SUMUR PERUT SETAN
Serial Silat
JODOH RAJAWALI
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali daiam episode : Sumur Perut
Setan 128 hal.
1
GADIS cantik berhidung mancung itu masih dibaringkan di
atas balai oleh pamannya; Leak Parang. Gadis itu sedang dalam
pengobatan akibat luka berat bagian dalamnya. Kalau saja ia
tak segera datang ke pondok Leak Parang, mungkin jiwanya
tidak akan tertolong lagi. Leak Parang pun dalam
pengobatannya dibantu oleh Nyai Kubang Darah, sehingga kini
gadis berbaju merah yang tak lain dari Kencana Ratih itu
tinggal menunggu pulihnya kekuatan tubuh yang hilang akibat
luka parah itu.
Pemuda tampan berpakaian baju selempang dari kulit
beruang coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di
dalamnya itu masih berdiri di samping balai dengan wajah
penuh sesal. Pemuda- itu tak lain adalah Yoga, si Pendekar
Rajawali Merah yang telah selamat dari pengaruh Jarum Jinak
Jiwa. Wajah sesalnya itu sepertinya sulit hilang, karena ia
mendapat cerita dari Mahligai, keponakan Sendang Suci yang
telah berhasil mengobatinya itu, bahwa Jarum Jinak Jiwa itu
telah membuatnya menjadi ganas. Lupa akan dirinya, lupa akan
sahabatnya, dan salah satu korban yang nyaris mati di
tangannya adalah Kencana Ratih itu, (Baca episode: "Mempelai
Liang Kubur").
"Tak kusangka aku menjadi orang yang paling jahat di muka
bumi ini!" kata Yoga dalam nada pelan, sepertinya bicara pada
diri sendiri. Kala itu, bukan hanya Kencana Ratih yang
mendengar ucapannya, melainkan Leak Parang dan Nyai
Kubang Darah pun mendengarnya. Leak Parang pun berkata,
"Jangan hanyut dalam penyesalan, Yoga. Carilah makna dari
peristiwa yang menimpamu itu! Manusia hidup diwajibkan
belajar dari pengalaman yang ada dalam peristiwa demi
peristiwa. Kalau hanya terbelenggu oleh penyesalan saja, maka
hidup manusia itu tidak akan punya makna bagi dirinya
sendiri."
Kencana Ratih yang lemah dipandangi dengan sorot mata
lembut, penuh rasa iba yang amat dalam. Yoga sepertinya
hampir saja membenci dirinya sendiri jika mengingat, betapa
teganya dan betapa kejamnya ia memperlakukan sahabat
sebaik Kencana Ratih hanya untuk memburu nafsu pribadinya.
"Kapan saja kau ingin balas dendam pada diriku, aku siap
menerimanya. Kencana Ratih! Lakukanlah sesukamu, dan aku
tidak akan melawan ataupun membalasnya."
Dengan suara lemah Kencana Ratih berkata, "Lupakanlah
semuanya," ia sunggingkan senyum, lesung pipitnya terlihat
jelas. Hati Yoga makin tersayat pilu. Pada saat ia melihat lesung
pipit itu, ia terbayang wajah seorang kekasih yang menjadi
gurunya; Pendekar Rajawali Putih. Timbul pertanyaan di batin
Yoga pada saat itu,
"Di mana Lili sekarang?"
Kencana Ratih melanjutkan ucapannya, "Aku tak akan
menuntut balas apa-apa padamu, karena aku tahu kau dalam
keadaan tak sadar pada waktu itu. Jangankan untuk mengingat
diriku, untuk mengingat siapa dirimu saja kau tak mampu, Yo!
Jadi, wajarlah jika kau menyerangku dengan jurus mautmu itu.
Kuanggap, bukan kau yang menyerangku, melainkan pengaruh
jahat dari jarum itu yang hendak membunuhku waktu itu.
Sekarang, semua itu sudah tidak ada. Semua itu sudah berlalu,
tak perlu kau merasa bersalah."
Tangan Kencana Ratih meraih tangan Yoga yang ada di
sampingnya, la menggenggam tangan itu seraya sunggingkan
senyum lagi dan berkata,
"Aku akan sembuh. Aku akan sehat seperti sediakala!"
"Kau memaafkan aku?"
"Sangat memaafkan!" jawab Kencana Ratih berusaha untuk
tegas walau dengan suara lemah karena keadaan tubuhnya
memang lemah.
"Kau tahu ke mana perginya Lili?"
"Waktu itu, aku bertarung dengan Mahligai, ia jalan
menyusulmu ke Candi Langu bersama si tampan Wisnu Patra!"
"Wisnu Patra...?!"
"Benar. Kau ingat Wisnu Patra, yang dulu juga pernah mau
merebut bunga Teratai Hitam itu?"
"Ya, ya...! Aku ingat jelas wajahnya. Tapi mengapa Lili pergi
bersama dia? Ada hubungan apa sebenarnya antara Lili dengan
Wisnu Patra?!" Pendekar Rajawali Merah menerawang
memikirkan gadis cantik yang melebihi kecantikan bidadari itu.
Ada rasa cemburu yang muncul dengan diawali rasa curiga.
Kencana Ratih menangkap adanya nada cemburu itu, sehingga
ia tersenyum bersama ucapan lemahnya,
"Kau curiga aneh kepadanya? Apakah benar kau menyimpan
hati untuk Pendekar Rajawali Putih itu?"
Tapi Pendekar Rajawali Merah alihkan kata, "Apakah
menurutmu Lili dan Wisnu Patra pernah sampai ke Candi
Langu?"
Kencana Ratih paham dengan pengalihan kata itu, ia kembali
makin lebarkan senyumnya dan menjawab,
"Rasa-rasanya mereka tak pernah sampai ke Candi Langu.
Karena ketika aku menyusul ke sana, yang kutemukan hanya
kau bersama orang-orang Candi Langu itu. Kemudian kau
menyerangku dan aku lari, tanpa pernah jumpa lagi dengan
Pendekar Rajawali Putih itu. Barangkali saja mereka berbelok
arah untuk satu maksud dan tujuan yang tak kumengerti.
Tentunya hanya mereka pribadi yang memahami mengapa
harus berbelok arah dan tak jadi membebaskan kamu dari
pengaruh jarumnya Galuh Ajeng itu!"
"Berbelok arah...?!" Yoga menggumam dan semakin panas
hatinya. 'Aku harus mencari mereka dan bikin perhitungan
dengan Wisnu Patra!"
Kencana Ratih tak bisa mencegah keinginan Pendekar
Rajawali Merah. Bahkan saran Leak Parang agar Yoga
beristirahat beberapa hari di pondoknya juga ditolak secara
halus. Hati yang menyimpan geram kecemburuan atas perginya
Lili dengan Wisnu Patra itu membuat Yoga terpaksa bersuit
beberapa kali, kemudian seekor burung rajawali besar berbulu
merah datang menghampirinya. Dengan menunggang burung
rajawali merah itulah Yoga meninggalkan pondok kcnlLniMii I o
ak Parang, melesat terbang mencari di mana si I'oikIii kar
Rajawali Putih berada.
"Jangan terlalu tinggi, Merah! Aku tak bisa iiioMImi gerakan
manusia jika kau terbang terlalu tinggi. Meren dahlah sedikit!"
"Kraaak...!" burung itu seakan mengerti bahasa ma nusia
dan menjawab dengan satu seruan sambil kepalanya
mengangguk-angguk. Kemudian burung besar itu pun
merendah dan terbang dalam jarak tak seberapa jauh dari
pucuk-pucuk pohon. Gerakannya pun pelan, sayapnya
mengepak-ngepak dengan santai, namun berkesan perkasa dan
gagah.
Setiap orang yang dilewati burung besar itu selalu
mendongak ke atas dan memandang dengan kagum. Mereka
tahu, penunggang burung besar itu tak lain adalah Pendekar
Rajawali Merah yang mulai banyak dikenal orang cerita tentang
kesaktian dan ketinggian ilmunya. Setiap orang yang
mendongak pada umumnya melambaikan tangan dengan rasa
ingin bersahabat dengan pendekar tampan bertangan satu itu.
Tetapi dari beberapa orang yang dilewati oleh burung besar itu,
Yoga tak melihat seraut wajah milik Lili. Bahkan bentuk rambut
dan pakaian gadis itu pun tak terlihat ada di antara mereka.
Melalui udara itu, Yoga sempat melihat reruntuhan candi
yang tak lain adalah Candi Langu, tempat dirinya nyaris
menjadi pengantin dengan Galuh Ajeng, la juga melihat dua
tanah yang menggunduk. Itulah dua kuburan Galuh Ajeng dan
Nini Sambang. Tapi ia tidak melihat mayat lain di sana.
Cemplon Sari yang kabarnya terkena senjata rahasia Mahligai,
tidak ada di antara reruntuhan candi. Selamatkah ia?
"Merah! Kita menuju ke arah pantai. Di candi itu tidak kulihat
mereka! Mungkin mereka menuju ke pantai untuk berkasih-
kasihan!"
"Kreeeak...! Kreeeak...!" burung itu mengerti maksud
majikan mudanya, lalu segera meluncur ke arah pantai dengan
gerakan tetap berkesan santai.
Tetapi tiba-tiba Yoga merasakan ada hembusan angin dari
bawah yang menghentak ke atas. Wuuuk...! Burung itu agak
oleng dengan menyerukan suara sebagai tanda bahaya.
"Ada yang hendak mencelakai kita, Merah!"
"Kraaak...!" burung rajawali merah itu memancarkan
matanya dengan kelopak naik pertanda ia sendiri menjadi
marah.
Seseorang telah melepas pukulan tenaga dalam jarak jauh
ke atas. Tetapi pukulan itu tak seberapa besar, sehingga tidak
membuat burung rajawali itu terpental dalam penerbangannya.
Dua kali hal itu dirasakan oleh Yoga, namun matanya belum
menangkap siapa orangnya dan di mana ia berada.
"Ke arah timur, Merah! Kita periksa keadaan di balik bukit
kecil itu!" seru Yoga dan burung itu berseru kembali, lalu
membelokkan arah penerbangannya ke timur.
Melintas bukit kecil itu, tiba-tiba dua benda berkelebat
menyerang Yoga dari bawah. Wuuut, wuuut...! Yoga hanya
berteriak,
"Awasss...!"
Burung rajawali itu memiringkan tubuh. Yoga hampir saja
jatuh. Ternyata burung itu menghindari dua anak panah yang
dilepaskan ke arahnya. Bahkan sekarang bukan dua anak
panah lagi, melainkan lebih dari sepuluh anak panah
menghujani Yoga dan rajawali merahnya.
Clap, clap, dap, clap...!
Yoga sibuk menangkis anak panah dengan tebasan
tangannya. Sayap burung rajawali itu pun mengepak-ngepak
menimbulkan hembusan angin keras, sehingga arah anak
panah berbelok ke tempat lain. Tetapi ada satu anak panah
yang berhasil melesat dan mengenai dada kiri Yoga. Craab...!
"Auh...! Merah, aku kena...!" Yoga menyeringai sambil
berusaha mencabut anak panah yang menancap di dada
kirinya, dekat pundak.
"Kraak...! Kraaak...!"
Burung rajawali besar itu mengamuk melihat tuan mudanya
terkena anak panah. Terbangnya menjadi lebih cepat, menukik
ke bawah dan menghampiri sepuluh orang lebih yang berbaris
di kaki bukit kecil itu. Sayapnya dikepakkan dengan keras, dan
angin menghembus bagaikan badai. Orang-orang itu
terhempas, terlempar ke sana-kemari.
Sekalipun demikian, masih juga ada yang sempat
melepaskan anak panahnya ke arah burung tersebut. Prak...!
Praak...! Sayap rajawali merah itu menghantam patah setiap
anak panah yang mengarah kepadanya. Gerakannya semakin
meliuk mondar-mandir dalam keadaan rendah. Lalu, salah satu
orang yang ada di lereng bukit kecil itu dihampirinya dan
disambarnya dari belakang. Wuuut...! Cakar rajawali
mencengkeram kepala orang itu, kemudian ketika orang itu
berteriak-teriak dibawa terbang tinggi, cakar itu
melepaskannya. Wuuus...!
"Aaa...!" Orang itu menjerit ketika dijatuhkan dari ketinggian.
Dan ia pun jatuh di antara bebatuan dengan kepala lebih dulu
sampai ke bumi. Tentu saja nyawa orang itu pun lekas pergi
tinggalkan raganya karena tak mau punya kepala yang remuk
begitu.
Panah yang menancap di dada kiri Yoga sudah berhasil
dilepaskan. Tapi agaknya panah itu mengandung racun yang
melemaskan seluruh urat dan persendian. Tubuh Yoga menjadi
limbung tak mampu mengendalikan keseimbangan. Ketika ia
dibawa menukik oleh rajawali merah, tubuhnya menyerosot
dan jatuh di atas semak-semak yang agak jauh dari bukit kecil
itu. Bruuus...!
"Uuh...!" Yoga seperti orang mabuk. Matanya terbe-liak-
beliak. la terkapar di semak-semak itu. Rajawali merah segera
menukik turun. Tetapi suara orang beramai-ramai
menghampirinya masih sempat terdengar oleh telinga Yoga,
sehingga Yoga berkata kepada burung rajawali itu,
"Merah... larilah! Lekas lari...!" "Kraaak...!" burung itu tak
mau lari dan justru berba-lik menghadap ke arah datangnya
suara orang itu. Agaknya burung tersebut bermaksud
menghadapi orang-orang yang ingin mencelakakan majikan
mudanya itu. Sayap burung tersebut telah dibentangkan lebar-
lebar. "Kraaak...!"
Ketika orang-orang itu mendekat, sayap itu dikibaskarfke
depan dengan kerasnya. Wuuukkk...! Dan orang-orang itu
terpental tunggang-langgang disapu angin badai yang cukup
besar dari kibasan sayap burung tersebut. Bahkan dua batang
pohon menjadi tumbang pula akibat kibasan sayap yang
menghadirkan angin badai itu. Dua dari beberapa orang itu
mati tertimpa pohon yang tumbang. Lainnya luka-luka dan
berjumpalitan tak beraturan. Ada yang terbentur batu
kepalanya, ada yang patah tangannya, ada yang terkilir kakinya
dan ada pula yang tertindih temannya.
Ternyata dari arah yang berlawanan datang pula suara orang
bergemuruh dengan teriakan-teriakan liarnya. Orang-orang itu
pun bermaksud menyerang Yoga dan burung rajawalinya.
Melihat keadaan seperti itu, Yoga masih sempat berpikir bahwa
jumlah yang dihadapi bukan hanya sepuluh orang, namun lebih
dari dua puluh orang. Ini cukup berbahaya jika harus dihadapi
dalam keadaan luka lemas begitu. Maka ia putuskan untuk
selamatkan diri. Itu pun tak mungkin dilakukan jika ia dalam
keadaan tak mampu bergerak lagi.
"Merah! Lekas pergi kau! Terbang tinggi dan tinggalkan aku
untuk sementara! Aku bisa hadapi mereka. Pergi kau, Merah!
Cepat lari!"
Karena sang majikan bagai memberi perintah dengan
sentakan, maka burung besar itu patuh dan lekas terbang
dengan meneriakkan suara yang menggema ke mana-mana.
Kibasan sayapnya kembali datangkan angin badai, sehingga
mereka yang baru datang pun terjungkal tunggang-langgang.
Mereka tak sempat membidikkan panah ke arah burung
tersebut, dan burung itu akhirnya pergi meninggalkan majikan
mudanya. Orang-orang pun segera berlarian mendekati Yoga.
Keadaan Yoga semakin lemas. Pandangan matanya mulai
buram. Tapi ia masih sadar, jumlah orang yang mendekatinya
cukup banyak dan mereka adalah orang-orang bertubuh tinggi-
besar. Cepat-cepat batin Yoga mengatakan, "Orang-orang
Pulau Kana rupanya...?!"
Samar-samar pula ia melihat Gandaloka berdiri memberi
perintah kepada pasukannya. Rupanya Gandaloka telah mampu
sembuhkan diri dari luka pertarungan dengan Lili, dan kini ia
diperintahkan kembali untuk memburu Yoga dengan membawa
sejumlah pasukan pemanah.
"Tangkap dan ikat dia!" perintah Gandaloka. Anak buahnya
yang punya perawakan sama dengannya itu segera bergegas
mengikat tubuh Yoga dengan tambang. Salah seorang ada
yang berusaha nakal, mencabut pedang pusaka dari punggung
Yoga.
Blaaar...! Petir menyambar di angkasa ketika pedang itu
dicabut dari sarungnya. Pedang yang memancarkan cahaya
merah dengan bunga api merah berlompatan mengelilingi mata
pedang itu menjadi bahan pandangan beberapa orang.
Pemegang pedang itu tersenyum bangga merasa bisa memiliki
pedang tersebut.
Namun di luar dugaan, tiba-tiba orang yang memegang
pedang itu menghujamkan pedang ke perutnya sendiri.
Jraaab...! Tentu saja pedang itu tembus ke belakang, dan
orang itu pun menjadi limbung dengan mata terbeliak. Luka itu
tidak keluarkan darah setetes pun Ta pi membuat beberapa
temannya terbelalak kaget. Salah seorang cepat-cepat
mencabut pedang itu dari tubuh orang pertama.
"Bodoh!" sentak orang itu kepada orang pertama. Dan orang
pertama segera tumbang, terkejang-kejang sebentar, lalu
menghembuskan napas dan mati. Teman-temannya menjadi
tambah tegang dan bergerak mundur.
Orang kedua pun mendadak menggorok lehernya sendiri
dengan pedang pusaka tersebut. Sreet...! Tentu saja leher itu
terkoyak lebar dan hampir putus. Lalu orang kedua pun jatuh
dan tidak bernapas lagi.
Pedang segera dipungut oleh orang ketiga setelah Gandaloka
berseru,
"Kuperintahkan kalian mengikatnya, mengapa ada yang
mencabut pedang itu, hah?!"
Orang ketiga itu sebenarnya bermaksud menyerahkan
pedang itu kepada Gandaloka. Tetapi,*barit berjalan tiga
langkah, pedang itu menukik sendiri dan menghujam perut
orang ketiga sepertinya orang tersebut melakukan bunuh diri di
depan Gandaloka. Tentu saja orang itu pun mati tanpa
keluarkan darah setetes pun.
Kejadian tersebut segera membuat mereka menjadi semakin
tegang dan masing-masing hati punya suara pendapat yang
sama, bahwa pedang itu tidak boleh dipegang oleh siapa pun.
Barang siapa memegang pedang tersebut, maka orang itu akan
bunuh diri karena gerakan pedang yang menuntun tangan si
pemegangnya.
"Jangan sentuh lagi pedang itu!" seru Gandaloka. la berseru
begitu karena seseorang berusaha mencabut pedang tersebut
dari tubuh orang ketiga. Mendengar seman Gandaloka yang
mengejutkan itu, maka orang tersebut segera melepaskan
pedang itu dan dibuang begitu saja dengan perasaan takut.
"Sudah kukatakan. Pendekar Rajawali Merah ini orang
berilmu tinggi. Kalian lihat sendiri, pedangnya bisa membunuh
lawan tanpa digerakkan oleh pemiliknya! Sebab itu kuingatkan
kepada kalian, ikat dan bawa pulang Pendekar Rajawali Merah
ini. Kita serahkan kepada Gusti Ratu Kembang Mayat sebelum
purnama tiba. Jangan ada yang coba-coba mau curi pedang itu
kalau ingin selamat!"
Zlaaap...! Sruuub...!
"Hahh...?!" mereka terkejut dengan mata membelalak.
Pedang itu ternyata bergerak sendiri. Melesat dengan cepat,
masuk ke sarungnya, untuk kemudian diam di sana tanpa ada
gerakan lagi. Pada waktu itu, Yoga sudah tak sadar akan
dirinya, la hanya melihat pedangnya masuk ke sarung pedang,
dan setelah itu ia tak sadarkan diri.
"Angkat! Bawa ke kapal!" perintah Gandaloka. Maka, salah
seorang segera mengangkat tubuh Yoga yang telah terikat dari
batas dada sampai kaki. Pedang itu tetap tersandang di
punggung dan masuk dalam ikatan tambang tersebut.
Sebuah kapal berlayar dua telah menunggu di pantai.
Mereka membawa Yoga ke kapal tersebut. Wajah-wajah
mereka ada yang ceria, ada pula yang murung.
Mereka yang murung karena merasa sedih atas kema-tian
teman-temannya. Mereka yang ceria karena merasa berhasil
menangkap pendekar tampan yang sulit dibujuk untuk dibawa
pulang ke Pulau Kana atau Pulau Keramat.
"Kalau saja dia bukan calon suami Gusti Ratu, pasti kita akan
bunuh dia, karena dia sudah bunuh banyak orang utusan dari
Pulau Kana!" kata salah seorang yang hendak naik ke kapal.
Temannya menyahut, "Sayang sekali Gusti Ratu Kembang
Mayat tidak izinkan kita balas dendam padanya! Kalau
diizinkan, sudah kutantang bertarung saat di bukit kecil tadi!"
"Tapi bagaimana dengan lukanya itu? Gusti Ratu Kembang
Mayat pasti akan murka jika tahu Pendekar Rajawali Merah kita
lukai?!"
"Itu urusan Gandaloka! Pasti Gandaloka akan sembuhkan
luka itu dan menjadi hilang seperti tak pernah terluka. Pasti kita
tidak diizinkan untuk bicarakan soal luka itu kepada Gusti Ratu,
sebab Gusti Ratu bisa murka kepada Gandaloka dan kita juga."
"Kalau Gandaloka gagal sembuhkan Yoga sebelum tiba di
Pulau Kana, bagaimana?! Apakah kita akan sembunyikan dulu
orang itu sampai lukanya hilang dan bersih?"
"Mana mungkin? Gusti Ratu harus cepat melangsungkan
pernikahan, karena waktunya tinggal dua hari lagi. Dua hari lagi
malam purnama akan tiba. Jika Gusti Ratu tidak segera
menikah, maka dia akan kita bunuh, sebab Gusti Ratu Kembang
Mayat telah menunjukkan bahwa ia manusia pembawa sial bagi
rakyat Negeri Linggapraja."
Kapal bertiang layar ganda segera berlayar menuju Pulau
Kana. Kapal itu membawa tawanan calon suami Kembang
Mayat. Jika Kembang Mayat tidak segera menikah sebelum
purnama tiba, maka dia akan dihukum mati karena dianggap
ratu pembawa sial. Sedangkan ratu baru bagi rakyat Negeri
Linggapraja itu tidak mau menikah dengan pria lain kecuali
Pendekar Rajawali Merah.
* * *
2
KAPAL warna hitam melaju dengan cepat karena angin
berhembus cukup kencang. Layarnya berkembang dengan lebar
dan melembung ke arah depan. Di kapal itu, Yoga masih
dibaringkan di atas pembaringan kayu berlapis kain tebal. Yoga
masih dalam keadaan tak sadar. Kamarnya dijaga deh dua
orang prajurit bertubuh tinggi, besar, dan bersenjata pedang
lebar. Kapal itu adalah kapal yang biasa untuk mengangkut
tawanan.
Seharusnya Gandaloka menjemput Yoga tidak menggunakan
kapal tawanan, melainkan menggunakan kapal kehormatan.
Tetapi karena dua kali Gandaloka diutus untuk menjemput
Yoga tapi justru menderita kekalahan dengan terbunuhnya
beberapa anak buahnya itu, maka kali ini Gandaloka sengaja
menjemput dengan kapal tawanan dan disertai oleh pasukan
sejumlah dua puluh tujuh orang. Tujuh di antaranya meninggal
saat terjadi penyerangan di bukit kecil itu.
Gandaloka menengok keadaan Yoga di kamarnya. Ternyata
masih belum sadar akibat pengaruh racun di ujung panah yang
melukainya. Kemudian Gandaloka pergi meninggalkan kamar
itu, dan kamar kembali ditutup rapat dengan penjagaan ketat.
Gandaloka sempat berkata kepada kedua penjaga berkepala
botak itu, "Hati-hati, jangan sampai ia lolos jika ia sadar nanti!"
"Baik, Perwira!"
Tak ada yang tahu bahwa Yoga saat itu sebenarnya sudah
mencapai tingkat kesadaran sempurna. Tetapi jiwanya seperti
tertahan oleh suatu kekuatan yang membuatnya tak bisa
membuka mata dan tak bisa bergerak sedikit pun.
Sebelumnya, di ambang batas antara sadar dan tidak, Yoga
seperti melihat seekor burung rajawali merah terbang melintas
di depannya. Burung rajawali merah itu mendekatinya dari arah
depan, lalu tiba-tiba wajah burung itu berubah menjadi wajah
gurunya, yaitu Dewa Geledek.
"Muridku, bangunlah...!" wajah Dewa Geledek itu sepertinya
bicara jelas kepadanya. Yoga pada waktu itu seakan-akan
dalam keadaan tidak terikat, sehingga ia segera memberikan
sembah dan hormat kepada bayangan wajah sang Guru.
Kemudian terdengar suara sang Guru berkata,
"Sudah menjadi suratan takdirmu, bahwa kau akan menjadi
bahan rebutan pada wanita cantik. Jangan membuatmu kecil
hati dan besar hati, Muridku. Bersikaplah bijak dan wajar-wajar
saja. Tak ada yang lemah dalam dirimu, tak ada yang hebat
dalam dirimu juga."
"Guru, saya ingin bertemu dengan Lili."
"Akan terjadi," jawab bayangan wajah gurunya. "Tetapi kau
harus melalui sederetan peristiwa-peristiwa penting yang akan
membuatmu semakin matang dalam berpikir, dewasa dalam
bersikap. Semua dukamu, semua sukamu, adalah pelajaran
berharga yang tak boleh kau hindari!"
"Agaknya orang-orang Pulau Kana ini akan membawa saya
kepada Kembang Mayat dan saya akan dikawinkan dengan
Kembang Mayat, Guru."
"Memang. Tapi semua keputusan terletak dalam hati
sanubarimu sendiri, Muridku!"
"Saya bosan berurusan dengan kawin paksa, Guru!"
"Bosan atau tidak bosan, kau harus melewatinya sebelum
kau menemukan akhir dari perjalanan cintamu."
"Di mana letak akhir perjalanan cinta saya ini, Guru?"
"Nanti kau akan tahu sendiri. Kehadiranku ini hanya ingin
sampaikan pesan padamu, tabah dan tegakkan selalu
kebenaran. Bantulah yang lemah, lawanlah yang jahat. Kali ini
perjalanan cintamu punya makna besar. Kau harus selamatkan
sebuah kitab kuno yang punya kekuatan dahsyat di dalamnya!
Jangan sampai jatuh ke tangan orang-orang tak bertanggung
jawab, tapi jangan pula membuat dirimu sesat!"
"Kitab apa namanya, Guru?!"
"Carilah dalam pengalaman batinmu sendiri."
"Harus kukemanakan kitab itu nantinya?"
"Simpan dan serahkan kepada keturunanmu kelak."
Yoga merasa heran ketika itu. "Mengapa keturunan saya
yang berhak menerimanya, Guru?"
"Karena kalian yang telah menyelamatkan kitab itu dari
angkaramurka! Dan keturunan kalianlah yang mampu
kendalikan isi kitab itu. Nah, sekarang dekatlah kemari."
Rasa-rasanya saat itu Yoga mendekati gurunya. Kemudian
tangan sang Guru terjulur, telunjuknya menempel pada bekas
luka panah di dada kiri Yoga. Telunjuk itu menyala merah
terang seperti cahaya dalam pedang pusakanya. Yoga
merasakan hawa sejuk meresap masuk ke sekujur tubuhnya.
"Kekuatanmu bertambah, lukamu sembuh, tapi godaan cinta
semakin bertambah pula. Hati-hati kau memilihnya," ucap sang
Guru yang ketika dipandangi Yoga ternyata berubah menjadi
kepala seekor burung rawajali merah. Makin lama burung itu
makin menjauh, lalu bayangan burung itu menghilang lenyap.
Dan pada saat itulah Yoga mengalami sulit bergerak, sulit
membuka mata, namun telinganya mendengar suara deru
ombak lautan dan angin membadai. la merasakan kapal
berguncang-guncang dipermainkan ombak.
Beberapa saat kemudian, barulah ia bisa membuka matanya
dalam satu sentakan napas kaget, la mulai sadar bahwa apa
yang dialaminya tadi hanya sebuah mimpi. Tapi dalam hati
kecilnya ia bertanya,
"Benarkah Guru hadir dalam mimpi? Mengapa badanku
terasa segar sekali, dan tidak merasakan sakit seperti tadi?
Rasa-rasanya luka panah di dadaku sudah lenyap tanpa bekas.
Dan kurasakan ada tenaga besar dalam denyut nadiku."
Yoga berusaha merenggangkan tangan dan kaki, tapi buru-
buru dikendurkan lagi. Hatinya kembali berkata,
"Tambang keras ini sepertinya mudah kupatahkan dalam
satu sentakan. Berarti tenagaku memang bertambah besar.
Lalu, apa artinya bayangan wajah Guru tadi? Mengapa
bayangan wajah Guru menyatu dengan bayangan si Merah?
Apakah rajawali merah itu adalah jelmaan dari Guru? Kurasa
bukan! Karena saat Guru masih hidup, rajawali merah itu sudah
ada dan menjadi kendaraan Guru bila ke mana-mana. Kurasa
itu tadi hanya perlambang, bahwa kasih sayang Guru kepadaku
sama juga kasih sayang si Merah kepadaku."
Kecamuk batin Yoga terhenti karena pintu kamar dibuka.
Gandaloka masuk, lalu memandang Yoga dengan senyum
kalem, seolah-olah tidak menampakkan sikap permusuhannya.
Gandaloka pun berkata,
"Mari kubantu untuk duduk!"
Tanpa kasar sedikit pun Gandaloka membantu Yoga untuk
bangkit dan duduk. Setelah itu ia mengambil air minum yang
ada di rak tertutup dekat dengan pintu keluar, la mengeluarkan
sebutir obat berbentuk seperti kotoran kambing, warna hitam
kecoklatan. Sambil mengambil air minum Gandaloka berkata,
"Maaf, aku terpaksa melakukan dirimu seperti ini! Aku tak
punya jalan lain. Gusti Ratu mendesakku harus bisa menangkap
dan membawa pulang dirimu, jika tidak kepalaku dipenggalnya!
Sedangkan aku tahu, betapa sulitnya membawa kau pulang ke
Pulau Kana."
"Aku bisa memahami perasaanmu, Gandaloka!"
'Terima kasih. Sekarang, sebaiknya minumlah obat ini untuk
menyembuhkan lukamu!"
'Tak perlu," jawab Yoga sedikit dingin sikapnya.
"Ini bukan racun! Aku berani bersumpah apa pun, ini obat
pengering luka dan penghilang rasa sakit! Waktu aku terluka
oleh Lili, aku juga menelan obat ini!"
"Kau terluka oleh Lili?!"
"Ya. Dia membela Wisnu Patra. Tak rela kalau Wisnu Patra
kulukai! Agaknya Lili menaruh hati kepada...."
"Cukup! Tak perlu bicara mereka lagi!" sergah Yoga karena
hatinya merasa panas jika terlalu lama mendengar uraian
Gandaloka itu.
"Baiklah. Sekarang kau mau minum obat ini?"
"Simpan saja untuk dirimu kelak."
"Pendekar Rajawali Merah..., kumohon minumlah supaya kau
tidak terluka. Kalau kau kuserahkan kepada Gusti Ratu dalam
keadaan terluka, aku bisa habis kena murkanya! Tolong
mengertilah akan keadaanku yang serba salah ini, Pendekar
Rajawali Merah."
Yoga diam sebentar, berpikir sesuatu, kemudian ia menatap
Gandaloka dan berkata,
"Barangkali aku tidak membutuhkan lagi obat itu untuk saat
ini!"
"Kau dalam keadaan lemah. Kau harus sehat dan segar
seperti sediakala, Yoga!"
"Aku sudah sehat!" jawab Yoga, kemudian tangan dan
kakinya menyentak mengembang, dan dalam satu sentakan
tambang-tambang pengikat tubuh itu putus menjadi beberapa
potong. Trasss...!
"Kau lihat sendiri aku sudah sehat, bukan?!"
Gandaloka tidak menjawab karena terkesima melihat
tambang-tambang alot itu dapat putus dalam satu sentakan.
Semakin kagum lagi Gandaloka setelah melihat luka bekas
tusukan panah itu tidak ada. Kering sama sekali. Bahkan kain
dari beruang coklat yang dipakai Yoga itu tidak terlihat robek
lagi. Gandaloka baru sadari hal itu setelah melihat tambang
bisa putus dalam satu sentakan.
"Kalau aku mau lari, aku bisa lari sejak tadi. Kalau aku mau
bunuh kamu, aku bisa lakukan sejak kau menengokku tadi.
Tapi tahukah kau kenapa aku tidak lakukan semua Itu?"
"Karena kau menghormatiku?" Gandaloka mencoba
menebak.
Yoga menggeleng. "Karena agaknya aku harus melewati
jalan ini, yaitu ditawan dan dibawa di Pulau Kana. Sudah
berapa kali aku menghindar dan menolak, toh akhirnya terjadi
juga begini. Berarti memang ini adalah jalan yang harus kulalui,
dan tentu saja punya tujuan tertentu yang tidak mudah
dipahami oleh orang lain, juga oleh diriku sendiri."
"Aku salut padamu," kata Gandaloka tiba-tiba, setelah
mereka sama-sama diam beberapa saat. "Aku sebenarnya
mengagumimu, walau kau telah membunuh anak buahku. Tapi
aku mengakui, kau orang hebat!"
'Tidak ada kehebatan apa pun dalam diriku! Aku dan kau
biasa-biasa saja dan sama! Hanya kadang yang membuat kita
berbeda adalah kesempatan yang kita peroleh! Kesempatan
untuk menang dan kesempatan untuk kalah!"
"Di negeri ini tidak ada orang sehebat kamu."
Yoga tersenyum, memandang ke arah jendela kecil dari kaca
berbentuk bundar, la menatap lautan lepas di sana, lalu berkata
dengan suaranya yang penuh kesan bersahabat,
"Bisa kubayangkan beratnya tugasmu, Gandaloka. Aku tahu
jiwamu bukan jiwa orang sesat! Tapi jika negerimu diperintah
oleh Kembang Mayat, maka rakyatmu akan menjadi orang
sesat pula! Sebab Kembang Mayat tidak punya jiwa sebersih
kau."
"Jangan menyanjungku."
"Tidak. Kukatakan dengan sebenarnya. Kau telah memilih
pemimpin negara yang salah!"
"Dewata yang telah memilihnya melalui semadinya Pendeta
Ganesha."
"Mungkin benar. Tapi dewata punya maksud memberikan
contoh yang tidak baik, supaya jangan diikuti oleh rakyatmu.
Kalau tidak ada contoh jelek, bagaimana rakyatmu bisa
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk?"
"Aku makin kagum padamu, Yoga. Kau sangat bijaksana
dalam berpikir!" Gandaloka menarik napas, lalu melangkah
mendekati Yoga yang masih berdiri di samping jendela bundar
itu. Gandaloka berkata,
"Kalau kita bersahabat, dan kalau aku punya waktu cukup
lama berada bersamamu, aku akan menjadi secerdas kau,
Yoga."
Buhg...! Yoga memukul pelan dada Gandaloka sambil
tertawa.
"Jangan berlebihan menilaiku. Pikirkan saja kapalmu ini."
"Apa maksudmu berkata begitu?"
"Di sebelah barat ada badai bergulung-gulung. Perintahkan
pada nahkoda untuk putar haluan ke utara saja!"
Gandaloka terkejut mendengar kata-kata Yoga. la
memandang ke arah barat melalui jendela kamar itu. Tapi ia
tidak melihat awan bergulung dan badai menghitam di sana.
Gandaloka menjadi sempat bimbang, la diam merenungkan
ucapan Yoga, sedangkan Yoga hanya duduk di pembaringan
sambil memandangi tangannya yang buntung itu.
"Kau ingin memperdaya diriku, Yoga?" Gandaloka bertanya
karena penasaran, tak bisa tentukan sikap.
"Untuk apa? Kalau kau anggap kata-kataku bohong, untuk
apa aku membohongimu? Untuk melarikan diri? Hrnm...!
Kudobrak kamar ini dan aku lompat ke laut dengan menyelam
sedalam-dalamnya, tak akan mungkin kau dan orang-orang
kapal ini bisa menangkapku kembali. Tapi toh itu tidak
kulakukan?"
Gandaloka diam dan kembali dalam kebimbangan. Yoga
berkata lagi,
"Kalau tidak segera rubah haluan, kapal ini akan pecah
diamuk ombak badai. Mungkin kita semua akan mati!"
"Akan kuturuti saranmu!" Gandaloka pun segera keluar dari
kamar. Yoga tetap diam di dalamnya tanpa ada rasa terpenjara,
la bahkan berdiri kembali di dekat jendela bundar itu. Matanya
memandang ke arah barat, hatinya berkata,
"Mengapa Gandaloka tak bisa melihat gulungan awan badai
di cakrawala barat itu? Apakah daya penglihatannya tidak
sampai? Atau barangkali sejak kudapatkan kekuatan baru dari
bayangan wajah Guru tadi, penglihatanku menjadi lebih tajam
dari manusia biasa? Atau... atau mungkin firasatku tergambar
dalam penglihatan mata? Anehnya, aku yakin ada badai besar
di sana! Tapi... tapi kenapa kapal ini tidak segera ganti haluan?
Badai itu makin bergerak ke arah barat, sepertinya
menghadang jalannya kapal ini?!"
Yoga bergegas keluar dari kamar tersebut. Ternyata
Gandaloka sengaja tidak mengunci pintu kamarterse-but.
Namun dua penjaga berkepala botak itu segera menyerang
Yoga ketika mereka melihat Yoga keluar dari kamar.
'Tahan dulu!" seru Yoga. "Aku hanya akan menemui
Gandaloka dan bicara dengan nahkoda!"
"Masuk!" bentak salah seorang dengan menodongkan golok
besarnya.
Yoga terpaksa berbalik arah, namun ternyata kakinya cepat
menendang ke belakang. Tendangan kaki itu mengenai senjata
lawan dan senjata itu patah seketika. Traak...!
Pemilik senjata itu menjadi tertegun bengong. Tapi
temannya segera menebaskan golok besarnya yang mampu
memancung leher dengan sekali ayun itu. Wuuung...! Yoga
merunduk, kemudian ketika senjata itu lewat di atas kepalanya,
ia menyentakkan pukulannya ke atas dan tepat mengenai
logam lebar senjata tersebut. Traaak...! Senjata itu pun patah
dan membuat pemiliknya tertegun bengong.
Penjaga yang senjatanya patah pertama kali tadi, segera
menghantamkan pukulannya dengan kuat ke arah kepala Yoga.
Tapi dengan sigap pukulan itu dipegang oleh tangan Yoga.
Tabb...! Lalu kaki kanan Yoga menendang ke bagian pusar,
sedikit ke bawah. Tendangan itu merupakan totokan jalan
darah menggunakan ujung jempol kakinya. Wuuut...!
Tuub...!
"Uhg...!" Orang itu melengkung ke depan, diam tak bergerak
dengan mulut ternganga, la menjadi seperti patung karena
terkena totokan jalur pusar. Sedangkan temannya segera
menyerang dengan tendangan kaki besarnya ke arah dada
Yoga. Wuuus...!
Yoga menggerakkan tangannya yang menguncup bagaikan
paruh rajawali mematuk mangsanya. Tees...! Patukan itu
mengenai mata kaki lawan, membuat lawan menyeringai dan
tak bisa gerakkan anggota tubuhnya lagi. la juga menjadi
seperti patung yang meringis kesakitan.
"Maaf, terpaksa kulakukan pada kalian!" kata Yoga,
kemudian cepat berlari menuju ruang nahkoda. Rupanya
beberapa awak kapal melihat perkelahian di depan pintu kamar
tadi. Dua orang segera berlari menyerang Yoga dengan
teriakan panjang sebagai penggugah kesadaran para awak
kapal lainnya.
Yoga yang berlari ke arah dua orang itu segera melompat
dan dua kakinya menendang ke kanan-kiri secara bersamaan.
Prook...! Kedua wajah orang itu menjadi sasaran kaki Yoga. Kini
Yoga pun menaiki tangga dan menuju ruang nahkoda. Di ujung
tangga ada seorang bersenjata tombak yang menghadang.
Yoga tetap maju bagai tidak hiraukan lagi orang yang
menghadangnya itu. w -i
"Berhenti! Berhenti kataku!"
Orang itu mengancam ingin lemparkan tombaknya, tapi Yoga
tetap maju dan tombak itu benar-benar dilemparkan ke arah
tubuh Yoga. Namun dengan satu kali berkelit, tombak itu lolos
dari tubuh Yoga, hampir mengenai orang yang mengejar Yoga
dari belakang.
"Hiaaat...!" orang yang men ghadang itu menyerang dengan
tendangan kakinya. Yoga menangkis dengan gerakan patuk
seperti tadi. Kali ini betis besar orang itu yang kena sasaran
patuk rajawalinya Yoga. Orang itu mengerang keras dengan
bercjuling-guling kesakitan.
Seolah-olah betisnya ditusuk dengan tombak.
Kini Yoga tiba di ruang nahkoda. Ternyata di sana sedang
terjadi perdebatan antara Gandaloka dengan jurumudi. Mereka
sibuk berdebat tentang arah kapal dan badai yang dianggap
tidak ada itu. Mereka tidak hiraukan pertarungan Yoga dengan
para awak kapal yang menghadang larinya tawanan.
Ketika Yoga masuk ke ruang nahkoda, jurumudi dan
Gandaloka diam berdebat dan saling memandang Yoga.
"Percayalah apa kata Gandaloka itu! Arahkan haluan ke
selatan! Badai ganas menghadang jika kita menuju ke arah
barat!"
Jurumudi yang brewokan itu berkata dengan ngo-tot,
"Lihatlah dengan matamu baik-baik, tak ada awan hitam di
sana. Langit cerah dan angin pun berkecepatan sedang! Mana
mungkin ada badai?!"
Tiga orang masuk dengan bersenjatakan pedang. Gandaloka
segera sadar bahwa Yoga dianggap tawanan oleh mereka.
Perginya Yoga dari kamar dianggap hendak meloloskan diri.
Karena itu, Gandaloka segera berkata kepada Yoga,
"Kembalilah ke kamarmu! Anak buahku menganggap kau
tawanan yang akan lari!"
"Baik. Tapi bujuk s'i brewok itu agar hindari badai besar
nanti!"
"Akan kuatasi dia!" kata Gandaloka pelan.
Yoga pun kembali Ike kamarnya. Ketika mau keluar dari
ruang nahkoda, seorang pengawal bersenjata pedang menarik
lengan Yioga dengan kasar. Yoga berontak dengan sentakkan
sikunya yang masuk ke perut orang itu. Duuhg...!
"Uuhg...!" orang itu menyeringai kesakitan sambil
terbungkuk-bungkuk. Wajahnya menjadi pucat seketika. Dua
orang lagi yang mau membawa pulang Yoga ke kamar, kini
dipandangi Yoga dengan mata tajam. Kedua orang itu menjadi
ciut nyali melihat wajah marah Pendekar Rajawali Merah itu.
Mereka sama-sama diam dan salah tingkah.
Gandaloka berkata, "Jangan perlakukan dia seperti tawanan!
Ingat, dia adalah Pendekar Rajawali Merah. Kalian tak akan
mampu mengalahkannya jika bertarung di atas geladak kapal
ini!"
Gandaloka menjaga sikap, la sendiri tidak bermaksud
memusuhi Yoga. Karena itu, anak buahnya segera diberi
pengarahan tentang bagaimana seharusnya bersikap kepada
Yoga. Sementara itu, Pendekar Rajawali Merah di dalam
kamarnya hanya diam dengan hati dongkol. Perasaan cemas
makin menggoda jiwa. la semakin yakin kapal itu akan
dijungkirbalikkan oleh badai ombak yang mengamuk, dan entah
berapa orang yang akan selamat nantinya. Keyakinan seperti
itu makin kuat, makin membuatnya heran, sehingga Pendekar
Rajawali Merah pun bertanya dalam hatinya,
"Mengapa aku punya firasat sekuat ini? Apakah karena
mendapat hawa sejuk dari bayangan wajah Guru tadi?!"
* * *
3
FIRASAT Yoga benar. Badai datang, ombak mengamuk.
Kapal dihempaskan angin badai, diombang-ambingkan ombak
samudera. Akhirnya kapal itu pecah, para awak kapalnya
banyak yang menemui ajal. Gandaloka tak sempat selamatkan
anak buahnya, la sendiri hampir saja mati kejatuhan tiang
layar.
Dari sekian banyak penumpang kapal, hanya empat orang
yang selamat. Mereka terdampar di sebuah pulau kecil yang
cukup subur. Mereka yang selamat adalah Gandaloka, Juru
Mudi, Rowulu, dan Asoma, si penjaga kamar tawanan yang
pernah mendapat totokan jalur pusar dari Yoga. Sedangkan
Yoga sendiri sempat dianggap mati oleh mereka. Tetapi ketika
mereka mencoba mencari sambil menyusuri pantai, mereka
temukan Yoga dalam keadaan sehat. Duduk di atas batu
karang sambil termenung.
Mereka terkejut melihat Yoga, dan Yoga pun terkejut melihat
mereka. Rupanya Yoga pun menganggap mereka telah mati
semua. Sehingga, pada waktu mereka bertemu, rasa gembira
meliputi diri mereka. Satu nyawa yang selamat dan ditemukan,
sepertinya satu anggota keluarga yang hilang dan telah
diketemukan kembali. Anehnya, mereka berempat menjadi
tidak lagi beranggapan bahwa Yoga adalah tawanan. Mereka
seperti menemukan saudara sendiri.
"Kalau saja kata-kataku dipercaya, tentunya tidak akan
begini jadinya," kata Yoga kepada Juru Mudi, dan ucapan itu
membuat Juru Mudi menjadi murung sedih, la segera
menjauhkan diri dari mereka.
"Jangan kau sesali peristiwa ini, tapi jadikanlah pelajaran biar
kau menjadi orang bijak!" tambah Yoga kepada Juru Mudi,
namun yang diajak bicara diam saja. la termenung di seberang
sana, duduk di bawah sebuah pohon pantai sejenis kelapa,
namun mirip pohon pinang. Batang pohon itu besar, sehingga
bayangannya dapat untuk berteduh.
"Kita kehilangan kapal, Perwira!" kata Rowulu.
"Jangan bicara begitu. Sama saja kau bicara tentang
kebodohanmu. Karena kita semua tahu bahwa kita telah
kehilangan kapal. Kalau mau bicara, bicaralah tentang
bagaimana mencapai Pulau Kana!" kata Asoma dengan
bersungut-sungut. Gandaloka hanya tersenyum tipis.
Dengan bersikap bijak, Gandaloka berkata kepada Rowulu
dan Asoma,
"Banyak jalan untuk mencapai Pulau Kana. Kita cari saja,
yang mana jalan yang tercepat!"
"Pulau apa ini namanya?" tanya Yoga sambil memandang
sekeliling.
'Tak jelas," kata Gandaloka. "Pulau ini tidak pernah kami
lihat dalam setiap pelayaran menuju tempatmu atau ke tempat
lain."
Rowulu menyahut, "Mungkin Juru Mudi tahu, karena dia lahir
dan besar di kapal! Coba kita tanyakan
pada...," Rowulu berhenti bicara, la terkejut memandang
Juru Mudi dan berseru,
"Hei, apa yang mau dia lakukan itu?!"
Gandaloka pun terperanjat. "Celaka! Dia mau bunuh diri?!"
Juru Mudi duduk dengan bersila. Tangannya mengembang
dengan keluarkan otot dan tenaga cukup kuat. Lalu, ketika
Gandaloka berlari ke arahnya, Juru Mudi telah pegang
kepalanya dengan dua tangan, atas dan bawah, kemudian
kepala itu disentakkan dalam gerakan pelintir yang sangat kuat.
Kraak...! Maka, matilah Juru Mudi dengan cara bunuh diri yang
dipilihnya sendiri.
"Bodoh!" Gandaloka membentak jengkel, karena dia
terlambat mencegah gerakan Juru Mudi. Mereka datang
terlambat, Juru Mudi sudah tidak bernapas lagi. Yoga
memeriksanya dan merasa tak bisa menolong.
Napas Gandaloka terengah-engah, matanya berkedip-kedip
memandangi mayat Juru Mudi. Wajahnya menampakkan rasa
jengkel dan sedih. Terdengar Rowulu ucapkan kata,
"Mengapa dia bunuh diri? Alangkah bodohnya dia?"
"Perasaan bersalah menghantuinya!" jawab Yoga. "Dia
merasa sangat bersalah, karena dialah orang yang ngotot
sewaktu aku dan Gandaloka menyuruhnya putar haluan. Dia
tidak mau karena dia tidak melihat ada badai di depan kapal.
Setelah terjadi peristiwa ini, dia merasa bersalah, karena
menjadi pembunuh nyawa teman-temannya sendiri. Baginya
tak ada jalan lain buat menebus kesalahan itu kecuali dengan
cara bunuh diri!"
Asoma angkat bicara setelah tarik napas dalamdalam,
"Kurasa dia ingin menjadi juru mudi yang baik. Kapal pecah,
jiwanya pun ikut pecah. Kapal mati, dia pun harus ikut mati!"
Gandaloka segera lepaskan diri dari kedukaannya, la segera
berkata kepada Asoma, "Kuburkan dia di sini! Dan kau,
Rowulu... bantu aku tebangi pohon. Kita bikin rakit untuk
mencapai Pulau Kana!"
"Bagaimana dengan aku?" tanya Yoga kepada Gandaloka.
"Istirahatlah! Biar kami yang kerjakan semua ini!"
"Tak adil! Aku juga harus ikut kerja!" kata Yoga membuat
Gandaloka tak bisa bicara lagi. Maka, mereka bertiga bergegas
memilih pohon kelapa yang lurus untuk dijadikan rakit.
Asoma menghantam batang pohon kelapa dengan tangan
kosong. Duub! Kraak...! Brruuss...! Batang pohon kelapa itu
pun tumbang seketika. Begitulah mereka menebangi pohon
kelapa dengan tenaga dalam masing-masing. Tetapi orang-
orang Pulau Kana itu sempat dibuat bengong oleh cara kerja
Pendekar Rajawali Merah.
Yoga memilih tiga batang pohon kelapa yang berjajar, la
menghantamkan tangan kanannya pada pohon pertama.
Duub...! Pohon itu roboh. Tapi dua pohon lainnya pun ikut
roboh bersusulan. Rupanya satu pukulan dapat kenai tiga
batang kelapa sekaligus. Tentu saja mereka terbengong-
bengong memandangi Yoga.
"Mengapa kita tidak bisa seperti dia?" bisik Rowulu.
Gandaloka menjawab pelan, "Karena ilmunya lebih tinggi
daripada ilmu yang kita miliki."
"Kenapa dia punya ilmu setinggi itu?"
"Kita berbeda aliran! Dia aliran guntur, kita aliran bumi!"
"Bagaimana kalau kita berguru saja dengannya?"
"Bukan waktunya," jawab Gandaloka sambil mengangkat
batang kelapa yang baru tumbang untuk dijajarkan dengan
yang lain. Satu pohon utuh diangkatnya sendiri, dan itu
merupakan pekerjaan yang ringan buat orang-orang Pulau
Kana yang bertubuh seperti raksasa itu.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara pekikan Asoma yang
sedang menguburkan mayat Juru Mudi. "Aaahg...!"
"Asoma...?! Kenapa dia?!" Rowulu menjadi tegang.
Gandaloka cepat berkelebat menghampiri Asoma. Yang lainnya
segera menyusul, termasuk Pendekar Rajawali Merah. Tapi
mata Pendekar Rajawali Merah cepat menyapu seluruh tempat
yang terjangkau oleh pandangan matanya. Keadaan tampak
tenang-tenang saja dan sepi, tanpa gerakan apa pun, kecuali
gerakan angin dan suara deru ombak pantai.
Asoma jatuh berlutut di samping tanah yang baru saja
dipakai menguburkan Juru Mudi. Mulutnya menyeringai
kesakitan sambil mendekap dadanya. Tangan yang dipakai
mendekap dada itu berlumur darah. Gandaloka segera
memeriksanya, ternyata dada Asoma berlubang sebesar
kelingking. Warna darahnya merah kehitam-hitaman.
"Seseorang telah menyerang kita!" Rowulu menggeram, lalu
matanya cepat memandang sekitar tempat itu Bahkan ia nekat
menerabas masuk ke semak-semak pantai sampai di
kedalaman. Yoga hanya memandangi gerakan lincah Rowulu
yang mampu melentingkan tubuh besarnya ke udara dan
hinggap di salah satu dahan pohon, la memeriksa sekelilingnya
dari atas pohon tersebut.
Yoga mulai menggunakan firasatnya, la memejamkan
matanya dan merasakan sesuatu yang tak bisa dirasakan oleh
orang lain. la mencium bau daging mentah, bahkan lebih aneh
dari bau daging mentah yang sebenarnya. Agak bercampur
kelembaban tanah dan... susah dikatakan jenis bau yang
tercium Pendekar Rajawali Merah itu. Yoga juga mendengar
seperti suara gigi menggeletuk dan mengerat-ngerat.
Cepat-cepat ia buka mata dan berkata kepada Gandaloka,
'Tempat ini ternyata tidak aman! Lekas cari tempat untuk
berlindung!"
"Maksudmu, masuk ke dalam hutan dan mencari gua?"
"Kira-kira begitu!"
Gandaloka menatap sejenak wajah Pendekar Rajawali
Merah, la mulai kenali kesungguhan Yoga sejak peristiwa kapal
disuruh alih haluan itu. Wajah Yoga kali ini, sama dengan wajah
Yoga saat mengatakan akan datang badai di sebelah barat.
Maka Gandaloka pun merasa perlu mengikuti saran Yoga.
"Rowulu...!" panggil Gandaloka. Orang yang dipanggil segera
menghadap dengan menerobos dedaunan semak. Rowulu
langsung berkata,
'Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini!"
"Tapi kita dalam ancaman bahaya!" kata Gandaloka. "Kita
cari tempat aman untuk bersembunyi sementara waktu!"
"Bagaimana dengan Asoma? Dia banyak kehilangan darah!"
Aneh. Hati Yoga seakan yakin betul bahwa ia bisa mengobati
luka itu dalam sekejap. Keyakinan itu begitu kuat datangnya,
sehingga ia pun segera mendekati Asoma yang masih berlutut
dan menyeringai menahan sakit. Tangan Asoma diturunkan,
kemudian telapak tangan Yoga ditempelkan pada luka tersebut.
Zrrepp...! Telapak tangan itu berasap tipis. Kejap berikutnya
dilepaskan. Gandaloka, Rowulu, dan Asoma sendiri kaget
melihat luka itu hilang lenyap. Tak ada bekasnya sedikit pun
kecuali bekas darah di tangan Asoma. Dada itu seperti tidak
pernah terluka oleh benda apa pun. Rasa sakit juga hilang dan
tidak dirasakan lagi oleh Asoma.
Bukan hanya mereka yang heran, melainkan Yoga sendiri
juga merasa heran dan bertanya dalam hatinya,
"Sejak kapan aku bisa lakukan pengobatan dengan cara
seperti itu? Rasa-rasanya aku belum pernah lakukan. Lili
memang pernah, tapi aku belum pernah! Dan mengapa bisa
menjadi seperti ini diriku?"
Yoga kembali ingat saat ia seperti di alam tak sadar bertemu
dengan bayangan gurunya. Jari telunjuk gurunya menempel
pada luka bekas panah, dan jari itu menyala merah terang. Lalu
Yoga rasakan pula hawa sejuk meresap masuk ke dalam
tubuhnya. Apakah itu pertanda roh Dewa Geledek, gurunya,
membekali ilmu lagi untuk menempuh kehidupan yang penuh
tantangan ini?
Apakah itu juga bisa diartikan penambahan ilmu telah terjadi
pada diri Pendekar Rajawali Merah?
Baru saja mereka berempat mau melangkah, tiba-tiba
datang sinar biru bintik-bintik yang melesat cepat dan
sasarannya pada tubuh Gandaloka. Sinar biru bintik-bintik itu
berbentuk seperti sepotong besi yang panjangnya satu jengkal.
Begitu cepatnya gerakan sinar tersebut sampai-sampai
Gandaloka tidak menyadari bahwa dirinya terancam maut.
Tetapi mata Yoga melihat gerakan sinar tersebut. Maka dengan
cepat kakinya menendang tubuh Gandaloka dari belakang.
Buhg!
Gandaloka terjungkal ke depan menabrak Asoma, lalu Yoga
sentakkan tangannya sambil sedikit memutar ke kiri dan
melesatlah sinar merah dari telapak tangan itu. Sinar merah
tersebut menghantam sinar biru bintik-bintik, dan tabrakan itu
pun timbulkan suara dentuman yang cukup hebat.
Blegaaarrr...!
Asoma, Gandaloka, dan Rowulu terlempar ke atas cukup
tinggi, dan jatuh berdebam di semak-semak. Sedangkan Yoga
sendiri hanya tersentak mundur dengan terhuyung-huyung
beberapa langkah, hampir sampai ke perairan pantai. Rowulu
segera bangkit dan menghampiri Yoga dengan wajah marah, la
membentak Yoga,
"Mengapa kau menyerang kami?!"
"Aku hanya menyelamatkan Gandaloka!" jawab Yoga dengan
tenang, matanya melirik sekeliling hutan tepi pantai. Kejap
berikutnya ia melangkah dekati Yoga dan berkata,
"Maaf, hanya cara itu yang bisa kugunakan untuk
menyelamatkan dirimu!"
"Aku mengerti!" jawab Gandaloka. "Aku melihat gerakan
sinar merahmu menghantam sinar biru bintik-bintik, entah milik
siapa."
Tiba-tiba ada suara yang menjawab, "Milikku...!"
Semua berpaling memandang ke arah utara. Ternyata di
sana sudah berdiri sesosok tubuh bercelana hitam dengan baju
model rompi panjang warna hitam tak dikancingkan. Mereka
terkejut sekali melihat kehadiran orang tersebut, karena orang
itu mempunyai wajah dan rambut pirang serupa dengan seekor
singa. Asoma segera menggumam,
"Manusia singa...?!"
Rowulu mundur setindak di belakang Yoga. Merasa ngeri
melihat manusia berwajah seekor singa lengkap dengan bentuk
taringnya, matanya, dan hidungnya. Hanya saja bentuk
mulutnya tidak terlalu monyong ke depan seperti mulut seekor
singa. Namun kulit wajah dan kulit tubuhnya menyerupai kulit
seekor singa. Bedanya hanya tidak berekor saja. Dan bau
daging mentah ternyata menyebar dari tubuh orang berkepala
singa tersebut.
Hal yang membuat Yoga heran adalah kemunculan orang
tersebut yang secara tiba-tiba dalam jarak lima langkah di
samping Yoga. Tak ada yang melihat gerakannya saat ia
datang, tak ada yang mendengar suara apa pun saat ia muncul.
"Kau yang menyerang kami sejak tadi?" tanya Gandaloka.
"Benar!" jawab manusia singa dengan suaranya yang besar.
Sebuah pedang pendek yang terselip di pinggangnya masih
belum disentuh. Orang itu berkata lagi kepada Gandaloka,
"Kalian masuk wilayah kami tanpa izin dan merusak
pepohonan! Kalian kami anggap musuh yang harus
dimusnahkan!"
"Kami terdampar tanpa sengaja di pulau ini. Kami tidak tahu
kalau pulau ini berpenghuni!"
"Baik. Jika begitu kalian memang perlu tahu keadaan kami!"
Setelah bicara begitu, manusia singa itu bertepuk satu kali.
Tepukan tangannya itu memancarkan sinar kuning terang
dalam percikan menyilaukan. Mata mereka berkedip kaget, dan
semakin kaget setelah kembali memandang sekelilingnya.
Ternyata sebuah kehidupan asing ada di antara mereka.
Kehidupan asing itu sepertinya terjadi sudah sejak tadi, sejak
mereka terdampar dan saling sadar. Tentu saja mereka
menjadi terbengong-bengong melihat perahu-perahu
ditambatkan di tepi pantai, kesibukan orang menarik jala-jala
ikan, kesibukan orang memperbaiki perahu mereka, dan
kesibukan orang mengurung mereka membentuk lingkaran
besar. Hal yang membuat Gandaloka dan kawan-kawan
menjadi lebih heran lagi ialah, bahwa masyarakat yang ada di
situ semuanya berkepala singa. Yoga pun segera berbisik
kepada Gandaloka,
"Kita terjebak di peradaban siluman!"
"Apakah mereka siluman? Setahuku mereka sekelompok
manusia singa!" bisik Gandaloka juga.
"Mereka ada sejak tadi, orang yang menyerang kita itu telah
membukakan selaput mata indera keenam kita sehingga bisa
melihat kehidupan seperti ini, yang tentd saja tidak bisa dilihat
oleh orang lain di luar kelompok' mereka."
"Apa yang harus kita lakukan?" bisik Asoma.
"Jangan menyerang dulu! Ikuti dulu apa kemauan! mereka.
Kita telah terkurung, dan mereka tampaknya ganas-ganas!"
jawab Gandaloka didengar oleh kelompoknya sendiri.
Orang berpakaian hitam yang tadi bertepuk tangan satu kali
itu berkata lagi,
"Inilah kami...! Kalian telah lakukan kesalahan besar, datang
tanpa permisi, langsung merusak alam milik kami! Kalian harus
dihukum sesuai dengan keputusan Kala Ratak, ketua kami!"
Orang-orang yang mengurung mereka jumlahnya lebih dari
lima belas. Beberapa di antaranya ada yang menggeram-gerarh
seperti suara singa, pancaran mata mereka memandang buas,
seakan tak sabar ingin segera menerkam. Asoma dan Rowulu
sempat cemas, karena empat orang berwajah singa yang ada di
belakangnya sesekali menghentak dalam erangan buasnya.
Beberapa saat kemudian, muncul seorang berwajah singa
yang mengenakan jubah merah dan bermahkota, la didampingi
dua orang pengawal yang bertubuh kekar, namun tidak sebesar
dan setinggi Gandaloka dan dua temannya itu. Ketika orang
bermahkota itu datang, para pengurung segera memberi jalan
dan tundukkan kepala sebentar sebagai hormat kepada orang
bermahkota. Orang itu bagai tak pedulikan hormat tersebut, ia
langsung mendekati kelompoknya Gandaloka.
Matanya memandang dengan berbinar-binar buas, seperti
seekor singa menemukan mangsanya dalam keadaan lapar.
Setiap wajah diperhatikan oleh orang bermahkota itu tanpa ada
sikap bersahabat sedikit pun. Kemudian ia berkata dengan tak
ramah,
"Siapa kalian? Berani-beraninya kalian masuk wilayahku,
hah?!"
Gandaloka yang menjawab, "Kapal kami pecah, dan kami
terdampar. Lalu kami bermaksud membuat rakit untuk pulang.
Kami tidak punya perahu atau kapal untuk kembali ke asal
kami."
"Kalian agaknya orang-orang Pulau Kana!"
"Benar!" jawab Gandaloka menampakkan ketegasannya.
"Kalian pasti memata-matai tempat kami untuk merebut
Pulau Singa ini! Kalian harus dipotong untuk pesta rakyat Pulau
Singa!"
"Tunggu dulu!" sergah Gandaloka, karena beberapa orang
sudah bersiap untuk menyergapnya. "Kami bukan mata-mata.
Kami tiba di sini tidak dengan maksud jahat sedikit pun. Kami
terkena musibah. Dan kami tidak lihat kalau di sini ada
kehidupan seperti ini! Kalau kami tahu, kami pasti akan
menemuimu untuk meminta izin, sekaligus meminta tolong!
Kalau saja sekarang juga kami punya perahu, kami akan pergi
secepatnya, karena kami sendiri punya urusan penting!"
Kemudian orang bermahkota yang tentunya adalah raja
singa atau ketua mereka itu, segera berkata kepada orang yang
pertama kali dilihat oleh Gandaloka dan kelompoknya,
"Siapkan kurungan!"
"Baik Kala Ratak Sangar...!" orang itu segera bergerak pergi
memenuhi permintaan tersebut. Tapi tiba-tiba orang
bermahkota yang dipanggil sebagai Kala Ratak Sangar itu
berseru,
"Kosongkan saja kurungan di dalam istana itu!" "Baik, Kala
Ratak...!" jawab orang yang tadi bertepuk satu kali, dan segera
lanjutkan langkahnya.
Kini, Yoga mulai angkat bicara kepada Kala Ratak Sangar
dengan tenang dan sikap tegas,
"Kala Ratak, semestinya kau bisa memahami keadaan kami,
bahwa keberadaan kami di sini adalah di luar kehendak kami.
Kami tidak punya maksud jahat sedikit pun. Kalau kami punya
maksud jahat, sekarang juga kami bisa serang kalian!"
"Kau tidak berhak mengatur keputusanku! Aku penguasa di
Pulau Singa ini!"
"Aku tidak mengaturmu! Tapi aku minta kebijaksa-anmu
untuk melepaskan kami!"
"Aku harus pertimbangkan dulu keputusan itu! Sekarang
kalian adalah tawananku. Jangan coba-coba memberontak
kalau ingin aku berkeputusan bijak."
Yoga melirik Gandaloka, seakan merasa tidak bisa mengajak
Kala Ratak Sangar untuk berembuk baik-baik. Tapi hembusan
napas Yoga yang terlepas itu memberikan isyarat yang
dipahami Gandaloka, bahwa untuk sementara mereka jangan
melakukan perlawanan apa-apa. Gandaloka pun tahu, bahwa
Kala Ratak Sangar pasti sedang mempertimbangkan keputusan
dengan melihat sikap para tawanannya. Itulah sebabnya
Gandaloka berbisik kepada kedua anak buahnya agar mereka
tetap tenang. Pada saat mereka berempat dibawa sebagai
tawanan, mereka menurut saja.
***
4
SEBUAH ruangan besar dibangun di tengah pulau itu.
Ruangan besar itu dianggap sebagai istana Kala Ratak Sangar,
pusat pemerintahan rakyat Pulau Singa. Di dalam bangunan
besar itu, terdapat singgasana yang terbuat dari kerangka ikan
besar. Di sanalah Kala Ratak Sangar duduk dan berembuk
dengan beberapa orangnya.
Ruangan besar itu mempunyai lantai dari marmer hitam,
berdinding membentuk lingkaran. Di tepian lantai, di setiap
dinding, terdapat tengkorak-tengkorak manusia yang dijadikan
sebagai hiasan. Beberapa kamar juga terdapat mengelilingi
ruangan tersebut. Satu kamar berpintu jeruji besi kokoh ada di
sana. Di dalam kamar berjeruji kokoh itulah Gandaloka dan
kelompoknya ditawan.
Kamar tahanan itu berbau amis, tidak terlalu lebar dan tidak
mempunyai tempat duduk atau tempat untuk tidur. Hanya
sebidang kamar berlantai dingin yang sudah berlumut. Perut
mereka merasa mual berada di kamar tahanan tersebut. Dari
tempat mereka dikurung, bisa melihat langsung keadaan di
tengah ruangan besar atau di depan singgasana. Mereka juga
melihat Kala Ratak Sangar berbincang-bincang dengan
beberapa orangnya dengan suara gemuruh tak jelas. Istana itu
beratap tinggi, sehingga gemanya cukup banyak dan membuat
tiap ucapan pelan menjadi kabur dari pendengaran.
Sehari semalam mereka dikurung di kamar amis itu.
Gandaloka sempat gelisah karena batas waktu yang diberikan
untuk membawa Yoga ke Pulau Kana sudah hampir habis.
Kegelisahan itu disembunyikan oleh Gandaloka, tetapi Yoga
mengerti dan melihatnya, sehingga Yoga segera berkata pelan
kepada Gandaloka,
"Kau takut menghadapi mereka?"
"Yang kupikirkan bukan mereka, tapi saat bulan purnama
datang. Nanti malam adalah tepat pertengahan bulan purnama.
Seharusnya aku sudah berhasil membawamu ke Pulau Kana.
Hari ini juga kita harus bisa lolos dari Pulau Singa ini."
"Kau siap memberontak melawan mereka semua?"
"Mereka bukan orang-orang berilmu rendah. Melakukan
pemberontakan di sini sepertinya hanya melakukan kematian
yang konyol."
"Barangkali buatmu memang benar begitu. Tapi buatku
tidak," kata Yoga. "Kalau kau setuju, akan kupotong jeruji pintu
ini dengan pedangku dan akan kulawan mereka agar kita bisa
lolos!"
"Kita tidak mempunyai perahu."
"Kita bisa curi perahu di pantai."
"Bagaimana kalau mereka menghilang dari pandangan mata
kita? Apakah kita bisa peroleh perahu? Apakah kita bisa melihat
ada perahu di pantai?"
Rupanya Asoma mencuri dengar percakapan itu, sehingga
tiba-tiba ia ikut menimpali dengan kata,
"Kuatasi mereka, sementara salah seorang lari mencari
perahu sebelum mereka buat kita tidak bisa melihat dunia
mereka lagi!"
Yoga dan Gandaloka berpaling menatap Asoma. Mereka
sama-sama diam dan saling tatap. Kemudian Rowulu ikut
berkata,
"Benar apa kata Asoma! Pegang perahu mereka dahulu
sebelum kita dibuat tak bisa melihat mereka."
"Itu bukan pekerjaan yang mudah," kata Gandaloka.
"Lebih tidak mudah lagi jika kita hanya diam di sini
menunggu keputusan mereka!" kata Asoma dengan penuh
semangat.
"Ssst...! Jangan keras-keras!" kata Gandaloka mengingatkan.
"Percakapan kita bisa didengar oleh mereka yang ada di sana!"
Para penjaga yang ada di sekitar singgasana itu memandang
ke arah kamar tawanan. Gandaloka dan kelompoknya segera
bicara soal lain.
Tiba-tiba seorang pelayan datang menyodorkan empat
rangsum makanan melalui lubang di bawah pintu jeruji itu.
Pelayan wanita itu juga berkepala singa, rambutnya lebih
panjang dan berwarna kuning pirang. Seperti rambut jagung.
Lewat giwang di telinganya, pelayan itu bisa dikenali sebagai
makhluk berjenis perempuan. Tapi wajahnya sungguh tidak
punya nilai kecantikan bagi manusia biasa.
"Kala Ratak suruh kalian makan!" kata pelayan itu dengan
suara jenis suara perempuan. Kemudian ia pergi setelah
serahkan empat rangsum makanan.
Gandaloka dan orang-orangnya hanya memandangi rangsum
tersebut. Asoma sempat bergidik, lalu muntah tanpa keluarkan
apa-apa. Mereka tak ada yang mau menyantap makanan
tersebut karena terdiri dari daging mentah, bahkan masih ada
yang berkulit dan berbulu. Sepertinya yang mereka sajikan
adalah daging monyet yang masih basah dan memerah,
tampak habis dipotong beberapa saat yang lalu. Gandaloka tak
mau menyentuh makanan itu, ia hanya menggeram jengkel,
"Mereka pikir kita ini binatang buas, seperti keturunan mereka!"
Pendekar Rajawali Merah sempat tersenyum geli dan
bertanya, "Kau tak mau memakannya?"
"Tak sudi," kata Asoma. Begitu pula Rowulu menyahut,
"Aku pun tak sudi menyentuhnya."
Kepada Gandaloka, Yoga bertanya, "Dan kau juga tak mau
memakannya?"
Gandaloka menjawab, "Kalau kau doyan, makanlah
semuanya!"
"Baiklah!" kata Yoga, "Kalau kalian tak ada yang mau
memakannya, aku pun tak mau makan hidangan ini! Mual
perutku melihatnya saja!"
Gandaloka sempat tersenyum geli mendengar ucapan Yoga.
Kemudian Yoga berkata lagi,
"Memang sebaiknya kita jangan terbelenggu oleh kesedihan,
kemarahan, dan kecemasan. Kita harus ceria, supaya otak kita
lebih terbuka lagi dan bisa temukan jalan keluar dari pulau ini!"
Ucapan mereka terhenti, Kala Ratak Sangar berganti jubah.
Kini yang dikenakan jubah biru mengkilap.
Kala Ratak Sangar berjalan mendekati kamar tahanan itu. la
berhenti dalam jarak antara tujuh langkah dari kamar tahanan
tersebut. Sementara itu, orang-orang berkepala singa lainnya
mulai memasuki ruangan besar tersebut dan berkumpul
berkeliling sambil mata mereka tertuju ke kamar tahanan.
Apa yang ingin mereka lakukan? Tak ada yang tahu dari para
tawanan tersebut. Tetapi setelah Kala Ratak Sangar bicara,
mereka baru mengetahui apa sebab orang-orang berkeliling
membentuk lingkaran di sekitar lantai depan singgasana itu.
"Kami akan membebaskan kalian, tapi dengan satu syarat;
salah satu dari kalian harus bisa kalahkan prajurit pilihanku!"
"Setuju!" jawab Yoga cepat-cepat.
"Harus ada yang bertarung melawan Jagora, prajurit
pilihanku. Jika ada yang bisa kalahkan Jagora, kalian bebas.
Jika yang kalah kalian, berarti kalian mati dan menjadi
santapan kami!"
"Kami minta satu perahu untuk pulang jika kami menang!"
kata Gandaloka dengan Kala Ratak Sangar.
Setelah diam sebentar, Kala Ratak Sangar mengangguk dan
berkata,
"Baik. Kusiapkan perahu untuk kepergian kalian. Tapi..., aku
sangsi dari kalian ada yang bisa kalahkan Jagora!"
Gandaloka berkata, "Aku yang akan hadapi Jagora!"
Tapi tahu-tahu Asoma maju ke jeruji pintu dan berkata
kepada Kala Ratak Sangar, "Aku Asoma! Aku yang akan lawan
prajuritmu!"
"Tidak! Aku saja!" sahut Rowulu dengan geram. Sepertinya
sudah tak sabar ingin lampiaskan kemarahannya.
Gandaloka menyahut, "Kalian diam di tempat! Aku pimpinan
kalian, jadi akulah yang harus hadapi musuh pertama kali!"
"Tidak bisa!" sanggah Asoma.
"Diaaam...!" bentak Kala Ratak Sangar. "Aku yang akan
tentukan siapa orangnya yang harus bertarung melawan
Jagora!"
Gandaloka dan kelompoknya saling pandang dalam
bungkam. Kejap berikutnya. Yoga angkat bicara dengan tenang
kepada Gandaloka,
"Bujuk dia supaya memilih aku!"
Gandaloka geleng-gelengkan kepala. "Kau tawan-anku. Kau
tak boleh bertarung membelaku."
"Gandaloka...," Yoga mengeluh kecewa. "Kala Ratak sudah
memberikan satu kesempatan bagi kita untuk lolos, mengapa
harus kau sia-siakan dengan langkah yang bersifat untung-
untungan! Akulah yang harus membuka kunci kebebasan kita,
Gandaloka!"
Gandaloka tarik napas dan berkata pelan, "Seharusnya kau
menyerangku, bukan membelaku! Aku tak bisa bujuk dia untuk
pilih kamu. Maaf, Yoga...!"
Bisik-bisik itu terhenti karena suara Kala Ratak Sangar
terdengar menyentak, "Hei, kau... yang berbaju hijau!"
"Aku...?!" Asoma maju dan memegang dadanya saat
bertanya begitu.
"Ya. Kau yang kumaksud! Kau orang pertama yang harus
melawan Jagora!"
"Haaa, ha, ha, ha...!" Asoma tertawa kegirangan mendapat
giliran untuk mengalahkan lawan. "Akhirnya akulah yang
terpilih sebagai kunci kebebasan kita!"
Rowulu menyergah dengan ucapan, "Bodoh kau! Temanku
ini sedang mengidap racun di tubuhnya! Kalau kau makan, kau
akan mati!"
Wuuut...! Buuhg...! Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan
oleh pengawal bersenjatakan tombak berujung pedang. Rowulu
terpental mundur dengan satu gerakan keras dan jatuh
membentur dinding belakangnya.
"Buka pintu, keluarkan orang berbaju hijau itu!" perintah
Kala Ratak Sangar kepada pengawalnya. Lalu, pintu tahanan itu
dibuka dan Asoma sebelum diseret sudah lompat keluar dengan
bangganya.
"Asoma! Hati-hati!" seru Gandaloka dengan sedikit kecewa
karena bukan dia yang dipilih.
Dengan gagah dan berani, Asoma tampil di tengah arena
tanpa senjata, karena senjatanya hanyut ketika ia terlempar
ombak. Tapi semangat pertarungannya masih tetap menyala-
nyala.
Kala Ratak Sangar berkata dari singgasananya, "Kau boleh
pilih senjata di sudut sana! Ambil sesukamu!"
Asoma segera menuju ke sudut, tempat dipajangnya
beberapa senjata dalam tempat khusus, la mengambil tombak
berujung pedang lebar. Sangat mantap untuk memenggal leher
lawan, la mainkan sebentar pedang bergagang tombak yang
punya pita merah panjang di atasnya itu. Wut, wuut, wuuut...!
Terasa seimlung untuk bergerak ke mana saja. Kemudian
dengan wajah berseri-seri, Asoma maju ke tengah arena, la
ber-< liri dengan gagahnya menghadap rekan-rekannya yang
,ida di dalam penjara, seakan menampakkan dirinya se-hagai
orang yang layak maju ke pertarungan saat itu.
"Mana lawanku, Kala Ratak!" Asoma bersikap tak sabar.
Kala Ratak Sangar berseru, "Jagora! Tampakkan dirimu!"
Zraaap...!
Gandaloka dan yang ada di dalam penjara terkejut. Orang
yang bernama Jagora itu ternyata sudah sejak tadi ada di
tengah arena, la menampakkan diri seperti cahaya hijau yang
keluar dari lantai dan bergerak ke atas membentuk semacam
bumbung. Cahaya hijau itu segera pecah menjadi serpihan dan
hilang, lalu tampak sosok tubuh kekar yang bernama Jagora.
"Dia bukan lawan Asoma! Pertarungan itu pasti tidak
sebanding!" gumam Rowulu dengan tegang. "Mestinya aku
yang melawan orang itu!"
Gandaloka yang sebenarnya sependapat dengan Rowulu
hanya diam saja. la menghembuskan napas bernada kecewa, la
menampakkan sikap tidak punya harapan atas kemenangan
Asoma. Seakan ia tahu persis, bahwa Asoma akan mati
melawan Jagora.
"Tenang," kata Yoga sambil menepuk pundak Gandaloka.
"Yakinkan saja dalam hatimu bahwa Asoma pasti unggul!" Tapi
Gandaloka tidak menjawab sepatah kata pun. Pandangan
matanya sedikit sayu.
Jagora juga berwajah singa. Bahkan taringnya sedikit keluar
dari pertengahan mulut. Matanya tajam dan buas memandang
lawan. Rambutnya meriap, warna kuning pirang. Badannya
bukan saja kekar, namun berkulit gelap, seakan kebal senjata
apa pun. Jagora menyandang senjata pedang di punggungnya,
tapi kuku di jari-jari tangannya itu sudah bisa mewakili pedang
ketajamannya. Kuku itu panjang dan runcing. Tepiannya
tampak berkilat karena tajamnya.
Tetapi Asoma memandang lawannya dengan ter-senyum-
senyum. la bersiap melawan Jagora tanpa ada rasa ngeri atau
takut sedikit pun. Sedangkan Jagora masih berdiri tegak
dengan kaki sedikit merentang dan tangan keduanya ke
samping bawah, la sepertinya menunggu perintah dari Kala
Ratak Sangar. Maka, penguasa Pulau Singa itu pun berseru,
"Bunuh dia, Jagora!"
Seet...! Jagora segera ambil jurus dan kuda-kudanya
ditonjolkan. Kedua tangannya terangkat, yang satu melewati
atas kepala, la perdengarkan suara menggeram seperti seekor
singa hendak menerkam mangsa. Sedangkan Asoma segera
mainkan senjatanya ke ka-nan-kiri dengan gerakan cepat
hingga timbulkan suara angin mendesau. Wuung, wuung...!
"Hiaaah...!" Asoma memekik sambil melompat tinggi.
Badannya yang bagai raksasa itu seakan ingin menelan Jagora.
Ujung tombaknya segera ditebaskan dari kiri ke kanan,
tujuannya adalah leher Jagora.
Wuuut...!
Tapi Jagora justru melompat maju melewati batas pedang
besar di ujung tombak itu. Jaraknya menjadi sangat dekat
dengan Asoma. Lengan kanannya dipakai menangkis tongkat
tombak. Tertahannya tongkat tombak itu membuat Asoma
kikuk bergerak dalam sekejap. Tapi seketika itu pula, Jagora
menggerakkan tangan kirinya, berkelebat dari bawah ke atas
sampai tubuhnya meliuk miring ke kanan. Wuuut...! Craaas...!
"Aahg...!" Asoma terpekik kesakitan karena terkena cakar
tajam dari perut kanan sampai ke mata kirinya. Terkoyak tubuh
itu sampai darahnya memercik ke luar.
Ketika Asoma terhuyung-huyung dan jatuh, orang-orang
berkepala singa itu bersorak riuh. Gandaloka, Rowulu, dan
Yoga menjadi tegang. Gandaloka sendiri berseru,
"Bangkit! Bangkit, Asoma! Ayo lawan dia! Lawan terus!"
Asoma tidak mendengar seruan itu karena riuhnya tepukan
dan sorak-sorai para manusia singa yang mengelilingi ruangan
besar itu. Asoma tetap bangkit dan berusaha bertahan. Tetapi,
baru saja ia berdiri, tubuh Jagora melesat bagaikan terbang
dan kedua tangannya menghantam dada Asoma memakai
cakar tajamnya. Jraaab...!
"Uhg...!" Asoma masih berdiri mendelik. Tangan Jagora
menerobos masuk menjebol dada. Begitu ditarik, ternyata
sudah menggenggam jantung Asoma. Jantung itu ditunjukkan
kepada rakyatnya, lalu dengan terangkatnya tangan Jagora
maka semua yang hadir di situ bersorak lebih girang lagi. Kala
Ratak Sangar tertawa terbahak-bahak. Sedang Asoma roboh
tak bernyawa lagi.
Gandaloka dan konco-konconya mendelik melihat apa yang
dilakukan oleh Jagora terhadap diri Asoma. Gandaloka sendiri
menggeletukkan gerahamnya ketika Jagora berputar-putar
dengan mengangkat tangan yang menggenggam jantung
Asoma itu. Jantung itu dilemparkan kepada para penonton, lalu
mereka berebut untuk menyantapnya.
"Jahanam busuk!" geram Rowulu. Matanya mulai merah
karena marah, la melihat Asoma diseret keluar dari arena, dan
lantai dibersihkan dari bercak-bercak darah. Setelah itu
terdengar Kala Ratak Sangar berseru sambil menuding Rowulu,
"Kau...! Yang berbaju hitam itu! Seret dia ke arena!"
"Rowulu! Biar aku yang menggantikan kamu!" kata Yoga.
"Jangan! Kita hadapi secara ksatria saja!" cegah Gandaloka.
"Ini kesempatanku melampiaskan murka!" kata Rowulu
sebelum pintu tahanan dibuka. Ketika pintu itu dibuka, Rowulu
langsung berlari keluar dan menuju arena. Di sana Jagora
sedang menunggu dengan tenang. Tapi Rowulu langsung
menyerang dengan satu lompatan bersalto dan tangannya
lepaskan pukulan tenaga dalam warna biru. Claaap...!
Jagora diam saja, hanya pandangi sinar itu yang makin
mendekati wajahnya. Tapi sinar itu tiba-tiba berhenti di udara,
lalu padam dengan sendirinya. Hilang entah ke mana, tanpa
bunyi dan tanpa angin sedikit pun. Asap tak ada dari hilangnya
sinar itu.
"Bangsat...! Heaaah...!" Rowulu sangar bernafsu, la
melompat dan menghantamkan telapak tangannya yang
bercahaya biru terang ke dada Jagora yang tidak kenakan baju
itu. Tapi Jagora diam saja dan membiarkan asap mengepul
akibat tangan Rowulu menempel di kulit dadanya Rowulu
tampak kerahkan tenaganya lebih banyak lagi, terlihat dari
nyala biru di tangannya yang lebih terang lagi.
Celakanya oukulan itu dianggap angin lalu oleh Jagora. Kini
justru kedua tangan Jagora mengeras dan cakarnya
direnggangkan Lalu dari kanan-kiri Rowulu, sepasang tangan
bercakar itu menghantam kepala Rowulu secara bersamaan.
Craaak...!
"Aaahg...!" Rowulu jatuh berlutut dengan kepala rusak.
Kejap berikutnya ia pun tumbang tak bernyawa. Dan sorak-
sorai kembali memenuhi ruangan besar itu. Tawa Kala Ratak
Sangar terbahak bergelak-gelak. la tampak puas sekali meiihat
kehebatan prajurit pilihannya.
Kini tinggal Gandaloka dan Yoga yang ada,di kamar
tawanan. Kala Ratak Sangar masih memilih siapa yang harus
maju melawan Jagora lagi. Gandaloka dan Yoga pun sama-
sama saling pandang, namun tak bicara apa-apa. Sikap
Gandaloka terlihat lebih tegang ketimbang Yoga. Sampai
akhirnya Kala Ratak Sangar perdengarkan suaranya,
"Hei, kau yang bertangan buntung... maju!"
Yoga tersenyum memandang Gandaloka. la tampak girang
sekali terpilih maju lebih dulu sebelum Gandaloka. Tapi
Gandaloka justru berwajah murung dan tidak memberi ucapan
apa pun ketika Yoga keluar dari kamar tahanan itu dan
melangkah menuju arena. Jagora menatap dengan tidak
berkedip. Agaknya Jagora tahu bahwa lawannya yang kali ini
punya ilmu lebih tinggi dari yang sudah-sudah. Maka, Jagora
pun segera mencabut pedangnya. Dan hal itu membuat Kala
Ratak Sangar berkerut dahi dan berkata dalam hati, "Berarti
orang buntung itu berilmu tinggi. Terbukti Jagora belum-belum
sudah mencabut pedangnya. Biasanya pedang itu ia cabut jika
berhadapan dengan orang yang dipandangnya berilmu cukup
tinggi, setidaknya sejajar dengannya!"
Yoga tetap tenang melihat Jagora mulai melangkah
berkeliling menunggu kesempatan lengah lawannya. Pedangnya
siap menebas sewaktu-waktu. Suaranya menggeram-geram
dengan buas, tampak ganas. Matanya pun berkesan liar dan
sangat bernafsu untuk membunuh Yoga.
Pendekar Rajawali Merah tersenyum tipis, lalu pelan-pelan ia
memegangi gagang pedangnya sambil ikut berputar di tempat
karena lawannya berputar terus. Ketika pusaka Pedang Lidah
Guntur yang di ujung gagangnya terdapat ukiran dua kepala
burung saling bertolak belakang itu akhirnya dicabut juga,
gelegar suara petir di angkasa mengguncangkan bangunan
tersebut, membuat Kala Ratak Sangar dan beberapa orang di
situ menjadi tegang. Tak satu pun ada yang berucap kata,
sehingga suasana menjadi hening. Semua mata tertuju pada
Pedang Lidah Guntur yang menyala merah dengan percikan-
percikan bunga api mengelilingi pedang tersebut.
Jagora berhenti bergerak, Yoga juga berhenti bergerak. Tapi
Jagora segera melompat ke depan dengan satu teriakan
liarnya,
"Heaaahhh...!"
Claaap...! Pendekar Rajawali Merah mundur satu tindak dan
menebaskan pedangnya ke samping. Tebasan itu
menghadirkan loncatan sinar merah ke arah tubuh Jagora.
Pedang Jagora ditembusnya dan patah, lalu sinar merah itu
bagai pisau tajam menyabet leher Jagora dengan cepat. Dan
Jagora diam di tempat tak bergerak. Masih berdiri dengan mata
mendelik. Kejap berikutnya, ketika orang-orang saling bertanya
dalam hati, tiba-tiba kepala Jagora menggelinding jatuh tanpa
darah setetes pun. Orang-orang berseru kaget, "Hahhh...?!"
Yoga memandang Kala Ratak Sangar dengan tersenyum.
Yang dipandang hanya terbengong melompong. Yoga berseru,
"Dari sini pun aku bisa penggal kepalamu juga, Kala Ratak!"
Yang diajak bicara jadi gemetar dan mulai tampak gelisah.
***
5
KALA Ratak Sangar menepati janjinya. Maka pulanglah
Gandaloka ke Pulau Kana dengan membawa Yoga. Mereka
menunggang sebuah perahu berlayar tunggal mengarungi
samudera lepas. Gandaloka berwajah murung, bukan hanya
karena kehilangan semua anak buah yang dibawanya,
melainkan juga mengalami keterlambatan waktu. Pelayaran
menuju Pulau Kana sendiri memakan waktu sehari semalam.
Ketika mereka tiba di Puiau Kana, keadaan sudah berbeda.
Kembang Mayat sedang dalam persiapan menjalani hukuman
mati. Pendeta Ganesha yarg memimpin hukuman mati untuk
Kembang Mayat. Perempuan itu meronta-ronta karena dijarat
memakai tali urat naga yang tak bisa diputuskan oleh benda
apa pun.
Pelaksanaan hukuman mati itu dilakukan di alun-alun,
supaya disaksikan dan diketahui oleh seluruh rakyat negeri
Linggapraja, bahwa orang yang dianggap penyebab kesialan
rakyat negeri itu dihukum mati dengan cara digantung di atas
tanah persembahan.
Tanah persembahan ada di alun-aiun, berupa tempat datar
berumput, tapi dengan menggerakkan tiang bendera yang ada
di tepi alun-alun itu, tanah tersebut akan terbuka, bagai
merekah dan dipakai membuang mayat yang sudah digantung
Sedangkan tiang gantungan disiapkan di atas tanah yang
nantinya akan terbuka merekah itu. Dengan terbuangnya
mayat oraruj yang digantung ke dalam tanah persembahan,
maka rakyat Pulau Kana merasa sudah mempersembahkan
korban bagi sang dewa, sehingga kutuk dan sial tidak akan
menimpa rakyat negeri Linggapraja. Tetapi rakyat tetap
berusaha mencari ratu atau raja baru yang bukan berasal dari
pulau tersebut dan yang harus segera menikah.
Sebenarnya, kalau saja Kembang Mayat mau menuruti saran
Pendeta Ganesha, maka ia tidak akan dijatuhi hukuman mati.
Pendeta Ganesha sudah sarankan agar Kembang Mayat cepat
lakukan pernikahan dengan salah satu pemuda Pulau Kana
untuk selamatkan diri dari kutuk djjjn hukum adat. Tetapi
Kembang Mayat menolak, la berkata,
"Aku tidak akan menikah jika bukan Pendekar Rajawali
Merah calon suamiku! Aku harus menikah dengannya!"
Pendeta Ganesha berkata, "Pendekar Rajawali Merah belum
berhasil kita boyong kemari, Gusti Ratu! Sedangkan malam
purnama tinggal sebentar lagi. Kalau Gusti Ratu tidak segera
mengambil keputusan untuk menikah dengan siapa saja yang
Gusti pilih, nanti Gusti Ratu akan dituntut oleh hukum adat dan
harus dibunuh karena dianggap penyebab datangnya kutukan
pada dewa."
"Aku percaya Pendekar Rajawali Merah akan datang pada
waktunya! Gandaloka sudah membawa pasukan pemanah dan
orang-orang sakti lainnya! Mereka pasti berhasil membawa
pulang Yoga!"
Kembang Mayat sudah telanjur tergila-gila oleh Pendekar
Rajawali Merah, sehingga hatinya tidak bisa menerima pemuda
lain. Apalagi ia metasa punya kekuatan, punya kekuasaan,
sehingga dengan mudah akan memperoleh pemuda tampan
pemikat hati wanita Itu, dengan memerintahkan Gandaloka dan
orang kuat lainnya.
Pada waktu malam purnama tiba, Pendeta Ga'~e-sha segera
menghubungi Kembang Mayat yang sudah dianggap sebagai
pimpinan negara di negeri Linggapraja itu. Pendeta Ganesha
mengatakan, "Masih ada kesempatan untuk lakukan pernikahan
malam ini juga dengan pria siapa saja, Gusti Ratu! Karena
rakyat sudah berkerumun di alun-alun dan menunggu upacara
pernikahan ratu mereka!"
"Tidak-akan kulakukan pernikahan dengan siapa pun kecuali
dengan Pendekar Rajawali Merah! Titik!"
"Tapi malam purnama sudah tiba, Gusti Ratu!"
"Persetan dengan malam purnama!"
Esok paginya, ketika Kembang Mayat bangun dari tidur,
tahu-tahu tubuhnya telah terikat seluruhnya dengan taii yang
tak bisa diputuskan oleh kekuatan tenaga dalamnya. Pendeta
Ganesha telah masuk ke kamar per aduan ratu dan menjerat
perempuan itu dengan tali yattg keluar dari telapak tangannya
dan melilit sendiri ke tubuh Kembang Mayat.
Agaknya keputusan itu sudah mutlak harus dijalan! sesuai
adat yang berlaku. Kembang Mayat berusaha meronta-ronta
ketika dibawa ke alun-alun untuk digantung, namun usahanya
itu sia-sia. Orang-orang bertubuh tinggi-besar itu membawanya
dengan kuat dan meletakkan tubuh ramping itu di atas tanah
persembahan Tali gantungan segera dikalungkan ke leher
Kembang Mayat. Apabila tiang bendera di dorong ke samping,
maka tanah akan terbuka dan kaki Kembang Mayat akan
tergantung. Maka akan matilah Kembang Mayat dalam keadaan
terjerat lehernya. Lalu, tali itu nantinya akan diputuskan,
dengan begitu tubuh Kembang Mayat akan jatuh ke dalam
bongkahan tanah persembahan. Setelah itu tanah kembali akan
ditutup rapat
"Aku minta waktu!" teriak Kembang Mayat. "Aku minta
waktu sampai matahari mau tenggelam. Kalau ternyata
Pendekar Rajawali Merah belum juga datang, maka gantunglah
aku sesuai adat!"
Pendeta Ganesha berembuk dengan para tetua di Pulau
Kana. Akhirnya mereka putuskan untuk tetap melaksanakan
hukuman gantung itu. Pendeta Ganesha yang selalu memimpin
upacara-upacara ritual itu berseru di depan rakyat yang
berkumpul di alun-alun,
"Hari ini, manusia yang kita anggap calon ratu kita, ternyata
manusia pembawa sial dan terkutuk. Terbukti, cukup banyak
orang-orang pilihan kita yang mati di pulau seberang hanya
untuk memburu pemuda yang bernama Yoga, alias Pendekar
Rajawali Merah. Belum lagi sekarang, Gandaloka pergi dengan
sejumlah pasukan tapi belum datang pula. Mungkin mereka
sudah mati, atau mungkin mereka dalam kecelakaan besar.
Yang jelas, itulah bukti bahwa kehadiran calon ratu kita
ternyata pembawa kutuk dan pembawa sial. Sebab itu, ia harus
dikorbankan!"
"Gantung dia! Gantung dia! Kembalikan kesialan
dan kutuk itu kepada para dewa!" seru mereka saling
bersahut-sahutan.
Dua orang sudah siap menarik tiang bendera yang
merupakan sebagai kunci pembuka tanah persembahan
tersebut. Kembang Mayat berdebar-debar tak punya harapan
lagi. la menangis dan menyesal, bahkan sempat berseru,
"Baiklah! Aku akan menikah dengan salah satu pemuda di
sini!"
Pendeta Ganesha menyahut, "Sudah terlambat! Sudah lewat
dari malam purnama!"
Tali urat naga itu ternyata membuat kesaktian Kembang
Mayat pun bagaikan terpenjara, tak bisa diandalkan lagi.
Berulang kali ia kerahkan tenaga dalamnya untuk
memberontak, namun kekuatan itu bagaikan terpasung dan tak
bisa digunakan lagi. Sorot matanya yang biasanya bisa
keluarkan cahaya hijau, saat itu juga tidak mampu digunakan
lagi. Seolah olah semua ilmu dan kesaktiannya hilang setelah
tubuhnya terjerat tali urat naga yang keluar dari telapak tangan
Pendeta Ganesha itu. Kembang Mayat pun akhirnya pasrah
dalam tangis penyesalannya.
Bertepatan dengan akan dilaksanakan hukuman gantung itu,
muncullah Gandaloka dan Pendekar Rajawali Merah dalam satu
lompatan yang bersamaan. Mereka tiba di dekat Pendeta
Ganesha yang sedang membakar tempat pedupaan berukuran
besar, di depan tiang gantungan. Suara gemuruh para
penonton di sekeliling alun-alun membuat kepala Pendeta
Ganesha yang tertunduk menjadi tegak memandang Gandaloka
dan seorang pemuda tampan buntung tangan kirinya itu.
Kembang Mayat yang menangis dalam keadaan tertunduk pun
segera angkat wajahnya dan terbelalak kaget melihat kehadiran
Gandaloka dan Yoga. la segera berseru,
"Yooo...!" sambil berdebar-debar kegirangan. "Yooo... tolong
aku!"
Wanita cantik itu hanya dipandangi oleh Pendekar Rajawali
Merah dengan dahi berkerut. Yoga tahu, wanita itu memang
Kembang Mayat, tapi heran mengapa Kembang Mayat yang
punya ilmu lumayan tingginya itu bisa ditaklukkan sampai
digiring ke tiang gantungan? Pertolongan yang dimintanya
pastilah pertolongan kesediaan Yoga untuk menjadi suaminya.
Gandaloka bicara dengan Pendeta Ganesha yang dikerumuni
oleh para tetua dan pejabat istana lainnya. Rupanya mereka
berunding setelah mendengarkan cerita Gandaloka tentang
musibah badai di lautan itu.
"Musibah itu adalah kutuk dan sial yang ditimbulkan dari
perempuan itu!" kata salah seorang tetua yang berjenggot
panjang. "Sedangkan sekarang sudah lewat dari malam
purnama, sudah waktunya membuang dia kalau tak ingin lebih
banyak lagi kematian yang menimpa rakyat kita!"
Gandaloka berkata, "Apakah tidak punya kebijakan satu kali
lagi untuk memberi kesempatan kepada sang Ratu? Bukankah
sekarang masih termasuk hari purnama, hanya bedanya siang
dan malam saja?!"
Pendeta Ganesha segera mengambil sikap, "Apa salahnya
kalau kita berbijak hati demi meluruskan garis kehidupan?
Sebaiknya kita bicara dengan Pendekar Rajawali Merah!"
Pada waktu itu, Pendekar Rajawali Merah sedang bicara
dengan Kembang Mayat. Perempuan cantik itu memohon-
mohon agar dibebaskan dari hukuman gantung kepada Yoga,
namun Yoga berkata,
"Kau telah terjerat oleh hukum adat, Kembang Mayat. Kau
juga terjerat oleh perasaanmu sendiri yang tak mau gunakan
otak! Aku tak berani mencabut pedangku dan mengamuk di
sini, karena aku tak punya permusuhan dengan mereka!"
"Aku tak menyuruhmu mengamuk di sini, tapi aku hanya
minta kesediaanmu menikah denganku, Yo!"
"Aku tak punya kesediaan untuk itu, Kembang Mayat!
Maafkan aku!"
"Hanya sebagai simbol saja! Siasat saja, Yo! Beberapa waktu
kemudian kau boleh menceraikan aku!"
Yoga diam berpikir dalam kegelisahan dan kebimbangan.
Pada waktu itulah, Pendeta Ganesha mendekat bersama
Gandaloka. Yoga segera menundukkan kepala memberi hormat
setelah Gandaloka memperkenalkan Pendeta Ganesha
kepadanya. Kemudian, Pendeta Ganesha berseru ditujukan
kepada mereka yang mengelilingi alun-alun,
"Rakyat Negeri Linggapraja yang tercinta... ternyata
Pendekar Rajawali Merah telah hadir di sini bersama
Gandaloka, sang Perwira! Pendekar Rajawali Merah inilah
sebenarnya yang ditunggu-tunggu oleh calon ratu kita, untuk
dijadikan mempelai pria dan suaminya. Karena hari ini adalah
masih termasuk hari purnama, hanya, bedanya siang hari,
bukan malam hari, maka masih ada kesempatan untuk
menikahkan calon ratu kita dengan pemuda pilihannya. Tetapi,
kesempatan ini tergantung dari jawaban sang Pendekar
Rajawali Merah. Karena itu, aku; Pendeta Ganesha, ingin
bertanya kepada Yoga atau sang Pendekar Rajawali Merah nan
perkasa...." Pendeta Ganesha berbalik arah dan bertanya
kepada Yoga. Semua orang diam mendengarkan, hingga
suasana menjadi hening dan sepi.
"Pendekar Rajawali Merah, bersediakah Tuan Pendekar
menikah dengan calon ratu kami?!"
Sekalipun tampak tenang, namun sebenarnya di dalam hati
Yoga mengalami kegundahan yang cukup besar. Matanya
memandang Pendeta Ganesha, lalu memandang Gandaloka,
memandang kepada Kembang Mayat, menunduk, memandang
lagi ke arah Kembang Mayat, dan saat itu Kembang Mayat
berkata dengan suara gemetar serta air mata berlinang,
"Yo... tolonglah aku...!"
Yoga masih diam dan alihkan pandangan mata kepada
orang-orang yang memperhatikannya, la tahu, bahwa ia tak
akan bisa meminta waktu untuk mempertimbangkannya
beberapa hari. Karena itu, ia harus mempunyai keputusan saat
itu juga dalam pertimbangannya untuk bersedia menikah
dengan Kembang Mayat atau tidak. Jika tidak, maka Kembang
Mayat akan mati di tiang gantungan, jika bersedia menikah,
maka ia telah mengkhianati cintanya kepada Lili, si Pendekar
Rajawali Putih. Padahal hati Yoga tidak ingin berkhianat seperti
itu. la sangat mencintai Lili dan ingin hidup berumah tangga
sepanjang masa. Kalau ia menikah dengan Kembang Mayat,
walau hanya siasat, toh itu berarti ia akan menjadi duda jika
terjadi perceraian. Dan Lili berarti akan menikah dengan
seorang duda, bekas suami orang. Oh, alangkah kasihan nasib
Lili jadinya.
"Aku tak punya cinta kepada Kembang Mayat, mengapa aku
harus menipu pada diriku sendiri dengan bersedia kawin
dengannya? Kalau aku menikah dan segera cerai, itu pun belum
tentu bisa. Pasti Kembang Mayat tidak mau diceraikan, itu
artinya aku terjerat dengan siasatku sendiri. Lalu, bagaimana
dengan Lili? Oh, aku tak tega harus menyakiti hati guru
angkatku itu. Aku sangat tak tega."
Karena Yoga diam terlalu lama, maka Pendeta Ganesha pun
mengulangi pertanyaannya tadi,
"Tuan Pendekar, bersedliakah Tuan menikah dengan calon
ratu kami?"
Sukar sekali lidah Yoga untuk digerakkan, la paksakan diri
dan akhirnya menjawab,
"Aku... tidak bersedia!"
Wwwrrr...! Suara gemuruh orang begitu banyak bagai jutaan
lebah menggaung mt;menuhi alun-alun. Kembang Mayat
sendiri segera berteriak kuat-kuat,
"Jahaaat...! Jahaaat kau, Yoga...!" tangisnya kian menjadi.
Yoga menundukkan kepala sambil berkata, "Maafkan aku. Ini
menyangkut masa depan keturunanku!"
Mereka yang berkerumun .'saling berteriak bersahutan,
"Gantung! Gantung dia! Peirsembahkan kepada para dewa!
Gantuuung...!"
Pendeta Ganesha kembali angkat tangannya dan semua
menjadi diam. Di sela sepi itulah Pendeta Ganesha berseru,
"Perempuan ini, ternyata memang harus kita persembahkan
kepada para dewa. dengan segala kutuk dan sial yang kita
kembalikan. Tetapi seperti telah tertulis dalam kitab hukum
adat, bahwa setiap korban persembahan mempunyai hak
mengajukan satu permintaan terakhir sebelum
dipersembahkan. Maka, aku pun akan ajukan pertanyaan
kepada calon korban persembahan...," Pendeta Ganesha
berpaling memandang Kembang Mayat dan bertanya,
"Kau punya permintaan apa? Sebutkanlah, kecuali
permintaan pengampunan, kami tak bisa kabulkan!"
Dengan geram dan penuh nafsu kebencian, Kembang Mayat
berkata,
"Kuminta Pendekar Rajawali Merah juga harus dihukum
seperti aku! Karena dia telah membunuh beberapa utusan dari
negeri ini, berarti telah menghina negeri ini juga! Jika dia tidak
jalani hukuman seperti aku, maka akan kukutuk tanah pulau ini
dan akan datang bencana setiap hari dari arwahku!"
Semua terperanjat mendengar ucapan Kembang Mayat.
Pendeta Ganesha sendiri terbungkam mulutnya. Permintaan
terakhir seorang korban persembahan harus dipenuhi. Begitu
bunyi tertulis dalam kitab hukum adat. Jika tidak dipenuhi,
maka malapetaka akan datang beruntun menimpa rakyat Pulau
Kana.
Pendeta Ganesha memandang ke arah Gandaloka. Yang
dipandang sendiri tampak cemas dan gelisah. Sedangkan Yoga
segera berkata kepada Gandaloka dengan suara pelan,
"Apakah permintaannya akan dikabulkan oleh adat?!"
Gandaloka hanya menjawab, "Maaf, aku tidak bisa berbuat
apa-apa dalam hal ini!"
Kembang Mayat berseru dengan suara sampai serak, "Ingat,
Yoga! Kau sama saja telah menggantungku dengan keputusan
ini. Karena itu, kau pun akan kugantung dengan kesempatanku
yang terakhir ini! Kita akan sama-sama mati di tiang
gantungan!"
Pendeta Ganesha segera berseru kepada petugas di tiang
bendera,
"Lakukan!"
Genderang berbunyi. Gemuruh suaranya. Tiang bendera
ditarik miring oleh dua orang. Satu menari, satunya lagi
mendorong. Lalu, terdengar suara gemuruh besar. Tanah
merekah terbuka dalam guncangan bagaikan gempa kecil.
Begitu tanah terbuka, maka kaki kembang Mayat pun
tergantung karena tak punya punya tempat berpijak. Kembang
Mayat akhirnya mati dalam gantungan. Talinya segera diputus
dan mayatnya jatuh ke dalam belahan tanah. Kemudian
tanah'persembahan tertutup lagi.
Orang-orang yang berperawakan tinggi-b'esar itu masih
belum beranjak pergi dari tempatnya. Padahal waktu itu
Pendeta'Gahdsha'dari! piara tetua sudah'mau tinggalkan
tempat. Riifciariya masyarakat Pulau Kanaltu sedang menunggu
pelaksanaan hukumafrg&ntung terhadap diri Pendekar Rajawali
Merah, sesuai dengan permintaan korban tadi.
Gandaloka mendekati Pendeta Ganesha dan berkata pelan,
"Mereka menunggu keputusanmu, Pmnir ta!"
Dengan resah, Pendeta Ganesha yang berkepala gundul dan
berbadan gemuk besar itu berkata,
"Aku tak bisa memberi keputusan sekarang. Aku perlu
berunding dengan para tetua negeri ini! Untuk sementara,
masukkan dulu Pendekar Rajawali Merah ke dalam penjara."
Yoga mendengar ucapan itu, ia memandang Gandaloka dan
Gandaloka serba salah dalam memandang, la sangat gelisah
menghadapi tugas tersebut. Akhirnya ia berkata kepada Yoga,
"Apa yang harus kulakukan menurutmu?"
"Kerjakan apa tugasmu! Kau seorang perwira, tunjukkan
keperwiraanmu di depan rakyat!"
Napas panjang ditariknya dalam-dalam. Gandaloka tampak
berat sekali jalankan tugas tersebut. Tapi akhirnya dengan
terpaksa ia menuntun Yoga menuju ke penjara. Biasanya
prajurit lain yang membawa tawanan, tapi kali ini Gandaloka
sendiri yang lakukan, sebagai tanda menghormat kepada
Pendekar Rajawali Merah.
Sementara itu, petugas lain segera memberitahukan bahwa
Pendeta Ganesha dan para tetua butuh waktu tiga hari untuk
berunding menentukan keputusan. Maka, setelah mendengar
penjelasan tersebut, mereka pun segera bubar. Suara mereka
saling bergaung kembali, masing-masing mempunyai pendapat
dan saling berdebat sambil berjalan ke tempat tinggal mereka.
"Aku akan berusaha membelamu. Tapi aku butuh pelajari
kembali semua kitab hukum adat!" kata Gandaloka kepada
Yoga.
"Terima kasih atas niat baikmu," ucap Yoga sambil masuk ke
kamar berjeruji besi, yaitu kamar penjara. "Tapi perlu kau
ketahui, Kembang Mayat bukan orang baik. Dia punya
perguruan bernama Belalang Liar. Dulu semasa dipimpin oleh
neneknya; Nyai Sangkal Pati, perguruan itu dalam keadaan
baik. Tapi setelah dipimpin olehnya, perguruan itu menjadi
cenderung sesat. Kembang Mayat orang licik, dia pantas
menerima kematian seperti itu. Kalau negerimu menuruti
permintaan Kembang Mayat, sama saja negerimu menuruti
perintah orang sesat! Camkan penjelasanku ini, Gandaloka!"
Orang tinggi-besar yang punya wajah tampan itu
menganggukkan kepala dengan rasa prihatinnya, la sendiri
yang menutup pintu penjara dan menguncinya. Lalu, dua orang
pengawal ditugaskan menjaga di depan penjara itu.
Dengan berat Gandaloka melangkah. Terbayang saat
kejadian di Pulau Singa. Kalau waktu itu Yoga tidak berhasil
kalahkan Jagora, maka Gandaloka pun pasti akan mati di
tangan tdkoh sakti itu. Dengan kemenangan Yoga, berarti
Gandaloka telah diselamatkan nyawanya.
Tapi sekarang nyawa Yoga yang terancam. Haruskah
Gandaloka diam dan hanya bisa menuruti perintah demi
perintah? Atau haruskah ia menentang segala ke-putusan
hukum adat itu, demi membalas hutang nyawanya kepada
Yoga?
* * *
6
GANDALOKA segera temui rekannya yang bernama Nayoma,
seorang prajurit juga yang kedudukannya lebih rendah dari
Gandaloka. la berkata kepada Nayoma,
"Aku butuh kitab hukum adat yang asli, yang belum disalin
ke bahasa sekarang. Di mana aku bisa dapatkan kitab hukum
adat itu?"
"Buyut Supi mempunyainya. Kadang kulihat Pendeta Agung
datang ke rumahnya untuk minta saran tentang hukum adat.
Tapi, ada apa kau membutuhkan kitab itu?" Nayoma sedikit
curiga.
"Untuk kupelajari. Maukah kau meminjamkan kitab hukum
adat itu kepada Buyut Supi?"
"Baiklah. Tapi bagaimana dengan tugasku menjaga pura
suci?"
"Kuambil alih tugasmu! Biar aku yang menjaga pura, kau
pergi ke Buyut Supi untuk meminjam kitab hukum adat!"
Buyut Supi termasuk tetua di Pulau Kana. la lebih menguasai
hukum adat karena ia lebih tua dari Pendeta Ganesha. Konon
Buyut Supi juga termasuk tokoh tua yang menurunkan
beberapa orang Pulau Kana Sayangnya ia seorang perempuan,
sehingga tidak bisa menjadi Pendeta Agung. Hanya orang lelaki
yang bisa menjabat sebagai Pendeta Agung dan penasihat raja.
Seorang perempuan seperti Buyut Supi hanya bisa menjadi
penasihat Pendeta Agung, itu pun jika dibutuhkan.
Gandaloka berharap, dengan mempelajari kitab hukum adat
yang asli, mudah-mudahan ia bisa temukan jalan untuk
bebaskan Yoga dari hukuman gantung. Sebab, banyak
peraturan hukum adat yang dirubah karena disesuaikan dengan
zaman dan mempunyai arti yang berbeda dengan aslinya.
Tetapi alangkah terkejutnya Gandaloka melihat Na-yoma
kembali dengan keadaan berlumur darah. Telinga kirinya
dipotong oleh seseorang, dan Nayorna banyak kehabisan darah
sehingga jatuh pingsan tepat di depan pura suci, tempat
pemujaan itu.
Keadaan Nayorna yang demikian membuat suasana istana
menjadi heboh. Para prajurit berkumpul dan saling bertanya-
tanya siapa pelakunya. Pendeta Agung Ganesha pun menjadi
tegang, sebab menurut adat yang berlaku di Pulau Kana, jika
seseorang dipotong daun telinganya itu berarti orang tersebut
menjadi utusan untuk sebuah tantangan berperang. Karena itu,
Pendeta Agung Ganesha bertanya dalam gumam yang didengar
oleh Gandaloka,
"Siapa orang yang menantang perang dengan pihak istana?"
Gandaloka diam, namun hatinya berkecamuk sendiri dan
bertanya-tanya, "Mengapa Buyut Supi mengirim pulang
Nayorna dengan telinga terpotong?! Apakah Buyut Supi merasa
kecewa dengan pihak istana, sehingga ia lakukan unjuk rasa
dengan cara memotong telinga Nayoma?"
Sebenarnya Gandaloka ingin katakan kepada Pendeta Agung
mengenai Buyut Supi, tapi ia tahan niatnya itu untuk
menyelidiki sendiri apa sebab Buyut Supi memotong telinga
Nayoma. Ketika Nayoma mulai sadar, Gandaloka punya
kesempatan menanyakan tentang hal itu,
"Buyut Supi-kah yang melakukannya, Nayoma?!" "Buk...
bjukan!" jawab Nayoma dengan wajah masih pucat.
"Lalu, siapa yang memotong telingamu?"
Waktu itu, Pendeta Agung Ganesha dan beberapa perwira
mengerumuni Nayoma. Pendeta Agung Ganesha mengajukan
pertanyaan yang sama, sehingga Nayoma pun menjawab,
"Bersiaplah untuk perang!"
"Apa maksudmu?" tanya Gandaloka. "Jawab dulu, siapa yang
memotong daun telingamu, Nayorna?"
"Orang-orang Tanah Sihir!"
"Hahh...?!" Gandaloka dan yang lainnya terkejut. Lalu
mereka saling beradu pandang dengan wajah tegang.
"Di... di mana mereka sekarang?" tanya Gunaya, perwira
menengah.
"Mereka... mereka sedang turun dari kapal. Jumlahnya... ada
dua kapal. Salah seorang telah menyusup masuk kemari. Aku
jumpa mereka di pantai, dan mereka memotong telingaku
sebagai pernyataan berperang terhadap kita!"
"Apakah Ratu Cendana Wangi juga turut hadir?"
"Ya. Aku lihat Ratu Cendana Wangi di kapal kedua!" ucapan
Nayorna terhenti karena Gandaloka menyodorkan obat anti
sakit dan secangkir minuman. Nayorna segera menelan obat
yang seperti kotoran kambing itu.
Terdengar Pendeta Ganesha berkata, "Petaka itu mulai
datang sesuai dengan kutukan korban Kembang Mayat."
Gandaloka menyanggah, "Tidak, Pendeta Agung! Orang-
orang Tanah Sihir datang bukan karena adanya kutukan
Kembang Mayat, tapi karena maksud tertentu. Pasti mereka
punya maksud tertentu. Jauh sebelum Kembang Mayat kita
jatuhi hukuman gantung, sudah pasti mereka sedang dalam
perjalanan kemari. Karena dari Tanah Sihir ke Pulau Kana
memakan waktu pelayaran lebih dari empat hari."
"Yang jelas kita sekarang dalam bahaya!" gumam Pendeta
Ganesha.
"Siagakan semua prajurit!" kata Gandaloka kepada Gunaya.
"Kerahkan semua prajurit, para pengabdi, rakyat, dan siapa
saja untuk pagari istana dan alun-alun dalam siaga tarung!"
"Baik!" jawab Gunaya dengan penuh hormat, ia pun segera
pergi diikuti oleh perwira-perwira lainnya.
"Mereka akan masuk kemari pada waktu gelap!" kata
Pendeta Ganesha.
"Mengapa begitu?" tanya Gandaloka.
"Kalau benar mereka punya maksud tertentu, pasti tak lain
adalah merebut istana ini, dan menguasai pulau ini!"
"Kekuatan kita tidak seimbang, Pendeta Agung.
Apalagi kita tidak mempunyai ratu atau pemimpin rakyat!"
"Memang tidak seimbang. Tapi untuk sementara kekuasaan
kuambil alih, hanya untuk mengisi kekosongan takhta saja!
Apakah kau setuju?"
"Saya setuju! Tapi bagaimana kalau mereka mengincar
Pendeta?"
"Aku akan bertarung melawan mereka!"
"Pendeta Agung tidak akan bisa kalahkan kekuatan Ratu
Cendana Wangi yang berjuluk Penguasa Alam Sihir!"
"Ya. Memang. Tapi bantulah aku cara mengatasinya,
Gandaloka!" kata Pendeta Agung Ganesha, mengakui kelebihan
Sawannya.
Bagi orang-orang Pulau Kana, nama Ratu Cendana Wangi, si
Penguasa Alam Sihir itu, sudah bukan nama asing lagi. Nama
itu selalu ditakuti oleh orang-orang Pulau Kana, karena mereka
tahu persis kekuatan ilmu sihir Ratu Cendana Wangi sungguh
tinggi.
Beberapa tahun yang lalu, Ratu Cendana Wangi pernah
mengirimkan tiga utusan ke Pulau Kana untuk memburu musuh
mereka. Musuh itu ternyata menjadi raja di Pulau Kana. Raja
itulah yang diincar oleh Ratu Cendana Wangi untuk dibunuh
karena persoalan pribadi.
Prajurit-prajurit istana mencoba menahan serangan tiga
utusan itu, namun mereka gagal. Banyak orang Pulau Kana dan
orang istana yang mati karena kekuatan iimu sihir tiga utusan
tersebut. Bukan saja ilmu sihir mereka yang tinggi, namun ilmu
pedang mereka pun cukup
tangguh, sehingga dalam waktu singkat pada saat itu Pulau
Kana nyaris kehabisan prajurit. Itu terjadi antara sepuluh tahun
yang lalu. Dan sekarang, Ratu Cendana Wangi sendiri ikut
datang dalam rombongan tersebut. Gandaloka dan Pendeta
Ganesha bisa bayangkan akan terjadi banyak pertumpahan
darah di Pulau Kana. Mayat-mayat kembali berserakan seperti
sepuluh tahun yang lalu.
Pulau Kana atau negeri Linggapraja tidak mempunyai orang
kuat untuk tandingi Ratu Cendana Wangi. Sebagai prajurit
terdepan, Gandaloka harus berani hadapi pertarungan dengan
Ratu Cendana Wangi, walaupun ia tahu dirinya akan menderita
kekalahan. Itu sudah merupakan tanggung jawab seorang
perwira depan. Biasanya dalam keadaan seperti ini Gandaloka
didampingi oleh Ayodya dan Loga. Tapi keduanya telah tewas
dalam tugas mencari Yoga dulu.
Perkiraan Gandaloka menjadi kenyataan. Dalam waktu
singkat ia telah mendengar beberapa prajurit pilihan gugur
melawan Sawung Gala, pengawalnya Ratu Cendana Wangi.
Gunaya sendiri pulang dengan kedua tangannya buntung, la
menghadap Gandaloka dalam keadaan bertahan untuk tidak
jatuh pingsan. Gandaloka terperanjat tegang melihat Gunaya
pulang tanpa kedua tangan.
"Mereka semakin menyergap ke istana. Agaknya yang jadi
sasaran utama adalah istana! Mereka ingin bertemu dengan
penguasa kita, terutama ingin berhadapan dengan Pendeta
Agung Ganesha!" tutur Gunaya dengan terengah-engah.
"Berapa pendamping Ratu Cendana Wangi?"
"Empat orang; Sawung Gala, Naga Berang, (iam Tulang, dan
Putra Iblis, yang memotong kedua lawian ku dengan sebatang
ilalang."
"Dengan sebatang ilalang?!" gumam Gandaloka makin
cemas, la menatap Pendeta Agung Ganesha. Orang tua
berjenggot putih panjang itu diam saja mena han kecemasan
juga.
Beberapa saat kemudian, Gandaloka berkata kepada seorang
perwira menengah yang mendampingi Gu-naya, bernama
Narasoma,
"Tarik mereka yang ke pantai, perketat penjagaan sekeliling
istana. Beri tahu padaku perkembangan setiap beberapa
waktu."
"Baik! Saya kerjakan!" jawab Narasoma masih tetap tegas, la
bertubuh lebih tinggi dari Gandaloka dan berbadan kekar.
Ketika Gandaloka berdiri di serambi istana bersama Pendeta
Agung Ganesha, Gandaloka sempat berkata,
"Pendeta, saya butuh pendamping yang kuat! Saya akan
hadapi sendiri Ratu Cendana Wangi itu!"
"Apakah kau punya pilihan pendamping yang kuat?"
"Ya. Saya punya calon pendamping sendiri."
"Siapa?"
"Pendekar Rajawali Merah!"
Pendeta Agung Ganesha terkejut. "Dia tawanan kita!"
"Percayalah, Pendeta... kalau dia mau berontak, sekarang
juga Pulau Kana ini bisa dijungkirbalikkan dengan mudah,
Pendeta!"
Mata Pendeta Agung Ganesha terkesiap mendengar ucapan
Gandaloka. Sebelum orang tua itu berkata, Gandaloka sudah
lebih dulu berucap,
"Saya pernah lihat sendiri jurus-jurus pedangnya yang
dahsyat itu, Pendeta! Tidak ada orang kita yang memiliki jurus
pedang sedahsyat jurusnya. Ilmu tenaga dalamnya pun cukup
tinggi, la mengobati luka Asoma dengan usapan telapak
tangan, dan luka itu lenyap dalam sekejap. Dia melawan Jagora
yang berilmu tinggi itu dengan hanya gunakan satu jurus. Dan
pedangnya itu, Pendeta... jika dipegang orang lain, maka
pedang itu akan menusuk orang itu sendiri atau menggorok
leher orang tersebut!"
Pendeta Agung Ganesha berkerut dahi memikirkan apa yang
dikatakan Gandaloka itu. Pada saat itu, seorang prajurit yang
menjadi bawahan Narasoma datang menghadap dengan
terengah-engah dan berkata,
"Mereka mulai mendekati istana!"
"Tak ada yang bisa menahan mereka?"
'Tidak ada, Perwira! Mereka bergerak bagaikan angin
cepatnya!"
"Suruh Narasoma hadang mereka di pintu gerbang."
"Narasoma... telah tewas, Perwira!"
"Gila!" Gandaloka terperanjat bagaikan mimpi mendengar
kabar itu. Baru saja ia beri tugas kepada Narasoma, baru saja
orang itu berangkat, tahu-tahu sudah dapat kabar bahwa
Narasoma telah tewas.
Pendeta Agung Ganesha segera berkata kepada prajurit itu,
"Buka pagar betis istana! Jangan h.il.m<|! mereka. Biarkan
masuk menemuiku!"
"Apa maksud Pendeta?" Gandaloka menjadi tam bah tegang.
"Jangan timbulkan korban lagi. Jangan buat prajurit sebagai
benteng perlindungan kita. Biarkan dia bicara padaku
mengutarakan apa maunya! Jika ia kehendaki nyawaku, aku
akan berikan dengan pertarungan sampai mati!"
"Mereka harus hadapi saya dulu sebelum bertarung melawan
Pendeta!"
"Lakukanlah kalau itu kau anggap baik!" jawab Pendeta
Agung Ganesha. "Aku mendampingimu di belakang!"
Gandaloka segera berkata kepada prajurit itu, "Kerjakan apa
yang dikatakan Pendeta Agung tadi. Buka pintu gerbang
selebar-lebarnya!"
Setelah bicara demikian, Gandaloka sendiri melompat pergi
ke sebuah kamar. Saat keluar ia sudah menyandang pedang di
punggungnya, pertanda siap hadapi lawan kapan saja. la
kembali dekati Pendeta Agung Ganesha. Tapi pada saat itu
sang Pendeta sedang memejamkan mata dan mulutnya
bergerak-gerak membacakan sebaris doa sambil pegangi tasbih
putih sebesar kelereng. Gandaloka tak berani ajak bicara, tapi
matanya memandang sekeliling dengan tegas dan tajam, la
berdiri di pertengahan serambi depan istana, di mana pintu
gerbang terletak lurus di depannya dalam jarak lebih dari dua
puluh lima tombak. Seakan ia siap menghadapi tamu-tamu
ganas yang sebentar lagi pasti datang menemuinya.
Rupanya Nayorna yang kehilangan satu telinga itu ikut
tampil juga dalam pertahanan di pintu gerbang. Ketika ia
mendengar kabar tentang dibukanya pagar betis istana,
Nayorna segera memerintahkan beberapa prajurit untuk
mendampingi Gandaloka dan Pendeta Ganesha. Mereka segera
berjajar di kanan-kiri Gandaloka pada tangga serambi paling
bawah. Sedangkan sepuluh orang prajurit pemanah siap di
belakang Gandaloka dan Pendeta Ganesha. Mereka sudah
merentangkan busur dan siap lepaskan anak panah sewaktu-
waktu musuh datang. Tetapi Gandaloka segera menengok ke
belakang dan berkata kepada mereka, "Turunkan panah! Siaga
saja!" Maka mereka pun menurunkan panah. Tapi anak panah
masih menempel di tali busur yang ada di bawah, dalam satu
genggaman tangan. Mereka menunggu perintah untuk angkat
panah masing-masing. Lalu, beberapa saat kemudian,
Kejap berikutnya, Ratu Cendana Wangi mendekati
Gandaloka, keempat pengawalnya hanya melangkah tiga tindak
lalu berhenti. Kini jarak Ratu Cendana Wangi dengan Gandaloka
hanya dua langkah. Semakin lebar ia memandang Gandaloka
dalam keadaan sedikit mendongak, karena Gandaloka bertubuh
lebih tinggi darinya.
"Tampan sekali kau! Apa kedudukanmu di istana ini?!"
"Perwira istana!" jawab Gandaloka dengan tegas.
"Bagus sekali! Aku yakin usiamu masih muda, masih penuh
semangat dalam beberapa hal! Dan aku yakin kau belum
beristri juga belum punya kekasih, bahkan belum pernah tidur
dengan perempuan! Kau masih hijau, Perwira. Tapi kau akan
menjadi matang jika sudah beberapa saat bersamaku!" senyum
itu kian melebar. "Siapa namamu?"
"Gandaloka!"
"Nama yang bagus, sesuai dengan paras wajahmu!"
Pendeta Ganesha menyahut, "Bicaralah padaku, Cendana
Wangi! Akulah wakil penguasa tanah ini!"
"Kau tidak berhak mengaturku, Botak!" bentak Ratu Cendana
Wangi. Matanya mendelik menampakkan keganasannya. Salah
seorang prajurit merasa tersinggung, pendeta yang dihormati
selama ini hanya dibentak-bentak oleh orang asing. Prajurit itu
segera melemparkan tombak ke arah Ratu Cendana Wangi.
Tetapi tombak itu tiba-tiba berhenti di pertengahan jarak, lalu
berbalik arah dan melesat dengan cepat menghujam dada
orang yang melemparkannya. Jruub...!
Gandaloka menahan diri untuk tidak lepaskan amarah
sembarangan. Sekalipun ia sakit hati melihat anak buahnya
yang keroco dibunuh dengan kekuatan sihir, tapi ia berusaha
untuk tetap tenang. Karena Pendeta Agung Ganesha pun
kelihatan tetap tenang walau dibentak dan dihina dengan
sebutan 'botak' tadi.
"Apa tujuanmu kemari sebenarnya, Cendana
Wangi!"
"Beginikah caramu menerima tamu? Membiarkan tamu di
luar tanpa menyuruhnya masuk?" hardik Ratu Cendana Wangi
sambil dekati Pendeta Ganesha.
"Sebelum kami tahu maksud dan tujuanmu membuat
keonaran di wilayah kami, kami tidak izinkan kau masuk ke
istana! Katakan dulu apa yang kau harapkan dari
kedatanganmu, nanti kami akan bicarakan di dalam!"
"Seharusnya aku yang mengaturmu! Bukan kau yang
mengatur aku! Karena akulah yang berhak memiliki Pulau Kana
ini! Akulah yang berhak berkuasa atas pulau ini!"
"Dari mana alasanmu bisa berkata begitu?"
"Aku keturunan dari Eyang Dewi Ambar Ayu. Beliau adalah
orang pertama yang mendiami pulau ini sendirian, karena
dibuang oleh pihak keluarganya, yaitu Raja Johor! Lalu beliau
beranak-cucu di sini, dan sampai melahirkan diriku sebagai
keturunan yang kesekian silsilah! Jadi akulah yang berhak
menjadi penguasa di Pulau Kana!"
"Jika kau keturunan nenek moyang Pulau Kana, pasti
tubuhmu sebesar kami, Cendana Wangi! Ternyata tubuhmu
kecil, seperti manusia biasa! Kurasa kau hanya mengaku-aku
saja sebagai keturunan nenek moyang Pulau Kana!"
"Perkawinan silang memungkinkan aku berketurunan seperti
ini. Tapi kakek buyutku adalah orang tinggi-besar seperti
kalian!"
"Baiklah," Pendeta Ganesha sedikit mengalah. "Jadi, itu
persoalannya? Kau menuntut hak untuk menjadi penguasa di
Pulau Kana ini?"
"Bukan hanya itu saja! Yang paling utama aku datang kemari
adalah untuk mengambil sebuah kitab pusaka warisan nenek
moyangku! Akulah yang berhak menerima kitab pusaka
tersebut!"
"Kitab pusaka apa?!" Pendeta Ganesha berkerut dahi.
"Kitab Jagat Sakti!" jawab Ratu Cendana Wangi.
Gandaloka dan Pendeta Ganesha saling pandang dengan
dahi berkerut. Mereka sepertinya merasa asing mendengar
nama kitab tersebut. Lalu, Pendeta Ganesha berkata,
"Di sini tidak ada Kitab Jagat Sakti! Aku bahkan baru
sekarang mendengar ada kitab seperti itu."
"Omong kosong kau, Pendeta Ganesha! Bukankah letak
Sumur Perut Setan ada di Pulau Kana ini?! Pasti kitab itu pun
ada di sini."
Sekali lagi Gandaloka dan Pendeta Ganesha saling beradu
pandang dengan dahi berkerut. Lalu, Gandaloka menyahut
kata,
"Sumur Perut Setan hanya ada dalam dongeng!"
"Ya. Karena kau masih hijau, jadi kau masih terngiang
dongeng-dongeng dari ibumu, Nak! Tapi sebenarnya Ganesha
pasti tahu, bahwa Sumur Perut Setan itu ada di sini!"
"Aku tidak tahu! Aku juga anggap itu hanya dongeng
belaka!"
"Omong kosong! Kau pasti tahu di mana letaknya Sumur
Perut Setan itu! Jika kau tak mau sebutkan letaknya, jika kau
tak mau biarkan aku mengambil Kitab J u jat Sakti, dan jika kau
tak mau serahkan pulau ini ke tanganku, akan kubuat rakyatmu
seperti ini...."
Claaap...! Seberkas sinar putih menyebar dari tangan Ratu
Cendana Wangi. Sinar itu menerpa para prajurit yang ada di
alun-alun, dan mereka berubah menjadi patung batu semua.
* * *
7
MEMANG para orang tua sering mendongeng tentang kisah
Sumur Perut Setan. Tetapi sumur itu sendiri sebenarnya
memang ada. Letaknya di kaki Bukit Seroja, dekat dengan
Candi Langu. Dan pada saat itu, dua anak manusia terperosok
masuk ke dalamnya. Mereka adalah Lili, Pendekar Rajawali
Putih itu, dan Wisnu Patra yang juga dijuluki Dewa Tampan
(Baca episode : "Mempelai Liang Kubur"). Dan sampai sekarang
kedua orang itu belum bisa keluar dari Sumur Perut setan.
Konon, menurut dongeng para orang tua zaman dulu, siapa
saja yang masuk ke dalam sumur berdinding cahaya merah
beracun itu tidak akan bisa keluar dari sana, karena sumur itu
memang mempunyai lorong semacam gua panjang, tetapi tidak
mempunyai jalan keluar. Di samping itu, sumur tersebut juga
dihuni manusia raksasa yang dikenal dalam dongeng bernama
Betara Kala. la adalah manusia raksasa pemakan daging
manusia.
Benar dan tidaknya dongeng tersebut, hanya Lili dan Wisnu
Patra yang dapat membuktikannya. Karena sampai beberapa
hari mereka menyusuri lorong gua tersebut, namun mereka
belum temukan jalan keluar. Mereka hanya temukan tanaman
sejenis rumput di tepi-an dinding gua yang memancarkan
cahaya biru bening.
Lili tertarik untuk memetik tanaman itu, tapi tangannya
segera ditarik oleh Wisnu Patra.
"Jangan! Sudah kubilang, jangan gegabah di < l.iLnn gua ini!
Kau bisa mati terkena racun!"
"Apakah semua yang ada di sini serba beracun?I" Lili agak
cemberut.
"Dalam dongeng disebutkan, lorong ini disebut Sumur Perut
Setan, karena berisi banyak racun yang tne matikan!"
"Ah, dongeng, dongeng, dongeng...!" Lili bersungut-sungut.
"Sejak pertama masuk kemari kau hanya bicara tentang
dongeng! K'rta benar-benar menghadapi kehidupan nyata,
bukan berada di negeri dongeng!"
Pemuda tampan itu tersenyum sabar, la masih memegangi
tangan Lili di luar kesadarannya. Lili menjadi melirik tangannya
yang dipegangi Wisnu Patra, lalu pemuda itu tersipu-sipu
sambil melepaskannya. Pendekar Rajawali Putih melangkah
lebih dulu, sementara Wisnu Patra memandangi tanaman biru
sambil berkata dalam hati,
"Tanaman itu memang menggiurkan. Membuat perutku
terasa lapar. Tapi benarkah tanaman itu beracun?"
Tiba-tiba terdengar suara Lili memekik kaget. "Aaauh...!"
Wisnu Patra tersentak dan cepat hampiri Lili yang melangkah
mundur. Rupanya gadis yang cantiknya melebihi bidadari dan
mengenakan pakaian merah jambu itu melihat seekor kelelawar
berukuran besar sedang hinggap di dinding bercahaya merah
itu. Kelelawar tersebut pun tersentak kaget dan terbang
berkeliling karena suara pekikan Pendekar Rajawali Putih..
"Awas...! Jangan sampai tersambar kelelawar setan itu!" kata
Wisnu Patra sambil menarik tubuh Lili, menyembunyikan di
belakangnya. Mata Wisnu Patra memandang gerakan kelelawar
aneh yang punya raut muka seperti wajah manusia tapi
bertelinga panjang. Sayapnya mengepak-ngepak timbulkan
hembusan angin kencang. Binatang itu berukiran sebesar
seekor Jkticing yang bersayap lebar warna hitam. Kakinya
tampak kekar dan bercakar runcing.
Sreet...! Wisnu Patra segera mencabut pedang perunggunya.
Pendekar Rajawali Putih bertanya»;'Mau kau apakan binatang
itu?"
"Bunuh! Kalau tidak dia akan membunuh kita dari belakang."
"Dia tidak menyerang kita!"
"Dia tampak ganas, tapi tak berani berhadap-hadapan
dengan kita! Dia pasti menunggu kesempatan menyerang pada
saat kita lengah!"
"Kiaaak...! Kiiaaak...!"
Kelelawar aneh itu seakan mendengar ucapan Wisnu Patra.
Maka, serta-merta ia menyerang dengan gerakan cepat.
Matanya yang mirip mata bayi itu memancarkan sinar merah
membara yang hampir mengenai kepala Wisnu Patra dan Lili.
Untung keduanya sigap dan lekas tundukkan kepala. Sinar
merah dari mata kelelawar itu menghantam dinding gua, dan
dinding tersebut segera berguguran dengan timbulkan suara
ledakan kecil. Daar...!
Wuuut...! Pedang perunggu itu pun berkelebat menebas
bagian atas, karena kelelawar itu melintas di ,\U kepala Wisnu
Patra. Tebasan itu meleset. Kelelawar lor sebut bagaikan
pandai menghindar, dan ia terbang ke belakang mereka
berdua. . v ^.
"Hati-hati dia bukan kelelawar sembarangan!" ucap Lili
dengan segera berbalik badan. Pada saat itu, ternyata
kelelawar tersebut sudah berbalik arah dan Jkini se: dang
menuju ke arah Lili. Wisnu Patra segera berteriak,
"Jongkok!"
Pendekar Rajawali Putih segera rendahkan tubuh". Wisnu
Patra yang berdiri di belakangnya menjadi sasaran kelelawar
berikutnya. Tetapi, ia sudah siap dengan pedangnya, sehingga
begitu»kelelawar tersebut melesat di depannya, Wisnu Patra
tebaskan pedang dengan gerakan cepat. Wuuut...! Craaass...! .
"Kiiaaak...!"
Kelelawar itu memekik lengking, suaranya menggema, la
jatuh ke tanah dalam keadaan terpotong menjadi dua bagian.
Sayapnya yang kiri ikut bagian kepala1, yang kanan ikut bagian
tubuh. Kelelawar itu masih belum pejamkan mata dan berusaha
untuk bergerak terbang.
Claap...! Pendekar Rajawali Putih lepaskan pukulan sinar
putih peraknya dan menghantam kepala kelelawar tersebut.
Praass...! Kepala binatang aneh itu pun pecah dan tak berkutik
lagi.
"Menurut dongeng, ada berapa ekor kelelawar seperti itu di
sini?!" tanya Lili dengan menyindir. Wisnu Patra hanya
menghempaskan napas.
"Kita jalan lagi! Jangan hiraukan kelelawar itu!"
"Kenapa kau tak menjawab pertanyaanku?" Lili berlari
menyusul Wisnu Patra yang melangkah lebih dulu. Agaknya
penasaran dan kembali bertanya, "Hei, kenapa kau tidak
menjawabnya?"
"Dalam dongeng aku tidak pernah mendengar kelelawar
aneh itu!"
"O, berarti dongeng nenekmu itu belum lengkap."
Wisnu Patra sedikit dongkol, tapi ia kembali melangkah dan
menyusuri lorong gua itu untuk mencari kemungkinan jalan
keluar. Lili ikut di belakangnya sambil matanya memandang ke
kanan kiri, memperhatikan tanaman bercahaya biru yang indah
dan menarik selera untuk dimakan. Perut Lili pun terasa lapar
begitu tadi melihat tanaman biru tersebut. Tetapi hati kecilnya
segera berkata, bahwa tanaman itu memang beracun dan
mempunyai daya tarik yang amat tinggi. Orang yang kelaparan
pasti akan memakan tanaman itu. Darftentah apa jadinya jika
seseorang makan tanaman tersebut.
Yang jelas, tak berapa jauh mereka melangkah, mereka
menemukan kerangka manusia tergeletak di dekat tanaman
biru itu. Langkah mereka pun terhenti, mata mereka mulai
memandangi kerangka manusia yang sudah keropos itu.
Agaknya kerangka tersebut sudah berusia puluhan tahun
berada di lorong bercahaya merah bara itu.
"Apakah penyebab kematiannya karena makan tanaman
beracun itu?" tanya Lili kepada Wisnu Patra.
"Mungkin saja. Tadi kalau kau tidak kucegah, kau akan
menjadi seperti kerangka ini!"
'Tapi mengapa letak tulangnya berserakan? Mestinya letak
tulangnya sesuai dengan susunan tulang manusia. Jika ia mati
karena makan tanaman biru itu, pasti dia akan mati di tempat
dan tulangnya tidak akan tnr pisah ke mana-mana.
Perhatikanlah tulang lengannya, terpisah jauh dengan bagian
tengkorak kepalanya, bu kan?!"
Wisnu Patra terdiam, membenarkan pendapat Lili. la pelajar"
letak susunan tulang itu. Namun belum sampai ia temukan
kesimpulan yang pasti, tiba-tiba sudah terdengar suara
menggeram yang bernada besar. Suara menggeram itu
membentuk satu nada gemuruh yang membuat dinding dan
lantai gua bergetar. Wisnu Patra segera menatap ke arah
lorong yang akan dilewati nanti. Kemudian ia memandang
Pendekar Rajawali Putih. Gadis cantik itu hanya memandang
dingin ke arah lorong yang akan dilewati nanti. Lalu, ia
bergumam pelan,
"Sesuatu menunggu kita di depan sana."
"Kematian atau kehidupan?"
"Kematian dan kehidupan," jawab Lili. "Hanya saja, siapa
yang mati dan siapa yang hidup, itu belum pasti!"
"Jadi, kau mau terus melangkah atau kembali ke tempat
asal?"
"Kembali ke mana? Apakah kita punya tempat asal jika atap
lorong itu telah tertutup rapat dan tak bisa didaki?"
Wisnu Patra diam beberapa saat, ia kembali memandangi
kerangka manusia yang berserakan. Lalu, ia bertanya kepada
Lili,
"Menurutmu suara apa tadi?"
"Makhluk hidup."
"Manusia atau binatang?"
"Binatang!"
"Bukan!" tiba-tiba Wisnu Patra menjawab tanpa perhatikan
Lili, tapi memandang ke tanah sekitar kerangka manusia itu.
"Kurasa dia manusia! Dia yang bernama Betara Kala itu!"
"Dari mana kau tahu?"
"Kerangka ini adalah korban yang habis dimakan Betara
Kala!"
"Apa alasanmu berkeyakinan begitu?" "Lihat tanah ini... ada
tapak kaki lebar sampai ke sebelah sana!"
Pendekar Rajawali Putih memperhatikan tanah yang ditunjuk
Wisnu Patra. Ternyata memang benar. Ada telapak kaki
manusia tapi berukuran lebar. Kira-kira lima kali ukuran telapak
kaki Lili. Bekas telapak kaki itu cekung agak dalam,
menandakan cukup berat beban yang diterima oleh tanah
tersebut.
"Kalau begitu, sebagian dongeng yang kau dengar itu
memang benar. Ada manusia raksasa yang lebih besar dari
orang-orang Pulau Kana itu! Entah berapa orang jumlahnya
yang mendiami gua ini!"
"Mudah-mudahan Betara Kala tidak beranak-cucu," kata si
Dewa Tampan, seperti bicara pada diri sendiri, la bangkit dan
segera melangkah pelan-pelan menuju jalan berikutnya. Lili
masih ada di belakangnya dan melompat-lompat karena jalanan
tak rata.
Suara gemuruh itu makin lama makin jelas terdengar,
bertambah jauh melangkah bertambah nyata gerakan tanah
yang bergetar. Wisnu Patra berhenti melangkah, tapi Lili tetap
melangkah terus. Tangan Lili tiba-tiba ditahan oleh Wisnu
Patra. Wajah pemuda itu tampak gelisah ketika beradu
pandang dengan Lili. Sedangkan Lili tetap kelihatan tenang.
"Ada apa?"
"Kita mendekati pusat kehidupan Betara Kala," bisik Wisnu
Patra.
"Kita memang sedang mencarinya, bukan?!"
"Ah, kau gila, Lili! Dia itu lebih berbahaya dari seribu orang-
orang Pulau Kana!"
"Buatku orang Pulau Kana tidak ada yang berbahaya!" kata
Pendekar Rajawali Putih. "Kita jalan lagi. Kita hadapi dia kalau
memang dia tidak bisa dijinakkan dengan kata-kata. Mungkin
kita memang terpaksa menjinakkan dia dengan pedang!"
Lili langsung melangkah kembali. Wisnu Patra geleng-geleng
kepala memandangi Lili, menyimpan rasa kagum terhadap
keberanian gadis cantik itu. Maka, Wisnu Patra pun segera
bergegas menyusul Lili, sebab ia merasa sayang kalau sampai
gadis cantik berkulit putih itu terluka atau tergores kulitnya oleh
sesuatu hal apa pun bentuknya, la tak ingin Lili celaka, namun
la merasa cemas membayangkan dongeng tentang keganasan
Betara Kala.
"Gggrrr...!" terdengar suara mengerang besar dan
menggema. Tanah kembali berguncang. Wisnu Patra segera
tahan pundak Lili.
"Dia telah mencium bau kita!" bisik Wisnu Patra. . "Mungkin
dia mencium kepucatan wajahmu," kata Pendekar Rajawali
Putih sambil tersenyum. Hati Wisnu Patra gundah, antara takut
dan berdebar indah melihat senyuman gadis itu.
"Lili, jujur saja, aku khawatir akan keselamatanmu!"
"Berarti kau akan melindungi aku. Jalanlah paling depan,
Wisnu!"
"Aku... aku... aku sendiri juga mengkhawatirkan ke-
selamatanku."
"Kalau begitu, kita maju bersama saja!"
Wisnu Patra semakin tampak keluarkan keringat dingin, la
menelan ludahnya sendiri dengan gelisah, lalu berkata,
kusempatkan mengungkapkan isi hatiku padamu. Aku tak
butuh jawabanmu, aku hanya butuh agar kau mau percaya
dengan kata-kataku tadi!"
"Aku percaya," jawab Lili. "Tapi... percayalah, kau tak akan
mati di tangan Betara Kala, Wisnu!" ucapan Lili kali ini begitu
lembut, seakan sangat menyentuh hati Wisnu Patra.
"Mengapa kau yakin aku tak akan mati?"
"Karena tak kuizinkan manusia raksasa itu menyentuh
kulitmu, Wisnu! Sedikit pun tak akan kuizinkan!"
"Mengapa begitu?" pancing Wisnu Patra.
"Karena...,'' Lili diam sebentar, menatap Wisnu Patra,
kemudian menunduk, berpikir sebentar, lalu memandang Wisnu
Patra lagi dan menjawab dengan suara lembut,
"Karena kau adalah sahabatku!"
"Hanya sebatas sahabat?" "Kurasa begitu."
"Tidakkah... tidakkah kau mencintaiku, Lili?"
"Seseorang telah memiliki hatiku, dan seseorang telah
mengisi hatiku juga."
"Siapa orang itu?"
"Muridku sendiri. Yoga!"
Rona kecewa terbentang jelas di wajah Wisnu Patra. la
mengangguk-angguk sambil menarik napas. Lili tahu, Wisnu
Patra sembunyikan rasa kecewanya. Sebab itu, Lili berkata,
"Jangan buru-buru kecewa! Jodoh ada di tangan Yang Maha
Kuasa. Manusia hanya boleh merencanakan dan mengidam-
idamkan saja."
Wajah kecewa itu segera pudar dan berganti sinar semangat
yang muiai membias, sambil Wisnu Patra perdengarkan
suaranya,
"Ya. Benar. Jodoh ada di tangan Yang Maha Kuasa. Mari kita
teruskan langkah kita!"
Mereka kembali melangkah. Jalanan terasa semakin lebar
dengan dinding masih memancarkan cahaya merah bara. Atap
lorong itu bertambah tinggi hingga tiap gerakan kaki mereka
terdengar menggema lirih. Udaranya pun semakin sejuk, dan
bau amis mulai tercium.
'Ggrrr...!" suara erangan besar terdengar. Pada waktu itu
mereka hampir tiba di tikungan jalan lorong. Langkah mereka
terhenti sejenak. Tangan Wisnu Patra semakin erat
menggenggam tangan Lili. Gadis cantik itu membiarkannya,
walau ia rasakan betul tangan pemuda tampan itu dingin sekali.
Seperti balok es yang belum mencair.
Lili mengangguk, itu pertanda ia mengajak teruskan langkah.
Wisnu Patra pun akhirnya melangkah kembali sampai mereka
membelok di jalanan menikung itu. Ternyata di balik tikungan
jalan tersebut, ada ruangan yang amat luas beratap tinggi,
lebar sekali dalam keadaan memanjang lurus. Tanahnya datar
dan di sana banyak tu lang-belulang manusia. Tulang-tulang itu
berserakan cll sana-sini. Mereka mengikuti serakan tulang
tersebut, ternyata sampai jauh sepanjang ruangan yang lebar
dan luas itu.
Tiba-tiba Wisnu Patra menahan gerakan langkah Lili. Gadis
itu pun berhenti dengan mata memandang ke depan. Wajah
Wisnu Patra sangat tegang, sementara Lili hanya bersikap
penuh waspada, la minta dilepaskan genggaman tangannya, la
berbisik lirih,
"Gundukan yang ada di depan sana itu bukan seperti tanah
biasa!"
Wisnu Patra menjawab, "Benar. Itulah sebabnya kutahan
langkahmu. Gundukan itu adalah punggung manusia raksasa."
"Betara Kala-kah dia?"
"Pasti. Tapi agaknya ia sedang tertidur. Atau mungkin hanya
rebahan saja. Lihat tulang-tulang di sekitarnya. Itulah sisa
makanan Betara Kala! Mungkin kita nanti akan menjadi satu
dengan tulang-tulang itu."
"Mungkin iya, mungkin tidak! Yang jelas, aku tidak ingin
menjadi mangsanya...," setelah berkata begitu, Lili melangkah
maju sendirian.
"Hei, mau ke mana kau?!" Wisnu Patra berseru tapi suaranya
membisik. Lili tidak pedulikan seruan itu. la justru setengah
berlari kecil menghampiri ke arah gundukan yang mirip tanah
itu. la memungut tengkorak kepala manusia, lalu melemparkan
ke arah gundukan tersebut.
Praaak...! Tengkorak kepala manusia itu jatuh ditumpukan
tulang. Wisnu Patra terbelalak kaget melihat tindakan Lili. la
berkata dalam suara gumam gemetar,
"Gila gadis itu! Dia malahan membangunkan raksasa yang
sedang tidur! Cari mampus saja itu orang!"
Praaak...!
Suara itu terdengar lagi, dan kali ini geram suara makhluk
besar terdengar. Keras dan menggema besar, menggetarkan
dinding dan lantai ruangan tersebut.
Bluuhg...! Rupanya raksasa besar itu berbalik arah, semula
memunggungi Lili, sekarang menghadap ke arah Lili. Tetapi
gadis itu memang punya keberanian yang luar biasa, la justru
berteriak keras,
"Hoaaaiii...!"
"Gggrrr...!"
Makhluk besar itu pun akhirnya bangkit. Matanya yang besar
membuka lebar, la berdiri dan membuat beberapa dinding
bergetar keras. Wajahnya kelihatan amat menyeramkan.
Mulutnya lebar, lubang hidungnya pun lebar, la tidak
mempunyai rambut. Kulit tubuhnya seperti tanah cadas. Ketika
ia menyeringai karena melihat kehadiran manusia, giginya
tampak sebesar mata kapak. Tubuhnya yang tinggi itu
membuat Lili memandang dengan wajah tengadah. Lalu, Lili
pun melihat kedua tangan besar bergerak diangkat ke atas, dan
raksasa yang bernama Betara Kala itu mulai melangkah
mendekati Lili.
Jleg...! Jleg...! Jleg...!
Gua itu bagai mau runtuh karena guncangannya cukup
keras. Wisnu Patra menjadi lemas. Mau berteriak pun tak
mampu. Napasnya terasa sesak karena dadanya bagai ikut
bergetar terhentak-hentak ketika kaki
Betara Kala itu melangkah.
Saat orang besar itu berhenti, terdengar suaranya berkata
dengan nada besar pula,
"Hhrrr... berani betul kau mengganggu istirahatku. Bocah
Ayu! Apa maumu, hah...?!"
Dengan lantang Lili berkata, "Aku terperosok ke Sumur Perut
Setan ini! Aku ingin keluar dari sini!"
"Huah, ha, ha, ha, hah...!"
Uli terpental ketika Betara Kala tertawa, la berguling-guling
sampai di dekat Wisnu Patra yang tak mampu lagi untuk berdiri
itu. Pada waktu itu, Wisnu Patra mendekap telinganya sambil
mendekam di dekat gundukan tulang manusia. Wajahnya pucat
pasi dan berkeringat, la ingin membantu Lili untuk bangkit, tapi
ia sendiri tak mampu gerakkan kaki dan tangannya, la hanya
bisa pejamkan mata sesaat ketika Lili terpelanting jatuh di
dekatnya, akibat limbung dalam berdirinya.
"Kalau aku tahu jalan keluarnya aku pasti sudah keluar dari
sini, Bocah Ayu!" terdengar suara Betara Kala menggema lagi.
Lili menegakkan berdirinya dan maju lebih dekat lagi. la
berseru,
"Kau pasti tahu! Kau tidak mau keluar dari tempat ini, karena
kau takut mati dibunuh musuhmu, entah siapa! Aku tahu, kau
di sini bersembunyi karena takut mati, atau karena menunggu
kematianmu tiba!"
"Huah, hah, hah, hah, hah...!"
Pendekar Rajawali Putih kembali berjumpalitan lagi. Tawa itu
selain hadirkan angin kencang juga keluarkan getaran
gelombang yang menghentak bagai ingin menjebol dada.
Pendekar Rajawali Putih hampir saja menyentuh dinding yang
bercahaya merah bara itu. la buru-buru berguling menjauh.
Kemudian ditarik napasnya dalam-dalam dan pejamkan mata
sebentar dengan sikap satu kaki berlutut yang satunya
menapak di tanah. Tangannya bergerak ke samping dan meliuk
sebentar dt depan wajah, kemudian ia pun segera bangkit
berdiri dan melangkah di tempatnya tadi.
"Bocah Ayu...! Kau memaksaku untuk marah padamu,
hah...?! Kukatakan di sini tidak ada jalan keluar, tapi kau tidak
percaya!"
"Aku bisa mempercepat Kematianmu kalau kau tidak segera
tunjukkan padaku di mana jalan menuju keluar dari tempat ini!"
"Ggrrr...!" Betara Kala mengerang dengan mata dilebarkan.
Rupanya ia marah ditantang demikian. Tangannya meraih
setumpuk tulang, lalu dilemparkan ke arah Lili. Praaakk...!
Gerakan tiap benda yang berupa tulang itu sangat cepat,
hampir tak bisa dilihat oleh mata manusia biasa. Lili segera
sentakkan kedua tangannya, dan keluarlah kabut biru yang
menyembur dari telapak tangan Lili. Kabut itulah yang
membuat tulang-tulang tersebut pecah dalam bentuk serbuk
putih yang halus beterbangan. Prooss...!
"Ggrrr...! Kau unjukkan kesaktian di depanku, kau akan
kutelan hidup-hidup tikus kecil...! Grrr...!"
Betara Kala maju dekati Lili. Wisnu Patra bertambah tegang
melihat Lili melarikan diri. Serta-merta keberanian Wisnu Patra
tumbuh kembali melihat Lili dalam bahaya. la segera bangkit
dan kerahkan tenaga sebentar, lalu lepaskan pukulan 'Bromo'-
nya ke arah Betara Kala dari samping kiri. Wuuus...!
Semburan api melesat menghantam lengan Betara Kala.
Tetapi semburan api itu ibarat percikan bunga api yang tidak
ada gunanya bagi tubuh besar berkulit amat tebal tersebut.
Betara Kala justru berpaling ke arah Wisnu Patra, kemudian
tangannya menyambar tubuh Wisnu Patra dengan gerakan
cepat. Wooos...! Angin sambar-annya begitu keras dan
membuat tulang-tulang yang dalam jarak jauh dari jangkauan
itu terlempar berserakan.
Wisnu Patra berguling-guling tertimbun reruntuhan tulang
itu. Seandainya ia tidak terhempas, maka ia akan tertangkap
oleh tangan besar tersebut. Pada saat itu, karena takut dan
kesakitan tertimbun tulang-belulang, Wisnu Patra berteriak
keras-keras, membuat Lili tersentak kaget dan berhenti dari
larinya.
Pendekar Rajawali Putih segera keraskan kedua jari
tangannya, kemudian masing-masing tangan yang mempunyai
dua jari mengeras itu disabetkan ke depan dengan gerakan
putar. Claaap...! Seberkas sinar bergelombang melesat dari dua
jari tersebut, menyatu membentuk lingkaran seperti obat
nyamuk, berputar-putar menghantam wajah Betara Kala.
Biegaaarrr...! Sinar putih perak itu meledak dengan
dahsyatnya. Tapi tidak membuat tumbang Betara Kala,
melainkan hanya terhuyung-huyung ke belakang beberapa
tindak, dan membuat salah satu dinding rompal karena
terbentur punggung manusia raksasa itu. Serangan tersebut
membuat Lili sempat tercengang, karena biasanya jurus itu
akan menghancurleburkan tiap benda yang terkena sinar putih
perak itu
Betara Kala semakin murka, la mengerang panjang sambil
mengibaskan kedua tangannya ke sembarang arah. Mulutnya
keluarkan angin badai yang membuat tulang-tulang porak
poranda. Tetapi agaknya Pendekar Rajawali Putih telah siapkan
diri dengan kekuatan tenaga dalamnya yang tersalur di kaki,
sehingga hempasan badai itu tidak membuatnya goyah dari
berdirinya. Hanya rambut dan jubahnya yang meriap karena
hembusan badai itu. Sedangkan tubuh Wisnu Patra terlempar
kuat dan membentur dinding bercahaya merah bara. Kalau saja
dinding itu tak dilapisi oleh tulang-tulang yang menempel akibat
tersapu angin, maka tubuh Wisnu Patra akan terkena racun
dinding tersebut.
"Gggrrr...!" Betara Kala kembali mengibaskan tangannya,
dan kali ini tubuh Lili tercekal dan terangkat me nuju ke mulut
lebar itu. Wisnu Patra segera berteriak tegang.
"Liliii...!" la berusaha untuk lari dan mencabut pedangnya.
Tapi langkahnya terhenti, karena pada waktu itu tangan Betara
Kala menghadang langkah. Wisnu Patra sendiri melihat Lili
mencabut pedang pusaka dari punggungnya. Suara petir di luar
menggelegar sampai mengguncangkan tanah dan dinding gua
tersebut.
Pedang Sukma Halilintar yang pada ujung gagangnya
terdapat dua kepala burung yang saling bertolak belakang itu
membara putih kebiru-biruan. Pedang itu disentakkan ke arah
mulut Betara Kala yang menganga.
Seberkas sinar putih perak keluar dari ujung pedang itu,
masuk ke dalam mulut Betara Kala. Claaapp...!
Wrrr...! Badan manusia raksasa itu bergetar. Mata besarnya
terbeliak-beliak. Pegangan tangannya kendor. Tubuh Pendekar
Rajawali Putih jatuh melayang-layang dan berusaha kendalikan
keseimbangan, hingga gadis itu bersalto satu kali, lalu dalam
gerakan tubuh turun itu, ia tebaskan pedangnya ke perut
Betara Kala. Brroos...! Perut itu robek dengan keluarkan
sentakan angin keras yang membuat tubuh Lili terpental ke
depan. Untung ia cepat bersalto dan mampu mendarat dengan
sigap.
Tepat kaki Pendekar Rajawali Putih menapak di tanah, tubuh
Betara Kala itu meledak karena sinar putih keperakan yang
masuk ke mulut itu. '
Blegaaar...!
Tubuh Betara Kala roboh dengan suara erangan memanjang.
Ledakan dahsyat itu biasanya menghancurkan gunung atau
batu keras seperti baja menjadi ser-pihan lembut. Tapi kali ini
hanya membuat tubuh Betara Kala pecah sebagian. Dadanya
sempal, kepalanya retak, perutnya jebol dan lengan kirinya
patah.
Atap gua itu berguguran pada saat tubuh besar itu tumbang.
Dinding yang terkena hempasan tubuh itu menjadi gompal,
menjatuhi bagian kaki. Sementara itu, darah yang mengalir dari
tubuh tersebut berwarna hitam busuk. Membanjir seperti
curahan mata air deras.
"Cepat lompat kemari, Wisnu!" teriak Lili. Maka Wisnu Patra
pun melompat ke tanah yang tidak terkena genangan darah
busuk tersebut. Pada saat itu, erangan dari mulut Betara Kala
terhenti, dan tubuh itu tak bergerak untuk selamanya. Mati.
Namun karena jijik dengan darah busuk tersebut, Wisnu Patra
dan Lili berlari secepatnya ke arah jalan berlorong agak kecil
dari ruangan besar tersebut, namun masih saja terhitung lebar
dan beratap tinggi.
* * *
8
GANDALOKA temui Yoga di dalam penjara. Firasat Yoga
sudah mengetahui adanya bahaya yang mengancam orang-
orang Pulau Kana. Sebelum Gandaloka menceritakan
kedatangan Ratu Cendana Wangi bersama orang-orangnya,
Yoga sudah lebih dulu berkata,
"Kau dalam bahaya, Gandaloka?!"
"Benar," jawab Gandaloka dengan jujur. "Orang-orangku
gugur melawan orang-orang Tanah Sihir yang dipimpin oleh
Ratu Cendana Wangi, Yoga. Bahkan beberapa prajuritku
disihirnya menjadi patung batu semua. Aku tidak punya
kekuatan untuk kalahkan mereka!"
"Apa yang mereka kehendaki?"
"Menguasai pulau ini, dan memaksa kami serahkan kitab
pusaka."
Dahi Yoga berkerut, la ingat saat bertemu dengan bayangan
wajah gurunya; si Dewa Geledek. Ada tugas untuknya, yaitu
mempertahankan sebuah kitab pusaka agar jangan jatuh ke
tangan orang sesat. Dalam hatinya Yoga bertanya-tanya,
"Benarkah kitab pusaka yang sekarang sedang dicari Ratu
Cendana Wangi itu yang harus kupertahankan, sesuai dengan
wasiat Guru?"
Gandaloka berkata, "Padahal kami tidak tahu tentang kitab
pusaka itu. Mendengar namanya saja baru sekarang."
"Kitab apa namanya?"
"Kitab Jagat Sakti!"
Pendekar Rajawali Merah menggumam pendek dan
menerawang sambil mengucap nama kitab itu dalam hatinya.
Kemudian, ia bertanya,
"Apakah benar pihakmu tidak tahu-menahu tentang Kitab
Jagat Sakti?"
"Sama sekali tideik! Di dalam bangsal pustaka itu banyak
kitab, tapi tida k ada yang namanya Kitab Jagat Sakti! Pendeta
Agung sendiri merasa asing dengan nama kitab itu. Katanya,
dari sejak kecil sampai setua itu ia belum pernah menden gar
nama kitab tersebut, apalagi melihatnya, sama sekal'i tidak
pernah."
"Lalu, menurut Ratu Cendana Wangi, di mana letak kitab itu
adanya?"
"Jawaban mereka bidak masuk akal. Mereka bilang kitab itu
ada di Sumur Perut Setan. Sedangkan nama Sumur Perut Setan
hanya ada di dalam dongeng. Tapi mereka mendesak kami
untuk menunjukkan letak sumur tersebut. Soal itu pun kami
benar-benar tidak tahu!"
"Lalu, apa tindakan Pendeta Agung?"
"Sedang berunding dengan para tetua untuk menanyakan
tentang kitab tersebut dan Sumur Perut Setan!" jawab
Gandaloka apa adanya. Pendekar Rajawali Merah menggumam
sambil manggut-manggut. Kejap berikutnya, Gandaloka berkata
kepada Yoga,
"Aku butuh pendamping! untuk hadapi mereka, Yo "
”Itu baik. Setidaknya untuk melindungi dirimu sendiri."
"Aku memilih kau menjadi pendampingku, Yogal"
Pendekar Rajawali Merah kerutkan dahi. "Aku ?l Apakah kau
tak salah? Aku adalah tawananmu, sebentar lagi akan
digantung seperti Kembang Mayat."
"Sudah kubicarakan dengan Pendeta Agung untuk
membebaskan kau dari tuntutan sang korban. Kukatakan pada
beliau, kau sanggup melawan Ratu Cendana Wangi, tapi aku
minta kau dibebaskan. Karena jika kau berhasil mengalahkan
mereka, itu berarti kau bukan orang pembawa sial bagi negeri
kami, dan bukan orang pembawa kutuk untuk Pulau Kana. Dan
sekarang, hal itu pun sedang dirundingkan oleh Pendeta Agung
dengan para tetua kami!"
"Bagaimana kalau aku gagal melawan mereka?"
"Kau akan mati. itu sama saja menuruti tuntutan sang
korban, yaitu Kembang Mayat."
Yoga tersenyum, lalu berkata, "Otakmu cerdas. Kau
mengikuti cara yang dipakai oleh Wong Agung Sangar itu
rupanya! Tawanan dipakai umpan. Kalau rrtenang bebas, kalau
kalah ya tetap saja mati."
"Maafkan aku, Yoga. Tidak ada cara lain yang ku-peroleh
untuk membebaskanmu, kecuali dengan cara begitu."
"Baiklah. Temukan aku dengan Pendeta Agung dan para
tetuamu! Aku ingin bicara dengan mereka."
Rupanya pihak Ratu Cendana Wangi telah kuasai istana.
Mereka tidak menawan orang-orangnya Gandaloka, tapi
mereka punya kebebasan bergerak di dalam istana. Pendeta
Agung terpaksa membiarkan hal itu terjadi semasa tidak
membawa korban lagi.
Pada saat Yoga dibawa keluar dari penjara oleh Gandaloka,
mereka bertemu dengan Naga Berang dan Garu Tulang yang
ingin menengok taman keputren, tempat para putri raja
bersantai di sana. Karena saat itu tak ada raja tak ada ratu,
maka taman keputren pun kosong, kecuali dihuni oleh para
dayang-dayang pengurus taman.
Naga Berang sengaja menghadang langkah Gandaloka,
karena ia tertarik memperhatikan Yoga yang bertubuh tidak
setinggi dan sebesar orang-orang Pulau Kana. Garu Tulang pun
merasa curiga melihat Yoga seukuran dengan dirinya. Maka,
Naga Berang menyapa Gandaloka dengan nada ketus dan
berwajah sangar,
"Rupanya di sini juga ada piaraannya. Sejak kapan kau piara
tikus kecil itu, Gandaloka?!"
Gandaloka hanya memandang Pendekar Rajawali Merah.
Lalu, Yoga yang menjawab pertanyaan itu dengan suara datar,
"Apa kau berminat bermain-main dengan tikus kecil?"
"Sangat berminat!" jawab Naga Berang. Sedangkan Garu
Tulang pun segera menimpali,
"Aku ingin bermain-main sampai tikus kecil itu mati! Ingin ku
lihat seperti apa dia jika mati."
"Gandaloka," ucap Yoga kepada sang Perwira itu, "Ada
baiknya kalau kau menyingkir sebentar. Lihatlah permainan
tikus kecil ini!"
Gandaloka menyingkir karena mengerti apa yang dimaksud
ucapan Yoga. Sementara itu, Naga Berang dan Garu Tulang
yang kurus kerempeng itu saling terse-nyum-senyum sambil
bersiap mengambil jarak. Yoga tetap tenang pandangi wajah-
wajah mereka yang berjajar.
Tiba-tiba mata kedua orang itu berubah menjadi merah, lalu
seberkas sinar melesat dari keempat mata itu, semuanya
berwarna hijau bening. Empat larik sinar menghantam dada
Yoga. Tetapi, Yoga diam saja dan membiarkan sinar hijau itu
menghantam dadanya.
Mestinya, dada itu akan hancur, atau bolong, atau
setidaknya menjadi hangus. Tapi ternyata dada Pendekar
Rajawali Merah itu tetap utuh bagai tak pernah terhantam sinar
tersebut. Yoga justru memandang dadanya sendiri ketika
empat larik sinar itu telah padam, la segera berkata kepada
kedua orang berwajah bengis itu.
"Kalian menyerang apa tadi? Atau hanya bermain sinar? Ah,
sinar seperti itu pun aku dan Gandaloka mempunyainya. Ada
yang lebih baguskah sinarnya?"
Tentu saja kedua orang berwajah bengis itu menjadi panas
hati diremehkan dengan cara seperti itu. Naga Berang segera
menggeram,
"Coba serang aku sekarang!"
"Haruskah aku menyerang anak kecil yang masih gemar
bermain sinar seperti tadi?!" kata Yoga membuat Gandaloka
tersenyum-senyum. Tapi telinga Naga Berang dan Garu Tulang
menjadi merah.
Kemudian, keduanya sama-sama pejamkan mata. Tangan
mereka berkelebat cepat bagaikan menaburkan asap ke tubuh
sendiri. Blub...! Dan tiba-tiba mereka sudah berubah menjadi
dua harimau loreng. Kedua ekor harimau loreng itu mengerang
menampakkan taringnya. Ilmu sihir tersebut tidak membuat
Yoga takut, namun justru tertawa pendek.
la berbalik dan melangkah mendekati Gandaloka. Namun
baru dua langkah, kedua harimau itu segera melompat untuk
menerkam Yoga dari belakang. Dengan cepat Yoga kibaskan
tangan kanannya sambil tubuhnya berputar cepat. Wuuut...!
Praak...!
Satu kepala harimau yang dihantam dengan kepalan keras,
tapi dua kepala yang hancur. Kedua ekor harimau itu
menggelepar-gelepar di tanah dalam keadaan pecah. Satu
dengan yang satunya sama parah. Kejap1 berikutnya, kedua
ekor harimau itu berubah bentuk menjadi Naga Berang dan
Garu Tulang, tapi mereka sudah tidak bernyawa lagi.
Gandaloka tak bisa bicara apa-apa. Gandaloka hanya
memandang dengan mata tak berkedip. Rasa heran dan takjub
menjadi satu dalam hatinya. Demikian pula para prajurit
lainnya, yang sejak tadi memperhatikan peristiwa itu dari
kejauhan. Salah seorang ada yang cepat berlari menemui
Pendeta Agung Ganesha. Sedangkan Yoga segera memandang
Gandaloka dan berkata,
"Suruh anak buahmu mengurus mayat mereka, dan mari kita
teruskan rencana kita!"
Gandaloka menuruti perintah itu, tapi dalam hatinya ia
berkecamuk,
"Luar biasa gerakannya. Tak terlihat saat ia berputar tadi.
Padahal, menumbangkan Naga Berang dan Garu Tulang itu
bukan hal yang mudah! Mereka punya ilmu sihir cukup tinggi.
Biasanya jika mereka berubah menjadi harimau, tak ada orang
yang bisa menghantamnya Jangankan menghantam,
memegang ekornya saja lak ada yang bisa. Tapi, Yoga
melakukannya dengan sangat mudah?!"
Di ruang berunding, prajurit yang tadi melihat kejadian
tersebut memberanikan diri masuk dan menemui Pendeta
Agung Ganesha. Wajah prajurit itu menjadi tegang, sehingga
para tetua yang hadir di situ menjadi tertarik dan
memperhatikannya dengan dahi berkerut.
"Ada apa?!" tanya Pendeta Agung Ganesha.
"Tawanan kita itu... Pendekar Rajawali Merah itu... telah
membunuh Garu Tulang dan Naga Berang!"
"Hahh...?!" mereka hampir serempak memekikkan suara
kaget yang sama. Bahkan sebagian sampai berdiri dari
duduknya. Lalu, prajurit itu bercerita tentang apa yang ia lihat
dari awal pertamanya. Pendeta Agung dan para tetua
terbengong-bengong jadinya.
Pada waktu itu segera muncul Gandaloka dengan Pendekar
Rajawali Merah. Maka tak heran lagi jika semua mata tertuju
kepada Yoga, sambil tiap mulut melontarkan tanya,
"Ada apa? Apa yang terjadi? Mereka benar-benar mati?
Hanya satu kali pukulan bisa membunuh dua nyawa? Apa benar
begitu?"
Gandaloka yang segera menengahi suara-suara mereka
setelah terlebih dulu menenangkannya. Gandaloka berkata
kepada Pendeta Agung,
"Pendekar Rajawali Merah telah kalahkan ilmu sihir Naga
Berang dan Garu Tulang! Seperti apa kata saya kemarin, tak
ada orang yang bisa tandingi Ratu Cendana Wangi selain
Pendekar Rajawali Merah!"
Salah seorang tetua berkata dengain suara rentanya, "Kalau
memang layak, biarlah dia menjadi panglima kita!"
"Terlalu tinggi jabatan itu, Pak Tua," kata Yoga. "Saya hanya
akan bantu membebaskan rakyat Pulau Kana dari kejahatan
Ratu Cendana Wangi, tanpa harapkan balas jasa apa pun
kecuali dibebaskan dan! jabatan sebagai tawanan."
"O, ya... dia tawanan kita!" kata salah seorang. Tapi orang
tua yang tadi mencalonkan Yoga menjadi panglima itu berkata,
"Tapi dalam kitab hukum adat ini, siapai pun bisa menjadi
panglima jika menyelamatkan negeri dan rakyat Pulau Kana.
Coba kau baca lembar tengah, bahwa siapa yang berjasa
terhadap negeri dan rakyat Pulau Kana, dia berhak mendapat
hadiah paling berharga dalam hidupnya, tapi bukan menjadi
pemimpin negara. Yang bisa menjadi pemimpin negeri ini
adalah orang yang ditunjuk oleh dewa melalui Pendeta Agung,
dan orang yang dijadikan korban tanah persembahan namun
bisa keluar dari tanah persembahan dalam keadaan hidup-
hidup. Dan kalau tawanan atau calon korban bisa selamatkan
negeri, ia bebas dari segala kutukan dan kesialan!"
Akhirnya, setelah melalui perdebatan, perundingan itu
diputuskan oleh Pendeta Agung Ganesha,
"Kita akan bebaskan Pendekar Raijawali Merah dari segala
hukuman, tapi dia harus kalahkan Ratu Cendana Wangi!"
Semua mata memandang Yoga, yang dipandang hanya
tenang-tenang saja. Gandaloka segera bertanya kepada Yoga,
"Bagaimana, Yoga? Apakah kau sanggup memenuhi syarat
itu?"
"Tidak," jawab Yoga yang membuat semua mata yang
memandang menjadi bengong. Yoga kembali berkata,
"Aku akan melawan Ratu Cendana Wangi untuk tegakkan
kebenaran. Aku akan lawan dia karena dia orang sesat! Apakah
nanti aku akan dibebaskan dari hukuman atau tidak, itu
urusanku sendiri. Kalau perlu, aku akan memberontak dan
memporak-porandakan pulau ini jika aku masih tetap akan
dihukum seperti permintaan korban persembahan yang
sebenarnya orang sesat juga itu!"
Yoga bicara dengan tegas. Para tetua, Pendeta Agung,
Gandaloka, tak ada yang berani bicara sepatah kata pun.
Mereka bagaikan terkesima oleh ucapan Yoga, sehingga
Pendekar Rajawali Merah berkata,
'Temukan aku dengan Ratu Cendana Wangi sekarang juga!"
Pendeta Agung Ganesha mengangguk, Gandaloka
menjawab, "Akan kuantar kau kepadanya!"
Rupanya pada saat itu Ratu Cendana Wangi sedang
menahan kemarahan mendapat laporan dua pengawal
utamanya dibunuh, la baru mau perintahkan agar membantai
semua orang yang ada di istana itu, tahu-tahu Gandaloka dan
Yoga muncul, di belakangnya ada Pendeta Agung Ganesha, dan
para tetua. Ratu Cendana Wangi menjadi berang melihat
kemunculan mereka, lalu berseru kepada Pendeta Agung,
"Ganesha! Dua orangku telah dibunuh! Aku akan menuntut
balas membuat semua orang di istana ini mati, dan penduduk
Pulau Kana menjadi buta seluruhnya! Tapi jika kau mampu
serahkan orang yang telah bunuh kedua pengawalku itu,
kubatalkan niatku tadi!"
Tiba-tiba Yoga berseru sambil melangkah lebih ke depan,
"Aku yang membunuh kedua orangmu!"
"Bangsat!" geram Putra Iblis dan segera menyerang Yoga.
Tapi gerakan terhenti oleh tangan Ratu Cendana Wangi yang
direntangkan. Perempuan itu pandangi Yoga dengan mata tak
berkedip. Semakin lama kemurungan wajahnya mengendur.
Kian lama kemarahan hatinya kian teduh. Lalu, seulas senyum
tipis mulai mekar di wajah ayu itu.
"Benarkah kau yang telah melakukannya?" "Benar," jawab
Yoga. "Kalau kau ingin balas, balaslah padaku!"
"Mengapa aku harus membalasnya? Kematian mereka adalah
kecerobohan diri mereka sendiri, itu tandanya mereka harus
belajar lebih tekun lagi tentang ilmu-ilmu aliranku. Hmmm...!
Siapa namamu?"
"Yoga!"
"Apa jabatanmu di sini?"
"Tawanan!"
"Oh, kasihan sekali kau rupanya?!" Ratu Cendana Wangi
tertawa sambil berlagak manja, la ingin mengusap pipi Yoga,
namun oleh Yoga dihindari dengan menarik wajah ke belakang.
'Tawanan tampan, sungguh membuatku lebih bahagia jika
tinggal di sini! Kau akan menjadi tawananku dan akan
kujadikan pengawal pribadiku yang sangat pribadi, jika aku
sudah berdiri sebagai ratu di sini, dan Ktiab Jagat Sakti sudah
kudapatkan!"
'Tidak ada Kitab Jagat Sakti!" kata Yoga dengan beraninya.
Ratu Cendana Wangi jadi cemberut.
'Tahu apa kau tentang Pulau Kana ini?"
"Yang kutahu, bebaskan rakyat negeri Linggapraja ini!
Tinggalkan Pulau Kana, dan berdamailah dengan
penduduknya!"
Ratu Cendana Wangi tertawa panjang. Kemudian ia berkata,
"Kau seperti Pendeta Agung itu, Yoga. Seharusnya kau tak
bicara begitu di depanku. Ketahuilah, aku akan tinggalkan
semua permintaanku setelah aku mati! Dan aku akan bebaskan
penduduk Pulau Kana, jika mereka mau turuti permintaanku."
"Kumohon padamu, Ratu Cendana Wangi... tinggalkan pulau
ini dan batalkan semua keinginanmu itu demi perdamaian!"
"Tidak ada perdamaian!" bentak Ratu Cendana Wangi mulai
murka.
"Bagaimana jika diganti dengan sesuatu yang lain?"
"Aku mulai paham maksudmu, Yoga! Kau ingin menantangku
buka pertarungan satu lawan satu, begitu?"
"Aku tidak menantangmu. Tapi kalau itu yang kau harapkan,
aku bersedia melayanimu!"
"Hem...!" Ratu Cendana Wangi mencibir. "Tantang-anmu
sangat halus dan sopan. Apakah kau sanggup mengalahkan
kami bertiga?"
'Tidak kujanjikan kesanggupanku, tapi kujanjikan
kemampuanku!" kata Yoga sengaja semakin pedas dan
memancing amarah.
"Baik. Ingin kulihat nyalimu! Kita buktikan omong besarmu
itu di alun-alun!"
"Sebaiknya berangkat sekarang juga, Ratu Cendana Wangi!"
"Kalau kau kalah, kubantai semua penduduk Pulau Kana ini!"
Yoga menyahut, "Dan kalau aku menang semua orangmu
harus angkat kaki dari pulau ini!"
"Baik!" Ratu Cendana Wangi segera berseru kepada Putra
Iblis dan Sawung Gala, "Kita main-main di alun-alun sana!
Tunjukkan kepada seluruh penduduk pulau ini tentang
kehebatan kita!"
Mereka pun bergegas menuju ke alun-alun. Gandaloka
sempat cemas dan memandangi Yoga. Tapi Yoga berkata,
"Pancinganku kena sasaran!"
"Hati-hatilah. Nasib penduduk pulau ini kini ada di
tanganmu."
Yoga hanya sunggingkan senyum dan berkata, "Sebentar
lagi akan kembali ke tanganmu!"
* * *
9
WISNU Patra hampir patah semangat. Perjalanan yang
sudah ditempuh memakan waktu cukup lama, tapi mereka
tetap tidak temukan jalan keluar, la sempat berkata kepada
Pendekar Rajawali Putih,
"Bagaimana kalau ternyata Sumur Perut Setan ini memang
tidak mempunyai jalan keluar?"
"Pasti ada. Kita harus mencarinya terus sampai kapan saja!"
kata Lili dengan penuh semangat.
"Sampai tuakah kita harus mencari dan tinggal di sini?"
"Jika memang perlu begitu, apa boleh buat?" Lili angkat
bahu. Kala itu mereka beristirahat, duduk di samping gundukan
tanah cadas yang sudah dibuktikan benar-benar tanah cadas.
Bukan makhluk seperti Betara Kala lagi.
Wisnu Patra berkata lagi, "Kalau kita tak bisa keluar dari
tempat ini, berarti kita kehilangan masa depan."
"Masa depan kita ya di tempat ini!"
'Tanpa makanan dan minuman?"
"Kita tak pernah lapar dan haus setelah melewati tanaman
biru tadi, bukan?"
"Memang. Tapi apakah kita juga tidak ingin ber-anak-cucu?
Sedangkan kau punya hati untuk orang iain, bukan untukku."
"Kalau kita ditakdirkan harus berjodohan di sini dengan cara
tidak bisa keluar dari tempat ini, apa boleh buat?"
"Kau mau beranak-cucu di sini dengan berpasangan
denganku?"
"Kalau itu kupandang perlu, tentu saja kuiakukan. Tapi
sekarang, hal itu belum kupandang perlu!" kata Lili dengan
enaknya.
Wisnu Patra merenung membayangkan seandainya ia dan Lili
akhirnya menjadi suami-istri di tempat itu. Sekalipun dalam
keadaan gersang dan tak pernah melihat matahari, tapi hati
Wisnu Patra tetap akan senang serta bahagia menjadi suami
gadis cantik menggemaskan hati itu.
Sebenarnya masih banyak renungan indah yang sempat
hinggap di benak Wisnu Patra. Tetapi agaknya ia harus
putuskan renungan tersebut, karena matanya menangkap
seberkas sinar pijar putih seiperti perak berkilauan. Wisnu Patra
memperhatikan dengan mata sedikit menyipit, karena sinar itu
jauh dari tempat istirahatnya. Lalu ia berkata kepada Lili
"Lihat, sinar apa itu yang putih seperti perak?!"
"Mana...?!"
"Di sebelah depan kita itu, dekat relung batu jajaran batu
ini!"
Setelah menangkap cahaya perak kecil itu, Pendekar
Rajawali Putih penasaran dan segera menghampirinya. Wisnu
Patra pun bergegas mengikuti Lili di belakangnya. Gadis cantik
itu melangkah tanpa ada rasa takut sedikit pun. Wisnu Patra
sungguh momuji dan mengagumi keberanian Pendekar
Rajawali Putih.
"Wisnu..., cahaya itu semakin besar dan bersinar terang!"
kata Lili, kemudian ia berlari mendekati cahaya terang yang
menyilaukan itu. Ternyata sebuah benda yang dikenal
bentuknya oleh Lili.
"Sebuah kitab, Wisnu!" ucap Lili tegang.
Memang sebuah kitab yang terletak di antara tulang-tulang
berserakan. Cahaya kitab itu menjadi redup ketika didekati Lili
dan diperiksa dengan kekuatan batinnya, bahwa kitab itu
ternyata tidak beracun. Hanya saja, bentuknya besar, tidak
seperti kitab biasa. Selain besar juga tebal, dilapisi sampul kain
putih lapuk. Juga, dilapisi debu-debu tebal yang mengesankan
bahwa kitab itu berusia sudah ratusan tahun. Bentuknya yang
besar menandakan kitab itu milik seseorang bertubuh besar.
Siapa lagi jika bukan Betara Kala.
Sayangnya, kitab itu menggunakan tulisan huruf Sangkala,
yaitu huruf kuno yang sudah banyak dilupakan orang. Wisnu
Patra tidak bisa membaca tulisan dalam kitab tersebut. Bahkan
gurunya sendiri tidak akan bisa membacanya. Tetapi Uli, bisa
membaca tulisan huruf Sangkala, karena ia belajar dari
gurunya, yaitu Dewi Langit Perak. Dewi Langit Perak belajar
huruf Sangkala dari suaminya, yaitu Dewa Geledek, guru dari
Yoga, si Pendekar Rajawali Merah. Tentu saja Yoga juga bisa
membaca tulisan huruf Sangkala.
Wisnu Patra tambah lagi kekagumannya kepada Lili, yang
bisa membaca tulisan berusia ratusan bahkan ribuan tahun itu.
Akhirnya, Wisnu Patra hanya bisa berharap dari Lili untuk
mengetahui isi kitab tersebut.
"Kitab ini berisi jurus-jurus dahsyat milik Betara Kala," kata
Lili saat menterjemahkan lembar pertama. "Di sini juga tertulis
riwayat singkat Betara Kala dan pernah berubah menjadi
ksatria tampan satu kali selama hidupnya, lalu... lalu
mempunyai istri seorang gadis yang dibuang di Pulau Kana
yang bernama... bernama Dewi Ambar Ayu. Dan mereka
beranak-cucu. Pada saat mereka mempunyai cucu ke sepuluh,
pangeran tampan itu kembali berubah wujud menjadi raksasa
dan istrinya mati dimakannya, lalu ia bersembunyi di dalam
Sumur Perut Setan. "Lili berhenti membaca, memandang Wisnu
Patra dan berkata,
"Berarti dia pernah ke Pulau Kana ribuan tahun yang lalu?!"
"Kalau begitu, pasti ada jalan keluai, yaitu jalan yang
dipakainya masuk kemari itu!"
"Benar. Coba kubaca lagi...." Lili kembali membaca nya.
Lembaran yang terbuat dari kulit binatang itu dibuka lagi.
"Wah, dahsyat sekali ilmu ilmu yang ada di sini."
"Ilmu apa saja?"
"Hmm... antara lain, ilmu sihir yang dinamakan 'Kutuk Iblis',
ilmu menghisap kesaktian orang yang dinamakan ilmu 'Simajati'
dan banyak lagi ilmu dahsyat di kitab ini. Aku ingin pelajari
semuanya!"
"Eh, hmmm... jalan keluarnya tadi bagaimana? Apakah
disebutkan di kitab itu?"
Lili membaca sebentar, kemudian tampak ceria dan girang,
"Ya, benar. Di sini ada petunjuk jalan keluar dari Sumur Perut
Setan!"
"Hebat sekali kalau begitu kitab ini. Kitab apa namanya?"
"Di depan sendiri ini tertulis kata Jagat Sakti. Mungkin itulah
nama kitab ini."
"Atau mungkin Jagat Sakti nama asli Betara Kala?" Kedua
pendapat itu memang benar. Tapi yang menjadi masalah
sekarang adalah, mereka harus bisa menemukan jalan keluar
sesuai dengan petunjuk di dalam Kitab Jagat Sakti Itu. Karena
Wisnu Patra tak bisa membaca tulisan Sangkala, maka Lili yang
memandu langkah mereka temukan jalan keluar. Ternyata jalan
keluar itu tidak hanya bisa ditemukan dengan berjalan kaki
saja, melainkan harus gunakan kekuatan tenaga dalam untuk
membuka pintunya. Kekuatan tenaga dalam itu harus mengikuti
petunjuk dalam kitab tersebut. Termasuk bagaimana cara
memadamkan sinar merah bara pada dinding lorong itu.
Sebenarnya, Ratu Cendana Wangi memang punya hak untuk
memiliki Kitab Jagat Sakti, jika memang benar dia keturunan
dari Dewi Ambar Ayu. Tapi apakah benar dia keturunan Dewi
Ambar Ayu? la tidak bisa buktikan hal itu. Bisa saja ia tahu
silsilah Dewi Ambar Ayu dari dongeng tentang Sumur Perut
Setan itu. Karena setiap orang yang pernah mendengar
dongeng Sumur Perut Setan, seperti halnya Wisnu Patra, juga
pernah mendengar nama Dewi Ambar Ayu sebagai putri raja
yang dibuang ke sebuah pulau karena menolak perjodohannya.
Bisa saja Wisnu Patra mengaku keturunan orang Pulau Kana
dan menuntut hak atas Kitab Jagat Sakti itu. Tapi karena Wisnu
Patra bukan tokoh sesat, maka ia tak mau mengaku-aku
demikian.
Yang jelas, karena ingin memiliki ilmu sihir tertinggi yang ada
di dalam Kitab Jagat Sakti itulah, Ratu Cenda-
na Wangi datang ke Pulau Kana. Akibatnya ia terpaksa
berhadapan dengan Pendekar Rajawali Merah.
Alun-alun penuh dengan manusia, baik dari pihak rakyat
Pulau Kana, maupun dari pihak Ratu Cendana Wangi. Mereka
sama-sama menyaksikan sebuah pertarungan besar dan
mengagumkan, yaitu Pendekar Rajawali Merah yang satu
tangannya telah terpotong itu, ternyata mampu kalahkan
Sawung Gala dengan tebasan pedangnya dari jarak tujuh
langkah. Sedangkan Putra Iblis masih bertahan melawan Yoga
dengan gunakan berbagai macam jenis ilmu sihirnya.
Namun Putra Iblis akhirnya mati oleh kekuatan sihirnya dari
kedua mata. Seberkas sinar biru kekuning-kuningan melesat
dari kedua mata si Putra Iblis. Arahnya menghantam Yoga, dan
akan membuat Yoga menjadi lumer dan hilang terbawa angin.
Tetapi, pusaka Pedang Lidah Guntur itu menangkis serangan
sinar biru, lalu memantul balik dan membuat Putra Iblis sendiri
tubuhnya menjadi lumer seperti lilin terbakar, lalu menguap
karena tertiup angin dan lenyap tak berbekas lagi.
Melihat kejadian seperti itu. Ratu Cendana Wangi naik pitam,
la segera serang Yoga dengan pukulan yang cukup aneh tapi
berbahaya. Dari telapak tangannya keluar ratusan ekor ular
kecil yang terbang menyerang Yoga. Tetapi, ratusan ekor ular
itu tak sampai menyentuh tubuh Yoga sudah pecah dan hancur
berantakan karena kilatan cahaya merah dari ujung pedang
Pendekar Rajawali Merah. Craab...! Wrrss...!
"Biadab! Kau pikir kau mampu kalahkan semua ilmu sihirku,
hah?! Heaah...!" sinar putih melesat dari ujung jari Ratu
Cendana Wangi. Arahnya ke batu besar yang ada di tepi alun-
alun. Batu itu segera melayang meng hantam kepala Yoga
dengan cepatnya. Tapi Pendekar Rajawali Merah segera
berguling di tanah satu kali, kemudian sentakkan kakinya,
melambung naik dan menebas batu tersebut dengan
pedangnya. Wuuut...! Craakk...! Praazz...! Batu itu pun pecah,
dan semua pecahannya bisa terbang melesat ke arah Ratu
Cendana Wangi. Bruuss...!
"Aaauh...!" Ratu Cendana Wangi berteriak bagai orang
kepanasan. Serpihan batu itu membuat wajahnya menjadi
rusak dan jelek bagaikan habis tersiram cairan besi panas, la
kesakitan dan berusaha mengatasi rasa sakitnya dengan berdiri
kerahkan tenaga hawa murninya ke dalam tubuh.
Tapi pada saat itu, Yoga gunakan jurus 'Petir Selaksa', yaitu
bergerak dengan sangat cepat sambil sabetkan pedangnya ke
arah lawan. Wuuut...! Craas...l
"Hooo...?!" orang-orang yang menyaksikan pertarungan di
tengah alun-alun dari jarak jauh itu sama-sama terbengong
melihat jurus yang digunakan Yoga. Jurus itu membuat tubuh
Ratu Cendana Wangi tetap berdiri tegak, namun kejap berikut
tubuhnya terpotong menjadi dua pada bagian perutnya tanpa
keluarkan darah setetes pun.
Bruuk...! Dan setiap mata orang tak sempat berkedip dalam
tiga helaan napas. Setelah itu, para anak buah Ratu Cendana
Wangi segera melarikan diri dan tak berani ada yang mencoba
hadapi Pendekar Rajawali Merah. Mereka berhamburan menuju
kapal mereka, dan cepat pergi tinggalkan Pulau Kana. Mereka
tak mau menerima nasib seperti ratu mereka yang malang itu.
Rakyat negeri Linggapraja bersorak mengelu-elukan Yoga.
Kemenangan Yoga berarti keselamatan bagi penduduk Pulau
Kana. Gandaloka pun sempat tertawa kegirangan di samping
Pendeta Agung Ganesha dan para tetua. Hanya saja, sebelum
mereka mendekat untuk menyambut Yoga, tiba-tiba tawa
mereka terhenti, wajah mereka menjadi tegang dan bergerak
mundur semua. Yoga sendiri sempat terbengong dengan masih
berdiri di tengah alun-alun. Yoga merasakan gerakan tanah
bagai dilanda gempa. Tiang bendera bergerak miring sendiri
perlahan-lahan. Lalu, tanah persembahan itu bergerak
membuka, merekah belah pada batas tertentu. Mereka menjadi
sujud semua, kecuali Yoga. Para tetua hanya bungkukkan
badan dengan perasaan takut, termasuk Pendeta Agung dan
Gandaloka.
Tiba-tiba dua sosok manusia melesat keluar dari belahan
tanah itu. Mereka adalah Pendekar Rajawali Putih dan Wisnu
Patra. Tentu saja orang-orang Pulau Kana menjadi lebih
terkejut, lebih takut, tapi juga lebih penasaran. Sedangkan
Yoga justru sarungkan pedangnya dan berteriak keras,
"Guru..."
"Yoga...?!" tanpa sadar mereka berlari dan saling peluk.
Wisnu Patra diam cemberut. Gandaloka tak bisa berkedip
karena ia kenal dengan kedua orang yang baru muncul dari
dalam tanah persembahan.
Ternyata Lili telah berhasil temukan jalan keluar dari Sumur
Perut Setan melalui petunjuk dalam Kitab Jagat Sakti itu. Jalan
keluar itu adalah tanah persembahan yang biasa dipakai untuk
melemparkan mayat korban yang dianggap membawa kutukan,
membawa kesialan, dan membawa bencana. Tanah
persembahan itulah pintu keluar-masuknya Sumur Perut Setan.
Tak ada penduduk Pulau Kana yang mengetahui hal itu, karena
mereka menganggap Sumur Perut Setan hanyalah dongeng
anak-anak bersama tokoh pemakan manusianya, yaitu Betara
Kala yang punya nama asli Jagat Sakti. Korban persembahan
yang mereka masukkan ke dalam belahan tanah itu,
sesungguhnya sesaji makanan untuk sang Betara Kala, tapi
mereka pun tak mengerti makna persembahan tersebut.
Mereka hanya mengikuti tradisi dan adat.
Demikian juga adat dan tradisi mengatakan, orang yang
muncul dari tanah persembahan berhak menjadi raja atau ratu
bagi rakyat negeri Linggapraja. Maka, mereka pun sepakat
mengangkat Wisnu Patra dan Lili untuk menjadi raja. Tetapi
tidak mungkin mereka mengangkat keduanya menjadi
pemimpin negeri. Mereka harus memilih salah satu, atau
keduanya menikah dan menjadi raja dan ratu.
"Kau saja yang menjadi raja mereka!" kata Lili kepada Wisnu
Patra.
"Mereka menghendaki kita berdua!"
'Tidak bisa. Itu berarti kita harus menikah."
"Apa salahnya?"
"Besar sekali salahnya. Karena aku tak akan mau
meninggalkan muridku; Pendekar Rajawali Merah!" jawab Lili
dengan tegas.
"Dia masih bisa menjadi muridmu!"
"Ya. Tapi jika kita menikah, dia tidak bisa jadi suamiku.
Padahal dia adalah muridku, namun juga buah hatiku!"
Percakapan itu dipandangi Yoga dari kejauhan. Wajah Yoga
bersungut-sungut. Lili segera berlari mendekatinya dan meraih
tangan pendekar tampan itu, lalu berkata dengan senyum
berlesung pipit,
"Kita pulang sekarang juga, aku mau pelajari kitab ini!"
"Kau tak ingin menjadi ratu bagi mereka?"
Lili menggeleng. "Aku hanya ingin menjadi ratu bagi dirimu!"
Kedua pendekar rajawali itu sama-sama tersenyum. Dunia
menjadi indah rasanya. Wisnu Patra hanya tarik napas dan
merelakan semuanya terjadi, termasuk rela dirinya diangkat
menjadi raja bagi rakyat Pulau Kana. la harus segera mencari
calon istri yang harus sudah dinikahi
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar