..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 16 Maret 2025

RORO CENTIL EPISODE MANUSIA BERACUN

matjenuh khairil

 

Hak Cipta Pada Pengarang 
Di bawah Lindungan Undang-undang

SATU


Puncak TANGKUBAN PERAHU terlihat agak 
samar tertutup mega putih. Mentari baru saja lepas 
dari peraduannya untuk jalankan tugas luhur dari 
Yang Maha Kuasa memberikan sinarnya pada alam 
semesta. Sesosok tubuh tampak menuruni lereng den-
gan gerakan cepat. Bila dilihat sepintas bagi mata 
orang biasa tentu akan menyangka bayangan hantu 
putih, yang berkelebatan diantara pepohonan menu-
runi lereng-lereng terjal itu dengan cepat sekali, Akan 
tetapi bagi mata orang yang telah terlatih, segera dapat 
melihat siapa adanya bayangan itu.
Ternyata adalah seorang laki-laki yang berpakaian serba putih. Menyandang pedang yang tersem-
bul dipundaknya. Ketika telah melalui hampir seperti-
ga dari ketinggian puncak Gunung itu, tampak dia 
hentikan larinya dengan berdiri di atas batu besar, 
Pandangan matanya menyapu alam sekitarnya. Dia 
seorang laki-laki yang masih muda berusia kira-kira 
delapan belas tahun. Berwajah tampan. Beralis tebal 
agak menjungkit ke atas. Rambutnya panjang sebatas 
bahu dengan ikat kepala warna putih. Sikap penampi-
lannya memang gagah. Sepintas orang yang melihat 
akan memuji kagum akan kegagahannya, Walaupun 
cuma berpakaian sederhana dan terbuat dari bahan 
kasar.
"Hm, menurut petunjuk guru, aku harus melakukan perjalanan ke arah selatan untuk bisa menjum-
pai seorang yang bernama GEMBUL SONA! Dengan

menunjukkan tato di lenganku ini, aku bisa diterima 
menjadi murid orang tua gagah yang masih terhitung 
paman guruku. Dan kelak bila aku telah menuntut il-
mu dan menguasai ajian "Belut Putih", ha ha ha .... 
ADHINATA bukan lagi seorang pemuda yang gampang 
dibodohi...!" Terdengar dia berkata sendiri.
Tak lama pemuda itu sudah berkelebat lagi 
menuruni lereng dengan gerakan cepat. Tidaklah mu-
dah untuk menuruni lereng gunung Tangkuban Pera-
hu yang masih berkabut serta penuh bahaya di depan 
mata. Binatang buas seperti harimau atau ular berbisa 
serta lereng terjal bisa membawa kematian setiap saat. 
Akan tetapi Adhinata adalah penghuni dari tempat 
yang penuh bahaya itu. Lebih dari lima tahun dia ber-
diam di puncak Tangkuban Perahu untuk berguru pa-
da seorang tua gagah bernama Ki PANUNJANG JAGAT.
Kakek kosen itu telah menurunkan bermacam 
ilmu kedigjayaan padanya. Dan pada hari itu adalah 
masanya dia turun gunung, karena telah menamatkan 
pelajarannya. Namun sang guru menugaskan Adhinata 
untuk memperdalam ilmunya pada sang adik sepergu-
ruannya yang bernama GEMBUL SONA di wilayah se-
latan.
---ooOoo---
Rakyat wilayah desa Padukuhan yang terletak 
tak jauh dari Gunung BUKIT TUNGGUL baru saja 
mengalami sebuah musibah, yaitu munculnya ratu-
san, bahkan ribuan ular-ular berbisa besar dan kecil 
dari perbagai jenis yang menyebar ke rumah-rumah 
penduduk. Tentu saja keadaan menjadi kacau. Jerit 
ketakutan terdengar disana-sini. Kemunculan ular-
ular berbisa Itu pada tengah malam. Menjelang pagi 
segera diketahui banyak korban berjatuhan. Belasan

penduduk terdiri dari laki-laki, wanita dan anak-anak 
kedapatan mati dengan tubuh keracunan. Dan aneh-
nya pada dinihari ular-ular itu lenyap.
Ratap tangis terdengar dari beberapa rumah 
yang keluarganya menjadi korban. Tentu saja pendu-
duk jadi resah ketakutan. Beberapa keluarga sudah 
melakukan pengungsian ke beberapa desa lain, karena 
khawatir ular-ular itu kembali lagi. Menjelang malam 
tiba diadakan penjagaan ketat. Tampak wajah-wajah 
dari setiap peronda dalam keadaan tegang. Pada len-
gan masing-masing memegang senjata. Apa saja yang 
bakal dipergunakan. Ada yang membawa golok, pe-
dang, arit atau tombak serta bermacam senjata yang 
dapat dipergunakan untuk membunuh ular-ular. Me-
reka berkumpul menjadi beberapa kelompok. Masing-
masing kelompok dipimpin oleh seorang laki-laki yang 
berani. Obor-obor dipasang di setiap halaman rumah. 
Juga mereka masing-masing mencekal sebuah obor. 
Desa Padukuhan jadi tampak terang-benderang seperti 
tengah mengadakan pesta.
Menjelang tengah malam tiba-tiba terdengar 
suara desis dari segala penjuru. Benar saja, ular-ular 
itu kembali bermunculan. Akan tetapi para pemuda 
desa dan kaum laki-laki tua segera pergunakan obor 
dan senjata-senjatanya untuk membunuh, merencah 
ular-ular itu. Kegaduhan kembali menyibak di sekitar 
desa Padukuhan. Suara teriakan, jeritan dan suara 
tombak atau kayu serta alat pemukul lainnya yang di-
pergunakan membunuh ular-ular Itu terdengar di sa-
na-sini. Obor-obor pun dipergunakan untuk mengusir 
makhluk melata yang tak ketahuan dari mana datang-
nya itu.
Akan tetapi mereka pun akhirnya kewalahan. 
Ratusan ular itu bermunculan silih berganti seperti 
tiada habisnya. Bahkan mulai menyerang mereka yang

mencoba mengusir dan membunuhnya. Beberapa pe-
ronda sudah perdengarkan jeritannya, karena puluhan 
ular yang menerobos semakin banyak dan berhasil 
mematuk mereka. Akhirnya keadaan kembali kacau 
balau. Bahkan api dari obor yang terlempar telah 
membuat salah sebuah rumah segera terbakar.
Jeritan wanita dan anak-anak menambah ke-
gaduhan dimana-mana. Ternyata ratusan ular itu te-
lah menerobos masuk ke dalam rumah. Mematuk atau 
membelit setiap sesuatu yang bergerak. Korbanpun 
kembali berjatuhan.....Sementara kebakaran tak dapat 
diatasi. Tiga buah pondok terbakar musnah jadi abu 
dan puing.
Menjelang pagi hari ribuan ular itu kembali le-
nyap. Dan tampaklah sebuah pemandangan tragis. 
Mayat bergelimpangan dimana-mana. Kali ini korban 
bukan saja oleh ular berbisa melainkan juga oleh api, 
yang membakar tak kurang dari lima belas manusia 
besar dan kecil. Sementara puluhan penduduk berge-
limpangan tak bernyawa dengan bekas-bekas patukan 
di sekujur tubuhnya.
Suara derap kaki-kaki kuda telah mendatangi 
desa Padukuhan di pagi yang masih agak temaram itu. 
Ternyata Tumenggung TIRTALAGA yang datang bersa-
ma sebelas pengawalnya. Mereka adalah para pengaw-
al utama yang mempunyai kepandaian tinggi.
"Ah...?" Sang Tumenggung keluarkan suara ter-
sentak, memandang mayat-mayat yang bergelimpan-
gan itu dengan mata membeliak.
"Ular-ular keparat dari manakah yang meng-
ganggu ketentraman penduduk desa ini?" Terdengar 
suara desisnya bercampur haru. Beberapa orang desa 
yang masih bisa menyelamatkan nyawanya tergesa-
gesa menyambut kedatangan Tumenggung ini, dengan 
duduk bersimpuh dan wajah-wajah trenyuh.

"Aku sungguh tak menduga kalau kejadian 
akan berulang...!" Berkata Tumenggung Tirtalaga den-
gan suara haru. Dan Seperti menyesal akan tindakan 
yang diambilnya, hingga ketika laporan datang dia tak 
cepat menanggapi. Ya...! cuma karena seorang perem-
puan.....Agak lama Tumenggung ini tercenung.
Namun segera sadar dan perintahkan sebelas 
pengawalnya untuk membantu mengangkati jenazah 
dari para korban ular-ular berbisa. Segera kesebelas 
pengawal itu melompat turun dari kudanya untuk ber-
gegas menjalankan tugas itu. Sedangkan Tumenggung 
itu sendiri segera memeriksa keadaan sekitar desa. 
Kening laki-laki berusia 40 tahun ini berkerut, karena 
anehnya dia tak melihat sepotong pun bangkai ular.
Menurut laporan yang baru saja diterimanya, 
malam tadi semua laki-laki berjaga-jaga dan memben-
tuk beberapa kelompok di setiap tempat dengan siap-
siaga untuk menjaga kalau-kalau ular-ular itu datang 
lagi. Jelas dari bekas-bekas kejadian pertarungan me-
lawan makhluk itu terlihat disana-sini, yang keadaan-
nya porak-poranda.
-ooOoo-
Terduduk sang Tumenggung diakar pohon. Se-
pasang matanya menatap jauh ke depan. Jauh seka-
li.... ke masa yang telah silam. Dan terbayanglah pada 
kelopak matanya seorang tokoh hitam yang menama-
kan dirinya si RAJA RACUN. Manusia itu memang se-
lalu membawa ular-ular kemanapun dia
pergi. Akan tetapi itu ular sungguhan, tidak se-
perti yang terjadi pada saat ini. Jelas ular yang datang 
ribuan banyaknya dan menyerang desa adalah ular-
ular siluman. Demikian memikir dibenak Tumenggung 
Tirtalaga.

Ular-ular siluman itu bisa datang sedemikian 
banyaknya pasti suruhan orang!" Desis suara sang 
Tumenggung yang terdengar perlahan. Entah siapakah 
manusianya yang telah melakukan perbuatan keji ini? 
Dan apakah kesalahan penduduk desa padukuhan 
ini.. ? Gumamnya dalam hati.
Pada saat itu seorang pengawal telah meng-
hampirinya. Ternyata memberi laporan pada atasan-
nya itu. "Gusti Tumenggung seorang pemuda mengaku 
bernama ADHINATA telah kami tahan. Karena dia 
membawa seekor ular..! Hamba mempunyai prasang-
ka, jangan-jangan dialah si pawang ular yang telah 
mendalangi kejadian di desa ini!" Tutur sang pengawal 
dalam laporannya. Tampak Tumenggung Tirtalaga ke-
rutkan keningnya.
"Seorang pemuda bernama ADHINATA...?" Gu-
mamnya perlahan.
"Ya! Hamba kira ada baiknya gusti memeriksa 
anak muda itu. Siapa tahu kalau gurunya adalah seo-
rang tokoh keji yang justru melakukan kejahatan 
ini...!" Sambung sang pengawal.
"Hm, benar juga...! ya, siapa tahu! mungkin ju-
ga aku dapat mengorek beberapa keterangan dari mu-
lutnya!" Berkata Tumenggung dengan bangkit berdiri. 
Lalu beranjak menghampiri kudanya untuk segera me-
lompat ke atas kelana. Tak lama sang Tumenggung
sudah berada di atas punggung tunggangannya.
***
DUA


Ternyata Adhinata telah dikurung oleh pengaw-
al-pengawal utama sang Tumenggung, karena dia 
membawa seekor ular yang telah ditangkapnya diperjalanan ketika menuruni lereng Gunung Tangkuban Pe-
rahu. Tentu saja Adhinata jadi mendongkol karena di-
hadang oleh sepuluh pengawal Kerajaan itu, disamping 
merasa heran karena dia merasa tak mempunyai kesa-
lahan apa-apa.
"Tunggulah sampai Gusti Tumenggung datang, 
Beliau yang akan memeriksa mu dan mengizinkan kau 
lewat bila ternyata kau tak mempunyai kesalahan!" 
Berkata salah seorang dari pengawal itu. Tak lama ter-
dengar suara derap kaki kuda mendatangi. Dan mun-
cul sang Tumenggung bersama pengawal yang membe-
ri laporan tadi.
"Heh!?" Andakah tumenggung Tirtalaga itu...?" 
Tanya Adhinata tanpa menjura. Sepasang lengannya 
masih mempermainkan seekor ular hijau yang pan-
jangnya hampir satu kaki.
"Benar!" menyahut Tirtalaga dengan anggukkan 
kepala, dan melompat turun dari kudanya.
"Boleh aku tahu siapa namamu, dan siapa gu-
rumu, anak muda...?" Tanyanya walaupun dia sudah 
tahu nama pemuda itu. Dengan wajah sinis Adhinata 
menatap tajam pada laki-laki abdi Kerajaan di hada-
pannya. Semua itu dilakukan karena rasa mendong-
kolnya pada orang yang telah menahan langkahnya.
"Namaku Adhinata .... Guruku bernama Ki Pa-
nunjang Jagat yang bersemayam di puncak Gunung 
Tangkuban Perahu!" Sahut Adhinata dengan suara ke-
tus.
"Oh...? Kiranya anda murid kakek gagah itu? 
Maafkanlah kami, sobat Adhinata! Kami terpaksa me-
nahanmu, karena setidak-tidaknya para pengawalku 
mencurigai anda, sebabnya adalah binatang yang kau 
pegang itu." Berkata sang Tumenggung dengan suara 
rendah dan senyum menghias bibir.
"Maksud anda ular yang aku tangkap diperjalanan tadi ini...?"
Tanya Adhinata dengan terperangah. Tumeng-
gung mengangguk dengan menarik napas panjang. "Di
desa ini seperti kau lihat banyak mayat berserakan. 
Mereka adalah para korban gigitan ular berbisa." Tu-
kas Tirtalaga. Segera diceritakannya kejadian itu seca-
ra singkat pada Adhinata yang mendengarkannya den-
gan penuh perhatian. Sementara kesebelas pengawal 
jadi tersipu. Setelah menjura pada Adhinata, segera te-
ruskan pekerjaannya membantu mengurus para kor-
ban.
"Hendak kemanakah sebenarnya tujuanmu, 
adik Adhinata?" Tanya Tumenggung.
"Aku dalam perjalanan ke selatan untuk men-
jumpai paman guruku yang bernama Gembul Sona!" 
Jawab Adhinata, seraya meloloskan belitan tubuh ular 
hijau itu dari tubuhnya. Jari-jarinya menjepit kuat 
leher ular itu, sehingga makhluk itu tak bisa berkutik.
Akan tetapi pada saat itu sebuah bayangan 
berkelebat, dan .... PLASH ....! Ular di tangan Adhinata 
lenyap. Dan tahu-tahu di situ telah berdiri sesosok tu-
buh laki-laki berambut beriapan. Dengan pakaian 
kumal penuh tambalan. Bau tak sedap segera teren-
dus hidung. Ternyata seorang laki-laki tua berwajah 
menyeramkan. Sepasang matanya menonjol keluar. 
Gigi besar-besar menyembul dari bibirnya yang tebal. 
Mempunyai rahang yang lebar. Dengan kumis dan 
jenggot tidak terurus. Dia membawa kantong kulit 
yang tergantung di pinggang. Pada pergelangan lengan 
dan kaki serta di lehernya tampak membelit ular-ular 
belang. Itulah ular berbisa yang biasanya amat mema-
tikan. Sedang pada lengannya tampak ular hijau yang 
baru saja sambarnya dari tangan Adhinata. Melihat 
tampang orang ini, Tumenggung Tirtalaga kerutkan 
keningnya. Sementara laki-laki itu sudah tertawa menyeringai seraya mengelus-elus kepala ular hijau itu.
"Heheheheheh .... ular bagus! ular bagus...! Da-
ri mana kau dapatkan ular ini bocah?" Ujarnya seraya 
menatap pada Adhinata. Sementara Adhinata sendiri
terkejut karena tadi merasa serangkum angin 
menyambar pergelangan tangannya. Terpaksa dia le-
paskan ularnya kalau tak ingin lengannya tertotok. 
Benar saja, ternyata gerakan cepat yang dilakukan 
orang itu memang menotok pergelangan tangan Adhi-
nata, disertai menyambarnya lengan orang itu untuk 
merampas ular yang dicekalnya.
Saat itu Tumenggung Tirtalaga telah berseru 
dengan tersentak.
"Raja Racun...! kaukah adanya...?" Laki-laki tua 
kumal itu palingkan wajahnya pada sang Tumenggung 
seraya ucapnya dengan menyeringai.
“Heheheheh... benar! Aku si Raja Racun! Sudah 
lebih dari empat tahun kita tak pernah berjumpa Tu-
menggung!"
"Heh! benar... akan tetapi kau masih punya 
persoalan yang belum diselesaikan terhadap Adipati 
KAMBANGAN. Dan tugas untuk menangkapmu masih 
berlaku!" Berkata Tumenggung Tirtalaga seraya beri-
kan isyarat pada para pengawal anak buahnya untuk 
mengurung si Raja Racun ini. Enam orang pengawal 
yang melihat isyarat itu segera hunus senjatanya un-
tuk mengepung si Raja Racun dari enam penjuru. Me-
lihat gelagat demikian tampaknya si Raja Racun tak 
menampakkan reaksi apa-apa. Bahkan dengan lengan 
masih mengelus kepala ular hijau itu, kembali dia aju-
kan pertanyaan pada Adhinata.
"Eh, bocah... kau belum jawab pertanyaanku,
dari mana kau dapatkan ular yang bagus ini?" Adhina-
ta gerakkan alisnya menyatu, dengan menatap heran.
"Aku menemukan di lereng gunung Tangkuban

Perahu!" Jawabnya.
"Kesalahan apakah kau pada Adipati Kamban-
gan, hingga kau harus di tangkap! Bolehkah aku men-
getahui?" Tanya Adhinata. Sementara pandangannya 
dialihkan menatap pada Tumenggung Tirtalaga.
"Hm, si Raja Racun ini pada empat tahun yang 
lewat pernah merampok di gedung Kadipaten, dan me-
newaskan lebih dari selusin pengawal. Selain itu juga 
menodai istri Kanjeng Adipati! Hal itu sudah bukan hal 
biasa lagi. Akan tetapi menyangkut nama baik Kanjeng 
Adipati dan kami sebagai orang-orang bawasannya! 
Aku telah ditugaskan untuk mencarinya! Hidup atau 
mati! Sayang dia melenyapkan diri tak ketahuan ke-
mana rimbanya!" Tentu saja penjelasan itu membuat 
Adhinata melengak. Sementara sang Tumenggung te-
lah mencabut kerisnya. Dan membentak keras.
"Raja Racun...! kau serakanlah dirimu untuk 
kami belenggu. Dan terserah Adipati. Beliaulah yang 
akan menentukan hukuman buatmu...!"
"Heheheh... kejadian itu sudah terlalu lama. 
Dan selama ini aku tak pernah melakukan perbuatan 
apa-apa selain mengeram diri di sarangku. Kukira se-
baiknya lupakan saja hal itu! toh kau selamanya tidak 
akan naik pangkat menjadi Adipati! heheheh..., he-
heh...!" Berkata Si raja Racun yang nama aslinya ada-
lah Langir Sheto.
"Kau telah salah beranggapan, Raja Racun! Wa-
lau seumur hidup aku tak naik pangkat, namun bagi-
ku tugas adalah tetap tugas yang harus dipatuhi! Dan 
setiap kejahatan harus mendapat ganjaran hukuman!" 
Ujar Tumenggung itu.
"Bagus! kau memang seorang abdi Kerajaan te-
ladan, Tumenggung Tirtalaga! kau suruhlah pengawal-
pengawalmu ini untuk meringkusku! Apakah punya 
kemampuan hebat setelah sekian lama kau latih menjadi pengawal utama!" Tentu saja hinaan itu membuat 
kesebelas pengawal yang sudah berkumpul menyebar 
mengurung si Raja Racun itu jadi panas hatinya. Dan 
tanpa menunggu perintah tiga orang telah menyerbu 
dengan berbareng, diiringi bentakan keras menggele-
dek.
"Gembel bau...! bacotmu itu baiknya diremuk-
kan...!"
"Modar saja sekalian...!" Teriak seorang lagi 
hampir berbareng. Dan tiga buah senjata terdiri dari 
sebilah golok panjang dan dua buah tombak meluncur 
deras untuk merencah dan memanggang tubuhnya. 
Akan tetapi dengan mendengus si Raja Racun gerak-
kan tubuhnya melesat. Entah bagaimana tahu-tahu 
sepasang kakinya telah menginjak dua mata tombak si 
kedua pengawal. Serangan pengawal bergolok panjang 
itupun lolos disela kakinya yang terpentang. Dan tahu-
tahu di luar dugaan ular hijau yang dipegangnya itu 
telah meluncur ke leher si pengawal bergolok panjang 
yang seketika jadi terperanjat. Namun dia tak
sempat untuk mengelak lagi. Terdengar jeritan 
menyayat hati karena segera sang ular telah mema-
gut. Ekornya masih tercekal di lengan si Raja Racun.
Pengawal itu lepaskan golok panjangnya, dan 
roboh terjungkal untuk selanjutnya berkelojotan. Se-
mentara kedua pengawal telah tarik kedua tombaknya. 
Mereka Jadi terheran, karena tubuh si Raja Racun itu 
seperti seringan kapas menempel di kedua ujung tom-
bak. Namun justru mereka menariknya, tubuh si Raja 
Racun bergerak cepat memutar. Sepasang kakinya te-
lah bergerak cepat sekali menghantam kedua pengawal 
itu.
PRAK...! PRAK...!
Kedua pengawal itu perdengarkan teriakan se-
kejap, dan ketika kedua tubuh mereka menggabruk ketanah. Nyawanya pun lepas seketika. Ternyata kedua 
batok kepalanya telah pecah dengan otak berhambu-
ran. Terperangah para pengawal lainnya dengan mata 
membeliak kaget. Sementara si pengawal bergolok pan-
jang Itu ternyata sudah tewas dengan sekujur kulit tu-
buhnya berubah menghitam.
Betapa gusarnya para pengawal lainnya. Seren-
tak sudah berlompatan mengurung si Raja Racun. Kali 
ini mereka telah mengambil pelajaran dengan kejadian 
tiga pengawal yang bertindak ceroboh itu, untuk ber-
tindak hati-hati.
Dua orang maju membuka serangan. Seorang 
mempergunakan sepasang kapak. Seorang lagi bersen-
jatakan sepasang tombak pendek bermata tiga. Den-
gan membentak keras kedua pengawal itu putarkan 
senjata untuk selanjutnya menerjang dengan jurus 
pancingan. Si Raja Racun sambarkan ularnya ke arah 
leher salah seorang sementara sebelah lengannya 
menghibas. Melesatlah seekor ular belang kecil yang 
menempel dipergelangan tangannya. Akan tetapi den-
gan sebat sepasang kapak dan sepasang tombak mere-
ka segera menghantam saling susul.
WHUT! WHUT! WHUKK! WHUKK...!
Di luar dugaan si Raja Racun menarik kembali 
serangannya. Kecuali ular belang kecil. Namun gera-
kan selanjutnya teramat cepat, tahu-tahu ular hijau 
itu telah berubah arah menahan serangan dan justru 
melesat untuk menyambar ke bawah lengan hingga 
sekejap telah menggubat di lengan si pemegang kapak. 
Terkejut pengawal itu. Seketika sudah perdengarkan 
pekikannya, karena sang ular telah memagutnya den-
gan ganas. Sepasang kapaknya secara tak sadar terle-
pas jatuh. Sementara ular belang itu sudah lolos dari 
serangan.
Teriakan berikutnya adalah si pemegang tombak pendek. Karena saat si Raja Racun menarik kem-
bali ular hijau, keadaan tubuhnya dalam posisi menye-
rang. Sebab sekali lengan si Raja Racun menghibas. 
Menyambarlah seekor lagi ular belang dari pergelangan 
lengan kirinya. Tahu-tahu sudah memagut leher pen-
gawal itu. Dan tubuh itu sekejapan sudah terjungkal 
roboh dengan berkelojotan meregang nyawa. Di lain 
kejap nyawanya pun melayang.
"Jaga kerisku...!" Tiba-tiba terdengar bentakan 
keras. Sinar berwarna kuning membersit cepat sekali
mengarah leher si Raja Racun. Itulah sambaran 
keris pusaka Sang Tumenggung. Sejenak laki-laki 
kumal berwajah buruk itu terpukau. Nyaris lehernya 
kena terserempet kalau dia tak jatuhkan diri bergulin-
gan. Akan tetapi keris bersinar kuning itu seperti men-
gejar nyawanya. Kembali meluncur bersiulan mener-
jang tubuhnya. Beberapa serangan beruntun dari sang 
Tumenggung itu dapat dihindarkan dengan perguna-
kan lompatan-lompatan mirip kodok. Ketika dengan 
cepat tiba-tiba si Raja Racun menekan sebelah telapak 
tangannya ke tanah. Tubuhnya bergerak memutar dan 
pergunakan kakinya menghantam lawan. Gesit sekali 
sang Tumenggung melompat menghindar. Justru si 
Raja Racun luncurkan ular mautnya.
KREP! Ular hijau itu sudah menggubat leher 
sang Tumenggung. Terperangah laki-laki abdi kerajaan 
ini. Namun segera kerisnya bergerak menabas.
CRAS...! Putuslah leher ular hijau itu.
Tiga batang tombak yang dilemparkan tiga pen-
gawal itu nyaris memanggang tubuhnya kalau tak 
sempat si Raja Racun menghindar dengan melompat 
gesit. Di detik itu lengannya sudah bergerak mengibas. 
Tiga ekor ular belang meluncur cepat sekali...
Dan terdengarlah jeritan parau para pengawal 
Itu. Ternyata pada leher masing-masing telah menggubat dan memagut ular-ular belang kecil itu untuk me-
renggut nyawa. Kembali roboh tiga pengawal yang te-
was seketika dengan tubuh berubah menghitam. "Aku 
akan adu jiwa denganmu, iblis Raja Racun!"
Bentak sang Tumenggung yang segera pergu-
nakan kerisnya menerjang ganas. Segelombang angin 
membersit mengeluarkan hawa dingin. Tampak tubuh 
Tumenggung Tirtalaga berkelebat bagaikan bayangan 
menerjang si Raja Racun dari perbagai penjuru.
Sekitar tempat itu tiba-tiba dipenuhi hawa din-
gin. Tiga orang lagi sisa pengawal sang Tumenggung 
yang masih hidup itu segera melompat mundur dan 
pasang mata untuk memperhatikan jalannya perta-
rungan. Sambil berjaga ketat untuk memberi bantuan 
bila pemimpin mereka terdesak, disamping agak jeri 
pada ular-ular belang yang ganas itu.
***
TIGA


Sementara Adhinata cuma berdiri terpaku tan-
pa mengambil tindakan untuk membantu salah satu 
pihak. Nyatanya dia lebih senang menonton pertarun-
gan adu jiwa itu dengan tersenyum-senyum. Kadang-
kadang memuji sang Tumenggung yang mempunyai 
gerakan lincah dengan keris di tangannya menyambar-
nyambar mengancam jiwa lawan. Namun sekejap su-
dah memuji si Raja Racun yang dapat melompat-
lompat mirip seekor kodok untuk menghindari seran-
gan ganas sang Tumenggung, dan melakukan seran-
gan balasan dengan ular-ularnya.
Sebelas jurus telah berlalu. Tampaknya si Raja 
Racun sudah bosan untuk bertindak setengah

setengah menguji kelincahan lawan. Tiba-tiba tubuh-
nya berkelabatan lebih cepat, hingga yang menampak 
cuma bayangan tubuhnya saja menerjang sang Tu-
menggung dengan serangan-serangan ular mautnya. 
Tumenggung Tirtalaga pun bukan orang yang berke-
pandaian rendah. Disamping berilmu tinggi, juga ba-
nyak pengalaman di Rimba Hijau. Bahkan dia sudah 
mengenal akan setiap gerakan si Raja Racun itu. Apa-
lagi dengan kemunculan manusia ini, justru dia sema-
kin bersemangat untuk menjatuhkan atau membunuh 
lawan. Karena disinilah letaknya kesempatan menyele-
saikan tugasnya yang selama empat tahun dipikulkan 
dipundaknya.
Titah sang Adipati Kambangan harus segera 
tuntas. Itulah tekad yang telah bulat dihatinya. Keris 
pusakanya segera digerakkan cepat untuk memben-
tengi tubuhnya, dari serangan-serangan ganas lawan. 
Sementara lengan kirinya lakukan hantaman-
hantaman dahsyat!
CRASS! CRAS! Dua ekor ular belang terbabat 
putus, ketika sang Tumenggung dengan perhitungan 
mantap berhasil gunakan gerak tipu memindahkan 
perhatian lawan pada serangan lengan kirinya. Puku-
lan lengan kiri Tumenggung ini justru lebih berbahaya 
dari kerisnya, karena telah diisi dengan ajian-ajian 
yang luar biasa. Terkadang angin pukulannya mem-
bersitkan hawa panas. Terkadang menerjang dengan 
luncurkan hawa dingin yang dapat membekukan da-
rah lawan.
Merahlah wajah si Raja Racun, karena dia telah 
menganggap enteng lawannya. Diam-diam dengan ber-
kelebatan menghindar dari serangan ganas sang Tu-
menggung, lengannya telah merogoh ke kantong kulit-
nya. Segenggam serbuk racun ganas segera meluruk 
bagai hujan ke arah Tumenggung itu....

Tampaknya sukarlah sang Tumenggung itu 
menghindarkan diri, karena serbuk racun itu amat ha-
lus yang menyebar dengan cepat di luar dugaan laki-
laki abdi kerajaan itu.
Terperangah sang Tumenggung seketika. Ju-
stru serangan mendadak itu dilakukan di saat dia len-
gah, karena terpancing oleh tipu daya lawan, yang 
hentikan serangan untuk biarkan dirinya menyerang. 
Hingga sang Tumenggung tak lagi membentengi tu-
buhnya. Dan di saat yang baik, si Raja Racun gunakan 
kesempatan itu untuk menyerang dengan menaburkan 
serbuk racun.
"Celaka...!" Sentak sang Tumenggung. Saat itu 
tubuhnya dalam keadaan doyong ke depan setelah 
gagal menyerang lambung lawan dengan keris pusa-
kanya. Justru tubuh si Raja Racun menyelinap ke ba-
wah dengan lompatan kodoknya, dan serangan bubuk 
halus dari racun ganas itu meluruk dengan cepat su-
kar untuk dihindarkan lagi.....
PRASSS....! Terdengar teriakan parau Tumeng-
gung Tirtalaga. Dan terjungkal roboh dengan seketika, 
untuk seterusnya berkelonjotan meregang nyawa. Se-
kejap kemudian tubuh laki-laki gagah perkasa itu su-
dah mengejang kaku dengan perut membusuk menge-
luarkan cairan berwarna hitam. Terperangah ketiga 
pengawal dengan mata membeliak melihat kejadian 
yang berlangsung cepat itu. Tak sempat lagi mereka 
bertindak. Karena pertarungan itu berada ditingkatan 
mereka. Dan serangan mendadak itu terlalu cepat un-
tuk diikuti penglihatan mereka.
Serentak ketiga pengawal itu melarikan diri lin-
tang pukang.... Ternyata si Raja Racun tak mengejar-
nya, melainkan tertawa terbahak-bahak, membuat tiga 
pengawal itu ketakutan setengah mati, dan lari jatuh 
bangun. Sementara Adhinata masih berdiri terkesima

melihat semua kejadian itu.
"Serangan ganas...! Racun yang hebat dan 
mengerikan...!" Gumamnya dengan suara berdesis. Se-
pasang matanya sudah dialihkan lagi menatap pada 
mayat sang Tumenggung Tirtalaga, setelah melihat ke-
tiga pengawal itu lenyap dikerimbunan pepohonan.
"Hahahahah... benar! inilah racun ular yang 
amat langka, yang kutemukan di sebuah pulau terpen-
cil. Ular hijau yang kau temukan itupun mempunyai 
bisa yang hebat!" Berkata si Raja Racun. Sepasang ma-
tanya sudah bergerak mencari-cari kepala ular yang 
terbabat putus keris Tumenggung Tirtalaga tadi, dian-
tara mayat-mayat yang bergelimpangan.
Sesaat sudah ditemukan dan dengan sekali tu-
buhnya membungkuk, potongan kepala ular itu sudah 
berada dalam cekalan tangannya. Sementara orang-
orang desa Padukuhan yang melihat pertarungan maut 
itu sejak tadi sudah menyingkirkan diri.
"Hm, siapakah namamu, bocah? Tampaknya 
kau tak ambil perduli pada pertarungan barusan. Ti-
dakkah kau berhasrat menolong si Tumenggung ini?" 
Tiba-tiba si Raja Racun ajukan pertanyaan pada Adhi-
nata.
"Heh, apa urusannya denganku? Aku tak 
mampu mencampuri urusan yang bukan urusanku!" 
Ujar Adhinata dengan wajah angkuh. "Namaku Adhi-
nata." Melengak si Raja Racun Langir Sheto ini. Akan 
tetapi segera perdengarkan suara tertawa terbahak, se-
raya ujarnya.
"Hahahah... hahahah... bagus! bagus! baru se-
kali ini aku menjumpai orang yang berpendirian sema-
cammu!"
"Kemanakah tujuanmu anak muda...? Tam-
paknya kau baru saja turun gunung. Siapakah nama-
mu, dan siapa pula gurumu?" Tanya si Raja Racun

dengan sepasang mata agak disipitkan memperhatikan 
wajah dan perawatan tubuh Adhinata. Seperti tengah 
menaksir atau menimbang-nimbang tulang belulang 
pemuda di hadapannya yang tampak bertulang besar-
besar berbungkus kulit dan daging serta otot yang ke-
kar.
"Namaku Adhinata. Benarlah seperti dugaan-
mu, Raja Racun....! Aku baru saja turun gunung. Gu-
ruku bernama Ki Panunjang Jagat. Dan tujuanku ada-
lah menuju ke wilayah selatan untuk menemui paman 
guruku...!" Sahut Adhinata. Kakek bermuka seram itu 
krenyitkan alisnya.
"Siapakah nama paman gurumu itu...?" Tanya 
lagi si Raja Racun.
"Beliau bernama Gembul Sona!" Sahut Adhina-
ta tanpa menyebutkan nama julukannya. Akan tetapi 
Langir Setho sudah tertawa menyeringai, seraya berka-
ta.
"Hehehe... apakah tujuanmu mau memperda-
lam Ilmu pada si Belut Putih itu?" Tentu saja membuat 
Adhinata melengak heran.
"Hm, ya...! Guruku menitahkan demikian!" Sa-
hut Adhinata pendek. Sementara Adhinata melengak
heran karena si kakek muka seram itu telah mengeta-
hui julukan yang dirahasiakan itu, juga maksudnya 
menemui sang paman guru.
"Bukan aku menghina, anak muda... tapi kalau 
cuma memiliki ajian "Belut Putih" si Gembul Sona itu 
tidaklah berarti apa-apa. Aku juga tak melarangmu ka-
lau kau mau menuntut ilmu "Belut Putih" itu. Cuma 
sayang.... kau bertulang baik, juga telah memiliki da-
sar tenaga dalam yang kuat. Aku kenal baik dengan 
gurumu Ki Panunjang Jagat itu. Tentunya kau telah 
mewarisi ilmu-ilmu kedigjayaannya. Sebenarnya aku 
sudah enggan berkecimpung di Rimba Persilatan. Akan

tetapi peristiwa lama itu dan ketololan si Tumenggung 
ini telah membuat aku mengotori lagi tanganku yang 
sudah ku cuci bersih!" Berkata si Raja Racun bernama 
Langir Setho itu dengan perdengarkan suara helaan 
napas.
Tentu saja sedikit kata-kata si Raja Racun itu 
telah membuat goyahnya niat Adhinata, yang memang 
bertujuan menuntut Ilmu Ajian Belut Putih yang ter-
sohor kehebatannya itu pada paman gurunya.
"Apakah ada ilmu lain yang lebih hebat dari 
Ajian Belut Putih?" Tanya Adhinata. Sengaja dia laku-
kan pertanyaan untuk mengorek keterangan dari si 
Raja Racun itu yang tampaknya menyembunyikan se-
suatu yang dirahasiakan.
"Hahahahah... haha... ilmu apapun tanpa 
adanya benda mustika di dunia ini takkan berarti apa-
apa, anak muda... Justru aku sedang bingung. Aku 
sudah niat cuci tangan dari Dunia Rimba Hijau, se-
dangkan aku mempunyai dua pasang benda mustika. 
Akan kuwariskan pada siapakah benda mustika itu? 
Karena amat disayangkan kalau benda itu tak bergu-
na... Padahal dengan memiliki kedua pasang benda 
mustika itu, siapapun akan dapat merajai Dunia Persi-
latan tanpa ada yang mengalahkan!" Berkata si Raja 
Racun yang memperlihatkan wajah kecewa.
Seraya berkata kakinya sudah beranjak untuk 
melangkah pergi. Tentu saja membuat Adhinata ter-
sentak. Sebagai orang yang masih berusia muda dan 
belum mengenal akan seluk-beluk dunia Rimba Hijau 
akan mudah saja percaya pada setiap kata-kata manis. 
Apalagi ambisinya masih menggebu. Mendengarkan 
adanya dua pasang benda mustika berada di tangan si 
Raja Racun itu, sudah lantas menarik perhatiannya.
"Eh, kakek Raja Racun... tunggu...!" Tubuhnya 
sudah berkelebat untuk menyusul. "Benda mustika

macam apakah yang kau miliki...?" Bertanya Adhinata. 
Si Raja Racun palingkan wajahnya menatap Adhinata.
"Ah, sudahlah... sebaiknya kau pergi menemui 
si Gembul Sona, bukankah kau mau mempelajari ilmu 
Belut Putih?" Tukas Langir Setho. Sekejap dia sudah 
balikan tubuhnya, dan melesat pergi dengan perguna-
kan ilmu lari cepat tanpa menoleh lagi. Melengak Ad-
hinata. Hatinya sudah tertarik mendengar adanya se-
pasang benda mustika yang dapat membuat si pemi-
liknya akan dapat merajai Dunia Persilatan, tanpa ada 
yang mampu mengalahkan. Mana mungkin Adhinata 
membiarkan si kakek Raja Racun itu pergi begitu saja? 
Tubuhnya tiba-tiba telah berkelebat menyusul. Dan 
dengan diam- diam terus membuntuti. Ternyata si Ra-
ja Racun ini telah berhasil menggunakan akalnya un-
tuk memancing Adhinata menguntitnya. Tentu saja dia 
bersikap seolah-olah tak mengetahui kalau dirinya di-
buntuti.....
"Heheheh... kali ini percobaan ku tak boleh 
gagal!" Terdengar desis suara Langir Sheto menggu-
mam. Sementara si Raja Racun itu semakin memper-
cepat larinya meninggalkan wilayah itu menuju ke
arah barat.......
***
EMPAT


Adipati Kambangan tertunduk pedih menatap 
mayat-mayat yang bergelimpangan dihadapannya. Bu-
kan saja terkejut mendengar tewasnya Tumenggung 
Tirtalaga dan sembilan pengawal utama, akan tetapi 
juga terkejut mendengar munculnya si Raja Racun 
yang sudah lebih dari empat tahun tak ada beritanya.

Juga satu masalah lain, yaitu berita yang sudah men-
jadi kenyataan di depan mata. Yaitu puluhan pendu-
duk desa Pandukuhan yang tewas, akibat kejadian dua 
malam berturut-turut dengan bermunculannya ular-
ular siluman yang ribuan banyaknya.....
Tercenung sang Adipati hingga sekian lama. 
Sementara para prajurit pengawalnya tengah bekerja 
mengangkut mayat-mayat ke atas kereta kuda. Juga 
sebagian dari para pengawal telah turut membantu 
penguburan jenazah para penduduk dengan diiringi 
ratap tangis anak kerabat yang masih hidup. Suasana
desa padukuhan diliputi mendung kesedihan. Mataha-
ri pun seperti enggan menampakkan sinarnya, karena 
segumpal awan hitam menghalangi...
Menjelang siang hari selesailah penguburan pa-
ra jenazah, dan beberapa kereta kuda tampak beriring-
iringan meninggalkan desa sunyi itu. Bahkan telah 
mengikut pula belasan penduduk untuk hijrah ke 
tempat yang aman. Adipati duduk di atas kudanya 
dengan kepala tertunduk layu. Wajahnya dilanda ke-
murungan, juga kegelisahan. Akan tetapi dadanya 
tampak bergelombang, karena disana tersimpan ke-
murkaan yang mendalam luar biasa. Dan satu tekad 
yang bulat adalah menumpas dalang dari pembunu-
han keji para penduduk desa itu. Dugaan kuat me-
mang berada pada si Raja Racun bernama Langir She-
to, manusia yang memang tengah diancam untuk di-
cincangnya oleh tangannya sendiri. Akan tetapi Adipati 
takkan menduga kalau ular-ular siluman itu adalah 
ciptaan dari seorang tokoh hitam yang tengah sengaja 
mencari penyebab untuk memancing kemunculan 
kaum golongan putih, yang pasti akan menjadi gempar 
dengan adanya peristiwa itu.
Ketika iring-iringan kereta kuda pembawa 
mayat para pengawal Kerajaan itu berlalu, sesosok tubuh berdiri di atas puncak bukit memperhatikan. Di-
alah seorang wanita berusia sekitar dua puluh tahun 
lebih. Berpakaian sutera kuning. Rambutnya ikal ber-
gelombang terurai ke dada dengan ikat kepala warna 
kuning emas. Sinar matanya memancar tajam mena-
tap iring-iringan di bawah bukit.
Ketika angin keras membersit dari bawah bukit, 
rambut yang tergerai itupun menyibak, menyembuh-
kan segumpal daging yang berputik kecoklatan. Ter-
nyatalah wanita ini seorang yang berwatak genit. Ter-
bukti dengan pakaian yang dikenakannya. Selain ber-
pakaian sutera tipis yang mempertontonkan lekuk-liku 
tubuhnya, juga baju bagian atasnya dibiarkan mem-
buka sebagian. hingga satu dari sepasang buah da-
danya menyembul keluar.
Dan pada pinggangnya yang ramping itu terbe-
lit dua utas rental yang mempunyai bandulan mirip 
dengan buah dada. Itulah senjata si Rantai Genit. 
Aneh sekali nampaknya, karena wanita ini bukanlah 
Roro Centil. Akan tetapi dari sikap yang genit dan sen-
jata Rantai Genit yang ada padanya itu akan membuat 
orang pasti menduga wanita itu si Pendekar Wanita 
Pantai Selatan. Siapakah adanya wanita yang menyaru 
mirip Roro Centil ini? Marilah kita ikuti kemana lang-
kahnya.
"Hihihi .... kelak ular-ular siluman itu akan 
menyerang ke gedung mu, Adipati Kambangan...!" Ter-
dengar suaranya berdesis, dan sepasang bibirnya me-
nampakkan senyuman. Tak lama dia sudah berkelebat 
lenyap, memasuki hutan lebat di atas bukit itu.......
-oOo-
Bongkah batu besar yang menempel di dinding 
tebing batu di dasar lembah itu tiba-tiba samar-samar

lenyap, berubah menjadi asap kabut. Dan tampaklah 
sebuah mulut goa yang lebar. Dari dalam goa itu ter-
sembul sesosok tubuh berambut putih beriapan. Ter-
nyata Seorang kakek tua bertubuh kate berkaki besar. 
Rambutnya terjuntai sampai ke tanah. Memakai jubah 
warna putih. Dan yang paling mengherankan adalah, 
kakek pendek ini mempunyai ekor yang menjulur pan-
jang mirip ular. Telinga dan mulutnya lebar, dengan 
wajah penuh keriput. Alisnya tebal agak mencuat ke 
atas, berwarna putih. Hidungnya melengkung dan 
bermata sipit serta raut muka yang lebar. Pada len-
gannya tercekal sebuah tongkat berkepala tengkorak 
yang melebihi tubuhnya. Bila tingginya diukur dengan 
manusia normal, mungkin hanya separuh saja.
Entah manusia ataukah siluman, manusia 
aneh ini. Tapi yang jelas kakinya menginjak tanah. 
Tampak dia perlihatkan senyum menyeringai, hingga 
menampak giginya yang runcing dan berwarna hitam.
Sementara itu kira-kira dua puluh tombak dari 
tebing batu di dasar lembah itu.....
Heheheheh .... sudah kuduga kau pasti lebih 
tertarik pada benda mustikaku, anak muda!" Tampak 
sesosok tubuh berpakaian kumal yang tak lain dari si 
Raja Racun, yang menantikan kedatangan Adhinata 
yang menguntit dibelakangnya. Tersipu malu pemuda 
dari puncak Tangkuban Perahu itu, yang segera mele-
sat ke hadapan si Raja Racun alias Langir Sheto. "Aku 
hanya akan mewariskan benda mustika itu pada orang 
yang mau menjadi murid ku!" Berkata Langir Sheto 
dengan suara dingin. "Aku... aku bersedia menjadi mu-
ridmu, kakek Raja Racun!" Ujar Adhinata tanpa pikir 
panjang lagi, dan sudah jatuhkan diri berlutut seraya 
menyebut guru berturut-turut tiga kali dan mencium 
kaki si Raja Racun.
"Hahahahah... sudah! sudah! aku menerimamu

sebagai murid terakhir ku! Ternyata kau memang ber-
pandangan luas, anak muda! Dengan memilih untuk 
mempelajari ilmu "Belut Putih" si Gembul Sona itu tak 
akan berarti banyak untuk menjagoi Dunia Persilatan. 
Kau lihatlah nanti. Di hadapan kita tinggal seorang 
manusia setengah siluman yang memiliki kepandaian 
luar biasa tingginya! Aku tengah mengadu ilmu den-
gannya... Ternyata manusia itu telah mulai unjuk gigi 
mencari kejutan dengan membunuh habis manusia 
sekampung dengan ular-ular silumannya!" Tutur si Ra-
ja Racun dengan tatapan mata seperti mau menembus 
hutan di hadapannya.
Terperangah Adhinata, Dan dia sudah lantas 
ajukan pertanyaan.
"Siapakah tokoh yang berilmu tinggi itu, guru... 
? "Dialah yang bergelar si RIRIWA BODAS! Manusia itu 
menuntut ilmu Siluman, hingga dari pantatnya tum-
buh ekor yang panjang mirip ular! Kabarnya dia mem-
punyai seorang murid perempuan...." Berkata si Raja 
Racun. Akan tetapi baru saja dia selesai bicara, tiba-
tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh yang 
membuat dedaunan bergetaran. Suara itu datangnya
dari arah hutan di hadapannya. Adhinata krenyitan 
alisnya seraya berpaling. Tampak tersembul sesosok 
tubuh kate berambut putih beriapan dengan sepasang 
kakinya yang besar. Jalannya meluncur tanpa kakinya 
menginjak tanah. Ternyata ekornya yang telah diper-
gunakan untuk berjalan cepat, meliuk-liuk bagaikan 
ular. Sepintas seolah tubuh kakek kate itu seperti di-
angkat oleh seekor ular yang menyangga tubuhnya. 
Sesaat kemudian kakek kate berekor mirip ular itu su-
dah tiba di hadapan mereka.
"Kehkehkeh... keh.. kiranya si Raja Racun! Pan-
tas... bau tubuhmu membuat nafas ku sesak di dalam 
goa!" Berkata si kakek kate dengan membeliakkan matanya yang sipit itu untuk dibuka lebih lebar, menatap 
si Raja Racun dan Adhinata.
"Hm, rupanya kau sudah punya murid...!"
"Tak salah, sobat Ririwa Bodas! aku baru saja 
menemukan seorang murid yang cocok untuk mewa-
riskan ilmuku! Sahut si Raja Racun.
"Hm, waktu kita saling mempertunjukkan ilmu 
sudah diambang mata. Tiga kali Purnama lagi...! kau
sudah terlambat untuk memungut murid, Raja 
Racun!" Berkata si kakek kate dengan suara serak ba-
gai tempayan rengat. Akan tetapi si Raja Racun men-
dengus, dan tukasnya dengan suara terdengar tajam.
"Jangan sesumbar dulu, sobat Ririwa Bodas! 
Dalam waktu singkat aku akan buktikan, bahwa mu-
rid ku akan mampu menaklukkan muridmu! Bahkan 
akan menaklukkan tokoh-tokoh Rimba Hijau termasuk 
kau! Hahahah... hahah...!" Tertawa Langir Sheto men-
dadak terhenti, karena si kakek kate berekor mirip ular 
itu sudah membentak.
"Tutup bacotmu yang rusak itu. Raja Racun! 
Kalau tak ingat perjanjian dan ingin tahu bukti kenya-
taan yang kau sumbarkan dari mulut bau mu itu, 
siang-siang aku sudah antarkan nyawa kalian ke Akhi-
rat! Pergilah, sebelum aku batalkan janji! Ketahuilah, 
aku sudah siap sejak hari kemarin! Dan peristiwa yang 
mungkin sudah kau dengar itu adalah untuk memanc-
ing keluarnya tokoh-tokoh golongan Rimba Hijau un-
tuk keluar dari sarangnya. Kemudian, satu persatu 
akan kulenyapkan! Terkecuali yang mau tunduk di
bawah kekuasaanku dan muridku...!" Selesai habis ka-
ta-katanya, tiba-tiba ekor ular si kakek kate itu terke-
lebat menghantam ke arah sebatang pohon besar di
sebelah sisinya.
BRRRAAKKK...!
Batang pohon itu hancur berkepingan. Dan

dengan suara bergemuruh, pohon besar itu tumbang 
membuat batang-batang pohon lain patah berderak 
tertimpah. Dan jatuh menyentuh tanah dengan suara 
berdebum keras. Terbelalak sepasang mata Adhinata 
melihat kehebatan ekor ular si kakek kate. Akan tetapi 
si Raja Racun sudah menarik lengannya untuk dibawa 
melesat cepat meninggalkan tempat itu, seraya berte-
riak.
"Baik...! kau tunggulah tiga purnama menda-
tang, Ririwa Bodas! Cuma satu yang aku takutkan, 
adalah kau dan muridmu itu sudah mampus terlebih 
dulu oleh ulah mu yang terlalu dini itu, sebelum tiba
masanya pertemuan yang kita janjikan!" Berkata de-
mikian, Raja Racun dan Adhinata telah berkelebat se-
jauh lebih dari sepuluh tombak dari hadapan si kakek 
kate Ririwa Bodas.
"Bacot rusakmu itu kelak aku yang akan mero-
beknya, Langir Sheto!" Berbareng dengan bentakannya 
sebelah lengan si kakek kate bergerak menghantam ke 
depan. Dan segelombang angin panas bergulung-
gulung menerjang kedua orang itu. BHUMM...! Ter-
dengar suara ledakan di bawah kaki si Raja Racun dan 
Adhinata. Kalau saja Langir Sheto tak menarik lengan 
pemuda itu untuk dibawa melompat tinggi sejauh tu-
juh-delapan tombak, niscaya kedua tubuh mereka 
akan terbakar hangus. Karena sekejap sudah terlihat 
sebuah lubang besar yang menyemburatkan tanah pa-
nas bercampur api.
"Edan...!" Memaki si Raja Racun. Sepasang ka-
kinya sudah menjejak tanah lima tombak dari lubang 
besar itu, disusul dengan tubuh Adhinata.
Setelah sejenak menatap ke arah lubang, kedu-
anyapun berkelebat pergi tinggalkan wilayah si Ririwa 
Bodas.


LIMA

Dua bulan sudah sejenak terjadinya bermacam 
peristiwa. Di sekitar wilayah kadipaten SUKA WENING, 
yang masih terhitung wilayah kekuasaan Adipati Kam-
bangan, kita menengok ke sebuah rumah tinggal yang 
berukuran luas. Beratap genting yang mempunyai dua 
wuwungan. Rumah besar itu boleh dibilang sebuah 
Pesanggrahan. Memang benar! Itulah Pesanggrahan 
tempat berdiamnya seorang tua kosen yang bernama 
GEMBUL SONA.
Suasana pesanggrahan tampak sepi. Para mu-
rid si kakek bertubuh jangkung berambut kecoklatan 
itu tengah mengadakan latihan di puncak bukit Untuk 
latihan yang diadakan setiap sepekan sekali itu dis-
erahkan pada dua orang murid utama yang bernama 
BARASUKMA dan SURA WULUNG. Akan tetapi turut 
pula seorang murid wanitanya yang amat paling di 
sayang, yaitu PANDAN SARI.
Tampak Ki Gembul Sona mondar-mandir di
ruang kosong, yang biasa dia melatih para muridnya di
tempat itu. Sebentar-sebentar terdengar suara helaan 
nafasnya. Terkadang menggendong tangan ke bela-
kang, terkadang sebelah lengannya mengelus jenggot-
nya yang cuma sejemput itu. Tampaknya seperti geli-
sah memikirkan sesuatu.
"Adipati Kambangan terbunuh...! Dan seluruh 
laskar Kadipaten tewas. Bahkan anak isteri sang Adi-
pati itupun tewas semua...! Kejadian yang amat aneh, 
dan hampir tak masuk di akal. Tewasnya keluarga 
Adipati Kambangan dan para lasykar Kadipaten adalah 
oleh serbuan ribuan ekor ular! Anehnya ular-ular itu 
adalah ular siluman!" Terdengar suaranya menggu-
mam lirih. Dan lengannya semakin keras mencengkeram jenggotnya. Wajahnya menampakkan keresahan 
yang luar biasa.
"Hal ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pasti 
ini perbuatan manusia sesat dari golongan hitam! Aku 
harus berembuk dengan para Pendekar golongan putih 
untuk menumpasnya demi ketentraman rakyat...!" De-
sahnya dengan kecemasan kian memuncak. Akan te-
tapi tiba-tiba hatinya tersentak, karena benaknya 
menduga sesuatu. Sebagai seorang tokoh kawakan
Rimba Persilatan yang banyak pengalaman, Gembul 
Sona berpandangan luas.
Hm, jangan-jangan hal ini sengaja digunakan 
untuk memancing keluar kaum golongan putih! Kalau 
demikian berarti manusia sesat yang mempunyai ilmu 
siluman itu telah siap dengan segala macam tipu daya 
kejinya...! Demikian pikirnya dalam benak.
Dalam keadaan gelisah itu, tiba-tiba di luar ter-
dengar suara orang mengucapkan salam. Diiringi 
munculnya sesosok tubuh bertubuh jangkung, berwa-
jah putih bersih. Mengenakan jubah warna abu-abu. 
Rambutnya digelung kecil di atas kepala. Kumis dan 
jenggotnya sudah sama memutih seperti rambutnya. 
Cepat-cepat Gembul Sona menyambut setelah memba-
las salam. Disamping terkejut, juga bergirang hati, ka-
kek rambut coklat Gembul Sona ini, karena yang da-
tang adalah kakak seperguruannya dari puncak Gu-
nung Tangkuban Perahu.
"Ah, ah.... selamat datang kakang Panunjang 
Jagat Oh, girang sekali aku melihat kedatanganmu!" 
Berkata Ki Gembul Sona. Akan tetapi dia terheran ka-
rena tak melihat sang kakak seperguruannya memba-
wa serta muridnya.
"Eh, kakang...! bukankah kau telah mengang-
kat seorang murid laki-laki, mengapa tak kau bawa 
serta?" Tanya Ki Gembul Sona. Ditanya demikian, justru Ki Panunjang Jagat jadi tercengang.
"Aneh...! Apakah bocah itu tak datang kemari? 
Dua bulan yang lalu dia telah turun gunung dan kupe-
rintahkan kemari menemuimu, rayi .... Bukankah aku 
telah berjanji bila telah tamat pelajarannya aku akan 
mengirimnya kemari untuk mempelajari ilmu "Belut 
Putih" darimu!" Tutur Ki Panunjang Jagat dengan hati 
menyentak kaget.
"Akan tetapi tak ada seorangpun bocah laki-laki 
yang datang kemari, kakang! Apakah memang belum 
sampai kemari?" Tukas Gembul Sona.
"Rasanya tak mungkin, kalau dia tersesat. Aku
telah berikan petunjuk jelas padanya mengenai tempat 
kediamanmu ini. Dan dia mempunyai tatto di lengan-
nya, sebagai tanda bahwa dia muridku agar kau mu-
dah mengenali!" Ujar Ki Panunjang Jagat, dengan ge-
leng-gelengkan kepala. Tampak benar kemasgulan ha-
tinya. Ki Gembul Sona pun tercenung seketika. Me-
mang mengenai murid kakak seperguruannya itu telah 
diperbincangkan sejak lima tahun yang lalu.
"Marilah kita bicara di dalam, kakang... Kukira 
muridmu itu mendapat halangan di jalan, hingga ter-
tahan langkahnya untuk tiba di sini!" Ki Panunjang
Jagat tak menjawab. Segera bergerak mengikuti sang 
adik seperguruan memasuki ruangan Pesanggrahan.
Kedua tokoh Rimba Hijau itu tampak berbicara 
dengan serius setelah membicarakan murid Ki Panun-
jang Jagat, yang tak diketahui kemana rimbanya. Ke-
dua kakek kosen itu membicarakan masalah muncul-
nya sebuah peristiwa yang menggetarkan.. Ternyata Ki 
Panunjang Jagat pun telah mendengar akan kabar itu. 
Bahkan dia lebih mengetahui dari Ki Gembul Sona.
Ki Panunjang Jagat segera tuturkan tentang 
adanya seorang Adipati baru, pengganti Adipati Kam-
bangan yang tewas.

"Adipati baru itu bernama Raden ANTABOGA... 
Tampaknya seorang keturunan Bangsawan, dan beril-
mu tinggi. Sepekan sejak kudengar dia mengangkat di-
ri menjadi Adipati, rakyat mulai hilang kegelisahannya. 
Karena dia telah memerintahkan pada semua pendu-
duk di wilayah Kadipaten untuk memasangi tumbal 
pada tiap-tiap pintu rumah, hingga ular-ular siluman 
itu tak berani datang lagi!" Tutur Panunjang Jagat.
"Ah, sukurlah kalau demikian...!" Ujar Ki Gem-
bul Sona. Moga-moga saja tak terjadi lagi kejadian 
yang mengerikan itu.! Akan tetapi kita kaum putih dari 
golongan Rimba Hijau harus tetap waspada! Karena 
aku menduga ada udang dibalik batu dengan kejadian 
itu...!" Sambungnya lagi. Ki Panunjang Jagat manggut-
manggut mengerti.
Akan tetapi pada saat itu tiga orang murid Ki 
Gembul Sona tampak berlarian memasuki Pesanggra-
han. Kakek tua berambut coklat ini sudah melompat 
keluar dari ruangan diikuti oleh Ki Panunjang Jagat. 
Sebentar saja ketiga murid itu sudah tiba di hadapan 
gurunya.
"Ada kejadian apakah kalian datang berlarian 
Bukankah latihan baru akan selesai setelah tengah 
hari..?" Tanya Ki Gembul Sona.
"Celaka, Guru...! seekor ular besar mengamuk 
di atas bukit! Tampaknya korban akan bertambah. Be-
berapa kawan telah tewas terkena amukannya! Ketiga 
kakak seperguruan kami tampaknya sukar untuk 
membunuh mahluk itu!" Salah seorang murid tutur-
kan kejadian itu dengan napas terengah-engah. Terke-
siap Ki Gembul Sona. Sepasang matanya membeliak, 
dan dari mulutnya keluar makian.
"Bedebah! lagi-lagi ular...!" Sesaat dia sudah 
berpaling menatap Ki Panunjang Jagat. "Aku harus ke-
sana, kakang...!"

"Marilah kita melihatnya! barangkali perlu ku
bantu untuk menumpasnya! Entah apa lagi yang mun-
cul ini? Apakah Juga ular siluman...?" Ki Gembul Sona 
tak menjawab. Tubuhnya sudah berkelebat keluar dari 
halaman Pesanggrahan. Ki Panunjang Jagat berkelebat 
menyusul. Akan tetapi di pintu halaman, Ki Gembul 
Sona hentikan langkahnya, seraya berteriak yang ditu-
jukan pada ketiga orang muridnya.
"Kalian tak ku perkenankan meninggalkan Pe-
sanggrahan...!"
"Baik, guru...!" Teriak mereka hampir berbareng 
menyahuti. Sedangkan pandangannya masih menatap 
pada Ki Panunjang Jagat, karena baru melihat adanya 
seorang kakek di Pesanggrahan itu bersama gurunya. 
Sementara kedua orang tua itu sudah berkelebatan 
meninggalkan halaman Pesanggrahan. Sebentar ke-
mudian kedua tubuh itu telah lenyap di kejauhan.
"Siapakah, kakek berambut putih itu...?" Tanya 
salah seorang murid Ki Gembul Sona. "Entahlah! tadi 
kedengarannya guru memanggilnya "kakang"...!I Apa-
kah bukannya Ki Panunjang Jagat dari puncak Tang-
kuban Perahu?"
"He...! benar katamu! dialah Uwak guru kita...!" 
Tukas kawannya. Akhirnya mereka semua menghela 
napas lega, karena dengan kedatangan guru dan uwak 
guru mereka, bahaya bisa tersingkirkan.
BUKIT DATAR adalah tempat murid -murid Ki 
Gembul Sona mengadakan latihan setiap sepekan se-
kali. Akan tetapi satu kejadian aneh telah membuat 
terjadinya musibah itu. Seekor ular besar yang. pan-
jang dan besar tubuhnya hampir sebesar batang kela-
pa, telah muncul dari bawah bukit. Tentu saja mem-
buat para murid Ki Gembul Sona menjadi lari lintang 
pukang ketakutan. Di luar dugaan ular raksasa itu te-
lah menyerang dengan ganas. Terjadilah pertarungan

seru antara seekor ular dengan puluhan manusia. Dan 
sang ular mengamuk dengan hebat hingga membawa 
korban beberapa murid Ki Gembul Sona tewas dan ter-
luka parah.
Melihat demikian Barasukma dan Sura Wulung 
mencabut senjatanya untuk membunuh sang ular. 
Akan tetapi bukanlah suatu pekerjaan gampang, kare-
na disamping sukar mendekati makhluk itu, juga sen-
jata mereka seperti tak mempunyai arti apa-apa untuk 
menembus kulit tubuh ular. Sementara Pandan Sari 
seorang gadis murid Ki Gembul Sona yang paling dis-
ayang sang kakek, juga terjun dalam kancah pertarun-
gan melawan ular raksasa itu. Sura Wulung yang ber-
senjatakan sepasang kapak bermata dua itu tampak-
nya bernafsu sekali membunuh ular raksasa itu. Den-
gan dibantu oleh Barasukma yang mempergunakan 
pedang, menerjang dari arah depan. Sementara Pan-
dan Sari dengan sepasang Trisulanya menerjang dari 
belakang.
Akan tetapi makhluk itu bergerak gesit me-
nyambarkan ekornya. Kepalanya membalik untuk me-
luncur ke arah Pandan Sari.
"Awaas...! menghindar!" Teriak Barasukma 
memperingati adik seperguruannya. Akan tetapi dia 
sendiri sudah terlempar terkena kibasan ekor ular rak-
sasa itu, dan nyaris jatuh ke jurang. Sementara Pan-
dan Sari dengan geram melompat mundur. Trisulanya 
juga tak berfungsi. Cuma menggores sedikit kulit ular 
yang tak berarti. Karena ular itu kebal senjata. Bara-
sukma tampaknya jadi nekat. Tubuhnya sudah berke-
lebat melompat menebas leher ular. Pedangnya diper-
gunakan dengan cepat menabas beberapa kali.
TRAK! TRAK! TRRAK...!
Terperangah pemuda itu karena pedangnya 
mental balik ketika beberapa kali menambas untuk

memutuskan leher ular. Kulit dan sisik ular itu keras-
nya luar biasa. Sementara kejadian itu berlangsung, 
sesosok tubuh kate berambut putih yang beriapan 
sampai ke tanah memperhatikan jalannya pertarungan 
dari tempat persembunyiannya. Kira-kira delapan 
tombak dad tempat pertarungan, dengan berdiri di 
atas batu di tempat ketinggian Wajahnya perlihatkan 
senyum menyeringai. Dialah si RIRIWA BODAS, alias si 
kakek kate berekor ular. Saat itu sudah terdengar se-
buah bentakan keras, yang diiringi dengan berkelebat-
nya dua sosok tubuh.
"Munduuurrr....!" Ternyata yang muncul adalah 
Ki Gembul Sona dan Ki Panunjang Jagat. Pandan Sari 
berteriak girang, dan sudah melompat untuk meng-
hampiri gurunya. "Guru...! Celaka...! kami tak mampu 
berbuat apa-apa! Ular raksasa itu tak mempan senjata 
tajam!"
***
ENAM


"Oh, siapakah kakek...?" Tanya Pandan Sari se-
raya menatap pada Ki Panunjang Jagat. "Aku uwak 
gurumu...!" Menyahut kakek penghuni puncak Tang-
kuban Perahu itu. Dan seraya menyahut tubuhnya 
sudah berkelebat ke arah ular raksasa. Ki Gembul So-
na segera berkelebat menyusu!.... Terjadilah pertarun-
gan hebat. Sang ular raksasa melihat kemunculan ke-
dua orang kakek ini segera langsung menerjang den-
gan moncongnya. Sementara ekornya bergulung-
gulung untuk menghempaskan dua tubuh di hada-
pannya. Debu mengepul, dan dua tubuh kakek itu su-
dah melesat untuk menghindar seraya hantamkan pukulan lengannya. "BHUKK...!
BHUKK...!
Sang ular terlempar bergulingan. Akan tetapi 
kembali menjulur untuk menyerang mereka. Kakek 
Gembul Sona melesat ke arah sisi untuk menarik per-
hatian. Benar saja ular raksasa itu menyerangnya. 
Saat itu Ki Panunjang Jagat sudah melesat setinggi 
enam tombak. Lengannya kembali menghantam. Kali 
ini telak pada balok kepalanya. Sebelum serangan sang 
ular mengenai tubuh Ki Gembul Sona, sang ular sudah 
menggeliat berbareng dengan suara berderak tulang 
kepala yang remuk. PRRRAKK...! Terdengar suara ben-
takan keras. Dan segelombang angin panas menerjang 
Ki Panunjang Jagat.
WHUUUKKK...!
BHUMMM...!
Nyaris tubuh kakek puncak Tangkuban Perahu 
itu hancur lebur tubuhnya kalau tak segera melompat 
sejauh delapan tombak. Akan tetapi terperangah kakek 
itu, ternyata tubuhnya justru melayang ke dasar ju-
rang....
Dua orang murid Ki Gembul Sona, yaitu Bara-
sukma dan Sura Wulung segera melompat ke sisi bu-
kit. Namun bayangan tubuh kakek itu sudah lenyap 
tak terlihat lagi terhalang kabut tipis di mulut jurang 
terjal itu. Sementara kejadian di atas bukit itu ada-
lah... telah muncul seorang kakek tua berekor ular, be-
rambut putih beriapan yang menjulai sampai ke tanah. 
Ular raksasa itu tergeletak mati. Akan tetapi terjadilah 
keanehan. Tubuh sang ular sekonyong-konyong le-
nyap, berubah jadi sebuah tongkat yang segera di 
sambar oleh kakek kate berekor ular itu. Kepala teng-
korak di ujung tongkat si kakek kate itu dalam kea-
daan remuk.
"Kehkehkeh... keh keh... ternyata cuma mela

wan tongkatku saja, kalian sudah dibuat kacau balau! 
Keh...kehkeh... keh keh..." Tertawa mengkekeh si ka-
kek berekor ular itu.
"Manusia apakah ini...?" Tersentak kaget Ki 
Gembul Sona. Tubuhnya sudah berkelebat ke hadapan 
kakek kate berekor ular itu. Ki Gembul Sona sudah tak 
tahu lagi nasib kakak seperguruannya, yang meluncur 
ke dalam jurang karena menghindarkan diri dari se-
rangan kakek kate yang ganas ini. Terkesiap Ki Gem-
bul Sona tadi, ketika melihat sesosok bayangan putih 
berkelebat ke tempat pertarungan. Ketika tubuh ular 
raksasa itu roboh mati dengan kepala remuk, si kakek 
kate ini telah membentak keras dan kirimkan pukulan 
lengannya ke arah Ki Panunjang Jagat. Dia sudah mau 
berteriak untuk memperingati, tapi ternyata sang ka-
kak seperguruan telah waspada. Sayang, lompatannya 
justru mempercepat jalan kematiannya. Dan entah ba-
gaimana nasib Ki Panunjang Jagat, tiada diketahuinya 
lagi.....
Terperangah Ki Gembul Sona melihat ular rak-
sasa itu ternyata hanyalah ular ciptaan si kakek kate. 
Di samping geram mendongkolnya, Gembul Sona ter-
peranjat melihat kakek kate di hadapannya itu berlai-
nan dengan umumnya manusia. Karena mempunyai 
ekor yang panjang mirip ular. Disamping memiliki tu-
buh kate, juga sepasang kakinya besar dan bertelapak 
lebar, bagai telapak kaki gajah.
"Hm, siapakah kau kakek kate...? Seumur hi-
dup ku baru kali ini aku menjumpai manusia aneh se-
perti kau! Apa maksudmu membuat keonaran!" Bentak 
Ki Gembul Sona dengan wajah penuh amarah.
"Keh keh keh... aku memang mau mencari keo-
naran! Tak perlu kau herankan kemunculanku, karena 
aku memang mau menumpas semua golongan Putih 
dari Kaum Rimba Hijau! Catatlah gelarku dibenak mu

sebelum kau mampus menyusul kakek tua renta itu di
dasar jurang! Keh keh keh... gelarku adalah si RIRIWA 
BODAS...! Selesai si kakek kate itu berucap, tiba-tiba 
ekornya bergerak menyambar dahsyat ke arah Ki 
Gembul Sona. Tentu saja membuat kakek rambut cok-
lat itu terkejut, akan tetapi segera melompat untuk 
menghindar, seraya kirimkan serangan pukulannya.
WHHUUK...! Kakek kate ini mendengus. Sece-
pat kilat lengannya sudah dipakai untuk memapaki se-
rangan itu.
DHESSS...! Tubuh kakek kate itu terdorong 
mundur tiga tindak, akan tetapi Ki Gembul Sona ter-
lempar dua tombak. Ternyata tenaga dalam kakek kate 
ini berada dua tingkat di atas Ki Gembul Sona. Saat itu 
tiga orang murid Ki Gembul Sona sudah mengurung si 
Ririwa Bodas. Barasukma dan Sura Wulung dengan 
berbareng telah maju menerjang... Sementara Pandan 
Sari terperanjat melihat terlemparnya tubuh sang 
guru.
"Kakek iblis berbuntut ular! jaga senjataku...!" 
Bentaknya. Dan gadis inipun sudah melompat untuk 
menerjang dengan senjata Trisulanya. Hebat si kakek 
kate ini, tubuhnya mendadak roboh ke depan. Tak 
ubahnya bagaikan seekor kadal raksasa sebesar ma-
nusia. Tiga terjangan murid-murid Ki Gembul Sona
itu dihadapinya dengan gunakan ekornya 
menghantam ketiga tubuh penyerangnya. Sementara 
lengannya dengan sebat pergunakan tongkatnya untuk 
mengirim tusukan-tusukan maut ke arah dada lawan. 
Ternyata yang di incarnya adalah Barasukma dan Sura 
Wulung. TRAK! TRAK! CRAS...!
Terdengar satu jeritan parau. Tampak tubuh 
Barasukma terlempar dengan sebelah lengan putus 
bercucuran darah, sedangkan pedangnya terlempar 
entah kemana. Adapun Sura Wulung telah gunakan

kesempatan balk untuk membalas ekor ular si kakek 
kate. Akan tetapi terkejut pemuda itu, karena senja-
tanya juga tak mampu melukai kulit ekor si Ririwa Bo-
das.
Tahu-tahu ujung tongkat si kakek kate itu telah 
menembus dadanya.... Menjerit pemuda murid Ki 
Gembul Sona itu, dan Jatuh berdebuk untuk mengge-
liat menahan sakit. Namun sekejap kemudian dia sege-
ra tewas. Terbelalak mata Ki Gembul Sona menyaksi-
kan cuma dalam segebrakan saja, si kakek berekor itu 
telah menewaskan seorang muridnya, dan melukai 
lengan murid satunya lagi.
Dengan membentak keras menggeledek, tubuh 
kakek jangkung rambut coklat itu melesat di atas ke-
pala si kakek kate. Sepasang lengannya terulur dengan 
kesepuluh jari-jari terentang. Slap untuk mencengke-
ram batok kepala lawan.
BRRET...! Jubah si kakek kate itulah yang kena 
dicengkeram, karena orangnya sudah menggelinding 
pergi, dan melompat gesit. Sekejap sudah berada di be-
lakang Ki Gembul Sona. Sekali lengannya bergerak, 
meluncurlah segelombang angin panas menerjang 
punggung kakek rambut coklat itu. Terperangah Ki 
Gembul Sona. Namun segera dia per gunakan ilmu 
ajian Belut Putih untuk melindungi tubuhnya.....
Kita beralih dulu pada Pesanggrahan Ki Gem-
bul Sona. Saat itu tiga orang murid berada di pintu
penjagaan. Tak seperti biasanya, dalam situasi yang 
aman itu, telah muncul seorang wanita yang berkele-
bat memasuki halaman. Gerakannya cepat sekali, 
hingga murid yang menjaga di pintu utama tak meli-
hatnya. Wanita berpakaian serba kuning itu melompati 
tembok sebelah barat. Bahkan kelebatan tubuhnya tak 
membuat penjaga di pintu barat ini melihatnya. Den-
gan gerakan ringan si wanita itu sudah jejakan kaki ke

ruangan dalam.
"Hihi... Pesanggrahan kosong ini adalah ba-
gianku! Tampak wanita ini bentangkan lengannya. Tu-
buhnya terlihat bergetar. Hebat! sepasang lengannya 
sekejap saja telah menjadi merah bagaikan bara api.
WHUS! WHUSS...! Dua kali lengannya bergerak, 
api segera berkobar di dalam ruangan. Tubuhnya lalu 
berkelebatan ke setiap ruangan. Dan lengannya selalu 
bergerak untuk keluarkan api membakar di setiap 
tempat. Hingga sekejap kemudian api telah berkobar 
membakar pesanggrahan di segala penjuru. Tentu saja 
hal itu membuat beberapa murid penjaga Pe-
sanggrahan tersentak kaget. Segera sudah berteriak-
teriak dan lari dengan panik. "Celaka...! Ah, tolooong...! 
toloong...! kebakaraaan! kebakaraan!" Teriakan-
teriakan-teriakan para penjaga pesanggrahan itu tiba-
tiba terhenti, ketika sesosok tubuh melompat dari da-
lam ruangan, seraya perdengarkan suara tertawa men-
gikik.
"Hihihi... hihihi... akulah yang membakar pe-
sanggrahan mu! Percuma! Guru dan kawan-kawan mu 
berada di atas bukit, tengah menempur ular raksasa! 
Mana mendengar teriakan kalian...?"
"Kurang ajar...! kau... kau masuk dari mana, 
wanita iblis?" Bentak seorang murid yang sudah 
menghadang wanita itu di hadapannya.
"Habisi saja nyawanya perempuan gila ini! apa 
maksudmu membakar tempat tinggal kami...?" Teriak 
kawannya dengan suara menggeledek. Serentak enam 
orang penjaga telah mengurungnya. Akan tetapi wanita 
itu perdengarkan suara dengusan di hidung.
"Huh! kalian laporkan pada gurumu, kejadian 
ini! Dan menyingkirlah kalau tak mau mampus!" Ben-
tak si wanita itu dengan suara dingin.
"Keparat...! sebutkan siapa kau! kau tak mungkin lolos dari tangan kami!" Membentak murid Ki 
Gembul Sona. Dia adalah kepala penjaga di Pe-
sanggrahan itu, bernama Tanggor.
"Hm, buka telinga baik-baik! Akulah yang ber-
gelar si Pendekar Wanita Pantai Selatan RORO CEN-
TIL...!" Terperanjat seketika enam orang murid Ki 
Gembul Sona, Akan tetapi pada saat itu sepasang len-
gan si wanita itu telah membentang. Dan terpekiklah 
empat orang penjaga Pesanggrahan. Tubuhnya ter-
huyung jatuh, dan berkelojotan berteriak-teriak. Ter-
nyata pakaiannya sobek-sobek dan hangus. Tak lama 
mereka sudah terkapar pingsan. Kedua kawannya ter-
perangah seketika. Dan dengan wajah pucat salah seo-
rang menerjang bringas.
"Kau telah merusak binasakan tempat tinggal 
kami, dan kau bunuh pula empat kawanku! Aku akan 
adu jiwa denganmu, iblis perempuan!" Pedang dan se-
rangkanya sudah dilepas untuk sekaligus menerjang 
wanita itu dengan tabasan-tabasan maut. Ternyata la-
ki-laki bernama Tanggor ini bernyali hebat. Dia tak ta-
kut mati. Pedangnya berkelebatan bagaikan bayan-
gan... Akan tetapi dengan melompat-lompat wanita 
menghindar, ini mampu membuat serangan berantai 
yang menggebu-gebu itu lolos. Kalau dia mau, sekali 
hantamkan lengannya laki-laki bernama Tanggor itu 
akan tewas dengan tubuh hangus. Akan tetapi wanita 
ini berseru kagum.
"Aiiih, kau seorang lelaki yang brangasan, dan 
gagah! Kau tak takut mati...?" Berkata si wanita itu, 
seraya melompat mundur.
"Si Tanggor tak peduli kalau harus mampus se-
kalipun, dari pada aku lihat tampang manusia iblis pe-
rempuan macam kau!" Teriak laki-laki bertubuh kekar 
itu. Pedangnya mengaum untuk membelah kepala si 
wanita yang mengaku bernama RORO CENTIL itu.

Akan tetapi wanita itu tak mengelak. Lengannya cepat 
menjulur ke atas.
TAPI Hebat! Cuma dengan gerakan ringan, ke-
dua jari lengannya telah menjepit mata pedang Tang-
gor.
"Hah...?" Tersentak laki-laki ini. Dengan sekuat 
tenaga dia mencoba menarik pedangnya dari jepitan 
jari si wanita, namun tak membawa hasil. Keparrat...! 
Memaki Tanggor dalam hati, dan sebelah lengannya 
yang memegang sarung pedang digunakan menyodok 
dada wanita itu yang sebagian buah dadanya me-
nyembul. Kalau saja wanita itu muncul dengan muka 
manis dan tak membawa malapetaka, niscaya Tanggor 
akan terkesima, atau terangsang birahi melihat cara 
berpakaian wanita di hadapannya. Akan tetapi justru 
kebencian, dan dendam kesumatlah yang mendekam 
di hatinya, untuk membunuh wanita yang telah men-
gacau di Pesanggrahan itu.
Sodokan sarung pedang itu ternyata tak mem-
punyai arti sama sekali. Karena dengan gerak cepat 
sebelah lengan si wanita mengibas, yang dibarengi ke-
lebatan tubuhnya. Sekejap kemudian, terdengar suara 
keluhan. Tubuh laki-laki itu terkulai roboh terkena to-
tokan lengan si wanita. Dan sarung pedangnya telah 
terlempar entah kemana.....
Belum lagi tubuh kaku Tanggor menyentuh ta-
nah, si wanita itu telah menyambarnya. Selanjutnya 
sekejap sudah berada di atas pundaknya, dengan jari-
jari lengannya masih menjepit pedang laki-laki murid 
Ki Gembul Sona.
"Hihihi... hatiku agak kepincut denganmu, pe-
muda berangasan!" Terdengar suara desis wanita itu. 
Dan tubuhnya sudah berkelebat melompat ke atas
tembok. Seorang kawan Tanggor cuma terperangah 
melihatnya, ketika tahu-tahu pedang di lengan si wanita itu meluncur ke arahnya. Kalau tak meleset sebutir 
kerikil menghantam pedang yang menyambar cepat 
saat Itu, mungkin lehernya sudah terpanggang pedang. 
Akan tetapi justru saat laki-laki itu terkesima, pedang 
Tanggor sudah tinggal dua inci lagi dari kulit lehernya.
Terdengar suara berdenting. Sambaran pedang 
maut itu terhenti dan mental balik ke lain arah, yang 
langsung menancap di tiang pesanggrahan. Tersentak 
si penjaga Pesanggrahan yang tersisa ini. Tampak se-
sosok tubuh berkelebat mengejar wanita tadi yang su-
dah melompati tembok untuk lenyap terhalang pengli-
hatannya.
"Berhenti...!" Bayangan itu berkelebat cepat se-
kali mengejar si wanita yang mengaku sebagai Roro 
Centil. Akan tetapi begitu sepasang kakinya menempel 
ditembok pagar Pesanggrahan, tiba-tiba... DHERRR...! 
Tembok itu seketika runtuh dengan keadaan hangus. 
Sedangkan si pengejar telah melompat setinggi dua 
tembok menghindari serangan ganas wanita itu.
***
TUJUH
"Keparat...! Terdengar suara orang itu memaki, 
karena ketika kakinya menjejak tanah, bayangan tu-
buh si wanita yang mengaku bernama Roro Centil itu 
sudah berkelebat lenyap tak ketahuan kemana arah 
larinya. Dengan wajah masgul dia melompat kembali 
ke dalam Pesanggrahan. Sementara api telah berkobar 
semakin besar melalap habis wuwungan rumah Pe-
sanggrahan itu tanpa dapat dicegah lagi.
Sejenak sosok tubuh itu menatap pada api 
yang membumbung ke langit, membuat udara sekitar
menjadi panas. Lalu alihkan untuk menatap pada pe-
muda di hadapannya, yang masih berdiri terpaku 
memperhatikan.
"Terima kasih atas pertolongan anda, sobat 
Pendekar...!" Berkata murid Ki Gembul Sona.
"Hm, sudahlah...! kemana kawan-kawanmu 
yang lain? Tampaknya sukar untuk menyelamatkan 
rumah Pesanggrahan ini, juga menyelamatkan barang-
barang di dalamnya! Api sudah menyebar ke seluruh 
ruangan. Ujar laki-laki itu. Ternyata seorang pemuda 
yang berwajah tampan, hampir mirip wanita. Sebatang 
pedang tampak tersembul di bahu kanannya. Belum 
lagi murid Ki Gembul Sona menyahut, sudah terdengar 
suara riuh di belakangnya. Dan bermunculan kawan-
kawannya, yang serentak berteriak-teriak panik. Juga 
muncul Ki Gembul Sona dengan memondong seorang 
muridnya yang terluka pada sebelah pundaknya.
"Celaka...! celaka...! Ludaslah semuanya...! Oh, 
dosa apakah gerangan yang kulakukan? Siapa manu-
sianya yang telah membakar Pesanggrahan ku ini?" 
Terdengar suara Ki Gembul Sona, yang sudah berdiri 
terpaku tanpa dapat berbuat apa-apa. Sementara api 
kian melahap habis Pesanggrahan itu, hingga beberapa 
kejap kemudian sudah tinggal puing-puing
belaka......Sisa-sisa murid Ki Gembul Sona 
Cuma tertunduk dengan wajah sedih. Keadaan seketi-
ka sunyi senyap bagaikan tak ada orang di tempat itu. 
Cuma yang terdengar suara helaan nafas dan suara 
berderaknya kayu-kayu yang sudah memulai di makan 
api, yang berjatuhan saling tumpuk. Langit seperti di-
warnai oleh warna hitam yang membumbung ke atas 
dari sekitar pesanggrahan yang sudah tak berbentuk 
lagi.....
-ooOoo

Sosok tubuh si manusia kate itu berkelebat ce-
pat dari Bukit Datar. Gerakan larinya aneh sekali, ka-
rena ekornya dijadikan penunjang tubuhnya, yang se-
lalu menjulur terlebih dulu untuk mengangkat tubuh-
nya. Hingga seperti dilontarkan, tubuh si kakek kale 
Ririwa Bodas itu melesat cepat menyeberangi tebing-
tebing terjal. Ternyata kakek kate itu memondong se-
sosok tubuh wanita pada sebelah pundaknya. Semen-
tara di belakang si kakek kate itu sesosok bayangan 
tubuh mengejarnya diiringi bentakan-bentakan keras. 
"Berhenti kau kakek siluman...! Heh, jangan harap kau 
dapat loloskan diri dart tanganku...!" Terdengar suara 
bentakannya yang bersuara nyaring. Kejar-kejaran itu 
terus berlanjut, hingga sudah melewati beberapa anak 
sungai. Siapakah gerangan sosok tubuh dalam pon-
dongan si Ririwa Bodas itu? dan siapa pula yang men-
gejarnya? Marilah kita ikuti pertarungan yang tadi ten-
gah berlangsung di Bukit datar. Ketika itu si Ririwa
Bodas tengah lancarkan pukulan apinya yang dahsyat 
ke arah punggung Ki Gembul Sona. Terperangah laki-
laki tua berambut coklat itu. Akan tetapi segera dia 
pergunakan ilmu ajian "Belut Putih" untuk menghada-
pi terjangan pukulan si kakek kate, karena tak mung-
kin lagi baginya untuk melompat atau menghindar. 
Angin panas itu telah tinggal sejengkal lagi di belakang 
punggungnya.
PLASSH...! Terkejut si Ririwa Bodas, karena an-
gin panas yang dahsyat dari pukulannya itu telah le-
wat bagaikan kalis, tanpa melukai atau membakar
hangus tubuh Ki Gembul Sona. Cuma pa-
kaiannya saja yang terbakar hancur dan berhambu-
ran. Sedangkan punggung Ki Gembul Sona tetap utuh 
tanpa hangus. Akan tetapi tubuh itu terhuyung ke de-
pan beberapa langkah. Sekejap Ki Gembul Sona sudah

cabut kerisnya, dan balikkan tubuh dengan cepat. Dan 
melesatlah tubuhnya untuk menukik menghujamkan 
kerisnya ke ubun-ubun kepala si kakek kate...
TRANG! Terdengar suara benturan keras. Ter-
nyata si kakek kate telah menyampok mental keris Ki 
Gembul Sona. Kakek ini perdengarkan teriakan terta-
han. Tubuhnya lakukan salto beberapa kali ke udara. 
Dan sekejap sudah jejakkan kaki di atas batu. Nyaris 
keris di tangannya terlempar lepas dari genggamannya. 
Kakek itu rasakan lengannya kesemutan. Akan tetapi 
pada saat itu si kakek kate telah lemparkan tongkat-
nya ke arah Ki Gembul Sona. Bibir si Ririwa Bodas ini 
tampak bergerak-gerak membaca mantra. Seraya ber-
bareng dengan lemparan tongkat itu, dia membentak 
keras.
"Kau hadapilah ular ku...!"
"HOSSSSSS...!" Tiba-tiba tongkat si kakek kate
telah berubah menjadi seekor ular yang ngangakan 
mulutnya menyambar ke arah batok kepala Ki Gembul 
Sona. Terperangah kakek ini. Namun dengan mengger-
tak gigi secepat kilat tabaskan kerisnya ke kepala ular 
raksasa "ciptaan" itu. Akan tetapi benarlah seperti kata 
muridnya. Ular ciptaan itu mempunyai kekebalan kulit 
yang luar biasa kerasnya, (tentu saja, karena ciptaan 
itu adalah tongkat ular baja si kakek kate yang dicip-
takan menjadi ular dengan menggunakan ilmu hitam, 
atau ilmu siluman).
Tampaknya kejadian pertarungan seperti tadi 
segera berlangsung lagi. Ki Gembul Sona keluarkan te-
riakan-teriakan gusar yang merangsak ular ciptaan 
itu. Akan tetapi setiap kali kerisnya menyentuh kulit 
ular, segera terpental balik.
Sementara Ki Gembul Sona tengah sibuk 
menghadapi ular ciptaan si Ririwa Bodas ini berkelebat 
mendekati ke arah Pandan Sari.

"Kehkehkeh... gadis cantik! kau ikutilah aku...!"
Desisnya dengan suara serak. Dan sekonyong-
konyong ekor si kakek kate itu telah menggulung tu-
buhnya, dan membelit pinggangnya dengan erat. Ter-
perangah beberapa murid Ki Gembul Sona. Sementara 
si gadis itu sudah terpekik kaget. Sepasang Trisulanya 
segera digunakan menghujani kulit ekor si Ririwa Bo-
das. Akan tetapi mengeluh gadis ini, karena tahu-tahu 
lengan si kakek kate itu telah berkelebat menotoknya. 
Sekejap tubuhnya sudah terkulai tak berkutik. Sekali 
lengan si kakek itu menyambar, maka berpindahlah 
tubuh Pandan Sari ke atas pundaknya.
Tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat lagi ke
tempat pertarungan seraya kirimkan serangan hebat 
pada Ki Gembul Sona, untuk membantu "ular"nya me-
nyudahi pertarungan. Saat itu Ki Gembul Sona dalam 
keadaan lengah. Kemarahan menghadapi ular raksasa 
itu yang Kembali muncul dan "hidup" lagi, membuat 
dia tak waspada akan kejadian disekelilingnya. Bahkan 
tak menyadari kalau murid terkasihnya telah berada 
dipundak musuhnya.
WHHUUKKK...! Hantaman yang menyemburkan
hawa panas itu menerjang mengarah batok kepala Ki 
Gembul Sona. Agaknya si Kakek ini tak mampu berke-
lit lagi. Dan saat itu dia tak sempat pergunakan ajian 
"Belut Putih"
BLASSS...! Terdengar teriakan tertahan Ki 
Gembul Sona, seolah terasa kepalanya seperti sudah 
hangus sekejapan. Akan tetapi teriakan tertahan itu 
berbareng dengan teriakan si kakek kate, yang sebe-
lumnya didahului oleh satu bentakan nyaring. Sesosok 
bayangan berkelebat menyelamatkan nyawanya me-
mapaki serangan ganas si Ririwa Bodas. Tubuh si ka-
kek kate terdorong ke udara tiga tombak. Nyaris saja 
tubuh gadis dalam pondongannya itu terlepas.

Akan tetapi dengan gesit tubuhnya berjumpali-
tan. Ekornya menjulur untuk menyangga tubuhnya 
dari kejatuhan. Sekejap dia sudah dapat jejakkan kaki 
ke tanah dengan baik. Menyeringai wajah si kakek kate 
ini karena rasakan telapak tangannya perih dan ngilu 
akibat terlepasnya persendian tangannya. Heran ber-
campur terkejut si kakek kate menatap pada sosok tu-
buh semampai yang sudah muncul di situ. Siapa lagi 
kalau bukan sang Pendekar Wanita Pantai Selatan 
RORO CENTIL.
Ternyata Pendekar Wanita ini datang tepat pa-
da waktunya dan secara tak sengaja telah menyela-
matkan nyawa Ki Gembul!
"Hm, kakek siluman buntut kadal, tongkat ular 
ciptaanmu itu hebat sekali...! Berkata Roro. Dan seke-
jap tubuhnya sudah berkelebat ke arah sang ular yang 
masih menempur Ki Gembul Sona. Senjata Rantai Ge-
nitnya tahu-tahu sudah mendesing ke arah kepala 
"ular" raksasa itu.
PRRAKK...! Terdengar suara berderak keras. 
Tubuh ular segera menggeliat, kemudian roboh meng-
gabruk. Ketika tubuh sang ular berubah ujud menjadi 
tongkat yang lagi-lagi hancur bagian ujungnya, Roro 
Centil sudah berkelebat untuk menyambarnya.
"Tongkat sialan mu ini lebih baik dipendam ke
dalam bumi!" Berkata Roro Centil, seraya menghujam-
kan tongkat baja si kakek kate, hingga amblas ke da-
lam tanah tak kelihatan lagi ujungnya. Terperangah Ki 
Gembul Sona. Kemunculan seorang gadis yang telah 
menyelamatkan nyawanya dan sekaligus memusnah-
kan "ular" ciptaan si Ririwa Bodas itu membuat ha-
tinya tersentak kaget dan girang. Pandangan matanya 
sudah membentur pada senjata Rantai Genit-nya Roro 
Centil. Melihat sepasang benda yang berbandulan mi-
rip sepasang buah dada itu, segera Ki Gembul Sona

mengetahui siapa gadis cantik di hadapannya.
Ah, ah...! anda pasti Pendekar Wanita RORO 
CENTIL! apakah dugaanku yang tua renta ini tidak sa-
lah..?" Ucapnya dengan menatap pada Roro.
"Hihihih...! tepat sekali dugaanmu, kakek jang-
kung...! Biarlah aku mewakilkan mu menghajar
si kakek siluman buntut kadal itu!" Sahut Roro, 
yang sudah balikkan tubuh menatap pada si Ririwa 
Bodas. Sementara si kakek kate cukup terkejut meli-
hat tindakan Roro yang memusnahkan ular ciptaannya 
dan sekaligus melenyapkan tongkatnya hingga amblas 
ke dalam tanah. Hatinya membatin. Hebat...! Macam 
inikah cantiknya si Pendekar Wanita Pantai Selatan 
Roro Centil, yang menjadi musuh muridku? Memang 
sungguh-sungguh cantik, dan juga berilmu tinggi...! 
Sayang kalau dia harus tewas, bangkainya saja aku 
masih tak menolak untuk ku cicipi...!
Otak kotor si kakek kaki gajah ini sudah beker-
ja sampai sejauh itu, karena hatinya diam-diam men-
gagumi akan kecantikan serta kemontokan tubuh sang 
dara perkasa Pantai Selatan itu.
***
DELAPAN


Sebenarnya walaupun belum pernah bertemu 
muka, si kakek kate itu sudah dapat menerka siapa 
adanya wanita kosen yang cantik jelita di hadapannya 
itu, karena juga dengan melihat sepasang senjata Ran-
tai Genit di tangan gadis Pendekar itu. Akan tetapi di 
luar dugaan, justru Roro Centil telah mengenali siapa 
laki-laki kate di hadapannya. Karena pada peristiwa 
belakangan ini, Roro Centil telah terjerumus ke sarang

Siluman Buaya Putih.
Dari sang Ratu Siluman Buaya Putih itu Roro 
mengetahui kalau di wilayah sekitar Jawa Barat ada 
berdiam seorang tokoh Rimba Hijau yang amat kejam 
dan telengas. Dialah yang bernama RIRIWA BODAS, 
yang memiliki ilmu-ilmu siluman jahat hingga kakek 
kate itu mempunyai ekor yang tumbuh dipantatnya.
*(Untuk mengungkap pertemuan Roro Centil 
dengan sang Ratu Siluman Buaya Putih amat panjang 
kisahnya. Untuk itu pengarang anda MARIO GEMBA-
LA akan mengisahkan secara terperinci dalam kisah 
yang tersendiri, yaitu berjudul: "CINTA & DENDAM 
RATU SILUMAN BUAYA PUTIH")*.
"Eh, kakek muka kriput buntut kadal...! turun-
kan gadis itu dari pundakmu...!" Bentak Roro dengan 
suara nyaring dan terdengar gemas. Akan tetapi si ka-
kek kate itu cuma tertawa menyeringai, kendati ha-
tinya agak jeri melihat kehebatan si Pendekar Wanita 
yang masih berusia muda dan cantik itu.
"Kehkehkeh...! selamat jumpa nona Pendekar 
RORO CENTIL! Aku si Ririwa Bodas salah seorang 
pengagum mu. Memang sudah lama aku menantikan 
kemunculan anda! Sayang hari ini aku tak dapat me-
layani mu, kelak muridkulah yang akan menghadapi 
anda nona Pendekar Perkasa...! Dan... kehkehkeh...! 
mengenai gadis ini, terpaksa aku tak dapat mele-
paskannya...!" Berkata si Ririwa Bodas. Selesai buka 
mulut, si kakek kate itu sudah gerakkan ekornya un-
tuk mengait dahan pohon. Dan... WHUSS...! Tubuhnya 
sudah melayang cepat untuk melesat pergi. Dengan 
beberapa kali lompatan saja sudah berada sejauh dua 
puluh tombak.
Akan tetapi Roro Centil sudah gerakkan tubuh-
nya melesat untuk mengejar, diiringi bentakan nyaring.
"Kakek keriput buntut kadal...! jangan harap 
kau dapat loloskan diri dari tanganku...!( Siapakah 
muridmu yang mendendam padaku itu?" Teriak Roro 
Centil.
"Dia akan kau ketahui kalau kau sudah berha-
dapan...!" Sahut si kakek kate tanpa menoleh, dan se-
makin cepat berkelebatan untuk melarikan si gadis da-
lam pondongannya...
Ki Gembul Sona sudah kelebatkan tubuh un-
tuk turut mengejar, akan tetapi Roro Centil segera ber-
kata.
"Kakek jangkung, biar aku yang menyela-
matkan muridmu itu...!" Dan melesatlah tubuh Roro 
Centil untuk memburu si Ririwa Bodas. Sementara Ki 
Gembul Sona cuma bisa menatap saja dengan hati ke-
bat-kebit. Akan tetapi dia merasa yakin kalau sang 
Pendekar Wanita Pantai Selatan akan dapat menyela-
matkan murid terkasihnya itu ....
Tiba-tiba dilihatnya asap mengepul di kejau-
han. Langit pada sebelah utara tampak menghitam. 
Hati si kakek rambut coklat ini jadi tersentak kaget. 
Hatinya memikir. Ah, jangan-jangan telah terjadi ke-
bakaran di Pesanggrahan ku! Memang si kakek jang-
kung yang bergelar si Belut Putih ini mengetahui betul 
letak tempat pesanggrahannya. Dugaannya ternyata 
tak keliru, karena setelah ramai-ramai mereka kembali
bersama para muridnya yang terluka, cuma bisa me-
nyaksikan rumah Pesanggrahannya sudah tinggal 
puing-puing belaka.
Demikianlah. Sementara Ki Gembul Sona ten-
gah dilanda kekalutan dengan bermacam musibah 
yang menimpa, Roro Centil Sang Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu tengah mengejar si kakek kate Ririwa 
Bodas yang sudah amat jauh meninggalkan wilayah 
selatan itu ...
Akan tetapi ketika telah memasuki wilayah 
tempat kediaman si kakek kate itu, Roro Centil telah 
kehilangan jejak.
"Setan alas...! gadis murid si kakek jangkung 
itu harus kuselamatkan...!I" Deals Roro dengan wajah 
menampakkan kemendongkolan, karena sejauh itu Ro-
ro tak dapat melakukan tindakan apa-apa. Khawatir 
kalau melukai si gadis yang berada dalam pondongan 
si Ririwa Bodas.
Di hadapannya adalah bukit batu. Tak terlihat 
sebuah celah kecilpun untuk si kakek kate menyelinap 
masuk, apalagi dengan membawa korbannya dalam 
pondongan. Akan tetapi Roro Centil tak kekurangan 
akal. Segera bibirnya telah berdesis.
"Tutul Sahabatku...!" kau kejarlah siluman tua 
itu, dan rebut kembali gadis yang diculiknya...!" Seba-
gai sahutannya adalah suara menggeram, yang kemu-
dian terasa angin membersit lewat di sampingnya. Itu-
lah pertanda sang harimau Tutul sudah menjalankan 
perintah.
Kalau saja Roro Centil pergunakan mata batin-
nya tentu akan melihat sebuah lubang menganga di
hadapannya. itulah goa tempat sarang si Ririwa Bodas, 
yang telah menutupnya dengan kekuatan gaib yang 
amat hebat, hingga tak menampak ada lubang disana 
kecuali batu-batu yang rapat dinding bukit.
Badan si makhluk siluman sahabat Roro itu 
sudah melesat masuk dengan cepat, bagaikan angin 
yang berhembus lewat...
Sementara Roro Centil bahkan melompat he 
atas tebing bukit itu untuk mengamati kemana geran-
gan lenyapnya si kakek kate Ririwa Bodas.
-ooOoo
GUBUK KECIL di puncak pohon itu tampaknya 
seperti tak berpenghuni. Karena tak terlihat seperti bi-
asanya seorang kakek berkaki satu duduk di "rumah 
burung" Itu untuk menikmati asap tembakaunya den-
gan cangklong terbuat dari tulang ayam. Kakek berka-
ki buntung itu seorang yang tuna wicara alias gagu. 
Pekerjaannya sehari-hari tak lain dari berburu. Bila 
mendapatkan hasil buruannya tentu segera memang-
gangnya dan menyantapnya di rumah burung yang be-
rada di puncak pohon. Untuk memanjat ke atas telah 
disediakan sebuah tangga tali yang menjuntai sampai 
ke tanah. Itulah rumah mungil tempat beristirahatnya 
si kakek gagu berkaki satu.
Akan tetapi sukar diterka kalau ternyata di da-
lam pondok kecil itu telah diisi oleh dua orang anak 
manusia berlainan jenis yang tengah melakukan per-
buatan terkutuk. Laki-laki itu ternyata tak berdaya, 
ketika tubuhnya yang tertotok kaku, di bawa berkele-
bat ke puncak pohon. Dan sekejapan saja sudah dire-
bahkan di dalam pondok yang cuma beralaskan tikar 
pandan kumal.
Ternyata adalah si wanita yang telah membakar 
Pesanggrahan Ki Gembul Sona. Dialah si Roro Centil
gadungan. Menatap tubuh laki-laki yang bertubuh ke-
kar itu "Roro Centil" sudah tak sabar untuk segera 
menyalurkan keinginannya. Lengannya sudah berge-
rak menyingkirkan apa yang menghalangi tubuh laki-
laki bernama Tanggor itu.
BREET...! WEK! WEEK...!
BREET! BREBEET...! BRET! Sekejap saja tubuh 
si laki-laki itu sudah membugil. Kini gantilah wanita 
itu yang melepaskan pakaiannya. Tentu saja sepasang 
mata Tanggor jadi membeliak. Kebencian dan birahi 
mengaduk menjadi satu. Akan tetapi dengan mengger-
tak gigi Tanggor menahan rangsangan hebat itu, dengan memejamkan matanya.
"Laki-laki bodoh!" memaki Roro Centil gadun-
gan. lengannya sudah bergerak untuk memencet urat 
nadi di leher laki-laki itu, seraya berdesis dengan ge-
ram.
"Apakah kau lebih senang mati, dari pada me-
nikmati tubuhku....?" Hm, jawablah ..." Tentu saja si 
laki-laki itu sudah belalakkan matanya lagi dengan 
megap-megap dan menyeringai kesakitan.
"Hm, jarang aku mau digauli laki-laki semba-
rangan! Dan kau mendapat kesempatan istimewa, 
mengapa kau menolak?". Berkata si wanita itu seraya 
lepaskan cengkeramannya.
"Baik...! baik...! lepaskanlah totokanku...! aku 
akan menuruti kemauanmu, perempuan bejat!" Berka-
ta laki-laki murid Ki Gembul Sona itu.
"Hihihi... makilah aku sepuasmu, laki-laki ga-
gah! Asal kau turuti kehendakku, aku tak penasaran 
lagi! Sahut si Roro Centil gadungan, yang segera ge-
rakkan lengannya membebaskan tubuh laki-laki itu 
dari pengaruh totokannya.
"Hm, dengarlah! Tanggor! walau kau cuma ke-
pala pengawal penjaga Pesanggrahan si tua bangka 
Gembul Sona itu, aku senang padamu! Kalau kau 
mau, aku akan mengangkatmu menjadi Kepala Pen-
gawal di Kadipaten...! Bersediakah kau?"
Sejenak termenung si Tanggor itu. Sementara 
wanita itu sudah rebahkan tubuhnya ke dadanya yang 
bidang dan berbulu lebat. Terasa dua gumpal benda 
lunak menindih dadanya. Dan jantungnya segera ber-
detak cepat.
"Aku amat menyenangi mu, sayang...! maukah 
kau menjadi Kepala pengawal Kadipaten? Kau akan 
memperoleh sebuah kuda yang bagus, dan pakaian 
keperwiraan. Ketahuilah! aku adalah istri dari Adipati

ANTABOGA yang sekarang memegang kekuasaan! 
Mengenai hubungan kita, aku dapat mengaturnya. 
Kau akan kuberi sebuah rumah tinggal yang aman, 
untuk aku sewaktu-waktu datang...!"
"Akan tetapi bukankah kau... kau seorang Pen-
dekar Penjunjung Kebenaran? Kalau kau benar seo-
rang Pendekar pembela yang lemah, mengapa kau 
menjadi seorang penjahat? Kau lakukan perbuatan ke-
jam membunuh kawan-kawanku, dan membakar Pe-
sanggrahan! Apakah itu perbuatan seorang Pendekar?" 
Berkata Tanggor dengan mendidih perasaannya yang 
menggebu. Hawa rangsangan semakin lama semakin 
sukar untuk ditolak, karena seketika wanita itu sudah 
mendidih tubuhnya.
"Hihihi... aku lakukan itu karena suruhan 
orang, kakang Tanggor!" Berkata Roro Centil gadungan 
seraya membelai wajah dan leher laki-laki itu.
"Si... siapa yang telah menyuruhmu...?" Tanya 
Tanggor dengan napas sesak. Dirasakan sekujur tu-
buhnya seperti lemah lunglai. Tak kuasa dia menahan 
gejolak rangsangan yang sudah menggelegak meme-
nuhi dadanya...
"Guruku ...!" Ujar si wanita dengan menggeliat 
di dada laki-laki itu. Terasa nafasnya semakin membu-
ru, dan bibirnya mulai keluarkan desahan-desahan 
kecil. Terlalu sukar bagi Tanggor untuk lakukan ber-
macam pertanyaan, karena sepasang matanya sudah 
menjadi nanar. Dan sesuatu yang terlalu indah menu-
rut naluri kelaki-lakiannya telah membuat dia seperti 
terperosok kesatu lembah yang teramat dalam tak be-
rujung...
Selanjutnya dari "rumah burung" itu sudah 
terdengar suara-suara berdesahan dan rintih-rintih 
kecil yang membaur dengan irama margasatwa di seki-
tar hutan...

ooOoo-
Sesosok tubuh melompat-lompat dengan gera-
kan lincah. Walaupun cuma berkaki tunggal, si kakek 
gagu itu dapat melakukan perjalanan cepat dengan 
menggunakan sebuah tongkat kayu bercabang pe-
nyangga tubuhnya. Dari kejauhan dia sudah melihat 
ke arah "rumah burung" tempat dia berhuni. Ternyata 
si kakek gagu kaki tunggal ini mempunyai naluri yang 
peka. Dia sudah mengetahui adanya orang lain yang 
menghuni tempat tinggalnya itu. Tampak alisnya ber-
gerak turun, sepasang matanya menatap beberapa la-
ma. Heh? siapa pula orangnya yang berani mengotori 
rumah tempat tinggalku? Berkata dia dalam hati. Tiba-
tiba tubuhnya sudah berlompatan untuk segera tiba di
bawah pohon. Diraihnya tangga tali untuk digerak-
gerakan, seraya berteriak.
"Wuuuuh! wuuuh...! wuuuu ...!" Suara teria-
kannya kedengaran aneh, tapi maksudnya adalah 
mengusir orang yang berada di atas, di dalam "rumah 
burung"nya itu agar segera turun. Tentu saja si kakek 
gagu tak mengetahui kalau di dalam rumah burung itu 
dua anak manusia berlainan jenis tengah memadu 
asmara. Kembali dia menyentak-nyentakkan tangga ta-
li itu dengan berteriak-teriak seperti tadi. Tiba-tiba 
amat terkejut si kakek gagu ketika tahu- tahu dari atas 
terdengar suara jeritan parau, diiringi terlemparnya se-
sosok tubuh menggabruk ke bawah. Dan sebuah 
bayangan kuning melompat turun dengan gerakan rin-
gan. Akan tetapi segera berkelebat pergi tanpa menghi-
raukan si kakek gagu kaki buntung itu menuju arah 
utara.
Si kakek gagu itu jadi terheran dan meman-
dang sekilas. Akan tetapi segera melompat untuk

menghampiri orang yang jatuh dari "rumah burung" di
atas pohon. Seketika wajah kakek gagu itu jadi pucat 
dan terperangah memandang sesosok tubuh laki-laki 
yang sudah tewas dengan tubuh telanjang bulat. Pada 
saat itu telah berkelebat pula ke arahnya sesosok tu-
buh berpakaian sutera warna hitam, berambut beria-
pan.
"Apakah yang telah terjadi kek...?" Bertanya 
pendatang ini yang tak lain dari Roro Centil adanya. 
Sementara Roro sudah segera palingkan wajahnya se-
telah sekilas melihat mayat yang tergeletak itu, yang 
mulutnya tampak mengalirkan darah. Kini menatap 
pada si kakek gagu setelah lakukan pertanyaan. Tentu 
saja si kakek gagu itu tak bisa bicara, kecuali cuma 
berkata.
"Wuuuh! wuuuh...! wuuh...!" Seraya menunjuk 
ke arah utara dimana si wanita tadi berkelebat. Tahu-
lah Roro Centil kalau orang tua kaki satu itu tak bisa 
bicara. Cepat sekali tubuh Roro Centil sudah bergerak 
mengejar ke arah yang ditunjuk kakek gagu itu
Beberapa saat, Roro sudah dapat melihat 
adanya sebuah bayangan kuning berkelebatan dengan 
sebat menerobos hutan belukar. Kali Ini Roro tak la-
kukan bentakan, kecuali dengan diam-diam mengikuti 
kemana sosok tubuh itu berkelebat. Diam-diam ha-
tinya membatin. Eh, siapakah wanita itu? Dia seperti 
membawa bandulan senjata Rantai Genit seperti senja-
taku!
Akan tetapi baru saja dia mau lakukan lompa-
tan untuk menghadang, tiba-tiba terdengar bentakan 
keras di belakangnya. Dan beberapa sosok tubuh su-
dah mengurung Roro. Terkejut Centil ketika mengenali 
mereka adalah tujuh mahluk kerdil yang sudah tidak 
mirip manusia lagi. Karena dari kepala-kepala ketujuh 
makhluk kerdil itu ada sepasang tanduk. Masing

masing bermata bulat menonjol, dengan mulut menye-
ringai menampakkan taring-taring yang runcing tajam. 
Tubuhnya hitam berbulu dengan kaki yang tak me-
nyentuh tanah. Tersentak Roro Centil, yang sudah da-
pat menduga mereka adalah siluman-siluman kerdil 
yang jahat.
Seperti ada yang mengomandokan, ketujuh 
makhluk kerdil itu sudah menerjang Roro Centil. Akan 
tetapi Roro sudah waspada sejak tadi. Segera gerakkan 
lengannya menghantamkan ke kiri dan kanan. Sayang, 
yang dihadapi Roro bukanlah manusia biasa, melain-
kan mahluk siluman, hingga hantaman-hantaman itu 
tak berarti. Sekejap tubuh-tubuh mahluk kerdil itu 
sudah berpencar. Pukulannya seperti menembus 
bayangan belaka. Ketika tahu-tahu tubuh Roro sudah 
kena disergap ketujuh mahluk siluman kerdil itu. 
Menghadapi demikian tampak Roro Centil agak panik. 
Namun segera hentakkan kakinya untuk melompat se-
tinggi sepuluh tombak. Ketujuh mahluk kerdil itu ter-
bawa ke atas. Ternyata Roro Centil gunakan jurus "Pu-
saran Angin Puyuh" warisan si kakek bulat si Dewa 
Angin Puyuh sahabat baiknya yang berbaik hati menu-
runkan beberapa jurus ilmunya.
Hebat akibatnya, karena serentak ketujuh mah-
luk kerdil itu berpental terlepas dari tubuhnya. Dengan
beberapa kali lakukan salto di udara, tubuh Roro su-
dah kembali jejakan kaki ke tanah. Sebat sekali, Roro 
Centil sudah gerakkan tubuhnya untuk teruskan men-
gejar si wanita baju kuning tadi, tanpa menghiraukan 
tujuh mahluk kerdil yang entah berpentalan kemana...
***
Sementara seekor harimau tutul berkelebat 
menyusulnya, yang melompat bagaikan terbang. Pada

moncongnya menggigit baju di punggung seorang gadis 
yang digondolnya. Dialah si Tutul sahabat Roro yang 
telah berhasil menyelamatkan gadis bernama Pandan 
Sari itu. Apakah sebenarnya yang telah terjadi?. Ki-
ranya di dalam goa yang pintunya telah ditutup den-
gan ilmu gaib hingga tak kelihatan lubangnya, si kakek 
kate baringkan tubuh Pandan Sari di atas batu beralas 
tikar. Kakek kate ini tersenyum menyeringai menatap 
gadis yang telah tertotok itu. Sementara sebuah 
bayangan hitam menunggu disudut ruang goa, menca-
ri kesempatan untuk menggondol si gadis yang terta-
wan itu.
Akan tetapi si kakek kate itu justru tak segera 
pergi, bahkan mulai beraksi dengan merayapi sekujur 
tubuh sang gadis, dan mulai menyibakkan pakaian 
sang korban untuk segera membukanya. Melihat de-
mikian, sang harimau Tutul yang masih membentuk 
asap hitam itu sudah tak sabar untuk segera bergerak. 
Melompatlah dia menerjang kakek kate. Terkejut si Ri-
riwa Bodas ini karena tahu-tahu sebuah bayangan hi-
tam meluncur menerjang ke arahnya. Secara reflek dia 
sudah bergerak untuk melompat. Segera matanya su-
dah menatapi pada seekor harimau tutul sebesar ker-
bau yang berada di atas batu. Cepat si harimau tutul 
siluman itu balikkan tubuh sang gadis, dan menggigit 
baju dipunggungnya. Lalu bergerak melompat keluar 
dari ruangan goa.
Karena dalam keadaan terkesima, ketika si ha-
rimau tutul sudah melesat keluar goa, barulah dia ter-
sadar kalau korbannya sudah digondol si harimau tu-
tul. "Kurang ajar...!" memaki si kakek kate, tubuhnya 
segera berkelebat mengejar. Dan terjadilah kejar-
kejaran hingga sampai jauh keluar dari wilayah si Ri-
riwa Bodas. Akan tetapi pada saat itu sudah berkelebat 
sesosok tubuh menghadang. Terkejutlah si kakek kate

ini, segera sudah jatuhkan diri berlutut, dan bibirnya 
terdengar kata-kata tergetar.
"Datuk guru...! Aku menghaturkan sembah 
bakti." "Hm, bangunlah...!" Ujar sosok tubuh di hada-
pannya, yang ternyata adalah seorang pertapa tua ber-
tubuh jangkung. Kumis, dan jenggotnya panjang men-
juntai hampir sedepa. Disamping bertubuh jangkung, 
tubuh kakek pertapa ini boleh juga disebut tinggi be-
sar. Hingga berhadapan dengan si kakek itu seperti 
seorang raksasa saja layaknya. Kakek tinggi besar ini 
berjubah hitam, juga berkulit hitam. Dialah seorang 
tokoh yang sudah lama menyembunyikan diri di Pulau 
Andalas. Bersama RATAN SUGAR. Entah bagaimana si 
datuk ini bisa berada di Pulau Jawa. Ternyata keda-
tangannya memang mencari si kakek kate itu.
"Ada hal apakah kiranya Datuk guru menyusul 
kemari?" Tanya si kakek kate dengan heran.
"Kau terlalu gegabah membuat keonaran, Abi 
Ghamus...! hal itu akan membahayakan dirimu! Se-
baiknya kau pulang, dan tinggalkan petualanganmu 
serta niat gilamu untuk menguasai Dunia Persilatan!" 
Ujar kakek yang bertubuh hebat itu. Sejenak terme-
nung si Ririwa Bodas yang ternyata bernama Abi 
Ghamus itu.
"Akan tetapi Datuk guru..." Tukas si kakek kate 
dengan terkejut.
"Kau tak akan mampu menghadapi para tokoh 
kaum Rimba hijau, muridku! Dan hal itu akan sia-sia 
belaka! Kau perlu menambah lagi ilmu-ilmu yang kau 
tuntut dan meninggalkan wilayah ini dengan secepat-
nya! Juga saran ku adalah sebaiknya kau menghamba 
saja pada Kerajaan Sriwijaya! Kukira tenagamu bisa 
bermanfaat bagi keamanan disana...!" Potong Ratan 
Sugar dengan cepat.
"Tidak bisa sekarang Datuk guru...! aku punya

perjanjian dengan si Raja Racun untuk bertanding il-
mu. Kira-kira tinggal menunggu sampai Purnama 
mendatang...!I" menyahut si kakek kate Ririwa Bodas.
"Ah, lupakanlah...!" Tandas Ratan Sugar den-
gan suara agak ditekan. Akan tetapi pada saat itu ter-
dengar suara tertawa berkakakan yang menggetarkan 
bumi. Dan muncullah sesosok tubuh dengan gerakan 
ringan ke hadapan mereka.
"Hahahaha... haha RIRIWA BODAS! Tak usah 
menunggu sampai purnama bulan depan. Hari ini ku 
kira cukup baik untuk aku wakilkan guruku si Raja 
Racun membuat kau hidup kekal di alam Baka...
***
SEMBILAN


Terkejut si kakek kate melihat yang muncul 
adalah pemuda murid si Raja Racun yang bernama 
ADHINATA itu. Akan tetapi keadaannya kini lain. Pe-
muda itu mengenakan baju rompi warna hitam dengan 
lengan atas terbuka. Juga dadanya tersibak. Pada se-
pasang lengannya mengenakan sebuah gelang besi 
berwarna hitam legam. Juga pada sepasang kaki pe-
muda itu melingkar sepasang gelang besi serupa. Ra-
tan Sugar si kakek tinggi besar asal India ini cuma 
krenyitkan kening menatapnya. Diam-diam hatinya 
tersentak memandang tubuh pemuda itu mengelua-
rkan sinar kebiruan. Akan tetapi tak sempat berfikir 
jauh karena si kakek kate muridnya itu sudah mem-
bentak parau.
"Bagus...! akan tetapi kemanakah gurumu? 
mengapa tak munculkan diri?" Tanya Ririwa Bodas.
"Hahaha... haha... si Raja Racun itu sudah du

luan! Segeralah kau menemuinya di kuburan...!" Ber-
kata Adhinata dengan suara jumawa. Mendengar kata-
kata demikian, mana si kakek kate mau percaya begitu 
saja. Hatinya membatin. Hm, si Raja Racun itu terlalu 
menganggap enteng padaku! Dia cuma munculkan 
muridnya untuk menghadapiku... ? Akan tetapi Ririwa 
Bodas sudah membentak hebat. Ekornya tiba-tiba 
menjulur untuk menghantam kaki si murid Raja Ra-
cun yang cuma memakan waktu dua kali bulan pur-
nama itu. Serangan itu adalah untuk memancing tu-
buh Adhinata melompat ke atas. Sementara dengan 
diam-diam dia telah salurkan tenaga dalam yang hebat 
pada sepasang tangan. Sekali hantam akan mampus-
lah si anak sombong itu! Pikirnya. Di luar dugaan, ke-
tika ekor si kakek kate menyambar kakinya, pemuda 
itu justru secepat kilat telah menangkapnya dengan 
sebat. Apa yang terjadi? Terdengar suara kakek kate 
meraung panjang. Tubuhnya sudah melompat untuk 
jatuhkan diri bergulingan.
Dan pada saat itu Adhinata dengan tawa berge-
lak segera enjot tubuh untuk hantamkan lengannya. 
Terperangah kakek kate. Walaupun dia dalam keadaan 
kesakitan yang amat sangat yang diketahuinya akibat 
apa, namun segera papaki serangan pemuda itu den-
gan pukulan yang tadi sudah disiapkan. Sementara 
segelombang angin yang mengeluarkan asap warna bi-
ru sudah menerjang dahsyat. Hawa dingin menyusup 
ke tulang sumsum. Ketika kakek kate memapaki se-
rangan itu dengan hantaman lengannya, segera ter-
dengar suara parau si kakek kate dan teriakan terta-
han pemuda itu.
DHEESS...!
Kakek kate terlempar bergulingan dengan 
berkelojotan. Sedangkan si pemuda itu terpental hing-
ga membentur dahan pohon, tepat pada belakang kepalanya. Sungguh satu kejadian yang amat aneh juga 
mengerikan. Karena kalau Adhinata jatuh pingsan tak 
sadarkan diri, adalah si kakek kate berekor ular itu 
meraung-raung parau dengan berkelojotan bagai ayam 
disembelih. Tak lama tubuhnya menegang untuk 
menggeliat. Dan kejap selanjutnya, segera terkulai layu 
tak berkutik lagi. Keadaannya amat mengerikan kare-
na seketika tubuh si kakek itu berubah menjadi warna 
kebiruan. Dan pelahan-lahan menjadi cair. Untuk se-
lanjutnya jadi bangkai yang menimbulkan bau yang 
menusuk hidung.... Sementara ekornya telah lenyap. 
Terkesiap si kakek tinggi besar, bagaikan tak percaya 
menatap tubuh ke dua orang yang terkapar itu silih 
berganti.
"MANUSIA BERACUN....!" Pekiknya dengan ka-
get. Barulah dia menyadari sinar kebiruan yang timbul 
dari tubuh anak muda itu adalah sinar racun yang 
dahsyat, yang seumur hidupnya belum pernah dijum-
pai. Tertegun seketika si kakek hitam bertubuh tinggi 
besar itu.
"Haiiih! sudah kukatakan tak usah menghirau-
kan segala macam adu kesaktian! Ternyata nasibmu 
buruk Abi Ghamus! Harus menemui kematian dengan 
begitu rupa...!" Seraya berucap, tubuh Ratan Sugar to-
koh asal India yang sejak lama menyembunyikan diri 
di Pulau Andalas itu segera berkelebat pergi mening-
galkan tempat itu, dengan hati penuh
kemasygulan.
Sepeninggal si kakek tinggi besar berkulit hitam 
yang kumis dan jenggotnya panjangnya hampir sedepa 
itu, sesosok tubuh berkelebat muncul. Sukar diper-
caya, karena yang muncul itu adalah si kakek muka 
putih Ki Panunjang Jagat. Dia berdiri tercenung me-
mandang tubuh Adhinata yang tergeletak tak sadarkan 
diri akibat benturan kepalanya dengan batang pohon.

Apakah yang sebenarnya terjadi dengan Ki Panunjang 
Jagat?
Ternyata ketika itu tubuhnya jatuh meluncur 
ke dalam jurang yang dalam, keadaan cuaca yang ber-
kabut di kedalaman jurang terjal itu membuat dia tak 
mampu melihat apa-apa. Akan tetapi dengan belalak-
kan mata lebar-tebar Ki Panunjang Jagat sempat Juga 
melihat dasar jurang. Hatinya melunjak girang. Seba-
gai seorang kakek kosen yang sudah banyak mengenal 
bahaya, tentulah tidak mandah saja untuk menghada-
pi maut yang sudah di depan mata. Sesungguhnya 
kematian itu memang telah ditentukan oleh Tuhan 
Yang Maha Esa. Dia cuma manusia... Kalau ditakdir-
kan untuk mati, ya mati...!
Melihat dasar jurang itu harapannya untuk hi-
dup timbul lagi. Siapa yang mau tubuhnya hancur re-
muk di atas batu cadas dari tempat yang amat tinggi 
itu? Segera sepasang lengannya bergerak menghantam 
batu cadas di dasar jurang. Hal itu amat menguntung-
kannya, karena segera tubuhnya tertahan luncuran-
nya. Dan selanjutnya dengan bersalto mempergunakan 
hantaman yang menimbulkan reaksi menahan tubuh 
itu, Ki Panunjang Jagat dapat mendarat dengan ringan 
di dasar lembah dengan selamat.
Kakek ini jatuhkan lututnya ke tanah dengan 
menarik napas lega. Sementara benaknya berpikir pa-
da kejadian tadi. Entah siapa telah menyerangnya 
hingga dia salah lompat, hingga terperosok ke dalam 
jurang. Dasar jurang itu sunyi lenggang. Kabut tipis 
seperti menyebar yang membuat pandangannya agak 
mengabur. Segera Ki Panunjang Jagat meneliti kea-
daan sekitarnya. Tiba-tiba tatapan matanya terbentur 
pada sesosok tubuh yang selangkah terhuyung-
huyung, dengan tertawa sendirian. Tersentak hati si 
kakek penghuni puncak Tangkuban Perahu itu. Sejenak Ki Panunjang Jagat terpaku menatap sosok tubuh 
itu, karena seperti mengenali siapa adanya laki-laki 
yang berperawakan demikian.
"Ah? apakah dia bukannya Adhinata? Apakah 
diapun terjerumus ke dalam jurang ini, hingga selama 
lebih dari dua bulan sejak kepergiannya belum juga 
sampai ke Pesanggrahan Ki Gembul Sona?" Desis Ki 
Panunjang. Jagat. Niatnya mencari jalan untuk me-
rayap naik ke atas lagi jadi diurungkan. Dengan hati 
berdebar diam-diam Ki Panunjang Jagat bergeser dari 
tempatnya untuk memperhatikan lebih dekat. Betapa 
terkejutnya si kakek muka putih melihat sesosok 
mayat tergeletak dengan keadaan pakaian yang hancur 
dan kulit tubuh membiru. Lagi-lagi hatinya tersentak.
"Si Raja Racun...!" desisnya dengan suara per-
lahan. Apakah gerangan yang terjadi? Berkata
dalam hati si kakek Tangkuban Perahu ini. 
Namun cepat-cepat menyelinap ke balik batu ketika di-
lihatnya Adhinata balikkan tubuh.
"Hahaha... selamat tinggal guru! Dua bulan le-
bih kau lakukan percobaan dengan bermacam cara, 
akhirnya begitu berhasil, tak dinyana kau bahkan 
mampus terlebih dulu...!" Berkata Adhinata, yang 
membuat Ki Panunjang Jagat yang sembunyi di bela-
kang batu untuk ketiga kalinya jadi tersentak kaget. 
Hah!? Dia berguru pada si Raja Racun? percobaan 
apakah yang dilakukan manusia golongan hitam ini 
hingga menewaskannya...! Sementara Adhinata sudah 
tambahkan kata-kata lagi.
"Maaf, guru...! aku malas mengubur jenazah-
mu, hahaha... biarlah aku wakilkan kau untuk meng-
hadapi si Ririwa Bodas!" Selesai ucapkan kata-kata, 
Adhinata segera balikkan tubuh dan melangkah pergi. 
Ki Panunjang Jagat tak berlaku ayal, segera unjukkan 
diri di hadapan muridnya. Sekejap sudah melompat

keluar.
"Adhinata...! tunggu dulu!" Teriak kakek ini. 
Pemuda itu menoleh dan sepasang mata lebar-lebar 
melihat orang di hadapannya.
"Guru...!?" Tersentak kaget Adhinata, yang se-
gera tekuk kedua lututnya untuk bersimpuh. Seraya 
ucapnya.
"Maaf, guru...! aku belum sampai ke Pe-
sanggrahan paman guru Gembul Sona! dan aku batal-
kan niat untuk teruskan pelajaran berguru padanya!"
"Bagus! begitulah seorang murid yang berbakti?
kau telah batalkan niat, karena kau lalu bergu-
ru pada tokoh sesat si Raja Racun!"
"Aku cuma tertarik dengan dua pasang benda 
mustika, guru...! Tak dinyana kalau kejadiannya bakal 
begin...!"
"Apa maksud ucapanmu? kejadian apakah? 
dan benda mustika macam apa yang telah menggiur-
kan hatimu?" bertanya Ki Panunjang Jagat.
***
SEPULUH


Akan tetapi tiba-tiba Adhinata berkelebat me-
lompat menjauh, seraya berteriak. "Maaf, guru...! aku 
tak dapat menceritakan, aku tak dapat menceritakan-
nya padamu! Amat menyesal aku telah menjadi murid 
yang tak berbakti padamu! segalanya sudah terlanjur!"
"Terlanjur bagaimana?" bentak Ki Panunjang 
Jagat seraya berkelebat mengejar. Adhinata segera 
berkelebat pula melompat dengan cepat, tampaknya 
seperti ketakutan melihat gurunya. Terjadilah kejar-
kejaran antara guru dan murid.

"Bocah keparat! lima tahun aku mendidikmu 
untuk kau menjadi seorang pendekar berhati putih, 
tak nyana kau menempuh jalan sesat! Jangan harap 
kau mimpi untuk lolos dari tanganku..! kau harus ber-
tobat, dan meminta maaf padaku! Kau tak ku perke-
nalkan memiliki ilmu si Raja Racun!" teriaknya lagi.
"Sudah terlambat, guru...!" Balas berteriak Ad-
hinata, lalu percepat gerakannya untuk segera merat 
dari hadapan gurunya. Ternyata Adhinata setelah
mendapat gemblengan si kakek puncak Tangkuban Pe-
rahu itu Justru memiliki gerakan lincah dan gesit me-
lebihi gurunya, hingga beberapa saat kemudian Ki Pa-
nunjang Jagat telah kehilangan jejak.
Demikianlah.... peristiwa belakangan hingga 
munculnya kakek puncak Tangkuban Perahu itu di
saat terjadinya pertarungan muridnya dengan Ririwa 
Bodas. Yang justru adalah musuh yang telah mem-
buatnya jatuh ke dalam jurang.
-ooOoo-
"MANUSIA BERACUN...!?" Sentak pula Ki Pa-
nunjang Jagat, seperti kata-kata yang dilontarkan Ra-
tan Sugar yang sudah berkelebat pergi. Terpengaruh 
bagaikan tak percaya pada penglihatannya, Ki Panun-
jang Jagat menatap tubuh muridnya mengeluarkan si-
nar kebiruan, yang berhawa dingin mencekam dan 
menggidikkan.
"Aku tak boleh menyentuhnya...! berbahaya! 
berbahaya...!" desis sang kakek ini. Segera hatinya su-
dah membatin. "Pantas dia berusaha menjauhi ku, 
ternyata tubuhnya mengandung racun yang amat luar 
biasa!" Tak terasa kakinya sudah mundur melangkah 
dua tindak.
Pada saat itulah berkelebat pula sesosok tubuh,

yang tak lain dari Roro Centil. Di atas pundaknya ter-
sangkut tubuh seorang gadis. Ternyata Roro Centil 
pun sudah sejak tadi berada di tempat itu. Ketika baru 
saja harimau tutul mengantarkan Pandan Sari yang 
dibawa dengan menggigit baju gadis itu, Roro Centil 
mendengar suara parau. Roro memang baru saja terle-
pas dari serbuan mahluk-mahluk kerdil Siluman itu. 
Segera Roro Centil mencari dimana adanya arah suara 
teriakan itu. Dan melihat si kakek kate tengah berkelo-
jotan meregang nyawa. Tak lama kemudian tewas den-
gan tubuh berubah mencair, mengerikan sekali. Se-
mentara di bawah pohon tergeletak sesosok tubuh tak 
bergerak entah pingsan entah mati, Roro tak mengeta-
huinya.
Kakek puncak Tangkuban Perahu itu terkejut 
melihat Roro Centil yang memondong tubuh seorang 
wanita. Ketika Roro turunkan bebannya untuk dire-
bahkan di tanah, segera Ki Panunjang Jagat mengenali 
siapa adanya gadis itu.
"Siapakah anda, nona...? Gadis itu aku menge-
nalnya! Dia murid adik seperguruanku Gembul Sona!" 
Bertanya dia setelah menjura pada Roro. Dilakukan-
nya pertanyaan itu karena memang dia tak mengeta-
hui kejadian di atas bukit karena tubuhnya sudah me-
layang ke dasar jurang.
Tersenyum Roro Centil. Roro memang telah da-
tang terlambat untuk menolak pukulan si kakek kate, 
yang justru kemunculannya adalah di saat si kakek 
kate itu tengah melancarkan serangan ganas pada ka-
kek Jangkung muka putih yang sudah di lihatnya ber-
hasil meremukkan kepala ular dengan hantaman pu-
kulannya. Segera Roro menyahuti. "Namaku Roro...! 
Lengkapnya RORO CENTIL!" Sahutnya.
"Ah, sukurlah kau orang tua bisa selamat dari 
kematian! Kalau demikian aku tak perlu repot-repot

mengantarkan gadis murid adik seperguruanmu si ka-
kek Jangkung rambut coklat itu!" Ujar Roro, yang se-
gera ceritakan kejadiannya secara singkat. Adapun Ki 
Panunjang Jagat sejak tadi mengingat-ingat nama 
yang baru disebutkan itu. Memandang pada senjata 
Rantai Genit di pinggang Roro, barulah dia sadar dan 
tersentak kaget.
"Sungguh tak dinyana aku masih bisa mengen-
al dan bertemu muka dengan Pendekar Wanita Pantai 
Selatan yang namanya sudah tersohor. Ternyata masih 
muda belia dan cantik!" Berkata Ki Panunjang Jagat.
"Terima kasih atas bantuan anda, nona Pende-
kar Roro Centil!" Sambungnya. Manusia aneh berekor 
ini aku baru melihatnya. Sungguh tak kusangka kalau 
dialah yang lakukan pukulan dahsyat hingga aku sa-
lah lompat dan masuk jurang!" Akan tetapi Roro tak 
menyahuti, karena wanita Pendekar ini perdengarkan 
suara. "Aiiih...!? Tubuhnya melangkah dua tindak, 
dengan menatap ke belakang tubuh Ki Panunjang Ja-
gat. Terkejut si kakek ini. Ketika palingkan tubuh, se-
kilas sudah melihat punggung Adhinata yang berkele-
bat cepat, untuk selanjutnya lenyap dikerimbunan hu-
tan. Roro tak sempat berfikir lagi untuk mengejar, ka-
rena dia memang menyangka lawan si kakek kate itu 
sudah tewas. Tak disangka kalau tiba-tiba tubuh yang 
terkapar itu melompat berdiri, dan kabur dengan cepat 
sekali.
"Haiiih...! kelak bocah itu akan membuat ke-
gemparan di Dunia Persilatan!" Berkata si kakek pun-
cak Tangkuban Perahu dengan wajah menampak te-
gang dan hati yang masygul.
"Siapakah dia kakek..?" Tanya Roro.
"Dia muridku...!
"Muridmu? mengapa sikapnya demikian terha-
dap seorang guru? Apakah dia mempunyai kesalahan

terhadap kau orang tua...?" Tanya Roro lagi. Ki Panun-
jang Jagat anggukkan kepala. Seraya kemudian men-
ceritakan secara singkat kejadian yang menimpa mu-
ridnya. Roro Centil mendengarkan penuturan itu den-
gan penuh perhatian. Sementara gadis bernama Pan-
dan Sari ternyata telah sadar dari pingsannya. Gadis 
itu terkejut mengetahui di hadapannya ada dua orang 
yang tengah berbincang-bincang. Yang seorang sudah 
dikenalnya. Akan tetapi seorang lagi adalah baru per-
tama kali dilihatnya.
Roro Centil segera beranjak menghampiri. "Eh, 
adik manis...! kau ikutlah pada kakek ini. Dia kakak 
seperguruan gurumu Ki Gembul Sona!" Ujar Roro se-
raya kemudian berpaling pada Ki Panunjang Jagat. Se-
raya berucap.
"Terima kasih atas penjelasan mu, kakek Tang-
kuban Perahu.... Aku harus segera pergi lagi. Masih 
banyak urusan yang belum ku selesaikan!" Akan tetapi 
baru saja habis kata-kata Roro. Sudah terdengar sua-
ra...
"Tunggu, nona Roro Centil...!" Dan dua sosok 
tubuh sudah berkelebat di hadapannya. Melengak Ro-
ro melihat siapa salah seorang dari keduanya. Ternyata 
yang seorang adalah Ki Gembul Sona, sedangkan seo-
rang lagi adalah seorang pemuda tampan berkulit pu-
tih yang menyandang pedang dipundak. Agak lupa-
lupa ingat Roro melihat wajah pemuda itu. Akan tetapi 
segera terluncur kata-katanya. "Apakah kalau tak sa-
lah kau si Pendekar Selat Karimata, alias si Bujang 
Nan Elok...?" Tanya Roro Centil. Pemuda itu terse-
nyum, lalu tertawa gembira.
"Hahaha... benar! benar sekali, nona... Roro! 
kau masih ingat padaku? ah, sukurlah...! Rasanya ba-
hagia sekali aku bisa berjumpa lagi dengan anda, nona 
Pendekar Roro Centil...!"

"Hm, begitukah... ?" Jawab Roro dengan beri-
kan seulas senyum di bibir. Membuat jantung si pe-
muda itu seperti berdentang-dentang berdebaran, ka-
rena sukar dikipakan senyum yang menghias di bibir 
sang dara jelita itu. Ternyata "CINTA" telah sejak lama 
bersemayam di hati si Bujang Nan Elok sejak perjum-
paan mereka di Pulau Andalas. Dan dia sudah maju 
dua tindak untuk menjabat tangan sang "dara pujaan 
hati" dengan jantung bergemuruh. Sementara Ki Gem-
bol Sona tampak gembira sekali memeluk kakak se-
perguruannya yang disangkanya sudah tewas, ternyata 
masih segar bugar. Sedangkan Pandan Sari segera 
menjura di hadapan kedua orang tua itu.
"Sukurlah kau selamat, muridku...! mengapa 
kau tak ucapkan terima kasih pada Nona Pendekar 
Roro Centil yang telah menolongmu?" Ucap Ki Gembul 
Sona. Pandan Sari memang sejak tadi mau buka sua-
ra, namun keburu muncul gurunya bersama seorang 
laki-laki tampan berkulit putih. Melihat tatapan mata 
si Bujang Nan Elok itu seperti melekat tak mau lepas 
menatap sang Pendekar Wanita itu, Pandan Sari jadi 
tersipu dan agak jengah kalau terus memperhatikan. 
Hingga dia tak sempat buka mulut. Selanjutnya den-
gan terburu-buru segera melompat menghampiri gu-
runya dan sang uwak guru, untuk menjura.
Sukar diceritakan kegembiraan, juga rasa haru 
pada pertemuan itu. Roro Centil terpaksa batalkan 
niatnya untuk menguntit si wanita yang menyaru se-
bagai dirinya. Dalam pembicaraan selanjutnya dilaku-
kan sambil beranjak meninggalkan tempat itu. Terden-
gar suara si kakek Puncak Tangkuban Perahu.
"Walaupun si Ririwa Bodas itu sudah tewas, 
akan tetapi masih ada hai lain yang menjadi masalah 
kita. Yaitu Adhinata murid tunggalku itu, yang telah 
menjadi seorang MANUSIA BERACUN...!" Ki Gembul

Sona manggut-manggut seraya ucapnya. "Ya, disamp-
ing muridmu itu kukira masalah memang belum tun-
tas, karena wanita yang mengaku bernama Roro Centil 
itu telah membuat keonaran dimana-mana! Di samp-
ing telah membakar seluruh Pesanggrahan ku, juga te-
lah mulai mempengaruhi Adipati Antaboga yang baru!"
"Benar kakek sahabat...! aku mendengar berita 
dari seorang pengawal Kadipaten, justru si wanita itu 
telah menjadi istrinya Adipati Antaboga. tukas si Bu-
jang Nan Elok yang nama sebenarnya adalah SAMBU 
RUCI. Dia berjalan berdua dengan Roro Centil.
"Hihih...! biarlah untuk urusan wanita itu, se-
rahkan saja padaku! Dia memang sengaja membuat 
keonaran untuk memancing kebencian kaum Rimba 
Hijau padaku! Wanita itu memang menaruh dendam 
padaku! entah persoalan apa...!
"Aku belum bisa menduganya siapa wanita itu 
kalau belum bertemu muka...!" Ujar Roro. Lalu cerita-
kan tentang kata-kata si Kakek kate berekor ular, yang 
pernah mengatakan bahwa muridnya menaruh den-
dam yang amat hebat terhadapnya. "Jelas perbuatan-
nya adalah untuk mengundangku datang mencarinya. 
Aku memang tengah mengutitnya, setelah wanita itu 
lakukan perbuatan bejat dengan seseorang. Dan telah 
membunuh pula laki-laki korbannya...!" Tutur Roro.
"Kalau dia ternyata adalah isterinya Adipati An-
taboga, kebetulan sekali! Akan lebih mudah bagiku un-
tuk melabraknya...!" Ujar Roro lebih bersemangat.
"Aku setuju, nona Roro...! aku bersedia mem-
bantu!" Roro cuma tersenyum menoleh pada Sambu 
Ruci, akan tetapi segera mengangguk.....
***

SEBELAS

Adipati Antaboga yang digembar-gemborkan 
mempunyai ilmu tinggi dan aji penangkal ilmu-ilmu hi-
tam itu ternyata adalah "boneka"nya si wanita yang 
menyamar menjadi Roro Centil gadungan. Tak seo-
rangpun mengetahui kalau tumbal yang digunakan 
untuk penangkal yang disebarkan pada penduduk 
adalah cuma "permainan" si wanita itu. Karena dia 
sendirilah yang membuat mala petaka dan dia sendiri 
pula yang membuat tumbalnya. Ketika malam telah 
melingkupi mayapada.
"Adipatiku...! agaknya kita tak dapat bertahan 
lama di tempat ini! Musibah besar telah menimpa ku!" 
Berkata Roro Centil gadungan dengan bertolak ping-
gang. "Musibah apakah itu, dewiku...?" Tanya Adipati 
Antaboga. Dia seorang laki-laki yang diculik dari kota 
Raja. Bertampang gagah. Berusia sekitar 35 tahun. 
Bertanya demikian, sang Adipati ini beranjak mende-
kati seraya menggamit dagu si wanita. Dan selanjutnya 
sudah raih pinggang orang untuk segera di pondong ke
pembaringan bertilam sutera.
Tak seperti biasanya si wanita ini berdiam diri 
tanpa gerakkan lengannya untuk merangkul leher 
sang "suami". Tampaknya si Adipati ini tak terkejut 
mendengar sang "istri" mendapat musibah yang belum 
diketahui mendapat musibah apa.
"Apakah yang telah terjadi, dewiku?" Kembali 
dia lakukan pertanyaan seraya rebahkan tubuh "is-
tri"nya ke pembaringan.
"Guruku Ririwa Bodas telah tewas oleh si Raja 
Racun. Roro Centil si Pendekar wanita Pantai Selatan 
itu sudah muncul, sedangkan aku belum punya persiapan untuk menghadapi. Rusaknya rencanaku ada-
lah gara-gara tewasnya guruku...! Kita harus secepat-
nya pindah dari sini...!" Barulah si Adipati itu belalak-
kan matanya.
"Pindah... ? Akan tetapi aku telah diangkat 
resmi oleh pihak Kerajaan untuk menduduki jabatan 
Adipati, memerintah di beberapa wilayah di sekitar Ka-
dipaten. Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan 
jabatanku?" Tukas Adipati Antaboga.
"Jadi kau lebih sayang jabatanmu dari pada 
aku?" Tanya sang "istri" dengan wajah kecut. "Bukan 
begitu Dewiku...! Akan tetapi sebaliknya kita gunakan 
cara lain agar mendapat bantuan dari pihak Kera-
jaan...!"
"Maksudmu... ?" Tanya si wanita dengan mena-
tap tajam sang Adipati.
"Kau harus dekati orang-orang Kerajaan, teru-
tama Senapati Kerta Bumi.
Tujuannya adalah agar mengirimkan bantuan 
lasykar untuk menangkap musuh besarmu itu!" Tutur 
sang Adipati dengan wajah serius.
"Senapati Kerta Bumi belum tentu bisa diper-
budak oleh kita! Aku merasa kalau hal perbuatanku 
ini justru telah bocor oleh orang yang paling dekat 
denganku!"
"Siapakah orang yang kau maksudkan Dewi-
ku...?" Tanya sang Adipati dengan wajah berubah agak 
pucat. Sementara jantungnya berdebaran semakin ce-
pat.
"Hm, kaulah orangnya!" Berkata sang istri" 
dengan suara dingin. Kau kira aku belum mencium 
perbuatan mu yang diam-diam melaporkan pada Pihak 
Kerajaan dengan mengutus seorang, Pengawal Kadipa-
ten untuk melaporkan tindakanku, dan sekaligus 
membongkar rahasiaku...!" Lanjut ucapannya. Terperangah seketika sang Adipati. Sementara diam-diam 
lengannya sudah meraba ke bawah tilam. Disana telah 
disembunyikan sebuah keris untuk menamatkan wani-
ta yang telah menjadikannya sebuah "boneka" hidup. 
Akan tetapi mulut sang Adipati ini bicara lemah lem-
but dengan membujuk. Bahkan merangsangnya den-
gan ciuman bertubi-tubi.
"Janganlah berprasangka demikian, Dewiku...! 
Aku akan tetap menjadi pengabdianmu yang setia. Kau 
telah mengangkat derajatku dengan menjadi Adipati di 
Kadipaten Ini, masakan aku akan berkhianat?. Justru 
tujuanku adalah demi kelanggengan hidup kita!" Sang 
"istri" cuma berdiam diri tanpa menjawab. Dan biarkan 
lengan "suami"nya menyelusuri lekuk-liku tubuhnya. 
Tapi lama- kelamaan sikap sang "istri" mulai lain.
"Hihih... sebenarnya aku hanya menggertak mu 
saja, Adipati ku...! Soalnya aku khawatir kau kepincut 
pada si Roro Centil betulan? Aku... aku cemburu! Dan 
rasanya ingin cepat-cepat melenyapkan wanita keparat 
itu secepatnya! Aku takut dia merebut mu dari tan-
ganku...!" Berkata si wanita. Suaranya tiba-tiba jadi li-
rih dan manja. Seraya mendekap tubuh sang Adipati 
erat-erat. Sang Adipati pun tertegun seketika karena 
melihat perubahan sikap "istri"nya. Akan tetapi dia se-
gera berikan keinginan sang "istri" yang sekonyong-
konyong mempunyai hasrat menggebu.
"Ah, Adipati ku...! aku amat mencintaimu...! 
kau gagah dan amat perkasa! Rencanamu itu bagus 
sekali...!" ucapnya dengan berdesah kenikmatan. Kepa-
la sang Adipati ini telah membenam diantara celah da-
danya.
Sementara itu keadaan di luar gedung Kadipa-
ten.... Cahaya bulan masih menerangi sekitar tempat 
itu walau cuma remang-remang. Adalah aneh kalau 
penjaga Kadipaten telah bermunculan, dan bergerak

menyusup untuk mengurung kamar sang Adipati den-
gan gerakan hati-hati dan senjata terhunus.
Mereka sembunyi di sisi tembok pintu kamar, 
dan menyelinap ke berapa tempat gelap lainnya. Se-
mentara telinga mereka memasang pendengaran ke 
arah kamar peraduan Adipati. Keadaan remang men-
jadi tegang, karena dari dalam kamar sang Adipati ter-
dengar suara rintih dan tertawa kecil serta desah-
desah napas menggebu. Tiga pengawal yang rapatkan 
telinganya ke tembok wajahnya tampak tegang, semen-
tara lengannya mencekal senjata dengan gemetar.
Mereka semua mengetahui kalau si wanita itu 
adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan punya 
ilmu hitam yang mengerikan. Kesabaran memang di-
butuhkan saat itu, disamping harus menahan napas 
agar tak bersitkan udara terlalu keras dari hidung. Ti-
ba- tiba terdengar suara bentakan dari dalam kamar.
"Mampuslah kau wanita Iblis...!" Diiringi suara 
keluhan dan suara bergedubrakan di atas pembarin-
gan seperti tengah terjadi pergelutan hebat. Tak lama 
keadaan kembali senyap. Hal mana menimbulkan tan-
da tanya para pengawal Kadipaten yang telah menge-
pung di luar kamar. Kepala Pengawal bernama Wage 
segera memberi isyarat untuk menerjang ke dalam. 
Dan.....
BRRAAKKK...! Pintu telah diterjang hingga jebol 
berantakan. Mereka segera berlompatan dengan senja-
ta-senjata terhunus. Segera saja terlihat pemandangan 
di dalam ruangan kamar. Di atas pembaringan tubuh 
sang Adipati terkapar dengan tubuh telanjang bulat. 
Pada lehernya tertancap kerisnya sendiri yang berlu-
muran darah, berpuncratan ke atas bantal dan tilam. 
Sementara sesosok tubuh tanpa busana menatap ke 
arah mereka dengan putarkan pandangan ke arah pa-
ra penyergap-penyergap itu. Rambutnya beriapan, dan

tampak wajahnya tampilkan kegusaran hebat. Saat itu 
juga dia sudah membentak keras.
"Bagus! kalian semua cari mati!" Akan tetapi ti-
ga pengawal segera menerjang dengan senjata-senjata 
telanjangnya untuk menebas tubuh wanita itu. Cepat 
sekali terjadinya, ketika lengan si wanita itu mengibas 
dan melompat gesit menghindari terjangan maut. Sege-
ra terdengar suara jeritan ketiga pengawal. Tubuh-
tubuh mereka berpentalan, karena segelombang angin 
panas menghantam mereka. Dan... blug! blug! blug! 
Ketiganya roboh dengan tubuh berbau sangit alias go-
song.
Terkesiap beberapa pengawal lainnya. Namun 
Wage sudah maju melompat menerjang dengan putar-
kan senjata sepasang goloknya. Wage memang mem-
punyai kepandaian tinggi, dan sudah terkenal amukan 
sepasang goloknya ini hingga mendapat julukan si Se-
pasang Golok Naga Kembar.
WHERRR...! WHUKK! WHUUK...! WHUUKK!
Hebat terjangan sepasang golok ini. Karena se-
kejap sudah mengurung tubuh telanjang si wanita itu, 
yang sudah tak sempat lagi menutupi auratnya. Se-
mentara beberapa pengawal siap dengan tombak-
tombak terhunus untuk menjaga jangan sampai wani-
ta itu melarikan diri. Akan tetapi bukanlah hai yang 
mudah untuk menangkap atau membunuhnya.
"Kau tak dapat lolos dari sepasang golokku, 
wanita iblis!" Membentak si Kepala Pengawal, yang 
kembali menerjang dengan hebat. Dua bayangan golok 
laki-laki bernama Wage ini bagaikan sepasang Naga 
yang mengamuk. Menerjang, menabas, menusuk dan 
melingkar-lingkar melancarkan serangan-serangan 
dahsyat yang berbahaya. Akan tetapi suatu kesempa-
tan, si Wanita berhasil menyambar pakaiannya. Len-
gannya kirimkan serangan menahan terjangan itu

dengan mendadak, dan sepasang kakinya menjejak 
untuk melompat ke sisi tembok. Disana tergantung se-
pasang senjata Rantai Genit tiruan. Sekali lengannya 
bergerak, sepasang senjata itu sudah disambarnya.
WHUK! WHUKI WHUK...! Tahu-tahu dia sudah 
menerjang dengan lemparan sepasang Rantai Genit ti-
ruan itu. Tentu saja membuat Wage jadi, terkejut, ka-
rena tahu-tahu bandulan rantai telah membelit tu-
buhnya. Sedangkan yang sebuah lagi terbabat putus 
kena sambaran goloknya. Saat Wage terperangah itu, 
si wanita telah gerakkan lengannya menghantam Wage 
dengan pukulan Inti Apinya yang hebat. BHUUSSS...!
Terdengar suara teriakan parau si Kepala Pen-
gawal. Tubuhnya seketika tertambus api yang memba-
kar tubuhnya. Seketika jatuh menggabruk dengan 
berkelojotan. Dan... tewaslah Wage dengan keadaan 
tubuh matang hangus. Tak lama sosok tubuh wanita 
itu Sudah berkelebat keluar, dengan melompat dari 
jendela kamar. Sungguh di luar dugaan. Saat itu juga 
membersit puluhan anak panah ke arahnya. Tersentak 
wanita ini. Beruntung tadi dia menyambar pakaiannya 
yang belum sempat untuk dikenakan. Segera dengan 
teriakan keras, lengannya gunakan pakaian itu untuk 
menghalau panah yang meluruk deras ke arahnya.
PRAS! PRASS..! PRASS..!
Berpentalan puluhan anak panah beberapa 
arah. Namun tak urung tiga batang panah berhasil 
menancap dipundak dan betis serta pahanya. Menjerit 
wanita ini. Dan Jatuh menggabruk. Saat itu kembali 
puluhan anak panah menerjangnya. Akan tetapi se-
buah bayangan kilat telah menyelamatkan nyawanya. 
Keadaan itu sudah tak mungkin di elakkan lagi oleh 
wanita itu karena dia dalam keadaan terluka. TRANGI-
TRANG...! TRANG...! Muncullah di hadapan si wanita 
itu seorang wanita juga yang tak lain dari Roro Centil

adanya. Ternyata Roro pergunakan senjata Rantai Ge-
nitnya untuk menghalau serangan. Tentu saja hal de-
mikian membuat terkejut pemimpin dari pasukan 
laskar kerajaan yang dipimpin oleh Senapati Kerta 
Bumi sendiri.
"Tahan...!" Teriak Roro seraya mengangkat se-
belah lengannya.
"Pendekar RORO CENTIL...! "Teriak Senapati 
Kerta Bumi hampir berbareng dengan teriakan prajurit 
Lasykarnya.
***
DUA BELAS


SENAPATI KERTA BUMI melompat ke hadapan 
wanita Pendekar Pantai Selatan dengan perlihatkan 
wajah cerah.
"Ah, sungguh tak dinyana anda muncul di saat 
seperti ini! Aku Senapati Kerta Bumi menghaturkan 
hormat pada anda, nona Pendekar Roro Centil! Semen-
tara itu puluhan pengawal Lasykar Kerajaan sudah 
mengurung wanita itu dengan anak panah siap dile-
pas. Keadaan sudah tak memungkinkan wanita itu un-
tuk berkutik. Roro Centil tersenyum. Tanpa perintah 
Senapati takkan ada yang berani membunuh wanita 
itu.
Roro balas menjura ketika Senapati Kerta Bumi 
barusan bungkukkan tubuh menjura padanya. "Ah, 
ah...! apa-apaan ini? Kau sudah mengenalku, sobat 
Senapati?" Tanya Roro dengan wajah menampakkan 
senyum.
"Akulah yang memberitahu...! Menyahuti seseo-
rang dengan diiringi sosok tubuh berkelebat melompat

ke hadapan mereka. Ternyata Sambu Ruci, alias si Bu-
jang Nan Elok.
"Apakah penyerangan ini atas usulmu juga...!?" 
Tanya Roro lagi. "Ah, sama sekali tidak! Sejak sebulan 
yang lalu aku banyak mendengar tersiarnya berita seo-
rang Pendekar Wanita yang bernama Roro Centil ba-
nyak melakukan perbuatan tercela di wilayah ini. 
Sungguh mati aku tak percaya! Karena aku sudah 
mengenal watak nona Roro tak mungkin demikian!"
"Benar...! nyaris saja akupun beranggapan de-
mikian, nona Pendekar RORO CENTIL...!! kalau saja 
sobat Sambu Ruci ini tak menuturkan adanya musuh 
dalam selimut yang telah menghancur leburkan ke-
luarga Adipati Kambangan, yang tewas berikut pulu-
han prajurit pengawal Kadipaten!" Tukas Senapati Ker-
ta Bumi. Akhirnya Roro pun maklum dan manggut-
manggut mengerti. Hampir saja menuduh Sambu Ruci 
menggagalkan niatnya untuk melabrak wanita yang 
menyamar sebagai dirinya itu.
Walaupun Roro menyatakan tak keberatan di-
bantu oleh Sambu Ruci untuk melabrak wanita itu, 
tapi ternyata Roro telah berangkat pada malam itu seo-
rang diri untuk menemui si wanita yang menyaru di-
rinya di gedung Kadipaten. Ternyata sudah keduluan 
oleh lasykar Senapati Kerta Bumi yang nyaris membu-
nuh wanita itu. Hal demikian akan membuat kecewa 
Roro Centil. Karena dia memang ingin mengetahui sia-
pa adanya wanita itu dan dendam permusuhan apa-
kah yang telah dikatakan si kakek buntut ular Ririwa 
Bodas terhadap dirinya... Pada saat itu.
"Hihihi... Roro Centil! akhirnya kau datang ju-
ga! mengapa tak kau biarkan aku mampus terpang-
gang anak panah? Apakah kau tak menyesal menolong 
jiwaku?" Semua segera menoleh pada wanita itu, yang 
dalam keadaan menyeringai kesakitan karena paha,

bahu dan betisnya tertancap tiga batang anak panah, 
ternyata masih mampu umbar suara. Roro sudah ba-
likkan tubuh dan menatap pada wanita itu.
"Heh! justru aku inginkan kau hidup! kau ha-
rus berurusan denganku, karena kau telah cemarkan 
nama baikku di wilayah ini...!" Bentak Roro. "Kini se-
butkanlah siapa dirimu! dan ada permusuhan apakah 
denganku hingga kau mendendam padaku!?" Bentak 
Roro dengan bertolak pinggang. Wanita itu perdengar-
kan dengusan di hidung, dan meludah ke tanah.
"Cuih...! Masih ingatkah kau setahun yang lalu 
pernah seorang laki-laki tua bernama TUN PAMERA? 
Kau telah pergunakan binatang siluman harimau tutul 
untuk membunuhnya!" Ucapnya dengan wajah mem-
bersitkan kemarahan dan dendam yang luar biasa. 
Tercenung sejenak Roro Centil, seraya menggumam.
"Tun Parera...?" Sejenak Roro mengingat-ingat 
dengan krenyitkan keningnya.
"Apakah maksudmu si Paderi palsu yang men-
jabat Ketua Dua di Kuil Istana Hijau dengan nama Pa-
deri Sapta Dasa Griwa itu...?"
"Heh! palsu atau tidak bukan urusanmu! keta-
huilah, aku adalah anak perempuannya. Namaku GIRI 
MAYANG! Di wilayah Pulau Andalas itu aku digelari si 
Kelabang Kuning...! Tekad ku tak pernah surut untuk 
membalas dendam pati walaupun aku harus mati di
tangan mu atau di tangan para lasykar Senapati itu!" 
Silahkan kau turun tangan Pendekar Wanita yang he-
bat! Walau aku mungkin saat ini mati, namun dendam
ku akan sampai ke liang akhirat...! Heh! akan tetapi 
apalah artinya keharuman namamu kalau membunuh 
lawan dengan menggunakan binatang siluman? Kukira 
lebih baik gelarmu saja dengan gelar si Pendekar Wani-
ta Siluman Roro Centil!
Hihihi... hihii..... hihi....." Terpingkal-pingkal

tertawa si wanita yang ternyata bernama Giri Mayang 
alias si Kelabang Kuning itu, hingga sampai mengelua-
rkan air mata. Pedihnya hati, sakitnya perasaan yang 
bercampur rasa iri hati dan dendam yang belum juga 
terbalaskan, membuat Giri Mayang mengumbar terta-
wanya sejadi-jadinya.
Roro Centil terdiam sesaat. Suara tertawa wani-
ta itu sungguh amat menyakitkan anak telinga. Bukan 
karena berisi tenaga dalam yang tinggi, akan tetapi be-
risi sindiran pedas yang telah menyentuh hati sanuba-
rinya. Dan hati itu terluka sudah. Ucapan wanita itu 
memang benar setelah ditimbang-timbang. Akan tetapi 
hatinya kembali membantah. Toh, dia tidak menuntut 
ilmu siluman, karena si harimau Tutul datang padanya 
seperti sudah menjadi kodrat, hingga si binatang mak-
hluk siluman itu telah mengakuinya sebagai pengganti 
Ratunya! (baca kisah: Siluman Kera Putih). Makin la-
ma suara tertawa wanita itu semakin santar, seperti 
membuat tergetarnya jantung Roro. Seakan-akan ha-
tinya diiris sembilu! Tiba-tiba Roro membentak keras 
menggeledek.
"DIAAAM...!" Tentu saja semua yang berada di
situ terlonjak kaget. Nyaris saja anak-anak panah itu 
terlepas dari masing-masing busurnya, karena para 
pengawal dari pasukan panah itupun terlonjak kaget. 
Kali ini Roro Centil yang perdengarkan suara tertawa 
melengking tinggi. Keadaan jadi gempar. Karena seke-
tika itu juga Roro Centil telah melesat tinggi, sejauh 
dua puluh tombak. Semua yang berada di bawah men-
dongak ke atas untuk melihat apa yang dilakukan si 
Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Ternyata tubuh 
Roro Centil kembali meluncur ke bawah. Dan sepasang 
kakinya hinggap dengan ringan di atas tanah.
Gerakan mendadak itu adalah pelampiasan 
kemarahannya. Akan tetapi Roro Centil telah mengambil keputusan di atas tadi. Apakah membunuh mam-
pus si wanita bernama Giri Mayang itu atau tidak! 
Ternyata keputusan telah diambil untuk tidak dilaku-
kan. Kalau Roro waktu itu mengambil keputusan 
membunuhnya tanpa perduli akan segala macam har-
ga diri dan lain-lain, tentu detik itu Giri Mayang sudah 
tewas dengan batok kepala pecah. Karena Roro Centil 
di waktu menukik bisa lancarkan pukulan dengan se-
kejap.
Semua mata tertuju pada Roro, yang tampak 
bersitkan wajah seram. Karena rambutnya yang beria-
pan itu sebagian menutupi wajahnya.
"Nona Pendekar Roro! karena wanita ini sudah
menyangkut urusan Kerajaan, dan banyak sudah me-
newaskan orang-orang penting dari Kerajaan Sunda 
Kalapa, ku harap anda berikan dirinya untuk kami ja-
dikan tawanan Kerajaan. Mengenai hukuman padanya 
terserah Baginda Raja" Berkata Senapati Kerta Bumi. 
Akan tetapi Roro Centil perdengarkan tertawanya, se-
raya ujarnya dengan nada ketus. "Maaf, sobat Senapa-
ti...! bukan aku mementingkan diriku sendiri, akan te-
tapi biarlah dia ku bebaskan. Dan tak seorangpun 
yang kuperkenankan membunuhnya!"
Seraya berkata, Roro Centil segera beri isyarat 
pada si harimau Tutul untuk menampakkan diri. 
Gemparlah seketika semua lasykar sang Senapati. Ka-
rena segera muncul di situ seekor harimau tutul yang 
amat besar. Menampakkan taringnya yang runcing. 
Senapati inipun terkejut, tak terasa kakinya sudah 
mundur dua langkah. Harimau tutul perdengarkan 
suaranya menggeram dahsyat, kemudian mendekati 
Roro dan menjilat-jilat lengannya.
"Tutul...! sahabatku! kau pergilah! Dan jangan 
ikuti lagi diriku! Bukan aku membenci mu, tapi aku 
akan mencoba menggunakan sepasang lenganku ini

untuk membunuh siapa saja yang membuat keonaran 
dimuka bumi ini! Untuk membuktikan bahwa Roro 
Centil bukan seorang Pendekar Siluman...!" Berkata 
Roro dengan suara tegas. Mendengar ucapan Roro de-
mikian, sang harimau Tutul perdengarkan suara men-
gaum panjang, membuat tanah bergetaran. Tak lama 
tubuh harimau jejadian itupun meluncur pergi bagai-
kan hembusan angin. Dan lenyap dari pandangan ma-
ta...
Terperangah semua orang, dan rata-rata mena-
rik napas karena baru pertama kali melihat seekor Ha-
rimau Tutul sebesar dan sehebat itu. Akan tetapi hati 
mereka juga bergidik seram, karena sang Harimau itu 
bukan harimau biasa melainkan mahluk siluman.
"Nah, bangkitlah kau, Giri Mayang! Pergilah 
kemana kau suka. Dendam dalam dadamu itu boleh 
kau lampiaskan kapan waktu saja! Aku selalu siap un-
tuk menghadapimu...!" Ujar Roro dengan suara lan-
tang.
Selesai berkata Roro Centil segera menatap pa-
da Senapati Kerta Bumi. "Kuharap kau perintahkan 
anak buahmu untuk menyingkir, sobat Senapati!" Ta-
tapan Roro seperti melunturkan kekerasan hati Sena-
pati ini, hingga dengan segera serta merta lalu perin-
tahkan anak buahnya untuk membebaskan si wanita 
dari kepungan. Terhuyung Giri Mayang bangkit berdiri. 
Sebelah lengannya dipergunakan untuk menutupi ba-
gian tubuhnya yang terbuka dengan pakaian yang be-
lum sempat dikenakan itu.
"Bagus! kelak aku pasti akan mencarimu Roro 
Centil! bila telah sembuh lukaku!" Berkata si wanita 
bernama Giri Mayang itu dengan suara parau.
"Pergilah...! Tapi jangan coba-coba kau meng-
ganggu rakyat atau wilayah Kerajaan Sunda Kelapa ini! 
Aku tak akan mengampunimu untuk kedua kali!" Giri

Mayang tak menjawab. Dengan terpincang-pincang se-
gera berlalu dari tempat itu. Dan lenyap di keremangan 
malam.
"Akupun harus pergi, sobat Senapati. Kuharap 
kau tak perlu khawatir, Bila terjadi apa-apa, aku ma-
sih berada di wilayah 'sini!. Roro dengan menjura pada 
Senapati Kerta Bumi.
"Terima kasih atas bantuanmu, nona Pendekar 
Roro Centil!". Sambu Ruci yang sedari tadi terpaku di 
tempatnya melihat Roro menjura, diapun ikut-ikutan 
menjura, dan mohon diri pada Senapati itu.
"Nona Roro...! Tunggulah aku...!" Teriaknya ke-
tika Roro segera berkelebat melompat pergi.
"Hihihi... kau seperti anak kecil saja. apakah 
mau minta digendong?" Ujar Roro. seraya berpaling, 
dan hentikan langkahnya.
"Digendong pun aku mau...!" tukas Sambu Ruci 
alias si Bujang Nan Elok. Tubuhnya segera berkelebat 
cepat untuk menyusul Roro. Tak lama kedua tubuh itu 
sudah berkelebatan pergi meninggalkan tempat itu 
dengan cepat. Senapati Kerta Bumi dan para anak 
buahnya memandangi mereka hingga sampai lenyap dikeremangan sinar bulan...


                             TAMAT


Judul mendatang:

LANGKAH-LANGKAH SI MANUSIA BERACUN






























Share:

0 comments:

Posting Komentar