SATU
“YUURIKO......! YURIKOOO.....!" teriakan itu
terdengar santar hingga berkumandang ke seluruh
lembah.
Tampak seorang gadis berlari dengan terisak
menangis dan tubuh terhuyung tanpa perdulikan
panggilan terhadapnya.
Keadaan pakaiannya tak keruan lagi, yang su-
dah sobek di sana-sini dan menyingkap di beberapa
bagian tubuhnya. Rambutnya kusut masai beruraian
dan wajahnya tampak pucat pasi.
"Yurikoooo ....!" Kembali suara itu terdengar di
belakangnya. Gadis ini telah berada di sisi samping
bukit. Di hadapannya adalah lereng bukit yang terjal.
Sesaat dia berpaling ke belakang, lalu menengadah
menatap ke atas bukit. Tampak wajahnya berubah te-
gang. Dan dia sudah gigit bibirnya menahan isak yang
tersendat di kerongkongan. Kemudian dengan cepat
gadis ini sudah merayap ke atas lereng bukit terjal itu.
Lengannya menggapai dan mencengkeram akar-akar
pohon. Lalu mendaki terus untuk cepat tiba di atas.
Sementara di dasar lembah, sesosok tubuh laki-laki
berteriak-teriak memanggil nama gadis itu dengan ber-
lari ke sana ke mari di antara semak dan pepohonan.
Ternyata dia seorang laki-laki berwajah penuh brewok,
bercambang bauk lebat. Rambutnya tergelung di atas
yang tertutup sehelai kain sutera berwarna kuning.
Usianya berkisar sekitar 50 tahun. Dia bernama SOKU
SHEBA yang mendiami dasar lembah itu.
Sebuah pedang SAMURAI tampak di pinggang-
nya. Laki-laki ini jelalatkan sepasang matanya ke se-
tiap tempat, mencari-cari kalau-kalau terlihat bayan-
gan tubuh gadis bernama Yuriko itu. Setiap semak di
sibakkannya, bahkan di balik bongkah-bongkah batu
besar. Akan tetapi tak dijumpai gadis itu sembunyi di
sana. Kembali dia berkelebatan mencari-cari sambil
berteriak-teriak memanggil nama sang gadis.
Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara yang
berkumandang sampai ke telinganya. Suara yang ter-
dengar bercampur isak menyedihkan. Itulah suara Yu-
riko, yang seperti tengah berdo'a. Apakah yang dilihat-
nya? Gadis itu berada di atas bukit terjal. Pada lamp-
ing batu bukit yang paling sisi sekali. Hah! Apa yang
akan dilakukannya...? Sentak hati laki-laki brewok ini
yang sudah dapat melihat di mana adanya gadis itu.
"YURIKOOO...! Jangan kau lakukan itu! sadar-
lah anakku...! kasihanilah ayahmu! Maafkanlah aku...!
ampunilah kekhilapan ku...!" Teriak laki-laki ini den-
gan suara parau mengandung isak. Tampak setitik air
bening telah menitik turun ke pipinya.
Akan tetapi sudah terlambat... Gadis itu sudah
terjunkan diri ke dasar lembah. Tubuhnya melayang
ke bawah dengan derasnya diiringi jerit me-
nyayat hati. Tersentak jantung laki-laki ini, dia sudah
berlari dengan cepat untuk memburunya. Akan tetapi
sudah terdengar suara tubuh yang jatuh ke dasar lem-
bah. Laki-laki ini berlari mengejar menerjang semak,
menerobos ranting yang menghalangi jalan.
Dan tak berapa lama sudah terpampang di ha-
dapannya sebuah pemandangan yang menggiriskan
hati. Gadis itu terkapar dengan keadaan tubuh remuk
berlumuran darah di atas batu di dasar lembah....
"YURIKOOOO....!" Jeritnya dengan suara parau.
Sekejap dia sudah melompat untuk memburu ke arah
tubuh gadis itu. Tak lama sudah memeluki tubuh yang
sudah tak bernyawa itu dengan menangis terisak-isak
bagai anak kecil.
Laki-laki brewok itu cucurkan air mata yang
mengalir tiada henti. Sementara angin keras member-
sit dari arah bukit. Bunga-bunga Sakura yang berwar-
na seputih salju itu berjatuhan meluruk ke tanah. Se-
perti juga air mata laki-laki brewok itu yang turun de-
ras membasahi pipinya.
-------ooOoo-------
Sejak kejadian itu dari arah lembah sering ter-
dengar suara tiupan seruling, yang mengalun dengan
nada-nada yang memilukan hati. Ternyata ditiup oleh
si laki-laki brewok bernama Soku Sheba itu. Akan te-
tapi laki-laki itu sudah tidak brewok lagi. Kumis dan
jenggotnya yang lebat hitam sudah tercukur bersih.
Bahkan rambutnya sudah lenyap. Karena dia sudah
menjadi seorang paderi yang berkepala gundul plon-
tos....
Dan sejak sepuluh tahun kemudian lembah itu
sudah dikenal orang dengan nama LEMBAH AIR MA-
TA.
Bangunan rumah tua di dasar lembah itu ma-
sih berdiri tegak, walaupun tembok-temboknya sudah
rapuh dan penuh lumut. Bila setiap malam bulan pur-
nama akan terlihat seorang laki-laki tua berkepala
gundul, tengah meniup serulingnya. Kumis dan jeng-
gotnya tampak panjang terjuntai memutih.
Duduk di atas sebongkah batu besar di depan
rumah tua itu. Dialah Soku Sheba. Suara serulingnya
mengalunkan nada-nada sedih memilukan hati, yang
menggugah perasaan bagi setiap orang yang menden-
garnya.
Suatu malan purnama, ketika dia tengah asyik
mengalunkan suara serulingnya, sesosok tubuh telah
berkelebat memasuki halaman rumah tua itu. Gera-
kannya lincah sekali tak menimbulkan suara. Wajah
nya hampir tak terlihat, karena tertutup dengan kain
topeng warna hitam. Demikian juga pakaiannya. Cuma
sepasang matanya saja yang terlihat terbuka. Dan
mempunyai sorot mata tajam. Tampak dilihatnya Soku
Sheba duduk di atas batu. Membelakangi rumah tua
yang mempunyai halaman luas, dikelilingi rapat oleh
belukar dan pepohonan.
Ternyata penyelundup yang menyatroni rumah
tua di dasar lembah itu bertambah dua orang lagi,
yang telah berkelebat muncul dari balik semak. Orang
yang pertama muncul tadi segera memberi isyarat agar
berhati-hati. Rencana untuk memasuki rumah tua se-
cara sembunyi itu memang telah diatur terlebih dulu.
Yaitu salah seorang berjaga-jaga mengawasi si kakek
peniup seruling. Sementara dua orang lagi segera me-
nyelinap ke belakang rumah tua. Akan tetapi tiba-tiba
terdengar teriakan menyayat hati. Baru saja dua sosok
tubuh kawannya itu jejakkan kaki ke batu undakan di
belakang rumah tua itu, justru kaki-kaki mereka me-
nyentuh kawat-kawat halus yang terpasang di sana.
Entah dari mana munculnya, tahu-tahu puluhan anak
panah telah meluruk deras ke arah mereka yang da-
tang dari tiga penjuru.
Tak ampun lagi kedua tubuh penyelundup itu
sudah terpanggang oleh belasan anak panah. Dan ro-
boh berkelojotan. Sekejap kemudian mereka tewas se-
ketika.
Terkejut si penyelundup berjaga di luar. Dili-
hatnya si kakek jubah putih peniup suling itu sudah
hentikan tiupan serulingnya. Tak ayal lagi dia segera
melompat cepat, dan lenyap di balik pepohonan rim-
bun. Tampak Soku Sheba kerutkan keningnya. Alisnya
yang putih itu bergerak menyatu. Sepasang matanya
masih terpejam, akan tetapi pada pipinya masih me-
nampakkan bekas-bekas air mata yang mengalir turun.
"Heh!? NINJA-NINJA keparat dari mana lagi
yang datang menyatroni ke tempatku yang tenang
ini...?" Gumamnya.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak melesat dari atas
batu. Ah! Kiranya sepasang kaki kakek itu buntung
sebatas lutut, akan tetapi dengan menekan sebelah
lengannya ke batu tempat duduknya, tubuhnya sudah
melesat seperti terbang....
Meluncur cepat bagaikan bayangan hantu pu-
tih. Sekejap saja sudah melewati rimbunnya puncak
pepohonan yang memagari sekitar rumah tua.
"Berhenti...!" Satu bentakan keras sudah ber-
kumandang di dalam lembah. Mencabik keheningan
malam yang mencekam itu.
Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di hadapan
laki-laki baju hitam bertopeng yang mau melarikan di-
ri. Sepasang mata laki-laki di balik topeng itu terbela-
lak. Akan tetapi lengannya sudah bergerak cepat me-
lemparkan sebuah benda yang dibantingkan ke tanah.
Dan... BHUSSSS...! Asap putih bergumpalan menye-
bar. Bersamaan dengan lenyapnya asap itu, tubuh si
laki-laki topeng hitam itupun melenyap tak berbekas.
"Kurang Ajar...!" Memaki Soku Sheba. Dan tu-
buhnya pun berkelebatan mencari jejak si penyelun-
dup yang melarikan diri itu. Akan tetapi tak lagi di
jumpainya. Sekejap kemudian dia sudah melesat lagi
ke arah batu tempat duduknya di depan rumah tua.
Agak lama Soku Sheba termangu tak bergem-
ing. Namun sesaat antaranya, lengannya sudah berge-
rak menempelkan lagi serulingnya ke atas bibir.
Tak lama segera terdengar suara seruling yang
di tiupnya, mengalunkan nada-nada sedih yang meng-
hanyutkan perasaan...
Suasana sekitar rumah tua itu kembali sunyi
seperti tadi. Sementara rembulan semakin merayap di
balik awan dan mega. Cuma suara seruling bernada
sedih itulah yang terdengar, seperti memadu dengan
irama jengkerik dan binatang-binatang malam.
Kita ikuti ke mana perginya Ninja yang berhasil
melarikan diri itu. Ternyata dia sudah berada jauh di
atas lembah. Dan dengan sebat telah berkelebat cepat
menuju ke arah utara.
Sesaat dia telah menahan langkahnya. Sayup-
sayup telinganya sudah mendengar lagi irama seruling
bernada sedih dari dasar lembah. Laki-laki Ninja ini
perdengarkan suara menghela napas. Lalu kembali
berkelebat ke arah utara.
Sekejap sudah melenyap di balik bukit....
***
DUA
"GURU...! Hamba gagal menjalankan tugas".
Dua orang kawan yang menyertai hamba telah tewas!
Ternyata di sekeliling rumah tua di Lembah Air Mata
itu telah dipasangi perangkap...!"
Berkata laki-laki ini di hadapan seorang wanita
yang duduk di atas tikar permadani. Wajahnya tak ter-
lihat seluruhnya, karena memakai penutup wajah dari
kain tipis dari sutera warna hitam. Cuma sepasang
matanya saja yang mempunyai sinar tajam membersit
menatap pada laki-laki di hadapannya. Sinar mata
yang seperti bersinar aneh. Karena seperti mengan-
dung kebencian dan kekecewaan mendalam terhadap
sang murid. Pakaiannya terbuat dari bahan kain sute-
ra berkembang-kembang warna ungu. Sesuai dengan
tradisi pakaian rakyat JEPANG pada saat itu, adalah
memakai pakaian Kimono yang punya ciri khas ter-
sendiri.
"HAMADA...! Kau dengarlah! Aku tak mau
mendengar kegagalan itu! Yang kuharapkan adalah
hasilnya! Kalau kau cuma pulang untuk melaporkan
kegagalan saja, mengapa kau tidak mampus saja seka-
lian di sana?" Bentak wanita itu dengan suara dingin.
Sebuah lengannya bergerak meraih sebuah ke-
butan yang terbuat dari buntut kuda dengan gagang
dari emas yang berkilauan. Sesaat dia sudah bangkit
berdiri, Lalu ucapnya lagi.
"Aku telah beri waktu padamu selama tiga pe-
kan! Kalau kau tak berhasil mendapatkan PEDANG
itu! Nah, silahkan membunuh diri! Berarti kau tak pa-
tut menyandang gelar NINJA!"
Setelah berucap demikian, wanita itupun be-
ranjak masuk ke kamarnya. Tercenung laki-laki ber-
nama Hamada ini. Dia sudah tak mengenakan topeng
lagi pada wajahnya. Kini terlihatlah wajahnya. Ternya-
ta dia seorang pemuda yang tampan. Beralis tebal.
Bermata agak sipit mirip mata burung elang.
Tak lama dia sudah keluar dari ruangan ge-
dung itu dengan kepala menunduk. Lalu menutup lagi
pintu ruangan. Dua orang penjaga segera memberinya
jalan untuk lewat. Hamada menuruni tangga undakan
batu yang memanjanq. melintas di tengah kolam. Sete-
lah melewati dua orang penjaga lagi segera telah bera-
da di luar halaman gedung.
"Aku telah memberi waktu padamu selama tiga
pekan! Kalau kau tak berhasil mendapatkan pedang
itu! Silahkan kau membunuh diri...! Berarti kau tak
patut menyandang gelar NINJA!" Kata-kata Miyazaki
seperti terngiang lagi di telinganya. Sambil berjalan ce-
pat pemuda ini bergelut sendiri dengan bermacam pi-
kiran di benaknya.
"Ah, umurku tinggal tiga pekan lagi...! Bahkan
sudah berkurang sehari!" Desisnya perlahan. Pemuda
bernama Hamada ini tak mengenakan pakaian hitam-
nya, akan tetapi berpakaian serba putih dengan sehe-
lai kain tebal berwarna kuning membelit di pinggang.
Dadanya dibiarkan terbuka separuh. Tiba-tiba Hama-
da hentikan langkahnya dan termenung sejenak.
"Hm, sebaiknya aku ke rumah kakek MATSUI
dulu untuk meminta pendapatnya, sekalian menemui
KORISYIMA... Aku sudah rindu padanya. Serta men-
gabari kematian Watanabe dan Hirosyi!" Gumam Ha-
mada.
Berfikir demikian segera Hamada membelok ke
arah timur.
Tak berapa lama setelah melewati deretan ru-
mah para pegawai dari Istana MERAK HIJAU, segera
tiba di batas kota.
Tiba di tempat yang sunyi ini Hamada segera
pergunakan ilmu lari cepatnya agar lekas tiba di tem-
pat tujuan.
Saat itu tanpa disadari Hamada telah dibuntuti
oleh seseorang yang memakai topi tudung. Di lengan-
nya mencekal tongkat kayu yang ditaruh di atas pun-
dak. Pada ujung tongkat di belakang punggung, tam-
pak sebuah buntalan dari kain yang sudah bertambal.
Wajahnya tak begitu kentara karena tertutup topi tu-
dungnya yang lebar hampir melesak menutupi ma-
tanya.
Aneh dan misterius gerakan dan langkah kaki
orang bertudung ini. Karena hampir setiap tempat
tampaknya telah dihapalnya. Hingga dengan memo-
tong jalan, selalu tak berada jauh dari Hamada yang
dikuntitnya.
Ketika tiba di batas kota, pada jalan yang sunyi
itu dilihatnya Hamada sudah berkelebat memperguna
kan ilmu lari cepatnya.
Laki-laki bertudung yang misterius ini bergerak
ke arah kiri, dan menyelinap ke balik hutan bambu
kuning. Dan langkahnya segera dipercepat. Agaknya
sengaja mau menerobos untuk memotong jalan. Tak
lama dia sudah berada di jalan setapak. Akan tetapi
langkah kakinya sesaat sudah merandek terhenti. Se-
pasang matanya melirik ke sekitarnya yang rimbun
dengan pepohonan.
Kecurigaannya memang beralasan. Karena se-
kejap kemudian beberapa sosok tubuh sudah berkele-
batan menghadang, yang muncul dari arah depan, kiri
dan kanan.
Rata-rata mereka berpakaian seragam warna
hijau dengan masing-masing memakai topi tudung ke-
cil berwarna merah. Tahulah laki-laki bertudung lebar
ini kalau mereka adalah orang-orang laskar Kerajaan
Merak Hijau.
"Hm, apakah maksud kalian menghadang lang-
kahku.? Aku merasa bukan seorang pencuri atau bu-
ronan Kerajaan...!"Berkata si laki-laki bertudung. Akan
tetapi kelima orang itu masing-masing mencabut pe-
dang Samurainya, dan bergerak mengurung semakin
rapat.
Tak ada jawaban dari mereka selain segera me-
nerjang dengan pedang-pedangnya. Terkejut laki-laki
bertudung ini. Tentu saja hal itu tak dibiarkan begitu
saja. Karena melindungi nyawanya adalah satu kewaji-
ban mutlak. Apalagi dia merasa tak bersalah dan...
WHUT! WHUT! WHUT...! TRANG! TRANG...! TRANG...!
Ternyata si laki-laki bertudung lebar bukan orang
sembarangan. Bahkan tongkat kayunya itu ternyata
adalah sebuah tongkat dari baja hitam, Tiga terjangan
Samurai itu berhasil ditangkis dengan sebat. Salah
seorang yang menabas dari arah belakang terpaksa
harus menjerit kesakitan karena tongkat baja si laki-
laki bertudung lebar itu telah menyodok ke dadanya.
Seketika roboh terjengkang. TRANG...! BUK!
Bahkan seorang penyerang kena dihantam pe-
dangnya hingga terlepas. Dan buntalan kainnya telah
menggebuk kepala si penyerang itu, hingga tubuhnya
berpusing. Lalu roboh tersungkur.
Terkejut tiga orang penghadang itu. Serentak
segera berlompatan, dan kembali telah mengurungnya.
"Katakan! apakah kesalahanku...!" Membentak
laki-laki bertudung itu. Namun lagi-lagi jawabannya
adalah serangan ganas ke arah tubuh dan kepalanya.
"Keparat...! Jangan salahkan aku kalau aku
terpaksa membela diri!" Teriak laki-laki, bertudung itu
dengan geram. Tongkat di lengannya bergerak memu-
tar dibarengi dengan melompat setinggi satu tombak.
TRRRRRANGGG.....!
Terperangah ketiga penyerang itu, karena seka-
ligus pedang mereka telah berpentalan. Belum hilang
terkejutnya sepasang kaki si laki-laki bertudung telah
berkelebatan cepat sekali.
DES! DES! DES...!
Tiga tubuh mereka terjungkal roboh diiringi te-
riakan parau yang hampir bersamaan saling susul.
Tampaknya laki-laki ini memang bukan manusia ke-
jam. Karena mereka cuma dihajar saja tanpa menemui
kematian. Sekejap laki-laki bertudung itu telah melesat
cerah ke arah depan. Kesempatan itu dipergunakan
sebaik-baiknya untuk kembali teruskan niatnya me-
nyusul Hamada.
Sementara itu Hamada telah tiba di suatu per-
kampungan sunyi yang terpencil, setelah membelok ke
arah timur. Jalan yang ditempuhnya memang menuju
ke timur. Justru si laki-laki bertudung lebar itu telah
menunggunya di ujung jalan yang akan dilaluinya.
"He? Siapa orang itu...! Desis Hamada yang su-
dah perlambat larinya. Sebelum Hamada melewati laki-
laki bertudung itu, laki-laki itu sudah balikkan tubuh,
dan berjalan cepat di hadapannya. Entah sengaja en-
tah tidak dari sakunya terjatuh segulung kertas. Cepat
sekali jalannya laki-laki bertudung itu, sekejap sudah
membelok ke sisi jalan di lereng bukit.
Hamada sudah mau berteriak memberitahu-
kan, akan tetapi segera diurungkan. Seketika segera
sudah diingatnya laki-laki barusan pernah dilihatnya
di jalan Kota Raja yang ramai. Bahkan sudah dua kali
dia melirik memergoki. Akan tetapi Hamada memang
tak menyadari kalau diam-diam laki-laki itu memang
sengaja menguntitnya. Apakah sengaja mencari tempat
sepi untuk memberikan segulung kertas yang seperti
sengaja dijatuhkan di hadapannya?
Tak ayal cepat dipungutnya gulungan kertas
itu. Cepat-cepat dibukanya. Segera terlihat tulisan
dengan huruf besar-besar.
KALAU MAU MENJADI NINJA TULEN SEGERA-
LAH DATANG KE LEMBAH PEDANG!
HIGEI TANAKA SI SETAN TANAH.
Tercenung sejenak Hamada membaca tulisan
itu. Akan tetapi hatinya segera terlonjak girang. Karena
justru dia memang sedang kebingungan memikirkan
nyawanya yang tinggal tiga pekan lagi. Kalau gagal dia
mencuri pedang atas perintah gurunya. Tak ada jalan
lain baginya selain membunuh diri. Karena itulah sa-
lah satu dari jalan terbaik bagi seorang NINJA.
Akan tetapi tiba-tiba sesosok tubuh telah me-
lompat keluar dari balik pagar.
"Eh, apakah yang kau temukan, Hamada.?"
Terkejut pemuda ini. Segera sudah mengenali siapa
yang datang. Otaknya bekerja cepat mencari akal un-
tuk menyembunyikan gulungan kertas kecil itu. Tiba-
tiba terpandang kakinya yang kotor. Barusan di jalan
ketika melompati parit, terkena cepretan lumpur.
"Aih, bibi,! dari mana kau? Kakiku kena koto-
ran kerbau. Kebetulan kutemukan kertas ini di jalan..."
Berkata pemuda ini menyahuti.
Seraya gulungan kertas itu sudah digunakan
untuk membersihkan lumpur di kakinya. Tentu saja
karena Hamada menekannya dengan kuat, kertas itu
sudah hancur lusuh. Namun kakinya memang menjadi
bersih. Selesai bersihkan kaki, bubuk kertas itu sudah
dilemparkannya ke tanah. Dan dengan cengar-cengir
tepuk-tepukkan tangan membersihkan sisa-sisa koto-
ran, seolah tak ada terjadi apa-apa.
"Nah, bersihlah kakiku...! Tapi ku harus men-
cucinya lagi dengan air!"
Berkata Hamada dengan wajah berseri, "Eh, bi-
bi...! mari ku bawakan sayuran mu...! Kau pasti baru
pulang dari kebun." sambung Hamada lagi, seraya be-
ranjak mendekati wanita setengah umur itu yang men-
jinjing keranjang sayuran. Si bibi ini cuma tersenyum,
dan berikan keranjangnya untuk dibawa Hamada.
"Kau tidak menemui Korisyima dulu?" Bertanya
si bibi. "Dia di mana...?" Terlonjak hati Hamada.
"Ke kebun bunga dekat pancuran...!" Sahut
sang bibi.
Hamada jadi agak kikuk. Mau membawakan
sayuran itu dulu ke rumah yang tak berapa jauh lagi
itu atau menemui Korisyima?.
Agaknya sang bibi ini sudah mengerti akan ke-
bimbangan pemuda itu. Segera berkata seraya sambar
keranjang sayurnya lagi dari tangan Hamada.
"Pergilah...!" Ujarnya dengan tersenyum. Lalu
tanpa menunggu jawaban sudah balikkan tubuh un-
tuk beranjak melangkah.
"Ah, terima kasih, bi...!" Teriak Hamada. Seraya
sudah melompat pergi menuju ke arah pancuran di be-
lakang bukit. Sementara sang bibi bergegas melangkah
membawa keranjang sayurannya untuk cepat tiba di
rumah. Akan tetapi langkahnya segera terhenti. Dan
kembali balikkan tubuh. Sepasang matanya meman-
dang ke arah kertas lusuh yang sudah lumat, yang di-
lemparkan Hamada ke sisi jalan itu.
Namun cuma sekejap, karena tak lama si bibi
ini sudah putarkan lagi tubuhnya dan melangkah ce-
pat agak bergegas.....
***
TIGA
SEORANG gadis tampak asyik memetik bebera-
pa tangkai bunga yang beraneka warna di taman bun-
ga yang teratur rapi di tempat itu. Tak jauh di dekat
taman pancuran air yang mengalir dari gunung. Gadis
ini berwajah cantik dan tampak lincah. Rambutnya te-
rikat dengan pita merah, terbagi dua di kiri dan kanan.
Pakaiannya berwarna ungu.
"KORISYIMA...!" Terdengar satu suara memang-
gilnya. Dan seorang pemuda telah berada di belakang-
nya. Ternyata Hamada. Pemuda ini perlihatkan wajah
cerah menatap si gadis yang sudah berpaling dengan
senyum ceria menyambutnya.
"Hamada...! sudah lebih dari dua bulan kau tak
pernah datang...! Kukira kau sudah lupakan aku di
desa sunyi ini...!" berkata sang gadis dengan wajah ter-
tunduk. Walaupun tampaknya wajahnya berubah seperti orang kesal, akan tetapi hati gadis ini tak dapat
dibohongi. Sesungguhnya teramat girang sekali meli-
hat kedatangan Hamada.
"Ah, banyak tugas yang harus kukerjakan di
kota...! Eh, tadi aku berjumpa dengan ibumu. Beliau-
lah yang memberitahukan kau di sini..." ujar Hamada,
yang segera alihkan pembicaraan.
Seraya berkata lengan pemuda ini telah meme-
tik setangkai bunga warna putih. Dan berikan pada
Korisyima. Sang gadis tersenyum, lengannya terulur
menyambut...
Akan tetapi saat itu juga bersyiur angin ken-
cang. Bunga yang baru digenggamnya terlepas jatuh.
"Oh...!" terkesiap gadis itu. Wajahnya berubah
pucat. Itulah satu pertanda buruk. Menurut keper-
cayaan akan terputusnya tali perjodohan mereka. Ha-
mada juga terkejut heran, karena tahu-tahu ada angin
keras yang datang mendadak dari arah sisi bukit. Se-
pasang matanya sudah beralih ke sana. Tampak tang-
kai bunga bergoyang. Sekilas masih terlihat sebuah
bayangan melintas ke balik semak. Kurang ajar! pasti
ada orang sembunyi di situ! Sentak hati Hamada. Dia
sudah ngangakan mulut untuk membentak, akan te-
tapi segera tertahan karena sudah terdengar suara di-
iringi munculnya sesosok tubuh dari arah belakang
mereka.
"Ah, sayang sekali gadis itu menolak cinta mu,
sobat...! Kukira anda memang tak berjodoh dengannya!
Tak apalah, masih banyak gadis yang cantik di dunia
ini..." berkata orang yang baru muncul itu membuat
Hamada segera balikkan tubuh menatapnya.
Bukan hanya Hamada yang terkejut, akan teta-
pi Korisyima juga terperanjat. Karena segera mengeta-
hui kalau orang yang di hadapannya adalah putera
Wali Kota di wilayah itu. Tampak seorang pe
muda berpakaian mewah sambil tersenyum menatap
Hamada dan Korisyima. Sebelah lengannya mencekal
kipas yang digerak-gerakkan mengipasi tubuhnya, dan
sebelah lagi diletakkan di belakang punggung. Sikap-
nya amat jumawa sekali. Di pinggangnya terselip pe-
dang Samurai.
Tentu saja Hamada sudah cepat-cepat menjura
hormat dengan bungkukkan tubuh. Demikian juga Ko-
risyima, namun segera menunduk dengan jantung
berdetak cepat. Hatinya sudah membatin. Ah...? Aku
merasa ada yang tak beres! Jangan-jangan ibu telah
main sandiwara di hadapanku... Mengapa munculnya
tepat di saat Hamada kemari...? Dan angin apakah
yang meniup begitu keras...?
Sementara Hamada jadi serba salah. Akhirnya
dia mohon diri. Setelah menjura sekali lagi pada laki-
laki putera Wali Kota itu, Hamada menatap pada si ga-
dis. Bibirnya sudah bergetar mau mengucapkan kata-
kata, akan tetapi suaranya tersekat di kerongkongan-
nya. Pemuda ini cuma menatap saja sejenak, lalu sege-
ra putar tubuh, dan beranjak pergi dengan cepat ting-
galkan taman bunga itu. Korisyima terperangah me-
mandangnya. Kakinya sudah melangkah untuk menge-
jar, dan berteriak.
"Hamada...!" Namun suara itu cuma pelahan
keluar dari bibirnya. Suaranya pun terdengar agak se-
rak, karena perasaannya sudah tak keruan rasa. Seke-
jap saja tubuh Hamada sudah lenyap tak kelihatan lagi
terhalang rimbunnya pepohonan. Korisyima tunduk-
kan wajahnya, dan bunga yang terjatuh menggeletak di
tanah itu tertatap matanya. Sesaat dia sudah mem-
bungkuk untuk memungutnya. Akan tetapi pada saat
itu sebuah lengan sudah terjulur, di sertai kata-kata di
belakang telinganya.
"Aih, adik manis...! Sudahlah! Bunga itu sudah
kotor tak baik dipungut lagi. Kukira bunga ini lebih in-
dah untukmu..." Tiba-tiba jemari lengannya sudah di-
cekal lengan yang terjulur itu, dan setangkai bunga
warna merah segera terkepal di lengannya yang ter-
paksa dicekalnya, karena saat itu si putera Wali Kota
itu dengan cepat memaksa jemari lengannya menekuk,
disertai dengan genggaman tangan laki-laki itu. Ter-
sentak Korisyima. Tak berdaya dia melepaskan bunga
itu dari lengannya. Dan pelahan si putera Pembesar
Kerajaan itu sudah mengangkatnya bangun berdiri.
Seketika gadis ini rasakan wajahnya berubah panas,
dan tampakkan rona merah.
"Tuan Muda...! aku... aku..." Belum lagi kata-
katanya berlanjut sudah terdengar suara berdehem di
belakangnya disertai kata-kata.
"Ah, Korisyima, anakku...! Rupanya kau cuma
berpura-pura saja di depan ibu! Mengapa tak sedari
kemarin kau berterus terang? Ibu amat berbahagia
dan beruntung punya menantu Tuan Muda HATSYI
GATO...!"
Tersentak Korisyima mengetahui yang muncul
adalah ibunya. Tentu saja hal ini memuat dia jadi ser-
ba salah. Akan tetapi sang ibu sudah kembali berkata:
"Oh, maafkan Tuan Muda...! Ibu tak tahu anda
berada di tempat ini...!"
Dan selanjutnya wanita setengah usia itu telah
menjura hormat pada si putera Wali Kota dan cepat-
cepat beranjak tinggalkan taman bunga.
-ooOoo-
HAMADA tinggalkan taman bunga dekat pan-
curan itu dengan hati masygul. Betapa tidak. Satu ke-
jadian telah membuat putusnya tali cintanya pada Ko-
risyima. Kejadian barusan di taman bunga tak luput
dari mata dan pendengarannya. Karena Hamada diam-
diam menyelinap lagi untuk mengintai ke dalam ta-
man. Jelaslah sudah kalau sang bibi telah main san-
diwara di hadapannya. Dan ternyata menginginkan
menantu si anak Wali Kota bernama Hatsyi Gato itu.
Namun Hamada melihat jelas dari sikap dan air muka
Korisyima, bahwa gadis itu tak setuju dengan laki-laki
itu. Dia yakin Korisyima masih tetap mencintainya.
Akan tetapi Hamada sudah tak perduli lagi
akan semua itu. Baginya kini nyawanya adalah lebih
penting dari segalanya.
"Aku harus secepatnya menemui Higei Tanaka
si SETAN TANAH di Lembah Pedang...!" desis pemuda
itu pelahan. Dan dia sudah percepat langkah kakinya.
Apakah tak sebaiknya aku temui kakek MATSUI du-
lu...? Gumam hati Hamada. Sekonyong-konyong hati
pemuda ini jadi bimbang. Tadinya dia sudah mau me-
neruskan perjalanan ke Lembah Pedang menemui si
laki-laki misterius bergelar si Setan Tanah itu. Akan te-
tapi segera mengambil keputusan untuk menemui si
kakek Matsui lebih dulu.
Segera Hamada membelok lagi ke arah selatan.
Ternyata Hamada segan melewati rumah si bibi berhati
palsu itu. Tujuannya adalah mengambil jalan memutar
untuk menemui si kakek Matsui di sebuah pondok
yang paling ujung. Sebentar saja Hamada sudah berla-
ri-lari dengan gerakan cepat untuk segera tiba di tem-
pat yang dituju.....
Sementara, di benak pemuda ini berkecamuk
bermacam pertanyaan mengenai kejadian tadi. Siapa-
kah yang telah gunakan angin pukulan untuk mem-
buat jatuh bunga yang diberikan pada Korisyima...?
Aneh! Tampaknya kejadian itu seperti sudah sengaja
diatur. Dan si bibi itu seperti curiga dengan kertas
yang kutemukan...! Aku harus mengetahui apa latar
belakang kejadian ini kelak!
Demikianlah! Dengan tekad bulat Hamada ber-
kelebat cepat untuk menemui si kakek Matsui untuk
selanjutnya pergi ke Lembah Pedang. Kesempatan un-
tuk menjadi NINJA tulen harus terlaksana demi kese-
lamatan nyawanya.
-ooOoo-
Kakek MATSUI adalah seorang tua yang sudah
berumur 70 tahun lebih. Kakek ini jarang bicara. Air
mukanya tampak selalu muram, seperti sudah enggan
menikmati sisa-sisa hidupnya. Bertubuh kurus seperti
sudah tinggal kulit membungkus tulang. Matanya ce-
kung ke dalam. Cuma kumis dan jenggotnya saja yang
nampak lebat menutupi bibirnya yang hampir tak keli-
hatan lagi.
Ternyata ke mana pun Hamada pergi telah di
mata-matai oleh beberapa sosok tubuh yang bergerak
secara sembunyi-sembunyi. Bahkan ketika tiba di ha-
laman pondok kakek Matsui. Hamada cepat meniti
tangga batu di depan pondok. Tak lama sudah menge-
tuk pintu.
"Siapa...?" terdengar suara dari dalam. Suara
yang terdengar parau.
"Aku, Hamada...!" Pemuda itu sudah mengenali
suara kakek tua itu.
"Hm, masuklah...! tak dikunci!" sahut lagi sua-
ra dari dalam. Hamada segera membuka daun pintu
dengan menggesernya pelahan. Terdengar bunyi meng-
gerit. Tak lama tubuhnya sudah tersembul ke dalam
ruangan itu. Akan tetapi terperangah seketika Hamada
ketika melihat si kakek Matsui dalam keadaan teran-
cam jiwanya. Karena sesosok tubuh berpakaian mirip
NINJA telah siap menggorok leher kakek tua itu dengan belatinya yang menempel di leher kakek Matsui.
NINJA itu berpakaian serba hijau, Belum lagi hilang
terkejutnya tiga sosok tubuh sudah menyergapnya.
Cepat sekali. Sekejapan saja Hamada telah kena di-
ringkus. Ternyata mereka juga Ninja-ninja yang berpa-
kaian serba hijau.
Tak sempat lagi Hamada berteriak, karena mu-
lutnya sudah segera tertutup oleh kain yang menyum-
palnya. Sehelai kain berbau harum segera ditekapkan
ke hidungnya. Mengeluh Hamada. Sekejap saja dia su-
dah terkulai. Telinganya masih mendengar suara derap
kaki-kaki kuda mendatangi. Akan tetapi segera lenyap,
karena dia sudah tak ingat apa-apa lagi.
Sementara Ninja-Ninja Hijau itu sudah bekerja
cepat meringkus si kakek Matsui yang tak bisa berbuat
apa-apa. Tak berapa lama dua sosok tubuh sudah di-
masukkan para Ninja itu ke dalam kereta. Dua ekor
kuda sudah menariknya dengan cepat meninggalkan
desa terpencil itu...
***
EMPAT
KEDATANGAN seorang gadis berwajah rupawan
dengan rambut yang terurai ke belakang itu telah men-
jadi perhatian penduduk di sekitar desa itu. Karena ca-
ra berpakaiannya berbeda dengan adat penduduk Ne-
geri Sakura. Apalagi melihat dua buah benda membu-
lat yang tergantung di pinggang, serta rantai yang
membelit di pinggangnya yang ramping. Membuat me-
reka segera mengetahui kalau gadis pendatang itu ada-
lah orang asing.
Gadis cantik yang sikapnya agak genit itu tak
lain dari RORO CENTIL adanya. Si Pendekar Wanita
Rantai Selatan ini entah bagaimana telah berada di sa-
tu Negeri yang berpenduduk rata-rata bermata sipit.
"Hm, entah di mana adanya desa KYUSU...! Su-
dah dua desa kujumpai, tapi penduduk di sini tak
mengenai di mana adanya desa itu..." menggumam Ro-
ro seraya menyeka keringatnya yang menempel di dahi.
Aiii...? Aku lupa! Menurut si kakek Nelayan itu, desa
KYUSU terletak di lereng Gunung BUKKYO! Kalau be-
gitu aku harus tanyakan di arah sebelah mana adanya
Gunung BUKKYO itu! Berkata Roro dalam hati.
Setelah berpikir demikian, Roro segera gerak-
kan kakinya melangkah cepat. Menurut penuturan sa-
lah seorang penduduk, di sebelah depan ada sebuah
desa lagi. Seraya melangkah tak bosan bosannya Roro
memperhatikan pemandangan alam sekitarnya, yang
amat indah. Bunga-bunga Sakura bertebaran di mana-
mana, juga bermacam bunga lainnya yang berwarna
warni. Kala itu adalah permulaan musim semi, hingga
di setiap tempat daun-daun hijau segar selalu tampak.
Juga bermacam bunga bertebaran di sisi jalan.
Setelah melewati sebuah anak sungai dan
mendak bukit, segeralah terlihat dari atas sebuah desa
yang terpencil. Cuma beberapa wuwungan rumah yang
terlihat. Sebenarnya bukit itu adalah batas dari Kota
Raja. Dimana waktu itu di sana ada berdiri sebuah ke-
rajaan yang bernama Kerajaan MERAK HIJAU Kera-
jaan di Negeri Sakura ini di bawah pemerintahan seo-
rang Kaisar. Kira-kira menempuh jalan sepenanakan
nasi, karena Roro sengaja berjalan tak gunakan ilmu
lari cepat. Segera Roro sudah sampai di mulut desa
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gemuruh
dan derap kaki-kaki kuda. Dan kira-kira dua puluh
tombak dari hadapannya, muncul sebuah kereta ku-
da. Roro segera melompat ke sisi. Sepasang matanya
memperhatikan kereta kuda itu. Akan tetapi ternyata
kereta kuda membelok ke arah timur.
"Aiih, kukira lewat sini...!" gumam Roro yang
agak kecewa. Karena ingin tahu apa isi kereta yang di-
larikan dengan kencang itu. Yang membuat aneh ada-
lah si kusir kereta, karena berpakaian rapat mem-
bungkus semua tubuhnya. Kecuali sepasang matanya
saja yang tak ditutupi.
Rasa penasaran Roro membuat diam-diam dia
menguntitnya. Kereta kuda mencongklang cepat menu-
ju ke satu tempat tersembunyi ke belakang bukit. Sete-
lah melewati jalan berliku-liku, akhirnya berhenti, Tak
lama pintu kereta kuda itu sudah terbuka. Dan tiga
sosok tubuh melompat dari dalam. Pakaiannya sama
hijau dan tertutup rapat seperti si kusir kereta. Ter-
nyata mengeluarkan dua tubuh manusia. yang terikat,
dengan mulut tersumpal kain. Tahulah Roro kalau me-
reka adalah komplotan penculik.
"Aku harus bebaskan mereka!" desis Roro, yang
tak tahu persoalan. Akan tetapi melihat dua orang
yang tertawan itu membuat dia merasa harus turun
tangan. Tak ayal Roro sudah kelebatkan tubuhnya ke
bawah. Dan perdengarkan bentakannya.
"Tunggu...! Mau kalian bawa ke mana orang-
orang itu!"
Tentu saja membuat NINJA-NINJA HIJAU itu
jadi belalakkan mata menatap seorang gadis asing ta-
hu-tahu muncul di situ. Tampak mereka saling pan-
dang. Saat itu dua orang baru akan memanggul tubuh
dua korban yang terikat itu dari atas kereta. Segera
mereka berlompatan mengurung Roro setelah salah
seorang memberi isyarat. Gerakannya tak menimbul-
kan suara, membuat Roro cukup kagum. Hm, ingin ku
tahu bagaimanakah kehebatan si manusia-manusia
hijau ini! Berkata Roro dalam hati.
Segera Roro sudah siap untuk menghadapi se-
gala kemungkinan.
RRRRRRRTT...!
Tiga utas tali tahu-tahu telah meluncur ke tu-
buh Roro. Cepat sekali gerakannya. Dan tak diketahui
di mana disimpannya tali, karena sekejap sudah me-
luncur dari lengan-lengan mereka.
"Edan...!?" sentak Roro. Dia sudah gerakkan
tubuh untuk menghindar. Untunglah Roro cukup was-
pada. Namun tak urung dua buah tali telah menjerat
kedua lengannya. Terkejut si gadis Pantai Selatan ini.
Namun sebelum Ninja-ninja itu berbuat sesuatu, len-
gan Roro telah bergerak menarik tubuh mereka. Dua
tubuh si Ninja Hijau terseret melayang. Keduanya
tampak terkesiap kaget. Sebab sekali kedua lengan Ro-
ro bergerak menyodok ke arah perut mereka. BUK!
BUK!...!
Dua Ninja Hijau itu terbanting ke tanah dengan
mengerang bergulingan. Tiba-tiba Ninja satunya lagi
melesat ke arahnya. Dua buah belati berkelebat den-
gan serangan menyilang menggunting leher. Roro cepat
tundukkan kepala. Kakinya melayang menghantam
pantat orang.
DHES!
Terdengar teriakan Ninja ini. Tubuhnya ter-
banting ke tanah. Akan tetapi...
BHUSSS...! Di tempat jatuhnya tampak asap
putih membumbung. Dan sekejap tubuh si Ninja Hijau
sudah lenyap. Terperangah Roro Centil.
"Edan...!?" lagi-lagi memaki Roro. Namun cepat
gadis pendekar ini putarkan tubuh. Enam buah belati
meluncur ke arah tiga bagian tubuhnya. Dilontarkan
dua orang Ninja Hijau yang tadi roboh kena hantam
perutnya. Secepat kilat Roro Centil kibaskan rambutnya
WHUUUK..!
Sekejap enam buah belati itu sudah berpenta-
lan entah ke mana.
Tiba-tiba sebuah benda meluncur ke arah Roro.
Tak ayal lengan Roro sudah bergerak menghantamnya.
Akan tetapi tiba-tiba...
BHUSSS...! Benda yang terhantam itu letupkan
asap tebal yang sekejap telah membungkus tubuh Ro-
ro. Terkejut gadis ini. Segera Roro tutup pernafasan-
nya. "Asap racun..." desisnya tertahan. Akan tetapi dia
sudah terbatuk-batuk. Terlambat sudah. Roro sudah
menghisap asap itu. Tubuhnya segera terhuyung, dan
jatuh berdebuk ke tanah.
--------ooOoo-------
Sesosok tubuh berjubah hijau telah berada di
tempat itu. Ternyata seorang wanita tua berwajah pu-
cat, dengan alis matanya mencuat ke atas. Rambutnya
berwarna merah terurai panjang. Lengannya mencekal
sebuah tongkat berbentuk ular. Ditatapnya sosok tu-
buh yang tergeletak di hadapannya itu. Terdengar sua-
ranya yang bernada dingin.
"Heh!? Perempuan asing dari manakah? Cepat
kalian bawa masuk kedua orang itu!" ujarnya seraya
menoleh ke arah empat orang Ninja Hijau yang kemba-
li sudah berada di situ. Yang seorang adalah kusir ke-
reta kuda.
Tak ayal perintah itu sudah dikerjakan. Keem-
pat Ninja itu cepat menggotong dua tubuh terikat itu.
Dan dibawa ke sisi dinding bukit.
Ternyata pada sisi dinding batu bukit itu telah
menjeblak terbuka sebuah celah pintu. Sekejapan saja
kedua orang tawanan itu sudah dibawa masuk. Tak
lama seorang Ninja melompat kembali ke dalam kereta.
Salah satu lorong di sisi dinding batu bukit itu berge-
rak menggeser, dan terbuka sebuah lubang besar. Ku-
sir kereta segera keprak kudanya untuk segera masuk
ke lorong itu. Begitu telah berada di dalam, pintu lo-
rong yang lebar itu pun kembali menutup.
Selang tak lama si nenek rambut merah berwa-
jah pucat itu sudah memanggul tubuh Roro, dan di-
bawa berkelebat masuk ke dalam celah dinding bukit
Seorang Ninja keluar lagi untuk membersihkan bekas-
bekas roda kereta dengan sapu jerami. Hingga tak ken-
tara lagi ada tanda-tanda yang mencurigakan di tem-
pat itu. Sesaat si Ninja sudah berkelebat masuk ke ce-
lah. Dan pintu batu celah itu kembali menutup.
Sekitar tempat itupun kembali sunyi lengang
seolah tak pernah ada kejadian apa-apa.....
Benarkah Roro Centil semudah itu dipecun-
dangi? Tidak! Percuma Roro menjadi murid si Manusia
Banci dari Pantai Selatan yang banyak akalnya. Bebe-
rapa pengalaman selama malang-melintang di Rimba
Hijau, entah sudah berapa macam racun yang harus
dihadapi. Ternyata Roro sengaja pura-pura terjatuh
menggeloso seolah pingsan. Padahal seluruh indranya
telah disiapkan untuk menghadapi segala kemungki-
nan. Asap yang sedikit terendus itu sudah berhasil di-
keluarkan dengan mengerahkan hawa murni di tu-
buhnya. Sekaligus hawa beracun itu sudah lenyap ter-
hembus.
Tentu saja ketika itu Roro sudah menutup se-
mua jalan darah, untuk menjaga kemungkinan sosok
tubuh yang memanggul tubuhnya melakukan totokan
pada tubuhnya. Akan tetapi Roro merasa lega. karena
hal itu tidak dilakukan si nenek muka pucat berambut
merah, yang merasa sudah cukup asap itu membius
Sementara di dalam ruangan di dalam celah
tebing itu, diam-diam Roro meneliti dengan sudut matanya. Ternyata sebuah ruangan yang lebar berlantai
batu. Terdengar suara si nenek Rambut merah itu
"Masukkan keduanya dalam penjara belakang!"
terlihat empat orang Ninja Hijau segera menggotong
kedua tubuh untuk segera dibawa ke ruangan bela-
kang. Akan tetapi sebelum mereka bergerak jauh, Roro
sudah gerakkan lengan menotok tubuh si nenek muka
pucat dan melompat dari pundak si Rambut Merah itu.
Tentu saja hal itu membuat terkesiap wanita itu. Seke-
tika tubuhnya sudah jatuh menggabruk. Sekejap tong-
kat si nenek sudah berpindah.
"Berhenti...!" teriak Roro, seraya berkelebat dan
silangkan tongkatnya menghadang keempat Ninja Hi-
jau. Dan kali ini Roro tak kepalang tanggung. Segera
pergunakan gerakan dari jurus Ikan Hiu Menerobos
Karang. Tubuhnya berkelebat cepat sekali. Tahu-tahu
keempat Ninja itu sudah roboh bergulingan dengan
tubuh tertotok.
Dan kejap berikutnya lengannya sudah berge-
rak meringkus mereka. Mengikatnya menjadi satu. Se-
lanjutnya sudah melompat lagi ke hadapan si nenek
rambut merah. Lengannya bergerak menjambak ram-
but si wanita tua itu agar bisa ditatap lebih jelas. Akan
tetapi... PLASH... Ternyata segumpul rambut yang di-
cekal Roro justru terlepas merosot dari kulit kepala
wanita muka pucat itu.
"Heh!. Rupanya kau pakai^ rambut palsu...!"
"Pasti kaupun pakai kulit muka palsu..." ujar
Roro selanjutnya. Seraya lengannya bergerak untuk
jambret ke bawah dagu si wanita muka pucat. Benar
saja! Karena segera telah terkelupas wajah wanita tua
yang keriput itu. Ternyata wanita itu tak lain dari si
bibi berhati busuk, yang telah menipu Hamada.
Dialah yang bernama HUYIMA, karena saat itu sudah
terdengar suara si kakek Mitsui yang berteriak kaget.
Entah bagaimana sumpal di mulut kakek tua renta itu
sudah terlepas. "HUYIMA...!" Dan selanjutnya ....
TAS! TAS! Tiba-tiba lengan kakek tua yang se-
perti tak bertenaga itu telah bergerak memutuskan tali
yang mengikatnya. Sekejap saja dia sudah melompat
berdiri. Tentu saja membuat Roro jadi terkejut aneh.
Hamada juga terheran dengan membeliakkan sepasang
matanya. Ternyata dia sudah sadarkan diri dari ping-
sannya. Akan tetapi beberapa kali dia gerakkan tan-
gannya memutuskan tali yang mengikat lengan dan
kaki, tak membawa hasil.
Si kakek Mitsui kebutkan lengan bajunya. Tali-
tali yang mengikat tubuh dan tangan Hamada seketika
berlepasan putus, tanpa menyentuh sedikit pun kulit
atau pakaian pemuda itu. Cepat-cepat pemuda itu le-
paskan sumpal di mulutnya. "Ah!? Kakek Matsui...?
kau... kau..." terkejut Hamada. Karena tak menyangka
sedikit pun kalau si kakek tua renta itu mempunyai
ilmu kepandaian hebat.
***
LIMA
“HEHEHE... Hamada! Sudah saatnya aku un-
juk gigi! Aku memang sengaja berlagak menjadi orang
tua yang sudah dekat ke liang kubur, karena ku ingin
menyelidiki siapakah si pemimpin Ninja-ninja Hijau
ini!" berkata kakek Matsui dengan tersenyum. Tiba-
tiba sudah balikkan tubuh menatap Roro. Ternyata
Roro pun tengah menatapnya.
"Ah, gadis asing yang hebat! Terima kasih atas
pertolonganmu pada kami, dan bantuanmu menang-
kap si Ketua Ninja Hijau ini...!". ujar kakek Matsui seraya melangkah dua tindak dan menjura pada Roro.
Cepat-cepat Roro pun balas menjura.
"Secara tak sengaja aku melihat kereta kuda di
larikan kencang di jalan sunyi di atas bukit. Pertolon-
ganku tak begitu berharga, karena kau orang tua ter-
nyata mampu melepaskan diri. Tentunya kau berilmu
tinggi! Cuma saja kau sengaja tak mau bertindak ter-
buru buru!" berkata Roro sambil tersenyum.
Kakek Matsui perdengarkan tertawanya, seraya
kerutkan kening. Lalu ucapnya.
"Hm, walaupun bagaimana kau telah berjasa
padaku, membuka kedok si wanita Ketua Ninja Hijau
ini!" namaku Matsui Namoto, akan tetapi orang sering
menyebutku si kakek Matsui. Siapakah gerangan no-
na? Dan berasal dari mana?" bertanya kakek Matsui
setelah perkenalkan diri.
"Namaku RORO! Lengkapnya RORO CENTIL...!
Aku mempunyai seorang sahabat yang tinggal di lereng
gunung BUKKYO. Tepatnya di desa KYUSU!" Aku be-
rasal dari Pulau Jawa, di wilayah kerajaan Mataram...!"
Tutur Roro singkat. Kakek Matsui tercenung sejenak
seraya manggut-manggut. Sementara Hamada sudah
loloskan tali yang mengikat kakinya. Tak lama dia su-
dah beranjak menghampiri kedua orang yang sudah
menatapnya itu.
"Terimalah hormatku pada anda, nona...! Na-
maku Hamada! Terima kasih atas bantuanmu meno-
long kami." berkata Hamada seraya menjura pada Ro-
ro. Terpaksa Roro balas menjura, seraya mengangguk.
Diam-diam hatinya memuji akan ketampanan wajah
pemuda itu.
"Aku Roro Centil...!" ujar Roro seraya terse-
nyum.
"Baiklah, nanti kita berbincang-bincang lagi!
Aku ingin sekali mengetahui siapa gerangan sahabat
mu yang berdiam di desa Kyusu di lereng gunung
Bukkyo itu! Wanita ini baiknya kau serahkan saja Pa-
daku untuk mengurusnya!" berkata kakek Matsui. Ro-
ro mengangguk seraya melompat ke sisi. Kakek Matsui
tatap wajah orang lekat lekat. Sinar matanya member-
sitkan kemarahan. Dan dia sudah membentak
"HUYIMA...! Katakan apa maksudmu dengan
semua perbuatanmu ini?" wanita itu tundukkan wa-
jahnya. Tubuhnya tak dapat digerakkan, karena toto-
kan Roro Centil amat ampuh sekali. Keringat mengu-
cur deras dari dahinya. Akan tetapi si bibi itu segera
cepat menjawab.
"Lepaskanlah dulu totokan pada tubuhku
ini...!" Kakek Matsui kerutkan kening sejenak. Lalu
berpaling pada Roro.
"Nona! Kau bukalah totokanmu!"
"Ssst! Apakah tak kau khawatir dia meloloskan
diri?" tanya Hamada dengan menatap pada kakek Mat-
sui. Akan tetapi Roro sudah tertawa seraya ber-
hihihi... ingin kulihat, apakah dia dapat melakukan-
nya?" lengan Roro bergerak mengibas. Dan bersyiurlah
segelombang angin menerpa tubuh Huyima. Sekejap
saja wanita itu sudah rasakan tubuhnya terbebas dari
belenggu totokan. Segera dia melompat bangun. Roro
sudah pasang mata untuk segera bertindak bila Huyi-
ma berani coba-coba melarikan diri. Akan tetapi si
Pendekar Wanita Pantai Selatan ini menaruh keper-
cayaan pada si kakek Matsui.
"Paman... kuharap kau tak salah mengerti! Se-
mua ini kulakukan adalah demi keselamatanmu dan
keselamatan Hamada!" berkata Huyima yang ternyata
di luar dugaan tak melakukan apa-apa.
"Demi keselamatanku...?" sentak Hamada.
"Lalu apakah maksudmu dengan kejadian di
taman bunga tadi, bibi?"
"Ah, marilah kalian ikut aku...! Segera akan ku-
ceritakan semuanya! Dan kau paman Matsui! Sudah
kuduga kau memiliki ilmu kepandaian. Akan tetapi
mengapa kau selalu menyembunyikannya?" seraya
berkata Huyima beranjak ke dalam.
"Aku memang sudah mau cuci tangan, Huyima!
Tak kukira akhirnya aku terpaksa turut campur da-
lam masalah ini!"
Tiba-tiba Huyima hentikan langkahnya, dan
berpaling menatap Roro Centil.
"Hm, anda bernama RORO CENTIL.? Ah, anda
mempunyai banyak akal cerdik! Aku tak merasa malu
jatuh di tangan anda, nona...! Aku tak keberatan kalau
anda mau mencampuri urusan kami.." ujarnya.
"Tolonglah kau bebaskan keempat Ninja murid
ku itu! Jangan khawatir! Kita semua orang sendiri!"
Roro menatap sejenak ke arah kakek Matsui, yang se-
gera mengangguk. Tak ayal Roro segera melompat
mendekati keempat Ninja Hijau yang telah diikatnya
menjadi satu dengan keadaan tumpang tindih.
Sekali lengannya bergerak, maka tambang pen-
gikat itu pun putus. Sekaligus Roro bebaskan mereka
dari totokannya. Keempat Ninja itu pun segera berlom-
patan bangun berdiri, seraya satu persatu menjura
pada Roro.
Huyima tersenyum, segera gerakkan tangannya
memberi isyarat, diiringi kata-kata. "Buka pintu lorong
bawah...!" Keempat Ninja mengangguk dan berlompa-
tan cepat mendahului ke arah ruangan dalam. Diam-
diam Hamada heran juga, karena tak menyangka ka-
lau si bibi, ibu Korisyima itu punya murid dari para
Ninja Hijau. Dan bahkan menjadi pimpinan mereka.
Segera tiga orang sudah mengikuti ke mana Huyima
membawa mereka. Tentu saja Roro tetap waspada,
khawatir si wanita itu mengibuli untuk menjebak didalam ruangan. Sementara Hamada sejak tadi sering
memperhatikan Roro dengan pandangan tajam dan
kagum. Disamping merasa aneh, karena gadis semuda
itu sudah berani melakukan perjalanan jauh hingga
menyeberangi lautan.
------ooOoo------
KORISYIMA tundukkan wajahnya semakin da-
lam dengan hati tak keruan rasa. Sementara lengan
Hatsyi Gato sudah menggamit pinggangnya. Tak ber-
daya gadis ini menolak, ketika lengannya yang telah
dicekal pemuda putera Wali Kota itu untuk ditempel-
kan ke dadanya. Terasa degup jantung Hatsyi Gato
berdebaran di kulit lengannya.
"Adik Korisyima...! Kau sudah dengar kata-kata
ibumu... ? Beliau merestui mu dan merestui 'kita'...!
Aku amat mencintaimu adik Korisyima!" Terdengar su-
ara Hatsyi Gato bernada lembut merayu.
Sebelah lengan pemuda itu mulai merayap ke
arah dada... Akan tetapi lengan si gadis telah bergerak
menepiskan. Laki-laki kurang ajar...! Memaki Korisyi-
ma dalam hati. Hatinya membatin. Heh! Hamada sen-
diri belum berani melakukan hal ini...! Ah, aku telah
terjerat dalam perangkap! Apakah hal ini sengaja di-
atur oleh ibu...?
Tiba-tiba Hatsyi Gato sudah balikkan tubuh-
nya. Kejap lain sudah memeluki tubuhnya, serta
menghujani dengan ciuman-ciuman ke pipinya. Terpe-
rangah Korisyima. Namun dia sudah meronta untuk
melepaskan diri. Lengannya tiba-tiba melayang...
PLAK...! Terkejut Hatsyi Gato. Tamparan itu te-
pat mengenai pipinya. Merahlah wajah pemuda ini.
Seumur dewasa belum pernah dia mendapat tamparan
dari seorang gadis. Bahkan selama ini entah sudah berapa gadis yang jatuh dalam pelukannya. Karena seba-
gai seorang anak Wali Kota, Hatsyi Gato amat dihorma-
ti.
Pada detik itu juga Korisyima sudah melarikan
diri dengan terisak menutupi wajahnya. Pemuda ini
perdengarkan suara dengusan di hidung. Sekejap tu-
buhnya sudah melompat mengejar. Akan tetapi pada
saat itu juga sebuah bayangan berkelebat mengha-
dang. Ternyata sesosok tubuh berpakaian serba hijau,
yang tak lain salah seorang dari Ninja Hijau.
"Bedebah! Siapa kau...!" Membentak Hatsyi Ga-
to. Lengannya sudah bergerak menghantam. Akan te-
tapi dengan gesit Ninja Hijau itu sudah melompat gesit
menghindar.
Sementara si Ninja cuma berdiri menanti den-
gan bertolak pinggang.
"Bedebah...! kau minta mampus...!" lagi-lagi
Hatsyi Gato sudah menerjang dengan hantaman puku-
lannya. Akan tetapi si Ninja Hijau kembali melompat
menghindarkan diri semakin menjauhi taman. Hal itu
membuat si pemuda anak Wali Kota itu semakin be-
rang. Samurainya sudah disentakkan ke luar dari se-
rangkanya. Dan dengan membentak keras segera men-
gejar manusia yang sengaja mempermainkannya itu.
Kegesitan Ninja Hijau memang dapat di andal-
kan, karena dia mampu mengelakkan tabasan-tabasan
maut pedang samurai Hatsyi Gato. Bahkan tanpa dis-
adari oleh lawannya, dia telah membawa si pemuda itu
semakin jauh dari taman.
Ketika Hatsyi Gato menerjang lagi dengan teba-
san-tebasan mautnya, tiba-tiba Ninja itu lenyap sete-
lah membantingkan sebuah benda yang menimbulkan
asap tebal. Terperangah Hatsyi Gato. Sepasang ma-
tanya merah membara. Betapa terhinanya pemuda ini.
Setelah tercenung sejenak, segera dia sudah berkelebat
pergi untuk angkat kaki dari tempat itu dengan hati
memaki panjang-pendek...
0000***0000
"Tahukah kalian... bahwa Kaisar KOTSYI NA-
GOYA menginginkan Pedang Pusaka milik SOKU SHE-
BA si kakek kaki buntung yang mendiami dasar Lem-
bah Air Mata...!" berkata Huyima. Mereka sudah du-
duk di satu ruangan persegi, setelah melewati lorong
menuju ke bawah. Ternyata di sini ruangan menjadi
terang, dengan adanya sinar matahari yang masuk da-
ri satu lubang di atas langit-langit. Hamada tersentak
kaget. Hatinya membatin. Aku diperintah guru untuk
mencuri Pedang Pusaka itu. Entah barang Pusaka ma-
cam apakah pedang itu hingga Kaisar pun mengingin-
kannya?
"Bahkan bukan Kaisar saja yang menginginkan,
akan tetapi juga para Pembesar Kerajaan. Mereka
mengirimkan Ninja-Ninja ke Lembah Air Mata untuk
mencuri Pedang Pusaka itu." tutur Huyima lebih lan-
jut.
"Ah, ternyata begitu banyak orang yang men-
ginginkan Pedang Pusaka itu. Mengapa Kaisar tak tu-
run tangan mengerahkan laskar untuk memaksa me-
minta Pedang Pusaka itu dari tangannya? Atau mengi-
rim utusan agar Soku Sheba menghadap padanya?"
bertanya Hamada.
"Hal itu aku tak tahu! Tapi agaknya Kaisar tak
mau melakukan kekerasan, karena merusak citranya
sebagai kaisar yang diagungkan di wilayah ini...!" me-
nyahut si bibi,
Sementara kakek Matsui tercenung tanpa ber-
kata apa-apa. Terdengar suara helaan nafasnya, seper-
ti merasa hal itu menyesakkan rongga dadanya.
"Baiklah! beritamu itu aku terima! Akan tetapi
jelaskanlah apa maksudmu menawan kami dengan
menyuruh Ninja ninja anak buahmu melakukannya?"
tiba-tiba kakek Matsui buka suara.
"Dan tampaknya diam-diam kau punya gerakan
di bawah tanah, yang secara sembunyi melakukan ke-
giatan memata-matai orang-orang Kerajaan...! Huyima
tersenyum seraya menghela napas, lalu katanya den-
gan nada tegas.
"Hm, benar...! Bahkan aku sudah tahu siapa
adanya orang yang berikan surat pada Hamada! Bu-
kankah dia bernama HIGEI TANAKA yang bergelar si
SETAN TANAH...?" seraya berkata, Huyima berpaling
menatap pemuda itu. Tentu saja Hamada disamping
terkejut, juga tersipu, karena segera teringat ketika dia
pura-pura membersihkan kakinya yang kena lumpur
dengan kertas yang berisi surat singkat dari si Setan
Tanah itu.
"Kau ternyata banyak mengetahui, bibi...! Aku
memang diberi kertas berisi surat itu, untuk aku sege-
ra datang ke Lembah Pedang!"
Dan tanpa menutupi lagi, segera Hamada ceri-
takan tentang kegagalannya mencuri Pedang-Pusaka
atas perintah gurunya. Juga diceritakan tentang te-
wasnya dua orang kawannya dalam menjalankan tu-
gas itu.
"Aku cuma diberi waktu tiga pekan! Kalau aku
tak berhasil mendapatkan pedang itu, terpaksa aku
membunuh diri! Dalam keadaan kalut itulah aku ber-
jumpa dengan si Setan Tanah, Higei Tanaka yang me-
nitahkan ku segera ke Lembah Pedang. Dia menawari
ku agar aku dapat menjadi Ninja Tulen maka diperin-
tahkan aku ke sana...!" tutur Hamada.
"Hm, si Setan Tanah itu terlalu sombong! Apa-
kah dia mengira usahanya akan berhasil baik?" berkata si "bibi". Sementara si kakek Matsui tampak sudah
buka suara lagi. "Segeralah kau jawab pertanyaanku
tadi, Huyima...!" nada suara kakek Matsui ini terden-
gar ketus, seperti sudah tak sabar mendengar alasan
yang bakal dikemukakan Huyima.
Akan tetapi pada saat itu terjadi sesuatu yang
di luar dugaan. Karena lengan Huyima telah tekan se-
buah tombol di bawah tempat duduknya. Dan...
BRHUSSSSS...!
Tahu-tahu lantai persegi empat yang diduduki
mereka telah menjeblak terbuka terbelah di bagian
tengahnya. Tak ampun tiga tubuh yang duduk di ha-
dapannya telah menggubrus masuk ke dalam lubang.
Kecuali lantai tempat duduk Huyima yang masih tetap
tak berubah. Dengan tertawa mengikik tiba-tiba Huyi-
ma melesat dari tempat duduknya. Tiba-tiba dinding
ruangan di belakangnya telah bergerak turun dengan
cepat seperti roboh. Itulah sebuah dinding besi tebal.
Dan...
BRUMMM...! Lubang barusan itu sudah tertu-
tup rapat oleh dinding besi tebal yang mirip batu goa
itu.
"Keparat...! lagi-lagi kita terpedaya...! Huuuh!"
memaki Hamada dengan mengeluh. Akan tetapi pada
saat itu terdengar suara tertawa mengikik dari atas lu-
bang. Sebuah lubang kecil di bagian atas mengantar-
kan suara wanita itu sampai ke dasar lubang.
"Hihihi... hihi... hik hik hik... Aku memang mau
memasukkan kalian dalam penjara bawah tanah ini,
agar tak mengganggu urusanku...! Nah selamat men-
dekam di lubang ini! Mudah-mudahan kalian masih
bisa berumur panjang...!" Setelah perdengarkan terta-
wanya lagi, suasana kembali lengang. Karena si wanita
bernama Huyima itu sudah berkelebat ke luar dari
ruangan bawah tanah dalam lorong itu.
"Bedebah...! manusia busuk...! kelak akan kau
rasai balasanku kalau aku berhasil ke luar dari lubang
sialan ini...!" memaki si kakek Mitsui. Akan tetapi ter-
kejut laki-laki tua ini karena tak melihat adanya Roro
di antara mereka. "He? Ke mana gerangan gadis asing
itu?"
Kakek Mitsui jelalatkan matanya lebar-lebar di
tempat gelap. Akan tetapi memang tak menampak tu-
buh lain selain Hamada.
Hamada sendiri pun terheran, akan tetapi ha-
tinya terlonjak girang. "Pasti dia berhasil menyela-
matkan diri di saat kejadian tadi...!" berkata Hamada.
"Ah, benar dugaan mu itu Hamada...! Gadis as-
ing itu berkepandaian tinggi dan banyak akalnya.
Tampaknya dia sudah banyak pengalaman di luaran.
Terbukti bisa sampai ke daratan Negeri kita, berarti
bukan seorang gadis sembarangan. Setidak-tidaknya
adalah seorang Pendekar Sakti...! Entah siapa geran-
gan sahabatnya yang berdiam di lereng Gunung BUK-
KYO!"
***
ENAM
KEMANAKAH gerangan Roro Centil...? Kalau
saja Roro tak memiliki ilmu ajian SARI RAPET yang
sudah sejak lama dimilikinya warisan dari gurunya si
Manusia banci pasti sudah ikut terjerumus ke dalam
lubang. Akan tetapi Roro memang sudah waspada se-
jak duduk di lantai persegi empat itu. Dan diam-diam
pergunakan ilmu itu untuk membuat tubuhnya me-
nempel pada lantai yang didudukinya. Ilmu Ajian Sari
Rapet ini agak mirip dengan ilmu CECAK yang terdapat di negeri Sakura itu. (Roro pernah pergunakan il-
mu ini ketika melawan musuhnya, dalam judul "Pem-
balasan si Setan Cengkrong").
Sebelumnya Roro Centil memang telah menge-
tahui kalau lantai yang diinjaknya adalah kosong pada
bagian bawahnya. Karena dengan menjadi murid si
Manusia Banci, Roro telah mampu menaklukkan ge-
lombang Pantai Selatan. Baginya sudah dapat membe-
dakan setiap sentuhan kulit kakinya pada tempat yang
dipijak. Untuk masa itu amatlah sulit mencari orang
yang mempunyai Ilmu berdiri di atas air. Karena ilmu
itu harus dikuasai oleh orang yang bertenaga dalam
tinggi. Beruntunglah Roro Centil pernah mewarisi te-
naga dalam yang hebat dari Si DEWA TENGKORAK,
yang telah memberikannya di saat kematian menjem-
put jago tua golongan hitam itu. (Baca: Empat Iblis
Kali Progo).
Ternyata di saat lantai terbelah bagian tengah-
nya, dan ketiga tubuh mereka meluncur masuk ke lu-
bang. Tubuh Roro Centil masih tetap menempel di
tempatnya seperti lengket menjadi satu dengan lantai
yang didudukinya. Dan di saat mana Hamada melesat
dari tempat duduknya setelah menekan tombol di ba-
wah tempat duduk. Kemudian dinding besi di bela-
kangnya tahu-tahu menjeblak roboh untuk segera me-
nutup lubang. Pada detik itulah tubuh Roro berkelebat
ke atas langit-langit ruangan. Dan menempel di sana.
Tentu saja Roro Centil dapat memperhatikan jelas dari
atas langit-langit.
Huyama membungkuk membuka sebuah lu-
bang kecil di sudut penutup lubang. Lalu kirimkan su-
aranya ke bawah. Kalau Roro mau bertindak, saat itu
bisa membekuknya lagi. Akan tetapi dia memikir akan
mengetahui rahasia tempat itu. Hingga dengan mena-
han napas Roro tetap berdiam di tempatnya. Hingga
sampai si wanita itu berangkat pergi meninggalkan
tempat rahasia itu.
Namun Roro tetap menanti dengan sabar sam-
pai suasana aman. Dilihatnya beberapa Ninja bermun-
culan. Setelah membuka sebuah lorong dengan mene-
kan tombol rahasia, segera mereka memasuki lorong
itu dan lenyap. Pintu lorong segera menutup lagi.
"Hm, kini saatnya aku turun..." desis dara Per-
kasa ini. Akan tetapi begitu kakinya menginjak lantai,
sesosok tubuh muncul dari pintu ruangan Terkesiap
Roro Centil. Ternyata masih ada seorang Ninja yang
ketinggalan. Baru saja Ninja itu mau memasuki lorong
rahasia, dan gerakkan tangan menekan tombol, dia te-
lah urungkan niatnya. Dan cepat menoleh....
Namun secepat kilat Roro Centil telah menda-
hului berkelebat. Lengannya terjulur. Dan sekejap saja
si Ninja itu sudah roboh dalam keadaan tertotok. Se-
lanjutnya... BRET! BRET...! Roro sudah merobek penu-
tup muka si Ninja. Segera terlihat adanya siapa si Nin-
ja itu. Ternyata seorang wanita! Tentu saja membuat
Roro terheran.
"Hihi... kau kini jadi tawananku...! Segera beri-
tahukan di mana tombol pembuka tutup lubang itu!"
bentak Roro.
Terperangah Ninja perempuan itu. "Aku... aku
tak dapat memberitahukan!" berkata si Ninja dengan
wajah pucat.
"Hm, ternyata kau keras kepala juga! Aku ha-
rus mengorek beberapa keterangan darimu! Kalau kau
tetap membungkam jangan katakan aku kejam!" ujar
Roro menggertak. Akan tetapi si Ninja wanita ini cuma
plengoskan wajahnya. Roro gerakkan lengannya mero-
goh sesuatu dari balik pakaiannya. Sekejap sudah ter-
cekal sebuah bumbung bambu bersumbat. Bumbung
bambu itu mempunyai lubang udara pada bagian atas
sumbat.
BREBEET...! Sekali lengan Roro menyentak, se-
gera pakaian si Ninja wanita bagian atasnya telah ter-
sobek lebar.
"Ah...!? Mau kau apakah aku?" terperangah si
Ninja wanita itu karena sekejap saja sudah menampak
separuh bagian tubuhnya. Terkejut juga Roro Centil
karena segera dapatkan dari dalam pakaian belasan
pisau kecil, beberapa utas tambang dan benda-benda
bulat. Agaknya benda-benda bulat itulah benda yang
bila dikeluarkan akan meletup dan mengeluarkan asap
tebal. Sepasang payudara yang mungil tak seberapa
besar dan putih mulus segera tersembul ke luar.
"Aku akan memaksamu untuk bicara...!" Berka-
ta Roro dengan wajah bengis. Tutup sumbat tabung
bambu itu sudah dibuka. Dan dengan enak saja Roro
Centil segera tuangkan isinya ke atas dada orang....
"Aaauu...!? aauu...! aauuuh...!" berteriak-teriak
si gadis Ninja itu. Karena segera belasan ekor Kala te-
lah merayap di atas dadanya. Akan tetapi tubuhnya
memang sudah tak mampu untuk digerakkan. Semen-
tara Roro terpingkal pingkal geli menyaksikan si gadis
Ninja yang ketakutan. Diam-diam Roro jadi teringat
pada beberapa tahun yang silam di saat bertemu den-
gan gurunya ( si Manusia Banci).
Dia pun pernah diperlakukan demikian oleh
sang guru. Pada waktu itu Roro takutnya bukan main,
tak beda dengan ketakutannya si Gadis Ninja itu. Akan
tetapi Roro sekarang sudah mengenai baik beberapa
jenis binatang berbisa. Bahkan binatang-binatang itu
sudah menjadi permainannya.
"Baik...! baik...! aku akan bicara!" teriak si Nin-
ja dengan spontan.
"Hihihi... ! begitulah baru anak yang baik...!":
berkata Roro, yang segera raup binatang-binatang ber
bisa itu untuk masukkan lagi ke dalam bumbung. Lalu
selipkan lagi dalam pakaiannya.
"Nah! Segera kau tunjukkan cara membuka tu-
tup lubang itu!" perintah Roro. Si Ninja wanita ini me-
nepati janjinya. Segera beritahukan alat-alat untuk
menggerakkan dinding besi.
Tak ayal segera Roro tekan satu tombol yang
tersembunyi di sudut ruangan. Benar saja. Segera ter-
dengar suara gemuruh di bawah kaki Roro. Dan dind-
ing besi itu bergerak naik kembali ke asalnya. Dan
tampak mulut lubang sudah terlihat menganga. Roro
perlihatkan senyumnya, dan tiba-tiba sudah melompat
menghampiri si Ninja wanita. Tiga utas tambang segera
disambungkan menjadi satu. Dan di lain saat Roro
Centil sudah lemparkan ujungnya ke dalam lubang
serta mengulurnya dengan cepat.
"Cepatlah kalian naik... satu persatu!" teriak
Roro.
Kakek Matsui dan Hamada saling pandang
dengan tersenyum melihat tali yang sudah menjulur
tiba. "Aih, gadis asing itu memang hebat!" puji kakek
Matsui.
"Kau naiklah duluan, Hamada...!" ujarnya pada
Pemuda itu.
Hamada mengangguk. Dan cepat lengannya
meraih tambang. Tak lama dia sudah merayap naik.
Roro pergunakan ilmu memberatkan tubuh. Hingga
dengan berdiri santai menahan tali di atas lubang.
Selang sesaat tubuh Hamada telah tersembul
keluar. Kejap berikutnya sudah melompat ke sisi lu-
bang.
"Kakek Matsui...! Kini giliran kau...!" teriak Ro-
ro. Terasa tambang menegang dan bergerak-gerak.
Ternyata kakek Matsui sudah merayap naik. Sekejap
antaranya tubuh si kakek itu pun sudah tersembul keatas. Lalu melompat ke sisi lubang.
"Ah, terima kasih atas pertolonganmu, nona
Roro Centil!" berkata kakek Matsui yang segera dituru-
ti oleh Hamada.
"Kita telah berhasil menangkap seorang anak
buah si Huyima itu! Lihatlah...!" berkata Roro seraya
menunjuk pada si Ninja wanita yang tergolek dengan
wajah pias di sudut ruangan.
Sekejap saja kakek Matsui dan Hamada sudah
beranjak mendekati.
"SUZI...! kau... kau...?" terperangah Hamada
melihat gadis Ninja itu yang dikenalnya.
Akan tetapi gadis Ninja itu sudah tutup kelopak
matanya. Terdengar suaranya bernada dingin.
"Bunuhlah aku...! kalian semua sudah selamat
dari tempat ini! Dan aku... aku pun sudah tak dapat
hidup lagi...!" berkata si Ninja wanita.
"Suzi...! aku tak mengerti, mengapa kau menja-
di seorang Ninja? Apakah maksud bibi Huyima men-
jebloskan kami ke lubang perangkap bawah tanah ini?"
Akan tetapi yang ditanya sudah membungkam. Ter-
dengar suara Roro Centil ikut bicara. "Hm, Suzikah
namamu, adik manis? Kau bicaralah! Aku akan lin-
dungi kau dari hukuman Ketua mu!"
Ninja wanita bernama Suzi itu tak menjawab.
Akan tetapi dari sudut kelopak matanya tampak men-
galir air bening yang meleleh turun ke pipinya. Roro
jadi tertegun. Sejenak sudah memandang pada kakek
Matsui dan Hamada berganti-ganti. Terdengar kakek
Matsui menghela napas.
------ooO-------
Akhirnya gadis Ninja itu membuka mulut juga.
Mereka telah berada di sebuah tempat yang tersembunyi. Tempat yang dikenal baik si kakek Matsui di
masa dia masih gemar bertualang. Yaitu di pesisir laut
yang bernama Selat Kui Tak berapa jauh lagi sudah
terlihat puncak Gunung BUKKYO.
Ternyata SUZI memang tak mengetahui apa
maksud Huyima menjebloskan mereka ke dalam lu-
bang bawah tanah. Akan tetapi Suzi pernah menden-
gar wanita itu bergumam sendiri dengan kata-kata
demikian: "Hamada! Hamada! kau tolak jasa baikku,
akan tetapi kau memilih kematian! Hm, apakah kau
kira niatmu menjadi murid si Setan Tanah akan ber-
hasil? Hihihi... Pedang itu akan jatuh di tanganku se-
belum kau atau Ninja-ninja si Setan Tanah itu berhasil
mendapatkannya!"
Bagi Roro penuturan itu sudah cukup untuk
menjadi bahan memperkuat dugaan. Yaitu Huyima
memang bermaksud menahan Hamada agar maksud-
nya datang ke Lembah Pedang menemui kegagalan.
Berarti pemuda itu tak dapat luput dari kema-
tian. Mati menjalankan tugas, ataukah mati membu-
nuh diri sebagai Ninja yang gagal. Akan tetapi menge-
nai "jasa baik" itulah yang Roro tak mengerti. Dan hal
itu haruslah ditanyakan pada Hamada.
Roro yang penasaran melihat sikap Suzi pada
Hamada yang selalu tampak dingin membuat Roro la-
kukan banyak pertanyaan. Tentu saja berhadapan
dengan sesama wanita, Suzi tak dapat menyembunyi-
kan perasaan hatinya.
Ternyata Suzi menaruh hati pada Hamada.
Akan tetapi Hamada ternyata telah mencintai kakak
perempuannya yang bernama KORISYIMA. Berdasar-
kan kenyataan itulah, Suzi jadi patah hati. Dan seperti
enggan bertemu atau bertatap muka dengan Hamada.
"Aiiih...! Cinta memang terkadang membawa
orang bahagia. Akan tetapi terkadang juga membuat
orang susah dan menderita !" berkata Roro dengan su-
ara lirih. Mereka cuma duduk bercakap-cakap berdua
memandangi air laut. Sementara percakapan di dalam
pondok nelayan sahabat kakek Matsui adalah lain lagi.
Tampak Hamada dan kakek itu saling berbisik.
"Apakah kakek mengenai baik bibi Huyima?"
tanya Hamada. Sejak hampir empat tahun aku ber-
diam di desa itu, perempuan bernama Huyima itu tak
kuketahui jelas asal-usulnya. Akan tetapi dia memang
sering membawa kedua anak perempuannya bermain
ke rumah ku! Bahkan terkadang menitipkannya untuk
beberapa hari. Sedangkan dia sendiri tak ku tahu ke-
mana perginya..." Berkata kakek Matsui.
"Setahun belakangan seorang anak gadisnya
tak kelihatan muncul. Dialah yang bernama SUZI itu!
Bahkan sejak gadis itu menjadi dewasa sudah jarang
ke pondok ku termasuk Korisyima...!"
"Siapakah suami bibi Huyima?" Tanya Hamada,
yang memang sejak dia berkenalan dengan gadis ber-
nama Korisyima itu tak pernah menanyakan perihal
ayahnya.
Kakek Matsui gelengkan kepalanya.
"Aku sendiri tak mengetahui! Karena sejak ku
menetap di desa itu Huyima sudah berdiam disana.
Akan tetapi yang ku tahu kedua anak perempuan itu
bukanlah anak kandungnya....!" Tutur kakek Matsui.
Tersentak Hamada. Akan tetapi tidak bertanya
lagi. Karena segera dilihatnya Roro Centil dan Suzi su-
dah beranjak masuk.
"Wah ...» asyik sekali! hayo, teruskanlah... Ka-
lau kedua anak perempuan si Huyima itu bukan anak
kandungnya, lalu anak siapakah...?" Tanya Roro den-
gan suara agak keras. Tentu saja membuat Suzi jadi
melengak heran. Tiba-tiba dia sudah melompat ke de-
pan si kakek dan Hamada.
"Kakek Matsui...! kau pasti mengetahui tentang
keluargaku! Katakanlah! kalau aku bukan anak Huyi-
ma, lalu anak siapakah aku?" Tanya Suzi dengan se-
pasang mata menatap tajam pada sang kakek itu. Se-
mentara hatinya sudah menyentak kaget. Seperti petir
terdengar di siang hari. Hah!? aku dan kakak Korisyi-
ma bukan anak kandungnya...? Tampak wajah gadis
ini sudah berubah pucat. Akan tetapi tiba-tiba Roro
Centil sudah melompat keluar untuk segera melihat ke
arah depan.
"Hahaha... kakek Matsui...! kedua gadis itu
adalah anak Kaisar KOTSYI NAGOYA...!" Sesosok tu-
buh sekejap sudah tiba di depan pondok.
"Siapakah anda?" Tanya Roro memperhatikan
wajah orang. Karena laki-laki yang dilihatnya ia men-
genakan topi tudung lebar yang melesak menutup
hampir sebagian kepalanya.
Saat itu dari dalam pondok sudah berlompatan
tiga sosok tubuh untuk segera melihat siapa yang da-
tang.
"SETAN TANAH...! Kau kiranya yang datang!
Hm, pendengaranmu amat tajam! Benarkah apa yang
kau katakan itu...?" Berkata kakek Matsui. Sementara
Suzi seperti kebingungan. Sebentar menatap pada si
pendatang bertudung lebar, sebentar dialihkan mena-
tap kakek Matsui.
Sementara Hamada sudah membeliakkan ma-
tanya dengan kaget. Karena segera mengenali orang in-
ilah yang telah memberinya surat rahasia untuk sece-
patnya datang ke Lembah Pedang.
"Mengapa tidak? Aku adalah bekas Panglima
Kerajaan MERAK HIJAU. Kaisar DOTSY NAGOYA ada-
lah pengganti dari Kaisar KYUMAMOTO! Entah bagai-
mana tahu-tahu aku dipecat tanpa kesalahan. Ternya-
ta belakangan baru ku tahu kalau aku difitnah telah
main gila pada selir Kaisar yang bernama MITONI SA-
KEDA. Mitoni Sakeda mempunyai seorang pembantu
bernama HUYIMA. Kepada wanita itulah dia menye-
rahkan kedua anaknya untuk dipelihara.
Dia sendiri lenyap entah kemana...!" Tutur Hi-
gei Tanaka dengan gamblang.
Kakek Matsui tercenung seketika. Sementara
Suzi tiba-tiba melompat ke hadapannya.
"Apakah kata katamu dapat dipercaya...?"
Si Setan Tanah ini perdengarkan suara terta-
wanya. Dengan tersenyum sinis segera gerakkan len-
gannya mengeluarkan sebuah benda semacam Medali.
Pada Medali itu tertulis namanya sebagai Panglima Ke-
rajaan Merak Hijau. Dan tertera tanda tangan Kaisar
lama.
***
TUJUH
TERNYATA Higei Tanaka adalah orang yang
mendapat perlakuan buruk dari Kaisar Kotsyi Nagoya.
Pedang Pusaka itu adalah milik Kaisar Lama yang te-
lah lenyap. Merupakan sebuah Pedang Pusaka Kera-
jaan Merak Hijau. Menurut kepercayaan turun temu-
run dari keluarga Kaisar. Pedang Pusaka itu mempu-
nyai "tuah" yang hebat dengan kemajuan serta keaba-
dian suatu Kerajaan. Benda itu tak boleh hilang.
Ketika Kaisar lama mengundurkan diri, benda
Pusaka itu masih berada di tempatnya. Dan merupa-
kan sebuah barang keramat yang tak pernah ada yang
berani mengganggunya. Akan tetapi belakangan baru
diketahui setelah beberapa peristiwa terjadi di Istana
Kerajaan Merak Hijau.
Kaisar Kotsyi Nagoya yang menggantikan Kaisar
lama ternyata banyak mengumbar nafsu di Istana.
Dengan banyak pelihara selir. Akibatnya karena terlalu
sering bersenang-senang Kaisar ini kurang memperha-
tikan jalannya pemerintahan. Kebanyakan para Pem-
besar Kerajaan saja yang mengurus Hingga tak diketa-
hui kemana lenyapnya Pedang Pusaka itu.
Kalau saja Kaisar tahu siapa sebenarnya yang
mengambil, tentu waktu itu sudah ditangkap. Semen-
tara sejak 10 tahun belakangan ini ada berita yang be-
rasal dari sebuah perusahaan Peti Mati!
Rahasia tetaplah rahasia... Akan tetapi kalau
sudah bocor, akan segera menyebar kemana-mana. Pe-
ristiwa adalah sebagai berikut...
Pada sepuluh tahun yang silam, seorang pega-
wai dari sebuah Perusahaan Peti Mati menerima pesa-
nan sebuah peti mati yang minta dibuatkan sekuat
mungkin. Yaitu dari sejenis kayu yang paling kuat. Si
Pemesan berasal dari sebuah tempat yang berada dida-
lam sebuah lembah. Ternyata si pemesan itu bernama
SOKU SHEBA. Pesanan itupun disampaikan pada ma-
jikannya. Satu Minggu kemudian Peti Mati harus su-
dah siap. Dan diantarkan ke lembah dimana Soku
Sheba berdiam. Pembayaran ternyata telah dilunasi
terlebih dulu. Tentu saja Soku Sheba tak menyangka
kalau rahasia dia memiliki sebuah Pedang Pusaka
akan bocor. Karena salah seorang dari keenam pega-
wai Perusahaan Peti Mati itu telah melihat dia mema-
sukkan sebuah Pedang Samurai ke dalam Peti Mati,
yang diletakkan di atas jenazah.
Keenam orang pegawai Peti Mati itu dimintanya
turut membantu menggali lubang di dalam rumah, dan
menguburkan jenazah. Jenazah itu adalah seorang ga-
dis yang menurut Soku Sheba adalah anak gadisnya
yang mati karena kecelakaan terjatuh dari atas tebing.
Dalam perjalanan pulang, keenam orang pegawai Pe-
rusahaan Peti Mati itu mengobrol. Tak dinyana telah
dikuntit oleh seorang wanita yang menutupi wajahnya
dengan cadar sutera warna hitam.
Berkata pegawai yang bertubuh jangkung kekar
itu. Dia bernama SINBEI.
"Aku lihat sendiri dengan jelas kalau Pedang itu
adalah pedang Mustika ...!" Berkata si pegawai yang
melihat Soku Sheba meletakkan Samurainya ke dalam
peti mati di atas jenazah puterinya.
"Heh, jangan jangan itu Pedang Pusaka Kera-
jaan yang hilang!" Berkata kawannya.
"Entahlah...! Bisa juga demikian...!"
"Hm. kalau hal ini kita laporkan pada Kaisar
dan Pedang Mustika itu ternyata benar benar memang
Pedang Pusaka milik Kerajaan yang lenyap, kita bakal
dapat hadiah besar!" Tukas seorang lagi.....!"
"Sssst... hentikan bicara kalian. Bagaimana ka-
lau ada yang mendengar pembicaraan kita? Atau dike-
tahui si Soku Sheba sendiri, akan tamatlah" riwayat ki-
ta!" Keenam orang ini segera berpaling kesana kemari,
khawatir ada orang lain yang mendengar percakapan
mereka. Ternyata keadaan aman. Mereka tak tahu ka-
lau si wanita bercadar hitam telah menyelinap dengan
cepat.
Akhirnya mereka bicara berbisik-bisik.
"Kita bagi berenam hadiah dari Kaisar nanti..."
Bisik salah seorang yang sudah mengkhayal terlalu
tinggi.
"Heh, aku tentu harus mendapat bagian yang
paling besar, karena aku yang telah melihatnya...!"
"Akan tetapi aku yang mengusulkan untuk me-
laporkan pada Kaisar...! Justru akulah yang paling ba-
nyak mendapat bagian....!" Berkata kawannya yang
bertubuh kekar, agak pendek. Dia ini adalah kepala
dari para pegawai Perusahaan Peti Mati. Bernama WA-
KASA.
Si kepala kuli itu plototkan matanya pada Sin-
bei. Membuat si jangkung kekar ini tersumbat mulut-
nya. Namun diam-diam hatinya jadi agak mendongkol.
Di luar dugaan dia sudah membatin. Hm, kalau tak
ada Wakasa, hadiah itu tentu akan dibagi lima. Ba-
gianku tentu akan lebih besar lagi. Cuma dia inilah pe-
rintangnya! Kalau yang lainnya sih, akan menurut ku-
beri berapa saja!
Memikir bakal mendapat hadiah besar, Sinbei
sudah merencanakan untuk menyingkirkan Wakasa.
Dan rencana itu ternyata sudah siap dikerjakan. Keti-
ka mereka tiba di satu tempat sunyi, Sinbei telah
menghunus belatinya dengan diam-diam. Saat itu Sin-
bei berada di belakang Wakasa. Dan.... JEP! JREP!
JREP....! Sinbei telah hunjamkan belatinya berkali-kali
ke punggung Wakasa. Terdengar jeritan Wakasa kesa-
kitan. Sekejap tubuhnya sudah membalik dengan ter-
huyung. "Hah? kau.... kau..." Kala-katanya tak dapat
dilanjutkan lagi, karena dia sudah roboh terguling. Se-
telah meregang nyawa tak lama Wakasa segera mele-
paskan nyawanya saat itu juga.
Keempat kawannya jadi berteriak kaget. Akan
tetapi Sinbei tertawa menyeringai. "Hahaha...biarlah
dia mati! Aku benci pada kesombongannya selama ini.
Bukankah hadiah akan lebih besar kalian terima tanpa
si Wakasa ini?" berkata Sinbei.
Tiba-tiba si wanita bercadar sudah melompat
ke luar. dari tempat persembunyiannya. Ternyata lang-
sung mendekati Sinbei yang jadi ternganga.
"hihihi... kalau dibagi lima bagianmu akan se-
dikit sekali, sobat! Bagaimana kalau dibagi dua sa-
ja....?! Seraya berkata si wanita itu sudah membuka
cadar penutup wajahnya. Ternyata seorang wanita
berwajah cantik yang tersenyum pada Sinbei dengan
kedipkan matanya genit.
Tentu saja melihat tahu-tahu ada seorang wani-
ta yang bersikap demikian padanya membuat Sinbei
jadi berdegupan jantungnya.
"Apakah maksud ucapanmu, no... nona...?"
Tanya Sinbei tergagap.
Wanita genit itu bisikkan ditelinganya dengan
suara berdesis. Degupan jantung Sintei terasa semakin
cepat. Bau wewangian segera menyambar hidungnya.
Akan tetapi bisikkan itu membuatnya jadi belalakkan
matanya. Tak terasa kepalanya sudah mengangguk.
Sementara keempat kawannya sudah menyurut mun-
dur. Dari gerakan si Wanita itu saja mereka sudah ta-
hu kalau wanita itu berkepandaian tinggi. Dan kata-
kata bisikan itu cukup keras untuk didengar mereka.
Tahu-tahu si wanita itu sudah kenakan lagi cadar hi-
tamnya, dan melompat ke hadapan keempat laki-laki
pegawai Perusahaan Peti Mati itu.
"Heh! Kalian sudah mengetahui hal yang harus
dirahasiakan ini, maka kalian berdoalah cepat-cepat.
Karena aku akan mengirim nyawa kalian ke Akhirat...!"
Terdengar suara si wanita bercadar dengan suara din-
gin. Membuat tengkuk ke empat laki-laki ini keluarkan
keringat dingin. Ternyata belati Sinbei telah tergeng-
gam di tangan si wanita bercadar itu.
Belum lagi mereka sempat berdo'a, tubuh si
wanita itu telah berkelebatan.
Dan sekejap kemudian sudah terdengar suara
jeritan-jeritan menyayat hati diiringi robohnya keempat
laki-laki itu. Darah menyemburat, memercik memba-
sahi rerumputan. Keempat laki-laki itu meregang nya-
wa dengan mata membeliak. Masing-masing lehernya
telah tersayat hampir putus. Di lain kejap keempat tu-
buh itu sudah terbang nyawanya. Terperangah Sinbei
dengan sepasang mata terbelalak tak berkedip. Terasa
ngeri juga di melihat kejadian yang cuma sekejap itu.
Siapakah wanita yang berilmu tinggi dan telen-
gas ini? Bisik hatinya. Walaupun Sinbei bergirang hati,
karena dengan lenyapnya keempat kawannya
dia akan menerima hadiah lebih besar. Namun
tak urung hatinya kebat-kebit juga, karena batinnya
sudah membisik. Ah, celakalah aku kalau akupun di-
bunuhnya...! Sekejap saja lenyaplah keinginan menda-
patkan hadiah yang diimpikan, karena nyawanya ada-
lah lebih penting dari hadiah sebesar apapun. Apalagi
semua itu belum berupa kenyataan.
"Hihihi... jangan khawatir! Nasibmu masih lebih
baik dari mereka! Kau tak perlu risaukan dirimu! Bah-
kan kau akan menerima hadiah lebih besar lagi dari
apa yang kau harapkan....!" Berkata si wanita bercadar
yang sudah beranjak menghampiri. JEP! .... Tahu-tahu
belati berdarah itu telah menancap di batang pohon.
Tepat di sisi telinganya.
"Hm, siapakah namamu?" Tanya si wanita itu
dengan menatap tajam pada laki-laki di hadapannya.
Tampak tubuh Sinbei gemetaran menatap belati berda-
rah yang melesak dalam pada batang pohon tempat dia
sandarkan tubuhnya.
"Aku... aku... SINBEI..." Sahut Sinbei dengan
menunduk. Dahinya mengembun penuh keringat.
"Hm, Sinbei! bantulah aku menguruk kelima
mayat kawanmu itu!" Sinbei cepat-cepat menganggguk,
dan beranjak dari tempatnya...
Senja itu udara agak lembab. Angin bertiup da-
ri arah lembah menimbulkan hawa dingin. Sekitar
lembah itu dicekam kesunyian. Akan tetapi dibalik se-
mak lebat, justru sesosok tubuh membukai pakaian-
nya. Tergetar tubuh Sinbei menatap apa yang terpam-
pang di hadapannya.
Kalau belum lama berselang bau wewangian
yang ditimbulkan dari sosok tubuh wanita itu telah
merangsangnya. Kini justru sosok tubuh wanita itu
sendiri telah membuat bangkitnya kejantanannya. Ke-
bat-kebit hatinya mendadak sudah lenyap, sirna. Keti-
ka lengan-lengan halus wanita itu mulai membukai
kancing bajunya.
Sinbei tak berlaku ayal, karena imannya segera
sudah luluh. Beberapa kejap kemudian Sinbei sudah
singkirkan pakaiannya dengan gerakan cepat. Selan-
jutnya... Dua sosok tubuh itu sudah bergelinjangan di
atas rerumputan dengan suara dengus nafas saling
bersahutan. Rintihan nikmat pun terdengar lirih ter-
bawa hembusan angin yang bertiup dari arah lembah.
SINBEI perdengarkan keluhannya, dan guling-
kan tubuhnya direrumputan. Wajahnya menampakkan
keletihan .Sementara si wanita itu tampakkan senyu-
man pada bibirnya. Senyum kepuasan.
"Kau sudah punya istri....?" Tiba-tiba si wanita
itu bertanya.
"Ah, aku belum punya cukup bekal cukup un-
tuk memelihara seorang istri...!" Jawab Sinbei dengan
tersenyum.
"Siapakah namamu, nona...? kau mempunyai
ilmu tinggi yang mengagumkan. Kalau aku diangkat
jadi muridmu, aku tak penasaran!" Berkata Sinbei se-
raya garuk-garuk kepala. Tiba-tiba si wanita perden-
garkan suara tertawanya.
"Kau bersedia menjadi muridku...? " Tanyanya
dengan alis dinaikkan. Sinbei anggukan kepalanya.
Sementara sepasang matanya masih merayap pada
kedua buah benda menggumpal yang belum lagi tertu-
tup.
"Hm, kalau benar-benar kau ingin jadi murid-
ku, kau harus penuhi dulu syaratnya...!" Berkata siwanita.
"Apakah itu...!" Tanya Sinbei.
"Syaratnya adalah nyawamu...!" Menyahut si
wanita dengan suara tiba-tiba berubah dingin. Sepa-
sang matanya mendadak bersitkan sinar yang men-
gandung hawa maut. Terperanjat Sinbei. Sepasang ma-
tanya sekejap sudah membeliak.
"Hah!? nya... nyawaku? Ah, nona! Kau bergu-
rau...." Ucap Sinbei dengan hati agak tergetar, seraya
perlihatkan senyuman yang agak kaku. Sementara ha-
tinya kembali kebat-kebit. Berguraukah atau betulan
kata-kata si wanita itu? Sentak hati Sinbei. Akan tetapi
Sinbei tak sempat berfikir lagi. Karena tiba-tiba dia su-
dah menjerit parau, dan berkelojotan meregang nyawa.
Darah segar memuncrat ke wajahnya. Ternyata
lengan si wanita itu telah bergerak menghantam kepa-
lanya. Sesaat Sinbei sudah terkapar tak bernyawa
dengan kepala rengat. "Hihihi... aku sudah tak mem-
butuhkan mu lagi, Sinbei.....!"
***
DELAPAN
APAKAH sebenarnya wanita itu? Dialah MITONI
SAKEDA, selir sang Kaisar Kotsyi Nagoya. Ketika ti-
upan angin dari arah lembah agak reda, sosok tubuh
wanita itu sudah berkelebat dari balik rumpun lebat
itu.
Ternyata sejak lenyapnya sang selir ini, setelah
memberikan dua orang bayi perempuan pada penga-
suh bayinya bernama HUYIMA, Mitoni Sakeda bukan
lagi selir sang Kaisar yang bodoh! yang bisanya cuma
menangis! Akan tetapi Mitoni Sakeda telah menjadi
seorang wanita yang berkepandaian tinggi. Kemuncu-
lannya adalah setelah lenyapnya dia selama beberapa
tahun, sejak diusir dari Istana, karena seorang Pembe-
sar Kerajaan telah menuduhnya main gila dengan seo-
rang Panglima Kerajaan bernama HIGEI TANAKA.
Mitoni Sakeda ternyata menuju ke Lembah tak
bernama itu untuk menjumpai SOKU SHEBA. Penutu-
ran dari Sinbei telah cukup untuk dia mengetahui le-
tak dan tempat rumah Soku Sheba. Bahkan diketahui
pula dimana peti mati berisi mayat dan Pedang Pusaka
itu dikuburkan.
Tampak seorang laki-laki brewok bertubuh ke-
kar, mondar-mandir di depan rumah terpencil yang
tampak sunyi itu.
Dengan gerakan lincah, Mitoni Sakeda sudah
melompat untuk sembunyi ke balik batu. Tajam sekali
pendengaran laki-laki itu. Seketika dia sudah memben-
tak.
"Siapa di situ...!" Terpaksa si wanita itu tak da-
pat lagi untuk lebih lama sembunyikan diri. Segera dia
keluar perlihatkan diri.
"Aku... aku tersesat kemari, paman...! Hari
hampir menjelang malam. Sudilah kau menerimaku
untuk menumpang menginap?" Berkata Mitoni Sakeda
dengan memperlihatkan wajah muram.
Tentu saja Soko Sheba jadi melengak heran.
Sepasang matanya memperhatikan sekujur tubuh wa-
nita di hadapannya dari ujung kaki sampai ke ujung
rambut.
"Hm, kau siapakah...?" Tanya Soku Sheba.
"Namaku YURIKO...!" Sahut Mitoni Sakeda se-
kenanya. Akan tetapi membuat si laki-laki brewok itu
jadi tersentak kaget. Karena justru nama itu adalah
nama anak gadisnya yang baru saja jenazahnya dikuburkan.
"Kau bicaralah yang benar, apakah benar kau
bernama demikian?" Tanya lagi Soku Sheba. Kesedi-
hannya mendadak sudah memuncak lagi. Nama itu
membangkitkan kepedihannya yang belum lagi sirna
itu terkoyak lagi.
"Aku.... aku memang bernama Yuriko!" Tegas
Mitoni Sakeda yang sudah terlanjur mengucapkan.
Sementara diam-diam dia sudah perhatikan pe-
rubahan wajah laki-laki brewok itu. Aih, apakah anak
gadisnya yang mati itu bernama Yuriko? Pikir Mitoni
Sakeda, yang sudah segera menduga demikian.
Akan tetapi pada saat itu sudah terdengar ben-
takkan keras. Dan lengan si laki-laki brewok sekejap
sudah menjambak rambut Mitoni Sakeda.
"Bedebah busuk! Kau penipu...! Yuriko sudah
mati...! Yuriko mati karena pedang sialan itu...!
Kau...kau hambuslah dari sini!" Sekali lengan Soku
Sheba bergerak, terlemparlah tubuh Mitono Sakeda
yang menjerit kesakitan. Separuh rambutnya telah je-
bol dari kulit kepalanya.
Buk...! tubuhnya sudah terbanting ke tanah,
dan jatuh bergulingan. Menyeringai wanita ini menye-
ringai sakit yang bukan alang kepalang. Sekejap saja
sekujur wajahnya telah berlumuran darah, yang men-
galir dari kulit kepalanya. "Keparrrattt...!" Memaki Mi-
toni Sakeda. Tiba-tiba tubuhnya telah bangkit kembali
dan melompat menerjang. Di lengannya telah tergeng-
gam sebuah kebutan dari buntut kuda, bergagang
emas yang berkilauan.
WHUKK...! WHUKK...! WHUK...!
BRETT...!
Tiga serangan beruntun segera dilancarkan
menghantam ke arah tiga bagian tubuh Soku Sheba.
Hebat laki-laki brewok itu, yang segera dapat meng-
hindari serangan ganas Mitoni Sakeda, Akan tetap satu sabetan telah membuat jubahnya sobek berikut ter-
lukanya kulit pundaknya.
Terkejut Soku Sheba, yang sudah perdengarkan
teriakan tertahan dan jatuhkan tubuhnya bergulingan.
Ketika dia memandang pada pundaknya, segera tam-
pak selarik goresan yang membuat kulit pundaknya
pecah-pecah mengalirkan darah. Tiba-tiba dia telah
melompat bangkit dengan membentak gusar.
"Kau... kau berani melukaiku YURIKO....?"
Tanpa sadar dia telah menyebut lagi nama anak gadis-
nya. Dan wajahnya seketika berubah pucat.
"Tidak...! tidaaak...! Yuriko sudah mati...! kau...
kau... kubunuh kau perempuan setan...!" Kembali dia
membentak hebat.
BUK! Satu hantaman telak tak dapat dielakkan
Mitoni Sakeda. Tubuhnya terjungkal. Beruntung puku-
lan itu tak seberapa keras. Akan tetapi dari bibir wani-
ta itu sudah mengalirkan darah.
Soku Sheba sudah memburunya lagi lengannya
terulur untuk mencengkram. Terperangah wanita ini.
Hatinya sudah membatin. Matilah aku...! Akan tetapi
sebisanya dia cepat gulingkan tubuhnya menghindar.
BRRETTTTT...!
Cengkreman Soku Sheba telah merobek pa-
kaiannya sebatas dada. Membuat tersembulnya sepa-
sang buah dada sang wanita itu.
Membeliak seketika mata Soku Sheba. Akan te-
tapi dia sudah menyurut mundur dua tindak. Bibirnya
tampak tergetar dan wajahnya kembali berubah pucat
pias.
"Ohh.... tidak...! tidaak...! Yuriko...! Yuriko...
anakku! maafkanlah ayahmu. Maafkanlah...! Aku....
aku telah berdosa anakku.... " Sesaat sudah terlihat
sepasang mata Soku Sheba berkaca-kaca. Dan sudah
cucurkan air mata yang membasahi kedua pipinya.
Akhirnya laki-laki brewok itu telah jatuhkan di-
ri berlutut dengan tundukkan wajahnya. Sungguh ka-
sihan laki-laki ini, ternyata otaknya sudah tidak waras
lagi. Tertegun seketika Mitoni Sakeda. Dia sudah ber-
niat membunuh mati laki-laki itu. Akan tetapi segera
diurungkan.
Timbul di hati Mitoni Sakeda untuk memper-
mainkan Soku Sheba yang telah membuatnya cedera
kulit kepalanya, karena separuh rambutnya jebol di-
cengkeram laki-laki brewok itu.
Entah dosa apakah gerangan yang dilakukan
Soku Sheba pada anak perempuannya itu, hingga
membuat laki-laki ini seperti orang tidak waras. Pikir-
nya. Akan tetapi dia sudah perdengarkan tertawanya
mengikik, walaupun sebenarnya Mitoni Sakeda mera-
sakan sakit bukan main pada kulit kepalanya yang ter-
luka.
"Hihihi... hihihi... baik! baik! aku akan ampuni
kesalahanmu, ayah! Akan tetapi sebagai penebus do-
samu kau harus membuntungi kedua belah kakimu!"
Berkata Mitono Sakeda dengan suara dingin.
"Membuntungi kedua kakiku...? Bertanya dia.
"Ya!... Dengan cara itu mungkin akan dapat
meringankan dosamu...!" Ujar Mitoni Sakeda. Soku
Sheba tiba-tiba tertawa gelak-gelak.
"Hahahaha... haha... kalau cuma membutungi
sepasang kakiku, aku tak keberatan!" Seraya berkata
Soku Sheba telah selonjorkan kedua kakinya. Kedua
lengannya terangkat ke atas, dan tampak bergetar, ka-
rena Soku Sheba tengah salurkan tenaga dalamnya ke
kedua lengan.
Sepasang lengannya pun bergerak meluncur ke
arah kedua kakinya....
"TUNGGU.....!" Satu teriakan telah menggema
menyibak keheningan. Akan tetapi sudah terlambat.
PRAKKK....! Soku Sheba telah perdengarkan te-
riakannya yang berbareng dengan suara berderaknya
tulang kaki yang hancur.
Saat itu sesosok tubuh telah bergerak melom-
pat ke tempat itu, diiringi dengan teriakan tertahan.
"Kakaaak...!" Dan... WHUUK! Lengannya sudah
bergerak menghantam Mitoni Sakeda. Beruntung wa-
nita itu sudah melompat menghindar.
"Kakak...! Kakak Soku Sheba! sadarlah apa
yang telah kau lakukan?" Teriak si pendatang itu yang
ternyata seorang wanita yang usianya hampir tak ber-
beda jauh dengan Mitoni Sakeda. Lengan wanita itu
mengguncang-guncangkan tubuh Soku Sheba, yang
segera tersadar setelah membuka matanya. Dan segera
mengenali siapa yang datang.
"Ah, adik MIYAZAKI...! kau... kau menyusul ke
tempat ku...?"
"Ya...! Apakah yang telah terjadi? Dan siapakah
wanita itu . . .? Mengapa kau lakukan hal ini...?" wani-
ta bernama Miyazaki itu adalah adik seperguruan So-
ku Sheba. Tentu saja dia terkejut mengetahui sang ka-
kak seperguruan telah menghancurkan kedua ka-
kinya.
"Hah!? ya...! mengapa aku menghancurkan se-
pasang kakiku sendiri?" Agaknya Soku Sheba baru
tersadar dari pengaruh kejiwaannya yang goncang.
"YURIKO...! Yah, Yuriko itulah yang telah me-
nyuruhku...!" Berkata Soku Sheba dengan suara
menggeram.
"Yuriko? Mana Yuriko...? Dia bukan anakmu!
Siapakah dia...?" Mitoni Sakeda perdengarkan suara
mendesis.
"Heh! Aku bukan Yuriko...! Namaku Mitoni Sa-
keda...! Kakakmu itu telah menjadi kurang waras! Aku
memang bersalah telah mendustainya dengan memakai nama Yuriko!"
"Lalu apa maumu ke tempat ini? Aku adalah
saudara seperguruannya! Aku bertanggung jawab atas
keselamatan dirinya...! Hm, menurut pendengaran ku
kalau tidak salah, kaulah orangnya bekas selir
Kaisar Kotsyi Nagoya yang telah diusir karena
melakukan hubungan gelap dengan seorang Panglima
Kerajaan. Kedatanganmu pasti mau mengganggu ka-
kak seperguruanku...!" Berkata Miyazaki dengan suara
ketus.
"Hm aku tak kesudian melakukan itu! Dia telah
menyerangku tanpa sebab hingga kau lihat sendiri
keadaanku! Masih bagus aku tak suruh kakakmu
membunuh diri...!" Tukas Mitoni Sakeda dengan tak
kalah sengit.
"Sudah...! biarkanlah dia pergi.. ! Hm! Ketahui-
lah, sobat! kakakmu itu telah membunuh anak gadis-
nya sendiri...! Biarlah dia rasakan akibat perbuatan-
nya!" Teriak Mitoni Sakeda, seraya beranjak melang-
kah. Hatinya jadi geram, karena niatnya untuk mencu-
ri Pedang telah gagal.
"Tutup mulutmu, perempuan sial...! Hambus-
lah kau dari sini!" membentak Soku Sheba dengan su-
ara menggeledak. Tubuhnya sudah mau digerakkan
melompat. Akan tetapi dia segera mengeluh panjang,
karena segera sadar kalau sepasang kakinya telah
hancur putus sebatas lutut.
Mitoni Sakeda sudah putar tubuh dan berkele-
bat pergi... Tentu saja dengan membawa 101 macam
kemendongkolan dihatinya.
Penuturan Soku Sheba ternyata membuat
Miyazaki jadi terperangah. Seperti diketahui Soku
Sheba telah kematian istrinya sejak Yuriko berusia li-
ma belas tahun. Tentu saja dapat dirasakan betapa
pedihnya hati Soku Sheba. Hingga beberapa bulan sejak kematian sang istri, Soku Sheba mendiami sebuah
lembah yang tenang bersama Yuriko anak gadisnya.
Di samping itu Soku Sheba masih merasa pe-
nasaran, karena kematian istrinya adalah secara aneh.
Yaitu tengah malam mendadak sang istri muntahkan
darah hitam yang kental dari mulutnya. Setelah berpe-
san untuk menjaga Yuriko baik-baik, sang istri pun
tewas dengan bibir tampakkan senyuman.
Ternyata di luar sepengetahuan Soku Sheba,
yaitu di saat dia tak berada di tempat telah kedatangan
seorang wanita yang bernama FUKI ZIMA.
FUKI Zima mengatakan bahwa dia saudara se-
pupu Soku Sheba. Begitu masuk ruangan sepasang
matanya menatap pada sebuah pedang samurai yang
tergantung ditembok.
"Ah, pedang yang bagus! Aku tahu pedang itu
milik kakak Soku Sheba!"
"Benar...! Itu pedang warisan gurunya...! Berka-
ta istri Soku Sheba. Akhirnya dengan kata-kata manis
Fuki Zima sampaikan maksudnya untuk meminjam
pedang milik Soku Sheba itu. Sebenarnya istri Soku
Sheba tak berani memberikan, akan tetapi wanita itu
telah meninggalkan sebuah pedang samurai yang ber-
gagang indah sekali bertatahkan mutiara pada ujung-
nya. Dan pada mata pedangnya berukiran dua ekor
burung Hong.
"Aku tinggalkan pedangku ini sebagai jami-
nan..!
Kakak Soku Sheba pasti akan mengenali pe-
dang ini...!" Istri Soku Sheba tak berani menolak lagi.
Dia sudah percaya penuh pada wanita yang
mengaku saudara sepupu suaminya. Apa lagi pedang
yang di tinggalkan tampak lebih indah. Merupakan se-
buah pedang yang berharga mahal.
Demikianlah! wanita bernama Fuki Zima itu segera mohon diri. Yuriko pada waktu itu menanyakan
pada ibunya tentang wanita itu. Fuki Zima segera tu-
turkan siapa dirinya, bahkan wanita itu memeluk Yu-
riko dengan tersenyum dan berkata lembut.
"Aiih...! namamu Yuriko, bukan...? ah, kau can-
tik sekali seperti ibumu. Panggillah aku bibi...! Kelak
ayahmu akan dapat bercerita tentang bibimu ini...!"
"Selamat jalan, bibi...!" Ujar Yuriko, ketika wa-
nita itu lambaikan tangan padanya dan berkata pada
istri Soku Sheba.
"Aku pasti akan datang lagi secepatnya untuk
mengembalikan pedang!" Setelah berucap demikian
Fuki Zima beranjak pergi dengan langkah cepat. Kedua
ibu dan anak itu memperhatikan wanita itu sampai le-
nyap di tikungan jalan. Sekembalinya Soku Sheba se-
gera sang istri beritahukan kedatangan wanita tadi.
Dan serahkan pedang titipannya pada suaminya.
Tercenung Soku Sheba memandang pedang
yang indah itu. Wajahnya tampak mengalami peroba-
han dengan tiba-tiba. Akan tetapi cepat-cepat Soku
Sheba menutupinya dengan tersenyum.
"Ah, benarlah dia itu saudara sepupu ku, ma...!
Apakah tak datang bersama suaminya?" Ujar Soku
Sheba. Padahal di hati laki-laki ini timbul semacam pe-
rang batin yang hebat. Ternyata Fuki Zima adalah be-
kas kekasihnya. Pedang itu adalah pedang lambang
cinta kasih mereka, yang diukirkan dengan sepasang
burung Hong pada mata pedang.
Soku Sheba pernah berjanji tak akan kawin
dengan wanita manapun kecuali dengan Fuki Zima.
Tapi kenyataannya Soku Sheba menikah dengan
SHINTOMI. Karena Fuki Zima tak pernah muncul sete-
lah sejak lama dinantinya.
Bahkan Soku Sheba tak mengetahui lagi dima-
na Fuki Zima berada.
Mengapa setelah 15 tahun terlewat Fuki Zima
baru muncul...? Sentak Soku Sheba. Dan dia datang
cuma meminjam Pedang Pusaka warisan gurunya itu
yang tak pernah dipakai.
Semalam-malaman Soku Sheba tak bisa tidur.
Tentu saja kegelisahan itu diketahui istrinya. Akan te-
tapi Shintomi pura-pura tak mengetahui.
Tengah malam di saat istrinya tidur lelap, Soku
Sheba keluar dengan pelahan menuju ruang tengah.
Ternyata menghampiri dinding dimana pedang beruki-
ran burung Hong itu tergantung menggantikan pedang
Pusaka miliknya.
Tergetar jantung laki-laki ini ketika melihat pa-
da sepasang burung Hong itu. Seakan terbayang lagi
kisah cinta dimana mereka masih memadu kasih pada
lima belas tahun yang silam.
Tiba-tiba lengannya sudah bergerak memasuk-
kan kembali pedang itu dalam serangkanya. Soku
Sheba ingat sekali, pada gagang pedang telah dibuat
sebuah ruang yang dipergunakan untuk menyimpan
surat. Jari-jari lengannya telah bergerak memutarkan
gagang pedang itu. Benar saja. Dalam rongga gagang
pedang itu terdapat segulung kertas kecil.
Dengan penerangan lilin di atas meja disudut
ruangan, Soku Sheba membaca tulisan pada kertas
kecil itu.
"Aku akan mengembalikan pedangmu, tapi aku
tak mau datang ke rumahmu!
Datanglah ke Lembah Sakura pada malam pur-
nama depan.
Aku menantimu...!
Istrimu cantik sekali, Soku Sheba...!
FUKI ZIMA.
Berdebar hati Soku Sheba. Akan tetapi cepat-
cepat masukkan kertas itu untuk ditelannya segera.
Dia amat mengkhawatirkan istrinya mengetahui. Sege-
ra Soku Sheba kemasi lagi pedang itu pada tempatnya.
Lalu beranjak masuk ke kamarnya. Tersenyum
laki-laki ini melihat istrinya masih tidur lelap dengan
posisi semula.
Dengan pelahan Soku Sheba kembali rebahkan
tubuhnya di samping sang istri yang amat dikasihi itu.
Aku tak dapat mengkhianati istriku, akan tetapi aku
memang harus menjumpainya untuk menjelaskan du-
duk perkaranya! Fikir Soku Sheba.
Malam purnama yang dijanjikan itupun tiba.
Aneh! Justru malam itu Shintomi minta izin menginap
dirumah ibunya bersama Yuriko.
Akan tetapi Soku Sheba tak berfikir jauh, sege-
ra mengizinkannya. Menjelang kepergian mereka Soku
Sheba pun berangkat menuju ke lembah Sakura den-
gan membawa pedang berukiran sepasang burung
Hong itu, dan pertemuan kedua insan yang pernah
memadu kasih dan cinta itupun terjadi....
"Kau belum bersuami Fuki Zima...?" Tanya So-
ku Sheba yang sudah membuka percakapan. Fuki ZI-
MA duduk di atas batu tak bergeming. Dilengannya
tercekal pedang Soku Sheba.
"Kukira pertanyaan itu tak patut kau lontarkan
padaku, Soku Sheba! Bukankah pedang cinta kasih
dari kisah asmara kita selalu berada di dekat ku? Pe-
dang itu seolah dirimu sendiri...! Patutkah aku
mengkhianatinya? Sepasang burung Hong itu laksana
aku dengan kau!
Namun kenyataan pahit sudah ku alami. Aku
menikah dengan wanita lain!" berkata Fuki Zima den-
gan suara ketus. "Maafkanlah aku Fuki... ! keadaan
sudah terlanjur begini! aku tak dapat mengkhianati istriku!" Berkata Soku Sheba dengan suara lemah terge-
tar. Sebenarnya Soku Sheba segera akan mengemuka-
kan beberapa alasan hingga dia tak menepati janji ka-
sih yang telah mereka ikrarkan berdua. Akan tetapi
Fuki Zima sudah keluarkan kata-kata sinis.
"Heh! Aku bukan datang untuk mengemis cinta
mu, Soku Sheba! Aku mau mengembalikan pedang mi-
likmu ini! Aku sudah mengetahui kau menikah sejak
10 tahun yang lalu. Nah, dapat kau bayangkan betapa
sakit dan pedihnya hatiku! Tapi aku rela...! aku rela
kau pergi dari sisiku! Semoga kau bahagia dengan ke-
hidupan yang telah kau tempuh itu, Soku Sheba...!
Nah kau terimalah pedangmu!" Seraya berkata , Fuki
Zima sodorkan pedang samurai yang dipinjamnya pada
si laki-laki bekas kekasihnya itu.
***
SEMBILAN
SOKU SHEBA agak berat menerima pedangnya
kembali. Namun dia sudah ulurkan lengannya me-
nyambuti. "Nah, kembalikan pedang titipan ku itu!"
Berkata, Fuki Zima dengan nada tak berubah. Sejenak
Soku Sheba memperhatikan pedang yang pernah
membawa kisah cinta antara mereka berdua itu. Na-
mun segera telah sodorkan pada wanita itu dengan
berkata.
"Sekali lagi aku mohon maafmu, Fuki Zima!"
Akan tetapi Fuki Zima tertawa sinis seraya menyambu-
ti pedang berukiran sepasang burung Hong itu.
"Hihihi... sudahlah! Di antara kita sudah tak
ada hubungan apa-apa lagi! Pedang ini sudah tak
mempunyai arti lagi, Soku Sheba!" Seraya berkata tiba
tiba lengan Fuki Zima sudah bergerak membantingkan
pedang itu ke atas batu. TRRAKK...! Sekejap pedang
yang pernah membawa kisah asmara mereka sudah
patah menjadi beberapa bagian. Terkejut Suku Sheba.
Akan tetapi wanita itu telah berkata.
"Hmm, pada Pedang Pusaka milikmu yang ku
pinjam itu ku ukirkan namaku! dan kupindahkan pula
lambang sepasang burung Hong sebagai pengganti pe-
dang lama! Nah, kalau kau ingat diriku,
kau boleh pandangi gambar sepasang burung
Hong itu! Dan akan segera kau ingat aku...! walaupun
aku sudah tak mengharapkan kau lagi! Pedang itu kini
kunamakan PEDANG ASMARA GILA!" Setelah berkata
demikian Fuki Zima berkelebat pergi dengan perden-
garkan suara tertawa pedih. Tertawa yang seperti me-
nangis. Sekejap saja tubuhnya telah lenyap di antara
rimbunnya pepohonan....
Terperangah Soku Sheba. Terasa hatinya seper-
ti terbawa pergi. Akan tetapi dia sudah menghela na-
pas. Dapat dirasakan betapa wanita itu menanggung
siksa karena gagal dalam mengharap kebahagiaan hi-
dup bersama dengan laki-laki yang pernah didamba-
kannya. Terasa lemah lunglai tubuh laki-laki itu. Ha-
tinya membatin. Betapa berdosanya aku...! Betapa su-
cinya cintanya...! Namun segalanya sudah terlanjur.
Laki-laki ini perdengarkan helaan nafasnya. Sementara
lengannya sudah bergerak perlahan menarik pedang
yang dinamai Pedang Asmara Gila oleh Fuki Zima. Be-
nar saja! Pada bilah pedang terdapat ukiran sepasang
burung Hong. Akan tetapi burung itu tidak seperti
lambang yang dulu. Karena ukiran burung Hong itu
masing-masing terpisah dengan kepala sama membe-
lakangi. Itulah pertanda kisah asmara mereka telah
bertolak belakang. Ketika membalik bila pedangnya, di
situ sudah terukir nama FUKI ZIMA. Termangu-mangu
Soku Sheba. Benar saja seperti ucapan bekas kekasih-
nya itu. Karena segera kisah cinta mereka di masa da-
hulu telah terbayang kembali di matanya.
Bahkan yang lebih luar biasa adalah. sinar pe-
dang itu telah memancarkan hawa pengaruh cinta be-
rahi yang menggebu-gebu. Terperangah Soku Sheba.
Akan tetapi Soku Sheba tak menyadari bahwa pedang
itu kini telah terisi semacam ilmu gaib yang mempen-
garuhi jiwanya. Dengan terengah-engah cepat-cepat
Soku Shema masukkan lagi bila pedang itu pada se-
rangkanya.
"Fuki Zima...! Menyesal aku tak mengawini
mu.... Fuki Zima.... tahukah kau bahwa cintaku amat
besar padamu?" Terdengar bibirnya berdesahan me-
luncurkan kata-kata. Dengan membawa berahi yang
masih tak kunjung reda, Soku Sheba berkelebat pergi
tinggalkan lembah Sakura. Setiba di rumah barulah
dia sadar kalau istri dan anak gadisnya tak ada di ru-
mah. Akan tetapi anehnya sang istri tak lama sudah
muncul kembali. Ternyata pada sepertiga malam dia
telah batalkan menginap di rumah ibunya.
"Mana Yuriko...?" Tanya Soku Sheba, karena
tak melihat anak gadisnya turut serta. "Anak itu te-
ruskan menginap! Biarlah Neneknya amat rindu pa-
danya." Sahut Shitomi pendek.
"Kau... kau mengapa tak jadi menginap?" Tanya
Soku Sheba dengan pandangan mata nanar menatap
istrinya.
"Ah, tak apa-apa...! Aku takut kau kesepian
sendirian di rumah!" Sahut sang istri. Soku Sheba ter-
senyum. "Ya, biarlah...! Sekali-sekali kita toh perlu
mengenang masa pengantin baru..." Ujar Soku Sheba.
Shintomi tersenyum seraya masuk ke peraduan....
-----oooOooo
Malam itu Soku Sheba bagaikan seekor kuda
jalang yang menjalankan tugasnya dengan napas
menggebu-gebu. Akan tetapi dimatanya bukanlah wa-
jah istrinya, melainkan wajah FUKI ZIMA....
Akan tetapi menjelang pagi, ketika Soku Sheba
masih tertidur pulas, sang istri terbatuk-batuk hebat
dan muntahkan darah kental berwarna hitam. Tentu
saja membuat dia terkejut. Dengan panik Soku Sheba
berlari ke arah rumah tetangga yang agak berjauhan
untuk memberi bantuan menolong istrinya. Sayang,
bermacam pengobatan dilakukan, namun nyawa Shin-
tomi tak dapat tertolong lagi. Akan tetapi sebelum
hembuskan napas yang terakhir, sang istri tersenyum
menatapnya. Senyum itu begitu pedih terlihat oleh So-
ku Sheba. Akan tetapi sang istri tak mengucapkan ka-
ta-kata lain, selain berpesan agar menjaga Yuriko baik-
baik. Sesaat kemudian istri Soku Sheba yang setia itu-
pun lepaskan nyawanya
Dan sejak Soku Sheba menetap di lembah tak
bernama itu, telah terjadi satu peristiwa yang amat
terkutuk. Soku Sheba dalam kesepiannya telah kem-
bali loloskan pedang Asmara Gila. Kembali terpandang
ukiran sepasang burung Hong. Juga sebuah nama
yang terukir di balik bilah pedang itu. Sepasang ma-
tanya pun kembali nanar. Dan... Yuriko si anak gadis
yang amat disayanginya telah menjadi korban pelam-
piasan nafsu terkutuknya. Hingga Yuriko dalam kea-
daan baju terkoyak-koyak dan tubuh lemah lunglai
melarikan diri di saat Soku Sheba tertidur menggeros.
Yang didesiskan dari mulutnya tak lain dari nama FU-
KI ZIMA.
Dan kejadian tragis tak dapat terelakkan lagi.
Yuriko membunuh diri dengan melompat dari atas teb-
ing.... Terperangah Miyazaki mendengar penuturan
Soku Sheba.
"Jadi kau... kau telah lakukan perbuatan terku-
tuk dengan anak gadismu sendiri...?" Berkata Miyazaki
seperti menggumam. Soku Sheba terangguk-angguk
dengan cucurkan air mata yang deras mengalir mem-
basahi sepasang pipinya. Sang adik seperguruan cuma
bisa menarik napas dengan trenyuh. Jelas bekas keka-
sih Soku Sheba itu telah sengaja membalas dendam!
Pikirnya. Pedang itu telah mengandung satu kekuatan
gaib yang menimbulkan berahi... Tumbuh di hati Miya-
zaki untuk memusnahkan pedang itu. akan tetapi dia
khawatir kekuatan berahi akan menyerangnya. Akhir-
nya Miyazaki menetap di Lembah tak bernama itu me-
rawat Soku Sheba. Bahkan beberapa tahun kemudian
tempat itu telah dipasangi bermacam jebakan. Karena
khawatir ada orang yang mencuri Pedang Asmara Gila.
Miyazaki ternyata seorang wanita yang berkepandaian
tinggi dan berotak cerdas. Siang malam bekerja tak
mengenal lelah untuk membuat bermacam jebakan.
Rumah tua itu telah "disulap" Miyazaki menjadi tempat
yang angker. Miyazaki tinggalkan Lembah tak bernama
itu, setelah merampungkan pembuatan jebakan-
jebakan rahasia itu.
Tinggallah Soku Sheba sendiri di rumah tua
itu. Dan lembah tak bernama itu pada sepuluh tahun
kemudian mempunyai nama yang memang sangat se-
suai dengan kenyataan. Yaitu Lembah AIR MATA. Ka-
rena sering terlihat seorang kakek berjubah putih, du-
duk di atas batu di depan rumah tua itu sambil me-
niup serulingnya. Tiupan seruling itu bernada sedih,
memilukan hati. Dan akan terlihat wajah kakek tua
berkaki buntung itu mencucurkan air mata...
***
SEPULUH
BEBERAPA HARI KEMUDIAN.... Di Lembah Air
Mata telah bermunculan puluhan Ninja mengepung
rumah tua itu dari perbagai Penjuru. Ninja-Ninja itu
berpakaian serba Hijau. Gerakannya cepat sekali. Me-
reka menggali tanah di malam yang agak gelap itu.
Rembulan di langit cuma tinggal sepotong yang me-
mancarkan sinarnya. Awan hitam telah menyelubungi
hampir separuhnya. Kira-kira tiga kali penanak nasi,
beberapa Ninja telah berhasil memasuki ruangan da-
lam. Beberapa kepala bersembulan di beberapa tem-
pat. Mereka memakai topi tudung baja yang berujung
lancip. Lengan-lengan mereka memakai cakar besi
yang dipergunakan untuk mengeruk tanah. Luar bi-
asa! Mereka dapat selamat dari jebakan senjata-
senjata rahasia yang terpasang di sekitar tempat itu.
Mereka saling memberi isyarat. Segera sudah
melihat di mana adanya segunduk tanah yang mem-
punyai batu nisan bertulisan nama YURIKO. Beberapa
orang menyelinap dengan hati-hati untuk menjaga
khawatir munculnya si kakek kaki buntung bernama
Soku Sheba itu. Tak lama mereka sudah mulai meng-
gali tanah kuburan. Cepat sekali beberapa
Ninja itu bekerja. Tak Sama peti mati sudah
berhasil terkorek. Kini tinggal lagi membuka tutupnya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras. Tiga
orang Ninja terjungkal jatuh dengan pekik kematian.
Beberapa Ninja segera berlompatan membantu. Ter-
nyata di ruangan itu telah muncul seorang wanita yang
memakai cadar hitam penutup muka.
"Keparat...! Kalian tak akan dapat memiliki Pe-
dang Pusaka itu!" Bentaknya. Dan di lengannya sudah
tercekal sebuah kebutan bergagang Emas. Dialah guru
Hamada. Beberapa lengan sudah muncul dari dalam
tanah menarik kakinya. Terkejut wanita bercadar hi-
tam itu. Kebutannya telah bergerak menyambar.
PRAK! PRRAKK...! Tanah menyemburat, dan
lengan-lengan Ninja itu putus berpentalan. Belasan pi-
sau tiba-tiba berdesir meluruk ke arahnya. Akan tetapi
dengan sebat dia sudah lakukan salto. Lengannya ge-
rakkan kebutannya menghalau.
JEP! JEP! JEP...! Tiga orang Ninja roboh terke-
na sambaran balik dari pisau-pisau terbang yang dis-
ampoknya. Beberapa Ninja segera lemparkan tali pen-
jerat. Namun belum sempat tali-tali mengenai sasaran,
tubuh wanita bercadar itu telah lebih dulu melompat
menerjang. Beberapa sosok tubuh kembali terjungkal.
Sebat sekali si wanita itu melompat ke dalam lubang.
Dua orang Ninja kembali dihajar roboh oleh kebutan
mautnya. Lengannya bergerak cepat membuka tutup
Peti Mati. Tampak mayat seorang wanita yang sudah
tak berbentuk lagi. Dan Pedang Pusaka itu tergeletak
di atasnya. Cepat sekali dia meraihnya. Sekejap sudah
berada di tangannya. Dan dengan sebat sudah melom-
pat ke atas menjebolkan atap wuwungan rumah. Ter-
dengar suara bergedubrakan.... Si wanita bercadar itu
sudah berada di atas wuwungan. Akan tetapi puluhan
anak panah telah meluruk ke arahnya.
Wanita ini segera gunakan senjatanya untuk
memukul buyer puluhan anak panah. Dan di lain ke-
jap dia sudah melesat dari wuwungan rumah ke balik
semak lebat di bawahnya. Lalu lenyap tak ketahuan
lagi ke mana perginya.
"Kejaarrr...!" Terdengar suara teriakan. Dan pu-
luhan Ninja sudah berlompatan mengejarnya.
-----oooOooo
Si wanita bercadar itu pergunakan kelincahan-
nya untuk cepat meninggalkan Lembah Air Mata. Ha-
tinya sudah girang karena Ninja-Ninja Hijau itu takkan
dapat mengejarnya. Beberapa saat kemudian dia telah
berada di atas bukit. Namun sungguh di luar dugaan.
Karena di hadapannya telah berdiri beberapa sosok
tubuh yang sudah siap merentangkan busur panah.
Siap memanggang tubuhnya. Di tengah-tengah barisan
Ninja Hijau itu tegak berdiri si Setan Tanah Higei Ta-
naka. Lengkap dengan topi tudung lebarnya.
"Hm, serahkan pedang itu! Berkata Higei Tana-
ka dengan suara dingin. Akan tetapi wanita bercadar
ini mendenguskan hidungnya.
"Huh, kau kira semudah itu Higei Tanaka...?
Pedang ini bukanlah Pedang Pusaka Kerajaan yang hi-
lang itu! Akan tetapi pedang pusaka milik Soku Sheba!
Pedang ini mempunyai riwayat tersendiri, yang tak bo-
leh lain orang memilikinya!"
"Akan tetapi baiklah akan aku serahkan pada-
mu, kalau kau suruh orang-orangmu itu pergi!" Ujar si
wanita bercadar.
"Hm, baik...! Apakah kau mampu melarikan diri
kalau kau berdusta?" Berkata Higei Tanaka. Segera dia
tepukkan lengan tiga kali. Sekejap para Ninja Hijau itu
berkelebatan lenyap. Tersenyum si wanita itu. Sepa-
sang matanya jalang menatap pada Higei Tanaka. Ka-
kinya pun beranjak melangkah ke arah laki-laki itu.
Sementara Higei Tanaka telah siap-siap menghadapi
kalau terjadi sesuatu. Sepasang lengannya mencekal
tongkatnya erat-erat.
"Apakah kau percaya kalau kukatakan pedang
ini bukan milik Kerajaan?" Tanya wanita itu,
"Hm, MITONI SAKEDA...! Aku perlu bukti un-
tuk melihatnya!" Ucap Higei Tanaka. Wanita ini tam-
pak tatapkan matanya tajam-tajam pada laki-laki di
hadapannya. "Heh!? Agaknya kau telah mengetahui
siapa diriku...!" Terkejut wanita ini. Karena sudah be-
lasan tahun dia menyembunyikan diri di Kota Raja,
ternyata Higei Tanaka bekas panglima Kerajaan dari
Kaisar lama itu mengetahui siapa dirinya.
"Heh! Sudah sejak lama aku mengetahui, pe-
rempuan bejat! Kaulah si penyebar fitnah keji, hingga
aku dipecat dari jabatanku sebagai Panglima Kerajaan!
Hubunganmu dengan HOKAIDO si Wali Kota itu, kau
fitnahkan padaku! Ketahuilah! Si Hokaido itu telah
kubunuh mampus! Kedua anakmu Kori Syima dan Su-
zi telah berada di Lembah Pedang! Mereka tak boleh
mengetahui urusan kita. Dan hari ini setelah kau se-
rahkan pedang Pusaka itu, kau harus serahkan pula
nyawamu...!" Berkata si Setan Tanah Higei Tanaka
yang amat mendendam pada wanita bekas selir Kaisar
ini. Akan tetapi wanita itu cuma tersenyum seraya
ucapnya lirih.
"Hm, aku sudah mengetahui dari HUYIMA... si
pembantuku itu! Sudahlah, Higei Tanaka...! Kejadian
lama itu tak usah kau ungkit lagi! Sebenarnya aku tak
main gila pada Hokaido! Aku sebenarnya amat mencin-
taimu, Higei Tanaka...! Aku adalah wanita malang yang
gagal menemukan kebahagiaan! Kehidupanku di Ista-
na sebagai selir tidaklah membahagiakan ku! Selama
itu aku mencari dan mencari di manakah letak keba-
hagiaan itu? Sejak Kaisar mulai tak memperhatikan ku
lagi, timbullah niatku untuk minta cerai! Diam-diam
aku mencintaimu. Karena kulihat kau tak punya seo-
rang istripun, tak kusangka kalau niatku itu kau tolak
mentah-mentah! Aku sengaja memfitnah mu agar kau
dipecat. Setelah aku pasti akan dicerai Kaisar. Tujua-
nku adalah kembali mendekatimu, karena dengan be-
basnya aku, kau pasti sudi menjadikan aku istrimu...!"
Berkata demikian, tampak sepasang mata Mitoni Sakeda cucurkan air mata.
Membuat Higei Tanaka jadi tercenung. Tak me-
nyangka kalau demikianlah halnya. Sementara Mitoni
Sakeda telah teruskan lagi bicaranya.
"Pedang Pusaka ini silahkanlah kau periksa...!
Bagiku tak keberatan kalau kau ingin memilikinya! Te-
busannya pasti amat besar dari Kaisar. Siapa tahu kau
bisa memangku jabatan lagi di Kerajaan Merak Hi-
jau...!" Seraya berkata Mitoni Sakeda lepaskan cadar
penutup wajahnya, dan sodorkan gagang pedang pada
Higei Tanaka. Agak terpana laki-laki ini melihat wajah
Mitoni Sakeda, yang masih tak berubah kecantikan-
nya. Namun lengannya sudah terulur untuk menyam-
buti Pedang yang disodorkan padanya. Hatinya diam-
diam membatin. Hm, kalau benar ini pedang Pusaka
Kerajaan, pasti akan ada ukiran burung Merak pada
bilah pedangnya! Sekejap Higei Tanaka telah cabut pe-
dang samurai itu dari serangkanya.
Segera membersitlah hawa aneh yang mengge-
tarkan jantung, ketika menatap gambar ukiran sepa-
sang burung Hong yang saling membelakangi. Dan di
sebaliknya tertera sebuah name FUKI ZIMA. Siapakah
Fuki Zima... ? Sentak hatinya. Jelas pedang itu bukan
pedang Pusaka Kerajaan walaupun sarang pedang dan
gagangnya amat mirip. Karena ketika masih menjabat
sebagai Panglima Kerajaan, Higei Tanaka pernah meli-
hatnya.
"Nama yang tertera di situ adalah namaku, Hi-
gei Tanaka...! Sudah kukatakan pedang itu bukanlah
pedang Pusaka Kerajaan. itu adalah pedang milik Soku
Sheba. Pedang yang membawa kisah cinta kami yang
gagal! Pedang itu kunamakan PEDANG ASMARA GI-
LA...!" Berkata Mitoni Sakeda alias Fuki Zima. Seraya
sudah beranjak mendekati Higei Tanaka. Ketika lengan
wanita itu bergerak menyibakkan celah pakaiannya di
dada, segera tersembul sepasang payudaranya yang
putih. Kedua benda membulat itu bergerak-gerak keti-
ka wanita itu bergerak melangkah kian mendekat. Se-
pasang mata Higei Tanaka jadi berubah nyalang. Hawa
berahi yang di timbulkan dari pedang yang sudah ter-
salurkan ilmu gaib yang hebat itu telah merasuk ke
otaknya. Tergetar dada laki-laki itu, tak terasa pedang
yang di genggamnya sudah terlepas jatuh. Topi tu-
dungnya segera sudah disibakkan. Dan... sepasang
lengannya sudah mendekap tubuh wanita itu.
"Fuki Zima... ah, namamu amat indah kedenga-
rannya. Aku... aku menyesal menolakmu menjadi is-
triku, Fuki Zima...!" Ucapnya dengan
suara-suara gemetar. Sepasang matanya men-
gatup merasakan gesekan tubuh Fuki Zima, yang
menggeliat dalam pelukannya. Dan... lengan laki-laki
itu sudah menyelusup semakin jauh. Pakaian wanita
itupun ditanggalkan helai demi helai bersamaan den-
gan tanggalnya pakaian Higei Tanaka yang dibenahi
lengan halus wanita itu.
"Aku amat mencintaimu Higei Tanaka ...." Ber-
kata Fuki Zima dengan suara berdesah. Tenggorokan
Higei Tanaka seperti kering tersumbat. Dan... di pon-
dongnya tubuh wanita itu untuk dibaringkan di re-
rumputan. Sekejap saja Higei Tanaka telah seperti
orang kesurupan yang menggeluti tubuh wanita itu
dengan hempasan-hempasan tubuhnya.... Bergelinjan-
gan tubuh si wanita itu, menggeliat-geliat dengan bibir
berdesahan. Sementara di hati si wanita bernama Fuki
Zima alias Mitoni Sakeda itu sudah membatin. Hihihi...
akhirnya kau jatuh juga di tanganku, Higei Tanaka
yang sombong! Dan direngkuhnya tubuh laki-laki itu
untuk melampiaskan segenap kepuasannya.... Akan
tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar sebuah benta-
kan menggeledek! Sebuah bayangan putih berkelebat....
"FUKI ZIMA...! Kau mampuslah sekarang...!"
Satu sambaran dahsyat menderu menghantam kedua
tubuh yang tengah bergelinjangan itu. Terperangah Hi-
gei Tanaka. Detik itu juga dia sudah gulingkan tubuh-
nya dengan cepat dari atas tubuh si
wanita. Bersamaan dengan itu, terdengar suara
berderak keras.
BRRASSS...! Dan diiringi teriakan menyayat ha-
ti, segera terlihat tubuh Fuki Zima berhamburan isi
perutnya terkena hantaman pukulan lengan seseo-
rang. Ketika dia melihat siapa yang datang, ternyata
adalah seorang laki-laki tua berkaki buntung terman-
gu-mangu menatap tubuh wanita itu yang sudah le-
paskan nyawanya dengan seketika. Dialah SOKU
SHEBA. Belum lagi Higei Tanaka sempat berbuat se-
suatu, lengan si kakek itu sudah menyambar pedang
Asmara Gila yang tergeletak di sisi tubuh Fuki Zima.
Dan sudah berkelebat melompat ke atas sebuah batu
besar. Terdengar suara SREEK...! Dia telah masukkan
pedang itu dalam serangkanya.
Cepat-cepat Higei Tanaka sambar pakaiannya,
dan kenakan dengan cepat. Higei Tanaka sendiri terke-
jut, dan baru tersadar kalau dia telah lakukan perbua-
tan di luar kesadarannya.
***
SEBELAS
"AH, siapakah kau orang tua...? Terima kasih!
kau telah membuat aku sadar walaupun nyaris nya-
waku melayang!" Tanya Higei Tanaka. Laki-laki tua
berkaki buntung sebatas lutut itu balikkan tubuhnya,
seraya menatap pada Higei Tanaka.
Aku SOKU SHEBA. Si penghuni Lembah Air
Mata! Pedang ini benar seperti kata wanita bejat itu! Ini
pedang keparat yang harus dimusnahkan! Pedang ini
berisi ilmu gaib yang amat dahsyat, yang telah di isi
oleh seorang wanita penyihir yang bergelar si Iblis Naga
Merah!" Wanita ini adalah bekas kekasihku...! kau li-
hatlah, wajahnya mengalami perubahan...!" Berkata
Soku Sheba.
Pada saat itu telah berkelebat dua buah bayan-
gan ke atas bukit itu, yang perdengarkan teriakannya.
"Ibuuuu...!" Sekejap dua sosok tubuh itu sudah
berdiri dekat tubuh wanita itu. Akan tetapi seketika
mereka jadi terperanjat. Karena sudah memekik heran.
"Ah...!? dia bibi HUYIMA...!" Terperangah ke
dua gadis itu..
"Dia adalah guruku...!" Terdengar seseorang
berkata. Dan sesosok tubuh berkelebat lagi muncul di-
barengi sosok tubuh lainnya yang berambut beriapan.
Kiranya Hamada yang barusan berkata, dan Roro Cen-
til yang menyusul di belakang. "Ah, ternyata guru ku
itu tak lain dari bibi Huyima...!?" Terdengar lagi pemu-
da bernama Hamada itu menyambung kata-katanya.
Sepasang matanya dapat melihat senjata kebutan dan
cadar hitam yang selalu dikenakan wanita itu. Kini ba-
rulah dia dapat melihat jelas wajah gurunya, yang se-
lama ini selalu memakai cadar penutup muka.
"Hehehehe.... pantas! pantas dia melarangmu
untuk pergi ke Lembah Pedang. Karena kau menolak
untuk melayani kehendaknya, bukankah begitu Ha-
mada?" Tiba-tiba muncul pula kakek Mitsui di tempat
itu.
Hamada cepat-cepat palingkan wajahnya den-
gan bersemu merah. Kata-kata kakek itu memang ti-
dak salah. Hamada pernah menolak hasrat gurunya,
hingga dia ditugaskan ke Lembah Air Mata untuk
mengantar nyawa. Namun beruntung dia selama dari
jebakan maut. Akan tetapi sang guru yang ternyata
HUYIMA itu telah menjebloskannya ke dalam lubang
bawah tanah bersama-sama dengan kakek Mitsui dan
Roro Centil. Disamping heran, mereka juga merasa
ngeri melihat keadaan tubuh wanita itu yang sudah
hancur isi perutnya, bahkan hingga sampai sebatas
paha. Tentu saja barang terlarang wanita itu tak keli-
hatan lagi.
Korisyima tiba-tiba menekap mukanya, dan te-
lah menangis terisak-isak. Suzi cepat-cepat memeluk-
nya. Akan tetapi pada saat itu sudah terdengar suara
Hamada. "Oh. lihat.. ! Kulit muka dan tubuhnya telah
berubah semua." Tersentak Korisyima, yang segera le-
paskan lagi tekapan lengannya yang menutupi wajah-
nya. Bukan saja Korisyima yang terbelalak, akan tetapi
semua yang berada di situ belalakkan matanya mena-
tap pada tubuh wanita itu.
Ternyata kulit tubuh dan muka wanita itu telah
berubah lagi menjadi lebih mengerikan. Karena sudah
menjadi keriput macam kulit nenek-nenek. Rambutnya
pun berubah memutih. Dan wajahnya mirip seorang
nenek tua yang mirip tengkorak.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap suara
kaki-kaki kuda mendatangi. Ternyata sepasukan
laskar Kerajaan yang dipimpin oleh seorang panglima
Kerajaan Merak Hijau. Jelas terlihat dari pakaiannya
dari seorang penunggang Kuda paling depan. Sebentar
saja telah mengurung mereka dari beberapa penjuru.
"HIGEI TANAKA...! Dan kalian semua yang be-
rada di sini, atas perintah Kaisar kalian ditangkap!"
Bentak Panglima Kerajaan itu. Dialah yang bernama
Panglima SHOGUN. Tentu saja mereka semua jadi me-
longok. Kecuali Higei Tanaka yang sudah melompat kehadapan Panglima itu.
"Maaf, panglima! kalau aku mau ditangkap ka-
rena telah membunuh Hokaido, aku akan serahkan di-
riku...! Akan tetapi mereka semua tak mempunyai ke-
salahan apa-apa. Mengapa harus pula ditangkap...?"
Berkata Higei Tanaka.
"Heh! Kau bukan saja telah membunuh Hokai-
do, Wali Kota itu, akan tetapi Juga telah merencana-
kan pemberontakan...!" Bentak Panglima Shogun den-
gan wajah gusar.
"Dan satu hal lagi. Kau telah mencuri Pedang
Pusaka Kerajaan yang lenyap ketika kau dipecat dari
jabatanmu oleh Kaisar!" Tambah Panglima itu. Terke-
jut Higei Tanaka karena dia tak merasa melakukan hal
itu. Akan tetapi baru dia mau menjawab, sudah ter-
dengar suara yang menyambar terlebih dulu disertai
bergerak mendekat seekor kuda dengan penunggang-
nya. "Heh! manusia busuk...! Ketahuilah! Kami telah
menggeledah markasmu di Lembah Pedang! Dan telah
kami jumpai Pedang Pusaka Kerajaan ini di kamar
mu!" Ternyata yang bicara adalah seorang pemuda
berpakaian mewah yang menyandang samurai di ping-
gang. Lengannya bergerak menurunkan sebuah pe-
dang terbungkus kain hitam dari punggung. Segera dia
sudah membukanya. Pemuda ini tak lain dari HASYI
GATO si anak Wali Kota Hokaido itu.
"Inilah Pedang Pusaka Kerajaan yang hilang se-
lama lebih dari sepuluh tahun itu! Pantas selama ini
Kerajaan tak mengalami kemajuan...! Bahkan banyak
musibah terjadi...!" Sekali lihat saja Higei Tanaka su-
dah mengetahui kalau benda itu adalah Pedang Pusa-
ka Kerajaan, karena saat itu juga Hatsyi Gato sudah
mencabut Pedang Pusaka itu. dan terlihatlah gambar
ukiran seekor burung Merak yang tampak seperti me-
nyala terkena sinar bulan.
Dengan mendengus Hatsyi Gato segera masuk-
kan lagi pedang itu ke dalam serangka. Dan cepat
membuntalnya.
"Higei Tanaka! Kau lihat lambang tanda keka-
saran di tanganku ini? Bersujudlah untuk kami ring-
kus!" Berkata demikian Panglima Shogun keluarkan
sebuah medali berukiran Merak terbuat dari emas
yang bertatahkan permata warna merah dan hijau.
Lambang itu adalah lambang Kekaisaran. Siapa yang
memegang benda itu berarti telah menjadi wakil kai-
sar. Dan berhak menangkap siapa saja. Terperangah
seketika Higei Tanaka. Akan tetapi Higei Tanaka tak
mau bersujud. Bahkan bertolak pinggang dengan wa-
jah menampilkan kemarahan.
"Panglima! Kalau aku bersalah, aku rela di-
tangkap. Akan tetapi kesalahanku cuma membunuh
seorang penguasa yang telah menyelundupkan harta
kekayaan Kerajaan! Apakah aku dapat dipersalahkan?
Dan aku sama sekali, tak pernah menyimpan benda
Kerajaan apa pun di Pasanggrahan Lembah Pedang...!"
Apakah kau mau mungkir dengan bukti di tan-
gan kami?!" Membentak si Panglima dengan menggele-
dek. Dan hampir melejit sepasang mata Hatsyi Gato
mendengar kata-kata Higei Tanaka. Karena ayahnya
dianggap penyelundup harta kekayaan Kerajaan. Na-
mun hatinya sudah tersentak kaget. Hah!? dari mana
dia mengetahui...? Ternyata bukan saja Hatsyi Gato
yang terkejut, akan tetapi wajah si Panglima Shogun
itupun seketika pucat. Namun cepat nutupi dengan
membentak menggeledek.
HIGEI TANAKA...! kau berani melawan perintah
Kaisar...?" Dan lengannya sudah terangkat ke atas,
serta memberi perintah pada laskarnya.
"Pengawal...! tangkap manusia pemberontak
ini...!" Sekejap beberapa belas pengawal sudah melompat dari punggung kuda dengan tombak dan pedang
terhunus mengurung Higei Tanaka.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ben-
takan keras dari arah belakang Panglima Shogun.
"Tunggu...!" Seekor kuda dilarikan dengan cepat, me-
nyeruak dari belakang laskar. Ternyata yang datang
adalah Kaisar KOTSYI NAGOYA. Bukan main terperan-
jatnya Panglima Shogun dan Hatsyi Gato. Seketika wa-
jah mereka jadi pucat. Ternyata Kaisar Hatsyi Gato te-
lah menyaru menjadi salah seorang laskar yang men-
gikut di belakang Panglima Shogun. Tentu saja dengan
membawa lebih dari sepuluh perwira Kerajaan pen-
gawal pribadinya, yang juga menyaru menjadi para
laskar golongan prajurit.
"Hm, Panglima Shogun...! kau takkan dapat
menutupi lagi belang mu! Kau telah berkomplot den-
gan Hokaido untuk berbuat kejahatan! Aku sudah
menggrebek tempat rahasia penyimpanan harta ke-
kayaan Kerajaan selundupan mu! Dan kau Hatsyi Ga-
to! Perbuatanmu di luaran telah membuat malu orang-
orang Kerajaan! Ayahmu si Hokaido itu pantas mati,
karena pedang Pusaka Kerajaan itu dialah yang men-
curinya! Kalian diam-diam telah merencanakan pem-
berontakan menggulingkan Kekuasaanku sebagai Kai-
sar Kerajaan Merak Hijau! Lemparkan lambang palsu-
mu yang tak berguna itu...!" Berkata Kaisar Kotsyi Na-
goya.
Serentak belasan pengawal yang mengurung
Higei Tanaka jatuhkan diri berlutut di hadapan Kaisar.
Begitu juga para laskar lainnya yang berada di bela-
kang panglima Shogun. Serentak melompat dari kuda,
dan berlutut tundukkan kepala. Sebelas orang pen-
gawal pribadi Kaisar segera bangkit setelah mendengar
perintah dari Kaisarnya.
"Pengawal pribadiku...! kalian ringkuslah kedua
orang pengkhianat ini...!" Pucat piaslah wajah Pangli-
ma Shogun dan Hatsyi Gato. Namun kedua orang ini
telah keprak kudanya, yang segera mencongklang ka-
bur.
"Tangkap mereka hidup atau mati!" Teriak Kai-
sar memberi perintah. Keadaan pun berubah panik.
Suara ringkik kuda hiruk pikuk berbaur dengan teria-
kan-teriakan para pengawal yang mengejar kedua
pemberontak itu. Di luar dugaan dua orang pengawal
telah mendekati Kaisar. Dua buah samurai telah me-
luncur deras ke arah leher laki-laki Pemimpin Kerajaan
itu. Akan tetapi pada saat itu telah berkelebat sebuah
bayangan merah, dan...
TRANG...! BUK! BUK...! Kedua pedang samurai
itu telah terlempar ke udara diiringi jerit kesakitan,
dan robohnya kedua pengawal gadungan itu terjeng-
kang dari atas kuda.
Terkejut Kaisar Kotsyi Nagoya. Segera di men-
getahui nyawanya barusan saja bakal melayang kalau
tak ada yang menolong menyelamatkannya. Ternyata
RORO CENTIL telah bertindak cepat menghantam ter-
jangan kedua pedang samurai yang mengarah mene-
bas leher Kaisar, dengan senjata Rantai Genitnya.
Berbareng dengan menghantam kedua dada
pengawal gadungan itu dengan tendangan kaki dan
hantaman tinjunya. Untung hantaman itu tak begitu
keras. Cuma membuat mereka rasakan dadanya men-
jadi sesak. Akan tetapi tahu-tahu sepasang lengan ga-
dis Pendekar Pantai Selatan itu telah mencengkeram
tengkuk mereka. Dan diseret ke hadapan Kaisar. Bebe-
rapa pengawal Pribadi Kaisar cuma menatap dengan
tertegun.
"Silahkan Kaisar beri hukuman pada dua orang
pengawal gadungan ini!" Berkata Roro seraya menjura.
Di samping terkejut, sang Kaisar ini juga bergirang karena nyawanya telah selamat. Terkejut karena
yang menolong menyelamatkan nyawanya adalah seo-
rang gadis asing yang baru sekali ini dilihatnya.
"Siapakah namamu gadis asing...? Ah, terima
kasih atas bantuan mu!"
"Namaku RORO CENTIL..."
"Dialah yang bergelar si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan, Tuanku Kaisar!" yang namanya terkenal di
seantero Pulau Jawa. Bahkan sampai ke Pulau Anda-
las ...!" Tiba-tiba terdengar satu suara dari kejauhan,
yang kemudian berkelebat muncul seorang wanita be-
rusia cukup tua. Sikapnya gagah. Mencekal sebuah
tongkat berkepala naga berwarna merah.
Terkejut Roro Centil melihat wanita ini. Karena
justru wanita inilah yang tengah dicarinya. Yaitu wani-
ta yang berdiam di lereng Gunung BUKKYO. Sepasang
mata wanita inipun membersit tajam menatap Roro.
Tiba-tiba dia telah kirimkan suara jarak jauh yang me-
nyelusup ke telinga Roro.
"Hihihi... kau wanita pendekar yang hebat, Roro
Centil! Berani mengarungi lautan untuk menerima tan-
tanganku...! Kutunggu kau di Lembah Air Mata!" Akan
tetapi pada saat itu Soku Sheba telah perdengarkan
bentakannya.
"IBLIS NAGA MERAH...! aku akan adu jiwa
denganmu ..." Dan tubuh kakek buntung itu telah me-
lompat dari atas batu.
WHUUKKK...! Sebelah lengannya telah meng-
hantam. Akan tetapi dengan perdengarkan suara din-
gin si wanita itu telah melesat melambung tinggi dan
berjumpalitan di udara.
Hebat...! Memuji Roro dalam hati. Kalau bukan
orang yang mempunyai ilmu meringankan tubuh yang
sudah sangat sempurna, tak mungkin dapat melaku-
kan itu. Karena ujung kaki si wanita itu tak membuat
bergoyangnya daun sedikitpun.
"Hihihi... hik hik hik...! SOKU SHEBA...! kau te-
lah membunuh muridku, si Fuki Zima itu! Seharusnya
aku mencabut nyawamu saat ini juga! Akan tetapi tak
apalah, aku kasihan padamu yang sudah terlalu men-
derita...! Aku masih punya urusan dengan si wanita
asing Pendekar Wanita Pantai Selatan itu! aku tak da-
pat melayanimu...!" Setelah berkata demikian, tubuh
wanita itupun berkelebat lenyap. Akan tetapi Soku
Sheba telah melesat untuk mengejarnya...
Melihat demikian Roro Centil pun cepat-cepat
menjura pada Kaisar.
"Maaf, Kaisar...! Akupun harus pergi".
Belum sempat Kaisar mencegahnya, tubuh Ro-
ro Centil sudah berkelebat, lenyap menyusul Soku
Sheba. Tercenung sang Kaisar ini, akan tetapi dia su-
dah palingkan kepalanya menatap kedua pengawal ga-
dungan itu. Ternyata kedua pengawal itu telah tak da-
pat gerakkan tubuhnya lagi, karena Roro Centil telah
menotoknya. Dengan menggeram gusar Kaisar Kotsyi
Nagoya cabut pedang samurainya.
Dua kali lengannya bergerak menabas.
Kepalanya menggelinding lepas dari tubuhnya...
-------ooOoo-------
Panglima Shogun tak dapat berlari jauh, karena
sekejap dia sudah terkepung oleh barisan Ninja anak
buah Higei Tanaka. Hingga para perwira Kerajaan itu
dapat menyusulnya. Karena merasa tak dapat melo-
loskan diri lagi. Panglima Shogun telah gunakan pe-
dang samurainya untuk membunuh diri...
Sementara itu Kotsyi Nagoya telah didapat ter-
susul oleh si Setan Tanah, Higei Tanaka. Pertarungan
pun segera terjadi. Akan tetapi mana Kotsyi Nagoya
mampu menandingi kepandaian Higei Tanaka. Tak la-
ma pemuda hidung belang itu sudah perdengarkan je-
ritan mautnya. Tubuhnya tembus terpanggang tongkat
baja hitam laki-laki bekas panglima Kerajaan itu.
Kaisar Kotsyi Nagoya amat bersuka cita atas
bantuan Kotsyi Nagoya, yang telah serahkan pedang
Pusaka Kerajaan Merak Hijau padanya. Sementara Hi-
gei Tanaka hampir saja membenci pihak Kerajaan, ka-
rena ulah si Wali Kota HOKAIDO yang pernah mence-
gatnya dengan mempergunakan pengawal Kerajaan
untuk membunuhnya.
"Terima kasih Kotsyi Nagoya! Segeralah datang
ke Istana! Sudah selayaknya kau menerima jabatanmu
kembali...! Selama ini aku telah terkecoh karena kela-
laian ku! Hingga si Hokaido dan Panglima Shogun itu
nyaris menggulingkan kekuasaanku sebagai Kaisar...!"
Berkata Kaisar.
Kotsyi Nagoya menekuk lutut di hadapan Kai-
sar dengan membungkuk beberapa kali.
"Terima kasih, Paduka Kaisar..!" Ucap Higei Ta-
naka dengan air mata berlinang karena terharu dan
bahagianya.
Tak berapa lama pasukan Kerajaan sudah me-
ninggalkan bukit di atas Lembah Air Mata itu dengan
bergemuruh. Diiringi dengan pasukan Nina Hijau yang
telah membawa kemenangan gemilang. HIGEI TANAKA
berada di tengah-tengah anak buahnya.... Kemanakah
gerangan Korisyima, Suzi dan pemuda bernama Ha-
mada itu?
Ternyata mereka berada d barisan depan, di
samping Kaisar Kotsyi Nagoya dengan masing-masing
mengendarai kuda.
***
DUA BELAS
RORO CENTIL yang memiliki ilmu lari cepat
yang amat luar biasa itu sudah dapat bayangan tubuh
Soku Sheba. Bahkan di hadapan si kakek kaki bun-
tung yang melompat-lompat pergunakan sebelah len-
gannya itu telah kelihatan tubuh si wanita bergelar IB-
LIS NAGA MERAH...
Ternyata di tempat yang terbuka itu si Iblis Na-
ga Merah hentikan gerakan larinya. Agaknya dia me-
mang mencari tempat yang baik untuk bertanding ilmu
dengan Roro Centil. Tentu saja dia sudah mengetahui
kalau si kakek Soku Sheba itu memburunya. Sesaat
laki-laki kaki buntung itu sudah tiba di hadapannya.
Tampak di sebelah lengan Soku Sheba masih tergeng-
gam Pedang Asmara Gila.
"Hihi... Soku Sheba! Apakah kau manusia yang
tak dapat dikasihani? Kau mengejarku cuma mengan-
tar nyawa saja!" Ucapnya dengan suara dingin.
"Iblis keparat...! Dengan ilmu gaib yang kau isi
dalam pedang Pusakaku ini, secara langsung kaulah si
penyebab kematian anak gadisku YURIKO!" Bentak
Soku Sheba dengan menggeram beringas.
Saat itu Roro Centil sudah tiba pula di tempat
itu. Kakek Soku Sheba, biarlah kau wakilkan aku un-
tuk menghajarnya ..!" Berkata Roro Centil yang berada
di belakang Soku Sheba. Laki-laki kaki buntung ini
tanpa menoleh, luncurkan kata-kata.
"Ada permusuhan apakah kau dengannya, ga-
dis asing...?"
"Hihihi... seorang Pendekar kalau ditantang
bertarung, walaupun yang menantangnya berada di
ujung langit harus dipenuhi!" Berkata Roro.
"Nah! Kedatanganku adalah menemuinya un
tuk menerima tantangannya!" Melengak Soku Sheba.
Namun hatinya diam-diam memuji akan kejantanan si
gadis asing itu. Pada saat itu sesosok tubuh telah pula
berkelebat ke tempat itu. Ternyata kakek Matsui.
"Nona Roro Centil! Jadi diakah yang kau kata-
kan "sahabat"mu itu...?" Bertanya kakek Matsui. Roro
Centil palingkan wajahnya seraya berkata.
"Benar kakek Matsui! Aku tak tahu apakah aku
harus terkubur di Lembah Air Mata ini, kelak! Tapi ku
mohon padamu pada permintaan terakhir ku, sudikah
kau mengabulkannya...?" Berkata Roro dengan laku-
kan pertanyaan aneh. Karena belum apa-apa sudah
mau pesan kata-kata.
"Pasti aku kabulkan, Nona Pendekar Roro!" Sa-
hut Kakek Matsui, dengan hati kebat-kebit juga. Kha-
watir kalau benar-benar si gadis asing yang pernah
menolongnya dari lubang bawah tanah itu tewas dalam
pertarungan.
"Bagus! Tolong kau pinjam seruling si kakek
Soku Sheba ini, dan kau tiupkan seruling mu di atas
Kuburan ku sambil menangis selama 100 tahun!" Ujar
Roro. "Ah...!? usiaku saja mungkin tinggal beberapa
tahun lagi. Mana mungkin hal itu kulakukan?" Tukas
si kakek Mitsui dengan tertawa mengakak terkekeh-
kekeh...
Akan tetapi pada saat itu si Iblis Naga Merah
telah membentak dengan suara dingin. "RORO CEN-
TIL...! Kata-katamu membuat kepalaku menjadi besar,
akan tetapi mengecilkan jantungku! Kau telah lakukan
hinaan yang teramat besar padaku!" Roro Centil kre-
nyitkan keningnya. "Hihihi... aku berkata apa adanya!
Itulah adat orang Jawa! Aku merendahkan diri bukan
dengan maksud menghinamu!" Sahut Roro Centil den-
gan tersenyum jumawa.
Akan tetap si Iblis Naga Merah telah perdengar
kan tertawa sinis disertai bentakan keras. "Baik! Se-
saat lagi kau benar-benar akan terkubur di Lembah
ini! Tak seekor semutpun menangisi kematianmu! Ka-
rena setelah kau mampus, kedua kambing-kambing
tua itupun akan menyusul kepergianmu ke Akhirat...!"
Selesai berkata wanita itu gerakkan tongkat
berkepala Naga Merah itu memutar cepat. Segera sege-
lombang angin bergulung-gulung membersit menerjang
ke arah Roro. Soku Sheba cepat menyingkir. Mau tak
mau dia harus mengalah untuk menyaksikan perta-
rungan maut itu.
Roro Centil bentangkan lengannya ke depan
menyalurkan tenaga dahsyat untuk menghantam ge-
lombang angin yang menerpanya. Inilah satu jurus da-
ri Pantai Selatan yang dinamakan Taufan Melanda Ka-
rang. Hebat akibatnya. Serangkum angin dahsyat telah
menerjang gulungan angin yang menggebu itu.
WHUSSSSSS...!
PRRAAASSSSS" KRRRAK...! BHUMMM...!
Si Iblis Naga Merah perdengarkan teriakan ter-
tahan kekuatan gelombang anginnya tak mampu me-
nahan terjangan dahsyat itu. Tubuhnya terlempar wa-
lau dia sudah melompat setinggi dua puluh tombak.
Sementara dengan deras, rangkuman angin
pukulan Roro terus meluncur menerabas apa yang
menghalangi di belakang wanita itu. Tiga bongkah batu
besar terungkit lepas berbareng dengan berderaknya
beberapa batang pohon besar yang tercabut jebol
akarnya. Bagaikan diseret oleh tangan raksasa batu
dan pohon itu meluncur menghantam bukit dengan
perdengarkan suara berdebum. Batang-batang pohon
itu hancur beserpihan berikut bongkah-bongkah batu
besar itu, yang beradu dengan bukit di belakangnya.
Saat itu terdengar suara lengkingan yang ba-
gaikan membelah langit. Tubuh Roro Centil melesat
dua puluh tombak ke udara, menyusul tubuh si iblis
Naga Merah. Sekejap tubuh Roro Centil telah berada di
atas tubuh si Iblis Naga Merah yang dalam keadaan
terperangah itu. Roro Centil tak berlaku ayal. Sekali
lagi dia pertunjukkan kehebatan pukulan TAUFAN
MELANDA KARANG. Kedua lengannya telah bergerak
menghantam. "WHUUUUKK...! DHESS! Terdengar jeri-
tan menyayat hati yang cuma sekejap. Karena tubuh si
Iblis Naga Merah telah meluncur bagaikan disentakkan
tangan raksasa untuk segera amblas ke dasar bumi...!
BLASH! Sekejap saja lenyaplah tubuh wanita
jagoan Negeri Sakura itu. Roro Centil melayang ringan,
dan jejakkan kaki di sisi lubang bekas amblasnya tu-
buh lawan tarungnya. Dan terdengar suara helaan na-
fas wanita Pendekar ini yang pejamkan mata untuk
mengatur pernafasannya kembali.
Tampak asap tipis bagaikan kabut mengepul
dari lengan dan ubun-ubun si Pendekar Perkasa Pan-
tai Selatan.
Tak berapa lama asap kabut itu semakin meni-
pis, kemudian berangsur lenyap. Perlahan dia sudah
membuka sepasang matanya. Ternyata di hadapan Ro-
ro telah tegak berdiri dua sosok tubuh yang menatap-
nya dengan terperangah. Dialah Soku Sheba dan si
Kakek Matsui.
"Ah...! Hebat! hebat...! Luar biasa...!" Beberapa
kali keluar suara pujian dari mulut si kakek jangkung
itu. Sementara itu Soku Sheba telah luncurkan kata-
kata dengan suara terharu bercampur girang. Karena
ketika berbareng dengan amblasnya tubuh si Iblis Na-
ga Merah, Pedang Asmara Gila mendadak musnah,
hancur menjadi debu!
"Terima kasih, nona Pendekar...! kau telah me-
nolongku memusnahkan Pedang keparat yang telah
menghancurkan hidupku itu...!"
Segera Soku Sheba perlihatkan sisa debu dari
Pedang Asmara Gila di lengannya. Dan sedikit mence-
ritakan riwayat pedang itu pada Roro Centil. Terman-
gu-mangu gadis pendekar itu dengan bergidik ngeri.
Kakek Matsui pun menggeleng-gelengkan kepalanya
dengan menarik napas lega. Hatinya membatin. Aih,
beruntung aku tak mengalami hal seperti si Soku She-
ba. Kalau pedang itu tanpa sengaja aku yang memiliki
dan terkena hawa gaib yang menimbulkan berahi itu....
Wah, wah.... Apakah yang bakal terjadi? Tak tahulah
aku! Tak seorang pun mengetahui kalau sebenarnya si
Kakek Matsui itu adalah seorang ..... BANCI laki-laki.
-------ooOoo-------
Langit nampak cerah di permulaan musim semi
itu. Bunga-bunga Sakura bermekaran di mana-mana.
Mengorak senyum menampakkan kesuciannya bagai-
kan seorang gadis yang masih putih bersih belum per-
nah terjamah laki-laki.
RORO CENTIL tinggalkan Istana Kerajaan Me-
rak Hijau dengan meninggalkan kesan yang amat
mendalam di hati Kaisar juga penduduk negri Mataha-
ri Terbit itu. Dara Perkasa Pantai Selatan ini langkah-
kan kakinya menuju ke arah pantai... Angin laut
membersit menyibakkan rambutnya yang terurai.
Dan pada bibir gadis rupawan yang mungil itu,
tampak secercah senyum.
"Nona Roro... !" Sesosok tubuh telah berlari-lari
mengejarnya. Ternyata Hamada. Si Pemuda Ninja yang
tampan itu.
"Selamat jalan, nona Pendekar...! Ah, mengapa
begitu cepat kita berpisah...?" Berkata Hamada dengan
suara serak parau. Hatinya telah terpaut pada gadis
tanah Jawa yang gagah itu.
"Aih, Hamada...! Kalau Tuhan mentakdirkan ki-
ta dapat bertemu lagi, mungkin setelah kau punya
sembilan cucu, kita bisa bertemu lagi...!" Ujar Roro
Centil dengan tersenyum, dan kerlingkan matanya.
"Eh, yang manakah yang akan kau pilih di an-
tara kedua gadis itu? KORISYIMA ATAU SUZI...?" Ber-
tanya Roro Centil.
"Ah... ah... entahlah! aku... aku..." Hamada jadi
tergagap dengan wajah bersemu merah.
"Hihihi... kalau aku jadi kau, akan ku pilih dua-
duanya! Ucap Roro.
"Dua-duanya...?" terperangah Hamada.
Akan tetapi Roro Centil telah berkelebat pergi.
Sekejap saja telah berada di kejauhan. Tampak oleh
Hamada wanita Pendekar itu balikkan tubuhnya. Len-
gannya menggapai, dan terdengar suaranya sayup-
sayup ke telinga Hamada.
"Nah, selamat tinggal Ninja yang gagah...! Sam-
paikan salamku pada kedua gadismu...!
Sesaat antaranya tubuh wanita Pendekar Pan-
tai Selatan itupun melesat lagi. Dan lenyap di ujung ti-
tik pandangan...
Hamada gapaikan lengannya sampai bayangan
tubuh Roro Centil tak terlihat lagi. Seakan-akan masih
terngiang di telinganya kata-kata wanita Pendekar
yang dikagumi itu.
"Hihihi... kalau aku jadi kau, akan ku pilih dua-
duanya!"
Apakah Hamada akan menjadikan kedua gadis
manis itu istrinya? Entahlah...! Yang jelas laki-laki itu
sudah langkahkan kakinya untuk kembali ke Istana
Merak Hijau. Di kejauhan masih terdengar lapat-lapat
suara helaan nafasnya.....
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar