..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 16 Maret 2025

RORO CENTIL EPISODE DENDAM SI MANUSIA PALASIK

matjenuh khairil

 

SATU

Laki-laki itu bernama RAKA RUMPIT. Ram-
butnya gondrong sebatas bahu. Berperawakan te-
gap, dan berwajah tampan. Mempunyai sepasang 
alis yang tebal hitam dengan sepasang mata yang 
agak sipit. Tebing di mana laki-laki yang ditaksir 
masih berusia muda itu adalah tebing batu bukit 
terjal. Di bagian bawahnya mengalir anak sungai 
yang bercabang dua. Persis di bagian atas muara 
sungai itulah, si pemuda bernama Raka Rumpit 
ini berdiri untuk memandang ke sekitar. Dan di 
bawah kakinya itu adalah tempat tinggalnya, di 
mana terdapat sebuah goa batu yang menghadap 
ke arah sungai. Barusan saja dia naik ke atas bu-
kit dengan pergunakan kelincahannya mendaki.
"Rumpiiiit...! Kau kembalilah dulu, bocah 
gendeng! Atau aku hajar pantatmu dengan tong-
kat ini!" Terdengar suara teriakan suara seorang 
wanita yang parau dari bawah tebing. Pemuda ini 
tampak menampilkan senyuman melebar, seraya 
menoleh ke bawah.
"Hahaha... haha... Aku malas turun lagi, ne-
nek peot! Kau sajalah naik ke atas! Aku sudah 
hampir bosan tinggal di dalam sarang tikus yang 
berbau pengap itu!" Pemuda ini menyahuti see-
naknya saja, tanpa perdulikan kalau yang me-
manggil adalah gurunya.
"Bocah kurang ajar! Aku segera akan naik ke 
atas! Dan jangan harap kau dapat selamatkan 
pantatmu dari gebukan tongkatku...!" Teriak suara dari bawa seperti bernada gusar. Akan tetapi si 
pemuda ini cuma cengar-cengir mendengarnya.
Sebuah bayangan berkelebat dari bawah bu-
kit. Dan sekejapan saja di atas lamping bukit ba-
tu itu sudah berdiri seorang nenek tua renta yang 
bungkuk. Berwajah menyeramkan, karena me-
mang mirip dengan tengkorak. Di lengannya ter-
cekal sebuah tongkat hitam legam yang meleng-
kung bagai ular meliuk. Melihat kemunculan si 
nenek bongkok itu, si pemuda ini cuma nyengir 
sambil garuk-garuk kepala. Si nenek bongkok 
tampilkan wajah gusar. Sepasang matanya mem-
bersitkan sinar tajam menatap si pemuda murid-
nya itu.
"Eh, bocah gendeng! Apa kau bilang tadi? Kau 
sudah bosan tinggal di lubang tikus tempatku 
ini...?" Ujarnya dengan suara lantang. Tentu saja 
pemuda ini jadi gelagapan karena dilihatnya sang 
guru seperti benar-benar marah dan tersinggung 
mendengar kata-katanya. Segera dia buru-buru 
menjawab.
"Bukan begitu, nenek... Akan tetapi aku me-
mang memerlukan menghirup udara segar di 
luar! Maksudku... aku... aku ingin turun gunung 
barang sebentar!" Ucap Raka Rumpit dengan ter-
senyum nyengir, dan garuk-garuk kepala yang ti-
dak gatal. Memandang tingkah si pemuda murid-
nya itu yang agak lucu, rupanya mengundang ra-
sa geli si nenek bongkok. Membuat dia jadi terse-
nyum, dan tertawa mengikik.
Akan tetapi suara tertawanya kembali hilang, 
karena kembali dia keluarkan suara bentakannya

dengan sepasang mata melotot menatap si pemu-
da.
"Bocah edan! Aku mau tanya, apakah kau te-
lah menggeratak ke tempat tidurku...? Ada satu 
barang yang hilang! Kalau benar kau yang men-
curi, aku tak akan puas kalau belum menggebuk 
pantatmu!" Berkata si nenek bongkok.
"Apanya yang hilang, nek...? Pantatmu...?
Eh... ma... maaf! Maksudku anu... apa yang telah 
hilang dari wilayah tempat tidurmu...?" Tanya 
Raka Rumpit latah.
"Whoalah! Bocah edan! masih muda sudah la-
tah!" memaki si nenek bongkok.
"Aku telah kehilangan salah satu barang pu-
saka! Yaitu sebuah cincin perak berbatu "com-
bong", apakah kau telah mengambilnya?" Ta-
nyanya.
Pemuda itu jadi cengar-cengir, dan teruskan 
garuk-garuk kepalanya. Akan tetapi dia memang 
telah mengakui perbuatannya.
"Hahaha... benar, nek! Kalau itu yang kau ta-
nyakan, aku yang mengambilnya! Pas benar di ja-
ri tanganku! Aku menyenanginya, dan memang 
sudah ada niatku untuk memintanya!" Ujar Raka 
Rumpit seraya memperlihatkan cincin yang dipa-
kainya. "Kapan kau berniat memintanya?" "Ya... 
sejak aku mencurinya...!" Sahut si pemuda den-
gan nyengir.
"Bocah ganjen! Kalau begitu pantatmu me-
mang patut dihajar...!" Berteriak si nenek bong-
kok dengan geram, dan sudah mengangkat tongkatnya.
"Ampun, nek... Ampuuun...! Jangan gebuk 
pantatku!" Berteriak Raka Rumpit sambil berlon-
cat-loncatan memegangi pantatnya. Tentunya 
dengan wajah cengar-cengir menggoda sang guru.
"Bocah edan...!" Teriak si nenek gemas. Dan 
tubuhnya berkelebat....
"Ampun, nek! Jangan gebuk pantatku...!" Te-
riak si pemuda seraya kembali pasang wajah cen-
gar-cengir.
"Bocah edan! Kau kira kau akan berhasil me-
nyelamatkan pantatmu yang tepos itu? Hehe-
hehe... jangan mimpi!" Mendengus si nenek bong-
kok.
Tiba-tiba tongkatnya diangkatnya tinggi-
tinggi. Sementara bibirnya berkomat-kamit mem-
baca mantera. Sedangkan sepasang matanya me-
natap tajam pada si pemuda muridnya itu, seperti 
telah menahan tubuh sang murid agar tetap ber-
diam di tempat. Terkejut Raka Rumpit. Karena 
tahu-tahu kakinya seperti terasa berat untuk di-
gerakkan. Seolah lengket dengan tanah yang dipi-
jaknya. Sementara hatinya jadi mencelos melihat 
tongkat yang diangkat tinggi-tinggi oleh sang 
guru, bergerak memutar dan meluncur ke arah-
nya.
"Ah, celaka...!? Aku tak berhasil menolong 
pantatku lagi!" Desis si pemuda.
Benarlah apa yang dikhawatirkan pemuda 
itu, karena tahu-tahu tongkat si nenek bongkok 
sudah menukik ke belakang tubuhnya. Dan....
Plak! Plok! Plak! Plok!... Plak! Plok! Plak! Plok! 
Berteriak-teriaklah si pemuda itu dengan menyengir-nyengir kesakitan, ketika merasai tongkat 
itu menggebuki pantatnya.
"Ampun, nek! ampuun... guru! Adoow! kena 
bisulnya tuh!? sudah, nek! sudaaah...! adududu-
duh ... aduuh..."
Aneh! dan amat menakjubkan sesekali, kare-
na tampak si nenek bongkok cuma gerak-
gerakkan tangannya saja di kejauhan. Sedangkan 
tongkatnya bagaikan mempunyai mata dan bagai 
bernyawa saja, telah menggebuki pantat Raka 
Rumpit beberapa kali. Dan pukulan terakhir ada-
lah mengarah sepasang kaki anak muda itu, yang 
tak ampun membuat tubuh si anak muda jatuh 
terjengkang.
Mengeluh pemuda ini, akan tetapi si nenek
bongkok justru tertawa mengekeh dan ber-
jingkrakan kegirangan.
"Hehehehe... hehehe... asyiiik! Baru kau tahu 
rasa, bocah edan!" Tampak lengan si nenek bong-
kok seperti bergerak untuk menarik kembali te-
naga anehnya. Dan tongkat hitam yang mirip ular 
meliuk itu memutar ke atas, lalu meluncur kem-
bali ke arahnya. Sekejap sudah kembali tercekal 
di lengannya.
Setelah mengusap-usap pantatnya, pemuda 
ini bangkit melompat berdiri. Diam-diam hati ber-
syukur, karena gebukan tongkat yang dilakukan 
gurunya itu tak seberapa keras. Dan cuma gebu-
kan biasa saja. Seandainya sang guru memper-
gunakan pukulan bertenaga dalam, bukan mus-
tahil kalau sang pantat akan hancur luluh. Di 
samping mendongkol, tapi diam-diam dia juga

bergidik ngeri. Karena khawatir sang guru ketele-
pasan tangan. Entah cincin perak bermata batu 
"combong" itu apakah khasiatnya, hingga tampak 
si nenek jadi sewot dan uring-uringan mengetahui 
"barang"-nya lenyap dicuri sang murid.
"Aku akan kembalikan cincin milikmu ini, 
nek...!" Berkata Raka Rumpit. Seraya melompat 
ke hadapan si nenek bongkok. Dan pergunakan 
tangannya untuk membuka kembali cincin batu 
combong yang dipakainya. Akan tetapi si nenek 
tampak menahannya seraya berkata;
"Sudahlah! Kalau kau memang senang me-
makainya, pakailah! Kau memang ada bakat jadi 
pencuri, bocah ganjen! Hehehehe... suatu saat, 
bukan benda lagi yang kau curi, pasti banyak 
wanita akan kau curi hatinya...!" Ucap si nenek 
dengan tertawa mengekeh hingga sampai terselak, 
dan batuk-batuk dengan hebat.
"Jadi... jadi benda ini boleh aku pakai, nek?" 
Tanya Raka Rumpit seperti kurang percaya.
"Bocah kolokan! Aku sudah bilang pakai, pa-
kailah! Mengapa masih banyak tanya segala?" 
Bentak sang guru dengan plototkan matanya.
"Hahaha... haha... terima kasih! terima kasih, 
nenek! Kau memang guruku yang paling manis, 
paling lihay, dan... paling pe... eh, paling cantiiik 
sekali!" Berkata Raka Rumpit. Tadinya dia sudah 
mau katakan paling peot, akan tetapi segera di-
urungkan, karena khawatir si nenek menjadi ma-
rah lagi. Dan bahkan tahu-tahu....
CPLOK! CPLOK...! Sang murid telah mengha-
diahi ciuman pada kedua pipi si guru. Tentu saja

membuat sepasang mata nenek bongkok itu jadi 
membeliak tertegun. Akan tetapi segera terdengar 
suara tertawanya mengekeh.
"Hehehe... hehe... bocah ganjen! Kalau mau 
pergi, pergilah! Tapi jangan berlama-lama! Bebe-
rapa bulan lagi kau harus sudah menamatkan pe-
lajaran mu! Apakah kau tak ingin menguasai ilmu 
menggebuk pantat dengan tongkat...?" Ujar si ne-
nek.
"Tentu saja mau, guru...! Baiklah! Aku berjan-
ji tak akan lama turun gunung! Nah aku berang-
kat, nenek manis...!" Berkata Raka Rumpit. Se-
raya perlihatkan senyumannya, dan berkelebat 
cepat tinggalkan tempat itu. Si nenek bongkok 
cuma menatapnya dengan sinar mata memancar 
tajam.
"Aiiih, tak kusangka bocah edan itu membuat 
aku jadi gregetan! Dan... dan aneh! Mengapa aku 
sudah jatuh cinta padanya?" Tak terasa dia sudah
kembali tertegun seraya mengusap-usap ke-
dua belah pipinya bekas ciuman sang murid yang 
konyol itu.
"Aiiih, Rumpit! Rumpit...! Mungkin bukan hati 
para gadis saja yang akan kau taklukkan, tetapi 
hatiku pun nyatanya sudah kau taklukkan...!" 
Desis suara si nenek perlahan. Dan amat perla-
han hampir tak terdengar. Namun tak lama tu-
buhnya sudah berkelebat kembali menuruni teb-
ing. Dan melesat masuk lagi ke dalam goa "lobang 
tikus"-nya....
***
DUA

Prabu GURAWANGSA masih termangu-
mangu duduk di kursi kebesarannya. Wajahnya 
menampilkan kesedihan, walaupun dalam bebe-
rapa hari ini baru saja usai mengadakan pesta 
meriah menyambut para tamu undangan. Tentu 
saja dalam rangka "selamatan" atas terhindar-
nya Kerajaan MATSYAPATI dari bencana kehan-
curan. Karena berhasilnya ditangkap biang keladi 
kerusuhan di Kota Raja, dan terbukanya kedok 
pengkhianatan Patih BUNTARAN. Para tamu un-
dangan itu tak lain dari para Pembesar Kerajaan, 
dan tokoh-tokoh kaum Rimba Hijau yang turut 
membantu menumpas kaum perusuh.
Kesedihan baginda Raja tak lain karena pe-
nyesalannya telah menyia-nyiakan Permaisuri 
Durgandini. Bahkan telah mengutus pula orang-
orang bayaran untuk membunuh sang Permaisu-
ri. Semua itu adalah atas hasutan Patih Bunta-
ran. Dengan dalih akan membahayakan Kerajaan. 
Karena dengan adanya sang Prabu Gurawangsa 
mengambil tiga selir sekaligus, dan satu di anta-
ranya telah hamil. Sang Permaisuri Durgandini 
telah melarikan diri dari Istana, tanpa ketahuan 
ke mana perginya. Entah mati atau masih hidup 
sampai kini masih menjadi teka-teki bagi sang 
Prabu Gurawangsa.
Calon bayi yang akan lahir dari selir bernama 
NAWANGSIH itu adalah yang kelak berhak meng-
gantikan sebagai pengganti Raja keturunan Prabu

Gurawangsa. Akan tetapi ternyata Nawangsih 
adalah seorang wanita penipu, yang cuma menga-
caukan keadaan di dalam keluarga sang Raja. 
Nawangsih adalah SRI MAYANG, alias si Kelabang
Kuning. Seorang toko Rimba Persilatan yang cu-
ma mengingini kehidupan sebagai selir Raja. Ke-
hamilannya adalah cuma permainan belaka, ka-
rena Sri Mayang memang punya keahlian meng-
gembungkan perut.
Di saat Kerajaan dalam kalut atas terjadinya 
pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang 
pihak Kerajaan, bahkan dua orang selir baginda 
Raja pun tewas digantung berikut istri Senapati 
SATRYO, saat itulah Sri Mayang unjukkan dirinya 
bahwa dia tidak mengandung. Tentu saja mem-
buat Prabu Gurawangsa terperanjat.
"Hihihi... suamiku! Aku adalah wanita petua-
lang! Terima kasih atas kesediaanmu selama ini 
memperhatikan diriku, namun aku memang ha-
rus pergi dari sisimu. Aku sudah cukup puas me-
rasakan bagaimana rasanya menjadi selir seorang 
Raja. Kerajaanmu saat ini ada dalam ambang ke-
hancuran, Prabu Gurawangsa! Pengkhianatnya 
tak lain adalah Patihmu sendiri! Nah, selamat 
tinggal!"
Setelah mengucap demikian Nawangsih alias 
Sri Mayang berkelebat pergi dan lenyap dari 
ruang Istana. Terperangah Prabu Gurawangsa, 
seperti petir menyambar di siang hari mendengar 
pengakuan wanita selirnya itu. Namun kenyataan 
pahit itu memang telah dialaminya. Dalam kea-
daan kalut itulah muncul Satryo, sang Senapati

yang menghadap dengan membawa berita kema-
tian kedua selir. Juga istri sang Senapati Satryo 
sendiri turut jadi korban. Tertegun sang Prabu 
Gurawangsa. Namun dengan bekal pengakuan 
dari Nawangsih alias Giri Mayang, Baginda Raja 
telah mengetahui biang kerusuhan itu. Dan perin-
tahkan menangkap Patih Buntaran.
Demikianlah, dengan bantuan Kaum Rimba 
Hijau yang bermunculan, para Tumenggung dan 
Senapati
Satryo beserta lasykarnya berhasil membekuk 
Patih Buntaran, si pengkhianat Kerajaan itu. Dan 
menewaskan para pembantunya, yang terdiri dari 
para kaum Rimba Hijau golongan Hitam yang te-
lah diundangnya.
Kini para tokoh itu sudah meninggalkan Kota 
Raja. Kerusuhan sudah usai. Dan pelaksanaan 
hukuman gantung pada Patih Buntaran telah se-
lesai. Bahkan sudah dilaksanakan sejak tertang-
kapnya. Tinggallah kini sang Baginda Raja Kera-
jaan MATSYAPATI ini memikirkan calon pengganti 
Patih di Kerajaannya. Juga beberapa jabatan 
pembantu Kerajaan yang perlu diadakan peng-
gantian dan perombakan.
Namun agaknya Kerajaan Matsyapati sudah 
mendekati di ambang kehancuran. Karena Prabu 
Gurawangsa sendiri ternyata meninggalkan Ista-
na. Setelah beberapa hari termenung tanpa men-
gambil keputusan musyawarah dengan para Pen-
gagung Istana, Prabu Gurawangsa dengan diam-
diam telah menyediakan perbekalan seperlunya. 
Dan tengah malam sang Raja yang dalam keadaan hati kalut tanpa berhasrat meneruskan Pe-
merintahannya, telah mengendarai kudanya me-
ninggalkan Istana. Entah ke mana perginya. Tak 
seorang pengawal pun diberitahu atau mengeta-
huinya.
Senapati SATRYO perintahkan para Tumeng-
gung mencarinya. Namun sampai beberapa hari 
tak membawa hasil. Ya, Prabu Gurawangsa telah 
lenyap tanpa bekas. Wilayah Istana menjadi sepi. 
Namun atas perintah Senapati Satryo, Istana di-
jaga ketat. Apa mau keadaan yang memang sudah 
kacau itu ternyata membuat kesempatan para 
Pembesar Kerajaan yang tak mau mengundurkan 
diri dengan tangan hampa, mencari keuntungan. 
Orang-orang dalam dan dibantu kaum penjahat 
bayaran segera menggerayangi Istana. Terjadi 
pertempuran-pertempuran kecil, perampokan pa-
da sisa-sisa harta milik Kerajaan. Dan bermacam 
kekalutan terjadi di Kota Raja. Siapa yang dapat 
menguasai kekalutan demikian? Karena masing-
masing mencari keuntungan pribadi tanpa mau 
tahu urusan orang. Dalam keadaan kacau itulah 
Senapati Satryo melarikan kudanya menuju Ma-
taram. Dan melaporkan kejadian pada Raja 
Agung Kerajaan Mataram, yang baru saja memin-
dahkan pusat Pemerintahannya ke Jawa Timur. 
Segera berdatangan para Tumenggung dan Sena-
pati utusan Raja Agung Kerajaan Mataram untuk 
membersihkan kerusuhan. Dan untuk sementara 
Kerajaan Matsyapati diambil alih oleh Kerajaan 
Pusat yang berkuasa penuh di seluruh Pulau Ja-
wa waktu itu; yaitu Kerajaan Mataram. Dan sejak

saat itu pulalah Kerajaan Kecil bernama MAT-
SYAPATI itu dinyatakan punah. Dalam arti tidak 
lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan di wi-
layah itu. Segalanya diatur oleh Penguasa dari 
Kerajaan Mataram.
Istana bekas Kerajaan Matsyapati diperguna-
kan sebagai gedung atau Istana tempat peristira-
hatan Baginda Raja Agung Kerajaan Mataram. 
Dan tertutup buat siapa saja.
Ke manakah gerangan perginya Raja yang lari 
dari singgasananya itu? Tak seorang pun menge-
tahui. Akan tetapi pagi itu seekor kuda dengan 
penunggangnya seorang laki-laki berpakaian se-
derhana berwarna putih, dengan ikat kepala 
membungkus hampir seluruh rambutnya, yang 
juga berwarna putih, tampak mendatangi sebuah 
tempat sunyi di lereng perbukitan sebelah utara. 
Suara derap langkah kaki kuda yang memang ja-
rang terdengar di sekitar tempat itu, membuat 
empat orang laki-laki berjubah abu-abu segera 
menyongsongnya untuk melihat siapa yang da-
tang. Sebentar saja si penunggang kuda telah 
hentikan binatang tunggangannya di hadapan 
keempat laki-laki itu.
"Siapa anda? Dan dari mana...? Serta ada ke-
perluan apakah kiranya mengunjungi pertapaan 
Goa Kiskenda?" Tanya salah seorang setelah men-
jura hormat. Laki-laki berusia lima puluhan ta-
hun itu melompat turun dari punggung kuda.
"Apakah anda murid-murid Resi Jenggala 
Manik?" Tanya laki-laki itu, tanpa menjawab per-
tanyaan salah seorang dari empat laki-laki berjubah itu.
"Benar!" Sahut mereka hampir serempak. La-
ki-laki ini melirik ke arah pintu Goa yang tampak 
resik dan sedap dipandang mata. Tampak wajah 
laki-laki ini tampilkan senyuman. Seperti tak sa-
bar dia sudah berkata:
"Beritahukan pada sang Resi, ada tamu dari 
Istana...!" Ujarnya. Terbelalak keempat pasang 
mata laki-laki murid Resi Jenggala Manik, dan se-
rentak sudah menjura. Seraya salah seorang ber-
kata:
"Maafkan hamba Raden! Kami tak mengeta-
hui kalau anda tetamu Agung guru kami...!" Dan 
selesai berkata keempat murid sang Resi itu su-
dah beranjak untuk memasuki pintu Goa. Akan 
tetapi pada saat itu sang Resi sudah muncul di 
pintu Goa. Suaranya terdengar ramah menyam-
but kedatangan laki-laki itu.
"Selamat datang di Pertapaan Goa Kiskenda 
Kanjeng Gusti Prabu...! Ah, sungguh satu kehor-
matan besar, Kanjeng Gusti mau menginjakkan 
kaki datang ke tempat sunyi ini...!" Ujar pertapa 
tua itu yang telah membungkuk menjura hormat. 
Melengak keempat murid sang Resi. Karena sege-
ra mengetahui kalau yang datang adalah Baginda 
Raja Prabu Gurawangsa. Raja Kerajaan Matsya-
pati. Cepat-cepat mereka duduk bersimpuh ketika
laki-laki itu dengan menuntun kudanya beranjak 
menghampiri.
"Ah, selamat jumpa Resi...! Aih, bangunlah 
kalian adik-adikku! Aku tak layak menerima 
penghormatan berlebih-lebihan! Justru aku ini
sudah menjadi orang biasa! Kedatanganku ada-
lah...."
"Silahkan anda berbicara di dalam, Kanjeng 
Gusti Prabu...!" Ujar Ki Jenggala Manik memotong 
kata-kata Prabu Gurawangsa. Keempat murid 
sang Resi cepat menuntun kuda untuk ditam-
batkan. Dan Raja Kerajaan Matsyapati ini men-
jumput perbekalannya, lalu mengikuti sang Resi 
memasuki ruangan Goa.
Tak lama mereka sudah berada di dalam Goa, 
dan duduk berkeliling untuk bercakap-cakap. 
Ternyata keempat murid sang Resi telah dipersi-
lahkan Prabu Gurawangsa untuk turut menden-
garkan percakapan mereka.
Terkejut Resi Jenggala Manik mengetahui 
sang Prabu Gurawangsa akan menetap di perta-
paan Goa Kiskenda. Dan menuturkan bahwa dia 
berkeinginan untuk menjadi pertapa. Berbagai 
nasihat yang diberikan sang Resi pada Prabu Gu-
rawangsa untuk kembali memimpin Kerajaan, 
ternyata tak mampu melunturkan keinginan sang 
Raja ini. Keinginannya sudah bulat untuk me-
ninggalkan kepemimpinannya, dan menjadi Per-
tapa. Tiada lagi gairah di hatinya untuk mene-
ruskan memerintah Kerajaan.
Demikianlah, akhirnya Resi Jenggala Manik 
tak dapat mencegah keinginan Prabu Gurawangsa 
untuk menjadi pertapa. Dan menetap di Goa 
Kiskenda. Tentu saja Prabu Gurawangsa telah 
berpesan wanti-wanti agar merahasiakan tentang 
adanya dia di pertapaan Goa Kiskenda, tempat 
tinggal sang Resi itu. Sang Resi dan keempat mu
ridnya cuma bisa manggut-manggut tanpa dapat 
berbuat apa-apa. Beberapa pekan berselang Se-
napati Satryo singgah di pertapaan Goa Kiskenda. 
Tentu saja kedatangannya adalah untuk me-
nyambangi gurunya. Seperti diketahui sang Resi 
Jenggala Manik adalah guru dari Senapati Satryo, 
semasa belum menduduki jabatan Senapati.
Terkejut Senapati Satryo mengetahui sang 
Baginda Raja Prabu Gurawangsa berada di perta-
paan. Akan tetapi bekas Raja itu menyambutnya 
dengan gembira, mendengar penuturan Satryo 
atas Kerajaan Matsyapati yang diambil alih oleh 
Kerajaan Mataram.
"Senapati...! Aku merasa lebih tenteram bera-
da di pertapaan ini. Jauh dari kemelut kehidu-
pan. Jauh dari keruwetan mengatur rakyat. Dari 
ketidakpuasan yang terkadang membuat mata 
menjadi gelap. Aku adalah contoh, satu dari pu-
luhan Kerajaan Kecil yang gagal meneruskan ke-
pemimpinannya. Namun aku sadar, bahwa keten-
teraman dalam rumah tangga amat besar artinya 
bagi keutuhan sebuah Kerajaan.
Aku sadar, bahwa sudah gagal segala-
galanya. Aku merasa kurang layak memegang 
tampuk kepemimpinan. Apalagi tanpa adanya ke-
turunan! Itulah yang membuat aku enggan mene-
ruskan kepemimpinanku!" Ujar Prabu Gurawang-
sa, yang kini bergelar Resi Netra Wangsa sejak 
memutuskan menjadi pertapa di Goa Kiskenda.
"Akupun telah mengundurkan diri dari jaba-
tan Senapati. kakang Netra Wangsa...!" Ujar Sa-
tryo yang memanggil kakang serta gelar barunya,

menurutkan keinginan Prabu Guriawangsa sendi-
ri.
"Walau dari pihak Kerajaan Mataram telah 
menawarkan jabatan untukku, namun rasanya 
aku pun ingin memulai kehidupan sebagai rakyat 
jelata lagi!"
"Apakah kau pun akan menetap di sini....?" 
Tanya sang Resi Jenggala Manik hampir berba-
reng
"Tidak, kakang Resi, dan Resi Guru...! Hamba 
akan pergi mengembara entah ke mana, menu-
rutkan ibu jari kaki hamba! Ya, mungkin mencari 
di mana adanya ketentraman hati! Hamba hanya 
akan menurutkan perasaan dan kemauan hati 
hamba!" Sahut Satrya dengan suara terdengar 
hambar. Cahaya matanya seperti memudar. Ke-
dua Resi itu memaklumi, karena Satryo baru ha-
bis kematian istrinya. Pemberontakan Patih Bun-
taran telah merobah segalanya.
***
TIGA


SATRYO memacu kudanya meninggalkan Per-
tapaan Goa Kiskenda.... Sejenak dia berhenti, dan 
putar kudanya. Lalu lambaikan tangan pada kedua Resi dan empat orang murid Pertapaan. Mereka segera balas lambaikan tangan pada laki-laki 
ini. Sepasang mata Satryo tampak seperti berka-
ca-kaca. Entah mengapa tiba-tiba hati laki-laki ini

jadi terasa trenyuh memandang sang Resi Netra 
Wangsa. Bekas Senapati ini merasa kejadian telah 
berubah begitu cepat. Dari seorang Raja telah 
menjadi seorang Resi pertapa. Dan dirinya yang 
tadinya mempunyai jabatan Senapati yang men-
guasai pimpinan dua ratus lasykar Kerajaan, kini 
telah menjadi rakyat biasa.
Semua itu karena pengunduran diri sang 
Prabu Gurawangsa sebagai Raja. Akan tetapi dia 
memang tak dapat menyalahkannya. Benar seper-
ti kata Prabu Gurawangsa, rumah tangga ternyata 
mempunyai pengaruh besar dalam sebuah Kera-
jaan. Raja Kerajaan Matsyapati tak tahan dengan 
kemelut dalam rumah tangganya. Dan kehadiran 
seorang Putera Mahkota yang didambakannya 
ternyata sia-sia. Hal tersebut menimbulkan keen-
ganannya meneruskan tampuk kepemimpinan. 
Dan sang Raja meninggalkan kekuasaannya. Me-
mang amat Tragis! Tapi hal yang seperti ini jan-
ganlah menjadi contoh untuk ditiru Kerajaan lain. 
Walau bagaimana pun manusia tetaplah manu-
sia, yang di samping punya kekuatan, akan tetapi 
banyak kelemahannya. Dan kepunahan sebuah 
Kerajaan adalah semata cuma kejadian yang lo-
gis. Karena memang kelanggengan tidaklah selalu 
menyertai seterusnya dalam setiap Kerajaan.
Laki-laki ini putarkan lagi kudanya, dan sege-
ra keprak tali kendalinya untuk seterusnya me-
macu cepat meninggalkan pertapaan .... Burung-
burung elang di atas bukit berseliweran, seperti 
mengantar kepergian laki-laki penunggang kuda 
bekas Senapati itu.

***
TRISULA DEWA yang tengah berlatih di lereng 
bukit Karang Tunggul, cuma bisa ternganga meli-
hat putri sang Guru mereka yang dilarikan orang. 
Mereka tak menyangka kalau pagi itu akan men-
dapat musibah. MAHESANI putri sang Ketua Per-
guruan Trisula Dewa, sudah hampir sepekan ini 
mewakilkan sang guru mereka melatih ilmu silat. 
Kepergian Ketua Perguruan Trisula Dewa berke-
naan dengan urusannya, telah mewakilkan pada 
putri tunggalnya yang sudah mewarisi hampir 
semua ilmu kedigjayaan sang ayah untuk melatih 
kedua puluh para murid Perguruan tersebut. Tak 
dinyana pada latihan baru saja dimulai, telah 
muncul seorang laki-laki muda berambut gon-
drong berbaju hitam.
Begitu muncul langsung menghampiri Mahe-
sani. Gadis berusia 20 tahun itu jadi naikan alis-
nya menatap pada laki-laki muda yang meng-
hampiri dengan unjukkan wajah cengar-cengir.
"Eh, sobat...! Siapakah anda? Apakah ada 
urusan dengan aku...?" Tanya Mahesani. Semen-
tara dalam hati gadis ini amat mendongkol meli-
hat sikap pemuda berambut gondrong itu. Walau 
bertampang gagah, namun sikapnya yang kurang 
ajar membuat orang tidak senang. Apalagi mene-
mui orang di kala sedang latihan.
"Hahaha... namaku RAKA RUMPIT! Tentu saja 
kedatanganku untuk mengenal lebih dekat siapa 
adanya gadis cantik berilmu tinggi macam kau 
yang punya murid segini banyaknya. Membuat

aku jadi kagum! Bolehkah aku tahu namamu, 
nona...? Dan apa gerangan nama dari Perguruan 
ini?" Tanya pemuda murid si nenek bongkok ber-
muka tengkorak itu, yang ternyata kepergiannya 
turun gunung telah menyambangi ke tempat 
rombongan orang berlatih ini. Walau kata-
katanya memang cukup sopan, akan tetapi hal 
tersebut sudah membuat para anak buahnya sal-
ing berbisik-bisik. Agaknya merasa tak senang 
dengan kedatangan orang yang mengganggu ja-
lannya latihan. Dengan agak mendongkol Mahe-
sani menyahuti juga.
"Maaf, sobat! Sebenarnya anda telah mem-
buat, latihan kami menjadi terganggu, akan tetapi 
tak apalah, aku jawab pertanyaanmu!" Ujar Ma-
hesani.
"Aku bernama MAHESANI! Perguruan ini ber-
nama Trisula Dewa, yang dipimpin oleh ayahku 
BAYU WIJAYA, bergelar si Pendekar Trisula Emas! 
Aku adalah putri tunggalnya, yang sementara 
mewakilkan beliau mengajar beberapa jurus ilmu 
dari apa yang aku bisa, dan telah aku pelajari da-
ri ayahku...!" Raka Rumpit tampak manggut-
manggut sambil cengar-cengir dan garuk-garuk 
kepala.
"Oh, oh... amat mengagumkan...! Tapi amat 
disayangkan sekali, karena ... apakah nona Ma-
hesani tak menyayangkan kulitmu yang mulus, 
dan wajah yang cantik itu kena goresan senjata 
tajam? Kukira pelajaran ilmu silat adalah pelaja-
ran keras yang dikhususkan buat kaum laki-laki! 
Sebaiknya kau berhenti saja jadi wakil ayahmu!

Aku Raka Rumpit amat berkenan padamu! Ba-
gaimana kalau aku melamar mu untuk jadi istri-
ku...? Apa kira-kira kau menolak? Hahaha... ku-
kira aku cukup tampan untuk menjadi suami-
mu...!" Berkata Raka Rumpit. Seraya berkata len-
gannya bergerak untuk menggamit dagu mungil 
sang gadis.
Tentu saja sikap kurang ajar, dan kata-kata si 
pemuda itu menimbulkan kemarahan Mahesani. 
Ketika lengan pemuda itu bergerak menggamit 
dagunya, dengan cepat lengannya sudah bergerak 
menepis, dibarengi bentakannya.
"Sobat! Mulutmu terlalu kurang ajar! Dan bu-
kan tempatnya kau berkata demikian! Kami se-
dang berlatih! Menyingkirlah, sebelum anak-anak 
buah kami menjadi marah! Dan aku sendiri pun 
bisa bertindak keras, kalau kau tak menghargai 
orang!" Ujar Mahesani, dengan menahan sabar. 
Sepasang matanya mendadak menjadi menatap 
tajam pada pemuda di hadapannya itu. Diam-
diam hatinya menggumam. Pemuda dari mana-
kah gerangan yang amat berani, dan kurang ajar 
ini...? Sementara wajah gadis ini sudah memerah 
karena mau tak mau sikap kurang ajar tersebut 
telah membuatnya malu. Apalagi dilakukan di 
hadapan para anak buahnya. Kalau dia tak mem-
beri pelajaran pada pemuda kurang ajar ini di ha-
dapan para murid ayahnya, rasanya memang 
amat penasaran. Namun sebisa-bisa sang gadis 
mencoba menahan diri. Mengingat tugasnya be-
lum selesai.
"Hahaha... baiklah, aku akan menyingkir kalau kau bisa menjatuhkan aku dalam tiga jurus! 
Sekalian menguji apakah nama besar Perguruan 
Trisula Dewa bukannya nama kosong belaka...!" 
Ucap si pemuda dengan cengar-cengir menatap 
pada Mahesani. Habislah sudah kesabaran sang 
gadis putri Ketua Perguruan Trisula Dewa ini.
"Den ayu...! Biarkan aku yang menghajar ma-
nusia edan ini!" Tiba-tiba berkelebat seorang anak 
buahnya ke hadapan Raka Rumpit.
"Wahaha... hahaha... kau bukan tandingan-
ku, anak mas...!" Berkata Raka Rumpit tanpa 
memandang sedikitpun. Tentu saja membuat la-
ki-laki itu menggertak gigi karena geramnya. Ke-
dua lengannya bergerak terpentang, lalu kembali 
menyatu. Terlihat otot-ototnya bersembulan. Wa-
jahnya menampilkan kemarahan luar biasa. Laki-
laki ini bernama Gasir Ireng. Dia adalah murid 
Perguruan Trisula Dewa pada tingkat pertama. 
Bertenaga besar, dan juga memiliki
tenaga dalam yang tak boleh dianggap enteng. 
Karena Perguruan Trisula Dewa menitik beratkan 
juga pada kekuatan tenaga dalam, sebagai dasar 
kekuatan inti.
"Jangan menyesal dengan kesombonganmu, 
manusia tengik!" Berkata Gasir Ireng dengan dada 
menggembung. Dan dibarengi dengan bentakan 
keras, kedua lengannya bergerak beruntun 
menghantam dada dan kepala Raka Rumpit.
WHUT...! PLAK...!
BRRUUKKK...! Tubuhnya tepat menimpa ka-
wan-kawannya yang tengah berkumpul hingga ja-
tuh bangun beberapa orang yang kena tertimpah

lau kau bisa menjatuhkan aku dalam tiga jurus! 
Sekalian menguji apakah nama besar Perguruan 
Trisula Dewa bukannya nama kosong belaka...!" 
Ucap si pemuda dengan cengar-cengir menatap 
pada Mahesani. Habislah sudah kesabaran sang 
gadis putri Ketua Perguruan Trisula Dewa ini.
"Den ayu...! Biarkan aku yang menghajar ma-
nusia edan ini!" Tiba-tiba berkelebat seorang anak 
buahnya ke hadapan Raka Rumpit.
"Wahaha... hahaha... kau bukan tandingan-
ku, anak mas...!" Berkata Raka Rumpit tanpa 
memandang sedikitpun. Tentu saja membuat la-
ki-laki itu menggertak gigi karena geramnya. Ke-
dua lengannya bergerak terpentang, lalu kembali 
menyatu. Terlihat otot-ototnya bersembulan. Wa-
jahnya menampilkan kemarahan luar biasa. Laki-
laki ini bernama Gasir Ireng. Dia adalah murid 
Perguruan Trisula Dewa pada tingkat pertama. 
Bertenaga besar, dan juga memiliki
tenaga dalam yang tak boleh dianggap enteng. 
Karena Perguruan Trisula Dewa menitik beratkan 
juga pada kekuatan tenaga dalam, sebagai dasar 
kekuatan inti.
"Jangan menyesal dengan kesombonganmu, 
manusia tengik!" Berkata Gasir Ireng dengan dada 
menggembung. Dan dibarengi dengan bentakan 
keras, kedua lengannya bergerak beruntun 
menghantam dada dan kepala Raka Rumpit.
WHUT...! PLAK...!
BRRUUKKK...! Tubuhnya tepat menimpa ka-
wan-kawannya yang tengah berkumpul hingga ja-
tuh bangun beberapa orang yang kena tertimpah

tubuh sang kawannya ini. Gasir Ireng mengerang 
parau, dan muntahkan darah segar menggelogok 
dari mulutnya. Lalu menggeliat, dan tubuhnya di-
am tak bergeming.
"Iblis...! Kau... kau... telah membunuhnya...!?" 
Teriak beberapa orang hampir berbareng.
"Hahaha... mengapa salahkan aku? Bukan-
kah dia sendiri yang mengantarkan nyawa...?" 
Berkata Raka Rumpit dengan bertolak pinggang. 
Pada saat itu Mahesani sudah membentak keras:
"Manusia keparat! Kau sungguh keterla-
luan...!" Dan diiringi bentakannya Mahesani su-
dah lompat menerjang.
"Aha...! Masih dua jurus lagi, adik manis...! 
Silahkan pakai senjata! Dan pilih kulitku yang 
empuk!" Berkata pemuda itu menantang. Semen-
tara diam-diam Mahesani sudah menyiapkan satu 
jurus andalan dari perguruan Trisula Dewa. Tiba-
tiba tubuh gadis itu berjumpalitan ke arahnya, 
tahu-tahu kakinya meluncur mengarah leher la-
wan. Inilah jurus Naga Sakti Menggulung Awan. 
Terkejut Raka Rumpit, karena serangan itu me-
mang tak terduga, juga amat cepat. Tadinya len-
gannya sudah bergerak untuk memapaki seran-
gan, akan tetapi khawatir membuat gadis ini ter-
luka, dia kelitkan tubuh ke belakang. Saat itulah 
satu terjangan sepasang lengan sang gadis me-
luncur, dengan tenaga dalam keras. Segelombang 
angin menerjang terlebih dulu. Dibarengi dengan 
meluncurnya kedua ujung telapak lengannya 
mengarah ulu hati dan lambung.
Tenaga dalam Mahesani yang sudah dikerah

kan di kedua lengan itu luar biasa ampuhnya. 
Karena seandainya mengena pada batu karang, 
niscaya batu itu akan amblas tertembus lengan. 
Merasa hawa angin menggulung tubuhnya, Raka 
Rumpit telah keluarkan ilmu hitamnya yang baru 
dipelajari. Yaitu Tameng Iblis. Hebat akibatnya, 
karena tiba-tiba tubuh pemuda itu seketika telah 
terbungkus dengan asap hitam. Ketika kedua len-
gan Mahesani menembus asap, terdengar suara 
teriakan tertahan gadis ini, karena bagai menum-
buk bayangan hitam, yang membuat tubuhnya 
menggigil. Dalam pandangannya pemuda itu su-
dah berubah menjadi makhluk hitam berbulu, 
yang terkena hantaman tangannya tak bergeming 
sama sekali.
Namun dia masih sempat meronta, dan terle-
pas dari cekalan tangan makhluk hitam berbulu 
itu. Lengannya sudah bergerak mencabut senjata 
Trisula di pinggang. Didahului hantaman lengan-
nya bertenaga dalam sepertiga bagian. Senjata 
Trisulanya berkelebat menusuk. Aneh, makhluk 
itu tak berupaya mengelak. Bahkan terlihat ter-
tawa menyeringai perlihatkan gigi-giginya yang 
runcing. Sepasang matanya merah menyala se-
perti mempengaruhi dan mematikan daya kekua-
tan sirkuit otaknya. Seketika syaraf dara perkasa 
ini tegang, dan dia memang kehilangan daya na-
lurinya. Gerakan menusuknya berubah lambat.
Selanjutnya Mahesani sudah tak mengetahui 
lagi apa yang terjadi. Ketika tahu-tahu tubuh si 
pemuda itu sudah berkelebat menepiskan senja-
tanya. Dan sepasang lengan yang kuat telah menotok, dan meraih pinggangnya. Sekejap kemu-
dian tubuh Mahesani sudah berada di pundak 
Raka Rumpit. Terpaku semua anak buah sang 
gadis itu menyaksikan kejadian
aneh itu, dan di saat mereka tersadar, tubuh 
putri Ketua mereka itu telah dibawa berkelebat 
lenyap di balik hutan rimba di arah sana.
"Celaka...! Kejaaar...! Kejaaaarrr...!" Teriak sa-
lah seorang yang baru tersadar dari pengaruh 
yang membuatnya bagai kena tenung. Serentak 
berlompatanlah mereka mengejar. Akan tetapi 
sudah kasip. Karena orang yang diburuhnya su-
dah tak kelihatan batang hidungnya dengan 
membawa kabur putri Ketuanya.
***
EMPAT


Matahari yang baru saja menggelincir naik itu 
tampak agak meredup sinarnya, karena segumpal 
awan hitam telah menutupnya. Dari balik bukit 
itu tiba-tiba meluncur sebuah titik hitam. Makin 
lama tampak semakin membesar, dan semakin je-
las kelihatan apakah adanya benda yang me-
layang keluar dari belakang bukit itu.
Kiranya adalah sebuah kepala tanpa tubuh. 
Ya, kepala dari seorang wanita yang berambut 
panjang beriapan. Itulah kepala dari si manusia 
setan Tri Agni. Ketika melayang ke atas sebuah 
bukit yang permukaannya agak datar, kepala

tanpa tubuh itu bergerak memutari bukit itu be-
berapa kali, lalu menukik turun. Itulah kiranya
bukit di mana adanya MAKAM TUA Persis di ma-
na tumbuh sebatang pohon Angsana besar di atas 
bukit itu, si kepala tanpa tubuh berhenti tepat di 
bawah pohon rindang itu. Lalu meluncur perla-
han semakin ke bawah dan tepat di atas akar ke-
pala itu berhenti. Di sana dia diam untuk bebera-
pa saat. Dan tak lama tampak sepasang mata 
makhluk itu yang tadinya membelik biji matanya, 
kini terkatup dengan wajah agak merunduk. Ter-
lihat bibirnya berkemak-kemik entah membaca 
mantera apa.
Selang sesaat, tiba-tiba angin keras member-
sit merontokkan dedaunan. Langit menjadi gelap. 
Kilat menyambar-nyambar. Tak berapa lama se-
gera terlihat di atas pohon Angsana tua itu seben-
tuk asap hitam yang memutari pohon bergulung-
gulung. Sementara kepala wanita setengah silu-
man itu masih tetap merunduk dengan mata ter-
katup, dan bibir komat-kamit.
WHHUUUUSSS...! Asap hitam yang bergu-
lung-gulung itu menjelma menjadi makhluk rak-
sasa. Yaitu seekor ular yang amat besar. Mulut-
nya menganga, dan keluarkan suara mendesis 
yang amat dahsyat. Tampak wanita kala putus itu 
membuka kelopak matanya. Wajahnya segera 
bersitkan senyuman girang, senyum menyeringai.
"Oh, Selamat datang Gusti Junjungan hamba!
Hamba membawa berita duka Gusti Junjungan! 
Yaitu kematian cucuku, si bocah hitam! Mungkin 
kau dapat merasakan betapa hancurnya hatiku!

Setelah anakku Durgandini melahirkan bayinya 
atas anugerah darimu, dia kemudian mati! Kini 
giliran cucuku...! Baru sedang senang-senangnya 
memperoleh cucu, ternyata mati oleh musuh-
musuhku...! Tolonglah hamba Pukulun...! Apakah 
Ilmu Dasa Jiwa itu sudah punah, bila tubuh 
makhluk apapun yang memiliki telah terkena 
MANTERA SUCI...?" Berujar Tri Agni, si wanita se-
tengah siluman itu.
"Sedangkan niat anakku adalah mempunyai 
seorang anak yang dapat membalaskan dendam 
dan sakit hatinya..." Tolonglah hamba Gusti Jun-
jungan! Masih banyak manusia musuhku yang 
belum kubunuh! Bahkan kini bertambah lagi, 
dengan musnahnya cucuku pemberianmu itu, 
Pukulun...!"
"Hoahahaha... hahaha... cucumu si bocah hi-
tam itu masih bisa menjelma lagi, hambaku Tri 
Agni! Bahkan anakmu si Durgandini itupun ma-
sih dapat kubangkitkan lagi kalau kau mengingi-
ni! Cuma harus ada beberapa syarat yang harus 
kau penuhi! Adapun MANTERA SUCI memang 
dapat memusnahkan ilmu Dasa Jiwa yang kau 
miliki, yang telah berpindah pada cucumu si bo-
cah hitam melalui anakmu Durgandini! Itulah se-
babnya cucumu pemberianku, terpaksa aku tarik 
lagi ke alam ghaibku!" Terdengar suara ular besar 
itu yang perdengarkan suaranya bagai mendesis. 
Sementara kilatan petir tak hentinya menyambar 
di angkasa yang telah berubah menjadi gelap pe-
kat.
Tri Agni tampak manggut-manggut mengerti,

lalu ujarnya:
"Apakah yang harus hamba perbuat Puku-
lun...? Dendamku belum terlampiaskan! Dan te-
lah menjadi satu dengan dendam anakku Dur-
gandini...! Hamba belum puas mengharungi kehi-
dupan di dunia ini, Pukulun...! Ingin hamba me-
rasakan menjadi Ratu yang sakti dengan segala 
kekuasaannya! Namun keadaan hamba telah se-
perti ini! Apakah Pukulun dapat meluluskan per-
mohonan hamba...?" Berujar Tri Agni dengan na-
da sedih. Bahkan air matanya sampai bercucuran 
keluar.
"Hoahaha... hahaha... sabarlah hambaku! 
Tanpa dapat kau melenyapkan si pemilik MAN-
TERA SUCI, kau tak akan tenang mengharungi 
kehidupan yang kau inginkan! Karena kau sudah 
bukan manusia wajar lagi, kau memang takkan 
mampu berbuat sekehendakmu! Akan tetapi kau 
dapat melakukan kehidupan baru dengan men-
gadakan "penitisan"...! Akan tetapi penitisan itu 
hanya dapat kau lakukan di saat seorang manu-
sia tengah dirasuk dendam kesumat! Namun 
apabila manusia itu telah kembali sadar, kau 
akan merasakan panasnya api yang amat luar bi-
asa! Itulah saatnya kau tinggalkan jasad manusia 
titisanmu!" Terdengar lagi suara mendesis parau
dari mulut sang ular raksasa. Tampak Tri Agni 
beliakkan sepasang matanya lebih besar lagi. 
Alisnya mencuat ke atas. Penjelasan dari semba-
hannya si Raja Siluman Ular itu telah membuat 
dia amat girang akan tetapi juga terkejut.
"Oh, terima kasih Pukulun, Junjungan Ham

ba! Kini hamba mengerti! Akan tetapi apakah Il-
mu Dasa Jiwa itu masih dapat hamba miliki?"
"Menitislah kau pada salah seorang tubuh 
manusia yang baru mati! Dan bertapa selama se-
ratus hari! Untuk bekal tapamu tentu kau me-
merlukan darah untuk kehidupanmu! Bahkan 
untuk selanjutnya memang kehidupanmu harus 
memerlukan darah!"
Nah! Kukira sudah cukup penjelasanku! Apa-
kah masih ada keinginanmu yang lain...?" Ber-
tanya si Ular Raksasa penjelmaan Raja Siluman 
Ular. Tercenung sejenak Tri Agni, namun tak la-
ma dia sudah berkata cepat-cepat.
"Ada, Pukulun...! Hamba masih menginginkan 
penjelmaan anakku Durgandini! Dan juga cucuku 
si bocah hitam itu!" Ujar Tri Agni. Tampaknya dia 
amat berhasrat sekali dengan permintaannya 
yang terakhir ini.
"Hohoho... Hosssy! Hosssy! Untuk permin-
taanmu itu, kau laksanakanlah dulu tapamu dan 
kesempurnaan jasadmu! Kelak keinginanmu itu 
akan terlaksana!"
"Oh, hamba mengerti! Terima kasih Pukulun! 
Terima kasih atas kesediaanmu menolong diri-
ku...!" Ucap Tri Agni. Dan bersamaan dengan itu 
sang Ular Raksasa itu pun lenyap! Barulah men-
jadi segumpal asap hitam, yang selanjutnya kem-
bali berputar-putar bergulung-gulung. Semakin 
lama semakin meninggi, dengan menimbulkan 
suara bergemuruh dan desis menyeramkan. Tak 
lama kemudian gumpalan asap hitam itu pun sir-
na. Kilat sambung-menyambung di angkasa, di

barengi dengan bertiupnya angin keras.
Namun tak lama cuaca pun berangsur-angsur 
kembali terang benderang. Angin keras kembali 
sirna, dan petir yang berkilatan di angkasa pun 
melenyap. Keadaan kembali seperti sedia kala. 
Wanita kepala tanpa tubuh ini tersenyum menye-
ringai. Dan bahkan tertawa mengikik hingga sua-
ranya terdengar ke sekitar perbukitan Makam Tua 
itu. Tak lama kepala tanpa tubuh Tri Agni melesat 
keluar dari bukit
Makam Tua, dan melenyap...
***
"Bocah edan itu sudah kembali lagi...?" Ter-
dengar suara menggumam dari dalam sebuah goa 
di bawah tebing dekat muara sungai itu. Seorang 
nenek tua yang bongkok berwajah mirip tengko-
rak, tampak tengah duduk bersila di dalam ruan-
gan. Tempat di mana dia duduk adalah sebuah 
batu persegi. Di sebelah kirinya ada lubang batu 
di dinding goa, hingga sinar matahari menerangi 
ruangan itu. Kepalanya agak dimiringkan seperti 
tengah mendengarkan lebih jelas suara orang 
yang datang. Ternyata sepasang matanya masih 
mengatup, dan bahkan hebatnya, adalah orang 
yang didengarnya datang itu ternyata masih be-
rada jauh sekali di bawah bukit. Menandakan 
pendengaran si nenek bongkok ini amat luar bi-
asa.
"Hahaha... sabarlah manisku, aku akan cari-
kan tempat yang sejuk dan nyaman! Tentu akan

aku buka totokanku bila kau tidak rewel!" Semen-
tara gadis yang berada di atas pundaknya itu cu-
ma bisa menggigit bibir menahan geram. Akan te-
tapi dia sudah mengeluh, karena tak mampu ber-
buat apa-apa.
"Hm, goa tempat tinggalku terlalu pengap! 
Juga aku tak mau si nenek peot itu mengganggu 
ku!" Desis suara si pemuda. Tiba-tiba Raka Rum-
pit sudah melompat cepat ke arah sebelah timur 
perbukitan seraya perdengarkan desisannya.
"Ahay... aku tahu tempat yang nyaman...!"
Seraya selanjutnya sambil bernyanyi-nyanyi 
kecil, dia sudah tiba di satu tempat. Di bawah pe-
pohonan rimbun di sisi sungai itu, Raka Rumpit 
hentikan langkah kakinya. Lalu jatuhkan beban-
nya ke atas rumput tebal yang banyak tumbuh di 
sekitarnya.
Kini sepasang mata pemuda ini sudah menja-
di liar menelusuri wajah dan sekujur tubuh gadis 
bernama Mahesani itu. Butiran-butiran keringat 
mengalir turun dari dahi sang gadis, bahkan se-
kujur tubuhnya sudah mandi keringat. Akan te-
tapi keringat itu adalah keringat dingin. Karena 
hawa takut yang amat luar biasa. Keputusasaan 
telah terpampang di wajah Mahesani. Tak ada 
daya lagi dia untuk dapat melepaskan diri dari 
cengkeraman pemuda bernama Raka Rumpit ini.
Sementara lengan si pemuda sudah mulai 
nakal menelusuri setiap lekuk liku di tubuh sang 
dara.
BRET...! BRET! BREETT...! Sekonyong-
konyong lengannya sudah bergerak merobek pakaian ketat si gadis. Terperangah seketika Mahe-
sani. Dan cuma dengan berapa kali menyibak sa-
ja dia sudah rasakan hawa dingin dari sekujur 
tubuhnya. Karena sekejap apa yang melekat di 
tubuhnya sudah lenyap;
Terpekik dara ini dengan suara tersekat di 
tenggorokan. Tentu saja, karena Raka Rumpit te-
lah menotok pula urat suaranya. Hingga Mahesa-
ni tak dapat mengeluarkan suara kecuali desisan.
"Iblis keparat! Lepaskan aku! Tidak! Tidaak...! 
Akan kubunuh kau Iblis! Kau... kau manusia 
edan!" Teriak suara desisnya. Akan tetapi suara 
itu. memang tak keluar. Desisnya tersangkut di 
tenggorokan. Cuma terlihat napasnya yang turun-
naik dengan cepat. Dan sepasang mata yang ter-
beliak, serta bibir setengah terbuka. Usahanya 
untuk meronta membebaskan diri dari pengaruh 
totokan, cuma sia-sia belaka. Sementara lengan 
Raka Rumpit mulai menelusuri sekitar perbuki-
tan dan lembah. Pandangan matanya semakin 
liar. Bahkan desah napasnya mulai seperti orang 
dikejar setan.
Akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terpandang 
pada cincin peraknya yang berbatu "combong". 
Hm, apakah kegunaan khasiat cincin ini untuk 
menaklukkan hati wanita? Pikir Raka Rumpit. 
Tak terasa dia sudah tarik kembali lengannya.
"Akan kucoba!" Desis suara Raka Rumpit. Ka-
rena segera teringat akan kata-kata gurunya. Su-
atu saat bukan benda lagi yang kau curi! Pasti 
banyak wanita akan kau curi hatinya! Pasti kata-
katanya mempunyai maksud yang berhubungan

dengan benda ini! Bisik hatinya. Dan... tiba-tiba 
dia mulai salurkan kekuatan bathinnya untuk 
menatap pada cincin bermata batu Combong itu. 
Pemuda gemblengan si nenek bongkok ini ternya-
ta mempunyai kelebihan dalam hal kekuatan 
bathing. Tidaklah aneh, karena gurunya sendiri, 
si Nenek Bongkok Muka Tengkorak itu dengan 
kekuatan bathinnya mampu membuat tongkatnya 
bergerak memukul pantat sang murid.
Selang tak lama batu cincin di jari tangannya 
itu keluarkan sinar berwarna biru. Terkejut Raka 
Rumpit. Akan tetapi wajahnya sudah menampil-
kan kegirangan. Mendadak dia sudah hentikan 
kekuatan tenaga batin yang disalurkan melalui 
pancaran matanya. Kini dia berbalik menatap pa-
da Mahesani. Lengannya yang berbatu cincin 
combong itu bergerak ke arah wajah gadis itu. 
Tentu saja sinar biru yang memancar dari batu 
cincin Raka Rumpit amat menarik perhatian Ma-
hesani. Sepasang matanya menatap sinar biru 
yang terpancar di jari tangan si per muda. Dan... 
tampak satu perubahan mendadak, terjadi pada 
gadis di hadapannya. Kalau tadi Mahasani mena-
tap dengan wajah ketakutan pada Raka Rumpit. 
Dengan sepasang mata membeliak marah serta 
bibir menganga gelisah.
"Ahaha... ahaha... ahahay... si bocah edan 
ternyata telah berhasil menaklukkan hati wanita, 
guru...! Terima kasih nenek manis atas pemberian 
"jimat"-mu ini!" Berkata pemuda itu dengan men-
gakak tertawa girang. Sementara lengannya su-
dah bergerak membuka totokan pada tubuh sang
gadis. Begitu merasa totokannya terbuka, dan tu-
buhnya dapat digerakkan lagi, segera Mahesani 
melompat bangun. Dan... tiba-tiba saja sepasang 
matanya sudah berubah menjadi liar. Bibirnya 
berdesahan, dengan napas menggebu. Tahu-tahu 
sudah memeluk Raka Rumpit dengan gairah ber-
kobar.
***
"Bocah edan...!" Terdengar suara lirih memaki 
di balik semak. Dan sebuah kepala seorang nenek 
bermuka tengkorak tersembul di antara dedau-
nan. Sepasang matanya berbinar-binar melihat 
adegan di depan matanya. Tampak tubuhnya ber-
getar seperti menahan satu gejolak rangsangan 
yang amat kuat menghimpit dadanya. Terasa ada 
sesuatu yang membuat napasnya menjadi sesak. 
Betapa tidak, lebih dari 10 tahun dia tak pernah 
disentuh oleh laki-laki. Dan sejak tiga tahun dia 
mengambil Raka Rumpit menjadi murid. Selama 
itu dia sudah menekan perasaannya. Terkadang 
tatapan mata si pemuda muridnya itu seperti 
menghunjam ke lubuk hati.
Dan... entah mengapa tiba-tiba di benaknya 
timbul rasa mengiri, atau boleh disebut rasa cem-
buru yang begitu besar.
Tiba-tiba nenek bongkok itu pejamkan sepa-
sang matanya. Bibirnya berkemak-kemik seperti 
membaca mantera. Tak lama terjadilah keanehan. 
Dari ubun-ubun kepalanya tersembul segumpal 
uap putih. Akan tetapi tak lama telah berubah

menjadi hitam. Uap hitam itu menjulur menem-
bus semak belukar, dan meluncur ke arah kedua 
orang yang tengah tenggelam dalam gelimang bi-
rahi.
Uap hitam itu sekonyong-konyong menelusup 
ke ubun-ubun kepala Raka Rumpit.... Saat mana 
si pemuda tengah mengecupi leher sang "keka-
sih"nya yang kembali membuat dirinya terang-
sang. Bergelinjangan tubuh Mahesani yang dalam 
keadaan telanjang bulat itu menghimpit tubuh-
nya. Pemuda ini mendengus bagai kerbau yang 
mulai kembali liar. Sepasang matanya mulai 
membinar. Dan... kepalanya sudah menelusup di 
antara belahan sepasang benda lembut berputik 
kemerahan. Mendesah-desah sang gadis merasa-
kan kenikmatan.... Serta segera balikkan tubuh-
nya menghimpit kuat-kuat tubuh Mahesani di 
bawahnya. Terperangah wanita muda ini. Tubuh-
nya seketika bergelinjangan merasakan nikmat 
bercampur rasa sakit yang menyesakkan jalan 
pernapasannya. Meronta-ronta gadis itu dalam 
himpitan Raka Rumpit, dan sia-sia lengannya 
menepiskan cengkeraman jari-jari tangan pemuda 
itu yang telah mencekik lehernya....
Tubuh mulus tanpa sehelai benang itu meng-
geliat meregang nyawa. Suara teriakannya telah 
tersangkut di tenggorokan, yang telah menyumbat 
pernapasannya. Akhirnya setelah beberapa saat 
meregang maut dalam membaurnya kenikmatan, 
tubuh dara itu pun terkulai lemah untuk tak ber-
kutik lagi. Lidahnya terjulur memanjang, dengan 
sepasang mata yang membeliak. Dia telah mati

dicekik si pemuda bernama Raka Rumpit itu.
"Bocah edan...! Kau pulanglah! Aku tak akan 
menggebuk pantatmu...!" Terkejut pemuda ini, 
karena segera mengetahui kalau itu adalah suara 
gurunya si nenek bongkok muka tengkorak. Sege-
ra dia bergegas memakai pakaiannya. Tak lama 
sudah melompat pergi dari sisi sungai itu. Sesaat 
matanya masih sempat menatap mayat sang ga-
dis, akan tetapi dia memang sudah tak menga-
cuhkannya lagi.
"Ah, ah...! Mahesani! Agaknya umurmu terla-
lu pendek untuk menjadi isteriku!" Dan berkele-
batlah tubuhnya menuju arah ke tempat tinggal-
nya, yaitu goa "lobang tikus" yang berbau pengap 
dan sudah amat menjemukan hatinya itu. Tiupan 
angin lirih mengiringi kepergiannya.
Sementara itu di mana dua sosok tubuh ber-
kelebat, yang satu adalah si nenek bongkok yang 
mendahului berkelebat kembali menuju goanya, 
sedang yang satu lagi adalah tubuh Raka Rumpit. 
Saat itulah muncul sebuah kepala tanpa tubuh 
yang baru menampakkan diri. Dengan mulut ter-
senyum menyeringai kepala si manusia setengah 
siluman itu melayang mendekati tubuh Mahesani.
"Hihihi... hihi... bagus! Beruntung sekali aku 
menjumpainya! Mayat gadis ini masih segar, dan 
baru saja mati!" Mendesis suara Tri Agni, dan ke-
palanya bergerak memutari tubuh telanjang bulat 
yang terbujur itu.
"Aii, sungguh seorang gadis yang cantik dan 
masih amat muda! Hihihi... walau baru habis di-
perkosa tak apalah...! Wah, wah... sungguh mulus

tubuhnya! Entah siapa nama gadis ini, akan teta-
pi inilah saatnya aku menitis padanya!" Selesai 
berkata tiba-tiba kepala Tri Agni melenyap sirna, 
dan tanpa terlihat oleh mata biasa, secercah sinar 
putih melesat cepat memasuki gua garba Mahe-
sani melalui ubun-ubun kepalanya. Mendadak 
terjadi keanehan pada alam sekitar, karena tiba-
tiba cuaca berubah menjadi gelap. Angin bersyiur 
keras merontokkan dedaunan. Di langit tampak 
kilat sambung-menyambung membersitkan si-
narnya disertai suara ledakan-ledakan keras. 
Dan... pada saat itu juga tampak sesuatu telah 
terjadi pada mayat Mahesani. Mayat si gadis re-
maja itu tiba-tiba telah bergerak bangun. Tak la-
ma sudah berdiri dengan perdengarkan suara ter-
tawa aneh. Karena Mahesani tidak bersuara de-
mikian. Itulah suara Tri Agni si manusia setengah 
siluman, yang telah menitis padanya.
"Hihihi... hihi... ow, enak sekali tubuh ini di-
pakainya! Aku dapat menggerakkan lagi lengan 
dan kaki! Dan aiih, benar-benar menyenangkan! 
Kini aku sudah mempunyai tubuh putih mulus, 
dan montok! Buah dadaku pun masih padat beri-
si! Pinggangku ramping, dan pinggul... ow! Be-
saar! Paha dan betis amat serasi! Jari tangan dan 
kaki lentik memanjang...! Dan... dan... hmm le-
batnya...!"
Tri Agni tersenyum-senyum menatap tubuh-
nya, seraya berjalan melenggang-lenggok. Ram-
butnya dibiarkan terurai. Namun tak lama dia 
sudah hentikan tingkahnya. Kini merenung seje-
nak, seperti memikir akan apa yang harus diperbuatnya.
"Hm, aku harus mencari pakaian penutup tu-
buh ku! Ya, dengan mencuri tentunya!" Gumam-
nya perlahan. Dan Mahesani yang sudah berbeda 
nyawa itu pun beranjak dari tepian sungai itu. 
Ternyata gerakannya amat gesit, seperti Tri Agni 
ketika masih
bertubuh utuh beberapa bulan yang lalu. 
Dengan berjumpalitan di udara, Mahesani sudah 
melesat menyeberangi sungai dan tiba di sebe-
rang. Injakkan kaki dengan ringan di atas tanah.
Seekor babi hutan yang tersesat ke sisi sun-
gai, mengguik dan berlari ketakutan masuk ke 
rumpun lebat. Mahesani tertawa mengikik, lalu 
palingkan wajahnya ke arah depan. "Hm, di hilir 
sungai ini pasti banyak orang mencuci pakaian!" 
Desisnya agak santar. Dan berkelebatlah dia me-
lompat-lompat lincah menyusuri tepian sungai.
***
ENAM


"Sudah selesai kau mencucinya, Tantri...?"
"Ah, belum, yu... masih dua potong lagi!" Sahut gadis muda berkulit putih ini, seraya meno-
leh. Sementara lengannya masih bekerja cepat 
menggilas pakaian di atas batu. Gadis ini menge-
nakan selembar kain yang dilipat ujungnya seba-
tas dada, sementara tubuhnya terendam air seba-
tas pinggang. Wanita kawannya ini lebih tua sedikit usianya, yang tampaknya sudah selesai men-
cuci. Dan segera pergi mandi. Tak terlalu lama, 
dia sudah beranjak naik, dengan menyambar pa-
kaiannya yang diletakkan di atas batu. Tampak-
nya dia bergegas mengenakan pakaiannya. Seben-
tar-sebentar memandang ke atas melihat langit. 
Matahari tampak tertutup awan hitam. Dan hari 
memang sudah menjelang sore, karena bayangan 
tubuh yang samar-samar itu sudah memanjang. 
Tak berapa lama dia sudah selesai berpakaian, 
dan merapikan rambutnya dengan menggelung-
nya ke atas.
Sementara gadis muda bernama Tantri itu te-
rus mencuci, namun dipercepat karena melihat
kawannya sudah rapi berpakaian.
"Cepatlah, Tantri...! Kukira sudah mau turun 
hujan! Tadi kulihat cuaca gelap sekali! Petir berki-
lauan di arah hulu sungai! Tapi... tapi memang 
aneh? Tahu-tahu cuaca kembali terang bende-
rang! Dan kini lihatlah! Awan hitam sudah menu-
tupi matahari lagi!" Ujar wanita itu. Dia bernama 
Tomblok.
"Aiih, yu Tomblok! Mengapa kau tampak ke-
takutan sekali!? Tak seperti biasanya! Kalau kau 
mau pulang duluan, pulanglah...! Akupun masih 
bisa pulang sendiri! Pakaian suamiku ini masih 
kotor! Dakinya terlalu tebal! Kau tahukan sifat 
suamiku? Dia akan mengomel kalau aku mencuci 
tak bersih!" Sahut Tantri ketus.
"Tapi... tapi aku memang takut, Tantri...!" Sa-
hut Tomblok yang tampaknya memang agak geli-
sah. Entah mengapa hatinya jadi berdebaran.

Dan tengkuknya sudah meremang sejak tadi.
"Takut apa...?" Tanya Tantri seraya menatap 
pada kawannya.
"Anu... takut... takut kehujanan!" Sahut wani-
ta ini tergagap.
"Hihihi... hihi... yu Tomblok! yu Tomblok...! 
Kau ini memangnya sebangsa kambing, atau ma-
sih keturunan kambing? Masakan takut sama 
hujan! Hawa begin! mana mungkin hujan? Hm, 
sudahlah, kau pulanglah lebih dulu! Kau memang 
cari-cari alasan saja!" Ujar Tantri seraya teruskan 
lagi mencuci.
"Kalau begitu baiklah! Aku pulang duluan, ya 
Tantri!" Ucap Tomblok seraya menyambar bakul 
cuciannya, lalu tanpa menoleh lagi sudah beran-
jak menaiki tanjakan berbatu-batu di sisi sungai 
itu. Langkahnya terlihat amat tergesa. Gadis ber-
kulit putih ini cuma mendengus, dengan wajah 
cemberut. Hatinya amat mendongkol pada kawan 
mencucinya itu. Diam-diam bibirnya mendesis 
seperti memaki.
"Huh, dasar janda sudah gatel! Bilang saja 
sudah tak sabar menemui Kangmas barunya...!"
Mencuci sendiri di sungai dengan situasi sepi 
mencekam seperti itu memang tidak enak. Di 
samping ada rasa was-was, juga tidak tenang pe-
rasaan rasanya. Namun apa mau dikata, dengan 
hati mendongkol wanita muda ini teruskan peker-
jaannya. Akan tetapi kini sudah mulai terasa 
adanya hawa aneh, yang membuat tengkuknya 
meremang. Dan dia baru merasakan-nya, bebera-
pa saat setelah kawannya berangkat pulang. Eh,

aneh...! Tak seperti biasanya hawa begini dingin! 
Tadi tak terasa apa-apa padaku! Hm, apakah cu-
ma perasaanku saja...? Gumam si wanita muda 
dalam hati.
Dan makin bergegaslah dia menyelesaikan 
pekerjaannya. Bahkan niatnya untuk mandi pun 
telah diurungkan. Pakaian yang masih belum 
bersih digilasnya itu, cepat-cepat diperasnya. Lalu 
dilemparkan ke dalam bakul. Untuk selanjutnya 
mencopot kain penutup tubuhnya. Diperasnya 
pada bagian yang basahnya saja. lalu cepat dima-
sukkan ke bakul cucian. Selanjutnya lengannya 
sudah bergerak untuk menyambar pakaian ke-
ringnya yang bersih, di atas batu.
Akan tetapi belum lagi lengannya menjamah, 
tahu-tahu bersyiur angin keras.... Dan onggokan 
pakaiannya telah lenyap.
"Hah!?" Tersentak wanita muda ini. Sepasang 
matanya membeliak lebar. Tak ketahuan ke mana 
"terbang"nya sang pakaian, karena tahu-tahu su-
dah lenyap begitu saja dari atas batu di hadapan-
nya. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba 
terdengar suara tertawa mengikik yang tak keta-
huan di mana arahnya. Serasa berdiri semua 
rambut di kepalanya, wanita ini menjerit ketaku-
tan. Dan tak ayal sudah melompat ke darat, lalu 
lari jatuh bangun dengan keadaan tubuh telan-
jang bulat. Semakin gencarlah suara tertawa 
mengikik itu, seperti terpingkal-pingkal. Namun 
tak berapa lama satu bayangan sudah berkelebat 
muncul, dan suara tertawa mengikik itu pun terhenti.

Terperangah wanita muda ini, karena tiba-
tiba di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh 
telanjang bulat. Dan seonggok pakaian miliknya 
telah berada di cekalan lengan gadis tanpa busa-
na itu.
"Hihihi... hihi... jangan pergi adik manis...! 
Aku amat memerlukanmu...! Hihihi... ya, memer-
lukan darahmu!" Berkata Mahesani.
"Hah!? Toloong! Tidaaak...! Ja... jangaaan...!" 
Berteriak wanita ini dengan wajah pucat ketaku-
tan. Dan dia sudah putar tubuh untuk melarikan 
diri. Akan tetapi sekali Mahesani mengangkat 
tangan, segelombang angin keras bersyiur mener-
pa tubuh wanita itu. Sekejap saja dia sudah ro-
boh dengan mengeluh.
Selanjutnya ketika Mahesani membungkuk-
kan tubuh... terdengarlah jeritan wanita muda 
itu. Tubuhnya berkelojotan meregang nyawa. Ter-
nyata Mahesani telah menerkam lehernya dengan 
giginya, menggigit leher sang korban. Darah me-
nyemburat memancur, dan dengan lahap Mahe-
sani telah menghisapnya. Tak berapa lama tubuh 
wanita muda yang telanjang bulat itu sudah ter-
kulai lemah. Sepasang matanya membeliak. Dan 
sesaat antaranya Mahesani sudah lepaskan ceng-
keramannya, lalu bangkit berdiri. Tampak wajah-
nya menyeringai menyeramkan. Karena wajah 
cantik gadis itu penuh berlumuran darah pada 
bagian mulutnya.
"Hihihi... darahmu manis, seperti orangnya... 
hihihi... hihi..." Mahesani gerakkan lengannya 
menyeka mulut. Sementara sepasang matanya

menatap menjalari sekujur tubuh polos si wanita 
muda yang sudah tak bergeming lagi. Karena 
nyawanya telah lepas meninggalkan tubuhnya.
Tak berapa lama, setelah selesai mengenakan 
pakaian yang dirampasnya, Mahesani alias Tri 
Agni segera berkelebat pergi tinggalkan tempat itu 
dengan diiringi suara tertawa mengikik yang me-
nyeramkan.
***
Sebulan sudah sejak kejadian lenyapnya Ma-
hesani, puteri Ketua Perguruan Trisula Dewa. Le-
reng bukit tempat berlatih para anak buah Pergu-
ruan tersebut sudah tak dipakai lagi untuk berla-
tih. Rumah Perguruan Trisula Dewa tampak di-
landa kemuraman. Tiada lagi gelak tawa dan can-
da dari para anak buahnya. Sedangkan sang Ke-
tua Perguruan yang bergelar si Pendekar Trisula 
Emas tampak jarang keluar dari kamarnya. Ber-
ganti-ganti diutus dari para anak buahnya untuk 
mencari jejak si pemuda bernama RAKA RUMPIT 
yang melarikan Mahesani. Akan tetapi tak mem-
bawa hasil.
Hari itu tampak rumah Perguruan Trisula 
Dewa kedatangan dua orang tamu. Mereka adalah 
seorang wanita berusia sekitar 50 tahun dan seo-
rang pemuda dewasa yang kira-kira berusia lebih 
dari dua puluh tahun. Si wanita tua itu memakai 
pakaian persilatan, bertubuh agak pendek, den-
gan rambut digelung di atas, memakai tusuk 
konde emas, berbaju sutera warna jingga. Sedangkan laki-laki remaja itu memakai pakaian 
warna abu-abu, dengan ikat kepala berwarna me-
rah. Di punggungnya terselip sebatang tombak 
pendek bermata tiga. Yaitu di kiri kanan dua ma-
ta kapak, dengan bagian tengahnya mata tombak.
"Katakan pada Ketuamu, bahwa Pendekar 
Lembah Bunga datang bertamu...!" Berkata si 
wanita tua itu dengan suara gagah. Penjaga yang 
menyambut kedatangannya itu mengangguk 
hormat, lalu bergegas beranjak untuk memberi 
laporan. Sementara belasan anak buah lainnya 
hanya menatap dari kejauhan, sambil bertanya-
tanya siapakah tetamu dia orang
yang datang menyambangi padepokan mere-
ka? Tak berapa lama....
"Ah, selamat datang di tempatku, sobatku 
Pendekar Lembah Bunga...!" Dan diiringi suara 
kata-katanya, segera muncul sang Ketua Pergu-
ruan Trisula Dewa yang bernama Bayu Wijaya itu.
"Ahihi... mana anak gadismu, si Mahesani? 
Tentunya sudah berubah jadi gadis dewasa yang 
cantik rupawan!" Berkata si wanita tua Pendekar 
Lembah Bunga. Tercenung sesaat, Bayu Wijaya. 
Mendadak wajahnya menjadi muram. Akan tetapi 
cepat-cepat dia menjawab dengan tersenyum, 
bahkan perdengarkan tertawanya yang hambar.
"Hahaha.... Diajeng Rukmita...! Agaknya kau 
sudah terlalu rindu, hingga sudah menanyakan-
nya! Ehm, apakah anak muda ini muridmu yang 
pada belasan tahun yang lalu itu masih kecil dan 
bandel?" Tanya Bayu Wijaya mengalihkan pembi-
caraan di luar Padepokan itu.

"Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan si Ma-
hendra! Anakku ini tak pernah berguru pada sia-
pa-siapa selain ibunya sendiri...!" Menyahuti si 
Pendekar Lembah bunga seraya berkata:
"Hayo, anakku segera beri hormat pada calon 
mertuamu ini...!" Pendekar Lembah Bunga lan-
jutkan kata-katanya seraya menoleh pada sang 
anak.
Tentu saja si pemuda bernama Mahendra itu 
cepat-cepat menjura dengan membungkuk di ha-
dapan Bayu Wijaya seraya mencium tangan orang 
tua itu. Akan tetapi cepat-cepat Bayu Wijaya me-
nepuk pundaknya.
"Sudahlah, anak mas...! Jangan terlalu ba-
nyak peradatan! Marilah kalian segera masuk! 
Tempatku masih begini saja tanpa perobahan!" 
Ujar Bayu Wijaya merendah. Sementara wajahnya 
sebentar pucat sebentar merah. Hatinya berdeba-
ran, akan bicara bagaimanakah dia nanti di ha-
dapan calon besannya ini? Seperti telah direnca-
nakan, memang sejak masih sama-sama berusia 
tujuh-delapan tahun, Mahesani dan Mahendra te-
lah ditunangkan. Akan tetapi dia memang tak 
menyangka kalau kedatangan Rukmita alias si 
Pendekar Lembah Bunga ini akan datang mene-
pati janji. Dan kedatangannya sudah pasti untuk 
melamar anak gadisnya. Namun kedatangan sang 
calon besan ini sudah terlambat karena Mahesani 
telah lenyap entah ke mana.
Mau tak mau Bayu Wijaya memang harus 
menceritakan apa yang telah terjadi.... Tentu saja 
membuat si Pendekar Lembah Bunga jadi terperanjat. Bahkan seketika menjadi lemas sekujur 
tubuhnya.
"Menurut yang kudengar, pemuda itu berna-
ma RAKA RUMPIT! Entah dari mana kedatangan-
nya! Justru waktu terjadinya penculikan itu aku 
sedang tak ada di tempat! Latihan para murid 
kami memang setiap sepekan sekali mengadakan 
latihan di lereng bukit Karang Tunggal, tak sebe-
rapa jauh dari sini!" Ujar Bayu Wijaya dengan na-
da sedih. "Telah kuutus beberapa kelompok un-
tuk menyebar, mencari jejak Mahesani, akan te-
tapi sia-sia! Mereka pulang tanpa membawa hasil! 
Pencarian jejak itu sudah sampai sebulan ini! Aku 
memang sudah hampir putus asa Diajeng...!
***
TUJUH


Termenung si Pendekar Lembah Bunga, wajahnya menampilkan kekecewaan hatinya. Akan 
tetapi jelas membuat kemarahan luar biasa pada 
si pemuda bernama Raka Rumpit, yang telah 
menculik calon menantunya. Sementara Mahendra cuma bisa termangu-mangu tanpa bisa berka-
ta apa-apa. Melihat pun wajah tunangannya sejak 
sama-sama dewasa, dia belum pernah. Masa kecil 
dalam usia sekitar tujuh-delapan tahun adalah 
masa di mana belum bisa mengingat wajah orang, 
walaupun mereka pernah saling jumpa.
Selama itu Mahendra hanya mengetahui sekitar
lembah, yang dinamakan Lembah Bunga. Di 
mana dia digembleng oleh sang ibu yang merang-
kap sebagai gurunya. Setelah terdiam sejurus, 
akhirnya Pendekar Lembah Bunga memohon 
tinggal sementara di Padepokan Trisula Dewa, se-
kalian menyelidiki di mana adanya si pemuda 
penculik bernama Raka Rumpit, dan mencari je-
jak Mahesani. Tentu saja Bayu Wijaya tak meno-
laknya. Bahkan dengan adanya Mahendra di pa-
depokan, dia dapat leluasa mencari anak gadis-
nya.
Demikianlah, hari itu juga Mahendra diperke-
nalkan pada seluruh dari anak buah Perguruan 
Trisula Dewa. Bahkan beberapa hari di padepo-
kan itu, ternyata Mahendra amat disenangi dalam 
pergaulan. Bahkan terjadi saling menguji ilmu. 
Kedua calon besan itu cuma memandang sambil 
tersenyum.
"Diajeng...! Tampaknya jurus-jurus ilmu Lem-
bah Bunga amat hebat! Kaukah yang telah men-
ciptakan jurus-jurus baru itu?"
"Hm, benar! Sebenarnya masih serumpun 
dengan jurus-jurus dari ciptaan guru kita! Aku 
hanya mengadakan perombakan, dan menambah 
beberapa jurus baru hasil ciptaanku!" Sahut si 
Pendekar Lembah Bunga. Bayu Wijaya tersenyum 
seraya manggut-manggut. Sementara diam-diam 
hatinya agak tergetar berdekatan dengan wanita 
yang pernah menjadi saudara seperguruannya 
itu. Sudah sejak lama Bayu Wijaya hidup mendu-
da, sejak istrinya minggat bersama laki-laki lain,

dan entah ke mana perginya. Meninggalkan Ma-
hesani sejak masih kanak-kanak. Rumah tang-
ganya memang tidak harmonis, dan mengalami 
perpecahan, karena sang istri ternyata seorang 
wanita yang tak mengenal puas.
Sedangkan si Pendekar Lembah Bunga adalah 
juga seorang janda, yang ditinggal mati suaminya. 
Dan tidak berhasrat menikah lagi. Sebagai dua 
orang dari satu guru, mereka tetap bersahabat. 
Dan masing-masing telah mengetahui akan ri-
wayat hidup rumah tangganya, yang sama-sama
berantakan. Entah, apakah di hati Rukmita alias 
si Pendekar Lembah Bunga itu masih ada cinta? 
Bayu Wijaya tak dapat menduganya. Namun nya-
tanya hati Bayu Wijaya memang sudah kena ter-
jerat asmara, di masa tua ini. Seakan ingin dia 
mengembalikan masa remajanya yang sudah le-
wat puluhan tahun.
Sayang kemelut lenyapnya anak gadisnya 
membuat Bayu Wijaya lebih banyak menekan pe-
rasaannya. Adapun si Pendekar Lembah Bunga 
seperti tak mengetahui apa yang terkandung di 
hati saudara seperguruannya itu.
"Ah, seandainya jurus-jurus Lembah Bunga 
dipadukan dengan jurus dari Perguruan Trisula 
Dewa, tentu akan merupakan kombinasi yang he-
bat!" Berkata perlahan Rukmita. "Jurus-jurus cip-
taanmu pun tak kalah hebatnya, kakang Bayu...!" 
Lanjut ucapannya.
"Yah. kukira memang bisa jadi! Akan tetapi 
aku merasa jurus-jurus ciptaanku teramat lemah! 
Terbukti anakku Mahesani tak mampu menjatuhkan pemuda bernama RAKA RUMPIT itu da-
lam tiga jurus! Dan bahkan dapat diculik begitu 
saja...!" Berkata Bayu Wijaya dengan wajah mu-
ram, seperti menyesali kebodohannya. Rukmita 
berpaling menatap wajah Bayu Wijaya. Laki-laki 
yang ditatapnya tundukkan kepala. Sementara ja-
ri-jari lengannya bergerak memilin jenggotnya 
yang masih hitam berkilat.
"Kakang Bayu...!" Ucap wanita tua itu lirih. 
Seraya kembali berpaling mengarahkan pandan-
gan ke pelataran Padepokan.
"Kukira kau akan sependapat, kalau kita 
mencari Mahesani berdua! Urusan di Padepokan 
Trisula Dewa kita serahkan saja pada murid ter-
tuamu! Bukankah ada Mahendra, yang bisa 
membantu bekerja dan turut menjaga untuk se-
mentara!" Berkata Rukmita dengan kata-kata lirih 
serius. Tercenung Bayu Wijaya, seolah tak per-
caya, karena justru dia memang amat mengha-
rapkan hal demikian. Akan tetapi Bayu Wijaya tak 
menampakkan wajah girangnya. Bahkan terden-
gar menghela napas, seolah mengkhawatirkan se-
suatu.
"Akupun berpendapat demikian, diajeng...! 
Namun apakah tak menjadi gunjingan orang, ka-
rena kita sama-sama duda dan janda...?"
"Hm, mengapa harus berpikir sejauh itu? Kita 
adalah pernah menjadi saudara seperguruan! Dan 
layak kalau kita pergi bersama untuk mencari 
Mahesani, sekalian menyelidiki siapa adanya bo-
cah kurang ajar yang telah menculiknya...! Perse-
tan dengan segala macam gunjingan!" Ucap Rukmita dengan kata-kata tegas.
"Kalau begitu, baiklah...! Bilakah kita akan 
berangkat?" Tanya Bayu Wijaya.
"Mengapa harus buang waktu? Lebih cepat 
adalah lebih baik!"
"Sampai berapa waktu kita mencarinya...?" 
"Heh! Ya, sampai ketemu...! Aiiih, kakang Bayu! 
Apakah kau akan mandah saja anak gadismu di-
jadikan permainan orang? Walau entah apa yang 
terjadi dengan anakmu itu, aku tetap tak mero-
bah keputusan untuk menjodohkannya dengan 
Mahendra!" Ucapnya tegas. Dan kata-kata si Pen-
dekar Lembah Bunga itu memang tidak main-
main, karena terlihat jelas di sudut matanya 
menggenang setitik air bening. Dan sepasang ma-
tanya sudah berkaca-kaca... Akhirnya wanita itu 
pun tundukkan wajahnya seraya menahan isak 
yang tersendak di dadanya.
"Aku memang seorang ayah yang tak becus 
menjaga anak, diajeng! Ah, maafkanlah aku! 
Gembira sekali kalau kita bisa jalan bersama-
sama! Jadi teringat lagi pada masa kita remaja! 
Sayangnya aku tak berjodoh denganmu!" Ujar 
Bayu Wijaya sambil tersenyum. Namun tak urung 
air matanya pun membersit keluar.
***
Pada pertengahan musim kemarau seorang 
penunggang kuda tampak mendatangi sebuah 
perkampungan di daerah utara itu. Laki-laki itu 
berpakaian sederhana. Ikat kepalanya yang terbuat dari bahan kasar berwarna kuning, tampak 
berkibaran tertiup angin. Kudanya berbulu coklat 
dan tampak kekar. Tiba di mulut desa, laki-laki 
ini hentikan lari kudanya dan berjalan perlahan. 
Sementara sepasang matanya merayapi keadaan 
sekitar daerah itu.
Ternyata laki-laki ini tak lain dari Satryo, be-
kas Senapati Kerajaan Matsyapati yang sudah 
punah. Satryo memang telah mengembara menu-
rutkan sepembawa kakinya. Nama desa yang dis-
inggahinya itu pun dia tak tahu. Empat bulan su-
dah waktu berlalu, dengan kuda tunggangannya 
yang tak pernah berpisah darinya. Tiba-tiba laki-
laki ini hentikan langkah kudanya, karena telin-
ganya segera menangkap suara jeritan, dan suara 
orang berteriak. Bahkan tak lama terdengar se-
perti suara orang bertarung, dengan diiringi ben-
takan-bentakan keras. Apakah yang terjadi? Sen-
tak hatinya. Dan tanpa ayal lagi dia sudah keprak 
kudanya untuk mencongklang cepat ke arah ten-
gah desa.
Sesosok mayat wanita membugil tampak ter-
juntai di pintu rumah panggung, dan seorang 
pemuda bertelanjang dada, tampak tengah meng-
hadapi serangan dua orang laki-laki yang mener-
jang hebat dengan golok-golok telanjang.
"Bocah keparat! Kau berani main gila dengan 
anak menantuku? Kubunuh kau bangsat!" Orang 
tua itu menerjang kalap. Goloknya menebas ke 
kiri-kanan dan membacok ganas ke tubuh si pe-
muda. Akan tetapi dengan tertawa-tawa pemuda 
itu telah melompat-lompat menghindar. Gerakan

mengelakkannya ternyata santai saja, namun se-
rangan-serangan ganas laki-laki tua itu ternyata 
luput dengan mudah. Sementara laki-laki yang 
hampir seumur dengannya itu melompat mener-
jang dengan bentakan keras, dan berteriak-teriak 
kalap. Agaknya dialah suami wanita bugil yang 
terjuntai di pintu rumah panggung.
"Aku akan adu jiwa denganmu, setan pemer-
kosa wanita!" Dan dengan menggerung keras dia 
sudah lakukan terjangan hebat dengan golok pan-
jangnya.
"Ahahaha... aku tidak memperkosa! Boleh 
kau tanyakan pada istrimu! Kami melakukannya 
mau sama mau!" Ujar pemuda itu dengan menge-
lak dari sambaran ganas golok panjang si laki-laki 
suami wanita itu. Dan...
BLUGH...! Dia telah kirimkan satu hantaman 
telak di dada orang. Tak ampun laki-laki itu ter-
lempar keras hingga menabrak ke anak tangga 
bambu rumah panggung itu.
BRRAKK...! Tangga bambu itu patah berde-
rak. Dan laki-laki itu meringis menyeringai kesa-
kitan. Dia masih berusaha bangkit, namun segera 
terbatuk-batuk, dan darah kental berwarna hitam 
menggelogok keluar dari mulutnya.
"Hahaha... sebaiknya kau menyusul istrimu 
ke Alam Baka! Bukankah kematiannya adalah di 
tanganmu sendiri? Siapa suruh kau membunuh-
nya...?" Berkata pemuda itu dengan tertawa me-
nyeringai.
"Iblis keparat...! Kau... kau..." Membeliak se-
pasang mata laki-laki itu. Akan tetapi sebelum dia

dapat bangkit berdiri, tubuhnya telah terhuyung 
limbung. Dan kata-katanya terputus, karena se-
ketika nyawanya sudah melayang. Ambruklah tu-
buh laki-laki itu dengan tidak bergeming lagi. Pu-
kulan keras pada dada laki-laki itu ternyata telah 
mengantarkannya pada jalan kematian. Dan dia 
memang benar-benar tewas menyusul istrinya, 
yang telah dibunuhnya.
Laki-laki itu mendapat laporan dari salah seo-
rang kawannya tentang adanya seorang pemuda 
yang bertamu ke rumahnya di saat dia tidak be-
rada di rumah. Dan sang istri ternyata menerima 
tetamu nya itu untuk menghormati. Tak dinyana 
telah terjadi satu perbuatan mesum di rumahnya. 
Hal mana diketahui oleh sang kawan yang telah 
mengintip perbuatan mereka. Tentu saja dengan 
kemarahan meluap dia berlari pulang. Di jalan 
berjumpa dengan ayahnya. Secara singkat dia ce-
ritakan pada sang ayah. Dan melompat geram ke 
arah rumahnya. Golok panjang yang selalu diba-
wanya itu dipakai menoreh pintu jendela yang ter-
tutup. Dan segera terpampang jelas di depan ma-
tanya sang istri yang tengah bercumbu dengan 
pemuda asing itu. Melompatlah dia ke dalam. 
Sementara si pemuda asing sudah merapihkan 
sebagian pakaiannya, dan melompat keluar. Laki-
laki ini muncul di kamar istrinya. Dilihatnya sang 
istri bukannya ketakutan melihat suaminya me-
mergoki perbuatannya, bahkan tersenyum-
senyum menatap padanya dengan rambut awut-
awutan, dan tubuh telanjang bulat.
Betapa geramnya dapat dibayangkan hati

sang suami. Dia berpikir sang istri sudah keterla-
luan. Dan sengaja memanasi hatinya. Tak ampun 
lagi dia sudah seret tubuh istrinya, keluar pintu. 
Dan golok panjangnya "berbicara" menghabisi 
nyawa wanita itu.
Bocah iblis...! Kau telah bunuh anakku...? 
Kucincang tubuhmu manusia edan...!" Dan si 
orang tua itu sudah menerjang beringas dengan 
goloknya. Tubuh laki-laki tua ini menggeletar he-
bat. Betapa dengan kejam si pemuda asing itu te-
lah membunuh anak laki-lakinya.
WUT! WUT! WHUT...! Kembali serangan-
serangan ganas itu dielakkan dengan mudah, se-
raya berkata dengan wajah cengar-cengir. "Ah, 
sudahlah pak tua! Kau urusi saja mayat anak dan 
menantumu aku malas membunuhmu...!" Akan 
tetapi mana mau si laki-laki tua itu diamkan ma-
nusia pembunuh itu di depan matanya? Kembali 
dia menerjang bringas. Goloknya membabat dan 
menabas kepala pemuda konyol di hadapannya.
"Heh, kau rupanya memilih mampus! Baiklah! 
Jangan sesalkan aku...!" Tiba-tiba tubuh pemuda 
itu berkelebat melompat, lengannya bergerak 
menghantam kepala laki-laki tua itu...
WHHUUKK... DHESS...! Terkejut pemuda itu 
ketika merasai angin bersyiur ke arah punggung-
nya. Dan belum lagi dia sempat menghantamkan 
lengannya, tubuhnya telah terlempar beberapa 
tombak. Namun dengan lincah si pemuda ini ber-
jumpalitan di udara, dan jatuhkan kakinya men-
ginjak tanah. Hatinya memikir. Siapa yang telah 
menyerangnya?

Untunglah dia sudah lindungi tubuhnya den-
gan hawa sakti yang dengan cepat disalurkan ke 
punggung. Hingga hantaman telak itu tak mem-
buatnya cidera. Saat itu juga telah berkelebat se-
buah bayangan tubuh manusia. Dan seorang la-
ki-laki gagah berpakaian sederhana telah berada 
di situ. Ternyata Satryo yang barusan menggagal-
kan serangan maut pemuda konyol itu.
"Manusia dari manakah yang telah tega ber-
buat keji, dan bertindak semaunya mengumbar 
kelakuan jahat...!" Ujar Satryo dengan kedua len-
gan terentang. Sepasang matanya menatap pada 
pemuda yang juga telah menatapnya. Sementara 
diam-diam Satryo terkejut juga karena hantaman 
angin pukulannya tadi ternyata tak membuat pe-
muda itu cidera. Atau setidak-tidaknya luka da-
lam. Pemuda bertelanjang dada itu bahkan masih 
bisa berdiri dengan keadaan segar bugar.
"Bapak tua! Menyingkirlah kau! Manusia keji 
ini bukan lawanmu...!" Berkata Satryo. Sementara
di belakangnya terdengar suara ringkikan ku-
danya. Tak ayal si laki-laki tua itu sudah me-
nyingkir, dan berlari menubruk mayat anak laki-
lakinya dengan menangis bagai anak kecil. Se-
dangkan keadaan di lingkungan desa itu, seketika 
menjadi ramai dengan berdatangannya orang-
orang desa melihat kejadian.
"Aha...! Ada jagoan rupanya yang datang ber-
kuda! Hahaha... satu kehormatan buatku untuk 
menjajal kepandaian!" Berkata pemuda itu den-
gan tertawa jumawa. Dan melangkah lebar mendekati Satryo.

"Heh! Siapakah kau, sobat! Apa kesalahan ke-
luarga rumah ini, hingga kau turunkan tangan 
keji!" Ujar Satryo dengan kening berkerut mena-
tap orang.
"Hm, aku tak pernah menyembunyikan na-
maku. Namaku RAKA RUMPIT! Dan mengenal 
urusanku, kau tak perlu ikut campur! Kecuali 
memang mau menjajal ilmu! Bukankah telah kau 
lihat sendiri kalau ternyata pukulanmu barusan 
tak berarti apa-apa padaku! Ahahaha... Baiknya 
kau pulang dulu untuk berguru pada kakekmu! 
Barulah boleh berlagak jadi pahlawan!" Ucap pe-
muda yang tak lain dari Raka Rumpit itu adanya.
"Manusia sombong!" Mendengus Satryo. Se-
lama hidupnya baru dia menjumpai seorang pe-
muda yang keterlaluan dan bertingkah konyol be-
gitu. Akan tetapi Satryo dapat menahan kesaba-
rannya. Sementara diam-diam Raka Rumpit su-
dah membaca mantera dengan bibir berkemak-
kemik. Sepasang matanya menatap tajam pada 
Satryo. Terkejut bekas Senapati itu, karena mera-
sai tatapan mata Raka Rumpit telah bersitkan si-
nar tajam yang mempengaruhi bathinnya. Selang 
sesaat, tampak dalam pandangannya tubuh Raka 
Rumpit berubah jadi segumpal asap hitam. Dan 
gumpalan asap itu membentuk sesosok tubuh hi-
tam berbulu dengan wajah menyeramkan.
"Hah!? Edan...! Manusia apakah si Raka 
Rumpit ini?" Desis Satryo tersentak kaget. Ter-
paksa dia gunakan kekuatan bathinnya untuk 
menindih kekuatan lawan yang mempengaruhi 
pandangannya. Akan tetapi sia-sia. Makhluk hitam berbulu itu semakin dekat melangkah. Satryo 
mundur dua tindak.
***
DELAPAN


AKAN TETAPI PADA SAAT ITU... terdengar satu bentakan keras, dengan diiringi berkelebatnya 
dua sosok tubuh ke hadapan mereka.
"Bocah keparat...! Akhirnya berhasil juga kami menjumpaimu!" Raka Rumpit hentikan langkahnya, serata tatap wajah kedua orang penda-
tang itu. Ternyata yang muncul tak lain dari Bayu 
Wijaya dan si Pendekar Lembah Bunga.
"Walah... siapakah kalian ini, datang-datang 
memaki orang?" Tanya Raka Rumpit. Pemuda ini 
tak menampakkan perubahan tubuhnya dalam 
pandangan kedua orang tokoh persilatan itu. Sementara Satryo tersentak lagi, karena segera melihat tubuh makhluk hitam berbulu dengan wajah 
menyeramkan itu berangsur-angsur melenyap, 
dan kembali berubah dalam bentuk aslinya. 
"Heh? Ilmu Hitam...!" Desisnya tertahan.
"Setan tengik! Hm, bocah...! Kau sembunyi-
kan di mana anak gadisku yang bernama Mahe-
sani! Kau... kau telah menculiknya ketika dia ten-
gah melatih para anak buahku hampir empat bu-
lan yang lalu di lereng bukit Karang Tunggal. Bu-
kankah kau bernama RAKA RUMPIT...?" Bentuk 
Bayu Wijaya si Pendekar Trisula Emas. Tercenung

sejenak Raka Rumpit. Namun segera perdengar-
kan tertawanya.
"Oh, hahaha... haha... kalau begitu kaukah 
yang bergelar si Pendekar Trisula Emas, ketua 
Perguruan Trisula Dewa itu...?"
"Benar! Perbuatan terkutukmu ini benar-
benar menghinaku, bocah! Kau ke manakan anak 
gadisku itu! Dan siapakah gurumu?" Bentak lagi 
Bayu Wijaya. Baru saja Raka Rumpit mau men-
jawab, tiba-tiba telah menelusup ke lubang telin-
ganya satu suara halus.
"Raka Rumpit...! Kau pulanglah...! Ada hal 
penting yang akan aku katakan padamu! Aku te-
lah kedatangan tetamu istimewa...! Kedatangan-
mu amat kuharapkan secepatnya...!" Terkejut 
pemuda ini karena itulah suara sang guru, si Ne-
nek Bongkok Muka Tengkorak.
"Hm, maafkan aku para Pendekar Tua! Aku 
tak bisa menjawab sekarang! Aku harus kembali 
secepatnya!!" Seraya berkata tubuh Raka Rumpit 
sudah berkelebat melesat. Dan melompat pergi 
dari situ.
"Kurang ajar...! Hei? Kau tak dapat melarikan 
diri lagi manusia tengik!" Membentak Rukmina si 
Pendekar Lembah Bunga. Tubuhnya mencelat 
menyusul bayangan tubuh Raka Rumpit. Tiba-
tiba lengannya bergerak mengibas.
WHUSSSSS!
Ser! Ser! Ser...! Enam kuntum bunga kering 
meluncur deras ke arah belakang punggung Raka 
Rumpit, yang telah tersusul tiga tombak di bela-
kangnya. Hebat senjata bunga kering yang dilontarkan wanita Pendekar Lembah Bunga ini. Kare-
na mengarah keenam bagian jalan daerah lawan. 
Bila salah satu saja yang mengena, tentu akan 
membuat lawan tertotok roboh.
"Edan...! Bocah itu punya ilmu siluman! Pan-
tas kalau anakmu si Mahesani bisa dikalah-
kan...!" Desis Rukmita si Pendekar Lembah Bun-
ga.
"Keparrrat...! Entah siapa guru si bocah edan 
itu...!" Memaki Bayu Wijaya. Di lengannya telah 
tergenggam senjata Trisula Emas-nya. Akan tetapi 
belum lagi dipergunakan, pemuda penculik anak-
nya itu sudah merat menjadi segumpal asap. Sa-
tryo mendehem seraya mendekati kedua orang 
itu. Lalu menjura hormat ketika keduanya meno-
leh.
"Paman Bayu Wijaya...! Apakah anda masih 
mengenalku?" Bertanya Satryo. Terkejut laki-laki 
tua ini. Seraya mengelus jenggotnya, dia menatap 
pada laki-laki dewasa di hadapannya dengan kre-
nyitkan keningnya. Diperhatikan demikian, Sa-
tryo tersenyum. Lalu segera perkenalkan diri.
"Ah, agaknya anda pangling, sobat Bayu Wi-
jaya! Aku Satryo!"
"Hah!? Anda... anda Senapati Satryo...? Oh,
maafkan mata tuaku ini, Senapati!" Ucap Bayu 
Wijaya dengan tersipu. Dan segera beranjak ulur-
kan lengannya menjabat tangan laki-laki itu.
"Ah, jangan panggil aku Senapati lagi, paman 
Bayu Wijaya. Kerajaan Matsyapati sudah punah! 
Dan aku telah berhenti dari jabatanku!" Ucap Sa-
tryo pendek. Laki-laki tua yang masih bertubuh

kekar itu tercenung sejenak, lalu manggut-
manggut mengerti. Agaknya berita diambil alihnya 
kekuasaan Kerajaan Matsyapati yang sudah di-
tinggal pergi oleh Rajanya itu telah sampai juga ke 
telinganya. Selang sesaat, tiba-tiba Bayu Wijaya 
berkata:
"Oh, adik Senapati... eh, Satryo...!" Berkata 
Bayu Wijaya seraya menatap berganti-ganti pada
Rukmita dan Satryo.
"Aku bernama Rukmita, yang digelari si Pen-
dekar Lembah Bunga! Kami masih saudara seper-
guruan...!" Ucap si Pendekar Lembah Bunga 
mendahului bicara, karena tampaknya Bayu Wi-
jaya agak tergagap untuk memperkenalkan di-
rinya pada laki-laki bekas Senapati itu. Laki-laki 
tua ini cuma manggut-manggut dengan terse-
nyum. Dan cepat-cepat Satryo menjura lagi.
Secara singkat Bayu Wijaya ceritakan tentang 
musibah yang telah menimpanya pada Satryo. 
Dan mereka berdua memang tengah mencari jejak 
pemuda bernama Raka Rumpit itu, di samping 
mencari ke mana lenyapnya Mahesani, anak ga-
disnya.
"Kakang Bayu, aku akan coba cari jejak pe-
muda edan itu, kukira tak berapa jauh di sekitar 
sini...!" Seraya berkata Rukmita telah berkelabat 
melompat tanpa menunggu lagi jawaban si Pen-
dekar Trisula Emas. Melengak laki-laki tua ini, 
seraya berteriak:
"Diajeng Rukmita! Tungguuu...!" Dan dia su-
dah palingkan lagi wajahnya menatap Satryo. 
"Maaf, adik Satryo, aku... aku harus segera membekuk manusia jahanam itu sebelum dia berlari 
jauh!" Satryo cuma terpaku dan cepat mengang-
guk. Dan tak ayal Bayu Wijaya sudah berkelebat 
menyusul si Pendekar lembah Bunga. Satryo cu-
ma menatap dengan tercenung. Dan terdengar 
suara helaan napasnya.
"Pemuda bernama Raka Rumpit itu memiliki 
ilmu siluman...! Ah, Rimba Hijau ternyata di pe-
nuhi orang-orang muda yang berilmu tinggi! 
Sayang dipergunakan untuk menyebar kejaha-
tan...!" Gumam laki-laki bekas Senapati ini. Dan 
dia pun segera berkelebat untuk menjemput ku-
danya. Tak lama sudah mencongklang cepat me-
ninggalkan desa yang dilanda musibah itu...
Sementara itu sesosok tubuh berkelebat cepat 
menuju ke arah bukit. Dan meniti tebing dekat 
muara sungai di bawahnya. Tak lama sesudah 
memasuki sebuah lubang goa. Terdengar suara 
tertawa mengekeh, dan di dalam ruangan goa itu 
telah berdiri sesosok tubuh bongkok, yang tak 
lain dari si nenek bongkok bermuka tengkorak.
"Hihihi... si Rumpit bocah edan itu benar-
benar keterlaluan! Membuat aku cemburu seten-
gah mati! Rasanya menunggu sampai tamatnya 
pelajaran ilmu yang kuberikan, aku sudah tak 
sabar lagi...!" Menggumam si nenek bongkok se-
raya duduk di atas batu di tengah goa. Tak lama 
dia sudah beranjak bangkit dan melangkah me-
nuju ke ruangan kamar tempat samadinya. Akan 
tetapi belum lagi lebih dari lima langkah, sudah 
terdengar di kejauhan suara tertawa mengakak, 
dan saat berikutnya tahu-tahu si pemuda murid

bekuk manusia jahanam itu sebelum dia berlari 
jauh!" Satryo cuma terpaku dan cepat mengang-
guk. Dan tak ayal Bayu Wijaya sudah berkelebat 
menyusul si Pendekar lembah Bunga. Satryo cu-
ma menatap dengan tercenung. Dan terdengar 
suara helaan napasnya.
"Pemuda bernama Raka Rumpit itu memiliki 
ilmu siluman...! Ah, Rimba Hijau ternyata di pe-
nuhi orang-orang muda yang berilmu tinggi! 
Sayang dipergunakan untuk menyebar kejaha-
tan...!" Gumam laki-laki bekas Senapati ini. Dan 
dia pun segera berkelebat untuk menjemput ku-
danya. Tak lama sudah mencongklang cepat me-
ninggalkan desa yang dilanda musibah itu...
Sementara itu sesosok tubuh berkelebat cepat 
menuju ke arah bukit. Dan meniti tebing dekat 
muara sungai di bawahnya. Tak lama sesudah 
memasuki sebuah lubang goa. Terdengar suara 
tertawa mengekeh, dan di dalam ruangan goa itu 
telah berdiri sesosok tubuh bongkok, yang tak 
lain dari si nenek bongkok bermuka tengkorak.
"Hihihi... si Rumpit bocah edan itu benar-
benar keterlaluan! Membuat aku cemburu seten-
gah mati! Rasanya menunggu sampai tamatnya 
pelajaran ilmu yang kuberikan, aku sudah tak 
sabar lagi...!" Menggumam si nenek bongkok se-
raya duduk di atas batu di tengah goa. Tak lama 
dia sudah beranjak bangkit dan melangkah me-
nuju ke ruangan kamar tempat samadinya. Akan 
tetapi belum lagi lebih dari lima langkah, sudah 
terdengar di kejauhan suara tertawa mengakak, 
dan saat berikutnya tahu-tahu si pemuda murid

nya itu telah muncul di mulut goa. Terhenyak si 
nenek bongkok.
"He!? Begitu cepat kau datang...?" Berkata si 
nenek. Dia agak heran karena tak mendengar su-
ara pemuda muridnya itu dari kejauhan. Bi-
asanya telinga si nenek bongkok sudah dapat 
menangkap dari kejauhan, kalau anak muda mu-
ridnya itu akan pulang. Bahkan walau masih be-
rada di kaki bukit. Akan tetapi kedatangannya ki-
ni adalah memang di luar dugaannya. Dia tadi te-
lah sengaja berdusta dengan mengatakan ada te-
tamu istimewa di goa tempat tinggalnya.
"Hahaha... bukankah aku telah mempelajari 
ilmu ASAP SETAN! Mana kau mampu mengetahui 
kedatanganku lagi, nenek manis..!" Ucap Raka 
Rumpit dengan tertawa, dan memasuki goa den-
gan langkah lebar.
"Bocah gendeng..." Memaki si nenek. Akan te-
tapi seperti baru tersadar dia berkata. "He!? Apa 
katamu tadi? Kau telah berhasil menguasai ilmu 
ASAP SETAN...?"
Pemuda ini mengangguk sambil nyengir ter-
tawa, dan lengannya menggaruk-garuk dadanya 
yang telanjang berkeringat. Rambutnya yang se-
makin gondrong tanpa ikat kepala itu dikibas-
kibaskannya seperti mengusir hawa panas dalam 
goa. Melengak si nenek bongkok. Sepasang ma-
tanya membeliak. Tiba-tiba saja dia sudah angkat 
tongkatnya menunjuk,
"Kau... kau... Jadi kau sudah berhasil mena-
matkan pelajaranmu...? Bocah gendeng...! Pantas 
aku tak mendengar suara kedatanganmu! Dan...

sejak kapan kau telah menguasai ilmu ASAP SE-
TAN itu?" Tiba-tiba si nenek bongkok ajukan per-
tanyaan.
"Baru dua-tiga hari belakangan ini, guru! Aku 
memang sengaja tak memberitahukan padamu!" 
Jawab Raka Rumpit dengan melompat mendekati 
si nenek.
"Ha...?! Aiii... dasar bocah edan! Aku sudah 
menyangka kau tak akan mampu menguasai se-
cara cepat karena kulihat otakmu bebal! Dugaan-
ku dalam sepekan lagi baru kau bisa mengua-
sai..." Ujar wanita muka tengkorak ini tertegun. 
Akan tetapi tiba-tiba sang guru sudah keluarkan 
bentakan.
"Bocah edan! Coba kau tunjukkan padaku...!" 
Agaknya si nenek bongkok merasa kurang yakin.
"Hm, baiklah, nenek manis.!" Ucap Raka 
Rumpit. Dan segera mulutnya berkemak-kemik 
membaca mantera. Seluruh kekuatan bathinnya 
sekejap sudah tersalur untuk membentuk daya 
khayal yang berada di otaknya. Tak berapa lama 
tampak tubuh pemuda itu berubah jadi segumpal 
asap hitam. Namun sekejap gumpalan asap itu te-
lah membentuk sesosok tubuh yang merangkak 
di tanah itu. Dan... 
"GRRRRRRAUUUUMMMHHH...!"
Sekejap tubuh Raka Rumpit telah berubah 
jadi seekor harimau belang yang luar biasa be-
sarnya. Binatang ini membuka mulutnya menam-
pakkan gigi-gigi dan taringnya yang runcing ta-
jam. Terperanjat si nenek bongkok dengan mata 
terbelalak. Akan tetapi tiba-tiba telah mengkikik

tertawa.
"Hihihi... hihi... hebat! hebat...! bagus sekali! 
Kau benar-benar telah menguasainya dengan 
baik, bocah edan! Ooooh, mengapa kau baru 
mengaku sekarang?"
"Grrrrh...! Hahaha... aku memang sengaja 
mau membuat kejutan, guru! Berkata si harimau 
jejadian itu dengan mendengus-dengus serta 
mendekam mengejap-ngejapkan matanya. Nenek 
bongkok muka tengkorak julurkan tongkat hi-
tamnya mengetuk tubuh sang macan.
"Sudahlah! Pergilah kau mandi! Bukankah 
kau mau kupertemukan dengan seorang tamuku 
yang istimewa?" Berkata si nenek.
"He, ya...! Mana dia tetamunya?" Bertanya 
Raka Rumpit, yang sekejap telah berubah kembali 
menjadi manusia asalnya.
"Sudah kukatakan! Pergilah mandi, bersihkan 
tubuhmu! Bukankah kau baru mengotori tubuh-
mu dengan keringat wanita? Aku tak suka tu-
buhmu bau wanita...!"
***
SEMBILAN


SEMENTARA Raka Rumpit pergi mandi, baiknya kita menengok dulu kelain tempat. Udara cerah hari itu... seorang gadis berbaju ungu tampak 
berjalan santai memasuki sebuah Padepokan, 
atau rumah perguruan yang tampak agak sunyi

itu. Sementara di sepanjang jalan yang dilaluinya 
beberapa pasang mata telah menatapnya dengan 
mata tak berkedip. Mereka adalah beberapa orang 
anak buah perguruan Trisula Dewa. Akan tetapi 
mereka cuma menatap dengan aneh, karena me-
lihat perobahan pada gadis muda itu yang tak 
mengenalnya. Bahkan telah pula bertanya di ma-
na adanya sebuah Perguruan Silat bernama Tri-
sula Dewa.
Tentu saja dengan tergagap mereka menun-
jukkan Perguruan Trisula Dewa yang tak sebera-
pa jauh dari situ. Bahkan nama Ketuanya pun di-
tanyakan. Adalah aneh, kalau seorang gadis yang 
menjadi puteri dari Ketua Perguruan Trisula De-
wa menanyakan rumah perguruan tempat ting-
galnya, dan menanyakan ayahnya sendiri, seperti 
orang yang belum mengenal sama sekali.
Dengan langkah lebar gadis itu melewati pen-
jaga pintu padepokan yang tak sempat menegur, 
karena mulutnya sudah ternganga dengan tubuh 
kaku. Karena entah apa salahnya, ketika tahu-
tahu laki-laki penjaga yang sudah siap menyam-
butnya dengan girang itu mendadak ditotok pada 
bagian lehernya. Sekejap tubuhnya jadi berdiri 
kaku dengan mulut ternganga dan sepasang mata 
membeliak. Tampak dari mata, mulut dan hi-
dungnya mengeluarkan tetesan darah. Ternyata 
belum lagi sempat berteriak, nyawanya sudah me-
layang.
Melihat munculnya seorang gadis di depan 
pintu ruangan pendopo padepokan itu, semua 
yang berada di dalam terkejut Beberapa orang
anak buah Bayu Wijaya sudah berteriak seraya 
melompat berdiri.
"Ah, Den Ayu Mahesani...! anda... anda sudah 
datang...?". Serentak berlompatanlah mereka 
dengan wajah girang disertai sorak-sorai kawan-
kawannya. Akan tetapi bersamaan dengan itu 
terdengar satu bentakan keras disusul dengan 
berkelebatannya tiga sosok tubuh berkepala gun-
dul.
"Wanita iblis! Kiranya kau anaknya si Bayu 
Wijaya...? Heh jangan harap kau dapat melo-
loskan diri...! Hadapi kami si Tiga Paderi Kuil Na-
ga...!" Terperangah semua anak buah Bayu Wi-
jaya. Serentak mereka telah menghambur mengu-
rung tiga paderi itu.
"Hei, tiga orang botak! Apakah kesalahan pu-
teri Ketua kami? Kalian melabrak seenaknya me-
masuki rumah perguruan tanpa permisi lagi!" 
Bentak seorang murid dari tingkat utama Pergu-
ruan Trisula Dewa ini.
Tiga paderi ini rata-rata masih muda. Berpa-
kaian jubah warna kuning. Pada punggungnya 
masing-masing terselip sebuah tongkat kayu jati 
yang lebar pipih.
"Heh, kalian serahkan gadis siluman ini un-
tuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di 
hadapan ketua kami! Dia telah main gila dengan 
lima orang saudara seperguruanku. Dan membu-
nuhnya dengan melemparkan mayat-mayat sau-
dara seperguruan kami di belakang kuil. Perbua-
tan keji itu harus kami balas dengan setimpal, 
yaitu dengan menghukumnya! Mengenal urusan

hukuman itu tergantung ketua kami! Akan tetapi 
kami memang telah diperintahkan untuk mem-
bawanya hidup atau mati!" Berkata salah seorang 
yang lebih tua dari ketiga paderi muda itu.
Terperangah semua anak buah Bayu Wijaya. 
Mereka seperti tak percaya mendengar keterangan 
si paderi muda. Karena tak mungkin hal itu dila-
kukan oleh anak gadis puteri Ketua mereka.
Sementara Mahendra yang berada di antara 
murid-murid perguruan itu jadi terpaku tak ber-
geming. Baru saja dia melihat tampang sang ca-
lon istrinya itu, ternyata sudah mendengar berita 
demikian. Tentu saja membuat wajahnya menjadi 
merah tanpa bisa bicara apa-apa.
"Hihihi... paderi-paderi tengik macam kau ini 
mengapa memfitnah orang seenaknya? Aku be-
lum pernah mengunjungi Kuil Naga! Letak tem-
patnya pun aku tak mengetahui! Kau telah bikin 
malu aku di hadapan anak-anak buah ayahku...!" 
Saat itu beberapa orang anak buah Perguruan 
yang tadi berada di luar telah masuk ke pelataran 
dengan menggotong mayat penjaga pintu.
"Hah, apa yang terjadi?" Melompat seorang 
kawannya yang turut mengurung ketiga paderi 
itu.
"Kimung telah tewas! Entah siapa yang mem-
bunuhnya...!" Menyahut kawan yang memondong 
mayat si penjaga pintu Padepokan.
"Huh! Siapa lagi yang telah membunuh, kalau 
bukan tiga kunyuk gundul ini?" Tiba-tiba Mahe-
sani berkata dengan suara dingin.
"Hayo, kalian bunuhlah pengacau-pengacau

ini! Mengapa didengar ocehannya yang mengaco 
itu? Masakan aku dituduh seenaknya saja!". Sua-
ra Mahesani yang bernada aneh, dan agak asing 
itu memang membuat murid-murid perguruan itu 
agak memikir sejenak. Akan tetapi perintah itu 
seperti punya pengaruh, karena memang mereka 
amat mematuhi setiap perintah putri ketuanya 
ini. Serentak beberapa orang sudah menghunus 
senjata. Dan tak ayal lagi beberapa orang sudah 
menerjang dengan bentakan-bentakan keras.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar suara beradunya senjata-senjata. 
Karena ketiga paderi muda itu masing-masing te-
lah mencabut tongkat kayu jatinya. Ternyata 
tongkat mereka adalah berisikan sebatang pe-
dang, yang dari luar hanya mirip tongkat biasa. 
Segera saja terjadi pertarungan seru. Tiga paderi 
ini mau tak mau memang harus melayani seran-
gan gencar mereka, kalau tak ingin nyawa mereka 
melayang.
Adapun Mahesani dengan senyum di bibir se-
gera melompat ke dalam. Mahendra berkelebat 
menyusul ......
"No.. nona Mahesani...!" Berteriak Mahendra 
memanggil. Dan sang gadis segera menoleh se-
raya hentikan langkahnya.
"Siapakah kau...?" Bertanya Mahesani, yang 
sebenarnya adalah Tri Agni. Yaitu si manusia se-
tengah siluman yang menitis pada badan kasar 
Mahesani yang telah mati dicekik Raka Rumpit, 
akibat pengaruh kekuatan ghaib gurunya.
"Aku... aku Mahendra! Masih ingatkah kau?

Kita pernah bertemu semasa masih kanak-kanak! 
Ibu ku bergelar si Pendekar Lembah Bunga! Apa-
kah ayahmu tak pernah bercerita tentang aku?" 
Tutur Mahendra seraya menatap wajah orang Ga-
dis baju hijau bernama Mahesani itu memang ga-
dis yang cantik. Bertubuh mulus, berkulit putih 
dengan perawakan tubuh semampai. Rambutnya 
hitam bergelombang. Mahesani menggeleng se-
raya tatap wajah pemuda di hadapannya. Tentu 
saja membuat Mahendra jadi melengak, karena 
sedikit pun gadis itu tak ingat akan dirinya.
"Kemanakah ayahku?" Bertanya Mahesani 
dengan suara kaku. Segera Mahendra bercerita 
singkat tentang ibunya, dan ayah gadis itu yang 
pergi mencari jejak penculik serta mencari tahu di 
mana adanya sang gadis.
"Sudah hampir empat bulan ini beliau tak 
kembali, juga ibuku!" Eh, kita harus membantu 
mengusir tiga paderi itu! Aku khawatir akan ba-
nyak korban berjatuhan!" Tiba-tiba Mahendra 
berkata, seraya berpaling ke arah pintu ruangan, 
didengarnya suara-suara jeritan terdengar dari 
kalangan pertarungan. Akan tetapi sekali lengan 
Mahesani bergerak, lengan Mahesa sudah dice-
kalnya.
"Aku amat rindu padamu... ngng... Mahen-
dra!" Tiba-tiba Mahesani ucapkan kata-kata den-
gan suara lirih mendesis. Lengan Mahesani berge-
rak mengibas. Dan tahu-tahun pintu ruangan di 
mana mereka berada menutup terhempas terkena 
sambaran angin yang bersyiur dari kibasan len-
gannya. Dan.... ketika jari-jemari lentik Mahesani

bergerak lincah, tahu-tahu baju bagian atas dara 
itu sudah tersibak menyembulkan sepasang buah 
dadanya yang putih ranum membuntat padat, 
dengan kedua buah putiknya yang memerah jam-
bu kecoklatan.
AHH...? Tersentak Mahendra dengan sepa-
sang mata membeliak. Tubuhnya tergetar hebat. 
Dan napasnya sekonyong-konyong jadi memburu.
Mahesani sandarkan punggungnya di dind-
ing, dan lengannya sudah menggamit leher pe-
muda itu, serta sebelah lagi membelai rambutnya. 
Dan tahu-tahu kepalanya sudah ditekan ke arah 
dada. Sekejap saja wajah Mahendra sudah me-
nempel di kedua buah benda lembut itu. Dengus 
napasnya semakin memburu, berdesahan me-
mantul balik dari hidungnya. Dan mau tak mau 
bibirnya yang sudah bersentuhan dengan putik 
memerah yang lunak itu, segera menganga terbu-
ka. Dan.... tanpa harus disuruh lagi direngkuh-
nya benda lunak itu untuk dilumat. Bergelinjan-
gan tubuh sang dara itu dengan keluarkan desa-
han dari mulutnya.
Sementara di luar, pertarungan semakin men-
jadi dengan serunya. Dua orang anak buah Per-
guruan itu telah roboh terkena tebasan pedang si 
tiga paderi muda. Ternyata permainan ilmu pe-
dang si tiga paderi muda itu cukup hebat. Mereka 
bertarung dengan tempelkan rapat punggung 
masing-masing, dan menghadapi terjangan-
terjangan gencar dari belasan anak buah Bayu 
Wijaya. Namun tak urung mereka juga sudah ter-
luka terkena goresan pedang lawan, karena lawan

yang dihadapi lebih banyak. Dan juga bukannya 
orang-orang keroco, karena didikan dari seorang 
tokoh persilatan yang cukup terkenal dan berilmu 
tinggi
Pertumpahan darah mungkin akan bertam-
bah lagi, seandainya tak datang berkelebat seso-
sok tubuh semampai, berambut panjang terurai. 
Dan satu bentakan nyaring bersuara merdu ter-
dengar....
"Hentikan...!". Suara teriakan itu amat ber-
pengaruh, karena seperti menusuk ke ulu hati, 
mendebarkan jantung. Serentak mereka sudah 
sama-sama melompat untuk hentikan pertarun-
gan. Segera terlihatlah siapa yang datang. Ternya-
ta seorang gadis muda yang amat rupawan. Ber-
baju sutera tipis berwarna hitam gemerlapan. Ikat 
pinggangnya terbuat dari kulit ular, di mana di 
kedua sisi pinggangnya tergantung dua buah 
benda mirip "payudara", dengan dua utas rantai 
yang membelit pinggang. Itulah senjata si Rantai 
Genit. Dan siapa lagi si pemilik senjata aneh yang 
mempunyai bentuk lucu itu, kalau bukan RORO 
CENTIL.
Gadis ini tatap mata semua yang berada di si-
tu dengan pandangan tajam.
"Hm, boleh aku tahu ada persoalan apakah 
kalian bertarung?" Tanya Roro dengan bertolak 
pinggang. Segera tiga paderi muda melompat ke 
hadapan dara ini seraya salah seorang berkata;
"Nona Pendekar Roro Centil! Oh, beruntung 
sekali anda datang...!" Dan ketiga paderi muda itu 
segera menjura hormat

"Hm, kalian bukankah murid-murid si manu-
sia bulat Kipas Angin Puyuh?" Tanya Roro ketus.
"Ada apa kalian mengamuk di sini? Kalau ku-
adukan pada gurumu, tentu telinga kalian akan 
dijewer sampai putus!" Bentak Roro.
Roro Centil memang sudah mengenali dari ju-
bah warna kuning dengan strip hitam di bagian 
sisinya, bahwa ketiga paderi muda itu adalah mu-
rid-murid dari Kuil Naga. Ketua Kuil Naga yang 
bergelar si Dewa Angin Puyuh memang sudah di-
kenalnya ketika masih berada di Pulau Andalas. 
Ternyata pada beberapa bulan belakangan ini Ro-
ro telah menjumpainya berada di sebuah Kuil 
yang baru beberapa bulan dibangun di sebelah 
selatan daerah wilayah utara Pulau Jawa ini.
Tentu saja pertemuan itu membuat si Dewa 
Angin Puyuh girang setengah mati. Karena me-
mang sejak mereka pernah berjumpa dan bersa-
habat di Pulau Andalas, paderi bertubuh gemuk, 
pendek dan boleh dikata bulat itu pernah sama-
sama turut menumpas musuh. Yaitu seorang wa-
nita cabul dari tokoh Rimba Hijau dari Golongan 
Hitam, bergelar si Kupu-kupu Emas. (baca: Kisah 
Dara Cantik Berdarah Dingin).
Dengan mengumbar tawa bergelak si Dewa 
Angin Puyuh menyambut kedatangan Roro Centil, 
yang menyebut si paderi bulat itu dengan sebutan 
paman. Karena memanglah keinginan si Dewa 
Angin Puyuh demikian, bahkan telah mengakui 
Roro Centil sebagai keponakannya. Tinggal di sa-
na beberapa hari, Roro dijamu makan minum 
oleh paderi Ketua Kuil Naga yang baru didirikan

nya itu. Bahkan telah memesan pada tukang jahit 
pakaian yang khusus didatangkan, dan mengu-
kur tubuh Roro. Ternyata sang Pendekar Wanita 
Pantai Selatan ini di beri seperangkat pakaian su-
tera warna hitam, yang gemerlap bagai ditaburi 
permata.
Tentu saja selama itu Roro telah mengenal 
dengan murid-murid si Dewa Angin Puyuh. Na-
mun baru beberapa hari saja dia meninggalkan 
Kuil Naga, ternyata melihat satu pertarungan di 
sebuah padepokan. Dan amat terkejut ketika 
mengetahui tiga orang paderi muda murid-murid 
dari Kuil Naga, tengah bertarung dengan belasan 
orang anak-anak buah sebuah Perguruan.
Roro menatap wajah ketiga paderi muda itu 
dengan satu pertanyaan, yaitu persoalan apakah, 
hingga ketiga paderi melabrak ke Perguruan 
orang.
"Kami mengejar si pembunuh orang-orang 
kami di Kuil Naga!" Ujar salah seorang, dan sege-
ra beberkan peristiwanya dengan singkat. Dan ce-
ritakan bahwa ketika kejadian itu, guru mereka 
sedang tak berada di tempat.
"Wanita itu ternyata anak gadis si Ketua Per-
guruan Trisula Dewa ini! Dia... dia bukan manu-
sia! Seandainya manusia tentu berilmu iblis, ka-
rena kelima saudara kami telah dilempar mayat-
nya dalam keadaan membugil. Dan masing-
masing lehernya terluka bekas gigitan. Darahnya 
telah tersirap habis!" Berkata si paderi paling tua 
dengan suara agak keras. Terperanjat semua 
orang dari anak buah Perguruan Trisula Dewa

yang turut mendengar penuturan paderi muda 
itu. Sedangkan Roro Centil sendiri pun terkejut 
mendengarnya.
"Tidak mungkin...! Dusta! Kau paderi sialan 
telah mengaco seenak perutmu menuduh orang! 
Nona Mahesani puteri Ketua kami bukan sebang-
sa manusia siluman yang doyan menghisap darah 
orang! Dan tak mungkin dia melakukan perbua-
tan keji itu yang tak wajar dilakukan manusia!" 
Membentak salah seorang anak buah Bayu Wi-
jaya.
"Mau apa aku mendustai kenyataan itu? Huh! 
Kukira tak ada untungnya!" Membentak lagi si 
paderi muda yang paling tua itu, dengan mata 
melotot tajam. Akan tetapi pada saat itu, Roro 
Centil sudah palingkan wajahnya menatap pada 
semua anak buah Padepokan itu. Sementara be-
berapa orang anak buah Padepokan tampak ten-
gah kasak-kusuk membicarakan tingkah yang 
aneh dengan keadaan Mahesani, puteri sang Ke-
tua mereka.
"Hm, baiklah! Kini aku mau bertemu dengan 
nona kalian itu, bisakah kalian panggil keluar?" 
Tanya Roro.
"Kami tak berani..! Beliau sedang bersama... 
raden Mahendra!" Berkata salah seorang. Karena 
dia memang melihat Mahendra masuk ruangan, 
menyusul Mahesani.
"Siapakah Mahendra itu?" Tanya Roro dengan 
kesal.
"Dia... dia TUNANGANNYA!" Menyahut si mu-
rid tertua Perguruan itu dengan tegas, akan tetapi

dia juga merasa aneh dengan sikap Mahesani. 
Kenapa justru meninggalkan mereka bertempur 
tanpa memunculkan diri, Roro yang tak sabar, 
segera berucap.
"Heh! kalau begitu biar aku yang memeriksa! 
Kalian boleh ikut aku!" Berkata Roro seraya me-
nunjuk pada tiga orang di hadapannya. Tiga 
orang itu mengangguk, seraya berlari mengikuti 
Roro, yang sudah berkelebat melompat ke ruan-
gan pendopo.
BRRAAKKK...! Sebuah pintu yang tertutup di
terjangnya hingga menjeblak terbuka Dan... 
terkejutlah ketiga orang anak buah Bayu Wijaya 
maupun Roro. Karena segera terlihat satu pe-
mandangan menjijikkan. Dua sosok tubuh berte-
lanjang bulat saling bergelutan... Ternyata Mahe-
sani dan Mahendra yang tengah bergelinjangan di 
lantai. Akan tetapi segera terlihat wajah Mahen-
dra menyeringai kesakitan. Sementara wajah Ma-
hesani terbenam ke leher pemuda itu. Nyaris Roro 
Centil tinggalkan ruangan itu, kalau tak melihat 
darah mengalir dari leher si pemuda itu. Dan ke-
tika si wanita mengangkat kepalanya, tampak 
mulutnya menyeringai penuh darah.
Tersentak Roro Centil, hingga tak terasa ka-
kinya sudah menindak dua langkah ke belakang. 
Tiba-tiba Mahesani gerakkan lengannya memukul 
ke depan. Bersyiur angin keras menerjang ke arah 
Roro dan ketiga anak buah Bayu Wijaya yang be-
rada di muka pintu ruangan. Roro Centil gerak-
kan cepat lengannya mendorong tubuh ketiga 
orang murid Perguruan Trisula Dewa itu hingga

terpental jatuh, sedangkan tubuhnya sudah ber-
gerak melompat menghindari terjangan angin ke-
ras.
WHUUK...!
BRRAAAKK...!
Angin deras bertenaga dalam itu lewat di ba-
wah kaki Roro dan langsung menghantam tiang 
pendopo di luar ruangan hingga patah berderak.
"Manusia iblis penghisap darah! Kiranya be-
narlah kau adanya...!" Membentak Roro Centil, 
seraya melompat ke atas berpegang pada tiang 
penglari. Namun pada saat itu si gadis titisan wa-
nita setengah siluman itu telah bangkit berdiri. 
Lengannya bergerak menyambar pakaiannya, dan 
berkelebat keluar dengan perdengarkan tertawa 
mengikik menyeramkan. Sementara itu Mahendra 
tengah berkelojotan meregang nyawa. Dari leher-
nya yang terluka menganga, mengucur darah 
yang menggelogok. Setelah beberapa saat meng-
geser-geser tubuh laki-laki itupun mengejang, dan 
diam tak bergeming. Karena nyawanya telah me-
layang saat itu juga.
Roro Centil cuma menatap sekilas, tubuhnya 
sudah melesat turun dari tiang penglari, dan me-
lompat mengejar keluar. Namun Mahesani sudah 
lenyap dengan perdengarkan suara tertawa 
mengkiknya di kejauhan.
Ketiga paderi muda itu tercengang sesaat ke-
tika sesosok tubuh telanjang bulat melompat ke-
luar dari dalam ruangan Padepokan. Jelas sudah 
itulah Mahesani. Dan tentu saja belasan or ang 
murid-murid Padepokan yang melihat kenyataan
itu jadi terperangah dengan mata terbelalak lebar. 
Karena kini telah jelas bahwa Mahesani puteri Ke-
tuanya itu memang amat memalukan, dan meng-
herankan sekali. Tubuh telanjang bulat itu begitu 
tiba di luar langsung melesat cepat meninggalkan 
pelataran Padepokan. Lalu lenyap dengan perden-
garkan suara tertawa mengikik yang jelas bukan 
suara Mahesani.
Ketiga paderi muda itu cuma bisa terpaku 
dengan palingkan wajahnya menatap semua mu-
rid-murid Perguruan Trisula Dewa. Salah seorang 
mendengus dengan wajah mendongkol. Lalu beri-
kan isyarat pada kedua kawannya. Dan ketiga 
paderi muda itupun berkelebatan meninggalkan 
tempat itu tanpa menoleh lagi... Sementara Roro 
Centil cuma menatap saja dari ruang Pendopo. 
Sedangkan ketiga orang yang terpental didorong 
Roro segera cepat-cepat menjura mengucapkan 
terima kasih. Roro Centil cuma mengangguk, lalu 
tatapkan mata pada para murid Perguruan Trisu-
la Dewa dengan senyum sinis.
"Nah! Kini kalian lihat buktinya, bahwa nona 
besar kalian itu ternyata seorang manusia iblis 
penghisap darah! Dia telah menjadi manusia PA-
LASIK!" Ucap Roro dengan suara keras. “Kawan-
mu yang di dalam itu telah mati, dengan keadaan 
sama seperti kematian lima orang paderi kawan 
ketiga paderi tadi! Kalian lihatlah sendiri...!" Lan-
jut Roro seraya beranjak meninggalkan Padepo-
kan itu dengan langkah lebar. Keruan saja semua 
para murid Perguruan Trisula Dewa segera berla-
rian memasuki ruangan Padepokan. Dan terperangah mereka dengan berteriak tertahan, karena 
segera menjumpai keadaan Mahendra yang telah 
membugil menjadi mayat, dengan leher terkoyak 
bekas gigitan.
Roro Centil sudah tak perdulikan lagi kea-
daan para murid Padepokan itu, dan segera kele-
batkan tubuhnya tinggalkan tempat itu.
***
RORO CENTIL memang telah mendengar
adanya manusia palasik penghisap darah, yang 
sejak beberapa pekan ini bergentayangan mencari 
mangsa. Kemunculannya adalah memang untuk 
menguntit si manusia Palasik yang menggempar-
kan itu. Akan tetapi Roro telah kehilangan jejak 
lagi setelah diketahuinya siapa adanya si manusia 
palasik itu. Berkelebatan tubuh Roro menuju ke 
arah barat. Roro hanya menduga-duga saja men-
cari kemana arah wanita penghisap darah itu 
perginya.
Sementara di balik semak belukar itu adalah 
terdapat dua orang berlainan jenis yang tengah 
berkasih-kasihan.
"Kakang Bayu...! Benarkah kau... kau men-
cintaiku?" Terdengar suara seorang wanita den-
gan suara pelahan hampir tak terdengar disela 
rintihannya.
"Mengapa kau ragu, diajeng...? Apakah kau 
malu kalau kita menikah?"
"Ya...! Kita sudah tua! Dan aku sudah hampir 
keriput begini, apakah tak akan malu dengan

orang-orang muda? Terutama anakku Mahendra! 
Dan kita belum juga berhasil menjumpai Mahe-
sani! Apakah tak sebaiknya kita pulang?" Desis 
suara wanita itu lagi, seraya lengannya memeluk 
kencang laki-laki tua bertubuh kekar yang meng-
himpit tubuhnya.
"Kau masih cantik, diajeng! Dan... ah, sudah-
lah..." Terdengar laki-laki itu menyahuti lirih se-
raya menggerakkan tubuhnya, membuat dahan 
dan ranting kecil di sebelahnya berguncangan. 
Sementara suara desah napas terdengar santar 
bercampur rintihan kecil yang terdengar pelahan 
sekali. Namun tak lama segera melenyap, seperti 
semak belukar itu tiada yang menghuni. Selang 
beberapa saat, tampak sebuah lengan terjulur 
menggapai seonggok pakaian yang tergeletak di 
rerumputan. Dan suara-suara tertawa kecil pun 
terdengar dibarengi timpalannya suara laki-laki 
yang terdengar agak parau.
Roro Centil sembulkan kepalanya di satu se-
mak yang agak lowong. Sepasang matanya jadi 
membelalak. Setan Alas! Memaki gadis Pendekar 
ini dalam hati. Dan dia sudah palingkan wajah-
nya yang memerah. Tiba-tiba terdengar suara ter-
tawa mengikik di kejauhan. Roro cepat-cepat me-
nyelinap. Tak berapa lama segera muncul sesosok 
tubuh berpakaian warna ungu, dengan rambut 
terurai beriapan. Hampir melejit mata Roro, kare-
na melihat sosok tubuh itu pasti tak salah lagi si 
wanita Palasik penghisap darah. Baru saja dia 
berniat melompat keluar. Ternyata sudah didahu-
lui dua orang di balik semak itu yang berkelebat

berlompatan.
Sekejap kemudian telah menghadang di de-
pan wanita palasik itu. Seolah tak percaya laki-
laki tua itu yang tak lain dari Bayu Wijaya, mena-
tap pada si wanita muda di hadapannya. Dan sa-
tu suara tergetar segera terlompat dari bibirnya.
"A...anakku... Ma.. .Mahesani! Kaukah 
adanya? Oh, betapa aku amat mengkhawatirkan 
nasibmu...!" Bayu Wijaya menatap wanita muda 
di hadapannya dengan mata tak berkedip. Akan 
tetapi gadis muda itu bahkan mengikik tertawa 
dengan suara aneh yang amat asing didengarnya.
"Hihihi... siapakah kau? Eh, ya... kau ayahku! 
Aku memang Mahesani, anakmu! Kalian sedang 
apa di sini ayah? Dan siapa wanita jelek ini?"
Tentu saja kata-kata demikian tak pernah di-
ucapkan oleh Mahesani sebenarnya. Dan mem-
buat Bayu Wijaya jadi ternganga heran. Sementa-
ra si wanita tua yang tak lain dari si Pendekar 
Lembah Bunga itu jadi terkejut dengan wajah te-
rasa panas.
Apakah yang telah terjadi dengan anakku? 
Mengapa sikapnya jadi berubah demikian...? Sen-
tak hati Bayu Wijaya. Dan dia sudah saling tatap 
dengan Rukmita si Pendekar Lembah Bunga itu. 
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara derap lang-
kah kaki kuda mendekat. Tak lama segera terlihat 
empat orang berpakaian pengawal-pengawal Kera-
jaan. Ternyata salah seorang adalah Tumenggung 
Meranggi, yang telah berpakaian perwira kerajaan 
Mataram. Kiranya sang Tumenggung itu tak mau 
menganggur begitu saja begitu lepas dari jabatan

dengan punahnya Kerajaan Matsyapati, yang di-
ambil alih kekuasaannya oleh Kerajaan Pusat. 
Yaitu Mataram. Segera dia memasuki keperwiraan 
di Kerajaan Mataram, yang kemudian bertugas 
justru masih berada di sekitar bekas kekuasaan 
Kerajaan Matsyapati.
Begitu hentikan kuda-kudanya, keempat 
orang perwira itu berlompatan turun dari ku-
danya.
"Manusia iblis! Kau tak akan dapat melarikan 
diri lagi!" Membentak Ki Meranggi seraya menca-
but keluar Keris Pusakanya. Terkejut Bayu Wijaya 
juga si Pendekar Lembah Bunga, karena tahu-
tahu keempat Perwira Kerajaan Mataram itu telah 
mengurung.
"Tunggu...!" Teriak Bayu Wijaya, yang tiba-
tiba telah bergerak melompat seraya mengangkat 
kedua belah tangannya. Tubuhnya memutar den-
gan sepasang mata menatap pada keempat perwi-
ra Kerajaan itu.
"Apakah gerangan yang telah terjadi, hingga 
kalian menuduh anakku sebagai iblis keji?". Te-
riak Bayu Wijaya dengan ketus. Ki Meranggi plo-
totkan matanya. Segera dia sudah mengenali laki-
laki itu.
"Huh! Kiranya perempuan ini anak gadismu, 
sobat Bayu Wijaya? Kami petugas penjaga ling-
kungan di wilayah Kerajaan Mataram ini merasa 
berhak menangkap atau membunuhnya, karena 
dia telah melakukan pengacauan di beberapa 
tempat! Bahkan dia telah membunuh bekas Raja 
Kerajaan Matsyapati Prabu Gurawangsa di Goa

Kiskenda!" Terperanjat Bayu Wijaya bukan kepa-
lang, dan dengan mata terbelalak menatap pada 
anak gadisnya.
"Aku adalah bekas Tumenggung Kerajaan 
Matsyapati! Masih ingatkah kau padaku Bayu Wi-
jaya? Aku Ki Meranggi, yang kini sudah menjadi 
orang Kerajaan Mataram!"
"Ya! Aku dapat mengenalimu Tumenggung! 
Akan tetapi benarkah tuduhanmu itu? Anakku ini 
baru saja kutemukan setelah menghilang selama 
empat bulan! Dia diculik seorang pemuda yang 
mengaku bernama Raka Rumpit, selagi aku se-
dang tidak ada!"
"Hihihi... Dia memang anakmu, Bayu Wijaya, 
akan tetapi telah kemasukan roh jahat! Dia telah 
menjadi iblis wanita penghisap darah! Dia telah 
menjadi manusia palasik!" Tiba-tiba Roro Centil 
berkelebat keluar dengan mengumbar kata-kata. 
Terkejut semua orang yang segera berpaling ke 
arah gadis Pendekar itu. Dan Ki Meranggi tiba-
tiba berteriak girang.
"Nona Pendekar Roro Centil!.... Ah, kebetulan 
sekali anda datang...!" Bekas Tumenggung Kera-
jaan Matsyapati ini memang telah mengenal Roro 
ketika dia diperkenalkan oleh Senapati Satryo di 
Ksatrian. Roro Centil waktu itu memang banyak 
membantu pihak Kerajaan Matsyapati, di saat ter-
jadinya pengkhianatan Patih Buntaran.
Menampak dirinya telah dikepung sedemikian 
rupa, Mahesani jadi tertawa mengikik.
"Hihihi... hihi.... aku memang bukannya Ma-
hesani! Raga kasar gadis ini kutemukan sudah

mampus, setelah habis diperkosa seorang pemu-
da! Mungkin dialah si pemuda bernama Raka 
Rumpit itu! Dan aku... hihihi... aku adalah TRI 
AGNI! Masih ingatkah kau Tumenggung, ketika 
kau membunuhku dengan keris pusakamu itu?" 
Terperangah seketika Ki Meranggi. Sepasang ma-
tanya jadi menatap pada Mahesani dengan terbe-
lalak. Sementara tampak satu kejadian aneh, ka-
rena samar-samar wajah Mahesani memudar dan 
berganti rupa dengan wajah Tri Agni, si wanita se-
tengah Siluman itu.
"Hihihi... kau masih hapal dengan wajahku? 
Kini aku inginkan nyawamu, Meranggi!" Wajah 
dan kepala Tri Agni pun kembali berubah menjadi 
kepala Mahesani lagi. Sementara si Pendekar 
Lembah Bunga dan Bayu Wijaya jadi terperanjat 
melihat kejadian itu. Barulah mereka percaya ka-
lau wanita itu bukan lagi Mahesani.
Pada saat itu Roro telah menimbrung bicara. 
"Hm, sobat Bayu Wijaya! Wanita palasik ini telah 
masuk ke dalam Rumah Perguruanmu! Dan dia 
juga telah meminta korban membunuh kekasih-
nya sendiri, dengan menghisap darahnya! Menu-
rut yang kudengar kekasihnya itu bernama MA-
HENDRA!"
"Hah...! dia... dia membunuh a... anakku!??. 
Bedebah! Iblis keparat! Kau harus ganti nyawa 
anakku!" Teriak Rukmita si Pendekar Lembah 
Bunga, dan seraya menggerung keras segera me-
nerjang si wanita setan itu. Sepasang lengannya 
bergerak menghantam.
BUK! BUK!

Tubuh Mahesani terlempar terhuyung-
huyung, dan saat itu keempat perwira Kerajaan 
Mataram segera gerakkan senjatanya menerjang. 
Keris Ki Meranggi telah keluarkan sinar berwarna 
biru bergerak menabas. Dan ketiga tombak si tiga 
Perwira Kerajaan meluruk dengan berbareng.
CRAS...!
BLES! BLES! BLES!
Sekejap saja keadaan telah berubah jadi men-
gerikan, karena tubuh Mahesani telah terpang-
gang oleh tiga tombak perwira menembus pung-
gung dan dada. Sedangkan Keris Pusaka Ki Me-
ranggi telah menabas kepala Mahesani hingga 
terpisah dari tubuhnya...
"Ahhh...!?" Berteriak Bayu Wijaya dengan ma-
ta membeliak. Walau bagaimana pun dalam pan-
dangannya tubuh anak gadisnyalah yang telah 
terbunuh dengan cara mengerikan seperti itu.
"Mahesaniiii...!" Dan dia sudah memburu tu-
buh tanpa kepala itu dengan wajah pucat. Akan 
tetapi diluar dugaan kepala Mahesani yang jatuh 
menggelinding itu telah melayang ke arah Bayu 
Wijaya dengan cepat.
Dan.....
Terkesiap semua orang, karena sekejap tam-
pak Bayu Wijaya telah berkelojotan meregang 
nyawa. Karena kepala Mahesani telah berubah 
menjadi kepala Tri Agni yang berwajah menye-
ramkan dengan rambutnya yang berwarna putih 
beriapan. Kiranya kepala makhluk itu telah me-
nyusup ke leher Bayu Wijaya dan ngangakan mu-
lutnya, serta menggigit leher laki-laki tua itu.

BRELL ...! Kepala Tri Agni menyentak. Dan... 
darah segera menyembur dari leher laki-laki ma-
lang itu. Sesaat setelah bergelinjangan, tubuh 
Bayu Wijaya pun terkulai lepaskan nyawa...
"Iblis...! Kuhancurkan kepalamu...!" Memben-
tak Rukmita. Lengannya bergerak melemparkan 
bunga-bunga keringnya ke arah kepala Tri Agni. 
Akan tetapi makhluk itu gerakkan kepalanya 
memutar. Rambut putihnya tiba-tiba bergerak 
menghantam bunga-bunga kering hingga terhem-
pas jatuh. Tahu-tahu kepala makhluk itu menyu-
sup ke bawah, bergerak memutar ke belakang si 
Pendekar Lembah Bunga. Terpekik wanita tua itu, 
karena segera lehernya kena dicengkeram mak-
hluk kepala itu. Berguling-gulingan tubuh Rukmi-
ta, lengannya berusaha bergerak untuk mele-
paskan diri dari gigitan wanita setan itu. Namun 
kepala Tri Agni telah berhasil merobek leher 
Rukmita dengan gigitannya. Darah pun menyem-
burat memancur. Dan tubuh si Pendekar Lembah 
Bunga itu berkelojotan meregang nyawa, namun 
sesaat kemudian terkapar tak berkutik lagi.
Terperangah Ki Meranggi dan ketiga Perwira. 
Mereka sudah melompat mundur dengan senjata 
siap dipergunakan.
"Hihihi... Meranggi! Pergunakan lagi keris Pu-
sakamu itu! Hehehihi... hihi..." Selesai berkata, 
tiba-tiba kepala Tri Agni bergerak ke arah tubuh 
Mahesani dan melekat lagi pada tubuh tanpa ke-
pala itu. Sekejap kemudian kepala dan tubuh itu 
telah menyatu kembali. Dan... saat berikutnya 
Mahesani telah bangkit berdiri. Sementara pelahan-lahan kepala wanita setengah siluman itu 
kembali berganti wujud menjadi kepala Mahesani 
lagi.
Ki Meranggi memberi isyarat untuk mener-
jang pada ketiga kawannya. Namun saat itu Roro 
Centil sudah mendahului mengirimkan tendan-
gan kakinya. Dhesss...! Tubuh Mahesani terlem-
par bergulingan beberapa tombak. Keempat Per-
wira Kerajaan itu segera memburunya. Akan teta-
pi Mahesani telah kembali berdiri dengan lengan 
terentang. Sepasang matanya menatap pada 
keempat Perwira Kerajaan itu, lalu terhenti pada 
Ki Meranggi. Sementara Roro Centil tercenung se-
saat Benaknya memikir. Heh! wanita siluman ini 
akan sulit dimusnahkan, karena sama saja den-
gan melawan siluman.
"Siluman harus dilawan dengan siluman...!" 
Desis Roro. Dan segera bibirnya berbisik me-
manggil sahabatnya si Harimau Tutul. Segera saja 
segumpal asap hitam muncul di hadapan Roro. 
Gumpalan asap itu melenyap, dan membentuk 
sesosok tubuh Harimau Tutul sebesar kerbau. 
Binatang ini mendengus dan keluarkan suara 
menggerung mengaum. Tampakkan gigi-gigi dan 
taringnya yang runcing-runcing. Lalu mengibas-
ngibaskan ekornya mengelilingi Roro Centil me-
nunggu perintah. Namun pada saat itu sudah 
terdengar jeritan Ki Meranggi. Ketika Roro Centil 
menatap. Ternyata laki-laki Perwira Kerajaan Ma-
taram itu dadanya telah terkena cengkeraman 
lengan Mahesani, yang menembus sampai ke 
punggung.

Darah menyemburat keluar ketika lengan 
Mahesani disentakkan. Dan tubuh Ki Meranggi 
berkelojotan meregang nyawa. Lalu sekejap ke-
mudian tewas. Ketiga Perwira ini menerjang den-
gan tombaknya. Percuma saja, karena sekali 
menggerakkan tangan tiga batang tombak terlem-
par. Dan di saat ketiga tubuh Perwira itu ter-
huyung, Mahesani alias Tri Agni telah berkelebat 
menerjang.....
Akan tetapi Roro Centil sudah mendahului ki-
rimkan hantaman lengannya. Kali ini pukulan 
berhawa panas menerjang Tri Agni, si wanita se-
tan itu.
WHUSSSS...! Terpekik wanita setan itu. Seke-
tika tubuhnya terbakar hangus. Namun pada saat 
itu dari dalam tubuh yang terbakar itu telah me-
lesat ke luar dua gumpal asap hitam. Dan, bukan 
kepalang terkejutnya Roro Centil, karena dua 
gumpal asal itu telah menjelma menjadi dua so-
sok tubuh. Sosok tubuh yang satu adalah seorang 
bocah kecil berkulit hitam. Sedangkan sosok tu-
buh yang satunya adalah seorang wanita yang be-
rambut hitam beriapan. Ternyata mereka itulah si 
Bocah Siluman, cucu si wanita setan itu. Dan si 
wanita satunya adalah ibu bocah berkulit hitam 
itu, yaitu DURGANDINI.
***
Raka Rumpit baru saja selesai mandi. Dan 
dengan bernyanyi-nyanyi kecil dia memasuki goa, 
lalu beranjak ke ruangan kamarnya. Baru saja

dia mau bergerak masuk ke pintu, sudah terden-
gar suara tertawa kecil sang guru.
"Hihihi... hihi.. silahkan masuk, muridku 
yang gagah!" Satu suara lembut terdengar. Itu 
memang suara gurunya. Akan tetapi amatlah 
aneh, dan asing pada pendengaran pemuda ini, 
karena tak biasanya sang guru berkata selembut 
itu. Mengapa tidak pakai bocah edan! atau bocah 
gendeng? Bisik hati Raka Rumpit. Dan segera saja 
terpampang di matanya sesosok tubuh mulus 
berselimutkan kain sutera tipis. Berwajah cukup 
cantik, walaupun tidak seperti gadis muda. Ram-
butnya tergerai hitam di antara sebelah dadanya. 
Tubuh wanita itu dalam keadaan setengah terbar-
ing di pembaringannya.
Ternganga Raka Rumpit menatap wanita itu. 
Wajahnya jelas bukan wajah gurunya, akan tetapi 
suaranya memang mirip suara sang guru, alias si 
nenek bongkok yang galak itu.
"Guruku kah kau ini...?" bertanya Raka Rum-
pit.
"Ataukah kau... tetamu guruku si nenek 
bongkok muka tengkorak?" Tambahnya lagi den-
gan tertegun menatap wanita itu, serta matanya 
merayapi ke sekujur tubuh yang setengah terbar-
ing itu.
"Hihihi... aku memangnya si nenek bongkok 
gurumu itu, tapi juga tetamu yang akan me-
nyambut mu!" Berkata wanita itu dengan terse-
nyum perlihatkan giginya yang putih berderet, se-
raya bangkit berdiri.
"Kau lihatlah! Apakah tubuhku kini masih

bongkok? Dan kulitku keriput, juga wajahku mi-
rip tengkorak?" Berkata lirih si wanita itu.
"Aku selama ini memakai alat-alat ini!" Ujar si 
wanita itu, seraya meraih sebuah bungkusan 
yang segera dibukanya. Segera terlihat kelotokan 
kulit muka semacam topeng, serta kulit-kulit tipis 
lainnya yang membungkus seluruh tubuh wanita 
itu. Ternyata diam-diam di saat Raka Rumpit per-
gi mandi, si nenek bongkok telah "mengupas" ku-
lit muka dan seluruh kulit pembungkus tubuh-
nya. Hingga bagaikan ular yang baru berganti ku-
lit, si nenek tua renta itu kembali menjadi muda. 
Ada pun rambut putihnya adalah tetap memutih. 
Namun dia telah gunakan cairan hitam dari obat 
ramuan yang telah lama disediakan untuk me-
nyemir kembali rambutnya. Hingga dalam bebe-
rapa saat saja si nenek telah berubah kembali 
menjadi muda. Dan segera sambar pakaian tipis-
nya untuk segera masuk ke kamar sang murid.
Raka Rumpit barulah percaya kalau wanita 
itu gurunya sendiri. Melihat keadaan sang guru 
itu tentu saja Raka Rumpit agak jengah, namun 
sebagai manusia tetap saja tak luput dari hawa 
nafsu. Hingga ketika sang guru menggamitnya 
untuk dibawa merebahkan diri ke pembaringan, 
dia memang tak dapat menolak. "Aku telah beri-
jab-kabul, muridku... bahwa kalau kau telah ber-
hasil menamatkan pelajaranmu, kau harus men-
jadi suamiku! Ya, aku amat mencintaimu, bocah 
gagah. Kau pinjamkanlah Cincin batu Combong-
mu...! Aku ingin memakainya! Sudah lebih dari 
sepuluh tahun aku tak pernah mengenakan cincin warisan guruku ini!" Seraya berkata lengan 
sang guru bergerak menjelari dadanya yang bi-
dang dan mempermainkan bulu-bulu dadanya.
Raka Rumpit cuma tersenyum mengangguk 
dan segera copotkan cincinnya untuk berikan 
benda itu. Sang guru julurkan jari-jari lengannya 
dan segera saja sang murid memasukkannya ke 
jari lengan sang guru.
Sinar biru yang membersit dari cincin aneh 
itu ternyata telah menimbulkan hawa rangsangan 
hebat padanya. Kalau dulu adalah wanita yang 
tergila-gila pada Raka Rumpit, namun kini dia 
sendirilah yang di mabuk asmara.
Tiba-tiba dari dalam ruangan kamar di dalam 
goa itu, terdengar suara teriakan tertahan, seperti 
suara yang tersangkut di tenggorokan.
"Aaaaakh...! Aaaarkkh...! Hek! Ahh...! uuh.!"
BLAG..!
BUKK!BRRAKKK...!
"Huaaaaakh...! Terdengar suara-suara berge-
dubrakan setelah terdengar sebelumnya suara ke-
luhan dan pekik kesakitan tersendat di kerong-
kongan. Terakhir adalah suara teriakan Raka 
Rumpit. Apakah yang terjadi di ruangan kamar 
dalam goa itu? Kiranya satu pergumulan tengah 
terjadi. Sekonyong-konyong Raka Rumpit telah 
mencekik leher gurunya sendiri. Meronta-ronta 
sang guru dengan berteriak julurkan lidah. Len-
gan sang murid itu dengan ganas telah menceng-
keram lehernya.
***

DUA BELAS

TERENGAH-ENGAH sang guru memperta-
hankan nyawanya dari cekikan maut lengan si 
murid. Akhirnya satu hantaman lengan sang guru 
telah berhasil membuat terlempar anak muda itu. 
Tubuhnya membentur dinding goa, yang segera 
ambrol dengan suara bergedubrakan.
"Ka... kau... kau... bocah edan!" Teriak si wa-
nita jelmaan si nenek bongkok. Tubuhnya bangkit 
dari pembaringan dengan terhuyung. Sebelah 
lengannya mencekal lehernya yang mengucurkan 
darah.
"Kubunuh kau... bocah gendeng! Kau... kau 
mau membunuh dirimu sendiri?" Akan tetapi ti-
ba-tiba Raka Rumpit telah tertawa bergelak, se-
raya bangkit berdiri.
"Hahaha... haha... kau memang harus kule-
nyapkan, guru! Aku tak memerlukan kau lagi!" 
Tiba-tiba wajah Raka Rumpit telah berubah jadi 
bengis. Dan ... sekonyong-konyong tubuhnya be-
rubah jadi segumpal asap hitam. Dan segera saja 
menjelma menjadi makhluk hitam berbulu. Ber-
mata besar, lidah terjulur dan mulut menyeringai
menampakkan giginya yang runcing-runcing.
"Edan...!" Memaki sang guru, dan dengan 
bentakan menggeledek dia telah melompat mener-
jang makhluk itu. Sedangkan makhluk berbulu 
itu pun sudah menerjang dengan suara mengge-
ram menyeramkan. Sekejap saja terjadilah per-
gumulan seru. Tubuh sang guru yang dalam keadaan membugil itu seketika hampir lenyap dalam 
pelukan ketat si makhluk berbulu. Hantaman-
hantaman lengannya seperti tak dirasakan mak-
hluk itu. Hingga saat berikutnya pergumulan di-
lakukan dengan bergulingan. Sementara darah 
terus mengalir dari leher si wanita jelmaan si ne-
nek bongkok itu yang terluka bekas cekikan. Se-
lang sesaat terdengar lagi suara jeritan menyayat 
hati. Taring-taring si makhluk berbulu itu telah 
membenam lagi di lehernya. Bergelinjangan tubuh
polos itu menghentak-hentak. Sepasang kakinya 
terpentang menjejak ke sana ke mari. Namun te-
riakannya semakin melirih. Dan gelinjangannya 
semakin melemah. Akhirnya terkulai... tak berte-
naga lagi. Ketika makhluk berbulu itu mele-
paskan cengkeraman taring-taringnya, darah se-
perti membasuh wajahnya. Dengan kakinya si 
makhluk itu balikkan tubuh si wanita gurunya, 
yang ternyata telah tewas.
Makhluk berbulu itu tampakkan suara meng-
geram senang, lalu berubah menjadi suara gelak 
terbahak. Dan beberapa kejap antaranya mak-
hluk berbulu itu pun kembali berubah menjadi 
Raka Rumpit.
"Hahaha... hahaha... haha... Kini aku bebas! 
Tak ada yang harus kuturuti perintahnya! Dan 
aku bebas bergerak ke mana aku suka! Hahaha... 
terima kasih, guru atas warisan ilmu hitammu! 
Semoga kau tenang di alam baka!"
Selesai berkata, Raka Rumpit menghampiri 
tubuh gurunya, dan segera membungkuk untuk 
mencopot kembali cincin batu Combong itu dari

jari tangan sang guru. Tak lama dia sudah kena-
kan lagi di jari tangannya. Setelah kenakan pa-
kaiannya beberapa saat antaranya Raka Rumpit 
sudah beranjak keluar dari dalam kamar ruangan 
goa yang sudah berantakan itu. Sejenak Raka 
Rumpit memandang ke ruangan goa itu. Tiba-tiba 
sepasang lengannya bergerak menghantam langit-
langit ruangan batu goa itu.
BRRUAAAS...!
BLAARRRR...! Sekejap saja ruangan atas goa 
itu sudah ambruk meruntuhkan batu-batu ba-
gaikan hujan, berdebukan jatuh menguruk ruan-
gan kamar itu berikut tubuh gurunya. Sedangkan 
pemuda edan itu ternyata telah melesat keluar 
goa sebelum goa menjadi ambruk tertutup batu-
batuan. Keadaan lereng tebing itu kini sudah be-
rubah berantakan, karena hampir sebagian melu-
ruk ke bawah, menimbun goa di bawahnya.
Sedangkan Raka Rumpit saat itu sudah ber-
kelebatan mendaki tebing, dan sekejap kemudian 
melesat lenyap meninggalkan suara tertawa ber-
kakakan...
***
"Bocah siluman...?!" Desis Roro dengan wajah 
tegang. Tentu saja Roro terkejut, karena beberapa 
bulan berselang dia baru saja menghadapi mak-
hluk kecil yang buas ini. Pada waktu itu telah 
muncul sebuah bayangan mirip sekali dengan 
guru Roro Centil yaitu si Manusia Banci, yang di-
dahului dengan mengikiknya suara tertawa tokoh

Rimba Hijau itu. Bayangan itu mirip arwah saja 
dan menghantam buyar ke empat makhluk kecil 
berkulit hitam itu yang berubah jadi gumpalan 
asap. Lalu melenyap sirna. (pada waktu itu tubuh 
si bocah siluman telah memecah menjadi empat, 
setelah tertabas tubuhnya menjadi empat potong 
oleh pedang Senapati Satryo).
Kini Roro Centil terkejut sekali dengan bisa 
muncul dan menjelma lagi si bocah siluman itu. 
Bahkan bersama seorang wanita yang berkulit 
putih bagaikan kapas. Kedua makhluk itu meng-
hampiri Roro. Sementara ketiga Perwira cuma bi-
sa menatap dengan terperangah dan mata mem-
beliak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara 
ringkik kuda, dan derap mendatangi. Dan mun-
cullah Satryo. Laki-laki ini hentikan kudanya 
dengan cepat, lalu melompat turun.
"Nona Pendekar Roro Centil! Anda berada di 
sini..?". Teriak laki-laki itu. Roro tersenyum se-
raya mengangguk cepat, dan berkata;
"Bagus! Kau bantulah aku menumpas kedua 
makhluk ini!"
"Dia bukan lagi manusia, Satryo...!" Tiba-tiba 
terdengar suara lirih disusul dengan berkelebat-
nya sebuah bayangan putih. Dan di tempat itu te-
lah berdiri seorang tua berjenggot dan berkumis 
panjang terjuntai. Ternyata tak lain dari Resi 
Jenggala Manik.
"Resi Guru...!" Teriak Satryo dengan wajah gi-
rang. Satryo sudah mau beranjak melompat ke 
arahnya. Akan tetapi sang Resi mengangkat sebelah lengannya.

"Sudahlah, Satryo! Tak usah banyak perada-
tan! Kita hadapi kedua makhluk siluman ini!" Se-
lesai berkata, laki-laki tua berjubah putih ini pe-
jamkan sepasang matanya. Bibirnya berkemak-
kemik seperti membaca do'a pada Yang Maha Ku-
asa. Sekejap kemudian tampak tubuh sang Resi 
bergoncangan. Kedua lengannya, yang menyilang 
di depan dada itu tiba-tiba bergerak terbuka. Se-
pasang matanya menatap pada kedua makhluk 
itu. Kedua makhluk itu tampak mundur beberapa 
langkah, seperti tak kuat menahan tatapan mata 
sang Resi. Sementara itu Roro Centil sudah tak 
sabar, dan perintahkan si Tutul yang barusan 
melenyap untuk menerjang kedua makhluk silu-
man itu. Segera segumpal asap hitam meluncur 
ke arah si bocah siluman dengan suara mengge-
ram dahsyat. Dan selanjutnya yang terlihat ada-
lah tubuh anak hitam itu jatuh bergulingan, tapi 
tubuhnya seperti tak menyentuh tanah. Tak lama 
segera ujud sang Harimau Tutul pun terlihat. Dan 
tengah menerkam ganas dengan kuku dan ta-
ringnya.
Sementara tengah terjadi pergumulan seru itu 
antara sama-sama makhluk siluman, Durgandini 
yang telah menjadi makhluk halus itu tiba-tiba 
menerjang Satryo... Terkejut laki-laki ini yang se-
gera menghindar melompat ke samping. Resi 
Jenggala Manik telah berkelebat dari tempatnya. 
Bibirnya telah membacakan MANTERA SUCI. Ke-
dua lengan sang Resi menghantam ke arah makhluk wanita bekas permaisuri

Raja Matsyapati itu, seraya berucap.
"Maaf, Durgandini! Kembalilah kau ke "Alam" 
mu! Tak layak lagi kau muncul di alam fana!". 
Terdengarlah suara meletup dahsyat.
BHUSSSSS...!
Dan tubuh Durgandini lenyap jadi gumpalan 
asap, yang kemudian sirna. Sementara itu perta-
rungan sang Harimau Tutul dengan si bocah si-
luman masih berlangsung seru. Namun tak bera-
pa lama kepala si anak hitam itu sudah lenyap 
menjadi asap ketika sang Harimau Tutul berhasil 
membuka mulutnya, dan merencah kepala mak-
hluk kecil itu. Selang sesaat seluruh tubuh si bo-
cah siluman itupun sudah melenyap menjadi 
asap, lalu sirna tanpa bekas.
Sang Harimau Tutul perdengarkan suara au-
mannya, lalu melompat kembali ke arah Roro 
Centil. Kemudian melenyapkan diri. Satryo yang 
melihat kejadian itu cuma tertegun dengan mulut 
ternganga, sedangkan ketiga Perwira Mataram se-
dari tadi cuma bisa menyaksikan pertarungan 
semacam itu.
Tiba-tiba pada saat itu juga cuaca berubah 
gelap. Angin keras membersit bersiutan dan di 
angkasa terlihat kilatan-kilatan petir yang kemu-
dian terdengar suaranya yang menggelegar.
Terperangah semua orang yang berada di si-
tu. Akan tetapi Resi Jenggala Manik tetap tenang. 
Dia mengangkat kedua belah tangannya, teren-
tang ke arah langit. Bibirnya komat-kamit mem-
baca do'a.
THARRRRRR...! Satu kilatan petir menyambar

tubuh Mahesani yang sudah hangus terkapar di 
tanah. Tubuh wanita itu lenyap jadi gumpalan 
asap putih. Dan sekonyong-konyong menjelma 
menjadi kepala Tri Agni, si manusia palasik. Ke-
pala tanpa tubuh yang berambut putih beriapan 
itu membumbung naik ke atas, dengan perden-
garkan suara tangisan pilu menyeramkan. Tiba-
tiba segumpalan asap hitam bergerak memutar di 
atasnya. Lalu meluncur turun menyambar kepala 
wanita setan itu. Dan dibawahnya naik lagi ke 
atas. Gumpalan asap hitam itu semakin mem-
bumbung terus ke atas, diterangi cahaya kilatan 
petir yang berkredepan. Sementara angin keras 
terus membersit tak kunjung henti.
Sekejap antaranya asap hitam itupun mele-
nyap. Angin yang meniup keraspun mulai terhen-
ti, kembali sepoi-sepoi. Dan cuaca lambat laut be-
rubah kembali menjadi terang-benderang. Mata-
hari yang sudah menggelincir ke arah barat kem-
bali tampakkan sinarnya. Mereka segera dapat 
melihat kembali satu sama lain. Terlihat sang Re-
si sudah menurunkan lengannya, dan mengu-
sapkan ke wajahnya tiga kali. Terdengar kemu-
dian suara menghela napas laki-laki pertapa itu. 
"Hm, sukurlah bahaya bagi umat manusia telah
bisa teratasi. Mudah-mudahan makhluk siluman 
itu takkan kembali lagi mengacau di dunia!" Ber-
kata sang Resi dengan suara lirih. Semua yang 
berada di situ menarik napas lega. Sementara itu 
ketiga Perwira Kerajaan Mataram sudah melom-
pat ke depan mereka. Lalu menjura pada sang 
Resi dan Roro Centil. Juga pada Satryo. Seraya

salah seorang berucap:
"Terima kasih atas usaha kalian semua mem-
bantu kami melenyapkan kerusuhan yang telah 
mengganggu wilayah Kerajaan Mataram ini! Jasa 
dan bantuan kalian yang amat tak ternilai ini 
akan kami sampaikan pada baginda Raja Mata-
ram!" Dan belum lagi sang Resi atau Roro dan Sa-
tryo menyahut, ketiga Perwira Kerajaan Majapahit 
itu sudah balikkan tubuh, untuk segera beranjak 
ke arah mayat Ki Meranggi bekas Tumenggung 
Kerajaan Matsyapati yang sudah punah itu. Den-
gan menggotongnya bertiga, segera beranjak pergi 
tinggalkan tempat itu. Tak lama sudah terdengar 
suara ringkik kuda, dan derapnya yang semakin 
menjauh. Dan cuma menampak punggung-
punggung ketiga Perwira Kerajaan itu yang men-
gendarai kudanya tinggalkan itu.
***
Tak dikisahkan perpisahan ketiga tokoh itu. 
Namun sekitar tempat pertarungan tadi sudah 
bersih dari mayat-mayat. Cuma tinggalkan sisa-
sisa percikan darah di rerumputan.
Ketika matahari mulai membenam di lereng 
gunung, tampak sesosok tubuh melangkah perla-
han meniti lereng bukit. Baju sutera warna hi-
tamnya masih terlihat gemerlapan terkena cahaya 
layung warna merah. Dialah Roro Centil sang 
Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang sudah me-
nyelesaikan tugasnya sebagai Pendekar Penegak 
Keadilan. Entah pengalaman apa lagi yang akan
dihadapinya di hari mendatang Kita serahkan saja pada Pengarangnya. O. K.


                           TAMAT
































Share:

0 comments:

Posting Komentar