SATU
DESAH angin malam itu semakin semilir me-
nyentuh kulit. Udara semakin dingin menembus ke tu-
lang. Gelapnya cuaca malam itu sesekali menyibak,
menampakkan cahaya terang gemerlapan, manakala
kilat menyambar membelah langit. Selang tak lama
anginpun membersit semakin keras. Batang-batang
pohon bergoyangan menghempas-hempas, terbangkan
daun-daun kering yang berhamburan. Suara guruh
mulai terdengar sahut menyahut, yang sesekali diwar-
nai dengan menyambarnya halilintar.
Gluduk...gIuduk...gluduk...!THARRRR...! Alam
telah berubah gegap-gempita. Titik-titik air mulai tu-
run membasahi bumi, yang tak lama berselang hujan
pun turun seperti dicurahkan dari langit.
Di antara desah angin yang menghempas-
hempas dan siraman hujan lebat, tampak sesosok tu-
buh berlari-lari menerjang lebatnya hujan dan badai.
Bila kilatan-kilatan petir berkredepan menyibak
kegelapan, terlihat jelas sosok tubuh yang ternyata
adalah seorang wanita, rambutnya panjang terurai. Ja-
tuh bangun dia berlari tersaruk-saruk menembus pe-
katnya malam. Pakaiannya sudah basah kuyup dan
belepotan lumpur. Namun tanpa perdulikan semua itu,
dia terus berlari dan berlari... Terkadang harus me-
rangkak mendaki tanah becek berlumpur, meraih
akar-akar pepohonan, merayap ke tempat ketinggian.
Untuk kemudian terus berlari dengan tubuh sem-
poyongan.
"Ibuuu..! ibuuu...! Aku telah dihinakan ibuuu...!
Aku sakit hati..! Aku... aku... hu.. hu.. hu...hu..." Ter-
dengar ratap tangisnya yang memilukan. Kemanakah
gerangan yang ditujunya? Ternyata wanita itu menuju
ke arah sebuah Makam Tua. Makam Tua di atas bukit
itu. Makam yang sejak 10 tahun yang lalu tak pernah
dikunjungi orang. Ke sanalah dia menuju dengan
langkah yang tertatih-tatih semakin lemah. Ketika tiba
di hadapan segunduk tanah berumput tebal dengan
nisan dari kayu yang sudah keropos, dia jatuhkan diri
berlutut seraya menangis terisak-isak.
"Ibuuu...! ibuuu..! hu... hu... hu..." kembali dia
mengangguk dalam tangis yang teramat pilu. Air ma-
tanya yang bersimbah sudah bercampur dengan air
hujan. Di pelukinya kuburan itu dan diremas-
remasnya rumput dan tanah yang basah, serta yang
sesambat, seperti orang yang sudah hilang akal.
"Ibu! Tak dengarkah kau suaraku? Tak dengar-
kah kau ratapan ku? Aku telah dihina, Ibu...! Aku tak
rela, aku tak kuat mendengarnya...! Bangkitlah ibu da-
ri tidurmu! Bangkitlah ...!!!" Teriak wanita itu sambil
menghentak-hentakkan lengannya menggebuki gun-
dukan tanah itu. Kelakuannya sudah seperti orang
yang kurang waras. Kembali dia mengguguk dalam
tangis pilu. Namun lama-kelamaan tangisnya semakin
lirih, semakin perlahan... dan akhirnya berhenti sama
sekali. Wanita itu telah jatuh pingsan karena tak kuat
menahan gejolak perasaannya serta keletihan yang
amat sangat. Sementara hujan terus mengguyur tu-
buhnya tiada henti. Sesekali petir menyambar menam-
pakkan kilatan-kilatan di langit.
Tiba-tiba satu kilatan dari langit menyambar ke
arah gundukan tanah itu, perdengarkan suara keras...
THARRRR...! Wanita itu terkejut ketika rasakan
tanah kuburan terguncang bergetar. Sementara asap
membumbung di hadapannya. Kiranya kilatan petir te-
lah mengenai patok kayu lapuk itu yang seketika han-
gus terbakar disertai menyemburnya tanah berlubang
di hadapannya.
Terperangah wanita ini, dengan sepasang mata
terbeliak lebar. Seketika saja dia sudah tersadar dari
pingsannya.
Tiba-tiba dia bangkit berdiri. Hawa dingin
membuat tubuhnya gemetaran menggigil. Tapi dia su-
dah berkata lantang...
"Ibu...;! Kalau kau tak maju bangkit dari tidur-
mu, biarlah..! Akan tetapi katakanlah, apakah kau
pernah melahirkan aku! Aku dihina, ibu...! Aku dis-
isihkan dari suamiku! Karena aku tak mampu mela-
hirkan anak! Aku dikatakan mandul! Dan tak akan
pernah mempunyai anak sampai ubanan, karena aku
adalah keturunan dari seorang perempuan setengah
siluman! Benarkah itu, ibu? Ujar wanita itu dengan te-
risak. Suaranya menggeletar menahan kesedihan serta
dinginnya tubuh. Lalu lanjutnya lagi.
"Ibu...! Aku sakit hati mendengar fitnah keji itu!
Aku tak ada harapan punya anak. Dan suamiku Prabu
Gurawangsa telah mengambil tiga orang selir! Mereka
amat diperhatikan oleh suamiku. Terutama yang ber-
nama Nawangsih! Karena wanita itu kini tengah men-
gidam. Dia bakal punya anak, yang kelak akan meng-
gantikan kedudukan Prabu Gurawangsa sebagai Raja
Kerajaan MATYSPATI.
Kalau ibu adalah manusia setengah siluman,
dan aku keturunannya, apakah ayah seorang silu-
man..?" Berkata wanita itu dengan suara serak parau.
Betapa batinnya amat tertekan. Sementara dia sudah
kembali jatuhkan air mata. Hujan masih turun mem-
basahi bumi, dan malam semakin melarut. Tubuh
sang wanita semakin menggigil kedinginan. Namun dia
tetap berdiri tegak sambil menutupi wajahnya yang
bergoyang-goyang.
Tak ada sahutan secuilpun dari dalam kuburan
itu. Akan tetapi wanita ini tetap membandel untuk tetap berdiri di situ.
"Ibu...!" Ujarnya lagi.
"Aku tak dapat menerima penghinaan ini. Den-
dam ku telah bersatu dengan PETIR dan GUNTUR!
Aku tak akan mengingini lagi kebahagiaan di Istana.
Aku cuma ingin punya anak! Aku ingin sekali hamil,
dan merasakan bagaimana rasanya orang mengidam!
Bagaimana rasanya aku melahirkan anak...! Aku iri..!
Iriiii...! Mengapa aku mandul hingga sampai sepuluh
tahun tak dikaruniai keturunan seorangpun!"
THARRRR...! Kilatan petir kembali menyambar,
nyaris mengenai tubuhnya. Tanah disebelahnya han-
gus terbakar, menimbulkan lubang besar. Akan tetapi
wanita itu tetap berdiri tegak tak bergeming.
Lapat-lapat terdengar suara tanpa ujud menyu-
sup ke telinganya.
"Durgandini...! Kau tak layak berkata demikian!
Kau menentang takdir Tuhan! Sadarlah apa yang akan
kau inginkan! Bertawakallah dengan cobaan yang kau
terima!"
Akan tetapi wanita ini sudah berteriak.
"Tidaaaak...! Aku tak dapat menerima takdir
itu. Ibu...! Bukankah kau manusia setengah siluman
seperti yang kudengar. Tolonglah aku! Bantulah
aku...!"
THARRRR...! Kembali kilatan petir menyambar
dahsyat membuat kilatan yang menerangi alam semes-
ta. Selanjutnya guruh terdengar sahut menyahut di
angkasa. Di antara kilatan cahaya petir itu tampak se-
sosok tubuh berjubah putih kira-kira sepuluh tombak
di belakang si wanita itu. Ternyata seorang kakek tua
renta. Tampak bibirnya berkemak-kemik membuat
kumis dan jenggotnya yang putih terjuntai itu berge-
rak-gerak. Aneh dan amat menakjubkan, karena jubah
sang kakek sedikitpun tak basah oleh siraman hujan.
Sementara di telinga si wanita itu telah terden-
gar lagi suara tanpa ujud. Itulah sebenarnya suara si
kakek misterius yang aneh itu.
"Durgandini! Cucuku...! Kembalilah dari kese-
satan hatimu! jangan kau ingkari takdir Tuhan!".
Tiba-tiba dia telah balikkan tubuhnya. Dan se-
pasang matanya telah dapat melihat kakek berjubah
putih itu di hadapannya.
"Siapa kau..?"'Bentaknya dengan suara keras.
Wajah wanita itu tampak kaku menatap dengan tajam.
Sementara hujan sudah mulai menipis. Dan cuaca
yang gelap sudah berangsur-angsur menjadi terang.
"Aku Resi JENGGALA MANIK dari Pertapaan
GOA KISKENDA. Masih termasuk kakek mu. Panggil-
lah aku Eyang...!" Sahut sang kakek berjubah putih.
"Hm, bagus...! Kalau kau masih termasuk ka-
kekku, tentu kau dapat menolongku, Eyang Resi! Men-
gapa kau justru menyuruhku kembali pulang? Itu ar-
tinya sama saja membiarkan aku menderita! Tidak!
Aku sudah muak tinggal di istana! Aku benar-benar te-
lah sakit hati! Aku dihina, disisihkan, dan aku telah
memendam sejuta dendam di hatiku!". Teriak si wanita
dengan suara lantang.
"Aku tak berdaya menentang takdir Tuhan, cu-
cuku...! Bersabarlah! Itu jalan yang terbaik dan berta-
wakal serta berdo'a kepadaNYA. Perjalanan hidup ma-
nusia teramat pendek. Hilangkanlah dendam di hati-
mu!" Ujar sang Resi.
"Tidak! Aku akan meminta pertolongan Siluman
atau setan! Mereka tentu dapat mengabulkan kehen-
dakku...!". Teriak wanita itu.
Mendadak cuaca kembali gelap gulita. Petir
menyambar-nyambar di langit. Bumi terasa bergon-
cang. Terkejut sang Resi Jenggala Manik. Wajahnya
berubah pucat.
Terperangah Resi Jenggala Manik. Tampak wa-
jah kakek tua renta itu berubah pucat pias. Seluruh
kekuatannya dikerahkan untuk mencegah kebangkitan
manusia Setan itu. Akan tetapi sia-sia. Wanita seten-
gah siluman itu telah menerkam tubuh Durgandini,
dan membawanya berkelebat pergi dari situ. Terhenyak
seketika sang Resi, dan memandang dengan wajah pu-
cat. Tapi tak lama berkelebat tinggalkan Makam Tua
itu. Terdengar suaranya yang menggumam lirih terba-
wa angin. "Celaka..! Akan banyak korban berjatuhan,
kelak..! Aku tak berdaya mencegahnya. Makam Tua di
atas bukit itu kembali sunyi mencekam.
"Ibu...! Mau di bawah kemanakah aku...?" Ber-
tanya Durgandini yang dipanggul di pundak wanita se-
tan itu.
"Hihihi.... tenanglah anakku, kau lihat pohon
besar di depan itu? Kita akan ke sana,..". Cuma bebe-
rapa saat saja si wanita setan telah tiba di bawah po-
hon angsana yang besar dan rindang itu. Ternyata po-
hon yang dimaksud adalah masih berada di atas bukit
di mana 'Makam Tua itu berada.
"Kau tidak takut padaku, anakku?". Bertanya si
wanita setan, seraya tersenyum menyeringai tampak-
kan giginya yang runcing-runcing. Ternyata Tri Agni
seorang wanita berperawakan tubuh semampai. Ram-
butnya putih beriapan, akan tetapi wajahnya terlihat
tak begitu tua. Cuma yang mengerikan adalah sepa-
sang matanya yang seperti sudah tak mempunyai bu-
latan hitam lagi di bagian tengahnya. Kulit wajah serta
tubuhnya tampak pucat kaku seperti tak dialiri darah.
Sementara lengannya berkuku panjang-panjang, juga
kuku di kakinya, keadaannya memang amat mengeri-
kan. Karena di samping pakaiannya yang sudah tidak
utuh. lagi, tubuhnya juga menyebarkan bau busuk
yang memuakkan.
Durgandini menggelengkan kepalanya, menatap
pada wajah wanita setan itu.
"Tidak, bu,..! Aku tidak takut! Aku gembira ibu
bisa bangkit lagi dari kubur!" Selanjutnya Durgandini
sudah kembali terisak-isak dengan mengalirkan air
mata yang membasahi pipi.
"Kau tak perlu menangis lagi. Durga! anakku!
Katakanlah apa yang telah terjadi, tentu aku akan be-
rusaha untuk menolongmu..!". Ujar Tri Agni dengan
suara dingin. Durgandini cepat-cepat menyeka air ma-
tanya, lalu dengan bersitkan wajah girang, ia berkata.
"Terima kasih, bu...! Benarkah kau akan mem-
bantuku..?". Tanyanya.
Sang ibu mengangguk dengan senyum menye-
ringai. Dan segera saja dengan panjang lebar Durgan-
dini, ceritakan lagi kejadian yang menimpanya seperti
yang telah dikatakannya di bagian depan.
"Begitulah, bu! Aku sudah tak berhasrat lagi
menginginkan hidup di Istana. Aku sakit hati pada su-
amiku, juga pada ketiga selirnya. Terutama pada wani-
ta yang bernama Nawangsih, selir yang paling di
sayangnya, karena kini dia tengah mengidam. Aku iri
dengan para wanita lain, bu? Mengapa aku mandul?
Mengapa aku tak bisa mempunyai keturunan? Kata-
kanlah, bu! Bagaimana caranya agar aku bisa boleh
keturunan..! Hanya, itu, bu...! Aku ingin anakku kelak
yang membalas penghinaan ini! Mereka, menghinaku,
bu...! Juga menghinamu, yang mengatakan ibu adalah
wanita yang 'setengah manusia' dan setengah siluman!
Benarkah itu, ibu...?". Setelah menuturkan panjang le-
bar, sang ibu dihujani bertubi-tubi dengan pertanyaan,
yang seperti bergemuruh di dada sang ibu yang men-
dengarkannya.
"Hihihi...benar, anakku! Tuduhan mereka tidak
salah! Aku boleh dikatakan manusia setengah siluman, karena aku memiliki aji Dasajiwa. Sepuluh tahun
aku terkubur di makam ini tanpa dapat lepaskan diri
dari "kematian semu", yang membuat aku terpaksa ha-
rus tidur sepanjang tahun! Beruntung kau datang,
anakku! Dan telah menjadi penyebab kebangkitan ku
lagi!". Ujar wanita setan itu seraya tersenyum menye-
ringai. Lalu teruskan kata-katanya. "Tetapi.."
"Tuduhan bahwa kau bukanlah anakku; dan
bukan lahir dari rahim ku adalah salah! Kau darah
daging ku! Cuma kau lahir di luar pernikahan. Ayah-
mu adalah guruku sendiri, yang sudah ku bunuh
mampus ketika kau berusia lima tahun..?"
Terkejut Durgandini.
"Oh! Apakah kesalahannya, ibu...?" Tanya Dur-
gandini.
"Karena dia tak menyetujui aku menuntut ilmu
dari aji Dasajiwa".
"Lalu bagaimanakah kelanjutannya, ibu?"
Tanya Durgandini penasaran. Akan tetapi sang ibu
cuma tertawa mengikik, seraya membelai rambut Dur-
gandini.
"Hihihi... kelak akan kuceritakan selengkapnya.
Kini aku mau bertanya padamu! Apakah kau benar-
benar ingin mempunyai anak?" Tanya Tri Agni, seraya
tatap wajah anak perempuannya itu dengan sepasang
matanya yang seperti putih polos.
"Tentu, ibu.. Aku amat mendambakannya seka-
li!!". Ujar Durgandini girang. Tercenung sang ibu seje-
nak, tapi sudah lantas berkata.
"Asalkan kau sanggup menderita, serta meme-
nuhi syarat-syarat, kukira cita-cita mu akan terlaksa-
na..!".
"Sanggup, ibu..! Aku akan menyanggupi semua
syarat apa pun yang dibebankan padaku, asalkan ter-
kabul keinginanku...".
"Bagus...! Hihihi.. aku tak mengetahui syarat-
syarat apa yang harus kau penuhi untuk mewujudkan
keinginanmu itu, anakku! Akan tetapi aku cuma bisa
mengantarmu ke satu tempat, di mana kau bisa pa-
parkan niatmu itu pada Junjunganku!"
"Baik! bawalah aku ke sana, ibu..! Aku sudah
bulatkan niatku itu, ibu!".
"Kau tak akan menyesal, kelak anakku...?" "Ti-
dak!". Sahut Durgandini dengan pasti. "Walau kau ke-
lak akan masuk ke Neraka..?". Tanya sang ibu. '!
"Ya! Walau harus masuk Neraka sekalipun...!",
jawab Durgandini lantang.
"Yah! Apa boleh buat! Agaknya keturunan ku
telah mengikuti jejak ku! Aku telah jadi orang sesat,
karena mempersekutukan Tuhan, tak dinyana kau
pun akan meneruskan jejak ku! Baiklah!
Ibu akan menurunkan Aji Dasajiwa padamu...!
"Oh? Begitulah, bu? Ah, te...terima kasih, bu... Teri-
makasih!".
"Nah, kini pejamkan kedua matamu! Jangan
kau buka sebelum aku menyuruhmu membukanya!
Dan kau tak boleh Berkata apa-apa bila melihat suatu
keanehan!".
"Baik, ibu...!". Lanjut Durgandini, seraya segera
memejamkan matanya.
Durgandini rasakan tubuhnya seperti melayang
entah ke mana, ketika sang ibu selesai berkomat-kamit
membaca entah mantera apa yang tak begitu jelas di-
dengarnya. Tampak asap kabut bergulung-gulung di
hadapannya, yang dilihatnya dalam pandangan mata
batin. Karena sepasang matanya masih terpejam.
Ketika asap kabut itu lenyap, segera terlihat di
hadapannya sebuah Kerajaan yang amat asing ba-
ginya. Di manakah ini? Oh? Kerajaan apa ini...? Sentak
hatinya. Akan tetapi Durgandini tak berani bertanya.
Terasa lengannya digamit oleh sang ibu, untuk diajak
beranjak meniti sebuah jalan lurus yang amat panjang.
Jalanan yang lurus panjang itu adalah jalan menuju
ke Istana Misterius yang aneh itu. Terkejut Durgandini
ketika bertemu dengan penjaga yang berwajah menye-
ramkan. Setelah di persilahkan masuk. Segera sang
ibu menggamit lengannya untuk terus memasuki ha-
laman istana. Hingga tak lama muncul dua orang pen-
jaga kembali menghadang. Sang ibu tampak memberi
isyarat pada penjaga akan maksud kedatangannya
menghadap, yaitu dengan menunjuk dirinya. Tak lama
salah seorang penjaga masuk untuk memberi laporan
pada Baginda Raja tentunya.
Tak lama sudah keluar lagi, seraya menyilah-
kan dia dan ibunya masuk. Segera tanpa ayal kedua
wanita itu memasuki pintu gapura ruangan kerajaan.
Tak lama kemudian sudah berada di hadapan seorang
Raja yang amat menakutkan. Karena tak lain dan tak
bukan sang Baginda Raja di Alam Gaib itu adalah se-
sosok mahluk yang menyerupai seekor ular besar yang
duduk melingkar di singgasana.
Sang ibu mengajaknya duduk bersimpuh di
hadapan sang Raja. Dan terdengar suara ibunya ber-
kata.
"Ampunilah hamba Gusti Junjungan hamba,
hamba datang untuk menghadap...!"
"Apakah maksud kedatanganmu, Tri Agni...?"
Ujar sang Baginda Raja yang berujud ular besar
itu. Suaranya seperti desis yang bernada parau. Se-
mentara Durgandini terperangah, hatinya membatin.
Raja yang aneh!? Apakah ini Kerajaan Silu-
man...? Sentak hatinya. Namun ia sudah tundukkan
wajahnya dengan peluh terasa merembes dari sekujur
tubuh. Tri Agni sudah menyentuh lengannya seperti
menyuruh Durgandini bicara, memaparkan maksud
nya. Tampaknya Durgandini mengerti maksud sang
ibu. Kemudian dengan suara gemetaran, segera dipa-
parkan maksud tujuannya pada sang Raja Siluman.
"Hahaha..hah... Syaratnya amat berat anak
manusia..! Akan tetapi kalau kau menyanggupi tak ter-
lalu sukar bagiku untuk mengabulkan permintaan-
mu...!". Berkata sang Raja Siluman dengan suara pa-
rau berdesis bagai ular.
"Aku sanggup memenuhi syarat-syarat apapun,
Gusti Junjungan...! Asalkan aku peroleh keturunan.
Yaitu seorang anak laki-laki yang aku idam-idamkan!".
"Baiklah!". Ujar sang Raja Siluman. Lalu beri-
kan persyaratan pada Durgandini, yang tanpa banyak
perhitungan lagi telah menyanggupi beberapa syarat
yang telah diberikan pada sang Raja Siluman Ular.
"Nah, kini kembalilah, kalian pulang! Kelak bila
ada satu keanehan menimpa dirimu janganlah kau be-
rani menolaknya!" Ujar sang Raja Siluman Ular.
"Terima kasih Gusti Junjungan...!" Ujar Dur-
gandini, yang secara tak sadar telah membuka ma-
tanya. Akan tetapi alangkah terkejutnya dia tatkala
dapatkan dirinya berada dalam satu lubang yang lem-
bab. Hawanya amat menyesakkan napas. Bermacam-
macam binatang berbisa dari sebangsa Kala, Kelabang,
ular, tampak berserakan di sisi-sisi relung lubang. Pu-
luhan ular-ular menggelantung di sana-sini. Dalam
keadaan terkejut, sang ibu telah menggamitnya untuk
meninggalkan tempat itu. Aneh, tampaknya Tri Agni
berjalan biasa saja menempuh jalan yang lurus pan-
jang tanpa kesukaran. Namun sebaliknya Durgandini
terpaksa harus merangkak di dalam liang berhawa
lembab, serta penuh dengan binatang-binatang yang
berbisa. Tentu saja keadaannya amat menyengsarakan
sekali. Setelah sekian lama memasuki lorong-lorong
sempit yang membuat sesak pernapasan, akhirnya tiba
juga di mulut lubang. Terasa napas Durgandini sudah
megap-megap kepayahan. Kakinya sudah lemas tak
bertenaga, dan jatuh terduduk. Dalam keadaan demi-
kian terdengar suara sang ibu.
"Anakku, Durga! Nah, sekarang kau boleh buka
matamu...!". Akan tetapi Durgandini memang tak perlu
membuka lagi matanya, karena mereka sudah sampai
ke tempat tadi setelah meniti jalan melalui liang di be-
lakang pohon Angsana. Tampaknya wajah sang ibu
tampilkan perobahan, melihat keadaan Durgandini
yang kepayahan.
"He!? Apakah yang terjadi? Apakah kau telah
membuka matamu sebelum kuperintahkan...?". Tanya
Tri Agni.
"Benar, ibu...! Oh, tubuhku terasa sakit se-
mua...!" Keluh Durgandini, seraya menarik napas lega.
Walau bagaimanapun dia telah berhasil ke luar dari
lubang sempit yang menyesakkan pernapasan itu.
"Aih! Mengapa tak kau turutkan larangan ibu-
mu...?". Gumam sang ibu menyesali. Tak lama hari
pun menjelang pagi. Suara burung berkicauan, di da-
han-dahan pohon. Durgandini menyandarkan tubuh-
nya di batang pohon. Tampaknya dia tengah tertidur
pulas kelelahan. Sementara si wanita setan itu diam-
diam tinggalkan tempat itu dengan berkelebat menu-
runi bukit, tempat Makam Tua itu.
Bau busuk segera menyebar, tatkala si Wanita
Setan Tri Agni memasuki sebuah desa terdekat. Den-
gan berindap-indap Tri Agni mendekati sebuah pondok
yang berada paling ujung. Terdengar suara bunyi me-
nangis di pagi subuh itu. Cuaca masih tampak re-
mang-remang.
***
"Bangunlah, kang....! Tolong masakkan air! Aku
menyusukan anakmu ini dulu...!" Terdengar suara seo-
rang wanita berkata. Tercekat si wanita setan.
"Nanti, ah! Aku masih dingin...!" Ujarnya.
"Uuuu...dasar pemalas! Bukan anaknya yang
kolokan, eh, bapaknya..!" Ujar sang istri.
Akan tetapi si wanita tiba-tiba mencium bau
busuk yang menusuk hidung.
"Hoak..! Uuuh, bau busuk apa ini? Adduuuh,
nggak tahan baunya...!"
"Uh!? benar...! baunya bukan main! Apakah
bukan bau bangkai tikus...?". Tanya sang suami. "En-
tahlah...!" ho...ho... hoaaak..!". Kembali si wanita mau
muntah. Dan akhirnya benar-benar muntah. Si laki-
laki cepat bangkit berdiri, dan bergegas ke luar kamar.
Hidungnya ditekannya kuat-kuat, terasa tak sanggup
dia menahan bau busuk yang menyebar di dalam ka-
mar. Pada saat itulah terdengar suara...
BRAKKK....! Daun jendela kamar itu telah pe-
cah berantakan. Dan sesosok tubuh melompat masuk.
Lalu terdengarlah jeritan seorang wanita menyayat ha-
ti, menyibak keheningan di pagi buta, Si laki-laki sua-
mi ibu muda itu jadi terkejut. Dia baru mau menyala-
kan api di dapur untuk memasak air. Sementara be-
naknya bertanya-tanya, entah bau busuk dari mana di
dalam kamar, yang membuat kepalanya pusing dan
perutnya mual mau muntah. Ketika sekonyong-
konyong mendengar suara gaduh dalam kamar. Dan
selanjutnya terdengar jeritan istrinya.
HAH? Apakah yang terjadi...? Sentak hatinya.
Bergegas laki-laki itu kembali ke kamar. Alangkah ter-
kejutnya laki-laki itu ketika melihat sesosok tubuh
wanita berambut putih, berwajah menyeramkan ten-
gah mencengkeram dada mulus istrinya. Belum lagi
dia sempat mencegah, sudah terdengar suara...
JROSSS...BREL! Darah segera memuncrat ke
luar dari dada sang istri, disertai jeritan menyayat hati.
Ternyata si wanita setan telah benamkan lengannya
yang berkuku panjang-panjang itu ke tubuh si ibu
muda. Dan ketika kembali mencabutnya, darah me-
nyembur keluar. Sementara di lengannya telah meme-
gang segumpal hati yang masih segar.
"Oh!? Tidaaak! tidaaaak..!". Teriaknya seraya
menghambur ke arah istrinya dengan jantung terasa
berhenti berdenyut. Akan tetapi ...BUK...!
BRRUAKK..! Tubuhnya sudah terpental kembali
menabrak dinding papan kamar yang pecah beranta-
kan, ketika kaki si wanita setan telah menjejaknya.
Menggelegak darah kental dari mulut laki-laki ini. Se-
pasang matanya mendelik.
"Iblis...! kka...kau bunuh is...tri...ku...!?
Aakh...hh...h..". Hanya sampai di situ teriakannya
yang tersangkut di tenggorokan. Selanjutnya laki-laki
itu sudah terkulai lepaskan nyawa.
Terdengar suara tertawa mengikik yang mem-
buat bulu tengkuk meremang. Suara tangis bayi yang
terjaga dari tidurnya mendadak berhenti. Selang tak
lama tubuh si wanita setan itu telah melesat ke luar,
meninggalkan bau busuk yang menyengat hidung me-
nyebar ke mana-mana.
Gemparlah seketika penduduk se isi desa itu,
ketika mengetahui di rumah salah seorang penduduk
dijumpai tiga sosok tubuh terkapar tak bernyawa den-
gan keadaan tubuh yang sudah tak karuan. Siapa
yang tak bergidik melihat kekejaman luar biasa itu, ka-
rena wanita ibu muda yang baru saja menjelang 40 ha-
ri kelahiran bayinya telah tewas dengan keadaan da-
danya jebol bersemburan darah. Tubuh suaminya ter-
kapar tak bernyawa. Juga perutnya jebol. Dan tubuh si
jabang bayi yang tak berdosa itu dalam keadaan tidak
utuh lagi anggota badannya.
"EDDAN! Gila..! Benar-benar bukan perbuatan
manusia...! Siapakah yang telah melakukan pembu-
nuhan keji ini...?". Teriak seorang laki-laki bertubuh
kekar. Dadanya berbulu lebat, dengan cambang bauk
serta kumis melintang tebal di bawah hidungnya. Laki-
laki ini adalah jagoan di desa itu. Bernama BENDOT.
"Apakah bukan perbuatan binatang buas...!?.
Mak...maksudku anu...ma... macan!". Berkata salah
seorang kawan Bendot dengan tergagap. Wajahnya
tampak pucat pias. Ngeri sekali melihat keadaan tubuh
ketiga mayat itu.
"Tidak mungkin..! Di daerah sini tak ada macan
atau anjing serigala". Ujar Bendot dengan keras. Se-
mentara sepasang matanya mencari-cari jejak di ta-
nah. Tiba-tiba terdengar dia berteriak.
"Coba lihat! Ada tapak bekas kaki...!" Beberapa
orang segera memeriksa.
"He...? Benar! Ini bekas telapak kaki manusia!
Akan tetapi aneh!?".
"Apanya yang aneh..?" Tanya salah seorang
yang masih berkerudung sarung.
"Kau lihat! Kalau tapak kaki manusia tidak se-
panjang ini! Dan pada bagian ujungnya tampak mem-
bekas lima guratan panjang, seperti bekas kuku!"
Seketika semua orang tertegun. "Benar..!" Ujar
Bendot. Dengan penasaran dia mengikuti bekas-bekas
telapak kaki itu hingga lenyap di semak-semak. Teka-
teki adanya makhluk aneh yang telah meminta korban
tiga jiwa di desa itu tak terpecahkan. Namun mereka
segera bergegas mengurusi ketiga jenazah keluarga
yang making itu. Sementara yang lainnya sibuk men-
gurusi ketiga jenazah,
Bendot segera mengumpulkan beberapa orang
kawannya yang berani, untuk diajak menyelidiki jejak
makhluk pembunuh keji itu. Segera saja sembilan
orang telah mengiringi di belakang Bendot, dengan
senjata siap di tangan ada yang membawa tombak, go-
lok, dan belencong. Rata-rata yang turut dalam penye-
lidikan itu adalah orang-orang muda yang nyalinya be-
sar.
"Kita tak boleh membiarkan kejadian ini, begitu
saja! Aku mengkhawatirkan makhluk aneh itu akan da
tang lagi untuk meminta korban lainnya!" Berkata
Bendot.
"Betul..! Kalau bertemu, akan kucincang sam-
pai jadi lembuuuut sekali...!" Berkata Karta dengan
gemas.
"Kalau sudah lembut buat apa, Ta...?" Tanya
Werid kawan baiknya, yang bertubuh agak pendek.
"Hehehe.... akan kubuat perkedel, lalu... ku jejalkan ke
dalam mulutmu!" Sahut Karta mendongkol. "Setan,
kau..!" Teriak Werid seraya meludah. Dan sekonyong-
konyong. "HOAAAKK..!". Werid serasa perutnya jadi
mual, sementara hidungnya sudah mencium bau bu-
suk.
Beberapa orang tertawa melihat Werid yang
mendelik-delik matanya, mau muntah. Akan tetapi se-
ketika mereka pun merasakan perutnya menjadi mual.
Kiranya bau busuk semakin santar tercium hidung.
Cepat-cepat beberapa orang sudah menekan hidung-
nya masing-masing.
"Celaka, bau apa ini..? Hoaaakh..! Cuah...!" Te-
riak salah seorang disamping Bendot. Sementara laki-
laki tegap itu telah perhatian sekitarnya. Dalam pela-
cakan mencari jejak makhluk pembunuh keji itu, me-
reka telah sampai ke sebuah tempat yang banyak
tumbuh pohon Angsana. Tidak seperti lainnya Bendot
dapat menahan napas tanpa menekap hidung. Tampak
Bendot memperhatikan dari mana datangnya arah angin.
"Ssssst....! Tahan napas kalian! Kita berputar
ke arah timur! Ayo, ikut aku!" Bisik Bendot. Seraya
sudah mendahului berjalan di antara semak belukar.
Ke sembilan kawan-kawannya segera mengikuti di be-
lakang Bendot yang telah menyusup ke semak-semak.
Setelah memutar ke arah timur, bau busuk sudah
berkurang, dan lenyap. Ternyata Bendot menghindari
arah angin. Kini di hadapan mereka adalah sebuah
bukit. Sebuah pohon Angsana yang besar tampak ter-
lihat di tempat ketinggian itu.
Bendot memberi isyarat agar berhati-hati. Se-
mentara sepasang matanya tak lepas menatap berkali-
kali ke arah bukit. Sementara salah seorang sudah
berbisik di telinga Bendot.
"Eh, Kang Bendot! Apa kau mau mengajak kami
naik bukit itu? Hiii...aku tak berani. Di atas bukit itu
adalah tempat sebuah Makam Tua yang sudah tak
pernah dikunjungi orang! Katanya tempat itu ang-
ker...!"
"Bodoh!" Desis Bendot. Laki-laki kekar bertam-
pang seram itu plototkan sepasang matanya.
"Justru kita mau mencari jejak makhluk pem-
bunuh keji itu! Siapa tahu bersembunyi di Makam Tua
itu! Aku curiga dengan bau busuk yang menyebar! Aku
mengira datangnya dari arah bukit itu!"
Bejo tiba-tiba menghampiri, dan menimbrung.
"Benar, kakang Bendot! Aku baru ingat kalau
telah mencium bau busuk yang serupa, ketika aku
pertama melihat keadaan di dalam rumah Gempol!".
Ujarnya serius.
"Kalau begitu kita atur siasat! Separuh dari ka-
lian dari arah selatan, dan separuh lagi mengikutiku
dari arah utara. Kita merayap naik ke atas!". Bisik
Bendot. Semua mengangguk tanda setuju. Segera tak
lama kemudian mereka berpencar dengan menyusup
hati-hati di antara semak belukar.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar wanita setan ini
mendengus di hidung. Ternyata dia telah mengetahui
akan kemunculan beberapa orang yang mendaki bukit
Makam Tua itu.
Tiba-tiba berhamburanlah beberapa sosok tu-
buh yang segera mengurung mereka dengan memben-
tak keras. Bendot sudah tak tahan menyaksikan ke-
biadaban manusia di depan matanya. "Manusia, atau
ibliskah kalian...? Kiranya bersembunyi di sini...!"
Teriakan Bendot diiringi dengan berlompatan
beberapa tubuh kawan-kawannya yang bermunculan
dengan golok dan tombak terhunus. Sekejap saja me-
reka sudah mengurung kedua wanita itu.
"Hihihi... hihi..! Kiranya kalian mau mengan-
tarkan nyawa datang kemari? Terdengar suara tertawa
si wanita setan, diiringi dengan suara dingin yang
membuat bulu tengkuk meremang. Tri Agni sudah
berdiri dari duduknya. Sementara Durgandini jadi ter-
kejut. Sepotong jari lengan bayi itu terlepas lagi dari
mulutnya yang berlepotan darah.
"Iblis-iblis terkutuk! Biadab! Kubunuh ka-
lian...!". Teriak Bendot seraya lompat menerjang ke
arah Durgandini. Goloknya yang besar itu berkelebat
menabas tubuh Durgandini. Wanita ini terkesiap, den-
gan sepasang mata terbeliak. Akan tetapi sebelum go-
lok itu berhasil menabas tubuh Durgandini, terdengar
laki-laki kekar itu berteriak parau, karena sekonyong-
konyong sebuah batu kecil telah menghantam golok-
nya.
TINGNG...! Terkejut Bendot, ketika rasakan
lengannya tiba-tiba kesemutan. Dan golok besarnya te-
lah lepas terpental.
BUK... Tahu-tahu rasakan dadanya kena ben
turan keras. Tak ampun lagi Bendot terjungkal dengan
berteriak kaget, dan jatuh ngusruk mencium tanah be-
cek. Glogok!...! glogok...! Dia sudah muntahkan darah
kental dari mulutnya.
Seketika wajahnya berubah pucat. Namun
Bendot sudah mampu bangkit lagi seraya menyambar
lagi goloknya yang terlempar di dekatnya. Sementara
tiga orang kawan Bendot telah perdengarkan jeritan
ngeri ketika tubuh si wanita setan itu berkelebatan
menghantam dengan terjangan kakinya yang amat ge-
sit. Bahkan sekali hantam telah membuat dada seo-
rang kawannya ambrol, perdengarkan suara berderak
tulang rusuk yang patah-patah.
Tiga prang kawan Bendot segera saja berkelojo-
tan meregang nyawa, yang tak lama kemudian telah
melepaskan nyawa.
Ternyata Karta, Werid dan Bejo telah melayang
nyawanya ke Akhirat dengan sekejapan saja. Bringas-
lah wajah Bendot. WHUK! WHUK! WHUK! Laki-laki ja-
goan desa itu telah menerjang, dan babatkan goloknya
yang menimbulkan suara angin.
"Hihihi... kau masih belum kapok rupanya! Bu-
kannya lekas-lekas menyingkir selamatkan jiwa...!"
Ujar Tri Agni dengan suara dinginnya. Tiga serang-
kaian serangan Bendot luput mengenai sasaran. Se-
mentara empat orang kawan laki-laki kekar telah ne-
kad menerjang Durgandini yang cuma terpaku mena-
tap pertarungan itu.
Terkejut si wanita Setan. Mana dia mau biar-
kan anak perempuannya jadi mangsa senjata keempat
orang desa itu?. Tri Agni mengetahui kalau Durgandini
tak mampu berbuat apa-apa, karena dia memang tak
menurunkan ilmu kedigjayaan pada sang anak, Tiba-
tiba wanita setan itu membentak keras. Tanpa menghi-
raukan serangan Bendot, lengannya bergerak menga
rah pada keempat orang itu.
DWESSS..! Serangan angin keras bergelombang
dahsyat telah menghantam ke arah mereka. Tak am-
pun lagi terdengar suara. teriakan-teriakan ngeri, keti-
ka tubuh ke empat orang itu terlempar beberapa tom-
bak..Suaranya lenyap ketika tubuh-tubuh mereka ber-
jatuhan dari atas bukit Makam Tua. Akan tetapi Tri
Agni tak dapat menghindari tabasan kilat golok Ben-
dot,
DES..! DES...! DES...!
"Ibuuu...?" Teriakan Durgandini menyibak lagi,
ketika dengan sepasang mata terbelalak dia melihat
kedua lengan sang ibu berpentalan putus. Bahkan te-
basan yang ketiga kalinya dari golok besar Bendot te-
lah memapas pinggang si wanita setan itu, hingga tu-
buhnya ambruk menjadi dua potongan. Darah segar
bermuncratan di tanah becek, di atas bukit itu. Tam-
pak Bendot menyeringai buas, seraya menatap hasil
serangan hebatnya. ...
"Hehehe...he... he... modarlah kau sekarang
manusia iblis!". Tiba-tiba dia sudah palingkan kepa-
lanya pada Durgandini. Tampak golok besarnya ber-
lumuran darah wanita itu. Terperangah Durgandini.
Wajahnya berubah pucat pias.
"Bagus, kang Bendot! Tinggal satu lagi wanita
iblis ini! Yang mampus itu mungkin ibunya! Kita balas
dendam kematian kawan-kawan kita...!". Teriak salah
satu dari dua orang kawan Bendot yang masih tinggal
hidup. Empat orang kawannya terlempar ke bawah
bukit tak dapat dipastikan lagi mati hidupnya. Seren-
tak kedua orang kawannya ini melompat ke arah
samping kiri dan kanan Durgandini. Satu memegang
tombak, satu mencekal blencong.
"Sikat kang Bendot! Bikin tubuhnya jadi empat
belas potong..!" Teriak sang kawan dengan gigi berkereot menahan geram. Bendot tertawa menyeringai, dan
melompat ke hadapan wanita permaisuri Raja itu. Go-
lok besarnya yang sudah berubah menjadi merah tersi-
ram darah itu dipegang dengan kedua tangan. "He-
hehe... hahaha... ha.. ha.. ha.." Bendot tertawa menga-
kak.
"Hari ini Bendot si Raja Golok akan mena-
matkan dua manusia iblis yang telah menyebar maut!"
Berkata laki-laki kekar berwajah penuh cambang bauk
itu, seraya kembali melangkah dua tindak. Sementara
Durgandini gemetaran menatap ke arah Bendot. Len-
gan bayi yang jari-jarinya sudah ludas dikremusnya itu
masih dipegangnya.
"Tidak! tidaaak!? Jangan bunuh aku...!
Ja...jangan...!" Akan tetapi mana Bendot mau men-
gampuni nyawa manusia yang telah banyak membuat
korban itu? Apalagi jelas manusia di hadapannya ada-
lah manusia setan, yang doyan daging manusia. Sege-
ra saja Bendot sudah kibaskan golok besarnya untuk
merencah tubuh wanita itu jadi belasan potong. Akan
tetapi tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan, disertai
bersyiurnya angin busuk. Tahu-tahu laki-laki kekar itu
terjungkal roboh, dengan teriakan parau. Sementara
goloknya telah berpindah tangan. Darah menyembur
dari punggungnya yang ambrol, ditembus sebuah len-
gan berkuku runcing. Siapa lagi kalau bukan perbua-
tan wanita setan Tri Agni. Tanpa berkelojotan lagi Ben-
dot langsung tewas tertelungkup di atas batu. Piaslah
seketika kedua orang kawan Bendot. Sepasang mata
mereka masing-masing terbeliak menatap pada manu-
sia di hadapannya. Seperti tidak. percaya pada pengli-
hatannya, mereka mengucap-ucak matanya.
"Hah..!? Dia... di... dia hidup la... lagi...??"
Teriak salah seorang dengan suara gemetar.
Sementara kedua lututnya mendadak jadi lemas. Untungnya yang seorang cepat sadar, dan menggamitnya.
"Celaka..!? Cepat kita lari selamatkan jiwa....!"
Berkata sang kawan seraya menarik lengan
kawannya. Akan tetapi baru saja mereka beranjak
membelakangi, Tri Agni telah lepaskan pukulan tan-
gannya.
BLUG..! Terlemparlah kedua tubuh orang sial
itu ke bawah tebing, dengan perdengarkan teriakan
menyayat hati. Lalu lenyap suaranya di bawah sana.
"Ibuuuu...!?? Oh!? kau...kau...". Teriak Durgan-
dini terperangah bercampur girang. Seraya berlari un-
tuk kemudian memeluk kaki sang ibu.
"Hihihi.. hihi...bangunlah, anakku! Tak usah
terkejut inilah kehebatan Ajian Dasajiwa!" Ujar
Tri Agni dengan tersenyum menyeringai.
"Oh, betapa hebatnya ilmu itu, ibu...!". Berkata
Durgandini seraya bangkit berdiri. "Hm, sabarlah
anakku! Kelak aku akan wariskan 'ilmu itu padamu,
bila urusanku sudah selesai...!". Berkata si wanita Se-
tan dengan nada angker.
"Oh, terima kasih, ibu...!" Sahut Durgandini
dengan tersenyum. Sementara matanya telah menatap
pada lengan bayi yang belum habis dimakannya.
"Nah, teruskan memakan...! Bukankah kau in-
gin merasakan mengidam, mengandung dan punya
anak?". Ujar sang ibu seraya beranjak untuk duduk di
akar pohon.
"Tentu, ibu...! Aku sudah tidak merasa jijik la-
gi...!".
"Hihihi... bagus! Sebentar malam aku akan ber-
semadhi untuk memohon pada Gusti Junjungan agar
mempercepat terkabulnya keinginanmu..!" Durgandini
mengangguk-angguk seraya mengkremus lagi sepotong
lengan bayi itu, dan mengunyahnya tanpa segan-segan.
Malam mulai menyelimuti alam sekitarnya.
Tri Agni duduk di bawah pohon Angsana besar
itu dengan bersidakep tak bergeming. Tampak bibirnya
berkemak-kemik membaca mantera. Kiranya dia ten-
gah memohon pada Sang Raja Siluman Ular untuk
mengabulkan permohonannya, mempercepat kehami-
lan anaknya. Durgandini duduk bersimpuh di hadapan
sang ibu. Tundukkan wajahnya, dengan hati yang su-
dah dikosongkan. Dia telah jalani syarat utama yang
merupakan jalan untuk diterimanya permohonan itu.
Syarat-syarat selanjutnya adalah di belakang had bila
kelak sudah terkabul dan terlaksana apa yang diidam-
idamkannya. Sepotong bulan mengambang di langit
kelam. Beberapa ekor kelelawar terbang melewati bukit
tempat Makam Tua itu. Selang tak lama, tiba-tiba an-
gin berhembus keras merontokkan dedaunan. Hawa
sekonyong-konyong berubah jadi dingin mencekam.
Dan sepotong bulan itu tiba-tiba lenyap tertutup kabut
hitam. Durgandini tak berani membuka matanya.
Dengan tekun tetap dia duduk bersimpuh mengosong-
kan pikirannya.
Tiba-tiba terdengar suara di atas kepala Dur-
gandini. Terkesiap wanita ini. Tadinya dia sudah mau
melihat ke atas, akan tetapi diurungkan. Karena sege-
ra teringat akan kata-kata Sang Raja Siluman, agar dia
tak perlu terkejut bila menghadapi satu keanehan.
Saat itu di atas kepala Durgandini, kira-kira jarak lima
kaki tampak asap hitam bergulung-gulung melakukan
beberapa kali putaran. Putaran asap hitam itu sema-
kin cepat, dengan diiringi suara berdesis Ular Siluman.
Lama-kelamaan asap itu pun membentuk seekor ular
raksasa. Tiba-tiba ekornya menjulur ke bawah...
Dan selanjutnya telah membelit tubuh Durgan-
dini. Saat berikutnya, dengan sekali sentakan tubuh
Durgandini telah melayang ke atas. Lalu disambut lagi
oleh belitan Ular Raksasa itu, yang kemudian kembali
berubah menjadi asap hitam yang berputar-putar. Lalu
lenyap. Dan bersamaan itu, sepotong bulan di langit
kembali menampakkan diri. angin berhenti meniup,
dan cuaca kembali berubah seperti sediakala...
Tri Agni pelahan-lahan membuka matanya, dan
melihat Durgandini sudah tak berada lagi dihadapan-
nya. Tampak wanita setan ini tampilkan senyuman
menyeringai. Dan terdengar suara helaan napasnya,
disertai suara bergumam lirih.
"Ohh..! Sukurlah! permohonanku terkabul. Te-
rima kasih, Gusti Junjungan...!''. Tak berapa lama dia
sudah bangkit berdiri. Wajahnya mengadah menatap
ke langit, lalu alihkan pada rembulan sepotong. Ter-
dengar suara tertawanya mengikik. Tak lama dia su-
dah berkelebat pergi, melesat cepat menuruni bukti
Makam Tua itu. Dan tubuhnya lenyap di keremangan
malam....
***
DUA
Kita ikuti dulu satu kejadian mengerikan di se-
buah lembah yang terletak di wilayah sebelah barat
Kerajaan MATSYAPATI. Burung-burung elang tampak
berseliweran di angkasa. Di mana di bawahnya ada se-
buah lembah yang luas. Inilah yang bernama Lembah
Tengkorak. Ternyata keadaan di lembah itu tengah
berlangsung satu pertarungan seru yang telah mem-
bawa banyak korban jiwa.
Hampir tiga puluh orang terdiri dari beberapa
belas orang kaum persilatan, dan sisanya adalah
laskar dari pasukan Kerajaan telah banyak yang tewas.
Sisa-sisanya tinggal belasan orang saja. Mayat-mayat
bergelimpangan di sana-sini. Sementara belasan orang
tampak tengah mengurung sesosok tubuh berambut
panjang beriapan, yang bila sepasang lengannya berge-
rak, akan membawa korban. Siapa gerangan manusia
sakti yang demikian tangguh itu? Ternyata tak lain da-
ri TRI AGNI, si wanita setan yang memiliki Ajian RA-
WARONTEK. Sejak kebangkitannya kembali, Tri Agni
menyebar maut di mana-mana. Kedatangannya ke
Lembah Tengkorak adalah mencari si TANGAN KILAT,
yang pada 10 tahun belakangan telah berhasil mem-
bunuhnya. Namun Tri Agni masih bisa hidup berkat
Ajian RAWARONTEK yang dimilikinya. Ternyata si
Tangan Kilat tak menyangka akan menjumpai wanita
setan itu lagi, karena dia sudah mendengar kabar ke-
matian Tri Agni. Bahkan sudah lebih 10 tahun dia hi-
dup tenang di lembah itu. Dan bahkan si Tangan Kilat
sudah mendirikan sebuah Perguruan yang cukup be-
sar dan terkenal di lembah Tengkorak, dengan mem-
punyai belasan orang murid. Tak dinyana saat laki-laki
berusia 50 tahun itu tengah melatih tenaga dalam di
ruang padepokan, didengarnya beberapa orang anak
buahnya tengah ribut-ribut dengan seseorang. Terak-
hir didengarnya beberapa teriakan ngeri. Ketika dia
melompat keluar, ternyata tiga orang anak buahnya te-
lah tewas terkapar.
Hihihi... hihi... Tangan Kilat! Aku datang untuk
menagih nyawamu...!". Terkejut Ketua Perguruan Lem-
bah Tengkorak ini, ketika mengenali TRI AGNI si wani-
ta setan itu. Celaka..!? Sentak hatinya Segera saja dia
telah keluarkan suitan keras memanggil para anak
buahnya. Sebentar saja belasan anak-anak buahnya
sudah berdatangan. Dan tanpa diberitahu sudah sege-
ra mengurung Tri Agni, karena tiga orang mayat ka-
wannya yang menggeletak mandi darah sudah menandakan adanya pembunuhan. Kalau di tempat itu ada
sesosok tubuh yang kedua lengannya berlepotan da-
rah, siapa lagi kalau bukan wanita itu pembunuhnya.
Belasan senjata segera terhunus. Dan serentak
saja terjadilah pertarungan yang membawa banyak
korban bergelimpangan. Pada saat terjadi pertarungan
itu, kebetulan melintas di jalan ke lembah itu sepasu-
kan Kerajaan yang dipimpin oleh seorang Tumeng-
gung. Kiranya adalah Tumenggung dari Kerajaan
MATSYAPATI, yang bernama KI MERANGGI. Sang Tu-
menggung adalah utusan dari Kerajaan, yang kedatan-
gannya ke lembah itu adalah untuk menjumpai si Tan-
gan Kilat. Yaitu untuk meminta bantuan tokoh Rimba
Hijau itu untuk menjaga keamanan di Kota Raja. Ka-
rena Kota Raja dalam keadaan genting. Ki Meranggi
adalah saudara tua si Tangan Kilat yang menjadi orang
Kerajaan. Tak dinyana kedatangannya bertepatan den-
gan kejadian itu. Segera saja Tumenggung Meranggi
perintahkan lasykarnya membantu meringkus wanita
yang mengamuk dan telah banyak menewaskan anak
buah si Tangan Kilat. Demikianlah, hingga terjadi per-
tarungan maut di lembah itu yang meminta banyak
korban jiwa. "Wanita iblis, rasakan tanganku...!".
WHUT!
WHUT! WHUT! Tiga serangan beruntun mema-
pas bagaikan kilat ke arah tubuh Tri Agni. Namun
dengan perdengarkan suara tertawa dingin tubuh Tri
Agni memutar keras, dan...
BLUK! Satu tendangan mengenai punggung si
Tangan Kilat. Laki-laki bertubuh agak pendek itu men-
geluh, disertai terhuyungnya sang tubuh. Akan tetapi
hal itu tak membuatnya cidera. Tenaga dalamnya telah
terlatih, dan semakin tua semakin berisi. Segera si
Tangan Kilat pasang jurus-jurus andalan yang selama
ini telah diperdalam di Lembah Tengkorak- Sementara
Ki Meranggi telah membaca mantera. Tiba-tiba keris-
nya berubah memancarkan sinar berwarna biru.
Selesai berkomat-kamit, laki-laki Tumenggung
ini membuat satu lompatan ke atas tubuh Tri Agni, in-
ilah satu jurus dari lima jurus sakti yang dimilikinya.
Yaitu jurus Gagak Dewa mematuk Naga. Keris bersinar
biru itu membuat kilatan yang menyilaukan mata Tri
Agni. Dan rasakan kelumpuhan pada syarafnya. Se-
mentara tujuh kali kilatan di depan mata itu, salah sa-
tunya berhasil menancap di mata Tri Agni. CRASS...!
Darah segar menyemburat, dan biji mata wanita setan
itu tersontek mental. Pada saat yang bersamaan si
Tangan Kilat telah lompat menerjang dengan memutar
ke arah belakang, seraya lancarkan serangan jurus Li-
dah Kilat Menyambar.
"HUSSSSH...! Punggung Tri Agni robek hangus.
Tubuhnya terpental bergulingan delapan tombak, ber-
bareng dengan melejitnya sebelah biji matanya.
Pada saat tubuh Tri Agni terlempar bergulingan
itu, tiba-tiba si Tangan Kilat telah bergerak melompat
menyusulnya. Lengannya menyambar sebilah golok
yang tergeletak di tanah. Dan....
GRAS! CRAS! CRAS! CRAS!.....CRAS! Entah be-
rapa kali dia membacok. Nyatanya tubuh si wanita si-
luman telah di cincangnya sampai lumat, hingga tak
berbentuk lagi. Tidak sampai di situ saja. Tiba-tiba tu-
buhnya berkelebat ke arah samping, dan menyambar
sebuah batu gunung yang besarnya sepemeluk. Selu-
ruh tenaganya dikeluarkan untuk mengangkat batu
besar itu, hingga sampai otot-ototnya bersembulan.
Dan selanjutnya, sudah beranjak cepat mendekati
mayat Tri Agni.
BRUGG!!! Enam orang laskar Tumenggung Ki
Meranggi dan tiga orang anak buah si Tangan Kilat pa-
lingkan wajahnya, tak kuat melihat adegan ngeri itu.
Karena kepala si wanita setan itu telah hancur luruh
tak kelihatan lagi, membenam ke dalam tanah. Se-
dangkan batu besar itu sendiri hampir separuhnya
melesak.
"Hehehe... hehehe... modarlah kau perempuan
siluman!". Terengah-engah si Tangan Kilat menatap
mayat lawannya. Tenaganya seperti terkuras habis.
Diam-diam laki-laki ini menyadari akan keletihan tu-
buhnya, karena perbuatan barusan telah dilakukan-
nya dengan penuh emosi. Hingga mengeluarkan ba-
nyak tenaga berlebihan. Namun dia tampak puas, dan
bersyukur dapat melumatkan tubuh si wanita setan,
yang telah bangkit kembali sejak 10 tahun kematian-
nya. Sementara Ki Meranggi sudah melompat mende-
katinya.
"Alangkah berbahayanya wanita keji ini!. Sia-
pakah dia adikku..?". Tanya Tumenggung Ki Meranggi.
"Dialah wanita siluman TRI AGNI yang pernah
kuceritakan beberapa tahun yang silam padamu, ka-
kang..!
"Hah!? Wanita itulah ibunya Permaisuri DUR-
GANDINI yang lenyap entah kemana! Aku baru menge-
tahui setelah diceritakan oleh Senapati SATRYO..!".
Sentak sang Tumenggung, wajahnya seketika berubah
pucat. "Apakah dia tak akan bangkit lagi?"
"Mudah-mudahan tidak!" sahut si Tangan Kilat
terengah.
"Kedatanganku adalah justru man mengabari
kau agar segera datang ke Kota Raja, atas perintah Ba-
ginda!". Tutur Ki Meranggi.
"Ada kerusuhan apa di Kota Raja..?". Tanya si
Tangan Kilat, seraya duduk mendoprok. Tampak dia
berusaha menghilangkan keletihannya. Dan seko-
nyong-konyong perutnya terasa sakit. Cepat-cepat dia
mengatur pernapasan untuk menghimpun kembali tenaga dalamnya yang terkuras habis. Ki Meranggi ke-
rutkan keningnya, dan masukkan kembali kerisnya ke
dalam kerangka di belakang punggungnya. Segera dia
berjongkok, dan bantu memulihkan kekuatan si Tan-
gan Kilat, adiknya itu. Namun cepat-cepat laki-laki itu
menolaknya.
"Sudahlah, aku tak apa-apa, kakang..! Cerita-
kanlah. ada kejadian apa di Kota Raja....!". berkata si
Tangan Kilat.
"Kejadiannya sukar diceritakan! Yang jelas, ba-
nyak kejadian pembunuhan tanpa diketahui siapa
pembunuhnya!" Ujar sang Tumenggung.
"Akan tetapi... nantilah aku ceritakan. Kita ha-
rus mengebumikan dulu para korban ini!". Ujar sang
Tumenggung, yang telah layangkan pandangan ke se-
putar tempat itu. Memandang mayat-mayat dari para
anak buah si Tangan Kilat dan belasan lasykarnya
yang berserakan tumpang tindih. Segera Ki Meranggi
menggapai pada sisa enam orang anak buahnya yang
bersatu mengumpul dengan tiga orang anak buah
adiknya itu. Lalu perintahkan mereka bantu menggali
lubang. Kira-kira pada gelincir Matahari sore barulah
selesai pekerjaan mengebumikan para jenazah itu,
yang dipendam dijadikan satu dalam sebuah lubang
besar.
Tampak wajah Tumenggung Ki Meranggi me-
nampilkan keharuan. Walau bagaimanapun mereka
adalah pahlawan-pahlawan yang sudah gugur dalam
menjalankan tugas. Pekerjaan terakhir adalah memba-
kar mayat TRI AGNI si wanita setan itu, yang ternyata
memang tak mampu untuk bersatu kembali jasad yang
sudah hancur cerai berai itu. Bahkan bagian kepa-
lanya telah remuk redam terhantam batu besar itu,
yang melesak amblas ke dalam tanah. Sisa-sisa tu-
buhnya yang kelihatan itulah yang dibakar musnah,
menimbulkan bau sangit yang menyengat hidung. Se-
lang tak lama, mereka segera tinggalkan Lembah
Tengkorak, untuk menuju ke Kota Raja. Lenyap sudah
satu masalah, dengan musnahnya Tri Agni si wanita
setan itu. Akan tetapi mereka akan banyak menghada-
pi masalah lain, yaitu munculnya pembunuh misterius
yang menggegerkan wilayah Kota Raja.
Akan tetapi mereka tak akan pernah menyang-
ka kalau sesuatu yang sudah dianggapnya tak mung-
kin terjadi, ternyata telah terjadi lagi. Lembah Tengko-
rak yang dianggapnya adalah tempat yang menjadi ku-
buran kematian Tri Agni si wanita setan itu, ternyata
masih menimbulkan bencana. Karena di saat api dan
asap yang membakar serpihan-serpihan tubuh Tri Agni
padam, angin telah berhembus kencang ke arah lem-
bah itu. Udara mendadak menjadi gelap. Petir mengge-
legar di angkasa, memancarkan lidah-lidah yang ber-
kredepan. Tiba-tiba batu besar itu terguncang-
guncang, seperti terungkit keluar dari dalam tanah,
Batu yang melesak hampir separuhnya itu tiba-tiba
benar-benar terungkit. Dan menggelinding dari lubang
bekas melesaknya.
Apakah yang terjadi? Ternyata kepala TRI AGNI
yang sudah hancur lumat itu menyatu kembali. Bah-
kan selembar rambut pun tak ketinggalan untuk kem-
bali melekat di kulit kepala manusia setan itu. Semen-
tara di bekas pertarungan tadi telah melesat cepat se-
kali sesuatu yang bergerak. Ternyata adalah sebelah
biji mata Tri Agni yang tadi tercongkel keris bertuah
sang Tumenggung. Lalu kembali menyatu, membenam
lagi dalam kelopak mata wanita setan itu. Cuma sisa-
sisa tubuhnya yang terbakar itu sajalah yang tetap tak
dapat kembali ke asal. Sekejap antaranya sebuah ke-
pala sebatas leher telah meluncur keluar dari dalam
lubang itu. Tampak kepala wanita setan itu berputar
putar mencari bagian-bagian tubuhnya yang lain.
Akan tetapi tak ditemukan.
"Keparat...! Mereka telah membakar tubuhku!
Tunggulah pembalasanku Tangan Kilat, dan kau Tu-
menggung serta penghuni Istana Kerajaan MATSYAPA-
TI....! Hihihi.....hihi.... termasuk juga manusia-manusia
yang telah menghancurkan kebahagiaan anakku....!"
Selanjutnya kepala si manusia setan itu sudah melesat
cepat meninggalkan lembah Tengkorak. Sementara cu-
aca kembali seperti sediakala.
Kita lihat kembali keadaan di atas bukit di ma-
na terdapat Makam Tua.... Durgandini ternyata telah
berada lagi di bawah pohon Angsana besar itu.
"Eh, kemanakah gerangan ibu....?H. Gumam-
nya seraya palingkan wajahnya ke sana ke mari. "Hihi-
hi... ibu pasti sedang mencarikan makanan untukku
lagi! Tapi aku... aku sudah tak sabar rasanya! Aneh,
mengapa aku jadi mengilar untuk meminum darah?
Apakah aku tengah mengidam.?". Desisnya lirih. Tiba-
tiba di kejauhan dia melihat sebuah benda melayang
ke arahnya. Cepat sekali menukik ke bukit Makam Tua
itu. Dan segera telah tiba di hadapan Durgandini Ter-
nyata adalah kepala si wanita setan TRI AGNT..
Keduanya jadi sama-sama terkejut. Durgandini
hampir tak percaya melihat siapa adanya kepala putus
yang melayang di hadapannya, dan berhenti menggan-
tung di udara menatap ke arahnya.
"I... ibu...??! Kau... kau...?!? Apakah yang telah
terjadi dengan mu itu?!" Teriak Durgandini tergagap,
juga terperangah melihat sang ibu yang sudah tak ber-
tubuh lagi itu.
Bukannya menjawab, sang ibu bahkan mena-
tap dengan bercucuran air mata.
"Ibu! Katakanlah! Siapa manusianya yang telah
memperlakukan kau hingga demikian?". Teriak Durgandini dengan sepasang mata linangkan air mata.
Namun tak lama si wanita setan ini sudah tertawa
mengikik, seraya berkata.
"Nantilah ibu ceritakan! Kau sudah kembali
anakku?" Tanya Tri Agni seraya tampilkan wajah gi-
rang.
"Sudah ibu...! bahkan aku rasanya seperti ten-
gah mengidam?". Sahut Durgandini dengan senyum
dipaksakan. Sementara dia sudah buru-buru menyeka
air matanya yang menitik.
"Oh, syukurlah! Sesuai dengan janji ku, ibu
akan mewariskan Ilmu Ajian RAWARONTEK pada mu,
anakku...!". Ujar Tri Agni dengan menatap tajam pada
sang anak.
"Se...sekarang, ibu...?". Tanya Durgandini kehe-
ranan, tapi juga girang.
"Ya! Sebentar, ibu harus memohon petunjuk le-
bih dulu pada Gusti Junjungan...!". Ujar Tri Agni, se-
raya kepalanya melayang ke balik pohon Angsana. La-
lu lenyap. Sementara Durgandini cuma terpaku bin-
gung. Banyak sudah keanehan telah dialami. Sejak dia
dibawa melayang oleh Raja Siluman Ular ke alam yang
penuh kegaiban. Dan Durgandini memang harus me-
lakukan persanggamaan dengan seekor ular besar
yang diperkirakan adalah Raja Siluman Ular itu sendi-
ri. Tak memakan waktu lama, karena tahu-tahu Dur-
gandini telah berada kembali di bawah pohon Angsana
besar itu menjelang siang hari. Dan dapatkan ibunya
telah tak berada di tempatnya lagi.
Juga satu keanehan yang dirasakan Durgandi-
ni adalah dia telah merasakan dirinya mengidam. Ya!
mengidam untuk minum darah. Terasa menggebu-
gebu untuk segera melampiaskan keinginannya yang
sukar tertahankan. Tengah Durgandini termangu-
mangu itu tiba-tiba dari balik pohon Angsana besar itu
membersit keluar sebuah cahaya merah. Cahaya itu
meluncur ke arahnya... Dan tahu-tahu lenyap. Namun
anehnya Durgandini rasakan tubuhnya jadi berubah.
Seperti ada sesuatu yang menjelma dalam gua gero-
baknya. Cahaya apakah itu? Pikir Durgandini. Akan
tetapi tak lama berselang dia sudah mendengar satu
suara halus. Halus sekali. Itulah suara ibunya, yang
membisik di relung hatinya.
"Durga, anakku! Sukma ibumu telah berada
dalam tubuhmu...! Berarti kau telah memiliki segala
kesaktian ibu! Dan ilmu Ajian Dasa Jiwa dengan sen-
dirinya telah berpindah ke dalam tubuhmu! Lakukan
apa yang menjadi kehendakmu..! Jangan khawatir!
Kau takkan kehilangan ibumu! Karena sewaktu-waktu
ibu bisa keluar kalau kau memerlukan bantuan ibu!
Hihihi...hihi.. nah! bukankah kini kau tengah mengi-
dam, bukan? Carilah apa yang kau hasrat kan itu! Ke-
lak tentu ibu akan membimbingmu untuk mele-
nyapkan manusia-manusia yang kau benci, untuk me-
lepaskan sakit hati dan dendam kesumatmu! Hihi-
hi...hihi..."
Terkesiap Durgandini akan tetapi juga girang
dan terharu. Dengan suara menggelegar menahan ke-
haruan perasaannya Durgandini menyahuti suara di
relung hatinya itu.
"Terima kasih, ibu...! Oh, terima kasih juga pa-
da Gusti Junjungan...!". Selesai berujar, tiba-tiba Dur-
gandini tertawa mengikik yang membuat bulu tengkuk
meremang. Tak lama tubuhnya sudah berkelebat dari
atas bukit Makam Tua itu. Melesat cepat bagaikan
hembusan angin.
***
TIGA
Seorang pemuda berbaju putih yang kumal,
tampak tengah berjalan di satu lereng bukit. Peman-
dangan di sekitar tempat itu memandang indah. Po-
hon-pohon nyiur berderet-deret di sepanjang jalan. Me-
lihat dari tampangnya, pemuda ini baru berusia sekitar
dua puluh tahun. Wajahnya tidak terlalu tampan,
akan tetapi memang boleh dibilang tak sedap dipan-
dang. Karena penuh daki tak terurus. Namun juga tak
bisa dibilang jelek. Cukup gagah walau pakaiannya lu-
suh. Dari sikapnya yang sering memandang berkelil-
ing, sudah dapat diduga kalau pemuda ini seorang pe-
rantau yang baru datang ke daerah ini.
Bahkan sebuah buntalan yang terbuat dari ba-
han kasar yang sudah bertambal tergantung di sebelah
bahunya. Namun dapat dipastikan pemuda ini bukan-
lah pemuda biasa, karena pada bahu sebelah kanan-
nya tersembul keluar sebuah gagang pedang. Rambut-
nya yang agak ikal itu dibalut dengan ikat kepala war-
na putih yang juga sudah kumal. Panas terik yang
membakar bumi siang itu membuat kepala si pemuda
beberapa kali menengadah ke atas, ke puncak pohon
kelapa. Membersit keluar air liurnya. Namun kakinya
terus juga melangkah. Kini sudah memasuki sebuah
jalan yang rata.
"Heh, jalan ini pasti menuju ke desa! Halusnya
bukan main...! Entah siapa pemilik kebun kelapa
ini...!" Menggumam pemuda ini, seraya memandang
pada deretan pohon-pohon kelapa yang berjajar di kiri-
kanan jalan. Ketika tiba-tiba... Bulk! Sebutir buah ke-
lapa telah jatuh di dekatnya.
"Ha!?" Kebetulan! Hashanah...! Sentak pemuda
itu dengan wajah membersit girang. Seraya beranjak
melompat untuk mengambilnya. Mudah-mudahan ke-
lapa muda! Pikirnya. Nasib baik rupanya, karena kela-
pa yang jatuh itu memang kelapa muda yang masih hi-
jau. Tentu saja girangnya bukan kepalang. Segera saja
dia telah mencabut pedang yang tersoren di punggung.
Dan... Cras! Cras! Cras! Cepat sekali gerakan pedang-
nya mengupas sebagian buah kelapa muda itu. Dan
sebentar kemudian ujung pedangnya sudah dipergu-
nakan untuk membolongi bagian yang sudah terkelu-
pas kulitnya itu. Kemudian masukkan kembali pe-
dangnya dalam kerangka di punggungnya. Dan tak ay-
al, segera sudah menenggaknya sampai ludas.
"Haahaheheh... segar!" Ujarnya, seraya melem-
parkan buah kelapa yang sudah tak berair itu ke tepi
jalan. Akan tetapi pada saat itu sudah terdengar ben-
takan keras, diiringi berkelebatnya beberapa sosok tu-
buh dari balik semak.
"Kurang ajar! Enak saja kau mencuri buah ke-
lapa! Memangnya milik bapak moyangmu?". Teriak sa-
lah seorang yang berada di hadapan pemuda itu. Lima
orang laki-laki berpakaian hitam dengan wajah-wajah
seram, dan kumis melintang telah mengurung pemuda
itu. Masing-masing menyoren senjata di pinggang. Me-
lihat dirinya dikurung sedemikian, si pemuda ini tam-
paknya tidak terkejut. Bahkan dengan tertawa-tawa
dia berkata, sambil lirikkan matanya kekiri dan kanan.
"Hahaha...hahaha... apakah memungut kelapa
yang jatuh sama dengan mencuri?". Tanya pemuda itu
sambil berpeluk tangan.
"Mana ada kelapa muda yang jatuh dari pohon?
Otakmu kurang waras barangkali anak muda! Kalau
ada kelapa muda yang jatuh, berarti ada yang meme-
tiknya!". Teriak orang-orang yang berada di sebelah kiri
jalan. Laki-laki ini bertubuh jangkung dengan baju hi-
tam dan celana lurik. Di pinggangnya terselip sebuah
golok yang bergagang ukiran kepala burung.
"He!? benar juga! Tapi toh aku tidak mencuri...!
Aku cuma memungutnya di tanah!" Berkata si pemuda
membela diri.
"Tidak bisa! Kau telah mencuri juga walaupun
memungut di tanah atau di atas pohon!" Bentak laki-
laki di hadapan si pemuda itu yang berkumis baplang.
"Ketahuilah, kebun kelapa ini adalah milik Ra-
den Mas Cucak Ijo!". Ujarnya lagi dengan wajah bengis.
Tampak si pemuda jadi melengak.
"Siapakah Raden Mas Cucak Ijo Itu...?". Kata si
pemuda dengan wajah seperti orang tolol.
"Beliau adalah penguasa di daerah ini! yang te-
lah mendapat kepercayaan dari Gusti Patih BUNTA-
RAN!" Sahut laki-laki berkumis baplang alias tebal itu.
"Ooo..." Ujar si pemuda dengan manggut-
manggut. Akan tetapi seperti tak perduli siapa pemilik
kebun kelapa itu, dia sudah menyahut seenaknya.
"Hm, kalau begitu biarkanlah aku lewat! kata-
kan pada Gusti Patih kalian bahwa aku telah memun-
gut kelapanya sebutir!" ujarnya.
Terjungkat alis si kumis tebal. Berani benar
anak muda ini bicara sembarangan?
"Tunggu! Kau sebutkan dulu siapa namamu!
Mulutmu terlalu lancang bicara, anak muda! Punya
andalan apakah kau di daerah ini! Majikan kami Ra-
den Mas Cucak Ijo telah kau anggap sepi, bahkan be-
rani lancang bicara untuk laporkan pada Gusti patih
segala...!". Berkata si kumis tebal. Kiranya dia inilah
yang tadi telah pergunakan sebutir batu kecil me-
nyambut gagang kelapa muda di atas pohon. Tentu sa-
ja si pemuda ini telah mengetahui sejak tadi. Juga
adanya beberapa sosok tubuh yang sembunyi di balik
semak. Namun tampaknya dia hanya berpura-pura ti-
dak mengerti. Karena jelas kalau mereka ini memang
sengaja mencari gara-gara.
"Hahaha... sudahlah, aku mau lewat! Katakan
pada Patih atau pada si majikanmu Cucak Ijo sama sa-
ja! Apakah memungut sebutir kelapa bisa mendapat
hukuman penggal leher!?". Ujar si pemuda dan me-
langkah seenaknya, tanpa rasa takut dan perdulikan
orang yang menghadang di depan.
"Kunyuk dekil ini rupanya mau mampus! Tak
perlu jauh-jauh untuk kau mengantarkan kepalamu!
Akulah yang akan memenggal lehermu..!" Bentak laki-
laki berkumis tebal itu, yang ternyata adalah pemim-
pin dari lima orang anak buahnya. Dan segera saja la-
ki-laki itu telah mencabut golok tipisnya dari pinggang.
"Heh, agaknya kau punya nyali juga, anak mu-
da! Sebutkan siapa namamu, dan apa keperluanmu
memasuki daerah terlarang ini!". Bentaknya kasar. La-
ki-laki pemimpin kelima orang itu adalah yang berna-
ma Jebul Ireng. Seorang yang berilmu tinggi yang men-
jadi pengawas di perkebunan kelapa itu.
Sementara kelima orang yang mengurung pe-
muda itu pun masing-masing sudah mencabut keluar
senjatanya, yang rata-rata adalah sebilah golok.
"Aii, apakah namaku cukup berarti buat ka-
lian?!" Tanya si pemuda yang segera menahan lang-
kahnya.
"Hehehe... dari gagang pedangmu yang terukir
bagus itu, sudah dapat kulihat kau tentu bukan orang
sembarangan! Juga tadi telah kulihat kau mengupas
kelapa, bahwa pedangmu itu memang bukan pedang
biasa! Kalau kau mau serahkan pedangmu sebagai ja-
minan, aku akan perkenankan kau lewat! Kelak bila
telah selesai urusanmu, silahkan kembali ke mari un-
tuk kau mengambil kembali!". Ujar si kumis tebal ber-
nama Jebul Ireng.
Lagi-lagi pemuda itu naikkan alisnya. Bagi seorang petualang rimba Persilatan hal demikian adalah
termasuk satu penghinaan. Karena pedang dan pemi-
liknya adalah ibarat kulit dengan daging. Kalau tadi
wajah pemuda ini tampak biasa-biasa saja, akan tetapi
kini sepasang matanya membersit tajam menatap
orang di hadapannya. Seraya tiba-tiba keluarkan suara
tertawa dingin. ,
"Hahaha... bagus! Aku sudah tak ingat namaku
sendiri! Dan aku memang tak punya gelaran apa-apa!
Kalau kalian semua menginginkan pedang pusaka ini,
silahkan ambil dari tanganku!" Berkata si pemuda.
Aneh, sura itu seperti mengandung satu kekuatan te-
naga dalam, yang terdengarnya bagaikan membuat
jantung seperti tergetar. Diam-diam Jebul Ireng terke-
jut juga. Akan tetapi mana jagoan ini mau unjukkan
wajah kaget di hadapan seorang pemuda dekil yang be-
lum diketahui namanya? Bahkan menimpali dengan
kata-kata sebagai jawabannya.
"Hahahehe...tak tahunya cuma seorang pemu-
da linglung yang kesasar dari kuburan! Gembel sema-
cammu masih berani jual lagak di depan tuan besarmu
Jebul Ireng si Lutung Dewa...!" Hahehehehe.. benar-
benar keterlaluan..!" Kata-kata ejekan itu tentu saja
membuat kawan-kawan lainnya jadi tertawa berkaka-
kan. Akan tetapi bukannya marah, justru si pemuda
itu tiba-tiba ikut tertawa.
"Hohahaha...hahaha.. ya! ya! kini aku baru in-
gat siapa gelaranku! Itulah si DEWA LINGLUNG! Orang
Rimba Hijau menyebutku demikian!". ujar si pemuda
dengan wajah menampilkan kegirangan. Tentu saja
semua yang tertawa jadi terdiam seketika bagaikan su-
ara jengkerik terinjak. Sementara Jebul Ireng jadi me-
lengak. Karena dia merasa berhadapan dengan seorang
pemuda tolol yang aneh. Jangan-jangan orang sinting
yang ku ladeni ini! Pikir Jebul Ireng.
"Hahaha...haha terima kasih, terima kasih! Kau
telah mengingatkan kembali julukanku, Lutung
Ireng...!". Merah seketika wajah Jebul Ireng, karena
Lutung Dewa telah dirubah seenaknya saja menjadi
Lutung Ireng. Namun agaknya laki-laki ini masih bisa
menahan sabar. Dan bahkan memberi isyarat pada
anak buahnya untuk bertindak terlebih dulu.
"Eh, Dewa Linglung yang nyasar dari kuburan!
Boleh ku coba merebut pedangmu itu!?" Teriak salah
seorang dari anak buah Jebul Ireng, seraya mene-
baskan goloknya ke arah pinggang. Akan tetapi cepat
sekali gerakan pemuda itu, ketika tahu-tahu...
Tuk! seraya diiringi kata-kata. "Hahaha... boleh!
boleh...!Namun tiba-tiba si penyerang itu mendadak
tebaskan goloknya seraya menjerit kesakitan, Lalu ber-
jingkrakan memegangi lengannya yang jadi terkulai
sebatas pergelangannya. Ternyata telah terlepas sam-
bungan tulangnya. Tentu saja sakitnya bukan main.
Tampak tadi dengan cepat sekali si pemuda miringkan
tubuhnya, seraya gerakkan sebelah lengannya meno-
tok pergelangan si penyerang itu.
Melihat demikian keempat kawannya segera
maju berbarengan mengirim serangan goloknya mas-
ing-masing, diiringi, bentakan-bentakan keras. Akan
tetapi sekali si pemuda itu putarkan tubuh, ke empat
penyerang itu kembali perdengarkan jeritan keras den-
gan masing-masing goloknya terlempar berpentalan.
Kali ini bukan masing-masing lengan mereka
yang lepas sambungannya, akan tetapi masing-masing
gigi mereka yang rontok berhamburan. Karena dengan
gerakan memutar tubuh itu, lengan dan kaki si pemu-
da itu telah bergerak cepat sekali menghantam dagu ke
empat penyerang itu. Hingga tak ampun lagi mereka
jatuh bergulingan ke empat penjuru. Betapa terkejut
dan gusarnya si Lutung Dewa melihat kejadian itu.
Dengan bentakan keras menggeledek tubuhnya men-
dadak melompat ke arah pemuda itu, diiringi serang-
kaian tebasan golok tipisnya yang bersuara bersiutan.
WHUT! WHUT! WHUT! WHUT! Akan tetapi
semua serangan itu menemui tempat kosong.
Karena tubuh si Dewa Linglung ini ternyata telah ber-
kelebatan cepat sekali menghindari terjangan-
terjangan beruntun itu.
Ser! Ser! Ser! Serangkum senjata rahasia segera
dilepas si Lutung Dewa. Akan tetapi tampak pemuda
itu kibaskan buntalan buntutnya, yang seketika mem-
buat belasan paku-paku beracun itu berseliweran ke
beberapa arah. Bahkan selanjutnya telah terdengar
suara teriakan-teriakan parau dari tiga orang anak
buahnya yang jadi sasaran paku-paku berbisa si Lu-
tung Dewa. Tentu saja ketiga orang anak buahnya itu
berkelojotan bagai ayam dipotong. Lalu sekejap kemu-
dian tewas. Melihat demikian membeliak sepasang ma-
ta Lutung Dewa. Sementara sisa-sisa anak buahnya
tanpa diperintah lagi, sudah kabur angkat langkah se-
ribu.
"Keparat! Kau cari mampus anak muda!" teriak
si Lutung Dewa. Tiba-tiba saja dia telah keluarkan sa-
tu senjata berupa cambuk berduri dari pinggangnya.
WHUK! WHUT! WHUT...! Lutung Dewa telah segera
lancarkan serangan.
"Huh! mengurusi orang semacammu membuat
aku malas saja!" Bentak si Dewa Linglung. Tiba-tiba...
Whuusss...! ZBUK! PRAKK...! Terdengarlah jeritan pa-
rau menyayat hati. Tubuh si Lutung Dewa telah ter-
jungkal 10 tombak bergulingan. Lalu terkapar tak ber-
kutik lagi. Ternyata kepalanya telah remuk dan da-
danya ambrol dengan beberapa tulang iganya yang pa-
tah. Darah merembes ke tanah menggelogok dari balik
pakaiannya. Ternyata si Dewa Linglung telah keluarkan pukulan angin bertenaga dalam yang membuat si
Lutung Dewa jadi gelagapan, dan cambuknya me-
layang entah ke mana. Saat tubuhnya terhuyung-
huyung itulah si Dewa Linglung lancarkan dua seran-
gan sekaligus. Satu jejakkan kaki dan sebuah tinju
menghantam dada dan kepala. Hingga nyawa Jebul
Ireng tak ketolongan lagi.
"Hahahahahehe... hehe... Kunyuk! Setan! Bede-
bah! Manusia-manusia kentut semacam kalian tak
pantas jadi begundal! Mengganggu orang lewat saja...!"
Memaki si Dewa linglung dengan berteriak-teriak. Na-
mun selang tak lama tubuhnya sudah berkelebat me-
masuki wilayah perkebunan kelapa itu. Namun ketika
menempuh jalan di tengah perkebunan kira-kira se-
perminuman teh, di ujung jalan menampak seekor ku-
da tengah berdiri dengan penunggangnya di tengah ja-
lan. Pemuda ini terkejut, dan segera memperlam-
batkan langkahnya.
"He!? Seorang wanita...? Siapakah...? Ah, bu-
kan...! bukan dia...!" Gumamnya lirih. Sesaat dia su-
dah tiba di hadapan Wanita itu.
"Siapa anda...? Mengapa menghalangi jalan
tempat orang lewat?". Si Dewa Linglung sudah ajukan
pertanyaan. Sementara di atas punggung kuda, seo-
rang wanita duduk bertolak pinggang menatap si pe-
muda dengan sunggingkan senyuman. Ringan sekali
gerakan wanita muda yang cantik itu, melompat dari
kudanya. Pakaiannya dari sutera yang mahal, rambut-
nya tergerai ke depan. Terhiasi bunga cempaka merah
jambu yang terselip di sisi telinganya. Ketika melang-
kah membuat paha sang wanita itu menyingkap dari
celah belahan kainnya.
"Selamat datang di wilayah tapal batas Kera-
jaan MATSYAPATI, sobat muda!" Sapa wanita itu, se-
raya menatap dengan pandangan kagum. Ada pun si
pemuda ini jadi jengah sendiri, karena jelas dari wanita
itu tak menampakkan sikap permusuhan. Bahkan se-
perti seolah menyambut tetamu terhormat. Siapakah
wanita genit ini? Pikir Si Dewa Linglung. Namun cepat,
cepat dia menjura, walau sebenarnya ada rasa; malu
menghadapi wanita. Atau memang itulah rupanya ke-
lemahan di Dewa Linglung ini. Karena hatinya sudah
berkata... Aih, seandainya Wanita ini adalah DIA...ah,
betapa girangnya aku...! Akan tetapi dia sudah cepat-
cepat berkata.
"Eh, aku tak mengenal anda? Mengapa me-
nyambut aku seperti menyambut kedatangan keka-
sih?". Enak saja pemuda itu bicara. Namun kata-
katanya adalah wajar dan apa adanya. Karena me-
manglah demikian apa yang telah diperlakukan oleh si
wanita itu dalam menyambutnya. Sambil mengerling
genit si wanita itu menyahuti.
"Ah, sobat muda yang tampan begini mana
mungkin kalau tak diperlakukan sebagai seorang ke-
kasih! Apalagi aku sudah lihat kehebatanmu membu-
nuh si Jebul Ireng alias si Lutung Dewa. Makin kagum
dan simpati saja aku pada anda, sobat muda!" Melen-
gak si pemuda kumal ini. Edan! Mukaku tak keruan
begini, bahkan sudah tiga hari aku tak mandi-mandi.
Di tambah pakaianku yang dekil, kumal dan baunya
bikin orang mabok...eh, masih dibilang tampan? be-
nar-benar dunia sudah terbalik! Gerutunya dalam hati.
Akan tetapi diam-diam pemuda ini terkejut juga kare-
na wanita ini mengetahui kejadian tengah jalan perke-
bunan kelapa tadi, Heran!? Dia telah mengetahui keja-
dian tadi, mengapa tidak menyambut ku dengan sikap
bermusuhan?" Apakah anda putrinya atau mungkin
juga istrinya si Raden Cucak Ijo itu?". Serampangan
saja Pemuda ini bicara. Tentu saja membuat wanita itu
jadi tertawa cekikikan.
"Hihihi... tebakanmu salah, sobat muda! Aku
adalah aku! Nanti pun kau akan mengetahuinya. Kini
kau telah jadi tetamu ku! Walau kau punya urusan
lain, tapi karena telah memasuki wilayah yang juga di
bawah pengawasanku, kuharap kau tak menolak un-
tuk kuajak mampir ke tempatku......” Ujar wanita itu
dengan pandangan mata yang berbinar-binar menatap
si pemuda. Sementara diam-diam di hati wanita ini
membatin. Ah, seandainya wajahnya tak kotor berde-
bu, sudah dapat dipastikan dia seorang pemuda yang
gagah. Bertubuh kekar berisi, penuh berotot, dan ber-
tenaga kuat...! Apa lagi tampaknya bukan pemuda
sembarangan. Sudah kulihat sendiri kehebatan ilmu
silatnya. Tanpa mencabut pedangpun telah sanggup
membuat kematian si Jebul Ireng. Seandainya ku
manfaatkan tentu banyak gunanya...!
Demikian pikir si wanita- Hingga tanpa sadar
dia telah menatapnya dengan tak lepas-lepas.
Tampaknya si pemuda dekil ini berfikir sejenak,
namun tak lama sudah tertawa terbahak-bahak, se-
raya selanjutnya berkata;
"Hahaha...Baik...!baik! aku setuju! Apakah di
rumahmu ada tempat mandi? Aku sekalian mau man-
di, dan..."
"Mengganti pakaianmu yang bau apek itu, bu-
kan? Hihihi... jangan khawatir semuanya sudah terse-
dia...!" Ujar wanita itu sambil tampilkan senyuman
menawan, Tak aral lagi si wanita sudah balikkan tu-
buh seraya menyambar tali les kuda, dan berkata:
"Apakah kau ingin naik kuda, atau jalan ber-
sama sambil menuntun kuda? Kita bisa berjalan sam-
bil bercakap-cakap...!"
Ujar si wanita, seraya palingkan wajahnya.
"Silahkan anda terlebih dulu ke Pesanggrahan
ku, sobat muda! Senja nanti kalau aku menemuimu,
tentu kau sudah segar, bersih dan tidak bau lagi. Hi-
hihi..." Berkata si wanita dengan suara halus, akan te-
tapi terdengarnya seperti meniup di telinga pemuda
itu. Sadarlah si Dewa Linglung kalau wanita baju hijau
itu bukan wanita sembarangan. Namun hal demikian
justru amat menarik sekali, membuat pemuda itu in-
gin mengetahui kelanjutannya.
"Hahaha...baik! Baik...! Hus! Hus...! Hayo, ce-
patlah sedikit larinya! Tubuhku sudah gatal-gatal ra-
sanya kepingin mandi, dan salin pakaian!" ujarnya, se-
raya menghentakkan kaki ke perut kuda. Keruan saja
kuda itu berlari lebih cepat mendahului si gadis yang
memegang tali les. Namun dengan satu teriakan halus,
si dara itu sudah kelebatkan tubuh mengikuti, bahkan
mampu mengendalikan ke mana arah yang dituju.
Demikianlah, keenam dara baju merah itu membawa si
pemuda ke Pesanggrahannya si wanita baju hijau itu.
Sedang wanita itu sendiri telah berkelebat lenyap dari
tempat itu.
Sementara itu kita lihat satu kejadian di Kota
Raja... Tampak pagi itu puluhan manusia berkerumun
di sudut pinggiran kota. Kesemuanya memandang ke
atas sebuah dahan pohon dengan pandangan ngeri.
Apakah gerangan yang terjadi? Kiranya tiga sosok tu-
buh wanita telah tergantung di sana dengan keadaan
telanjang bulat. Lidah terjulur dan sepasang mata
membeliak mengerikan. Tak ada seorang pun dari ke-
rumunan wanita dan laki-laki yang bergerak turun
tangan untuk menurunkan ketiga mayat wanita yang
tergantung itu.
Sementara kira-kira tiga puluh kaki dari tempat
kejadian terhalang sebuah sungai yang membelah le-
reng perbukitan, dibatasi oleh deretan pohon-pohon
kelapa, tampak sebuah kedai sederhana berlantai pa-
pan tengah dikunjungi beberapa orang tetamunya.
Ternyata sebuah kedai tuak (arak). Beberapa orang la-
ki-laki dan tiga orang gadis berada di tempat itu. Hari
itu adalah hari kesepuluh, sejak diadakan pengangka-
tan Permaisuri NAWANGSIH, yang tadinya selir bagin-
da Raja Prabu Gurawangsa. Rakyat sekitar Kota Raja
memang masih dalam keadaan pesta. Akan tetapi di
luar Kerajaan, ternyata banyak terjadi kericuhan.
Hingga diam-diam Raja memerintahkan Senapati SA-
TRYO menjaga keamanan. Ternyata diam-diam Ki Pa-
tih BUNTARAN telah pula mengerahkan beberapa
orang kaum Rimba Hijau untuk berjaga di setiap tem-
pat. Siang itu panas amat teriknya. Namun kedai Tuak
di seberang sungai itu tampak ramai di kunjungi bebe-
rapa orang, yang ternyata adalah orang-orang Kaum
Rimba Hijau.
"Hahahehe...hehe... Pelayan! Tambah lagi tuak-
nya! Aku sanggup menghabiskan sepuluh kendi lagi...!
Berkata seorang laki-laki brewok bertampang gagah.
Dadanya yang bidang dan berbulu itu dibiarkan terbu-
ka., Bajunya berlengan buntung sebatas bahu. Terbuat
dari bahan kulit binatang. Berambut gondrong tak te-
rurus. Sedang ikat pinggangnya terbuat dari kulit ha-
rimau, dengan celana pangsi warna hitam. Semua
orang yang berada di tempat itu telah mengenal siapa
adanya laki-laki gagah itu. Dialah si JOKO SANGIT
adanya. Yaitu murid si Pendekar Gentayangan Ki Ja-
gur Wedra. Tiga wanita di dalam kedai adalah tiga dara
baju merah yang berwajah cantik dan genit. Dua orang
ada dalam pelukan seorang laki-laki gendut bermata
sipit. Dialah yang bernama Raden Mas CUCAK IJO.
"Hehehe...hehe...Pelayan! Berikan pesanannya
Semua ini tanggungjawab ku!" Berkata laki-laki beru-
sia 40 tahun ini, sambil sebelah lengannya meremas
dua bukit daging di dada si wanita baju merah.
"Hihihi... Laki-laki muda itu apa sanggup
menghabiskannya, Gusti Raden!?" tanya si wanita di
sebelahnya, yang lengannya tak mau diam memijit-
mijit bahu Raden Mas Cucak Ijo itu. Sementara ping-
gangnya dalam pelukan lengan laki-laki gendut itu.
Akan tetapi matanya menatap pada gadis baju merah
di sebelah kiri laki-laki gendut, yang tengah mengge-
liat-geliat manja menyumpalkan kepalanya di dada
Raden Mas Cucak Ijo. Kalau dalam keadaan siang be-
gini dan di tengah orang ramai, Raden Mas Cucak Ijo
berani berbuat demikian, tentulah dia seorang yang
berpengaruh. Tampaknya dia memang tengah menja-
mu laki-laki bernama JOKO SANGIT itu.
Hehe... pergilah kau bantu membawakan 10
kendi tuak kepadanya!" Berkata Cucak Ijo pada wanita
yang bertanya tadi, seraya mendorong tubuhnya. Den-
gan melenggang genit, wanita itu "ngeloyor" ke arah
ruang tempat penyimpanan Tuak.
Memang sudah dilihatnya si pelayan itu tengah
sibuk membawa 10 kendi tuak. Segera dia membantu
membawa beberapa kendi. Dan tak lama di hadapan
Joko Sangit telah berjajar lagi 10 kendi tuak. Sedang
beberapa botol kosong di hadapannya segera diangkat
untuk disingkirkan.
"Hahaha...haha bagus! bagus! Terima kasih so-
bat Cucak Ijo!" Ayoh, siapa yang mau bertanding den-
ganku, menghabiskan 10 kendi tuak ini! Biarlah lima
kendi untukku, dan lima kendi untuk lawanku!" teriak
Joko Sangit.
Empat orang laki-laki berkulit putih dengan
empat pedang di belakang punggung, tampak saling
pandang. Mereka adalah Empat Hantu Gunung Ci-
reme. Akan tetapi tampaknya mereka tak berniat un-
tuk maju seorang pun. Tiba-tiba lengan si Joko Sangit
menarik lengan gadis baju merah itu ke dekatnya.
"Hahaha... cantik juga kau! Siapa namamu?
tanya Joko Sangit. Sementara dengan giginya dia telah
mulai membuka gabus penutup kendi tuak.
"Aku... Pintani...!Apakah anda yang bernama
Joko Sangit...?" tanya gadis itu. Seraya meneguk tuak-
nya, Joko Sangit menyahuti yang sebelumnya meneng-
gak habis satu kendi arak itu dengan beberapa kali te-
gukkan.
"Heh heh heh... betul! Aku datang ke kota Raja
ini mencari seorang yang telah mencuri kitab pusaka-
ku...!" sahutnya. Sementara sepasang matanya tampak
sudah memerah akibat pengaruh tuak. Padahal tadi
sudah tiga kendi arak yang diminumnya. Kini ditam-
bah satu kendi lagi, jadi kesemuanya sudah empat
kendi masuk ke perut pemuda itu. "Kitab pusaka...!?
tanya gadis itu, sambil melirik pada Cucak Ijo. Tampak
laki-laki gendut itu memberi isyarat dengan anggukan
kepala.
"Oh, kau mulai mengaco agaknya, sobat Joko
Sangit! Sebetulnya kau tak usah habiskan tuak-tuak
itu! Aku bisa membawamu untuk beristirahat!". Bisik
si wanita di telinga laki-laki itu. Namun juga telah
tempelkan hidungnya di pipi Joko Sangit. Akan tetapi
lengan pemuda itu sudah bergerak menyingkirkan ga-
dis itu ke tepi.
"Hehehahaha... siapa yang mengaco? Aku ma-
sih sanggup minum, tapi manusia-manusia di sini ru-
panya keroco semua! Tak seorangpun yang berani me-
nerima tantanganku! Huh...!" ujarnya dengan berdiri
dari duduknya.
Tentu saja kata-kata itu tampaknya membuat
panas seorang laki-laki berbaju kuning yang duduk di
sudut ruangan kedai. Dia adalah yang berjulukan si
Setan Muka Kuning sedangkan tiga orang lagi yang
berpakaian hitam-hitam dengan memakai topi tudung
yang disebut capil itu adalah si Tiga Petani Gunung
Kumbang. Tiga tokoh ini adalah para perantau yang
juga telah berada di wilayah Kota Raja atas undangan
Ki Patih Buntaran di Kerajaan Matsyapati ini. Tentu
saja kata-kata adanya si pemuda bernama Joko Sangit
itu yang tengah memburu orang pencuri Kitab Pusaka
miliknya, cukup menjadi perhatian mereka.
Setelah saling mengangguk, salah seorang tam-
pak segera bangkit berdiri. Namun keduluan dengan si
Setan Muka Kuning yang sudah melompat ke depan
meja Joko Sangit. Karena itu terpaksa dia duduk lagi.
"Eh, sobat Joko Sangit! Dugaanmu salah kalau
di sini cuma orang-orang keroco saja yang ada!
Entahlah kalau mereka-mereka ini...!" ujar si
Setan Muka Kuning, seraya memutar wajah menatap
pada semua orang Terutama pada si Tiga Petani Gu-
nung Kumbang.
Kembali pada Raden Mas Cucak Ijo itu saja si
Siluman Muka Kuning menjura. Tentu saja membuat
si Tiga Petani Gunung Kumbang jadi melotot gusar.
Ketiganya sudah melompat ke depan meja Joko Sangit.
"Huh! Siluman, Muka Kuning! Kami si tiga Pe-
tani Gunung Kumbang pun bukan manusia-manusia
keroco! Aku sanggup menerima tantangan si anak mu-
da ini!". Berkata salah seorang yang agaknya menjadi
orang tertua dari kedua saudara seperguruannya. "he-
hehe...Baiknya sebelum kalian melawan aku! Kalian
cobalah. berdua mengadu kekuatan dulu? dan siapa
yang kalah baru lawan aku?" berkata Joko Sangit. Ke-
dua orang itu sekejap saling berpandangan.
"Baik! Akan tetapi bukan mengadu minum
tuak! Aku kepingin lihat, apakah Tiga Petani Gunung
Kumbang ini sudah boleh diandalkan kelihayannya
untuk bantu menangkap penjahat...?"
"Alangkah sombongnya kau, Muka Kuning! Wa-
lau Kami belum pernah bertarung, akan tetapi kami
sudah mengenalmu! Juga sepak terjangmu! Hari ini
mungkin akan lenyap kesombonganmu...!" ujar si Tiga
Petani Gunung Kumbang yang sudah mendahului ke-
luar melompat dari dalam kedai. Siluman Muka Kun-
ing tertawa jumawa, seraya turut melompat keluar.
Dan selanjutnya mereka sudah berdiri berhadapan.
"Majulah kalian bertiga! Aku sih memang ke-
mana-mana selalu sendiri!". Mendelik mata si ketiga
lawannya, yang tak ayal segera lancarkan serangan
dengan berbareng. Hingga sebentar saja pertarungan-
pun terjadi dengan seru. Beberapa tetamu kedai itu
pun dengan sendirinya menonton pertarungan itu.
Kecuali Joko Sangit, yang masih berdiri di de-
pan mejanya. Sementara gadis bernama Pintani itu
sudah mendekatinya, seraya menggelendot manja di
dada laki-laki itu.
"Kakang Joko Sangit! Gara-gara kau, mereka
jadi bertarung...! Apakah tak sebaiknya kau beristira-
hat saja ke Pesanggrahan tempat tinggalku? Kau tam-
paknya sudah mabuk sekali...!" ujarnya. Seraya len-
gannya merayap membelai dada berbulu laki-laki ga-
gah itu. Laki-laki itu tak menjawab, akan tetapi cuma
mendesis dengan tubuh terhuyung. Sementara diam-
diam di hati Joko Sangit sudah mengeluh. Celaka...!
Aku memang benar-benar mabuk! Apakah dalam arak
telah diberi racun? Pikirnya dengan mengambang.
Namun pada saat itu tiba-tiba lengan si wanita telah
bergerak menotok tubuhnya. Karena dalam keadaan
mabuk luar biasa, juga ditambah totokan si gadis baju
merah itu, Joko Sangit tak mampu berbuat apa-apa
selain jatuh menggeloso. Namun sudah disangga si
wanita itu pada pundaknya. Selanjutnya melalui jalan
belakang kedai, segera membawanya
lenyap dibalik pondok. Adapun Raden Mas Cu-
cak Ijo, telah perdengarkan suara lirih, seraya bangkit
berdiri, Si pelayan kedai itu adalah ternyata pemilik
kedai itu sendiri. Tampak; dia berbisik-bisik pada Ra-
den Mas Cucak Ijo. Lalu buru-buru menutup kedainya,
dan menghilang di belakang pondok menyusui dua
wanita baju merah yang membuntut di belakang Cu-
cak Ijo. Sementara pertarungan berlangsung semakin
seru.
Setan Muka Kuning ternyata bukan tokoh sem-
barangan. Disamping licik juga telengas. Tiga serangan
beruntun si Tiga Petani dapat dihindari dengan mem-
bungkus tubuhnya oleh putaran senjata anehnya yang
berbentuk Tongkat pendek berkepala Tengkorak.
Tengkorak di ujung tongkatnya itu adalah sen-
jata yang amat berbahaya. Karena pada bagian kepala
tengkorak terdapat sebuah liang yang sewaktu-waktu
bisa keluarkan asap beracun, tapi bisa juga member-
sitkan belasan jarum berbisa. Dua puluh jurus berlalu.
Tiba-tiba terdengar bentakan si Setan Muka Kuning.
Gerakannya berubah jadi cepat sekali. Dengan lengan
sebelah menghantamkan tongkat, sebelah lagi memu-
kul dengan kepalan, yang bisa berubah jadi cakaran
maut. Jelas terlihat lengan orang ini, yang kehitaman
sebatas pergelangannya. Dapat diduga cakar lengan-
nya itupun mengandung racun.
Tiga petani mainkan senjata tiga cangkul kecil
yang menyerang ganas. Namun menghadapi peruba-
han gerakan silat si Setan Muka Kuning memang tam-
pak ketiganya terdesak. Di saat mereka ayal atau len-
gah, asap hitam telah menerjang muka mereka mem-
buat ketiganya terhuyung mundur. Namun mau tak
mau asap racun sudah terhisap. Pandangan mata me-
reka mendadak jadi gelap oleh asap. Dan di saat itulah
terdengar tiga rangkaian jeritan maut. Karena setelah
berdesir senjata jarum berbisa menghujam ke tubuh
mereka, telah dibarengi pula oleh tiga rangkaian hantaman telak yang membuat kepala mereka berbunyi
rengat. Tak ampun lagi, ketiga tubuh si Petani terjung-
kal berkelojotan. Namun sekejap kemudian tewas, me-
lepaskan nyawa. Terkejut si Empat Hantu Gunung Ci-
reme. Mereka sudah melompat menghadang di depan
si Setan Muka Kuning.
"Mohon penjelasan! Mengapa anda membunuh
mereka...? Bukankah mereka kawan sendiri?" akan te-
tapi si Setan Muka Kuning tertawa terkekeh.
"Heh heh heh... Mereka justru harus dibunuh
mampus! Mereka adalah mata-matanya Senapati SA-
TRYO...!" Melengak seketika si Empat Hantu Gunung
Cireme.
***
EMPAT
Kita tunda dulu keadaan di muka kedai di se-
berang sungai itu, untuk melihat apa yang terjadi di
tempat orang berkerumun tadi. Yaitu di tempat adanya
tiga orang wanita digantung di atas dahan pohon den-
gan keadaan tubuh telanjang. Tampak dan sosok tu-
buh berkelebat ke arah tempat itu....
"Hah!??? Benar-benar perbuatan biadab! He!?
Kalian semua tak ada yang berani naik untuk menu-
runkan mayat...? Keterlaluan...!" Bentak laki-laki ber-
pakaian Perwira Kerajaan itu, yang ternyata tak lain
dari Senapati SATRYO..
Si Pendekar Wanita Pantai Selatan, RORO
CENTIL. Entah bagaimana kisahnya sampai Roro ada
bersama sang Senapati Satryo itu. Melihat keadaan ti-
ga wanita yang digantung sedemikian sadisnya, bah-
kan dengan keadaan yang memalukan, membuat Roro
harus cepat bertindak menurunkan. Lengannya berge-
rak menjumput sebutir batu kecil, yang segera disam-
bitkan ke arah tambang pengikat leher wanita di atas
dahan tinggi itu. TES...! Tambang putus. Dan tubuh
wanita itu meluncur ke bawah dengan deras. Selanjut-
nya Roro sudah bergerak untuk menangkapnya. Selan-
jutnya dua butir batu kerikil kembali melesat sekaligus
memutuskan tambang-tambang yang lainnya. Roro ce-
pat menyambar salah satu tubuh wanita itu, sedang
yang seorang lagi sang Senapati Satryo lah yang me-
nyangga.
"Lepaskan sarung kalian...!" membentak Roro
Centil, yang tiba-tiba berkelebat ke arah tiga orang la-
ki-laki yang cuma berdiri saja di tempat yang agak
jauhan.
Tentu saja membuat ketiganya jadi terkejut, ka-
rena datangnya mendadak, dan bentakannya pun ti-
dak disangka. Terburu-buru mereka melepaskannya.
Sekejapan saja sebelum tubuh tiga wanita tanpa aurat
itu dapat dipentang orang banyak, Roro Centil telah
menutupinya. Adapun sung Senapati Satryo jadi ter-
henyak menatap salah seorang dari wanita itu, yang
tak lain dari istrinya sendiri. Berbarengan dengan ditu-
tupinya tubuh perempuan itu, terdengar suara jeritan
Senapati Satryo.
"Pratini...!?? Pratinii...!? kau...kau...eehh...hh..."
menangislah laki-laki ini terisak-isak, setelah meng-
guncang-guncang tubuh mayat wanita muda itu. Dan
memeluknya dengan bersimbah air mata. Tentu saja
membuat semua orang jadi terpaku, terkejut dan bela-
lakkan mata. Termasuk Roro Centil. Sungguh dia tak
menduga kalau salah seorang dari mayat wanita itu
adalah istri sang Senopati itu sendiri. Tiba-tiba tampak
sekejap laki-laki itu telah tengadahkan lagi kepalanya.
Wajahnya tampak membesi. Lengannya bergerak menyeka air mata yang membasahi kedua pipi. Sementa-
ra bibirnya telah digigit kencang hingga berdarah. Sang
Senapati telah berusaha menahan tangis kesedihannya
dengan sekuat tenaga. Kini yang ditatap adalah mayat
kedua wanita itu, yang tak jauh diletakkan Roro di de-
kat mayat istri Senapati Satryo. Perlahan dia bangkit,
dan melangkah mendekati. Tiba-tiba kembali berjong-
kok. Wajahnya menunduk haru.
"Oh!? aku tak mengerti! Mengapa hal ini dapat
terjadi? Namun seandainya memang bisa terjadi men-
gapa istriku juga harus jadi korban...?" Gumam Sena-
pati Satryo. Roro cuma termangu-mangu mendengar
kata-kata gumaman laki-laki orang Kerajaan itu.
Mengapa Roro Centil dapat sampai ke tempat
ini...?
Dan juga mengenal pada Senapati Satryo...?
Cukup panjang kisahnya. Akan tetapi akan dipapar-
kan sedikit riwayat mengenai perjalanannya.
Perbuatan jahat, licik juga keji, ternyata me-
mang selalu membuat Roro Centil membencinya. Apa-
lagi terhadap rakyat jelata. Penduduk desa yang le-
mah, yang diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-
orang yang berkuasa". Membuat kepala si gadis Pen-
dekar Selatan ini jadi seperti gatal tanpa kuku. Kalau
belum membuat mampus atau menyiksanya sampai
setengah mati lalu menyuruhnya bertobat, tentu tak
akan puas hatinya. Bahkan kalau sudah kehilangan
sabar sang Pendekar Wanita beradat aneh ini, jangan
harap kalau bisa diberi hidup...! Paling untuk dibuat
miring otaknya, atau kehilangan salah satu anggota
badannya. Itulah watak aneh Roro Centil, si Pendekar
Wanita Pantai Selatan.
Akan tetapi satu peristiwa belakangan ini nya-
ris saja membuat dia terkurung seumur hidup di da-
lam kerangkeng gaib, yang tak dapat Roro melepaskan
diri. Roro jumpai seorang laki-laki tua-renta terkapar
di tengah jalan. Panas terik yang membakar bumi
membuat orang itu akan mati haus, karena kepana-
san. Nalurinya yang tajam mengatakan pasti ada apa-
apa yang tidak beres di daerah ini. Segera Roro tanpa
berayal menolongnya. Kebetulan sepasang senjata
RANTAI GENlT-nya baru saja diisi oleh air pancuran di
kaki gunung yang tadi dilewati.
Cepat ditariknya sebuah Bandulan aneh ber-
bentuk bulat macam payudara itu ditimbang-
timbangnya sejenak, lalu ujung putiknya diputar. Ke-
mudian dengan tanpa laki-laki tua itu yang tengadah-
kan kepala laki-laki tua itu yang kepalanya diletakkan
di atas pangkuannya. Ketika bandulan si RANTAI GE-
NIT itu dibalikkan dan ujung putiknya dijejalkan pada
mulut laki-laki tua itu, maka mengucurlah airnya.
Tentu saja dengan lahap, sang kakek malang itu me-
minumnya, hingga sampai megap-megap. Tak lama
Roro sudah simpan lagi "buah dada" nya ke balik ping-
gang.
Akan tetapi terkejut Roro Centil ketika meme-
riksa tubuh orang tua itu, ternyata tulang-tulang
iganya telah patah lima buah. Juga tulang lutut yang
hancur. Bahkan kedua lengannya sudah patah sama
sekali. Akan tetapi tiada darah setetes pun keluar dari
tubuh atau anggota badan laki-laki itu.
Sementara di sebuah pondok, tak jauh dari mu-
lut desa Lamtoro, tengah terjadi satu pemandangan
yang membuat bulu tengkuk meremang. Karena di da-
lam rumah besar itu tengah terjadi kebiadaban dari
manusia-manusia yang bermartabat rendah, berhati
binatang dan bernafsu setan. Empat wanita tergeletak
dalam keadaan dikerubuti lebih dari sepuluh orang la-
ki-laki yang sudah bagaikan harimau yang lepas kulit-
nya. Akan tetapi pada saat itu tampak sebuah bayangan berkelebat masuk melalui jendela. Gerakannya
ringan bagaikan bayangan tanpa mengeluarkan suara.
Tiba-tiba terdengarlah suara jeritan-jeritan menyayat
hati, dan teriakan-teriakan parau menggema bersahu-
tan. Dibarengi suara berderak dan bergedubrakan ba-
gaikan ada angin prahara mengamuk di dalam rumah
panggung itu. Apakah yang terjadi? Sukar diceritakan
kejadian di dalam rumah panggung milik kepala desa
itu. Karena dari luar yang terlihat adalah terlemparnya
beberapa sosok tubuh menembus wuwungan rumah.
Menjebol atap genting, yang diiringi suara berderakan.
Genting- genting rumah itu hancur beterbangan.
Dan delapan sosok tubuh jatuh berdebuk ke
tanah, dengan keadaan hancur seluruh tulang-
belulangnya, dan mati seketika. Bahkan ada pula yang
membentur batang pohon kelapa, dengan tubuh ber-
puncratan darah.
Tampak dua orang laki-laki berlari jatuh ban-
gun, setelah melompat keluar dari salah sebuah jende-
la yang tertutup. Ditabraknya hingga daun jendelanya
lepas berpentalan. Tampaknya dua orang ini berhasil
meloloskan diri. Akan tetapi ketika tiba dijalan desa,
telinga kedua ini mendengar suara berdengung di be-
lakangnya. Terkejut bukan main kedua laki-laki ini ke-
tika melihat sesosok tubuh dengan rambut beriapan
berada di belakangnya. Tahu-tahu salah seorang dari
laki-laki itu telah menjerit, ketika sebuah benda meng-
hantam kepalanya. Tampak laki-laki itu berkelojotan
memegangi kepalanya yang mengepulkan asap putih.
Tak lama sudah jatuh terduduk, dengan mata mende-
lik, dan lidah terjulur mengalirkan air liur yang tiada
hentinya mengucur. Tentu saja membuat laki-laki ini
jadi gemetaran, menatap kawannya. Sudah sejak tadi
dia jatuh terjerembab, dan belum sempat bangun, ka-
rena kedua lututnya seakan telah lumpuh tak bertenaga. Kini dilihatnya seorang gadis cantik dengan sepa-
sang mata bagaikan mata serigala menatap ke arah-
nya. Sementara sebelah lengan wanita cantik berbaju
hitam itu memutar-mutarkan sebuah benda berantai
yang mengeluarkan suara bagaikan ratusan tawon
yang berdengung. Itulah Roro Centil, yang barusan sa-
ja menghantamkan bandulan si Rantai Genit ke kepala
kawan laki-laki ini. Setelah mengamuk di dalam ru-
mah panggung tadi Roro telah mengejar kedua orang
ini. Tak seorang pun dari para manusia biadab itu di-
biarkan meloloskan diri.
"Am.. ampuuun..! Ampun..! ja.. jangan bunuh
aku, no.. nona..!Aku tak ikut-ikutan memperkosa!
Aku... cuma membunuh seorang nenek-nenek saja..
ohh.. hh.. hhh ..."
Membeliak sepasang mata Roro Centil. Lengan-
nya bergerak menyambar rambut laki-laki itu, yang
sudah dicengkeramnya hingga tubuhnya terbawa ber-
diri.
"Setan alas...? Dan sekali sentak, rambut kepa-
la lelaki itu telah terlepas jebol dari kulit kepalanya.
Tubuh laki-laki itu terhuyung ke depan, dan ja-
tuh ngusruk, diiringi jerit kesakitan. Selanjutnya dia
sudah berjingkrakan meraung-raung memegangi kepa-
lanya yang botak berlumuran darah pada bagian atas
ubun-ubunnya. Roro lemparkan gumpalan rambut di
tangannya yang dibanting ke tanah sampai melesak
lenyap. Tiba-tiba lengannya sudah bergerak menjewer
telinga laki-laki itu, yang kembali terbawa berdiri.
"A... aaammpuuuun..! ampuuunn..! aduuuh..
aku tobat tak mau ikut-ikutan berbuat kejahatan lagi!
Ampunilah nyawaku, no.. nona pendekar..." rintihnya
dengan wajah menyeringai ketakutan.
"Hm, katakan siapa pemimpin kalian! Dan apa
yang terjadi sebenarnya di desa ini..! Kalau kau tak
menjelaskan, terpaksa akan ku kuliti tubuhmu dengan
segera!" ancam Roro dengan wajah sengit.
"Kami... kami anak buahnya Raden Mas Cucak
Ijo, nona pendekar! Kami memang bertindak keterla-
luan... tapi... tapi aku cuma terbawa-bawa, saja...". tu-
tur laki-laki itu. Roro Centil naikkan alisnya.
"Siapa Raden Mas Cucak Ijo itu..!" bentak Roro
lagi.
"Be.. beliau adalah ket.. ketua kami, nona pen-
dekar! Ya, ket... ketua kami..."
"Setan alas..! Aku sudah tahu dia itu ketuamu,
goblok! Maksudku apakah dia penguasa di sini, atau
kepala rampok, atau orang suruhan dari Kerajaan,
atau..."
WHUSSSS..! Roro sudah lemparkan orang. itu
ke atas genting sebuah rumah. Dan... BRAKK! Tubuh,
laki-laki itu langsung menjeblos menembus genting,
hingga tak nampak lagi. Cuma kedengaran suara men-
gerangnya tapi sesaat kemudian lenyap tak kedenga-
ran suara apa-apa lagi.
DES...! Kaki Roro telah melayang lagi menen-
dang pantat laki-laki yang seorang. Laki-laki yang se-
dang duduk dengan kepala mengepulkan asap, dan li-
dah terjulur mengalirkan air liur ini terjungkal jatuh
bergulingan. Akan tetapi tendangan itu tak mengguna-
kan tenaga dalam. Hingga laki-laki itu dapat bangkit
kembali dengan tubuh terhuyung-huyung, namun
keadaannya jadi seperti orang tidak waras. Karena
tampak setelah menjerit kesakitan, lalu tertawa-tawa.
"Hehehe... hehe... Pangkatku Perwira Kerajaan!
Si Komang dan Kempot jadi pengawal istana...! Haha-
ha... hehe... Kanjeng Gusti Patih menjadi Raja! Hoho-
ho... aku mau cari bini yang bahenol! Anak bangsawan
yang kaya..! Kalau gadisnya menolak lamaranku, he-
hehe... akan kugorok batang lehernya..! Haha.. haha
ha..." Sambil mengoceh tak keruan, laki-laki yang su-
dah rusak otaknya itu tertawa dan menari-nari sambil
terpincang-pincang meninggalkan tempat itu. Tentu
saja membuat Roro jadi tersenyum, dan manggut-
manggut sendiri. Mengertilah dia kini.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ter-
tawa terkekeh-kekeh menyeramkan membuat Roro
Centil tersentak kaget. Namun segera dia sudah was-
pada menghadapi apa yang bakal terjadi. Sebuah
bayangan warna hijau berkelebat, dan tahu-tahu seo-
rang nenek bongkok telah berada di hadapannya.
"Hihih. hihi..! bocah cantik! Siapa namamu,
wong manis? Senjatamu aneh dan lucu! Coba pinjami
aku sebentar..!". Seraya berkata lengannya bergerak
menyambar ke arah lengan Roro yang masih mencekal
sebuah senjata dari sepasang Rantai Genitnya. Terke-
jut Roro Centil. Segera saja tubuhnya bergerak mem-
buat satu gerakan dari jurus aneh yang dimilikinya,
yaitu jurus Langkah Bidadari Mabuk. Ternyata gera-
kan terhuyung itu mampu membuat sambaran lengan
si nenek bongkok itu luput. Akan tetapi satu sedotan
kuat dari lengan si nenek bongkok itu membuat Roro
terkejut. Nyaris saja si Rantai Genit terlepas, kalau tak
buru-buru Roro Centil gunakan Ajian Sari Rapet.
Hingga senjatanya seperti melengket kuat dari ceka-
lannya tanpa bisa terlepas lagi. Namun tentu saja Roro
tak dapat menahan tubuhnya yang ikut tersedot oleh
tenaga dalam si nenek bongkok yang amat kuat. Se-
mentara satu serangan melalui batinnya telah mem-
pengaruhi Roro. Tenaga batin nenek bongkok ini
punya daya aneh, yang membuat Roro sukar mela-
wannya.
"Hihihi... kau pasti muridnya si Manusia Banci
dari Pantai Selatan. Hehehehe... ayo, kemarilah anak
manis!" Setengah sadar Roro terpaksa membiarkan tu
buhnya terbawa sedikit demi sedikit. Dan melangkah
semakin dekat. Namun di saat hampir mendekat, Roro
Centil kembali sadar. Tersentak Roro Centil ketika ta-
hu-tahu terasa tubuhnya dibelit oleh seutas tali gaib
yang tak kelihatan. Tahu-tahu Roro rasakan tubuhnya
tak mampu bergerak lagi. Ketika itulah lengan si nenek
bongkok telah bergerak menotoknya. Roro cuma bisa
mengeluh.
Tamatlah riwayatku! Sentaknya dalam hati.
Pandangan Roro sekonyong-konyong menjadi gelap.
Ingatannya mengabur. Dan Roro cuma bisa rasakan
tubuhnya dibawa berkelebat cepat sekali di atas pun-
dak si nenek bongkok itu. Ketika dia sadarkan diri lagi,
Roro terkejut, karena kini tubuhnya telah berada di sa-
tu ruangan berbau pengap. Di manakah aku? Pikir Ro-
ro. Setelah diteliti ternyata berada dalam satu ruangan
goa yang luas. Di atas langit-langit goa terdapat satu
lubang besar. Dari lubang itulah cahaya matahari ma-
suk. Cuma lubang itu terlalu tinggi, hingga tetap saja
hawa di situ berbau pengap. Namun Roro kini rasakan
tubuhnya sudah tak terbelenggu lagi. Aneh, kemana-
kah nenek bongkok itu? Mengapa membawaku ke
tempat ini?. Pikir Roro dalam benaknya. Setelah mene-
liti setiap dinding, Roro menampak sebuah lubang
yang tertutup batu.
"Heh! Itu pasti sebuah pintu keluar!" Desis Roro
perlahan, seraya beranjak melangkah. Akan tetapi...
tiba-tiba... DUK! Terkejut Roro karena kepalanya te-
rantuk oleh sebuah benda. Beruntung dia cuma me-
langkah, kalau dia melompat, bisa berakibat fatal pada
kepalanya. Atau setidak-tidaknya kepalanya benjol.
Namun anehnya di tempat kepalanya terantuk, tak ada
apa-apa. Sedangkan dinding goa masih jauh belasan
langkah lagi di hadapannya. Penasaran telah membuat
Roro meraba ke arah depan. Terkejutlah sang gadis
Pendekar ini, karena rasa lengannya menyentuh terali
besi.
"Aneh!?" Gumam Roro. Karena setelah merayapi
keadaan di sekitarnya dengan rabaan tangannya. Roro
Centil berada dalam sebuah kerangkeng besi yang tak
kelihatan oleh mata. Itulah kerangkeng gaib agaknya.
Karena sama halnya dengan keadaan Roro sewaktu
tubuhnya terkena jeratan tali gaib, yang juga tak terli-
hat mata. Semakin mengeluh Roro Centil, karena ter-
nyata kekuatan tenaga dalamnya telah punah. Apapun
yang dilakukan tak membawa hasil untuk menerobos
keluar dari kerangkeng gaib itu. Bahkan bagian atas-
nya pun dipagari terali aneh itu.
"Celaka...! Siapakah nenek bongkok itu?. Apa
maksudnya menawan ku di tempat ini?. Mengapa tak
membunuhku sekalian?. Dan yang membuat Roro
Centil terkejut adalah, sepasang senjatanya si Rantai
Genit telah lenyap dari lengan dan belitan pinggang-
nya. Akhirnya gadis Pendekar itu cuma bisa jatuhkan
pantatnya untuk duduk di tanah.
***
LIMA
Entah berapa lama Roro tak mengetahui. Tapi
keadaan di dalam ruangan itu berangsur-angsur men-
jadi gelap. Tahulah Roro kalau malam akan segera ti-
ba.
"Keparat! Setan Alas!" Memaki Roro dengan
kesal. Akan tetapi tiba-tiba Roro mendengar suara
menggeram di arah sudut goa. Tersentak Roro Centil.
Seketika wajahnya menampilkan perobahan girang.
Dan cepat berseru dengan menggunakan suara melalui
batin.
"TUTUL! Di mana kau? Tolonglah aku. Aku ratu
mu yang sedang dalam bahaya...!". Akan tetapi suara
menggeram itu tetap tak terdengar mendekati. Bahkan
tak juga menampak tubuh Harimau Tutul di hadapan-
nya.
"Celaka..! Jangan-jangan si Tutul pun terjerat
dalam kerangkeng gaib seperti aku!" Desis Roro. Kem-
bali Roro Centil terpaku dan tercenung memegangi te-
rali gaib yang amat kuat sekali. Tak mampu dia men-
dobraknya. Jalan satu-satunya adalah menunggu
sampai si nenek bongkok itu muncul. Entah ada uru-
san apakah si nenek peot itu usil padaku! Pikir Roro
dengan wajah jengkel.
Selang kira-kira sepenanak nasi. Karena kesal-
nya Roro Centil telah menjerit sekuat-kuatnya. Bahkan
di antara jeritannya itu dibarengi pula dengan suara
tertawa aneh. Dan lengannya kembali bergerak ke kiri
kanan, menghantamkan pukulan-pukulannya untuk
mendobrak kerangkeng gaib itu.
"Haiiii...! nenek bongkok yang sudah mau ma-
suk liang kubur! Keluarlah kau! Mayo mengadu kesak-
tian sampai seribu jurus! Aku Roro Centil mengantar
nyawamu ke liang Akhirat!!". Teriak Roro Centil.
WHUUK! WHUK! WHUK! WHUK! Bunyi angin
pukulan dan tendangan Roro Centil terdengar santar.
Akan tetapi kerangkeng gaib itu mana mampu dihan-
curkan, karena kekuatan gaib tak bisa dilawan dengan
kekuatan wujud. Walaupun tenaga dalam si Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini tidak punah sekali pun, tak
ada gunanya. Akhirnya setelah berteriak-teriak dan
tertawa aneh yang histeris itu, kembali Roro terdiam.
Tiba-tiba di kejauhan terdengar lapat-lapat satu suara
lirih, yang menyusup ke telinganya.
"Roro.! Kekuatan apa pun yang dimiliki seseorang walaupun teramat tingginya tetap akan ada ba-
tasnya. Dan pasti ada kelemahannya. Dan kecerdikan
akan mengalahkan segalanya! Mengapa tak kau guna-
kan kecerdikan mu untuk melepaskan diri dari kekua-
tan gaib yang telah membelenggu mu? Di atas langit
memang masih ada langit! Tingginya suatu ilmu tak
ada batasnya! Kekuatan lawan bisa bertambah berlipat
ganda, dengan kepanikan mu dalam menghadapi ke-
nyataan yang menimpamu! Lembar ke tujuh belas dari
17 lembar daun lontar yang kutitipkan padamu mela-
lui pemuda bernama JOKO SANGIT, murid si Pendekar
Gentayangan alias Ki Jagur Wedha rupanya belum se-
lesai kau pelajari. Di lembar ke tujuh belas itu ada
makna kata-kata yang belum sempat kau pecahkan!
Aku percaya kau bukanlah seorang murid yang akan
membuat kecewa gurumu! Karena itulah setiap sepak
terjang mu aku selalu mengikuti! Nah! kukira kau pa-
ham mendengar penjelasanku, bukan? Kini berusaha-
lah sebisa akalmu. Aku percaya, walau pun kau ada-
lah seorang bocah yang tolol, tapi ...cerdik!"
Terperangah seketika Roro Centil. Jelas sekali
kalau suara gurunya si manusia banci. Akan tetapi dia
sudah mendengar berita dari Joko Sangit, laki-laki sa-
habatnya itu, bahwa sang guru telah tewas. Apakah
yang bicara adalah arwahnya..? Sentak hati Roro Cen-
til. Seketika tanpa sadar Roro sudah berteriak keras.
GURUUU..!!. Cepat sekali, tiba-tiba air matanya telah
membersit keluar membasahi pipinya. Akan tetapi tak
ada sahutan lagi. Keheningan mencekam sekitar lu-
bang goa yang mulai remang-remang. Suara kepak ke-
lelawar dan cicitnya terdengar ramai di sudut goa. Dis-
ertai beterbangannya binatang itu keluar melalui lu-
bang di atas goa. Saat malam sebentar lagi akan tiba,
dan binatang-binatang itu sudah masanya keluar un-
tuk mencari makanan. Tercenung Roro Centil. Jelas
tadi adalah kata-kata gurunya. Kalau ada suaranya
pasti ada orangnya. Demikian Roro Centil. Akan tetapi
suara itu telah lenyap kembali. Mungkinkah arwah
orang yang sudah mati bisa bicara padanya? Tanya
Roro pada dirinya sendiri. Namun kesedihannya men-
dadak jadi sirna ketika kembali diingat-ingatnya kata-
kata sang guru tadi.
Cepat-cepat di hapusnya air matanya. Roro ma-
sih ingat akan kata-kata pada lembar ke tujuh belas
dari 17 lembar daun lontar warisan gurunya itu, yang
maknanya memang belum terpecahkan. Kali ini adalah
satu-satunya jalan untuk memecahkan makna kata-
kata itu. Memikir demikian, segera Roro Centil bersi-
dakep mengosongkan fikiran. Menyempurnakan dirt ke
alam batin, dengan satu tujuan, adalah mengingat pa-
da Yang Maha Esa. Selang beberapa saat, tampaklah
satu ketenangan yang amat luar biasa pada Roro. Dia
tidak lagi mengkhawatirkan nasib dirinya. Mengapa
harus khawatir? Bukankah setiap nasib manusia ada
pada kekuasaanNYA?. Manusia boleh berusaha, akan
tetapi Tuhan yang menentukan segalanya. Kini Roro
tidak lagi gelisah. Ketenangan telah berhasil dikua-
sainya dengan secara total. Barulah Roro segera me-
mulai untuk mengingat kata-kata makna pada daun
lontar di lembar ke tujuh belas itu.
Bidadari membuka perutnya.
Tangis bayi mengumbar suara.
Dua bait kata-kata itu seperti sebuah sajak,
akan tetapi mengandung arti yang amat dalam.
Tercenung Roro Centil memikirkan maksudnya.
Setelah berfikir bolak-balik tak menemukan juga mak-
na dari kata-kata itu, akhirnya Roro mencoba mencari
ilham dari apa yang dapat dilihatnya. Segera sepasang
matanya jelalatan memutari sekitar gua yang remang-
remang itu. Akan tetapi cuma satu dinding batu melu-
lu. Cuma satu dinding yang celahnya agak renggang,
dan Roro merasa yakin kalau itulah pintu keluar dari
goa, yang ditutupi sebongkah batu.
"Heh, akan ku coba untuk menghancurkan ba-
tu itu dengan jarak jauh!" Bergumam Roro dengan se-
pasang mata menatap tajam pada bongkah batu itu.
Akan tetapi baru tersadar Roro, kalau tenaga dalam-
nya telah punah. Aku harus memulihkan terlebih dulu
tenaga dalamku, mudah-mudahan bisa kembali seperti
semula! Pikir Roro. Segera saja Roro mulai mengerah-
kan hawa murni dari tubuhnya. Sulit sekali menghim-
pun hawa murni, yang bertitik pusat pada pusar itu.
Karena berkali-kali Roro menemui kegagalan. Akan te-
tapi tekadnya sudah bulat. Kembali dia mencoba, dan
mencoba.. hingga peluhnya bercucuran di sekujur tu-
buh. Pada saat itulah Roro Centil teringat akan kata-
kata di daun lontar lembar ke tujuh belas itu, yang ada
pada bait kedua. Yaitu kata-kata: Tangis bayi men-
gumbar suara. Heh?! Apakah aku harus menangis se-
perti seorang bayi?. Pikir Roro. Justru mengingat de-
mikian membuat Roro jadi terpingkal-pingkal geli sen-
diri. Guruku memang aneh! masakan aku harus berte-
riak-teriak seperti seorang bayi! pikirnya. Tapi Roro
Centil tak menyadari. Justru di saat dia tertawa tadi,
hawa murni tengah memutar kencang di sekitar pusar.
Dan ketika tertawa terpingkal-pingkal itulah hawa
murni dalam tubuhnya bergolak membuka jalan-jalan
darah yang telah mampat di sekujur tubuh. Hingga be-
gitu Roro berhenti tertawa, segera rasakan perubahan
pada tubuhnya. Eh..!? Aneh! Aku seperti telah berhasil
menghimpun hawa pada pusar! Sentak Roro di hati.
Memang tadi dia telah rasakan pergolakan hawa di se-
kujur tubuh. Dan Ketika kembali mencoba menghimpun hawa murni untuk yang ke sekian kalinya ternya-
ta mudah saja bagi Roro melakukan-nya. Hingga seke-
jap saja Roro telah berhasil menghimpun kembali ha-
wa murni, yang segera dengan mudah disalurkan pada
kedua telapak tangannya. Akan tetapi baru saja dia
berniat menghantam batu pengganjal lubang di hada-
pannya, tiba-tiba Roro urungkan niatnya. Kini dia ber-
pikir lagi. Hm, untuk apa membuka lubang itu, kalau
toh aku tak bisa lepas dari kerangkeng gaib ini?
Memikir demikian, segera Roro mengulang lagi
kata-kata dua bait mirip syair itu untuk dipecahkan
maknanya. Setelah berfikir beberapa saat, tiba-tiba Ro-
ro Centil tertawa mengikik geli tiada henti. Seraya
menggumam sendiri, bahkan memaki-maki dirinya.
"Hihihi... hihihi... hihi... tolol!! dasar aku me-
mang tolol! Kalau begitu syair itu maknanya demikian?
Hihihi... pasti demikian! Heh! Akan ku coba sekarang".
Tak berayal Roro Centil benar-benar membuka ba-
junya. Bahkan lepaskan pula celananya. Kecuali B.H.
dan celana dalam dari besi aneh yang memang mirip
persis dengan orang yang tak berpakaian sama sekali.
Karena mempunyai bentuk yang telah dirancang oleh
seorang manusia banci. Hingga tidak aneh lagi bila dia
bisa ciptakan benda aneh sedemikian rupa. Kecuali
pada sisi celana dalam besi itu yang terdapat beberapa
gelang rantai, sukarlah bagi orang membedakan kalau
tidak dengan meraba. Ada pun B.H. penutup payudara
demikian juga halnya, karena amat mirip dengan buah
dada. Kecuali pada bagian belakangnya, yang terdapat
rantai. Namun tentu saja takkan terlihat, karena tertu-
tup dengan rambutnya yang panjang terurai. Selanjut-
nya Roro benar-benar membuat gerakan menari. Tentu
saja yang dipergunakan adalah tarian Bidadari Mabuk
Kepayang. Sementara dalam menari itu, Roro Centil
sebarkan hawa murni ke seluruh tubuh. Hingga tampak seluruh tubuhnya mengeluarkan uap putih, ba-
gaikan uap yang ke luar dari batu es. Bahkan dari mu-
lut sang gadis ini yang terbuka dan tengah mengelua-
rkan suara tertawa itupun mengeluarkan uap putih.
Bayi diibaratkan adalah hawa murni itu. Karena jelas
seorang bayi adalah seorang yang masih murni. Se-
dangkan tarian itu adalah membuat terbukanya lu-
bang pori-pori, hingga hawa murni dapat keluar me-
nyebar. Dan ketika Roro gerakkan tangannya mereka
ke sekeliling kerangkeng, seketika saja setiap jeruji be-
si yang tak kelihatan itu musnah bagaikan kertas yang
dimakan api. Hingga hawa murni yang keluar dari tu-
buh Roro Centil telah berhasil membuat kerangkeng
gaib itu lenyap musnah. Kini Roro sudah melompat da-
ri tempat di mana kakinya berpijak. Dan selanjutnya
lengannya bergerak menggeser batu besar penutup lu-
bang. Hawa segar segera masuk dari lubang yang telah
menganga sebesar dua kali tubuh manusia itu. Akan
tetapi baru saja Roro mau melompat pergi, tiba-tiba
terdengar suara menggeram si harimau Tutul. Terkejut
Roro Centil ketika teringat akan nasib harimau silu-
man sahabatnya itu.
"Tutul! Tampakkanlah dirimu..!". Selesai Roro
berkata, segera terlihat seekor harimau Tutul yang ber-
tubuh sebesar kerbau berada disudut goa dalam kea-
daan tak bisa berkutik kaki tangannya karena telah
terkena jeratan tali gaib si Nenek Bongkok. Tak ayal
lagi Roro sudah melompat untuk menolongnya. Tentu
saja ketika tubuhnya membentur kerangkeng gaib, se-
ketika kerangkeng aneh itu lenyap musnah, dan segera
saja sudah berhasil melepaskan tali gaib yang membe-
lit sekujur tubuh si harimau Tutul. Dan sekejap ke-
mudian sudah terbebas kembali. Demikianlah
Roro Centil langsung menuju Kota Raja. Namun
di tengah perjalanan telah berpapasan dengan seorang
bocah yang ditaksir Roro berusia sekitar antara lima
enam tahun. Seorang bocah laki-laki berkulit hitam,
berambut tebal kaku, dengan sepasang mata yang
memancar menyeramkan. Bocah hitam itu tengah
mempermainkan dua buah benda berantai. Terkejut
Roro Centil, karena mengetahui kedua benda itu ada-
lah sepasang senjatanya si Sepasang Rantai Genit. Tak
berayal dengan sekali menggerakkan tangan, Roro te-
lah menyambar kembali senjata si Rantai Genit itu,
yang kembali berada dalam genggaman tangannya.
Tampak wajah si bocah hitam itu menampilkan kegu-
saran. Akan tetapi ketika Roro menyapa dan mena-
nyakan namanya, bocah hitam itu tiba-tiba berkelebat
cepat bagaikan seekor rusa hitam saja, yang segera se-
kejap kemudian lenyap di balik semak belukar. Terke-
jut Roro Centil, dan karena rasa ingin tahu segera
mengejarnya. Dengan pergunakan kelincahan serta il-
mu melompat tingginya, Roro Centil melompat dari da-
han ke dahan mengejar dan mencari jejak bocah aneh
itu.
Akhirnya dapat diketahui ke mana larinya bo-
cah hitam itu, yang ternyata menuju ke sebuah bukit.
Diam-diam Roro Centil terus membuntuti hingga sam-
pai ke atas bukit, yang ternyata kemudian lenyap di
balik pohon angsana besar di sekitar makam tua, Ber-
putar-putar Roro Centil mencari kemana lenyapnya si
bocah aneh itu di sekitar makam, namun tetap tak di-
jumpai. Entah kemana lenyapnya si bocah hitam itu.
Terasa keadaan di sekitar tempat itu amat sunyi men-
cekam, membuat tengkuk Roro terasa dingin dan
membangunkan bulu roma. Akhirnya Roro melesat
pergi meninggalkan bukit aneh yang menimbulkan
hawa seram itu. Dan kembali teruskan tujuannya ke
Kota Raja Hingga kemudian berjumpa dengan Senapati
SATRYO. Dan tanpa liku-liku, Roro Centil telah berke
nalan pada laki-laki Perwira Tinggi Kerajaan Masyapati
itu. Tentu saja Roro Centil ceritakan kejadian yang di-
alaminya. Juga tentang kata-kata seorang anak buah
Raden Mas Cucak Ijo yang jadi gila akibat hantaman
bandulan si Rantai Genit-nya Roro Centil. Diam-diam
Senapati Satryo amat bersimpati pada Roro. Apalagi
setelah mengetahui kalau Roro adalah seorang tokoh
Rimba Hijau yang sudah terkenal nama dan julukan-
nya di setiap penjuru. Membuat Senapati Satryo me-
merlukan bantuannya untuk mengatasi kericuhan di
Kota Raja. Karena mengkhawatirkan akan terjadinya
pemberontakan terselubung. Dan berita dari Roro me-
mang telah membuat sang Senapati semakin bercuriga
pada Ki Patih BUNTARAN. Karena selalu mengambil
cara sendiri tanpa diperintah Raja. Bahkan terhadap
dirinya seperti tak memandang mata. Seolah mere-
mehkan bahwa penjagaan ketat yang dipimpinnya ber-
sama para laskar kerajaan tak punya kekuatan apa-
apa.
Kini jelaslah kalau Ki Patih BUNTARAN mau
berkhianat. Bahkan sengaja mempersenjatai diri den-
gan mengumpulkan para tokoh hitam dan kaum Rim-
ba Hijau untuk memperkuat pertahanannya. Tentu sa-
ja. sang Patih mengatakan pengumpulan para tokoh-
tokoh itu, adalah demi menjaga keutuhan Kerajaan
dari bahaya pembunuhan misterius yang tengah terja-
di di Kota Raja. Bahkan yang membuat aneh, adalah
setelah menghilangnya Permaisuri Durgandini, bebe-
rapa pekan kemudian lenyap pula NAWANGSIH, sang
selir Raja, yang baru beberapa hari ini diangkat men-
jadi Permaisuri secara syah, membuat Baginda Raja
Prabu Gurawangsa jadi semakin tenggelam dalam ke-
kalutan.
Hingga secara tak langsung, sang Patih Bunta-
ran lah yang pegang peranan.
Demikianlah singkat cerita dari kisah Roro yang
berlalu di belakang peristiwa ini. Kini Roro tengah ter-
paku menatap pada sang Senapati Satryo yang tengah
tercenung menatap kedua mayat wanita di hadapan-
nya.
"Mayat siapa pulakah ini, sobat Senapati...?".
Tanya Roro. Senapati Satryo membisik lirih. Keduanya
adalah selir dari baginda Raja...!" Baru saja habis uca-
pan sang Senapati, tiba-tiba terdengar suara orang
berteriak.
"Ada keributan....! Ada keributan di seberang
sungai! Lihatlah tengah terjadi pertarungan di sana!"
Berteriak seorang tukang sampan, yang masih
memegang sebuah dayung di bahunya. Tak ayal, Roro
Centil sudah berkelebat untuk melesat ke arah yang
ditunjuk orang itu... Tak lama Roro menjadi dua telah
mengikuti jalannya pertarungan antara si Tiga Petani
Gunung Kumbang dengan si laki-laki berjulukan Setan
Muka Kuning sejak dia menyelinap ke sana. Bahkan
sempat pula sesosok tubuh dipayang di dalam kedai
oleh seorang wanita baju merah yang berusaha meno-
toknya. Tentu saja Roro segera mengenali siapa adanya
laki- laki itu. Yaitu si pemuda jembros yang bernama
Joko Sangit. Roro melihat pula adanya seorang laki-
laki gendut yang diapit oleh dua orang gadis cantik
berbaju merah, yang dengan terburu-buru segera me-
nyelinap ke ruang belakang kedai. Kemudian dilihat-
nya juga si pelayan atau si pemilik kedai itu dengan
tergesa-gesa menutup pintu kedainya. Dan juga den-
gan terburu-buru segera menyelinap ke ruang bela-
kang kedainya. Semua itu Roro perhatikan dari sebuah
jendela kecil yang tak sempat si pelayan kedai itu me-
nutupnya. Sementara Roro sudah palingkan kepala la-
gi untuk menatap ke arah pertarungan. Akan tetapi
tak berapa lama sudah terdengar jeritan maut si Tiga
Petani Gunung Kumbang yang kena serangkaian se-
rangan keji, setelah terlebih dulu si Setan Muka Kun-
ing menghembuskan asap beracunnya dari tongkat
pendek berkepala Tengkorak yang juga bersitkan pu-
luhan jarum berbisa.
***
ENAM
"Hehehehe… Mereka justru harus dibunuh
mampus! Mereka adalah mata-matanya Senapati SA-
TRYO...! Berkata si Setan Muka Kuning, sebagai jawa-
ban atas pertanyaan si Empat Hantu Gunung Cireme.
Melengak keempat tokoh Rimba Hijau itu. Pada saat
itulah terdengar suara bentakan keras, disertai berke-
lebatnya dua sosok tubuh. "Bangsat keparat! Kiranya
kalian begundal-begundalnya Ki Patih Buntaran...!".
Dan sesosok tubuh berjubah telah berada di tempat
itu. Yang tak lain dari Resi Jenggala Manik. Sementara
yang seorang lagi adalah Tangan Kilat adanya. Roro
yang sudah mau turun tangan terpaksa batalkan niat-
nya.
"Heh heh heh...! Selamat jumpa Resi Jenggala
Manik, dan anda si Tangan Kilat!" Berkata Si Setan
Muka Kuning. Tampak wajahnya berubah agak pucat.
Akan tetapi dengan mengumbar tertawa dan
kata-kata, dia telah menutupi rasa terkejutnya..
"Iblis keparat!... Jangan harap kau dapat du-
duk enak di Kerajaan! Aku telah mengetahui
pengkhianatan Patih Buntaran!" Tiba-tiba terdengar
satu suara. Disertai munculnya Senapati Satryo. Ter-
kejut si Setan Muka Kuning, akan tetapi sudah men-
gumbar kembali tertawa nya.
"Heh he he... Senapati gagah! Mengapa tak kau
ratapi dulu kematian istrimu yang sudah kukirim
nyawa nya ke Akhirat, bersama kedua selir Rajamu
itu?"
"Iblis...! Jadi kaulah yang telah melakukan per-
buatan terkutuk itu?". Bentak Senapati Satryo. Dan
tubuhnya sudah berkelebat ke arah si Setan Muka
Kuning, seraya dibarengi dengan ditariknya keluar pe-
dangnya dari pinggang.
WUTIWUT! Dua kilatan pedang menabas ke
arah pinggang dan leher manusia itu. Akan tetapi....
TRANG! Buk! Satu tangkisan dan hantaman telapak
tangan membuat, yang mengenai dada Perwira Tinggi
Kerajaan itu membuat tubuh laki-laki itu terlempar ti-
ga tombak. Akan tetapi di saat Setan Muka Kuning
mau menghantamkan tongkat, dengan berkelebat
memburu sang Senapati Satryo. Akan tetapi Resi
Jenggala Manik mana mau membiarkan muridnya ke-
na dihantam tongkat si Setan Muka Kuning.
WHUUK...! Kakek berjubah putih ini telah ki-
rimkan serangan tenaga dalam ke arah tubuh si Setan
Muka Kuning. Terkejut manusia ini, namun segera
lontarkan tongkatnya disertai mengepulnya uap bera-
cun dari ujung tongkat berkepala tengkorak.
Namun dengan kebutuhan ujung lengan ju-
bahnya, uap beracun telah disampok buyar seketika.
Sementara itu si Empat Hantu Gunung Cireme mas-
ing-masing telah cabut senjata mereka dari balik
punggung. Ternyata adalah empat buah pedang yang
mempunyai gerigi pada kiri kanannya. Pedang ini pun
mengandung racun jahat. Karena sesuai dengan julu-
kan mereka si Empat' Hantu Gunung Cireme. yang da-
tang atas undangan Ki Patih Buntaran. Tentu saja
dengan janji akan mendapat kedudukan istimewa,
atau setidak-tidaknya imbalan yang bukan sedikit bila
usaha pemberontakan itu menemui keberhasilan, Se-
rentak setelah saling memberi isyarat, mereka segera
lakukan pengeroyokan pada Resi Jenggala Manik. Em-
pat pedang beracun segera meluncur dari beberapa
penjuru mengarah ke tubuh sang Resi. Hal demikian
membuat Roro tak dapat tinggal diam. Sekejap dia su-
dah loloskan sepasang Rantai Genit-nya. Dan.... tu-
buhnya sudah berkelebat seraya putarkan senjatanya
yang berdengung bagai ribuan tawon.
Trang! Trang! Trang.,.! Tiga pedang berhasil di
sampok mental. Namun yang sebuah lagi rupanya te-
lah keburu ditangkis oleh sang Resi Jenggala Manik.
Bret! Beruntung hanya lengan jubah kakek itu
saja yang kena terserempet. Terkejut si Empat Hantu
Gunung Cireme melihat kemunculan Roro Centil. Apa
lagi telah berhasil menyampok mental pedang-pedang
beracun mereka. Ternyata orangnya adalah seorang
gadis cantik yang bersenjata aneh mirip sepasang
payudara. Mereka saling memberi isyarat, dan kini
keempat orang itu telah berbalik menerjang Roro. Ada-
pun si Tangan Kilat yang memang telah mengetahui si
dara perkasa itu berada di pihaknya tak segan-segan
segera turut membantu.
"Tahan! Aku si Tangan Kilat harap diberi bagian
menggebuk manusia-manusia panggilan gila pangkat
ini!" Teriaknya, seraya menerjang maju. Kedua lengan-
nya adalah senjata andalannya. Karena bisa di pergu-
nakan menabas tubuh lawan menjadi dua potong BET!
BET! BET! WHUT... DUK! Tiga hantaman telah dilan-
carkan memapaki serangan Tiga di antara si Empat
Hantu Gunung Cireme itu, seraya mengelakkan seran-
gan. Akan tetapi tak urung perutnya kena dihantam
oleh tendangan orang keempat. Membuat dia menga-
duh, dan terlempar bergulingan. Pada saat itulah si Se-
tan Muka Kuning yang tengah bertarung dengan Resi
Jenggala Manik lancarkan serangan tiba-tiba, menge-
prak kepala si Tangan Kilat. Untung Ki Jenggal Manik
cepat mengirim serangan telapak tangannya hingga se-
rangan itu mencong ke sisi. Tapi tak dinyana belasan
jarum berbisa telah terlebih dulu meluruk ke tubuh
Tangan Kilat. Hingga tak ampun laki-laki dari Lembah
Tengkorak itu menjerit ngeri. Tubuhnya berkelojotan,
lalu tewas dengan seluruh kulit tubuh berubah hitam.
"Manusia laknat!" Membentak sang Senapati
Satryo. Seraya lakukan serangan dari belakang pung-
gung si Setan Muka Kuning. Akan tetapi lagi-lagi dia
harus menghindar dari asap beracun yang dikebutkan
ke arahnya.
"Mundurlah muridku! Biar aku yang memberi
hajaran manusia andalan Ki Patih Buntaran ini!" Ber-
bareng dengan kata-katanya tubuh Resi Jenggala Ma-
nik telah berkelebatan bagaikan bayangan putih, yang
berada di simpang siurnya asap beracun. Namun...
PRAKK...! Lengan sang Resi telah berhasil membuat
kepala tongkat beracun itu hancur terkena pukulan
tenaga dalamnya yang dahsyat. Dan saat berikutnya
laki-laki berpakaian serba kuning itu telah keluarkan
teriakan ngeri, karena satu hantaman lagi membuat
kepalanya seketika rengat.
Kini ganti si Setan Muka kuning yang berkelojo-
tan, berteriak-teriak meregang nyawa. Dan pada saat
itulah tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh hitam yang
mencengkeram perutnya. BRROLLL...! Menggeliat si
Setan Muka Kuning. Lalu sekejap kemudian tewas.
Terkejut sang Resi maupun Senapati Satryo. Sesosok
tubuh hitam itu adalah seorang bocah kecil berkulit hi-
tam yang kini menata keduanya dengan sepasang ma-
ta mendelik liar., Kedua lengannya bersimbahkan da-
rah. Adapun Roro Centil agak terkejut melihat datang-
nya makhluk kecil itu, karena mengingatkan pada peristiwa belakangan, ketika dia menemukan sepasang
senjatanya berada pada bocah hitam itu. Namun ke-
sempatan itu rupanya telah dipergunakan keempat
Hantu Gunung Cireme itu untuk melesat kabur. Bu-
kan main mendongkolnya Roro. Tiba-tiba lengannya
telah meraih segenggam batu kerikil. Dan... SERRR...!
Belum lagi jauh si Empat Hantu Gunung Cireme itu,
telah terdengar suara teriakan paraunya. Tubuh
keempat orang itu jatuh ngusruk, untuk segera berke-
lojotan. Namun tak lama sudah menggeliat untuk se-
gera lepaskan nyawa. Karena masing-masing pung-
gung dan lehernya telah tertembus batu-batu kerikil
yang dilontarkan Roro, yang langsung membawa nya-
wanya ke akhirat.
BRET..! Tahu-tahu si bocah hitam itu sudah
menyerang sang Resi Jenggala Manik, yang jadi terke-
jut. Kelitan tubuhnya tak berhasil dihindarkan. Karena
bahunya sudah kena dicengkeram kuku si bocah hi-
tam itu, hingga jubahnya robek sampai melukai kulit
pundaknya. Terperangah sang Resi dan Roro maupun
Senapati Satryo. Sang Senapati ini sudah melompat ke
hadapan gurunya.
"Awas! Hati-hati sobat Senapati! Biar aku yang
menghadapi!" Teriak Roro. Dan tubuhnya sudah berke-
lebat ke arah bocah aneh itu.
"He!? Siapakah namamu, anak kecil? Siapa
ibumu... dan siapa ayahmu?" tanya Roro. Ini adalah
pertanyaan yang kedua kali dilakukannya sejak Roro
menemukan bocah hitam itu. Akan tetapi jangankan
menyahut, mendesis pun tidak bocah hitam ini. Cuma
sepasang matanya saja yang mendelik menatap Roro
Centil. Terutama pada senjata sepasang Rantai Genit
di tangan sang Pendekar wanita itu. Pada saat itulah
berkelebat sesosok tubuh disertai suara tertawa yang
mencekam hati. Dan diiringi munculnya sesosok tubuh
wanita yang berambut beriapan.
"Hihihi... hihi... anakku! Ke sinilah sayang!"
ujar wanita berambut beriapan itu. Terkejutlah sang
Senapati karena mengetahui wanita itu adalah DUR-
GANDINI, alias permaisuri Baginda Raja Kerajaan Mat-
syapati, yaitu Prabu Gurawangsa. Yang membuat aneh
adalah wanita itu menyebut anak pada si bocah hitam
itu. Sekali berkelebat, si bocah hitam itu sudah men-
dekati Durgandini.
Apakah sebenarnya yang terjadi dengan Dur-
gandini? Mengapa secepat itu telah mempunyai seo-
rang anak yang ditaksir berusia sekitar lima enam ta-
hun?
Kiranya sudah menjadi kenyataan bagi Dur-
gandini, yang harus segera melahirkan dalam waktu
yang amat singkat. Cuma beberapa pekan saja dia
mengandung. Dan tiga-empat hari kemudian selisih-
nya sejak lenyapnya NAWANGSIH, sang selir yang su-
dah diresmikan sebagai Permaisuri Raja, Durgandini
telah melahirkan seorang bayi aneh. Karena keluarnya
dengan bentuk asap, yang kemudian menjelma menja-
di seorang bocah berkulit hitam, namun mirip seperti
bocah yang berusia lima-enam tahun.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, di
mana ketika kepala TRI AGNI yang putus telah me-
layang dari Lembah Tengkorak, kembali ke bukit Ma-
kam Tua. Lalu masuk ke dalam tubuh Durgandini dan
bersenyawa dengan sang anak perempuannya itu. Saat
itulah Durgandini telah kemasukan segala kesaktian
yang dipunyai Tri Agni ibunya. Dan Ajian DASA JIWA
dengan sendirinya berpindah padanya. Durgandini
langsung merasakan dirinya mengidam. Akan tetapi
mengidamnya adalah keinginannya untuk menghirup
darah manusia. Demikianlah, ketika itu juga tubuhnya
berkelebat untuk mencari darah. Dan seorang petani
menjadi korbannya, yang dibunuhnya di tengah sa-
wah. Lalu dihisap darahnya.
Demikianlah, beberapa hari selanjutnya Dur-
gandini selalu mencari korban penduduk desa yang di-
lakukan dengan sembunyi-sembunyi. Hingga selang
beberapa pekan kemudian perutnya semakin membe-
sar. Walaupun Durgandini amat heran karena baru
berjalan mengidam selama tiga hari, tahu-tahu keeso-
kan hari di hari keempat, perutnya sudah kelihatan
menggembung kecil. Semakin hari semakin membesar.
Dan selama itu Durgandini selalu menyantap makanan
yang sudah tidak asing lagi baginya. Tentu saja setelah
membunuhnya, terlebih dulu mengambil sejumput
jantung dan paru-paru. Bila sudah berhasil mencuri,
tentu sisa-sisa tubuh bayi yang sebagian sudah ber-
pindah dalam perutnya itu, dilemparkan wanita itu
dimana saja. Hingga tak jarang di setiap tempat ba-
nyak ditemukan mayat-mayat bayi yang sudah tidak
utuh lagi. Hal mana membuat penduduk di beberapa
tempat jadi ketakutan. Berita adanya makhluk pema-
kan daging manusia dan peminum darah telah terse-
bar ke desa-desa terdekat. Terutama berita itu dibawa
dari desa asal kejadian, yaitu desa dimana adanya seo-
rang jagoan desa bernama Bendot. Namun beberapa
pekan sejak Bendot dan beberapa kawannya mencari
jejak si pembunuh keluarga seorang penduduk desa,
Bendot dan kawan-kawannya tak pernah muncul lagi.
Tentu saja membuat para keluarganya menjadi resah.
Penduduk nekat mencari mereka. Pencarian yang be-
lum tentu membawa hasil bahkan ketika mereka yang
dipimpin oleh kepala desa itu berangkat, desa Lamtoro
telah kemasukan manusia-manusia begundalnya Ra-
den Mas Cucak Ijo. Seperti diketahui Raden Mas Cu-
cak Ijo itu adalah manusia cecunguk yang jadi orang
kepercayaannya Ki Patih Buntaran.
Manusia-manusia bejat itu enak saja melaku-
kan pemerkosaan para wanita di desa yang hampir ko-
song itu. Bahkan rumah kepala desa dijadikan tempat
"pertarungan" di atas pusar dan tubuh-tubuh mulus
sang perawan desa. Seperti telah diceritakan, Roro
Centil telah mengamuk di dalam rumah panggung mi-
lik kepala Desa itu. Dan melenyapkan nyawa belasan
manusia bejat yang tengah berpesta-pora dengan sega-
la kebrutalannya.
Beberapa pekan kemudian perut Durgandini
semakin besar. Dan akhirnya pada suatu malam yang
mencekam. Rembulan tak menampakkan diri. Angin
membersit keras disertai hawa dingin yang menusuk
ke tulang sumsum. Durgandini berjalan tertatih-tatih
di malam gelap itu. Sementara di angkasa berkali-kali
membersit ,cahaya kilat menyibak gelapnya malam.
Tenaga Durgandini entah mengapa seperti hilang le-
nyap.
"Oh, aku harus cepat tiba di Makam Tua..!"
gumam Durgandini. Sementara dia tengah melangkah
terhuyung melewati satu kebun jagung milik seorang
petani. Perutnya terasa semakin mulas. Dan tubuhnya
gemetaran, disertai hawa panas yang bergolak di da-
lam perutnya. Apakah bayiku akan segera lahir? Ber-
kata Durgandini dalam hatinya. Wanita ini mencoba
mengerahkan kekuatan pada kakinya untuk berjalan
lebih cepat,
atau kalau mungkin mengerahkan tenaga un-
tuk melesat dengan ilmu kesaktian yang telah dimili-
kinya. Akan tetapi tenaganya memang telah punah.
Dia cuma bisa melangkah dengan kaki tersaruk-saruk
dan tubuh terhuyung.
Dalam pada itulah Durgandini mendengar sua-
ra-suara mendekati ke arahnya. Dan puluhan obor se-
gera menyala, diiringi dengan tersembulnya beberapa
sosok tubuh yang segera mengurungnya dengan senja-
ta-senjata terhunus. Kiranya mereka adalah orang-
orang desa yang telah lama mengincarnya. Karena
lambat laun toh diketahui juga kalau banyaknya terja-
di bayi-bayi yang hilang, yang mendapatkan sudah
mati dengan keadaan tubuh sudah tidak utuh lagi,
adalah perbuatan seorang wanita hamil yang gen-
tayangan ke beberapa desa.
"Kau tak dapat lagi melarikan diri, wanita se-
tan..!w bentak salah seorang yang tiba-tiba melompat
ke arah depan.
"Oh, apa salahku..?" bela Durgandini. Padahal
hatinya berdebaran keras, karena dia merasa telah tak
berdaya. Bahkan telah berkali-kali dipanggilnya sang
ibu yang telah menyusup sukmanya ke dalam tubuh-
nya, akan tetapi tak ada tanda-tanda sang ibu menya-
huti kata-katanya.
"Bedebah! Aku lihat sendiri kau menculik seo-
rang bayi, ketika bertamu ke rumah pak Suko! Bukan-
kah kau menumpang menginap di rumah Carik Desa
itu? Pak Suko yang kasihan melihat wanita hamil ber-
jalan sendirian di sisi desa untuk pulang ke rumahnya
yang jauh, segera mempersilahkan kau menginap! Dan
tidur dengan istri pak Carik! Tapi paginya kedapatan
istri Pak Suko telah mati! Dan bayinya lenyap! Malam
itu aku meronda sampai pagi! Dan aku memergoki kau
si wanita setan tengah memakan mayat bayi itu..!"
berkata laki-laki bertubuh jangkung itu, yang bernama
Sentul. Memang dialah yang telah memergoki Durgan-
dini ketika tengah menyantap makanan yang sudah
menjadi santapannya kebiasaannya itu. Seketika pucat
piaslah wajah Durgandini.
"Bunuh saja...! Sudah, jangan banyak buang
waktu, cincang sampai lumat"! teriak salah seorang
yang sudah tak sabar lagi.
"Ya! Bunuh! Jelas dia bukan manusia...!" teriak
seorang lagi yang kain sarungnya kedodoran. "Tapi,
kakinya kenapa menginjak tanah! Tuh, lihat...!" "gi-
tuan"nya anakmu yang sering nongkrong di pinggir
kebun masih jelas terbawa di kakinya!" berbisik seseo-
rang pada kawannya. Segera menyahut seorang yang
pipinya tembam. "Iya, ya... Tapi kalau manusia men-
gapa doyan makan daging bayi...? Hiii... perempuan ini
jelas sebangsa si... siluman...!? eh, ssi..."
"Si Mulan sih keponakanku, monyong...!? Kalau
yang ini adalah SILUMAN!" menjelaskan kawannya
yang bermata juling. "Oh, ya... si Mulan" kata si pipi
tembam. Tapi dilihatnya si mata juling justru nyengir-
kan mulutnya. Seraya ujarnya.
"Si... lu... man! Begitu monyong! yang barusan
salah kau menyebutkan!"
"Ya, ya... sekarang aku tahu! Jadi jelasnya dia
ini wanita Si.. lu.. man yang gentayangan cari korban?"
kata si pipi tembam, seraya menatap pada kawannya
agak ragu-ragu takut kalau sebutannya salah di
ucapkan.
Mendelik mata si laki-laki mata juling, dan se-
gera menyambar berkata lagi.
"Bodoh! Lagi-lagi salah menyebutnya! Si.. Mu-
lan! Begitu yang betul! Masakan menyebut si.. mat..
mul.. ng.. uud..? Simalmulan."
"Ya, ya... terserah kamulah!?" ujar si pipi tem-
bam yang sudah mengaku bodoh. Karena mendadak
kepalanya jadi pusing memikirkan sebutan itu. Semen-
tara salah seorang di depannya telah mengangkat go-
lok tinggi-tinggi untuk menebas kepala Durgandini.
Akan tetapi diantara rombongan itu ada yang berteriak
mencegah.
"Jangan dibunuh dulu! Siapa tahu dia manusia
biasa. Sebaiknya ditangkap saja! Dan kita bawa ke Kota Raja! Siapa tahu dialah penyebab kerusuhan di sa-
na! Selain kita berhasil meringkus wanita keji ini, kita
juga bakal dapat penghargaan dari pihak kerajaan!"
"Benar! Kita antarkan ke rumah Tumenggung
Ki Meranggi! Aku tahu rumahnya!" berkata salah seo-
rang lagi yang wajahnya cemong kena asap obor. Akan
tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa mengikik
menyeramkan. Muncullah seorang nenek-nenek bong-
kok, yang tahu-tahu sudah berkelebat menyambar tu-
buh Durgandini. Dan membawanya berkelebat lari.
Tentu saja mereka terkejut bukan main, dan serentak
segera mengejar. Beberapa batang tombak sudah me-
luncur deras ke belakang punggung si nenek bungkuk
itu. Akan tetapi dengan sebat si nenek bungkuk sudah
melesat ke arah hutan, lalu lenyap di kegelapan ma-
lam.
Demikianlah, Durgandini malam itu melahirkan
bayinya dengan didukuni si nenek bongkok itu. Dan
melahirkan bayi aneh, yang keluar dari dalam rahim
adalah darah yang berbau busuk dan asap hitam yang
mengepul. Lalu menjelma jadi seorang bocah yang ber-
kulit hitam. Demikianlah, ketika beberapa hari kemu-
dian Roro menjumpai si bocah hitam itu tengah me-
mainkan sepasang senjatanya si Rantai Genit, yang
kemudian dirampas kembali oleh Roro. Dan ketika di-
kejar, bocah hitam itu lenyap di atas bukit dimana ter-
dapat Makam Tua. Mengenai si nenek bongkok itu te-
lah lenyap lagi entah ke mana, setelah memberikan
"mainan" aneh itu pada si bocah hitam anak Durgan-
dini.
"Durgandini...!?" sentak Resi Jenggala Manik.
Akan tetapi tiba-tiba sang Resi sudah membentak ke-
ras. "Nini BLENGOH...! Iblis siluman bongkok Gunung
Setan! Kiranya kau..!" Dan... WHHUKKK..! Sang Resi
telah menerjangnya dengan angin pukulan keras. Segelombang angin panas menerjang Durgandini. Ada-
pun Durgandini cuma mengikik tertawa, seraya me-
mapaki serangan sang Resi.
BUNGGH..! Dua tenaga dalam hebat yang amat
tinggi telah sating beradu dengan timbulkan hawa pa-
nas dan suara berdentum keras. Tampak sang Resi
terhuyung delapan tindak. Sedangkan Durgandini me-
nyurut ke belakang lima-enam tindak. Akan tetapi se-
kejap tubuh Durgandini telah berubah menjadi si Ne-
nek Bongkok yang pernah menawan Roro Centil den-
gan tali jerat gaib, dan membelenggunya di kerangkeng
gaib di dalam goa. Terkejut seketika Roro Centil. Ada-
pun Senapati Satryo jadi belalakkan sepasang ma-
tanya.
"Hah!? teriak Senapati Satryo.
"Hihihik.. hik hik hik... Satryo! Satryo..! Dur-
gandini sudah mampus. Setelah melahirkan bayi silu-
man ini! Bahkan Ilmu DASA JIWA milik ibunya kini te-
lah berpindah pada bocah ini! Hihihi... dia adalah bo-
cah andalanku, karena aku telah menguasainya...!"
berkata si Nenek Bongkok alias Nini BLENGOH itu.
Terkejut Senapati Satryo. Juga Sang Resi Jeng-
gala Manik maupun Roro Centil. Roro memang sudah
mendengar adanya Ilmu DASA JIWA yang dimiliki seo-
rang wanita pada puluhan tahun yang silam bernama
TRI AGNI. Tapi dia tak menyangka kalau ilmu itu be-
rada pada Permaisuri yang lenyap pertama kali itu,
yaitu Durgandini. Bahkan menurut si Durgandini pal-
su, kini Ilmu Dasa Jiwa telah berpindah pada tubuh si
bocah hitam, yang ternyata adalah anak Durgandini.
Roro yang mengetahui dari Senapati Satryo akan man-
dulnya Permaisuri Durgandini, jadi terkejut, karena
Durgandini telah melahirkan bayi, alias si bocah hitam
itu Sedangkan orangnya sendiri menurut si nenek
Bongkok telah tewas sejak melahirkan bayinya."Mengapa begitu cepat?" desis Roro. Tak masuk
akal di benak Roro Centil. Karena diketahuinya dari
Senapati Satryo, kalau Durgandini baru beberapa pe-
kan ini lenyap dari istana. Begitupun dengan Satryo
dan Resi Jenggala Manik, yang tahu betul pada Dur-
gandini. Akan tetapi memang tak ada kesempatan un-
tuk mencari bukti bahwa bocah itu anak Durgandini.
Karena tiba-tiba si nenek Bongkok telah menerjang
dengan pukulan lengannya. Seraya berujar pada bocah
hitam. "Hihihik... bikin mampus mereka, cucuku!" ten-
tu saja Resi Jenggala Manik harus hati-hati mengha-
dapi si nenek bongkok, yang sudah jelas bertenaga da-
lam di atasnya. Namun Resi Jenggala Manik pun bu-
kan tokoh Rimba Persilatan golongan rendah. Ilmu ba-
thin yang dimiliki telah sedemikian tinggi, hingga tak
berhasil si nenek bongkok menipu pandangan matanya
dengan tubuh Durgandini.
Adapun Roro Centil segera berkelit ketika tahu-
tahu si bocah siluman itu menerjangnya. Senapati Sa-
tryo tabaskan pedangnya. CRAS...! CRAS...! CRAS...!
Gerakan kejutan yang dilancarkannya membawa hasil
secara cepat dan memuaskan. Tubuh si bocah siluman
itu terpental jadi tiga potong Roro juga agak terkejut,
karena tak menyangka Senapati Satryo bertindak ce-
pat dengan melompat ke samping. Mengirim serangan
pedangnya dengan gerakan kilat. Potongan tubuh si
anak hitam jatuh berdebuk di tanah. Akan tetapi se-
lang sekejap Roro dan Sang Senapati jadi belalakkan
matanya. Karena bukannya ketiga potongan tubuh itu
menyambung lagi, akan tetapi tiga potongan tubuh itu
berubah menjadi tiga tubuh bocah hitam. Hingga kini
di hadapan mereka ada tiga orang bocah siluman yang
menatap tajam dengan tiga pasang matanya yang ber-
kilatan. Terperangah Roro Centil. Seumur hidupnya
baru mengetahui ada tiga potong tubuh yang telah putus bisa menjelma lagi. "Bocah Iblis...!" bentak Roro
Centil. Dan senjata Rantai Genitnya berkelebat... Akan
tetapi sudah terdengar satu bentakan keras.
***
TUJUH
Sementara kita beralih pada si Dewa Linglung,
yang sudah jatuhkan pantatnya di atas kasur empuk.
Bahkan beberapa kali dia gerak-gerakkan tubuhnya
hingga mumbul-mumbul di kasur kapuk bertilam kain
sprei merah jambu. Pembaringan yang berbau harum
semerbak kembang Melati.
"Heeii! Nona-nona pelayan! Mana pakaian
pengganti untukku?" bentak si Dewa Linglung. Karena
sejak tadi ditunggu-tunggu di kamar Pesanggrahan itu,
tak juga muncul satu pun dari, enam pelayan baju me-
rah yang tadi mengantarkan ke tempat mandi. Tubuh
pemuda ini hanya terbungkus kain selimut saja. Dan
dalam kamar itu tak ada sebuah pun lemari pakaian.
Buntalan pakaiannya yang berisi dua stel pakaian ko-
tor yang sudah bau itu pun entah di mana adanya. Se-
dangkan baju yang tadi dipakai sudah dibawa oleh pe-
layan baju merah untuk direndam. Kesal si Dewa Lin-
glung menanti sekian lama tak ada orang yang mun-
cul. Dasar pemuda linglung, sampai-sampai dia tak
tahu di mana dia telah menaruh pedangnya. Kini si
pemuda yang boleh dikatakan tolol itu cuma bisa non-
gkrong di pembaringan menunggu sang pelayan datang
bawakan pakaian salin untuknya. Ketika hampir habis
kesabarannya, tiba-tiba pintu kamar Pesanggrahan
terbuka berderit. Dan yang muncul bukannya para pe-
layan, baju merah, akan tetapi si dara cantik baju hijau... Tertegun si pemuda itu. Karena si dara baju hi-
jau setelah rapatkan pintu kamar, segera loloskan pa-
kaiannya.
"Kau... kau ... bukankah mau mandi...?" tanya
si Dewa Linglung.
"Ya...! tentu saja Dewa ku yang gagah perka-
sa...! Aii..? hari rupanya sudah menjelang malam! Se-
gera akan ku ambilkan pakaianmu...!". Menyahuti si
dara, yang segera menyambar handuk. Dan tak lama
segera melangkah berlenggang keluar pintu kamar
yang barusan dibukanya. Wajahnya masih sempat
berpaling. Dan sepasang matanya berikan kerlingan
genit pada si Dewa Linglung. Sedang sang bibir mungil
itu telah sunggingkan senyum penuh arti. Senyum
yang mengandung madu, namun madu itupun men-
gandung pula racun.
Pesanggrahan itu telah dikepung ketat oleh
laskar Kerajaan di bawah pimpinan Senapati Satryo
dan Tumenggung Ki Meranggi. Beberapa pentolan
kaum golongan hitam berhasil ditumpas, yang se-
dianya akan dipergunakan Ki Patih Butaran untuk
niatnya memberontak merebut kerajaan Matsyapati.
Akan tetapi diluar dugaan sarang komplotan Ki Patih
Buntaran telah dicium jejaknya oleh beberapa tokoh
golongan putih yang berpihak pada Kerajaan. Ternyata
diantara para tokoh itu terdapat juga Ki Jagur Wehd-
ha, guru Joko Sangit. Tentu saja si laki-laki itu kena
damprat habis-habisan oleh gurunya. Yang sudah tak
mempunyai kaki lagi. Akan tetapi tokoh yang bergelar
Pendekar Gentayangan itu masih hebat luar biasa, wa-
lau usianya telah lebih dari 100 tahun.
Sementara itu para gadis baju merah segera di
tawan. Dan Ki Patih Buntaran tak bisa berkutik lagi
menyerahkan diri. Ternyata otak dari pembunuhan-
pembunuhan keji itu adalah akibat dari ulah perbuatannya, yang dibantu oleh tokoh-tokoh kaum Rimba
Hijau dari golongan hitam. Sementara itu pertarungan
seru melawan bocah siluman ternyata dapat segera be-
rakhir dengan munculnya sang guru Roro Centil. Alas
si manusia BANCI. Alias si Manusia Aneh Pantai Sela-
tan. Namun kemunculannya tetaplah menjadi teka-teki
bagi Roro. dan bagi semua kaum Rimba Hijau. Karena
menurut berita yang tersebar, adalah wanita Banci itu
telah tewas oleh ketiga istri si Dewa Tengkorak di sa-
rangnya sendiri... Roro Centil walaupun bergirang,
namun juga bersedih. Karena tak dapat bertemu muka
dengan gurunya. Kemunculan "wanita" kosen itu cuma
kelebatan tubuhnya saja, dan suara bisikan pada te-
linga Roro agar dengan tekun terus memperdalam il-
munya. Karena bertambah banyak tokoh-tokoh kosen
dari golongan hitam yang terus bermunculan. Adalah
menjadi tugas kewajibannya menegakkan keadilan dan
kedamaian di atas jagat ini.
Cuma ada satu hal. Yaitu ke manakah lenyap-
nya Nawangsih, selir Baginda Raja Prabu Gurawangsa
itu? Mungkin anda pernah mendengar nama GIRI
MAYANG? Dialah orangnya. Wanita itu bisa membuat
perutnya menjadi gembung seperti mengandung tiga
bulan atau lebih. Dia telah melenyapkan diri karena
mengetahui kemunculan Roro Centil. Giri Mayang
mempunyai dendam sakit hati pada Roro sedalam lau-
tan. Namun belum masanya untuk dia bertarung me-
lawan si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Dan dia
melenyapkan diri dalam keadaan kerajaan menjadi ga-
duh. Namun dia sudah rasakan nikmatnya menjadi
seorang permaisuri Raja.
***
Adapun si pemuda tolol yang digelari si DEWA
LINGLUNG itu tahu-tahu sudah lenyap dari kamar Pe-
sanggrahan. Dia tak akan pernah tahu kalau wanita
baju hijau itu adalah Giri Mayang. Dan tak akan per-
nah tahu kalau wanita baju hijau
itu adalah NAWANGSIH. Karena orangnya su-
dah melenyapkan diri, menghilang tak tentu rimbanya.
Ketika panas terik kembali membakar bumi,
tampak pemuda itu tengah berjalan dengan tubuh
sempoyongan. Dan anehnya dia sudah tak menyan-
dang lagi pedang dan buntalannya. Karena dia me-
mang sudah linglung lagi, tak tahu kalau pedangnya
sudah lenyap. Melewati satu lembah yang berumput
tebal, sesosok tubuh telah berkelebat melompat,
menghadangnya. Kiranya Roro Centil.
"Eh!? Kau... kau... bukankah GINANJAR...?"
tanya Roro dengan wajah kaget, dan girang. Ginanjar
adalah saudara seperguruan Roro Centil, yang telah
dikenalnya sejak Roro berguru pada si Maling Sakti
alias Jarot Suradilaga, di lereng gunung Rogojemban-
gan. Dan Ginanjar adalah murid mertuanya Jarot,
yang juga gurunya si Maling Sakti itu. Jadi boleh dibi-
lang masih satu saudara seperguruan. Namun Roro
Centil memang banyak mengalami peristiwa dan pen-
galaman hidup hingga sejak berpisah sudah mempu-
nyai bayang guru terutama si Manusia Aneh Pantai Se-
latan alias si Manusia Band. Bahkan pernah menjadi
murid paderi asal Nepal bernama Paderi Jayeng Rana
di lereng gunung Wilis. Mengetahui ada gadis cantik
mencegat di hadapannya dan memanggil dengan sebu-
tan nama yang terasa asing baginya itu, membuat dia
tetap wajah orang lekat-lekat.
"Hahaha... apakah namaku Ginanjar, aku sen-
diripun tak ingat! Tapi wajah nona seperti kukenal! Ya,
wajah itu sering berada dalam mimpi ku...! Kau me-
mang gadis satu-satunya yang kucintai di Dunia ini.
Tak aku tak tahu lagi namamu! Eh, nona cantik, keka-
sihku ,! Juwita ku...! Sebutkanlah siapa namamu,
atau... ya, gelarmu pun boleh! Tapi Oh, sebaiknya dua-
duanya! Namamu dan gelarnya sekaligus! Haha...
hehe... hehe... baru aku puas!" ujar si pemuda linglung
itu.
Terkejut seketika Roro Centil. Jelas sudah tak
mungkin salah, kalau pemuda ini adalah Ginanjar.
Akan tetapi mengapa kelakuannya jadi sedemikian
aneh? Apakah yang terjadi? Pemuda itu sudah tak in-
gat akan dirinya sendiri. Dan tak lagi mengenali siapa
gadis di hadapannya. Namun ingat kalau wajah di ha-
dapannya sering muncul di alam mimpi. Roro terpe-
rangah seperti tak percaya.
"Ginanjar...! sadarlah, aku.. aku RORO! Aku
Roro Centil! Masakah kau tak ingat aku? Aku dijuluki
orang si Pendekar wanita Pantai Selatan! Aku RORO.!.!
aku RORO...!" berkali-kali Roro Centil menyebutkan
nama dirinya. Akan tetapi si Pemuda sudah benar-
benar linglung. Dia tampak tercenung lama, memikir.
"Rorro,..?" ucapnya dengan lidah terasa aneh
untuk mengucapkannya.
"Apakah benar kekasihku yang dulu itu berna-
ma... RO...RO...?" gumannya sendiri, Akhirnya si pe-
muda itu berkata, seperti mengeluh.
"Entahlah! Aku tak mampu mengingatnya lagi!"
ucapnya. Terkejut Roro Centil. Diam-diam Roro geli ju-
ga, akan tetapi memang lebih banyak anehnya. Justru
Roro sendiri tak menyadari kalau dirinya juga terma-
suk orang yang aneh. Tiba-tiba Roro Centil tertawa
mengikik geli, bahkan terpingkal-pingkal.
"Hihih...hih...hihihi... Mengapa kau jadi lin-
glung begini?"
"Hei!? baru kuingat...aku...akulah si DEWA
LINGLUNG! Ya, aku dijuluki demikian oleh orang Rimba Persilatan!" Tentu saja membuat Roro hentikan ter-
tawanya. Sepasang matanya menatap tajam-tajam pa-
da pemuda itu. Tapi kini sepasang mata itu telah ber-
kaca-kaca. Sebentar lagi tentu akan turun mengalir air
bening dari kelopak mata gadis Pendekar ini, kalau tak
buru-buru dia palingkan wajahnya.
Namun sebelum air mata itu turun, tubuh sang
dara itu sudah berkelebat lenyap dari hadapan si Dewa
Linglung. Saat itu rupanya barulah membuat si pemu-
da tersadar. Dan mendadak ingatannya pulih. Sayang
dia sudah kehilangan jejak orang yang selalu dirin-
duinya itu, namun lupa namanya. Akhirnya dia balik-
kan tubuh mengejar, seraya terdengar suara teriakan-
nya.
"ROROOO...! ROROOOOOOOOO...!” suaranya
terdengar berkumandang ke setiap penjuru. Akan te-
tapi Roro Centil sudah berkelebat jauh sekali. Dan di-
antara desah angin ketika tubuhnya berlari, air mata
gadis itu pun sudah menitik terbang terbawa angin.
Masih terdengar si Dewa Linglung.
"Rorooooooooo...! Aku mencintaimu...! aku
mencintaimu....!" aku mencintaimu.....!" Namun suara
teriakan pemuda itu pun lenyap juga akhirnya. Dan
Roro Centil cuma bisa menghela napas. Sementara ha-
tinya berbisik. Roro! Entah kapan kau mau mencintai
seorang laki-laki? Dan dari relung hatinya yang paling
dalam ada jawaban. Entahlah! Mungkin 10 tahun lagi,
mungkin juga 100 tahun, atau mungkin juga 1000 ta-
hun lagi, aku tak tahu: Ya, aku memang tak mengeta-
hui.....
Tapi ada satu bisikan dari hati yang sadar, na-
mun begitu trenyuh...
"Dewa Linglung...! ah, betapa malangnya nasib mu..."
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar