..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 16 Maret 2025

RORO CENTIL EPISODE PEDANG ASMARA GILA

matjenuh khairil

 

SATU


“YUURIKO......! YURIKOOO.....!" teriakan itu 
terdengar santar hingga berkumandang ke seluruh 
lembah.
Tampak seorang gadis berlari dengan terisak 
menangis dan tubuh terhuyung tanpa perdulikan 
panggilan terhadapnya.
Keadaan pakaiannya tak keruan lagi, yang su-
dah sobek di sana-sini dan menyingkap di beberapa 
bagian tubuhnya. Rambutnya kusut masai beruraian 
dan wajahnya tampak pucat pasi.
"Yurikoooo ....!" Kembali suara itu terdengar di 
belakangnya. Gadis ini telah berada di sisi samping 
bukit. Di hadapannya adalah lereng bukit yang terjal. 
Sesaat dia berpaling ke belakang, lalu menengadah 
menatap ke atas bukit. Tampak wajahnya berubah te-
gang. Dan dia sudah gigit bibirnya menahan isak yang 
tersendat di kerongkongan. Kemudian dengan cepat 
gadis ini sudah merayap ke atas lereng bukit terjal itu. 
Lengannya menggapai dan mencengkeram akar-akar 
pohon. Lalu mendaki terus untuk cepat tiba di atas. 
Sementara di dasar lembah, sesosok tubuh laki-laki 
berteriak-teriak memanggil nama gadis itu dengan ber-
lari ke sana ke mari di antara semak dan pepohonan. 
Ternyata dia seorang laki-laki berwajah penuh brewok, 
bercambang bauk lebat. Rambutnya tergelung di atas 
yang tertutup sehelai kain sutera berwarna kuning. 
Usianya berkisar sekitar 50 tahun. Dia bernama SOKU 
SHEBA yang mendiami dasar lembah itu.
Sebuah pedang SAMURAI tampak di pinggang-
nya. Laki-laki ini jelalatkan sepasang matanya ke se-
tiap tempat, mencari-cari kalau-kalau terlihat bayan-
gan tubuh gadis bernama Yuriko itu. Setiap semak di

sibakkannya, bahkan di balik bongkah-bongkah batu 
besar. Akan tetapi tak dijumpai gadis itu sembunyi di 
sana. Kembali dia berkelebatan mencari-cari sambil 
berteriak-teriak memanggil nama sang gadis.
Tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara yang 
berkumandang sampai ke telinganya. Suara yang ter-
dengar bercampur isak menyedihkan. Itulah suara Yu-
riko, yang seperti tengah berdo'a. Apakah yang dilihat-
nya? Gadis itu berada di atas bukit terjal. Pada lamp-
ing batu bukit yang paling sisi sekali. Hah! Apa yang 
akan dilakukannya...? Sentak hati laki-laki brewok ini 
yang sudah dapat melihat di mana adanya gadis itu.
"YURIKOOO...! Jangan kau lakukan itu! sadar-
lah anakku...! kasihanilah ayahmu! Maafkanlah aku...! 
ampunilah kekhilapan ku...!" Teriak laki-laki ini den-
gan suara parau mengandung isak. Tampak setitik air 
bening telah menitik turun ke pipinya.
Akan tetapi sudah terlambat... Gadis itu sudah 
terjunkan diri ke dasar lembah. Tubuhnya melayang
ke bawah dengan derasnya diiringi jerit me-
nyayat hati. Tersentak jantung laki-laki ini, dia sudah 
berlari dengan cepat untuk memburunya. Akan tetapi 
sudah terdengar suara tubuh yang jatuh ke dasar lem-
bah. Laki-laki ini berlari mengejar menerjang semak, 
menerobos ranting yang menghalangi jalan.
Dan tak berapa lama sudah terpampang di ha-
dapannya sebuah pemandangan yang menggiriskan 
hati. Gadis itu terkapar dengan keadaan tubuh remuk 
berlumuran darah di atas batu di dasar lembah....
"YURIKOOOO....!" Jeritnya dengan suara parau. 
Sekejap dia sudah melompat untuk memburu ke arah 
tubuh gadis itu. Tak lama sudah memeluki tubuh yang 
sudah tak bernyawa itu dengan menangis terisak-isak 
bagai anak kecil.
Laki-laki brewok itu cucurkan air mata yang

mengalir tiada henti. Sementara angin keras member-
sit dari arah bukit. Bunga-bunga Sakura yang berwar-
na seputih salju itu berjatuhan meluruk ke tanah. Se-
perti juga air mata laki-laki brewok itu yang turun de-
ras membasahi pipinya.
-------ooOoo-------
Sejak kejadian itu dari arah lembah sering ter-
dengar suara tiupan seruling, yang mengalun dengan 
nada-nada yang memilukan hati. Ternyata ditiup oleh 
si laki-laki brewok bernama Soku Sheba itu. Akan te-
tapi laki-laki itu sudah tidak brewok lagi. Kumis dan 
jenggotnya yang lebat hitam sudah tercukur bersih. 
Bahkan rambutnya sudah lenyap. Karena dia sudah 
menjadi seorang paderi yang berkepala gundul plon-
tos....
Dan sejak sepuluh tahun kemudian lembah itu 
sudah dikenal orang dengan nama LEMBAH AIR MA-
TA.
Bangunan rumah tua di dasar lembah itu ma-
sih berdiri tegak, walaupun tembok-temboknya sudah 
rapuh dan penuh lumut. Bila setiap malam bulan pur-
nama akan terlihat seorang laki-laki tua berkepala 
gundul, tengah meniup serulingnya. Kumis dan jeng-
gotnya tampak panjang terjuntai memutih.
Duduk di atas sebongkah batu besar di depan 
rumah tua itu. Dialah Soku Sheba. Suara serulingnya 
mengalunkan nada-nada sedih memilukan hati, yang 
menggugah perasaan bagi setiap orang yang menden-
garnya.
Suatu malan purnama, ketika dia tengah asyik 
mengalunkan suara serulingnya, sesosok tubuh telah 
berkelebat memasuki halaman rumah tua itu. Gera-
kannya lincah sekali tak menimbulkan suara. Wajah

nya hampir tak terlihat, karena tertutup dengan kain 
topeng warna hitam. Demikian juga pakaiannya. Cuma 
sepasang matanya saja yang terlihat terbuka. Dan 
mempunyai sorot mata tajam. Tampak dilihatnya Soku 
Sheba duduk di atas batu. Membelakangi rumah tua 
yang mempunyai halaman luas, dikelilingi rapat oleh 
belukar dan pepohonan.
Ternyata penyelundup yang menyatroni rumah 
tua di dasar lembah itu bertambah dua orang lagi,
yang telah berkelebat muncul dari balik semak. Orang 
yang pertama muncul tadi segera memberi isyarat agar 
berhati-hati. Rencana untuk memasuki rumah tua se-
cara sembunyi itu memang telah diatur terlebih dulu. 
Yaitu salah seorang berjaga-jaga mengawasi si kakek 
peniup seruling. Sementara dua orang lagi segera me-
nyelinap ke belakang rumah tua. Akan tetapi tiba-tiba 
terdengar teriakan menyayat hati. Baru saja dua sosok 
tubuh kawannya itu jejakkan kaki ke batu undakan di 
belakang rumah tua itu, justru kaki-kaki mereka me-
nyentuh kawat-kawat halus yang terpasang di sana. 
Entah dari mana munculnya, tahu-tahu puluhan anak 
panah telah meluruk deras ke arah mereka yang da-
tang dari tiga penjuru.
Tak ampun lagi kedua tubuh penyelundup itu 
sudah terpanggang oleh belasan anak panah. Dan ro-
boh berkelojotan. Sekejap kemudian mereka tewas se-
ketika.
Terkejut si penyelundup berjaga di luar. Dili-
hatnya si kakek jubah putih peniup suling itu sudah 
hentikan tiupan serulingnya. Tak ayal lagi dia segera 
melompat cepat, dan lenyap di balik pepohonan rim-
bun. Tampak Soku Sheba kerutkan keningnya. Alisnya 
yang putih itu bergerak menyatu. Sepasang matanya 
masih terpejam, akan tetapi pada pipinya masih me-
nampakkan bekas-bekas air mata yang mengalir turun.
"Heh!? NINJA-NINJA keparat dari mana lagi 
yang datang menyatroni ke tempatku yang tenang 
ini...?" Gumamnya.
Tiba-tiba tubuhnya bergerak melesat dari atas
batu. Ah! Kiranya sepasang kaki kakek itu buntung
sebatas lutut, akan tetapi dengan menekan sebelah
lengannya ke batu tempat duduknya, tubuhnya sudah 
melesat seperti terbang....
Meluncur cepat bagaikan bayangan hantu pu-
tih. Sekejap saja sudah melewati rimbunnya puncak 
pepohonan yang memagari sekitar rumah tua.
"Berhenti...!" Satu bentakan keras sudah ber-
kumandang di dalam lembah. Mencabik keheningan 
malam yang mencekam itu.
Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di hadapan 
laki-laki baju hitam bertopeng yang mau melarikan di-
ri. Sepasang mata laki-laki di balik topeng itu terbela-
lak. Akan tetapi lengannya sudah bergerak cepat me-
lemparkan sebuah benda yang dibantingkan ke tanah. 
Dan... BHUSSSS...! Asap putih bergumpalan menye-
bar. Bersamaan dengan lenyapnya asap itu, tubuh si 
laki-laki topeng hitam itupun melenyap tak berbekas.
"Kurang Ajar...!" Memaki Soku Sheba. Dan tu-
buhnya pun berkelebatan mencari jejak si penyelun-
dup yang melarikan diri itu. Akan tetapi tak lagi di 
jumpainya. Sekejap kemudian dia sudah melesat lagi 
ke arah batu tempat duduknya di depan rumah tua.
Agak lama Soku Sheba termangu tak bergem-
ing. Namun sesaat antaranya, lengannya sudah berge-
rak menempelkan lagi serulingnya ke atas bibir.
Tak lama segera terdengar suara seruling yang 
di tiupnya, mengalunkan nada-nada sedih yang meng-
hanyutkan perasaan...
Suasana sekitar rumah tua itu kembali sunyi

seperti tadi. Sementara rembulan semakin merayap di 
balik awan dan mega. Cuma suara seruling bernada 
sedih itulah yang terdengar, seperti memadu dengan 
irama jengkerik dan binatang-binatang malam.
Kita ikuti ke mana perginya Ninja yang berhasil 
melarikan diri itu. Ternyata dia sudah berada jauh di 
atas lembah. Dan dengan sebat telah berkelebat cepat 
menuju ke arah utara.
Sesaat dia telah menahan langkahnya. Sayup-
sayup telinganya sudah mendengar lagi irama seruling 
bernada sedih dari dasar lembah. Laki-laki Ninja ini 
perdengarkan suara menghela napas. Lalu kembali 
berkelebat ke arah utara.
Sekejap sudah melenyap di balik bukit....
***
DUA


"GURU...! Hamba gagal menjalankan tugas". 
Dua orang kawan yang menyertai hamba telah tewas! 
Ternyata di sekeliling rumah tua di Lembah Air Mata 
itu telah dipasangi perangkap...!"
Berkata laki-laki ini di hadapan seorang wanita 
yang duduk di atas tikar permadani. Wajahnya tak ter-
lihat seluruhnya, karena memakai penutup wajah dari 
kain tipis dari sutera warna hitam. Cuma sepasang 
matanya saja yang mempunyai sinar tajam membersit 
menatap pada laki-laki di hadapannya. Sinar mata 
yang seperti bersinar aneh. Karena seperti mengan-
dung kebencian dan kekecewaan mendalam terhadap 
sang murid. Pakaiannya terbuat dari bahan kain sute-
ra berkembang-kembang warna ungu. Sesuai dengan 
tradisi pakaian rakyat JEPANG pada saat itu, adalah
memakai pakaian Kimono yang punya ciri khas ter-
sendiri.
"HAMADA...! Kau dengarlah! Aku tak mau 
mendengar kegagalan itu! Yang kuharapkan adalah 
hasilnya! Kalau kau cuma pulang untuk melaporkan 
kegagalan saja, mengapa kau tidak mampus saja seka-
lian di sana?" Bentak wanita itu dengan suara dingin.
Sebuah lengannya bergerak meraih sebuah ke-
butan yang terbuat dari buntut kuda dengan gagang 
dari emas yang berkilauan. Sesaat dia sudah bangkit 
berdiri, Lalu ucapnya lagi.
"Aku telah beri waktu padamu selama tiga pe-
kan! Kalau kau tak berhasil mendapatkan PEDANG 
itu! Nah, silahkan membunuh diri! Berarti kau tak pa-
tut menyandang gelar NINJA!"
Setelah berucap demikian, wanita itupun be-
ranjak masuk ke kamarnya. Tercenung laki-laki ber-
nama Hamada ini. Dia sudah tak mengenakan topeng 
lagi pada wajahnya. Kini terlihatlah wajahnya. Ternya-
ta dia seorang pemuda yang tampan. Beralis tebal. 
Bermata agak sipit mirip mata burung elang.
Tak lama dia sudah keluar dari ruangan ge-
dung itu dengan kepala menunduk. Lalu menutup lagi 
pintu ruangan. Dua orang penjaga segera memberinya 
jalan untuk lewat. Hamada menuruni tangga undakan 
batu yang memanjanq. melintas di tengah kolam. Sete-
lah melewati dua orang penjaga lagi segera telah bera-
da di luar halaman gedung.
"Aku telah memberi waktu padamu selama tiga 
pekan! Kalau kau tak berhasil mendapatkan pedang 
itu! Silahkan kau membunuh diri...! Berarti kau tak 
patut menyandang gelar NINJA!" Kata-kata Miyazaki 
seperti terngiang lagi di telinganya. Sambil berjalan ce-
pat pemuda ini bergelut sendiri dengan bermacam pi-
kiran di benaknya.

"Ah, umurku tinggal tiga pekan lagi...! Bahkan 
sudah berkurang sehari!" Desisnya perlahan. Pemuda 
bernama Hamada ini tak mengenakan pakaian hitam-
nya, akan tetapi berpakaian serba putih dengan sehe-
lai kain tebal berwarna kuning membelit di pinggang. 
Dadanya dibiarkan terbuka separuh. Tiba-tiba Hama-
da hentikan langkahnya dan termenung sejenak.
"Hm, sebaiknya aku ke rumah kakek MATSUI 
dulu untuk meminta pendapatnya, sekalian menemui 
KORISYIMA... Aku sudah rindu padanya. Serta men-
gabari kematian Watanabe dan Hirosyi!" Gumam Ha-
mada.
Berfikir demikian segera Hamada membelok ke 
arah timur.
Tak berapa lama setelah melewati deretan ru-
mah para pegawai dari Istana MERAK HIJAU, segera 
tiba di batas kota.
Tiba di tempat yang sunyi ini Hamada segera 
pergunakan ilmu lari cepatnya agar lekas tiba di tem-
pat tujuan.
Saat itu tanpa disadari Hamada telah dibuntuti 
oleh seseorang yang memakai topi tudung. Di lengan-
nya mencekal tongkat kayu yang ditaruh di atas pun-
dak. Pada ujung tongkat di belakang punggung, tam-
pak sebuah buntalan dari kain yang sudah bertambal. 
Wajahnya tak begitu kentara karena tertutup topi tu-
dungnya yang lebar hampir melesak menutupi ma-
tanya.
Aneh dan misterius gerakan dan langkah kaki 
orang bertudung ini. Karena hampir setiap tempat 
tampaknya telah dihapalnya. Hingga dengan memo-
tong jalan, selalu tak berada jauh dari Hamada yang
dikuntitnya.
Ketika tiba di batas kota, pada jalan yang sunyi 
itu dilihatnya Hamada sudah berkelebat memperguna

kan ilmu lari cepatnya.
Laki-laki bertudung yang misterius ini bergerak 
ke arah kiri, dan menyelinap ke balik hutan bambu 
kuning. Dan langkahnya segera dipercepat. Agaknya 
sengaja mau menerobos untuk memotong jalan. Tak 
lama dia sudah berada di jalan setapak. Akan tetapi 
langkah kakinya sesaat sudah merandek terhenti. Se-
pasang matanya melirik ke sekitarnya yang rimbun 
dengan pepohonan.
Kecurigaannya memang beralasan. Karena se-
kejap kemudian beberapa sosok tubuh sudah berkele-
batan menghadang, yang muncul dari arah depan, kiri 
dan kanan.
Rata-rata mereka berpakaian seragam warna 
hijau dengan masing-masing memakai topi tudung ke-
cil berwarna merah. Tahulah laki-laki bertudung lebar 
ini kalau mereka adalah orang-orang laskar Kerajaan 
Merak Hijau.
"Hm, apakah maksud kalian menghadang lang-
kahku.? Aku merasa bukan seorang pencuri atau bu-
ronan Kerajaan...!"Berkata si laki-laki bertudung. Akan 
tetapi kelima orang itu masing-masing mencabut pe-
dang Samurainya, dan bergerak mengurung semakin 
rapat.
Tak ada jawaban dari mereka selain segera me-
nerjang dengan pedang-pedangnya. Terkejut laki-laki 
bertudung ini. Tentu saja hal itu tak dibiarkan begitu 
saja. Karena melindungi nyawanya adalah satu kewaji-
ban mutlak. Apalagi dia merasa tak bersalah dan... 
WHUT! WHUT! WHUT...! TRANG! TRANG...! TRANG...! 
Ternyata si laki-laki bertudung lebar bukan orang 
sembarangan. Bahkan tongkat kayunya itu ternyata 
adalah sebuah tongkat dari baja hitam, Tiga terjangan 
Samurai itu berhasil ditangkis dengan sebat. Salah 
seorang yang menabas dari arah belakang terpaksa

harus menjerit kesakitan karena tongkat baja si laki-
laki bertudung lebar itu telah menyodok ke dadanya. 
Seketika roboh terjengkang. TRANG...! BUK!
Bahkan seorang penyerang kena dihantam pe-
dangnya hingga terlepas. Dan buntalan kainnya telah 
menggebuk kepala si penyerang itu, hingga tubuhnya
berpusing. Lalu roboh tersungkur.
Terkejut tiga orang penghadang itu. Serentak 
segera berlompatan, dan kembali telah mengurungnya.
"Katakan! apakah kesalahanku...!" Membentak 
laki-laki bertudung itu. Namun lagi-lagi jawabannya 
adalah serangan ganas ke arah tubuh dan kepalanya.
"Keparat...! Jangan salahkan aku kalau aku 
terpaksa membela diri!" Teriak laki-laki, bertudung itu 
dengan geram. Tongkat di lengannya bergerak memu-
tar dibarengi dengan melompat setinggi satu tombak. 
TRRRRRANGGG.....!
Terperangah ketiga penyerang itu, karena seka-
ligus pedang mereka telah berpentalan. Belum hilang 
terkejutnya sepasang kaki si laki-laki bertudung telah 
berkelebatan cepat sekali.
DES! DES! DES...!
Tiga tubuh mereka terjungkal roboh diiringi te-
riakan parau yang hampir bersamaan saling susul. 
Tampaknya laki-laki ini memang bukan manusia ke-
jam. Karena mereka cuma dihajar saja tanpa menemui 
kematian. Sekejap laki-laki bertudung itu telah melesat 
cerah ke arah depan. Kesempatan itu dipergunakan 
sebaik-baiknya untuk kembali teruskan niatnya me-
nyusul Hamada.
Sementara itu Hamada telah tiba di suatu per-
kampungan sunyi yang terpencil, setelah membelok ke 
arah timur. Jalan yang ditempuhnya memang menuju 
ke timur. Justru si laki-laki bertudung lebar itu telah 
menunggunya di ujung jalan yang akan dilaluinya.

"He? Siapa orang itu...! Desis Hamada yang su-
dah perlambat larinya. Sebelum Hamada melewati laki-
laki bertudung itu, laki-laki itu sudah balikkan tubuh, 
dan berjalan cepat di hadapannya. Entah sengaja en-
tah tidak dari sakunya terjatuh segulung kertas. Cepat 
sekali jalannya laki-laki bertudung itu, sekejap sudah 
membelok ke sisi jalan di lereng bukit.
Hamada sudah mau berteriak memberitahu-
kan, akan tetapi segera diurungkan. Seketika segera 
sudah diingatnya laki-laki barusan pernah dilihatnya 
di jalan Kota Raja yang ramai. Bahkan sudah dua kali 
dia melirik memergoki. Akan tetapi Hamada memang 
tak menyadari kalau diam-diam laki-laki itu memang 
sengaja menguntitnya. Apakah sengaja mencari tempat 
sepi untuk memberikan segulung kertas yang seperti 
sengaja dijatuhkan di hadapannya?
Tak ayal cepat dipungutnya gulungan kertas 
itu. Cepat-cepat dibukanya. Segera terlihat tulisan 
dengan huruf besar-besar.
KALAU MAU MENJADI NINJA TULEN SEGERA-
LAH DATANG KE LEMBAH PEDANG!
 HIGEI TANAKA SI SETAN TANAH.
Tercenung sejenak Hamada membaca tulisan 
itu. Akan tetapi hatinya segera terlonjak girang. Karena 
justru dia memang sedang kebingungan memikirkan 
nyawanya yang tinggal tiga pekan lagi. Kalau gagal dia 
mencuri pedang atas perintah gurunya. Tak ada jalan 
lain baginya selain membunuh diri. Karena itulah sa-
lah satu dari jalan terbaik bagi seorang NINJA.
Akan tetapi tiba-tiba sesosok tubuh telah me-
lompat keluar dari balik pagar.
"Eh, apakah yang kau temukan, Hamada.?"

Terkejut pemuda ini. Segera sudah mengenali siapa 
yang datang. Otaknya bekerja cepat mencari akal un-
tuk menyembunyikan gulungan kertas kecil itu. Tiba-
tiba terpandang kakinya yang kotor. Barusan di jalan 
ketika melompati parit, terkena cepretan lumpur.
"Aih, bibi,! dari mana kau? Kakiku kena koto-
ran kerbau. Kebetulan kutemukan kertas ini di jalan..." 
Berkata pemuda ini menyahuti.
Seraya gulungan kertas itu sudah digunakan 
untuk membersihkan lumpur di kakinya. Tentu saja 
karena Hamada menekannya dengan kuat, kertas itu 
sudah hancur lusuh. Namun kakinya memang menjadi 
bersih. Selesai bersihkan kaki, bubuk kertas itu sudah 
dilemparkannya ke tanah. Dan dengan cengar-cengir 
tepuk-tepukkan tangan membersihkan sisa-sisa koto-
ran, seolah tak ada terjadi apa-apa.
"Nah, bersihlah kakiku...! Tapi ku harus men-
cucinya lagi dengan air!"
Berkata Hamada dengan wajah berseri, "Eh, bi-
bi...! mari ku bawakan sayuran mu...! Kau pasti baru 
pulang dari kebun." sambung Hamada lagi, seraya be-
ranjak mendekati wanita setengah umur itu yang men-
jinjing keranjang sayuran. Si bibi ini cuma tersenyum, 
dan berikan keranjangnya untuk dibawa Hamada.
"Kau tidak menemui Korisyima dulu?" Bertanya 
si bibi. "Dia di mana...?" Terlonjak hati Hamada.
"Ke kebun bunga dekat pancuran...!" Sahut 
sang bibi.
Hamada jadi agak kikuk. Mau membawakan 
sayuran itu dulu ke rumah yang tak berapa jauh lagi 
itu atau menemui Korisyima?.
Agaknya sang bibi ini sudah mengerti akan ke-
bimbangan pemuda itu. Segera berkata seraya sambar 
keranjang sayurnya lagi dari tangan Hamada.
"Pergilah...!" Ujarnya dengan tersenyum. Lalu

tanpa menunggu jawaban sudah balikkan tubuh un-
tuk beranjak melangkah.
"Ah, terima kasih, bi...!" Teriak Hamada. Seraya 
sudah melompat pergi menuju ke arah pancuran di be-
lakang bukit. Sementara sang bibi bergegas melangkah 
membawa keranjang sayurannya untuk cepat tiba di 
rumah. Akan tetapi langkahnya segera terhenti. Dan 
kembali balikkan tubuh. Sepasang matanya meman-
dang ke arah kertas lusuh yang sudah lumat, yang di-
lemparkan Hamada ke sisi jalan itu.
Namun cuma sekejap, karena tak lama si bibi 
ini sudah putarkan lagi tubuhnya dan melangkah ce-
pat agak bergegas.....
***
TIGA

SEORANG gadis tampak asyik memetik bebera-
pa tangkai bunga yang beraneka warna di taman bun-
ga yang teratur rapi di tempat itu. Tak jauh di dekat 
taman pancuran air yang mengalir dari gunung. Gadis 
ini berwajah cantik dan tampak lincah. Rambutnya te-
rikat dengan pita merah, terbagi dua di kiri dan kanan. 
Pakaiannya berwarna ungu.
"KORISYIMA...!" Terdengar satu suara memang-
gilnya. Dan seorang pemuda telah berada di belakang-
nya. Ternyata Hamada. Pemuda ini perlihatkan wajah 
cerah menatap si gadis yang sudah berpaling dengan 
senyum ceria menyambutnya.
"Hamada...! sudah lebih dari dua bulan kau tak 
pernah datang...! Kukira kau sudah lupakan aku di 
desa sunyi ini...!" berkata sang gadis dengan wajah ter-
tunduk. Walaupun tampaknya wajahnya berubah seperti orang kesal, akan tetapi hati gadis ini tak dapat 
dibohongi. Sesungguhnya teramat girang sekali meli-
hat kedatangan Hamada.
"Ah, banyak tugas yang harus kukerjakan di 
kota...! Eh, tadi aku berjumpa dengan ibumu. Beliau-
lah yang memberitahukan kau di sini..." ujar Hamada, 
yang segera alihkan pembicaraan.
Seraya berkata lengan pemuda ini telah meme-
tik setangkai bunga warna putih. Dan berikan pada 
Korisyima. Sang gadis tersenyum, lengannya terulur 
menyambut...
Akan tetapi saat itu juga bersyiur angin ken-
cang. Bunga yang baru digenggamnya terlepas jatuh.
"Oh...!" terkesiap gadis itu. Wajahnya berubah 
pucat. Itulah satu pertanda buruk. Menurut keper-
cayaan akan terputusnya tali perjodohan mereka. Ha-
mada juga terkejut heran, karena tahu-tahu ada angin 
keras yang datang mendadak dari arah sisi bukit. Se-
pasang matanya sudah beralih ke sana. Tampak tang-
kai bunga bergoyang. Sekilas masih terlihat sebuah 
bayangan melintas ke balik semak. Kurang ajar! pasti 
ada orang sembunyi di situ! Sentak hati Hamada. Dia 
sudah ngangakan mulut untuk membentak, akan te-
tapi segera tertahan karena sudah terdengar suara di-
iringi munculnya sesosok tubuh dari arah belakang 
mereka.
"Ah, sayang sekali gadis itu menolak cinta mu, 
sobat...! Kukira anda memang tak berjodoh dengannya! 
Tak apalah, masih banyak gadis yang cantik di dunia 
ini..." berkata orang yang baru muncul itu membuat 
Hamada segera balikkan tubuh menatapnya.
Bukan hanya Hamada yang terkejut, akan teta-
pi Korisyima juga terperanjat. Karena segera mengeta-
hui kalau orang yang di hadapannya adalah putera
Wali Kota di wilayah itu. Tampak seorang pe
muda berpakaian mewah sambil tersenyum menatap 
Hamada dan Korisyima. Sebelah lengannya mencekal 
kipas yang digerak-gerakkan mengipasi tubuhnya, dan 
sebelah lagi diletakkan di belakang punggung. Sikap-
nya amat jumawa sekali. Di pinggangnya terselip pe-
dang Samurai.
Tentu saja Hamada sudah cepat-cepat menjura 
hormat dengan bungkukkan tubuh. Demikian juga Ko-
risyima, namun segera menunduk dengan jantung 
berdetak cepat. Hatinya sudah membatin. Ah...? Aku 
merasa ada yang tak beres! Jangan-jangan ibu telah 
main sandiwara di hadapanku... Mengapa munculnya 
tepat di saat Hamada kemari...? Dan angin apakah 
yang meniup begitu keras...?
Sementara Hamada jadi serba salah. Akhirnya 
dia mohon diri. Setelah menjura sekali lagi pada laki-
laki putera Wali Kota itu, Hamada menatap pada si ga-
dis. Bibirnya sudah bergetar mau mengucapkan kata-
kata, akan tetapi suaranya tersekat di kerongkongan-
nya. Pemuda ini cuma menatap saja sejenak, lalu sege-
ra putar tubuh, dan beranjak pergi dengan cepat ting-
galkan taman bunga itu. Korisyima terperangah me-
mandangnya. Kakinya sudah melangkah untuk menge-
jar, dan berteriak.
"Hamada...!" Namun suara itu cuma pelahan 
keluar dari bibirnya. Suaranya pun terdengar agak se-
rak, karena perasaannya sudah tak keruan rasa. Seke-
jap saja tubuh Hamada sudah lenyap tak kelihatan lagi 
terhalang rimbunnya pepohonan. Korisyima tunduk-
kan wajahnya, dan bunga yang terjatuh menggeletak di 
tanah itu tertatap matanya. Sesaat dia sudah mem-
bungkuk untuk memungutnya. Akan tetapi pada saat 
itu sebuah lengan sudah terjulur, di sertai kata-kata di 
belakang telinganya.
"Aih, adik manis...! Sudahlah! Bunga itu sudah

kotor tak baik dipungut lagi. Kukira bunga ini lebih in-
dah untukmu..." Tiba-tiba jemari lengannya sudah di-
cekal lengan yang terjulur itu, dan setangkai bunga 
warna merah segera terkepal di lengannya yang ter-
paksa dicekalnya, karena saat itu si putera Wali Kota 
itu dengan cepat memaksa jemari lengannya menekuk, 
disertai dengan genggaman tangan laki-laki itu. Ter-
sentak Korisyima. Tak berdaya dia melepaskan bunga 
itu dari lengannya. Dan pelahan si putera Pembesar 
Kerajaan itu sudah mengangkatnya bangun berdiri. 
Seketika gadis ini rasakan wajahnya berubah panas, 
dan tampakkan rona merah.
"Tuan Muda...! aku... aku..." Belum lagi kata-
katanya berlanjut sudah terdengar suara berdehem di 
belakangnya disertai kata-kata.
"Ah, Korisyima, anakku...! Rupanya kau cuma 
berpura-pura saja di depan ibu! Mengapa tak sedari 
kemarin kau berterus terang? Ibu amat berbahagia 
dan beruntung punya menantu Tuan Muda HATSYI 
GATO...!"
Tersentak Korisyima mengetahui yang muncul
adalah ibunya. Tentu saja hal ini memuat dia jadi ser-
ba salah. Akan tetapi sang ibu sudah kembali berkata:
"Oh, maafkan Tuan Muda...! Ibu tak tahu anda 
berada di tempat ini...!"
Dan selanjutnya wanita setengah usia itu telah 
menjura hormat pada si putera Wali Kota dan cepat-
cepat beranjak tinggalkan taman bunga.
-ooOoo-
HAMADA tinggalkan taman bunga dekat pan-
curan itu dengan hati masygul. Betapa tidak. Satu ke-
jadian telah membuat putusnya tali cintanya pada Ko-
risyima. Kejadian barusan di taman bunga tak luput
dari mata dan pendengarannya. Karena Hamada diam-
diam menyelinap lagi untuk mengintai ke dalam ta-
man. Jelaslah sudah kalau sang bibi telah main san-
diwara di hadapannya. Dan ternyata menginginkan 
menantu si anak Wali Kota bernama Hatsyi Gato itu. 
Namun Hamada melihat jelas dari sikap dan air muka 
Korisyima, bahwa gadis itu tak setuju dengan laki-laki 
itu. Dia yakin Korisyima masih tetap mencintainya.
Akan tetapi Hamada sudah tak perduli lagi 
akan semua itu. Baginya kini nyawanya adalah lebih 
penting dari segalanya.
"Aku harus secepatnya menemui Higei Tanaka
si SETAN TANAH di Lembah Pedang...!" desis pemuda 
itu pelahan. Dan dia sudah percepat langkah kakinya. 
Apakah tak sebaiknya aku temui kakek MATSUI du-
lu...? Gumam hati Hamada. Sekonyong-konyong hati 
pemuda ini jadi bimbang. Tadinya dia sudah mau me-
neruskan perjalanan ke Lembah Pedang menemui si 
laki-laki misterius bergelar si Setan Tanah itu. Akan te-
tapi segera mengambil keputusan untuk menemui si 
kakek Matsui lebih dulu.
Segera Hamada membelok lagi ke arah selatan. 
Ternyata Hamada segan melewati rumah si bibi berhati 
palsu itu. Tujuannya adalah mengambil jalan memutar 
untuk menemui si kakek Matsui di sebuah pondok 
yang paling ujung. Sebentar saja Hamada sudah berla-
ri-lari dengan gerakan cepat untuk segera tiba di tem-
pat yang dituju.....
Sementara, di benak pemuda ini berkecamuk 
bermacam pertanyaan mengenai kejadian tadi. Siapa-
kah yang telah gunakan angin pukulan untuk mem-
buat jatuh bunga yang diberikan pada Korisyima...? 
Aneh! Tampaknya kejadian itu seperti sudah sengaja 
diatur. Dan si bibi itu seperti curiga dengan kertas 
yang kutemukan...! Aku harus mengetahui apa latar

belakang kejadian ini kelak!
Demikianlah! Dengan tekad bulat Hamada ber-
kelebat cepat untuk menemui si kakek Matsui untuk 
selanjutnya pergi ke Lembah Pedang. Kesempatan un-
tuk menjadi NINJA tulen harus terlaksana demi kese-
lamatan nyawanya.
-ooOoo-
Kakek MATSUI adalah seorang tua yang sudah 
berumur 70 tahun lebih. Kakek ini jarang bicara. Air 
mukanya tampak selalu muram, seperti sudah enggan 
menikmati sisa-sisa hidupnya. Bertubuh kurus seperti 
sudah tinggal kulit membungkus tulang. Matanya ce-
kung ke dalam. Cuma kumis dan jenggotnya saja yang 
nampak lebat menutupi bibirnya yang hampir tak keli-
hatan lagi.
Ternyata ke mana pun Hamada pergi telah di 
mata-matai oleh beberapa sosok tubuh yang bergerak 
secara sembunyi-sembunyi. Bahkan ketika tiba di ha-
laman pondok kakek Matsui. Hamada cepat meniti 
tangga batu di depan pondok. Tak lama sudah menge-
tuk pintu.
"Siapa...?" terdengar suara dari dalam. Suara 
yang terdengar parau.
"Aku, Hamada...!" Pemuda itu sudah mengenali 
suara kakek tua itu.
"Hm, masuklah...! tak dikunci!" sahut lagi sua-
ra dari dalam. Hamada segera membuka daun pintu 
dengan menggesernya pelahan. Terdengar bunyi meng-
gerit. Tak lama tubuhnya sudah tersembul ke dalam 
ruangan itu. Akan tetapi terperangah seketika Hamada 
ketika melihat si kakek Matsui dalam keadaan teran-
cam jiwanya. Karena sesosok tubuh berpakaian mirip 
NINJA telah siap menggorok leher kakek tua itu dengan belatinya yang menempel di leher kakek Matsui. 
NINJA itu berpakaian serba hijau, Belum lagi hilang 
terkejutnya tiga sosok tubuh sudah menyergapnya. 
Cepat sekali. Sekejapan saja Hamada telah kena di-
ringkus. Ternyata mereka juga Ninja-ninja yang berpa-
kaian serba hijau.
Tak sempat lagi Hamada berteriak, karena mu-
lutnya sudah segera tertutup oleh kain yang menyum-
palnya. Sehelai kain berbau harum segera ditekapkan 
ke hidungnya. Mengeluh Hamada. Sekejap saja dia su-
dah terkulai. Telinganya masih mendengar suara derap 
kaki-kaki kuda mendatangi. Akan tetapi segera lenyap, 
karena dia sudah tak ingat apa-apa lagi.
Sementara Ninja-Ninja Hijau itu sudah bekerja 
cepat meringkus si kakek Matsui yang tak bisa berbuat 
apa-apa. Tak berapa lama dua sosok tubuh sudah di-
masukkan para Ninja itu ke dalam kereta. Dua ekor 
kuda sudah menariknya dengan cepat meninggalkan 
desa terpencil itu...
***
EMPAT


KEDATANGAN seorang gadis berwajah rupawan 
dengan rambut yang terurai ke belakang itu telah men-
jadi perhatian penduduk di sekitar desa itu. Karena ca-
ra berpakaiannya berbeda dengan adat penduduk Ne-
geri Sakura. Apalagi melihat dua buah benda membu-
lat yang tergantung di pinggang, serta rantai yang 
membelit di pinggangnya yang ramping. Membuat me-
reka segera mengetahui kalau gadis pendatang itu ada-
lah orang asing.
Gadis cantik yang sikapnya agak genit itu tak

lain dari RORO CENTIL adanya. Si Pendekar Wanita 
Rantai Selatan ini entah bagaimana telah berada di sa-
tu Negeri yang berpenduduk rata-rata bermata sipit.
"Hm, entah di mana adanya desa KYUSU...! Su-
dah dua desa kujumpai, tapi penduduk di sini tak 
mengenai di mana adanya desa itu..." menggumam Ro-
ro seraya menyeka keringatnya yang menempel di dahi.
Aiii...? Aku lupa! Menurut si kakek Nelayan itu, desa 
KYUSU terletak di lereng Gunung BUKKYO! Kalau be-
gitu aku harus tanyakan di arah sebelah mana adanya 
Gunung BUKKYO itu! Berkata Roro dalam hati.
Setelah berpikir demikian, Roro segera gerak-
kan kakinya melangkah cepat. Menurut penuturan sa-
lah seorang penduduk, di sebelah depan ada sebuah 
desa lagi. Seraya melangkah tak bosan bosannya Roro 
memperhatikan pemandangan alam sekitarnya, yang 
amat indah. Bunga-bunga Sakura bertebaran di mana-
mana, juga bermacam bunga lainnya yang berwarna 
warni. Kala itu adalah permulaan musim semi, hingga 
di setiap tempat daun-daun hijau segar selalu tampak. 
Juga bermacam bunga bertebaran di sisi jalan.
Setelah melewati sebuah anak sungai dan 
mendak bukit, segeralah terlihat dari atas sebuah desa 
yang terpencil. Cuma beberapa wuwungan rumah yang 
terlihat. Sebenarnya bukit itu adalah batas dari Kota 
Raja. Dimana waktu itu di sana ada berdiri sebuah ke-
rajaan yang bernama Kerajaan MERAK HIJAU Kera-
jaan di Negeri Sakura ini di bawah pemerintahan seo-
rang Kaisar. Kira-kira menempuh jalan sepenanakan 
nasi, karena Roro sengaja berjalan tak gunakan ilmu 
lari cepat. Segera Roro sudah sampai di mulut desa
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gemuruh 
dan derap kaki-kaki kuda. Dan kira-kira dua puluh 
tombak dari hadapannya, muncul sebuah kereta ku-
da. Roro segera melompat ke sisi. Sepasang matanya
memperhatikan kereta kuda itu. Akan tetapi ternyata 
kereta kuda membelok ke arah timur.
"Aiih, kukira lewat sini...!" gumam Roro yang 
agak kecewa. Karena ingin tahu apa isi kereta yang di-
larikan dengan kencang itu. Yang membuat aneh ada-
lah si kusir kereta, karena berpakaian rapat mem-
bungkus semua tubuhnya. Kecuali sepasang matanya 
saja yang tak ditutupi.
Rasa penasaran Roro membuat diam-diam dia 
menguntitnya. Kereta kuda mencongklang cepat menu-
ju ke satu tempat tersembunyi ke belakang bukit. Sete-
lah melewati jalan berliku-liku, akhirnya berhenti, Tak 
lama pintu kereta kuda itu sudah terbuka. Dan tiga 
sosok tubuh melompat dari dalam. Pakaiannya sama 
hijau dan tertutup rapat seperti si kusir kereta. Ter-
nyata mengeluarkan dua tubuh manusia. yang terikat, 
dengan mulut tersumpal kain. Tahulah Roro kalau me-
reka adalah komplotan penculik.
"Aku harus bebaskan mereka!" desis Roro, yang 
tak tahu persoalan. Akan tetapi melihat dua orang 
yang tertawan itu membuat dia merasa harus turun 
tangan. Tak ayal Roro sudah kelebatkan tubuhnya ke 
bawah. Dan perdengarkan bentakannya.
"Tunggu...! Mau kalian bawa ke mana orang-
orang itu!"
Tentu saja membuat NINJA-NINJA HIJAU itu 
jadi belalakkan mata menatap seorang gadis asing ta-
hu-tahu muncul di situ. Tampak mereka saling pan-
dang. Saat itu dua orang baru akan memanggul tubuh 
dua korban yang terikat itu dari atas kereta. Segera 
mereka berlompatan mengurung Roro setelah salah 
seorang memberi isyarat. Gerakannya tak menimbul-
kan suara, membuat Roro cukup kagum. Hm, ingin ku 
tahu bagaimanakah kehebatan si manusia-manusia 
hijau ini! Berkata Roro dalam hati.

Segera Roro sudah siap untuk menghadapi se-
gala kemungkinan.
RRRRRRRTT...!
Tiga utas tali tahu-tahu telah meluncur ke tu-
buh Roro. Cepat sekali gerakannya. Dan tak diketahui 
di mana disimpannya tali, karena sekejap sudah me-
luncur dari lengan-lengan mereka.
"Edan...!?" sentak Roro. Dia sudah gerakkan 
tubuh untuk menghindar. Untunglah Roro cukup was-
pada. Namun tak urung dua buah tali telah menjerat 
kedua lengannya. Terkejut si gadis Pantai Selatan ini. 
Namun sebelum Ninja-ninja itu berbuat sesuatu, len-
gan Roro telah bergerak menarik tubuh mereka. Dua 
tubuh si Ninja Hijau terseret melayang. Keduanya 
tampak terkesiap kaget. Sebab sekali kedua lengan Ro-
ro bergerak menyodok ke arah perut mereka. BUK! 
BUK!...!
Dua Ninja Hijau itu terbanting ke tanah dengan 
mengerang bergulingan. Tiba-tiba Ninja satunya lagi 
melesat ke arahnya. Dua buah belati berkelebat den-
gan serangan menyilang menggunting leher. Roro cepat 
tundukkan kepala. Kakinya melayang menghantam 
pantat orang.
DHES!
Terdengar teriakan Ninja ini. Tubuhnya ter-
banting ke tanah. Akan tetapi...
BHUSSS...! Di tempat jatuhnya tampak asap
putih membumbung. Dan sekejap tubuh si Ninja Hijau 
sudah lenyap. Terperangah Roro Centil.
"Edan...!?" lagi-lagi memaki Roro. Namun cepat 
gadis pendekar ini putarkan tubuh. Enam buah belati 
meluncur ke arah tiga bagian tubuhnya. Dilontarkan 
dua orang Ninja Hijau yang tadi roboh kena hantam 
perutnya. Secepat kilat Roro Centil kibaskan rambutnya

WHUUUK..!
Sekejap enam buah belati itu sudah berpenta-
lan entah ke mana.
Tiba-tiba sebuah benda meluncur ke arah Roro. 
Tak ayal lengan Roro sudah bergerak menghantamnya. 
Akan tetapi tiba-tiba...
BHUSSS...! Benda yang terhantam itu letupkan 
asap tebal yang sekejap telah membungkus tubuh Ro-
ro. Terkejut gadis ini. Segera Roro tutup pernafasan-
nya. "Asap racun..." desisnya tertahan. Akan tetapi dia 
sudah terbatuk-batuk. Terlambat sudah. Roro sudah 
menghisap asap itu. Tubuhnya segera terhuyung, dan 
jatuh berdebuk ke tanah.
--------ooOoo-------
Sesosok tubuh berjubah hijau telah berada di 
tempat itu. Ternyata seorang wanita tua berwajah pu-
cat, dengan alis matanya mencuat ke atas. Rambutnya 
berwarna merah terurai panjang. Lengannya mencekal 
sebuah tongkat berbentuk ular. Ditatapnya sosok tu-
buh yang tergeletak di hadapannya itu. Terdengar sua-
ranya yang bernada dingin.
"Heh!? Perempuan asing dari manakah? Cepat 
kalian bawa masuk kedua orang itu!" ujarnya seraya 
menoleh ke arah empat orang Ninja Hijau yang kemba-
li sudah berada di situ. Yang seorang adalah kusir ke-
reta kuda.
Tak ayal perintah itu sudah dikerjakan. Keem-
pat Ninja itu cepat menggotong dua tubuh terikat itu. 
Dan dibawa ke sisi dinding bukit.
Ternyata pada sisi dinding batu bukit itu telah 
menjeblak terbuka sebuah celah pintu. Sekejapan saja 
kedua orang tawanan itu sudah dibawa masuk. Tak 
lama seorang Ninja melompat kembali ke dalam kereta.


Salah satu lorong di sisi dinding batu bukit itu berge-
rak menggeser, dan terbuka sebuah lubang besar. Ku-
sir kereta segera keprak kudanya untuk segera masuk 
ke lorong itu. Begitu telah berada di dalam, pintu lo-
rong yang lebar itu pun kembali menutup.
Selang tak lama si nenek rambut merah berwa-
jah pucat itu sudah memanggul tubuh Roro, dan di-
bawa berkelebat masuk ke dalam celah dinding bukit 
Seorang Ninja keluar lagi untuk membersihkan bekas-
bekas roda kereta dengan sapu jerami. Hingga tak ken-
tara lagi ada tanda-tanda yang mencurigakan di tem-
pat itu. Sesaat si Ninja sudah berkelebat masuk ke ce-
lah. Dan pintu batu celah itu kembali menutup.
Sekitar tempat itupun kembali sunyi lengang 
seolah tak pernah ada kejadian apa-apa.....
Benarkah Roro Centil semudah itu dipecun-
dangi? Tidak! Percuma Roro menjadi murid si Manusia 
Banci dari Pantai Selatan yang banyak akalnya. Bebe-
rapa pengalaman selama malang-melintang di Rimba 
Hijau, entah sudah berapa macam racun yang harus 
dihadapi. Ternyata Roro sengaja pura-pura terjatuh 
menggeloso seolah pingsan. Padahal seluruh indranya 
telah disiapkan untuk menghadapi segala kemungki-
nan. Asap yang sedikit terendus itu sudah berhasil di-
keluarkan dengan mengerahkan hawa murni di tu-
buhnya. Sekaligus hawa beracun itu sudah lenyap ter-
hembus.
Tentu saja ketika itu Roro sudah menutup se-
mua jalan darah, untuk menjaga kemungkinan sosok 
tubuh yang memanggul tubuhnya melakukan totokan 
pada tubuhnya. Akan tetapi Roro merasa lega. karena 
hal itu tidak dilakukan si nenek muka pucat berambut 
merah, yang merasa sudah cukup asap itu membius
Sementara di dalam ruangan di dalam celah 
tebing itu, diam-diam Roro meneliti dengan sudut matanya. Ternyata sebuah ruangan yang lebar berlantai 
batu. Terdengar suara si nenek Rambut merah itu
"Masukkan keduanya dalam penjara belakang!" 
terlihat empat orang Ninja Hijau segera menggotong 
kedua tubuh untuk segera dibawa ke ruangan bela-
kang. Akan tetapi sebelum mereka bergerak jauh, Roro 
sudah gerakkan lengan menotok tubuh si nenek muka 
pucat dan melompat dari pundak si Rambut Merah itu. 
Tentu saja hal itu membuat terkesiap wanita itu. Seke-
tika tubuhnya sudah jatuh menggabruk. Sekejap tong-
kat si nenek sudah berpindah.
"Berhenti...!" teriak Roro, seraya berkelebat dan 
silangkan tongkatnya menghadang keempat Ninja Hi-
jau. Dan kali ini Roro tak kepalang tanggung. Segera 
pergunakan gerakan dari jurus Ikan Hiu Menerobos 
Karang. Tubuhnya berkelebat cepat sekali. Tahu-tahu 
keempat Ninja itu sudah roboh bergulingan dengan 
tubuh tertotok.
Dan kejap berikutnya lengannya sudah berge-
rak meringkus mereka. Mengikatnya menjadi satu. Se-
lanjutnya sudah melompat lagi ke hadapan si nenek 
rambut merah. Lengannya bergerak menjambak ram-
but si wanita tua itu agar bisa ditatap lebih jelas. Akan 
tetapi... PLASH... Ternyata segumpul rambut yang di-
cekal Roro justru terlepas merosot dari kulit kepala 
wanita muka pucat itu.
"Heh!. Rupanya kau pakai^ rambut palsu...!"
"Pasti kaupun pakai kulit muka palsu..." ujar 
Roro selanjutnya. Seraya lengannya bergerak untuk 
jambret ke bawah dagu si wanita muka pucat. Benar 
saja! Karena segera telah terkelupas wajah wanita tua 
yang keriput itu. Ternyata wanita itu tak lain dari si
bibi berhati busuk, yang telah menipu Hamada. 
Dialah yang bernama HUYIMA, karena saat itu sudah 
terdengar suara si kakek Mitsui yang berteriak kaget.

Entah bagaimana sumpal di mulut kakek tua renta itu 
sudah terlepas. "HUYIMA...!" Dan selanjutnya ....
TAS! TAS! Tiba-tiba lengan kakek tua yang se-
perti tak bertenaga itu telah bergerak memutuskan tali 
yang mengikatnya. Sekejap saja dia sudah melompat 
berdiri. Tentu saja membuat Roro jadi terkejut aneh. 
Hamada juga terheran dengan membeliakkan sepasang 
matanya. Ternyata dia sudah sadarkan diri dari ping-
sannya. Akan tetapi beberapa kali dia gerakkan tan-
gannya memutuskan tali yang mengikat lengan dan 
kaki, tak membawa hasil.
Si kakek Mitsui kebutkan lengan bajunya. Tali-
tali yang mengikat tubuh dan tangan Hamada seketika 
berlepasan putus, tanpa menyentuh sedikit pun kulit 
atau pakaian pemuda itu. Cepat-cepat pemuda itu le-
paskan sumpal di mulutnya. "Ah!? Kakek Matsui...? 
kau... kau..." terkejut Hamada. Karena tak menyangka 
sedikit pun kalau si kakek tua renta itu mempunyai 
ilmu kepandaian hebat.
***
LIMA


“HEHEHE... Hamada! Sudah saatnya aku un-
juk gigi! Aku memang sengaja berlagak menjadi orang 
tua yang sudah dekat ke liang kubur, karena ku ingin 
menyelidiki siapakah si pemimpin Ninja-ninja Hijau 
ini!" berkata kakek Matsui dengan tersenyum. Tiba-
tiba sudah balikkan tubuh menatap Roro. Ternyata 
Roro pun tengah menatapnya.
"Ah, gadis asing yang hebat! Terima kasih atas 
pertolonganmu pada kami, dan bantuanmu menang-
kap si Ketua Ninja Hijau ini...!". ujar kakek Matsui seraya melangkah dua tindak dan menjura pada Roro. 
Cepat-cepat Roro pun balas menjura.
"Secara tak sengaja aku melihat kereta kuda di 
larikan kencang di jalan sunyi di atas bukit. Pertolon-
ganku tak begitu berharga, karena kau orang tua ter-
nyata mampu melepaskan diri. Tentunya kau berilmu 
tinggi! Cuma saja kau sengaja tak mau bertindak ter-
buru buru!" berkata Roro sambil tersenyum.
Kakek Matsui perdengarkan tertawanya, seraya 
kerutkan kening. Lalu ucapnya.
"Hm, walaupun bagaimana kau telah berjasa 
padaku, membuka kedok si wanita Ketua Ninja Hijau 
ini!" namaku Matsui Namoto, akan tetapi orang sering 
menyebutku si kakek Matsui. Siapakah gerangan no-
na? Dan berasal dari mana?" bertanya kakek Matsui 
setelah perkenalkan diri.
"Namaku RORO! Lengkapnya RORO CENTIL...! 
Aku mempunyai seorang sahabat yang tinggal di lereng 
gunung BUKKYO. Tepatnya di desa KYUSU!" Aku be-
rasal dari Pulau Jawa, di wilayah kerajaan Mataram...!" 
Tutur Roro singkat. Kakek Matsui tercenung sejenak 
seraya manggut-manggut. Sementara Hamada sudah 
loloskan tali yang mengikat kakinya. Tak lama dia su-
dah beranjak menghampiri kedua orang yang sudah 
menatapnya itu.
"Terimalah hormatku pada anda, nona...! Na-
maku Hamada! Terima kasih atas bantuanmu meno-
long kami." berkata Hamada seraya menjura pada Ro-
ro. Terpaksa Roro balas menjura, seraya mengangguk. 
Diam-diam hatinya memuji akan ketampanan wajah 
pemuda itu.
"Aku Roro Centil...!" ujar Roro seraya terse-
nyum.
"Baiklah, nanti kita berbincang-bincang lagi! 
Aku ingin sekali mengetahui siapa gerangan sahabat

mu yang berdiam di desa Kyusu di lereng gunung 
Bukkyo itu! Wanita ini baiknya kau serahkan saja Pa-
daku untuk mengurusnya!" berkata kakek Matsui. Ro-
ro mengangguk seraya melompat ke sisi. Kakek Matsui 
tatap wajah orang lekat lekat. Sinar matanya member-
sitkan kemarahan. Dan dia sudah membentak
"HUYIMA...! Katakan apa maksudmu dengan 
semua perbuatanmu ini?" wanita itu tundukkan wa-
jahnya. Tubuhnya tak dapat digerakkan, karena toto-
kan Roro Centil amat ampuh sekali. Keringat mengu-
cur deras dari dahinya. Akan tetapi si bibi itu segera 
cepat menjawab.
"Lepaskanlah dulu totokan pada tubuhku 
ini...!" Kakek Matsui kerutkan kening sejenak. Lalu 
berpaling pada Roro.
"Nona! Kau bukalah totokanmu!"
"Ssst! Apakah tak kau khawatir dia meloloskan 
diri?" tanya Hamada dengan menatap pada kakek Mat-
sui. Akan tetapi Roro sudah tertawa seraya ber-
hihihi... ingin kulihat, apakah dia dapat melakukan-
nya?" lengan Roro bergerak mengibas. Dan bersyiurlah 
segelombang angin menerpa tubuh Huyima. Sekejap 
saja wanita itu sudah rasakan tubuhnya terbebas dari 
belenggu totokan. Segera dia melompat bangun. Roro 
sudah pasang mata untuk segera bertindak bila Huyi-
ma berani coba-coba melarikan diri. Akan tetapi si 
Pendekar Wanita Pantai Selatan ini menaruh keper-
cayaan pada si kakek Matsui.
"Paman... kuharap kau tak salah mengerti! Se-
mua ini kulakukan adalah demi keselamatanmu dan 
keselamatan Hamada!" berkata Huyima yang ternyata 
di luar dugaan tak melakukan apa-apa.
"Demi keselamatanku...?" sentak Hamada.
"Lalu apakah maksudmu dengan kejadian di 
taman bunga tadi, bibi?"

"Ah, marilah kalian ikut aku...! Segera akan ku-
ceritakan semuanya! Dan kau paman Matsui! Sudah 
kuduga kau memiliki ilmu kepandaian. Akan tetapi 
mengapa kau selalu menyembunyikannya?" seraya 
berkata Huyima beranjak ke dalam.
"Aku memang sudah mau cuci tangan, Huyima! 
Tak kukira akhirnya aku terpaksa turut campur da-
lam masalah ini!"
Tiba-tiba Huyima hentikan langkahnya, dan 
berpaling menatap Roro Centil.
"Hm, anda bernama RORO CENTIL.? Ah, anda 
mempunyai banyak akal cerdik! Aku tak merasa malu 
jatuh di tangan anda, nona...! Aku tak keberatan kalau 
anda mau mencampuri urusan kami.." ujarnya.
"Tolonglah kau bebaskan keempat Ninja murid 
ku itu! Jangan khawatir! Kita semua orang sendiri!" 
Roro menatap sejenak ke arah kakek Matsui, yang se-
gera mengangguk. Tak ayal Roro segera melompat 
mendekati keempat Ninja Hijau yang telah diikatnya 
menjadi satu dengan keadaan tumpang tindih.
Sekali lengannya bergerak, maka tambang pen-
gikat itu pun putus. Sekaligus Roro bebaskan mereka
dari totokannya. Keempat Ninja itu pun segera berlom-
patan bangun berdiri, seraya satu persatu menjura 
pada Roro.
Huyima tersenyum, segera gerakkan tangannya 
memberi isyarat, diiringi kata-kata. "Buka pintu lorong 
bawah...!" Keempat Ninja mengangguk dan berlompa-
tan cepat mendahului ke arah ruangan dalam. Diam-
diam Hamada heran juga, karena tak menyangka ka-
lau si bibi, ibu Korisyima itu punya murid dari para 
Ninja Hijau. Dan bahkan menjadi pimpinan mereka. 
Segera tiga orang sudah mengikuti ke mana Huyima 
membawa mereka. Tentu saja Roro tetap waspada, 
khawatir si wanita itu mengibuli untuk menjebak didalam ruangan. Sementara Hamada sejak tadi sering 
memperhatikan Roro dengan pandangan tajam dan 
kagum. Disamping merasa aneh, karena gadis semuda 
itu sudah berani melakukan perjalanan jauh hingga 
menyeberangi lautan.
------ooOoo------
KORISYIMA tundukkan wajahnya semakin da-
lam dengan hati tak keruan rasa. Sementara lengan 
Hatsyi Gato sudah menggamit pinggangnya. Tak ber-
daya gadis ini menolak, ketika lengannya yang telah 
dicekal pemuda putera Wali Kota itu untuk ditempel-
kan ke dadanya. Terasa degup jantung Hatsyi Gato 
berdebaran di kulit lengannya.
"Adik Korisyima...! Kau sudah dengar kata-kata 
ibumu... ? Beliau merestui mu dan merestui 'kita'...! 
Aku amat mencintaimu adik Korisyima!" Terdengar su-
ara Hatsyi Gato bernada lembut merayu.
Sebelah lengan pemuda itu mulai merayap ke 
arah dada... Akan tetapi lengan si gadis telah bergerak 
menepiskan. Laki-laki kurang ajar...! Memaki Korisyi-
ma dalam hati. Hatinya membatin. Heh! Hamada sen-
diri belum berani melakukan hal ini...! Ah, aku telah 
terjerat dalam perangkap! Apakah hal ini sengaja di-
atur oleh ibu...?
Tiba-tiba Hatsyi Gato sudah balikkan tubuh-
nya. Kejap lain sudah memeluki tubuhnya, serta 
menghujani dengan ciuman-ciuman ke pipinya. Terpe-
rangah Korisyima. Namun dia sudah meronta untuk 
melepaskan diri. Lengannya tiba-tiba melayang...
PLAK...! Terkejut Hatsyi Gato. Tamparan itu te-
pat mengenai pipinya. Merahlah wajah pemuda ini. 
Seumur dewasa belum pernah dia mendapat tamparan 
dari seorang gadis. Bahkan selama ini entah sudah berapa gadis yang jatuh dalam pelukannya. Karena seba-
gai seorang anak Wali Kota, Hatsyi Gato amat dihorma-
ti.
Pada detik itu juga Korisyima sudah melarikan 
diri dengan terisak menutupi wajahnya. Pemuda ini 
perdengarkan suara dengusan di hidung. Sekejap tu-
buhnya sudah melompat mengejar. Akan tetapi pada 
saat itu juga sebuah bayangan berkelebat mengha-
dang. Ternyata sesosok tubuh berpakaian serba hijau, 
yang tak lain salah seorang dari Ninja Hijau.
"Bedebah! Siapa kau...!" Membentak Hatsyi Ga-
to. Lengannya sudah bergerak menghantam. Akan te-
tapi dengan gesit Ninja Hijau itu sudah melompat gesit 
menghindar.
Sementara si Ninja cuma berdiri menanti den-
gan bertolak pinggang.
"Bedebah...! kau minta mampus...!" lagi-lagi 
Hatsyi Gato sudah menerjang dengan hantaman puku-
lannya. Akan tetapi si Ninja Hijau kembali melompat 
menghindarkan diri semakin menjauhi taman. Hal itu 
membuat si pemuda anak Wali Kota itu semakin be-
rang. Samurainya sudah disentakkan ke luar dari se-
rangkanya. Dan dengan membentak keras segera men-
gejar manusia yang sengaja mempermainkannya itu.
Kegesitan Ninja Hijau memang dapat di andal-
kan, karena dia mampu mengelakkan tabasan-tabasan 
maut pedang samurai Hatsyi Gato. Bahkan tanpa dis-
adari oleh lawannya, dia telah membawa si pemuda itu 
semakin jauh dari taman.
Ketika Hatsyi Gato menerjang lagi dengan teba-
san-tebasan mautnya, tiba-tiba Ninja itu lenyap sete-
lah membantingkan sebuah benda yang menimbulkan 
asap tebal. Terperangah Hatsyi Gato. Sepasang ma-
tanya merah membara. Betapa terhinanya pemuda ini. 
Setelah tercenung sejenak, segera dia sudah berkelebat

pergi untuk angkat kaki dari tempat itu dengan hati 
memaki panjang-pendek...
0000***0000
"Tahukah kalian... bahwa Kaisar KOTSYI NA-
GOYA menginginkan Pedang Pusaka milik SOKU SHE-
BA si kakek kaki buntung yang mendiami dasar Lem-
bah Air Mata...!" berkata Huyima. Mereka sudah du-
duk di satu ruangan persegi, setelah melewati lorong 
menuju ke bawah. Ternyata di sini ruangan menjadi 
terang, dengan adanya sinar matahari yang masuk da-
ri satu lubang di atas langit-langit. Hamada tersentak 
kaget. Hatinya membatin. Aku diperintah guru untuk 
mencuri Pedang Pusaka itu. Entah barang Pusaka ma-
cam apakah pedang itu hingga Kaisar pun mengingin-
kannya?
"Bahkan bukan Kaisar saja yang menginginkan, 
akan tetapi juga para Pembesar Kerajaan. Mereka 
mengirimkan Ninja-Ninja ke Lembah Air Mata untuk 
mencuri Pedang Pusaka itu." tutur Huyima lebih lan-
jut.
"Ah, ternyata begitu banyak orang yang men-
ginginkan Pedang Pusaka itu. Mengapa Kaisar tak tu-
run tangan mengerahkan laskar untuk memaksa me-
minta Pedang Pusaka itu dari tangannya? Atau mengi-
rim utusan agar Soku Sheba menghadap padanya?" 
bertanya Hamada.
"Hal itu aku tak tahu! Tapi agaknya Kaisar tak 
mau melakukan kekerasan, karena merusak citranya
sebagai kaisar yang diagungkan di wilayah ini...!" me-
nyahut si bibi,
Sementara kakek Matsui tercenung tanpa ber-
kata apa-apa. Terdengar suara helaan nafasnya, seper-
ti merasa hal itu menyesakkan rongga dadanya.

"Baiklah! beritamu itu aku terima! Akan tetapi 
jelaskanlah apa maksudmu menawan kami dengan 
menyuruh Ninja ninja anak buahmu melakukannya?"
tiba-tiba kakek Matsui buka suara.
"Dan tampaknya diam-diam kau punya gerakan 
di bawah tanah, yang secara sembunyi melakukan ke-
giatan memata-matai orang-orang Kerajaan...! Huyima 
tersenyum seraya menghela napas, lalu katanya den-
gan nada tegas.
"Hm, benar...! Bahkan aku sudah tahu siapa 
adanya orang yang berikan surat pada Hamada! Bu-
kankah dia bernama HIGEI TANAKA yang bergelar si 
SETAN TANAH...?" seraya berkata, Huyima berpaling 
menatap pemuda itu. Tentu saja Hamada disamping 
terkejut, juga tersipu, karena segera teringat ketika dia 
pura-pura membersihkan kakinya yang kena lumpur 
dengan kertas yang berisi surat singkat dari si Setan 
Tanah itu.
"Kau ternyata banyak mengetahui, bibi...! Aku 
memang diberi kertas berisi surat itu, untuk aku sege-
ra datang ke Lembah Pedang!"
Dan tanpa menutupi lagi, segera Hamada ceri-
takan tentang kegagalannya mencuri Pedang-Pusaka 
atas perintah gurunya. Juga diceritakan tentang te-
wasnya dua orang kawannya dalam menjalankan tu-
gas itu.
"Aku cuma diberi waktu tiga pekan! Kalau aku 
tak berhasil mendapatkan pedang itu, terpaksa aku 
membunuh diri! Dalam keadaan kalut itulah aku ber-
jumpa dengan si Setan Tanah, Higei Tanaka yang me-
nitahkan ku segera ke Lembah Pedang. Dia menawari 
ku agar aku dapat menjadi Ninja Tulen maka diperin-
tahkan aku ke sana...!" tutur Hamada.
"Hm, si Setan Tanah itu terlalu sombong! Apa-
kah dia mengira usahanya akan berhasil baik?" berkata si "bibi". Sementara si kakek Matsui tampak sudah 
buka suara lagi. "Segeralah kau jawab pertanyaanku 
tadi, Huyima...!" nada suara kakek Matsui ini terden-
gar ketus, seperti sudah tak sabar mendengar alasan 
yang bakal dikemukakan Huyima.
Akan tetapi pada saat itu terjadi sesuatu yang 
di luar dugaan. Karena lengan Huyima telah tekan se-
buah tombol di bawah tempat duduknya. Dan...
BRHUSSSSS...!
Tahu-tahu lantai persegi empat yang diduduki 
mereka telah menjeblak terbuka terbelah di bagian 
tengahnya. Tak ampun tiga tubuh yang duduk di ha-
dapannya telah menggubrus masuk ke dalam lubang. 
Kecuali lantai tempat duduk Huyima yang masih tetap 
tak berubah. Dengan tertawa mengikik tiba-tiba Huyi-
ma melesat dari tempat duduknya. Tiba-tiba dinding 
ruangan di belakangnya telah bergerak turun dengan 
cepat seperti roboh. Itulah sebuah dinding besi tebal. 
Dan...
BRUMMM...! Lubang barusan itu sudah tertu-
tup rapat oleh dinding besi tebal yang mirip batu goa 
itu.
"Keparat...! lagi-lagi kita terpedaya...! Huuuh!" 
memaki Hamada dengan mengeluh. Akan tetapi pada 
saat itu terdengar suara tertawa mengikik dari atas lu-
bang. Sebuah lubang kecil di bagian atas mengantar-
kan suara wanita itu sampai ke dasar lubang.
"Hihihi... hihi... hik hik hik... Aku memang mau 
memasukkan kalian dalam penjara bawah tanah ini, 
agar tak mengganggu urusanku...! Nah selamat men-
dekam di lubang ini! Mudah-mudahan kalian masih 
bisa berumur panjang...!" Setelah perdengarkan terta-
wanya lagi, suasana kembali lengang. Karena si wanita 
bernama Huyima itu sudah berkelebat ke luar dari
ruangan bawah tanah dalam lorong itu.

"Bedebah...! manusia busuk...! kelak akan kau 
rasai balasanku kalau aku berhasil ke luar dari lubang 
sialan ini...!" memaki si kakek Mitsui. Akan tetapi ter-
kejut laki-laki tua ini karena tak melihat adanya Roro 
di antara mereka. "He? Ke mana gerangan gadis asing 
itu?"
Kakek Mitsui jelalatkan matanya lebar-lebar di 
tempat gelap. Akan tetapi memang tak menampak tu-
buh lain selain Hamada.
Hamada sendiri pun terheran, akan tetapi ha-
tinya terlonjak girang. "Pasti dia berhasil menyela-
matkan diri di saat kejadian tadi...!" berkata Hamada.
"Ah, benar dugaan mu itu Hamada...! Gadis as-
ing itu berkepandaian tinggi dan banyak akalnya. 
Tampaknya dia sudah banyak pengalaman di luaran. 
Terbukti bisa sampai ke daratan Negeri kita, berarti 
bukan seorang gadis sembarangan. Setidak-tidaknya 
adalah seorang Pendekar Sakti...! Entah siapa geran-
gan sahabatnya yang berdiam di lereng Gunung BUK-
KYO!"
***
ENAM


KEMANAKAH gerangan Roro Centil...? Kalau 
saja Roro tak memiliki ilmu ajian SARI RAPET yang 
sudah sejak lama dimilikinya warisan dari gurunya si 
Manusia banci pasti sudah ikut terjerumus ke dalam 
lubang. Akan tetapi Roro memang sudah waspada se-
jak duduk di lantai persegi empat itu. Dan diam-diam 
pergunakan ilmu itu untuk membuat tubuhnya me-
nempel pada lantai yang didudukinya. Ilmu Ajian Sari 
Rapet ini agak mirip dengan ilmu CECAK yang terdapat di negeri Sakura itu. (Roro pernah pergunakan il-
mu ini ketika melawan musuhnya, dalam judul "Pem-
balasan si Setan Cengkrong").
Sebelumnya Roro Centil memang telah menge-
tahui kalau lantai yang diinjaknya adalah kosong pada 
bagian bawahnya. Karena dengan menjadi murid si 
Manusia Banci, Roro telah mampu menaklukkan ge-
lombang Pantai Selatan. Baginya sudah dapat membe-
dakan setiap sentuhan kulit kakinya pada tempat yang 
dipijak. Untuk masa itu amatlah sulit mencari orang 
yang mempunyai Ilmu berdiri di atas air. Karena ilmu 
itu harus dikuasai oleh orang yang bertenaga dalam 
tinggi. Beruntunglah Roro Centil pernah mewarisi te-
naga dalam yang hebat dari Si DEWA TENGKORAK, 
yang telah memberikannya di saat kematian menjem-
put jago tua golongan hitam itu. (Baca: Empat Iblis 
Kali Progo).
Ternyata di saat lantai terbelah bagian tengah-
nya, dan ketiga tubuh mereka meluncur masuk ke lu-
bang. Tubuh Roro Centil masih tetap menempel di 
tempatnya seperti lengket menjadi satu dengan lantai 
yang didudukinya. Dan di saat mana Hamada melesat 
dari tempat duduknya setelah menekan tombol di ba-
wah tempat duduk. Kemudian dinding besi di bela-
kangnya tahu-tahu menjeblak roboh untuk segera me-
nutup lubang. Pada detik itulah tubuh Roro berkelebat 
ke atas langit-langit ruangan. Dan menempel di sana. 
Tentu saja Roro Centil dapat memperhatikan jelas dari 
atas langit-langit.
Huyama membungkuk membuka sebuah lu-
bang kecil di sudut penutup lubang. Lalu kirimkan su-
aranya ke bawah. Kalau Roro mau bertindak, saat itu 
bisa membekuknya lagi. Akan tetapi dia memikir akan 
mengetahui rahasia tempat itu. Hingga dengan mena-
han napas Roro tetap berdiam di tempatnya. Hingga

sampai si wanita itu berangkat pergi meninggalkan 
tempat rahasia itu.
Namun Roro tetap menanti dengan sabar sam-
pai suasana aman. Dilihatnya beberapa Ninja bermun-
culan. Setelah membuka sebuah lorong dengan mene-
kan tombol rahasia, segera mereka memasuki lorong 
itu dan lenyap. Pintu lorong segera menutup lagi.
"Hm, kini saatnya aku turun..." desis dara Per-
kasa ini. Akan tetapi begitu kakinya menginjak lantai, 
sesosok tubuh muncul dari pintu ruangan Terkesiap 
Roro Centil. Ternyata masih ada seorang Ninja yang 
ketinggalan. Baru saja Ninja itu mau memasuki lorong 
rahasia, dan gerakkan tangan menekan tombol, dia te-
lah urungkan niatnya. Dan cepat menoleh....
Namun secepat kilat Roro Centil telah menda-
hului berkelebat. Lengannya terjulur. Dan sekejap saja 
si Ninja itu sudah roboh dalam keadaan tertotok. Se-
lanjutnya... BRET! BRET...! Roro sudah merobek penu-
tup muka si Ninja. Segera terlihat adanya siapa si Nin-
ja itu. Ternyata seorang wanita! Tentu saja membuat 
Roro terheran.
"Hihi... kau kini jadi tawananku...! Segera beri-
tahukan di mana tombol pembuka tutup lubang itu!" 
bentak Roro.
Terperangah Ninja perempuan itu. "Aku... aku 
tak dapat memberitahukan!" berkata si Ninja dengan 
wajah pucat.
"Hm, ternyata kau keras kepala juga! Aku ha-
rus mengorek beberapa keterangan darimu! Kalau kau 
tetap membungkam jangan katakan aku kejam!" ujar 
Roro menggertak. Akan tetapi si Ninja wanita ini cuma 
plengoskan wajahnya. Roro gerakkan lengannya mero-
goh sesuatu dari balik pakaiannya. Sekejap sudah ter-
cekal sebuah bumbung bambu bersumbat. Bumbung 
bambu itu mempunyai lubang udara pada bagian atas

sumbat.
BREBEET...! Sekali lengan Roro menyentak, se-
gera pakaian si Ninja wanita bagian atasnya telah ter-
sobek lebar.
"Ah...!? Mau kau apakah aku?" terperangah si 
Ninja wanita itu karena sekejap saja sudah menampak 
separuh bagian tubuhnya. Terkejut juga Roro Centil 
karena segera dapatkan dari dalam pakaian belasan 
pisau kecil, beberapa utas tambang dan benda-benda 
bulat. Agaknya benda-benda bulat itulah benda yang 
bila dikeluarkan akan meletup dan mengeluarkan asap 
tebal. Sepasang payudara yang mungil tak seberapa 
besar dan putih mulus segera tersembul ke luar.
"Aku akan memaksamu untuk bicara...!" Berka-
ta Roro dengan wajah bengis. Tutup sumbat tabung 
bambu itu sudah dibuka. Dan dengan enak saja Roro 
Centil segera tuangkan isinya ke atas dada orang....
"Aaauu...!? aauu...! aauuuh...!" berteriak-teriak 
si gadis Ninja itu. Karena segera belasan ekor Kala te-
lah merayap di atas dadanya. Akan tetapi tubuhnya 
memang sudah tak mampu untuk digerakkan. Semen-
tara Roro terpingkal pingkal geli menyaksikan si gadis 
Ninja yang ketakutan. Diam-diam Roro jadi teringat 
pada beberapa tahun yang silam di saat bertemu den-
gan gurunya ( si Manusia Banci).
Dia pun pernah diperlakukan demikian oleh 
sang guru. Pada waktu itu Roro takutnya bukan main, 
tak beda dengan ketakutannya si Gadis Ninja itu. Akan 
tetapi Roro sekarang sudah mengenai baik beberapa 
jenis binatang berbisa. Bahkan binatang-binatang itu 
sudah menjadi permainannya.
"Baik...! baik...! aku akan bicara!" teriak si Nin-
ja dengan spontan.
"Hihihi... ! begitulah baru anak yang baik...!": 
berkata Roro, yang segera raup binatang-binatang ber

bisa itu untuk masukkan lagi ke dalam bumbung. Lalu 
selipkan lagi dalam pakaiannya.
"Nah! Segera kau tunjukkan cara membuka tu-
tup lubang itu!" perintah Roro. Si Ninja wanita ini me-
nepati janjinya. Segera beritahukan alat-alat untuk 
menggerakkan dinding besi.
Tak ayal segera Roro tekan satu tombol yang 
tersembunyi di sudut ruangan. Benar saja. Segera ter-
dengar suara gemuruh di bawah kaki Roro. Dan dind-
ing besi itu bergerak naik kembali ke asalnya. Dan 
tampak mulut lubang sudah terlihat menganga. Roro 
perlihatkan senyumnya, dan tiba-tiba sudah melompat 
menghampiri si Ninja wanita. Tiga utas tambang segera 
disambungkan menjadi satu. Dan di lain saat Roro 
Centil sudah lemparkan ujungnya ke dalam lubang 
serta mengulurnya dengan cepat.
"Cepatlah kalian naik... satu persatu!" teriak 
Roro.
Kakek Matsui dan Hamada saling pandang 
dengan tersenyum melihat tali yang sudah menjulur 
tiba. "Aih, gadis asing itu memang hebat!" puji kakek 
Matsui.
"Kau naiklah duluan, Hamada...!" ujarnya pada 
Pemuda itu.
Hamada mengangguk. Dan cepat lengannya 
meraih tambang. Tak lama dia sudah merayap naik. 
Roro pergunakan ilmu memberatkan tubuh. Hingga 
dengan berdiri santai menahan tali di atas lubang.
Selang sesaat tubuh Hamada telah tersembul 
keluar. Kejap berikutnya sudah melompat ke sisi lu-
bang.
"Kakek Matsui...! Kini giliran kau...!" teriak Ro-
ro. Terasa tambang menegang dan bergerak-gerak. 
Ternyata kakek Matsui sudah merayap naik. Sekejap 
antaranya tubuh si kakek itu pun sudah tersembul keatas. Lalu melompat ke sisi lubang.
"Ah, terima kasih atas pertolonganmu, nona 
Roro Centil!" berkata kakek Matsui yang segera dituru-
ti oleh Hamada.
"Kita telah berhasil menangkap seorang anak 
buah si Huyima itu! Lihatlah...!" berkata Roro seraya 
menunjuk pada si Ninja wanita yang tergolek dengan 
wajah pias di sudut ruangan.
Sekejap saja kakek Matsui dan Hamada sudah 
beranjak mendekati.
"SUZI...! kau... kau...?" terperangah Hamada 
melihat gadis Ninja itu yang dikenalnya.
Akan tetapi gadis Ninja itu sudah tutup kelopak 
matanya. Terdengar suaranya bernada dingin.
"Bunuhlah aku...! kalian semua sudah selamat 
dari tempat ini! Dan aku... aku pun sudah tak dapat 
hidup lagi...!" berkata si Ninja wanita.
"Suzi...! aku tak mengerti, mengapa kau menja-
di seorang Ninja? Apakah maksud bibi Huyima men-
jebloskan kami ke lubang perangkap bawah tanah ini?" 
Akan tetapi yang ditanya sudah membungkam. Ter-
dengar suara Roro Centil ikut bicara. "Hm, Suzikah 
namamu, adik manis? Kau bicaralah! Aku akan lin-
dungi kau dari hukuman Ketua mu!"
Ninja wanita bernama Suzi itu tak menjawab. 
Akan tetapi dari sudut kelopak matanya tampak men-
galir air bening yang meleleh turun ke pipinya. Roro 
jadi tertegun. Sejenak sudah memandang pada kakek 
Matsui dan Hamada berganti-ganti. Terdengar kakek 
Matsui menghela napas.
------ooO-------
Akhirnya gadis Ninja itu membuka mulut juga. 
Mereka telah berada di sebuah tempat yang tersembunyi. Tempat yang dikenal baik si kakek Matsui di 
masa dia masih gemar bertualang. Yaitu di pesisir laut 
yang bernama Selat Kui Tak berapa jauh lagi sudah 
terlihat puncak Gunung BUKKYO.
Ternyata SUZI memang tak mengetahui apa 
maksud Huyima menjebloskan mereka ke dalam lu-
bang bawah tanah. Akan tetapi Suzi pernah menden-
gar wanita itu bergumam sendiri dengan kata-kata 
demikian: "Hamada! Hamada! kau tolak jasa baikku, 
akan tetapi kau memilih kematian! Hm, apakah kau 
kira niatmu menjadi murid si Setan Tanah akan ber-
hasil? Hihihi... Pedang itu akan jatuh di tanganku se-
belum kau atau Ninja-ninja si Setan Tanah itu berhasil 
mendapatkannya!"
Bagi Roro penuturan itu sudah cukup untuk 
menjadi bahan memperkuat dugaan. Yaitu Huyima 
memang bermaksud menahan Hamada agar maksud-
nya datang ke Lembah Pedang menemui kegagalan.
Berarti pemuda itu tak dapat luput dari kema-
tian. Mati menjalankan tugas, ataukah mati membu-
nuh diri sebagai Ninja yang gagal. Akan tetapi menge-
nai "jasa baik" itulah yang Roro tak mengerti. Dan hal 
itu haruslah ditanyakan pada Hamada.
Roro yang penasaran melihat sikap Suzi pada 
Hamada yang selalu tampak dingin membuat Roro la-
kukan banyak pertanyaan. Tentu saja berhadapan 
dengan sesama wanita, Suzi tak dapat menyembunyi-
kan perasaan hatinya.
Ternyata Suzi menaruh hati pada Hamada. 
Akan tetapi Hamada ternyata telah mencintai kakak 
perempuannya yang bernama KORISYIMA. Berdasar-
kan kenyataan itulah, Suzi jadi patah hati. Dan seperti 
enggan bertemu atau bertatap muka dengan Hamada.
"Aiiih...! Cinta memang terkadang membawa 
orang bahagia. Akan tetapi terkadang juga membuat

orang susah dan menderita !" berkata Roro dengan su-
ara lirih. Mereka cuma duduk bercakap-cakap berdua 
memandangi air laut. Sementara percakapan di dalam 
pondok nelayan sahabat kakek Matsui adalah lain lagi. 
Tampak Hamada dan kakek itu saling berbisik.
"Apakah kakek mengenai baik bibi Huyima?" 
tanya Hamada. Sejak hampir empat tahun aku ber-
diam di desa itu, perempuan bernama Huyima itu tak 
kuketahui jelas asal-usulnya. Akan tetapi dia memang 
sering membawa kedua anak perempuannya bermain 
ke rumah ku! Bahkan terkadang menitipkannya untuk 
beberapa hari. Sedangkan dia sendiri tak ku tahu ke-
mana perginya..." Berkata kakek Matsui.
"Setahun belakangan seorang anak gadisnya 
tak kelihatan muncul. Dialah yang bernama SUZI itu! 
Bahkan sejak gadis itu menjadi dewasa sudah jarang 
ke pondok ku termasuk Korisyima...!"
"Siapakah suami bibi Huyima?" Tanya Hamada, 
yang memang sejak dia berkenalan dengan gadis ber-
nama Korisyima itu tak pernah menanyakan perihal 
ayahnya.
Kakek Matsui gelengkan kepalanya.
"Aku sendiri tak mengetahui! Karena sejak ku
menetap di desa itu Huyima sudah berdiam disana. 
Akan tetapi yang ku tahu kedua anak perempuan itu 
bukanlah anak kandungnya....!" Tutur kakek Matsui.
Tersentak Hamada. Akan tetapi tidak bertanya 
lagi. Karena segera dilihatnya Roro Centil dan Suzi su-
dah beranjak masuk.
"Wah ...» asyik sekali! hayo, teruskanlah... Ka-
lau kedua anak perempuan si Huyima itu bukan anak 
kandungnya, lalu anak siapakah...?" Tanya Roro den-
gan suara agak keras. Tentu saja membuat Suzi jadi 
melengak heran. Tiba-tiba dia sudah melompat ke de-
pan si kakek dan Hamada.

"Kakek Matsui...! kau pasti mengetahui tentang 
keluargaku! Katakanlah! kalau aku bukan anak Huyi-
ma, lalu anak siapakah aku?" Tanya Suzi dengan se-
pasang mata menatap tajam pada sang kakek itu. Se-
mentara hatinya sudah menyentak kaget. Seperti petir 
terdengar di siang hari. Hah!? aku dan kakak Korisyi-
ma bukan anak kandungnya...? Tampak wajah gadis 
ini sudah berubah pucat. Akan tetapi tiba-tiba Roro 
Centil sudah melompat keluar untuk segera melihat ke 
arah depan.
"Hahaha... kakek Matsui...! kedua gadis itu 
adalah anak Kaisar KOTSYI NAGOYA...!" Sesosok tu-
buh sekejap sudah tiba di depan pondok.
"Siapakah anda?" Tanya Roro memperhatikan 
wajah orang. Karena laki-laki yang dilihatnya ia men-
genakan topi tudung lebar yang melesak menutup 
hampir sebagian kepalanya.
Saat itu dari dalam pondok sudah berlompatan 
tiga sosok tubuh untuk segera melihat siapa yang da-
tang.
"SETAN TANAH...! Kau kiranya yang datang! 
Hm, pendengaranmu amat tajam! Benarkah apa yang 
kau katakan itu...?" Berkata kakek Matsui. Sementara 
Suzi seperti kebingungan. Sebentar menatap pada si 
pendatang bertudung lebar, sebentar dialihkan mena-
tap kakek Matsui.
Sementara Hamada sudah membeliakkan ma-
tanya dengan kaget. Karena segera mengenali orang in-
ilah yang telah memberinya surat rahasia untuk sece-
patnya datang ke Lembah Pedang.
"Mengapa tidak? Aku adalah bekas Panglima 
Kerajaan MERAK HIJAU. Kaisar DOTSY NAGOYA ada-
lah pengganti dari Kaisar KYUMAMOTO! Entah bagai-
mana tahu-tahu aku dipecat tanpa kesalahan. Ternya-
ta belakangan baru ku tahu kalau aku difitnah telah

main gila pada selir Kaisar yang bernama MITONI SA-
KEDA. Mitoni Sakeda mempunyai seorang pembantu 
bernama HUYIMA. Kepada wanita itulah dia menye-
rahkan kedua anaknya untuk dipelihara.
Dia sendiri lenyap entah kemana...!" Tutur Hi-
gei Tanaka dengan gamblang.
Kakek Matsui tercenung seketika. Sementara
Suzi tiba-tiba melompat ke hadapannya.
"Apakah kata katamu dapat dipercaya...?"
Si Setan Tanah ini perdengarkan suara terta-
wanya. Dengan tersenyum sinis segera gerakkan len-
gannya mengeluarkan sebuah benda semacam Medali. 
Pada Medali itu tertulis namanya sebagai Panglima Ke-
rajaan Merak Hijau. Dan tertera tanda tangan Kaisar 
lama.
***
TUJUH


TERNYATA Higei Tanaka adalah orang yang 
mendapat perlakuan buruk dari Kaisar Kotsyi Nagoya. 
Pedang Pusaka itu adalah milik Kaisar Lama yang te-
lah lenyap. Merupakan sebuah Pedang Pusaka Kera-
jaan Merak Hijau. Menurut kepercayaan turun temu-
run dari keluarga Kaisar. Pedang Pusaka itu mempu-
nyai "tuah" yang hebat dengan kemajuan serta keaba-
dian suatu Kerajaan. Benda itu tak boleh hilang.
Ketika Kaisar lama mengundurkan diri, benda 
Pusaka itu masih berada di tempatnya. Dan merupa-
kan sebuah barang keramat yang tak pernah ada yang 
berani mengganggunya. Akan tetapi belakangan baru 
diketahui setelah beberapa peristiwa terjadi di Istana 
Kerajaan Merak Hijau.

Kaisar Kotsyi Nagoya yang menggantikan Kaisar 
lama ternyata banyak mengumbar nafsu di Istana. 
Dengan banyak pelihara selir. Akibatnya karena terlalu 
sering bersenang-senang Kaisar ini kurang memperha-
tikan jalannya pemerintahan. Kebanyakan para Pem-
besar Kerajaan saja yang mengurus Hingga tak diketa-
hui kemana lenyapnya Pedang Pusaka itu.
Kalau saja Kaisar tahu siapa sebenarnya yang 
mengambil, tentu waktu itu sudah ditangkap. Semen-
tara sejak 10 tahun belakangan ini ada berita yang be-
rasal dari sebuah perusahaan Peti Mati!
Rahasia tetaplah rahasia... Akan tetapi kalau 
sudah bocor, akan segera menyebar kemana-mana. Pe-
ristiwa adalah sebagai berikut...
Pada sepuluh tahun yang silam, seorang pega-
wai dari sebuah Perusahaan Peti Mati menerima pesa-
nan sebuah peti mati yang minta dibuatkan sekuat 
mungkin. Yaitu dari sejenis kayu yang paling kuat. Si 
Pemesan berasal dari sebuah tempat yang berada dida-
lam sebuah lembah. Ternyata si pemesan itu bernama 
SOKU SHEBA. Pesanan itupun disampaikan pada ma-
jikannya. Satu Minggu kemudian Peti Mati harus su-
dah siap. Dan diantarkan ke lembah dimana Soku 
Sheba berdiam. Pembayaran ternyata telah dilunasi 
terlebih dulu. Tentu saja Soku Sheba tak menyangka 
kalau rahasia dia memiliki sebuah Pedang Pusaka 
akan bocor. Karena salah seorang dari keenam pega-
wai Perusahaan Peti Mati itu telah melihat dia mema-
sukkan sebuah Pedang Samurai ke dalam Peti Mati, 
yang diletakkan di atas jenazah.
Keenam orang pegawai Peti Mati itu dimintanya 
turut membantu menggali lubang di dalam rumah, dan 
menguburkan jenazah. Jenazah itu adalah seorang ga-
dis yang menurut Soku Sheba adalah anak gadisnya 
yang mati karena kecelakaan terjatuh dari atas tebing.

Dalam perjalanan pulang, keenam orang pegawai Pe-
rusahaan Peti Mati itu mengobrol. Tak dinyana telah 
dikuntit oleh seorang wanita yang menutupi wajahnya 
dengan cadar sutera warna hitam.
Berkata pegawai yang bertubuh jangkung kekar 
itu. Dia bernama SINBEI.
"Aku lihat sendiri dengan jelas kalau Pedang itu
adalah pedang Mustika ...!" Berkata si pegawai yang 
melihat Soku Sheba meletakkan Samurainya ke dalam 
peti mati di atas jenazah puterinya.
"Heh, jangan jangan itu Pedang Pusaka Kera-
jaan yang hilang!" Berkata kawannya.
"Entahlah...! Bisa juga demikian...!"
"Hm. kalau hal ini kita laporkan pada Kaisar 
dan Pedang Mustika itu ternyata benar benar memang
Pedang Pusaka milik Kerajaan yang lenyap, kita bakal 
dapat hadiah besar!" Tukas seorang lagi.....!"
"Sssst... hentikan bicara kalian. Bagaimana ka-
lau ada yang mendengar pembicaraan kita? Atau dike-
tahui si Soku Sheba sendiri, akan tamatlah" riwayat ki-
ta!" Keenam orang ini segera berpaling kesana kemari, 
khawatir ada orang lain yang mendengar percakapan 
mereka. Ternyata keadaan aman. Mereka tak tahu ka-
lau si wanita bercadar hitam telah menyelinap dengan 
cepat.
Akhirnya mereka bicara berbisik-bisik.
"Kita bagi berenam hadiah dari Kaisar nanti..." 
Bisik salah seorang yang sudah mengkhayal terlalu
tinggi.
"Heh, aku tentu harus mendapat bagian yang 
paling besar, karena aku yang telah melihatnya...!"
"Akan tetapi aku yang mengusulkan untuk me-
laporkan pada Kaisar...! Justru akulah yang paling ba-
nyak mendapat bagian....!" Berkata kawannya yang 
bertubuh kekar, agak pendek. Dia ini adalah kepala

dari para pegawai Perusahaan Peti Mati. Bernama WA-
KASA.
Si kepala kuli itu plototkan matanya pada Sin-
bei. Membuat si jangkung kekar ini tersumbat mulut-
nya. Namun diam-diam hatinya jadi agak mendongkol. 
Di luar dugaan dia sudah membatin. Hm, kalau tak 
ada Wakasa, hadiah itu tentu akan dibagi lima. Ba-
gianku tentu akan lebih besar lagi. Cuma dia inilah pe-
rintangnya! Kalau yang lainnya sih, akan menurut ku-
beri berapa saja!
Memikir bakal mendapat hadiah besar, Sinbei 
sudah merencanakan untuk menyingkirkan Wakasa. 
Dan rencana itu ternyata sudah siap dikerjakan. Keti-
ka mereka tiba di satu tempat sunyi, Sinbei telah 
menghunus belatinya dengan diam-diam. Saat itu Sin-
bei berada di belakang Wakasa. Dan.... JEP! JREP! 
JREP....! Sinbei telah hunjamkan belatinya berkali-kali 
ke punggung Wakasa. Terdengar jeritan Wakasa kesa-
kitan. Sekejap tubuhnya sudah membalik dengan ter-
huyung. "Hah? kau.... kau..." Kala-katanya tak dapat 
dilanjutkan lagi, karena dia sudah roboh terguling. Se-
telah meregang nyawa tak lama Wakasa segera mele-
paskan nyawanya saat itu juga.
Keempat kawannya jadi berteriak kaget. Akan 
tetapi Sinbei tertawa menyeringai. "Hahaha...biarlah 
dia mati! Aku benci pada kesombongannya selama ini. 
Bukankah hadiah akan lebih besar kalian terima tanpa 
si Wakasa ini?" berkata Sinbei.
Tiba-tiba si wanita bercadar sudah melompat 
ke luar. dari tempat persembunyiannya. Ternyata lang-
sung mendekati Sinbei yang jadi ternganga.
"hihihi... kalau dibagi lima bagianmu akan se-
dikit sekali, sobat! Bagaimana kalau dibagi dua sa-
ja....?! Seraya berkata si wanita itu sudah membuka 
cadar penutup wajahnya. Ternyata seorang wanita

berwajah cantik yang tersenyum pada Sinbei dengan 
kedipkan matanya genit.
Tentu saja melihat tahu-tahu ada seorang wani-
ta yang bersikap demikian padanya membuat Sinbei 
jadi berdegupan jantungnya.
"Apakah maksud ucapanmu, no... nona...?" 
Tanya Sinbei tergagap.
Wanita genit itu bisikkan ditelinganya dengan 
suara berdesis. Degupan jantung Sintei terasa semakin 
cepat. Bau wewangian segera menyambar hidungnya. 
Akan tetapi bisikkan itu membuatnya jadi belalakkan 
matanya. Tak terasa kepalanya sudah mengangguk. 
Sementara keempat kawannya sudah menyurut mun-
dur. Dari gerakan si Wanita itu saja mereka sudah ta-
hu kalau wanita itu berkepandaian tinggi. Dan kata-
kata bisikan itu cukup keras untuk didengar mereka. 
Tahu-tahu si wanita itu sudah kenakan lagi cadar hi-
tamnya, dan melompat ke hadapan keempat laki-laki 
pegawai Perusahaan Peti Mati itu.
"Heh! Kalian sudah mengetahui hal yang harus 
dirahasiakan ini, maka kalian berdoalah cepat-cepat. 
Karena aku akan mengirim nyawa kalian ke Akhirat...!" 
Terdengar suara si wanita bercadar dengan suara din-
gin. Membuat tengkuk ke empat laki-laki ini keluarkan 
keringat dingin. Ternyata belati Sinbei telah tergeng-
gam di tangan si wanita bercadar itu.
Belum lagi mereka sempat berdo'a, tubuh si 
wanita itu telah berkelebatan.
Dan sekejap kemudian sudah terdengar suara 
jeritan-jeritan menyayat hati diiringi robohnya keempat 
laki-laki itu. Darah menyemburat, memercik memba-
sahi rerumputan. Keempat laki-laki itu meregang nya-
wa dengan mata membeliak. Masing-masing lehernya 
telah tersayat hampir putus. Di lain kejap keempat tu-
buh itu sudah terbang nyawanya. Terperangah Sinbei

dengan sepasang mata terbelalak tak berkedip. Terasa 
ngeri juga di melihat kejadian yang cuma sekejap itu.
Siapakah wanita yang berilmu tinggi dan telen-
gas ini? Bisik hatinya. Walaupun Sinbei bergirang hati, 
karena dengan lenyapnya keempat kawannya
dia akan menerima hadiah lebih besar. Namun 
tak urung hatinya kebat-kebit juga, karena batinnya 
sudah membisik. Ah, celakalah aku kalau akupun di-
bunuhnya...! Sekejap saja lenyaplah keinginan menda-
patkan hadiah yang diimpikan, karena nyawanya ada-
lah lebih penting dari hadiah sebesar apapun. Apalagi 
semua itu belum berupa kenyataan.
"Hihihi... jangan khawatir! Nasibmu masih lebih 
baik dari mereka! Kau tak perlu risaukan dirimu! Bah-
kan kau akan menerima hadiah lebih besar lagi dari 
apa yang kau harapkan....!" Berkata si wanita bercadar 
yang sudah beranjak menghampiri. JEP! .... Tahu-tahu 
belati berdarah itu telah menancap di batang pohon. 
Tepat di sisi telinganya.
"Hm, siapakah namamu?" Tanya si wanita itu 
dengan menatap tajam pada laki-laki di hadapannya. 
Tampak tubuh Sinbei gemetaran menatap belati berda-
rah yang melesak dalam pada batang pohon tempat dia 
sandarkan tubuhnya.
"Aku... aku... SINBEI..." Sahut Sinbei dengan 
menunduk. Dahinya mengembun penuh keringat.
"Hm, Sinbei! bantulah aku menguruk kelima 
mayat kawanmu itu!" Sinbei cepat-cepat menganggguk, 
dan beranjak dari tempatnya...
Senja itu udara agak lembab. Angin bertiup da-
ri arah lembah menimbulkan hawa dingin. Sekitar
lembah itu dicekam kesunyian. Akan tetapi dibalik se-
mak lebat, justru sesosok tubuh membukai pakaian-
nya. Tergetar tubuh Sinbei menatap apa yang terpam-
pang di hadapannya.

Kalau belum lama berselang bau wewangian 
yang ditimbulkan dari sosok tubuh wanita itu telah 
merangsangnya. Kini justru sosok tubuh wanita itu 
sendiri telah membuat bangkitnya kejantanannya. Ke-
bat-kebit hatinya mendadak sudah lenyap, sirna. Keti-
ka lengan-lengan halus wanita itu mulai membukai 
kancing bajunya.
Sinbei tak berlaku ayal, karena imannya segera 
sudah luluh. Beberapa kejap kemudian Sinbei sudah 
singkirkan pakaiannya dengan gerakan cepat. Selan-
jutnya... Dua sosok tubuh itu sudah bergelinjangan di
atas rerumputan dengan suara dengus nafas saling 
bersahutan. Rintihan nikmat pun terdengar lirih ter-
bawa hembusan angin yang bertiup dari arah lembah.
SINBEI perdengarkan keluhannya, dan guling-
kan tubuhnya direrumputan. Wajahnya menampakkan 
keletihan .Sementara si wanita itu tampakkan senyu-
man pada bibirnya. Senyum kepuasan.
"Kau sudah punya istri....?" Tiba-tiba si wanita 
itu bertanya.
"Ah, aku belum punya cukup bekal cukup un-
tuk memelihara seorang istri...!" Jawab Sinbei dengan 
tersenyum.
"Siapakah namamu, nona...? kau mempunyai 
ilmu tinggi yang mengagumkan. Kalau aku diangkat 
jadi muridmu, aku tak penasaran!" Berkata Sinbei se-
raya garuk-garuk kepala. Tiba-tiba si wanita perden-
garkan suara tertawanya.
"Kau bersedia menjadi muridku...? " Tanyanya 
dengan alis dinaikkan. Sinbei anggukan kepalanya. 
Sementara sepasang matanya masih merayap pada 
kedua buah benda menggumpal yang belum lagi tertu-
tup.
"Hm, kalau benar-benar kau ingin jadi murid-
ku, kau harus penuhi dulu syaratnya...!" Berkata siwanita.
"Apakah itu...!" Tanya Sinbei.
"Syaratnya adalah nyawamu...!" Menyahut si 
wanita dengan suara tiba-tiba berubah dingin. Sepa-
sang matanya mendadak bersitkan sinar yang men-
gandung hawa maut. Terperanjat Sinbei. Sepasang ma-
tanya sekejap sudah membeliak.
"Hah!? nya... nyawaku? Ah, nona! Kau bergu-
rau...." Ucap Sinbei dengan hati agak tergetar, seraya 
perlihatkan senyuman yang agak kaku. Sementara ha-
tinya kembali kebat-kebit. Berguraukah atau betulan 
kata-kata si wanita itu? Sentak hati Sinbei. Akan tetapi 
Sinbei tak sempat berfikir lagi. Karena tiba-tiba dia su-
dah menjerit parau, dan berkelojotan meregang nyawa.
Darah segar memuncrat ke wajahnya. Ternyata
lengan si wanita itu telah bergerak menghantam kepa-
lanya. Sesaat Sinbei sudah terkapar tak bernyawa 
dengan kepala rengat. "Hihihi... aku sudah tak mem-
butuhkan mu lagi, Sinbei.....!"
***
DELAPAN


APAKAH sebenarnya wanita itu? Dialah MITONI 
SAKEDA, selir sang Kaisar Kotsyi Nagoya. Ketika ti-
upan angin dari arah lembah agak reda, sosok tubuh 
wanita itu sudah berkelebat dari balik rumpun lebat 
itu.
Ternyata sejak lenyapnya sang selir ini, setelah 
memberikan dua orang bayi perempuan pada penga-
suh bayinya bernama HUYIMA, Mitoni Sakeda bukan 
lagi selir sang Kaisar yang bodoh! yang bisanya cuma 
menangis! Akan tetapi Mitoni Sakeda telah menjadi

seorang wanita yang berkepandaian tinggi. Kemuncu-
lannya adalah setelah lenyapnya dia selama beberapa 
tahun, sejak diusir dari Istana, karena seorang Pembe-
sar Kerajaan telah menuduhnya main gila dengan seo-
rang Panglima Kerajaan bernama HIGEI TANAKA.
Mitoni Sakeda ternyata menuju ke Lembah tak 
bernama itu untuk menjumpai SOKU SHEBA. Penutu-
ran dari Sinbei telah cukup untuk dia mengetahui le-
tak dan tempat rumah Soku Sheba. Bahkan diketahui 
pula dimana peti mati berisi mayat dan Pedang Pusaka 
itu dikuburkan.
Tampak seorang laki-laki brewok bertubuh ke-
kar, mondar-mandir di depan rumah terpencil yang 
tampak sunyi itu.
Dengan gerakan lincah, Mitoni Sakeda sudah 
melompat untuk sembunyi ke balik batu. Tajam sekali 
pendengaran laki-laki itu. Seketika dia sudah memben-
tak.
"Siapa di situ...!" Terpaksa si wanita itu tak da-
pat lagi untuk lebih lama sembunyikan diri. Segera dia 
keluar perlihatkan diri.
"Aku... aku tersesat kemari, paman...! Hari 
hampir menjelang malam. Sudilah kau menerimaku 
untuk menumpang menginap?" Berkata Mitoni Sakeda 
dengan memperlihatkan wajah muram.
Tentu saja Soko Sheba jadi melengak heran. 
Sepasang matanya memperhatikan sekujur tubuh wa-
nita di hadapannya dari ujung kaki sampai ke ujung 
rambut.
"Hm, kau siapakah...?" Tanya Soku Sheba.
"Namaku YURIKO...!" Sahut Mitoni Sakeda se-
kenanya. Akan tetapi membuat si laki-laki brewok itu 
jadi tersentak kaget. Karena justru nama itu adalah 
nama anak gadisnya yang baru saja jenazahnya dikuburkan.

"Kau bicaralah yang benar, apakah benar kau 
bernama demikian?" Tanya lagi Soku Sheba. Kesedi-
hannya mendadak sudah memuncak lagi. Nama itu 
membangkitkan kepedihannya yang belum lagi sirna 
itu terkoyak lagi.
"Aku.... aku memang bernama Yuriko!" Tegas 
Mitoni Sakeda yang sudah terlanjur mengucapkan.
Sementara diam-diam dia sudah perhatikan pe-
rubahan wajah laki-laki brewok itu. Aih, apakah anak 
gadisnya yang mati itu bernama Yuriko? Pikir Mitoni 
Sakeda, yang sudah segera menduga demikian.
Akan tetapi pada saat itu sudah terdengar ben-
takkan keras. Dan lengan si laki-laki brewok sekejap 
sudah menjambak rambut Mitoni Sakeda.
"Bedebah busuk! Kau penipu...! Yuriko sudah 
mati...! Yuriko mati karena pedang sialan itu...! 
Kau...kau hambuslah dari sini!" Sekali lengan Soku 
Sheba bergerak, terlemparlah tubuh Mitono Sakeda 
yang menjerit kesakitan. Separuh rambutnya telah je-
bol dari kulit kepalanya.
Buk...! tubuhnya sudah terbanting ke tanah, 
dan jatuh bergulingan. Menyeringai wanita ini menye-
ringai sakit yang bukan alang kepalang. Sekejap saja 
sekujur wajahnya telah berlumuran darah, yang men-
galir dari kulit kepalanya. "Keparrrattt...!" Memaki Mi-
toni Sakeda. Tiba-tiba tubuhnya telah bangkit kembali 
dan melompat menerjang. Di lengannya telah tergeng-
gam sebuah kebutan dari buntut kuda, bergagang 
emas yang berkilauan.
WHUKK...! WHUKK...! WHUK...!
BRETT...!
Tiga serangan beruntun segera dilancarkan 
menghantam ke arah tiga bagian tubuh Soku Sheba. 
Hebat laki-laki brewok itu, yang segera dapat meng-
hindari serangan ganas Mitoni Sakeda, Akan tetap satu sabetan telah membuat jubahnya sobek berikut ter-
lukanya kulit pundaknya.
Terkejut Soku Sheba, yang sudah perdengarkan 
teriakan tertahan dan jatuhkan tubuhnya bergulingan. 
Ketika dia memandang pada pundaknya, segera tam-
pak selarik goresan yang membuat kulit pundaknya 
pecah-pecah mengalirkan darah. Tiba-tiba dia telah 
melompat bangkit dengan membentak gusar.
"Kau... kau berani melukaiku YURIKO....?" 
Tanpa sadar dia telah menyebut lagi nama anak gadis-
nya. Dan wajahnya seketika berubah pucat.
"Tidak...! tidaaak...! Yuriko sudah mati...! kau... 
kau... kubunuh kau perempuan setan...!" Kembali dia 
membentak hebat.
BUK! Satu hantaman telak tak dapat dielakkan 
Mitoni Sakeda. Tubuhnya terjungkal. Beruntung puku-
lan itu tak seberapa keras. Akan tetapi dari bibir wani-
ta itu sudah mengalirkan darah.
Soku Sheba sudah memburunya lagi lengannya 
terulur untuk mencengkram. Terperangah wanita ini. 
Hatinya sudah membatin. Matilah aku...! Akan tetapi 
sebisanya dia cepat gulingkan tubuhnya menghindar.
BRRETTTTT...!
Cengkreman Soku Sheba telah merobek pa-
kaiannya sebatas dada. Membuat tersembulnya sepa-
sang buah dada sang wanita itu.
Membeliak seketika mata Soku Sheba. Akan te-
tapi dia sudah menyurut mundur dua tindak. Bibirnya 
tampak tergetar dan wajahnya kembali berubah pucat 
pias.
"Ohh.... tidak...! tidaak...! Yuriko...! Yuriko... 
anakku! maafkanlah ayahmu. Maafkanlah...! Aku.... 
aku telah berdosa anakku.... " Sesaat sudah terlihat 
sepasang mata Soku Sheba berkaca-kaca. Dan sudah 
cucurkan air mata yang membasahi kedua pipinya.

Akhirnya laki-laki brewok itu telah jatuhkan di-
ri berlutut dengan tundukkan wajahnya. Sungguh ka-
sihan laki-laki ini, ternyata otaknya sudah tidak waras 
lagi. Tertegun seketika Mitoni Sakeda. Dia sudah ber-
niat membunuh mati laki-laki itu. Akan tetapi segera 
diurungkan.
Timbul di hati Mitoni Sakeda untuk memper-
mainkan Soku Sheba yang telah membuatnya cedera 
kulit kepalanya, karena separuh rambutnya jebol di-
cengkeram laki-laki brewok itu.
Entah dosa apakah gerangan yang dilakukan 
Soku Sheba pada anak perempuannya itu, hingga 
membuat laki-laki ini seperti orang tidak waras. Pikir-
nya. Akan tetapi dia sudah perdengarkan tertawanya 
mengikik, walaupun sebenarnya Mitoni Sakeda mera-
sakan sakit bukan main pada kulit kepalanya yang ter-
luka.
"Hihihi... hihihi... baik! baik! aku akan ampuni 
kesalahanmu, ayah! Akan tetapi sebagai penebus do-
samu kau harus membuntungi kedua belah kakimu!" 
Berkata Mitono Sakeda dengan suara dingin.
"Membuntungi kedua kakiku...? Bertanya dia.
"Ya!... Dengan cara itu mungkin akan dapat 
meringankan dosamu...!" Ujar Mitoni Sakeda. Soku 
Sheba tiba-tiba tertawa gelak-gelak.
"Hahahaha... haha... kalau cuma membutungi 
sepasang kakiku, aku tak keberatan!" Seraya berkata 
Soku Sheba telah selonjorkan kedua kakinya. Kedua 
lengannya terangkat ke atas, dan tampak bergetar, ka-
rena Soku Sheba tengah salurkan tenaga dalamnya ke 
kedua lengan.
Sepasang lengannya pun bergerak meluncur ke 
arah kedua kakinya....
"TUNGGU.....!" Satu teriakan telah menggema 
menyibak keheningan. Akan tetapi sudah terlambat.

PRAKKK....! Soku Sheba telah perdengarkan te-
riakannya yang berbareng dengan suara berderaknya 
tulang kaki yang hancur.
Saat itu sesosok tubuh telah bergerak melom-
pat ke tempat itu, diiringi dengan teriakan tertahan.
"Kakaaak...!" Dan... WHUUK! Lengannya sudah 
bergerak menghantam Mitoni Sakeda. Beruntung wa-
nita itu sudah melompat menghindar.
"Kakak...! Kakak Soku Sheba! sadarlah apa 
yang telah kau lakukan?" Teriak si pendatang itu yang 
ternyata seorang wanita yang usianya hampir tak ber-
beda jauh dengan Mitoni Sakeda. Lengan wanita itu 
mengguncang-guncangkan tubuh Soku Sheba, yang 
segera tersadar setelah membuka matanya. Dan segera 
mengenali siapa yang datang.
"Ah, adik MIYAZAKI...! kau... kau menyusul ke
tempat ku...?"
"Ya...! Apakah yang telah terjadi? Dan siapakah 
wanita itu . . .? Mengapa kau lakukan hal ini...?" wani-
ta bernama Miyazaki itu adalah adik seperguruan So-
ku Sheba. Tentu saja dia terkejut mengetahui sang ka-
kak seperguruan telah menghancurkan kedua ka-
kinya.
"Hah!? ya...! mengapa aku menghancurkan se-
pasang kakiku sendiri?" Agaknya Soku Sheba baru 
tersadar dari pengaruh kejiwaannya yang goncang.
"YURIKO...! Yah, Yuriko itulah yang telah me-
nyuruhku...!" Berkata Soku Sheba dengan suara 
menggeram.
"Yuriko? Mana Yuriko...? Dia bukan anakmu! 
Siapakah dia...?" Mitoni Sakeda perdengarkan suara 
mendesis.
"Heh! Aku bukan Yuriko...! Namaku Mitoni Sa-
keda...! Kakakmu itu telah menjadi kurang waras! Aku 
memang bersalah telah mendustainya dengan memakai nama Yuriko!"
"Lalu apa maumu ke tempat ini? Aku adalah 
saudara seperguruannya! Aku bertanggung jawab atas 
keselamatan dirinya...! Hm, menurut pendengaran ku 
kalau tidak salah, kaulah orangnya bekas selir
Kaisar Kotsyi Nagoya yang telah diusir karena 
melakukan hubungan gelap dengan seorang Panglima 
Kerajaan. Kedatanganmu pasti mau mengganggu ka-
kak seperguruanku...!" Berkata Miyazaki dengan suara 
ketus.
"Hm aku tak kesudian melakukan itu! Dia telah 
menyerangku tanpa sebab hingga kau lihat sendiri 
keadaanku! Masih bagus aku tak suruh kakakmu 
membunuh diri...!" Tukas Mitoni Sakeda dengan tak 
kalah sengit.
"Sudah...! biarkanlah dia pergi.. ! Hm! Ketahui-
lah, sobat! kakakmu itu telah membunuh anak gadis-
nya sendiri...! Biarlah dia rasakan akibat perbuatan-
nya!" Teriak Mitoni Sakeda, seraya beranjak melang-
kah. Hatinya jadi geram, karena niatnya untuk mencu-
ri Pedang telah gagal.
"Tutup mulutmu, perempuan sial...! Hambus-
lah kau dari sini!" membentak Soku Sheba dengan su-
ara menggeledak. Tubuhnya sudah mau digerakkan 
melompat. Akan tetapi dia segera mengeluh panjang, 
karena segera sadar kalau sepasang kakinya telah 
hancur putus sebatas lutut.
Mitoni Sakeda sudah putar tubuh dan berkele-
bat pergi... Tentu saja dengan membawa 101 macam 
kemendongkolan dihatinya.
Penuturan Soku Sheba ternyata membuat 
Miyazaki jadi terperangah. Seperti diketahui Soku 
Sheba telah kematian istrinya sejak Yuriko berusia li-
ma belas tahun. Tentu saja dapat dirasakan betapa 
pedihnya hati Soku Sheba. Hingga beberapa bulan sejak kematian sang istri, Soku Sheba mendiami sebuah 
lembah yang tenang bersama Yuriko anak gadisnya.
Di samping itu Soku Sheba masih merasa pe-
nasaran, karena kematian istrinya adalah secara aneh. 
Yaitu tengah malam mendadak sang istri muntahkan 
darah hitam yang kental dari mulutnya. Setelah berpe-
san untuk menjaga Yuriko baik-baik, sang istri pun 
tewas dengan bibir tampakkan senyuman.
Ternyata di luar sepengetahuan Soku Sheba, 
yaitu di saat dia tak berada di tempat telah kedatangan 
seorang wanita yang bernama FUKI ZIMA.
FUKI Zima mengatakan bahwa dia saudara se-
pupu Soku Sheba. Begitu masuk ruangan sepasang 
matanya menatap pada sebuah pedang samurai yang 
tergantung ditembok.
"Ah, pedang yang bagus! Aku tahu pedang itu 
milik kakak Soku Sheba!"
"Benar...! Itu pedang warisan gurunya...! Berka-
ta istri Soku Sheba. Akhirnya dengan kata-kata manis 
Fuki Zima sampaikan maksudnya untuk meminjam 
pedang milik Soku Sheba itu. Sebenarnya istri Soku 
Sheba tak berani memberikan, akan tetapi wanita itu 
telah meninggalkan sebuah pedang samurai yang ber-
gagang indah sekali bertatahkan mutiara pada ujung-
nya. Dan pada mata pedangnya berukiran dua ekor 
burung Hong.
"Aku tinggalkan pedangku ini sebagai jami-
nan..!
Kakak Soku Sheba pasti akan mengenali pe-
dang ini...!" Istri Soku Sheba tak berani menolak lagi.
Dia sudah percaya penuh pada wanita yang 
mengaku saudara sepupu suaminya. Apa lagi pedang 
yang di tinggalkan tampak lebih indah. Merupakan se-
buah pedang yang berharga mahal.
Demikianlah! wanita bernama Fuki Zima itu segera mohon diri. Yuriko pada waktu itu menanyakan 
pada ibunya tentang wanita itu. Fuki Zima segera tu-
turkan siapa dirinya, bahkan wanita itu memeluk Yu-
riko dengan tersenyum dan berkata lembut.
"Aiih...! namamu Yuriko, bukan...? ah, kau can-
tik sekali seperti ibumu. Panggillah aku bibi...! Kelak 
ayahmu akan dapat bercerita tentang bibimu ini...!"
"Selamat jalan, bibi...!" Ujar Yuriko, ketika wa-
nita itu lambaikan tangan padanya dan berkata pada 
istri Soku Sheba.
"Aku pasti akan datang lagi secepatnya untuk 
mengembalikan pedang!" Setelah berucap demikian 
Fuki Zima beranjak pergi dengan langkah cepat. Kedua 
ibu dan anak itu memperhatikan wanita itu sampai le-
nyap di tikungan jalan. Sekembalinya Soku Sheba se-
gera sang istri beritahukan kedatangan wanita tadi. 
Dan serahkan pedang titipannya pada suaminya.
Tercenung Soku Sheba memandang pedang 
yang indah itu. Wajahnya tampak mengalami peroba-
han dengan tiba-tiba. Akan tetapi cepat-cepat Soku
Sheba menutupinya dengan tersenyum.
"Ah, benarlah dia itu saudara sepupu ku, ma...! 
Apakah tak datang bersama suaminya?" Ujar Soku 
Sheba. Padahal di hati laki-laki ini timbul semacam pe-
rang batin yang hebat. Ternyata Fuki Zima adalah be-
kas kekasihnya. Pedang itu adalah pedang lambang 
cinta kasih mereka, yang diukirkan dengan sepasang 
burung Hong pada mata pedang.
Soku Sheba pernah berjanji tak akan kawin 
dengan wanita manapun kecuali dengan Fuki Zima. 
Tapi kenyataannya Soku Sheba menikah dengan 
SHINTOMI. Karena Fuki Zima tak pernah muncul sete-
lah sejak lama dinantinya.
Bahkan Soku Sheba tak mengetahui lagi dima-
na Fuki Zima berada.

Mengapa setelah 15 tahun terlewat Fuki Zima 
baru muncul...? Sentak Soku Sheba. Dan dia datang 
cuma meminjam Pedang Pusaka warisan gurunya itu 
yang tak pernah dipakai.
Semalam-malaman Soku Sheba tak bisa tidur. 
Tentu saja kegelisahan itu diketahui istrinya. Akan te-
tapi Shintomi pura-pura tak mengetahui.
Tengah malam di saat istrinya tidur lelap, Soku 
Sheba keluar dengan pelahan menuju ruang tengah. 
Ternyata menghampiri dinding dimana pedang beruki-
ran burung Hong itu tergantung menggantikan pedang 
Pusaka miliknya.
Tergetar jantung laki-laki ini ketika melihat pa-
da sepasang burung Hong itu. Seakan terbayang lagi 
kisah cinta dimana mereka masih memadu kasih pada 
lima belas tahun yang silam.
Tiba-tiba lengannya sudah bergerak memasuk-
kan kembali pedang itu dalam serangkanya. Soku 
Sheba ingat sekali, pada gagang pedang telah dibuat 
sebuah ruang yang dipergunakan untuk menyimpan 
surat. Jari-jari lengannya telah bergerak memutarkan 
gagang pedang itu. Benar saja. Dalam rongga gagang 
pedang itu terdapat segulung kertas kecil.
Dengan penerangan lilin di atas meja disudut 
ruangan, Soku Sheba membaca tulisan pada kertas 
kecil itu.
"Aku akan mengembalikan pedangmu, tapi aku
tak mau datang ke rumahmu!
Datanglah ke Lembah Sakura pada malam pur-
nama depan.
Aku menantimu...!
Istrimu cantik sekali, Soku Sheba...!
FUKI ZIMA.

Berdebar hati Soku Sheba. Akan tetapi cepat-
cepat masukkan kertas itu untuk ditelannya segera. 
Dia amat mengkhawatirkan istrinya mengetahui. Sege-
ra Soku Sheba kemasi lagi pedang itu pada tempatnya.
Lalu beranjak masuk ke kamarnya. Tersenyum 
laki-laki ini melihat istrinya masih tidur lelap dengan 
posisi semula.
Dengan pelahan Soku Sheba kembali rebahkan 
tubuhnya di samping sang istri yang amat dikasihi itu. 
Aku tak dapat mengkhianati istriku, akan tetapi aku 
memang harus menjumpainya untuk menjelaskan du-
duk perkaranya! Fikir Soku Sheba.
Malam purnama yang dijanjikan itupun tiba. 
Aneh! Justru malam itu Shintomi minta izin menginap 
dirumah ibunya bersama Yuriko.
Akan tetapi Soku Sheba tak berfikir jauh, sege-
ra mengizinkannya. Menjelang kepergian mereka Soku 
Sheba pun berangkat menuju ke lembah Sakura den-
gan membawa pedang berukiran sepasang burung 
Hong itu, dan pertemuan kedua insan yang pernah 
memadu kasih dan cinta itupun terjadi....
"Kau belum bersuami Fuki Zima...?" Tanya So-
ku Sheba yang sudah membuka percakapan. Fuki ZI-
MA duduk di atas batu tak bergeming. Dilengannya 
tercekal pedang Soku Sheba.
"Kukira pertanyaan itu tak patut kau lontarkan 
padaku, Soku Sheba! Bukankah pedang cinta kasih 
dari kisah asmara kita selalu berada di dekat ku? Pe-
dang itu seolah dirimu sendiri...! Patutkah aku 
mengkhianatinya? Sepasang burung Hong itu laksana 
aku dengan kau!
Namun kenyataan pahit sudah ku alami. Aku 
menikah dengan wanita lain!" berkata Fuki Zima den-
gan suara ketus. "Maafkanlah aku Fuki... ! keadaan 
sudah terlanjur begini! aku tak dapat mengkhianati istriku!" Berkata Soku Sheba dengan suara lemah terge-
tar. Sebenarnya Soku Sheba segera akan mengemuka-
kan beberapa alasan hingga dia tak menepati janji ka-
sih yang telah mereka ikrarkan berdua. Akan tetapi 
Fuki Zima sudah keluarkan kata-kata sinis.
"Heh! Aku bukan datang untuk mengemis cinta 
mu, Soku Sheba! Aku mau mengembalikan pedang mi-
likmu ini! Aku sudah mengetahui kau menikah sejak 
10 tahun yang lalu. Nah, dapat kau bayangkan betapa 
sakit dan pedihnya hatiku! Tapi aku rela...! aku rela 
kau pergi dari sisiku! Semoga kau bahagia dengan ke-
hidupan yang telah kau tempuh itu, Soku Sheba...! 
Nah kau terimalah pedangmu!" Seraya berkata , Fuki 
Zima sodorkan pedang samurai yang dipinjamnya pada 
si laki-laki bekas kekasihnya itu.
***
SEMBILAN


SOKU SHEBA agak berat menerima pedangnya 
kembali. Namun dia sudah ulurkan lengannya me-
nyambuti. "Nah, kembalikan pedang titipan ku itu!" 
Berkata, Fuki Zima dengan nada tak berubah. Sejenak 
Soku Sheba memperhatikan pedang yang pernah 
membawa kisah cinta antara mereka berdua itu. Na-
mun segera telah sodorkan pada wanita itu dengan 
berkata.
"Sekali lagi aku mohon maafmu, Fuki Zima!" 
Akan tetapi Fuki Zima tertawa sinis seraya menyambu-
ti pedang berukiran sepasang burung Hong itu.
"Hihihi... sudahlah! Di antara kita sudah tak 
ada hubungan apa-apa lagi! Pedang ini sudah tak 
mempunyai arti lagi, Soku Sheba!" Seraya berkata tiba

tiba lengan Fuki Zima sudah bergerak membantingkan 
pedang itu ke atas batu. TRRAKK...! Sekejap pedang 
yang pernah membawa kisah asmara mereka sudah 
patah menjadi beberapa bagian. Terkejut Suku Sheba. 
Akan tetapi wanita itu telah berkata.
"Hmm, pada Pedang Pusaka milikmu yang ku 
pinjam itu ku ukirkan namaku! dan kupindahkan pula 
lambang sepasang burung Hong sebagai pengganti pe-
dang lama! Nah, kalau kau ingat diriku,
kau boleh pandangi gambar sepasang burung 
Hong itu! Dan akan segera kau ingat aku...! walaupun 
aku sudah tak mengharapkan kau lagi! Pedang itu kini 
kunamakan PEDANG ASMARA GILA!" Setelah berkata 
demikian Fuki Zima berkelebat pergi dengan perden-
garkan suara tertawa pedih. Tertawa yang seperti me-
nangis. Sekejap saja tubuhnya telah lenyap di antara 
rimbunnya pepohonan....
Terperangah Soku Sheba. Terasa hatinya seper-
ti terbawa pergi. Akan tetapi dia sudah menghela na-
pas. Dapat dirasakan betapa wanita itu menanggung 
siksa karena gagal dalam mengharap kebahagiaan hi-
dup bersama dengan laki-laki yang pernah didamba-
kannya. Terasa lemah lunglai tubuh laki-laki itu. Ha-
tinya membatin. Betapa berdosanya aku...! Betapa su-
cinya cintanya...! Namun segalanya sudah terlanjur. 
Laki-laki ini perdengarkan helaan nafasnya. Sementara 
lengannya sudah bergerak perlahan menarik pedang 
yang dinamai Pedang Asmara Gila oleh Fuki Zima. Be-
nar saja! Pada bilah pedang terdapat ukiran sepasang 
burung Hong. Akan tetapi burung itu tidak seperti 
lambang yang dulu. Karena ukiran burung Hong itu 
masing-masing terpisah dengan kepala sama membe-
lakangi. Itulah pertanda kisah asmara mereka telah 
bertolak belakang. Ketika membalik bila pedangnya, di 
situ sudah terukir nama FUKI ZIMA. Termangu-mangu

Soku Sheba. Benar saja seperti ucapan bekas kekasih-
nya itu. Karena segera kisah cinta mereka di masa da-
hulu telah terbayang kembali di matanya.
Bahkan yang lebih luar biasa adalah. sinar pe-
dang itu telah memancarkan hawa pengaruh cinta be-
rahi yang menggebu-gebu. Terperangah Soku Sheba. 
Akan tetapi Soku Sheba tak menyadari bahwa pedang 
itu kini telah terisi semacam ilmu gaib yang mempen-
garuhi jiwanya. Dengan terengah-engah cepat-cepat 
Soku Shema masukkan lagi bila pedang itu pada se-
rangkanya.
"Fuki Zima...! Menyesal aku tak mengawini 
mu.... Fuki Zima.... tahukah kau bahwa cintaku amat 
besar padamu?" Terdengar bibirnya berdesahan me-
luncurkan kata-kata. Dengan membawa berahi yang 
masih tak kunjung reda, Soku Sheba berkelebat pergi 
tinggalkan lembah Sakura. Setiba di rumah barulah
dia sadar kalau istri dan anak gadisnya tak ada di ru-
mah. Akan tetapi anehnya sang istri tak lama sudah 
muncul kembali. Ternyata pada sepertiga malam dia 
telah batalkan menginap di rumah ibunya.
"Mana Yuriko...?" Tanya Soku Sheba, karena 
tak melihat anak gadisnya turut serta. "Anak itu te-
ruskan menginap! Biarlah Neneknya amat rindu pa-
danya." Sahut Shitomi pendek.
"Kau... kau mengapa tak jadi menginap?" Tanya 
Soku Sheba dengan pandangan mata nanar menatap 
istrinya.
"Ah, tak apa-apa...! Aku takut kau kesepian
sendirian di rumah!" Sahut sang istri. Soku Sheba ter-
senyum. "Ya, biarlah...! Sekali-sekali kita toh perlu 
mengenang masa pengantin baru..." Ujar Soku Sheba. 
Shintomi tersenyum seraya masuk ke peraduan....
-----oooOooo

Malam itu Soku Sheba bagaikan seekor kuda 
jalang yang menjalankan tugasnya dengan napas 
menggebu-gebu. Akan tetapi dimatanya bukanlah wa-
jah istrinya, melainkan wajah FUKI ZIMA....
Akan tetapi menjelang pagi, ketika Soku Sheba
masih tertidur pulas, sang istri terbatuk-batuk hebat 
dan muntahkan darah kental berwarna hitam. Tentu 
saja membuat dia terkejut. Dengan panik Soku Sheba 
berlari ke arah rumah tetangga yang agak berjauhan 
untuk memberi bantuan menolong istrinya. Sayang, 
bermacam pengobatan dilakukan, namun nyawa Shin-
tomi tak dapat tertolong lagi. Akan tetapi sebelum 
hembuskan napas yang terakhir, sang istri tersenyum 
menatapnya. Senyum itu begitu pedih terlihat oleh So-
ku Sheba. Akan tetapi sang istri tak mengucapkan ka-
ta-kata lain, selain berpesan agar menjaga Yuriko baik-
baik. Sesaat kemudian istri Soku Sheba yang setia itu-
pun lepaskan nyawanya
Dan sejak Soku Sheba menetap di lembah tak 
bernama itu, telah terjadi satu peristiwa yang amat 
terkutuk. Soku Sheba dalam kesepiannya telah kem-
bali loloskan pedang Asmara Gila. Kembali terpandang 
ukiran sepasang burung Hong. Juga sebuah nama 
yang terukir di balik bilah pedang itu. Sepasang ma-
tanya pun kembali nanar. Dan... Yuriko si anak gadis 
yang amat disayanginya telah menjadi korban pelam-
piasan nafsu terkutuknya. Hingga Yuriko dalam kea-
daan baju terkoyak-koyak dan tubuh lemah lunglai 
melarikan diri di saat Soku Sheba tertidur menggeros. 
Yang didesiskan dari mulutnya tak lain dari nama FU-
KI ZIMA.
Dan kejadian tragis tak dapat terelakkan lagi. 
Yuriko membunuh diri dengan melompat dari atas teb-
ing.... Terperangah Miyazaki mendengar penuturan 
Soku Sheba.

"Jadi kau... kau telah lakukan perbuatan terku-
tuk dengan anak gadismu sendiri...?" Berkata Miyazaki 
seperti menggumam. Soku Sheba terangguk-angguk 
dengan cucurkan air mata yang deras mengalir mem-
basahi sepasang pipinya. Sang adik seperguruan cuma 
bisa menarik napas dengan trenyuh. Jelas bekas keka-
sih Soku Sheba itu telah sengaja membalas dendam! 
Pikirnya. Pedang itu telah mengandung satu kekuatan 
gaib yang menimbulkan berahi... Tumbuh di hati Miya-
zaki untuk memusnahkan pedang itu. akan tetapi dia 
khawatir kekuatan berahi akan menyerangnya. Akhir-
nya Miyazaki menetap di Lembah tak bernama itu me-
rawat Soku Sheba. Bahkan beberapa tahun kemudian 
tempat itu telah dipasangi bermacam jebakan. Karena 
khawatir ada orang yang mencuri Pedang Asmara Gila. 
Miyazaki ternyata seorang wanita yang berkepandaian 
tinggi dan berotak cerdas. Siang malam bekerja tak 
mengenal lelah untuk membuat bermacam jebakan. 
Rumah tua itu telah "disulap" Miyazaki menjadi tempat 
yang angker. Miyazaki tinggalkan Lembah tak bernama 
itu, setelah merampungkan pembuatan jebakan-
jebakan rahasia itu.
Tinggallah Soku Sheba sendiri di rumah tua 
itu. Dan lembah tak bernama itu pada sepuluh tahun 
kemudian mempunyai nama yang memang sangat se-
suai dengan kenyataan. Yaitu Lembah AIR MATA. Ka-
rena sering terlihat seorang kakek berjubah putih, du-
duk di atas batu di depan rumah tua itu sambil me-
niup serulingnya. Tiupan seruling itu bernada sedih, 
memilukan hati. Dan akan terlihat wajah kakek tua 
berkaki buntung itu mencucurkan air mata...
***

SEPULUH

BEBERAPA HARI KEMUDIAN.... Di Lembah Air 
Mata telah bermunculan puluhan Ninja mengepung 
rumah tua itu dari perbagai Penjuru. Ninja-Ninja itu 
berpakaian serba Hijau. Gerakannya cepat sekali. Me-
reka menggali tanah di malam yang agak gelap itu. 
Rembulan di langit cuma tinggal sepotong yang me-
mancarkan sinarnya. Awan hitam telah menyelubungi 
hampir separuhnya. Kira-kira tiga kali penanak nasi, 
beberapa Ninja telah berhasil memasuki ruangan da-
lam. Beberapa kepala bersembulan di beberapa tem-
pat. Mereka memakai topi tudung baja yang berujung 
lancip. Lengan-lengan mereka memakai cakar besi 
yang dipergunakan untuk mengeruk tanah. Luar bi-
asa! Mereka dapat selamat dari jebakan senjata-
senjata rahasia yang terpasang di sekitar tempat itu.
Mereka saling memberi isyarat. Segera sudah 
melihat di mana adanya segunduk tanah yang mem-
punyai batu nisan bertulisan nama YURIKO. Beberapa 
orang menyelinap dengan hati-hati untuk menjaga 
khawatir munculnya si kakek kaki buntung bernama 
Soku Sheba itu. Tak lama mereka sudah mulai meng-
gali tanah kuburan. Cepat sekali beberapa
Ninja itu bekerja. Tak Sama peti mati sudah 
berhasil terkorek. Kini tinggal lagi membuka tutupnya. 
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras. Tiga 
orang Ninja terjungkal jatuh dengan pekik kematian. 
Beberapa Ninja segera berlompatan membantu. Ter-
nyata di ruangan itu telah muncul seorang wanita yang 
memakai cadar hitam penutup muka.
"Keparat...! Kalian tak akan dapat memiliki Pe-
dang Pusaka itu!" Bentaknya. Dan di lengannya sudah 
tercekal sebuah kebutan bergagang Emas. Dialah guru

Hamada. Beberapa lengan sudah muncul dari dalam 
tanah menarik kakinya. Terkejut wanita bercadar hi-
tam itu. Kebutannya telah bergerak menyambar.
PRAK! PRRAKK...! Tanah menyemburat, dan 
lengan-lengan Ninja itu putus berpentalan. Belasan pi-
sau tiba-tiba berdesir meluruk ke arahnya. Akan tetapi 
dengan sebat dia sudah lakukan salto. Lengannya ge-
rakkan kebutannya menghalau.
JEP! JEP! JEP...! Tiga orang Ninja roboh terke-
na sambaran balik dari pisau-pisau terbang yang dis-
ampoknya. Beberapa Ninja segera lemparkan tali pen-
jerat. Namun belum sempat tali-tali mengenai sasaran, 
tubuh wanita bercadar itu telah lebih dulu melompat 
menerjang. Beberapa sosok tubuh kembali terjungkal. 
Sebat sekali si wanita itu melompat ke dalam lubang. 
Dua orang Ninja kembali dihajar roboh oleh kebutan 
mautnya. Lengannya bergerak cepat membuka tutup 
Peti Mati. Tampak mayat seorang wanita yang sudah 
tak berbentuk lagi. Dan Pedang Pusaka itu tergeletak 
di atasnya. Cepat sekali dia meraihnya. Sekejap sudah 
berada di tangannya. Dan dengan sebat sudah melom-
pat ke atas menjebolkan atap wuwungan rumah. Ter-
dengar suara bergedubrakan.... Si wanita bercadar itu 
sudah berada di atas wuwungan. Akan tetapi puluhan 
anak panah telah meluruk ke arahnya.
Wanita ini segera gunakan senjatanya untuk 
memukul buyer puluhan anak panah. Dan di lain ke-
jap dia sudah melesat dari wuwungan rumah ke balik 
semak lebat di bawahnya. Lalu lenyap tak ketahuan 
lagi ke mana perginya.
"Kejaarrr...!" Terdengar suara teriakan. Dan pu-
luhan Ninja sudah berlompatan mengejarnya.
-----oooOooo

Si wanita bercadar itu pergunakan kelincahan-
nya untuk cepat meninggalkan Lembah Air Mata. Ha-
tinya sudah girang karena Ninja-Ninja Hijau itu takkan 
dapat mengejarnya. Beberapa saat kemudian dia telah 
berada di atas bukit. Namun sungguh di luar dugaan. 
Karena di hadapannya telah berdiri beberapa sosok 
tubuh yang sudah siap merentangkan busur panah. 
Siap memanggang tubuhnya. Di tengah-tengah barisan 
Ninja Hijau itu tegak berdiri si Setan Tanah Higei Ta-
naka. Lengkap dengan topi tudung lebarnya.
"Hm, serahkan pedang itu! Berkata Higei Tana-
ka dengan suara dingin. Akan tetapi wanita bercadar 
ini mendenguskan hidungnya.
"Huh, kau kira semudah itu Higei Tanaka...? 
Pedang ini bukanlah Pedang Pusaka Kerajaan yang hi-
lang itu! Akan tetapi pedang pusaka milik Soku Sheba! 
Pedang ini mempunyai riwayat tersendiri, yang tak bo-
leh lain orang memilikinya!"
"Akan tetapi baiklah akan aku serahkan pada-
mu, kalau kau suruh orang-orangmu itu pergi!" Ujar si 
wanita bercadar.
"Hm, baik...! Apakah kau mampu melarikan diri 
kalau kau berdusta?" Berkata Higei Tanaka. Segera dia 
tepukkan lengan tiga kali. Sekejap para Ninja Hijau itu 
berkelebatan lenyap. Tersenyum si wanita itu. Sepa-
sang matanya jalang menatap pada Higei Tanaka. Ka-
kinya pun beranjak melangkah ke arah laki-laki itu. 
Sementara Higei Tanaka telah siap-siap menghadapi 
kalau terjadi sesuatu. Sepasang lengannya mencekal 
tongkatnya erat-erat.
"Apakah kau percaya kalau kukatakan pedang 
ini bukan milik Kerajaan?" Tanya wanita itu,
"Hm, MITONI SAKEDA...! Aku perlu bukti un-
tuk melihatnya!" Ucap Higei Tanaka. Wanita ini tam-
pak tatapkan matanya tajam-tajam pada laki-laki di

hadapannya. "Heh!? Agaknya kau telah mengetahui 
siapa diriku...!" Terkejut wanita ini. Karena sudah be-
lasan tahun dia menyembunyikan diri di Kota Raja, 
ternyata Higei Tanaka bekas panglima Kerajaan dari 
Kaisar lama itu mengetahui siapa dirinya.
"Heh! Sudah sejak lama aku mengetahui, pe-
rempuan bejat! Kaulah si penyebar fitnah keji, hingga 
aku dipecat dari jabatanku sebagai Panglima Kerajaan! 
Hubunganmu dengan HOKAIDO si Wali Kota itu, kau 
fitnahkan padaku! Ketahuilah! Si Hokaido itu telah 
kubunuh mampus! Kedua anakmu Kori Syima dan Su-
zi telah berada di Lembah Pedang! Mereka tak boleh 
mengetahui urusan kita. Dan hari ini setelah kau se-
rahkan pedang Pusaka itu, kau harus serahkan pula 
nyawamu...!" Berkata si Setan Tanah Higei Tanaka 
yang amat mendendam pada wanita bekas selir Kaisar 
ini. Akan tetapi wanita itu cuma tersenyum seraya 
ucapnya lirih.
"Hm, aku sudah mengetahui dari HUYIMA... si 
pembantuku itu! Sudahlah, Higei Tanaka...! Kejadian 
lama itu tak usah kau ungkit lagi! Sebenarnya aku tak 
main gila pada Hokaido! Aku sebenarnya amat mencin-
taimu, Higei Tanaka...! Aku adalah wanita malang yang 
gagal menemukan kebahagiaan! Kehidupanku di Ista-
na sebagai selir tidaklah membahagiakan ku! Selama 
itu aku mencari dan mencari di manakah letak keba-
hagiaan itu? Sejak Kaisar mulai tak memperhatikan ku 
lagi, timbullah niatku untuk minta cerai! Diam-diam 
aku mencintaimu. Karena kulihat kau tak punya seo-
rang istripun, tak kusangka kalau niatku itu kau tolak 
mentah-mentah! Aku sengaja memfitnah mu agar kau 
dipecat. Setelah aku pasti akan dicerai Kaisar. Tujua-
nku adalah kembali mendekatimu, karena dengan be-
basnya aku, kau pasti sudi menjadikan aku istrimu...!" 
Berkata demikian, tampak sepasang mata Mitoni Sakeda cucurkan air mata.
Membuat Higei Tanaka jadi tercenung. Tak me-
nyangka kalau demikianlah halnya. Sementara Mitoni 
Sakeda telah teruskan lagi bicaranya.
"Pedang Pusaka ini silahkanlah kau periksa...! 
Bagiku tak keberatan kalau kau ingin memilikinya! Te-
busannya pasti amat besar dari Kaisar. Siapa tahu kau 
bisa memangku jabatan lagi di Kerajaan Merak Hi-
jau...!" Seraya berkata Mitoni Sakeda lepaskan cadar 
penutup wajahnya, dan sodorkan gagang pedang pada 
Higei Tanaka. Agak terpana laki-laki ini melihat wajah 
Mitoni Sakeda, yang masih tak berubah kecantikan-
nya. Namun lengannya sudah terulur untuk menyam-
buti Pedang yang disodorkan padanya. Hatinya diam-
diam membatin. Hm, kalau benar ini pedang Pusaka 
Kerajaan, pasti akan ada ukiran burung Merak pada 
bilah pedangnya! Sekejap Higei Tanaka telah cabut pe-
dang samurai itu dari serangkanya.
Segera membersitlah hawa aneh yang mengge-
tarkan jantung, ketika menatap gambar ukiran sepa-
sang burung Hong yang saling membelakangi. Dan di
sebaliknya tertera sebuah name FUKI ZIMA. Siapakah 
Fuki Zima... ? Sentak hatinya. Jelas pedang itu bukan 
pedang Pusaka Kerajaan walaupun sarang pedang dan 
gagangnya amat mirip. Karena ketika masih menjabat 
sebagai Panglima Kerajaan, Higei Tanaka pernah meli-
hatnya.
"Nama yang tertera di situ adalah namaku, Hi-
gei Tanaka...! Sudah kukatakan pedang itu bukanlah 
pedang Pusaka Kerajaan. itu adalah pedang milik Soku 
Sheba. Pedang yang membawa kisah cinta kami yang 
gagal! Pedang itu kunamakan PEDANG ASMARA GI-
LA...!" Berkata Mitoni Sakeda alias Fuki Zima. Seraya 
sudah beranjak mendekati Higei Tanaka. Ketika lengan 
wanita itu bergerak menyibakkan celah pakaiannya di

dada, segera tersembul sepasang payudaranya yang 
putih. Kedua benda membulat itu bergerak-gerak keti-
ka wanita itu bergerak melangkah kian mendekat. Se-
pasang mata Higei Tanaka jadi berubah nyalang. Hawa 
berahi yang di timbulkan dari pedang yang sudah ter-
salurkan ilmu gaib yang hebat itu telah merasuk ke 
otaknya. Tergetar dada laki-laki itu, tak terasa pedang 
yang di genggamnya sudah terlepas jatuh. Topi tu-
dungnya segera sudah disibakkan. Dan... sepasang 
lengannya sudah mendekap tubuh wanita itu.
"Fuki Zima... ah, namamu amat indah kedenga-
rannya. Aku... aku menyesal menolakmu menjadi is-
triku, Fuki Zima...!" Ucapnya dengan
suara-suara gemetar. Sepasang matanya men-
gatup merasakan gesekan tubuh Fuki Zima, yang 
menggeliat dalam pelukannya. Dan... lengan laki-laki 
itu sudah menyelusup semakin jauh. Pakaian wanita 
itupun ditanggalkan helai demi helai bersamaan den-
gan tanggalnya pakaian Higei Tanaka yang dibenahi 
lengan halus wanita itu.
"Aku amat mencintaimu Higei Tanaka ...." Ber-
kata Fuki Zima dengan suara berdesah. Tenggorokan 
Higei Tanaka seperti kering tersumbat. Dan... di pon-
dongnya tubuh wanita itu untuk dibaringkan di re-
rumputan. Sekejap saja Higei Tanaka telah seperti 
orang kesurupan yang menggeluti tubuh wanita itu 
dengan hempasan-hempasan tubuhnya.... Bergelinjan-
gan tubuh si wanita itu, menggeliat-geliat dengan bibir 
berdesahan. Sementara di hati si wanita bernama Fuki 
Zima alias Mitoni Sakeda itu sudah membatin. Hihihi... 
akhirnya kau jatuh juga di tanganku, Higei Tanaka 
yang sombong! Dan direngkuhnya tubuh laki-laki itu 
untuk melampiaskan segenap kepuasannya.... Akan 
tetapi pada saat itu tiba-tiba terdengar sebuah benta-
kan menggeledek! Sebuah bayangan putih berkelebat....
"FUKI ZIMA...! Kau mampuslah sekarang...!" 
Satu sambaran dahsyat menderu menghantam kedua 
tubuh yang tengah bergelinjangan itu. Terperangah Hi-
gei Tanaka. Detik itu juga dia sudah gulingkan tubuh-
nya dengan cepat dari atas tubuh si
wanita. Bersamaan dengan itu, terdengar suara 
berderak keras.
BRRASSS...! Dan diiringi teriakan menyayat ha-
ti, segera terlihat tubuh Fuki Zima berhamburan isi 
perutnya terkena hantaman pukulan lengan seseo-
rang. Ketika dia melihat siapa yang datang, ternyata 
adalah seorang laki-laki tua berkaki buntung terman-
gu-mangu menatap tubuh wanita itu yang sudah le-
paskan nyawanya dengan seketika. Dialah SOKU 
SHEBA. Belum lagi Higei Tanaka sempat berbuat se-
suatu, lengan si kakek itu sudah menyambar pedang 
Asmara Gila yang tergeletak di sisi tubuh Fuki Zima. 
Dan sudah berkelebat melompat ke atas sebuah batu 
besar. Terdengar suara SREEK...! Dia telah masukkan 
pedang itu dalam serangkanya.
Cepat-cepat Higei Tanaka sambar pakaiannya, 
dan kenakan dengan cepat. Higei Tanaka sendiri terke-
jut, dan baru tersadar kalau dia telah lakukan perbua-
tan di luar kesadarannya.
***
SEBELAS


"AH, siapakah kau orang tua...? Terima kasih! 
kau telah membuat aku sadar walaupun nyaris nya-
waku melayang!" Tanya Higei Tanaka. Laki-laki tua 
berkaki buntung sebatas lutut itu balikkan tubuhnya,

seraya menatap pada Higei Tanaka.
Aku SOKU SHEBA. Si penghuni Lembah Air 
Mata! Pedang ini benar seperti kata wanita bejat itu! Ini 
pedang keparat yang harus dimusnahkan! Pedang ini 
berisi ilmu gaib yang amat dahsyat, yang telah di isi 
oleh seorang wanita penyihir yang bergelar si Iblis Naga 
Merah!" Wanita ini adalah bekas kekasihku...! kau li-
hatlah, wajahnya mengalami perubahan...!" Berkata 
Soku Sheba.
Pada saat itu telah berkelebat dua buah bayan-
gan ke atas bukit itu, yang perdengarkan teriakannya.
"Ibuuuu...!" Sekejap dua sosok tubuh itu sudah 
berdiri dekat tubuh wanita itu. Akan tetapi seketika 
mereka jadi terperanjat. Karena sudah memekik heran.
"Ah...!? dia bibi HUYIMA...!" Terperangah ke 
dua gadis itu..
"Dia adalah guruku...!" Terdengar seseorang 
berkata. Dan sesosok tubuh berkelebat lagi muncul di-
barengi sosok tubuh lainnya yang berambut beriapan. 
Kiranya Hamada yang barusan berkata, dan Roro Cen-
til yang menyusul di belakang. "Ah, ternyata guru ku 
itu tak lain dari bibi Huyima...!?" Terdengar lagi pemu-
da bernama Hamada itu menyambung kata-katanya. 
Sepasang matanya dapat melihat senjata kebutan dan 
cadar hitam yang selalu dikenakan wanita itu. Kini ba-
rulah dia dapat melihat jelas wajah gurunya, yang se-
lama ini selalu memakai cadar penutup muka.
"Hehehehe.... pantas! pantas dia melarangmu 
untuk pergi ke Lembah Pedang. Karena kau menolak 
untuk melayani kehendaknya, bukankah begitu Ha-
mada?" Tiba-tiba muncul pula kakek Mitsui di tempat 
itu.
Hamada cepat-cepat palingkan wajahnya den-
gan bersemu merah. Kata-kata kakek itu memang ti-
dak salah. Hamada pernah menolak hasrat gurunya,

hingga dia ditugaskan ke Lembah Air Mata untuk 
mengantar nyawa. Namun beruntung dia selama dari 
jebakan maut. Akan tetapi sang guru yang ternyata 
HUYIMA itu telah menjebloskannya ke dalam lubang 
bawah tanah bersama-sama dengan kakek Mitsui dan 
Roro Centil. Disamping heran, mereka juga merasa 
ngeri melihat keadaan tubuh wanita itu yang sudah 
hancur isi perutnya, bahkan hingga sampai sebatas 
paha. Tentu saja barang terlarang wanita itu tak keli-
hatan lagi.
Korisyima tiba-tiba menekap mukanya, dan te-
lah menangis terisak-isak. Suzi cepat-cepat memeluk-
nya. Akan tetapi pada saat itu sudah terdengar suara 
Hamada. "Oh. lihat.. ! Kulit muka dan tubuhnya telah
berubah semua." Tersentak Korisyima, yang segera le-
paskan lagi tekapan lengannya yang menutupi wajah-
nya. Bukan saja Korisyima yang terbelalak, akan tetapi 
semua yang berada di situ belalakkan matanya mena-
tap pada tubuh wanita itu.
Ternyata kulit tubuh dan muka wanita itu telah 
berubah lagi menjadi lebih mengerikan. Karena sudah 
menjadi keriput macam kulit nenek-nenek. Rambutnya 
pun berubah memutih. Dan wajahnya mirip seorang 
nenek tua yang mirip tengkorak.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap suara 
kaki-kaki kuda mendatangi. Ternyata sepasukan 
laskar Kerajaan yang dipimpin oleh seorang panglima 
Kerajaan Merak Hijau. Jelas terlihat dari pakaiannya 
dari seorang penunggang Kuda paling depan. Sebentar 
saja telah mengurung mereka dari beberapa penjuru.
"HIGEI TANAKA...! Dan kalian semua yang be-
rada di sini, atas perintah Kaisar kalian ditangkap!" 
Bentak Panglima Kerajaan itu. Dialah yang bernama 
Panglima SHOGUN. Tentu saja mereka semua jadi me-
longok. Kecuali Higei Tanaka yang sudah melompat kehadapan Panglima itu.
"Maaf, panglima! kalau aku mau ditangkap ka-
rena telah membunuh Hokaido, aku akan serahkan di-
riku...! Akan tetapi mereka semua tak mempunyai ke-
salahan apa-apa. Mengapa harus pula ditangkap...?" 
Berkata Higei Tanaka.
"Heh! Kau bukan saja telah membunuh Hokai-
do, Wali Kota itu, akan tetapi Juga telah merencana-
kan pemberontakan...!" Bentak Panglima Shogun den-
gan wajah gusar.
"Dan satu hal lagi. Kau telah mencuri Pedang 
Pusaka Kerajaan yang lenyap ketika kau dipecat dari 
jabatanmu oleh Kaisar!" Tambah Panglima itu. Terke-
jut Higei Tanaka karena dia tak merasa melakukan hal 
itu. Akan tetapi baru dia mau menjawab, sudah ter-
dengar suara yang menyambar terlebih dulu disertai 
bergerak mendekat seekor kuda dengan penunggang-
nya. "Heh! manusia busuk...! Ketahuilah! Kami telah 
menggeledah markasmu di Lembah Pedang! Dan telah 
kami jumpai Pedang Pusaka Kerajaan ini di kamar 
mu!" Ternyata yang bicara adalah seorang pemuda 
berpakaian mewah yang menyandang samurai di ping-
gang. Lengannya bergerak menurunkan sebuah pe-
dang terbungkus kain hitam dari punggung. Segera dia 
sudah membukanya. Pemuda ini tak lain dari HASYI 
GATO si anak Wali Kota Hokaido itu.
"Inilah Pedang Pusaka Kerajaan yang hilang se-
lama lebih dari sepuluh tahun itu! Pantas selama ini 
Kerajaan tak mengalami kemajuan...! Bahkan banyak 
musibah terjadi...!" Sekali lihat saja Higei Tanaka su-
dah mengetahui kalau benda itu adalah Pedang Pusa-
ka Kerajaan, karena saat itu juga Hatsyi Gato sudah 
mencabut Pedang Pusaka itu. dan terlihatlah gambar 
ukiran seekor burung Merak yang tampak seperti me-
nyala terkena sinar bulan.

Dengan mendengus Hatsyi Gato segera masuk-
kan lagi pedang itu ke dalam serangka. Dan cepat 
membuntalnya.
"Higei Tanaka! Kau lihat lambang tanda keka-
saran di tanganku ini? Bersujudlah untuk kami ring-
kus!" Berkata demikian Panglima Shogun keluarkan 
sebuah medali berukiran Merak terbuat dari emas 
yang bertatahkan permata warna merah dan hijau. 
Lambang itu adalah lambang Kekaisaran. Siapa yang 
memegang benda itu berarti telah menjadi wakil kai-
sar. Dan berhak menangkap siapa saja. Terperangah 
seketika Higei Tanaka. Akan tetapi Higei Tanaka tak 
mau bersujud. Bahkan bertolak pinggang dengan wa-
jah menampilkan kemarahan.
"Panglima! Kalau aku bersalah, aku rela di-
tangkap. Akan tetapi kesalahanku cuma membunuh 
seorang penguasa yang telah menyelundupkan harta 
kekayaan Kerajaan! Apakah aku dapat dipersalahkan? 
Dan aku sama sekali, tak pernah menyimpan benda 
Kerajaan apa pun di Pasanggrahan Lembah Pedang...!"
Apakah kau mau mungkir dengan bukti di tan-
gan kami?!" Membentak si Panglima dengan menggele-
dek. Dan hampir melejit sepasang mata Hatsyi Gato 
mendengar kata-kata Higei Tanaka. Karena ayahnya 
dianggap penyelundup harta kekayaan Kerajaan. Na-
mun hatinya sudah tersentak kaget. Hah!? dari mana 
dia mengetahui...? Ternyata bukan saja Hatsyi Gato 
yang terkejut, akan tetapi wajah si Panglima Shogun 
itupun seketika pucat. Namun cepat nutupi dengan 
membentak menggeledek.
HIGEI TANAKA...! kau berani melawan perintah 
Kaisar...?" Dan lengannya sudah terangkat ke atas, 
serta memberi perintah pada laskarnya.
"Pengawal...! tangkap manusia pemberontak 
ini...!" Sekejap beberapa belas pengawal sudah melompat dari punggung kuda dengan tombak dan pedang 
terhunus mengurung Higei Tanaka.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ben-
takan keras dari arah belakang Panglima Shogun. 
"Tunggu...!" Seekor kuda dilarikan dengan cepat, me-
nyeruak dari belakang laskar. Ternyata yang datang 
adalah Kaisar KOTSYI NAGOYA. Bukan main terperan-
jatnya Panglima Shogun dan Hatsyi Gato. Seketika wa-
jah mereka jadi pucat. Ternyata Kaisar Hatsyi Gato te-
lah menyaru menjadi salah seorang laskar yang men-
gikut di belakang Panglima Shogun. Tentu saja dengan 
membawa lebih dari sepuluh perwira Kerajaan pen-
gawal pribadinya, yang juga menyaru menjadi para 
laskar golongan prajurit.
"Hm, Panglima Shogun...! kau takkan dapat 
menutupi lagi belang mu! Kau telah berkomplot den-
gan Hokaido untuk berbuat kejahatan! Aku sudah 
menggrebek tempat rahasia penyimpanan harta ke-
kayaan Kerajaan selundupan mu! Dan kau Hatsyi Ga-
to! Perbuatanmu di luaran telah membuat malu orang-
orang Kerajaan! Ayahmu si Hokaido itu pantas mati, 
karena pedang Pusaka Kerajaan itu dialah yang men-
curinya! Kalian diam-diam telah merencanakan pem-
berontakan menggulingkan Kekuasaanku sebagai Kai-
sar Kerajaan Merak Hijau! Lemparkan lambang palsu-
mu yang tak berguna itu...!" Berkata Kaisar Kotsyi Na-
goya.
Serentak belasan pengawal yang mengurung 
Higei Tanaka jatuhkan diri berlutut di hadapan Kaisar. 
Begitu juga para laskar lainnya yang berada di bela-
kang panglima Shogun. Serentak melompat dari kuda, 
dan berlutut tundukkan kepala. Sebelas orang pen-
gawal pribadi Kaisar segera bangkit setelah mendengar 
perintah dari Kaisarnya.
"Pengawal pribadiku...! kalian ringkuslah kedua

orang pengkhianat ini...!" Pucat piaslah wajah Pangli-
ma Shogun dan Hatsyi Gato. Namun kedua orang ini 
telah keprak kudanya, yang segera mencongklang ka-
bur.
"Tangkap mereka hidup atau mati!" Teriak Kai-
sar memberi perintah. Keadaan pun berubah panik. 
Suara ringkik kuda hiruk pikuk berbaur dengan teria-
kan-teriakan para pengawal yang mengejar kedua 
pemberontak itu. Di luar dugaan dua orang pengawal 
telah mendekati Kaisar. Dua buah samurai telah me-
luncur deras ke arah leher laki-laki Pemimpin Kerajaan 
itu. Akan tetapi pada saat itu telah berkelebat sebuah 
bayangan merah, dan...
TRANG...! BUK! BUK...! Kedua pedang samurai 
itu telah terlempar ke udara diiringi jerit kesakitan, 
dan robohnya kedua pengawal gadungan itu terjeng-
kang dari atas kuda.
Terkejut Kaisar Kotsyi Nagoya. Segera di men-
getahui nyawanya barusan saja bakal melayang kalau 
tak ada yang menolong menyelamatkannya. Ternyata 
RORO CENTIL telah bertindak cepat menghantam ter-
jangan kedua pedang samurai yang mengarah mene-
bas leher Kaisar, dengan senjata Rantai Genitnya.
Berbareng dengan menghantam kedua dada 
pengawal gadungan itu dengan tendangan kaki dan 
hantaman tinjunya. Untung hantaman itu tak begitu 
keras. Cuma membuat mereka rasakan dadanya men-
jadi sesak. Akan tetapi tahu-tahu sepasang lengan ga-
dis Pendekar Pantai Selatan itu telah mencengkeram 
tengkuk mereka. Dan diseret ke hadapan Kaisar. Bebe-
rapa pengawal Pribadi Kaisar cuma menatap dengan 
tertegun.
"Silahkan Kaisar beri hukuman pada dua orang 
pengawal gadungan ini!" Berkata Roro seraya menjura.
Di samping terkejut, sang Kaisar ini juga bergirang karena nyawanya telah selamat. Terkejut karena 
yang menolong menyelamatkan nyawanya adalah seo-
rang gadis asing yang baru sekali ini dilihatnya.
"Siapakah namamu gadis asing...? Ah, terima 
kasih atas bantuan mu!"
"Namaku RORO CENTIL..."
"Dialah yang bergelar si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan, Tuanku Kaisar!" yang namanya terkenal di 
seantero Pulau Jawa. Bahkan sampai ke Pulau Anda-
las ...!" Tiba-tiba terdengar satu suara dari kejauhan, 
yang kemudian berkelebat muncul seorang wanita be-
rusia cukup tua. Sikapnya gagah. Mencekal sebuah 
tongkat berkepala naga berwarna merah.
Terkejut Roro Centil melihat wanita ini. Karena 
justru wanita inilah yang tengah dicarinya. Yaitu wani-
ta yang berdiam di lereng Gunung BUKKYO. Sepasang 
mata wanita inipun membersit tajam menatap Roro. 
Tiba-tiba dia telah kirimkan suara jarak jauh yang me-
nyelusup ke telinga Roro.
"Hihihi... kau wanita pendekar yang hebat, Roro 
Centil! Berani mengarungi lautan untuk menerima tan-
tanganku...! Kutunggu kau di Lembah Air Mata!" Akan 
tetapi pada saat itu Soku Sheba telah perdengarkan 
bentakannya.
"IBLIS NAGA MERAH...! aku akan adu jiwa 
denganmu ..." Dan tubuh kakek buntung itu telah me-
lompat dari atas batu.
WHUUKKK...! Sebelah lengannya telah meng-
hantam. Akan tetapi dengan perdengarkan suara din-
gin si wanita itu telah melesat melambung tinggi dan 
berjumpalitan di udara.
Hebat...! Memuji Roro dalam hati. Kalau bukan 
orang yang mempunyai ilmu meringankan tubuh yang
sudah sangat sempurna, tak mungkin dapat melaku-
kan itu. Karena ujung kaki si wanita itu tak membuat

bergoyangnya daun sedikitpun.
"Hihihi... hik hik hik...! SOKU SHEBA...! kau te-
lah membunuh muridku, si Fuki Zima itu! Seharusnya 
aku mencabut nyawamu saat ini juga! Akan tetapi tak 
apalah, aku kasihan padamu yang sudah terlalu men-
derita...! Aku masih punya urusan dengan si wanita 
asing Pendekar Wanita Pantai Selatan itu! aku tak da-
pat melayanimu...!" Setelah berkata demikian, tubuh 
wanita itupun berkelebat lenyap. Akan tetapi Soku 
Sheba telah melesat untuk mengejarnya...
Melihat demikian Roro Centil pun cepat-cepat 
menjura pada Kaisar.
"Maaf, Kaisar...! Akupun harus pergi".
Belum sempat Kaisar mencegahnya, tubuh Ro-
ro Centil sudah berkelebat, lenyap menyusul Soku 
Sheba. Tercenung sang Kaisar ini, akan tetapi dia su-
dah palingkan kepalanya menatap kedua pengawal ga-
dungan itu. Ternyata kedua pengawal itu telah tak da-
pat gerakkan tubuhnya lagi, karena Roro Centil telah 
menotoknya. Dengan menggeram gusar Kaisar Kotsyi 
Nagoya cabut pedang samurainya.
Dua kali lengannya bergerak menabas.
Kepalanya menggelinding lepas dari tubuhnya...
-------ooOoo-------
Panglima Shogun tak dapat berlari jauh, karena
sekejap dia sudah terkepung oleh barisan Ninja anak
buah Higei Tanaka. Hingga para perwira Kerajaan itu 
dapat menyusulnya. Karena merasa tak dapat melo-
loskan diri lagi. Panglima Shogun telah gunakan pe-
dang samurainya untuk membunuh diri...
Sementara itu Kotsyi Nagoya telah didapat ter-
susul oleh si Setan Tanah, Higei Tanaka. Pertarungan 
pun segera terjadi. Akan tetapi mana Kotsyi Nagoya

mampu menandingi kepandaian Higei Tanaka. Tak la-
ma pemuda hidung belang itu sudah perdengarkan je-
ritan mautnya. Tubuhnya tembus terpanggang tongkat 
baja hitam laki-laki bekas panglima Kerajaan itu.
Kaisar Kotsyi Nagoya amat bersuka cita atas 
bantuan Kotsyi Nagoya, yang telah serahkan pedang 
Pusaka Kerajaan Merak Hijau padanya. Sementara Hi-
gei Tanaka hampir saja membenci pihak Kerajaan, ka-
rena ulah si Wali Kota HOKAIDO yang pernah mence-
gatnya dengan mempergunakan pengawal Kerajaan 
untuk membunuhnya.
"Terima kasih Kotsyi Nagoya! Segeralah datang 
ke Istana! Sudah selayaknya kau menerima jabatanmu 
kembali...! Selama ini aku telah terkecoh karena kela-
laian ku! Hingga si Hokaido dan Panglima Shogun itu 
nyaris menggulingkan kekuasaanku sebagai Kaisar...!" 
Berkata Kaisar.
Kotsyi Nagoya menekuk lutut di hadapan Kai-
sar dengan membungkuk beberapa kali.
"Terima kasih, Paduka Kaisar..!" Ucap Higei Ta-
naka dengan air mata berlinang karena terharu dan 
bahagianya.
Tak berapa lama pasukan Kerajaan sudah me-
ninggalkan bukit di atas Lembah Air Mata itu dengan 
bergemuruh. Diiringi dengan pasukan Nina Hijau yang 
telah membawa kemenangan gemilang. HIGEI TANAKA 
berada di tengah-tengah anak buahnya.... Kemanakah 
gerangan Korisyima, Suzi dan pemuda bernama Ha-
mada itu?
Ternyata mereka berada d barisan depan, di 
samping Kaisar Kotsyi Nagoya dengan masing-masing 
mengendarai kuda.
***

DUA BELAS

RORO CENTIL yang memiliki ilmu lari cepat 
yang amat luar biasa itu sudah dapat bayangan tubuh 
Soku Sheba. Bahkan di hadapan si kakek kaki bun-
tung yang melompat-lompat pergunakan sebelah len-
gannya itu telah kelihatan tubuh si wanita bergelar IB-
LIS NAGA MERAH...
Ternyata di tempat yang terbuka itu si Iblis Na-
ga Merah hentikan gerakan larinya. Agaknya dia me-
mang mencari tempat yang baik untuk bertanding ilmu 
dengan Roro Centil. Tentu saja dia sudah mengetahui 
kalau si kakek Soku Sheba itu memburunya. Sesaat 
laki-laki kaki buntung itu sudah tiba di hadapannya. 
Tampak di sebelah lengan Soku Sheba masih tergeng-
gam Pedang Asmara Gila.
"Hihi... Soku Sheba! Apakah kau manusia yang 
tak dapat dikasihani? Kau mengejarku cuma mengan-
tar nyawa saja!" Ucapnya dengan suara dingin.
"Iblis keparat...! Dengan ilmu gaib yang kau isi 
dalam pedang Pusakaku ini, secara langsung kaulah si 
penyebab kematian anak gadisku YURIKO!" Bentak 
Soku Sheba dengan menggeram beringas.
Saat itu Roro Centil sudah tiba pula di tempat 
itu. Kakek Soku Sheba, biarlah kau wakilkan aku un-
tuk menghajarnya ..!" Berkata Roro Centil yang berada 
di belakang Soku Sheba. Laki-laki kaki buntung ini 
tanpa menoleh, luncurkan kata-kata.
"Ada permusuhan apakah kau dengannya, ga-
dis asing...?"
"Hihihi... seorang Pendekar kalau ditantang 
bertarung, walaupun yang menantangnya berada di 
ujung langit harus dipenuhi!" Berkata Roro.
"Nah! Kedatanganku adalah menemuinya un

tuk menerima tantangannya!" Melengak Soku Sheba. 
Namun hatinya diam-diam memuji akan kejantanan si 
gadis asing itu. Pada saat itu sesosok tubuh telah pula 
berkelebat ke tempat itu. Ternyata kakek Matsui.
"Nona Roro Centil! Jadi diakah yang kau kata-
kan "sahabat"mu itu...?" Bertanya kakek Matsui. Roro 
Centil palingkan wajahnya seraya berkata.
"Benar kakek Matsui! Aku tak tahu apakah aku 
harus terkubur di Lembah Air Mata ini, kelak! Tapi ku
mohon padamu pada permintaan terakhir ku, sudikah 
kau mengabulkannya...?" Berkata Roro dengan laku-
kan pertanyaan aneh. Karena belum apa-apa sudah 
mau pesan kata-kata.
"Pasti aku kabulkan, Nona Pendekar Roro!" Sa-
hut Kakek Matsui, dengan hati kebat-kebit juga. Kha-
watir kalau benar-benar si gadis asing yang pernah 
menolongnya dari lubang bawah tanah itu tewas dalam 
pertarungan.
"Bagus! Tolong kau pinjam seruling si kakek 
Soku Sheba ini, dan kau tiupkan seruling mu di atas
Kuburan ku sambil menangis selama 100 tahun!" Ujar 
Roro. "Ah...!? usiaku saja mungkin tinggal beberapa 
tahun lagi. Mana mungkin hal itu kulakukan?" Tukas 
si kakek Mitsui dengan tertawa mengakak terkekeh-
kekeh...
Akan tetapi pada saat itu si Iblis Naga Merah 
telah membentak dengan suara dingin. "RORO CEN-
TIL...! Kata-katamu membuat kepalaku menjadi besar, 
akan tetapi mengecilkan jantungku! Kau telah lakukan 
hinaan yang teramat besar padaku!" Roro Centil kre-
nyitkan keningnya. "Hihihi... aku berkata apa adanya! 
Itulah adat orang Jawa! Aku merendahkan diri bukan 
dengan maksud menghinamu!" Sahut Roro Centil den-
gan tersenyum jumawa.
Akan tetap si Iblis Naga Merah telah perdengar

kan tertawa sinis disertai bentakan keras. "Baik! Se-
saat lagi kau benar-benar akan terkubur di Lembah 
ini! Tak seekor semutpun menangisi kematianmu! Ka-
rena setelah kau mampus, kedua kambing-kambing 
tua itupun akan menyusul kepergianmu ke Akhirat...!"
Selesai berkata wanita itu gerakkan tongkat 
berkepala Naga Merah itu memutar cepat. Segera sege-
lombang angin bergulung-gulung membersit menerjang 
ke arah Roro. Soku Sheba cepat menyingkir. Mau tak 
mau dia harus mengalah untuk menyaksikan perta-
rungan maut itu.
Roro Centil bentangkan lengannya ke depan 
menyalurkan tenaga dahsyat untuk menghantam ge-
lombang angin yang menerpanya. Inilah satu jurus da-
ri Pantai Selatan yang dinamakan Taufan Melanda Ka-
rang. Hebat akibatnya. Serangkum angin dahsyat telah 
menerjang gulungan angin yang menggebu itu. 
WHUSSSSSS...!
PRRAAASSSSS" KRRRAK...! BHUMMM...!
Si Iblis Naga Merah perdengarkan teriakan ter-
tahan kekuatan gelombang anginnya tak mampu me-
nahan terjangan dahsyat itu. Tubuhnya terlempar wa-
lau dia sudah melompat setinggi dua puluh tombak.
Sementara dengan deras, rangkuman angin 
pukulan Roro terus meluncur menerabas apa yang 
menghalangi di belakang wanita itu. Tiga bongkah batu 
besar terungkit lepas berbareng dengan berderaknya 
beberapa batang pohon besar yang tercabut jebol 
akarnya. Bagaikan diseret oleh tangan raksasa batu 
dan pohon itu meluncur menghantam bukit dengan 
perdengarkan suara berdebum. Batang-batang pohon 
itu hancur beserpihan berikut bongkah-bongkah batu 
besar itu, yang beradu dengan bukit di belakangnya.
Saat itu terdengar suara lengkingan yang ba-
gaikan membelah langit. Tubuh Roro Centil melesat

dua puluh tombak ke udara, menyusul tubuh si iblis 
Naga Merah. Sekejap tubuh Roro Centil telah berada di 
atas tubuh si Iblis Naga Merah yang dalam keadaan 
terperangah itu. Roro Centil tak berlaku ayal. Sekali 
lagi dia pertunjukkan kehebatan pukulan TAUFAN
MELANDA KARANG. Kedua lengannya telah bergerak 
menghantam. "WHUUUUKK...! DHESS! Terdengar jeri-
tan menyayat hati yang cuma sekejap. Karena tubuh si 
Iblis Naga Merah telah meluncur bagaikan disentakkan 
tangan raksasa untuk segera amblas ke dasar bumi...!
BLASH! Sekejap saja lenyaplah tubuh wanita 
jagoan Negeri Sakura itu. Roro Centil melayang ringan, 
dan jejakkan kaki di sisi lubang bekas amblasnya tu-
buh lawan tarungnya. Dan terdengar suara helaan na-
fas wanita Pendekar ini yang pejamkan mata untuk 
mengatur pernafasannya kembali.
Tampak asap tipis bagaikan kabut mengepul 
dari lengan dan ubun-ubun si Pendekar Perkasa Pan-
tai Selatan.
Tak berapa lama asap kabut itu semakin meni-
pis, kemudian berangsur lenyap. Perlahan dia sudah 
membuka sepasang matanya. Ternyata di hadapan Ro-
ro telah tegak berdiri dua sosok tubuh yang menatap-
nya dengan terperangah. Dialah Soku Sheba dan si 
Kakek Matsui.
"Ah...! Hebat! hebat...! Luar biasa...!" Beberapa 
kali keluar suara pujian dari mulut si kakek jangkung 
itu. Sementara itu Soku Sheba telah luncurkan kata-
kata dengan suara terharu bercampur girang. Karena 
ketika berbareng dengan amblasnya tubuh si Iblis Na-
ga Merah, Pedang Asmara Gila mendadak musnah, 
hancur menjadi debu!
"Terima kasih, nona Pendekar...! kau telah me-
nolongku memusnahkan Pedang keparat yang telah 
menghancurkan hidupku itu...!"

Segera Soku Sheba perlihatkan sisa debu dari 
Pedang Asmara Gila di lengannya. Dan sedikit mence-
ritakan riwayat pedang itu pada Roro Centil. Terman-
gu-mangu gadis pendekar itu dengan bergidik ngeri. 
Kakek Matsui pun menggeleng-gelengkan kepalanya
dengan menarik napas lega. Hatinya membatin. Aih, 
beruntung aku tak mengalami hal seperti si Soku She-
ba. Kalau pedang itu tanpa sengaja aku yang memiliki 
dan terkena hawa gaib yang menimbulkan berahi itu.... 
Wah, wah.... Apakah yang bakal terjadi? Tak tahulah 
aku! Tak seorang pun mengetahui kalau sebenarnya si 
Kakek Matsui itu adalah seorang ..... BANCI laki-laki.
-------ooOoo-------
Langit nampak cerah di permulaan musim semi 
itu. Bunga-bunga Sakura bermekaran di mana-mana. 
Mengorak senyum menampakkan kesuciannya bagai-
kan seorang gadis yang masih putih bersih belum per-
nah terjamah laki-laki.
RORO CENTIL tinggalkan Istana Kerajaan Me-
rak Hijau dengan meninggalkan kesan yang amat 
mendalam di hati Kaisar juga penduduk negri Mataha-
ri Terbit itu. Dara Perkasa Pantai Selatan ini langkah-
kan kakinya menuju ke arah pantai... Angin laut 
membersit menyibakkan rambutnya yang terurai.
Dan pada bibir gadis rupawan yang mungil itu, 
tampak secercah senyum.
"Nona Roro... !" Sesosok tubuh telah berlari-lari 
mengejarnya. Ternyata Hamada. Si Pemuda Ninja yang 
tampan itu.
"Selamat jalan, nona Pendekar...! Ah, mengapa 
begitu cepat kita berpisah...?" Berkata Hamada dengan 
suara serak parau. Hatinya telah terpaut pada gadis 
tanah Jawa yang gagah itu.

"Aih, Hamada...! Kalau Tuhan mentakdirkan ki-
ta dapat bertemu lagi, mungkin setelah kau punya 
sembilan cucu, kita bisa bertemu lagi...!" Ujar Roro 
Centil dengan tersenyum, dan kerlingkan matanya.
"Eh, yang manakah yang akan kau pilih di an-
tara kedua gadis itu? KORISYIMA ATAU SUZI...?" Ber-
tanya Roro Centil.
"Ah... ah... entahlah! aku... aku..." Hamada jadi 
tergagap dengan wajah bersemu merah.
"Hihihi... kalau aku jadi kau, akan ku pilih dua-
duanya! Ucap Roro.
"Dua-duanya...?" terperangah Hamada.
Akan tetapi Roro Centil telah berkelebat pergi. 
Sekejap saja telah berada di kejauhan. Tampak oleh 
Hamada wanita Pendekar itu balikkan tubuhnya. Len-
gannya menggapai, dan terdengar suaranya sayup-
sayup ke telinga Hamada.
"Nah, selamat tinggal Ninja yang gagah...! Sam-
paikan salamku pada kedua gadismu...!
Sesaat antaranya tubuh wanita Pendekar Pan-
tai Selatan itupun melesat lagi. Dan lenyap di ujung ti-
tik pandangan...
Hamada gapaikan lengannya sampai bayangan 
tubuh Roro Centil tak terlihat lagi. Seakan-akan masih 
terngiang di telinganya kata-kata wanita Pendekar 
yang dikagumi itu.
"Hihihi... kalau aku jadi kau, akan ku pilih dua-
duanya!"
Apakah Hamada akan menjadikan kedua gadis 
manis itu istrinya? Entahlah...! Yang jelas laki-laki itu 
sudah langkahkan kakinya untuk kembali ke Istana 
Merak Hijau. Di kejauhan masih terdengar lapat-lapat 
suara helaan nafasnya.....

                          TAMAT





























Share:

0 comments:

Posting Komentar