SATU
“RORO CENTIL...! Jangan harap kau dapat me-
loloskan diri dari tangan kami!" Terdengar bentakan
keras yang diiringi dengan berlompatannya sosok-
sosok tubuh dari balik candi.
"Aliii...!? apakah gerangan kesalahanku? tak
hujan tak angin tahu-tahu kalian datang dan muncul
mau membunuhku...! hm, siapakah kalian?" Roro Cen-
til menatapkan pandangannya satu persatu pada em-
pat orang di hadapannya. Ternyata mereka adalah tiga
orang wanita yang masih tampak muda-muda. Berpa-
kaian singsat. Rata-rata mengenakan baju berwarna
ungu. Dan masing-masing lengan kanannya mencekal
senjata gaetan yang amat runcing. Wajah-wajah mere-
ka menampilkan dendam permusuhan yang amat da-
lam terhadap Roro. Entah dendam apakah gerangan,
karena Roro sendiri memang merasa tak mempunyai
kesalahan terhadapnya.
"Heh! kiranya pendekar wanita yang punya na-
ma besar seperti anda mempunyai akhlak rendah!"
Membentak salah seorang yang berwajah paling cantik
diantara keempatnya. "Kami adalah murid dari pergu-
ruan Taring Naga Putih!" Nah, sebulan yang lalu anda
muncul di perguruan kami. Kami dari Perguruan Naga
Putih amat mengagumi anda dan telah mendengar ten-
tang sepak terjang serta kehebatan anda dalam hal
membela kebenaran, akan tetapi.... perbuatan anda
menculik serta membunuh kakak seperguruan kami
benar-benar keterlaluan! Seharusnya kamilah yang
bertanya, apakah tingkah laku semacam itu adalah
perbuatan seorang pendekar...?"
Terkejut Roro Centil bukan kepalang. Alisnya
mencuat naik. Sepasang matanya membelalak karena
dia merasa tak pernah melakukan hal itu. Mendengar
adanya perguruan Taring Naga Putih pun baru men-
dengarnya. Akan tetapi Roro tak sempat untuk bicara,
karena sudah terdengar bentakan salah seorang yang
berwajah mirip laki-laki.
“Kakak Parmi...! biarlah aku yang mewakilkan
mu mengirim nyawanya ke Neraka! Pendekar Wanita
berakhlak bejat ini sudah selayaknya mampus!
SREK! Gadis ini sudah mencabut sebuah lagi
senjata gaetannya dari belakang punggung, dan maju
dua tindak ke hadapan Roro. Melihat demikian salah
seorang kawannya tak mau tinggal diam.
"Eh, jangan serakah kakak Sri Kendil! tangan-
ku sudah gatal untuk menghajarnya! perempuan bejat
macam begini tak perlu dibunuh secara cepat, akan te-
tapi kematian secara pelahan yang lebih baik! hm,
maksudku di bunuh pelan-pelan...!" Melangkah pula
dua tindak gadis berambut kepang, yang bertampang
galak ini.
“Aiii...! sabar dulu adik-adik manis...! aku me-
rasa tak melakukan hal demikian. Jangan-jangan ka-
lian salah terka...!" Berkata Roro sambil tersenyum.
Akan tetapi hatinya diam-diam mengeluh. "Celaka! ini
pasti ulah perbuatan si Giri Mayang keparat itu. Siapa
lagi kalau bukan dia yang telah menyebar kericuhan
dengan menyamar sebagai diriku!"
“Bedebah...! seumur hidup baru kujumpai seo-
rang pendekar bermuka dua! jelas-jelas aku lihat den-
gan mata kepala sendiri, kau menculik kakak sepergu-
ruanku mengapa kini kau mungkir?" Teriak Parmi se-
raya maju melompat.
"Ah ah...! tampaknya kau amat menyayangi ka-
kak seperguruanmu itu! Kulihat di matamu ada sema-
cam sinar yang berbeda dengan sinar mata kedua
adikmu. Kakak seperguruan kalian itu pasti seorang
laki-laki yang gagah dan berwajah tampan. Dan... kau
sudah jatuh cinta setengah mati padanya bukan?"
Berkata Roro dengan tersenyum sambil menunjuk ke
arah Parmi. Gadis ini memang lain dari dua gadis itu,
karena Roro dapat melihat ada setitik air bening dis-
udut mata Parmi. Semakin berkaca-kacalah sepasang
mata gadis ini. Akan tetapi dia telah membentak gusar.
"Perempuan bejat! aku akan adu jiwa dengan-
mu...!" Dan senjata gaetannya telah dicabut lagi keluar
lagi dari belakang punggung. Selanjutnya dengan
mempergunakan sepasang senjata gaetan itu, dia su-
dah menerjang Roro Centil dengan beringas. Sementa-
ra isaknya tersendat dikerongkongan.
WHHUT! WHUUUT! WHUUTT...!
Hebat serangan si dara yang paling cantik dian-
tara kedua gadis baju ungu itu. Sepasang senjata gae-
tan itu menerjang bertubi-tubi ke arah bagian-bagian
tubuh Roro. Bahkan yang lebih mengerikan adalah
Parmi selalu mengarah kepada bagian leher dan sepa-
sang matanya.
"Aiih...! berbahaya sekali...!" Teriak Roro seraya
berkelebatan menghindar. Ternyata cuma dengan tiga
kali bergerak ke kiri dan ke kanan serta doyongkan tu-
buh ke belakang Roro telah dapat meloloskan diri dari
serangan maut segebrakan itu. Mengetahui serangan
berbahayanya dihindari dengan tersenyum-senyum
jumawa membuat Parmi semakin bernafsu untuk men-
jatuhkan lawannya. Dan dengan menggertak nyaring
kembali dia lancarkan serangan beruntun yang lebih
berbahaya lagi. Kali ini sepasang gaetannya berubah
bagaikan belasan cahaya berkilau yang membersit
mengurung tubuh Roro, diiringi suara mendesing yang
mengeluarkan hawa dingin. Ayal sedikit saja leher atau
perut bisa kecantol gaetan maut itu.
Akan tetapi Roro Centil masih melayani serangan itu dengan tersenyum manis. Bahkan mengajari
lawannya menyerang.
"Yaaak, tebas ke bawah mengarah kaki! terjang
menyilang sambil menendangi serang ke kiri-kanan
dengan serangan bolak-balik! Bagus...!" Teriak Roro se-
raya lengannya bergerak menangkap kedua lengan ga-
dis itu. TAP...!
Sekejap saja lengan Parmi telah kena tertang-
kap oleh cekalan kuat Roro Centil. Melihat demikian
kedua saudara seperguruan gadis itu lakukan seran-
gan berbareng, seraya membentak.
"Lepas...!" Cahaya-cahaya menyilaukan dari ke-
dua pasang gaetan si dua gadis baju ungu nyaris
membobol perut Roro. Terpaksa Roro lepaskan ceka-
lannya dengan mengenjot tubuh melesat ke udara se-
tinggi lima tombak. Ringan sekali sepasang kakinya
hinggap di atas candi. Terperangah kedua gadis itu se-
raya menengadah ke atas.
"Hai...! kau kira semudah itu mau melarikan di-
ri?" kejaaar...!" Teriak Sri Kendil.
"Hihihi... siapa yang mau melarikan diri?" ber-
kata Roro. Tiba-tiba si Pendekar Wanita Pantai Selatan
meluncur turun ke arah mereka. Tentu saja hal demi-
kian tak disia-siakan ketiga murid dari Perguruan Li-
dah Naga Putih itu. Serentak menyambutnya dengan
terjangan maut. Akan tetapi yang terdengar adalah ju-
stru teriakan ketiga dara baju ungu itu berbareng den-
gan terpentalnya senjata-senjata mereka. Aneh sekali,
karena seketika itu tubuh ketiga gadis sudah dalam
keadaan tertotok kaku dalam posisi menyerang. Apa-
kah gerangan yang terjadi? Ternyata Roro Centil baru
saja memperagakan ilmu dari jurus "Bayangan Kem-
bar"
Ilmu ini cuma bisa dimiliki oleh orang yang
tingkat ilmunya sudah amat tinggi. Karena mengandalkan kecepatan yang melebihi cepatnya kejapan ma-
ta. Hingga ketiga gadis itu menyangka tubuh Roro
Centil berada di hadapan mereka dan akan berhasil
kena di robohkan. Tak dinyana dengan gerakan yang
sukar diikuti oleh mata, justru Roro Centil sudah me-
lesat ke arah sisi dan lakukan serangan pada ketiga
lawannya yang menerjang bayangannya. Hingga seke-
japan saja ketika senjata dapat dibuat terlepas dari
masing-masing pemiliknya, bahkan sekaligus melan-
carkan totokan.
Terbelalak tiga pasang mata dara-dara murid
dari Perguruan Lidah Naga. Masing-masing hatinya
sudah mengucap. "Matilah aku...! Akan tetapi pada
saat itu terdengar suara tertawa mengekeh dibarengi
dengan kata-kata. "Hebat...! hebat...! jurus ilmu
Bayangan Kembar itu sukar untuk dikuasai, tapi ter-
nyata telah menguasainya, sobat Roro Centil!" Tentu
saja Roro Centil segera palingkan wajahnya, dan mena-
tap pada sosok tubuh yang barusan saja berkelebat ke
hadapannya.
Itulah sosok tubuh seorang wanita tua berju-
bah putih berwajah masih cantik walau telah penuh
keriput. Di lengannya tercekal sebuah tongkat putih
tipis, bengkok dan berujung runcing. Rambutnya ter-
gelung rapi dengan tusuk konde perak. Tak berapa la-
ma, sudah disusul dengan berkelebatnya sesosok tu-
buh lagi, dibarengi kata-kata.
"Haiiih! hampir saja terjadi lagi salah paham!
selamat jumpa nona Pendekar Roro Centil...!" Ternyata
orang kedua yang barusan muncul adalah Ki Gembul
Sona, yaitu si kakek yang berjulukan si Belut Putih.
Seketika wajah Roro Centil berubah cerah.
"Ah... selamat datang pula pada kalian orang
tua gagah, sungguh kebetulan sekali bisa muncul dis-
ini...!" Tukas Roro seraya menjura.
"Bolehkah aku bertanya apakah bibi yang ber-
tongkat adalah guru dari ketiga gadis ini? Tanya Roro.
Hm......benar! kuharap anda dapat memaafkan
kekeliruan mereka karena telah menyangka anda si
pembuat kericuhan! mereka memang masih hijau dan
belum banyak pengalaman di luar. Kematian murid la-
ki-laki kami telah membuat mereka menjadi nekat un-
tuk mencari anda demi membalas dendam!" ujar si
wanita tua seraya balas menjura.
"Aku si perempuan tua renta ini adalah yang di
juluki kaum Rimba Hijau si Pendekar Tongkat Taring
Naga!" sambungnya memperkenalkan diri. Roro Centil
tersenyum manggut-manggut. Tiba-tiba Roro Centil se-
gera balikkan tubuhnya. Sepasang lengannya berge-
rak. Dan... segelombang angin telah membersit keluar
dari sepasang lengannya. Tersentak ketiga gadis itu
karena sekejap mereka sudah terbebas dari pengaruh
totokan. Tentu saja mereka cepat-cepat memungut
kembali senjata masing-masing yang bergeletakan di
tanah. Selanjutnya segera melompat ke hadapan sang
guru mereka.
"Murid-muridku hayo lekas kalian minta maaf
pada nona Pendekar Roro Centil!" Ketiga murid ini
tampak ragu-ragu, bahkan salah seorang sudah berka-
ta,
"Akan tetapi, guru... bukankah dia... dia ucap-
nya tergagap.
"Seseorang telah menyaru mirip nona Pendekar
Roro Centil ini! Kalian telah salah menduga orang.
Hayo cepat minta maaf...!" Bentak si Pendekar Tongkat
Taring Naga dengan plototkan matanya. Tentu saja
membuat ketiga gadis baju ungu itu terperangah den-
gan mata membelalak. Dan serta-merta segera menju-
ra di hadapan Roro.
"Maafkan kekeliruan kami, sobat Pendekar Roro Centil! kami tak mengetahui tentang hal itu!" ucap
Parmi yang mewakilkan bicara.
"Akan tetapi bolehkan anda menjelaskan siapa
sebenarnya yang melakukan tipu muslihat keji mem-
fitnah anda itu?" Tiba-tiba Parmi langsung ajukan per-
tanyaan.
"Benar! kami ingin mengetahui dan harus men-
getahui..." Berkata Sri Kendil yang menatap Roro den-
gan pandangan tajam. Dari tatapannya itu jelas dia
masih kurang percaya dengan penuturan gurunya.
"Hihihi... silahkan kalian tanyakan pada guru-
mu, atau pada kakek rambut coklat itu. Beliau-beliau
pasti akan menjawabnya!" Sahut Roro dengan terse-
nyum seraya leletkan lidah membasahi bibirnya.
"Nah maaf... aku tak bisa berlama-lama dis-
ini...!" Ujar Roro. Selanjutnya dengan sekali genjot tu-
buh sang Pendekar wanita ini sudah melayang ke atas
candi yang paling tinggi. Dan saat berikutnya sudah
lenyap melompat ke belakang candi.
—~oOo~—~
DUA
Desa Cilutung yang mengalir pula disana kali
Cilutung tampak pada slang hari itu amat lengang.
Udara panas membuat seorang laki-laki berusia antara
20 tahun itu melepaskan lelah duduk di bawah pohon.
Dia seorang laki-laki gagah yang berwajah cukup tam-
pan. Memakai baju rompi warna hitam, dengan dada
telanjang. Rambutnya tak terurus. Pada pergelangan
lengan dan kaki pemuda ini membelit empat buah ge-
lang besi berwarna hitam.
Dialah ADHINATA, murid Ki Panunjang Jagat
dari puncak Tangkuban Perahu. Laki-laki yang pernah
menjadi murid si Raja Racun ini tampak seperti kebin-
gungan untuk menentukan langkahnya. Sementara
perutnya sudah berbunyi berkeriutan minta di isi.
"Ah, aku harus cari makanan...! perutku lapar.
Kukira did alam desa ini pasti ada warung nasi. Atau...
aku bisa minta pada salah seorang penduduk. Tak ku
punyai sekepingpun uang perak...!" gumamnya perla-
han. Sesaat dia sudah bangkit berdiri. Dan melangkah
memasuki desa. Jalannya tak terlalu cepat karena da-
lam melangkah itu benaknya terus bekerja.
"Tubuhku mengandung racun yang amat hebat!
aku harus hati-hati untuk tidak menyentuh siapa saja!
haiih...! sungguh aku tak menyangka kalau akan begi-
ni jadinya! semua ini gara-gara aku kepincut dengan
benda pusaka si Raja Racun yang ternyata adalah ha-
sil ciptaannya!" desisnya lirih.
Kedai nasi mang Sakri didesa itu terkenal den-
gan kelezatan masakannya. Warung nasi itu adalah sa-
tu-satunya yang paling besar di desa itu. Bahkan begi-
tu terkenalnya masakan maupun pelayanannya, mang
Sakri pernah di undang ke rumah Adipati Bayu Nin-
grat untuk memasak di gedungnya. Ya...! sejak itu se-
makin terkenal saja kedai nasi mang Sakri. Hingga wa-
rungnya diperlebar, dan berdagang slang malam. Ka-
rena banyak para pelanggan yang memesan dari per-
bagai tempat, juga yang sengaja datang untuk makan
di situ.
Seperti juga hari itu. Tampak lima penunggang
kuda telah singgah di warungnya. Kelima ekor kuda
segera di tambatkan di tempat yang telah tersedia,
bahkan diberi rumput pula untuk menyenangkan hati
para pelanggan. Beberapa pelayan laki-laki maupun
perempuan tampak sibuk mencarikan meja dan tem-
pat duduk, karena mereka tahu kelima penunggang
kuda itu adalah tamu-tamu istimewa yang sering
memesan makanan. Kesemuanya adalah dari Kota Ra-
ja. Mang Sakri sudah tidak lagi memasak di dapur, cu-
kup memerintahkan saja pada para pelayan. Berkat
didikan mang Sakri pelayan-pelayan tamu maupun ju-
ru masak mengolah makanan telah pandai untuk me-
nyesuaikan selera orang.
Beberapa saat setelah kelima orang penung-
gang kuda itu mendapat tempat duduk dan memesan
makanan. Adhinata dengan langkah terhuyung mema-
suki kedai. Seorang pelayan laki-laki segera menyam-
but di pintu. Pemuda ini menatap mata pelayan. Tentu
saja si pelayan ini kerutkan keningnya, karena baru
sekali ini ada tetamu yang memasuki kedai dengan ba-
ju kumal dan rambut awut-awutan. Bahkan sepasang
mata laki-laki yang ditatapnya itu terlihat merah seper-
ti habis mabuk.
"Boleh aku bertanya, apakah aku bisa bicara
dengan yang punya kedai ini?" Tanya Adhinata. Melen-
gak si pelayan, dan ajukan pula pertanyaan dengan
menatap tajam orang di hadapannya.
"Apakah maksudmu menanyakan majikanku?"
Tanyanya.
"Ah, kau panggil sajalah majikanmu, aku mau
bicara hanya dengannya! Sahut Adhinata.
"He...!? lagakmu macam tuan besar saja! ma-
tamu merah, jangan-jangan kau baru saja mabuk! ke-
dai kami sedang kedatangan orang-orang terhormat.
Sebaiknya kau katakan maksudmu! atau nanti saja se-
telah para tamu kami sudah pulang...!" kau lihat! ma-
jikanku sedang sibuk menghormati tamu...!" Ucap si
pelayan dengan tandas.
Tercenung sejenak Adhinata, segera dia meno-
leh pada laki-laki tua bertubuh gemuk yang tengah
bercakap-cakap dengan lima orang tamu yang berpakaian mewah. "Hm, aku tak pernah minum-minuman
keras! mataku merah karena aku kurang tidur! baik-
lah, nanti aku bicara sendiri pada majikanmu! Sedia-
kanlah makanan, perutku lapar...!" Ujar Adhinata se-
raya melangkah masuk.
"Eh tunggu dulu! bajumu kotor tubuhmu dekil
dari kumal. Dengan keadaanmu seperti itu pasti teta-
mu kami akan menyingkir pergi! Lagi pula apakah kau
punya uang untuk membayar makanan...! cegah pe-
layan yang dengan sigap telah menghalangi di pintu.
Tentu saja hal demikian membuat Adhinata jadi gusar.
Tadinya dia mau berterus terang untuk meminta sepir-
ing nasi pada majikan si pelayan itu. Akar tetapi kare-
na sang pelayan melarangnya dengar memberikan ala-
san. Adhinata Jadi batalkan niatnya untuk berterus
terang. Benaknya berfikir saat tadi ialah makan dulu
mengisi perut, urusan bayar adalah belakangan.
Kini melihat si pelayan itu dengan bertolak
pinggang melarangnya masuk, membuat pemuda ini
jadi mendongkol. Dan hilanglah kesabarannya, bahkan
lupa kalau dia harus berhati-hati untuk bertindak. Se-
kali lengannya bergerak dicengkeramnya baju si pe-
layan seraya membentak.
"Pelayan kurang ajar! kau berani melarang aku
makan disini? aku kan tetamu? segala alasan kau ke-
luarkan, kau kira aku tak mampu membayar? Akan te-
tapi apakah yang terjadi? Tiba-tiba si pelayan menjerit
parau. Tubuhnya berkelojotan bagai ayam di sembelih.
Terkejut Adhinata. Ketika dia lepaskan cekalannya,
tubuh si pelayan itu jatuh mengambruk lalu diam tak
berkutik lagi. Gemparlah seketika keadaan di dalam
kedai nasi itu. Beberapa orang sudah segera melompat
untuk melihat kejadian di pintu kedai. Begitu juga ke-
lima tetamu berkuda, yang sudah bergegas melompat
dari kursi masing-masing.
Berpasang-pasang mata menatap terbelalak
pada mayat si pelayan yang tubuhnya mulai mencair
kehitaman!
"Hih...! dia telah kena pukulan beracun!" berka-
ta salah seorang dari kelima penunggang kuda.
"Dia lari kesana...! si pembunuh itu!" teriak
seorang pelayan yang melihat berkelebatnya tubuh
Adhinata. Tak usah menunggu terlalu lama, serentak
kelima tamu dari Kota Raja itu telah berkelebatan me-
lompat untuk mengejar. Ternyata Adhinata yang tahu
gelagat tidak baik segera angkat kaki dari muka kedai.
Dengan gerakan cepat dia menyelinap masuk pada se-
buah pintu rumah yang kebetulan terbuka. Akan teta-
pi terdengar jeritan dari dalam. Sesosok tubuh tertum-
buk tubuhnya dan terlempar membentur dinding. Ter-
nyata seorang wanita penghuni rumah itu telah jadi
korban kedua. Berkelojotan tubuh wanita itu meregang
nyawa, dan sesaat kemudian pun tewas dengan tubuh
berubah kehitaman.
Tentu saja hal itu membuat Adhinata terperan-
gah. Dia memang tak sengaja membenturnya. "Celaka
...! aku harus segera kabur dari tempat ini!" Desisnya.
Dan... BRRAK... dia sudah menerobos keluar mener-
jang daun pintu bagian belakang. Akan tetapi telah
terdengar bentakan keras.
"Manusia keji! kau telah terkepung!" Dan bebe-
rapa sosok tubuh sudah mengurungnya. Ketika Adhi-
nata menatap pada mereka, tahulah dia kalau yang
mengejarnya adalah tetamu kedai nasi yang rata-rata
berpakaian mewah tadi.
"Pembunuh biadab! apakah kesalahan pelayan
itu, hingga kau membunuhnya dengan kejam?" Bentak
salah seorang dari mereka.
"Aku... aku tak sengaja..." Teriak Adhinata dengan panik.
"Manusia keji macam begini mengapa tak cepat
dibunuh mampus? Hayo kita ringkus dia! Teriak salah
seorang yang sudah tak sabar. Dan sekejap sudah
menghunus golok panjangnya. Tentu saja yang lainnya
pun berbuat sama. Masing-masing mencabut keluar
senjatanya. Salah seorang menerjang mendahului. Pe-
dang berkilauan dilengannya ditabaskan ke arah leher
Adhinata. Terkejut laki-laki ini. Lengannya bergerak
menangkis. TRANG...! Luar biasa! pedang si penyerang
itu terpental patah dua. Dan bersamaan dengan itu
terdengar jeritan ngeri salah seorang kepala pengawal
dari Kota Raja itu. Tubuhnya seketika menghitam dan
jatuh berkelojotan. Cuma beberapa kejap saja lang-
sung tewas dengan keadaan tubuh berubah mengeri-
kan.
Tentu saja keempat kawannya jadi tersentak
dan melompat mundur.
"Pergi...! pergilah! atau berikan aku pergi dari
sini! aku... aku tak sengaja...!" teriak Adhinata dengan
wajah pucat. Sungguh di luar dugaannya kalau tang-
kisannya barusan membawa efek demikian hebat. Dan
tak ayal Adhinata segera melesat untuk melarikan diri.
Akan tetapi keempat kepala Pengawal Kerajaan itu
mana mau membiarkan orang yang telah menyebab-
kan kematian kawannya itu melarikan diri? Serentak
telah mengejar dengan membentak keras.
"Keparat...! kejar...! dia telah membunuh kawan
kita....!" Dan berkelebatlah sosok-sosok tubuh keempat
kepala Pengawal, mengejar Adhinata. Akan tetapi pada
saat itu berkelebat sesosok tubuh menghadang si em-
pat Kepala Pengawal.
"Tahan...! jangan kejar...!" Tentu saja teriakan
nyaring itu menghentikan langkah mereka. Dan ketika
menatap ke arah si penghadang, ternyata seorang wa-
nita muda yang cantik rupawan. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil, sang Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"He!? siapakah nona? mengapa menghalangi
kami mengejar manusia keji itu?" Tanya salah seorang
dari Kepala Pengawal.
"Dia si MANUSIA BERACUN! pengejaran kalian
amat berbahaya! apakah kalian sudah tak sayang
nyawa...?" Berkata Roro dengan menatap tajam pada
mereka satu persatu.
"MANUSIA BERACUN...??" Teriak mereka den-
gan kaget hampir berbareng. Dan menatap Roro den-
gan membeliakkan mata.
"Benar! aku memang tengah menguntitnya,
ternyata dia telah mulai membawa korban!" Tukas Ro-
ro dengan wajah serius.
"Nah, maaf, aku harus meneruskan menguntit-
nya Aku menghawatirkan akan banyak terjadi kejadian
yang mengundang maut!" Ucap Roro. Dan selesai ber-
kata demikian tubuh si Pendekar Wanita itu sudah
berkelebat lenyap dari hadapan mereka. Melesat cepat
untuk mengejar Adhinata, hingga tak sempat lagi
keempat Pengawal itu untuk menanyakan siapa di-
rinya. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara di be-
lakang mereka.
"Kalian beruntung dapat peringatan dari Pen-
dekar Wanita itu! Seharusnya kalian ucapkan terima
kasih...!" Kata-kata itu jelas ditunjukkan pada keempat
Kepala Pengawal ini. Tentu saja serentak mereka putar
tubuh untuk melihat siapa yang bicara.
"Ah, Gusti Senapati Kerta Bumi...!" Teriak me-
reka hampir berbareng. Dan tak ayal segera menjura
hormat pada sang atasan ini.
"Sudahlah! kalian bukan sedang dalam tugas!
Ucap sang Senapati. "Bawalah mayat kawanmu pu-
lang, dan tugas baru telah menanti kalian...!" Selesai
berkata Senapati Kerta Bumi melangkah pergi dari si
tu. Keempat Kepala Pengawal mengangguk seraya ber-
gegas menghampiri mayat kawannya. Akan tetapi ter-
perangah mereka, karena tubuh sang kawan telah be-
rubah mencair dan menimbulkan bau busuk.
"Gusti Senapati...!" Teriak salah seorang seraya
mengejar laki-laki berusia 35 tahun itu.
"Ada apakah?" Tanyanya dengan palingkan wa-
jah pada si Kepala Pengawal.
"Mengerikan sekali, gusti Senapati! mayat ka-
wan kami..." Segera si Kepala Pengawal ini beritahukan
apa yang dilihatnya. Tampak wajah Senapati Kerta
Bumi berubah.
"Mari...! aku segera melihatnya!" Ujarnya seraya
mendahului melompat. Kepala Pengawal ini segera
menyusul di belakangnya. Terperangah Senapati Kerta
Bumi menyaksikan keadaan mayat. Karena tubuh si
Kepala Pengawal yang malang itu telah menjadi cairan
hitam. Kulitnya meleleh menampakkan tulang-
belulangnya dari sebagian tubuhnya. Sementara hawa
busuk menyebar dari mayat itu.
"Edan! luar biasa sekali racun itu...! benar-
benar amat mengerikan...! entah racun apakah yang
telah mengendap di tubuh laki-laki itu?" Gumam sang
Senapati dengan mengelus jenggotnya yang tipis. Bah-
kan dia telah menatap pula pada potongan pedang si
Kepala Pengawal yang telah tewas. Ternyata potongan
pedang itupun telah berubah menghitam.
"Racun yang amat ganas itu adalah warisan si
Raja Racun! Manusia itu telah menciptakan empat
buah gelang beracun yang diwariskan pada pemuda
itu! Dunia ini akan dilanda musibah besar! karena si
Raja Racun telah berhasil mencapai cita-citanya men-
ciptakan seorang manusia yang tubuhnya mengan-
dung racun luar biasa, walaupun dia sendiri harus te-
was!" Satu suara lembut terdengar dari seberang jalan.
Tampak seorang kakek duduk di atas sebuah batu be-
sar dengan lengan mengelus jenggotnya yang panjang
menjuntai memutih. "Kakek tua...! siapakah... anda?"
Tanya Senapati Kerta Bumi yang segera telah melihat
siapa orangnya yang bicara. Ringan sekali gerakan
orang tua berjubah putih itu, sekejap sudah hing-
gapkan kakinya ke tanah di hadapan Senapati Kerta
Bumi.
"Aku si kakek tua yang sial ini bernama Panun-
jang Jagat, Gusti Senapati. Terimalah hormatku ....
Ucap kakek itu seraya menjura pada Senapati Kerta
Bumi. Buru-buru Senapati ini balas menjura. Dari ge-
rakannya hamba Kerajaan ini telah mengetahui kalau
si kakek Panunjang Jagat adalah seorang tokoh Rimba
Hijau yang berilmu tinggi.
"Aneh, anda menyebut diri anda sial. Apakah
hubungannya dengan masalah ini? dan anda tampak-
nya mengetahui benar dengan perihal manusia bera-
cun itu!" Bertanya Senapati Kerta Bumi,
"Bagaimana tak kukatakan diriku sial? si ma-
nusia beracun itu adalah muridku sendiri yang telah
ku gembleng untuk menjadi seorang pendekar kaum
golongan putih. Eii, tahu-tahu mengangkat si Raja Ra-
cun itu menjadi gurunya pula. Dan... jadilah dia ma-
nusia yang menakutkan...! entah bagaimana nasib-
nya, kalau dia dipengaruhi kaum golongan hitam?. Tak
ada lain jalan selain membunuhnya siang siang...! "
Ujar sang kakek Puncak Tangkuban Perahu dengan
wajah sedih. Tampak dari sepasang mata tua kakek itu
mengalir air bening yang meluncur turun membasahi
pipinya yang keriput.
Terangguk-angguk kepala Senapati Kerta Bumi
yang diiringi dengan helaan napas. "Benar-benar di
luar dugaanku, ternyata anda guru dari Manusia Be-
racun itu. Masalah ini memang amat besar dan rumit,
tapi kukira kita memang harus bertindak cepat sebe-
lum kasip. Benar seperti yang dikhawatirkaa anda, ka-
lau muridmu itu telah dipengaruhi kaum golongan se-
sat, akan membahayakan bukan saja terhadap rakyat
akan tetapi juga membahayakan Kerajaan. Bahkan bi-
sa membahayakan umat manusia!" Ujar sang Senapati
dengan menatap wajah Ki Panunjang Jagat.
"Ya! memang lebih cepat kulenyapkan nyawa
murid murtad itu adalah lebih bagus!" Tukas Ki Pa-
nunjang Jagat. Akan tetapi Senapati Kerta Bumi cepat
menyambar bicara.
"Tidak...! bukan dengan membunuhnya, kita
harus cari jalan untuk melenyapkan racun yang men-
gendap ditubuhnya! Akan tetapi apakah watak dari si
Raja Racun itu belum mengendap pada jiwa muridmu,
sobat Ki Panunjang Jagat?"
"Mudah-mudahan tidak, karena waktu yang di-
pergunakan si Raja Racun untuk memproses si Adhi-
nata muridku itu menjadi manusia beracun cuma ber-
kisar antara dua bulan!" Sahut Ki Panunjang Jagat se-
raya menghapus air matanya. "Sebenarnya waktu itu
aku menitahkan pada Adhinata untuk meneruskan
berguru pada adik seperguruanku Gembul Sona. Dan
kuperintahkan dia turun gunung dari puncak Tangku-
ban Perahu. Akan tetapi dua bulan kemudian ketika
aku menyambangi adikku di pesanggrahannya, ternya-
ta muridku tak kujumpai ada di sana. Belakangan ba-
ru ku ketahui dia berguru pada si Raja Racun, tokoh
hitam dari Rimba Hijau. Aku bisa menduganya karena
kujumpai mayat si Raja Racun dalam keadaan seperti
mayat Pengawal Kerajaan ini!" Tutur Ki Panunjang Ja-
gat lebih lanjut, seraya menatap pada mayat yang telah
membusuk itu.
"Baiklah sobat Panunjang Jagat! aku akan be-
rusaha sebisa mungkin untuk membantumu...!"
"Terima kasih atas bantuan anda sebelumnya
gusti Senapati...! " Senapati Kerta Bumi anggukkan
kepalanya dengan tersenyum, seraya ujarnya.
"Jangan khawatir, orang Kerajaan tidak akan
memusuhi muridmu, sepanjang dia masih dalam kea-
daan belum diperalat orang lain...! Ki Panunjang Jagat
manggut-manggut. Lalu segera menjura untuk mohon
diri. Akan tetapi tiba-tiba dia balikkan tubuhnya se-
raya menatap pada mayat.
"Mayat itu sebaiknya dibakar saja, jangan coba-
coba menyentuhnya! amat berbahaya...!"
-ooOoo-
TIGA
"Setan alas...! aku kehilangan jejak!" Memaki
Rora Centil. Tubuh sang dara ayu ini berkelebatan ke
beberapa arah, dan kepalanya dipalingkan ke kiri dan
ke kanan. Akan tetapi sosok tubuh si manusia beracun
sudah lenyap tak kelihatan bayangannya lagi.
Tiba-tiba Roro melihat sosok bayangan yang
menyelinap ke balik tebing. Tentu saja hal itu tak dis-
ia-siakan. Segera dia berkelebat kesana. Akan tetapi
tiba-tiba... RRRRRRTT! RRRRTT! RRRRTT...! Terperan-
gah Roro Centil, beberapa utas tali telah menjeratnya.
Dan tak ampun lagi kaki dan lengannya serta ping-
gangnya kena terjerat. "Alii...! ? aku terjebak dalam pe-
rangkap! Desis Roro dengan terkejut. Cepat sekali be-
kerjanya tali-temali itu, karena sekejap Roro Centil te-
lah tergantung pada beberapa utas tali dengan kaki
terpentang, kepala di bawah dan kaki di atas. Tali-tali
yang menggantung tubuh Roro menjulur dari beberapa
arah. Yaitu dari atas tebing batu dan beberapa batang
pohon tinggi.
"Hihihihi... begitu mudahnya menjebak seorang
wanita Pendekar yang perkasa...! " Tiba-tiba terdengar
suara tertawa mengikik tanpa terlihat orangnya. Roro
segera mengenali suara itu. "Keparat si Giri Mayang
rupanya!" Desis Roro tersentak. Dan... saat itu pula te-
lah berkelebatan tujuh sosok makhluk kerdil mengu-
rung di bawah Roro. Tentu saja Roro mengenal mak-
hluk-makhluk ini, karena pernah diserang oleh mere-
ka. Benaknya segera memikir. "Setan alas...! kalau be-
gitu mahluk-mahluk kerdil ini baladnya si Giri
Mayang...!" Diam-diam Roro kerahkan tenaga dalam-
nya untuk dapat segera melepaskan diri dari jeratan
tali. Akan tetapi pada saat itu serangkum angin telah
menerpa tubuhnya. Terdengar si Pendekar Wanita ini,
karena segera merasai tubuhnya tak dapat digerakkan
lagi. Hebat, serangan aneh itu. Roro Centil tak mampu
berkutik lagi, karena seketika jalan darahnya telah ter-
sumbat. Dan dengan demikian dia tak mampu lagi un-
tuk berbuat apa-apa.
"Hehehe... hehehee... selamat berjumpa nona
Pendekar Roro Centil!" Terdengar suara tertawa men-
gekeh serak yang diiringi kata-kata. Dan sesosok tu-
buh berkelebat muncul. Sekali gerakan lengannya
memutar, tali temali yang menjerat tubuh Roro terpa-
pas putus terkena sambaran angin aneh. Tanpa bisa
dicegah lagi, tubuh Roro meluncur jatuh. Dan.... mah-
kluk-mahkluk kerdil itu segera menangkapnya.
"Bagus! inilah saatnya kemenangan berada di
pihak kita!" Terdengar suara nyaring dan diiringi den-
gan berkelebat muncul sesosok tubuh wanita dengan
ram but terurai. Siapa lagi kalau bukan Giri Mayang.
Entah bagaimana si wanita yang amat mendendam
pada Roro Centil itu bisa berada di tempat itu, dan apa
pula hubungannya dengan nenek renta bertangan kosong yang berilmu tinggi itu?.
"Hihihi... guru! berikanlah padaku manusia
yang telah menghinaku itu!" berkata Giri Mayang den-
gan menatap pada si nenek tangan kosong. Entah se-
jak kapan tahu-tahu wanita ini telah pula mengangkat
guru pada si nenek tua renta berkalung mutiara indah
itu.
Si nenek berikan isyarat pada ketujuh makhluk
kerdil untuk melepaskan tubuh Roro dari pegangan
tangan-tangan mereka. Serentak berlompatanlah mak-
hluk-mahkluk kerdil itu dengan patuh.
"Heheheheh mau kau apakan-kah dia?" Ta-
nyanya.
"Guru...! terima kasih atas bantuanmu sekali
lagi! kali ini biarkanlah aku yang akan menentukan
hidup matinya perempuan bernama Roro Centil ini!"
Berkata Giri Mayang dengan menatap pada gurunya
lalu alihkan tatapannya pada Roro yang terkapar di
tanah dengan keadaan tak berdaya. Sejurus antaranya
si nenek bertangan kosong yang ternyata bermata jul-
ing itu termenung, tapi kemudian ujarnya...
"Heeheheh... heheh... baiklah! akan tetapi ku
beri waktu kau untuk segera membunuhnya tidak le-
bih dari dua hari. Selewat dua hari aku tak mau men-
dengar adanya nama Roro Centil di atas jagat ini!"
"Baik, baik...! jangan khawatir! manusia pem-
bunuh muridmu si Kupu-kupu Emas ini aku jamin
kau akan segera melihat bangkainya dalam keadaan
tidak utuh!" Berkata Giri Mayang dengan tersenyum
menyeringai. Sementara itu Roro Centil jadi terkejut
karena segera mengetahui kalau si nenek bermata jul-
ing itu adalah guru si Kupu-kupu Emas yang telah te-
was di tangannya, sewaktu berada di Pulau Andalas.
Selesai berkata, Giri Mayang segera sambar tu-
buh Roro. Dan sekejap saja sudah dibawa berkelebat
meninggalkan tempat itu. "Dua hari lagi silahkan kau
datang melihat ke tempat tinggalnya, guru... teriak Giri
Mayang yang masih sempat berpesan pada guru ba-
runya.
Nenek mata juling tak menjawab, akan tetapi
segera berkelebat pergi diikuti ketujuh mahkluk cebol
piaraannya.
-ooOoo-
"Iblis perempuan! tahan langkahmu!" Terdengar
bentakan nyaring. Giri Mayang yang baru saja tiba di-
balik bukit jadi terkejut dan hentikan langkahnya,
karena beberapa sosok tubuh berkelebatan
menghadang. Ternyata ketiga murid si nenek Pendekar
Taring Naga, yaitu si tiga gadis berbaju ungu. Giri
Mayang tatapkan matanya pada ketiga dara dihada-
panya. Tiba-tiba dia tertawa mengikik, dan berkata
dengan nada dingin.
"Hihihi... kiranya tiga saudara seperguruan dari
Perempuan Taring Naga! He? mau apa kalian mengha-
dangku? Hm, rupanya kalian mau mencari mati...!"
"Bedebah! perempuan laknat! kau telah mencu-
lik dan membunuh kakak laki-laki saudara sepergu-
ruan ku! kau telah memfitnah pula nama Pendekar
Roro Centil! kau harus mempertanggung jawabkan
perbuatan mu!" Bentak Sri Kendil dengan berang. Dan
sepasang senjata gaetannya telah tercekal di kedua
lengannya.
"Hihihi.... nona Pendekar pujaan kalian itu kau
lihat sendiri sudah tak berkutik dalam tanganku! apa-
kah kalian mau jual lagak untuk mencari mati? Se-
baiknya lekas kalian merangkak pergi dari sini!" Ben-
tak Giri Mayang. Sejak tadi mereka memang telah ber-
prasangka dan tengah menduga-duga pada wanita
yang berada di atas pundak Giri Mayang. Kini semakin
jelaslah kalau wanita itu benar Roro Centil adanya.
Tentu saja membuat mereka cukup terkejut, juga
khawatir.
"Hah? Le... lepaskan dia!" Bentak Sri Kendil
dengan mata mendelik. Akan tetapi Girl Mayang terta-
wa mengikik, seraya berkata lantang.
"Silahkan kalian rebut nona Pendekar pujaan
kalian ini dari tangan ku!"
"Bedebah! kau turunkan dulu dia dari pun-
dakmu! dan hadapi kami!" teriak Parmi, si dara paling
cantik diantara mereka.
"Hm, baik! kalian kira aku sebangsa manusia
pengecut yang mau menjadikan si Roro Centil ini un-
tuk perisai...? Kalian rasakan nanti sepak terjangkut
berkata Girl Mayang dengan senyum sinis. Giri Mayang
jatuhkan tubuh Roro menggabruk ke tanah. Dan ber-
kata lagi dengan suara dingin.
Silahkan kalian maju berbareng! kalian mau
membalas dendam kematian kakak seperguruanmu,
bukan? Hihihi... dia memang laki-laki gagah. Sayang
aku terpaksa membunuhnya, karena itulah kebiasaan
ku kalau aku sudah bosan!" Selesai bicara, kembali Gi-
ri Mayang perdengarkan suara tertawa mengikik. Se-
mentara diam-diam dia telah salurkan tenaga dalam
inti api pada kedua lengannya.
"Iblis perempuan sundal! aku akan adu jiwa
denganmu!" membentak Parmi dengan geram, dan se-
pasang mata berkaca-kaca. Seraya kemudian mener-
jang wanita ini dengan kemarahan meluap-luap. Sepa-
sang senjata gaetannya menyambar bagai kilat menga-
rah leher. Akan tetapi dengan tersenyum Giri Mayang
merunduk cepat. Sebelah lengannya Lantas bergerak
menghantam ke perut lawan.
WHUUK!
Angin panas membersit menyambar perut Par-
mi Untunglah gadis ini cepat pula berkelit dengan ja-
tuhkan diri bergulingan. Giri Mayang tak memberi ke-
sempatan untuk gadis itu bangkit. Segera melesat un-
tuk kembali hantamkan telapak tangannya bertubi-
tubi. Akan tetapi saat itu telah terdengar bentakan,
berbareng dengan menerjangnya Sri Kendil dan gadis
rambut kepang. Dua pasang gaetan itu berkilatan me-
nyambar tubuhnya dari perbagai tempat. "Bagus...!"
teriak Giri Mayang. Gesit sekali wanita itu berloncatan
menghindar dari serangan ganas.
Tiba-tiba Giri Mayang mulai merubah gerakan
silatnya. Sekejap saja tampak ketiga lawannya mulai
menyerang dengan serabutan, karena Giri Mayang
mempergunakan jurus-jurus yang mengacaukan se-
rangan lawan. Ternyata sambil mempergunakan juru-
sannya, bibir Girl Mayang tampak komat-kamit mem-
baca mantera-mantera. Itulah ilmu hitam yang diper-
gunakan untuk menyerang syaraf lawan. Hingga dalam
pandangan ketiga gadis itu, mereka seperti menghada-
pi mahkluk menyeramkan.
Pada satu kesempatan Giri Mayang hantamkan
lengannya kedua arah.
WHUUKI WHUUKKK...!
Tak ampun lagi terdengar jeritan menyayat ha-
ti. Sri Kendil dan si gadis rambut kepang yang berna-
ma Nirawuni terlempar dengan tubuh menghitam han-
gus. Bukan saja Parmi salah satu dari ketiga gadis itu
saja yang terperanjat, akan tetapi Roro Centil yang da-
lam keadaan tak berdaya itupun terkesiap kaget. "Iblis
telengas Giri Mayang! kelak kau rasakan kalau bisa
terbebas dari totokan si nenek mata juling itu!"
maki Roro Centil dalam hati. Ternyata lidah dari Pantai
Selatan inipun dibuatnya menjadi kelu dan tak dapat
mengeluarkan suara. Kecuali sepasang matanya saja yang mendelik gusar.
--000--
EMPAT
"Hihihi... segeralah kaupun berangkat menyu-
sul kedua saudara seperguruanmu itu!" Berkata Giri
Mayang seraya hantamkan lengannya mengarah ke
tubuh Parmi yang sedang terlongong dengan mata
membelalak. Akan tetapi pada saat itu berkelebat sinar
kilat berhawa dingin yang meluluhkan pukulan inti api
Giri Mayang, disertai bentakan keras. "Wanita terlen-
gas, kejam nian kau...! " BHUURRR...! pukulan inti api
Giri Mayang membalik ke udara, dan menyambar da-
han pohon besar. Hebat dan mengerikan sekali, pohon
itu terbakar hangus. Daun-daunnya rontok kering,
berjatuhan meluruk ke bawah. Tersentak Parmi bukan
buatan. Dalam keadaan terperangah tadi, nyaris saja
nyawanya melayang kalau tak datang sosok tubuh
yang menangkis serangan berbahaya itu. Ternyata dis-
itu telah tegak berdiri seorang pemuda tampan berpa-
kaian serba putih. Di lengannya tercekal sebuah pe-
dang yang berkilauan seperti perak. Dialah SAMBU
RUCI si Pendekar Selat Karimata, alias si Bujang Nan
Elok.
Kalau Roro Centil diam-diam merasa girang
dengan kemunculan pemuda sahabatnya ini, adalah
Giri Mayang memandang dengan terkejut. Bibirnya su-
dah bergetar untuk membentak. Akan tetapi, aneh...!
tampaknya Giri Mayang sulit untuk mengeluarkan ka-
ta-kata dari mulutnya. Seumur hidup barulah dia me-
lihat seorang laki-laki yang tampannya sedemikian ru-
pa. Tiba-tiba, cepat sekali Girl Mayang balikkan tubuh,
dan menyambar tubuh Roro yang tergeletak ditanah.
Selanjutnya dengan gerakan sebat segera angkat kaki
dari tempat itu.
"Haiii? pengecut busuk! mengapa kau melari-
kan diri...?" Teriak Sambu Ruci. Sepasang matanya se-
gera dapat melihat siapa adanya sosok tubuh yang di
panggul dipundak wanita itu. "Hah? dia... Roro Cen-
til...!" Sentak Sambu Ruci dengan berdesis. Akan tetapi
baru dia mau berkelebat menyusul, sebuah benda te-
lah dilemparkan ke arahnya.
BRUSSS...! Benda itu meledak menimbulkan
asap hitam yang menyebar menghalangi pandangan.
Ketika Sambu Runci menerobos asap, tubuh Giri
Mayang sudah tak kelihatan lagi.
"Kurang ajar, akal licik untuk melarikan diri!"
Memaki Sambu Ruci dengan hati masygul. Saat itu
Parmi telah lemparkan sepasang senjatanya, dan
memburu ke arah kedua tubuh saudara sepergu-
ruaannya yang terkapar dengan keadaan mengerikan.
Tubuh Sri Kendil dan Nirawuni yang dalam keadaan
menghitam hangus itu ditatapnya dengan air mata
mengenang.
Tak kuat melihat kengerian yang terpampang di
matanya, gadis ini menangis terisak dengan menekap
wajahnya dengan kedua belah tangan. Menghadapi
kenyataan yang amat luar biasa itu, pandangan mata
Parmi menjadi gelap dan berkunang-kunang. Kepa-
lanya terasa berdenyutan. Dan bumi yang dipijak tera-
sa berputar. Akhirnya si gadis itu roboh pingsan tak
sadarkan diri. Sementara itu Sambu Ruci telah berke-
lebat menghampiri.
Tentu saja hal itu membuat Sambu Runci jadi
kebingungan.
"Ah, dia pingsan pula...! bagaimana ini... ?" Tersentak Sambu Runci. Sambu Runci memang serba salah, karena dia baru mau berniat menyusul Roro yang
dilarikan Giri Mayang akan tetapi melihat keadaan ga-
dis itu tak sampai hati dia meninggalkannya. Terlebih
melihat kematian kedua gadis kawannya yang hangus
mengerikan.
"Kasihan...! aku harus menolong gadis ini, dan
menguburkan mayat kedua gadis malang ini...! " Ber-
kata Sambu Ruci seorang diri. Demikianlah... dengan
segera si Pendekar Selat Karimata menggali tanah, lalu
menguburkan jenazah kedua gadis malang itu dengan
hati ikut terharu. Bahkan tak terasa air matanya meni-
tik turun dari kelopak mata.
Matahari mulai menggelincir ke arah barat. Dan
selesailah pekerjaan Sambu Runci. Dua gunduk tanah
yang ditimbun juga dengan batu dan pasir telah bera-
da ditempat itu. Pada tanah datar di sisi bukit. Angin
pegunungan berhembus menyejukkan tubuh.
Laki-laki ini menyeka peluhnya yang meluncur turun
ke dahi. Kini tatapan matanya dialihkan ke bawah po-
hon dimana dia merebahkan tubuh Parmi yang masih
tak sadarkan diri.
Mendengar langkah-langkah kaki menghampiri
agaknya gadis ini mulai sadar dari pingsannya. Dan
sekejap dia sudah melompat bangun. Dilihatnya seso-
sok tubuh laki-laki yang tadi telah menyelamatkan ji-
wanya berada di hadapannya. Berdiri dengan meman-
dang kagum pada gadis itu. Memang tak dapat di
sangkal kalau Parmi adalah seorang dara yang cantik
Berambut ikal. Dengan ikat kepala bercorak kembang-
kembang warna merah. Tatapan matanya sayu, akan
tetapi sedikit membelalak karena segera terlihat dua
gundukan tanah yang sudah dapat diduga adalah ku-
buran kedua saudara seperguruannya.
"Anda.... anda yang telah mengebumikan jena-
zah kedua saudara seperguruanku...?" bertanya Parmi
dengan memandang tajam, akan tetapi diam-diam ha-
tinya berdebar keras. Pemuda itu seorang laki-laki
yang amat tampan. "Siapakah gerangan dia ini..?" ber-
kata Parmi dalam hati. Sementara itu dengan terse-
nyum Sambu Runci segera menjawab.
"Benar...! kulihat kau telah jatuh pingsan tak
sadarkan diri. Aku lalu menolongmu memindahkan ke
tempat yang teduh disini, kemudian segera ku gali ta-
nah untuk mengubur jenazah...! " Terlihat senyum tre-
nyuh di bibir sang gadis. Sepasang matanya kembali
berkaca-kaca. Dan sepasang bibir mungil itupun
tampak tergetar mengucapkan kata-kata...
"Te... terima kasih atas pertolongan anda, tu... tuan
Pendekar!" Ucapnya dengan suara lirih. Dan... setetes
air bening kembali mengalir turun ke pipinya yang pu-
tih ranum.
"Andapun telah pula menyelamatkan nyawaku.
Betapa besar budi anda, entah dengan apa aku harus
membalasnya. Lanjut Parmi dengan tundukkan wajah,
dan cepat-cepat lengannya menghapus air matanya.
"Ah, sudahlah...! pertolongan itu adalah sudah
menjadi dasar dari setiap golongan pendekar. Siapakah
namamu, adik...?"
"Namaku amat jelek. Apakah kau sudi menden-
garnya?" Balas bertanya sang gadis dengan senyum di
paksakan.
"Ah, Jelek atau bagus cuma sebuah nama. Tapi
yang jelas orangnya kan cantik...?" goda Sambu Ruci
dengan tersenyum. Sengaja dia bergurau untuk melu-
pakan kesedihan sang gadis itu.
"Ah, anda terlalu memuji! aku sedang dalam
kesedihan begini, kalau anda mau tahu namaku tentu
tak keberatan pula kalau anda menyebutkan nama
anda, bukan?" Berkata sang gadis dengan tersipu.
"Haha... mengapa tidak? namaku Sambu Ruci!"
sahut Sambu Ruci pendek tanpa memperkenalkan ju-
lukannya. Akhirnya sang gadis baju ungu itupun se-
butkan pula namanya.
"Aku... aku Parmi, atau kepanjangannya Parmi
Sudira..."
"Aha...! nama yang begitu bagus mengapa kau
katakan jelek?" kelakar Sambu Ruci dengan tersenyum
dan geleng-gelengkan kepala.
"Bagus dan cantik secantik orangnya! sam-
bungnya dengan menatap tajam pada wajah sang gadis
yang semakin merona merah saja wajahnya.
"Sudira itu tentu nama ayahmu, ataukah nama
suamimu.. ?" tiba- tiba Sambu Ruci ajukan perta-
nyaan.
"Suami...? ah, mana aku punya suami... itu
nama ayahku!" sahut Parmi.
"Ya, ya... aku percaya! baiknya kau ceritakan
riwayatmu, apakah sebabnya bisa bentrok dengan wa-
nita bersama Giri Mayang itu?" Tanya Sambu Ruci
yang segera alihkan pembicaraan. Terdengar suara he-
laan napas si gadis. Wajahnya kembali menampakkan
kesedihan. Akan tetapi segera dia sudah memulai beri-
kan penuturan.
Demikianlah, secara kebetulan Parmi akhirnya
dapat berkenalan dengan Sambu Ruci si Pendekar Se-
lat Karimata. Dan Parmi pun tuntas pula menceritakan
siapa dirinya serta persoalan apa hingga dapat bentrok
dengan Giri Mayang, yang nyaris saja dia menyangka
Roro Centil biang pelaku dari kejahatan itu. Tercenung
sejenak Sambu Ruci. Segera terlintas lagi nasib Roro
yang sedang dalam keadaan tak berdaya di tangan Giri
Mayang. Walaupun bagaimana hati pemuda ini yang
sudah kepincut oleh Roro, tak bisa berpeluk tangan
membiarkan Giri Mayang menawan si Dara Pantai Selatan itu.
"Dimanakah tempat tinggalmu, nona Parmi...
aku akan mengantarkanmu pulang. Selesai itu aku
harus mencari jejak si wanita Iblis itu. Dia telah berha-
sil menawan sahabatku Roro Centil. Amat berbahaya
dan mengkhawatirkan sekali. Wanita iblis itu amat te-
lengas dan mempunyai ilmu tinggi..!"
"Kami bertiga sudah bertekad mencari jejak si
wanita iblis pembunuh saudara laki-laki kakak seper-
guruaku. Ternyata telah berhasil menjumpai. Akan te-
tapi kedua saudara seperguruanku kembali tewas di-
tangan iblis wanita telengas itu. Tak ada lain jalan, aku
akan turut mencari jejak nona Pendekar Roro Centil.
Ajaklah aku kemana kau pergi, sobat Sambu Ruci...! "
Berkata Parmi dengan wajah bersemangat.
Tercenung Sambu Ruci. Walau dalam hati tak
menyetujui gadis itu turut serta dalam melacak jejak
Giri Mayang, akan tetapi Sambu Ruci memang tak da-
pat menolak keputusan si gadis. Juga dikhawatirkan
hal itu akan menyinggung perasaan sang gadis yang
amat bersemangat dan berani itu. Akhirnya Sambu
Ruci pun mengangguk.
—~oOo~—~
LIMA
Kemanakah gerangan lenyapnya Adhinata, si
manusia beracun? Ternyata dia berada dalam sebuah
lubang sumur yang amat dalam. Kalau Adhinata tak
memiliki kepandaian tinggi, serta akal cerdik yang di-
pergunakan, niscaya tulang-tulang tubuhnya telah pa-
tah-patah karena jatuh dari tempat ketinggian terje-
rumus masuk ke dalam sumur itu. Itulah pula sebab nya Roro Centil kehilangan jejak.
Di dalam sumur itu Adhinata termangu-mangu.
Untuk merayap naik amat sulit, karena dinding sumur
penuh lumut yang amat licin. Sedangkan untuk me-
lompat keluar juga tak mungkin, karena dalamnya
sumur lebih dari lima puluh kaki. Kecuali dia punya
sayap untuk terbang barulah dia bisa keluar dari su-
mur itu. Berpikir demikian, Adhinata jadi termangu-
mangu dengan mulut memaki panjang pendek.
"Sial! siaaal...! mengapa nasib buruk selalu me-
nimpa ku? Kini nasibku tak lebih buruk dari nasib si
Raja Racun! cepat atau lambat akhirnya toh
aku akan mati kelaparan di asar sumur celaka ini...!"
Malam pun semakin merayap, Adhinata masih
termangu-mangu di dasar sumur tanpa bisa berpikir
apa-apa selain menunggu datangnya maut. Dan lagi-
lagi hawa lapar menggerogoti perutnya. Akan tetapi ti-
ba-tiba dia berseru kegirangan. Matanya menatap pada
lumut yang menempel tebal didinding sumur.
"Ha...? aku... masih bisa hidup! mengapa aku
jadi tolol? lumut ini bisa menjadi bahan makananku!
hahaha..." Tergelak-gelak Adhinata. Dan serta merta
lengannya sudah mencongkel lumut itu. Lalu langsung
memakannya dengan lahap. Tak perduli lagi bagaima-
na rasanya, baginya yang panting adalah dia bisa ber-
tahan hidup sambil menunggu kemukjizatan yang da-
pat menolong dirinya keluar dari sumur itu.
Adhinata memang sudah ditakdirkan menga-
lami hal yang aneh-aneh. Perjumpaanya dengan si Ra-
ja Racun telah membawa akibat tubuhnya mengan-
dung racun yang amat hebat. Empat buah gelang besi
berwarna hitam yang terpasang di empat anggota tu-
buhnya adalah empat buah gelang yang sudah diren-
dam dengan racun puluhan tahun dengan bermacam
racun jahat. Semasa hidupnya si Raja Racun telah be-
rambisi menciptakan seorang manusia yang amat luar
biasa yang bakal diperalat untuk menguasai Dunia
Persilatan. Hingga dengan segala daya dia berhasil
menciptakan gelang-gelang besi itu. Apakah yang telah
menyebabkan kematian si Raja Racun itu? marilah ki-
ta ungkapkan peristiwanya.
--000--
Betapa girangnya si Raja Racun tokoh hitam itu
yang telah menemukan Adhinata, yang dianggap cocok
untuk dijadikan bahan percobaan keempat gelang be-
sinya. Si Raja Racun memang telah mendusta Adhina-
ta dengan mengatakan bahwa dia memiliki dua pasang
benda pusaka, yang kalau Adhinata mengingini pasti
dia akan memberikannya. Adhinata yang baru turun
gunung dan belum banyak pengalaman segera kepin-
cut untuk memiliki dua pasang gelang pusaka itu. Ka-
rena menurut Langir Setho bakal menjadikannya seo-
rang yang luar biasa di dunia persilatan.
Demikianlah, Adhinata di bawah ke tempat
tinggal tokoh hitam itu. Selanjutnya dengan menuruti
setiap perintah dan petunjuk si Raja Racun, yang telah
di angkat guru oleh Adhinata, pemuda murid Ki Pa-
nunjang Jagat dari puncak Tangkuban Perahu itu di
proses dengan waktu singkat hingga tubuhnya men-
gandung racun yang amat luar biasa dahsyatnya. Akan
tetapi justru si Raja Racun sendiri tewas tanpa sengaja
karena kecerobohan yang di luar dugaannya.
Keempat buah gelang besi itu telah terpasang di
pergelangan keempat anggota tubuh Adhinata. Dia
memerintahkan pemuda itu menyalurkan tenaga da-
lam untuk menyebarkan pengaruh racun dari keempat
gelang besi ke sekujur tubuhnya. Sebelumnya Adhina-
ta memang telah meminum beberapa macam ramuan
untuk memperkuat tubuh, yang harus dimakannya se
lama waktu satu bulan. Hal itu pernah dicobanya pada
beberapa pemuda yang di Jadikan calon memproses
ide gilanya itu, akan tetapi dari tiga orang pemuda
yang dicobanya itu telah tewas. Hingga si Raja Racun
segera merobah beberapa macam ramuan, dengan me-
nambahi ramuan lain. Hal itu memang berhasil baik
seperti yang telah dicobakan pada Adhinata. Akan te-
tapi Adhinata ternyata tak mampu mengembalikan ra-
cun yang menyebar ditubuhnya ke tempat asalnya yai-
tu keempat buah gelang besi itu. Adhinata memang ti-
dak mati, akan tetapi dia tak sadarkan diri hingga be-
berapa hari.
Tentu saja hal itu amat mengkhawatirkan si Ra
Racun. Berbagai cara dilakukan untuk menyadarkan
Adhinata. Kekhawatiran akan kegagalannya semakin
memuncak karena setelah lewat dua pekan, Adhinata
tetap belum sadar dari pingsannya. Untunglah ra-
muan-ramuan yang dijejalkan di mulut Adhinata dapat
memperkuat tubuhnya untuk masih tetap bisa berta-
han hidup. Sepekan pun berlalu lagi, dan Adhinata te-
tap terkapar tanpa daya. Semakin gelisahlah hati Lan-
gir Setho. Tinggal satu proses lagi yang harus dite-
rapkan pada tubuh pemuda itu. Akan tetapi keadaan
Adhinata semakin memburuk. Nafasnya tinggal satu-
satu.
Akhirnya si Raja Racun ini jadi nekat. Proses
yang satu lagi harus dilaksanakan, yaitu merendam
tubuh Adhinata dalam kubangan air beracun. Tanpa
harus menunggu lama lagi, si Raja Racun segera cem-
plungkan tubuh Adhinata dalam kubangan air bera-
cun yang telah disiapkan. Ketika pemuda yang jadi
bahan percobaannya satupun belum ada yang sampai
pada proses terakhir ini, karena telah keburu tewas di-
awal percobaan. Cuma Adhinatalah yang bisa menca-
pai proses akhir ini. Akan tetapi itupun masih dalam
teka-teki......
-ooOoo-
Tiga hari tiga malam si Raja Racun merendam
tubuh Adhinata dalam kubangan air beracun itu. Se-
lama itu Langir Setho kerahkan tenaga dalamnya un-
tuk membantu menguatkan tubuh Adhinata dengan
saluran tenaga dalamnya ke tubuh pemuda itu. Ter-
nyata hebat akibatnya. Racun yang menyebar di tubuh
Adhinata telah bercampur telah bercampur lagi dengan
racun. Napas pemuda itu sudah semakin gawat. Detik-
detik maut hampir menjelang. Semakin resah hati si
Raja Racun. Kekhawatiran akan kegagalan percobaan-
nya semakin memuncak. Karena bila gagal kali ini bu-
kan saja dia harus memulai segalanya dari nol, akan
tetapi hal ini juga telah menguras habis tenaga dalam-
nya, dan telah merugikan tidak sedikit dari usahanya
yang sia-sia itu.
Dan... pada detik-detik yang mendebarkan itu
ternyata Langir Sheto hampir melonjak karena girang-
nya. Tampak napas Adhinata kembali normal secara
berangsur-angsur.
"Bagus muridku...! kau... kau berhasil! berha-
sil...! hahaha... hehe..." Tertawa gelak-gelak si Raja Ra-
cun karena girangnya. Akan tetapi tiba-tiba dia menje-
rit keras. Cekalan lengannya pada bahu pemuda itu
yang selama tiga hari tiga malam tak pernah lepas un-
tuk menyalurkan tenaga dalam yang mengalirkan ha-
wa hangat ketubuh Adhinata, mendadak sontak di le-
paskan. Terhuyung-huyung tubuh si Raja racun mun-
dur ke belakang. Wajahnya pucat bagai mayat dan
membiru. Akan tetapi tak berlangsung lama, karena
segera tubuh Langir Sheto jatuh menggabruk untuk
selanjutnya berkelojotan bagai ayam disembelih. Dan
kejap berikutnya tubuh si Raja racun sudah tak ber-
kutik lagi dengan keluarnya suara mengorok bagai
kerbau dipotong.
--ooOoo--
Beberapa saat antaranya tubuh si Raja Racun
itupun mencair dengan mengeluarkan bau busuk yang
amat mengganggu hidung. Tewasnya si Raja Racun
yang berhasil dengan percobaannya. Akan tetapi me-
minta korban jiwanya sendiri. Demikian kisah yang di
alami Adhinata, hingga dia menjadi si Manusia Bera-
cun. Betapa amat mengerikan kini keadaan tubuhnya
membuat Adhinata sendiri menjadi serba salah. Kare-
na dengan demikian justru menyulitkan dirinya sendi-
ri.
Masalahnya adalah si Raja Racun telah tewas.
Sedangkan dia tak dapat mengendalikan racun yang
mengendap dalam tubuhnya karena tak mengetahui
caranya. Seandainya dia dapat berfikir secara normal
mungkin hal itu bisa dilakukan. Akan tetapi efek sam-
pingan dari proses yang terjadi pada tubuhnya juga te-
lah merusak jaringan syaraf. Hingga Adhinata tak lebih
dari seorang pemuda tolol. Terkadang dia berambisi
untuk merajai Dunia persilatan, tapi terkadang begitu
ketakutan akan keadaan dirinya. Dan berusaha men-
jauhi manusia, karena dia khawatir untuk menyen-
tuhnya.
—~oOo~—~
ENAM
GIRI MAYANG tertawa sinis menatap Roro Centil, yang telah dikuliti seluruh pakaiannya. Bahkan te-
lah menambah beberapa totokan untuk memperkuat
agar si musuh besarnya tak dapat lepas lagi dari tan-
gannya. Giri Mayang ambil seutas tambang, lalu men-
gikat tubuh kedua pergelangan tangan Roro Centil. Se-
lanjutnya telah mengereknya ke atas pada dua buah
tiang yang menyangga sebuah balok panjang. Rumah
itu adalah sebuah rumah tempat seorang pandai besi.
Si pandai besinya sendiri telah dibunuhnya. Mayatnya
telah di lemparkannya ke sungai di belakang rumah
itu. Tentu saja disana banyak bermacam alat-alat kerja
si pandai besi. Dari tungku tempat bara api, sampai
palu, pahat kikir dan perbagai alat lainnya.
Dan... tungku api itu memang sudah menyala
sejak tadi. Tubuh Roro Centil terayun-ayun pada seu-
tas tambang. Kakinya cuma berada satu jengkal di
atas tanah. Entah kejahatan apa yang akan dilakukan
wanita telengas ini. Dengan bertolak pinggang Giri
Mayang menatap tubuh Roro dengan tersenyum sinis.
"Hm, bentuk tubuhmu memang patut dikagumi
Roro Centil! Memang membuat aku jadi mengiri! Hihi-
hi... akan tetapi tak lama lagi aku akan membuat kulit
tubuhmu yang putih itu menjadi seperti kulit macan
loreng...!" Berkata Giri Mayang seraya perdengarkan
suara tertawa mengikik dan terpingkal-pingkal geli.
"Heh, mengapa tak kau bunuh mampus saja
aku sekalian?" bentak Roro. Ternyata totokan pada
urat suaranya telah dibuka oleh Giri Mayang. Mak-
sudnya memang dia ingin mendengar suara Roro yang
menjerit-jerit ketika menjalani siksaan darinya.
"Hihih... hihi... aku memang mau membunuh
mu Pendekar Perkasa! Akan tetapi secara pelahan-
lahan. Biar kau rasakan enaknya menjalani kematian
dengan caraku ini...!" sahut Giri Mayang dengan terse-
nyum dingin. Selesai berkata Giri Mayang beranjak
menghampiri tungku. Bara api menyala di dalamnya
Dan tampak beberapa batang besi telah terbakar me-
rah membara. Giri Mayang meraih sebatang besi yang
sudah membara ujungnya itu.
Lalu beranjak mendekati Roro Centil.
"Ck, ck, ck.... sayang, tubuh mulus mu itu
akan menjadi buruk, Roro Centil. Bersiap-siaplah un-
tuk menahan rasa sakit...!" Berkata Giri Mayang den-
gan suara dingin. Membeliak sepasang mata Roro Cen-
til. Baru sekali inilah dia kena dikerjai orang. Bahkan
justru berhadapan dengan wanita sadis yang memben-
cinya setengah mati. Tak dapat dibayangkan Roro bak-
al menjalani siksaan yang tidak ringan.
Sepasang mata Giri Mayang menjalari sekujur
tubuh Roro. Dan... besi panjang bergagang kayu yang
ujungnya merah membara itu sudah bergerak mende-
kati tubuh Roro. Beberapa detik lagi Giri Mayang akan
mendengar suara jerit kesakitan dari tubuh Roro Cen-
til. Akan tetapi tiba-tiba....
"Tunggu...!" Terdengar suara teriakan yang me-
nahannya. Besi panas itu sudah tinggal beberapa inci
lagi dari kulit tubuh Roro. Terpaksa Giri Mayang hen-
tikan gerakannya, untuk segera berpaling ke arah sua-
ra barusan. Tampak sesosok tubuh berkelebat masuk
ke dalam ruangan.
"Weiaaaah, sabar dulu sobat Kelabang Kuning!
welaah, welaaah, sayangnya kalau kulit yang putih
mulus itu kau bikin cacad...!" Berkata sosok tubuh itu
yang ternyata adalah seorang laki-laki yang sikapnya
amat genit. laki-laki ini berusia sekitar 40 tahun. Ber-
tubuh jangkung, dan berbaju gombrong hingga mirip
orang kedodoran. Wajahnya tampak lucu, tanpa kumis
dan jenggot. Sebelah telinganya memakai anting-anting
besar. Melihat kemunculan laki-laki aneh ini tampak
Giri Mayang disamping terkejut, juga mendongkol se
kali. Laki-laki yang sikapnya genit ini adalah adik tiri
ayahnya yang sudah tewas. Bernama PORAK SUPIH.
Porak Supih inilah yang memperkenalkan dirinya den-
gan si nenek mata juling, yang cuma memberi waktu
dua hari padanya untuk segera membunuh Roro.
Bahkan Girl Mayang telah pula mengangkat si
nenek mata juling itu sebagai gurunya. Giri Mayang
memang belum menerima tambahan ilmu, akan tetapi
nenek yang mempunyai "piaraan" tujuh makhluk ker-
dil (siluman) itu telah beberapa kali membantunya.
Walaupun si nenek mata juling itu sendiri belum resmi
mengangkat Giri Mayang menjadi muridnya. Hubun-
gan apakah si nenek mata juling dengan Porak Supih?
Tak lain dan tak bukan wanita tua renta mata juling
itu adalah ibunya sendiri.
"Mau apa kau muncul disini, paman Porak Su-
pih. Sekali ini kuminta kau tak mencampuri urusanku!
Segera keluarlah...! aku tak mau kau mengganggu aca-
ra ku!" Berkata Giri Mayang dengan suara tegas dan
hati mangkel. Akan tetapi Porak Supih malah cengar-
cengir dan garuk kepala yang tidak gatal. pasang ma-
tanya menjalari sekujur tubuh Roro dengan membinar
binal. Seraya ujarnya.
"Welaaah...! Kelabang Kuning! sombong kali
kau ini, bah...! Berilah aku kesempatan untuk masya
dulu dengannya, alangkah menyesalnya kalau kesem-
patan yang langka ini tersia-sia! Kudengar wanita yang
kau tawan ini adalah seorang Pendekar Wanita kena-
maan. Ooh... alangkah sayangnya... Welaah, welaah!
aku tidak mau pergi!" Berkata Porak Supih yang telah
semakin kurang ajar menatap Roro yang dalam kea-
daan tanpa penutup aurat tubuh. Perbuatan Giri
Mayang memang sudah sangat keterlaluan. Dan diam-
diam apa yang telah diperlakukan Giri Mayang ini te-
lah dicatat direlung hati Roro. Di ukir dibenak tanpa
bisa dihapus lagi.
Mendengar jawaban kata-kata Porak Supih, Gi-
ri Mayang semakin mendongkol. Akan tetapi mengingat
laki-laki ini masih ada hubungan famili dengan ayah-
nya, Giri Mayang jadi serba salah kalau harus lakukan
kekerasan untuk mengusirnya. Apa lagi Porak Supih
sudah banyak menanam jasa padanya. Dan.. kali ini
Giri Mayang memohon dengan halus.
"Paman Porak Supih...! si Roro Centil ini adalah
musuh besar yang telah membunuh ayahku. Biarlah
aku memberinya siksaan pedih. Aku akan membuat-
nya mati secara perlahan-lahan. Bahkan dia juga mu-
suh nenek NORI...!" Ujar Giri Mayang dengan suara
datar. Nenek Nori yang dimaksud adalah si nenek ma-
ta juling.
Akan tetapi membersit perasaan mengiri dan
cemburu, ketika melihat sepasang mata Porak Supih
sejak tadi tak berkejap-kejap merayapi kemulusan tu-
buh Roro ke setiap lekuk liku dengan pandangan mata
membinar. Bahkan kata-kata Giri Mayang seperti tak
didengarnya.
"Heh... heh... walau bagaimana tak kuperke-
nankan kau menyiksanya! Aku sudah benar-benar ja-
tuh hati padanya... dan... aku... aku sudah tak kuat
untuk menahan lagi!" Berkata Porak Supih seraya be-
ranjak melangkah mendekati tubuh Roro yang meng-
gantung tak mau bergerak.
Akan tetapi tiba-tiba...
"Tunggu...! tak kuperkenankan pula kau me-
nyentuhnya, kecuali..." Bentak Giri Mayang. Besi pa-
nas yang merah membara itu telah meluncur, mena-
han langkah tindakan kaki Porak Supih. Dan... besi
panas itu cuma tinggal berjarak setengah jengkal dari
leher Porak Supih. Terpaksa laki-laki ini hentikan
langkahnya. Kedipan mata wanita itu membuat Porak
Supih mengerti. Segera saja dia tertawa bergelak dan
berkata.
"Beres...! untuk jasamu ini aku pasti akan
membalas dengan yang lebih baik...!"
"Nah, beri aku lewat...! kelak kalau sudah hi-
lang penasaran ku, baru ku persilahkan kalau kau
mau menyiksanya atau mencabut nyawanya...!" Lan-
jutnya dengan gerakan lengan menepiskan besi panas.
Aneh! serangkum hawa dingin telah menyambar besi
panas membara itu, dan... CHESSSSS...! Terdengar
bunyi seperti bara disiram air. Ujung besi panas yang
merah membara itu seketika kembali menghitam kepu-
tih-putihan, serta menimbulkan asap tipis akibat pa-
damnya ujung besi membara itu.
Dan... sekali lompat dia sudah berada di hada-
pan Roro. Sepasang lengannya bergerak untuk mende-
kap tubuh Roro Centil, dengan nafsu yang sudah
menggelagak tak terbendung lagi.....
DHESS...! BRRAAKKK...!
Terdengar suara jeritan parau disertai terlem-
parnya tubuh Porak Supih yang membentur dinding
ruangan rumah, menimbulkan bergedubrakan. Dua
tiang penyangga tempat menggantung tubuh Roro ta-
hu-tahu telah patah berubah menjadi beberapa po-
tong. Dan tambang yang mengikat Roro telah putus.
Bahkan Roro Centil sendiri sudah tak ada disana.
Apakah yang terjadi?
WHUUKK...! tahu-tahu serangkum angin telah
menyambar tubuh Giri Mayang yang terpukau dengan
mata membelalak. Wanita itu terdengar teriakan terta-
han, seraya jatuhkan diri bergulingan.
PRRASS...! Tanah di tengah ruangan itu me-
nyemburat berlubang. Tubuh Giri Mayang berguling-
guling menghindari serangan dahsyat yang tak diketa-
hui siapa penyerangnya. Sambaran-sambaran angin
dahsyat yang bisa membuat tubuhnya hancur luluh
itu mengejar tubuhnya tiada henti.
BRRRAAKKK...! Dengan satu teriakan keras,
Giri Mayang berhasil menerobos keluar ruangan den-
gan melompat ke atas menjebol atap genting. Beberapa
kejap kemudian wanita itu sudah jejakkan kaki di luar
rumah. Terengah-engah nafas Giri Mayang. Wajahnya
pucat bagai kertas. Jantungnya berdebaran. Akan te-
tapi baru saja dia bernafas lega, lagi-lagi angin keras
menyambar dahsyat...
BHLAARRR...! Batu-batu beterbangan hancur.
Dan untuk yang kesekian kalinya wanita ini berhasil
menyelamatkan diri dari maut dengan melompat tinggi
mencelat pergi dari tanah yang dipijaknya. Jantungnya
terasa copot, ketika dia jejakkan lagi kakinya di tanah,
sebuah bayangan tubuh telah berkelebat... dan sekejap
telah berdiri di hadapannya.
"Hah...!???... kka... kau... (glek...!) Giri Mayang
menelan ludah. Terasa kelu tenggorokannya untuk
berteriak kaget. Ternyata bagaikan area telanjang yang
mengerikan sesosok tubuh telah berdiri di hadapan-
nya. Siapa lagi kalau bukan Roro Centil. Yang mem-
buat jantung Giri Mayang menyentak kerai adalah di
lengan dara ini telah tercekal sebuah kepala manusia
yang dijambak rambutnya. Potongan kepala manusia
itu tak lain dari kepala Porak Supih. Dara menetes tu-
run memercik di atas batu yang di injaknya. Dan selu-
ruh Rambut Roro Centil berdiri menegang ke atas ba-
gaikan duri-duri landak. Sepasang matanya meman-
carkan hawa pembunuhan yang membuat nyali Giri
Mayang seketika seperti meleleh. Keringat dingin men-
gembun dan menetes dari sekujur tubuhnya. Seolah-
olah dia tidak melihat manusia lagi, akan tetapi seperti
melihat malaikat maut yang berdiri di hadapannya.
"Alih.... am... ampuni nya.. nyawaku.. nona...
nona Pendekar.... Berkata Giri Mayang dengar suara
gemetar. Akan tetapi sebelah lengan Roro Centil malah
terangkat ke arahnya. Tersentak Jantung wanita ini.
Sebelum sesuatu yang mengerikan terjadi, Giri Mayang
telah genjot tubuhnya untuk kabur...
Cepat sekali Giri Mayang angkat langkah seribu
menyelamatkan jiwanya. Nyalinya sudah hilang lenyap
untuk menghadapi Roro Centil yang sudah berubah
mengerikan. Ternyata Roro Centil batalkan menghan-
tam wanita itu dengan pukulan dahsyatnya. Lengar
bergerak menjumput sebutir batu. Sekali remas han-
curlah batu itu jadi beberapa kerikil kecil. Dan...
WHUURR...! Segenggam kerikil itu sudah me-
luncur deras mengejar tubuh Giri Mayang yang ber-
lompatan melarikan diri. Terdengar suara menjerit wa-
nita itu. Tubuhnya menggelinding jatuh. Akan tetapi
segera bangkit lagi dengan tubuh luka-luka. Beberapa
butir kerikil telah membenam di anggota tubuhnya.
Dan Giri Mayang terus berlari jatuh bangun. Hingga
beberapa saat kemudian sudah lenyap dibalik batu
tebing.....
Ternyata Roro Centil tidak mengejar. Melainkan
berkelebat kembali menuju ke rumah pandai besi,
tempat tinggal sementara Giri Mayang alias si Kela-
bang Kuning itu. WHUUUSS...! Dia telah lemparkan
kepala Porak Supih ke arah sungai di belakang si pan-
dai besi. Lalu berkelebat masuk kembali ke dalam ru-
mah. Apakah sebenarnya yang telah terjadi, hingga Ro-
ro dapat terlepas dari belenggu dan pengaruh totokan
pada tubuhnya?
Kiranya diam-diam Roro Centil telah berhasil
melepaskan diri dari pengaruh totokan. Hawa murni
yang dikumpulkan di pusar berhasil menyebar untuk
membuka totokan. Roro Centil memang mempunyai
tenaga dalam tinggi yang sudah jarang tandingannya.
Pengaruh totokan si nenek mata juling sebenarnya te-
lah sirna karena Roro terus menerus kerahkan tenaga
dalam untuk mengalirkan hawa murni ke sekujur tu-
buhnya. Akan tetapi Roro Centil memang belum mam-
pu bertindak, karena untuk mengembalikan kenorma-
lan aliran darah memakan waktu beberapa saat lagi.
Tak dinyana Giri Mayang telah menambahnya
dengan totokan lagi, memperkuat totokan si nenek ma-
ta juling. Bahkan lalu membuka pakaiannya. Selanjut-
nya telah mengikat kedua lengannya. Lalu menggan-
tung tubuhnya pada dua tiang penyangga balok. Pada
saat besi panas membara itu sudah siap menggores
kulit tubuh, sebenarnya Roro sudah terlepas dari pen-
garuh totokan Giri Mayang yang berhasil tembus oleh
hawa murni dari dalam tubuh Roro.
Demikianlah, hingga kemudian muncul Porak
Supih...
Ketika Porak Supih rentangkan tangannya un-
tuk memeluk tubuh Roro, si Pendekar Wanita Pantai
Selatan ini langsung hantamkan kakinya hingga tubuh
Porak Supih terlempar dengan tulang-tulang bagian
dalam tubuhnya remuk. Lalu memutuskan tali dan
menghantam kedua penyangga itu hingga patah men-
jadi beberapa potong. Selanjutnya menerjang Giri
Mayang, yang ternyata masih mampu menyelamatkan
diri.
Ketika Giri Mayang menjebol atap wuwungan,
Porak Supih ternyata masih bisa lakukan serangan
bokongan dengan hamburan ratusan jarum beracun!
Untunglah Roro Centil punya naluri yang teramat pe-
ka. Sambaran halus dari serangkuman senjata rahasia
itu berhasil dipunahkan dengan kibasan rambutnya.
Selanjutnya dengan geram, Roro Centil balik-
kan tubuh... Dan apakah yang di lakukannya? Ternya-
ta sekali lengannya bergerak, Roro telah puntirkan ke
pala orang dengan menjambak rambutnya. Sekali sen-
takkan, putuslah kepala itu dari tubuhnya. Selanjut-
nya melesat mengejar Giri Mayang. Dan kembali
menghantam wanita itu dengan pukulan-pukulan
maut. Namun berakhir dengan mengalahnya Roro Cen-
til, karena Roro memegang janji. Hingga loloslah Giri
Mayang dari maut......
Ketika Matahari merayap naik hampir tepat di
atas kepala, Roro Centil sudah tinggalkan lereng bukit
yang telah membawa peristiwa maut. Terdengar suara
helaan napas si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Per-
bagai peristiwa telah banyak dialami. Akan tetapi pen-
galaman barusan telah membuka matanya betapa ba-
nyaknya manusia licik di kolong jagat ini. Juga manu-
sia-manusia berakhlak bejat yang mengumbar nafsu
seenaknya. Porak Supih ternyata sudah dikenali Roro
Centil, ketika dalam salah satu pengembaraanya men-
dengar akan kebrutalan laki-laki aneh beranting-
anting sebelah itu. Entah berapa banyak suami dari
wanita-wanita yang diingini telah dibunuh. Dan mem-
perkosa mereka. Bahkan tidak jarang wanita yang su-
dah hamil akibat perbuatannya itu dibunuhnya pula.
Roro pernah mengejar Porak Supih untuk menangkap-
nya dan menyerahkannya pada seorang Tumenggung
di salah satu wilayah Kerajaan kecil dipesisir laut Pu-
lau Jawa di wilayah selat Sunda. Akan tetapi Porak
Supih berhasil meloloskan diri. Hingga ketika men-
jumpai Porak Supih muncul di hadapannya, Roro tak
memberinya kesempatan untuk hidup lagi.
Dengan perdengarkan suara tertawa tawar, Ro-
ro Centil berkelebat menuju ke arah barat.......
—~oOo~—~
DELAPAN
Tiga-hari tiga malam telah dilewati Adhinata
yang mendekam di dasar sumur... Selama itu tak ada
lain pekerjaan Adhinata selain menghitung-hitung jari-
jari tangan dan kakinya. Atau mencabuti bulu-bulu
yang tumbuh di badannya. Kalau sudah bosan dengan
"pekerjaan" itu tak ada lagi keisengan lain selain ma-
kan lumut. Dan kalau perutnya sudah kenyang terisi,
hawa mengantuk pun datang. Tidurlah dia dengan
menggeros. Demikianlah nasib Adhinata selama terku-
rung di dasar sumur. Tak terasa haripun kembali men-
jadi gelap lagi. Datangnya malam ternyata begitu cepat,
karena bila hawa dingin menyelimuti sekitar lubang
Adhinata cuma bisa menggigil kedinginan. Untunglah
ingatannya mulai agak pulih, dan dia dapat segera sa-
lurkan hawa hangat dari tenaga dalamnya untuk men-
gusir hawa dingin yang menyungsum tulang.
Adhinata memang sudah tak perduli lagi akan
nasibnya. Bahkan sudah tak ingat lagi berapa hari su-
dah dia bersemayam di dasar sumur itu. Pada hari ke-
sembilan pemuda ini kerutkan keningnya, karena
mendengar suara jeritan kaget dari atas lubang. Dan
bersamaan itu batu-batu kecil berjatuhan meluruk
atas kepala. Alangkah terkejutnya Adhinata ketika
menengadah ke atas, melihat sesosok tubuh melayang
ke bawah.
"Haaii...! ada orang terperosok ke lubang sialan
ini...!" Sentaknya kaget. Tak ayal dia sudah bangkit
berdiri. Dan.... tentu saja lengannya dengan cepat se-
gera terentang untuk selanjutnya sudah menangkap
tubuh orang yang jatuh terperosok itu.
KREP...! Sekejap kemudian sosok tubuh itu su-
dah berada dalam rengkuhan sepasang tangannya
yang kuat. Orang itu perdengarkan suara keluhan li-
rih. Segera saja Adhinata sudah dapat menduga kalau
sosok tubuh itu adalah seorang wanita. Karena terasa
ada dua buah benda lunak yang menempel ke dada.
"Bagus...! kebetulan, kini aku punya seorang
teman...!" Berdesis mulut Adhinata dengan sepasang
matanya membeliak lebar memperhatikan wajah
orang. Akan tetapi tiba-tiba wajah Adhinata berubah
pucat. "Celaka...! aku tak boleh menyentuhnya!" desis-
nya kaget. Dan serta-merta Adhinata melepaskan pon-
dongannya. Tubuh wanita itu jatuh berdebam ke tanah
lembab. Dan Adhinata melompat ke sisi lubang.
Jantungnya berdetak keras. Sepasang matanya
memperhatikan tubuh wanita itu dengan cemas.
Segera terbayang akan apa yang bakal terjadi.
Tak lama lagi di tempat itu akan ada sesosok mayat
yang daging tubuhnya mencair, menimbulkan bau bu-
suk. Ooh, alangkah tidak menyenangkan...! Akan teta-
pi ditunggu sekian lama tak ada terjadi apa-apa den-
gan wanita itu. Bahkan si wanita itu sendiri sudah
membuka sepasang matanya. Dan menggeliat untuk
bangkit berduduk. Sepasang matanya menatap pada
Adhinata dengan tatapan heran. Bibirnya tampak ter-
getar berucap.
"Ah... siapakah.. anda...?"
"Heh? kau tak apa-apa...? Aneh...! Tubuhku
mengandung racun! aku... aku telah menyentuh mu...!
Sukurlah kau tak apa-apa...! Namaku Adhinata!" Tu-
kas Adhinata dengan wajah gerang melihat wanita itu
tak terkena racun. Hal itu amat mengherankan Adhi-
nata. Hingga terlongong Adhinata menatap wanita itu
yang tak lain dari Giri Mayang adanya. Entah apa yang
terjadi hingga wanita telegas itu bisa jatuh terperosok
ke dalam lubang. Giri Mayang sendiri pun terlongong
keheranan, karena tak menyangka dirinya masih hidup. Dia memang dalam keadaan tanpa daksa. Bebe-
rapa luka ditubuhnya akibat serangan Roro Centil
dengan batu kerikil, telah mematikan beberapa urat ja-
lan darah di tubuhnya.
Dia memang berhasil meloloskan diri dari maut
karena Roro tak mengejar. Bahkan tak memperdulikan
lagi pada Wanita itu. Padahal Giri Mayang masih be-
lum beberapa jauh, karena tak dapat berlari cepat.
Bergelindingan tubuh Giri Mayang dengan luka-luka
pada tubuhnya. Namun dia masih bisa bangkit untuk
berlari dan berlari... Kembali kakinya tersaruk, dan dia
jatuh terguling. Kali ini dia tak dapat bangkit lagi. Se-
luruh urat darahnya terasa ngilu. Dan mengeluhlah
dia panjang pendek.
Untunglah Roro Centil tak menampakkan diri.
Namun begitu takutnya Giri Mayang, hingga dia sem-
bunyi dibalik sebongkah batu. Demikianlah. Berhari-
hari dia harus menahan lapar karena tubuhnya tak
dapat digerakkan sama sekali. Luka-luka kecil pada
sekujur tubuhnya mulai membengkak. Merintih dia
menahan sakit. Akhirnya dengan kuatkan diri dia me-
rangkak untuk mencari makanan yang bisa dimakan.
Sekitar tempat itu amat gersang. Cuma batu-batu me-
lulu yang terlihat. Susah payah dia mendaki lereng-
lereng berbatu terjal itu dengan setengah menangis.
Siang hari yang panas terik itu dia telah hampir
tiba di ujung bukit batu. Beberapa tombak lagi sudah
terlihat hutan dengan pepohonan yang menghijau. Dia
mengharapkan akan menjumpai sebuah desa. Atau
seorang penduduk desa yang lewat. Dan akan selamat-
lah dia dari penderitaan. Akan tetapi sungguh tragis.
Di saat dia sudah berjuang setengah mati, justru bera-
kibat fatal. Akar pohon beringin yang di raihnya telah
terlepas karena kakinya tergelincir. Dan... menggelin-
dinglah tubuhnya ke bawah tebing. Sungguh sukar
disangka kalau ternyata Giri Mayang telah terjerumus
masuk ke sumur dimana Adhinata berada di dasarnya.
Itulah peristiwa yang telah dialami wanita itu.....
"Ah ... terima kasih atas pertolonganmu...!"
Berkata Giri Mayang dengan wajah menampilkan kegi-
rangan luar biasa mendapati dirinya masih dapat se-
lamat dari maut untuk yang kesekian kalinya.
"Tampaknya kau terluka, kulihat banyak bekas
darah sekujur tubuhmu...!"Berkata Adhinata dengan
menjalari sekujur tubuh wanita itu dengan pandangan
matanya.
"Benar...!" sahut Giri Mayang." Akan tetapi lu-
ka-luka ini bukan bekas aku jatuh menggelinding, me-
lainkan aku diserang musuh besarku!" sambungnya li-
rih. Adhinata kerutkan lagi alisnya.
"Siapa musuh besarmu...?" Tanya Adhinata.
Pertanyaan itu membuat wajah Giri Mayang jadi beru-
bah seketika. Sepasang matanya memancarkan cahaya
dendam yang berapi-api. Bibirnya tergetar mengucap-
kan kata-kata... "Dialah yang bernama Roro Centil.
Wanita iblis itu telah menyiksaku setengah mati. Heh!
kelak aku akan membalasnya perlakuan kejinya!" Se-
mentara Adhinata diam-diam mulai memperhatikan
wajah wanita itu yang menurut pandangannya cukup
cantik. Dan hatinya ternyata telah tertarik padanya.
"Musuh besarmu itu kalau aku bisa keluar dari
dalam sumur celaka ini pasti aku lumatkan tubuhnya!
siapakah namamu, nona...?" Bertanya Adhinata. "Na-
maku Giri Mayang. Dan kau... mengapa bisa berada
didalam sumur ini?" Tanya pula Giri Mayang setelah
menjawab pertanyaan Adhinata. Hahaha... nasibku
sama seperti nasibmu. Aku pun Jatuh terperosok ke
dalam sumur celaka ini karena dikejar orang!" jawab
Adhinata.
"Dikejar orang? Apakah kesalahanmu?"
"Tubuhku mengandung racun yang amat hebat.
Apapun benda bernyawa yang ku sentuh pasti menga-
lami keracunan hebat, dan... mati! Itulah sebabnya
aku terperosok ke dalam lubang celaka ini, karena
menghindari buruan dari manusia-manusia yang
membunuhku! Dan yang mengejarku waktu itu adalah
si perempuan bernama Roro Centil, yang khabarnya
adalah seorang Pendekar Wanita yang berilmu tinggi!".
Tutur Adhinata. Tercenung Giri Mayang dengan mena-
tap heran. Mengapa nasib mereka bisa hampir bersa-
maan? Pikir Giri Mayang. Mendengar penuturan bah-
wa tubuh pemuda itu mengandung racun yang amat
hebat, justru membuat dia bertanya.
"Kau katakan tubuhmu mengandung racun,
mengapa kau telah menyentuh ku aku mengalami ke-
racunan apa-apa?"
"Itulah anehnya...!I aku sendiri juga heran. Pa-
dahal aku sudah menduga kau pasti tewas! Bahkan si
RIRIWA BODAS musuh guruku si Raja Racun telah
tewas karena beradu pukulan dengan denganku!" Ber-
kata Adhinata. Sekonyong-konyong ingat akan hal itu.
Padahal Adhinata sebelumnya ingat sama sekali.
"Ha...? Jadi kaukah yang telah membuat kema-
tian Ririwa Bodas?" Tanya Giri Mayang dengan tersen-
tak kaget.
"Hahaha... benar! bahkan si Raja Racun sendiri
yang telah ku angkat sebagai guru baruku juga tewas
karena terkena racun tubuhku...!" Melengak Giri
Mayang. Tahulah kini dia kalau sebenarnya Adhinata
Adalah orang yang pernah disebut gurunya, yaitu si
Ririwa Bodas untuk bertarung mengadu kesaktian
dengannya. Dan sang guru sendiri juga akan menga-
dakan pertarungan mengadu kesaktian dengan si Raja
Racun itu. Tak dinyana Giri Mayang tak mengetahui
lagi nasib sang guru. Karena belum waktunya tiba saat
perjanjian pertarungan mengadu kesaktian, Giri
Mayang telah kena dipecundangi Roro Centil.
Giri Mayang memang segera kembali untuk
menjumpai gurunya. Namun goa tempat tinggal sang
guru telah runtuh teruruk, entah akibat gempa entah
dihancurkan orang. Tak diketahuinya lagi kemana le-
nyapnya sang guru. Namun akhirnya dijumpainya juga
mayat si Ririwa Bodas yang segera dikenali olehnya.
Akan tetapi sudah dalam keadaan hampir tinggal tu-
lang belulang. Cuma dari ruas tulang dan sepasang tu-
lang kaki yang amat besar itulah menguatkan dugaan-
nya kalau kerangka dengan daging membusuk itu ada-
lah kerangka mayat si Ririwa Bodas.
Seperti sudah menjadi kebiasaannya Giri
Mayang selalu berhasil mencari pengganti guru. Si Ri-
riwa Bodas itu entah gurunya yang ke berapa. Akan te-
tapi kesemuanya itu dibunuh mati olehnya setelah
mendapatkan ilmu, tentu sang guru tewas dibunuh
orang. Karena hampir rata-rata guru yang menjadi pi-
lihannya adalah tokoh-tokoh golongan hitam.
Sukar diduga kalau ternyata kedua orang mu-
rid dari dua tokoh golongan hitam itu bisa bertemu.
Dan kejadian ini terjadi kelak akan membuat gempar-
nya dunia persilatan. Dan gegernya wilayah Kota Raja.
Karena beberapa bulan kemudian....
"Suamiku Adhinata...! kita akan Jadi sepasang
manusia yang ditakuti dan berkuasa di Rimba Hijau!
Bagaimana kalau kita merebut sebuah Kerajaan kecil
dipantai pesisir Pulau Jawa. Setelah puas kita berse-
nang-senang, segera kita rebut kerajaan lainnya satu
persatu. Wilayah kerajaan kita akan menjadi semakin
besar dan luas! Hihihi... dengan kehebatan racun yang
berada di tubuhmu, dengan mudah kita akan menum-
pas siapa saja yang tak kita ingini, termasuk si Roro
Centil itu! Bahkan masih banyak lagi kaum pendekar
golongan putih musuh-musuh kita yang harus kita
tumpas sampai tuntas! Dan... selama itu aku akan te-
tap setia di sampingmu...!" Berkata Giri Mayang. Wani-
ta ini duduk di atas punggung kuda yang tetap, kekar
berkulit coklat kehitaman. Pakaiannya dari kain sutera
yang mahal dengan bermacam perhiasan tergerai di
leher, lengan dan kaki. Tiga buah tusuk konde emas
terselip digelung rambutnya. Tak ubahnya Giri Mayang
bagaikan istri seorang bangsawan kaya raya. Atau bisa
pula mirip seorang permaisuri sebuah Kerajaan. Se-
mentara Adhinata berpakaian warna abu-abu dengan
ikat pinggang emas. Sebuah keris terselip di belakang
punggungnya. Ikat kepalanya bersulamkan benang
emas yang gemerlapan. Pada Ikat pinggangnya tergan-
tung sebuah buntalan kecil yang sudah dapat diduga
berisi uang emas dan perhiasan.
—~oOo~—~
SEMBILAN
ADHINATA berjalan pelahan menuntun kuda
yang dinaiki Giri Mayang. Tak ubahnya bagaikan seo-
rang anak bangsawan yang menuntun kuda seorang
putri Raja. Sedangkan di belakangnya adalah sebuah
rumah gedung milik seorang pembesar kerajaan yang
sudah dalam keadaan porak poranda. Puluhan mayat
bergelimpangan dengan keadaan mengerikan. Karena
hampir setiap mayat tak ada yang bertubuh utuh.
Masing-masing sudah mirip tengkorak, dengan daging
membusuk yang menimbulkan bau tak sedap.
"Apapun yang kau ingini pasti akan aku kabul-
kan, isteriku...! Apakah kau tak berhasrat menempati
gedung Pembesar Kerajaan ini...?"
"Heh! aku sudah bosan berdiam di wilayah ini.
Bukankah kita ini Pengantin baru? Aku ingin berbulan
madu di tempat yang tenang. Kejadian ini pasti akan
menggemparkan wilayah Kota Raja. Dengan demikian
apakah kita bisa mendapat ketenangan?" Tukas Giri
Mayang.
"Hahaha... kau benar istriku! marilah kita cepat
tinggalkan tempat ini. Kulihat cuaca sudah
hampir gelap!" Berkata Adhinata. Lalu melompat ke
atas punggung kuda di belakang Giri Mayang. Sebelum
keprak kudanya, pemuda ini peluk dulu tubuh "is-
tri"nya dengan mesra. Bahkan menciumnya dengan
gairah.
"Hihihi... sudahlah, suamiku...! mari kita be-
rangkat!" Berkata Giri Mayang dengan suara lirih Ad-
hinata mengangguk. Dan.....sesaat kemudian seekor
kuda dengan dua orang penunggangnya telah men-
congklang lari dengan pesat meninggalkan tempat itu.
Sementara dilangit cuaca mulai semakin gelap. Awan
hitam menyebar ke arah barat dengan hembusan an-
gin cukup kencang. Kuda dengan dua penunggang itu
semakin menjauh. Dan akhirnya lenyap dibalik tikun-
gan jalan menuju kesatu rumput sisi hutan......
-oOo-
Tiga orang prajurit tampak berlari-lari mema-
suki pintu gerbang Istana. Empat orang Kepala Pen-
gawal segera menyongsongnya. Mereka baru saja mau
berangkat menjalankan tugas, dengan beberapa belas
prajurit yang telah disiapkan. "Hai ....!? apa yang telah
terjadi? cepat katakan!" Salah seorang prajurit segera
bicara dengan tanggap keterangan tergagap.
"Celaka...! gedung gusti telah kemasukan sepa-
sang perampok! Mereka telah membunuhi prajurit. Entah bagaimana nasib gusti Patih sendiri hamba tak
mengetahui...!" Ujarnya, lalu lanjutkan laporannya.
"Pembunuhan itu seram sekali! pu... puluhan prajurit
dan rakyat sekitar yang turut menempur kedua pe-
rampok itu telah mati keracunan...!" Ketiganya adalah
prajurit-prajurit dari gedung kepatihan yang masih
tinggal hidup dan sempat meloloskan diri dari maut.
Terbelalak empat pasang mata ke empat kepala
pengawal itu. Segera hampir berbareng mereka berkata
tertahan.
"Manusia Beracun...!" sentak mereka kaget. Ce-
laka...! manusia itu telah muncul lagi! kita terlambat
mengetahui!" Berkata salah seorang dengan wajah pu-
cat.
"Cepat beri laporan pada gusti Senapati...!" pe-
rintah seorang kepala pengawal pada anak buahnya.
Segera salah seorang prajurit berlari memasuki ruang
pendopo. Akan tetapi justru Senapati Kerta Bum! telah
muncul di pintu pendopo Istana.
"MANUSIA BERACUN itu telah muncul, gusti
Senapati...!" lapor prajurit itu. Lalu laporkan apa yang
di dengar tadi. Laporan singkat itu membuat wajah
Senapati Kerta Bumi berubah pucat.
"Bagaimana nasib Ki patih!?" tanya Senapati
Kerta Bumi.
"Entahlah, menurut yang kami dengar belum
diketahui nasibnya...! sahut prajurit itu. Ke empat ke-
pala pengawal segera datang menyusul untuk meng-
hadap.
"Benarkah laporan yang kudengar bahwa si
Manusia Beracun membantai prajurit di Kepatihan?"
Tanya Senapati Kerta Bumi.
"Benar sekali gusti Senapati, cuma tiga orang
prajurit itu yang berhasil meloloskan diri. Si manusia
beracun itu bersama seorang wanita. Mereka merampok dan membunuhi para pengawal...!" tutur salah
seorang kepala pengawal. Senapati Kerta Bumi segera
perintahkan ketiga prajurit kepatihan itu untuk meng-
hadap dan melapor sekalian pada Baginda Raja. Dari
keterangan ketiga prajurit itu segera diketahui siapa
adanya wanita pendamping si manusia beracun. Yaitu
Giri Mayang. Karena mereka telah mengenali wanita
itu, yang pernah membuat heboh dengan ular-ular si-
luman ciptaan gurunya membunuh habis keluarga
Adhipati Banjaran.
Tercenung Senapati Kerta Bumi. Ada perasaan
ngeri juga di hatinya. Akan tetapi dia segera perintah-
kan empat kepala pengawal yang baru diangkat belum
lama itu untuk segera membagi tugas menyelidiki,
menguntit kemana kepergiannya si Manusia Beracun.
Empat kepala Pengawal segera membagi tugas
pada kelompok prajuritnya. Lalu bergegas menuju ke
wilayah gedung Kepatihan yang terletak di sebelah ti-
mur Kota Raja. Pengejaran untuk menyelidiki kemana
perginya si Manusia Beracun ternyata mengalami ke-
gagalan. Karena si manusia beracun sudah lenyap me-
ninggalkan wilayah itu. Tak seorangpun menemukan
jejaknya. Kejadian mengerikan itu telah membuat
Senapati Kerajaan Sunda Kelapa itu merobah
keputusan untuk menumpas si Manusia Beracun,
yang sudah jelas diperalat oleh Giri Mayang, si wanita
yang masih menjadi buronan Kerajaan. Ratusan laskar
telah disebar ke segenap penjuru wilayah Kerajaan
Sunda Kelapa. Demikianlah kekalutan yang melanda
di wilayah kerajaan itu. Ternyata ki Patih Lengser She-
ta telah tewas berikut seluruh keluarganya, yang dida-
pati para prajurit penyelidik di dalam kamarnya...
Kejadian ini hampir mirip dengan kematian Ad-
hipati Banjaran yang tewas oleh ular-ular siluman. Be-
danya kini si Manusia Beracun itulah yang membuat
mayat-mayat bergelimpangan, dan membunuh habis
keluarga Patih Kerajaan Sunda Kalapa. Hujan turun
yang turun rintik-rintik membuat suasana di halaman
gedung Kepatihan tampak semakin seram juga meng-
harukan..........
Tak seorang pun dari para petugas Kerajaan
yang berani menyentuh mayat yang berkaparan itu.
Dan akhirnya mereka menyingkir dari gedung Kepati-
han karena datangnya malam yang gelap gulita mem-
buat mereka ngeri untuk berjaga di sekitar gedung itu.
--000--
DUA HARI KEMUDIAN.
Menjelang Pagi, di sebuah jalan desa...
Matahari baru saja merayap naik ke ujung bu-
kit ketika seekor kuda dengan dua penunggangnya se-
pasang sejoli yang mirip orang-orang bangsawan itu
melintasi jalan desa.
"Kita akan terus kemana, istriku...?" Bertanya
Adhinata. Sepasang lengannya memeluk pinggang Giri
Mayang. Duduk berdua di punggung kuda dengan se-
panjang jalan bermesraan begitu saja tentu saja men-
gundang perhatian orang. Bahkan tiga anak kecil yang
tengah bermain segera hentikan permainannya untuk
menatap pada mereka.
"Kita sudah berada di wilayah tenggara. Desa
ini tampaknya tenang dan damai. Bagaimana kalau ki-
ta berbulan madu di desa ini saja...?"
"Aha, boleh juga! Tapi kita harus bersikap baik
pada mereka...!"
"Bagus! saat ini kita memang kita membutuh-
kan ketentraman. Usulmu baik sekali. Hihihi... siapa
tahu kau jadi kepala desa di sini!" Ucap Giri Mayang
dengan suara berbisik. Sementara sepasang matanya
menatap pada ketiga bocah yang tengah menatap me-
reka. Giri Mayang gerakkan lengannya menggapai.
"Hei, anak-anak manis kemarilah!" panggilnya. Takut-
takut salah seorang anak menghampiri. "Bagus! siapa
namamu...?" tanya Giri Mayang.
"Namaku...ng... Masiro..." sahut bocah itu den-
gan lugu.
"Kau tahu apakah nama desa ini...?"
"Desa Tembiling...!" Sahut anak itu.
"Aha...! bagus! coba tunjukkan yang manakah
rumah kepala desa..?" Tanya pula Giri Mayang.
"Kepala desa belum lama meninggal, itulah ru-
mahnya!" Sahut anak itu seraya menunjuk pada se-
buah rumah panggung yang cukup besar berhalaman
bersih. Tentu saja membuat Giri Mayang Jadi melen-
gak. "Kebetulan sekali...!" Desisnya perlahan pada Ad-
hinata. Adhinata mengangguk-angguk dengan terse-
nyum lebar. Girang sekali Giri Mayang, segera lengan-
nya merogoh saku bajunya. Dan..
"Hihihi... terimalah ini, persenan untukmu!"
ujarnya seraya berikan sekeping uang perak. Akan te-
tapi anak ini tampaknya takut untuk menerima.
"Hai, terimalah...! Ujar Giri Mayang lagi. Baru-
lah bocah itu mau menerimanya. Lalu Giri Mayang ga-
paikan lengannya pada dua bocah lainya yang masih
berdiri terlongong. Bergegas kedua anak kecil itu men-
datangi. Dan Giri Mayang pun berikan pula pada ke-
dua bocah itu masing-masing sekeping uang perak.
Tentu saja ketiga bocah itu girang nya bukan main,
hingga tak sempat mengucapkan terima kasih segera
menghambur lari dengan teriakan girang. Tersenyum
Giri Mayang dan Adhinata dengan berpandangan. Tak
lama Giri Mayang sudah menjalankan kudanya untuk
mendatangi rumah Kepala Desa itu.
Setelah bercakap-cakap dengan seorang wanita
yang ternyata adalah janda Kepala Desa Tembilang,
tampak kedua sejoli itu beranjak masuk ke rumah
panggung. Tentu saja mereka mendapat penyambutan
luar biasa sebagai "tetamu terhormat" istri mendiang
Kepala Desa Tembilang itu. Tak memakan waktu lama
penduduk bermunculan mengerumuni ketiga bocah
tadi.
"Baik sekali nona Cantik itu, kami diberinya
masing-masing sekeping uang...!" Berkata Masiro den-
gan bangga, dan menujukkan kepingan uang perak di-
telapak tangannya. Tentu saja membuat mereka terke-
jut, karena sekeping uang perak itu nilainya bukan se-
dikit. "Ah, bangsawan dari manakah yang singgah ke
desa kita? berkata salah seorang. "Entahlah tapi desa
kita tampaknya bakal mengalami keberuntungan den-
gan kedatangan suami istri bangsawan itu. Mereka
seorang yang dermawan...!" Ujar seorang kakek yang
memegangi lengan salah seorang bocah tadi. Ternyata
bocah itu cucunya.
—~oOo~—~
SEPULUH
Dengan menunjukkan sikap kedermawanan-
nya, Giri Mayang berhasil menaruh simpati penduduk.
Bahkan rumah kepala desa itu telah dibelinya. Di
bayarnya dengan harga mahal untuk ditempati sejoli
itu. Tentu saja istri mendiang si Kepala Desa itu tak
dapat menolak, bahkan merasa suka-cita. Karena dia
memang amat memerlukan biaya untuk menghidupi
anak dan keluarganya. Dengan uang itu dia bisa mem-
bangun rumah lagi sisanya bisa dibelikan kebun. Demikianlah, Giri Mayang dan Adhinata menempati ru-
mah bekas Kepala Desa itu yang telah dibelinya. Bebe-
rapa pembantu ditempatkan pada rumah itu untuk
melayani keperluannya.
Rasa simpati penduduk akhirnya telah menim-
bulkan kesepakatan para tetua desa Tembilang untuk
mengangkat Adhinata sebagai Kepala Desa pengganti
Kepala Desa lama yang telah meninggal. Mereka be-
ranggapan apa salahnya jabatan itu diberikan pada
bangsawan muda itu, karena toh mereka telah mene-
tap di desa mereka.
Tanpa banyak liku-liku Adhinata ditetapkan
sebagai pengganti Kepala Desa Tembilang. Tentu saja
Adhinata tak menolak, dan dengan basa-basi yang
menarik hati seolah terpaksa menerima pengangkatan
itu secara terpaksa, Adhinata berujar, "Sebenarnya tak
ada niatku untuk menjabat Kepala Desa disini, tapi
karena kalian berkehendak agar desa ini ada pemim-
pinnya, terpaksa aku tak dapat menolak keinginan ka-
lian...!" Ucap Adhinata, yang segera diiringi dengan te-
pukan riuh. Dan tetua-tetua desa memberikan ucapan
selamat dengan menyalami sang Kepala Desa baru me-
reka. Begitu juga Giri Mayang yang mendapat jabatan
tangan dari semua penduduk desa Tembilang sebagai
istri dari Kepala Desa muda itu.
Kegembiraan rakyat desa Tembilang ternyata di
iringi bermacam upacara adat yang disaksikan sang
Kepala Desa baru itu bersama istrinya. Menjelang sen-
ja upacara itu usailah sudah. Para penduduk tampak
puas dapat menyuguhkan upacara pengangkatan Ke-
pala Desa mereka dengan amat meriah. Selesai dengan
semua itu, Giri Mayang meraih tangan Adhinata untuk
segera dituntun masuk ke dalam kamar yang telah di-
atur rapi oleh pembantu rumah. Lega sekali perasaan
Giri Mayang, karena begitu pintu kamar ditutup rapat
segera dia sudah memeluk Adhinata erat-erat.
"Selamat...! selamat, tuan ku Kepala Desa...
ucap Giri Mayang dengan gembira. "Ahaai... akhirnya
kita bisa tinggal di desa ini dengan tentram dan bulan
madu kita akan terasa bahagia sekali..."
"Benar istriku...! kini kau telah jadi istri seo-
rang Kepala Desa Tembilang! hahaha...!" Berkata Ad-
hinata seraya pondong tubuh Giri Mayang ke tempat
tidur...
Ketika sang malam merayap, lengan Giri
Mayangpun merayap pula menyingkirkan sesuatu
yang menghalangi tubuh Adhinata. Sementara dia
sendiri sudah tanggalkan pula pakaian mahalnya un-
tuk berganti dengan selimut. Ketika "selimut" hangat
itu meneduhi tubuhnya, wanita "bangsawan" itu pun
perdengarkan keluhan nikmat. Terasa sekali baha-
gianya jadi istri seorang Kepala Desa. Terasa sekali ba-
hagianya berbulan madu di desa Tembilang yang ten-
tram itu. Terkadang terpikir juga dibenak Giri Mayang,
alangkah bahagianya jadi orang baik-baik. Dihormati
orang, dihargai sesama manusia ... Sayang semua itu
cuma selintas karena nafsu telah lebih unggul dari ji-
wanya.
Jiwanya yang tadinya murni telah dirusak, se-
telah dikotori dan dirasuki nafsu-nafsu sesat. Hingga
kotorlah dan rusaklah jiwa murninya...! Dan ketika de-
sah-desah napas Adhinata menghembusi telinganya,
Giri Mayang telah lupakan pikiran baik dibenaknya.
Direngkuhnya laki-laki hebat itu dengan nafsu yang
menggelora. Sementara Adhinata yang masih "hijau"
itu mendesah puas dengan tenaga mulai mengendur.
Tak lama dia sudah terlena dengan tak memikirkan
apa-apa lagi. Bahkan tak lama lagi sudah terdengar
suara dengkurnya membaur dengan suara jengkerik
malam di sisi rumah panggung...
Berlainan dengan Giri Mayang. Dia masih be-
lum bisa pejamkan mata.
Khayalnya jauh melambung setinggi langit. Pu-
askah dia dengan "bersuamikan" Adhinata si Manusia
Beracun itu menurut ukuran nafsunya? Tidak.....! Giri
Mayang cuma mau memperalat si Manusia Beracun
demi cita-citanya. Dan untuk jadi seorang "istri" setia
yang "menikah" tanpa saksi dan penghulu di dasar
sumur berbau pengap itu, nanti dulu...! Giri Mayang
bukan type wanita macam begitu. Istri teladan... NO!
Kalau istri serong... YES! Baginya 100 jejaka tulen
yang disuguhkan kepadanya masih belum cukup un-
tuk waktu singkat sekalipun. Demikianlah watak dan
pribadi Giri Mayang, si wanita pendendam yang punya
1001 akal licik di benaknya.
Diam-diam Giri Mayang memaparkan aji panyi-
rep untuk tak membuat bangun Adhinata sampai pagi.
Bermacam-macam ilmu memang ada dipunyainya.
Akan tetapi semua itu dipelajarinya tidak sampai tun-
tas, karena sering berganti guru. Dan ilmu Aji Panyirep
yang dapat membuat orang tidur pulas itu untuk per-
tama kalinya dicobakan pada Adhinata. Tak lama dia
sudah bangkit dari tempat tidur. Bergegas mengena-
kan pakaiannya. Dan... di malam yang larut itu, seso-
sok tubuh melompat dari jendela rumah Kepala Desa
baru itu dengan tak menimbulkan suara. Selanjutnya
setelah menutupkan kembali daun jendela, sosok tu-
buh itu berkelebat, dan lenyap di kegelapan malam...
Apakah yang dilakukan Giri Mayang? Ternyata
mencari sesuatu yang baru untuk pelengkap hasrat-
nya. Tentu saja dia harus mencari penyalur hasratnya
itu di luar desa Tembilang.
Senyapnya malam itu tidaklah mengganggu
langkahnya. Tak berapa lama kakinya sudah mengin-
jak sebuah desa di wilayah barat dari desa Tembilang.
Gerakannya memang telah kembali gesit, sejak Giri
Mayang sembuh dari luka-lukanya. Peristiwa di dasar
sumur yang secara kebetulan bertemu dengan Adhina-
ta telah membuat Giri Mayang bagaikan "bersayap" la-
gi. Sungguh sangat sukar diduga kalau secara tak sen-
gaja Adhinata telah memakan lumut aneh di dasar
sumur yang memulihkan kenormalan tubuhnya. Ra-
cun yang mengendap di tubuhnya secara berangsur
setelah berpadu dengan lumut aneh berkhasiat yang
dimakannya, justru hal itu membuat lenyapnya penga-
ruh racun ditubuhnya. Hingga Giri Mayang tak terkena
pengaruh racun luar biasa ketika menyentuh tubuh-
nya.
Satu keanehan lagi adalah lumut di dasar su-
mur itu menyembuhkan pula luka-luka Giri Mayang
dan membuat normal kembali jalan darahnya yang
tersumbat akibat serangan Roro Centil oleh batu keri-
kil. Demikianlah, keduanya akhirnya bersatu hati un-
tuk mencari jalan keluar dari dasar sumur itu. Bahkan
untuk memperkuat kesepakatan mereka yang senasib
dan sehidup semati, akhirnya mereka menyatakan diri
mereka sebagai suami istri. Tentu saja di dasar sumur
itu Adhinata untuk pertama kalinya mengecap nik-
matnya menjadi pengantin baru. Apalagi sang "istri"
adalah seorang yang sudah berpengalaman.
Hingga membuat Adhinata semakin mencintai wanita
itu.
Demikianlah. Dengan menggali lubang di dind-
ing sumur untuk injakan kaki, mereka bersatu padu
dan saling membantu untuk merayap naik ke atas. Je-
rih payah yang mereka lakukan beberapa hari itu ak-
hirnya membuat mereka berhasil keluar dari dasar
sumur itu. Dan tiba di atas dengan selamat. Tentu saja
membuat kedua sejoli girangnya tak dapat diutarakan.
Girl Mayang ternyata berotak cerdik, walau ji
wanya sesat. Mengetahui keanehan yang terjadi pada
tubuh Adhinata yang telah lenyap pengaruh racun di-
tubuhnya setelah makan lumut ajaib itu membuat dia
berpikir keras. Giri Mayang tak merasa yakin kalau ra-
cun di tubuh Adhinata bisa lenyap selamanya, karena
pada pergelangan lengan dan kaki Adhinata masih ter-
belit gelang-gelang racun ciptaan si Raja Racun. Oleh
sebab itu dia segera usulkan agar Adhinata mengetes
gelang besi itu, apakah masih mengandung racun atau
tidak. Pendapatnya racun di tubuh Adhinata tak bisa
lenyap dengan begitu saja dengan cuma memakan lu-
mut. Dan bila khasiat lumut ajaib itu sudah sirna ke-
kuatannya, tidak mustahil kalau tubuh Adhinata kem-
bali dialiri racun maut itu. Dan akan sangat berbahaya
bagi keselamatan jiwanya sendiri, karena mau tak mau
dia adalah orang yang paling dekat dengan Adhinata.
Siapa sangka kalau dalam keadaan "bergaul" tahu-
tahu racun itu menjalar lagi. Dan dia bisa Jadi kor-
ban..."Demikian pikir Giri Mayang.
Usul Giri Mayang disetujui Adhinata karena dia
sendiripun memerlukan mengetahui. Agaknya kata-
kata si Raja Racun kembali teringat oleh Adhinata Yai-
tu kesempurnaan dalam memiliki dan menguasai ge-
lang-gelang racun itu adalah dengan membuka jalan
darah tertentu pada pergelangan tangan dan kaki den-
gan melalui pengerahan tenaga dalam. Hal itupun se-
gera dilakukan. Di tempat yang landai di sisi danau
kecil berair jernih itu adalah tempat yang cukup baik
untuk mencoba. Karena jauh dari perkampungan dan
dirasakan cukup aman bagi mereka. Karena walau ba-
gaimana hati Giri Mayang masih kebat-kebit khawatir
berjumpa dengan Roro Centil. Begitu juga dengan Ad-
hinata. Disamping khawatir berjumpa dengan gurunya
yang mengancam akan membunuhnya, Juga khawatir
orang-orang Kerajaan akan mengejarnya. Sedangkan
dia dalam keadaan tak siap untuk bertarung.
Pemuda itu duduk bersila di atas batu, dengan
sepasang lengan terentang menyilang di depan dada.
Sebelumnya pakaian atas Adhinata telah dibuka. Sege-
ra Adhinata salurkan tenaga dalamnya bolak-balik ke
sekujur tubuhnya. Hal yang dilakukan berulang-ulang
itu ternyata membuat keringatnya deras mengucur
disekujur tubuh. Dan, Adhinata mulai membuka jalan
darah tertentu pada empat jalan darah di pergelangan
kaki tangan.
Apa yang terjadi kemudian...? Sepasang mata
Giri Mayang membelalak lebar tak berkedip, karena
seketika tubuh Adhinata sebentar berubah merah dan
sebentar berubah hijau. Keadaan itu berlangsung cu-
kup lama, yaitu selama Adhinata belum berhenti
membolak-balik salurkan tenaga dalam ke sekujur tu-
buh dan menyimpannya kembali pada keempat perge-
langan tangan dan kaki. Dan pada saat tubuhnya be-
rubah hijau itu Adhinata hentikan latihannya. Sepa-
sang matanya membuka menatap pada Giri Mayang.
Melihat wajah Giri Mayang berubah pucat tentu
saja membuat Adhinata jadi terkejut dan terheran. Se-
kejap dia sudah melompat ke arah wanita itu. Akan te-
tapi justru Giri Mayang melompat dengan menjauhi.
"Jangan dekat...! Berbahaya...! teriak Giri
Mayang.
"Hai..? kenapakah kau?" tanya Adhinata tak
mengerti.
"Tubuhmu telah dialiri lagi racun luar biasa
itu...!" teriak Giri Mayang dengan tubuh bergidik ngeri
melihat tubuh Adhinata yang berubah hijau menye-
ramkan itu.
"Ah...! tersentak kaget Adhinata. Justru dia
sendiri tak mengetahui keadaan dirinya. Barulah dia
sadar setelah melihat tubuhnya demikian hijaunya.
"Jadi.... jadi racun itu memang benar masih
mengendap di tubuhku?" Berkata Adhinata dengan ke-
rutkan keningnya naikkan sepasang alisnya yang teb-
al. "Benar! bukankah dugaanku tepat sekali...? Hihi-
hi... tapi aku telah tahu rahasianya. Segeralah kau sa-
lurkan lagi racun yang telah menyebar itu ke pergelan-
gan tanganmu. Tepatnya ke tempat gelang-gelang besi
itu!" perintah Giri Mayang. Tak usah sampai dua kali
menyuruh, Adhinata telah menuruti perintah itu.
"Nah, tubuhmu telah berubah merah. Berarti
tubuhmu sudah tak mengandung racun! Akan tetapi
kini gelang-gelang besi itu bisa berbahaya bila tersen-
tuh orang, karena kini racun luar biasa itu telah men-
gumpul di keempat gelang besi itu! Nah, kini carilah
akal bagaimana agar gelang besi itu tak membahaya-
kan orang...!" Ujar Giri Mayang.
Termenung sejenak Adhinata, tiba-tiba berseru
kegirangan.
"He...!? aku sudah tahu caranya!"
Sekonyong-konyong Adhinata melompat kem-
bali ke atas batu. Akan tetapi tidak duduk bersila se-
perti tadi, melainkan gerakan tubuhnya tegak lurus
dengan kepala di bawah dan kaki di atas. Kepalanya
bertumpu di atas batu. Barulah sepasang lengannya
disilangkan ke depan dada. Ternyata dia melakukan
pernapasan terbalik dengan pergunakan tenaga da-
lamnya menembus jalan darah tersumbat di beberapa
bagian tubuh yang masih tersumbat. Ternyata pe-
nyumbatan jalan darah itu adalah dilakukan oleh si
Raja Racun. Justru sebelum proses terakhir dilakukan
pada Adhinata, si Raja Racun keburu tewas. Hal ini
memang pernah di bicarakan pada Adhinata mengenal
cara-cara menguasai ke empat pasang benda "mustika"
gelang besi itu.
Pengerahan tenaga dalam dengan cara demikian untuk membuka jalan darah yang tersumbat itu
ternyata memakan waktu hampir setengah hari. Giri
Mayang menunggu dengan sabar. Dan dalam pada itu
secara berangsur kulit tubuh Adhinata mulai mende-
kati kenormalan. Hingga selang tak lama setelah lewat
waktu setengah hari pulihlah tubuh Adhinata,
dan kembali normal seperti biasa lagi.
"Cukup...!" teriak Giri Mayang dengan wajah gi-
rang.
"Kau sudah berhasil Adhinata...! ah, menak-
jupkan sekali suamiku...!"
Adhinata melompat kembali untuk berdiri.
Akan tetapi terjungkal dengan punggung terlebih dulu
menyentuh tanah. Mengeluh pemuda itu. Ternyata
akibat terlalu lama jungkir-balik membuat urat-
uratnya kaku. Akan tetapi sesaat antaranya dia sudah
bangkit berdiri lagi.
"Hm, benarkah aku telah berhasil menjinakkan
ke empat gelang besi beracun ini?" tanya Adhinata.
"Tidak meragukan lagi! akan tetapi untuk
menghilangkan was-was sebaiknya dicoba dulu!" tukas
Giri Mayang.
"Tunggulah sebentar...!" Berkata wanita itu se-
raya berkelebat ke arah hutan. Tak berapa lama telah
kembali lagi dengan menjinjing telinga seekor kelinci
ditangannya. Giri Mayang lemparkan kelinci itu, yang
segera disambut Adhinata. Demikianlah, setelah dites,
ternyata ke empat gelang itu memang sudah jinak, ka-
rena kelinci itu tak terkena pengaruh racun. Ternyata
kemudian Adhinata memang bisa menguasai keempat
gelang besi itu, yang dapat dipergunakan untuk men-
jadikan tubuhnya kembali beracun, serta berubah bi-
asa lagi sekehendak hati.
Sukses besar itu amat menggirangkan hati ke-
dua sejoli. Segera Giri Mayang panggang daging kelinci
itu untuk makan bersama... Demikianlah awal kisah
munculnya kembali si Manusia Beracun yang didam-
pingi pasangannya yaitu Giri Mayang.
—~oOo~—~
SEBELAS
Malam itu juga Giri Mayang telah mendapatkan
seorang korban untuk pelampiasan nafsu bejatnya.
Seorang laki-laki kekar telah berada di atas pundaknya
dalam keadaan tidur menggores dan... tertotok. Pada
pagi hari desa Limus yang malamnya disinggahi Giri
Mayang segera terjadi kegaduhan, karena seorang lela-
ki ditemukan dalam keadaan telanjang bulat sudah
tak bernyawa lagi dengan tulang leher remuk.
Kejadian itu ternyata telah mengundang perha-
tian banyak orang, hingga sampai siang hari penduduk
masih membicarakan kejadian aneh itu. Bahkan ter-
nyata dua orang remaja berlainan jenis yang dapat di-
katakan sepasang sejoli telah melihat kejadian itu. Me-
reka tak lain dari Sambu Ruci dan seorang gadis can-
tik yang menemaninya, yaitu Parmi. Seperti telah dice-
ritakan Parmi dan Sambu Runci mencari jejak Giri
Mayang yang telah menawan Roro Centil. Ternyata da-
lam waktu sekian lama masih belum menemukan jejak
Giri Mayang. Hingga secara tak sadar sepasang sejoli
ini jadi semakin akrab. Bahkan pula dihati keduanya
telah bersemi cinta yang tersembunyi.
Walaupun demikian, Sambu Runci belumlah
bisa bertenang hati karena selalu mengkhawatirkan
nasib Roro Centil. Dan secara kebetulan dia singgah di
desa tempat kejadian itu.... Wajah Parmi tampak me-
negang. Kejadian itu telah menguatkan dugaannya kalau Giri Mayang pasti tak berada jauh dari desa Limus,
karena sudah dipastikan laki-laki yang tewas itu ada-
lah korban pelampiasan nafsu bejat wanita iblis itu.
"Sssst...! kakak Sambu, mari kita ke sudut sana aku
akan bicarakan sesuatu padamu...!" Ujar Parmi seraya
tarik lengan pemuda itu. Ternyata Parmi sudah tak
canggung-canggung lagi pada Sambu Ruci. Pemuda itu
mengangguk seraya menyeruak dari kerumunan
orang. Disudut jalan desa itu segera Parmi tuturkan
pendapatnya.
"Aku juga berpendapat demikian, Parmi...! Se-
baiknya kita mulai menyelidiki dimana adanya wanita
itu....!" tukas Sambu Runci. Parmi mengangguk, lalu
segera menyusun rencana penyelidikan di sekitar desa.
--oOo--
Pelacakan mencari jejak Giri Mayang di desa itu
ternyata hasilnya nihil. Hingga mereka segera berpisah
untuk kembali bertemu. Sambu Ruci memutar ke arah
barat, dan Parmi ke arah timur dengan patokan mere-
ka akan bertemu di bawah lereng satu bukit yang ber-
nama bukit Ayam. Demikianlah. Mereka pun mulai
bergerak sesuai dengan diaturnya rencana itu.
Akan tetapi sungguh sukar sekali diterka kalau
ternyata Giri Mayang sejak tadi justru menguntit me-
reka. Dan pembicaraan itu sudah tertangkap telinga
Giri Mayang sembunyi di atas pohon. Sambu Ruci ter-
nyata beranjak langkahkan kaki terlebih dulu. Parmi
menatap sejenak punggung pemuda itu, lalu diapun
balikan tubuh untuk berkelebat dari situ. Akan tetapi
kira-kira dua-tiga tombak hentikan langkahnya untuk
lagi-lagi berpaling. Terasa perpisahan sementara itu
memberatkan langkahnya. Hati gadis ini memang su-
dah bersemikan cinta begitu bersahabat dengan pemuda tampan itu yang pernah menyelamatkan jiwanya
dari serangan maut Giri Mayang. Akan tetapi justru
Sambu Ruci pun menolehkan... Keduanya jadi sama-
sama tersenyum ketika bertatapan muka. Namun
Sambu Ruci segera berkelebat cepat setelah lambaikan
tangan pada dara cantik itu seraya berkata. "Sampai
ketemu, adik Parmi...!" Parmi cepat menyahut... "Sam-
pai jumpa nanti senja, kakak Sambu...!" Dan gadis
itupun lambaikan tangannya, lalu berkelebat cepat un-
tuk tidak menoleh lagi. Diam-diam wajah gadis itu di-
jalari rona merah. Terasa sesuatu yang indah meresap
di hati sanubarinya. Itulah perasaan cinta...!
Akan tetapi baru beberapa tombak Parmi ber-
lompatan cepat dari tempat itu tiba-tiba terdengar sua-
ra tertawa mengikik. Dan... tahu-tahu di hadapannya
telah muncul sesosok tubuh yang melesat turun dari
cabang pohon.
"Hihihi..... hihihi.... selamat jumpa lagi nona
cantik yang tak lama lagi bakal mampus...!" Membeliak
sepasang mata Parmi, bagaikan mimpi melihat orang
yang sedang dicarinya justru muncul di depan mata.
Tak terasa kakinya mundur dua langkah.
"Bagus! akhirnya kau muncul Juga perempuan
Iblis!" Bentak Parmi dengan wajah menegang. Walau
hatinya terasa tergetar tapi dia berusaha menutupinya
dengan bentakan. Dan sekejap sepasang senjatanya te-
lah dicabut keluar dari belakang punggung. Itulah se-
pasang gaetan yang tajam runcing berkilatan.
"Heh! sayang sekali kalian tak bisa menemukan
cinta laki-laki itu, Parmi...! Pemuda tampan itu agak-
nya memang tak berjodoh denganmu. Karena sebentar
lagi kau akan mampus! Dan... hihihi... dia adalah ca-
lon kekasihku yang paling istimewa!" Berkata Girl
Mayang dengan tertawa menyeringai. Rasanya hati
Parmi bagaikan ditikam belati saja mendengar ucapan
Giri Mayang. Kembali membayang wajah kakak laki-
laki saudara seperguruannya yang juga telah direbut
wanita itu yang berakhir dengan kematian. Dan kini
lagi-lagi si wanita itu siap merebut kembali pemuda
yang baru dikenalnya dan sudah bersemi cinta diha-
tinya. Hal tersebut membuat Parmi rasanya mau
membunuh diri saja saat itu.
Akan tetapi kelemahan jiwanya saat itu segera
di tindihnya. Perbuatan tercela dan pengecut itu tak
layak dipunyai seorang pendekar! Kini orang yang di-
carinya telah muncul untuk membunuhnya. Mana
Parmi mau berikan nyawanya begitu saja? Justru dia
harus membalaskan dendam kematian tiga orang sau-
dara seperguruannya yang tewas oleh wanita itu. Me-
mikir demikian dia segera lakukan serangan mener-
jang Giri Mayang dengan luapan dendam berapi-api.
"Iblis keji! aku akan adu jiwa denganmu....!"
bentak. Parmi Sepasang senjata gaetannya menerjang
laksana gelombang berpuluh-puluh yang menerjang
ganas si wanita terlengas itu. Akan tetapi dengan men-
gumbar tertawa Giri Mayang melayani serangan itu.
Tubuhnya berkelebatan dan melompat dengan gesit.
Bahkan luncurkan kata-kata ejekan pada Parmi.
Terasa panas wajah gadis ini membuat dia me-
nerjang dengan berteriak-teriak histeris. Betapapun
Parmi bukanlah tandingan Giri Mayang, yang kalau
mau sudah sejak tadi robohkan si gadis dengan puku-
lan apinya. Tapi agaknya Giri Mayang punya rencana
lain.
"Hihihi... sebelum kubunuh kau mampus ada
baiknya kau menyaksikan bagaimana aku "bercinta"
dengan laki-laki tampan bernama Sambu Ruci itu!"
Ejek Giri Mayang dengan melompat ke atas dahan po-
hon menghindari sambaran ganas sepasang gaetan
Parmi.
"Bedebah keparat...! perempuan bejat! ku kelu-
arkan isi perutmu!" bentak Parmi dengan bentakan
nyaring seperti menjerit. Dan... kali ini Parmi merobah
gerakan silatnya. Aneh! beberapa serangan dengan ju-
rus ini tampaknya membuat Giri Mayang melengak
dan sejengkal rambutnya telah kena tertabas putus
sepasang gaetan dan buyar berterbangan. Kiranya se-
cara tak sadar Parmi telah menggunakan jurus-jurus
dari Pedang Aksara yang dipunyai Sambi Ruci. Kiranya
dalam waktu beberapa hari atau selama hampir dua
pekan itu Parmi telah diajari beberapa jurus ilmu Pe-
dang Aksara oleh Sambu Ruci.
Melihat serangan Jurus barunya membawa ha-
sil mengagumkan membuat Parmi semakin berseman-
gat untuk menjatuhkan lawan. Bahkan kini dia berla-
ku hati-hati. Giri Mayang memang mulai balas menye-
rang dengan beberapa pukulan dan tendangan ka-
kinya. Untunglah Parmi yang telah berlaku hati-hati
mampu mengimbangi serangan ciptaan gurunya kare-
na Parmi memang cuma mempunyai paling banyak li-
ma jurus dari ilmu pemberian Sambu Ruci.
Ternyata hal itu cukup merepotkan Giri Mayang
yang mulai terdesak. Karena serangannya tak dapat
lagi dibaca kemana arahnya. Hal mana membuat wani-
ta itu jadi berang. Tiba-tiba tubuhnya melompat men-
jauh sejauh enam tujuh tombak. Dan... mulailah dia
gunakan mantera dari ilmu hitamnya! Tersentak Parmi
ketika melihat perubahan tubuh Giri Mayang yang
menjadi seekor ular berkepala tujuh, yang besarnya
hampir sebesar tubuh manusia. Masing-masing kepala
ular itu menyeburkan api dari mulutnya.
"Ilmu sihir...!" teriak Parmi seraya melompat
menjauh. Sambaran-sambaran api ternyata telah me-
nerjang tubuhnya. Bergulingan Parmi menghindari
sambaran api itu dengan jantung berdetak keras. Harapannya untuk merobohkan wanita itu seketika pu-
nah. Tiga kilatan api sekaligus meluncur untuk me-
nambus tubuh Parmi yang sudah mengurungnya un-
tuk tak dapat lolos lagi dari "pembalasan" Giri Mayang.
ilmu siluman tertinggi yang telah dipelajarinya dari si
Ririwa Bodas itu untuk pertama kalinya dipergunakan.
Ternyata memang ilmu hitam itu bisa dipergunakan
manakala dirinya sedang marah luar biasa.
Terperangah gadis cantik ini, dua serangan li-
dah api dari mulut ular berhasil dihindarkan. Akan te-
tapi serangan selanjutnya yang juga beruntun dengan
cepat telah menembus tubuh Parmi bersama dengan
terbakarnya dahan-dahan pohon. Lenyaplah sudah tu-
buh Parmi terbungkus kobaran api.... diiringi jeritan
terakhirnya. Mengetahui korbannya sudah musnah,
ular besar berkepala tujuh itu kembali lenyap. Dan....
menjelma lagi menjadi Giri Mayang yang tertawa ceki-
kikan dengan bertolak pinggang.
WHUUUUK....! lengannya bergerak memadam-
kan api seketika lenyap. Akan tetapi terkejut Giri
Mayang karena tak menjumpai tubuh Parmi terkapar
disitu. Api-api ciptaan itu sebenarnya tak membakar
dahan pohon atau menambus tubuh Parmi, karena
semua itu cuma ciptaan saja. Akan tetapi serangan li-
dah api itu telah melumpuhkan tubuh gadis murid si
nenek Pendekar Taring Naga.
Tentu saja Giri Mayang tak mengetahui kalau
pada saat lidah api menyambar tubuh Parmi, sebuah
bayangan putih telah berkelebat menyelamatkan gadis
itu.
Ternyata berdiri tempat ketinggian tampak seo-
rang kakek memondong tubuh Parmi di kedua belah
tangannya. Dialah si kakek penghuni puncak Tangku-
ban Perahu. Yaitu Ki Panunjang Jagat. Tampaknya hal
itu membuat Giri Mayang tak berniat menyelidiki, karena dia sudah berkelebat pergi dari tempat itu. Walau
dihatinya membatin. "Aneh, kemana lenyapnya sosok
tubuh si Parmi itu? hm, jangan-jangan sudah banyak
bermunculan para tokoh sakti kaum putih. Aku perlu
segera bergabung dengan Adhinata...!"
Dengan gerakan cepat Giri Mayang segera ber-
kelebat menuju ke arah desa Tembilang. Sementara itu
sosok tubuh Ki Panunjang Jagatpun melesat lenyap.
Suasana tempat itu kembali hening pada siang hari
yang terik itu... Akan tetapi baru saja kakinya mengin-
jak mulut desa Tembilang, tiba-tiba terdengar benta-
kan keras.
Wanita iblis...! kau kemanakan sahabatku Roro
Centil, katakan apa yang telah terjadi dengannya...?"
Dan... sesosok tubuh berkelebat menghadang di hada-
pannya. Melengak Giri Mayang. Akan tetapi bibirnya
segera tampilkan secercah senyuman dan lirikan mata
genit.
"Ahaah...! kiranya anda yang tampan! Hihi-
hih...!. sobat Sambu Ruci mengapa kau mengkhawa-
tirkan sekali nasib dia?" Tanya Giri Mayang.
"Setan apa perdulinya dengan semua itu? dia
sahabatku, dan kau telah berhasil merobohkannya,
tak nantinya kalau kau tak berbuat licik! Hm, Jangan
kira kau dapat berbuat seenaknya dengan segala ma-
cam perbuatanmu!" Bentak Sambu Ruci dengan hati
mengkal. Terpaksa dia menahan amarahnya karena
harus mengetahui dulu nasib Roro yang amat dikha-
watirkannya.
"Hai, rupanya kau mau mempacari dua orang
perempuan...? Apakah kau tak sayangkan kematian
murid si nenek Pendekar Taring Naga? Berkata Giri
Mayang tanpa memperdulikan pertanyaan orang.
"Ha...? kau telah membunuhnya...?" Tertawa
dingin Giri Mayang, seraya Jawabnya "Benar! kupikir
dia "saingan" ku karena aku... aku... hihihi... akupun
jatuh cinta padamu, Sambu Ruci!" Tanpa malu-malu
Giri Mayang keluarkan isi hatinya. Walaupun sebenar-
nya cinta yang dimilikinya adalah cuma cinta imitasi
belaka. Karena cuma kehangatan laki-laki yang belum
pernah dicicipinya saja yang membuat wanita ini
menggandrungi orang.
"Perempuan edan...!" tiba-tiba terdengar suara
melengking merdu. Terperangah Giri Mayang. Sekele-
batan saja dia sudah mengetahui suara siapa yang
berkumandang barusan.
"Nona Roro Centil...!" Teriak Sambu Ruci den-
gan wajah girang. Sesosok tubuh telah berkelebat
muncul dan berdiri di hadapan mereka yang tak lain
memang si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
"Giri Mayang apakah kau sudah siap untuk
menghadapiku ...?" Tantang Roro dengan wajah dingin
membeku. Sepasang matanya menatap wanita itu den-
gan sorot mata seolah mau menembus jantung lawan.
"Heh...! aku memang sudah siap untuk memba-
las penganiayaan mu padaku. Tentu saja dengan tebu-
san nyawamu, Roro Centil!" Ucap Giri Mayang dengan
angkuh menutupi gelaran hatinya. Walau bagaimana
Giri Mayang memang masih merasa ngeri akan sepak
terjang Roro. Walaupun sebenarnya dia memiliki, ber-
macam ilmu, juga bermacam kelicikan.
"Akan tetapi tidak sekarang bila kau mengin-
ginkan pertarungan secara jujur. Dan ingat...! kau bu-
kan seorang Pendekar Siluman, bukan?"
"Hm, kau kira aku sebangsa manusia setan se-
pertimu yang tak menepati janji, untuk membunuhmu
siang-siang telah ku siapkan cara terbaik mengirim
nyawamu ke neraka!" Berkata Roro dengan bertolak
pinggang. Ternyata Roro mampu menahan kesabaran hatinya.
—~oOo~—~
DUA BELAS
"Baik...! ini adalah saat terakhir aku menahan
sabar! kini katakanlah dimana kau mau adakan perta-
rungan itu. Dan kapan waktunya...!" sambung Roro
dengan suara tandas.
"Sayang... aku belum bisa memberi keputusan
sekarang. Kau tunggulah bulan depan. Aku akan beri-
kan kabar untukmu dan menyebar berita tantangan
melalui orang-orang Rimba Persilatan!" Jawab Giri
Mayang.
"Hai, sobat Roro Centil, manusia licik macam
begini kalau dibiarkan hidup lebih lama akan menye-
bar kejahatan seenaknya!" tukas Sambu Ruci. Akan te-
tapi Giri Mayang cuma mendengus, lalu berkata pada
Roro.
"Nah, kini berilah aku jalan! kuharap kau mau
menunggu kesabaran mu untuk menghadapiku, Roro
Centil! Tanpa kau cari, justru aku yang akan menca-
rimu!" Seraya berkata Giri Mayang gerakkan kakinya
untuk melangkah. Akan tetapi Sambu Ruci telah per-
dengarkan bentakannya, seraya cabut pedangnya un-
tuk segera digerakkan menghadang di depan dada wa-
nita itu.
"Tunggu...! kini kau jawab dulu pertanyaanku,
apakah yang kau lakukan terhadap Parmi? apakah
benar kau telah membunuhnya...?" kata-kata Sambu
Ruci terdengar agak tergetar. Ternyata kini keselama-
tan gadis itulah yang dikhawatirkan.
"Hm, baik! Kali ini aku tak berdusta, dia mung-
kin masih hidup. Gadis itu telah kena serangan pukulanku. Akan tetapi tak ku jumpai sosok tubuhnya.
Pasti ada orang yang telah menolongnya!" berkata Giri
Mayang. Seraya menatap pada Roro menduga-duga
apakah wanita Pendekar ini yang telah membawa ka-
bur sosok tubuh Parmi...? Pada saat itu terdengar sua-
ra derap kaki kuda mendatangi. Giri Mayang perli-
hatkan wajah girang, ketika melihat siapa yang datang.
Sekali kakinya mengenjot tubuh. Dia sudah melesat ke
udara seraya berteriak.
"Suamiku...! bagus, kau menyusul ku! urusan
sudah selesai...!" Dan... tepat sekali ketika kuda itu
hentikan berlari, tubuh Giri Mayang sudah meluncur
turun. Detik selanjutnya wanita itu sudah hinggap di
atas punggung kuda di sebelah depan tubuh seorang
pemuda gagah yang tak lain dari Adhinata, yang men-
gendarai kuda.
"Manusia Beracun...!" tersentak Roro. Sementa-
ra Sambu Ruci cuma bisa terpaku menatap si laki-laki
penunggang kuda.
"Hihihi... tidak salah, Roro Centil, sampai jum-
pa lagi pada pertarungan nanti!" Dan sambungnya lagi.
"Agar kau ketahui, si Manusia Beracun ini adalah su-
amiku...!" Selesai berkata demikian Giri Mayang putar
kudanya lalu memacu cepat meninggalkan tempat
itu...
-oOo-
Saat Giri Mayang dan manusia beracun berlalu,
sesosok tubuh berkelebat muncul. Ternyata Ki Panun-
jang Jagat. Di kedua lengannya masih memondong tu-
buh Parmi yang terkulai. Tentu saja terkejut dan gi-
rangnya bukan kepalang Sambu Ruci.
"Kakek, andakah yang telah menolongnya...?"
tanya Sambu Ruci seraya menjura. Sementara Roro
Centil kerutkan keningnya menatap Ki Panunjang Ja-
gat dan gadis yang dipondongnya. Apakah yang terjadi
dengannya?" tanya Roro.
"Dia sudah tewas...!" berkata Ki Panunjang Ja-
gat dengan suara datar. Tersentak seketika Sambu
Ruci. Serta-merta melompat ke hadapan kakek itu.
"Parmi...!" teriak Sambu Ruci tersendat. Ki Pa-
nunjang Jagat letakkan tubuh yang dipondongnya di
atas rumput. Dan Sambu Ruci duduk menekuk lutut
menatap padanya dengan air mata berlinang.
"Wanita iblis itu telah pergunakan ilmu sihir hi-
tam untuk merobohkan gadis ini. Seandainya hidup-
pun dia akan Jadi orang tak berguna tanpa daksa, en-
tah murid siapakah gadis ini, apakah sobat Sambu
Ruci mengenalnya?" tanya Ki Panunjang Jagat. Sambu
Ruci anggukkan kepala. Seraya ucapnya dengan nada
sedih. Dia murid si nenek Pendekar Taring Naga. Keti-
ka saudara seperguruannya telah tewas oleh si wanita
itu...!"
"Hm, agaknya kita telah mengalami satu keka-
lahan total, kakek Panunjang Jagat! Muridmu si Ma-
nusia Beracun kini telah bergabung dengan Giri
Mayang. Akan sulitlah kiranya untuk merobah watak-
nya. Bahkan kini Senapati Kerta Bumi telah merobah
keputusan untuk menumpasnya. Peristiwa beberapa
hari ini yang lalu telah menggemparkan Kota Raja. Si
Manusia Beracun telah menumpas prajurit-prajurit
pengawal di Kepatihan. Dan membunuh Ki Patih Leng-
ser Sheta berikut seluruh keluarganya...!" Penjelasan
Roro itu tentu saja membuat sepasang mata Ki Panun-
jang Jagat membeliak. Giginya yang masih utuh itu
berkerut menahan geram.
"Pasti si perempuan bejat itu yang telah mem-
pengaruhi jiwanya! kalau demikian tak ada jalan lain,
selain kita harus menumpas kedua manusia itu...!"
"Benar, kakek Panunjang Jagat! akan tetapi sa-
tu kesulitan yang tidak ringan untuk menumpas si
manusia beracun! Tapi walau pun begitu aku si Roro
Centil merasa orangnyalah yang paling tepat untuk
membunuh mereka!" Ujar Roro dengan bersemangat.
"Apakah kau akan melupakan perjanjian untuk
bertarung dengan wanita itu, sobat Roro Centil...?
tanya Ki Panunjang Jagat.
"Hihihi... hihi... segala macam urusan dengan
manusia licik pengecut begitu apakah akan aku pedu-
likan? Persetan dengan sebutan Pendekar Siluman!
Aku toh merasa tak mempunyai ilmu Siluman. Macan
Tutu! Siluman yang selalu mengikut padaku itu ter-
nyata tak mau pergi meninggalkan ku, apakah yang
harus kuperbuat?" ujar Roro. Seraya dengan perguna-
kan kata-kata batinnya Roro Centil perintahkan sang
Macan Tutul untuk segera tampakkan diri.
Dan...."GRRRR...! Sekejap saja disamping Roro telah
muncul sesosok tubuh harimau tutul yang hampir se-
besar kerbau. Luar biasa besarnya harimau tutul itu
hingga membuat Sambu Ruci menindak mundur. Ki
Panunjang Jagat sendiri juga melangkah mundur dan
tampak terkejut.
"Hihihi... Tutul! mereka adalah kawan-kawan
kita!" ujar Roro seraya mengelus-elus leher sang ma-
can, yang segera tempelkan tubuhnya untuk mengge-
lendot manja ke tubuh Roro. Roro peluk leher sang
macan dengan terharu. Tak lama Roro segera berkata.
"Nah, baiknya sekarang sobat Sambu Ruci, kau
semayamkanlah dulu Jenazah gadis itu...! ah, sayang
dia telah tewas. Seandainya masih hidup kukira dia
amat cocok untuk jadi pasangan mu, Sambu Ruci....!"
Sambu Ruci cuma bisa tersenyum pahit. Hatinya tak
keruan rasa hingga dalam keadaan kaku demikian dia
cuma bisa menelan ludah tanpa mampu bicara apa
apa. Kecuali menatap Roro dan mengalihkannya pada
jenazah Parmi yang terbaring seperti tengah tidur le-
lap.
"Baiklah! kukira saatnya sudah tiba untuk me-
numpas manusia yang bakal membawa kericuhan di
jagat raya Ini...!" Setelah menjura pada Ki Panunjang
Jagat dan menatap sejenak pada Sambu Ruci serta be-
rikan seulas senyuman manis padanya, Roro Centil ge-
rakkan tubuh melompat ke punggung si Tutul. Dan se-
lanjutnya, sang macan sudah melesat cepat ke arah
barat bagaikan lewatnya hembusan angin. Sekejap sa-
ja sudah tak nampak bayangannya lagi.....
Tertegun kedua laki-laki itu. Terdengar seruan
kagum Ki Panunjang Jagat. Sementara Sambu Ruci
cuma bisa menatap ke arah barat. Seolah hatinya ikut
terbawa oleh kepergian Roro. Tak lama kedengaran Ki
Panunjang Jagat menghela nafas, lalu berpaling mena-
tap Sambu Ruci "Marilah ku bantu kau membuat lu-
bang untuk mengubur jenazah!" ujar kakek puncak
Tangkuban Perahu itu. Sambu Ruci segera tersadar
dari tercenungnya. Segera mengangguk dan cepat-
cepat beranjak untuk mencari tanah baik yang akan
digali.....
-oOo-
Sementara itu.....
Satu jeritan panjang terdengar parau dia rah
belakang bukit. Apakah yang terjadi? Ternyata sesosok
tubuh berkelojotan meregang nyawa, namun sekejap
sudah terkulai tewas. Tubuhnya berubah membiru.
Dan sesaat antaranya membengkak, lalu mencair den-
gan menimbulkan bau busuk menyengat hidung.
"Hihihi... bagus, nenek peot ini memang sudah
terlalu tua untuk jadi seorang Pendekar. Dia lebih bagus jadi Pendekar di Akhirat...!" Terdengar satu suara
Wanita yang ternyata tak lain dari Giri Mayang. Wanita
itu duduk ongkang-ongkang kaki di atas kuda, semen-
tara Adhinata tegak berdiri di atas batu. Kiranya dalam
perjalanan meninggalkan tempat itu si Manusia Bera-
cun dan Giri Mayang telah dicegat si nenek Pendekar
Taring Naga. Nenek Pendekar Taring Naga itu tentu sa-
ja tak lain adalah mencegat Giri Mayang yang telah
menipu serta membawa kabur murid laki-lakinya.
Yang kemudian didapati telah tewas. Kemurkaannya
membuat dia perintahkan ketiga murid wanitanya
mencari jejak wanita itu. Hingga nyaris menyangka
perbuatan Roro Centil, seperti diceriterakan di bagian
depan.
Untunglah si nenek Pendekar wanita itu ber-
jumpa dengan si Belut Putih yaitu Gembul Sona yang
telah mengetahui bahwa adanya seorang wanita pe-
nyamar Roro Centil yang melakukan kejahatan mem-
fitnah Pendekar Wanita Pantai Selatan itu. Hingga ben-
trokan dapat dihindari. Belakangan si nenek ini men-
dengar berita kematian kedua murid wanitanya oleh
wanita itu. Tentu saja di Rimba Persilatan cepat tersiar
berita pertarungan yang membawa kematian dua
orang murid wanitanya, dan mengetahui selamatnya
seorang murid wanitanya bernama Parmi karena dis-
elamatkan seorang pemuda bergelar si Pendekar Selat
Karimata alias Sambu Ruci.
Dengan dendam berkobar, si nenek pendekar
itu mencari jejak Giri Mayang. Hingga akhirnya berha-
sil menjumpai setelah mendengar berita adanya seo-
rang Kepala Desa di desa Tembilang yang baru diada-
kan pengangkatan oleh penduduk desa itu. Wanita
bangsawan istri si bangsawan muda itu amat dicuri-
gainya. Dan benarlah, apa yang menjadi dugaannya.
Pertarungan seru segera terjadi, akan tetapi Giri
Mayang tidak turun tangan. Adhinata-lah yang dipe-
rintahkan melayani wanita Pendekar Tua itu oleh Giri
Mayang, yang kemudian berakhir dengan kematian si
nenek Pendekar Taring Naga dengan kematian yang
mengerikan.
Kiranya saat itu Ki Gembul Sona telah melihat
kejadian itu. Dia memang berniat membantu wanita
Pendekar itu untuk mencari Giri Mayang. Melihat ke-
matian si nenek Pendekar Taring Naga oleh si Manusia
Beracun, membuat keringat dingin ki Gembul Sona
bercucuran ditempat persembunyiannya. Kejadian itu
memang di luar dugaan, karena di saat dia mau mun-
cul mencegah sahabat tuanya itu telah keburu tewas
terkena pukulan Adhinata yang mengandung racun
luar biasa.
"Hihihi... keluarlah dari tempat persembunyian
mu, orang tua...!" Teriak Giri Mayang mengumbar tawa
yang sejak tadi pentang mata dan pasang telinga den-
gan duduk santai di atas kuda. Mengetahui dirinya
sudah diketahui kedatangannya, terpaksa Gembul So-
na munculkan diri. Berkelebatlah dia keluar dari tem-
pat sembunyinya. Dan berdiri tegak dengan gagah me-
natapkan pandangan pada kedua sejoli itu berganti-
ganti.
"Bagus, ternyata anda seorang Pendekar Tua
yang gagah dan bernyali macan. Sayang kaupun akan
segera tewas menyusul sahabatmu itu, Gembul Sona!"
Berkata Giri Mayang dengan suara dingin. Dan ujarnya
pada Adhinata.
"Hihihi... suamiku, satu lagi keledai tua ini kau
kirimkan nyawanya ke Alam Baka, tampaknya dia su-
dah tak sabaran lagi untuk mampusss...!" Membeliak
mata Gembul Sona karena gusarnya. Dendamnya pada
wanita itu tak alang kepalang, karena wanita itulah
yang telah membakar Pesanggrahan dan menewaskan
beberapa orang anak buahnya. Belakangan diketa-
huinya pula kalau si Ririwa Bodas adalah gurunya,
yang telah membantai habis anak buah dan para mu-
ridnya menggunakan ilmu hitam. Bahkan dia sendiri
nyaris tewas. Dan wanita itu pula yang telah menyebar
maut dengan ular-ular siluman ciptaan si Ririwa Bo-
das. Menumpas wanita telengas berhati iblis ini adalah
tugas kewajiban kaum Pendekar. Dan.... memikir de-
mikian Ki Gembul Sona sudah menghunus kerisnya
seraya membentak dengan suara menggeledek.
"Giri Mayang...! turunlah kau, mari bertarung
nyawa denganku, mengapa kau memperalat murid ka-
kak seperguruanku ini untuk melawanku? Sungguh
tak tahu malu!" Akan tetapi Giri Mayang cuma tertawa
terpingkal-pingkal seraya menjawab.
"Hihiihi.... dia ini suamiku, masakan tak layak
kalau seorang suami membela dan mewakilkan is-
trinya membunuh keledai tua macam kau?"
"Setan...!" maki Gembul Sona. Dadanya tampak
berombak-ombak karena menahan geram. Sementara
Adhinata berdiri mematung menatap paman gurunya
itu, agak ragu hatinya untuk menempur Ki Gembul
Sona.
"Adhinata, ingatlah! apakah gurumu Ki Panun-
jang Jagat tak kau hargai jerih payahnya mendidikmu
untuk menjadi seorang Pendekar penegak kebenaran,
mengapa kau terbius oleh bujukan wanita iblis itu un-
tuk melakukan perbuatan tercela...?" berkata Gembul
Sona. Sebisa mungkin kakek ini mencoba menyadar-
kan si Manusia Beracun.
"Kau memang perlu dikasihani, Adhinata, kau
telah jadi korban ambisi si Raja Racun yang mau me-
rajai dunia! Ingatlah, kejahatan tak akan abadi di atas
jagat raya ini! kembalilah ke jalan benar! aku akan
membantumu melenyapkan racun jahat yang mengeram di tubuhmu...!" lanjut Gembul Sona yang cepat
mengambil kesempatan di saat Giri Mayang belum
mengambil kesempatan di saat Giri Mayang belum
pentang suara.
"Tutup bacotmu, keledai tua!" Tiba-tiba mem-
bentak Giri Mayang seraya lancarkan pukulannya dari
jarak jauh. Angin panas membersit menerpa tubuh
Gembul Sona. Namun dengan ajian Belut Putih puku-
lan itu kalis, dan lewat tanpa menyentuh kulitnya.
Menggeram marah Giri Mayang. Tubuhnya sekejap su-
dah melompat dari punggung kuda. Dan menerjang
kakek tua itu dengan hantaman bertubi-tubi.
Sementara itu puluhan ekor kuda telah mende-
kat dengan perdengarkan derapnya. Dan ratusan lang-
kah laki-laki manusia mulai mengepung sekitar tempat
itu. Ternyata lasykar Kerajaan Sunda Kelapa yang di-
pimpin Senapati Kerta Bumi telah mulai bergerak un-
tuk kedua buronan Kerajaan yang telah membuat ke-
resahan hati sang Baginda Raja. Dan menghawatirkan
merebut kekuasaan. Sekejapan saja ratusan regu pe-
manah telah disiapkan ke segenap penjuru. Tentu saja
semua itu tak luput dari mata Adhinata. Timbulah se-
ketika kebimbangan di hati pemuda Manusia Beracun
itu. Saat mana pertarungan hebat tengah berlangsung
di hadapanya. Giri Mayang ternyata tak tahan emosi
untuk membunuh kakek tua bernama Gembul Sona
itu dengan tangannya sendiri. Ternyata setelah berta-
rung beberapa jurus, Giri Mayang merasa kesulitan
kalau tak mempergunakan ilmu sihir hitamnya. Segera
dia merobah dirinya menjadi berujud seekor ular besar
berkepala tujuh. Terperangah Ki Gembul Sona. Namun
berbarengan dengan saat itu Ki Panunjang Jagat dan
Sambu Ruci telah berkelebat muncul.
"Mari kita hadapi wanita iblis ini bersama-
sama...!" Teriak Sambu Ruci. Sementara Ki Panunjang
Jagat justru menatap pada Adhinata. Dan.... kedua
pasang mata guru dan murid itupun saling bertatapan.
Diam-diam Ki Gembul segera membisiki di telinga ka-
kak seperguruannya ini.
"Hm, aku sudah mengambil keputusan untuk
menumpasnya, amat berbahaya! kau lihatlah sendiri
muridku ini telah menjadi musuh Kerajaan! apakah
kau tak mengetahui kalau Adhinata telah membantai
habis para prajurit di Kepatihan. Dan telah membunuh
pula Ki Patih Kerajaan Sunda Kalapa! Rasanya sulit
aku melindungi!" Tukas Ki Panunjang Jagat. Terkejut
Gembul Sona ketika menatap berkeliling ternyata telah
berdiri berjajar ratusan prajurit pemanah yang telah
slap melepaskan anak-anak panahnya. Pada saat itu
tujuh kilatan lidah api dari mulut ular penjelmaan Giri
Mayang telah meluncur untuk menambus tubuh me-
reka. Terperangah ketiga pendekar ini, segera berlom-
patan menghindarkan diri. Dan sekejap saja terjadilah
pertarungan tiga orang pendekar itu menempur mak-
hluk ular aneh berkepala tujuh yang menyeramkan.
Suara-suara mendesis dan kilatan-kilatan lidah api
menyumbrat disana-sini.
Dan ketiga pendekar ini pun bertarung dengan
gigih untuk membunuh mahkluk ular itu. Tampaknya
keadaan ular itu mulai terdesak, karena kilatan-
kilatan cahaya pedang Sambu Ruci dan keris pusaka
Ki Gembul Sona dapat melumpuhkan sambaran lidah
api. Bahkan pedang Sambu Ruci berhasil menabas pu-
tus leher salah satu ular. Makhluk itu perdengarkan
desisannya. Menggelinjang dengan menerjang semakin
hebat. Akan tetapi... Cras...! kembali satu kepala ular
terbatas oleh keris Gembul
Sona. Terdengar jeritan suara wanita. Dan se-
konyong konyong tubuh sang ular itu lenyap jadi gum-
palan asap. Apakah yang terlihat?.
Giri Mayang berdiri dengan tubuh sempoyon-
gan. Tampak kedua buah lengannya terbabat putus...!
Darah berhamburan memercik ke tanah. Wajah wanita
ini perlihatkan seringai yang menyeramkan. Pasukan
pemanah yang melihat kejadian itu mulai maju lagi se-
tindak. Saat itu tiba-tiba terdengar suara berkata den-
gan nada parau.
"Tunggu...! kalian tak dapat membunuhnya be-
gitu saja! Dan..... berkelebat sebuah bayangan me-
nyambar tubuh wanita itu. Sekejap saja karena den-
gan gerakan cepat sekali sosok tubuh yang me nyam-
bar tubuh Giri Mayang telah berkelebat lenyap keluar
dari kepungan ratusan prajurit pemanah tanpa terlihat
siapa yang menyambarnya. Terperangah semua mata.
Bahkan betapa amat masygulnya hati Senapati Kerta
Bumi. Akan tetapi pada saat itu, berkelebat pula mun-
cul sesosok tubuh. Dialah Roro Centil, yang duduk di
atas punggung harimau Tutul yang besarnya hampir
sebesar kerbau. Segera semua mata memandang ke
arahnya.
Tenang sobat-sobat! biarlah aku yang menge-
jarnya! Hm, urusan si wanita itu adalah urusanku...!"
Selesai berkata, Roro Centil berikan isyarat menepuk
punggung si Harimau Tutul yang perdengarkan ge-
ramnya. Dan.... melesatlah tubuh si harimau Tutul itu
bagaikan lewatnya angin mengejar Giri Mayang yang
dilarikan seseorang.
Sementara itu semua mata kini tertuju pada si
Manusia Beracun. Urusan Giri Mayang masih belum
tuntas, akan tetapi mereka cukup mengandalkan ke-
mampuan Roro Centil untuk menumpasnya. Kini uru-
san si Manusia Beracunlah yang harus dituntaskan.
"Adhinata! apakah kau masih menganggapku
sebagai gurumu?" tiba-tiba Ki Panunjang Jagat ajukan
pertanyaan pada bekas muridnya. Tampak wajah Adhinata menegang, sebentar pucat sebentar merah. Su-
kar sekali dia menjawab pertanyaan gurunya. Semen-
tara suasana menjadi hening. Dari ratusan manusia di
sekitar tempat itu seolah tak terdengar sedikitpun sua-
ra. Selain semua mata menatap pada si Manusia Bera-
cun, dan menunggu jawaban kata-kata yang keluar
dari mulut pemuda itu.
"Aku... aku telah jadi seorang murid yang mur-
tad, guru...!" Akhirnya menjawab si Manusia Beracun.
"Semua itu dapat aku ampuni, asalkan kau
kembali sadar! Apakah kau tetap akan menuruti ambi-
si mu merajai kolong jagat ini dengan kekuatan racun
dahsyat di tubuhmu...?" Tanya Ki Panunjang Jagat.
"Tadinya aku berniat, guru...!"
"Lalu apakah kini kau sudah merobah niat
itu?" bertanya lagi Ki Panunjang Jagat.
"Ya... aku... aku telah merobah niat itu!" sahut
Adhinata dengan menunduk. Ki Panunjang Jagat dan
Gembul Sona sailing berpandangan. Dan lambat-
lambat Senapati Kerta Bumi menghampiri, lalu bisikan
kata-kata di telinga kakek puncak Tangkuban Perahu.
Kini terlihat Ki Panunjang Jagat manggut-manggut.
Wajahnya tak menampilkan perobahan sedikitpun. La-
lu ujarnya pada Adhinata.
"Baiklah, muridku...! sukurlah kalau kau telah
kembali pada kesadaranmu ...! Kini gusti Adipati Kerta
Bumi dari kerajaan Sunda Kalapa akan bicara pada
mu...!Selesai berkata Ki Panunjang Jagat berpaling pa-
da Senapati itu seraya berkata. "Silahkan bicara pa-
danya, Gusti Senapati...!" Senapati ini mengganguk.
Dan Ki Panunjang jagat segera menjura padanya, lalu
kedipkan mata pada Gembul Sona dan Sambu Ruci.
Dan mendahului berkelebat keluar dari lingkaran ke-
pungan prajurit. Hal mana segera diikuti Gembul Sona
dan Sambu Ruci, yang segera melompat keluar menyusul Ki Panunjang Jagat.
Setiba di luar...
"Aneh, apakah yang akan dibicarakan Senapati
Kerta Bumi itu? mengapa kita tak diberi izin menden-
garnya...?" Tanya Gembul Sona pada kakak sepergu-
ruannya. Sambu Ruci sendiri tak mengerti. Dia hanya
menatap pada kedua tokoh tua Rimba Persilatan itu si-
lih berganti. Tiba-tiba terdengar suara aba-aba yang
sangat nyaring dari suara Senapati Kerta Bumi. Ketika
mereka menoleh ke belakang, segera terdengar suara
bising dari terlepasnya ratusan anak panah yang se-
perti tiada habisnya. Dan selang sesaat terdengar te-
riakan sorak sorai dari para prajurit lasykar Kerajaan
Sunda Kelapa menggegap gempita. Apakah yang terja-
di? Kiranya ratusan anak panah segera meluruk ke tu-
buh Adhinata si Manusia Beracun itu, begitu Senapati
Kerta Bumi memberi aba-aba, dan secepat kilat me-
lompat keluar dari lingkaran pasukan pemanah yang
telah mengurung si Manusia Beracun.
Tak ampun lagi tubuh si Manusia Beracun ro-
boh ke tanah dengan terpanggang berpuluh-puluh
anak panah. Dan tewas.... tanpa berkelojotan lagi. Ter-
nyata bisikan Senapati itu adalah menyatakan bahwa
tak ada jalan lain bagi murid si kakek puncak Tangku-
ban Perahu itu selain kematian. Karena secara tidak
langsung Adhinata telah menjadi musuh Kerajaan.
Dan titah Baginda Raja Kerajaan Sunda Kalapa tak
dapat lagi dibantah, yaitu menumpas si Manusia Bera-
cun karena membahayakan bagi Kerajaan juga umat
manusia!
Kalau Sambu Ruci dan Gembul Sona menoleh
ke belakang, adalah Ki Panunjang Jagat tetap melang-
kah tanpa menoleh sedikitpun. Bahkan berjalan den-
gan menundukkan wajahnya. Ternyata dari celah ke-
dua kelopak mata kakek tua itu telah membersit turun
dua titik air mata. Air mata haru, tapi juga penuh ke-
relaan "Apakah yang terjadi, kakang Panunjang Ja-
gat...?" tanya Gembul Sona, seraya mengejar kakak se-
perguruannya dan terkejut melihat wajah sedih serta
air mata kakek itu mengalir turun membasahi pipi.
Sementara Sambu Ruci pun segera balikan tubuhnya
menyusul kedua kakek itu.
Terdengar Ki Panunjang Jagat menghela napas,
seraya ujarnya.
"Tak ada lain jalan selain kematian yang harus
di jatuhkan pada Adhinata! karena dia telah menjadi
musuh Kerajaan yang membahayakan...! itu sudah
menjadi perintah Baginda Raja Kerajaan Sunda Kala-
pa!" Terhenyak Ki Gembul Sona dan Sambu Runci,
yang seketika jadi tercenung tanpa bisa bicara apa-
apa.
"Tapi aku bahagia, karena Adhinata telah sadar
sesaat sebelum kematian menjemputnya...!" sambung
Ki Panunjang Jagat.
"Benar! walaupun demikian tragis kematiannya,
akan tetapi dia masih bisa digolongkan sebagai pahla-
wan. Walaupun cuma sebagai pahlawan tanpa jasa...!
Yah, kini tuntaslah sudah urusan kita! sementara kita
bisa bernapas lega. Tinggal menunggu kabar saja nanti
apakah Roro Centil dapat menumpas wanita iblis itu?"
Tukas Ki Gembul Sona. Dan Ki Panunjang Jagat cuma
manggut-manggut seraya menghela nafas. Demikian
juga Sambu Ruci.
Sorot Matahari senja itu mulai memudar. Di
ufuk barat sana terlihat cahaya merah dari belakang
perbukitan. Ketika itu ketiga orang pendekar pembela
kebenaran yang masing-masing berbeda usia segera
berpisah. Gembul Sona pergi ke arah barat. Sedangkan
Ki Panunjang Jagat menuju ke utara. Dan Sambu Ruci
ke arah selatan...
Perjuangan kamu pendekar dalam menumpas
segala macam bentuk kejahatan agaknya memang tak
pernah tuntas. Karena 1001 macam kejahatan selalu
bermunculan di atas jagat raya ini. Demikian pula
dengan Roro Centil sang Pendekar wanita pantai Sela-
tan.
Sebulan kemudian memang ada berita kema-
tian beberapa tokoh golongan hitam, akan tetapi bu-
kanlah manusia yang diburu Roro, karena Giri Mayang
seolah lenyap bagai ditelan bumi. Adapun baiknya me-
nurut Pengarang diberitahukan saja pada pembaca,
bahwa sosok tubuh yang menyambar tubuh Giri
Mayang dan menyelamatkan jiwanya tak lain dari si
nenek mata juling yang punya anak buah tujuh mah-
luk kerdil. Kelak Giri Mayang memang masih muncul
untuk menyebar kejahatan dengan ilmu barunya yang
lebih hebat.
Dan adalah tugas kaum Pendekar termasuk
Roro Centil si Pendekar wanita Pantai Selatan untuk
menumpasnya. Dengan demikian berakhir kisah Langkah-langkah Manusia Beracun....
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar