..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 12 Maret 2025

JODOH RAJAWALI EPISODE UTUSAN PULAU KERAMAT

matjenuh khairil

 

UTUSAN PULAU KERAMAT
CINTAMEDIA
Penerbit buku silat bermutu
Serial Silat
JODOH RAJAWALI
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode: 
Utusan Pulau Keramat 128 hal

1

EMBUN pagi masih menetes bagai darah tersisa 
dari tangan yang terpotong buntung. Udara pagi yang 
menyegarkan peredaran darah itu digunakan oleh Yo-
ga, si Pendekar Rajawali Merah itu, untuk melatih diri 
menggunakan pedang dengan satu tangan.
Pada mulanya, Yoga mengalami kecanggungan 
dalam bergerak karena ia telah kehilangan tangannya 
(Baca episode: "Ratu Kembang Mayat"), tetapi sedikit 
demi sedikit ia sudah mulai terbiasa bergerak dan 
memainkan jurus pedang dengan hanya menggunakan 
satu tangan.
Luka bekas potongan di lengan kiri Pendekar 
Rajawali Merah itu sudah mulai mengering. Warna bi-
ru racun yang ada di sekeliling bekas potongan lengan 
itu sudah tidak ada. Bahkan rasa sakitnya pun tidak 
tersisa sedikit pun. Ramuan obat yang diminumnya 
dari Tabib Perawan atau Sendang Suci, memang sung-
guh hebat khasiatnya. Hanya satu malam beristirahat 
penuh setelah meminum obat tersebut, luka bekas po-
tongan menjadi mengering dan tidak terasa sakit lagi. 
Itulah sebabnya pagi itu Yoga memberanikan diri men-
coba berlatih pedang memakai batang bambu untuk 
membiasakan diri menggunakan satu tangannya yang 
tidak ikut terpotong.
Tanpa disadari oleh Yoga, ada sepasang mata 
yang memperhatikan gerakan jurus-jurus pedangnya 
dari satu tempat. Tempat itu tidak terlalu tersembunyi, 
namun berada dl belakang Yoga, sehingga Yoga tidak 
tahu, bahwa sepasang mata yang memandanginya itu 
kini sedang menitikkan air mata.
"Menyesal sekali aku telah membuatnya cacat

begitu. Seharusnya sebagai Topeng Merah aku tak bo-
leh sampai melukainya, tugasku justru menjaganya. 
Tapi mengapa akhirnya pedangku yang membuatnya 
sengsara begitu Oh, Yoga... maafkanlah aku. Semua ini 
tidak sengaja kulakukan pada dirimu," kata sepasang 
mata itu dalam hatinya yang tak lain adalah si Tabib 
Perawan.
Ketika Yoga berkelebat memperagakan menebas 
lawan dengan pedang sambil membalikkan badan, ba-
rulah Yoga menyadari ada sepasang mata yang me-
mandanginya sejak tadi. Pendekar Rajawali Merah itu 
segera hentikan gerakannya, tersenyum malu sambil 
melangkah mendekati perempuan yang memandan-
ginya dari samping rumah.
"Bibi...," sapanya ketika ia berada di depan Ta-
bib Perawan yang masih tampak muda dan cantik wa-
lau usianya sudah mencapai empat puluh tahun itu. 
Yoga melanjutkan kata-katanya,
"Aku melihat air matamu menetes, Bi! Mengapa 
menangis?"
Buru-buru Sendang Suci menyusutkan air ma-
tanya dengan tersenyum malu ia sedikit salah tingkah, 
setelah itu berkata,
"Aku terharu melihatmu! Aku bersyukur sekali, 
ternyata kau sudah terhindar dari racun pedang itu, 
dan sekarang kau tampak sehat serta segar badanmu!"
"Ya, aku memang sudah merasa segar, Bi! Tapi 
mestinya Bibi tidak perlu menangis begitu!"
"Tidak. Aku tidak menangis. Aku... aku hanya 
merasa bahagia bisa menolongmu, Yo! Semula aku 
menyangka tak bisa menolongmu!"
"Aku ucapkan banyak terima kasih padamu, Bi! 
Kalau kau tidak menolongku menangkal racun itu, 
aku bisa mati busuk!"

"Ya. Tapi sebaiknya jangan kau gunakan untuk 
berlatih dulu. Masa istirahat mu masih sangat dibu-
tuhkan untuk mengembalikan urat-urat yang kaku 
akibat racun itu! Jangan banyak gunakan tenaga dulu, 
Yo!"
"Maaf, Bi. Aku sudah tak tahan ingin berlatih 
jurus-jurusku!"
"Cukuplah sampai di sini dulu! Mungkin besok 
kau bisa melanjutkan latihan mu itu! Sekarang aku 
sudah memasakkan sup untukmu! Sup jamur itu akan 
memulihkan kekuatanmu kembali, Yo!"
"Bibi terlalu merepotkan diri. Mestinya Bibi tak 
perlu memasak segala! Kita bisa pergi ke kedai terde-
kat untuk makan di sana!"
"Aku memasak untuk dirimu, Yo! Aku bangga 
sekali dapat memasak untuk diri seseorang yang... 
yang ku... maksudnya yang bersahabat baik dengan-
ku!"
Ada keraguan yang kikuk diucapkan dan ak-
hirnya dibelokkan ke arah lain. Pendekar Rajawali Me-
rah menyadari hal itu, tapi ia tidak mau membahasnya 
terlalu panjang lebar. Cukup disimpannya saja di da-
lam hati. Kemudian ia segera melegakan hati Sendang 
Suci untuk menikmati sarapan sup masakan Sendang 
Suci itu.
Satu malam Yoga tidur di rumah Tabib Pera-
wan. Ia merasa mendapat perawatan yang benar-benar 
baik. Tabib Perawan merawat Yoga dengan sungguh-
sungguh. Bahkan ketika Yoga tertidur di balai-balai 
depan, Tabib Perawan datang, menyelimuti tubuhnya 
dengan pelan-pelan. Saat itu sebenarnya Yoga terban-
gun, namun karena masih terasa berat untuk membu-
ka mata, maka ia biarkan saja kehadiran Tabib Pera-
wan di dekatnya.

Perempuan itu tidak tidur di tempatnya, me-
lainkan menggelar tikar dan tidur di lantai bawah ba-
lai-balai bambu itu. Sesekali Sendang Suci terbangun, 
menghalau nyamuk yang mengerumun di tubuh Yoga. 
Kemudian dengan pelan-pelan dan penuh hati-hati, 
Tabib Perawan melulurkan cairan anti gigitan nyamuk 
di tubuh Yoga yang tidak tertutup selimut. Yoga mera-
sakan hal itu, tapi ia membiarkan saja.
Bahkan ketika Sendang Suci mengusap-usap 
rambut Yoga dengan pelan dan lembut sekali, Yoga te-
tap pejamkan mata dan tidak melarang sikap perla-
kuan lembut itu. Hanya dalam hatinya, Pendekar Ra-
jawali Merah menemukan satu keanehan sikap dari 
Sendang Suci. Sikap itu adalah sikap seorang kekasih 
yang begitu sayang kepada orang yang dicintainya. Se-
pertinya begitulah sikap lembut yang diterima Yoga 
malam itu.
Sementara, di sisi lain, Mahligai yang gila aki-
bat Racun Edan itu masih tetap dalam pasungannya. 
Sore tadi Mahligai mengamuk karena lapar, lalu Tabib 
Perawan memberikan makan, tapi makanan itu disem-
bur-semburkan sambil Mahligai menggeram berseru
"Aku mau makan daging manusia! Manusia 
tampan itu! Manusia tampan itu, bawa kemari! Le-
kaaas...!"
Teeb...! Kembali Mahligai ditotok oleh bibinya 
sendiri dan jatuh terkulai lemas di atas pembaringan-
nya.
Perempuan cantik berhidung mancung itu men-
jadi repot sendiri. Ada dua kerepotan yang harus di-
tangani secara bergantian, yaitu merawat keponakan-
nya yang gila dan merawat Yoga.
Bahkan pagi itu pun mereka sarapan berdua, 
sedangkan Mahligai tidak diberinya sarapan. Ketika

Yoga menanyakannya,
"Mengapa Mahligai tidak diajak makan seka-
lian, Bi?"
"Santapannya berbeda dengan kita! Aku harus 
membeli seekor ayam di pasar dan dia akan mema-
kannya mentah-mentah!"
Yoga menghembuskan napas menandakan iba 
hatinya mendengar nasib Mahligai yang menjadi doyan 
makan daging mentah itu. Karenanya, Yoga pun segera 
berkata,
"Bolehkah nanti siang aku pergi ke Telaga 
Bangkai untuk mencari bunga Teratai Hitam itu, Bi?! 
Rasa-rasanya, aku harus secepatnya mendapatkan 
bunga Teratai Hitam, agar Mahligai lekas sembuh! Tak 
tega aku melihatnya dalam keadaan terpasung begitu 
terus-menerus!"
"Keadaanmu masih belum sembuh total, Yo! 
Jangan dulu ke mana-mana. Mungkin dua hari lagi 
kau baru bisa melakukan perjalanan jauh ke Telaga 
Bangkai itu!"
"Tapi kalau terlalu lama, kasihan nasib Mahli-
gai!"
"Ya. Memang. Tapi aku tak izinkan kau pergi 
dalam keadaan belum sembuh total! Dan... rasa-
rasanya memang kau tak perlu lagi mencari bunga Te-
ratai Hitam itu!"
"Mengapa begitu, Bi?!" Pendekar Rajawali Me-
rah terkejut.
"Aku tak izinkan kau mencari bunga itu sebe-
lum kau membalas kekalahanmu kepada si Topeng 
Merah!"
"Bukankah Bibi bilang aku tak boleh menaruh 
dendam kepada si Topeng Merah, atau siapa pun yang 
melukai ku?"

"Ini bukan dendam. Aku yakin Topeng Merah 
menyesal atas tindakannya yang tidak sengaja telah 
membuat tanganmu putus itu! Karenanya, untuk me-
legakan hati orang itu, kau harus membalasnya den-
gan memotong tangan kirinya!"
"Ku rasakan sikap Bibi makin lama semakin 
aneh saja!"
"Karena aku tak rela melihat tanganmu bun-
tung satu! Balas kekalahanmu ini kepada Topeng Me-
rah! Jika kau belum balas kekalahanmu ini, kau tidak 
perlu mencari bunga Teratai Hitam itu! Kalau toh kau 
nekat dan mendapatkannya, aku tak akan mau mene-
rima bunga itu sebelum kau membuat tangan Topeng 
Merah buntung satu!"
Pendekar Rajawali Merah diam saja setelah 
menelan sisa makanannya. Matanya tertuju ke tepian 
meja, dan ia melamun di sana, sampai akhirnya Sen-
dang Suci mendengar Yoga berkata,
"Aku tak bisa melakukan pembalasan itu, Bi! 
Bagaimana jika Bibi saja yang melakukan pembala-
san?!"
Sendang Suci terperanjat dan bingung menja-
wabnya. Ia tampak gelisah beberapa saat, lalu terden-
gar pula ia bertanya,
"Mengapa tak bisa? Kau seorang pendekar yang 
perkasa dan punya ilmu tinggi! Pasti kau bisa kalah-
kan jurus-jurusnya Topeng Merah!"
Yoga menggeleng dalam lamunannya, "Tidak. 
Bi! Tanganku sudah putus satu. Sedangkan Topeng 
Merah mempunyai jurus pedang yang bagus dan cu-
kup hebat! Aku akan kalah bila melawannya!"
"Tidak! Kau tidak akan kalah! Jangan merasa 
kecil hati, Yo! Cacat di tanganmu ini akan membuat 
kau semakin hebat dalam ilmu pedang! Percayalah,

Topeng Merah bisa kau kalahkan! Lakukan, Yo! Bun-
tungi lengan si Topeng Merah biar lega hatiku dan ti-
dak kecewa lagi melihat tanganmu di buntungi oleh-
nya!"
"Kau saja yang melakukannya, Bi! Jangan aku! 
Kalau kau memaksaku, aku akan pergi dan tidak mau 
bertemu denganmu lagi! Kau saja yang melakukannya! 
Buntungi tangan si Topeng Merah itu, tapi hati-hati 
jangan sampai tanganmu sendiri yang menjadi bun-
tung! Aku akan marah besar kepadamu jika tanganmu 
sampai buntung!"
"Ilmu... ilmu pedangku... hmmm... ilmu pe-
dangku tak sehebat ilmu pedangnya Topeng Merah, Yo! 
Kalau kau saja bisa dibuatnya buntung, apalagi aku?!"
Sendang Suci semakin gelisah. Yoga melihat 
kegelisahan itu sebagai ungkapan perasaan takut. 
Bahkan ketika Yoga mengulangi kata-katanya,
"Lakukan, Bi! Kalau kau tak bisa melawan dan 
mengalahkan Topeng Merah, aku tak mau mengenal-
mu lagi!"
Sendang Suci hanya diam saja, seakan tidak 
mendengar ucapan itu. Ia mengemasi perabot makan-
nya dan kembali lagi dengan berkata,
"Aku akan ke hutan sebentar untuk mencari 
ayam buat Mahligai!"
"Ya. Silakan. Tapi ingat, jika di perjalanan kau 
bertemu dengan Topeng Merah, buntungi dia saat itu 
juga, Bi!"
"Aku tak menjanjikan apa-apa untukmu, Yo! 
Yang kujanjikan hanya kesembuhan mu!" jawab Sen-
dang Suci lalu pergi meninggalkan Yoga yang terse-
nyum aneh menurut perasaan hatinya itu.
Di perjalanan, hati Sendang Suci sangat resah. 
Perhatiannya terpusat pada kata-kata Yoga, hingga dalam hatinya timbul berbagai kecamuk yang semakin 
mengacaukan jalan otaknya. Ia sepertinya justru men-
dapat tugas dari pendekar tampan itu, tugas untuk 
membuntungi Topeng Merah. Ini adalah tugas yang be-
rat baginya, sementara itu, Yoga mengancam untuk ti-
dak mau mengenalnya lagi jika hal itu tidak dilakukan. 
Repotnya lagi, jika tangan Sendang Suci sendiri yang 
menjadi buntung, Yoga akan marah besar kepadanya.
Sungguh tertekan jiwa Sendang Suci. Ia seper-
tinya makan buah simalakama. Ia harus bisa menga-
tasi hal itu! dalam keadaan hatinya bersedih memikir-
kan nasib Mahligai yang masih gila dan liar itu. Karena 
kalutnya otak, Sendang Suci sampai tak menyadari 
bahwa di depannya sudah berdiri Tamtama dan Tan-
duk Iblis, si manusia raksasa yang punya wajah ang-
ker menyeramkan itu. Sendang Suci terkejut dan 
menggeragap ketika Tamtama menyapanya,
"Bibi Sendang Suci...!"
"Hmmm... eh... siapa kau? Oh, kau Tamtama?! 
Hmm... ada apa, Tamtama?!"
Pemuda yang patah hati dan cemburu besar 
kepada Yoga itu segera berkata dengan dahi berkerut,
"Pucat sekali wajah Bibi hari ini? Ada apa, Bi?"
"Hmmm... anu... tidak. Tidak ada apa-apa!" ja-
wab Sendang Suci.
"Apakah Mahligai sudah pulang?"
"Belum! Mahligai belum pulang!"
"Jangan-jangan dia dibawa kabur oleh Yoga, 
Bi?"
"Oh, tidak! Tidak begitu, Tamtama. Yoga tidak 
membawa kabur Mahligai! Dia tidak bersama Mahli-
gai!"
"Lalu, ke mana dia sekarang? Maksud saya, bo-
cah kunyuk yang memakai gelar Pendekar Rajawali

Merah itu, Bi?"
"Ada... !"jawab Sendang Suci, kemudian buru-
buru sadar apa yang diucapkannya itu. "Maksudku, 
ada apa kau mencari Yoga?"
"Saya akan adu si kunyuk itu dengan teman 
saya ini, Tanduk Iblis!"
Mata Sendang Suci agak terkesiap. Kemudian 
mata itu memandang Tanduk Iblis yang mempunyai 
dua benjolan di keningnya seperti sepasang tanduk. 
Orang tinggi besar itu selalu mengenakan baju yang 
tak pernah di kancingkan, sehingga di dadanya terlihat 
jelas gambar tato wajah iblis yang menyeramkan. Itu-
lah sebabnya dia dijuluki Tanduk Iblis. Dan kali ini 
matanya itu memandang lembut kepada Sendang Suci, 
tidak seganas jika ia memandang seorang lelaki. Sebab 
Tanduk Iblis adalah orang yang tidak pernah mau me-
lawan perempuan atau bertindak kasar kepada wanita 
mana pun juga. Karena itu ia memandang lembut ke-
pada Sendang Suci.
"Kau ingin mengadu Tanduk Iblis dengan Yo-
ga?" ulang Sendang Suci karena tak punya kalimat 
lain untuk mengatasi kegugupannya saat itu.
"Ya! Aku ingin melihat kejantanannya. Kalau 
dia melawan teman saya ini bisa unggul, maka saya re-
la Mahligai jatuh ke dalam pelukannya, Bi! Tapi jika ia 
melawan Tanduk Iblis kalah, bagaimanapun juga saya 
tidak mundur dari Mahligai dan tetap ingin memperta-
hankan Mahligai, sebab... sebab cinta saya terlalu da-
lam kepadanya, Bi. Mohon Bibi bisa memaklumi kea-
daan saya!"
"Yaaah... aku bisa memaklumi. Tapi.. tapi ku-
rasa...," Sendang Suci diam kembali. Matanya meman-
dang sekeliling seperti punya kecurigaan dan kecemasan tersendiri.

"Bibi mau bicara apa?" tanya Tamtama. 
"Hmmm... kalau kau ingin mengadunya, silakan saja 
Tapi aku tidak tahu di mana Pendekar Rajawali Merah 
yang perkasa itu berada! Cobalah cari di tempat lain. 
Jangan tanyakan padaku, Tamtama!"
"Mengapa Bibi kelihatannya menghindari per-
tanyaan saya itu?"
"Karena aku tidak tahu dan tidak bisa menja-
wab pertanyaanmu! Kalau aku tahu di mana Yoga, 
akan kutunjukkan padamu! Jangan coba-coba me-
maksaku, Tamtama. Aku bisa marah kepadamu!"
"Baiklah, Bi! Saya tidak bermaksud memaksa 
Bibi, cuma... Bibi kelihatannya hari ini mudah tersing-
gung! Ada apa sebenarnya?"
"Tidak ada apa-apa! Aku mau mencari ayam 
hutan! Pergilah sana, cari dia sampai dapat kalau me-
mang kau ingin mengadu dia dengan Tanduk Iblis!"
"Itu pasti, Bi!" jawab Tamtama sambil memberi 
isyarat kepada Tanduk Iblis untuk berjalan lagi men-
cari di mana Yoga berada.
Langkah Sendang Suci kembali dikerumuni 
oleh lamunan dan percakapan dalam hatinya. Ter-
bayang perawakan tinggi besarnya Tanduk Iblis yang 
mirip raksasa itu, dengan perawakan Yoga yang seka-
rang dalam keadaan buntung tangannya itu. Kecema-
san pun timbul di hati Sendang Suci apabila Yoga 
sampai bertarung dengan Tanduk Iblis.
"Dalam keadaan seperti itu, apakah Yoga mam-
pu mengalahkan Tanduk iblis? Rasa-rasanya untuk 
saat sekarang, di mana Yoga belum terbiasa mengha-
dapi lawan dengan satu tangan, tipis sekali kemungki-
nan menang pada diri Yoga! Aku akan mencegah per-
tarungan itu dengan cara menyembunyikan Yoga dari 
mata Tamtama! Kekuatan itu tidak seimbang jika

sampai Tanduk Iblis, yang bertangan lengkap menye-
rang Yoga, yang bertangan buntung dan baru saja 
menjalani kehidupan buntungnya beberapa hari ini! 
Tapi... bagaimana jika mereka memergoki Yoga ada di 
rumahku, atau memergoki Yoga ada di perjalanan?! 
Hmmm... agaknya aku harus melakukan sesuatu!"
Ternyata ketika Sendang Suci sedang pergi, ada 
orang yang datang ke pondoknya, tapi bukan Tamtama 
atau Tanduk Iblis. Orang yang datang itu berusia anta-
ra enam puluh tahun dengan rambut putihnya dan 
pakaian coklat. Orang itu tak lain adalah si Tua Usil, 
Pancasona, yang juga dikenal sebagai Manusia Kabut, 
karena bisa merubah wujudnya menjadi segumpal ka-
but.
"Beruntung sekali kau datang, Tua Usil!" kata 
Yoga kepada Tua Usil. Ia segera menarik tangan orang 
itu sambil membawanya ke bawah sebuah pohon.
"Tuan Yo diminta pulang oleh Nona Lili jika 
keadaan sudah membaik!" kata Tua Usil.
"Mengapa dia tidak datang sendiri kemari?"
"Nona Li tidak mau mencampuri urusan pribadi 
Tuan Yo, katanya!"
"Urusan pribadi...?! Apa maksudnya urusan 
pribadi itu?"
Tua Usil angkat bahu, "Saya tidak tahu, Tuan 
Yo! Yang jelas, Nona Li mengharapkan Tuan Yo lekas 
pulang!"
"Baik! Aku akan pulang, tapi aku mau minta to-
long padamu, Tua Usil! Kuharap kau mau menolongku 
untuk urusan yang satu ini!"
"Saya tidak pernah menolak permohonan ban-
tuan Tuan Yo, tapi selama ini tak ada yang mau men-
gabulkan permohonan saya untuk mengajari saya berdiri di atas ilalang!"

sampai Tanduk Iblis, yang bertangan lengkap menye-
rang Yoga, yang bertangan buntung dan baru saja 
menjalani kehidupan buntungnya beberapa hari ini! 
Tapi... bagaimana jika mereka memergoki Yoga ada di 
rumahku, atau memergoki Yoga ada di perjalanan?! 
Hmmm... agaknya aku harus melakukan sesuatu!"
Ternyata ketika Sendang Suci sedang pergi, ada 
orang yang datang ke pondoknya, tapi bukan Tamtama 
atau Tanduk Iblis. Orang yang datang itu berusia anta-
ra enam puluh tahun dengan rambut putihnya dan 
pakaian coklat. Orang itu tak lain adalah si Tua Usil, 
Pancasona, yang juga dikenal sebagai Manusia Kabut, 
karena bisa merubah wujudnya menjadi segumpal ka-
but.
"Beruntung sekali kau datang, Tua Usil!" kata 
Yoga kepada Tua Usil. Ia segera menarik tangan orang 
itu sambil membawanya ke bawah sebuah pohon.
"Tuan Yo diminta pulang oleh Nona Lili jika 
keadaan sudah membaik!" kata Tua Usil.
"Mengapa dia tidak datang sendiri kemari?"
"Nona Li tidak mau mencampuri urusan pribadi 
Tuan Yo, katanya!"
"Urusan pribadi...?! Apa maksudnya urusan 
pribadi itu?"
Tua Usil angkat bahu, "Saya tidak tahu, Tuan 
Yo! Yang jelas, Nona Li mengharapkan Tuan Yo lekas 
pulang!"
"Baik! Aku akan pulang, tapi aku mau minta to-
long padamu, Tua Usil! Kuharap kau mau menolongku 
untuk urusan yang satu ini!"
"Saya tidak pernah menolak permohonan ban-
tuan Tuan Yo, tapi selama ini tak ada yang mau men-
gabulkan permohonan saya untuk mengajari saya ber-
diri di atas ilalang!"

Melihat si Tua Usil bersungut-sungut, Yoga ter-
tawa pendek. Lalu Pendekar Rajawali Merah itu segera 
berkata,
"Kalau kau mau menolongku, aku akan mende-
sak Lili untuk mengajarkan padamu jurus berdiri di 
atas ilalang!"
"Benarkah?!" Tua Usil tampak kegirangan.
"Benar! Kurasa kalau aku yang mendesaknya, 
Lili akan mau menuruti dan dia akan mengajarkan pa-
damu bagaimana bisa berdiri di atas ilalang!"
"Oh, itu menyenangkan sekali buat saya, Tuan 
Yo...! Terima kasih! Terima kasih sebelumnya!" si Tua 
Usil membungkuk-bungkuk memberi hormat sebagai 
tanda suka citanya.
"Tetapi ingat, kalau pertolonganmu itu sampai 
bocor dan didengar oleh satu orang pun, akan kupeng-
gal kepalamu saat itu juga! Karena apa yang harus kau 
kerjakan ini sangat rahasia!"
"Baik! Saya paham dan akan menjaga rahasia 
itu, Tuan Yo! Katakan apa yang harus saya lakukan!"
Dengan suara lirih bernada bisik, Yoga menje-
laskan kepada Tua Usil tentang sesuatu yang harus di-
lakukan oleh si Tua Usil. Pada waktu itu, Sendang Su-
ci dalam perjalanan pulang. Perasaannya menjadi tak 
enak, sehingga langkahnya dipercepat Yang terbayang 
di benaknya adalah pertarungan antara Yoga dengan 
Tanduk Iblis. Itulah yang membuat Sendang Suci tak 
bisa terlalu lama dalam perjalanan.
Ketika ia tiba di rumah, ternyata Yoga sedang 
duduk sendirian di atas sebuah batu datar di bawah 
pohon rindang depan rumah. Sendang Suci merasa le-
ga. Langkahnya terhenti dan senyumnya mekar ceria 
ketika melihat Yoga berdiri memandang ke arahnya 
dengan senyum ramahnya yang menawan itu.

"Hampir saja aku menyusulmu ke hutan, Bi!" 
kata Yoga membuat hati Sendang Suci berdebar indah.
"Apakah aku terlalu lama meninggalkan ka-
mu?" "Tidak. Tapi ada sesuatu yang harus kukerjakan 
secepatnya, Bi!"
"Tentang apa itu?" sambil Tabib Perawan me-
langkah masuk dan diikuti oleh Pendekar Rajawali Me-
rah.
"Saya harus pergi sebentar, Bi! Saya harus 
memenuhi undangan pertarungan dari seseorang!"
"Siapa dia orangnya?" Sendang Suci terperanjat 
"Topeng Merah!"
"Hah...?!" Sendang Suci makin terkejut. Wajah-
nya menjadi pucat pasi. "itu tidak mungkin, Yo...! Eh, 
hmm... maksudku, tidak mungkin kau harus berta-
rung dengan Topeng Merah dalam keadaan lukamu be-
lum sembuh total begini!"
"Tapi dia menantangku, Bi! Dia datang ke sini 
sendirian!"
"Oh, tak mungkin itu, Yo...!" ucap Sendang Suci 
pelan dengan tertegun bengong.
*
* *
2


RASA penasaran membuat Sendang Suci men-
desak ikut dengan Yoga. Pendekar Rajawali Merah tak 
bisa menahan keinginan Sendang Suci yang punya 
alasan hanya ingin mendampingi demi menjaga kese-
lamatan Yoga. Maka akhirnya mereka pun berangkat 
berdua setelah memberi makan Mahligai. Sasaran yang

dituju adalah sebuah bukit di dekat ngarai, jalan me-
nuju Gunung Menara Salju.
Sepanjang perjalanan Sendang Suci tidak ba-
nyak bicara. Perempuan yang melengkapi dirinya den-
gan senjata kipas itu lebih banyak termenung dalam 
langkahnya. Sesekali ia menggeragap jika diajak bicara 
oleh Pendekar Rajawali Merah.
"Apa yang kau renungkan sejak tadi, Bi?" tanya 
Yoga.
Tetapi Sendang Suci hanya tersenyum, atau 
terkadang ia menjawab, "Tak ada yang kurenungkan 
kecuali luka potong mu itu!"
Pendekar Rajawali Merah tersenyum. Ia tidak 
mengupas percakapan dari jawaban tersebut sebab ia 
tahu jawaban itu bohong. Sesuatu yang direnungkan 
Sendang Suci adalah sesuatu yang menggelisahkan 
hati perempuan itu. Hal yang menggelisahkan hati ti-
dak lain kecuali sesuatu yang berhubungan erat den-
gan diri pribadinya. Sebenarnya Yoga bisa saja mende-
sak sampai Sendang Suci mengatakan yang sebenar-
nya menggelisahkan hatinya itu, tetapi Yoga tidak in-
gin memancing keributan dalam perjalanan itu. Den-
gan tangannya yang buntung satu, Yoga tetap melang-
kah dengan tenang, seakan tidak merasa dirinya telah 
cacat. Langkahnya pun tetap kelihatan tegap dan ga-
gah, membuat semakin iba hati Sendang Suci meman-
dang ketegaran jiwa Yoga.
Langkah mereka berdua terhenti ketika sekele-
bat sinar merah melesat dari arah kiri Yoga. Dengan 
cepat pendekar bertangan buntung sebelah itu melom-
pat ke belakang dengan bersalto satu kali setelah ia 
mendengar seruan dari Sendang Suci, "Awas...!"
Wuuut..!
Tubuh Yoga yang melesat bersalto ke belakang

itu membuat sinar merah yang terbang dengan cepat 
terhindar darinya, dan menuju ke arah Sendang Suci. 
Dengan cepat Sendang Suci yang punya kesigapan 
tinggi itu menghentakkan tangan kanannya dan mele-
paskan sinar putih menyilaukan hingga kedua sinar 
itu beradu di pertengahan jarak.
Duaaar...!
Sendang Suci limbung sedikit namun kembali 
berdiri dengan sigap dan tahu-tahu kipasnya sudah 
berada di tangan dalam keadaan terbuka lebar. 
Traab...! Ia melompat maju di depan Yoga dengan si-
kap melindungi dan memandang sekeliling dengan ta-
jam.
Tak ada sesuatu yang bergerak mencurigakan. 
Tetapi sikap Sendang Suci tetap berjaga-jaga penuh 
waspada, seakan sengaja menunggu serangan berikut-
nya.
"Topeng Merah sudah ada di dekat kita, Bi!" bi-
sik Yoga dari belakang Sendang Suci.
"Benarkah ada Topeng Merah yang lain?! Aku 
tak yakin! Sama sekali tak yakin!" kata Sendang Suci 
di dalam hatinya.
Tiba-tiba muncul kembali sinar merah berben-
tuk seperti mata tombak seperti tadi. Gerakannya ce-
pat dan datangnya dari kerimbunan pohon di seberang 
sana. Wuuut...! Sasaran utama adalah tubuh Yoga, ta-
pi dengan satu kali lompatan dan tangan yang meme-
gang kipas berkelebat, arah sinar merah itu bisa men-
tal berbelok tujuan dan menghantam sebuah pohon. 
Wuuusst...! Duaaar...! Pohon besar itu berongga bolong 
karena hantaman sinar merah tersebut.
"Mundur, merapat di pohon! Biar ku atasi ini!" 
kata Sendang Suci kepada Yoga.
"Biarkan aku yang menghadapi, Bi!"

"Lukamu belum sembuh sekali, Bodoh! Jangan 
berdebat pada saat seperti ini! Lekas ke pohon bela-
kang sana!"
Tetapi Pendekar Rajawali Merah bukan orang 
yang mudah bersembunyi dari sebuah serangan. Ia ju-
stru sentakkan kakinya dan melentingkan tubuhnya di 
udara dengan bersalto maju melewati kepala Sendang 
Suci.
Pada saat itu tepat seberkas sinar hijau pecah 
menghantam ke arahnya dengan cepat. Wuuut..!
Pendekar Rajawali Merah hanya menyentakkan 
telapak tangannya yang dalam posisi miring itu ke de-
pan. Suuut...! Lalu sinar merahnya melesat menyebar 
bagai membentuk perangkap dan yang segera menye-
rap sinar hijau itu. Zraaap...! Kini gumpalan sinar me-
rah itu terbang cepat membawa sinar hijau yang telah 
disekapnya, arah tujuannya ke tempat di mana sinar 
hijau tadi dilepaskan oleh pemiliknya. Dan sekelebat 
bayangan pun segera melompat keluar dari kerimbu-
nan ketika sinar merah itu datang ke sana. 
Braaasss...! Pecah dalam satu ledakan yang membuat 
kerimbunan itu menjadi plontos seketika.
Seseorang yang melompat keluar tadi kini terli-
hat jelas di mata Yoga dan Sendang Suci. Melihat ke-
munculan orang tersebut, Sendang Suci menggeram 
sambil menahan kecemasannya. Orang itu tak lain 
adalah Tanduk Iblis yang tadi bertemu dengannya. Apa 
yang dicemaskan kini terjadi.
"Yo, mundurlah!" seru Sendang Suci. Pada saat 
itu Yoga hanya memandang tertegun melihat perawa-
kan manusia tinggi besar dan menyerupai raksasa itu.
Wuuut...!
Sekelebat bayangan berwarna hijau melesat tu-
run dari atas pohon yang ada di belakang Tanduk Iblis.

Bayangan itu pun mendaratkan kakinya di depan Yoga 
dengan bersalto melewati kepala Tanduk Iblis. Warna 
hijau itu tak lain adalah warna pakaian dari Tamtama.
Melihat wajah Tamtama, Yoga baru bisa terse-
nyum dan melepaskan diri dari keterbengongannya ta-
di. Ia ingat tentang Tamtama yang selalu menyangka 
Yoga merebut kekasihnya, yaitu Mahligai. Sedangkan 
Sendang Suci sendiri selama ini belum pernah mence-
ritakan kepada Tamtama tentang keadaan Mahligai 
yang sekarang menjadi gila, buas, dan liar itu.
"Masih ingat tantanganku tempo hari, Ku-
nyuk?!" seru Tamtama dengan tersenyum sinis, mera-
sa besar nyalinya karena ada Tanduk Iblis di samping-
nya.
"Ya, aku ingat! Mana jagomu yang ingin kau 
adu denganku?"
"Ini...!" Tamtama menuding Tanduk Iblis, dan 
yang dituding memandang dengan menyeramkan. Se-
baris geram terdengar pada saat kedua tangan besar 
Tanduk Iblis itu menggenggam kuat-kuat. Pada waktu 
itu, Sendang Suci mendekat dan berdiri di samping 
Yoga, seakan siap bertindak sebagai wakil dari Yoga ji-
ka sewaktu-waktu datang serangan dari Tanduk Iblis 
ataupun dari Tamtama.
Yoga memandang Tanduk Iblis dengan tenang 
dan bahkan berkata,
"Hanya satu yang kau bawa kemari? Ah... tang-
gung sekali!"
Tamtama semakin panas hatinya mendengar 
sesumbar yang sengaja dilontarkan Yoga untuk me-
mancing amarah lawan. Tamtama jadi tak enak hati 
karena ada Sendang Suci di samping Yoga. Mata Tam-
tama segera berkesip ketika ia melihat ke tangan kiri 
Yoga yang buntung itu. Ia terkejut girang dan berkata,

"Hai, mana tangan kirimu? Hilang? Oh, terpo-
tong? Oho, ho, ho.,.!" Tamtama menertawakan. "Seka-
rang kau ternyata menjadi pendekar buntung, ya?! Ha, 
ha, ha, ha, ha...!"
Tamtama terbahak-bahak. Tapi tawanya itu se-
gera terhenti setelah Sendang Suci melompat maju sa-
tu tindak dan kipasnya yang terkatup itu disodokkan 
ke dada kanan Tamtama. Duuss...! Tanduk Iblis mun-
dur satu tindak, tak berani serang Sendang Suci. Se-
mentara itu, sodokan satu kali tersebut membuat Tam-
tama tersentak ke belakang dan jatuh terkapar dengan 
suara mengerang kesakitan.
"Bangkitlah kalau kau ingin mati di tanganku, 
Tamtama!" sentak Sendang Suci dengan wajah cembe-
rut marah. Tamtama tak berani bangkit. Ia hanya den-
gan duduk memegangi tangan kanannya. Ketika ia 
punya kesempatan melepaskan tangan yang meme-
gang dada kanannya, tampaklah oleh Yoga bahwa da-
da tersebut telah membiru, baju yang dipakai Tamta-
ma berlubang hangus bagai habis terbakar. Jelas so-
dokan kipas tadi mempunyai kekuatan tenaga dalam 
yang cukup tinggi.
"Bibi ada di pihak kunyuk itu, rupanya?!"
"Ya. Mau apa kau! Mau tetap menyerangnya? 
Silakan! Majulah kalian berdua melawanku dulu! Ka-
lau aku kalah melawan kalian, baru kalian boleh me-
lawan Yoga!"
Dengan masih duduk di tanah tak berani bang-
kit karena ancaman Sendang Suci tadi, Tamtama ber-
seru kembali,
"Aku hanya ingin menguji kesaktian orang yang 
berani mengaku sebagai pendekar itu, Bi! Aku hanya 
ingin bukti kekuatan dan kehebatan ilmunya dengan 
mendatangkan jago pilihan ku ini! Kalau Bibi menghalangi, berarti Bibi secara tidak langsung mengatakan 
bahwa kunyuk itu orang lemah yang pantas dilindungi 
oleh wanita seperti Bibi!"
Panas telinga Sendang Suci mendengar ucapan 
itu. Tamtama berhasil memancing tantangan yang 
membangkitkan gairah bertarung bagi Yoga. Maka 
Pendekar Rajawali Merah pun berkata kepada Sendang 
Suci,
"Bibi, mundurlah...! Kulayani dua-tiga jurus sa-
ja tantangan itu!"
Sendang Suci memang mundur, tapi segera 
berbisik kepada Yoga,
"Bagaimana dengan lukamu?"
"Percayalah, Bi! Bisa ku atasi sendiri!"
"Baiklah! Kalau perlu, bunuh dia keduanya!"
"Kalau memaksa apa boleh buat!" jawab Pende-
kar Rajawali Merah.
Sendang Suci pun akhirnya berkata, "Baiklah, 
Tamtama! Kita lihat siapa yang unggul dalam perta-
rungan nanti. Tapi jangan sekali-kali kau menyesal ji-
ka jagomu itu copot kepalanya, dan bahkan dirimu ke-
hilangan nyawa!"
Rasa sakit di dada kanan seolah-olah menjadi 
hilang. Itu akibat rasa girangnya Tamtama mendengar 
keputusan tersebut. Ia pun segera bangkit dan berkata 
kepada Tanduk Iblis,
"Tanduk iblis, bunuh dia dan jangan kasih ke-
sempatan menyentuh mu sedikit pun! Sisa uang upah
mu harus kau ambil secepatnya dengan menukar ke-
pala bangsat itu!"
"Mundurlah, Tamtama...! Jadilah penonton 
yang baik!" kata Tanduk Iblis dengan wajah berseri seri 
penuh nafsu untuk membunuh.
"Yo... hati-hati," bisik Sendang Suci sambil

mengusap-usap punggung Yoga, kemudian ia menjau-
hi tempat itu, memberi keleluasaan bergerak pada diri 
Pendekar Rajawali Merah.
Sendang Suci berdebar-debar. Matanya tetap 
memandang dengan awas, baik pada diri Tanduk Iblis 
maupun pada diri Tamtama. Sebab ia khawatir Tam-
tama melepaskan pukulan curangnya di saat Yoga si-
buk menghadapi Tanduk iblis.
Jarak antara Tanduk Iblis dengan Yoga hanya 
empat langkah. Mereka saling pandang dengan tajam. 
Mereka sama-sama bergerak melangkah membentuk 
lingkaran. Lalu tiba-tiba Tanduk Iblis berseru keras-
keras sambil melompat menyerang Yoga,
"Heaaa...!"
Wuuut...! Kaki menendang, tangan Yoga me-
nangkisnya. Plaak...! Tangan Tanduk Iblis pun meng-
hantam cepat ke arah wajah Yoga. Wuut! Tebb...! Tan-
gan itu ditangkap oleh Yoga, dan dengan cepatnya kaki 
Pendekar Rajawali Merah itu menendang beruntun ke 
arah rusuk lawannya. Des, des, des, des. des...!
Tendangan itu sangat cepat dan tak terlihat 
oleh mata telanjang. Yang mereka lihat, Yoga menen-
dang satu kali saja. Tapi yang dirasakan oleh Tanduk 
Iblis lebih dari lima kali.
Ketika tangan orang besar itu dilepaskan, tu-
buh tersebut terhuyung-huyung ke belakang dan 
hampir saja jatuh menindih tubuh Tamtama. Orang 
tinggi besar itu menyeringai kesakitan sambil meme-
gangi tulang rusuknya.
"Serang terus dia! Cabut golokmu dan hantam 
kepalanya!" kata Tamtama memberi semangat pada ja-
gonya itu.
"Tulang rusuk ku sepertinya ada yang patah sa-
tu! Tendangannya sangat cepat dan berat! Dia punya

ilmu yang tinggi, Tamtama!"
"Desak terus dia! Jangan kasih kesempatan! 
Keluarkan senjatamu! Terlalu lama kalau kau tidak 
memakai senjata, Tanduk Iblis!"
"Baik!" orang besar itu seperti kerbau yang me-
nurut dengan perintah tuannya. Semua ia lakukan 
demi upah besar yang dijanjikan oleh Tamtama. Maka, 
kini ia pun mencabut senjatanya dari pinggang. 
Slaap...! Kini di tangan Tanduk Iblis tergenggam golok 
besar dan lebar bergerigi pada sebelah sisi tajamnya.
Sendang Suci semakin cemas Senjata lawan 
cukup besar dan wajah lawan kian beringas. Satu kali 
tebasan goloknya menghadirkan bunyi gaung yang 
membuat bulu kuduk merinding. Yoga hanya berkelit 
ke samping ketika golok besar itu menebas sebelah ki-
rinya. Wuuung...! Hanya beberapa Jarak saja golok itu 
berkelebat di samping kiri Yoga, mungkin kurang dari 
setengah jengkal.
Hati Sendang Suci terharu melihatnya Sebab ia 
bayangkan kalau saja tangan kiri Yoga masih ada, su-
dah pasti Yoga dapat menangkis tangan Tanduk Iblis 
dengan tangan kirinya. Tetapi dengan hilangnya tan-
gan kiri itu, Yoga hanya bisa menghindari ke samping 
kanan dan lawan membuang tubuh sambil menendang 
cepat ke dada Yoga. Buugh...!
"Ehhg...!" Yoga terpental ke belakang dan ham-
pir saja jatuh jika tidak ditahan tubuhnya dari bela-
kang oleh Sendang Suci.
"Jangan paksakan diri kalau sekiranya berat! 
Biar aku yang maju, Yoga!" bisik Sendang Suci.
"Masih bisa ku atasi, Bi!" jawab Yoga sambil 
kemudian berkelebat maju dalam satu lompatan ber-
salto.
Kehadiran tubuh Yoga itu disambut oleh golok
lebarnya Tanduk Iblis yang di hujamkan ke depan. Te-
tapi pada saat itu, rupanya Yoga sudah memperhi-
tungkan gerakan lawan tersebut, sehingga kakinya te-
rangkat sedikit dan cepat menjejak golok besar itu se-
bagai alas kaki kirinya. sedangkan kaki kanannya me-
nendang wajah Tanduk Iblis dengan sangat kuat. 
"Haah...!"
Duugh...! Tendangan kuat itu terkena telak di 
wajah Tanduk iblis. Tubuhnya terlempar empat tindak 
ke belakang. Darah mengucur dari hidung Tanduk Ib-
lis. Tamtama terkesiap melihat orang yang di jagokan-
nya bercucuran darah.
Cucuran darah itu membuat Tanduk Iblis men-
jadi semakin ganas. Dengan menggereng ganas ia me-
nebaskan goloknya ke segala arah. Serangannya mem-
babi buta dan hampir mengenai Yoga beberapa kali. 
Tamtama kegirangan melihat Tanduk Iblis mengamuk. 
Gerakan goloknya itu sering merupakan gerakan me-
nipu lawan sehingga Pendekar Rajawali Merah terde-
sak beberapa kali, dan satu kesempatan bagus diman-
faatkan oleh Tanduk Iblis untuk menendang tubuh Yo-
ga dengan kuat. 
Buuhg...! Punggung Yoga menjadi sasaran te-
lak. Tendangan itu membuat tubuh Yoga terpental ter-
bang dan kepalanya membentur pohon. Dees...!
"Yo...!" pekik Sendang Suci dengan nada penuh 
kecemasan. Ia segera berlari menghampiri Yoga, tetapi 
Pendekar Rajawali Merah itu cepat-cepat bangkit dan 
berdiri tegak sebelum perempuan itu datang meno-
longnya. Ada darah yang keluar dari hidung Yoga. Tak 
terlalu banyak tapi amat mencemaskan Sendang Suci, 
sebab ia tahu tendangan Tanduk Iblis tadi adalah ten-
dangan bertenaga dalam cukup tinggi. Pohon pun 
akan rontok daunnya jika mendapat tendangan seperti

tadi.
"Yo, kau tak apa-apa?" Sendang Suci terhenti 
langkahnya di depan Yoga dalam jarak empat tindak.
"Menyingkirlah, Bi! Akan kuselesaikan seka-
rang juga!" kata Pendekar Rajawali Merah dengan sua-
ra datar. Ia kelihatan bersungguh-sungguh, sehingga 
Sendang Suci pun mundur kembali.
"Majulah kalau mau buntung kepalamu!" teriak 
Tanduk Iblis dengan seringai menyeramkan.
Pendekar Rajawali Merah berdiri tegar dan me-
mandang dengan dingin. Pelan-pelan tangan kanannya 
bergerak mencabut pedang di punggung. Sendang Suci 
berdebar-debar memperhatikan Pedang Lidah Geledek 
di lolos pelan-pelan dari sarungnya.
Blaaar...!
Petir menggelegar satu kali di angkasa pada 
saat pedang itu telah lepas dari sarungnya. Semua ma-
ta terpana dan tak berkedip menatap pedang berca-
haya merah membara megah itu. Tamtama sendiri 
sempat bengong memperhatikan pedang Pendekar Ra-
jawali Merah yang di ujung gagangnya terdapat kepala 
burung rajawali saling bertolak belakang.
"Tanduk Iblis...!" seru Yoga dari tempatnya. 
"Mundur kau!"
Pendekar Rajawali Merah memberi kesempatan 
kepada Tanduk Iblis untuk merubah pikirannya. Teta-
pi, Tanduk Iblis justru melompat maju bersama golok 
lebarnya.
"Heeeaaahhh...!"
Pendekar Rajawali Merah masih diam di tempat 
melihat lawannya maju menyerang. Setelah lawan be-
rada dalam jarak sekitar satu tombak, Pendekar Raja-
wali Merah mengibaskan pedangnya dari atas kanan 
ke bawah kiri. Wuuut...! Claaap...! Melesat sinar merah

panjang berkelok-kelok dari hasil kibasan pedang itu. 
Sinar tersebut merobek tubuh lawan dari atas ke ba-
wah. Craas...!
Tanduk Iblis terhenti dari langkahnya. Diam 
tak bergerak sambil masih menggenggam golok lebar-
nya. Ia berdiri dengan satu kaki maju ke depan dan 
tubuh merendah. Kedua tangan menggenggam erat ga-
gang golok itu.
Tamtama berseru, "Serang terus! Serang, Tan-
duk Iblis!"
Tetapi tiba-tiba saja Tanduk Iblis menjatuhkan 
golok lebarnya. Pluuk! Lalu perlahan-lahan tubuh be-
sar itu limbung ke belakang dan jatuh terkapar dengan 
mata mendelik dan mulut masih ternganga kecil.
Buugh..!
"Tanduk Iblis...!" teriak Tamtama kaget. Sen-
dang Suci mendekati dengan mata menyipit.
Ternyata tubuh Tanduk Iblis telah robek dari 
mata kiri turun ke bawah sampai pada bagian perut 
kanan. Darah merembes keluar dari robekan dalam 
itu. Bekas robekan tersebut berwarna hitam sampai 
pada bagian sekeliling luka tersebut. Tanduk Iblis saat 
itu sudah tak bernyawa lagi dalam keadaan wajah se-
perti orang kaget.
"Mengerikan sekali!" pikir Sendang Suci. "Pa-
dahal pedang itu belum sampai menyentuh kulit tu-
buhnya sudah menjadi seperti ini, bagaimana kalau 
sampai pedang itu membelah kepala secara jelas-
jelas?! Bisa seperti pohon yang terbelah kapak tajam 
jadinya!"
Tamtama memandang tak berkedip, lalu mena-
tap Pendekar Rajawali Merah yang masih menggeng-
gam pedangnya. Pendekar Rajawali Merah berkata 
dengan nada dingin kepada Tamtama,

"Majulah kau sekalian, Tamtama!"
Blaas...! Tamtama pergi begitu saja tanpa pamit 
lagi. Ia lari terbirit-birit ketakutan. Menoleh ke bela-
kang pun tak berani. Sementara itu, Sendang Suci 
hanya berkata dalam hati,
"Dahsyat sekali ilmu pedangnya! Siapa yang 
mampu menandinginya?!"
*
* *
3


MELIHAT kedahsyatan pusaka Pedang Lidah 
Geledek, hati Sendang Suci merasa kecil sekali. Bah-
kan dalam perjalanan ke bukit, tempat si Topeng Me-
rah menunggu, Sendang Suci sempat berkata pelan 
kepada Pendekar Rajawali Merah,
"Kurasa kau mampu memotong tangan Topeng 
Merah dengan pedang pusaka itu, Yo! Mengapa tidak 
kau lakukan saja pada saat itu?"
"Pedang ini tidak untuk bertindak semena-
mena. Kalau tidak sangat terpaksa dan mengancam 
nyawa, aku tak mau mencabut pedang ini. Pedang ini 
pun bukan sarana untuk balas dendam! Masih banyak 
kekuatan lain yang bisa digunakan untuk menyadar-
kan seseorang dari jalannya yang sesat! Kalau orang 
itu sudah berulang kali ku sadarkan memakai jurus-
jurus maut ku, tapi ia justru melawannya semakin be-
ringas, barulah kugunakan pedang ini!"
"Apakah nanti jika memang benar kau berha-
dapan dengan si Topeng Merah, kau akan gunakan 
pedangmu itu. Yo?!"

"Tergantung bagaimana keadaannya nanti! ja-
wab Pendekar Rajawali Merah dengan suara kalem.
"Kalau begitu, biarlah aku yang menghadapi 
Topeng Merah nanti!"
"Sekarang kulihat Bibi sudah yakin betul bah-
wa kita akan berjumpa dengan Topeng Merah! Menga-
pa tadi dari rumah Bibi ngotot bahwa kita tidak akan 
jumpa dengan Topeng Merah?"
"Hmmm... ehh... aku takut bertemu dengan To-
peng Merah," jawab Sendang Suci dengan kikuk dan 
pelan.
"Apakah sekarang merasa tidak takut lagi?"
"Entahlah!"
Bukit itu tidak terlalu tinggi, juga tidak mele-
lahkan sekali jika didaki. Ketika Sendang Suci dari 
Pendekar Rajawali Merah tiba di kaki bukit, langkah 
mereka terhenti sejenak karena tangan Sendang Suci 
menahan lengan Yoga. Hal itu membuat pendekar 
tampan yang buntung tangannya memandang heran 
ke arah Sendang Suci, dan mata mereka saling berta-
tapan beberapa saat. Lalu, terdengar Yoga bersuara,
"Ada apa, Bi?"
"Apakah benar di atas sana kita sudah ditung-
gu Topeng Merah?"
"Benar! Apakah sekarang Bibi sangsi kembali?" 
"Hmmm... ehh... iya! Aku... aku sangsi kembali!" "Apa 
alasannya?"
"Karena... karena... karena aku berharap jan-
gan bertemu dengan Topeng Merah itu!" "Kenapa?" de-
sak Yoga.
"Hmmm...!" Sendang Suci menundukkan wa-
jahnya. Kejap berikut ia kembali tegakkan wajah dan 
berkata,
"Baiklah! Aku tidak sangsi! Kita naik ke atas

bukit ini sekarang juga! Jangan pikirkan keraguan ku 
lagi, Yo!"
"Tapi wajah Bibi masih pucat begitu?"
"Hmmm... mungkin hanya merasa lelah saja! 
Kita buktikan saja, apakah benar Topeng Merah me-
nunggu kita, atau kau membohongi aku!"
Langkah mereka pun dilanjutkan. Sendang Su-
ci lebih banyak diam sepanjang pendakian tersebut. 
Jika Yoga menanyakan sesuatu, ia hanya menjawab 
sepatah-dua patah kata saja.
Ketika mereka sampai di atas bukit, suara-
suara mereka hilang sama sekali. Dari bongkahan batu 
tinggi melebihi tubuh manusia dewasa itu muncul se-
sosok tubuh berpakaian serba merah dari kepala sam-
pai kaki. Orang tersebut mengenakan topeng wajah ib-
lis berwarna merah. Kemunculan itulah yang membuat 
mulut Sendang Suci semakin terbungkam dan mata 
terbelalak lebar tak berkedip. Pendekar Rajawali Merah 
juga diam, menatap Topeng Merah di seberang sana 
dengan sikap tenang dan kalem.
Topeng Merah sendiri juga diam di tempatnya, 
berdiri tegak dengan pedang hitam di punggung, ka-
kinya sedikit direntangkan. Kedua tangannya mengep-
al di kanan kiri. Sikap itu menunjukkan bahwa ia siap 
melayani serangan siapa saja yang datang kepadanya, 
sekarang ataupun nanti.
Setelah terbengong beberapa saat, Sendang Su-
ci terdengar berkata kepada Yoga dengan suara mem-
bisik,
"Benarkah yang kulihat itu adalah Topeng Me-
rah?"
Senyum Yoga berkembang mekar. "Menurut Bi-
bi apakah warna topengnya itu hitam?"
Sendang Suci masih menatap Topeng Merah
tapi kepalanya menggeleng-geleng pelan, mulutnya 
mengucap kata lirih juga,
"Tidak mungkin! Dia bukan Topeng Merah! 
Dia...!"
"Hei, kenapa kau bilang begitu, Bi? Apakah kau 
buta warna?"
"Tidak!" Sendang Suci menggeleng tegas. "Dia 
bukan Topeng Merah!"
"Aneh. Mengapa Bibi ngotot menyangkal dia 
bukan Topeng Merah?"
Wuuut...!
Tiba-tiba sekelebat bayangan melintas dengan 
cepat. Benda pipih berkeriap sinar matahari itu pun 
melesat ke arah kepala Sendang Suci. Kalau tidak tan-
gan kanan Yoga segera menyembunyikan kepala Sen-
dang Suci dalam rangkulannya, maka kepala itu akan 
terpenggal oleh senjata tajam mengkilap itu.
Jleeg...! Bayangan yang berkelebat itu tahu-
tahu sudah ada di depan Yoga dan Sendang Suci. Ma-
kin terbelalak mata Sendang Suci melihat bayangan 
yang sekarang sudah berwujud nyata menjadi sesosok 
tubuh wanita cantik berpakaian biru muda, rambut lu-
rus berponi rapi, matanya bundar bening, hidungnya 
mancung, dan bibirnya mungil menggemaskan.
"Lembayung Senja...?!" gumam Yoga yang san-
gat mengenali wanita berbibir mungil itu. Sementara 
itu, Sendang Suci pun segera menyipitkan matanya 
karena ia juga mengenali Lembayung Senja sebagai 
orang Perguruan Belalang Liar. Sendang Suci cepat 
membentak,
"Apa maksudmu menyerangku dari belakang, 
hah?!"
"Tugas untuk membunuhmu!"
Yoga menyahut, "Siapa yang memberimu tu

gas?!"
"Gurumu!" jawab Lembayung Senja.
Zlaaap...! Sekelebat bayangan melesat dari balik 
pohon. Bayangan itu menyambar tubuh Topeng Merah 
dan dibawanya lari turun ke kaki bukit. Hal itu mem-
buat Yoga terperanjat kaget dan bergegas untuk men-
gejar orang yang menyambar Topeng Merah. Tetapi pa-
da waktu itu kecepatan bergerak kaki Lembayung Sen-
ja mendahului langkah Yoga, sehingga Yoga terpaksa 
tersentak jatuh ke belakang karena pinggangnya ter-
kena tendangan Lembayung Senja. Sementara itu, 
Sendang Suci terperanjat melihat Yoga dijatuhkan oleh 
tendangan Lembayung Senja, maka cepat-cepat Sen-
dang Suci mencabut kipasnya dan mengibaskan ke 
lengan Lembayung Senja dalam keadaan kipas terse-
but tertutup. Wuuusst...! Craas...!
"Aahg...!" Lembayung Senja tersentak mundur 
beberapa tindak.
Serangan Sendang Suci kembali datang dengan 
sebuah lompatan yang membuat Lembayung Senja 
terpaksa melompat mundur lagi, sebab luka di lengan-
nya akibat kibasan kipas tadi terasa sakit di sekujur 
tubuhnya. Serangan Sendang Suci itu mengenai sasa-
ran kosong.
Namun tiba-tiba tanpa disangka muncul kem-
bali Topeng Merah dan segera melepaskan pukulan ja-
rak jauhnya ke arah Sendang Suci. Wuuut...! Sendang 
Suci tak tahu datangnya pukulan jarak jauh tanpa si-
nar itu. Akibatnya ia terhempas dan jatuh terguling-
guling.
Sendang Suci jatuh terkulai. Tubuhnya menjadi 
memar sampai di bagian dada serta leher. Melihat kea-
daan Sendang Suci, Yoga semakin menggeragap. Ia in-
gin menolong Sendang Suci namun tahu-tahu datang

lagi serangan bercahaya perak menghantam dada Sen-
dang Suci. Cahaya perak itu memang sudah ditangkis 
dengan bentangan kipas oleh Sendang Suci, tetapi tu-
buh Sendang Suci tetap terpental dan jatuh kembali 
dengan terguling-guling. Sedangkan Topeng Merah 
yang baru saja melepaskan sinar perak itu, kini mele-
paskan kembali pukulan mautnya.
"Hiaaat...!" Yoga memekik dan menyentakkan 
tangan kanannya. Sinar merah terlepas bagai selarik 
besi keras menghantam sinar putih perak tersebut 
Blaaar.! Akhirnya kedua sinar itu berbenturan dan pe-
cah di pertengahan jarak antara Topeng Merah dengan 
Sendang Suci.
"Edan! Ternyata dia punya pukulan dahsyat ju-
ga?!" pikir Yoga sambil menatap Topeng Merah yang 
hendak kembali menyerang Sendang Suci. Untung Yo-
ga segera berdiri dan menghadang di depan Topeng 
Merah.
Pendekar Rajawali Merah dan Topeng Merah 
saling beradu pandang. Jarak mereka sekitar tiga tom-
bak. Pada waktu itu, ekor mata Yoga melihat Sendang 
Suci memuntahkan darah di tempat ia terjatuh itu.
"Hentikan semua serangan!" seru Pendekar Ra-
jawali Merah. Ia tampak gusar melihat Sendang Suci 
jatuh dalam keadaan berbahaya.
Hal ini membuat Yoga benar-benar panik men-
gatasinya, karena semuanya berlangsung di luar du-
gaan. Munculnya Lembayung Senja juga di luar du-
gaan. Serangan bertenaga dalam tinggi dari Topeng 
Merah juga di luar dugaan. Yoga merasa keadaan di 
atas bukit menjadi lebih kacau lagi dari perhitungan 
semula.
Sendang Suci bangkit dengan napas terengah-
engah. Ia berpegangan pada sebatang pohon yang ada

di dekatnya. Matanya memandang tajam kepada To-
peng Merah, lalu terdengar suaranya berseru,
"Yo...! Minggirlah, biar kuhadapi orang itu!"
"Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku hanya Ingin 
membuktikan pada Bibi, bahwa Topeng Merah ada. 
Karenanya aku membawa Bibi kemari supaya Bibi me-
lihatnya, bukan bertarung melawannya!"
"Yo... tolong aku...!" Lembayung Senja merintih. 
Mata Yoga memandang ke arah Lembayung Senja, de-
mikian pula mata Sendang Suci dan Topeng Merah. 
Lembayung Senja dalam keadaan menderita termakan 
racun yang ada di ujung kipas Sendang Suci itu. Kini 
separo lengannya telah menjadi biru dan mulai mem-
bengkak.
Topeng Merah mendekati Lembayung Senja dan 
ingin menolongnya. Tetapi perempuan itu masih punya 
sisa tenaga yang bisa dipakai untuk menendang. Maka 
berkelebatlah kakinya menghantam perut Topeng Me-
rah dengan telaknya. Buuhg...!
"Uhg...!" Topeng Merah tersentak mundur dan 
hampir jatuh. Tapi tubuhnya segera disambar oleh 
Pendekar Rajawali Merah dan jatuh ke dalam pelukan 
pendekar buntung itu. Taab...!
"Ternyata kau mempunyai ilmu tinggi juga!" ka-
ta Yoga kepada Topeng Merah. Tetapi tubuh Topeng 
Merah segera menyentak dan lepas dari pelukan Yoga. 
Pada saat itu, tangan kanan Yoga dengan gerakan ce-
pat menyahut topeng di wajah orang misterius itu. 
Sreet...! Terbukalah topeng tersebut, tampaklah wajah 
di balik topeng itu.
Bukan hanya Yoga yang terbelalak memandang 
kaget kepada seraut wajah Topeng Merah, tetapi Lem-
bayung Senja sempat pula terpekik kaget, dan Sen-
dang Suci membuka mata lebar-lebar dengan mulut

ternganga. Wajah itu sangat dikenali oleh mereka. Tapi 
hampir-hampir mereka tidak mempercayai wajah itu 
adalah wajah yang ada di balik topeng selama ini. Yoga 
sendiri menjadi gusar dan kebingungan.
"Guru...?!" sebut si Pendekar Rajawali Merah 
kepada orang yang tadi memakai topeng. Sedangkan 
Lembayung Senja menyebutnya,
"Lili...!"
Sendang Suci mengucap kata, "Kau...?! Kau 
yang menjadi Topeng Merah selama ini? Benarkah itu?! 
Tidak!"
"Memang bukan aku!" jawab Lili dengan pa-
kaian serba merahnya. Ia segera melepaskan pakaian 
serba merah itu dan ternyata di dalamnya ia mengena-
kan pakaiannya sehari-hari.
"Bagaimana mungkin kau bisa memakai pa-
kaian Topeng Merah, sedangkan aku tahu persis orang 
yang memakai Topeng Merah adalah si Tua Usil!" kata 
Yoga terheran-heran.
"Tua Usil...?! Maksudmu si Pancasona itu? Oh, 
tidak! Aku tidak percaya!" kata Sendang Suci me-
nyanggah mati-matian.
Dengan nada dingin dan ketus, Lili pun berka-
ta, "Aku sendiri tidak menyangka kalau si pemakai to-
peng merah ini adalah Tua Usil, si Pancasona!"
"Si Tua Usil...?! Bbeb... benarkah dia yang 
mengenakan topeng merah itu? Oh, aku tak percaya, 
Lili!"
"Tak perlu dipercaya! Karena Tua Usil pun To-
peng Merah yang palsu!" kata Lili. "Dia mengenakan 
pakaian dan Topeng Merah karena menuruti bujukan 
Yoga!"
Mata Pendekar Rajawali Putih menatap Yoga. 
Yang ditatap salah tingkah karena merasa bersalah.

Akhirnya, Yoga sendiri yang mendahului bicara untuk 
menjelaskan perkara tersebut.
"Memang aku yang menyuruh si Tua Usil men-
genakan pakaian Topeng Merah. Aku menyuruhnya 
berdandan seperti itu, untuk membuktikan kepada 
Tabib Perawan bahwa Topeng Merah memang ada...."
"Dan yang memenggal tanganmu, bukan?"
"Ya. Benar! Memang Topeng Merah yang me-
menggal tanganku ini!" jawab Yoga.
"Lalu siapa yang menjadi Topeng Merah itu?!" 
desak Lili.
Yoga diam beberapa saat, menundukkan kepa-
la. Pada waktu itu, semua mata memandang ke arah-
nya. Bahkan Sendang Suci mencoba untuk mendeka-
tinya dengan langkah gontai. Yoga pun segera menja-
wab,
"Orang itu adalah Sulasmi!"
"Siapa Sulasmi itu?"
"Dulu dia teman dekat ku. Dia dari seberang 
lautan. Dia punya dendam dengan Kembang Mayat! 
Dia ingin melindungiku, karena merasa tak rela meli-
hat aku diserang orang lain. Tapi pada waktu ia berta-
rung dengan Kembang Mayat, ia salah arah dalam me-
nyerang. Tanganku menjadi sasarannya dan putus! 
Kembang Mayat mengamuk, akhirnya kedua orang 
sama-sama jatuh ke jurang yang amat dalam. Jurang 
itu tak seberapa jauh dari makam kakeknya Malaikat 
Gelang Emas! Jadi, kalau kau mau menuntut balas 
atas terpenggalnya tangan ku ini, tuntutlah dia di ne-
raka sana! Sulasmi sudah mati bersama Kembang 
Mayat."
"Tapi bagaimana kau bisa mendapatkan pa-
kaian dan topengnya ini? Bahkan bersama pedangnya 
juga?"

"Sebelum ia melakukan pertarungan terakhir 
dengan Kembang Mayat, ia melepaskan semua pa-
kaiannya, topengnya, dan pedangnya. Ia mengenakan 
pakaian biasa. Pakaian ini disembunyikan di suatu 
tempat dekat dengan tempat pertarungannya itu. Mak-
sudnya supaya Kembang Mayat tahu, siapa dirinya se-
benarnya. Pakaian itu sempat ku sembunyikan juga di 
tempat lain sebelum aku muncul di pertarungan akhir. 
Dan kemarin, aku sengaja bangun dari tidurku tanpa 
setahu Tabib Perawan, lalu mengambil pakaian terse-
but. Pada waktu Tabib Perawan pergi, Tua Usil datang. 
Kusuruh dia menjadi Topeng Merah dengan jaminan 
akan kuajarkan satu ilmu yang belum pernah ia lihat, 
yaitu ilmu berdiri di atas air. Ia sangat gembira dan 
bersedia menjadi Topeng Merah. Padahal aku hanya 
ingin meyakinkan kepada Tabib Perawan, bahwa To-
peng Merah itu memang ada dan dialah yang memeng-
gal tanganku ini! Karena Tabib Perawan agaknya curi-
ga, bahwa bukan Topeng Merah yang memenggal tan-
ganku!"
Lili menghempaskan napas, lalu berkata, 
"Hampir saja aku membunuh si Tua Usil tadi. Untung 
ia segera menyebut namaku. Lalu kurampas pakaian 
merah dan topengnya itu, dan ku kenakan sendiri!"
"Sekarang di mana dia?"
"Ku ikat di bawah pohon sana!"
"Kasihan!"
Lili memandang Tabib Perawan dan berkata, 
"Bagaimana keadaan lukamu, Tabib Perawan?"
"Sudah membaik. Tapi butuh istirahat agak la-
ma supaya benar-benar membaik!"
Kemudian gadis cantik jelita itu menatap Yoga. 
"Kapan kau akan pulang ke rumah si Tua Usil?"
"Mungkin besok pagi, jika menurut hasil pemeriksaan Tabib Perawan, lukaku benar-benar sembuh! 
Aku masih harus menjalani perawatan beberapa saat 
untuk menyempurnakan kesembuhan ku!"
"Terserah kamu saja, Yo! Aku akan membawa 
pulang Lembayung Senja untuk menyembuhkan luka-
lukanya itu! Kurasa, aku tak perlu lagi mencari-cari 
Topeng Merah! Buang-buang waktu saja!"
Dengan sangat ringannya Lili mengangkat tu-
buh Lembayung Senja, seperti mengangkat pelepah 
daun pisang, kemudian ia segera pergi berkelebat tan-
pa memandangi Yoga lagi. Wajahnya tetap cemberut 
kaku, namun semakin cantik bagi hati Yoga.
Setelah Lili dan Lembayung Senja menghilang, 
barulah Sendang Suci, si Tabib Perawan itu meman-
dangi Yoga dengan sorot pandangan mata yang dingin. 
Yoga sempat salah tingkah sebentar ditatap demikian. 
Kejap berikutnya terdengar Tabib Perawan bersuara 
tegas,
"Mengapa kau mengarang cerita seperti itu di 
depan Lili dan Lembayung Senja?!"
"Apakah itu salah, Bibi?"
"Salah besar! Seharusnya kau katakan yang 
sebenarnya, bahwa kau telah menemukan pakaian dan 
topeng merah itu di rumahku!"
Yoga sedikit salah tingkah, tapi ia masih keliha-
tan tenang. Yoga tidak terkejut mendengar kata-kata 
Sendang Suci, sebab ia telah terkejut lebih dulu, yaitu 
ketika ia menemukan pakaian dan topeng warna-
merah di rumah Sendang Suci. Di saat itulah ia terke-
jut karena tak menyangka bahwa Topeng Merah ada-
lah Sendang Suci sendiri.
Sendang Suci berkata lagi, "Seharusnya kau 
katakan saja, bahwa Topeng Merah itu adalah aku! 
Kau telah menjebakku hadir di sini dengan memaksa

Pancasona untuk menjadi Topeng Merah. Kau mene-
mukan pakaianku itu di kamar rempah-rempah, bu-
kan?!"
"Ya. Benar, Bi!" jawab Yoga pelan, seperti mera-
sa bersalah. "Tapi aku tidak pernah bilang kepada 
Pancasona, bahwa Topeng Merah itu adalah kau, Bi! 
Sampai sekarang Topeng Merah masih tersembunyi ja-
ti dirinya!"
"Mengapa tidak kau beberkan saja di depan 
mereka tadi!" sentak Tabib Perawan dengan menahan 
segumpal rasa yang bercampur aduk, antara marah, 
malu, dan
haru.
"Kalau kukatakan kepada mereka, terutama 
kepada Lili, pasti Lili akan membalas membuntungi
tanganmu, Bi!"
"Akan kuserahkan tanganku! Sekarang pun ka-
lau kau mau buntungi aku, aku tak akan melawan! 
Karena aku sangat menyesal, mengapa pedangku 
mengenai tanganmu! Penyesalan ini rasa-rasanya tidak 
akan ada habisnya, sebelum kau membalas membun-
tungi tangan ku!"
"Bi... sudahlah! Lupakan semua itu! Aku tahu 
saat itu kau tidak sengaja! Sudah kubilang dalam per-
cakapan kita kemarin, tak ada orang yang bisa meno-
lak takdir. Cacat di tubuhku ini adalah takdir, Bi!"
Air mata Sendang Suci meleleh basah di pi-
pinya yang masih halus dan berkulit kencang. Dengan 
memandang ke arah jauh dan berburai air mata, Sen-
dang Suci berkata,
"Rasa sesal ku tak akan terobati seumur hidup! 
Aku tak rela jika kau diserang atau dilukai oleh orang 
lain, karenanya aku selalu tampi! dengan topeng me-
rah ku dan membelamu jika kau bertarung dengan

siapa pun. Sementara aku tak rela kau dilukai orang 
lain, aku sendiri justru membuntungi tanganmu! Apa-
kah itu bukan penjelasan yang luar biasa besarnya ba-
gi diriku, Yo?!" Tabib Perawan mengisak pelan. 
Yoga sengaja diam saja, lalu ia mendengar Sen-
dang Suci melanjutkan kata, 
"Kalau saja kau tahu isi hatiku yang sebenar-
nya, kau akan memahami mengapa aku membelamu 
dalam tiap pertarungan mu! Aku merasa sudah cukup 
tua dalam usia, aku malu jika tampak terang-terangan 
terpikat pada seorang pemuda seusia mu. Aku berusa-
ha untuk menjaga hatiku agar jangan menyatakan cin-
ta kepada mu, dan aku bertekad hanya akan hadir da-
lam keadaan kau dalam bahaya. Tetapi, aku sendiri 
bertarung dengan kecemburuan dalam hatiku! Ketika 
kulihat kau bersama Kembang Mayat, hatiku luka. 
Aku mencoba mengobatinya sendiri. Tapi tak berhasil. 
Kebetulan Kembang Mayat punya hutang padaku, yai-
tu anak buahnya yang bernama Merak Betina telah 
membuat keponakanku gila. Maka kuhabisi pergu-
ruannya sebagai pelepas dendam dan kecemburuan ku 
itu. Sengaja ku pancing Kembang Mayat untuk berta-
rung denganku di tempat lain, karena kulihat waktu 
itu kau datang bersama Lili! Pernah aku ingin membu-
nuh Lili tapi kau membelanya dan aku tak sanggup 
melawanmu!"
Samar-samar isak yang lembut itu masih ter-
dengar di telinga Yoga. Dalam keadaan seperti itu, 
Pendekar Rajawali Merah bagai tersekat kerongkon-
gannya, tak dapat berkata apa pun kepada perempuan 
yang mengutarakan cintanya secara terang-terangan 
itu.
"Itulah sebabnya saat kau datang minta obat 
atas luka di tanganmu, hatiku seperti disayat-sayat!

Orang yang ku sayangi datang dalam keadaan bun-
tung tangannya, dan itu karena ulah ku, oh... perih 
sekali hatiku kala itu, Yo! Hampir-hampir aku ingin 
memelukmu dan menangis dalam pelukan mu. Tapi... 
aku malu! Sejak dulu aku tak pernah punya perasaan 
seperti ini, mengapa sekarang menjelang usiaku me-
nua, perasaan cinta dan ingin dicintai itu datang? Aku 
malu, Yo! Aku sadar, kau berhak menolak ku. dan aku 
tidak berhak memaksa mu! Tapi izinkan aku tetap de-
kat denganmu, supaya aku bisa selalu memandangi 
kekasih hatiku jika aku sedang rindu padanya..."
Pendekar Rajawali Merah masih tidak bisa ka-
takan apa-apa selain hanya tundukkan kepala dan 
bungkam seribu bahasa.
*
* *
4


BENARKAH persoalan telah selesai? Benarkah 
Lili, si Pendekar Rajawali Putih itu, mempercayai sepe-
nuhnya cerita tentang Sulasmi itu? Ternyata gadis 
yang cantiknya melebihi bidadari itu tidak mudah per-
caya begitu saja. Beberapa hal ia pikirkan yang mem-
buat cerita Yoga tentang Sulasmi si Topeng Merah, ter-
nyata mempunyai kejanggalan di dalamnya.
"Jika benar Sulasmi adalah si Topeng Merah, 
mengapa ia membumihanguskan pesanggrahan mu, 
Lembayung Senja?!"
"Itu yang tidak ku mengerti, Lili!" "Apakah per-
guruanmu punya persoalan dengan tokoh bernama 
Sulasmi?" tanya Lili kepada Lembayung Senja yang

habis diobati itu.
Lembayung Senja yang bersuara lemah menja-
wab, "Tidak. Kami tidak punya masalah dengan orang 
yang bernama Sulasmi!"
"Apakah Kembang Mayat punya musuh berna-
ma Sulasmi!"
"Setahuku tidak! Semua musuh Kembang 
Mayat kami kenal! Karena setiap orang yang ingin me-
nyerang Kembang Mayat, selalu harus melewati kami 
dulu, sehingga kami kenal siapa-siapa mereka!"
Pendekar Rajawali Putih diam merenung bebe-
rapa saat lamanya. Setelah puas merenung, ia kembali 
berkata kepada Lembayung Senja,
"Aku sangsi dengan pengakuan Yoga!"
"Hati kecilku pun mengatakan demikian."
"Jika benar Sulasmi sudah mati bersama Kem-
bang Mayat, mengapa Yoga tidak memberitahukan ke-
pada kita sejak awalnya? Mengapa baru sekarang ia 
ceritakan tentang siapa Topeng Merah sebenarnya?"
"Ya," hanya itu jawaban Lembayung Senja. Ia 
menyeringai sebentar, menahan rasa sakit pada bagian 
luka di lengan kiri. Luka itu sebenarnya tak terlalu le-
bar. Tetapi menghitam dan tepiannya masih membiru. 
Bagian lain yang memar dan bengkak sudah bisa di-
atasi oleh hawa murni Lili, tapi bagian sekitar luka 
masih belum bisa hilang dari warna birunya.
Mata Lili memandangi luka itu sambil terme-
nung memikirkan kata-kata Pendekar Rajawali Merah. 
Tiba-tiba Lili menemukan sesuatu yang membuatnya 
tegak dan bersemangat,
"Lukamu ini aneh!" katanya.
"Aneh bagaimana maksudmu?" "Lukamu ini 
seperti luka potong yang dialami Yoga. Masih ada ra-
cunnya yang belum bisa hilang dari sekeliling luka. Biasanya, luka yang biasa-biasa saja jika mendapat ha-
wa murni dariku, bisa lekas sembuh. Mengapa luka ini 
tidak? Dari... agaknya racun yang ada di lukamu ini, 
sama dengan racun yang ada di luka Yoga!"
"Ya, benar pendapatmu itu! Tapi, luka ini aki-
bat kipasnya Tabib Perawan itu, sedangkan lukanya 
Yoga akibat pedang si Topeng Merah! Mungkinkah ra-
cun mereka sama?"
"Bisa saja terjadi, jika mereka adalah satu 
orang!" "Maksudmu, Tabib Perawan itulah si Topeng 
Merah?"
Lili diam, memandangi Lembayung Senja. 
Agaknya Ia hati-hati sekali untuk menjawab ya atau 
tidak. Ia pikirkan beberapa saat, setelah itu ia berkata,
"Kulihat tadi luka di tangan Yoga sudah men-
gering! Ampuh sekali obat dari Tabib Perawan itu! Aku
saja tak bisa menangkal racun tersebut dari lukanya 
Yoga!"
"Jika dia si pembuat racun, maka dia tahu per-
sis penangkalnya!" timpal Lembayung Senja.
"Kurasa, memang dialah si Topeng Merah!" sua-
ra Lili agak menyentak.
Kemudian ia berseru memanggil Pancasona 
yang ada di dapur rumah pondoknya itu,
"Tua Usil...! Tua Usil, kemari sebentar!"
Manusia Kabut itu datang dengan tergesa-gesa, 
lalu berkata,
"Apakah malam ini juga Nona Li mau ajarkan 
saya berdiri di atas ilalang?"
"Malam ini ilalang tidur, tahu?!" sentak Lili.
"O, ya! Memang tidur. Lantas mengapa saya di 
panggil, Nona Li?"
"Coba ceritakan kembali apa yang dikatakan 
Yoga pada saat dia menyuruhmu menyamar sebagai

Topeng Merah?"
"Saya sudah lupa, Nona Li!"
"Kalau begitu aku juga lupa caranya berdiri di 
atas ilalang!"
"Ah, jangan begitulah, Nona Li! Hmmm...! Baik-
lah akan saya ceritakan kembali! Tuan Yo waktu itu bi-
lang, saya harus jadi Topeng Merah. Saya bertanya, 
bagaimana bisa sedangkan saya tidak punya topeng 
merah! Lalu, Tuan Yo bilang, bahwa ia menemukan 
pakaian Topeng Merah di semak-semak pada saat ia 
jalan-jalan di pagi hari!"
"Tunggu...!" potong Lili. "Dia bilang, menemu-
kan?"
"Ya. Dia bilang begitu, Nona Li!"
"Padahal menurut pengakuannya di depan kita, 
dia yang sembunyikan pakaian dan topeng merah itu!"
katanya kepada Lembayung Senja.
"Barangkali dia tidak perlu jelaskan masalah 
sebenarnya kepada Tua Usil. Ia ambil singkatnya cerita 
saja. Itu bisa saja terjadi!"
Lili mengangguk-angguk, kemudian menyuruh 
Tua Usil melanjutkan ceritanya, dan orang berambut 
putih rata itu melanjutkan kata-katanya,
"Saya bilang pada Tuan Yo, bahwa saya tidak 
mau disuruh-suruh tanpa mendapat upah. Lalu Tuan 
Yo bilang, Nona Lili mau ajarkan saya berdiri di atas 
ilalang jika mau menyamar menjadi Topeng Merah. 
Saya tanya, siapa pemilik Topeng merah itu? Tuan Yo 
menjawab, bahwa Topeng Merah itu milik seseorang 
yang tak perlu saya tahu namanya! Setelah itu saya 
didandani Tuan Yo, tampaknya tergesa-gesa sekali se-
hingga saya mengenakan topengnya sambil berlari me-
ninggalkan tempat itu...."
"Maksudmu, rumah si Tabib Perawan itu?" "Ya.

Benar!"
"Padahal menurut keterangannya, waktu itu 
Tabib Perawan sedang pergi. Mengapa harus terburu-
buru?"
Lembayung Senja menjawab, "Karena Yo takut 
kalau Tabib Perawan keburu datang dan memergoki 
dia sedang mendandani Tua Usil sebagai Topeng Me-
rah palsu!"
"Tepat sekali!" kata Lili dengan tegas.
"Apakah kau tahu dari mana Tuan Yo men-
gambil pakaian merah dan topengnya?"
"Dari belakang rumah itu, Lembayung Senja," 
jawab Tua Usil.
"Bukan dari suatu tempat yang jauh?" "Bukan!"
Tiba-tiba Lili berkata setelah suasana menjadi 
hening sesaat, "Aku ingin satu bukti lagi!" "Bagaimana 
caranya?"
"Besok kau ikut aku ke rumah Tabib Perawan 
itu. Kita pura-pura tidak tahu soal Topeng Merah. Ke-
datangan kita untuk minta obat padanya, supaya lu-
kamu itu sembuh dan racunnya hilang. Jika ia bisa 
obati lukamu itu, berarti memang dialah pemilik racun 
di pedang yang memotong tangan Yoga!"
"Baik. Aku setuju! Berarti dialah yang membu-
mihanguskan perguruanku, dan aku berhak menuntut 
pembalasan padanya!" kata Lembayung Senja, yang 
secara diam-diam masih mengincar Topeng Merah ju-
ga.
Tua Usil bertanya, "Lalu, kapan saya akan di-
ajari berdiri di atas ilalang, Nona Li?!"
"Tunggu kalau masalah ku ini sudah selesai!
"Yaaaah... tertunda lagi...!" Tua Usil bersungut-
sungut. "Nanti keburu saya mati, Nona Li!"
"Arwahmu yang akan ku ajari bagaimana berdiri di atas ilalang!"
Di ujung pagi, Lili dan Lembayung Senja be-
rangkat menuju Lembah Bukit Berhala, tempat kedia-
man Tabib Perawan. Sebenarnya mereka mau ajak Tua 
Usil. tapi Manusia Kabut itu tidak mau.
Lembayung Senja bisa berjalan sendiri. Rasa 
sakit, tinggal sedikit, tapi lukanya masih berdenyut-
denyut dan memar membiru di sekelilingnya. Pada 
saat mereka sedang menyeberangi sebuah sungai 
dangkal itulah, mereka berpapasan dengan enam 
orang bertubuh tinggi dan besar. Lembayung Senja 
sempat terpekik tertahan ketika enam orang itu mun-
cul dari tanggul sungai dan mendekati mereka bersa-
ma-sama.
"Lili, siapa mereka itu?" bisik Lembayung Senja.
"Entahlah! Mungkin keturunan raksasa zaman 
purba!" balas Lili berbisik, tapi matanya masih tetap 
memandang ke arah orang-orang bertubuh tinggi besar 
itu.
Lima dari mereka berhenti, bagai berbaris 
membuat hambatan dl depan Lili dan Lembayung Sen-
ja. Satunya lagi mendekati Lili. Orang yang mendekati
Lili itu adalah orang muda yang ganteng dan berkumis 
tipis, namun tingginya hampir dua kali tinggi tubuh Li-
li, sehingga waktu bicara dengannya Lili harus men-
dongak.
"Jangan takut, Nona!" kata orang muda yang 
tampan itu. "Kami tidak bermaksud jahat kepada No-
na, dan tidak bermaksud menyantap kalian. Kami ma-
nusia biasa, bukan raksasa!"
"Lantas apa mau kalian menghadang di depan 
kami?"
"Kami hanya ingin bertanya tentang seseorang, 
Nona!"

"Siapa kalian sebenarnya?" tanya Lembayung 
Senja memaksakan diri untuk bersikap berani.
"Namaku sendiri Gandaloka," jawab pemuda 
raksasa yang ganteng itu. "Mereka berlima adalah te-
manku, Gadranaya, Rogami, Lombo, Sarpa, dan satu 
lagi Yodana. Kami utusan dari Pulau Kana!"
"Pulau Keramat?!" sela Lembayung Senja den-
gan dahi berkerut.
"Ya. Orang-orang sini banyak yang menyebut-
nya Pulau Keramat! Tapi nama pulau itu sendiri ada-
lah Pulau Kana!"
"Nenek guruku pernah berpesan agar jangan 
sekali-sekali mendekati Pulau Keramat!" kata Lem-
bayung Senja kepada Lili dengan suara didengar oleh 
Gandaloka. "Konon, Pulau Keramat itu penduduknya 
pemakan daging manusia semua!"
"Itu tidak benar, Nona! Barangkali karena ketu-
runan kami adalah orang-orang bertubuh besar, se-
hingga mereka anggap kami ini raksasa pemakan dag-
ing manusia. Padahal kenyataannya tidak begitu!"
Lili menyahut dengan pertanyaan, "Lantas, apa 
maksud kalian datang kemari dan menghadang kami?"
"Kami diutus untuk mencari seorang pendekar 
bertangan buntung!" jawab Gandaloka kemudian.
Lili dan Lembayung Senja sama-sama terperan-
jat dan saling pandang. Namun mulut mereka hanya 
sama-sama membisu tanpa suara, sehingga Gandaloka 
berkata,
"Maksud kami, pendekar itu buntung salah sa-
tu tangannya. Bukan kedua kakinya!"
"Siapa nama pendekar itu?"
"Utusan kami menyebutnya, Pendekar Rajawali 
Merah alias Yoga!"
Seperti ada petir menampar pipi Pendekar Rajawali Putin, ia sangat terkejut dan kembali menatap 
Lembayung Senja yang juga terperangah mendengar 
jawaban polos Gandaloka. Kemudian Lili berkata,
"Dari mana kalian tahu bahwa Pendekar Raja-
wali Merah itu bertangan buntung?"
"Orang yang mengutus kami menyebutkan ciri-
ciri tersebut, Nona."
"Siapa yang mengutus kalian sebenarnya?"
"Gusti Ratu!"
Kali ini Lili berbisik dengan pelan, "Bagaimana 
menurutmu? Apakah kita perlu melawan orang-orang 
ini?"
"Jangan! Mereka orang-orang berbahaya, Lili!" 
bisik Lembayung Senja. "Seseorang dari rakyat Pulau 
Keramat yang diutus pergi keluar dari pulaunya, berar-
ti dia adalah orang yang berilmu tinggi."
"Tapi dia mencari Yoga?! Aku harus melindungi 
Yoga jika dia mau mencelakakan Yoga?"
"Tanyakan dulu apa keperluannya mencari Yo-
ga?"
Maka, Lili pun bertanya kepada Gandaloka, 
"Sebenarnya apa maksud kalian mencari Pendekar Ra-
jawali Merah?"
"Dia calon mempelai ratu kami!".
"Hahh...?!" Lili terperangah kaget dengan mulut 
dan mata sama-sama terbuka. Hatinya menjadi seperti 
di panggang lahar gunung berapi yang amat panas 
mendengar jawaban polos itu.
"Siapa yang menyuruh kalian? Gusti Ratu?"
"Benar, Nona!"
"Maksudnya, Pendekar Rajawali Merah mau di-
kawinkan dengan Gusti Ratu kalian?" desak Lili makin 
penasaran.
"Benar, Nona! Dan itu atas pilihan Gusti Ratu

sendiri!"
"Siapa Gusti Ratu kalian itu sebenarnya?" 
"Gusti Kembang Mayat!"
"Hahh...?!" kini Lembayung Senja ikut terpekik 
bersama Lili. Jawaban itu benar-benar seperti sebuah 
mimpi bagi Lembayung Senja.
"Buk... buk... bukankah Kembang Mayat telah 
meninggal karena masuk ke jurang?" kata Lembayung 
Senja memancing penjelasan. Gandaloka yang lugu itu 
menjawab apa adanya,
"Tidak, Nona! Gusti Kembang Mayat belum me-
ninggal. Beliau memang jatuh ke jurang, tapi pada 
waktu itu Pendeta Agung kami sedang bertapa di ba-
wah jurang tersebut, yaitu memohon kepada dewata 
agar diberikan seorang pemimpin negeri untuk kami. 
Lalu, Gusti Kembang Mayat jatuh dl pangkuan Pendeta 
Agung Ganesha itu, dan berarti beliaulah calon ratu 
kami! Sekarang beliau sudah diboyong ke negeri kami, 
dan siap lakukan penobatan sebagai ratu secara resmi. 
Tetapi syaratnya, beliau harus kawin dulu! Dan beliau 
memilih Pendekar Rajawali Merah sebagai calon mem-
pelai prianya. Kami diutus untuk mencari Pendekar 
Rajawali Merah dl sini, untuk kemudian membawanya 
ke negeri kami di Pulau Kana. Di sana Pendekar Raja-
wali Merah akan dinikahkan dengan ratu kami!"
Gemetar tangan Lili mendengarnya. Gemeletuk 
juga giginya menahan amarah yang ingin meledak di 
dadanya. Sebelum kedua perempuan itu bicara, Gan-
daloka sudah mendahului berkata dengan tetap ra-
mah,
"Jika Nona-nona bisa menolong kami, menun-
jukkan di mana Pendekar Rajawali Merah itu berada, 
kami akan undang kehadiran Nona-nona ini pada ma-
lam perkawinan ratu kami! Kami akan sediakan un

dangan khusus, dan menganggap Nona-nona adalah 
tamu kehormatan kami!"
Lili diam saja karena sibuk menahan amarah-
nya. Ia pun masih bingung mengambil keputusan Te-
tapi Lembayung Senja buru-buru berkata,
"Kami sedang ingat-ingat di mana Pendekar Ra-
jawali Merah berada, sebab kami juga sedang mencari 
dia! Aku sendiri ingin minta tolong kepada Yoga untuk 
sembuhkan lukaku ini!" sambil Lembayung Senja me-
nunjukkan lukanya. "Jadi kami belum bisa memberi 
tahu di mana Pendekar Rajawali Merah itu berada!"
Maksud Lembayung Senja bicara begitu, karena 
ia tahu Lili membutuhkan pertimbangan dalam me-
langkah. Lili agaknya ragu-ragu untuk mengambil si-
kap menyerang Gandaloka dan kawan-kawannya. Te-
tapi karena Lembayung Senja menunjukkan lukanya, 
maka Gandaloka pun memandangnya dan segera ber-
kata,
"Lukamu itu kalau tak salah karena terkena 
Racun Serangga Setan. Itu bisa membuat sekujur tu-
buh menjadi busuk!"
"Dari mana kau tahu tentang Racun Serangga 
Setan ini?!" tanya Lembayung Senja.
"Kami mempelajari segala macam jenis racun, 
Nona. Dan... kalau Nona bersedia, boleh saya turut 
mencoba menyembuhkan luka Nona?"
Bingung juga Lembayung Senja menjawabnya, 
ia memandang Lili, tetapi Lili diam saja. Tak memberi 
isyarat apa-apa. Wajahnya menjadi cemberut dan 
berkesan ketus serta dingin. Gandaloka sudah mende-
kati Lembayung Senja. Ia mendekatkan wajahnya ke 
lengan itu, memeriksanya sesaat. Lembayung Senja 
karena tak tahu harus berbuat apa, maka ia diam saja 
ketika lukanya dipandangi Gandaloka.

Bahkan sekarang Gandaloka menempelkan te-
lapak tangannya ke luka itu. Telapak tangan tersebut 
menjadi menyala kuning kehijau-hijauan. Terasa din-
gin sekujur tubuh Lembayung Senja pada saat itu. 
Dan beberapa saat kemudian, telapak tangan yang 
membara kuning kehijauan itu padam. Telapak tangan 
yang mencakup menutup semua luka di lengan kiri 
Lembayung Senja itu segera diangkat.
Terkesiap mata Lembayung Senja saat melihat 
luka itu telah hilang. Bukan hanya kering, melainkan 
hilang lenyap tak berbekas, sampai pada darahnya 
yang mengering pun hilang seluruhnya. Telapak tan-
gan yang tadi habis dipakai menutup luka tersebut 
ternyata mempunyai kesaktian tersendiri yang menga-
gumkan.
"Saya telah bantu Nona, sekarang bisakah No-
na bantu saya menemukan Pendekar Rajawali Merah 
itu?!" kata Gandaloka yang membuat Lembayung Senja 
dan Lili hanya bisa saling pandang untuk beberapa 
saat.
*
* *
5


ADA sepasang mata yang memandangi perte-
muan antara enam utusan dari Pulau Keramat itu 
dengan Lili dan Lembayung Senja. Ada sepasang telin-
ga yang mendengarkan percakapan mereka dari balik 
persembunyian. Sepasang mata dan telinga itu adalah 
milik seorang pemuda lumayan tampan dan dengan 
pakaian hijau dan rompi putih rapi. Pemuda itu juga

mendengar perkataan Lembayung Senja kepada Gan-
daloka,
"Untuk sementara ini, kami belum tahu di ma-
na Pendekar Rajawali Merah berada! Karena kami pun 
sedang mencari dia. Jika kami temukan Pendekar Ra-
jawali Merah, maka kami akan memberi tahu kalian! 
Di mana kami bisa temukan kalian jika sewaktu waktu 
kami mempunyai kabar yang kalian butuhkan itu?"
"Kami tinggal di tempat tak tentu, Nona. Tapi 
untuk memanggil kami berenam...!" Gandaloka ber-
henti sebentar. Ia mendekati temannya yang tadi dis-
ebutkan bernama Gadranaya itu. Ia bicara sebentar 
dengan orang tersebut, lalu orang berambut panjang 
dengan botak di bagian tangannya itu menyerahkan 
sesuatu kepada Gandaloka, kemudian Gandaloka 
kembali menemui Lembayung Senja dan berkata.
"Nona, bawalah Kulit Kerang Kencana ini! Jika 
Nona ingin memanggil kami, tiuplah kulit kerang itu. 
Memang di telinga manusia biasa, sepertinya tidak 
mendatangkan bunyi. Tapi untuk telinga kami, bunyi 
itu cukup keras, dan kami bisa melacak di mana Nona 
berada. Kami akan segera datang menemui Nona!"
Lembayung Senja menerima sebuah benda ke-
cil. Benda itu adalah kulit kerang berwarna kuning 
mengkilap seperti emas. Karenanya disebut Kulit Ke-
rang Kencana.
"Bagaimana cara meniupnya?"
"Tiup saja pada bagian yang berlubang itu, No-
na!"
Kulit kerang sebesar jempol tangan itu segera 
ditiup pada bagian yang berlubang oleh Lembayung 
Senja. Uuuff...! Tak ada suara apa-apa. Tetapi seseo-
rang yang tertunduk di barisan paling pinggir itu sege-
ra dongakkan wajah dan memandang Lembayung Senja.
"Tidak ada suaranya?"
"Memang. Tapi telinga kami mendengar semua-
nya! Itu adalah alat panggil bagi prajurit-prajurit Nege-
ri Linggapraja, Nona!" Gandaloka tersenyum dengan 
keramahannya.
"Baiklah! Akan kulakukan jika kabar itu sudah 
ada pada kami!"
Sejak tadi Lili hanya diam saja dengan wajah 
dingin. Ketika Lembayung Senja pamit pun, Lili hanya 
anggukkan kepala dan tidak mengucapkan kata apa 
pun. Tapi matanya memandangi kepergian keenam 
manusia raksasa itu dengan sorot pandangan mata 
yang dingin, memendam permusuhan yang dalam.
"Mengapa kau terima kulit kerang itu?" tanya 
Lili dengan datar.
"Untuk meyakinkan bahwa kita benar-benar ti-
dak tahu di mana Yoga. Apakah kau tidak berkenan? 
Jika tidak berkenan akan ku buang saja kulit kerang 
ini!"
Pendekar Rajawali Putih tidak menjawab, tapi 
segera teruskan langkahnya. Lembayung Senja terpak-
sa mengikuti langkah itu. Tapi ia segera berkata,
"Ke mana arah tujuan kita, Lili?!"
"Ke rumah Tabib Perawan itu!"
"Tapi... lukaku telah hilang! Untuk apa kita ke 
sana?"
"Bikin perhitungan dengan Tabib Perawan itu! 
Tak perlu pembuktian lagi. Kurasa sudah cukup ke-
simpulan yang kita peroleh. Cukup kuat bukti kita un-
tuk menuduhnya sebagai si Topeng Merah!"
"Lantas bagaimana dengan keenam utusan Pu-
lau Keramat itu?"
Langkah Pendekar Rajawali Putih terhenti lagi.

Kali ini ia berhenti tepat di bawah sebuah pohon rin-
dang, sehingga matahari pagi melindungi kulitnya yang 
kuning langsat itu. Tak jauh darinya ada sebongkah 
batu, dan di sana Lili duduk termenung dengan mata 
memandang ke depan dalam keadaan menerawang. 
Lembayung Senja ada di sampingnya, berdiri dengan 
memperhatikan kulit kerang itu. Tak berapa lama ke-
mudian barulah terdengar suara Lili berkata,
"Ternyata Kembang Mayat masih hidup, dan 
dia justru diangkat menjadi ratu di Pulau Kana atau 
Pulau Keramat itu! Sekarang dia kirim utusan untuk 
membawa Yoga ke Pulau Kana, ini benar-benar sebuah 
tantangan bagiku!"
"Kau akan melawan keenam utusan itu?" "Ba-
gaimana jika benar begitu? Apakah aku tak layak me-
lawan mereka?" "Alasanmu apa?"
"Menahan supaya Yoga tidak dibawa mereka, 
melarang mereka mengawinkan Yoga dengan Kembang 
Mayat! Apakah kau ingin membela Kembang Mayat da-
lam hal ini? Jika ya, itu berarti kau dan aku harus ber-
tarung lebih dulu, Lembayung Senja!"
Tertegun Lembayung Senja mendengar tantan-
gan itu, ia tidak cepat memberi jawaban. Ia ganti me-
nerawang sampai beberapa saat. Setelah Lili berdiri 
dan melangkah tiga tindak ke depan sambil menarik 
napas di sana, terdengarlah suara Lembayung Senja 
berkata,
"Kembang Mayat masih kuanggap ketua pergu-
ruanku! Tapi hubungan ku dengan kau semakin hari 
semakin akrab saja, Lili. Sulit sekali bagiku untuk 
memusuhi mu!"
"Pada dasarnya apakah kau setuju jika Yoga 
menikah dengan Kembang Mayat di Pulau Kana sana?"
"Aku tidak bisa menjawab!" kata Lembayung

Senja. "Masalah itu adalah masalah pribadi yang tidak 
bisa diselami oleh orang lain! Jika aku disuruh berpi-
hak, aku tidak tahu harus berpihak pada siapa!"
Pendekar Rajawali Putih dekati Lembayung 
Senja, berhadapan muka dalam jarak dekat, lalu ber-
kata,
"Jika kau ingin berpihak kepada ketuamu, aku 
tidak keberatan!"
"Aku berhutang nyawa padamu, saat kau sela-
matkan aku dari luka serangan Topeng Merah! Jika 
benar Topeng Merah adalah Tabib Perawan itu, berarti 
dua kali kau selamatkan aku dari tindakan Topeng 
Merah yang melukai ku dengan racun!"
"Lupakan tentang hutangmu itu! Aku pun akan 
melupakannya!" kata Lili dengan tegas.
"Apakah kau pikir itu hai yang mudah? Ku-
bayangkan andaikata pada waktu itu kau tidak mera-
watku, lantas bagaimana nasibku? Pasti sudah mam-
pus sejak kemarin-kemarin! Untung kau mau menya-
lurkan hawa murni ke tubuhku, sehingga aku selamat 
dari ancaman mati itu!"
Masih menatap dalam jarak dekat, Lili mem-
bungkamkan mulutnya sampai beberapa saat. Kira-
kira tiga helaan napas, terdengar lagi ia ucapkan kata,
"Yang jelas aku akan halangi niat Kembang 
Mayat untuk merebut Yoga dari hatiku! Sekarang, apa 
tindakanmu?"
"Aku tidak akan bertindak apa-apa selama kau 
tidak bertarung secara langsung dengan sang Ketua! 
Toh semua keputusan akhir ada di tangan Yoga sendi-
ri! Apakah dia mencintaimu atau mencintai Kembang 
Mayat!"
Terbungkam lagi mulut Pendekar Rajawali Pu-
tih. Ia palingkan pandang dengan tetap berdiri di depan Lembayung Senja. Ia simpan kegelisahan yang 
mengobarkan geram amarah di dalam dada. Sejenak 
kemudian, ia pun berkata dengan nada datar,
"Kalau kau memberitahukan kepada mereka 
berenam tentang di mana Yoga, aku terpaksa bertin-
dak kasar kepadamu!"
"Kalau hal itu kulakukan, berarti aku sudah 
siap melawanmu!"
"Kapan saja waktunya kau siap melawan aku 
beritahukan padaku. Aku akan melayanimu!"
"Lili...!" sentak Lembayung Senja. "Haruskah 
persahabatan kita pecah gara-gara kabar dari enam 
utusan Pulau Keramat itu?"
"Jika tak bisa dihindari, apa boleh buat! Semua 
itu tergantung bagaimana sikapmu!"
"Untuk sementara, lupakan dulu soal itu! Kura-
sa kita memang perlu selekasnya menemui Tabib Pe-
rawan untuk bikin perhitungan dengan perempuan 
itu!" Lembayung Senja mengalihkan pembicaraan. 
Agaknya Lili setuju, sehingga mereka pun kembali te-
ruskan langkah menuju ke Lembah Bukit Berhala.
Sepasang mata dan sepasang telinga yang men-
gikuti mereka ternyata sudah tidak lagi tertarik dengan 
langkah perjalanan tersebut. Sepasang mata dan sepa-
sang telinga itu ternyata lebih tertarik mengikuti lang-
kah para utusan dari Pulau Keramat itu, dan ia beru-
saha bergerak mendahului para utusan tersebut.
Keenam utusan dari Pulau Keramat segera hen-
tikan langkah setelah mereka sama-sama melihat di 
depan mereka berdiri seorang pemuda berpakaian hi-
jau dengan rompi rapat warna putih. Pemuda itu tak
lain adalah Tamtama, yang sedang kebingungan men-
cari orang untuk membunuh Pendekar Rajawali Me-
rah.

Gandaloka yang agaknya menjadi pimpinan da-
ri beberapa orang utusan Ratu Kembang Mayat itu, 
maju mendekati Tamtama dan menyapanya dengan 
kesan bersahabat,
"Ada keperluan apa sehingga kau menghadang 
dl depan langkah kami, Sobat?!"
"Benarkah kalian utusan dari Pulau Keramat 
itu?" tanya Tamtama meyakinkan diri sekali lagi.
"Ya. Benar! Perlu apa kau menanyakan hai itu 
kepada kami, sedangkan kami tidak mengenai siapa 
kamu, Sobat!"
"Namaku Tamtama! Aku sahabatnya Tanduk 
Iblis!"
"Tanduk Iblis...?!" salah seorang dari mereka 
bergumam, yaitu yang bernama Lombo. Gumaman itu 
membuat temannya yang lain memandang ke arahnya. 
Lalu yang bernama Rogami bertanya,
"Sepertinya aku juga pernah mendengar nama 
itu!" 
"Dia anaknya Paman Tartar!" kata yang ber-
nama Sarpa
"O, ya, ya...! Dia memang orang kami," kata 
Gandaloka kepada Tamtama. "Ada apa kau membawa-
bawa nama orang kami itu?"
"Aku hanya ingin menunjukkan di mana 
mayatnya sekarang berada!"
"Mayatnya?!" Gandaloka berkerut dahi. "Apa-
kah Tanduk iblis sudah meninggal?"
"Sudah! Mari ikut aku...!"
Keenam utusan Pulau Keramat itu segera men-
gikuti langkah Tamtama. Rupanya Tamtama membawa 
mereka ke tempat bekas pertarungan antara Yoga dan 
Tanduk Iblis. Di sana Tamtama menunjukkan mayat 
Tanduk Iblis yang belum dimakamkan.

Para utusan Pulau Keramat itu memperhatikan 
mayat Tanduk Iblis dengan mata sedikit berkesip, tapi 
tak terlihat kesan kaget ataupun marah atas kematian 
Tanduk Iblis itu. Kemudian Tamtama bertanya,
"Apakah benar ini orang yang kalian katakan
sebagai anaknya Paman Tartar tadi?"
"Ya, benar!" jawab Sarpa yang berkumis lebat 
dan berwajah angker.
"Tidakkah kalian ingin menuntut kematian te-
man kalian ini?" kata Tamtama kepada Sarpa, tapi 
yang menyahut Gandaloka,
"Tanduk Iblis adalah pengacau di negeri kami! 
Kematiannya ini membuat rakyat kami menjadi lega. 
Jadi kami tidak perlu menuntut kepada siapa pun!"
"Tapi aku tahu siapa pembunuhnya!"
"Kami tidak perlu tahu!" jawab Gandaloka.
"Rupanya orang Pulau Kana kurang memiliki 
rasa persahabatan!"
"Barangkali kita punya cara menilai persahaba-
tan yang berbeda, Tamtama! Kami tidak bersahabat 
dengan seorang pengacau seperti si Tanduk Iblis dan 
yang lainnya!"
Pancingan Tamtama agar mereka marah, ter-
nyata tidak mengenai sasaran. Tetapi ia tidak mau 
mundur begitu saja, ia bahkan menghasut,
"Pembunuh Tanduk Iblis ini, bercita-cita ingin 
menumpas habis semua orang Pulau Kana, baik yang 
dewasa maupun yang masih bayi!"
Gandaloka tersenyum, yang lainnya tetap diam 
tanpa perubahan air muka sedikit pun. Gandaloka 
berkata,
"Banyak orang yang bercita-cita begitu, tapi pa-
da umumnya mereka hanya bisa bercita-cita saja! Me-
reka tak akan lakukan apa-apa setelah bertemu dengan kami!"
"Tapi orang itu sangat pemberani!".
"Setiap orang mempunyai keberanian yang ber-
beda, tergantung saatnya dan tugasnya!" jawab Ganda-
loka yang agaknya tahu persis bahwa dirinya bersama 
kelima anak buahnya sedang dipancing untuk marah.
"Jadi kalian tak ingin menuntut balas atas ke-
matian warga sendiri ini?"
"Tamtama, kami tidak bertugas mengurus balas 
dendam! Kami adalah prajurit pilihan untuk menjaga 
istana dan melaksanakan tugas-tugas dari Gusti Ratu! 
Jadi urusan balas dendam bukan bidang kami!"
Orang besar berambut ikal yang bernama Yo-
dana itu berkata kepada Gandaloka, "Sebaiknya kita 
teruskan pencarian kita! Jangan terlalu banyak me-
layani hal-hal yang tidak perlu, Gandaloka!"
"Baik! Kita teruskan langkah kita, Yodana!"
"Tunggu...!" sergah Tamtama. "Kalian akan per-
gi mencari Pendekar Rajawali Merah, bukan?"
"Benar," jawab Gandaloka kalem.
"Orang itulah yang membunuh teman kalian 
ini!"
"Bukan pekerjaannya yang kami cari, tapi 
orangnya!"
"Aku bisa tunjukkan di mana dia berada!"
Keenam orang tinggi besar itu saling pandang-
kan wajah masing-masing. Kemudian serempak mere-
ka menatap Tamtama, dan Gandaloka berkata tetap 
dengan tenang,
"Benarkah kau tahu pendekar bertangan bun-
tung itu?"
"Benar! Aku tahu! Tapi... aku sangsi apakah ka-
lian mampu membunuh pendekar bertangan buntung 
sebelah itu?" pancing Tamtama agar mereka penasa

ran. Tapi nyatanya mereka tetap tenang, dan Gandalo-
ka yang selalu bicara kepada Tamtama menyahut.
"Kami mencari dia bukan untuk dibunuh! Jan-
gan salah duga, Tamtama! Justru kami mencari dia 
untuk kebaikan!"
"Kalau begitu, aku tak tahu di mana dia!" Tam-
tama cemberut kesal.
Tetapi yang bernama Gadranaya berbadan pal-
ing gemuk dari kelima temannya itu segera datang 
mendekati Tamtama. Rambut Tamtama dijambaknya 
dan diangkat hingga kaki Tamtama tidak menyentuh 
tanah.
"Tunjukkan dia, dan jangan bikin kami marah 
kepadamu!"
"Bbba... ba... baik! Lepaskan dulu rambutku. 
Auuh...!"
"Gadranaya, lepaskan dia!" perintah Gandaloka 
tetap dengan suara kalem, tanpa ada bentakan sedikit 
pun. Maka Gadranaya pun melepaskan jambakan 
rambut tersebut. Bruuk...! Tamtama menyeringai ke-
sakitan sambil memijat-mijat kepalanya.
Gandaloka bertanya, "Di mana kami bisa men-
jumpai Pendekar Rajawali Merah itu, Tamtama?"
"Di... di... mungkin dia ada di rumahnya Tabib 
Perawan!"
"Di mana rumah Tabib Perawan itu, Tamtama?" 
"Di sana! Jauh...!"
Sraaak. ! Wuuut...! Gadranaya kembali men-
jambak rambut Tamtama dan mengangkatnya hingga 
kaki Tamtama tergantung. Kulit kepala Tamtama ra-
sanya mau copot saja dijambak sedemikian rupa. Ke-
mudian, Gandaloka berkata dengan tersenyum tenang,
"Maukah kau tunjukkan dan mengantar kami 
ke rumah Tabib Perawan?"

"Bbba... baik! Iiy... iya, aku mau!"
Sambil bersungut-sungut, Tamtama pun akhir-
nya mengantarkan mereka ke rumah Tabib Perawan. 
Hatinya menyesal mengatakan bahwa dia tahu di ma-
na Pendekar Rajawali Merah berada. Karena, semula ia 
berharap orang-orang itu hendak mencelakai Yoga, ta-
pi ternyata justru datang dengan maksud baik, dan se-
cara tak langsung telah menampakkan sikap pembe-
laannya kepada Yoga. Tamtama menjadi sangat kesal, 
karena kebenciannya kepada Yoga belum ada yang bi-
sa membalaskannya.
Sampai di rumah Tabib Perawan, ternyata ru-
mah itu dalam keadaan tertutup rapat dan terkunci. 
Kuncinya bukan memakai gerendel biasa, melainkan 
memakai sinar berlapis yang mengelilingi pintu terse-
but. Sinar itu berwarna hijau samar-samar.
Ketika Tamtama hendak mengetuk pintu itu, 
tiba-tiba tangannya menjadi kaku dan sekujur tubuh-
nya gemetar keras. Ia menyeringai kesakitan bagai dis-
engat petir sekujur tubuhnya. Nyuuut...!
"Woaowww...! Uuuhg...! Tolong, tolong...! To-
long, Gandaloka!"
Kaki Gandaloka yang besar itu segera menen-
dang punggung Tamtama. Buuhg...! Tubuh Tamtama 
terpental dan jatuh tersungkur mencium tanah. Ia 
mengerang kesakitan di sana. Sementara itu, Gadra-
naya dan yang lainnya saling pandang, lalu sepakat 
mereka menatap ke arah pintu tersebut Kelima orang 
itu tiba-tiba memancarkan sinar merah dari mata me-
reka. Wuuut...! Sinar merah itu menghantam pintu 
yang tertutup itu. Tapi tiba-tiba terdengar bunyi leda-
kan yang dahsyat.
Blaaar...!
Kelima orang itu terpental bersama. Kendati

tubuh mereka besar-besar, namun dapat terpental ba-
gaikan daun kering dihempas oleh angin badai yang 
cukup kencang. Sedangkan pintu itu tetap dalam kea-
daan utuh dan tertutup. Sinar hijaunya pun masih te-
tap mengelilingi tepian daun pintu.
"Benarkah rumah ini adalah rumahnya Tabib 
Perawan?" tanya Gandaloka kepada Tamtama yang ba-
ru saja berdiri sambil membersihkan pakaiannya yang 
kotor.
"Benar! Memang inilah rumahnya!"
"Agaknya mereka pergi, Gandaloka!" kata Yoda-
na.
"Pergi...?! Pergi ke mana?!" gumam Gandaloka 
dalam renungannya.
Pada waktu itu, Lili dan Lembayung Senja pun 
tiba di rumah tersebut. Mereka terkejut melihat para 
utusan sudah ada di rumah Tabib Perawan. Rupanya 
pemuda lumayan tampan berpakaian hijau itulah yang 
menunjukkan di mana Yoga berada. Lili hampir saja 
melepaskan pukulan untuk Tamtama, tapi Lembayung 
Senja mencegah dengan berbisik lirih,
"Jangan! Nanti mereka tahu siapa kita dan apa 
tujuan kita."
Lili mengurungkan niatnya. Tapi ia memandang 
benci kepada pemuda yang lumayan tampan itu. Gan-
daloka tersenyum kepada Lili dan berkata,
"Agaknya kau juga menduga Pendekar Rajawali 
Merah ada di sini, Nona?! Atau barangkali kau tahu 
dengan pasti bahwa dia di sini?"
Lembayung Senja yang menyahut, "Justru kami 
coba-coba mencarinya kemari! Apakah dia ada di ru-
mah itu?"
"Tidak ada! Rumah tertutup, pintunya dipasan-
gi sinar penghancur! Kami tak bisa membuka pintu

rumah itu dan menggeledahnya!" kata Gandaloka 
sambil menunjukkan sinar hijau mengelilingi pintu.
Lili berkata dalam bisikan, "Itu pekerjaan Yoga! 
Biasanya, bila rumah dipasangi sinar hijau begitu, me-
reka pergi jauh dan untuk beberapa saat tidak pulang 
ke rumah! Itu sinar anti maling!"
"Kalau begitu, mereka pergi ke mana?"
"Mungkin... mungkin kita terlambat! Mereka te-
lah bersembunyi di suatu tempat yang tak mudah di-
temukan oleh kita!" ,
Benarkah Yoga dan Sendang Suci bersem-
bunyi? Siapa yang mereka hindari jika benar mereka 
bersembunyi? Lili atau keenam utusan Pulau Keramat 
itu? Dari mana Yoga tahu kalau akan kedatangan me-
reka?
*
* *
6


PUNCAK Gunung Rimba Gading tidak terlalu 
tinggi untuk di daki. Tetapi udara di sana cukup din-
gin. Ketinggian puncaknya sering dilapisi kabut dan 
salju. Hutan-hutannya penuh dengan tanaman liar 
yang jarang terdapat di tempat-tempat lainnya.
Di puncak Gunung Rimba Gading itu, dulu 
pernah tinggal seorang pertapa sakti yang bernama 
Resi Tandang Gawe. Orang sakti inilah yang dulu men-
jadi guru dari Sendang Suci. Kabarnya, Resi Tandang 
Gawe meninggal secara moksa; hilang begitu saja tan-
pa bekas.
Petilasannya masih ada sampai sekarang, dan

tak satu pun orang bisa menemukan tempat tinggal 
mendiang Resi Tandang Gawe, selain Tabib Perawan 
atau Sendang Suci itu. Petilasan tersebut berupa se-
buah gua yang cukup lega di bagian dalamnya, tanpa 
memiliki lorong tembus ke mana-mana.
Atas desakan Pendekar Rajawali Merah, akhir-
nya Sendang Suci membawa keponakannya, Mahligai, 
untuk mengungsi ke puncak Gunung Rimba Gading 
itu. Mereka menempati petilasan Resi Tandang Gawe 
dengan masih tetap memasung Mahligai yang semakin 
hari semakin liar serta buas. Jika tidak ditotok terus-
menerus, maka Sendang Suci pun bisa dimakannya 
habis.
Sebenarnya Sendang Suci tidak ingin berada di 
tempat dingin itu. Tetapi Pendekar Rajawali Merah 
memaksanya; biar bagaimanapun Sendang Suci harus 
bersembunyi, karena Yoga punya firasat bahwa Lili 
akan mengetahui siapa Topeng Merah sebenarnya. 
Dan jika Lili mengetahui hal itu, bisa dipastikan ia 
akan datang kepada Sendang Suci dan menuntut balas 
atas terpotongnya tangan Yoga kepada Sendang Suci.
"Aku akan hadapi dia! Aku tidak takut terpo-
tong tanganku! Kalau toh dia mengancam ingin mem-
bunuh ku, aku akan hadapi juga. Belum tentu aku ka-
lah dengannya!" begitu Sendang Suci bersikeras pada 
mulanya. "Apa pun yang terjadi aku harus tetap di si-
ni!"
"Bibi harus mengungsi ke sana! Bibi harus ber-
sembunyi di Gunung Rimba Gading! Sekalipun aku 
percaya, Bibi mampu melawan Lili, tapi aku tidak ingin 
pertarungan itu terjadi!"
Sendang Suci diam menerawang. Pandangan 
matanya terlempar jauh. Lalu Pendekar Rajawali Me-
rah berkata lagi, "Bibi adalah orang pertama yang menolongku mempertemukan aku dengan Lili! Masih in-
gatkah Bibi, waktu aku datang bersama Mahligai dan 
menanyakan tentang seekor burung rajawali putih? 
Pada waktu itu, Bibi bercerita tentang seekor burung 
rajawali putih yang terbang ke arah Gunung Menara 
Salju. Lalu aku pergi ke sana dan menemukan Lili dan 
burung rajawali putihnya. Andaikata waktu itu Bibi 
membisu dan tidak menceritakan tentang hal itu, ma-
ka aku tidak tahu harus pergi kemana dalam mencari 
burung rajawali putih itu. Mungkin aku akan tersesat 
di tempat jauh dan belum bertemu Lili sampai saat ini. 
Juga kalau bukan karena Mahligai yang membawaku 
kepada Bibi, lantas kepada siapa aku harus bertanya?" 
(Baca episode: "Wasiat Dewa Geledek").
Sendang Suci hanya menarik napas, lalu Yoga 
menyambung kata,
"Bibi dan Mahligai adalah orang yang berjasa 
dalam hidupku," kata Pendekar Rajawali Merah. "Keti-
ka aku mengenal manusia pertama kalinya, yang ku-
kenal adalah guruku; si Dewa Geledek itu. Ketika aku 
turun dari gunung, yang kutemukan pertama kali ada-
lah Mahligai dan si Mata Neraka. Mahligai lah orang 
pertama yang kukenal setelah Dewa Geledek, guruku! 
Jadi, untuk melupakan Mahligai sangat sulit bagiku, 
Bi! Itulah sebabnya aku sangat prihatin melihat Mahli-
gai terkena racun edan dari Merak Betina sampai segi-
la itu! Buatku, Bi... melupakan orang-orang yang ber-
jasa padaku adalah sesuatu yang amat sulit. Satu kali 
orang berbuat baik padaku, rasa-rasanya belum puas 
hatiku jika belum membalas tujuh kali dengan kebai-
kan!"
"Apakah kebaikan itu termasuk perasaan cinta 
dan kasih sayang?" sela Sendang Suci masih tanpa 
memandang Yoga.

"Ya. Cinta dan kasih sayang, juga termasuk ke-
baikan!" jawab Yoga dengan tegas-tegas. "Tetapi cinta 
dan kasih sayang tidak harus memiliki seseorang. Cin-
ta dan kasih sayang hanya boleh diberikan kepada se-
tiap orang, sesama hidup, tapi tidak harus mengekang 
kebebasan orang itu dengan memilikinya! Cinta dan 
kasih adalah sesuatu yang agung dan mulia bagiku! 
Kepada siapa pun Bibi boleh memberikannya; tetapi 
kemesraan dan kehangatan hati hanya boleh diberikan 
kepada satu orang."
"Dan aku ingin memberikannya padamu," sa-
hut Sendang Suci. 'Tetapi aku tidak ingin memaksamu 
untuk menerimanya. Aku hanya memberikan, tanpa 
harus menuntut pembalasan darimu!"
"Tak bisakah Bibi berikan kepada orang lain, 
supaya orang itu membalasnya?"
Kali ini Sendang Suci menatap Yoga dengan 
lembut dan berkata,
"Tak bisa, Yo! Tak pernah bisa kulakukan hal 
itu kepada orang lain! Dan... karena itulah aku sampai 
sekarang masih perawan!" Yoga semakin rapat meme-
luk Sendang Suci. Perempuan itu merasa damai di da-
lam pelukan pemuda tampan tersebut. Kemudian ter-
dengar suara Sendang Suci berkata seperti ditujukan 
pada dirinya sendiri.
"Barangkali perasaan kasih ini adalah yang pal-
ing tulus yang pernah kumiliki. Sekalipun tidak terja-
mah olehmu, aku akan menyimpannya sendiri. Ku-
simpan dalam hidupku, ku sematkan dalam keabadian 
hatiku! Kelak, suatu saat, siapa tahu kau ingin memi-
likinya. Tak akan kubiarkan orang lain merenggutnya 
dari hatiku, kecuali kamu!"
Terharu lembut hati Pendekar Rajawali Merah 
mendengar ucapan itu. Rasa-rasanya ia ingin memeluk

Sendang Suci mulai sekarang sampai selama-lamanya. 
Tetapi hatinya sudah tersita habis untuk Guru Li. 
Pendekar Rajawali Merah tak mampu lagi menyisipkan 
perempuan lain di relung hatinya, kecuali hanya Lili, si 
Pendekar Rajawali Putih. Hanya saja, selama ini Yoga 
tak pernah menampakkan sikap kasih dan cintanya 
kepada Lili.
"Bibi, kurasa sudah waktunya aku pergi men-
cari bunga Teratai Hitam untuk Mahligai!" kata Yoga di 
awal pagi.
"Berangkatlah jika itu cita-cita mu!" kata Sen-
dang Suci.
"Bagaimana kesehatan tanganku ini menurut 
Bibi?"
"Sudah tak ada halangan! Kau sudah pulih se-
perti sediakala walau hanya bertangan satu!"
"Kalau begitu, saya berangkat pagi ini juga dan 
kembali secepatnya setelah kudapatkan bunga Teratai 
Hitam itu!"
"Lakukan yang terbaik menurutmu, Yo! Aku 
percaya padamu!" Sendang Suci sunggingkan senyum 
menyambut pagi yang cerah. "Kalau suatu saat kau 
temukan aku mati di sini, tolong makamkan aku di da-
lam gua ini!"
"Mengapa Bibi berkata begitu?"
"Karena usiaku sudah cukup tua. dan kau ma-
sih muda! Besar kemungkinan kau masih tahan lama 
dalam hidup, aku tinggal separo hidup lagi! Besar ke-
mungkinan kau akan lupa padaku setelah kau mem-
baur dengan cinta dan kasih sayang mu di sana, se-
dangkan aku tetap merawat hatiku untuk dirimu!"
"Ah, sudahlah! Jangan bicara soal umur! itu 
kekuasaan Yang Maha Agung!"
Perempuan cantik yang masih kelihatan muda

itu kembali sunggingkan senyum manisnya. Tangan-
nya menjamah pipi Yoga dan mengusap-usapnya den-
gan lembut sambil berkata,
"Berangkatlah! Tunjukkan padaku bahwa kau 
seorang pendekar yang gagah perkasa dan selalu 
memperoleh kemenangan! Tumbangkan lawanmu dan 
jangan kasih kesempatan untuk melukaimu lagi!"
Dada Yoga terasa keras bagaikan baja. Ia terse-
nyum menawan sambil berkata dengan tegas,
"Aku tidak ingin mengecewakan mu, Bi! Akan 
ku ingat selalu pesanmu ini! Jaga dirimu baik-baik, 
Bi!"
Sendang Suci hanya mengangguk dan terse-
nyum. Ia menatap kepergian Yoga dengan tegar.
*
* *
Tak seorang pun tahu, di mana Yoga saat itu. 
Tak heran jika Lili dan Lembayung Senja kebingungan 
mencarinya. Enam utusan dari Pulau Keramat itu pun 
kebingungan mencari Pendekar Rajawali Merah. Tetapi 
usaha mereka tidak berhenti sampai di situ saja. Me-
reka terus mencari demi tugas dan sang Ratu.
Ketika Lili berpapasan dengan Jalak Hutan, 
yang pernah disembuhkan dari luka-lukanya, ia men-
jadi geram mendengar kata-kata Jalak Hutan yang 
bernada tak enak di hati.
"Mana Pendekar Rajawali Merah itu?! Dia ber-
sama Sendang Suci akan kubunuh! Dia telah mem-
buat keponakanku tergila-gila dan Sendang Suci telah 
meracuninya! Dia dan Sendang Suci penyebab sakit-
nya Mutiara Naga, keponakanku itu!"
"Kau ini gila atau sinting? Datang-datang langsung marah-marah kepada kami!" kata Lembayung 
Senja.
"Kau juga!" bentak Jalak Hutan. "Kau yang 
pernah menganiaya aku seenak perutmu sendiri, bu-
kan?!"
Lili menyahut, "Dan aku yang menyembuhkan
mu, bukan?!"
"Aku tak peduli siapa kau sekarang! Aku tahu 
kau orang seperguruan dengan Pendekar Rajawali Me-
rah itu! Kalau perlu aku pun akan membunuhmu, ka-
rena keponakanku yang tersayang itu sekarang sakit 
dan hampir mati gara-gara orang seperguruanmu!"
"Lili, tinggalkan saja orang ini! Dia cuma orang 
gila yang cari-cari perkara! Jangan layani dia!"
"Hei, tunggu dulu!" Jalak Hutan melompat ke 
depan mereka.
"Jangan cari penyakit, Jalak Hutan!" hardik 
Lembayung Senja.
"Aku tidak cari penyakit, tapi siapa yang akan 
bertanggung jawab dengan sakitnya Mutiara Naga itu, 
hah?! Siapa?!"
"Mengapa kau menuntut kepada kami!" bentak 
Lili tak sabar lagi. "Kami tidak ada hubungannya den-
gan sakitnya keponakanmu itu! Kalau kau mau cari 
mampus, dekatlah kemari!"
Jalak Hutan terengah-engah. Memandang den-
gan nanar, menoleh ke kiri dan ke kanan seperti kehi-
langan arah. Apa yang dilakukan serba salah saja ra-
sanya.
"Aku panik!" sambil ia membuka kedua tan-
gannya. "Aku panik sekali! Keponakanku sakit dan 
aku tidak tahu di mana Sendang Suci!"
"Kenapa dia sakit?" tanya Lili menurunkan

amarahnya.
"Dia meminta bantuan kepada Sendang Suci 
untuk menundukkan Yoga. Dia diberi minuman yang 
katanya adalah minuman Darah Kasih Dewa, bisa un-
tuk membuat Pendekar Rajawali Merah itu terpikat 
olehnya. Tapi setelah ia minum, ternyata itu racun 
yang membahayakan. Untung tidak semuanya cairan 
itu diminum! Sekarang Mutiara Naga dalam keadaan 
sekarat! Aku harus berbuat apa sedangkan rumah 
Sendang Suci si Tabib Laknat itu dalam keadaan tertu-
tup! Aku gugup! Panik sekali!"
Lili menarik napas dalam-dalam. Agaknya 
orang ini akan mencurahkan kemarahannya terhadap 
Sendang Suci, tapi tidak punya sasaran. Akibatnya 
siapa saja yang bertemu dengannya menjadi tempat 
pelampiasan kemarahannya.
Tiba-tiba Jalak Hutan bergerak cepat memutar 
dan kakinya menendang kepala Lembayung Senja den-
gan kilat. Wuuut...! Plook!
Lembayung Senja tak siap dan terpental jatuh 
akibat tendangan tersebut. Lembayung Senja yang su-
dah tidak bersenjatakan cambuk tadi bersenjatakan 
pedang itu, segera mencabut pedangnya. Cambuknya 
telah putus pada saat melawan Topeng Merah di pe-
sanggrahannya. Kini pedanglah yang menjadi andalan 
Lembayung Senja dan ditebaskan ke arah lawannya 
dengan satu kali lompatan kaki. Wuuut...!
Traang...! Jalak Hutan cepat mencabut pedang 
sambil berkelebat menangkis pedang Lembayung Sen-
ja. Lili mundur beberapa langkah untuk memberikan 
tempat bagi Lembayung Senja yang telah terkena ten-
dangan Jalak Hutan itu. Lili sengaja membiarkan me-
reka bertarung karena antara Jalak Hutan dan Lem-
bayung Senja memang ada dendam sendiri yang tak

bisa dicampuri terlalu dalam.
Lembayung Senja berdiri dengan pedang di 
tangan ke atas kepala, dan tangan kirinya pun naik dl 
atas kepala mendekati ujung pedangnya. Jurus kedua 
dibuka oleh Lembayung Senja, sementara itu Jalak 
Hutan pun membuka jurus keduanya dengan pedang 
di tengah dada, berdiri tegak ke atas.
"Aku akan membalas kekalahan ku ketika ke-
palaku masih terdongak tempo hari itu, Lembayung 
Senja!"
"Kulayani apa maumu, Bandot Busuk!" 
"Hiaaat...!"
Wuuus...! Wuuut, traaang...! Pedang mereka 
beradu, keduanya sama-sama mental ke belakang tak 
seberapa jauh dan tak sampai jatuh. Lembayung Senja 
membuka jurus ketiganya. Jalak Hutan tak mau kalah 
dan menggunakan jurus ketiganya juga.
"Tahan...!" tiba-tiba terdengar suara berseru da-
ri arah barat. Semua mata memandang ke arah barat. 
Dan ternyata di sana sudah berdiri seorang pemuda 
tampan bertangan buntung. Lili segera memekik,
"Yooo...!" ia berlari dan menghamburkan pelu-
kan manjanya kepada orang yang selama ini dice-
maskan bakal tak muncul lagi. Pertarungan Jalak Hu-
tan dan Lembayung Senja pun terhenti karena seruan 
tadi dan kini mereka sibuk memperhatikan pelepasan 
rindu Lili kepada Yoga.
"Kupikir kau hanyut bersama perempuan itu!" 
Lili bersungut-sungut.
"Tidak mungkin aku hanyut dengan perempuan 
lain selama kau masih berkeliaran dl permukaan bumi 
ini, Guru Li!" sambil Yoga mencubit dagu Pendekar Ra-
jawali Putih. Tapi pada saat itu Jalak Hutan berseru,
"Yo, bagaimana dengan nasib keponakanku itu!

Dia minum racun dari Sendang Suci! Mana si Tabib 
Laknat itu, hah?!"
"Aku tidak tahu di mana dia sekarang!"
"Bohong! Belakangan ini dia akrab denganmu, 
pasti
kau tahu di mana dia! Akan kupenggal kepa-
lanya karena dia membuat Mutiara Naga sekarat sam-
pai saat ini!" bentak Jalak Hutan.
"Sabarlah, Paman Jalak Hutan!" kata Yoga den-
gan kalem. "Jangan kau marah-marah padaku, dan 
pada mereka berdua!"
"Bagaimana aku tidak marah?! Mutiara Naga 
nyawanya terancam!"
"Boleh aku mengunjunginya?" tanya Yoga.
"Datanglah lekas ke rumahku! Mutiara Naga 
ada di sana!" sahut Jalak Hutan.
"Guru, aku mau ke sana! Maukah kau ikut ke 
sana, Guru?"
Lili tidak menjawab. Wajahnya terlihat sedih. 
Baru saja bertemu, Yoga harus pergi lagi. Sepertinya 
Yoga mementingkan perempuan lain ketimbang di-
rinya. Kemudian ketika Yoga pergi bersama Jalak Hu-
tan, Lili mengikutinya, Lembayung Senja pun menyer-
tainya.
*
* *
7


RACUN yang ditelan Mutiara Naga memang 
berbahaya. Tetapi berkat pertolongan Yoga yang me-
nyalurkan hawa murni ke dalam tubuh Mutiara Naga,

racun itu bisa terhambat cara kerjanya hingga menjadi 
lemah. Mutiara Naga mendapat sedikit kesegaran baik 
tubuhnya maupun hatinya, karena rasa rindu ingin 
bertemu dengan Yoga telah terpenuhi.
Sayangnya Yoga datang bersama Lili dan Lem-
bayung Senja. Hati Mutiara Naga sedikit kecewa kare-
na memendam rasa cemburu. Sekalipun Yoga menge-
tahui hal itu, namun ia berlagak pura-pura tidak tahu 
adanya kecemburuan di dalam hati Mutiara Naga.
Yoga berkata kepada Jalak Hutan, "Racunnya 
sudah ku hambat! Secepatnya aku akan menghubungi 
kenalan ku yang juga ahli racun. Akan kumintakan 
obat padanya, atau bila perlu kubawa kemari orangnya 
biar mengobati Mutiara Naga sendiri!"
Jalak Hutan sedikit tenang melihat kejang-
kejang yang tadi dialami Mutiara Naga itu sudah tidak 
ada lagi. Amarah Jalak Hutan pun mereda turun. Ia 
hanya berkata,
"Kapan kau akan membawa kenalan mu itu?" 
"Secepatnya! Mungkin sekarang juga aku akan ke sa-
na, atau lusa. Tapi kurasa racun itu sudah tidak ber-
bahaya seperti tadi. Masih cukup waktu untuk menca-
ri penangkalnya!"
Ketika mereka meninggalkan Mutiara Naga dan 
Jalak Hutan, Lili sempat berbisik kepada Yoga,
"Kau banyak waktu untuk mengurus perem-
puan lain, tapi kau tidak punya waktu untuk memper-
hatikan aku, Yo!"
"Aku memperhatikan kamu dart hati, Guru! 
Bukan dari mata!"
Lili menarik napas, lalu berkata, "Kau harus 
banyak berlatih! Ilmu pedang tangan satu harus kau 
perdalam! Mulai besok kita berlatih di pondoknya si 
Tua Usil!"

"Guru, aku ingin beristirahat dulu!"
"Kau harus berlatih Ilmu pedang tangan satu! 
Kau banyak menghadapi bahaya, Yo! Malaikat Gelang 
Emas bisa menghadangmu sewaktu-waktu, dan kau 
akan keteter jika tidak menguasai jurus ilmu pedang 
tangan satu!"
"Aku sudah belajar dari Eyang Guru Dewa Ge-
ledek!"
"Tapi kau belum menguasai jurus 'Pedang Bun-
tung'!"
"Apa ada jurus 'Pedang Buntung'?"
"Aku yang menemukan jurus itu di dalam gua 
di laut!" kemudian, Lili hentikan langkah. la berpaling 
kepada Lembayung Senja dan berkata,
"Pinjam pedangmu, Lembayung Senja!"
Lembayung Senja pun menyerahkan pedang-
nya, kemudian Lili menyuruh Yoga mengambil seba-
tang kayu seukuran pedang juga.
"Pakai kayu itu. Anggap itu pedang. Sekarang, 
serang aku!"
Dengan menggunakan kayu yang diibaratkan 
pedang, Yoga menebaskannya dari atas ke bawah. Lili 
berkelit ke samping menghindari kayu itu, kemudian 
pedangnya ditancapkan di tanah dengan satu tangan. 
Dan pada waktu menancapkan pedang itu tubuh Lili 
ikut membungkuk, lalu dengan satu tangan ia ber-
tumpu pada pedang, kakinya naik ke belakang dalam 
gerakan seperti mau bersalto, dan kedua kaki itu men-
jejak wajah Yoga empat kali berturut-turut dengan ke-
cepatan yang luar biasa. Des, des, des, des...! Yoga pun 
tersentak mundur dan membentur pohon. Kemudian 
kaki Lili mendarat ke tanah dalam satu sentakan tu-
buh hingga melompat mendekati Yoga, tahu-tahu 
ujung pedang sudah ada di depan leher Yoga yang sedang bersandar di pohon.
Wuuut...!
Yoga melirik ke ujung pedang yang sudah tera-
cungkan di depan lehernya itu, dan Lili pun berkata,
"Satu sentakan, lawan akan mati tertusuk pe-
dang lehernya! Ini namanya jurus 'Pedang Buntung'!"
"Fuih...! Hebat sekali?!"
"Ambil kayu itu lagi," perintah Lili dengan te-
gas-tegas tanpa ada kelembutan dan senyum sedikit 
pun. "Serang aku kembali!"
Yoga kembali menyerangnya walau kepalanya 
masih sedikit pening karena tendangan beruntun em-
pat kali tadi. Kali ini Yoga menebaskan kayu itu ibarat 
pedang mau merobek perut atau dada lawan. Lili me-
nangkis kayu itu dengan bagian pedang yang tumpul. 
Kakinya maju dan tubuhnya berputar, lalu dengan 
membelakangi Yoga siku tangan yang memegang pe-
dang itu menyodok ke belakang, tepat mengenal rusuk 
kanan Yoga. Kaki itu sendiri menggaet kaki Yoga hing-
ga Yoga jatuh. Dengan cepat Lili bersalto ke belakang 
agak menyamping, dan begitu mendarat ia langsung 
jongkok dengan berdiri satu lutut, sedangkan pedang-
nya sudah siap menghujam ke jantung lawan. Yoga 
melirik ke ujung pedang yang berhenti tepat di depan 
jantungnya, siap untuk ditancapkan.
"Matilah aku ditusuk jantungku!" kata Yoga.
"Ini namanya jurus 'Pedang Sepenggal', cocok 
untuk orang yang buntung tangan kirinya!" kata Lili 
dengan tegas. Ia segera bangkit berdiri dan menyerah-
kan pedang kepada Lembayung Senja.
Melihat jurus pedang Lili yang dipamerkan ke-
pada Yoga, Lembayung Senja semakin tertarik untuk 
mempelajari jurus-jurus yang dimiliki Pendekar Raja-
wali Putih itu. Karenanya, sejak awal ia lebih suka ber

sama-sama Lili, karena diam-diam dia ingin mempela-
jari ilmu dari Pendekar Rajawali Putih itu, sebagai pe-
nambah jurus-jurus yang sudah dimilikinya. Sebenar-
nya ia lebih senang melihat Lili bertarung dengan la-
wannya yang tangguh, sehingga dengan begitu jurus-
jurus maut Lili akan keluar dan dapat dicuri olehnya.
Tapi Lili agaknya tidak peduli dengan niat Lem-
bayung Senja. Karena ia yakin bahwa tidak semua 
orang bisa memainkan jurus-jurusnya. Sekalipun me-
nemukan kuncinya, tapi tidak akan menemukan in-
tinya.
Lili berkata kepada Yoga, "Kau harus pelajari 
jurus 'Pedang Buntung', jurus 'Pedang Sepenggal' dan 
jurus pedang lainnya! Aku jamin Eyang Guru Dewa 
Geledek tidak memiliki jurus-jurus itu! Bahkan eyang 
guruku sendiri, Dewi Langit Perak, tidak sempat meli-
hat aku menemukan jurus-jurus pedang itu!"
Percakapan mereka terhenti. Lembayung Senja 
berseru, "Hei, lihat...! Sepertinya yang lari di sebelah 
sana itu si Tua Usil!"
Yoga dan Lili memandang arah yang ditunjuk-
kan Lembayung Senja. Terdengar suara Yoga bergu-
mam,
"Benar! Si Tua Usil...! Ada apa dia berlari sece-
pat itu dengan terburu-buru?"
Yoga segera memanggil orang berbaju coklat 
dengan rambut putih rata itu, "Tua Usil...! Hoi...!"
Tua Usil melihat ada Yoga di sebelah timurnya. 
Tapi ia bingung menghentikan larinya yang sudah te-
lanjur cepat itu. Maka tangannya segera berkelebat 
menggaet pohon kecil, dan larinya menjadi memutar 
pohon kecil itu, makin lama semakin pelan. Setelah itu 
ia baru bisa membelokkan arah larinya ke arah Yoga, 
Lili, dan Lembayung Senja. Ia terengah-engah tiba di
depan mereka.
"Ada apa kau lari-lari, Tua Usil? Wajahmu pu-
cat sekali!" kata Lili sambil memandangi wajah Tua 
Usil yang pucat dan berkeringat.
"Ada... ada enam raksasa mencarimu, Tuan 
Yo!"
"Raksasa...?!" Yoga berkerut dahi. Lili dan Lem-
bayung Senja segera ingat tentang enam utusan dari 
Pulau Keramat itu. Lalu, Lembayung Senja menimpali 
kata,
"Kurasa Tua Usil benar, Yo! Enam orang utusan 
dari Pulau Keramat mencarimu. Mereka bertubuh 
tinggi dan besar seperti raksasa!"
"Iya, betul! Pulau Keramat, sebab mereka me-
nyebutnya utusan dari Pulau Kana. Dan Pulau Kana 
itu adalah Pulau Keramat! Hanya dedemit yang tinggal 
di sana! Sebab itu aku tak mau tinggal di sana!"
"Di mana kau bertemu dengan mereka?" tanya 
Lili.
"Mereka datang ke rumah, Nona Li!"
"Siapa yang menunjukkan kalau kami tinggal di 
pondokmu?"
"Bocah gemblung, Tamtama!"
"Tamtama...?!" gumam Yoga pelan.
"Bocah gemblung itu pernah melihat kita berja-
lan berdua, dan kebetulan dia melihatku sedang bera-
da dl depan rumah, lalu dia ajak keenam orang besar 
itu singgah ke rumah! Tamtama memaksa saya untuk 
segera mencari Tuan Yo! Jika tidak mau, rumah saya 
akan dirobohkan oleh keenam orang besar itu! Karena 
saya takut rumah akan dirobohkan, saya pun segera 
mencari Tuan Yo dan Nona Li!"
Yoga segera berkata, "Kita pulang sekarang ju-
ga! Kita temui keenam utusan dari Pulau Keramat itu!"

"Yo, tak usah ke sana!" cegah Lili tapi Tua Usil 
berkata,
"Harus ke sana! Kalau tidak nanti rumah saya 
dirobohkan raksasa-raksasa itu!"
"Diam kau!" bentak Lili. "Yo, kau bersembunyi 
saja! Aku yang akan menghadapi mereka!"
Tua Usil menggerutu sambil bersungut-sungut, 
"Belum bisa berdiri di atas ilalang, rumah sudah ro-
boh...! Huuh...!"
'Tutup mulutmu, Tua Usil!" bentak Lili dengan 
mata mendelik. "Rumahmu tidak akan roboh tapi tu-
buh mereka yang akan roboh!"
Lembayung Senja ikut bicara kepada Tua Usil, 
"Siapa yang bilang kalau rumahmu akan roboh jika 
Yoga tidak muncul?"
"Si gemblung Tamtama itu!"
"Itu hanya gertakan si Tamtama saja! Mereka 
tak akan merobohkan rumahmu! Jangan khawatir...!"
Lili berkata kepada Lembayung Senja, "Kita be-
rangkat sekarang, Lembayung Senja!"
"Bagaimana dengan aku, Guru?"
"Bersembunyilah!" bentak Lili. "Apa kau tadi ti-
dak mendengar aku bilang begitu?!"
"Ak... aku... aku tak bisa bersembunyi! Aku bu-
kan pengecut!"
"Lantas apa maumu dengan tangan buntung
mu itu, hah?!" ketus Pendekar Rajawali Putih dengan 
mata mendelik, berkesan galak kepada sang murid.
"Aku harus menghadapi mereka, Guru!"
"Tak perlu! Cukup aku saja! Hmmm... Lem-
bayung Senja, temani dia, dan biarkan aku pergi ber-
sama Tua Usil saja! Tua Usil, ikut aku pulang ke ru-
mah!"
"Raksasa itu bagaimana?"
"Kita habisi mereka dari atas ilalang!"
"Oho, saya sangat setuju itu!" Tua Usil kegiran-
gan begitu mendengar kata 'ilalang' dari mulut Lili. 
Maka, Lili pun segera pergi dari tempat itu bersama si 
Tua Usil yang tersenyum-senyum girang.
Yoga ingin ikut melangkah, tapi ditahan oleh 
Lembayung Senja.
"Jangan memancing kemarahan kekasihmu! 
Dia kalau marah berbahaya!"
"Kenapa dia melarangku ke sana?! Apakah dia 
pikir aku tak mampu melawan mereka?!"
"Kau sangat dibutuhkan oleh mereka!"
"Sangat dibutuhkan untuk apa?"
"Untuk dibawa ke Pulau Kana atau Pulau Ke-
ramat itu!"
"Untuk apa aku dibawa ke sana?" "Dikawinkan 
dengan Ratu Kembang Mayat!" 
"Hahh...?! Kembang Mayat?! Maksudmu sang
Ketua itu?"
"Benar! Ternyata dia masih hidup, menurut 
pengakuan Gandaloka!"
"Siapa Gandaloka itu?"
"Salah satu dari keenam utusan Pulau Keramat 
itu!" kemudian, Lembayung Senja menceritakan apa 
yang di dengar dari mulut Gandaloka tentang kesela-
matan Kembang Mayat saat jatuh dari jurang. Cerita 
itu membuat Yoga tertegun bengong dan hampir tidak 
mempercayainya.
"Aku sendiri semula tidak mempercayai kalau 
sang Ketua masih hidup, dan bahkan diangkat menja-
di ratu di Pulau Kana!"
"Kau tak ingin menemui dia?" tanya Yoga.
"Aku masih dalam kebimbangan. Perguruanku 
sudah hancur lebur dan bubar begitu saja. Masihkah

Kembang Mayat menerimaku sebagai anak buahnya, 
atau melupakan siapa aku setelah dia duduk sebagai 
ratu? Aku tak berani memastikan diri akan hal itu!"
"Pulau Kana terletak di mana?"
"Di tenggara pulau kita ini! Pulau itu dulu men-
jadi pantangan nenek moyang kita! Tak boleh ada yang 
datang ke sana karena Pulau Keramat itu terkenal 
angker. Setiap orang yang terdampar ke pulau itu pasti 
mati dan mayatnya ditemukan di laut dalam keadaan 
sudah menjadi tulang-belulang, tinggal beberapa ba-
gian yang masih ada dagingnya! Maka tersebarlah beri-
ta Pulau Kana itu dihuni oleh makhluk pemakan dag-
ing manusia Kare
nanya tak ada yang berani menyeberang ke sa-
na. Itu sebabnya pula dikatakan sebagai Pulau Kera-
mat!"
"Lalu, mengapa sekarang aku dicari mereka 
dan mau dikawinkan oleh mereka dengan Kembang 
Mayat?"
"Karena syarat untuk menjadi ratu harus me-
nikah, dan Kembang Mayat memilih kamu untuk men-
jadi calon suaminya! Dia segera mengirim utusan ke-
mari untuk menjemput mu!"
"Menurutmu, bagaimana jika aku menolak aja-
kan mereka?"
"Mereka akan marah kepadamu, dan kau akan 
kewalahan mengatasi amarah mereka! Konon, orang 
yang sudah diutus keluar dari Pulau Kana itu pasti 
orang yang sudah berilmu tinggi! Lukaku akibat gore-
san kipas Sendang Suci itu disembuhkan oleh orang 
yang bernama Gandaloka! Lihatlah... tak ada bekas 
sedikit pun pada kulitku!"
"Bagaimana jika aku melawan mereka saja ke-
timbang harus dikawinkan dengan Kembang Mayat?!"

Lembayung Senja diam sejenak. Ia melangkah 
mendekati sebuah pohon dan berseru dari sana sambil 
tangannya bersandar pada pohon itu,
"Apakah kau benar-benar tak ingin menjadi su-
ami Kembang Mayat?"
"Aku lebih berat meninggalkan Guru Lili!"
"Tapi dia adalah gurumu! Kalau kau sudah 
mengakui dia gurumu, kau tak boleh menikah dengan 
gurumu sendiri!"
"Mengapa tak boleh?"
"Karena... ah, aku tidak bisa mengatakannya!"
"Aha, lucu sekali kau ini!" Yoga tertawa sendiri, 
kemudian diam merenungkan soal utusan dari Pulau 
Keramat itu.
"Agaknya aku harus ke sana! Aku harus temui 
mereka dan bicara baik-baik!"
"Tidak! Kau tidak boleh temui mereka, nanti 
kau terluka lagi!" kata Lembayung Senja dengan ce-
mas.
*
* *
8


PENDEKAR Rajawali Merah pantang bersem-
bunyi dari lawannya. Ia tidak mau menghilangkan diri 
hanya karena ingin menghindari lawannya yang me-
nantangnya bertarung. Dan lagi, Yoga ingin mengata-
kan apa yang ada di dalam hatinya kepada para utu-
san itu ketimbang harus menghilang tanpa penjelasan 
apa-apa.
Karenanya, Yoga nekat berangkat menemui

keenam utusan itu di rumahnya si Tua Usil. Lem-
bayung Senja mencegahnya beberapa kali tapi tak per-
nah mampu. Sampai akhirnya mereka pun tiba di ru-
mah Tua Usil dalam waktu berjarak dekat sekali den-
gan kedatangan Lili.
Ketika Pendekar Rajawali Merah tiba di sana. 
Lili menampakkan wajah marahnya. Ia cepat-cepat 
menghampiri Yoga dan berkata geram dengan suara li-
rih,
"Mengapa kau nekat ke sini hah?!"
"Aku harus bicara pada mereka! Mereka harus 
tahu bahwa aku hanya punya hati untukmu, Guru Li!"
Mendengar alasan Yoga, kemarahan Lili pun 
mulai susut walau ia masih tetap menjaga rona wajah 
yang marah. Tapi sebenarnya itu hanya sebagai penu-
tup rasa malu mendengar ucapan Yoga dan menjadi 
girang hati nya. Maka, Lili pun membiarkan Yoga maju 
mendekati enam utusan dari Pulau Keramat yang 
agaknya sudah cukup lama menunggu di depan ru-
mah Tua Usil. Sementara itu, di pihak mereka pun ter-
lihat Tamtama sedang memandang Yoga dengan mata 
menyipit benci.
"Itu yang namanya Yoga dengan sok-sokan pa-
kai gelar Pendekar Rajawali Merah!" kata Tamtama ke-
pada Gandaloka.
Senyum Gandaloka terbentang ramah sambil 
sedikit membungkukkan badan memberi hormat ke-
pada Yoga. Sikap itu disambut baik oleh Pendekar Ra-
jawali Merah, dan berkatalah pendekar buntung yang 
masih tetap punya ketampanan memikat hati wanita 
itu,
"Benarkah kalian berenam utusan dari Pulau 
Keramat?"
"Benar, Tuan Pendekar!" jawab Gandaloka. Kalem dan tenang. Sikapnya hampir sama dengan sikap 
yang ada pada Yoga.
"Kami diutus oleh Ratu Kembang Mayat untuk 
menjemput Tuan Pendekar Rajawali Merah yang ter-
hormat! Dalam waktu dekat, kami akan segera menga-
dakan pesta perkawinan Tuan dengan Gusti Ratu ka-
mi!"
Seperti ditusuk jarum hati Lili jika mendengar 
kata-kata seperti itu. Tapi hati yang nyeri itu cepat 
menjadi teduh kembali setelah Lili mendengar Yoga 
menjawab,
"Tidak bisa! Dengan sangat menyesal dan berat 
hai, tolong sampaikan kepada Gusti Ratu kalian, saya 
tidak bisa hadir memenuhi panggilannya!"
"Kami harus punya alasan, Tuan Pendekar!"
"Alasannya..." Yoga melirik Lili sebentar, kemu-
dian meneruskan kata-katanya,
"Alasannya karena aku menolak untuk dika-
winkan dengan Kembang Mayat! Aku tidak mau, kare-
na aku punya kekasih sendiri!"
Tamtama menyahut dengan ketus, "Hmmm...! 
Bodoh amat kau! Mengapa masih saja memberati Mah-
ligai?! Kawin dengan ratu itu enak, Bodoh!"
"Aku tidak memberati Mahligai, Tamtama!"
"Omong kosong!" Tamtama melengos, buang 
mute dengan ketus dan sinis. Lili hampir saja melang-
kah untuk menampar wajah Tamtama, tapi Yoga 
memberi isyarat dengan tangan sehingga Lili urungkan 
niatnya. Terdengar Gandaloka berkata lagi dengan te-
tap kalem,
"Sayang sekali Tuan Pendekar menolak perka-
winan dengan Gusti Ratu kami yang baru itu! Padahal 
Tuan Pendekar-lah yang terpilih untuk mendampingi 
beliau dalam memimpin rakyat kami!"

"Kurasa, Kembang Mayat bisa memilih pria lain 
saja untuk menjadi calon suaminya!"
Tua Usil yang sejak tadi manggut-manggut se-
karang ikut nyeletuk,
"Suruh saja dia kawin sama bocah gemblung 
itu!" sambil menuding Tamtama. Merasa dipanggil 
'bocah gemblung', Tamtama menjadi marah. Ia ingin 
mendekati Tua Usil, tapi Lembayung Senja mengha-
dang di depannya, dan Tamtama tak jadi bergerak ke 
arah Tua Usil.
Gandaloka berkata lagi kepada Yoga, "Sebenar-
nya, melihat ketampanan dan kegagahan Tuan Pende-
kar, kami sendiri sebagai utusan merasa sangat gembi-
ra jika Tuan mau terima tawaran Gusti Ratu ini!"
"Pria tampan dan gagah bukan hanya aku saja! 
Masih banyak yang lain, yang belum punya kekasih 
atau yang sudah menjadi duda!"
"Apakah... mungkin Tuan Pendekar mempunyai 
syarat tertentu agar mau menikah dengan Gusti Ratu 
kami?"
Lili menjadi semakin jengkel. Sepertinya Gan-
daloka berusaha membujuk Yoga agar mau dikawin-
kan dengan Kembang Mayat. Lalu, Pendekar Rajawali 
Putih pun berkata,
"Rasa-rasanya sudah jelas, Gandaloka! Yoga ti-
dak bersedia. Jadi kalian boleh pulang sekarang juga 
dan sampaikan salam kami kepada Kembang Mayat!"
"Saya yakin Tuan Pendekar belum berpikir ma-
sak-masak. Kami akan beri waktu dua hari untuk 
mempertimbangkannya, Tuan Pendekar! Dan, seka-
rang kami pamit pulang dulu! Dua hari lagi kami akan 
datang untuk meminta kepastian jawaban!"
"Kurasa jawabannya sudah pasti, aku tidak 
bersedia kawin dengan Kembang Mayat, karena aku

sudah punya calon istri sendiri!"
Gandaloka tersenyum makin lebar, "Saya yakin 
Tuan belum pertimbangkan masak-masak! Jangan 
terburu-buru memberi kepastian jawaban jika belum 
dipertimbangkan sungguh-sungguh! Kami masih 
punya banyak waktu untuk menunggu!"
Gandaloka pergi bersama kelima anak buahnya 
yang tinggi-tinggi itu. Tamtama juga ikut pergi bersa-
ma rombongan mereka. Yoga dan yang lainnya hanya 
memandangi kepergian para utusan Pulau Keramat itu 
dengan benak dan hati berkecamuk masing-masing. 
Kemudian, mereka segera melepaskan diri dari kebi-
suan yang ada.
"Tengil amat gaya bocah gemblung itu!" Tua 
Usil yang mengawali merobek sepi dengan gerutuannya 
yang jelas didengar mereka.
"Kapan-kapan kalau aku ketemu dia, kuhajar 
dia sampai babak belur! Biar tahu rasa!" kata Lem-
bayung Senja yang agaknya juga tak suka melihat la-
gak Tamtama itu. Lembayung Senja masuk dan Tua 
Usil juga ikut masuk. Tapi Yoga serta Lili masih ada di 
luar, di bawah pohon rindang berdahan lengkung serta 
rendah itu.
"Kau tak menyesal memberi keputusan seperti 
tadi?" pancing Lili.
"Yang membuatku menyesal adalah jika aku 
menolak ajakan mu seperti tawaran Kembang Mayat 
itu!"
"Aku tak jelas maksudmu!"
"Aku berharap bukan Kembang Mayat yang 
punya niat seperti itu, tapi kau!"
"Aku perempuan yang punya harga diri jangan
samakan dengan Kembang Mayat!" gerutu Lili masih 
tak mau jujur dengan hatinya sendiri.

Yoga tertawa, "Kau jelas beda dengan Kembang 
Mayat! Cantiknya beda, kesaktiannya beda!"
"Hhh! Sudah...! Jangan bicara soal itu! Kau ha-
rus latihan jurus 'Pedang Buntung' dan 'Pedang Se-
penggal' tadi! Ayo lekas...!"
Sementara itu, di perjalanan Tamtama kembali 
menghasut keenam utusan dari Pulau Keramat itu. Ia 
merasa belum puas melihat sikap keenam utusan Pu-
lau Keramat yang tidak menampakkan kekerasan dan 
permusuhan dengan Yoga. Padahal dia berharap me-
reka bisa bersikap kasar kepada Yoga. Dalam hatinya, 
Tamtama berharap agar mereka berenam bisa berhasil 
membawa Yoga ke Pulau Kana. Jika Yoga dibawa ke 
Pulau Kana dan menikah dengan Kembang Mayat, 
maka Tamtama merasa tidak punya pengganggu dalam 
hubungannya terhadap Mahligai.
Kepada Gandaloka, Tamtama berkata, "Seha-
rusnya kau tadi sedikit keras dan jangan lunak kepa-
danya!"
"Aku terbiasa begitu. Tamtama! Kalau dia baik 
padaku, maka aku pun harus baik padanya!"
"Tapi demi mendapatkan apa yang kita ha-
rapkan, sedikit keras tak apalah! Daripada begini, ka-
lian tidak berhasil mendapatkan apa yang diperintah-
kan oleh Gusti Ratu kalian!"
"Aku yakin Pendekar Rajawali Merah itu akan 
berubah pikiran setelah merenungkan tawaran tadi!" 
kata Gandaloka dengan kalem.
"Kurasa dia tidak akan berubah pikiran! Aku 
tahu persis watak pendekar buntung itu."
"Bagaimana dengan wataknya?"
"Kalau kita lemah, kita disepelekan olehnya!".
"Betulkah begitu?"
"Iya! Aku cukup lama bergaul dengannya, jadi

aku tahu persis bagaimana wataknya!"
Gandaloka diam, masih tetap berjalan sambil 
mempertimbangkan kata-kata Tamtama. Lima orang 
temannya ada di belakangnya, yang seolah-olah siap 
menunggu perintah apa saja dari Gandaloka.
Tamtama berkata lagi, "Yoga adalah seorang 
pendekar, kalau dia punya keinginan harus ditempuh-
nya dengan susah payah. Karena di situlah letak jiwa 
pendekarnya! Kalau seseorang meminta bajunya den-
gan baik-baik, tidak akan diberikan! Tapi kalau orang 
itu bisa mengalahkan ilmunya, barulah ia akan serah-
kan baju itu sebagai tanda bahwa ia mengakui keheba-
tan ilmu lawannya!"
"Jadi, apa saran mu?!"
"Tantanglah dia dalam satu pertarungan! Berta-
ruhlah, kalau dia kalah dia menjadi suami Kembang 
Mayat, kalau dia menang dia bebas dari tawaran ka-
lian itu! Dan aku yakin, dia tidak akan bisa mengalah-
kan kalian!"
"Tapi itu suatu pemaksaan, Tamtama. Itu tidak 
baik!"
"Wataknya dia memang suka menghadapi hal-
hal yang bersifat memaksa! Dia paling marah jika il-
munya dianggap remeh. Walaupun sebenarnya dia ti-
dak punya ilmu seujung kuku pun, tapi kalau ilmunya 
dianggap remeh, dia akan bangkit dan berani berta-
rung apa saja!"
Langkah Gandaloka terhenti beberapa saat. Ia 
bertanya kepada Gadranaya, "Menurutmu bagaimana? 
Haruskah dia kita pancing dengan tantangan di arena 
pertarungan?"
"Kurasa tidak perlu," kata Gadranaya. "Kalau 
memang hatinya tidak berminat untuk menjadi suami 
Gusti Ratu kita, mengapa harus dipaksakan? Akhirnya

perkawinan mereka tidak bisa menjadi suri teladan 
bagi pasangan-pasangan di antara rakyat kita!"
Rogami menyahut, "Tapi kalau memang letak 
harga dirinya dalam satu pertarungan, tak ada salah-
nya kalau kita mencoba menghargainya dengan perta-
rungan juga!"
Tamtama menimpali, "Dan lagi, Gusti Ratu ka-
lian pasti akan kecewa jika kalian pulang dengan tan-
gan kosong! Masa' utusan terpilih tidak bisa membawa 
pulang orang yang dicintai oleh sang Ratu? Bukankah 
ratu kalian sudah sangat mempercayai kesaktian ka-
lian, sehingga menugaskan kalian kemari, karena Ratu 
Kembang Mayat sudah telanjur yakin, bahwa masalah 
ini bisa ditangani oleh kalian. Tidak gagal!"
Enam utusan Pulau Keramat itu terbungkam 
beberapa saat, merenungi langkah, merenungi kata-
kata Yoga, juga merenungi cara terbaik untuk mem-
bawa pulang Pendekar Rajawali Merah. Tamtama wak-
tu itu punya kesempatan lagi untuk mempengaruhi 
otak mereka dengan kata,
"Kalau kalian mau menangkap ikan, kalian ha-
rus tahu umpannya apa? Kalau kalian tidak tahu um-
pan ikan itu apa, mana bisa membawa pulang seekor 
ikan? Sama halnya dengan membawa pulang Yoga. Ka-
lian harus tahu apa umpannya? Dan umpan itu ada-
lah pertarungan!"
"Seberapa tinggi ilmunya?" tanya Sarpa.
"Aaah... kecil!" Tamtama menjentikkan jari ke-
lingkingnya. "Dia sebenarnya tidak punya ilmu apa-
apa! Di bandingkan dengan ilmu kalian jauh tidak se-
banding! Tapi kesombongannya tinggi dia!"
"Baiklah! Agaknya kita memang harus perlu 
mengikuti selera dia!" kata Yodana. "Apa pun caranya, 
yang penting kita pulang membawa apa yang ditugaskan pada kita oleh sang Ratu!"
"Bagus!" Tamtama menghentak memberi se-
mangat.
"Bagaimana kalau dia mati di tangan kita?" 
tanya Lombo.
"Jangan sampai mati!" kata Gandaloka. "Kita 
harus tahu takaran!"
"Kalau dia menyerang dengan bahaya dan akan 
menewaskan diri kita, apakah kita harus gunakan ju-
rus-jurus sederhana saja?" ujar Yodana dengan sedikit 
ngotot.
"Hentikan pertarungan jika memang ia tampak 
berbahaya!"
Tamtama menyahut, "Dia paling bangga kalau 
bisa dilukai oleh lawannya! Jiwa pendekarnya ada di 
atas luka! Seolah-olah jika ia sudah dilukai lawannya, 
ia merasa lebih gagah dan lebih hebat lagi!"
Gandaloka berkata kepada yang lain, "Kalau 
begitu, lukai dia tapi jangan di tempat yang berba-
haya!"
"Baiklah kalau memang begitu! Lantas siapa 
yang mau menyampaikan tantangan ke sana?"
"Aku juga bersedia!" kata Tamtama dengan pe-
nuh semangat.
"Di mana kita akan bertarung dengannya?"
"Aku punya tempat yang bagus untuk perta-
rungan!" kata Tamtama lagi. "Kalian pasti menyukai 
arena itu! Letaknya ada di bibir jurang, tanahnya lega, 
punya gugusan batu yang bisa digunakan untuk me-
lompat ke sana kemari, dan... pokoknya sangat hebat 
jika digunakan oleh kalian yang bertubuh besar begi-
ni!"
"Baiklah, kau yang atur, Tamtama!" kata Gandaloka.

"Itu mudah! Sangat mudah bagiku!" kata Tam-
tama. "Tulislah surat tantangan dan aku akan mem-
bawanya kepada Pendekar Rajawali Merah, calon sua-
mi dari ratu kalian itu!"
Merasa tak bisa dikalahkan Yoga dengan ke-
saktiannya dan ilmu-ilmunya, Tamtama menggunakan 
siasat adu domba tersebut. Ia yakin seyakin-yakinnya, 
bahwa Yoga akan celaka dalam pertarungan nanti. Kali 
ini yang akan dihadapi Yoga bukan orang-orang beril-
mu sedang, tapi orang-orang berilmu tinggi yang terpi-
lih dari Pulau Kana. Tubuh mereka saja sudah tidak 
seimbang dibanding tubuh Yoga. Apalagi Yoga hanya 
bertangan satu, jelas akan terdesak sekali oleh seran-
gan orang-orang besar bertangan lengkap itu.
Dengan penuh semangat Tamtama pergi ke 
rumah Tua Usil untuk menyampaikan surat tantan-
gan. Kehadirannya disambut dengan serangan oleh 
Lembayung Senja. Tamtama sempat mengelak dengan 
satu lompatan kecil yang membuat pukulan jarak jauh 
Lembayung Senja meleset dan mengenai tempat ko-
song. Weeess...!
"Tahan, aku tidak menghendaki pertarungan! 
Aku ke sini mau menemui Pendekar Rajawali Merah!" 
kata Tamtama sambil matanya terbuka lebar-lebar. 
Tapi Lembayung Senja menyipitkan mata, memandang 
dengan sinis. Tamtama akhirnya tersenyum dan ber-
kata,
"Kau tampak cantik sekali jika sedang cemberut 
begitu, Lembayung Senja! menggemaskan sekali bibir-
mu itu, Nona!"
Wuuut...! Plook...! Tendangan kaki Lembayung 
Senja yang berkelebat secara tiba-tiba itu mengenai 
wajah Tamtama dengan telak. Pemuda itu sempat ter-
pelanting ke belakang dan hampir jatuh. Ia menjadi

marah, lalu melepaskan pukulan tenaga dalamnya.
Claap...! Duaar...!
Sinar kuning disambut dengan sinar merah da-
ri tangan Lembayung Senja. Akibatnya sebuah ledakan 
bergelombang besar menghempaskan tubuh Tamtama 
hingga membentur pohon dua kali. Sedangkan Lem-
bayung Senja hanya tersentak mundur dua tindak.
"Keparat kau! Apa maksudmu menyerangku, 
hah?"
"Aku tidak suka dengan lagakmu! Mau apa 
kau?!" tantang Lembayung Senja. Lalu, Tamtama 
menggeram jengkel dan segera melompat dengan tela-
pak tangan terbuka keduanya. Lembayung Senja juga 
segera sentakkan kaki dan melompat. Tubuh mereka 
bertemu di udara.
Wuuuttt...!
Telapak tangan mereka saling beradu. Plaaak...! 
Duaaar. Tamtama terpental lagi, jauhnya lebih dari li-
ma tombak. Sedangkan Lembayung Senja hanya ter-
pental tak lebih dari satu tombak. Ia bisa mendaratkan 
kakinya dengan sigap, sedangkan Tamtama terguling-
guling melintasi bebatuan yang runcing. Pinggangnya 
terasa sakit, bahkan ada batu runcing yang menggores 
bagian lambungnya. Lambung itu berdarah dan perih 
rasanya.
"Dari dulu aku muak dengan lagakmu, Bang-
sat! Kau dulu pernah mengalahkan aku dengan seenak 
perutmu! Sekarang aku akan membalas kekalahan ku
itu dengan mencabut nyawamu!"
Sraang...! Pedang dicabut dari sarungnya. Lem-
bayung Senja siap menyerang Tamtama. Untung saat 
itu Yoga dan Lili segera keluar karena mendengar dua 
kali suara ledakan. Lili segera berseru,
"Lembayung...! Tahan marah mu!"

Suara itu sangat berwibawa bagi Lembayung 
Senja, sehingga ia tak jadi menyerang Tamtama, dan 
pedangnya dimasukkan kembali. Slep! Lili segera ber-
tanya kepada Tamtama,
"Apa maksudmu datang kemari?"
"Menyampaikan surat buat Yoga!"
"Surat...?!" gumam Lili sambil menatap Yoga, 
lalu ia berbisik penuh geram, "Apakah kau punya ke-
kasih lain?"
"Tidak! Jangan berpikiran seperti itu!" kemu-
dian Yoga berkata kepada Tamtama,
"Surat apa dan surat dari siapa?"
"Surat tantangan dari enam utusan Pulau Ke-
ramat itu!"
"Surat tantangan?!"
"Benar! Karena kamu menolak ajakannya dan 
secara tidak langsung menolak lamaran Kembang 
Mayat yang menjadi ratu mereka, maka mereka men-
ganggap sikapmu itu suatu penghinaan besar! Kau ha-
rus menebusnya dengan pertarungan di Bukit Darah!"
Surat itu dibaca sebentar oleh Yoga dan Lili. 
Kemudian Lili segera berkata kepada Tamtama,
"Baiklah, sampaikan kepada mereka, aku yang 
akan menggantikan Yoga dalam pertarungan nanti!"
"Mereka menantang Pendekar Rajawali Merah, 
bukan kau!"
"Aku Pendekar Rajawali Putih! Sama saja!" ja-
wab Lili tegas sekali.
"Tidak bisa! Mereka tetap menghendaki perta-
rungan dengan Pendekar Rajawali Merah! Mereka tak 
yakin kalau kau berani menolak lamaran Gusti Ratu 
mereka! Penolakan itu harus dibuktikan dengan perta-
rungan. Esok lusa mereka menunggu kalian di Bukit 
Darah, terutama Yoga yang mereka tunggu!"

*
* *
9


TERNYATA yang dimaksud Bukit Darah adalah 
tanah datar di bibir jurang yang pernah dipakai perta-
rungan antara Kembang Mayat dengan Topeng Merah. 
Di tempat itulah Yoga kehilangan satu tangannya dan 
terkapar ditemukan Lili, (Baca episode: "Ratu Kembang 
Mayat").
Ketika Yoga hadir dl tempat itu, hatinya berde-
sir ingat saat ia kehilangan tangannya. Hati Lili pun 
berdesir pedih, ingat saat menemukan Yoga dalam 
keadaan buntung. Darah bekas potongan tangan itu 
sekarang menghitam di tanah Bukit Darah tersebut 
Sebenarnya Pendekar Rajawali Merah sudah dilarang 
nadir ke pertarungan tersebut oleh gurunya, yaitu Lili. 
Tetapi mereka justru sempat bertengkar dan saling ba-
ku hantam sendiri. Akhirnya, Lili bersikap masa bodoh 
terhadap kemauan Pendekar Rajawali Merah itu. Seka-
li pun demikian, toh pada saat ditentukannya perta-
rungan, Lili tetap tak tega. Ia ikut hadir mendampingi 
orang yang diam-diam sangat dicintai itu. Bahkan 
Lembayung Senja pun ikut serta, karena ia ingin men-
curi jurus-jurus yang dimainkan oleh Pendekar Raja-
wali Merah. Sedangkan Tua Usil ikut pula, karena ia 
senang melihat jurus-jurus yang mengagumkan itu.
Gandaloka hadir bersama kelima anak buah-
nya.
Tak ketinggalan, Tamtama pun ada di pihak 
mereka. Tamtama memandang sinis berkesan mere-
mehkan kepada Yoga, membuat geram hati Lili dan Lembayung Senja mencari kesempatan untuk memu-
kul Tamtama. Sementara itu, si Tua Usil sebentar-
sebentar menunggingkan pantat untuk meledek Tam-
tama dengan rasa bencinya.
Pendekar Rajawali Merah siap di tengah arena 
yang dikelilingi oleh mereka. Ia berdiri tegak dan da-
danya yang keras itu terbusung gagah walau tanpa sa-
tu tangan. Pedangnya tetap bertengger di punggung 
dan siap dicabut bilamana diperlukan. Sementara itu, 
Lili berdiri di tepian jurang, menjaga kemungkinan tu-
buh Yoga terpental ke arah jurang.
Gandaloka maju dengan memberi hormat mela-
lui anggukkan kepala dan senyuman tipis. Pada waktu 
itu, Pendekar Rajawali Merah segera bertanya kepada 
Gandaloka,
"Siapa yang akan maju melawanku?"
"Gadranaya!" jawab Gandaloka dengan menun-
juk orang paling gemuk di antara mereka. Gadranaya 
pun maju dan berdiri di samping Gandaloka. Matanya 
memandang tajam ke arah Yoga, seakan tak sabar in-
gin segera menyerangnya. Gadranaya menggunakan 
senjata pedang panjang yang menyerupai samurai, te-
tapi pedang itu berukuran besar dan sesuai dengan 
perawakan badannya.
"Sebelumnya aku minta maaf, karena pertarun-
gan ini sebagai ungkapan rasa hormat kami kepada-
mu, Tuan Pendekar," kata Gandaloka.
"Bukan begini cara memberi rasa hormat kepa-
daku, Gandaloka! Kusarankan, sebaiknya kalian pu-
lang saja dan laporkan kepada Gusti Ratu kalian ten-
tang keadaan diriku dan hatiku! Jangan kau tempuh 
dengan cara seperti ini!"
Gandaloka sudah terpengaruh oleh kata-kata 
Tamtama, sehingga ia berkata dengan kalem,

"Harga diri seorang pendekar terletak pada sua-
tu pertarungan! Kami tahu persis hal itu. Jadi kami 
tempuh cara seperti ini! Jika Tuan Pendekar menang 
melawan kami, maka kami akan pulang dan melapor-
kan keadaan di sini kepada Gusti Ratu Kembang 
Mayat. Tetapi jika Tuan Pendekar kalah, maka Tuan 
Pendekar harus ikut kami ke Pulau Kana dan menikah 
dengan Gusti Ratu Kembang Mayat!"
"Bagaimana jika di antara kalian ada yang ma-
ti?"
"Itu sudah tugas kami! Kami prajurit pilihan 
yang punya tugas dan tanggung jawab mati untuk 
sang Ratu!"
"Baiklah! Jangan katakan aku keji jika kalian 
ada yang mati karena pertarungan ini!"
"Kami sudah siap untuk itu, Tuan Pendekar!" 
sambil Gandaloka anggukkan kepala sebagai hormat 
yang di sertai dengan senyum ramah.
"Baik. Minggirlah...! Akan segera ku mulai!" ka-
ta Yoga dengan tenang juga. Lalu, Gandaloka pun 
mundur dari arena. Dan Gadranaya mulai maju perla-
han-lahan.
"Hait..!" Gadranaya membuka jurus pertama, 
satu tangannya di atas kepala dan tangan yang sa-
tunya lurus ke depan dalam keadaan tengkurap tela-
paknya.
Pendekar Rajawali Merah berjalan pelan-pelan 
membentuk gerak lingkaran. Tangan kanannya yang 
masih utuh itu sebentar-sebentar menepiskan cuping 
hidungnya yang mancung dengan ibu jarinya. Matanya 
tak berkedip memandangi lawannya yang tinggi besar 
itu.
"Heaaat...!" Gadranaya menyerang lebih dulu 
dengan satu lompatan berkaki lurus. Kaki itu diarah

kan ke dada Pendekar Rajawali Merah. Tetapi dengan 
gesit dan cepat, Pendekar Rajawali Merah berkelebat 
lompat ke atas, lalu kaki besar yang memanjang lurus 
karena menendang itu digunakan sebagai alas berta-
pak oleh Yoga. Ia berlari menggunakan alas kaki betis 
dan paha lawan. Kemudian dengan cepat kaki kanan-
nya menendang wajah Gadranaya kuat-kuat. 
"Hiaaat..!" Plookk...!
Pendekar Rajawali Merah melompat dan memu-
tar tubuhnya bagaikan kitiran. Wuuurt...! Putaran itu 
melepaskan tendangan berkali-kali dalam gerak se-
rempak. Prroookk...! Suara wajah tertendang secara 
beruntun itu membuat Tamtama terbengong melom-
pong.
Gadranaya bertahan untuk tidak terpental. Ta-
pi tubuhnya limpung ke kanan kirinya. Mulutnya me-
nyemburkan darah dengan salah satu gigi terloncat ke-
luar akibat tendangan tersebut. Matanya terkedip-
kedip karena pandangannya menjadi gelap.
"Gggrrr...!" ia menggeram antara sakit dan ma-
rah. Segera ia mencabut pedangnya yang ada di ping-
gang. Tetapi baru saja ia memegang gagang pedang, ti-
ba-tiba Yoga melompat maju lagi, dan menghantamkan 
telapak tangannya dengan kuat, menyodok ke atas ulu 
hatinya. Buuhg!
Hantaman telapak tangan itu begitu telaknya. 
Bahkan untuk sesaat masih menempel dl ulu hati 
orang besar itu. Tampak telapak tangan Pendekar Ra-
jawali Merah membara merah bagaikan besi terpang-
gang. Dan seketika itu pula, dari mulut Gadranaya 
muncratlah darah segar yang menyembur lumayan 
jauhnya.
Seet...! Yoga menarik tangannya dan segera 
bersalto ke belakang satu kali. Wuuut...! Jleeg...! Ia

kembali berdiri dengan tegap, memandangi lawannya 
yang masih berdiri dengan limbung. Kejap berikutnya 
Gadranaya pun tumbang bagai sebatang pohon besar 
tak berakar lagi. Bluuuhg...! Darah makin banyak yang 
keluar dari mulutnya, kemudian kepala orang besar itu 
tergolek miring dengan lemas. Saat itulah Gadranaya 
menghembuskan napas terakhirnya.
Semua mata teman-temannya terbelalak kaget 
melihat Gadranaya tumbang. Gandaloka sendiri terbu-
ka matanya dan segera berlari menolong Gadranaya, 
tetapi ia terlambat. Ia mengetahui Gadranaya telah 
mati. Rasa sesalnya ditahan kuat-kuat dengan cara 
menundukkan kepala dalam keadaan jongkok di 
samping mayat Gadranaya.
"Gandaloka! Izinkan aku maju membalas keka-
lahan ini!" seru Yodana.
Gandaloka hanya memandang Yodana yang 
bermata lebar itu. Lalu, Gandaloka anggukkan kepala 
tipis sambil ia segera pergi membawa mayat Gadra-
naya ke tepi. Sekarang Yodana melompat maju ke ten-
gah arena. Pada saat itu, Yoga mendengar suara Lili 
berbisik di belakang,
"Hindari tangan kirinya! Dia kidal!"
Lili bisa berkata begitu, karena dia melihat Yo-
dana menyelipkan senjata golok lebarnya di sebelah 
kanan. Yoga segera paham maksud Lili, tapi ia tidak 
memberi anggukan sedikit pun. Ia justru bergerak ma-
ju dengan langkah pelan.
"Tuan Pendekar!" kata Yodana. "Kalau sampai 
Tuan luka, anggap saja itu penebus kematian teman 
saya itu!"
"Aku siap menebusnya dengan nyawa!" jawab 
Pendekar Rajawali Merah dengan mantap. Kemudian ia 
segera hentikan langkah karena tiba-tiba Yodana melepaskan pukulan bersinar putih terang ke arah dada 
Yoga. Maka dengan cepat Yoga pun menghantamkan 
telapak tangannya ke depan. Claap...! Sinar merah ba-
ru saja keluar dari tangannya sudah lebih dulu dide-
sak oleh sinar putih perak itu. Blaaar...!
Tubuh Pendekar Rajawali Merah terpental dan 
jatuh terguling-guling hingga mencapai tepian jurang. 
Mereka yang memandang menjadi cemas. Lili ingin 
berlari menahan tubuh Yoga agar jangan sampai terje-
rumus ke jurang. Namun tiba-tiba terdengar suara pe-
kikan Yodana yang melompat bersama golok besarnya 
yang sudah diangkat siap untuk ditebaskan. 
"Heaaahhh...!"
Pendekar Rajawali Merah berguling ke kanan 
dan kiri dalam keadaan telentang. Matanya melihat je-
las gerakan lawan yang ingin membelah kepala dan 
dadanya. Maka dengan cepat kaki Yoga menendang tu-
lang kering lawannya dengan kuat. Dees...!
"Aahg...!"
Kesempatan itu digunakan oleh Yoga untuk 
berguling lagi ke kanan, dan kakinya berkelebat ke 
samping, menendang pinggul Yodana dengan keras. 
Duugh...!
"Auh...!"
Tendangan itu sangat kuat, sehingga tubuh Yo-
dana akhirnya terhuyung-huyung kehilangan keseim-
bangan. Yoga segera sentakkan pinggulnya sendiri, 
wuuut...! Jleeg...! Ia sudah berdiri, dan segera lepaskan 
tendangan sekali lagi ke punggung Yodana. Wuuut! 
Duuhg...!
"Uaaa...!" Yodana menjerit sekeras-kerasnya ka-
rena tubuhnya terlempar ke jurang yang dalam. Jeri-
tan itu membuat mata teman-temannya terpejam kuat-
kuat menahan kengerian yang dialami Yodana. Jeritan

itu menggema panjang dan makin lama semakin hilang 
bagaikan tertelan bumi.
Tiba-tiba terdengar suara. "Keparat kau, 
heeaaah...!"
Waktu itu Pendekar Rajawali Merah sedang 
memandang ke arah jurang yang menelan tubuh Yo-
dana. Tapi begitu mendengar pekikan keras dari arah 
belakangnya, dengan tanpa menoleh lagi Pendekar Ra-
jawali Merah sentakkan kaki ke tanah dan tubuhnya 
melenting ke atas dengan gerakan bersalto dua kali. 
Wuuut... wuuut...! Gerakan bersalto ke belakang dua 
kali itu membuat Yoga lolos dari hujaman pedang be-
rujung runcing. Zuuut...!
Orang itu cepat balikkan badan dan pandangi 
Yoga dengan penuh dendam. Dia adalah yang bernama 
Sarpa. Kumisnya tebal. rambutnya ikal, dengan pe-
dang besar runcing tajam dua sisinya. Ketika pedang 
itu di hujamkan tadi, tampak ada sinar merah melesat 
sebesar lidi. Kali ini agaknya Sarpa juga ingin menggu-
nakan kehebatan pedangnya itu. Pendekar Rajawali 
Merah melangkah pelan mengitari arena demikian pula 
orang tinggi besar bersenjata pedang runcing yang be-
rukuran besar juga itu. Dan tiba-tiba ia menyerang 
dengan cepat, mengibaskan pedangnya ke kanan kiri 
hingga keluarkan asap putih dan suara menggaung. 
Wuuung... wuuung... wuuung... wuuung...!
"Asap racun!" seru Lili kepada Yoga. Yang me-
nutup hidung Lembayung Senja dan si Tua Usil. Se-
dangkan Lili dan Pendekar Rajawali Merah tetap diam, 
tidak menutup hidung, namun mereka menahan na-
pas.
Asap itu makin lama semakin tebal, karena Yo-
ga tidak segera menyerang melainkan hanya menghin-
dar ke sana sini saja. Gandaloka dan Tamtama juga

segera menutup hidung. Bau seperti belerang busuk 
adalah bau racun yang berbahaya. Sedangkan Rogami 
dan Lombo hanya menahan napas seperti Yoga.
Begitu kibasan pedang berhenti dan asap men-
gepul tebal, Yoga segera lepaskan pukulan jarak jauh-
nya yang berwarna hijau. Selarik sinar hijau itu mele-
sat dari ujung jari Yoga. Zlaaap! Sinar hijau itu berke-
lebat menembus gumpalan asap beracun.
Zluub...! Wuuurrsss...! Asap itu menyebar dan 
lenyap seketika bagai dihembus badai yang amat be-
sar. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Merah berguling ke 
tanah dan tahu-tahu kakinya sudah menendang kuat 
'jimat simpanan' Sarpa. Buuhhg...!
"Ouuh...!" Sarpa mendelik sambil memegangi
‘jimat simpanannya’ yang ada di bawah perut. Tubuh-
nya sedikit membungkuk. Keadaan itu segera diman-
faatkan oleh Pendekar Rajawali Merah untuk menye-
rang wajah lawan. Kakinya lurus ke atas dan tangan 
kanannya bertumpu di tanah lalu menyentak. 
Wuuut...! Pendekar Rajawali Merah melesat ke atas 
dengan cepat dalam keadaan kaki kanan dan kiri men-
jejak ke atas kepala di bawah. Plook...! Tendangan kaki 
itu tepat mengenai wajah lawan dengan telak sekali. 
Lawan terdongak seketika dan terhuyung-huyung ke 
belakang dengan mulut dan hidung bonyok berdarah.
Pedang Sarpa jatuh di tanah dan Pendekar Ra-
jawali Merah sudah putarkan tubuh, lalu ketika ia tu-
run dari lompatannya kakinya lebih dulu memapak di 
tanah. Jleeg...!
Sarpa masih kuat. Ia membelalakkan mata 
dengan ganas ketika melihat wajahnya berlumur da-
rah. Dengan mengerang keras Sarpa pun melompat 
bagai singa lapar ingin menerkam mangsanya. Tetapi 
pada saat itu Yoga melihat pedang lawan di tanah darasap tipis dan membuat kepala lawan retak seketika, 
mungkin juga pecah pada bagian dalamnya. Akibatnya 
tubuh lawan itu tumbang bagai seekor kerbau dan ke-
jap selanjutnya sudah tidak bernapas lagi.
Pendekar Rajawali Merah wajahnya menjadi ke-
ras dan ganas. Matanya menatap tajam pada Gandalo-
ka dan Rogami. Hanya dua orang itu yang tersisa dari 
keenam utusan Pulau Keramat. Kedua orang itu terte-
gun melihat kematian Lombo yang dikenal jago ber-
main kapak.
"Apakah masih mau dilanjutkan?!" ucap Pen-
dekar Rajawali Merah dengan nada dingin.
Gandaloka memandang Rogami. Yang dipan-
dang seakan penuh nafsu membunuh kepada Pende-
kar Rajawali Merah. Sebentar kemudian terdengar sua-
ra Rogami berkata tanpa menoleh ke arah Gandaloka,
"Akan ku tebus kematian teman-teman kita, 
Gandaloka!"
"Rogami, kurasa cukup sampai di sini saja!" ka-
ta Gandaloka.
Mata Rogami masih memandang buas kepada 
Yoga dan ia berkata,
"Kalau aku mati, hentikan pertarungan sampai 
di sini! Tapi kalau aku hidup, lanjutkan pertarungan 
dengan yang lainnya!"
"Rogami, ini hanya sia-sia belaka!"
"Sudah telanjur, Gandaloka! Sudah telanjur 
dan ini adalah pertarungan yang penghabisan...!" sam-
bil Rogami melangkah maju dengan sangarnya. Ram-
butnya yang panjang dengan mata lebar, benar-benar 
menampakkan dirinya seperti raksasa haus darah.
Sreek...! Ia mencabut pedang berujung papak 
tapi tajam. Pedang segi empat yang menyerupai parang 
besar itu berkilauan karena memantulkan sinar mata

hari. Pada saat itu, tangan Pendekar Rajawali Merah 
pelan-pelan mencabut pedang pusakanya dari pung-
gung. Sreet!
Biaaar...! Kilatan petir menggelegar di angkasa 
walau panas matahari begitu menyengat kulit. Itulah 
tandanya Pedang Lidah Guntur dikeluarkan dari sa-
rungnya. Pedang tersebut bercahaya merah pijar dan 
sesekali terlihat ada lompatan lidah petir yang kecil-
kecil di tepian pedang tersebut.
"Gandaloka, aku terpaksa...!" kata Pendekar 
Rajawali Merah dengan suara keras. Gandaloka tidak 
bisa berkata apa-apa. Rogami menyerang dengan ga-
nas.
Pedangnya digenggam dengan dua tangan.
"Hiaaahhh...!" ia berteriak keras sambil mener-
jang Pendekar Rajawali Merah. Tetapi Yoga cepat kele-
batkan pedangnya dari atas ke bawah. Wuuut... ! 
Zlaaap...! Sinar merah berkelok-kelok melesat dari 
ujung pedang itu dan menghantam tubuh Rogami. 
Zraab...!
Rogami diam tak bergerak. Pedang papaknya 
jatuh dari tangan dan tubuhnya pun tumbang ke bela-
kang. Blaam...! Gandaloka mendelik melihat tubuh Ro-
gami terbelah dari kening sampai ke perut. Belahannya 
berkelok-kelok, jelas bukan karena tebasan ujung pe-
dang, tapi karena sinar merah tadi.
Melihat Rogami tumbang, Gandaloka hanya 
menarik napas panjang. Lalu ia berkata kepada Pen-
dekar Rajawali Merah,
"Tuan Pendekar, kiranya cukup sudah sampai 
di sini pertarungan kita! Pada dasarnya, Tuan Pende-
kar menolak, dan saya salah langkah dalam bertindak! 
Saya... pamit pulang ke Pulau Keramat!"
"Gandaloka...! Secara jujur kuakui, kau seorang

ksatria! Sampaikan salamku kepada Kembang Mayat 
dan ceritakanlah apa adanya."
"Baik," jawab Gandaloka sambil menunduk 
memberi hormat Kemudian ia pun berbalik arah dan 
pergi dengan hati getir. Tamtama mengikutinya dan 
berkata,
"Kenapa kau tidak turun juga, Gandaloka?! 
Siapa tahu kau menang... dan... dan...."
Tamtama tidak melanjutkan kata-katanya, 
Tangannya digenggam Gandaloka sambil berkata, "Kau 
penghasut licik!" Kraak...!
"Aaauhh...!" Tamtama menjerit kesakitan. Tan-
gan kirinya dipatahkan oleh Gandaloka. Setelah itu di-
tinggalkannya pergi begitu saja.
Mereka yang ada di pihak Yoga hanya mener-
tawakan kesakitan Tamtama, dan membiarkan pemu-
da itu meraung-raung sambil berguling-guling di ta-
nah. Suaranya bagai memenuhi seluruh bumi.
Tua Usil mendekatinya dan berkata, "Bocah 
gemblung...! Tangannya dipatahkan kok mau saja! 
Huhh..,! Dasar gemblung kamu!"
"Tua Usil, tinggalkan dia! Kita pulang!" seru Lili.
"Oh, eh... iya, baik! Baik, Nona Lili! Hmmm... 
kita belajar berdiri di atas ilalang, bukan?!" Tua Usil gi-
rang. Lili menjawab,
"Kubilang kalau urusanku sudah selesai, baru 
kuajarkan cara berdiri di atas ilalang!"
"Lho, urusannya kan sudah selesai, Nona Lili!"
"Belum. Karena Yoga belum mau kasih tahu, di 
mana Sendang Suci atau si Topeng Merah itu disem-
bunyikan!" geram Lili sambil melirik Pendekar Rajawali 
Merah.
Yoga berkerut dahi, "Aku tidak tahu soal dia!"
"Bohong!"

"Sungguh. Aku tidak tahu!" "Kataku; bohong!" 
bentak Lili dengan mata mendelik.
Pendekar Rajawali Merah angkat bahu, pertan-
da menyerah dan terserah apa kata Lili. Tapi lama-
lama ia membatin pula, perlukah memberitahukan di 
mana Sendang Suci? Padahal Yoga masih punya tugas 
mencari bunga Teratai Hitam untuk Mahligai, dan 
mencarikan obat penyembuh racun untuk Mutiara Na-
ga.
Dan apakah kematian kelima utusan Pulau Ke-
ramat itu tidak mendatangkan penyerang besar-
besaran? Bagaimana jika penduduk Pulau Keramat 
yang bertubuh tinggi besar semua itu menyerang Pendekar Rajawali Merah secara bersama-sama?


                             SELESAI


Segera menyusul:

GEROMBOLAN BIDADARI SADIS




















Share:

0 comments:

Posting Komentar