SATU
Laki-laki itu bernama RAKA RUMPIT. Ram-
butnya gondrong sebatas bahu. Berperawakan te-
gap, dan berwajah tampan. Mempunyai sepasang
alis yang tebal hitam dengan sepasang mata yang
agak sipit. Tebing di mana laki-laki yang ditaksir
masih berusia muda itu adalah tebing batu bukit
terjal. Di bagian bawahnya mengalir anak sungai
yang bercabang dua. Persis di bagian atas muara
sungai itulah, si pemuda bernama Raka Rumpit
ini berdiri untuk memandang ke sekitar. Dan di
bawah kakinya itu adalah tempat tinggalnya, di
mana terdapat sebuah goa batu yang menghadap
ke arah sungai. Barusan saja dia naik ke atas bu-
kit dengan pergunakan kelincahannya mendaki.
"Rumpiiiit...! Kau kembalilah dulu, bocah
gendeng! Atau aku hajar pantatmu dengan tong-
kat ini!" Terdengar suara teriakan suara seorang
wanita yang parau dari bawah tebing. Pemuda ini
tampak menampilkan senyuman melebar, seraya
menoleh ke bawah.
"Hahaha... haha... Aku malas turun lagi, ne-
nek peot! Kau sajalah naik ke atas! Aku sudah
hampir bosan tinggal di dalam sarang tikus yang
berbau pengap itu!" Pemuda ini menyahuti see-
naknya saja, tanpa perdulikan kalau yang me-
manggil adalah gurunya.
"Bocah kurang ajar! Aku segera akan naik ke
atas! Dan jangan harap kau dapat selamatkan
pantatmu dari gebukan tongkatku...!" Teriak suara dari bawa seperti bernada gusar. Akan tetapi si
pemuda ini cuma cengar-cengir mendengarnya.
Sebuah bayangan berkelebat dari bawah bu-
kit. Dan sekejapan saja di atas lamping bukit ba-
tu itu sudah berdiri seorang nenek tua renta yang
bungkuk. Berwajah menyeramkan, karena me-
mang mirip dengan tengkorak. Di lengannya ter-
cekal sebuah tongkat hitam legam yang meleng-
kung bagai ular meliuk. Melihat kemunculan si
nenek bongkok itu, si pemuda ini cuma nyengir
sambil garuk-garuk kepala. Si nenek bongkok
tampilkan wajah gusar. Sepasang matanya mem-
bersitkan sinar tajam menatap si pemuda murid-
nya itu.
"Eh, bocah gendeng! Apa kau bilang tadi? Kau
sudah bosan tinggal di lubang tikus tempatku
ini...?" Ujarnya dengan suara lantang. Tentu saja
pemuda ini jadi gelagapan karena dilihatnya sang
guru seperti benar-benar marah dan tersinggung
mendengar kata-katanya. Segera dia buru-buru
menjawab.
"Bukan begitu, nenek... Akan tetapi aku me-
mang memerlukan menghirup udara segar di
luar! Maksudku... aku... aku ingin turun gunung
barang sebentar!" Ucap Raka Rumpit dengan ter-
senyum nyengir, dan garuk-garuk kepala yang ti-
dak gatal. Memandang tingkah si pemuda murid-
nya itu yang agak lucu, rupanya mengundang ra-
sa geli si nenek bongkok. Membuat dia jadi terse-
nyum, dan tertawa mengikik.
Akan tetapi suara tertawanya kembali hilang,
karena kembali dia keluarkan suara bentakannya
dengan sepasang mata melotot menatap si pemu-
da.
"Bocah edan! Aku mau tanya, apakah kau te-
lah menggeratak ke tempat tidurku...? Ada satu
barang yang hilang! Kalau benar kau yang men-
curi, aku tak akan puas kalau belum menggebuk
pantatmu!" Berkata si nenek bongkok.
"Apanya yang hilang, nek...? Pantatmu...?
Eh... ma... maaf! Maksudku anu... apa yang telah
hilang dari wilayah tempat tidurmu...?" Tanya
Raka Rumpit latah.
"Whoalah! Bocah edan! masih muda sudah la-
tah!" memaki si nenek bongkok.
"Aku telah kehilangan salah satu barang pu-
saka! Yaitu sebuah cincin perak berbatu "com-
bong", apakah kau telah mengambilnya?" Ta-
nyanya.
Pemuda itu jadi cengar-cengir, dan teruskan
garuk-garuk kepalanya. Akan tetapi dia memang
telah mengakui perbuatannya.
"Hahaha... benar, nek! Kalau itu yang kau ta-
nyakan, aku yang mengambilnya! Pas benar di ja-
ri tanganku! Aku menyenanginya, dan memang
sudah ada niatku untuk memintanya!" Ujar Raka
Rumpit seraya memperlihatkan cincin yang dipa-
kainya. "Kapan kau berniat memintanya?" "Ya...
sejak aku mencurinya...!" Sahut si pemuda den-
gan nyengir.
"Bocah ganjen! Kalau begitu pantatmu me-
mang patut dihajar...!" Berteriak si nenek bong-
kok dengan geram, dan sudah mengangkat tongkatnya.
"Ampun, nek... Ampuuun...! Jangan gebuk
pantatku!" Berteriak Raka Rumpit sambil berlon-
cat-loncatan memegangi pantatnya. Tentunya
dengan wajah cengar-cengir menggoda sang guru.
"Bocah edan...!" Teriak si nenek gemas. Dan
tubuhnya berkelebat....
"Ampun, nek! Jangan gebuk pantatku...!" Te-
riak si pemuda seraya kembali pasang wajah cen-
gar-cengir.
"Bocah edan! Kau kira kau akan berhasil me-
nyelamatkan pantatmu yang tepos itu? Hehe-
hehe... jangan mimpi!" Mendengus si nenek bong-
kok.
Tiba-tiba tongkatnya diangkatnya tinggi-
tinggi. Sementara bibirnya berkomat-kamit mem-
baca mantera. Sedangkan sepasang matanya me-
natap tajam pada si pemuda muridnya itu, seperti
telah menahan tubuh sang murid agar tetap ber-
diam di tempat. Terkejut Raka Rumpit. Karena
tahu-tahu kakinya seperti terasa berat untuk di-
gerakkan. Seolah lengket dengan tanah yang dipi-
jaknya. Sementara hatinya jadi mencelos melihat
tongkat yang diangkat tinggi-tinggi oleh sang
guru, bergerak memutar dan meluncur ke arah-
nya.
"Ah, celaka...!? Aku tak berhasil menolong
pantatku lagi!" Desis si pemuda.
Benarlah apa yang dikhawatirkan pemuda
itu, karena tahu-tahu tongkat si nenek bongkok
sudah menukik ke belakang tubuhnya. Dan....
Plak! Plok! Plak! Plok!... Plak! Plok! Plak! Plok!
Berteriak-teriaklah si pemuda itu dengan menyengir-nyengir kesakitan, ketika merasai tongkat
itu menggebuki pantatnya.
"Ampun, nek! ampuun... guru! Adoow! kena
bisulnya tuh!? sudah, nek! sudaaah...! adududu-
duh ... aduuh..."
Aneh! dan amat menakjubkan sesekali, kare-
na tampak si nenek bongkok cuma gerak-
gerakkan tangannya saja di kejauhan. Sedangkan
tongkatnya bagaikan mempunyai mata dan bagai
bernyawa saja, telah menggebuki pantat Raka
Rumpit beberapa kali. Dan pukulan terakhir ada-
lah mengarah sepasang kaki anak muda itu, yang
tak ampun membuat tubuh si anak muda jatuh
terjengkang.
Mengeluh pemuda ini, akan tetapi si nenek
bongkok justru tertawa mengekeh dan ber-
jingkrakan kegirangan.
"Hehehehe... hehehe... asyiiik! Baru kau tahu
rasa, bocah edan!" Tampak lengan si nenek bong-
kok seperti bergerak untuk menarik kembali te-
naga anehnya. Dan tongkat hitam yang mirip ular
meliuk itu memutar ke atas, lalu meluncur kem-
bali ke arahnya. Sekejap sudah kembali tercekal
di lengannya.
Setelah mengusap-usap pantatnya, pemuda
ini bangkit melompat berdiri. Diam-diam hati ber-
syukur, karena gebukan tongkat yang dilakukan
gurunya itu tak seberapa keras. Dan cuma gebu-
kan biasa saja. Seandainya sang guru memper-
gunakan pukulan bertenaga dalam, bukan mus-
tahil kalau sang pantat akan hancur luluh. Di
samping mendongkol, tapi diam-diam dia juga
bergidik ngeri. Karena khawatir sang guru ketele-
pasan tangan. Entah cincin perak bermata batu
"combong" itu apakah khasiatnya, hingga tampak
si nenek jadi sewot dan uring-uringan mengetahui
"barang"-nya lenyap dicuri sang murid.
"Aku akan kembalikan cincin milikmu ini,
nek...!" Berkata Raka Rumpit. Seraya melompat
ke hadapan si nenek bongkok. Dan pergunakan
tangannya untuk membuka kembali cincin batu
combong yang dipakainya. Akan tetapi si nenek
tampak menahannya seraya berkata;
"Sudahlah! Kalau kau memang senang me-
makainya, pakailah! Kau memang ada bakat jadi
pencuri, bocah ganjen! Hehehehe... suatu saat,
bukan benda lagi yang kau curi, pasti banyak
wanita akan kau curi hatinya...!" Ucap si nenek
dengan tertawa mengekeh hingga sampai terselak,
dan batuk-batuk dengan hebat.
"Jadi... jadi benda ini boleh aku pakai, nek?"
Tanya Raka Rumpit seperti kurang percaya.
"Bocah kolokan! Aku sudah bilang pakai, pa-
kailah! Mengapa masih banyak tanya segala?"
Bentak sang guru dengan plototkan matanya.
"Hahaha... haha... terima kasih! terima kasih,
nenek! Kau memang guruku yang paling manis,
paling lihay, dan... paling pe... eh, paling cantiiik
sekali!" Berkata Raka Rumpit. Tadinya dia sudah
mau katakan paling peot, akan tetapi segera di-
urungkan, karena khawatir si nenek menjadi ma-
rah lagi. Dan bahkan tahu-tahu....
CPLOK! CPLOK...! Sang murid telah mengha-
diahi ciuman pada kedua pipi si guru. Tentu saja
membuat sepasang mata nenek bongkok itu jadi
membeliak tertegun. Akan tetapi segera terdengar
suara tertawanya mengekeh.
"Hehehe... hehe... bocah ganjen! Kalau mau
pergi, pergilah! Tapi jangan berlama-lama! Bebe-
rapa bulan lagi kau harus sudah menamatkan pe-
lajaran mu! Apakah kau tak ingin menguasai ilmu
menggebuk pantat dengan tongkat...?" Ujar si ne-
nek.
"Tentu saja mau, guru...! Baiklah! Aku berjan-
ji tak akan lama turun gunung! Nah aku berang-
kat, nenek manis...!" Berkata Raka Rumpit. Se-
raya perlihatkan senyumannya, dan berkelebat
cepat tinggalkan tempat itu. Si nenek bongkok
cuma menatapnya dengan sinar mata memancar
tajam.
"Aiiih, tak kusangka bocah edan itu membuat
aku jadi gregetan! Dan... dan aneh! Mengapa aku
sudah jatuh cinta padanya?" Tak terasa dia sudah
kembali tertegun seraya mengusap-usap ke-
dua belah pipinya bekas ciuman sang murid yang
konyol itu.
"Aiiih, Rumpit! Rumpit...! Mungkin bukan hati
para gadis saja yang akan kau taklukkan, tetapi
hatiku pun nyatanya sudah kau taklukkan...!"
Desis suara si nenek perlahan. Dan amat perla-
han hampir tak terdengar. Namun tak lama tu-
buhnya sudah berkelebat kembali menuruni teb-
ing. Dan melesat masuk lagi ke dalam goa "lobang
tikus"-nya....
***
DUA
Prabu GURAWANGSA masih termangu-
mangu duduk di kursi kebesarannya. Wajahnya
menampilkan kesedihan, walaupun dalam bebe-
rapa hari ini baru saja usai mengadakan pesta
meriah menyambut para tamu undangan. Tentu
saja dalam rangka "selamatan" atas terhindar-
nya Kerajaan MATSYAPATI dari bencana kehan-
curan. Karena berhasilnya ditangkap biang keladi
kerusuhan di Kota Raja, dan terbukanya kedok
pengkhianatan Patih BUNTARAN. Para tamu un-
dangan itu tak lain dari para Pembesar Kerajaan,
dan tokoh-tokoh kaum Rimba Hijau yang turut
membantu menumpas kaum perusuh.
Kesedihan baginda Raja tak lain karena pe-
nyesalannya telah menyia-nyiakan Permaisuri
Durgandini. Bahkan telah mengutus pula orang-
orang bayaran untuk membunuh sang Permaisu-
ri. Semua itu adalah atas hasutan Patih Bunta-
ran. Dengan dalih akan membahayakan Kerajaan.
Karena dengan adanya sang Prabu Gurawangsa
mengambil tiga selir sekaligus, dan satu di anta-
ranya telah hamil. Sang Permaisuri Durgandini
telah melarikan diri dari Istana, tanpa ketahuan
ke mana perginya. Entah mati atau masih hidup
sampai kini masih menjadi teka-teki bagi sang
Prabu Gurawangsa.
Calon bayi yang akan lahir dari selir bernama
NAWANGSIH itu adalah yang kelak berhak meng-
gantikan sebagai pengganti Raja keturunan Prabu
Gurawangsa. Akan tetapi ternyata Nawangsih
adalah seorang wanita penipu, yang cuma menga-
caukan keadaan di dalam keluarga sang Raja.
Nawangsih adalah SRI MAYANG, alias si Kelabang
Kuning. Seorang toko Rimba Persilatan yang cu-
ma mengingini kehidupan sebagai selir Raja. Ke-
hamilannya adalah cuma permainan belaka, ka-
rena Sri Mayang memang punya keahlian meng-
gembungkan perut.
Di saat Kerajaan dalam kalut atas terjadinya
pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang
pihak Kerajaan, bahkan dua orang selir baginda
Raja pun tewas digantung berikut istri Senapati
SATRYO, saat itulah Sri Mayang unjukkan dirinya
bahwa dia tidak mengandung. Tentu saja mem-
buat Prabu Gurawangsa terperanjat.
"Hihihi... suamiku! Aku adalah wanita petua-
lang! Terima kasih atas kesediaanmu selama ini
memperhatikan diriku, namun aku memang ha-
rus pergi dari sisimu. Aku sudah cukup puas me-
rasakan bagaimana rasanya menjadi selir seorang
Raja. Kerajaanmu saat ini ada dalam ambang ke-
hancuran, Prabu Gurawangsa! Pengkhianatnya
tak lain adalah Patihmu sendiri! Nah, selamat
tinggal!"
Setelah mengucap demikian Nawangsih alias
Sri Mayang berkelebat pergi dan lenyap dari
ruang Istana. Terperangah Prabu Gurawangsa,
seperti petir menyambar di siang hari mendengar
pengakuan wanita selirnya itu. Namun kenyataan
pahit itu memang telah dialaminya. Dalam kea-
daan kalut itulah muncul Satryo, sang Senapati
yang menghadap dengan membawa berita kema-
tian kedua selir. Juga istri sang Senapati Satryo
sendiri turut jadi korban. Tertegun sang Prabu
Gurawangsa. Namun dengan bekal pengakuan
dari Nawangsih alias Giri Mayang, Baginda Raja
telah mengetahui biang kerusuhan itu. Dan perin-
tahkan menangkap Patih Buntaran.
Demikianlah, dengan bantuan Kaum Rimba
Hijau yang bermunculan, para Tumenggung dan
Senapati
Satryo beserta lasykarnya berhasil membekuk
Patih Buntaran, si pengkhianat Kerajaan itu. Dan
menewaskan para pembantunya, yang terdiri dari
para kaum Rimba Hijau golongan Hitam yang te-
lah diundangnya.
Kini para tokoh itu sudah meninggalkan Kota
Raja. Kerusuhan sudah usai. Dan pelaksanaan
hukuman gantung pada Patih Buntaran telah se-
lesai. Bahkan sudah dilaksanakan sejak tertang-
kapnya. Tinggallah kini sang Baginda Raja Kera-
jaan MATSYAPATI ini memikirkan calon pengganti
Patih di Kerajaannya. Juga beberapa jabatan
pembantu Kerajaan yang perlu diadakan peng-
gantian dan perombakan.
Namun agaknya Kerajaan Matsyapati sudah
mendekati di ambang kehancuran. Karena Prabu
Gurawangsa sendiri ternyata meninggalkan Ista-
na. Setelah beberapa hari termenung tanpa men-
gambil keputusan musyawarah dengan para Pen-
gagung Istana, Prabu Gurawangsa dengan diam-
diam telah menyediakan perbekalan seperlunya.
Dan tengah malam sang Raja yang dalam keadaan hati kalut tanpa berhasrat meneruskan Pe-
merintahannya, telah mengendarai kudanya me-
ninggalkan Istana. Entah ke mana perginya. Tak
seorang pengawal pun diberitahu atau mengeta-
huinya.
Senapati SATRYO perintahkan para Tumeng-
gung mencarinya. Namun sampai beberapa hari
tak membawa hasil. Ya, Prabu Gurawangsa telah
lenyap tanpa bekas. Wilayah Istana menjadi sepi.
Namun atas perintah Senapati Satryo, Istana di-
jaga ketat. Apa mau keadaan yang memang sudah
kacau itu ternyata membuat kesempatan para
Pembesar Kerajaan yang tak mau mengundurkan
diri dengan tangan hampa, mencari keuntungan.
Orang-orang dalam dan dibantu kaum penjahat
bayaran segera menggerayangi Istana. Terjadi
pertempuran-pertempuran kecil, perampokan pa-
da sisa-sisa harta milik Kerajaan. Dan bermacam
kekalutan terjadi di Kota Raja. Siapa yang dapat
menguasai kekalutan demikian? Karena masing-
masing mencari keuntungan pribadi tanpa mau
tahu urusan orang. Dalam keadaan kacau itulah
Senapati Satryo melarikan kudanya menuju Ma-
taram. Dan melaporkan kejadian pada Raja
Agung Kerajaan Mataram, yang baru saja memin-
dahkan pusat Pemerintahannya ke Jawa Timur.
Segera berdatangan para Tumenggung dan Sena-
pati utusan Raja Agung Kerajaan Mataram untuk
membersihkan kerusuhan. Dan untuk sementara
Kerajaan Matsyapati diambil alih oleh Kerajaan
Pusat yang berkuasa penuh di seluruh Pulau Ja-
wa waktu itu; yaitu Kerajaan Mataram. Dan sejak
saat itu pulalah Kerajaan Kecil bernama MAT-
SYAPATI itu dinyatakan punah. Dalam arti tidak
lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan di wi-
layah itu. Segalanya diatur oleh Penguasa dari
Kerajaan Mataram.
Istana bekas Kerajaan Matsyapati diperguna-
kan sebagai gedung atau Istana tempat peristira-
hatan Baginda Raja Agung Kerajaan Mataram.
Dan tertutup buat siapa saja.
Ke manakah gerangan perginya Raja yang lari
dari singgasananya itu? Tak seorang pun menge-
tahui. Akan tetapi pagi itu seekor kuda dengan
penunggangnya seorang laki-laki berpakaian se-
derhana berwarna putih, dengan ikat kepala
membungkus hampir seluruh rambutnya, yang
juga berwarna putih, tampak mendatangi sebuah
tempat sunyi di lereng perbukitan sebelah utara.
Suara derap langkah kaki kuda yang memang ja-
rang terdengar di sekitar tempat itu, membuat
empat orang laki-laki berjubah abu-abu segera
menyongsongnya untuk melihat siapa yang da-
tang. Sebentar saja si penunggang kuda telah
hentikan binatang tunggangannya di hadapan
keempat laki-laki itu.
"Siapa anda? Dan dari mana...? Serta ada ke-
perluan apakah kiranya mengunjungi pertapaan
Goa Kiskenda?" Tanya salah seorang setelah men-
jura hormat. Laki-laki berusia lima puluhan ta-
hun itu melompat turun dari punggung kuda.
"Apakah anda murid-murid Resi Jenggala
Manik?" Tanya laki-laki itu, tanpa menjawab per-
tanyaan salah seorang dari empat laki-laki berjubah itu.
"Benar!" Sahut mereka hampir serempak. La-
ki-laki ini melirik ke arah pintu Goa yang tampak
resik dan sedap dipandang mata. Tampak wajah
laki-laki ini tampilkan senyuman. Seperti tak sa-
bar dia sudah berkata:
"Beritahukan pada sang Resi, ada tamu dari
Istana...!" Ujarnya. Terbelalak keempat pasang
mata laki-laki murid Resi Jenggala Manik, dan se-
rentak sudah menjura. Seraya salah seorang ber-
kata:
"Maafkan hamba Raden! Kami tak mengeta-
hui kalau anda tetamu Agung guru kami...!" Dan
selesai berkata keempat murid sang Resi itu su-
dah beranjak untuk memasuki pintu Goa. Akan
tetapi pada saat itu sang Resi sudah muncul di
pintu Goa. Suaranya terdengar ramah menyam-
but kedatangan laki-laki itu.
"Selamat datang di Pertapaan Goa Kiskenda
Kanjeng Gusti Prabu...! Ah, sungguh satu kehor-
matan besar, Kanjeng Gusti mau menginjakkan
kaki datang ke tempat sunyi ini...!" Ujar pertapa
tua itu yang telah membungkuk menjura hormat.
Melengak keempat murid sang Resi. Karena sege-
ra mengetahui kalau yang datang adalah Baginda
Raja Prabu Gurawangsa. Raja Kerajaan Matsya-
pati. Cepat-cepat mereka duduk bersimpuh ketika
laki-laki itu dengan menuntun kudanya beranjak
menghampiri.
"Ah, selamat jumpa Resi...! Aih, bangunlah
kalian adik-adikku! Aku tak layak menerima
penghormatan berlebih-lebihan! Justru aku ini
sudah menjadi orang biasa! Kedatanganku ada-
lah...."
"Silahkan anda berbicara di dalam, Kanjeng
Gusti Prabu...!" Ujar Ki Jenggala Manik memotong
kata-kata Prabu Gurawangsa. Keempat murid
sang Resi cepat menuntun kuda untuk ditam-
batkan. Dan Raja Kerajaan Matsyapati ini men-
jumput perbekalannya, lalu mengikuti sang Resi
memasuki ruangan Goa.
Tak lama mereka sudah berada di dalam Goa,
dan duduk berkeliling untuk bercakap-cakap.
Ternyata keempat murid sang Resi telah dipersi-
lahkan Prabu Gurawangsa untuk turut menden-
garkan percakapan mereka.
Terkejut Resi Jenggala Manik mengetahui
sang Prabu Gurawangsa akan menetap di perta-
paan Goa Kiskenda. Dan menuturkan bahwa dia
berkeinginan untuk menjadi pertapa. Berbagai
nasihat yang diberikan sang Resi pada Prabu Gu-
rawangsa untuk kembali memimpin Kerajaan,
ternyata tak mampu melunturkan keinginan sang
Raja ini. Keinginannya sudah bulat untuk me-
ninggalkan kepemimpinannya, dan menjadi Per-
tapa. Tiada lagi gairah di hatinya untuk mene-
ruskan memerintah Kerajaan.
Demikianlah, akhirnya Resi Jenggala Manik
tak dapat mencegah keinginan Prabu Gurawangsa
untuk menjadi pertapa. Dan menetap di Goa
Kiskenda. Tentu saja Prabu Gurawangsa telah
berpesan wanti-wanti agar merahasiakan tentang
adanya dia di pertapaan Goa Kiskenda, tempat
tinggal sang Resi itu. Sang Resi dan keempat mu
ridnya cuma bisa manggut-manggut tanpa dapat
berbuat apa-apa. Beberapa pekan berselang Se-
napati Satryo singgah di pertapaan Goa Kiskenda.
Tentu saja kedatangannya adalah untuk me-
nyambangi gurunya. Seperti diketahui sang Resi
Jenggala Manik adalah guru dari Senapati Satryo,
semasa belum menduduki jabatan Senapati.
Terkejut Senapati Satryo mengetahui sang
Baginda Raja Prabu Gurawangsa berada di perta-
paan. Akan tetapi bekas Raja itu menyambutnya
dengan gembira, mendengar penuturan Satryo
atas Kerajaan Matsyapati yang diambil alih oleh
Kerajaan Mataram.
"Senapati...! Aku merasa lebih tenteram bera-
da di pertapaan ini. Jauh dari kemelut kehidu-
pan. Jauh dari keruwetan mengatur rakyat. Dari
ketidakpuasan yang terkadang membuat mata
menjadi gelap. Aku adalah contoh, satu dari pu-
luhan Kerajaan Kecil yang gagal meneruskan ke-
pemimpinannya. Namun aku sadar, bahwa keten-
teraman dalam rumah tangga amat besar artinya
bagi keutuhan sebuah Kerajaan.
Aku sadar, bahwa sudah gagal segala-
galanya. Aku merasa kurang layak memegang
tampuk kepemimpinan. Apalagi tanpa adanya ke-
turunan! Itulah yang membuat aku enggan mene-
ruskan kepemimpinanku!" Ujar Prabu Gurawang-
sa, yang kini bergelar Resi Netra Wangsa sejak
memutuskan menjadi pertapa di Goa Kiskenda.
"Akupun telah mengundurkan diri dari jaba-
tan Senapati. kakang Netra Wangsa...!" Ujar Sa-
tryo yang memanggil kakang serta gelar barunya,
menurutkan keinginan Prabu Guriawangsa sendi-
ri.
"Walau dari pihak Kerajaan Mataram telah
menawarkan jabatan untukku, namun rasanya
aku pun ingin memulai kehidupan sebagai rakyat
jelata lagi!"
"Apakah kau pun akan menetap di sini....?"
Tanya sang Resi Jenggala Manik hampir berba-
reng
"Tidak, kakang Resi, dan Resi Guru...! Hamba
akan pergi mengembara entah ke mana, menu-
rutkan ibu jari kaki hamba! Ya, mungkin mencari
di mana adanya ketentraman hati! Hamba hanya
akan menurutkan perasaan dan kemauan hati
hamba!" Sahut Satrya dengan suara terdengar
hambar. Cahaya matanya seperti memudar. Ke-
dua Resi itu memaklumi, karena Satryo baru ha-
bis kematian istrinya. Pemberontakan Patih Bun-
taran telah merobah segalanya.
***
TIGA
SATRYO memacu kudanya meninggalkan Per-
tapaan Goa Kiskenda.... Sejenak dia berhenti, dan
putar kudanya. Lalu lambaikan tangan pada kedua Resi dan empat orang murid Pertapaan. Mereka segera balas lambaikan tangan pada laki-laki
ini. Sepasang mata Satryo tampak seperti berka-
ca-kaca. Entah mengapa tiba-tiba hati laki-laki ini
jadi terasa trenyuh memandang sang Resi Netra
Wangsa. Bekas Senapati ini merasa kejadian telah
berubah begitu cepat. Dari seorang Raja telah
menjadi seorang Resi pertapa. Dan dirinya yang
tadinya mempunyai jabatan Senapati yang men-
guasai pimpinan dua ratus lasykar Kerajaan, kini
telah menjadi rakyat biasa.
Semua itu karena pengunduran diri sang
Prabu Gurawangsa sebagai Raja. Akan tetapi dia
memang tak dapat menyalahkannya. Benar seper-
ti kata Prabu Gurawangsa, rumah tangga ternyata
mempunyai pengaruh besar dalam sebuah Kera-
jaan. Raja Kerajaan Matsyapati tak tahan dengan
kemelut dalam rumah tangganya. Dan kehadiran
seorang Putera Mahkota yang didambakannya
ternyata sia-sia. Hal tersebut menimbulkan keen-
ganannya meneruskan tampuk kepemimpinan.
Dan sang Raja meninggalkan kekuasaannya. Me-
mang amat Tragis! Tapi hal yang seperti ini jan-
ganlah menjadi contoh untuk ditiru Kerajaan lain.
Walau bagaimana pun manusia tetaplah manu-
sia, yang di samping punya kekuatan, akan tetapi
banyak kelemahannya. Dan kepunahan sebuah
Kerajaan adalah semata cuma kejadian yang lo-
gis. Karena memang kelanggengan tidaklah selalu
menyertai seterusnya dalam setiap Kerajaan.
Laki-laki ini putarkan lagi kudanya, dan sege-
ra keprak tali kendalinya untuk seterusnya me-
macu cepat meninggalkan pertapaan .... Burung-
burung elang di atas bukit berseliweran, seperti
mengantar kepergian laki-laki penunggang kuda
bekas Senapati itu.
***
TRISULA DEWA yang tengah berlatih di lereng
bukit Karang Tunggul, cuma bisa ternganga meli-
hat putri sang Guru mereka yang dilarikan orang.
Mereka tak menyangka kalau pagi itu akan men-
dapat musibah. MAHESANI putri sang Ketua Per-
guruan Trisula Dewa, sudah hampir sepekan ini
mewakilkan sang guru mereka melatih ilmu silat.
Kepergian Ketua Perguruan Trisula Dewa berke-
naan dengan urusannya, telah mewakilkan pada
putri tunggalnya yang sudah mewarisi hampir
semua ilmu kedigjayaan sang ayah untuk melatih
kedua puluh para murid Perguruan tersebut. Tak
dinyana pada latihan baru saja dimulai, telah
muncul seorang laki-laki muda berambut gon-
drong berbaju hitam.
Begitu muncul langsung menghampiri Mahe-
sani. Gadis berusia 20 tahun itu jadi naikan alis-
nya menatap pada laki-laki muda yang meng-
hampiri dengan unjukkan wajah cengar-cengir.
"Eh, sobat...! Siapakah anda? Apakah ada
urusan dengan aku...?" Tanya Mahesani. Semen-
tara dalam hati gadis ini amat mendongkol meli-
hat sikap pemuda berambut gondrong itu. Walau
bertampang gagah, namun sikapnya yang kurang
ajar membuat orang tidak senang. Apalagi mene-
mui orang di kala sedang latihan.
"Hahaha... namaku RAKA RUMPIT! Tentu saja
kedatanganku untuk mengenal lebih dekat siapa
adanya gadis cantik berilmu tinggi macam kau
yang punya murid segini banyaknya. Membuat
aku jadi kagum! Bolehkah aku tahu namamu,
nona...? Dan apa gerangan nama dari Perguruan
ini?" Tanya pemuda murid si nenek bongkok ber-
muka tengkorak itu, yang ternyata kepergiannya
turun gunung telah menyambangi ke tempat
rombongan orang berlatih ini. Walau kata-
katanya memang cukup sopan, akan tetapi hal
tersebut sudah membuat para anak buahnya sal-
ing berbisik-bisik. Agaknya merasa tak senang
dengan kedatangan orang yang mengganggu ja-
lannya latihan. Dengan agak mendongkol Mahe-
sani menyahuti juga.
"Maaf, sobat! Sebenarnya anda telah mem-
buat, latihan kami menjadi terganggu, akan tetapi
tak apalah, aku jawab pertanyaanmu!" Ujar Ma-
hesani.
"Aku bernama MAHESANI! Perguruan ini ber-
nama Trisula Dewa, yang dipimpin oleh ayahku
BAYU WIJAYA, bergelar si Pendekar Trisula Emas!
Aku adalah putri tunggalnya, yang sementara
mewakilkan beliau mengajar beberapa jurus ilmu
dari apa yang aku bisa, dan telah aku pelajari da-
ri ayahku...!" Raka Rumpit tampak manggut-
manggut sambil cengar-cengir dan garuk-garuk
kepala.
"Oh, oh... amat mengagumkan...! Tapi amat
disayangkan sekali, karena ... apakah nona Ma-
hesani tak menyayangkan kulitmu yang mulus,
dan wajah yang cantik itu kena goresan senjata
tajam? Kukira pelajaran ilmu silat adalah pelaja-
ran keras yang dikhususkan buat kaum laki-laki!
Sebaiknya kau berhenti saja jadi wakil ayahmu!
Aku Raka Rumpit amat berkenan padamu! Ba-
gaimana kalau aku melamar mu untuk jadi istri-
ku...? Apa kira-kira kau menolak? Hahaha... ku-
kira aku cukup tampan untuk menjadi suami-
mu...!" Berkata Raka Rumpit. Seraya berkata len-
gannya bergerak untuk menggamit dagu mungil
sang gadis.
Tentu saja sikap kurang ajar, dan kata-kata si
pemuda itu menimbulkan kemarahan Mahesani.
Ketika lengan pemuda itu bergerak menggamit
dagunya, dengan cepat lengannya sudah bergerak
menepis, dibarengi bentakannya.
"Sobat! Mulutmu terlalu kurang ajar! Dan bu-
kan tempatnya kau berkata demikian! Kami se-
dang berlatih! Menyingkirlah, sebelum anak-anak
buah kami menjadi marah! Dan aku sendiri pun
bisa bertindak keras, kalau kau tak menghargai
orang!" Ujar Mahesani, dengan menahan sabar.
Sepasang matanya mendadak menjadi menatap
tajam pada pemuda di hadapannya itu. Diam-
diam hatinya menggumam. Pemuda dari mana-
kah gerangan yang amat berani, dan kurang ajar
ini...? Sementara wajah gadis ini sudah memerah
karena mau tak mau sikap kurang ajar tersebut
telah membuatnya malu. Apalagi dilakukan di
hadapan para anak buahnya. Kalau dia tak mem-
beri pelajaran pada pemuda kurang ajar ini di ha-
dapan para murid ayahnya, rasanya memang
amat penasaran. Namun sebisa-bisa sang gadis
mencoba menahan diri. Mengingat tugasnya be-
lum selesai.
"Hahaha... baiklah, aku akan menyingkir kalau kau bisa menjatuhkan aku dalam tiga jurus!
Sekalian menguji apakah nama besar Perguruan
Trisula Dewa bukannya nama kosong belaka...!"
Ucap si pemuda dengan cengar-cengir menatap
pada Mahesani. Habislah sudah kesabaran sang
gadis putri Ketua Perguruan Trisula Dewa ini.
"Den ayu...! Biarkan aku yang menghajar ma-
nusia edan ini!" Tiba-tiba berkelebat seorang anak
buahnya ke hadapan Raka Rumpit.
"Wahaha... hahaha... kau bukan tandingan-
ku, anak mas...!" Berkata Raka Rumpit tanpa
memandang sedikitpun. Tentu saja membuat la-
ki-laki itu menggertak gigi karena geramnya. Ke-
dua lengannya bergerak terpentang, lalu kembali
menyatu. Terlihat otot-ototnya bersembulan. Wa-
jahnya menampilkan kemarahan luar biasa. Laki-
laki ini bernama Gasir Ireng. Dia adalah murid
Perguruan Trisula Dewa pada tingkat pertama.
Bertenaga besar, dan juga memiliki
tenaga dalam yang tak boleh dianggap enteng.
Karena Perguruan Trisula Dewa menitik beratkan
juga pada kekuatan tenaga dalam, sebagai dasar
kekuatan inti.
"Jangan menyesal dengan kesombonganmu,
manusia tengik!" Berkata Gasir Ireng dengan dada
menggembung. Dan dibarengi dengan bentakan
keras, kedua lengannya bergerak beruntun
menghantam dada dan kepala Raka Rumpit.
WHUT...! PLAK...!
BRRUUKKK...! Tubuhnya tepat menimpa ka-
wan-kawannya yang tengah berkumpul hingga ja-
tuh bangun beberapa orang yang kena tertimpah
lau kau bisa menjatuhkan aku dalam tiga jurus!
Sekalian menguji apakah nama besar Perguruan
Trisula Dewa bukannya nama kosong belaka...!"
Ucap si pemuda dengan cengar-cengir menatap
pada Mahesani. Habislah sudah kesabaran sang
gadis putri Ketua Perguruan Trisula Dewa ini.
"Den ayu...! Biarkan aku yang menghajar ma-
nusia edan ini!" Tiba-tiba berkelebat seorang anak
buahnya ke hadapan Raka Rumpit.
"Wahaha... hahaha... kau bukan tandingan-
ku, anak mas...!" Berkata Raka Rumpit tanpa
memandang sedikitpun. Tentu saja membuat la-
ki-laki itu menggertak gigi karena geramnya. Ke-
dua lengannya bergerak terpentang, lalu kembali
menyatu. Terlihat otot-ototnya bersembulan. Wa-
jahnya menampilkan kemarahan luar biasa. Laki-
laki ini bernama Gasir Ireng. Dia adalah murid
Perguruan Trisula Dewa pada tingkat pertama.
Bertenaga besar, dan juga memiliki
tenaga dalam yang tak boleh dianggap enteng.
Karena Perguruan Trisula Dewa menitik beratkan
juga pada kekuatan tenaga dalam, sebagai dasar
kekuatan inti.
"Jangan menyesal dengan kesombonganmu,
manusia tengik!" Berkata Gasir Ireng dengan dada
menggembung. Dan dibarengi dengan bentakan
keras, kedua lengannya bergerak beruntun
menghantam dada dan kepala Raka Rumpit.
WHUT...! PLAK...!
BRRUUKKK...! Tubuhnya tepat menimpa ka-
wan-kawannya yang tengah berkumpul hingga ja-
tuh bangun beberapa orang yang kena tertimpah
tubuh sang kawannya ini. Gasir Ireng mengerang
parau, dan muntahkan darah segar menggelogok
dari mulutnya. Lalu menggeliat, dan tubuhnya di-
am tak bergeming.
"Iblis...! Kau... kau... telah membunuhnya...!?"
Teriak beberapa orang hampir berbareng.
"Hahaha... mengapa salahkan aku? Bukan-
kah dia sendiri yang mengantarkan nyawa...?"
Berkata Raka Rumpit dengan bertolak pinggang.
Pada saat itu Mahesani sudah membentak keras:
"Manusia keparat! Kau sungguh keterla-
luan...!" Dan diiringi bentakannya Mahesani su-
dah lompat menerjang.
"Aha...! Masih dua jurus lagi, adik manis...!
Silahkan pakai senjata! Dan pilih kulitku yang
empuk!" Berkata pemuda itu menantang. Semen-
tara diam-diam Mahesani sudah menyiapkan satu
jurus andalan dari perguruan Trisula Dewa. Tiba-
tiba tubuh gadis itu berjumpalitan ke arahnya,
tahu-tahu kakinya meluncur mengarah leher la-
wan. Inilah jurus Naga Sakti Menggulung Awan.
Terkejut Raka Rumpit, karena serangan itu me-
mang tak terduga, juga amat cepat. Tadinya len-
gannya sudah bergerak untuk memapaki seran-
gan, akan tetapi khawatir membuat gadis ini ter-
luka, dia kelitkan tubuh ke belakang. Saat itulah
satu terjangan sepasang lengan sang gadis me-
luncur, dengan tenaga dalam keras. Segelombang
angin menerjang terlebih dulu. Dibarengi dengan
meluncurnya kedua ujung telapak lengannya
mengarah ulu hati dan lambung.
Tenaga dalam Mahesani yang sudah dikerah
kan di kedua lengan itu luar biasa ampuhnya.
Karena seandainya mengena pada batu karang,
niscaya batu itu akan amblas tertembus lengan.
Merasa hawa angin menggulung tubuhnya, Raka
Rumpit telah keluarkan ilmu hitamnya yang baru
dipelajari. Yaitu Tameng Iblis. Hebat akibatnya,
karena tiba-tiba tubuh pemuda itu seketika telah
terbungkus dengan asap hitam. Ketika kedua len-
gan Mahesani menembus asap, terdengar suara
teriakan tertahan gadis ini, karena bagai menum-
buk bayangan hitam, yang membuat tubuhnya
menggigil. Dalam pandangannya pemuda itu su-
dah berubah menjadi makhluk hitam berbulu,
yang terkena hantaman tangannya tak bergeming
sama sekali.
Namun dia masih sempat meronta, dan terle-
pas dari cekalan tangan makhluk hitam berbulu
itu. Lengannya sudah bergerak mencabut senjata
Trisula di pinggang. Didahului hantaman lengan-
nya bertenaga dalam sepertiga bagian. Senjata
Trisulanya berkelebat menusuk. Aneh, makhluk
itu tak berupaya mengelak. Bahkan terlihat ter-
tawa menyeringai perlihatkan gigi-giginya yang
runcing. Sepasang matanya merah menyala se-
perti mempengaruhi dan mematikan daya kekua-
tan sirkuit otaknya. Seketika syaraf dara perkasa
ini tegang, dan dia memang kehilangan daya na-
lurinya. Gerakan menusuknya berubah lambat.
Selanjutnya Mahesani sudah tak mengetahui
lagi apa yang terjadi. Ketika tahu-tahu tubuh si
pemuda itu sudah berkelebat menepiskan senja-
tanya. Dan sepasang lengan yang kuat telah menotok, dan meraih pinggangnya. Sekejap kemu-
dian tubuh Mahesani sudah berada di pundak
Raka Rumpit. Terpaku semua anak buah sang
gadis itu menyaksikan kejadian
aneh itu, dan di saat mereka tersadar, tubuh
putri Ketua mereka itu telah dibawa berkelebat
lenyap di balik hutan rimba di arah sana.
"Celaka...! Kejaaar...! Kejaaaarrr...!" Teriak sa-
lah seorang yang baru tersadar dari pengaruh
yang membuatnya bagai kena tenung. Serentak
berlompatanlah mereka mengejar. Akan tetapi
sudah kasip. Karena orang yang diburuhnya su-
dah tak kelihatan batang hidungnya dengan
membawa kabur putri Ketuanya.
***
EMPAT
Matahari yang baru saja menggelincir naik itu
tampak agak meredup sinarnya, karena segumpal
awan hitam telah menutupnya. Dari balik bukit
itu tiba-tiba meluncur sebuah titik hitam. Makin
lama tampak semakin membesar, dan semakin je-
las kelihatan apakah adanya benda yang me-
layang keluar dari belakang bukit itu.
Kiranya adalah sebuah kepala tanpa tubuh.
Ya, kepala dari seorang wanita yang berambut
panjang beriapan. Itulah kepala dari si manusia
setan Tri Agni. Ketika melayang ke atas sebuah
bukit yang permukaannya agak datar, kepala
tanpa tubuh itu bergerak memutari bukit itu be-
berapa kali, lalu menukik turun. Itulah kiranya
bukit di mana adanya MAKAM TUA Persis di ma-
na tumbuh sebatang pohon Angsana besar di atas
bukit itu, si kepala tanpa tubuh berhenti tepat di
bawah pohon rindang itu. Lalu meluncur perla-
han semakin ke bawah dan tepat di atas akar ke-
pala itu berhenti. Di sana dia diam untuk bebera-
pa saat. Dan tak lama tampak sepasang mata
makhluk itu yang tadinya membelik biji matanya,
kini terkatup dengan wajah agak merunduk. Ter-
lihat bibirnya berkemak-kemik entah membaca
mantera apa.
Selang sesaat, tiba-tiba angin keras member-
sit merontokkan dedaunan. Langit menjadi gelap.
Kilat menyambar-nyambar. Tak berapa lama se-
gera terlihat di atas pohon Angsana tua itu seben-
tuk asap hitam yang memutari pohon bergulung-
gulung. Sementara kepala wanita setengah silu-
man itu masih tetap merunduk dengan mata ter-
katup, dan bibir komat-kamit.
WHHUUUUSSS...! Asap hitam yang bergu-
lung-gulung itu menjelma menjadi makhluk rak-
sasa. Yaitu seekor ular yang amat besar. Mulut-
nya menganga, dan keluarkan suara mendesis
yang amat dahsyat. Tampak wanita kala putus itu
membuka kelopak matanya. Wajahnya segera
bersitkan senyuman girang, senyum menyeringai.
"Oh, Selamat datang Gusti Junjungan hamba!
Hamba membawa berita duka Gusti Junjungan!
Yaitu kematian cucuku, si bocah hitam! Mungkin
kau dapat merasakan betapa hancurnya hatiku!
Setelah anakku Durgandini melahirkan bayinya
atas anugerah darimu, dia kemudian mati! Kini
giliran cucuku...! Baru sedang senang-senangnya
memperoleh cucu, ternyata mati oleh musuh-
musuhku...! Tolonglah hamba Pukulun...! Apakah
Ilmu Dasa Jiwa itu sudah punah, bila tubuh
makhluk apapun yang memiliki telah terkena
MANTERA SUCI...?" Berujar Tri Agni, si wanita se-
tengah siluman itu.
"Sedangkan niat anakku adalah mempunyai
seorang anak yang dapat membalaskan dendam
dan sakit hatinya..." Tolonglah hamba Gusti Jun-
jungan! Masih banyak manusia musuhku yang
belum kubunuh! Bahkan kini bertambah lagi,
dengan musnahnya cucuku pemberianmu itu,
Pukulun...!"
"Hoahahaha... hahaha... cucumu si bocah hi-
tam itu masih bisa menjelma lagi, hambaku Tri
Agni! Bahkan anakmu si Durgandini itupun ma-
sih dapat kubangkitkan lagi kalau kau mengingi-
ni! Cuma harus ada beberapa syarat yang harus
kau penuhi! Adapun MANTERA SUCI memang
dapat memusnahkan ilmu Dasa Jiwa yang kau
miliki, yang telah berpindah pada cucumu si bo-
cah hitam melalui anakmu Durgandini! Itulah se-
babnya cucumu pemberianku, terpaksa aku tarik
lagi ke alam ghaibku!" Terdengar suara ular besar
itu yang perdengarkan suaranya bagai mendesis.
Sementara kilatan petir tak hentinya menyambar
di angkasa yang telah berubah menjadi gelap pe-
kat.
Tri Agni tampak manggut-manggut mengerti,
lalu ujarnya:
"Apakah yang harus hamba perbuat Puku-
lun...? Dendamku belum terlampiaskan! Dan te-
lah menjadi satu dengan dendam anakku Dur-
gandini...! Hamba belum puas mengharungi kehi-
dupan di dunia ini, Pukulun...! Ingin hamba me-
rasakan menjadi Ratu yang sakti dengan segala
kekuasaannya! Namun keadaan hamba telah se-
perti ini! Apakah Pukulun dapat meluluskan per-
mohonan hamba...?" Berujar Tri Agni dengan na-
da sedih. Bahkan air matanya sampai bercucuran
keluar.
"Hoahaha... hahaha... sabarlah hambaku!
Tanpa dapat kau melenyapkan si pemilik MAN-
TERA SUCI, kau tak akan tenang mengharungi
kehidupan yang kau inginkan! Karena kau sudah
bukan manusia wajar lagi, kau memang takkan
mampu berbuat sekehendakmu! Akan tetapi kau
dapat melakukan kehidupan baru dengan men-
gadakan "penitisan"...! Akan tetapi penitisan itu
hanya dapat kau lakukan di saat seorang manu-
sia tengah dirasuk dendam kesumat! Namun
apabila manusia itu telah kembali sadar, kau
akan merasakan panasnya api yang amat luar bi-
asa! Itulah saatnya kau tinggalkan jasad manusia
titisanmu!" Terdengar lagi suara mendesis parau
dari mulut sang ular raksasa. Tampak Tri Agni
beliakkan sepasang matanya lebih besar lagi.
Alisnya mencuat ke atas. Penjelasan dari semba-
hannya si Raja Siluman Ular itu telah membuat
dia amat girang akan tetapi juga terkejut.
"Oh, terima kasih Pukulun, Junjungan Ham
ba! Kini hamba mengerti! Akan tetapi apakah Il-
mu Dasa Jiwa itu masih dapat hamba miliki?"
"Menitislah kau pada salah seorang tubuh
manusia yang baru mati! Dan bertapa selama se-
ratus hari! Untuk bekal tapamu tentu kau me-
merlukan darah untuk kehidupanmu! Bahkan
untuk selanjutnya memang kehidupanmu harus
memerlukan darah!"
Nah! Kukira sudah cukup penjelasanku! Apa-
kah masih ada keinginanmu yang lain...?" Ber-
tanya si Ular Raksasa penjelmaan Raja Siluman
Ular. Tercenung sejenak Tri Agni, namun tak la-
ma dia sudah berkata cepat-cepat.
"Ada, Pukulun...! Hamba masih menginginkan
penjelmaan anakku Durgandini! Dan juga cucuku
si bocah hitam itu!" Ujar Tri Agni. Tampaknya dia
amat berhasrat sekali dengan permintaannya
yang terakhir ini.
"Hohoho... Hosssy! Hosssy! Untuk permin-
taanmu itu, kau laksanakanlah dulu tapamu dan
kesempurnaan jasadmu! Kelak keinginanmu itu
akan terlaksana!"
"Oh, hamba mengerti! Terima kasih Pukulun!
Terima kasih atas kesediaanmu menolong diri-
ku...!" Ucap Tri Agni. Dan bersamaan dengan itu
sang Ular Raksasa itu pun lenyap! Barulah men-
jadi segumpal asap hitam, yang selanjutnya kem-
bali berputar-putar bergulung-gulung. Semakin
lama semakin meninggi, dengan menimbulkan
suara bergemuruh dan desis menyeramkan. Tak
lama kemudian gumpalan asap hitam itu pun sir-
na. Kilat sambung-menyambung di angkasa, di
barengi dengan bertiupnya angin keras.
Namun tak lama cuaca pun berangsur-angsur
kembali terang benderang. Angin keras kembali
sirna, dan petir yang berkilatan di angkasa pun
melenyap. Keadaan kembali seperti sedia kala.
Wanita kepala tanpa tubuh ini tersenyum menye-
ringai. Dan bahkan tertawa mengikik hingga sua-
ranya terdengar ke sekitar perbukitan Makam Tua
itu. Tak lama kepala tanpa tubuh Tri Agni melesat
keluar dari bukit
Makam Tua, dan melenyap...
***
"Bocah edan itu sudah kembali lagi...?" Ter-
dengar suara menggumam dari dalam sebuah goa
di bawah tebing dekat muara sungai itu. Seorang
nenek tua yang bongkok berwajah mirip tengko-
rak, tampak tengah duduk bersila di dalam ruan-
gan. Tempat di mana dia duduk adalah sebuah
batu persegi. Di sebelah kirinya ada lubang batu
di dinding goa, hingga sinar matahari menerangi
ruangan itu. Kepalanya agak dimiringkan seperti
tengah mendengarkan lebih jelas suara orang
yang datang. Ternyata sepasang matanya masih
mengatup, dan bahkan hebatnya, adalah orang
yang didengarnya datang itu ternyata masih be-
rada jauh sekali di bawah bukit. Menandakan
pendengaran si nenek bongkok ini amat luar bi-
asa.
"Hahaha... sabarlah manisku, aku akan cari-
kan tempat yang sejuk dan nyaman! Tentu akan
aku buka totokanku bila kau tidak rewel!" Semen-
tara gadis yang berada di atas pundaknya itu cu-
ma bisa menggigit bibir menahan geram. Akan te-
tapi dia sudah mengeluh, karena tak mampu ber-
buat apa-apa.
"Hm, goa tempat tinggalku terlalu pengap!
Juga aku tak mau si nenek peot itu mengganggu
ku!" Desis suara si pemuda. Tiba-tiba Raka Rum-
pit sudah melompat cepat ke arah sebelah timur
perbukitan seraya perdengarkan desisannya.
"Ahay... aku tahu tempat yang nyaman...!"
Seraya selanjutnya sambil bernyanyi-nyanyi
kecil, dia sudah tiba di satu tempat. Di bawah pe-
pohonan rimbun di sisi sungai itu, Raka Rumpit
hentikan langkah kakinya. Lalu jatuhkan beban-
nya ke atas rumput tebal yang banyak tumbuh di
sekitarnya.
Kini sepasang mata pemuda ini sudah menja-
di liar menelusuri wajah dan sekujur tubuh gadis
bernama Mahesani itu. Butiran-butiran keringat
mengalir turun dari dahi sang gadis, bahkan se-
kujur tubuhnya sudah mandi keringat. Akan te-
tapi keringat itu adalah keringat dingin. Karena
hawa takut yang amat luar biasa. Keputusasaan
telah terpampang di wajah Mahesani. Tak ada
daya lagi dia untuk dapat melepaskan diri dari
cengkeraman pemuda bernama Raka Rumpit ini.
Sementara lengan si pemuda sudah mulai
nakal menelusuri setiap lekuk liku di tubuh sang
dara.
BRET...! BRET! BREETT...! Sekonyong-
konyong lengannya sudah bergerak merobek pakaian ketat si gadis. Terperangah seketika Mahe-
sani. Dan cuma dengan berapa kali menyibak sa-
ja dia sudah rasakan hawa dingin dari sekujur
tubuhnya. Karena sekejap apa yang melekat di
tubuhnya sudah lenyap;
Terpekik dara ini dengan suara tersekat di
tenggorokan. Tentu saja, karena Raka Rumpit te-
lah menotok pula urat suaranya. Hingga Mahesa-
ni tak dapat mengeluarkan suara kecuali desisan.
"Iblis keparat! Lepaskan aku! Tidak! Tidaak...!
Akan kubunuh kau Iblis! Kau... kau manusia
edan!" Teriak suara desisnya. Akan tetapi suara
itu. memang tak keluar. Desisnya tersangkut di
tenggorokan. Cuma terlihat napasnya yang turun-
naik dengan cepat. Dan sepasang mata yang ter-
beliak, serta bibir setengah terbuka. Usahanya
untuk meronta membebaskan diri dari pengaruh
totokan, cuma sia-sia belaka. Sementara lengan
Raka Rumpit mulai menelusuri sekitar perbuki-
tan dan lembah. Pandangan matanya semakin
liar. Bahkan desah napasnya mulai seperti orang
dikejar setan.
Akan tetapi tiba-tiba pemuda ini terpandang
pada cincin peraknya yang berbatu "combong".
Hm, apakah kegunaan khasiat cincin ini untuk
menaklukkan hati wanita? Pikir Raka Rumpit.
Tak terasa dia sudah tarik kembali lengannya.
"Akan kucoba!" Desis suara Raka Rumpit. Ka-
rena segera teringat akan kata-kata gurunya. Su-
atu saat bukan benda lagi yang kau curi! Pasti
banyak wanita akan kau curi hatinya! Pasti kata-
katanya mempunyai maksud yang berhubungan
dengan benda ini! Bisik hatinya. Dan... tiba-tiba
dia mulai salurkan kekuatan bathinnya untuk
menatap pada cincin bermata batu Combong itu.
Pemuda gemblengan si nenek bongkok ini ternya-
ta mempunyai kelebihan dalam hal kekuatan
bathing. Tidaklah aneh, karena gurunya sendiri,
si Nenek Bongkok Muka Tengkorak itu dengan
kekuatan bathinnya mampu membuat tongkatnya
bergerak memukul pantat sang murid.
Selang tak lama batu cincin di jari tangannya
itu keluarkan sinar berwarna biru. Terkejut Raka
Rumpit. Akan tetapi wajahnya sudah menampil-
kan kegirangan. Mendadak dia sudah hentikan
kekuatan tenaga batin yang disalurkan melalui
pancaran matanya. Kini dia berbalik menatap pa-
da Mahesani. Lengannya yang berbatu cincin
combong itu bergerak ke arah wajah gadis itu.
Tentu saja sinar biru yang memancar dari batu
cincin Raka Rumpit amat menarik perhatian Ma-
hesani. Sepasang matanya menatap sinar biru
yang terpancar di jari tangan si per muda. Dan...
tampak satu perubahan mendadak, terjadi pada
gadis di hadapannya. Kalau tadi Mahasani mena-
tap dengan wajah ketakutan pada Raka Rumpit.
Dengan sepasang mata membeliak marah serta
bibir menganga gelisah.
"Ahaha... ahaha... ahahay... si bocah edan
ternyata telah berhasil menaklukkan hati wanita,
guru...! Terima kasih nenek manis atas pemberian
"jimat"-mu ini!" Berkata pemuda itu dengan men-
gakak tertawa girang. Sementara lengannya su-
dah bergerak membuka totokan pada tubuh sang
gadis. Begitu merasa totokannya terbuka, dan tu-
buhnya dapat digerakkan lagi, segera Mahesani
melompat bangun. Dan... tiba-tiba saja sepasang
matanya sudah berubah menjadi liar. Bibirnya
berdesahan, dengan napas menggebu. Tahu-tahu
sudah memeluk Raka Rumpit dengan gairah ber-
kobar.
***
"Bocah edan...!" Terdengar suara lirih memaki
di balik semak. Dan sebuah kepala seorang nenek
bermuka tengkorak tersembul di antara dedau-
nan. Sepasang matanya berbinar-binar melihat
adegan di depan matanya. Tampak tubuhnya ber-
getar seperti menahan satu gejolak rangsangan
yang amat kuat menghimpit dadanya. Terasa ada
sesuatu yang membuat napasnya menjadi sesak.
Betapa tidak, lebih dari 10 tahun dia tak pernah
disentuh oleh laki-laki. Dan sejak tiga tahun dia
mengambil Raka Rumpit menjadi murid. Selama
itu dia sudah menekan perasaannya. Terkadang
tatapan mata si pemuda muridnya itu seperti
menghunjam ke lubuk hati.
Dan... entah mengapa tiba-tiba di benaknya
timbul rasa mengiri, atau boleh disebut rasa cem-
buru yang begitu besar.
Tiba-tiba nenek bongkok itu pejamkan sepa-
sang matanya. Bibirnya berkemak-kemik seperti
membaca mantera. Tak lama terjadilah keanehan.
Dari ubun-ubun kepalanya tersembul segumpal
uap putih. Akan tetapi tak lama telah berubah
menjadi hitam. Uap hitam itu menjulur menem-
bus semak belukar, dan meluncur ke arah kedua
orang yang tengah tenggelam dalam gelimang bi-
rahi.
Uap hitam itu sekonyong-konyong menelusup
ke ubun-ubun kepala Raka Rumpit.... Saat mana
si pemuda tengah mengecupi leher sang "keka-
sih"nya yang kembali membuat dirinya terang-
sang. Bergelinjangan tubuh Mahesani yang dalam
keadaan telanjang bulat itu menghimpit tubuh-
nya. Pemuda ini mendengus bagai kerbau yang
mulai kembali liar. Sepasang matanya mulai
membinar. Dan... kepalanya sudah menelusup di
antara belahan sepasang benda lembut berputik
kemerahan. Mendesah-desah sang gadis merasa-
kan kenikmatan.... Serta segera balikkan tubuh-
nya menghimpit kuat-kuat tubuh Mahesani di
bawahnya. Terperangah wanita muda ini. Tubuh-
nya seketika bergelinjangan merasakan nikmat
bercampur rasa sakit yang menyesakkan jalan
pernapasannya. Meronta-ronta gadis itu dalam
himpitan Raka Rumpit, dan sia-sia lengannya
menepiskan cengkeraman jari-jari tangan pemuda
itu yang telah mencekik lehernya....
Tubuh mulus tanpa sehelai benang itu meng-
geliat meregang nyawa. Suara teriakannya telah
tersangkut di tenggorokan, yang telah menyumbat
pernapasannya. Akhirnya setelah beberapa saat
meregang maut dalam membaurnya kenikmatan,
tubuh dara itu pun terkulai lemah untuk tak ber-
kutik lagi. Lidahnya terjulur memanjang, dengan
sepasang mata yang membeliak. Dia telah mati
dicekik si pemuda bernama Raka Rumpit itu.
"Bocah edan...! Kau pulanglah! Aku tak akan
menggebuk pantatmu...!" Terkejut pemuda ini,
karena segera mengetahui kalau itu adalah suara
gurunya si nenek bongkok muka tengkorak. Sege-
ra dia bergegas memakai pakaiannya. Tak lama
sudah melompat pergi dari sisi sungai itu. Sesaat
matanya masih sempat menatap mayat sang ga-
dis, akan tetapi dia memang sudah tak menga-
cuhkannya lagi.
"Ah, ah...! Mahesani! Agaknya umurmu terla-
lu pendek untuk menjadi isteriku!" Dan berkele-
batlah tubuhnya menuju arah ke tempat tinggal-
nya, yaitu goa "lobang tikus" yang berbau pengap
dan sudah amat menjemukan hatinya itu. Tiupan
angin lirih mengiringi kepergiannya.
Sementara itu di mana dua sosok tubuh ber-
kelebat, yang satu adalah si nenek bongkok yang
mendahului berkelebat kembali menuju goanya,
sedang yang satu lagi adalah tubuh Raka Rumpit.
Saat itulah muncul sebuah kepala tanpa tubuh
yang baru menampakkan diri. Dengan mulut ter-
senyum menyeringai kepala si manusia setengah
siluman itu melayang mendekati tubuh Mahesani.
"Hihihi... hihi... bagus! Beruntung sekali aku
menjumpainya! Mayat gadis ini masih segar, dan
baru saja mati!" Mendesis suara Tri Agni, dan ke-
palanya bergerak memutari tubuh telanjang bulat
yang terbujur itu.
"Aii, sungguh seorang gadis yang cantik dan
masih amat muda! Hihihi... walau baru habis di-
perkosa tak apalah...! Wah, wah... sungguh mulus
tubuhnya! Entah siapa nama gadis ini, akan teta-
pi inilah saatnya aku menitis padanya!" Selesai
berkata tiba-tiba kepala Tri Agni melenyap sirna,
dan tanpa terlihat oleh mata biasa, secercah sinar
putih melesat cepat memasuki gua garba Mahe-
sani melalui ubun-ubun kepalanya. Mendadak
terjadi keanehan pada alam sekitar, karena tiba-
tiba cuaca berubah menjadi gelap. Angin bersyiur
keras merontokkan dedaunan. Di langit tampak
kilat sambung-menyambung membersitkan si-
narnya disertai suara ledakan-ledakan keras.
Dan... pada saat itu juga tampak sesuatu telah
terjadi pada mayat Mahesani. Mayat si gadis re-
maja itu tiba-tiba telah bergerak bangun. Tak la-
ma sudah berdiri dengan perdengarkan suara ter-
tawa aneh. Karena Mahesani tidak bersuara de-
mikian. Itulah suara Tri Agni si manusia setengah
siluman, yang telah menitis padanya.
"Hihihi... hihi... ow, enak sekali tubuh ini di-
pakainya! Aku dapat menggerakkan lagi lengan
dan kaki! Dan aiih, benar-benar menyenangkan!
Kini aku sudah mempunyai tubuh putih mulus,
dan montok! Buah dadaku pun masih padat beri-
si! Pinggangku ramping, dan pinggul... ow! Be-
saar! Paha dan betis amat serasi! Jari tangan dan
kaki lentik memanjang...! Dan... dan... hmm le-
batnya...!"
Tri Agni tersenyum-senyum menatap tubuh-
nya, seraya berjalan melenggang-lenggok. Ram-
butnya dibiarkan terurai. Namun tak lama dia
sudah hentikan tingkahnya. Kini merenung seje-
nak, seperti memikir akan apa yang harus diperbuatnya.
"Hm, aku harus mencari pakaian penutup tu-
buh ku! Ya, dengan mencuri tentunya!" Gumam-
nya perlahan. Dan Mahesani yang sudah berbeda
nyawa itu pun beranjak dari tepian sungai itu.
Ternyata gerakannya amat gesit, seperti Tri Agni
ketika masih
bertubuh utuh beberapa bulan yang lalu.
Dengan berjumpalitan di udara, Mahesani sudah
melesat menyeberangi sungai dan tiba di sebe-
rang. Injakkan kaki dengan ringan di atas tanah.
Seekor babi hutan yang tersesat ke sisi sun-
gai, mengguik dan berlari ketakutan masuk ke
rumpun lebat. Mahesani tertawa mengikik, lalu
palingkan wajahnya ke arah depan. "Hm, di hilir
sungai ini pasti banyak orang mencuci pakaian!"
Desisnya agak santar. Dan berkelebatlah dia me-
lompat-lompat lincah menyusuri tepian sungai.
***
ENAM
"Sudah selesai kau mencucinya, Tantri...?"
"Ah, belum, yu... masih dua potong lagi!" Sahut gadis muda berkulit putih ini, seraya meno-
leh. Sementara lengannya masih bekerja cepat
menggilas pakaian di atas batu. Gadis ini menge-
nakan selembar kain yang dilipat ujungnya seba-
tas dada, sementara tubuhnya terendam air seba-
tas pinggang. Wanita kawannya ini lebih tua sedikit usianya, yang tampaknya sudah selesai men-
cuci. Dan segera pergi mandi. Tak terlalu lama,
dia sudah beranjak naik, dengan menyambar pa-
kaiannya yang diletakkan di atas batu. Tampak-
nya dia bergegas mengenakan pakaiannya. Seben-
tar-sebentar memandang ke atas melihat langit.
Matahari tampak tertutup awan hitam. Dan hari
memang sudah menjelang sore, karena bayangan
tubuh yang samar-samar itu sudah memanjang.
Tak berapa lama dia sudah selesai berpakaian,
dan merapikan rambutnya dengan menggelung-
nya ke atas.
Sementara gadis muda bernama Tantri itu te-
rus mencuci, namun dipercepat karena melihat
kawannya sudah rapi berpakaian.
"Cepatlah, Tantri...! Kukira sudah mau turun
hujan! Tadi kulihat cuaca gelap sekali! Petir berki-
lauan di arah hulu sungai! Tapi... tapi memang
aneh? Tahu-tahu cuaca kembali terang bende-
rang! Dan kini lihatlah! Awan hitam sudah menu-
tupi matahari lagi!" Ujar wanita itu. Dia bernama
Tomblok.
"Aiih, yu Tomblok! Mengapa kau tampak ke-
takutan sekali!? Tak seperti biasanya! Kalau kau
mau pulang duluan, pulanglah...! Akupun masih
bisa pulang sendiri! Pakaian suamiku ini masih
kotor! Dakinya terlalu tebal! Kau tahukan sifat
suamiku? Dia akan mengomel kalau aku mencuci
tak bersih!" Sahut Tantri ketus.
"Tapi... tapi aku memang takut, Tantri...!" Sa-
hut Tomblok yang tampaknya memang agak geli-
sah. Entah mengapa hatinya jadi berdebaran.
Dan tengkuknya sudah meremang sejak tadi.
"Takut apa...?" Tanya Tantri seraya menatap
pada kawannya.
"Anu... takut... takut kehujanan!" Sahut wani-
ta ini tergagap.
"Hihihi... hihi... yu Tomblok! yu Tomblok...!
Kau ini memangnya sebangsa kambing, atau ma-
sih keturunan kambing? Masakan takut sama
hujan! Hawa begin! mana mungkin hujan? Hm,
sudahlah, kau pulanglah lebih dulu! Kau memang
cari-cari alasan saja!" Ujar Tantri seraya teruskan
lagi mencuci.
"Kalau begitu baiklah! Aku pulang duluan, ya
Tantri!" Ucap Tomblok seraya menyambar bakul
cuciannya, lalu tanpa menoleh lagi sudah beran-
jak menaiki tanjakan berbatu-batu di sisi sungai
itu. Langkahnya terlihat amat tergesa. Gadis ber-
kulit putih ini cuma mendengus, dengan wajah
cemberut. Hatinya amat mendongkol pada kawan
mencucinya itu. Diam-diam bibirnya mendesis
seperti memaki.
"Huh, dasar janda sudah gatel! Bilang saja
sudah tak sabar menemui Kangmas barunya...!"
Mencuci sendiri di sungai dengan situasi sepi
mencekam seperti itu memang tidak enak. Di
samping ada rasa was-was, juga tidak tenang pe-
rasaan rasanya. Namun apa mau dikata, dengan
hati mendongkol wanita muda ini teruskan peker-
jaannya. Akan tetapi kini sudah mulai terasa
adanya hawa aneh, yang membuat tengkuknya
meremang. Dan dia baru merasakan-nya, bebera-
pa saat setelah kawannya berangkat pulang. Eh,
aneh...! Tak seperti biasanya hawa begini dingin!
Tadi tak terasa apa-apa padaku! Hm, apakah cu-
ma perasaanku saja...? Gumam si wanita muda
dalam hati.
Dan makin bergegaslah dia menyelesaikan
pekerjaannya. Bahkan niatnya untuk mandi pun
telah diurungkan. Pakaian yang masih belum
bersih digilasnya itu, cepat-cepat diperasnya. Lalu
dilemparkan ke dalam bakul. Untuk selanjutnya
mencopot kain penutup tubuhnya. Diperasnya
pada bagian yang basahnya saja. lalu cepat dima-
sukkan ke bakul cucian. Selanjutnya lengannya
sudah bergerak untuk menyambar pakaian ke-
ringnya yang bersih, di atas batu.
Akan tetapi belum lagi lengannya menjamah,
tahu-tahu bersyiur angin keras.... Dan onggokan
pakaiannya telah lenyap.
"Hah!?" Tersentak wanita muda ini. Sepasang
matanya membeliak lebar. Tak ketahuan ke mana
"terbang"nya sang pakaian, karena tahu-tahu su-
dah lenyap begitu saja dari atas batu di hadapan-
nya. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba
terdengar suara tertawa mengikik yang tak keta-
huan di mana arahnya. Serasa berdiri semua
rambut di kepalanya, wanita ini menjerit ketaku-
tan. Dan tak ayal sudah melompat ke darat, lalu
lari jatuh bangun dengan keadaan tubuh telan-
jang bulat. Semakin gencarlah suara tertawa
mengikik itu, seperti terpingkal-pingkal. Namun
tak berapa lama satu bayangan sudah berkelebat
muncul, dan suara tertawa mengikik itu pun terhenti.
Terperangah wanita muda ini, karena tiba-
tiba di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh
telanjang bulat. Dan seonggok pakaian miliknya
telah berada di cekalan lengan gadis tanpa busa-
na itu.
"Hihihi... hihi... jangan pergi adik manis...!
Aku amat memerlukanmu...! Hihihi... ya, memer-
lukan darahmu!" Berkata Mahesani.
"Hah!? Toloong! Tidaaak...! Ja... jangaaan...!"
Berteriak wanita ini dengan wajah pucat ketaku-
tan. Dan dia sudah putar tubuh untuk melarikan
diri. Akan tetapi sekali Mahesani mengangkat
tangan, segelombang angin keras bersyiur mener-
pa tubuh wanita itu. Sekejap saja dia sudah ro-
boh dengan mengeluh.
Selanjutnya ketika Mahesani membungkuk-
kan tubuh... terdengarlah jeritan wanita muda
itu. Tubuhnya berkelojotan meregang nyawa. Ter-
nyata Mahesani telah menerkam lehernya dengan
giginya, menggigit leher sang korban. Darah me-
nyemburat memancur, dan dengan lahap Mahe-
sani telah menghisapnya. Tak berapa lama tubuh
wanita muda yang telanjang bulat itu sudah ter-
kulai lemah. Sepasang matanya membeliak. Dan
sesaat antaranya Mahesani sudah lepaskan ceng-
keramannya, lalu bangkit berdiri. Tampak wajah-
nya menyeringai menyeramkan. Karena wajah
cantik gadis itu penuh berlumuran darah pada
bagian mulutnya.
"Hihihi... darahmu manis, seperti orangnya...
hihihi... hihi..." Mahesani gerakkan lengannya
menyeka mulut. Sementara sepasang matanya
menatap menjalari sekujur tubuh polos si wanita
muda yang sudah tak bergeming lagi. Karena
nyawanya telah lepas meninggalkan tubuhnya.
Tak berapa lama, setelah selesai mengenakan
pakaian yang dirampasnya, Mahesani alias Tri
Agni segera berkelebat pergi tinggalkan tempat itu
dengan diiringi suara tertawa mengikik yang me-
nyeramkan.
***
Sebulan sudah sejak kejadian lenyapnya Ma-
hesani, puteri Ketua Perguruan Trisula Dewa. Le-
reng bukit tempat berlatih para anak buah Pergu-
ruan tersebut sudah tak dipakai lagi untuk berla-
tih. Rumah Perguruan Trisula Dewa tampak di-
landa kemuraman. Tiada lagi gelak tawa dan can-
da dari para anak buahnya. Sedangkan sang Ke-
tua Perguruan yang bergelar si Pendekar Trisula
Emas tampak jarang keluar dari kamarnya. Ber-
ganti-ganti diutus dari para anak buahnya untuk
mencari jejak si pemuda bernama RAKA RUMPIT
yang melarikan Mahesani. Akan tetapi tak mem-
bawa hasil.
Hari itu tampak rumah Perguruan Trisula
Dewa kedatangan dua orang tamu. Mereka adalah
seorang wanita berusia sekitar 50 tahun dan seo-
rang pemuda dewasa yang kira-kira berusia lebih
dari dua puluh tahun. Si wanita tua itu memakai
pakaian persilatan, bertubuh agak pendek, den-
gan rambut digelung di atas, memakai tusuk
konde emas, berbaju sutera warna jingga. Sedangkan laki-laki remaja itu memakai pakaian
warna abu-abu, dengan ikat kepala berwarna me-
rah. Di punggungnya terselip sebatang tombak
pendek bermata tiga. Yaitu di kiri kanan dua ma-
ta kapak, dengan bagian tengahnya mata tombak.
"Katakan pada Ketuamu, bahwa Pendekar
Lembah Bunga datang bertamu...!" Berkata si
wanita tua itu dengan suara gagah. Penjaga yang
menyambut kedatangannya itu mengangguk
hormat, lalu bergegas beranjak untuk memberi
laporan. Sementara belasan anak buah lainnya
hanya menatap dari kejauhan, sambil bertanya-
tanya siapakah tetamu dia orang
yang datang menyambangi padepokan mere-
ka? Tak berapa lama....
"Ah, selamat datang di tempatku, sobatku
Pendekar Lembah Bunga...!" Dan diiringi suara
kata-katanya, segera muncul sang Ketua Pergu-
ruan Trisula Dewa yang bernama Bayu Wijaya itu.
"Ahihi... mana anak gadismu, si Mahesani?
Tentunya sudah berubah jadi gadis dewasa yang
cantik rupawan!" Berkata si wanita tua Pendekar
Lembah Bunga. Tercenung sesaat, Bayu Wijaya.
Mendadak wajahnya menjadi muram. Akan tetapi
cepat-cepat dia menjawab dengan tersenyum,
bahkan perdengarkan tertawanya yang hambar.
"Hahaha.... Diajeng Rukmita...! Agaknya kau
sudah terlalu rindu, hingga sudah menanyakan-
nya! Ehm, apakah anak muda ini muridmu yang
pada belasan tahun yang lalu itu masih kecil dan
bandel?" Tanya Bayu Wijaya mengalihkan pembi-
caraan di luar Padepokan itu.
"Tentu saja! Siapa lagi kalau bukan si Ma-
hendra! Anakku ini tak pernah berguru pada sia-
pa-siapa selain ibunya sendiri...!" Menyahuti si
Pendekar Lembah bunga seraya berkata:
"Hayo, anakku segera beri hormat pada calon
mertuamu ini...!" Pendekar Lembah Bunga lan-
jutkan kata-katanya seraya menoleh pada sang
anak.
Tentu saja si pemuda bernama Mahendra itu
cepat-cepat menjura dengan membungkuk di ha-
dapan Bayu Wijaya seraya mencium tangan orang
tua itu. Akan tetapi cepat-cepat Bayu Wijaya me-
nepuk pundaknya.
"Sudahlah, anak mas...! Jangan terlalu ba-
nyak peradatan! Marilah kalian segera masuk!
Tempatku masih begini saja tanpa perobahan!"
Ujar Bayu Wijaya merendah. Sementara wajahnya
sebentar pucat sebentar merah. Hatinya berdeba-
ran, akan bicara bagaimanakah dia nanti di ha-
dapan calon besannya ini? Seperti telah direnca-
nakan, memang sejak masih sama-sama berusia
tujuh-delapan tahun, Mahesani dan Mahendra te-
lah ditunangkan. Akan tetapi dia memang tak
menyangka kalau kedatangan Rukmita alias si
Pendekar Lembah Bunga ini akan datang mene-
pati janji. Dan kedatangannya sudah pasti untuk
melamar anak gadisnya. Namun kedatangan sang
calon besan ini sudah terlambat karena Mahesani
telah lenyap entah ke mana.
Mau tak mau Bayu Wijaya memang harus
menceritakan apa yang telah terjadi.... Tentu saja
membuat si Pendekar Lembah Bunga jadi terperanjat. Bahkan seketika menjadi lemas sekujur
tubuhnya.
"Menurut yang kudengar, pemuda itu berna-
ma RAKA RUMPIT! Entah dari mana kedatangan-
nya! Justru waktu terjadinya penculikan itu aku
sedang tak ada di tempat! Latihan para murid
kami memang setiap sepekan sekali mengadakan
latihan di lereng bukit Karang Tunggal, tak sebe-
rapa jauh dari sini!" Ujar Bayu Wijaya dengan na-
da sedih. "Telah kuutus beberapa kelompok un-
tuk menyebar, mencari jejak Mahesani, akan te-
tapi sia-sia! Mereka pulang tanpa membawa hasil!
Pencarian jejak itu sudah sampai sebulan ini! Aku
memang sudah hampir putus asa Diajeng...!
***
TUJUH
Termenung si Pendekar Lembah Bunga, wajahnya menampilkan kekecewaan hatinya. Akan
tetapi jelas membuat kemarahan luar biasa pada
si pemuda bernama Raka Rumpit, yang telah
menculik calon menantunya. Sementara Mahendra cuma bisa termangu-mangu tanpa bisa berka-
ta apa-apa. Melihat pun wajah tunangannya sejak
sama-sama dewasa, dia belum pernah. Masa kecil
dalam usia sekitar tujuh-delapan tahun adalah
masa di mana belum bisa mengingat wajah orang,
walaupun mereka pernah saling jumpa.
Selama itu Mahendra hanya mengetahui sekitar
lembah, yang dinamakan Lembah Bunga. Di
mana dia digembleng oleh sang ibu yang merang-
kap sebagai gurunya. Setelah terdiam sejurus,
akhirnya Pendekar Lembah Bunga memohon
tinggal sementara di Padepokan Trisula Dewa, se-
kalian menyelidiki di mana adanya si pemuda
penculik bernama Raka Rumpit, dan mencari je-
jak Mahesani. Tentu saja Bayu Wijaya tak meno-
laknya. Bahkan dengan adanya Mahendra di pa-
depokan, dia dapat leluasa mencari anak gadis-
nya.
Demikianlah, hari itu juga Mahendra diperke-
nalkan pada seluruh dari anak buah Perguruan
Trisula Dewa. Bahkan beberapa hari di padepo-
kan itu, ternyata Mahendra amat disenangi dalam
pergaulan. Bahkan terjadi saling menguji ilmu.
Kedua calon besan itu cuma memandang sambil
tersenyum.
"Diajeng...! Tampaknya jurus-jurus ilmu Lem-
bah Bunga amat hebat! Kaukah yang telah men-
ciptakan jurus-jurus baru itu?"
"Hm, benar! Sebenarnya masih serumpun
dengan jurus-jurus dari ciptaan guru kita! Aku
hanya mengadakan perombakan, dan menambah
beberapa jurus baru hasil ciptaanku!" Sahut si
Pendekar Lembah Bunga. Bayu Wijaya tersenyum
seraya manggut-manggut. Sementara diam-diam
hatinya agak tergetar berdekatan dengan wanita
yang pernah menjadi saudara seperguruannya
itu. Sudah sejak lama Bayu Wijaya hidup mendu-
da, sejak istrinya minggat bersama laki-laki lain,
dan entah ke mana perginya. Meninggalkan Ma-
hesani sejak masih kanak-kanak. Rumah tang-
ganya memang tidak harmonis, dan mengalami
perpecahan, karena sang istri ternyata seorang
wanita yang tak mengenal puas.
Sedangkan si Pendekar Lembah Bunga adalah
juga seorang janda, yang ditinggal mati suaminya.
Dan tidak berhasrat menikah lagi. Sebagai dua
orang dari satu guru, mereka tetap bersahabat.
Dan masing-masing telah mengetahui akan ri-
wayat hidup rumah tangganya, yang sama-sama
berantakan. Entah, apakah di hati Rukmita alias
si Pendekar Lembah Bunga itu masih ada cinta?
Bayu Wijaya tak dapat menduganya. Namun nya-
tanya hati Bayu Wijaya memang sudah kena ter-
jerat asmara, di masa tua ini. Seakan ingin dia
mengembalikan masa remajanya yang sudah le-
wat puluhan tahun.
Sayang kemelut lenyapnya anak gadisnya
membuat Bayu Wijaya lebih banyak menekan pe-
rasaannya. Adapun si Pendekar Lembah Bunga
seperti tak mengetahui apa yang terkandung di
hati saudara seperguruannya itu.
"Ah, seandainya jurus-jurus Lembah Bunga
dipadukan dengan jurus dari Perguruan Trisula
Dewa, tentu akan merupakan kombinasi yang he-
bat!" Berkata perlahan Rukmita. "Jurus-jurus cip-
taanmu pun tak kalah hebatnya, kakang Bayu...!"
Lanjut ucapannya.
"Yah. kukira memang bisa jadi! Akan tetapi
aku merasa jurus-jurus ciptaanku teramat lemah!
Terbukti anakku Mahesani tak mampu menjatuhkan pemuda bernama RAKA RUMPIT itu da-
lam tiga jurus! Dan bahkan dapat diculik begitu
saja...!" Berkata Bayu Wijaya dengan wajah mu-
ram, seperti menyesali kebodohannya. Rukmita
berpaling menatap wajah Bayu Wijaya. Laki-laki
yang ditatapnya tundukkan kepala. Sementara ja-
ri-jari lengannya bergerak memilin jenggotnya
yang masih hitam berkilat.
"Kakang Bayu...!" Ucap wanita tua itu lirih.
Seraya kembali berpaling mengarahkan pandan-
gan ke pelataran Padepokan.
"Kukira kau akan sependapat, kalau kita
mencari Mahesani berdua! Urusan di Padepokan
Trisula Dewa kita serahkan saja pada murid ter-
tuamu! Bukankah ada Mahendra, yang bisa
membantu bekerja dan turut menjaga untuk se-
mentara!" Berkata Rukmita dengan kata-kata lirih
serius. Tercenung Bayu Wijaya, seolah tak per-
caya, karena justru dia memang amat mengha-
rapkan hal demikian. Akan tetapi Bayu Wijaya tak
menampakkan wajah girangnya. Bahkan terden-
gar menghela napas, seolah mengkhawatirkan se-
suatu.
"Akupun berpendapat demikian, diajeng...!
Namun apakah tak menjadi gunjingan orang, ka-
rena kita sama-sama duda dan janda...?"
"Hm, mengapa harus berpikir sejauh itu? Kita
adalah pernah menjadi saudara seperguruan! Dan
layak kalau kita pergi bersama untuk mencari
Mahesani, sekalian menyelidiki siapa adanya bo-
cah kurang ajar yang telah menculiknya...! Perse-
tan dengan segala macam gunjingan!" Ucap Rukmita dengan kata-kata tegas.
"Kalau begitu, baiklah...! Bilakah kita akan
berangkat?" Tanya Bayu Wijaya.
"Mengapa harus buang waktu? Lebih cepat
adalah lebih baik!"
"Sampai berapa waktu kita mencarinya...?"
"Heh! Ya, sampai ketemu...! Aiiih, kakang Bayu!
Apakah kau akan mandah saja anak gadismu di-
jadikan permainan orang? Walau entah apa yang
terjadi dengan anakmu itu, aku tetap tak mero-
bah keputusan untuk menjodohkannya dengan
Mahendra!" Ucapnya tegas. Dan kata-kata si Pen-
dekar Lembah Bunga itu memang tidak main-
main, karena terlihat jelas di sudut matanya
menggenang setitik air bening. Dan sepasang ma-
tanya sudah berkaca-kaca... Akhirnya wanita itu
pun tundukkan wajahnya seraya menahan isak
yang tersendak di dadanya.
"Aku memang seorang ayah yang tak becus
menjaga anak, diajeng! Ah, maafkanlah aku!
Gembira sekali kalau kita bisa jalan bersama-
sama! Jadi teringat lagi pada masa kita remaja!
Sayangnya aku tak berjodoh denganmu!" Ujar
Bayu Wijaya sambil tersenyum. Namun tak urung
air matanya pun membersit keluar.
***
Pada pertengahan musim kemarau seorang
penunggang kuda tampak mendatangi sebuah
perkampungan di daerah utara itu. Laki-laki itu
berpakaian sederhana. Ikat kepalanya yang terbuat dari bahan kasar berwarna kuning, tampak
berkibaran tertiup angin. Kudanya berbulu coklat
dan tampak kekar. Tiba di mulut desa, laki-laki
ini hentikan lari kudanya dan berjalan perlahan.
Sementara sepasang matanya merayapi keadaan
sekitar daerah itu.
Ternyata laki-laki ini tak lain dari Satryo, be-
kas Senapati Kerajaan Matsyapati yang sudah
punah. Satryo memang telah mengembara menu-
rutkan sepembawa kakinya. Nama desa yang dis-
inggahinya itu pun dia tak tahu. Empat bulan su-
dah waktu berlalu, dengan kuda tunggangannya
yang tak pernah berpisah darinya. Tiba-tiba laki-
laki ini hentikan langkah kudanya, karena telin-
ganya segera menangkap suara jeritan, dan suara
orang berteriak. Bahkan tak lama terdengar se-
perti suara orang bertarung, dengan diiringi ben-
takan-bentakan keras. Apakah yang terjadi? Sen-
tak hatinya. Dan tanpa ayal lagi dia sudah keprak
kudanya untuk mencongklang cepat ke arah ten-
gah desa.
Sesosok mayat wanita membugil tampak ter-
juntai di pintu rumah panggung, dan seorang
pemuda bertelanjang dada, tampak tengah meng-
hadapi serangan dua orang laki-laki yang mener-
jang hebat dengan golok-golok telanjang.
"Bocah keparat! Kau berani main gila dengan
anak menantuku? Kubunuh kau bangsat!" Orang
tua itu menerjang kalap. Goloknya menebas ke
kiri-kanan dan membacok ganas ke tubuh si pe-
muda. Akan tetapi dengan tertawa-tawa pemuda
itu telah melompat-lompat menghindar. Gerakan
mengelakkannya ternyata santai saja, namun se-
rangan-serangan ganas laki-laki tua itu ternyata
luput dengan mudah. Sementara laki-laki yang
hampir seumur dengannya itu melompat mener-
jang dengan bentakan keras, dan berteriak-teriak
kalap. Agaknya dialah suami wanita bugil yang
terjuntai di pintu rumah panggung.
"Aku akan adu jiwa denganmu, setan pemer-
kosa wanita!" Dan dengan menggerung keras dia
sudah lakukan terjangan hebat dengan golok pan-
jangnya.
"Ahahaha... aku tidak memperkosa! Boleh
kau tanyakan pada istrimu! Kami melakukannya
mau sama mau!" Ujar pemuda itu dengan menge-
lak dari sambaran ganas golok panjang si laki-laki
suami wanita itu. Dan...
BLUGH...! Dia telah kirimkan satu hantaman
telak di dada orang. Tak ampun laki-laki itu ter-
lempar keras hingga menabrak ke anak tangga
bambu rumah panggung itu.
BRRAKK...! Tangga bambu itu patah berde-
rak. Dan laki-laki itu meringis menyeringai kesa-
kitan. Dia masih berusaha bangkit, namun segera
terbatuk-batuk, dan darah kental berwarna hitam
menggelogok keluar dari mulutnya.
"Hahaha... sebaiknya kau menyusul istrimu
ke Alam Baka! Bukankah kematiannya adalah di
tanganmu sendiri? Siapa suruh kau membunuh-
nya...?" Berkata pemuda itu dengan tertawa me-
nyeringai.
"Iblis keparat...! Kau... kau..." Membeliak se-
pasang mata laki-laki itu. Akan tetapi sebelum dia
dapat bangkit berdiri, tubuhnya telah terhuyung
limbung. Dan kata-katanya terputus, karena se-
ketika nyawanya sudah melayang. Ambruklah tu-
buh laki-laki itu dengan tidak bergeming lagi. Pu-
kulan keras pada dada laki-laki itu ternyata telah
mengantarkannya pada jalan kematian. Dan dia
memang benar-benar tewas menyusul istrinya,
yang telah dibunuhnya.
Laki-laki itu mendapat laporan dari salah seo-
rang kawannya tentang adanya seorang pemuda
yang bertamu ke rumahnya di saat dia tidak be-
rada di rumah. Dan sang istri ternyata menerima
tetamu nya itu untuk menghormati. Tak dinyana
telah terjadi satu perbuatan mesum di rumahnya.
Hal mana diketahui oleh sang kawan yang telah
mengintip perbuatan mereka. Tentu saja dengan
kemarahan meluap dia berlari pulang. Di jalan
berjumpa dengan ayahnya. Secara singkat dia ce-
ritakan pada sang ayah. Dan melompat geram ke
arah rumahnya. Golok panjang yang selalu diba-
wanya itu dipakai menoreh pintu jendela yang ter-
tutup. Dan segera terpampang jelas di depan ma-
tanya sang istri yang tengah bercumbu dengan
pemuda asing itu. Melompatlah dia ke dalam.
Sementara si pemuda asing sudah merapihkan
sebagian pakaiannya, dan melompat keluar. Laki-
laki ini muncul di kamar istrinya. Dilihatnya sang
istri bukannya ketakutan melihat suaminya me-
mergoki perbuatannya, bahkan tersenyum-
senyum menatap padanya dengan rambut awut-
awutan, dan tubuh telanjang bulat.
Betapa geramnya dapat dibayangkan hati
sang suami. Dia berpikir sang istri sudah keterla-
luan. Dan sengaja memanasi hatinya. Tak ampun
lagi dia sudah seret tubuh istrinya, keluar pintu.
Dan golok panjangnya "berbicara" menghabisi
nyawa wanita itu.
Bocah iblis...! Kau telah bunuh anakku...?
Kucincang tubuhmu manusia edan...!" Dan si
orang tua itu sudah menerjang beringas dengan
goloknya. Tubuh laki-laki tua ini menggeletar he-
bat. Betapa dengan kejam si pemuda asing itu te-
lah membunuh anak laki-lakinya.
WUT! WUT! WHUT...! Kembali serangan-
serangan ganas itu dielakkan dengan mudah, se-
raya berkata dengan wajah cengar-cengir. "Ah,
sudahlah pak tua! Kau urusi saja mayat anak dan
menantumu aku malas membunuhmu...!" Akan
tetapi mana mau si laki-laki tua itu diamkan ma-
nusia pembunuh itu di depan matanya? Kembali
dia menerjang bringas. Goloknya membabat dan
menabas kepala pemuda konyol di hadapannya.
"Heh, kau rupanya memilih mampus! Baiklah!
Jangan sesalkan aku...!" Tiba-tiba tubuh pemuda
itu berkelebat melompat, lengannya bergerak
menghantam kepala laki-laki tua itu...
WHHUUKK... DHESS...! Terkejut pemuda itu
ketika merasai angin bersyiur ke arah punggung-
nya. Dan belum lagi dia sempat menghantamkan
lengannya, tubuhnya telah terlempar beberapa
tombak. Namun dengan lincah si pemuda ini ber-
jumpalitan di udara, dan jatuhkan kakinya men-
ginjak tanah. Hatinya memikir. Siapa yang telah
menyerangnya?
Untunglah dia sudah lindungi tubuhnya den-
gan hawa sakti yang dengan cepat disalurkan ke
punggung. Hingga hantaman telak itu tak mem-
buatnya cidera. Saat itu juga telah berkelebat se-
buah bayangan tubuh manusia. Dan seorang la-
ki-laki gagah berpakaian sederhana telah berada
di situ. Ternyata Satryo yang barusan menggagal-
kan serangan maut pemuda konyol itu.
"Manusia dari manakah yang telah tega ber-
buat keji, dan bertindak semaunya mengumbar
kelakuan jahat...!" Ujar Satryo dengan kedua len-
gan terentang. Sepasang matanya menatap pada
pemuda yang juga telah menatapnya. Sementara
diam-diam Satryo terkejut juga karena hantaman
angin pukulannya tadi ternyata tak membuat pe-
muda itu cidera. Atau setidak-tidaknya luka da-
lam. Pemuda bertelanjang dada itu bahkan masih
bisa berdiri dengan keadaan segar bugar.
"Bapak tua! Menyingkirlah kau! Manusia keji
ini bukan lawanmu...!" Berkata Satryo. Sementara
di belakangnya terdengar suara ringkikan ku-
danya. Tak ayal si laki-laki tua itu sudah me-
nyingkir, dan berlari menubruk mayat anak laki-
lakinya dengan menangis bagai anak kecil. Se-
dangkan keadaan di lingkungan desa itu, seketika
menjadi ramai dengan berdatangannya orang-
orang desa melihat kejadian.
"Aha...! Ada jagoan rupanya yang datang ber-
kuda! Hahaha... satu kehormatan buatku untuk
menjajal kepandaian!" Berkata pemuda itu den-
gan tertawa jumawa. Dan melangkah lebar mendekati Satryo.
"Heh! Siapakah kau, sobat! Apa kesalahan ke-
luarga rumah ini, hingga kau turunkan tangan
keji!" Ujar Satryo dengan kening berkerut mena-
tap orang.
"Hm, aku tak pernah menyembunyikan na-
maku. Namaku RAKA RUMPIT! Dan mengenal
urusanku, kau tak perlu ikut campur! Kecuali
memang mau menjajal ilmu! Bukankah telah kau
lihat sendiri kalau ternyata pukulanmu barusan
tak berarti apa-apa padaku! Ahahaha... Baiknya
kau pulang dulu untuk berguru pada kakekmu!
Barulah boleh berlagak jadi pahlawan!" Ucap pe-
muda yang tak lain dari Raka Rumpit itu adanya.
"Manusia sombong!" Mendengus Satryo. Se-
lama hidupnya baru dia menjumpai seorang pe-
muda yang keterlaluan dan bertingkah konyol be-
gitu. Akan tetapi Satryo dapat menahan kesaba-
rannya. Sementara diam-diam Raka Rumpit su-
dah membaca mantera dengan bibir berkemak-
kemik. Sepasang matanya menatap tajam pada
Satryo. Terkejut bekas Senapati itu, karena mera-
sai tatapan mata Raka Rumpit telah bersitkan si-
nar tajam yang mempengaruhi bathinnya. Selang
sesaat, tampak dalam pandangannya tubuh Raka
Rumpit berubah jadi segumpal asap hitam. Dan
gumpalan asap itu membentuk sesosok tubuh hi-
tam berbulu dengan wajah menyeramkan.
"Hah!? Edan...! Manusia apakah si Raka
Rumpit ini?" Desis Satryo tersentak kaget. Ter-
paksa dia gunakan kekuatan bathinnya untuk
menindih kekuatan lawan yang mempengaruhi
pandangannya. Akan tetapi sia-sia. Makhluk hitam berbulu itu semakin dekat melangkah. Satryo
mundur dua tindak.
***
DELAPAN
AKAN TETAPI PADA SAAT ITU... terdengar satu bentakan keras, dengan diiringi berkelebatnya
dua sosok tubuh ke hadapan mereka.
"Bocah keparat...! Akhirnya berhasil juga kami menjumpaimu!" Raka Rumpit hentikan langkahnya, serata tatap wajah kedua orang penda-
tang itu. Ternyata yang muncul tak lain dari Bayu
Wijaya dan si Pendekar Lembah Bunga.
"Walah... siapakah kalian ini, datang-datang
memaki orang?" Tanya Raka Rumpit. Pemuda ini
tak menampakkan perubahan tubuhnya dalam
pandangan kedua orang tokoh persilatan itu. Sementara Satryo tersentak lagi, karena segera melihat tubuh makhluk hitam berbulu dengan wajah
menyeramkan itu berangsur-angsur melenyap,
dan kembali berubah dalam bentuk aslinya.
"Heh? Ilmu Hitam...!" Desisnya tertahan.
"Setan tengik! Hm, bocah...! Kau sembunyi-
kan di mana anak gadisku yang bernama Mahe-
sani! Kau... kau telah menculiknya ketika dia ten-
gah melatih para anak buahku hampir empat bu-
lan yang lalu di lereng bukit Karang Tunggal. Bu-
kankah kau bernama RAKA RUMPIT...?" Bentuk
Bayu Wijaya si Pendekar Trisula Emas. Tercenung
sejenak Raka Rumpit. Namun segera perdengar-
kan tertawanya.
"Oh, hahaha... haha... kalau begitu kaukah
yang bergelar si Pendekar Trisula Emas, ketua
Perguruan Trisula Dewa itu...?"
"Benar! Perbuatan terkutukmu ini benar-
benar menghinaku, bocah! Kau ke manakan anak
gadisku itu! Dan siapakah gurumu?" Bentak lagi
Bayu Wijaya. Baru saja Raka Rumpit mau men-
jawab, tiba-tiba telah menelusup ke lubang telin-
ganya satu suara halus.
"Raka Rumpit...! Kau pulanglah...! Ada hal
penting yang akan aku katakan padamu! Aku te-
lah kedatangan tetamu istimewa...! Kedatangan-
mu amat kuharapkan secepatnya...!" Terkejut
pemuda ini karena itulah suara sang guru, si Ne-
nek Bongkok Muka Tengkorak.
"Hm, maafkan aku para Pendekar Tua! Aku
tak bisa menjawab sekarang! Aku harus kembali
secepatnya!!" Seraya berkata tubuh Raka Rumpit
sudah berkelebat melesat. Dan melompat pergi
dari situ.
"Kurang ajar...! Hei? Kau tak dapat melarikan
diri lagi manusia tengik!" Membentak Rukmina si
Pendekar Lembah Bunga. Tubuhnya mencelat
menyusul bayangan tubuh Raka Rumpit. Tiba-
tiba lengannya bergerak mengibas.
WHUSSSSS!
Ser! Ser! Ser...! Enam kuntum bunga kering
meluncur deras ke arah belakang punggung Raka
Rumpit, yang telah tersusul tiga tombak di bela-
kangnya. Hebat senjata bunga kering yang dilontarkan wanita Pendekar Lembah Bunga ini. Kare-
na mengarah keenam bagian jalan daerah lawan.
Bila salah satu saja yang mengena, tentu akan
membuat lawan tertotok roboh.
"Edan...! Bocah itu punya ilmu siluman! Pan-
tas kalau anakmu si Mahesani bisa dikalah-
kan...!" Desis Rukmita si Pendekar Lembah Bun-
ga.
"Keparrrat...! Entah siapa guru si bocah edan
itu...!" Memaki Bayu Wijaya. Di lengannya telah
tergenggam senjata Trisula Emas-nya. Akan tetapi
belum lagi dipergunakan, pemuda penculik anak-
nya itu sudah merat menjadi segumpal asap. Sa-
tryo mendehem seraya mendekati kedua orang
itu. Lalu menjura hormat ketika keduanya meno-
leh.
"Paman Bayu Wijaya...! Apakah anda masih
mengenalku?" Bertanya Satryo. Terkejut laki-laki
tua ini. Seraya mengelus jenggotnya, dia menatap
pada laki-laki dewasa di hadapannya dengan kre-
nyitkan keningnya. Diperhatikan demikian, Sa-
tryo tersenyum. Lalu segera perkenalkan diri.
"Ah, agaknya anda pangling, sobat Bayu Wi-
jaya! Aku Satryo!"
"Hah!? Anda... anda Senapati Satryo...? Oh,
maafkan mata tuaku ini, Senapati!" Ucap Bayu
Wijaya dengan tersipu. Dan segera beranjak ulur-
kan lengannya menjabat tangan laki-laki itu.
"Ah, jangan panggil aku Senapati lagi, paman
Bayu Wijaya. Kerajaan Matsyapati sudah punah!
Dan aku telah berhenti dari jabatanku!" Ucap Sa-
tryo pendek. Laki-laki tua yang masih bertubuh
kekar itu tercenung sejenak, lalu manggut-
manggut mengerti. Agaknya berita diambil alihnya
kekuasaan Kerajaan Matsyapati yang sudah di-
tinggal pergi oleh Rajanya itu telah sampai juga ke
telinganya. Selang sesaat, tiba-tiba Bayu Wijaya
berkata:
"Oh, adik Senapati... eh, Satryo...!" Berkata
Bayu Wijaya seraya menatap berganti-ganti pada
Rukmita dan Satryo.
"Aku bernama Rukmita, yang digelari si Pen-
dekar Lembah Bunga! Kami masih saudara seper-
guruan...!" Ucap si Pendekar Lembah Bunga
mendahului bicara, karena tampaknya Bayu Wi-
jaya agak tergagap untuk memperkenalkan di-
rinya pada laki-laki bekas Senapati itu. Laki-laki
tua ini cuma manggut-manggut dengan terse-
nyum. Dan cepat-cepat Satryo menjura lagi.
Secara singkat Bayu Wijaya ceritakan tentang
musibah yang telah menimpanya pada Satryo.
Dan mereka berdua memang tengah mencari jejak
pemuda bernama Raka Rumpit itu, di samping
mencari ke mana lenyapnya Mahesani, anak ga-
disnya.
"Kakang Bayu, aku akan coba cari jejak pe-
muda edan itu, kukira tak berapa jauh di sekitar
sini...!" Seraya berkata Rukmita telah berkelabat
melompat tanpa menunggu lagi jawaban si Pen-
dekar Trisula Emas. Melengak laki-laki tua ini,
seraya berteriak:
"Diajeng Rukmita! Tungguuu...!" Dan dia su-
dah palingkan lagi wajahnya menatap Satryo.
"Maaf, adik Satryo, aku... aku harus segera membekuk manusia jahanam itu sebelum dia berlari
jauh!" Satryo cuma terpaku dan cepat mengang-
guk. Dan tak ayal Bayu Wijaya sudah berkelebat
menyusul si Pendekar lembah Bunga. Satryo cu-
ma menatap dengan tercenung. Dan terdengar
suara helaan napasnya.
"Pemuda bernama Raka Rumpit itu memiliki
ilmu siluman...! Ah, Rimba Hijau ternyata di pe-
nuhi orang-orang muda yang berilmu tinggi!
Sayang dipergunakan untuk menyebar kejaha-
tan...!" Gumam laki-laki bekas Senapati ini. Dan
dia pun segera berkelebat untuk menjemput ku-
danya. Tak lama sudah mencongklang cepat me-
ninggalkan desa yang dilanda musibah itu...
Sementara itu sesosok tubuh berkelebat cepat
menuju ke arah bukit. Dan meniti tebing dekat
muara sungai di bawahnya. Tak lama sesudah
memasuki sebuah lubang goa. Terdengar suara
tertawa mengekeh, dan di dalam ruangan goa itu
telah berdiri sesosok tubuh bongkok, yang tak
lain dari si nenek bongkok bermuka tengkorak.
"Hihihi... si Rumpit bocah edan itu benar-
benar keterlaluan! Membuat aku cemburu seten-
gah mati! Rasanya menunggu sampai tamatnya
pelajaran ilmu yang kuberikan, aku sudah tak
sabar lagi...!" Menggumam si nenek bongkok se-
raya duduk di atas batu di tengah goa. Tak lama
dia sudah beranjak bangkit dan melangkah me-
nuju ke ruangan kamar tempat samadinya. Akan
tetapi belum lagi lebih dari lima langkah, sudah
terdengar di kejauhan suara tertawa mengakak,
dan saat berikutnya tahu-tahu si pemuda murid
bekuk manusia jahanam itu sebelum dia berlari
jauh!" Satryo cuma terpaku dan cepat mengang-
guk. Dan tak ayal Bayu Wijaya sudah berkelebat
menyusul si Pendekar lembah Bunga. Satryo cu-
ma menatap dengan tercenung. Dan terdengar
suara helaan napasnya.
"Pemuda bernama Raka Rumpit itu memiliki
ilmu siluman...! Ah, Rimba Hijau ternyata di pe-
nuhi orang-orang muda yang berilmu tinggi!
Sayang dipergunakan untuk menyebar kejaha-
tan...!" Gumam laki-laki bekas Senapati ini. Dan
dia pun segera berkelebat untuk menjemput ku-
danya. Tak lama sudah mencongklang cepat me-
ninggalkan desa yang dilanda musibah itu...
Sementara itu sesosok tubuh berkelebat cepat
menuju ke arah bukit. Dan meniti tebing dekat
muara sungai di bawahnya. Tak lama sesudah
memasuki sebuah lubang goa. Terdengar suara
tertawa mengekeh, dan di dalam ruangan goa itu
telah berdiri sesosok tubuh bongkok, yang tak
lain dari si nenek bongkok bermuka tengkorak.
"Hihihi... si Rumpit bocah edan itu benar-
benar keterlaluan! Membuat aku cemburu seten-
gah mati! Rasanya menunggu sampai tamatnya
pelajaran ilmu yang kuberikan, aku sudah tak
sabar lagi...!" Menggumam si nenek bongkok se-
raya duduk di atas batu di tengah goa. Tak lama
dia sudah beranjak bangkit dan melangkah me-
nuju ke ruangan kamar tempat samadinya. Akan
tetapi belum lagi lebih dari lima langkah, sudah
terdengar di kejauhan suara tertawa mengakak,
dan saat berikutnya tahu-tahu si pemuda murid
nya itu telah muncul di mulut goa. Terhenyak si
nenek bongkok.
"He!? Begitu cepat kau datang...?" Berkata si
nenek. Dia agak heran karena tak mendengar su-
ara pemuda muridnya itu dari kejauhan. Bi-
asanya telinga si nenek bongkok sudah dapat
menangkap dari kejauhan, kalau anak muda mu-
ridnya itu akan pulang. Bahkan walau masih be-
rada di kaki bukit. Akan tetapi kedatangannya ki-
ni adalah memang di luar dugaannya. Dia tadi te-
lah sengaja berdusta dengan mengatakan ada te-
tamu istimewa di goa tempat tinggalnya.
"Hahaha... bukankah aku telah mempelajari
ilmu ASAP SETAN! Mana kau mampu mengetahui
kedatanganku lagi, nenek manis..!" Ucap Raka
Rumpit dengan tertawa, dan memasuki goa den-
gan langkah lebar.
"Bocah gendeng..." Memaki si nenek. Akan te-
tapi seperti baru tersadar dia berkata. "He!? Apa
katamu tadi? Kau telah berhasil menguasai ilmu
ASAP SETAN...?"
Pemuda ini mengangguk sambil nyengir ter-
tawa, dan lengannya menggaruk-garuk dadanya
yang telanjang berkeringat. Rambutnya yang se-
makin gondrong tanpa ikat kepala itu dikibas-
kibaskannya seperti mengusir hawa panas dalam
goa. Melengak si nenek bongkok. Sepasang ma-
tanya membeliak. Tiba-tiba saja dia sudah angkat
tongkatnya menunjuk,
"Kau... kau... Jadi kau sudah berhasil mena-
matkan pelajaranmu...? Bocah gendeng...! Pantas
aku tak mendengar suara kedatanganmu! Dan...
sejak kapan kau telah menguasai ilmu ASAP SE-
TAN itu?" Tiba-tiba si nenek bongkok ajukan per-
tanyaan.
"Baru dua-tiga hari belakangan ini, guru! Aku
memang sengaja tak memberitahukan padamu!"
Jawab Raka Rumpit dengan melompat mendekati
si nenek.
"Ha...?! Aiii... dasar bocah edan! Aku sudah
menyangka kau tak akan mampu menguasai se-
cara cepat karena kulihat otakmu bebal! Dugaan-
ku dalam sepekan lagi baru kau bisa mengua-
sai..." Ujar wanita muka tengkorak ini tertegun.
Akan tetapi tiba-tiba sang guru sudah keluarkan
bentakan.
"Bocah edan! Coba kau tunjukkan padaku...!"
Agaknya si nenek bongkok merasa kurang yakin.
"Hm, baiklah, nenek manis.!" Ucap Raka
Rumpit. Dan segera mulutnya berkemak-kemik
membaca mantera. Seluruh kekuatan bathinnya
sekejap sudah tersalur untuk membentuk daya
khayal yang berada di otaknya. Tak berapa lama
tampak tubuh pemuda itu berubah jadi segumpal
asap hitam. Namun sekejap gumpalan asap itu te-
lah membentuk sesosok tubuh yang merangkak
di tanah itu. Dan...
"GRRRRRRAUUUUMMMHHH...!"
Sekejap tubuh Raka Rumpit telah berubah
jadi seekor harimau belang yang luar biasa be-
sarnya. Binatang ini membuka mulutnya menam-
pakkan gigi-gigi dan taringnya yang runcing ta-
jam. Terperanjat si nenek bongkok dengan mata
terbelalak. Akan tetapi tiba-tiba telah mengkikik
tertawa.
"Hihihi... hihi... hebat! hebat...! bagus sekali!
Kau benar-benar telah menguasainya dengan
baik, bocah edan! Ooooh, mengapa kau baru
mengaku sekarang?"
"Grrrrh...! Hahaha... aku memang sengaja
mau membuat kejutan, guru! Berkata si harimau
jejadian itu dengan mendengus-dengus serta
mendekam mengejap-ngejapkan matanya. Nenek
bongkok muka tengkorak julurkan tongkat hi-
tamnya mengetuk tubuh sang macan.
"Sudahlah! Pergilah kau mandi! Bukankah
kau mau kupertemukan dengan seorang tamuku
yang istimewa?" Berkata si nenek.
"He, ya...! Mana dia tetamunya?" Bertanya
Raka Rumpit, yang sekejap telah berubah kembali
menjadi manusia asalnya.
"Sudah kukatakan! Pergilah mandi, bersihkan
tubuhmu! Bukankah kau baru mengotori tubuh-
mu dengan keringat wanita? Aku tak suka tu-
buhmu bau wanita...!"
***
SEMBILAN
SEMENTARA Raka Rumpit pergi mandi, baiknya kita menengok dulu kelain tempat. Udara cerah hari itu... seorang gadis berbaju ungu tampak
berjalan santai memasuki sebuah Padepokan,
atau rumah perguruan yang tampak agak sunyi
itu. Sementara di sepanjang jalan yang dilaluinya
beberapa pasang mata telah menatapnya dengan
mata tak berkedip. Mereka adalah beberapa orang
anak buah perguruan Trisula Dewa. Akan tetapi
mereka cuma menatap dengan aneh, karena me-
lihat perobahan pada gadis muda itu yang tak
mengenalnya. Bahkan telah pula bertanya di ma-
na adanya sebuah Perguruan Silat bernama Tri-
sula Dewa.
Tentu saja dengan tergagap mereka menun-
jukkan Perguruan Trisula Dewa yang tak sebera-
pa jauh dari situ. Bahkan nama Ketuanya pun di-
tanyakan. Adalah aneh, kalau seorang gadis yang
menjadi puteri dari Ketua Perguruan Trisula De-
wa menanyakan rumah perguruan tempat ting-
galnya, dan menanyakan ayahnya sendiri, seperti
orang yang belum mengenal sama sekali.
Dengan langkah lebar gadis itu melewati pen-
jaga pintu padepokan yang tak sempat menegur,
karena mulutnya sudah ternganga dengan tubuh
kaku. Karena entah apa salahnya, ketika tahu-
tahu laki-laki penjaga yang sudah siap menyam-
butnya dengan girang itu mendadak ditotok pada
bagian lehernya. Sekejap tubuhnya jadi berdiri
kaku dengan mulut ternganga dan sepasang mata
membeliak. Tampak dari mata, mulut dan hi-
dungnya mengeluarkan tetesan darah. Ternyata
belum lagi sempat berteriak, nyawanya sudah me-
layang.
Melihat munculnya seorang gadis di depan
pintu ruangan pendopo padepokan itu, semua
yang berada di dalam terkejut Beberapa orang
anak buah Bayu Wijaya sudah berteriak seraya
melompat berdiri.
"Ah, Den Ayu Mahesani...! anda... anda sudah
datang...?". Serentak berlompatanlah mereka
dengan wajah girang disertai sorak-sorai kawan-
kawannya. Akan tetapi bersamaan dengan itu
terdengar satu bentakan keras disusul dengan
berkelebatannya tiga sosok tubuh berkepala gun-
dul.
"Wanita iblis! Kiranya kau anaknya si Bayu
Wijaya...? Heh jangan harap kau dapat melo-
loskan diri...! Hadapi kami si Tiga Paderi Kuil Na-
ga...!" Terperangah semua anak buah Bayu Wi-
jaya. Serentak mereka telah menghambur mengu-
rung tiga paderi itu.
"Hei, tiga orang botak! Apakah kesalahan pu-
teri Ketua kami? Kalian melabrak seenaknya me-
masuki rumah perguruan tanpa permisi lagi!"
Bentak seorang murid dari tingkat utama Pergu-
ruan Trisula Dewa ini.
Tiga paderi ini rata-rata masih muda. Berpa-
kaian jubah warna kuning. Pada punggungnya
masing-masing terselip sebuah tongkat kayu jati
yang lebar pipih.
"Heh, kalian serahkan gadis siluman ini un-
tuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di
hadapan ketua kami! Dia telah main gila dengan
lima orang saudara seperguruanku. Dan membu-
nuhnya dengan melemparkan mayat-mayat sau-
dara seperguruan kami di belakang kuil. Perbua-
tan keji itu harus kami balas dengan setimpal,
yaitu dengan menghukumnya! Mengenal urusan
hukuman itu tergantung ketua kami! Akan tetapi
kami memang telah diperintahkan untuk mem-
bawanya hidup atau mati!" Berkata salah seorang
yang lebih tua dari ketiga paderi muda itu.
Terperangah semua anak buah Bayu Wijaya.
Mereka seperti tak percaya mendengar keterangan
si paderi muda. Karena tak mungkin hal itu dila-
kukan oleh anak gadis puteri Ketua mereka.
Sementara Mahendra yang berada di antara
murid-murid perguruan itu jadi terpaku tak ber-
geming. Baru saja dia melihat tampang sang ca-
lon istrinya itu, ternyata sudah mendengar berita
demikian. Tentu saja membuat wajahnya menjadi
merah tanpa bisa bicara apa-apa.
"Hihihi... paderi-paderi tengik macam kau ini
mengapa memfitnah orang seenaknya? Aku be-
lum pernah mengunjungi Kuil Naga! Letak tem-
patnya pun aku tak mengetahui! Kau telah bikin
malu aku di hadapan anak-anak buah ayahku...!"
Saat itu beberapa orang anak buah Perguruan
yang tadi berada di luar telah masuk ke pelataran
dengan menggotong mayat penjaga pintu.
"Hah, apa yang terjadi?" Melompat seorang
kawannya yang turut mengurung ketiga paderi
itu.
"Kimung telah tewas! Entah siapa yang mem-
bunuhnya...!" Menyahut kawan yang memondong
mayat si penjaga pintu Padepokan.
"Huh! Siapa lagi yang telah membunuh, kalau
bukan tiga kunyuk gundul ini?" Tiba-tiba Mahe-
sani berkata dengan suara dingin.
"Hayo, kalian bunuhlah pengacau-pengacau
ini! Mengapa didengar ocehannya yang mengaco
itu? Masakan aku dituduh seenaknya saja!". Sua-
ra Mahesani yang bernada aneh, dan agak asing
itu memang membuat murid-murid perguruan itu
agak memikir sejenak. Akan tetapi perintah itu
seperti punya pengaruh, karena memang mereka
amat mematuhi setiap perintah putri ketuanya
ini. Serentak beberapa orang sudah menghunus
senjata. Dan tak ayal lagi beberapa orang sudah
menerjang dengan bentakan-bentakan keras.
Trang! Trang! Trang!
Terdengar suara beradunya senjata-senjata.
Karena ketiga paderi muda itu masing-masing te-
lah mencabut tongkat kayu jatinya. Ternyata
tongkat mereka adalah berisikan sebatang pe-
dang, yang dari luar hanya mirip tongkat biasa.
Segera saja terjadi pertarungan seru. Tiga paderi
ini mau tak mau memang harus melayani seran-
gan gencar mereka, kalau tak ingin nyawa mereka
melayang.
Adapun Mahesani dengan senyum di bibir se-
gera melompat ke dalam. Mahendra berkelebat
menyusul ......
"No.. nona Mahesani...!" Berteriak Mahendra
memanggil. Dan sang gadis segera menoleh se-
raya hentikan langkahnya.
"Siapakah kau...?" Bertanya Mahesani, yang
sebenarnya adalah Tri Agni. Yaitu si manusia se-
tengah siluman yang menitis pada badan kasar
Mahesani yang telah mati dicekik Raka Rumpit,
akibat pengaruh kekuatan ghaib gurunya.
"Aku... aku Mahendra! Masih ingatkah kau?
Kita pernah bertemu semasa masih kanak-kanak!
Ibu ku bergelar si Pendekar Lembah Bunga! Apa-
kah ayahmu tak pernah bercerita tentang aku?"
Tutur Mahendra seraya menatap wajah orang Ga-
dis baju hijau bernama Mahesani itu memang ga-
dis yang cantik. Bertubuh mulus, berkulit putih
dengan perawakan tubuh semampai. Rambutnya
hitam bergelombang. Mahesani menggeleng se-
raya tatap wajah pemuda di hadapannya. Tentu
saja membuat Mahendra jadi melengak, karena
sedikit pun gadis itu tak ingat akan dirinya.
"Kemanakah ayahku?" Bertanya Mahesani
dengan suara kaku. Segera Mahendra bercerita
singkat tentang ibunya, dan ayah gadis itu yang
pergi mencari jejak penculik serta mencari tahu di
mana adanya sang gadis.
"Sudah hampir empat bulan ini beliau tak
kembali, juga ibuku!" Eh, kita harus membantu
mengusir tiga paderi itu! Aku khawatir akan ba-
nyak korban berjatuhan!" Tiba-tiba Mahendra
berkata, seraya berpaling ke arah pintu ruangan,
didengarnya suara-suara jeritan terdengar dari
kalangan pertarungan. Akan tetapi sekali lengan
Mahesani bergerak, lengan Mahesa sudah dice-
kalnya.
"Aku amat rindu padamu... ngng... Mahen-
dra!" Tiba-tiba Mahesani ucapkan kata-kata den-
gan suara lirih mendesis. Lengan Mahesani berge-
rak mengibas. Dan tahu-tahun pintu ruangan di
mana mereka berada menutup terhempas terkena
sambaran angin yang bersyiur dari kibasan len-
gannya. Dan.... ketika jari-jemari lentik Mahesani
bergerak lincah, tahu-tahu baju bagian atas dara
itu sudah tersibak menyembulkan sepasang buah
dadanya yang putih ranum membuntat padat,
dengan kedua buah putiknya yang memerah jam-
bu kecoklatan.
AHH...? Tersentak Mahendra dengan sepa-
sang mata membeliak. Tubuhnya tergetar hebat.
Dan napasnya sekonyong-konyong jadi memburu.
Mahesani sandarkan punggungnya di dind-
ing, dan lengannya sudah menggamit leher pe-
muda itu, serta sebelah lagi membelai rambutnya.
Dan tahu-tahu kepalanya sudah ditekan ke arah
dada. Sekejap saja wajah Mahendra sudah me-
nempel di kedua buah benda lembut itu. Dengus
napasnya semakin memburu, berdesahan me-
mantul balik dari hidungnya. Dan mau tak mau
bibirnya yang sudah bersentuhan dengan putik
memerah yang lunak itu, segera menganga terbu-
ka. Dan.... tanpa harus disuruh lagi direngkuh-
nya benda lunak itu untuk dilumat. Bergelinjan-
gan tubuh sang dara itu dengan keluarkan desa-
han dari mulutnya.
Sementara di luar, pertarungan semakin men-
jadi dengan serunya. Dua orang anak buah Per-
guruan itu telah roboh terkena tebasan pedang si
tiga paderi muda. Ternyata permainan ilmu pe-
dang si tiga paderi muda itu cukup hebat. Mereka
bertarung dengan tempelkan rapat punggung
masing-masing, dan menghadapi terjangan-
terjangan gencar dari belasan anak buah Bayu
Wijaya. Namun tak urung mereka juga sudah ter-
luka terkena goresan pedang lawan, karena lawan
yang dihadapi lebih banyak. Dan juga bukannya
orang-orang keroco, karena didikan dari seorang
tokoh persilatan yang cukup terkenal dan berilmu
tinggi
Pertumpahan darah mungkin akan bertam-
bah lagi, seandainya tak datang berkelebat seso-
sok tubuh semampai, berambut panjang terurai.
Dan satu bentakan nyaring bersuara merdu ter-
dengar....
"Hentikan...!". Suara teriakan itu amat ber-
pengaruh, karena seperti menusuk ke ulu hati,
mendebarkan jantung. Serentak mereka sudah
sama-sama melompat untuk hentikan pertarun-
gan. Segera terlihatlah siapa yang datang. Ternya-
ta seorang gadis muda yang amat rupawan. Ber-
baju sutera tipis berwarna hitam gemerlapan. Ikat
pinggangnya terbuat dari kulit ular, di mana di
kedua sisi pinggangnya tergantung dua buah
benda mirip "payudara", dengan dua utas rantai
yang membelit pinggang. Itulah senjata si Rantai
Genit. Dan siapa lagi si pemilik senjata aneh yang
mempunyai bentuk lucu itu, kalau bukan RORO
CENTIL.
Gadis ini tatap mata semua yang berada di si-
tu dengan pandangan tajam.
"Hm, boleh aku tahu ada persoalan apakah
kalian bertarung?" Tanya Roro dengan bertolak
pinggang. Segera tiga paderi muda melompat ke
hadapan dara ini seraya salah seorang berkata;
"Nona Pendekar Roro Centil! Oh, beruntung
sekali anda datang...!" Dan ketiga paderi muda itu
segera menjura hormat
"Hm, kalian bukankah murid-murid si manu-
sia bulat Kipas Angin Puyuh?" Tanya Roro ketus.
"Ada apa kalian mengamuk di sini? Kalau ku-
adukan pada gurumu, tentu telinga kalian akan
dijewer sampai putus!" Bentak Roro.
Roro Centil memang sudah mengenali dari ju-
bah warna kuning dengan strip hitam di bagian
sisinya, bahwa ketiga paderi muda itu adalah mu-
rid-murid dari Kuil Naga. Ketua Kuil Naga yang
bergelar si Dewa Angin Puyuh memang sudah di-
kenalnya ketika masih berada di Pulau Andalas.
Ternyata pada beberapa bulan belakangan ini Ro-
ro telah menjumpainya berada di sebuah Kuil
yang baru beberapa bulan dibangun di sebelah
selatan daerah wilayah utara Pulau Jawa ini.
Tentu saja pertemuan itu membuat si Dewa
Angin Puyuh girang setengah mati. Karena me-
mang sejak mereka pernah berjumpa dan bersa-
habat di Pulau Andalas, paderi bertubuh gemuk,
pendek dan boleh dikata bulat itu pernah sama-
sama turut menumpas musuh. Yaitu seorang wa-
nita cabul dari tokoh Rimba Hijau dari Golongan
Hitam, bergelar si Kupu-kupu Emas. (baca: Kisah
Dara Cantik Berdarah Dingin).
Dengan mengumbar tawa bergelak si Dewa
Angin Puyuh menyambut kedatangan Roro Centil,
yang menyebut si paderi bulat itu dengan sebutan
paman. Karena memanglah keinginan si Dewa
Angin Puyuh demikian, bahkan telah mengakui
Roro Centil sebagai keponakannya. Tinggal di sa-
na beberapa hari, Roro dijamu makan minum
oleh paderi Ketua Kuil Naga yang baru didirikan
nya itu. Bahkan telah memesan pada tukang jahit
pakaian yang khusus didatangkan, dan mengu-
kur tubuh Roro. Ternyata sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan ini di beri seperangkat pakaian su-
tera warna hitam, yang gemerlap bagai ditaburi
permata.
Tentu saja selama itu Roro telah mengenal
dengan murid-murid si Dewa Angin Puyuh. Na-
mun baru beberapa hari saja dia meninggalkan
Kuil Naga, ternyata melihat satu pertarungan di
sebuah padepokan. Dan amat terkejut ketika
mengetahui tiga orang paderi muda murid-murid
dari Kuil Naga, tengah bertarung dengan belasan
orang anak-anak buah sebuah Perguruan.
Roro menatap wajah ketiga paderi muda itu
dengan satu pertanyaan, yaitu persoalan apakah,
hingga ketiga paderi melabrak ke Perguruan
orang.
"Kami mengejar si pembunuh orang-orang
kami di Kuil Naga!" Ujar salah seorang, dan sege-
ra beberkan peristiwanya dengan singkat. Dan ce-
ritakan bahwa ketika kejadian itu, guru mereka
sedang tak berada di tempat.
"Wanita itu ternyata anak gadis si Ketua Per-
guruan Trisula Dewa ini! Dia... dia bukan manu-
sia! Seandainya manusia tentu berilmu iblis, ka-
rena kelima saudara kami telah dilempar mayat-
nya dalam keadaan membugil. Dan masing-
masing lehernya terluka bekas gigitan. Darahnya
telah tersirap habis!" Berkata si paderi paling tua
dengan suara agak keras. Terperanjat semua
orang dari anak buah Perguruan Trisula Dewa
yang turut mendengar penuturan paderi muda
itu. Sedangkan Roro Centil sendiri pun terkejut
mendengarnya.
"Tidak mungkin...! Dusta! Kau paderi sialan
telah mengaco seenak perutmu menuduh orang!
Nona Mahesani puteri Ketua kami bukan sebang-
sa manusia siluman yang doyan menghisap darah
orang! Dan tak mungkin dia melakukan perbua-
tan keji itu yang tak wajar dilakukan manusia!"
Membentak salah seorang anak buah Bayu Wi-
jaya.
"Mau apa aku mendustai kenyataan itu? Huh!
Kukira tak ada untungnya!" Membentak lagi si
paderi muda yang paling tua itu, dengan mata
melotot tajam. Akan tetapi pada saat itu, Roro
Centil sudah palingkan wajahnya menatap pada
semua anak buah Padepokan itu. Sementara be-
berapa orang anak buah Padepokan tampak ten-
gah kasak-kusuk membicarakan tingkah yang
aneh dengan keadaan Mahesani, puteri sang Ke-
tua mereka.
"Hm, baiklah! Kini aku mau bertemu dengan
nona kalian itu, bisakah kalian panggil keluar?"
Tanya Roro.
"Kami tak berani..! Beliau sedang bersama...
raden Mahendra!" Berkata salah seorang. Karena
dia memang melihat Mahendra masuk ruangan,
menyusul Mahesani.
"Siapakah Mahendra itu?" Tanya Roro dengan
kesal.
"Dia... dia TUNANGANNYA!" Menyahut si mu-
rid tertua Perguruan itu dengan tegas, akan tetapi
dia juga merasa aneh dengan sikap Mahesani.
Kenapa justru meninggalkan mereka bertempur
tanpa memunculkan diri, Roro yang tak sabar,
segera berucap.
"Heh! kalau begitu biar aku yang memeriksa!
Kalian boleh ikut aku!" Berkata Roro seraya me-
nunjuk pada tiga orang di hadapannya. Tiga
orang itu mengangguk, seraya berlari mengikuti
Roro, yang sudah berkelebat melompat ke ruan-
gan pendopo.
BRRAAKKK...! Sebuah pintu yang tertutup di
terjangnya hingga menjeblak terbuka Dan...
terkejutlah ketiga orang anak buah Bayu Wijaya
maupun Roro. Karena segera terlihat satu pe-
mandangan menjijikkan. Dua sosok tubuh berte-
lanjang bulat saling bergelutan... Ternyata Mahe-
sani dan Mahendra yang tengah bergelinjangan di
lantai. Akan tetapi segera terlihat wajah Mahen-
dra menyeringai kesakitan. Sementara wajah Ma-
hesani terbenam ke leher pemuda itu. Nyaris Roro
Centil tinggalkan ruangan itu, kalau tak melihat
darah mengalir dari leher si pemuda itu. Dan ke-
tika si wanita mengangkat kepalanya, tampak
mulutnya menyeringai penuh darah.
Tersentak Roro Centil, hingga tak terasa ka-
kinya sudah menindak dua langkah ke belakang.
Tiba-tiba Mahesani gerakkan lengannya memukul
ke depan. Bersyiur angin keras menerjang ke arah
Roro dan ketiga anak buah Bayu Wijaya yang be-
rada di muka pintu ruangan. Roro Centil gerak-
kan cepat lengannya mendorong tubuh ketiga
orang murid Perguruan Trisula Dewa itu hingga
terpental jatuh, sedangkan tubuhnya sudah ber-
gerak melompat menghindari terjangan angin ke-
ras.
WHUUK...!
BRRAAAKK...!
Angin deras bertenaga dalam itu lewat di ba-
wah kaki Roro dan langsung menghantam tiang
pendopo di luar ruangan hingga patah berderak.
"Manusia iblis penghisap darah! Kiranya be-
narlah kau adanya...!" Membentak Roro Centil,
seraya melompat ke atas berpegang pada tiang
penglari. Namun pada saat itu si gadis titisan wa-
nita setengah siluman itu telah bangkit berdiri.
Lengannya bergerak menyambar pakaiannya, dan
berkelebat keluar dengan perdengarkan tertawa
mengikik menyeramkan. Sementara itu Mahendra
tengah berkelojotan meregang nyawa. Dari leher-
nya yang terluka menganga, mengucur darah
yang menggelogok. Setelah beberapa saat meng-
geser-geser tubuh laki-laki itupun mengejang, dan
diam tak bergeming. Karena nyawanya telah me-
layang saat itu juga.
Roro Centil cuma menatap sekilas, tubuhnya
sudah melesat turun dari tiang penglari, dan me-
lompat mengejar keluar. Namun Mahesani sudah
lenyap dengan perdengarkan suara tertawa
mengkiknya di kejauhan.
Ketiga paderi muda itu tercengang sesaat ke-
tika sesosok tubuh telanjang bulat melompat ke-
luar dari dalam ruangan Padepokan. Jelas sudah
itulah Mahesani. Dan tentu saja belasan or ang
murid-murid Padepokan yang melihat kenyataan
itu jadi terperangah dengan mata terbelalak lebar.
Karena kini telah jelas bahwa Mahesani puteri Ke-
tuanya itu memang amat memalukan, dan meng-
herankan sekali. Tubuh telanjang bulat itu begitu
tiba di luar langsung melesat cepat meninggalkan
pelataran Padepokan. Lalu lenyap dengan perden-
garkan suara tertawa mengikik yang jelas bukan
suara Mahesani.
Ketiga paderi muda itu cuma bisa terpaku
dengan palingkan wajahnya menatap semua mu-
rid-murid Perguruan Trisula Dewa. Salah seorang
mendengus dengan wajah mendongkol. Lalu beri-
kan isyarat pada kedua kawannya. Dan ketiga
paderi muda itupun berkelebatan meninggalkan
tempat itu tanpa menoleh lagi... Sementara Roro
Centil cuma menatap saja dari ruang Pendopo.
Sedangkan ketiga orang yang terpental didorong
Roro segera cepat-cepat menjura mengucapkan
terima kasih. Roro Centil cuma mengangguk, lalu
tatapkan mata pada para murid Perguruan Trisu-
la Dewa dengan senyum sinis.
"Nah! Kini kalian lihat buktinya, bahwa nona
besar kalian itu ternyata seorang manusia iblis
penghisap darah! Dia telah menjadi manusia PA-
LASIK!" Ucap Roro dengan suara keras. “Kawan-
mu yang di dalam itu telah mati, dengan keadaan
sama seperti kematian lima orang paderi kawan
ketiga paderi tadi! Kalian lihatlah sendiri...!" Lan-
jut Roro seraya beranjak meninggalkan Padepo-
kan itu dengan langkah lebar. Keruan saja semua
para murid Perguruan Trisula Dewa segera berla-
rian memasuki ruangan Padepokan. Dan terperangah mereka dengan berteriak tertahan, karena
segera menjumpai keadaan Mahendra yang telah
membugil menjadi mayat, dengan leher terkoyak
bekas gigitan.
Roro Centil sudah tak perdulikan lagi kea-
daan para murid Padepokan itu, dan segera kele-
batkan tubuhnya tinggalkan tempat itu.
***
RORO CENTIL memang telah mendengar
adanya manusia palasik penghisap darah, yang
sejak beberapa pekan ini bergentayangan mencari
mangsa. Kemunculannya adalah memang untuk
menguntit si manusia Palasik yang menggempar-
kan itu. Akan tetapi Roro telah kehilangan jejak
lagi setelah diketahuinya siapa adanya si manusia
palasik itu. Berkelebatan tubuh Roro menuju ke
arah barat. Roro hanya menduga-duga saja men-
cari kemana arah wanita penghisap darah itu
perginya.
Sementara di balik semak belukar itu adalah
terdapat dua orang berlainan jenis yang tengah
berkasih-kasihan.
"Kakang Bayu...! Benarkah kau... kau men-
cintaiku?" Terdengar suara seorang wanita den-
gan suara pelahan hampir tak terdengar disela
rintihannya.
"Mengapa kau ragu, diajeng...? Apakah kau
malu kalau kita menikah?"
"Ya...! Kita sudah tua! Dan aku sudah hampir
keriput begini, apakah tak akan malu dengan
orang-orang muda? Terutama anakku Mahendra!
Dan kita belum juga berhasil menjumpai Mahe-
sani! Apakah tak sebaiknya kita pulang?" Desis
suara wanita itu lagi, seraya lengannya memeluk
kencang laki-laki tua bertubuh kekar yang meng-
himpit tubuhnya.
"Kau masih cantik, diajeng! Dan... ah, sudah-
lah..." Terdengar laki-laki itu menyahuti lirih se-
raya menggerakkan tubuhnya, membuat dahan
dan ranting kecil di sebelahnya berguncangan.
Sementara suara desah napas terdengar santar
bercampur rintihan kecil yang terdengar pelahan
sekali. Namun tak lama segera melenyap, seperti
semak belukar itu tiada yang menghuni. Selang
beberapa saat, tampak sebuah lengan terjulur
menggapai seonggok pakaian yang tergeletak di
rerumputan. Dan suara-suara tertawa kecil pun
terdengar dibarengi timpalannya suara laki-laki
yang terdengar agak parau.
Roro Centil sembulkan kepalanya di satu se-
mak yang agak lowong. Sepasang matanya jadi
membelalak. Setan Alas! Memaki gadis Pendekar
ini dalam hati. Dan dia sudah palingkan wajah-
nya yang memerah. Tiba-tiba terdengar suara ter-
tawa mengikik di kejauhan. Roro cepat-cepat me-
nyelinap. Tak berapa lama segera muncul sesosok
tubuh berpakaian warna ungu, dengan rambut
terurai beriapan. Hampir melejit mata Roro, kare-
na melihat sosok tubuh itu pasti tak salah lagi si
wanita Palasik penghisap darah. Baru saja dia
berniat melompat keluar. Ternyata sudah didahu-
lui dua orang di balik semak itu yang berkelebat
berlompatan.
Sekejap kemudian telah menghadang di de-
pan wanita palasik itu. Seolah tak percaya laki-
laki tua itu yang tak lain dari Bayu Wijaya, mena-
tap pada si wanita muda di hadapannya. Dan sa-
tu suara tergetar segera terlompat dari bibirnya.
"A...anakku... Ma.. .Mahesani! Kaukah
adanya? Oh, betapa aku amat mengkhawatirkan
nasibmu...!" Bayu Wijaya menatap wanita muda
di hadapannya dengan mata tak berkedip. Akan
tetapi gadis muda itu bahkan mengikik tertawa
dengan suara aneh yang amat asing didengarnya.
"Hihihi... siapakah kau? Eh, ya... kau ayahku!
Aku memang Mahesani, anakmu! Kalian sedang
apa di sini ayah? Dan siapa wanita jelek ini?"
Tentu saja kata-kata demikian tak pernah di-
ucapkan oleh Mahesani sebenarnya. Dan mem-
buat Bayu Wijaya jadi ternganga heran. Sementa-
ra si wanita tua yang tak lain dari si Pendekar
Lembah Bunga itu jadi terkejut dengan wajah te-
rasa panas.
Apakah yang telah terjadi dengan anakku?
Mengapa sikapnya jadi berubah demikian...? Sen-
tak hati Bayu Wijaya. Dan dia sudah saling tatap
dengan Rukmita si Pendekar Lembah Bunga itu.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara derap lang-
kah kaki kuda mendekat. Tak lama segera terlihat
empat orang berpakaian pengawal-pengawal Kera-
jaan. Ternyata salah seorang adalah Tumenggung
Meranggi, yang telah berpakaian perwira kerajaan
Mataram. Kiranya sang Tumenggung itu tak mau
menganggur begitu saja begitu lepas dari jabatan
dengan punahnya Kerajaan Matsyapati, yang di-
ambil alih kekuasaannya oleh Kerajaan Pusat.
Yaitu Mataram. Segera dia memasuki keperwiraan
di Kerajaan Mataram, yang kemudian bertugas
justru masih berada di sekitar bekas kekuasaan
Kerajaan Matsyapati.
Begitu hentikan kuda-kudanya, keempat
orang perwira itu berlompatan turun dari ku-
danya.
"Manusia iblis! Kau tak akan dapat melarikan
diri lagi!" Membentak Ki Meranggi seraya menca-
but keluar Keris Pusakanya. Terkejut Bayu Wijaya
juga si Pendekar Lembah Bunga, karena tahu-
tahu keempat Perwira Kerajaan Mataram itu telah
mengurung.
"Tunggu...!" Teriak Bayu Wijaya, yang tiba-
tiba telah bergerak melompat seraya mengangkat
kedua belah tangannya. Tubuhnya memutar den-
gan sepasang mata menatap pada keempat perwi-
ra Kerajaan itu.
"Apakah gerangan yang telah terjadi, hingga
kalian menuduh anakku sebagai iblis keji?". Te-
riak Bayu Wijaya dengan ketus. Ki Meranggi plo-
totkan matanya. Segera dia sudah mengenali laki-
laki itu.
"Huh! Kiranya perempuan ini anak gadismu,
sobat Bayu Wijaya? Kami petugas penjaga ling-
kungan di wilayah Kerajaan Mataram ini merasa
berhak menangkap atau membunuhnya, karena
dia telah melakukan pengacauan di beberapa
tempat! Bahkan dia telah membunuh bekas Raja
Kerajaan Matsyapati Prabu Gurawangsa di Goa
Kiskenda!" Terperanjat Bayu Wijaya bukan kepa-
lang, dan dengan mata terbelalak menatap pada
anak gadisnya.
"Aku adalah bekas Tumenggung Kerajaan
Matsyapati! Masih ingatkah kau padaku Bayu Wi-
jaya? Aku Ki Meranggi, yang kini sudah menjadi
orang Kerajaan Mataram!"
"Ya! Aku dapat mengenalimu Tumenggung!
Akan tetapi benarkah tuduhanmu itu? Anakku ini
baru saja kutemukan setelah menghilang selama
empat bulan! Dia diculik seorang pemuda yang
mengaku bernama Raka Rumpit, selagi aku se-
dang tidak ada!"
"Hihihi... Dia memang anakmu, Bayu Wijaya,
akan tetapi telah kemasukan roh jahat! Dia telah
menjadi iblis wanita penghisap darah! Dia telah
menjadi manusia palasik!" Tiba-tiba Roro Centil
berkelebat keluar dengan mengumbar kata-kata.
Terkejut semua orang yang segera berpaling ke
arah gadis Pendekar itu. Dan Ki Meranggi tiba-
tiba berteriak girang.
"Nona Pendekar Roro Centil!.... Ah, kebetulan
sekali anda datang...!" Bekas Tumenggung Kera-
jaan Matsyapati ini memang telah mengenal Roro
ketika dia diperkenalkan oleh Senapati Satryo di
Ksatrian. Roro Centil waktu itu memang banyak
membantu pihak Kerajaan Matsyapati, di saat ter-
jadinya pengkhianatan Patih Buntaran.
Menampak dirinya telah dikepung sedemikian
rupa, Mahesani jadi tertawa mengikik.
"Hihihi... hihi.... aku memang bukannya Ma-
hesani! Raga kasar gadis ini kutemukan sudah
mampus, setelah habis diperkosa seorang pemu-
da! Mungkin dialah si pemuda bernama Raka
Rumpit itu! Dan aku... hihihi... aku adalah TRI
AGNI! Masih ingatkah kau Tumenggung, ketika
kau membunuhku dengan keris pusakamu itu?"
Terperangah seketika Ki Meranggi. Sepasang ma-
tanya jadi menatap pada Mahesani dengan terbe-
lalak. Sementara tampak satu kejadian aneh, ka-
rena samar-samar wajah Mahesani memudar dan
berganti rupa dengan wajah Tri Agni, si wanita se-
tengah Siluman itu.
"Hihihi... kau masih hapal dengan wajahku?
Kini aku inginkan nyawamu, Meranggi!" Wajah
dan kepala Tri Agni pun kembali berubah menjadi
kepala Mahesani lagi. Sementara si Pendekar
Lembah Bunga dan Bayu Wijaya jadi terperanjat
melihat kejadian itu. Barulah mereka percaya ka-
lau wanita itu bukan lagi Mahesani.
Pada saat itu Roro telah menimbrung bicara.
"Hm, sobat Bayu Wijaya! Wanita palasik ini telah
masuk ke dalam Rumah Perguruanmu! Dan dia
juga telah meminta korban membunuh kekasih-
nya sendiri, dengan menghisap darahnya! Menu-
rut yang kudengar kekasihnya itu bernama MA-
HENDRA!"
"Hah...! dia... dia membunuh a... anakku!??.
Bedebah! Iblis keparat! Kau harus ganti nyawa
anakku!" Teriak Rukmita si Pendekar Lembah
Bunga, dan seraya menggerung keras segera me-
nerjang si wanita setan itu. Sepasang lengannya
bergerak menghantam.
BUK! BUK!
Tubuh Mahesani terlempar terhuyung-
huyung, dan saat itu keempat perwira Kerajaan
Mataram segera gerakkan senjatanya menerjang.
Keris Ki Meranggi telah keluarkan sinar berwarna
biru bergerak menabas. Dan ketiga tombak si tiga
Perwira Kerajaan meluruk dengan berbareng.
CRAS...!
BLES! BLES! BLES!
Sekejap saja keadaan telah berubah jadi men-
gerikan, karena tubuh Mahesani telah terpang-
gang oleh tiga tombak perwira menembus pung-
gung dan dada. Sedangkan Keris Pusaka Ki Me-
ranggi telah menabas kepala Mahesani hingga
terpisah dari tubuhnya...
"Ahhh...!?" Berteriak Bayu Wijaya dengan ma-
ta membeliak. Walau bagaimana pun dalam pan-
dangannya tubuh anak gadisnyalah yang telah
terbunuh dengan cara mengerikan seperti itu.
"Mahesaniiii...!" Dan dia sudah memburu tu-
buh tanpa kepala itu dengan wajah pucat. Akan
tetapi diluar dugaan kepala Mahesani yang jatuh
menggelinding itu telah melayang ke arah Bayu
Wijaya dengan cepat.
Dan.....
Terkesiap semua orang, karena sekejap tam-
pak Bayu Wijaya telah berkelojotan meregang
nyawa. Karena kepala Mahesani telah berubah
menjadi kepala Tri Agni yang berwajah menye-
ramkan dengan rambutnya yang berwarna putih
beriapan. Kiranya kepala makhluk itu telah me-
nyusup ke leher Bayu Wijaya dan ngangakan mu-
lutnya, serta menggigit leher laki-laki tua itu.
BRELL ...! Kepala Tri Agni menyentak. Dan...
darah segera menyembur dari leher laki-laki ma-
lang itu. Sesaat setelah bergelinjangan, tubuh
Bayu Wijaya pun terkulai lepaskan nyawa...
"Iblis...! Kuhancurkan kepalamu...!" Memben-
tak Rukmita. Lengannya bergerak melemparkan
bunga-bunga keringnya ke arah kepala Tri Agni.
Akan tetapi makhluk itu gerakkan kepalanya
memutar. Rambut putihnya tiba-tiba bergerak
menghantam bunga-bunga kering hingga terhem-
pas jatuh. Tahu-tahu kepala makhluk itu menyu-
sup ke bawah, bergerak memutar ke belakang si
Pendekar Lembah Bunga. Terpekik wanita tua itu,
karena segera lehernya kena dicengkeram mak-
hluk kepala itu. Berguling-gulingan tubuh Rukmi-
ta, lengannya berusaha bergerak untuk mele-
paskan diri dari gigitan wanita setan itu. Namun
kepala Tri Agni telah berhasil merobek leher
Rukmita dengan gigitannya. Darah pun menyem-
burat memancur. Dan tubuh si Pendekar Lembah
Bunga itu berkelojotan meregang nyawa, namun
sesaat kemudian terkapar tak berkutik lagi.
Terperangah Ki Meranggi dan ketiga Perwira.
Mereka sudah melompat mundur dengan senjata
siap dipergunakan.
"Hihihi... Meranggi! Pergunakan lagi keris Pu-
sakamu itu! Hehehihi... hihi..." Selesai berkata,
tiba-tiba kepala Tri Agni bergerak ke arah tubuh
Mahesani dan melekat lagi pada tubuh tanpa ke-
pala itu. Sekejap kemudian kepala dan tubuh itu
telah menyatu kembali. Dan... saat berikutnya
Mahesani telah bangkit berdiri. Sementara pelahan-lahan kepala wanita setengah siluman itu
kembali berganti wujud menjadi kepala Mahesani
lagi.
Ki Meranggi memberi isyarat untuk mener-
jang pada ketiga kawannya. Namun saat itu Roro
Centil sudah mendahului mengirimkan tendan-
gan kakinya. Dhesss...! Tubuh Mahesani terlem-
par bergulingan beberapa tombak. Keempat Per-
wira Kerajaan itu segera memburunya. Akan teta-
pi Mahesani telah kembali berdiri dengan lengan
terentang. Sepasang matanya menatap pada
keempat Perwira Kerajaan itu, lalu terhenti pada
Ki Meranggi. Sementara Roro Centil tercenung se-
saat Benaknya memikir. Heh! wanita siluman ini
akan sulit dimusnahkan, karena sama saja den-
gan melawan siluman.
"Siluman harus dilawan dengan siluman...!"
Desis Roro. Dan segera bibirnya berbisik me-
manggil sahabatnya si Harimau Tutul. Segera saja
segumpal asap hitam muncul di hadapan Roro.
Gumpalan asap itu melenyap, dan membentuk
sesosok tubuh Harimau Tutul sebesar kerbau.
Binatang ini mendengus dan keluarkan suara
menggerung mengaum. Tampakkan gigi-gigi dan
taringnya yang runcing-runcing. Lalu mengibas-
ngibaskan ekornya mengelilingi Roro Centil me-
nunggu perintah. Namun pada saat itu sudah
terdengar jeritan Ki Meranggi. Ketika Roro Centil
menatap. Ternyata laki-laki Perwira Kerajaan Ma-
taram itu dadanya telah terkena cengkeraman
lengan Mahesani, yang menembus sampai ke
punggung.
Darah menyemburat keluar ketika lengan
Mahesani disentakkan. Dan tubuh Ki Meranggi
berkelojotan meregang nyawa. Lalu sekejap ke-
mudian tewas. Ketiga Perwira ini menerjang den-
gan tombaknya. Percuma saja, karena sekali
menggerakkan tangan tiga batang tombak terlem-
par. Dan di saat ketiga tubuh Perwira itu ter-
huyung, Mahesani alias Tri Agni telah berkelebat
menerjang.....
Akan tetapi Roro Centil sudah mendahului ki-
rimkan hantaman lengannya. Kali ini pukulan
berhawa panas menerjang Tri Agni, si wanita se-
tan itu.
WHUSSSS...! Terpekik wanita setan itu. Seke-
tika tubuhnya terbakar hangus. Namun pada saat
itu dari dalam tubuh yang terbakar itu telah me-
lesat ke luar dua gumpal asap hitam. Dan, bukan
kepalang terkejutnya Roro Centil, karena dua
gumpal asal itu telah menjelma menjadi dua so-
sok tubuh. Sosok tubuh yang satu adalah seorang
bocah kecil berkulit hitam. Sedangkan sosok tu-
buh yang satunya adalah seorang wanita yang be-
rambut hitam beriapan. Ternyata mereka itulah si
Bocah Siluman, cucu si wanita setan itu. Dan si
wanita satunya adalah ibu bocah berkulit hitam
itu, yaitu DURGANDINI.
***
Raka Rumpit baru saja selesai mandi. Dan
dengan bernyanyi-nyanyi kecil dia memasuki goa,
lalu beranjak ke ruangan kamarnya. Baru saja
dia mau bergerak masuk ke pintu, sudah terden-
gar suara tertawa kecil sang guru.
"Hihihi... hihi.. silahkan masuk, muridku
yang gagah!" Satu suara lembut terdengar. Itu
memang suara gurunya. Akan tetapi amatlah
aneh, dan asing pada pendengaran pemuda ini,
karena tak biasanya sang guru berkata selembut
itu. Mengapa tidak pakai bocah edan! atau bocah
gendeng? Bisik hati Raka Rumpit. Dan segera saja
terpampang di matanya sesosok tubuh mulus
berselimutkan kain sutera tipis. Berwajah cukup
cantik, walaupun tidak seperti gadis muda. Ram-
butnya tergerai hitam di antara sebelah dadanya.
Tubuh wanita itu dalam keadaan setengah terbar-
ing di pembaringannya.
Ternganga Raka Rumpit menatap wanita itu.
Wajahnya jelas bukan wajah gurunya, akan tetapi
suaranya memang mirip suara sang guru, alias si
nenek bongkok yang galak itu.
"Guruku kah kau ini...?" bertanya Raka Rum-
pit.
"Ataukah kau... tetamu guruku si nenek
bongkok muka tengkorak?" Tambahnya lagi den-
gan tertegun menatap wanita itu, serta matanya
merayapi ke sekujur tubuh yang setengah terbar-
ing itu.
"Hihihi... aku memangnya si nenek bongkok
gurumu itu, tapi juga tetamu yang akan me-
nyambut mu!" Berkata wanita itu dengan terse-
nyum perlihatkan giginya yang putih berderet, se-
raya bangkit berdiri.
"Kau lihatlah! Apakah tubuhku kini masih
bongkok? Dan kulitku keriput, juga wajahku mi-
rip tengkorak?" Berkata lirih si wanita itu.
"Aku selama ini memakai alat-alat ini!" Ujar si
wanita itu, seraya meraih sebuah bungkusan
yang segera dibukanya. Segera terlihat kelotokan
kulit muka semacam topeng, serta kulit-kulit tipis
lainnya yang membungkus seluruh tubuh wanita
itu. Ternyata diam-diam di saat Raka Rumpit per-
gi mandi, si nenek bongkok telah "mengupas" ku-
lit muka dan seluruh kulit pembungkus tubuh-
nya. Hingga bagaikan ular yang baru berganti ku-
lit, si nenek tua renta itu kembali menjadi muda.
Ada pun rambut putihnya adalah tetap memutih.
Namun dia telah gunakan cairan hitam dari obat
ramuan yang telah lama disediakan untuk me-
nyemir kembali rambutnya. Hingga dalam bebe-
rapa saat saja si nenek telah berubah kembali
menjadi muda. Dan segera sambar pakaian tipis-
nya untuk segera masuk ke kamar sang murid.
Raka Rumpit barulah percaya kalau wanita
itu gurunya sendiri. Melihat keadaan sang guru
itu tentu saja Raka Rumpit agak jengah, namun
sebagai manusia tetap saja tak luput dari hawa
nafsu. Hingga ketika sang guru menggamitnya
untuk dibawa merebahkan diri ke pembaringan,
dia memang tak dapat menolak. "Aku telah beri-
jab-kabul, muridku... bahwa kalau kau telah ber-
hasil menamatkan pelajaranmu, kau harus men-
jadi suamiku! Ya, aku amat mencintaimu, bocah
gagah. Kau pinjamkanlah Cincin batu Combong-
mu...! Aku ingin memakainya! Sudah lebih dari
sepuluh tahun aku tak pernah mengenakan cincin warisan guruku ini!" Seraya berkata lengan
sang guru bergerak menjelari dadanya yang bi-
dang dan mempermainkan bulu-bulu dadanya.
Raka Rumpit cuma tersenyum mengangguk
dan segera copotkan cincinnya untuk berikan
benda itu. Sang guru julurkan jari-jari lengannya
dan segera saja sang murid memasukkannya ke
jari lengan sang guru.
Sinar biru yang membersit dari cincin aneh
itu ternyata telah menimbulkan hawa rangsangan
hebat padanya. Kalau dulu adalah wanita yang
tergila-gila pada Raka Rumpit, namun kini dia
sendirilah yang di mabuk asmara.
Tiba-tiba dari dalam ruangan kamar di dalam
goa itu, terdengar suara teriakan tertahan, seperti
suara yang tersangkut di tenggorokan.
"Aaaaakh...! Aaaarkkh...! Hek! Ahh...! uuh.!"
BLAG..!
BUKK!BRRAKKK...!
"Huaaaaakh...! Terdengar suara-suara berge-
dubrakan setelah terdengar sebelumnya suara ke-
luhan dan pekik kesakitan tersendat di kerong-
kongan. Terakhir adalah suara teriakan Raka
Rumpit. Apakah yang terjadi di ruangan kamar
dalam goa itu? Kiranya satu pergumulan tengah
terjadi. Sekonyong-konyong Raka Rumpit telah
mencekik leher gurunya sendiri. Meronta-ronta
sang guru dengan berteriak julurkan lidah. Len-
gan sang murid itu dengan ganas telah menceng-
keram lehernya.
***
DUA BELAS
TERENGAH-ENGAH sang guru memperta-
hankan nyawanya dari cekikan maut lengan si
murid. Akhirnya satu hantaman lengan sang guru
telah berhasil membuat terlempar anak muda itu.
Tubuhnya membentur dinding goa, yang segera
ambrol dengan suara bergedubrakan.
"Ka... kau... kau... bocah edan!" Teriak si wa-
nita jelmaan si nenek bongkok. Tubuhnya bangkit
dari pembaringan dengan terhuyung. Sebelah
lengannya mencekal lehernya yang mengucurkan
darah.
"Kubunuh kau... bocah gendeng! Kau... kau
mau membunuh dirimu sendiri?" Akan tetapi ti-
ba-tiba Raka Rumpit telah tertawa bergelak, se-
raya bangkit berdiri.
"Hahaha... haha... kau memang harus kule-
nyapkan, guru! Aku tak memerlukan kau lagi!"
Tiba-tiba wajah Raka Rumpit telah berubah jadi
bengis. Dan ... sekonyong-konyong tubuhnya be-
rubah jadi segumpal asap hitam. Dan segera saja
menjelma menjadi makhluk hitam berbulu. Ber-
mata besar, lidah terjulur dan mulut menyeringai
menampakkan giginya yang runcing-runcing.
"Edan...!" Memaki sang guru, dan dengan
bentakan menggeledek dia telah melompat mener-
jang makhluk itu. Sedangkan makhluk berbulu
itu pun sudah menerjang dengan suara mengge-
ram menyeramkan. Sekejap saja terjadilah per-
gumulan seru. Tubuh sang guru yang dalam keadaan membugil itu seketika hampir lenyap dalam
pelukan ketat si makhluk berbulu. Hantaman-
hantaman lengannya seperti tak dirasakan mak-
hluk itu. Hingga saat berikutnya pergumulan di-
lakukan dengan bergulingan. Sementara darah
terus mengalir dari leher si wanita jelmaan si ne-
nek bongkok itu yang terluka bekas cekikan. Se-
lang sesaat terdengar lagi suara jeritan menyayat
hati. Taring-taring si makhluk berbulu itu telah
membenam lagi di lehernya. Bergelinjangan tubuh
polos itu menghentak-hentak. Sepasang kakinya
terpentang menjejak ke sana ke mari. Namun te-
riakannya semakin melirih. Dan gelinjangannya
semakin melemah. Akhirnya terkulai... tak berte-
naga lagi. Ketika makhluk berbulu itu mele-
paskan cengkeraman taring-taringnya, darah se-
perti membasuh wajahnya. Dengan kakinya si
makhluk itu balikkan tubuh si wanita gurunya,
yang ternyata telah tewas.
Makhluk berbulu itu tampakkan suara meng-
geram senang, lalu berubah menjadi suara gelak
terbahak. Dan beberapa kejap antaranya mak-
hluk berbulu itu pun kembali berubah menjadi
Raka Rumpit.
"Hahaha... hahaha... haha... Kini aku bebas!
Tak ada yang harus kuturuti perintahnya! Dan
aku bebas bergerak ke mana aku suka! Hahaha...
terima kasih, guru atas warisan ilmu hitammu!
Semoga kau tenang di alam baka!"
Selesai berkata, Raka Rumpit menghampiri
tubuh gurunya, dan segera membungkuk untuk
mencopot kembali cincin batu Combong itu dari
jari tangan sang guru. Tak lama dia sudah kena-
kan lagi di jari tangannya. Setelah kenakan pa-
kaiannya beberapa saat antaranya Raka Rumpit
sudah beranjak keluar dari dalam kamar ruangan
goa yang sudah berantakan itu. Sejenak Raka
Rumpit memandang ke ruangan goa itu. Tiba-tiba
sepasang lengannya bergerak menghantam langit-
langit ruangan batu goa itu.
BRRUAAAS...!
BLAARRRR...! Sekejap saja ruangan atas goa
itu sudah ambruk meruntuhkan batu-batu ba-
gaikan hujan, berdebukan jatuh menguruk ruan-
gan kamar itu berikut tubuh gurunya. Sedangkan
pemuda edan itu ternyata telah melesat keluar
goa sebelum goa menjadi ambruk tertutup batu-
batuan. Keadaan lereng tebing itu kini sudah be-
rubah berantakan, karena hampir sebagian melu-
ruk ke bawah, menimbun goa di bawahnya.
Sedangkan Raka Rumpit saat itu sudah ber-
kelebatan mendaki tebing, dan sekejap kemudian
melesat lenyap meninggalkan suara tertawa ber-
kakakan...
***
"Bocah siluman...?!" Desis Roro dengan wajah
tegang. Tentu saja Roro terkejut, karena beberapa
bulan berselang dia baru saja menghadapi mak-
hluk kecil yang buas ini. Pada waktu itu telah
muncul sebuah bayangan mirip sekali dengan
guru Roro Centil yaitu si Manusia Banci, yang di-
dahului dengan mengikiknya suara tertawa tokoh
Rimba Hijau itu. Bayangan itu mirip arwah saja
dan menghantam buyar ke empat makhluk kecil
berkulit hitam itu yang berubah jadi gumpalan
asap. Lalu melenyap sirna. (pada waktu itu tubuh
si bocah siluman telah memecah menjadi empat,
setelah tertabas tubuhnya menjadi empat potong
oleh pedang Senapati Satryo).
Kini Roro Centil terkejut sekali dengan bisa
muncul dan menjelma lagi si bocah siluman itu.
Bahkan bersama seorang wanita yang berkulit
putih bagaikan kapas. Kedua makhluk itu meng-
hampiri Roro. Sementara ketiga Perwira cuma bi-
sa menatap dengan terperangah dan mata mem-
beliak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
ringkik kuda, dan derap mendatangi. Dan mun-
cullah Satryo. Laki-laki ini hentikan kudanya
dengan cepat, lalu melompat turun.
"Nona Pendekar Roro Centil! Anda berada di
sini..?". Teriak laki-laki itu. Roro tersenyum se-
raya mengangguk cepat, dan berkata;
"Bagus! Kau bantulah aku menumpas kedua
makhluk ini!"
"Dia bukan lagi manusia, Satryo...!" Tiba-tiba
terdengar suara lirih disusul dengan berkelebat-
nya sebuah bayangan putih. Dan di tempat itu te-
lah berdiri seorang tua berjenggot dan berkumis
panjang terjuntai. Ternyata tak lain dari Resi
Jenggala Manik.
"Resi Guru...!" Teriak Satryo dengan wajah gi-
rang. Satryo sudah mau beranjak melompat ke
arahnya. Akan tetapi sang Resi mengangkat sebelah lengannya.
"Sudahlah, Satryo! Tak usah banyak perada-
tan! Kita hadapi kedua makhluk siluman ini!" Se-
lesai berkata, laki-laki tua berjubah putih ini pe-
jamkan sepasang matanya. Bibirnya berkemak-
kemik seperti membaca do'a pada Yang Maha Ku-
asa. Sekejap kemudian tampak tubuh sang Resi
bergoncangan. Kedua lengannya, yang menyilang
di depan dada itu tiba-tiba bergerak terbuka. Se-
pasang matanya menatap pada kedua makhluk
itu. Kedua makhluk itu tampak mundur beberapa
langkah, seperti tak kuat menahan tatapan mata
sang Resi. Sementara itu Roro Centil sudah tak
sabar, dan perintahkan si Tutul yang barusan
melenyap untuk menerjang kedua makhluk silu-
man itu. Segera segumpal asap hitam meluncur
ke arah si bocah siluman dengan suara mengge-
ram dahsyat. Dan selanjutnya yang terlihat ada-
lah tubuh anak hitam itu jatuh bergulingan, tapi
tubuhnya seperti tak menyentuh tanah. Tak lama
segera ujud sang Harimau Tutul pun terlihat. Dan
tengah menerkam ganas dengan kuku dan ta-
ringnya.
Sementara tengah terjadi pergumulan seru itu
antara sama-sama makhluk siluman, Durgandini
yang telah menjadi makhluk halus itu tiba-tiba
menerjang Satryo... Terkejut laki-laki ini yang se-
gera menghindar melompat ke samping. Resi
Jenggala Manik telah berkelebat dari tempatnya.
Bibirnya telah membacakan MANTERA SUCI. Ke-
dua lengan sang Resi menghantam ke arah makhluk wanita bekas permaisuri
Raja Matsyapati itu, seraya berucap.
"Maaf, Durgandini! Kembalilah kau ke "Alam"
mu! Tak layak lagi kau muncul di alam fana!".
Terdengarlah suara meletup dahsyat.
BHUSSSSS...!
Dan tubuh Durgandini lenyap jadi gumpalan
asap, yang kemudian sirna. Sementara itu perta-
rungan sang Harimau Tutul dengan si bocah si-
luman masih berlangsung seru. Namun tak bera-
pa lama kepala si anak hitam itu sudah lenyap
menjadi asap ketika sang Harimau Tutul berhasil
membuka mulutnya, dan merencah kepala mak-
hluk kecil itu. Selang sesaat seluruh tubuh si bo-
cah siluman itupun sudah melenyap menjadi
asap, lalu sirna tanpa bekas.
Sang Harimau Tutul perdengarkan suara au-
mannya, lalu melompat kembali ke arah Roro
Centil. Kemudian melenyapkan diri. Satryo yang
melihat kejadian itu cuma tertegun dengan mulut
ternganga, sedangkan ketiga Perwira Mataram se-
dari tadi cuma bisa menyaksikan pertarungan
semacam itu.
Tiba-tiba pada saat itu juga cuaca berubah
gelap. Angin keras membersit bersiutan dan di
angkasa terlihat kilatan-kilatan petir yang kemu-
dian terdengar suaranya yang menggelegar.
Terperangah semua orang yang berada di si-
tu. Akan tetapi Resi Jenggala Manik tetap tenang.
Dia mengangkat kedua belah tangannya, teren-
tang ke arah langit. Bibirnya komat-kamit mem-
baca do'a.
THARRRRRR...! Satu kilatan petir menyambar
tubuh Mahesani yang sudah hangus terkapar di
tanah. Tubuh wanita itu lenyap jadi gumpalan
asap putih. Dan sekonyong-konyong menjelma
menjadi kepala Tri Agni, si manusia palasik. Ke-
pala tanpa tubuh yang berambut putih beriapan
itu membumbung naik ke atas, dengan perden-
garkan suara tangisan pilu menyeramkan. Tiba-
tiba segumpalan asap hitam bergerak memutar di
atasnya. Lalu meluncur turun menyambar kepala
wanita setan itu. Dan dibawahnya naik lagi ke
atas. Gumpalan asap hitam itu semakin mem-
bumbung terus ke atas, diterangi cahaya kilatan
petir yang berkredepan. Sementara angin keras
terus membersit tak kunjung henti.
Sekejap antaranya asap hitam itupun mele-
nyap. Angin yang meniup keraspun mulai terhen-
ti, kembali sepoi-sepoi. Dan cuaca lambat laut be-
rubah kembali menjadi terang-benderang. Mata-
hari yang sudah menggelincir ke arah barat kem-
bali tampakkan sinarnya. Mereka segera dapat
melihat kembali satu sama lain. Terlihat sang Re-
si sudah menurunkan lengannya, dan mengu-
sapkan ke wajahnya tiga kali. Terdengar kemu-
dian suara menghela napas laki-laki pertapa itu.
"Hm, sukurlah bahaya bagi umat manusia telah
bisa teratasi. Mudah-mudahan makhluk siluman
itu takkan kembali lagi mengacau di dunia!" Ber-
kata sang Resi dengan suara lirih. Semua yang
berada di situ menarik napas lega. Sementara itu
ketiga Perwira Kerajaan Mataram sudah melom-
pat ke depan mereka. Lalu menjura pada sang
Resi dan Roro Centil. Juga pada Satryo. Seraya
salah seorang berucap:
"Terima kasih atas usaha kalian semua mem-
bantu kami melenyapkan kerusuhan yang telah
mengganggu wilayah Kerajaan Mataram ini! Jasa
dan bantuan kalian yang amat tak ternilai ini
akan kami sampaikan pada baginda Raja Mata-
ram!" Dan belum lagi sang Resi atau Roro dan Sa-
tryo menyahut, ketiga Perwira Kerajaan Majapahit
itu sudah balikkan tubuh, untuk segera beranjak
ke arah mayat Ki Meranggi bekas Tumenggung
Kerajaan Matsyapati yang sudah punah itu. Den-
gan menggotongnya bertiga, segera beranjak pergi
tinggalkan tempat itu. Tak lama sudah terdengar
suara ringkik kuda, dan derapnya yang semakin
menjauh. Dan cuma menampak punggung-
punggung ketiga Perwira Kerajaan itu yang men-
gendarai kudanya tinggalkan itu.
***
Tak dikisahkan perpisahan ketiga tokoh itu.
Namun sekitar tempat pertarungan tadi sudah
bersih dari mayat-mayat. Cuma tinggalkan sisa-
sisa percikan darah di rerumputan.
Ketika matahari mulai membenam di lereng
gunung, tampak sesosok tubuh melangkah perla-
han meniti lereng bukit. Baju sutera warna hi-
tamnya masih terlihat gemerlapan terkena cahaya
layung warna merah. Dialah Roro Centil sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang sudah me-
nyelesaikan tugasnya sebagai Pendekar Penegak
Keadilan. Entah pengalaman apa lagi yang akan
dihadapinya di hari mendatang Kita serahkan saja pada Pengarangnya. O. K.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar