..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 15 Maret 2025

JODOH RAJAWALI EPISODE SETAN DARI BIARA

matjenuh khairil

 

SETAN
DARI BIARA
Serial Silat
JODOH RAJAWALI
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode; 
Setan dari Biara
112 hal.

1

KABUT tipis menyapu hutan berpohon 
renggang. Kabut tipis itu merayap setinggi satu be-
tis dari permukaan tanah. Kalau bukan karena 
pagi, kabut itu akan lenyap diserap mentari. Se-
mentara itu, di atas sebongkah batu datar rendah, 
seorang bocah duduk bersila dengan telanjang ba-
ju. Sebagian tubuhnya dirayapi kabut. Tapi ia ti-
dak pedulikan hal itu.
Bocah berusia sekitar sepuluh tahun ini 
berkulit hitam. Matanya terpejam, duduknya bersi-
la. Kepalanya sedikit tertunduk, sehingga sepintas 
kelihatan seperti bocah sedang bertapa. Padahal 
bocah itu terkantuk dan tidur tanpa dengkur.
Tentu saja bocah itu tidak sendirian. Seo-
rang lelaki tua berdiri di belakangnya. Lelaki tua 
itu mempunyai jenggot putih tipis dan agak me-
lengkung ke depan sehingga mirip jenggot kamb-
ing. Tubuhnya kurus, berjubah ungu kusam. Ce-
lananya hitam, tidak mengenakan baju dalam. Ju-
bah berlengan panjang itu tidak dikancingkan ba-
gian depannya, sehingga kulit dada dan perutnya 
tampak berkerut dan bersisik. Lelaki itu memang 
kulitnya bersisik sampai pada bagian lengan dan 
telapak kaki. Di wajahnya yang kempot dengan gigi 
tinggal empat dan tidak teratur letaknya itu, tam-
pak bekas-bekas sisik yang habis dikelupas. Ram-
butnya putih tipis sekali sehingga berkesan botak 
namun tidak selicin gundu.
Lelaki tua itu berulang kali menghentakkan

telapak tangannya ke punggung bocah yang duduk 
bersila dengan celana kotak-kotak papan catur. 
Hempasan tangan lelaki kempot itu tidak pernah 
hasilkan sinar ataupun tenaga apa-apa, sehingga 
semalaman ia bingung mengatasinya.
Kedua jarinya ditekankan pada punggung 
bocah itu, tapi juga tidak menghasilkan tenaga 
yang diharapkan. Lelaki tua itu garuk-garuk kepa-
lanya sambil menggerutu pelan,
"Kok tidak bisa?! Bagaimana caranya me-
nyalurkan ilmuku ke orang lain, ya? Dulu aku bi-
sa, sekarang aku lupa!"
Lelaki tua itu mengulangi lagi beberapa cara 
untuk memindahkan seluruh ilmunya ke tubuh 
bocah berambut cepak itu. Tetapi ia selalu saja 
menemui kegagalan. Itulah sebabnya dari semalam 
sampai sepagi itu ia hanya ah, uh, ah, uh... tanpa 
bisa lakukan jurus menyalur tenaga murninya. 
Rupanya sang bocah yang dari semalam disuruh 
duduk itu akhirnya mengantuk dan tertidur dalam 
keadaan tetap duduk.
"Uh, capek! Istirahat dulu, ah!" Lelaki berju-
bah ungu kusam itu duduk melonjor dengan 
punggung bersandar sebatang pohon. Letaknya 
berhadapan dengan bocah itu, sehingga ia bisa 
pandangi sang bocah dengan mulut bicara sendiri 
pelan-pelan,
"Nasibmu buruk amat, Kukilo. Sudah ham-
pir satu tahun kau berguru denganku, tapi tak sa-
tu jurus pun yang bisa ku salurkan padamu. Pa-
dahal dulu aku punya mantera khusus untuk me-
nyalurkan jurusku ke tubuh seekor monyet atau

orang utan, dan orang utan itu bisa
mainkan jurus-jurusku untuk melawan 
musuh. Tapi sekarang mantera itu tidak bisa 
kuingat lagi. Gerakan napas dan urat pun telah ku 
lupa. O, Gusti...! Kenapa baru setua ini aku sudah 
pikun dan lupa segala-galanya. Cuma makan yang 
tidak ku lupa, barangkali!"
Bocah itu ternyata bernama Kukilo, artinya 
burung. Ia bertemu dengan lelaki jubah ungu itu 
kira-kira satu tahun yang lalu, ketika terjadi banjir 
di sungai Cindelaras yang membuat bocah itu ter-
sangkut di atas sebuah pohon. Lelaki jubah ungu 
itu semula ingin mencari sarang burung untuk di-
ambil telurnya, tetapi yang ia peroleh malah seo-
rang bocah yang tak diketahui namanya. Sebab 
itu, jubah ungu menamakan bocah tersebut: Kuki-
lo.
Tetapi sejak satu tahun ikut lelaki jubah 
ungu, bocah itu tidak mewarisi ilmu silatnya sedi-
kit pun. Pelajaran silat tangan kosong saja tidak 
bisa diturunkan oleh si jubah ungu karena bocah 
itu tidak mudah mengingat gerakan-gerakan jurus 
tangan kosong. Sementara itu, lelaki berjubah un-
gu itu masih bertekad ingin menurunkan ilmunya 
kepada bocah tersebut. Sebab setua itu usianya, 
lelaki jubah ungu belum pernah mempunyai mu-
rid. Anehnya tidak ada orang yang mau menjadi 
murid lelaki jubah ungu itu. Ketika ia temukan 
Kukilo, dan Kukilo mau menjadi muridnya, maka 
lelaki jubah ungu itu amat girang dan tak mau me-
lepaskan Kukilo.
Menurut lelaki jubah ungu, sebenarnya bo

cah itu bukan bocah bodoh. Bukan karena sema-
ta-mata tak bisa mengingat gerakan silat, tapi bo-
cah itu tak mau berlatih dan tak mau lelah. Kare-
na lelaki jubah ungu ingat kata-kata bocah itu per-
tama dikenalnya,
"Aku mau jadi muridmu, Kek. Tapi aku ti-
dak mau capek. Aku mau menerima ilmu-ilmumu 
secara cepat, tidak pakai lompat sana-lompat sini 
yang melelahkan."
"O, itu gampang. Jangan khawatir. Aku 
akan jadikan kau muridku tanpa berlatih. Cukup 
dengan menyalurkan tenaga dalamku dan tenaga 
inti murni, kau sudah akan bisa mewarisi ilmu-
ilmuku, Nak! Tapi... yah, buat pemanasan kamu 
mesti latihan kuda-kuda dan pukulan-pukulan 
tangan kosong. Habis itu baru ku salurkan tena-
gaku ke tubuhmu!"
Ternyata sampai sekarang bocah itu malas-
malasan jika disuruh berlatih tangan kosong. 
Bahkan sampai sekarang lelaki jubah ungu belum 
bisa salurkan tenaganya ke dalam tubuh Kukilo. 
Sampai akhirnya bocah berkulit hitam itu bangun 
dari tidurnya, dan ia mendapatkan orang yang di-
panggil: Guru itu, sedang duduk melonjor di de-
pannya. Ketika bocah itu membuka mata, sang 
guru nyengir sambil tetap berada di tempatnya.
"Bagaimana, Guru? Sudah berhasil?" tanya 
Kukilo.
"Belum," jawabnya dengan lesu. "Aku masih 
lupa manteranya, Nak."
"Uuh...! Jadi Guru kok lupa mantera?" bo-
cah itu bersungut-sungut, tapi Jubah ungu itu

hanya cengar-cengir saja sambil garuk-garuk ke-
pala. Kukilo dibiarkan turun dari atas batu, dan 
mengencangkan urat-uratnya sebentar sambil 
menguap. Lalu, bocah itu mengenakan rompinya 
yang bercorak kotak-kotak putih hitam.
"Aku mau pergi saja, Guru!"
"Eh, mau pergi ke mana?!" jubah ungu ka-
get dan segera berdiri.
"Aku mau cari guru lain saja." "Jangan begi-
tulah...!" lelaki jubah ungu itu merayu sambil de-
kati Kukilo, memegangi pundaknya. "Sabarlah,
kuingat-ingat dulu caranya. Maklumlah, 
usiaku sudah lewat dari seratus lima puluh tahun, 
jadi sudah pikun."
"Habis, sudah cukup lama aku jadi murid-
mu, tapi tak bisa apa-apa. Lalu untuk apa aku 
ikut kau ke mana-mana? Cuma nonton orang ta-
rung saja? Kalau cuma nonton orang tarung, tak 
usah ikut kau aku sudah bisa cari sendiri, Guru!"
"Iya. Maaf, ya...?!" lelaki jubah ungu itu me-
nunduk. Keadaannya menjadi terbalik. Kini sang 
murid yang ngomel dan marah-marah kepada gu-
runya, sedangkan sang guru mendengarkan den-
gan sikap takut. Bocah itu memang sering berla-
gak tua, karena ia memang pandai bicara. Akibat-
nya yang tua menjadi seperti muridnya, yang mu-
da menjadi seperti gurunya.
"Kuberi waktu sampai satu bulan lagi. 
Guru! Kalau sampai satu bulan aku masih belum 
bisa apa-apa, aku keluar dari perguruanmu dan 
tidak mau menjadi murid mu lagi!"
"Iya, iya...! Aku mengerti."

"Percuma kau menjadi guru dan berjuluk 
Dewa Nujum kalau memindahkan ilmu saja tak 
bisa."
"Eh, sekarang julukanku bukan Dewa Nu-
jum lagi. Sudah banyak tokoh persilatan yang 
menggunakan nama julukan Dewa."
"Jadi, Guru mau pakai julukan apa?"
"Julukanku sudah lama diganti menjadi 
Wong Sakti. Sudah sepuluh tahun lebih penggan-
tian itu. Apa kau belum dengar, Nak?"
"Lha aku ikut Guru saja baru setahun!"
"O, iya...!" jubah ungu yang mengaku berju-
luk Wong Sakti itu cengar-cengir menampakkan 
giginya yang tinggal gusi dan empat gigi keropos 
itu.
"Sekarang begini saja," kata Wong Sakti, 
"Ada sebuah pisau Pusaka Hantu Jagal yang ber-
nama... yang bernama...."
"Namanya ya Pusaka Hantu Jagal itu!"
"O, iya...!" Wong Sakti garuk-garuk kepala 
sambil nyengir. "Nah, Pusaka Hantu Jagal itu bisa 
memindahkan ilmu jika ditikamkan ke tubuh 
orang berilmu. Jadi kalau kau pegang pisau itu, la-
lu menikamkan pisau itu ke tubuhku, maka ilmu-
ku akan mengalir dan pindah ke tubuhmu. Aku 
menjadi orang yang tidak punya ilmu lagi, kamu 
menjadi orang yang punya banyak ilmu!"
"Di mana kita bisa dapatkan pisau pusaka 
itu?"
"Kabar yang kudengar belakangan ini, pisau 
pusaka itu ada di tangan seseorang yang bernama 
Tua Usil, Nak."

"Lalu, setelah kita bisa peroleh ilmu itu ba-
gaimana?"
"Kau harus mau membunuhku dengan pi-
sau itu. Kalau kau tidak mau membunuhku, kau 
tidak akan dapatkan ilmu itu!"
"Nanti kau mati, Guru?"
"O, iya, ya...?!" Wong Sakti nyengir sambil 
garuk-garuk kepala. Sambungnya lagi, "Tapi tak 
apa aku mati, usiaku toh sudah banyak. Aku su-
dah puas menikmati hidup dengan segala kesak-
tianku. Aku memang sudah bosan hidup dan ingin 
mati. Maka, kau harus mau membunuhku dengan 
pisau itu. Bagaimana? Kau setuju dengan perjan-
jian ini, Kukilo muridku?!"
Bocah itu diam berpikir beberapa saat, sete-
lah itu berkata, "Kalau memang perjanjian itu ti-
dak memberatkan Guru, aku bersedia memenuhi 
perjanjian itu, Guru!"
"Bagus! Bagus! He he he he...!" Wong Sakti 
girang. "Kalau begitu, kita cari Tua Usil, kita pin-
jam pisaunya, lalu kau tusukkan di dadaku ini! 
Setuju?"
"Setuju!"
"Bagus!" Wong Sakti mengajak bersalaman 
muridnya. Setelah itu, guru dan murid yang ku-
rang beres itu segera pergi mencari Tua Usil.
* * *
Pada sebuah kaki bukit yang tak jauh dari 
tempat Wong Agung dan Kukilo berada, terlihat 
sekelebat gerakan berwarna merah yang meluncur

turun dari atas pohon dan menendang punggung 
seorang wanita berpakaian jingga. Tetapi karena 
wanita cantik berpakaian jingga itu membawa see-
kor burung beo di pundaknya, maka sang beo pun 
berseru sambil terbang,
"Awas, maliiing...! Maliiing...!"
Itulah isyarat datangnya bahaya dari bela-
kang yang menjadi kebiasaan wanita berpakaian 
jingga itu. Maka dengan cepat wanita itu berbalik 
dengan tangannya berkelebat cepat. Plaakkk...! 
Tendangan orang yang turun dari pohon itu ber-
hasil ditangkis dan dikibaskan ke samping. Lalu 
wanita berpakaian jingga itu sentakkan kakinya ke 
depan dan mengenai punggung orang berpakaian 
merah. Buuhg...! Wuuusst...! Bruuhg...! Orang 
berpakaian merah jatuh terpelanting.
Wanita berpakaian jingga itu tak lain adalah 
Lintang Ayu yang sedang dalam perjalanan menca-
ri seorang tabib untuk mengobati sakit gurunya. 
Sedangnya penyerangnya yang berpakaian merah 
itu seorang gadis yang berusia lebih muda dari 
Lintang Ayu. Karenanya, pandangan mata Lintang 
Ayu sedikit menyipit karena tidak begitu mengenali 
gadis muda berpakaian merah itu.
"Mengapa kau menyerangku? Siapa kau se-
benarnya?" tegur Lintang Ayu dengan nada dingin.
"Aku adik dari Gadis Linglung yang kau bu-
nuh beberapa waktu yang lalu. Namaku Yayi. Aku 
mau tuntut balas atas kematian kakakku!"
"Gadis Linglung...? Mmh...! Yang waktu itu 
menyamar menjadi Lili?" Lintang Ayu segera ingat 
tentang seorang gadis yang menyamar sebagai

Pendekar Rajawali Putih dan bikin onar ke mana-
mana, sampai melibatkan kematian adik Lintang 
Ayu. (Lebih jelasnya, baca serial Jodoh Rajawali 
dalam episode: "Geger Perawan Siluman").
"Kakakmu bersalah dan layak dihukum ma-
ti!" kata Lintang Ayu.
"Kau pun harus menerima pembalasan yang 
setimpal. Heaaah...!"
Buuhg...! Tiba-tiba Lintang Ayu bergerak 
menghantamkan pukulan jarak jauhnya tanpa si-
nar. Pukulan itu menghantam telak di dada Yayi 
sebelum Yayi bergerak melakukan satu lompatan. 
Dan hal itu membuat Yayi terpental jauh dan ter-
guling-guling. Ia terkapar di bawah rumpun bam-
bu dengan mulut keluarkan darah segar.
Pada waktu Itu Lintang Ayu kembali kirim-
kan pukulan bersinar hijau yang cukup berba-
haya, karena ia takut lawannya mendului dengan 
serangan jarak jauhnya. Claap...! Sinar hijau mele-
sat dan menghantam Yayi.
Namun dalam kejap berikutnya, sesosok 
bayangan coklat putih berkelebat menyambar tu-
buh Yayi dengan cepatnya. Wuuuttt...!
Bayangan coklat putih itu naik ke atas po-
hon dan diam di sana. Lintang Ayu sedikit terkejut 
memandang ke atas pohon. Ternyata di sana su-
dah berdiri sesosok pemuda tampan yang meng-
gendong tubuh Yayi dengan satu tangan. Pemuda 
itu tak lain adalah Yoga, si Pendekar Rajawali Me-
rah, murid angkat Lili; si Pendekar Rajawali Putih. 
Lintang Ayu pun tahu. Yoga bukan saja murid 
angkat Lili, melainkan juga kekasih si Pendekar

Rajawali Putih itu.
Wuuusss...! Yoga segera turun dari atas po-
hon setelah melihat Lintang Ayu mengendurkan 
ketegangan wajahnya, kurangi kemarahannya. 
Yayi pun diletakkan oleh Yoga di rerumputan yang 
jauh dari pepohonan bambu, sebab pepohonan 
bambu itu sudah terbakar dan tinggal sisa arang 
kepulkan asap akibat terhantam sinar hijaunya 
Lintang Ayu.
"Mengapa kau menyelamatkan gadis itu. 
Yoga?!"
"Dia bukan lawanmu! Tidak kau serang lagi 
pun ia akan mati. Lihat saja wajahnya yang pucat 
itu. Hanya dengan pukulan seringan itu ia sudah 
celaka, apalagi dengan pukulan dahsyat mu."
Lintang Ayu tarik napas dalam-dalam, keli-
hatan menyesal atas tindakannya tadi. Ia tidak ta-
hu kalau Yayi gadis berilmu rendah. Ia sudah le-
paskan pukulan yang di luar takaran lawan. Seha-
rusnya itu tak perlu terjadi, ia tak perlu menye-
rang.
"Dia adiknya Gadis Linglung. Kupikir ia sa-
ma tinggi ilmunya dengan Gadis Linglung."
Yoga segera lakukan penyembuhan terha-
dap diri Yayi. Beberapa saat kemudian, Yayi si-
uman dari pingsannya. Ia segera merasakan segar 
kembali tubuhnya. Tapi segera terperanjat melihat 
pemuda tampan ada di sampingnya.
"Kau... kaukah yang menolongku?"
"Ya," jawab Yoga sambil sunggingkan se-
nyum kepada Yayi. "Sekarang ku ingatkan agar 
kau pulang dan jangan melawan Lintang Ayu. Kau

belum sebanding dengannya. Jika kau melawan-
nya, kau bisa kehilangan masa hidupmu, dan aku 
tak mau obati kamu lagi."
"Tapi... dia membunuh kakakku; Gadis Lin-
glung."
"Kakakmu memang bersalah. Jangan mem-
bela orang bersalah kalau kau ingin menegakkan 
kebenaran dan keadilan," tutur Yoga cukup me-
nimbulkan kesan wibawa di mata Yayi. Tambah 
Yoga lagi,
"Pergilah sana, dan jangan bikin perkara 
dengan dia!" sambut Yoga melirik Lintang Ayu. 
"Jangankan dirimu, dewa yang baru saja turun da-
ri kayangan tari terbirit-birit oleh kesaktiannya."
Yayi memandang Lintang Ayu sebentar, se-
telah itu cepat berlari tinggalkan tempat itu. Pen-
dekar Rajawali Merah tertawa kecil melihat Lintang 
Ayu sunggingkan senyum tipisnya. Kemudian, Lin-
tang Ayu perdengarkan suaranya yang bernada 
wibawa.
"Kau terlalu berlebihan memujiku. Mana 
ada dewa lari terbirit-birit melawanku? Kau pikir 
aku ini neneknya dewa?!"
Yoga tertawa geli, lalu berkata, "Sekadar 
memberikan peringatan kepada Yayi agar tak me-
neruskan permusuhan denganmu!"
"Ya, tapi tak perlu berlebihan begitu. Ilmuku 
masih belum seberapa dibandingkan ilmumu, Yo-
ga!"
Yoga sengaja maju dekati Lintang Ayu. Hati 
perempuan cantik itu diam-diam berdebar tak ada 
ujung pangkalnya. Tapi ia pandai sembunyikan

perasaan itu, sehingga kelihatan tetap tenang.
"Kalau ilmumu lebih rendah dariku," kata 
Yoga. "Sudah kutundukkan dirimu! Nyatanya toh 
sampai sekarang aku tidak bisa tundukkan diri-
mu, Lintang Ayu."
"Kalau kau mau, aku akan tunduk padamu 
sekarang juga," jawabnya sambil menatap wajah 
tampan Pendekar Rajawali Merah itu. Kata-kata 
tersebut pun membuat Yoga tertawa geli, walau ti-
dak terbahak-bahak dan nyaris tanpa suara. Tapi 
tawa di bibir Yoga itu menjadi pusat perhatian Lin-
tang Ayu dan jantung Lintang Ayu semakin berde-
tak kuat.
Pada saat itu, selembar daun jatuh dari po-
hon dan melayang-layang hendak jatuh di pundak 
Lintang Ayu. Tiba-tiba Yoga punya firasat aneh 
yang membuat tangannya berkelebat cepat mena-
rik lengan Lintang Ayu, sehingga gadis cantik ber-
wibawa itu menabrak tubuh Yoga dan secara tak 
sengaja memeluk pundak Yoga sebagai pegangan. 
Bruus...!
Siiirrr...! Hati Lintang Ayu berdesir indah, 
hingga detak jantungnya kian bertambah cepat. 
Tapi ia berlagak sewot dan berkata,
"Apa-apaan kau ini?!"
Yoga tidak menjawab, namun memandangi 
gerakan daun yang jatuh ke tanah. Tiba-tiba begi-
tu menyentuh tanah, seberkas sinar merah me-
nyembur naik, memercikkan bunga-bunga api. 
Daarrr...! Suaranya cukup mengagetkan walau tak 
tergolong keras. Suara itu membuat Lintang Ayu 
dan Yoga saling lompat ke belakang.

"Daun apa itu?" gumam Lintang Ayu sambil 
terperangah heran. la sama sekali tak menyangka 
daun itu nyaris memotong pundaknya.
"Itulah sebabnya kutarik tanganmu. Jangan 
marah dulu padaku," kata Yoga. Kemudian kedu-
anya segera memandang sekeliling memeriksa 
keadaan berbahaya yang jelas sedang mengancam 
keselamatan mereka.
Seseorang berilmu tinggi sedang menyerang 
kita secara diam-diam," kata Yoga setengah berbi-
sik.
Angin pun berhembus mengguncangkan 
pepohonan. Hembusan itu semilir teduh melena-
kan mata membuat kantuk. Yoga segera berkata,
"Lawan dengan tenaga dalammu, Lintang 
Ayu. Dia menghembuskan angin yang akan mem-
buat kita tertidur!"
Lintang Ayu segera menahan napasnya be-
berapa saat, kemudian mengeluarkan pelan-pelan. 
Kedua tangannya menggenggam, itu pertanda Lin-
tang Ayu sedang melawan kekuatan yang mem-
buatnya ingin tertidur nyenyak. Yoga pun melaku-
kan hal serupa hanya beda caranya. Yoga diam 
berdiri dengan mata melirik ke sana-sini, tapi ibu 
jari tangan kanannya dilipat dan digenggam kuat-
kuat.
Hembusan angin mereda. Hawa kantuk pun 
hilang, tetapi dedaunan segera gugur sedikit demi 
sedikit dan beterbangan ke sana-sini. Mereka te-
ringat daun yang nyaris memotong pundak Lin-
tang Ayu itu. Maka serta-merta mereka berlompa-
tan hindari daun-daun itu agar jangan sampai ter

sentuh tubuh mereka.
Ketika dua-tiga daun jatuh ke tanah tanpa 
timbulkan ledakan kecil seperti tadi, Lintang Ayu 
hempaskan napas leganya, demikian pula Yoga. 
Karena mereka tahu bahwa daun yang runtuh be-
terbangan itu adalah daun biasa yang tidak mem-
punyai kekuatan tenaga dalam seperti tadi. Na-
mun dalam hati mereka bertanya-tanya, siapa pe-
nyerang berilmu tinggi itu? Sebab daun yang dis-
angkanya daun biasa itu, ternyata beberapa kejap 
setelah tergeletak di tanah berubah bentuknya 
menjadi busuk dan berbelatung menjijikkan. Tiap 
satu helai daun selebar telinga itu mempunyai ra-
tusan belatung yang saling menggeliat berjubel.
*
* *
2


SUARA tawa terkekeh-kekeh berat terden-
gar di belakang Yoga dan Lintang Ayu. Secepatnya 
kedua orang itu berpaling memandang ke arah da-
tangnya suara tawa itu. Mereka sama-sama terke-
siap dan memandang heran terhadap kemunculan 
seorang lelaki tua kempot dengan mengenakan ju-
bah ungu. Orang itu bersama anak kecil yang be-
rompi kotak-kotak menyerupai papan catur.
"Apakah kau mengenal dia?" tanya Yoga ke-
pada Lintang Ayu.
"Sepertinya pernah kulihat beberapa puluh
tahun yang lalu, tapi aku lupa siapa dia," jawab 
Lintang Ayu bernada bisik.
"Tidak usah berbisik-bisik, Nona Manis," ka-
ta Wong Sakti, "Aku mendengar suaramu sekali 
pun kau berdiri di puncak gunung sebelah sana 
itu!" Wong Sakti menuding ke arah selatan.
"Beritahukan siapa namamu, Guru!" perin-
tah Kukilo berlagak tua. Gurunya menurut saja, 
dan segera berkata,
"O, iya...! Nona manis, mungkin kau me-
mang pernah melihatku, tapi pada waktu itu, 
mungkin kau masih kecil, atau belum lahir dari 
perut ibumu, jadi...."
Kukilo memotong pembicaraan dengan me-
nepuk pantat gurunya, "Kalau belum lahir mana 
bisa melihat mu. Guru!"
"O, iya!" kemudian ia berkata kepada Lin-
tang Ayu. "Jujur saja karena aku memang orang 
jujur, namaku adalah Wong Sakti. Kalau dulu na-
maku Dewa Nujum, tapi karena sudah banyak 
orang yang memakai nama Dewa, maka kuhapus 
julukan itu. Sekarang julukanku Wong Sakti!"
"Kurasa dialah tokoh sakti yang unjuk ke-
saktiannya menggunakan daun-daun tadi, Lintang 
Ayu," bisik Pendekar Rajawali Merah.
"Eeeh... jangan bisik-bisik, Cah Bagus! Ka-
lau tak salah kaulah yang bernama Yoga dan ber-
gelar Pendekar Rajawali Merah; murid dari Empu 
Dirgantara yang punya julukan si Dewa Geledek! 
Benarkah itu?"
"Dari mana kau tahu namaku, Wong Sak-
ti?!" "O, aku ahli nujum. Jago tebak tepat! He he he..." Wong Sakti terkekeh-kekeh sambil garuk-
garuk kepala. "Dan Nona cantik ini pasti yang ber-
nama Lintang Ayu, putri Adipati Windunegara, 
murid dari si Jubah Peri!" "Bagaimana kau bisa 
tahu namaku, Wong Sakti?" "Lhaaa... tadi aku su-
dah bilang; aku ini ahli nujum, jago tebak tepat! 
Kalau soal begitu, ooh... keciill, Nak! Kecil sekali!" 
Wong Sakti sedikit mencibir sombong.
Kukilo berbisik kepada gurunya, "Guru, 
wanita itu. cantik."
"Ssst...! Kamu masih bocah, tak boleh bica-
ra soal kecantikan wanita. Karena kecantikan wa-
nita itu hanya boleh dibicarakan oleh yang dewasa 
saja. Jadi...."
"Jangan melantur. Guru! Tanyakan saja 
tentang si Tua Usil itu!"
"O, iya...!" Wong Sakti tersenyum dengan 
bibir bagaikan mau ditelan ke mulut karena kem-
potnya. Pendekar Rajawali Merah dan Lintang Ayu, 
sekiranya kalian berkenan hati maukah kalian 
menolongku? Jika kalian mau menolongku, maka 
aku pun akan menolong kalian. Sebab aku tahu, 
masing-masing dari kalian punya kesulitan sendi-
ri-sendiri. Lintang Ayu punya guru sedang sakit, 
bukan?"
"Benar. Dari mana kau tahu?"
"Tanya lagi...?!" Wong Sakti bersungut-
sungut. "Tadi sudah kukatakan, aku ini ahli nu-
jum dan jago tebak tepat. Apakah tebakanku itu 
kurang tepat, Lintang Ayu?"
"Ya. Cukup tepat. Lalu, apalagi yang kau 
ketahui tentang kami!"

"Tak berapa lama akan ada sesuatu yang 
meraba kepala Yoga!"
"Apa maksudmu?" sahut Yoga. "Begini, ka-
lau aku...."
Pluk...! Tiba-tiba seekor burung lewat mem-
bawa ranting untuk sarangnya. Ranting itu jatuh 
dan mengenai kepala Yoga.
"Nah, apa kubilang. Ada yang meraba kepa-
lamu, bukan?"
Yoga memungut ranting itu, memandang 
burung yang sedang terbang menjauh, lalu me-
mandang Lintang Ayu dan berkata, "Suatu kebetu-
lan saja."
"Kurasa begitu."
"Eit... itu bukan suatu kebetulan, tapi se-
buah ramalan yang tepat pada sasaran dan kuli-
hat sebelum hal itu
terjadi, Yoga. Malahan kukatakan kepada-
mu, Lintang Ayu, kau akan melompat dan meme-
luk Yoga karena sesuatu sedang melanda mu, No-
na Manis."
Lintang Ayu dan Yoga saling berpandangan. 
Kemudian Lintang Ayu berkata, "Tolong hadapi 
dia, aku mau pergi. Ada yang perlu kuselesaikan 
dan kuurus ketimbang dia!"
"Baiklah. Tapi...."
"Aaow...!" Lintang Ayu melompat dan tak 
sengaja memeluk Yoga karena kagetnya. Ada see-
kor kupu-kupu terbang dan hampir hinggap di ka-
ki Lintang Ayu. Yoga tidak tahu kalau Lintang Ayu 
sangat takut kepada binatang kupu-kupu. Rasa 
takut dan jijik terhadap binatang. kupu-kupu itu

sudah sejak kecil dimiliki. Sampai sekarang masih 
pula dimiliki.
"Maaf...!" kata Lintang Ayu dengan rasa ma-
lu, wajahnya semburat merah dan ia buru-buru 
merenggangkan jarak dari tubuh Yoga yang hanya 
tertawa geli melihat Lintang Ayu takut dengan ku-
pu-kupu.
"Naaah... tepat pula tebakanku, bukan? Lin-
tang Ayu akan melompat. Memeluk Yoga karena 
takut. Lintang. Ayu malu, karena hatinya berdebar 
indah saat sadar memeluk Yoga. Yoga sendiri me-
rasa deg-degan, takut ketagihan dipeluk Lintang 
Ayu. He he he he...! Lintang Ayu sendiri mengha-
rap kesempatan seperti itu ada. Karena itu...."
"Cukup!" bentak Lintang Ayu. Wong Sakti 
meneruskan,
"Karena itu, cukup!"
Kukilo mengejar kupu-kupu itu dan Wong 
Sakti membiarkannya. Lalu, Wong Sakti pun ber-
kata,
"Menurut ramalanku, kalian ini sebetulnya 
saling jodoh! Jadi Lintang Ayu tak perlu malu jika 
memeluk Yoga dan Yoga tidak perlu takut ketagi-
han. Sebab..."
"Tunggu. Jaga bicaramu, Wong Sakti! Apa 
maksud mu mengatakan kami saling jodoh?" kata 
Yoga sedikit tegang.
"Dewata telah menggariskan bahwa jodoh-
mu adalah Lintang Ayu!"
Lintang Ayu membantah dengan hati deg-
degan, "Tidak mungkin! Menurutku jodohnya Yoga 
adalah Lili! Karena dia memang kekasih Lili; si

Pendekar Rajawali Putih itu!"
"O, perempuan cantik yang bernama Lili itu 
bukan jodohnya Yoga, tapi jodohnya seorang pe-
muda tampan lain."
"Siapa maksudmu?!" sergah Yoga bertam-
bah tegang.
"Dewata menggariskan bahwa gadis berna-
ma Lili itu mempunyai jodoh seorang pemuda 
tampan yang bernama Pandu Tawa!"
"Bohong!" Yoga membentak karena cemas.
"Lhooo... aku ini ahli nujum dan jago tebak 
tepat! Kalau kubilang kau jodohnya Lintang Ayu, 
ya memang benar. Kalau tidak percaya, coba tela-
pak tangan kalian saling dirapatkan. Diukur dari 
pergelangan tangan sampai ke jari tengah. Ting-
ginya akan sama, jika mekar juga lebarnya akan 
sama. Cobalah kalau kalian tak percaya!"
Karena penasaran, Lintang Ayu dan Yoga 
segera mengukur telapak tangan mereka. Kedua 
telapak tangan itu saling dikembangkan dan di-
tempelkan. Ternyata ukurannya sama persis, dari 
ujung jari paling tinggi sampai pergelangan tan-
gan, sama semua. Pas.
Lintang Ayu dan Yoga sama-sama terbelalak 
kaget dan semakin kelihatan tegang. Pada saat itu, 
Wong Sakti hanya terkekeh-kekeh sambil garuk-
garuk kepalanya. Lalu, ia berkata lagi,
"Kalau masih tidak percaya, coba kalian 
ukur, panjang lengan dari telapak tangan sampai 
siku kalian, pas! Tidak lebih, tidak kurang!"
Mereka berdua kembali penasaran, namun 
juga kembali terkejut. Ukuran lengan sampai pergelangan tangan mereka ternyata memang sama 
panjang. Ini membuat Lintang Ayu merasakan de-
nyut jantungnya menjadi lebih cepat alias berde-
bar-debar. Terdengar pula suara Yoga berkata da-
lam gumam,
"Benarkah kita saling berjodohan?"
"Jangan percaya ramalan dia!" Wong Sakti 
berkata lagi, "Kalau masih juga belum percaya 
bahwa kalian adalah berjodohan, ukurlah lebar bi-
bir kalian pasti pas! Sama lebar, sama panjang, 
dan sama tebalnya."
Penasaran sekali Yoga, maka ia menghadap 
Lintang Ayu. Tapi Lintang Ayu segera sadar ketika 
mereka masing-masing ingin menempelkan bibir 
untuk diukur lebar dan ketebalannya. Lintang Ayu 
cepat tarik diri dan berkata,
"Jangan, Yoga. Berbahaya bagi hatiku!"
"Ya. Maaf, hampir saja aku terpancing oleh 
omongannya!" kata Yoga menjadi malu sendiri. 
Wong Sakti hanya tertawa terkekeh-kekeh melihat 
mereka nyaris terjebak.
"Apa maksudmu menemui kami, Wong Sak-
ti? Hendak mengacau kami?!" Lintang Ayu berkata 
tegas.
"Jujur saja, aku mencari Tua Usil. Di mana 
dia?"
"Bukankah kamu orang sakti, bisa meramal 
ini-itu, tapi mengapa tidak bisa mengetahui di ma-
na Tua Usil?" kata Lintang Ayu.
"Sebab Tua Usil membawa pisau Pusaka 
Hantu Jagal. Dan itu membuatku tak bisa menge-
tahui di mana dia berada. Kurasa Pendekar Raja


wali Merah mengetahui di mana dia!"
"Untuk apa kalau kau sudah tahu di mana 
Tua Usil?" tanya Yoga.
"Aku membutuhkan pisau pusaka yang di-
bawanya."
"Untuk apa?" desak Yoga. "Kau tidak berhak 
memilikinya."
"Aku hanya ingin meminjamnya."
"Mengapa kau ingin meminjamnya?" Yoga 
kembali bertanya mendesak.
"Supaya muridku bisa membunuhku!"
"Aneh...?!" gumam Lintang Ayu.
"Aku ingin salurkan semua ilmuku kepada 
Kukilo, bocah yang... ke mana tadi itu anak?!" 
Wong Sakti mencari-cari Kukilo yang mengejar ku-
pu-kupu. Lalu ia berkata,
"Aku lupa manteranya untuk bisa memin-
dahkan ilmuku ke raga muridku itu. Sudah lama 
kucoba dan kulakukan tapi selalu gagal. Lalu aku 
ingat tentang kehebatan Pusaka Hantu Jagal itu. 
Kudengar dari puncak gunung, pusaka itu dipere-
butkan dari tangan Tua Usil. Jadi aku ingin me-
minjamnya, lalu muridku kusuruh membunuhku, 
supaya ilmuku mengalir semua ke dalam raganya! 
Kalau sudah begitu aku akan tenang dan lega. Se-
tidaknya kalau terjadi sesuatu padaku, aku bisa 
dibela oleh muridku!"
"Kalau kau ditikam dengan pisau itu berarti 
kau mati!" sahut Lintang Ayu. Maka Wong Sakti 
pun menjawab,
"Tidak apa-apa. Yang penting ilmuku sudah 
bisa masuk dan menjadi milik Kukilo. Aku sendiri

sudah bosan hidup. Terlalu lelah menahan ke-
rangka tubuhku dalam usia setua ini,"
Lintang Ayu memandang Pendekar Rajawali 
Merah. Pendekar tampan itu diam saja. Lalu, 
Wong Sakti berkata,
"Jadi kumohon Yoga mau tunjukkan di ma-
na aku bisa temukan Tua Usil itu!"
"Sekali pun seandainya aku tahu di mana 
dia, aku tidak akan mengatakannya. Karena niat-
mu itu sama saja mendidik muridmu untuk men-
jadi seorang pembunuh, apa pun alasanmu, Wong 
Sakti!"
"Lho... kalau begitu kau ingin kupaksa su-
paya mau menunjukkan di mana Tua Usil berada? 
Aku tahu dia pelayanmu, karena aku dengar per-
cakapan kalian dari ujung gunung sana!"
"Jangan memancing kekerasan dengan dia, 
Wong Sakti!" Lintang Ayu mengingatkan. Tapi 
Wong Sakti hanya terkekeh-kekeh dan berkata,
"Justru aku ingin gunakan kekerasan jika 
kalian tak mau bantu aku! Kalian boleh maju ber-
dua kok! Silakan saja...!"
Lintang Ayu dan Pendekar Rajawali Merah 
hanya diam berdiri bersebelahan dalam jarak dua 
langkah. Sementara itu, Wong Sakti berdiri dalam 
jarak lima langkah dari depan mereka sambil cen-
gar-cengir memamerkan gusinya.
Tiba-tiba Lintang Ayu mengawali serangan-
nya dengan kibasan jemarinya yang memercikkan 
lima larik sinar hijau berkelok-kelok. Clap! Dalam 
jarak kurang dari dua langkah, lima larik sinar 
yang mengarah ke tubuh Wong Sakti itu bergerak

turun ke bumi dengan tajamnya.
Jluuub..! Blaaarrr...!
Tanah meledak, menyembur lebar ke arah 
Yoga dan Lintang Ayu. Keduanya cepat-cepat me-
lompat dalam gerakan bersalto ke belakang. Jika 
tidak begitu, mereka akan terkena semburan ta-
nah yang langsung membara merah panas.
Lintang Ayu berbisik kepada Yoga, "Dia ti-
dak bisa ditembus serangan kita! Lapisan tenaga 
dalamnya cukup kuat dan tebal."
"Akan kucoba dengan jurus 'Sinar Bun-
tung'-ku!"
Tangan buntung yang terbungkus kain baju 
itu segera disodokkan ke arah lawan ketika Yoga 
melompat dengan sentakan badan kirinya. 
Claap...! Tangan buntung itu keluarkan selarik si-
nar merah yang mengarah ke tubuh Wong Sakti. 
Sinar itu biasanya mampu memecahkan bongka-
han batu sebesar apa pun menjadi serbuk lembut. 
Tetapi kali ini agaknya sinar merah tak mampu 
mengenai tubuh Wong Sakti.
Dengan sikap diam saja dan hanya cengar-
cengir memandang tajam ke arah lawan, Wong 
Sakti sentakkan napasnya melalui hidung, dan si-
nar merah itu meledak di pertengahan jarak, me-
nyala lebar sinarnya bagai gelombang dahsyat 
yang menghentak balik. Akibatnya, Pendekar Ra-
jawali Merah terjungkal ke belakang dan Lintang 
Ayu terbanting ke samping bagaikan dihempas to-
pan berkekuatan besar.
"He he he...! Ayo, pilih salah satu, mau to-
long aku atau mau kuhancurkan, Anak-anak ma

nis!" kata Wong Sakti sambil berjalan santai men-
dekati Yoga.
"Mundur, Yoga! Biar kuselesaikan dengan 
pedang ku!" kata Lintang Ayu sambil mencabut 
pedangnya. Srettt...! Tapi tangan Yoga segera 
memberi isyarat dan berkata,
"Jangan, Lintang Ayu! Jangan dengan pe-
dang! Mungkin itu pun tak akan mampu mem-
buatnya jera. Sebaiknya biar kuhadapi dia dengan 
caraku sendiri!"
Wong Sakti berhenti lagi dalam jarak lima 
langkah di depan mereka. Suaranya terdengar se-
dikit serak,
"Percuma saja kalian melawanku. Wong 
Sakti bukan tandingan kalian. Jadi sebaiknya ka-
lian tolong aku sajalah... biar sama-sama enak!"
"Jika keperluanmu bukan keperluan yang 
salah langkah, aku mau membantumu, Wong Sak-
ti!" kata Yoga. "Tapi niatmu kuanggap keliru. Jika 
seorang murid sudah dididik untuk membunuh 
gurunya sendiri, maka ia pun kelak akan tega 
membunuh bapaknya sendiri. Artinya, ia akan 
tumbuh sebagai tokoh sakti yang kejam dan tak 
mengenai ampun! Kumohon kau bisa memaklumi 
keberatanku ini, Wong Sakti!"
"Aku tidak bisa memaklumi, karena kau ti-
dak bisa mencarikan jalan keluar buatku!" kata 
Wong Sakti. "Kalau kau masih tetap keras kepala, 
aku juga akan mengeraskan kepala! Rupanya aku 
memang harus tetap memaksamu dengan kasar, 
Pendekar Rajawali Merah!"
Claaap...! Tiba-tiba dari mata Wong Sakti

melesat sinar hijau ke arah Yoga. Dengan cepat 
tangan kanan Yoga menahan sinar hijau itu den-
gan gerakkan tangan terbuka dan menghadang di 
dada dengan keadaan membara pada bagian tela-
paknya. Sinar hijau itu diterima oleh telapak tan-
gan tersebut. Syyrrruub...! Langsung tangan Yoga 
menggenggam dan melemparkan ke arah kiri. 
Wuuttt...! Blaaarr...! Sebuah pohon menjadi han-
cur ketika sinar hijau dilemparkan ke sana dari 
genggaman tangan Yoga. Hal itu membuat Wong 
Sakti terkekeh-kekeh sambil memandangi pohon 
tersebut, lalu berkata,
"Jurus apa itu tadi namanya? Cukup aneh 
bagiku! Sinar hijauku bisa kau tangkap dan kau 
lemparkan ke arah lain. Hebat juga jurus ajaran si 
Dewa Geledek itu!" Wong Sakti manggut-manggut.
"Itu namanya jurus 'Tolak Guntur'!" kata 
Yoga.
Lintang Ayu manggut-manggut juga karena 
kagum melihat jurus itu, dan hatinya berkata,
"Memang hebat jurus si ganteng ini! Tapi, 
apakah benar dia akan menjadi jodohku?! Ah, ku-
rasa Wong Sakti punya ramalan ngawur dan sama 
sekali tidak benar. Kurang ajar! Wong Sakti hanya 
bikin hatiku berdebar-debar terus dengan ucapan-
nya tadi. Aku tidak percaya. Tidak! Hanya saja... 
kenapa ukuran telapak tangan dan lenganku sama 
persis dengan milik Yoga? Apakah benar itu tan-
danya dia adalah jodohku?"
Sementara wanita cantik itu gelisah sendiri, 
dari arah runtuhnya pohon tadi berlarilah bocah 
berpakaian kotak-kotak dengan wajah tegang. Ku

kilo segera menghampiri Wong Sakti sambil berte-
riak-teriak,
"Guru...! Guru...! Pohon itu angker. Ada se-
tannya. tahu-tahu pohon itu meledak sendiri. Ti-
dakkah Guru tadi melihatnya?"
Kepala bocah itu didorong dengan tangan 
Wong Sakti, "Goblok! Bukan meledak sendiri, tapi 
diledakkan oleh Yoga memakai jurus 'Mata Elang'!"
"Ooo... diledakkan sama dia?" Kukilo mang-
gut-manggut.
"Mana kupu-kupunya? Sudah kau da-
patkan?"
"Kupu-kupunya terbang, Guru!"
"Kenapa kau tidak ikut terbang?!"
"Sudahlah, yang penting Guru bisa me-
nangkap Tua Usil atau tidak?"
"Kau saja menangkap kupu-kupu saja sulit, 
kok mau mengejar Tua Usil. Hmmm...! Mana bi-
sa?!"
"Kalau Guru tak bisa tangkap Tua Usil dan 
pinjam pisaunya, lebih baik jangan jadi guruku sa-
jalah!"
"Yaaah... jangan begitu, Kukilo...!" Wong 
Sakti menahan tangan anak itu yang mau pergi 
dengan sewot. Yoga dan Lintang Ayu hanya me-
mandanginya.
"Kelihatannya anak itu sangat dimanja," bi-
sik Lintang Ayu.
"Benar. Kalau dia sakti, dia bisa menjadi ja-
hat karena terlalu sering dimanja!"
"Hei, sudah kubilang jangan bisik-bisik...! 
Aku dengar semua apa yang kalian bicarakan! Sekarang sebaiknya kita lanjutkan pertarungan kita 
demi untuk menolongku. Yoga!"
"Wong Sakti, jangan salahkan aku kalau 
kau celaka!"
Kemudian Yoga segera gunakan jurus "Ba-
dai Petir'. Napasnya tersentak lepas dari hidung 
dengan sedikit di tahan, karena ia tak berani terla-
lu keras. Dan pada saat itu pula, tubuh Wong Sak-
ti terhempas jauh bagaikan di sapu badai dahsyat 
yang mengamuk. Wuuusss...!
Seandainya Wong Sakti bukan orang beril-
mu tinggi, maka ia tidak akan terhempas jauh. 
Seandainya Yoga tidak menahan sedikit napasnya, 
maka daya pentalnya lebih jauh lagi dan membuat 
tubuh Wong Sakti menjadi pecah berkeping-
keping. Tapi karena Yoga tidak melepaskan selu-
ruh napas 'Badai Petir'-nya, maka tubuh Wong 
Sakti itu hanya terpental jauh dan berguling-
guling menyedihkan.
"Guru...! Guru...!" Kukilo berlari-lari menyu-
sui gurunya yang sedang menyeringai memegangi 
pinggang belakang yang terasa sakit. Wong Sakti 
berada dalam jarak cukup jauh, diperkirakan ber-
jarak tiga puluh langkah lebih. Dan hal itu mem-
buat Lintang Ayu tertegun bengong, walau cepat 
disembunyikan dengan sikap tenangnya. Tapi da-
lam hatinya, Lintang Ayu memuji kehebatan jurus 
Yoga tersebut.
"Apakah dia masih ingin memaksamu?" Lin-
tang Ayu bertanya.
"Entahlah. Kelihatannya dia dimarahi oleh 
muridnya. Oh... rupanya dia diajak pergi oleh sibocah yang tadi kudengar bernama Kukilo."
"Ya. Mereka memang pergi. Tapi kurasa 
pergi untuk mencari Tua Usil. Hati-hatilah, jangan 
sampai pisau itu jatuh ke tangan bocah itu. Jika 
sudah digunakan untuk membunuh gurunya, be-
rarti semua ilmu Wong Sakti
berpindah ke tubuh bocah itu. Dan tentu 
saja akan sulit merebut pisau Pusaka Hantu Jagal
itu." Yoga diam dan manggut-manggut kecil.
*
* *
3


SEBUAH Biara dibangun di atas bukit ger-
sang. Hanya ada beberapa pohon yang mengelilingi 
biara tersebut dengan kayu-kayunya berjajar 
membentuk pagar. Biara itu mempunyai pintu 
gerbang tinggi dan kokoh. Dulu bekas Perguruan 
Sayap Paderi, tapi sekarang sudah dikuasai dan 
disita oleh tokoh sesat yang terkenal cukup sakti, 
berjuluk Putri Kumbang.
Ketika Putri Kumbang yang cantik karena 
ilmu perawat rupa dan pengawet wajah itu, men-
dengar kabar tentang munculnya Kitab Jagat Sakti 
dari orang-orang Pulau Kana, maka Putri Kum-
bang pun segera mengutus tiga anak buahnya un-
tuk mendapatkan kitab tersebut. Mereka yang di-
utus adalah Juru Kubur, Roh Gantung, dan Tambur Pati.

Mereka berusaha mengambil Kitab Jagat 
Sakti dari tangan penemunya, yaitu Lili; Pendekar 
Rajawali Putih, kekasih dan guru angkat Yoga, te-
tapi mereka gagal karena kemunculan Pandu Tawa 
yang memihak Pendekar Rajawali Putih itu. (Lebih 
jelasnya baca serial Jodoh Rajawali dalam episode; 
"Rembulan Berdarah").
Karenanya, Putri Kumbang pun menjadi 
marah kepada tiga utusannya yang gagal menang-
kap Lili dan membawa pulang Kitab Jagat Sakti. 
Ketiga utusan itu tundukkan kepala dengan rasa 
takut, berdiri berjajar menghadap ke arah serambi 
biara. Dari serambi biara yang bertangga sepuluh 
baris itu, seorang perempuan cantik berpakaian 
warna merah menyala turun ke pelataran luas 
yang dikurung tembok biara. Di sanalah ia akan 
mengadili tiga utusannya yang tidak berani masuk 
ke dalam biara karena gagal membawa Kitab Jagat 
Sakti.
"Mengapa kalian tidak berhasil membawa 
Lili atau Kitab Jagat Sakti?!" tanya Putri Kumbang 
dengan angkuhnya kepada Roh Gantung.
"Hmm... eh... sebenarnya... ehh...!"
Plook...! Tamparan keras mendarat di pipi 
Roh Gantung. Orang berpakaian hijau tua dan 
berkepala botak tengah itu terpelanting hingga 
tangannya berkelebat menampar wajah Juru Ku-
bur. Plakk...! Juru Kubur tak berani membalas 
dan membiarkan Roh Gantung rubuh di tanah. 
Wajahnya menjadi merah, bukan hanya pada ba-
gian yang ditampar saja, melainkan seluruh wajahnya merah memar.

Kepada Tambur Pati yang gemuk dan ber-
kepala gundul itu, Putri Kumbang bertanya den-
gan suara tegas,
"Mana hasil tugasmu, Tambur Pati?!"
"Ampun, Ketua... hmmm... soalnya... 
anu...."
Baaahg...! Satu pukulan telapak tangan 
menghantam kuat di pinggang kanan Tambur Pati.
Pukulan itu jelas bertenaga dalam cukup besar, 
sehingga orang. gendut itu terbang ke samping 
menabrak Juru Kubur, hingga Juru Kubur sendiri 
rubuh diterjangnya. Tubuh besar itu jatuh ter-
jungkal bersama genderangnya yang menimbulkan 
bunyi berisik. Kepalanya terlipat di tanah dan den-
gan susah payah ia berusaha bangkit dari keadaan 
nunggingnya. Ia menyeringai kesakitan, karena 
pakaian merahnya terbakar hangus di bagian 
pinggang, membentuk bekas tapak tangan warna 
hitam. Lehernya terasa ngilu karena jatuhnya ter-
kilir tadi.
Juru Kubur yang sudah berdiri dengan ke-
pala menunduk itu didekati oleh Putri Kumbang, 
kemudian perempuan bermata tajam itu bertanya,
"Apakah kau membawa kitab itu, Juru Ku-
bur?!"
Juru Kubur menjawab dengan wajah pucat, 
"Sebaiknya Ketua hukum saya dengan pukulan 
seperti tadi saja!"
Duuhk...! Kaki perempuan itu berkelebat 
menendang ke atas. Ujung kaki mengenai dagu 
Juru Kubur, lalu Juru Kubur tersentak kepalanya 
hingga mendongak dan ia berjungkir balik ke belakang, lalu jatuh tersungkur dengan mulut berda-
rah.
"Memalukan sekali! Kalian semua memalu-
kan Perguruan Biara Sita!" bentak Putri Kumbang 
pada saat ketiga utusan itu sama-sama sudah 
berdiri dengan sikap tegap, namun kepala mereka 
tertunduk. Putri Kumbang benci melihat sikap le-
mah seperti itu, hingga ia berseru,
"Pandang ke depan!"
Wuuttt...! Ketiga kepala itu sama-sama di-
angkat dan menatap ke depan. Tapi tak satu pun 
ada yang berani memandang Putri Kumbang, wa-
laupun perempuan itu amat cantik, seperti masih 
berusia dua puluh tujuh tahun saja. Padahal 
usianya sudah cukup banyak. Lebih dari tujuh pu-
luh dua tahun.
"Ku pilih orang terkuat di Biara Sita ini, su-
paya bisa dapatkan kitab tersebut, setidaknya 
membawa pulang gadis itu sebagai tawanan, tapi 
kalian datang dengan tangan hampa! Sebetulnya 
kalian layak menerima hukuman dariku, yaitu hu-
kum gantung! Tapi, aku masih sedikit memberi 
ampun kepada kalian. Hanya kali ini saja. Jika 
nanti kalian gagal mengemban tugas, kalian harus 
menggantung diri kalian masing-masing! Aku tak 
sudi mempunyai anak buah yang tidak pernah 
mampu mengatasi kesulitan sekecil itu!" Putri 
Kumbang diam sebentar, lalu:
"Apa penyebabnya sampai kalian gagal?!" Ia 
memandang Tambur Pati, "Jawab pertanyaan ini, 
Tambur Pati!"
"Baik, Ketua!" sentak Tambur Pati dengan

tegas. Tiba-tiba dia dihampiri Putri Kumbang dan 
ditampar mulutnya, plookkk...!
"Jangan sekali-sekali membentak ku! Bisa 
kuhancurkan mulutmu!"
"Maaf, Ketua," kata Tambur Pati dengan 
menahan sakit di mulut yang robek bibirnya itu.
"Jelaskan!"
"Kami gagal karena... karena... Pandu Tawa 
ikut campur, Ketua!"
"Pandu Tawa...?!" Putri Kumbang semakin 
menampakkan keangkuhan dan kegalakan sikap-
nya. "Melawan Pandu Tawa saja kalian kalah? Be-
nar-benar memalukan!"
Kemudian, ketika mereka bertiga saling li-
rak-lirik, Putri Kumbang segera berseru memanggil 
pelayannya,
"Cemplon...! Cemplon Sari...!"
Dari serambi atas muncul seorang perem-
puan bertubuh gemuk, wajah lebar, bibir tebal, 
dan hidung bundar. Perempuan itu dulu pernah 
menjadi pelayan putri Adipati yang bernama Galuh 
Ajeng. Setelah peristiwa dalam kisah "Mempelai 
Liang Kubur" yang membuatnya terluka parah, dia 
diselamatkan oleh seseorang, yaitu Putri Kum-
bang, dan sejak itu menjadi pelayannya Putri 
Kumbang.
"Ada apa, Ketua?!" tanya Cemplon Sari 
sambil mendekat.
"Ambil pedang untuk memenggal kepala tiga 
utusan ini!"
Ketiga utusan itu terperangah dengan mata 
melebar, tapi mereka tak berani bergerak, tetap tegak dan wajah menatap ke depan. Cemplon Sari 
yang berada di samping Putri Kumbang itu segera 
bertanya dengan beraninya,
"Apa salah mereka, Ketua?"
"Mereka melawan Pandu Tawa saja kalah, 
jadi untuk apa aku memiliki anggota seperti mere-
ka?!"
"Saya rasa mereka masih banyak gunanya, 
Ketua. Bisa dipakai sebagai umpan kepada lawan. 
Kalau toh mati, ya biar saja mati sebagai umpan, 
daripada mati di penggal sang Ketua?!"
"Hmmm...! Benar juga katamu," gumam Pu-
tri Kumbang sambil manggut-manggut. Ketiga 
utusan yang semula hampir marah kepada Cem-
plon Sari itu, sekarang menjadi lega karena tak ja-
di dipenggal.
"Tetapi aku kecewa mereka datang tidak 
membawa kitab pusaka itu. Padahal kau tahu 
sendiri apa yang pernah kuceritakan dulu, bahwa 
ada sebuah kitab yang berisi jurus-jurus sakti, ta-
pi kitab itu milik dewa yang terbuang, yaitu Betara 
Kala. Kitab itu adalah Kitab Jagat Sakti, yang men-
jadi pegangan tokoh cikal bakal penduduk Pulau 
Kana itu. Sekarang kitab itu ada di tangan Pende-
kar
Rajawali Putih. Tentu saja dia nanti menjadi 
sakti setelah pelajari isi kitab tersebut, dan dengan 
begitu perguruan kita dapat dengan mudah digu-
lung habis olehnya! Karena itu, Kitab Jagat Sakti 
harus kita rebut!"
"Harus...!" Cemplon mempertegas.
"Ilmu yang ada di dalam kitab itu, harus

serahkan Kitab Jagat Sakti!"
Cemplon Sari dan kedua utusan lainnya itu 
menyeringai karena suara Juru Kubur jika bicara 
sangat keras, cempreng pecah dan membuat telin-
ga berdenging. Tapi Putri Kumbang tidak merasa-
kan hal itu, karena ia tahu, setiap Juru Kubur in-
gin bicara, ia sudah lebih dulu menutup telinganya 
dengan hawa redam yang ada di dalam tubuhnya.
"Baiklah," kata Putri Kumbang. "Akan ku-
gunakan jurus 'Rupa Setan' itu untuk menjebak 
Lili!"
Putri Kumbang diam berlipat tangan di da-
da. Matanya terpejam. Lalu tubuhnya bercahaya 
putih perak menyilaukan. Yang terlihat oleh mere-
ka hanya cahaya putih besar namun tak bisa me-
nembus kedalaman cahaya tersebut. Tapi bebera-
pa kejap berikutnya, zuuutt...! Cahaya itu hilang 
dalam seketika. Kini tubuh Putri Kumbang sudah 
berubah menjadi wujud Pendekar Rajawali Merah, 
lengkap dengan pedang di punggungnya yang ber-
gagang merah tembaga dengan hiasan kepala bu-
rung saling bertolak belakang.
Cemplon Sari terbengong-bengong melihat 
wajah tampan palsu itu. Ia merasa seperti berha-
dapan dengan Yoga asli, karena tangan kiri jel-
maan Putri Kumbang itu juga buntung. Cemplon 
Sari tersenyum-senyum dan pelan-pelan tangan-
nya meraba jemari tangan kiri Yoga palsu itu. Ma-
tanya dan senyumnya menandakan Cemplon Sari 
terpikat oleh Yoga palsu. Hal itu membuat Putri 
Kumbang dalam wujud Yoga tersenyum geli terha-
dap Cemplon Sari.

Senyum itu membuat mata Cemplon Sari 
semakin terperangah kagum. Ia merindukan ke-
tampanan Yoga sudah cukup lama, ia ingin meli-
hat senyum pemuda itu yang sudah lama tak per-
nah dijumpai. Kini pemuda tampan palsu itu ter-
senyum, dan hati Cemplon Sari berdebar-debar, 
jantungnya tersentak-sentak sangat kuat. Akhir-
nya karena bangga dan girangnya ia jatuh terkulai, 
kelenger!
"Gadis edan!" omel Yoga palsu. "Begitu saja 
ping-san! Hmmm...! Roh Gantung, angkat dia ke 
dalam. Aku akan pergi mencari Lili. Jangan ada 
yang menguntit ku, nanti ketahuan siapa aku se-
benarnya!"
* * *
Gemuruh suara air hujan menjadi irama 
sehari-hari kawasan lembah tersebut. Di atas se-
buah batu berbentuk kepala manusia yang terjadi 
secara alam, seorang gadis yang kecantikannya di-
ibaratkan melebihi kecantikan bidadari itu, duduk 
bersila dengan mata terpejam dan dahi sedikit 
berkerut.
Di belakang gadis itu, ada sebatang kayu 
yang sengaja diletakkan di atas batu datar. Kayu 
yang besarnya satu genggaman tangan dengan 
panjang kurang dari satu jengkal itu, sesekali di-
pandangnya, lalu ditinggalkan kembali. Memejam 
mata lagi dengan memunggungi kayu tersebut. 
Beberapa saat, gadis berpakaian merah jambu 
dengan jubah putih tipis yang tak lain adalah Lili

itu, menoleh ke belakang, ke arah kayu itu, lalu 
kembali memunggunginya.
Ia mendesah sebentar, hatinya bergumam 
dalam gerutuan, "Susah! Dari tadi aku belum bisa 
memindahkan kayu itu ke tempat lain. Bergeser 
pun tak bisa, tapi kalau dengan memandangnya, 
aku sudah bisa memindahkan kayu itu, bahkan 
melemparkannya sejauh mungkin. Tetapi ilmu 'Aji 
Sukma' tidak begitu. Ilmu 'Aji Sukma' dapat meng-
gerakkan benda seberat apa pun tanpa meman-
dang dan menyentuh. Bahkan benda di tempat 
jauh bisa melayang dengan kekuatan ilmu 'Aji 
Sukma'. Sayang sekali sampai saat ini aku belum 
berhasil memperdalam ilmu yang kudapatkan dari 
Kitab Jagat Sakti itu. Sedangkan Pandu Tawa, su-
dah menguasai kendali batin dengan ilmu 'Serat 
Jiwa'-nya. Ia bisa menerbangkan benda apa pun 
tanpa dilihat dan dipegang."
Lili menghela napas dan menghembuskan-
nya, "Harus kucoba lagi! Aku harus bisa kuasai 
ilmu 'Aji Sukma' supaya bisa mengimbangi kekua-
tan ilmu Pandu Tawa. Jadi aku tak malu jika Pan-
du Tawa keluarkan ilmu 'Serat Jiwa'-nya!"
Pendekar Rajawali Putih kembali lakukan 
semadi, pusat pikirannya tertuju sepenuhnya ke 
sepotong kayu itu. Namun sampai beberapa saat 
kayu itu masih belum bisa bergerak juga.
Tapi beberapa saat kemudian, tiba-tiba 
kayu itu bergerak sendiri dengan cepat dan mem-
bentur di punggung Lili. Buuhk...! Pendekar Raja-
wali Putih terkejut. Ia menoleh ke belakang dan 
menemukan kayu yang sedang jadi sasaran itu telah bergerak sendiri mengenai punggungnya. Un-
tung tak terlalu keras, hingga tak terasa sakit.
"Mengapa bergeraknya justru ke arahku? 
Padahal dalam semadiku tadi kuharapkan kayu ini 
bergerak ke kanan dan tercebur di sungai. 
Hmmm...! Akan kucoba lagi!" sambil Lili bangkit, 
lalu meletakkan kayu tersebut ke batu datar lagi.
Lili duduk bersila, memusatkan perhatian-
nya. Dan tiba-tiba kayu yang dipunggungi itu ber-
gerak membentur punggungnya lagi. Buuuk...! 
Gadis cantik yang menyandang pedang di pung-
gung itu tersentak kaget walaupun hanya kaget 
kecil. Ia mendapatkan kayu itu sudah jatuh di be-
lakangnya.
Kayu kembali diletakkan di tempat semula. 
Lili kembali bersila dan memejamkan mata. Tapi 
baru sebentar ia memejam mata, tiba-tiba ia me-
lompat dari duduknya ke kanan. Wuuuttt...! 
Jleeg...! Ia sudah berdiri menghadap ke arah kayu 
tersebut. Kayu itu sudah telanjur terbang sendiri 
ke arah bekas tempat duduk Lili tadi dan menge-
nai tempat kosong. Wuuuss...! Pluk.
"Hmmm...! Ada yang menggangguku ru-
panya?!" kata Lili dalam hati. Ia memandangi kea-
daan sekeliling dengan gerakan matanya yang lin-
cah itu. Lalu tiba-tiba ia ingat akan Pandu Tawa.
"Pasti dia yang menggangguku. Karena 
hanya dia yang ku tahu, bisa melakukan hal se-
perti itu. Melemparkan benda tanpa melihatnya. 
Hmm... di mana si tampan nakal itu?!"
Karena bingung menemukan Pandu Tawa, 
akhirnya Lili berseru,.

"Pandu! Keluarlah! Aku tahu kau yang 
menggangguku! Keluarlah sekarang juga, Pandu! 
Jangan memancing kemarahanku!"
Lalu terdengar suara tawa dari balik rum-
pun ilalang tinggi.
"Hah, ha ha ha ha...!"
Lili membatin, "Hmmm...! Benar dia yang 
menggangguku." Tapi Lili segera menahan napas-
nya sambil masih membatin, "Dia menebarkan 
'Racun Tawa' biar aku Ikut tertawa. Hmmm...! Co-
ba saja kalau dia memang bisa menyerangku den-
gan 'Racun Tawa'-nya...?!"
Pendekar Rajawali Putih menahan napas 
cukup lama. Pandu Tawa sendiri tertawa cukup 
lama juga. Ia ingin membuat Lili agar ikut tertawa, 
tapi sampai sekian lama Lili tidak ikut tertawa. 
Akhirnya Pandu Tawa bosan, lalu segera hentikan 
tawanya. Lili melepaskan napasnya. Pandu Tawa 
segera muncul dari semak ilalang dalam satu lom-
patan bersalto.
Wuuttt...! Jleeg...!
Seraut wajah tampan tersenyum. Berjalan 
dengan gagahnya. Rambutnya yang dikuncir tinggi 
dalam satu genggaman itu mempunyai ujung yang 
bergerak-gerak, sedangkan sisa rambut yang me-
riap di kanan-kiri pelipisnya bergerak disapu an-
gin. Pemuda bertubuh tinggi, gagah dan berkulit 
kuning langsat itu mendekati Lili dengan mata tak 
lepas memandang gadis itu. Lili hanya tersenyum 
tipis sebagai senyum penyambut keakraban mere-
ka.
"Aku tahu apa yang sedang kau pelajari, Li

li!"
"Aku pun tahu apa yang sedang kau guna-
kan untuk menggangguku!"
"Rupanya kau ingin kuasai ilmu 'Serat Ji-
wa'? Hmm...! Mengapa tidak bicara padaku soal 
itu? Aku bersedia membantumu mencapai ilmu 
tersebut. Ayo, kita mulai...!"
"Tidak." Lili menjauh, menuju ke bawah po-
hon. Ia berdiri di sana dengan tenang dan tegak. 
Kakinya selalu sedikit merenggang dan lurus tegak 
jika berdiri. "Aku sudah punya jurus itu sendiri. 
Tinggal kupelajari. Aku tak mau kau ikut mem-
bantuku," kata Lili kemudian.
"Aku hanya ingin mempermudah kau men-
capai ilmu 'Serat Jiwa'!"
"Bukan. Ilmu yang kupelajari bukan ilmu 
'Serat Jiwa'. Hampir mirip dengan ilmumu itu, tapi 
punya perbedaan!"
Pandu Tawa tersenyum. "Apa perbedaan-
nya?"
"Nanti kalau sudah ku kuasai, kau akan ta-
hu sendiri," jawab Lili seakan tak ingin ilmu itu di-
ketahui oleh Pandu Tawa.
Gelak tawa pemuda tampan itu kian me-
manjang, tapi tidak keras. Itu pertanda ia tidak 
sedang menaburkan 'Racun Tawa'. Ia melangkah 
mendekati Lili dan berkata,
"Kau memang selalu ingin unggul dari yang 
lain. Aku sempat heran melihatmu mampu mena-
han 'Racun Tawa'-ku. Padahal orang lain akan ikut 
tertawa jika aku sudah menebarkan 'Racun Tawa' 
seperti tadi."

"Aku punya penangkal Racun Tawa-mu'
"Ajarkan padaku, Lili."
Lili tersenyum. "Nanti. Penangkal itu akan 
kuajarkan padamu sebagai hadiah kelak jika kau 
menikah dengan seorang gadis!"
"Ha ha ha ha...! Jadi kau mengharapkan
aku cepat menikah?" 
"Aku tidak bilang begitu," Lili angkat bahu. 
Kemudian Pandu Tawa duduk di atas sebongkah 
batu yang ada di bawah pohon rindang itu. Ia ber-
kata dengan mata memandang sekeliling,
"Aku ingin bertemu dengan Yoga. Di mana 
kekasih mu itu berada?"
"Ada perlu apa kau ingin menemuinya?"
"Ingin menyampaikan undangan buat dia,
termasuk buatmu juga."
Lili memandang dengan dahi berkerut. "Un-
dangan apa, Pandu?!"
"Jelasnya, aku ingin mengajak kalian ber-
dua untuk menghadiri pertemuan para tokoh per-
silatan di Bukit Tulang Iblis. Di sana akan di laku-
kan pemilihan dan penobatan gelar Pendekar Ma-
ha Sakti yang akan menjadi Hakim dalam pengadi-
lan di dunia persilatan ini!"
"Bagaimana cara pemilihannya? Apakah ki-
ta akan diadu satu persatu?"
"Justru karena aku belum tahu, maka aku 
tertarik ingin tahu. Aku ingin menghadiri perte-
muan itu bersama kalian berdua. Kita bertiga ti-
dak perlu ikut mencalonkan diri, namun sekadar 
ingin tahu, seperti apa pemilihan dan penobatan 
Pendekar Maha Sakti untuk diangkat menjadi hakim di antara kita itu."
Lili manggut-manggut "Hmmm... ya, ya.... 
Aku tertarik juga untuk datang ke sana! Kalau be-
gitu, kita cari Yoga ke selatan! Kulihat gerakannya 
berkelebat menuju selatan."
"Baik." Pandu Tawa pun segera bangkit ber-
diri.
*
* *
4


BARU saja Lili dan Pandu Tawa hendak me-
langkah, tiba-tiba mereka melihat seseorang me-
lompat dari batu ke batu di atas permukaan sun-
gai. Gerakannya cukup lincah dan cepat. Dalam 
waktu singkat pemuda berbaju selempang dari ku-
lit beruang coklat yang membungkus baju putih 
lengan panjang di dalamnya itu tiba di depan Lili 
dan Pandu Tawa. Dialah Yoga.
"Dari mana kau, Yo?" sapa Lili mengawali 
percakapan mereka.
"Mencarimu ke mana-mana, Lili. Aku harus 
pergi denganmu: Hanya berdua denganmu," kata 
Yoga, matanya melirik sekejap ke arah Pandu Ta-
wa. Lirikan mata itu berkesan tak ramah. Kurang 
bersahabat.
Pandu Tawa sedikit heran. Mengapa Yoga 
bersikap tak bersahabat padanya. Padahal ketika 
mereka pulang dari Teluk Gangga, mereka saling
bersahabat dengan damai. Mungkinkah Yoga ter-
kena hasutan seseorang hingga menaruh curiga 
dan cemburu kepada Pandu tawa? Dugaan terse-
but hanya disimpan oleh Pandu tawa di dalam ha-
tinya.
"Ada persoalan apa, Yo?"
"Penting sekali. Ini menyangkut urusan kita 
berdua, tidak melibatkan orang lain. Sekarang ju-
ga kita harus pergi, Lili."
"Nanti dulu. Aku ingin dengar dulu persoa-
lannya. Mungkin kau menganggapnya penting, ta-
pi bagiku belum tentu persoalan itu penting."
Pandu Tawa tak enak hati. Ia segera berkata 
kepada Lili, "Aku akan cuci muka dulu di tepian 
sana. Kalau urusanmu sudah selesai, lekas berita-
hukan padaku bagaimana dengan rencana kita ta-
di?"
"Baiklah. Pergilah dulu ke sana, biar aku 
bicara dengannya, Pandu!"
Pemuda tampan berpakaian biru itu segera 
menuju ke tepian sungai berair bening. Ia mende-
kati curahan air terjun dan mengambil air untuk 
mencuci mukanya yang berwajah tampan dengan 
hidung mancung.
"Bicaramu menyinggung perasaan Pandu 
Tawa, Yo. Aku tak enak jadinya. Lain kali jangan 
begitu."
"Persetan dengan dia! Kita punya kepentin-
gan sendiri. Aku harus segera membawamu ke Pa-
deri Duta Surga."
"Siapa itu Paderi Duta Surga?" Lili berkerut 
dahi merasa aneh.

"Seorang peramal sakti, yang mengetahui 
perjalanan nasib kita berdua di masa mendatang. 
Kabarnya ada bahaya yang akan menyerang kita 
berdua. Karena itu, kita berdua dipanggilnya un-
tuk diberi wejangan tentang menghadapi bahaya 
yang akan datang itu."
"Kalau begitu aku harus memberitahu Pan-
du Tawa dulu, supaya dia tidak menunggu-nunggu 
kita."
"Baik. Tapi cepatlah, jangan buang-buang 
waktu,
Lili!"
Maka gadis cantik itu pun segera menemui 
Pandu Tawa yang sudah duduk di bebatuan tepi 
sungai. Ia memandangi permukaan air sungai 
yang berbintik-bintik karena siraman air terjun. 
Ketika ia tahu Lili mendekatinya, sikapnya tidak 
berubah, dan tetap duduk di tempat tersebut, se-
mentara Yoga masih tinggal di bawah pohon.
"Pandu Tawa, aku harus menemui seseo-
rang yang akan memberitahukan padaku tentang 
bahaya masa mendatang. Ini menyangkut masalah 
hubungan ku dengan Yoga. Jadi, kuharap kau 
jangan kecewa jika aku dan dia belum bisa ikut ke 
Bukit Tulang Iblis menghadiri pertemuan itu. Ku-
harap kau bisa memahami, Pandu."
"Kurasa kau tak perlu ikut dia," kata Pandu 
Tawa dengan tenang sambil menatap kalem, terse-
nyum lembut dan tipis. Lili sedikit terkesiap ma-
tanya karena merasa aneh dengan ucapan terse-
but.
"Kenapa kau sepertinya tidak menyukai ke

hadiran Yoga, Pandu? Jangan begitu, nanti mem-
perburuk perdamaian kita!"
"Jangan katakan kalau aku punya rencana 
untuk membawa kalian ke Bukit Tulang Iblis."
"Mengapa?"
"Aku curiga padanya. Dia memanggilmu 
dengan nama Lili. Biasanya dia memanggilmu 
dengan sebutan
Guru."
"Memang. Tapi tidak selalu dia memanggil-
ku dengan sebutan Guru. Terutama dalam kea-
daan mendesak dan berbahaya, dia sering menye-
butku dengan Lili saja. Kurasa itu tidak menjadi 
masalah, sebab...."
Kata-kata Lili terhenti karena mendengar 
suara orang berteriak dari arah tempat Yoga me-
nunggu. Lili dan Pandu Tawa sama-sama terkejut, 
cepat lemparkan pandangan ke arah tersebut. Dan 
mereka melihat seseorang berbadan gemuk besar 
sedang menyerang Yoga, lalu oleh Yoga orang itu 
berhasil dijungkir-balikkan dalam satu gebrakan 
kecil.
Orang yang menyerang Yoga itu berkulit ka-
sar totol-totol hitam seperti bekas borok lama, se-
lain gendut dan gemuk, perutnya juga membuncit. 
Ia mengenakan rompi merah yang tak cukup den-
gan ukuran badannya. Lelaki berusia sekitar em-
pat puluh tahun itu menggantungkan tempat mi-
num dari kulit binatang. Dan tempat minumnya 
itu berisi arak.
Melihat ciri-ciri tersebut, Lili dan Pandu Ta-
wa segera mengenalinya, bahwa orang itu adalah

Jin Arak. Jin Arak pernah datang ke Teluk Gangga 
untuk membunuh Naga Bara. Tetapi Lili dan Pan-
du Tawa kala itu belum datang. Mereka mengenali 
ciri-ciri tersebut dari cerita yang dituturkan oleh 
Cola Colo, si Bocah Bodoh yang memiliki Pedang 
Jimat Lanang itu.
"Aku yakin dialah orangnya yang bernama 
Jin Arak."
"Ya, kata Pandu Tawa. Tapi agaknya Jin 
Arak masih mempersoalkan kekalahannya mela-
wan Yoga di Teluk Gangga."
"Tapi menurut pengakuan Bocah Bodoh, 
dan Tua Usil, justru Tua Usil itulah yang telah 
mengalahkan Jin Arak."
"Benar. Tapi awal persoalannya dengan Yo-
ga. Jadi sepertinya Jin Arak masih mengincar Yo-
ga, penasaran dan ingin mengalahkan Yoga."
"Ya, ya! Kurasa memang begitu."
"Apa perlu kita bantu?"
"Tidak. Biarkan murid angkatku itu menga-
tasinya sendiri. Aku yakin dia pasti mampu men-
galahkan Jin Arak!"
"Kalau begitu, kita lihat saja siapa yang un-
ggul!"
Jin Arak memandang Yoga dengan mata 
angker, berwarna merah, dan berdirinya tidak bisa 
tegak karena terlalu banyak minum arak. Dalam 
keadaan mabuk begitu, Jin Arak masih bisa men-
genali Yoga dan mengingat persoalan di Teluk 
Gangga.
"Siapa kau, berani-beraninya menyerangku 
dari belakang? Apakah kau tak tahu siapa aku?"

"Hei," kau...!" Jin Arak menunjuk tempat 
kosong, karena menurut pandangan matanya Yoga 
ada di sana. "Aku yang mabuk saja tidak lupa 
denganmu, kenapa kau yang tidak mabuk lupa 
denganku, hah?! Aku adalah Jin Arak, yang per-
nah kau buat kecewa di Teluk Gangga. Kau masih 
ingat peristiwa itu, hah...?!"
Jin Arak berbicara dengan nada meliuk-liuk 
karena pengaruh arak yang memabukkan. Badan-
nya tak bisa diam, selalu goyang ke sana-sini. Yoga 
tampak tenang dan segera berkata,
"Ya, sekarang kuingat siapa dirimu. Kau 
memang punya masalah denganku, Jin Arak. Ka-
lau kau masih merasa belum puas, kau boleh 
puas-puaskan melawanku di sini!"
"Hmmm...! Baik! Aku minum sebentar!"
Jin Arak membuka tutup tempat minumnya 
itu, lalu menenggaknya beberapa teguk. Tapi be-
lum selesai menenggak arak, ketika ia mendon-
gakkan kepalanya. Yoga segera menyerangnya 
dengan satu tendangan lompat yang cukup cepat. 
Wuuuttt...! Plaakkk...!
Kaki kanan Yoga yang menendang itu men-
genai kepala bagian belakang lawannya. Akibat-
nya, mulut tempat minum itu beradu dengan mu-
lut Jin Arak, dan air arak di dalamnya mengguyur 
wajah bulat gundul itu.
"Bangsat...!" teriak Jin Arak setelah ia tak 
berhasil jatuh, hanya terhuyung-huyung ke depan 
beberapa tindak, ia segera menutup tempat mi-
numnya dan melangkah dengan limbung mende-
kati Yoga. Pemuda tampan itu hanya menatap

dengan sorot pandangan mata cukup ganas.
Sementara itu, Lili berkata dalam hati, 
"Mengapa Yoga lakukan kecurangan? Mestinya ia 
menunggu lawannya berhenti minum dulu baru 
menyerang!"
Jin Arak semakin menggeram penuh luapan 
amarah. Dengan badan sedikit bungkuk dan tan-
gan agak terangkat sedikit, Jin Arak menunggu 
kesempatan menyerang. Tetapi agaknya Yoga 
menduluinya dengan serangan tenang berputar 
beberapa kali hingga tepat mengenai wajah Jin 
Arak berulang-ulang. Plak, plak, plak, plak...!
Dengan tubuh besarnya Jin Arak ter-
huyung-huyung ke belakang dan gelagapan karena 
terkena tendangan beberapa kali. Wajah Jin Arak 
menjadi memar merah kebiru-biruan.
Sambil memandangi pertarungan itu alis 
mata Lili berkernyit. Ia pun berkata lirih kepada 
Pandu Tawa,
"Jurus dari mana yang dipergunakan Yoga? 
Aku baru tahu dia mempunyai jurus tendangan 
putar berantai. Agaknya tendangan itu bertenaga 
dalam aneh. Wajah lawannya dibuat memar me-
rah."
"Mungkinkah dia mempunyai jurus simpa-
nan yang belum pernah kau lihat selama ini?"
Lili menggeleng, "Kurasa tak mungkin!"
Pada waktu itu, Jin Arak dihajar habis oleh 
Yoga dengan pukulan dan tendangan yang tak bisa 
ditangkis lagi. Dan hal itu membuat Lili semakin 
heran, memendam kecurigaan. Ia berkata kepada 
Pandu Tawa dengan mata tetap tertuju ke arah

pertarungan,
"Jurus-jurusnya sama sekali tak kukenal, 
Pandu!"
"Kalau begitu, lekas kita sembunyi di sebe-
lah sana. Kurasa Yoga akan kebingungan jika ia 
tidak bisa tumbangkan Jin Arak. la pasti akan 
mencari kita. Di sana kita bisa lebih bebas lagi 
memperhatikan jurus-jurus yang di gunakan Yoga 
itu."
Lili menuruti saran Pandu Tawa. Mereka 
bersembunyi agak jauh, namun ruang pandang 
mereka tidak terhalang pepohonan.
Jin Arak menggunakan jurus tepukannya. 
Sekali ia bertepuk, tenaga dalam tersalur keluar 
dan menghantam lawan. Plok...! Wuuttt! Buuhg...! 
Dan Yoga pun terpental ke belakang.
Plok, plok...! Tepukan kali ini memancarkan 
dua sinar biru yang berkelebat menyerang Yoga. 
Tetapi Yoga segera meliuk-liukkan tangannya den-
gan cepat di bagian depan, seperti seekor naga se-
dang bergegas untuk menyambar lawan. Dan dari 
liukan tangannya itu keluarlah sinar-sinar merah 
yang berkelok-kelok seperti gerakan seekor naga 
yang sedang mengamuk. Lalu, sinar biru itu ter-
hantam sinar merah. Biar! Blegaaarrr...!
Tubuh Jin Arak kembali terdorong ke bela-
kang. Tapi ia masih berusaha berdiri walau dengan 
terhuyung-huyung. Maka dengan cepat Yoga ber-
salto dalam satu lompatan. Gerakan saltonya 
mampu mencapai tiga putaran, dan tahu-tahu ke-
dua kakinya menjejak dada besar Jin Arak.
Buuug...!

Kedua kaki yang menjejak bersama itu se-
gera menghentak di dada lawan dan membuat tu-
buh Yoga terpental balik, lalu bersalto satu kali. 
Wuuuttt...! Kejap berikutnya Yoga sudah berdiri 
dengan sigap. Jleeg...!
Pada waktu itu, Jin Arak memuntahkan da-
rah segar dari mulutnya.
"Hoeeek...!"
Rupanya Yoga kurang puas, sehingga den-
gan pukulan jarak jauhnya ia berhasil menghan-
tam punggung si gendut Jin Arak itu. Wuuuttt...! 
Bhaaak...! Pukulan itu. terkena telak dan mem-
buat rompi merah Jin Arak membekas hitam dan 
tubuh itu tersungkur dengan kekuatan yang san-
gat rapuh lagi.
"Heaah...!" Jin Arak masih berusaha mela-
wan. Tanah di depannya dihantam dengan tapak 
tangan terbuka. Lalu, tiba-tiba sebaris api berkele-
bat membakar rerumputan. Gerakan api itu seper-
ti gerakan ular yang meliuk ke sana-sini sambil 
menyala berkobar-kobar dan akhirnya berhasil 
mengurung Yoga dalam lingkaran api.
Namun Yoga bagaikan tak kalah akal. Ia 
menghembuskan udara dari mulut. Wuuusss...! 
Tiba-tiba semua api padam secara serentak. 
Bluub...! Kemudian ia melompat dari bekas lingka-
ran itu, tangannya berkelebat cepat begitu tiba di 
depan Jin Arak yang memunggunginya karena 
bingung mencari lawannya ada di mana.
Baaahk...! Pukulan telapak tangan itu 
membuat Jin Arak kembali terlempar ke depan 
dan jatuh berguling-guling. Tapi dengan cepat ia

pun bangkit dan kebingungan lagi mencari lawan-
nya ada di mana. Akibatnya ia lepaskan satu pu-
kulan dengan kedua tangan menggenggam dan 
disentakkan ke depan. Bebatuan besar yang men-
jadi sasaran karena disangka ada Yoga di sana. 
Wuuttt...! Sinar kuning bagaikan cakram itu mele-
sat menghantam gugusan batu besar itu, lalu me-
lesat balik membentuk sudut lebar, dan menghan-
tam tubuh Yoga yang tidak menyangka akan me-
nerima balik sinar yang dihantamkan pada batu. 
Wuuuttt...!
Blaarrr...! Yoga hampir saja terlambat. Ia 
berhasil menyentakkan satu jari telunjuknya hing-
ga keluarlah sinar merah membara sedikit keku-
ningan. Kemudian sinar itu melebar dan memben-
tur sinar dari lawannya. Akibatnya, timbullah le-
dakan yang membuat tubuh Yoga terlempar ke be-
lakang dan tubuh Jin Arak terpuruk di tanah den-
gan suara erang samar-samar.
Ketika ia mendongakkan kepalanya, Yoga 
hanya tersenyum sinis. Wajah Jin Arak seperti di-
kelupas seluruh kulitnya. Terasa perih rasanya. 
Tapi Yoga belum puas dan segera melompat den-
gan satu tendangan layang yang tepat mengenai 
rahang kanan Jin Arak.
Draakk...! Rahang itu berderak hampir pa-
tah. Tubuh besar dan gendut itu semakin tak ber-
daya lagi, yang akhirnya jatuh terkapar dalam 
keadaan terluka parah baik luar maupun bagian 
dalamnya.
"Saatnya menghabisi nyawamu, Jin Arak! 
Heaaah...!"

Yoga segera menghantamkan pukulan tan-
gan kanannya dengan kuat, dan memancarkan 
cahaya seperti besi terpanggang api. Tetapi sebe-
lum niat itu dilaksanakan, tiba-tiba ada seseorang 
yang berkelebat menyambar tubuh besar Jin Arak. 
Wuuttt...!
Pandu Tawa dan Pendekar Rajawali Putih 
semakin merapatkan diri dalam persembunyian-
nya. Munculnya tokoh kurus yang mampu me-
nyambar tubuh gemuk Jin Arak sudah menanda-
kan persoalan akan menjadi panjang. Dan tokoh 
kurus tua itu sudah pasti bukan orang sembaran-
gan. Yoga pun berpendapat demikian di dalam ha-
tinya. Tapi ia tetap berdiri di tempat dan matanya 
memandang tajam kepada tokoh kurus tua yang 
tak lain adalah Wong Sakti itu.
"Maaf, aku tidak ingin ikut campur uru-
sanmu, Pendekar Rajawali Merah. Tapi aku hanya 
ingin menghentikan pertarungan ini Sebentar un-
tuk menyampaikan pesan."
"Siapa kau, Pak Tua?! Kenapa berani me-
nyambar lawanku?!"
"Lho, ternyata yang pikun justru kamu, Yo-
ga! Baru saja kita jumpa di sana, tapi kau sudah 
lupa padaku. Akulah Wong Sakti yang kau buat 
terpental terbang jauh sekali tadi."
"Wong Sakti akan jera melawanku. Tapi ke-
napa kau masih tetap ingin melawanku? Apakah 
kau saudara kembar Wong Sakti?!"
"Bukan. Aku Wong Sakti asli! Aku berani 
bersumpah!"
Seorang bocah berpakaian kotak-kotak ber

lari menghampiri Wong Sakti. Dan lelaki tua kem-
pot itu berkata, "Dan ini adalah muridku yang ta-
di. Apakah kau juga lupa?"
"Tidak!" jawab Yoga tegas. "Tapi jika kau ti-
dak serahkan si Jin Arak itu padaku, kau akan 
kubuat lupa dengan menghilangnya nyawamu dari 
raga. Dan muridmu itu akan kehilangan nyawa 
pula jika memang kupandang perlu!"
"Wah, wah, wah...kejam nian dikau!" kata 
Wong Sakti seenaknya dalam bicara. Waktu itu, 
Kukilo segera berkata, "Apakah orang gundul ini 
yang bernama Tua Usil, Guru?!"
"Bukan! Ini namanya Jin Arak."
"Ilmunya tinggi atau rendah?"
"Tinggi. Tapi dia ternyata bisa dikalahkan 
oleh Yoga. Berarti ilmunya Yoga lebih tinggi lagi 
dari setan tepuk tangan ini!" "Mengapa Guru me-
nyebutnya setan tepuk tangan?"
"Karena kekuatannya pada tepuk tangan-
nya. Sekali tepuk, bisa tujuh-delapan nyawa me-
layang!"
Yoga menyahut, "Wong Sakti, kau ingin 
berpesan apa padaku? Cepat katakan! Setelah itu 
tinggalkan Jin Arak. Dia punya urusan sendiri 
denganku. Kau tak perlu ikut campur!"
"Aku hanya ingin berpesan padamu, jadi 
pendekar itu jangan kejam-kejam! Lawan sudah 
tidak berdaya masih dihajar juga! Apakah begitu 
ajaran dari gurumu; si Dewa Geledek itu?!"
"Persetan dengan nasihat atau pesanmu itu! 
Kalau kau tidak mau menyingkir, kuhabisi juga 
nyawamu, Wong Sakti!"

"He he he...!" Wong Sakti tertawa sambil ga-
ruk-garuk kepala. "Kau pikir aku tadi lari darimu 
karena kalah dan takut? Oho... tidak begitu, Yoga. 
Aku lari karena ingin segera mencari Tua Usil. Ba-
rangkali saja tanpa bantuanmu aku bisa temukan 
sendiri si Tua Usil itu. Tapi jika sekarang kau me-
nantangku begitu, aku akan layani dengan senang 
hati. Yoga!"
Terdengar suara Jin Arak mengerang kesa-
kitan dan tak berdaya lagi. Bahkan Jin Arak sem-
pat meratap lirih,
"Tolong, Kek... tolong...!"
"Ya. Nanti kutolong. Sekarang kuhadapi du-
lu orang itu. Sabarlah! Menurut ramalanku, kau 
masih punya umur panjang dan susah matinya!"
Pada waktu itu. Yoga segera sentakkan dua 
jarinya lurus ke depan. Dan dua jari itu keluarkan 
selarik sinar merah lurus menghantam tubuh Jin 
Arak yang terkapar di depan kaki Wong Sakti. 
Zlaaap...!
Wong Sakti segera bertindak. Jubahnya di-
kibaskan ke depan, dan tiba-tiba sinar merah lu-
rus itu berbelok arak, melengkung membuat suatu 
lingkaran yang dengan cepat mengurung tubuh 
Yoga sendiri. Sinar merah itu seperti kawat yang 
memagari Yoga dengan nyalanya yang semakin le-
bar dan besar.
Sinar itu bergerak semakin sempit dan ling-
karannya semakin kecil. Sinar yang hendak menje-
rat Yoga itu bergerak dengan cepat. Maka Yoga 
pun segera lompat ke atas dan bersalto keluar dari 
lingkaran yang kini tinggal satu genggaman itu.

Ketika lingkaran merah mengecil lagi dan men-
gumpul menjadi satu, sinarnya pecah di segala 
arah menjadi lebih dari dua belas larik sinar,
Zrrraattt...!
Blaarrar...! Wong Sakti melindungi diri dan 
melindungi muridnya dengan cara mengibaskan 
jubah lagi ke depan, sehingga dua sinar yang me-
lesat ke arahnya itu membelok ke arah lain, Sinar-
sinar itu mengenai pohon, batu atau apa saja yang 
menimbulkan suara ledakan menggema. Hampir 
saja tubuh Yoga menjadi sasaran jika ia tidak se-
gera tengkurap di tanah.
"Percuma saja dia kulayani. Lili sudah tidak 
kelihatan. Pasti pergi dengan Pandu Tawa," pikir 
Yoga, "Lebih baik waktunya kugunakan untuk 
mengejar Lili!"
Maka dengan gerakan seolah-olah ingin 
menyerang, tiba-tiba Yoga melompat ke arah lain 
dan berlari menyeberangi sungai dengan melompa-
ti batu demi batu, lalu menghilang di balik kerim-
bunan pohon seberang sungai tersebut.
"Guru, dia lari! Kejar dia. Guru!" Kukilo ba-
gai keluarkan perintah kepada anak buahnya. Gu-
runya menyahut,
"Baik. Tapi... orang gemuk ini bagaimana? 
Kasihan. Dia sakit. Jenguklah dia kalau kau tak 
percaya!"
"Biarlah sakit. Kita tidak pernah menyu-
ruhnya sakit, Kenapa harus repot-repot pikirkan 
dia? Lebih baik kejar saja orang itu tadi!"
"Kenapa repot-repot kejar dia? Bukankah 
yang kita butuhkan si Tua Usil? Lebih baik waktu

kita digunakan untuk kejar si Tua Usil saja, Kuki-
lo!"
"Tolong dulu aku, Pak Tua... aku si Jin Arak 
dalam keadaan gawat!" ratap Jin Arak dengan sua-
ra tertekan karena sesak napasnya.
*
* *
5


TUBUH gemuk berkulit keras itu kini dalam 
keadaan benar-benar menderita. Diawali dari len-
gan kiri dan punggung, melepuh dan menjadi 
gumpalan daging keras. Lalu disusul di beberapa 
tempat lainnya, juga melepuh dan menjadi gumpa-
lan daging yang mengeras membentuk seperti 
tumpukan batu karang. Akibatnya, tubuh Jin Arak 
memang menyerupai onggokan batu karang yang 
berwarna merah kehitam-hitaman. Hidungnya 
sendiri semakin besar dan lubang hidungnya ter-
sumbat. Ia bernapas melalui mulut, namun bibir-
nya sendiri melepuh dan membentuk daging keras.
Mekarnya kulit yang mengeras itu timbul-
kan rasa sakit yang tak terhingga. Semakin lama 
semakin besar, sehingga Jin Arak dalam keadaan 
sangat menderita. Itulah sebabnya ia mengerang-
erang dalam nada rintih yang memilukan.
Wong Sakti melihat tubuh Jin Arak sudah 
sedemikian parahnya. Ia sempat berkata, seperti 
ditujukan pada diri sendiri,

"Wah, tubuhmu kok jadi malah seperti ja-
mur dimusim hujan?! Seram tapi indah. He he he 
he...! Baiklah, ku sembuhkan dirimu tapi setelah 
itu bantulah aku!"
Kukilo memperhatikan Jin Arak diobati oleh 
Wong Sakti. Caranya cukup unik. Tubuh Jin Arak 
ditelentang
kan di tanah, lalu dilompati bolak-balik, le-
bih dari dua puluh lompatan. Tiap satu lompatan 
daging tumbuh yang keras itu menjadi susut. Ma-
kin banyak lompatan semakin banyak susutnya.
Melihat gurunya melompat-lompat di atas 
tubuh Jin Arak, bocah berusia sepuluh tahun itu 
berkata, "Kok Guru malah seperti anak kecil? Ka-
lau begitu aku juga ikut melompat-lompat, ah!"
"Husy, jangan! Ini lompat bukan sembarang 
lompat. Ada manteranya dan ada jurusnya. Den-
gan melompat begini akan timbul angin panas dari 
tubuhku yang dapat untuk mematikan racun di 
tubuh si badak bodoh ini," kata Wong Sakti*. "Ka-
mu duduk saja dulu di sana. Jangan ke mana-
mana, nanti tertukar anak babi lagi!"
Kukilo menurut dengan cemberut. Namun 
rasa dongkolnya itu cepat hilang setelah Lili dan 
Pandu Tawa keluar dari persembunyiannya dan 
segera mendekati Wong Sakti.
"Guru, ada yang datang!" seru Kukilo den-
gan keras.
Wong Sakti berhenti melompat-lompat, Me-
natap kedatangan Lili dan Pandu Tawa. Ia terse-
nyum kempot, lalu kembali melompati tubuh Jin 
Arak berkali-kali. Sambil melompat-lompat begitu,

Wong Sakti berkata kepada Pandu Tawa,
"Sudah bosankah kau bersembunyi di sana 
berduaan, Pandu Tawa?!"
"Sudah," jawab Pandu Tawa.
"Siapa dia?" bisik Lili.
"Wong Sakti, tokoh putih yang sudah sangat 
tua jadi hingga pikun dan jalan pikirannya tak 
beres. Sebenarnya dia tidak jahat, tapi karena piki-
rannya sudah berubah seperti anak kecil, jadi ke-
lihatannya dia seperti orang jahat!"
"Kalau tidak terpepet ya tidak jahat," sahut 
Wong Sakti.
Pandu Tawa berbisik kepada Lili. "Penden-
garannya sangat tajam. Jadi jangan sekali-kali ka-
sak-kusuk di belakangnya."
"Lha kamu sekarang sudah kasak-kusuk, 
kok mengingatkan orang lain?" sela Wong Sakti 
sambil bersungut-sungut.
"Wong Sakti," kata Pandu Tawa. "Aneh se-
kali cara mu mengobati orang terluka seperti itu? 
Apakah aku boleh mempelajarinya?"
"Orang ini terkena suatu jurus maut yang 
bernama jurus 'Karang Keji'! Makanya tubuh Jin 
Arak ini timbul kulit berkarang, makin lama akan 
semakin menyumbat jalannya pernapasan dan 
akan membuatnya mati!"
"Jurus 'Karang Keji'?!" gumam Lili. "Rasa-
rasanya Yoga tidak punya jurus 'Karang Keji'."
Mendengar ucapan Lili begitu, Wong Sakti 
segera berhenti melompat-lompat dan berkata ke-
pada Lili,
"Ya, tentu saja Yoga bisa keluarkan ilmu

'Karang Keji', sebab dia tadi sebenarnya bukan Yo-
ga!"
"Hah...?!" Lili tidak terlalu kaget, tapi hanya 
terperanjat sedikit. Lalu, Pandu Tawa berkata,
"Sudah kuduga, dia memang bukan Yoga. 
Lalu... siapa dia itu, Wong Sakti?! Apakah kau bisa 
tahu pula siapa orang yang menyamar sebagai Yo-
ga tadi?"
"O, itu rahasia! He he he he...! Kalau ingin 
tahu, harus ada imbalannya! Kalau tidak ingin ta-
hu, tidak memberi imbalan boleh, mau memberi 
imbalan juga tidak
apa-apa."
Sementara Pandu Tawa dan Lili saling pan-
dang, Jin Arak segera bangkit dan merasakan ba-
dannya menjadi segar kembali. Rasa sakitnya hi-
lang, rasa perih pun tak ada, tubuhnya sendiri 
kembali mulus, dalam arti tanpa daging tumbuh 
yang seperti bunga karang tadi. Begitu berdiri, Jin 
Arak meneguk beberapa kali arak yang dibawanya. 
Setelah itu ia bersendawa, "Hhheeegggr...!"
"Wah, badak bodoh kekenyangan," ucap 
Wong Sakti kepada muridnya.
Kukilo berkata, "Cepatlah, Guru! Cari tahu 
tentang orang yang kita butuhkan itu! Tanyakan-
lah kepada kedua orang cantik dan tampan itu 
guru. Kalau tidak mau kasih tahu, hajar dia!"
"Ya, ya... sabar dulu, Kukilo!" kata Wong 
Sakti.
"Pak tua, kau yang menolong dan mengoba-
tiku? Hmm...! Baik. Aku ucapkan banyak terima 
kasih, dan lain kali kalau mau lompati aku harus

permisi dulu, mengerti?! Kalau caramu seperti ta-
di, itu namanya orang tua tidak tahu sopan san-
tun!"
"Lho, kau ini bagaimana? Sudah kutolong 
malah masih menggerutu tak karuan. Orang me-
lompat kok disalahkan. Itu kan demi kesembu-
hanmu sendiri!"
"Wong Sakti," sahut Lili. "Cepat katakan 
siapa orang yang menyamar sebagai Yoga tadi?"
Jin Arak berkerut heran dan curiga, lalu ia 
bertanya, "Lho, jadi yang kuserang tadi bukan Yo-
ga?!"
"Bukan," jawab Wong Sakti. "Kalau dia Yoga 
asli, tindakannya tidak akan seganas tadi!"
"Setan belang!" geram Jin Arak. "Jadi aku 
tadi salah serang!"
"Lalu, bagaimana dengan orang itu, Wong 
Sakti?" Pandu Tawa kembali mengulangi perta-
nyaannya dengan rasa ingin tahu.
"He he he he...! Sudah kubilang, itu rahasia 
dan untuk membongkar rahasia itu dibutuhkan 
imbalan yang setara."
Lili berkata, "Jadi, imbalan seperti apa yang 
kau inginkan?"
"Cukup dengan memberitahukan kepadaku, 
di mana Tua Usil berada!"
"Untuk apa kau mencari Tua Usil sampai 
merahasiakan siapa penyamar tadi sebenarnya?" 
kata Lili.
"Aku ingin mencari Tua Usil untuk...."
Kata-kata Wong Sakti dipotong oleh Jin 
Arak, "Tunggu dulu. Kau mau mencari Tua Usil?

Wuuuhg...! Tangan Jin Arak terpental bagai 
diterabas angin sebesar badai dahsyat. Akibat tan-
gannya terhempas, badannya pun berputar. Aneh-
nya putarannya itu melebihi dari hitungan sepu-
luh kali. Ketika Jin Arak berhenti bergerak memu-
tar, tubuhnya menjadi semakin meliuk terhuyung-
huyung, Begitu berhenti ia langsung ambil sikap 
berlutut satu kaki, kepala sedikit bungkuk, dan 
mulutnya segera mengeluarkan apa saja yang tadi 
atau kemarin sudah dimakannya. Ia muntah, ma-
buk berat akibat putaran angin topan dari hidung 
Wong Sakti. Dan setelah itu, Jin Arak kembali ber-
diri dan menyerang Wong Sakti melalui tepukan 
tangan satu kali. Plok..!
Dari tepukan dua telapak tangan itu meng-
hasilkan sinar panjang menghantam tubuh Wong 
Sakti. Oleh Wong Sakti, sinar kuning kemerahan 
itu dihantamnya dengan pukulan tanpa sinar na-
mun timbulkan dentuman dahsyat. Blaarr...! Jin 
Arak kembali terpental tunggang-langgang. Kepa-
lanya yang botak terbentur-bentur batu atau ba-
tang pohon. Akibatnya keadaan tubuh Jin Arak 
menjadi lemah, kepalanya pusing dan mual perut-
nya.
"Bangunlah kalau kau ingin coba-coba den-
ganku, Jin Arak!" seru Wong Sakti dengan bersiap 
mencari jarak yang tidak berkerumun. Seolah-olah 
Wong Sakti siap hadapi Jin Arak dengan sengit-
nya.
Pandu Tawa hendak bergerak, tapi dengan 
cepat lengannya ditahan Lili sambil berkata, "Biar-
kan dulu mereka selesaikan sendiri urusan mereka. Kita lihat saja apa jadinya."
Pandu Tawa jalan ke samping, membiarkan 
pertarungan itu terjadi. Ia melihat Wong Sakti 
memungut beberapa daun yang jatuh di tanah. 
Daun-daun kecil itu bagaikan dibuat mainan seca-
ra bertumpuk di tangan kirinya. Wajahnya masih 
menampakkan senyum kempotnya dengan mata 
menatap Jin Arak yang sedang berusaha untuk 
bangkit.
Orang gemuk itu penasaran sekali kepada 
Wong Sakti. Kemudian dengan gerakan cepat ia 
menyentakkan kedua tangannya ke langit, dan ti-
ba-tiba terdengar bunyi menggelegar, kemudian 
turun hujan di bagian atas kepala Wong Sakti saja. 
Hujan rintik-rintik bukan hujan air, melainkan hu-
jan bara yang dapat melelehkan kepala manusia.
Wong Sakti terkekeh sebentar, kemudian 
salah satu daun dilemparkan ke atas. Daun kecil
itu berputar semburkan sinar biru berkeliling. Ma-
kin lama semakin lebar dan menjadi semacam 
payung pelindung. Dengan adanya payung pelin-
dung dari sinar biru itu, rintik hujan bara dapat 
tertangkis. Setiap rintikan bara yang jatuh menim-
pa sinar biru menjadi padam dan menimbulkan 
bunyi letusan yang berentet.
Daun bersinar biru itu semakin lama makin 
naik, semakin mendekati pusat rintikan hujan ba-
ra, dan akhirnya menghantam pusat itu dengan 
timbulkan suara menggelegar kembali. Bumi pun 
berguncang akibat gelombang ledakan tersebut.
Jin Arak yang sempat terbengong meman-
dang sinar biru tadi kini menjadi tersentak kaget,

karena Wong Sakti menyerangnya dengan helai-
helai daun yang tersisa di tangan kirinya. Daun itu 
dilempar-lemparkan menggunakan tangan kanan 
dan menimbulkan suara berdesing bagaikan lem-
pengan logam tajam yang melesat cepat.
Jraab...! Salah satu daun mengenai ujung 
lengan bawah pundak Jin Arak. Orang itu terpen-
tal dan roboh dengan mengerang keras karena ke-
sakitan. Sebagian tubuhnya menjadi biru legam 
seketika,
Bertepatan dengan itu, sekelebat bayangan 
lewat di depan mereka. Melintas dengan cepatnya, 
dan menyambar tubuh Jin Arak. Wong Sakti dan 
Kukilo terkejut sekejap, demikian juga Lili dan 
Pandu Tawa. Bocah berkulit hitam itu berseru,
"Dia digondol orang, Guru!"
"Digondol, digondol... kau pikir kucing?!" ge-
rutu Wong Sakti.
Pandu Tawa tertawa. "Wong Sakti, aku ter-
paksa tinggalkan tempat ini, karena merasa tidak 
punya kepentingan apa-apa denganmu!"
"Tunggu dulu. Perlu kau ketahui, menurut 
ramalan ku, kau adalah jodohnya Lili. Jadi kalau 
kau mau pergi, bawalah Lili!"
Pendekar Rajawali Putih terperanjat kaget 
dan berdetak-detak tegang, demikian pula halnya 
dengan Pandu Tawa yang segera saling, pandang 
dengan Lili. Wong Sakti berkata lagi,
"Sesuatu yang berharga sudah kuberitahu-
kan kepada kalian. Sekarang kalian harus berita-
hukan padaku di mana Tua Usil berada."
Pandu Tawa yang menjadi tak enak hati

terhadap Lili itu segera berkata kepada gadis ter-
sebut,
"Jangan hiraukan kata-katanya. Dia terma-
suk peramal bodoh. Aku harus kejar Yoga palsu 
itu dan ingin membuka kedok orang tersebut!"
Wuuttt...! Pandu Tawa cepat tinggalkan 
tempat setelah berkata demikian. Lili masih terte-
gun dalam kebingungan. Waktu itu Wong Sakti 
berkata kepada Lili,
"Kau murid Dewi Langit Perak, pasti kau 
mau tolong aku, Nona Manis. Aku ingin pindahkan 
ilmuku ,ke dalam tubuh muridku, si Kukilo ini. 
Tapi selalu gagal karena aku lupa caranya. Jadi 
aku butuh meminjam pisau pusakanya Tua Usil 
agar muridku menikamku dengan pisau itu. Den-
gan demikian ilmuku bisa mengalir sepenuhnya ke 
dalam diri muridku ini! Maka, tolong aku, berita-
hukan di mana aku bisa menemui si Tua Usil 
itu...?"
"Aku tidak tahu!" jawab Lili dengan kaku 
dan datar. Kukilo menyahut, "Guru, tinggalkan sa-
ja nona cantik itu. Kejar si Jin Arak, supaya dia ti-
dak lebih dulu dapatkan Tua Usil dan membu-
nuhnya! Lekas, Guru!"
"O, iya...! Kalau begitu, maafkan aku, Nona. 
Aku terpaksa meninggalkanmu sementara di sini!"
Wuuttt...! Wong Sakti segera berlari pergi, 
Kukilo mengikutinya dengan berlari bagaikan anak 
celeng cepatnya. Pendekar Rajawali Putih hanya 
mengikuti dengan pandangan mata sambil hatinya 
berkata,
"Apa benar ucapan Wong Sakti tadi? Pandu

Tawa
adalah jodohku? Jadi, bagaimana hubun-
gan kasihku dengan Yoga? Apakah akan berakhir 
dengan perpisahan? Oh, jangan! Aku tidak mau. 
Aku lebih mencintai murid angkatku itu ketim-
bang Pandu Tawa. Aku harus kejar ke mana pun 
Yoga pergi. Aku harus cari dia dan memberitahu-
kan ucapan Wong Sakti tadi...!"
Lili segera berdiri tegak. Kedua tangannya 
menggenggam. Kedua genggaman itu beradu di 
pertengahan dada. Kemudian dari sela-sela geng-
gaman yang beradu itu melesatlah sinar putih pe-
rak yang bergelombang-gelombang Sinar itu mele-
sat lurus ke angkasa dan menimbulkan suara 
denging yang makin tinggi semakin menggema ke 
mana-mana.
Itulah tandanya Lili memanggil burung ra-
jawali putihnya. Burung itu jika mendengar suara 
denging yang khas menjadi isyarat panggilannya, 
selalu dengan cepat terbang menuju ke arah deng-
ing tersebut. Dan jika ia sudah temukan di mana 
Lili berdiri, burung itu pun segera menukik turun 
dengan gesitnya.
Wuuukkksss...!.
Hembusan angin dari sayapnya cukup be-
sar dan kuat. Jika orang tak berilmu berdiri di de-
kat Lili, pasti akan terpental terbang karena hem-
busan angin datangnya sang rajawali putih itu. Ji-
ka burung besar sudah datang, Lili segera melom-
pat ke atas, duduk di punggung sang rajawali, ke-
mudian ia pun dibawa terbang oleh burung besar 
itu, menjelajahi angkasa, mencari apa yang dicari.

Pada sebuah lereng bukit yang berpohon 
tak begitu rapat. Yoga sedang menuruni lereng itu 
untuk mencapai tanah di kaki bukit. Tiba-tiba ia 
rasakan hembusan angin panas berkekuatan ting-
gi yang menyerangnya dari arah samping kiri. 
Wuuusss...!
"Huup...!" Yoga melompat dan bersalto dua 
kali ke arah depan. Gelombang angin panas tanpa 
sinar dan tanpa bentuk itu berhasil di hindarinya. 
Gelombang itu menghantam pohon dan kulit po-
hon terkelupas dengan cepat dari bawah sampai 
atas.
"Hmmm...! Ada yang menghendaki kema-
tianku, rupanya?!" pikir Yoga dengan mata me-
mandang tajam sekelilingnya. Tapi tak disangka-
sangka sebatang dahan di atas pohon berderak pa-
tah dan jatuh menimpa kepala Yoga.
Kraaakkk...! Wuurrsss...!
Duaarrr...! Yoga menghentakkan tangannya, 
melepaskan pukulan penghancur dari tangan bun-
tungnya itu. Dahan besar yang semestinya dapat 
membuat kepala Yoga pecah itu, hancur lebih dulu 
semasa dalam perjalanan turun. Serpihannya me-
nyebar ke mana-mana bagaikan rintik hujan.
"Siapa yang ingin berkenalan denganku, si-
lakan keluar dan berkenalan secara baik-baik!" se-
ru Yoga sambil menyelidiki sekelilingnya dengan 
penuh waspada.
Kejap berikutnya terdengar suara di bela-
kang Yoga. "Aku...!" Dan Yoga segera memandang 
ke arah orang tersebut, lalu menyunggingkan se-
nyum keramahannya.

"Oh, kau Pandu...! Kau kalau bercanda ser-
ing membahayakan teman sendiri!" Yoga tertawa 
kecil dan menunggu Pandu Tawa mendekatinya. 
Setelah dalam jarak empat langkah, Pandu Tawa 
berhenti dan menatap dengan wajah dingin. Hal 
itu membuat hati Yoga sempat menaruh curiga.
"Seharusnya kutumbangkan semua pohon 
dan kulemparkan kepadamu! Tapi aku butuh pen-
jelasan dan pengakuanmu. Siapa dirimu sebenar-
nya?"
"Aku tak mengerti maksudmu, Pandu Ta-
wa?"
"Jangan berlagak bodoh, karena itu hanya 
akan mengurangi kesabaranku. Katakan, siapa di-
rimu sebenarnya!"
"Pandu Tawa....?" Wajah pendekar tampan 
itu berkerut dahi. Ia menampakkan keheranannya 
yang amat sangat. Ia sempat berkata, "Kau ber-
canda atau cari masalah?"
"Katakan siapa dirimu sebenarnya?!"
"O, kau membentakku, Pandu?!"
Zlapp...! Sebatang ranting kering melesat 
cepat menuju telinga Yoga. Ranting itu akan ma-
suk ke dalam telinga dan sangat menyakitkan jika 
tidak segera dihindari oleh Yoga. Jelas gerakan 
ranting kering yang tajam itu akibat ilmu 'Serat 
Jiwa'-nya Pandu Tawa, yang mampu melemparkan 
ranting tersebut menggunakan alam pikirannya.
Zlaapp...! Kini sebutir batu dalam ukuran 
sebesar kepalan tangan orang dewasa, berkelebat 
cepat dari tanah ke arah kepala Yoga. Tapi tangan 
kanan Yoga segera berkelebat. Tabbb...! Batu itu

ditangkap dengan tangan. Lalu dalam sekejap be-
rubah menjadi serpihan debu-debu hitam yang se-
gera ditaburkan oleh Yoga.
"Hiaaat...!" Pandu Tawa penasaran, segera 
menyerang Yoga dengan satu lompatan. Dan Yoga 
pun menyambutnya dengan serangan satu lompa-
tan ke depan. Plak, plak... buhk, buhk...!
Wuusss...!
Keduanya sama-sama mendaratkan kaki ke 
tanah. Saling memunggungi. Dan tiba-tiba dari 
mulut Yoga keluarkan darah kental yang meleleh 
pelan-pelan sambil tangan Yoga pegangi dada ka-
nannya. Sedangkan Pandu Tawa pun diam seben-
tar memegangi ulu hatinya, dari mulutnya keluar 
darah, demikian juga dari lubang hidungnya. Ru-
panya ia pun terkena pukulan berbahaya dari 
Pendekar Rajawali Merah itu. Wajahnya menjadi 
pucat, sepucat wajah Yoga saat itu.
*
* *
6


SIAPA orangnya yang tidak tertarik meman-
dang seekor burung rajawali besar terbang dengan 
di tunggangi gadis cantik berpakaian merah? Bagi 
orang awam, memang pemandangan itu sangat 
mengagumkan dan akan bertanya-tanya, siapa ga-
dis yang mempunyai kecantikan melebihi bidadari 
itu? Tapi bagi tokoh dunia persilatan mereka sudah tak asing lagi. Mereka tahu, gadis penunggang 
rajawali putih itu adalah Lili, si Pendekar Rajawali 
Putih,
Murid mendiang Dewi Langit Perak itu sen-
gaja terbang sedikit rendah untuk mencari keka-
sihnya yang menjadi murid angkatnya itu. Dalam 
waktu tak berapa lama, mata indah milik Pendekar 
Rajawali Putih itu berhasil temukan dua pemuda 
tampan yang saling mengadu ketinggian ilmunya. 
Kedua pendekar tampan itu tak lain adalah Yoga 
dan Pandu Tawa. Maka, Pendekar Rajawali Putih 
pun segera memerintahkan kepada burung raja-
walinya untuk mendarat di salah satu gundukan 
tanah yang membukit, tak jauh dari pertarungan 
tersebut.
Pada waktu itu, keadaan Pandu Tawa dan 
Yoga sama-sama saling melompat dan menghan-
tamkan telapak tangan mereka kembali. Plakkk...! 
Keduanya kini berdiri dengan kaki sedikit meren-
dah. Telapak tangan kanan mereka saling beradu 
dan tetap lengket, tak ada yang mau menariknya. 
Telapak tangan itu kepulkan asap putih menanda-
kan dua kekuatan tenaga dalam sedang saling di-
kerahkan.
"Hentikan!" seru Pendekar Rajawali Putih 
begitu turun dari punggung rajawalinya. Tapi ke-
dua pemuda tampan itu tidak hiraukan seruan 
tersebut. Asap putih semakin banyak mengepul 
dari perpaduan dua telapak tangan itu. Lili terpak-
sa harus berteriak keras, "Hentikan...!"
Yoga dan Pandu Tawa masih saling adu ke-
kuatan tenaga dalam mereka. Bahkan, sekarang

Yoga sentakkan kakinya dan melambung sedikit 
ke atas, ia bersalto maju dengan menggunakan te-
lapak tangan lawan untuk bertumpu, wuuttt...! 
Tubuhnya melayang memutar balik di atas kepala 
Pandu Tawa. Kemudian kakinya segera menjejak 
ke belakang dan tepat mengenai punggung Pandu 
Tawa. Duuuhg...!
Wuusss...! Bruuhg...!
Pandu Tawa terpental maju dan hilang ke-
seimbangan sehingga jatuh tersungkur di tanah. 
Beruntung sekali wajahnya tidak sampai memben-
tur sebongkah batu yang tepat ada di depannya. 
Tetapi pemuda yang menjadi cucu dari tokoh sakti 
bernama Eyang Wejang Keramat itu, semakin me-
muntahkan darah lebih banyak lagi dari mulutnya. 
Tendangan yang kenai punggung itu bagai meng-
hentakkan seluruh darah dalam tubuhnya. Hal itu 
membuat Lili sangat terkejut karena mengenali ju-
rus tersebut, yang dinamakan jurus 'Rajawali Me-
nipu Naga'.
Wuuttt...! Jleegg...!
Pendekar Rajawali Putih cepat melompat
dan tahu-tahu sudah berada di pertengahan jarak 
antara Yoga dan Pandu Tawa. Ketika itu, Yoga su-
dah menyiapkan jurus lain untuk menyerang Pan-
du Tawa.
"Tahan! Tahan seranganmu, Yoga!" bentak 
Lili dengan berang karena diliputi kecemasan akan 
luka-luka yang diderita Pandu Tawa. Luka-luka itu 
sangat berbahaya. Bisa membuat Pandu Tawa te-
was saat itu juga. Dan Lili tidak inginkan hal itu 
terjadi.

"Apa maksudmu melindunginya?!" tanya 
Yoga kepada Lili dengan wajah cemberut. "Apakah 
karena kau merasa sebagai calon jodohnya?!"
Lili terperanjat kaget mendengar ucapan 
Yoga begitu. Ia belum bisa bicara untuk beberapa 
saat, karena merasa bingung mengatasi hal itu. 
Sementara ia pun harus segera menolong Pandu 
Tawa dari luka parahnya tersebut.
"Tahan murkamu, Yo! Tahan!" Lili pun ber-
gegas hampiri Pandu Tawa.
Tetapi pemuda berpakaian biru muda itu 
segera bangkit sendiri. Napasnya terhirup dalam-
dalam dan di pendamnya beberapa saat, lalu di-
hembuskannya pelan-pelan. Pandu Tawa masih 
bisa berdiri tegak, itu pertanda ia bisa atasi luka 
dalamnya yang diduga parah oleh Lili. "Pandu, kau 
tidak apa-apa?!"
"Tidak," jawab Pandu Tawa masih jelas. 
"Minggirlah, akan kuhajar dia dengan jurus pem-
buka kedok penyamaran!"
"Jangan, Pandu. Tahan kemarahanmu." 
"Dia harus kita hajar habis-habisan jika tidak mau 
tunjukkan wajah aslinya, Lili!" kata Pandu Tawa 
dengan keras dan didengar oleh Pendekar Rajawali 
Merah. Maka, dari tempatnya berdiri Yoga berseru,
"Apa yang ingin kau lakukan padaku sebe-
narnya, Pandu Tawa?! Apa alasanmu menyerang-
ku?!"
"Kau bukan Yoga yang asli! Kau manusia 
sesat yang menyamar sebagai Yoga! Dan aku tidak 
terima jika sahabatku kau lecehkan dengan pe-
nyamaranmu! Buka kedokmu! Rubah dirimu kewujud aslimu! Lekas!" bentak Pandu Tawa. Namun 
bentakan itu justru membuat wajah Yoga berkerut 
dahi dengan menampakkan keheranannya.
Lili sempat membisik di samping Pandu Ta-
wa, "Agaknya dia Yoga yang asli, Pandu. Kukenali 
jurusnya yang bernama jurus 'Rajawali Menipu 
Naga' tadi! Tahanlah dulu kemarahanmu, akan 
kuuji dia!"
Kemudian Lili maju mendekati Yoga, semen-
tara Yoga berkata dengan masih bernada marah.
"Apa maksud kata-katanya itu, Guru?"
"Seseorang telah menyamar sebagai Yoga. 
Kami tahu hal itu. Tapi sulit membedakannya. Se-
karang, jika kau memang Yoga yang asli, panggil-
lah burung rajawali mu!"
"Guru tidak percaya padaku?!"
"Kubilang, panggil burung rajawalimu itu-
sekarang juga!" Lili sedikit membentak. Yoga pun 
kendurkan ketegangannya.
Setelah menarik napas dan menghem-
paskannya sebagai penenang gejolak amarah da-
lam dada. Yoga pun segera menggenggamkan tan-
gannya. Tetapi hanya dua jari yang ditekuk di 
genggaman, sedangkan jari telunjuk, jari kelingk-
ing, dan jempolnya berdiri tegak. Tangan tersebut 
segera disentakkan ke atas. Wuuttt...! Lurus ke 
langit.
Dari ketiga ujung jari yang berdiri tegak Itu 
melesatlah tiga larik sinar merah. Sinar tersebut 
bertemu di angkasa dan menimbulkan suara den-
tuman yang menggaung dan menggema ke mana-
mana. Lalu, tak beberapa lama, muncullah seekor

burung rajawali berbulu merah. Burung besar itu 
segera menukik dan menyerukan suaranya di 
angkasa.
"Keaaak...! Keeaaak...!"
Burung rajawali putih yang tadi ditunggangi 
Lili itu tampak girang melihat Rajawali Merah da-
tang. Ia segera bentangkan sayapnya tak terlalu 
lebar sambil membalas seruan tersebut,
"Kaaaakk...! Kaaakk...!"
Burung Rajawali Merah hinggap tak jauh 
dari Rajawali Putih, jodohnya. Si Rajawali Putih 
melompat dan kian mendekat, kemudian sayap-
sayap mereka saling beradu bersentuhan menim-
bulkan getaran gelombang yang membuat pohon-
pohon bergetar. Suara mereka pendek dan pelan, 
tapi berisik didengar orang. Mereka seperti dua 
kekasih yang saling melepas rindu dan kegembi-
raan.
Tiga manusia yang ada di tempat itu sama-
sama memandang. Pendekar Rajawali Putih sung-
gingkan senyum tipis melihat burungnya berceng-
kerama dengan rajawali merah, tetapi Yoga tidak 
tersenyum sedikit pun. Pandu Tawa juga tidak ter-
senyum, melainkan justru terperangah meman-
dangi dua burung berpasangan yang saling ber-
canda menurut caranya sendiri itu; Lalu, Pandu 
Tawa mendengar Lili berkata,
"Kalau begitu kau memang Yoga yang asli!"
Pandu Tawa menghempaskan napas keke-
cewaan dan penyesalannya. Ia segera dekati Yoga, 
berdiri dalam jarak dua langkah, lalu berkata!
"Maafkan aku! Aku salah serang."

Setelah mendapat penjelasan lebih lengkap, 
Yoga bisa memaklumi kekeliruan itu dan memaaf-
kan tindakan Pandu Tawa. Tetapi di dalam hati Lili 
yang merasa lega itu terpetik sebaris kata,
"Ternyata Yoga tetap unggul seandainya be-
nar-benar bertarung dengan Pandu Tawa."
Keyakinan itu jelas ada di dalam hati Lili, 
sebab ia melihat sendiri Pandu Tawa terancam ba-
haya sebelum ia datang melerainya. Jika Lili tidak 
segera menengahi pertarungan itu. Yoga pasti le-
paskan pukulan dahsyatnya untuk membuat Pan-
du Tawa cedera. Dan Pandu Tawa pasti tidak bisa 
menghindarinya. Pencegahan dari Lili itulah yang 
membuat Pandu Tawa tadi punya kesempatan un-
tuk pulihkan kesehatannya sendiri dan menjadi 
tegak kembali.
Dengan dua telapak tangan ditempelkan ke 
punggung dua pemuda itu, Lili salurkan hawa 
murninya ke dalam tubuh mereka. Dengan begitu 
luka dalam yang sama-sama mereka derita walau-
pun tak kentara, kini dapat dipulihkan kembali 
oleh Lili. Keadaan tubuh mereka pun segar kemba-
li.
* * *
Lalu, bagaimana dengan Yoga palsu jelmaan 
dari Putri Kumbang itu?
Yoga palsu sempat terhenti dari pelarian-
nya. Hal yang membuatnya terhenti itu karena di-
hadang oleh seseorang bertubuh tinggi, besar dan 
berwajah angker. Orang berwajah angker itu kena

kan jubah hitam berlengan longgar, tepian jubah-
nya dilapis kain merah mengkilap. Rambutnya bo-
tak separo, sisanya yang belakang terjurai panjang 
sebatas pundak. Kepala botak separo itu dililit ikat 
kepala warna merah dengan simbul swastika dari 
emas di tengah dahinya. Di kanan kirinya terselip 
senjata berupa gelang-gelang dari logam kuning 
emas dengan garis tengah sekitar dua jengkal dan 
tepiannya bergerigi. Orang beralis tebal itulah yang 
dikenal oleh setiap tokoh dunia persilatan dengan 
nama: Malaikat Gelang Emas; musuh utama dari 
Yoga dan Lili.
"Sial! Agaknya aku harus terlibat perkara 
dengan Malaikat Gelang Emas ini! Apa kemaua-
nnya menghadangku?"
Putri Kumbang dalam wujud Yoga segera 
mundur satu tindak ketika Malaikat Gelang Emas 
maju dua tindak. Dengan wajah menyimpan mur-
ka, mata memandang ganas dan tangan sudah 
menggenggam, orang berbadan besar itu berkata 
dalam geram bernada marah,
"Sekarang kau sendirian! Sekarang juga 
saatnya. untuk membunuhmu. Yoga! Tak mungkin 
kau lolos lagi dari tanganku!"
Tunggu dulu!" sergah Putri Kumbang. "Jan-
gan serang aku dulu. Aku bukan Yoga, si Pendekar 
Rajawali Merah! Aku bukan dia!"
"Gggrrr...! Rupanya kau mulai ketakutan 
melawan ku satu lawan satu, bocah kambing?! Ta-
pi aku tak pernah memberi ampun untuk orang 
semacam kau, Yoga!"

"Aku bukan Yoga! Percayalah. Aku Putri 
Kumbang yang sedang menyamar sebagai...!" 
Wuuuttt...! Buuhg...!
Tiba-tiba Malaikat Gelang Emas keluarkan 
pukulan tenaga dalamnya dari jarak tujuh lang-
kah. Pukulan tenaga dalam itu keluar dari dua 
genggaman tangannya yang disodokkan ke depan 
secara bersamaan. Pukulan bergelombang besar 
itu membuat Putri Kumbang terlempar hingga 
membentur pohon besar dengan kuat." Padahal 
dengan cepat tangan Putri Kumbang telah me-
nyentak memberi penahanan, tetapi tetap saja tu-
buhnya melayang bagaikan kapas dihempas angin 
besar.
"Gggrrr...! Modar kau, Setan! Heeaahh...!" 
Malaikat Gelang Emas melompat dan berusaha 
menginjak tubuh, yang di sangka Yoga itu. 
Bleeehg...!
Untung Putri Kumbang dengan cepat ber-
guling ke kiri menghindari dua kaki besar yang 
hendak menginjaknya itu. Ia lekas bangkit dari 
bergulingnya. Tetapi tak sempat lakukan sesuatu, 
karena kaki Malaikat Gelang Emas sudah lebih 
dulu menendang sambil berputar satu kali,
Daahhg...! Tendangan itu tepat mengenai 
wajah Putri Kumbang, seperti sebuah tamparan 
yang amat kuat dan besar. Tendangan kaki tampar 
itu membuat Putri Kumbang terlempar lagi, enam 
langkah jauhnya.
Wajah itu memar biru pada bagian rahang 
kanan. Sepercik darah tersembur keluar dari mu-
lut. Putri Kumbang rasakan nyeri di sekujur tubuh, dari kaki sampai kepala. Matanya pun terasa 
gelap untuk memandang. Ia mengerjap-ngerjapkan 
matanya dan berusaha bangkit.
Ketika baru saja pandangan matanya mulai 
terang kembali, ia melihat sekelebat sinar kuning 
bergelang-gelang melesat dari pergelangan tangan 
Malaikat Gelang Emas. Putri Kumbang yang sudah 
lama mengenali keganasan Malaikat Gelang Emas 
itu segera mengerti bahwa dirinya saat itu dalam 
bahaya besar.
Dengan satu kali jejakkan kaki ringan, Putri 
Kumbang melambung tinggi di angkasa dan hing-
gap di atas dahan sebuah pohon, sementara sinar 
gelang-gelang kuning itu menghantam pohon lain. 
Pohon itu lenyap tinggal sisa kulitnya saja.
Zlaaapp...!
Putri Kumbang lepaskan serangan sinar hi-
jau dari kesepuluh ujung jarinya. Sinar hijau yang 
berlarik-larik itu menghantam tubuh besar Malai-
kat Gelang Emas. Ternyata orang berwajah angker 
itu mampu menghalangi sinar-sinar hijau itu den-
gan menghentakkan kaki ke tanah dan dari tanah 
keluar sinar putih bening bagaikan kaca yang me-
lebar membentengi tubuhnya. Akibatnya, sinar hi-
jau itu tidak bisa menembus cermin pelapis tenaga 
dalam tersebut. Drrrubb...! Sinar hijau itu padam 
seketika.
Zlaaap...! Malaikat Gelang Emas lenyap dari 
pandangan mata Putri Kumbang. Tahu-tahu tu-
buh Putri Kumbang terjungkal jatuh dan atas po-
hon seperti ada yang menendang punggungnya da-
ri belakang. Bruuss! Tubuh berwujud Yoga itu ter

sungkur tanpa ampun lagi di tanah. Wajahnya lu-
ka dan memar. Bibirnya pecah sebagian. Dalam 
keadaan tengkurap dalam jatuhnya, tiba-tiba ia 
merasakan ada benda yang amat berat dan besar 
telah menjatuhi punggungnya. Bluuuhg...!
"Nggehk...!" Putri Kumbang mendelik tak bi-
sa bernapas, tapi yang terlihat adalah wajah Yoga 
yang kesakitan tak mampu bernapas. Lalu, segera 
terdengar suara tawa Malaikat Gelang Emas yang 
terbahak-bahak menggema ke mana-mana itu.
"Huah, hah, hah, hah, hah...! Ternyata kau 
mudah sekali kukalahkan, Yoga! Akan ku per-
mainkan dulu diri mu sebelum kuhabisi nyawamu! 
Huah, hah, hah...!"
Putri Kumbang segera kerahkan tenaganya. 
Ia tahu tubuhnya sedang diinjak oleh tubuh besar 
Malaikat Gelang Emas, walaupun orang itu tidak 
tampak dalam penglihatannya. Putri Kumbang 
pun segera sentakkan kedua sikunya yang ber-
tumpu di tanah agar punggungnya bisa menghen-
tak naik.
Wuuttt...! Dan ia cepat membalik dalam 
keadaan telentang, lalu tangannya menyentak ke 
depan dan memancarkan cahaya kuning yang me-
nyebar ke berbagai arah. Zrrraaapp...!
"Uuhg...!" terdengar suara lawan mengaduh 
tertahan. Tubuh Putri Kumbang terasa ringan, be-
rarti sudah tidak diinjak oleh tubuh besarnya Ma-
laikat Gelang Emas. Serta-merta Putri Kumbang 
bangkit dan membiarkan pohon-pohon terbakar 
akibat sinar kuningnya tadi. Dengan mengguna-
kan tenaga dalam cukup tinggi, Putri Kumbang

mengibas-ngibaskan tangannya yang pada waktu 
itu dalam keadaan buntung sebelah kiri, karena ia 
sebagai Yoga.
Kibasan tangan yang berkali-kali itu me-
nimbulkan gelegar petir berulang-ulang. Cahaya 
biru menyambar-nyambar bumi bagaikan serang-
kaian pasukan petir yang mengamuk dan ingin 
menghancurkan bumi.
Pada saat itu, wujud Malaikat Gelang Emas 
nyata dalam ilmu bayang siluman, hingga tampak 
jelas di mata, namun keadaannya tak bisa ditem-
bus benda apa pun. Wajahnya itu bagaikan cermin 
samar-samar. Dan, Putri Kumbang merasa kewa-
lahan.
"Kalau tak segera lari, bisa modar di sini!" 
maka, Putri Kumbang pun cepat-cepat larikan diri 
dengan ilmu peringan tubuhnya yang cukup ting-
gi. Ia bergerak cepat dan zig-zag, sehingga sulit di-
ikuti lawan.
Dalam keadaan babak belur, Putri Kum-
bang yang masih berwujud Yoga itu lari menuju 
Biara Sita. Repotnya lagi, ketika ia tiba di pintu 
gerbang Biara Sita, ia dihadang oleh Roh Gantung, 
Juru Kubur, dan Tambur Pati. Bahkan mereka ti-
dak memberi kesempatan Putri Kumbang untuk 
bicara. Karena pada saat itu, suara Cemplon Sari 
yang ada di menara pengawas bersama seorang 
pemuda kekasihnya itu terdengar menyerukan ka-
ta,
"Itu dia yang bernama Yoga! Dia pasti akan 
menuntut balas atas perlakuan sang Ketua terha-
dap kekasihnya!"

Suara itulah yang membuat Roh Gantung 
segera keluarkan lempengan logam kuning seperti 
sepasang piringan yang diadukan satu dengan sa-
tunya. Graaang...! Craaang...! Gelombang sua-
ranya membentuk sinar merah setengah lingkaran, 
menghantam Putri Kumbang.
"Hal...!" Putri Kumbang hanya bisa berteriak 
satu kata dan segera melompat ke kiri. Tapi di kiri 
ia disambut oleh serangan Juru Kubur yang ber-
senjatakan terompet dililit kulit bambu. Terompet 
itu dikibaskan bagaikan mengibaskan pedang, se-
hingga timbulkan gelombang hebat yang menghan-
tam tubuh Putri Kumbang.
Blaaarrr...! Ledakan dahsyat itu terjadi ka-
rena Putri Kumbang sentilkan jarinya ke arah 
hembusan gelombang tersebut. Rupanya sentilan 
jari Putri Kumbang mempunyai tenaga dalam yang 
lebih besar dan mampu. meledakkan gelombang 
tenaga tingginya Juru Kubur.
Akibat ledakan itu, Juru Kubur terlempar 
empat tindak ke belakang dan jatuh terkulai ba-
gaikan tak berurat lagi. Sedangkan Tambur Pati 
yang ke mana-mana selalu menggantungkan gen-
derang di perutnya itu, cepat-cepat mengambil dua 
kayu pemukul genderang. Dengan dua kayu Itu 
Tambur Pati melompat hendak menusukkan ke-
dua kayu pemukul yang tajamnya bisa melebihi 
mata tombak. Punggung yang menjadi sasaran itu 
tiba-tiba berbalik arah, dan tangan kanan Putri 
Kumbang menghentak ke depan. Wuuttt...! Tubuh 
besar dan gendut itu terhempas mundur karena 
tenaga yang terpancar dari sentakan tangan terse

but.
"Hentikan! Hentikan semua! Aku ketua ka-
lian. Bukan Yoga!"
"Astaga...?!" Roh Gantung kaget. Seharus-
nya ia melemparkan salah satu logam piringannya 
untuk memenggal leher lawan. Namun ketika ia 
mendengar suara Yoga berkata demikian, ia segera 
ingat bahwa Ketua Biara Sita itu sedang menya-
mar sebagai Yoga untuk memancing Lili agar se-
rahkan Kitab Jagat Sakti.
"Tahan semua serangan! Tahan...!" Roh 
Gantung sendiri yang mengangkat kedua tangan-
nya yang masih memegangi dua lempengan logam 
itu, menyuruh kedua temannya untuk berhenti 
menyerang, juga menghalau para penghuni Biara 
Sita yang berhamburan keluar dari dalam biara, 
ingin mengepung orang yang disangka Yoga.
Suara Cemplon Sari terdengar dari atas 
menara pengawas, "Kalau kau memang sang Ke-
tua, coba tampakkan wujud aslimu!"
Beberapa saat kemudian, tubuh Yoga bera-
da dalam cahaya putih menyilaukan. Sinar putih 
itu keluar dari tubuh tersebut dan semakin menyi-
laukan hingga tak bisa terlihat lagi bentuknya. Ke-
jap berikut, sinar itu surut dan menjadi padam, la-
lu wujud sang Ketua mereka, yaitu Putri Kum-
bang, mulai tampak jelas di mata mereka: "Setan 
belang semua! Orang sendiri diserang seenaknya! 
Kalau tak kumaklumi, bisa kubantai habis kalian 
semua. Mengerti?!" Putri Kumbang membentak 
dengan mata melotot. Mereka jadi takut dan sama-
sama tundukkan wajah.

*
* *
7

ATAS saran Roh Gantung, Putri Kumbang 
ganti menyamar sebagai si Tua Usil. Roh Gantung 
mengatakan, "Tua Usil. adalah pelayan Lili. Begitu 
menurut banyak kabar yang saya terima. Dengan 
merubah diri menjadi Tua Usil, maka Ketua bisa 
menjadi pelayan Lili!"
Plook...! Mulut Roh Gantung ditampar tak 
seberapa keras oleh Putri Kumbang sambil berka-
ta,
"Kurang ajar! Kau menyuruhku menjadi pe-
layan Lili?! Itu keterlaluan, Roh Gantung! Gaga-
sanmu hanya ingin merendahkan harga diriku di 
depan lawan, dan membuatku malu! Kau pikir aku 
jauh lebih rendah martabatnya daripada Lili?!"
Juru Kubur berkata dengan suaranya yang 
keras, kering, lengking, dan cempreng, "Maksud 
Roh Gantung begini, Ketua...!"
"Sudah, sudah...! Kamu jangan turut bicara. 
Suara mu bikin telingaku bengkak!"
Cemplon Sari segera berkata, "Maksudnya, 
sang Ketua berpura-pura menjadi pelayan Lili. 
Dengan menjadi pelayan Lili, maka sang Ketua bi-
sa keluar-masuk di tempat tinggal gadis itu dan ti-
dak dicurigai jika mendekati penyimpanan kitab 
pusaka tersebut. Dengan menyamar sebagai Tua 
Usil, sang Ketua akan dipercaya oleh Lili dan setelah dapatkan Kitab Jagat Sakti bisa lekas kabur 
tinggalkan mereka!"
"Naaah... itu yang saya maksudkan tadi, Ke-
tua," kata Roh Gantung.
Putri Kumbang yang sangat bernafsu sekali 
untuk mendapatkan Kitab Jagat Sakti dari tangan 
Lili itu, kali ini hanya manggut-manggut dengan 
dahi sedikit berkerut, pertanda mempertimbang-
kan gagasan tersebut. Kejap berikutnya, Putri 
Kumbang menyatakan setuju akan usul itu dan 
segera merubah diri menjadi Tua Usil, lengkap 
dengan lagak lagunya.
Pada waktu itu, di tempat yang tepatnya se-
belah utara Biara Sita, terdapat sebuah selat laut 
yang cukup lebar. Selat itu berpantai dan pasirnya 
berwarna putih bagaikan bedak perawan.
Di pantai itu terlihat seorang perempuan 
cantik yang membawa seekor burung beo di pun-
daknya sedang berjalan menyusuri pantai. Ru-
panya ia sedang menuju ke suatu tempat yang be-
lum bisa dipastikan ke mana arahnya. Ia tampak 
sedikit bingung. Gadis cantik berpakaian jingga itu 
tak lain adalah Lintang Ayu, murid dari si Jubah 
Peri.
Pandu Tawa melihat langkah Lintang Ayu 
yang sudah dikenalnya sejak dulu. Ia segera 
menghampiri Lintang Ayu dengan beberapa kali 
lompatan jarak jauhnya. Rupanya Pandu Tawa 
memisahkan diri dari Yoga dan Lili, setelah persoa-
lan salah paham mereka bisa teratasi. Pandu Tawa 
tak ingin mengganggu pembicaraan dua insan itu 
yang sudah menjurus ke masalah cinta pribadi.

Lintang Ayu sempat kaget dan cepat pasang 
kuda-kudanya ketika Pandu Tawa tahu-tahu ber-
diri di depannya. Namun kuda-kuda itu segera di-
kendurkan setelah ia tahu siapa yang mengha-
dangnya dan si burung beo menyerukan kata,
"Hai kekasih... datang lagi kau padaku, Ke-
kasih. Hai...!"
Pluk! Kepala burung beo itu ditampol oleh 
tangan majikannya. Lintang Ayu sedikit tersipu 
menghadapi Pandu Tawa akibat ocehan burung 
beonya. Pandu Tawa sendiri hanya tersenyum ki-
kuk, sebab dulu ia memang pernah ingin mende-
kati Lintang Ayu. Namun hati perempuan yang 
berjuluk 'Gadis Penakluk Hati' itu, segera menjau-
hi Pandu Tawa karena Pandu Tawa sering menye-
but-nyebut dan membanggakan kekasihnya yang 
pertama, yaitu Roro Wilis. Sejak itulah mereka ja-
rang jumpa.
Pertemuan ini membuat Lintang Ayu pa-
sang sikap jual mahal lebih dulu. Dengan sikap te-
gas, berwibawa, Lintang Ayu menyapa tanpa se-
nyum sedikit pun, "Ada perlu apa menemuiku, 
Pandu Tawa?!" 
"Tak bolehkah aku menemuimu tanpa ke-
perluan?" Pandu Tawa balas bertanya dengan se-
nyum menawannya.
"Aku terganggu dengan pertemuan ini jika 
memang tidak ada perlunya. Waktuku sangat ber-
harga."
Pandu Tawa lebarkan senyum, melangkah 
ke samping memandang ke laut, dan mulutnya 
terdengar ucapan yang mengandung makna kenangan,
"Dari dulu kau selalu mengatakan waktumu 
berharga. Sampai kapan kau akan berhenti diper-
budak oleh waktu dan keperluan?"
"Kurasa kau akan tahu sendiri jawabannya. 
Sebaiknya aku harus cepat-cepat pergi! Selamat 
tinggal, Pandu!"
Seet...! Pandu Tawa kembali menghadang 
tepat di depan Lintang Ayu. Burung beo serukan 
kata sambil terbang,
"Ayo, ayo... mulai cekcok... ayo... ayo... mu-
lai cek-cok...!"
Pandu Tawa tersenyum geli mendengar sua-
ra. burung beo. Lintang Ayu menahan tawa, se-
hingga ia terpaksa tundukkan kepalanya seakan 
membetulkan letak sabuknya yang dipakai menye-
lipkan pedang emas pendek bergagang hias ronce-
ronce benang merah.
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan pada-
mu, Lintang Ayu."
"Katakanlah secepatnya," ujar gadis bertahi 
lalat kecil di sudut bibir kirinya itu.
"Tiga hari lagi akan ada pertemuan seluruh 
pendekar di dunia persilatan. Pertemuan itu di-
adakan di Bukit Tulang Iblis. Dalam pertemuan itu 
akan dipilih dan dinobatkan seseorang untuk men-
jadi Pendekar Maha Sakti dan menjabat sebagai 
hakim dalam pengadilan rimba persilatan. Wak-
tunya untuk menuju ke Bukit Tulang Iblis hanya 
tiga hari dua malam. Jika kau berangkat mulai se-
karang, maka tiba di Bukit Tulang Iblis tepat pada 
saat pertemuan itu berlangsung."
"Aku tidak tertarik untuk datang ke sana, 
Pandu Tawa," kata gadis berpakaian jingga yang 
dirangkapi jubah lengan panjang warna putih tipis 
itu. Sikap berdirinya masih tegak dan berkesan 
angkuh.
"Aku berharap kau bisa menjadi hakim se-
kaligus raja di rimba persilatan yang berhak me-
nyandang gelar Pendekar Maha Sakti!"
Lintang Ayu tersenyum tipis, bernada sinis.
"Aku tidak berminat menjadi raja. Karena 
kelak pun aku akan mewarisi tahta kedudukan 
tertinggi di Kadipaten Windunegara, menggantikan 
ayahandaku."
"Tidak setidaknya kau harus hadir dalam 
pertemuan itu untuk menyaksikan siapa yang ter-
pilih. Mungkin juga akulah yang terpilih!"
"Maaf, aku tidak berminat sama sekali. 
Jangan bujuk aku. Sekarang aku harus cepat per-
gi, Pandu Tawa. Ada keperluan yang sangat pent-
ing dan harus segera kukerjakan."
Pandu Tawa menghela napas, sedikit kece-
wa dengan penolakan Lintang Ayu. Kemudian pe-
muda tampan itu bertanya,
"Hendak ke mana sebenarnya kau, Lintang 
Ayu?"
"Mencari seorang tabib untuk sembuhkan 
guruku."
"O, Nyai Guru Jubah Peri dalam keadaan 
sakit?!' Pandu Tawa sedikit terkejut. "Apakah ada 
seseorang yang melukainya?"
"Tidak. Guru terkena 'Racun Air Mata'!"
Melihat gerakan dahi yang berkerut, Pandu

Tawa kelihatannya belum pernah mendengar na-
ma 'Racun Air Mata'. Ia menjadi heran dan ber-
tanya,
"Apa 'Racun Air Mata' itu?"
"Sebuah tangis kerinduan yang tercemar te-
naga inti. Air mata itu berubah menjadi racun dan 
membuat tubuh Guru bergelembung air di sela se-
la kulit tubuhnya. Jika sampai tulang, daging dan 
uratnya berubah menjadi cair atau mengandung 
air racun tersebut, maka hal itu dapat mengaki-
batkan Guru tewas."
"Hmmm...!" Pandu Tawa manggut-manggut. 
"Lalu, apa yang ditangisi oleh Guru Jubah 
Peri itu?"
"Kukatakan tadi, beliau menangis karena 
kerinduan. Kerinduan terhadap seorang kekasih 
lamanya yang sudah puluhan tahun tak pernah 
dijumpainya!" "Siapa kekasihnya itu?"
"Kurasa kau tak perlu tahu, Pandu. Karena 
persoalan ini sangat pribadi sifatnya."
"Maksudku, kalau memang aku tahu siapa 
orangnya, aku bisa mencari orang itu dan mem-
pertemukannya kepada gurumu."
Gadis berhidung mancung itu geleng-geleng 
kepala, "Tidak akan menolong, Pandu. Sekali pun 
kau berhasil membawa sang kekasih Guru, tetap 
saja racun itu akan membahayakan keselamatan 
guruku. Menurut pesan Guru, aku harus mencari 
seorang tabib. Ada seorang yang menjadi tabib 
ampuh dan dapat sembuhkan berbagai macam ra-
cun, tapi aku tidak tahu di mana tepat tinggalnya. 
Guru sendiri tidak tahu hal itu."

"Siapa nama tabib yang dimaksud itu?" 
"Sendang Suci, atau yang disebut pula Ta-
bib Perawan!"
"Ooo... ya. Aku pernah dengar nama itu. Ka-
lau tidak salah dia adalah sahabat dari Pendekar 
Rajawali Merah. Apakah kau kenal Yoga?"
"Ya, aku kenal!"
"Nah, dialah yang tahu tempat tinggal Tabib 
Perawan, karena waktu kami berada di Teluk 
Gangga, aku pernah dengar dia bercerita tentang 
Tabib Perawan kepada Dewi Gita Dara dan Lili. 
Tapi waktu itu aku mendengarkannya sambil lalu 
saja. Jadi saranku, sebaiknya kau cari Pendekar 
Rajawali Merah itu dan tanyakan kepadanya tem-
pat tinggal Tabib Perawan."
Lintang Ayu diam, tapi hatinya bicara, "Ka-
lau tahu begitu, seharusnya kemarin saat aku ber-
temu dengan Yoga, kukatakan keperluanku ini. 
Menyesal sekali aku tidak ceritakan kepada Yoga 
soal tugas dari Guru ini. Hmmm...! Kalau begitu, 
aku sebaiknya memang harus mencari dia!"
Karena Lintang Ayu dianggap merasa bim-
bang, maka Pandu Tawa berkata, "Akan kubantu 
untuk mencari Yoga, karena belum lama aku jum-
pa dia di pancuran sungai Bening. Sebaiknya kita 
ke sana sekarang juga, mudah-mudahan dia be-
lum pergi bersama Lili."
Lintang Ayu sulit menerima tawaran itu, 
namun juga sulit menolaknya. Ia dalam kebim-
bangan dan kebimbangan itu timbul karena keku-
atan batin Pandu Tawa yang mempengaruhi hati 
Lintang Ayu agar mau menerima tawaran tersebut,

sedangkan pikiran Lintang Ayu ingin menolaknya, 
supaya tidak terjadi kemesraan masa lalu. Namun 
agaknya kekuatan batin Pandu Tawa lebih besar 
dari kekuatan pikiran Lintang Ayu, sehingga Lin-
tang Ayu pun akhirnya membiarkan Pandu Tawa 
mengiringinya dalam perjalanan.
Hanya saja, perjalanan mereka mencari Yo-
ga itu terganggu sebentar oleh kemunculan seo-
rang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, ber-
pakaian coklat muda, sabuk hitam, rambut putih 
tipis dan kumisnya pun putih tipis. Orang tersebut 
tak lain adalah Tua Usil yang punya nama asli 
Pancasona.
"Kebetulan sekali aku bertemu denganmu 
Pandu Tawa," kata Tua Usil.
"Apa yang membuatmu kebetulan?" Pandu 
Tawa ganti bertanya.
"Aku mencari-cari Nona Lili, Pandu Tawa. 
Ada pesan penting yang harus kusampaikan kepa-
da beliau."
"Lili...?! Oh, aku tadi melihatnya sedang 
berduaan dengan Yoga! Kami pun sedang menuju 
ke sungai Bening, karena tadi kulihat dia ada di 
sana bersama Yoga."
"Kalau begitu, aku ikut dengan kalian saja. 
Apakah mengganggu kemesraan kalian?" sambil 
Tua Usil tersenyum-senyum.
Lintang Ayu cepat menyahut, "Kami bukan 
sedang bermesraan. Jaga bicaramu, Tua Usil!"
"O, maaf! Soalnya, kulihat kalian berdam-
pingan dengan mesra. Menurutku, kalian adalah 
jodoh."

"Pandu Tawa bukan jodohku. Pandu Tawa 
adalah jodohnya Lili!"
Pria tampan itu terperanjat, lalu tertawa 
pendek. "Mengapa kau bilang begitu?" ia ingat 
ucapan Wong Sakti yang meramalkan bahwa di-
rinya adalah jodoh dari Lili.
Lintang Ayu memandang sebentar dan ber-
kata, "Wong Sakti meramalkan bahwa jodohmu 
adalah Lili!"
"Itu bukan Wong Sakti, itu wong edan alias 
orang gila. Jangan hiraukan ramalannya. Tidak 
semua ramalan Wong Sakti adalah benar. Kadang 
ia bicara seenaknya saja tanpa memikirkan kebe-
narannya!" kata Pandu Tawa dengan sedikit dong-
kol kepada Wong Sakti yang dianggap menyebar 
berita yang bukan-bukan.
Mereka bertiga sedang melangkah, tiba-tiba 
tubuh Tua Usil terpental ke belakang dan bergul-
ing-guling. Hal itu membuat Lintang Ayu dan Pan-
du Tawa sama-sama terkejut. Sementara itu, bu-
rung beo yang ada di pundak Lintang Ayu itu ber-
seru.
"Bahaya! Bahaya! Ada orang jahat. Ba-
haya...!"
Lintang Ayu segera pasang sikap waspada. 
Matanya yang sedikit lebar tapi indah dan serasi 
dengan kecantikannya itu segera memandang ta-
jam sekelilingnya. Pandu Tawa sendiri melakukan 
hal itu karena takut kalau dia dan Lintang Ayu 
menjadi sasaran pukulan tersembunyi dari seseo-
rang yang telah menyerang si Tua Usil itu.
"Setan kasur!" teriak Tua Usil dalam ma

kian. "Siapa yang berani menyerangku tadi?!" Tua 
Usil tampak berang dan berdiri dengan mata me-
mandang penuh amarah. Serangan bertenaga da-
lam tinggi tadi telah membuat dadanya panas, ba-
gaikan dihantam dengan batu lahar.
Kemudian, seorang bertubuh tinggi dan 
mengenakan jubah abu-abu muncul dan balik po-
hon besar. Orang itu muncul dengan tenang dan 
berjalan mendekati mereka. Pandu Tawa maupun 
Lintang Ayu kenal betul dengan orang tersebut, 
demikian pula si Tua Usil. Orang itu segera di-
hampiri pula oleh Tua Usil sambil berteriak,
"Apa urusanmu denganku sehingga kau 
menyerangku Jubah Jangkung?!"
"Apa kau lupa? Aku menuntut balas atas 
kematian calon istriku yang kau bunuh dengan pi-
sau pusaka itu! Sampai kapan pun kau tetap ku
buru karena telah membunuh Nyai Kuku Setan!" 
kata Jubah Jangkung. (Untuk lebih jelasnya, baca 
serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Pusaka Han-
tu Jagal").
Tua Usil berkata dengan bertolak pinggang, 
"O, jadi kau ke sini mau antar nyawamu supaya 
cepat susul calon istrimu itu? Baik!"
Pandu Tawa mau melangkah maju membela 
Tua Usil, tetapi tangannya dicekal Lintang Ayu, 
sambil wanita cantik itu, berkata,
"Jangan ikut campur. Itu urusan mereka. 
Sebaiknya kita teruskan langkah kita mencari Yo-
ga! Kalau kau tak setuju dengan gagasanku, tetap-
lah tinggal di sini dan aku akan mencarinya sendiri!"

"Baiklah. Aku ikut mencari bersamamu," 
kata Pandu Tawa. Tapi ia sempat berseru kepada 
Tua Usil,
"Tua Usil, bisakah kau kutinggalkan di sini 
dan atasi masalah mu sendiri dengan Jubah 
Jangkung?!"
"Sangat bisa! Jubah Jangkung tak ubahnya 
seperti anak kecil yang bandel dan perlu dihajar! 
Jika perlu akan kubuat mampus!"
"Dasar mulut besar! Kurobek habis mulut-
mu, Tua Usil! Hihhh...!"
Jubah Jangkung sentakkan kaki ke tanah 
dengan pelan dan tubuhnya terlihat melompat ba-
gaikan terbang dengan jubahnya yang berkobar. 
Kedua tangannya mengeras dan tertuju ke wajah 
Tua Usil. Dengan cepat Tua Usil pun melompat ke 
depan dan telapak tangannya beradu dengan ta-
pak tangan Jubah Jangkung. Plaakkk...! 
Bllaaarr...! Kedua tubuh itu terpental setelah ter-
jadi ledakan yang menimbulkan cahaya merah 
bercampur hijau pada saat tangan mereka saling 
beradu.
Tua Usil jatuh terjengkang dalam jarak em-
pat langkah dari tempatnya mengadu tangan. Se-
dangkan Jubah Jangkung terpental dalam jarak 
sekitar enam langkah dari tempatnya mengadu 
kekuatan tenaga dalam. Tapi dalam sekejap, me-
reka sudah sama-sama bangkit dan siap bertarung 
kembali. Dan pada saat itu, Pandu Tawa sudah 
menghilang mengikuti langkah Lintang Ayu.
Zllaaap...! Tiba-tiba Tua Usil kehilangan la-
wannya. Tahu-tahu juga sang lawan sudah ada di

belakangnya dan berkata,
"Aku di sini, Tua Usil!"
Tua Usil menengok seketika itu juga. Tepat 
Tua Usil menengok ke belakang, saat itu pula kaki 
Jubah Jangkung berkelebat menendang wajah Tua 
Usil dengan sangat cepatnya. Ploookkk...!
Tentu saja hal itu membuat Tua Usil ter-
lempar bagaikan pakaian lusuh tak terpakai lagi. 
Jatuhnya pun tidak bisa menjaga keseimbangan 
tubuh. Ia terpuruk ke bawah pohon dengan men-
gerang kesakitan. Jubah Jangkung memanfaatkan 
kelemahan lawannya dengan segera melepas se-
rangan bersinar biru yang keluar dari ujung jari 
tengah yang ditudingkan ke depan. Zlaappp...!
Sepotong sinar biru berukuran sekitar satu 
jengkal melesat dengan cepat menghantam Tua 
Usil. Tapi pada waktu itu, sinar biru itu terhantam 
oleh datangnya sinar putih yang merupakan garis 
bercahaya datang dari langit.
Blarrr...! Sinar biru itu gagal mencapai sa-
saran dan meledak di angkasa. Siapa yang mele-
paskan sinar putih menyilaukan itu? Jubah Jang-
kung pun segera memandang ke langit, ternyata di 
sana tampak seekor burung rajawali putih sedang 
terbang dengan penunggangnya gadis cantik ber-
pedang di punggung warna putih perak.
"Jahanam kau, Rajawali Putih!" geram Ju-
bah Jangkung. Begitu burung tersebut hendak 
mendarat, Jubah Jangkung segera melepaskan 
pukulan mautnya yang kelihatannya cukup rin-
gan. Ia bagaikan menebar jagung ke udara untuk 
memberi makan burung. Tapi gerakan menebar itu

ternyata hasilkan kekuatan tenaga dalam tinggi 
berupa pisau-pisau kecil berwarna kuning menya-
la. Sekitar lima pisau bergerak berjajar bagai bari-
san siap sergap lawan.
Namun mata burung rajawali putih itu se-
gera keluarkan sinar putih seperti tadi, dan meng-
hantam pisau sinar kuning dari arah samping, se-
hingga satu larik sinar putih dapat menghantam 
kelima sinar kuning dalam satu kali serangan.
Bbrrraaall...! Suara ledakan beruntun dan 
seperti suara rentetan geledek beruntun. Akibat 
ledakan tersebut, mengepullah awan hitam yang 
hampir saja membungkus burung besar bersama 
penunggangnya. Tapi sebelum awan berhasil 
membungkus mereka, binatang sakti itu sudah le-
bih dulu mendarat dari sisi lain.
"Monyet belang!" geram Jubah Jangkung. 
"Burungnya saja bisa mematahkan jurus mautku. 
Naga-naganya aku bakal kerepotan jika harus me-
lawan penunggang burung tersebut! Sebaiknya ku-
tinggalkan dulu urusan ini, aku harus tiba di Bu-
kit Tulang Iblis sebelum pertemuan itu dimulai!"
Maka, Jubah Jangkung pun segera tinggal-
kan tempat tersebut. Sementara itu, Tua Usil yang 
segera dapat kuasai diri itu melepaskan pukulan 
yang keluar dari telapak tangan kirinya. Pukulan 
bergelombang besar itu menghantam telak ke 
punggung Jubah Jangkung. Buuhg!
"Uhhg!" Jubah Jangkung yang juga berusia 
sekitar enam puluh tahun itu tersentak ke depan 
dan jatuh berguling-guling. Tua Usil bergegas 
mengejar dan siap membunuhnya, tapi tiba-tiba

terdengar suara Lili yang baru saja turun dari bu-
rung rajawalinya itu,
"Cukup, Tua Usil! Jangan kejar lagi dia! Bi-
arkan dia lari!"
Jubah Jangkung lanjutkan pelariannya 
dengan tubuh luka bagian dalam. Tua Usil hanya 
pandangi kepergian lawannya. Tapi tiba-tiba Pen-
dekar Rajawali Putih berkelebat ke samping Tua 
Usil dan menyentakkan kedua tangannya ke de-
pan. Wuukkk...! Pukulan gelombang hawa dingin 
dilepaskan ke arah semak-semak, karena ia mera-
sakan ada gelombang hawa panas yang dilepaskan 
seseorang dari semak-semak. Sasarannya jelas 
Tua Usil, sedangkan Tua Usil sedang lengah.
Duaaar...! Ledakan kembali terjadi ketika 
dua gelombang itu beradu di pertengahan. Lalu, 
sebuah suara pekikan terdengar tertahan dengan 
semak belukar berguncang keras. Sesosok tubuh 
terlempar ke sana. Orang tersebut cepat melompat 
keluar walaupun pinggangnya menjadi robek aki-
bat duri-duri tajam dalam semak belukar tersebut.
"Hmmm...?! Rupanya kau, Jin Arak?!" ge-
ram Lili.
"Aku tidak memusuhimu, Lili. Mengapa kau 
menyerangku?"
"Dari mana dia tahu namaku?" tanya Lili 
dalam hatinya.
Ternyata Jin Arak berkata, "Kau pasti yang 
bernama Lili, seperti penjelasan Jubah Jangkung 
padaku saat dia habis menyembuhkan aku!"
Rupanya Jin Arak saat menderita luka dari 
serangan Wong Sakti telah disambar oleh Jubah

Jangkung. Ia disembuhkan oleh Jubah Jangkung, 
dan tentunya Jubah Jangkung banyak bercerita 
tentang Lili, Yoga, dan Tua
Usil. Dan agaknya saat itu Jin Arak ingin 
balas budi kepada Jubah Jangkung dengan mem-
bela Jubah Jangkung. Tapi secara kebetulan me-
reka sama-sama punya maksud memusuhi Tua 
Usil karena alasan pribadi masing-masing.
"Apa maumu, Jin Arak?" sentak tua Usil 
sambil melangkah maju.
Dalam keadaan tidak sedang mabuk, Jin 
Arak berkata, "Aku akan membalas kekalahanku 
tempo hari ketika di Teluk Gangga! Sekarang teri-
ma saja pembalasan ku ini, Bangsat! Heaaah...!"
Jin Arak mengibas-ngibaskan tangannya 
berserabutan seperti orang tenggelam di air. Mu-
lutnya serukan teriakan panjang. Dan tiba-tiba da-
ri kibasan-kibasan kedua tangan itu keluar jarum-
jarum hitam yang amat berbahaya. Jumlahnya 
cukup banyak dan arahnya melayang cepat ke tu-
buh Tua Usil.
Dengan sigap pula Tua Usil melepaskan
pukulan bersinar dari kedua tangannya yang dite-
kuk ke dalam dan disentakkan bagai sayap seekor 
bangau. Wuuttt...! Sinar hijau tua menyebar mem-
bentuk lempengan lebar. Arahnya ke tubuh Jin 
Arak, dan hal itu membuat jarum-jarum hitamnya 
saling meledak beruntun, sementara Jin Arak sen-
diri terlempar menghantam pohon besar hingga 
pohon itu rontok daunnya.
Braalll...! Buuuhg...! Wwwrrr...!
Jin Arak menyeringai kesakitan. Kulitnya

menjadi merah bagaikan matang terbakar. Lili 
yang menyaksikan hal itu hanya membatin,
"Kalau dia bukan orang berilmu tinggi, tak 
mungkin hanya menderita begitu. Pasti akan han-
cur terkena sinar hijau yang dahsyat itu!"
Tua Usil segera berkata, "Nona Li, sebaiknya 
cepat ikut saya ke Biara Sita!"
"Kenapa kesana?!"
"Tuan Yo tertangkap oleh orang-orang Biara 
Sita!"
"Haahh...?!" Lili kaget sekali. Lalu ia perin-
tahkan kepada burungnya untuk mendampingi 
dari atas, ia dan Tua Usil menggunakan jalan da-
rat. Sebab ia tahu, Tua Usil segan diajak terbang, 
kecuali terdesak.
*
* *
8


LINTANG Ayu hentikan langkahnya dengan 
dahi berkerut dan matanya sedikit menyipit. Pan-
du Tawa memperhatikan dengan heran dan ber-
tanya pelan,
"Ada apa?!"
"Ada sesuatu yang tak enak di hatiku!" 
"Tentang apa?"
"Entahlah!" jawab Lintang Ayu. "Karena kau 
tak suka berjalan denganku, begitu?!" "Aku tak ta-
hu. Yang Jelas... sulit kukatakan!" Burung beo

menyahut, "Cinta tumbuh lagi, cinta tumbuh la-
gi...!"
Plook...!
"Aow...!" burung beo memekik dan terbang 
mengitari majikannya. Ia menggoda dengan uca-
pan yang sama, tapi merasa selamat dari tampolan 
tangan gadis cantik itu.
"Sudahlah. Jangan ikuti perasaanmu. 
Mungkin kau teringat masa lalu kita. Sekarang ki-
ta sudah berdamai dan tak ada masalah apa-apa. 
Yang penting sekarang pikirkan bagaimana sece-
patnya bisa menghubungi Tabib Perawan supaya 
dia bisa cepat sembuhkan guru!" kata Pandu Ta-
wa. Lalu, mereka pun melangkah lagi, teruskan 
perjalanan menuju sungai Bening.
Tetapi tiba-tiba langkah Lintang Ayu ber-
henti kembali. Kali ini ada sebab yang jelas. Pandu 
Tawa sendiri melihat apa yang membuat Lintang 
Ayu berhenti melangkah.
Seorang lelaki tua berusia sekitar enam pu-
luh tahun duduk bersandar menikmati udara se-
juk dan semilir angin di bawah pohon. Orang itu 
adalah Tua Usil, yang memejamkan mata bagai 
sedang meresapi kenyamanan udara semilir sejuk 
itu. Lintang Ayu sempat berbisik,
"Cepat sekali dia tiba di tempat ini?!"
"Dia memang hebat!" Pandu Tawa terse-
nyum, kemudian ia memungut ranting kecil sebe-
sar jari kelingkingnya. Ranting itu lemparkan ke-
pada Tua Usil yang sedang memejamkan mata. 
Wuuttt...! Tab...! Dengan gerakan cepat tangan Tua 
Usil bagaikan bergerak sendiri menangkap ranting

kecil itu.
Ia segera membuka mata dan kaget melihat 
Lintang Ayu berdiri di depannya dalam jarak tujuh 
langkah bersama Pandu Tawa. Tua Usil segera 
membuang ranting itu sambil nyengir dan berkata,
"Sepantasnya yang mendapat julukan usil 
adalah kau sendiri, Pandu. Oho, bersama gadis 
cantik rupanya. Sedang bermesraan agaknya. He 
he he he...!"
Tampak ada senyum di bibir Pandu Tawa, 
tapi tidak di bibir Lintang Ayu. Mereka berdua de-
kati Tua Usil, lalu Pandu Tawa berkata,
"Nikmat sekali istirahatmu setelah menyele-
saikan urusan dengan Jubah Jangkung tadi, Tua 
Usil. Sampai-sampai..."
"Dengan siapa kau bilang tadi?" potong Tua 
Usil. 
"Dengan Jubah Jangkung!" Lintang Ayu 
menambahkan kata, "Bukankah kau tadi berta-
rung dengan Jubah Jangkung saat kami tinggal-
kan?"
Tua Usil tampak bengong dan bingung. 
Pandu Tawa segera berkata,
"Rupanya kau dapat kalahkan tokoh yang 
tergolong sakti itu, Tua Usil! Lantas... bagaimana 
keadaannya? kau bunuh dengan pusakamu atau 
kau usir hingga dia lari tunggang langgang?!"
"Aku... aku... aku tak mengerti omongan ka-
lian!" kata Tua Usil.
"Jangan berlagak bodoh. Kami hanya ingin 
tahu saja bagaimana hasil pertarunganmu dengan 
Jubah Jangkung tadi?"

"Tadi?! Oh, dari tadi aku belum sempat ber-
tarung dengan siapa-siapa. Apakah kalian mengi-
gau?" kata Tua Usil semakin bingung, namun juga 
membuat heran Pandu Tawa dan Lintang Ayu.
Rupanya Lintang Ayu lebih dulu menaruh 
curiga sehingga ia berbisik kepada Pandu Tawa, 
"Inilah rupanya sesuatu yang tadi ku rasakan tak 
enak di hati. Aku curiga padanya."
"Curiga bagaimana?"
Lintang Ayu tidak menjawab, melainkan 
ajukan tanya kepada Tua Usil. "Apakah benar kau 
sejak tadi ada di sini?"
"Benar. Berani sumpah!" jawab Tua Usil 
sambil mengacungkan dua jarinya. "Apa yang ter-
jadi sebenarnya?"
Pandu Tawa yang segera ikut curiga menga-
takan, "Kami tadi bertemu denganmu, lalu meli-
hatmu bertarung dengan Jubah Jangkung! Jika 
memang kau sejak tadi ada di sini, berarti ada 
orang yang menyamar sebagai dirimu, Tua Usil!"
"Kurang ajar! Di mana orang itu berada?"
Lintang Ayu yang berkata, "Sebaiknya kita 
tengok ke lembah tadi, apakah Jubah Jangkung 
masih bertarung dengan orang yang mirip dengan 
Tua Usil!"
Tentu saja Tua Usil menjadi tegang dan in-
gin melihat bukti ucapan mereka. Maka ia pun 
bergegas pergi mengikuti Pandu Tawa dan Lintang 
Ayu yang berlari dengan cepat.
Ketika mereka tiba di lembah, di mana dari 
situ masih bisa terlihat pantai dan lautnya, ternya-
ta mereka tidak menemukan orang yang dimaksud. Tetapi mereka menemukan Jin Arak yang tu-
buhnya melepuh merah kebiruan karena terkena 
serangan Tua Usil palsu tadi. Jin Arak sedang 
mengerang-erang menahan rasa sakit di sekujur 
tubuhnya.
"Jin Arak...?! Apa yang terjadi pada dirimu?"
Jin Arak jelaskan, "Aku kehabisan arak!"
"Separah itukah jika kau kehabisan arak?"
"Tidak."
"Lantas mengapa tubuhmu menjadi matang 
begitu?" tanya Tua Usil. Jin Arak memandang 
bermusuhan sambil berkata,
"Jangan berlagak tolol kau! Semua ini gara-
gara dirimu! Kau memang hebat! Kau bisa mem-
buatku terluka seperti ini. Tapi kelak jika aku 
sembuh, belum tentu kau bisa membuatku begini 
lagi, Setan Usil!"
"Aku tidak menyerangmu!" bantah Tua Usil.
"Omong kosong!" sentak Jin Arak. "Sayang 
aku kehabisan arak. Kalau aku tidak kehabisan 
arak, sekali tepuk maut menjemput mu!"
sesuatu. Pandu Tawa cepat berseru me-
manggil Yoga hingga pendekar tampan itu henti-
kan langkah dan memandang ke arah Pandu Ta-
wa. Maka Pendekar Rajawali Merah pun segera 
hampiri mereka dan berkata,
"Apakah kau melihat Bocah Bodoh?!"
"Tidak," Jawab Pandu Tawa. "Ada apa den-
gan Bocah Bodoh?"
"Dia dibawa lari oleh Wong Sakti! Dia ingin 
dijadikan jaminan dan akan ditukar dengan pisau 
Pusaka Hantu Jagal!"

menguasai Kitab Jagat Sakti, yang disebut-sebut 
oleh mereka sebagai kitab para dewa yang tak bo-
leh dipelajari oleh manusia. Sedangkan menu-
rutku, memang aku pernah dengar kakekku bicara 
tentang adanya kitab para dewa yang tak boleh di-
pelajari manusia, tapi tidak disebutkan nama kitab 
tersebut. Mungkin memang Kitab Jagat Sakti itu, 
atau mungkin kitab lain!"
Lintang Ayu segera berkata, "Sebenarnya 
mana yang harus kita kerjakan lebih dulu, Yoga? 
Menyelamatkan Lili atau menyelamatkan Bocah 
Bodoh lebih dulu?!"
"Saya yang akan selamatkan Nona Li!" sa-
hut Tua Usil bersemangat. 
"Kalau begitu, biar aku dan Lintang Ayu 
yang kejar Wong Sakti untuk selamatkan Bocah 
Bodoh!" kata Pandu Tawa.
"Balk," Jawab Yoga. "Aku setuju! Mari kita 
berangkat sekarang Juga, Tua Usil!" "Baik, Tuan 
Yo...!"
Mereka berpisah, berpencar. Dua ke utara, 
dua lagi ke barat. Kesaktian yang diperoleh Tua 
Usil dari berbagai orang sakti yang pernah dika-
lahkannya itu, membuat Tua Usil dapat mengim-
bangi kecepatan lari Pendekar Rajawali Merah. Te-
tapi jika Yoga gunakan jurus 'Langkah Bayu'-nya, 
Tua Usil menyerah, tak bisa imbangi kecepatan ju-
rus 'Langkah Bayu' tersebut.
Namun Yoga pun sadar, Tua Usil telah 
mendapatkan perpindahan ilmu-ilmunya tokoh 
sakti bernama Ratu Gaib, yaitu pada saat Tua Usil 
berhasil membunuh seekor naga Jelmaan Ratu

Gaib. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh Tua Usil dari 
hasil membunuh naga tersebut telah membuat 
Tua Usil mampu merubah menjadi seekor burung 
merpati. Kekuatan gaib milik si Ratu Gaib itulah 
yang membuat Tua Usil sekarang berubah menjadi 
seekor burung merpati berbulu hitam berkalung 
warna bulu putih. Burung tersebut bisa bicara 
dengan bahasa manusia.
"Saya akan mendahului Tuan Yo dan men-
cegat Ketua Biara Sita di depan pintu gerbang. Ji-
ka Nona Lili sudah telanjur masuk dalam perang-
kap, saya takut beliau akan dikalahkan oleh Putri 
Kumbang dengan peralatan gaib yang dimilikinya
di dalam Biara Sita itu!"
"Berangkatlah! Aku akan gunakan jurus 
'Langkah Bayu'-ku!"
Wuuurrr...! Burung merpati jelmaan Tua 
Usil itu terbang dengan cepat mengikuti arah yang 
menuju ke Biara Sita. Dari tempatnya terbang, Tua 
Usil dapat memandang alam sekeliling dengan te-
nang, tanpa rasa takut, tidak setakut kalau dia 
naik burung rajawali. Dari tempatnya terbang itu 
pula, ia melihat Lili bersama orang yang persis 
dengan wujud dirinya. Tua Usil tidak menghampiri 
mereka, melainkan mendului mereka, hingga da-
lam sekejap ia sudah sampai di semak-semak kaki 
bukit. Sebelum mendekati pintu gerbang yang di-
jaga oleh Roh Gantung dan Juru Kubur, Tua Usil 
sudah merubah diri menjadi aslinya.
Dengan keberanian yang tidak sekecil dulu, 
Tua Usil menghampiri mereka; para penjaga itu. Ia 
berlagak terengah-engah dan wajah dibuat tegang.

Tentu saja kedua penjaga berilmu tinggi itu terke-
jut melihat kehadiran Tua Usil.
"Lili datang menuju kemari bersama Tua 
Usil yang asli. Aku tak bisa menghadapinya! Ke-
rahkan semua orang kita untuk serang Tua Usil. 
Sebab ternyata Tua Usil lebih sakti daripada Lili!"
"Balk, Ketua!" jawab Roh Gantung. Mereka 
menyangka Tua Usil yang bicara itu adalah Putri 
Kumbang. Sebab itu, mereka patuh dengan perin-
tah Tua Usil yang asli.
"Keluar semua dan serang Tua Usil yang as-
li itu. Jangan kasih kesempatan untuk lolos! Aku 
akan menyerobot Lili dan membawanya Ian ke 
pantai!"
"Baik, Ketua!" jawab Roh Gantung mewakili 
mereka.
Tua Usil bersembunyi di balik pohon pagar 
yang mengelilingi biara tersebut. Sementara itu, 
orang-orang Biara Sita semuanya keluar dan tem-
bok biara, membuat barisan penyergapan. Pagar 
betis yang melapisi biara itu cukup kuat. Semua-
nya bersenjata dan berwajah garang. Bagian atas 
biara pun dijaga ketat oleh beberapa orang yang 
siap dengan anak panah masing-masing.
Roh Gantung berseru kepada para pema-
nah, "Hati-hati, jangan sampai kena Lili, dan jan-
gan sampai kena teman sendiri! Biarkan gadis itu 
diserobot dulu oleh sang Ketua kita!"
"Yaaa..,!" seru mereka di atas menara dan di 
simpangan bagian atas tembok yang merupakan 
benteng biara.
Ketika Lili muncul dengan Tua Usil palsu,

langkah mereka terhenti. Tua Usil palsu berbisik, 
"Lihat, penjagaan mereka begitu kuatnya, bukan? 
Kalau tidak karena di dalamnya mereka memenja-
rakan Tuan Yoga, mereka tidak akan menjaga se-
ketat ini!"
Padahal dalam hati Putri Kumbang bertanya 
heran, "Mengapa mereka menjaga biara seketat 
ini? Ada pertempuran apa sebenarnya?!"
Lili sendiri menjadi semakin yakin, dan ke-
marahannya mulai timbul membara di dalam da-
rahnya. Ia mengamuk melihat orang-orang biara 
menangkap kekasihnya yang juga murid angkat-
nya itu. Maka, Lili pun segera mencabut pedang 
pusakanya yang bernama Pedang Sukma Halilin-
tar di mana pada ujung gagangnya terdapat ukiran 
dua kepala burung saling bertolak belakang.
Blegarrr...! Petir di angkasa menggelegar se-
tiap pedang itu dicabut dari sarungnya. Pedang 
tersebut menyala putih berpijar-pijar menyilaukan. 
Sementara itu, Putri Kumbang segera berbisik,
"Tak perlu mencabut pedang pusaka! Mere-
ka bisa saya atasi dengan ucapan! Mereka akan 
menjadi patuh pada saya karena saya gunakan il-
mu yang bisa membuat mereka patuh. Masukkan 
kembali pedang Nona!".
Lili pun menuruti usul itu, karena ia per-
caya bahwa Tua Usil memang mempunyai ilmu 
yang tidak banyak ia ketahui karena ilmu itu dis-
adarinya telah diperoleh Tua Usil dari orang sakti 
yang dikalahkan. Jadi Lili percaya saja bahwa Tua 
Usil memang mempunyai ilmu yang bisa membuat 
orang patuh. Ia tidak tahu kalau Tua Usil yang ada

di sampingnya itu adalah Ketua Perguruan Biara 
Sita itu sendiri. Lili tidak tahu bahwa Putri Kum-
bang sebenarnya cemas dan was-was kalau sam-
pai Lili menggunakan pedang pusakanya. Ia bisa 
kehilangan banyak murid atau anak buahnya.
Dengan sikap yakin sebagai ketua pergu-
ruan yang sudah diketahui oleh anak buahnya 
tentang penyamarannya, Putri Kumbang memba-
wa Lili dekati pintu gerbang. Dengan lantang ia 
berseru,
"Buka pintu gerbang dan biarkan kami ma-
suk!"
Zlaappp...! Seorang pemanah lebih dulu me-
lepaskan anak panah ke arah Putri kumbang. 
Trraakkk...! Dengan dua jari Putri Kumbang me-
nangkis sekaligus mematahkan anak panah terse-
but. Tapi dari arah lain melesat juga anak panah 
ke arahnya. Sedangkan Roh Gantung segera berse-
ru memberi perintah, "Serrraaang...!"
"Hei, apa-apaan ini? Hoi...?!" Putri Kumbang 
diserbu oleh mereka dengan berbagai senjata dan 
kekuatan tenaga dalam. Ia sempat kebingungan 
dan bimbang untuk lakukan perlawanan. Semen-
tara itu, Lili membela Putri Kumbang karena me-
nyangka mereka ingin mencelakai Tua Usil.
Maka pertarungan secara serentak pun ter-
jadi. Putri Kumbang melawan sekian banyak mu-
rid dan orang-orangnya sendiri. Sedangkan Lili 
melompat ke sana kemari untuk selamatkan Putri 
Kumbang dalam wujud Tua Usil.
Pada kesempatan Lili menjauhi Putri Kum-
bang, Tua Usil yang asli muncul dan segera menarik tangan Lili dari pertarungan. Bahkan ia berha-
sil menggendong Lili untuk kemudian dipanggul 
dan dibawanya lari. Lili sendiri tak bisa berbuat 
apa-apa karena bingung melihat ada dua Tua Usil 
di situ.
"Lepaskan aku atau aku berbuat kasar pa-
damu, Tua Usil!"
Mau tak mau Tua Usil melepaskan Lili, tapi 
sudah agak jauh dari Perguruan Biara Sita. Tua 
Usil langsung dibentak oleh Lili, "Siapa kau?!"
"Tua Usil, Nona! Yang tadi bersama Nona Li 
itu Tua Usil palsu. Dia Putri Kumbang, ketua Per-
guruan Biara Sita!"
"Omong kosong! Kau pasti bermaksud jahat 
pada ku. Hiih...!"
Lili menghantam wajah Tua Usil, tapi den-
gan cepat sekelebat bayangan tiba di situ dan me-
nahan tangan Lili. Ternyata orang itu adalah Pen-
dekar Rajawali Merah. "Kau...?" Lili terperanjat ka-
get dan memandang Yoga.
"Ya, kita hampir saja terkecoh, Guru! Tapi 
untunglah Tua Usil yang asli ini punya akal cukup 
lihat! Dan... Tua Usil, tunjukkan keaslian mu su-
paya Nona Li ini percaya padamu!"
Tua Usil menunjukkan pisau Pusaka Hantu 
Jagal. Dengan pusaka itu Lili menjadi percaya be-
tul bahwa Tua Usil yang ada di depannya itu ada-
lah Tua Usil yang asli. Lili pun jadi tertawa geli ke-
tika Tua Usil berkata,
"Untung Tuan Yo segera datang. Kalau ti-
dak, wajah saya pasti sudah bonyok dihantam No-
na Li tadi!"

"Lekas tinggalkan tempat ini dan biarkan 
Putri Kumbang dihajar habis oleh orang-orangnya 
sendiri!" kata Yoga sambil. kemudian bergerak 
meninggalkan tempat itu diikuti oleh Lili dan Tua 
Usil.
Sementara itu, Putri Kumbang hanya bisa 
berteriak-teriak dan memaki-maki anak buahnya
sendiri yang tidak percaya bahwa dia adalah ketua 
mereka. Sibuknya Putri Kumbang, beruntunnya 
serangan yang membingungkan membuat Putri 
Kumbang tak punya kesempatan untuk memun-
culkan jati dirinya sebagai sosok perempuan can-
tik yang angkuh. Karena ia tidak punya kesempa-
tan merubah wujud aslinya, maka orang-orang Bi-
ara Sita semakin gencar menghajar habis orang 
yang dianggapnya Tua Usil asli itu.
Andaikata Lintang Ayu dan Pandu Tawa 
melihat kejadian itu, pasti mereka akan tertawa 
geli melihat Putri Kumbang diserang oleh anak 
buahnya sendiri yang berjumlah lebih dari tiga pu-
luh orang itu. Sayang sekali Lintang Ayu dan Pan-
du Tawa sedang mengejar Wong Sakti yang mem-
bawa lari Bocah Bodoh sebagai sandera.
Tapi seandainya Lintang Ayu dan Pandu 
Tawa berhasil berhadapan muka dengan Wong 
Sakti, apakah mereka bisa merebut Bocah Bodoh 
dan mengalahkan Wong Sakti?.


                            SELESAI


Segera menyusul:

PENOBATAN Dl BUKIT TULANG 
IBLIS


















Share:

0 comments:

Posting Komentar