kitab hukum adat. Jika tidak dipenuhi, 
maka malapetaka akan datang beruntun menimpa rakyat Pulau 
Kana. 
Pendeta Ganesha memandang ke arah Gandaloka. Yang 
dipandang sendiri tampak cemas dan gelisah. Sedangkan Yoga 
segera berkata kepada Gandaloka dengan suara pelan, 
"Apakah permintaannya akan dikabulkan oleh adat?!" 
Gandaloka hanya menjawab, "Maaf, aku tidak bisa berbuat 
apa-apa dalam hal ini!" 
Kembang Mayat berseru dengan suara sampai serak, "Ingat, 
Yoga! Kau sama saja telah menggantungku dengan keputusan 
ini. Karena itu, kau pun akan kugantung dengan kesempatanku

yang terakhir ini! Kita akan sama-sama mati di tiang 
gantungan!" 
Pendeta Ganesha segera berseru kepada petugas di tiang 
bendera, 
"Lakukan!" 
Genderang berbunyi. Gemuruh suaranya. Tiang bendera 
ditarik miring oleh dua orang. Satu menari, satunya lagi 
mendorong. Lalu, terdengar suara gemuruh besar. Tanah 
merekah terbuka dalam guncangan bagaikan gempa kecil. 
Begitu tanah terbuka, maka kaki kembang Mayat pun 
tergantung karena tak punya punya tempat berpijak. Kembang 
Mayat akhirnya mati dalam gantungan. Talinya segera diputus 
dan mayatnya jatuh ke dalam belahan tanah. Kemudian 
tanah'persembahan tertutup lagi. 
Orang-orang yang berperawakan tinggi-b'esar itu masih 
belum beranjak pergi dari tempatnya. Padahal waktu itu 
Pendeta'Gahdsha'dari! piara tetua sudah'mau tinggalkan 
tempat. Riifciariya masyarakat Pulau Kanaltu sedang menunggu 
pelaksanaan hukumafrg&ntung terhadap diri Pendekar Rajawali 
Merah, sesuai dengan permintaan korban tadi. 
Gandaloka mendekati Pendeta Ganesha dan berkata pelan, 
"Mereka menunggu keputusanmu, Pmnir ta!" 
Dengan resah, Pendeta Ganesha yang berkepala gundul dan 
berbadan gemuk besar itu berkata, 
"Aku tak bisa memberi keputusan sekarang. Aku perlu 
berunding dengan para tetua negeri ini! Untuk sementara, 
masukkan dulu Pendekar Rajawali Merah ke dalam penjara." 
Yoga mendengar ucapan itu, ia memandang Gandaloka dan 
Gandaloka serba salah dalam memandang, la sangat gelisah 
menghadapi tugas tersebut. Akhirnya ia berkata kepada Yoga,

"Apa yang harus kulakukan menurutmu?" 
"Kerjakan apa tugasmu! Kau seorang perwira, tunjukkan 
keperwiraanmu di depan rakyat!" 
Napas panjang ditariknya dalam-dalam. Gandaloka tampak 
berat sekali jalankan tugas tersebut. Tapi akhirnya dengan 
terpaksa ia menuntun Yoga menuju ke penjara. Biasanya 
prajurit lain yang membawa tawanan, tapi kali ini Gandaloka 
sendiri yang lakukan, sebagai tanda menghormat kepada 
Pendekar Rajawali Merah. 
Sementara itu, petugas lain segera memberitahukan bahwa 
Pendeta Ganesha dan para tetua butuh waktu tiga hari untuk 
berunding menentukan keputusan. Maka, setelah mendengar 
penjelasan tersebut, mereka pun segera bubar. Suara mereka 
saling bergaung kembali, masing-masing mempunyai pendapat 
dan saling berdebat sambil berjalan ke tempat tinggal mereka. 
"Aku akan berusaha membelamu. Tapi aku butuh pelajari 
kembali semua kitab hukum adat!" kata Gandaloka kepada 
Yoga. 
"Terima kasih atas niat baikmu," ucap Yoga sambil masuk ke 
kamar berjeruji besi, yaitu kamar penjara. "Tapi perlu kau 
ketahui, Kembang Mayat bukan orang baik. Dia punya 
perguruan bernama Belalang Liar. Dulu semasa dipimpin oleh 
neneknya; Nyai Sangkal Pati, perguruan itu dalam keadaan 
baik. Tapi setelah dipimpin olehnya, perguruan itu menjadi 
cenderung sesat. Kembang Mayat orang licik, dia pantas 
menerima kematian seperti itu. Kalau negerimu menuruti 
permintaan Kembang Mayat, sama saja negerimu menuruti 
perintah orang sesat! Camkan penjelasanku ini, Gandaloka!" 
Orang tinggi-besar yang punya wajah tampan itu 
menganggukkan kepala dengan rasa prihatinnya, la sendiri

yang menutup pintu penjara dan menguncinya. Lalu, dua orang 
pengawal ditugaskan menjaga di depan penjara itu. 
Dengan berat Gandaloka melangkah. Terbayang saat 
kejadian di Pulau Singa. Kalau waktu itu Yoga tidak berhasil 
kalahkan Jagora, maka Gandaloka pun pasti akan mati di 
tangan tdkoh sakti itu. Dengan kemenangan Yoga, berarti 
Gandaloka telah diselamatkan nyawanya. 
Tapi sekarang nyawa Yoga yang terancam. Haruskah 
Gandaloka diam dan hanya bisa menuruti perintah demi 
perintah? Atau haruskah ia menentang segala ke-putusan 
hukum adat itu, demi membalas hutang nyawanya kepada 
Yoga? 
* * * 
6

 
GANDALOKA segera temui rekannya yang bernama Nayoma, 
seorang prajurit juga yang kedudukannya lebih rendah dari 
Gandaloka. la berkata kepada Nayoma, 
"Aku butuh kitab hukum adat yang asli, yang belum disalin 
ke bahasa sekarang. Di mana aku bisa dapatkan kitab hukum 
adat itu?" 
"Buyut Supi mempunyainya. Kadang kulihat Pendeta Agung 
datang ke rumahnya untuk minta saran tentang hukum adat. 
Tapi, ada apa kau membutuhkan kitab itu?" Nayoma sedikit 
curiga. 
"Untuk kupelajari. Maukah kau meminjamkan kitab hukum 
adat itu kepada Buyut Supi?"

"Baiklah. Tapi bagaimana dengan tugasku menjaga pura 
suci?" 
"Kuambil alih tugasmu! Biar aku yang menjaga pura, kau 
pergi ke Buyut Supi untuk meminjam kitab hukum adat!" 
Buyut Supi termasuk tetua di Pulau Kana. la lebih menguasai 
hukum adat karena ia lebih tua dari Pendeta Ganesha. Konon 
Buyut Supi juga termasuk tokoh tua yang menurunkan 
beberapa orang Pulau Kana Sayangnya ia seorang perempuan, 
sehingga tidak bisa menjadi Pendeta Agung. Hanya orang lelaki 
yang bisa menjabat sebagai Pendeta Agung dan penasihat raja. 
Seorang perempuan seperti Buyut Supi hanya bisa menjadi 
penasihat Pendeta Agung, itu pun jika dibutuhkan. 
Gandaloka berharap, dengan mempelajari kitab hukum adat 
yang asli, mudah-mudahan ia bisa temukan jalan untuk 
bebaskan Yoga dari hukuman gantung. Sebab, banyak 
peraturan hukum adat yang dirubah karena disesuaikan dengan 
zaman dan mempunyai arti yang berbeda dengan aslinya. 
Tetapi alangkah terkejutnya Gandaloka melihat Na-yoma 
kembali dengan keadaan berlumur darah. Telinga kirinya 
dipotong oleh seseorang, dan Nayorna banyak kehabisan darah 
sehingga jatuh pingsan tepat di depan pura suci, tempat 
pemujaan itu. 
Keadaan Nayorna yang demikian membuat suasana istana 
menjadi heboh. Para prajurit berkumpul dan saling bertanya-
tanya siapa pelakunya. Pendeta Agung Ganesha pun menjadi 
tegang, sebab menurut adat yang berlaku di Pulau Kana, jika 
seseorang dipotong daun telinganya itu berarti orang tersebut 
menjadi utusan untuk sebuah tantangan berperang. Karena itu, 
Pendeta Agung Ganesha bertanya dalam gumam yang didengar 
oleh Gandaloka, 
"Siapa orang yang menantang perang dengan pihak istana?"

Gandaloka diam, namun hatinya berkecamuk sendiri dan 
bertanya-tanya, "Mengapa Buyut Supi mengirim pulang 
Nayorna dengan telinga terpotong?! Apakah Buyut Supi merasa 
kecewa dengan pihak istana, sehingga ia lakukan unjuk rasa 
dengan cara memotong telinga Nayoma?" 
Sebenarnya Gandaloka ingin katakan kepada Pendeta Agung 
mengenai Buyut Supi, tapi ia tahan niatnya itu untuk 
menyelidiki sendiri apa sebab Buyut Supi memotong telinga 
Nayoma. Ketika Nayoma mulai sadar, Gandaloka punya 
kesempatan menanyakan tentang hal itu, 
"Buyut Supi-kah yang melakukannya, Nayoma?!" "Buk... 
bjukan!" jawab Nayoma dengan wajah masih pucat. 
"Lalu, siapa yang memotong telingamu?" 
Waktu itu, Pendeta Agung Ganesha dan beberapa perwira 
mengerumuni Nayoma. Pendeta Agung Ganesha mengajukan 
pertanyaan yang sama, sehingga Nayoma pun menjawab, 
"Bersiaplah untuk perang!" 
"Apa maksudmu?" tanya Gandaloka. "Jawab dulu, siapa yang 
memotong daun telingamu, Nayorna?" 
"Orang-orang Tanah Sihir!" 
"Hahh...?!" Gandaloka dan yang lainnya terkejut. Lalu 
mereka saling beradu pandang dengan wajah tegang. 
"Di... di mana mereka sekarang?" tanya Gunaya, perwira 
menengah. 
"Mereka... mereka sedang turun dari kapal. Jumlahnya... ada 
dua kapal. Salah seorang telah menyusup masuk kemari. Aku 
jumpa mereka di pantai, dan mereka memotong telingaku 
sebagai pernyataan berperang terhadap kita!" 
"Apakah Ratu Cendana Wangi juga turut hadir?"

"Ya. Aku lihat Ratu Cendana Wangi di kapal kedua!" ucapan 
Nayorna terhenti karena Gandaloka menyodorkan obat anti 
sakit dan secangkir minuman. Nayorna segera menelan obat 
yang seperti kotoran kambing itu. 
Terdengar Pendeta Ganesha berkata, "Petaka itu mulai 
datang sesuai dengan kutukan korban Kembang Mayat." 
Gandaloka menyanggah, "Tidak, Pendeta Agung! Orang-
orang Tanah Sihir datang bukan karena adanya kutukan 
Kembang Mayat, tapi karena maksud tertentu. Pasti mereka 
punya maksud tertentu. Jauh sebelum Kembang Mayat kita 
jatuhi hukuman gantung, sudah pasti mereka sedang dalam 
perjalanan kemari. Karena dari Tanah Sihir ke Pulau Kana 
memakan waktu pelayaran lebih dari empat hari." 
"Yang jelas kita sekarang dalam bahaya!" gumam Pendeta 
Ganesha. 
"Siagakan semua prajurit!" kata Gandaloka kepada Gunaya. 
"Kerahkan semua prajurit, para pengabdi, rakyat, dan siapa 
saja untuk pagari istana dan alun-alun dalam siaga tarung!" 
"Baik!" jawab Gunaya dengan penuh hormat, ia pun segera 
pergi diikuti oleh perwira-perwira lainnya. 
"Mereka akan masuk kemari pada waktu gelap!" kata 
Pendeta Ganesha. 
"Mengapa begitu?" tanya Gandaloka. 
"Kalau benar mereka punya maksud tertentu, pasti tak lain 
adalah merebut istana ini, dan menguasai pulau ini!" 
"Kekuatan kita tidak seimbang, Pendeta Agung. 
Apalagi kita tidak mempunyai ratu atau pemimpin rakyat!"

"Memang tidak seimbang. Tapi untuk sementara kekuasaan 
kuambil alih, hanya untuk mengisi kekosongan takhta saja! 
Apakah kau setuju?" 
"Saya setuju! Tapi bagaimana kalau mereka mengincar 
Pendeta?" 
"Aku akan bertarung melawan mereka!" 
"Pendeta Agung tidak akan bisa kalahkan kekuatan Ratu 
Cendana Wangi yang berjuluk Penguasa Alam Sihir!" 
"Ya. Memang. Tapi bantulah aku cara mengatasinya, 
Gandaloka!" kata Pendeta Agung Ganesha, mengakui kelebihan 
Sawannya. 
Bagi orang-orang Pulau Kana, nama Ratu Cendana Wangi, si 
Penguasa Alam Sihir itu, sudah bukan nama asing lagi. Nama 
itu selalu ditakuti oleh orang-orang Pulau Kana, karena mereka 
tahu persis kekuatan ilmu sihir Ratu Cendana Wangi sungguh 
tinggi. 
Beberapa tahun yang lalu, Ratu Cendana Wangi pernah 
mengirimkan tiga utusan ke Pulau Kana untuk memburu musuh 
mereka. Musuh itu ternyata menjadi raja di Pulau Kana. Raja 
itulah yang diincar oleh Ratu Cendana Wangi untuk dibunuh 
karena persoalan pribadi. 
Prajurit-prajurit istana mencoba menahan serangan tiga 
utusan itu, namun mereka gagal. Banyak orang Pulau Kana dan 
orang istana yang mati karena kekuatan iimu sihir tiga utusan 
tersebut. Bukan saja ilmu sihir mereka yang tinggi, namun ilmu 
pedang mereka pun cukup 
tangguh, sehingga dalam waktu singkat pada saat itu Pulau 
Kana nyaris kehabisan prajurit. Itu terjadi antara sepuluh tahun 
yang lalu. Dan sekarang, Ratu Cendana Wangi sendiri ikut 
datang dalam rombongan tersebut. Gandaloka dan Pendeta

Ganesha bisa bayangkan akan terjadi banyak pertumpahan 
darah di Pulau Kana. Mayat-mayat kembali berserakan seperti 
sepuluh tahun yang lalu. 
Pulau Kana atau negeri Linggapraja tidak mempunyai orang 
kuat untuk tandingi Ratu Cendana Wangi. Sebagai prajurit 
terdepan, Gandaloka harus berani hadapi pertarungan dengan 
Ratu Cendana Wangi, walaupun ia tahu dirinya akan menderita 
kekalahan. Itu sudah merupakan tanggung jawab seorang 
perwira depan. Biasanya dalam keadaan seperti ini Gandaloka 
didampingi oleh Ayodya dan Loga. Tapi keduanya telah tewas 
dalam tugas mencari Yoga dulu. 
Perkiraan Gandaloka menjadi kenyataan. Dalam waktu 
singkat ia telah mendengar beberapa prajurit pilihan gugur 
melawan Sawung Gala, pengawalnya Ratu Cendana Wangi. 
Gunaya sendiri pulang dengan kedua tangannya buntung, la 
menghadap Gandaloka dalam keadaan bertahan untuk tidak 
jatuh pingsan. Gandaloka terperanjat tegang melihat Gunaya 
pulang tanpa kedua tangan. 
"Mereka semakin menyergap ke istana. Agaknya yang jadi 
sasaran utama adalah istana! Mereka ingin bertemu dengan 
penguasa kita, terutama ingin berhadapan dengan Pendeta 
Agung Ganesha!" tutur Gunaya dengan terengah-engah. 
"Berapa pendamping Ratu Cendana Wangi?" 
"Empat orang; Sawung Gala, Naga Berang, (iam Tulang, dan 
Putra Iblis, yang memotong kedua lawian ku dengan sebatang 
ilalang." 
"Dengan sebatang ilalang?!" gumam Gandaloka makin 
cemas, la menatap Pendeta Agung Ganesha. Orang tua 
berjenggot putih panjang itu diam saja mena han kecemasan 
juga.

Beberapa saat kemudian, Gandaloka berkata kepada seorang 
perwira menengah yang mendampingi Gu-naya, bernama 
Narasoma, 
"Tarik mereka yang ke pantai, perketat penjagaan sekeliling 
istana. Beri tahu padaku perkembangan setiap beberapa 
waktu." 
"Baik! Saya kerjakan!" jawab Narasoma masih tetap tegas, la 
bertubuh lebih tinggi dari Gandaloka dan berbadan kekar. 
Ketika Gandaloka berdiri di serambi istana bersama Pendeta 
Agung Ganesha, Gandaloka sempat berkata, 
"Pendeta, saya butuh pendamping yang kuat! Saya akan 
hadapi sendiri Ratu Cendana Wangi itu!" 
"Apakah kau punya pilihan pendamping yang kuat?" 
"Ya. Saya punya calon pendamping sendiri." 
"Siapa?" 
"Pendekar Rajawali Merah!" 
Pendeta Agung Ganesha terkejut. "Dia tawanan kita!" 
"Percayalah, Pendeta... kalau dia mau berontak, sekarang 
juga Pulau Kana ini bisa dijungkirbalikkan dengan mudah, 
Pendeta!" 
Mata Pendeta Agung Ganesha terkesiap mendengar ucapan 
Gandaloka. Sebelum orang tua itu berkata, Gandaloka sudah 
lebih dulu berucap, 
"Saya pernah lihat sendiri jurus-jurus pedangnya yang 
dahsyat itu, Pendeta! Tidak ada orang kita yang memiliki jurus 
pedang sedahsyat jurusnya. Ilmu tenaga dalamnya pun cukup 
tinggi, la mengobati luka Asoma dengan usapan telapak 
tangan, dan luka itu lenyap dalam sekejap. Dia melawan Jagora

yang berilmu tinggi itu dengan hanya gunakan satu jurus. Dan 
pedangnya itu, Pendeta... jika dipegang orang lain, maka 
pedang itu akan menusuk orang itu sendiri atau menggorok 
leher orang tersebut!" 
Pendeta Agung Ganesha berkerut dahi memikirkan apa yang 
dikatakan Gandaloka itu. Pada saat itu, seorang prajurit yang 
menjadi bawahan Narasoma datang menghadap dengan 
terengah-engah dan berkata, 
"Mereka mulai mendekati istana!" 
"Tak ada yang bisa menahan mereka?" 
'Tidak ada, Perwira! Mereka bergerak bagaikan angin 
cepatnya!" 
"Suruh Narasoma hadang mereka di pintu gerbang." 
"Narasoma... telah tewas, Perwira!" 
"Gila!" Gandaloka terperanjat bagaikan mimpi mendengar 
kabar itu. Baru saja ia beri tugas kepada Narasoma, baru saja 
orang itu berangkat, tahu-tahu sudah dapat kabar bahwa 
Narasoma telah tewas. 
Pendeta Agung Ganesha segera berkata kepada prajurit itu, 
"Buka pagar betis istana! Jangan h.il.m<|! mereka. Biarkan 
masuk menemuiku!" 
"Apa maksud Pendeta?" Gandaloka menjadi tam bah tegang. 
"Jangan timbulkan korban lagi. Jangan buat prajurit sebagai 
benteng perlindungan kita. Biarkan dia bicara padaku 
mengutarakan apa maunya! Jika ia kehendaki nyawaku, aku 
akan berikan dengan pertarungan sampai mati!" 
"Mereka harus hadapi saya dulu sebelum bertarung melawan 
Pendeta!"

"Lakukanlah kalau itu kau anggap baik!" jawab Pendeta 
Agung Ganesha. "Aku mendampingimu di belakang!" 
Gandaloka segera berkata kepada prajurit itu, "Kerjakan apa 
yang dikatakan Pendeta Agung tadi. Buka pintu gerbang 
selebar-lebarnya!" 
Setelah bicara demikian, Gandaloka sendiri melompat pergi 
ke sebuah kamar. Saat keluar ia sudah menyandang pedang di 
punggungnya, pertanda siap hadapi lawan kapan saja. la 
kembali dekati Pendeta Agung Ganesha. Tapi pada saat itu 
sang Pendeta sedang memejamkan mata dan mulutnya 
bergerak-gerak membacakan sebaris doa sambil pegangi tasbih 
putih sebesar kelereng. Gandaloka tak berani ajak bicara, tapi 
matanya memandang sekeliling dengan tegas dan tajam, la 
berdiri di pertengahan serambi depan istana, di mana pintu 
gerbang terletak lurus di depannya dalam jarak lebih dari dua 
puluh lima tombak. Seakan ia siap menghadapi tamu-tamu 
ganas yang sebentar lagi pasti datang menemuinya. 
Rupanya Nayorna yang kehilangan satu telinga itu ikut 
tampil juga dalam pertahanan di pintu gerbang. Ketika ia 
mendengar kabar tentang dibukanya pagar betis istana, 
Nayorna segera memerintahkan beberapa prajurit untuk 
mendampingi Gandaloka dan Pendeta Ganesha. Mereka segera 
berjajar di kanan-kiri Gandaloka pada tangga serambi paling 
bawah. Sedangkan sepuluh orang prajurit pemanah siap di 
belakang Gandaloka dan Pendeta Ganesha. Mereka sudah 
merentangkan busur dan siap lepaskan anak panah sewaktu-
waktu musuh datang. Tetapi Gandaloka segera menengok ke 
belakang dan berkata kepada mereka, "Turunkan panah! Siaga 
saja!" Maka mereka pun menurunkan panah. Tapi anak panah 
masih menempel di tali busur yang ada di bawah, dalam satu 
genggaman tangan. Mereka menunggu perintah untuk angkat 
panah masing-masing. Lalu, beberapa saat kemudian,

Kejap berikutnya, Ratu Cendana Wangi mendekati 
Gandaloka, keempat pengawalnya hanya melangkah tiga tindak 
lalu berhenti. Kini jarak Ratu Cendana Wangi dengan Gandaloka 
hanya dua langkah. Semakin lebar ia memandang Gandaloka 
dalam keadaan sedikit mendongak, karena Gandaloka bertubuh 
lebih tinggi darinya. 
"Tampan sekali kau! Apa kedudukanmu di istana ini?!" 
"Perwira istana!" jawab Gandaloka dengan tegas. 
"Bagus sekali! Aku yakin usiamu masih muda, masih penuh 
semangat dalam beberapa hal! Dan aku yakin kau belum 
beristri juga belum punya kekasih, bahkan belum pernah tidur 
dengan perempuan! Kau masih hijau, Perwira. Tapi kau akan 
menjadi matang jika sudah beberapa saat bersamaku!" senyum 
itu kian melebar. "Siapa namamu?" 
"Gandaloka!" 
"Nama yang bagus, sesuai dengan paras wajahmu!" 
Pendeta Ganesha menyahut, "Bicaralah padaku, Cendana 
Wangi! Akulah wakil penguasa tanah ini!" 
"Kau tidak berhak mengaturku, Botak!" bentak Ratu Cendana 
Wangi. Matanya mendelik menampakkan keganasannya. Salah 
seorang prajurit merasa tersinggung, pendeta yang dihormati 
selama ini hanya dibentak-bentak oleh orang asing. Prajurit itu 
segera melemparkan tombak ke arah Ratu Cendana Wangi. 
Tetapi tombak itu tiba-tiba berhenti di pertengahan jarak, lalu 
berbalik arah dan melesat dengan cepat menghujam dada 
orang yang melemparkannya. Jruub...! 
Gandaloka menahan diri untuk tidak lepaskan amarah 
sembarangan. Sekalipun ia sakit hati melihat anak buahnya 
yang keroco dibunuh dengan kekuatan sihir, tapi ia berusaha 
untuk tetap tenang. Karena Pendeta Agung Ganesha pun

kelihatan tetap tenang walau dibentak dan dihina dengan 
sebutan 'botak' tadi. 
"Apa tujuanmu kemari sebenarnya, Cendana 
Wangi!" 
"Beginikah caramu menerima tamu? Membiarkan tamu di 
luar tanpa menyuruhnya masuk?" hardik Ratu Cendana Wangi 
sambil dekati Pendeta Ganesha. 
"Sebelum kami tahu maksud dan tujuanmu membuat 
keonaran di wilayah kami, kami tidak izinkan kau masuk ke 
istana! Katakan dulu apa yang kau harapkan dari 
kedatanganmu, nanti kami akan bicarakan di dalam!" 
"Seharusnya aku yang mengaturmu! Bukan kau yang 
mengatur aku! Karena akulah yang berhak memiliki Pulau Kana 
ini! Akulah yang berhak berkuasa atas pulau ini!" 
"Dari mana alasanmu bisa berkata begitu?" 
"Aku keturunan dari Eyang Dewi Ambar Ayu. Beliau adalah 
orang pertama yang mendiami pulau ini sendirian, karena 
dibuang oleh pihak keluarganya, yaitu Raja Johor! Lalu beliau 
beranak-cucu di sini, dan sampai melahirkan diriku sebagai 
keturunan yang kesekian silsilah! Jadi akulah yang berhak 
menjadi penguasa di Pulau Kana!" 
"Jika kau keturunan nenek moyang Pulau Kana, pasti 
tubuhmu sebesar kami, Cendana Wangi! Ternyata tubuhmu 
kecil, seperti manusia biasa! Kurasa kau hanya mengaku-aku 
saja sebagai keturunan nenek moyang Pulau Kana!" 
"Perkawinan silang memungkinkan aku berketurunan seperti 
ini. Tapi kakek buyutku adalah orang tinggi-besar seperti 
kalian!"

"Baiklah," Pendeta Ganesha sedikit mengalah. "Jadi, itu 
persoalannya? Kau menuntut hak untuk menjadi penguasa di 
Pulau Kana ini?" 
"Bukan hanya itu saja! Yang paling utama aku datang kemari 
adalah untuk mengambil sebuah kitab pusaka warisan nenek 
moyangku! Akulah yang berhak menerima kitab pusaka 
tersebut!" 
"Kitab pusaka apa?!" Pendeta Ganesha berkerut dahi. 
"Kitab Jagat Sakti!" jawab Ratu Cendana Wangi. 
Gandaloka dan Pendeta Ganesha saling pandang dengan 
dahi berkerut. Mereka sepertinya merasa asing mendengar 
nama kitab tersebut. Lalu, Pendeta Ganesha berkata, 
"Di sini tidak ada Kitab Jagat Sakti! Aku bahkan baru 
sekarang mendengar ada kitab seperti itu." 
"Omong kosong kau, Pendeta Ganesha! Bukankah letak 
Sumur Perut Setan ada di Pulau Kana ini?! Pasti kitab itu pun 
ada di sini." 
Sekali lagi Gandaloka dan Pendeta Ganesha saling beradu 
pandang dengan dahi berkerut. Lalu, Gandaloka menyahut 
kata, 
"Sumur Perut Setan hanya ada dalam dongeng!" 
"Ya. Karena kau masih hijau, jadi kau masih terngiang 
dongeng-dongeng dari ibumu, Nak! Tapi sebenarnya Ganesha 
pasti tahu, bahwa Sumur Perut Setan itu ada di sini!" 
"Aku tidak tahu! Aku juga anggap itu hanya dongeng 
belaka!" 
"Omong kosong! Kau pasti tahu di mana letaknya Sumur 
Perut Setan itu! Jika kau tak mau sebutkan letaknya, jika kau 
tak mau biarkan aku mengambil Kitab J u jat Sakti, dan jika kau

tak mau serahkan pulau ini ke tanganku, akan kubuat rakyatmu 
seperti ini...." 
Claaap...! Seberkas sinar putih menyebar dari tangan Ratu 
Cendana Wangi. Sinar itu menerpa para prajurit yang ada di 
alun-alun, dan mereka berubah menjadi patung batu semua. 
* * * 


MEMANG para orang tua sering mendongeng tentang kisah 
Sumur Perut Setan. Tetapi sumur itu sendiri sebenarnya 
memang ada. Letaknya di kaki Bukit Seroja, dekat dengan 
Candi Langu. Dan pada saat itu, dua anak manusia terperosok 
masuk ke dalamnya. Mereka adalah Lili, Pendekar Rajawali 
Putih itu, dan Wisnu Patra yang juga dijuluki Dewa Tampan 
(Baca episode : "Mempelai Liang Kubur"). Dan sampai sekarang 
kedua orang itu belum bisa keluar dari Sumur Perut setan. 
Konon, menurut dongeng para orang tua zaman dulu, siapa 
saja yang masuk ke dalam sumur berdinding cahaya merah 
beracun itu tidak akan bisa keluar dari sana, karena sumur itu 
memang mempunyai lorong semacam gua panjang, tetapi tidak 
mempunyai jalan keluar. Di samping itu, sumur tersebut juga 
dihuni manusia raksasa yang dikenal dalam dongeng bernama 
Betara Kala. la adalah manusia raksasa pemakan daging 
manusia. 
Benar dan tidaknya dongeng tersebut, hanya Lili dan Wisnu 
Patra yang dapat membuktikannya. Karena sampai beberapa 
hari mereka menyusuri lorong gua tersebut, namun mereka 
belum temukan jalan keluar. Mereka hanya temukan tanaman 
sejenis rumput di tepi-an dinding gua yang memancarkan 
cahaya biru bening.

Lili tertarik untuk memetik tanaman itu, tapi tangannya 
segera ditarik oleh Wisnu Patra. 
"Jangan! Sudah kubilang, jangan gegabah di < l.iLnn gua ini! 
Kau bisa mati terkena racun!" 
"Apakah semua yang ada di sini serba beracun?I" Lili agak 
cemberut. 
"Dalam dongeng disebutkan, lorong ini disebut Sumur Perut 
Setan, karena berisi banyak racun yang tne matikan!" 
"Ah, dongeng, dongeng, dongeng...!" Lili bersungut-sungut. 
"Sejak pertama masuk kemari kau hanya bicara tentang 
dongeng! K'rta benar-benar menghadapi kehidupan nyata, 
bukan berada di negeri dongeng!" 
Pemuda tampan itu tersenyum sabar, la masih memegangi 
tangan Lili di luar kesadarannya. Lili menjadi melirik tangannya 
yang dipegangi Wisnu Patra, lalu pemuda itu tersipu-sipu 
sambil melepaskannya. Pendekar Rajawali Putih melangkah 
lebih dulu, sementara Wisnu Patra memandangi tanaman biru 
sambil berkata dalam hati, 
"Tanaman itu memang menggiurkan. Membuat perutku 
terasa lapar. Tapi benarkah tanaman itu beracun?" 
Tiba-tiba terdengar suara Lili memekik kaget. "Aaauh...!" 
Wisnu Patra tersentak dan cepat hampiri Lili yang melangkah 
mundur. Rupanya gadis yang cantiknya melebihi bidadari dan 
mengenakan pakaian merah jambu itu melihat seekor kelelawar 
berukuran besar sedang hinggap di dinding bercahaya merah 
itu. Kelelawar tersebut pun tersentak kaget dan terbang 
berkeliling karena suara pekikan Pendekar Rajawali Putih.. 
"Awas...! Jangan sampai tersambar kelelawar setan itu!" kata 
Wisnu Patra sambil menarik tubuh Lili, menyembunyikan di

belakangnya. Mata Wisnu Patra memandang gerakan kelelawar 
aneh yang punya raut muka seperti wajah manusia tapi 
bertelinga panjang. Sayapnya mengepak-ngepak timbulkan 
hembusan angin kencang. Binatang itu berukiran sebesar 
seekor Jkticing yang bersayap lebar warna hitam. Kakinya 
tampak kekar dan bercakar runcing. 
Sreet...! Wisnu Patra segera mencabut pedang perunggunya. 
Pendekar Rajawali Putih bertanya»;'Mau kau apakan binatang 
itu?" 
"Bunuh! Kalau tidak dia akan membunuh kita dari belakang." 
"Dia tidak menyerang kita!" 
"Dia tampak ganas, tapi tak berani berhadap-hadapan 
dengan kita! Dia pasti menunggu kesempatan menyerang pada 
saat kita lengah!" 
"Kiaaak...! Kiiaaak...!" 
Kelelawar aneh itu seakan mendengar ucapan Wisnu Patra. 
Maka, serta-merta ia menyerang dengan gerakan cepat. 
Matanya yang mirip mata bayi itu memancarkan sinar merah 
membara yang hampir mengenai kepala Wisnu Patra dan Lili. 
Untung keduanya sigap dan lekas tundukkan kepala. Sinar 
merah dari mata kelelawar itu menghantam dinding gua, dan 
dinding tersebut segera berguguran dengan timbulkan suara 
ledakan kecil. Daar...! 
Wuuut...! Pedang perunggu itu pun berkelebat menebas 
bagian atas, karena kelelawar itu melintas di ,\U kepala Wisnu 
Patra. Tebasan itu meleset. Kelelawar lor sebut bagaikan 
pandai menghindar, dan ia terbang ke belakang mereka 
berdua. . v ^. 
"Hati-hati dia bukan kelelawar sembarangan!" ucap Lili 
dengan segera berbalik badan. Pada saat itu, ternyata

kelelawar tersebut sudah berbalik arah dan Jkini se: dang 
menuju ke arah Lili. Wisnu Patra segera berteriak, 
"Jongkok!" 
Pendekar Rajawali Putih segera rendahkan tubuh". Wisnu 
Patra yang berdiri di belakangnya menjadi sasaran kelelawar 
berikutnya. Tetapi, ia sudah siap dengan pedangnya, sehingga 
begitu»kelelawar tersebut melesat di depannya, Wisnu Patra 
tebaskan pedang dengan gerakan cepat. Wuuut...! Craaass...! . 
"Kiiaaak...!" 
Kelelawar itu memekik lengking, suaranya menggema, la 
jatuh ke tanah dalam keadaan terpotong menjadi dua bagian. 
Sayapnya yang kiri ikut bagian kepala1, yang kanan ikut bagian 
tubuh. Kelelawar itu masih belum pejamkan mata dan berusaha 
untuk bergerak terbang. 
Claap...! Pendekar Rajawali Putih lepaskan pukulan sinar 
putih peraknya dan menghantam kepala kelelawar tersebut. 
Praass...! Kepala binatang aneh itu pun pecah dan tak berkutik 
lagi. 
"Menurut dongeng, ada berapa ekor kelelawar seperti itu di 
sini?!" tanya Lili dengan menyindir. Wisnu Patra hanya 
menghempaskan napas. 
"Kita jalan lagi! Jangan hiraukan kelelawar itu!" 
"Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku?" Lili berlari 
menyusul Wisnu Patra yang melangkah lebih dulu. Agaknya 
penasaran dan kembali bertanya, "Hei, kenapa kau tidak 
menjawabnya?" 
"Dalam dongeng aku tidak pernah mendengar kelelawar 
aneh itu!" 
"O, berarti dongeng nenekmu itu belum lengkap."

Wisnu Patra sedikit dongkol, tapi ia kembali melangkah dan 
menyusuri lorong gua itu untuk mencari kemungkinan jalan 
keluar. Lili ikut di belakangnya sambil matanya memandang ke 
kanan kiri, memperhatikan tanaman bercahaya biru yang indah 
dan menarik selera untuk dimakan. Perut Lili pun terasa lapar 
begitu tadi melihat tanaman biru tersebut. Tetapi hati kecilnya 
segera berkata, bahwa tanaman itu memang beracun dan 
mempunyai daya tarik yang amat tinggi. Orang yang kelaparan 
pasti akan memakan tanaman itu. Darftentah apa jadinya jika 
seseorang makan tanaman tersebut. 
Yang jelas, tak berapa jauh mereka melangkah, mereka 
menemukan kerangka manusia tergeletak di dekat tanaman 
biru itu. Langkah mereka pun terhenti, mata mereka mulai 
memandangi kerangka manusia yang sudah keropos itu. 
Agaknya kerangka tersebut sudah berusia puluhan tahun 
berada di lorong bercahaya merah bara itu. 
"Apakah penyebab kematiannya karena makan tanaman 
beracun itu?" tanya Lili kepada Wisnu Patra. 
"Mungkin saja. Tadi kalau kau tidak kucegah, kau akan 
menjadi seperti kerangka ini!" 
'Tapi mengapa letak tulangnya berserakan? Mestinya letak 
tulangnya sesuai dengan susunan tulang manusia. Jika ia mati 
karena makan tanaman biru itu, pasti dia akan mati di tempat 
dan tulangnya tidak akan tnr pisah ke mana-mana. 
Perhatikanlah tulang lengannya, terpisah jauh dengan bagian 
tengkorak kepalanya, bu kan?!" 
Wisnu Patra terdiam, membenarkan pendapat Lili. la pelajar" 
letak susunan tulang itu. Namun belum sampai ia temukan 
kesimpulan yang pasti, tiba-tiba sudah terdengar suara 
menggeram yang bernada besar. Suara menggeram itu 
membentuk satu nada gemuruh yang membuat dinding dan

lantai gua bergetar. Wisnu Patra segera menatap ke arah 
lorong yang akan dilewati nanti. Kemudian ia memandang 
Pendekar Rajawali Putih. Gadis cantik itu hanya memandang 
dingin ke arah lorong yang akan dilewati nanti. Lalu, ia 
bergumam pelan, 
"Sesuatu menunggu kita di depan sana." 
"Kematian atau kehidupan?" 
"Kematian dan kehidupan," jawab Lili. "Hanya saja, siapa 
yang mati dan siapa yang hidup, itu belum pasti!" 
"Jadi, kau mau terus melangkah atau kembali ke tempat 
asal?" 
"Kembali ke mana? Apakah kita punya tempat asal jika atap 
lorong itu telah tertutup rapat dan tak bisa didaki?" 
Wisnu Patra diam beberapa saat, ia kembali memandangi 
kerangka manusia yang berserakan. Lalu, ia bertanya kepada 
Lili, 
"Menurutmu suara apa tadi?" 
"Makhluk hidup." 
"Manusia atau binatang?" 
"Binatang!" 
"Bukan!" tiba-tiba Wisnu Patra menjawab tanpa perhatikan 
Lili, tapi memandang ke tanah sekitar kerangka manusia itu. 
"Kurasa dia manusia! Dia yang bernama Betara Kala itu!" 
"Dari mana kau tahu?" 
"Kerangka ini adalah korban yang habis dimakan Betara 
Kala!"

"Apa alasanmu berkeyakinan begitu?" "Lihat tanah ini... ada 
tapak kaki lebar sampai ke sebelah sana!" 
Pendekar Rajawali Putih memperhatikan tanah yang ditunjuk 
Wisnu Patra. Ternyata memang benar. Ada telapak kaki 
manusia tapi berukuran lebar. Kira-kira lima kali ukuran telapak 
kaki Lili. Bekas telapak kaki itu cekung agak dalam, 
menandakan cukup berat beban yang diterima oleh tanah 
tersebut. 
"Kalau begitu, sebagian dongeng yang kau dengar itu 
memang benar. Ada manusia raksasa yang lebih besar dari 
orang-orang Pulau Kana itu! Entah berapa orang jumlahnya 
yang mendiami gua ini!" 
"Mudah-mudahan Betara Kala tidak beranak-cucu," kata si 
Dewa Tampan, seperti bicara pada diri sendiri, la bangkit dan 
segera melangkah pelan-pelan menuju jalan berikutnya. Lili 
masih ada di belakangnya dan melompat-lompat karena jalanan 
tak rata. 
Suara gemuruh itu makin lama makin jelas terdengar, 
bertambah jauh melangkah bertambah nyata gerakan tanah 
yang bergetar. Wisnu Patra berhenti melangkah, tapi Lili tetap 
melangkah terus. Tangan Lili tiba-tiba ditahan oleh Wisnu 
Patra. Wajah pemuda itu tampak gelisah ketika beradu 
pandang dengan Lili. Sedangkan Lili tetap kelihatan tenang. 
"Ada apa?" 
"Kita mendekati pusat kehidupan Betara Kala," bisik Wisnu 
Patra. 
"Kita memang sedang mencarinya, bukan?!" 
"Ah, kau gila, Lili! Dia itu lebih berbahaya dari seribu orang-
orang Pulau Kana!"

"Buatku orang Pulau Kana tidak ada yang berbahaya!" kata 
Pendekar Rajawali Putih. "Kita jalan lagi. Kita hadapi dia kalau 
memang dia tidak bisa dijinakkan dengan kata-kata. Mungkin 
kita memang terpaksa menjinakkan dia dengan pedang!" 
Lili langsung melangkah kembali. Wisnu Patra geleng-geleng 
kepala memandangi Lili, menyimpan rasa kagum terhadap 
keberanian gadis cantik itu. Maka, Wisnu Patra pun segera 
bergegas menyusul Lili, sebab ia merasa sayang kalau sampai 
gadis cantik berkulit putih itu terluka atau tergores kulitnya oleh 
sesuatu hal apa pun bentuknya, la tak ingin Lili celaka, namun 
la merasa cemas membayangkan dongeng tentang keganasan 
Betara Kala. 
"Gggrrr...!" terdengar suara mengerang besar dan 
menggema. Tanah kembali berguncang. Wisnu Patra segera 
tahan pundak Lili. 
"Dia telah mencium bau kita!" bisik Wisnu Patra. . "Mungkin 
dia mencium kepucatan wajahmu," kata Pendekar Rajawali 
Putih sambil tersenyum. Hati Wisnu Patra gundah, antara takut 
dan berdebar indah melihat senyuman gadis itu. 
"Lili, jujur saja, aku khawatir akan keselamatanmu!" 
"Berarti kau akan melindungi aku. Jalanlah paling depan, 
Wisnu!" 
"Aku... aku... aku sendiri juga mengkhawatirkan ke-
selamatanku." 
"Kalau begitu, kita maju bersama saja!" 
Wisnu Patra semakin tampak keluarkan keringat dingin, la 
menelan ludahnya sendiri dengan gelisah, lalu berkata,

kusempatkan mengungkapkan isi hatiku padamu. Aku tak 
butuh jawabanmu, aku hanya butuh agar kau mau percaya 
dengan kata-kataku tadi!" 
"Aku percaya," jawab Lili. "Tapi... percayalah, kau tak akan 
mati di tangan Betara Kala, Wisnu!" ucapan Lili kali ini begitu 
lembut, seakan sangat menyentuh hati Wisnu Patra. 
"Mengapa kau yakin aku tak akan mati?" 
"Karena tak kuizinkan manusia raksasa itu menyentuh 
kulitmu, Wisnu! Sedikit pun tak akan kuizinkan!" 
"Mengapa begitu?" pancing Wisnu Patra. 
"Karena...,'' Lili diam sebentar, menatap Wisnu Patra, 
kemudian menunduk, berpikir sebentar, lalu memandang Wisnu 
Patra lagi dan menjawab dengan suara lembut, 
"Karena kau adalah sahabatku!" 
"Hanya sebatas sahabat?" "Kurasa begitu." 
"Tidakkah... tidakkah kau mencintaiku, Lili?" 
"Seseorang telah memiliki hatiku, dan seseorang telah 
mengisi hatiku juga." 
"Siapa orang itu?" 
"Muridku sendiri. Yoga!" 
Rona kecewa terbentang jelas di wajah Wisnu Patra. la 
mengangguk-angguk sambil menarik napas. Lili tahu, Wisnu 
Patra sembunyikan rasa kecewanya. Sebab itu, Lili berkata, 
"Jangan buru-buru kecewa! Jodoh ada di tangan Yang Maha 
Kuasa. Manusia hanya boleh merencanakan dan mengidam-
idamkan saja."

Wajah kecewa itu segera pudar dan berganti sinar semangat 
yang muiai membias, sambil Wisnu Patra perdengarkan 
suaranya, 
"Ya. Benar. Jodoh ada di tangan Yang Maha Kuasa. Mari kita 
teruskan langkah kita!" 
Mereka kembali melangkah. Jalanan terasa semakin lebar 
dengan dinding masih memancarkan cahaya merah bara. Atap 
lorong itu bertambah tinggi hingga tiap gerakan kaki mereka 
terdengar menggema lirih. Udaranya pun semakin sejuk, dan 
bau amis mulai tercium. 
'Ggrrr...!" suara erangan besar terdengar. Pada waktu itu 
mereka hampir tiba di tikungan jalan lorong. Langkah mereka 
terhenti sejenak. Tangan Wisnu Patra semakin erat 
menggenggam tangan Lili. Gadis cantik itu membiarkannya, 
walau ia rasakan betul tangan pemuda tampan itu dingin sekali. 
Seperti balok es yang belum mencair. 
Lili mengangguk, itu pertanda ia mengajak teruskan langkah. 
Wisnu Patra pun akhirnya melangkah kembali sampai mereka 
membelok di jalanan menikung itu. Ternyata di balik tikungan 
jalan tersebut, ada ruangan yang amat luas beratap tinggi, 
lebar sekali dalam keadaan memanjang lurus. Tanahnya datar 
dan di sana banyak tu lang-belulang manusia. Tulang-tulang itu 
berserakan cll sana-sini. Mereka mengikuti serakan tulang 
tersebut, ternyata sampai jauh sepanjang ruangan yang lebar 
dan luas itu. 
Tiba-tiba Wisnu Patra menahan gerakan langkah Lili. Gadis 
itu pun berhenti dengan mata memandang ke depan. Wajah 
Wisnu Patra sangat tegang, sementara Lili hanya bersikap 
penuh waspada, la minta dilepaskan genggaman tangannya, la 
berbisik lirih,

"Gundukan yang ada di depan sana itu bukan seperti tanah 
biasa!" 
Wisnu Patra menjawab, "Benar. Itulah sebabnya kutahan 
langkahmu. Gundukan itu adalah punggung manusia raksasa." 
"Betara Kala-kah dia?" 
"Pasti. Tapi agaknya ia sedang tertidur. Atau mungkin hanya 
rebahan saja. Lihat tulang-tulang di sekitarnya. Itulah sisa 
makanan Betara Kala! Mungkin kita nanti akan menjadi satu 
dengan tulang-tulang itu." 
"Mungkin iya, mungkin tidak! Yang jelas, aku tidak ingin 
menjadi mangsanya...," setelah berkata begitu, Lili melangkah 
maju sendirian. 
"Hei, mau ke mana kau?!" Wisnu Patra berseru tapi suaranya 
membisik. Lili tidak pedulikan seruan itu. la justru setengah 
berlari kecil menghampiri ke arah gundukan yang mirip tanah 
itu. la memungut tengkorak kepala manusia, lalu melemparkan 
ke arah gundukan tersebut. 
Praaak...! Tengkorak kepala manusia itu jatuh ditumpukan 
tulang. Wisnu Patra terbelalak kaget melihat tindakan Lili. la 
berkata dalam suara gumam gemetar, 
"Gila gadis itu! Dia malahan membangunkan raksasa yang 
sedang tidur! Cari mampus saja itu orang!" 
Praaak...! 
Suara itu terdengar lagi, dan kali ini geram suara makhluk 
besar terdengar. Keras dan menggema besar, menggetarkan 
dinding dan lantai ruangan tersebut. 
Bluuhg...! Rupanya raksasa besar itu berbalik arah, semula 
memunggungi Lili, sekarang menghadap ke arah Lili. Tetapi

gadis itu memang punya keberanian yang luar biasa, la justru 
berteriak keras, 
"Hoaaaiii...!" 
"Gggrrr...!" 
Makhluk besar itu pun akhirnya bangkit. Matanya yang besar 
membuka lebar, la berdiri dan membuat beberapa dinding 
bergetar keras. Wajahnya kelihatan amat menyeramkan. 
Mulutnya lebar, lubang hidungnya pun lebar, la tidak 
mempunyai rambut. Kulit tubuhnya seperti tanah cadas. Ketika 
ia menyeringai karena melihat kehadiran manusia, giginya 
tampak sebesar mata kapak. Tubuhnya yang tinggi itu 
membuat Lili memandang dengan wajah tengadah. Lalu, Lili 
pun melihat kedua tangan besar bergerak diangkat ke atas, dan 
raksasa yang bernama Betara Kala itu mulai melangkah 
mendekati Lili. 
Jleg...! Jleg...! Jleg...! 
Gua itu bagai mau runtuh karena guncangannya cukup 
keras. Wisnu Patra menjadi lemas. Mau berteriak pun tak 
mampu. Napasnya terasa sesak karena dadanya bagai ikut 
bergetar terhentak-hentak ketika kaki 
Betara Kala itu melangkah. 
Saat orang besar itu berhenti, terdengar suaranya berkata 
dengan nada besar pula, 
"Hhrrr... berani betul kau mengganggu istirahatku. Bocah 
Ayu! Apa maumu, hah...?!" 
Dengan lantang Lili berkata, "Aku terperosok ke Sumur Perut 
Setan ini! Aku ingin keluar dari sini!" 
"Huah, ha, ha, ha, hah...!"

Uli terpental ketika Betara Kala tertawa, la berguling-guling 
sampai di dekat Wisnu Patra yang tak mampu lagi untuk berdiri 
itu. Pada waktu itu, Wisnu Patra mendekap telinganya sambil 
mendekam di dekat gundukan tulang manusia. Wajahnya pucat 
pasi dan berkeringat, la ingin membantu Lili untuk bangkit, tapi 
ia sendiri tak mampu gerakkan kaki dan tangannya, la hanya 
bisa pejamkan mata sesaat ketika Lili terpelanting jatuh di 
dekatnya, akibat limbung dalam berdirinya. 
"Kalau aku tahu jalan keluarnya aku pasti sudah keluar dari 
sini, Bocah Ayu!" terdengar suara Betara Kala menggema lagi. 
Lili menegakkan berdirinya dan maju lebih dekat lagi. la 
berseru, 
"Kau pasti tahu! Kau tidak mau keluar dari tempat ini, karena 
kau takut mati dibunuh musuhmu, entah siapa! Aku tahu, kau 
di sini bersembunyi karena takut mati, atau karena menunggu 
kematianmu tiba!" 
"Huah, hah, hah, hah, hah...!" 
Pendekar Rajawali Putih kembali berjumpalitan lagi. Tawa itu 
selain hadirkan angin kencang juga keluarkan getaran 
gelombang yang menghentak bagai ingin menjebol dada. 
Pendekar Rajawali Putih hampir saja menyentuh dinding yang 
bercahaya merah bara itu. la buru-buru berguling menjauh. 
Kemudian ditarik napasnya dalam-dalam dan pejamkan mata 
sebentar dengan sikap satu kaki berlutut yang satunya 
menapak di tanah. Tangannya bergerak ke samping dan meliuk 
sebentar dt depan wajah, kemudian ia pun segera bangkit 
berdiri dan melangkah di tempatnya tadi. 
"Bocah Ayu...! Kau memaksaku untuk marah padamu, 
hah...?! Kukatakan di sini tidak ada jalan keluar, tapi kau tidak 
percaya!"
"Aku bisa mempercepat Kematianmu kalau kau tidak segera 
tunjukkan padaku di mana jalan menuju keluar dari tempat ini!" 
"Ggrrr...!" Betara Kala mengerang dengan mata dilebarkan. 
Rupanya ia marah ditantang demikian. Tangannya meraih 
setumpuk tulang, lalu dilemparkan ke arah Lili. Praaakk...! 
Gerakan tiap benda yang berupa tulang itu sangat cepat, 
hampir tak bisa dilihat oleh mata manusia biasa. Lili segera 
sentakkan kedua tangannya, dan keluarlah kabut biru yang 
menyembur dari telapak tangan Lili. Kabut itulah yang 
membuat tulang-tulang tersebut pecah dalam bentuk serbuk 
putih yang halus beterbangan. Prooss...! 
"Ggrrr...! Kau unjukkan kesaktian di depanku, kau akan 
kutelan hidup-hidup tikus kecil...! Grrr...!" 
Betara Kala maju dekati Lili. Wisnu Patra bertambah tegang 
melihat Lili melarikan diri. Serta-merta keberanian Wisnu Patra 
tumbuh kembali melihat Lili dalam bahaya. la segera bangkit 
dan kerahkan tenaga sebentar, lalu lepaskan pukulan 'Bromo'-
nya ke arah Betara Kala dari samping kiri. Wuuus...! 
Semburan api melesat menghantam lengan Betara Kala. 
Tetapi semburan api itu ibarat percikan bunga api yang tidak 
ada gunanya bagi tubuh besar berkulit amat tebal tersebut. 
Betara Kala justru berpaling ke arah Wisnu Patra, kemudian 
tangannya menyambar tubuh Wisnu Patra dengan gerakan 
cepat. Wooos...! Angin sambar-annya begitu keras dan 
membuat tulang-tulang yang dalam jarak jauh dari jangkauan 
itu terlempar berserakan. 
Wisnu Patra berguling-guling tertimbun reruntuhan tulang 
itu. Seandainya ia tidak terhempas, maka ia akan tertangkap 
oleh tangan besar tersebut. Pada saat itu, karena takut dan 
kesakitan tertimbun tulang-belulang, Wisnu Patra berteriak

keras-keras, membuat Lili tersentak kaget dan berhenti dari 
larinya. 
Pendekar Rajawali Putih segera keraskan kedua jari 
tangannya, kemudian masing-masing tangan yang mempunyai 
dua jari mengeras itu disabetkan ke depan dengan gerakan 
putar. Claaap...! Seberkas sinar bergelombang melesat dari dua 
jari tersebut, menyatu membentuk lingkaran seperti obat 
nyamuk, berputar-putar menghantam wajah Betara Kala. 
Biegaaarrr...! Sinar putih perak itu meledak dengan 
dahsyatnya. Tapi tidak membuat tumbang Betara Kala, 
melainkan hanya terhuyung-huyung ke belakang beberapa 
tindak, dan membuat salah satu dinding rompal karena 
terbentur punggung manusia raksasa itu. Serangan tersebut 
membuat Lili sempat tercengang, karena biasanya jurus itu 
akan menghancurleburkan tiap benda yang terkena sinar putih 
perak itu 
Betara Kala semakin murka, la mengerang panjang sambil 
mengibaskan kedua tangannya ke sembarang arah. Mulutnya 
keluarkan angin badai yang membuat tulang-tulang porak 
poranda. Tetapi agaknya Pendekar Rajawali Putih telah siapkan 
diri dengan kekuatan tenaga dalamnya yang tersalur di kaki, 
sehingga hempasan badai itu tidak membuatnya goyah dari 
berdirinya. Hanya rambut dan jubahnya yang meriap karena 
hembusan badai itu. Sedangkan tubuh Wisnu Patra terlempar 
kuat dan membentur dinding bercahaya merah bara. Kalau saja 
dinding itu tak dilapisi oleh tulang-tulang yang menempel akibat 
tersapu angin, maka tubuh Wisnu Patra akan terkena racun 
dinding tersebut. 
"Gggrrr...!" Betara Kala kembali mengibaskan tangannya, 
dan kali ini tubuh Lili tercekal dan terangkat me nuju ke mulut 
lebar itu. Wisnu Patra segera berteriak tegang.

"Liliii...!" la berusaha untuk lari dan mencabut pedangnya. 
Tapi langkahnya terhenti, karena pada waktu itu tangan Betara 
Kala menghadang langkah. Wisnu Patra sendiri melihat Lili 
mencabut pedang pusaka dari punggungnya. Suara petir di luar 
menggelegar sampai mengguncangkan tanah dan dinding gua 
tersebut. 
Pedang Sukma Halilintar yang pada ujung gagangnya 
terdapat dua kepala burung yang saling bertolak belakang itu 
membara putih kebiru-biruan. Pedang itu disentakkan ke arah 
mulut Betara Kala yang menganga. 
Seberkas sinar putih perak keluar dari ujung pedang itu, 
masuk ke dalam mulut Betara Kala. Claaapp...! 
Wrrr...! Badan manusia raksasa itu bergetar. Mata besarnya 
terbeliak-beliak. Pegangan tangannya kendor. Tubuh Pendekar 
Rajawali Putih jatuh melayang-layang dan berusaha kendalikan 
keseimbangan, hingga gadis itu bersalto satu kali, lalu dalam 
gerakan tubuh turun itu, ia tebaskan pedangnya ke perut 
Betara Kala. Brroos...! Perut itu robek dengan keluarkan 
sentakan angin keras yang membuat tubuh Lili terpental ke 
depan. Untung ia cepat bersalto dan mampu mendarat dengan 
sigap. 
Tepat kaki Pendekar Rajawali Putih menapak di tanah, tubuh 
Betara Kala itu meledak karena sinar putih keperakan yang 
masuk ke mulut itu. ' 
Blegaaar...! 
Tubuh Betara Kala roboh dengan suara erangan memanjang. 
Ledakan dahsyat itu biasanya menghancurkan gunung atau 
batu keras seperti baja menjadi ser-pihan lembut. Tapi kali ini 
hanya membuat tubuh Betara Kala pecah sebagian. Dadanya 
sempal, kepalanya retak, perutnya jebol dan lengan kirinya 
patah.

Atap gua itu berguguran pada saat tubuh besar itu tumbang. 
Dinding yang terkena hempasan tubuh itu menjadi gompal, 
menjatuhi bagian kaki. Sementara itu, darah yang mengalir dari 
tubuh tersebut berwarna hitam busuk. Membanjir seperti 
curahan mata air deras. 
"Cepat lompat kemari, Wisnu!" teriak Lili. Maka Wisnu Patra 
pun melompat ke tanah yang tidak terkena genangan darah 
busuk tersebut. Pada saat itu, erangan dari mulut Betara Kala 
terhenti, dan tubuh itu tak bergerak untuk selamanya. Mati. 
Namun karena jijik dengan darah busuk tersebut, Wisnu Patra 
dan Lili berlari secepatnya ke arah jalan berlorong agak kecil 
dari ruangan besar tersebut, namun masih saja terhitung lebar 
dan beratap tinggi. 
* * * 


GANDALOKA temui Yoga di dalam penjara. Firasat Yoga 
sudah mengetahui adanya bahaya yang mengancam orang-
orang Pulau Kana. Sebelum Gandaloka menceritakan 
kedatangan Ratu Cendana Wangi bersama orang-orangnya, 
Yoga sudah lebih dulu berkata, 
"Kau dalam bahaya, Gandaloka?!" 
"Benar," jawab Gandaloka dengan jujur. "Orang-orangku 
gugur melawan orang-orang Tanah Sihir yang dipimpin oleh 
Ratu Cendana Wangi, Yoga. Bahkan beberapa prajuritku 
disihirnya menjadi patung batu semua. Aku tidak punya 
kekuatan untuk kalahkan mereka!" 
"Apa yang mereka kehendaki?"

"Menguasai pulau ini, dan memaksa kami serahkan kitab 
pusaka." 
Dahi Yoga berkerut, la ingat saat bertemu dengan bayangan 
wajah gurunya; si Dewa Geledek. Ada tugas untuknya, yaitu 
mempertahankan sebuah kitab pusaka agar jangan jatuh ke 
tangan orang sesat. Dalam hatinya Yoga bertanya-tanya, 
"Benarkah kitab pusaka yang sekarang sedang dicari Ratu 
Cendana Wangi itu yang harus kupertahankan, sesuai dengan 
wasiat Guru?" 
Gandaloka berkata, "Padahal kami tidak tahu tentang kitab 
pusaka itu. Mendengar namanya saja baru sekarang." 
"Kitab apa namanya?" 
"Kitab Jagat Sakti!" 
Pendekar Rajawali Merah menggumam pendek dan 
menerawang sambil mengucap nama kitab itu dalam hatinya. 
Kemudian, ia bertanya, 
"Apakah benar pihakmu tidak tahu-menahu tentang Kitab 
Jagat Sakti?" 
"Sama sekali tideik! Di dalam bangsal pustaka itu banyak 
kitab, tapi tida k ada yang namanya Kitab Jagat Sakti! Pendeta 
Agung sendiri merasa asing dengan nama kitab itu. Katanya, 
dari sejak kecil sampai setua itu ia belum pernah menden gar 
nama kitab tersebut, apalagi melihatnya, sama sekal'i tidak 
pernah." 
"Lalu, menurut Ratu Cendana Wangi, di mana letak kitab itu 
adanya?" 
"Jawaban mereka bidak masuk akal. Mereka bilang kitab itu 
ada di Sumur Perut Setan. Sedangkan nama Sumur Perut Setan 
hanya ada di dalam dongeng. Tapi mereka mendesak kami

untuk menunjukkan letak sumur tersebut. Soal itu pun kami 
benar-benar tidak tahu!" 
"Lalu, apa tindakan Pendeta Agung?" 
"Sedang berunding dengan para tetua untuk menanyakan 
tentang kitab tersebut dan Sumur Perut Setan!" jawab 
Gandaloka apa adanya. Pendekar Rajawali Merah menggumam 
sambil manggut-manggut. Kejap berikutnya, Gandaloka berkata 
kepada Yoga, 
"Aku butuh pendamping! untuk hadapi mereka, Yo " 
”Itu baik. Setidaknya untuk melindungi dirimu sendiri." 
"Aku memilih kau menjadi pendampingku, Yogal" 
Pendekar Rajawali Merah kerutkan dahi. "Aku ?l Apakah kau 
tak salah? Aku adalah tawananmu, sebentar lagi akan 
digantung seperti Kembang Mayat." 
"Sudah kubicarakan dengan Pendeta Agung untuk 
membebaskan kau dari tuntutan sang korban. Kukatakan pada 
beliau, kau sanggup melawan Ratu Cendana Wangi, tapi aku 
minta kau dibebaskan. Karena jika kau berhasil mengalahkan 
mereka, itu berarti kau bukan orang pembawa sial bagi negeri 
kami, dan bukan orang pembawa kutuk untuk Pulau Kana. Dan 
sekarang, hal itu pun sedang dirundingkan oleh Pendeta Agung 
dengan para tetua kami!" 
"Bagaimana kalau aku gagal melawan mereka?" 
"Kau akan mati. itu sama saja menuruti tuntutan sang 
korban, yaitu Kembang Mayat." 
Yoga tersenyum, lalu berkata, "Otakmu cerdas. Kau 
mengikuti cara yang dipakai oleh Wong Agung Sangar itu 
rupanya! Tawanan dipakai umpan. Kalau rrtenang bebas, kalau 
kalah ya tetap saja mati."

"Maafkan aku, Yoga. Tidak ada cara lain yang ku-peroleh 
untuk membebaskanmu, kecuali dengan cara begitu." 
"Baiklah. Temukan aku dengan Pendeta Agung dan para 
tetuamu! Aku ingin bicara dengan mereka." 
Rupanya pihak Ratu Cendana Wangi telah kuasai istana. 
Mereka tidak menawan orang-orangnya Gandaloka, tapi 
mereka punya kebebasan bergerak di dalam istana. Pendeta 
Agung terpaksa membiarkan hal itu terjadi semasa tidak 
membawa korban lagi. 
Pada saat Yoga dibawa keluar dari penjara oleh Gandaloka, 
mereka bertemu dengan Naga Berang dan Garu Tulang yang 
ingin menengok taman keputren, tempat para putri raja 
bersantai di sana. Karena saat itu tak ada raja tak ada ratu, 
maka taman keputren pun kosong, kecuali dihuni oleh para 
dayang-dayang pengurus taman. 
Naga Berang sengaja menghadang langkah Gandaloka, 
karena ia tertarik memperhatikan Yoga yang bertubuh tidak 
setinggi dan sebesar orang-orang Pulau Kana. Garu Tulang pun 
merasa curiga melihat Yoga seukuran dengan dirinya. Maka, 
Naga Berang menyapa Gandaloka dengan nada ketus dan 
berwajah sangar, 
"Rupanya di sini juga ada piaraannya. Sejak kapan kau piara 
tikus kecil itu, Gandaloka?!" 
Gandaloka hanya memandang Pendekar Rajawali Merah. 
Lalu, Yoga yang menjawab pertanyaan itu dengan suara datar, 
"Apa kau berminat bermain-main dengan tikus kecil?" 
"Sangat berminat!" jawab Naga Berang. Sedangkan Garu 
Tulang pun segera menimpali,

"Aku ingin bermain-main sampai tikus kecil itu mati! Ingin ku 
lihat seperti apa dia jika mati." 
"Gandaloka," ucap Yoga kepada sang Perwira itu, "Ada 
baiknya kalau kau menyingkir sebentar. Lihatlah permainan 
tikus kecil ini!" 
Gandaloka menyingkir karena mengerti apa yang dimaksud 
ucapan Yoga. Sementara itu, Naga Berang dan Garu Tulang 
yang kurus kerempeng itu saling terse-nyum-senyum sambil 
bersiap mengambil jarak. Yoga tetap tenang pandangi wajah-
wajah mereka yang berjajar. 
Tiba-tiba mata kedua orang itu berubah menjadi merah, lalu 
seberkas sinar melesat dari keempat mata itu, semuanya 
berwarna hijau bening. Empat larik sinar menghantam dada 
Yoga. Tetapi, Yoga diam saja dan membiarkan sinar hijau itu 
menghantam dadanya. 
Mestinya, dada itu akan hancur, atau bolong, atau 
setidaknya menjadi hangus. Tapi ternyata dada Pendekar 
Rajawali Merah itu tetap utuh bagai tak pernah terhantam sinar 
tersebut. Yoga justru memandang dadanya sendiri ketika 
empat larik sinar itu telah padam, la segera berkata kepada 
kedua orang berwajah bengis itu. 
"Kalian menyerang apa tadi? Atau hanya bermain sinar? Ah, 
sinar seperti itu pun aku dan Gandaloka mempunyainya. Ada 
yang lebih baguskah sinarnya?" 
Tentu saja kedua orang berwajah bengis itu menjadi panas 
hati diremehkan dengan cara seperti itu. Naga Berang segera 
menggeram, 
"Coba serang aku sekarang!" 
"Haruskah aku menyerang anak kecil yang masih gemar 
bermain sinar seperti tadi?!" kata Yoga membuat Gandaloka

tersenyum-senyum. Tapi telinga Naga Berang dan Garu Tulang 
menjadi merah. 
Kemudian, keduanya sama-sama pejamkan mata. Tangan 
mereka berkelebat cepat bagaikan menaburkan asap ke tubuh 
sendiri. Blub...! Dan tiba-tiba mereka sudah berubah menjadi 
dua harimau loreng. Kedua ekor harimau loreng itu mengerang 
menampakkan taringnya. Ilmu sihir tersebut tidak membuat 
Yoga takut, namun justru tertawa pendek. 
la berbalik dan melangkah mendekati Gandaloka. Namun 
baru dua langkah, kedua harimau itu segera melompat untuk 
menerkam Yoga dari belakang. Dengan cepat Yoga kibaskan 
tangan kanannya sambil tubuhnya berputar cepat. Wuuut...! 
Praak...! 
Satu kepala harimau yang dihantam dengan kepalan keras, 
tapi dua kepala yang hancur. Kedua ekor harimau itu 
menggelepar-gelepar di tanah dalam keadaan pecah. Satu 
dengan yang satunya sama parah. Kejap1 berikutnya, kedua 
ekor harimau itu berubah bentuk menjadi Naga Berang dan 
Garu Tulang, tapi mereka sudah tidak bernyawa lagi. 
Gandaloka tak bisa bicara apa-apa. Gandaloka hanya 
memandang dengan mata tak berkedip. Rasa heran dan takjub 
menjadi satu dalam hatinya. Demikian pula para prajurit 
lainnya, yang sejak tadi memperhatikan peristiwa itu dari 
kejauhan. Salah seorang ada yang cepat berlari menemui 
Pendeta Agung Ganesha. Sedangkan Yoga segera memandang 
Gandaloka dan berkata, 
"Suruh anak buahmu mengurus mayat mereka, dan mari kita 
teruskan rencana kita!" 
Gandaloka menuruti perintah itu, tapi dalam hatinya ia 
berkecamuk,

"Luar biasa gerakannya. Tak terlihat saat ia berputar tadi. 
Padahal, menumbangkan Naga Berang dan Garu Tulang itu 
bukan hal yang mudah! Mereka punya ilmu sihir cukup tinggi. 
Biasanya jika mereka berubah menjadi harimau, tak ada orang 
yang bisa menghantamnya Jangankan menghantam, 
memegang ekornya saja lak ada yang bisa. Tapi, Yoga 
melakukannya dengan sangat mudah?!" 
Di ruang berunding, prajurit yang tadi melihat kejadian 
tersebut memberanikan diri masuk dan menemui Pendeta 
Agung Ganesha. Wajah prajurit itu menjadi tegang, sehingga 
para tetua yang hadir di situ menjadi tertarik dan 
memperhatikannya dengan dahi berkerut. 
"Ada apa?!" tanya Pendeta Agung Ganesha. 
"Tawanan kita itu... Pendekar Rajawali Merah itu... telah 
membunuh Garu Tulang dan Naga Berang!" 
"Hahh...?!" mereka hampir serempak memekikkan suara 
kaget yang sama. Bahkan sebagian sampai berdiri dari 
duduknya. Lalu, prajurit itu bercerita tentang apa yang ia lihat 
dari awal pertamanya. Pendeta Agung dan para tetua 
terbengong-bengong jadinya. 
Pada waktu itu segera muncul Gandaloka dengan Pendekar 
Rajawali Merah. Maka tak heran lagi jika semua mata tertuju 
kepada Yoga, sambil tiap mulut melontarkan tanya, 
"Ada apa? Apa yang terjadi? Mereka benar-benar mati? 
Hanya satu kali pukulan bisa membunuh dua nyawa? Apa benar 
begitu?" 
Gandaloka yang segera menengahi suara-suara mereka 
setelah terlebih dulu menenangkannya. Gandaloka berkata 
kepada Pendeta Agung,

"Pendekar Rajawali Merah telah kalahkan ilmu sihir Naga 
Berang dan Garu Tulang! Seperti apa kata saya kemarin, tak 
ada orang yang bisa tandingi Ratu Cendana Wangi selain 
Pendekar Rajawali Merah!" 
Salah seorang tetua berkata dengain suara rentanya, "Kalau 
memang layak, biarlah dia menjadi panglima kita!" 
"Terlalu tinggi jabatan itu, Pak Tua," kata Yoga. "Saya hanya 
akan bantu membebaskan rakyat Pulau Kana dari kejahatan 
Ratu Cendana Wangi, tanpa harapkan balas jasa apa pun 
kecuali dibebaskan dan! jabatan sebagai tawanan." 
"O, ya... dia tawanan kita!" kata salah seorang. Tapi orang 
tua yang tadi mencalonkan Yoga menjadi panglima itu berkata, 
"Tapi dalam kitab hukum adat ini, siapai pun bisa menjadi 
panglima jika menyelamatkan negeri dan rakyat Pulau Kana. 
Coba kau baca lembar tengah, bahwa siapa yang berjasa 
terhadap negeri dan rakyat Pulau Kana, dia berhak mendapat 
hadiah paling berharga dalam hidupnya, tapi bukan menjadi 
pemimpin negara. Yang bisa menjadi pemimpin negeri ini 
adalah orang yang ditunjuk oleh dewa melalui Pendeta Agung, 
dan orang yang dijadikan korban tanah persembahan namun 
bisa keluar dari tanah persembahan dalam keadaan hidup-
hidup. Dan kalau tawanan atau calon korban bisa selamatkan 
negeri, ia bebas dari segala kutukan dan kesialan!" 
Akhirnya, setelah melalui perdebatan, perundingan itu 
diputuskan oleh Pendeta Agung Ganesha, 
"Kita akan bebaskan Pendekar Raijawali Merah dari segala 
hukuman, tapi dia harus kalahkan Ratu Cendana Wangi!" 
Semua mata memandang Yoga, yang dipandang hanya 
tenang-tenang saja. Gandaloka segera bertanya kepada Yoga,

"Bagaimana, Yoga? Apakah kau sanggup memenuhi syarat 
itu?" 
"Tidak," jawab Yoga yang membuat semua mata yang 
memandang menjadi bengong. Yoga kembali berkata, 
"Aku akan melawan Ratu Cendana Wangi untuk tegakkan 
kebenaran. Aku akan lawan dia karena dia orang sesat! Apakah 
nanti aku akan dibebaskan dari hukuman atau tidak, itu 
urusanku sendiri. Kalau perlu, aku akan memberontak dan 
memporak-porandakan pulau ini jika aku masih tetap akan 
dihukum seperti permintaan korban persembahan yang 
sebenarnya orang sesat juga itu!" 
Yoga bicara dengan tegas. Para tetua, Pendeta Agung, 
Gandaloka, tak ada yang berani bicara sepatah kata pun. 
Mereka bagaikan terkesima oleh ucapan Yoga, sehingga 
Pendekar Rajawali Merah berkata, 
'Temukan aku dengan Ratu Cendana Wangi sekarang juga!" 
Pendeta Agung Ganesha mengangguk, Gandaloka 
menjawab, "Akan kuantar kau kepadanya!" 
Rupanya pada saat itu Ratu Cendana Wangi sedang 
menahan kemarahan mendapat laporan dua pengawal 
utamanya dibunuh, la baru mau perintahkan agar membantai 
semua orang yang ada di istana itu, tahu-tahu Gandaloka dan 
Yoga muncul, di belakangnya ada Pendeta Agung Ganesha, dan 
para tetua. Ratu Cendana Wangi menjadi berang melihat 
kemunculan mereka, lalu berseru kepada Pendeta Agung, 
"Ganesha! Dua orangku telah dibunuh! Aku akan menuntut 
balas membuat semua orang di istana ini mati, dan penduduk 
Pulau Kana menjadi buta seluruhnya! Tapi jika kau mampu 
serahkan orang yang telah bunuh kedua pengawalku itu, 
kubatalkan niatku tadi!"

Tiba-tiba Yoga berseru sambil melangkah lebih ke depan, 
"Aku yang membunuh kedua orangmu!" 
"Bangsat!" geram Putra Iblis dan segera menyerang Yoga. 
Tapi gerakan terhenti oleh tangan Ratu Cendana Wangi yang 
direntangkan. Perempuan itu pandangi Yoga dengan mata tak 
berkedip. Semakin lama kemurungan wajahnya mengendur. 
Kian lama kemarahan hatinya kian teduh. Lalu, seulas senyum 
tipis mulai mekar di wajah ayu itu. 
"Benarkah kau yang telah melakukannya?" "Benar," jawab 
Yoga. "Kalau kau ingin balas, balaslah padaku!" 
"Mengapa aku harus membalasnya? Kematian mereka adalah 
kecerobohan diri mereka sendiri, itu tandanya mereka harus 
belajar lebih tekun lagi tentang ilmu-ilmu aliranku. Hmmm...! 
Siapa namamu?" 
"Yoga!" 
"Apa jabatanmu di sini?" 
"Tawanan!" 
"Oh, kasihan sekali kau rupanya?!" Ratu Cendana Wangi 
tertawa sambil berlagak manja, la ingin mengusap pipi Yoga, 
namun oleh Yoga dihindari dengan menarik wajah ke belakang. 
'Tawanan tampan, sungguh membuatku lebih bahagia jika 
tinggal di sini! Kau akan menjadi tawananku dan akan 
kujadikan pengawal pribadiku yang sangat pribadi, jika aku 
sudah berdiri sebagai ratu di sini, dan Ktiab Jagat Sakti sudah 
kudapatkan!" 
'Tidak ada Kitab Jagat Sakti!" kata Yoga dengan beraninya. 
Ratu Cendana Wangi jadi cemberut. 
'Tahu apa kau tentang Pulau Kana ini?"

"Yang kutahu, bebaskan rakyat negeri Linggapraja ini! 
Tinggalkan Pulau Kana, dan berdamailah dengan 
penduduknya!" 
Ratu Cendana Wangi tertawa panjang. Kemudian ia berkata, 
"Kau seperti Pendeta Agung itu, Yoga. Seharusnya kau tak 
bicara begitu di depanku. Ketahuilah, aku akan tinggalkan 
semua permintaanku setelah aku mati! Dan aku akan bebaskan 
penduduk Pulau Kana, jika mereka mau turuti permintaanku." 
"Kumohon padamu, Ratu Cendana Wangi... tinggalkan pulau 
ini dan batalkan semua keinginanmu itu demi perdamaian!" 
"Tidak ada perdamaian!" bentak Ratu Cendana Wangi mulai 
murka. 
"Bagaimana jika diganti dengan sesuatu yang lain?" 
"Aku mulai paham maksudmu, Yoga! Kau ingin menantangku 
buka pertarungan satu lawan satu, begitu?" 
"Aku tidak menantangmu. Tapi kalau itu yang kau harapkan, 
aku bersedia melayanimu!" 
"Hem...!" Ratu Cendana Wangi mencibir. "Tantang-anmu 
sangat halus dan sopan. Apakah kau sanggup mengalahkan 
kami bertiga?" 
'Tidak kujanjikan kesanggupanku, tapi kujanjikan 
kemampuanku!" kata Yoga sengaja semakin pedas dan 
memancing amarah. 
"Baik. Ingin kulihat nyalimu! Kita buktikan omong besarmu 
itu di alun-alun!" 
"Sebaiknya berangkat sekarang juga, Ratu Cendana Wangi!" 
"Kalau kau kalah, kubantai semua penduduk Pulau Kana ini!"

Yoga menyahut, "Dan kalau aku menang semua orangmu 
harus angkat kaki dari pulau ini!" 
"Baik!" Ratu Cendana Wangi segera berseru kepada Putra 
Iblis dan Sawung Gala, "Kita main-main di alun-alun sana! 
Tunjukkan kepada seluruh penduduk pulau ini tentang 
kehebatan kita!" 
Mereka pun bergegas menuju ke alun-alun. Gandaloka 
sempat cemas dan memandangi Yoga. Tapi Yoga berkata, 
"Pancinganku kena sasaran!" 
"Hati-hatilah. Nasib penduduk pulau ini kini ada di 
tanganmu." 
Yoga hanya sunggingkan senyum dan berkata, "Sebentar 
lagi akan kembali ke tanganmu!" 
* * * 


WISNU Patra hampir patah semangat. Perjalanan yang 
sudah ditempuh memakan waktu cukup lama, tapi mereka 
tetap tidak temukan jalan keluar, la sempat berkata kepada 
Pendekar Rajawali Putih, 
"Bagaimana kalau ternyata Sumur Perut Setan ini memang 
tidak mempunyai jalan keluar?" 
"Pasti ada. Kita harus mencarinya terus sampai kapan saja!" 
kata Lili dengan penuh semangat. 
"Sampai tuakah kita harus mencari dan tinggal di sini?" 
"Jika memang perlu begitu, apa boleh buat?" Lili angkat 
bahu. Kala itu mereka beristirahat, duduk di samping gundukan

tanah cadas yang sudah dibuktikan benar-benar tanah cadas. 
Bukan makhluk seperti Betara Kala lagi. 
Wisnu Patra berkata lagi, "Kalau kita tak bisa keluar dari 
tempat ini, berarti kita kehilangan masa depan." 
"Masa depan kita ya di tempat ini!" 
'Tanpa makanan dan minuman?" 
"Kita tak pernah lapar dan haus setelah melewati tanaman 
biru tadi, bukan?" 
"Memang. Tapi apakah kita juga tidak ingin ber-anak-cucu? 
Sedangkan kau punya hati untuk orang iain, bukan untukku." 
"Kalau kita ditakdirkan harus berjodohan di sini dengan cara 
tidak bisa keluar dari tempat ini, apa boleh buat?" 
"Kau mau beranak-cucu di sini dengan berpasangan 
denganku?" 
"Kalau itu kupandang perlu, tentu saja kuiakukan. Tapi 
sekarang, hal itu belum kupandang perlu!" kata Lili dengan 
enaknya. 
Wisnu Patra merenung membayangkan seandainya ia dan Lili 
akhirnya menjadi suami-istri di tempat itu. Sekalipun dalam 
keadaan gersang dan tak pernah melihat matahari, tapi hati 
Wisnu Patra tetap akan senang serta bahagia menjadi suami 
gadis cantik menggemaskan hati itu. 
Sebenarnya masih banyak renungan indah yang sempat 
hinggap di benak Wisnu Patra. Tetapi agaknya ia harus 
putuskan renungan tersebut, karena matanya menangkap 
seberkas sinar pijar putih seiperti perak berkilauan. Wisnu Patra 
memperhatikan dengan mata sedikit menyipit, karena sinar itu 
jauh dari tempat istirahatnya. Lalu ia berkata kepada Lili 
"Lihat, sinar apa itu yang putih seperti perak?!"

"Mana...?!" 
"Di sebelah depan kita itu, dekat relung batu jajaran batu 
ini!" 
Setelah menangkap cahaya perak kecil itu, Pendekar 
Rajawali Putih penasaran dan segera menghampirinya. Wisnu 
Patra pun bergegas mengikuti Lili di belakangnya. Gadis cantik 
itu melangkah tanpa ada rasa takut sedikit pun. Wisnu Patra 
sungguh momuji dan mengagumi keberanian Pendekar 
Rajawali Putih. 
"Wisnu..., cahaya itu semakin besar dan bersinar terang!" 
kata Lili, kemudian ia berlari mendekati cahaya terang yang 
menyilaukan itu. Ternyata sebuah benda yang dikenal 
bentuknya oleh Lili. 
"Sebuah kitab, Wisnu!" ucap Lili tegang. 
Memang sebuah kitab yang terletak di antara tulang-tulang 
berserakan. Cahaya kitab itu menjadi redup ketika didekati Lili 
dan diperiksa dengan kekuatan batinnya, bahwa kitab itu 
ternyata tidak beracun. Hanya saja, bentuknya besar, tidak 
seperti kitab biasa. Selain besar juga tebal, dilapisi sampul kain 
putih lapuk. Juga, dilapisi debu-debu tebal yang mengesankan 
bahwa kitab itu berusia sudah ratusan tahun. Bentuknya yang 
besar menandakan kitab itu milik seseorang bertubuh besar. 
Siapa lagi jika bukan Betara Kala. 
Sayangnya, kitab itu menggunakan tulisan huruf Sangkala, 
yaitu huruf kuno yang sudah banyak dilupakan orang. Wisnu 
Patra tidak bisa membaca tulisan dalam kitab tersebut. Bahkan 
gurunya sendiri tidak akan bisa membacanya. Tetapi Uli, bisa 
membaca tulisan huruf Sangkala, karena ia belajar dari 
gurunya, yaitu Dewi Langit Perak. Dewi Langit Perak belajar 
huruf Sangkala dari suaminya, yaitu Dewa Geledek, guru dari

Yoga, si Pendekar Rajawali Merah. Tentu saja Yoga juga bisa 
membaca tulisan huruf Sangkala. 
Wisnu Patra tambah lagi kekagumannya kepada Lili, yang 
bisa membaca tulisan berusia ratusan bahkan ribuan tahun itu. 
Akhirnya, Wisnu Patra hanya bisa berharap dari Lili untuk 
mengetahui isi kitab tersebut. 
"Kitab ini berisi jurus-jurus dahsyat milik Betara Kala," kata 
Lili saat menterjemahkan lembar pertama. "Di sini juga tertulis 
riwayat singkat Betara Kala dan pernah berubah menjadi 
ksatria tampan satu kali selama hidupnya, lalu... lalu 
mempunyai istri seorang gadis yang dibuang di Pulau Kana 
yang bernama... bernama Dewi Ambar Ayu. Dan mereka 
beranak-cucu. Pada saat mereka mempunyai cucu ke sepuluh, 
pangeran tampan itu kembali berubah wujud menjadi raksasa 
dan istrinya mati dimakannya, lalu ia bersembunyi di dalam 
Sumur Perut Setan. "Lili berhenti membaca, memandang Wisnu 
Patra dan berkata, 
"Berarti dia pernah ke Pulau Kana ribuan tahun yang lalu?!" 
"Kalau begitu, pasti ada jalan keluai, yaitu jalan yang 
dipakainya masuk kemari itu!" 
"Benar. Coba kubaca lagi...." Lili kembali membaca nya. 
Lembaran yang terbuat dari kulit binatang itu dibuka lagi. 
"Wah, dahsyat sekali ilmu ilmu yang ada di sini." 
"Ilmu apa saja?" 
"Hmm... antara lain, ilmu sihir yang dinamakan 'Kutuk Iblis', 
ilmu menghisap kesaktian orang yang dinamakan ilmu 'Simajati' 
dan banyak lagi ilmu dahsyat di kitab ini. Aku ingin pelajari 
semuanya!"

"Eh, hmmm... jalan keluarnya tadi bagaimana? Apakah 
disebutkan di kitab itu?" 
Lili membaca sebentar, kemudian tampak ceria dan girang, 
"Ya, benar. Di sini ada petunjuk jalan keluar dari Sumur Perut 
Setan!" 
"Hebat sekali kalau begitu kitab ini. Kitab apa namanya?" 
"Di depan sendiri ini tertulis kata Jagat Sakti. Mungkin itulah 
nama kitab ini." 
"Atau mungkin Jagat Sakti nama asli Betara Kala?" Kedua 
pendapat itu memang benar. Tapi yang menjadi masalah 
sekarang adalah, mereka harus bisa menemukan jalan keluar 
sesuai dengan petunjuk di dalam Kitab Jagat Sakti Itu. Karena 
Wisnu Patra tak bisa membaca tulisan Sangkala, maka Lili yang 
memandu langkah mereka temukan jalan keluar. Ternyata jalan 
keluar itu tidak hanya bisa ditemukan dengan berjalan kaki 
saja, melainkan harus gunakan kekuatan tenaga dalam untuk 
membuka pintunya. Kekuatan tenaga dalam itu harus mengikuti 
petunjuk dalam kitab tersebut. Termasuk bagaimana cara 
memadamkan sinar merah bara pada dinding lorong itu. 
Sebenarnya, Ratu Cendana Wangi memang punya hak untuk 
memiliki Kitab Jagat Sakti, jika memang benar dia keturunan 
dari Dewi Ambar Ayu. Tapi apakah benar dia keturunan Dewi 
Ambar Ayu? la tidak bisa buktikan hal itu. Bisa saja ia tahu 
silsilah Dewi Ambar Ayu dari dongeng tentang Sumur Perut 
Setan itu. Karena setiap orang yang pernah mendengar 
dongeng Sumur Perut Setan, seperti halnya Wisnu Patra, juga 
pernah mendengar nama Dewi Ambar Ayu sebagai putri raja 
yang dibuang ke sebuah pulau karena menolak perjodohannya. 
Bisa saja Wisnu Patra mengaku keturunan orang Pulau Kana 
dan menuntut hak atas Kitab Jagat Sakti itu. Tapi karena Wisnu

Patra bukan tokoh sesat, maka ia tak mau mengaku-aku 
demikian. 
Yang jelas, karena ingin memiliki ilmu sihir tertinggi yang ada 
di dalam Kitab Jagat Sakti itulah, Ratu Cenda-
na Wangi datang ke Pulau Kana. Akibatnya ia terpaksa 
berhadapan dengan Pendekar Rajawali Merah. 
Alun-alun penuh dengan manusia, baik dari pihak rakyat 
Pulau Kana, maupun dari pihak Ratu Cendana Wangi. Mereka 
sama-sama menyaksikan sebuah pertarungan besar dan 
mengagumkan, yaitu Pendekar Rajawali Merah yang satu 
tangannya telah terpotong itu, ternyata mampu kalahkan 
Sawung Gala dengan tebasan pedangnya dari jarak tujuh 
langkah. Sedangkan Putra Iblis masih bertahan melawan Yoga 
dengan gunakan berbagai macam jenis ilmu sihirnya. 
Namun Putra Iblis akhirnya mati oleh kekuatan sihirnya dari 
kedua mata. Seberkas sinar biru kekuning-kuningan melesat 
dari kedua mata si Putra Iblis. Arahnya menghantam Yoga, dan 
akan membuat Yoga menjadi lumer dan hilang terbawa angin. 
Tetapi, pusaka Pedang Lidah Guntur itu menangkis serangan 
sinar biru, lalu memantul balik dan membuat Putra Iblis sendiri 
tubuhnya menjadi lumer seperti lilin terbakar, lalu menguap 
karena tertiup angin dan lenyap tak berbekas lagi. 
Melihat kejadian seperti itu. Ratu Cendana Wangi naik pitam, 
la segera serang Yoga dengan pukulan yang cukup aneh tapi 
berbahaya. Dari telapak tangannya keluar ratusan ekor ular 
kecil yang terbang menyerang Yoga. Tetapi, ratusan ekor ular 
itu tak sampai menyentuh tubuh Yoga sudah pecah dan hancur 
berantakan karena kilatan cahaya merah dari ujung pedang 
Pendekar Rajawali Merah. Craab...! Wrrss...! 
"Biadab! Kau pikir kau mampu kalahkan semua ilmu sihirku, 
hah?! Heaah...!" sinar putih melesat dari ujung jari Ratu

Cendana Wangi. Arahnya ke batu besar yang ada di tepi alun-
alun. Batu itu segera melayang meng hantam kepala Yoga 
dengan cepatnya. Tapi Pendekar Rajawali Merah segera 
berguling di tanah satu kali, kemudian sentakkan kakinya, 
melambung naik dan menebas batu tersebut dengan 
pedangnya. Wuuut...! Craakk...! Praazz...! Batu itu pun pecah, 
dan semua pecahannya bisa terbang melesat ke arah Ratu 
Cendana Wangi. Bruuss...! 
"Aaauh...!" Ratu Cendana Wangi berteriak bagai orang 
kepanasan. Serpihan batu itu membuat wajahnya menjadi 
rusak dan jelek bagaikan habis tersiram cairan besi panas, la 
kesakitan dan berusaha mengatasi rasa sakitnya dengan berdiri 
kerahkan tenaga hawa murninya ke dalam tubuh. 
Tapi pada saat itu, Yoga gunakan jurus 'Petir Selaksa', yaitu 
bergerak dengan sangat cepat sambil sabetkan pedangnya ke 
arah lawan. Wuuut...! Craas...l 
"Hooo...?!" orang-orang yang menyaksikan pertarungan di 
tengah alun-alun dari jarak jauh itu sama-sama terbengong 
melihat jurus yang digunakan Yoga. Jurus itu membuat tubuh 
Ratu Cendana Wangi tetap berdiri tegak, namun kejap berikut 
tubuhnya terpotong menjadi dua pada bagian perutnya tanpa 
keluarkan darah setetes pun. 
Bruuk...! Dan setiap mata orang tak sempat berkedip dalam 
tiga helaan napas. Setelah itu, para anak buah Ratu Cendana 
Wangi segera melarikan diri dan tak berani ada yang mencoba 
hadapi Pendekar Rajawali Merah. Mereka berhamburan menuju 
kapal mereka, dan cepat pergi tinggalkan Pulau Kana. Mereka 
tak mau menerima nasib seperti ratu mereka yang malang itu. 
Rakyat negeri Linggapraja bersorak mengelu-elukan Yoga. 
Kemenangan Yoga berarti keselamatan bagi penduduk Pulau 
Kana. Gandaloka pun sempat tertawa kegirangan di samping

Pendeta Agung Ganesha dan para tetua. Hanya saja, sebelum 
mereka mendekat untuk menyambut Yoga, tiba-tiba tawa 
mereka terhenti, wajah mereka menjadi tegang dan bergerak 
mundur semua. Yoga sendiri sempat terbengong dengan masih 
berdiri di tengah alun-alun. Yoga merasakan gerakan tanah 
bagai dilanda gempa. Tiang bendera bergerak miring sendiri 
perlahan-lahan. Lalu, tanah persembahan itu bergerak 
membuka, merekah belah pada batas tertentu. Mereka menjadi 
sujud semua, kecuali Yoga. Para tetua hanya bungkukkan 
badan dengan perasaan takut, termasuk Pendeta Agung dan 
Gandaloka. 
Tiba-tiba dua sosok manusia melesat keluar dari belahan 
tanah itu. Mereka adalah Pendekar Rajawali Putih dan Wisnu 
Patra. Tentu saja orang-orang Pulau Kana menjadi lebih 
terkejut, lebih takut, tapi juga lebih penasaran. Sedangkan 
Yoga justru sarungkan pedangnya dan berteriak keras, 
"Guru..." 
"Yoga...?!" tanpa sadar mereka berlari dan saling peluk. 
Wisnu Patra diam cemberut. Gandaloka tak bisa berkedip 
karena ia kenal dengan kedua orang yang baru muncul dari 
dalam tanah persembahan. 
Ternyata Lili telah berhasil temukan jalan keluar dari Sumur 
Perut Setan melalui petunjuk dalam Kitab Jagat Sakti itu. Jalan 
keluar itu adalah tanah persembahan yang biasa dipakai untuk 
melemparkan mayat korban yang dianggap membawa kutukan, 
membawa kesialan, dan membawa bencana. Tanah 
persembahan itulah pintu keluar-masuknya Sumur Perut Setan. 
Tak ada penduduk Pulau Kana yang mengetahui hal itu, karena 
mereka menganggap Sumur Perut Setan hanyalah dongeng 
anak-anak bersama tokoh pemakan manusianya, yaitu Betara 
Kala yang punya nama asli Jagat Sakti. Korban persembahan 
yang mereka masukkan ke dalam belahan tanah itu,

sesungguhnya sesaji makanan untuk sang Betara Kala, tapi 
mereka pun tak mengerti makna persembahan tersebut. 
Mereka hanya mengikuti tradisi dan adat. 
Demikian juga adat dan tradisi mengatakan, orang yang 
muncul dari tanah persembahan berhak menjadi raja atau ratu 
bagi rakyat negeri Linggapraja. Maka, mereka pun sepakat 
mengangkat Wisnu Patra dan Lili untuk menjadi raja. Tetapi 
tidak mungkin mereka mengangkat keduanya menjadi 
pemimpin negeri. Mereka harus memilih salah satu, atau 
keduanya menikah dan menjadi raja dan ratu. 
"Kau saja yang menjadi raja mereka!" kata Lili kepada Wisnu 
Patra. 
"Mereka menghendaki kita berdua!" 
'Tidak bisa. Itu berarti kita harus menikah." 
"Apa salahnya?" 
"Besar sekali salahnya. Karena aku tak akan mau 
meninggalkan muridku; Pendekar Rajawali Merah!" jawab Lili 
dengan tegas. 
"Dia masih bisa menjadi muridmu!" 
"Ya. Tapi jika kita menikah, dia tidak bisa jadi suamiku. 
Padahal dia adalah muridku, namun juga buah hatiku!" 
Percakapan itu dipandangi Yoga dari kejauhan. Wajah Yoga 
bersungut-sungut. Lili segera berlari mendekatinya dan meraih 
tangan pendekar tampan itu, lalu berkata dengan senyum 
berlesung pipit, 
"Kita pulang sekarang juga, aku mau pelajari kitab ini!" 
"Kau tak ingin menjadi ratu bagi mereka?" 
Lili menggeleng. "Aku hanya ingin menjadi ratu bagi dirimu!"

Kedua pendekar rajawali itu sama-sama tersenyum. Dunia 
menjadi indah rasanya. Wisnu Patra hanya tarik napas dan 
merelakan semuanya terjadi, termasuk rela dirinya diangkat 
menjadi raja bagi rakyat Pulau Kana. la harus segera mencari 
calon istri yang harus sudah dinikahi 


                          SELESAI 
Share:

0 comments:

Posting Komentar