..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 14 Maret 2025

JODOH RAJAWALI EPISODE GEGER PERAWAN SILUMAN

matjenuh khairil

 

GEGER PERAWAN SILUMAN
Serial Silat
JODOH RAJAWALI
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis 
dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode: 
Geger Perawan Siluman; 128 hal.

1

AWAN hitam di langit bergumpal-gumpal mem-
bungkus jagat raya. Awan hitam itu dipandangi bebe-
rapa saat oleh seorang pemuda berpakaian biru me-
wah. Pandangan matanya berkesan sayu, redup, tak 
bersemangat. Raut wajah pemuda berpenampilan 
bangsawan itu bagaikan sekumpulan awan di atas ke-
palanya; kusut, buram, dan simpang siur. Itu pertanda 
pemuda berbadan sedikit gemuk sedang dirundung 
kesedihan dalam hatinya.
Pemuda itu duduk di atas bongkahan tanah 
cadas berumput tipis, di bawah sebuah pohon besar 
berdaun rimbun. Sebentar-sebentar matanya meman-
dang dahan-dahan daun yang tampak kekar. Lalu 
menghela nafas dalam-dalam, merasakan sesuatu 
yang bergerak menyesakkan di dalam dadanya, yaitu 
sebongkah luka hati yang amat memilukan.
Tangan pemuda itu memainkan ujung tam-
bang. Segulung tambang tergeletak di tanah dekat ka-
kinya. Tambang itu pun sering menjadi pusat pandan-
gan matanya. Sering diiringi suara hati yang berucap 
penuh iba, "Haruskah kau yang melakukannya, tam-
bang putih?"
Setelah memandangi tambang dengan otak me-
nimbang-nimbang, akhirnya pemuda berusia sekitar 
dua puluh tahun itu berdiri, lalu berusaha memanjat 
pohon tersebut sambil membawa tambangnya. Tapi 
karena badannya agak berat dan memang kurang ter-
biasa memanjat pohon, akibatnya tubuh itu selalu me-
rosot ke bawah jika sudah hampir mencapai cabang 
pertama. Sroot...! Dia mengulang dan mengulanginya 
terus

Manik-manik hias pada baju mewahnya seba-
gian menjadi rusak karena gesekan dengan batang po-
hon tersebut. Nafasnya terengah-engah kecapekan, la-
lu pemuda itu pun menunda niatnya untuk memanjat 
pohon, dan duduk kembali di bawah pohon tersebut 
dengan punggung bersandar seenaknya. Ia menenang-
kan nafasnya sambil matanya masih memandang lan-
git mendung yang seolah-olah sedang melecehkan ke-
sedihan hatinya.
"Biarlah langit tertutup mendung, kalau bisa 
selama-lamanya. Tak perlu lagi sinar matahari me-
nembus dan menyiram ke bumi, karena bagiku sinar 
matahari tak berarti lagi," pikir pemuda itu. "Bagiku 
sekarang ini, bunga tak punya keindahan lagi, rembu-
lan tak berguna, matahari memuakkan, bintang menji-
jikkan, orang lain menyebalkan, laut menjengkelkan, 
semua kehidupan tak punya makna! Satu-satunya 
yang kubutuhkan sekarang ini hanyalah kematian! 
Gantung diri adalah cara mati yang lebih baik daripada 
gantung kaki. Tapi... alangkah susahnya memanjat 
pohon ini? Aku harus bisa sampai di atas pohon, men-
gikatkan tambang ini, lalu memasukkan kepala pada 
lingkaran jeratnya, dan... matilah aku. Habis sudah 
nyawaku. Lengkap sudah penderitaan ku. Puas sudah 
kebencian ku pada nasibku sendiri ini!"
Pemuda yang rupanya sudah patah semangat 
itu kembali berusaha memanjat pohon yang tadi. Den-
gan susah payah dan jatuh-bangun berulang-ulang, 
akhirnya ia berhasil sampai di atas pohon! Ia beristira-
hat sebentar di sana, karena nafasnya terengah-engah 
bagai mau putus. Pada saat beristirahat itu ia melihat 
ada pohon yang mempunyai dahan pertama cukup 
pendek serta mudah dipanjat.
"Uuh...! Kenapa aku tidak memanjat pohon

yang itu saja? Pasti lebih mudah dan tidak membuat 
lenganku beset begini?! Uh, sial!"
Pemuda itu segera mengikatkan tambangnya 
pada sebuah dahan kekar. Lingkaran jerat untuk gan-
tung diri segera diturunkan. Ia tersenyum melihat 
lingkaran jerat itu, lalu berkata sendiri,
"Nah, sekarang tinggal memasukkan kepala ke 
dalam jerat itu, lalu aku akan mati tergantung. Aha, 
menyenangkan sekali! He, he, he...!"
Pemuda itu segera turun dari pohon dengan 
susah payah juga, akhirnya menjatuhkan diri setelah 
sebelumnya ia menginjak sebatang dahan kecil, dan 
dahan itu patah. Kraak...! Wuut...!
"Eit...!" pemuda itu menyambar dahan di atas-
nya hingga bergelayutan. Nafasnya terhempas lega, ha-
tinya berucap kata, "Untung tak sampai jatuh. Kalau 
aku jatuh. Kalau aku jatuh, wah... bisa mati lho?!"
Dengan merayap sebentar ke dahan paling ba-
wah, pemuda tersebut lompat turun dan brrruk...! Ia 
tak berhasil mendaratkan kedua kakinya dengan baik, 
akibatnya jatuh terduduk sambil menyeringai kesaki-
tan pada tulang ekornya.
Sambil mengusap-usap tulang ekornya yang 
sakit, pemuda itu dekati tali gantungan. Ia bermaksud 
ingin memasukkan kepalanya ke dalam lingkaran jerat 
itu. Namun yang dapat ia lakukan hanya memandangi 
tali tersebut sambil menggerutu,
"Yaaah... ketinggian! Tanganku tak bisa men-
capai tali itu dan tak bisa memasukkan kepalaku ke 
lingkaran jeratnya."
Pada seat pemuda tanpa kumis itu kebingun-
gan mencari cara untuk menggantung diri ke tali yang 
di atasnya itu, tiba-tiba muncullah seorang pengemis 
tua berpakaian compang-camping. Jalannya tertatih

tatih karena gemetar, pakaiannya hitam bertambal-
tambal dan robek sana-sini, rambutnya abu-abu kare-
na sudah banyak beruban, usia pengemis itu sekitar 
lima puluh.
Dengan tongkat seukuran setinggi batas ping-
gangnya, ia melangkah bagaikan tidak menghiraukan 
keadaan pemuda tersebut. Melihat kehadiran penge-
mis itu, sang pemuda pun segera memanggilnya,
"Pak, Pak...! Kemarilah sebentar, Pak...!"
Pengemis itu hentikan langkah, palingkan wa-
jah, mata sipitnya memandang dengan dahi berkerut, 
kemudian ia melangkah mendekati pemuda tersebut. 
Sampai di depan pemuda itu, ia berkata dengan nada 
suara menghiba,
"Kasihanilah saya, Tuan. Saya belum makan 
selama seminggu ini. Minta sedekah, Tuaaannn...!," 
sambil ia menadahkan tangannya.
"Aku memanggilmu kemari karena aku mau 
minta tolong kamu, Pak Tua!" kata pemuda itu dengan 
sedikit jengkel.
"Saya pengemis, Tuan. Saya mohon bantuan 
sedekah sekadarnya, Tuan. Kasihanilah saya, Tuan...," 
sambil matanya berkedip-kedip menyedihkan. Badan-
nya sedikit membungkuk dan wajahnya tertunduk.
"Pak Tua, aku tahu kau pengemis, tapi kalau 
kau bisa tolong aku, maka aku pun bisa tolong kamu!"
Pengemis itu dongakkan wajah, lalu berkata, 
"Apa yang harus saya lakukan untuk menolong, Tuan 
Muda?"
"Menjadi pembantuku!"
"Pembantu...?!" pengemis itu heran.
"Ya. Tugasmu hanya membantuku untuk laku-
kan bunuh diri."
"Hahh...?!" pengemis yang giginya hilang dua di

bagian depan itu terperangah dengan mulut terbuka, 
seakan pamerkan gigi ompongnya itu.
"Aku akan memberikan upah padamu jika kau 
mau membantuku, Pak."
"Upah...?!" kepalanya sedikit dimiringkan kare-
na semakin heran.
Pemuda itu melepas salah satu dari tiga cincin 
yang dikenakan itu, kemudian cincin emas bermata 
berlian di berikan kepada pengemis itu sambil berkata,
"Nih, terimalah upah pertama sebagai ikatan 
kerja sama kita." ,
"Cincin...?!" pengemis itu kian berkerut dahi 
dengan perasaan sangat heran, ia pandangi cincin itu 
tiada habisnya, penuh rasa kagum, takjub, senang, 
dan bimbang. Lama-lama tersungging senyum di bibir 
tuanya yang ditumbuhi kumis. Senyum itu semakin 
lebar, semakin berubah jadi tawa pelan yang meng-
guncang-guncang tubuh, lalu pengemis itu berkata,
“Cincin ini buat aku? Hanya untuk memban-
tumu bunuh diri, aku mendapatkan cincin mahal ini? 
Mengapa kau sampai bertindak sejauh ini, anak mu-
da?”
Pemuda itu menatap pengemis itu sebentar, 
kemudian dengan pelan ia berkata,
"Perempuan itu memang racun. Dia telah mera-
cuni hatiku dan hatiku tak mampu lagi punya seman-
gat hidup. Aku jadi kepingin mati saja."
"Tabahkan saja hati Raden."
"Aku sudah bosan jadi orang tabah, Paku Jul-
ing."
"Orang sabar itu subur lho, Raden."
"Orang sabar memang subur, tapi orang tabah 
pasti banyak musibah."
"Sebaiknya batalkan saja niat Raden untuk

gantung diri!”
"Tidak bisa. Pertama, aku sudah telanjur sakit 
hati karena tak pernah jumpa kekasihku lagi. Kedua, 
karena aku sudah telanjur diusir dari keluarga, dan 
tak dianggap sebagai anak oleh orangtua ku. Ketiga, 
karena cincin itu sudah ada di tanganmu, kalau aku 
tak jadi bunuh diri berarti aku harus mengambil cincin 
itu darimu. Apakah kau tak sayang jika cincin itu tidak 
jadi milikmu?"
"Sayang, Raden," jawab Paku Juling dengan so-
pan.
"Karena itu, bantulah aku gantung diri di tali 
yang sudah kupasang itu, Paku Juling. Angkatlah tu-
buhku supaya kepalaku bisa masuk ke dalam lingka-
ran jerat itu."
Pengemis itu akhirnya angkat bahu, "Ya sudah-
lah...! Itu terserah Raden. Saya sudah mengingatkan 
tapi Raden tetap ngotot, saya juga terpaksa membantu 
Raden, karena saya dapat upah semahal cincin ini!"
"Kau kuat mengangkat tubuhku, bukan?"
"Kalau mengangkat saya tak kuat, tapi cobalah 
Raden berdiri di atas telapak kaki saya ini. Pijaklah 
kaki saya ini dan saya akan angkat supaya Raden 
mencapai tali gantungan itu."
Raden Balelo sedikit heran dengan maksud Pa-
ku Juling. Tetapi karena kaki Paku Juling sudah dis-
odorkan dengan bentuk jempolnya menukik ke atas, 
maka Raden Balelo pun segera menginjak kaki terse-
but dengan pelan-pelan. Akhirnya ia berdiri di atas ka-
ki itu dengan satu kaki, lalu kaki tersebut bergerak pe-
lan-pelan naik ke atas, membuat tubuh Raden Balelo 
menjadi lebih tinggi lagi.
Sempat pula Raden Balelo merasa terheran-
heran melihat Paku Juling mengangkat kakinya naik

dengan beban tubuh sebesar badan Raden Balelo. 
Yang mengherankan lagi, Paku Juling tidak tampak 
kerahkan tenaganya, hanya tangannya yang meme-
gangi tongkat itu tampak sedikit mengeras pada saat 
mengangkat kakinya.
Dengan cara begitu, Raden Balelo berhasil 
mencapai tali gantungan. Sambil masih tetap berdiri di 
atas kaki Paku Juling yang naik sampai tubuhnya mir-
ing ke belakang, Raden Balelo memasukkan kepalanya 
ke dalam jerat. Setelah tali jerat sudah melingkar di le-
hernya, Raden Balelo pun berkata dengan nada sedih,
"Paku Juling... lepaskan kakimu, dan selamat 
tinggal...!" "Raden sudah tidak ragu lagi memilih kema-
tian seperti ini?"
"Tidak. Aku memang lebih baik mati daripada 
kehilangan gadis itu. Lekas, lepaskan kakimu biar tu-
buhku tergantung. Jaga dirimu baik-baik dan tetap te-
kunlah selama menjadi pengemis."
"Terima kasih, Raden. Selamat jalan," kata Pa-
ku Juling, kemudian kakinya bergerak turun. 
Wuuut...! Jleeg...! Tubuh Raden Balelo tersentak di tali 
gantungan.
“Bruuukk!’
Tali itu putus tepat setelah kaki pemuda itu di-
lepaskan. 
“Aduuhhhhh! Kenapa tali ini bisa putus? Apa 
tali ini sudah tua?”
Paku Juling ikut memperhatikan tali tersebut 
yang ujung tempatnya putus cukup rata. Tak ada serat 
yang berhamburan.
Paku Juling berkata, "Rasa-rasanya ada pihak 
lain yang sengaja memutuskan tali ini, Raden!"
"Pihak lain mana? Yang ada di sini hanya aku 
dan kau."

"Tapi potongan tali yang putus karena rantas 
tidak akan serata ini, Raden. Potongan ini seperti po-
tongan dengan pisau yang amat tajam. Barangkali se-
lembar daun yang terbang tadi."
"Selembar daun?" pemuda berpipi tembem se-
dikit itu merasa heran.
"Saat tubuh Raden tergantung, sepertinya saya 
melihat sekelebat daun yang terbang melayang di atas 
kepala Raden. Mungkin ada seseorang yang punya il-
mu tinggi dan bisa merubah daun menjadi pisau."
"Ah, itu rekaan mu saja! Jangan berkhayal be-
gitu, bikin bingung pikiranku saja!" sambil Raden Bale-
lo memandangi sekelilingnya. Demikian pula yang di-
lakukan oleh Paku Juling. Lalu, terdengar Raden Bale-
lo ucapkan kata,
"Jika memang orang lain yang memutuskan 
tambang ini, lantas siapa dia orangnya, Paku Juling?"
"Aku...!" sahut sebuah suara yang ada di atas 
pohon beda tempat. Orang itu cepat melesat turun dari 
atas pohon dan dalam waktu sekejap sudah berada di 
depan Raden Balelo dan Paku Juling. Mereka berdua 
memandang dengan tercengang.
Orang tersebut ternyata seorang pemuda men-
genakan pakaian selempang dari kulit beruang coklat 
yang membungkus baju putih lengan panjang dengan 
sebuah pedang yang di ujungnya terdapat ukiran dua 
kepala burung saling bertolak belakang tersemat di 
punggung. Pemuda tampan berambut panjang tanpa 
ikat kepala itu tak lain adalah Yoga; si Pendekar Raja-
wali Merah.
Kepada Paku Juling, Yoga berkata, "Kau ini 
orang tua apa? Ada anak muda mau bunuh diri malah 
didukung, bukannya dihentikan dan disadarkan!"
Paku Juling berkata sambil bersungut-sungut,

"Aku sudah sadarkan dia, sudah nasihati dia, sudah 
kasih saran agar jangan lakukan, tapi Raden Balelo 
sendiri yang mendesak dan bahkan mengupah ku agar 
mau membantunya. Yaaah... apa boleh buat, aku 
hanya sekadar menolong saja!"
"Kau tak perlu ikut campur kesedihan hatiku, 
Sobat," ucap Raden Balelo kemudian.
"Aku tidak bermaksud ikut campur, tapi aku 
hanya ingin kasih tahu kamu, bahwa kematian seperti 
itu adalah kematiannya orang-orang sesat! Hindarilah 
kematian sesat. Sedangkan yang hidup saja tak diizin-
kan untuk bertindak sesat, mengapa yang mau mati 
harus memilih jalan sesat? Bodoh amat kau ini."
"Aku sakit hati, aku kecewa dengan hidupku, 
karena gadis itu meninggalkan aku. Padahal dia sudah 
bilang kalau cinta padaku. Aku sedih sekali tak bisa 
temui gadis itu lagi."
Yoga sunggingkan senyum dan bertanya, "Ga-
dis siapa maksudmu?"
"Gadis cantik yang bernama Lili itu!"
***
2

SERIBU petir menyambar di wajah Yoga. Pen-
dekar Rajawali Merah sangat terkejut mendengar ja-
waban Raden Balelo. Hampir saja tangannya berkele-
bat menampar mulut pemuda yang tampak sedikit le-
bih muda darinya itu. Untung Yoga segera berpikir, 
bahwa mungkin yang dimaksud Raden Balelo adalah 
gadis cantik bernama Lili yang tidak mempunyai gelar 
Pendekar Rajawali Putih.

"Bukan Lili guru angkatku yang dimaksud. Pas-
ti bukan!" kata Yoga di dalam hatinya. Ia pun segera 
tenangkan diri.
Pengemis kurus itu didekatinya dan Yoga ber-
kata pelan, "Siapa sebenarnya kalian ini? Apakah dia 
anak raja?"
"Aku tidak tahu," jawab Paku Juling. "Aku 
hanya seorang pengemis yang bernama Paku Juling 
dan sedang melewati tempat ini. Lalu, kulihat Raden 
Balelo mau gantung diri, dia memanggilku, menyuruh-
ku membantunya, memberi ku upah cincin ini, dan 
aku cegah dia tak mau, ya terpaksa aku mendukung 
rencananya."
"Kau pernah lihat gadis yang dicintai Raden Ba-
lelo itu?"
"Mana aku tahu?!" Paku Juling angkat bahu 
kembangkan tangan.
Raden Balelo yang ada di belakang Yoga dalam 
jarak empat langkah itu segera bergerak dekati Yoga 
dan berkata,
"Maukah kau menolongku, Teman?" "Menolong 
untuk mati?"
"Benar."
"Aku tidak tahu caranya mati, karena aku tidak 
pernah mau mati. Mati gantung diri itu perbuatan 
yang memalukan. Aku malu pada diriku sendiri kalau 
aku membantu seseorang untuk mati gantung diri."
Raden Balelo segera melepas satu cincinnya la-
gi. Cincin emas bermata berlian lebih besar dari yang 
diberikan Paku Juling itu ditaburi intan di sekeliling-
nya.
"Ambillah cincinku ini sebagai upah mu jika 
mau menolongku untuk gantung diri, atau mati den-
gan cara bagaimanapun juga!"

"Raden Balelo," kata Yoga sambil tersenyum bi-
jak, "Kalau aku mau barang berharga seperti cincin
mu itu, aku dapat memperolehnya dalam waktu sing-
kat dan jauh lebih banyak dari yang kau berikan pa-
daku. Tapi apalah arti kekayaan jika harus biarkan se-
seorang berada di jalan sesat?"
Raden Balelo hembuskan napas jengkel. Ia 
pandangi Yoga sambil mengenakan cincinnya kembali. 
Matanya memandang dengan rasa kurang bersahabat. 
Kemudian ia berkata,
"Kau seorang perampok?"
"Bukan. Namaku Yoga, murid mendiang Empu 
Dirgantara yang bergelar Dewa Geledek, tinggal di Gu-
nung Tiang Awan. Tugasku membela kebenaran, melu-
ruskan kekeliruan, melempangkan kesesatan, mem-
basmi kejahatan."
"Ooo... kau seorang pendekar?" ucap Raden Ba-
lelo dengan sikap sinis, seakan melecehkan Yoga. "Be-
nar. Apakah kau seorang anak raja?" "Ya. Aku putra 
Raja Kandakayuda dari Kerajaan Wirawiri."
Raden Balelo mengatakan hal itu dengan rasa 
bangga dan sedikit menampakkan kesombongannya. 
Namun kesombongan dan kebanggaannya itu segera 
surut dan wajahnya kembali dibalut kemurungan. Ia 
menambahkan kata,
"Tapi... sekarang aku sudah bukan anak raja. 
Aku telah diusir dari istana, dicoret dari silsilah ketu-
runan raja Wirawiri." 
Yoga dan Paku Juling hanya memandanginya, 
mengikuti gerakan Raden Balelo yang duduk di gun-
dukan cadas dengan wajah penuh duka. Suara Raden 
Balelo terdengar sedikit parau, mungkin karena mena-
han tangis yang semestinya tercurah pada saat ia ceri-
takan nasibnya.

"Semua kemewahan, derajat, harga diri, dan 
kekuasaan yang mestinya bakal kuterima dari keluar-
ga raja, kini telah ku tinggalkan. Semuanya ku ting-
galkan demi cintaku kepada Lili. Tapi ternyata, Lili ti-
dak pernah kujumpai lagi. Lili tidak mau menemuiku 
lagi. Dia pergi, entah ke mana, entah dengan siapa..."
Yoga menyela tanya, "Di mana gadis itu ting-
galnya?"
Raden Balelo geleng-geleng kepala pelan, "Ku-
temukan dia pada saat aku berburu sebulan yang lalu. 
Dia sangat cantik. Lebih cantik dari bidadari. Dia juga 
seorang pendekar yang lincah dan punya keberanian 
tinggi. Aku menyukainya, pada saat ia menolongku 
yang hampir ditelan harimau. Dia pun waktu itu me-
nyambut rasa sukaku dengan hati bahagia. Selama sa-
tu bulan aku banyak bertemu dengannya di bawah cu-
rahan air terjun. Kami memang selalu punya janji un-
tuk bertemu lagi di sana. Kami bercumbu di sana ber-
kali-kali, menikmati kehangatan tubuh dan kemesraan 
cinta. Lalu ia ingin mengajakku menikah. Kubawa ia 
kepada ayahanda ku, tapi keluargaku tak suka karena 
Lili bukan keturunan ningrat. Aku tetap membangkang 
dengan keputusan Ayahanda, akhirnya aku diusir dan 
tidak diakui sebagai anaknya lagi. Aku pergi menyusul 
Lili yang lari dengan hati luka oleh sikap Ayah." Raden 
Balelo menarik napas sebentar. Ia kelihatan menahan 
rasa sakit di hatinya. Sesaat kemudian ia berkata lagi,
"Dua kali kutemui dia, dua kali itu juga ku per-
goki dia sedang bercumbu dengan seorang lelaki. Aku
bahkan hampir dibunuh oleh lelaki itu. Yang membua-
tku sakit hati sekali, Lili terang-terangan bergumul dan 
bercumbu dengan lelaki lain di depanku. Aku melihat-
nya jelas-jelas di depan-mataku. Maka, ku putuskan 
bahwa aku lebih baik mati daripada kelak harus melihat kemesraan itu lagi. Aku sudah tidak punya hara-
pan untuk bisa menikmati hidup ini. Tanpa Lili, aku 
bukanlah manusia yang punya harapan dan kebaha-
giaan. Mati adalah jalan yang terbaik bagiku."
Pendekar Rajawali Merah masih diam saja 
sambil menyimpan kecemasan hati.
"Kalau aku punya ilmu silat tinggi, akan kubu-
nuh Lili dan pria itu. Tapi aku tidak punya ilmu silat 
kecuali ilmu berburu. Aku pun akan kalah jika mela-
wan Lili, karena dia seorang pendekar perempuan. Ge-
larnya saja cukup seram," ucap Raden Balelo lagi
"Siapa gelar kependekarannya?" tanya Yoga.
"Pendekar Rajawali Putih!"
Blaaar...! Seolah-olah begitulah bunyi seribu 
petir yang kembali bagaikan menghantam wajah Yoga 
pada, saat itu. Wajah Yoga menjadi merah padam. 
Hampir saja ia menghantam kuat-kuat wajah Raden 
Balelo ketika pemuda itu menyebutkan gelar guru 
angkatnya yang juga menjadi kekasihnya itu. Yoga 
hanya cepat berpaling, memandang arah jauh menarik 
napas dalam-dalam, dan menenangkan guncangan ji-
wanya.
Yoga sengaja menjauh tiga langkah, mengusap 
wajahnya dua kali. Menghembuskan napas lewat mu-
lut demi memburu ketenangan dan menekan luapan 
amarahnya yang sudah hampir meledak itu. Dan pada 
saat berikutnya, Paku Juling mendekati Yoga lalu ber-
kata pelan,
"Apakah kau percaya dengan ucapannya?"
"Entahlah," jawab Yoga sangat lirih.
"Sebenarnya, aku kenal dengan nama Pendekar 
Rajawali Putih. Maksudku, kenal namanya saja. Ku-
dengar dia seorang pendekar wanita yang sakti dan be-
raliran putih. Tentunya tingkah laku seorang pendekar
beraliran putih tidak serusak itu. Apalagi, kabarnya ia 
punya kekasih murid angkatnya sendiri yang bergelar 
Pendekar Rajawali Merah, berparas tampan, gagah, 
dan juga sakti."
Yoga terkesiap, melirik Paku Juling. Tapi pada 
waktu itu Paku Juling bicara dengan memandang arah 
jauh, seakan menerawang pada satu perasaan yang 
ada di dalam hatinya. Ia lanjutkan kata,
"Rasa-rasanya tak mungkin Pendekar Rajawali 
Putih pernah bercinta dengan Raden Balelo itu, bah-
kan melakukan hal-hal tak susila di depannya. Aku 
jadi sangsi dengan pengakuannya. Atau, barangkali dia 
orang gila yang punya banyak khayalan?"
"Lalu, mengapa dia mau gantung diri jika hal 
itu hanya sebagai bualannya saja?"
Paku Juling manggut-manggut. "Kulihat dia ju-
ga bersungguh-sungguh ingin mati. Kalau tadi tidak 
kau putus tali gantungan itu, dia pasti akan mati ter-
gantung dan saat ini sudah tidak bernapas lagi."
Yoga bingung menyimpulkan kata-kata Paku 
Juling, sebab hatinya sangat gundah dan diliputi oleh 
kebimbangan yang menjengkelkan. Maka, Yoga pun 
segera kembali dekati Raden Balelo, sedangkan Paku 
Juling mengikutinya dari belakang..
"Apakah benar kau bercinta dengan Pendekar 
Rajawali Putih?"
"Ya. Kau tak percaya? Aku berani sumpah dis-
ambar dua belas petir saat ini juga kalau aku berkata 
bohong padamu!"
"Seperti apa ciri-ciri gadis itu sebenarnya?" 
pancing Yoga.
"Yaaah... Cantik, ramping, tubuhnya sekal, pa-
kaiannya merah muda, namun mengenakan jubah 
longgar warna putih, dia... dia juga mempunyai pedang
yang diletakkan di punggungnya, seperti kamu. Kalau 
tersenyum ada lesung pipitnya. Manis sekali."
Debar-debar jantung yang sejak tadi ada di da-
lam dada Yoga itu kali ini terasa pecah dan meledak. 
Tubuh
Yoga bagaikan lemas mendengar Raden Balelo 
menyebutkan ciri-ciri itu. Karena Yoga tahu persis, itu-
lah ciri-ciri guru angkatnya yang juga kekasihnya sen-
diri. Yoga tak tahu harus melepaskan murkanya kepa-
da siapa. Karena itu ia berkata kepada Paku Juling 
dengan wajah pucat, "Jaga pemuda itu, jangan sampai 
bunuh diri. Dia sudah tak waras lagi," sambil Yoga 
membawa Paku Juling jauhi Raden Balelo. "Apa yang 
diucapkan adalah sesuatu yang di luar kesadarannya. 
Kasihan dia. Dia perlu seseorang yang menjaganya. 
Dan kalau perlu, bujuklah dia agar kembali ke ista-
nanya!"
"Mengapa kau memberi ku tugas begitu?" "Ka-
rena aku akan pergi teruskan perjalananku, dan kare-
na kau telah menerima upah cincin berharga amat 
mahal itu darinya."
Setelah berkata begitu, Yoga cepat tinggalkan 
tempat tersebut tanpa pamit lagi. Ia berlari cepat den-
gan menggunakan jurus 'Langkah Bayu' yang mampu 
bergerak melebihi cepatnya anak panah yang dile-
paskan dari busurnya. Zlaaap...! Zlaaap...!
Yoga seperti dihantam dengan batu sebesar gu-
nung. Nafasnya sangat sesak, sehingga ia perlu mem-
perlambat langkahnya. Bayangan cerita Raden Balelo 
menghantui pelupuk matanya. Tapi hati kecilnya sela-
lu menyangkal bayangan tersebut.
"Tak mungkin Lili berbuat seperti itu. Tak 
mungkin Guru Li mau bercumbu seliar itu. Guru Li 
bukan gadis yang liar dan buas. Guru Li gadis yang

anggun dan bijaksana, keras dan tegas, tak mudah 
tergiur oleh kemesraan pria lain, tak mudah jatuh cin-
ta pada lelaki mana pun juga. Guru Li punya harga diri 
yang amat tinggi."
Sungguh berita itu merupakan siksaan bagi ha-
ti pendekar tampan bertangan buntung itu. Hatinya 
yang dicekam rindu kepada sang guru angkatnya se-
makin terasa membengkak memar di sekujur tubuh. 
Yoga terpaksa harus tetap menahan dan menahannya 
saja.
Lili sudah sebulan lebih berada di Gua Rama 
untuk pelajari ilmu 'Mata Dewa'. Gua itu ditutup batu 
bertumpuk-tumpuk oleh Tua Usil, dan tidak akan di-
buka sebelum empat puluh hari lamanya. Hal itu 
membuat Yoga tak bisa bertemu dengan Lili, tak bisa 
melihatnya dan tak bisa menyapanya. Lalu, terbitlah 
kerinduan yang amat lekat di hati Yoga.
Untuk menghilangkan rasa rindunya, Yoga 
bermaksud pergi ziarah ke makam guru sejatinya, yai-
tu Dewa Geledek, yang disemayamkan di puncak Gu-
nung Tiang Awan. Tetapi seperti sial yang menunggu di 
depan langkah, Yoga temukan Raden Balelo bersama 
ceritanya itu. Tentu saja hati pendekar tampan pemi-
kat hati wanita itu menjadi tak tentu arah. Rindunya 
bercampur murka, sehingga sejuta tanya bermunculan 
menggelisahkannya.
Harapan yang tersisa hanyalah pada pusara 
guru sejatinya di Gunung Tiang Awan. Yoga berharap, 
setelah ziarah ke makam guru sejatinya ia bisa beroleh 
ketenangan jiwa dan mampu meredam segala nafsu 
amarahnya.
Tetapi, agaknya menuju makam guru bukanlah 
perjalanan yang mudah ditempuh dalam ketenangan 
jiwa. Di perjalanan, Yoga tiba-tiba dihadang oleh dua

wanita yang muncul secara tidak bersamaan. Kedua 
perempuan itu agaknya tidak saling kenal, sehingga 
ketika mereka bertemu, keduanya saling pandang pe-
nuh curiga.
Kemunculan itu diawali oleh seberkas sinar pu-
tih yang datang dari arah belakang Pendekar Rajawali 
Merah. Tanpa menoleh lebih dulu, nalurinya bergerak 
cepat, membuat tubuhnya melesat ke atas dan bersal-
to ke samping kanan dua kali. Wuuuk... wuuuk...! 
Jleeg. Yoga kembali daratkan kakinya dengan tegap, 
lalu pandangi arah datangnya sinar putih yang akhir-
nya mematahkan sebatang pohon itu.
Seorang perempuan yang tergolong masih mu-
da, walau Sedikit lebih tua dari Yoga itu, berdiri den-
gan pedang terhunus dan mata memandang tajam. Pe-
rempuan itu mengenakan pakaian kuning dan ram-
butnya dilepas riap. Raut mukanya yang cantik itu 
menampakkan kemarahan yang terpendam. Dadanya 
yang membusung itu menandakan bahwa dia bukan 
perempuan yang tidak menarik bagi lelaki.
Dengan suara geram yang lembut, perempuan 
itu berkata kepada Yoga yang tetap tenang meman-
danginya dengan senyum tipis.
"Melihat ciri pedangmu, pasti kau Pendekar Ra-
jawali Merah!"
"Betul," jawab Yoga. "Kau siapa?"
"Aku Lenggani, bekas istrinya Sanjaya!"
Yoga menampakkan wajah herannya, lalu ber-
kata, "Sanjaya? Aku tak kenal nama Sanjaya."
"Mungkin memang kau tak kenal, tapi keka-
sihmu yang bernama Lili: yang mengaku sebagai Pen-
dekar Rajawali Putih dan mempunyai pedang berciri 
seperti pedangmu itu, pasti tahu persis tentang Sanjaya!"


"Kemudian...?"
Perempuan bernama Lenggani yang berwajah 
sedikit lonjong dan berkulit kuning langsat itu diam 
sesaat. Tenggorokannya terasa kering sejenak manaka-
la hatinya berdebar setelah lama ia simak wajah tam-
pan Yoga itu ternyata memang punya daya getar yang 
cukup kuat. Lenggani berusaha melupakan getaran 
hatinya, kemudian segera berkata,
"Aku mencari Lili! Aku akan membunuhnya se-
karang juga! Katakan, di mana aku bisa temui dia!"
"Aneh...?" gumam Yoga dengan dahi berkerut. 
Lalu, ia bertanya kepada Lenggani, "Untuk apa kau, 
mencari dia dan ingin membunuhnya?"
"Melepaskan dendamku kepadanya, karena dia 
telah membawa lari suamiku sampai sekarang!"
Kaget juga Yoga mendengar pengakuan orang 
yang menahan marah itu. Ia bahkan mulai melangkah 
dekati Lenggani sampai berjarak tiga langkah baru 
berhenti, dan berkata,
"Lili melarikan suamimu?"
"Benar! Dia telah memikat Sanjaya, sehingga 
Sanjaya tergila-gila padanya. Sanjaya tak mau peduli 
lagi dengan diriku dan ia pergi mengikuti kekasih binal
mu itu!"
"Aku tak percaya!" jantung Yoga berdebar-debar 
mendengar pengakuan tersebut. Ia mulai gelisah dan 
menahan kemarahan.
"Kau tak perlu percaya, yang penting temukan 
aku dengannya. Kau pasti tahu di mana dia, karena 
kau adalah kekasihnya!"
"Jika kau tahu aku kekasihnya, tentunya kau 
pun tahu bahwa Lili tidak akan membawa lari suami-
mu, Lenggani!"
Makin tajam Lenggani berkata, "Mengapa tidak?

Sebelumnya dia mengenalku, menceritakan kepedihan 
hatinya yang tersiksa menjadi istrimu, menceritakan 
betapa dinginnya dirimu kepadanya dan tak pernah 
mendapatkan kehangatan darimu. Lalu suamiku da-
tang, kami berteman, tapi ternyata dalam waktu sing-
kat dia taklukkan suamiku dan berbuat tak senonoh di 
depan mata ku, setelah dia dan suamiku mengikatku 
di sebuah pohon. Biadab betul gadismu itu! Karenanya 
aku ingin hancurkan dia bersama Sanjaya dengan pe-
dang pusaka nenek ku ini!"
Dada Pendekar Rajawali Merah terasa retak dan 
sebentar lagi jebol. Ia mencoba membantah tuduhan 
itu dalam hatinya, namun yang ada hanya gemuruh 
darah yang mendidih di sekujur tubuhnya. Ketika ia 
ingin katakan sesuatu, tiba-tiba niatnya itu urung ka-
rena kemunculan seorang gadis yang melompat dari 
atas pohon. Jleeg,..!
"Tidak! Siapa pun tidak boleh membunuh Lili, 
selain aku! Ku siapkan diriku selama memburunya un-
tuk merajang habis sekujur tubuhnya!" kata gadis ber-
pakaian merah dan bermata bundar bening itu.
"Siapa kau?!" hardik Lenggani.
"Aku Anggita, putri Ki Lurah Prawiba!" jawab 
gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun yang me-
nyelipkan cambuk di pinggangnya. Gadis itu mempu-
nyai bulu mata lentik lebat, dan punya sikap pembe-
rani. Matanya tak segan-segan menatap Lenggani ba-
gai ingin melabraknya. Gadis bernama Anggita itu pun 
berkata lagi kepada Lenggani,
"Tak kuizinkan siapa pun membunuh Lili, ka-
rena nyawa Lili adalah nyawa yang harus ku buru!" 
Yoga cepat menyahut, "Mengapa kau memburu Lili?"
Anggita menampakkan dendamnya ketika men-
jawab, "Dia telah mencuri cincin pusaka milik ayahku,

dan membuat ayahku tergila-gila padanya. Sekarang 
ayah ku bermaksud menceraikan ibu hanya untuk 
menikahi Lili! Tapi sayang gadis itu belum muncul juga 
sampai sekarang dan membawa lari cincin pusaka itu!"
Lenggani berkata, "Jika kau benar anak Lurah 
Prawiba, berarti kau murid Perguruan Cambuk Ratu?!"
"Benar! Dari mana kau tahu?"
"Gurumu adalah bibiku, dan sering membang-
gakan muridnya yang bernama Anggita, anak Lurah 
Prawiba!"
Anggita menghela napas, rupanya mengurangi 
ketegangan dan sikap bermusuhan dengan Lenggani. 
Lenggani sendiri juga mulai dekati Anggita seraya ber-
kata,
"Berarti kita punya satu buruan yang sama!"
"Agaknya memang begitu!"
"Kubantu kau merebut cincin milik ayahmu itu, 
lalu kita bunuh bersama gadis binal yang mengaku 
bergelar Pendekar Rajawali Putih itu! Apakah kau setu-
ju?!"
"Kalau memang itu yang terbaik. aku setuju!"
"Paksa pemuda ini supaya memberitahukan 
kepada kita di mana gadis laknat itu berada!" sambil 
Lenggani lemparkan pandangan kepada Yoga. Anggita 
pun menatap Yoga dengan perasaan makin lama se-
makin gundah. Getaran lembut terasa menyentuh ha-
tinya manakala ia nikmati seraut wajah tampan itu.
"Kalian menyebar fitnah untuk guru angkatku!" 
kata Yoga. "Tak kuizinkan kalian melihat bayangannya 
sekalipun hanya sekejap!"
"Jangan memaksa kami lakukan kekerasan pa-
da mu, Pendekar Rajawali Merah! Kau akan menyesal 
jika kami bertindak kasar padamu!" kata Anggita sedi-
kit memaksakan diri untuk bersikap keras.

"Jika memang kau ingin bersikap kasar pada-
ku, aku pun bisa lebih kasar darimu!"
"Keparat! Perlu kubuktikan kekasaran ini pa-
damu rupanya, heat!" Lenggani bergerak lebih dulu 
dengan satu lompatan yang membuat pedangnya ber-
kelebat cepat hampir merobek dada Yoga. Untung Yoga 
segera tersentak mundur dan cepat lepaskan pukulan 
bertenaga dalam dari telapak tangannya. Pukulan itu 
tidak bersinar namun membuat tubuh Lenggani bagai-
kan terhempas badai kuat. Wuuu..! Beehg...!
Suara badan terpukul kuat bersamaan dengan 
melesatnya tubuh Lenggani ke belakang dan jatuh da-
lam jarak empat tombak dari tempatnya berdiri tadi. 
Grussaak...!
Pada saat itu Anggita lekas melompat mengi-
rimkan sebuah tendangan kipas yang membuatnya 
berputar dengan cepat. Wuuusst.. ! Plaak...! Wajah Yo-
ga tertampar oleh tendangan tersebut. Yoga sempat 
oleng sejenak, kemudian kembali tegak. Bersamaan 
dengan itu, Lenggani melemparkan pedangnya ke arah 
Yoga. Zuuut...! Weees...! Yoga bersalto ke belakang sa-
tu kali, pedang bergagang putih itu melesat melewati 
sasaran. Tapi segera membentur batang pohon dan 
berbalik arah memburu Yoga kembali.
Pendekar Rajawali Merah sedikit kaget melihat 
pedang itu berbalik arah menuju ke tempatnya. Den-
gan cepat, Yoga segera gulingkan tubuh ke tanah, dan 
kakinya segera menendang ke atas tepat kenai gagang 
pedang tersebut. Taaak...!
Pedang berputar-putar sambil melenting tinggi. 
Lalu, bergerak ke bawah dengan gerakan seperti anak 
panah. Lurus dan cepat sekali. Jruub...! Pedang itu 
pun menancap di tanah dan tak bisa bergerak lagi. 
Tangan Yoga segera meraih pedang tersebut, namun

Anggita segera memekik sambil melecutkan cambuk-
nya. Taaarr...!
Tangan Yoga menjadi sasaran cambuk itu, se-
hingga dengan cepat ia menarik tangannya dan tak ja-
di mencabut pedang tersebut. Bahkan ia bergerak ke 
samping dengan satu lompatan ringan yang membuat-
nya jauh dari pedang tersebut.
Namun pada saat ia daratkan kakinya ke ta-
nah, Lenggani menyerangnya dengan pukulan tenaga 
dalam dari tangan kirinya. Wuut...! Sinar putih terle-
pas lagi dan menghantam tubuh Yoga. Dengan cepat 
sinar itu dihantam oleh Yoga melalui kibasan dua jari 
tangannya yang mengeras tegak dan mengeluarkan se-
larik sinar merah bening. Claap! Glegaaar...!
Ledakan hebat terjadi pada saat kedua sinar 
saling berbenturan. Gelombangnya menghempas kuat, 
membuat tubuh Lenggani kembali terjungkal ke bela-
kang dan membentur pohon. Kepala yang terbentur 
pohon itu menjadi memar dan bengkak. Lenggani ke-
sakitan, sementara Yoga berusaha bangkit, karena ia 
sempat jatuh berlutut dihempas gelombang ledakan 
tersebut.
Namun baru saja Yoga bergegas bangkit, seke-
lebat sinar menghantam kepalanya bersama dile-
cutkannya cambuk Anggita dengan gerakan cepat. 
Taaar...! Sinar hijau keluar dari ujung cambuk. Yoga 
tak sempat menangkis dengan pukulan tenaga dalam, 
sehingga yang dapat dilakukannya adalah berguling ke 
depan secepat mungkin. Wuusst...!
Tiba di bawah pohon, Yoga diserbu oleh lecutan 
cambuk Anggita yang memancarkan sinar hijau berke-
lok-kelok bagai lidah cambuk itu. Taaarr...! Dan sekali 
lagi Yoga hanya bisa menghindar dengan berguling di 
tanah dalam satu lompatan rendah. Wuuut...!.

Blaaar...! Sinar yang mirip cambuk itu meng-
hantam pohon, lalu pohon itu tumbang seketika. Po-
tongannya nyaris menjatuhi Lenggani, sehingga Leng-
gani pun menghindar dengan satu lompatan, dan den-
gan cepat ia sambar pedang pusaka milik neneknya 
itu. Wuusstt...!
Kini Lenggani dan Anggita sama-sama berdiri 
dalam jarak enam langkah dari depan Yoga. Mereka 
berdiri berjajar, siap dengan senjatanya, siap dengan 
serangan berikutnya. Namun sebelumnya Anggita ber-
seru kepada Pendekar Rajawali Merah,
"Serahkan kekasihmu itu, atau kulenyapkan 
nyawa mu sekarang juga!"
Yoga hanya menarik napas, diam beberapa saat 
sambil berkata dalam hatinya, "Kedua perempuan ini 
benar-benar mencari Lili dan tak segan-segan membu-
nuh ku! Agaknya aku tak boleh main-main dengannya. 
Tapi, mereka sebenarnya tidak bersalah jika benar Lili 
melakukan apa yang dikatakan mereka tadi. Masalah-
nya sekarang, aku tidak tahu mana yang benar? Jika 
gadis itu yang benar, aku tak berani membunuh mere-
ka. Jika Lili yang benar dan mereka memfitnahnya, 
aku butuh pengakuan dari Lili. tapi... Lili sekarang 
masih ada di dalam Gua Rama! Mungkinkah ia keluar 
dari dalam gua dan membuat keonaran yang amat 
memalukan para mendiang guru kami itu? Ah, sial se-
kali aku ini! Aku tak bisa punya kepastian dalam ber-
tindak. Aku harus lekas-lekas pulang dan membong-
kar batu-batu penutup gua itu untuk buktikan apakah 
Lili ada di dalamnya atau tidak!"
Terdengar suara Anggita berseru lagi, "Hei, ke-
napa diam saja? Atau kau ingin aku melukai wajah 
tampan mu itu? Heaah...!"
Anggita menyentakkan cambuknya. Taaar...!

Cambuk bergerak cepat, bagaikan pedang panjang 
yang hendak membelah kepala Yoga dari atas ke ba-
wah. Tentu saja tubuh gadis cantik berhidung man-
cung itu sambil melompat dalam melakukan jurus 
cambuk membelah wajah itu. Tetapi, Yoga masih 
mampu menghindar dengan satu lompatan ke kiri, 
kemudian ia lepaskan jurus 'Cakar Gersang' dari ujung 
jari telunjuk, berupa sinar merah berkerilap yang 
menghantam perut Anggita. Claap! Beehg!
Bruuuk...! Anggita roboh, perutnya mual, kepa-
lanya amat pusing dan badannya lemas. Ia mengerang 
pelan. Lenggani melihat hal itu menjadi lebih bernafsu 
lagi untuk lumpuhkan Yoga, la cepat berkelebat ber-
sama pedang gagang putih itu. Tapi Yoga pun cepat-
cepat lepaskan jurus 'Cakar Gersang' lagi yang tepat 
mengenai pundak Lenggani.
Claaap...! Brrruk...! Nasib Lenggani serupa den-
gan Anggita. Pada saat kedua perempuan itu terkulai 
lemas, Yoga cepat tinggalkan mereka dengan satu lom-
patan yang membuat ia bagaikan menghilang. 
Zlaaap...!
"Harus kubuktikan, apakah Lili ada di dalam 
Gua Rama atau tidak!" ucap Yoga di dalam hatinya.
***
3


KERIMBUNAN hutan dekat sungai itu tak terla-
lu liar dan ganas. Binatang buas tak ada, kecuali 
hanya ular. Mungkin itu pun hanya beberapa ekor saja 
yang menjadi penghuni hutan tepi sungai. Tanaman 
berbahaya pun tak terdapat di sana, kecuali hanya tanaman berduri di sela-sela semak belukar.
Gemerisik suara semak itu ternyata mampu 
menahan langkah seorang lelaki tua berpakaian rompi 
merah kumal dan celana abu-abu. Orang tersebut tak 
lain adalah Cola Colo, si Bocah Bodoh. Sejak pedang 
pusaka yang diwariskan kepada ibunya dan kelak 
akan menjadi miliknya itu diserahkan oleh Yoga, hu-
bungan Cola Colo menjadi lebih erat lagi dengan Yoga, 
Lili, dan Tua Usil, pelayan Lili itu.
Hari itu, Bocah Bodoh yang sebenarnya sudah 
berusia lima puluh tahun itu, sudah pamit kepada 
sang Ibu untuk pergi menemui Yoga. Sang Ibu pun 
mendukung rencana Bocah Bodoh yang ingin belajar 
ilmu pedang dengan Yoga. Karena itu, untuk mencapai 
pondok Tua Usil, tempat Yoga dan Lili tinggal itu, Bo-
cah Bodoh menyusuri tepi sungai yang arus airnya 
menuju ke lembah samping pondok Tua Usil itu.
Dalam rangka perjalanan tersebutlah, Bocah 
Bodoh menjadi curiga dengan bunyi gemerisik semak 
ilalang yang ada di tepi sungai tersebut. Semak ilalang 
itu adalah bagian dari hutan di atas tanggul sungai. 
Dan semak ilalang itu kali ini memperdengarkan suara 
bisik yang mampu didengar oleh telinga Bocah Bodoh.
"Kau sungguh tampan sekali, Prabu. Hatiku 
sangat terpikat dan luluh dalam pelukan mu. Oh, han-
gatnya pelukan mu, membuat aku enggan lepaskan di-
ri lagi, Prabu. Hi, hi, hi...!"
Bocah Bodoh berkerut dahi sambil meneleng-
kan telinganya, menyimak suara bisik-bisik itu. Ha-
tinya membatin, "Kalau tak salah, suara perempuan 
itu seperti suaranya Nona Lili. Tapi, apakah benar 
yang ada di balik semak-semak itu adalah Nona Lili..?"
Kemudian,. Bocah Bodoh mendengar lagi suara 
orang berbisik, kali ini adalah suara lelaki yang sedikit

serak,
"Tubuhmu indah sekali, sangat menantang ke-
beranian ku. Baru sekarang kulihat tubuh semulus 
ini, dan... dan sehangat ini."
"Ih, jangan nakal tanganmu, Prabu. Aku geli, 
hi, hi, hi...! Ah, geli...! Geli, Prabu! Hih, hi, hik...!"
Dada Cola Colo bergemuruh. Ia yakin suara itu 
adalah suara seorang lelaki bersama Nona Lili yang di-
kenalnya. Tapi suara lelaki itu bukan suara Yoga. Itu-
lah yang membuat Bocah Bodoh menjadi heran. Bah-
kan menjadi penasaran dan ingin tahu apa yang dila-
kukan mereka di balik kerimbunan semak tersebut. 
Maka, pelan-pelan sekali Bocah Bodoh mendekati se-
mak-semak itu, menyingkapkan daunnya helai demi 
helai dengan tangan gemetar.
Mata Bocah Bodoh menjadi melebar ketika ia 
berhasil mengintip apa yang dilakukan dua insan di 
balik semak-semak itu. Dalam hatinya ia berucap kata,
"Itu Nona Lili...?! Oh, kenapa ia digigit bibirnya 
oleh pemuda itu tidak melawan? Oh, kasihan Nona Li-
li...! Dia kalah dengan pemuda itu. Oh, kenapa Nona 
Lili diam saja dibekuk oleh lawannya? Seharusnya ia 
bisa gunakan jurus maut untuk menghantam lawan-
nya itu, tapi... tapi... ya, ampun?! Nona Lili tidak ber-
daya! Ia dikuasai oleh pemuda itu dan... dan... oh, ke 
mana pakaian mereka? Jurus silat macam apa yang 
mereka gunakan sehingga pakaian mereka ada di sa-
na-sini? Kasihan sekali Nona Lili. Aku harus segera 
memberitahukan Tuan Yoga supaya Tuan Yo memban-
tunya!"
Bocah Bodoh mundur pelan-pelan sambil me-
rangkak. Sekujur tubuhnya gemetar, karena yang ter-
bayang dalam benaknya adalah kekalahan Lili. Menu-
rutnya, jika Lili mampu dikalahkan oleh pemuda itu,

sampai seperti orang sekarat sebab digencet, apalagi 
dirinya. Pasti akan mati seketika itu jika digencet oleh 
tubuh pemuda tersebut.
Debar-debar di dalam dada Bocah Bodoh 
menghadirkan keringat dingin di sekitar wajahnya. Ke-
ringat dingin itu ada karena ia melihat kepolosan tu-
buh Lili yang putih bersih tanpa cacat sedikit pun itu. 
Ia melihat tak begitu jelas, karena tertutup tubuh pe-
muda yang disangka menggulatnya dengan niat mem-
bunuh Lili. Tapi sekalipun hanya bagian-bagian terten-
tu yang bisa ditangkap oleh mata Bocah Bodoh, sudah 
cukup menghadirkan debar-debar aneh yang mem-
buatnya menjadi panas dingin.
Maka, dengan cepat ia berlari menyusuri tepian 
sungai. Wajahnya menjadi tegang ketika ia berpapasan 
dengan Tua Usil yang sedang memancing ikan di atas 
sebuah batu. Tua Usil pun segera merasa heran se-
waktu Bocah Bodoh mendekatinya dengan berkata,
"Nona Lili dalam bahaya... Nona Lili hampir ma-
ti...!"
Wajah Tua Usil kian berkerut heran dan berka-
ta, "Kau kesurupan atau kemasukan setan?"
"Belum. Tapi aku lihat jelas."
"Lihat jelas? Kau melihat setan dengan jelas?"
"Nona Lili! Bukan setan, tapi Nona Lili!" Bocah 
Bodoh semakin kelihatan panik.
"Aku tak mengerti maksudmu, Bocah Bodoh!"
"Di semak-semak sana, aku melihat Nona Se-
tan, eh... Nona Lili sedang sekarat. Ia hampir mati ter-
cekik ditindih lawannya yang jahat itu. Nona Lili tidak 
berdaya. Ketika mulutnya digigit pemuda itu, tangan 
Nona. Lili menggelepar-gelepar. Kasihan sekali."
"Ah, mana mungkin?! Nona Lili sedang berlatih 
jurus baru di dalam Gua Rama! Sampai sekarang beliau masih di sana!"
"Aku tidak bohong, Tua Usil! Aku lihat dengan 
mata kepalaku sendiri, bukan. dengan mata kakiku! 
Kalau tak percaya, cobalah buktikan sendiri. Ikutlah 
aku, dan kutunjukkan keadaan Nona Lili yang perlu 
bantuan Tuan Yo!"
Tua Usil menjadi penasaran, kemudian mengi-
kuti Bocah Bodoh menyusuri tepian sungai dengan 
berlari secepat mereka bisa. Ketika hampir tiba di tem-
pat yang dimaksud, Bocah Bodoh berbalik memandang 
Tua Usil dan meletakkan jari telunjuknya di mulut.
"Sssttt...! Pelan-pelan langkahmu, jangan seper-
ti kuda kena api pantatnya!"
"Di mana tempatnya?" bisik Tua Usil.
"Itu...," Bocah Bodoh menunjuk satu tempat. 
"Di bawah pohon berdaun rimbun itu. Di balik semak-
semak sana kulihat Nona Lili sedang sekarat. Kalau 
tak lekas ditolong, beliau bisa mati!"
Tua Usil pun mendekati semak-semak ilalang, 
menyingkapkan pelan-pelan. Dan pada saat itu, ia 
mendengar suara Nona Lili-nya yang mengerang pan-
jang bagai terkena luka yang amat sakit. Daun-daun 
ilalang berguncang-guncang gemerisik. Tua Usil sema-
kin melebarkan celah pandangannya dengan menying-
kapkan ilalang tersebut.
"Ooh...?!" pekik Tua Usil dalam hatinya. Mata 
Tua Usil melebar dan sepertinya tak bisa kembali ber-
gerak mengecil lagi manakala ia melihat Lili sedang 
bercumbu dengan seorang pemuda. Pertarungan me-
sra itu sangat hebat, sampai mengguncangkan semua 
ilalang yang ada di sekelilingnya. Tua Usil menjadi ge-
metar dan sesak napas.
Ia melepaskan pandangan matanya dari tempat 
pengintaian, memandang Bocah Bodoh sejenak dengan

mata tetap mendelik. Bocah Bodoh berbisik, "Benar 
kan apa kataku?" "Gawat!"
"Memang. Kalau kita terlambat memberitahu-
kan hal itu kepada Tuan Yoga, Nona Li bisa mati tak 
bernyawa lagi!"
Tua Usil tertegun bengong bagaikan patung 
yang matanya mendelik. Bocah Bodoh mengipas-
ngipaskan tangannya di depan mata Tua Usil agar Tua 
Usil segera sadar dari keterpukauannya. Tua Usil sege-
ra sadar setelah gerakan tangan Bocah Bodoh itu tak 
sengaja menyodok mata kirinya. Teeb...! Tangan itu di-
tangkap dengan satu mata terpejam perih. Tua Usil 
mau memukul wajah Bocah Bodoh, tapi segera urung-
kan niat setelah terdengar suara Lili yang memekik 
panjang dan keras bersama suara pemuda itu yang 
menggeram.
"Ayolah... Nona Li sudah semakin sekarat begi-
tu. Dia bisa mati kalau tak segera ditolong. Pemuda itu 
lebih jahat dari almarhumah bibiku. Pemuda itu se-
dang mencekik leher Nona Li! Lekas kita temui Tuan 
Yo...!" Bocah Bodoh menarik-narik tangan Tua Usil 
sambil ucapkan kata-kata tegangnya itu.
Bocah Bodoh berhasil membuat Tua Usil me-
langkah tinggalkan semak-semak. Tapi kali ini langkah 
Tua Usil tak bisa cepat, karena lututnya gemetar dan 
urat-uratnya bagaikan lemas. Apa yang dilihatnya itu 
sungguh suatu pemandangan yang tak pernah di-
bayangkan akan dilakukan oleh Nona Lili-nya itu. Tua 
Usil pun jadi terbungkam untuk sesaat dengan lidah-
nya seakan tertelan masuk ke tenggorokan.
Sampai di tempat pemancingannya semula, Tua 
Usil berhenti melangkah dan jatuh berlutut di pasir 
sungai. Buuhg...! Nafasnya terengah-engah, seakan 
sedang menggenggam nyawanya yang nyaris melayang

lewat ubun-ubunnya yang berambut putih tipis itu. 
Bocah Bodoh yang sudah berlari lebih dulu terpaksa 
kembali lagi temui Tua Usil sambil menarik tangannya.
"Lekaslah! Baru berlari sedekat itu kok sudah 
capek? Uuh...! Payah kau, Tua Usil!"
Plook...! Tua Usil menampar pipi Bocah Bodoh 
sambil berkata, "Aku bukan kecapekan, tapi lemas se-
kujur tubuhku melihat apa yang dilakukan oleh Nona 
Li. Sungguh tak kuduga Nona Li berbuat seperti itu 
kepada pria selain Tuan Yo."
"Aku juga tak sangka kalau Nona Li bisa dibuat 
tak berdaya oleh pemuda tersebut, padahal Nona Li 
punya ilmu tinggi. Seharusnya Nona Li tadi hantam-
kan tangannya ke dada pemuda itu biar jebol dan mati 
lawannya. Tapi dia malah meremas-remas punggung 
pemuda itu. Remasannya tak membuat kulit tubuh si 
pemuda menjadi koyak. Itu tandanya pemuda tersebut 
lebih tinggi ilmunya daripada Nona Li. Pertarungan itu 
harus segera diselamatkan, kalau tidak Nona Lili akan 
mati."
"Bodoh!" bentak Tua Usil. Tapi Bocah Bodoh 
menyangka dipanggil sehingga ia menjawab,
"Ya...? Ada apa?"
"Kubilang, kau ini goblok sekali!"
"Lho...?!" Bocah Bodoh bingung, wajahnya men-
jadi bego sekali dikatakan dirinya goblok. "Mengapa 
kau bilang begitu?"
"Nona Li tidak sedang bertarung dengan jurus-
jurus silat! Nona Li tidak sedang dicekik dan bukan 
mau di bunuh oleh pemuda itu."
"Ah, tapi Nona Li matanya terbeliak-beliak mau 
mati, dan pemuda itu tidak mau melepaskan. Bahkan 
kulihat tadi mulut Nona Li dimakannya! Ih, jangan-
jangan pemuda itu pemakan daging manusia?"

Kepala Bocah Bodoh disodok dengan jari Tua 
Usil. Kepala itu tersentak sekejap ketika Tua Usil ber-
kata,
"Goblok! Mereka itu bukan sedang bertarung. 
Itu namanya sedang bercumbu! Sedang berkasih-
kasihan.
Jika mata Nona Li terbeliak-beliak, itu bukan 
karena Nona Li mau mati, tapi karena merasakan ke-
nikmatan yang diberikan oleh pemuda Itu!"
"Lalu...? Lalu apa artinya pemuda itu memakan 
mulut Nona Li?"
"Itu namanya mereka sedang ciuman, Tolol!"
"Ciuman kok lewat mulut?"
"Habis kalau lewat sungai takut basah!" jawab 
Tua Usil dengan hati dongkol sekali. Kemudian, mere-
ka pun bergegas menuju ke pondok. Namun sebelum 
mereka mencapai pondok, mereka sudah bertemu den-
gan Yoga, yang memang mencari Tua Usil sebab di 
pondok ia tidak temukan Tua Usil.
"Naaah... kebetulan!" teriak Bocah Bodoh begitu 
melihat Yoga.
Tua Usil segera menghantam dada Bocah Bo-
doh. Buuhg...! Ia bersungut-sungut dan membentak,
"Kalau mau teriak jangan di dekat telingaku! 
Budek aku jadinya!"
"Itu Tuan Yo!"
"Iya. Yang bilang tuan tanah siapa?!" geram Tua
Usil.
Yoga mendekati mereka, keributan kecil di an-
tara mereka terhenti. Bocah Bodoh berapi-api mela-
porkan apa yang dilihatnya, dan menterjemahkan se-
mua gerakan Lili dengan pemuda itu sesuai dengan 
penjelasan yang diberikan oleh Tua Usil tadi.
"Nona Lili sedang berciuman dengan seorang

pemuda, Tuan Yo! Mereka ada di balik semak-semak. 
Ih, mengerikan!" Bocah Bodoh bergidik.
Yoga diam tercekat. Dadanya kembang kempis. 
Ia memandangi Tua Usil, yang dipandang sedikit takut 
menjelaskan maksud Bocah Bodoh. Tapi Yoga mende-
saknya dengan ucapan,
"Apa benar kata-kata si Bocah Bodoh ini, Tua 
Usil?"
"Hmm... eeh... Iya. Saya melihatnya sendiri tadi, 
Tuan."
"Berciuman?"
"Iya. Berciuman," jawab Tua, Usil mengangguk 
langsung menunduk.
Bocah Bodoh menambahkan kata penuh se-
mangat, "Nona Li kehilangan semua pakaiannya, Tuan. 
Mungkin disihir oleh pemuda yang bernama Prabu itu, 
sebab saya lihat Prabu juga kehilangan pakaiannya. 
Tapi, saya kasihan melihat Nona Li terengap-engap ka-
rena ditindih oleh Prabu. Saya mau membantunya, ta-
pi..."
"Di mana mereka sekarang?!" sahut Yoga den-
gan wajah merah padam. "Cepat bawa aku ke sana!"
"Mari...! Mari, Tuan. Saya masih hapal tempat-
nya!" Bocah Bodoh bersemangat terus, padahal Tua 
Usil merasa takut dan ngeri membayangkan kemara-
han Yoga jika melihat kekasihnya berbuat serong begi-
tu. Bocah Bodoh tidak punya rasa takut dan ngeri se-
dikit pun.
Sayangnya, ketika mereka tiba di semak-semak 
itu, Lili dan pemuda bernama Prabu itu sudah tidak 
ada. Bocah Bodoh bingung berpaling ke sana-kemari 
dengan mulut bengong dan mata lebar. "Lho... lho... 
tadi mereka ada di sini kok! Sumpah, Tuan Yo. Mereka 
ada di sini...! Nah, lihat... rumput-rumput ini tiduran

semua. Itu tandanya rumput-rumput itu di pakai ber-
gelut oleh Nona Lili dan Prabu tadi"
Tangan si Tua Usil menarik tubuh Bocah Bo-
doh, Mereka menjadi berada di belakang Yoga. Lalu, 
mulut Bocah Bodoh diremas oleh tangan Tua Usil. 
Kruues...! Bocah Bodoh menyeringai sambil kelojotan 
sesaat. Tua Usil berbisik dengan nada menghardik,
"Mulutmu jangan bikin hati Tuan Yo lebih pa-
nas lagi! Tak tahukah kau bahwa Tuan Yo cinta den-
gan Nona Li? Kalau dengar laporanmu begitu, Tuan Yo 
bisa marah, Nona Li bisa dibunuhnya! Ngerti?!"
Sambil mulut masih diremas tangan Tua Usil, 
Bocah Bodoh mengangguk-angguk. Lalu mulut itu di-
lepaskannya. Bocah Bodoh bersungut-sungut tak be-
rani membalas Tuan Usil.
Sementara itu, Yoga menemukan beberapa 
rumput yang tercabut karena remasan kuat, dan hal-
hal lain yang meyakinkan dirinya, bahwa apa yang di-
ceritakan Bocah Bodoh itu memang benar. Hati Yoga 
seperti di hunjam sejuta tombak. Perih sekali. Sakitnya 
luar biasa saat membayangkan apa yang dilihat Bocah 
Bodoh tadi.
"Tua Usil...!" panggilnya dengan suara meng-
hentak. Tua Usil tidak langsung menjawab, tapi terlon-
jak kaget dulu. Sikunya sempat menghentak mengenai 
dagu Bocah Bodoh yang ada di sampingnya. Bocah 
Bodoh cemberut kesakitan dan menabok punggung 
Tua Usil, tapi Tua Usil diam saja. Ia segera menatap 
Yoga dan Yoga pun bertanya dengan mata yang me-
mancarkan bara kemurkaannya,
"Apa benar Lili masuk ke dalam Gua Rama?" 
"Benar, Tuan. Saya sendiri yang mengantarkan beliau 
ke sana, lalu menutup pintu gua itu dengan bebatuan 
besar hingga berlapis-lapis. Saya yakin gua itu tidak

bisa ditembus sinar matahari lagi bagian dalamnya, 
Tuan."
"Ikut aku ke sana dan bongkar batu itu!"
"Jangan, Tuan!".
"Aku ingin buktikan di mana Lili saat ini bera-
da!" bentak Yoga. Matanya kian tajam memandang Tua 
Usil. Sekalipun takutnya bukan main, tapi Tua Usil te-
tap paksakan diri untuk berkata,
"Jangan, Tuan. Jangan bongkar batu-batu pe-
nutup itu. Nona" Li berpesan pada saya, bahwa batu-
batu itu boleh dibongkar setelah empat puluh hari la-
manya Nona Li ada di dalam gua itu. Jika saya mem-
bongkar batu-batu tersebut, berarti Nona Li tahu bah-
wa beliau sudah empat puluh hari berada di dalam 
gua. Sekarang baru tiga puluh satu hari lewat seten-
gah hari, Tuan Yo!"
"Kalau begitu, siapa yang kau lihat di semak-
semak ini tadi?!"
"Hmm... eh... mungkin... mungkin seseorang 
yang mirip Nona Li. Saya percaya, Nona Li masih ada 
di dalam gua. Kalau dibongkar sekarang, sia-sia sekali 
Tuan. Sudah cukup lama Nona Li tidak terkena ca-
haya, dan itu akan membuatnya memperoleh ilmu ba-
ru yang bernama ilmu 'Mata Dewa', Tuan. Jangan ga-
galkan rencana beliau, Tuan, ku mohon, jangan bong-
kar dulu batu-batu penutup gua itu...!"
Tua Usil sampai berlutut dan mencium tanah 
tiga kali sebagai tanda permintaan yang amat diha-
rapkan dengan penuh segala hormat. Pendekar Raja-
wali Merah menjadi tertegun dengan memendam ke-
marahan yang tak kuat lagi ditahannya. Akibatnya 
tangannya menyentak ke samping kiri, dan sekelebat 
sinar merah terlepas bersama teriakan keras dari mu-
lut Yoga,
"Heaaahhh...!" '
Blegaaarr...! Satu pohon yang kena sinar me-
rah, empat pohon lainnya tumbang secara bersamaan.
***
4


BETAPA sulitnya mengendalikan hawa nafsu 
pada saat-saat seperti itu. Beruntung Yoga segera la-
kukan semadi penenang jiwa, sehingga dalam sehari 
semalam ia sudah berhasil kendalikan kemarahannya. 
Sekarang yang ada dalam hatinya hanya sebuah tanya, 
"Apa maksud kejadian-kejadian yang ku alami ini?" 
Pohon buni berdaun lebar dengan buahnya yang lebat 
pula, menjadi tempat berdiam diri buat Yoga, ia duduk 
di bawah pohon tersebut, yang letaknya tak seberapa 
jauh dari bagian depan pondok. Tua Usil dan Bocah. 
Bodoh ada di dalam pondok, sedang sibuk menyiangi 
dua ekor kelinci yang hendak dibakarnya sebagai san-
tapan hari itu.
Pendekar Rajawali Merah bagaikan orang yang 
sedang berkabung. Renungan panjangnya membuat 
wajah tampan itu berkesan muram dan tak lagi pan-
carkan sinar kegembiraannya. Yang ada dalam hati 
Yoga saat itu hanyalah kecamuk batin, yang tak per-
nah diam sejak pertemuannya dengan Raden Balelo 
dan pengemis Paku Juling.
"Jika apa yang dilihat Bocah Bodoh dan Tua 
Usil itu adalah memang Lili, maka apa yang dikatakan 
oleh Raden Balelo itu memang benar. Apa yang ditu-
duhkan oleh Lenggani dan Anggita itu juga benar 
adanya. Seandainya memang begitu, lalu apa maksud

Lili bertindak sedemikian rupa? Nama pendekar raja-
wali akan hancur di mata para tokoh dunia persilatan! 
Nama besar mendiang guru Dewa Geledek dan Dewa 
Langit Perak juga akan musnah oleh tindakan Lili. 
Nama-nama beliau tidak harum lagi, karena mempu-
nyai murid sebejad Lili! Haruskah aku bertarung 
membunuhnya demi nama baik guru-guru kami, dan 
aliran silat rajawali ini? Atau, haruskah kubiarkan Lili 
berbuat begitu, sementara hatiku pun hancur kare-
nanya?"
Seperti ada sinar tajam yang menembus dada 
dan melukai ulu hati Yoga pada saat ia berkecamuk 
batin seperti itu. Dicobanya menarik napas dalam-
dalam dan ditahannya beberapa saat di dalam dada, 
maka rasa nyeri itu sedikit demi sedikit reda kembali. 
Pendekar Rajawali Merah menerawang, membiarkan 
angin teduh menerbangkan rambutnya yang panjang 
tanpa ikat kepala itu. Sebagian rambut ada yang me-
lintang di depan mata, dan itu pun dibiarkannya saja.
"Barangkali saja apa yang dikatakan Tua Usil 
itu. memang benar. Orang yang dilihatnya, adalah pe-
rempuan yang mirip dengan Lili. Moga-moga begitulah 
kenyataan yang ada. Tapi jika dugaan itu meleset, ma-
ka aku harus memahami maksud Lili bertindak seperti 
itu, seakan ia seorang gadis yang membutuhkan ke-
hangatan dan kemesraan lelaki. Oh... memalukan se-
kali. Dia menjadi liar dan keji. Mungkinkah keliaran-
nya itu dikarenakan aku kurang memberikan perha-
tian kepadanya? Mungkinkah aku tak sehangat keme-
sraan yang diharapkannya? Tapi, bukankah Lili sendiri 
yang selalu bersikap dingin jika aku terlalu lama me-
meluknya? Lili sendiri yang sering membatasi diri agar 
hubungan kami tidak terjerat ke dalam lumpur dosa 
dan perzinahan? Tapi mengapa sekarang dia lakukan
kepada orang lain? Bahkan harus merusak rumah 
tangga Lenggani dan Lurah Prawiba segala? Oh, benar-
benar tak kuat aku menahan rasa malu jika jumpa 
dengan mereka."
Hal yang membuat Yoga bimbang adalah ke-
mungkinan Lili keluar dari Gua Rama sungguh besar. 
Buat Lili, menyingkirkan batu-batu yang menutup pin-
tu gua bukan merupakan pekerjaan yang sulit. Dengan 
menggunakan ilmu dahsyatnya, ia dapat hancurkan 
batu-batu tersebut dan pergi keluar mencari mangsa. 
Bisa saja Lili. berpura-pura mempelajari ilmu 'Mata 
Dewa' di dalam gua tersebut, supaya dia punya alasan 
sendiri mengapa menghilang dari Yoga selama empat 
puluh hari nanti?
"Tetapi di dalam Kitab Jagat Sakti, ilmu 'Mata 
Dewa' hanya bisa ditempuh dalam keadaan gelap pe-
kat selama empat puluh hari, dan Lili tampaknya ingin 
sekali memperoleh ilmu 'Mata Dewa' itu!"
Dalam keadaan yang serba membingungkan 
itu, Yoga sempat dibuat terkejut ketika tahu-tahu di 
atas pohon terdengar suara,
"Orang jahat akan masuk ke dalam jerat, orang 
lurus jalannya akan bahagia hidupnya...!"
Serta-merta Yoga bangkit dari duduknya dan 
memandang ke atas. Matanya sedikit menyipit mencari 
suara yang sedikit cadel itu, tapi tak terlihat ada orang 
di atas pohon tersebut. Yoga memperhatikan beberapa 
saat lamanya, memeriksa dengan lebih teliti lagi. Na-
mun pohon itu tetap saja tidak berpenghuni.
Yoga memandang datar ke arah sekelilingnya, 
bahkan sempat memeriksa semak-semak di sebelah 
barat. Tapi baru tiga tindak ia melangkah, terdengar 
lagi suara sedikit cadel dari atas pohon,
"Orang jahat akan masuk dalam jerat, orang lurus jalannya akan bahagia hidupnya...!"
Karena penasaran dan merasa dipermainkan 
oleh seseorang yang bersembunyi di atas pohon, maka 
Yoga pun segera lepaskan pukulan jarak jauhnya tan-
pa sinar. Wuuut...! Braaasss...! Pohon-pohon buni ber-
guguran, demikian juga daunnya, lalu seekor burung 
pun melesat terbang dari kerimbunan daun. Burung 
itu terbang sambil bersuara,
"Selamat tinggal... selamat tinggal... selamat 
tinggal...!"
Yoga menghempaskan napas dengan hati kesal 
dan sedikit geli, karena suara tersebut datangnya dari 
seekor burung beo berwarna hitam berparuh kuning. 
Burung itu terbang berkeliling bagai mengitari alam di 
sekitar tempat Yoga berdiri itu. Mata Yoga pun me-
mandanginya terus, karena punya rasa tertarik dengan 
burung beo itu. Tapi, burung tersebut segera hinggap 
di balik pepohonan yang tumbuh dengan rapat. Yoga 
ragu untuk mengejar dan menangkapnya.
Kejap berikutnya, dari balik pepohonan rapat 
itu muncul sesosok tubuh sekal berpakaian warna 
jingga. Seorang perempuan yang rambutnya disanggul 
tak begitu rapi, segera melesat menghampiri Yoga den-
gan gerakan cepat bagaikan terbang. Wuuut...! Jleeg...!
"Mimpikah aku?" pikir Yoga. "Yang kulihat tadi 
seekor burung beo menghilang di balik pohon, menga-
pa sekarang yang muncul dari balik pohon itu seorang 
perempuan cantik berhidung mancung?"
Memang benar, perempuan itu berhidung man-
cung dengan mata sedikit lebar namun berbentuk in-
dah dan bercahaya meneduhkan. Ia kelihatan anggun 
dengan sebatang tusuk konde dari logam emas berben-
tuk bintang pada ujung batang tusuk konde tersebut. 
Ia mempunyai tahi lalat kecil di sudut bibir kirinya,

yang membuat wajah itu menjadi selain cantik juga 
menggemaskan.
Matanya memandangi Yoga tak berkedip, berdi-
rinya tegap. Dadanya terbusung karena memang be-
sar. Di pinggangnya terselip pedang emas berukuran 
pendek, mempunyai ronce-ronce benang merah pada 
gagangnya. Ia mengenakan kalung, gelang, dan giwang 
emas bermata berlian. Sosok tubuhnya yang tinggi se-
jajar dengan Yoga itu cukup imbang dengan bentuk 
badannya yang tidak langsing namun ramping, padat 
berisi. Bibirnya yang tak terlalu tebal namun cukup 
menantang itu tampak selalu tersenyum, walaupun 
Yoga tahu perempuan itu dalam keadaan memendam 
kemarahan.
Yoga memberanikan diri menyapa lebih dulu, 
"Apakah kau jelmaan dari burung beo itu?"
Perempuan tersebut tidak menjawab, hanya 
berkata, "Aku butuh bertemu dengan Pendekar Raja-
wali Putih!"
Pendekar Rajawali Merah berkerut kening, 
sambil matanya melihat seekor burung berkelebat 
muncul dari balik pohon dan langsung hinggap di 
pundak kiri perempuan yang berusia sedikit lebih tua 
dari Lili, mungkin sama dengan usia Lenggani. Ru-
panya burung beo itu piaraan perempuan cantik itu, 
sehingga dugaan Yoga tentang jelmaan burung beo itu 
pun hilang dari benak.
Kini burung beo itu perdengarkan suaranya, 
"Siapa namamu, Lintang Ayu namaku! Siapa namamu, 
Lintang Ayu namaku!"
Yoga tersenyum kalem, perempuan itu meman-
dangi terus tak berkedip. Yoga pun bertanya,
"Apakah yang dimaksud burung itu, Lintang 
Ayu adalah namamu?"

Burung beo hitam yang menyahut, "Benar. Be-
nar. Namaku Lintang Ayu, putri Adipati Windunegara, 
murid Eyang Jubah Peri, dari perguruan Tapak Kem-
bar. Terima kasih. Terima kasih!"
"Lucu sekali burung mu itu, Nona," kata Yoga 
sambil menahan tawa. "Dia mewakili mulutmu, yang 
mungkin akan lebih ramah sang burung daripada si 
pemilik burung."
Putri Adipati Windunegara itu berkata, "Cepat, 
pertemukan aku dengan Lili, Pendekar Rajawali Putih 
itu! Aku tahu, kau pasti Pendekar Rajawali Merah. Pe-
dang mu punya bentuk yang sama dengan pedang 
yang disandang di punggung Lili itu."
"Tunggu dulu," sela Yoga. "Apa benar kau mu-
ridnya si Jubah Peri?"
"Benar. Tapi urusanku tidak ada hubungannya 
dengan Guru."
"Memang. Tapi aku hanya ingin kasih tahu pa-
damu, bahwa gurumu adalah sahabat guruku, yaitu 
Eyang Dewa Geledek!"
"Aku tahu. Sebutan dan gelar Rajawali, hanya 
dimiliki oleh Eyang Dewa Geledek dan Dewi Langit Pe-
rak."
"Syukurlah kalau kau sudah mengetahuinya."
Tetapi urusan ini telah membuat aku dan pihak 
keluargaku tidak punya rasa bersahabat dengan mu-
rid-murid tokoh sakti yang namanya cukup masyhur 
itu. Ini disebabkan oleh kelakuan salah seorang murid 
mereka yang bernama Lili!"
"Apa yang dilakukan oleh Lili?"
"Dia menculik adik lelakiku yang bernama Pra-
bu Anom! Padahal esok lusa ia akan menikah dengan 
Putri Giri Manca. Jika sampai pernikahan itu gagal, Li-
li sama saja mencoreng nama baik keluargaku, dari

balasannya tak lain hanyalah dengan cara membu-
nuhnya! Jika Lili tak mau lepaskan Prabu Anom seka-
rang juga, aku terpaksa membunuhnya. sebelum ia 
sempat mencoreng-moreng nama keluarga."
"Prabu Anom...?" gumam Yoga, lalu teringat 
ucapan Bocah Bodoh tentang nama Prabu yang diper-
gokinya sedang bercumbu dengan Lili.
Jantung Yoga kembali berdetak-detak dengan 
cepat, wajahnya panas karena menahan malu bercam-
pur amarah membayangkan tindakan guru angkatnya 
itu.
Luar biasa sekali rasa malunya Yoga, sampai-
sampai ia tak bisa berkata apa-apa kecuali hanya diam 
dan membuang pandangan ke arah lain. Sedangkan 
Lintang Ayu masih menatapnya dengan sikap siap la-
kukan pertarungan kapan saja.
"Kalau kau tak mau mempertemukan aku den-
gan Lili di tempat persembunyiannya, maka aku akan 
memaksamu dengan pedang. Mungkin juga akan me-
lukaimu, atau bahkan terpaksa membunuhmu!" "Sa-
barlah, Lintang Ayu...!" "Tak ada kata sabar lagi bagi 
diriku!" ucap Lintang Ayu bernada dingin. "Aku me-
nuntut perbuatan murid-murid Rajawali yang konon 
dikenal sebagai pembela kebenaran dan membantai 
kejahatan. Mana buktinya? Ternyata aliran Rajawali 
hanya membuat kerusuhan dan sama jahatnya dengan 
Malaikat Gelang Emas! Murid-murid aliran Rajawali 
sama sekali tidak mencerminkan sifat kependekaran-
nya, malahan lebih cenderung mencerminkan kebeja-
tan manusianya, kebuasan nafsunya, dan kerakusan 
cinta! Cuih...!"
Lintang Ayu meludah. Hati Yoga bagaikan pe-
cah. Kalau bukan karena banyaknya kabar tentang 
tingkah laku Lili dari berbagai pihak, sudah pasti perempuan secantik apa pun akan dihajar habis oleh Yo-
ga jika merendahkan aliran silatnya sedemikian rupa. 
Sayang sekali banyak orang mengetahui tindakan Lili 
seburuk itu, sehingga Yoga sulit membela aliran Raja-
wali di mata perempuan cantik itu. Yoga hanya bisa 
menahan dan menahan mati-matian rasa malu yang 
bergumul kuat dengan kemarahan besar dalam ha-
tinya.
"Kabarnya, kaulah kekasih Lili yang sebenar-
nya! Aku tak tahu itu kabar yang benar atau tidak, 
yang jelas, kalau kau adalah kekasih Lili yang sebe-
narnya, maka kusarankan, bunuh saja kekasihmu itu. 
Dia tidak punya harga diri sebagai seorang gadis berge-
lar pendekar. Carilah kekasih lain yang lebih memiliki 
harga diri dan layak kau banggakan di mata dunia 
persilatan!"
Burung beo di pundak kiri terbang, hingga di 
pohon tinggi dan bersuit-suit dari atas sana. Yoga me-
mandangnya sebentar sebagai penenang guncangan 
jiwanya. Kemudian, matanya turun ke bawah dalam 
memandang dan tiba di wajah cantik Lintang Ayu itu. 
Dengan nada tegas Yoga berkata,
"Serahkan urusan Lili kepadaku. Aku yang 
akan membereskannya!"
"Kau boleh membereskannya setelah aku mem-
bawa pulang calon mempelai pria, yaitu adikku sendiri; 
Prabu Anom! Selama aku belum membawa pulang 
Prabu Anom, aku harus memburu Lili dan bikin perhi-
tungan sendiri dengan gadis bejatmu itu!"
"Urusan ini adalah urusan aliran Rajawali. Bu-
kan urusan perguruan lain! Kau tak perlu mencampuri 
urusan kami!"
"Aku akan mencampuri, karena aliran Rajawali 
telah membuka permusuhan dengan pihak kadipaten,

dan akulah senopati kadipaten itu!"
"Kalau begitu, kau telah membuka tantangan 
terhadapku, Lintang Ayu? Kau telah menantang aliran 
Rajawali!"
"Kalau kau menganggapnya begitu, aku tidak 
keberatan dengan anggapan tersebut! Murid Jubah Pe-
ri tak pernah menghindari tantangan dari siapa pun!"
"Balk. Ini pilihan mu dan aku melayani pilihan 
mu!" "Bersiaplah membela aliran sesat mu, Pengecut!" 
setelah berkata demikian, Lintang Ayu cepat kibaskan 
tangannya, seperti mengambil sesuatu dari ikat ping-
gangnya dan melemparkannya kepada Yoga. Wuuut!
Zlaaap...! Ternyata sinar kuning yang dilempar-
kan oleh Lintang Ayu ke dada Pendekar. Rajawali Me-
rah itu. Dengan cepat, Yoga sentakkan kakinya ke ta-
nah dan tubuhnya melesat naik dengan gerakkan tan-
gan menghantamkan pukulan jarak jauhnya. 
Wuuuss...! Sinar merah keluar dari telapak tangan Yo-
ga dan berbentuk seperti sepotong besi yang bergerak 
dengan cepatnya.
Deeeb...! Sinar merah itu dihadang oleh telapak 
tangan Lintang Ayu yang langsung membara kuning. 
Sinar merah itu padam seketika tanpa hadirkan leda-
kan. Sedangkan sinar kuningnya Lintang Ayu tadi te-
lah membentur sebongkah batu sebesar kerbau, lalu 
batu itu pun menjadi kristal bening warna kuning. Ke-
jap berikutnya hancur remuk tak sedikit pun ada sisa 
secuil. Semuanya menjadi serbuk pasir kuning yang 
menggunung di tempat batu tersebut tadi berada.
Pendekar Rajawali Merah sempat merasa ka-
gum melihat Lintang Ayu mampu menahan pukulan 
sinar merahnya. Perempuan itu hanya sunggingkan 
senyum sinis ketika Yoga berkata,
"Hebat juga ilmumu! Tak sia-sia kau berguru

kepada..."
"Eyang Jubah Peri tak pernah membekali mu-
ridnya dengan ilmu serendah ilmu-ilmunya aliran Ra-
jawali!" sahut Lintang Ayu, membuat Yoga semakin le-
bih kuat menekan luapan murkanya.
"Tunggu sebentar. Sekarang baru kuingat bah-
wa Jubah Peri bukan memiliki murid kau saja, tapi 
ada satu murid yang kukenal dekat, walau sekarang 
sudah tiada. Murid itu bernama Kencana Ratih!"
Lintang Ayu gerakkan matanya sedikit terpe-
ranjat lebar. Tapi sorot pandangan matanya kian ta-
jam. Ia berkata dengan nada tetap sedingin balok-
balok es dari kutub utara,
"Kencana Ratih adalah adik angkatku!"
"Oo..?!" Yoga kaget dan segera berkerut da-
hinya.
"Omong kosong kalau kau kenal dengan Ken-
cana Ratih yang sudah lama tak pernah jumpa den-
ganku."
"Aku memang kenal dia. Aku bersahabat den-
gannya dan sama-sama menghancurkan Gua Bidadari
dengannya, mengambil bunga Teratai Hitam dengan-
nya, dan... dan dia mencintai ku, namun terbunuh 
oleh seseorang di tengah hutan!"
"Omong kosong!" bentak Lintang Ayu. "Kencana 
Ratih belum meninggal. Aku tak percaya dia terbunuh 
di tengah, hutan, karena dia punya jurus 'Candera 
Wungu' yang sangat berbahaya itu!"
Lintang Ayu tampak gundah hatinya, antara 
percaya dan tidak. Padahal Kencana Ratih memang te-
lah tewas di tangan Mahligai karena memperebutkan 
Yoga, (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: "Pra-
sasti Tonggak Keramat"). Maka, Yoga pun berkata,
"Kalau tak percaya, aku bisa mengantarmu untuk temui makamnya, karena aku sendiri yang mema-
kamkan jenazahnya. Dan... aku merasa kehilangan se-
suatu yang amat ku sayangi selama ini," ucap Yoga 
dengan melemah pada akhir katanya. Lintang Ayu 
pandangi wajah Yoga tiada berkedip, dan ia temukan 
segumpal kesedihan di wajah tampan itu. Maka ia 
menjadi percaya dengan keterangan Pendekar Rajawali 
Merah itu, sehingga ia pun ikut menjadi berwajah du-
ka, yang kemudian segera berkata,
"Aku harus temui Guru untuk laporkan hal ini! 
Ku tunda, urusanku denganmu, tapi ingat... aku akan 
kembali lagi untuk menantang aliran Rajawali dan 
membunuh satu muridnya berperilaku liar itu!"
Wuuut...! Lintang Ayu cepat sentakkan kaki 
dan melesat pergi seperti kilatan cahaya jingga yang 
melesat ke suatu tempat. Kini tinggallah Yoga sendi-
rian dalam ketermenungannya memandangi arah ke-
pergian Lintang Ayu. Namun otak dan hati Yoga mem-
perdengarkan keluh bagi dirinya sendiri tentang sikap 
dan tindakan Lili yang benar-benar memalukan aliran 
Rajawali itu. Yoga harus lakukan sesuatu untuk mem-
perbaiki nama aliran Rajawali dan mengharumkan 
kembali nama mendiang gurunya agar tak tercemar di 
mata dunia persilatan. "Aku akan datang sendiri ke 
Gua Rama tanpa si Tua Usil dan Bocah Bodoh! Akan 
ku bongkar gua itu dan kubuktikan sendiri kebenaran 
apa sesungguhnya yang ada di dalam gua tersebut! 
Mungkin Lili justru menyimpan Prabu di dalam gua 
itu! Jahanaaam...!" geram Yoga sambil genggamkan 
kedua tangan kuat-kuat, dan gigi pun menggeletuk 
bersama mata yang menyipit dendam.
***

5

PERJALANAN menuju Bukit Rama tempat di 
mana Lili masuk ke dalam guanya itu, ternyata menga-
lami hambatan yang membuat tujuan tersebut tertun-
da. Hambatan itu timbul akibat Yoga melihat sekelebat 
bayangan manusia berlari menembus kerimbunan po-
hon. Dalam sepintas saja, Yoga dapat kenali bayangan 
yang berkelebat itu, yang tak lain adalah Anggita; gadis 
cantik bermata bundar bening dan indah mengagum-
kan.
Sebenarnya Yoga tidak ingin mempedulikan ga-
dis itu. Tetapi gadis itu tiba-tiba tampak mengendap-
endap menuju, balik pohon bersemak-semak. Gerakan 
yang mencurigakan itu menarik minat ingin tahu bagi 
Pendekar Rajawali Merah, sehingga ia pun berusaha 
dekati Anggita pelan-pelan.
Tetapi agaknya gadis bersenjata cambuk maut 
itu punya telinga yang cukup tajam. Sekalipun Yoga 
telah rapatkan badan dengan batang pohon dan sem-
bunyi tanpa bernapas, namun Anggita mengetahui ada 
orang yang mengintai dirinya. Maka, dengan cepat ia 
mencabut cambuknya dan dilecutkannya ke arah po-
hon tersebut. Taaarrr...!
Cambuk itu melilit pada batang pohon tersebut. 
Tubuh Yoga terjerat. Namun dengan cepat cambuk itu 
ditarik dalam satu sentakan bertenaga dalam oleh 
Pendekar Rajawali Merah. Wuuut...! Dan tubuh Anggi-
ta terbawa melayang. Wuuurrss...! Buuhg...! Anggita 
terbanting tepat di depan Yoga.
Dalam sentakan berikut, cambuk itu terlepas 
dari tangan Anggita. Gadis itu segera sentakkan kaki 
kirinya dan melesat bangkit dari keadaan berguling

guling. Anggita tercengang setelah sadari cambuk itu 
sudah tidak di tangannya, melainkan di tangan Yoga.
Lebih tercengang lagi setelah gadis itu melihat 
Pendekar Rajawali Merah lecutkan cambuk ke udara 
bebas satu kali, namun mampu timbulkan suara lecu-
tan tiga kali bersama pancaran sinar biru berpendar-
pendar bagaikan petir menyambar ke sana-sini. 
Taaar...!
Blar, blar, blar...!
Tiga pohon pun tumbang secara bergantian. 
Kraaak...! Brrrukk! Daun-daun berguguran, hingga 
ada satu pohon yang kehilangan banyak daun, tinggal 
tersisa antara empat atau lima daun. Padahal Anggita 
tak pernah tahu bahwa senjata cambuk mautnya itu 
mampu lepaskan pukulan sedahsyat itu. Karenanya, 
Anggita diam terpaku di tempat menyaksikan daun-
daun beterbangan karena dihembus angin yang datang 
dengan kencang setelah terjadi ledakan tiga kali dari 
gerakan cambuk yang dilecutkan hanya satu kali tadi.
Yoga segera berkata setelah keadaan menjadi 
tenang, "Kalau aku mau membunuhmu, alangkah mu-
dahnya saat ini?! Kau bisa kubuat seperti tiga batang 
pohon itu. Mungkin tubuhmu akan menjadi tiga ba-
gian jika masih tetap ingin menyerangku!"
Gadis cantik berhidung mancung itu menahan 
rasa malu. Tapi matanya kini menatap lekat ke wajah 
Yoga dan lama-lama mata garang itu berubah menjadi 
redup serta lembut. Ia pun segera berkata, "Kalau kau 
ingin membunuhku dengan senjataku itu, lakukan-
lah!"
Cambuk tersebut justru dilemparkan ke arah 
Anggita dan gadis itu segera menangkapnya. Pada 
waktu itu matanya kian terpukau melihat senyuman 
Yoga semakin mekar indah dan berkata, "Aku tak sejahat dugaanmu! Hanya perlu kau ketahui saja, aku 
bisa menjadikan ilalang ini sebagai cambuk yang lebih 
tajam dari cambuk mu, yang lebih alot dari senjatamu 
itu!" seraya Yoga mencabut sebatang daun ilalang. Ila-
lang itu segera dimainkan dengan jarinya, diputar-
putar dengan pandangan mata tertuju pada bola mata 
Anggita yang punya bulu mata lentik itu.
Gadis itu tak tahan menerima tatapan mata Yo-
ga. Ia alihkan pandangan matanya sambil menghela 
napas, kemudian menggulung cambuknya menjadi se-
buah lingkaran susun, dan ia pun berkata, "Kau telah 
menghambat pengejaran ku."
"Maaf, aku sebenarnya ingin tahu apa yang 
kau" dekati di balik gugusan batu itu. Tapi tahu-tahu 
kau menyerangku."
"Apakah kau terluka?"
"Tidak."
"Syukurlah," Anggita manggut-manggut sambil 
melangkah ke bawah pohon yang tadi digunakan ber-
sembunyi oleh Yoga. Matanya menatap ke bebatuan 
yang dibaliknya mempunyai jalan menuruni lembah.
"Mereka pasti telah lari mendengar lecutan 
cambuk mu tadi," kata Anggita tanpa memandang Yo-
ga. "Siapa yang kau maksud?" "Lili dan seorang pemu-
da yang kudengar dipanggilnya dengan nama Prabu 
Anom!"
"Lili...?!" Yoga terperanjat dan hilang kerama-
han serta keceriaannya seketika itu juga. Ia dekati 
Anggita dan berkata, "Jadi, kau melihat Lili dan Pra-
bu?!"
"Aku melihat mereka berdua sedang berlari ke-
jar-kejaran penuh tawa ceria. Aku mengikutinya, baru 
saja berusaha menyusulnya, tapi kehadiranmu telah 
menggangguku dan... mungkin ia sudah lari bersama

Prabu Anom, entah ke arah mana."
Pendekar Rajawali Merah menyimpan sesal. Ia 
bergegas dekati gugusan batu itu, memandang ke arah 
lembah, namun tak melihat gerakan manusia di sana. 
Padahal ia ingin sekali pergoki Lili" bersama Prabu, se-
hingga ia bisa punya kepastian dalam hatinya tentang 
sikap Lili sebenarnya.
Anggita mendekati Yoga yang jadi termenung di 
samping gugusan batu tersebut. Lalu, gadis itu per-
dengarkan suara dengan lembut,
"Apakah kau masih mencintai gadis itu?" "Aku 
tak tahu. Yang ku tahu, dia telah memalukan aliran 
Rajawali, mencoreng-moreng wajahku di depan orang-
orang seperti kamu, dan merusak nama baik guru-
guru kami. Kalau memang aku bisa pergoki dia ber-
buat tak senonoh atau bertindak kejam terhadap se-
seorang, aku akan punya perhitungan sendiri dengan-
nya."
"Kau akan membunuhnya?"
"Mungkin," jawab Yoga pelan, itu pun setelah ia 
terbungkam beberapa saat. Lalu, Anggita sengaja ber-
diri agak ke depan Yoga supaya bisa pandangi wajah 
pemuda tampan itu dari depan, lalu bertanya,
"Kau tak menyesal apabila kau berhasil mem-
bunuhnya?"
"Yang ku sesali, mengapa ia harus berbuat be-
gitu? Kalau mendiang guru kami bisa bangkit kembali, 
pasti. guru kami yang akan pancung leher Lili tanpa 
ampun lagi."
Anggita diam termenung dengan mata tetap 
memandang ke arah jauh, dan membiarkan angin 
lembah menghembus rambutnya hingga poni di ke-
ningnya menjadi rusak, namun justru menambah ma-
nis wajahnya. Anggita berkata dengan suara pelan,

"Kalau aku menjadi kau, aku akan tinggalkan 
gadis itu dan mencari gadis lain!"
"Aku tidak pikirkan gadis lain, tapi pikirkan ba-
gaimana caranya supaya aliran silat Rajawali ini tidak 
jatuh di mata dunia persilatan. Guru selalu wanti-
wanti padaku agar jaga nama baik aliran Rajawali den-
gan sikap dan tutur kata. Kalau begini... aku malu se-
kali muncul di depan para tokoh dunia persilatan, se-
bab mereka akan mengecamku, setidaknya akan meni-
laiku bersikap rusak seperti Lili."
Dalam hati Anggita terucap kata, "Kasihan pe-
muda tampan ini. Dia ternyata tidak bermaksud me-
lindungi Lili, namun menjaga nama baik aliran Raja-
wali-nya. Tak seharusnya aku bermusuhan dengan-
nya. Tak semestinya, Lenggani pun menyerang dia. 
Ternyata dia justru menjadi korban tindakan Lili, dan 
menjadi serba salah karena tergencet antara Lili dan 
korbannya. Hmmm..., kasihan sekali dia."
Pendekar Rajawali Merah segera pandangi Ang-
gita ketika bertanya,
"Benarkah Lili bercinta dengan ayahmu?"
"Mungkin kau tak percaya. Tapi kau bisa temui 
sendiri ayah dan tanyakan kepada ayah. Sejak beliau 
kehilangan cincin pusakanya, beliau mengupah orang 
untuk mencari Lili dan membawanya kepadanya. Kini 
yang menderita adalah ibuku. Ibu sering dikucilkan 
oleh ayah dan kabar terakhir kudengar, ayah ingin ce-
raikan ibu! Semua itu gara-gara kehadiran Lili. Ia telah 
merampas cincin dan kebahagiaan keluargaku."
"Kau mau antarkan aku pada ayahmu? Aku in-
gin bicara dengan beliau."
"Aku... aku...!" Anggita menjadi ragu untuk 
mengatakan sesuatu, dan Yoga pun mendesaknya, se-
hingga Anggita kembali berkata,

"Aku takut kalau orang-orang di desaku me-
nyangka kau adalah kekasihku!"
"Apakah itu membuatmu malu?"
"Jika tidak terjadi dalam kenyataan, aku malu. 
Tapi jika terjadi dalam kenyataan, aku tak pernah ma-
lu mempunyai seorang kekasih seperti dirimu, Pende-
kar Rajawali Merah."
Yoga tersenyum dan memahami maksud Anggi-
ta. Gadis itu agaknya membuka peluang dan siap me-
nerima Yoga dalam hatinya, jika Yoga ingin rapatkan 
hati dan cintanya. Tapi Pendekar Rajawali Merah tidak 
turuti hati kecil Anggita, bahkan ia bersikap seakan 
kurang paham dengan maksud ucapan Anggita,
"Sebelum Lili berhasil memikat ayahku, dia se-
lalu bicara tentang kekasihnya yang menurutnya ber-
nama Yoga. Keluargaku banyak mendengar tentang 
nama Yoga, Pendekar Rajawali Merah, dan ciri-ciri 
sang kekasih itu. Yang tidak ku tahu, apakah benar 
kau yang bernama Yoga?"
"Pertanyaanmu lucu," jawab Yoga sambil sung-
gingkan senyum tipis. Mereka melangkah beriringan 
menuju rumah Anggita. Yoga lanjutkan kata,
"Kalau aku mengaku Pendekar Rajawali Merah, 
tentunya akulah yang bernama Yoga itu."
"Adik perempuanku sering mendengar Lili me-
muji ketampanan kekasihnya. Setelah melihat sendiri, 
tak kusangka, Lili punya kekasih yang benar-benar pa-
tut dibanggakan.
Yoga hanya tersenyum tipis dan tetap melang-
kah memandang sekeliling dengan gerakan matanya 
yang penuh waspada itu. Anggita kembali perdengar-
kan suaranya,
"Sayang dia tidak mau merawat cintanya den-
gan kemurnian dan ketulusan hati. Akibatnya, sang

kekasih jadi kecewa, dan mungkin dalam waktu dekat 
akan tinggalkan dirinya."
Yoga segera alihkan percakapan supaya tidak 
ke masalah cinta, "Bagaimana Lili bisa dekat dengan 
keluargamu?"
"Dia berhasil kalahkan Sekutu Rampok Laknat, 
yang setiap sebulan sekali mengganggu warga 
desa kami. Keberhasilannya itu menarik simpati ke-
luargaku, sehingga ia tinggal di rumah keluargaku se-
lama satu minggu lebih. Itulah sebabnya ia bisa dekat 
dengan keluargaku, terutama dengan ayahku."
"Selama seminggu lebih itu ia tidak pergi-pergi 
dari rumahmu?"
"Menurut penjelasan adik perempuanku, ia ser-
ing pergi, tapi bila malam tiba; ia pulang ke rumahku. 
Karena aku belakangan ini sering tinggal di perguruan, 
jadi aku tak sempat jumpa dia. Hanya diberi tahu ciri-
cirinya; pakaian merah, pedang di punggung berwarna 
perak yang di ujung gagangnya terdapat ukiran dua 
burung rajawali saling bertolak belakang dan seba-
gainya. Lalu, tadi kulihat wajahnya yang memang can-
tik itu. Dua kali aku melihatnya namun selalu gagal 
menangkapnya."
Sebongkah batu menggelinding dari atas lem-
bah. Arahnya menuju tubuh Pendekar Rajawali Merah. 
Suara gemuruhnya terdengar sehingga dengan cepat 
Yoga berbalik arah. Melihat gerakan batu besar ingin 
menggilasnya, cepat-cepat Yoga sentakkan tangan 
buntungnya itu dan dari balik kain lengan baju mele-
satlah sinar merah yang menghantam batu tersebut.
Blaaar...! Batu itu pecah menjadi serpihan-
serpihan kecil. Lalu ia memandang sekeliling yang 
tampak sepi, demikian pula halnya yang dilakukan 
oleh Anggita, memandang penuh waspada.

"Mungkin batu itu menggelinding sendiri di luar 
kesengajaan seseorang," kata Anggita.
"Baiklah, kita anggap saja begitu! Tapi firasatku 
mengatakan, ada seseorang yang ingin mencelakaiku."
Kira-kira mendapat sepuluh langkah lebih se-
dikit, perjalanan mereka menjadi terhenti oleh gerakan 
pohon yang tumbang tepat di depan mereka. Mereka 
pun cepat melompat mundur dan pohon itu jatuh lima 
langkah di depan mereka. Brrruk...I
"Tak mungkin pohon itu tumbang sendiri. Pasti 
ada yang menumbangkannya," bisik Yoga kepada Ang-
gita, gadis itu diam saja namun matanya semakin me-
nyelidik sekeliling mereka.
Kejap berikutnya, mereka mendengar suara se-
ruling mengalun dengan lembut. Bunyi seruling itu 
mengejutkan Anggita, lalu ia cepat bergumam dalam 
ketegangan,
"Aji Seta...?!"
Yoga mendengar, lalu bertanya, "Apa itu Aji Se-
ta?"
"Nama seorang pemuda yang selalu mengejar-
ngejar ku karena dia mencintai ku. Cepat tinggalkan 
tempat ini!"
"Mengapa harus pergi?"
"Aku tak ingin bertemu dengannya. Dan suara 
seruling itu akan mempengaruhi kita untuk lakukan 
bunuh diri, atau saling bermusuhan, saling bunuh di 
antara kita berdua! Ia mempunyai ilmu seruling yang 
cukup tinggi."
Yoga tetap kelihatan kalem, bahkan ia dekati 
suara seruling itu beberapa langkah ke depan, kemu-
dian ia tarik napas dalam-dalam. dan dihembuskan 
melalui hidung. Wuuuts...! Dan tiba-tiba badai pun da-
tang. Dedaunan terhempas hingga tumbangkan pohon.
Suara seruling lenyap seketika. Gemuruh angin badai 
mengguncang bumi. Kejap berikut, angin badai itu 
berhenti. Suasana menjadi sunyi, Anggita masih terte-
gun bengong karena terpukau melihat datangnya an-
gin badai dari lubang hidung Yoga, ia tak tahu, Yoga 
telah gunakan jurus Badai Petir' untuk menguji ke-
tinggian ilmu si peniup seruling itu.
"Jika ia berilmu tinggi, ia akan mati berkeping-
keping di tempat yang jauh karena terhempas badai. 
jika ilmunya masih di bawah ilmuku, ia tetap selamat!" 
bisik Yoga kepada Anggita.
Anggita hanya mengangguk, tapi hatinya berka-
ta, "Pemuda ini punya ilmu macam-macam rupanya. 
Dan ilmunya itu bukan ilmu yang ringan. Mungkin sa-
tu-satunya ilmu ringannya adalah yang dilepaskan un-
tuk melumpuhkan aku dan Lenggani tempo hari. Ilmu 
itu hanya membuatku lemas beberapa saat, seakan 
menciptakan peluang baginya untuk melarikan diri. 
Setelah beberapa saat toh aku dan Lenggani kembali 
segar, tidak merasa mual, pusing, dan lemas lagi. 
Sungguh mengagumkan pendekar tampan ini. Aku 
sangat terkesan oleh ketenangan sikapnya dan tutur 
katanya yang tegas namun tidak menusuk hati itu."
Anggita setuju untuk lanjutkan langkah. Na-
mun rencana itu tertunda oleh kemunculan seorang 
pemuda berkumis tipis dan mengenakan pakaian hijau 
tua. Di tangan pemuda itu tampak sebatang seruling 
warna hitam. Yoga dapat menebak, bahwa pemuda be-
rikat kepala merah itu pasti lelaki yang bernama Aji 
Seta. Dugaan Yoga terbukti benar, karena Anggita ce-
pat menyapa sinis pemuda itu,
"Apa maksudmu menghadang langkahku, Aji 
Seta?"
Senyum sinis tersungging di bibir pemuda yang

lumayan tampan itu. Pakaiannya sedikit kotor, itu per-
tanda ia mungkin tadi terhempas sebentar dan jatuh 
ke tanah lembab ketika angin badai datang menghem-
busnya. Keadaannya tetap sehat tanpa luka sedikit 
pun. Ini menandakan ilmu pemuda itu tidak lebih 
tinggi dari ilmu yang dimiliki Yoga.
"Anggita, aku hanya ingin menemuimu karena 
rasa rindu yang sudah lama tak terbendung lagi di da-
lam hati," kata Aji Seta sambil melirik sinis kepada Yo-
ga, seakan sengaja membuat panas hati Yoga. Namun 
Yoga tetap tenang dan tidak tunjukkan sikap bermu-
suhan.
Anggita segera berkata, ."Simpanlah rayuanmu 
itu untuk gadis lain, Aji Seta. Tak akan berlaku untuk 
diriku, karena aku. Sudah punya kekasih sendiri. Yoga 
inilah kekasihku!" Anggita sengaja bergelendot di pun-
dak kiri Yoga.
Sebenarnya Yoga ingin membantah kata-kata 
itu, tapi ia segera sadar akan maksud hati Anggita.
Gadis itu ingin mengelak dari kejaran cinta Aji Seta 
dengan memperkenalkan Yoga sebagai kekasihnya. 
Tapi Anggita tidak berpikir bahwa hal itu akan menim-
bulkan permusuhan di dalam hati Aji Seta dan Yoga. 
Padahal Yoga sendiri sebenarnya tidak ingin ikut cam-
pur masalah pribadi mereka berdua.
Aji Seta semakin tersenyum sinis, dan matanya 
tertuju pada Yoga, lalu berkata dengan ketus, "Benar-
kah kau kekasih Anggita?" "Kau bisa tanyakan lagi ke-
pada Anggita," jawab Yoga.
"Apakah kau punya tiga nyawa sehingga berani
mencintai Anggita?"
"Semula ada sepuluh nyawa, tapi sekarang 
tinggal satu!" jawab Yoga dengan santai, seakan senga-
ja memancing kemarahan Aji Seta, pemuda itu memukul-mukulkan serulingnya ke tangan kiri sambil 
manggut-manggut dan berlagak meremehkan Yoga. La-
lu, terdengar lagi Aji Seta berkata ketus,
"Aku tahu tangan kirimu buntung. Lengan ba-
jumu yang kiri kosong dan tertiup angin. Sejujurnya 
kukatakan padamu, Anggita tidak pantas mempunyai 
kekasih seekor kerbau buntung. Jadi saranku, jangan 
lagi dekati Anggita dan...."
"Cukup, Aji Seta!" bentak Anggita.. "Kau akan 
mati berdiri jika ucapanmu itu masih kau teruskan!"
Aji Seta justru tertawa, "Ha, ha, ha...! Mana bi-
sa orang buntung itu membuatku mati berdiri, Anggi-
ta?! Jika kau tidak menolongnya, aku mampu tum-
bangkan dia dalam satu jurus saja!"
Anggita berkata kepada Yoga, "Jangan layani 
dia! Mari kita pergi secepatnya, Yoga!"
"Aku tak ingin mengecewakan dia, Anggita. Biar 
saja aku melayani tantangannya, supaya hatinya 
puas!"
Aji Seta berseru, "Jangan berlagak menjadi de-
wa penolong di depan mata Anggita, Kerbau Buntung! 
Ku buat malu kau sekarang juga, heaaat...!".
Aji Seta sentakkan seruling hitamnya yang 
pendek itu ke depan. Wuuut...! Seberkas sinar melesat 
warna kuning, menghantam tubuh Pendekar Rajawali 
Merah. Hanya saja, sinar itu datang terlambat, karena 
Yoga tahu-tahu seperti menghilang lenyap, karena ia 
gunakan jurus 'Petir Selaksa' yang mampu bergerak 
cepat menyerang lawan.
Zlaaap...! Baaahg...! Krek...!
Tahu-tahu Yoga sudah berada di belakang Aji 
Seta. Pemuda itu menoleh ke belakang, namun ia sege-
ra jatuh berlutut karena tulang iganya terasa patah sa-
tu. Aji Seta tak melihat gerakan Yoga menghantam tu

lang iganya. Ia hanya merasakan satu pukulan cepat 
yang mengagetkan, seperti dihembus angin besar. Ter-
nyata pukulan itu telah membuat iga Aji Seta patah 
satu.
"Uuhg...!" Aji Seta menyeringai kesakitan. Ang-
gita memandang dengan heran dan segera sadar apa 
yang telah dilakukan Pendekar Rajawali Merah itu. Da-
lam hati, Anggita kembali mencatat sesuatu yang men-
gagumkan dari Pendekar Rajawali Merah. Anggita sen-
diri tak sangka kalau Yoga bisa bergerak secepat itu 
dan tahu-tahu telah lenyap dari samping kanannya.
"Satu jurus telah kita lakukan. Apakah kau 
anggap telah berhasil tumbangkan aku?"
"Jahanam kau! Hiaaah..!"
Clak, wuuus...! Dari ujung seruling keluar pi-
sau sepanjang satu jengkal. Pisau itu segera diki-
baskan untuk merobek dada Yoga. Namun oleh Yoga 
tangan Aji Seta berhasil ditangkis dengan sekelebatan 
lengannya, dan cepat-cepat tangan Yoga menguncup 
kemudian menghantam ke dada kanan Aji Seta, dekat 
pangkal lengannya. Dees.
"Aaah...!"
Jurus 'Rajawali Liar' meremukkan tulang dada 
kanan Aji Seta. Sakitnya bukan main. Aji Seta pejam-
kan mata kuat-kuat, tapi tiba-tiba ia harus membuka 
mata dalam satu gerakan cepat, karena dadanya tera-
sa panas mendapat sentakan tangan Yoga. Beehg...! 
Dan akhirnya, Aji Seta muntahkan darah segar dari 
mulutnya, sambil sempoyongan ke belakang. Ia jatuh 
terkapar sebentar, lalu berusaha bangkit dengan 
menggeliat pelan-pelan. Nafasnya dikendalikan, ma-
tanya memandang Yoga penuh dendam. Dan ketika 
Yoga ingin lepaskan satu pukulan lagi, Aji Seta sudah 
lebih dulu larikan diri tanpa pamit kepada siapa pun.

Wuuus...!
Anggita hanya pandangi kepergian Aji Seta den-
gan senyum jumawa. Sebaris kata diucapkannya, "Se-
lamat tinggal, Aji Seta! Kurasa kau akan jumpa aku di 
neraka, pada suatu saat nanti!"
"Kalau dia bisa salurkan hawa murninya, dia 
tidak akan mati. Luka dalamnya akan tertolong," kata 
Yoga sambil memandang ke arah larinya Aji Seta. Ang-
gita cepat menoleh ke arah Yoga, lalu berkata sambil 
tersenyum malu,
"Maafkan atas kelancanganku tadi yang telah 
mengaku-aku sebagai kekasihmu."
Yoga tersenyum dan menjawab, "Aku tahu 
maksud mu, kau tidak sungguh-sungguh dalam uca-
panmu. Kau tak perlu minta maaf, Anggita. Dan... se-
baiknya lupakan saja soal itu, kita harus lekas sampai 
ke rumahmu sebelum malam tiba. Aku ingin bicara 
dengan ayahmu!"
Anggita tidak bisa menolak. Perjalanan pun di-
lanjutkan. Mereka tiba di rumah Anggita ketika siang 
hampir punah dan berganti petang. Tapi kedatangan 
mereka agaknya sudah terlambat. Tangis dan jeritan 
terdengar di rumah Lurah Prawiba. Kejap berikutnya 
Yoga dapat keterangan dari pihak keluarga Anggita, 
bahwa ayah Anggita telah mati bunuh diri karena malu 
pada keluarga sehubungan dengan percintaannya den-
gan Lili.
Namun hati Pendekar Rajawali Merah berkata 
lain, "Kurasa bukan karena malu, tapi karena rindu! 
Nasib Ki Lurah Prawiba tak jauh berbeda dengan Ra-
den Balelo; lebih baik mati daripada kehilangan Lili!"
***

6

MASIH lumayan nasib Ki Lurah Prawiba, ia bisa 
langsung mati seandainya ia gantung diri. Tapi kema-
tian Ki Lurah Prawiba bukan dengan cara gantung diri, 
melainkan dengan cara menghujamkan kerisnya tepat 
mengenai jantung, Sedangkan Raden Balelo, selalu sa-
ja gagal dalam usahanya bunuh diri. Padahal ia sudah 
dibantu oleh pengemis Paku Juling, yang selalu me-
layaninya, mengerjakan apa perintah sang Raden itu.
Siang itu, Raden Balelo duduk termenung ber-
wajah murung di bawah bongkahan batu besar, di kaki 
sebuah bukit. Batu besar itu membentuk bayangan 
yang bisa digunakan untuk meneduh. Sedangkan po-
hon-pohon kurus di sekelilingnya mengipas Raden Ba-
lelo hingga merasa lebih teduh lagi. Angin berhembus 
bagai membawa sejuta kesejukan. Tapi kesejukan itu 
tidak bisa meresap di hati Raden Balelo yang bernasib 
sial terus.
Kemarin, ia sudah lakukan saran Paku Juling 
agar Raden Balelo bunuh diri dengan cara melompat
dari tebing karang yang paling tinggi di sekitar pantai 
dekat-dekat situ. Raden Balelo lakukan lompatan den-
gan kepala ke bawah. Tapi ia jatuh tidak membentur 
batu karang yang ada di bawah tebing itu. Ia langsung 
terbenam di perairan laut. Dan repotnya secara nalu-
riah tangan dan kaki Raden Balelo bergerak-gerak 
mencapai tepian karang, ia lupa bahwa dirinya bisa 
berenang, sehingga mati karena terhantam karang ti-
dak, mati karena tenggelam pun tidak.
"Tiga kali mencoba gantung diri selalu gagal," 
renungnya dengan hati sedih. "Loncat dari pohon, ja-
tuhnya malah bikin kaki keseleo saja, belum juga mati.

Cari pisau untuk bunuh diri, tak ada yang dipinjami 
pisau. Memotong urat nadi pakai kulit bambu, bukan-
nya mati kehabisan darah malah jadi korengan begini. 
Uuh...! Sial amat nasibku, gagal bercinta, gagal pula 
bunuh diri. Tapi, mudah-mudahan usaha yang satu ini 
berhasil...." Baru saja Raden Balelo berpikir demikian, 
dari kejauhan sudah tampak gerakan lari Paku Juling 
yang tampak terburu-buru menghampiri ke arahnya 
itu. Raden Balelo memandang dengan penuh harap. Ia 
tak sabar dan segera menyambut kedatangan Paku 
Juling dengan menyongsongnya dalam jarak beberapa 
langkah.
"Bagaimana? Berhasil?" serunya sebelum Paku 
Juling lebih dekat lagi. Pengemis itu angkat satu tan-
gan, tunjukkan sebuah guci kecil yang tergenggam di 
tangannya.
"Saya berhasil, Raden...!" kata Paku Juling 
sambil terengah-engah.
Raden Balelo berseri-seri walau masih dirun-
dung duka karena cinta. Ia segera menerima guci ter-
sebut dari Paku Juling yang berkata,
"Racun ini saya curi dari rumah Tabib Maut. 
Sedikit saja sudah dapat mematikan makhluk apa 
pun, apalagi jika diminum segucinya, eh... maksud 
saya, apalagi jika diminum satu guci penuh begitu, 
pasti cepat mematikan detak jantung, Raden!"
Pemuda berpipi sedikit bengkak itu tampak le-
bih gembira lagi. Ia menepuk-nepuk punggung Paku 
Juling seraya berkata,
"Hebat. Hebat. Tak sia-sia aku punya pelayan 
sehebat kamu, Paku Juling. Racun ini akan kutenggak 
sampai habis, biar nyawaku cepat melayang! Terima 
kasih atas bantuanmu, Paku Juling."
"Sama-sama, Raden."

"Dan terimalah satu lagi cincin ku ini sebagai 
hadiah istimewa bagi keberhasilanmu mencuri racun 
ganas dari seorang tabib!"
Cincin yang tempo hari mau diberikan kepada 
Yoga itu, sekarang diserahkan kepada Paku Juling. 
Tentu saja pengemis itu semakin girang menerimanya, 
dan tak lupa ucapkan terima kasih berkali-kali.
"Sekarang," kata Raden Balelo, "Sebelum me-
minum racun ganas ini, aku ingin berpesan padamu, 
Paku Juling."
"Pesan apa, Raden? Pesan nasi bungkus, atau 
ketan kelapa?"
"Bukan pesan makanan! Aku hanya ingin 
berpesan padamu, bahwa kelak, kalau aku sudah ti-
dak bernyawa, jangan kau bawa mayatku kepada pi-
hak keluargaku, tapi makamkan di atas bukit itu...!" 
sambil Raden Balelo menuding bukit di belakangnya.
"O, iya, iya... saya akan kerjakan, Raden."
"Berilah tulisan pada batu nisan ku yang ber-
bunyi: 'Raden Balelo, mati bunuh diri dengan memi-
num racun, akibat kecewa dan sakit hati terhadap cin-
tanya yang di permainkan oleh Lili, si Pendekar Raja-
wali Putih yang mendusta itu.' Nah, tulis begitu, ya?!"
"Baik. Saya ingat bunyi tulisan itu."
Raden Balelo membuka tutup guci tersebut. 
Mencium bau cairan keruh sedikit kehitam-hitaman 
yang ada di dalam guci tersebut. Ia menyeringai jijik, 
berkedip-kedip matanya, lalu berkata,
"Baunya tidak sesedap bau teh wangi Jabalika."
"Yah, namanya racun ganas tentu baunya tak 
bisa wangi, Raden."
"Akan kuminum racun ini! Akan kuminum, se-
bagai tanda aku sangat cinta kepada Lili. Kaulah sak-
sinya, ya Paku Juling?" "Ya, Raden...."

"Nah, selamat tinggal, selamat berpisah, Paku 
Juling. Sekali lag! kuucapkan banyak terima kasih 
atas bantuanmu selama ini."
"Selamat jalan, Raden," kata Paku Juling den-
gan nada menyedihkan. "Jika sudah sampai sana, ka-
lau bisa kirim surat pada saya, Raden. Dan hati-hati, 
di sana jangan jatuh cinta lagi...."
"Ya, ya...," jawab Raden Balelo sambil menahan 
duka di hati.
Dengan tekad membulat, dengan tangis perpi-
sahan tersimpan di dada dan membuat matanya me-
rah, Raden Balelo akhirnya menenggak habis cairan 
racun dalam guci tersebut. Glek, glek, glek...! Tak se-
dikit pun disisakan untuk Paku Juling.
Hhgggrr...! Raden Balelo bersendawa, bagaikan 
orang kekenyangan sehabis makan. Matanya berkedip-
kedip sambil masih tetap berdiri. Paku Juling meman-
danginya dengan wajah tegang. Raden Balelo menger-
jap-ngerjapkan matanya, memandang ke arah jauh. Ia
menunggu tubuhnya tumbang ke tanah, na-
mun sampai beberapa helaan napas masih saja tetap 
berdiri.
"Ba... bagai... bagaimana rasanya, Raden?"
"Aku merasa bagaikan terbang, Paku Juling."
"O, itu karena di sini memang banyak angin."
"Wajahmu... wajahmu mulai menyeramkan, 
Paku Juling."
"Terima kasih, Raden. Ini memang sejak lahir 
sudah menyeramkan."
Raden Balelo melangkah dekati batu besar itu 
dan punggungnya bersandar dengan tangan masih pe-
gangi guci tersebut. Ia bertanya,
"Apakah wajahku sudah mulai pucat?"
"Sejak kemarin memang sudah pucat, Raden.

Karena Raden tidak doyan makan apa-apa."
"Aneh. Ternyata rasanya orang mau mati terke-
na racun ganas seperti ini, Paku Juling?"
"Melayang-layang, begitu?"
"Bukan. Rasanya... lapar sekali dan... dan... oh, 
aku seperti melihat malaikat pencabut nyawa datang 
mendekatiku, Paku Juling.".
Sambil menunduk tak tega, Paku Juling berka-
ta, "Itu berarti ajal Raden sudah dekat Bersiaplah, Ra-
den...!"
"Malaikat itu berlari kemari, badannya kurus, 
tua, dan kulitnya hitam. Ia berwajah menyeramkan 
dengan rambut pelontos, kumis dan jenggotnya pen-
dek, tapi berwarna putih.,.. Menyeramkan sekali."
Mendengar celotehan itu, Paku Juling terkejut. 
Kemudian ia segera berpaling ke belakang, dan melihat 
seorang lelaki tua berbadan kurus datang mendekati 
mereka. Seketika itu wajah Paku Juling terperanjat te-
gang dan mulutnya gumamkan kata,
"Celaka...! Dia mengejar sampai kemari?! Cepat 
Juga larinya orang itu?!"
Raden Balelo berkata dengan nada mengam-
bang, "Paku Juling... rasa-rasanya malaikat itu sema-
kin dekat!"
"Raden... yang datang kemari bukan malaikat, 
tapi Tabib Maut pemilik racun itu."
"Hah...?!" Raden Balelo langsung tersentak ka-
get dan melepaskan diri dari sandarannya.
Kini di hadapannya telah berdiri seorang lelaki 
kurus, jangkung, bermata cekung, dan berjubah abu-
abu. Lelaki itu adalah Tabib Maut yang memiliki guci 
tersebut. Begitu menatap Paku Juling, ia langsung 
menamparnya dengan keras. Plaaak...! Paku Juling 
sengaja tidak menghindar karena merasa bersalah.

"Pencuri busuk!" caci Tabib Maut. "Mana guci 
yang kau curi tadi?"
"Sud... sudah... sudah diminum oleh Raden Ba-
lelo, Ki Tabib!"
Tabib Maut tersentak kaget. Makin terkejut lagi 
setelah ia merampas guci dari tangan Raden Balelo 
yang ternyata sudah kosong tanpa isi lagi itu.
"Celaka! Setan kau...! Kau telah meminum ob-
atku ini, hah?!" bentak Tabib Maut kepada Raden Ba-
lelo.
"Mmma... maaf Ki Tabib Maut, semua isi guci 
sudah kuminum, karena aku ingin lekas mati. Aku sa-
kit hati. dan...."
Plaaak...! Tamparan kuat mendarat di pipi Ra-
den Balelo. Tabib Maut membentak, "Bocah rakus! Bo-
cah tolol! Kalau mau mati minumlah racun! Jangan 
minum obat penambah nafsu makan begini!"
"Hahhh...?!" Raden Balelo terkejut. "Jadi yang 
kuminum bukan racun ganas, Ki Tabib?!"
"Gundulmu itu yang ganas!" gerutu Tabib Maut. 
"Yang kau minum ini ramuan obat penambah nafsu 
makan, alias obat penggemuk badan. Aku sendiri yang 
ingin meminumnya! Tapi... sial! Sekarang sudah kau 
minum habis begini, apakah aku harus menelan gu-
cinya?!"
"Heh, he, he, he... kalau begitu aku salah ambil. 
Bukan racun yang kuambil, tapi obat penggemuk ba-
dan. He, he, he, he...!"
Buuhg...! Tabib Maut menendang perut Paku 
Juling. Tubuh pengemis bertongkat pendek itu terpen-
tal tiga langkah ke belakang. Jatuh terduduk di sana. 
Sedangkan Raden Balelo menjadi tegang dan ketaku-
tan. Ia gemetar dari kepala sampai kaki, karena Tabib 
Maut memandangnya dengan tajam dan lebih menyeramkan. Kemudian Tabib Maut yang kurus kering itu 
menggeram dalam ucapannya,
"Bayar obat ini! Bayar ganti kerugian ini, atau 
kupatahkan batang lehermu sampai mati, hah?!"
"Eh, hmmm... jangan! Akan... akan ku-
bayar...!":.' "Lekas bayar!"
"Hmmm... tapi... tapi aku tidak membawa uang. 
Bagaimana kalau ku tukar dengan cincin ku ini?" 
"Cincin...?! Hmmm... ya, boleh juga! Mana..., lekas co-
pot!"
Raden Balelo akhirnya garuk-garuk kepala. 
Cincin yang tinggal satu di jari kanannya itu kini su-
dah lenyap bersama perginya Tabib Maut. Hati Raden 
Balelo menjadi bertambah jengkel. Maka dibentaknya 
Paku Juling itu dengan suara keras hingga air liurnya 
muncrat ke wajah pengemis tua tersebut,
"Bodoh! Tolol! Disuruh mencuri racun, yang di-
curi obat penambah nafsu makan! Dasar budek ku-
pingmu, ya?! Mana cincinnya! Kembalikan yang satu 
tadi!"
"Maaf, Raden. Saya terburu-buru sehingga sa-
lah ambil."
"Tiada maaf bagimu!" sentak Raden Balelo 
sambil kembali kenakan cincinnya. "Kalau sudah begi-
ni bagaimana? Aku jadi lapar sedangkan di sekitar sini 
tak ada kedai?!. Mestinya aku mati, ini malah bingung 
cari makanan! Dasar bodoh tak ketulungan!"
Terpaksa mereka mencari kedai, menjual cincin 
untuk makan. Karena ternyata ramuan obat buatan 
Tabib Maut sungguh mujarab. Raden Balelo sangat la-
par. Ketika di kedai, ia makan cukup banyak. Namun 
sambil makan tetap saja ia menggerutu tiada habisnya. 
Paku Juling sembunyikan senyum gelinya melihat apa 
yang di alami oleh Raden Balelo.

Pulang dari kedai, Raden Balelo tetap ajak Paku 
Juling untuk cari cara terbaik untuk bunuh diri. Sam-
bil melangkah menyusuri sungai bertepian kering tan-
pa tanaman, mereka bicarakan tentang rencana bunuh 
diri selanjutnya.
Tetapi, tiba-tiba Raden Balelo tersentak kaget 
dan hentikan langkah ketika ia melihat seorang gadis 
cantik berpakaian merah sedang berjalan berganden-
gan mesra dengan seorang lelaki berpakaian mewah, 
dari kain beludru kuning kecoklatan, berkesan sebagai 
orang keturunan bangsawan. Mereka tak lain adalah 
orang yang dicari-cari Raden Balelo dan yang dicari 
pula oleh Lintang Ayu.
"Paku Juling...! Kurasa gadis itu adalah Lili! Dia 
Lili, Paku Juling! Ayo, lekas kejar dia...! Ayo...!" Raden 
Balelo berlari lebih dulu menaiki tanggul. Paku Juling 
diam saja. Namun tiba-tiba pengemis itu sudah henti-
kan langkah Lili dan Prabu. Anom. Kejap berikut Ra-
den Balelo tiba di tempat itu.
"Lili...?!" seru Raden Balelo dengan girang. "Lili, 
ini aku! Raden Balelo! Oh, Lili... aku rindu padamu...!"
Raden Balelo hendak hamburkan pelukan ke-
pada Lili, namun Prabu Anom cepat kelebatkan ka-
kinya dan menendang telak wajah Raden Balelo. 
Plook...! Raden Balelo jatuh terjengkang. Lili hanya 
memandang sinis dan menggeram pelan,
"Bocah edan!"
"Kau kenal dia?" tanya Prabu Anom kepada Lili.
"Tidak. Aku tidak mengenal dia. Tapi mungkin 
dia salah satu orang yang tergila-gila padaku!"
Raden Balelo bangkit dengan mulut berdarah. 
Ia segera berseru kepada Raden Anom,
"Kau merebut kekasihku, hah?! Sekarang kau 
bertarung saja denganku. Siapa yang menang, dia berhak memiliki gadis itu!"
Lili menarik tangan Prabu Anom, "Tinggalkan 
dia! Jangan layani celoteh orang gila itu!"
"Hei, tunggu...!" teriak Raden Balelo. "Aku men-
cintaimu, Lili! Jangan pergi dengan musang itu! 
Heh...!"
Raden Balelo berusaha menarik pundak Prabu 
Anom, namun dengan cepat tangannya dicekal, dipe-
lintir hingga Raden Balelo menyeringai kesakitan. Sete-
lah itu, satu tangan Prabu Anom menghantam dada 
Raden Balelo dengan pukulan keras bertenaga dalam.
Baahg, baaahg, baahg...! Plok...! Plak...! 
Duuhg...!
Wuuus.'..! Tubuh Raden Balelo terlempar tinggi 
dan jauh karena tendangan Prabu Anom. Sudah pasti 
Raden Balelo luka parah, babak belur dan nyaris tak 
bisa bernapas lagi. Banyak darah yang keluar dari mu-
lut, hidung, dan telinganya. Namun demikian, sekali-
pun sudah tak mampu bersuara lagi, Raden Balelo be-
rusaha bangkit dan ingin merebut Lili dari tangan. 
Prabu Anom.
Serta-merta Prabu Anom lepaskan pukulan 
berbahayanya berupa selarik sinar kuning yang keluar 
dari telapak tangannya. Wuuutt...! Arahnya ke kepala 
Raden Balelo. Tetapi dengan gerakan cepat, Paku Jul-
ing juga lepaskan pukulan dari telapak tangannya dan 
keluarlah cahaya putih yang melesat menghantam si-
nar kuning itu. Blegaarr...!
Ledakan dahsyat terjadi karena tabrakan dua 
sinar bertenaga dalam cukup tinggi itu. Prabu Anom 
segera memandang tajam pada Paku Juling. Yang di-
pandang menampakkan sikap beraninya, lalu berkata,
"Masih ingat aku, Prabu Anom?!"
"Ya. Kau adalah Ketua Partai Pengemis Liar

yang berjuluk Paku Juling! Tapi apa urusanmu dengan 
ku? Apakah kau ingin membela pemuda gila itu?!"
"Kau masih punya hutang nyawa padaku! Dua 
tahun yang lalu, kau membunuh Rotan Gledek. Dan 
perlu kau ketahui, Rotan Gledek adalah adik kan-
dungku sendiri! Sekarang aku menuntut balas pada-
mu, Prabu Anom! Kau harus bisa bunuh aku, jika kau 
tak ingin kubunuh!"
"Biar kuhadapi dia!" kata Lili dengan lantang.
"Jangan, Lili! Ini urusan pribadi. Aku sanggup 
hancurkan wajah tuanya itu dan percepat kematian-
nya, Mundurlah, biar ku tangani dia!"
Lili pun akhirnya melangkah mundur, ambil ja-
rak menjauh agar tak menjadi korban salah sasaran. 
Prabu Anom bersiap hadapi Paku Juling seraya berka-
ta,
"Bersiaplah untuk menyusul adik kandungmu, 
Paku Juling! Heaaah!"
Paku Juling, pun tak kalah siap. Matanya tiba-
tiba berubah menjadi juling, semua manik hitam ada 
di sudut mata tengah, dekat tulang hidung. Dan ia 
menarik tongkatnya dari gagang sampai ke bawah. 
Zuuut! Tongkat itu menjadi besi runcing putih yang 
berkilauan karena pantulan sinar matahari. Senjata 
runcing itu dinamakan: Paku Dewa.
Dengan menahan sakit, Raden Balelo sempat 
merasa heran melihat gerakan silat Paku Juling yang 
sangat cepat dan tangkas itu. Dalam hatinya Raden 
Balelo berkata; "Ternyata dia orang berilmu tinggi. Ka-
lau marahnya sudah datang, rupanya bisa membuat 
matanya menjadi juling dan tongkatnya menjadi paku 
besar yang amat runcing. Pantas dia bernama Paku 
Juling?"
Prabu Anom mencabut pedang, kemudian ber

tarunglah dua senjata besi itu dengan sengitnya. Me-
reka saling tebas dan saling tangkis; dan percikan 
bunga api menyebar ke mana-mana jika kedua senjata 
itu saling beradu dengan kuat.
Trang, trang, trang, trang...! Buuhg, jruub...! 
Paku Dewa itu menghujam tembus ke dada Prabu 
Anom, Tak bisa ditawar lagi, maka Prabu Anom pun 
roboh tak bernyawa di tangan Paku Juling. Sedangkan 
gadis cantik itu telah lenyap sejak ia tahu Prabu Anom 
terdesak dan bakal menemui ajalnya.
"Ke mana larinya gadis itu tadi?" pikir Paku 
Juling sambil memandang sekelilingnya.
***
7


PULANG dari memberitahukan tentang kema-
tian Kencana Ratih kepada gurunya, Lintang Ayu te-
mukan mayat Prabu Anom terkapar di atas tanggul 
sungai. Lintang Ayu periksa jenazah adiknya, lalu ia 
temukan lubang hangus di dada Prabu Anom.
Hati perempuan cantik bersama burung beonya 
itu bagai disekap seribu jarum-jarum tajam. Sakit, 
namun mengepulkan asap dendam yang tak mudah di-
lupakan. Lintang Ayu diam beberapa saat lamanya ka-
rena menahan tangis yang ingin meledak melihat ke-
matian adiknya. Ia berjuang keras mengalahkan tan-
gis, dan akhirnya berhasil. Sekalipun demikian, dada 
yang terasa sakit dan sesak itu tak dapat membuat 
pernapasan Lintang Ayu menjadi longgar.
Berulang kali ia menarik napas dan berkata da-
lam hatinya, "Tunggu saatnya! Tunggu saatnya tiba!"
Esok hari adalah hari perkawinan Prabu Anom 
dengan Putri Giri Manca. Jelas perkawinan itu akan 
gagal total. Tapi keadaan Prabu Anom yang tewas itu 
sedikit menolong martabat keluarganya, karena alasan 
kegagalan perkawinan itu bisa menggunakan alasan 
musibah. Hal itu lebih baik daripada mereka harus 
menerima malu akibat Prabu Anom gagal menikah ka-
rena diculik oleh gadis cantik yang memikat hati Prabu 
Anom. Sekalipun demikian, dendam di hati Lintang 
Ayu tak bisa ditawar-tawar lagi. Darahnya yang men-
didih memancarkan bayangan seraut wajah cantik mi-
lik Pendekar Rajawali Putih. Wajah itulah yang harus 
tetap diburunya setelah ia memakamkan jenazah 
adiknya di pemakaman keluarga istana.
Namun sebelum mayat itu diangkat dari diba-
wanya pulang, seorang pemuda berwajah tampan lewat 
di dekat tempat itu. Pemuda tersebut mengetahui Lin-
tang Ayu berlutut di samping sesosok mayat, lalu ia 
pun mendekatinya dengan hati-hati.
Wajah ayu yang dibungkus duka itu segera te-
rangkat pelan-pelan. Matanya menatap pemuda tam-
pan mengenakan baju selempang dari kulit beruang 
coklat yang membungkus baju putih di dalamnya. Pe-
muda itu pun menampakkan wajah berkabungnya, 
sehingga Lintang Ayu merasa dihormati oleh pemuda 
yang tak lain adalah Yoga itu.
Pelan-pelan Lintang Ayu berdiri dengan mata 
tetap memandang Yoga. Sinar dendam masih tampak 
jelas di sorot mata indahnya itu. Yoga tidak melayani 
sorot mata dendam, melainkan membalas dengan ke-
teduhan. Maka, terdengarlah suara Yoga berkata,
"Jika pemuda ini adalah adikmu yang bernama 
Prabu Anom, aku turut berkabung atas musibah ini!"
Lintang Ayu perdengarkan suaranya yang dingin, "Ini bukan musibah! Ini sebuah tantangan permu-
suhan; antara aliran Rajawali dengan murid Jubah Pe-
ri!"
"Apakah Lili yang membunuhnya?"
"Siapa lagi kalau bukan dia? Mungkin dia su-
dah bosan menghisap madu kemesraan adikku, lalu 
dia membunuhnya karena menganggap adikku barang 
bekas yang sudah waktunya dibuang! Sungguh keji
ternyata gadismu itu!"
Pendekar Rajawali Merah bersabar diri dengan 
menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata den-
gan tetap tenang,
"Kalau benar dia dan terbukti memang dia, biar 
kupenggal sendiri kepalanya!"
Lintang Ayu geleng-gelengkan kepalanya sambil 
matanya menyipit benci, lalu berkata dengan lebih 
dingin lagi,
"Kau tak akan tega melakukannya, karena kau 
mencintai dia!"
"Aku sudah perhitungkan baik-baik langkahku! 
Demi menyelamatkan nama harum mendiang guru-
guru kami, demi membersihkan aib yang ada dalam 
aliran Rajawali, ku putuskan untuk memenggal kepala 
Lili jika benar dia bersalah dalam hal ini."
"Kau akan kehilangan kekasih!"
"Kekasihku bukan orang sesat. Lebih baik kehi-
langan kekasih daripada harus menderita malu tak 
berkesudahan."
"Kau akan kesepian!" ucapnya semakin lirih.
"Aku sudah terbiasa hidup tanpa teman. Tak 
akan kukenal kata kesepian dalam hidupku."
Lintang Ayu terbungkam dengan masih mena-
tap Yoga. Pendekar Rajawali Merah segera berkata,
"Biar aku yang menggotong mayat ini sampai ke

istanamu. Aku akan temui keluargamu dari menje-
laskan perkara yang sebenarnya!"
"Tak perlu," kata Lintang Ayu setelah menghela 
nafas. "Aku masih sanggup membawa pulang sendiri 
adikku ini."
"Kau menolak tawaran baikku?"
"Kau tak perlu menghibur hatiku. Dendam te-
tap dendam. Akan kubalas semua ini setelah usai pe-
makaman nanti!"
Hati perempuan cantik itu cukup keras. Tak 
mudah dibujuk dengan kelembutan sikap. Yoga tak 
mampu melunakkan hati itu, dan ia sendiri butuh 
waktu selekasnya untuk bisa menemui Lili. Akhirnya 
ia tidak peduli lagi dengan kekerasan hati Lintang Ayu. 
Ia cepat-cepat tinggalkan tempat dan berlari menuju 
Gua Rama.
Ternyata gua itu masih tertutup timbunan ba-
tu-batu besar. Sepertinya tak pernah ada seorang pun 
yang menggeser atau memindahkan batu-batu terse-
but. Yoga tahu persis, sebab satu hari setelah Lili ma-
suk ke dalam gua itu, Yoga menjenguk keadaan di sa-
na. Batu-batunya masih tetap dalam susunan seperti 
saat ini,
"Jika ia keluar dari dalam gua, pasti batu-batu 
ini akan berubah letaknya;" pikir Yoga. "Tapi jika dia 
tidak keluar dari dalam gua ini, lantas bagaimana ca-
ranya dia bisa berkeliaran di luar gua dan berbuat se-
keji itu? Atau, mungkinkah gua itu punya jalan tem-
bus di tempat lain? Rasa-rasanya, sebelum dia masuk 
dan menggunakan gua ini sebagai tempat menuntut 
ilmu 'Mata Dewa', aku sudah memeriksa kedalaman 
gua tersebut. Tak kutemukan lorong yang menuju ke 
tempat lain. Gua itu buntu. Hanya mempunyai ruan-
gan yang lega saja."
Keraguan selalu menyertai hati Yoga pada saat 
ia berniat ingin membongkar penutup gua tersebut. 
Entah apa penyebabnya, sehingga Yoga selalu merasa-
kan ada kekuatan batin yang melarangnya membong-
kar penutup gua. Barangkali kepekaan firasatnya itu-
lah yang melarangnya. Akibatnya, Yoga menjadi pena-
saran dan tinggal di depan gua tersebut hingga bebe-
rapa hari lamanya. Ia ingin melihat keluar-masuknya 
Lili di dalam gua tersebut. Namun sampai berhari-hari 
ia tidak pernah melihat Lili keluar atau masuk ke da-
lam gua.
Kemunculan Tua Usil dan Bocah Bodoh mem-
buat Yoga terkejut dan segera menemui mereka. Yoga 
langsung ajukan tanya,
"Ada apa?! Seseorang menyerang pondok kita?"
"Tidak, Tuan," jawab Tua Usil.
"Lalu, mengapa kau ke sini menemuiku?".
"Saya kemari bukan untuk temui Tuan Yo, tapi 
untuk membongkar tumpukan batu ini. Sekarang ada-
lah hari penghabisan; genap empat puluh hari Nona Li 
ada di dalam gua. Saya harus membukanya!"
"Ooo...?" Yoga manggut-manggut. Ia benar-
benar merasa telah menjadi linglung gara-gara masa-
lah tersebut, sampai lupa menghitung hari, lupa men-
gurus diri hingga tampak sedikit kucel dan lusuh.
"Saya kira Tuan Yo pergi bersama perempuan 
cantik dan burung beonya itu!" kata Bocah Bodoh. Yo-
ga sempat terperanjat dan bertanya,
"Apakah kau kenal dengan perempuan dan bu-
rung beo itu?"
"Terpaksa kenal, Tuan," jawab Bocah Bodoh, 
sebab sudah tiga kali perempuan cantik itu datang ke 
pondok mencari Tuan Yo. Ia ingin sekali bertemu den-
gan Tuan Yo."

"Bukan mencari Lili?"
"Bukan, Tuan. Yang dia cari adalah Tuan Yo." 
"Aneh...?!" gumam Yoga sambil termenung sejenak. Ia 
memang sudah ada lima hari lebih berada di luar gua, 
menyelidiki Lili, sehingga tak pernah bertemu dengan 
siapa pun, kecuali dengan sepi. Wajarlah jika seseo-
rang mencarinya. Hanya dengan maksud yang bagai 
mana orang itu mencarinya, Yoga belum tahu persis.
"Apakah dia marah-marah padamu?" tanya Yo-
ga kepada Bocah Bodoh, sementara Tua Usil mulai 
mengangkat bebatuan satu-persatu.
"Tidak, Tuan. Perempuan cantik itu datang 
dengan sikap baik. Tidak membentak-bentak kami, ti-
dak marah kepada kami, hanya sedikit kaku dalam bi-
caranya. Setiap kami bilang bahwa Tuan Yo belum pu-
lang, maka ia tampak kecewa, sedih, dan akhirnya pu-
lang sendiri setelah merenung lama di bawah pohon 
buni, tak jauh dari pondok itu!"
"Di bawah pohon buni?" gumam hati Yoga. "Un-
tuk apa dia merenung lama di tempat pertama kali aku 
bertemu dengannya itu? Ah, aneh sekali Lintang Ayu 
itu. Tak tahulah apa maunya. Aku tak mau dibuat 
pusing. Yang penting aku ingin buktikan apakah Lili 
ada di dalam gua itu atau tidak?!"
Bocah Bodoh ikut membantu mengangkati ba-
tu-batu penutup gua. Yoga sengaja tidak ikut mem-
bantu, karena matanya mengawasi keadaan sekeliling, 
kalau-kalau ia temukan Lili sudah di luar dan bergegas 
mau masuk ke dalam gua lewat jalan lain. Tapi hara-
pannya itu sia-sia, Lili tak terlihat berkeliaran di luar 
gua.
Cahaya menerobos masuk ke dalam gua ketika 
batu bagian terakhir sudah diangkat oleh Bocah Bodoh
dan Tua Usil. Kini mulut gua semakin terbuka lebar.

Mata Yoga memandang dengan hati berdebar-debar. Ia 
menyuruh Tua Usil memanggil. Maka tua Usil pun 
berseru dari mulut gua,
"Nona Li...?! Nona Li...?!"
Bocah Bodoh yang berkata kepada Yoga, "Tidak 
ada jawaban, Tuan."
Yoga menjadi tambah tegang. Ia turun dari atas 
batu besar yang dipakainya duduk sejak tadi. Semen-
tara itu, Tua Usil semakin memperlebar mulut gua, 
sehingga akhirnya semua batu telah disingkirkan dari 
mulut gua. Tapi Lili tak terlihat muncul dari dalam sa-
na. Hati Yoga menjadi bertambah gelisah. Ia bergegas 
masuk ke dalam gua untuk memeriksa keadaan yang 
sebenarnya.
Tetapi langkahnya segera berhenti, karena se-
sosok tubuh berpakaian merah jambu itu sudah mun-
cul lebih dulu dari dalam gua. Lili mengerjapkan ma-
tanya menerima cahaya matahari. Setelah terbiasa, ia 
segera memandang Yoga, lalu sunggingkan senyum. 
Yoga membalas dengan senyuman kaku, karena be-
naknya masih dikacaukan dengan kemunculan-
kemunculan Lili di tempat lain.
"Sukar sekali membedakan apakah dia benar-
benar baru keluar dari gua atau sudah lama keluar-
masuk? Melihat kepucatan wajahnya, sepertinya ia 
memang sudah cukup lama berada di dalam gua ini. 
Tapi membayangkan tindakannya terhadap para kor-
ban itu, aku jadi sangsi apakah benar ia cukup lama di 
dalam gua?" pikir Yoga dalam ketermenungannya. Lili 
yang segera menghampirinya itu dibiarkan saja. Gadis 
itu berkata sambil menggenggam tangan Yoga,
"Aku sudah berhasil kuasai jurus itu! Aku se-
nang sekali kau datang menjemputku!"
Hati Yoga menjadi luluh, tak berani langsung

menuduh. Bahkan untuk membicarakannya pun tak 
tega, karena dilihatnya tubuh Lili menjadi lemah den-
gan wajah pucatnya yang menghiba hati. Karenanya, 
Yoga putuskan untuk membawa Lili pulang ke pondok 
dan membiarkan gadis itu pulih kesehatannya seperti 
sediakala.
Ternyata, tak sampai dua hari Lili sudah pulih 
kembali. Ia mulai keluar dari pondok dan mencari Yo-
ga. Pada waktu itu Yoga ada di tepi sungai, diam mem-
pertimbangkan sikap yang harus diambilnya. Ketika 
Lili datang mendekatinya, Yoga masih diam dengan 
wajah tak memiliki keceriaan sama sekali. Hal itu 
membuat Lili menjadi curiga dan segera berkata,
"Yo, empat puluh hari lamanya kita tidak ber-
temu. Tidakkah kau merasa ingin menggenggam tan-
ganku?"
"Sudah ada yang bisa menggenggam tanganmu 
sendiri!" jawab Yoga.
Pendekar Rajawali Putih pandangi mata Yoga. 
Pemuda tampan itu cepat buat pandangan matanya ke 
arah lain. Kemudian, terdengar lagi Lili berkata,
"Tidakkah kau rindu padaku, Yo?"
"Sudah ada orang lain yang merindukan kamu!" 
jawab Yoga dingin,
Lili cepat berkata dengan nada dongkol, "Apa 
maksudmu?"
"Maksudku banyak lelaki yang sekarang men-
cari mu karena rindu padamu, rindu pada cumbuan-
mu, rindu pada ciumanmu, dan rindu pada pelukan 
mesramu!"
Gadis yang cantiknya melebihi bidadari itu kian
berkerut tajam keningnya. Lama-lama ia menjadi ter-
tawa sumbang lalu berkata,
"Kau berubah sekali, Yo?"

"Karena kau pun berubah!" "Berubah bagaima-
na?" "Lurah Prawiba sekarang sudah mati bunuh diri," 
jawab Yoga dengan suara datar. Dadanya bergemuruh 
pada saat itu, karena sedang mati-matian menahan 
murka yang ingin meledak. "Siapa Lurah Prawiba itu?"
"Jangan berlagak bodohlah!" Yoga bersungut-sungut. 
"Kau telah mencuri cincinnya dan merusak rumah 
tangganya."
"Hei, apa yang kau bicarakan sebenarnya, Yo?" 
"Kau juga dicari oleh Lenggani, dia ingin menuntut ba-
las padamu karena Sanjaya suaminya kau bawa lari! 
Kau juga dicari oleh Lintang Ayu, karena kau telah 
membunuh Prabu Anom yang telah kau bawa lari, pa-
dahal Prabu Anom mestinya menikah dengan Putri Giri 
Manca!"
Terdengar Lili menggumam heran sambil ke-
rutkan dahi dari pandangan mata menerawang,
"Prabu Anom...? Sanjaya...? Lurah Prawiba...?! 
Aku tidak kenal nama-nama itu!"
"Hmm...!" Yoga mencibir. "Apakah kau juga tak 
kenal dengan Raden Balelo, anak raja dari Kerajaan 
Wirawiri itu?!"
Lili geleng-gelengkan kepala sambil berkata, 
"Aku benar-benar tak mengerti maksudmu.. Kau me-
nyebutkan beberapa nama tanpa ku tahu satu pun. 
Ada apa sebenarnya, Yo? Katakanlah!"
Pendekar Rajawali Merah pandangi wajah Lili 
lekat-lekat. Lalu hati kecilnya menemukan sesuatu 
yang terbentang jelas di wajah cantik itu. Sesuatu ter-
sebut tak lain adalah kebingungan yang polos. Kebin-
gungan itu agaknya benar-benar menuntut suatu pen-
jelasan panjang-lebar, sehingga Yoga pun akhirnya 
menceritakan segala sesuatu yang dialaminya selama 
Lili mengaku berada di dalam gua tersebut.

Pendekar Rajawali Putih sangat terkejut dan 
menjadi tajam pandangan matanya ketika ia berkata,
"Untuk apa kau mengarang sebuah cerita pan-
jang seperti itu?"
"Ini kenyataan. Ini bukan cerita hasil karangan
ku sendiri! Kau telah memalukan aliran Rajawali, 
menghancurkan martabat kita sendiri, menghancur-
kan nama harum mendiang guru-guru kita, sehingga 
aliran Rajawali dapat dianggap remeh oleh mereka, di-
pandang hina oleh dunia persilatan!"
"Aku tidak lakukan apa-apa!" bentak Lili. "Kau 
lihat sendiri aku keluar dari dalam gua itu empat pu-
luh hari lamanya!"
"Kau bisa keluar melalui jalan lain!"
"Carilah jalan lain dalam gua itu! Kalau kau 
menemukannya, aku berani kau penggal kepalaku 
saat itu juga!" 
"Tentu saja tidak akan kutemukan, karena 
hanya kau satu-satunya orang yang tahu jalan keluar 
di dalam gua selain melalui mulutnya!"
"Kau keterlaluan! Kau sengaja menyakiti hatiku 
karena kau iri tak bisa pelajari ilmu 'Mata Dewa' itu! 
Tapi jangan begini caranya, Yo. Atau, barangkali kau 
sudah terpikat dengan gadis lain dan ingin lepas dari-
ku? Kurasa tidak harus dengan memfitnah diriku, Yo. 
Katakan saja apa adanya, mungkin aku lebih bisa me-
nerima ketimbang harus kau tuduh dengan berbagai 
macam kepalsuan itu!"
Pendekar Rajawali Putih menahan tangis. Ia le-
kas-lekas pergi tinggalkan Yoga, ia kembali ke pondok 
dan duduk merenung di belakang rumah kayu itu. Me-
lihat gerakan cepat begitu, Yoga paham kebiasaan ga-
dis tersebut; pasti marah dan luka hatinya. Biasanya 
jika Lili tidak bersalah tapi dituduh sebagai pihak yang

bersalah, gadis itu cepat pergi tinggalkan Yoga dan tak 
mau bicara lagi. Tapi jika ia salah dan dituduh bersa-
lah, ia hanya bersungut-sungut pergi, namun masih 
mau diajak bicara untuk mempertahankan alasan ke-
salahannya.
Kali ini Pendekar Rajawali Merah menangkap 
adanya firasat kebenaran di pihak Lili. Tapi ia sulit 
mempercayai firasatnya sendiri. Maka, ia segera temui 
Lili dan berkata,
"Jika kau memang di pihak yang benar, tun-
jukkan padaku bahwa kau memang benar dan tidak 
lakukan semua itu!"
"Aku akan tinggalkan tempat ini sekarang juga. 
Dan mungkin kita tidak akan bertemu lagi!" katanya 
dengan tajam dan menyentuh hati.
Yoga mulai tegang jika sudah melihat Lili kelua-
rkan ketegasannya. Biasanya ketegasan itu sudah tak 
bisa dibujuk dengan cara apa pun. Namun kali ini Yo-
ga temukan satu cara yang tidak dijamin kebenaran-
nya. Dengan sikap dibuat tegas, Yoga berkata,
"Kalau kau pergi dan meninggalkan aku, berarti 
kau mengakui semua tindakanmu yang kudengar dari 
mulut mereka!"
Lili hanya berpaling cepat menatap Yoga den-
gan mata menatap tajam dan mulut terbungkam rapat. 
Yoga tak berani memandangnya. Sorot mata itu mem-
punyai kekuatan yang membuat sekujur tubuh Yoga 
terasa menjadi gemetar dan hatinya berdebar-debar. 
Entah apa artinya hal itu?
***

8

NYANYIAN pantai adalah gemuruh ombak me-
mecah karang dan riak-riak alun menyibak pasir. Ge-
mericik suara riak di sela bebatuan dan pasir mem-
buat hati bagai dibuai tipis oleh kemesraan. Dan ke-
mesraan pantai kala itu adalah perpaduan dua hati 
yang saling merapat dan saling mendekap di sela-sela 
senja. Ketika itu, mentari merah terbakar di langit ba-
rat, nyaris sembunyikan diri dari siang.
Pendekar Rajawali Merah bermaksud larikan 
diri ke pantai di ujung senja. Ia ingin dapatkan kete-
nangan berpikir dalam kesendiriannya di pantai itu. 
Namun alangkah kagetnya Pendekar Rajawali Merah 
manakala pandangannya tertuju ke arah selatan, me-
natap dua makhluk yang saling dekap dan saling rapat 
itu.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Merah undur-
kan diri ke batik pohon, bersembunyi mengintai dua 
makhluk yang saling dekat dan saling rapat itu. Sedikit 
demi sedikit ia bergerak mendekat, sampai akhirnya ia 
temukan dua raut wajah yang amat dikenalnya; wajah 
Lili dan wajah seorang pemuda yang sejak dulu meng-
hendaki kematiannya, yaitu Tamtama. Dan wajah pe-
muda Itulah yang membuat jantung Yoga seolah-olah 
meledak, darahnya menyembur panas sampai di kepa-
la.
“Tamtama...?!" gumam Yoga penuh keheranan 
dan nyaris tidak percaya dengan penglihatannya sendi-
ri.
"Bukankah Tamtama telah mati bersama Bida-
dari Manja ketika Gua Bidadari itu ku runtuhkan? O, 
ya... tunggu dulu. Samar-samar kuingat Tamtama

muncul dalam peristiwa di Candi Langu?" (Baca serial 
Jodoh Rajawali dalam episode: "Gerombolan Bidadari 
Sadis" dan "Mempelai Liang Kubur")
Tamtama adalah seorang pemuda yang mencin-
tai Mahligai. Tapi ia merasa tersisih setelah Mahligai 
mengenal Yoga, dan bahkan jatuh cinta kepada Yoga. 
Tamtama merasa dikalahkan cintanya oleh kehadiran 
Yoga, sehingga ia selalu berusaha membuat Yoga cela-
ka dan mati. Tetapi niatnya itu tak pernah berhasil se-
kalipun ia bergabung dengan perempuan keji yang ber-
juluk Bidadari Manja itu.
Sekarang Tamtama muncul di pantai bersama 
Lili, mendekap gadis cantik itu, menciuminya beberapa 
kali disela tawa Lili yang terkikik-kikik itu. Pendekar 
Rajawali Merah sempat pejamkan mata lama di balik 
persembunyiannya ketika Tamtama semakin liar mele-
paskan kemesraannya dan tangannya kian berani 
menjamah ke mana-mana. Lili sendiri hanya membiar-
kan dan seolah-olah kian kegirangan mendapat jama-
han liar Tamtama itu.
Mata Pendekar Rajawali Merah seperti di hujam 
tombak. Bukan hanya perih memandang, namun juga 
panas terbakar dari dalam hatinya. Jika dulu Tamtama 
selalu merasa bahwa Yoga merebut kekasihnya, seka-
rang ganti Yoga yang merasa diinjak-injak kepalanya 
oleh Tamtama. Tentu saja hal itu membuat murka 
Pendekar Rajawali Merah meledak-ledak dalam dada, 
walaupun ia sempat bertanya-tanya dalam hati,
"Bukankah Lili sudah berjanji tak akan keluar 
dari pondok? Bukankah Lili ingin buktikan bahwa di-
rinya tak pernah berbuat sehina itu dengan mengu-
rung diri ditemani Tua Usil? Mengapa ia sekarang ne-
kat dan berada di sini dengan pemuda itu?. Mungkin-
kah ia sengaja membuatku murka?"

Hati Yoga tak mampu bertahan memendam 
murkanya. Ia cepat lepaskan pukulan dahsyatnya yang 
bernama jurus 'Rajawali Membelah Matahari'. Jurus 
itu merupakan selarik sinar merah yang memecah ke 
berbagai penjuru dan keluar dari pertengahan da-
danya. Zzzrraaat...! Sepuluh lawan di depan Yoga bisa 
pecah bersama jika terkena sinar merah jurus 
'Rajawali Membelah Matahari' itu.
Tetapi di luar dugaan, Lili berpaling ke bela-
kang dan cepat mendekap Tamtama. Pada saat itulah, 
tubuh Lili dan Tamtama sama-sama memancarkan si-
nar hijau bening, sehingga ketika sinar merah yang 
memecah arah itu mengenai tubuh mereka, yang ter-
jadi hanyalah sebuah ledakan besar menggelegar 
menggema sampai ke langit senja.
Blegaaarrr...!
Pendekar Rajawali Merah terpental ke semak-
semak mendapat hentakan gelombang ledak tadi. Tu-
buh Lili dan Tamtama pun terpental nyaris terbuang 
ke tengah lautan. Delapan pohon kelapa yang ada di 
sekitar mereka tumbang dalam keadaan hangus secara 
serentak. Beberapa batuan karang yang menggunung 
pecah mengerikan, seakan dilanda bencana alam yang 
cukup dahsyat. Ombak laut pun tersentak naik, ting-
ginya lebih dari lima tombak. Menyembur ke segala 
arah.
Ada darah kecil yang meleleh dan mulut Yoga. 
Tapi darah itu tidak membuat Pendekar Rajawali Me-
rah menjadi lemah. Ia cepat bangkit dan melompat ke 
pasir pantai. Ternyata pada saat yang bersamaan, Lili 
dan Tamtama pun melompat ke tempat yang sama da-
lam keadaan basah kuyup karena terlempar ke laut.
Hal yang membuat Yoga terkesima di tempat 
adalah melihat keadaan Lili dan Tamtama yang tetap

utuh tanpa luka di bagian tubuh mereka. Hanya saja, 
hidung Tamtama keluarkan darah dan mulut Lili juga 
keluarkan darah. Padahal seharusnya tubuh mereka 
hancur berkeping-keping jika terkena pukulan maut 
yang jarang digunakan oleh Pendekar Rajawali Merah 
itu.
Barangkali kekuatan sinar hijau yang melapisi 
tubuh mereka berdua itulah yang membuat mereka se-
lamat dari kehancuran. Dan Yoga berkata dalam ha-
tinya,
"Sejak kapan Lili mempunyai jurus seperti itu? 
Mungkinkah ia peroleh saat berada di dalam Sumur 
Perut Setan?!"
Kini keduanya sama-sama berhadapan dengan 
Yoga. Tamtama memandang dendam kepada Yoga, 
demikian pula Yoga, memancarkan sinar permusuhan 
yang. sepertinya sulit dipadamkan lagi itu. Sedangkan 
Lili cepat hampiri Yoga lalu menghantam wajah Yoga 
dengan kuat. Plaaak...!
Pendekar Rajawali Merah diam saja, walaupun 
pukulan itu membuat hidungnya menjadi berdarah 
dan tubuhnya tersentak tiga langkah ke belakang. Yo-
ga kembali berdiri dengan menarik napas, tak mau 
membalas pukulan gadis cantik itu.
"Jahanam kau, Yoga!" bentak Lili. "Berani-
beraninya kau mengganggu kemesraan ku bersama 
Tamtama, hah?! Apakah kau menghendaki aku mem-
bunuhmu dengan pedang pusaka ini?!"
Pendekar Rajawali Merah diam saja. Sedikit 
pun tak mau menjawab, kecuali hanya memandang Lili 
dengan mata menyipit antara menahan murka dan 
menahan kesabaran. Tetapi ketika Tamtama ikut men-
dekat dan berkata sambil menuding Yoga,
"Sekarang saatnya aku membalas sakit hatiku

kepadamu, Monyet! Lili telah jatuh cinta padaku, se-
perti halnya dulu Mahligai jatuh cinta padamu! Seka-
rang apa maumu, Setan?!"
"Pertarungan antara aku dan kau!" jawab Yoga 
dengan geram kemarahan yang membuat suaranya 
bergetar.
"Balk! Kita lakukan sekarang juga!" kata Tam-
tama.
"Tidak!" sahut Lili, lalu semakin maju berdiri di 
antara Yoga dan Tamtama. Kedua tangan Lili bertolak 
pinggang dan ia berseru,
"Kalau kau memang berani, hadapi aku seka-
rang juga! Akulah lawanmu, Yoga! Akulah yang akan 
menyerangmu dan membunuhmu!"
Pendekar Rajawali Merah dibakar oleh kebim-
bangan yang mendidihkan sukmanya. Apa pun yang 
terjadi, ia bertekad akan melawan Lili, tapi tidak di de-
pan Tamtama, tidak di depan siapa pun juga. Dengan 
suaranya yang masih bergetar, Pendekar Rajawali Me-
rah akhirnya berkata kepada Lili,
"Datanglah ke makam Guru, dan kita bertarung 
di sana sampai mati!"
"Mengapa harus ke sana-sana? Di sini saja aku 
sudah bisa membunuhmu Yoga! Kau ingin bukti?!"
Wuuut...! Plaak! Buhg...! Plak, plak, duuhg...! 
Praak...!
Yoga dihajar habis oleh gadis cantik yang sea-
kan berubah menjadi ganas itu. Tamtama hanya ter-
tawa-tawa menyaksikan Pendekar Rajawali Merah ba-
bak belur dihajar Pendekar Rajawali Putih. Sejauh itu, 
Yoga masih diam dan tidak memberikan perlawanan, 
juga tidak memberikan tangkisan apa pun. Akibatnya, 
wajah tampan itu hancur dihujani luka dan memar. 
Bahkan Yoga sempat memuntahkan darah dari mulut

nya karena pukulan tenaga dalam yang dilepaskan 
oleh Lili.
"Bangun kau, Bangsat!" teriak Lili kepada Yoga 
yang terkapar di pasir pantai. "Cabut pedangmu dan 
kita tentukan siapa yang mati di sini! Lekas cabut pe-
dang mu!"
Kemarahan gadis itu menjadi liar sekali. Pen-
dekar Rajawali Merah tak punya keluh dan ratap, tak 
punya pembalasan dan cacian. Pemuda bertangan 
buntung sebelah kiri itu berdiri dengan pelan-pelan. 
Berusaha tegak kembali di depan Lili. Matanya yang 
telah bengkak dan membiru itu masih berusaha me-
mandang Lili dengan penuh dendam dan kemarahan 
yang tertahan.
"Sudah puaskah kau melihatku begin!, Guru?!" 
ucap Yoga dengan pelan sekali, karena bibirnya pun 
pecah dan keluarkan darah. Lili hanya sunggingkan 
senyum, lalu dekati Tamtama, merangkul pinggang 
pemuda itu yang juga tersenyum sinis pandangi Yoga. 
Kembali, Yoga berkata kepada Lili,
"Jika kau sudah puas melihatku begini, mari 
kita ke makam Guru untuk tentukan siapa yang ber-
hak hidup sebagai penerus aliran Rajawali! Jika kau 
tak berani, berarti kau harus bunuh diri sebagai kema-
tian penebus dosa sendiri!"
Tamtama menghardik, "Kalau kau tak mau 
pergi, kuhabisi sendiri nyawamu, Yoga!"
"Guru," kata Yoga yang tidak hiraukan kata-
kata Tamtama Sedikit pun. "Kalau kau bimbang, kube-
ri waktu untuk pertimbangkan tantanganku ini! Tapi 
ingat, aku hanya mau bertarung denganmu di makam 
Guru. Karena di sanalah aliran Rajawali sejati tumbuh 
dan bertahan!"
Wuuut...! Yoga segera pergi setelah berkata demikian. Samar-samar ia mendengar suara tawa Lili 
dan Tamtama menertawakan kepergiannya. Tapi Yoga 
tak pernah gubris lagi mereka berdua. Hanya saja, 
langkah Yoga jadi terhenti ketika ia melihat sekelebat 
bayangan yang berlari menuju pantai melalui semak-
semak di sebelah utara.
"Iblis Mata Genit...?!" ucap Yoga dalam hatinya. 
Ia mengenali perempuan cantik berpakaian hijau mu-
da. "Pasti ia masih mencari Lili untuk bikin perhitun-
gan dengannya, karena Lili telah lenyapkan seluruh 
ilmu Wali Kubur dengan jurus Sirna Jati'. Iblis Mata 
Genit tetap akan menuntut kepada Lili, membela adik-
nya yang menjadi ketua dan guru di Perguruan Lereng 
Lawu itu?" (Baca serial Jodoh Rajawali dalam episode: 
"Prasasti Tonggak Keramat").
Melihat kemunculan Iblis Mata Genit, Yoga jadi 
penasaran ingin melihat pertemuan tokoh sakti itu 
dengan Lili. Maka, ia pun kembali lagi ke tempat semu-
la, namun kali ini melalui dahan demi dahan, dan di 
balik kerimbunan pohon itulah Yoga mengintai apa 
yang dilakukan oleh Iblis Mata Genit dan Lili.
Lili sempat terkejut ketika melepaskan pelukan 
Tamtama, ternyata sudah ada Iblis Mata Genit di de-
pan mereka. Tamtama tampak menggeram penuh ke-
jengkelan. Pemuda itu segera menegur dengan suara 
lantang,
"Apakah kau belum pernah berciuman dengan 
seseorang? Mengapa kau memperhatikan kemesraan 
kami? Kau iri?"
Iblis Mata Genit yang datang sendirian tanpa 
mengajak kedua anak buahnya yang semula bersa-
manya, yaitu Gandul dan Brata, segera berkata, "Aku 
tak butuh suaramu, Tikus Sawah! Yang kubutuhkan 
adalah dia!" Iblis Mata Genit menuding Lili, Yang di

tuding hanya tersenyum sinis dan segera renggangkan 
jarak dari Tamtama. Kemudian Iblis Mata Genit kem-
bali perdengarkan suaranya,
"Kau tahu siapa aku, Lili?"
"Hmmm...! Iblis Mata Genit!"
"Syukurlah kalau kau sudah tahu siapa diriku."
Dari persembunyiannya Yoga bertanya dalam 
hati, "Sejak kapan Lili pernah bertemu Iblis Mata Ge-
nit? Seingatku belum pernah. Tapi ia bisa kenali la-
wannya itu. Apakah sebelumnya mereka pernah saling 
jumpa di luar pengetahuanku?"
Terdengar lagi Iblis Mata Genit berkata kepada 
Lili, "Sudah waktunya kau berhadapan denganku. 
Kembalikan semua ilmu adikku, si Wali Kubur itu, 
atau kubunuh kau sebagai imbalannya?"
Tamtama maju selangkah dan berkata, "Iblis 
Mata Genit, kalau kau berniat membunuhnya, kau ha-
rus berhadapan dulu dengan aku!".
"Aku tak butuh bacotmu, Kambing Kampung!"
"Kurang ajar!" geram Tamtama. "Kau jangan 
sepelekan aku, Biadab! Coba terima dulu pukulanku 
ini! Hiaah...!"
Wuuut...! Tamtama segera lepaskan pukulan 
tenaga dalam dari tangan kanannya. Pukulan sinar 
kuning itu berusaha menghantam kepala Iblis Mata 
Genit. Namun dengan sekali berkelebat, tangan Iblis 
Mata Genit telah keluarkan cahaya hijau yang memer-
cik. Cahaya itu menghantam pukulan sinar kuningnya 
Tamtama. Blaaar...! Tamtama tersentak mundur tiga 
langkah, demikian pula Lili terkena hentakan gelom-
bang ledak itu hingga mundur tiga langkah. Sementara 
itu Iblis Mata Genit masih tetap diam di tempatnya 
dengan mata indahnya memandang tajam. kepada 
Tamtama.

"Jangan dulu merasa menang, Perempuan La-
cur! Aku masih sekadar menjajal ilmumu!" kata Tam-
tama sambil melangkah maju. Ia berhenti dalam jarak 
tiga langkah di depan Iblis Mata Genit.
"Kalau kau bisa kalahkan aku, kau boleh coba 
mengadu ilmu dengan kekasihku" ini!" kata Tamtama 
dengan sesumbarnya.
Iblis Mata Genit diam memandang, demikian 
pula Tamtama. Tapi tiba-tiba Iblis Mata Genit kerling-
kan mata kirinya. Claap...! Pukulan jurus 'Surya Pen-
dar' telah dilepaskan oleh Iblis Mata Genit melalui ker-
lingan mata tersebut, dan hal itu membuat tubuh 
Tamtama terpental keras, membentur bongkahan ka-
rang, lalu memuntahkan darah segar dari mulutnya. 
Hanya dengan kerlingan mata kiri saja Tamtama su-
dah dibuat parah oleh Iblis Mata Genit, padahal dulu 
Yoga mampu menahan pukulan tersebut dan membuat 
Iblis Mata Genit terkagum-kagum.
"Kau memang perempuan jahanam!" bentak Lili 
setelah melihat Tamtama terluka parah.
Iblis Mata Genit sunggingkan senyuman sinis-
nya. Ketika ia melihat Lili bergegas maju untuk menye-
rang, ia kembali kerlingkan mata kirinya. Glaap...! 
Wuuusss...! Buuhg...! Tubuh Lili bagaikan kapas ter-
hempas badai. Melayang dengan cepatnya dan jatuh di 
tempat jauh. Terguling-guling sebentar, lalu memun-
tahkan darah segar.
Yoga ingin keluar dari persembunyiannya un-
tuk menolong Lili atau menyerang Iblis Mata Genit. Te-
tapi niat itu diurungkan setelah ia putuskan dalam ha-
tinya, bahwa ia hanya ingin melihat sampai di mana 
kekuatan Lili menghadapi Iblis Mata Genit. Mampukah 
Lili menggunakan jurus 'Sirna Jati'-nya untuk menye-
dot habis ilmu Iblis Mata Genit, sehingga perempuan

ganas itu kehilangan semua ilmu dan menjadi polos 
serta kosong seperti Wali Kubur?
Tetapi agaknya Tamtama yang lebih penasaran. 
Sikap berlagak membela kekasih terlalu berlebihan. 
Sekalipun ia terluka parah dalam tubuhnya, namun ia 
masih paksakan diri untuk bangkit dan kembali me-
nyerang Iblis Mata Genit.
"Tak kan kubiarkan kau meninggalkan tempat 
ini dalam keadaan hidup, Iblis Keparat!" teriak Tamta-
ma.
Namun, Iblis Mata Genit masih tetap berpe-
nampilan tenang. Ia menatap Tamtama, lalu segera 
menggunakan jurus 'Soca Pelebur' yang dulu juga per-
nah dilepaskan untuk Yoga namun bisa ditahan oleh 
Pendekar Rajawali Merah itu. Jurus 'Soca Pelebur' ada-
lah kerlingan mata kanan yang hanya dilakukan satu 
kali; Claaap...! Jurus itu tak mempunyai kilatan sinar 
apa pun, namun menghadirkan gelombang panas yang 
menghentak ke tubuh Tamtama dan hanya Tamtama 
yang bisa rasakan kehadiran gelombang panas terse-
but. Namun sayangnya ia tak dapat bertahan, sehing-
ga tubuhnya kembali terpental dan dadanya pun jebol 
seketika itu juga. Blaaar...!
Tamtama terkapar di pasir pantai dalam kea-
daan pecah dadanya. Bagian dalam dada menyembur 
ke mana-mana, dan tentu saja hal itu membuat Tam-
tama tak mampu menahan nyawanya. Maka, ia pun 
menghembuskan napas terakhir, menemui ajalnya 
dengan mengerikan.
"Tiba giliranmu, Gadis Keparat...!" teriak Iblis 
Mata Genit. Tetapi ia menjadi tertegun melihat tempat 
kosong di mana tadi Lili terpental. Iblis Mata Genit se-
makin tegang, ia telan kehilangan buruannya. Ia me-
mekik berkali-kali memanggil Lili, menghamburkan

sebaris makian dan tantangan. Tetapi Lili tetap tak di-
temukannya.
Diam-diam di atas pohon Yoga sendiri menjadi 
heran dan kebingungan melihat Lili ternyata telah 
tinggalkan tempat. Ia tak melihat gerakan Lili pergi da-
ri tempatnya. Mata Yoga ikut mencari Lili dari atas po-
hon, namun tetap saja tak ditemukannya kelebatan 
gadis itu. Iblis Mata Genit segera berlari menuruti fira-
satnya, kejap berikut Yoga pun segera tinggalkan tem-
pat itu dalam keadaan wajah babak belur dihajar Lili.
Ketika sampai di pondok, Tua Usil terkejut me-
lihat Pendekar Rajawali Merah hancur wajahnya. Ia se-
gera menyapa,
"Tuan...?! Apa yang telah terjadi, Tuan Yo?!" Yo-
ga tak menggubris teguran Tua Usil, juga tak menghi-
raukan terperangahnya wajah Cola Colo yang berdiri di 
depan pintu masuk. Yoga langsung saja masuk ke da-
lam pondok, dan tersentak kaget melihat Lili sudah 
ada di dalam pondok tersebut.
"Cepat sekali kau tiba di sini!" gumam Yoga 
sambil memendam kemarahan. Ia tak sadari bahwa Li-
li terperanjat kaget bukan kepalang melihat wajah Yo-
ga menjadi babak belur begitu.
"Yo...?! Apa yang terjadi?" wajah Lili menegang 
sambil hampiri Pendekar Rajawali Merah. Tapi ketika 
Lili ingin sentuh tangan Yoga, tangan itu dikibaskan 
dan tak mau disentuh. Mata Yoga yang memar biru itu 
menatap Lili dengan sikap bermusuhan. Lili semakin 
berkerut dahi tajam-tajam, kemudian segera berkata,
"Siapa yang melukaimu sedemikian rupa?! Ja-
wab! Akan kuhancurkan wajah orang itu sekarang ju-
ga! Katakan, siapa orangnya?!" desak Lili.
Yoga menjawab dengan pelan, "Kau sendiri!" 
"Yo...?! Katakan yang sebenarnya, siapa?!"

"Kau sendiri!" bentak Yoga yang membuat Tua 
Usil dan Bocah Bodoh terlonjak kaget bersamaan. Ke-
pala Bocah Bodoh sempat membentur pintu dengan 
lumayan keras. Mereka ada di pintu dan ikut meman-
dang heran kepada Yoga. Semakin heran setelah Yoga 
menyatakan bahwa Lili adalah orang yang telah meng-
hajarnya hingga babak belur begitu.
Tapi Lili menyanggah tuduhan tersebut. "Tak 
mungkin! Tak mungkin kau melemparkan hal ini ke-
pada ku! Kau tak punya alasan kuat untuk menuduh-
ku, Yo! Sejak tadi aku ada di rumah dan tidak pergi ke 
mana-mana. Bahkan keluar dari rumah pun tidak!"
"Omong kosong!" bentak Yoga. "Cepat sekali 
kau memutar kata menghindar kenyataan. Kulihat 
dengan mata kepala sendiri kau sedang bermesraan 
dengan Tamtama, bekas kekasihnya Mahligai itu! Ku
rasakan sendiri pukulanmu bertubi-tubi yang bersifat 
membela Tamtama dan."
"Tidak mungkin!" teriak Lili semakin tinggi. 
"Aku ada di rumah, dan Tua Usil serta Bocah Bodoh 
menjadi saksi, bahwa aku tidak pergi ke mana-mana!"
Yoga segera menatap Bocah Bodoh dan Tua 
Usil, lalu bertanya,
"Benarkah dia tidak pergi ke mana-mana?"
"Benar, Tuan," jawab Tua Usil. "Sayalah sak-
sinya! Saya berani bersumpah!" Tua Usil angkat tan-
gannya menyatakan sumpahnya.
Bocah Bodoh menimpali, "Nona Li keluar ru-
mah hanya untuk meludah, Tuan. Setelah itu tetap be-
rada di dalam rumah sampai saat Tuan datang tadi. 
Saya saksinya, dan saya berani sumpah sambar gele-
dek atau sambar apa saja, Tuan!"
Yoga tertegun, mereka pun termenung. Dalam 
hati mereka masing-masing bertanya, "Siapa orang
yang bersama Tamtama itu?"
***
9


KEADAAN yang aneh itu tak bisa terjangkau 
oleh pikiran Pendekar Rajawali Merah, terutama diba-
rengi oleh perasaan dendam dan kebencian yang tidak 
jelas tertuju untuk siapa. Karenanya, Yoga mencoba 
meminta bantuan Sendang Suci, yang disebut pula 
Tabib Perawan. Perempuan itu adalah perempuan yang 
menyimpan kasih serta cinta sejati kepada Yoga, na-
mun tak pernah menuntut pembalasan yang setimpal 
dari apa yang ada di dalam hatinya. Sikap seperti itu-
lah yang membuat hubungan Yoga dengan Sendang 
Suci tetap baik dan semakin dekat dalam bicara jiwa.
Sendang Suci menempati pondoknya yang ada 
di Bukit Berhala bersama sang keponakan yang juga 
menjadi muridnya, yaitu Mahligai. Tapi keadaan Mah-
ligai kala datang ke situ, sungguh menyedihkan. Gadis 
yang terluka hatinya oleh penolakan cinta Yoga itu ter-
bujur di atas pembaringan dalam keadaan kurus, pu-
cat, tak bisa bicara, dan tak bisa bergerak. Ia menga-
lami kelumpuhan dan hilang jati dirinya.
"Dia sangat mencintaimu, tapi dia sangat terlu-
ka olehmu. Dia telah mengalami goncangan jiwa. Seca-
ra tak sadar dia pernah mengaku padaku, bahwa di-
rinya telah membunuh beberapa gadis yang mencin-
taimu, termasuk Mutiara Naga. Aku tak bisa" berbuat 
apa-apa lagi, karena segalanya telah telanjur terjadi. 
Kini ia menderita sekali, dan tak ada obat yang bisa 
menyembuhkan dirinya, karena dia terkena racun

yang dinamakan Racun Hati. Racun itu tak bisa dis-
embuhkan oleh obat apa pun, dan kalau toh terjadi 
kesembuhan itu karena dirinya sendiri. Racun Hati 
adalah racun yang datang dari dirinya dan sembuh 
oleh dirinya pula," tutur Sendang Suci kepada Yoga. 
Hati Yoga berdesir iba melihat keadaan Mahligai, na-
mun ia tak mampu berbuat apa-apa.
Tokoh sakti yang sudah berusia lanjut namun 
masih tampak muda dan cantik itu menatap Yoga den-
gan sebentuk kelembutan dan kerinduan. Yoga dapat 
rasakan hal itu, sehingga ia biarkan Tabib, Perawan 
yang sampai saat itu belum hilang kesuciannya, meng-
genggam tangan Yoga erat-erat dan merasakan kehan-
gatan dari genggaman itu sebagai obat rindu baginya.
Kejap berikutnya, Sendang Suci berkata, "Ma-
sih ada sisa memar di sudut matamu, Yo. Apa yang 
terjadi sebenarnya?"
Maka, Yoga pun menuturkan peristiwa-
peristiwa aneh yang dialaminya dan membuatnya ter-
siksa batin tanpa tahu harus melampiaskannya kepa-
da siapa. Semua yang berkenaan dengan diri Lili, dice-
ritakan oleh Yoga, sampai akhirnya Tabib Perawan itu
berkata,
"Hati-hatilah, ada pihak yang ingin menghan-
curkan nama baik aliran Rajawali. Mungkin musuh 
lama kalian. Orang itu pasti mempunyai Ilmu 'Perawan 
Siluman'."
"Ilmu semacam apa itu, Bi?" tanya Yoga dengan 
lembut.
"Orang yang menggunakan ilmu 'Perawan Si-
luman' dapat merubah dirinya seperti orang yang di-
maksud.
Segala tingkah laku, suara, wajah, potongan 
tubuhnya, semuanya mirip dengan orang yang ditiru
kan. Tapi kesaktiannya berbeda. Pakaian dan pedang 
bisa ditiru juga. Jelas untuk meniru pakaian dan pe-
dang, bukan hal yang sulit. Tapi pedangnya itu tidak 
mempunyai kekuatan yang sama dengan pedang as-
linya!"
Yoga manggut-manggut. "Pantas Lili waktu me-
lawan Iblis Mata Genit tidak mau cabut pedangnya?!" 
gumam Yoga dalam renungannya.
"Ilmu 'Perawan Siluman' jarang dimiliki orang. 
Dulu yang kukenal sebagai pemilik ilmu 'Perawan. Si-
luman' adalah si Pagar Jagat. Tapi tokoh itu sudah la-
ma meninggal. Tak tahu siapa muridnya yang meneri-
ma warisan ilmu 'Perawan Siluman'. Itu adalah ilmu 
yang bisa menggegerkan dunia persilatan dalam tempo 
cepat, karena mereka bisa saling bunuh karena salah 
duga. Sebaiknya...."
Ucapan perempuan cantik yang cukup dewasa 
dalam pemikirannya itu, terpaksa terhenti oleh da-
tangnya suara di luar rumah. Suara itu berseru bagai 
berkeliling di atas rumah.
"Pendekar Rajawali Putih di mana pun kau be-
rada, hadapilah tantanganku. Tiga hari lagi, kita berta-
rung di Bukit Batulima! Pendekar Rajawali Putin di 
mana pun kau berada, hadapilah tantanganku. Tiga 
hari lagi, kita bertarung di Bukit Batulima...!"
Suara sedikit cadel itu berulang-ulang berseru 
demikian mengitari rumah Sendang Suci. Mereka ber-
dua segera keluar dari dalam rumah untuk melihat 
siapa yang bersuara. Ternyata seekor burung beo hi-
tam yang berkeliling ke mana-mana sambil serukan 
kata tantangan buat Lili.
"Beo hitam...," gumam Tabib Perawan. "Kalau 
tak salah beo hitam itu milik Lintang Ayu."
"Benar, Bi, Perempuan itulah yang tadi kuceri

takan sebagai kakak dari Prabu Anom!"
"Hati-hati berhadapan dengan dia." "Setinggi 
apakah ilmunya, Bi?" "Bukan soal tinggi ilmunya atau 
tidak, tapi... dia cantik dan mempunyai daya pikat 
yang tinggi bagi setiap lelaki. Dia murid dari si Jubah 
Peri."
"Benar. Dan... agaknya Lintang Ayu terpaksa 
gunakan tantangan melalui burung beonya, karena ia 
tak pernah berhasil temui Lili."
"Lili-mu yang asli jangan boleh keluar ke mana-
mana, nanti ia menjadi salah sasaran. Karena banyak 
musuh yang sedang mengincarnya akibat ulah manu-
sia yang menggunakan ilmu 'Perawan Siluman' itu."
"Baik, Bi. Akan kuperingatkan kepadanya se-
perti pesan Bibi ini!"
"Sekali lagi ku ingatkan padamu pribadi, Yo; 
hati-hati dengan Lintang Ayu. Dia pernah dijuluki se-
bagai 'Gadis Penakluk Hati'."
Yoga tersenyum, "Apakah aku tak berhak pakai 
julukan seperti itu?"
Kini Sendang Suci yang tersenyum dan berkata, 
"Kau satu tingkat di atasnya!"
Dalam perjalanan pulang dari pondok Tabib Pe-
rawan itu, secara kebetulan Yoga berpapasan dengan 
seorang gadis berpakaian merah dan menyandang pe-
dang di punggung berwarna putih perak. Yoga sempat
tercekam keraguan sejenak, dan hatinya ber-
tanya-tanya,
"Lili...? Benarkah dia Lili yang asli atau yang 
palsu?"
Sebelum ada keputusan di hati Yoga, gadis itu 
telah mendekatinya. Ia sunggingkan senyum kepada 
Yoga.
Lesung pipitnya dipamerkan yang sering membuat hati Yoga luluh itu.
"Aku sengaja menyusulmu," kata Lili ketika su-
dah berhadapan dengan Yoga. Sikap Yoga tetap tenang 
walau otak berputar menentukan kepastian dugaan-
nya.
"Mengapa kau menyusul ku? Bukankah aku bi-
lang, tak sampai sehari aku pasti sudah kembali, 
Guru!"
"Aku rindu. Rindu sekali. Tak tahu kenapa tiba-
tiba kerinduan ku amat menggebu-gebu padamu!" Lili 
segera memeluk Yoga, bahkan menciumi wajah pemu-
da itu.
Dengan cepat firasat Yoga mengatakan, bahwa 
gadis itu bukanlah Lili yang sebenarnya. Dia pasti Lili 
palsu. Karena Lili tidak pernah menciuminya seganas 
itu. Ciuman Lili berupa ciuman lembut yang punya 
keagungan cinta dan mendamaikan hati. Tapi gadis itu 
justru sebaliknya. Bahkan ia sempat menarik tangan 
Yoga agar mendekati semak-semak dan menuntut sua-
tu kemesraan yang lebih dalam lagi. Semakin yakinlah 
Yoga, bahwa gadis itu bukan Lili yang asli. Karena Lili 
tidak pernah menuntut kemesraan yang lebih dalam 
dengan cara sekasar itu. Yoga pun segera menahan 
hasrat gadis itu dengan mengalihkan pembicaraan ke 
masalah lain.
"Tidakkah kau dengar seruan burung beo itu, 
Lili?" Yoga masih berlagak tidak tahu tentang kepal-
suan tersebut.
"Ya. Aku mendengarnya, Tapi... rasa-rasanya 
aku tak perlu melayani, tantangan orang gila!"
"Lintang Ayu yang menantangmu. Mungkin dia 
sangka kaulah yang membunuh adiknya; Prabu Anom 
itu."
"Itulah sebabnya kukatakan tadi, aku merasa

tak "perlu melayani tantangan orang gila! Biar saja dia 
sangka aku yang membunuh Prabu Anom. Kalau me-
mang ia berilmu tinggi, mestinya ia bisa temukan aku 
di mana saja aku berada."
"Benar juga!" kata Yoga sambil membatin dalam 
hati, "Dia tidak merasa asing dengan nama Lintang 
Ayu. Dia tidak menyanggah nama Prabu Anom. Ini bu-
kan watak Lili. Dan Lili yang asli tidak pernah men-
ganggap setiap tantangan siapa pun. Biarlah aku ber-
pura-pura menganggapnya Lili asli. Sebenarnya aku 
bisa saja membunuhnya saat ini, tapi itu tidak akan 
menyelesaikan masalah. Orang-orang tetap akan men-
ganggap aliran Rajawali telah cemar akibat ulah Lili. 
Aku ingin gadis ini terbuka kedoknya di depan Lintang 
Ayu, supaya Lintang Ayu sendiri tahu, siapa sebenar-
nya gadis ini. Aku yakin, banyak orang yang datang ke 
Bukit Batulima, terutama orang-orang yang mempu-
nyai dendam kepada Lili. Di sanalah nanti mereka 
akan mengetahui, bahwa Lili kekasihku, bukanlah Lili 
si keparat ini!"
Kemudian Yoga berkata kepada gadis itu, "Tapi 
untuk mengangkat harga diri kita sebagai pewaris ali-
ran Rajawali, kurasa kau perlu datang ke Bukit Batu-
lima dan mengalahkan Lintang Ayu. Aku akan bantu 
kamu untuk mengalahkan Lintang Ayu dengan meng-
hantamnya dari belakang hingga dia lengah. Pada saat 
ia lengah nanti, kau hantam dia dari depan dengan ju-
rus maut mu, Lintang Ayu pasti hancur di depan bebe-
rapa orang yang akan menyaksikan pertarungan mu 
nanti. Dengan begitu, mereka tidak akan lagi berani 
menantang kita dan akan semakin hormat kepada ki-
ta. Kurasa burung beo itu terbang ke mana-mana dan 
membuat setiap orang tahu bahwa tiga hari lagi akan 
ada pertarungan di Bukit Batulima. Jika kau tak hadir, kau dianggap pengecut dan direndahkan. Karena 
itu, sebaiknya kau hadir dan aku akan membantumu!"
"Kau sungguh-sungguh akan membantuku?"
"Ya, Karena aku tak ingin kau mati di tangan 
siapa pun! Aku akan kehilangan dirimu jika kau mati. 
Dan itu adalah siksaan terberat bagi hidupku, Lili."
"Baiklah kalau kau mau membantuku dan 
memang begitu pertimbanganmu. Aku akan hadir di 
Bukit Kakilima...."
"Bukit Batulima!" Yoga membetulkan.
"O, iya! Bukit Kakilima, eh.... Bukit Batulima. 
Tapi... tapi kali ini aku ingin berlayar ke lautan cinta 
bersamamu, Yo. Dekatlah padaku, Sayang...."
"Celaka!" gumam Yoga dalam hati dicekam ke-
cemasan. Ia berpikir mencari alasan untuk menolak. 
Namun belum sempat ia temukan alasan yang kuat ti-
ba-tiba di hadapan mereka telah muncul sesosok tu-
buh tua berjubah merah darah.
Seorang nenek berjubah merah darah dengan 
pakaian dalamnya yang kuning itu memandang Lili 
dengan mata tajam. Rambutnya yang putih rata dis-
anggul sebagian. Nenek berjubah merah itu kenakan 
giwang batu ungu yang berkerilap memancarkan sinar 
jika terkena sorot matahari. Nenek itu juga menggeng-
gam sebatang tongkat yang ujung atasnya berukir se-
kuntum bunga teratai yang sedang mekar.
Ketika Lili palsu memandang nenek berusia se-
kitar tujuh puluh tahun, ia segera berdiri dan sung-
gingkan senyum kaku, lepaskan pelukan pada diri Yo-
ga. Nenek itu hanya berkata dengan wajah marah,
"Aku ingin bicara denganmu!"
"Baik!" Lili palsu berkata kepada Yoga, "Tetap-
lah di sini, aku akan bicara dengan orang ini sebentar 
di tempat sepi. Nanti aku kembali lagi, Sayang."

"Akan kutunggu sampai kau datang!" jawab Yo-
ga sambil mengangguk dan tetap bersikap tenang.
Ketika gadis itu pergi dengan nenek berjubah 
merah dan bergiwang ungu itu, Yoga bertanya dalam 
hatinya, "Siapa nenek berjubah merah itu? Lawan atau 
teman gadis itu? Sikapnya aneh, keras dan sepertinya 
sedang memendam marah. Sebaiknya ku tinggalkan 
saja gadis itu untuk memberitahukan pada Lili-ku, 
agar ia jangan keluar dari rumah sebelum masalah ini 
selesai!"
***
Pada mulanya, Lili tak bisa menerima saran 
tersebut. Ia tetap ngotot berkata, "Aku harus datang! 
Aku akan lihat siapa orang yang gunakan ilmu 
'Perawan Siluman' itu?! Aku ingin bantai dia di depan 
mereka, supaya mereka tahu yang mana Pendekar Ra-
jawali Putih sebenarnya! Aku tak bisa menerima saran
mu!"
"Guru Li, serahkan persoalan ini padaku. Aku 
akan selesaikan setuntas mungkin. Kalau Guru Li da-
tang ke Bukit Batulima, maka keadaan sedikit sulit ku
atasi. Percayalah, Guru jangan hadir dan aku yang 
akan selesaikan dengan rencana yang sudah ku su-
sun. Aliran Rajawali harus bersih kembali dari keca-
man setiap orang.
Tolong, untuk sekali ini kau menurut padaku, 
Guru Li yang cantik."
"Hhhaah....!" Lili cemberut dan segera me-
munggungi Yoga. Dalam hati Yoga hanya berkata,
"Nan, inilah watak asli kekasihku! Tak pernah 
mau mundur dari pertarungan. Jika harus mundur, 
harus melalui bujukan yang amat sulit! Pasti dia kecewa. Tapi biarlah dia pertimbangkan dulu saran dan 
usulan ku tadi...!"
Selama tiga hari berturut-turut, burung beo itu 
terbang ke mana-mana sambil serukan tantangan ke-
pada Lili. Pendekar Rajawali Putih yang asli mendengar 
suara tantangan itu, hatinya bergolak dan menjadi tak 
pernah tenteram. Tetapi Yoga selalu wanti-wanti untuk 
tidak lakukan tindakan apa pun. Yoga mencoba meya-
kinkan diri bahwa ia pasti mampu selesaikan masalah 
tersebut sampai tuntas.
"Terserah kau sajalah! Aku bosan mendengar 
nasihatmu!" Lili asli merajuk dengan wajah cemberut 
yang makin cantik menurut Yoga.
Maka ketika hari pertarungan tiba, Yoga pun 
segera pergi tinggalkan pondokannya sendirian. Ia tu-
gaskan Tua Usil dan Bocah Bodoh untuk menjaga Lili 
dan berusaha menghalangi Lili jika Lili bermaksud ke 
Bukit Batulima.
"Alihkan pikirannya dengan polah kalian yang 
lucu, biar Lili tidak berpikiran ke pertarungan terus," 
pesan Yoga kepada Tua Usil dan Bocah Bodoh.
Dugaan Yoga memang benar, di bukit tersebut 
telah berkumpul banyak orang selain Lintang Ayu sen-
diri, Lenggani juga hadir, Anggita, Iblis Mata Genit, 
pengemis Paku Juling, dan beberapa orang lainnya 
yang tak sempat dikenali oleh Yoga. Bahkan nenek 
berjubah merah yang mengenakan giwang batu ungu 
itu pun juga hadir di sela-sela orang banyak, seper-
tinya bersembunyi di balik mereka.
Pendekar Rajawali Merah tidak datang sendi-
rian. Sebenarnya ia cukup lama menunggu di kaki bu-
kit. Dari pagi hingga mencapai hampir tengah hari, ba-
rulah ia bertemu dengan Lili palsu. Itu pun karena ke-
tajaman firasatnya yang mengatakan, ada seseorang

bersembunyi di balik rumpun bambu seberang sana. 
Ketika Yoga menghampirinya, ternyata Lili palsu ada di 
sana.
"Kau sudah siap?" tanya Yoga.
"Siap! Kau ingat rencanamu sendiri, bukan?"
"Ya. Aku akan ambil posisi berlawanan arah 
denganmu, di belakang Lintang Ayu. Akan kugunakan 
pukulan tanpa sinar supaya tak ada orang yang tahu. 
Kau perhatikan saja dia, apabila tubuhnya limbung 
secara tiba-tiba, itulah saatnya kau menghantamnya!"
"Baik. Rasa-rasanya aku tak pernah punya rasa 
takut sedikit pun jika bersamamu, Yo!"
Yoga hanya sunggingkan senyum menawan, 
walau hatinya simpan sejuta kedongkolan dan kema-
rahan. Maka, mereka pun segera mendaki bukit terse-
but yang tak seberapa tinggi. Mereka muncul di antara 
orang-orang yang sudah membentuk lingkaran dengan 
sendirinya.
Suara kecaman dan kemarahan mereka saling 
sahut-sahutan. Semua tertuju kepada Lili palsu. Ada 
yang hendak menyerangnya secara tiba-tiba, tapi se-
rangan itu segera dipatahkan oleh Yoga. Lili palsu me-
rasa benar-benar dalam perlindungan Yoga.
"Diam semua!" bentak Lintang Ayu dengan sua-
ra yang menggelegar. Semuanya pun diam tak berucap 
kata, Lintang Ayu berseru lagi,
"Ini acara ku, kalian hanya berhak menonton,
atau menggantikan aku jika aku mati di tangan gadis 
busuk itu!"
Tapi seorang perempuan berambut panjang te-
rurai dan berwajah buruk segera mendekati Lili palsu. 
Perempuan itu mempunyai Wajah seperti habis dis-
iram air panas, mengenakan pakaian serba hitam. Pe-
rempuan itu berkata dengan suara serak,

"Kalau kau berhasil tumbangkan Lintang Ayu, 
aku si Iblis Hitam, akan menggantikannya! Kau akan 
berhadapan denganku, Busuk!"
Suara serak yang ingin menggerakkan tangan-
nya untuk memukul Lili palsu itu segera dicegah Yoga. 
Sambil menuding Iblis Hitam, Yoga mengeluarkan kata 
ancaman,
"Kau berhadapan denganku jika sekarang kau 
memukul dia!"
Iblis Hitam mendengus, lalu undurkan diri. Yo-
ga pun segera hantarkan Lili palsu ke tengah arena 
pertarungan. Ia segera dekati Lintang Ayu dalam jarak 
hanya satu langkah di depan perempuan itu. Wajah-
nya memancarkan permusuhan. Kedua tangannya 
menggenggam kuat. Giginya pun tampak menggeletuk, 
lalu suara nya yang menggeram itu berkata dalam na-
da bisik yang hanya didengar oleh Lintang Ayu,
"Hancurkan dia! Jangan sampai kau gagal!" 
Lintang Ayu segera tanggap, bahwa ternyata Pendekar 
Rajawali Merah itu ada di pihaknya. Tapi Lintang Ayu 
tidak beri jawaban apa pun, seakan tidak pedulikan 
ucapan tersebut. Maka, Yoga pun segera bergerak ke 
arah belakang Lintang Ayu, membuat Lili palsu merasa 
bahwa Yoga datang dekati Lintang Ayu hanya sebagai 
alasan untuk mengambil tempat di belakang lawannya.
"Pertarungan ini untuk menebus kebejatan 
tingkah lakumu, Pendekar Rajawali Putih! Jangan me-
nyesal kalau kau mati di tanganku!" kata Lintang Ayu.
"Kau yang akan menyesal karena sebentar lagi 
tidak akan bernyawa lagi!"
Sreet...! Lintang Ayu cabut pedang emasnya. 
Pada saat itu, Lili palsu segera menyerangnya dengan 
satu lompatan salto yang mengarah ke kepala Lintang 
Ayu. Wyuut...! Wwwees...! Lintang Ayu tebaskan pedang ke kaki Lili palsu, tapi tebasan itu bisa dihinda-
rinya.
Pertarungan terjadi dengan sengitnya. Iblis Ma-
ta Genit memperhatikan jurus-jurus yang dipakai Lili 
palsu. Ia mempelajari jurus-jurus itu mencari kelema-
han, karena punya niat menyerangnya jika pertarun-
gan itu telah usai.
Lili palsu menunggu rencana Yoga, tetapi Yoga 
tampak tenang-tenang saja. Akibat sebentar-sebentar 
mencuri pandang ke arah Yoga, pikirannya jadi kacau, 
perhatiannya tidak terarah sepenuhnya pada lawan, 
sehingga dalam satu gebrakan tertentu, Lintang Ayu 
berhasil tebaskan pedangnya dengan kecepatan tinggi. 
Zlaaap...! Craas! Pedang itu merobek perut. Lalu, 
jruub-! Pedang emas itu menembus masuk di dada Lili 
palsu."
Gemuruh suara para penonton bertepuk tan-
gan dengan. wajah-wajah ceria. Mereka bersorak me-
muji kehebatan jurus pedang Lintang Ayu, sekaligus 
menyatakan kegirangannya atas kematian Lili palsu 
itu.
Tetapi pada saat berikutnya, semua menjadi 
bungkam, terdiam, dan tercekam. Lili palsu yang ter-
kapar berlumuran darah itu menghembuskan napas 
terakhir. Tapi pada saat itu wajahnya berubah perla-
han-lahan. Wajah itu membentuk kecantikan memucat 
yang jauh berbeda dengan wajah Lili.
Semua orang, termasuk Yoga sendiri, meman-
dang tak berkedip dengan mulut terpengang melom-
pong. Lalu, tak sadar Yoga terucap kata,
"Gadis Linglung...?!"
Yang lainnya ikut berucap kata yang sama. Ga-
dis Linglung-lah ternyata orang yang gunakan ilmu 
'Perawan Siluman' dan bikin geger dunia persilatan.

Tujuannya hanya ingin memisahkan Lili dari Yoga, dan 
Lili akan dimusuhi banyak orang, sehingga ia tak perlu 
susah-susah memusnahkan kekasih Yoga itu. Ternya-
ta, Gadis Linglung justru terjebak dengan rayuan Pen-
dekar Rajawali Merah itu, kedoknya terbongkar di per-
tarungan, di depan sekian banyak orang yang pernah 
dikecewakan oleh tingkah lakunya selama empat pu-
luh lima hari lebih itu.
"Ternyata dia Gadis Linglung, muridnya Nyai 
Mantera Dewi!" seru seseorang.
Nenek berjubah merah darah dan bergiwang 
batu ungu itu segera tampil di tengah arena dan berse-
ru, "Saudara-saudara... memang benar, dia adalah 
muridku!"
"O, rupanya dia Nyai Mantera Dewi?" pikir Yo-
ga.
"Tetapi ketahuilah, semua ini di luar rencana-
ku. Dia mencuri kitab pusakaku, yaitu kitab berisi il-
mu 'Perawan Siluman'. Semula kusangka muridku 
yang lain yang mencurinya, tapi ternyata dialah pencu-
rinya. Ku coba untuk mengingatkan dia, tapi dia bersi-
keras untuk merebut Yoga dari tangan Lili. Sejujurnya 
kukatakan, aku sangat berterima kasih kepada Lin-
tang Ayu, yang telah memadamkan perkara ini dengan 
pertarungan yang sungguh bijaksana! Dan ku mohon-
kan beribu maaf kepada kalian semua yang dirugikan 
dan dikecewakan oleh muridku ini. Kuharap, kematian 
penebus dosa ini, tidak memperuncing hubungan ka-
lian dengan Perguruan Camar Sakti!"
Setelah Nyai Mantera Dewi selesai bicara, kini 
tiba giliran Yoga yang berkata, "Saudara-saudara ter-
cinta, dengan terbukanya kedok ilmu 'Perawan Silu-
man', ku mohon kalian tidak menaruh dendam lagi 
kepadaku, maupun kepada Pendekar Rajawali Putih.

Luruskan anggapan kalian, bahwa aliran Rajawali se-
benarnya adalah aliran putih yang tidak menyukai tin-
dakan-tindakan keji dan tak senonoh seperti yang te-
lah dilakukan oleh Lili palsu ini..."
Tiba-tiba gadis berwajah buruk yang berjuluk 
Iblis Hitam itu juga tampil di tengah arena, ia berdiri di 
samping Yoga dan berkata,
"Jangan lagi timbulkan permusuhan denganku, 
karena aku tidak ingin bermusuhan dengan kalian!"
"Siapa kau?" tanya Yoga dengan heran.
Iblis Hitam segera menarik kulit di bawah le-
hernya, mengelupasnya sampai seluruh wajah. Dan 
orang-orang, termasuk Yoga, menjadi tercengang. Ka-
rena Iblis Hitam itu ternyata adalah Lili yang asli. Ia 
mengenakan topeng buatan Tua Usil yang belum bisa 
sempurna tapi harus sudah pakai, sehingga wajah to-
peng itu menjadi buruk.
Melihat wajah cantik di balik topeng buruk itu, 
semua orang menjadi terperangah dalam senyum ke-
kaguman. Mereka tak punya sikap bermusuhan den-
gan Lili, karena mereka tahu yang mana Lili sebenar-
nya.
Tetapi, Iblis Mata Genit segera menyerang Pen-
dekar Rajawali Putih setelah ia berseru,
"Sekaranglah saatnya untuk membalaskan sa-
kit hati adikku, si Wali Kubur, yang sekarang sudah 
gantung diri karena kehilangan ilmunya! Heaaah...!"
Melihat Iblis Mata Genit melompat dan tak bisa 
dibendung lagi, dengan cepat Lili lepaskan sinar putih 
keperakan dari kedua tangannya. Zraaap...! Sinar pu-
tih keperakan itulah yang dinamakan jurus 'Sirna Ja-
ti'. Dan orang sesat bernama Iblis Mata Genit itu pun 
jatuh tersungkur, seluruh ilmunya menjadi hilang. 
Bahkan wajah dan tubuhnya berubah menjadi tua renta. Iblis Mata Genit menangis karena merasa senasib 
dengan adiknya.
Rupanya banyak orang tak suka kepada Iblis 
Mata Genit. Mereka menertawakan tangis perempuan 
tua renta itu, dan merasa bersyukur bahwa orang se-
sat itu sekarang telah dilumpuhkan oleh Lili; si Pende-
kar Rajawali Putih itu.
Kini, perkara tersebut telah selesai secara tun-
tas. Walaupun banyak orang yang menaruh kekagu-
man dan pujian terhadap sepasang pendekar aliran 
Rajawali itu, namun di dalam hati Lintang Ayu masih 
terucap kata hati yang amat lirih,
"Aku tak tahan menghadapi getaran hatiku jika 
melihat Yoga. Haruskah aku menyingkirkan Pendekar 
Rajawali Putih itu?"
Sementara itu Yoga dan Lili telah melangkah 
dalam damai sambil bergandengan tangan. Hal itu 
membuat banyak hati para gadis merasa iri dan ingin 
merasakan keindahan seperti itu.


                             SELESAI


Segera terbit!!!

Pusaka Hantu Jagal

Share:

0 comments:

Posting Komentar