..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 18 Maret 2025

RORO CENTIL EPISODE TUJUH MAHLUK KERDIL PENGHISAP DARAH

matjenuh khairil

 

SATU

Puncak gunung Galunggung kepulkan asap ti-
pis...
Keadaan di sekitar tempat itu sunyi senyap. 
Cuma yang terdengar suara lumpur lahar yang bergo-
lak mendidih.
Tak seorangpun manusia yang berani melongok 
ke puncak gunung itu, karena hawa yang teramat pa-
nasnya. Akan tetapi justru satu keanehan di sisi lum-
pur yang bergolak menindih itu, pada satu relung goa 
tampak duduk dengan mata meram dan kaki bersila 
seorang nenek tua renta yang berambut putih beria-
pan.
Hawa dari lahar itu seperti tak dirasakannya. 
Empat puluh hari empat puluh malam sudah nenek 
tua renta itu bersemadi. Kalau pantatnya tak menem-
pel di atas batu tentu manusia itu pasti disangka setan 
kalau kebetulan ada orang yang melonggokkan kepala 
melihatnya.
Dekat ujung kakinya banyak terdapat guratan
yang menggores batu. Itulah goresan hitungan dimana 
setiap selesai satu malam bertapa, si nenek selalu 
menggurat satu kali dengan jarinya demikian seterus-
nya...
Dan dari banyaknya guratan itu yang kalau di-
hitung sudah berjumlah 40 guratan berarti sudah em-
pat puluh hari lamanya dia bersemadi di lereng dasar 
kawah itu.
Hari itu adalah hari keempat puluh dia bertapa. 
Saat mana tampak si nenek tua renta itu mulai mem-
buka sepasang kelopak matanya.
Ternyata dia seorang nenek bermata juling. Bi-
birnya tampak sunggingkan satu senyum puas. Dan
dia boleh bernapas lega, karena dari bisikan gaib yang 
diperoleh melalui semedinya satu harapan besar yang 
menggembirakan telah membuat dia tertawa terkekeh-
kekeh seraya ucapnya lirih.
"Hihihik... hihihihik... terima kasih! terima ka-
sih atas petunjukmu Eyang Pukulun..! tentu saja sya-
rat-syarat itu akan hamba penuhi! Bocah perempuan 
yang sudah kuresmikan menjadi muridku itu harus 
dapat menandingi kehebatan si Roro Centil! dan dia 
harus mampu membunuhnya! hihihik... hihihik..."
Selesai berkata si nenek tua renta bermata jul-
ing itu bangkit berdiri. Sepasang matanya menatap ke 
atas tepian lereng kawah, dipuncak paling atas. Den-
gan perdengarkan suara tertawa dingin, perempuan 
tua yang sakti ini gerakkan anggota tubuhnya ke kiri
dan ke kanan. Terdengar suara berkrotokan tulang-
tulangnya. Duduk bersemadi selama empat puluh hari 
empat puluh malam membuat urat-uratnya kaku. 
Bahkan kulitnya sudah hitam seperti gosong akibat 
hawa yang teramat panas. Pakaiannyapun robek ber-
serpihan karena lapuk dimakan hawa panas.
Sekali lengannya bergerak, sebongkah batu be-
sar dua kali kepalan tangan sudah tercekal di tangan-
nya. Lalu matanya menatap lagi ke atas puncak gu-
nung dari dalam ruang rongga di lereng batu dalam 
mulut kawah.
WHUUUT...! batu di lengannya dilemparkan ke 
atas. Dan tubuhnya secepat kilat melesat menyusul 
batu yang barusan dilemparkan.
Ketika kakinya tepat di atas batu, sebelah kaki 
si nenek mata juling jejakkan kakinya pada batu tua 
itu, dan... ringan sekali tubuh si nenek kembali me-
luncur untuk seterusnya hinggapkan kaki di bibir mu-
lut kawah.
Sementara batu yang dipakai sebagai "tangga"

untuk melompat itu meluncur deras ke bawah, dan le-
nyap ditelan bergolaknya lumpur kawah gunung Ga-
lunggung.
Setelah perdengarkan suara tertawanya yang 
terkekeh-kekeh, si nenek mata juling berkelebat dari 
puncak gunung itu dan lenyap di kesamaran kabut...
Dua hari kemudian sejak terjadinya peristiwa di 
gunung Galunggung, di sebuah desa terdekat telah ter-
jadi kegaduhan. Teriakan-teriakan ketakutan terden-
gar dari sebuah rumah. Apakah yang terjadi?
Seorang wanita tua lari pontang panting keluar 
dari rumahnya dengan wajah pucat. Hari belum begitu 
malam, namun hawa aneh yang membangunkan bulu 
roma telah menyebar di sekitar desa Banyu sari. Wani-
ta yang lari pontang panting keluar dari rumahnya itu, 
karena tahu-tahu melihat di dalam kamarnya muncul 
makhluk-makhluk kerdil yang berwajah menyeram-
kan, dengan mulut menyeringai dan sepasang mata 
yang besar-besar. Pada kepalanya terdapat dua buah 
tanduk. Makhluk-makhluk itu ternyata menghampiri 
anak gadisnya yang tidur sendiri dalam kamarnya. Ke-
tika mendengar suatu jeritan sang anak gadis tengah 
meronta-ronta dalam cengkeraman tangan mahluk-
mahluk kerdil yang menyeramkan. Tentu saja mem-
buat dia terperangah dengan wajah pucat. Dan serta 
merta melompat keluar rumah dengan menjerit-jerit 
ketakutan...
"Toloooong! tolooong!" teriaknya dengan meng-
getar panik. Tentu saja membuat penduduk segera ke-
luar untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Dua 
orang laki-laki bergegas melompat menghampiri.
"Ada apa, bi...? ada apa...? mengapa kau berte-
riak-teriak malam-malam begini?" tanya salah seorang. 
Sementara laki-laki itu telah mencekal golok yang se-
jak keluar dari rumah sudah dihunusnya.

"Anaku... a... anaku... Kitri! tolong anaku..." te-
riak wanita tua itu dengan menangis terisak dan wajah 
pucat pasi.
"Kenapa anakmu? kenapa? apa yang terjadi...?" 
tanya seorang lagi. Sementara beberapa orang pendu-
duk laki-laki dan perempuan sudah berdatangan den-
gan berlari-lari menghampiri.
Akan tetapi belum apa-apa wanita tua itu telah 
terkulai pingsan tak sadarkan diri. Si laki-laki bergolok 
seketika sudah melompat ke arah rumah.
"Pasti ada terjadi apa-apa dengan anak gadis 
itu! ayo, bantu aku melihat!" teriak laki-laki itu sesaat 
ketika berhenti untuk berpaling pada para tetangganya 
yang sudah berkerumun. Dua orang lagi singsingkan 
kain sarungnya lalu bergegas melompat menyusul ka-
wannya. Sebuah kayu yang tergeletak di tanah disam-
bar oleh salah seorang. Sedang kawannya yang satu 
lagi telah mencabut keluar goloknya yang terselip di 
pinggang.
"Dimana anak gadis itu? tak ada...!" teriak sa-
lah seorang yang tadi duluan masuk. "Periksa kamar, 
tolol!" teriak kawannya.
BRAAK! pintu kamar ditendang roboh. Keti-
ganya menyerbu ke dalam. Akan tetapi beberapa 
bayangan hitam telah melompat dan menerkam... Se-
ketika terdengarlah suara jeritan tiga orang itu yang 
seketika berkelojotan dengan mata membelalak dan 
terperangah kaget, karena tahu-tahu leher mereka te-
lah terkena terkoyak oleh gigitan taring makhluk-
makhluk kerdil yang mencengkeramnya.
Tak ampun ketiga orang itu berkelojotan mere-
gang nyawa dengan lidah terjulur sekarat.
Suasana kembali hening setelah ketiga orang 
penduduk itu roboh terkulai dengan tak berkutik lagi.
Akan tetapi di luar telah terjadi kegaduhan ketika dari jendela berlompatan makhluk-makhluk kerdil 
itu yang jelas terlihat memondong tubuh seorang pe-
rempuan.
"Itu..! it..uuuu! kejar.! kejaaaar...!" teriak bebe-
rapa orang dengan suara santar dan mata membela-
lak. Akan tetapi bukannya pada mengejar, bahkan me-
reka menyurut mundur. Karena segera meremang bulu 
tengkuk mereka melihat sekelebatan bentuk tubuh 
dan wajah yang menyeramkan dari makhluk-makhluk 
kerdil itu yang menggondol lari gadis itu.
"Ssssetan...! hah!? itu, mah... ssetan! hiiiiiii..." 
teriak salah seorang dengan suara gemetar dan wajah 
pucat pias.
Sekejapan saja makhluk-makhluk kerdil itu le-
nyap dikeremangan malam. Barulah mereka teringat 
akan nasib tiga orang kawan yang memasuki rumah. 
Bergegas beberapa orang menyerbu untuk melihat.
Bukan main terkejutnya para penduduk ketika 
mengetahui ketiga kawan mereka telah terbujur jadi 
mayat. Keadaannya mengerikan karena pada leher 
masing-masing ada luka lebar menganga seperti bekas 
gigitan taring.
Gemparlah seketika penduduk desa Banyu sari 
ketika mengetahui ketiga penduduk yang telah tewas 
itu kenyataannya telah tersedot habis darahnya.
Diculiknya gadis bernama Kitri anak seorang 
janda yang cuma hidup berdua dengan anak gadisnya 
itu menambah mengkalutkan suasana.
Kepala Desa segera memerintahkan semua 
penduduk untuk berjaga-jaga khawatir kejadian beri-
kutnya terulang lagi.
Esoknya menjelang tengah hari, mayat ketiga 
penduduk itu segera dikebumikan dengan hati hancur 
serta perasaan sedih. Kejadian itu adalah kejadian un-
tuk yang pertama kalinya melanda desa Banyu sari di
lereng gunung Galunggung...
Sementara itu di satu tempat tersembunyi yang 
sukar dikunjungi manusia biasa, di satu lereng bukit 
terjal pada sebuah lubang goa...
"Hihihi... hihihik... bagus! bagus! kalian bekerja 
dengan baik, akan tetapi aku membutuhkan enam 
orang gadis lagi untuk keperluan ku!" Di mulut goa itu 
berdiri sesosok tubuh wanita tua yang berambut putih 
beriapan. Dialah si nenek tua renta bermata juling 
yang tengah bicara dengan tujuh makhluk kerdil yang 
berwajah menyeramkan.
"Tiga hari lagi bulan Purnama. Kalian harus 
sudah selesai mengumpulkan tujuh orang gadis!" 
sambungnya dengan suara serak bagai burung gagak. 
Ketiga makhluk itu manggut-manggut dengan tertawa 
menyeringai, lalu segera satu persatu berkelebatan ke-
luar dari dalam goa. Gerakannya cepat sekali karena 
mereka seperti melayang saja di atas udara melintas 
jurang terjal di bawah bukit. Tertawa terkekeh si ne-
nek mata juling, memandang ketujuh makhluk piaraan 
yang amat patuh untuk menjalankan tugas.
Tak lama nenek mala juling segera beranjak 
masuk ke dalam goa. Sebongkah batu bergerak meng-
geser dari dalam yang segera menutupi lubang itu. 
Ternyata si nenek itulah yang menggeserkan batu pe-
nutup liang goa itu...
***
DUA


Dari ruangan bagian dalam goa itu terdengar 
suara isak tangis seseorang. Bergegas si nenek mata 
juling menghampiri, seraya perdengarkan suara tertawanya mengekeh. "Hihihik... hihihik... sudahlah mu-
ridku, jangan kau turutkan kesedihan mu! Tiga hari 
lagi kau boleh bergirang hati mempunyai sepasang 
lengan baru. Tidak saja akan membuat anggota tu-
buhmu kembali sempurna, akan tetapi juga kau akan 
memiliki sepasang lengan yang sakti!" ujar si nenek 
tua renta itu menghibur.
Tampak seorang wanita berwajah cantik, na-
mun berambut kusut dan wajah pucat lesu duduk 
menyandar ditembok goa dengan berurai air mata. 
Akan tetapi jelas terlihat sepasang lengannya putus.
Dialah wanita yang bernama Giri Mayang. (se-
perti dikisahkan dalam judul: Langkah-langkah Manu-
sia Beracun, Giri mayang yang bertarung melawan 
Gembul Sona si Belut Putih dan Sambu Ruci alias si 
Pendekar Selat Karimata kena dilukai senjata kedua 
Pendekar itu. Saat itu Giri Mayang telah menyerupa-
kan dirinya menjadi seekor ular besar berkepala tujuh. 
Pedang Sambu Ruci berhasil menabas leher salah satu 
kepala ular. Demikian pula keris pusaka Gembul Sona 
si kakek rambut coklat itu dapat leher salah satu dari
tujuh kepala ular kejadian itu. Ternyata tepat yang di-
tabas adalah sepasang lengan dari wanita sakti ber-
nama Giri Mayang itu, yang mempunyai dendam seda-
lam lautan terhadap Roro Centil.
"Tiga hari lagi, guru...? dan benarkah apa yang 
kau katakan itu...?" bertanya Giri Mayang dengan wa-
jah sekonyong-konyong membersitkan cahaya cerah. 
Semangat hidupnya telah timbul lagi.
"Hihihik... hihik... mengapa aku harus berdus-
ta? Tenangkan hatimu. Tiga hari lagi menjelang pur-
nama si tujuh makhluk kerdil piaraan ku sudah men-
gumpulkan tujuh orang gadis. Mereka semua adalah 
sebagai syarat untuk mendapatkan sepasang lengan-
mu yang kudengar dari suara gaib hasil dari semediku

selama empat puluh hari empat puluh malam di ka-
wah gunung Galunggung. Dan... kau boleh bersuka ci-
ta dengan sepasang lengan barumu kelak, karena kau 
akan mempunyai sepasang Tangan Iblis yang dapat 
kau pergunakan untuk membalas dendam, hihihik... 
hihihik… hihik..."
"Oh, terima kasih! terima kasih, guru! Atas jerih 
payahmu itu entah dengan apa aku harus membalas-
nya!" berkata Giri Mayang dengan sinar mata membi-
nar karena girangnya.
Tertawa mengekeh si nenek mata juling, seraya 
ujarnya. "Hm, bagiku asalkan kau bisa melenyapkan si 
Roro Centil aku sudah puas! karena bukan saja murid 
manusia Banci itu telah membunuh murid ku si kupu-
kupu emas akan tetapi juga membunuh mati anakku 
Porak Supih. Dengan kau berhasil kelak mele-
nyapkannya berarti kau telah pula membalaskan den-
dam ku. dan membalaskan pula kematian paman gu-
rumu serta murid gurumu itu." berkata si nenek tua 
renta dengan suara dingin. "Dengan bekal Tangan Iblis 
itu aku yakin kau dapat membunuh mati si Roro Cen-
til itu, murid ku!" ucapnya dengan tandas.
Giri Mayang tak dapat berkata-kata selain 
mengangguk-angguk dengan pancaran mata bersinar. 
Betapa dia sudah tak sabar untuk menantikan saat 
pembalasan itu...
Kita tinggalkan dulu dua manusia Kaum Rimba 
Hijau golongan hitam itu yang mempunyai dendam 
amat luar biasa pada sang Pendekar Wanita Pantai Se-
latan. Marilah kita beralih kesatu tempat.
Lelaki muda bertubuh tegap itu duduk terman-
gu di atas batu. Di belakangnya adalah air terjun yang 
meluncur dari atas tebing batu di belakangnya. Sepa-
sang matanya menatap ke depan.
Akan tetapi tiada yang ditatapnya karena sebenarnya dia tengah menatap jauh ke masa silam...
Laki-laki itu berwajah bersih. Dari bekas cuku-
ran pada jenggot dan kumisnya menandakan dia ada-
lah bekas seorang laki-laki brewok yang berambut 
gondrong. Bila di pandang dari keadaan tubuhnya,
ternyata diapun seorang yang cacad jasmani, karena 
sebelah lengan kirinya putus hampir sebatas pangkal 
lengan.
Dialah Joko Sangit! laki-laki gagah yang pada 
peristiwa beberapa bulan yang lalu terpaksa membun-
tungi lengannya sendiri, karena demi membuktikan
cinta dan janjinya pada Roro Centil.
Akan tetapi Joko Sangit telah terkecoh, karena 
tanpa disadari Joko Sangit telah salah mata mengang-
gap Giri Mayang sebagai Roro centil, karena Giri 
Mayang telah mempergunakan ajian malih rupa, bah-
kan memakai pakaian serta senjata yang mirip seperti 
yang sering dikenakan Pendekar Wanita Pantai Selatan 
itu. Giri Mayang yang mengetahui dalam mabuknya si 
laki-laki bernama Joko Sangit itu bahwa dia memen-
dam Cinta pada Roro Centil telah sengaja memper-
mainkannya. Hingga dalam keadaan menderita, Joko 
Sangit tergelincir masuk ke dalam jurang. Dan tak 
sempat lagi mengetahui siapa sebenarnya wanita diha-
dapannya... (baca: kisah, Misteri Telaga Berkabut.)
Apakah yang terjadi dengan murid si Pendekar 
Gentayangan Ki Jagur Wedha itu hingga masih bisa 
hidup dan berada di satu tempat tersembunyi di ba-
wah air terjun? Sebentar akan kita simak kisahnya.
Saat Joko Sangit tengah merenung akan kisah 
silamnya yang sebentar-sebentar diseling dengan he-
laan napas, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang 
membuat laki-laki ini terkejut dan tersadar dari lamu-
nannya.
"Hehehehe... orang muda terlalu banyak melamun akan tidak baik! Hal itu boleh dilakukan cuma 
sekali waktu. Akan tetapi terus-terusan melamuni na-
sib, bukan saja membuat lenyapnya semangat hidup
juga akan menyia-nyiakan waktu!" Suara tertawa yang 
kemudian disambung dengan kata-kata itu membuat 
Joko Sangit tersenyum, karena dia segera telah melihat 
datangnya seorang kakek jangkung bermata sipit ber-
kulit putih. Rambutnya digelung kecil di atas kepala. 
Terbungkus dengan kain sutera warna putih.
"Ah, kakek Matsui, anda membuat aku jadi ter-
kejut..! ujar Joko Sangit seraya menjura. Lalu tukas-
nya selanjutnya. "Benar sekali apa yang anda katakan 
itu kakek Matsui! aku terlalu tenggelam dengan keme-
lut kisah ku di masa silam yang penuh dengan kebru-
talan...!"
Mengekeh tertawa si kakek jangkung berjubah 
putih ini dengan mengelus-elus jenggotnya, "Hehehe-
heh... kebrutalan masa muda memang seperti tidak bi-
sa terlepas dari gaya hidup manusia, akan tetapi tentu 
punya batas-batas dan ukuran tertentu!" tukas si ka-
kek Matsui, tokoh persilatan dari Negeri Sakura ini. 
Entah bagaimana kakek kosen ini mulai "ngelayap" ke-
luar dari negerinya,
"Wah...! kalau aku sudah lebih dari batas uku-
ran, kek...! Makanya tak habis-habis kurenungi. Aku 
merasa jalan hidupku banyak salah. Aku banyak ber-
buat dosa di luar kesadaranku, atau bahkan dalam 
sadarku...!" berkata Joko Sangit. ,
Kakek Matsui kerutkan keningnya menatap pa-
da laki-laki itu yang pada beberapa bulan yang lalu di-
colongnya secara kebetulan.
"Apakah di samping minum arak ada banyak 
kejahatan lain yang kau lakukan?" tanya Kakek Mat-
sui. Joko Sangit tertawa hambar sambil manggut-
manggut."Banyak nian, kek! terutama pada soal perempuan...! ya! arak dan perempuan itu seperti sudah 
mendarah daging di benakku! Aku berusaha menghi-
langkannya tapi tak punya kemampuan untuk meng-
hindari..." keluh Joko Sangit.
"Heheheh... apakah kira-kira kau telah temu-
kan cara baik untuk buang sifat itu?" tanya kakek 
Matsui.
"Justru itulah aku tengah merenungkannya... ! 
sahut Joko Sangit dengan menghela napas. "Dan... 
kau sudah punya kepastian? dalam perenungan mu
selama berhari-hari ini?" tanya lagi kakek Matsui den-
gan tersenyum.
"Baru separuhnya...!"
"Maksudmu?" tanya orang tua itu tak mengerti.
"Aku baru bisa menghilangkan keinginanku
dengan perempuan saja!" sahut Joko Sangit. Membela-
lak mata kakek Matsui, lalu dikejap- kejapkan. Dan ti-
ba-tiba saja tertawa terkekeh-kekeh sampai terbatuk-
batuk.
"Hehehe... heh heh heh... uhuk uhuk... berhari-
hari merenungi diri ternyata hasilnya tak lebih cuma 
"pesong" belaka! hehehe... hehheh..."
"Apa itu pesong, kek...?" tanya Joko Sangit he-
ran. Ditatapnya kakek jangkung kurus berjubah putih 
itu dengan hati agak mendongkol, juga tak mengerti.
"Hehehe.. ."pesong" artinya pepesan kosong! ka-
lanya kau merenung mengingat segala dosa taik kuc-
ing! nyatanya kau tak mampu menghilangkan keingi-
nanmu untuk mabok arak! Wahahaha... he. hehe... 
Kalau cuma menghilangkan keinginan pada perem-
puan sih bukannya hasil merenung, tapi sudah saja 
kau bilang bahwa kau patah hati! Dan patah hati itu 
sifatnya sementara...! kalau untuk selamanya kau tak 
punya keinginan pada perempuan, apa lagi masih 
punya keinginan mabuk arak, Wah... ! wah! itu sih

sama dengan bohong! kecuali kau "dikebiri" aku baru 
yakin." berkata kakek Matsui dengan blak-blakan 
mengungkapkan pendapatnya.
Ternyata apa yang dikatakan si kakek Matsui 
sedikitpun tak disalahkan Joko Sangit. Hatinya mem-
batin. "Si kakek orang asing yang menolongku ini se-
perti bisa mengetahui sifat manusia! aku sendiri tidak 
bisa memastikan apakah akan selamanya aku men-
jauhi perempuan? Yang jelas semenjak aku dibuat sa-
kit hati oleh perbuatan Roro Centil hingga sampai aku 
kehilangan sebelah lenganku aku... aku mulai mem-
benci perempuan!"
Akan tetapi sedikit banyak Joko Sangit masih 
penasaran yang membuat dia ajukan pertanyaan, dan 
balas "memukul" orang.
"Penjelasan anda ada benarnya juga kakek 
Matsui. Akan tetapi anda mengatakan keyakinan anda 
kalau manusia dikebiri barulah lenyap keinginannya 
pada perempuan, apakah anda pernah mengalami hal 
seperti aku? dan jangan-jangan anda termasuk orang 
yang dikebiri..." ujar Joko Sangit seraya melompat ber-
diri.
Berubah seketika wajah si kakek jangkung dari 
Negeri Sakura itu. Alisnya yang putih dan gompyok 
hampir menutupi matanya itu terjungkat naik.
Tiba-tiba sebelah lengannya menghantam ta-
nah. Buk! dan... tubuhnya telah mencelat setinggi se-
puluh tombak. Di udara tubuh si kakek Matsui itu 
berputar dua kali. Selanjutnya dia berdiri tegak me-
nengadah menatap langit. Jubahnya berkibaran ter-
tiup angin pegunungan...
Terkejut Joko Sangit dia tak menyangka kalau 
kata-kata itu ternyata tepat mengenahi hati sanubari 
si kakek penolongnya. Namun diam-diam dia memuji 
kehebatan ilmu meringankan tubuh kakek dari Negeri

Sakura itu.
"Ucapanmu tidak salah, anak muda...! aku 
memang manusia kebiri! sejak usia delapan belas ta-
hun kejadian itu telah menimpa ku! Akan tetapi du-
gaanmu salah kalau kau katakan aku mengalami hal 
yang sama sepertimu!" terdengar suara si kakek Mat-
sui berkata. Suaranya pelahan, akan tetapi mengan-
dung kekuatan tenaga dalam yang hebat, yang mampu 
menandingi suara mengguruhnya air terjun. Ternyata 
si kakek Matsui telah palingkan kepalanya untuk me-
natap padanya dari tempat ketinggian itu. "Anak mu-
da...!" ujarnya.
"Selama hidupku aku tak pernah mengenal 
atau mencicipi arak yang dapat membuat manusia 
menjadi mabuk! Di negeriku cuma ada SAKE...! Itu 
minuman tradisi disana! Dan... ketahuilah! Puluhan 
tahun sudah aku berusaha melupakan dendam pada 
manusia yang telah membuat aku cacad! Agaknya ma-
nusia yang kucari itu sudah tinggal jerangkongnya saja 
alias tak ada di dunia lagi! Namun aku masih penasa-
ran untuk tetap mencarinya untuk membalaskan den-
dam ku! karena manusia itulah aku gagal dalam hidup 
ini...! aku tak seperti manusia layak lainnya yang da-
pat punya istri, berkeluarga dan mengeyam hidup ba-
hagia...!"
Tertegun Joko Sangit seketika. Suara si kakek 
Matsui seperti tergetar menahan perasaan yang meng-
gebu di dadanya. Tampak terlihat tubuh orang tua itu 
tergoyang-goyang. Namun segera menggeloso dengan 
menekuk lutut.
Sepasang matanya menatap pada Matahari, la-
lu menundukkan kepala dengan sepasang lengan 
mengepal menjadi satu.
"Kakek Matsui, maafkanlah kata-kataku yang 
telah menyinggung perasaan anda... !" teriak Joko

Sangit.
Pendekar tua dari Negeri Sakura itu angkat wa-
jahnya menatap Joko Sangit. Dan terdengar suara he-
laan nafasnya."Sudahlah, anak muda...! kehidupan 
memang penuh dengan kemelut. Tak seorangpun ma-
nusia yang terlepas darinya...!"
Selesai berkata, kakek itu bangkit berdiri.
"Kakek Matsui! mau kemanakah anda...?" te-
riak Joko Sangit, seraya gerakkan tubuhnya melompat. 
Akan tetapi cuma mampu tiba di bawah kakek itu yang 
berada sepuluh kaki diatasnya. Tampaknya seperti 
khawatir sekali si penolongnya itu meninggalkan tem-
pat itu. Tersenyum orang tua ini memandang laki-laki 
muda itu. Ada terbersit perasaan kasihan padanya. 
Memang sejak dia menolongnya secara kebetulan, si 
Pendekar tua. Negeri Matahari Terbit itu agak menaruh 
simpati pada Joko Sangit.
Kejadiannya adalah sebagai berikut.
Ketika itu Matsui memang berada didasar ju-
rang dalam yang berkabut itu, Sejak selama beberapa 
bulan dia "gentayangan" meninggalkan Negerinya un-
tuk mencari seseorang diwilayah Pulau Jawa. Orang 
yang dicarinya tak lain adalah Roro Centil. Entah apa 
maksudnya kakek Matsui itu mencari sang dara Per-
kasa Pantai Selatan itu belum lagi diketahui.
Roro Centil memang pernah berkunjung ke ne-
geri Sakura itu untuk memenuhi tantangan seorang 
tokoh hitam di kepulauan Jepang yang telah menden-
gar kehebatan serta nama besar Pendekar Wanita itu. 
Roro berhasil menjatuhkan lawannya. Dan sempat pu-
la berkenalan dengan kakek tua bernama Matsui itu, 
serta mengalami pertarungan dengan para Ninja. (Ba-
ca: kisah," Pedang Asmara Gila").
***
TIGA

Saat itu sesosok tubuh melayang deras ke da-
sar jurang yang dalam dimana pada sisi-sisinya adalah 
tebing-tebing batu terjal. Naluri si kakek Matsui yang 
peka membuat dia menengadah untuk melihat ke atas
tebing. Tersentak kakek itu melihat diantara kesama-
ran kabut sesosok tubuh manusia meluncur ke bawah
dengan derasnya. Saat itu Joko Sangit sudah tak tahu 
akan bahaya apa yang mengancam dirinya. Ketika ta-
hu-tahu sepasang lengan telah menyambar tubuh-
nya... Dan selamatlah dia dari bahaya maut! Kakek 
penolongnya itu segera diketahui bernama Matsui. 
Seorang laki-laki tua dari bangsa asing dari sebuah 
kepulauan yang jauh, yaitu di Negeri Matahari Terbit. 
atau yang dinamakan juga Negeri Sakura.
Selama beberapa pekan Joko Sangit dirawat 
oleh kakek itu hingga lukanya sembuh dan mengering. 
Selama itu pula kakek Matsui telah berdiam didasar 
lembah di bawah air terjun itu...
Joko Sangit merasa sangat berhutang budi atas 
pertolongan orang tua asing itu. Tentu saja membuat 
dia begitu khawatir kalau si penolongnya meninggal-
kan dia di dalam keadaan tersinggung karena kata-
kata yang telah diucapkannya.
"Anak muda..." ujar Matsui dengan suara lirih. 
"Jangan takut! aku tak merasa tersinggung dengan 
ucapan mu. Akan tetapi aku memang mau pergi. 
Dan... hari ini adalah saat yang baik buat aku mene-
ruskan perjalanan...!"
"Ah!? akan kemanakah kakek...? tanya Joko 
Sangit tersentak. Pirasatnya sudah menduga kalau 
kakek asing yang baik budi itu akan pergi.
"Entahlah...! aku sendiri tak mengetahui kemana aku akan pergi! Untuk itu aku tak bisa mencerita-
kannya padamu!" "Apakah kakek Matsui akan mencari 
dimana adanya musuh besar anda?"
"Tadinya demikian...! tapi setelah berpikir 
orangnyapun entah masih hidup entah sudah mati! 
Tujuan sebenarnya adalah aku ingin bertemu dengan 
seorang tokoh Rimba Hijau dari tanah Jawa ini. Dia 
bernama Roro Centil dan berjulukan si Pendekar Wani-
ta Pantai Selatan!" tegaskan Matsui dengan menghela 
napas.
Tersentak Joko Sangit. Seketika dia tundukkan
wajah dan tampak wajahnya berubah murung. Da-
danya berombak-ombak. Namun selang sesaat Joko 
Sangit dapat menenangkan perasaannya. "Ada hubun-
gan apakah anda dengannya... ?tanya Joko Sangit.
"Kau mengenalnya...?" Kakek Matsui justru ba-
lik bertanya.
"Yah, begitulah...! akan tetapi dia memang amat 
sukar dijumpai!"
Terpaksa Joko Sangit menyahuti, walau sebe-
narnya hatinya lebih dari mendongkol pada Roro Cen-
til, karena si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu telah 
mempermainkan cintanya. Bahkan gara-gara gadis 
Pendekar itu dia harus kehilangan sebelah lengannya. 
Demikian apa yang terpikir dihati Joko Sangit, tanpa 
mengetahui kalau perbuatan yang dilakukan terha-
dapnya adalah bukan oleh Roro Centil. Melainkan oleh 
Giri Mayang.
"Ya, ya, ya...! aku mengerti, Gadis itu memang 
berwatak aneh. Muncul dan perginya seperti hantu. 
Kalau tak secara kebetulan mana mungkin bisa ber-
jumpa dengan dia...?" tukas Matsui dengan manggut-
manggut.
"Baiklah...!" sambungnya kemudian setelah me-
renung beberapa saat.

"Kalau kau sudi menolongku tentu aku akan 
berterima kasih sekali!"
"Apakah itu, kek? anda telah menyelamatkan 
nyawaku kalau aku bisa membalas budimu!" apa pun 
yang kau tugaskan untuk membantumu aku bersedia 
membantumu!" sahut Joko Sangit dengan cepat.
"Heheheheh... heheheh... bagus! bagus! telah 
ku tinggalkan di dalam goa "sesuatu" yang aku ingin 
memberikannya pada gadis Pendekar itu!
Nah! tolong kau berikanlah benda dalam kotak 
perak itu padanya...! Hanya itu yang ku ingin kau me-
nolongku... serta sampaikan salamku padanya... !" 
berkata kakek Matsui. Dan setelah tertawa terkekeh-
kekeh tubuh jago tua dari Negeri Matahari Terbit itu-
pun berkelebat dari atas tebing batu. Lalu lenyap tak 
kelihatan lagi.
Samar-samar masih terdengar suara tertawa 
mengekehnya dan kata-kata. "Selamat tinggal anak 
muda! sampai jumpa lagi, kalau masih ada usia bua-
tku...!"
Terpaku Joko Sangit ditempatnya. Tanpa sem-
pat dia ucapkan kata-kata perpisahan pada sang ka-
kek penolongnya.
Namun yang lebih membuatnya terpaku adalah 
pesan si kakek Matsui.
"Benda apakah yang berada dalam peti perak, 
yang harus kusampaikan pada si Roro Centil itu?" sen-
tak hati Joko Sengit.
Dan... begitu tergerak rasa ingin tahunya, tu-
buh laki-laki murid si Pendekar Gentayangan Ki Jagur 
Wedha telah melompat turun dari tempat ketinggian 
itu.
Untuk selanjutnya berlari-lari menuju arah goa 
tempat tinggalnya selama ini.
Kebesaran bukan terletak pada kekuatan yang

dimiliki, melainkan bagaimana menggunakan kekua-
tan itu dengan benar!
Itulah tulisan dari kata-kata yang tertera pada 
kulit kitab usang yang terdapat di dalam peti perak. 
Ternyata rasa ingin tahu Joko Sangit telah membuat 
dia penasaran untuk membuka kotak perak dalam 
buntalan kain yang sedianya harus diberikan pada Ro-
ro Centil.
Berdebar hati Joko Sangit. Kata-kata dalam tu-
lisan itu mempunyai arti yang amat besar. "Ini pasti 
sebuah kitab tentang Ilmu kadigjayaan...!" sentak hati 
laki-laki itu. Dengan lengan sedikit tergetar kembali 
Joko Sangit menyibak lemparan berikutnya. Dan terte-
ra disana sebuah tulisan yang berkalimat pendek. 
"NlNJA".
Tercenung Joko Sangit."Apa artinya kata-kata 
ini...?" gumamnya lirih. Selanjutnya dia telah membu-
ka lembaran-lembaran berikutnya, yang ternyata beri-
sikan ilmu-ilmu kedigjayaan. Akan tetapi jelas mem-
punyai bentuk ilmu silat asing serta ilmu bela diri yang 
menerangkan tentang rumusan-rumusan inti dari ju-
rus-jurus NINJA, seperti yang tertera pada lembar per-
tama.
Jelaslah sudah kalau kakek Matsui mencari 
Roro Centil adalah karena ingin memberikan kitab ten-
tang NINJA yang berasal dari Negeri Matahari Terbit 
itu. Entah hubungan apakah kakek Matsui mencari 
Roro Centil, hingga kakek Matsui mencari sejauh itu 
hanya untuk menyerahkan kitab itu pada Roro? pikir 
dibenak Joko Sangit.
"Apakah aku harus menyampaikannya pada 
Roro Centil... ?" desis laki-laki itu. Sejenak dia terman-
gu-mangu seraya menutupkan kembali kitab itu. Lalu 
dimasukkan lagi dalam kotak perak. Tulisan itu jelas 
masih baru. Agaknya kakek Matsui telah sengaja menyadurnya dengan tulisan yang mudah dipahami diwi-
layah Pulau Jawa! Benak Joko Sangit memikir.
Lama... dan lama... Joko sangit merenung. Se-
mentara dadanya semakin berombak-ombak, pertanda 
dia telah menimbang-nimbang keputusannya dengan 
hati gemuruh. Sakit hati pada Roro Centil akibat per-
lakuanya hingga dia harus kehilangan sebelah lengan-
nya membuat wajahnya sebentar merah sebentar pu-
cat menegang. Tiba-tiba laki-laki itu gerakan sebelah 
lengannya menghantam batu besar didekatnya. 
Brrass...! batu besar itu hancur berkepingan.
Lalu jari-jari lengannya mengepal keras hingga 
terdengar suara berkerotokan dari tulang-tulangnya. 
Ternyata Joko Sangit telah mengambil kepastian.
"Heh! tidak! aku takkan memberikannya! perse-
tan dengan amanat si kakek Matsui. Lebih baik aku 
yang mempelajari kitab tentang Ninja dari Negeri Asing 
ini!" desisnya dengan suara menggetar.
Ternyata Joko Sangit sudah terkena racunnya 
asmara akibat salah paham yang menyangka Roro 
Centil telah mempermainkan cintanya.
Namun laki-laki itu terhenyak ketika teringat 
dia cuma memiliki sebelah lengan.
"Hm, mengapa dengan lengan yang cuma sebe-
lah ini menjadi penghalang?" desisnya dengan wajah 
membersitkan sinar cerah. "Hahaha... aku bisa mela-
kukan apa yang bisa kulakukan! Dengan mengga-
bungnya dengan apa yang sudah dimiliki, mustahil ke-
lak aku tak bisa menguasai ilmu asing bernama Ninja 
ini!"
Joko Sangit kepalkan jari-jari tangannya den-
gan tertawa sendiri tergelak-gelak, Selanjutnya dia su-
dah bergerak melompat untuk menutup pintu goa. 
Dan... entah apa yang dilakukan murid si Pendekar 
Gentayangan Ki Jagur Wedha itu di dalam. Yang jelas

Joko Sangit telah siap mempelajari ilmu Ninja dari Ne-
geri Sakura itu dengan tekad yang sudah bulat.
Lereng tebing itu kembali sunyi mencekam seo-
lah tak ada penghuninya. Suara gemuruhnya air ter-
jun dan kepak sayap-sayap kelelawar serta sesekali 
bunyi suaranya yang mengiyak seperti menambah len-
gangnya suasana ditempat itu yang mulai merambah 
senja....
Namun yang pasti dan kelak, entah setahun 
entah dua tahun bakal muncul di Rimba Persilatan 
seorang tokoh yang memiliki ilmu silat tinggi, berlen-
gan tunggal. Dialah Joko Sangit! Joko Sangit! yang 
pernah mendapat julukan si Berandal Pemabukan!
***
EMPAT


Suara tetabuhan yang terdengar dari tengah 
desa PATUHA di malam terang bulan itu memang 
membuat orang penasaran untuk melihatnya. Satu 
dua dan kelompok demi kelompok bukan saja anak-
anak muda akan tetapi orang-orang tuapun tak ke-
tinggalan berdatangan untuk melihat tontonan yang 
jarang terdapat itu. Dari jauh-jauh mereka sengaja 
berdatangan. Tentu saja bukan cuma untuk menon-
ton. Bagi para pemuda desa di wilayah itu adalah satu 
kesempatan untuk menggaet pasangan. Karena dalam 
setiap keramaian sudah pasti kembang- kembang de-
sapun bermunculan dengan dandanan yang berbeda 
dari biasanya. Boleh dikata malam tontonan itu adalah 
kesempatan yang sukar dicari bagi para gadis atau 
janda. Siapa tahu ada jodoh berkenalan dengan pemu-
da-pemuda dari desa lain.

Berita tentang menikahnya anak juragan Raden 
Mas Mangku dengan seorang anak pejabat Kerajaan 
telah menjadi buah bibir masyarakat desa Patuha dan 
sekitarannya, yang bakal mengadakan hiburan Topeng 
Banjet. Yaitu sejenis kesenian yang menampilkan pe-
nari-penari serta pesinden yang cantik-cantik dan ba-
henol. Dan malam itu adalah malam yang telah tiba 
pada waktunya. Penonton telah berjejal dihalaman 
rumah Juragan Raden Mas Mangku. Tepat di sebelah 
kiri rumah besar yang agak berhadapan dengan rumah 
Juragan itu telah berdiri sebuah panggung. Pada ba-
gian depannya telah penuh sesak dengan para tamu 
undangan, yang duduk pada sederetan kursi-kursi dan 
meja dengan berbagai hidangan tersedia diatasnya.
Para pesinden belum lagi muncul, akan tetapi 
penonton telah berjejal memadati sekitar panggung. 
Para penjaga keamanan sibuk mengatur jejalan penon-
ton agar berdiri ditempat yang tak mengganggu para 
tamu undangan. Sementara di ruangan dalam penuh 
pula dengan kesibukan. Dari yang member! selamat 
pada mempelai yang telah duduk bersanding, juga ke-
sibukan-kesibukan lain. Sedangkan para penabuh ga-
melan tiada hentinya menyajikan irama-irama yang 
bertalu-talu, diseling suara rebab dan seruling.
Menjelang tiga perempat malam, penonton mu-
lai tak sabar karena para penari dan pesinden belum 
juga dimunculkan. Namun akhirnya yang dinanti-
nantikan pun tiba juga. Lima orang pesinden merang-
kap penari telah naik ke atas panggung. Penonton me-
nahan napas. Benar saja. Mereka adalah para penari 
yang cantik-cantik, dengan dandanannya yang luar bi-
asa. Maklum karena yang mengundangnya adalah 
orang ternama. Sedangkan pihak mempelai laki-laki 
adalah anak seorang Pembesar Kerajaan dari Kota Ra-
ja. Bahkan yang ditampilkan malam itu adalah pesinden-pesinden pilihan yang kesemuanya adalah gadis-
gadis jelita. Setelah masing-masing memperkenalkan 
nama, satu-persatu segera duduk dibagian depan 
panggung. Penonton saling berdesakan untuk melihat 
lebih jelas. Sementara penjaga keamanan mulai sibuk 
mengatur penonton.
Selang tak lama seorang laki-laki setengah usia 
maju ke depan seraya memberi penghormatan pada 
penonton dan para tamu undangan. Lalu dengan sua-
ra lantang memberitahukan bahwa salah seorang pe-
sinden segera akan mengumandangkan sebuah lagu, 
yang akan diiringi oleh tarian pula oleh salah satu dari 
lima pesinden itu. Penonton menyambutnya dengan 
tepuk tangan riuh serta suara suat-suit yang ramai 
disana-sini. Ketika gamelan mulai berbunyi maka se-
ketika suasana gaduh itu segera terhenti. Dan... ber-
kumandanglah alunan suara merdu seorang pesinden 
berpakaian warna merah muda. Sementara salah seo-
rang dari deretan kelima pesinden itu segera bangkit 
berdiri untuk menyajikan tariannya.
Tepuk tangan kembali riuh serta suara suitan 
disana-sini. Dan... ketika gadis semampai berpinggang 
ramping dengan gemulai segera mulai menari mengi-
kuti irama gamelan, seketika satu keasyikan dari lagu 
dan penarinya telah membuat penonton mendengar-
kan dan memandang kagum, terpesona...
Demikianlah. Lagu demi lagu berkumandang. 
Dan penari silih berganti menyajikan tarian gemulai 
yang mempesona. Semakin lama jadi semakin hangat 
dan semarak. Karena dari para tamu undangan mulai 
"turun" untuk ikut menari bersama dan secara bergan-
tian. Penonton bertepuk tangan riuh, serta diam-diam 
bagi yang masih "doyan", mulai mengiri melihat laki-
laki yang menari bersama "bidadari-bidadari" itu. Apa-
lagi dari para tamu undangan banyak yang mulai ku
rang ajar untuk meraba pinggang sang "Ratu Banjet".
Marilah kita menengok diantara kerumunan 
penonton. Seorang laki-laki berpakaian warna hitam 
sejak tadi mengepal-ngepalkan tangannya menatap 
dengan mata membinar melihat adegan tarian gemulai 
yang ikut bersama menari adalah seorang pemuda se-
kitar usia dua puluhan tahun. Dia adalah anak seo-
rang Tumenggung Kerajaan dari Kota Raja. Pemuda itu 
tampaknya mulai semakin berani meraba kesetiap ba-
gian penting ditubuh si penari. Sudah lazim menjadi 
tradisi didaerah itu kalau setiap laki-laki yang akan tu-
rut menari bersama dengan "Ratu-ratu Banjet" itu 
akan memberikan sejumlah uang lebih dulu sebagai 
imbalannya. Namun walau demikian bukan berarti si 
penari laki-laki akan bebas berbuat semuanya, me-
lainkan pada batas-batas tertentu saja.
Akan tetapi pemuda anak Tumenggung itu te-
lah berbuat agak keterlaluan. Hal mana membuat pe-
nonton terperangah. Bahkan dalam irama yang syahdu 
laki-laki muda itu telah memeluk erat-erat pinggang si 
penari dan menghujaninya dengan ciuman-ciuman.
Bahkan goyangan pinggul mereka telah benar-
benar rapat tanpa renggang sedikitpun. Penonton se-
perti terkesima, sementara si penari Banjet mulai me-
ronta untuk menghindari ciuman yang bertubi-tubi 
itu. Pada saat itulah selirik kilatan cahaya berkelebat... 
Dan detik itu juga si laki-laki anak Tumenggung itu 
menjerit ngeri. Dan roboh terjungkal berkelojotan. Se-
saat antaranya setelah menggeliat beberapa kali tubuh 
pemuda itupun terkulai tak berkutik lagi.
Sejenak terpaku semua menatap ketempat ke-
jadian. Akan tetapi selang beberapa saat segera ter-
dengar teriakan-teriakan kaget. Dan gemparlah pe-
nonton, juga para penabuh gamelan, yang seketika 
menghentikan tabuhannya. Sedangkan penari dan pesinden saling memekik ketakutan. Beberapa orang me-
lompat ke atas panggung untuk memeriksa. Ternyata 
kedapatan si pemuda itu telah tewas dengan sebuah 
belati tertancap pada belakang lehernya. "Kurang ajar! 
Siapa yang telah melakukan pembunuhan ini! Siapa 
yang telah melakukan...!" berteriak-teriak seorang laki-
laki berpakaian perwira Kerajaan yang tak lain dari sa-
lah seorang para tamu undangan Sedangkan sang 
Tumenggung ayah dari anak muda itu kebetulan tak 
dapat menghadiri pesta di tempat itu yang diwakilkan 
oleh anaknya.
Penonton yang tadinya berkerumun berjejalan
seketika menjadi buyar dan hiruk-pikuk. Ada yang 
langsung pulang. Ada pula yang tetap berada di Sana 
karena ingin tahu lanjut kejadian itu. Sementara dian-
tara simpang siurnya penonton itu, si laki-laki berbaju 
hitam tadi diam-diam menyelinap pergi. Tak seorang-
pun yang mengetahui kalau pelakunya adalah si laki-
laki berbaju hitam itu. Dan untuk mengenali siapa 
pembunuhnya adalah seperti mencari jarum yang ter-
cebur ke dalam laut, karena sekejap saja si laki- laki 
berbaju hitam telah lenyap tak ketahuan lagi kemana 
perginya...
Saat terjadi kegaduhan itulah tujuh sosok 
bayangan hitam berkelebat cepat sekali ke arah pang-
gung. Dan... tahu-tahu tiga orang sinden terpekik 
menjerit ketakutan ketika tiga sosok makhluk kerdil 
telah mencengkeram pinggang. Dan sebelum bisa ber-
buat apa-apa tubuh-tubuh mereka telah dibawa mele-
sat ke atas wuwungan rumah. Suara jeritan mereka 
seketika lenyap ketika makhluk itu lenyap pula di be-
lakang wuwungan rumah Juragan Raden Mas Mang-
ku. Para penabuh gamelan menjadi gempar. Dua sin-
den lagi telah melompat ke bawah panggung dengan 
berteriak ketakutan. Ternyata mereka sempat melihat

kemunculan makhluk yang menyeramkan itu. Si per-
wira kerajaan dan para tamu undangan jadi melengak. 
Mereka cuma membelalak terkesima melihat kejadian 
itu.
Sementara diruang dalam terjadi pula kegadu-
han ketika dua makhluk kerdil tahu-tahu tersembul 
dikamar pengantin. Salah satu mencengkeram pengan-
tin wanita, sedang satu lagi menjebolkan daun jendela. 
Cepat sekali pengantin wanita itu sudah dipondong si 
makhluk kerdil itu dan dibawa melompat keluar dari 
jendela...
Pengantin laki-laki terkejut bukan kepalang. 
Dia baru saja meninggalkan istrinya untuk melihat ke-
jadian, setelah mengantarkan sang istri ke kamarnya
yang jadi ketakutan dengan peristiwa pembunuhan 
itu. Beberapa orang wanita berteriak-teriak memberi-
tahukan kejadian. Dan melompatlah si pengantin laki-
laki itu dengan wajah pucat untuk mengejar si pencu-
lik pengantin wanita istrinya.
Namun cepat sekali makhluk itu lenyap, dan 
tak diketahui kemana larinya. Suara gaduh dari para 
penonton serta teriakan disana-sini sukar untuk men-
getahui suara jeritan si pengantin wanita. Sementara 
Juragan Raden Mas Mangku cuma terbelalak dengan 
tubuh gemeteran.
"Celaka...! anakku...! a... anakku... di... diculik 
sss... ssset..." BRUK! dia sudah jatuh terlentang tak 
sadarkan diri. Seketika suasana bertambah semrawut, 
dan suasana pesta di kediaman sang Juragan itu kini 
bukan lagi pesta, melainkan jerit dan ratap serta teria-
kan ketakutan disana-sini. Beberapa orang ternyata te-
lah mengejar kemana makhluk-makhluk itu melarikan 
para gadis penari tadi dengan senjata-senjata telan-
jang. Ternyata empat orang penjaga keamanan yang 
ditugaskan mengatur keamanan ditempat pesta itu.

Mereka adalah para pengawal dari Kota Raja yang ber-
kepandaian tinggi.
"Itu dia...!" teriak salah seorang dari mereka 
yang berkelebat mengejar makhluk-makhluk kerdil 
itu."Kejaaaar...!" teriak kawannya. Dan berlarianlah 
keempatnya dengan keberanian yang boleh dibangga-
kan. Karena dari sekian banyak orang apalagi untuk 
mengejar, melihat tampang-tampang makhluk kerdil 
yang menyeramkan dengan kepala bertanduk dan ma-
ta sebesar-besar telur ayam itu akan membuat mereka 
ketakutan setengah mati. Namun keempat pengawal
dari Kota Raja ini ternyata tak takut pada segala ma-
cam hantu.
Suasana terang bulan itu ternyata telah mem-
bawa korban dan kejadian yang cukup membangun-
kan bulu tengkuk. Karena tiba-tiba keempat pengawal 
itu menjerit parau ketika tahu-tahu entah dari mana 
datangnya beberapa sosok bayangan hitam telah men-
cengkeram tubuhnya. Selanjutnya mereka telah berke-
lojotan dan bergulingan dengan jerit dan pekik me-
nyayat hati. Senjata-senjata mereka telah berlepasan 
tak tahu kemana terpentalnya. Empat sosok makhluk 
kerdil, hitam legam dan bertanduk itu telah menggigit
leher-leher mereka... menghisap darahnya.
Selang tak lama empat tubuh itu sudah terku-
lai tak bergerak lagi. Dan berloncatanlah makhluk-
makhluk kerdil itu untuk menyambar kembali korban-
korbannya yang telah pingsan dan ditinggalkan sesaat 
tadi, untuk selanjutnya berkelebatan ke arah timur 
dan lenyap tak kelihatan lagi....
***

LIMA

Berita-berita kejadian yang menggemparkan
penduduk desa Patuha serta lenyapnya mempelai wa-
nita yang akan diperistrikan oleh anak seorang Pembe-
sar Kerajaan dari Kota Raja yang diculik oleh makhluk-
makhluk kerdil segera tersebar di beberapa tempat. 
Rombongan mempelai laki-laki kembali ke Kota Raja 
dengan sedih. Dan kejadian itu segera menggemparkan 
Kota Raja, karena ternyata dua hari kemudian dua 
orang gadis kembali lenyap dari sebuah desa lain yang 
beritanya segera tersiar dengan cepat.
Suasana kota dan desa diwilayah itu menjadi 
hangat dengan adanya berita kemunculan makhluk-
makhluk kerdil yang menculik gadis-gadis serta meng-
hisap darah dari beberapa orang yang mencoba menge-
jarnya. Seperti juga pada pagi itu tengah dibicarakan 
beberapa laki-laki yang sedang duduk digardu penja-
gaan disudut desa.
Udara pagi itu memang terasa agak dingin me-
nyungsum tulang. Mereka boleh menghela napas lega 
karena semalam suntuk berjaga-jaga digardu penja-
gaan disudut desa itu tak menjumpai kejadian apa-
apa.
"Aku benar-benar penasaran ingin melihat ba-
gaimana tampangnya makhluk kerdil itu. Kalau saja 
malam tadi mereka nongol, golokku si Loglog Getih ini 
pasti akan memenggal batang lehernya!" berkata wake
Kanta. Kata-katanya memang kedengarannya seperti 
menyombong. Dapat dimaklumi karena diwaktu mu-
danya wak Kanta adalah bekas "jawara" ulung yang 
pernah malang-melintang di beberapa wilayah.
"Wah, wak Kanta! kalau yang ini jangan dibuat 
main-main. Makhluk-makhluk kerdil itu bukan sebangsa manusia, tapi.... siluman!" tukas Madi seorang 
pemuda belasan tahun sambil mencibirkan bibir. "He-
heheh... baru segala siluman, setan pun takut kalau 
melihat golokku yang keramat ini. Kalian tahu? Sembi-
lan puluh sembilan perampok dimasa mudaku sudah 
kena hirup darahnya oleh si Loglog Getih!" ujar wak 
Kanta seraya menepuk-nepuk gagang goloknya. Aku 
pernah menaklukkan beberapa macam siluman dari 
siluman Harimau sampai siluman kadal, buaya, ular 
monyet dan lain sebagainya. Kesemuanya takut meli-
hat golok si Loglog Getihku ini...!"
"Wah! hebat...! wak Kanta pernah ketemu silu-
man Harimau?" tanya Jaya dengan pura-pura terkejut. 
Dia memang sudah hampir bosan mendengar bual ma-
sa muda orang tua itu. Padahal ketika beberapa bulan 
yang lalu terjadi perampokan didesa itu laki-laki ber-
nama Kanta ini sembunyi di dalam sumur, ketakutan. 
Alasannya waktu itu dia terperosok ke dalam sumur.
"Dimana ketemunya, wak...?" tanya Jaya. "Hm, 
sebentar...! aku agak lupa!" sahut wak Kanta seolah 
tengah mengingat-ingat kisah masa lalu dimasa mu-
danya.
"Ya, ya...! aku ingat sekarang! Waktu aku beru-
sia dua puluh tahun mengejar-ngejar enam orang pe-
rampok. Sebelas orang telah tewas oleh amukan golok-
ku si Loglog Getih. Melihat sebelas kawannya mampus, 
enam orang itu kabur ketakutan! He hehe... mana ku-
biarkan mereka meloloskan diri?"
"Jadi wak Kanta mengejarnya?" tanya Jaya, pu-
ra-pura serius.
"Benar!"
"Semuanya mati, wak...?" tanya Madi dengan 
wajah pura-pura tegang.
"Hus! tunggu dulu, kalau orang lagi bercerita 
jangan banyak tanya-tanya. Dengarkan saja!" sahut

wak Kanta dengan agak kesal karena ceritanya dipo-
tong oleh pertanyaan-pertanyaan.
"Ya, ya, teruskan wak! si Madi memang nggak 
sabaran kalau mendengarkan cerita seru, sih!" menim-
brung bicara Gimin yang sedari cuma "nguping" saja.
"Sudah, sudah, semua jadi ikut ngomong! mau 
mendengarkan atau tidak? kalau tidak aku mau pu-
lang, ngantuk nih! aku mau tidur!" sambar wak Kanta.
"Mauuu!"
"Mauuuu...!" teriak mereka dengan serempak. 
Wak kanta terdiam sejenak, lalu mulai teruskan ceri-
tanya.
"Eh, sampai dimana tadi...?' tanya wak Kanta. 
"Sampai wak mengejar enam orang perampok yang me-
larikan diri!" Sahut Jaya dengan garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal.
"Ya, ya... betul! Nah! waktu aku mengejar me-
reka yang lari pontang-panting, aku tak teruskan men-
gejar karena mendengar suara harimau mengaum!" 
ujar wak Kanta dengan berdiri dari duduknya. "Aku 
cari dari mana suara itu. Ketika aku menengok ke be-
lakang, ternyata ssse... seekor ha... hari... harimau...!?" 
tiba-tiba suara wak Kanta berubah jadi tergetar, dan 
wajahnya sekonyong-konyong berubah pucat bagai 
mayat.
Darah wak Kanta serasa terhenti mengalir keti-
ka dia berpaling ke sebelah kanannya tepat disamping 
gardu ronda, tahu-tahu entah sejak kapan seekor ha-
rimau Tutul telah berdiri di situ memperlihatkan ta-
ringnya menyeringai.
Seketika dengkulnya menjadi lemas dan tu-
buhnya menggeletar. Dan... saat berikutnya wak Kanta 
sudah jatuh berdebuk tak sadarkan diri bahwa takut-
nya. Terheran empat kawannya, tapi begitu mereka 
menoleh seketika terperangah mereka dengan mata
membelalak dan mulut ternganga.
"Ha...harimau...!" Tersentak mereka hampir se-
rentak. Dan... tak menunggu komando lagi, seketika 
mereka "ngacir" pontang-panting melarikan diri dengan 
berteriak-teriak ketakutan.
"Harimau...! Celaka!? toloooong...! tolooong..!"
Dan... saat itu terdengar suara tertawa mengikik geli 
terpingkal-pingkal yang dibarengi dengan suara meng-
geramnya harimau Tutul itu.
Semakin ketakutan mereka berlari jatuh ban-
gun bagai dikejar setan.
Sesosok tubuh berkelebat keluar dari balik se-
mak. Ya, sosok tubuh semampai dari seorang dara jeli-
ta yang tak lain dari si Pendekar Wanita RORO CEN-
TIL. Dengan geli Roro beranjak menghampiri si Tutul 
dan mengelus-elus kepalanya." Aiiiih, mengapa kau 
menakuti-nakuti orang, tutul? hihihi... kasihan orang 
tua ini, dia sampai pingsan melihatmu!" berkata Roro. 
Si Tutul mendengus-dengus menjilati lengan gadis 
Pendekar majikannya itu dan menggelendot manja di 
kaki Roro Centil.
"Hm, Tutul...! mari kita cari dimana adanya ke-
tujuh makhluk kerdil penghisap darah itu, tampaknya 
desa ini salah satu dari korban penculikan gadis-gadis 
yang dilakukan makhluk-makhluk keparat itu. Sudah 
jelas manusia yang kita cari tak berada jauh dari wi-
layah ini...!" berkata Roro Centil dengan suara lirih. 
Wajahnya kelihatan gemas, karena Roro memang telah 
mengetahui kalau makhluk-makhluk kerdil itu adalah 
ketujuh siluman peliharaan si nenek mala juling, yang 
pada beberapa bulan yang lalu nyaris mencelakainya. 
Sang harimau Tutul menggeram pelahan, lalu tubuh-
nya melenyap jadi gumpalan asap. Roro tersenyum. 
Sesaat menoleh pada wak Kanta. Sepasang mata Roro 
tampak berkejap-kejap. Lalu beranjak menghampiri.

Entah apa yang dilakukannya ketika berjongkok dide-
pan tubuh laki-laki tua itu. Dan, selanjutnya Roro 
Centil sudah kelebatkan tubuhnya keluar dari desa itu 
menuju ke arah timur.
Sementara para penduduk desa itu telah ber-
munculan dengan senjata-senjata ditangan. Akan teta-
pi mereka tak menjumpai adanya harimau yang nyasar 
masuk kampung, kecuali mendapatkan tubuh wak 
Kanta yang masih pingsan didepan gardu. Madi men-
guncang-nguncangkan tubuh wak Kanta agar tersadar 
dari pingsannya. "Dimana kalian lihat harimau itu...?" 
tanya salah seorang dari mereka yang datang. Ternyata 
diantara penduduk ada tiga orang laki-laki yang berpe-
rawakan kekar, menandakan mereka bukan orang 
sembarangan.
"Di... disini, Den...!" menyahut Jaya sambil 
acungkan telunjuknya. Salah satu dari ketiga penda-
tang itu memberi tanda. Dan... ketegangan berkelebat 
menyebar ke tiga arah untuk melacak sang Harimau 
yang dikhawatirkan masih gentayangan di sekitar tem-
pat itu.
"Wak! wak Kanta! bangun, wak... harimaunya 
sudah pergi...!" teriak Madi. Laki-laki tua itu membela-
lakkan matanya, dan terkejut melihat dia dikerumuni 
banyak orang.
"Ssssu... sudah pergi?" tanya wak Kanta den-
gan suara menggetar.
“Tenang, wak...! untung kau tak diterkamnya!" 
berkata Jaya. Sepasang mata jago tua" ini berkejab-
kejab. Lalu tiba-tiba melompat bangun.
"Ah,... apa kubilang!" ujarnya.
"kalau tak ada golokku si Loglog Getih, sudah
pasti aku celaka! karena golokku ini paling ditakuti 
oleh..."
"Hah...?" tersentak kaget wak Kanta ketika

mencabut goloknya dari serangkanya ternyata cuma 
tinggal gagangnya saja.
"Hahaha... hahaha... kemana goloknya, wak?" 
Tentu saja wak Kanta jadi bahan tertawaan seketika 
itu juga, Karena sikapnya yang lucu. Gerakan menca-
but goloknya sudah pasang aksi dengan kaki melang-
kah ke depan. Lututnya menekuk sedikit. Dan dengan 
sikapnya yang gagah itu, wak Kanta mencabut golok 
pusakanya. Akan tetapi ternyata cuma tinggal gagang-
nya saja. Merah padam dan pucat lesi silih berganti 
pada wajah wak Kanta. Dengkulnya kembali menggele-
tar, karena hatinya sudah membatin. "Hah!? kemana 
mata golokku si Loglog Getih? jangan-jangan yang 
muncul tadi benar-benar siluman Harimau...?"
Dengan lemas laki-laki tua itu mendeprok di
tanah.
"Tunggu, wak! jangan pingsan dulu...!" teriak 
Madi.
"Siapa yang mau pingsan...?!" membentak wak 
Kanta dengan mata melotot."Aku tengah mengingat-
ingat bagaimana aku bisa membawa golok cuma ga-
gangnya saja! Ternyata aku lupa memandikan si Loglog 
Getih malam Jum'at kemarin. Memang biasanya kalau 
tak diurus dan lupa dirawat, si Loglog Getih suka nga-
dat tak mau menampakkan diri..." lanjutnya dengan 
masih berusaha membual. Padahal hatinya kebat-kebit 
berdebaran. Karena disamping kagetnya luar biasa, ju-
ga malunya bukan main. Untuk menceritakan sesung-
guhnya dia sudah terlanjur menyombong, Dan hal itu 
bisa merusak nama besar"nya.
"Ooooooo...!" hampir berbareng semua mang-
gut-manggut. Wak Kanta tak memberi komentar lagi. 
Dengan dengkul lemas yang sengaja di kuat-kuatkan 
dia "ngeloyor" pergi.
"Mau kemana, wak...?" tanya Jaya.

"Huuu, aku ngantuk, monyong! mau tidur! ka-
lau ada apa-apa jangan bangunkan aku dulu...! kalian 
orang-orang muda bisa wakilkan aku, tapi tak usah 
khawatir, harimau itu sudah pulang! Percayalah, mak-
hluk itu tak berani mengganggu...!" ujarnya dengan 
jumawa.
"Beres, wak! jangan lupa besok malam kita me-
ronda lagi!" teriak Jaya dengan tersenyum. Tapi wak 
Kanta sudah bergegas melangkah menuju ke arah ru-
mahnya tanpa menoleh lagi...
***
ENAM


RORO CENTIL ternyata telah tiba di desa Patu-
ha. Dari hasil pelacakannya dengan bertanya pada 
penduduk ternyata secara kebetulan di desa Patuha 
memang baru dua hari yang lalu telah terjadi musibah 
perbuatan keji ketujuh makhluk kerdil penghisap da-
rah, yang telah menculik tiga orang pesinden dan men-
culik mempelai wanita anak Juragan Raden Mas 
Mangku. Serta dua orang gadis yang berasal dari desa 
lain, yaitu desa dimana tadi pagi baru saja Roro mele-
watinya dan mencopotkan mata golok milik wak Kanta.
Roro ucapkan terima kasih pada dua orang tua 
suami istri yang barusan ditanyai. Akan tetapi baru sa-
ja kakinya beranjak untuk melangkah, bumi tiba-tiba 
serasa bergoncang keras. Atap genting me-rosot jatuh 
dari beberapa wuwungan rumah penduduk. Keadaan 
seketika menjadi gaduh. Para penduduk masing-
masing keluar dari rumahnya dengan berteriak-teriak.
"Gempaaa! gempaaa...!" Begitu juga kedua su-
ami istri itu. Seketika wajah mereka berubah pucat.

Serentak saling berangkulan dengan cemas. "Gempa 
apakah...?" sentak Roro terkejut. Keadaan ditengah de-
sa itu menjadi kalut dengan teriakan-teriakan serta 
tangis dan jerit anak-anak. Sekonyong-konyong udara 
menjadi gelap.
Petir sambung menyambung di angkasa. Gem-
pa itu semakin keras, serasa bumi mau terbalik. Bebe-
rapa orang yang berlarian tampak jatuh terjengkang.
Roro Centilpun terkejut bukan main. Namun 
sedikitpun tubuhnya tak bergeming, berdiri tetap di-
tempatnya. Sepasang kakinya menempel kuat di ta-
nah. Dengan ilmunya yang tinggi, terutama dari ajian 
Sari Rapet, seolah kaki si Pendekar Wanita
Pantai Selatan itu melengket di tanah yang di 
pijaknya. Sementara diam-diam Roro pejamkan ma-
tanya bersemadi. Nalurinya mengatakan ada sesuatu 
yang luar biasa yang tidak sewajarnya.
Selang sesaat suasana seperti itupun kembali 
seperti sediakala. Udara kembali cerah. Dan goncan-
gan-goncangan itu mereda. Namun cahaya merah 
tampak membersit dari puncak gunung Galunggung. 
Membuat para penduduk ternganga keheranan. Keja-
dian semacam itu belum pernah terjadi di sekitar wi-
layah itu. Puncak gunung Galunggung memang sering 
mengepulkan asap, pertanda gunung itu masih tetap 
bekerja. Dan goncangan-goncangan gempa itu memang 
dikhawatirkan dari gunung itu akan meletus. Namun 
kejadian barusan bukanlah pertanda akan terjadi letu-
san.
Roro tersentak kaget dan hentikan semedinya.
Jantungnya berdetak keras ketika melihat ber-
sitan cahaya merah itu. "Pasti ada sesuatu terjadi di 
atas puncak gunung itu...!" berkata Roro dalam hati. 
"Satu pertanda buruk...!" desisnya lirih. Dan... sesaat 
Roro Centil sudah berkelebat lenyap dari tempat itu
Sementara cahaya merah itupun pelahan-lahan mulai 
sirna...
***
Kita beralih pada sebuah goa tersembunyi di le-
reng tebing batu. Di dalam ruang goa itu duduk bersila 
seorang wanita yang berambut beriapan. Siapa lagi ka-
lau bukan GIRI MAYANG. Sepasang lengannya tampak 
jelas yang putus hampir sebatas siku. Kedua luka itu 
sudah mengering dan sudah tak memerlukan pemba-
lut lagi.
Giri Mayang duduk bersila dengan pejamkan 
mata. Batinnya menyatu untuk menerima sesuatu 
yang gaib. Sesuatu yang amat didambakannya. Sejak 
bulan Purnama malam tadi dia duduk tak bergeming. 
Dia tahu bahwa sang guru tengah berusaha dengan 
segala daya untuk memulihkan kesaktiannya. Dan dia 
tahu pada malam Purnama itu ketujuh gadis telah di-
bawa ke puncak gunung Galunggung untuk dijadikan 
syarat atas permintaan sang guru demi dirinya. Juga 
dia tahu tak berapa lama lagi dia akan memiliki satu 
kekuatan hebat yang akan membangkitkan kembali 
semangat hidupnya. Membersitkan kembali dendam 
kesumat yang nyaris sirna karena keputusasaan.
Itulah sebabnya dia tetap khusuk dan bersabar 
dalam semadi, untuk menanti dan menanti kelanju-
tannya dengan penuh harap. Dan harapan itu memang 
bakal menjadi kenyataan. Karena selang beberapa saat 
dari tatapan mata dalam alam gaib, dia melihat secer-
cah cahaya merah membersit dan meluncur keluar da-
ri dalam kawah puncak gunung Galunggung. Secercah 
sinar yang berwarna biru. Selanjutnya Giri Mayang tak 
melihat apa-apa lagi, kecuali gelap pekat.
Samar-samar telinganya mendengar suara gurunya yang mengekeh tertawa seperti kegirangan. He-
hehehe... heheh... muridku! bersiap-siaplah kau untuk 
menerima SEPASANG TANGAN IBLIS...! Sebentar lagi 
apa yang kau harapkan itu akan terkabul! Hehehe... 
heheheheh..." Dan... tanpa terlihat oleh mata batin Giri 
Mayang, cahaya warna biru yang keluar dari dalam 
kawah di puncak gunung Galunggung itu telah melun-
cur cepat memasuki goa tempatnya bersemadi.
Ketika tiba dihadapan Giri Mayang, cahaya itu 
memecah menjadi dua buah. Kemudian kedua buah 
cahaya itu meluncur ke arah sepasang lengan buntung 
wanita itu.
PLASSH...!
Cahaya biru itu lenyap seketika. Dan... apakah 
yang terjadi? Ternyata dalam sekejap mata kedua len-
gan buntung Giri Mayang telah bersambung oleh sepa-
sang lengan yang bentuknya menyeramkan. Yaitu se-
pasang lengan yang hitam legam, berbulu kasar den-
gan ruas-ruas jarinya lebih mirip dengan tulang teng-
korak lengan yang bertonjolan.
Pada ujung kesepuluh jarinya tampak kuku-
kuku yang runcing mengerikan. Itulah Sepasang Len-
gan Iblis!
Pelahan-lahan Giri Mayang membuka kelopak 
matanya, ketika merasakan dua buah benda menyam-
bung pada kedua lengannya yang putus.
"Ah...?!" tersentak wanita itu ketika melihat pa-
da lengannya yang buntung telah menempel sepasang 
lengan yang bentuk dan rupanya amat menyeramkan. 
"Inikah Sepasang Tangan Iblis?" sentak hatinya. "Ah, 
begitu mengerikan...!" desisnya dengan mata membela-
lak menatap sepasang tangannya. Saat itu sebuah 
bayangan berkelebat memasuki goa itu. Dan terdengar 
suara tertawa mengekeh.
"Heheheheh... heheh... bagus! sukurlah, murid

ku! Ternyata usaha jerih payahku tak sia-sia...! kau 
tak usah takut dengan tanganmu sendiri. Walau ru-
panya menakutkan. tapi dengan sepasang tanganmu 
itu kelak kau akan berhasil merengkuh segala cita-
citamu! Dan... heheheh... si Roro Centil akan cuma 
tinggal namanya saja dikolong jagat ini! Berterima ka-
sihlah kau dengan para Iblis yang telah mengaruniai
mu sepasang tangan sakti itu!"
Giri Mayang tersenyum dan manggut-manggut. 
"Tentu...! tentu, guru! lebih dulu aku menghaturkan 
terima kasih padamu, yang telah bersusah payah men-
carikan sepasang lengan ini untukku!" berkata Giri 
Mayang seraya membungkuk dan jatuhkan diri berlu-
tut di hadapan wanita tua renta bermata juling itu.
"Hehehe... cukup! cukup! tak perlu banyak ba-
sa-basi! Segera kau keluar dari goa ini! pergilah ke ka-
wah gunung Galunggung untuk kau sampaikan terima 
kasih mu! dan... mulai hari ini kau tak kuperkenankan 
kembali ke goa tanpa kepala si Roro Centil! Selama 
kau berpetualang mencarinya, silahkan kau berhu-
bungan denganku melalui batin. Aku akan menetap di
goa ini... menjadi tempat tinggalku sementara. Karena 
aku juga akan' sekalian memperdalam ilmu-ilmuku! 
Ketujuh makhluk kerdil piaraan ku itu segera akan 
kuserahkan padamu untuk membantumu dalam ke-
sulitan!" ujar si nenek mata juling.
"Ah, terima kasih, guru...!" ujar Giri mayang 
dengan wajah girang. "Akan tetapi, guru...!" bagaimana 
aku bisa menghubungi mu melalui batin, sedangkan 
selama ini aku tak mengetahui namamu!" tambahnya 
dengan menatap dalam-dalam wajah sang guru.
"Heheheh... betul! betul, muridku. Aku si nenek 
tua renta ini bernama Lembutung. Dan kau boleh se-
but aku Nini Lembutung! Hehehe... apakah ayahmu, 
Tun Parera tak pernah memberitahu dimasa hidupnya

tentang aku?"
"Ti... tidak, guru!" sahut Giri Mayang. Seketika 
wajahnya berubah merah padam wanita ini, dan tu-
buhnya tampak tergetar hebat ketika teringat akan 
kematian sang ayah di tangan Roro Centil. Perubahan 
itu diketahui oleh si nenek mata juling yang bernama 
sebenarnya adalah Lembutung. Tokoh sakti golongan 
hitam dari kepulauan Andalas ini maklum bahwa sang 
murid amat mendendam sekali pada musuh besarnya 
yang juga telah menewaskan sang murid wanitanya 
pada beberapa tahun yang silam, yaitu si Kupu-kupu 
Emas. Dan terakhir adalah kematian Porak Supih yang 
tewas pula oleh Roro Centil. (Baca: kisah. Langkah-
langkah Manusia Beracun).
"Hm, sabarlah, muridku! kelakpun akan tiba 
masanya kau balaskan sakit hatimu! Dendam itu me-
mang teramat dalam sedalam lautan! Namun dengan 
Sepasang Tangan Iblis yang telah kau miliki, segalanya 
akan menjadi beres. Para iblis akan turut membantu-
mu melenyapkan nyawa perempuan keparat itu. Kare-
na aku telah mengundangnya untuk datang ke kawah
gunung Galunggung melalui semadi ku! Heheheh... 
bersabarlah, muridku!" hibur Lembutung dengan men-
gekeh tertawa yang menyerupai tangisan, dan mem-
buat bangunnya bulu roma.
"Nah! segeralah kau berangkat! Ketujuh mak-
hluk kerdil piaraan ku telah siap di luar goa untuk 
ikut menyertaimu! berkata si nenek mata juling den-
gan suara yang dingin mencekam perasaan.
"Baik, guru! aku akan segera berangkat!" me-
nyahut Giri Mayang seraya melompat berdiri. Dan sete-
lah sekali lagi menjura dengan menekuk lutut dihada-
pan gurunya, Giri Mayang bergerak
melompat keluar dari dalam goa itu. Dengan 
gerakan yang amat luar biasa tubuhnya melayang ringan laksana kapas melompat dari batu ke batu. Seke-
jap antaranya telah berada di atas tebing curam itu. 
Kemudian setelah menatap sejenak ke bawah dimana 
selama ini dia mendekam, tubuh wanita itu telah me-
lesat lagi, dan lenyap dibalik bongkah-bongkah batu 
besar yang banyak bertebaran di atas tebing. Sementa-
ra tujuh bayangan hitam berkelebat mengikuti. Nenek 
mata juling alias Nini Lembutung tertawa mengekeh, 
seraya menutup mulut goa dengan menggeser batu da-
ri dalam. Selanjutnya tempat yang tersembunyi dan
susah diketahui manusia itupun kembali len-
gang seolah ditempat itu tiada berpenghuni. Burung-
burung walet beterbangan membuat sarang diantara 
celah batu-batu berlubang yang banyak terdapat di sisi
tebing...
***
TUJUH
Di bawah lereng gunung Galunggung, Roro 
Centil menengadah memandang ke atas puncak gu-
nung yang tinggi menjulang. Asap tipis masih tampak 
mengepul ke atas, menyatu dengan kesamaran kabut 
pada bagian puncaknya. Terdengar suara menggeram 
di belakangnya, dan harimau Tutul sahabatnya telah 
menampakkan diri.
Si Tutul tampaknya agak gelisah. Berkali-kali 
menatap ke atas menengadahkan kepalanya, lalu ber-
putar-putar mengelilingi Roro beberapa kali dengan 
mendengus-dengus. Sesekali memperdengarkan suara 
geramannya lirih. Ternyata diam-diam Roro Centil
mengawasi kelakuan aneh sahabatnya itu.
"Ada apakah, Tutul...? tampaknya kau lain dari

gan laksana kapas melompat dari batu ke batu. Seke-
jap antaranya telah berada di atas tebing curam itu. 
Kemudian setelah menatap sejenak ke bawah dimana 
selama ini dia mendekam, tubuh wanita itu telah me-
lesat lagi, dan lenyap dibalik bongkah-bongkah batu 
besar yang banyak bertebaran di atas tebing. Sementa-
ra tujuh bayangan hitam berkelebat mengikuti. Nenek 
mata juling alias Nini Lembutung tertawa mengekeh, 
seraya menutup mulut goa dengan menggeser batu da-
ri dalam. Selanjutnya tempat yang tersembunyi dan
susah diketahui manusia itupun kembali len-
gang seolah ditempat itu tiada berpenghuni. Burung-
burung walet beterbangan membuat sarang diantara 
celah batu-batu berlubang yang banyak terdapat di sisi
tebing...
***
TUJUH


Di bawah lereng gunung Galunggung, Roro 
Centil menengadah memandang ke atas puncak gu-
nung yang tinggi menjulang. Asap tipis masih tampak 
mengepul ke atas, menyatu dengan kesamaran kabut 
pada bagian puncaknya. Terdengar suara menggeram 
di belakangnya, dan harimau Tutul sahabatnya telah 
menampakkan diri.
Si Tutul tampaknya agak gelisah. Berkali-kali 
menatap ke atas menengadahkan kepalanya, lalu ber-
putar-putar mengelilingi Roro beberapa kali dengan 
mendengus-dengus. Sesekali memperdengarkan suara 
geramannya lirih. Ternyata diam-diam Roro Centil
mengawasi kelakuan aneh sahabatnya itu.
"Ada apakah, Tutul...? tampaknya kau lain dari

biasanya! aku mau naik ke atas untuk melihat ada 
apakah di atas puncak gunung ini...?" berkata Roro se-
raya berjongkok dan mengelus-elus leher dan kepala 
Makhluk itu. Akan tetapi justru makhluk itu melenguh 
seraya menggoyang-goyangkan tubuhnya lalu mengge-
ram beberapa kali. "Apa maksudmu Tutul...?" desis 
Roro lirih."Apakah kau tak menginginkan aku naik ke 
atas?" Harimau Tutul gerakkan kepalanya mengang-
guk-angguk. Hm, baiklah, rupanya kau mau memba-
waku ke lain tempat!" ujar Roro seraya melompat naik 
ke punggung si Tutul. Binatang itu tampak mulai hi-
lang kegelisahannya. Dan setelah menggeram pelahan 
beberapa kali, tubuhnyapun meluncur ke arah selatan. 
Membersit bagaikan angin. Roro Centil memeluk leher 
si Tutul erat-erat. Sekejap saja bayangan tubuh mak-
hluk itu telah lenyap dibalik bukit...
***
Sementara itu dipuncak Galunggung...
Giri Mayang duduk bersila ditepi lubang ke-
pundan. Segenap batinnya dipersatukan untuk men-
gadakan persekutuan dengan para Iblis yang menghu-
ni di dalam kawah. Yang pada malam purnama kema-
rin baru saja menerima korban tujuh orang gadis. Te-
lah dipersembahkan dengan jalan mencemplungkan 
ketujuh gadis itu ke dalam kawah. Tak terlihat oleh 
mata biasa ketujuh makhluk kerdil penghisap darah, 
duduk pula mengelilingi di belakang wanita itu.
Sementara tak jauh dari gunung itu di satu
puncak bukit, berdiri sesosok tubuh menatap cemas 
ke arah puncak Galunggung. Dialah seorang wanita 
tua dengan rambut putih yang tergelung di atas kepa-
la. Berpakaian jubah serba putih. Segera dapat dikena-
li yang tak lain dari si nenek MURI ASIH.

Nenek sakti misterius ini tampaknya sudah 
maklum akan adanya bencana besar yang bakal terja-
di. Cahaya merah yang membubung dari puncak Ga-
lunggung telah membuat kecemasan tokoh wanita sak-
ti ini.
“Celaka...! pertanda buruk dari puncak Galung-
gung! Tampaknya bakal banyak bencana yang akan 
terjadi. Entah siapa yang telah mengotori kesucian 
puncak Galunggung itu..?" berdesis suara wanita tua 
ini.
"Hmm...! akan kulihat! apakah tusuk kondeku 
mampu melintasi lubang kepundannya?" gumam wani-
ta tua itu lirih. Sebelah lengannya tiba-tiba bergerak 
mencabut tusuk konde emas yang terselip digelung 
rambutnya. Dengan kedua jarinya nenek Muri Asih 
menjepit tusuk konde itu. Telapak tangannya yang 
memegang tusuk konde itu tegak menghadap ke ba-
wah dagu di atas dada bertumpu dengan sebelah tela-
pak tangannya yang terbuka. Sepasang mata wanita 
tua itu bergerak mengatup, dan bibirnya berkomat-
kamit membaca mantera.
Selang beberapa saat wanita tua itu kembali 
membuka matanya. Sepasang mata itu kini menatap 
ke arah puncak gunung Galunggung. Lengan kirinya 
kembali bergerak turun. Sementara lengan kanannya 
masih tetap berada di atas dada menjepit tusuk konde 
emas itu dengan kedua jarinya. Dan... selanjutnya len-
gan kanannya segera terangkat ke atas. Kemudian 
bergerak mengayun. Membersitlah tusuk konde emas 
itu melesat ke udara bagaikan anak panah terlepas da-
ri busurnya.
Tusuk konde emas itu sudah tak menyerupai
tusuk konde lagi, melainkan berubah menjadi secercah 
sinar kuning yang berkilauan meluncur pesat menuju 
ke puncak gunung Galunggung... Tak sampai sepeminuman teh, cahaya kuning kemilau itu telah tiba tepat 
di atas lubang kepundan puncak gunung Galunggung. 
Agaknya cahaya itu akan mampu melewati lubang ke-
pundan itu dengan aman. Akan tetapi tiba-tiba dari 
atas puncak gunung itu membersit dua larik cahaya 
berwarna biru.
Kedua cahaya biru itu mengejar cahaya kuning 
berkilauan itu. Tampak wajah si nenek Muri Asih be-
rubah menegang. Kedua lengannya terangkat seperti 
berusaha menarik kembali cahaya kuning yang telah 
dilepaskan. Akan tetapi terasa tenaganya mengendur.
Cahaya kuning dari tusuk kondenya tiba-tiba 
lenyap. Ternyata telah berhasil kena disergap dua ca-
haya berwarna biru itu. Dan kedua cahaya biru yang 
telah menyatu itu kini meluncur kembali ke bawah, la-
lu lenyap. Terengah-engah si nenek Muri Asih dengan 
wajah berubah pucat. Tampaknya dia seperti telah ke-
hilangan sepertiga dari tenaga gaibnya yang lenyap 
terbetot arus kekuatan dari dua larik cahaya biru itu.
Tubuh nenek Muri Asih tampak jatuh mende-
prok ke tanah. Namun cepat-cepat dia, duduk bersila. 
Sepasang matanya terpejam. Bibirnya tampak komat-
kamit membaca mantera. Dengan duduk bersila ber-
semadi itu si nenek Muri Asih tengah menghimpun 
kembali kekuatannya. Sesaat antaranya wajah si ne-
nek itu telah kembali cerah. Lalu membuka matanya, 
dan melompat berdiri.
"Luar biasa...! aku gagal menarik kembali tusuk 
konde emasku! Entah apakah dua larik cahaya biru 
itu?" desisnya tersentak. Namun wanita sakti ini sege-
ra manggut-manggut. Jelaslah sudah bahwa ada sesu-
atu di atas puncak gunung Galunggung. Pembuktian 
yang dicobanya melalui pertunjukan barusan yang 
mengalami kegagalan merupakan bukti yang amat 
kuat. Berarti kekuatan gaibnya dapat dipatahkan dengan mudah oleh sesuatu di atas puncak gunung itu.
Segera akan kuketahui..!" gumamnya lirih. 
Dan... melesatlah tubuh si nenek Muri Asih dari atas 
bukit itu. Sekelebatan saja tubuhnya telah lenyap dari 
atas bukit itu. Kemana gerangan perginya nenek Muri, 
Asih? Ternyata telah berkelebat menuju ke sisi sungai. 
Matanya jelalatan menatap ke arah buah-buah kelapa 
yang pohonnya banyak tumbuh di sisi sungai itu. Wa-
nita tua ini menjumput sebutir batu kecil. Lalu jentik-
kan jarinya ke atas. TES! sebutir batu kerikil itu tepat 
mengenai gagang sebuah kelapa yang segera meluncur 
jatuh ke tanah. Nenek Muri Asih cepat menyambarnya. 
Selanjutnya dengan gerakan cepat seolah sepasang 
tangannya laksana pisau telah menguliti buah kelapa 
itu lalu memapas dan melubanginya. Dibuatnya lu-
bang yang cukup lebar, hampir separuh dari bulatan 
kelapa itu.
Apa yang diperbuatnya kemudian? Nenek Muri 
Asih duduk bersila dihadapan buah kelapa yang sudah 
terbuka dengan masih tergenang airnya. Lalu pejam-
kan sepasang matanya untuk bersemadi, dengan bibir 
komat-kamit membaca mantera. Selang sepeminuman 
teh tampak wanita tua itu kembali membuka matanya. 
Menatap tajam-tajam ke dalam air kelapa. Sementara 
bibirnya tak hentinya bergerak-gerak mengucapkan 
mantera-mantera. Selanjutnya apa yang terjadi kemu-
dian? Tampak wajah si nenek Muri Asih berubah te-
gang. Alisnya menjungkat naik. Mulutnya ternganga 
separuh terbuka.
Dalam air kelapa itu kini jelas membayang ca-
haya biru yang mulai terlihat nyata bentuknya. Yaitu 
sepasang tangan sebatas siku yang bentuknya amat 
menyeramkan. Melekat pada kedua lengan manusia 
yang tak dapat terlihat wajahnya.
"Ah..! ? itulah SEPASANG TANGAN IBLIS...!"
tersentak kaget nenek Muri Asih dengan suara berde-
sis. Lalu melompat berdiri.
PRRAK! buah kelapa itu telah dihantamnya 
hingga hancur dengan hantaman angin pukulan tela-
pak tangannya.
"Celaka! berbahaya sekali! entah siapa si pemi-
lik Tangan Iblis itu! Pantas tusuk konde Emasku tak 
bisa pulang kembali!" Tak lama nenek Muri Asih tam-
pak berlalu dari tepi sungai dengan bibirnya kembali 
perdengarkan suara berdesis. "Celaka! celaka..! apakah 
akan tiba masanya kekalahan besar buat golongan 
kaum putih?" Dan berkelebatlah wanita tua itu me-
ninggalkan tempat itu...
Sementara itu di atas puncak gunung Galung-
gung...
Giri Mayang tampak tengah memperhatikan 
dengan seksama sebuah benda kuning berkilauan 
yang tak lain dari tusuk konde emas yang telah tercek-
al di tangannya. Dari hasil semedinya memusatkan 
kekuatan batin untuk bersekutu dengan para iblis di
kawah gunung itu, Giri Mayang telah mengerti bagai-
mana caranya mempergunakan sepasang lengan Iblis-
nya. Ketika itulah membersit cahaya kuning menyilau-
kan yang menyeberangi puncak gunung, melintas di 
atas kepundan. Tak ayal Giri Mayang gerakkan sepa-
sang Lengan Iblisnya untuk menyambar cahaya itu. 
Ketika sepasang tangan itu kembali menempel di len-
gannya menyatu kembali pada tubuhnya, ternyata te-
lah mencekal sebuah tusuk konde emas yang segera 
diamatinya.
"Hm, agaknya telah ada orang sakti yang mau 
mencoba-coba mengusik ketenangan ku di puncak Ga-
lunggung ini...!" desis Giri Mayang. Mengikik tertawa 
wanita iblis ini, seraya selipkan benda itu ke balik pa-
kaiannya lalu melompat berdiri.
"Hm, tujuh setan kerdil! kalian selidikilah di 
sekitar tempat ini! berkata Giri Mayang pada ketujuh 
makhluk piaraan gurunya si Nenek Lembutung. Ketu-
juh makhluk kerdil itu membungkuk hormat, lalu ber-
kelebatan untuk menyebar menjalankan perintah 
mencari kalau-kalau bisa dijumpai manusia sakti yang 
telah melepaskan tusuk konde emas itu. Sementara 
Giri Mayang merapal ajiannya untuk segera mele-
nyapkan diri, hingga tubuhnya tak nampak lagi oleh 
mata manusia biasa...
***
DELAPAN


Kemanakah gerangan si Tutul membawa maji-
kannya si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang duduk 
di atas punggungnya dengan memeluk erat lehernya 
itu? Roro Centil tak berani membuka matanya karena 
bersitan angin yang terlalu keras menerpa tubuhnya. 
Seperti juga dalam perjalanan yang biasa dilakukan 
menjelajah dunia dalam petualangannya, Roro Centil 
selalu mengingat kebesaran Tuhan yang telah membe-
rikan karunianya. Dengan memiliki sahabat si Tutul 
yang luar biasa itu Roro Centil telah berpetualang ke-
tempat-tempat yang jauh. keperbagai pulau di kawa-
san Nusantara pada masa itu.
Dua malam telah terlewati. Dalam perjalanan 
itu telah beberapa kali si Tutul beristirahat memberi 
kesempatan pada Roro untuk menangsal perut. Bah-
kan sempat singgah di satu desa. Namun tak bisa ber-
lama-lama karena si Tutul selalu memberi isyarat den-
gan menggigit-gigit dan menarik ujung bajunya agar 
meneruskan perjalanan.
Kembali Roro Centil mengarungi lautan yang 
amat luas. Burung- burung camar menyingkir ketika 
angin keras tahu-tahu membersit melewati wilayah pe-
rairannya. Seorang nelayan tua melengak kaget ketika 
perahunya menjadi oleng karena hempasan angin le-
wat telah menerpa layarnya.
Akan tetapi dia memang tak dapat melihat apa-
apa. Kecepatan luncuran si Tutul laksana hembusan 
angin. Nelayan tua itu cuma membelalak kaget seraya 
menyambar dayung untuk menguasai olengnya perahu 
dengan bibir komat-kamit entah do'a apa yang diba-
canya...
Selang kira-kira waktu setengah hari, si Tutul 
menghentikan luncuran. Ternyata telah tiba di satu
daratan berpasir. Bukit-bukit batu tampak bertebaran 
disana-sini. "Ah, diwilayah manakah ini...?" sentak Ro-
ro seraya melompat dari atas punggung si Tutul. Ter-
mangu-mangu Roro Centil memperhatikan tempat se-
kitarnya, yang melulu padang pasir serta bukit-bukit 
batu. Sementara si Tutul tiba-tiba merubah dirinya 
menjadi seekor harimau kecil sebesar kucing. Dengan 
menggeram dan "mengeong" lirih sang Tutul kecil itu 
menarik-narik ujung terompah Roro.
"Aiiih, apa maksudmu, Tutul...?" tanya Roro he-
ran. Si Tutul kecil kembali menggeram dan mengeong 
lirih, seraya kemudian melompat ke arah sebuah batu 
besar di sisi tebing batu. Terpaksa Roro Centil melom-
pat menyusui. Sikap seperti itu adalah menandakan si 
Tutul mengajaknya untuk kesatu tempat. "Mengapa 
harus merobah menjadi anak harimau...?" berkata Ro-
ro dalam hati.
Di atas batu besar itu si Tutul kecil mondar-
mandir menunggu kedatangan Roro. Baru saja Roro 
injakkan kakinya ke atas batu. Si Tutul melompat 
kembali ke bawah. Lalu apa yang di lakukannya? Ter

nyata si Tutul kecil mengorek-ngorek pasir di bawah
batu itu seraya mengeram dan mengeong tak hentinya. 
Melengak Roro Centil, tak tahu dia apa maksudnya. 
Akhirnya Roro Centil cuma jadi penonton saja, dengan 
berjongkok di atas batu itu memperhatikan tingkah la-
ku si Tutul kecil yang terus menggali pasir hingga ber-
lubang. Tak memakan waktu lama lubangpun semakin 
dalam. Dan si Tutul kecil seperti lenyap ditelan pasir 
sekian lama ditunggu tak munculkan dirinya. "Ah, 
apakah yang telah terjadi dengannya?" desis Roro den-
gan hati berdebar. "Ada apakah di bawah batu besar 
ini?" berkata Roro dalam hati. Baru saja dia mau me-
lompat turun, si Tutul kecil telah tongolkan kepalanya. 
Ternyata pada moncongnya telah menggigit sebuah tu-
lang lengan manusia. Tersentak Roro dengan mata 
membelalak. "Aiiiih?" teriaknya tertahan karena terke-
jut dan herannya.
Baru saja meletakkan tulang lengan itu di atas
lubang, si Tutul sudah masuk lagi ke dalam lubang 
itu. Tak lama keluar lagi dengan membawa tulang-
tulang lainnya. Dari tulang lengan, tulang leher, tulang
kaki sampai tulang pinggul dan rusuk kesemuanya 
diseret keluar oleh makhluk itu. Roro Centil cuma bisa 
terpaku sambil garuk-garuk kepala dan leletkan lidah-
nya tanpa mengetahui apa maksud ulah si Tutul kecil 
itu. Namun dia sudah dapat menerka kalau di bawah
batu besar itu ada terdapat kuburan manusia yang tu-
lang-tulangnya sedang digeret keluar oleh sang hari-
mau Tutul kecil. Namun kemisteriusan tingkah laku 
sahabatnya itu membuat benaknya tak habis memikir. 
Hingga terpaksa Roro cuma berdiam diri menunggu 
habisnya tulang-belulang manusia yang dibawa keluar 
lubang oleh si Tutul.
Sementara Matahari memanggang tubuh Roro 
dengan panasnya yang menyengat kulit. Namun Roro

Centil tetap tak beranjak dari tempatnya untuk menge-
tahui kelanjutan dari apa yang diperbuat sahabatnya 
itu.
***
Kita tinggalkan dulu Roro Centil yang tengah 
bergelut dengan berbagai pertanyaan dibenaknya itu. 
Mari kita beralih kesekitar wilayah gunung Galung-
gung. Giri Mayang ternyata tengah mengumbar kesak-
tian sepasang Tangan Iblisnya. Dua larik cahaya ber-
warna biru tampak membersit di udara mengelilingi 
beberapa buah desa.
Tampak satu kepanikan luar biasa dari pendu-
duk kedua desa itu. Dengan bersiyuranya dua larik 
cahaya biru itu yang memutari desa membuat pendu-
duk jadi ketakutan. Sementara hawa dingin yang men-
cekam dan membangunkan bulu roma menyelimuti 
sekitar kedua desa itu.
Tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan menyayat ha-
ti ketika dua larik cahaya biru itu meluncur turun. 
Berjatuhan tubuh-tubuh tanpa kepala dalam sekeja-
pan saja seperti dipoteskan saja layaknya oleh lengan-
lengan mengerikan yang tak terlihat oleh mata biasa. 
Pekik ketakutan dan jerit kematian membaur dalam 
kengerian yang amat luar biasa. Darah memercik dis-
ana sini membasahi tanah halaman juga pada bilik-
bilik kamar. Lebih dari tiga puluh manusia dari mas-
ing-masing desa mengalami kematian dengan amat 
mengerikan. Bukan saja laki-laki, tapi perempuan dan 
bahkan anak-anak yang tak berdosa menjadi korban 
ke "gila"an sepasang tangan iblis.
Sementara dengan tertawa mengikik Giri 
Mayang duduk dengan kaki menjuntai di atas wuwun-
gan rumah yang berada ditempat agak tinggi menyaksikan bekerjanya sepasang Tangan Iblisnya menyebar 
maut.
Selang beberapa saat, tampak wanita iblis itu 
mengangkat sepasang lengan buntungnya seraya ber-
kata dengan berdesis. "Cukup!" Dan... Plash! kedua 
lengan Iblisnya segera kembali melekat ke tempatnya 
semula, menelusup masuk ke dalam lengan baju wani-
ta itu.
"Hihihihi... hihihi... Mari, setan-setan kerdil! ki-
ta tinggalkan tempat ini!" Dan selesai berkata tubuh 
Giri Mayang segera melesat lenyap dari atas wuwungan 
rumah itu dengan diikuti tujuh bayangan hitam dari 
ketujuh makhluk kerdil yang setia mengikuti tanpa 
memperlihatkan diri.
Lagi-lagi Giri Mayang sengaja menyebar maut 
untuk memancing kemunculan para pendekar.
Dan lagi-lagi rakyat yang tak berdosa menjadi 
korban! Pekik dan jerit serta ratap tangis dari sisa-sisa 
penduduk yang keluarganya menjadi korban kegana-
san si Tangan Iblis segera membaur didua desa. Se-
mentara Giri Mayang meninggalkan tempat pemban-
taian itu dengan perdengarkan suara tertawa mengikik 
yang membuat bulu tengkuk meremang.
Saat itu tiga bayangan tubuh berkelebat me-
nyusul ke arah berkelebatnya tubuh Giri Mayang. Ge-
rakan melompat dari ilmu meringankan tubuh ketiga 
orang yang mengejarnya itu cukup hebat, pertanda 
mereka bukan orang-orang biasa, tapi orang-orang 
yang mempunyai kepandaian tinggi yang boleh dian-
dalkan. Sementara dari jurusan lain dua bayangan ju-
ga berkelebat menyusul. Dialah seorang laki-laki ber-
baju putih yang mempunyai gerakan berlari cepat ba-
gaikan larinya seekor kijang. Di belakangnya mengikuti 
seorang wanita berbaju merah, kembang-kembang. 
Membawa sebuah topi tudung lebar di lengannya.

Selarik cahaya putih yang berkredepan meman-
jang laksana sehelai selendang perak tiba-tiba melun-
cur menghalangi langkah lari kedua orang ini. Terpak-
sa si laki-laki berbaju putih menahan langkahnya den-
gan terkejut, yang diikuti si wanita muda berbaju me-
rah. Sementara itu tiga laki-laki yang tengah mengejar 
Giri Mayang telah mendengar suara halus yang dikirim 
dari jarak jauh.
"Tiga orang gagah, tahanlah langkah kalian! 
Jangan mengumbar nafsu dan menambah korban!" 
Suara halus itu terdengar amat berpengaruh, mem-
buat ketiga laki-laki itu segera menahan langkah. Se-
mentara si laki-laki baju putih dan gadis berbaju me-
rah kembang-kembang jadi tersentak kaget ketika me-
lihat seorang wanita tua berdiri kira-kira 10 tombak 
dihadapannya. Cahaya selendang perak itu terpaksa 
membersit dari telapak tangannya. Sesaat kemudian 
tampak wanita tua itu gerakkan lengannya seperti me-
narik kembali cahaya selendang warna perak itu yang 
seketika lenyap.
"Siapakah perempuan tua itu?" bertanya gadis 
yang berada di belakang laki-laki baju putih. Pemuda 
berwajah tampan itu menoleh. "Ah!? kau mengapa 
ikut-ikutan mengejar, nona?" tanya si pemuda yang 
tak lain dari Sambu Ruci si Pendekar Selat Karimata 
alias si Bujang Nan Elok.
"Hm, aku toh punya kaki!" sahut gadis itu den-
gan merengut.
"Haiiih! semangat kalian memang hebat, anak-
anak muda! Akan tetapi tahanlah emosi kalian. Musuh 
kalian itu adalah musuh kita semua golongan kaum 
pendekar, namun dengan kita bertindak tanpa perhi-
tungan cuma akan sia-sia!" terdengar suara halus si 
wanita tua itu yang entah sejak kapan telah berada di-
hadapan mereka.

Sementara itu tiga sosok tubuh laki-laki tadi te-
lah berkelebatan melompat ketempat itu.
"Nenek tua, siapakah kau? mengapa mengha-
langi niat kami menumpas keangkaraan yang amat ke-
terlaluan itu?" berkata salah seorang dari ketiganya. 
Ternyata mereka itu adalah tiga laki-laki gagah yang 
memang berada didesa itu. Yaitu ketiga laki-laki yang 
pernah mencari lenyapnya seekor macam Tutul didesa 
Kranji. Sudah beberapa malam mereka menginap dide-
sa tersebut untuk berjaga-jaga dari kemungkinan 
adanya tujuh makhluk kerdil yang muncul didesa itu.
Wanita tua itu putarkan tubuhnya untuk me-
natap ketiga Pendekar ini. "Aku si tua renta ini berna-
ma Muri Asih. Sayangilah nyawa kalian sobat-sobat
muda. Bukan aku mau mencegah kalian dengan mem-
biarkan perempuan iblis itu berlalu, tapi kukira mati 
konyol adalah satu hal yang paling sial! menyahut wa-
nita tua itu yang tak lain dari nenek Muri Asih.
Perempuan iblis itu terlalu berbahaya sobat-
sobat muda! Selain memiliki Sepasang Tangan Iblis dia 
juga membawa serta tujuh makhluk kerdil penghisap 
darah!" lanjutkan kata-katanya nenek Muri Asih.
Melengak seketika ketiga pendekar itu. "Tujuh 
makhluk kerdil penghisap darah, dan sepasang Tan-
gan Iblis...!?" Hampir berbareng mereka tersentak ka-
get.
"Benar! aku telah menyelidikinya, perempuan 
iblis itu bernama Giri Mayang!" tegaskan nenek Muri 
Asih.
"Ah...!? tersentak kaget Sambu Ruci.
***

SEMBILAN

SAMBU RUCI sebenarnya tak tahu menahu 
dengan pembantaian penduduk desa itu. Dari arah 
sungai dia mendengar suara jerit dan pekik menyayat 
hati di mulut desa yang telah dilihatnya dari kejauhan. 
Disamping terkejut melihat dua larik cahaya berwarna 
biru bersyiuran di angkasa, yang menukik dan mem-
bumbung sebentar kelihatan sebentar lenyap. Apapun 
gadis berbaju kembang-kembang itu dia tak menge-
nalnya, tapi Sambu Ruci mengetahui kalau gadis itu 
adalah gadis yang meniup seruling di sisi sungai ketika 
Sambu Ruci melintasi sungai berbatu menyeberangi 
dengan dua kali lompatan. Sekilas pemuda ini telah 
meliriknya, dan mengetahui kalau si peniup seruling 
itu seorang gadis.
Gadis itu hentikan tiupan serulingnya, dan 
membuka topi tudung dikepalanya. Sejenak Sambu 
Ruci menatap, dan dua pasang mata segera beradu 
pandang. Akan tetapi gadis itu telah perdengarkan su-
ara dihidung lalu cepat-cepat membuang muka dan 
mengenakan lagi topi tudungnya, untuk teruskan lagi 
meniup seruling.
Melengak Sambu Ruci. Sekilas dia memang da-
pat melihat satu wajah yang cantik. Akan tetapi kece-
wa pemuda ini karena gadis itu bukanlah orang yang 
dicarinya. Yaitu Roro Centil. Telah dua bulan lebih dia 
gentayangan mencari kemana lenyapnya si Pendekar 
Wanita Pantai Selatan sahabatnya itu.
Ada terbesit dihatinya untuk mengetahui siapa 
gadis peniup seruling yang telah membuang muka se-
telah bertatap mata dengannya itu. Akan tetapi tiba-
tiba dua larik cahaya berwarna biru telah bersiutan di
angkasa. Membuat Sambu Ruci tersentak kaget. "Cahaya apakah itu?" sentaknya berdesis dan memandang 
dengan terperangah memperhatikan cahaya biru yang 
berkelebatan itu. Dilihatnya cahaya itu sebentar mun-
cul dan sebentar lenyap berputar-putar ke beberapa
tempat. Otomatis si gadis bertudung itupun hentikan 
tiupan serulingnya untuk segera membuka lagi topi 
tudungnya dan menengadah memperhatikan cahaya 
biru yang berkelebatan di angkasa.
Saat itulah dari tengah desa yang tak berapa 
jauh dari sungai itu terdengar suara teriakan-teriakan 
ketakutan dan jeritan menyayat hati. Terkejut Sambu 
Ruci. Serta merta tak ayal lagi dia sudah berkelebat 
melompat untuk memburunya kesana. Sementara di-
am-diam si gadis peniup seruling itupun ikut pula me-
lompat untuk berlari cepat menyusul di belakang pe-
muda itu.
Tiga mayat dengan tiga buah kepala yang su-
dah lepas dari tubuhnya dijumpai Sambu Ruci diten-
gah jalan yang menuju ke desa. Terkejut Sambu Ruci 
ketika menjumpai lagi beberapa mayat dalam keadaan 
yang sama. Dan, tersentak jantung pemuda ini ketika 
melihat sesosok tubuh tengah mengikik tertawa duduk 
menjuntaikan kaki di atas wuwungan rumah. Belum
lagi dia tahu jelas wajahnya, wanita itu telah berkele-
bat melesat dari atas wuwungan rumah itu.
"Pasti perbuatan dia!" desis Sambu Ruci dengan 
geram. Tak ayal Sambu Ruci segera berkelebat menge-
jarnya, yang diikuti pula oleh si gadis peniup seruling 
di belakangnya...
Kini mendengar penjelasan si nenek Muri Asih 
yang jelas adalah tokoh Rimba Hijau yang berilmu 
tinggi lagi-lagi dia tersentak kaget karena wanita itu 
tak lain dari Giri Mayang. Sambu Ruci memang pernah 
beberapa kali berjumpa bahkan pernah bertarung den-
gan wanita iblis itu dan dia pula yang berhasil menabas putus sebelah lengan Giri Mayang. Sedangkan se-
belah lagi tangan wanita iblis itu diputuskan oleh keris 
seorang pendekar tua yaitu Gembul Sona alias si Belut 
Putih, seperti yang telah diceritakan dalam kisah: 
Langkah-langkah Manusia Beracun.
"Anda mengenal wanita iblis itu?" tanya nenek 
Muri Asih.
"Benar! dialah musuh besar sahabatku Roro 
Centil! Aku pernah bertarung dengannya beberapa 
kali, bahkan dia pernah pula menawan gadis Pendekar 
sahabatku itu. Belakangan manusia iblis itu berga-
bung dengan si Manusia Beracun. Dalam pertarungan 
terakhir kami berhasil menabas putus kedua lengan-
nya...!" tutur Sambu Ruci. Lalu ceritakan kejadiannya 
hingga waktu itu dalam keadaan terluka disaat mau 
dihabisi nyawanya telah disambar oleh sesosok tubuh 
dan dibawa melesat melarikan diri. Entah siapa peno-
long wanita iblis itu Sambu Ruci tak mengetahuinya. 
Dan dalam sekelebatan itu dia mendengar suara Roro 
Centil yang mengejar kemana berkelebatnya si peno-
long Giri Mayang.
Sejak itu Sambu Ruci tak pernah mendengar 
lagi kabar berita wanita iblis itu, bahkan sampai saat 
ini tak pernah dijumpainya si Pendekar Wanita Pantai 
Selatan sahabatnya itu...
Nenek Muri Asih manggut-manggut, lalu pa-
lingkan kepala menatap pada tiga laki-laki Pendekar 
yang masih berdiri mendengarkan kisah penuturan 
Sambu Ruci.
"Dan kalian ini siapakah..?" tanya nenek Muri 
Asih.
"Kami yang rendah adalah tiga bersaudara. 
Kaum persilatan menggelari kami si Tiga Musafir Hati 
Besi...!" sahut salah seorang seraya menjura, yang se-
gera diikuti oleh kedua laki-laki lainnya.

"Hehehe... pantas! hati kalian sekeras besi. Tak 
mengenal takut akan bahaya. Akan tetapi untuk kali 
ini harap anda bersabar dan menahan diri. Keresahan 
memang tengah melanda bukan saja kaum Pendekar 
Rimba Persilatan golongan Putih, akan tetapi juga pi-
hak Kerajaan dan rakyat sekitar wilayah ini. Bahkan 
menjadi ancaman besar bagi umat manusia umumnya!
Apakah kalian semua tak mengetahui? kalau saat ini 
puluhan mayat berkaparan di dua desa akibat kegana-
san Sepasang Tangan Iblis si Giri Mayang itu...!" Te-
gaskan Nenek Muri Asih.
"Kami tak melihat apa-apa, apakah Tangan Iblis 
yang anda maksudkan adalah dua larik cahaya ber-
warna biru itu?" tanya salah seorang dari Tiga Musafir 
Hati Besi.
"Benar! Aku telah mengikuti cahaya biru itu 
yang membantai desa disebelah sana hingga kemudian 
meluncur ke desa ini. Ternyata wanita Iblis itulah yang 
telah melepaskan Sepasang Tangan Iblisnya! Sejak ke-
jadian aneh pada beberapa hari ketika puncak Ga-
lunggung membersitkan cahaya merah itulah saat si 
Perempuan Iblis itu memiliki Sepasang Lengan Iblis! 
sahut Muri Asih seraya berikan penjelasannya dengan 
menatap silih berganti pada semua orang yang menge-
lilingi. Tak satupun yang membuka suara kecuali sama 
menatap pada nenek Muri Asih yang tengah memberi-
kan penjelasannya mengenai wanita bernama Giri 
Mayang itu. Dan lanjutkan penuturannya wanita tua 
itu...
Disamping mempunyai sepasang lengan yang 
mengerikan itu turut pula bersamanya ketujuh mak-
hluk kerdil penghisap darah seperti yang telah kukata-
kan tadi! Oleh sebab itu akan sia-sialah kalian bila 
menempur perempuan Iblis itu pada saat ini. Nah, ku-
kira banyak jalan bagi anda Pendekar-pendekar muda

jika ingin turut membantu menegakkan keadilan dan 
kebenaran dibumi ini.
Langkah yang harus kalian ambil saat ini ada-
lah sebaiknya membantu penduduk mengebumikan 
mayat-mayat...! Apakah pendapatku dapat kalian teri-
ma?"
"Ah... dengan segala senang hati kami bersedia 
untuk itu, nenek Muri Asih...!" Tergesa-gesa mereka 
saling menyahut dan menjura dengan membungkuk-
kan tubuh. Wanita tua itu tersenyum. "Nah, lakukan-
lah! pertolongan kalian sangat diharapkan. Wanita Ib-
lis itu akan ku usahakan untuk memancingnya ke-
tempat yang tak dikunjungi manusia. Sementara kita 
Kaum Pendekar mencari jalan untuk menumpasnya...! 
Aku telah hubungi beberapa tokoh Kaum Rimba Hijau 
golongan putih untuk segera kami berembuk...! Karena 
Giri Mayang bukanlah musuh perseorangan, akan te-
tapi musuh seluruh umat manusia...! Kemerajalelaan-
nya akan banyak menimbulkan musibah yang amat 
mengkhawatirkan. Dan sudah menjadi tugas kaum 
Pendekar untuk melenyapkan kebathilan yang mau 
menguasai bumi ini!"
Tiga Musafir Hati Besi manggut-manggut. Salah 
seorang agaknya masih penasaran kalau belum ber-
tanya.
"Nenek Muri Asih! kami belum mengenal siapa 
gelaran anda. Apakah anda dapat memberitahukannya 
untuk kami ingat?"
"Hehehehe... hehehe... " mengekeh tertawa si 
wanita tua itu. Tiba-tiba sebelah lengannya bergerak 
terangkat ke atas. Dan....
Selarik cahaya perak membersit ke udara ba-
gaikan sehelai selendang yang berkredepan. Dan keti-
ka sebelah lagi lengan si nenek Muri Asih terangkat 
pula ke atas, selarik cahaya pelangi membersit ke udara. Bagian ujungnya membelit batang pohon kelapa 
bagian atas, dan...
KRRAAAK! batang pohon kelapa itu patah kena 
hantaman sinar perak. Selanjutnya sinar pelangi le-
nyap. Sedang sinar perak menghantam beberapa kali 
hingga batang pohon kelapa itu putus menjadi bebera-
pa belas potong.
Sedangkan puncak pohon kelapa itu jatuh me-
luncur ke bawah. Namun tiba-tiba cahaya pelangi 
kembali membersit menyambar dan membelit pucuk 
pohon kelapa itu. Ketika si nenek Muri Asih gerakkan 
lengannya, pucuk pohon kelapa itu melayang jauh en-
tah kemana seperti dilemparkan oleh sehelai selendang 
warna-warni.
Tentu saja satu pertunjukan yang mengagum-
kan itu membuat semua mata jadi memandang si ne-
nek Muri Asih dengan terperangah.
"Hebat...! oh, hebat sekali...!" tak terasa suara 
pujian terdengar dari mulut-mulut pendekar muda itu. 
Bahkan si gadis bertudung yang sejak tadi tak ikut bi-
cara telah berseru.
"Ah, sungguh amat mengagumkan! Sinar perak 
dan pelangi yang menakjubkan...!"
"Hehehe... hampir benar! Julukanku pada pu-
luhan tahun yang silam adalah si Pendekar Selendang 
Perak Pelangi!" Dan selesai berkata, si nenek Muri Asih 
tertawa terkekeh-kekeh. Namun sekejap kemudian tu-
buhnya melesat ke udara dan lenyap dari pandangan 
mata.
Terpaku lima sosok tubuh itu dengan meman-
dang ke arah lenyapnya di Pendekar Sinar Perak Pe-
langi. Gerakannya begitu cepat sekali hingga tak sem-
pat mata mereka mengikuti. Selang sesaat si Tiga Mu-
safir batu segera berkata, dengan menatap pada Sam-
bu Ruci dan wanita peniup seruling yang masih terpana dengan mencekal erat topi tudung dan serulingnya.
"Mari sobat...! kita bantu menguburkan mayat-
mayat...!"
"Ya! ajaklah gadis kawanmu itu turut serta 
membantu...!" berkata pula salah seorang dari mereka. 
Sambu Ruci menoleh pada gadis baju merah berkem-
bang itu dengan tersenyum.
"Nona bersedia membantu kami...?"
"Hm, tanpa kau perintahkan pun aku tak nan-
tinya berpeluk tangan!" Menyahut sang gadis dengan 
wajah cemberut. Lalu berkelebat lebih dulu ke arah 
desa. "Ah, gadis yang ketus...!" tertawa Sambu Ruci se-
raya melompat menyusul. Ketiga Musafir Hati Besi 
cuma saling pandang dengan tersenyum. Namun tak 
lama segera berkelebatan menyusul...
***
SEPULUH


RORO CENTIL benar-benar tak mengerti den-
gan maksud si Tutul, setelah mengangkut seluruh tu-
lang-belulang lalu menggeram memperlihatkan taring-
nya pada Roro. Lalu menggigit sebuah tulang lengan 
manusia itu dan membawanya melompat ke arah bukit 
batu. Terpaksa Roro Centil mengikutinya. "Mau dibawa 
kemana tulang itu..?" berkata Roro dalam hati. Ternya-
ta meletakkan tulang itu di atas batu pada pertenga-
han bukit yang di panjatnya. Di sana dia menggeram-
geram dengan memutari kesana-kemari seperti men-
cari sesuatu. lalu melompat ke arah sisi samping batu 
yang agak menonjol. Disana dia mengorek-ngorek den-
gan kukunya seperti mau menggali lubang lagi. Kali ini 
Roro telah dapat menerka maksudnya. Segera dia melompat kesana, lalu meneliti sekitar sisi bukit itu. "Apa 
maksudmu Tutul? Hm, apakah kau mau sembunyikan 
tulang-belulang itu di sini..!?" berkata Roro lirih. Si Tu-
tul menggeram kecil. Tangan Roro yang meraba-raba 
segera temukan satu celah didekatnya. "He? batu ini 
bergerak...!?" sentak Roro terkejut. Apakah ini sebuah 
pintu goa...?" berpikir Roro dalam benaknya. Dengan 
kekuatan tenaga dalam segera Roro salurkan untuk 
menepuk beberapa kali dengan pelahan. 
Dan...BRRRAAASH...! batu itu hancur menjadi kepin-
gan-kepingan kecil. Segera terlihat sebuah rongga di
sisi tebing itu.
"Aiiih, benar dugaanku!" teriak Roro dengan gi-
rang. Sementara si Tutul telah menggigit kembali tu-
lang lengan manusia itu untuk dibawa melompat ke 
dalam. Dan selesai meletakkan tulang lengan itu, sege-
ra melompat lagi keluar. Cepat sekali bekerjanya si Tu-
tul mengangkuti tulang belulang itu dan membawanya 
sekerat demi sekerat. Sementara Roro Centil perhati-
kan seluruh ruangan itu. Dalam ruangan yang agak 
samar-samar terangnya itu Roro melihat setiap sudut 
goa dipenuhi sarang laba-laba. Sebuah peti berdebu 
tergeletak di atas batu. cepat Roro menghampirinya.
Rasa ingin tahu memang selalu ada pada setiap 
diri manusia. Begitu juga dengan Roro Centil. Setelah 
membersihkan debu di atas peti, segera berusaha 
membukanya. Teramat mudah untuk membuka peti 
itu seperti tak diduganya. Begitu peti terbuka segera 
terlihat sebuah kitab usang yang sudah lapuk dimakan 
usia.
Saat Roro Centil membalik-balik lembaran kitab 
itu yang mempergunakan tulisan lama. Roro Centil 
melihat si Tutul telah selesai dengan pekerjaannya 
mengangkut tulang. Dengan menggeram kecil si Tutul 
melompat mendekati. Lalu menjilati lengannya. Tapi
tak lama segera lenyapkan diri.
Roro Centil jadi garuk-garuk kepala tidak gatal. 
Jelas dengan si Tutul melenyapkan diri berarti sudah 
selesai tugasnya menuntun Roro ketempat itu. Kini 
tinggallah Roro yang harus memecahkan apa yang be-
rada dihadapannya.
"Apakah tengkorak manusia itu si pemilik kitab 
ini...?" sentak Roro dalam hati. Lalu apa maksudnya si 
Tutul membawa kerangkanya ketempat ini?" Dasar Ro-
ro Centil yang selalu ingin memperbuat apa yang ter-
bersit dihatinya. Diletakkan kembali kitab itu yang be-
lum sempat ditelitinya. Lalu beranjak mendekati tu-
lang-belulang manusia itu. Dan... lengannya mulai 
bergerak kesana-kemari mengatur tulang-tulang hing-
ga membentuk kembali sebuah kerangka dengan posisi 
sebuah tengkorak manusia yang sedang duduk me-
nyandar didinding goa. Terasa hawa seram melingkupi 
sekitar ruangan goa itu.
Tiba-tiba baru saja dia bangkit berdiri, telah 
terdengar suara aneh. Rahang mulut tengkorak itu hi-
dup dan bergerak-gerak. Tersentak kaget Roro Centil, 
hampir saja dia melompat keluar goa.
"Hehehe... jangan takut cucuku...! aku memang 
sudah lama mati, tapi dengan kekuatan ilmu yang 
kumiliki aku masih bisa menyimpan suara untuk bisa 
didengar oleh orang yang menemukan goa ini...!" Ter-
peranjat Roro Centil, tak terasa kakinya melangkah 
mundur dua tindak.
"Ssi... siapakah anda .,.?" bertanya Roro. "He-
hehe... sudah pasti kau akan bertanya tentang aku! 
akulah yang pernah dijuluki si MANUSIA PADANG 
PASIR...! Kematianku dalam usia 100 tahun lebih. Ki-
tab yang berada pada kotak di atas batu itu kuwa-
riskan pada siapa yang telah menemukannya! Pelajari-
lah cucuku! Pada kitab itu ada pelajaran ilmu silat dari

yang pernah kumiliki. Sebagian adalah ilmu silat se-
banyak tiga belas jurus. Sedangkan sebagian lagi ada-
lah tujuh jurus kalimat MANTERA SUCI! Ilmu penolak 
setan dan iblis..!
Hanya orang yang berotak cerdaslah yang dapat 
menguasainya! Dan tentu saja orang yang berjodoh 
memiliki seekor Harimau Tutul, yang dapat berjodoh 
menjadi pewaris ilmuku...! Karena Harimau Tutul itu 
adalah rohku! Jangan heran bila kelak terjadi satu 
keanehan pada dirimu...! Bila selesai kau mempelajari 
ilmu warisanku, kau bakarlah kerangka tubuhku ini 
berikut kitab itu!"
Selesai berkata, tulang tengkorak kerangka 
manusia yang disusun Roro Centil tiba-tiba berjatuhan 
ke tanah dengan suara berkerotakan. Roro Centil ter-
paku tak bergeming ditempatnya. Seolah apa yang di-
lihatnya itu seperti dalam khayal atau mimpi. Tapi ke-
nyataan telah terpampang dihadapan matanya. Telin-
ganya jelas mendengar apa yang diucapkan si kerang-
ka Manusia Padang Pasir.
Tiba-tiba Roro Centil jatuhkan dirinya berlutut 
dihadapan kerangka itu. Bibirnya tergetar mengu-
capkan kata-kata.
"Guru...! aku Roro Centil segera akan mentaati 
pesan itu...!" Selesai Roro Centil berkata tiba-tiba dari 
langit-langit bagian atas goa memantulkan cahaya te-
rang benderang. Di luar angin membersit kencang me-
nerbangkan butiran-butiran pasir. Roro bangkit berdiri 
untuk mencari penutup lubang goa. Akan tetapi tiba-
tiba dinding batu di sisinya bergerak menggeser sendi-
ri. Dan... BRAK! goa itu telah tertutup rapat. Terheran-
heran Roro Centil akan keanehan itu. Ditatapnya ca-
haya terang yang membersit dari langit-langit ruangan 
goa itu. Ternyata sebuah batu pualam sebesar tengko-
rak kepala manusia yang menempel dibatu langit

langit goa itu, memancarkan sinarnya yang amat te-
rang benderang.
"Aiiih, benar-benar aneh dan amat mengagum-
kan...!" desis Roro pelahan "Selama hidupku baru aku 
mendengar ada satu ilmu kesaktian yang dapat me-
nyimpan suara. Sedangkan orangnya sudah mati en-
tah berapa puluh tahun yang silam..!" berkata Roro da-
lam hati.
Demikianlah! apa yang dialami Roro Centil ada-
lah sudah menjadikan jodoh bagi dirinya. Dan tak ayal 
si Pendekar Wanita Pantai Selatan segera mulai mem-
pelajari isi kitab usang itu dengan membalik-balik 
lembarannya. Untunglah, walaupun agak sulit dibaca, 
Roro Centil dapat juga memahami huruf-huruf kuno 
yang tertera di kitab usang itu.
Segala daya dan kecerdasan Roro Centil untuk 
memahami dan mempelajari isi kitab itu dikerahkan 
demi terwarisnya ilmu si Manusia Padang Pasir kepa-
danya... Lembar-demi lembar mulai di hayati dan di-
praktekkan dengan kesungguhan hati dan keyakinan 
yang mantap, bahwa tak ada sesuatu yang sukar di 
dunia ini kalau diusahakan dengan kekerasan hati, 
kemauan, tekad dan niat yang bulat...!
Dan sejarah Persilatan memang akan membuk-
tikan bahwa tak lama lagi Roro Centil akan kembali 
muncul di Rimba Persilatan dengan segala kesaktian 
yang dimilikinya...
***
SEBELAS

Ternyata dalam waktu sembilan hari Roro Cen-
til berhasil menguasai ketiga belas jurus ilmu Manusia
Padang Pasir. Dan dalam waktu empat hari Roro ber-
hasil pula menguasai ketujuh jurus ilmu Mantera Suci.
Tepat 13 hari Roro Centil telah dapat mena-
matkan isi kitab itu dan menguasai penuh isinya. Ter-
nyata tekad Roro untuk menyelesaikan pelajarannya 
agar tepat tiga belas hari, dengan tekad yang bulat dan 
kemauan yang keras membaja membawa hasil yang 
memuaskan. Roro memang mau merobah pandangan 
manusia yang sudah sejak puluhan tahun yang lalu 
menganggap angka 13 adalah angka sial!
Namun Roro beranggapan hari yang ke 13 itu 
adalah hari yang penuh kemujuran. Hari itu mutlak 
sudah Roro Centil menjadi pewaris tunggal ilmu si Ma-
nusia Padang Pasir.
Dan pada hari itu juga setelah selesai memba-
kar tulang kerangka gurunya si Manusia Padang Pasir 
juga kitab peninggalannya, Roro Centil menutup pintu 
goa yang telah menjadi tempatnya menempa ilmu-ilmu 
warisan si Manusia Padang Pasir.
Di depan pintu goa Roro Centil kembali mene-
kuk lutut dengan tundukkan kepala dan berkata den-
gan suara lirih.
"Guru...! hari ini aku telah selesai menjalankan 
amanatmu. Hari ini aku muridmu, Roro Centil telah 
berhasil menamatkan pelajaran dalam kitab warisan
mu. Dan hari ini pula aku segera akan meninggalkan 
tempat peristirahatan mu! Hari ini pula aku akan 
mengemban tugas kewajiban yang lebih berat untuk 
menegakkan panji-panji keadilan dimuka bumi...!
Aku berjanji untuk mengamalkan segenap ilmu 
dari apa yang telah kau wariskan padaku! Mele-
nyapkan kebatilan, memusnahkan keangkaramurkaan 
yang mengotori bumi persada demi tegaknya kebena-
ran. Demi tegaknya keadilan di atas jagat raya ini... 
Dan demi ketenteraman umat manusia!"

Selesai berkata Roro Centil menjura beberapa 
kali memberikan penghormatan terakhir sebelum me-
ninggalkan tempat itu.
Sementara angin mulai membersit agak keras 
memperdengarkan suara bersiutan Roro angkat wa-
jahnya untuk segera melompat bangkit berdiri. Lalu 
putarkan tubuh untuk segera melangkah beberapa 
tindak. Sejenak Roro terhenti karena merasa tiupan 
angin semakin santar menerpa tubuh. Di kejauhan di-
lihatnya seperti ada kabut menghalang. "Ada apa-
kah...?" sentak Roro terkejut dengan suara berdesis. 
Ternyata angin semakin keras membersitnya. Pasir 
mulai beterbangan.
Dan apakah yang dilihat Roro selanjutnya...?
Terbelalak mata si Pendekar wanita Pantai Sela-
tan itu melihat di kejauhan timbunan pasir yang mem-
bukit bergulung-gulung meluncur bergelombang ba-
gaikan ombak raksasa bergerak cepat mendatangi.
Begitu kagetnya Roro hingga sampai melangkah 
kembali mundur beberapa tindak. Namun nalurinya 
mengatakan adanya bahaya besar bila dia tak cepat 
menyingkir. Memikir demikian, Roro Centil segera en-
jot tubuhnya untuk melompat pergi menjauhi secepat-
nya tempat itu.
Dari kejauhan dia cuma bisa menyaksikan ge-
lombang pasir yang menggunung bagaikan menyerbu 
ke arah tebing batu itu dengan suara bergemuruh luar 
biasa. Suara bersitan angin yang membadai terdengar 
bersiutan membuat Roro harus menutupi matanya 
agar tak kemasukan debu.
Gelombang demi gelombang pasir raksasa itu 
berhempasan. Dan dalam sekejapan saja bukit batu 
dimana terdapat goa tempat disimpannya abu si Ma-
nusia Gurun Pasir, telah lenyap tertimbun pasir yang 
menggunung.

Selang beberapa saat badai pun kembali mere-
da. Roro Centil memandang dengan terperangah kare-
na tak melihat lagi adanya bukit batu tempat dia me-
nempa ilmu selama ini, kecuali timbunan pasir yang 
menggunung. Lama dipandangnya apa yang terpam-
pang didepan matanya dengan tertegun itu. Namun 
tak lama kemudian terdengar suara helaan napas ga-
dis Pendekar. Segala sesuatu yang terjadi itu seperti 
punya makna. Seolah si Manusia Gurun Pasir telah 
merasa telah puas dengan apa yang menjadi harapan-
nya. Dan mengubur diri untuk menyatu kembali den-
gan pasir seperti sesuai dengan julukannya...
"Selamat tinggal, guru...!" ucap Roro dengan
suara tergetar. Dan berkelebatlah tubuh si dara Perka-
sa meninggalkan tempat itu....
***
Roro Centil injakkan kakinya ditepi pantai. An-
gin laut yang meniup santar membuat rambutnya me-
nyibak berkibaran.
"Tutul...! kita harus cepat kembali! Tugas berat 
telah menantiku diseberang lautan sana! Cahaya me-
rah itu membuat hatiku gundah akan adanya musibah 
yang melanda wilayah gunung Galunggung. Tampak-
kanlah dirimu, sahabatku...!" berkata Roro dengan su-
ara lirih.
Akan tetapi setelah ditunggunya sekian lama si 
Tutul tak menampakkan diri. "Ah, kemanakah dia...?" 
menyentak hati Roro. "Tutul...! dimanakah kau..?" 
ulangnya memanggil seraya memutar tubuh dan me-
natap ke sekelilingnya. Namun tak dijumpai apa-apa. 
Semuanya tetap seperti tadi, tak berubah. Sunyi, len-
gang dan tak ada siapa-siapa selain dirinya sendiri.
Tercenung seketika Roro Centil, dan termangu mangu memikirkan kemisteriusan makhluk itu. Sejak 
beberapa tahun makhluk itu selalu setia mengiku-
tinya, mengapa kini tahu-tahu menghilang sirna tak 
munculkan diri? berpikir Roro dalam hati.
Setelah lama ditunggu-tunggu tetap si Tutul tak 
menampakkan diri yakinlah dia kalau sahabatnya itu 
telah pergi meninggalkannya. Barulah Roro teringat 
akan kejadian di gurun pasir. "Hm, apakah dia telah 
ikut pula terkubur gelombang pasir...?" berdesis Roro. 
Roro tak menemukan jawaban dari pertanyaannya 
sendiri.
Seketika tersentaklah Roro ketika teringat akan 
kata-kata suara gaib di Manusia Padang Pasir yang 
mengatakan agar dia tak terkejut akan menjumpai 
keanehan yang akan terjadi pada dirinya. Apakah ini 
salah satu dari keanehan yang dimaksud? pikir Roro.
Dalam memecahkan teka-teki lenyapnya si ha-
rimau Tutul sahabatnya itu Roro benar-benar dibuat-
nya tak mengerti. Juga dengan maksud kata-kata gaib 
si Manusia Padang Pasir. Kembali teringat satu kata-
kata gaib dari sang gurunya itu. "Hanya orang yang be-
rotak cerdaslah yang dapat menguasai ilmuku. Dan 
orang yang memiliki seekor harimau tutul yang dapat 
berjodoh menjadi pewaris ilmuku! karena Harimau Tu-
tul itu Rohku...!"
Tersentak Roro Centil seketika, karena dari ka-
ta-kata itu segera dapat diambil kesimpulan.
"Mm, kalau aku telah menguasai ilmu- ilmu si 
Manusia Gurun Pasir berarti akupun menguasai pula 
ilmu-ilmu si Tutul!" berkata Roro dalam hati. "Jadi... 
jadi... ah, begitu mengerikan....!" desis Roro dengan 
tersentak kaget. Makin mengingat si Tutul ternyata 
makin besar dorongan imajinasi untuk menirukan apa 
yang dilakukan si Tutul.
Itulah yang membuat Roro terperangah kaget.

Menghadapi dorongan tenaga batin yang menyeruak 
dari dalam tubuhnya sendiri Roro seperti kehabisan 
akal untuk menghindarinya. Semakin dia resah, sema-
kin daya kekuatan itu menelusup merangsang pori-
pori dan pembuluh-pembuluh darahnya.
Dan.... di luar sadar dia telah melakukan apa 
yang dilakukan si Tutul. Roro Centil menahan napas, 
lalu goyang-goyangkan tubuhnya.
Apakah yang terjadi kemudian..?
Tubuh Roro Centil lenyap jadi gumpalan asap. 
dan... di atas pasir pantai itu telah berdiri seekor Ha-
rimau Tutul yang hampir sebesar kerbau memperli-
hatkan giginya menyeringai menyeramkan. Itulah Ha-
rimau Tutul penjelmaan dari Roro Centil. Apapun yang 
terjadi pada diri Roro ternyata memang sudah di-
ucapkan oleh kata-kata gaib si Manusia Padang Pasir.
Membelalak sepasang mata gadis Pendekar itu 
melihat perubahan bentuk pada tubuhnya. "Aku... aku 
telah menjadi Harimau...! aku kini menjadi si Tutul! 
Oh...! inikah satu keanehan yang bakal terjadi seperti 
yang dikatakan suara gaib itu ?" keluh Roro. Ditatap-
nya ke empat kakinya yang berkuku runcing. Ditatap-
nya apa yang kini telah menjadi bagian dari tubuhnya. 
Terhenyak gadis Pendekar itu.
Dengan mendekam sang harimau Tutul alias 
Roro Centil itu termenung hingga beberapa lama. Apa-
kah ujud asli ku akan lenyap seterusnya? dan tetap 
menjadi makhluk yang jelas bukan manusia ini...? " 
berkata Roro dalam hati. Akan tetapi selang sesaat Ro-
ro telah melompat bangun dan perdengarkan suara 
menggeramnya. Edan..! suaraku pun telah berobah!" 
sentak Roro dalam hati. Tentu saja membuat Roro ter-
kejut mendengar perobahan suaranya sendiri. Namun 
titik terang dari pemikirannya telah Kembali jernih. 
Roro yakin kalau semua itu adalah cuma "ilmu" bela

ka. Dia takkan selamanya menjadi Harimau. Keyaki-
nan yang mantap itu telah membuka titik terang bagi 
si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Segera dia ber-
semadi dengan pejamkan mata. Batin menyatu untuk 
kembali memulihkan ujudnya. Terasa ada getaran pa-
da kulit dan pori-pori tubuhnya.
Ketika Roro Centil hentikan semedinya lalu 
membuka mata, membersitlah senyum pada bibirnya. 
Karena sekejap Harimau Tutul itu telah kembali pada 
ujud asalnya lagi. "Aiiiiih, kalau tahu begini mengapa 
aku pusing-pusing memikirkannya..? Dasar otakku 
bebal!" menggumam Roro dengan tersenyum.
"Aku harus kembali secepatnya! firasatku men-
gatakan ada sesuatu terjadi disana yang memerlukan 
aku turun tangan!" berdesis Roro dengan mata mena-
tap jauh ke cakrawala. Matahari senja membuat ca-
hayanya memantul gemerlapan dari ombak-ombak 
laut yang tengah bermain bagaikan hamparan perma-
dani perak. Dan saat itu juga sebuah bayangan seekor 
Harimau Tutul meluncur pesat dari daratan itu bagai-
kan hembusan angin lewat.
Dialah Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai 
Selatan. Si Pewaris Manusia Gurun Pasir...
***
DUA BELAS


Di wilayah KOTA RAJA... Delapan belas perwira 
Kerajaan mati tergeletak dengan tubuh tanpa kepala. 
Dan delapan belas "butir" kepala manusia berserakan 
diantara tubuh-tubuh tanpa kepala itu. Delapan ekor 
kuda mati dengan tubuh hangus dan kepala hancur...
Bau anyirnya darah menyebar di sekitar tempat

itu. Sungguh satu pemandangan yang amat mengeri-
kan dan mengenaskan hati.
Seekor kuda hitam meluncur pesat ke tempat 
kejadian. Di tangannya penunggangnya tercekal se-
buah tombak bermata tiga. Dialah Tumenggung Shan-
dikala yang menerima laporan dari beberapa orang 
anak buahnya. Tak ayal segera "meluncur" ke tempat 
kejadian.
Bedebah! Perempuan iblis edan...!" memaki la-
ki-laki berusia empat puluh tahun ini. Kudanya telah 
dihentikan dan bergerak memutari mayat-mayat dan 
bangkai kedelapan belas anak buahnya.
Tampak wajahnya sebentar pucat sebentar me-
rah. Dada laki-laki ini berombak-ombak pertanda me-
nahan kemarahan yang amat luar biasa yang ada di 
dada.
Satu suara tertawa mengikik membuat laki-laki 
ini tersentak Jantungnya seperti melonjak karena ter-
kejut. Walau niatnya memang mau menempur si pe-
rempuan iblis itu, namun mendengar suara tertawanya 
saja membuat nyali laki-laki Tumenggung ini agak 
menciut.
"Hihihihi..... selamat datang panglima yang ga-
gah! Kau pasti Tumenggung Shandikala!" Satu kata-
kata penyambutan yang dilontarkan si pemilik suara 
telah dibarengi dengan kelebatan tubuh seorang wani-
ta berpakaian warna kuning. Berlengan baju lebar 
yang menutupi seluruh lengan. "Siapa kau...!" mem-
bentak laki-laki Tumenggung itu dengan membeliakan 
matanya. Hatinya agak ragu untuk menduga kalau 
orang yang dihadapannya adalah si perempuan iblis 
itu.
Dia memang Giri Mayang adanya. Wanita ini 
dengan tersenyum genit bahkan balik bertanya. "Coba 
terka olehmu siapakah aku...?"
Percikan darah yang melekat dipakaian wanita 
itu telah membuat si Tumenggung membentak kasar. 
Walau sebenarnya darahnya seperti tersirap.
"Kau pasti si perempuan iblis itu...!"
"Hihihihi... tepat! tepat sekali dugaanmu! tapi 
aku manusia biasa bukan iblis. Tumenggung yang ga-
gah!" Baru saja selesai ucapannya tubuh Giri Mayang 
mendadak lenyap.
Tahu-tahu laki-laki itu merasa pinggangnya di-
peluk orang dari belakang.
"Hihihihi... tubuhmu kekar, dan wajahmu ga-
gah. Dan keberanianmu juga boleh dibanggakan. Hihi-
hi... justru aku menyenangi laki- laki sepertimu, Tu-
menggung!" terdengar suara berdesis didaun telin-
ganya. Tentu saja membuat sang Tumenggung kaget 
setengah mati. Akan tetapi dia sudah terkulai kena to-
tokan lengan wanita itu dengan perdengarkan keluhan 
dari mulutnya.
Dan... kuda hitam itu sudah berlari cepat ke-
luar dari tempat berbau anyir itu. Mencongklang pesat 
menuju hutan jati.
Melewati hutan jati itu, sang kuda ternyata te-
lah kehilangan penunggangnya. Namun si kuda hitam 
itu terus mencongklang lari hingga lenyap di ujung hu-
tan. Ternyata tepat ditengah jalan wanita itu telah me-
lompat dari atas punggung kuda dengan menggondol si 
Tumenggung.
BREET! BREET! BREBEEET...! Sekejapan saja 
tubuh laki-laki penegak hukum itu sudah telanjang 
bulat. Dan... sepasang matanya menatap dengan 
membeliak pada sosok tubuh putih mulus yang tanpa 
selembar benangpun menghalangi. Namun yang mem-
buat laki-laki itu merasa ngeri adalah sepasang tangan 
wanita itu karena bentuk dan rupanya amat menyeramkan.

"Hah!? ma... mau apa...kka... kkau..." tergetar 
suara Tumenggung Shandikala dengan mencoba untuk 
beringsut. Namun jalan darahnya terasa ngilu. Hingga 
dia cuma bisa menatap dengan terbelalak dan keringat 
dingin "membanjir" deras di sekujur tubuhnya yang 
polos.
"Hihihi... aku mau kau!" menyahut Giri 
Mayang.
Sepasang mata wanita itu menatap tajam si 
Tumenggung. Bibirnya bergerak-gerak membaca man-
tera. "Kau pandanglah aku, apakah aku kurang can-
tik?" ujarnya sesaat kemudian.
"Kau... kau ccan.. cantik, no... nona!... ta... tapi 
lenganmu... lenganmu amat menakutkan!" Sahut laki-
laki Tumenggung itu dengan suara menggetar.
"He? siapa bilang? sepasang tanganku halus 
mulus tanpa cacad! Matamu telah terbalik rupanya. 
Perhatikanlah sungguh-sungguh...!" berkata Giri 
Mayang yang| telah selesai merapal ajian Malih Rupa.
"A, bbbeb.. be... benar!? tanganmu mulus! mu-
lus, tanpa cacad dan.... kau... kau cantik sekali, no-
na..." berkata sang Tumenggung dengan memandang 
terperangah.
Memang aneh dalam pandangan Tumenggung 
Shandikala karena kini yang dilihatnya sepasang tan-
gan perempuan itu memang halus mulus. Ternyata dia 
telah kena pengaruh ilmu Malih Raga. Bahkan dima-
tanya itu teramat cantiknya. Apa lagi dalam keadaan 
tanpa busana. Seluruhnya membentang dengan nyata.
"Bagus! kini matamu sudah terang!" ujar Giri 
Mayang dengan meneguk air liur. Sepasang matanya 
seketika mulai membinar. Ujung puti payudaranya 
mulai terlihat kaku dan semakin kemerahan.
Tiba-tiba lengannya bergerak mengibas. Dan, 
terlepaslah totokan pada tubuh sang Tumenggung

Mendapatkan dirinya telah punya tenaga lagi. 
laki-laki ini tergesa bangkit dengan gelora yang meng-
gelegak. Hawa rangsangan telah menutup pikiran wa-
rasnya...
Giri Mayang tertawa lirih seraya "menerkam" 
mangsanya dengan berahi memuncak di atas sega-
lanya. Sang Tumenggung menyambutnya dengan gai-
rah melonjak-lonjak. Merengkuhnya dengan seluruh
hasrat yang tak dapat terbendung lagi....
WHUSSSS...! sesosok tubuh terlempar dari ba-
lik rumpun dihutan Jati. Dan... BRUK! tubuh itu jatuh 
tepat di belakang dua orang yang tengah berjalan di 
satu jalan menuju desa. "Hah!?"
"Ooh...!?"
"Hiiiiiiii..." Menjerit dua orang itu seraya lari lin-
tang pukang. Ternyata mereka dua orang laki-laki yang 
sedang melintas ditempat itu. Langkahnya tergesa-
gesa. Ketika tiba-tiba terdengar suara menggabruk di
belakangnya. Ketika menoleh ternyata sesosok tubuh 
laki-laki tanpa kepala yang dalam keadaan telanjang 
bulat.
Tentu saja membuat mereka terperanjat, dan 
seketika lari ketakutan pontang panting.
Sementara itu di desa yang tengah ditujunya.
"Itu Karma dan Kubil! pasti dikejar perempuan 
iblis itu...!" teriak salah seorang dari tiga laki-laki yang 
berada di mulut desa.
"Celaka...! pasti! pasti...!" berkata kawannya 
dengan wajah pucat.
"Cepat laporkan pada Ketua!" perintah yang be-
rusaha berkata seraya mendorong tubuh sang kawan 
yang cuma menatap dengan mata melotot dan bibirnya 
terbuka. Tak ayal segera laki-laki itu berlari cepat un-
tuk segera melapor.
"Apa yang telah terjadi...?" terdengar suara dari

bernada depan sebuah rumah disertai berdirinya seo-
rang laki-laki. Lalu diikuti oleh beberapa laki-laki dan 
seorang wanita tua.
"Celaka, Den...! perempuan iblis itu... itu... 
itu..."
"Ita itu ita itu!? bicara yang benar goblok!" seo-
rang laki-laki berangasan bertubuh kekar dengan pe-
rut yang buncit telah melompat dan mencengkeram 
tengkuk laki-laki ini
"Biarkan dia menenangkan diri dulu, sobat An-
terja!" terdengar suara lirih. Cepat sekali gerakannya, 
tahu-tahu wanita tua berjubah hijau itu telah berdiri 
dihadapan laki-laki si pelapor. Si tubuh kekar beran-
gasan itu lepaskan cengkeramannya.
"Katakanlah! apakah maksudmu si perempuan 
iblis itu telah datang kemari...?" tanya perempuan tua 
itu dengan suara lembut.
"Hihihi... hihi... benar! aku telah datang kemari! 
dan datang kesetiap tempat untuk membunuh habis 
kaum Rimba Hijau golongan putih!" belum lagi si pela-
por itu menyahuti telah terdengar suara tertawa yang 
menyahutinya. Dan, suaranya belum habis, empat so-
sok tubuh telah terlempar dan jatuh bergedebukan 
dengan kepala yang sudah lenyap dari tubuhnya.
Terkejut semua mata memandang karena tahu-
tahu di hadapan mereka menjelma sesosok tubuh wa-
nita berpakaian serba kuning berlengan baju gom-
brong menutupi kedua lengannya.
Semua mata jadi memandang dengan terperan-
gah. Akan tetapi sekejap saja sosok-sosok tubuh dibe-
randa rumah itu segera berlompatan untuk mengu-
rung wanita itu, dengan senjata-senjata terhunus.
"Giri Mayang! perempuan iblis, kau takkan lolos 
kini dari tangan kami!" teriak salah seorang. Ternyata 
mereka adalah para pendekar yang tengah berkumpul

menyusun rencana. Dua orang anak buah dari salah 
seorang tokoh Pendekar yang memang berdiam di wi-
layah desa itu telah dikirim Untuk melihat situasi di 
sisi Kota Raja sejak pagi tadi. Ternyata kembalinya te-
lah berikut dengan hilangnya nyawa kedua murid utu-
san itu.
Sementara si nenek berjubah hijau itu telah 
mencabut keluar seuntai tasbih dari balik jubahnya. 
Bibirnya berkemak-kemik membaca mantera. "Hihihi...
hihi... mantera apakah yang kau baca itu, nenek peot?"
Berkata Giri Mayang dengan mengikik tertawa. 
Akan tetapi sepasang matanya membersit tajam men-
gandung hawa pembunuhan. Dan... tiba- tiba...
WMUUUK! Secercah cahaya biru telah melun-
cur cepat ke arah nenek tua itu disertai menyebarnya 
hawa dingin mencekam. Terdengarlah jeritan parau 
menyayat hati. Dan... Krraak! Batang leher si nenek 
berjubah hijau itu sekonyong-konyong berderak patah. 
Darah memuncrat, dan kepalanya jatuh menggelinding 
diserta menggabruk jatuhnya tubuh si wanita tua ber-
tasbih itu.
Terbelalak para Pendekar yang mengurung si 
wanita iblis Giri Mayang menyaksikan kejadian itu.
Serta merta mereka menerjang dengan berba-
reng. Senjata-senjata berkelebatan menebas batang 
tubuh perempuan iblis itu.
Akan tetapi dengan sekejap tubuh Giri Mayang 
telah kembali lenyap sirna tak berbekas. Selanjutnya 
yang terdengar adalah jerit dan teriakan ngeri disertai 
tumbangnya tubuh-tubuhnya para Pendekar itu den-
gan masing-masing kepalanya telah putus bagaikan 
dipereteli saja dari leher mereka.
Sekejapan saja belasan mayat telah bergelim-
pangan dengan amat mengerikan. Darah membanjir
menganak sungai...

Sungguh satu pemandangan yang amat menge-
rikan! Lagi-lagi Giri Mayang menambah korban-
korbannya.
Selang sesat terdengar kembali suara tertawa 
mengikik menyeramkan membangunkan bulu roma. 
Namun suara tertawa itu semakin menjauh, dan ak-
hirnya lenyap dalam kelengangan yang membaur den-
gan hawa maut...
"GIRI MAYANG...! perempuan iblis! perbuatan-
mu sudah keterlaluan!"
Terdengar satu bentakan keras yang terdengar 
bagaikan memecahkan anak telinga. Wanita ini henti-
kan langkahnya yang baru saja memasuki perbatasan 
sebelah timur dari wilayah Kota Raja. Disinipun terli-
hat beberapa mayat berserakan dengan keadaan yang 
mengerikan. Yaitu mayat dari empat orang ponggawa 
penjaga perbatasan.
Yang membentak adalah salah satu dari Tiga 
Musafir Hati Besi. Ketiga orang ini melompat untuk se-
gera mengurungnya, dengan masing-masing telah 
mencabut senjata. "Hm. lagi-lagi tiga Pendekar muncul 
mencari mati!" berkata Giri Mayang dengan suara din-
gin. Akan tetapi tiba-tiba membersitlah senyum pada 
bibirnya ketika menatap salah satu dari si ketiga Mu-
safir Hati Besi seorang lelaki yang bertubuh kekar den-
gan urat-uratnya yang bertonjolan.
"Hihihi... dua diantara kalian boleh mati, tapi 
kau kuberi hidup untuk sementara!" ujar Giri Mayang 
seraya menunjuk pada laki-laki gagah itu. Bahkan 
langsung membaca mantera dengan sepasang matanya 
menatap tak berkedip pada laki-laki bernama Bhadur 
itu.
Akan tetapi dua dari si Tiga Musafir Hati Besi 
telah menerjang dengan golok besar dan sepasang 
ruyung bermata tombak tipis yang meluncur deras
menabas tubuh dan menyerang leher.
Akan tetapi belum lagi senjata-senjata mereka 
mengenai kulit wanita itu selarik sinar biru meluncur 
dari sepasang lengan baju Giri Mayang.
Melihat dua larik sinar biru itu meluncur ke 
arah mereka Tiga Musafir Hati Besi sudah maklum 
dengan serentak melompat menghindari dengan letik-
kan tubuh ke arah samping. Sesaat sudah berada da-
lam posisi berdiri dengan siap siaga. "Hmm...!" men-
dengus Giri Mayang. "Aku tak perlu melayaninya den-
gan tanganku! Hihihi... tujuh setan kerdil! kalian hi-
saplah darah kedua Pendekar tolol itu!" terdengar pe-
rintahnya dengan suara dingin pada tujuh makhluk 
kerdil yang berdiam diri menunggu perintah.
Serentak mereka menampakkan dirinya. Dan 
dengan wajah menyeringai menyeramkan ketujuh 
makhluk hitam itu berkelebatan ke arah dua dari Tiga 
Musafir Hati Besi. Sementara Bhadur baru saja tersa-
dar dari pengaruh ilmu penakluk Sukma Giri Mayang. 
Dengan marah dia menerjang wanita itu.
Senjatanya sepasang kapak bermata lebar me-
nebas beruntun memperdengarkan suara bersiutan. 
Akan tetapi melengak laki-laki itu karena mata kapak-
nya seperti menebas angin. Tahu-tahu... Plak! kedua 
kapak telah terlepas dari sepasang lengannya. Dan be-
lum lagi dia menyadari apa yang bakal terjadi, tubuh-
nya telah serasa "terbang" karena telah disambar di 
wanita Iblis itu yang langsung telah menotoknya.
Sementara pertarungan dua dari Tiga Musafir 
Besi dengan ketujuh makhluk kerdil itu berlangsung 
dengan tegang.
Sambaran-sambaran senjata mereka cuma me-
nabas angin belaka, membuat bulu kuduk kedua laki-
laki itu mulai berdiri meremang. Berguling-guling dan 
melompat mereka menyelamatkan diri dari cengkeraman ganas makhluk-makhluk kerdil itu.
Selang kira-kira dua kali sepeminuman teh, 
tampaknya tenaga kedua Pendekar itu semakin berku-
rang. Hal itu karena nyali mereka mulai menciut. Ke-
putusasaan telah membayang di wajah mereka yang 
tak mungkin menang menghadap makhluk yang bu-
kan manusia itu.
Tiga makhluk kerdil berhasil menangkap perge-
langan tangan dan kaki dari salah seorang Pendekar 
itu. Bergulingan laki-laki ini dengan segala daya untuk 
melepaskan diri. Akan tetapi sia-sia. Saat mana salah 
satu makhluk kerdil itu telah meluncur untuk mener-
kam ke arahnya yang dalam keadaan terlentang tanpa 
berdaya. Di lain pihak tiga makhluk kerdil lainnya te-
lah meluruk pula untuk merencah ganas pada Pende-
kar satunya yang sudah megap-megap kehabisan na-
pas. Dia cuma terperangah menanti datangnya maut, 
dengan mata membelalak.
Akan tetapi di saat mau tinggal sedetik lagi, ti-
ba-tiba secercah cahaya perak telah membersit
menyambar tepat di atas kepala makhluk-
makhluk kerdil itu dengan menimbulkan suara meng-
gelegar.
BHLAAARRR...!
Tujuh makhluk kerdil itu seketika berloncatan 
dengan suara gaduh karena terkejut. Hingga telah me-
lepaskan cengkeraman pada kedua Pendekar itu. 
Dan... di situ telah berdiri tegak si nenek Muri Asih, 
alias si Pendekar Selendang Perak Pelangi.
Melihat kemunculan wanita tua renta itu si tu-
juh makhluk kerdil jadi menyeringai gusar. Mereka te-
lah mengetahui karena nenek tua ini pernah membuat 
mereka menyasar dan sukar keluar dari hutan belan-
tara karena dipancing mengejarnya. Hingga Giri 
Mayang terpaksa harus menghubungi gurunya si Nini

LEMBUTUNG melalui semadi. Atas bantuan Nini Lem-
butung itulah mereka bisa keluar dari rimba belantara 
yang seperti telah terpagar oleh tembok kabut yang 
sukar ditembus.
"GRRRRH...! KRAAA..! KRWWOK! KRWOOK!
Menggeram ketujuh makhluk kerdil itu dengan 
marah. Tiba-tiba serentak menerjang ke arah wanita 
tua itu.
Membersitnya tubuh ketujuh makhluk kerdil 
itu dibarengi dengan lenyapnya tubuh mereka. Akan 
tetapi si Nenek Muri Asih telah waspada. Sinar Perak 
yang menyilaukan mata segera terlihat seperti mem-
bungkus tubuhnya. Sementara sinar
Pelangi membumbung ke atas memancarkan 
warna-warni.
Tiba-tiba sinar pelangi itu bagaikan sebuah se-
lendang yang panjang meluncur ke bawah membentuk 
lingkaran yang memutar cepat seperti menggulung. 
Dan saat itu sinar Perak yang membungkus tubuh si 
nenek Muri Asih mendadak membersit ke udara.
Apakah yang terjadi kemudian...?
Tubuh ketujuh makhluk kerdil itu telah terjerat 
menjadi satu. Terbelit oleh selendang warna Pelangi. 
Terlemparlah ketujuh makhluk kerdil yang telah kem-
bali menampakkan diri ke udara, karena dibetot oleh si 
wanita tua itu.
Saat mana dalam keadaan mengapung di udara 
si Nenek Muri Asih telah lancarkan serangan dahsyat 
dengan semburan sinar perak ke arah ketujuh mak-
hluk kerdil yang bergulung menjadi satu... 
BHLAAARRRRR...!
Terdengar ledakan hebat di udara. Asap hitam 
tampak membumbung di bekas ledakan itu. Kedua 
Pendekar yang berada di bawah memandang ke atas 
dengan takjub, juga hati berdebaran. Apakah nanti kelanjutannya dengan pukulan sinar perak yang tepat 
mengenai ketujuh makhluk kerdil itu...? Saat itu den-
gan ringan si nenek Muri Asih telah meluncur turun 
kembali, jejakkan kaki ke tanah dengan tak menim-
bulkan suara.
Asap hitam yang membumbung di udara itu 
mendadak lenyap. Akan tetapi tepat dari bekas le-
nyapnya asap hitam itu telah mengucur turun cairan 
darah, yang begitu menyentuh bumi, sekejapan saja 
terlihat menganak sungainya cairan darah yang ber-
bau busuk.
Terperangah kedua Pendekar itu memandang. 
Sementara sudah terdengar suara si nenek Muri Asih.
"Mereka telah musnah...! Dan sebagian dari ke-
kejian manusia- manusia setan itu telah berhasil kita 
tumpas. Akan tetapi entah apakah aku akan sanggup 
menghadapi si perempuan iblis itu...?"
"Ah, terima kasih atas bantuanmu, Nenek Muri 
Asih...!" berkata kedua pendekar dari Tiga Musafir Hati 
Besi seraya sama-sama menjura.
Pada saat itu...
"Hihihihi... hebat kau Nenek Muri! biarlah si Gi-
ri Mayang itu aku yang akan menghadapi!"
"RORO CENTIL...!" hampir berbareng mereka 
berseru, karena segeralah telah melihat munculnya se-
sosok tubuh wanita muda berparas rupawan. Senjata 
Rantai Genit yang tergantung dipinggang telah dikenali 
oleh kedua Pendekar itu.
"Roro...! sukurlah kau datang...!" berkata nenek 
Muri Asih seraya melompat menghampiri.
"Nona Pendekar Roro Centil, Kami yakin anda 
dapat menumpas perempuan iblis itu! berkata salah 
seorang dari kedua Pendekar itu yang bernama Bonar. 
Sedangkan adiknya adalah Bhimo.
"Ah, kalian Bonar dan Bhimo bukan...?

"Tidak salah! kami adalah si Tiga Musafir Hati 
Besi yang pernah menerima budi anda dua bulan yang 
lalu, namun belum sempat kami ucapkan terimakasih. 
Biarlah hari ini kami sempatkan untuk mengucapkan-
nya!"
"Huss! sudahlah, tak mengucapkan pun tak 
apa-apa, Kemanakah Bhadur..?" bertanya Roro dengan 
mata jelalatan menatap pada empat mayat ponggawa 
Kerajaan menduga kalau-kalau Bhadur telah tewas 
dan ada diantaranya.
"Dia... dia dibawa pergi si Perempuan iblis 
itu...!" menyahut Bonar dengan wajah pucat. Barulah 
dia sadar akan lenyapnya sang kakak. "Hmm...! terce-
nung sejenak Roro Centil. "Kau tak boleh gegabah 
menghadapinya, Roro...! Giri Mayang mempunyai se-
pasang lengan Iblis! Bukan aku meremehkan kepan-
daianmu, tapi kukira dengan berdua kita menempur-
nya mungkin kita bisa membinasakan perempuan iblis 
itu!" berkata Nenek Muri Asih dengan suara lembut. 
Tampaknya wanita tua itu agak mengkhawatirkan Ro-
ro, karena dia sendiri memaklumi betapa berba-
hayanya sepasang Tangan Iblis Giri Mayang. Roro Cen-
til tersenyum menatap wanita tua itu. "Aku hargai 
kekhawatiranmu itu, nenek Muri...! Akan tetapi aku te-
lah berjanji dan bersumpah akan membunuhnya den-
gan tanganku sendiri. Dia telah menantangku untuk 
bertarung! secara kesatria, apakah aku harus berlaku 
pengecut...! ujar Roro dengan mengalihkan tatapannya 
pada mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Giri Mayang telah banyak membuat kejahatan, 
mengumbar nafsu Iblisnya demi memancing muncul-
nya aku pada peristiwa yang lalu. Juga telah memfit-
nahku! Mencemarkan nama baikku...! Pernah pula dia 
berhasil menawanku, yang nyaris membuat nyawaku 
melayang. Untunglah dia tak berniat membunuhku

siang-siang. Karena dia memang mau menyiksaku se-
puas-puasnya. Aku berhasil melepaskan diri dan balas 
menyiksanya! sayang waktu itu aku tak membunuh-
nya mampus! Dia kuampuni jiwanya! Kubiarkan dia 
hidup dalam menderita sebagai balasan atas penyik-
saan yang dilakukan padaku yang walaupun belum 
sempat terjadi aku telah berhasil melepaskan diri dari 
tolokannya.
Tak dinyana dia masih bisa hidup, dan bahkan 
bergabung dengan si Manusia Beracun yang telah di-
peralatnya. Kembali dia membawa bencana..! Kali ini 
bencana lebih besar! Dia telah mempunyai Sepasang 
Tangan Iblis pengganti kedua tangannya yang putus! 
Ayahnya adalah seorang tokoh jahat golongan hitam 
yang pernah melakukan pembantaian di Kuil Istana 
Hijau. Bernama Tun Parera. Akan tetapi dia memper-
gunakan nama palsu, yang aku lupa namanya. Dia te-
was oleh si Tutul...! Dialah si Kelabang Kuning, alias 
Giri Mayang anak dari Tun Parera yang menyimpan 
dendam kesumat terhadapku...!
Oleh sebab itu, perkenankanlah aku membu-
nuhnya dengan tanganku sendiri! sesuai dengan kein-
ginannya untuk bertarung denganku secara kesatria!" 
Tuturkan Roro Centil mengenai siapa adanya Giri 
Mayang itu.
Nenek Muri Asih manggut-manggut yang telah 
mendengarkan penuturan Roro dengan panjang lebar. 
Lalu tampak orang tua itu menghela napas.
Lalu ujarnya kemudian.
"Aku tak bisa menahan kalau memang demi-
kian! akan tetapi berhati-hatilah menghadapinya. Dia 
masih punya seorang guru baru yang bernama Nini 
Lembutung yang tak ku tahu dimana tempat sembu-
nyinya. Dialah yang telah berusaha dengan jerih payah 
untuk memiliki sepasang tangan Iblis demi muridnya

itu...!" tuturkan nenek Muri Asih yang telah menyelidi-
ki dengan kekuatan batinnya yang tinggi, hingga ber-
hasil mengetahui siapa adanya guru perempuan iblis 
itu. Bahkan Nini Lembutung pulalah yang telah mele-
paskan Giri Mayang dari kurungan tembok kabut cip-
taannya dihutan belantara, dalam usahanya menying-
kirkan wanita iblis itu ketempat yang jauh dari manu-
sia.
Pada saat mereka bercakap-cakap itu tiba-tiba 
tersentak Roro Centil melihat sesosok tubuh manusia 
melambung dari balik hutan bambu dihadapannya. 
Cepat sekali Roro melesat untuk segera menangkap 
sebelum tubuh itu jatuh ke bumi. Ketika dibaringkan 
tersentak Roro dan kedua pendekar muda itu, karena 
itulah tubuh Bhadur yang dalam keadaan telanjang 
bulat. Kepalanya terkulai karena tulang lehernya patah 
seperti kena cengkeraman.
"Iblis keji...!" memekik Roro seraya melesat ke 
balik hutan dengan lompatan setinggi lima belas tom-
bak.
Roro Centil jejakkan kakinya ke tanah. Matanya 
menjalar ke beberapa arah untuk memperhatikan se-
kelilingnya. Sunyi senyap. Keheningan mencekam...
"Hihihihi... selamat berjumpa Pendekar Wanita 
yang hebat...!" terdengar suara di belakang Roro tanpa 
terlihat sosok tubuhnya.
Roro Centil cepat balikkan tubuh seraya me-
rapal aji halimunan. Akan tetapi sengaja Roro tak 
membentuk tubuhnya menjadi harimau Tutul.
Segera terlihat siapa dihadapannya.
"Giri Mayang...! saat pertarungan telah tiba! ha-
ri ini kau harus menyudahi perbuatan kejimu! Aku te-
lah siap untuk mengirim nyawa iblismu ke Neraka...! 
membentak Roro dengan suara nyaring.
"Hebat! kau bisa melihatku...?" puji Giri

Mayang dengan tersentak kaget, tapi tetap tenang. 
Keyakinannya untuk bisa menghancurkan musuh be-
sarnya amat tegar, karena dia yakin sepasang tangan 
iblisnya akan mampu mencopot kepala si Pendekar 
wanita Pantai Selatan itu.
"Hihihi... kau kira cuma kau sendiri yang 
punya kesaktian macam begini? Hm, kali ini silahkan 
kau gunakan seluruh kesaktianmu untuk menghadapi 
aku. Roro Centil akan melayaninya...! Dan... jangan 
harap kau dapat menunda lagi kematianmu, perem-
puan setan!"
"Baik! akan tetapi tempat pertarungan kita ter-
lalu sempit!" ujar Giri Mayang dengan wajah merah 
menegang.
"Silahkan kau cari tempat yang luas. Ataukah 
kau mau ajak aku bertarung diliang semut...! aku 
akan melayani!" berkata Roro dengan senyum sinis. 
Tampak ketenangan tetap membayang di wajah sang 
Pendekar kita.
"Baik! baik...! Silahkan ikuti aku...!" berkata Gi-
ri Mayang, seraya melesat bagaikan "terbang" keluar 
dari hutan bambu itu. Roro Centil enjot tubuhnya un-
tuk mengikuti. Dan, bagaikan dua hembusan angin 
lewat, dua sosok-sosok tubuh yang tak terlihat oleh 
mata biasa itu saling berkelebatan meluncur pesat 
meninggalkan tempat itu...
Pertarungan memang tampaknya tak dapat di 
elakkan lagi. Dan satu duel yang amat menegangkan 
pasti akan berlangsung untuk menentukan siapakah 
yang masih bisa hidup mempertahankan nyawanya. 
Juga pada pertarungan itu akan ditentukan apakah 
kebathilan atau kebenaran yang akan bercokol dijagat 
ini. Segalanya memang belum bisa dipastikan.
Nenek Muri Asih saling tatap dengan kedua 
pendekar muda itu.

Mereka cuma mendengar bentakan-bentakan 
dan tantangan yang menegangkan dari balik hutan 
bambu, yang kemudian suara-suara itupun lenyap.
Alam kembali sunyi mencekam. Ketiga manusia 
itu tertegun dalam beberapa saat. Namun akhirnya 
nenek Muri Asih menyadarkan, dengan berkata pela-
han.
"Segala sesuatunya tak dapat lepas dari takdir! 
Kita tak tahu apakah kemenangan ada dipihak Roro 
Centil, ataukah Giri Mayang. Semuanya kita serahkan 
pada Yang Maha Kuasa! Marilah kita kuburkan mayat 
saudaramu itu, sobat-sobat Pendekar muda...! Juga 
empat mayat pengawal itu kita ke bumikan sekalian! 
aku akan membantu kalian menggali lubang...!"
Tersentak kedua dari Tiga Musafir Hati Besi. 
Lalu cepat-cepat menjawab.
"Terima kasih, nenek Muri Asih! kami sudah 
berhutang budi pada anda, biarlah kami yang menggali 
kubur untuk semua mayat yang berada disini...!" ber-
kata Bonar.
Sejenak perempuan tua itu tercenung. Lalu ter-
dengar menghela napas. "Baiklah, kalau begitu...! 
Doa'a-kan saja agar kemenangan ada pada Pendekar 
Wanita kita..!" ujar Nenek Muri Asih.
"Tentu...! tentu, nenek Muri Asih!" menyahut 
keduanya dengan serempak.
Nenek Muri Asih gerakkan lengannya beberapa 
kali ke arah depan.
Terdengarlah suara berdentum beberapa kali 
ketika sinar perak berkelebatan menghantam tanah. 
Debu mengepul, dan tanah menyemburat ke udara.
Ketika abu tebal itu lenyap, terperangah kedua 
pendekar itu melihat dihadapannya telah berjajar lima 
buah lubang yang persis seperti baru digali.
Kedua pendekar jadi saling pandang dengan

keheranan.
"Beliau telah membantu kita menggalikan ku-
buran...!" berkata Bhimo dengan tertegun.
"Benar, adikku... ah, sungguh sakti nenek itu 
juga berhati mulia! Marilah kita kuburkan dulu jena-
zah kakak kita..." ujar Bonar.
Sang adik mengangguk, lalu segera bantu men-
dukung membawa jenazah. Kesedihan tampak mem-
bayang di wajah dua Pendekar muda ini. Akan tetapi 
mereka memang tak dapat menentang takdir seperti 
apa yang diucapkan nenek Muri Asih. Begitu juga den-
gan pertarungan kedua tokoh hitam dan putih itu ke-
lak.
Manusia, ya cuma manusia. Setinggi apapun 
ilmunya tetap di bawah kekuasaan Yang Maha Pencip-
ta.
Langit tampak cerah tak berawan. Cahaya Ma-
tahari membersit terik. Sesekali terhalang sinarnya 
oleh daun-daun bambu yang bergoyang tertiup angin. 
Setelah berdo'a untuk arwah-arwah mereka yang telah 
tiada, kedua. Pendekar Hati Besi meninggalkan tempat 
itu. Meninggalkan lima buah gundukan tanah yang 
masih baru. Mereka telah gugur sebagai pahlawan wa-
laupun cuma dengan sedikit perjuangan. Tapi masih 
punya arti ketimbang matinya seorang berpangkat 
yang meninggalkan nama buruk dimata manusia...



                               TAMAT

Share:

0 comments:

Posting Komentar