SATU
ALAM MENJADI SAKSI akan adanya pertarun-
gan maut yang bakal berlangsung.... Bukit Karang He-
lang tampak hening mencekam. Ratusan burung Elang
yang diikuti burung-burung lainnya sejak tadi telah
menyingkir pergi, berbondong-bondong meninggalkan
sarangnya. Puluhan ekor kera dan siamang hiruk-
pikuk berloncatan dengan suara gaduh. Tampaknya
mereka sangat ketakutan sekali. Naluri kebinatangan-
nya telah dapat menerka bahwa tempat itu bakal po-
rak-poranda. Bakal hancur! Membuat mereka saling
bergegas meninggalkan daerah yang dianggap gawat
itu untuk segera menyingkir pergi.
Seekor Raja Rimba yang menghuni bukit itu-
pun sudah angkat kaki dengan memperdengarkan su-
ara mengaum panjang. Hawa aneh yang mencekam te-
lah menyelimuti sekitar bukit itu. Dan... satu keane-
han adalah kini cahaya merah tampak seperti meram-
bah sekitar bukit. Angin membersit keras seperti bakal
ada taufan yang bakal terjadi. Udara sebentar gelap
sebentar terang. Bau-bau busuk seperti bersembulan
di sana-sini membaur dengan sejuta keseraman yang
membangunkan bulu roma.
Dua sosok tubuh telah saling berhadapan. Ber-
diri tak bergeming. Kedua rambut wanita itu sama-
sama terurai. Sesekali menyibak karena tiupan sang
angin. Keheningan memang mencekam perasaan. Dan
detik demi detik terus merayap yang akhirnya sampai
pada ujungnya.
"Hm, disinikah tempat pertarungan kita, Giri
Mayang...?" suara Roro Centil menyobek keheningan
yang mengembara disekitar bukit itu.
"Benar! Inilah tempat pertarungan yang ku pilih! Dan... disini pula tempat kuburanmu, Roro Cen-
til...!" menyahut Giri Mayang dengan nada sinis.
"Kematian bagiku tak menjadi soal, perempuan
iblis! Asalkan kaupun ikut serta mengiring kematian-
ku, bagiku aku sudah puas! Dan aku dapat mati me-
ram...!" menyahut Roro dengan suara datar.
"Hihihi... seribu Iblis siap sedia menjaga nya-
waku, Roro Centil. Dan aku telah pula menghubungi
guruku untuk siap melindungi diriku! Kalau kau
mampus mana mungkin kau bisa bawa nyawaku me-
nyertai kematianmu?" Ujar Giri Mayang dengan nada
sini, dengan tertawa menghina.
Akan tetapi Roro Centil juga tertawa dengan di-
barengi kata-kata yang lebih "nyelekit" di ulu hati Giri
Mayang.
"Hihihi... hihi... kalau seribu Iblis menjaga nya-
wamu, aku bahkan seribu Malaikat menjaga nyawaku
dari ketelengasanmu! Mana mungkin kau bisa men-
gambil nyawaku...?"
"Keparat...!" memaki Giri Mayang. Seketika wa-
jahnya berubah merah padam.
"Setan alas!" maki pula Roro.
"Roro Centil, jangan kau mengumbar kesom-
bonganmu! Hari ini aku akan balaskan dendam pati
kematian ayahku!" membentak Giri Mayang lagi, den-
gan menatap tajam dan mulai mempergunakan penga-
ruh ilmu batinnya untuk mempengaruhi Roro.
"Bagus! Aku justru mau minta tebusan ratusan
kepala yang telah kau tanggalkan dari tubuh rakyat
tak berdosa dan para pendekar, serta orang-orang Ke-
rajaan yang telah kau bantai seenak udelmu! Hihihi...
aku cuma mau minta kepalamu untuk kupersembah-
kan pada Baginda Raja...!" sahut roro dengan suara te-
gas dan lantang.
Giri Mayang menekan perasaannya. Darahnya
menyentak sampai ke kepala tubuhnya agak tergetar
menahan kemarahannya yang meluap. Akan tetapi dia
berusaha menahannya, dan membentak dengan suara
yang berpengaruh. Suara yang berisi serangan dengan
kekuatan batin yang telah selesai dimanterainya.
"Roro Centil...! Kau tak lebih dari hamba ku sa-
ja! Bersujudlah untuk menerima hukuman dariku!"
Akan tetapi beranjakpun tidak Roro dari tem-
patnya berdiri. Bahkan dia mengumbar suara tertawa
melengking tinggi yang membuat tanah bergetaran.
"Hihihi... hihihi... Giri Mayang! Giri Mayang...!
Kau tak lebih dari anjing buduk yang menjijikkan! Ma-
ri mendekat padaku untuk kugebuk pantatmu 13
kali!" berkata Roro Centil dengan juga balas menyerang
dengan kekuatan batin yang menindih kekuatan se-
rangan lawan.
Hebat akibatnya. Tubuh Giri Mayang tampak
bergetar dan agak terhuyung. Nyaris kakinya melang-
kah ke depan satu tindak kalau dia tak cepat-cepat be-
rusaha melawan kekuatan serangan Roro yang me-
rangsang hawa aneh, menindih kekuatan batinnya
yang sekaligus mendadak punah.
Pucat pias seketika wajah Giri Mayang. Sadar-
lah dia kalau lawan dihadapannya tak boleh dianggap
enteng.
Namun mana Giri Mayang mau unjukkan ke-
lemahannya pada musuh besarnya itu? Dengan melo-
tot gusar dia membentak heat.
"Roro Centil! Jangan kau terlalu sombong! Lihat
sekelilingmu! Kau tak dapat meloloskan diri dari ke-
pungan seribu Iblis yang akan merecah kulit dan da-
gingmu!" Bau busuk seketika menyebar, dan kian
mendekati Roro. Pendekar itu putarkan pandangannya
ke sekeliling. Benar saja apa yang dikatakan wanita ib-
lis itu, sekejap telah terlihat makhluk-makhluk menye
ramkan yang tak terkirakan banyaknya mengurung
Roro Centil. Bergidik juga Roro melihat rupa wajah dan
bentuk yang menyeramkan, namun cepat Roro merap-
al mantera salah satu dari 7 jurus penolak iblis, wari-
san si Manusia Padang Pasir, Terdengar suara jeritan
disekeliling disertai suara meletup bagai bara disiram
api.
BHUSSSS! BHUSSSS...! BHUSSSS . .! Puluhan
Iblis dan siluman- siluman jahat terjungkal seketika.
Dan tubuh-tubuh mereka hancur. Lalu berubah men-
jadi asap hitam yang membumbung meninggalkan bau
sangit yang menusuk hidung. Akan tetapi tidak semua
makhluk-makhluk halus yang mengerikan itu terjung-
kal, belasan sosok tubuh yang agak kebal telah melu-
ruk bagaikan angin menderu menerjang Roro.
Tersentak Roro Centil. Sepasang lengannya
bergerak memutar dan mengibas beberapa kali. Itulah
jurus pertama dan kedua dari tujuh mantera yang
sambil bergerak, mulut Roro mengucapkan mantera-
mantera suci itu. Terdengar suara jeritan dan meraung
yang membangunkan bulu roma. Belasan sosok tubuh
makhluk halus itu buyar berpentalan. Hawa panas
yang membersit dari angin pukulan Roro yang berbau
mantera suci seketika telah membakar menghan-
guskan tubuh-tubuh mereka.
Terkesiap Giri Mayang. Nyalinya agak menciut
menyaksikan kehebatan Roro Centil. "Edan!? dari ma-
na dia dapatkan ilmu-ilmu itu...?" Sentak Giri Mayang
dalam hati.
Kembali Giri Mayang komat-kamit membaca
mantera. Cepat sekali dia telah mengadakan hubungan
dengan gurunya, melalui batin.
"Hehehe... pergunakanlah Tangan Iblis mu,
muridku...! Jangan khawatir, aku segera datang ke
bukit Karang Helang untuk membantumu bila kau
cantik ini. "Akan tetapi mau apa kau membuntuti aku
terus?" tanyanya kesal.
"Aku sendiri tak mengetahui, mengapa kakiku
maunya mengikuti langkah kakimu?" menyahut Sam-
bu Ruci dengan tersenyum.
"Lelaki semacammu pasti tidak punya maksud
baik"
"Hm, kau seorang dukun peramal rupanya?"
"Cis! Enak saja kau bicara! Aku bukan dukun!"
membentak sang gadis.
"Nah, kalau kau bukan seorang dukun, jangan
menuduh sembarangan. Aku punya niat baik, yaitu
ingin berkenalan denganmu..." berkata Sambu Ruci.
"Boleh aku tahu namamu, nona cantik...?" ber-
tanya Sambu Ruci.
"Aku tak punya nama!" sahut lagi gadis itu
dengan nada ketus, seraya membuang muka. Akan te-
tapi ternyata wajahnya berubah jadi merah dadu kare-
na dipuji demikian.
Sambu Ruci tersenyum, seraya menjura. "Aku
yang rendah ini bernama Sambu Ruci siapakah geran-
gan nama anda nona gagah? Ilmu lari cepat mu mem-
buat aku jadi kagum..." ujarnya.
"Huuu... gombal! Aku sudah tahu namamu
Sambu Ruci, tak usah sampai dua kali kau menye-
butkan. Baiklah, akan kuberitahukan namaku..." ujar
sang gadis seraya mencabut serulingnya dari belakang
punggung.
"Kau perhatikan benda ini terbuat dari apa-
kah...?" tanya gadis itu seraya perlihatkan serulingnya
mendekat ke wajah Sambu Ruci.
"Hmmm..." termenung sesaat pemuda itu se-
raya perhatikan benda itu.
"Apakah namamu Seruling Gading...?" ta-
nyanya tiba-tiba.
"Tepat sekali! Itu namaku sekaligus julukan ku!
Nah! kini langkahkan kakimu ke lain arah! Aku mau
terus ke utara...!" berkata sang gadis alias si Seruling
Gading.
***
DUA
"HAI...!? LIHATLAH! Ada bercak-bercak darah
berserakan disini...!" teriak Sambu Ruci tiba-tiba. Ten-
tu saja membuat si gadis Itu terkejut, dan segera meli-
hat ke tempat yang ditunjuk si pemuda. Sepasang ma-
tanya menjalari sekitar pelataran disisi hutan itu. Ber-
cak-bercak darah tampak semakin banyak.
"Mari kita selidiki!" ujar Sambu Ruci seraya
mendahului bergerak. Si gadis tak menyahut, tapi se-
gera beranjak untuk meneliti sekitar tempat itu. Selang
sesaat terdengar seruan tertahan Sambu Ruci.
"Hai...! Lihatlah kemari! Banyak mayat berge-
limpangan!" Mendengar teriakan itu kontan si Seruling
Gading melompat menghampiri. Dan terperangah me-
lihat mayat-mayat dari para prajurit Kerajaan berge-
limpangan dengan keadaan kepala terlepas dari tu-
buhnya. Juga beberapa ekor kuda yang mati dengan
tubuh hangus. Gadis itu jadi bergidik seram. "Ini... ini
pasti perbuatan perempuan Iblis itu lagi!" berkata Se-
ruling Gading dengan nada suara agak menggeletar.
"Benar! Lagi-lagi perempuan setan itu meminta
korban! Perbuatannya semakin keterlaluan. Kalau dia
menyerang ke Kota Raja keadaan bisa gawat!" Gadis
itu tak berkata apa-apa kecuali tercenung dengan wa-
jah sebentar pucat sebentar merah. Dadanya berom-
bak-ombak menahan geram.
"Apa yang harus kita perbuat?" Akhirnya si Se-
ruling Gading bertanya. Kali ini nada suaranya tidak
lagi ketus seperti tadi. Sambu Ruci terdiam sejenak la-
lu sahutnya.
"Pendapatku begini, sebaiknya kita bantu men-
gubur jenazah, lalu kita berangkat ke Kota Raja mela-
porkan kejadian ini!"
"Huuuu...! Pendapatmu selalu menyusahkan
orang saja! Kukira sebaiknya kita melapor saja ke Kota
Raja, mengenai penguburan para prajurit Kerajaan ini
kita serahkan pada yang wajib mengurusnya!" sanggah
si Seruling Gading seraya berikan pendapat. Ternyata
Sambu Ruci melompat girang.
"Aku setuju! Aku setuju...! Aha, tak ku sangka
nona Seruling berotak encer! Benar...! Kalau kita yang
menguburkan jangan-jangan nanti bisa terjadi kesa-
lahpahaman...!"
Mau tak mau gadis itu jadi tersenyum melihat
kelakuan Sambu Ruci yang berjingkrakan seperti
orang dapat lotere.
"Wahai...! Alangkah manisnya nona Seruling
kalau tersenyum begitu!" ujar Sambu Ruci dengan ge-
leng-gelengkan kepala.
"Huuu... gombal! Marilah-kita berangkat!"
"Mari... tukas Sambu Ruci seraya lengannya
bergerak menyambar pergelangan tangan si Seruling
Gading, yang barusan melangkah lewat disampingnya.
Tentu saja gerakan tak terduga itu diluar pemikiran
sang gadis.
Mau tak mau terpaksa dia membiarkan perge-
langan tangannya dicekal pemuda itu. Dan... Srrr tera-
sa hawa aneh telah menjalar ke sekujur tubuh mem-
buat hatinya jadi berdebaran tak keruan rasa. Tangan
pemuda itu terasa hangat, dan cekalannya mengan-
dung kemesraan. Inilah yang membuat hatinya berdebar. "Dia memang tampan...! Akan tetapi aku belum
tahu isi hatinya. Aku khawatir hatinya tak setampan
wajahnya..." bisik hati si Seruling Gading dengan wa-
jah bersemu merah dan terasa panas. Namun diam-
diam dia kerahkan tenaga dalamnya untuk coba men-
jajal kekuatan lawan.
Hawa panas segera menyebar dipergelangan
tangannya. Dia menduga Sambu Ruci pasti akan sege-
ra lepaskan tangannya. Akan tetapi terkejut gadis ini
karena tahu-tahu serangkum hawa dingin segera men-
galir cepat menindih hawa panas dari tenaga dalam-
nya. Dan... keadaan kembali seperti semula. Yang
membuat gadis ini melengak adalah si pemuda itu te-
tap tenang-tenang saja tak menampakkan wajah terke-
jut. Bahkan sambil berjalan cepat mengikuti gerakan
langkahnya dia mengajak bercakap-cakap.
"Kota Raja tak seberapa jauh lagi. Setelah me-
lewati perbatasan di depan -sana kita sudah memasuki
wilayah bagian selatan ini. Kukira di sana pasti ada
markas terdekat dari lasykar Kerajaan yang bertugas
menjaga wilayah itu!"
"Bagaimana kalau ternyata perempuan iblis itu
telah tiba lebih dulu dan mengacau di Kota Raja...?"
Untuk menutupi perasaannya yang tak karuan itu
sengaja si gadis membuat dalih pertanyaan.
Tiba-tiba Sambu Ruci hentikan tindakan ka-
kinya. Sepasang mata Sambu Ruci menatap tajam pa-
da sang gadis. Aneh, seperti terkena daya magnet yang
amat luar biasa. gadis itupun menatap tajam meman-
dang pada wajah tampan laki-laki dihadapannya.
Dan... dua pasang mata itupun saling menatap ber-
pantulan.
Terasa oleh si dara itu cekalan tangan si pemu-
da semakin erat mencekal pergelangan tangannya.
Bahkan meluncur turun untuk mencekal telapak tangannya. Menyentuh jemarinya lalu menyatukan den-
gan jemari tangannya. Tak terasa diapun mencekal
erat pula jemari tangan Sambu Ruci, dan menatap
dengan mata terperangah kagum. Ya, dia memang se-
jak berjumpa dengan pemuda itu telah mengagumi ke-
tampanan wajahnya. Akan tetapi dia memang selalu
bersikap ketus, karena khawatir terjebak "cinta". Bera-
pa banyak laki-laki yang telah dikenalnya ternyata
cuma laki-laki hidung belang yang berwatak buruk,
yang cuma berkenalan untuk melampiasan nafsu be-
jatnya. Watak-watak kebanyakan dari orang yang per-
nah dijumpainya itulah yang membuat dia selalu ber-
sikap ketus. Keramah-tamahan justru amat memba-
hayakan dirinya.
"Kalau dia mengacau di Kota Raja, kita akan
menempurnya!" berakta Sambu Ruci dengan suara te-
gas dan tegar.
"Ya!... kita akan menempurnya!" berdesis pula
suara si Seruling Gading. Dan... keduanya sama-sama
tersenyum, lalu mengangguk berbareng. Aneh! Seketi-
ka kekerasan hati si gadis peniup seruling punah su-
dah. Ya! Sambu Ruci si Bujang Nan Elok telah berhasil
menaklukkan hatinya. Saat itu tiba-tiba terdengar sua-
ra derap kaki-kaki kuda di kejauhan. Keduanya jadi
terkejut, dan sama-sama menoleh ke arah depan.
"Sssst! Mari kita sembunyi rombongan siapa ge-
rangan yang lewat!" Sambu Ruci tempelkan jari telun-
juknya diatas bibir. Dan... dengan melompat sambil te-
tap bergandengan tangan. Sekejap saja mereka sudah
berlindung dibalik batu besar. Tak berapa lama kemu-
dian serombongan pasukan berkuda itu telah melewati
mereka.
Ternyata adalah rombongan pasukan Kerajaan.
Kedua "sejoli" ini jadi saling tatap, dan sama-sama ter-
senyum.
"Bagus! Berarti kita tak usah repot-repot ke
Kota Raja...!" berkata Sambu Ruci dengan ber-
bisik. Si gadis peniup seruling mengangguk. Dengan
keadaan wajah sama-sama berdekatan begitu mau tak
mau membuat napas mereka terasa saling berpagutan.
Sementara lengan mereka masih tetap saling genggam
dengan erat.
"Kita pergi dari sini..." bisik si gadis, seraya me-
narik tangannya dari genggaman Sambu Ruci. Akan
tetapi justru pemuda itu semakin erat menggenggam-
nya.
"Tunggu dulu..." berkata lirih Sambu Ruci. Dan
sepasang mata pemuda itu seperti mencari-cari sesua-
tu disekitar wajahnya.
"Seruling Gading...! Apakah kau bersedia ber-
sahabat denganku?" tiba-tiba Sambu Ruci ucapkan
kata-kata.
Gadis itu tak menjawab selain anggukkan kepa-
lanya. Lalu tundukkan wajah.
"Terima kasih, Seruling Gading...! Marilah kita
pergi!" ujar Sambu Ruci yang tak lakukan sesuatu pun
dalam keadaan wajah mereka begitu dekat. Padahal
"sesuatu" itu sudah dibayangkan oleh sang gadis. Dan
dia memang takkan menolak. Bahkan hatinya sudah
tergetar, juga hasratnya. Akan tetapi sang pemuda
tampan itu justru cuma ucapkan terima kasih, lalu
menarik lengannya untuk segera beranjak pergi me-
ninggalkan tempat itu...
Sementara orang-orang dari rombongan pasu-
kan Kerajaan itu sibuk mengurus mayat-mayat menge-
rikan yang bertebaran ditempat itu, Sambu Ruci dan si
gadis peniup seruling sudah meninggalkan tempat
itu...
Cahaya merah yang membersit dari atas bukit
Karang Helang ternyata telah terlihat oleh kedua remaja yang tengah berlari- lari cepat diatas lembah.
"Lihatlah, Seruling Gading! Cahaya itu bebera-
pa pekan yang lalu muncul dari puncak gunung Ga-
lunggung, tetapi sekarang telah muncul lagi dan ber-
pindah ke atas bukit itu. Menurut yang ku tahu ca-
haya merah itu adalah pertanda akan timbulnya ba-
nyak malapetaka...!" berkata Sambu Ruci.
"Kau percaya... ?" tanya sang gadis.
"Entahlah! Tapi menurut kenyataan sejak mun-
culnya cahaya merah itu dari puncak Galunggung, te-
lah muncul bencana besar yaitu mengganasnya lagi si
perempuan Iblis Giri Mayang. Hingga sampai saat ini
Iblis perempuan itu telah meminta puluhan korban ke-
ganasannya. Entah apa lagi yang bakal terjadi! Apakah
cahaya merah dari atas bukit itu suatu pertanda akan
lebih memburuknya bencana pada umat manusia?
Apakah bakal muncul lagi manusia-manusia Iblis lain-
nya, ataukah wabah penyakit? Aku tak mengetahui...!"
menjawab Sambu Ruci.
"Ingin kulihat dari manakah asal cahaya merah
itu. Kau mau menemaniku kesana...?" berkata si gadis
dengan tersenyum.
"Hahaha... mengapa tidak? Pergi berdua dengan
seorang sahabat secantikmu aku takkan menolak!"
"Huu, lagi-lagi kau memujiku cantik. Aku kha-
watir bila kau lihat lagi perempuan lain yang cantiknya
melebihi ku, lantas apakah kau masih tetap menye-
butku cantik?" berkata menyindir gadis itu.
"Haiiih, Seruling Gading! Aku jamin mataku tak
jelalatan memperhatikannya. Bukankah aku tetap me-
nyebut mu cantik?" tukas Sambu Ruci.
"Mulutmu memang, akan tetapi hati orang sia-
pa tahu?"
"Hatiku dan mulutku sama...!" tak mau kalah
Sambu Ruci.
"Baik! Coba katakan, lebih cantik mana aku
dengan RORO CENTIL?" Diluar dugaan "adat" ketus si
Seruling Gading kembali muncul. Dengan menatap ta-
jam dan lengan bertolak pinggang dia berdiri menung-
gu jawaban Sambu Ruci. Melihat demikian mau tak
mau Sambu Ruci jadi garuk-garuk kepala tidak gatal.
Akan tetapi dia sudah punya jawaban yang pasti, wa-
laupun pada kenyataannya Roro Centil memang sukar
dikalahkan dalam segalanya. Roro terlalu cantik dan
sukar untuk dinilai dari segi mana kecantikan serta
keayuannya. Juga berilmu tinggi yang susah diukur
menurut penilaiannya. Dan... disamping Roro punya
"adat" aneh yang sukar diterka, Roro juga punya
keanggunan tersendiri sebagai seorang wanita yang
ideal.
Adapun si Seruling Gading ternyata juga seo-
rang wanita yang ideal. Terkadang ketus, tapi terka-
dang lemah lembut. Disamping tubuh semampai berisi
serta wajah yang cantik rupawan, tak kalah dengan
Roro Centil. Akan tetapi walau bagaimana Roro tetap
berada diatasnya.
Jauh dari seberang lautan Sambu Ruci men-
gembara cuma mencari Roro. Sejak Roro menghilang
dari Pulau Andalas, dan sejak adiknya menikah den-
gan sahabatnya, bernama Rahwanda. Yang pernah pu-
la mereka bersaing dan bertarung memperebutkan Ro-
ro Centil, gara-gara Sambu Ruci mengira Rahwanda
mengingini juga wanita Pendekar Perkasa itu yang se-
lama lebih dari sebulan berada di tempat tinggalnya.
Dia memang menggilai Roro Centil. Akan tetapi
Roro ternyata sukar didekati. Roro cuma jinak-jinak
Merpati. Kemunculan dan kepergiannya sukar diketa-
hui. Membuat Sambu Ruci mulai mengendur hasrat-
nya untuk menyunting sang Pendekar Wanita Pantai
Selatan itu.
Dan saat muncul si gadis peniup seruling yang
baru dikenalnya berapa hari, Sambu Ruci mulai antu-
sias untuk mengenalnya lebih dekat. Rasa simpatinya
semakin besar karena gadis itu mempunyai banyak
persamaan dengan Roro. Cuma satu hal yang berbeda
yaitu si gadis peniup seruling tidak memiliki kegenitan
seperti Roro.
Ya! Seruling Gading tetaplah Seruling Gading,
dan Roro Centil tetaplah Roro Centil yang masing-
masing dengan segala yang dipunyainya... Ditatapnya
dalam-dalam mata gadis itu. Diperhatikannya dari
ujung rambut sampai ujung kaki, seolah-olah tengah
menaksir orang untuk di perbandingkan dengan Roro
Centil. Akhirnya terdengar suara Sambu Ruci setelah
menghela napas, dan tersenyum.
"Kau... kau masih lebih cantik dari Roro Centil,
Seruling Gading...! Kau mempunyai kelebihan yang tak
dipunyai pendekar itu!"
"Apakah kelebihannya...?" tanya Seruling Gad-
ing dengan ketus, tapi tak bisa dibilang ketus karena
nada suaranya ada tercampur suara mengandung ge-
taran. Hidungnya terasa menggembung karena pujian
itu, akan tetapi rasa penasaran membuat dia lakukan
pertanyaan yang telah dilontarkan dengan cepat.
"Kelebihannya terletak dari sinar matamu...!"
Ujar Sambu Ruci datar.
"Ha...?!" tersentak Seruling Gading. "Aneh seka-
li..." ujarnya mendesah.
"Apanya yang aneh...?"
"Kelebihannya itu!" sahutnya pendek. "Lho?
Mengapa harus aneh?" tanya Sambu
Ruci seraya mendekat. "Aku berkata sejujur-
nya, adik Seruling Gading..."
"Sinar matamu teramat sejuk bila kupandang.
Dan disana kulihat ada cahaya ke"ibu"an...."
Seruling Gading tertunduk dengan rona merah
menjalari wajahnya. Lengan Sambu Ruci bergerak
menggamit dagunya. Menengadahkan lagi wajah dara
itu dengan sepasang mata yang menatap tajam seolah
mau menembus ke sanubari sang dara.
"Seruling Gading...! Aku mencintaimu... aku te-
lah menemukan apa yang kucari, yaitu Cinta Suci.
Aku... aku akan segera melamar mu, sayang..." Berde-
gupan jantung dara itu. Suara nafasnya mendesah.
Dan sepasang matanya terpejam. O.... Alangkah
indahnya! Alangkah indahnya kata-kata itu! Dan dia
tak menolak tatkala Sambu Ruci dekatkan wajahnya.
Sesuatu yang dinanti membuat dia terperangah den-
gan napas tertahan. Akan tetapi Sambu Ruci ternyata
cuma mencium keningnya.
Selanjutnya dirasakan dekapan kuat yang me-
meluknya erat-erat. Dan lengan Sambu Ruci membelai
rambutnya. Ah, sikap itu terasa terlalu membuat gere-
gatnya hati sang gadis. Akan tetapi seruling Gading
semakin yakin bahwa dia telah menjumpai seorang
pemuda pilihan yang bukan laki-laki hidung belang.
Hidup mengembara yang telah dijalani sekian lama se-
jak dia lari dari perguruan, lari dari ayah tiri yang ter-
nyata mempunyai nafsu binatang membuat dia harus
menghadapi banyak marabahaya. Dia membutuhkan
seseorang untuk melindunginya. Dan... dia memang
sudah mendapatkannya!
Tak terasa Seruling Gading balas mendekap
dengan erat. Serasa tak mau dia melepaskannya. Se-
mentara air matanya telah menitik. Betapa teramat
bahagianya dia saat itu...
"Kakak Sambu..., benarkah ucapanmu itu.?"
"Mengapa tidak, sayang ku...? Aku memang
akan melamar mu! Aku akan datang pada kedua orang
tuamu untuk meminang mu dengan segera!" sahut
Sambu Ruci.
"Apakah kau membalas cintaku yang suci
ini...?" tanya Sambu Ruci, karena gadis itu tak menja-
wab. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Kecuali dekapan yang semakin erat, dan air mata yang
semakin deras mengalir.
"Kau... kau menangis, sayangku...?" berkata
Sambu Ruci seraya menggamit dagu sang dara yang
telah mengendurkan dekapannya.
"Ya! Aku menangis karena aku... aku bahagia...
sahut Seruling Gading dengan suara menggetar.
"Aku pasrahkan jiwa dan ragaku hanya pada-
mu, kakak Sambu..." ujarnya pula dengan suara lirih.
Sepasang matanya yang berkaca-kaca itu gemerlapan
bagaikan percikan cahaya mutiara. Dan gadis itu men-
coba untuk tersenyum. "Ohh..." tak ada kata-kata lain
yang keluar dari mulut Sambu Ruci selain desahan li-
rih yang lepas melapangkan dadanya. Dipeluknya ga-
dis itu erat-erat, dan direngkuhnya bibir mungil itu
dengan kasih mesra, Saat itu dunia serasa mereka
yang punya. Dan saat itu mereka tenggelam dalam ke-
bahagiaan yang paling indah.
Angin sepoi berhembus memagut dahan, meng-
guncang ranting. Tiga empat daun kering melayang tu-
run dari tangkainya... Betapa indahnya Cinta. Betapa
agungnya Cinta! Tuhan telah mempertemukan jodoh
sepasang makhluknya...
Matahari semakin condong ke arah bukit. Se-
mentara cahaya merah yang membersit dari puncak
bukit Karang Helang telah lenyap sejak tadi.
***
TIGA
"HAI...!? LIHATLAH...! Cahaya merah itu telah
lenyap!" berkata Sambu Ruci. Gadis yang tengah tersi-
pu dengan menundukkan wajah itu seketika tenga-
dahkan lagi wajahnya untuk melihat ke arah langit di
sebelah barat. Benar saja! Cahaya merah itu memang
telah sirna.
"Apakah kau tak akan membatalkan niatmu
untuk melihat ke arah tempat keluarnya cahaya merah
itu?"
"Aku memang mau melihatnya. Pasti cahaya itu
keluar dari bukit bernama Karang Helang itu! Cahaya
itu tepat diatasnya...!" menyahut si Seruling Gading.
"Baiklah! Mari kita kesana...!" ujar Sambu Ruci.
Lengannya terulur, dan gadis itu cepat menyambutnya
dengan mesra. Tak berapa lama dua sosok tubuh su-
dah berkelebatan untuk melesat cepat menuju ke arah
bukit Karang Helang.
Sementara itu di atas bukit Karang Helang...
Dua sosok tubuh itu masih tegak berdiri ber-
hadapan. Sama-sama menatap dengan tatapan tajam
laksana dua mata pisau yang mau menembus jantung
lawan masing-masing. Dua pasang mata yang dida-
lamnya tersimpan cahaya dendam, dan memancarkan
hawa maut.
Lenyapnya cahaya merah yang membaur di
atas bukit itu menandakan para Iblis yang membantu
Giri Mayang dalam menghadapi Roro Centil telah me-
lenyapkan diri. Roro Centil perlihatkan senyuman si-
nisnya, seraya berkata. "Hm, Giri Mayang! Sudah ha-
biskah bala bantuanmu? Mayo, munculkan ular-ular
siluman untuk menghadapi aku!" tantang Roro.
"Keparat...! Rasakanlah Sepasang Tangan Iblis
ku!" membentak Giri Mayang. Dan dua larik sinar biru
telah membersit ke arah Roro Centil dengan cepat. Giri
Mayang membarenginya dengan suara tertawa mengi-
kik menyeramkan. Roro Centil yang telah siap meng-
hadapi segala kemungkinan, pergunakan kekuatan
serta kepekaan seluruh inderanya.
WHUSSS! WHUSS! Hawa dingin mencekam dis-
aat dua larik sinar biru itu memecah menjadi beberapa
cahaya yang dengan suara bersiutan menerjang si
Pendekar Wanita Pantai Selatan dari perbagai arah.
Dengan membentak keras Roro putarkan tubuhnya
dengan jurus Pusaran Angin Puyuh. Sengaja Roro
mencoba keampuhan jurus warisan si Dewa Angin
Puyuh sahabatnya alias paman angkatnya.
Laksana terkena pusaran angin puting-beliung
puluhan cahaya biru itu berpentalan. Akan tetapi dua
larik sinar biru telah membumbung ke atas, lalu me-
nukik... Dan... BHLARRR! Tanah menyemburat ke
udara. Dua larik sinar biru dari sepasang tangan Iblis
itu telah mampu membobol pertahanan Roro. Akan te-
tapi tubuh Roro sendiri telah lenyap tak berbekas.
Giri Mayang kerutkan keningnya dengan sepa-
sang mata liar menjelajahi sekitar tempat itu.
"Aku berada dibelakangmu, Giri Mayang!" tahu-
tahu suara Roro terdengar dibelakangnya. Tentu saja
membuat wanita Iblis itu tersentak kaget. Lengan ba-
junya bergerak mengibas ke belakang dengan hanta-
man tenaga dalam.
WHUSSS! Dua batang pohon yang berada tepat
tak jauh dibelakangnya berderak patah, dan tumbang
dengan suara gemuruh.
Akan tetapi terperangah wanita itu karena tera-
sa rambut kepalanya seperti dibetot dengan keras. Dan
sekejap kakinya telah tak menginjak tanah. Menjerit
Giri Mayang dengan meringis kesakitan. Tubuhnya tahu-tahu terlempar ke udara dengan membumbung pe-
sat.
Satu bayangan berkelebat turun, dan hantam-
kan pukulan jarak jauh ke arahnya. Dalam keadaan
melayang ke atas itu ternyata Giri Mayang dapat meli-
hat Roro Centil yang barusan menjambak rambutnya.
Setelah membetotnya dengan lemparan kuat ke udara,
tubuh Roro meluncur turun, lalu hantamkan puku-
lannya. Itulah jurus dari pukulan Kosongkan Perut
Menahan Lapar. Cepat sekali Giri Mayang "menarik"
kembali sepasang Tangan Iblisnya. Dan memapaki se-
rangan itu.
BHLAKRRR! Tubuh Roro terlempar beberapa
tombak. Akan tetapi tubuhnya sendiri semakin tinggi
melambung jungkir balik ke udara. Hebat akibat ben-
turan dua kekuatan itu. Karena Roro Centil terengah-
engah dengan kucurkan darah dari mulutnya. Namun
terperangah Giri Mayang, karena ternyata tubuhnya
tak meluncur turun lagi. Tergantung-gantung dia di
udara dengan keadaan kepala di bawah kaki diatas.
Sementara Roro cepat berdiri. Lalu menyeka
darah kental yang mengalir dari bibirnya ke dagu. Te-
rasa hawa busuk yang menyesakkan dadanya dan bau
amis merangsang hidung, teramat memuakkan. Na-
mun cepat-cepat Roro pusatkan kekuatan batin serta
satukan segenap tenaga dalam untuk mengusir rasa
sesak pernafasannya.
Selang sesaat keadaan kondisi tubuhnya mulai
normal kembali. Kini sepasang mata dara perkasa ini
menatap ke atas. Saat mana dua larik sinar biru baru
saja membersit ke arahnya mengarah leher. Terperan-
gah Roro Centil karena tahu-tahu sepasang lengan Ib-
lis telah berada beberapa jengkal lagi siap mencengke-
ram untuk memoteskan kepalanya dari tubuhnya.
"Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis!" teriak
Roro seraya kibaskan lengannya. Dan... segelombang
tenaga yang tak terlihat telah membuat sepasang Tan-
gan Iblis seperti membentur satu dinding baja, yang
membuat sepasang lengan itu terpental balik.
Sementara pertarungan tengah berlangsung se-
ru, sepasang mata sejak tadi telah mengikuti jalannya
pertarungan dari sesosok tubuh berjubah putih. Siapa
lagi kalau bukan Nenek Muri Asih. Mulut wanita tua
ini ternganga melihat jurus pukulan Roro yang mem-
buat tubuh Giri Mayang tergantung-gantung di udara.
Akan tetapi sepasang tangan iblisnya telah memburu
nyawa Roro tiada henti. Lagi-lagi Nenek Muri Asih
ternganga dengan mata membelalak seperti tak per-
caya. Jurus Roro disaat dalam detik maut berada di
depan mata ternyata telah tertolong dengan jurus ba-
rusan yang amat hebat. Yaitu jurus Malaikat Gurun
Pasir Merambah Iblis! Akibatnya cahaya biru dari Se-
pasang Tangan Iblis itu terpental balik. Bahkan Roro
telah membarenginya dengan tiga-empat hantaman
dengan jurus-jurus aneh.
Sinar biru itu seketika terpecah menjadi ratu-
san sinar kecil-kecil yang membaur dan terpental de-
ras ke ratusan penjuru. Akan tetapi percikan sinar bi-
ru kembali bergerak menyatu, untuk kemudian beru-
bah menjadi sepasang sinar biru dari sepasang tangan
Iblis. Melengak Roro Centil.
Dia telah pergunakan jurus-jurus dari si Manu-
sia Gurun Pasir. Akan tetapi sinar itu tampaknya su-
kar dilumpuhkan. Sementara Giri Mayang yang "ter-
gantung" di udara tampak mulai kehabisan nafas.
Reaksi dari pukulan Roro yang mempergunakan jurus
ciptaannya di Pulau Air masih bersisa.
Saat mana tiba-tiba terdengar suara tertawa
terkekeh.
"Heheheheh... heheheh... Roro Centil! Kau tak
kan mampu melumpuhkan Sepasang Tangan Iblis! Ha-
ri ini adalah hari yang tepat untuk mengubur jasad
Pendekar tolol yang sok menjadi pahlawan! Ya! hari ini
adalah hari kematianmu, bocah wadon... heheheh..."
Selesai tertawa si nenek mata juling yang baru
muncul itu telah jejakkan kakinya ke tanah. Bumi te-
rasa bergetar. Akan tetapi hebat akibatnya. Karena se-
ketika tubuh Giri Mayang yang tergantung di udara te-
lah jatuh meluruk kembali ke bumi. Tersentak Roro
melihat kemunculan si nenek mata juling, juga melihat
kekuatan jejakkan kakinya ke tanah yang terasa
menggetarkan jantung. Akan tetapi melihat tubuh Giri
Mayang yang meluncur jatuh ke tanah, mana Roro
Centil mau membiarkannya? Sekali berkelebat tubuh-
nya telah membersit secepat angin.
Akan tetapi si nenek mata juling alias Nini
Lembutung tak mau kalah cepat untuk menyela-
matkan muridnya. Kakinya bergerak menjejak tanah,
dan tubuhnya melesat bagaikan anak panah lepas dari
busurnya memburu Roro. Dengan di sertai bentakan
keras sebelah lengannya bergerak menghantam den-
gan pukulan tenaga dalamnya.
"Bocah keparat! kau rasakan ini...!" Dalam kea-
daan mengambang di udara agaknya sukar bagi Roro
untuk menghindarkan diri dari pukulan dahsyat itu.
Akan tetapi pada detik itu secercah cahaya perak telah
menghadang di depan Nini Lembutung memapaki se-
rangan itu.
BHLARRRR...!
Terdengar suara ledakan keras, disertai dengan
terlemparnya tubuh Nini Lembutung. Akan tetapi den-
gan ringan kaki nenek mata juling telah kembali jejak-
kan kakinya ke tanah. Tampak wajahnya berubah pu-
cat karena terkejut, Setitik darah tersembul disudut
bibirnya.
Ternyata terpentalnya tubuh Nenek tua renta
ini tidak sendiri, karena sesosok tubuh berjubah pu-
tihpun ikut terhuyung, yang tahu-tahu telah berada
ditempat itu. Dialah si nenek Muri Asih. Sementara itu
Giri Mayang baru dapat bernapas. Begitu rasakan ha-
wa segar dari lenyapnya pengaruh pukulan Roro Cen-
til, serta mengetahui tubuhnya meluncur turun segera
melihat gerakan Roro Centil yang meluncur ke arah-
nya. Akan tetapi lambatnya gerakan luncuran tubuh-
nya telah membuat Roro lebih cepat setindak untuk
bergerak menyambar kakinya. Giri Mayang memang
punya kegesitan luar biasa. Dengan gerak reflek ka-
kinya menendang...
Adanya Roro Centil yang baru saja menyiapkan
"tameng" untuk memapaki serangan Nini Lembutung,
tapi tak jadi dipergunakan karena tiba-tiba munculnya
selarik cahaya selendang perak yang menyambar si
penyerangnya. Tahulah Roro kalau Nenek Muri Asih
yang muncul menolongnya. Kini "tameng" yang telah
disiapkan itu segera dipergunakan untuk memapaki
serangan kaki Giri Mayang.
DHESSS...! Terdengar teriakan tertahan Giri
Mayang. Tubuhnya terlempar beberapa tombak dan ja-
tuh bergulingan di tanah. Meraung wanita iblis itu ka-
rena terasa tulang kakinya berderak patah. Dengan
meringis kesakitan, tiba-tiba wanita ini cepat "tarik"
lagi Sepasang Tangan Iblisnya. Sementara Roro Centil
baru saja jejakkan kakinya ke tanah setelah berjumpa-
litan di udara.
Sementara dilain pihak...
"Nini Lembutung...! Akulah lawanmu! Jangan
ikut campur dalam urusan pertarungan adu jiwa ke-
dua bocah itu!" Membentak Nenek Muri Asih yang te-
lah berdiri dihadapan Nini Lembutung dengan gagah.
Jubah putihnya berkibaran tertiup angin.
"Keparat! rupanya kau si Selendang Perak Pe-
langi...!" Mendelik sepasang mata juling nenek sakti
dari pulau Andalas ini.
"Tidak salah! matamu walaupun juling ternyata
masih awas!" ujar nenek Muri Asih.
"Kunyuk keparat! kau minta mampus!" maki
Nini Lembutung. Dan sepasang lengannya bergerak
menyilang menggeletar. Bibir perempuan sakti ini ber-
kemak-kemik membaca mantera. Tiba-tiba...
WHUSSS! WHUAA...!
Sepasang lengannya bergerak menghantam ke
depan saling susul. Membersitlah sinar merah berhawa
panas saling susul meluncur pesat mengancam jiwa
nenek Muri Asih.
***
EMPAT
BHLARRR! BHLARRR! BHLARRR...! Terdengar
suara ledakan beberapa kali. Percikan-percikan lelatu
api terlihat di udara. Ternyata nenek Muri Asih telah
memapaki serangan demi serangan itu dengan puku-
lan-pukulan sinar peraknya. Hebat akibatnya karena
kedua tokoh itu sama-sama terhuyung dengan wajah
pucat. Masing-masing dari mulutnya mengalirkan da-
rah kental.
Tampak masing-masing menggelosor terduduk,
dan mereka berusaha memulihkan kekuatannya kare-
na mereka telah sama-sama terluka dalam akibat ben-
turan-benturan kekuatan tenaga dalam tingkatan ting-
gi itu. Sementara itu Giri Mayang tampaknya telah
punya "sayap" lagi walaupun sebelah tulang kakinya
patah. Karena Sepasang Tangan Iblis telah berada di
lengannya lagi. Kemunculan Nini Lembutung telah di-
ketahui. Hal ini telah membesarkan nyalinya lagi yang
tadinya mulai mengecil.
Tentu saja geramnya luar biasa dia pada nenek
Muri Asih. Perempuan tua itulah yang telah mengu-
rungnya beberapa pekan yang lalu di hutan rimba be-
lantara, hingga sampai beberapa hari dia tak mampu
keluar dari tempat itu.
Apa lagi telah diketahui nenek itu telah meng-
halangi "tabrakan" Nini Lembutung, yang dalam se ge-
brakan tadi telah berhasil menyelamatkan Roro Centil
dengan sambaran "selendang" peraknya. Beberapa "la-
brakan" antara kedua tokoh itu telah menarik perha-
tian mereka sejenak untuk menyaksikannya. Baik Giri
Mayang maupun Roro Centil sama-sama terkejut ka-
rena benturan demi benturan tenaga dalam kedua ne-
nek itu, amat keras.
Dalam sejenak terperangah itu, Giri Mayang le-
bih dulu tersadar. Dan kesempatan disaat Roro lengah
tak disia-siakan. Sepasang lengan Iblisnya dile-
paskan... "Hihihi... mampuslah kau Roro Centil kepa-
rat...!" bentaknya dalam hati.
Terperangah Roro ketika tersadar bahaya men-
gancam jiwanya. Sepasang Lengan Iblis yang bentuk-
nya menyeramkan itu telah berada sejengkal lagi di
depan matanya. "Tamatlah riwayatku...!" memekik Ro-
ro dalam hati. Akan tetapi dengan gerak reflek sepa-
sang tangan Roro yang selalu "berisi" itu secepat kilat
telah bergerak menangkap... Sebuah dari sepasang
lengan itu berhasil ditangkap, tapi sebuah lagi lolos
dari tangkapannya. Karena sekonyong-konyong si Len-
gan Iblis melesat ke sisi. Nyaris pinggang Roro kena
terkoyak kalau dia tak cepat jatuhkan diri bergulingan.
Sementara sebelah Lengan Iblis itu
masih tak lepas dari cekalan tangan Roro. Bahkan diperkuat dengan kedua tangan. Giri Mayang tak
berikan kesempatan Roro untuk berdiri lagi. Dengan
kekuatan batinnya yang tinggi Giri Mayang "menyetir"
tangan Iblisnya untuk meluncur mencengkeram leher
Pendekar Wanita itu dari belakang. Sedangkan sebuah
lagi dari lengan Iblisnya telah dibetot, keras agar terle-
pas dari tangan Roro.
Roro Centil menyadari dirinya dalam bahaya.
Namun sebisanya dia harus mempertahankan diri un-
tuk menyelamatkan nyawanya. Ketika itu juga dengan
jurus "Lompatan Harimau Gurun Pasir" Roro memba-
rengi kekuatan Tangan Iblis yang telah membetotnya.
Terdengar jeritan parau menyayat hati dan sua-
ra derak tulang yang patah. Darah menyemburat. Dan
sebuah kepala manusia terlempar ke udara... Itulah je-
ritan parau dari Giri Mayang! Kepalanya telah putus,
terlepas dari tubuhnya dengan darah memuncrat men-
gerikan. Bersamaan dengan robohnya tubuh tanpa ke-
pala dari wanita iblis itu, terdengar suara BHLAARRR!
Secercah kilatan perak dan pelangi menyambar ke be-
lakang Roro Centil. Sinar biru seketika memercik ke
udara. Ternyata sepasang "Selendang" nenek Muri Asih
telah menghantam sebuah dari Tangan Iblis yang nya-
ris mencengkeram leher Roro.
Sementara itu berbareng dengan bunyi ledakan
keras dibelakangnya, Roro telah jatuhkan tubuhnya
bergulingan. Roro memang telah mengetahui bahaya
maut mengancam dibelakangnya, namun keburu Ne-
nek Muri Asih menghantam Tangan Iblis yang sebuah
itu dengan "selendang" Peraknya.
Dan... disaat kepala Giri Mayang meluncur tu-
run, sebuah bayangan dengan cepat telah menyambar.
Detik berikutnya Roro Centil telah berdiri dengan ga-
gah. Rambutnya berkibaran tertiup angin. Pada sebe-
lah lengannya tampak tergantung-gantung sebuah kepala manusia tanpa tubuh yang dicengkeram rambut-
nya. Itulah kepala Giri Mayang...! Lengan satunya lagi
tiba-tiba bergerak menghantam tubuh Giri Mayang
tanpa kepala, yang seketika terbakar hangus! Apakah
sebenarnya yang terjadi? Kiranya disaat tubuh
Roro Centil terbetot oleh kekuatan Tangan Iblis
yang ditarik Giri Mayang, Roro Centil telah membaren-
gi melesat dengan jurus Lompatan Harimau Padang
Pasir. Ternyata Roro telah arahkan cengkeraman Tan-
gan Iblis pada majikannya. Tak ampun lagi si Tangan
Iblis mencengkeram ganas! Tapi yang dicengkeram
adalah batang leher "majikan"nya sendiri. Dengan ke-
kuatan tangannya Roro Centil menyentakkan kepala
Giri Mayang hingga sekaligus putus! Dan... terlempar
ke udara...
Asap hitam membumbung disertai bau sangit
yang menusuk hidung, ketika Roro Centil selesai
membaca mantera dari Tujuh Mantera Penolak Iblis
warisan si Manusia Gurun Pasir. Dan... saat itu pula
Tangan Iblis yang dicekal kuat oleh Roro telah lenyap.
Kejadian itu ternyata tak luput dari mata Nini
Lembutung, yang baru saja selesai memulihkan luka
dalamnya. Tampak wajah dan sekujur kulit wanita tua
itu telah berubah menjadi merah laksana darah. Pera-
lihan demikian ternyata membuat wajahnya lebih me-
nyeramkan lagi, yang ternyata juga berubah secara
mendadak. Dari kedua sisi bibirnya telah tersembul
dua buah taring yang runcing mengerikan.
Dengan mendengus bagai suara kerbau di go-
rok, tiba-tiba sepasang lengannya terpentang ke arah
nenek Muri Asih. Wanita tua yang baru saja menolong
Roro itu tak sempat berbuat apa-apa karena ketika
menoleh pada Nini Lembutung, serangan dahsyat itu
telah datang dengan mendadak. Walaupun demikian
dia telah menangkis sebisanya. Namun... segera terdengar jeritan ngeri si nenek Muri Asih. Tubuhnya ter-
lempar bergulingan bercampur dengan deru angin pa-
nas yang menerbangkan batu-batu.
Bau sangit mengembara. Keadaan tubuh nenek
Muri Asih tampak mengkhawatirkan, karena seluruh
pakaiannya telah hangus terbakar.
Pada bagian dadanya tampak tertera sebuah te-
lapak tangan yang menghitam jelas menempel dikulit
dan payudaranya.
Wanita tua ini mencoba bangkit, akan tetapi
kembali dia roboh dan beberapa kali muntahkan darah
hitam kental.
Dalam keadaan demikian, sebuah bayangan
berkelebat ke arahnya seraya terdengar suara teriakan
tertahan.
"Nenek Muri...! kau... kau... kau terluka...?"
ternyata Roro telah menghampiri dan menatap dengan
khawatir.
Lompatan Roro yang menghampiri nenek Muri
Asih ternyata dibarengi dengan kelebatan tubuh Nini
Lembutung setelah menyambar Tangan Iblis dari hasil
pembentukan percikan sinar biru yang buyar terkena
hantaman "selendang" perak pelangi nenek Muri Asih
tadi.
Ternyata lagi-lagi si nenek mata juling ini mau
membokong. Dendamnya semakin menghebat melihat
kematian Giri Mayang, sedangkan dendamnya sendiri
belum terbalaskan. Lengan Iblis yang dicekalnya me-
luncur pesat untuk mencekeram leher Roro Centil.
Sementara lengannya sendiri membarengi dengan me-
naburkan serbuk racun dalam genggaman tangannya.
Modharrr...!" bentaknya dengan bersemangat.
Akan tetapi satu keanehan terjadi. Roro Centil balikan
tubuhnya seraya membentak.
"Malaikat Gurun Pasir Merambah Iblis! Dan
buyarlah serbuk racun yang ditaburkan Nini Lembu-
tung yang meluruk deras ke arah Roro dan nenek Muri
Asih. Juga sinar biru dari Tangan Iblis itu tertolak
mental.
Sebagai gantinya terdengar jeritan parau Nini
Lembutung yang terkena sambaran serbuk racunnya
sendiri, dan cengkeraman Tangan Iblis yang "dikenda-
likan" Roro dengan kekuatan batinnya.
***
LIMA
TANGAN IBLIS yang mengerikan itu menceng-
keram perutnya. Sementara si nenek mata juling beru-
saha menariknya. Darah mengucur bertetesan.
Tampak wajah Nini Lembutung yang telah be-
rubah mengerikan itu jadi semakin menyeramkan. Tu-
buhnya terhuyung-huyung lalu ambruk ke tanah dan
berkelojotan meregang nyawa. Jeritan-jeritan paraunya
bagaikan suara jeritan setan dan iblis. Roro Centil me-
lompat mundur untuk kemudian memeluk nenek Muri
Asih yang seperti telah tak berdaya dengan luka pa-
rahnya.
Tiba-tiba cuaca sekonyong-konyong berubah
gelap. Angin membersit keras. Petir menggelegar ber-
sahut-sahutan.
Salah satu kilatannya menyambar tubuh Nini
Lembutung yang tengah sekarat meregang nyawa.
THARRRRR...!
Cahaya terang benderang itu sekilas menyobek
kegelapan. Tampak asap hitam membumbung, juga
bau sangit segera tercium dalam bersitan angin ken-
cang. Roro Centil makin erat memeluk tubuh wanita
tua itu.
"Apakah yang akan terjadi...?" berdesis bibir
pendekar wanita kita.
"Tenanglah, Roro..." terdengar suara nenek Mu-
ri Asih. Nada suaranya lemah. Trenyuh hati Roro me-
mandangnya. Diam-diam dia salurkan hawa hangat ke
tubuh wanita tua itu.
"Nenek Muri...! Kita harus segera tinggalkan
tempat ini..." berbisik Roro. Akan tetapi wanita tua itu
menggeleng.
"Sabarlah...! Aku masih mau bercakap-cakap
denganmu, Roro..." menyahut wanita tua itu.
"Kau telah berhasil menemui si Manusia Gurun
Pasir...?" tanya nenek Muri Asih. "Benar, nenek Muri!
akan tetapi cuma kerangkanya saja." sahut Roro.
"Hehehe... bagus! dan... kau pasti telah mempe-
lajari kitab simpanannya!" tertawa nenek Muri Asih.
"Benar...!"
"Sukurlah....! Secara tak langsung kau telah
menjadi pewaris ilmu si Manusia Gurun Pasir itu, Ro-
ro. Kau sungguh beruntung. Tapi aku adalah manusia
yang sial. Karena berpuluh tahun aku mencari si Ma-
nusia Gurun Pasir tapi tak pernah berjumpa...! Manu-
sia Gurun Pasir adalah orang negeri Tursina jauh di
Timur Tengah sana. Dia bekas seorang Sultan yang
pernah memerintah beberapa wilayah dalam satu Ke-
rajaan di negeri itu. Sedangkan aku... aku cuma seo-
rang inang pengasuh, dari seorang Ratu perempuan
yang pernah berkuasa disatu wilayah utara Manusia
Gurun Pasir berhasil menyunting majikanku, alias
sang Ratu di wilayah utara itu dalam pengembaraan-
nya. Ditubuh ku mengalir darah jahat dari ibuku. Me-
lihat kebahagiaan sang Ratu junjunganku dengan si
Manusia Gurun Pasir aku jadi mengiri. Aku telah la-
kukan kejahatan, yaitu berusaha memisahkan mereka
berdua...! Akan tetapi kesudahannya aku menyesal.
Aku membenci perbuatan jahat ku. Aku memang be-
rusaha keras melenyapkan sifat jahat dalam diriku,
akan tetapi aku merasa tak sanggup untuk menguasai
jiwaku keseluruhan. Sejak itu aku tak tahu lagi ten-
tang sang Ratu junjunganku itu. Ya, sejak aku berhen-
ti jadi inang pengasuh dan meninggalkan wilayah uta-
ra itu. Namun belasan tahun kemudian aku menden-
gar suara gaib yang memerintahkan aku merawat see-
kor harimau tutul! Sejak itulah aku menjadi "penga-
suh" dari si Tutul. Sayang aku belum juga dapat men-
guasai kejahatan yang terkadang selalu timbul untuk
merangsang jiwaku. Acap kali aku telah menyuruh si
Tutul melakukan kejahatan. Akan tetapi untunglah...!
aku sering gagal dan merobah jalan pikiran untuk ce-
pat membatalkan niat jahatku itu.... Hingga akhirnya
aku telah berjumpa denganmu, Roro...! Dan kau telah
menaklukkan si Tutul dengan cahaya sebuah cincin
bermata batu Merah Delima yang kuketahui jelas ada-
lah milik sang Ratu. Entah dari mana kau dapatkan
benda itu hingga berada ditangan mu, waktu itu aku
tak berniat menyelidiki. Bahkan aku telah menyangka
kau adalah titisan dari sang Ratu junjunganku itu. Se-
jak itu aku melenyapkan diri... Walau sebenarnya
orang telah mengenalku sebagai seorang Pendekar pe-
rempuan yang digelari si Pendekar Selendang Perak
Pelangi. Namun aku merasa sebutan Pendekar itu pa-
daku terasa berat bagiku menerimanya. Karena terka-
dang aku malu pada diriku sendiri yang suka berbuat
kejahatan, walaupun hal itu kuperbuat diluar kesada-
ranku...!"
Demikian tutur nenek Muri Asih dengan agak
panjang lebar. "Tapi anehnya sejak si Tutul berada pa-
damu, aku mulai bisa mengatasi golakan darah jahat
yang merangsang syaraf ku. dan mengendalikannya!"
Roro Centil mendengarkan penuturan si nenek dengan
tertegun dan terlongong-longong.
Selang sesaat setelah terbatuk-batuk beberapa
kali, nenek Muri Asih lanjutkan ucapannya.
"Aku telah pernah berjanji akan menurunkan
ilmuku padamu, Roro...! Akan tetapi "agaknya maut
sebentar lagi akan menjemputku..." Ujarnya lagi den-
gan fasal lain, karena telah selesai dalam memberikan
penuturan dari kisah hidup yang dialaminya.
Roro memang tak sempat untuk menuturkan,
dan si nenek Muri Asih tak pernah tahu kalau sebe-
narnya si Tutul yang selalu mengikut padanya adalah
roh dari si Manusia Gurun Pasir, seperti apa yang te-
lah dituturkan sendiri oleh suara gaib ketika Roro be-
rada didalam goa di tengah gurun pasir...
"Tidak! nenek Muri...! kau harus hidup! aku
akan berusaha menolongmu menyembuhkan luka da-
lam ditubuh mu...!" sentak Roro terkejut. Akan tetapi
wanita tua itu cuma tersenyum.
Tatapan mata wanita tua ini semakin melemah.
Namun tampak dia berusaha menguatkan tubuhnya.
"Dekatkan telingamu kemari, Roro...!" perintahnya ti-
ba-tiba.
Tak ayal Roro segera menuruti kehendak wani-
ta tua perkasa ini untuk mendekatkan telinganya pada
mulut nenek Muri Asih. Terdengar bisikan kata-kata...
Dan tampak Roro manggut-manggut. "Kau ha-
palkan kata-kataku ini. Aku yakin kau akan mampu
memecahkannya. Dan dengan demikian lunaslah hu-
tangku karena kau pasti bisa memainkan jurus-jurus
Selendang Perak Pelangi..." berkata nenek Muri Asih
dengan nada pasti dan tampak kepuasan pada wajah-
nya.
Tiba-tiba wajah wanita tua itu berubah pucat
dan menegang.
"Roro! segeralah kau tinggalkan tempat ini.! ce-
pat! cepatlah...! perintah nenek Muri Asih. Akan tetapi
Roro malah tertegun dan tak beranjak dari tempatnya.
Sementara kilatan-kilatan petir tetap terlihat
beredepan dilangit.
Angin keras masih membersit. Sekilas terpan-
dang tubuh Nini Lembutung terkapar tak berkutik
dengan tubuh yang telah menghitam hangus.
Roro bergidik ngeri melihatnya, seraya menatap
menengadah ke atas.
Tiba-tiba terperangah Roro Centil ketika meli-
hat ada perubahan pada wajah dan sekujur tubuh ne-
nek Muri Asih. Tubuhnya berubah menjadi merah juga
rambutnya. Dan wajahnya telah berubah jadi menye-
ramkan, karena sepasang taring telah tersembul dari
kedua sudut bibirnya.
"AAH...!?" tersentak Roro seraya beringsut
mundur.
"Sudah terlambat, Roro...! tapi tak apalah! kau
sudah terlanjur melihat bentuk ujudku! Ketahuilah...!
aku dan Nini Lembutung itu adalah saudara sedarah.
Walau aku dengannya adalah lain ayah tapi darah
ibuku masih menyerap dalam tubuhku! Darah yang te-
lah kena kutukan iblis! Kini pergilah cepat kau, Roro!
Sebentar lagi petir akan menghanguskan tubuhku!"
berkata nenek Muri Asih dengan suara serak parau.
Akan tetapi Roro Centil tetap tak beranjak dari
tempatnya.
"Tidak nenek Muri, kau tak boleh termakan ku-
tukan! kalau memang kau sudah ditakdirkan mati,
kau harus mati dalam keadaan wajar...!" sahut Roro.
Dan tanpa perdulikan perintah nenek Muri
Asih yang telah berubah jadi mengerikan itu, Roro
Centil cepat membaca "mantera-mantera Suci" dari tu-
juh kalimat yang dipelajari dari Manusia Gurun Pasir.
Tiba-tiba langit mendadak berubah cerah. An-
gin yang membersit keras itu pelahan-lahan melenyap.
Juga kilatan petir telah terhenti.
Alam tampak kembali tenang seolah tak pernah
terjadi apa-apa...
Dan... tertegun Roro Centil ketika menatap pa-
da nenek Muri Asih ternyata tubuh dan wajahnya telah
kembali seperti sedia kala.
Wanita tua itu tampak seperti masih tersenyum
padanya dengan mata setengah terbuka. Akan tetapi
nyawanya telah melayang.
"Nenek...! nenek Muri... Aiii, kau benar-benar
telah "mendahului"....!- ucap Roro dengan lirih dan ha-
ti trenyuh. Lengannya bergerak mengusap wajah wani-
ta tua bekas Pendekar Wanita Perkasa itu hingga ter-
katup kelopak matanya. Lama Roro tercenung mena-
tap dengan tertegun. Tak lama terdengar suara helaan
nafasnya.
"Yah, takdir tak dapat dipungkiri...! akan tetapi
aku puas, karena kau dapat mati dengan sewajarnya,
nenek, Muri.... Semoga Tuhan mengampuni dosamu..."
ucap Roro dengan suara lirih. Pelahan-lahan Roro mu-
lai tersadar kalau sudah waktunya dia meninggalkan
tempat itu. Segera dipondongnya jenazah nenek Muri
Asih alias si Pendekar Selendang Perak Pelangi.
Terkejut Roro Centil ketika sejenak mengamati
sekitar tempat itu, karena hutan rimba yang berada
disekitar bukit Karang Helang telah porak-poranda ba-
gaikan baru diterjang badai. Roro memang tak menya-
dari dan tak begitu memperhatikan kalau angin keras
yang berpusaran diatas bukit tadi telah membuat hu-
tan belantara ditempat itu seperti baru diobrak-abrik
"tangan Raksasa. Akan tetapi tidak sampai merambah
ke tempat pertarungan.
Roro menatap sejenak ke arah Matahari yang
sudah semakin condong lalu bergegas menuruni lereng
bukit.....
***
ENAM
"NONA ROROOOO...! Satu teriakan santar
membuat Roro Centil hentikan langkahnya, dan meno-
leh ke arah suara. Segera terlihat dua sosok tubuh ber-
lari-lari mendatangi.
Beberapa saat kemudian kedua sosok tubuh itu
telah tiba dihadapannya.
"Sobat Sambu Ruci...! ah, kiranya anda...?"
berkata Roro, Seraya sepasang matanya memperhati-
kan kawan wanita laki-laki itu.
Sambu Ruci agaknya tak teringat sama sekali
untuk memperkenalkan gadis kawannya itu pada Ro-
ro, karena sepasang matanya tertuju pada jenazah
seorang wanita tua dalam pondongan pendekar wanita
itu.
"Nenek Muri Asih...! Apakah yang terjadi?"tanya
Sambu Ruci dengan menatap tertegun pada Roro.
"Beliau telah tewas... menyahut Roro dengan
tersenyum pahit.
"Ah...!?" tersentak Sambu Ruci. Seketika per-
sendian sekujur tubuhnya terasa lemas. Begitu juga
dengan wanita si gadis peniup Seruling alias si Serul-
ing Gading. Dia menatap dengan tertegun dan hati
mencelos, karena belum lama dia berjumpa dengan
nenek itu yang telah memerintahkan menguburkan
puluhan jenazah penduduk dari dua desa akibat per-
buatan Giri mayang. Tapi kini dijumpainya lagi wanita
sakti itu telah tewas dengan keadaan mengenaskan.
Ketika tertatap kepala tanpa tubuh yang te-
rayun-ayun di bawah lengan Roro serentak keduanya
melangkah mundur dengan terperangah.
"Hihihi... inilah kepala si Giri Mayang! Setelah
selesai mengubur jenazah nenek Muri Asih, aku akan
mengantarkannya ke Istana. Akan kupersembahkan
pada Raja!" berkata Roro yang telah memaklumi keter-
kejutan kedua remaja itu.
"Kami baru mau melihat ke atas bukit untuk
mengetahui apa yang terjadi disana. Akan tetapi cuaca
tiba-tiba menjadi gelap. Petir menyambar dan angin
keras bagaikan taufan datang secara tiba- tiba. Ter-
paksa kami urungkan niat. Tak dinyana diatas sana
telah terjadi pertarungan hebat! Dan diatas sana pula
tempat kematian perempuan Iblis bernama Giri
Mayang! Sungguh tak kusangka kalau anda berhasil
membunuhnya, nona Roro...! akan tetapi bagaimana
kisahnya sampai nenek Muri Asih bisa tewas...?" tutur
Sambu Ruci yang diakhiri dengan pertanyaan.
"Hm, nanti akan kuceritakan! marilah kita cari
tempat yang baik untuk mengebumikan jenazah nenek
Muri ini...!" menyahut Roro.
"Ehm, tapi perkenalkan dulu atuh siapa gadis
kawanmu itu...?" sambung Roro dengan tersenyum.
Belum lagi Sambu Ruci buka mulut si Gadis te-
lah maju selangkah seraya menjura pada Roro.
"Maafkan, aku yang rendah bernama dan ber-
gelar si Seruling Gading.
Gembira sekali dapat berjumpa dengan anda,
kakak Pendekar! Nama anda telah terdengar santar ke
setiap tempat, membuat setiap golongan Pendekar
mengagumi. Dan...aku adalah salah seorang penga-
gum anda...!" ujar Seruling Gading yang kemudian
mengangkat wajah dengan senyum menghiasi bibirnya.
Sementara diam-diam hatinya memuji dan ka-
gum luar biasa akan kecantikan sang pendekar wanita
itu. Sudah cantik berilmu tinggi pula yang sukar di-
ukur...!
Oo.... betapa kecilnya aku bila dibandingkan
dengannya...? berpikir Seruling Gading dalam benak.
"Pantas kalau Sambu Ruci pernah "ada Hati" dengan-
nya!" berkata dalam hati si gadis ini.
Roro Centil mengangguk seraya tersenyum.
"Namamu dan gelarmu bagus sekali, adik...! Baiklah
nanti kita teruskan bercakap-cakap, Mari kita tinggal-
kan tempat ini...!" tukasnya kemudian seraya menatap
pula pada Sambu Ruci Keduanya dengan berbareng
mengangguk. Roro segera putarkan tubuh. Lalu me-
langkah untuk segera berlari cepat menuruni lereng
bukit karang Helang.
Tak ayal Sambu Ruci dan Seruling Gading se-
gera berkelebat mengikuti.
Lengan Sambu Ruci bergerak terulur ke sisi un-
tuk menggamit lengan gadis itu, yang segera menyam-
butnya dengan cekalan erat.
Dengan bergandengan tangan keduanya berla-
ri-lari serta terkadang melompat menyusul kelebatan
tubuh Roro, Hingga tampak dari kejauhan bagaikan
dua bayangan merah dan putih yang berkelebatan me-
nuruni lereng bukit Karang Helang. Bukit yang telah
membawa maut! Akan tetapi kemenangan berada dipi-
hak Roro Centil sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Walau harus berkorban dengan kehilangan nyawa seo-
rang Pendekar Wanita tua yang berbudi luhur.
Roro benar-benar menepati janjinya yaitu men-
girimkan kepala Giri Mayang pada Raja yang diserta-
kan pula didalamnya sepucuk surat.
"Semoga dengan tewasnya perempuan Iblis
bernama Giri Mayang ini, keadaan di wilayah Kerajaan
anda kembali pulih dan tenteram seperti sediakala"
Demikian isi surat yang dituliskan diatas secarik ker-
tas. Dan pada bagian bawahnya tertera nama RORO
CENTIL.
Tentu saja amat suka-citanya hati Raja. Bagin-
da Raja telah menyediakan hadiah istimewa untuk
sang Pendekar Wanita itu yang telah berjasa memulih-
kan keamanan di wilayah kekuasaan Kerajaannya. Se-
gera disebar undangan ke setiap tempat, karena tak
diketahui dimana beradanya Pendekar Wanita Roro
Centil itu. Agaknya Raja ingin melihat sendiri bagai-
mana rupa dan wajah tokoh Pendekar yang namanya
banyak disanjung orang itu. Beberapa hari ditunggu-
tunggu ternyata tak ada berita datangnya sang dara
Perkasa itu. Akhirnya sepekan kemudian. Raja men-
dengar berita adanya Pendekar Besar itu menetap di
Pesanggrahan desa Cipatujah. Segera diutus orang un-
tuk menyelidiki ke sana. Ketika utusan itu kembali,
segera datang menghadap seraya menyembah.
"Ampun, Gusti Paduka Raja, Pendekar Roro
Centil telah pergi meninggalkan pesanggrahan CIPA-
TUJAH dimana dia menetap. Tak seorangpun dari ra-
kyat Cipatujah mengetahui kemana perginya...!"
Termenung Baginda Raja dengan laporan itu.
Ketika utusan itu telah kembali keluar ruangan pen-
dopo Istana, Baginda Raja terdengar menghela napas
dan terdengar suaranya bergumam lirih...
"Haih...! Pendekar Wanita itu memang sukar di-
ikuti jejaknya. Kepergiannya tentu sengaja dipercepat,
karena aku yakin dia tak membutuhkan imbalan atas
segala jasanya...!" gumam sang Raja. Lalu bangkit dari
kursi singgasananya dan beranjak masuk ke ruang da-
lam. Hari itu juga kepala Giri Mayang diperintahkan
untuk dibakar....
Sementara di Pesanggrahan Cipatujah....
Sepasang Pengantin Baru itu masih tampak
malu-malu diriung banyak orang.
Akan tetapi dari pancaran matanya terlihat si-
nar kebahagiaan, itulah pasangan pengantin dari
Sambu Ruci dan Seruling Gading. Pernikahan itu telah
selesai dan resmi sudah mereka menjadi suami-isteri.
Walaupun untuk itu mereka cukup dihadiri oleh bebe-
rapa orang sebagai saksi, tanpa wali.
Roro Centil memang telah meninggalkan tempat
itu, begitu selesai memberi selamat pada kedua mem-
pelai. Entah apa yang membuat Roro cepat-cepat ber-
lalu, sedangkan tetamu undangan masih berdatangan.
Dan banyak orang yang diundang belum munculkan
diri.
"Numpang nikah" dikampung orang memang
harus banyak menemui syarat-syarat tertentu. Tapi
karena sedikit banyak mereka tahu siapa adanya
orang yang berada ditempat pesta perkawinan itu juga
orang yang punya "tempat" dimana diadakan pesta
pernikahan itu syarat-syarat tampaknya tak berlaku.
Rumah besar itu adalah Pesanggrahan milik
seorang tokoh silat kenamaan didaerah itu yang berge-
lar Ki Astagina. Pesanggrahan Cipatujah memang telah
disetujui oleh Ki Astagina untuk di pakai menikahkan
kedua mempelai yang menumpang menikah di wilayah
itu, yang juga telah disetujui Kepala Desa Cipatujah.
"Aku telah menolong menikahkan mereka...!
Hm, tampaknya Sambu Ruci benar-benar mencintai
gadis itu. Si Seruling Gading juga demikian..!" Terden-
gar suara desis lirih dari bibir dara berambut panjang
terurai itu. Dia memang Roro Centil yang tengah du-
duk diatas batu karang ditepi pantai. Pagi itu laut
tampak tenang tak berombak. Angin cuma semilir saja.
"Sukurlah! semoga mereka bisa rukun..." terdengar lagi
desis suara Roro. Sepasang matanya tampak menatap
jauh ke cakrawala. Terkadang memperhatikan burung-
burung camar yang sesekali menukik menyambar
ikan-ikan dipermukaan air. Dan... suara helaan napas
sang dara terdengar menyibak keheningan dipantai
itu.
Dan... aneh! disaat-saat seperti itu Roro terin-
gat pada seorang laki-laki brewok yang bertampang ga-
gah. Ya laki-laki yang bernama Joko Sangit. Laki-laki
yang digelari si Brandal Pemabukan. "Huh...! terdengar
suara mendengus dari hidung Roro. Dan bibirnya
membuat tekukkan dengan mimik cemberut.
"Lelaki hidung belang macam itu mengapa ha-
rus diingat-ingat...?" tiba-tiba menggumam Roro Cen-
til. Dialihkannya ingatannya pada lain Wajah. Akan te-
tapi justru wajah Sambu Ruci yang terpampang di pe-
lupuk mata.
Plak! tiba-tiba Roro telah menampar pipinya
sendiri. "Mengapa justru Sambu Ruci yang ku ingat?
Aiiih! dia sudah jadi milik orang! Dan aku memang tak
ada hati padanya...!" berkata Roro dalam hati. Dan dia
jadi tertawa sendiri karena lagi-lagi teringat pada Joko
Sangit. Tertawa yang didalamnya mengandung kepedi-
han. Roro memang tak dapat mendustai dirinya sendiri
kalau dia memang serasa ingin sekali berjumpa den-
gan laki-laki itu. Laki-laki yang telah membangkitkan
rasa cemburu dihatinya. Akan tetapi menimbulkan pu-
la rasa kasihan, karena tampaknya Joko Sangit selalu
menjadi bulan-bulanan perempuan bejat. Apa yang di-
ingat Roro adalah ketika mengingat kejadian di wilayah
Lembah Soka disaat kaum golongan Pendekar akan
menyebrang ke tengah Telaga Berkabut untuk meng-
gempur Istana Kerajaan Pugar Alam, pada beberapa
bulan yang lalu. Joko Sangit memang "jatuh" dalam
pelukan seorang perempuan yang menamakan dirinya
si Dewi Perunggu.
Mengingat demikian seketika wajah Roro beru-
bah merah dan terasa panas, yang membuat dia
menggigit bibirnya dengan wajah kesal.
"He? mengapa aku tak mencoba mempelajari
jurus Selendang Perak Pelangi?" tiba-tiba Roro teringat
akan bisikan kata-kata ditelinganya ketika saat nenek
Muri Asih akan menghembuskan napas terakhir... Ro-
ro duduk merenung untuk mengingat-ngingat bisikan
kata-kata itu, dan mencoba memecahkannya.
Tak lama wajah Roro membersitkan kegiran-
gan. Dan... mulailah dia mencoba berlatih dengan pu-
kulan-pukulan tangannya. Air laut menyemburat ter-
kena hantaman-hantaman pukulan Roro. Akan tetapi
belum menampakkan hasilnya. Roro terus mencoba
dan mencoba...! Kemauan kerasnya untuk menguasai
jurus nenek Muri Asih semakin membuat dia penasa-
ran. Akhirnya Roro mengambil keputusan untuk me-
netap sementara dipantai itu guna mempelajari jurus-
jurus Selendang Perak Pelangi.
***
TUJUH
Sementara itu Tiga sosok tubuh laki-laki yang
bentuk tubuhnya berbeda satu sama lain tampak ten-
gah berdiri diatas lamping bukit. Menyapukan pan-
dangan mata mereka pada sekitar tempat itu. Seorang
bertubuh jangkung mirip galah. Seorang lagi bertubuh
pendek kekar. Sedangkan yang paling sisi adalah seo-
rang laki-laki gemuk berpipi tembem. Rambutnya hi-
tam kaku. Dua dari ketiga orang ini mengenakan pa-
kaian dari kulit kerbau. Si jangkung kurus mencekal
sebatang ruyung yang panjangnnya melebihi kepalanya. Si pendek kekar membawa dua buah buli-buli
arak yang tergantung dipinggangnya. Sedangkan si
gemuk pipi tembem yang memakai jubah kuning dari
kain kasar itu bertangan kosong.
Melihat dari tampangnya si gemuk itu seperti
seorang pegulat ulung, yang bukan penduduk asal
daerah itu. Boleh dibilang seperti orang asing yang ba-
ru injakkan kaki ke wilayah itu.
"Kakang Sapi Lanang. tujuan kita adalah me-
nyeret si gadis bandel itu untuk pulang kembali ke
perguruan, bukan untuk tujuan macam-macam!" ber-
kata si pendek kekar yang membawa buli-buli arak
pada si laki-laki jangkung. Si pendek kekar ini berna-
ma Suro Ragil yang terhitung adik seperguruan laki-
laki jangkung bernama Sapi Lanang itu. Agaknya Suro
Ragil telah mengetahui watak kakak seperguruan nya
yang suka menyeleweng.
"Hohohoho... tentu! tentu saja...! Apakah info
itu jelas bahwa si Seruling Gading berada di Cipatu-
jah...? balik bertanya Sapi Lanang.
"Orang-orang kita yang melacak kepergian si
Seruling gading yang kabur dari perguruan itu cukup
jelas dan dapat dipercaya. Kukira saat ini masih bera-
da di Pesanggrahan milik Ki Astagina, kokolot desa Ci-
patujah!"
"Bagaimana kalau Ki Astagina menghalangi?
Apakah kita harus pulang dengan tangan kosong?"
tanya lagi Sapi Lanang.
"Ki Astagina kenal baik watak guru kita dan
agaknya memandang persahabatan, dia takkan meng-
halangi...!"
"Ya, itu dugaanmu. Tapi dugaanku lain! ki As-
tagina adalah sesepuh atau "kokolot" di wilayah Cipa-
tujah. Kalau si Seruling Gading ternyata memang me-
minta perlindungan padanya, masakan dia mau biar
kan kita menyeret gadis bandel itu? Tentu hal demi-
kian akan menurunkan wibawanya! Kukira dia pasti
mempertahankan, atau meminta guru kita yang men-
gambilnya sendiri, disamping ingin tahu jelas persoa-
lannya!" tukas Sapi Lanang.
"Boleh jadi demikian...! Ya, kalau demikian kita
terpaksa harus pakai kekerasan!" tegaskan Suro Ragil.
"Hohoho... itu memang mauku! Aku memang
mau menjajal kehebatan orang-orang Cipatujah terma-
suk Ki Astagina!" tertawa bergelak Sapi Lanang.
"Kalau kau kalah aku yang akan mematahkan
batang leher Ki Astagina!" Tiba-tiba menyelak bicara si
laki-laki gemuk berjubah kuning yang sedari tadi tak
bersuara.
"Hohoho.... bagus! bagus, sobatku Zimbage!
Kau memang sengaja kuajak agar banyak pengalaman
di wilayah ini. Kau bisa tumbangkan "jago-jago" Cipa-
tujah!" berkata Sapi Lanang seraya menepuk-nepuk
bahu si gemuk dengan lengannya yang panjang mele-
wati tubuh Suro Ragil,
Tak lama ketiga sosok tubuh itu sudah berke-
lebatan menuruni bukit. Sapi Lanang dengan memper-
gunakan ruyungnya melompat-lompat dengan gerakan
lincah. Sedangkan si gemuk yang bernama Zimbage itu
ternyata dapat berlari cepat dengan suara langkah ka-
kinya yang berdebum menggetarkan tanah.
Suro Ragil merendenginya dengan ilmu lari
yang tak kalah cepat.
Sebentar saja ketiga tubuh itu telah lenyap di-
balik lereng bukit...
Pada saat itu di Pesanggrahan Cipatujah.
Sambu Ruci ternyata setelah selesai menyam-
but para tamu undangan dari "sesepuh" desa Cipatu-
jah Ki Astagina tampak berdiri seraya menjura kepada
semua orang. Disisinya berdiri pula si gadis Seruling
Gading yang telah menjadi istrinya.
"Sobat-sobat semua dan yang kami hormati se-
sepuh Pesanggrahan Cipatujah. Agaknya kami tak da-
pat tinggal lama untuk menetap disini.
Sehubungan dengan sudah berangkatnya terle-
bih dulu sobat kita Pendekar Roro Centil. Kami
ucapkan terima kasih kami yang sebesar-besarnya pa-
da semua yang telah hadir. Terutama pada sesepuh Ki
Astagina, atas bantuannya hingga selesainya urusan
pernikahan kami!" ujar Sambu Ruci seraya kemudian
menjura pada laki-laki tua bersorban putih yang du-
duk dikursinya. Bibirnya tampak tersungging senyu-
man. Lalu menghisap dalam-dalam pipa tulang yang
selalu terselip disudut bibir. Kemudian hembuskan
asap tembakau yang mengepul tebal ke udara.
Ki Astagina bangkit untuk berdiri dari kursinya
seraya balas menjura,
"Terima kasih kembali atas ucapan anda, sobat
Sambu Ruci! kami merasa heran mengapa anda buru-
buru mau pergi...? Sebaiknya menetap disini dulu satu
dua hari. Kami tak merasa terganggu. Dan kamar di
Pesanggrahanku cukup lebar terbuka buat kalian
menginap beberapa malam!" berkata Ki Astagina.
"Selain itu pula..." lanjut ucapannya. "Seruling
Gading adalah murid dari sobatku Ki Sugema dari per-
guruan "Surya Medal". Jadi diantara kita masih ada
ikatan persahabatan. Apalagi anda adalah sahabat
baik dari Pendekar Roro Centil yang amat kami kagu-
mi...!"
Sejenak Sambu Ruci tundukkan wajahnya. Hal
itu memang telah diketahui, tapi tujuannya untuk ce-
pat meninggalkan tempat itu adalah dikhawatirkan
ada terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Karena seperti
telah diketahui dari Seruling Gading, kalau Seruling
Gading telah "lari" dan perguruan itu. Juga ada firasat
tidak baik, karena berita perkawinan mereka pasti
akan tercium oleh ayah tiri Seruling Gading.
Sejenak kedua pengantin baru itu jadi saling
berpandangan.
Tapi tampaknya Seruling Gading tak setuju ka-
lau harus menerima usul Ki Astagina. Sambu Ruci se-
gera angkat bicara lagi.
"Terima kasih atas kemurahan hati anda sobat
sesepuh KI Astagina. Namun untuk menjaga agar di
wilayah Cipatujah ini tetap dalam kedamaian, kami te-
lah sepakat untuk segera meninggalkan tempat ini...!
Sejenak suasana menjadi hening. Melihat de-
mikian para tetamu segera satu persatu mulai berdiri
menjura pada Ki Astagina untuk berpamitan.
Akan tetapi pada saat itu juga terdengar suara
berdebum di kejauhan yang membuat tanah seperti
tergetar. Dan selang sesaat tiga sosok tubuh telah ber-
diri diluar pelataran.
"Hohohoho... hoho...tampaknya disini tengah
ada keramaian pesta! Mengapa kau orang tua tak
mengundang kami dari Perguruan Surya Medal, sobat
tua Ki Astagina...?" si jangkung sapi Lanang lebih dulu
pentang suara.
Semua yang hadir jadi terkejut. Ki Astagina se-
gera tahu siapa yang datang dengan memandang dua
orang berbaju kulit, satu pendek dan satu jangkung
itu.
"Silahkan duduk sobat-sobat murid Ki Suge-
ma...!" berkata datar
Ki Astagina seraya bangkit berdiri. Tiga buah
bangku segera dikosongkan.
Bahkan lebih dari sepuluh bangku telah kosong
pada saat itu juga. Karena beberapa tamu segera ang-
kat pantat untuk meninggalkan tempat pesta itu sond-
er permisi lagi pada tuan rumah.
"Hm, terima kasih! rasanya kami tak perlu du-
duk! kedatangan kami adalah untuk membawa mem-
pelai perempuan itu, atas perintah guru kami Ki Su-
gema!" berteriak lantang Sapi Lanang dengan mata me-
lotot pada Seruling Gading. Seraya ucapnya pula; "Eh,
gadis bandel! siapa yang izinkan kau kawin seenaknya
tanpa seijin ayahmu...?"
Sambu Ruci jadi menatap pada sang istri yang
tampak terlihat wajahnya berubah tegang. Namun
dengan tegar dia menyahut. "Siapa yang berhak mela-
rangku? Aku bebas melakukan apa saja sekehendak
ku tanpa tahu segala urusan meminta izin pada ma-
nusia bejat itu!"
Melengak sapi Lanang juga kedua orang ka-
wannya. "Kau berani memaki guru...?" bentak Sapi La-
nang gusar.
"Mengapa tidak? dari pada aku pulang ke Per-
guruan, lebih baik mati! Kau juga manusia bejat! ting-
gal bersama manusia-manusia seperti kalian sama
dengan membiarkan aku diterkam macan edan...!"
Tentu saja pernyataan keras yang dilontarkan
Seruling Gading membuat semua orang melengak.
Bahkan Ki Astagina sudah melompat ke hadapan me-
reka.
"Sabar! Sabar...! segala urusan bisa didamai-
kan! Ada kejadian apakah sebenarnya harap kau Sapi
Lanang memberi tahukan!" berkata Ki Astagina.
Akan tetapi Sapi Lanang unjuk tertawa menga-
kak dan berkata sinis.
Hohoho... kau orang tua seharusnya tak men-
jadi wali untuk menikah kan anak orang semaunya!
Bagusnya kami datang belum terlambat!"
Ki Astagina agaknya memang telah maklum
dengan kejadian sebenarnya, karena Seruling Gading
telah maklum mengadukan hal ikwalnya pada dia.
Akan tetapi orang tua itu seolah tak mengerti persoa-
lan.
"Aku menjadi wali adalah atas dasar menolong
orang. Kukira gurumu Ki Sugema tak berhak penuh
menjadi walinya, karena dia ayah tiri.
Akan tetapi bisa juga menjadi wali kalau me-
mang si mempelai perempuan menghendaki. Wali un-
tuk seorang perempuan dalam satu pernikahan dibo-
lehkan memakai wali siapa saja apabila ayah kan-
dungnya telah meninggal" tegaskan Ki Astagina dengan
suara yang gamblang.
Semua yang hadir tampak manggut-manggut
dan memaklumi akan peraturan pernikahan yang ber-
laku disaat itu.
"Baik! urusan itu adalah urusan nanti dengan
guruku! kini kami cuma mau menjelaskan bahwa kami
diperintah oleh guru kami untuk membawa perem-
puan bandel ini dengan segera. Dan... kami takkan
kembali dengan tangan kosong tentunya!" berkata Su-
ro Ragil dengan suara berwibawa.
"Aku si ini tua takkan menghalangi kalau orang
yang akan kau bawa itu tak menolak! nah, bagaimana
keputusanmu, Seruling Gading?" tanya Ki Astagina se-
raya berpaling pada Seruling Gading.
"Aku telah jadi milik orang yang telah syah
menjadi suamiku! kalau suamiku menginginkan, tentu
aku tak menolak...!" .sahut Seruling Gading dengan
suara tenang. Sepasang matanya mengerling pada
Sambu Ruci. Bahkan lengannya telah menggamit len-
gan pemuda gagah itu.
Melihat demikian Sapi Lanang tampakkan wa-
jah yang mendongkol bukan main. Dia memang per-
nah mau berbuat kurang ajar pada gadis itu ketika be-
rada di pesanggrahan Surya Medal. Tak tahunya sang
guru alias ayah tiri Seruling Gading juga "maui" anak
tirinya.
"Kami akan segera datang menemui guru ka-
lian!"
Di luar dugaan Sambu Ruci telah berkata den-
gan suara tegas. Bukan saja semua orang melengak,
akan tetapi pihak murid Perguruan Surya Medal juga
melengak. Namun diam-diam hati mereka memuji
akan keberanian serta sifat kesatria yang dimiliki pe-
muda tampan itu.
"Bagus! Kalau begitu sekarang kita berangkat!"
ternyata Suro Ragil langsung mendahului bicara me-
mutus persoalan. Sapi Lanang tampaknya kurang
puas, karena dia memang akan menjajal kekuatan
orang Pesanggrahan Cipatujah yang terkenal dengan
kedigjayaannya. Apa lagi dengan persoalan ini, bisa
kemungkinan menjadi berbuntut panjang. Segera dia
berkata dengan nada keras.
"Tunggu! Kalau pemuda ingusan ini ikut serta,
urusan bisa runyam! Aku tak tanggung jawab kalau
terjadi apa-apa...!" Sebaiknya kami cuma akan mem-
bawa orang yang diperlukan, lain tidak! Kalau kalian
semua kurang puas, silahkan tunjukkan kekuasaan
kalian sebagai orang-orang Pesanggrahan Cipatujah,
aku takkan gentar untuk melayani...!"
***
DELAPAN
"GURU...! Biarkan aku menghajar mulut manu-
sia sombong ini. Seorang laki-laki bertubuh kekar me-
lompat ke depan. Wajahnya tampak merah padam ka-
rena mendengar penantangan Sapi Lanang barusan.
Dan tanpa menunggu jawaban gurunya, laki-laki bertubuh kekar itu sudah membentak keras seraya me-
nerjang dengan kepalan tinjunya mengarah ke muka
Sapi Lanang. "Manusia sombong! kau hadapi dulu
aku, Partawenda.. ..! yang akan menghancurkan mu-
lutmu!"
WHUUUK! Tinjunya Partawenda meluncur de-
ras secepat angin.
DHESSS! Secepat kilat Sapi Lanang memapa-
kinya dengan ruyungnya. Tak ampun si penerjang itu
menjerit keras, seraya menarik tangannya dan ber-
jingkrakan dengan menyeringai kesakitan. Tentu saja
serangan dengan tenaga keras yang diadu dengan
ruyung keras yang telah di isi dengan aliran tenaga da-
lam membuat benda itu jadi sekeras besi. Tak ampun
kepalan tangan Partawenda matang biru dibuatnya.
"Hohohoho... hoho... cuma sebegitu saja yang
bermulut besar mau menghancurkan mulut ku!" men-
gakak tertawa si jangkung kurus.
Sementara Suro Ragil jadi menggerutu pada
kakak seperguruannya. "Haih, lagi-lagi kau cari pe-
nyakit, kakang Sapi Lanang!" Tapi Sapi Lanang tak
memperdulikan. Dia sudah maju melompat ke depan
Seruling Gading seraya julurkan lengan untuk menarik
tangan gadis itu. "Hayo kau ikut aku pulang, tanpa
pemuda ingusan itu!" bentaknya dengan keras.
Gerakan Sapi Lanang cukup cepat untuk sege-
ra mencekal erat pergelangan tangan gadis itu. Akan
tetapi tiba-tiba laki-laki jangkung itu menjerit parau la-
lu jatuh terjengkang seraya lepaskan cekalannya. Da-
rah menyemburat berpuncratan tatkala si jangkung
kurus itu berkelojotan di tanah. Terperangah semua
mata menatapnya. Tak lama tubuh Sapi Lanang meng-
geliat, lalu menelentang tak bergerak lagi dengan kepa-
la terkulai. Ternyata lehernya telah sobek yang menga-
lirkan darah tiada henti. Keadaannya mengerikan karena tulang lehernya hampir putus!
Tentu saja kejadian itu membuat mata Suro
Ragil dan si gemuk Zimbage jadi mendelik kaget. Keti-
ka menoleh pada laki-laki di samping Seruling Gading,
ternyata dia telah lenyap. Gadis itu sendiri berdiri ter-
paku menatap kejadian aneh barusan. Akan tetapi dia
telah melihat berkelebatnya Sambu Ruci keluar dari
tempat itu dengan melompat tinggi ke atas wuwungan
rumah.
"Haiii! Jangan lari kau!" membentak Sambu
Ruci. Ternyata dia telah mengetahui siapa pelaku dari
perbuatan itu.
Sayang orang yang dikejarnya itu telah lenyap"
Bedebah! Cepat benar larinya pembunuh itu...!" me-
maki Sambu Ruci dengan kecewa. Sesaat kemudian
dia telah berkelebat turun lagi dari atas wuwungan
rumah pesanggrahan. Akan tetapi disambut dengan
terjangan kedua orang dari pihak perguruan Surya
Medal itu yang disertai bentakan menggeledek Suro
Ragil.
"Manusia keji! Aku akan adu jiwa dengan mu.!"
WHUUK! WHUUUUK...! WHUUKK! Tiga serang-
kai serangan senjata sepasang kipas tipis Suro Ragil
terpaksa dielakkan dengan cekatan kalau Sambu Ruci
tak mau kehilangan kepala dan putus lengan dan kaki.
Gerakan melompat beberapa kali itu ternyata membuat
kesempatan si gemuk Zimbage gerakkan sepasang len-
gannya untuk membekuk tubuh Sambu Ruci begitu
dia jejakkan kaki ke tanah. Tentu saja Sambu Ruci
melengak kaget. Karena tak menduga si gemuk telah
berada dihadapannya yang mempunyai lompatan luar
biasa. Lengannya segera bergerak menepis. Akan tetapi
rangkulan si gemuk Zimbage mendadak berubah jadi
jotosan.
DESS! Terlempar Sambu Ruci seketika dengan
teriakan tertahan. Tinju si gemuk tepat bersarang ke
dadanya. Tak ampun tubuh Sambu Ruci roboh ter-
jungkal dan bergulingan di tanah. Kejadian dalam se-
kejapan itu telah membuat keadaan ditempat pesta itu
jadi kacau. Beberapa orang anak buah Ki Astagina ber-
lompatan ke arah tempat pertarungan. Sedangkan Ki
Astagina sendiri cuma terpaku tak bergeming. Semen-
tara Seruling Gading telah perdengarkan teriakan his-
terisnya seraya melompat ke arah Sambu Ruci yang
terjatuh kena hantaman si gemuk barusan.
"Kakak Sambu...!" pekiknya. Mendahului
orang-orang yang berlarian, Seruling Gading telah tiba
di hadapan Sambu Ruci. "Kakak Sambu...! Kau... kau
terkena...!" Sambu Ruci tersenyum, seraya melompat
bangun berdiri. Wajahnya agak menyeringai kesakitan.
Tapi dengan menggeliat dan kerahkan tenaga dalam
mengusir rasa sakit, lengan Sambu Ruci mengusap
dadanya. Sesaat dia telah kembali tersenyum menatap
Seruling Gading. Seringainya lenyap.
"Keparat! Kalian berdua harus mampus! Untuk
menebus nyawa kakak seperguruanku!" bentak Suro
Ragil dengan mata nyalang dan wajah merah padam.
"Serahkan padaku untuk mematahkan batang
lehernya!" berkata Zimbage dengan menggeram. Den-
gan langkah berdebum dia maju beberapa tindak.
"Tahan...!" tiba-tiba terdengar seruan. Dan... Ki
Astagina sudah melompat ke tempat itu.
"Tunggu dulu sobat-sobat murid Ki Sugema....!
Kalian salah paham!" Kedua orang dari pihak pergu-
ruan Surya Medal ini palingkan kepala menatap Ki As-
tagina. Suro Ragil cepat buka suara.
"Huh! kalian semua keterlaluan! Apakah den-
gan membunuh seorang dari pihak kami masih kau
katakan salah paham? Pembunuh itu jelas dari pi-
hakmu! Kalau bukan kawan si pemuda ingusan ini,
mungkin juga kau memang telah siapkan orang-orang
andalanmu untuk membunuh kami secara pengecut!
Jangan coba-coba kau mau mengelabui dengan sandi-
wara macam begini!?" membentak Suro Ragil.
"Sabar, sobat...! Jangan kau sembarangan me-
nuduh! Kami bukan sebangsa pengecut yang mau
main sembunyi-sembunyi membunuh orang! Pelaku
pembunuhan itu bukan dari pihak kami..!" berkata
lantang Ki Astagina. Tampak wajah orang tua ini me-
rah padam karena dituduh berbuat curang membo-
kong dengan mempergunakan tenaga orang lain.
Akan tetapi tiba-tiba saat itu terdengar suara
tertawa dingin yang mencekam. Dan dua sosok tubuh
berkelebat muncul. Dialah Ki SUGEMA, yang muncul
bersama seorang kakek tua renta berkulit hitam. Men-
genakan jubah warna hijau. Lengannya mencekal se-
buah tongkat berbentuk Kelabang berwarna hitam
berkilat. Sebuah tongkat yang aneh, dan tampak san-
gat mengerikan.
"Heh, Astagina...! Apakah kau mau mungkir
dengan perbuatanmu?" membentak Ki Sugema. "Kau
tunggulah sebentar lagi, siapa gerangan orang yang te-
lah membunuh muridku, Si Sapi Lanang!"
Baru saja selesai Ki Sugema berkata, dua sosok
tubuh telah muncul. Ternyata kedua orang itu mem-
bekuk seseorang yang mengenakan topeng hitam me-
nutupi wajahnya. "Bagus, murid-murid ku. Kalian
amat cekatan menangkapnya!" ujar Ki Sugema memu-
ji.
"Nah kalian lihatlah siapa orang ini! Dialah
yang telah membunuh muridku. Kami memang mau
menyatroni ke tempat Pesanggrahanmu, Ki Astagina.
Tapi ketika baru sampai diujung desa, aku melihat se-
seorang berkelebat melarikan diri. Terpaksa aku turun
tangan membekuknya. Aku segera perintahkan kedua
muridku ini menangkapnya. Lalu mendahului kema-
ri...!" ujar Ki Sugema.
Segera kuketahui kalau seorang muridku ter-
bunuh. Kalau dia ini bukan orang suruhanmu, aku
akan habiskan perkara, dan angkat kaki dengan mem-
bawa anakku si Seruling Gading. Persoalan mu meni-
kahkan dia takkan ku ungkit lagi atau ku perpanjang.
Cukup sampai disini...! Tapi kalau dia memang benar
orang suruhanmu... Hm, mana bisa aku mandah saja
kau laksanakan kejahatan seenak perutmu?"
Kata-kata Ki Sugema bagaikan ujung belati
yang menikam ulu hati Ki Astagina yang seketika wa-
jahnya jadi merah padam. Benaknya memikir. "Heh!?
Tipu muslihat macam apa yang akan dipergunakan
manusia ini?".
Diam-diam dia juga terkejut melihat adanya
kakek hitam yang muncul bersama Ki Sugema. Sepa-
sang mata kakek itu memancarkan kilatan tajam yang
seperti mau menembus jantung. "Siapa pula kakek hi-
tam tua renta ini?" bertanya-tanya hati Ki Astagina.
Saat itu Ki Sugema telah memberi perintah se-
belum Ki Astagina buka suara. "Nah, cepat buka to-
peng wajah orang ini!"
Kedua murid laki-laki Ketua perguruan Surya
Medal ini segera jalankan perintah. Dan... Plas! Topeng
penutup muka laki-laki tawanan itu telah disibakkan
hingga terlepas.
Segera terlihat tampang seorang laki-laki yang
ditaksir berusia tiga puluh tahun.
Ki Astagina kerutkan keningnya. Dia memang
tak mengenal laki-laki ini. Tapi belum lagi dia buka
suara, Ki Sugema telah membentak si laki-laki tawa-
nan itu dengan pertanyaan.
"Kau kenal siapa laki-laki ini?" bertanya Ki Su-
gema seraya menunjuk pada Ki Astagina. Orang itu
mengangguk.
"Benarkah kau orang suruhannya?" tanya lagi
Ki Sugema. Kembali si tawanan mengangguk. Mem-
buat semua orang menahan napas. Ki Astagina tersen-
tak kaget, kakinya melangkah mundur satu tindak.
Bibirnya sudah tergetar untuk menyangkal. Akan teta-
pi orang tua ini rasakan lidahnya menjadi kelu. Sua-
ranya tersendat dikerongkongan. Terheran laki-laki ke-
tua dari Pesanggrahan Cipatujah ini. Ketika menatap
pada si kakek tua renta bertongkat kelabang hatinya
jadi bergidik karena sepasang mata itu telah member-
sitkan kekuatan tersembunyi yang menyerangnya.
Hingga dia cuma bisa membungkam mulut.
"Katakan! Berapa upah mu untuk pekerjaan
ini! Dan dengan senjata apa kau telah membokong
anak buahku...!" bertanya lagi Ki Sugema.
"Uang itu masih berada di pinggangku...! dan...
aku... aku membunuhnya dengan senjata dibalik ba-
juku ini...!" menyahut laki-laki tawanan itu dengan su-
ara menggetar.
Kedua murid segera meraba pinggang dan me-
rogoh pakaian laki-laki tawanan itu di sebelah dalam.
Sebuah benda dan sekantong uang dalam bungkusan
kain segera diberikan pada Ki Sugema oleh salah seo-
rang dari kedua muridnya.
"Nah, kau lihatlah! Dan... kalian lihatlah kema-
ri. Bukti-bukti telah terlihat disini. Apakah kau Astagi-
na masih mau mungkir...?"
CRING...! Benda itu telah dilemparkan ke ha-
dapan Ki Astagina, dan jatuh tepat di depan ujung ka-
ki orang tua itu.
Sementara Ki Astagina masih berdiri terpaku
dengan tubuh menggeletar. Keringat dingin bercucuran
dari sekujur tubuhnya. Tampaknya dia seperti tak
berdaya dengan bukti-bukti yang telah jelas itu. Padahal sebenarnya dia tengah "bertarung" adu kekuatan
batin pada si kakek hitam bertongkat kelabang yang
telah menyerangnya. Hingga mulutnya pun tetap
bungkam tanpa keluarkan sepatah katapun.
"Lihatlah! Benda inilah yang telah menebas leh-
er muridku! Heh! Sebuah senjata yang ampuh. Bekas-
bekas darah pun masih tampak disini...!" berkata sinis
dengan suara lantang laki-laki ketua Perguruan Surya
Medal ini seraya unjukkan benda itu yang mempunyai
bentuk aneh. Yaitu sebuah benda ruyung besi sepan-
jang satu jengkal. Pada bagian tengahnya terdapat se-
buah tombol berwarna merah. Tampak Ki Sugema se-
perti tengah mengamati senjata itu. Bagian ujung mata
kapak tipis itu memang masih tampak ada bekas-
bekas darah.
Sementara itu Sambu Ruci dan Seruling Gading
cuma saling pandang menatap, lalu lemparkan tata-
pannya kembali pada Ki Sugema.
Tapi diam-diam Sambu Ruci alihkan pandan-
gannya pada kakek hitam kurus berjubah kuning,
yang sejak tadi seperti tak lepas menatap pada Ki As-
tagina yang tampak tubuhnya gemetaran. Sorot mata
kakek kurus itu memang membersitkan cahaya aneh
yang membuat Sambu Ruci tersentak. Diam-diam dia
sudah waspada dengan segala kemungkinan. Lengan-
nya pun pelahan mulai merayap bergerak untuk me-
raih gagang pedangnya diatas bahu. Sementara ma-
tanya menatap pada Ki Sugema dan si kakek kurus
jubah kuning berganti-ganti. Melihat demikian Serul-
ing Gading segera lepaskan cekalannya pada lengan
Sambu Ruci. Dan sekejap dia sudah mencabut serul-
ing gadingnya yang terselip dibelakang punggung.
Saat yang tampaknya sangat menegangkan itu
membuat semua orang menahan napas tatkala melihat
Ki Sugema telah arahkan "senjata aneh" itu ke arah Ki
Astagina. Ketika sinar kilat berkredep meluncur ke
arah Ki Astagina, saat itu berkelebat pula selarik ca-
haya perak dari arah sisi Seruling Gading.
TRANGNG...! Terdengar suara benturan benda
keras yang dibarengi dengan bentakan.
"Pengecut curang!" Itulah suara bentakan Sam-
bu Ruci yang telah melompat dan menangkis serangan
maut Ki Sugema dengan pedang pusakanya. Bahkan
sekaligus menyambarkan pedangnya untuk menabas
ke arah pinggang Ki Sugema. Tentu saja membuat Ki
Sugema jadi terperangah kaget. Namun sebagai seo-
rang tokoh yang sudah berpengalaman, Ki Sugema da-
pat mengelakkan diri dengan bersalto dua kali ke bela-
kang. Akan tetapi tebasan pedang Aksara terus menge-
jar Ki Sugema. Yang dicecar adalah senjata maut yang
berada dilengan laki-laki ketua dari Perguruan Surya
Medal itu. Senjata hebat itu begitu kena tertangkis te-
lah kembali lagi menempel pada gagangnya. Semacam
per yang kuat memang berada didalam gagang benda
maut itu, yang dapat membuat kapak tipis diujung ga-
gang itu melesat dan kembali dengan menekan tombol
merah. Benda itu memang telah dilihat Sambu Ruci
yang telah dipergunakan laki-laki bertopeng untuk
menyerang Sapi Lanang dari atas wuwungan rumah.
Akan tetapi tiba-tiba dibelakang Sambu Ruci terdengar
suara...
WHUUUK...! Tersentak laki-laki ini melihat
benda hitam yang menyerupai kelabang meluncur de-
ras ke arah punggungnya. Itulah tongkat kelabang si
kakek hitam kurus yang mau menggebuk punggung
dari belakang. Sambaran deras itu sukar ditangkis,
terpaksa Sambu Ruci bantingkan tubuhnya ke samp-
ing. WHUK! WHUK! WHUK! BHUM! BHUMM! BHUM
MM...! Tiga hantaman berturut-turut membuat
tanah menyemburat. Tampak Sambu Ruci bergulingan
menghindari "gebukan" tongkat kelabang si kakek ku-
rus yang mencecarnya.
"Kakek iblis! Aku akan adu jiwa denganmu!"
terdengar satu bentakan nyaring. Dan... sekelebat
bayangan merah menerjang kakek hitam kurus itu
dengan hantaman-hantaman pukulan dan tusukan se-
ruling. Ternyata Seruling Gading tak bisa mandah saja
berdiam diri melihat keadaan Sambu Ruci yang dalam
bahaya maut itu.
***
SEMBILAN
KAKEK KURUS BERTONGKAT KELABANG ter-
nyata punya gerakan gesit sekali. Tubuhnya berkeleba-
tan diantara hantaman-hantaman pukulan dan sam-
baran seruling ditangan gadis itu. Bahkan tongkat ke-
labangnya telah meluncur deras menyapu kaki sang
gadis. Terperangah gadis itu, namun dengan sebat dia
telah jejakkan kaki untuk melompat. Akan tetapi sam-
baran tongkat itu ternyata cuma siasat belaka. Ketika
tubuh si gadis mencelat ke udara, Kakek kurus hitam
itu telah membarenginya dengan hantaman telapak
tangannya...
Dalam keadaan mengapung demikian, apa lagi
serangan barusan begitu cepat datangnya, Seruling
Gading tak dapat berbuat apa-apa selain membelalak
kaget. Dan terdengar jeritan sang gadis. Tubuhnya ter-
lempar tujuh-delapan tombak. Sambu Ruci cuma da-
pat ternganga, karena dia baru saja akan merangkak
bangun dari bergulingannya. Akan tetapi sebelum tu-
buh Seruling Gading menyentuh tanah, sebuah bayan-
gan telah berkelebat menyambarnya. Itulah bayangan
tubuh Ki Sugema. Sekejap kemudian tubuh si gadis te-
lah berada dalam bopongan laki-laki tua itu, yang se-
gera terdengar suaranya tertawa berkakakan. "Haha-
haha... haha... terima kasih sobat Kelabang Hitam! Bo-
cah perempuan anakku ini musti diamankan dulu...!"
selesai berkata Ki Sugema melesat lenyap dari tempat
itu.
"Bangsat licik!" memaki Sambu Ruci dengan
mata membelalak.
Tubuhnya berkelebat untuk mengejar. Akan te-
tapi sebuah bayangan kuning telah melesat mengha-
dang. "Biarkan dia pergi membawa anak gadisnya! ku-
peringatkan lebih baik kau menyingkir siang-siang se-
belum mati konyol!" membentak si kakek hitam kurus
yang telah melintangkan tongkat kelabangnya di depan
Sambu Ruci. "Dia istriku...!" membentak lagi Sambu
Ruci dengan melototkan mata pada kakek kurus itu.
Akan tetapi tersentak Sambu Ruci. Justru me-
natap mata si kakek kurus itulah membuat pancaran
sinar mata si kakek yang telah menyalurkan kekuatan
batinnya telah mengenai sasaran.
Tertegun Sambu Ruci, karena lantas saja otak-
nya tak dapat bekerja. Jiwanya kosong melompong ka-
rena telah dipengaruhi oleh satu kekuatan batin yang
seperti telah menyedotnya, untuk tertegun meman-
dang orang dihadapannya.
Ketika sebelah telapak tangan kakek kurus hi-
tam itu terarah ke tubuhnya, segelombang angin halus
telah menerjang tubuh Sambu Ruci. Dan... pemuda ini
mengeluh. Sekujur tubuh dan tulang persendiannya
terasa lemah dan linu. Jatuhlah pemuda ini dengan
menekuk lutut, bersama dengan terlepasnya pedang
ditangannya.
Itulah ilmu menotok jarak jauh yang amat luar
biasa. Tertawa dingin si kakek kurus.
Tiga betas pisau terbang tahu-tahu meluncur
deras ke arah si kakek kurus ketika tubuhnya melesat
dan tengah berada di udara. TRRRAAANGNG...! Sekali
memutarkan tongkat kelabangnya ketiga belas senjata
rahasia pisau terbang yang dilontarkan seseorang itu
telah berhasil kena disampok berpentalan. Dan... den-
gan ringan tanpa mempengaruhi kelebatan tubuhnya,
kakek ini jejakkan kakinya dihadapan Ki Astagina. La-
ki-laki ketua dari Pesanggrahan dan "Sesepuh" dari wi-
layah desa CIPATUJAH tampak masih berdiri tegar di-
tempatnya. Akan tetapi kepalanya telah terkulai, dan
dari lehernya mengalirkan darah yang masih mengu-
cur menetes membasahi tanah.
Laki-laki tua ini ternyata telah tewas. Dua so-
sok tubuh melompat ke hadapan si kakek seraya ber-
teriak. "Awas serangan!" teriak salah satu dari kedua
orang itu. Mereka adalah Suro Ragil dan si gemuk
Zimbage.
TRAAANGNG...! Lagi-lagi si kakek yang memang
telah mengetahui adanya sambaran angin di bela-
kangnya telah balikkan tubuh untuk secepat kilat
memutarkan tongkat kelabangnya. Berpentalan bela-
san pisau terbang yang nyaris menghabisi nyawanya.
Kali ini si kakek kosen ini tidak sampai disitu
saja. Karena detik berikutnya tubuh si Kelabang Hitam
telah melejit kesatu arah disisi Pesanggrahan.
"BRASSH! Lengannya menghantam batang pohon di-
depannya. Pohon besar itu berderak patah bercampur
dengan satu jeritan parau dari belakang pohon. Dan...
bersama tumbangnya pohon besar itu sesosok tubuh
terlempar beberapa tombak yang langsung tewas seke-
tika.
Sekejap dia sudah tiba lagi dihadapan Suro Ra-
gil dan si gemuk Zimbage. Sementara itu belasan anak
buah Ki Astagina telah berlompatan mengurung. Bahkan beberapa orang tetamu dari Ki Astagina turut pula
mencabut senjata. Kakek hitam kurus ini hanya men-
dengus, seraya membentak keras. "Kalian semua me-
nyingkirlah! Apakah mau mati konyol seperti ketua-
mu...?" Jubah kakek kurus ini bergerak mengibas.
Dan... robohlah tubuh Ki Astagina yang memang su-
dah tak bernyawa itu. Terperangah para murid Ki As-
tagina. Mereka memandang dengan mata membelalak
karena tampak leher sang Ketua telah tersobek men-
ganga dengan darah yang sudah hampir berhenti men-
galir.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat ke tempat
itu, seraya perrdengarkan suara tertawa berkakakan.
"Hahahah... hahaha... aku terpaksa membunuh Ketua
kalian ini! Sebenarnya dia masih terhitung sahabatku!
Tapi sudah kukatakan tadi kalau ternyata si pembo-
kong muridku memang orang suruhannya, aku tak
dapat berpeluk tangan. Kematiannya adalah setimpal
dengan kejahatannya! Nah! Apakah kalian semua mau
mati dengan cara seperti gurumu...?!" membentak Ki
Sugema, begitu habis ucapkan kata-katanya.
Serentak dengan wajah pucat belasan anak
buah Pesanggrahan Cipatujah jatuhkan diri berlutut
dan masing-masing lepaskan senjatanya.
Tak dikisahkan panjang-lebar, Pesanggrahan
CIPATUJAH saat itu juga telah dikuasai Ki SUGEMA,
yang memang mengambil kesempatan untuk bertindak
cepat demi mencuci namanya. Dibunuhnya Ki Astagi-
na adalah karena sahabatnya itu telah mengetahui
persoalan dia dengan anak tirinya, yaitu Seruling Gad-
ing. Sebenarnya sebelum Roro centil dan sepasang se-
joli itu menetap sementara di Pesanggrahan Cipatujah,
orang-orang Ki SUGEMA telah lama melacak jejak Se-
ruling Gading yang kabur dari perguruan. Pelacakan
itu tertunda dengan munculnya kerusuhan-kerusuhan
yang ditimbulkan Giri Mayang dengan Sepasang Tan-
gan Iblisnya. Namun bukan hanya berhenti begitu sa-
ja. Disamping ingin mengetahui siapa tokoh yang te-
lah melakukan pembantaian di beberapa tempat yang
menghebohkan wilayah Kota Raja itu, Ki Sugema ting-
galkan markasnya untuk mencari juga kemana per-
ginya sang murid alias anak tiri yang digandrunginya
itu.
Tercenung Ki Sugema ketika mengetahui mun-
culnya Roro Centil yang tengah duel dengan Giri
Mayang, kemudian berakhir dengan kemenangan Pen-
dekar Wanita itu. Diam-diam dia menguntit kepergian
si Pendekar Wanita Pantai Selatan yang kemudian se-
cara kebetulan dia dapat melihat adanya Seruling Gad-
ing yang tengah dicarinya. Segera diketahui pula
adanya Sambu Ruci yang telah diam-diam memadu
cinta dengan sang anak tiri.
Ternyata kemudian Roro Centil menetap di Pe-
sanggrahan Ki Astagina sahabatnya yang menjadi "se-
sepuh" di wilayah desa Patujah. Segera di sebar orang-
orangnya untuk menyamar menjadi penduduk biasa
untuk mengetahui apa yang diperbuat selanjutnya oleh
Ki Astagina. Dan tercenganglah Ki Sugema ketika
mengetahui dari laporan anak buahnya bahwa laki-
laki yang bernama Sambu Ruci itu akan menikah den-
gan Seruling Gading.
Betapa geramnya Ki Sugema pada Ki Astagina,
karena enak saja menyediakan diri menjadi "wali" da-
lam pernikahan anak tirinya. Ketika undangan yang
mendapat tetamu terhormat dari seorang pendekar
wanita yang "kondang" (ternama) hampir diseantaero
Pulau Jawa. Juga agar warganya dapat mengetahui
dan melihat wajah tokoh Pendekar yang selama ini
cuma terdengar namanya saja.
Ki Sugema bukan tak mengetahui pernikahan
serta adanya sebuah pesta kecil yang penuh semarak
di Pesanggrahan Cipatujah, tapi diam-diam telah me-
nyebar orang-orangnya untuk melihat situasi. Bahkan
jauh-jauh hari dia telah menjumpai paman gurunya (si
Kelabang Hitam) yang kebetulan baru beberapa hari ini
datang, ke Pesanggrahannya. Kakek berilmu tinggi itu
memang tengah mencari Roro Centil. Dia baru saja ti-
ba dua hari yang lalu. Berita dari Kota Raja yang dile-
wati dalam perjalanannya ke Pesanggrahan Surya
Medal telah terdengar santar. Bahwa Roro Centil si
Pendekar Wanita Pantai Selatan telah berhasil mem-
bunuh Giri Mayang si perempuan iblis yang telah me-
nimbulkan kehebohan dengan mengadakan pemban-
taian disetiap tempat.
Entah ada persoalan apakah si kakek hitam
kurus bertongkat Kelabang yang bergelar si Kelabang
Hitam itu mencari Roro Centil.
Demikianlah hingga adanya si Kelabang Hitam
itu telah membuat Ki Sugema berhasil melaksanakan
niat busuknya melenyapkan Ki Astagina. Tentu saja
perbuatan itu dilakukan setelah menerima laporan
bahwa Roro Centil telah meninggalkan Pesanggrahan
Cipatujah. Dan dengan bantuan seorang tokoh baya-
ran yang mempunyai senjata aneh itu, Ki Sugema
sukses dengan rencana busuknya mempengaruhi
orang-orang Pesanggrahan Cipatujah, bahwa Ketua
mereka yang menjadi sahabat baiknya telah punya
niat jahat untuk menumbangkan kedudukannya. Pa-
dahal Ki Sugema sendiri yang memang berhasrat mau
menguasai wilayah CIPATUJAH yang makmur.
Dengan kekuatan "sugesti" yang dipunyai si Ke-
labang Hitam bukan tak mungkin kalau Roro Centil bi-
sa diringkus. Dan... sudah ada niat buruk yang tersirat
dihati Ki Sugema yang doyan "daun muda" itu untuk
melalap si gadis Pendekar Wanita yang punya nama
beken itu. Bahkan rencana demi rencana telah terukir
dibenak Ki Sugema untuk bisa menaklukkan Roro
Centil. Memperalatnya untuk kepentingan "kekua-
saannya". Dengan menebeng nama Roro Centil bila te-
lah menjadi istrinya segalanya akan menjadi mudah.
Karena Roro kenal baik dengan orang-orang dari setiap
Kerajaan di wilayah Pulau Jawa. Dan bukan mustahil
kalau dia bisa menduduki jabatan tinggi disatu Kera-
jaan paling besar masa itu, yaitu Kerajaan MATARAM.
Cita-citanya yang membumbung tinggi itu se-
makin mantap. Mulailah Ki Sugema mengatur renca-
na-rencana selanjutnya melalui perembukan singkat.
Yaitu mengatur jebakan agar Roro Centil bisa datang
lagi ke Pesanggrahan CIPATUJAH.
Namun dimalam yang semakin melarut itu di
ruangan dalam Pesanggrahan Ki Sugema terpaksa ha-
rus menunda pembicaraan, karena dia punya kepen-
tingan lain untuk menyalurkan hasratnya yang sudah
sekian lama terbendung itu. Ya! mendadak bayangan
wajah dan kemolekan tubuh sang anak tin telah ter-
bayang di ruangan matanya.
"Baiklah! Kukira perembukan bisa kita lan-
jutkan besok. Silahkan kalian beristirahal. Dan...
maaf, sobat Pemburu Keping Emas, ku terpaksa "me-
minjam" dulu senjatamu karena aku masih memerlu-
kan! Khusus buat sobat Pemburu Keping emas aku te-
lah suruh anak buahku menyediakan tempat peristi-
rahatan yang nyaman. Ya! Sebuah kamar yang nya-
man bekas tempat tidur Ki Astagina. Silahkan..." da-
lam berbicara itu diam-diam Ki Sugema telah kedipkan
mata pada kakek kurus hitam itu, seraya mengerling
pada si Pemburu Keping Emas yang menjadi "orang
sewaan"nya.
Si kakek Kelabang Hitam ini manggut-manggut
pelahan mengerti.
Udara malam yang dingin menyeruak dimalam
yang penuh kemelut itu. Pesanggrahan CIPATUJAH
laksana dicekam hawa sejuk yang mencekam jantung.
Karena disana kini telah dihuni oleh manusia-manusia
tamak yang berakhlak rusak. Manusia-manusia yang
lebih mementingkan diri pada "ambisi".
***
SEPULUH
SERULING GADING TERGOLEK di pembarin-
gan bersih dengan keadaan tertotok. Mempelai wanita
yang bernasib tragis ini tak berdaya apa-apa lagi selain
menunggu nasib apakah kelak yang bakal menim-
panya.
Sementara diruang lain Sambu Ruci dalam
keadaan terikat tali-tali kulit yang kuat. Terduduk dis-
udut ruang dengan keputusasaan yang telah memben-
turkan dirinya pada jalan buntu. Tak ada harapan un-
tuk meloloskan diri lagi baginya. Tulang-tulang per-
sendiannya seolah sudah tak bersumsum lagi. Entah
siksaan apa yang telah dihadapinya oleh Suro Ragil
dan Zimbage yang bertubi-tubi, diterimanya, akibat ra-
sa dendam yang tertumpah karena kematian sapi La-
nang. Tubuhnya tampak matang biru dan muka ben-
gap. Tampak seperti bekas-bekas pukulan keras yang
dihunjamkan pada sekujur tubuh pemuda malang ini.
Bekas-bekas darah masih tampak disudut bibir
dan bawah hidungnya. Kalau sang Ketua mereka, Ki
Sugema tak memberi ultimatum agar tak membunuh-
nya, tentu siang-siang Sambu Ruci telah dibunuh oleh
Suro Ragil. Pintu "penjara" tiba-tiba terluka. Dan em-
pat orang anak buah Ki Sugema muncul dimuka pintu.
Lalu dua orang menghampiri. Dan menyeret bangun
pemuda itu, lalu menggusurnya keluar dari kamar ta-
hanan itu.
"Dibawa kemana...?" bertanya seorang dari me-
reka.
"Ke kamar tempat beristirahat Ketua kita!" me-
nyahut kawannya.
"Lho? mau diapakan...?"
"Pake tanya-tanya segala! mau dimampusin ju-
ga bukan urusan kita!"
"Hehehe... betul! betul! hayo, cepat jalannya,
monyong!"
Sambu Ruci setengah diseret dari ruangan itu
karena sepasang kakinya seperti telah tak bertenaga
lagi. Dengan tubuh yang babak belur demikian me-
mang sulit kalau Sambu Ruci punya julukan Si Bujang
Nan Elok. Karena wajahnya sudah tidak elok lagi.
Ketika tubuh Sambu Ruci didorong hingga ja-
tuh menggabruk dimuka pintu kamar. Ki Sugema se-
gera perintahkan anak buahnya meninggalkan kamar
tempat beristirahatnya. Lalu beranjak menutup pintu
kamar. Lengan Ki Sugema mencengkeram dada pemu-
da itu untuk diangkat berdiri.
"Hahahaha... macam beginikah tampang pen-
gantin laki-laki yang mengawini gadis orang tanpa me-
lamarnya lagi?" membentak geram Ki
Sugema dengan mengumbar tertawanya berka-
kakan. Kepala Sambu Ruci terkulai menunduk, seperti
enggan menatap wajah manusia yang telah menawan-
nya itu. Akan tetapi Sugema telah menjambak ram-
butnya untuk membuat kepala pemuda itu menenga-
dah. "Heh! tatap mukaku, bocah...! Tataplah agar kau
dapat melihat jelas siapa orangnya yang telah menak-
lukkan kecoa tengik macam kau! Dan... hahaha... coba
kau lihat siapa yang terbaring di pembaringan itu?"
Ujar Ki Sugema seraya " menyeret" wajah orang untuk
melihat ke pembaringan.
Seketika sepasang mata Sambu Ruci terbelalak
lebar, karena di atas pembaringan tergeletak sesosok
tubuh yang dalam keadaan tanpa busana....
"Sst..... Seruling..... Gading!?' tersendat suara
Sambu Ruci yang memandang dengan terperangah.
Akan tetapi suara itu tersendat dikerongkon-
gan.
"Lepaskan istriku.....apa... apakah yang kau
mau lakukan!" tiba-tiba Sambu Ruci berhasil menge-
luarkan suaranya. Ki Sugema kembali perdengarkan
suara tertawa mengakak. Tiba-tiba lengannya men-
cengkeram lagi dadanya. Dibawanya tubuh tak ber-
daya itu kesudut ruangan, Ketika dua kali jarinya me-
nolok ke lutut segera tubuh laki-laki itu menjadi berdi-
ri kaku tak bergeming. Dan sepasang kaki itu seperti
menjadi kuat untuk berdiri disudut ruangan dengan
punggung menyender ditembok.
Detik berikutnya adalah satu pemandangan
yang membuat Sambu Ruci terpaksa harus pejamkan
matanya karena tak sanggup menatap apa yang ter-
pampang dihadapannya Ki Sugema telah melucuti pa-
kaiannya sendiri dan... naik ke atas ke pembaringan.
Seruling Gading tampaknya baru saja tersadar
dari pingsan. Akan tetapi pengaruh totokan pada tu-
buhnya membuat dia tak mampu untuk berbuat apa-
apa kecuali menjerit dengan suara yang terdengar se-
perti desahan belaka, karena urat suaranya telah dito-
tok.
"Hahahaha... malam ini biarlah aku yang
menggantikan pengantin laki-laki untuk mencicipi ma-
lam pertama...". ujar Ki Sugema dengan menyeringai
bagaikan iblis. Selanjutnya... Sambu Ruci hanya bisa
memejamkan matanya kuat-kuat tak sanggup rasanya
dia untuk menyaksikan perbuatan bejat yang telah
membuat air matanya mengucur deras. Air mata dari
seorang laki-laki yang amat mencinta istrinya. Dan tak
ada yang lebih bejat lagi dari seorang ayah tiri yang te-
lah "penyantap" anak gadisnya sendiri......Ternyata ju-
ga pada malam itu satu nyawa telah melayang yaitu
dibunuhnya si pembunuh bayaran alias si
Pengejar Keping Emas oleh kakek hitam kurus
bertongkat kelabang alias si Kelabang Hitam...
***
BHLARRR!BHLAARRRRR. BHLARRRRR...!
Cahaya perak dan pelangi berkredepan di udara
yang diiringi dengan dentuman-dentuman menggele-
gar.
Roro centil berteriak girang. "Horeee, aku ber-
hasil! aku berhasiiil!" Dan terdengar suara mengikik
merdu membuat segerombolan burung camar yang
tengah bertengger dipuncak-puncak karang terkejut
karena suara dentuman-dentuman keras itu dan
buyar berterbangan ketakutan dengan suara berkiak-
kiak riuh. Selanjutnya di pantai sunyi, itu tampak ba-
nyak berkelebatan cahaya-cahaya perak dan pelangi
yang diselingi dentuman-dentuman pesisir pantai itu
jadi semarak bagaikan ada sebuah " pesta laut". Selen-
dang-selendang perak dan pelangi seperti bermuncu-
lan dari sekeliling permukaan laut dipantai bergelom-
bang tenang itu. Sukar untuk dipercaya bagi orang
yang percaya adanya hantu laut, karena Roro memang
Memainkan jurus-jurus pukulan selendang perak dan
pelanginya dengan berlompatan diatas air.
Kalau ada manusia sakti yang dapat berlari di-
atas air, siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Karena
pada zaman itu cuma ada dua orang yang dapat memiliki kesaktian seperti itu. Pada tiga tahun yang silam
pernah ada seorang tokoh golongan hitam yang berge-
lar "Hantu Siluman Kera", yang juga memiliki ilmu se-
macam demikian, tapi telah tewas ditangan Roro Centil
(baca. Serial Roro centil, dalam judul: Siluman Kera
putih).
Dan pada saat ini ada seorang tokoh yang me-
nyembunyikan diri untuk memperdalam ilmu-ilmunya
yang juga memiliki ilmu berjalan dan berlari diatas air
tokoh misterius itu pernah muncul diperairan wilayah
tenggara. Beritanya memang telah menyebar yang da-
tang dari mulut para nelayan di wilayah itu. Akan te-
tapi belum ada satu kejadian yang merugikan dipihak
para Nelayan. Bahkan mereka menganggap tokoh mis-
terius itu adalah sebangsa mahluk halus yang sesekali
muncul di sekitar perairan itu.
Sementara Roro Centil tengah bersuka cita
dengan keberhasilannya menguasai jurus-jurus ca-
haya perak Pelangi warisan mendiang Nenek Muri
Asih, sepasang mata sejak tadi telah memandangnya
dengan mata tak berkedip. Dialah Si Kakek kurus Hi-
tam yang bergelar si Kelapa Hitam. Duduk bersila di-
atas batu karang. Tongkat kelabangnya tergeletak di-
depannya. Bibirnya tampak berkumat-kamit membaca
mantera. Tiba-tiba lengannya bergerak meraih tongkat.
Dan... Whessss!
Tongkat pusakanya telah dilemparkan ke dalam
laut. Sementara dia masih teruskan "kumat-kamit" nya
dengan mata tetap ke arah depan.
"Menakjubkan! Apakah yang telah terjadi den-
gan lemparan tongkatnya?
Ternyata tongkat yang berbentuk Kelabang itu
telah berubah menjadi seekor Kelabang Raksasa yang
bergerak hidup. Meluncur pesat dipermukaan air me-
nuju ke arah Roro Centil....
Sementara itu Roro tengah asyik dengan "per-
mainan"nya yang seolah tiada membosankan. Sinar
perak dan Pelangi itu bagaikan selendang-selendang
sutera saja di kejauhan. Sepintas yang terlihat adalah
seperti layaknya seorang Bidadari yang tengah main-
kan selendangnya dengan menari-nari.
Dan memanglah, Roro tengah memainkan ju-
rus-jurus "Tarian Bidadari" yang tampaknya lemah
gemulai. Jurus-jurus tarian yang didapat dari gurunya
si Manusia Banci, atau si Manusia Aneh Pantai Sela-
tan.
Dalam pada itu Kelabang Raksasa penjelmaan
dari tongkat si kakek kurus Hitam telah semakin men-
dekatinya.
Terperanjat Roro ketika akhirnya dengan naluri
serta inderanya yang tajam dapat melihat sesuatu yang
bergerak kehitaman mendekati.
"Kelabang Raksasa...!" tersentak Roro dengan
pendengarkan teriakan kaget. Karena jelas sudah dia
melihat seekor kelabang yang amat luar biasa besar-
nya dengan puluhan kakinya yang mengerikan berge-
rak meluncur ke arahnya.
Tak ayal lengannya langsung bergerak meng-
hantam "binatang" itu.
Sinar perak berkelebat... BHLARR!
PRASSSS! air laut menyerumbat bergelombang.
Roro Centil tegak menanti dengan waspada untuk me-
lihat hasil dari hantamannya.
Akan tetapi kelabang Raksasa itu lenyap.
"Aneh! pasti ada yang tidak beres...!"desisnya
tersentak.
Sementara sepasang mata Roro mulai di guna-
kan untuk menembus melihat ke dasar air disekeli-
lingnya dengan mempergunakan kekuatan batin yang
hebat. Namun memang Kelabang Raksasa itu lelah lenyap. Di dasar air tak terlihat apa-apa kecuali ratusan
ekor ikan yang berseliweran kesana-kemari.
Namun kecepatan matanya ternyata dapat me-
nangkap melesatnya sebuah bayangan hitam di kejau-
han yang meluncur pesat untuk kemudian lenyap da-
lam sekilas.
Roro cepat mengkonsentrasikan indra matanya.
Dan... kini terlihatlah dengan jelas kalau di atas batu
karang disisi pantai sebelah sana ada seseorang yang
duduk bersila menghadap ke laut.
"Setan alas...! kalau ada makhluk atau manusia
yang iseng menggangguku saat ini tak mungkin tidak
kalau bukan cecunguk yang duduk dibatu karang itu-
lah orangnya...!" berkata Roro dalam hati. Dan... tak
ayal lagi tubuh sang Pendekar Wanita Pantai Selatan
ini telah meluncur pesat untuk melabrak kesana.
Akan tetapi orang yang duduk diatas batu ka-
rang itu ternyata juga meluncur dengan kecepatan
hampir menyamai luncuran Roro Centil.
"Hm, ilmu lari bayangan yang cukup hebat!
siapakah kakek hitam berjubah kuning itu? Jelas dia
mencekal tongkat seperti bentuk seekor kelabang!
Dugaanku tak salah kalau dia cecunguk yang
telah mempergunakan ilmu sihirnya untuk menggang-
guku dengan "kelabang raksasa" ciptaannya!" berpikir
Roro.
"Baik! aku tak perlu mendahuluinya. Ingin ku
lihat kemana arah larinya! ataukah ini satu jebakan
agar aku membuntuti? Hihihi... persetan!
Aku tak takut dengan segala macam jebakan!"
gumam gadis pendekar ini seraya percepat kejarannya
untuk dapat memperdekat jarak.
***
SEBELAS
Tersentak Roro Centil ketika mengetahui bah-
wa si kakek baju kuning itu menuju ke wilayah CIPA-
TUJAH.
"He...? aneh! aku belum bisa memastikan apa-
kah orang ini berniat jahat atau tidak! Entah manusia
baik-baik atau manusia jahat...! Jelas jalan ini adalah
jalan lurus ke Pesanggrahan Ki Astagina! berkata Roro
dalam hati juga agak ragu dengan tindakan yang dila-
kukan manusia dihadapannya, yang sepertinya me-
mang sengaja "membawa"nya untuk kembali pulang ke
Pesanggrahan.
Segera saja Roro teringat pada Sambu Ruci
yang baru dua hari ini melangsungkan pernikahannya
dengan gadis bernama Seruling Gading.
Tiba-tiba disaat Roro agak melantur pikirannya
karena melamun sejenak barusan, tahu-tahu si kakek
hitam jubah kuning itu telah lenyap dari pandangan-
nya.
Tersentak Roro Centil. Diam-diam dia memaki
dirinya sendiri yang agak terlena, karena bayangan
yang "tidak-tidak" mengenai sepasang Pengantin Baru
itu sekelebat muncul dibenaknya.
"Setan alas! kemana kaburnya manusia itu?"
desis Roro kaget.
Terpaksa dia hentikan larinya untuk menjaga
kalau-kalau ada serangan gelap.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara se-
perti membisik ditelinganya.
"Nona Pendekar Roro Centil...! aku orang sendi-
ri! keadaan di Pesanggrahan Ki Astagina sedang gawat.
Sahabatmu Sambu Ruci dan istrinya, si bocah perem-
puan bernama Seruling Gading itu dalam bahaya
maut. Kami amat memerlukan bantuan anda...! Ter-
paksa "kita" berpisah agar tak menaruh kecurigaan
bahwa diam-diam aku memanggil kedatangan anda.
Turutlah apa yang aku katakan untuk kita bisa mem-
bekuk manusia Iblis itu. Tepat berada dihadapan Pe-
sanggrahan pada jarak 10 tumbak, anda harus berge-
rak memutar ke kanan melalui jalan samping, silahkan
anda memasuki satu pintu ruangan. Disana dalam
keadaan aman...! Dan anda akan muncul tepat dibela-
kang ruangan tempat si "Iblis Sakti Mata Seribu" yang
menyandera sahabatmu...! Aku akan muncul dari
ruangan depan. Dan... kita akan sama-sama meng-
gempurnya." Tentu saja kata-kata yang dikirim melalui
tenaga dalam itu membuat Roro Centil melengak kaget.
"Iblis Sakti Mata Seribu...?" Aiih, baru aku menden-
garnya!" berdesis Roro Pelahan. Dan dilihatnya bayan-
gan kuning dari jubah si Kakek hitam yang dibuntuti
itu berkelebat keluar dari balik pohon, lalu lenyap da-
lam sekilas.
Tak ayal segera Roro bergerak untuk cepat tiba
di depan Pesanggrahan, walaupun hatinya agak ragu
dengan penuturan kakek misterius itu. Benarkah apa
yang dikatakannya? Berkata dalam hati gadis Pende-
kar ini.
Akan tetapi Roro sudah mengambil keputusan
untuk menusuki kata-kata si kakek misterius itu, ka-
rena dalam keadaan demikian dan bukti masih belum
jelas, mana boleh dia berburuk sangka pada orang. Ka-
lau si kakek yang demikian saktinya itu masih memer-
lukan bantuannya, tentu dapat dibayangkan keheba-
tannya manusia yang menamakan dirinya si Iblis Sakti
Mata Seribu itu! pikir Roro. Yang segera menduga
bahwa disekitar Pesanggrahan itu telah dipasang 1000
mata untuk memata-matai sekitarnya.
Apa lagi hal ini adalah demi keselamatan Sambu Ruci, sahabatnya. Mana Roro bisa mandah dan bi-
arkan saja orang mencelakai?.
Tepat 10 tombak di depan Pesanggrahan yang
tampak sunyi sepi mencekam itu, Roro Centil menyeli-
nap kebalik semak, lalu bergerak memutar ke arah ka-
nan. Benar saja! Pada bagian samping Pesanggrahan
itu segera terlihat satu pintu ruangan yang setengah
terbuka.
Roro ternyata cukup cerdik untuk tidak semba-
rang memasukinya. Segera meramal aji Halimunannya.
Dan sekejap tubuhnya telah lenyap tak terlihat mata
manusia biasa.
Lalu meluncur untuk segera memasuki pintu
ruangan tanpa membukanya lagi.
Cukup dengan miringkan tubuhnya menyelinap
masuk dari sisi celah daun pintu yang terbuka itu.
Ruangan itu kosong! dan gelap. Roro gunakan
kekuatan batinnya agar dapat melihat dalam gelap.
Akan tetapi .....
"Aiiiih!? ilmu sihir!" sentak Roro kaget dengan
suara berdesis.
Karena sesungguhnya ruangan itu terang ben-
derang. Dan...terkejut Roro Centil ketika melihat di se-
tiap sudut ruangan goa itu tampak jelas sosok-sosok
tubuh si kakek hitam jubah kuning yang telah menjadi
belasan sosok tubuh.
Bahkan ketika dia bergerak memutar tubuh,
dibelakangnya pun berjajar tubuh-tubuh si kakek mis-
terius itu yang rupa dan bentuknya sama.
Kemana dia menatap ternyata selalu bentrok
dengan berpasang-pasang mata si kakek misterius itu
yang cahaya matanya membuat dia bergidik seram.
"Bedebah! kau menipuku? apa maksudmu den-
gan semua ini!?" bentak Roro dengan mata menatap
tajam pada masing-masing "manusia" disekelilingnya.
Sementara sepasang lengannya sudah disiapkan untuk
menghantam bila terjadi satu serangan mendadak.
"Hehehehehe... aku memang mau menjebakmu
untuk masuk perangkap ku. Dan kini kau sudah ter-
jebak! Akan tetapi kau tak perlu khawatir, nona Pen-
dekar, karena aku takkan menyakitimu...!" terdengar
suara tertawa yang sukar diketahui dari mana arah-
nya, karena berpantulan dari sekitar ruangan itu.
Dan... segelombang angin halus telah menerpa
ke arah Roro Centil. Tiupan angin halus yang seperti
tak kentara kalau itu adalah sebuah serangan yang
dapat melumpuhkan orang dalam sekejap.
Terkejut bukan main Pendekar Wanita Pantai
Selatan ini ketika tahu-tahu rasakan tulang persen-
diannya terasa linu, Tenaganya pun mendadak lenyap.
Sementara dalam pandangan mata Roro yang
terlihat cuma berpasang-pasang mata bersinar aneh
itu saja yang seperti telah mempengaruhi batinnya.
Dan...mendadak saja Roro Centil telah jatuh
berlutut ketika suara si Kelabang Hitam membisik di-
telinganya. Bisikan bernada perintah, yang langsung
menyerang sirkuit otak Roro untuk menuruti apa yang
diinginkan kakek tua hitam itu.
Seketika saja sirnalah ilmu halimunan Roro un-
tuk kembali terlihat sebagaimana wajarnya. Hal mana
membuat si Kelabang Hitam tertawa terkekeh.
"Heheheheh... ternyata cuma sebegitu saja ke-
hebatanmu bocah perempuan pendekar. Kegagahanmu
memang boleh dibanggakan, tapi kau kurang penga-
laman! Aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung
di Rimba Persilatan sudah banyak mengalami berma-
cam pertarungan. Sudah banyak makan sama-garam!
Akan tetapi dalam setiap pertarungan kukira
pertarungan sekarang inilah yang paling sukses." ber-
kata si Kelabang Hitam dengan terkekeh-kekeh.
Lalu... apakah yang terjadi kemudian? Melihat
Roro Centil sudah kena ditaklukkan kakek hitam ini
kembali berkemak-kemik membaca mantera. Lagi-lagi
lengannya bergerak untuk melontarkan segelombang
angin halus memperkuat serangan totokan jarak jauh.
Dengan mengulang demikian kakek ini tak khawatir
lagi Roro Centil akan mampu untuk melepaskan toto-
kan ampuhnya yang memang amat luar biasa.
Roro perdengarkan keluhannya. Dan dengan
lunglai langsung menggeletak dilantai.
"Hehehe... bagus! aku akan bantu melucuti pa-
kaianmu! Tenagamu terlalu lemah, dewiku...! Kau ten-
tu belum pernah merasakan nikmatnya seorang laki-
laki! Aku tahu kau memang masih gadis tulen! Dan...
hehehe... aku memang memerlukan kau Sangat kuper-
lukan! Karena dengan mereguk kenikmatan dari tu-
buhmu, akan terjadi "penyaluran". Kegaiban yang ada
pada tubuhmu memungkinkan pindahnya ilmu-ilmu
"dalam" yang berada pada tubuhmu tersalur ketubuh-
ku! ketahuilah... aku amat mendambakan itu! karena
tenaga dalamku bisa bertambah! Dan aku akan awet
muda...! kulitku yang keriput ini bisa menjadi kencang
lagi..."berkata mendesah si kakek hitam itu seraya
membungkuk untuk membukai pakaian Roro. Se-
dangkan belasan bayangan-bayangan tubuh palsu si
Kelabang Hitam yang lainnya mendadak lenyap.
Roro centil seperti tak ada reaksi apa-apa. Ke-
cuali terdengar suara desah nafasnya yang teratur...
ya! Roro ternyata telah kena "Sugesti" yang diucapkan
melalui batin untuk mempengaruhi sirkuit otaknya.
Dan... dia tak tahu kalau lengan si kakek binal ini mu-
lai melepaskan pakaian Roro dengan tubuh menggele-
tar karena hawa rangsangan dari birahi yang mengge-
legak, seperti tak tertahankan lagi untuk cepat-cepat
melaksanakan niatnya.
Ternyata kakek hitam ini memang mencari Roro
Centil untuk maksud itu. Yaitu menyerap ilmu gaib
serta kekuatan tenaga dalam Roro lahir-batin yang ha-
rus dilakukannya dengan melakukan persanggamaan.
Dengan tenaga "luar dan dalam" yang kelak
bakal terpadu itu, bukan mustahil kalau seluruh ke-
kuatan batin, serta bermacam kegaiban yang dimiliki
Roro bahkan sampai tenaga dalam Roro akan terkuras
bersih.
Akan tetapi membelalak sepasang mata si kela-
bang hitam, karena tiba-tiba terdengar suara mengge-
ram dahsyat.
GRRRRRRRR... Berbareng dengan suara gera-
man itu si kelabang hitam berteriak kaget karena tahu-
tahu tubuh yang akan ditindihnya itu telah berubah
wujud. Bukan lagi Roro Centil yang bertubuh mulus
lagi, akan tetapi adalah seekor Harimau Tutul yang
luar biasa besarnya. Yang telah mencengkeram ganas
dengan taring-taringnya yang tajam runcing. Sementa-
ra kuku-kuku yang runcing itu telah membenam pada
kulit tubuhnya.
Namun dengan gerakan reflek, si Kelabang Hi-
tam lemparkan tubuhnya bergulingan. Jubahnya ter-
koyak dengan seketika berikut terkoyaknya pula kulit
punggung, dada dan sedikit kulit lehernya.
Pucat pias seketika wajah kakek hitam ini. Na-
mun secepat kilat dia telah menyambar tongkat Kela-
bang yang bagaikan tersedot meluncur ke arahnya.
Dengan sigap lengannya bergerak menangkap.
"Hihihi... manusia licik! enak saja kau mau menjamah
tubuhku! Manusia sepertimu memang layak untuk
mampus...!"
Terdengar suara mengikik yang dibarengi den-
gan suara bentakan. Tersentak lagi-lagi si Kelabang Hi-
tam karena tiba-tiba Harimau Tutul itu telah lenyap.
Dan... tahu-tahu dihadapannya tegak berdiri gadis
Pendekar itu. Menatapnya dengan sepasang mata yang
seperti menembus jantung.
"Edan...! Kau... kau tak mempan dengan ilmu
tenungku?" tergagap si Kelabang Hitam berkata.
"Dan... kau bisa berubah jadi Harimau? Ilmu apakah
yang kau miliki...?" sentaknya kaget seraya mundur
dengan menempelkan tubuhnya ke dinding ruangan.
"Hm, kau pernah dengar nama si Manusia Gu-
run Pasir? Itulah ilmu yang telah terwaris padaku!"
menyahut Roro dengan suara keren.
"Manusia... Gurun... Pasir...?" seperti mengeja
si kakek hitam itu mengulangnya. Tiba-tiba tubuhnya
mendadak berubah jadi gemetaran dan serta merta dia
jatuhkan dirinya untuk berlutut.
"Oh...! Ampunilah selembar nyawaku ini, no...
nona Pendekar...! Aku si tua bangka ini sungguh-
sungguh tak mengetahui..." ucapnya dengan suara
terputus-putus. Disamping terheran karena melihat ti-
ba-tiba si kakek hitam ini jadi tampak ketakutan sekali
mendengar nama gurunya itu, namun tak mengurangi
kewaspadaan Roro terhadap musuhnya. Ternyata Roro
memang berpura-pura seolah terkena pengaruh keku-
atan ilmu hitam si Kelabang Hitam. Karena sebelum
memasuki pintu ruangan tadi Roro memang telah siap
mempergunakan ajian penangkal segala macam ilmu
setan. Yaitu merapal tujuh kalimat Penolak Iblis. Hing-
ga ketika si Kelabang Hitam pergunakan kekuatan ma-
tanya untuk mensugesti Roro, gadis Pendekar itu tidak
terkena pengaruh apa-apa. Roro memang ingin menge-
tahui maksud apa sebenarnya si kakek hitam itu men-
jebaknya.
"Kau benar-benar ingin diampuni nyawamu?
Hm, apakah bukan cuma tipu muslihat belaka?" ber-
tanya Roro dengan sikap jumawa. Bahkan sepasang
lengannya telah bertolak pinggang dengan mata mena-
tap si Kelabang Hitam.
"Aku... aku tidak berdusta, nona Pendekar. Se-
bagai bukti ambillah tongkatku. Aku takkan memper-
gunakannya lagi..." menyahut si Kelabang Hitam den-
gan suara menggeletar. Seraya gerakkan lengannya
meraih tongkat. Lalu asongkan pada Roro.
"Baik! Aku akan simpan tongkatmu...!" berkata
Roro. Lengannya bergerak terulur untuk menyambuti
tongkat berbentuk Kelabang itu. Dasar memang ma-
nusia licik. Detik itu juga membersit ratusan jarum
berbisa dari mulut tongkat Kelabang si kakek hitam.
Akan tetapi tubuh Roro mendadak "lenyap" dengan se-
ketika. Sukar untuk diduga oleh si Kelabang Hitam.
Karena di saat maut sudah sedetik di depan mata buat
kematian Roro Centil, ternyata tubuh Roro telah mele-
tik ke atas. Bahkan kejadian yang begitu cepat itu si
Kelabang Hitam tak sempat mengetahui kemana mele-
satnya tubuh si Pendekar Wanita itu. Tahu-tahu dia
telah menjerit parau dengan teriakan pendek, tubuh-
nya menggabruk jatuh ke lantai. Darah kental berwar-
na putih bercampur merah menyemburat membercak
dilantai.
Ternyata batok kepala manusia licik ini telah
pecah berantakan. Otaknya berhamburan keluar.
Dan... tanpa sempat berkelojotan lagi, si kakek hitam
ini langsung tewas.
Sesosok tubuh terlihat meluncur turun dari
langit-langit ruangan dan jejakkan kaki dengan ringan
dilantai. Ternyata Roro Centil. Kiranya sewaktu si Ke-
labang Hitam angsongkan tongkatnya, Roro yang ber-
mata jeli telah melihat jari lengan si kakek itu bergerak
memijit tombol rahasia yang berada di sebelah bawah
tongkat. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman
berkecimpung di Rimba Hijau, Roro Centil telah waspada dan menduga ada sesuatu yang tidak beres bakal
terjadi. Begitu melihat jari lengan si Kelabang Hitam
bergerak, secepat kilat Roro telah melesat ke atas. Se-
kejap tubuhnya telah menempel di langit-langit ruan-
gan. Detik itu dia telah melihat berhamburannya ratu-
san jarum yang meluruk keluar dari dalam mulut
tongkat Kelabang si kakek.
Mendelik sepasang mata Pendekar Wanita kita.
Dan tak ayal lagi langsung kirimkan satu pukulan he-
bat dari salah satu jurus pukulan warisan si Dewa
Tengkorak. Tak ampun lagi si Kelabang Hitam harus
menebus mahal dengan nyawanya, akibat kelicikannya
sendiri.
"Heh! Sudah kuduga...! Manusia semacam mu
sudah terlalu bejat! Mana bisa mulutnya dipercaya?"
memaki Roro dengan wajah cemberut jengkel. Diraih-
nya tongkat Kelabang yang nyaris merenggut jiwanya
itu. Lalu dibantingkan ke lantai hingga hancur berkep-
ing-keping.
Selanjutnya Roro sudah bergerak melesat ke-
luar dari dalam ruangan itu...
***
DUA BELAS
SESOSOK TUBUH merintih-rintih menggelepoh
dipintu ruangan kamar memegangi pundaknya yang
terluka dan tampak mengalirkan darah. Tersentak Ro-
ro Centil. Secepat kilat dia sudah melompat mengham-
piri.
"He? Kau Ponara...? Katakan, apakah yang te-
lah terjadi...?" bertanya Roro dengan krenyitkan alis-
nya, ketika mengetahui laki-laki itu adalah anak buah
Ki Astagina. Roro memang mengenal pada beberapa
orang murid Ki Astagina ketika membantu menggali
kubur buat jenazah nenek Muri Asih yang disemayam-
kan disatu bukit kecil dibagian belakang Pesanggrahan
Cipatujah.
Sekonyong-konyong pintu kamar menjeblak
terbuka. Dan...
WRRRRRT! Jala sutera itu begitu cepat telah
merungkup tubuh Roro Centil. Dan, saat berikutnya...
BHUSSSSS! Asap tipis berbau harum seketika
menyebar, begitu terdengar letupan kecil ketika pada
detik barusan sebuah benda menggelundung di bawah
kaki.
"Hahaha... ternyata terlalu mudah untuk me-
nawan Roro Centil!" Terdengar suara tertawa berkaka-
kan. Dan... sesosok tubuh telah tersembul di pintu
kamar. Siapa lagi kalau bukan Ki Sugema adanya.
Saat itu asap tipis berbau harum yang mengandung
obat bius itu telah melenyap sirna. Dan tubuh Roro
Centil tergeletak pingsan dalam rangkupan jala sutera.
"Hm, terima kasih atas bantuanmu, Ponara...!
Kelak pasti aku berikan imbalan padamu!" berkata Ki
Sugema pada laki-laki bernama Ponara yang adalah
murid Ki Astagina. Laki-laki itu telah melompat lagi
menghampiri ke muka pintu kamar. dan tersenyum
dengan menjura pada Ki Sugema, seraya ucapnya.
"Hambapun mengucapkan terima kasih sebe-
lumnya...! apakah selanjutnya yang harus hamba la-
kukan. Ketua...?" ternyata kejadian barusan adalah te-
lah direncanakan sebelumnya. Ponara yang gila kedu-
dukan mau saja diperalat oleh Ki Sugema untuk men-
jebak Roro. Dengan berpura-pura terluka yang se-
sungguhnya cuma melumuri pundaknya dengan darah
palsu. Ponara dijanjikan kelak akan diberi peluang un-
tuk menjadi seorang Perwira Kerajaan di Kerajaan Mataram, bila rencana Ki Sugema berhasil untuk mempe-
ristri Roro Centil.
"Hm, cukuplah! Dan kini silahkan kau berang-
kat ke Akhirat!"
Selesai menyahut, sebuah kilatan membersit
dari lengan Ki Sugema. Dan... tanggallah kepala Pona-
ra dari tubuhnya. Darah memuncrat yang diiringi den-
gan robohnya tubuh laki-laki gila pangkat itu ke lantai.
"Hahaha... kunyuk macam kau sudah tak ku-
pentingkan lagi!" berkata Ki Sugema seraya siapkan la-
gi senjata ampuh pencabut nyawa hasil rampasannya
itu ke balik bajunya.
Akan tetapi terperangah Ki Sugema ketika
mendengar suara menggeram. Tahu-tahu jala sutera
itu telah "terbang" melesat ke arahnya. Dan detik beri-
kutnya laki-laki telengas ini tampak telah bergumul
dengan seekor harimau Tutul yang luar biasa besar-
nya. Akan tetapi tak berapa lama tubuh Ki Sugema te-
lah terkulai tak bergeming lagi. Nyawanya telah putus.
Dan keadaan tubuhnya tampak mengerikan sekali
dengan sekujur tubuh penuh cabikan-cabikan. Darah
menganak sungai dari luka dilehernya yang menganga
hampir putus! Sedangkan disekelilingnya bertebaran
serpihan jala sutera yang sudah hancur tak berbentuk
lagi.
Harimau Tutul itu ternyata telah lenyap entah
kemana...
***
Dengan kesal Roro Centil membanting senjata
maut yang "disita" dari jenazah Ki Sugema, hingga me-
lesak ke dalam tanah, Tampak wajah si Pendekar Wa-
nita ini merah padam. Telah ubak-ubakan dia mencari
dimana Sambu Ruci dan Seruling Gading. Tapi tak di
jumpai diseluruh ruangan.
"Hm, apakah pesanggrahan ini punya ruangan
rahasia?" memikir Roro. "Baik...! akan ku selidiki!" de-
sisnya serentak begitu selesai bermenung. Tubuh Roro
kembali berkelebat untuk memasuki setiap ruangan
Pesanggrahan.
BRAAAK...! Tiba-tiba terdengar suara bergedu-
brakan. Roro merandek dengan wajah tegang. "Apakah
ada manusia iblis lagi yang masih bercokol di Pe-
sanggrahan ini?" berkata Roro dalam hati. Sekejap dia
sudah menyelinap.
Sesosok tubuh tersembul dari reruntuhan tem-
bok disalah satu ruangan belakang Pesanggrahan, wa-
jah orang itu kusut, pucat dan malang biru seperti be-
kas-bekas pukulan. Dialah Sambu Ruci adanya. Den-
gan susah payah pemuda itu merangkak keluar dari
celah lubang yang menganga direruntuhan tembok itu.
"Sambu Ruci...!" satu teriakan lelah membuat
dia palingkan wajahnya untuk memandang ke arah da-
tangnya suara.
"No... nona Roro..." teriak laki-laki ini dengan
suara parau lemah. Akan tetapi wajahnya member-
sitkan cahaya girang. Sekejap saja Roro Centil telah je-
jakkan kakinya dihadapan laki- laki ini.
"Ahhh...! Sambu...! Apakah yang telah terjadi?
Kemana is... istrimu Seruling Gading?". tanya Roro
dengan terkejut karena memandang wajah tampan
Sambu Ruci matang biru dengan keadaan yang meng-
giriskan hati. Sekujur tubuhnya juga banyak luka-luka
dengan pakaian yang sudah robek disana-sini. Sambu
Ruci jatuhkan tubuhnya duduk menggelepoh. Wajah-
nya menunduk tanpa bisa berikan jawaban pada Roro.
Setitik air mata tampak tersembul disudut kelopak
mata laki-laki ini.
"Sambu...! Katakanlah! Siapa manusianya yang
telah menyiksamu? Akan kuremukkan tulang-tulang
tubuhnya! Dan... kemana Seruling Gading...?" tanya
Roro lagi dengan suara menggetar.
Pelahan laki-laki ini menengadahkan wajahnya
menatap pada Roro. Tampaknya Sambu Ruci teramat
lemah untuk bicara.
Roro Centil yang tahu diri, segera berkelebat.
Dan sesaat telah kembali lagi dengan membawa se-
kendi air.
"Minumlah Sambu...!" ujar Roro. Sambu Ruci
tersenyum lemah seraya menyambuti dengan ulurkan
lengannya. Lalu meneguk habis isi kendi itu. Setelah
menghela nafas dan merenung sejenak, mulailah Sam-
bu Ruci buka suara, menceritakan kejadiannya, den-
gan singkat. Roro Centil dengan wajah sebentar merah
sebentar pucat mendengarkan penuturannya.
Ternyata Sambu Ruci disekap dalam ruangan
rahasia di Pesanggrahan itu setelah dipaksa menyak-
sikan perbuatan edan Ki Sugema terhadap istrinya.
Diceritakannya siapa Ki Sugema. Dan kejadian-
kejadian penyiksaan terhadap dirinya yang dilakukan
oleh Suro Ragil dan si laki-laki gendut Zimbage.
"Manusia bejat itu sudah mampus ditanganku!
Dan senjata mautnya telah kulenyapkan! Kakek iblis
bertongkat Kelabang itu sudah kukirim nyawanya ke
Neraka...!" menyahut Roro dengan pertanyaan Sambu
Ruci yang mempertanyakan kedua tokoh yang mengu-
asai Pesanggrahan Cipatujah.
"Lalu kemanakah istrimu Seruling Gading?"
bertanya Roro.
"Aku tak tahu lagi nasibnya, sejak dia disekap
si keparat Ki Sugema itu..." jawab Sambu Ruci.
"Haihhh! Aku memang manusia bodoh! Tak
berguna...!" berkata Sambu Ruci memaki dirinya sendiri.
"Sudahlah...! mari kita tinggalkan tempat ini!
aku akan berusaha mencarinya!" ujar Roro menghibur.
Lalu memapah Sambu Ruci berdiri, seraya diam-diam
salurkan "hawa murni" untuk menambah tenaga da-
lam laki-laki itu. Terasa hawa hangat mengalir ke tu-
buh Sambu Ruci, yang dirasakan oleh laki-laki itu.
Ternyata kemudian Sambu Ruci agak pulih tenaganya.
Dia tersenyum menatap Roro. "Terima kasih...
kau baik sekali..." ucapnya lirih.
***
Sambu Ruci duduk termangu-mangu di depan
sebuah pondok petani diatas bukit kecil. Pemandangan
indah terhampar dihadapannya. Akan tetapi keinda-
han itu seakan tak berarti. Karena yang terbayang me-
lulu wajah Seruling Gading. Dua hari sudah dia mene-
tap di atas bukit kecil itu. Selama itu Roro Centil telah
merawatnya, memberinya obat dan bermacam ramuan
yang harus diminumnya. Memasak air. Menanak nasi
dan sebagainya. Tak ubahnya seolah dia dirawat oleh
seorang "istri" tercinta. Ah, begitu mengharukan. Begi-
tu pedih. Begitu bahagia tampaknya. Bahagiakah
Sambu Ruci? Entahlah! Hanya dia yang tahu! dan
yang membuat dia tersenyum pahit adalah apa yang
dialaminya saat itu adalah begitu lucu! Ya, satu kelu-
cuan, karena dia justru punya "pengganti" istrinya
yang telah merawatnya dengan sepenuh hati hingga
sampai kesembuhannya pulih kembali.
Hari itu dia duduk di depan pondok menunggu
kedatangan Roro yang telah wanti-wanti memesannya
agar tak kemana-mana. Dia termangu-mangu menatap
ke bawah bukit dengan pandangan kosong. Wajah Se-
ruling Gading sebentar membayang namun sebentar
melenyap di ruang matanya. Kemelut di Cipatujah itu
telah berakhir. Kini cuma tinggalkan puing-puing dari
reruntuhan hati yang bersisa.
Kebahagiaan itu belum lagi terengkuh... "Apa-
kah aku tak berjodoh dengannya?" berkata sendiri
Sambu Ruci. "Ya! Kalau aku berjodoh, tentu tak terjadi
peristiwa macam begini...!" menjawab pula sendirian
laki-laki itu, yang akhirnya dia cuma tersenyum pahit
dengan menggaruk-garuk kepalanya.
"Ehm...!" suara deheman itu seketika membuat
dia tersentak dari lamunannya. Ketika dia membalik
ternyata Roro Centil telah berdiri di belakangnya.
"Sejak kapan kau pulang, no... nona Roro...?"
tanya Sambu Ruci tergagap.
Seulas senyum segera tersuguh buatnya. Ya!
Mutlak! Memang senyum itu cuma untuknya.
"Panggillah aku Roro saja, mengapa harus pa-
kai "nona"...?" berkata Roro dengan mengerling. Sambu
Ruci tertawa hambar.
"Ya, ya, ya... baiklah! Aku akan menyebut mu
dengan panggilan Tabib Roro! apakah kau setuju?"
"Hihihi... aku bukan tabib!" menyahut Roro.
"Tapi kenyataannya kau memang seorang tabib. Kau
telah merawatku hingga luka-lukaku serta kesehatan-
ku pulih kembali!" sangkal Sambu Ruci.
"Aiiii! terserahlah!" menyahut Roro dengan ter-
senyum manis. Aneh! Diam-diam dan diluar kesadaran
Roro. Gadis Pendekar itu rasakan dadanya berdeba-
ran. Ya! Roro memang mulai sering merasakan deba-
ran-debaran sejak merawat Sambu Ruci selama ini.
Satu keanehan yang dia sendiri juga tak mengetahui.
Akan tetapi Roro selalu dapat menghilangkannya un-
tuk kembali menenangkan diri. Apakah ada terbersit
rasa cinta dihati roro pada laki-laki yang telah kehilan-
gan istrinya itu? Entahlah! Tapi yang jelas debaran itu
adalah satu kewajaran. Karena setiap naluri wanita
memang demikian bila berhadapan dan bergaul terlalu
erat dengan laki- laki.
"Ada berita baik yang kutemukan, Sambu...!"
tiba-tiba Roro Centil memutus "tegangan" tersembunyi
diantara dua jalur halus yang merentang barusan.
"Berita...? Oh, katakanlah!" menyahut Sambu
Ruci. Agak tersentak seperti sukmanya baru kembali
dari "alam gaib".
"Aku telah temukan dua mayat disatu tebing
batu. Ciri-cirinya jelas seperti yang telah kau tuturkan
padaku. Aku yakin itu mayat Suro Ragil dan si gemuk
Zimbage...!" berkata Roro seraya menuangkan air ke
dalam gelas tanah dari kendi berisi air putih. Lalu me-
neguknya hingga habis.
"Keduanya tewas...?" sentak Sambu Ruci. "Tak
adakah berita mengenai Seruling Gading?" tanya Sam-
bu Ruci tiba-tiba.
"Ada...! akan tetapi kuharap kau tak terkejut
mendengarnya!" menyahut Roro dengan suara datar.
"Apakah yang telah terjadi dengan dia...?" tanya
Sambu Ruci dengan berusaha bicara biasa. Namun di-
am-diam hatinya mulai menyentak lagi, yang segera di-
tekannya agar tak membuat suaranya tergetar.
"Seruling Gading telah berubah menjadi orang
yang tak waras..."
"Hah!? Dia... dia... maksudmu dia berubah
menjadi... GILA...?" Tersentak kaget Sambu Ruci.
"Ya...!" sahut Roro dengan suara tenang.
"Dia telah berhasil lolos rupanya dari sekapan
Ki Sugema. Tapi dikejar oleh Suro Ragil dan si gemuk
itu, entah siapa yang telah membunuh kedua orang
itu. Dari berita yang kudapat tak ada yang mengeta-
huinya. Akan tetapi mengenai Seruling Gading menjadi
hilang ingatan itu banyak berita yang kudapat dari
penduduk disekitar tempat itu..." tutur Roro.
Terhenyak sesaat Sambu Ruci. Wajahnya me-
nunduk. Tampak satu kesedihan yang luar biasa diro-
na wajahnya.
"Tak adakah kau temukan dia...?" tanya Sambu
Ruci dengan suara lirih.
"Yaaah, menurut berita yang kudengar Seruling
Gading menerjunkan diri ke dasar jurang! Aku telah
mencoba mencari mayatnya didasar jurang pada lokasi
yang dikira-kirakan penduduk. Tapi tak kujumpai
mayatnya disana..." menyahut Roro.
"Seruling...! Oh, begitu tragis nasibmu..." men-
desah suara Sambu Ruci. Kini titik air bening yang ter-
sembul disudut mata laki-laki itu telah meluncur tu-
run. Namun, Sambu Ruci segera seka air matanya.
"Yah! semua memang sudah suratan takdir!"
berkata Roro "Kita belum bisa pastikan Seruling Gad-
ing tewas. Namun kukira.
Sambu Ruci seperti tak mendengar penjelasan
Roro. Dia menatap jauh ke bawah lembah. Jauh...! dan
bahkan lebih jauh lagi.
Dua ekor elang tampak melayang di ketinggian.
Bukit kecil itu seperti sunyi. Dan memang terasa
sunyi... Seperti juga sunyinya hati Sambu Ruci. Ketika
dia berpaling ternyata Roro Centil telah lenyap tak ter-
lihat bayangannya. Semakin sunyilah hati Pendekar
Muda ini.
Senja pun tampak mulai melingkupi daerah
perbukitan itu....
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar