SATU
DATUK LIMAU PURUT hunjamkan berkali-kali
keris berlekuk tujuh itu ke lambungnya. Orang-orang
menjerit ngeri Akan tetapi segera berseru kagum, ka-
rena bukan kulit lambungnya yang robek tertembus
keris melainkan keris itu sendiri yang bengkok-
bengkok dibuatnya.
"Hebat! Hebat...!" serentak terdengar pujian
disana-sini. Dan selanjutnya segera terdengar tepukan
tangan riuh rendah disertai teriakan-teriakan gegap
gempita.
"Hidup Datuk Limau Purut!"
"Hidup Datuk Limau Purut...!"
Sementara orang berteriak memuji seorang la-
ki-laki bertubuh kekar berusia kira-kira 30 tahun lebih
beranjak keluar dari jejalan penonton memasuki ruang
arena adu kesaktian itu. Seketika teriakan-teriakan itu
terhenti. Semua mata menatap pada laki-laki ini yang
melangkah lebar menghampiri si manusia kebal itu.
"Nama ku SAWOR...!" katanya memperkenalkan
diri, seraya menatapkan pandangannya ke sekeliling
penonton, tanpa memandang pada laki-laki bergelar
Datuk Limau Purut.
"Aku yang rendah ini ingin menunjukkan sedi-
kit kepandaianku, apakah diantara kalian ada yang
mempunyai sebuah golok tajam...?" ucapnya dengan
suara lantang. Hening sejenak tanpa ada yang menya-
hut. Sementara beberapa orang penonton yang menge-
lilingi arena itu mulai kasak-kusuk, membicarakan
siapa adanya orang yang berani maju ke tengah ge-
langgang tanpa memandang sebelah mata pada Datuk
Limau Purut itu.
"Ini golokku pakailah...!" tiba-tiba terdengar satu suara dari jejalan penonton. Seorang laki-laki ber-
tubuh jangkung melemparkan sebuah golok besar
yang berkilat ke arah laki-laki bernama Sawor itu. Rin-
gan sekali lengan Sawor bergerak menangkapnya. Se-
kejap golok besar itu sudah tercekal di tangannya.
"Eh, ilmu kesaktian apakah yang akan kau tun-
jukkan...?" berkata Datuk Limau Purut dengan suara
setengah membentak. Wajahnya tampak merah pa-
dam. Hatinya tersinggung benar melihat tingkah laku
laki-laki yang seperti tak menganggap adanya dia di si-
tu.
Sawor tak menyahut, melirikpun tidak pada
Datuk Limau Purut yang beranjak melangkah dua tin-
dak ke hadapannya. Bahkan dia putar tubuh lalu
menghadap pada penonton yang mengelilingi "Kalian
saksikanlah kebodohan ku, apakah dalam hal ini aku
dapat dikatakan berada di bawah kehebatannya...?" te-
riaknya lantang dengan mengacungkan golok besar itu
tinggi-tinggi di atas kepala. Sementara lengan kirinya
mencengkeram rambut. Dan tiba-tiba pada detik itu
juga... Des!
Apakah yang telah dilakukannya? Ternyata ce-
pat sekali goloknya berkelebat menabas batang leher-
nya sendiri hingga putus. Darah menyemburat. Penon-
ton terpekik ngeri. Dan Datuk Limau Purut terbelalak
menatap.
"Hahaha... Datuk Limau Purut yang gagah,
mampukah kau melakukan hal seperti ini...?" Terpe-
rangah sang Datuk dengan wajah pucat bagai kertas.
Kakinya melangkah mundur dua tindak ketika lengan
Sawor yang tanpa kepala itu bergerak menunjukkan
kepalanya dalam cengkeraman sebelah lengan laki-laki
itu ke arahnya. Kepala itu masih bisa bicara, dan ter-
tawa menyeringai... Tentu saja membuat Datuk Limau
Purut kaget setengah mati, seperti tak percaya pada
penglihatannya.
Penonton yang mengelilingi arena bagaikan ter-
sirap darahnya, masing-masing terpaku menatap Sa-
wor dengan mata membelalak tak berkedip. Manusia
apakah Sawor ini, yang dapat melakukan ilmu kesak-
tian semacam itu? pikir benak masing-masing.
Selang sesaat dengan tertawa berkakakan, Sa-
wor lekatkan lagi kepalanya pada lehernya. Lalu len-
gannya bergerak mengusap... Aneh! Sekejap kemudian
kepala Sawor telah kembali melekat pada lehernya
tanpa bekas luka sedikit pun. Bahkan bekas-bekas da-
rah itu langsung lenyap!
Seperti terkena sihir semua penonton terpaku
memandang pertunjukan aneh itu. "Nah! Apakah sedi-
kit kebodohanku itu dapat mengungguli kehebatan si
Datuk Limau Purut ini...?" teriak Sawor dengan suara
lantang. Akan tetapi tak sepotong-pun suara terdengar
menyahut, apa lagi bersorak-sorai. Seorangpun dari
para penonton tak ada yang mengenal siapa laki-laki
itu dan dari mana asalnya. Pertunjukan yang diperli-
hatkan laki-laki bernama Sawor itu bukan saja mem-
buat penonton jadi ngeri melihat Sawor, akan tetapi
juga terperangah berdiri menatap dengan bulu teng-
kuk meremang.
"Hm, baiklah...! Kalian ternyata tidak adil da-
lam melakukan penilaian! Kini akan kubuktikan, apa-
kah si Datuk Limau Purut mampu menahan tajamnya
golok ini pada lehernya? Ingin kulihat kekebalan kulit
tubuhnya!" Teriak Sawor dengan suara lantang yang
terdengar dingin mencekam. Tiba-tiba secepat kilat tu-
buh Sawor membalik, dan... DESS...! Terdengar teria-
kan kaget penonton yang hampir serempak karena ter-
kejut. Datuk Limau Purut tak sempat lagi untuk berte-
riak, karena sebuah kilatan golok telah menyambar ke
arahnya. Apa yang terjadi?
Ternyata kepala Datuk Limau Purut seketika
terlepas dari lehernya yang putus sapat terkena tajam-
nya golok di tangan Sawor. Dan tubuh laki-laki beril-
mu kebal itu jatuh menggabruk ke tanah dengan da-
rah memuncrat mengerikan. Sejenak semua mata jadi
terpana memandang kejadian itu.
"Hahahaha... ternyata orang yang kalian bang-
gakan itu tak mampu menahan ketajaman golok biasa
ini!" berkata Sawor dengan suara dingin. Seketika sua-
sana penonton jadi gempar. Sebagian sudah bubar ke-
takutan. Sebagian lagi berdiri terkesima.
"Manusia iblis! Kau telah merusak acara per-
tandingan!" tiba-tiba terdengar bentakan keras, dan
sesosok tubuh berjubah putih berkelebat melompat ke
tengah gelanggang.
Sawor palingkan wajahnya menatap siapa yang
datang. Ternyata seorang laki-laki tua berwajah bersih
tanpa kumis dan jenggot. Kepalanya terbungkus oleh
ikat kepala mirip sorban berwarna kuning. Pada len-
gannya tergerai untaian tasbih.
"Heh, aku tak tahu urusan dengan segala ma-
cam pertandingan. Kalau aku berhasil membunuhnya
adalah karena aku toh cuma menguji kekebalan tubuh
si Datuk Limau Purut itu. Apakah dalam hal ini aku
dapat disalahkan?" Berkata Sawor dengan mata mena-
tap tajam si laki-laki tua dihadapannya.
"Kau orang luar, tak berhak mencampuri uru-
san orang-orang Partai Gagak Sakti! Tahukah kau
bahwa pertandingan ini adalah dalam rangka pemili-
han wakil Ketua Partai itu?" bentak si kakek jubah pu-
tih.
"Hahaha... mana aku tahu? Aku cuma kebetu-
lan saja lewat di tempat ini. Siapa suruh pertandingan
itu diadakan diluar, dan mengapa tak pasang papan
pengumuman bahwa orang luar di larang ikut campur?"
"Huh, itu urusan kami. Wilayah ini masih bera-
da dalam wilayah Partai Gagak Sakti, kau orang luar
telah memasuki wilayah kami berarti kau punya kesa-
lahan besar karena mengacau didaerah kekuasaan
Partai Gagak Sakti!"
Tercenung Sawor, seketika wajahnya berubah
merah.
"Hm, macam apakah hebatnya Ketua Partai
Gagak Sakti? Begitu sombongnya wilayahnya tak boleh
diinjak orang...!" berkata Sawor dengan nada dingin.
"Boleh aku tahu berhadapan dengan siapakah
aku...?" tanya Sawor.
"Anda berhadapan dengan Ketua Partai Gagak
Sakti, bernama MARGA DEWA! Gelarnya di dunia per-
silatan adalah si NAGA TERBANG!" tiba-tiba satu sua-
ra menyahuti dibarengi dengan munculnya empat so-
sok tubuh berkelebat memasuki arena itu. Melihat
kemunculan empat orang ini sepasang mata si kakek
jubah putih mendelik kaget.
"EMPAT IBLTS PULAU MENJANGAN! Angin apa
yang meniupmu sampai kemari...?" bentak si kakek
bernama Marga Dewa. Tampak perubahan pada wajah
laki-laki tua ini secara mendadak ternyata diam-diam
dia amat terkejut juga khawatir dengan kemunculan
keempat orang dihadapannya itu.
Keempat Iblis Pulau Menjangan perlihatkan ter-
tawa menyeringai. Salah seorang berkata sambil berto-
lak pinggang serta memilin-milin kumisnya yang tebal
sebelah. Dia bernama Katakili. Wajahnya amat mudah
diingat orang karena sebelah bibir bagian atasnya ter-
belah dua alias sumbing. Usianya sekitar 40 tahun.
"Heheheh... bau tubuhmu yang berdiam di pu-
lau tersembunyi ini semakin santar tercium oleh kami!
Kami datang untuk mengambil bocah perempuan yang
berada di tanganmu sejak kau rebut dari tangan kami
delapan belas tahun yang lalu!"
"Benar...! Tentunya dia sudah berubah menjadi
seorang gadis yang cantik! Heheheh...!" Ujar pula ka-
wannya dari keempat Iblis Pulau Menjangan. Dari
keempat orang itu si laki-laki sumbing inilah yang pal-
ing tinggi ilmunya, dan menjadi saudara seperguruan
mereka yang paling tua. Keempat Iblis Pulau Menjan-
gan rata-rata memakai baju rompi dari kulit serigala.
Celana pangsi yang dikenakannya berbeda-beda. Ada
yang hitam, ada yang berwarna merah. Ada juga yang
bertambah bermacam warna yang sudah tak dikenali
lagi warna dasarnya.
Si kakek bergelar Naga Terbang ini membentak
gusar.
"Empat manusia edan! Jangan harap kau dapat
mengambil kembali anak itu! Hm, lagi pula dia tak be-
rada di tempat ini...!"
Mendengar kata-kata itu si Empat Iblis Pulau
Menjangan saling pandang menatap pada kawannya.
Tiba-tiba tertawa bergelak dan cengar-cengir di hada-
pan si kakek.
"Hahaha... hehehe... kambing Tua tak berjang-
gut ini rupanya pintar menyembunyikan muridnya."
berkata Tunggir Abang. Dan segera menimpali adik-
nya, yang bernama Tunggir Ireng.
"Ternyata Ketua Partai Gagak Sakti pintar ngi-
bul! Heh! Sebaiknya kau serahkan bocah perempuan
itu! Kau sembunyikan di liang semut pun tak ada gu-
nanya...!"
Sementara itu Sawor sejak tadi cuma menden-
garkan kata-kata mereka. Tampak wajah Marga Dewa
berubah menegang, merah padam. Diam-diam hatinya
tersentak kaget, karena kemunculan keempat orang ini
telah mengetahui adanya KEN AYU di tempat kedia
mannya.
"Tidak! Walau apa pun yang terjadi anak itu tak
boleh jatuh ke tangan keempat manusia edan ini...!"
berkata Marga Dewa dalam hati.
"Ah, maaf sobat yang gagah. Biarkanlah kami
mengurusi Ketua Partai Gagak Sakti ini lebih dulu...!"
tiba-tiba Katakili membungkuk memberi hormat pada
Sawor.
"Hm, silahkan! Aku tak mau turut campur den-
gan urusan kalian!" menyahut Sawor seraya lempar-
kan golok di tangannya ke tanah. Dan tubuhnya ber-
kelebat melompat keluar dari arena yang sudah kacau
itu. Akan tetapi beberapa orang telah melompat meng-
hadang.
"Manusia Iblis, kau telah mengakibatkan kema-
tian seorang anggota Partai Gagak Sakti, jangan, harap
kau dapat meninggalkan tempat ini dengan masih ber-
nyawa," terdengar bentakan nyaring memekakkan te-
linga.
Belasan orang dari Partai Gagak Sakti yang ra-
ta-rata berpakaian putih hitam telah mengurung Sa-
wor. Ternyata yang berusaha membentak adalah seo-
rang wanita tua berkulit hitam keriput. Di lengannya
tercekal tongkat berkepala burung.
***
DUA
MELIHAT KEMUNCULAN wanita tua itu tampak
Marga Dewa bernapas lega. Bibirnya tampak bergerak-
gerak mengirimkan suara jarak jauh.
"Bagus! Berhati-hatilah dengan ilmu sihirnya,
Gagak Sakti! Jangan sampai kau tertipu!" Si wanita
tua yang digelari Gagak Sakti ini palingkan kepala
memandang pada Marga Dewa, lalu mengangguk-
angguk sambil tersenyum.
"Heh! Kau bicara apakah pada nenek hitam je-
lek itu, kunyuk tua bangka!" membentak Tunggir
Ireng. Kalau dipikir memang lucu juga laki-laki anggo-
ta dari keempat Iblis Pulau Menjangan ini karena dia
mengatakan orang nenek hitam jelek tanpa memikir
dirinya sendiri juga berkulit hitam. Bahkan sebelah
matanya picak, serta dua buah codet besar melintang
dibagian tengah wajahnya.
"Hm, apa yang kukatakan adalah bukan uru-
sanmu! Kalian telah berani menginjak wilayah kami
dengan tujuan buruk! Kukira kalian sudah insyaf dan
menjadi orang baik-baik, tak tahunya semakin mem-
buat kalian berkepala besar! Kini jangan harap kau bi-
sa keluar dari wilayah ini dengan selamat!" menggertak
si Naga Terbang.
"Hahaha... dari dahulu memang watakmu tak
berubah, kakang...! Sombong mu setengah mati! Sela-
ma ini kau punya ilmu kepandaian apakah? Coba tun-
jukkan pada kami!" berkata menghina RUPACI. Laki-
laki brewok ini sejak tadi tak ikut bicara. Mendelik se-
pasang mata Marga Dewa alias si Naga Terbang.
"Jangan panggil aku lagi dengan sebutan itu,
manusia murtad! Kau telah keluar dari keluarga ku,
dan bukan sanak familiku lagi! Pengkhianatan mu pa-
da guru telah membuat kemurkaan besar beliau. Ta-
hukah kau apa pesan guru sebelum wafat? Beliau
membebaskan tugas padaku untuk melenyapkan ma-
nusia tak tahu membalas budi semacam kau!"
"Persetan...!" membentak Rupaci dengan ma-
kian. "Aku punya hak untuk menempuh cara hidupku
sendiri! Ada hak apa berani melarangku keluar dari
rumah perguruan?"
"Dengan berguru pada musuh besar beliau, ju-
ga musuh kaum Pendekar? Huh! Betapa nistanya ma-
nusia semacam kau yang telah mengangkat sumpah
dan janji setia mengabdi pada perguruan, tapi nya-
tanya kau ingkari! Dan kini nyatanya kau telah menja-
di manusia sesat tak berguna!" berkata sinis Marga
Dewa.
Mendengar kata-kata demikian merah padam
seketika wajah Rupaci, dengan membentak gusar telah
melompat menerjang bekas saudara seperguruannya
itu.
"Kau memang manusia yang amat menyebalkan
hatiku, kau mampuslah siang-siang! Hari ini kau tu-
tup khotbahmu dengan nyawamu...!"
WHHHUUUKK...! Sambaran lengan Rupaci
mengarah leher, mencengkeram ganas dengan kelima
jari tangannya yang berkuku runcing mengandung ra-
cun.
Marga Dewa telah maklumi hal itu, segera den-
gan gesit mengegos mengelakkan serangan. Tak dikira
kalau sebelah lengan Rupaci telah mencabut senja-
tanya yang berupa sebuah clurit yang terselip dipung-
gungnya.
WUT! WUT! WUT! Tiga kali kilatan clurit me-
nyambar ke arah leher perut dan kaki. Marga Dewa
lentikkan tubuhnya bersalto di udara menghindari se-
rangan. Hebat gerakan si Naga Terbang. Ternyata ilmu
ringan tubuhnya telah hampir mencapai kesempur-
naan. Beberapa kali hantam an lengan Rupaci dan se-
rangan cluritnya tak berhasil menggores kulitnya.
Bahkan jubahnya yang berkibaran itupun luput dari
serangan.
Serangan gencar yang tak memberi kesempatan
pada si Naga Terbang untuk menjejakkan kakinya ke
tanah ternyata tak mempengaruhi gerakan silatnya.
Bahkan Marga Dewa masih sempat mengirim serangan
balasan. Apakah yang menjadi dasarnya? Ternyata se-
suai dengan julukannya si Naga Terbang, Marga Dewa
selalu meminjam angin pukulan lawan untuk tetap
mengambang di udara. Sesekali lengannya menghan-
tam tempat kosong untuk membuat tubuhnya melam-
bung.
Enam jurus sudah berlalu, dengan pertarungan
seru. Tiba-tiba Marga Dewa membentak keras dari
udara. Tasbihnya meluncur menyambar dahsyat di
saat Rupaci baru saja "nyelonong" dibawahnya sehabis
melakukan serangan. Serangan itu dibarengi hanta-
man telak yang tetap mengena pada punggung lawan.
Saat Rupaci terhuyung, tubuh Marga Dewa meletik lagi
dengan indahnya, dan...
WHUUUK...! Menyambarlah tasbih dilengannya
mengarah batok kepala Rupaci. Akan tetapi pada detik
maut itu bersiur angin keras menyambar lengan Marga
Dewa, diiringi bentakan. "Tahan serangan...!" Mendelik
si Naga Terbang. Seutas rantai meluncur cepat meng-
gubat lengan. Terpaksa dia batalkan serangan, untuk
menarik pulang senjatanya. WHUUK! sebelah lengan-
nya bergerak menghantam rantai. Akan tetapi ternyata
justru rantai telah menggubat cepat ke pergelangan
tangannya.
"Hahahah... Naga Terbang! Kau terbanglah me-
nukik kemari!" Ternyata yang telah menyerangnya ada-
lah Tunggir Ireng. Salah seorang dari Empat Iblis Pu-
lau Menjangan ini memang memiliki senjata yang
aneh, yaitu sebuah ruyung dengan tiga utas rantai
yang mempunyai tiga buah bandulan kepala tengkorak
kecil dari emas. Dengan senjata aneh ini Tunggir Ireng
banyak menjatuhkan lawannya. Karena setiap bandu-
lan dari Emas itu dapat meluncur memecah ke bebe-
rapa arah menyerang lawan. Kali ini tubuh si Naga.
Terbang telah dibetot keras ke arahnya. Terkesiap si
Ketua Partai Gagak Sakti ini. Akan tetapi percuma dia
menjadi Ketua Partai kalau tak dapat melepaskan did
dan biarkan tubuhnya terseret ke arah lawan. Secepat
kilat tasbihnya telah digigitnya. Dan lengannya yang
sudah terbebas itu bergerak menghantam dahsyat ke
arah Tunggir Ireng. Itulah salah satu jurus dari puku-
lannya yang dinamakan pukulan Naga Api.
Serangkum hawa panas menerjang Tunggir
Ireng. Angin pukulan itu membuat tubuhnya kembali
meletik melalui tenaga pukulan disertai membetot ran-
tai...
Terkejut Tunggir Ireng. Tentu saja dia telah
maklum akan kehebatan pukulan itu. Terpaksa dia
lompat menghindar. Akan tetapi tenaga tarikan pada
rantainya mendadak lenyap, dan bahkan seketika sen-
jata Rantai Tengkorak Emas itu terlepas dari tangan-
nya.
Selanjutnya dengan ringan sepasang kaki Mar-
ga Dewa hinggap di tanah. Dilengannya tercekal senja-
ta lawan. Dengan geram Marga Dewa membanting sen-
jata rantai itu hingga melesak ke dalam tanah.
"Hebat! Ternyata ilmu kepandaianmu telah ma-
ju pesat, Marga Dewa! Heheheh... akan tetapi jangan
kau bergirang dulu! Lihat senjata!" membentak Katakili
si laki-laki bibir sumbing. SERR! SERR! SERRRR...! Ti-
ga buah roda bergerigi meluncur ke arahnya. Naga
Terbang kembali melompat untuk menghindari seran-
gan. Hebat senjata tiga roda bergerigi itu, yang dapat
balik memutar mengejar lawan. Dua serangan yang lo-
los dengan cepat dapat ditangkap lagi oleh pemiliknya.
Demikianlah saling susul roda-roda bergerigi itu
menghujani lawan, tanpa memberi kesempatan Marga
Dewa untuk gerakkan senjatanya. Diam-diam si Naga
Terbang terkejut juga melihat kehebatan senjata lawan.
Sementara itu dilain bagian, pertarungan Sawor
dengan si wanita tua bergelar si Gagak Sakti yang ge-
larnya adalah nama dari Partai berlangsung dengan te-
gang. Belasan orang-orang dari murid Partai Gagak
Sakti telah mengurung Sawor dengan barisan TIN yang
tersusun rapi, dengan dikepalai si wanita tua bertong-
kat kepala burung.
Empat orang menerjang Sawor dengan senjata
telanjang. Ini adalah jurus serangan pancingan belaka.
Tapi Sawor segera bergerak untuk menyambut. Len-
gannya bergerak ke kiri-kanan menghantam lawan.
Sawor memang tak tahu-menahu dengan segala ma-
cam teori barisan TIN. Dia menghantam bila ada lawan
yang maju menerjang. Namun ternyata gerakan me-
nyerang itu berubah. Empat orang cuma lewat melin-
tas dengan lompatan-lompatan salto yang gesit. Selan-
jutnya empat orang lagi tiba-tiba menyelinap dikiri-
kanan dan belakang. Ternyata barisan TIN kembali be-
rubah susunannya. Hal mana yang mengatur adalah si
wanita tua berkulit hitam keriput yang memberi aba-
aba. Aba-aba itu tentu saja memakai kata-kata sandi
yang cuma dimengerti anak buahnya.
WUT! WUT! WUT! Tahu-tahu empat buah kila-
tan muncul dikiri-kanan dan belakang secara menda-
dak menabas ke arah Sawor. Suara bersiurnya senjata
tajam itu hampir tak bersuara, karena senjata-senjata
mereka tipis sekali. Sementara sejak tadi Sawor masih
berlaku menganggap remeh barisan TIN itu. Bahkan
matanya cuma mengawasi pada si wanita tua yang
bersuara merdu. Terkesiap dia ketika tahu-tahu suara
bersiurnya senjata ke arah tubuhnya. Namun dengan
membentak keras Sawor gulingkan tubuhnya ke ta-
nah. Dengan bertumpu pada belakang leher dan pung-
gung. Secepat kilat sepasang kakinya menghantam
disertai dengan berputarnya tubuh Sawor bagaikan
gasing.
DES! DES! DES! DES ...!
Terdengar teriakan ngeri dari keempat penye-
rangnya. Tubuh-tubuh keempat barisan TIN di bela-
kang Sawor terlempar bertebaran. Dan jatuh berdebu-
kan ke tanah diempat penjuru. Menggeliat sejenak
masing-masing dari keempat orang itu, lalu tewas se-
ketika. Darah kental menggelogok keluar dari mulut
mereka mengiringi kematiannya. Terkejut si wanita
tua. Namun sekejap kemudian dia telah melompat dan
mengepalai sendiri barisan TIN itu pada barisan paling
depan.
Wanita tua ini berteriak gusar seraya memberi
aba-aba. Anak buahnya mengurung rapat. Sementara
tongkatnya sendiri digerakkan berputar seraya mem-
beri aba-aba menyerang. Sebelas orang dengan empat
dikiri, empat di kanan dan tiga dari belakang segera
bergerak. Posisi serangan satu kelompok dengan lain-
nya berbeda-beda, yang sudah diatur untuk menye-
rang lawan menurut gerakan atau sikap lawan yang
diserangnya. Sementara lebih dari dua puluh orang
anak buah lainnya yang bermunculan segera mema-
suki barisan TIN, mengisi tempat-tempat kosong. Sua-
ra-suara bentakan segera terdengar saling susul.
Sawor berkelebat ke samping kiri menghindari
empat serangan pedang. Akan tetapi dengan tak terdu-
ga justru dari kiri empat buah tombak siap menembus
punggungnya. Terpaksa dia gerakkan kedua lengan
menangkis. Empat orang ini bukanlah empat orang
kepandaian biasa. Serangan-serangan tombak mereka
amat luar biasa cepatnya, dan dalam keadaan terlatih
untuk tak mengenai kawan sendiri. Saling susul
keempat tombak itu mengarah lawan.
"Edan...! kalian semua kepingin kubikin ludas
kembali ke Akherat!" membentak Sawor dengan mata
merah karena gusarnya. Seolah dia merasa dipermain-
kan dalam serangan "kucing-kucingan" itu.
Kedua lengannya tiba-tiba bergerak membuat
gerakan-gerakan mengaburkan pandangan mata la-
wan. Hingga yang terlihat adalah lebih dari 1000 len-
gan berkelebat meluncur ke setiap arah, dibarengi
dengan berkelebatan tubuhnya menggempur barisan
TIN.
Beberapa kejap kemudian terdengarlah jeritan
saling susul dibarengi bertumbangannya tubuh para
anggota barisan TIN. Lima belas orang sekejap telah
menggeletak roboh tak bernyawa. Masing-masing pada
lehernya terdapat warna biru kehitaman. Itulah seran-
gan dari jurus hebat Sawor, yang pergunakan jurus
1000 Kobra Mematuk Mangsa.
Terperanjat si wanita tua pemimpin barisan.
Disangka lawan bakal menyerang ke depan tak tahu
menyerang kebagian "ekor" barisan TIN. Tentu saja
membuat dia melengak, namun terlambat... Belasan
anak buahnya sudah roboh bergelimpangan. Segera
dia berteriak dengan suara lantang.
"MUNDUR...!" Kata-kata tanpa pakai sandi ini
diteriakkan dengan panik. Sekejap saja belasan anak
buah sisanya segera berlompatan buyar kedelapan
penjuru arah untuk selamatkan diri.
"Hebat! dalam waktu sekejapan saja kau telah
dapat membuyarkan barisan TIN ku yang tangguh.
Heh, siapa gelarmu, orang muda...?"
Sekali lompat Sawor sudah berada di hadapan
wanita tua bergelar si Gagak Sakti ini. "Namaku Sawor,
seperti yang telah kuperkenalkan tadi. Aku tak mem-
punyai gelar apa-apa. Jangan tanya asal-usulku, kare-
na aku sendiri tak tahu asal-usul diriku!" lanjutkan
Sawor. Sementara sepasang matanya selalu menatap
tajam pandangan mata si nenek keriput itu seperti
mau melihat ke dalam biji mata si Gagak Sakti. Adu
tatap pandangan itu ternyata membuat mata si Gagak
Sakti mengedip. Akan tetapi cepat dia melompat mun-
dur, dengan terkesiap.
***
TIGA
TERNYATA DARI TATAPAN mata itu memancar
cahaya yang menggetarkan jantung. Sementara ha-
tinya tersentak kaget karena Sawor telah menyerang-
nya melalui batin dengan kekuatan matanya yang
mengandung hipnotis.
"Aha, nenek tua keriput, aku akan segera men-
guliti tubuhmu! Ingin kulihat apakah kau sudah setua
itu...?"
Sementara itu dilain pertarungan, si Dewa Ter-
bang tampaknya agak kerepotan menghadapi serangan
roda-roda bergerigi Katakili yang tak hentinya mence-
car tubuhnya, mengancam jiwa sang Ketua Partai Ga-
gak Sakti.
Diam-diam hatinya mengeluh, bahkan
mengkhawatirkan nasib si Gagak Sakti yang telah di-
ketahuinya barisan TIN yang dipimpinnya telah buyar
berantakan. Semangatnya mendadak pulih ketika te-
ringat akan keselamatan si Gagak Sakti. Dengan berte-
riak keras, tiba-tiba tubuhnya berkelebatan cepat,
Tasbih di tangannya diputarkan membuat suara men-
desing yang menimbulkan kilatan warna ungu. Dan
satu hantaman keras dari telapak tangannya, mem-
buat dua buah roda bergerigi itu kena terhantam jatuh.
Selanjutnya cepat bagaikan kilat tubuh si Naga
Terbang meluncur pesat menghantamkan tasbihnya
pada kepala lawan. Katakili terkesiap. Terjangan men-
dadak itu begitu cepat disaat dia terpana melihat dua
senjatanya dihantam lenyap melesak ke tanah hampir
separuhnya.
Namun disaat itu terdengar bentakan keras,
Dan... DHESS...! Terdengar teriakan parau Marga De-
wa. Tubuhnya terlempar tiga tombak ketika segelom-
bang angin menghantam dadanya. Sementara Katakili
telah jatuhkan tubuhnya bergulingan. Ternyata disaat
Katakili terancam maut, tiga dari Empat Iblis Pulau
Menjangan telah melompat berbareng, dan hantamkan
telapak lengan mereka menjadikan satu pukulan dah-
syat yang diluar dugaan Marga Dewa.
***
"GURUUU...!" terdengar suara teriakan men-
gandung isak ketika tubuh si Ketua Partai Gagak Sakti
jatuh berdebuk ke tanah. Keadaannya mengerikan ka-
rena tulang dadanya hancur luluh dan tampak satu
lubang besar menganga pada dada laki-laki berjubah
putih itu yang mengalirkan darah kehitaman. Gabun-
gan dari tiga tenaga pukulan itu telah menjebolkan isi
dada Marga Dewa yang membuat laki-laki itu tewas
seketika.
Suara teriakan itu tak lain dari suara si Gagak
Sakti alias si wanita tua bertongkat kepala burung. Dia
dalam keadaan berdiri terkesima, melihat tubuh si Ke-
tua Partai Gagak Sakti jatuh terkapar tak berkutik lagi.
Ketika pada detik itu tubuh Sawor berkelebat
ke arahnya, dan...
PLASH! Cepat sekali lengan Sawor bergerak ke
arah wajah si wanita tua, dan menjambret sesuatu
yang segera mengelupas seketika. Apa yang terlihat?
Ternyata si wanita tua itu mempunyai satu wajah yang
cantik jelita. "Kulit muka" yang telah kena dikuliti Sa-
wor tercekal di tangan laki-laki itu.
"Aha...! Sudah kuduga kau bukanlah seorang
nenek-nenek keriput berkulit hitam...!" berkata Sawor
dengan tertawa menyeringai. Merah padam serta terke-
jut wanita ini. Tahulah dia bahwa keadaan sudah be-
rubah gawat dengan bermunculannya orang-orang itu.
Dengan menggertak gigi, segera dia melintangkan
tongkatnya di depan dada. Sepasang matanya mem-
bersitkan cahaya suram, namun penuh hawa membu-
nuh. Tiba-tiba dengan membentak keras dia putar tu-
buh tanpa mengacuhkan Sawor, melesat ke arah Em-
pat Iblis Pulau Menjangan.
"Iblis-iblis keparat! Aku akan adu jiwa dengan-
mu...!" Tongkat kepala burung itu berkelebatan memu-
tar dan menukik menyambar ke arah si Empat Iblis
Pulau Menjangan. Terdengar suara seruan-seruan ter-
tahan. Mereka sempat dibuat terkejut dan terkesima
menghadapi serbuan mendadak itu. Nyaris tubuh-
tubuh mereka akan terluka atau tertembus tongkat
yang menyambar ke tenggorokan, dada, leher bahkan
kaki.
Begitu hebatnya serangan mendadak itu hing-
ga... Bret! Cras...! Pundak Katakili kena tabasan tong-
kat yang membuat dia menyeringai seraya gulingkan
tubuh menghindari tabasan berikutnya. Punggung
Rupaci kena goresan memanjang yang membuat baju
rompi kulit srigalanya terbelah dua. Bahkan membuat
luka memanjang dari belakang leher sampai pinggang.
Berteriak kaget Rupaci seraya melompat bersalto bebe-
rapa kali.
Dalam menyerbu keempat Iblis Pulau Menjan-
gan itu si "nenek" bertongkat kepala burung ternyata
menggempur dengan membabi buta karena gusar dan
pedih hatinya melihat kematian si Naga Terbang yang
dikeroyok oleh keempat lawannya. Akan tetapi jurus-
jurus selanjutnya semakin melemah. Karena emosi
yang meluap. Tongkatnya terlempar ke udara ketika
satu kelebatan lengan Sawor menghantam pangkal
lengannya. Dan saat berikutnya wanita "tua" yang ter-
nyata berwajah jelita itu mengeluh ketika lengan Sawor
hinggap ditengkuk menotoknya.
Sebelum tubuhnya ambruk menyentuh tanah,
laki-laki yang tak diketahui asal usulnya itu telah me-
nangkapnya dengan sebat. Dan jatuh dalam pondon-
gannya...
Melengak keempat Iblis Pulau Menjangan, ka-
rena begitu mengetahui wanita tua bertongkat kepala
burung tak lain dari seorang gadis cantik yang telah
terbuka topeng kulit mukanya.
Lebih melengak lagi ketika Sawor dengan terse-
nyum jumawa segera beranjak melangkah lebar den-
gan memondong tubuh wanita itu, seraya ucapnya.
"Nenek cantik ini adalah bagianku...!" Sesaat
keempat Iblis Pulau Menjangan saling pandang dengan
kawannya.
"Eh! tunggu dulu, sobat...! Tak salah orang
yang kau pondong itu adalah orang yang kami cari! Di-
alah bocah perempuan yang pada tiga belas tahun
yang lalu telah direbut si Naga Terbang dari tangan
kami!"
"Ya! tak salah dialah KEN AYU...!" tukas Rupa-
ci.
"Hm, begitukah...? Aha! akan tetapi akulah
yang telah membuka topeng wajahnya! Kalau kalian
ingin memiliki silahkan kau rebut dari tanganku!" me-
nyahut Sawor dengan senyum sinis.
Tampaknya keempat Iblis Pulau Menjangan tak
berani mengambil tindakan. Mereka telah melihat sen-
diri kehebatan Sawor yang dapat memecah barisan TIN
dan telah pula mempertunjukkan kesaktiannya me-
menggal batang lehernya sendiri. Ternyata ada rasa je-
rih untuk mengambil resiko bertarung dengan orang
ini. "Sebaiknya kita mengalah! Orang ini bisa dijadikan
kawan..." berbisik Rupaci pada Katakili. Katakili terce-
nung sejenak. Hatinya memikir. "Benar juga! Semba-
rangan menempurnya akan merubah apa yang telah
menjadi rencana. Salah-salah akan membawa korban
dari pihakku. Belum tentu berakhir dengan kemenan-
gan dengan mengambil resiko menempurnya! Mau tak
mau toh Partai Gagak Sakti telah dapat terkuasai...!
Kalau manusia bernama Sawor ini mau bekerja sama,
akan banyak keuntungan yang bakal diperoleh...!"
Sesaat Katakili manggut-manggut dan terse-
nyum pada Sawor.
"Anda agaknya mengingininya, sobat Sawor...!
Hahahah ... dia memang cantik! Kami Empat Iblis Pu-
lau Menjangan takkan menghalangi kalau anda meng-
hendaki. Akan tetapi mengapa harus terburu-buru...?
Sebaiknya "kita" merebut kekuasaan Partai Gagak
Sakti ini dulu, dan menguasai gedung markasnya.
Mengenai bocah perempuan itu kapan waktu bisa kau
cicipi!"
Tercenung sejenak Sawor, lalu tertawa lebar
berkakakan, seraya ucapnya.
"Tawaran yang bagus! Tadinya aku tak mau tu-
rut campur urusan kalian. Setelah selesai persoalanku
segera aku angkat kaki dari tempat ini. Kalau kalian
mempunyai rencana baik mengapa aku tolak?"
"Hehehe.... bagus! bagus! Ternyata anda orang
yang bisa diajak bersahabat! Percayalah! Kami Empat
Iblis Pulau Menjangan akan menjamin segala keingi-
nan anda kalau anda bisa bekerja sama dengan kami...!" berkata Katakili.
"Bekerja sama apakah maksudmu...?" tanya
Sawor ingin tahu.
"Nantilah! Segera anda bakal mengetahui. Se-
baiknya marilah kita bersihkan dulu kecoa-kecoa di
Pulau Nusa Kambangan ini...! Setelah Partai Gagak
Sakti berada pada kekuasaan kita, semuanya pasti
akan beres dan berjalan lancar...!" sahut Katakili den-
gan tertawa, lalu palingkan kepalanya pada ketiga ka-
wan yang segera manggut-manggut.
"Kami akan menerimamu dengan senang hati
sebagai sahabat, sobat Sawor...!" berkata Tunggir Ireng
dengan tersenyum, lalu perkenalkan dirinya pada Sa-
wor dengan menjura. Demikian pula yang lainnya se-
gera masing-masing memperkenalkan diri.
Tak dapat tidak Partai Gagak Sakti segera ter-
kuasai oleh si Empat Iblis Pulau Menjangan, yang den-
gan mudah membantai sisa-sisa dari anak buah si Na-
ga Terbang. Selebihnya tertawan atau menyerah den-
gan tak berkutik lagi... Gedung besar yang berada di
tengah pulau, kini telah diduduki oleh lima orang pen-
datang itu. Berpindahlah dengan sekejap saja kekua-
saan di pulau itu. Tentu saja rakyat atau penduduk
pulau Nusa Kambangan mau tak mau harus menerima
kenyataan pahit itu. Kalau dahulunya mereka hidup
dengan tenteram dengan mendapat perlindungan dari
Partai Gagak Sakti, kini harus penuh kekhawatiran
dengan berkuasanya keempat Iblis Pulau Menjangan.
Gelak terhahak suara tertawa Sawor ketika
"menguliti" sekujur tubuh si Gagak Sakti dikamarnya.
Kulit palsu yang berkerut-kerut itu kini sudah menge-
lupas semua. Seperti seekor ular yang baru berganti
kulit. Ken Ayu tergolek dipembaringan. Kulit tubuhnya
yang putih mulus itu membuat sepasang mata Sawor
membinar.
"Hahaha... layanilah aku, nona manis. Kalau
kau menolak tahu sendiri akibatnya!" mengakak terta-
wa Sawor bagaikan tawa iblis. Membuat jantung Ken
Ayu seperti mau meledak rasanya.
Betapa muaknya dia akan perbuatan Sawor
yang telah menelanjangi tubuhnya. Sebersit sinar mata
sang gadis itu memancarkan pancaran dendam yang
luar biasa.
Dia memang tak dapat menolak lagi... kecuali
berikan apa yang paling berharga dari miliknya untuk
dilalap manusia dihadapannya.
Keluh dan desah segera terdengar membaur
dengan dengus napas menggebu. Seolah adanya satu
kepasrahan yang tulus ikhlas, namun dibalik itu hati
sang gadis bernama Ken Ayu itu menjerit, merintih da-
lam gelimangnya kenikmatan yang direngkuh Sawor...
***
EMPAT
WAKTU BERKISAR dengan cepat.... Beberapa
ribu kali sudah matahari bolak-balik muncul dan ter-
benam. Tak terasa tiga tahun pun terlewat sudah. Pagi
itu seorang penunggang kuda melintas disisi hutan.
Menilai dari pakaiannya tampaknya seorang hamba
Kerajaan. Memang benarlah. Laki-laki itu adalah Tu-
menggung Dipayana yang dalam perjalanan ke pesisir
laut kidul untuk menjumpai seorang sahabatnya ber-
kenaan dengan satu tugas yang di pikulnya. Tumeng-
gung Dipayana adalah seorang laki-laki yang berusia
sekitar 40 tahun. Bertubuh kekar dan berwajah penuh
dengan brewok. Tugas apakah yang dipikul di atas
pundaknya? Mari kita ikuti langkahnya.
Ketika melintas di satu kelokan jalan, tiba-tiba
kudanya melonjak mengangkat kaki depannya. Dan
meringkik keras. Tentu saja membuat Tumenggung
Dipayana terkejut. "Ada apakah gerangan?" sentak. ha-
tinya. Segera dikendalikannya sang kuda tunggangan-
nya agar kembali tenang. Sementara sepasang mata
sang Tumenggung jelalatan mengitari tempat sekitar-
nya. Terasa ada hawa aneh yang mencekam perasaan.
Akan tetapi tak ada tanda-tanda mencurigakan.
"Ayo, Putih...! Jalanlah! Tak ada apa-apa men-
gapa kau ketakutan?" berkata Tumenggung Dipayana
pada kudanya. Sementara diam-diam jantungnya ber-
detak keras. Tak seperti biasanya kudanya bersikap
demikian. Tiba-tiba entah dari mana munculnya pulu-
han srigala telah bermunculan disekeliling sang Tu-
menggung, yang membuat dia jadi terkesiap kaget.
Kuda putih tunggangannya kembali perdengar-
kan ringkikkannya dan melonjak-lonjak ketakutan.
"Serigala-serigala dari manakah ini...?" desisnya terke-
jut. Dan terpaksa dia melompat dari punggung ku-
danya, karena si Putih sukar dijinakkan. Selanjutnya
tanpa ayal lagi segera sang kuda itu kabur tunggang
langgang dengan ketakutan menerobos semak belukar.
Terpana Tumenggung Dipayana tanpa bisa berbuat
apa-apa. "Kuda pengecut...!" makinya kesal. Walau
pun hatinya agak kecut menghadapi hadangan seriga-
la-serigala aneh yang mengepungnya, namun Tumeng-
gung ini segera mencabut senjatanya sebuah clurit
bergagang emas dari punggungnya. Sementara kelima
jari lengannya merenggang siap menghadapi segala
kemungkinan.
Belasan ekor serigala itu menatap Tumenggung
Dipayana tak berkedip. Sinar matanya memantulkan
cahaya merah. Untuk menghadapi serigala-serigala bi-
asa bagi sang Tumenggung adalah hal yang tidak
aneh, akan tetapi serigala-serigala ini berbeda dengan
serigala biasa. Menatap liar dengan lidah terjulur, den-
gan sinar mata memancarkan cahaya merah membuat
keringat dingin seketika mengembun ditengkuknya.
"Majulah kalian serigala-serigala busuk!" mem-
bentak sang Tumenggung. Walau ada rasa jerih diha-
tinya namun dia mendongkol juga karena gara-gara
kemunculan serigala-serigala inilah, dia harus kehi-
langan kudanya.
Ternyata binatang-binatang itu tak bergerak
sedikitpun kecuali menatap dengan pandangan tajam.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik memban-
gunkan bulu roma. Dan sebuah bayangan berkelebat
ke hadapannya.
Membelalak sepasang mata sang Tumenggung
melihat sesosok tubuh bugil tanpa sehelai benangpun
melekat pada tubuhnya, berdiri tegak dihadapannya,
dengan rambut beriapan. Ternyata seorang wanita
yang berwajah cantik, namun membuat dia jadi bergi-
dik ngeri, karena sepasang matanya memancarkan
hawa pembunuhan.
"Hihihi... hendak kemanakah kau Tumeng-
gung...?" Berkata si wanita lebih mirip siluman dari
pada manusia. Tanpa terasa sang Tumenggung me-
nyurut mundur dua tindak.
"Sssi... si... siapakah kau...?" bentak sang Tu-
menggung dengan suara tergagap. Selintas seperti dia
pernah melihat wajah wanita itu yang wajahnya seperti
pernah dilihatnya.
"Hihihi... hihihi... kau sudah mengenaliku?" ba-
lik bertanya si wanita dengan tertawa menyeringai
membuat semakin berdiri bulu kuduk Tumenggung
Dipayana. "Siapa kau!? hm, katakanlah! Sudah sekian
banyak perempuan yang aku pernah lihat wajahnya,
namun aku memang tak ingat siapa kau...? bentak lagi
laki-laki itu dengan suara agak tergetar. Dan detak
jantungnya semakin cepat berdegupan didadanya.
"Pantas, kalau kau tak mengenalku lagi! Akulah
KEN AYU...!" gadis malang yang gurunya telah kau bu-
nuh dengan mengeroyok bersama ketiga kawanmu!
Masih ingatkah kau akan Partai Gagak Sakti yang te-
lah kau ambil alih dan kalian kuasai bersama tiga
orang kawanmu dan laki-laki bernama SAWOR itu?
Hihihi... kau adalah salah seorang dari empat Iblis Pu-
lau Menjangan yang telah memperkosaku, menyakiti-
ku dengan semena-mena. Kini masanya aku datang
untuk membalas dendam!"
Kagetnya tak alang kepalang Tumenggung ini
mendengar kata-kata itu. Lagi-lagi kakinya menyurut
mundur dua langkah.
"Ken Ayu...? Ah, anda salah menduga orang.
Namaku Dipayana...! Aku tak tahu-menahu dengan
partai Gagak Sakti. Namamu pun aku baru menden-
garnya...!" sahut sang Tumenggung dengan wajah pu-
cat, namun masih berusaha tersenyum.
"Hihihi... seribu kali kau berganti nama dan ja-
batan, aku takkan melupakanmu, RUPACI bersiaplah
untuk menemui kematian! Tapi sebelum aku mengan-
tarkan nyawamu ke Neraka, katakan kemana tujuan-
mu!"
Melengak Tumenggung Dipayana, tapi segera
membentak gusar.
"Aku... aku bukan Rupaci dan kau tak perlu
tahu kemana tujuanku! Menyingkirlah kau perempuan
edan...!"
Dibentak demikian si wanita bugil itu tertawa
mengikik panjang hingga tubuhnya sampai bergun-
cang. Tiba-tiba membentak keras.
"Segera terimalah kematianmu...!" Membentak
demikian sebelah lengannya terangkat ke atas memberi tanda pada belasan serigala untuk menyerang.
Dan... dengan suara menggeram makhluk-makhluk se-
rigala itu berlompatan menyerang sang Tumenggung
Dipayana.
Namun laki-laki itu sudah siap menghadapinya.
Dengan membentak keras segera tubuhnya berlompa-
tan menghindar. Clurit di tangannya menabas kesana-
kemari menimbulkan suara bersiutan.
WUT! WUT! WUT! Akan tetapi terperangah Tu-
menggung Dipayana, karena bagaikan menabas angin
saja senjatanya lewat tanpa dapat menyentuh satupun
dari belasan serigala itu. Keringat dingin seketika men-
gucur deras dari sekujur tubuh. Beberapa saat la-
manya bertarung menghindari serangan serigala itu
serta menabas dan menghunjamkan celuritnya mem-
buat sang Tumenggung mulai kehabisan tenaga. Se-
mua serangannya cuma sia-sia belaka. Tiba-tiba satu
teriakan santar segera membuat belasan serigala itu
mundur mengurung. Terengah-engah napas sang Tu-
menggung dengan wajah pucat pias.
"Hihihi... hihihi... Tumenggung Dipayana, nama
samaranmu itu sudah sejak lama kucium baunya.
Jangan kira dengan jabatanmu itu kau bisa sembu-
nyikan diri dengan aman? Heh, apakah kau masih tak
mau mengakui namamu Rupaci?"
Semakin menggeletar seketika tubuh laki-laki
itu. Sementara hatinya mengeluh. "Celaka...! Lenyap-
nya Ken Ayu dari Nusa Kambangan tiga tahun yang la-
lu ternyata membawa akibat buruk. Sungguh tak ku-
sangka kalau dia akan muncul dengan keadaan mirip
siluman begini? Apakah aku bisa selamatkan jiwa-
ku...?"
Tiba-tiba sang Tumenggung jatuhkan dirinya
berlutut seraya menyembah-nyembah dan berkata
dengan suara menggeletar.
"Ampunilah selembar jiwaku, Ken Ayu...! Aku
mengakui kesalahan dan semua dosaku. Aku sudah
insyaf dan jadi orang baik-baik, apakah kau akan
mencabut juga nyawaku...? Sedangkan yang berdosa
bukan aku sendiri. Dan orang pertama yang memper-
kosamu adalah Sawor!"
"Hihihi... sama saja! Satu persatu akan ku le-
nyapkan nyawanya dan kucari dimana adanya mereka.
Walau sampai ke ujung langitpun aku akan tetap
mencarinya untuk membalaskan dendamku...!" ujar si
wanita itu.
"Kalau kau mau membunuhku, kau takkan
mengetahui asal-usul dirimu dan siapa ayah ibu mu
karena cuma akulah yang mengetahuinya!" berkata
Tumenggung Dipayana yang secara tak langsung su-
dah mengakui kalau dirinya adalah Rupaci.
"Hm, begitukah...?" bertanya Ken Ayu. "Baik!
Aku takkan membunuhmu! Sebutkanlah siapa kedua
orang tuaku sebenarnya, dan dimana adanya!" lanjut
Ken Ayu dengan suara dingin. Melihat siasatnya ber-
hasil, Rupaci alias Tumenggung Dipayana bernapas le-
ga. Akan tetapi memandang serigala-serigala yang
mengelilinginya hatinya menciut lagi. "Apakah serigala-
serigala itu dapat kau suruh pergi...?" ucapnya meng-
getar.
"Heh, kau takut...?"
"Aku... aku seram melihatnya!" sahut Rupaci.
"Lebih seram mana kau melihatku atau melihat
serigala-serigala itu!" tiba-tiba Ken Ayu bertanya.
"Sse... semuanya serba seram...!" menyahut
Tumenggung itu dengan menunduk.
"Hihihi... aneh!" ucap Ken Ayu. "Dulu kau begi-
tu gairah ketika menelanjangiku. Mengapa kini kau
berbalik seram melihatku...?" mengikik tertawa Ken
Ayu. Membuat bulu tengkuk Rupaci merinding.
Selesai mengikik tertawa Ken Ayu mengangkat
sebelah lengannya ke atas. Dan... lenyaplah belasan
serigala ciptaan itu. Terperangah Rupaci memandang-
nya.
"Nah, kini kau ceritakan siapa sebenarnya ayah
ibuku dan dimana mereka berada...! Untuk penjela-
sanmu itu aku menjamin nyawamu...! Akan tetapi un-
tuk kebaikan hatiku mengampuni nyawa busukmu,
kau harus tunjukkan dimana Tiga Iblis Pulau Menjan-
gan yang lainnya. Dan apakah kau mengetahui dimana
adanya Sawor.?" Ucapnya dengan suara dingin mence-
kam. Akan tetapi dari sinar matanya yang member-
sitkan dendam, mana mungkin dia mengampuni ji-
wanya?
"Aku pasti akan memberitahukan padamu, Ken
Ayu...! Demi... demi keselamatan jiwaku!" berkata sang
Tumenggung seraya bangkit berdiri,
lalu menyelipkan lagi senjatanya dibalik pung-
gung. Wajahnya menampakkan wajah cerah.
"Dan..." lanjutkan bicara Ken Ayu. "Kau kata-
kan juga tugas apakah yang kau pikul itu hingga kau
menempuh perjalanan selama dua hari?"
Diam-diam terkejut Tumenggung Dipayana ka-
rena ternyata Ken Ayu telah menguntitnya sejak kebe-
rangkatannya dari Kadipaten untuk menuju ke pesisir
laut kidul menjalankan tugas dari Adipati. Tercenung
sejenak Rupaci. Diotaknya ternyata diam-diam menyu-
sun rencana. "Kau keberatan...?" satu pertanyaan
membuat dia melonjak kaget.
"Ah, tidak! tidak...! Apapun yang kau tanya-kan
kalau aku mengetahui pasti kujawab! Aku tengah me-
mikirkan kudaku, dengan apa aku menjalankan tugas
kalau tak ada kuda? Perjalanan yang kutempuh masih
jauh!"
"Kemana tujuanmu?" tanya Ken Ayu.
"Ke pesisir laut kidul, menemui seseorang, atas
perintah Adipati!" Menyahut Rupaci alias Tumenggung
Dipayana. Tercenung sejenak wanita ini lalu mengikik
tertawa sambil garuk-garuk rambut dikepalanya. Kea-
daan Ken Ayu memang boleh dibilang seperti seorang
wanita yang kurang waras. Karena dengan tubuh te-
lanjang bulat dan rambut beriapan membuat orang
akan terpana memandang. Karena tubuh Ken
Ayu tidaklah sebersih dulu ketika berada di Nusa
Kambangan. Tapi tubuh yang kotor berdaki yang me-
lenyapkan hawa merangsang. Melainkan rasa jijik me-
lihat keadaannya.
"Hihihi... sebentar aku akan cari kudamu, kau
tunggulah!" ujarnya pendek. Selesai berkata tiba-tiba
tubuh Ken Ayu berkelebat dari situ dan lenyap dari
pandangan Rupaci.
***
LIMA
EH! KESEMPATAN INI tak boleh ku sia-
siakan...!" berdesis suara sang Tumenggung Dipayana.
Dan detik itu juga tanpa ayal lagi segera dia putar tu-
buh untuk segera menyelinap kabur dari tempat itu...
Kira-kira dua kali penanak nasi setelah berke-
lebatan menyelinap keluar masuk hutan. Barulah sang
Tumenggung ini merasa bebas dari rasa takutnya. Ra-
sa seram pada Ken Ayu yang telah berubah jadi pe-
rempuan berilmu tinggi serta keadaan yang menjijik-
kan itu membuat dia ingin segera menghindar. Apa lagi
dia harus memberitahukan dimana adanya sobat-
sobatnya dari Empat Iblis Pulau Menjangan. Tak
mungkin dia harus mengkhianati kawan-kawannya
yang telah sekian lama bersatu. Sejak tiga tahun bela-
kangan ini memang mereka berpencar dan hidup sen-
diri-sendiri. Yaitu sejak komplotan empat manusia itu
melarikan diri dari Pulau Nusa Kambangan. Ternyata
beberapa kejadian telah menimpa Partai Gagak Sakti
yang dikuasai mereka bersama Sawor.
Kisahnya adalah demikian.
Selama beberapa pekan Ken Ayu si gadis murid
Marga Dewa si Naga Terbang itu terpaksa harus me-
layani nafsu bejat mereka berlima secara bergantian.
Namun suatu ketika mereka tak mendapatkan lagi Ken
Ayu dikamarnya. Ken Ayu lenyap tak berbekas bagai-
kan ditelan bumi. Seluruh pelosok pulau Nusa Kam-
bangan diperiksa untuk mencari dimana adanya gadis
itu. Namun tak ada tanda-tanda disembunyikan pen-
duduk. Hal tersebut akhirnya dilupakan oleh si Empat
Iblis Pulau Menjangan. Mereka merencanakan kerja
sama dengan Sawor untuk menyebarkan kekuasaan
Partai Gagak Sakti yang kemudian diganti menjadi
Partai Lima Naga Setan.
Tentu saja Partai Lima Naga Setan segera mele-
barkan sayapnya, dengan menyebar aksi kejahatan.
Merampok kapal-kapal yang lewat, membunuh, mem-
perkosa dan berbagai macam kejahatan lainnya. Den-
gan bersatunya mereka ternyata membuat satu kekua-
tan yang amat ditakuti golongan lain. Bahkan bebera-
pa partai persilatan berhasil ditaklukkan dan dikuasai.
Selama itu tentu saja si Empat Iblis Pulau Menjangan
berhasil mengumpulkan kekayaan dari hasil kerja sa-
ma mereka.
Empat Iblis Pulau Menjangan ternyata berlaku
cerdik, untuk segera menyisihkan harta-harta rampa-
san itu dari mata Sawor. Mereka beranggapan Sawor
tak dapat diajak bekerja sama untuk selamanya. Sua-
tu saat mereka harus menyingkirkan manusia itu.
Empat Iblis Nusa Kambangan ternyata banyak menye-
bar mata-mata diluaran, sehingga ketika terjadi seran-
gan ke markas Partai Lima Naga Setan oleh para Pen-
dekar mereka sudah berpencar menyelamatkan diri se-
jak dini.
Sawor terpaksa bertarung seorang diri, meng-
hadapi serbuan pasta pendekar dan orang-orang Kera-
jaan yang bersatu padu dengan penduduk Pulau Nusa
Kambangan yang tertindas. Namun Saworpun akhir-
nya berhasil melarikan diri begitu mengetahui si Em-
pat Iblis Pulau Menjangan telah merat siang-siang.
Empat Iblis Pulau Menjangan selanjutnya
membagi harta rampasan hasil kerja sama mereka
dengan Sawor, lalu mereka berpencar untuk masing-
masing menempuh cara hidupnya sendiri-sendiri.
Akan tetapi selama itu mereka tetap mengadakan hu-
bungan atau pertemuan yang di rahasiakan.
Rupaci entah bagaimana dapat menduduki ja-
batan sebagai Tumenggung, karena dapat mengambil
hati Adipati WIRALAGA. Bahkan menjadi orang pen-
tingnya Adipati. Tujuannya ke pesisir Laut Kidul ada-
lah untuk mengantarkan surat pada seseorang yang
berdiam disana. Orang yang dimaksud adalah seorang
sahabat Adipati Wira laga. Namun ditengah perjalanan
telah dihadang oleh Ken Ayu, yang muncul serta telah
menguntitnya sejak kepergiannya dari Kadipaten.
Kemunculan Ken Ayu yang dalam keadaan
"luar biasa" itu membuat Rupaci terpojok untuk mene-
rima syarat yang diajukan Ken Ayu demi nyawanya
yang diancam oleh "gadis" luar biasa itu. Namun den-
gan tanpa diduga dia dapat meloloskan diri ketika Ken
Ayu mencari kuda putih Rupaci yang kabur entah ke-
mana.
Kini dihadapan Rupaci tampak sebuah bangu-
nan gedung yang cukup besar. Letaknya tersembunyi,
diapit antara dua buah bukit. Bergegas berlari, segera
dia sudah tiba dipintu gedung berpagar tembok tebal
itu. Empat orang penjaga pintu segera menyambut ke-
datangannya dengan tombak melintang di depan pintu.
"Siapakah anda? ada keperluan apa ke tempat
ini...?" tanya penjaga pintu yang bertubuh tegap
menghampiri. Berbeda dengan orang-orang Partai Ga-
gak Sakti pada tiga tahun yang lalu, karena pakaian
penjaga pintu ini adalah rata-rata berwarna hijau.
Memanglah gedung itu adalah markas besar pergu-
ruan Naga Hijau. Ketua perguruan itu bernama SUMO
BLEDEG.
"Aku Tumenggung Dipayana...! Katakan pada
ketuamu, aku akan datang menghadap berkata Rupaci
dengan suara ramah.
Sejenak keempat pengawal pintu itu menatap
pada Rupaci, lalu salah seorang segera berkata.
"Hamba segera akan melapor, sudilah anda
menunggu sebentar!"
Sang Tumenggung ini mengangguk, sementara
si penjaga itu segera bergegas masuk.
"Apakah ketuamu ada di rumah...?" bertanya
Rupaci, pada seorang pengawal. Laki-laki yang masih
berusia cukup muda itu mengangguk.
"Kelihatannya sih, beliau tak kemana-mana!
Hamba baru menggantikan kawan berjaga. Menurut
yang kudengar belum lama beliau kedatangan teta-
mu...!" menyahut si penjaga.
"Siapa...?" tanya Tumenggung agak terkejut.
"Hamba kurang mengetahui...!"
"Laki-laki atau perempuan.. ?" tanya lagi Rupa-
ci.
"Laki-laki..." sahut sang penjaga. Tumenggung
Dipayana manggut-manggut, dia tak menanyakan apa-
apa lagi dan diam-diam dia menarik napas lega karena
tadinya dia amat mengkhawatirkan sekali kalau-kalau
Ken Ayu menyusul lebih dulu dan telah mengetahui
kedatangannya. Tak berapa lama sang penjaga tadi te-
lah kembali lagi, seraya berkata.
"Ketua mempersilahkan anda masuk...! Mari
hamba antar!"
"Oh, terima kasih...!" ucap Rupaci, lalu beran-
jak melangkah memasuki pintu yang telah segera di-
buka kembali. Dua orang penjaga segera mengawalnya
dari belakang, untuk menunjukkan ruangan mana
yang harus dituju. Gedung itu mempunyai tiga buah
wuwungan. Pada wuwungan yang bentuknya meman-
jang menghadap ke pintu masuk akan tetapi dibagian
sebelah dalam. Kesanalah yang dituju. Rupaci pernah
berkunjung kemari sekali sejak setahun yang lalu,
hingga dia sudah mengetahui arah yang ditunjukkan
kedua pengawal.
Sampai ditangga undakan, segera kedua penja-
ga pintu tadi kembali ke tempatnya. Sementara Rupaci
segera beranjak melangkah untuk masuk ke ruangan
utama, tempat menerima tamu.
"Selamat datang Tumenggung...! Hai, angin
apakah yang telah meniup mu untuk mengunjungi
tempatku...?" satu suara segera terdengar dari dalam,
yang kemudian diiringi oleh suara tertawa terbahak-
bahak.
Ketika Rupaci tiba dipintu ruangan segera terli-
hat dua orang yang duduk berhadapan pada dua buah
kursi. Empat kursi lagi masih kosong. Pada meja ber-
bentuk bulat telur itu terlihat tiga buah gelas berisi
arak dalam keadaan penuh. Dua kendi arak tampak
berada di atas meja dan beberapa piring makanan ke-
cil. Kedua laki-laki itu segera berdiri menjura me-
nyambut kedatangannya. Yang seorang Rupaci dapat
mengenalnya, yaitu si Naga Hijau SUMO BLEDEG.
Akan tetapi yang satu lagi membuat dia terkejut, kare-
na segera mengenali siapa adanya laki-laki itu, yang
tak lain dari KATAKILI saudara tertua dari Empat Iblis
Pulau Menjangan. Memakai pakaian mirip seorang
bangsawan, memang sukar dikenali kalau bukan Ru-
paci yang telah hapal melihatnya.
"Hahaha... kalian ini seperti sudah berjanji saja
mengunjungi tempatku sobat-sobat Empat Iblis Pulau
Menjangan...! Cuma dua lagi yang belum kelihatan,
apakah mereka juga akan segera tiba...?" Berkata Su-
mo Bledeg dengan tertawa berderai. Lalu persilahkan
sang Tumenggung mengambil tempat duduk.
Terkejut juga girang Rupaci mengetahui tetamu
Sumo Bledeg adalah saudara seperguruan tertuanya.
"Kakang Katakili, sejak kapan kau sudah tiba
disini...?" tanya Rupaci, seraya menjabat tangan laki-
laki bangsawan itu, lalu menjabat pula tangan Sumo
Bledeg.
"Hahaha... duduklah! Tuan rumah sudah se-
diakan arak untukmu! Tampaknya kau baru melaku-
kan perjalanan jauh, tentu haus sekali!" berkata Kata-
kili.
"Ah, terima kasih, terima kasih...!" menyahut
Rupaci seraya duduk dan lengannya menyambar
gelas arak yang telah penuh terisi itu, lalu me-
nenggaknya sampai kering. Selanjutnya mereka berca-
kap-cakap dengan riang sekali. Sumo Bledeg alias si
Naga Hijau adalah salah seorang kawan seprofesi yang
hidup dalam kancah kejahatan. Namun Sumo Bledeg
pandai membedaki perbuatan jahatnya dengan bekerja
secara sembunyi-sembunyi. Digedung markasnya dia
boleh dapat dikatakan dapat hidup aman, karena si
Naga Hijau dikenal dikalangan Rimba Hijau sebagai
"orang baik-baik".
"Ada berita penting yang harus kusampaikan
pada kalian, sobat-sobatku! Kukira saatnya kita harus
bertindak hati-hati...!" berkata sang Tumenggung Di-
payana dengan serius.
"Berita apakah itu, Rupaci...?" tanya Katakili
terheran. Begitu juga Sumo Bledeg terkejut, melihat
sikap Rupaci yang seperti amat khawatir. Jelas terlihat
dari perubahan rona wajahnya.
Segera Rupaci ceritakan kejadiannya pada me-
reka tentang munculnya Ken Ayu yang mencari Empat
Iblis Pulau Menjangan dan Sawor untuk membalas
dendam. Terpaku kedua sahabat itu mendengar kesak-
tian Ken Ayu tiba-tiba muncul sejak lenyapnya tiga ta-
hun yang lalu dari Nusa Kambangan. Mendengar
adanya berita itu ternyata telah merubah keramahan si
tuan rumah Sumo Bledeg mendadak jadi berubah. Dia
segera bangkit dari duduknya seraya berkata.
"Maaf, kedua sobat Iblis Pulau Menjangan. Bu-
kannya aku mengusir kalian, tapi karena demi menja-
ga nama baikku, karena aku khawatir terbawa-bawa
dalam urusan kalian, kuharap anda berdua segera
tinggalkan cepat-cepat tempatku ini...!"
Kedua dari Empat Iblis Pulau Menjangan ini ja-
di saling pandang menatap, juga memandang pada si
Naga Hijau. Terlihat sang Naga Hijau ini mengalami
perubahan pada wajahnya yang mendadak jadi pucat
pias.
"Hahaha... tampaknya kau ketakutan sekali,
sobat Sumo Bledeg! Kalau perempuan itu menyatroni
ke tempatmu, kami berduapun sanggup meringkus-
nya, tanpa menyusahkan kau!" berkata sinis Katakili
dengan nada jumawa.
Seketika merahlah wajah Sumo Bledeg. Orang
ini memang berwatak seperti ramah, namun mempu-
nyai adat jelek. Bila dianggap remeh oleh orang tentu
akan segera naik pitam. Tiba-tiba lengannya bergerak
menggebrak tepi meja, seraya membentak gusar.
"Sungguh nasib sial! 10 tahun menetap dimarkas be-
sarku ini baru sekali ini aku dihina orang dikandang
sendiri! Sungguh memalukan!"
PLAK! Terdengar suara beradunya telapak tan-
gan dengan meja kayu jati tebal itu. Apa yang
terjadi? Tiga buah gelas arak yang telah terisi
penuh lagi itu beserta dua kendi arak serta beberapa
piring makanan kecil yang hampir kosong, telah me-
layang ke atas hampir menyentuh langit-langit ruan-
gan. Ketika meluncur turun lagi, membelalak kedua
pasang mata sang Tumenggung Dipayana alias Rupaci
dan Katakili, karena segera terdengar bunyi TREK...!
***
ENAM
ANEH...! TAK ADA SATUPUN dari benda-benda
di atas meja itu yang terbalik atau tumpah isinya, apa-
lagi pecah. Tapi selang sesaat segera terdengar suara
bergedubrakan. Meja kayu jati itu ambruk berantakan
dan hancur berkeping-keping bersama dengan han-
curnya benda-benda di atas meja itu...
"Ah...!? Hebat! Hebat...!" Hampir berbareng si
dua Iblis dari Empat Iblis Pulau Menjangan berteriak
kagum. Akan tetapi diam-diam hati Rupaci mencelos,
karena secara tak langsung pihaknya telah menimbul-
kan kemedongkolan hati si Naga Hijau. Cepat-cepat
Rupaci memberi hormat pada Sumo Bledeg seraya ber-
kata.
"Ah, sobat Naga Hijau, sudilah kau memaafkan
kata-kata kakak seperguruanku. Kami tidak bermak-
sud meremehkan anda..."
"Kentut busuk!" membentak Sumo Bledeg yang
sudah naik pitam. Apakah dengan berkata begitu bu-
kannya telah menghinaku...? Heh! Selama lebih dari
lima belas tahun aku malang melintang di dunia Rim-
ba Hijau, belum pernah aku melipat ekor untuk mela-
rikan diri seperti akal bulus yang dilakukan kalian pa-
da orangmu sendiri yang bernama Sawor!" menyom-
bong Sumo Bledeg tanpa kepalang tanggung, bahkan
telah pula mengguar kebusukan Empat Iblis Pulau
Menjangan secara terang-terangan. Hal mana mem-
buat Katakili jadi merah padam mukanya. Sedangkan
Rupaci diam-diam mengeluh dalam hati.
"Wah, wah... Celaka! Agaknya sesama golongan
bakal terjadi bentrokan!"
Benar saja! Tiba-tiba Katakili perdengarkan su-
ara dingin yang menembus tulang.
"Naga Hijau! Kau kira sikapmu selama ini ba-
nyak baiknya dari pada busuknya pada kami...? Ha-
haha... kaupun tak lebih dari pengecut busuk yang
berbuat licik yang pergunakan cara lempar batu sem-
bunyi tangan dengan "bekerja" secara sembunyi-
sembunyi! Perampokan tiga bulan yang lalu pada seo-
rang bangsawan di Kota Raja telah kau gunakan nama
baik kami! Apakah itu bukan tipu daya licik, menohok
kawan seiring...? Hm, ketahuilah, sebenarnya aku ke-
mari memang mau menagih separuh dari hasil yang
kau dapatkan, sebagai imbalan atas kau cemarkan
nama Empat Iblis Pulau Menjangan yang sudah lenyap
tak di ingat orang...!"
Pucatlah wajah Sumo Bledeg. Apa yang di kata-
kan Katakili itu memang sebenarnya. Sungguh tak
disangka kalau Katakili telah mengetahui samarannya.
Akan tetapi sebagai orang yang sudah lihay dalam tipu
daya serta pandai berputar lidah, Sumo Bledeg tak
mengakuinya.
"Kentut busuk!" makinya dengan wajah berang.
"Aku tak merasa melakukan hal itu. Mungkin lain go-
longan yang telah melakukan aksi perampokan di Kota
Raja itu!" membentak si Naga Hijau.
"Apakah kau mau mungkir bila kutunjukkan
benda ini...?" berkata Katakili seraya keluarkan sebuah
senjata rahasia berbentuk bulan sabit sebesar jari dari
saku bajunya. Terkejut Sumo Bledeg melihat .senjata
rahasia miliknya itu.
"Aku menemukannya menancap ditembok ge-
dung bangsawan tua yang kau bunuh itu!" lanjut uca-
pan Katakili. Sumo Bledeg tak dapat menyangkal lagi,
karena memang benarlah dia pernah mempergunakan
senjata rahasianya ketika menghadapi anak si bang-
sawan tua ketika melakukan perlawanan pada malam
hari disaat dia menyatroni gedung si bangsawan. Na-
mun akhirnya dia dapat menewaskan anak si Bangsa-
wan tua itu dengan pukulan geledeknya.
Wajah si Naga Hijau tampak sebentar pucat se-
bentar merah. Dan tiba-tiba saja Sumo Bledeg telah
menerjang dengan pukulannya, disertai bentakan ke-
ras.
"Baik! Aku mengakui itu perbuatanku. Kini kau
telah datang ke sarang Naga Hijau, ada baiknya kau
mampus terlebih dulu sebelum datang "penyakit" pa-
daku!" WHUK! WHUK...!
Dua kali hantaman, beruntun si Naga Hijau
terpaksa harus dikelit Katakili dengan berlompatan
menghindar. Dan satu lagi serangan si Naga Hijau ter-
paksa di papaki berdua dengan Rupaci. DHESS! ter-
dengar suara benturan keras. Akibatnya tubuh si Naga
Hijau terhuyung tiga langkah. Sedangkan Rupaci dan
Katakili menindak ke belakang dua langkah. Melihat
dari beradunya dua tenaga dalam gabungan itu den-
gan tenaga dalam Sumo Bledeg, dapat diketahui tingkatan tenaga dalam Sumo Bledeg masih setingkat di
atas mereka, bila diukur perseorangan. Namun dengan
adanya gabungan tenaga dalam kedua dari Empat Iblis
Pulau Menjangan itu, tentu saja membuat si Naga Hi-
jau nyaris terluka dalam.
Menggeram gusar Sumo Bledeg. Segera dia ke-
rahkan segenap kepandaiannya untuk merobohkan
lawan. Senjata-senjata rahasianya mulai disebar melu-
ruk ke arah kedua bekas sahabat itu mengancam
maut. Trang! Trang...! Terpaksa dengan sebat Rupaci
tangkis serangan itu dengan senjata cluritnya. Dan Ka-
takili menangkis dengan senjata roda bergeriginya.
Sementara itu keadaan diluar gedung jadi gem-
par. Puluhan anak buah si Naga Hijau berlompatan ke
arah ruangan sang Ketua mereka. Namun mereka cu-
ma bisa melihat dari luar, karena khawatir terkena
sambaran roda-roda bergerigi Katakili yang berdesin-
gan, menabas apa saja yang menghalangi.
Selang beberapa jurus tampaknya mereka me-
rasa kurang leluasa untuk bertarung dalam ruangan
sempit. Naga Hijau melompat terlebih dulu, disusul
Katakili dan Rupaci. Hal mana memang keinginan Ka-
takili karena senjatanya dapat bebas bergerak tanpa
hambatan.
Akan tetapi terkejut Katakili ketika merasakan
tenaganya semakin melemah. Pandangannya menda-
dak menjadi memudar. Terasa kepalanya berdenyutan.
Apa yang dirasakan Katakili ternyata demikian
juga pada Rupaci dan Sumo Bledeg. Katakili sudah tak
mengetahui lagi kemana melayangnya senjatanya. Se-
mentara Sumo Bledeg bukannya menyerang bahkan
terhuyung memegangi kepalanya. Demikian pula Ru-
paci, dia meringis memegangi perutnya. Cluritnya su-
dah terlepas jatuh ke tanah.
Sementara itu anak buah si Naga Hijau jadi
terpaku memandang orang yang bertarung dalam kea-
daan demikian itu.
Ketika pada saat itu sekonyong-konyong ter-
dengar suara tertawa wanita mengikik membangunkan
bulu roma. Dan... sesosok tubuh tahu-tahu telah be-
rada di tempat itu.
"Hihihi... hihihi... kalian akan segera mampus,
penjahat-penjahat terkutuk, karena aku telah men-
campuri arak yang kalian minum dengan racun!"
"Hah!? Ka... ka... kau... KEN AYU...?,!" Terpe-
rangah Rupaci melihat siapa yang muncul dihadapan-
nya, yang dalam keadaan persis seperti yang dijum-
painya disisi hutan tadi pagi.
Sosok tubuh seorang wanita muda yang ram-
butnya beriapan dengan keadaan membugil itu mem-
buat para anak buah si Naga Hijau terbelalak kehera-
nan.
Sementara Katakili terkejutnya bukan alang
kepalang, mendengar kata-kata wanita itu, juga meli-
hat kemunculan wanita yang pernah diperkosanya.
"Ja... jadi gejala ini adalah akibat keracunan? Cela-
ka...!?" desisnya tertahan. Sumo Bledeg berteriak den-
gan mata mendelik. "Keparat! Kaukah si Ken Ayu itu?
Kau... kau bisa menaruh racun pada arak sejak ka-
pankah?"
Tertawa mengikik wanita yang sudah tak men-
genai rasa malu lagi, seakan-akan memang sengaja
mempertontonkan tubuhnya.
"Hihih... dengan ilmuku aku bisa berbuat apa
saja. Karena aku mempunyai ilmu Halimunan!
Sejak tadi kalau aku mau membunuh kalian
semua teramat mudah, tapi kurasa lebih baik kubuat
kalian mati perlahan-lahan agar kau dapat rasakan
penderitaannya! Kalian adalah pelaku-pelaku kejaha-
tan yang kerjanya cuma menyusahkan orang, maka
layaklah kalau kalian mampus...! Hihihi... tuan Tu-
menggung! Kau kira aku tak mengetahui kau merat!
Sejak kau menyelinap pergi, aku sudah menguntitmu
sampai tempat ini...!" Ujarnya seraya menatap tajam
dengan wajah sinis pada Tumenggung Dipayana alias
Rupaci.
"Kau... kau akan menyesal membunuhku!"
memaki Rupaci dengan wajah pucat pias, dan rona wa-
jahnya mulai membiru. "Kau... kau takkan mengetahui
ssi... siapa ayah i... Ibu.. mu...!"
Selesai berkata demikian, tubuh Rupaci tam-
pak limbung dan jatuh berdebuk ke tanah. Lalu berke-
lejotan bagai ayam disembelih. Dari mulutnya keluar
busa. Tak lama kemudian manusia itu pun lepaskan
nyawanya...
Terperanjat Katakili dan Sumo Bledeg. Si Ketua
perguruan Naga Hijau ini menggembor keras, seraya
menerjang Ken Ayu. Ternyata dengan tenaga terakhir-
nya Sumo Bledeg telah menyerang dengan pukulan
Geledeknya.
WHUUUKKK...! Angin pukulannya membersit
keras menerpa Ken Ayu.
Dan... BHLARRR! Terdengar suara dentuman
keras bagaikan petir menyambar. Akan tetapi bukan-
nya Ken Ayu yang terkena melainkan tubuh Katakili
yang tahu-tahu terhuyung memapaki diluar kesada-
rannya. Terdengarlah jeritan parau laki-laki itu. Seke-
tika tubuhnya hangus terbakar. Setelah menggeliat
beberapa kali, Katakili pun tewas seketika dengan ma-
ta mendelik dan lidah terjulur keluar. Sementara Sumo
Bledeg sendiri dengan keadaan semakin terhuyung be-
lalakkan matanya menatap Ken Ayu yang mengikik
tertawa. Ringan sekali gerakan wanita itu ketika mele-
sat mengelakkan diri dari hantaman pukulan si Naga
Hijau seraya mendorong tubuh Katakili untuk menerima pukulan itu. Tentu saja Katakili tak mampu un-
tuk mengelakkan diri. Keadaan telah berlangsung den-
gan cepat, hingga dia harus menerima nasib menjadi
korban pukulan si Naga Hijau itu.
"Ka... kau... kau..." belum lagi Sumo Bledeg
meneruskan kata-katanya tubuhnya sudah ambruk ke
tanah untuk segera berkelojotan. Selang sesaat Sumo
Bledeg pun tewas dengan keadaan tubuh berubah
membiru...
Gemparlah seketika keadaan didalam pagar
tembok markas Naga Hijau. Para anak buah Sumo
Bledeg berlarian kalang kabut dengan ketakutan meli-
hat munculnya seorang gadis yang dalam keadaan
membugil dan perdengarkan suara tertawa mengikik
yang membangunkan bulu roma.
"Kalian juga manusia-manusia jahat yang ha-
rus mampus...! Hihihi... hihihi..." Membentak si wanita
mengerikan ini. Tiba-tiba lengannya terangkat. Dan...
muncullah berpuluh-puluh ekor serigala yang segera
mengepung puluhan anak buah si Naga Hijau.
Sekonyong-konyong tubuh Ken Ayu lenyap sir-
na dari tempat berdirinya. Akan tetapi segera menjel-
ma menjadi seekor serigala betina yang luar biasa be-
sarnya. Menggeram serigala ini, serta perdengarkan
suaranya melolong panjang. Selanjutnya ketika tubuh
serigala itu berkelebat dari tempatnya, terdengarlah je-
ritan kematian disana-sini. Apakah yang terjadi...?
Ternyata anak buah si Naga Hijau habis diterkamnya.
Tak satupun dibiarkan meloloskan diri...
Mayat-mayat pun berkaparan disana-sini den-
gan keadaan tubuh yang sudah tidak utuh lagi. Terlalu
mengerikan kejadian itu.
Ketika senja menjelang, dan matahari agak
condong ke arah barat, gedung Markas si Naga Hijau
telah menjadi sunyi mencekam. Beberapa ekor burung
pemakan bangkai mulai berseliweran di udara, mem-
baui amisnya darah. Burung-burung itupun mulai
menukik turun. Dan selanjutnya
adalah pemandangan yang mengenaskan, keti-
ka serpihan-serpihan daging mayat telah menjadi re-
butan mereka dengan suara mengiyak tiada henti, seo-
lah hari itu mereka tengah mengadakan pesta me-
riah....
***
TUJUH
KEMATIAN SI NAGA HIJAU dan seluruh anak
buahnya dimarkasnya, sebentar saja telah menyebar
dikalangan kaum Rimba Hijau.
Bahkan dua orang yang kedatangan tewas den-
gan tubuh keracunan, dapat dikenali siapa adanya.
Tentu saja menjadi buah bibir dimana-mana. Empat
Iblis Pulau Menjangan itu memang dalam pelacakan
para kaum Pendekar penjunjung kebenaran dan pem-
bela keadilan. Ternyata yang paling teramat geram dan
mendongkol bukan main adalah Adipati WIRALAGA.
Karena dia tak menyangka sama sekali kalau justru
sang Tumenggung Dipayana yang ditugaskan ke pesi-
sir pantai laut kidul tak lain salah seorang dari Empat
Iblis itu.
Belakangan didengarnya berita bahwa pemban-
tai sadis yang mengobrak abrik markas Naga Hijau
adalah seorang wanita yang bisa beralih rupa menjadi
seekor serigala. Bahkan dapat menciptakan serigala-
serigala misterius yang bisa membunuh manusia den-
gan sekejapan saja. Agak ngeri hati sang Adipati ini,
karena dia khawatir terbawa-bawa sial. Bisa saja ke
sialan itu akan menimpa dirinya karena Tumenggung
Dipayana itu adalah orang bawahannya yang bermu-
kim di gedung Kadipaten.
Adipati Wiralaga berjalan mondar-mandir di
ruang pendopo gedung Kadipaten dengan menggen-
dong tangan. Benaknya berpikir keras.
Tampak wajah sang Adipati ini sebentar pucat
sebentar merah menegang.
"Dengan tewasnya Tumenggung Dipayana yang
ketahuan adalah salah seorang dari Empat Iblis Nusa
Kambangan juga dua orang dari kelima orang yang te-
lah membentuk Partai Lima Naga Setan berarti kedu-
dukanku dalam bahaya...!" berdesis Adipati Wiralaga.
"Sebaiknya aku harus berangkat secepatnya ke
pesisir laut kidul! Rencana pendaratan kapal asing dari
Hindia harus dibatalkan...!" desisnya lagi.
Memikir demikian segera Adipati Wiralaga ber-
gegas masuk ke ruangan dalam. Lalu menemui istrinya
yang tengah duduk menyulam diberanda tengah.
"Suridewi...! aku akan melakukan perjalanan
jauh untuk satu tugas penting dari Kerajaan. Kuharap
kau baik-baik menjaga diri dirumah!" berkata Adipati
Wiralaga. Wanita itu letakkan kain sulamannya seraya
menatap pada Adipati Wiralaga dengan kening berke-
rut.
"Bila kakang akan berangkat? Akan memakan
waktu lamakah tugas itu?" bertanya sang istri. Adipati
Wiralaga memang tak mempunyai keturunan selama
berumah tangga yang hampir lebih dari 10 tahun,
hingga suasana digedung Kadipaten itu tampak amat
sunyi.
"Tentu saja, istriku...! Setidak-tidaknya mema-
kan waktu satu bulan!" sahutnya. "Aku akan segera
berangkat besok pagi! Nah, kau persiapkanlah perbe-
kalan untuk perjalananku besok...!"
Tercenung sejenak sang istri, seraya menghela
napas dan terdengar suara gumam wanita itu lirih.
"Lagi-lagi tugas! lagi-lagi tugas...!" gerutunya. "Tugas
apakah dari baginda Raja itu kakang...? kudengar kau
sudah mengutus Tumenggung Dipayana untuk tugas
mengantarkan surat mu ke pantai pesisir laut kidul.
Apakah tak sebaiknya kau menunggu kedatangan-
nya...?" tiba-tiba istrinya bertanya. Dari kata-kata itu
seperti seolah sang istri telah mengetahui kalau sua-
minya akan berangkat ke pesisir laut kidul, akan tetapi
tak mengetahui kalau adanya peristiwa di markas Na-
ga Hijau yang menyebabkan kematian sang Tumeng-
gung.
Adipati Wiralaga kerutkan keningnya, alisnya
bergerak naik seraya berkata. "Ah, kau perempuan ta-
hu apa? sudahlah, tenangkan hatimu. Percayalah! aku
bukan mau bersenang-senang diluaran. Semua tugas
yang kujalankan adalah atas titah Raja! Hilangkanlah
kecemburuanmu! hahaha... jangan terlalu khawatir-
kan suamimu ini akan cari perempuan lagi!" tertawa
sang Adipati, karena menduga istrinya mencurigai
maksud kepergiannya.
"Bukan soal cemburu, kakang...! Cuma aku he-
ran, kau sudah mengirim orang akan tetapi tak me-
nunggu pulangnya orang yang kau tugaskan, bahkan
kau sendiri akan berangkat pergi. Bukankah aneh...?"
berkata istrinya, seraya beranjak masuk ke kamar.
Adipati Wiralaga tak menyahuti tapi tenggelam
dalam alam pikiran dibenaknya...
Berita kemunculan Manusia Serigala Hantu,
seorang wanita yang berilmu tinggi yang telah mem-
bantai habis penghuni Markas si Naga Hijau berikut
dua orang dari 4 Iblis Pulau Menjangan itu bukan tak
dipikirkannya. Tapi sudah sejak mendengar berita itu,
Adipati Wiralaga sering gelisah.
Surat yang gagal disampaikan Tumenggung Di-
payana menjadi pula beban pikirannya. Apalagi dike-
tahui dan telah menyebar ke setiap pelosok bahwa
Tumenggung Dipayana itu dikenali sebagai salah seo-
rang dari Empat Iblis Pulau Menjangan yang pernah
gagal ditumpas golongan pemerintah Kerajaan dan pa-
ra kaum Pendekar di Pulau Nusa Kambangan....
Dikhawatirkan surat itu jatuh ke tangan pihak
orang-orang Kerajaan. Surat itu bisa mengakibatkan
kejatuhan kedudukannya sebagai Adipati, dan men-
gungkap rencana persekutuannya dengan lasykar as-
ing. Dia bisa dituduh mutlak sebagai pemberontak
yang mau menggulingkan Kerajaan dengan meminta
bantuan pasukan asing dari Hindia yang telah diren-
canakan pendaratannya.
Dan... memang demikian pulalah kenyataan-
nya...
Matahari membersitkan sinar teriknya pada
siang itu seperti mau membakar jagat. Seorang pe-
nunggang kuda menjalankan kudanya dengan cepat
menerobos jalan-jalan setapak dilereng bukit. Dialah
Adipati Wiralaga yang tengah "meluncur" menuju ke-
perbatasan. Yaitu pesisir pantai laut kidul. Perjalanan
itu memang bukanlah perjalanan pendek, karena me-
makan waktu tak lebih dari lima hari, karena sukarnya
perjalanan yang harus ditempuh. Juga harus mengi-
nap diperjalanan bila waktu menjelang malam.
Saat itu di atas bukit berdiri sesosok tubuh di-
kejauhan. Melihat adanya seekor kuda berlari dengan
amat cepat di bawah lereng, sosok tubuh itu berkele-
bat turun dan menyusul...
Ternyata diam-diam sosok tubuh itu membun-
tuti si penunggang kuda.
Perjalanan kini mulai memasuki satu padang
rumput tebal yang terbentang di depan mata berlatar
belakang perbukitan yang berhutan lebat.
Ketika memasuki mulut hutan setelah melewati
sebuah candi, tiba-tiba kuda tunggangan Adipati Wira-
laga perdengarkan ringkikkannya, dan terjungkal ja-
tuh. Tentu saja Adipati Wiralaga cepat melompat dari
punggung kudanya agar tak terluka tubuhnya. Sebagai
seorang yang punya "isi" Adipati Wiralaga dapat jejak-
kan kakinya dengan ringan di tanah. Namun dia amat
terkejut dengan kejadian mendadak itu. Sementara
sang kuda berkelojotan dengan meringkik kesakitan.
Sesaat antaranya kuda itupun diam tak bergeming la-
gi.
"Mati...!?" berdesis suara sang Adipati ketika
memeriksanya. Didapati diperut kuda dan leher ter-
tancap tiga buah pisau kecil berbentuk keris. Seketika
pucatlah wajahnya. Diam-diam tengkuknya bergidik,
karena seandainya si penyerang mau membunuhnya
tentu akan sudah terjadi karena dia sama sekali tak
mendengar suara berdesirnya senjata rahasia itu! Adi-
pati Wiralaga berdiri dengan wajah menegang. Panca
indranya dipasang untuk meneliti keadaan tempat se-
kitarnya.
"Siapakah yang telah menyerang kudaku? ke-
luarlah! Seorang kesatria tidak akan menyembunyikan
diri...!" berkata Wiralaga setengah membentak. Suasa-
na disekitar mulut hutan itu tampak hening. Sementa-
ra si penguntit berjongkok di tempat persembunyian-
nya. Tampaknya sang penguntit itupun terkejut den-
gan kejadian orang yang dikuntitnya.
Pelahan sang penguntit itu menyibakkan de-
daunan yang menghalangi pandangannya untuk meli-
hat keadaan orang lebih jelas.
Ternyata sang penguntit itu seorang dara ru-
pawan, bermata jeli dan berbibir mungil bak delima
merekah. Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Wanita
kita RORO CENTIL, alias sang Pendekar Wanita Pantai
Selatan!
Entah asap apa gerangan yang terendus hidung
Roro. Baunya menusuk hidung dan menggelitik ke da-
lam tenggorokan. "Gila! ini asap orang membakar
cabe...!" berkata Roro dalam hati. Tanpa disadari Roro
terbatuk-batuk karena tenggorokannya gatal. Tak cu-
kup dengan itu saja, Roro telah berbangkit beberapa
kali.
"Ha... hatsyiiiiih! hatssyiiiih... !" setan Alas!"
memaki Roro dengan berdesis.
WHUUUK! PRASS...!
Segelombang angin telah menerpa ke arah tem-
pat persembunyiannya memapas habis semak belukar
dimana dia sembunyikan diri.
Ternyata Adipati Wiralagalah yang telah menye-
rangnya, disertai bentakan keras. "Manusia pengecut!
keluarlah dari situ!"
Tertegun sang Adipati karena tak menampak
bayangan tubuh orang yang diserangnya barusan. "Je-
las aku mendengar suara orang batuk dan berbangkis!
Mustahil dia bisa lenyap dengan begitu saja...?" berka-
ta Adipati Wiralaga dalam hati. Sepasang lengan laki-
laki ini tersilang didada, siap menghadapi segala ke-
mungkinan. Tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu
dibelakangnya yang diiringi kata-kata.
"Hihihi... tidak hujan tidak angin mengapa kau
menyerangku...?" Terkejut sang Adipati. Cepat Adipati
ini balikkan tubuhnya. Lengannya siap menyerang
orang yang tertawa dibelakangnya. Akan tetapi dia jadi
tertegun, karena seorang gadis cantik berpakaian war-
na hijau berdiri di hadapannya dengan bersidakep
memeluk tangan.
"Anda bukan si penyerang kudaku? Heh! siapa-
kah gerangan anda, nona?" bertanya Adipati Wiralaga.
Diam-diam hati Adipati ini agak lega karena bukanlah
si Manusia Serigala Betina itu yang muncul. Namun
kalau wanita muda ini yang mengakui perbuatannya,
berarti ada orang lain yang telah membuat kudanya
mati kena serangan senjata rahasia.
"Hihihi... namaku Roro Centil...!" menyahut Ro-
ro dengan leletkan lidah dan tersenyum manis. Sepa-
sang matanya mengerling pada kuda Adipati itu yang
terlentang tak bergeming.
"Kudamu telah diserang orang, akan tetapi bu-
kan aku penyerangnya! Mengapa orang itu tak menye-
rangmu! Justru kudamu yang jadi sasaran!" lanjut Ro-
ro dengan gerakkan alisnya. Sementara diam-diam Ro-
ro pasang telinganya untuk mendengar adanya tanda-
tanda yang mencurigakan disekelilingnya. Adipati Wi-
ralaga memperhatikan Roro dari bawah sampai ke atas
beberapa kali.
"Hm, aku tak mendengar adanya tanda-
tandanya orang lain disekeliling tempat ini. Kalau bu-
kan kau yang membunuh mati kudaku, habis siapa la-
gi...?" berkata Adipati Wiralaga.
"Huh! kalau kau tak mempercayai kata-kataku
apakah kau lebih percaya pada setan?" ujar Roro den-
gan melototkan matanya. "Tampaknya kau kurang teli-
ti melihat ke sekelilingmu! Apakah kau tak membaui
baunya cabe yang dibakar? Bau itulah yang membuat
aku berbangkis dan terbatuk-batuk.
Jelas yang menyerang kudamu adalah setan
Cebe...!" berkata Roro dengan nada keras. Roro me-
mang tengah memancing agar si penyerang penung-
gang kuda itu munculkan diri.
Akan tetapi yang ditunggu ternyata tidak mun-
cul menampakkan diri, membuat Roro jadi heran "Se-
tan alas...! maki Roro dalam hati. Pendekar Wanita ini
putarkan pandangannya ke beberapa arah. Tiba-tiba
melengak Roro Centil ketika menatap ke arah Candi
yang kira-kira berada sejauh dua puluh lima tombak,
batu paling atas dari susunan Candi itu bergerak...
Dan meluncur ke arah mereka berdiri. Cepat sekali ba-
tu persegi empat sebesar kasur itu datangnya.
"Awas...!" teriak Roro memperingati Adipati Wi-
ralaga.
BLUG! batu besar itu menggelinding menerabas
semak. Roro Centil telah melesat lenyap dari tempat
itu. Sedangkan Adipati Wiralaga terkejut, seraya me-
lompat menghindar. Ketika melihat ke arah Roro ter-
nyata manusianya telah tak kelihatan lagi batang hi-
dungnya.
***
DELAPAN
"SIAPA KAU...?" membentak Roro Centil ketika
melihat sesosok tubuh menyelinap ke balik candi. Len-
gan Roro sudah terangkat untuk menghantam batu
Candi, akan tetapi segera diurungkan. "Hm, manusia
ini enak saja merusak batu Candi tanpa menghargai
jerih payah orang yang membuatnya. Mengapa aku ha-
rus ikut-ikutan merusak?" pikir Roro.
Memikir demikian Roro berkelebat melompat
cepat ke arah sisi sebelah kanan. Dari celah batu Can-
di ini dia bisa melihat sosok tubuh orang itu. Akan te-
tapi cuma sekejap, karena orang itu sudah melesat lagi
ke arah sebelah bawah. Roro jadi mendongkol. "Sialan!
rupanya kau mengajakku main kucing-kucingan di
tempat ini?" memaki Roro Centil. Diapun melesat pula
ke bawah untuk mengejar orang. Dibalik batu yang
memanjang ke atas satu setengah depa berukiran raksasa bertangan delapan itu Roro Centil memasang
panca indranya untuk dapat mengetahui setiap gera-
kan orang yang dikejarnya.
Namun sampai sekian lama tak ada tanda-
tanda orang bergerak. Roro kerenyitkan keningnya ter-
heran. "Apakah dia sudah kabur keluar?"
Benak Roro bekerja untuk mengambil keputu-
san keluar dari tempat terlindungnya. Akan tetapi se-
konyong-konyong kembali dia terbatuk-batuk ketika
membaui asap orang membakar cabe. "Setan alasss...!"
tersentak Roro Centil. Jelaslah kini orang yang meni-
upkan asap menyebarkan bau pedas ketika tengah
mengintai penunggang kuda yang dikuntitnya adalah
orang ini.
Segera Roro gerakkan lengannya menutup hi-
dung. Tapi sebelah lengannya bergerak memutar bebe-
rapa kali. Hebat gerakan ini, karena segera menimbul-
kan angin memutar ke setiap sela-sela Candi tanpa se-
dikitpun merobohkan batu-batu. Sesaat udara kembali
bersih, bebas dari polusi.
Terdengar suara tertawa mengekeh menggelitik
anak telinga. Tersentak Roro Centil segera dia sudah
mengetahui dari mana asalnya arah suara tertawa. Se-
kali berkelebat dia sudah melompat kebangunan candi
sebelah depan,
"Heheheheh... heheh... hebat! hebat! Pendekar
Wanita Roro Centil memang bukan nama kosong se-
perti yang pernah kudengar. Agaknya asap tembakau
ku terlalu banyak ku bubuhi cabe...! Heheheh... maaf,
maaf, asap rokok ku telah mengganggu anda...!"
Melengak Roro Centil ketika melihat seorang
kakek berjubah kelabu duduk di atas stupa dengan
menghisap cangklongnya. Melihat perawakannya ka-
kek itu bertubuh agak pendek rambutnya awut-
awutan tak terurus tanpa ikat kepala. Kumis dan jenggotnya pendek, akan tetapi tebal memenuhi dagu dan
bawah hidungnya, yang berwarna kelabu. Kulit mu-
kanya hitam legam dan penuh keriput.
"Hm... siapakah kau kakek?" bertanya Roro.
Diam-diam Roro Centil perhatikan perawakan dan wa-
jah orang. Kakek jubah abu-abu itu kembali tertawa
mengekeh seraya ketuk-ketuk pipa cangklongnya
membuang tembakau. Setelah meniup ke berapa kali
pada pipa cangklongnya membersihkan abu yang me-
lekat disana lalu menyelipkannya ke saku jubahnya
sebelah dalam. Kemudian mendongak menatap Roro.
"Namaku aku malas menyebutkannya, baiknya
kuberitahukan saja gelarku...! heheheh... orang Rimba
Hijau menggelariku si Lutung Pancasona.!"
"Hm... kaukah orangnya yang telah menyerang
kuda tadi?"
"Benar...! Sengaja kubunuh kudanya karena
perintah yang kuterima adalah demikian!"
"Siapa yang memerintahkanmu!" dan siapa pu-
la laki-laki berkuda itu?" tanya Roro dengan tercenung
heran.
"Dia adalah Adipati Wilaraga. Yang memerin-
tahkan aku melakukan itu istrinya sendiri!" sahut si
kakek Lutung Pancasona.
"Aneh...!" urusan apakah kedua suami istri itu
saling bertolak belakang?"
"Entahlah! aku sendiri tak mengetahui! Aku
cuma ditugaskan untuk mencegatnya diperjalanan,
dan membunuh kudanya!"
"Untuk pekerjaan itu tentunya kau mendapat
upah lumayan...!"
"Heheheh... benar! Bukan saja upah uang akan
tetapi juga upah meniduri istri Adipati itu yang cantik-
nya lumayan juga...! heheheh..."
"Gila...!" Memaki Roro dengan mata melotot.
"Perempuan macam apakah istri Adipati itu...?" berka-
ta Roro dengan bibir cemberut. "Ku lihat si Adipati itu
bila dibandingkan dengan tampangmu, masih lebih
gagah suaminya! mengapa dia bisa kepincut padamu?"
sambung Roro.
"Heheheh... dunia ini memang aneh! Dan kea-
nehan itu bisa terjadi dimana saja. Juga di tempat
ini...!" berkata si kakek dengan garuk-garuk kepalanya.
Rambut coklatnya yang awut-awutan itu semakin ku-
sut.
"Apa maksud ucapanmu?" bentak Roro yang
sudah mengetahui gelagat.
"Heheheh... heheh... maksudku bukankah tidak
mustahil kalau kau pun bisa-bisa kena kepincut oleh-
ku! hahaha hehee..." Mengakak tertawa si kakek hing-
ga tubuhnya berguncangan.
Akan tetapi diam-diam Lutung Pancasona telah
kerahkan kekuatan ilmu batinnya untuk menyerang
Roro.
Tak sadar Roro Centil kalau diapun jadi ikut-
ikutan tertawa mengikik. Sementara sepasang mata
kakek itu semakin binal menjalari setiap lekuk-lekuk
tubuh Roro dan mengagumi wajahnya.
Melihat kekuatan ilmu batinnya mempengaruhi
syaraf si gadis pendekar itu membawa hasil, tiba-tiba
dia hentikan tertawanya secara mendadak. Dan... se-
konyong-konyong tubuhnya melentik bagaikan ikan
dari atas batu stupa yang diduduki. Lengannya terju-
lur ke arah Roro yang masih terpingkal-pingkal dengan
tubuh terhuyung memegangi perutnya. Tampaknya
Roro seperti geli sekali tanpa tahu apa yang ditertawa-
kan.
Akan tetapi mencelos hati Lutung Pancasona
karena serangan mendadak untuk menotok Roro Cen-
til tak mengenai sasaran. Aneh...!?" pikir si Lutung
Pancasona. "Dalam keadaan kena pengaruh kekuatan
batinku dia masih bisa menghindari serangan..." Tak
ayal segera Lutung Pancasona kembali julurkan len-
gannya ke beberapa arah dibagian tubuh Roro, bahkan
dibarengi pula dengan pukulan tangannya. Lagi-lagi
dia melengak, karena dengan masih mengikik tertawa
Roro bergerak terhuyung ke belakang dan ke depan,
bahkan menekuk tubuh sampai rambutnya terjulai ke
tanah tak ubahnya bagaikan orang mabok arak dan
serangan itu lolos tak menemui sasaran.
Tiba-tiba... BUK! Mengaduh si Lutung Pancaso-
na karena tahu-tahu kaki Roro telah melayang santar
menghantam punggungnya. Tak ampun tubuh si ka-
kek muka hitam brewok itu tersungkur mencium ta-
nah. Ketika bangkit lagi terperangah "kakek" ganjen ini
karena segera meraba wajahnya yang rusak. Di samp-
ing merasa sakit pada punggung, dia juga terkejut ka-
rena jenggot dan kumisnya yang lebat telah berlepasan
separuhnya. Sementara Roro Centil telah hentikan ter-
tawanya. Dia berdiri menatap pada si Lutung Pancaso-
na yang kulit wajahnya telah terkoyak mengelupas.
"Setan alas...! Kiranya kau pakai kulit muka
palsu...!?" bentak Roro dengan mata melotot. Lengan-
nya terangkat untuk menghantam manusia dihada-
pannya. Namun Lutung Pancasona bergerak lebih ce-
pat untuk selamatkan diri.
WHHUUKKK!... BHLARRR!
Saking marahnya Roro menghantam dengan
pukulan tenaga dalamnya. Tanah menyemburat di ba-
wah candi. Namun Lutung Pancasona telah melesat
kabur... Cepat sekali berkelebatnya tubuh Lutung Pan-
casona yang belum diketahui jelas wajahnya. Kulit
mukanya cuma tersibak sedikit, dan Roro menampak
satu kulit yang putih serta masih segar. Kulit muda!
yang berarti orangnya pun masih berusia muda. Dengan geram Roro mengejar ke arah "kakek" itu berkele-
bat.
Namun cepat sekali Lutung Pancasona berlon-
catan, lalu lenyap tak ketahuan kemana arah larinya.
Dengan kesal Roro banting-bantingkan kakinya
ke tanah, lalu berkelebat pergi dari tempat itu.
***
SEMBILAN
ADIPATI WIRALAGA menyibak semak belukar,
menuruni lereng bukit menyeberangi pula anak sun-
gai.... Dengan keadaan terpaksa dia mencari jalan ke
arah desa terdekat. Hari sudah senja, dan dia memer-
lukan tempat menginap dalam perjalanannya.
"Heh!? Aku baru ingat...! Jalan ini menuju ke
desa Gombong dihilir sungai ini. Hm, bagus! Aku bisa
benar-benar menikmati istirahatku. Mengapa aku
sampai melupakan seseorang di desa itu?" berdesis
Adipati Wiralaga.
Ketika hari hampir gelap dia sudah memasuki
mulut desa. Adipati Wiralaga masih ingat benar akan
jalan-jalan di desa Gombong itu yang tidak banyak
menampakkan perubahan.
"Apakah bapak mengetahui dimana rumah Nyi
Denok Warsih?" bertanya sang Adipati pada seorang
tua yang berkeredong sarung ketika berpapasan dija-
lan. Sejenak orang tua itu memandang pada Adipati
Wiralaga, tampaknya agak terkejut mendengar perta-
nyaan itu.
"Siapakah ki sanak...?" bahkan dia balik ber-
tanya. Adipati Wiralaga tersenyum seraya menjawab.
"Aku SUHARA...! dulu pada belasan tahun yang lalu
pernah mempunyai seorang kekasih di desa ini, ber-
nama Nyi Denok Warsih! aku tak mengingatnya lagi
karena kesibukanku di Kota Raja. Bahkan... bahkan
aku hampir melupakannya"
Terkejut laki-laki tua itu dengan membeliakkan
sepasang matanya memandang pada Adipati Wiralaga
yang memperkenalkan diri dengan nama kecilnya. Se-
belum menjadi abdi Kerajaan memang Adipati Wiralaga
bernama Suhara.
"Ah, sungguh tak kusangka... ki sanak ternyata
Suhara. Ya, aku ingat betul akan wajahmu. Marilah
singgah kerumahku, ki sanak. Kita bisa bicara panjang
lebar...!" berkata laki-laki tua itu.
Wiralaga alias Suhara mengangguk. Dan segera
mengikuti langkah laki-laki tua itu. Dalam perjalanan
yang memakan waktu tak lama segera tampak sebuah
pondok sederhana. Tersentak Wiralaga. Dia ingat betul
akan pondok itu, yang halamannya ada tiga batang
pohon kelapa berjajar. Dulu tiga batang pohon kelapa
itu masih kecil. Bentuk rumahnya pun tak jauh berbe-
da dengan keadaan waktu dulu.
"Apakah ini... ini rumah Nyi Denok Warsih?"
berkata Suhara alias Wiralaga dalam hati.
"Silahkan masuk, nak...!" Ujar laki-laki tua itu
seraya dia sendiri mendahului melangkah masuk ke
dalam. Seorang wanita keluar dari dalam.
"Ada tamu rupanya...! Siapakah, paman...?" ta-
nyanya pada laki-laki tua itu.
"WARSIH...!? Benarkah kau... Nyi Denok War-
sih?" Tiba-tiba Wiralaga berseru tatkala melihat wanita
setengah usia yang baru saja muncul menatapnya. Wi-
ralaga masih ingat betul akan raut wajah kekasihnya.
Sisa-sisa kecantikan gadis desa ini dulu masih mem-
bekas walau dia tampak tua.
Dan... ternyata wanita itupun mengenali Wira
laga, walau usia laki-laki itu sudah sekitar empat pu-
luh lima tahun lebih. Namun kegagahan masih mem-
bayang pada wajah dan ketegapan tubuhnya. Adipati
Wiralaga memang selalu mencukur kumis dan jeng-
gotnya, hingga selalu tampak rapi. Cuma Wiralaga tak
memakai pakaian keadipatiannya saja dalam perjala-
nan ke pesisir laut kidul yang akhirnya singgah di desa
Gombong ini.
"Be... benar! Aku Warsih...!" sahutnya. "Apakah
yang muncul dihadapanku ini Su... Suhara...?" Agak
ragu wanita itu menatap laki-laki didepannya.
"Tak salah, Asih...! membenarkan laki-laki tua
itu yang membahasakan Nyi Denok Warsih dengan se-
butan itu. "Dialah Suhara...! Orang yang selalu kau
tunggu kedatangannya setiap saat..." ucap laki-laki tua
itu, lalu menatap pada Wiralaga. "Nak Suhara, Warsih
selalu setia menantikan kedatanganmu. Aku pernah
mendustainya mengatakan bahwa kekasih yang dinan-
tinya itu telah mati! Akan tetapi dia tak percaya. Dia
merasa yakin bahwa suatu saat kau akan datang. Ter-
nyata keyakinan hatinya itu menjadi kenyataan...!"
***
Adipati Wiralaga duduk dibalai-balai kayu bera-
laskan tikar pandan. Disampingnya duduk Nyi Denok
Warsih dengan menunduk. Pada pipinya mengalir air
mata... Entah air mata bahagia, entah air mata berdu-
ka.
Laki-laki Kadipaten ini menggamit dagu perem-
puan itu. Sebelah lengannya bergerak perlahan untuk
mengusap air mata yang meluncur turun seperti tiada
habisnya dari kelopak mata perempuan itu. Namun se-
telah beberapa saat kesedihan didada wanita itupun
mereda.
"Dua puluh tahun lebih aku menantikan keda-
tanganmu, kakang Suhara! Dan... benih yang kau ta-
nam dalam rahimku telah menjadi buah. Si kecil yang
lahir tanpa ditunggui sang ayah itu dapat sedikit
menghibur hatiku. Dia kuberi nama KEN AYU...!" ber-
henti sejenak wanita itu untuk mengusap air matanya
yang sekonyong-konyong kembali membersit keluar
dari kelopak matanya.
Tergetar hati Adipati Wiralaga. Akan tetapi dia
tak berani memotong pembicaraan Nyi Denok Warsih.
Walau bibirnya sempat membisik. "Ah, nama yang in-
dah..." Dada Wiralaga terasa berdegupan kencang.
"Te... teruskanlah Warsih...!" ucapnya dengan suara
agak parau tergagap.
"Baik kakang Suhara... " menyahut Nyi Denok
Warsih menegarkan hati. Lalu lanjutkan penuturan-
nya. "Kurawat baik-baik bocah perempuan mungil
yang belum mengenai dosa itu. Kubisikkan ditelin-
ganya bahwa dia masih mempunyai seorang ayah...!
Akan tetapi... musibah telah menimpa... empat orang
penjahat yang menamakan dirinya Empat Iblis Pulau
Menjangan telah memasuki desa...! Dan... terjadilah
aib yang menimpa diriku..." sampai disini Nyi Denok
Warsih kembali berhenti untuk menghapus air ma-
tanya yang kembali meluncur turun membasahi pi-
pinya. Tersentak hati Wiralaga. "Empat Iblis Pulau
Menjangan?" desisnya dengan mata membelalak.
"Dan... mereka mem... memperkosamu?" tan-
das Wiralaga dengan cepat. Nyi Denok Warsih tunduk-
kan wajahnya dalam-dalam seraya mengangguk.
"Keparat...!" memaki Wiralaga dengan mata ti-
ba-tiba menjadi membinar. "Dua dari Empat Iblis itu
telah mampus...! Yang dua lagi adalah bagianku untuk
membunuhnya!" berdesis Wiralaga dengan geram. "La-
lu... bagaimana anak kita? Kemana Ken Ayu? Apa pula
yang terjadi dengan kedua orang tuamu? kulihat be-
liau tak berada dirumah ini..." tanya Wiralaga seraya
pegang kedua pundak Nyi Denok Warsih.
"Ayah telah tewas ketika menghalangi perbua-
tan biadab keempat manusia itu. Ken Ayu... diculik
mereka. Dan... ibuku meninggal sebulan kemudian ka-
rena tak kuat menerima kenyataan yang dihadapi da-
lam musibah besar itu. Selanjutnya aku hidup sendi-
ri...! Untunglah masih ada paman dan bibiku yang se-
sekali datang menyambangiku...!" Demikian tutur Nyi
Denok Warsih. Ternyata laki-laki yang mengantar Wi-
ralaga adalah paman perempuan itu.
Mendengar penuturan Nyi Denok Warsih. Seke-
tika terhenyak laki-laki ini. Betapa ribuan perasaan
berkecamuk dihatinya. Kedua lengannya terkepal erat
dan diremasnya sampai berbunyi berkrotokan.
Selang sesaat Nyi Denok Warsih menengadah-
kan lagi wajahnya. Ditatapnya tajam-tajam wajah Wi-
ralaga. Agaknya wanita itu sudah dapat menekan pe-
rasaannya.
"Kakang Suhara...! Tentunya kau sudah men-
dapat kebahagiaan di Kota Raja. Dua belas tahun lebih
menurut hitunganku sejak aku kehilangan Ken Ayu,
aku menantimu. Menantimu untuk meminta tanggung
jawabmu! Akan tetapi aku sudah tak mengharapkan-
mu lagi. Kita sudah tua... dan aku sudah ternoda! Aku
cuma ingin meminta tanggung jawabmu mencari di-
mana adanya Ken Ayu...!" berkata Nyi Denok Warsih
dengan nada tawar.
Wiralaga tak menyahuti, akan tetapi dia mang-
gut-manggut dengan menundukkan wajah. Tak terasa
sebutir air bening tersembul keluar dari sudut kelopak
matanya. Untuk pertama kalinya dia jatuhkan air ma-
ta, sejak dia bergelimang hidup di Kota Raja dan te-
rakhir menjabat sebagai Adipati yang mempunyai wilayah kekuasaan cukup luas. Selama ini dia terlalu
mementingkan urusannya sendiri. Bahkan ada berniat
menggulingkan Kerajaan. Diam-diam Adipati Wiralaga
memang telah mengadakan hubungan dengan seku-
tunya di pesisir laut kidul yang siap mendrop pasukan
laskar asing dari Hindia yang diminta bantuannya.
Namun kemunculan wanita misterius serta adanya
Tumenggung Dipayana yang menjadi orang Kadipaten
telah tersebar luas disetiap tempat bahwa Tumenggung
itu adalah salah seorang dari Empat Iblis Pulau Men-
jangan yang menjadi buronan Kerajaan dan tengah di-
lacak para pendekar.
Kekalutan fikirannya karena khawatir dirinya
sudah mendapat sorotan dari pihak Kerajaan, mem-
buat dia berniat berangkat ke pesisir laut kidul untuk
menggagalkan rencana itu pada sekutunya.
Seperti yang telah diceritakan di bagian depan,
surat yang dikirim melalui Tumenggung Dipayana itu
masih menjadi beban pikirannya. Itulah surat balasan
pada sekutunya di pesisir laut kidul yang membicara-
kan mengenai pendaratan kapal asing dari Hindia.
Adipati Wiralaga amat mengkhawatirkan surat itu ja-
tuh ke tangan orang Kerajaan yang bila diketahui akan
membuat celaka besar pada diri dan kedudukannya.
Kepergiannya ke pesisir laut kidul ada dua maksud.
Pertama Wiralaga bermaksud membatalkan rencana
pendaratan kapal-kapal Lasykar asing dari Hindia itu,
dan kedua adalah menghindar dari Kadipaten selama
beberapa waktu untuk melihat situasi. Bila keadaan
aman dia dapat kembali, tapi bila keadaan gawat dan
terbongkar rencananya oleh pihak Kerajaan, terpaksa
dia melarikan diri dari wilayah Kerajaan yang belum
dapat dipastikan kemana tujuannya. Kejadian diten-
gah perjalanan dengan terbunuhnya kuda tunggan-
gannya telah membuat hatinya semakin kebat-kebit
kalau dirinya selama itu telah dibuntuti orang.
Demikianlah... malam itu Adipati tak dapat
memicingkan mata dengan berbagi pikiran berkeca-
muk dibenaknya.
Dari balik tirai pintu kamar, dilihatnya Nyi De-
nok Warsih masih duduk melamun diberanda depan.
Ada sedikit gejolak didadanya untuk "mendekati" sang
kekasih yang lebih dari dua puluh tahun tak disam-
banginya. Ya, kekasih dalam arti kata-kata, tetapi se-
benarnya mereka tak lebih dari "Suami istri", walau
mereka belum pernah menikah. Entah mengapa hari
itu Adipati Wiralaga baru merasakan dirinya berdosa.
Selama itu dia tak pernah mengingat Nyi Denok War-
sih. Melulu kesibukan dalam tugas di Kota Raja yang
di gelutinya. Bahkan dia benar-benar melupakan wani-
ta desa yang setia itu, yang telah dijanjikan akan di-
kawininya. Tapi nyatanya dia malah menikah dengan
anak gadis seorang bangsawan.
Ternyata rumah tangganya tidaklah membuat
dia bahagia, karena selama puluhan tahun tak dika-
runiai seorang anakpun untuk pelengkap kebaha-
giaannya. Belakangan timbul pikiran-pikiran kotor
dengan berkenalannya dia dengan seseorang yang
tinggal di pesisir laut kidul, yang membuat dia jadi ter-
libat dalam urusan pemberontakan menggulingkan Ke-
rajaan.
Wiralaga tercenung dalam kekalutan pikiran-
nya. Kini dia melihat Nyi Denok Warsih dengan hati te-
renyuh... Gadis desa yang dulu cantik itu kini telah
mulai keriput dan tua. "Ah, betapa berdosanya aku..."
bisik hati laki-laki itu. Sementara itu Nyi Denok Warsih
yang sedang termangu-mangu diberanda depan jadi
terkejut ketika mendengar suara berderit, dan pintu
terbuka secara mendadak. Terasa bersyiurnya angin
halus yang membuat kulit tubuhnya terasa dinginnya
udara malam. "Ah, aku lupa mengunci pintu..." pikir
wanita ini. Akan tetapi diam-diam hatinya tersentak.
"Aneh...? tak seperti biasanya pintu itu terbuka sendi-
ri...!" pikirnya.
Dia tahu betul pintu tua itu selalu menutup ka-
lau tak diganjal. Akan tetapi kini terbuka lebar-lebar,
tanpa ada orang yang membukanya. Kekuatan angin
sehalus itu tak mungkin sampai dapat menguakkan
daun pintu selebar itu.
***
SEPULUH
"IBUU..." panggilan bernada pedih itu membuat
Nyi Denok Warsih mengangkat wajahnya. Terperangah
seketika wanita tua ini melihat sesosok tubuh wanita
berambut beriapan, dengan tubuh telanjang bulat ber-
diri dihadapannya. Tentu saja membuat perempuan
tua ini tak bisa keluarkan suara, kecuali ternganga
dengan mata membeliak dan tubuh bergetaran.
"Ibuuu... apakah kau masih mengakui aku se-
bagai anakmu...?" terdengar suara wanita itu berkata.
Akulah KEN AYU, ibu... akulah anak yang hilang dicu-
lik si Empat Iblis Pulau Menjangan..."
"Hah... ?" tersentak kaget Nyi Denok Warsih.
Seperti tak percaya dia pada pendengarannya. Barulah
perempuan ini dapat keluarkan suara, dan menjerit
histeris.
"Oh... tti... tidak...! Tidak...! tak mungkin...!
Kau... kau pasti makhluk halus! Jangan ganggu kema-
ri! Pergilah yang jauh, rumahmu disana, di seberang
lautan...!" teriak Nyi Denok Warsih dengan wajah pucat
pias. Saat itu pula Wiralaga telah melompat keluar dari
dalam kamar.
Akan tetapi segera menindak mundur dua tin-
dak. Sepasang matanya membelalak melihat seorang
wanita berambut beriapan yang telanjang bulat berdiri
didepan Nyi Denok Warsih.
"Ssi... siapa kka... kau...?" sentak Wiralaga.
Jantungnya mendadak berdegupan kencang. Walau-
pun dia tak percaya adanya hantu, tapi melihat ke-
munculan wanita berambut beriapan dalam samarnya
cahaya lampu gantung diruangan itu membuat dia ra-
gu-ragu untuk tak percaya hantu.
"Hihihi... aku bukan hantu! jangan takut, ibu...!
Tiba-tiba wanita bugil itu kembali bicara, seraya mena-
tap pada Wiralaga. "Ayah...! hihihi... oh, inikah ayah-
ku, ibu...? Ah, ternyata ayah seorang lelaki yang gagah
dan belum terlalu tua!" ucapnya dengan sebentar-
sebentar mengikik tertawa. Sementara itu Nyi Denok
Warsih berkata dalam hati. "Ya, Tuhan... apakah ge-
rangan yang terjadi? Betulkah dia ini anakku... ?"
Dipandanginya sekujur tubuh wanita itu dari
kepala sampai ke kaki. Tersentaklah dia melihat sepa-
sang kaki wanita bugil itu menempel dilantai papan
ruangan. Kini yakinlah dia kalau makhluk dihadapan-
nya itu adalah manusia.
"Hihihi... percayalah, ayah... ibu...! Aku anak-
mu Ken Ayu! aku sudah berhasil membalaskan den-
dam ibu, juga dendamku...! Dua dari Empat Iblis Pu-
lau Menjangan itu telah kuracuni hingga mampus! Hi-
hihihi... hihihihi... kini tinggal tiga orang lagi musuh
besarku! Juga musuh besarmu, ibu...! Kelak aku akan
bawa dua buah batok kepala lagi untuk kau lihat wa-
jah orang yang telah menganiayamu, ibu! Dan... satu
lagi adalah yang bernama Sawor! Manusia itu akan
kupersembahkan kepalanya ke Istana kerajaan!"
Dan... kau ayah!" ucapnya seraya menatap pada Wiralaga. "Sungguh tak kusangka kalau kau adalah
seorang Adipati!"
Selesai berkata demikian, tiba-tiba tubuh Ken
Ayu lenyap sirna dari pandangan mereka. Disertai
membersitnya angin keras, daun pintu itupun menu-
tup dengan suara menggabruk keras.
Sejenak keduanya saling berpandangan, den-
gan terperangah dan mata membelalak, seolah tak per-
caya dengan kejadian barusan.
"Jadi... jadi... Manusia Serigala Hantu itu ada-
lah... anakku... K... KEN AYU...?" berdesis suara Adipa-
ti Wiralaga.
Saat itu, Nyi Denok Warsih tiba-tiba jatuhkan
tubuhnya berlutut dihadapannya, seraya berkata den-
gan gemetar bercampur isak.
"Kakang Suhara... oh tak kusangka anak kita
masih hidup! Dan... kau benarkah kau seorang Adipa-
ti? Maafkan aku yang tak mengetahui sama sekali..."
"Haih...! Sudahlah Warsih, Adipati atau bukan,
sama saja..." ucap Wiralaga. "Betapa kita harus ber-
syukur anak kita ternyata masih hidup. Aku yakin!
Yakin sekali dia bukan hantu, atau arwah yang pena-
saran...!" berkata Wiralaga seraya mengangkat bangun
berdiri Nyi Denok Warsih.
"Akupun yakin, kakang Adipati... akan tetapi,
mengapa dia bisa lenyap seperti hantu...? Dan... dan,
dia tak mengenakan pakaian sama sekali..." Adipati
Wiralaga tak menjawab pertanyaan Nyi Denok Warsih.
Akan tetapi dia cuma tercenung, lalu beranjak mem-
buka daun jendela untuk menatap keluar. Sesaat ter-
dengar suara helaan napas laki-laki itu. Lalu menu-
tupkan lagi daun jendela dan menguncinya.
Nyi Denok Warsih masih menatapnya dengan
tatapan tegang, namun segera menundukkan wajah
ketika lengan Wiralaga mencekal pundaknya.
"Sudahlah, Warsih...! jangan terlalu memikir-
kan yang tidak-tidak. Bermacam ilmu banyak terdapat
didunia ini. Jangankan untuk melenyapkan diri seperti
hantu, merobah wujud manusia menjadi seekor seriga-
la pun bisa saja terjadi!" ucapnya lirih. Dan agar Nyi
Denok Warsih tak banyak bertanya lagi, cepat-cepat
Wiralaga berkata. "Hari sudah larut malam, Warsih!
marilah kita pergi tidur..." ajak Wiralaga seraya me-
nuntunnya memasuki kamar.
Perempuan itu tak dapat menolak, karena tera-
sa bulu romanya bangun berdiri mendengar penuturan
Wiralaga. Dia memang takut kalau tidur sendirian di-
kamarnya....
Dan... malam itu Nyi Denok tak dapat menolak
untuk memenuhi keinginan sang Adipati. Terasa di-
apun amat membutuhkan belaian tangan laki-laki
yang sudah dua puluh tahun lebih tak pernah me-
nyentuhnya, juga menikahinya...
Sudah dua hari Roro Centil berada di wilayah
Kota Raja. Selama itu dia sudah banyak "nguping"
mengenai berita-berita yang tersebar baik dari mulut
penduduk dari rakyat jelata, maupun dari kalangan
orang-orang Kerajaan. Dengan "menyamar" sebagai la-
ki-laki, Roro keluar masuk tempat-tempat ramai di wi-
layah sudut Kota Raja. Seperti pada suasana pasar
yang dikunjunginya, tampak Roro yang berpakaian ba-
ju warna putih dan celana pangsi warna hitam terbuat
dari bahan kasar. Rambutnya ditutupi dengan belitan
ikat kepala yang ditutupi pula oleh topi tudung atau
capil mirip seorang pemuda petani.
Diantara simpang siurnya orang dipasar, Roro
melihat seseorang berjalan cepat yang tampak mencu-
rigakan. Orang itu mengenakan topi tudung lebar me-
nutupi wajahnya. Mengenakan jubah warna abu-abu.
Dipunggungnya terdapat sebuah buntalan kain warna
hitam yang bertambal. Sepintas Roro melihat laki-laki
itu adalah mirip seorang pengemis tua yang berjanggut
putih.
Melihat caranya berjalan, tampak seperti terge-
sa-gesa, dan menyelinap cepat diantara simpang siur-
nya manusia di pasar ramai itu. Tentu saja Roro tak
mau melewatkan kejanggalan semacam itu. Roro pun
segera diam-diam menguntit pengemis itu.
Setelah melewati beberapa lorong, segera tiba
disudut kota. Roro cepat menyelinap kebalik reruntu-
han tembok ketika laki-laki itu menoleh. Melihat sua-
sana "aman" segera si pengemis enjot tubuh untuk se-
gera berlari cepat. Akan tetapi sebutir batu telah me-
layang menyambar buntalan dipunggungnya. Terden-
gar suara. CRING...! Dan berhamburanlah kepingan-
kepingan uang logam dari dalam buntalan.
Pengemis itu tampak terkejut, seraya hentikan
larinya. Tapi mendadak isi buntalannya berhamburan
keluar semua isinya. Tersentak si pengemis tua itu.
Sementara diam-diam Roro Centil tersenyum. Dialah
yang barusan menyambitnya dengan dua butir batu
kerikil. Melihat buntalan yang dicurigai dan kelihatan
berat itu Roro ingin tahu apa isinya. Tahulah Roro
Centil kalau setidak-tidaknya si pengemis itu bukan
orang baik-baik.
Sekejap dia sudah melompat keluar dari tempat
persembunyiannya.
"Ah, kasihan...! Agaknya bapak kurang teliti
membungkus uang sebanyak itu pada kain buntalan
yang sudah rapuh. Mari kubantu mengumpulkan-
nya...!" berkata Roro seraya mendekati laki-laki pen-
gemis itu yang tengah terkejut melihat isi buntalannya
berhamburan dan kain buntalannya sobek besar.
WHUKK! Tiba-tiba lengan pengemis itu berge-
rak menghantam ke arah kepala Roro Centil yang baru
saja membungkuk, disertai bentakan.
"Orang usil! Mampuslah kau...!"
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
CRRIIIING! Dibarengi suara menjeritnya laki-laki pen-
gemis itu. Selanjutnya si pengemis itu berteriak-teriak
kesakitan dengan suara tersumbat dan mata membela-
lak. Apakah yang terjadi?
Ternyata sekali gerakkan lengannya, Roro telah
menebarkan belasan keping uang logam perak itu yang
tepat mengenai beberapa jalan darah penting ditubuh
laki-laki pengemis itu, bahkan beberapa keping uang
itu telah menyumbat pula mulut si pengemis. Semen-
tara lengan si pengemis itu telah berubah kaku karena
uratnya tertotok.
"Hihihihi... hihi... bapak benar-benar keterla-
luan sekali, mengapa sampai uang logam yang kau
makan?" berkata Roro dengan tertawa mengikik.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara benta-
kan-bentakan keras disertai berlompatannya beberapa
sosok tubuh.
"Pencuri licik! Masih semuda itu kau sudah be-
lajar merampok, bahkan mencelakai orang pula!"
"Jangan biarkan dia meloloskan diri! Cincang
sampai lumat!" Terkejut Roro Centil ketika tahu-tahu
angin bersyiuran dibelakang punggungnya. Ternyata
dua buah golok besar telah menyambar untuk mena-
bas punggung dan leher Roro. Cepat sekali Roro Centil
menghindar ke samping. Kakinya segera memain, men-
jegal kaki orang. Terdengar suara memekik keras ke-
dua orang itu disertai jatuhnya kedua tubuh itu yang
"ngusruk" ke atas tumpukan uang logam yang ber-
hamburan di tanah. Criiiiing...! Bahkan salah seorang
telah membentur tubuh si pengemis tua itu, hingga tak
ampun tiga tubuh jatuh bergedebukan di tanah. Dan
uang logampun berhamburan tertindih.
Dengan mengaduh kesakitan keduanya beru-
saha bangkit. Tampak hidung dua penyerang Roro itu
berlumuran darah. Bahkan salah seorang telah tanggal
giginya sebuah. Roro memandang dengan melototkan
mata. Tapi segera tertawa geli dan berkata sinis. "Hihi-
hi... kau rasakan upahnya menuduh orang!"
"Kunyuk keparat!" memaki laki-laki kekar yang
telah melompat bangkit berdiri. "Pencuri busuk! Kau
berani mempermainkan kami... petugas Kerajaan?" Te-
riak pula kawannya yang telah pula bangkit berdiri
dan membentak garang.
Roro Centil jadi melengak karena baru dia me-
nyadari kalau kedua orang yang menyerangnya baru-
san adalah dua orang perwira Kerajaan.
"Ah, maaf, maaf! Aku sama sekali tak tahu ka-
lian dua orang petugas, akan tetapi kalian salah sang-
ka kalau menuduhku pencurinya!"
"Siapa percaya omongan maling? Jelas aku li-
hat sendiri kau yang merampok diujung pasar tadi.
Kami melakukan pengejaran dengan memotong jalan.
Akan tetapi ternyata kau terjatuh karena berlari tak
melihat jalan. Pengemis tua ini sedang lewat di tempat
ini, mengapa kau mengerjainya, dan kau mau jatuh-
kan kesalahan pada seorang pengemis tua renta ini...?"
berkata keras salah seorang dari perwira Kerajaan itu.
Roro Centil jadi garuk-garuk pantat yang tidak
gatal. Seraya leletkan lidah dia berkata.
"Kau ini petugas yang mau menangkap maling
atau pengarang cerita? Justru aku..." belum habis Ro-
ro berkata sudah disambar lagi dengan cepat.
"Cukup! Aku ampuni kesalahanmu untuk kali
ini! Karena memandang kau masih berusia muda! Tapi
lain kali... Huh! Hayo cepat kau angkat kaki dari sini...!
Sebentar lagi satu regu pasukan keamanan Kerajaan
akan tiba disini, dan kau segera akan ditangkap...!"
hardik pengawal itu dengan mata mendelik.
Mendengar demikian si "pemuda" itu tampak
pucat wajahnya. Setelah celingukan kesana-kemari se-
gera tancap kaki untuk kabur pontang-panting hingga
sebentar saja sudah tak kelihatan lagi.
Kedua pengawal itu saling pandang dengan ter-
senyum, dan seketika meledaklah tawanya terbahak-
bahak.
"Hahahahah... hahaha... bisa saja kau menga-
kali orang, Bro...!" berkata kawannya pada laki-laki
yang barusan membentak pemuda tadi. Dia bernama
Subro. "Cuma saja aku yang sial! Gigiku copot se-
buah...!" ujarnya lagi.
"Alaaah! Cuma sebuah tak mengapa, hayo ce-
pat kau kumpulkan uang ini! Mumpung tak ada yang
melihat! Hahahaha ... kita akan kaya!"
Tak ayal kedua pengawal itu segera bekerja ce-
pat membenahi uang yang tercecer di tanah. "Akan ki-
ta bungkus dengan apa uang sebanyak ini?" berkata
Subro setelah semua kepingan uang emas dan perak
itu terkumpul.
"Hm..." mata pengawal yang satunya lagi segera
jelalatan mencari kain pembungkus. Memandang pada
kain sarung seragamnya adalah tak mungkin. Tiba-
tiba terpandang pada kain sarung si pengemis yang
masih terjengkang dalam keadaan tertotok. "Hehehe...
kain sarung si kambing tua yang sial ini bisa dipergu-
nakan! ujarnya seraya beranjak mendekati. Dan....
WEEEEK! BREBEET...! Sekejap saja Masdun sudah
membesetnya. Mendelik mata si pengemis tua itu.
Seandainya mulutnya tak tersumpal kepingan uang
perak, tentu dia sudah memaki. Namun dia tak bisa
berbuat apa-apa karena sekujur tubuhnya terasa kaku
tak dapat digerakkan.
"Cepat bungkus!" perintah Masdun pada Subro
sang kawan seraya melemparkan kain sarung itu. Se-
mentara matanya sudah menatap pada si pengemis.
"Hahahaha... masih ada sisa uang disini,
Bro...!" ujarnya, dengan tertawa menyeringai. "He,
kambing tolol! Cepat kau buka mulutmu. Jatuhkan
uang itu!" bentaknya pada si pengemis. Namun yang
dibentak cuma melotot geram. Cuma suara ditenggo-
rokan saja yang terdengar.
"Oh, ya aku lupa, agaknya kau telah kena totok
rupanya...? Baiklah! Dengan cara ini sisa uang dalam
mulutmu bisa keluar!" ujarnya seraya lengannya men-
jambak rambut si pengemis, dan satu lagi melayang
menghantam belakang leher orang. Buk! "Heek...!"
Dan... Criiiiing!
Berpentalanlah seketika beberapa keping uang
perak dari dalam mulut pengemis tua itu. "Hahaha ba-
gus! Kini tidurlah kau sampai matahari terbenam!"
ujarnya seraya menghempaskan kembali tubuh si pen-
gemis tua itu yang segera terdengar keluhnya.
"Auuuuh...!" Karena pukulan pada belakang leher dan
hempasan keras barusan telah mengenai batu tepat
pada belakang kepala, tak ampun seketika si pengemis
tua itu tak sadarkan diri.
Masdun tertawa menyeringai sambil tepuk-
tepukkan kedua tangannya membersihkan debu. Na-
mun segera cepat-cepat beranjak ke arah Subro untuk
bantu membenahi kepingan uang yang berceceran ba-
rusan.
Tak berapa lama seluruh kepingan uang sudah
masuk dalam buntalan. Masdun mempererat tali ika-
tannya. "Apakah sebaiknya tak dibunuh saja si kamb-
ing tua tolol ini? Dia bisa menyusahkan kita!" berkata
Subro.
Tertegun sejenak Masdun untuk berfikir. Akan
tetapi segera menjawab dengan wajah berubah mene
gang. "Bagus! Usul yang baik sekali! Biarlah aku yang
menghabisinya!" berkata Masdun seraya memungut
golok besarnya dan beranjak mendekati si pengemis
tua.
"Tunggu...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras.
Dan... tahu-tahu Masdun menjerit ngeri ketika satu
hantaman keras membuat kepalanya pecah, otaknya
berhamburan. Dan... Bruk! Laki-laki pengawal itu ro-
boh tewas seketika. Terperangah Subro ketika melihat
dua sosok tubuh berjubah hitam muncul dihadapan-
nya. Salah seorang adalah yang barusan menghantam
kawannya dengan senjata rantai berbandulan Kepala
tengkorak emas.
Belum sempat dia berbuat sesuatu, Subro su-
dah perdengarkan jeritannya ketika satu angin puku-
lan dari lengan salah satu dari kedua orang berjubah
hitam itu menghantam tubuhnya. Seketika tubuhnya
terlempar puluhan tombak. Ketika jatuh ke tanah, cu-
ma mampu menggeliat sejenak, lalu tewas seketika.
Karena pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi itu
telah meremukkan sekujur isi dalam bagian tubuhnya.
"Hm, si bodoh orang kita ini rupanya sudah ke-
na totok orang! Dia pingsan. Apakah dihabisi saja se-
kalian! Kukira dia sudah tak berguna!" berkata salah
satu dari si jubah hitam yang berwajah buruk, mem-
punyai dua buah codet besar yang melintang di wajah-
nya. Sebelah matanya picak.
"Kalau menurut pandanganmu baik, siapa yang
larang...?" menyahut kawannya yang mempunyai wa-
jah hampir mirip namun tak seburuk
wajahnya. Laki-laki ini tertawa mengekeh se-
raya beranjak mendekati. Sekali lengannya terangkat,
terdengarlah suara PRAKKK...! Remuklah seketika ba-
tok kepala si pengemis tua itu. "Hm, hayo cepat kita
pergi dari sini...!" berkata si muka codet, seraya lengannya menyambar buntalan. Dan kedua manusia sa-
dis berjubah hitam itupun berkelebatan lenyap...
***
SEBELAS
RORO CENTIL BERKELEBAT menguntit kedua
manusia berjubah hitam itu. Dari tempat sembunyinya
dia telah menyaksikan kejadian tadi. "Siapakah dua
manusia keji itu?" desis Roro seraya berkelebatan den-
gan hati=hati agar tak menimbulkan suara. "Ingin ku
tahu dimana sarangnya...! Jelas dari kata-katanya si
pengemis tua itu adalah Konconya dua manusia ini...!"
Selang kira-kira semakanan nasi kedua orang
itu hentikan larinya. Mereka telah tiba disatu sisi hu-
tan dilereng bukit. Lalu berjalan cepat ke satu samping
batu besar. Ternyata disana ada sebuah mulut goa
yang tersembunyi. Akan tetapi belum lagi kedua orang
itu masuk, sudah terdengar suara tertawa mengikik
membuat mereka jadi terperangah.
"Hihihi... hihihi... Tunggir Ireng! Tunggir Ab-
ang...! Masanya kau membayar hutang sudah tiba! Hi-
hihi... hihihi..."
Membelalak kedua pasang mata laki-laki berju-
bah itu memandang ke mulut goa tempat sembunyinya
selama ini. "Siapa didalam...!" bentak si muka codet.
Dialah yang bernama Tungkir Ireng.
Tak ada jawaban. Tapi selang sesaat bersyiur
angin bergulung-gulung dari dalam goa yang menyebar
ke sekeliling kedua manusia jubah hitam itu. Tentu sa-
ja membuat kedua orang ini melengak. Kembali ter-
dengar suara tertawa mengikik yang terdengar dekat
sekali. Dan... tahu-tahu di hadapan mereka menjelma
sesosok tubuh wanita berambut berapian. Dan yang
membuat mata mereka membelalak lebar adalah wani-
ta itu dalam keadaan membugil tanpa sehelai benang-
pun melekat pada kulit tubuhnya.
Seketika tersentaklah masing-masing dari mu-
lut mereka suara tertahan karena terkejutnya. "Hihi-
hi... Lihat sekelilingmu!" membentak wanita itu. Dan...
terperanjatlah kedua manusia berjubah itu melihat pu-
luhan serigala telah mengurung mereka dari segenap
penjuru disekelilingnya.
"Manusia Serigala Hantu...!" serentak hampir
berbareng mereka berteriak kaget. Lemaslah sekujur
persendian kedua laki-laki berjubah itu. Karena sudah
didengarnya kalau si Manusia Serigala Hantu itu me-
mang tengah mencarinya untuk membalas dendam.
Dua orang diantara Empat Iblis Pulau Menjangan telah
tewas di tangannya juga si ketua Markas Partai Naga
Hijau berikut anak buahnya.
"Hihihihi... Iblis-iblis Pulau Menjangan, silah-
kan kau membela diri sebelum aku Ken Ayu memotes
kedua batok kepalamu untuk ku persembahkan pada
ibuku...!"
"Kau... kau Ken Ayu, anak si Denok Warsih...?"
sentak Tunggir Ireng terkesiap. "Hihihi baru tiga tahun
yang lalu aku lolos dari sekalian kalian di Pulau Nusa
Kambangan masakan kau sudah lupa? Nah, bayarlah
hutangmu berikut bunganya...!"
Sekejap saja tubuh si Manusia Serigala Hantu
lenyap sirna dari pandangan mereka. Tersentak Tung-
gir Ireng dan Tunggir Abang, dua dari Empat Iblis Pu-
lau Menjangan itu. Serentak mereka mencabut senjata
masing-masing. Lalu kerahkan ilmu batin setelah sal-
ing memberi tanda untuk melihat dimana adanya wa-
nita itu.
Namun sebelum mereka sempat melakukan puluhan serigala itu telah menerjangnya bagaikan
bayang-bayang hantu. Seolah terdengar suara geram
"makhluk-makhluk" itu yang menerkam untuk meren-
cah tubuh mereka.
WHUK! WHUK! WHUK! Tunggir Ireng dan
Tunggir Abang putarkan senjata rantai masing-masing
untuk menerjang serigala-serigala itu. Akan tetapi me-
legak mereka karena bagaikan menabas angin saja, tak
satupun yang dari makhluk itu yang terkena hanta-
man kedua senjata bandulan tengkorak emas si iblis
Pulau Menjangan itu.
Bertubi-tubi serangan dilakukan tetap saja me-
reka menabas angin belaka. Bahkan serigala-serigala
itu semakin banyak jumlahnya ketika kembali mem-
bersit angin kencang yang bersyiur disekeliling mereka.
Diantara geram para "serigala" itu terdengar pula sua-
ra mengikik tanpa terlihat manusianya. Semakin gen-
tarlah hati kedua manusia ini.
Sementara itu sepasang mata sejak tadi terus
mengikuti kejadian di tempat itu dengan mata tak ber-
kedip. Dialah si pemuda berbaju putih hitam sederha-
na, alias Roro Centil.
"Gila...!" sentak Roro terkejut. Ilmu apakah
ini...? Ah, agaknya dia inilah si Manusia Serigala Han-
tu. Betapa mengerikan dan hebat ilmunya!" Sementara
pertarungan berjalan terus, dan kedua Iblis Pulau
Menjangan semakin terdesak. Disamping nyalinya su-
dah copot, juga bingung menghadapi lawan aneh yang
sekian banyaknya tanpa mampu memporak poranda-
kan laskar "serigala" itu.
Akhirnya mereka saling memberi tanda. Tiba-
tiba keduanya pergunakan ilmu lompatannya untuk
melambung setinggi delapan tombak. Tepat di udara
kedua lengan mereka saling lakukan hantaman pada
empat telapak tangan.
DHES...! benturan tenaga dalam itu telah
membuat kedua tubuh mereka terlontar sejauh lebih
dari sepuluh tombak. Dengan "akal" itu mereka beru-
saha melarikan diri dengan berpencar. Akan tetapi se-
gulung angin menggebu telah membumbung ke udara,
tepat disaat kedua Iblis Pulau Menjangan lakukan
hantaman tenaga dalam dengan kedua telapak tangan.
WWHUUKSS...! Terperangah seketika keduanya. Apa-
kah yang terjadi...? Kedua tubuh Tunggir Ireng dan
Tunggir Abang dalam keadaan tergantung di udara
dengan keempat lengannya menempel satu sama lain.
"Celaka...!? kita tak dapat menggerakkan tu-
buh...?!" teriak Tunggir Ireng dengan wajah pucat. Ke-
heranan yang amat luar biasa itu membuat mereka ke-
luarkan keringat dingin disekujur tubuh.
Sementara itu dibalik sebongkah batu Roro
Centil alias "pemuda" tersenyum simpul melihat kedua
Iblis Pulau Menjangan terapung-apung di udara.
Ternyata Roro Centil telah mencoba jurus baru
hasil ciptaannya di Pulau Air. Itulah jurus yang dina-
makan jurus. Kosongkan Perut Menahan Lapar. Ilmu
serangan tenaga dalam yang dapat mengosongkan
udara disekitar angin pukulan. Hingga mirip keadaan
diluar angkasa. Sekitar angin pukulan Roro Centil ko-
song tanpa udara. Dalam keadaan demikian mana
manusia mampu bertahan untuk tidak bernapas da-
lam waktu terlalu lama?
"Grrrr...! Terdengar geraman seekor serigala be-
sar yang tahu-tahu telah menjelma tepat di bawah ke-
dua Tunggir Ireng dan Tunggir Abang. Dengan perden-
garkan suara melolong panjang, serigala besar itu me-
luncur ke udara untuk menerkam... Namun tubuhnya
tersangkut ditengah jalan dalam udara kosong buatan
Roro. Untunglah saat itu Roro telah tarik lagi kekuatan
dahsyat dari jurus pengosongan udara itu. Akibatnya
kedua tubuh yang terapung di atas itu meluruk jatuh
kembali ke bawah. Samar-samar serigala besar yang
berada di bawah itu berubah ujud kembali jadi sosok
tubuh bugil alias Ken Ayu. Dan... cepat sekali kedua
lengannya menabas ke arah dua tubuh yang baru saja
meluncur turun...
DES! DES!
Terdengar suara jeritan parau sesaat, dan sebe-
lum kedua Tunggir Ireng dan Tunggir Abang menyen-
tuh tanah, kepalanya telah terlepas, terpisah dari tu-
buhnya dengan darah segar berhamburan...
Bruk! Bruk! kedua tubuh tanpa kepala itu ja-
tuh bergedebukan ke tanah. Cepat sekali gerakan Ken
Ayu menyambar dua buah kepala.
Sekejap kemudian wanita bugil itu telah mele-
sat kembali ke atas batu di mulut goa. Berdiri disana
dengan kedua lengan mencekal rambut kepala dua
manusia Iblis Pulau Menjangan.
Tampaknya si Manusia Serigala Hantu menge-
tahui adanya orang yang sembunyi dibalik sebongkah
batu. Bahkan mengetahui kalau kejadian mengapung-
nya kedua musuh besarnya tadi di udara adalah aki-
bat hantaman angin pukulan orang yang sembunyi di-
balik bongkah batu besar itu.
"Orang baik siapakah yang ikut campur mem-
bantuku... hihihi keluarlah ingin kulihat manu-
sianya..." berkata dia dengan suara dingin. Terhenyak
Roro Centil. Tadinya dia tak mau menampakkan diri,
namun terpaksa dia harus keluar ujudkan wajah.
"Aiiii...! Aku tak bermaksud menolongmu, so-
bat! Aku sendiri tengah mengejar dua manusia itu.
Mana mungkin kubiarkan mereka melarikan diri?"
berkata Roro seraya melompat keluar dari tempat per-
sembunyiannya. Diam-diam Roro tertegun memandang
keadaan tubuh wanita yang membugil dihadapannya
yang amat risih bila di pandang. Hatinya membatin.
"Kasihan...! Ilmu apakah yang dianutnya hing-
ga dia tak mengenal rasa malu lagi...?" Sejenak Roro
tercenung menatap. Sekali pandang saja Roro telah bi-
sa menilai orang dihadapannya adalah seorang wanita
yang amat cantik parasnya. Namun dengan keadaan
rambut kusut tak terurus dan tubuh dekil berdaki de-
mikian seperti menghilang keayuannya.
"Hm, begitukah...?" tukas si wanita itu dengan
lebih tajam menatap Roro.
"Bolehkah aku tahu permusuhan apakah kau
dengan kedua orang ini...?" tanya Roro seraya melirik
pada dua tubuh tanpa kepala didekatnya.
Sejenak tercenung wanita itu mendengar perta-
nyaan Roro. Lalu terdengar suara helaan nafasnya.
"Kisahnya amat panjang, orang baik...! Aku tak
bisa menuturkannya padamu saat ini karena aku me-
mang belum kenal kau siapa! Tapi... seumur hidupku
baru aku melihat seorang laki-laki setampanmu! Hihi-
hihi...!"
"Hihihi...! Siapa bilang aku laki-laki? Aku juga
perempuan seperti kau, sobat!" berkata Roro seraya
meloloskan topi tudungnya, lalu lepaskan ikat kepala
pembungkus rambut, dan usap goresan hitam kecil di
bawah hidungnya. Sekejap lenyaplah si pemuda tam-
pan itu. Yang nampak jelas adalah seorang dara cantik
jelita dengan rambut terurai panjang sampai ke ping-
gang.
Si Manusia Srigala Hantu ini jadi melengak he-
ran. Akan tetapi segera mengikik tertawa. "Ah!? Sung-
guh tak kusangka kalau kau seorang gadis yang can-
tik!" ujarnya dengan memandang kagum.
"Kau juga cantik, sobat...!" ujar Roro dengan
menatap dan tersenyum. "Apa lagi kalau kau bersih-
kan tubuhmu, lalu memakai pakaian yang pantas. Ah,
siapapun pasti akan menyangkamu seorang dewi ka-
hyangan..."
Akan tetapi kata-kata Roro justru membuat wa-
jah si Manusia Serigala Hantu jadi berubah kaku.
Tampak bibirnya bergerak bergetaran seperti tak se-
nang dengan sanjungan kata-kata Roro barusan.
"Huh! Aku muak dengan kata-kata rayuan ma-
cam begitu! Kecantikanku cuma menjadikan aku men-
derita! Dan... kecantikan cuma menjadikan munculnya
bermacam bencana...!" ucapnya dengan suara pedih.
Dan Roro melihat jelas mata wanita itu tampak berka-
ca-kaca. Bahkan sebutir air mata telah meluncur tu-
run membasahi pipinya yang kotor.
Terhenyak seketika Roro Centil. Namun dengan
suara datar segera Roro berkata.
"Kau memang dilahirkan dengan keadaan can-
tik, mengapa harus menyalahkan takdir? Kehidupan
manusia memang banyak macam ragam jalan hidup-
nya. Akan tetapi kita tak boleh menyalahkan apa yang
telah diberikan Tuhan pada kita!" khotbah Roro den-
gan tersenyum.
Tercenung seketika si Manusia Serigala Hantu.
Dan tak sadar dia telah tundukkan wajahnya.
Kata-kata Tuhan seperti telah menyadarkan in-
gatannya. Dulu ketika dia masih tinggal dengan tente-
ram bersama gurunya di pulau Nusa Kambangan, sang
guru sering memberi wejangan untuk mengenal Tuhan
padanya.
Sejak kecil dia menganggap Marga Dewa si Ke-
tua Partai Gagak Sakti itu adalah kakeknya sendiri.
Belakangan setelah dewasa barulah dia menanyakan
siapa kedua orang tuanya. Marga Dewa akhirnya ber-
terus-terang padanya, bahwa dia sama sekali tak men-
getahui siapa kedua orang tuanya. Yang diketahuinya
ialah... dia direbut dari tangan si Empat Iblis Pulau
Menjangan. Ketika itu Ken Ayu masih berusia sekitar
lima tahun. Marga Dewa tak dapat menewaskan keem-
pat manusia jahat itu, kecuali cuma melukainya saja.
Ternyata diketahui adik seperguruan Marga Dewa yang
bernama Rupaci telah tergabung dalam komplotan
Empat Iblis Pulau Menjangan. Demi keselamatan di-
rinya, sang guru telah membawanya sejauh mungkin
dan di tempat yang tersembunyi, yaitu di Pulau Nusa
Kambangan. Di Sana dia membentuk Partai Gagak
Sakti.
Hidup tenteram di tempat terpencil dikelilingi
laut itu ternyata tak bisa selamanya dinikmati, karena
tiga belas tahun kemudian Empat Iblis
Pulau Menjangan berhasil mengetahui tempat
tinggal sang guru, hingga kemudian terjadi musibah,
dengan tewasnya sang guru, dan terjatuhnya dia ke
tangan Empat Iblis Pulau Menjangan. Bersama-sama
seorang laki-laki tak diketahui asal usulnya bernama
Sawor, Ken Ayu jadi bulan-bulanan kelima manusia
hidung belang itu, yang kemudian menggabungkan diri
dengan julukan Lima Iblis Naga Setan.
Betapa berat penderitaan Ken Ayu yang harus
melayani nafsu bejat kelima manusia itu. Hingga me-
nimbulkan dendam yang amat luar biasa di hatinya.
Tiga pekan lebih selama disekap oleh manusia-
manusia bernafsu bejat itu, tak kurang dari belasan
kali dia pingsan tak sadarkan diri.
Akan tetapi terkejut Ken Ayu ketika disaat te-
rakhir kali dia siuman dari pingsannya didapati dirinya
sudah tak berada lagi di ruangan kamar Markas dima-
na dia disekap. Akan tetapi berada di sebuah goa yang
seram tanpa penghuni, tak diketahui siapa yang telah
membawanya ke tempat itu.
Tak diketahuinya pula berapa lama dia di tem-
pat itu. Selama itu Ken Ayu sudah tak ingat lagi apa
yang telah terjadi pada dirinya. Yang di ketahuinya
adalah dia sering mendengar bisikan-bisikan gaib un-
tuk mempelajari ilmu-ilmu aneh didalam goa itu, yang
dalam mempelajarinya dalam keadaan telanjang bulat.
Entah setan entah manusia, hingga setelah memakan
waktu panjang yang seperti tiada habisnya, suara gaib
itu telah mengusirnya keluar dari dalam goa.
Demikianlah hingga Ken Ayu "bergentayangan"
mencari musuh-musuh besarnya, dan mencari tahu
dimana adanya kedua orang tuanya...
Kembali mengiang berkali-kali kata-kata Roro,
yang telah membuat ingatannya kembali pulih ke alam
sadar sedikit demi sedikit. Bahkan Roro Centil telah
menambahkannya lagi.
"Ilmu boleh dimiliki setinggi langit, tapi menga-
pa harus mengorbankan harga diri sebagai manusia?
Binatang mempunyai bulu untuk pelindung aurat!"
Tiba-tiba si Manusia Serigala Hantu menenga-
dahkan wajahnya, menatap pada Roro dalam-dalam,
seraya ujarnya tergagap.
"Aku... aku... tak dapat melanggar janji pada
guruku yang telah mengajari ilmu-ilmu yang kumiliki
saat ini...! Bila ku langgar aku akan kehilangan semua
ilmu-ilmuku!"
"Hm, itu terserah keinginanmu! Berapa ba-
nyakkah musuh besarmu? Aku Roro Centil bersedia
membantumu menumpas sekalian musuh-musuhmu,
asalkan memang kenyataannya manusia yang harus
dibinasakan adalah manusia-manusia bejat!" berkata
Roro Centil dengan suara mengandung belas kasih.
Dari air mata yang mengalir keluar serta dari kata-kata
marahnya wanita itu terhadap Roro ketika Roro memu-
ji kecantikannya, si Pendekar Wanita Pantai Selatan
sudah maklum kalau wanita itu mengalami goncangan
jiwa akibat perbuatan manusia-manusia durjana. Itu
lah sebabnya Roro merasa simpati padanya, bahkan
bersedia membantu si Manusia Serigala Hantu.
Tampak wajah wanita itu membersitkan wajah
cerah menatap Roro. Betapa diapun amat mendamba-
kan hidup yang normal seperti layaknya manusia bi-
asa. Ilmu-ilmu yang dimiliki serasa memberatkannya.
Walaupun secara tak langsung si pemberi ilmu telah
menyelamatkan dirinya dari tangan lima manusia ter-
kutuk yang telah membuatnya menderita lahir batin.
"Ah, betapa mulianya hatimu, kakak...! Boleh-
kah aku memanggilmu "kakak"? Aku tak mempunyai
seorang saudara pun. Kalau kau mau menganggapku
saudaramu, betapa girangnya hatiku. Serasa aku be-
nar-benar menjadi manusia lagi! Dan... dan aku... aku
bersedia membuang ilmu-ilmuku!" Ucap wanita itu
dengan suara tergetar menahan perasaan girangnya
yang meluap.
"Aiii...! Syukurlah! Bagus...! Aku tak keberatan
mengangkat saudara denganmu, siapakah namamu
adik...?" tanya Roro seraya beranjak mendekati.
"Aku cuma tahu guruku memanggilku Ken
Ayu...! sahutnya dengan sepasang mata berkaca-kaca.
Roro manggut-manggut dengan tersenyum.
"Namaku sendiri adalah Roro Centil!" Ujar Roro
memperkenalkan diri. "Mari kita tinggalkan tempat ini!
Aku akan mencarikan pakaian yang pantas! Tapi se-
baiknya. kau mandi dulu yang bersih! Disebelah sana
ada sungai berair jernih...! Ayolah!" ajak Roro seraya
menyambar buntalan yang tergeletak di tanah tak jauh
didekatnya. Lalu beranjak mendekati Ken Ayu seraya
menggamit lengannya.
Ken Ayu tak dapat menolaknya lagi untuk me-
nuruti ajakan itu. Akan tetapi tiba-tiba dia merandek
menahan langkahnya.
"Ah, akan tetapi aku harus mengantarkan ke
dua buah kepala ini dulu pada ibuku! Aku telah ber-
janji untuk membawa dua batok kepala musuh besar-
ku ini padanya, karena selain musuh besarku kedua
manusia Iblis Pulau Menjangan ini juga musuh besar
ibuku!" berkata Ken Ayu.
"Hm, begitukah...? Haiih! Sudahlah! Kelak aku
akan menemanimu mengantarkannya! Bawalah kedua
buah kepala itu. Mari kita ke sungai. Sementara kau
mandi yang bersih, aku akan mengantarkan buntalan
uang ini dulu kepada pemiliknya sekalian mencarikan
pakaian yang baik untukmu...!" ujar Roro dengan ter-
senyum.
Ternyata usul Roro tak dapat Ken Ayu meno-
laknya. Tak berapa lama tampak dua sosok tubuh wa-
nita itu berkelebatan menuju ke arah sungai.
***
DUA BELAS
BENARLAH SEPERTI YANG ditakutkan Adipati
Wiralaga. Surat yang dikhawatirkan jatuh ke tangan
orang Kerajaan justru telah berada di tangan Mahapa-
tih Raksa Mandala. Segera saja Pembesar Kerajaan itu
mengutus Senapati Pamuji untuk menjalankan tugas
membekukan pemberontakan sebelum terlambat. Se-
mentara itu gedung Kadipaten segera disita oleh Kera-
jaan, dan dalam pengawasan serta penjagaan ketat.
Adipati Wiralaga dicari untuk di tangkap.
Sementara Senapati Pamuji dengan dua ratus
lasykar Kerajaan berangkat ke pesisir laut kidul untuk
menangkap sekutu Wiralaga dan menggagalkan pen-
dropan kapal-kapal asing yang bakal menyerbu wi-
layah kekuasaan Kerajaan. Tentu saja telah menghubungi pula beberapa tokoh Pendekar dari kalangan
menyambut tugas itu dengan semangat baja.
Ketika itu didesa Gombong... Dua orang dara
jelita memasuki wilayah desa itu dengan wajah berseri.
Berpakaian rapi warna putih dan hijau. Tampaknya
kedua dara itu amat akrab sekali, bahkan berjalan
dengan bergandengan tangan memasuki mulut desa.
Mereka tak lain dari Ken Ayu dan Roro Centil. Roro
memang tengah mengantar Ken Ayu sang saudara
angkat itu untuk mengunjungi ibunya di desa Gom-
bong. Untuk mengantarkan dua buah kepala si Iblis
Pulau Menjangan, seperti janjinya pada sang ibu.
Tampak sebuah buntalan dicekal pada sebelah lengan
Ken Ayu.
Akan tetapi terkejut mereka ketika mendengar
kegaduhan didalam desa. Beberapa orang berlarian,
dan berteriak-teriak ketakutan.
Apakah gerangan yang terjadi...?
Kiranya ditengah desa tengah terjadi pertarun-
gan hebat antara dua orang laki-laki. Yang ternyata
adalah Adipati Wiralaga dengan seorang laki-laki tua
bermuka hitam keriput. Sementara seorang wanita
yang tidak terlalu tua tengah meringis kesakitan dalam
keadaan dicengkeram rambutnya oleh seorang wanita
pula yang berpakaian sutera warna kembang-kembang
yang pada sekujur tubuhnya penuh dengan perhiasan.
Perempuan yang menyeringai kesakitan itu tak lain da-
ri Nyi Denok Warsih. Sedangkan yang mencengkeram-
nya adalah istri Adipati Wiralaga. Entah bagaimana is-
tri Adipati itu bisa sampai ke desa Gombong? Baiklah
kita ikuti kisahnya.
Ternyata sebelum orang-orang Kerajaan men-
gepung gedung Kadipaten sang istri Adipati telah ang-
kat kaki terlebih dulu. Bersama siapa lagi keberangka-
tannya, kalau tak bersama si Lutung Pancasona!? Tentu saja telah membenahi terlebih dulu barang-barang
berharga milik Adipati itu yang dibawa kabur melari-
kan diri. Karena ternyata telah tercium pula adanya
seorang laki-laki yang berada di gedung Kadipaten dan
di curigai sebagai orang buronan Kerajaan.
Justru suatu kejadian kebetulan yang sangat
tak diduga, ternyata keduanya bahkan mengungsi un-
tuk menyembunyikan diri di desa Gombong. Tentu saja
kemunculan istri Adipati itu menjadi perhatian yang
menyolok dimata penduduk desa itu. Dan... dengan
kebetulan sekali Adipati Wiralaga melihat kemunculan
istrinya didesa itu. Tak ayal dia sudah melompat ke-
luar dari dalam rumah Nyi Denok Warsih.
"Istriku, mau apa kau menyusulku kemari?
Dan... siapakah laki-laki yang bersamamu?" bertanya
Adipati Wiralaga.
Karena memang sudah tak menyukai lagi sua-
minya, apalagi telah diketahui oleh orang-orang Kera-
jaan akan pengkhianatan suaminya yang berniat
memberontak dan tengah dicari oleh orang-orang Kera-
jaan untuk ditangkap, membersitlah kemarahannya.
"He!? Siapa kau? Aku tak mengenalmu...! Lan-
cang sekali kau memanggil istri pada istri orang...!"
bentaknya dengan marah.
Terhenyak Wiralaga. "Suridewi! Kau sudah tak
mengenaliku lagi? Sandiwara apakah yang kau per-
buat! Apakah gerangan yang terjadi?" teriak Wiralaga.
Keributan diluar itu membuat Nyi Denok War-
sih keluar dari kamarnya dengan wajah pucat dan
rambut tak tersisir rapi. Namun sekilas saja sang istri
Adipati Wiralaga telah melihatnya, karena suaminya
keluar dari dalam pondok itu. Hatinya jadi semakin
panas.
Tiba-tiba dia berkata pada laki-laki berkulit
muka hitam disampingnya. "Suamiku", hajarlah manusia kurang ajar ini! Mengapa kau diamkan saja dia
berkata lancang! Hm, kalau perlu aku tak melarang
kau membunuhnya!"
"Keparat! Kau sungguh-sungguh keterlaluan,
Suridewi! Kuhancurkan mulutmu! Apakah manusia itu
gendakmu?" Menggembor marah Adipati Wiralaga.
Lengan Wiralaga bergerak untuk mencengkeram wani-
ta itu, akan tetapi laki-laki tua berkulit muka hitam itu
telah gerakkan tangannya menangkis seraya melompat
menghadang.
"Hahaha hehehe... sabar, sobat! Kau tak layak
lagi berbuat demikian! Bukankah kau sudah menden-
gar sendiri dia menyebut suami padaku, siapa bilang
aku gendaknya?" berkata demikian, sebelah lengan la-
ki-laki tua bermuka hitam keriput itu segera memeluk
pinggang Suridewi yang bahkan senderkan kepalanya
ke dada si lelaki tua.
Merah padam seketika wajah Wiralaga. Giginya
bergemeretukan menahan geram. Sementara sepasang
mata Suridewi selalu mengarah pada perempuan dibe-
randa rumah yang memandang ke arahnya dengan wa-
jah pucat pasi.
"Siapakah kau manusia durjana? Kau berani
berbuat demikian pada seorang Adipati?" membentak
Wiralaga. Akan tetapi justru bentakan itu membuat si
laki-laki tua itu tertawa berkakakan.
"Hahaha... hahaha... kau dengar istriku! Dia
menyebut dirinya Adipati? Hahaha... kau tak lebih dari
seorang pemberontak, Wiralaga! Gedung Kadipaten te-
lah disita Kerajaan, dan kau tengah dicari orang-orang
Kerajaan untuk ditangkap!"
Mendengar kata-kata itu seketika pucat pias
wajah Wiralaga. Akan tetapi dengan menggembor keras
dia telah mencabut kerisnya yang terselip di belakang
punggung, seraya melompat menerjang dengan dibarengi bentakan.
"Baik! Aku memang bukan Adipati lagi! Tapi se-
belum aku ditangkap kalian berdua harus mampus
terlebih dulu di tanganku...!"
Angin keras menderu tatkala keris di tangan
Wiralaga berkelebat menusuk ke arah dada laki-laki
tua itu. Sedangkan sebelah lengan Wiralaga memba-
rengi dengan pukulan dahsyat.
Namun dengan gerakan sebat sekali laki-laki
tua itu melompat menghindar dengan menyambar tu-
buh Suridewi dalam pelukannya. Dan... hinggapkan
kaki dengan ringan tak jauh disamping rumah. Wirala-
ga menghambur untuk mengejar. Sementara laki-laki
tua itu lepaskan Suridewi seraya berkata. "Hm, kau
tontonlah aku, Suridewi! Bagaimana aku mengha-
biskan nyawa pemberontak ini!" berkata si laki-laki tua
itu. Seraya diapun melompat untuk menerjang....
Segera saja terjadilah pertarungan hebat antara
kedua laki-laki itu. Ternyata Wiralaga pun bukan seo-
rang yang berilmu rendah. Serangan pukulannya cu-
kup ganas, ditambah serangan kerisnya yang menim-
bulkan angin menggebu bersiutan menabas dan
menghunjam mengancam nyawa.
Dalam keadaan mereka tengah bertarung, ter-
nyata Suridewi telah melompat masuk ke dalam be-
randa rumah Nyi Denok Warsih, seraya membentak.
"He! Rupanya kau ada main dengan pemberontak itu,
ya? Apamukah dia...?"
Mundur selangkah Nyi Denok Warsih dengan
wajah pucat pias. Akan tetapi dia tak mampu untuk
bicara apa-apa.
Karena pertanyaannya tak mendapat sahutan,
bahkan menampak wanita itu justru mundur ketaku-
tan, Suridewi telah gerakkan lengan menjambak ram-
butnya, serta menyeretnya keluar rumah. Memekik perempuan Itu kesakitan. Akan tetapi Suridewi tak
memperdulikan. Dia memang ada mempunyai sedikit
kepandaian. Berbeda dengan perempuan desa itu yang
tak punya kepandaian apa-apa sama sekali.
Melihat Nyi Denok Warsih tengah disiksa di
tampari oleh istrinya, Wiralaga berteriak keras, dengan
kemarahan memuncak.
"Suridewi! Berani kau menganiayanya, ku han-
cur remukkan tubuhmu! Lepaskan dia! Dia tak bersa-
lah apa-apa .."
Suridewi tertawa sinis. "Hihihi... kini baru ku
tahu kalau kau istrinya...! Mengakulah kau, perem-
puan kampungan...!" lengannya bergerak menampar.
Dan kembali Nyi Denok Warsih menjerit kesakitan.
Wajahnya sudah bengap dan matang biru karena diha-
jar Suridewi yang melampiaskan kemendongkolan ha-
tinya pada perempuan itu. Padahal dia sendiripun ber-
buat khianat pada suaminya.
Pada saat itulah terdengar bentakan keras. Tu-
buh Wiralaga telah melesat tinggi melewati kepala la-
wannya, menerjang ke arah Suridewi.
"Perempuan laknat! Kubunuh kau...!" Terpe-
rangah Suridewi karena tahu-tahu ujung keris Wirala-
ga telah berada di depan matanya. Akan tetapi bersa-
maan dengan ujung keris Wiralaga menghunjam leher
Suridewi, laki-laki itu menjerit keras dan roboh tergul-
ing...
Dua jeritan terdengar saling susul, dan dua tu-
buh berkelojotan meregang nyawa. Ternyata disaat itu
juga si Lutung Pancasona telah lepaskan senjata raha-
sianya. Tiga larik sinar berkredepan meluruk ke arah
punggung dan belakang leher Wiralaga, dan menancap
tepat pada sasarannya.
Baru saja kedua manusia malang itu lepaskan
nyawanya, terdengar suara jeritan keras yang di-susul
dengan berkelebatnya dua sosok tubuh ke tempat itu.
"Ayaaaah...!" Teriakan santar itu tak lain dari
suara Ken Ayu, yang telah menghambur ke arah tubuh
Wiralaga. Terperangah Nyi Denok Warsih melihat seo-
rang gadis cantik menangis dengan memeluki laki-laki
Adipati itu dengan menyebutnya "ayah". Hatinya ter-
sentak seketika. Baru saja dia dalam keadaan terkejut
luar biasa dengan kejadian barusan, kini muncul lagi
seorang gadis yang memeluki mayat Suhara.
"Ibu...! Ini aku anakmu, ibu...! Aku Ken Ayu...!
Aku telah bawakan dua buah kepala si Iblis Pulau
Menjangan! Aku harus balaskan kematian ayah...!"
berkata Ken Ayu dengan mata berkaca-kaca menenga-
dah memandang pada Nyi Denok Warsih seraya mem-
buka buntalan kepala dihadapan wanita itu. Lalu alih-
kan tatapannya pada laki-laki yang masih tegak berdiri
tak jauh dihadapannya. Nyi Denok Warsih memandang
isi buntalan dengan mata membelalak.
Sementara itu Roro Centil melengak melihat ke-
jadian. Memandang pada laki-laki berkulit muka hitam
berkerut yang barusan lepaskan senjata rahasianya,
tahulah Roro kalau orang itu adalah si Lutung Panca-
sona. Tiba-tiba sekali lompat Lutung Pancasona sudah
melesat untuk kabur dari tempat itu. Ternyata dia te-
lah mengetahui kedatangan Roro Centil yang pernah
gagal di pecundanginya untuk jahatnya memperkosa
dara Pendekar Pantai Selatan itu. Akan tetapi Roro
Centil telah melesat terlebih dulu untuk menghadang.
"Tahan! Kau tak dapat lolos lagi, setan cabe!"
membentak Roro.
WHUUKK...! Lutung Pancasona hantam-kan
pukulannya. Dan... set! set! set! Tiga senjata rahasia
berbentuk keris kecil meluncur ke arah tiga tempat
berbahaya di tubuh Roro.
SYIUUUUT!... PRASH! Roro Centil kibaskan
rambutnya menghantam mental senjata-senjata raha-
sia Lutung Pancasona. Sebelah lengannya memapaki
hantaman pukulan lawan.
BHLARRR...! Terdengar suara beradunya dua
pukulan tenaga dalam. Terdengar teriakan tertahan
Lutung Pancasona. Tubuhnya terlempar enam tombak
dan jatuh bergulingan. Sedangkan Roro Centil terpen-
tal sejauh tiga-empat tombak. Setetes darah tampak
tersembul disudut bibir Roro, yang rasakan dadanya
nyeri. Tak disangka kalau tenaga dalam lawan demi-
kian besar. Namun Roro Centil cepat melompat berdiri
dengan tubuh terhuyung.
Sementara dilihatnya Lutung Pancasona baru
saja mau beranjak bangun, setelah keluarkan darah
yang menggelogok dari mulutnya. Roro tak lewatkan
kesempatan baik ini. Dia memang amat penasaran se-
kali untuk mengetahui wajah dibalik topeng kulit mu-
ka si Lutung Pancasona. BREET! Terpelanting laki-laki
itu dengan kembali berteriak kesakitan.
Kulit mukanya seketika mengelupas yang me-
nyobek pula kulit kepalanya hingga mengeluarkan da-
rah. Segera terpampanglah wajahnya. Benar seperti
dugaan Roro, wajah dibalik topeng kulit muka itu ada-
lah wajah laki-laki yang masih muda, namun usianya
lebih dari sekitar 30 tahun lebih.
"Hah!? Kau... kau SAWOR!" satu teriakan kaget
terdengar santar. Itulah suara Ken Ayu, yang sedari
tadi memperhatikan jalannya pertarungan.
"Kakak Roro Centil! Biarlah aku yang membu-
nuhnya!" teriak Ken Ayu yang sekejap sudah melompat
ke hadapan laki-laki itu. Akan tetapi diluar dugaan
lengan Sawor alias si Lutung Pancasona telah bergerak
cepat ke balik bajunya, dan... Set! set! set! set!
Menghamburlah belasan senjata rahasia dari
keris-keris kecil beracun yang amat ampuh itu. Kejadian mendadak itu diluar dugaan Roro yang tak sem-
pat bertindak. Hingga tak ampun segera terdengarlah
jeritan ngeri yang saling susul, bersamaan dengan am-
bruknya dua sosok tubuh wanita. Ternyata hamburan
senjata rahasia itu mengenai pula pada Nyi Denok
Warsih.
"Manusia iblis...!" membentak Roro Centil. Ke-
dua lengannya bergerak ke depan yang telah dibarengi
tenaga dalam penuh. Itulah jurus pukulan Roro Centil
yang terdahsyat, yaitu jurus TAUFAN MELANDA KA-
RANG.
Tak Ampun lagi tanpa sempat menjerit lagi tu-
buh Sawor terlempar berpuluh-puluh tombak. Bahkan
angin pukulan itu telah pula merobohkan belasan ba-
tang pohon yang ambruk dengan suara gaduh bagai-
kan dilanda angin taufan dahsyat. Tubuh Sawor ber-
gulung-gulung menjadi satu dengan batang-batang
pohon disisi hutan itu. Lenyap tak ketahuan lagi ke-
mana jasadnya.
Sesaat kegaduhan itupun sirna...
Roro Centil tegak berdiri bagaikan arca, mena-
tap ke depan. Setitik air mata tampak tersembul dis-
udut mata dara Perkasa Pantai Selatan itu. Suara ga-
duh itu membuat kegemparan penduduk desa Gom-
bong yang terletak di sisi bukit. Mereka berhamburan
keluar, dan melarikan diri dengan berteriak-teriak ke-
takutan. Sementara tanpa seorangpun penduduk yang
sempat melihat, Roro Centil telah berkelebat menyam-
bar tubuh Ken Ayu... dan melesat lenyap dari tempat
itu, dengan diiringi satu lengkingan suara yang men-
gandung isak. Seperti suara iblis yang menangis yang
membuat bulu tengkuk meremang...
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar