SATU
Puncak gunung Galunggung kepulkan asap ti-
pis...
Keadaan di sekitar tempat itu sunyi senyap.
Cuma yang terdengar suara lumpur lahar yang bergo-
lak mendidih.
Tak seorangpun manusia yang berani melongok
ke puncak gunung itu, karena hawa yang teramat pa-
nasnya. Akan tetapi justru satu keanehan di sisi lum-
pur yang bergolak menindih itu, pada satu relung goa
tampak duduk dengan mata meram dan kaki bersila
seorang nenek tua renta yang berambut putih beria-
pan.
Hawa dari lahar itu seperti tak dirasakannya.
Empat puluh hari empat puluh malam sudah nenek
tua renta itu bersemadi. Kalau pantatnya tak menem-
pel di atas batu tentu manusia itu pasti disangka setan
kalau kebetulan ada orang yang melonggokkan kepala
melihatnya.
Dekat ujung kakinya banyak terdapat guratan
yang menggores batu. Itulah goresan hitungan dimana
setiap selesai satu malam bertapa, si nenek selalu
menggurat satu kali dengan jarinya demikian seterus-
nya...
Dan dari banyaknya guratan itu yang kalau di-
hitung sudah berjumlah 40 guratan berarti sudah em-
pat puluh hari lamanya dia bersemadi di lereng dasar
kawah itu.
Hari itu adalah hari keempat puluh dia bertapa.
Saat mana tampak si nenek tua renta itu mulai mem-
buka sepasang kelopak matanya.
Ternyata dia seorang nenek bermata juling. Bi-
birnya tampak sunggingkan satu senyum puas. Dan
dia boleh bernapas lega, karena dari bisikan gaib yang
diperoleh melalui semedinya satu harapan besar yang
menggembirakan telah membuat dia tertawa terkekeh-
kekeh seraya ucapnya lirih.
"Hihihik... hihihihik... terima kasih! terima ka-
sih atas petunjukmu Eyang Pukulun..! tentu saja sya-
rat-syarat itu akan hamba penuhi! Bocah perempuan
yang sudah kuresmikan menjadi muridku itu harus
dapat menandingi kehebatan si Roro Centil! dan dia
harus mampu membunuhnya! hihihik... hihihik..."
Selesai berkata si nenek tua renta bermata jul-
ing itu bangkit berdiri. Sepasang matanya menatap ke
atas tepian lereng kawah, dipuncak paling atas. Den-
gan perdengarkan suara tertawa dingin, perempuan
tua yang sakti ini gerakkan anggota tubuhnya ke kiri
dan ke kanan. Terdengar suara berkrotokan tulang-
tulangnya. Duduk bersemadi selama empat puluh hari
empat puluh malam membuat urat-uratnya kaku.
Bahkan kulitnya sudah hitam seperti gosong akibat
hawa yang teramat panas. Pakaiannyapun robek ber-
serpihan karena lapuk dimakan hawa panas.
Sekali lengannya bergerak, sebongkah batu be-
sar dua kali kepalan tangan sudah tercekal di tangan-
nya. Lalu matanya menatap lagi ke atas puncak gu-
nung dari dalam ruang rongga di lereng batu dalam
mulut kawah.
WHUUUT...! batu di lengannya dilemparkan ke
atas. Dan tubuhnya secepat kilat melesat menyusul
batu yang barusan dilemparkan.
Ketika kakinya tepat di atas batu, sebelah kaki
si nenek mata juling jejakkan kakinya pada batu tua
itu, dan... ringan sekali tubuh si nenek kembali me-
luncur untuk seterusnya hinggapkan kaki di bibir mu-
lut kawah.
Sementara batu yang dipakai sebagai "tangga"
untuk melompat itu meluncur deras ke bawah, dan le-
nyap ditelan bergolaknya lumpur kawah gunung Ga-
lunggung.
Setelah perdengarkan suara tertawanya yang
terkekeh-kekeh, si nenek mata juling berkelebat dari
puncak gunung itu dan lenyap di kesamaran kabut...
Dua hari kemudian sejak terjadinya peristiwa di
gunung Galunggung, di sebuah desa terdekat telah ter-
jadi kegaduhan. Teriakan-teriakan ketakutan terden-
gar dari sebuah rumah. Apakah yang terjadi?
Seorang wanita tua lari pontang panting keluar
dari rumahnya dengan wajah pucat. Hari belum begitu
malam, namun hawa aneh yang membangunkan bulu
roma telah menyebar di sekitar desa Banyu sari. Wani-
ta yang lari pontang panting keluar dari rumahnya itu,
karena tahu-tahu melihat di dalam kamarnya muncul
makhluk-makhluk kerdil yang berwajah menyeram-
kan, dengan mulut menyeringai dan sepasang mata
yang besar-besar. Pada kepalanya terdapat dua buah
tanduk. Makhluk-makhluk itu ternyata menghampiri
anak gadisnya yang tidur sendiri dalam kamarnya. Ke-
tika mendengar suatu jeritan sang anak gadis tengah
meronta-ronta dalam cengkeraman tangan mahluk-
mahluk kerdil yang menyeramkan. Tentu saja mem-
buat dia terperangah dengan wajah pucat. Dan serta
merta melompat keluar rumah dengan menjerit-jerit
ketakutan...
"Toloooong! tolooong!" teriaknya dengan meng-
getar panik. Tentu saja membuat penduduk segera ke-
luar untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Dua
orang laki-laki bergegas melompat menghampiri.
"Ada apa, bi...? ada apa...? mengapa kau berte-
riak-teriak malam-malam begini?" tanya salah seorang.
Sementara laki-laki itu telah mencekal golok yang se-
jak keluar dari rumah sudah dihunusnya.
"Anaku... a... anaku... Kitri! tolong anaku..." te-
riak wanita tua itu dengan menangis terisak dan wajah
pucat pasi.
"Kenapa anakmu? kenapa? apa yang terjadi...?"
tanya seorang lagi. Sementara beberapa orang pendu-
duk laki-laki dan perempuan sudah berdatangan den-
gan berlari-lari menghampiri.
Akan tetapi belum apa-apa wanita tua itu telah
terkulai pingsan tak sadarkan diri. Si laki-laki bergolok
seketika sudah melompat ke arah rumah.
"Pasti ada terjadi apa-apa dengan anak gadis
itu! ayo, bantu aku melihat!" teriak laki-laki itu sesaat
ketika berhenti untuk berpaling pada para tetangganya
yang sudah berkerumun. Dua orang lagi singsingkan
kain sarungnya lalu bergegas melompat menyusul ka-
wannya. Sebuah kayu yang tergeletak di tanah disam-
bar oleh salah seorang. Sedang kawannya yang satu
lagi telah mencabut keluar goloknya yang terselip di
pinggang.
"Dimana anak gadis itu? tak ada...!" teriak sa-
lah seorang yang tadi duluan masuk. "Periksa kamar,
tolol!" teriak kawannya.
BRAAK! pintu kamar ditendang roboh. Keti-
ganya menyerbu ke dalam. Akan tetapi beberapa
bayangan hitam telah melompat dan menerkam... Se-
ketika terdengarlah suara jeritan tiga orang itu yang
seketika berkelojotan dengan mata membelalak dan
terperangah kaget, karena tahu-tahu leher mereka te-
lah terkena terkoyak oleh gigitan taring makhluk-
makhluk kerdil yang mencengkeramnya.
Tak ampun ketiga orang itu berkelojotan mere-
gang nyawa dengan lidah terjulur sekarat.
Suasana kembali hening setelah ketiga orang
penduduk itu roboh terkulai dengan tak berkutik lagi.
Akan tetapi di luar telah terjadi kegaduhan ketika dari jendela berlompatan makhluk-makhluk kerdil
itu yang jelas terlihat memondong tubuh seorang pe-
rempuan.
"Itu..! it..uuuu! kejar.! kejaaaar...!" teriak bebe-
rapa orang dengan suara santar dan mata membela-
lak. Akan tetapi bukannya pada mengejar, bahkan me-
reka menyurut mundur. Karena segera meremang bulu
tengkuk mereka melihat sekelebatan bentuk tubuh
dan wajah yang menyeramkan dari makhluk-makhluk
kerdil itu yang menggondol lari gadis itu.
"Ssssetan...! hah!? itu, mah... ssetan! hiiiiiii..."
teriak salah seorang dengan suara gemetar dan wajah
pucat pias.
Sekejapan saja makhluk-makhluk kerdil itu le-
nyap dikeremangan malam. Barulah mereka teringat
akan nasib tiga orang kawan yang memasuki rumah.
Bergegas beberapa orang menyerbu untuk melihat.
Bukan main terkejutnya para penduduk ketika
mengetahui ketiga kawan mereka telah terbujur jadi
mayat. Keadaannya mengerikan karena pada leher
masing-masing ada luka lebar menganga seperti bekas
gigitan taring.
Gemparlah seketika penduduk desa Banyu sari
ketika mengetahui ketiga penduduk yang telah tewas
itu kenyataannya telah tersedot habis darahnya.
Diculiknya gadis bernama Kitri anak seorang
janda yang cuma hidup berdua dengan anak gadisnya
itu menambah mengkalutkan suasana.
Kepala Desa segera memerintahkan semua
penduduk untuk berjaga-jaga khawatir kejadian beri-
kutnya terulang lagi.
Esoknya menjelang tengah hari, mayat ketiga
penduduk itu segera dikebumikan dengan hati hancur
serta perasaan sedih. Kejadian itu adalah kejadian un-
tuk yang pertama kalinya melanda desa Banyu sari di
lereng gunung Galunggung...
Sementara itu di satu tempat tersembunyi yang
sukar dikunjungi manusia biasa, di satu lereng bukit
terjal pada sebuah lubang goa...
"Hihihi... hihihik... bagus! bagus! kalian bekerja
dengan baik, akan tetapi aku membutuhkan enam
orang gadis lagi untuk keperluan ku!" Di mulut goa itu
berdiri sesosok tubuh wanita tua yang berambut putih
beriapan. Dialah si nenek tua renta bermata juling
yang tengah bicara dengan tujuh makhluk kerdil yang
berwajah menyeramkan.
"Tiga hari lagi bulan Purnama. Kalian harus
sudah selesai mengumpulkan tujuh orang gadis!"
sambungnya dengan suara serak bagai burung gagak.
Ketiga makhluk itu manggut-manggut dengan tertawa
menyeringai, lalu segera satu persatu berkelebatan ke-
luar dari dalam goa. Gerakannya cepat sekali karena
mereka seperti melayang saja di atas udara melintas
jurang terjal di bawah bukit. Tertawa terkekeh si ne-
nek mata juling, memandang ketujuh makhluk piaraan
yang amat patuh untuk menjalankan tugas.
Tak lama nenek mala juling segera beranjak
masuk ke dalam goa. Sebongkah batu bergerak meng-
geser dari dalam yang segera menutupi lubang itu.
Ternyata si nenek itulah yang menggeserkan batu pe-
nutup liang goa itu...
***
DUA
Dari ruangan bagian dalam goa itu terdengar
suara isak tangis seseorang. Bergegas si nenek mata
juling menghampiri, seraya perdengarkan suara tertawanya mengekeh. "Hihihik... hihihik... sudahlah mu-
ridku, jangan kau turutkan kesedihan mu! Tiga hari
lagi kau boleh bergirang hati mempunyai sepasang
lengan baru. Tidak saja akan membuat anggota tu-
buhmu kembali sempurna, akan tetapi juga kau akan
memiliki sepasang lengan yang sakti!" ujar si nenek
tua renta itu menghibur.
Tampak seorang wanita berwajah cantik, na-
mun berambut kusut dan wajah pucat lesu duduk
menyandar ditembok goa dengan berurai air mata.
Akan tetapi jelas terlihat sepasang lengannya putus.
Dialah wanita yang bernama Giri Mayang. (se-
perti dikisahkan dalam judul: Langkah-langkah Manu-
sia Beracun, Giri mayang yang bertarung melawan
Gembul Sona si Belut Putih dan Sambu Ruci alias si
Pendekar Selat Karimata kena dilukai senjata kedua
Pendekar itu. Saat itu Giri Mayang telah menyerupa-
kan dirinya menjadi seekor ular besar berkepala tujuh.
Pedang Sambu Ruci berhasil menabas leher salah satu
kepala ular. Demikian pula keris pusaka Gembul Sona
si kakek rambut coklat itu dapat leher salah satu dari
tujuh kepala ular kejadian itu. Ternyata tepat yang di-
tabas adalah sepasang lengan dari wanita sakti ber-
nama Giri Mayang itu, yang mempunyai dendam seda-
lam lautan terhadap Roro Centil.
"Tiga hari lagi, guru...? dan benarkah apa yang
kau katakan itu...?" bertanya Giri Mayang dengan wa-
jah sekonyong-konyong membersitkan cahaya cerah.
Semangat hidupnya telah timbul lagi.
"Hihihik... hihik... mengapa aku harus berdus-
ta? Tenangkan hatimu. Tiga hari lagi menjelang pur-
nama si tujuh makhluk kerdil piaraan ku sudah men-
gumpulkan tujuh orang gadis. Mereka semua adalah
sebagai syarat untuk mendapatkan sepasang lengan-
mu yang kudengar dari suara gaib hasil dari semediku
selama empat puluh hari empat puluh malam di ka-
wah gunung Galunggung. Dan... kau boleh bersuka ci-
ta dengan sepasang lengan barumu kelak, karena kau
akan mempunyai sepasang Tangan Iblis yang dapat
kau pergunakan untuk membalas dendam, hihihik...
hihihik… hihik..."
"Oh, terima kasih! terima kasih, guru! Atas jerih
payahmu itu entah dengan apa aku harus membalas-
nya!" berkata Giri Mayang dengan sinar mata membi-
nar karena girangnya.
Tertawa mengekeh si nenek mata juling, seraya
ujarnya. "Hm, bagiku asalkan kau bisa melenyapkan si
Roro Centil aku sudah puas! karena bukan saja murid
manusia Banci itu telah membunuh murid ku si kupu-
kupu emas akan tetapi juga membunuh mati anakku
Porak Supih. Dengan kau berhasil kelak mele-
nyapkannya berarti kau telah pula membalaskan den-
dam ku. dan membalaskan pula kematian paman gu-
rumu serta murid gurumu itu." berkata si nenek tua
renta dengan suara dingin. "Dengan bekal Tangan Iblis
itu aku yakin kau dapat membunuh mati si Roro Cen-
til itu, murid ku!" ucapnya dengan tandas.
Giri Mayang tak dapat berkata-kata selain
mengangguk-angguk dengan pancaran mata bersinar.
Betapa dia sudah tak sabar untuk menantikan saat
pembalasan itu...
Kita tinggalkan dulu dua manusia Kaum Rimba
Hijau golongan hitam itu yang mempunyai dendam
amat luar biasa pada sang Pendekar Wanita Pantai Se-
latan. Marilah kita beralih kesatu tempat.
Lelaki muda bertubuh tegap itu duduk terman-
gu di atas batu. Di belakangnya adalah air terjun yang
meluncur dari atas tebing batu di belakangnya. Sepa-
sang matanya menatap ke depan.
Akan tetapi tiada yang ditatapnya karena sebenarnya dia tengah menatap jauh ke masa silam...
Laki-laki itu berwajah bersih. Dari bekas cuku-
ran pada jenggot dan kumisnya menandakan dia ada-
lah bekas seorang laki-laki brewok yang berambut
gondrong. Bila di pandang dari keadaan tubuhnya,
ternyata diapun seorang yang cacad jasmani, karena
sebelah lengan kirinya putus hampir sebatas pangkal
lengan.
Dialah Joko Sangit! laki-laki gagah yang pada
peristiwa beberapa bulan yang lalu terpaksa membun-
tungi lengannya sendiri, karena demi membuktikan
cinta dan janjinya pada Roro Centil.
Akan tetapi Joko Sangit telah terkecoh, karena
tanpa disadari Joko Sangit telah salah mata mengang-
gap Giri Mayang sebagai Roro centil, karena Giri
Mayang telah mempergunakan ajian malih rupa, bah-
kan memakai pakaian serta senjata yang mirip seperti
yang sering dikenakan Pendekar Wanita Pantai Selatan
itu. Giri Mayang yang mengetahui dalam mabuknya si
laki-laki bernama Joko Sangit itu bahwa dia memen-
dam Cinta pada Roro Centil telah sengaja memper-
mainkannya. Hingga dalam keadaan menderita, Joko
Sangit tergelincir masuk ke dalam jurang. Dan tak
sempat lagi mengetahui siapa sebenarnya wanita diha-
dapannya... (baca: kisah, Misteri Telaga Berkabut.)
Apakah yang terjadi dengan murid si Pendekar
Gentayangan Ki Jagur Wedha itu hingga masih bisa
hidup dan berada di satu tempat tersembunyi di ba-
wah air terjun? Sebentar akan kita simak kisahnya.
Saat Joko Sangit tengah merenung akan kisah
silamnya yang sebentar-sebentar diseling dengan he-
laan napas, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang
membuat laki-laki ini terkejut dan tersadar dari lamu-
nannya.
"Hehehehe... orang muda terlalu banyak melamun akan tidak baik! Hal itu boleh dilakukan cuma
sekali waktu. Akan tetapi terus-terusan melamuni na-
sib, bukan saja membuat lenyapnya semangat hidup
juga akan menyia-nyiakan waktu!" Suara tertawa yang
kemudian disambung dengan kata-kata itu membuat
Joko Sangit tersenyum, karena dia segera telah melihat
datangnya seorang kakek jangkung bermata sipit ber-
kulit putih. Rambutnya digelung kecil di atas kepala.
Terbungkus dengan kain sutera warna putih.
"Ah, kakek Matsui, anda membuat aku jadi ter-
kejut..! ujar Joko Sangit seraya menjura. Lalu tukas-
nya selanjutnya. "Benar sekali apa yang anda katakan
itu kakek Matsui! aku terlalu tenggelam dengan keme-
lut kisah ku di masa silam yang penuh dengan kebru-
talan...!"
Mengekeh tertawa si kakek jangkung berjubah
putih ini dengan mengelus-elus jenggotnya, "Hehehe-
heh... kebrutalan masa muda memang seperti tidak bi-
sa terlepas dari gaya hidup manusia, akan tetapi tentu
punya batas-batas dan ukuran tertentu!" tukas si ka-
kek Matsui, tokoh persilatan dari Negeri Sakura ini.
Entah bagaimana kakek kosen ini mulai "ngelayap" ke-
luar dari negerinya,
"Wah...! kalau aku sudah lebih dari batas uku-
ran, kek...! Makanya tak habis-habis kurenungi. Aku
merasa jalan hidupku banyak salah. Aku banyak ber-
buat dosa di luar kesadaranku, atau bahkan dalam
sadarku...!" berkata Joko Sangit. ,
Kakek Matsui kerutkan keningnya menatap pa-
da laki-laki itu yang pada beberapa bulan yang lalu di-
colongnya secara kebetulan.
"Apakah di samping minum arak ada banyak
kejahatan lain yang kau lakukan?" tanya Kakek Mat-
sui. Joko Sangit tertawa hambar sambil manggut-
manggut."Banyak nian, kek! terutama pada soal perempuan...! ya! arak dan perempuan itu seperti sudah
mendarah daging di benakku! Aku berusaha menghi-
langkannya tapi tak punya kemampuan untuk meng-
hindari..." keluh Joko Sangit.
"Heheheh... apakah kira-kira kau telah temu-
kan cara baik untuk buang sifat itu?" tanya kakek
Matsui.
"Justru itulah aku tengah merenungkannya... !
sahut Joko Sangit dengan menghela napas. "Dan...
kau sudah punya kepastian? dalam perenungan mu
selama berhari-hari ini?" tanya lagi kakek Matsui den-
gan tersenyum.
"Baru separuhnya...!"
"Maksudmu?" tanya orang tua itu tak mengerti.
"Aku baru bisa menghilangkan keinginanku
dengan perempuan saja!" sahut Joko Sangit. Membela-
lak mata kakek Matsui, lalu dikejap- kejapkan. Dan ti-
ba-tiba saja tertawa terkekeh-kekeh sampai terbatuk-
batuk.
"Hehehe... heh heh heh... uhuk uhuk... berhari-
hari merenungi diri ternyata hasilnya tak lebih cuma
"pesong" belaka! hehehe... hehheh..."
"Apa itu pesong, kek...?" tanya Joko Sangit he-
ran. Ditatapnya kakek jangkung kurus berjubah putih
itu dengan hati agak mendongkol, juga tak mengerti.
"Hehehe.. ."pesong" artinya pepesan kosong! ka-
lanya kau merenung mengingat segala dosa taik kuc-
ing! nyatanya kau tak mampu menghilangkan keingi-
nanmu untuk mabok arak! Wahahaha... he. hehe...
Kalau cuma menghilangkan keinginan pada perem-
puan sih bukannya hasil merenung, tapi sudah saja
kau bilang bahwa kau patah hati! Dan patah hati itu
sifatnya sementara...! kalau untuk selamanya kau tak
punya keinginan pada perempuan, apa lagi masih
punya keinginan mabuk arak, Wah... ! wah! itu sih
sama dengan bohong! kecuali kau "dikebiri" aku baru
yakin." berkata kakek Matsui dengan blak-blakan
mengungkapkan pendapatnya.
Ternyata apa yang dikatakan si kakek Matsui
sedikitpun tak disalahkan Joko Sangit. Hatinya mem-
batin. "Si kakek orang asing yang menolongku ini se-
perti bisa mengetahui sifat manusia! aku sendiri tidak
bisa memastikan apakah akan selamanya aku men-
jauhi perempuan? Yang jelas semenjak aku dibuat sa-
kit hati oleh perbuatan Roro Centil hingga sampai aku
kehilangan sebelah lenganku aku... aku mulai mem-
benci perempuan!"
Akan tetapi sedikit banyak Joko Sangit masih
penasaran yang membuat dia ajukan pertanyaan, dan
balas "memukul" orang.
"Penjelasan anda ada benarnya juga kakek
Matsui. Akan tetapi anda mengatakan keyakinan anda
kalau manusia dikebiri barulah lenyap keinginannya
pada perempuan, apakah anda pernah mengalami hal
seperti aku? dan jangan-jangan anda termasuk orang
yang dikebiri..." ujar Joko Sangit seraya melompat ber-
diri.
Berubah seketika wajah si kakek jangkung dari
Negeri Sakura itu. Alisnya yang putih dan gompyok
hampir menutupi matanya itu terjungkat naik.
Tiba-tiba sebelah lengannya menghantam ta-
nah. Buk! dan... tubuhnya telah mencelat setinggi se-
puluh tombak. Di udara tubuh si kakek Matsui itu
berputar dua kali. Selanjutnya dia berdiri tegak me-
nengadah menatap langit. Jubahnya berkibaran ter-
tiup angin pegunungan...
Terkejut Joko Sangit dia tak menyangka kalau
kata-kata itu ternyata tepat mengenahi hati sanubari
si kakek penolongnya. Namun diam-diam dia memuji
kehebatan ilmu meringankan tubuh kakek dari Negeri
Sakura itu.
"Ucapanmu tidak salah, anak muda...! aku
memang manusia kebiri! sejak usia delapan belas ta-
hun kejadian itu telah menimpa ku! Akan tetapi du-
gaanmu salah kalau kau katakan aku mengalami hal
yang sama sepertimu!" terdengar suara si kakek Mat-
sui berkata. Suaranya pelahan, akan tetapi mengan-
dung kekuatan tenaga dalam yang hebat, yang mampu
menandingi suara mengguruhnya air terjun. Ternyata
si kakek Matsui telah palingkan kepalanya untuk me-
natap padanya dari tempat ketinggian itu. "Anak mu-
da...!" ujarnya.
"Selama hidupku aku tak pernah mengenal
atau mencicipi arak yang dapat membuat manusia
menjadi mabuk! Di negeriku cuma ada SAKE...! Itu
minuman tradisi disana! Dan... ketahuilah! Puluhan
tahun sudah aku berusaha melupakan dendam pada
manusia yang telah membuat aku cacad! Agaknya ma-
nusia yang kucari itu sudah tinggal jerangkongnya saja
alias tak ada di dunia lagi! Namun aku masih penasa-
ran untuk tetap mencarinya untuk membalaskan den-
dam ku! karena manusia itulah aku gagal dalam hidup
ini...! aku tak seperti manusia layak lainnya yang da-
pat punya istri, berkeluarga dan mengeyam hidup ba-
hagia...!"
Tertegun Joko Sangit seketika. Suara si kakek
Matsui seperti tergetar menahan perasaan yang meng-
gebu di dadanya. Tampak terlihat tubuh orang tua itu
tergoyang-goyang. Namun segera menggeloso dengan
menekuk lutut.
Sepasang matanya menatap pada Matahari, la-
lu menundukkan kepala dengan sepasang lengan
mengepal menjadi satu.
"Kakek Matsui, maafkanlah kata-kataku yang
telah menyinggung perasaan anda... !" teriak Joko
Sangit.
Pendekar tua dari Negeri Sakura itu angkat wa-
jahnya menatap Joko Sangit. Dan terdengar suara he-
laan nafasnya."Sudahlah, anak muda...! kehidupan
memang penuh dengan kemelut. Tak seorangpun ma-
nusia yang terlepas darinya...!"
Selesai berkata, kakek itu bangkit berdiri.
"Kakek Matsui! mau kemanakah anda...?" te-
riak Joko Sangit, seraya gerakkan tubuhnya melompat.
Akan tetapi cuma mampu tiba di bawah kakek itu yang
berada sepuluh kaki diatasnya. Tampaknya seperti
khawatir sekali si penolongnya itu meninggalkan tem-
pat itu. Tersenyum orang tua ini memandang laki-laki
muda itu. Ada terbersit perasaan kasihan padanya.
Memang sejak dia menolongnya secara kebetulan, si
Pendekar tua. Negeri Matahari Terbit itu agak menaruh
simpati pada Joko Sangit.
Kejadiannya adalah sebagai berikut.
Ketika itu Matsui memang berada didasar ju-
rang dalam yang berkabut itu, Sejak selama beberapa
bulan dia "gentayangan" meninggalkan Negerinya un-
tuk mencari seseorang diwilayah Pulau Jawa. Orang
yang dicarinya tak lain adalah Roro Centil. Entah apa
maksudnya kakek Matsui itu mencari sang dara Per-
kasa Pantai Selatan itu belum lagi diketahui.
Roro Centil memang pernah berkunjung ke ne-
geri Sakura itu untuk memenuhi tantangan seorang
tokoh hitam di kepulauan Jepang yang telah menden-
gar kehebatan serta nama besar Pendekar Wanita itu.
Roro berhasil menjatuhkan lawannya. Dan sempat pu-
la berkenalan dengan kakek tua bernama Matsui itu,
serta mengalami pertarungan dengan para Ninja. (Ba-
ca: kisah," Pedang Asmara Gila").
***
TIGA
Saat itu sesosok tubuh melayang deras ke da-
sar jurang yang dalam dimana pada sisi-sisinya adalah
tebing-tebing batu terjal. Naluri si kakek Matsui yang
peka membuat dia menengadah untuk melihat ke atas
tebing. Tersentak kakek itu melihat diantara kesama-
ran kabut sesosok tubuh manusia meluncur ke bawah
dengan derasnya. Saat itu Joko Sangit sudah tak tahu
akan bahaya apa yang mengancam dirinya. Ketika ta-
hu-tahu sepasang lengan telah menyambar tubuh-
nya... Dan selamatlah dia dari bahaya maut! Kakek
penolongnya itu segera diketahui bernama Matsui.
Seorang laki-laki tua dari bangsa asing dari sebuah
kepulauan yang jauh, yaitu di Negeri Matahari Terbit.
atau yang dinamakan juga Negeri Sakura.
Selama beberapa pekan Joko Sangit dirawat
oleh kakek itu hingga lukanya sembuh dan mengering.
Selama itu pula kakek Matsui telah berdiam didasar
lembah di bawah air terjun itu...
Joko Sangit merasa sangat berhutang budi atas
pertolongan orang tua asing itu. Tentu saja membuat
dia begitu khawatir kalau si penolongnya meninggal-
kan dia di dalam keadaan tersinggung karena kata-
kata yang telah diucapkannya.
"Anak muda..." ujar Matsui dengan suara lirih.
"Jangan takut! aku tak merasa tersinggung dengan
ucapan mu. Akan tetapi aku memang mau pergi.
Dan... hari ini adalah saat yang baik buat aku mene-
ruskan perjalanan...!"
"Ah!? akan kemanakah kakek...? tanya Joko
Sangit tersentak. Pirasatnya sudah menduga kalau
kakek asing yang baik budi itu akan pergi.
"Entahlah...! aku sendiri tak mengetahui kemana aku akan pergi! Untuk itu aku tak bisa mencerita-
kannya padamu!" "Apakah kakek Matsui akan mencari
dimana adanya musuh besar anda?"
"Tadinya demikian...! tapi setelah berpikir
orangnyapun entah masih hidup entah sudah mati!
Tujuan sebenarnya adalah aku ingin bertemu dengan
seorang tokoh Rimba Hijau dari tanah Jawa ini. Dia
bernama Roro Centil dan berjulukan si Pendekar Wani-
ta Pantai Selatan!" tegaskan Matsui dengan menghela
napas.
Tersentak Joko Sangit. Seketika dia tundukkan
wajah dan tampak wajahnya berubah murung. Da-
danya berombak-ombak. Namun selang sesaat Joko
Sangit dapat menenangkan perasaannya. "Ada hubun-
gan apakah anda dengannya... ?tanya Joko Sangit.
"Kau mengenalnya...?" Kakek Matsui justru ba-
lik bertanya.
"Yah, begitulah...! akan tetapi dia memang amat
sukar dijumpai!"
Terpaksa Joko Sangit menyahuti, walau sebe-
narnya hatinya lebih dari mendongkol pada Roro Cen-
til, karena si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu telah
mempermainkan cintanya. Bahkan gara-gara gadis
Pendekar itu dia harus kehilangan sebelah lengannya.
Demikian apa yang terpikir dihati Joko Sangit, tanpa
mengetahui kalau perbuatan yang dilakukan terha-
dapnya adalah bukan oleh Roro Centil. Melainkan oleh
Giri Mayang.
"Ya, ya, ya...! aku mengerti, Gadis itu memang
berwatak aneh. Muncul dan perginya seperti hantu.
Kalau tak secara kebetulan mana mungkin bisa ber-
jumpa dengan dia...?" tukas Matsui dengan manggut-
manggut.
"Baiklah...!" sambungnya kemudian setelah me-
renung beberapa saat.
"Kalau kau sudi menolongku tentu aku akan
berterima kasih sekali!"
"Apakah itu, kek? anda telah menyelamatkan
nyawaku kalau aku bisa membalas budimu!" apa pun
yang kau tugaskan untuk membantumu aku bersedia
membantumu!" sahut Joko Sangit dengan cepat.
"Heheheheh... heheheh... bagus! bagus! telah
ku tinggalkan di dalam goa "sesuatu" yang aku ingin
memberikannya pada gadis Pendekar itu!
Nah! tolong kau berikanlah benda dalam kotak
perak itu padanya...! Hanya itu yang ku ingin kau me-
nolongku... serta sampaikan salamku padanya... !"
berkata kakek Matsui. Dan setelah tertawa terkekeh-
kekeh tubuh jago tua dari Negeri Matahari Terbit itu-
pun berkelebat dari atas tebing batu. Lalu lenyap tak
kelihatan lagi.
Samar-samar masih terdengar suara tertawa
mengekehnya dan kata-kata. "Selamat tinggal anak
muda! sampai jumpa lagi, kalau masih ada usia bua-
tku...!"
Terpaku Joko Sangit ditempatnya. Tanpa sem-
pat dia ucapkan kata-kata perpisahan pada sang ka-
kek penolongnya.
Namun yang lebih membuatnya terpaku adalah
pesan si kakek Matsui.
"Benda apakah yang berada dalam peti perak,
yang harus kusampaikan pada si Roro Centil itu?" sen-
tak hati Joko Sengit.
Dan... begitu tergerak rasa ingin tahunya, tu-
buh laki-laki murid si Pendekar Gentayangan Ki Jagur
Wedha telah melompat turun dari tempat ketinggian
itu.
Untuk selanjutnya berlari-lari menuju arah goa
tempat tinggalnya selama ini.
Kebesaran bukan terletak pada kekuatan yang
dimiliki, melainkan bagaimana menggunakan kekua-
tan itu dengan benar!
Itulah tulisan dari kata-kata yang tertera pada
kulit kitab usang yang terdapat di dalam peti perak.
Ternyata rasa ingin tahu Joko Sangit telah membuat
dia penasaran untuk membuka kotak perak dalam
buntalan kain yang sedianya harus diberikan pada Ro-
ro Centil.
Berdebar hati Joko Sangit. Kata-kata dalam tu-
lisan itu mempunyai arti yang amat besar. "Ini pasti
sebuah kitab tentang Ilmu kadigjayaan...!" sentak hati
laki-laki itu. Dengan lengan sedikit tergetar kembali
Joko Sangit menyibak lemparan berikutnya. Dan terte-
ra disana sebuah tulisan yang berkalimat pendek.
"NlNJA".
Tercenung Joko Sangit."Apa artinya kata-kata
ini...?" gumamnya lirih. Selanjutnya dia telah membu-
ka lembaran-lembaran berikutnya, yang ternyata beri-
sikan ilmu-ilmu kedigjayaan. Akan tetapi jelas mem-
punyai bentuk ilmu silat asing serta ilmu bela diri yang
menerangkan tentang rumusan-rumusan inti dari ju-
rus-jurus NINJA, seperti yang tertera pada lembar per-
tama.
Jelaslah sudah kalau kakek Matsui mencari
Roro Centil adalah karena ingin memberikan kitab ten-
tang NINJA yang berasal dari Negeri Matahari Terbit
itu. Entah hubungan apakah kakek Matsui mencari
Roro Centil, hingga kakek Matsui mencari sejauh itu
hanya untuk menyerahkan kitab itu pada Roro? pikir
dibenak Joko Sangit.
"Apakah aku harus menyampaikannya pada
Roro Centil... ?" desis laki-laki itu. Sejenak dia terman-
gu-mangu seraya menutupkan kembali kitab itu. Lalu
dimasukkan lagi dalam kotak perak. Tulisan itu jelas
masih baru. Agaknya kakek Matsui telah sengaja menyadurnya dengan tulisan yang mudah dipahami diwi-
layah Pulau Jawa! Benak Joko Sangit memikir.
Lama... dan lama... Joko sangit merenung. Se-
mentara dadanya semakin berombak-ombak, pertanda
dia telah menimbang-nimbang keputusannya dengan
hati gemuruh. Sakit hati pada Roro Centil akibat per-
lakuanya hingga dia harus kehilangan sebelah lengan-
nya membuat wajahnya sebentar merah sebentar pu-
cat menegang. Tiba-tiba laki-laki itu gerakan sebelah
lengannya menghantam batu besar didekatnya.
Brrass...! batu besar itu hancur berkepingan.
Lalu jari-jari lengannya mengepal keras hingga
terdengar suara berkerotokan dari tulang-tulangnya.
Ternyata Joko Sangit telah mengambil kepastian.
"Heh! tidak! aku takkan memberikannya! perse-
tan dengan amanat si kakek Matsui. Lebih baik aku
yang mempelajari kitab tentang Ninja dari Negeri Asing
ini!" desisnya dengan suara menggetar.
Ternyata Joko Sangit sudah terkena racunnya
asmara akibat salah paham yang menyangka Roro
Centil telah mempermainkan cintanya.
Namun laki-laki itu terhenyak ketika teringat
dia cuma memiliki sebelah lengan.
"Hm, mengapa dengan lengan yang cuma sebe-
lah ini menjadi penghalang?" desisnya dengan wajah
membersitkan sinar cerah. "Hahaha... aku bisa mela-
kukan apa yang bisa kulakukan! Dengan mengga-
bungnya dengan apa yang sudah dimiliki, mustahil ke-
lak aku tak bisa menguasai ilmu asing bernama Ninja
ini!"
Joko Sangit kepalkan jari-jari tangannya den-
gan tertawa sendiri tergelak-gelak, Selanjutnya dia su-
dah bergerak melompat untuk menutup pintu goa.
Dan... entah apa yang dilakukan murid si Pendekar
Gentayangan Ki Jagur Wedha itu di dalam. Yang jelas
Joko Sangit telah siap mempelajari ilmu Ninja dari Ne-
geri Sakura itu dengan tekad yang sudah bulat.
Lereng tebing itu kembali sunyi mencekam seo-
lah tak ada penghuninya. Suara gemuruhnya air ter-
jun dan kepak sayap-sayap kelelawar serta sesekali
bunyi suaranya yang mengiyak seperti menambah len-
gangnya suasana ditempat itu yang mulai merambah
senja....
Namun yang pasti dan kelak, entah setahun
entah dua tahun bakal muncul di Rimba Persilatan
seorang tokoh yang memiliki ilmu silat tinggi, berlen-
gan tunggal. Dialah Joko Sangit! Joko Sangit! yang
pernah mendapat julukan si Berandal Pemabukan!
***
EMPAT
Suara tetabuhan yang terdengar dari tengah
desa PATUHA di malam terang bulan itu memang
membuat orang penasaran untuk melihatnya. Satu
dua dan kelompok demi kelompok bukan saja anak-
anak muda akan tetapi orang-orang tuapun tak ke-
tinggalan berdatangan untuk melihat tontonan yang
jarang terdapat itu. Dari jauh-jauh mereka sengaja
berdatangan. Tentu saja bukan cuma untuk menon-
ton. Bagi para pemuda desa di wilayah itu adalah satu
kesempatan untuk menggaet pasangan. Karena dalam
setiap keramaian sudah pasti kembang- kembang de-
sapun bermunculan dengan dandanan yang berbeda
dari biasanya. Boleh dikata malam tontonan itu adalah
kesempatan yang sukar dicari bagi para gadis atau
janda. Siapa tahu ada jodoh berkenalan dengan pemu-
da-pemuda dari desa lain.
Berita tentang menikahnya anak juragan Raden
Mas Mangku dengan seorang anak pejabat Kerajaan
telah menjadi buah bibir masyarakat desa Patuha dan
sekitarannya, yang bakal mengadakan hiburan Topeng
Banjet. Yaitu sejenis kesenian yang menampilkan pe-
nari-penari serta pesinden yang cantik-cantik dan ba-
henol. Dan malam itu adalah malam yang telah tiba
pada waktunya. Penonton telah berjejal dihalaman
rumah Juragan Raden Mas Mangku. Tepat di sebelah
kiri rumah besar yang agak berhadapan dengan rumah
Juragan itu telah berdiri sebuah panggung. Pada ba-
gian depannya telah penuh sesak dengan para tamu
undangan, yang duduk pada sederetan kursi-kursi dan
meja dengan berbagai hidangan tersedia diatasnya.
Para pesinden belum lagi muncul, akan tetapi
penonton telah berjejal memadati sekitar panggung.
Para penjaga keamanan sibuk mengatur jejalan penon-
ton agar berdiri ditempat yang tak mengganggu para
tamu undangan. Sementara di ruangan dalam penuh
pula dengan kesibukan. Dari yang member! selamat
pada mempelai yang telah duduk bersanding, juga ke-
sibukan-kesibukan lain. Sedangkan para penabuh ga-
melan tiada hentinya menyajikan irama-irama yang
bertalu-talu, diseling suara rebab dan seruling.
Menjelang tiga perempat malam, penonton mu-
lai tak sabar karena para penari dan pesinden belum
juga dimunculkan. Namun akhirnya yang dinanti-
nantikan pun tiba juga. Lima orang pesinden merang-
kap penari telah naik ke atas panggung. Penonton me-
nahan napas. Benar saja. Mereka adalah para penari
yang cantik-cantik, dengan dandanannya yang luar bi-
asa. Maklum karena yang mengundangnya adalah
orang ternama. Sedangkan pihak mempelai laki-laki
adalah anak seorang Pembesar Kerajaan dari Kota Ra-
ja. Bahkan yang ditampilkan malam itu adalah pesinden-pesinden pilihan yang kesemuanya adalah gadis-
gadis jelita. Setelah masing-masing memperkenalkan
nama, satu-persatu segera duduk dibagian depan
panggung. Penonton saling berdesakan untuk melihat
lebih jelas. Sementara penjaga keamanan mulai sibuk
mengatur penonton.
Selang tak lama seorang laki-laki setengah usia
maju ke depan seraya memberi penghormatan pada
penonton dan para tamu undangan. Lalu dengan sua-
ra lantang memberitahukan bahwa salah seorang pe-
sinden segera akan mengumandangkan sebuah lagu,
yang akan diiringi oleh tarian pula oleh salah satu dari
lima pesinden itu. Penonton menyambutnya dengan
tepuk tangan riuh serta suara suat-suit yang ramai
disana-sini. Ketika gamelan mulai berbunyi maka se-
ketika suasana gaduh itu segera terhenti. Dan... ber-
kumandanglah alunan suara merdu seorang pesinden
berpakaian warna merah muda. Sementara salah seo-
rang dari deretan kelima pesinden itu segera bangkit
berdiri untuk menyajikan tariannya.
Tepuk tangan kembali riuh serta suara suitan
disana-sini. Dan... ketika gadis semampai berpinggang
ramping dengan gemulai segera mulai menari mengi-
kuti irama gamelan, seketika satu keasyikan dari lagu
dan penarinya telah membuat penonton mendengar-
kan dan memandang kagum, terpesona...
Demikianlah. Lagu demi lagu berkumandang.
Dan penari silih berganti menyajikan tarian gemulai
yang mempesona. Semakin lama jadi semakin hangat
dan semarak. Karena dari para tamu undangan mulai
"turun" untuk ikut menari bersama dan secara bergan-
tian. Penonton bertepuk tangan riuh, serta diam-diam
bagi yang masih "doyan", mulai mengiri melihat laki-
laki yang menari bersama "bidadari-bidadari" itu. Apa-
lagi dari para tamu undangan banyak yang mulai ku
rang ajar untuk meraba pinggang sang "Ratu Banjet".
Marilah kita menengok diantara kerumunan
penonton. Seorang laki-laki berpakaian warna hitam
sejak tadi mengepal-ngepalkan tangannya menatap
dengan mata membinar melihat adegan tarian gemulai
yang ikut bersama menari adalah seorang pemuda se-
kitar usia dua puluhan tahun. Dia adalah anak seo-
rang Tumenggung Kerajaan dari Kota Raja. Pemuda itu
tampaknya mulai semakin berani meraba kesetiap ba-
gian penting ditubuh si penari. Sudah lazim menjadi
tradisi didaerah itu kalau setiap laki-laki yang akan tu-
rut menari bersama dengan "Ratu-ratu Banjet" itu
akan memberikan sejumlah uang lebih dulu sebagai
imbalannya. Namun walau demikian bukan berarti si
penari laki-laki akan bebas berbuat semuanya, me-
lainkan pada batas-batas tertentu saja.
Akan tetapi pemuda anak Tumenggung itu te-
lah berbuat agak keterlaluan. Hal mana membuat pe-
nonton terperangah. Bahkan dalam irama yang syahdu
laki-laki muda itu telah memeluk erat-erat pinggang si
penari dan menghujaninya dengan ciuman-ciuman.
Bahkan goyangan pinggul mereka telah benar-
benar rapat tanpa renggang sedikitpun. Penonton se-
perti terkesima, sementara si penari Banjet mulai me-
ronta untuk menghindari ciuman yang bertubi-tubi
itu. Pada saat itulah selirik kilatan cahaya berkelebat...
Dan detik itu juga si laki-laki anak Tumenggung itu
menjerit ngeri. Dan roboh terjungkal berkelojotan. Se-
saat antaranya setelah menggeliat beberapa kali tubuh
pemuda itupun terkulai tak berkutik lagi.
Sejenak terpaku semua menatap ketempat ke-
jadian. Akan tetapi selang beberapa saat segera ter-
dengar teriakan-teriakan kaget. Dan gemparlah pe-
nonton, juga para penabuh gamelan, yang seketika
menghentikan tabuhannya. Sedangkan penari dan pesinden saling memekik ketakutan. Beberapa orang me-
lompat ke atas panggung untuk memeriksa. Ternyata
kedapatan si pemuda itu telah tewas dengan sebuah
belati tertancap pada belakang lehernya. "Kurang ajar!
Siapa yang telah melakukan pembunuhan ini! Siapa
yang telah melakukan...!" berteriak-teriak seorang laki-
laki berpakaian perwira Kerajaan yang tak lain dari sa-
lah seorang para tamu undangan Sedangkan sang
Tumenggung ayah dari anak muda itu kebetulan tak
dapat menghadiri pesta di tempat itu yang diwakilkan
oleh anaknya.
Penonton yang tadinya berkerumun berjejalan
seketika menjadi buyar dan hiruk-pikuk. Ada yang
langsung pulang. Ada pula yang tetap berada di Sana
karena ingin tahu lanjut kejadian itu. Sementara dian-
tara simpang siurnya penonton itu, si laki-laki berbaju
hitam tadi diam-diam menyelinap pergi. Tak seorang-
pun yang mengetahui kalau pelakunya adalah si laki-
laki berbaju hitam itu. Dan untuk mengenali siapa
pembunuhnya adalah seperti mencari jarum yang ter-
cebur ke dalam laut, karena sekejap saja si laki- laki
berbaju hitam telah lenyap tak ketahuan lagi kemana
perginya...
Saat terjadi kegaduhan itulah tujuh sosok
bayangan hitam berkelebat cepat sekali ke arah pang-
gung. Dan... tahu-tahu tiga orang sinden terpekik
menjerit ketakutan ketika tiga sosok makhluk kerdil
telah mencengkeram pinggang. Dan sebelum bisa ber-
buat apa-apa tubuh-tubuh mereka telah dibawa mele-
sat ke atas wuwungan rumah. Suara jeritan mereka
seketika lenyap ketika makhluk itu lenyap pula di be-
lakang wuwungan rumah Juragan Raden Mas Mang-
ku. Para penabuh gamelan menjadi gempar. Dua sin-
den lagi telah melompat ke bawah panggung dengan
berteriak ketakutan. Ternyata mereka sempat melihat
kemunculan makhluk yang menyeramkan itu. Si per-
wira kerajaan dan para tamu undangan jadi melengak.
Mereka cuma membelalak terkesima melihat kejadian
itu.
Sementara diruang dalam terjadi pula kegadu-
han ketika dua makhluk kerdil tahu-tahu tersembul
dikamar pengantin. Salah satu mencengkeram pengan-
tin wanita, sedang satu lagi menjebolkan daun jendela.
Cepat sekali pengantin wanita itu sudah dipondong si
makhluk kerdil itu dan dibawa melompat keluar dari
jendela...
Pengantin laki-laki terkejut bukan kepalang.
Dia baru saja meninggalkan istrinya untuk melihat ke-
jadian, setelah mengantarkan sang istri ke kamarnya
yang jadi ketakutan dengan peristiwa pembunuhan
itu. Beberapa orang wanita berteriak-teriak memberi-
tahukan kejadian. Dan melompatlah si pengantin laki-
laki itu dengan wajah pucat untuk mengejar si pencu-
lik pengantin wanita istrinya.
Namun cepat sekali makhluk itu lenyap, dan
tak diketahui kemana larinya. Suara gaduh dari para
penonton serta teriakan disana-sini sukar untuk men-
getahui suara jeritan si pengantin wanita. Sementara
Juragan Raden Mas Mangku cuma terbelalak dengan
tubuh gemeteran.
"Celaka...! anakku...! a... anakku... di... diculik
sss... ssset..." BRUK! dia sudah jatuh terlentang tak
sadarkan diri. Seketika suasana bertambah semrawut,
dan suasana pesta di kediaman sang Juragan itu kini
bukan lagi pesta, melainkan jerit dan ratap serta teria-
kan ketakutan disana-sini. Beberapa orang ternyata te-
lah mengejar kemana makhluk-makhluk itu melarikan
para gadis penari tadi dengan senjata-senjata telan-
jang. Ternyata empat orang penjaga keamanan yang
ditugaskan mengatur keamanan ditempat pesta itu.
Mereka adalah para pengawal dari Kota Raja yang ber-
kepandaian tinggi.
"Itu dia...!" teriak salah seorang dari mereka
yang berkelebat mengejar makhluk-makhluk kerdil
itu."Kejaaaar...!" teriak kawannya. Dan berlarianlah
keempatnya dengan keberanian yang boleh dibangga-
kan. Karena dari sekian banyak orang apalagi untuk
mengejar, melihat tampang-tampang makhluk kerdil
yang menyeramkan dengan kepala bertanduk dan ma-
ta sebesar-besar telur ayam itu akan membuat mereka
ketakutan setengah mati. Namun keempat pengawal
dari Kota Raja ini ternyata tak takut pada segala ma-
cam hantu.
Suasana terang bulan itu ternyata telah mem-
bawa korban dan kejadian yang cukup membangun-
kan bulu tengkuk. Karena tiba-tiba keempat pengawal
itu menjerit parau ketika tahu-tahu entah dari mana
datangnya beberapa sosok bayangan hitam telah men-
cengkeram tubuhnya. Selanjutnya mereka telah berke-
lojotan dan bergulingan dengan jerit dan pekik me-
nyayat hati. Senjata-senjata mereka telah berlepasan
tak tahu kemana terpentalnya. Empat sosok makhluk
kerdil, hitam legam dan bertanduk itu telah menggigit
leher-leher mereka... menghisap darahnya.
Selang tak lama empat tubuh itu sudah terku-
lai tak bergerak lagi. Dan berloncatanlah makhluk-
makhluk kerdil itu untuk menyambar kembali korban-
korbannya yang telah pingsan dan ditinggalkan sesaat
tadi, untuk selanjutnya berkelebatan ke arah timur
dan lenyap tak kelihatan lagi....
***
LIMA
Berita-berita kejadian yang menggemparkan
penduduk desa Patuha serta lenyapnya mempelai wa-
nita yang akan diperistrikan oleh anak seorang Pembe-
sar Kerajaan dari Kota Raja yang diculik oleh makhluk-
makhluk kerdil segera tersebar di beberapa tempat.
Rombongan mempelai laki-laki kembali ke Kota Raja
dengan sedih. Dan kejadian itu segera menggemparkan
Kota Raja, karena ternyata dua hari kemudian dua
orang gadis kembali lenyap dari sebuah desa lain yang
beritanya segera tersiar dengan cepat.
Suasana kota dan desa diwilayah itu menjadi
hangat dengan adanya berita kemunculan makhluk-
makhluk kerdil yang menculik gadis-gadis serta meng-
hisap darah dari beberapa orang yang mencoba menge-
jarnya. Seperti juga pada pagi itu tengah dibicarakan
beberapa laki-laki yang sedang duduk digardu penja-
gaan disudut desa.
Udara pagi itu memang terasa agak dingin me-
nyungsum tulang. Mereka boleh menghela napas lega
karena semalam suntuk berjaga-jaga digardu penja-
gaan disudut desa itu tak menjumpai kejadian apa-
apa.
"Aku benar-benar penasaran ingin melihat ba-
gaimana tampangnya makhluk kerdil itu. Kalau saja
malam tadi mereka nongol, golokku si Loglog Getih ini
pasti akan memenggal batang lehernya!" berkata wake
Kanta. Kata-katanya memang kedengarannya seperti
menyombong. Dapat dimaklumi karena diwaktu mu-
danya wak Kanta adalah bekas "jawara" ulung yang
pernah malang-melintang di beberapa wilayah.
"Wah, wak Kanta! kalau yang ini jangan dibuat
main-main. Makhluk-makhluk kerdil itu bukan sebangsa manusia, tapi.... siluman!" tukas Madi seorang
pemuda belasan tahun sambil mencibirkan bibir. "He-
heheh... baru segala siluman, setan pun takut kalau
melihat golokku yang keramat ini. Kalian tahu? Sembi-
lan puluh sembilan perampok dimasa mudaku sudah
kena hirup darahnya oleh si Loglog Getih!" ujar wak
Kanta seraya menepuk-nepuk gagang goloknya. Aku
pernah menaklukkan beberapa macam siluman dari
siluman Harimau sampai siluman kadal, buaya, ular
monyet dan lain sebagainya. Kesemuanya takut meli-
hat golok si Loglog Getihku ini...!"
"Wah! hebat...! wak Kanta pernah ketemu silu-
man Harimau?" tanya Jaya dengan pura-pura terkejut.
Dia memang sudah hampir bosan mendengar bual ma-
sa muda orang tua itu. Padahal ketika beberapa bulan
yang lalu terjadi perampokan didesa itu laki-laki ber-
nama Kanta ini sembunyi di dalam sumur, ketakutan.
Alasannya waktu itu dia terperosok ke dalam sumur.
"Dimana ketemunya, wak...?" tanya Jaya. "Hm,
sebentar...! aku agak lupa!" sahut wak Kanta seolah
tengah mengingat-ingat kisah masa lalu dimasa mu-
danya.
"Ya, ya...! aku ingat sekarang! Waktu aku beru-
sia dua puluh tahun mengejar-ngejar enam orang pe-
rampok. Sebelas orang telah tewas oleh amukan golok-
ku si Loglog Getih. Melihat sebelas kawannya mampus,
enam orang itu kabur ketakutan! He hehe... mana ku-
biarkan mereka meloloskan diri?"
"Jadi wak Kanta mengejarnya?" tanya Jaya, pu-
ra-pura serius.
"Benar!"
"Semuanya mati, wak...?" tanya Madi dengan
wajah pura-pura tegang.
"Hus! tunggu dulu, kalau orang lagi bercerita
jangan banyak tanya-tanya. Dengarkan saja!" sahut
wak Kanta dengan agak kesal karena ceritanya dipo-
tong oleh pertanyaan-pertanyaan.
"Ya, ya, teruskan wak! si Madi memang nggak
sabaran kalau mendengarkan cerita seru, sih!" menim-
brung bicara Gimin yang sedari cuma "nguping" saja.
"Sudah, sudah, semua jadi ikut ngomong! mau
mendengarkan atau tidak? kalau tidak aku mau pu-
lang, ngantuk nih! aku mau tidur!" sambar wak Kanta.
"Mauuu!"
"Mauuuu...!" teriak mereka dengan serempak.
Wak kanta terdiam sejenak, lalu mulai teruskan ceri-
tanya.
"Eh, sampai dimana tadi...?' tanya wak Kanta.
"Sampai wak mengejar enam orang perampok yang me-
larikan diri!" Sahut Jaya dengan garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal.
"Ya, ya... betul! Nah! waktu aku mengejar me-
reka yang lari pontang-panting, aku tak teruskan men-
gejar karena mendengar suara harimau mengaum!"
ujar wak Kanta dengan berdiri dari duduknya. "Aku
cari dari mana suara itu. Ketika aku menengok ke be-
lakang, ternyata ssse... seekor ha... hari... harimau...!?"
tiba-tiba suara wak Kanta berubah jadi tergetar, dan
wajahnya sekonyong-konyong berubah pucat bagai
mayat.
Darah wak Kanta serasa terhenti mengalir keti-
ka dia berpaling ke sebelah kanannya tepat disamping
gardu ronda, tahu-tahu entah sejak kapan seekor ha-
rimau Tutul telah berdiri di situ memperlihatkan ta-
ringnya menyeringai.
Seketika dengkulnya menjadi lemas dan tu-
buhnya menggeletar. Dan... saat berikutnya wak Kanta
sudah jatuh berdebuk tak sadarkan diri bahwa takut-
nya. Terheran empat kawannya, tapi begitu mereka
menoleh seketika terperangah mereka dengan mata
membelalak dan mulut ternganga.
"Ha...harimau...!" Tersentak mereka hampir se-
rentak. Dan... tak menunggu komando lagi, seketika
mereka "ngacir" pontang-panting melarikan diri dengan
berteriak-teriak ketakutan.
"Harimau...! Celaka!? toloooong...! tolooong..!"
Dan... saat itu terdengar suara tertawa mengikik geli
terpingkal-pingkal yang dibarengi dengan suara meng-
geramnya harimau Tutul itu.
Semakin ketakutan mereka berlari jatuh ban-
gun bagai dikejar setan.
Sesosok tubuh berkelebat keluar dari balik se-
mak. Ya, sosok tubuh semampai dari seorang dara jeli-
ta yang tak lain dari si Pendekar Wanita RORO CEN-
TIL. Dengan geli Roro beranjak menghampiri si Tutul
dan mengelus-elus kepalanya." Aiiiih, mengapa kau
menakuti-nakuti orang, tutul? hihihi... kasihan orang
tua ini, dia sampai pingsan melihatmu!" berkata Roro.
Si Tutul mendengus-dengus menjilati lengan gadis
Pendekar majikannya itu dan menggelendot manja di
kaki Roro Centil.
"Hm, Tutul...! mari kita cari dimana adanya ke-
tujuh makhluk kerdil penghisap darah itu, tampaknya
desa ini salah satu dari korban penculikan gadis-gadis
yang dilakukan makhluk-makhluk keparat itu. Sudah
jelas manusia yang kita cari tak berada jauh dari wi-
layah ini...!" berkata Roro Centil dengan suara lirih.
Wajahnya kelihatan gemas, karena Roro memang telah
mengetahui kalau makhluk-makhluk kerdil itu adalah
ketujuh siluman peliharaan si nenek mala juling, yang
pada beberapa bulan yang lalu nyaris mencelakainya.
Sang harimau Tutul menggeram pelahan, lalu tubuh-
nya melenyap jadi gumpalan asap. Roro tersenyum.
Sesaat menoleh pada wak Kanta. Sepasang mata Roro
tampak berkejap-kejap. Lalu beranjak menghampiri.
Entah apa yang dilakukannya ketika berjongkok dide-
pan tubuh laki-laki tua itu. Dan, selanjutnya Roro
Centil sudah kelebatkan tubuhnya keluar dari desa itu
menuju ke arah timur.
Sementara para penduduk desa itu telah ber-
munculan dengan senjata-senjata ditangan. Akan teta-
pi mereka tak menjumpai adanya harimau yang nyasar
masuk kampung, kecuali mendapatkan tubuh wak
Kanta yang masih pingsan didepan gardu. Madi men-
guncang-nguncangkan tubuh wak Kanta agar tersadar
dari pingsannya. "Dimana kalian lihat harimau itu...?"
tanya salah seorang dari mereka yang datang. Ternyata
diantara penduduk ada tiga orang laki-laki yang berpe-
rawakan kekar, menandakan mereka bukan orang
sembarangan.
"Di... disini, Den...!" menyahut Jaya sambil
acungkan telunjuknya. Salah satu dari ketiga penda-
tang itu memberi tanda. Dan... ketegangan berkelebat
menyebar ke tiga arah untuk melacak sang Harimau
yang dikhawatirkan masih gentayangan di sekitar tem-
pat itu.
"Wak! wak Kanta! bangun, wak... harimaunya
sudah pergi...!" teriak Madi. Laki-laki tua itu membela-
lakkan matanya, dan terkejut melihat dia dikerumuni
banyak orang.
"Ssssu... sudah pergi?" tanya wak Kanta den-
gan suara menggetar.
“Tenang, wak...! untung kau tak diterkamnya!"
berkata Jaya. Sepasang mata jago tua" ini berkejab-
kejab. Lalu tiba-tiba melompat bangun.
"Ah,... apa kubilang!" ujarnya.
"kalau tak ada golokku si Loglog Getih, sudah
pasti aku celaka! karena golokku ini paling ditakuti
oleh..."
"Hah...?" tersentak kaget wak Kanta ketika
mencabut goloknya dari serangkanya ternyata cuma
tinggal gagangnya saja.
"Hahaha... hahaha... kemana goloknya, wak?"
Tentu saja wak Kanta jadi bahan tertawaan seketika
itu juga, Karena sikapnya yang lucu. Gerakan menca-
but goloknya sudah pasang aksi dengan kaki melang-
kah ke depan. Lututnya menekuk sedikit. Dan dengan
sikapnya yang gagah itu, wak Kanta mencabut golok
pusakanya. Akan tetapi ternyata cuma tinggal gagang-
nya saja. Merah padam dan pucat lesi silih berganti
pada wajah wak Kanta. Dengkulnya kembali menggele-
tar, karena hatinya sudah membatin. "Hah!? kemana
mata golokku si Loglog Getih? jangan-jangan yang
muncul tadi benar-benar siluman Harimau...?"
Dengan lemas laki-laki tua itu mendeprok di
tanah.
"Tunggu, wak! jangan pingsan dulu...!" teriak
Madi.
"Siapa yang mau pingsan...?!" membentak wak
Kanta dengan mata melotot."Aku tengah mengingat-
ingat bagaimana aku bisa membawa golok cuma ga-
gangnya saja! Ternyata aku lupa memandikan si Loglog
Getih malam Jum'at kemarin. Memang biasanya kalau
tak diurus dan lupa dirawat, si Loglog Getih suka nga-
dat tak mau menampakkan diri..." lanjutnya dengan
masih berusaha membual. Padahal hatinya kebat-kebit
berdebaran. Karena disamping kagetnya luar biasa, ju-
ga malunya bukan main. Untuk menceritakan sesung-
guhnya dia sudah terlanjur menyombong, Dan hal itu
bisa merusak nama besar"nya.
"Ooooooo...!" hampir berbareng semua mang-
gut-manggut. Wak Kanta tak memberi komentar lagi.
Dengan dengkul lemas yang sengaja di kuat-kuatkan
dia "ngeloyor" pergi.
"Mau kemana, wak...?" tanya Jaya.
"Huuu, aku ngantuk, monyong! mau tidur! ka-
lau ada apa-apa jangan bangunkan aku dulu...! kalian
orang-orang muda bisa wakilkan aku, tapi tak usah
khawatir, harimau itu sudah pulang! Percayalah, mak-
hluk itu tak berani mengganggu...!" ujarnya dengan
jumawa.
"Beres, wak! jangan lupa besok malam kita me-
ronda lagi!" teriak Jaya dengan tersenyum. Tapi wak
Kanta sudah bergegas melangkah menuju ke arah ru-
mahnya tanpa menoleh lagi...
***
ENAM
RORO CENTIL ternyata telah tiba di desa Patu-
ha. Dari hasil pelacakannya dengan bertanya pada
penduduk ternyata secara kebetulan di desa Patuha
memang baru dua hari yang lalu telah terjadi musibah
perbuatan keji ketujuh makhluk kerdil penghisap da-
rah, yang telah menculik tiga orang pesinden dan men-
culik mempelai wanita anak Juragan Raden Mas
Mangku. Serta dua orang gadis yang berasal dari desa
lain, yaitu desa dimana tadi pagi baru saja Roro mele-
watinya dan mencopotkan mata golok milik wak Kanta.
Roro ucapkan terima kasih pada dua orang tua
suami istri yang barusan ditanyai. Akan tetapi baru sa-
ja kakinya beranjak untuk melangkah, bumi tiba-tiba
serasa bergoncang keras. Atap genting me-rosot jatuh
dari beberapa wuwungan rumah penduduk. Keadaan
seketika menjadi gaduh. Para penduduk masing-
masing keluar dari rumahnya dengan berteriak-teriak.
"Gempaaa! gempaaa...!" Begitu juga kedua su-
ami istri itu. Seketika wajah mereka berubah pucat.
Serentak saling berangkulan dengan cemas. "Gempa
apakah...?" sentak Roro terkejut. Keadaan ditengah de-
sa itu menjadi kalut dengan teriakan-teriakan serta
tangis dan jerit anak-anak. Sekonyong-konyong udara
menjadi gelap.
Petir sambung menyambung di angkasa. Gem-
pa itu semakin keras, serasa bumi mau terbalik. Bebe-
rapa orang yang berlarian tampak jatuh terjengkang.
Roro Centilpun terkejut bukan main. Namun
sedikitpun tubuhnya tak bergeming, berdiri tetap di-
tempatnya. Sepasang kakinya menempel kuat di ta-
nah. Dengan ilmunya yang tinggi, terutama dari ajian
Sari Rapet, seolah kaki si Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu melengket di tanah yang di
pijaknya. Sementara diam-diam Roro pejamkan ma-
tanya bersemadi. Nalurinya mengatakan ada sesuatu
yang luar biasa yang tidak sewajarnya.
Selang sesaat suasana seperti itupun kembali
seperti sediakala. Udara kembali cerah. Dan goncan-
gan-goncangan itu mereda. Namun cahaya merah
tampak membersit dari puncak gunung Galunggung.
Membuat para penduduk ternganga keheranan. Keja-
dian semacam itu belum pernah terjadi di sekitar wi-
layah itu. Puncak gunung Galunggung memang sering
mengepulkan asap, pertanda gunung itu masih tetap
bekerja. Dan goncangan-goncangan gempa itu memang
dikhawatirkan dari gunung itu akan meletus. Namun
kejadian barusan bukanlah pertanda akan terjadi letu-
san.
Roro tersentak kaget dan hentikan semedinya.
Jantungnya berdetak keras ketika melihat ber-
sitan cahaya merah itu. "Pasti ada sesuatu terjadi di
atas puncak gunung itu...!" berkata Roro dalam hati.
"Satu pertanda buruk...!" desisnya lirih. Dan... sesaat
Roro Centil sudah berkelebat lenyap dari tempat itu
Sementara cahaya merah itupun pelahan-lahan mulai
sirna...
***
Kita beralih pada sebuah goa tersembunyi di le-
reng tebing batu. Di dalam ruang goa itu duduk bersila
seorang wanita yang berambut beriapan. Siapa lagi ka-
lau bukan GIRI MAYANG. Sepasang lengannya tampak
jelas yang putus hampir sebatas siku. Kedua luka itu
sudah mengering dan sudah tak memerlukan pemba-
lut lagi.
Giri Mayang duduk bersila dengan pejamkan
mata. Batinnya menyatu untuk menerima sesuatu
yang gaib. Sesuatu yang amat didambakannya. Sejak
bulan Purnama malam tadi dia duduk tak bergeming.
Dia tahu bahwa sang guru tengah berusaha dengan
segala daya untuk memulihkan kesaktiannya. Dan dia
tahu pada malam Purnama itu ketujuh gadis telah di-
bawa ke puncak gunung Galunggung untuk dijadikan
syarat atas permintaan sang guru demi dirinya. Juga
dia tahu tak berapa lama lagi dia akan memiliki satu
kekuatan hebat yang akan membangkitkan kembali
semangat hidupnya. Membersitkan kembali dendam
kesumat yang nyaris sirna karena keputusasaan.
Itulah sebabnya dia tetap khusuk dan bersabar
dalam semadi, untuk menanti dan menanti kelanju-
tannya dengan penuh harap. Dan harapan itu memang
bakal menjadi kenyataan. Karena selang beberapa saat
dari tatapan mata dalam alam gaib, dia melihat secer-
cah cahaya merah membersit dan meluncur keluar da-
ri dalam kawah puncak gunung Galunggung. Secercah
sinar yang berwarna biru. Selanjutnya Giri Mayang tak
melihat apa-apa lagi, kecuali gelap pekat.
Samar-samar telinganya mendengar suara gurunya yang mengekeh tertawa seperti kegirangan. He-
hehehe... heheh... muridku! bersiap-siaplah kau untuk
menerima SEPASANG TANGAN IBLIS...! Sebentar lagi
apa yang kau harapkan itu akan terkabul! Hehehe...
heheheheh..." Dan... tanpa terlihat oleh mata batin Giri
Mayang, cahaya warna biru yang keluar dari dalam
kawah di puncak gunung Galunggung itu telah melun-
cur cepat memasuki goa tempatnya bersemadi.
Ketika tiba dihadapan Giri Mayang, cahaya itu
memecah menjadi dua buah. Kemudian kedua buah
cahaya itu meluncur ke arah sepasang lengan buntung
wanita itu.
PLASSH...!
Cahaya biru itu lenyap seketika. Dan... apakah
yang terjadi? Ternyata dalam sekejap mata kedua len-
gan buntung Giri Mayang telah bersambung oleh sepa-
sang lengan yang bentuknya menyeramkan. Yaitu se-
pasang lengan yang hitam legam, berbulu kasar den-
gan ruas-ruas jarinya lebih mirip dengan tulang teng-
korak lengan yang bertonjolan.
Pada ujung kesepuluh jarinya tampak kuku-
kuku yang runcing mengerikan. Itulah Sepasang Len-
gan Iblis!
Pelahan-lahan Giri Mayang membuka kelopak
matanya, ketika merasakan dua buah benda menyam-
bung pada kedua lengannya yang putus.
"Ah...?!" tersentak wanita itu ketika melihat pa-
da lengannya yang buntung telah menempel sepasang
lengan yang bentuk dan rupanya amat menyeramkan.
"Inikah Sepasang Tangan Iblis?" sentak hatinya. "Ah,
begitu mengerikan...!" desisnya dengan mata membela-
lak menatap sepasang tangannya. Saat itu sebuah
bayangan berkelebat memasuki goa itu. Dan terdengar
suara tertawa mengekeh.
"Heheheheh... heheh... bagus! sukurlah, murid
ku! Ternyata usaha jerih payahku tak sia-sia...! kau
tak usah takut dengan tanganmu sendiri. Walau ru-
panya menakutkan. tapi dengan sepasang tanganmu
itu kelak kau akan berhasil merengkuh segala cita-
citamu! Dan... heheheh... si Roro Centil akan cuma
tinggal namanya saja dikolong jagat ini! Berterima ka-
sihlah kau dengan para Iblis yang telah mengaruniai
mu sepasang tangan sakti itu!"
Giri Mayang tersenyum dan manggut-manggut.
"Tentu...! tentu, guru! lebih dulu aku menghaturkan
terima kasih padamu, yang telah bersusah payah men-
carikan sepasang lengan ini untukku!" berkata Giri
Mayang seraya membungkuk dan jatuhkan diri berlu-
tut di hadapan wanita tua renta bermata juling itu.
"Hehehe... cukup! cukup! tak perlu banyak ba-
sa-basi! Segera kau keluar dari goa ini! pergilah ke ka-
wah gunung Galunggung untuk kau sampaikan terima
kasih mu! dan... mulai hari ini kau tak kuperkenankan
kembali ke goa tanpa kepala si Roro Centil! Selama
kau berpetualang mencarinya, silahkan kau berhu-
bungan denganku melalui batin. Aku akan menetap di
goa ini... menjadi tempat tinggalku sementara. Karena
aku juga akan' sekalian memperdalam ilmu-ilmuku!
Ketujuh makhluk kerdil piaraan ku itu segera akan
kuserahkan padamu untuk membantumu dalam ke-
sulitan!" ujar si nenek mata juling.
"Ah, terima kasih, guru...!" ujar Giri mayang
dengan wajah girang. "Akan tetapi, guru...!" bagaimana
aku bisa menghubungi mu melalui batin, sedangkan
selama ini aku tak mengetahui namamu!" tambahnya
dengan menatap dalam-dalam wajah sang guru.
"Heheheh... betul! betul, muridku. Aku si nenek
tua renta ini bernama Lembutung. Dan kau boleh se-
but aku Nini Lembutung! Hehehe... apakah ayahmu,
Tun Parera tak pernah memberitahu dimasa hidupnya
tentang aku?"
"Ti... tidak, guru!" sahut Giri Mayang. Seketika
wajahnya berubah merah padam wanita ini, dan tu-
buhnya tampak tergetar hebat ketika teringat akan
kematian sang ayah di tangan Roro Centil. Perubahan
itu diketahui oleh si nenek mata juling yang bernama
sebenarnya adalah Lembutung. Tokoh sakti golongan
hitam dari kepulauan Andalas ini maklum bahwa sang
murid amat mendendam sekali pada musuh besarnya
yang juga telah menewaskan sang murid wanitanya
pada beberapa tahun yang silam, yaitu si Kupu-kupu
Emas. Dan terakhir adalah kematian Porak Supih yang
tewas pula oleh Roro Centil. (Baca: kisah. Langkah-
langkah Manusia Beracun).
"Hm, sabarlah, muridku! kelakpun akan tiba
masanya kau balaskan sakit hatimu! Dendam itu me-
mang teramat dalam sedalam lautan! Namun dengan
Sepasang Tangan Iblis yang telah kau miliki, segalanya
akan menjadi beres. Para iblis akan turut membantu-
mu melenyapkan nyawa perempuan keparat itu. Kare-
na aku telah mengundangnya untuk datang ke kawah
gunung Galunggung melalui semadi ku! Heheheh...
bersabarlah, muridku!" hibur Lembutung dengan men-
gekeh tertawa yang menyerupai tangisan, dan mem-
buat bangunnya bulu roma.
"Nah! segeralah kau berangkat! Ketujuh mak-
hluk kerdil piaraan ku telah siap di luar goa untuk
ikut menyertaimu! berkata si nenek mata juling den-
gan suara yang dingin mencekam perasaan.
"Baik, guru! aku akan segera berangkat!" me-
nyahut Giri Mayang seraya melompat berdiri. Dan sete-
lah sekali lagi menjura dengan menekuk lutut dihada-
pan gurunya, Giri Mayang bergerak
melompat keluar dari dalam goa itu. Dengan
gerakan yang amat luar biasa tubuhnya melayang ringan laksana kapas melompat dari batu ke batu. Seke-
jap antaranya telah berada di atas tebing curam itu.
Kemudian setelah menatap sejenak ke bawah dimana
selama ini dia mendekam, tubuh wanita itu telah me-
lesat lagi, dan lenyap dibalik bongkah-bongkah batu
besar yang banyak bertebaran di atas tebing. Sementa-
ra tujuh bayangan hitam berkelebat mengikuti. Nenek
mata juling alias Nini Lembutung tertawa mengekeh,
seraya menutup mulut goa dengan menggeser batu da-
ri dalam. Selanjutnya tempat yang tersembunyi dan
susah diketahui manusia itupun kembali len-
gang seolah ditempat itu tiada berpenghuni. Burung-
burung walet beterbangan membuat sarang diantara
celah batu-batu berlubang yang banyak terdapat di sisi
tebing...
***
TUJUH
Di bawah lereng gunung Galunggung, Roro
Centil menengadah memandang ke atas puncak gu-
nung yang tinggi menjulang. Asap tipis masih tampak
mengepul ke atas, menyatu dengan kesamaran kabut
pada bagian puncaknya. Terdengar suara menggeram
di belakangnya, dan harimau Tutul sahabatnya telah
menampakkan diri.
Si Tutul tampaknya agak gelisah. Berkali-kali
menatap ke atas menengadahkan kepalanya, lalu ber-
putar-putar mengelilingi Roro beberapa kali dengan
mendengus-dengus. Sesekali memperdengarkan suara
geramannya lirih. Ternyata diam-diam Roro Centil
mengawasi kelakuan aneh sahabatnya itu.
"Ada apakah, Tutul...? tampaknya kau lain dari
gan laksana kapas melompat dari batu ke batu. Seke-
jap antaranya telah berada di atas tebing curam itu.
Kemudian setelah menatap sejenak ke bawah dimana
selama ini dia mendekam, tubuh wanita itu telah me-
lesat lagi, dan lenyap dibalik bongkah-bongkah batu
besar yang banyak bertebaran di atas tebing. Sementa-
ra tujuh bayangan hitam berkelebat mengikuti. Nenek
mata juling alias Nini Lembutung tertawa mengekeh,
seraya menutup mulut goa dengan menggeser batu da-
ri dalam. Selanjutnya tempat yang tersembunyi dan
susah diketahui manusia itupun kembali len-
gang seolah ditempat itu tiada berpenghuni. Burung-
burung walet beterbangan membuat sarang diantara
celah batu-batu berlubang yang banyak terdapat di sisi
tebing...
***
TUJUH
Di bawah lereng gunung Galunggung, Roro
Centil menengadah memandang ke atas puncak gu-
nung yang tinggi menjulang. Asap tipis masih tampak
mengepul ke atas, menyatu dengan kesamaran kabut
pada bagian puncaknya. Terdengar suara menggeram
di belakangnya, dan harimau Tutul sahabatnya telah
menampakkan diri.
Si Tutul tampaknya agak gelisah. Berkali-kali
menatap ke atas menengadahkan kepalanya, lalu ber-
putar-putar mengelilingi Roro beberapa kali dengan
mendengus-dengus. Sesekali memperdengarkan suara
geramannya lirih. Ternyata diam-diam Roro Centil
mengawasi kelakuan aneh sahabatnya itu.
"Ada apakah, Tutul...? tampaknya kau lain dari
biasanya! aku mau naik ke atas untuk melihat ada
apakah di atas puncak gunung ini...?" berkata Roro se-
raya berjongkok dan mengelus-elus leher dan kepala
Makhluk itu. Akan tetapi justru makhluk itu melenguh
seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya lalu mengge-
ram beberapa kali. "Apa maksudmu Tutul...?" desis
Roro lirih."Apakah kau tak menginginkan aku naik ke
atas?" Harimau Tutul gerakkan kepalanya mengang-
guk-angguk. Hm, baiklah, rupanya kau mau memba-
waku ke lain tempat!" ujar Roro seraya melompat naik
ke punggung si Tutul. Binatang itu tampak mulai hi-
lang kegelisahannya. Dan setelah menggeram pelahan
beberapa kali, tubuhnyapun meluncur ke arah selatan.
Membersit bagaikan angin. Roro Centil memeluk leher
si Tutul erat-erat. Sekejap saja bayangan tubuh mak-
hluk itu telah lenyap dibalik bukit...
***
Sementara itu dipuncak Galunggung...
Giri Mayang duduk bersila ditepi lubang ke-
pundan. Segenap batinnya dipersatukan untuk men-
gadakan persekutuan dengan para Iblis yang menghu-
ni di dalam kawah. Yang pada malam purnama kema-
rin baru saja menerima korban tujuh orang gadis. Te-
lah dipersembahkan dengan jalan mencemplungkan
ketujuh gadis itu ke dalam kawah. Tak terlihat oleh
mata biasa ketujuh makhluk kerdil penghisap darah,
duduk pula mengelilingi di belakang wanita itu.
Sementara tak jauh dari gunung itu di satu
puncak bukit, berdiri sesosok tubuh menatap cemas
ke arah puncak Galunggung. Dialah seorang wanita
tua dengan rambut putih yang tergelung di atas kepa-
la. Berpakaian jubah serba putih. Segera dapat dikena-
li yang tak lain dari si nenek MURI ASIH.
Nenek sakti misterius ini tampaknya sudah
maklum akan adanya bencana besar yang bakal terja-
di. Cahaya merah yang membubung dari puncak Ga-
lunggung telah membuat kecemasan tokoh wanita sak-
ti ini.
“Celaka...! pertanda buruk dari puncak Galung-
gung! Tampaknya bakal banyak bencana yang akan
terjadi. Entah siapa yang telah mengotori kesucian
puncak Galunggung itu..?" berdesis suara wanita tua
ini.
"Hmm...! akan kulihat! apakah tusuk kondeku
mampu melintasi lubang kepundannya?" gumam wani-
ta tua itu lirih. Sebelah lengannya tiba-tiba bergerak
mencabut tusuk konde emas yang terselip digelung
rambutnya. Dengan kedua jarinya nenek Muri Asih
menjepit tusuk konde itu. Telapak tangannya yang
memegang tusuk konde itu tegak menghadap ke ba-
wah dagu di atas dada bertumpu dengan sebelah tela-
pak tangannya yang terbuka. Sepasang mata wanita
tua itu bergerak mengatup, dan bibirnya berkomat-
kamit membaca mantera.
Selang beberapa saat wanita tua itu kembali
membuka matanya. Sepasang mata itu kini menatap
ke arah puncak gunung Galunggung. Lengan kirinya
kembali bergerak turun. Sementara lengan kanannya
masih tetap berada di atas dada menjepit tusuk konde
emas itu dengan kedua jarinya. Dan... selanjutnya len-
gan kanannya segera terangkat ke atas. Kemudian
bergerak mengayun. Membersitlah tusuk konde emas
itu melesat ke udara bagaikan anak panah terlepas da-
ri busurnya.
Tusuk konde emas itu sudah tak menyerupai
tusuk konde lagi, melainkan berubah menjadi secercah
sinar kuning yang berkilauan meluncur pesat menuju
ke puncak gunung Galunggung... Tak sampai sepeminuman teh, cahaya kuning kemilau itu telah tiba tepat
di atas lubang kepundan puncak gunung Galunggung.
Agaknya cahaya itu akan mampu melewati lubang ke-
pundan itu dengan aman. Akan tetapi tiba-tiba dari
atas puncak gunung itu membersit dua larik cahaya
berwarna biru.
Kedua cahaya biru itu mengejar cahaya kuning
berkilauan itu. Tampak wajah si nenek Muri Asih be-
rubah menegang. Kedua lengannya terangkat seperti
berusaha menarik kembali cahaya kuning yang telah
dilepaskan. Akan tetapi terasa tenaganya mengendur.
Cahaya kuning dari tusuk kondenya tiba-tiba
lenyap. Ternyata telah berhasil kena disergap dua ca-
haya berwarna biru itu. Dan kedua cahaya biru yang
telah menyatu itu kini meluncur kembali ke bawah, la-
lu lenyap. Terengah-engah si nenek Muri Asih dengan
wajah berubah pucat. Tampaknya dia seperti telah ke-
hilangan sepertiga dari tenaga gaibnya yang lenyap
terbetot arus kekuatan dari dua larik cahaya biru itu.
Tubuh nenek Muri Asih tampak jatuh mende-
prok ke tanah. Namun cepat-cepat dia, duduk bersila.
Sepasang matanya terpejam. Bibirnya tampak komat-
kamit membaca mantera. Dengan duduk bersila ber-
semadi itu si nenek Muri Asih tengah menghimpun
kembali kekuatannya. Sesaat antaranya wajah si ne-
nek itu telah kembali cerah. Lalu membuka matanya,
dan melompat berdiri.
"Luar biasa...! aku gagal menarik kembali tusuk
konde emasku! Entah apakah dua larik cahaya biru
itu?" desisnya tersentak. Namun wanita sakti ini sege-
ra manggut-manggut. Jelaslah sudah bahwa ada sesu-
atu di atas puncak gunung Galunggung. Pembuktian
yang dicobanya melalui pertunjukan barusan yang
mengalami kegagalan merupakan bukti yang amat
kuat. Berarti kekuatan gaibnya dapat dipatahkan dengan mudah oleh sesuatu di atas puncak gunung itu.
Segera akan kuketahui..!" gumamnya lirih.
Dan... melesatlah tubuh si nenek Muri Asih dari atas
bukit itu. Sekelebatan saja tubuhnya telah lenyap dari
atas bukit itu. Kemana gerangan perginya nenek Muri,
Asih? Ternyata telah berkelebat menuju ke sisi sungai.
Matanya jelalatan menatap ke arah buah-buah kelapa
yang pohonnya banyak tumbuh di sisi sungai itu. Wa-
nita tua ini menjumput sebutir batu kecil. Lalu jentik-
kan jarinya ke atas. TES! sebutir batu kerikil itu tepat
mengenai gagang sebuah kelapa yang segera meluncur
jatuh ke tanah. Nenek Muri Asih cepat menyambarnya.
Selanjutnya dengan gerakan cepat seolah sepasang
tangannya laksana pisau telah menguliti buah kelapa
itu lalu memapas dan melubanginya. Dibuatnya lu-
bang yang cukup lebar, hampir separuh dari bulatan
kelapa itu.
Apa yang diperbuatnya kemudian? Nenek Muri
Asih duduk bersila dihadapan buah kelapa yang sudah
terbuka dengan masih tergenang airnya. Lalu pejam-
kan sepasang matanya untuk bersemadi, dengan bibir
komat-kamit membaca mantera. Selang sepeminuman
teh tampak wanita tua itu kembali membuka matanya.
Menatap tajam-tajam ke dalam air kelapa. Sementara
bibirnya tak hentinya bergerak-gerak mengucapkan
mantera-mantera. Selanjutnya apa yang terjadi kemu-
dian? Tampak wajah si nenek Muri Asih berubah te-
gang. Alisnya menjungkat naik. Mulutnya ternganga
separuh terbuka.
Dalam air kelapa itu kini jelas membayang ca-
haya biru yang mulai terlihat nyata bentuknya. Yaitu
sepasang tangan sebatas siku yang bentuknya amat
menyeramkan. Melekat pada kedua lengan manusia
yang tak dapat terlihat wajahnya.
"Ah..! ? itulah SEPASANG TANGAN IBLIS...!"
tersentak kaget nenek Muri Asih dengan suara berde-
sis. Lalu melompat berdiri.
PRRAK! buah kelapa itu telah dihantamnya
hingga hancur dengan hantaman angin pukulan tela-
pak tangannya.
"Celaka! berbahaya sekali! entah siapa si pemi-
lik Tangan Iblis itu! Pantas tusuk konde Emasku tak
bisa pulang kembali!" Tak lama nenek Muri Asih tam-
pak berlalu dari tepi sungai dengan bibirnya kembali
perdengarkan suara berdesis. "Celaka! celaka..! apakah
akan tiba masanya kekalahan besar buat golongan
kaum putih?" Dan berkelebatlah wanita tua itu me-
ninggalkan tempat itu...
Sementara itu di atas puncak gunung Galung-
gung...
Giri Mayang tampak tengah memperhatikan
dengan seksama sebuah benda kuning berkilauan
yang tak lain dari tusuk konde emas yang telah tercek-
al di tangannya. Dari hasil semedinya memusatkan
kekuatan batin untuk bersekutu dengan para iblis di
kawah gunung itu, Giri Mayang telah mengerti bagai-
mana caranya mempergunakan sepasang lengan Iblis-
nya. Ketika itulah membersit cahaya kuning menyilau-
kan yang menyeberangi puncak gunung, melintas di
atas kepundan. Tak ayal Giri Mayang gerakkan sepa-
sang Lengan Iblisnya untuk menyambar cahaya itu.
Ketika sepasang tangan itu kembali menempel di len-
gannya menyatu kembali pada tubuhnya, ternyata te-
lah mencekal sebuah tusuk konde emas yang segera
diamatinya.
"Hm, agaknya telah ada orang sakti yang mau
mencoba-coba mengusik ketenangan ku di puncak Ga-
lunggung ini...!" desis Giri Mayang. Mengikik tertawa
wanita iblis ini, seraya selipkan benda itu ke balik pa-
kaiannya lalu melompat berdiri.
"Hm, tujuh setan kerdil! kalian selidikilah di
sekitar tempat ini! berkata Giri Mayang pada ketujuh
makhluk piaraan gurunya si Nenek Lembutung. Ketu-
juh makhluk kerdil itu membungkuk hormat, lalu ber-
kelebatan untuk menyebar menjalankan perintah
mencari kalau-kalau bisa dijumpai manusia sakti yang
telah melepaskan tusuk konde emas itu. Sementara
Giri Mayang merapal ajiannya untuk segera mele-
nyapkan diri, hingga tubuhnya tak nampak lagi oleh
mata manusia biasa...
***
DELAPAN
Kemanakah gerangan si Tutul membawa maji-
kannya si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang duduk
di atas punggungnya dengan memeluk erat lehernya
itu? Roro Centil tak berani membuka matanya karena
bersitan angin yang terlalu keras menerpa tubuhnya.
Seperti juga dalam perjalanan yang biasa dilakukan
menjelajah dunia dalam petualangannya, Roro Centil
selalu mengingat kebesaran Tuhan yang telah membe-
rikan karunianya. Dengan memiliki sahabat si Tutul
yang luar biasa itu Roro Centil telah berpetualang ke-
tempat-tempat yang jauh. keperbagai pulau di kawa-
san Nusantara pada masa itu.
Dua malam telah terlewati. Dalam perjalanan
itu telah beberapa kali si Tutul beristirahat memberi
kesempatan pada Roro untuk menangsal perut. Bah-
kan sempat singgah di satu desa. Namun tak bisa ber-
lama-lama karena si Tutul selalu memberi isyarat den-
gan menggigit-gigit dan menarik ujung bajunya agar
meneruskan perjalanan.
Kembali Roro Centil mengarungi lautan yang
amat luas. Burung- burung camar menyingkir ketika
angin keras tahu-tahu membersit melewati wilayah pe-
rairannya. Seorang nelayan tua melengak kaget ketika
perahunya menjadi oleng karena hempasan angin le-
wat telah menerpa layarnya.
Akan tetapi dia memang tak dapat melihat apa-
apa. Kecepatan luncuran si Tutul laksana hembusan
angin. Nelayan tua itu cuma membelalak kaget seraya
menyambar dayung untuk menguasai olengnya perahu
dengan bibir komat-kamit entah do'a apa yang diba-
canya...
Selang kira-kira waktu setengah hari, si Tutul
menghentikan luncuran. Ternyata telah tiba di satu
daratan berpasir. Bukit-bukit batu tampak bertebaran
disana-sini. "Ah, diwilayah manakah ini...?" sentak Ro-
ro seraya melompat dari atas punggung si Tutul. Ter-
mangu-mangu Roro Centil memperhatikan tempat se-
kitarnya, yang melulu padang pasir serta bukit-bukit
batu. Sementara si Tutul tiba-tiba merubah dirinya
menjadi seekor harimau kecil sebesar kucing. Dengan
menggeram dan "mengeong" lirih sang Tutul kecil itu
menarik-narik ujung terompah Roro.
"Aiiih, apa maksudmu, Tutul...?" tanya Roro he-
ran. Si Tutul kecil kembali menggeram dan mengeong
lirih, seraya kemudian melompat ke arah sebuah batu
besar di sisi tebing batu. Terpaksa Roro Centil melom-
pat menyusui. Sikap seperti itu adalah menandakan si
Tutul mengajaknya untuk kesatu tempat. "Mengapa
harus merobah menjadi anak harimau...?" berkata Ro-
ro dalam hati.
Di atas batu besar itu si Tutul kecil mondar-
mandir menunggu kedatangan Roro. Baru saja Roro
injakkan kakinya ke atas batu. Si Tutul melompat
kembali ke bawah. Lalu apa yang di lakukannya? Ter
nyata si Tutul kecil mengorek-ngorek pasir di bawah
batu itu seraya mengeram dan mengeong tak hentinya.
Melengak Roro Centil, tak tahu dia apa maksudnya.
Akhirnya Roro Centil cuma jadi penonton saja, dengan
berjongkok di atas batu itu memperhatikan tingkah la-
ku si Tutul kecil yang terus menggali pasir hingga ber-
lubang. Tak memakan waktu lama lubangpun semakin
dalam. Dan si Tutul kecil seperti lenyap ditelan pasir
sekian lama ditunggu tak munculkan dirinya. "Ah,
apakah yang telah terjadi dengannya?" desis Roro den-
gan hati berdebar. "Ada apakah di bawah batu besar
ini?" berkata Roro dalam hati. Baru saja dia mau me-
lompat turun, si Tutul kecil telah tongolkan kepalanya.
Ternyata pada moncongnya telah menggigit sebuah tu-
lang lengan manusia. Tersentak Roro dengan mata
membelalak. "Aiiiih?" teriaknya tertahan karena terke-
jut dan herannya.
Baru saja meletakkan tulang lengan itu di atas
lubang, si Tutul sudah masuk lagi ke dalam lubang
itu. Tak lama keluar lagi dengan membawa tulang-
tulang lainnya. Dari tulang lengan, tulang leher, tulang
kaki sampai tulang pinggul dan rusuk kesemuanya
diseret keluar oleh makhluk itu. Roro Centil cuma bisa
terpaku sambil garuk-garuk kepala dan leletkan lidah-
nya tanpa mengetahui apa maksud ulah si Tutul kecil
itu. Namun dia sudah dapat menerka kalau di bawah
batu besar itu ada terdapat kuburan manusia yang tu-
lang-tulangnya sedang digeret keluar oleh sang hari-
mau Tutul kecil. Namun kemisteriusan tingkah laku
sahabatnya itu membuat benaknya tak habis memikir.
Hingga terpaksa Roro cuma berdiam diri menunggu
habisnya tulang-belulang manusia yang dibawa keluar
lubang oleh si Tutul.
Sementara Matahari memanggang tubuh Roro
dengan panasnya yang menyengat kulit. Namun Roro
Centil tetap tak beranjak dari tempatnya untuk menge-
tahui kelanjutan dari apa yang diperbuat sahabatnya
itu.
***
Kita tinggalkan dulu Roro Centil yang tengah
bergelut dengan berbagai pertanyaan dibenaknya itu.
Mari kita beralih kesekitar wilayah gunung Galung-
gung. Giri Mayang ternyata tengah mengumbar kesak-
tian sepasang Tangan Iblisnya. Dua larik cahaya ber-
warna biru tampak membersit di udara mengelilingi
beberapa buah desa.
Tampak satu kepanikan luar biasa dari pendu-
duk kedua desa itu. Dengan bersiyuranya dua larik
cahaya biru itu yang memutari desa membuat pendu-
duk jadi ketakutan. Sementara hawa dingin yang men-
cekam dan membangunkan bulu roma menyelimuti
sekitar kedua desa itu.
Tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan menyayat ha-
ti ketika dua larik cahaya biru itu meluncur turun.
Berjatuhan tubuh-tubuh tanpa kepala dalam sekeja-
pan saja seperti dipoteskan saja layaknya oleh lengan-
lengan mengerikan yang tak terlihat oleh mata biasa.
Pekik ketakutan dan jerit kematian membaur dalam
kengerian yang amat luar biasa. Darah memercik dis-
ana sini membasahi tanah halaman juga pada bilik-
bilik kamar. Lebih dari tiga puluh manusia dari mas-
ing-masing desa mengalami kematian dengan amat
mengerikan. Bukan saja laki-laki, tapi perempuan dan
bahkan anak-anak yang tak berdosa menjadi korban
ke "gila"an sepasang tangan iblis.
Sementara dengan tertawa mengikik Giri
Mayang duduk dengan kaki menjuntai di atas wuwun-
gan rumah yang berada ditempat agak tinggi menyaksikan bekerjanya sepasang Tangan Iblisnya menyebar
maut.
Selang beberapa saat, tampak wanita iblis itu
mengangkat sepasang lengan buntungnya seraya ber-
kata dengan berdesis. "Cukup!" Dan... Plash! kedua
lengan Iblisnya segera kembali melekat ke tempatnya
semula, menelusup masuk ke dalam lengan baju wani-
ta itu.
"Hihihihi... hihihi... Mari, setan-setan kerdil! ki-
ta tinggalkan tempat ini!" Dan selesai berkata tubuh
Giri Mayang segera melesat lenyap dari atas wuwungan
rumah itu dengan diikuti tujuh bayangan hitam dari
ketujuh makhluk kerdil yang setia mengikuti tanpa
memperlihatkan diri.
Lagi-lagi Giri Mayang sengaja menyebar maut
untuk memancing kemunculan para pendekar.
Dan lagi-lagi rakyat yang tak berdosa menjadi
korban! Pekik dan jerit serta ratap tangis dari sisa-sisa
penduduk yang keluarganya menjadi korban kegana-
san si Tangan Iblis segera membaur didua desa. Se-
mentara Giri Mayang meninggalkan tempat pemban-
taian itu dengan perdengarkan suara tertawa mengikik
yang membuat bulu tengkuk meremang.
Saat itu tiga bayangan tubuh berkelebat me-
nyusul ke arah berkelebatnya tubuh Giri Mayang. Ge-
rakan melompat dari ilmu meringankan tubuh ketiga
orang yang mengejarnya itu cukup hebat, pertanda
mereka bukan orang-orang biasa, tapi orang-orang
yang mempunyai kepandaian tinggi yang boleh dian-
dalkan. Sementara dari jurusan lain dua bayangan ju-
ga berkelebat menyusul. Dialah seorang laki-laki ber-
baju putih yang mempunyai gerakan berlari cepat ba-
gaikan larinya seekor kijang. Di belakangnya mengikuti
seorang wanita berbaju merah, kembang-kembang.
Membawa sebuah topi tudung lebar di lengannya.
Selarik cahaya putih yang berkredepan meman-
jang laksana sehelai selendang perak tiba-tiba melun-
cur menghalangi langkah lari kedua orang ini. Terpak-
sa si laki-laki berbaju putih menahan langkahnya den-
gan terkejut, yang diikuti si wanita muda berbaju me-
rah. Sementara itu tiga laki-laki yang tengah mengejar
Giri Mayang telah mendengar suara halus yang dikirim
dari jarak jauh.
"Tiga orang gagah, tahanlah langkah kalian!
Jangan mengumbar nafsu dan menambah korban!"
Suara halus itu terdengar amat berpengaruh, mem-
buat ketiga laki-laki itu segera menahan langkah. Se-
mentara si laki-laki baju putih dan gadis berbaju me-
rah kembang-kembang jadi tersentak kaget ketika me-
lihat seorang wanita tua berdiri kira-kira 10 tombak
dihadapannya. Cahaya selendang perak itu terpaksa
membersit dari telapak tangannya. Sesaat kemudian
tampak wanita tua itu gerakkan lengannya seperti me-
narik kembali cahaya selendang warna perak itu yang
seketika lenyap.
"Siapakah perempuan tua itu?" bertanya gadis
yang berada di belakang laki-laki baju putih. Pemuda
berwajah tampan itu menoleh. "Ah!? kau mengapa
ikut-ikutan mengejar, nona?" tanya si pemuda yang
tak lain dari Sambu Ruci si Pendekar Selat Karimata
alias si Bujang Nan Elok.
"Hm, aku toh punya kaki!" sahut gadis itu den-
gan merengut.
"Haiiih! semangat kalian memang hebat, anak-
anak muda! Akan tetapi tahanlah emosi kalian. Musuh
kalian itu adalah musuh kita semua golongan kaum
pendekar, namun dengan kita bertindak tanpa perhi-
tungan cuma akan sia-sia!" terdengar suara halus si
wanita tua itu yang entah sejak kapan telah berada di-
hadapan mereka.
Sementara itu tiga sosok tubuh laki-laki tadi te-
lah berkelebatan melompat ketempat itu.
"Nenek tua, siapakah kau? mengapa mengha-
langi niat kami menumpas keangkaraan yang amat ke-
terlaluan itu?" berkata salah seorang dari ketiganya.
Ternyata mereka itu adalah tiga laki-laki gagah yang
memang berada didesa itu. Yaitu ketiga laki-laki yang
pernah mencari lenyapnya seekor macam Tutul didesa
Kranji. Sudah beberapa malam mereka menginap dide-
sa tersebut untuk berjaga-jaga dari kemungkinan
adanya tujuh makhluk kerdil yang muncul didesa itu.
Wanita tua itu putarkan tubuhnya untuk me-
natap ketiga Pendekar ini. "Aku si tua renta ini berna-
ma Muri Asih. Sayangilah nyawa kalian sobat-sobat
muda. Bukan aku mau mencegah kalian dengan mem-
biarkan perempuan iblis itu berlalu, tapi kukira mati
konyol adalah satu hal yang paling sial! menyahut wa-
nita tua itu yang tak lain dari nenek Muri Asih.
Perempuan iblis itu terlalu berbahaya sobat-
sobat muda! Selain memiliki Sepasang Tangan Iblis dia
juga membawa serta tujuh makhluk kerdil penghisap
darah!" lanjutkan kata-katanya nenek Muri Asih.
Melengak seketika ketiga pendekar itu. "Tujuh
makhluk kerdil penghisap darah, dan sepasang Tan-
gan Iblis...!?" Hampir berbareng mereka tersentak ka-
get.
"Benar! aku telah menyelidikinya, perempuan
iblis itu bernama Giri Mayang!" tegaskan nenek Muri
Asih.
"Ah...!? tersentak kaget Sambu Ruci.
***
SEMBILAN
SAMBU RUCI sebenarnya tak tahu menahu
dengan pembantaian penduduk desa itu. Dari arah
sungai dia mendengar suara jerit dan pekik menyayat
hati di mulut desa yang telah dilihatnya dari kejauhan.
Disamping terkejut melihat dua larik cahaya berwarna
biru bersyiuran di angkasa, yang menukik dan mem-
bumbung sebentar kelihatan sebentar lenyap. Apapun
gadis berbaju kembang-kembang itu dia tak menge-
nalnya, tapi Sambu Ruci mengetahui kalau gadis itu
adalah gadis yang meniup seruling di sisi sungai ketika
Sambu Ruci melintasi sungai berbatu menyeberangi
dengan dua kali lompatan. Sekilas pemuda ini telah
meliriknya, dan mengetahui kalau si peniup seruling
itu seorang gadis.
Gadis itu hentikan tiupan serulingnya, dan
membuka topi tudung dikepalanya. Sejenak Sambu
Ruci menatap, dan dua pasang mata segera beradu
pandang. Akan tetapi gadis itu telah perdengarkan su-
ara dihidung lalu cepat-cepat membuang muka dan
mengenakan lagi topi tudungnya, untuk teruskan lagi
meniup seruling.
Melengak Sambu Ruci. Sekilas dia memang da-
pat melihat satu wajah yang cantik. Akan tetapi kece-
wa pemuda ini karena gadis itu bukanlah orang yang
dicarinya. Yaitu Roro Centil. Telah dua bulan lebih dia
gentayangan mencari kemana lenyapnya si Pendekar
Wanita Pantai Selatan sahabatnya itu.
Ada terbesit dihatinya untuk mengetahui siapa
gadis peniup seruling yang telah membuang muka se-
telah bertatap mata dengannya itu. Akan tetapi tiba-
tiba dua larik cahaya berwarna biru telah bersiutan di
angkasa. Membuat Sambu Ruci tersentak kaget. "Cahaya apakah itu?" sentaknya berdesis dan memandang
dengan terperangah memperhatikan cahaya biru yang
berkelebatan itu. Dilihatnya cahaya itu sebentar mun-
cul dan sebentar lenyap berputar-putar ke beberapa
tempat. Otomatis si gadis bertudung itupun hentikan
tiupan serulingnya untuk segera membuka lagi topi
tudungnya dan menengadah memperhatikan cahaya
biru yang berkelebatan di angkasa.
Saat itulah dari tengah desa yang tak berapa
jauh dari sungai itu terdengar suara teriakan-teriakan
ketakutan dan jeritan menyayat hati. Terkejut Sambu
Ruci. Serta merta tak ayal lagi dia sudah berkelebat
melompat untuk memburunya kesana. Sementara di-
am-diam si gadis peniup seruling itupun ikut pula me-
lompat untuk berlari cepat menyusul di belakang pe-
muda itu.
Tiga mayat dengan tiga buah kepala yang su-
dah lepas dari tubuhnya dijumpai Sambu Ruci diten-
gah jalan yang menuju ke desa. Terkejut Sambu Ruci
ketika menjumpai lagi beberapa mayat dalam keadaan
yang sama. Dan, tersentak jantung pemuda ini ketika
melihat sesosok tubuh tengah mengikik tertawa duduk
menjuntaikan kaki di atas wuwungan rumah. Belum
lagi dia tahu jelas wajahnya, wanita itu telah berkele-
bat melesat dari atas wuwungan rumah itu.
"Pasti perbuatan dia!" desis Sambu Ruci dengan
geram. Tak ayal Sambu Ruci segera berkelebat menge-
jarnya, yang diikuti pula oleh si gadis peniup seruling
di belakangnya...
Kini mendengar penjelasan si nenek Muri Asih
yang jelas adalah tokoh Rimba Hijau yang berilmu
tinggi lagi-lagi dia tersentak kaget karena wanita itu
tak lain dari Giri Mayang. Sambu Ruci memang pernah
beberapa kali berjumpa bahkan pernah bertarung den-
gan wanita iblis itu dan dia pula yang berhasil menabas putus sebelah lengan Giri Mayang. Sedangkan se-
belah lagi tangan wanita iblis itu diputuskan oleh keris
seorang pendekar tua yaitu Gembul Sona alias si Belut
Putih, seperti yang telah diceritakan dalam kisah:
Langkah-langkah Manusia Beracun.
"Anda mengenal wanita iblis itu?" tanya nenek
Muri Asih.
"Benar! dialah musuh besar sahabatku Roro
Centil! Aku pernah bertarung dengannya beberapa
kali, bahkan dia pernah pula menawan gadis Pendekar
sahabatku itu. Belakangan manusia iblis itu berga-
bung dengan si Manusia Beracun. Dalam pertarungan
terakhir kami berhasil menabas putus kedua lengan-
nya...!" tutur Sambu Ruci. Lalu ceritakan kejadiannya
hingga waktu itu dalam keadaan terluka disaat mau
dihabisi nyawanya telah disambar oleh sesosok tubuh
dan dibawa melesat melarikan diri. Entah siapa peno-
long wanita iblis itu Sambu Ruci tak mengetahuinya.
Dan dalam sekelebatan itu dia mendengar suara Roro
Centil yang mengejar kemana berkelebatnya si peno-
long Giri Mayang.
Sejak itu Sambu Ruci tak pernah mendengar
lagi kabar berita wanita iblis itu, bahkan sampai saat
ini tak pernah dijumpainya si Pendekar Wanita Pantai
Selatan sahabatnya itu...
Nenek Muri Asih manggut-manggut, lalu pa-
lingkan kepala menatap pada tiga laki-laki Pendekar
yang masih berdiri mendengarkan kisah penuturan
Sambu Ruci.
"Dan kalian ini siapakah..?" tanya nenek Muri
Asih.
"Kami yang rendah adalah tiga bersaudara.
Kaum persilatan menggelari kami si Tiga Musafir Hati
Besi...!" sahut salah seorang seraya menjura, yang se-
gera diikuti oleh kedua laki-laki lainnya.
"Hehehe... pantas! hati kalian sekeras besi. Tak
mengenal takut akan bahaya. Akan tetapi untuk kali
ini harap anda bersabar dan menahan diri. Keresahan
memang tengah melanda bukan saja kaum Pendekar
Rimba Persilatan golongan Putih, akan tetapi juga pi-
hak Kerajaan dan rakyat sekitar wilayah ini. Bahkan
menjadi ancaman besar bagi umat manusia umumnya!
Apakah kalian semua tak mengetahui? kalau saat ini
puluhan mayat berkaparan di dua desa akibat kegana-
san Sepasang Tangan Iblis si Giri Mayang itu...!" Te-
gaskan Nenek Muri Asih.
"Kami tak melihat apa-apa, apakah Tangan Iblis
yang anda maksudkan adalah dua larik cahaya ber-
warna biru itu?" tanya salah seorang dari Tiga Musafir
Hati Besi.
"Benar! Aku telah mengikuti cahaya biru itu
yang membantai desa disebelah sana hingga kemudian
meluncur ke desa ini. Ternyata wanita Iblis itulah yang
telah melepaskan Sepasang Tangan Iblisnya! Sejak ke-
jadian aneh pada beberapa hari ketika puncak Ga-
lunggung membersitkan cahaya merah itulah saat si
Perempuan Iblis itu memiliki Sepasang Lengan Iblis!
sahut Muri Asih seraya berikan penjelasannya dengan
menatap silih berganti pada semua orang yang menge-
lilingi. Tak satupun yang membuka suara kecuali sama
menatap pada nenek Muri Asih yang tengah memberi-
kan penjelasannya mengenai wanita bernama Giri
Mayang itu. Dan lanjutkan penuturannya wanita tua
itu...
Disamping mempunyai sepasang lengan yang
mengerikan itu turut pula bersamanya ketujuh mak-
hluk kerdil penghisap darah seperti yang telah kukata-
kan tadi! Oleh sebab itu akan sia-sialah kalian bila
menempur perempuan Iblis itu pada saat ini. Nah, ku-
kira banyak jalan bagi anda Pendekar-pendekar muda
jika ingin turut membantu menegakkan keadilan dan
kebenaran dibumi ini.
Langkah yang harus kalian ambil saat ini ada-
lah sebaiknya membantu penduduk mengebumikan
mayat-mayat...! Apakah pendapatku dapat kalian teri-
ma?"
"Ah... dengan segala senang hati kami bersedia
untuk itu, nenek Muri Asih...!" Tergesa-gesa mereka
saling menyahut dan menjura dengan membungkuk-
kan tubuh. Wanita tua itu tersenyum. "Nah, lakukan-
lah! pertolongan kalian sangat diharapkan. Wanita Ib-
lis itu akan ku usahakan untuk memancingnya ke-
tempat yang tak dikunjungi manusia. Sementara kita
Kaum Pendekar mencari jalan untuk menumpasnya...!
Aku telah hubungi beberapa tokoh Kaum Rimba Hijau
golongan putih untuk segera kami berembuk...! Karena
Giri Mayang bukanlah musuh perseorangan, akan te-
tapi musuh seluruh umat manusia...! Kemerajalelaan-
nya akan banyak menimbulkan musibah yang amat
mengkhawatirkan. Dan sudah menjadi tugas kaum
Pendekar untuk melenyapkan kebathilan yang mau
menguasai bumi ini!"
Tiga Musafir Hati Besi manggut-manggut. Salah
seorang agaknya masih penasaran kalau belum ber-
tanya.
"Nenek Muri Asih! kami belum mengenal siapa
gelaran anda. Apakah anda dapat memberitahukannya
untuk kami ingat?"
"Hehehehe... hehehe... " mengekeh tertawa si
wanita tua itu. Tiba-tiba sebelah lengannya bergerak
terangkat ke atas. Dan....
Selarik cahaya perak membersit ke udara ba-
gaikan sehelai selendang yang berkredepan. Dan keti-
ka sebelah lagi lengan si nenek Muri Asih terangkat
pula ke atas, selarik cahaya pelangi membersit ke udara. Bagian ujungnya membelit batang pohon kelapa
bagian atas, dan...
KRRAAAK! batang pohon kelapa itu patah kena
hantaman sinar perak. Selanjutnya sinar pelangi le-
nyap. Sedang sinar perak menghantam beberapa kali
hingga batang pohon kelapa itu putus menjadi bebera-
pa belas potong.
Sedangkan puncak pohon kelapa itu jatuh me-
luncur ke bawah. Namun tiba-tiba cahaya pelangi
kembali membersit menyambar dan membelit pucuk
pohon kelapa itu. Ketika si nenek Muri Asih gerakkan
lengannya, pucuk pohon kelapa itu melayang jauh en-
tah kemana seperti dilemparkan oleh sehelai selendang
warna-warni.
Tentu saja satu pertunjukan yang mengagum-
kan itu membuat semua mata jadi memandang si ne-
nek Muri Asih dengan terperangah.
"Hebat...! oh, hebat sekali...!" tak terasa suara
pujian terdengar dari mulut-mulut pendekar muda itu.
Bahkan si gadis bertudung yang sejak tadi tak ikut bi-
cara telah berseru.
"Ah, sungguh amat mengagumkan! Sinar perak
dan pelangi yang menakjubkan...!"
"Hehehe... hampir benar! Julukanku pada pu-
luhan tahun yang silam adalah si Pendekar Selendang
Perak Pelangi!" Dan selesai berkata, si nenek Muri Asih
tertawa terkekeh-kekeh. Namun sekejap kemudian tu-
buhnya melesat ke udara dan lenyap dari pandangan
mata.
Terpaku lima sosok tubuh itu dengan meman-
dang ke arah lenyapnya di Pendekar Sinar Perak Pe-
langi. Gerakannya begitu cepat sekali hingga tak sem-
pat mata mereka mengikuti. Selang sesaat si Tiga Mu-
safir batu segera berkata, dengan menatap pada Sam-
bu Ruci dan wanita peniup seruling yang masih terpana dengan mencekal erat topi tudung dan serulingnya.
"Mari sobat...! kita bantu menguburkan mayat-
mayat...!"
"Ya! ajaklah gadis kawanmu itu turut serta
membantu...!" berkata pula salah seorang dari mereka.
Sambu Ruci menoleh pada gadis baju merah berkem-
bang itu dengan tersenyum.
"Nona bersedia membantu kami...?"
"Hm, tanpa kau perintahkan pun aku tak nan-
tinya berpeluk tangan!" Menyahut sang gadis dengan
wajah cemberut. Lalu berkelebat lebih dulu ke arah
desa. "Ah, gadis yang ketus...!" tertawa Sambu Ruci se-
raya melompat menyusul. Ketiga Musafir Hati Besi
cuma saling pandang dengan tersenyum. Namun tak
lama segera berkelebatan menyusul...
***
SEPULUH
RORO CENTIL benar-benar tak mengerti den-
gan maksud si Tutul, setelah mengangkut seluruh tu-
lang-belulang lalu menggeram memperlihatkan taring-
nya pada Roro. Lalu menggigit sebuah tulang lengan
manusia itu dan membawanya melompat ke arah bukit
batu. Terpaksa Roro Centil mengikutinya. "Mau dibawa
kemana tulang itu..?" berkata Roro dalam hati. Ternya-
ta meletakkan tulang itu di atas batu pada pertenga-
han bukit yang di panjatnya. Di sana dia menggeram-
geram dengan memutari kesana-kemari seperti men-
cari sesuatu. lalu melompat ke arah sisi samping batu
yang agak menonjol. Disana dia mengorek-ngorek den-
gan kukunya seperti mau menggali lubang lagi. Kali ini
Roro telah dapat menerka maksudnya. Segera dia melompat kesana, lalu meneliti sekitar sisi bukit itu. "Apa
maksudmu Tutul? Hm, apakah kau mau sembunyikan
tulang-belulang itu di sini..!?" berkata Roro lirih. Si Tu-
tul menggeram kecil. Tangan Roro yang meraba-raba
segera temukan satu celah didekatnya. "He? batu ini
bergerak...!?" sentak Roro terkejut. Apakah ini sebuah
pintu goa...?" berpikir Roro dalam benaknya. Dengan
kekuatan tenaga dalam segera Roro salurkan untuk
menepuk beberapa kali dengan pelahan.
Dan...BRRRAAASH...! batu itu hancur menjadi kepin-
gan-kepingan kecil. Segera terlihat sebuah rongga di
sisi tebing itu.
"Aiiih, benar dugaanku!" teriak Roro dengan gi-
rang. Sementara si Tutul telah menggigit kembali tu-
lang lengan manusia itu untuk dibawa melompat ke
dalam. Dan selesai meletakkan tulang lengan itu, sege-
ra melompat lagi keluar. Cepat sekali bekerjanya si Tu-
tul mengangkuti tulang belulang itu dan membawanya
sekerat demi sekerat. Sementara Roro Centil perhati-
kan seluruh ruangan itu. Dalam ruangan yang agak
samar-samar terangnya itu Roro melihat setiap sudut
goa dipenuhi sarang laba-laba. Sebuah peti berdebu
tergeletak di atas batu. cepat Roro menghampirinya.
Rasa ingin tahu memang selalu ada pada setiap
diri manusia. Begitu juga dengan Roro Centil. Setelah
membersihkan debu di atas peti, segera berusaha
membukanya. Teramat mudah untuk membuka peti
itu seperti tak diduganya. Begitu peti terbuka segera
terlihat sebuah kitab usang yang sudah lapuk dimakan
usia.
Saat Roro Centil membalik-balik lembaran kitab
itu yang mempergunakan tulisan lama. Roro Centil
melihat si Tutul telah selesai dengan pekerjaannya
mengangkut tulang. Dengan menggeram kecil si Tutul
melompat mendekati. Lalu menjilati lengannya. Tapi
tak lama segera lenyapkan diri.
Roro Centil jadi garuk-garuk kepala tidak gatal.
Jelas dengan si Tutul melenyapkan diri berarti sudah
selesai tugasnya menuntun Roro ketempat itu. Kini
tinggallah Roro yang harus memecahkan apa yang be-
rada dihadapannya.
"Apakah tengkorak manusia itu si pemilik kitab
ini...?" sentak Roro dalam hati. Lalu apa maksudnya si
Tutul membawa kerangkanya ketempat ini?" Dasar Ro-
ro Centil yang selalu ingin memperbuat apa yang ter-
bersit dihatinya. Diletakkan kembali kitab itu yang be-
lum sempat ditelitinya. Lalu beranjak mendekati tu-
lang-belulang manusia itu. Dan... lengannya mulai
bergerak kesana-kemari mengatur tulang-tulang hing-
ga membentuk kembali sebuah kerangka dengan posisi
sebuah tengkorak manusia yang sedang duduk me-
nyandar didinding goa. Terasa hawa seram melingkupi
sekitar ruangan goa itu.
Tiba-tiba baru saja dia bangkit berdiri, telah
terdengar suara aneh. Rahang mulut tengkorak itu hi-
dup dan bergerak-gerak. Tersentak kaget Roro Centil,
hampir saja dia melompat keluar goa.
"Hehehe... jangan takut cucuku...! aku memang
sudah lama mati, tapi dengan kekuatan ilmu yang
kumiliki aku masih bisa menyimpan suara untuk bisa
didengar oleh orang yang menemukan goa ini...!" Ter-
peranjat Roro Centil, tak terasa kakinya melangkah
mundur dua tindak.
"Ssi... siapakah anda .,.?" bertanya Roro. "He-
hehe... sudah pasti kau akan bertanya tentang aku!
akulah yang pernah dijuluki si MANUSIA PADANG
PASIR...! Kematianku dalam usia 100 tahun lebih. Ki-
tab yang berada pada kotak di atas batu itu kuwa-
riskan pada siapa yang telah menemukannya! Pelajari-
lah cucuku! Pada kitab itu ada pelajaran ilmu silat dari
yang pernah kumiliki. Sebagian adalah ilmu silat se-
banyak tiga belas jurus. Sedangkan sebagian lagi ada-
lah tujuh jurus kalimat MANTERA SUCI! Ilmu penolak
setan dan iblis..!
Hanya orang yang berotak cerdaslah yang dapat
menguasainya! Dan tentu saja orang yang berjodoh
memiliki seekor Harimau Tutul, yang dapat berjodoh
menjadi pewaris ilmuku...! Karena Harimau Tutul itu
adalah rohku! Jangan heran bila kelak terjadi satu
keanehan pada dirimu...! Bila selesai kau mempelajari
ilmu warisanku, kau bakarlah kerangka tubuhku ini
berikut kitab itu!"
Selesai berkata, tulang tengkorak kerangka
manusia yang disusun Roro Centil tiba-tiba berjatuhan
ke tanah dengan suara berkerotakan. Roro Centil ter-
paku tak bergeming ditempatnya. Seolah apa yang di-
lihatnya itu seperti dalam khayal atau mimpi. Tapi ke-
nyataan telah terpampang dihadapan matanya. Telin-
ganya jelas mendengar apa yang diucapkan si kerang-
ka Manusia Padang Pasir.
Tiba-tiba Roro Centil jatuhkan dirinya berlutut
dihadapan kerangka itu. Bibirnya tergetar mengu-
capkan kata-kata.
"Guru...! aku Roro Centil segera akan mentaati
pesan itu...!" Selesai Roro Centil berkata tiba-tiba dari
langit-langit bagian atas goa memantulkan cahaya te-
rang benderang. Di luar angin membersit kencang me-
nerbangkan butiran-butiran pasir. Roro bangkit berdiri
untuk mencari penutup lubang goa. Akan tetapi tiba-
tiba dinding batu di sisinya bergerak menggeser sendi-
ri. Dan... BRAK! goa itu telah tertutup rapat. Terheran-
heran Roro Centil akan keanehan itu. Ditatapnya ca-
haya terang yang membersit dari langit-langit ruangan
goa itu. Ternyata sebuah batu pualam sebesar tengko-
rak kepala manusia yang menempel dibatu langit
langit goa itu, memancarkan sinarnya yang amat te-
rang benderang.
"Aiiih, benar-benar aneh dan amat mengagum-
kan...!" desis Roro pelahan "Selama hidupku baru aku
mendengar ada satu ilmu kesaktian yang dapat me-
nyimpan suara. Sedangkan orangnya sudah mati en-
tah berapa puluh tahun yang silam..!" berkata Roro da-
lam hati.
Demikianlah! apa yang dialami Roro Centil ada-
lah sudah menjadikan jodoh bagi dirinya. Dan tak ayal
si Pendekar Wanita Pantai Selatan segera mulai mem-
pelajari isi kitab usang itu dengan membalik-balik
lembarannya. Untunglah, walaupun agak sulit dibaca,
Roro Centil dapat juga memahami huruf-huruf kuno
yang tertera di kitab usang itu.
Segala daya dan kecerdasan Roro Centil untuk
memahami dan mempelajari isi kitab itu dikerahkan
demi terwarisnya ilmu si Manusia Padang Pasir kepa-
danya... Lembar-demi lembar mulai di hayati dan di-
praktekkan dengan kesungguhan hati dan keyakinan
yang mantap, bahwa tak ada sesuatu yang sukar di
dunia ini kalau diusahakan dengan kekerasan hati,
kemauan, tekad dan niat yang bulat...!
Dan sejarah Persilatan memang akan membuk-
tikan bahwa tak lama lagi Roro Centil akan kembali
muncul di Rimba Persilatan dengan segala kesaktian
yang dimilikinya...
***
SEBELAS
Ternyata dalam waktu sembilan hari Roro Cen-
til berhasil menguasai ketiga belas jurus ilmu Manusia
Padang Pasir. Dan dalam waktu empat hari Roro ber-
hasil pula menguasai ketujuh jurus ilmu Mantera Suci.
Tepat 13 hari Roro Centil telah dapat mena-
matkan isi kitab itu dan menguasai penuh isinya. Ter-
nyata tekad Roro untuk menyelesaikan pelajarannya
agar tepat tiga belas hari, dengan tekad yang bulat dan
kemauan yang keras membaja membawa hasil yang
memuaskan. Roro memang mau merobah pandangan
manusia yang sudah sejak puluhan tahun yang lalu
menganggap angka 13 adalah angka sial!
Namun Roro beranggapan hari yang ke 13 itu
adalah hari yang penuh kemujuran. Hari itu mutlak
sudah Roro Centil menjadi pewaris tunggal ilmu si Ma-
nusia Padang Pasir.
Dan pada hari itu juga setelah selesai memba-
kar tulang kerangka gurunya si Manusia Padang Pasir
juga kitab peninggalannya, Roro Centil menutup pintu
goa yang telah menjadi tempatnya menempa ilmu-ilmu
warisan si Manusia Padang Pasir.
Di depan pintu goa Roro Centil kembali mene-
kuk lutut dengan tundukkan kepala dan berkata den-
gan suara lirih.
"Guru...! hari ini aku telah selesai menjalankan
amanatmu. Hari ini aku muridmu, Roro Centil telah
berhasil menamatkan pelajaran dalam kitab warisan
mu. Dan hari ini pula aku segera akan meninggalkan
tempat peristirahatan mu! Hari ini pula aku akan
mengemban tugas kewajiban yang lebih berat untuk
menegakkan panji-panji keadilan dimuka bumi...!
Aku berjanji untuk mengamalkan segenap ilmu
dari apa yang telah kau wariskan padaku! Mele-
nyapkan kebatilan, memusnahkan keangkaramurkaan
yang mengotori bumi persada demi tegaknya kebena-
ran. Demi tegaknya keadilan di atas jagat raya ini...
Dan demi ketenteraman umat manusia!"
Selesai berkata Roro Centil menjura beberapa
kali memberikan penghormatan terakhir sebelum me-
ninggalkan tempat itu.
Sementara angin mulai membersit agak keras
memperdengarkan suara bersiutan Roro angkat wa-
jahnya untuk segera melompat bangkit berdiri. Lalu
putarkan tubuh untuk segera melangkah beberapa
tindak. Sejenak Roro terhenti karena merasa tiupan
angin semakin santar menerpa tubuh. Di kejauhan di-
lihatnya seperti ada kabut menghalang. "Ada apa-
kah...?" sentak Roro terkejut dengan suara berdesis.
Ternyata angin semakin keras membersitnya. Pasir
mulai beterbangan.
Dan apakah yang dilihat Roro selanjutnya...?
Terbelalak mata si Pendekar wanita Pantai Sela-
tan itu melihat di kejauhan timbunan pasir yang mem-
bukit bergulung-gulung meluncur bergelombang ba-
gaikan ombak raksasa bergerak cepat mendatangi.
Begitu kagetnya Roro hingga sampai melangkah
kembali mundur beberapa tindak. Namun nalurinya
mengatakan adanya bahaya besar bila dia tak cepat
menyingkir. Memikir demikian, Roro Centil segera en-
jot tubuhnya untuk melompat pergi menjauhi secepat-
nya tempat itu.
Dari kejauhan dia cuma bisa menyaksikan ge-
lombang pasir yang menggunung bagaikan menyerbu
ke arah tebing batu itu dengan suara bergemuruh luar
biasa. Suara bersitan angin yang membadai terdengar
bersiutan membuat Roro harus menutupi matanya
agar tak kemasukan debu.
Gelombang demi gelombang pasir raksasa itu
berhempasan. Dan dalam sekejapan saja bukit batu
dimana terdapat goa tempat disimpannya abu si Ma-
nusia Gurun Pasir, telah lenyap tertimbun pasir yang
menggunung.
Selang beberapa saat badai pun kembali mere-
da. Roro Centil memandang dengan terperangah kare-
na tak melihat lagi adanya bukit batu tempat dia me-
nempa ilmu selama ini, kecuali timbunan pasir yang
menggunung. Lama dipandangnya apa yang terpam-
pang didepan matanya dengan tertegun itu. Namun
tak lama kemudian terdengar suara helaan napas ga-
dis Pendekar. Segala sesuatu yang terjadi itu seperti
punya makna. Seolah si Manusia Gurun Pasir telah
merasa telah puas dengan apa yang menjadi harapan-
nya. Dan mengubur diri untuk menyatu kembali den-
gan pasir seperti sesuai dengan julukannya...
"Selamat tinggal, guru...!" ucap Roro dengan
suara tergetar. Dan berkelebatlah tubuh si dara Perka-
sa meninggalkan tempat itu....
***
Roro Centil injakkan kakinya ditepi pantai. An-
gin laut yang meniup santar membuat rambutnya me-
nyibak berkibaran.
"Tutul...! kita harus cepat kembali! Tugas berat
telah menantiku diseberang lautan sana! Cahaya me-
rah itu membuat hatiku gundah akan adanya musibah
yang melanda wilayah gunung Galunggung. Tampak-
kanlah dirimu, sahabatku...!" berkata Roro dengan su-
ara lirih.
Akan tetapi setelah ditunggunya sekian lama si
Tutul tak menampakkan diri. "Ah, kemanakah dia...?"
menyentak hati Roro. "Tutul...! dimanakah kau..?"
ulangnya memanggil seraya memutar tubuh dan me-
natap ke sekelilingnya. Namun tak dijumpai apa-apa.
Semuanya tetap seperti tadi, tak berubah. Sunyi, len-
gang dan tak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri.
Tercenung seketika Roro Centil, dan termangu mangu memikirkan kemisteriusan makhluk itu. Sejak
beberapa tahun makhluk itu selalu setia mengiku-
tinya, mengapa kini tahu-tahu menghilang sirna tak
munculkan diri? berpikir Roro dalam hati.
Setelah lama ditunggu-tunggu tetap si Tutul tak
menampakkan diri yakinlah dia kalau sahabatnya itu
telah pergi meninggalkannya. Barulah Roro teringat
akan kejadian di gurun pasir. "Hm, apakah dia telah
ikut pula terkubur gelombang pasir...?" berdesis Roro.
Roro tak menemukan jawaban dari pertanyaannya
sendiri.
Seketika tersentaklah Roro ketika teringat akan
kata-kata suara gaib di Manusia Padang Pasir yang
mengatakan agar dia tak terkejut akan menjumpai
keanehan yang akan terjadi pada dirinya. Apakah ini
salah satu dari keanehan yang dimaksud? pikir Roro.
Dalam memecahkan teka-teki lenyapnya si ha-
rimau Tutul sahabatnya itu Roro benar-benar dibuat-
nya tak mengerti. Juga dengan maksud kata-kata gaib
si Manusia Padang Pasir. Kembali teringat satu kata-
kata gaib dari sang gurunya itu. "Hanya orang yang be-
rotak cerdaslah yang dapat menguasai ilmuku. Dan
orang yang memiliki seekor harimau tutul yang dapat
berjodoh menjadi pewaris ilmuku! karena Harimau Tu-
tul itu Rohku...!"
Tersentak Roro Centil seketika, karena dari ka-
ta-kata itu segera dapat diambil kesimpulan.
"Mm, kalau aku telah menguasai ilmu- ilmu si
Manusia Gurun Pasir berarti akupun menguasai pula
ilmu-ilmu si Tutul!" berkata Roro dalam hati. "Jadi...
jadi... ah, begitu mengerikan....!" desis Roro dengan
tersentak kaget. Makin mengingat si Tutul ternyata
makin besar dorongan imajinasi untuk menirukan apa
yang dilakukan si Tutul.
Itulah yang membuat Roro terperangah kaget.
Menghadapi dorongan tenaga batin yang menyeruak
dari dalam tubuhnya sendiri Roro seperti kehabisan
akal untuk menghindarinya. Semakin dia resah, sema-
kin daya kekuatan itu menelusup merangsang pori-
pori dan pembuluh-pembuluh darahnya.
Dan.... di luar sadar dia telah melakukan apa
yang dilakukan si Tutul. Roro Centil menahan napas,
lalu goyang-goyangkan tubuhnya.
Apakah yang terjadi kemudian..?
Tubuh Roro Centil lenyap jadi gumpalan asap.
dan... di atas pasir pantai itu telah berdiri seekor Ha-
rimau Tutul yang hampir sebesar kerbau memperli-
hatkan giginya menyeringai menyeramkan. Itulah Ha-
rimau Tutul penjelmaan dari Roro Centil. Apapun yang
terjadi pada diri Roro ternyata memang sudah di-
ucapkan oleh kata-kata gaib si Manusia Padang Pasir.
Membelalak sepasang mata gadis Pendekar itu
melihat perubahan bentuk pada tubuhnya. "Aku... aku
telah menjadi Harimau...! aku kini menjadi si Tutul!
Oh...! inikah satu keanehan yang bakal terjadi seperti
yang dikatakan suara gaib itu ?" keluh Roro. Ditatap-
nya ke empat kakinya yang berkuku runcing. Ditatap-
nya apa yang kini telah menjadi bagian dari tubuhnya.
Terhenyak gadis Pendekar itu.
Dengan mendekam sang harimau Tutul alias
Roro Centil itu termenung hingga beberapa lama. Apa-
kah ujud asli ku akan lenyap seterusnya? dan tetap
menjadi makhluk yang jelas bukan manusia ini...? "
berkata Roro dalam hati. Akan tetapi selang sesaat Ro-
ro telah melompat bangun dan perdengarkan suara
menggeramnya. Edan..! suaraku pun telah berobah!"
sentak Roro dalam hati. Tentu saja membuat Roro ter-
kejut mendengar perobahan suaranya sendiri. Namun
titik terang dari pemikirannya telah Kembali jernih.
Roro yakin kalau semua itu adalah cuma "ilmu" bela
ka. Dia takkan selamanya menjadi Harimau. Keyaki-
nan yang mantap itu telah membuka titik terang bagi
si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Segera dia ber-
semadi dengan pejamkan mata. Batin menyatu untuk
kembali memulihkan ujudnya. Terasa ada getaran pa-
da kulit dan pori-pori tubuhnya.
Ketika Roro Centil hentikan semedinya lalu
membuka mata, membersitlah senyum pada bibirnya.
Karena sekejap Harimau Tutul itu telah kembali pada
ujud asalnya lagi. "Aiiiiih, kalau tahu begini mengapa
aku pusing-pusing memikirkannya..? Dasar otakku
bebal!" menggumam Roro dengan tersenyum.
"Aku harus kembali secepatnya! firasatku men-
gatakan ada sesuatu terjadi disana yang memerlukan
aku turun tangan!" berdesis Roro dengan mata mena-
tap jauh ke cakrawala. Matahari senja membuat ca-
hayanya memantul gemerlapan dari ombak-ombak
laut yang tengah bermain bagaikan hamparan perma-
dani perak. Dan saat itu juga sebuah bayangan seekor
Harimau Tutul meluncur pesat dari daratan itu bagai-
kan hembusan angin lewat.
Dialah Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Si Pewaris Manusia Gurun Pasir...
***
DUA BELAS
Di wilayah KOTA RAJA... Delapan belas perwira
Kerajaan mati tergeletak dengan tubuh tanpa kepala.
Dan delapan belas "butir" kepala manusia berserakan
diantara tubuh-tubuh tanpa kepala itu. Delapan ekor
kuda mati dengan tubuh hangus dan kepala hancur...
Bau anyirnya darah menyebar di sekitar tempat
itu. Sungguh satu pemandangan yang amat mengeri-
kan dan mengenaskan hati.
Seekor kuda hitam meluncur pesat ke tempat
kejadian. Di tangannya penunggangnya tercekal se-
buah tombak bermata tiga. Dialah Tumenggung Shan-
dikala yang menerima laporan dari beberapa orang
anak buahnya. Tak ayal segera "meluncur" ke tempat
kejadian.
Bedebah! Perempuan iblis edan...!" memaki la-
ki-laki berusia empat puluh tahun ini. Kudanya telah
dihentikan dan bergerak memutari mayat-mayat dan
bangkai kedelapan belas anak buahnya.
Tampak wajahnya sebentar pucat sebentar me-
rah. Dada laki-laki ini berombak-ombak pertanda me-
nahan kemarahan yang amat luar biasa yang ada di
dada.
Satu suara tertawa mengikik membuat laki-laki
ini tersentak Jantungnya seperti melonjak karena ter-
kejut. Walau niatnya memang mau menempur si pe-
rempuan iblis itu, namun mendengar suara tertawanya
saja membuat nyali laki-laki Tumenggung ini agak
menciut.
"Hihihihi..... selamat datang panglima yang ga-
gah! Kau pasti Tumenggung Shandikala!" Satu kata-
kata penyambutan yang dilontarkan si pemilik suara
telah dibarengi dengan kelebatan tubuh seorang wani-
ta berpakaian warna kuning. Berlengan baju lebar
yang menutupi seluruh lengan. "Siapa kau...!" mem-
bentak laki-laki Tumenggung itu dengan membeliakan
matanya. Hatinya agak ragu untuk menduga kalau
orang yang dihadapannya adalah si perempuan iblis
itu.
Dia memang Giri Mayang adanya. Wanita ini
dengan tersenyum genit bahkan balik bertanya. "Coba
terka olehmu siapakah aku...?"
Percikan darah yang melekat dipakaian wanita
itu telah membuat si Tumenggung membentak kasar.
Walau sebenarnya darahnya seperti tersirap.
"Kau pasti si perempuan iblis itu...!"
"Hihihihi... tepat! tepat sekali dugaanmu! tapi
aku manusia biasa bukan iblis. Tumenggung yang ga-
gah!" Baru saja selesai ucapannya tubuh Giri Mayang
mendadak lenyap.
Tahu-tahu laki-laki itu merasa pinggangnya di-
peluk orang dari belakang.
"Hihihihi... tubuhmu kekar, dan wajahmu ga-
gah. Dan keberanianmu juga boleh dibanggakan. Hihi-
hi... justru aku menyenangi laki- laki sepertimu, Tu-
menggung!" terdengar suara berdesis didaun telin-
ganya. Tentu saja membuat sang Tumenggung kaget
setengah mati. Akan tetapi dia sudah terkulai kena to-
tokan lengan wanita itu dengan perdengarkan keluhan
dari mulutnya.
Dan... kuda hitam itu sudah berlari cepat ke-
luar dari tempat berbau anyir itu. Mencongklang pesat
menuju hutan jati.
Melewati hutan jati itu, sang kuda ternyata te-
lah kehilangan penunggangnya. Namun si kuda hitam
itu terus mencongklang lari hingga lenyap di ujung hu-
tan. Ternyata tepat ditengah jalan wanita itu telah me-
lompat dari atas punggung kuda dengan menggondol si
Tumenggung.
BREET! BREET! BREBEEET...! Sekejapan saja
tubuh laki-laki penegak hukum itu sudah telanjang
bulat. Dan... sepasang matanya menatap dengan
membeliak pada sosok tubuh putih mulus yang tanpa
selembar benangpun menghalangi. Namun yang mem-
buat laki-laki itu merasa ngeri adalah sepasang tangan
wanita itu karena bentuk dan rupanya amat menyeramkan.
"Hah!? ma... mau apa...kka... kkau..." tergetar
suara Tumenggung Shandikala dengan mencoba untuk
beringsut. Namun jalan darahnya terasa ngilu. Hingga
dia cuma bisa menatap dengan terbelalak dan keringat
dingin "membanjir" deras di sekujur tubuhnya yang
polos.
"Hihihi... aku mau kau!" menyahut Giri
Mayang.
Sepasang mata wanita itu menatap tajam si
Tumenggung. Bibirnya bergerak-gerak membaca man-
tera. "Kau pandanglah aku, apakah aku kurang can-
tik?" ujarnya sesaat kemudian.
"Kau... kau ccan.. cantik, no... nona!... ta... tapi
lenganmu... lenganmu amat menakutkan!" Sahut laki-
laki Tumenggung itu dengan suara menggetar.
"He? siapa bilang? sepasang tanganku halus
mulus tanpa cacad! Matamu telah terbalik rupanya.
Perhatikanlah sungguh-sungguh...!" berkata Giri
Mayang yang| telah selesai merapal ajian Malih Rupa.
"A, bbbeb.. be... benar!? tanganmu mulus! mu-
lus, tanpa cacad dan.... kau... kau cantik sekali, no-
na..." berkata sang Tumenggung dengan memandang
terperangah.
Memang aneh dalam pandangan Tumenggung
Shandikala karena kini yang dilihatnya sepasang tan-
gan perempuan itu memang halus mulus. Ternyata dia
telah kena pengaruh ilmu Malih Raga. Bahkan dima-
tanya itu teramat cantiknya. Apa lagi dalam keadaan
tanpa busana. Seluruhnya membentang dengan nyata.
"Bagus! kini matamu sudah terang!" ujar Giri
Mayang dengan meneguk air liur. Sepasang matanya
seketika mulai membinar. Ujung puti payudaranya
mulai terlihat kaku dan semakin kemerahan.
Tiba-tiba lengannya bergerak mengibas. Dan,
terlepaslah totokan pada tubuh sang Tumenggung
Mendapatkan dirinya telah punya tenaga lagi.
laki-laki ini tergesa bangkit dengan gelora yang meng-
gelegak. Hawa rangsangan telah menutup pikiran wa-
rasnya...
Giri Mayang tertawa lirih seraya "menerkam"
mangsanya dengan berahi memuncak di atas sega-
lanya. Sang Tumenggung menyambutnya dengan gai-
rah melonjak-lonjak. Merengkuhnya dengan seluruh
hasrat yang tak dapat terbendung lagi....
WHUSSSS...! sesosok tubuh terlempar dari ba-
lik rumpun dihutan Jati. Dan... BRUK! tubuh itu jatuh
tepat di belakang dua orang yang tengah berjalan di
satu jalan menuju desa. "Hah!?"
"Ooh...!?"
"Hiiiiiiii..." Menjerit dua orang itu seraya lari lin-
tang pukang. Ternyata mereka dua orang laki-laki yang
sedang melintas ditempat itu. Langkahnya tergesa-
gesa. Ketika tiba-tiba terdengar suara menggabruk di
belakangnya. Ketika menoleh ternyata sesosok tubuh
laki-laki tanpa kepala yang dalam keadaan telanjang
bulat.
Tentu saja membuat mereka terperanjat, dan
seketika lari ketakutan pontang panting.
Sementara itu di desa yang tengah ditujunya.
"Itu Karma dan Kubil! pasti dikejar perempuan
iblis itu...!" teriak salah seorang dari tiga laki-laki yang
berada di mulut desa.
"Celaka...! pasti! pasti...!" berkata kawannya
dengan wajah pucat.
"Cepat laporkan pada Ketua!" perintah yang be-
rusaha berkata seraya mendorong tubuh sang kawan
yang cuma menatap dengan mata melotot dan bibirnya
terbuka. Tak ayal segera laki-laki itu berlari cepat un-
tuk segera melapor.
"Apa yang telah terjadi...?" terdengar suara dari
bernada depan sebuah rumah disertai berdirinya seo-
rang laki-laki. Lalu diikuti oleh beberapa laki-laki dan
seorang wanita tua.
"Celaka, Den...! perempuan iblis itu... itu...
itu..."
"Ita itu ita itu!? bicara yang benar goblok!" seo-
rang laki-laki berangasan bertubuh kekar dengan pe-
rut yang buncit telah melompat dan mencengkeram
tengkuk laki-laki ini
"Biarkan dia menenangkan diri dulu, sobat An-
terja!" terdengar suara lirih. Cepat sekali gerakannya,
tahu-tahu wanita tua berjubah hijau itu telah berdiri
dihadapan laki-laki si pelapor. Si tubuh kekar beran-
gasan itu lepaskan cengkeramannya.
"Katakanlah! apakah maksudmu si perempuan
iblis itu telah datang kemari...?" tanya perempuan tua
itu dengan suara lembut.
"Hihihi... hihi... benar! aku telah datang kemari!
dan datang kesetiap tempat untuk membunuh habis
kaum Rimba Hijau golongan putih!" belum lagi si pela-
por itu menyahuti telah terdengar suara tertawa yang
menyahutinya. Dan, suaranya belum habis, empat so-
sok tubuh telah terlempar dan jatuh bergedebukan
dengan kepala yang sudah lenyap dari tubuhnya.
Terkejut semua mata memandang karena tahu-
tahu di hadapan mereka menjelma sesosok tubuh wa-
nita berpakaian serba kuning berlengan baju gom-
brong menutupi kedua lengannya.
Semua mata jadi memandang dengan terperan-
gah. Akan tetapi sekejap saja sosok-sosok tubuh dibe-
randa rumah itu segera berlompatan untuk mengu-
rung wanita itu, dengan senjata-senjata terhunus.
"Giri Mayang! perempuan iblis, kau takkan lolos
kini dari tangan kami!" teriak salah seorang. Ternyata
mereka adalah para pendekar yang tengah berkumpul
menyusun rencana. Dua orang anak buah dari salah
seorang tokoh Pendekar yang memang berdiam di wi-
layah desa itu telah dikirim Untuk melihat situasi di
sisi Kota Raja sejak pagi tadi. Ternyata kembalinya te-
lah berikut dengan hilangnya nyawa kedua murid utu-
san itu.
Sementara si nenek berjubah hijau itu telah
mencabut keluar seuntai tasbih dari balik jubahnya.
Bibirnya berkemak-kemik membaca mantera. "Hihihi...
hihi... mantera apakah yang kau baca itu, nenek peot?"
Berkata Giri Mayang dengan mengikik tertawa.
Akan tetapi sepasang matanya membersit tajam men-
gandung hawa pembunuhan. Dan... tiba- tiba...
WMUUUK! Secercah cahaya biru telah melun-
cur cepat ke arah nenek tua itu disertai menyebarnya
hawa dingin mencekam. Terdengarlah jeritan parau
menyayat hati. Dan... Krraak! Batang leher si nenek
berjubah hijau itu sekonyong-konyong berderak patah.
Darah memuncrat, dan kepalanya jatuh menggelinding
diserta menggabruk jatuhnya tubuh si wanita tua ber-
tasbih itu.
Terbelalak para Pendekar yang mengurung si
wanita iblis Giri Mayang menyaksikan kejadian itu.
Serta merta mereka menerjang dengan berba-
reng. Senjata-senjata berkelebatan menebas batang
tubuh perempuan iblis itu.
Akan tetapi dengan sekejap tubuh Giri Mayang
telah kembali lenyap sirna tak berbekas. Selanjutnya
yang terdengar adalah jerit dan teriakan ngeri disertai
tumbangnya tubuh-tubuhnya para Pendekar itu den-
gan masing-masing kepalanya telah putus bagaikan
dipereteli saja dari leher mereka.
Sekejapan saja belasan mayat telah bergelim-
pangan dengan amat mengerikan. Darah membanjir
menganak sungai...
Sungguh satu pemandangan yang amat menge-
rikan! Lagi-lagi Giri Mayang menambah korban-
korbannya.
Selang sesat terdengar kembali suara tertawa
mengikik menyeramkan membangunkan bulu roma.
Namun suara tertawa itu semakin menjauh, dan ak-
hirnya lenyap dalam kelengangan yang membaur den-
gan hawa maut...
"GIRI MAYANG...! perempuan iblis! perbuatan-
mu sudah keterlaluan!"
Terdengar satu bentakan keras yang terdengar
bagaikan memecahkan anak telinga. Wanita ini henti-
kan langkahnya yang baru saja memasuki perbatasan
sebelah timur dari wilayah Kota Raja. Disinipun terli-
hat beberapa mayat berserakan dengan keadaan yang
mengerikan. Yaitu mayat dari empat orang ponggawa
penjaga perbatasan.
Yang membentak adalah salah satu dari Tiga
Musafir Hati Besi. Ketiga orang ini melompat untuk se-
gera mengurungnya, dengan masing-masing telah
mencabut senjata. "Hm. lagi-lagi tiga Pendekar muncul
mencari mati!" berkata Giri Mayang dengan suara din-
gin. Akan tetapi tiba-tiba membersitlah senyum pada
bibirnya ketika menatap salah satu dari si ketiga Mu-
safir Hati Besi seorang lelaki yang bertubuh kekar den-
gan urat-uratnya yang bertonjolan.
"Hihihi... dua diantara kalian boleh mati, tapi
kau kuberi hidup untuk sementara!" ujar Giri Mayang
seraya menunjuk pada laki-laki gagah itu. Bahkan
langsung membaca mantera dengan sepasang matanya
menatap tak berkedip pada laki-laki bernama Bhadur
itu.
Akan tetapi dua dari si Tiga Musafir Hati Besi
telah menerjang dengan golok besar dan sepasang
ruyung bermata tombak tipis yang meluncur deras
menabas tubuh dan menyerang leher.
Akan tetapi belum lagi senjata-senjata mereka
mengenai kulit wanita itu selarik sinar biru meluncur
dari sepasang lengan baju Giri Mayang.
Melihat dua larik sinar biru itu meluncur ke
arah mereka Tiga Musafir Hati Besi sudah maklum
dengan serentak melompat menghindari dengan letik-
kan tubuh ke arah samping. Sesaat sudah berada da-
lam posisi berdiri dengan siap siaga. "Hmm...!" men-
dengus Giri Mayang. "Aku tak perlu melayaninya den-
gan tanganku! Hihihi... tujuh setan kerdil! kalian hi-
saplah darah kedua Pendekar tolol itu!" terdengar pe-
rintahnya dengan suara dingin pada tujuh makhluk
kerdil yang berdiam diri menunggu perintah.
Serentak mereka menampakkan dirinya. Dan
dengan wajah menyeringai menyeramkan ketujuh
makhluk hitam itu berkelebatan ke arah dua dari Tiga
Musafir Hati Besi. Sementara Bhadur baru saja tersa-
dar dari pengaruh ilmu penakluk Sukma Giri Mayang.
Dengan marah dia menerjang wanita itu.
Senjatanya sepasang kapak bermata lebar me-
nebas beruntun memperdengarkan suara bersiutan.
Akan tetapi melengak laki-laki itu karena mata kapak-
nya seperti menebas angin. Tahu-tahu... Plak! kedua
kapak telah terlepas dari sepasang lengannya. Dan be-
lum lagi dia menyadari apa yang bakal terjadi, tubuh-
nya telah serasa "terbang" karena telah disambar di
wanita Iblis itu yang langsung telah menotoknya.
Sementara pertarungan dua dari Tiga Musafir
Besi dengan ketujuh makhluk kerdil itu berlangsung
dengan tegang.
Sambaran-sambaran senjata mereka cuma me-
nabas angin belaka, membuat bulu kuduk kedua laki-
laki itu mulai berdiri meremang. Berguling-guling dan
melompat mereka menyelamatkan diri dari cengkeraman ganas makhluk-makhluk kerdil itu.
Selang kira-kira dua kali sepeminuman teh,
tampaknya tenaga kedua Pendekar itu semakin berku-
rang. Hal itu karena nyali mereka mulai menciut. Ke-
putusasaan telah membayang di wajah mereka yang
tak mungkin menang menghadap makhluk yang bu-
kan manusia itu.
Tiga makhluk kerdil berhasil menangkap perge-
langan tangan dan kaki dari salah seorang Pendekar
itu. Bergulingan laki-laki ini dengan segala daya untuk
melepaskan diri. Akan tetapi sia-sia. Saat mana salah
satu makhluk kerdil itu telah meluncur untuk mener-
kam ke arahnya yang dalam keadaan terlentang tanpa
berdaya. Di lain pihak tiga makhluk kerdil lainnya te-
lah meluruk pula untuk merencah ganas pada Pende-
kar satunya yang sudah megap-megap kehabisan na-
pas. Dia cuma terperangah menanti datangnya maut,
dengan mata membelalak.
Akan tetapi di saat mau tinggal sedetik lagi, ti-
ba-tiba secercah cahaya perak telah membersit
menyambar tepat di atas kepala makhluk-
makhluk kerdil itu dengan menimbulkan suara meng-
gelegar.
BHLAAARRR...!
Tujuh makhluk kerdil itu seketika berloncatan
dengan suara gaduh karena terkejut. Hingga telah me-
lepaskan cengkeraman pada kedua Pendekar itu.
Dan... di situ telah berdiri tegak si nenek Muri Asih,
alias si Pendekar Selendang Perak Pelangi.
Melihat kemunculan wanita tua renta itu si tu-
juh makhluk kerdil jadi menyeringai gusar. Mereka te-
lah mengetahui karena nenek tua ini pernah membuat
mereka menyasar dan sukar keluar dari hutan belan-
tara karena dipancing mengejarnya. Hingga Giri
Mayang terpaksa harus menghubungi gurunya si Nini
LEMBUTUNG melalui semadi. Atas bantuan Nini Lem-
butung itulah mereka bisa keluar dari rimba belantara
yang seperti telah terpagar oleh tembok kabut yang
sukar ditembus.
"GRRRRH...! KRAAA..! KRWWOK! KRWOOK!
Menggeram ketujuh makhluk kerdil itu dengan
marah. Tiba-tiba serentak menerjang ke arah wanita
tua itu.
Membersitnya tubuh ketujuh makhluk kerdil
itu dibarengi dengan lenyapnya tubuh mereka. Akan
tetapi si Nenek Muri Asih telah waspada. Sinar Perak
yang menyilaukan mata segera terlihat seperti mem-
bungkus tubuhnya. Sementara sinar
Pelangi membumbung ke atas memancarkan
warna-warni.
Tiba-tiba sinar pelangi itu bagaikan sebuah se-
lendang yang panjang meluncur ke bawah membentuk
lingkaran yang memutar cepat seperti menggulung.
Dan saat itu sinar Perak yang membungkus tubuh si
nenek Muri Asih mendadak membersit ke udara.
Apakah yang terjadi kemudian...?
Tubuh ketujuh makhluk kerdil itu telah terjerat
menjadi satu. Terbelit oleh selendang warna Pelangi.
Terlemparlah ketujuh makhluk kerdil yang telah kem-
bali menampakkan diri ke udara, karena dibetot oleh si
wanita tua itu.
Saat mana dalam keadaan mengapung di udara
si Nenek Muri Asih telah lancarkan serangan dahsyat
dengan semburan sinar perak ke arah ketujuh mak-
hluk kerdil yang bergulung menjadi satu...
BHLAAARRRRR...!
Terdengar ledakan hebat di udara. Asap hitam
tampak membumbung di bekas ledakan itu. Kedua
Pendekar yang berada di bawah memandang ke atas
dengan takjub, juga hati berdebaran. Apakah nanti kelanjutannya dengan pukulan sinar perak yang tepat
mengenai ketujuh makhluk kerdil itu...? Saat itu den-
gan ringan si nenek Muri Asih telah meluncur turun
kembali, jejakkan kaki ke tanah dengan tak menim-
bulkan suara.
Asap hitam yang membumbung di udara itu
mendadak lenyap. Akan tetapi tepat dari bekas le-
nyapnya asap hitam itu telah mengucur turun cairan
darah, yang begitu menyentuh bumi, sekejapan saja
terlihat menganak sungainya cairan darah yang ber-
bau busuk.
Terperangah kedua Pendekar itu memandang.
Sementara sudah terdengar suara si nenek Muri Asih.
"Mereka telah musnah...! Dan sebagian dari ke-
kejian manusia- manusia setan itu telah berhasil kita
tumpas. Akan tetapi entah apakah aku akan sanggup
menghadapi si perempuan iblis itu...?"
"Ah, terima kasih atas bantuanmu, Nenek Muri
Asih...!" berkata kedua pendekar dari Tiga Musafir Hati
Besi seraya sama-sama menjura.
Pada saat itu...
"Hihihihi... hebat kau Nenek Muri! biarlah si Gi-
ri Mayang itu aku yang akan menghadapi!"
"RORO CENTIL...!" hampir berbareng mereka
berseru, karena segeralah telah melihat munculnya se-
sosok tubuh wanita muda berparas rupawan. Senjata
Rantai Genit yang tergantung dipinggang telah dikenali
oleh kedua Pendekar itu.
"Roro...! sukurlah kau datang...!" berkata nenek
Muri Asih seraya melompat menghampiri.
"Nona Pendekar Roro Centil, Kami yakin anda
dapat menumpas perempuan iblis itu! berkata salah
seorang dari kedua Pendekar itu yang bernama Bonar.
Sedangkan adiknya adalah Bhimo.
"Ah, kalian Bonar dan Bhimo bukan...?
"Tidak salah! kami adalah si Tiga Musafir Hati
Besi yang pernah menerima budi anda dua bulan yang
lalu, namun belum sempat kami ucapkan terimakasih.
Biarlah hari ini kami sempatkan untuk mengucapkan-
nya!"
"Huss! sudahlah, tak mengucapkan pun tak
apa-apa, Kemanakah Bhadur..?" bertanya Roro dengan
mata jelalatan menatap pada empat mayat ponggawa
Kerajaan menduga kalau-kalau Bhadur telah tewas
dan ada diantaranya.
"Dia... dia dibawa pergi si Perempuan iblis
itu...!" menyahut Bonar dengan wajah pucat. Barulah
dia sadar akan lenyapnya sang kakak. "Hmm...! terce-
nung sejenak Roro Centil. "Kau tak boleh gegabah
menghadapinya, Roro...! Giri Mayang mempunyai se-
pasang lengan Iblis! Bukan aku meremehkan kepan-
daianmu, tapi kukira dengan berdua kita menempur-
nya mungkin kita bisa membinasakan perempuan iblis
itu!" berkata Nenek Muri Asih dengan suara lembut.
Tampaknya wanita tua itu agak mengkhawatirkan Ro-
ro, karena dia sendiri memaklumi betapa berba-
hayanya sepasang Tangan Iblis Giri Mayang. Roro Cen-
til tersenyum menatap wanita tua itu. "Aku hargai
kekhawatiranmu itu, nenek Muri...! Akan tetapi aku te-
lah berjanji dan bersumpah akan membunuhnya den-
gan tanganku sendiri. Dia telah menantangku untuk
bertarung! secara kesatria, apakah aku harus berlaku
pengecut...! ujar Roro dengan mengalihkan tatapannya
pada mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Giri Mayang telah banyak membuat kejahatan,
mengumbar nafsu Iblisnya demi memancing muncul-
nya aku pada peristiwa yang lalu. Juga telah memfit-
nahku! Mencemarkan nama baikku...! Pernah pula dia
berhasil menawanku, yang nyaris membuat nyawaku
melayang. Untunglah dia tak berniat membunuhku
siang-siang. Karena dia memang mau menyiksaku se-
puas-puasnya. Aku berhasil melepaskan diri dan balas
menyiksanya! sayang waktu itu aku tak membunuh-
nya mampus! Dia kuampuni jiwanya! Kubiarkan dia
hidup dalam menderita sebagai balasan atas penyik-
saan yang dilakukan padaku yang walaupun belum
sempat terjadi aku telah berhasil melepaskan diri dari
tolokannya.
Tak dinyana dia masih bisa hidup, dan bahkan
bergabung dengan si Manusia Beracun yang telah di-
peralatnya. Kembali dia membawa bencana..! Kali ini
bencana lebih besar! Dia telah mempunyai Sepasang
Tangan Iblis pengganti kedua tangannya yang putus!
Ayahnya adalah seorang tokoh jahat golongan hitam
yang pernah melakukan pembantaian di Kuil Istana
Hijau. Bernama Tun Parera. Akan tetapi dia memper-
gunakan nama palsu, yang aku lupa namanya. Dia te-
was oleh si Tutul...! Dialah si Kelabang Kuning, alias
Giri Mayang anak dari Tun Parera yang menyimpan
dendam kesumat terhadapku...!
Oleh sebab itu, perkenankanlah aku membu-
nuhnya dengan tanganku sendiri! sesuai dengan kein-
ginannya untuk bertarung denganku secara kesatria!"
Tuturkan Roro Centil mengenai siapa adanya Giri
Mayang itu.
Nenek Muri Asih manggut-manggut yang telah
mendengarkan penuturan Roro dengan panjang lebar.
Lalu tampak orang tua itu menghela napas.
Lalu ujarnya kemudian.
"Aku tak bisa menahan kalau memang demi-
kian! akan tetapi berhati-hatilah menghadapinya. Dia
masih punya seorang guru baru yang bernama Nini
Lembutung yang tak ku tahu dimana tempat sembu-
nyinya. Dialah yang telah berusaha dengan jerih payah
untuk memiliki sepasang tangan Iblis demi muridnya
itu...!" tuturkan nenek Muri Asih yang telah menyelidi-
ki dengan kekuatan batinnya yang tinggi, hingga ber-
hasil mengetahui siapa adanya guru perempuan iblis
itu. Bahkan Nini Lembutung pulalah yang telah mele-
paskan Giri Mayang dari kurungan tembok kabut cip-
taannya dihutan belantara, dalam usahanya menying-
kirkan wanita iblis itu ketempat yang jauh dari manu-
sia.
Pada saat mereka bercakap-cakap itu tiba-tiba
tersentak Roro Centil melihat sesosok tubuh manusia
melambung dari balik hutan bambu dihadapannya.
Cepat sekali Roro melesat untuk segera menangkap
sebelum tubuh itu jatuh ke bumi. Ketika dibaringkan
tersentak Roro dan kedua pendekar muda itu, karena
itulah tubuh Bhadur yang dalam keadaan telanjang
bulat. Kepalanya terkulai karena tulang lehernya patah
seperti kena cengkeraman.
"Iblis keji...!" memekik Roro seraya melesat ke
balik hutan dengan lompatan setinggi lima belas tom-
bak.
Roro Centil jejakkan kakinya ke tanah. Matanya
menjalar ke beberapa arah untuk memperhatikan se-
kelilingnya. Sunyi senyap. Keheningan mencekam...
"Hihihihi... selamat berjumpa Pendekar Wanita
yang hebat...!" terdengar suara di belakang Roro tanpa
terlihat sosok tubuhnya.
Roro Centil cepat balikkan tubuh seraya me-
rapal aji halimunan. Akan tetapi sengaja Roro tak
membentuk tubuhnya menjadi harimau Tutul.
Segera terlihat siapa dihadapannya.
"Giri Mayang...! saat pertarungan telah tiba! ha-
ri ini kau harus menyudahi perbuatan kejimu! Aku te-
lah siap untuk mengirim nyawa iblismu ke Neraka...!
membentak Roro dengan suara nyaring.
"Hebat! kau bisa melihatku...?" puji Giri
Mayang dengan tersentak kaget, tapi tetap tenang.
Keyakinannya untuk bisa menghancurkan musuh be-
sarnya amat tegar, karena dia yakin sepasang tangan
iblisnya akan mampu mencopot kepala si Pendekar
wanita Pantai Selatan itu.
"Hihihi... kau kira cuma kau sendiri yang
punya kesaktian macam begini? Hm, kali ini silahkan
kau gunakan seluruh kesaktianmu untuk menghadapi
aku. Roro Centil akan melayaninya...! Dan... jangan
harap kau dapat menunda lagi kematianmu, perem-
puan setan!"
"Baik! akan tetapi tempat pertarungan kita ter-
lalu sempit!" ujar Giri Mayang dengan wajah merah
menegang.
"Silahkan kau cari tempat yang luas. Ataukah
kau mau ajak aku bertarung diliang semut...! aku
akan melayani!" berkata Roro dengan senyum sinis.
Tampak ketenangan tetap membayang di wajah sang
Pendekar kita.
"Baik! baik...! Silahkan ikuti aku...!" berkata Gi-
ri Mayang, seraya melesat bagaikan "terbang" keluar
dari hutan bambu itu. Roro Centil enjot tubuhnya un-
tuk mengikuti. Dan, bagaikan dua hembusan angin
lewat, dua sosok-sosok tubuh yang tak terlihat oleh
mata biasa itu saling berkelebatan meluncur pesat
meninggalkan tempat itu...
Pertarungan memang tampaknya tak dapat di
elakkan lagi. Dan satu duel yang amat menegangkan
pasti akan berlangsung untuk menentukan siapakah
yang masih bisa hidup mempertahankan nyawanya.
Juga pada pertarungan itu akan ditentukan apakah
kebathilan atau kebenaran yang akan bercokol dijagat
ini. Segalanya memang belum bisa dipastikan.
Nenek Muri Asih saling tatap dengan kedua
pendekar muda itu.
Mereka cuma mendengar bentakan-bentakan
dan tantangan yang menegangkan dari balik hutan
bambu, yang kemudian suara-suara itupun lenyap.
Alam kembali sunyi mencekam. Ketiga manusia
itu tertegun dalam beberapa saat. Namun akhirnya
nenek Muri Asih menyadarkan, dengan berkata pela-
han.
"Segala sesuatunya tak dapat lepas dari takdir!
Kita tak tahu apakah kemenangan ada dipihak Roro
Centil, ataukah Giri Mayang. Semuanya kita serahkan
pada Yang Maha Kuasa! Marilah kita kuburkan mayat
saudaramu itu, sobat-sobat Pendekar muda...! Juga
empat mayat pengawal itu kita ke bumikan sekalian!
aku akan membantu kalian menggali lubang...!"
Tersentak kedua dari Tiga Musafir Hati Besi.
Lalu cepat-cepat menjawab.
"Terima kasih, nenek Muri Asih! kami sudah
berhutang budi pada anda, biarlah kami yang menggali
kubur untuk semua mayat yang berada disini...!" ber-
kata Bonar.
Sejenak perempuan tua itu tercenung. Lalu ter-
dengar menghela napas. "Baiklah, kalau begitu...!
Doa'a-kan saja agar kemenangan ada pada Pendekar
Wanita kita..!" ujar Nenek Muri Asih.
"Tentu...! tentu, nenek Muri Asih!" menyahut
keduanya dengan serempak.
Nenek Muri Asih gerakkan lengannya beberapa
kali ke arah depan.
Terdengarlah suara berdentum beberapa kali
ketika sinar perak berkelebatan menghantam tanah.
Debu mengepul, dan tanah menyemburat ke udara.
Ketika abu tebal itu lenyap, terperangah kedua
pendekar itu melihat dihadapannya telah berjajar lima
buah lubang yang persis seperti baru digali.
Kedua pendekar jadi saling pandang dengan
keheranan.
"Beliau telah membantu kita menggalikan ku-
buran...!" berkata Bhimo dengan tertegun.
"Benar, adikku... ah, sungguh sakti nenek itu
juga berhati mulia! Marilah kita kuburkan dulu jena-
zah kakak kita..." ujar Bonar.
Sang adik mengangguk, lalu segera bantu men-
dukung membawa jenazah. Kesedihan tampak mem-
bayang di wajah dua Pendekar muda ini. Akan tetapi
mereka memang tak dapat menentang takdir seperti
apa yang diucapkan nenek Muri Asih. Begitu juga den-
gan pertarungan kedua tokoh hitam dan putih itu ke-
lak.
Manusia, ya cuma manusia. Setinggi apapun
ilmunya tetap di bawah kekuasaan Yang Maha Pencip-
ta.
Langit tampak cerah tak berawan. Cahaya Ma-
tahari membersit terik. Sesekali terhalang sinarnya
oleh daun-daun bambu yang bergoyang tertiup angin.
Setelah berdo'a untuk arwah-arwah mereka yang telah
tiada, kedua. Pendekar Hati Besi meninggalkan tempat
itu. Meninggalkan lima buah gundukan tanah yang
masih baru. Mereka telah gugur sebagai pahlawan wa-
laupun cuma dengan sedikit perjuangan. Tapi masih
punya arti ketimbang matinya seorang berpangkat
yang meninggalkan nama buruk dimata manusia...
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar