..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 16 Maret 2025

RORO CENTIL EPISODE TIGA SILUMAN BUKIT HANTU

matjenuh khairil

 

1

JARAN PERKOSO adalah nama Ketua dari Pe-
rusahaan Pengantar dan pengawal barang, yang ba-
nyak mempunyai cabang di beberapa tempat.
Laki-laki berusia sekitar 50 tahun itu sudah 
lama menduda sejak kematian istrinya delapan tahun 
yang lalu. Dan cuma hidup berdua dengan anak ga-
disnya yang berusia 18 tahun bernama Sri Kemuning. 
namun segera dikenal dengan julukan PIPIT LURIK, 
karena kesukaannya memang mengenakan pakaian 
bercorak garis-garis atau lurik. Hingga terkenal dengan 
julukan si Pipit Lurik. Dalam merintis usahanya itu, 
Jaran Perkoso dibantu oleh dua orang saudara seper-
guruannya bernama Gantar Sewu dan Jaka Keling. 
Mereka memang murid-murid kakek sakti dari puncak 
Gunung Muria, yang bergelar Resi Paksi Sakti Jala-
tunda.
Namun sejak sepuluh tahun belakangan ini ka-
kek sakti yang bersemayam di puncak Gunung Muria 
itu, sudah tak ketahuan lagi bagaimana kabarnya. Ka-
rena pernah pada beberapa bulan belakangan ini Ja-
ran Perkoso dan kedua saudara seperguruannnya me-
nyambangi, namun sang guru yang disebut Eyang Ja-
latunda itu sudah tak lagi berdiam dipondoknya lagi. 
Tak seorangpun' mengetahui kemana lenyapnya.
Perusahaan Pengangkut dan Pengawalan ba-
rang yang dipimpin oleh Jaran Perkoso itu diberi nama 
BENTENG MACAN GUNUNG, yang markasnya terletak 
di sekitar daerah UNGARAN. Pada masa itu memang 
nama Perusahaan Ekspedisi Benteng Macan Gunung 
sedang terkenal. Karena disamping mempunyai alat 
pengangkutan yang kuat, yaitu kereta-kereta barang 
dengan kuda-kuda yang kekar, juga dikawal oleh

orang-orang yang tangguh dan berkepandaian tinggi. 
Apalagi nama TIGA MACAN GUNUNG MURIA sudah 
terkenal dengan ketinggian ilmunya. Hingga perampok-
perampok dan pembegal akan segan mengganggu ba-
rang-barang kawalan mereka.
Namun segala sesuatu di dunia ini memang su-
sah diduga. Dan kelanggengan selalu bersifat sementa-
ra. Demikian juga dengan keadaan Perusahaan dan 
Pengawalan barang Benteng Macan Gunung. Sejak 
berdirinya delapan tahun yang lalu, sudah banyak 
menjatuhkan beberapa saingan dalam usaha jenis itu. 
Walaupun sebenarnya langganan bebas memakai jasa 
siapa saja tanpa paksaan, namun kenyataannya para 
Pedagang atau pengusaha pertanian maupun perke-
bunan, atau para saudagar dan bangsawan lebih cen-
derung memakai jasa Benteng Macan Gunung yang 
sudah tersohor akan keamanannya. Karena mereka ti-
dak Usah khawatir merasa was-was lagi akan teran-
camnya barang mereka dari gangguan begal atau pe-
rampok serta gangguan lainnya.
Sehingga sudah sejak lama menimbulkan rasa 
iri hati atas kewibawaan Benteng Macan Gunung. Dan 
menimbulkan perbagai dendam terselubung pada si 
Tiga Macan Gunung Muria yang tengah berjaya.
Sebuah gedung besar dan megah dibangun di
ujung kota Ungaran. Disekeliling gedung adalah berdiri 
puluhan barak-barak tempat kereta, serta beberapa is-
tal kuda. Pada bagian belakang gedung megah itu ada-
lah barak-barak dari para pengawal yang keadaannya 
bersih dan teratur. Mereka amat senang tinggal di
tempat itu, karena sang Ketua atau majikan mereka 
amat memperhatikan akan kesejahteraan mereka, balk 
makan dan pakaian. serta gaji yang sesuai.
Sebagai puteri satu-satunya, Pipit Lurik amat 
manja pada ayahnya. Wajahnya yang cantik dengan

sepasang mata jeli berbulu mata lentik, juga raut wa-
jah berbentuk daun sirih dengan dagu kecil, hidung 
yang mancung serta berbibir tipis itu mengingatkan 
pada wajah mendiang istrinya yang telah tiada.
Jaran Perkoso amat menyayangi puterinya ini. 
Namun bukan dengan dimanjakan dengan diumbar 
segala kemauannya, akan tetapi diam-diam sejak be-
rusia 10 tahun, Pipit Lurik alias Sri Kemuning telah 
diwarisi ilmu kepandaiannya. Gadis yang baru berusia 
genap delapan belas tahun ini walau kelihatannya le-
mah, namun telah terisi dengan kekuatan dalam yang 
tak kelihatan.
Disamping mewarisi lebih dari separuh ilmu 
pedangnya, juga Pipit Lurik sudah menguasai berbagai 
ilmu lainnya. Seperti ilmu tenaga dalam, dan tangan 
kosong. Sejak kecil memang Pipit Lurik telah diajari 
cara menunggang kuda, hingga tampak gadis itu 
mempunyai kelincahan yang mengagumkan dalam 
menunggang kuda, walaupun semua itu dilakukan di
dalam markas yang dipagari dengan tembok tebal.
Terkadang ada rasa sunyi di hati Jaran Perkoso 
sejak ditinggal sang istri ke alam baka. namun men-
gingat akan kekhawatirannya pada sang anak, bila 
mempunyai seorang ibunya yang telah tiada, Jaran 
Perkoso tak sampai hati untuk mengambil istri lagi. 
Khawatir kalau sang istri kelak tak menyayangi Pipit 
Lurik. Dan akan berakibat tidak baik bagi keadaan da-
lam rumah tangganya.
Demikianlah, hingga sampai sejauh itu Jaran 
Perkoso selalu memendam perasaannya. Laki-laki ini 
sering terlihat termangu-mangu menatap keluar jende-
la, memperhatikan barak-barak di sekeliling gedung. 
Sembilan belas kereta barang dibarak itu cuma bersisa 
sebelas kereta. Dan dua puluh ekor kuda dibarak sana 
cuma tinggal beberapa ekor lagi, karena hal itu Gantar

Sewu dan Jaka Keling tengah pergi mengantar barang 
kawalan kedua tempat. Pesanan mengantar barang da-
ri seorang bangsawan tua di sebelah Utara kota Unga-
ran, yang dikawal oleh Gantar Sewu, dan pesanan satu 
lagi adalah atas pesanan dari Adipati Banyu Biru, yang 
dikawal oleh Jaka Keling dengan membawa belasan 
anak buahnya.
Tampak laki-laki tua ini menghela napas, se-
raya hempaskan tubuhnya ke kursi di belakang me-
janya. Terkadang di hati Jaran Perkoso ada rasa bang-
ga mempunyai saudara seperguruan yang bekerja ra-
jin, patuh dan jujur.
Akan tetapi juga terasa begitu sepinya kalau 
sudah keadaan dimarkas Benteng Macan Gunung 
menjadi sunyi.
Ada tersirat dihatinya untuk meninggalkan pe-
kerjaannya. Entah mengapa dorongan itu begitu kuat. 
Jaran Perkoso merasa usianya sudah semakin menua. 
Dan sudah pantas rasanya dia mengundurkan diri ke 
tempat sunyi.
Ah, seandainya Pipit Lurik telah bersuami, dan 
mempunyai kesenangan... rasanya aku akan leluasa 
menyendiri di puncak Muria Disana tampaknya amat 
tenang dan tenteram! Sayang Eyang guru telah tak be-
rada di tempat itu, namun biarlah! Aku toh dapat me-
rasakan ketentraman walau hidup menyendiri, sambil 
mengenang almarhum Sri Lestari.... . ! Mungkin den-
gan berdiam disana aku dapat menentramkan pera-
saanku! Demikian pikir Jaran Perkoso.
Memikir demikian tiba-tiba wajah laki-laki ini 
menampilkan kecerahan. Bibirnya menampakkan se-
nyuman. "Ah, mengapa tak kubujuk anakku agar me-
nerima lamaran si Bangsawan Tua itu? Dia mengajak-
ku berbesan! Dan aku sudah lihat sendiri anak laki-
lakinya cukup tampan! Perangainya kukira baik...! Ya,

cukup sepadan bila bersanding dengan Pipit Lurik. 
Pemuda itu bernama PITRA SENA! Hm, nama yang cu-
kup gagah buat anak seorang Bangsawan!" Menggu-
mam lirih Jaran Perkoso.
"Ah, seandainya Pipit Lurik tak menolak, aku 
setuju berbesan dengan Raden Mas ANJASMORO 
itu...!" Desisnya agak keras sambil gerakkan lengannya 
memukul meja di luar sadar.
Terdengar suara langkah kaki mendekati, dan 
seorang gadis cantik berwajah bulat sirih sudah mun-
cul di belakang Jaran Perkoso. Gadis ini adalah Sri 
Kemuning alias Pipit Lurik. Tampak sepasang alis ga-
dis remaja ini bergerak hampir menyatu. Sepasang ma-
tanya yang tajam menatap pada ayahnya. "Ada apa-
kah, ayah? Tak biasanya ayah memukul meja..." Tanya 
Pipit Lurik seraya menggelendot di punggung sang 
ayah.
Terkejut Jaran Perkoso, tapi segera merubah 
wajahnya menjadi senyum yang amat cerah. "Ah, 
anakku...! Aku lupa akan satu jurus ilmu pukulan 
yang belum ku turunkan padamu, hingga tanpa sadar 
aku memukul meja dengan keras!" Ujar Jaran Perkoso 
yang belum mau berterus terang di hadapan anak ga-
disnya.
Akan tetapi wajah gadis itu tak menampakkan 
perubahan cerah seperti biasanya. Bahkan mele-
paskan lengannya, seraya beranjak beberapa langkah 
ke arah pintu. Dan menatap keluar dimana terdapat 
kebun bunga pada halaman gedung.
"Untuk apakah ilmu pukulan itu kupelajari, 
ayah? Rasanya aku tak memerlukan segala macam il-
mu silat! Karena bukankah kau menginginkan aku 
menikah dengan anak Bangsawan Tua itu...?" Berkata 
Pipit Lurik tanpa palingkan wajahnya. Tentu saja kata-
kata itu membuat Jaran Perkoso jadi tersentak kaget,

karena tak menyangka kalau kata-katanya di luar sa-
dar tadi telah terdengar oleh sang anak.
"Anakku...! kau mendengar gumam ku tadi?.. . 
ahk, aku... aku cuma..."
"Ayah! Mengapa kau begitu tergesa memikirkan 
diriku...? Aku masih ingin hidup bebas, tak mau teri-
kat dulu dengan perkawinan!" Berkata Pipit Lurik, 
dengan suara tiba-tiba berubah jadi parau. Dan segera 
tampak air mukanya menjadi memerah. Sepasang ma-
tanya sudah berkaca-kaca tergenang air mata yang 
mendadak menyembul keluar.
Tergesa-gesa Jaran Perkoso menghampiri, dan 
cekal perlahan pundak anak gadisnya. Namun laki-laki 
inipun bingung akan berkata apa pada anak gadisnya, 
karena sekonyong-konyong bibirnya terasa seperti ter-
kunci, tak tahu apa yang harus diucapkannya.
"Sudahlah, anakku...! kalau kau tak menghen-
daki, aku tak dapat memaksa...!" Akhirnya Jaran Per-
koso membujuk dengan kata-kata lembut, seraya 
membelai rambut sang anak. Hatinya pun menjadi lu-
luh kembali. Betapapun dia amat menyayangi puteri 
satunya ini, dan tak ada berniat melukai hatinya..
"Ayah.....!" Teriak Pipit Lurik seraya balikkan 
tubuhnya dan memeluk sang ayah dengan terisak-
isak. Jaran Perkoso mengusap-usap punggung anak 
gadisnya. Sekonyong-konyong hatinya jadi trenyuh, 
dan di luar sadar laki-laki inipun menitikkan air mata.
—0OOO0—
Sejak itu Jaran Perkoso tak pernah lagi me-
nyinggung-nyinggung soal perjodohan yang diha-
rapkan akan membuka jalan melaksanakan niatnya.
Bahkan Jaran Perkoso tak mengharapkan sedi-
kitpun untuk berbesan dengan Bangsawan Tua langganannya itu. Namun sejak itu Pipit Lurik nampak ser-
ing menyendiri dalam kamar. Tak menampakkan ke-
lincahannya lagi, atau kemanjaannya di hadapan sang 
ayah. Gadis itu selalu menunduk tanpa berani me-
mandang padanya jika berhadapan. Dan jarang sekali 
Pipit Lurik berbicara kalau tak ditanya.
Jaran Perkoso merasa amat menyesal dengan 
kejadian lalu itu, karena tanpa diduga membuat dia 
dan anak gadisnya jadi kurang akrab seperti biasanya.
Makin sepilah hatinya, dan semakin sering Ja-
ran Perkoso merenung bila telah selesai pekerjaannya. 
Hingga terbitlah keinginannya membuat keakraban la-
gi pada sang anak gadis. Yaitu dengan mengajaknya 
pergi keluar.
Hari itu cuma Gantar Sewu yang pergi mengan-
tar dan mengawal barang. Jaka Keling berada dimar-
kas. Tampak laki-laki berusia 30 tahun itu tengah 
membantu para anak buahnya membetulkan kereta-
kereta yang rusak. Dan mengganti roda-rodanya den-
gan yang baru. Ketika Jaran Perkoso menghampiri, 
adik seperguruannya ini cepat-cepat menjura.
"Adik Jaka Keling...! Apakah kau tidak pergi 
kemana-mana hari ini... ?" Tanya Jaran Perkoso sambil 
menggendong tangan di belakang punggung.
"Ada apakah, kakang? tak ada niatku untuk ke-
luar! Aku perlu memperbaiki kereta, bukankah dua 
hari lagi akan mengantar barang ke Rawa Pening...!" 
Ujar Jaka Keling sambil menepuk-nepukkan kedua 
lengannya yang berdebu. Jaran Perkoso manggut-
manggut, dan tersenyum.
"Ah, sukurlah...! kau amat rajin bekerja! Jan-
gan terlalu berlebihan, adikku! Beristirahatlah kalau 
memang kau memerlukan istirahat! Pekerjaan itu bisa 
dikerjakan Singo Bronto atau yang lainnya! Aku ingin 
mengajak Pipit Lurik pergi keluar menghirup udara pegunungan! Kau berjagalah dimarkas! Kalau ada pesa-
nan mengantar barang, suruh sore nanti kembali lagi! 
Mungkin aku baru kembali menjelang sore...!" Berkata 
Jaran Perkoso.
"Baiklah, kakang...!" Menyahut Jaka Keling 
dengan menunduk menatap jemari kakinya. Jaran 
Perkoso menepuk-nepuk bahu pemuda itu yang pantas 
menjadi muridnya. "Baik-baiklah sepeninggal ku, men-
jaga markas..!" Ujarnya pula. Jaka Keling mengang-
guk- angguk sambil tersenyum.
"Tentu, kakang...!" Sahutnya, seraya kembali 
berjongkok meneruskan kembali pekerjaannya. Jaran 
Perkoso putarkan tubuh, kembali melangkah menuju 
gedung. Sementara Jaka Keling menatapnya sampai 
laki-laki kakak seperguruannya itu lenyap dibalik pin-
tu depan halaman gedung megah itu.
Dataran tinggi Limbangan memang merupakan 
tempat pemandangan yang indah. Dari atas perbuki-
tan itu terlihat dikejauhan puncak Gunung Merbabu 
yang menjulang dikelilingi awan putih. Pada puncak-
nya mengepulkan asap putih tipis. Namun gunung itu 
memang amat jauh dari Limbangan dan hanya tampak 
samar-samar saja kebiru-biruan. Angin pegunungan 
yang membersit di atas perbukitan itu membuat hawa 
sejuk nyaman.
Sementara di kejauhan tampak dua ekor kuda 
tengah mendaki bukit. Suara ringkiknya sesekali ter-
dengar menyibak keheningan. Tak lama kedua kuda 
sudah berada di atas perbukitan menghijau itu.
Kedua penunggangnya adalah seorang laki-laki 
tua berusia lima-puluhan tahun. Sedang seorang lagi 
adalah seorang gadis remaja yang cantik berbaju lurik. 
Siapa lagi kalau bukan Pipit Lurik dan ayahnya, yaitu 
Jaran Perkoso yang memang mengajak puterinya un-
tuk bergembira.

Tampaknya sang gadis ini memulai pulih lagi 
kelincahannya. Dia merasa berada di alam yang bebas. 
Terlihat wajahnya menampilkan senyum tiada hen-
tinya. Terkadang tertawa lepas kalau sang ayah bergu-
rau kata.
Ah, sungguh akan membuat orang yang melihat 
keakraban ayah dan anak itu akan menjadi mengiri. 
Tiada orang menduga kalau dibalik kegembiraan laki-
laki bernama Jaran Perkoso itu justru tersimpan pera-
saan sedih. Karena keadaan itu mengingatkan pada 
masa isterinya masih hidup. Dimana mereka berdua 
sering berdua-dua bersenda gurau di kala berbulan 
madu.
Namun semua itu cuma tinggal kenangan. Ke-
nangan yang sudah lewat belasan tahun yang silam.
Air-mata laki-laki ini menitik tanpa disadari. 
Akan tetapi telah disembunyikan dengan gelak tawa. 
Pipit Lurik tersenyum memandang ayahnya yang mela-
rikan kudanya di atas bukit berputar-putar.
"Ayah...! oh, lihatlah! Di bawah ada sungai...! 
Tentu airnya jernih sekali!" Teriak Pipit Lurik sambil 
menunjuk ke bawah bukit dimana dikejauhan tampak 
air sungai yang berkelok-kelok bagaikan ular, terha-
lang pohon dan perbukitan yang menonjol. "Itulah kali 
Wringin, anakku...!" Ujar Jaran Perkoso seraya meng-
hampiri sang gadis. "Oh, indahnya...! aku amat betah 
berdiam disini, ayah...!" Berkata Pipit Lurik. Dan Jaran 
Perkoso cuma tertawa gelak-gelak.
Sementara benak laki-laki ini sudah dipenuhi 
lagi dengan bermacam-macam keinginan yang akan 
membuat kegembiraan sang anak. Apakah lebih baik 
aku mengantarkan si Pipit Lurik ini ke Gunung RA-
TAWU...? Disana ada berdiam sahabat Eyang Guru! 
Tampaknya anakku lebih menyenangi keadaan yang
bebas seperti ini...! Memikir demikian Jaran Perkoso

gerakkan kakinya melompat turun dari punggung ku-
da.
"Anakku duduklah disini, di dekatku...!" Berka-
ta Jaran Perkoso. Pipit Lurik menoleh, dilihatnya sang 
ayah sudah duduk di atas batu. Segera dia melompat 
turun dari kudanya, dan menghampiri kesana. Semen-
tara kudanya dibiarkan makan rumput yang banyak 
tumbuh lebat di sekitar perbukitan itu.
Jaran Perkoso tatap wajah anak gadisnya lekat-
lekat. Pipit Lurik menunduk memandang ke bawah. 
Gadis ini merasa ada satu keanehan yang terlihat di
wajah sang ayah. Ada hal apakah gerangan yang akan 
dibicarakan padaku...? Pikir gadis ini. Selang tak lama 
terdengar Jaran Perkoso menghela napas, dan mulai 
berkata.
"Anakku...! Benarkah kau senang tinggal di
tempat yang bebas seperti ini?" Tanya Jaran Perkoso 
membuka percakapan..
Pipit Lurik angkat wajahnya. Kini ganti dia yang 
menatap pada sang ayah dengan wajah menampilkan 
keheranan, tapi bibirnya sudah keluarkan kata-kata li-
rih.
"Benar, ayah! Aku bosan hidup terkungkung di 
dalam markas! Semua yang kulihat adalah itu, dan itu 
lagi...! Aku amat mengiri pada burung-burung yang 
bebas lepas di udara itu!"
"Oh, anakku...! mengapa tak kau katakan sejak 
dulu-dulu! Ayahmu tentu akan mengabulkan keingi-
nanmu! Kau adalah cahaya mataku, anakku! Sejak 
kematian Ibumu delapan tahun yang lalu aku tak ber-
hasrat untuk menikah lagi! Semua itu karena semata-
mata aku menyayangi mu! Karena aku tak sampai hati 
kalau kedatangan seorang ibu pengganti ibumu yang 
telah tiada justru akan membuatmu jauh dariku!" Ujar 
Jaran Perkoso. Mendadak suaranya jadi agak parau.

Ternyata laki-laki ini kembali mengingat akan almar-
hum istrinya.
Pipit Lurik tercenung beberapa saat. Kini dia 
mulai mengetahui kalau sang ayah amat menyayan-
ginya.
"Ayah! aku takkan menghalangi kalau kau mau 
menikah dengan siapa saja! Mengapa harus mengkha-
watirkan diriku? aku amat senang dan berbahagia ka-
lau melihat ayahpun berbahagia...!" Ujar Pipit Lurik 
dengan mata berkaca-kaca.
"Mungkin sudah nasib, dan takdir diriku, di-
tinggal ibu...! Aih memang amat menyenangkan sean-
dainya ibu masih hidup...!" Lanjut Pipit Lurik, seraya 
menatapkan pandangan jauh ke bawah bukit.
"Tidak, anakku... Aku amat mencintai ibumu! 
Biarlah aku menduda selamanya sampai akhir hayat! 
Aku cukup bahagia bila kau mempunyai kegembiraan 
dalam hidup! Biarlah, yang sudah tiada tak usah dike-
nang lagi! Ibumu sudah rela dipanggil Yang Kuasa...!" 
Berkata demikian, tampak wajah Jaran Perkoso beru-
bah muram. Akan tetapi dia sudah segera dapat me-
nahan kesedihannya.
"Anakku...! aku ada mempunyai kenalan seo-
rang sakti di Puncak Gunung Ratawu! Beliau bergelar 
BIKHU SOKALIMA! Seorang Pendekar Wanita yang su-
dah lanjut usia!"
"Seorang Pendekar Wanita....?" Tanya Pipit Lu-
rik dengan suara agak tersentak.
"Ya...! Dahulu di kala mudanya adalah tokoh 
Persilatan yang amat dikagumi di Rimba Hijau! sebagai 
seorang tokoh penegak keadilan yang berilmu tinggi!".
"Oh, betapa mengagumkan...!" Berkata Pipit Lu-
rik dengan suara kagum memuji. Perubahan-
perubahan wajah Pipit Lurik tampak jelas dimata Ja-
ran Perkoso. Dan sang ayah ini tersenyum. Besar harapannya Pipit Lurik dapat tinggal bersama wanita ko-
sen sahabat Eyang Jalatunda itu di Puncak Ratawu.
"Kau setuju, anakku...?" Tanya Jaran Perkoso 
dengan tatap tajam-tajam wajah puterinya. Pipit Lurik 
mengangguk seraya tersenyum. Sepasang matanya 
yang bening itupun menatap pada sang ayah dengan 
bibir setengah terbuka.
"Aku gembira sekali, ayah...! Oh, betapa aku 
amat berterima kasih padamu...!".
"Hahaha... bagus! kau memang anakku, yang 
cantik dan bengal!" Desah suara Jaran Perkoso seraya 
mencubit pipi dara manis itu. Tampak wajah Jaran 
Perkoso menampilkan kegembiraan. Bukankah habis 
sudah perkaranya? Dia dapat segera meninggalkan pe-
kerjaannya di Markas Benteng Macan Gunung untuk 
meneruskan niatnya menyepi dipuncak Gunung Mu-
ria.
Dan bukankah puncak Gunung Muria dengan 
Puncak Gunung Ratawu tak begitu berjauhan?. Sekali-
kali dia dapat mengunjungi Pipit Lurik dipuncak Rata-
wu.
Akan tetapi manusia bisa berencana, namun 
segalanya adalah di tangan nasib yang menentukan. 
Ketika tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda yang 
santar. Kedua ayah dan anak itu menoleh ke belakang. 
Seketika mereka jadi terperanjat karena tahu-tahu ke-
dua ekor kuda mereka tengah berkelojotan, melonjak-
lonjak disertai ringkikan-ringkikan yang mengenaskan. 
Keduanya sudah segera melompat ke dekat kuda mas-
ing-masing.
Terkejut Pipit Lurik ketika melihat darah me-
netes dari perut dan leher binatang itu. Sesaat Setelah 
meregang nyawa, kuda itupun diam tak bergerak lagi, 
dan telah melepaskan nyawanya.
Demikian juga yang dialami Jaran Perkoso, ku

da tunggangannya mati dengan luka-luka pada perut 
dan lehernya. Ketika memeriksa lukanya, kedapatan 
beberapa buah paku telah menancap di beberapa ba-
gian tubuh binatang itu. Jelas paku-paku yang men-
gandung racun. Pucatlah wajah Jaran Perkoso. Dia 
sudah bangkit berdiri untuk melihat ke beberapa pen-
juru disekeliling bukit itu.
"Keparat...! Siapakah yang telah melakukan 
perbuatan keji yang pengecut ini! Keluarlah...! Tam-
pakkan dirimu, binatang. . .!" Teriak Jaran Perkoso. 
Wajahnya seketika berubah merah padam bahkan gu-
sarnya.
Sekonyong-konyong dari lamping batu bukit, 
berlompatan tiga sosok tubuh baju hijau, diiringi suara 
tertawa mengikik seorang wanita.
"Hihihi... hihi... selamat berjumpa Ketua Ben-
teng Macan Gunung...! Hari ini Ketua utama dari tiga 
Macan Gunung Muria bertemu dengan Tiga Siluman 
Bukit Hantu! Hihihi... hihi... sungguh satu pertemuan 
yang jarang terjadi...!"
Terkesiap Jaran Perkoso ketika melihat kemun-
culan tiga manusia ini. Dua orang laki-laki berjubah 
hijau itu adalah yang mempunyai kedua tubuh seperti 
bumi dengan langit. Kalau yang satu adalah manusia 
pendek cebol dengan kepala botak. Adalah yang satu 
lagi seorang yang jangkung kurus mirip jerangkong 
dengan rambut gondrong yang sudah memutih. Pada 
lengannya masing-masing mencekal sebuah tongkat. 
Si jangkung memegang tongkat yang berkepala tengko-
rak. Pada bagian ujung kepala tengkoraknya menyem-
bul benda runcing mirip ujung tombak. Sedangkan si 
pendek memegang tongkat yang berkepala berbentuk 
tulang lengan, terbuat dari besi berwarna kuning den-
gan jari-jarinya yang terentang.
Si pendek mempunyai wajah yang berkulit kasar bermata sipit dengan hidung besar menggembung. 
Mulutnya lebar hampir membelah pipinya yang tem-
bam, dengan barisan giginya yang berderet besar- be-
sar. Dikeningnya terdapat benjolan sebesar telur ayam. 
Dialah yang bernama SETO BUNGKRIK. Berbeda den-
gan si jangkung yang berwajah lancip dengan kumis 
lebat yang menutupi seluruh bibirnya, bermata besar 
yang menonjol keluar, dengan hidung melengkung mi-
rip paruh burung Betet. Dia bernama WONG DUWUR.
Sedang yang satu lagi adalah seorang wanita 
setengah umur, namun masih tampak genit. Wajahnya 
masih cukup lumayan cantiknya, karena memakai be-
dak tebal serta gincu pemulas bibir yang merah me-
rangsang. Di dahinya menampak beberapa kerutan 
yang menampilkan usia tuanya. Wanita ini memakai 
baju hijau dengan belahan lebar di dada hingga me-
nampakkan hampir sebagian payudaranya yang su-
dah, kendur. Namun dapat diakui wanita ini masih 
memiliki tubuh yang cukup merangsang laki-laki hi-
dung belang. Pada lehernya tergantung sebuah kalung 
mirip mutiara sebesar-besar kelereng. Rambutnya 
memakai gelung kecil di sebelah atas, yang sisa ram-
butnya dibiarkan terjuntai. Di pinggangnya sebelah kiri 
terdapat sebuah kantong kulit, serta terselip di antara 
jemarinya adalah seruas bambu hitam yang panjang-
nya hampir sedepa. Pada bagian tengah bambu hitam 
terdapat beberapa lubang, seperti bentuk seruling.
Wanita inilah yang tadi melepaskan paku-paku 
beracunnya. Dialah yang bernama KEMANG SURI. Ke-
tiga orang ini adalah tiga orang Tokoh Hitam yang pada 
belasan tahun yang silam pernah membuat kegempa-
ran di Rimba Hijau dengan ulah perbuatannya. Ta-
dinya ketiga orang ini berpisah-pisah. Namun kini 
muncul dengan berbareng serta mempunyai gelaran 
baru, sejak beberapa tahun tak kedengaran kabarnya.

Tentu saja Jaran Perkoso mengenali wanita itu, 
karena wanita itu pernah mempunyai urusan asmara 
dengannya.
"Kemang Suri...!? Mau apa kau muncul disini 
menggangguku... ?" Tanya Jaran Perkoso dengan wa-
jah menampakkan terkejut dan marah.
"Hihihi.. Jaran Perkoso...! Aku dengar Istrimu 
sudah mampus, apakah tak ada niatan kau kawin la-
gi?" Berkata Kemang Suri tanpa acuhkan pertanyaan 
orang. Memerah wajah Jaran Perkoso. "Aku tak perlu 
saran dari kau kalau aku mau menikah, ataupun ti-
dak! Itu adalah urusanku! Kini jawab pertanyaanku, 
apa maumu dengan mengganggu ketenteramanku...! 
Dan kedua monyet hutan ini mengapa bisa bersatu 
denganmu?"
"Hihihi... jelak-jelek keduanya adalah "suami-
ku!" Tenaganya masih belum kalah dengan anak mu-
da! Dan ilmunya juga tinggi! Aku khawatir kalau mere-
ka marah, bisa menguliti kulit tubuhmu siang-siang, 
Jaran Perkoso! Hihihi..." Wanita itu kembali mengikik 
tertawa memperlihatkan barisan giginya yang masih 
rata namun sudah kehitam-hitaman. Wanita inilah 
yang tadi melepaskan paku-paku beracunnya yang di
simpan di kantong kulit.
Sementara Pipit Lurik sudah melompat ke sisi 
sang ayah, seraya keluarkan bentakan nyaring. "Bede-
bah! Rupanya kalian yang telah membunuh kuda kuda 
kami...?!". Ketiga manusia itu segera menatap pada Pi-
pit Lurik dengan sorot mata tajam.
"Heh heh heh.... anak gadismu memang cantik, 
sobat Macan Gunung Muria! Amat mirip sekali dengan 
ibunya. Sayang Sri Sulastri menolak cintaku, gara-gara 
munculnya kau yang jual lagak dihadapannya! Heh 
heh heh... walau kejadian itu sudah hampir dua puluh 
tahun tapi sakit hatiku masih tersimpan didadaku, Jaran Perkoso...! Akan tetapi akan kulupakan sakit hati 
itu, asalkan kau berikan anak gadismu padaku untuk 
pengganti ibunya...!" Berkata si Pendek Seto Bungkrik, 
sambil matanya memain mengerling genit pada sang 
gadis. Terasa mau meledak dada Jaran Perkoso men-
dengarkan ocehan si manusia pendek bertongkat kepa-
la Tengkorak itu.
"Keparat...! Siapa sudi bermantukan manusia 
setan macam kau?.
"Aku kau bilang manusia setan...? hehehe-
hehe... kaulah yang jadi setan penyebab kegagalanku 
menyunting Sri Lestari karena kau telah merebutnya! 
Memang kini aku sudah jadi setan, yang sebentar lagi 
akan menguliti kulit tubuhmu...!" Teriak si pendek gu-
sar.
"Huh, manusia iblis semacammu memang pan-
dai berputar lidah! Menyesal aku tak membunuhmu 
mampus waktu itu! Perbuatanmu yang telah membu-
nuh gurumu sendiri dan mau memperkosa anak ga-
disnya karena anak gadis sang guru itu telah menolak 
cintamu! Lalu kedatanganku yang menolong gadis itu, 
apakah kau anggap aku merebutnya? Hahaha... ma-
nusia edan semacammu dibandingkan dengan anjing, 
kukira masih lebih berharga seekor anjing...!"
Mendeliklah sepasang mata sipit si pendek Seto 
Bungkrik. Giginya terdengar berkeraot menahan kema-
rahan. Wajahnya seketika berubah jadi merah bagai 
kepiting rebus. Akan tetapi tiba-tiba si pendek ini bah-
kan tertawa gelak-gelak.
"Heheheheh... sudah kukatakan urusan itu 
akan segera kulupakan, asalkan kau carikan penggan-
tinya! Yaitu anak gadismu yang cantik ini..! hehehe.. 
hehe..". Berkata lagi si pendek diantara derai tawanya, 
menutupi kegusaran hatinya.
"Setan keparat...! Enyahlah kau...!" Teriak Pipit

Lurik yang diam-diam telah melolos pedangnya. Sejak 
tadi dadanya sudah bergelombang mendengar kata-
kata si pendek ini. Begitu mengetahui kejahatan ma-
nusia di hadapannya itu, dia sudah tak dapat mena-
han sabar lagi.
WHUUUT...!
TRANGNG!
Pedang dilengan Pipit Lurik nyaris terlepas. Ke-
tika pedangnya berkelebat menabas kepala si pendek 
itu, mendadak tongkat kepala Tengkorak itu bergerak
menangkis. Terasa telapak tangan Pipit Lurik tergetar. 
tenaga sampokannya yang terlihat santai acuh tak 
acuh itu ternyata bertenaga besar. Gadis itu melompat 
mundur dua tindak.
"Ahoi...", ! biarlah aku yang menangkapnya, 
kakang Seto...!" Tiba-tiba si jangkung berkumis sebe-
sar singkong itu buka suara.
"Hihihi... biarlah aku izinkan kalian memiliki 
gadis itu. Dan si Jaran Perkoso, bapaknya ini adalah 
bagianku...!" Ujar Kemang Suri dengan perlihatkan se-
nyuman dan kerlingan genitnya pada laki-laki dihada-
pannya.
Betapa muaknya Jaran Perkoso melihat tingkah 
si wanita setengah umur yang dimasa mudanya selalu 
mengejar-ngejarnya. Bahkan sampai dia sudah meni-
kah dengan Sri Lestari, Kemang Suri masih selalu 
mengganggu ketentraman rumah tangganya.
Kemang Suri adalah pernah menjadi saudara 
seperguruannya pada puluhan tahun yang silam. Na-
mun Jaran Perkoso telah beberapa tahun lebih dulu 
menjadi murid Eyang Paksi Sakti Jalatunda di puncak 
Gunung Muria.
Sang guru telah membawa gadis itu ketika se-
pulang dari turun gunung. Gadis yang tak ketahuan 
asal-usulnya itupun menjadi murid Eyang Jalatunda.

Menurut yang didengar dari cerita gurunya, Kemang 
Suri ditemukan terikat di sebatang pohon di dalam hu-
tan lebat yang banyak terdapat binatang buas.
Entah apa kesalahan wanita itu, hingga diikat 
di tempat berbahaya. Karena jelas kalau tak ditolong
oleh Ki Jalatunda, pasti tewas kelaparan atau diterkam 
binatang buas. Ki Jalatunda melepaskan ikatannya, 
dan mau mengembalikan ke desa. Akan tetapi Kemang 
Suri menangis, dan memohon menjadi muridnya. Dia 
mengatakan bahwa dirinya telah diperkosa oleh orang-
orang jahat, yang setelah memperkosa lalu mengikat-
nya di hutan itu.
Karena merasa kasihan, dan gadis itu meren-
gek-rengek terus-menerus, terpaksa Ki Jalatunda 
membawanya ke Puncak Gunung Muria. Tak dinyana 
baru beberapa bulan sudah ketahuan belangnya. Ter-
nyata gadis itu adalah wanita yang amat dibenci di de-
sa itu, karena perbuatannya merusak rumah tangga 
orang. Dia adalah seorang janda yang berperangai bu-
ruk. Demikianlah, berkali-kali Kemang Suri menggoda 
Jaran Perkoso untuk berbuat mesum. Karena tak ta-
han, Jaran Perkoso mengadukan pada gurunya. Hing-
ga Kemang Suri diusir dari Puncak Muria. Dan tak di-
perkenankan lagi menggunakan ilmu-ilmu yang telah 
diwariskan padanya.
Beruntung dapat diketahui kelakuan buruk 
Kemang Suri lebih awal, sehingga ilmu-ilmu Resi Paksi 
Sakti Jalatunda belum meresap kuat ditubuh dan 
otaknya. Sejak itu Kemang Suri tak ada kabarnya lagi. 
Dan beberapa tahun kemudian, sang guru kembali 
membawa dua orang murid laki-laki. Yaitu Gantar Se-
wu dan Jaka Keling. Hingga kelihatan perbedaan 
usianya amat jauh antara Jaran Perkoso dengan kedua 
saudara seperguruannya itu. Gantar Sewu dan Jaka 
Keling anak yatim piatu sejak kecil, sebelum diambil

murid oleh Ki Jalatunda.
Keduanya bekerja pada seorang pamannya 
yang amat bengis dan kejam, sebagai penggali tambang 
intan. Tubuh kedua anak laki-laki tanggung itu kurus 
kering. Karena tak tahan menderita terus-menerus me-
reka lari dari tempat pekerjaannya. Namun nyaris ter-
timpa lorong goa yang longsor. Beruntung datang sang 
guru menolongnya. Dan mereka dijadikan kedua mu-
ridnya.
Ternyata Resi Paksi Sakti Jalatunda banyak 
mempunyai simpanan harta yang dipendam didalam 
pondoknya di Puncak Muria. Dan ternyata juga sang 
guru adalah bekas anak seorang Bangsawan yang 
kaya-raya. Karena harta dan nyawanya banyak diincar 
penjahat, sang guru mengasingkan diri ke Puncak Gu-
nung Muria. Disana sang guru memperdalam ilmu-
ilmu, dan menciptakan jurus-jurus ilmu silat yang he-
bat. Hingga kemudian Rimba Persilatan menjadi geger 
dengan munculnya seorang tokoh pembela keadilan, 
dan penjunjung kebenaran yang dikenal dengan julu-
kan si Pendekar Lengan Tunggal. Cacat pada anggota 
tubuhnya itu adalah akibat keganasan para perampok 
sewaktu membunuh kedua orang tuanya, dan mengu-
ras habis harta bendanya.
Dua belas tahun berumah tangga, ternyata Ja-
ran Perkoso telah dikaruniai seorang anak perempuan, 
yang diberi nama Sri Kemuning (kemudian dikenal 
dengan nama Pipit Lurik), berusia waktu itu sekitar 10 
tahun.
Muncul pula satu musibah, yang berakhir den-
gan kehancuran rumah tangganya. Yaitu sejak keda-
tangan seorang wanita yang ternyata adalah bekas ke-
kasih Jaran Perkoso.
Akibat guna-guna serta ilmu hitam yang digu-
nakan wanita itu, Jaran Perkoso berbalik membenci istrinya. Hingga sang istri pergi meninggalkan Jaran 
Perkoso, yang selanjutnya mereka hidup bersama ba-
gaikan suami istri di rumah yang ditinggali Jaran Per-
koso dan istrinya. Sementara sang istri (Sri Lestari) 
ternyata pergi mengadu pada Ki Jalatunda, di puncak 
Gunung Muria. Dengan bersusah payah Sri Lestari da-
pat mencapai puncak gunung itu. Disana dia menangis 
dihadapan sang Resi Paksi Sakti Jalatunda mengadu-
kan nasibnya.
Sang Resi adalah seorang yang arif bijaksana, 
segera menanyakan asal mula kejadian yang menimpa 
musibah keluarga mereka.
Tentu saja Sri Lestari menceritakan semua ke-
jadian. Terkejut sang Resi. Karena dia mempunyai du-
gaan kalau Jaran Perkoso telah terkena tenung wanita 
itu. Karena Ki Jalatunda memang mempunyai seorang 
musuh bebuyutan yang memiliki ilmu tenung demi-
kian yang bergelar JENTIK KUNING hingga dengan ter-
gesa-gesa sang Resi segera turun gunung.
Dengan ilmu kesaktiannya, sang Resi berhasil 
menumpas ilmu tenung wanita itu dan membebaskan 
Jaran Perkoso dari pengaruh jahat yang mengendap 
dalam otaknya. Jaran Perkoso sadar! Dan dia sendiri 
yang menghabisi nyawa si wanita yang telah meracuni 
kehidupannya itu. Yaitu wanita bekas kekasihnya...
Jaran Perkoso berangkat ke puncak Muria un-
tuk menjemput lagi istrinya. Namun yang didapati ada-
lah, istrinya telah tewas. Sebuah belati tergenggam di
tangan wanita itu dengan beberapa lubang bekas tu-
sukan di dada dan lambungnya. Sedangkan Sri Ke-
muning, si bocah perempuan yang baru berusia 10 ta-
hun itu telah lenyap entah kemana.
Jaran Perkoso meratap dan berteriak-teriak ka-
lap seperti orang yang tidak waras. Laki-laki inipun
nekat mau menghabisi nyawanya sendiri, karena merasa tak guna hidup lagi. Dosanya terasa amat besar 
terhadap anak dan istrinya.
Jaran Perkoso menduga istrinya tewas membu-
nuh diri karena merasa sedih dan putus asa atas ting-
kah laku perbuatannya yang di luar sadar.
Untunglah Resi Paksi Sakti Jalatunda meno-
long, dan berhasil mencegah perbuatan dosa itu. Den-
gan lemah lembut sang guru memberi wejangan, bah-
wa Jaran Perkoso tak perlu merasa bersalah, karena 
sudah jelas hilangnya akal waras laki-laki itu adalah 
akibat perbuatan wanita keji itu, yang menggunakan 
ilmu jahat dan sesat terhadapnya. Namun sesuatu 
yang terjadi adalah di luar dugaan... Karena ternyata 
Sri Kemuning masih hidup. Bocah perempuan berusia 
10 tahun itu telah ditolong oleh seorang nenek tua, 
yang tak lain adalah BIKHU SOKALIMA. Wanita sakti 
itu adalah penghuni puncak Gunung RATAWU, yang 
tak berapa jauh dari Gunung Muria.
Nenek tua sakti itu memang tengah berada di 
bawah lereng. Memang kedatangannya ke Puncak Gu-
nung Muria adalah untuk menjumpai Resi Paksi Sakti 
Jalatunda.
Ketika tiba-tiba dia melihat sesosok tubuh kecil 
melayang dari atas Puncak Gunung Muria. Dengan 
takdir Tuhan Sri Kemuning dapat diselamatkan nya-
wanya. Bocah perempuan itu dalam keadaan pingsan.
Bagaikan mendapat emas sebesar gunung, Ja-
ran Perkoso begitu gembiranya melihat sang anak ter-
nyata masih hidup, dipeluknya Sri Kemuning dengan 
terisak-isak, dan diciuminya tak putus-putus, serasa 
tak ingin lagi dia berpisah dengan anak kesayangan-
nya itu, yang telah kehilangan ibunya yang amat dika-
sihi.
Demikianlah, Jaran Perkoso tinggal kan puncak 
Muria, setelah guru dan murid serta sahabat baik sang

Resi menguburkan jenazah Sri Lestari.
Niat baik si nenek BIKHU SOKALIMA terpaksa 
ditolaknya untuk menjadikan Sri Kemuning sebagai 
muridnya, karena Jaran Perkoso tak sampai hati un-
tuk tinggalkan sang anak, dipuncak Ratawu.
Kepergiannya adalah membawa pesan dari gu-
runya, yaitu mencari dua orang adik Seperguruannya, 
yang juga telah turun gunung. Juga dengan membawa 
bekal yang cukup berarti dari separuh harta milik sang 
guru, untuk membangun kehidupan lagi. Sang guru 
menyuruh Jaran Perkoso menikah lagi. Akan tetapi la-
ki-laki ini cuma menggeleng kepala, sambil tersenyum.
Demikianlah, hingga lebih dari tujuh tahun su-
dah, Jaran Perkoso hidup menduda. Ilmu dan fikiran-
nya dicurahkan untuk menambah kesejahteraan ra-
kyat. Yaitu mendirikan usaha Pengangkutan dan pen-
gawalan barang, yang sejauh itu dikelola, ternyata me-
nampakkan kemajuan pesat. Sedangkan kedua sauda-
ra seperguruannya yaitu Gantar Sewu dan Jaka Keling 
turut membantunya didalam perusahaan itu. Hingga 
terkenallah nama Tiga Macan Gunung Muria yang 
bermarkas diujung kota Ungaran. Dengan nama mar-
kasnya, Benteng Macan gunung.
***
2


"Kemang Suri...! tak dinyana kau masih hidup, 
dan belum juga dapat menghilangkan kelakuanmu 
yang buruk!, bahkan bergabung dengan manusia-
manusia tengik macam begitu...! Sungguh tak berma-
lu...!" Ujar Jaran Perkoso.
Sementara sepasang matanya sudah melirik kearah si jangkung berkumis tebal itu yang maju mende-
kati Pipit Lurik. Diam-diam tersentak juga hati Jaran 
Perkoso, karena sulitlah baginya menghadapi mereka 
disebabkan adanya Pipit Lurik. Dia amat mengkhawa-
tirkan nasib anak gadisnya itu. Tiba-tiba dengan 
menggertak gigi, Jaran Perkoso melompat ke arah sang 
anak seraya berteriak.
"Anakku...! Cepatlah menyingkir! Biar aku yang 
menghadapi anjing-anjing gelandangan ini...!" Lengan-
nya sudah bergerak menyambar lengan Pipit Lurik, 
dan di bawanya melompat sejauh lima tombak.
"Cepatlah pergi menyelamatkan diri...!" Bentak 
Jaran Perkoso dengan wajah berubah tegang.
"Tidak, ayah! Aku harus membantumu mela-
wan mereka...!" Berkata Pipit Lurik dengan tatap tajam 
wajah ayahnya.
"Mereka bertiga, dan ayah akan menghadapinya 
seorang diri...? Tidak! Aku harus membantumu! Aku 
tak mungkin meninggalkanmu seorang diri...!" Teriak 
Pipit Lurik. Terbeliak mata Jaran Perkoso. Disamping 
kagum pada keberanian anak gadisnya, namun juga 
amat mengkhawatirkan keselamatan diri sang anak. 
Karena bukan mustahil kalau ketiga manusia yang 
menamakan dirinya TIGA SILUMAN BUKIT HANTU itu 
akan sukar dilayani. Terlebih melihat si pendek yang 
diketahuinya bernama Seto Bungkrik itu, yang amat 
berhasrat pada anak gadisnya.
Tidak, anakku...! Sekali ini turutlah perintah 
ayah! Pergilah selamatkan nyawamu! Pergilah ke pun-
cak gunung Ratawu! Kelak kau akan dapat membalas 
dendam dibelakang hari, seandainya aku tewas! Tapi 
aku akan berusaha melawannya sekuat tenaga! Bila 
aku berhasil menyelamatkan nyawaku, kelak aku akan 
menyusulmu kesana...!" Bisik Jaran Perkoso dengan 
suara tergetar.

Akan tetapi tiga manusia itu telah berkelebatan 
melompat mengurung mereka. Tak ada jalan lain, ter-
paksa Jaran Perkoso cabut keluar pedangnya dibela-
kang punggung.
"Majulah kalian Tiga Siluman Bukit Hantu! Ka-
lian kira aku si Jaran Perkoso takut menghadapi ce-
cunguk-cecunguk macam kalian...!" Sementara Pipit 
Lurik sudah pasang kuda-kuda, siap menghadapi ke-
mungkinan. Jaran Perkoso masih sempat berbisik.
"Hati-hati anakku...!".
Dan tubuhnya sudah melompat menerjang Ke-
mang Suri, dengan kelebatkan pedangnya yang berki-
latan menebas pinggang dan leher. Dua serangan be-
runtun telah dilakukan. Sementara sebelah lengannya 
siap melakukan hantaman.
WHUT! WHUT!....._
Tak dikira setelah belasan tahun menghilang, 
Kemang Suri mempunyai kegesitan luar biasa meng-
hindari serangan maut Jaran Perkoso. Tubuhnya ber-
kelebat menghindar, dan sebelah lengannya lakukan 
hantaman ke arah dada Jaran Perkoso. Akan tetapi 
Jaran Perkoso telah siap untuk memapakinya, hingga 
kedua telapak tangan mereka saling beradu....
DWESSSS...,! Tampak uap putih mengepul aki-
bat benturan lengan itu. Tubuh Jaran Perkoso ter-
huyung lima langkah, sedangkan Kemang Suri ter-
huyung ke belakang enam-tujuh langkah, akan tetapi 
sekejap, Kemang Suri sudah tampilkan wajah tertawa 
menyeringai, tampakkan barisan giginya yang kehita-
man. Sepasang kakinya telah berdiri teguh lagi mena-
pak di tanah.
"Hihihi... hihi... hebat! Hebat...! Hayo keluarkan 
jurus-jurus ilmu pedang warisan gurumu si kakek tua 
renta puncak gunung Muria itu, Jaran Perkoso...! Atau 
kau harus belajar sepuluh tahun lagi pada si kakek

bangkotan itu di AKHIRAT...!!" teriak Kemang Suri 
dengan tertawa mengejek.
Tentu saja kata-kata itu membuat Jaran Perko-
so jadi melengak. Hah?! Apakah mereka telah membu-
nuh Eyang Jalatunda? Sentak hati Jaran Perkoso. Pe-
rubahan wajah laki-laki berusia setengah abad itu 
tampak jelas oleh Kemang Suri. "Eh, tampaknya kau 
merasa aneh dengan ucapanku?. Hihihi... si kakek 
bangkotan yang pernah mengusirku itu telah kami ki-
rim nyawanya ke alam baka!"
"Heheheheh.... Jaran Perkoso...! kau sudah tak 
bisa merengek-rengek lagi ke puncak Gunung Muria 
untuk minta pertolongan! Lebih baik kau berikan anak 
gadismu ini padaku, lalu aku tak mencampuri uru-
sanmu lagi...!" Teriak si pendek Seto Bungkrik seraya 
berkelebat ke arahnya. Sementara si jangkung kawan-
nya itu bergerak melompat ke arah Pipit Lurik. Gadis 
ini segera tabaskan pedangnya dengan jurus-jurus aja-
ran sang ayah. Terdengar suara bersiutan mengurung 
tubuh si jangkung bernama Wong Duwur itu. Akan te-
tapi Wong Duwur cuma ganda tertawa saja.
"Hahahehehe... ilmu pedang warisan ayahmu 
itu sudah ketinggalan jaman, anak manis. Lebih baik 
kau belajar pada si pendek kawanku itu! Jurus-jurus 
ilmu bergulat di tempat tidur tentu akan dapat diwa-
riskan padamu, tanpa kau pinta.! Hehehe..."
"Tutup bacotmu, setan jerangkong!" Berteriak 
marah Pipit Lurik. Kini permainan ilmu pedangnya 
semakin hebat, keluarkan angin menderu yang men-
gurung setiap langkah lawannya. Akan tetapi tampak-
nya hal itu tak membuat si jangkung menjadi terkejut. 
Tubuhnya berlompatan cepat sekali, hingga yang keli-
hatan cuma bayangan hijau saja. Apa lagi kini ditam-
bah dengan keluarnya asap tipis dari sepasang mata 
kepala tengkorak di ujung tongkatnya. Membuat dengan leluasa si jangkung menyelinap menghindar. Ada-
pun Pipit Lurik tampak terkejut, karena hidungnya 
sudah mengendus asap yang berbau amis, serta me-
nyesakkan pernapasan.
Sementara Jaran Perkoso yang dalam keadaan 
kalut fikiran, karena mendengar gurunya telah tewas 
di angan ketiga manusia ini, telah menggerung keras 
membabatkan pedangnya bagaikan naga mengamuk. 
Jurus-demi jurus terus berlalu, dan suara benturan 
senjata kerap terdengar dari beradunya pedang dengan 
tongkat si pendek Seto Bungkrik.
Laki-laki pendek ini tampaknya amat penasa-
ran untuk menjatuhkan Jaran Perkoso. karena dia 
pernah dipecundangi belasan tahun yang silam, ketika 
akan melaksanakan niatnya memperkosa Sri Lestari.
WHUT! WHUT! WHUTT...! TRANG! TRANG!
Tiga hantaman berkelebatan saling susul me-
nerjang ke arah Jaran Perkoso. Tongkat berkepala te-
lapak tangan besi, berwarna kuning itu mengarah ke 
arah leher, lalu berubah menyambar ke bawah selang-
kangan dan meluncur lagi menyambar batok kepala 
lawan. Jaran Perkoso tampak terkejut bukan main, ka-
rena jelas tongkat berkepala tangan besi yang berujung 
kuku tajam itu adalah senjata yang telah dilumuri ra-
cun. Bila kurang waspada sedikit saja akan membuat 
luka yang berbahaya.
Beruntung dengan gerakan melompat dan ber-
salto. dia dapat menghindari serangan-serangan ber-
bahaya tadi. Bahkan lakukan gerakan menangkis den-
gan pedangnya. Ketika tongkat tangan besi itu melun-
cur ke arah jantung dan pinggang.
DWESSS...! Jaran Perkoso balas menyerang 
dengan pukulan tenaga dalam. Itulah salah satu dari 
jurus tangan kosong yang bernama Pukulan Geledek. 
Uap putih panas yang tersimpan di dalam telapak tangannya sudah sejak tadi disiapkan untuk menghantam 
lawan. Terkejut si pendek Seto Bungkrik. Karena pu-
kulan itu di luar dugaan. Sedangkan dia dalam kea-
daan posisi tak menguntungkan sehabis melakukan 
serangkaian serangan mengandung maut tadi.
Namun beruntunglah karena di saat kritis itu
yang tak sempat Seto Bungkrik menangkis, sudah ter-
dengar suara bentakan Kemang Suri. Tubuhnya me-
lompat cepat sekali mendorong tubuh Seto Bungkrik 
yang jatuh bergulingan. Sedang pukulan maut dari Ju-
rus Pukulan Geledak itu lewat... dan menghantam pa-
da batu besar. Batu itu hancur lumat dengan keadaan 
hangus.
Pada saat mereka terperangah, Jaran Perkoso 
melirik ke arah anak gadisnya, terkejut laki-laki ini 
mengetahui Pipit Lurik dalam bahaya. Karena terku-
rung oleh rapatnya uap beracun yang keluar dari se-
pasang mata tengkorak di tongkat si jangkung alls 
WONG DUWUR yang melayani si gadis dengan menge-
keh tertawa.
WHUUK...! Jaran Perkoso telah gigit belakang 
mata pedangnya, sedangkan kedua lengan diperguna-
kan menghantamkan angin pukulannya. Inilah satu 
jurus dari ilmu tenaga dalam yang dinamakan Tiupan 
Angin Puyuh.
Segera segelombang angin keras bergulung-
gulung menerjang ke arah pertarungan.
Angin bergulung itu tak begitu keras, karena 
Jaran Perkoso cuma bermaksud mengusir asap bera-
cun berbau amis yang mengurung Pipit Lurik. Gadis 
ini cuma merasai tubuhnya terhuyung dua langkah, 
namun asap yang mengurungnya telah sirna seketika.
WHUT! WHUT! WHUT! Jaran Perkoso sudah 
menerjang Wong Duwur dengan beberapa tabasan pe-
dang. namun laki-laki jangkung sudah berlompatan
menghindar. Seraya perdengarkan dengusan di hi-
dung, si jangkung ini tertawa sinis.
"Heheheh... Jaran Perkoso! Walau kau punya 
ilmu setinggi langit, namun menghadapi kami yang te-
lah bersatu, akan percuma hasilnya! Sudah sejak lama 
aku ingin membunuhmu! Sayang aku harus menyik-
samu dulu sebelum kau mampus!"
"Wong Duwur! Iblis Hutan Dandaka...! Kau 
urusilah gadis itu berdua dengan kau si pendek Seto 
Bungkrik! Aku yang akan tundukkan laki-laki ini...!" 
Tiba-tiba Kemang Suri memotong kata-kata Wong Du-
wur.
Seraya berkata, tangannya sudah bergerak 
mengangkat senjatanya, dengan menempelkan ujung-
ujung bambu berlubang itu pada bibirnya. Segera 
membersit suara melengking tinggi. Ternyata adalah 
sebuah seruling.
"Bagus! kita sama-sama menawan kedua ekor 
kambing ini...!" Berkata si pendek Seto Bungkrik, se-
raya melompat ke arah Pipit Lurik. Terkejut gadis. ini, 
yang tak ayal segera putarkan pedangnya melindungi 
diri.
Tak ada harapan bagi Jaran Perkoso untuk 
mundur menyelamatkan diri, karena mereka telah ter-
kurung oleh kepungan tiga manusia keji ini, yang su-
dah terkenal masing-masing kejahatannya di Rimba 
Persilatan.
Apa lagi kini mereka telah bersatu. Kalau gu-
runya sendiri sudah dapat mereka tewaskan apalagi, 
dia seorang yang harus menghadapi cuma ditemani 
seorang anak gadisnya. Harapannya untuk menyela-
matkan sang anak dari tangan mereka ternyata sema-
kin tipis. Karena Pipit Lurik, sekejap sudah dikepung 
kedua tokoh itu.
Kini suara tiupan seruling itu sudah membersit

panjang membuat Jaran Perkoso kerutkan keningnya. 
Karena terasa telinganya mendadak menjadi bising. 
Adapun kedua tokoh hitam itu telah mengetahui akan 
kehebatan suara tiupan seruling Kembang Suri. Den-
gan diam-diam telah menyumpal telinganya masing-
masing, sedangkan Jaran Perkoso segera putarkan pe-
dangnya yang mengeluarkan suara bersiutan menan-
dingi suara tiupan seruling aneh Kemang Suri, yang 
mulai melagukan nada-nada tinggi rendah.
WHUK! WHUK! Laki-laki ini hantamkan telapak 
tangannya dua kali dengan pukulan Geledeknya. Ke-
mang Suri tertawa mengikik, seraya jatuhkan tubuh-
nya bergulingan. Namun ketika bangkit lagi kembali 
teruskan suara tiupan serulingnya. Melengking-
lengking suaranya, membuat telinga Jaran Perkoso 
tergetar. Tubuhnya bergoyang goyang, dan kepalanya 
berdenyutan.
"Perempuan setan...!" Bentak Jaran Perkoso se-
raya melompat menerjang dengan sambarkan pedang-
nya. Kekalutan memikirkan keadaan anak gadisnya 
membuat laki-laki ini menyerang membabi-buta. Se-
mentara di luar sadarnya Pipit Lurik sudah roboh ter-
kulai terkena totokan si jangkung Wong Duwur. Dan 
sekejap saja sudah berada dalam pondongan si pendek 
Seto Bungkrik.
Terkejut Jaran Perkoso melihat anak gadisnya 
sudah roboh tertawan. namun usahanya untuk me-
lompat ke arah kedua orang itu, telah tertahan oleh 
suara bersitan tiupan seruling yang membuat kepa-
lanya menjadi pening. Akhirnya terpaksa lengannya 
bergerak menutupi telinganya yang sebelah, sedang 
lengannya yang masih mencekal pedang digunakan 
menunjang tubuhnya agar tidak jatuh. Mau tidak mau 
Jaran Perkoso harus mengakui kelemahannya. Namun 
diam-diam dia sudah siapkan satu jurus untuk menghantam si wanita dihadapannya.
Melihat keadaan Jaran Perkoso sudah kena 
pengaruh tiupan bertenaga dalam yang mempengaruhi 
lawan, Kemang Suri dengan tertawa mengikik segera 
lompat menghampiri. Tapi baru saja kakinya menjejak 
tanah, Jaran Perkoso menggerung keras seraya kelua-
rkan jurus permainan pedang yang dinamakan Naga 
mengamuk.
***
3


Kemang Suri terkejut karena mendadak Jaran 
Perkoso telah bangkit kembali dengan serangan-
serangan berbahayanya. Terpaksa tubuhnya berkele-
batan melompat dan menghindar dari tabasan-tabasan 
maut pedang Jaran Perkoso. Kini wanita itu tak mem-
punyai kesempatan lagi meniup serulingnya. Bahkan 
dengan berteriak-teriak kaget jatuhkan diri bergulin-
gan Nyaris pedang Jaran Perkoso merobek lambung-
nya. Namun tak urung ujung rambutnya sepanjang sa-
tu jengkal telah terbabat putus. Debu mengepul kehi-
taman disertai suara menderu dari angin pukulan 
yang dilancarkan Jaran Perkoso. 
BUK! Satu hantaman telak kena menyerempet 
kulit lengan Kemang Suri. Wanita ini menjerit parau. 
Bajunya hangus terbakar. Lengannya sebatas pundak 
mengelupas. Belum lagi dia berbuat sesuatu kilatan 
pedang telah meluncur ke arah dada. TRANGNG...!
Pedang di tangan Jaran Perkoso terlempar, ke-
tika tongkat si jangkung Wong Duwur menangkis me-
nyelamatkan nyawa Kemang Suri. Dan selanjutnya 
ganti Wong Duwur yang merangsak Jaran Perkoso.

WUT! WUT! Wut! TRANG...! TRANG...!
Jarang Perkoso berlompatan menghindar, dan 
menangkis beberapa kali. Telapak tangannya telah 
memerah yang memegang gagang pedang akibat ben-
turan-benturan dengan si jangkung yang tenaga da-
lamnya ternyata setingkat diatasnya.
Mengeluh laki-laki ini. Terlebih kini asap bera-
cun berbau amis mulai mengurung dirinya. Sementara 
sudah terdengar lagi tiupan seruling Kemang Suri yang 
melengking-lengking.
TRANG!... terdengar suara benturan kedua sen-
jata.
Kali ini Jaran Perkoso tak mampu memperta-
hankan pedangnya, yang telah segera terlepas dari 
genggamannya. WHUTT...! Tongkat berkepala Tengko-
rak Wong Duwur sudah meluncur ke arah ubun-ubun 
Jaran Perkoso. Akan tetapi pada saat kritis itu berke-
lebat bayangan hijau yang menangkis serangan maut 
itu.
PLAK...! Apa yang terjadi? Kiranya Kemang Suri 
telah menggagalkan serangan maut Wong Duwur. Ke-
pala tengkorak tongkat si jangkung itu miring ke 
samping, dan mengenai tanah disamping tubuh Jaran 
Perkoso.
"Tahan! kau tak boleh membunuhnya...!" Teriak 
Kemang Suri. Dan secepat kilat lengannya bergerak 
menotok tubuh laki-laki yang sudah tak berdaya ke-
habisan tenaga itu. Jaran Perkoso perdengarkan kelu-
hannya, dan roboh terguling.
"Hahahehehe... hehe... Wong Duwur, biarkan 
dewi kita mengurusi laki-laki itu! Aku akan berikan 
bagian padamu setelah beres urusanku...! Hahaha.. 
hahaha... !" Terdengar mengakak tertawa si pendek Se-
to Bungkrik. Wong Duwur pun tersenyum manggut-
manggut, seraya berkata pada Kemang Suri yang masih melototkan matanya dengan mendongkol. Telapak 
tangannya terasa kesemutan setelah barusan menolak 
tongkat maut si jangkung itu.
"Oh, maafkan dewiku...! aku lupa kalau si Ja-
ran Perkoso itu bagianmu! hehe... hehehe..." Ujar Wong 
Duwur dengan perdengarkan tertawa yang kurang 
enak didengar.
"Sudahlah, kau minggatlah yang agak jauh! 
jangan ganggu urusanku...!" bentak Kemang Suri den-
gan bibir cemberut. Tapi justru membuat kerlingan ta-
jam pada laki-laki jangkung itu. Pertanda kalau si 
jangkung itu harus mengerti maksudnya.
"Hihihi.. Jaran Perkoso, aku berani bertaruh 
kalau kau toh akhirnya akan menyenangi diriku. Wa-
laupun aku sudah usia hampir setengah abad, pasti 
kau akan tak merasa kecewa, nanti! Hihihi..." Ujar 
Kemang Suri seraya lengannya bergerak membukai 
pakaian Jaran Perkoso.
Laki-laki itu cuma pelototkan matanya dengan 
gusar. Giginya gemeletuk berbunyi menahan geram. 
Sementara di luar dugaan si pendek Seto Bungkrik, ju-
stru membawa sang tawanan ke hadapan Kemang Su-
ri. Lalu jatuhkan tubuh gadis itu tepat di dekat Jaran 
Perkoso.
"Bagus! kau kerjailah anak si Jaran Perkoso itu 
di depan matanya, biar semangat jantannya mengge-
bu-gebu... hihihi... hihi..." Terbelalak mata Jaran Per-
koso, serasa dadanya mau meledak menyaksikan per-
buatan yang tengah diperagakan di depan matanya. 
Sementara Kemang Suri telah membuka paksa apa 
yang melekat di tubuh Jaran Perkoso.
BRET. BRET! BRET...! Kini laki-laki itu sudah 
bagaikan seekor kambing benggala yang sudah dipen-
tang dengan keadaan selesai dikuliti. Kepalanya disan-
darkan pada pangkuan Kemang Suri. Laki-laki ini

memaki kalang kabut. "Setan keparat...! Bunuhlah 
aku! mengapa kalian menyiksa dengan cara biadab se-
perti ini? Kalian memang iblis-iblis bermuka manu-
sia..."
—oOOOo—-
Pipit Lurik bukannya tak sadar akan apa yang 
tengah terjadi terhadap dirinya. akan tetapi dia me-
mang tak berdaya. Dan biarkan lengan-lengan kasar si 
pendek itu melepaskan sehelai demi sehelai pakaian 
yang melekat ditubuhnya.
Sepasang matanya dipejamkan kuat-kuat. bi-
birnya telah digigit sendiri hingga mengeluarkan darah. 
Daya upayanya melepaskan diri dari pengaruh totokan 
si jangkung kurus itu tak membawa hasil.
Jaran Perkoso tak akan sanggup melihat keja-
dian gila yang terpampang dihadapannya. Dilihatnya si 
pendek Seto Bungkrik dengan tertawa mengekeh mulai 
memperagakan kepandaian lengannya menjuluri sepa-
sang bukit daging yang masih kencang memutih ra-
num. Ternyata upaya untuk bertahan dengan segala 
kepasrahan itu, tidaklah membuat gadis ini bisa gigit 
bibir belaka. Karena rasa takut yang luar biasa,.
Pipit Lurik tiba-tiba belalakkan sepasang ma-
tanya. Dan perdengarkan jeritan sekuat-kuat. Berte-
riak-teriak sang gadis ini bagaikan orang kemasukan 
setan Akan tetapi dengan menyeringai, justru si pen-
dek ini telah keluarkan sebuah benda dari dalam saku 
bajunya. Benda terdiri dari dua butir pil itu dengan ce-
pat telah dijejalkan masuk ke mulut sang gadis. Se-
mentara lengannya bergerak menotok urat suaranya, 
hingga lenyaplah suara teriakannya. Cuma sepasang 
matanya saja yang terbelalak. Kedua butir pel itu seke-
jap telah tertelan lewat tenggorokannya.
Terperangah Jaran Perkoso. Nafasnya terasa 
memburu... bagaimana dia dapat sanggup melihat ke-
jadian sedemikian bejatnya di depan mata?. Laki-laki 
ini gerakkan tubuhnya membuka totokan. Tenaga da-
lamnya dikerahkan sepenuhnya untuk disebar ke se-
kujur tubuh. Tampaknya hal itu membawa hasil. Na-
mun baru dia mau bergerak meronta, Kemang Suri te-
lah tutupkan sapu tangan berbau harum dihidungnya.
Mendadak terasa kepalanya menjadi pening... 
dan tubuhnya kembali lemas tanpa tenaga. Sepasang 
matanya mendadak seperti mengantuk, dan terkulai 
kepalanya di pangkuan Kemang Suri dengan mata ter-
pejam.
Berlainan dengan cara si pendek Seto 
Bungkrik. Kalau laki-laki itu mengeluarkan dua butir 
pil yang dijejalkan ke mulut sang korban, adalah Ke-
mang Suri merogoh kantong kulitnya. Dan keluarlah 
sebuah bumbung bambu. Di dalamnya terdapat cairan 
berwarna hitam. Setelah membuka sumbatannya, se-
gera diteguknya benda cair dalam bumbung itu tiga 
kali tegukan. Lalu menutup kembali sumbatannya, 
dengan pipi masih menggembung. Setelah menyimpan 
kembali bumbung bambu itu dalam kantong kulit, ke-
palanya membungkuk. Menelan sedikit cairan dalam 
mulutnya itu, lalu sisanya dituangkan dalam mulut 
Jaran Perkoso yang sudah dipentang ternganga lebar...
Entah cairan apakah itu... Akan tetapi tak lama 
ketika laki-laki itu sadarkan diri pandangan matanya 
menjadi aneh dan liar. Bibirnya seperti menyeringai 
dengan sikap aneh melihat adegan di depan matanya. 
Dilihatnya si pendek cebol telah lepaskan sesuatu yang 
mengganggu pada tubuhnya. Dan... Pipit Lurik tidak 
lagi ketakutan seperti melihat hantu dihadapannya. 
Bahkan... ketika si pendek Seto Bungkrik merangkul-
nya serta menghunjamkan wajahnya ke belahan kedua

bukit berputik kemerahan itu, tubuhnya bergelinjan-
gan seperti terangsang hebat. Lengannya sudah berge-
rak mengelus kepala gundul si pendek Seto Bungkrik 
dan membelainya dengan bibir mendesah dan mata se-
tengah terpejam.
Getarannya terasa sampai ke hati Jaran Perko-
so. Membuat tubuh laki-laki ini bergelinjangan mena-
han kobaran hawa nafsu yang seperti tak terkendali-
kan. Tahu-tahu Jaran Perkoso rasakan belaian lembut 
mengelus wajahnya. Belaian dari dua buah benda lu-
nak berputik lebar. Tak ayal bagaikan seekor bayi yang 
kehausan, Jaran Perkoso melumatnya dengan lahap. 
Tentu tak menolak jika sang ibu mengangsongkan se-
suatu untuk dilumatnya oleh sang bayi. Dan... di lain 
kejap tampak Kemang Suri perdengarkan rintihannya. 
Tubuhnya bergelinjangan menahan kenikmatan yang 
tiada tara.
Angin gunung di sekitar tempat yang seperti te-
duh, tapi gersang itu berhembus menyentuh kulit-kulit 
daun dan dahan-dahan telanjang. Menghempas-
hempaskan rantingnya. Beberapa helai daun jatuh me-
layang turun ke tanah... di sela desahan dan suara ter-
tawa mengikik Kemang Suri, terdengar si pendek Seto 
Bungkrik menggerutu, yang seperti memaki dirinya...!
"Kunyuk...!? aku lupa memakan obat...!" Dan 
terpaksa dia harus berdiam menunggu waktu berlalu. 
Sementara matanya menatap ke arah dua ekor kamb-
ing yang saling berpacu di atas rumput. Kemang Suri 
seperti dihujani serangan-serangan hebat. Membuat 
tubuhnya bergelinjangan tak menentu. Mulutnya tern-
ganga berdesahan. Sepasang lengannya bergerak men-
dekap tubuh Jaran Perkoso berubah. Namun bersa-
maan dengan keluhan Kemang Suri bergelinjanganlah 
sepasang kuda yang saling bergumul itu melepaskan 
semua naluri, mencapai puncak tertinggi diujung syaraf.
Seto Bungkrik, si pendek berkepala gundul ini 
leletkan lidahnya. Saat itu tiba-tiba satu bayangan hi-
jau berkelebat mendekatinya.
"Heheheheh... kini giliran aku, bukan...?" Ber-
kata sosok tubuh itu yang tak lain dari si jangkung 
Wong Duwur. Dia sudah segera lepaskan jubahnya.
"Kunyuk tua! Menyingkirlah dulu...! Aku belum 
lakukan apa-apa...!"
"Hah!?... tapi..." Ujar si jangkung penasaran.
"Jangan tanya apa-apa! berikan padaku ra-
muan simpananmu...! Desis Seto Bungkrik dengan ju-
lurkan lengannya. Wajah Wong Duwur jadi berubah 
kecewa. Lengannya bergerak menyambar jubahnya. 
Lalu meraba-raba ke dalam kantung jubah. Entah dari 
mana datangnya, tahu-tahu bersyiur angin keras ber-
gulung-gulung seperti pusaran angin puyuh. Seto 
Bungkrik dan Wong Duwur jadi terkejut. Bahkan ju-
bah si jangkung telah terbawa melayang ke atas. Ter-
paksa laki-laki itu mengejarnya. "Setan...!? Ucap Wong 
Duwur seraya lakukan lompatan tinggi untuk me-
nangkap jubahnya yang terbawa pusaran angin ke 
udara.
Si Pendek Seto Bungkrik tak sabaran. Tubuh-
nya bergerak melompat untuk turut mengejar jubah. 
"Celaka...! Aku khawatir bungkusan obat ramuan da-
lam kantung jubahnya lenyap melayang...!" Desisnya. 
Ketika jejakkan kaki ke dekat Wong Duwur ternyata 
laki-laki jangkung itu sudah berhasil menyambar ju-
bahnya. Dan kembali melayang turun. Sementara an-
gin pusaran itu masih berputar-putar menerbangkan 
dedaunan dan debu pasir dan tanah. Membuat mereka 
harus menyipitkan mata.
Pada saat itulah berkelebat sebuah bayangan 
kuning, menyambar tubuh Pipit Lurik, tanpa seorang

pun yang melihat kejadian yang begitu cepat. Lalu 
membawanya berkelebat. Sementara Kemang Suri ma-
sih pejamkan mata setelah berhasil mencapai kepua-
san. Bahkan ketika angin pusaran itu menerpa seperti 
tak perduli lagi. Hingga saat tubuh bugil Pipit Lurik di-
bawa berkelebat dia tak mengetahui sama sekali. Apa-
lagi gerakannya tak menimbulkan suara.
Namun sesaat sesudah bayangan kuning itu 
lenyap, Kemang Suri baru tersadar setelah membuka 
mata melihat tubuh Pipit Lurik dan si pendek Seto tak 
berada di tempat. Saat itu si pendek Seto sudah kem-
bali melompat ke tempat asalnya. Akan tetapi betapa 
terkejutnya melihat ke tempat sang gadis itu yang su-
dah tinggal bekasnya saja.
"Hah...!" Kemana dia??!" Teriak si pendek ini 
dengan mata terbelalak.
"Hei, dewiku, apakah kau melihat kemana gadis 
itu...?" Tanyanya pada Kemang Suri. Tentu saja Ke-
mang Suri gelengkan kepalanya.
"Kunyuk! Pasti ada orang yang telah melari-
kannya ketika terjadi angin pusaran tadi!" Sentak Seto 
Bungkrik dengan tercenung. Tak ayal dia sudah ban-
tingkan kaki dengan geram. Lalu tubuhnya bergerak 
melompat untuk menyambar pakaiannya yang sudah 
melayang ke beberapa tempat, terkena serempetan an-
gin tadi.
"Huh, sial...! kita harus cari kemana gadis itu!" 
Berkata si pendek Seto Bungkrik dengan hati mengkal, 
karena niatnya belum tercapai, tapi dia sudah keburu 
lemas karena mengumbar emosi berlebihan.
Akibat kemendongkolannya itu, Jaran Perkoso-
lah yang dijadikan sasarannya.
***

4

Siapakah gerangan yang telah melarikan tubuh 
bugil Pipit Lurik? Marilah kita ikuti kemana keper-
giannya... Berkelebatnya bayangan kuning itu begitu 
cepat membawa lari tubuh Pipit Lurik yang dalam kea-
daan tanpa busana. begitu cepatnya hingga seolah di-
bawa terbang menuruni bukit, menyeberangi sungai 
dan memasuki hutan rimba.
Selang kira-kira semakanan nasi, sosok tubuh 
itu memperlambat larinya, karena jalan yang dilalui 
adalah memasuki celah-celah pepohonan dan semak 
belukar. Kiranya yang memondongnya adalah seorang 
laki-laki berpakaian indah, dari sutera kuning. Mema-
suki benang-benang emas di bagian dadanya. Ikat ke-
palanya juga dari bahan yang mahal yang biasa dipa-
kai oleh para bangsawan. Ternyata laki-laki itu masih 
berusia cukup muda, yaitu sekitar dua puluhan tahun. 
Berwajah tidak begitu jelek, dan cukup gagah. Menilai 
dari pakaiannya, memang mirip anak seorang bangsa-
wan. Di belakang punggung pemuda ini terselip gagang 
sebuah senjata yang terbungkus kain sutera hitam.
Tak lama pemuda bangsawan itu telah mema-
suki satu tempat yang bersih dan teratur. Di bagian
depan tampak anak tangga dari batu yang memanjang 
berkelok-kelok. Segera dia mempercepat lagi langkah-
nya. Sementara bibirnya selalu menampakkan senyu-
man, yang sebentar-sebentar leletkan lidah. Bahkan 
entah beberapa kali lengannya bergerak mengelus atau 
meraba tubuh gadis yang dipanggulnya.
Beberapa kejap antaranya, si pemuda itu telah 
berada di depan sebuah pondok mungil yang berada di 
atas undakan tangga. Tempat itu sunyi, tiada orang. 
Dan pondok mungil beratap ijuk itupun sunyi tanpa

penghuni.
Secepatnya pemuda ini sudah mendekati pon-
dok mungil itu, dan terdengar suara pintunya ketika 
dibuka. Matanya liar meneliti tempat sekitar ruangan, 
yang cuma terdapat sebuah pembaringan lengkap den-
gan bantal dan guling beralaskan kulit harimau. Dan 
sebuah meja kecil dengan sebuah kendi air diatasnya.
"Hm, bagus! Sudah kuduga, tempat yang sering 
dikunjungi ayah ini adalah tempat yang nyaman! En-
tah kemana penjaganya...? Apakah tak seorangpun
yang menjaga tempat ini...?" Berguman si pemuda.
Tapi segera jatuhkan perlahan beban yang di-
bawanya di pembaringan. Sementara sentakan-
sentakan kuat di hatinya sudah sedari tadi dirasakan 
pemuda itu. Apalagi kini melihat tubuh mulus tanpa 
sehelai benangpun menutupi, terpampang dengan se-
gala keindahannya.
"Ah, memang amat cantik, gadis ini...! Kalau 
tak salah adalah anak si Ketua Perusahaan Pengantar 
dan Pengawalan barang! Karena aku pernah melihat-
nya ketika ayah mengajakku memesan kereta untuk 
mengantar barang-barang milik ayah, berikut menga-
walnya. Dan tampaknya ayah amat akrab bercakap-
cakap dengan si Ketua Benteng Macan Gunung! Ya, 
orang tua itu bernama Jaran Perkoso...!" Memikir si 
pemuda dalam hati. Sementara lengannya bergerak 
mengelus kedua perbukitan yang ranum itu dan ber-
henti di satu putiknya.
Makin lama semakin menjulur ke arah yang 
lainnya. Dan terdengar desahan-desahan keluar dari 
mulut sang gadis. Rupanya pengaruh dari dua butir pil 
yang dijejalkan ke mulut gadis itu oleh si pendek Seto 
Bungkrik masih bereaksi.
Hal mana membuat si pemuda Bangsawan itu 
semakin tergetar jantungnya. Debaran demi debaran

didadanya berkelanjutan dengan dilepaskannya pa-
kaian pemuda itu, yang tampakkan senyum menyerin-
gai.
Tak berapa lama terdengar desah-desah angin 
seperti saling bertumpuan menerpa di dalam pondok 
mungil itu.
Kegagalan si pendek Seto Bungkrik dalam me-
laksanakan hajatnya telah membuat Pipit Lurik bagai-
kan seekor ular betina yang mengeliat dan mendesis 
tiada henti.
—oOOOo—
Tiga sosok tubuh tampak berindap-indap men-
dekati pondok mungil itu. Sesosok tubuh sudah me-
lompat dengan tak sabar ke depan pondok. Dan..
BRRAAKKK....!
Pintu papan berukir pondok itu telah hancur 
berantakan dihantam pukulan lengan sosok tubuh itu 
yang tak lain dari si pendek Seto Bungkrik.
"Bedebah, pencuri busuk! Kuhabisi nyawa-
mu...!" Teriak Seto Bungkrik seraya melompat ke da-
lam.
Akan tetapi tak ada jawaban, kecuali sesosok 
tubuh layu yang tergeletak keluarkan keluhan di atas 
pembaringan bertilamkan seprai dari Kulit macan. Itu-
lah Pipit Lurik, yang masih belum tersadar dari penga-
ruh pil yang dijejalkan si Seto Bungkrik padanya.
Tubuh wanita itu telah tertutupkan kain seli-
mut. Sepasang matanya masih terpejam dengan wajah 
pucat dan rambut awut-awutan. Adapun si pendek ini 
telah jelalatkan matanya mengitari seluruh ruangan, 
bahkan berjongkok melongok ke bawah pembaringan, 
namun memang di pondok itu tak dijumpai siapa-
siapa. "Setan belang...! kemana kaburnya si pencuri

sialan itu...?" Desis suara si pendek. Namun disamping 
mendongkol, tapi juga bergirang karena si gadis telah 
ditemukan juga. Walau tentunya dia telah keduluan 
oleh sang pencuri yang tentunya sudah mencicipi ke-
hangatan tubuh gadis incarannya.........
Sementara si jangkung Wong Duwur dan Ke-
mang Suri telah menyusul melompat ke depan pondok 
mungil di ujung batu undakan itu.
Akan tetapi pada saat itu juga terdengar satu 
suara halus di belakang mereka. Entah dari mana 
munculnya telah berdiri sesosok tubuh berpakaian ba-
gus, dengan menggendong tangan dibelakang, tengah 
menatap mereka.
"Maaf sobat-sobat orang sakti...! ada apakah 
membuat kegaduhan di tempatku...?" Bertanya orang 
itu.
Terkejut kedua tokoh hitam ini, dan segera pa-
lingkan mukanya menatap ke arah suara dibelakang-
nya. Seorang laki-laki tua bertubuh gemuk dengan ba-
ju sutera warna-warni. Memakai jubah panjang warna 
biru tua yang belahannya terbuka di depan, perli-
hatkan wajah tersenyum pada mereka.
Laki-laki gemuk ini berkumis tipis yang ujung-
nya terjuntai memanjang. Jenggotnya yang berwarna 
putih cuma sejumput saja, bagai jenggot kambing. Wa-
jahnya tampak ramah dengan sepasang mata agak si-
pit, serta alis terjuntai pula kedua ujungnya. Seto 
Bungkrik cepat-cepat melompat ke pintu untuk meli-
hat siapa adanya yang telah buka suara. Jangan-
jangan ini pencurinya yang menggondol gadisku...! 
Sentak hatinya begitu melihat ada sesosok tubuh di si-
si batu undakan.
Mereka bertiga jadi saling pandang, karena si-
kap orang tua itu tak seperti orang berilmu tinggi, jelas 
seorang bangsawan menilik dari pakaiannya. Belum

lagi Seto Bungkrik buka mulut, si bangsawan tua itu 
sudah mengulang bicara.
"Sekali lagi, aku si tua ANJASMORO mohon 
maaf pada anda orang- orang sakti, ada apakah yang 
terjadi hingga membuat kegaduhan di tempat ku 
ini...?" Berkata demikian orang tua bangsawan ini 
menjura dengan sikap amat hormat. Hening sejenak. 
Dan kembali ketiganya saling pandang. Tak mungkin 
kalau orang ini yang telah melakukan penculikan pada 
si gadis tadi. Demikian pikir dibenak mereka masing-
masing. Tak ayal segera mereka balas menjura.
"Hihihi... kami digelari si TIGA SILUMAN BUKIT 
HANTU! Kedatangan kami kemari adalah mencari seo-
rang pencuri busuk yang telah mencuri adik perem-
puan rekan kami!" Ujar Kemang Suri dengan sikap ge-
nit, seraya lirikkan mata pada si pendek Seto 
Bungkrik. "Oh!? begitukah...? lalu..." Jawab si Bang-
sawan tua seperti menampakkan keterkejutannya.
"Kami mengejarnya, ternyata malingnya sudah 
lenyap, sedangkan adik perempuan rekan kami itu 
berhasil kami temukan lagi berada di dalam pondok 
mungil ini...!"
"Ya, aku si Seto Bungkrik yang telah menghajar 
daun pintu pondok ini, karena menduga dia bersem-
bunyi di dalam! Ternyata benar! Namun kami terlam-
bat datang, karena manusianya sudah merat terlebih 
dulu!" Ujar si pendek dengan wajah geram.
"Apakah anda mengetahui jelas ciri-ciri si pen-
culik itu?"
"Sayang sekali kami tak mengetahuinya sama 
sekali baik rupa maupun pakaiannya!" Ujar lagi Ke-
mang Suri.
Sementara si Bangsawan tua kerutkan kening-
nya.
"Aneh! Lalu dari siapa kalian orang-orang sakti

bisa mengetahui kalau penculiknya sembunyi dalam 
pondok ini?" tanya si Bangsawan tua.
"Kami menemukan seorang penjaga di tempat
ini, akan tapi sayang dia seorang yang gagu! Di cuma 
menunjuk-nunjuk saja ke arah sini memberitahukan 
dengan isyarat! Apakah dia penjaga di tempat ini yang 
ditugaskan oleh anda?" tutur Kemang Suri seraya aju-
kan pertanyaan. Laki-laki tua Bangsawan itu kembali 
unjukkan wajah tersenyum, dan berkata:
"Benar! Sudahlah kalau penculiknya tak dapat 
ditemukan, kalau adik perempuan sobat... Seto 
Bungkrik ini sudah dapat ditemukan tak menjadi apa! 
Oh, ya disamping terkejut, aku si tua Anjasmoro mera-
sa kebetulan sekali berjumpa dengan para tokoh sakti 
Rimba Persilatan yang ternyata bergelar Tiga Siluman 
Bukit Hantu! Bagaimana kalau aku si tua ini mengajak 
anda ke tempat tinggalku?. Ya, hitung-hitung menam-
bah pengetahuanku, karena aku amat senang berke-
nalan dengan orang-orang sakti Rimba Hijau! Haha-
ha... jangan khawatir, aku si tua akan menjamu kalian 
orang-orang sakti sampai puas!" Berujar si laki-laki 
tua Bangsawan dengan menunjukkan sikap persaha-
batan.
Melengak si Tiga Siluman Bukit Hantu ini, dan 
lagi-lagi ketiganya saling pandang. Seto Bungkrik dan 
Wong Duwur cuma manggut-manggut menatap pada 
Kemang
Suri. Kemang Suri palingkan lagi kepalanya 
menatap pada si laki-laki tua Bangsawan itu, seraya 
manggut-manggut dan menyatakan bersedia bertamu 
ke tempat tinggal si Bangsawan tua.
—oOOOo—
Di sebelah utara kota UNGARAN ternyata merupakan daerah yang hidup, karena disana banyak 
tinggal kaum Ningrat dan para pedagang maupun 
Bangsawan. Bahkan di tempat itu adapula tinggal ke-
luarga dari Adipati Banyu Biru.
Disudut utara kota yang padat penduduknya 
itu tinggal seorang bangsawan Tua yang terkenal ra-
mah tamah dan berwibawa. Yaitu Raden Mas Anjasmo-
ro, yang mendiami gedung megah dengan belasan pen-
gawal yang dimilikinya.
Menjelang senja, tampak iringan-iringan orang 
berkuda memasuki wilayah utara kota Ungaran. Ter-
nyata adalah si Bangsawan Tua Anjasmoro itu, yang 
datang bersama ketiga tamunya si Tiga Siluman Bukit 
Hantu. Tentu saja si pendek Seto Bungkrik membawa 
serta si gadis bernama Pipit Lurik itu dalam pang-
kuannya di atas kuda.
Beberapa penduduk yang sempat berpapasan 
dengan rombongan itu tentu akan menjura hormat pa-
da si Bangsawan terkenal itu, yang berikan senyu-
mannya pada setiap orang yang dijumpai.
Tak berapa lama dua orang penjaga telah mem-
bukakan pintu utama di depan gedung megah milik si 
Bangsawan Tua itu. Dan mereka segera beranjak ma-
suk. Ketika mereka masing-masing turun dari ku-
danya, segera beberapa penjaga berdatangan untuk 
membenahi kuda-kuda itu. Binatang tunggangan yang 
mereka naiki adalah didapatkan dengan mudah. Kare-
na di setiap tempat si Bangsawan Tua banyak mempu-
nyai kenalan.
PIPIT LURIK terkejut ketika dapatkan dirinya 
berada di sebuah pembaringan empuk berseprai bersih 
dan bagus. Dan dalam sebuah kamar yang indah. Se-
buah jendela yang terkuak terbuka sebagian, menam-
pakkan latar belakang sebuah taman bunga. Juga se-
buah lampu gantung yang terbuat dari besi ukiran berada di langit-langit ruangan kamar. Gadis ini beranjak 
bangkit untuk duduk, terkejut dia karena rasakan tu-
buhnya tak mengenakan pakaian sama sekali, kecuali 
sebuah selimut berbau harum yang membungkus tu-
buhnya.
Oh, apa yang telah terjadi denganku? Di mana-
kah ini? Tempat ini bukan kamarku...! Ya, kamar ini 
lebih indah, dan amat indah melebihi kamarku...! Ber-
tanya-tanya Pipit Lurik dalam hati.
Segera dia mulai mengingat-ingat apa yang te-
lah terjadi. Gadis ini ternyata telah lupa pada kejadian 
di atas bukit, akibat pengaruh dua butir pil yang dije-
jalkan dalam mulutnya oleh si pendek Seto Bungkrik.
Semalam suntuk dia telah tertidur pulas, bah-
kan ketika dia tersadar, matahari sudah mulai me-
ninggi.
Setelah lama termangu-mangu, akhirnya Pipit 
Lurik mulai dapat mengingat lagi kejadian mengerikan 
di atas bukit, dimana tubuhnya tengah digeluti oleh si 
pendek Seto Bungkrik salah satu dari Tiga Siluman 
Bukit Hantu.
Mengingat demikian, gadis ini tiba-tiba perden-
garkan jeritan histeris. Wajahnya seketika pucat pias 
ketakutan.
"Tidaaaak...! tidaaaak...! Oh, lepaskan aku...! 
lepaskaaaann!" Dan dia sudah bangkit dari pembarin-
gan. Sekejap saja sepasang matanya telah member-
sitkan air bening yang menggenangi pelupuk matanya.
Pada saat itulah sesosok tubuh melompat ke 
dalam kamar setelah membuka daun pintu dengan ce-
pat. Terkejut pipit Lurik menatap siapa yang datang. 
Akan tetapi juga terheran... karena di hadapannya bu-
kanlah wajah jelek si pendek gundul itu, melainkan 
seorang pemuda gagah berpakaian mewah, yang mena-
tap padanya. Dan segera telah berikan senyuman manis terhadapnya.
"Oh...? no... nona sudah sadarkan diri...? Su-
kurlah! Dan tenanglah, nona..! kau berada di tempat 
yang aman! Namaku PITRA SENA! Kau berada di ka-
mar dalam gedung ayahku Raden Mas Anjasmoro...!" 
Berkata pemuda itu dengan lemah lembut. Adapun Pi-
pit Lurik tergesa-gesa menutupi kembali tubuhnya, 
dan membuntalnya dengan selimut. Apakah gerangan 
yang terjadi? Mengapa aku bisa berada di gedung si 
Bangsawan Tua sahabat ayahku ini..? Sentak hati Pipit 
Lurik.
Tiba-tiba mendadak gadis ini rasakan kepa-
lanya mendadak jadi pening dan rumit memikirkan 
semuanya. Dan sekonyong-konyong dia mulai mengin-
gat pada sang ayah.
Tak ayal Pipit Lurik kembali menjerit histeris 
menyebut-nyebut nama ayahnya, dengan menelung-
kupkan wajah di kedua lengannya.
Membuat pemuda itu jadi tampak kebingun-
gan, dan segera mendekati seraya mengelus pundak-
nya. Akan tetapi Pipit Lurik telah melompat ke sudut 
pembaringan.
"Pergi kau...! pergii Jangan jamah aku! Ke mana 
ketiga manusia iblis itu? Katakan di mana mereka! 
Aku harus membunuhnya mampus! Dia... dia pasti te-
lah bunuh ayahku! Ayaaah...! oh, ayaaaah....." Setelah
berteriak-teriak, Pipit Lurik kembali menangis tersedu-
sedu.
Pemuda bernama Pitra Sena itu cuma men-
diamkan saja menatap si gadis dengan tersenyum, ka-
rena maklum kalau dia tengah shok dengan kejadian 
yang dialaminya. Tiba-tiba sang gadis sudah hentikan 
lagi tangisnya. Kini hatinya memikir akan apa yang te-
lah dialami. Barulah dia sadar kalau dirinya telah ter-
noda.

Ya, ternoda oleh si manusia pendek bernama 
Seto Bungkrik itu. Dan dia ingat benar akan kejadian-
nya. Seketika lemahlah sekujur tubuhnya. Air matanya 
yang mengalir di pipi terasa panas. Tiba- tiba dia telah 
angkat wajahnya, seraya menatap pada si pemuda 
yang masih berdiri menatapnya.
"Maafkan kekhilafan ku, kakak...! Dapatkah 
kau ceritakan mengapa aku bisa sampai berada di si-
ni?" Bertanya Pipit Lurik menahan isaknya.
Pitra Sena tersenyum, seraya menyahuti den-
gan kata-kata lemah lembut.
"Tenangkan hatimu, nona..! beristirahatlah, 
aku akan memanggil pelayan untuk membawakan pa-
kaian buatmu...! Biarlah nanti setelah kau selesai ber-
santap, aku akan menceritakan kejadiannya pada no-
na... ng... anda bernama Pi... Pipit Lurik, bukan...?"
Pipit Lurik mengangguk seraya tundukkan wa-
jahnya. Tatapan mata pemuda anak si Bangsawan Tua 
Raden Mas Anjasmoro itu seperti menembus ke jan-
tungnya, membuat hatinya jadi berdebar. Diakah yang 
telah menolongku...? Ataukah ayahnya..?r
Ah, seandainya dia atau ayahnya yang telah 
melakukan pertolongan padaku, sama saja! Tapi 
alangkah menyesalnya aku menolak keinginan ayah 
menjodohkan aku padanya. Dan kini... kini semua ha-
rapan ayah telah musnah! Bahkan aku tak tahu ba-
gaimana nasib ayah kini! Ya, aku tak tahu lagi! Namun 
aku pasti akan segera tahu, kalau ayah Pitra Sena su-
dah menuturkannya padaku...! Memikir gadis ini.
Sementara Pitra Sena telah keluar dari kamar
untuk memanggil pelayan. Ternyata beberapa pelayan 
wanita telah berada di balik pintu sejak tadi, karena 
telah mendengar suara teriakan-teriakan dan tangis 
Pipit Lurik di dalam kamar. Segera saja Pitra Sena me-
nyuruhnya menyediakan pakaian untuk sang gadis

itu.
Sementara dia sendiri berlalu ke arah ruangan 
depan, dimana sang ayah masih duduk sambil meng-
hisap cangklongnya.
Laki-laki Bangsawan ini sudah sejak tadi men-
dengar suara teriakan dan tangisan gadis itu. Akan te-
tapi dilihatnya Pitra Sena telah berlari melihat, hingga 
dia tak berniat bangun melihatnya. Adapun Raden Mas 
Anjasmoro ini tengah bercakap-cakap dengan anak la-
ki-lakinya itu, yang terputus oleh teriakan Pipit Lurik 
tadi.
Tak lama Pitra Sena sudah muncul di ruangan 
depan. Laki-laki gemuk ini menoleh, seraya menatap 
pada sang anak.
"Bagaimana dengan gadis itu, Pitra Sena! Apa-
kah sudah dapat kau bujuk dan jelaskan kejadian-
nya?" Tanyanya.
"Sudah, ayah! akan tetapi aku belum ceritakan 
apa-apa padanya! Kuharap kau mengerti, ayah...." Pi-
tra Sena mendekati ayahnya, dan bisikkan sesuatu 
padanya. Selang sesaat, terdengar suara tertawa pela-
han Sang Bangsawan Tua ini.
"Jadi kau menginginkannya? Hm, gadis itu te-
lah ternoda! Terserah kau! Asalkan kau tak mengawi-
ninya! Kau tahu! Punya istri itu banyak resikonya, dan 
kau masih terlalu muda!" Ujar sang Bangsawan tua 
itu.
"Ayah...! Akulah yang telah menodainya! Dan 
aku yakin bahwa akulah yang pertama...!" Berkata Pi-
tra Sena dengan tersenyum pada sang ayah.
Raden Mas Anjasmoro naikkan alisnya dengan 
mata melotot menatap sang anak.
"Jadi kau yang menculiknya...?" Tanyanya den-
gan heran.
"Benar ayah! Gadis itu tengah diperkosa...!

akan tetapi aku telah lihat sendiri bahwa si pendek Se-
to Bungkrik itu belum berhasil melakukannya!
"Lalu kau culik?"
"Ya, dengan pergunakan jurus "Angin Puyuh 
Menghalau Naga", tapi tidak terlalu keras! Cukup me-
nerbangkan jubah si jangkung Wong Duwur itu!" Lalu 
Pitra Sena ceritakan sedikit akan perbuatannya, hing-
ga berhasil menggondol Pipit Lurik.
"Bocah edan! Hati-hati kau, jangan sembaran-
gan membuka rahasia kalau kau ada mempunyai ilmu! 
Aku memang pernah mengajak si tua Jaran Perkoso 
itu untuk berbesan! Akan tetapi dengan maksud ter-
tentu...."
"Apakah itu, ayah?" Tanya Pitra Sena ingin ta-
hu.
"Hm, nantilah aku jelaskan...! Kini bagaimana 
mengenai keadaan si tua Jaran Perkoso itu? Apakah 
masih bisa diselamatkan nyawanya?"
"Entahlah! Ketika aku kembali lagi ke bukit itu, 
dia sudah hampir mati! Luka-lukanya amat parah! Su-
dan pasti dihajar oleh si pendek Seto Bungkrik itu, 
yang amat mendendam padanya!" ujar Pitra Sena. Lalu 
teruskan pembicaraannya.
"Tadinya aku tak mau ambil peduli, akan tetapi 
kudengar dia memanggil namaku. Segera ku hampiri. 
Ternyata dia ada berkata-kata:
"Anak Mas... kau carilah.. a.. anakku Pipit Lu-
rik! Ah, seandainya kau berjodoh... dengan.. anak ga-
disku, alangkah bahagianya aku...".
Berkata si pemuda tirukan suara Jaran Perko-
so.
"Lalu bagaimana kelanjutannya?" Tanya Raden 
Mas Anjasmoro penuh perhatian.
"Dia tuliskan sesuatu yang aku tak mengerti 
pada sobekan pakaiannya dengan darah, lalu berikan

pada ku.! Tampaknya dia mau katakan sesuatu lagi, 
tapi dia sudah keburu pingsan! Karena bukit itu jauh 
dari desa, dan aku tak mau pakaian ku kotor kena da-
rah. Terpaksa dia ku tinggalkan saja di bukit itu, entah 
mati ataukah masih bernyawa, aku tak mengetahui..!" 
Ujar Pitra Sena polos.
Terkejut Raden Mas Anjasmoro, segera terden-
gar suaranya mendesis.
"Apakah, kain bertuliskan darah itu masih be-
rada padamu?" Pitra Sena mengangguk. "Cepat beri-
kan padaku, aku ingin lihat!". Berkata si Bangsawan 
Tua dengan nada tak sabar.
Cepat-cepat Pitra Sena berikan sobekan kain 
yang diselipkan di saku celananya, yang telah dibung-
kus sobekan kain lagi. Bahkan Pitra Sena sendiri 
hampir lupa kalau masih mengantongi sobekan kain 
pemberian Jaran Perkoso.
Laki-laki Bangsawan tua itu memperhatikan tu-
lisan yang tak berbentuk huruf, seperti tak mempunyai 
arti sama sekali. Bahkan beberapa kali dia memutar-
mutarkan dan membolak-baliknya, akan tetapi tetap 
tak mengerti.
"Hm, mungkin si tua Jaran Perkoso itu menyu-
ruhmu memberikan kain bertuliskan darah ini untuk 
anak gadisnya..." Ujarnya perlahan. "Biarlah aku yang 
menyimpannyal" Sambungnya lagi.
Kemunculan si Tiga Siluman Bukit Hantu ter-
nyata membawa bencana besar atas keadaan di sekitar 
wilayah kota Ungaran. Karena siang itu keadaan di da-
lam markas Benteng Macan Gunung tengah terjadi ke-
kacauan..... suara benturan senjata dan bentakan-
bentakan keras, serta teriakan-teriakan ngeri terden-
gar saling susul. Bercampur dengan suara ringkik ku-
da yang ketakutan. Apakah gerangan yang terjadi?.
Kiranya setelah habis dijamu oleh Raden Mas
Anjasmoro, si Tiga Siluman Bukit Hantu mendatangi 
ke markas itu untuk melakukan pembunuhan. Teru-
tama adalah men cari dua dari Tiga Macan Gunung 
Muria.
Tentu saja kedatangannya disambut oleh para 
anak buah penghuni markas, hingga terjadi pertarun-
gan seru. Namun para anak buah bagaikan lalat yang 
dimakan api. Beberapa betas sosok tubuh sudah ber-
kaparan mandi darah dalam keadaan tak bernyawa. 
Saat itu Gantar Sewu belum, kembali dari mengawal 
barang. Cuma ada Jaka Keling yang menjaga markas. 
Laki-laki ini memang sedang resah, karena seperti janji 
Jaran Perkoso yang akan kembali pada Sore kemarin, 
ternyata tak kelihatan datang. Bahkan sampai menje-
lang slang lagi. Dia baru mengutus beberapa orang 
anak buahnya untuk melihat atau menyelidiki ke be-
berapa tempat dataran tinggi.
Namun belum lagi para anak buahnya kembali, 
telah datang tiga manusia yang menebar maut di mar-
kas Benteng Macan Gunung.
Di sudut pertarungan tampak pemuda berusia 
tiga puluh tahun itu tengah bertarung dengan si pen-
dek bertongkat kepala telapak tangan besi yang me-
layaninya dengan seru.
"Hahaha.. hehe... ilmu pedang Tiga Macan Gu-
nung ternyata cuma begini saja! Hayo, keluarkan ju-
rus-jurus maut mu yang terkenal itu!"
"Iblis pendek keparat! Apa kesalahan pihak 
kami? Mengapa tiba- tiba kalian lakukan pembantaian 
di markas kami!" Bentak Jaka Keling, seraya lakukan 
serangkaian serangan. Pedangnya berkelebatan bagai-
kan puluhan pedang yang berkelebatan mengurung 
tubuh sang lawan.
"Hehehe ... tak perlu tanya-tanya segala kesa-
lahan! Pokoknya Tiga Macan Gunung Muria harus kutumpas semua sampai lenyap! Setelah Jaran Perkoso, 
kini giliran saudara-saudara seperguruannya!" Ujar si 
pendek Seto Bungkrik seraya mengelakkan beberapa 
serangan bahkan balas merangsak dengan hebat.
Namun Jaka Keling dengan lincah menghinda-
ri, walau tak urung ujung telapak tangan besi itu me-
robek pakaiannya yang menyerempet bahu, dan meng-
gores kulitnya. Jaka Keling melompat mundur tiga 
tombak. Wajahnya meringis, merasakan pedih dari lu-
kanya. namun hai itu tak membuatnya terkejut. Me-
lainkan kata-kata tentang kakak seperguruannya Ja-
ran Perkoso itulah yang membuatnya terperanjat.
"Hah!? Kalian... telah membunuh kakang Jaran 
Perkoso?". Teriaknya tertahan. "Hahaha... tidak salah! 
kakak seperguruanmu itu sudah mampus! dan anak 
gadisnya telah berada dalam tawananku...!".
Terkejut bukan alang kepalang Jaka Keling, 
Seketika dia sudah membentak keras, dan menerjang 
dengan sambaran-sambaran pedangnya yang mengge-
bu.
"Iblis keparat! aku akan adu jiwa denganmu..!". 
Dan mengamuklah Jaka Keling bagaikan singa terluka.
***
5


Sementara Kemang Suri dan Wong Duwur den-
gan enak saja melakukan pembantaian secara keji. 
Kepandaian kedua manusia itu bukanlah tandingan 
para anak buah si Tiga Macan Gunung Muria. Teria-
kan-teriakan maut terdengar dimana-mana. Singo 
Bronto salah seorang tangan kanan Tiga Macan Gu-
nung Muria itu tampak telah terluka parah. Sebelah

lengannya dihantam remuk oleh tongkat kepala Teng-
korak Wong Duwur. Akan tetapi tanpa menghiraukan 
rasa sakit yang luar biasa itu, dia sesudah menerjang 
lagi dengan gigih.
"Hehehe... tenagamu kuat juga! Apakah kau sa-
lah satu dari si Tiga Macan Gunung Muria?". Berkata 
dingin si jangkung Wong Duwur. Akan tetapi Singo 
Bronto tak menjawab. Bahkan mencecar dengan se-
rangan-serangan tajam dengan sebelah lengan. Ter-
nyata cukup membuat Wong Duwur harus waspada. 
Salah-salah lengannya bisa kena terbabat putus oleh 
pedang lawan yang mengamuk hebat ini. Tiba-tiba la-
ki-laki jangkung ini perdengarkan suara geraman 
menggertak. Tongkatnya berputar cepat dengan puta-
ran menyilang, membuat Singo Bronto terperangah Ka-
rena dia sudah tak dapat membedakan lagi kemana 
arah sambaran tongkat lawan. Ketika tahu-tahu benda 
keras telah menghantam kepalanya.
Laki-laki ini perdengarkan jeritannya. Lalu ro-
boh terguling meregang nyawa. Sekejap kemudian te-
was dengan kepala rengat mengerikan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan 
keras yang bersuara nyaring.
"Iblis-iblis keji! Hentikan perbuatan kalian...!!"
Suara itu terdengar amat berpengaruh. Mem-
buat ketiga tokoh hitam itu segera melompat mundur. 
Jaka Keling pun dapat bernapas lega, karena segera 
terlepas dari kepungan ketat tongkat si pendek Seto 
Bungkrik.
Sementara beberapa pasang mata segera tertu-
ju pada berkelebatnya sesosok tubuh yang telah bera-
da di tempat itu.
Siapakah gerangan pendatang bersuara nyaring 
ini?. Tak lain adalah si Pendekar Wanita Pantai. Sela-
tan RORO CENTIL.

Seorang dara cantik luar biasa dengan rambut 
lebat terurai ke punggung, berbaju sutera warna me-
rah muda tengah berdiri menatap ketiga manusia di-
hadapannya, Di kedua lengannya mencekal sepasang 
senjata RANTAI GENIT, yang bentuk bandulannya mi-
rip buah dada.
Melengak ketiga manusia bergelar Tiga Siluman 
Bukit Hantu itu. Jelas suara bentakan barusan amat 
berpengaruh. Karena seperti bergetar menembus ke 
masing-masing jantung, menimbulkan hawa aneh 
yang membuat menciutnya nyali orang.
Melihat yang muncul adalah seorang dara can-
tik, serta bersenjatakan benda aneh demikian si pen-
dek Seto Bungkrik jadi tersenyum lucu. Akan tetapi 
bentakan itu memang telah membuat jantungnya sera-
sa copot. Siapakah gerangan adanya gadis aneh ini? 
Pikir si pendek dalam benaknya. Sementara Kemang 
Suri sudah mendengus dihidung melihat dara itu. Dia 
sudah melompat ke hadapan Roro Centil dan berkata 
dengan nada menghina.
"Eh, dari mana datangnya kuntilanak centil 
ini?. Hihihi.. rupanya masih doyan menyusu, hingga 
kemana-mana membawa tetek ibunya...?
Seraya berkata Kemang Suri palingkan kepa-
lanya pada dua kawannya di belakang. Wong Duwur 
dan Sato Bungkrik lantas saja menimpali dengan ter-
tawa gelak-gelak. Adapun Roro Centil cuma perli-
hatkan senyumannya, dan tertawa jumawa seraya 
berkata seenaknya.!
"Hu, tidak salah ucapan mu itu Ratu Kuntila-
nak! Aku memang masih doyan menyusu...!" Seraya 
berkata Roro Angkat sebuah Rantai Genitnya. Bandu-
lan aneh berbentuk buah dada itu diangkatnya tinggi-
tinggi. Lalu tengadahkan kepalanya seraya monyong-
kan mulut untuk mengecup putik "buah dada". Dengan ujung lidah dia telah memutar putik diujung 
payudara senjatanya itu. yang segera mengucur air. 
Selanjutnya dengan lahap Roro sudah menenggaknya 
beberapa teguk.!
Seandainya yang berkata seorang laki-laki ga-
gah, tak nantinya dia akan marah dirinya disebut Ratu 
Kuntilanak.
Akan tetapi yang menyebutnya adalah seorang 
gadis bertampang lugu seperti remaja baru kemarin 
sore, tentu saja membuat darahnya seketika naik ke
kepala. Apalagi dengan sikap memandang rendah, Ro-
ro Jual lagak dihadapannya.
"Eh, setan centil! sebutkan namamu, sebelum 
aku mengirim mu ke Akhirat! Tidak tahukah kau bah-
wa tengah berhadapan dengan TIGA SILUMAN BUKIT 
SETAN...?". Bentak Kemang Suri. Di saat menyebut ju-
lukan mereka, sengaja Kemang Suri memberi tekanan 
keras agar membuat sang dara itu terkejut.
Akan tetapi si dara yang tengah meneguk arak 
dari sebuah "payudara" senjatanya itu sekonyong-
konyong terbatuk-batuk. Karena tiba-tiba saja dia te-
lah tertawa geli. Akibat batuknya itu, sisa-sisa arak da-
lam mulut telah tersembur ke depan. Menyemprot ke 
muka dan pakaian Kemang Suri yang berada dihada-
pannya sejarak lima langkah. Tentu saja Kemang Suri 
tak mau mukanya kena cepretan air arak. Segera ia 
melangkah cepat ke belakang, akan tetapi tak urung 
bajunya terkena juga semburan air arak dari mulut 
Roro Centil.
"Hihihi.. hihi.. kau menyebutku se.. Setan Cen-
til?. Uhuk! uhuk! uhuk! Setannya biarlah kuberikan 
buatmu! Kalau Centilnya tepat sekali untukku! Karena 
namaku memang Roro Centil!". Berkata si Pendekar 
Wanita ini dengan masih terbatuk batuk, dan tertawa 
mengikik geli.

"Bocah edan...! Mulutmu memang harus kure-
mukkan...!" Teriak Kemang Suri, seraya sudah mau 
menerjang. Akan tetapi Wong Duwur sudah melompat 
untuk menahan.
"Tunggu, dewiku...!" Melengak Kemang Suri. 
Namun segera laki- laki ini membungkuk bisikkan se-
suatu di telinga Kemang Suri. Terkejut wanita ini keti-
ka melirik ke arah pakaiannya ternyata sudah bolong 
bolong terkena semburan arak tadi. Yakinlah kini ka-
lau gadis yang diremehkannya ternyata berkepandaian 
tinggi. Segera dia beri isyarat untuk mengurung si dara 
aneh.
"He, apakah kesalahannya orang-orang markas 
ini, hingga sampai kalian si Tiga Siluman Tengik telah 
mengamuk membantai orang semaunya?" Tanya Roro, 
yang seperti tak acuh meneruskan menenggak arak.
Tiga manusia itu tak memberi jawaban, me-
lainkan saling kedipkan mata memberi isyarat. Dan 
dengan berbareng telah berlompatan menerjang ke 
arah Roro.
Jaka Keling yang melihat kejadian itu jadi men-
celos hatinya. Celaka! wanita itu dalam bahaya...! Sen-
tak hati Jaka Keling. akan tetapi sungguh di luar du-
gaan, tahu-tahu ketiga Siluman Bukit Setan itu per-
dengarkan seruan tertahan, dan bergulingan menghin-
darkan diri. Karena tiba-tiba saja bersemburan air 
arak yang menyemprot ketiga penjuru. Beruntung me-
reka dapat lolos dari air semburan arak, namun tak 
urung kepala gundul si pendek Seto Bungkrik terkena 
juga cipratan air semburan arak itu. Seketika melepuh 
bagaikan terkena letikan api. Laki-laki pendek ini me-
nyeringai gusar seraya usap-usap kepala gundulnya. 
Akan tetapi tiba-tiba....
HUUK..! Kembali dia harus berguling menelak-
kan diri ketika merasai sambaran angin ke arah kepalanya.
"Hihihi.. Awas, hati-hati dengan kepala gundul
mu, pendek jelek Kalau hilang tak ada gantinya..!" Ter-
dengar satu suara.
"Bocah edan! Rasakan senjataku." Teriak Ke-
mang Suri seraya melepaskan paku-paku berbisanya. 
Serangkum senjata rahasia meluruk ke arah Roro. Ga-
dis ini gerakkan lengannya mengibas. Dan segelom-
bang angin santar segera membuat paku-paku berbisa 
itu berbalik meluruk ke arah si penyerang.
"Gila...!?" Memaki Kemang Suri seraya melom-
pat tinggi tiga tombak. Senjata rahasianya berdesis 
meluruk lewat di bawah kakinya. Akan tetapi terkejut 
wanita ini ketika injakkan kaki ke tanah, belasan paku 
berbisa itu balik kembali menyerang ke arahnya. 
Edan!? memaki dia dalam hati. Untung dengan cepat 
Kemang Suri putarkan seruling hitamnya, hingga bela-
san paku maut itu buyar ke beberapa penjuru.
Adapun si jangkung berkumis baplang itu jadi 
terkejut melihat ilmu aneh yang dipergunakan Roro. 
Namun sebagai tokoh yang sudah banyak pengalaman 
di dunia Rimba hijau, dia sudah keluarkan bentakan 
seraya menerjang dengan tongkat kepala tengkorak-
nya. "Sebutkan siapa gurumu, nona Centil!"
Roro tertawa mengikik seraya mengelak dengan 
pergunakan jurus langkah Bidadari Mabuk Kepayang. 
"Hihihi... tanyakan pada gurumu diliang kubur, pasti 
akan tahu siapa guruku...!" Dan sekonyong-konyong...
DWES...! Roro sudah hantamkan sebelah tela-
pak kakinya menendang ke dada lawan. Hal mana di-
lakukan dengan tiba-tiba, yang si jangkung tak me-
nyangka sama sekali. Untuk mengelak sudah terlam-
bat. Karena dia tengah perhatikan gerakan cara men-
gelak si dara itu, yang aneh seperti orang terhuyung 
mabuk, namun telah berhasil meloloskan serangan

nya. Terpaksa dia gunakan kekuatan tenaga dalam 
menahan dada. Akan tetapi si jangkung mengeluh, dan 
terhuyung tiga langkah. Seandainya dia tak bertenaga 
dalam tinggi, tentu sudah terlempar sejauh lima tom-
bak. Diam-diam Roro terkejut juga mengetahui kehe-
batan kekuatan lawan. Dia memang sengaja perguna-
kan sepertiga tenaga dalam untuk sementara si pendek 
sudah menggerung keras menerjang dengan tongkat-
nya, menerjang Roro Centil. Telapak tangan besi itu 
berdentingan terkena tangkisan senjata Roro yang ba-
gaikan karet. Bila beradu hantaman langsung mental 
balik menyerang lagi ke arah lawan berpantulan.
Tentu saja membuat si pendek Seto Bungkrik 
jadi kewalahan menyerang seorang diri. Untunglah da-
tang Wong Duwur yang bantu menerjang Roro. Hingga 
segera terjadi pertarungan sengit. Belasan juruspun 
berlalu sudah Agaknya Roro cukup merasa sulit men-
jatuhkan lawan karena mereka bekerja sama dalam 
menyerang dan menyelamatkan kawan Apa lagi tiba-
tiba terdengar suara tiupan seruling yang membersit 
tinggi menggetarkan anak telinga.
Roro seperti terkejut, dan berpaling ke arah si 
peniupnya. Nada seruling yang tinggi rendah itu 
mungkin akan memberi orang lain akan terkena pen-
garuh, akan tetapi bagi Roro tidaklah mempunyai arti 
yang berarti, karena dia sudah salurkan tenaga batin-
nya untuk menutupi pendengaran. Sementara kedua 
penyerangnya tiba-tiba melompat mundur.
Roro amat heran, tapi segera manggut-manggut 
mengerti. Rupanya mereka mempersiapkan diri untuk 
menutupi telinganya. Adapun Roro Centil segera kelua-
rkan akalnya. Tiba-tiba tampak tubuhnya seperti ter-
huyung keras mau jatuh. Wajahnya berubah meme-
rah. Dan terhuyung-huyung dia seperti berusaha me-
nahan kekuatan tenaga dalam yang merusak dan menyerang ke otak.
Dan pada saat berikutnya dua sosok tubuh 
jangkung dan pendek itu telah menerjang lagi dengan 
berbareng.
"Mampuusss...!" Teriak mereka hampir serem-
pak. Akan tetapi di detik itu terdengar suara pekik ke-
sakitan. Dua tubuh penyerang itu terlempar tiga tom-
bak terguling-guling. Kalau si botak pendek Seto 
Bungkrik adalah menjerit karena sepotong lengannya 
hancur. Akan tetapi si jangkung ini adalah sebelah ka-
kinya yang hancur sebatas lutut.
Tentu saja kejadian mendadak itu membuat 
Kemang Suri terperanjat. Dan sekejap saja tiupan se-
rulingnya terhenti.
Saat dia tengah terperangah itulah, tiba-tiba 
berkelebat sebuah bayangan merah ke arahnya. 
WHUSSS...!
PLAK..! Dia telah hantamkan telapak tangan-
nya, akan tetapi dia sendiri yang terlempar ke bela-
kang. Dan di saat sebelum tubuhnya menyentuh ta-
nah, tahu-tahu PLAS...! Seruling ditangannya telah le-
nyap disambar bayangan merah itu.
BUK! tubuhnya terbanting ke tanah. Saat ma-
nalah tiba-tiba Jaka Keling yang sejak tadi jadi penon-
ton, dengan menutupi kedua telinganya, tiba-tiba me-
nampak kesempatan di depan mata. Segera disambar-
nya pedang yang ditancapkan tadi di tanah. Dan... 
JROOSS...!
Pedangnya telah di hujamkan tepat pada jan-
tung si wanita bernama Kemang Suri itu. Terbeliak se-
pasang mata Kemang Suri. Akan tetapi Jaka Keling 
sudah menyentakkan pedangnya. Darah segar segera 
menyemburat keluar memancar deras. Kemang Suri 
berkelojotan meregang nyawanya, Namun tak tame 
sudah tak berkutik lagi. mati, dengan mata melotot.

"Hihihi...bagus! Sobat muda!" Teriak Roro Centil
yang sudah berdiri di depan anak muda itu. Pada len-
gan Roro Centil tercekal seruling hitam Kemang Suri. 
KRAAK...! Roro sudah hancurkan seruling itu.
Sementara si kedua manusia pendek dan jang-
kung itu mengetahui kematian Kemang Suri segera 
sambar tongkat ,asing-masing dan melesat kabur me-
larikan diri,
"Terima... kasih atas bantuan anda... nona 
pendekar....!!" Berkata Jaka Keling seraya menjura. 
Suaranya terdengar parau. Tampak wajahnya pucat 
pias. Agaknya sudah sejak tadi dia menahan kekuatan 
tubuhnya untuk bisa berdiri, karena luka pada ba-
hunya yang tergores ujung tongkat si pendek Seto 
Bungkrik itu mengandung racun, yang mulai menjalar 
ke seluruh tubuh.
Terkejut Roro Centil, baru mau dia berkata, ta-
hu-tahu Jaka Keling sudah jatuh menggabruk di ta-
nah. Tak ayal Roro Centil segera memburunya. Ternya-
ta Roro bertindak cepat tanpa sungkan-sungkan. Sege-
ra ia periksa luka orang. Terkejut Roro mengetahui se-
lingkaran bekas luka sudah berwarna hitam.
"Racun ular sendok...? Desis Roro. Dan sekejap 
dia sudah bungkukkan tubuh, dengan merundukkan 
kepala. Ternyata mulutnya sudah digunakan untuk 
menyedot darah pada bekas luka ini.
Tak berapa lama Roro sudah muntahkan lagi 
cairan darah berwarna hitam dari mulutnya. Lalu sa-
lurkan tenaga dalam ke telapak tangan. Dan menem-
pelkannya ke punggung laki-laki itu. Segera terlihat 
perlahan-lahan wajah laki-laki itu berubah seperti bi-
asa kembali. Bahkan lukanya yang menghitam telah 
lenyap warna hitamnya.
Roro keluarkan sejumput obat bubuk dari da-
lam botol kecil dari kantong bajunya.

Tak lama tubuh laki-laki itu mulai bergerak 
kembali. Dan terdengarlah keluhan, lalu bangkit du-
duk. Merasa keadaan tubuhnya telah kembali normal, 
dan lihat gadis pendekar itu menatap dengan senyum 
di hadapannya, tahulah dia kalau dirinya baru saja di-
tolong. Luka di bahunya sudah tak terasa nyeri lagi.
"Ah, anda telah mengobati lukaku? eh,.. te.. te-
rima kasih, nona Pendekar!" Ucapnya dengan suara 
tergagap. Akan tetapi Roro menyahuti.
"Hihi... panggillah namaku saja, aku Roro Cen-
til! Racun ular Sendok itu amat jahat! terlambat sedikit 
lagi, anda tak mungkin tertolong...! Tutur Roro Centil. 
Melengak pemuda ini. Segera dia manggut-manggut 
seraya kembali ucapkan terima kasih. "Budi pertolon-
gan anda amat besar, nona... Roro...! Semoga Tuhan 
membalas kebaikan hati anda!" Ujarnya lirih dan sua-
ranya terdengar bersemangat.
"Ah, sudahlah! Siapakah nama anda, sobat 
muda...?" Tanya Roro.
"Oh, ya aku Jaka Keling! adik seperguruan dari 
ketua Markas Benteng Macan Gunung ini!"
Menyahuti Jaka Keling, seraya bangkit berdiri 
menuruti Roro Centil. Gadis Pendekar Pantai Selatan 
ini manggut-manggut.
"Baiklah, nanti kau bisa ceritakan padaku! mari 
kita tolong dulu kawan-kawanmu!" Ujar Roro seraya 
beranjak melompat. Sementara matanya sudah me-
mandang ke sekitar. Puluhan mayat bergelimpangan. 
Suara mengerang dari yang terluka terdengar disana-
sini. Tapi lebih banyak yang tewas ketimbang yang lu-
ka.
"Aih, aku datang terlambat! Gara-gara mengu-
rusi orang usil di rumah makan tadi itu, hingga begini 
besar korban yang berjatuhan!" Gerutu Roro perlahan. 
Segera dengan sisa-sisa para anak buah yang masih
hidup dan dibantu Jaka Keling, Roro Centil lakukan 
pertolongan dan merawat yang terluka. Keadaan di
markas itu begitu trenyuh, sampai-sampai Roro ham-
pir jatuhkan air mata.
***
6


Gantar Sewu kepal-kepalkan tinjunya dengan 
wajah memerah padam. Disudut matanya tampak 
mengalirkan air mata. Penguburan para jenazah sudah 
selesai sejak kemarin. Dan biaya-biaya pengeluaran 
untuk keluarga korban sudah dibagikan. Dan sejak 
hari itu papan nama yang terpancang di pintu markas, 
sudah dicopot. Jaka Keling duduk disudut ruangan 
dengan wajah tertunduk. Pemuda ini terlalu lelah 
mengurus penguburan mayat-mayat rekannya dan 
mengantarkan pada masing-masing keluarganya. Dia 
telah bekerja keras selama dua hari belakangan ini. Di-
tambah harus memikirkan nasib Pipit Lurik yang me-
nurut apa yang didengarnya dari si Tiga Siluman Bukit 
Hantu, sang gadis telah ditawan mereka.
"Sungguh menyesal aku tak menemui pertem-
puran di markas kita! sehingga yang ku tahu adalah 
segalanya sudah selesai! Berarti selesai jugalah usia 
Benteng Macan Gunung!" Ujar Gantar Sewu dengan 
suara terdengar sedih.
"Kasihan nasib kakang Jaran Perkoso! Beliau 
memang pernah mengatakan padaku akan mengun-
durkan diri dari kepemimpinan di Markas Benteng Ma-
can Gunung ini, untuk menyepi ke puncak Muria! Tak 
dinyana belum lagi terkabul rencana yang sudah lama 
ditimbang-timbangnya itu, beliau sudah keburu dipanggil oleh Yang Kuasa...!" Lanjut Gantar Sewu den-
gan suara terdengar bergetar menahan kesedihan. Ja-
ka Keling angkat kepalanya menatap sang kakak kan-
dungnya.
"Kakang Gantar Sewu! Kini apakah rencanamu 
selanjutnya?" Tanya Jaka Keling setelah suasana lama 
menjadi hening.
"Yah, aku serahkan pada pilihan mu bagaima-
na baiknya. Kukira sebaiknya kita berpisah! Silahkan 
kau ambil jalan mu sendiri! Dan aku juga mengambil 
langkah sendiri! Kau sudah cukup dewasa, Jaka Kel-
ing! Bahkan lebih dari dewasa! Aku tak dapat mengha-
langi niatmu menentukan jalan hidupmu, disamping 
kita harus mencari dimana adanya Pipit Lurik, dan 
membalaskan dendam kakak seperguruan kita yang 
telah menanam jasa besar pada kita...!" Hening seje-
nak. Jaka Keling termenung tanpa berkata apa-apa. 
Dan Gantar Sewu kembali teruskan bicaranya.
"Kau jangan khawatir, mengenai harta pening-
galan kakang Jaran Perkoso, akan segera kita bagi 
dua! Tanah dan gedung markas ini akan kutawarkan 
pada seorang hartawan tua kenalan kita, yang sering 
memesan kereta untuk mengangkut dan mengawal ba-
rang! Satu dua hari ini mungkin aku akan berangkat 
ke Gemolong, sekalian pindah dengan anak istriku! 
Terserah pada keinginanmu, apakah akan turut ber-
samaku atau mencari kehidupan sendiri...!". Gantar 
Sewu lanjutkan ucapannya seraya tatap wajah adiknya 
dalam-dalam. Seperti ingin mengetahui apa isi hati 
yang terkandung di dalam dada sang adik.
Akhirnya Jaka Keling bicara juga, setelah me-
renung lama.
"Ya, kalau kakang sudah mengatakan untuk ki-
ta mengambil jalan hidup sendiri-sendiri aku tak dapat 
menolak! Mengenai urusan gedung markas ini aku tak

mau mencampuri! Cukup bagiku sedikit bekal untuk 
perjalanan mencari Pipit Lurik! Dan seekor kuda yang 
kuperlukan. Mengenai urusan balas dendam, hal itu 
adalah urusan belakangan. Yang penting adalah me-
nemukan dahulu dimana adanya Pipit Lurik!" Ujar Ja-
ka Keling dengan suara datar. Tampak Gantar Sewu 
kerutkan keningnya, seperti terheran mendengar jawa-
ban Jaka Keling. Setelah menghela napas Gantar Sewu 
perlihatkan senyumnya, seraya berkata;
"Hm, baiklah! kalau cuma itu keinginanmu! 
Aku memuji akan tekadmu untuk mencari Pipit Lurik! 
Benar! Itu memang tanggung jawab kita! Kepergianku 
ke Gemolong adalah cuma mengantarkan anak-istriku, 
sekalian pindah dari wilayah Ungaran ini! Tapi bukan 
berarti aku tak mengacuhkan anak gadis saudara se-
perguruan kita? akupun akan berusaha mencari, dan 
tentu saja membalaskan dendam pati ini! Kukira wa-
laupun mereka telah terluka oleh pendekar wanita itu, 
mereka berdua masih bisa membahayakan. Bukan 
mustahil mereka akan mengacau lagi kemari! itulah 
sebabnya aku akan menjual tanah dan
gedung ini...!"
Jaka Keling cuma manggut-manggut dihadapan 
kakaknya. Namun tak lama dia sudah keluar gedung 
untuk menuju ke baraknya. Jaka Keling memang sela-
lu tidur dibarak. Gantar Sewu cuma menatap pung-
gung sang adik. Yang sudah melangkah lebar keluar 
gedung.
-oOOOo-
"Kau akan berangkat sekarang, Jaka...!" Tanya 
Gantar Sewu. Laki-laki ini mengangguk. Dia sudah 
siapkan seekor kuda dari kandang di belakang barak-
nya. Kuda yang memang miliknya. Pemberian dari Ja

ran Perkoso yang telah dibelikan kakak seperguruan-
nya itu dengan harga mahal.
Barusan kepergiannya ke barak adalah untuk 
berkemas. Gantar Sewu menatapnya dengan pandan-
gan sedih. "baiklah, adikku...! Semoga Tuhan selalu 
melindungimu...!"
Gantar Sewu masuk kembali ke dalam ruangan 
kamar. Tak lama sudah keluar dengan membawa se-
buah buntelan kecil yang perdengarkan suara geme-
rincing. Agaknya Gantar Sewu sudah mempersiapkan-
nya sejak tadi.
"Terimalah ini untuk bekal dalam perjalananmu 
semoga kau dapat menghemat sisa uang ini...!" Ujar 
Gantar Sewu seraya berikan buntalan itu pada Jaka 
keling.
"Baik, kakang! Titipkan salamku pada kakang 
mbok, dan anakmu...!"
Tentu, Jaka...! Kalau kau temui kesulitan, cari-
lah aku di Gemolong! berhasil atau tidak pencarian ku 
menyelidiki dimana adanya Pipit Lurik, aku memang 
akan menetap disana...! Nah, selamat berjuang! Aku 
yakin pendekar Wanita itu bisa dijadikan Dewi Peno-
long dalam upaya menumpas kedua iblis dari Tiga si-
luman bukit Hantu!"
Jaka Keling cuma manggut-manggut, talu se-
lipkan sekantung uang itu ke balik pakaian. Lalu be-
ranjak mendekati kudanya. melompat ke atas pung-
gung si hitam. Dan... tanpa menoleh lagi segera keprak 
kudanya yang membedal cepat meninggalkan hala-
man markas dengan perdengarkan suara ringkikkan-
nya.
Gantar Sewu menatap kepergian sang adik 
dengan tersenyum. Dan terdengar suara helaan nafas-
nya. Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berubah aneh. Se-
nyumnya mendadak sirna. Dia sudah balikkan tubuh

nya untuk beranjak cepat kembali ke kamar. Kamar 
itu adalah kamar Jaran Perkoso.
"Hm, aku harus cari dimana kakang Jaran Per-
koso menyembunyikan peta sisa harta warisan guru! 
Aku yakin guru telah berikan seluruh hartanya pada 
kakang Jaran Perkoso!" Desis suara Gantar Sewu. Dan 
segera dia bekerja membongkar kembali, dan menga-
duk-aduk seluruh isi lemari. Juga mencari di tempat-
tempat lainnya. Sebuah pajangan berbentuk kepala 
rusa, tempat menggantung pakaian dicopotnya. Lalu 
diperiksa, kalau-kalau Jaran Perkoso menyembunyi-
kan peta di situ. Entah mengapa hatinya semakin ya-
kin kalau kakak seperguruannya menyimpan peta har-
ta sang guru.
Dan... hatinya seperti tersentak. Jantungnya 
berdebar keras. Dia telah temukan secarik kertas kulit 
tipis yang digulung kecil, pada sebuah lubang dibalik 
pajangan kepala menjangan. Segera dengan cepat di-
bukanya. Tampak wajahnya berubah berseri menye-
ringai.
"Hahaha... bagus, akhirnya kutemukan juga! 
Hampir aku mencurigai si Jaka Keling!" Gumam Gan-
tar Sewu. Seraya teliti peta itu. Dugaannya tepat kalau 
Jaran Perkoso ada menyimpan peta harta pusaka gu-
runya.
Urusan ini lebih penting, ketimbang mencari 
Pipit Lurik dan membalaskan dendam pati kakang Ja-
ran Perkoso! Namun aku harus ke Limbangan dulu 
menyelesaikan urusanku! Pikir Gantar Sewu dengan 
menampakkan senyum puas....." 
Baiklah, kita tinggalkan dulu Gantar Sewu den-
gan segala rencananya. Mari kita ikuti kemana geran-
gan langkah sang adik bernama Jaka keling itu.
—oOOOo—

Kuda hitam itu mencongklang lari dengan pe-
sat. Penunggangnya adalah seorang laki-laki gagah 
berkulit hitam. Pakaiannya sederhana, berwarna abu-
abu dengan ikat kepala sehelai kain berwarna jingga.
Dialah Jaka Keling yang telah tinggalkan mar-
kas Benteng Macan Gunung. Entah kemana tujuan-
nya. Tapi yang jelas dia tengah menuju ke arah barat, 
dari kota Ungaran. Laki-laki ini tak membawa seba-
tang pedang, yang biasa diselipkan di belakang pung-
gungnya. Menjelang Matahari menggelincir, dia sudah 
tiba di satu kota lagi, setelah menyeberangi dua buah 
sungai. Yaitu sebuah kota bernama Singorojo. Sepa-
sang matanya mulai mencari dimana adanya tempat 
penginapan. Beberapa bulan berselang dia memang 
pernah singgah di kota ini.
Segera saja dia mudah temukan tempat di ten-
gah kota agak menyudut di sebelah selatan jalanan. 
Setelah tambatkan kudanya, segera Jaka Keling beran-
jak masuk. Seorang pelayan mempersilahkannya den-
gan menjura hormat.
Segera Jaka keling mencari kursi di dalam 
ruangan bagian bawah restoran Itu. Dia berniat mengi-
si perut dulu. Beberapa pasang mata tampak memper-
hatikannya. Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar 
suara memanggil namanya.
"Sobat Jaka Keling, silahkan duduk disini...!" 
Terkejut Jaka keling ketika melihat yang memanggil-
nya adalah justru orang yang tengah dicarinya. Siapa 
lagi kalau bukan Pendekar Wanita Roro Centil. Tergo-
poh gopoh Jaka Keling menghampiri. Setelah menjura, 
lalu menyeret kursi untuk segera duduk.
"Hihi... aku tak menyangka kau akan datang 
begitu cepat, sobat Jaka..." Berkata Roro seraya mena-
tap dengan tersenyum. Sementara seorang pelayan te-
lah menghampiri mejanya. Segera Jaka Keling memesan makanan.
"Aku menyangka takkan menjumpai anda dis-
ini, nona Roro! Bukankah anda ada mengatakan kalau 
anda sementara ini berada di desa PATEAN? Niatku 
memang akan kesana, tapi keburu senja! Justru mak-
sudku mau menginap disini, untuk teruskan lagi per-
jalananku esok untuk mencari anda di desa Patean!" 
Ujar Jaka Keling dengan suara perlahan. Roro mang-
gut-manggut dan tersenyum.
"Patean adalah desa tempat kelahiranku...! 
Namun keadaan desa itu kini sudah tak seperti dulu 
lagi ketika aku kecil! Bahkan sudah banyak orang-
orang yang pindah! Karena wilayah sekitar Kota Raja 
sudah mulai sepi, sejak Kerajaan Medang atau Mata-
ram dipindahkan ke Jawa Timur!" Ujar Roro datar.
Jaka Keling manggut-manggut. Diapun sudah 
mengetahui akan kepindahan Kerajaan Medang yang 
telah berganti dengan nama Mataram itu. Bahkan ke-
retanya sering dipakai untuk mengangkut barang- ba-
rang, yang dalam kepindahannya dilakukan dengan 
berangsur-angsur. Tentu saja dari para pembesar tidak 
keseluruhannya pindah ke daerah baru itu.
Namun walau demikian dari pergantian wilayah 
Kerajaan, membuat susunan Pemerintahan berubah 
pula. Bahkan sudah dua kali di wilayah lama terjadi 
penggantian Raja baru.
Selesai bersantap, Roro mengajak keluar. Niat-
nya adalah mendengarkan penuturan Jaka Keling, ka-
rena untuk pembicaraan demikian kurang leluasa di-
lakukan di tempat terbuka, yang banyak telinga men-
dengarkannya.
Bahkan sudah sejak tadi lima orang yang du-
duk melingkar mengelilingi satu meja paling besar, ser-
ing lirikan mata memandang ke arah mereka.
"Apakah aku perlu memesan tempat dulu?"

Tanya Jaka Keling lirih.
"Tak usahlah. kukira lebih baik kita cari pengi-
napan lain." Berkata Roro dengan suara yang terden-
gar agak keras.
Membuat beberapa orang segera menoleh. Tan-
pa perdulikan mata para pengunjung restoran di ru-
mah Penginapan itu, Roro panggil pelayan. Tergesa-
gesa seorang pelayan menghampiri. Namun sebelum 
Roro rogoh sakunya untuk membayar, Jaka Keling su-
dah berikan beberapa keping uang perak yang dikelua-
rkan terlebih dulu.
"Ambillah sisanya untukmu!" Ujar Jaka Keling 
seraya tersenyum pada sang pelayan. Manggut-
manggut laki-laki pelayan itu sambil ucapkan terima 
kasih, lalu beranjak pergi.
***
7


Pemandangan di sekitar kota Singorojo cukup 
indah, jalan-jalan terlihat bersih berpagar bambu me-
magari deretan rumah penduduk desa disudut kota 
Singorojo. Pertanda para penduduk adalah orang-
orang yang mengerti akan kebersihan dan kerapian, 
serta keindahan desanya. Semakin ke ujung, ternyata 
semakin sepi dari rumah penduduk. Ternyata di ba-
gian sebelah bawah adalah daerah perkebunan, yang 
terlihat indah dari tempat ketinggian berpadang rum-
put itu. Beberapa pohon berdaun rindang tumbuh dis-
ana.
Jaka Keling tuntun kudanya disamping Roro 
Centil Tampaknya mereka sambil melangkah, telah 
banyak bercakap-cakap. Dan bahkan Jaka Keling telah

tuturkan kejadian di markas. Roro tampak manggut-
manggut mengerti. Tak lama pembicaraan mereka su-
dah dilanjutkan sambil duduk di bawah pohon rin-
dang, dengan mata menatap ke bagian bawah tempat 
ketinggian yang berpemandangan indah itu.
Tampaknya Roro sering menjadi perhatian Jaka 
Keling dalam setiap gadis pendekar itu berbicara. Ka-
rena wajah cantik dan menawan hati dari Roro Centil 
mau tak mau mendebarkan jantungnya. Akan tetapi 
Jaka keling bukanlah seorang pemuda yang kurang 
ajar. Dia berusaha menyembunyikan perasaannya 
yang selama ini ditutupnya buat setiap wanita. Bahkan 
sampai seusia tiga puluhan tahun, Jaka Keling tak 
pernah sedikitpun berhasrat untuk mengenal wanita. 
Namun tak disangka kalau hari ini dia bisa bercakap-
cakap dengan wanita... Bahkan seorang gadis cantik 
ayu memikat hati, juga seorang pendekar wanita, yang 
berkepandaian tinggi. Sungguh suatu keberuntungan 
pada nasib Jaka Keling bisa berkenalan dengan dara 
perkasa itu.
"Aku akan membantumu mencari dimana 
adanya keponakan angkatmu bernama Sri Kemuning 
alias Pipit Lurik itu...!" Ujar Roro.
"Sayang kedua manusia iblis itu berhasil me-
nyelamatkan diri! akan tetapi andai mereka tewas pun 
justru menjadi semakin sulit mengetahui dimana 
adanya gadis itu karena dia toh berada dalam tawanan 
si tiga Siluman Bukit Hantu?" Ujar Roro Centil. Jaka 
Keling cuma manggut-manggut membenarkan.
"Ah, sebenarnya aku merasa malu, karena 
membuat anda menjadi repot, nona Roro!" Ujar Jaka 
Keling. Roro kerutkan sedikit keningnya seraya berka-
ta.
"Aii... mengapa berkata begitu? Aku si Roro 
Centil mana bisa berdiam diri melihat segala macam
kejahatan? Justru aku kini sedang mencari seorang
penjahat terselubung yang telah mengacaukan kea-
daan di beberapa wilayah...!"
"Oh!? Apakah kejahatan yang telah dilakukan-
nya?" Tanya Jaka Keling.
"Hihihi... kejahatan yang biasa dilakukan oleh 
kaum laki-laki! Apa lagi kalau bukan pemerkosaan 
terhadap wanita, termasuk penculikan. Dan tentu saja 
ada efek lainnya, yaitu pembunuhan...!" Tandas Roro 
dengan suara terdengar seperti kesal.
Lengan gadis pendekar ini menjumput sebuah 
batu kecil, dan jentikan keras dengan jarinya ke arah 
depan, seraya perdengarkan dengusan di hidung. Tak 
disangka gerakan yang dilakukan Roro seperti melepas 
rasa kesalnya itu berakibat lain. Karena di luar dugaan 
Roro telah perlihatkan kepandaiannya menyambit yang 
tampak aneh. Batu kecil yang melayang ke depan itu 
mendadak memutar arah, dan meluncur ke balik se-
mak pepohonan lebat.
Terdengar suara orang berteriak mengaduh dari 
balik belukar itu, yang disusul dengan teriakan suara 
memaki.
"Aduh!?" Setan alas! Siapa yang menyambit
ku?" Dan berapa sosok tubuh sudah berlompatan ke-
luar dari semak lebat itu.
"He! Giran...! Sudah pasti laki-laki hitam itu! 
Mungkin dia mengetahui kita mengintip mereka dis-
ini!" Desis suara seseorang. Karena tempat itu lengang 
suara desisan itu terdengar cukup jelas. Ternyata ke-
lima orang yang tadi duduk dalam restoran pengina-
pan, ditambah dua orang kawannya lagi. Rupanya me-
reka mengincar pada Roro, yang memang tak menam-
pakkan seperti orang persilatan. Pakaiannya biasa saja 
berwarna putih dari kain blacu murahan. Senjata Ran-
tai Genitnya dibungkus dalam kain blacu yang tersangkut di pinggang, tertutup pakaian luarnya.
Namun wajah cantiknya, dan sikapnya yang 
terlihat memang seperti gadis genit, telah membuat 
mereka menguntitnya. Apa lagi kedatangan Jaka Kel-
ing, ternyata membuat mereka mendongkol. Karena 
menghalang niatannya yang sudah direncanakan. 
Adapun Jaka Keling walaupun tanpa menyandang Pe-
dang, salah seorang dari kawan mereka telah mengenal 
kalau dia adalah salah seorang dari Tiga Macan gu-
nung Muria.
"Heh, kalau memang benar dia, kita sudah ke-
palang basah ketahuan! Mengapa tak kita ringkus saja 
laki-laki itu! Sengaja dia mau bikin gara-gara! Aku ada 
berita yang datang cepat, bahwa Markas Benteng Ma-
can Gunung telah ditutup! Semua karyawannya dibu-
barkan! Tampaknya ada terjadi perpecahan dengan Ke-
tiga Macan Gunung Muria itu!" Berbisik seseorang, di
belakang mereka.
Yang bicara adalah salah seorang dari dua ka-
wannya yang di tengah jalan ikut nimbrung menguntit. 
Keduanya itu ternyata adalah dua orang pendatang 
dari wilayah kota Ungaran, yang mempunyai sahabat 
di sekitar kota Singorojo.
Mendapat gosokan dari kedua laki-laki itu, si 
korban yang tangannya telah melembung benjol kena 
sambitan batu, jadi beringas.
"Bagus! Biar aku hadapi dia! Sekalian ingin ta-
hu kehebatan yang bagaimanakah yang dimiliki si Ma-
can Gunung Muria itu?". Desis si laki-laki itu dengan 
geram. Kelima orang itu adalah anggota dari komplo-
tan terselubung, sebagai pelacak mencari korban yang 
telah ditugaskan oleh ketuanya.
Setelah berunding, tampak kelima orang itu se-
pakat untuk keluar menampakkan diri. Sementara ke-
dua orang kawan yang nimbrung itu tampaknya tenang-tenang saja.
Tak lama segeralah berlompatan kelima tubuh 
orang itu keluar dari balik semak belukar. Dan sekejap 
sudah mengurung di belakang Roro dan Jaka keling.
"Eh, Macan Gunung Muria! Tak usah kau me-
nyamar jadi pelancong! Kami sudah tahu kau adalah si 
Jaka Keling! Kau kira di wilayah sini bisa jual lagak 
seenaknya?! Hm, kami si Lima Naga Raksasa Dewa 
bukanlah kaum perampok! Tapi perbuatanmu mence-
lakai orang adalah tak bisa dibenarkan!" Berkata laki-
laki yang tangannya bengkak itu dengan suara meng-
geledek. Adapun ke empat kawannya diam-diam beru-
saha menahan senyum, karena si kawan mereka yang 
satu ini telah berani membuat gelaran yang amat ke-
terlaluan angkernya, padahal mereka tak mempunyai 
gelaran sama sekali. Tak lebih dari anak-anak buah 
dari Ketua komplotannya.
Mendengar bentakan itu Jaka Keling segera pa-
lingkan tubuh. dan bangkit berdiri menatap pada ke-
lima orang di hadapannya, yang berdiri membuat se-
tengah lingkaran pada jarak dua tombak dari tempat 
mereka duduk. Adapun Roro Centil yang sudah men-
getahui kemunculannya seolah tiada menggubris sama 
sekali.
"Ah, anda mungkin salah menduga orang! Aku 
bukan salah seorang dari Macan Gunung Muria! Dan 
namaku bukanlah Jaka Keling! Anda mengatakan aku 
telah jual lagak! Tapi aku merasa tak mengganggu an-
da?! Harap kalian menyingkirlah, jangan mengganggu 
pembicaraan kami!" Ujar Jaka Keling dengan terse-
nyum.
"Setan usil! Kau sudah sambit lenganku sampai 
bengkak begini, mengapa kau bilang tak mengganggu? 
Heh, tak usah kau berdusta, kami telah tahu kereta-
kan di markas mu! Tiga Macan Gunung Muria sudah

tak punya kewibawaan apa-apa!". Berkata laki-laki 
bertubuh sama hitamnya dengan Jaka Keling. Berwa-
jah brewok dengan sepasang matanya yang memerah. 
Roro Centil sudah melompat bangun berdiri seraya pu-
tarkan tubuh.
"Hihihi... kami sedari tadi sedang mengobrol 
disini, masakan bisa mencelakai orang!? Jangan-
jangan lengan mu dipatuk ular! Siapa suruh mengintip 
orang dengan bersembunyi di semak-semak lebat?" 
Ujar Roro seraya menatap pada lengan orang yang me-
rah membengkak.
Merah seketika wajah kelima orang itu! Se-
dangkan si laki-laki hitam bertampang brewok itu 
tampak sedikit terkejut, karena bualannya dengan 
memperkenalkan "julukan" mata yang seram, tak 
membawa hasil untuk menggertak orang.
Karena dari kelima orang itu tak ada yang bisa 
bicara lagi, tiba- tiba kedua orang tadi sudah berkele-
bat ke tempat mereka. Kedua orang itu dengan cepat 
menjura ke hadapan Roro, seraya berkata.
"Maaf, nona... apakah anda yang bernama nona
Roro...?" Tanya salah seorang. Keduanya adalah laki-
laki berusia sekitar tiga puluhan tahun. Roro menatap 
mereka dengan penuh selidik, tapi tak urung segera 
mengangguk.
"Benar! Ada keperluan apakah kalian mena-
nyakan namaku?" Sementara Roro sudah berpikir ka-
lau, dua laki-laki ini cuma cari-cari alasan saja. Men-
genai namanya diketahui orang itu, tentu mudah di-
terka. Karena sewaktu masuk ke restoran di Pengina-
pan itu, Jaka Keling telah menyebut namanya.
Keduanya adalah diketahui Roro berada tak be-
rapa jauh dari dekat mejanya; yang seolah tak turut 
memperhatikan.
"Hamba berdua adalah utusan dari Adipati

banyu biru! Ada surat rahasia dari beliau untuk anda, 
untuk segera datang ke tempat yang telah diperuntuk-
kan pertemuan! Silahkan anda membacanya!" Ujar la-
ki-laki itu seraya berikan segulung kertas pada Roro.
Dengan agak heran Roro terpaksa menyambuti. 
Ketika membaca isi surat yang singkat itu, segera wa-
jahnya tampilkan senyuman.
"Baik! Aku akan segera datang kesana dalam 
satu dua hari ini...! Ujar Roro Kedua laki-laki itu sege-
ra menjura, lalu salah seorang menggamit lengan ka-
wannya untuk segera putar tubuh beranjak mening-
galkan mereka dengan berkelebat pergi. Akan tetapi 
dikejauhan, salah seorang dad mereka telah berteriak. 
"Kalau anda tak tahu jalan, silahkan hubungi kami di 
salah satu penginapan di desa Boja...!
Roro tak menyahut, namun meneliti isi surat 
dalam tulisan di kertas itu. Lalu selipkan dalam saku 
pakaiannya.
"Mari kita berangkat, sobat Jaka...!" Berkata 
Roro seraya palingkan wajah menatap Jaka Keling. la-
ki-laki ini mengangguk, lalu sambar tali di leher kuda, 
seraya sempat melirik pada kelima orang itu yang cu-
ma terpaku dengan mata melotot padanya.
“Tahan...! Kalian tidak bisa pergi begitu saja!" 
Berkata si kulit hitam brewok. Roro Centil menoleh, 
seraya pasang wajah lucu.
"Eh, mengapa? kau katakan bahwa kalian bu-
kan perampok! Lalu apa maksudmu menahan kami?" 
Tanya Roro.
"Aku tak tahu menahu dengan surat rahasia 
dari Adipati Banyu biru! Tapi kalau anda dengan suka-
rela mau menemui ketua kami, tanpa laki-laki itu, aku 
si Kromo Yudho dan ke empat kawanku ini tak akan 
bertindak kekerasan!"
Roro jadi naikkan alisnya dengan tertawa geli.

toskan kepalannya.
Pemuda itu tiba-tiba rundukkan tubuhnya 
hingga hampir menyentuh tanah. Dan di iringi henta-
kan keras, sepasang lengannya bergerak saling susul 
menghantam ke arah lima penyerangnya. Terdengarlah 
suara.. Bak! Buk! Bak! Buk!
Dan sekejapan saja dengan diiringi teriakan-
teriakan keras, kelima tubuh itu roboh berjungkalan 
untuk tidak mampu berdiri lagi. Karena masing-
masing perutnya telah terkena hantaman tinju Jaka 
Keling. Sehingga kelimanya meringis-ringis memegangi 
perutnya yang merasa mulas.
Roro bertepuk tangan melihat akhir dari perta-
rungan yang cuma berlangsung dalam beberapa kejap 
itu.
"Hebat! hebat... ! Kalian sudah kalah... ! Segera-
lah kalian merat dari sini!" berkata Roro seraya tatap 
kelima orang itu. Sambil menahan rasa sakit pada pe-
rutnya, segera mereka kembali mengambil senjata 
masing-masing.
Akan tetapi di luar dugaan mereka telah berke-
lebatan mengurung Roro. Rupanya isyarat dari Kromo 
Yudho yang menjadi pimpinan dari keempat kawannya 
itu amat dipatuhi. "Heh, walau bagaimanapun kau ha-
rus ikut menghadap ketua kami! Atau senjata-senjata 
kami akan berbicara. Kromo Yudho mengharap dengan 
menangkap Roro maka si pemuda tak bisa berbuat 
apa-apa. Akan tetapi ketika Kromo Yudho gerakkan go-
loknya untuk ditempelkan ke leher Roro, laki-laki ini 
menjerit parau. Tahu-tahu goloknya telah mental en-
tah kemana. Dan dia sendiri dalam keadaan tertotok 
dengan berdiri kaku, dengan posisi menyerang. Terke-
jutlah kelima kawannya. Belum lagi mereka berbuat 
sesuatu. Tiba-tiba terdengar suara mengikik tertawa. 
Dan tubuh Roro lenyap dari pandangannya. Kejap berikutnya, giliran tubuh-tubuh merekalah yang tertotok 
dengan berdiri kaku bagal arca.
"Hihihi... sebaiknya kalian jadi patung saja dis-
impan!" Ujar Roro, yang sudah berdiri tegak di hada-
pan kelima orang itu.
"Nah, untuk membuat patung jadi awet, harus 
dioleskan bahan pengeras ini supaya kalian tahan la-
ma!" Ujar Roro, seraya keluarkan sebuah tabung bam-
bu yang telah dibuka sumbatnya. Pucat piaslah seke-
tika wajah kelima orang itu. Menghadapi "gertakan" 
Roro itu mereka seketika berteriak-teriak mohon am-
pun. Bahkan diantaranya sudah ada yang menangis 
tersedu sedu.
Baik! aku akan ampuni nyawa kalian! tapi se-
butkan siapa ketua kalian. Dan apa maksudnya aku 
kalian suruh menghadap Ketuamu!" Bentak Roro den-
gan suara berubah bengis. Keempat orang itu saling li-
rik dengan kawannya. Rupanya Kromo Yudho lah yang 
segera buka mulut. Keringat dingin sudah bercucuran 
dari sekujur tubuh.
***
8


Setitik api yang kecil, bisa membuat kebakaran 
besar...
Demikian juga dengan komplotan terselubung 
yang mendiami wilayah Singorojo. Dengan adanya 
pengakuan Kromo Yudho pada Roro Centil. Akhirnya 
diketahui siapa adanya dalang dari komplotan terselu-
bung itu.
Ternyata Roro Centil bertindak kejam. Seperti 
diketahui watak wanita pendekar ini memang aneh,

dan sudah diterka. Terkadang genit, lucu dan menarik 
hati. Namun terkadang kejam tak kenal ampun.
Empat dari kelima orang itu telah diputuskan 
urat suaranya, hingga mereka tak dapat bicara lagi. 
Mengenai cara ini jarang orang yang dapat melakukan 
dari Kaum Rimba Hijau. Karena seperti diketahui Roro 
Centil banyak mempunyai guru, yang diantaranya ada-
lah Resi Jayeng Rana asal Tibet. Tokoh ahli obat-
obatan yang mengenal betul akan keadaan urat-urat 
tubuh manusia.
Akan tetapi cara kejam ini adalah Roro sendiri 
yang mendapatkan, setelah mengetahui dan mempela-
jari.
Cuma datangnya niat, dan cara yang dilaku-
kan, adalah bagaimana munculnya waktu itu saja. Se-
perti diketahui, Roro Centil pernah terluka di kepala 
yang dialami ketika berusia tujuh tahun. Yaitu terkena 
terjangan kaki-kaki kuda. Dan dalam gemblengan gu-
runya si Wanita Aneh Pantai Selatan alias si Manusia 
Banci, banyak lagi hal-hal yang membuat Roro menjadi 
seorang gadis yang berwatak mirip gurunya. Terka-
dang membuat orang jadi kebingungan akan sikapnya. 
Tapi terkadang juga apa yang dilakukannya membuat 
orang jadi kagum.
Roro tinggalkan tempat itu dengan membawa 
serta Kromo Yudho. Cuma laki-laki yang seorang inilah 
yang selamat dari diputuskannya urat suara, oleh Ro-
ro. Surat dari Adipati itu diberikan pada Jaka Keling. 
Jaka Keling diperintahkannya menunggu di tempat 
yang dimaksud dalam isi surat itu. Dengan janji, Roro 
akan segera menyusul pada hari yang ditetapkan. Se-
mentara Roro sendiri segera membawa Kromo Yudho, 
yang dicengkeram punggungnya bagaikan mencengke-
ram seekor kucing. Dan dibawa berkelebat cepat sekali.

Jaka Keling cuma terpana, melihat kepergian 
wanita Pendekar itu. Namun tak ayal dia segera be-
rangkat pergi dengan mencongklang kudanya.
—oOOOo—
Terkejut Tumenggung Yoga Bumi, ketika tahu-
tahu seorang gadis telah datang menghadap, dengan 
menenteng sesosok tubuh laki-laki berkulit hitam ber-
wajah brewok ke hadapannya. Dan menjatuhkan sosok 
tubuh laki-laki itu di lantai.
"Andakah tumenggung Yoga Bumi yang menja-
ga keamanan di wilayah Singorojo ini...?" Tanya Roro 
Centil. Terkejut Tumenggung ini karena baru pertama 
kali didatangi seorang gadis cantik yang sikapnya tan-
pa sopan santun. Bahkan "nyelonong" saya masuk ke 
Pesanggrahan tanpa membawa perantara dari pengaw-
al yang memberitahukan kalau mau menghadap. Baru 
selesai Roro bicara, empat orang prajurit sudah berla-
rian ke dalam dengan wajah pucat pias Karena sewak-
tu ditegur, Roro sudah melesat masuk dengan cepat 
sekali.
Sang Tumenggung menatap keempat prajurit, 
lalu menatap pula pada Roro. Dan kemudian terakhir 
menatap pada laki-laki yang tertunduk menyembunyi-
kan mukanya berjongkok diatas lantai.
Otaknya yang encer ternyata sudah dapat men-
duga kalau yang datang bukanlah orang sembarangan. 
Apalagi dengan membawa seorang laki- laki yang tam-
pak gemetaran tubuhnya. Sudah dapat dipastikan 
adalah seorang penjahat yang tertangkap. Atau juga 
seorang pesakitan yang baru dibawa ke luar dari taha-
nan. Segera dia berikan isyarat pada keempat prajurit 
supaya menyingkir kembali.
"Benar! aku Tumenggung Yoga Bumi adanya!

Siapakah anda, nona... ? Dan siapa pulakah orang 
ini...?" Tanya sang Tumenggung dengan sikap sabar.
"Namaku Roro Centil! Mengenai orang ini, dia 
adalah salah seorang anak buah dari komplotan terse-
lubung yang selama ini mengganggu ketertiban rakyat! 
Ketuanya bernama Kala Butho! Perlu diketahui, bahwa 
komplotannya adalah disamping menculik gadis-gadis 
cantik untuk dijual dan diumpankan pada para bang-
sawan hidung belang, juga kepada orang asing dan pa-
ra pembesar Kerajaan! Bahkan juga melakukan pula 
serangkaian pembunuhan dan perampokan secara ter-
selubung! Kala Butho baru salah satu anak buah dari 
gembong besar penyalur wanita-wanita cantik yang 
mempunyai cabang di wilayah Singorojo ini! Gembong-
nya telah aku selidiki...! Silahkan anda memeriksanya! 
Dan tentunya setelah berhasil mengorek keterangan, 
hendaknya segera menggulung secepatnya komplotan 
itu disarangnya! Aku cuma bisa membantu anda den-
gan membawa salah seorang anak buahnya ini!" Ucap 
Roro dengan suara terdengar nyaring merdu.
Selesai berkata, tiba-tiba lengannya telah ber-
gerak menjambak rambut Kromo Yudho. Tentu saja 
laki-laki ini berteriak kesakitan dan memohon ampun 
berulang kali.
"Bicaralah kau yang sebenarnya pada Tumeng-
gung! Dan tunjukkan dimana tempat komplotan itu! 
Kalau kau berdusta, aku yang akan menghukum mu 
dengan cara yang paliiing kejam! Mengerti...!" Bentak 
Roro, seraya lepaskan jambakannya. Kromo Yudho 
manggut-manggut dengan nyawa terasa seperti sudah 
di ujung ubun-ubun.
"Nah, aku pergi, tumenggung! Tapi kalau ter-
nyata kau sendiri melindungi komplotan itu, aku akan 
gantung leher mu di alun-alun...! Bentak Roro dengan 
suara sedingin es. Terkesiap Tumenggung Yoga Bumi.

Seperti kepalanya kena palu godam, mendengar anca-
man Roro. Edan! masakan aku mau melindungi penja-
hat? sentaknya dalam hati. Akan tetapi baru dia mau 
buka suara, si gadis aneh itu sudah berkelebat lenyap 
dengan tinggalkan suara tertawa mengikik yang mem-
buat bulu roma bangun berdiri.
Sejenak tumenggung Yoga Bumi jadi terpaku 
tak bergeming.
"Aneh...!" Siapakah gerangan wanita muda 
itu...? Namanya Roro... Cen.. til?" Gumam sang Tu-
menggung seraya mengelus-elus jenggotnya yang cuma 
sejumput.
"Roro Centil...!... Hm, ya.. ya.. aku seperti per-
nah mendengar nama itu ...!? Tiba-tiba wajahnya me-
nyentak kaget seraya mendesis.
"Tidak salah...! Dia pasti si Pendekar Wanita 
Pantai Selatan! Ooooh, pantas! pantas...! Orang Rimba 
Hijau kelakuannya memang aneh-aneh...
0OO**OO0
Dengan bujuk rayu Pitra Sena yang bersikap 
manis pada Pipit Lurik, akhirnya jatuh Juga sang ga-
dis dalam pelukan si pemuda anak laki-laki Bangsa-
wan Tua Raden Mas Anjasmoro untuk yang kedua ka-
linya.
Gadis cantik puteri Jaran Perkoso itu cuma bi-
sa mandah saja ketika lengan-lengan nakal si pemuda 
mulai menelusup membelai sekujur tubuhnya.
Udara senja yang dingin di sekitar tempat ber-
pemandangan indah itu menyibak tubuh-tubuhnya 
yang bergelinjangan di rerumputan menghijau, pada 
salah satu bukit yang terhalang matahari.
Entah kali ini sang gadis telah berikan kehan-
gatan tubuhnya untuk yang ke berapa kali. Karena

cumbuan Pitra Sena benar-benar meluluhkan hati dan 
jantungnya. Harapannya untuk berguru pada nenek 
sakti di puncak Ratawu, telah gagal. Karena mau tak 
mau dia harus membalas budi Keluarga Bangsawan 
itu yang telah menyelamatkannya dan tangan si Tiga 
Siluman Bukit Hantu. Pitra Sena dan ayahnya ternyata 
manusia-manusia yang pandai berpura-pura. Raden 
Mas Anjasmoro telah berjanji akan segera menikahkan 
mereka. Pipit Lurik yang dalam keadaan kalut dan me-
rasa telah ternoda oleh si pendek Seto Bungkrik, tentu 
saja tak berdaya menolak untuk dinikahi oleh Pitra 
Sena, bahkan dia merasa bersyukur bahwa masih bisa 
menuruti keinginan sang ayah, walau keadaannya se-
karang sudah lain. Karena berita kematian ayahnya te-
lah terdengar juga. Bahkan markas Benteng Macan 
Gunung yang telah bubar pun sampai ke telinganya. 
Dan tak diketahui lagi nasib kedua pamannya, Gantar 
Sewu dan Jaka Keling. berada. Bahkan tak diketahui 
mati dan hidupnya. Yang diketahuinya adalah si Tiga 
Siluman Bukit Hantu telah melabrak ke sana.
Ada niat Pipit Lurik untuk mencari mereka, 
mencari tahu kabar beritanya. Akan tetapi Pitra Sena, 
tak mengizinkannya. Kabar berita itupun diberitahu-
kan oleh Pitra Sena. Bahwa seorang sahabat ayahnya 
yang telah memberitahukan kejadian tersebut. Dan da-
ri Pitra Sena juga Pipit Lurik mengetahui kalau tanah 
dan gedung Markas Benteng Macan Gunung telah di-
beli oleh calon Mertuanya itu. Gadis yang tengah shok 
itu cuma bisa menuruti keinginan sang calon sua-
minya, yang hampir setiap saat mencumbuinya. Demi-
kian pula halnya dengan hari itu. Pitra Sena telah 
mengajaknya ke tempat yang berpemandangan indah 
itu. Pipit Lurik tenggelam dalam madunya cinta berahi, 
yang seolah-olah melupakan semua kemelut dihatinya. 
Direngkuhnya bibir laki- laki tempat menggantungkan

tengah pagar bambu terdapat satu pintu yang mem-
buat bagai sengaja dibuat untuk jalan menembus hu-
tan bambu. Kedua laki-laki yang telah memberi surat 
dari Adipati Banyu Biru itu melompat cepat melalui 
pintu membulat dari ruas-ruas batang bambu. Dan tak 
kelihatan bayangannya lagi.
Tanpa pikir panjang Roro segera melompat 
mengikut... Akan tetapi tiba-tiba....
RRRRRRRRRRRTTT...!
Terkejut Roro Centil, karena tahu-tahu tubuh-
nya telah terkena jeratan dalam sebuah jala. Hingga 
sekejap tubuh nya telah terbungkus masuk dalam tali-
tali jala sutera itu.
Bersamaan dengan terjeratnya Roro, segera 
berlompatan belasan sosok tubuh yang segera mengu-
rung di beberapa penjuru.
"Hahaha... haha... Akhirnya berhasil juga aku 
menawan si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Cen-
til!" Sesosok tubuh gemuk segera perdengarkan suara 
tertawa dan kata-katanya. Roro Centil dapat melihat 
siapa orangnya dari balik tali jala sutera. "Eh, monyet 
bunting! aku sudah tahu, kaulah gembong penculikan 
wanita, dan ketua dari komplotan terselubung yang 
merampok harta Pusaka Kerajaan Mataram! Aku 
punya tugas untuk menangkapmu, dari Kanjeng Gusti 
Raja secara rahasia! Kedokmu telah terbuka! Dan kau 
pula rupanya Adipati Banyu Biru...!
Hihihi... jangan kau bergirang dulu monyet 
bunting! Orang-orangmu justru telah menjadi musuh-
mu, kecuali dua laki-laki yang menjebakku itu...!" Te-
riak Roro. Terkejut laki-laki Bangsawan tua itu, yang 
ternyata tak lain dari Raden Mas Anjasmoro. Segera 
dia tatap pada para anak buahnya yang memang khu-
sus ditempatkan di sekitar markas tersembunyi itu.
"Para pengawal! Lepaskan tali jala ini....!" Berkata Roro dengan suara berpengaruh. Suara yang te-
lah dilontarkan dengan tenaga dalam yang amat ting-
gal. Dan suara yang telah menggetarkan jantung setiap 
orang. Tampak beberapa orang telah melompat ke de-
katnya. Dan serentak sudah memutuskan tali jala su-
tera. Dan sekejap Roro Centil sudah lompat berdiri.
Gila...!? Edan...! Mengapa bisa jadi demikian? 
Sentak hati Adipati Banyu Biru. Namun belum lagi ha-
bis rasa aneh dan terkejutnya sudah terdengar perin-
tah Roro Centil yang membentak keras memberi perin-
tah.
"Tangkap hidup atau mati manusia keparat 
ini...!" Dan bagaikan di komandokan seorang Senapati, 
belasan orang-orang Raden Mas Anjasmoro alias Adi-
pati Banyu Biru itu, sudah berlompatan menerjang 
dengan senjata telanjang.....
Adapun kedua orang yang telah memberi surat
pada Roro itu tampak seperti orang yang kebingungan. 
Wajahnya pucat pias bagai mayat. Roro Centil tiba-tiba 
telah melompat menerjang untuk mengirimkan puku-
lan mautnya. Dalam keadaan panik demikian, mana 
mampu keduanya mengelakkan serangan Roro yang 
dilakukan dengan cepat sekali. PRAKK...! PRAKKK...!
Terdengar suara teriakan pendek parau, dis-
usul dengan robohnya kedua tubuh itu, yang setelah 
menggeliat sejenak lalu segera lepaskan nyawanya. 
Ternyata kepalanya telah rengat akibat hantaman ke-
dua telapak tangan Roro.
Sementara itu Raden Mas Anjasmoro dengan 
membentak gusar segera gerakkan lengannya meng-
hantam para penyerang dari anak-anak buahnya sen-
diri, .pekik dan jeritan maut segera terdengar saling 
susul. Beberapa sosok tubuh terlempar dengan kepala 
hancur, dan tulang belulang remuk.
"Hantam teruuuus...!" Teriak Roro memberi semangat pada mereka yang tengah menerjang si laki-
laki Bangsawan tua itu. Sementara Roro sudah berke-
lebat lenyap dari tempat itu. Ternyata Roro terus me-
nyusup masuk ke dalam tempat rahasia itu.
Segera ditemuinya sebuah lobang goa. Roro su-
dah mau melompat ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba se-
gera batalkan niatnya. Dijumputnya beberapa buah 
batu hampir sebesar kepalan, lalu dilontarkannya ke 
dalam. Roro sembunyi di sisi goa. Selang tak lama tiba-
tiba terdengar suara bentakan keras dari dalam goa, 
disusul dengan berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Kunyuk kurang ajar manakah yang telah iseng 
sambitkan batu?" Akan tetapi begitu keduanya mun-
cul, Roro Centil bergerak cepat sekali untuk gerakkan 
tangannya menotok kedua tubuh itu.
Terkesiap keduanya, namun sudah terlambat 
Seketika kedua tubuh itu roboh terguling dengan kea-
daan tubuh kaku tanpa dapat bergerak. Sungguh su-
kar di duga karena ternyata kedua orang itu adalah si 
pendek Sato Bungkrik dan si jangkung Wong Duwur. 
Melihat siapa yang telah menotoknya betapa terperan-
jatnya kedua manusia itu. Namun sebelum keduanya 
sempat buka suara, Roro Centil telah gerakkan lagi 
lengannya menotok urat suara mereka, gagulah sudah 
kedua Siluman Bukit Hantu itu. Tak menunggu untuk 
berlama-lama lagi, tahu-tahu Roro Centil sudah sam-
bar kedua jubah ditengkuk orang, dan apa yang dila-
kukan gadis Pendekar yang berwatak aneh itu? Ter-
nyata Roro telah menyeretnya pergi dari situ.
Memang janggal kalau seorang gadis yang keli-
hatan lemah tak bertenaga mampu menyeret dua tu-
buh manusia. Yang satu panjang bagai galah, dan satu 
lagi pendek kekar. Namun kenyataannya memanglah 
demikian.
Mereka cuma bisa mengeluh dengan berdesis,
merasa perih dari bekas lukanya yang kembali berda-
rah terkena batu-batu kerikil tajam yang membentur 
luka dan tubuhnya. Namun dalam keadaan demikian 
mereka memang tak dapat berbuat apa apa, selain hati 
yang kebat-kebit. Karena maut sudah terbayang di de-
pan mata.
***
9


"Hihihi.. tak usah kalian gelisah, kambing-
kambing bandot! Aku cuma berbaik hati untuk men-
gubur kalian di dasar jurang...! Berkata Roro Centil. 
Seraya mempercepat larinya. Tentu saja membuat ke-
dua manusia ini jadi ketakutan setengah mati. Namun 
apa mau dikata? Berteriakpun mereka sudah tak 
sanggup. Kecuali cuma bisa mendesis dengan meringis 
menyeringai. Karena seketika saja terdengar suara 
berkelotakan dan bergedebukan, ketika batu dan ta-
nah berpentalan mengenai kepala dan tubuh mereka. 
Bahkan ketika melewati belukar, duri-duri tajam itu 
telah menggores sekujur wajah dan merobek kulit, 
yang bukan alang kepalang pedihnya. Apalagi bila 
mengenai bekas luka kutung di tangan maupun di ka-
ki mereka, yang telah dihancurkan Roro. Dan baru 
diobati beberapa hari.
Mendekati arah tepi bukit, tiba-tiba telinga Roro 
mendengar suara bentakan dan teriakan dari orang 
yang bertarung. Ternyata ada pula suara wanita. Ter-
cekat hati Roro. Segera diseretnya kedua tubuh tawa-
nannya itu untuk dibawa menyeruak masuk melewati 
semak belukar. Terdengar suara ranting-ranting yang 
patah akibat diterjang oleh kedua tubuh manusia yang

diseretnya. Tak lama sudah kelihatan siapa adanya 
yang bertarung seru disamping bukit.
Ternyata tak lain dari Jaka Keling dengan Pitra 
Sena. Saat itu Jaka Keling tengah menghadapi lawan-
nya dengan tangan kosong. Begitu juga Pitra Sena 
yang tak mempergunakan senjata. Sementara seorang 
gadis tengah menatap ke arah pertarungan dengan se-
pasang mata basah bersimbah air mata.
Siapakah gadis itu? Apakah Pipit Lurik...? Gu-
mam Roro dalam hati. Sekejap Roro sudah melompat 
ke tempat pertarungan. Tampak sepasang mata Roro 
menatap pada Pitra Sena. Aneh! Tatapan mata Roro 
Centil seperti baru melihat orang. Tahu-tahu kedua 
tawanannya sudah dilepaskan menggabruk ke tanah.
Tampak sepasang mata Roro Centil tiba-tiba 
dipejamkan. Tubuhnya berdiri tak bergeming. Asap ti-
pis bagai kabut tiba-tiba keluar dari mulut Roro yang 
agak renggang. Bahkan kabut putih itu juga keluar da-
ri hidung, telinga dan... mata. Tiba-tiba sekejap, Roro 
sudah kembali buka matanya. Terdengar suara gadis 
pendekar ini berkata perlahan. Akan tetapi sesung-
guhnya dia tengah mengirim suara jarak jauh. "Jaka...! 
Menyingkirlah!". Suara itu menyusup ke dalam cuping 
telinga Jaka Keling. Tentu saja dia segera palingkan 
kepalanya. Dan melihat adanya Roro Centil. Tak ayal 
segera dia lompat menjauh. Pada saat itu, Roro sudah 
berkelebat ke hadapan Pitra Sena WHUUUSSSSSH.....
Segelombang asap kabut meluncur dari lengan Roro 
menerjang ke arah Pitra Sena, disertai bentakan halus 
yang menyusup masuk ke telinga Pitra Sena.
"Mukamu tidak wajar, sobat...! Kembalilah ke 
bentuk asalmu...!" Ketika asap kabut yang bergelom-
bang itu menerpa tubuh Pitra Sena, ternyata telah di 
iring! pula oleh satu hantaman telak ke arah dada lawan.

"BUK...!" Pitra Sena mengeluh, tubuhnya ter-
lempar. Dan jatuh bergulingan tepat ke hadapan Pipit 
Lurik. Ternyata gadis ini tengah menggenggam sebuah 
rencong di tangannya. Niat untuk bunuh diri hampir 
dilaksanakan, karena tak kuasa menanggung malu. 
Betapa perbuatannya telah diketahui oleh Jaka Keling, 
sang paman angkat. bukan kepalang terkejutnya Pipit 
Lurik ketika tubuh sang calon suaminya yang jatuh ke 
hadapannya adalah bukan Pitra Sena.
Siapakah gerangan adanya "Pitra Sena itu....? 
Ternyata tak lain dari GANTAR SEWU, adik sepergu-
ruan Jaran Perkoso. Tentu saja membuat Pipit Lurik 
dan Jaka Keling terkejut. Asap kabut yang dilontarkan 
Roro Centil telah dibarengi bentakan berkekuatan te-
naga batin yang amat tinggi, membuat sirna "ilmu si-
hir" yang dipergunakan Gantar Sewu. Saat itu satu 
suara telah menelusup masuk ke telinga Pipit Lurik. 
Suara itu amat berpengaruh... akan tetapi bukanlah 
suara dari Roro Centil.
"Bunuhlah dia, anakku...! Bunuh mampus ma-
nusia licik tak tahu membalas budi itu...!" Tersentak 
Pipit Lurik. "Ayah...? Desisnya lirih. Benarkah itu sua-
ra ayah...? Sentak hatinya. akan tetapi kedua lengan-
nya mendadak bagaikan digerakkan satu tenaga gaib, 
segera menghunjamkan rencong milik "Pitra Sena" itu 
tepat menembus ke jantung laki-laki itu.
Terperangah "Pitra Sena" alias Gantar Sewu. 
Sepasang matanya membeliak. Dan wajahnya tampak 
menyeringai kesakitan. Sementara Pipit Lurik sudah 
melompat berdiri seraya melepaskan rencongnya yang 
telah terhunjam di dada laki-laki itu.
"Kau... kau...? Ka... Kakang Gantar Sewu...?" 
Teriak Jaka Keling. Saat itu tanpa ada seorangpun
yang mengetahui sesosok tubuh bagaikan siluman te-
lah muncul di belakang Roro. Sosok tubuh itu tak lain
dari Raden Mas Anjasmoro yang telah menyusul Roro 
Centil. Sepasang lengannya tampak diangkat sebatas 
dada.
Dan tiba-tiba laki-laki bangsawan tua itu telah 
lancarkan serangan dahsyat pada punggung Roro Cen-
til, pada jarak dua tombak......
BHUKKK...!
Terdengarlah suara jerit mengerikan disertai 
terlemparnya tubuh manusia dengan darah berpuncra-
tan ke setiap penjuru. Dan... BRUKKI Tubuh yang ter-
lempar itu baru berhenti berguling ketika menghantam 
batang pohon. Dan sosok tubuh itu telah diam tanpa 
berkutik lagi. Langsung tewas seketika. Apakah yang 
terjadi? Kiranya bukan Roro Centil yang terkena sasa-
ran serangan dahsyat itu. Melainkan si laki-laki bang-
sawan tua itu sendiri yang terlempar dengan tulang-
tulang tubuh remuk. Karena begitu
Raden Mas Anjasmoro mengangkat kedua len-
gannya, telah berkelebat dua sosok tubuh menghan-
tamnya terlebih dulu. Sekejap di tempat itu telah ber-
diri dua orang tua renta. Ternyata adalah Resi Paksi 
Sakti Jalatunda dan Bikhu Sokalima. Keduanya telah 
gerakkan masing-masing lengannya menghantam ke 
arah Raden Mas Anjasmoro.
Terperangah semua orang, termasuk Roro Cen-
til. Karena jelas kalau tak segera muncul kedua tokoh 
sakti Rimba Persilatan itu, sukar dipastikan nasib Roro 
Centil yang dalam keadaan amat kritis.
"Guruuu...!?" Teriak Jaka Keling seraya lompat 
ke hadapan kedua orang kosen itu. Dan segera bersu-
jud di depan sang Resi.
Bersamaan dengan itu, berkelebat sesosok tu-
buh ke tempat itu. Ternyata tak lain dari Jaran Perko-
so, yang masih berdiri dengan segar bugar. Cuma kea-
daan tubuhnya penuh dengan balutan. Terbelalak sepasang mata Pipit Lurik. Dan... melompatlah gadis ini 
memburunya.
"Ayaaaah....!?" Jaran Perkoso menoleh. Dan ter-
jadilah pertemuan yang mengharukan. Kedua ayah 
dan anak itu berpelukan dengan masing-masing ber-
simbah air mata.
"Hik hik hik... apakah murid durhaka mu itu 
belum mampus, sobat Jalatunda?" Tiba-tiba terdengar 
suara Bikhu Sokalima. Nenek sakti puncak gunung 
Ratawu itu sudah berkelebat ke arah dimana Gantar 
Sewu masih terkapar dengan nafas empas-empis ting-
gal satu-satu.
Akan tetapi memang laki-laki itu belum meng-
hembuskan nafasnya. Segera mereka semua beranjak 
menghampiri Jaran Perkoso tatap wajah saudara se-
perguruannya itu dengan bengis.
"Tak kusangka diam-diam hatimu berbulu, 
Gantar Sewu! Kau kira kejahatanmu tak akan menda-
pat balasan setimpal?" Bentak Jaran Perkoso dengan 
suara dingin. Gantar Sewu tampak tersenyum pedih. 
Dari kedua pelupuk matanya telah keluarkan air ben-
ing yang mengalir turun ke pipi.
"Maaf.. kan adikmu ini, kakang... ! Me.. me-
mang akulah.. yang te.. telah membunuh.. is.. istrimu, 
kakang mbok Sri.. Les.. ta.. ri....." Ucap Gantar Sewu 
dengan suara terputus-putus. 
Tentu saja membuat Pipit Lurik jadi terperan-
gah dengan mata terbelalak. Juga Jaka Keling, yang 
tak menyangka sama sekali. Sedangkan kedua kakek 
sakti dan nenek kosen itu cuma tersenyum hambar 
mendengar pengakuan Gantar Sewu Namun tubuh si 
kakek sakti Puncak Muria itu tampak bergetar mena-
han kemendongkolan hatinya. Betapa muridnya yang 
telah di didiknya susah payah, ternyata manusia tak 
berguna.
Selanjutnya setelah berkata beberapa patah ka-
ta lagi, Gantar Sewu pun tewas. Keadaan di tempat itu 
jadi hening. Saat itulah tiba-tiba sesosok tubuh berba-
ju kuning melompat ke tempat itu. Semua orang den-
gan cepat palingkan kepala.
"Pitra Sena...!" Teriak Pipit Lurik dengan mulut
ternganga dan sepasang mata membeliak. Ter-
nyata yang muncul memang benar-benar Pitra Sena. 
Pemuda ini tak menjawab, akan tetapi melompat 
menghampiri tubuh
Raden Mas Anjasmoro. Dan..... terlihatlah dia 
duduk bersimpuh di hadapan sang ayah. Terdengar 
suara kata-katanya bergetar lirih.
"Ayah, agaknya kematianmu memang harus 
dengan cara begini...! Aku memang anak bengal, 
ayah...! tapi aku bukan manusia jahat! Aku bahkan 
terlibat dalam kejahatan karena perbuatanmu... Oh!, 
betapa terkutuknya aku.!" Selanjutnya sudah terden-
gar suara isak tersebut yang keluar dari bibir pemuda 
itu. Perlahan Resi Paksi Sakti Jalatunda alias si Pen-
dekar Lengan tunggal, beranjak menghampiri. Lalu 
cekal pundak orang dengan perlahan.
"Sudahlah, anak muda...! Walau dia ayahmu, 
akan tetapi pada dasarnya adalah musuhmu! Cuma 
pertalian darah yang tak dapat dilepaskan! Jasa dan 
pengorbanan mu amat besar pada bangsa dan Kera-
jaan atas kesadaran mu membongkar kejahatannya! 
Kau telah turut membantu melenyapkan gembong dari 
penculikan para gadis cantik juga gembong dari bebe-
rapa perampokan harta pusaka Kerajaan yang telah 
berlangsung lama sejak dua tahun yang lalu. Dia juga 
musuh kaum pendekar golongan kanan, yang selama 
ini dalam kejaran kaum pendekar penegak keadilan, 
juga buronan dari pihak Kerajaan Mataram! Jarang 
sekali orang sepertimu berada di dunia ini! Tapi ternyata apapun bisa terjadi!" Ujar sang
Resi dengan suara lirih dan tegas. Semua orang 
yang mendengarkan jadi tercenung. Dan sama-sama 
menundukkan wajah.
Angin senja berdesir halus menyibak dedau-
nan... Matahari semakin menggelincir kepermukaan 
gunung. Saat itu Pitra Sena telah melangkah perlahan 
ke arah di mana Jaran Perkoso dan Pipit Lurik yang 
tengah menatap padanya.
Tiba-tiba Pitra Sena tunduk berlutut dihadapan 
laki-laki tua yang masih bertampang gagah itu. Tak 
ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, kecuali isak 
tertahan yang telah dipersembahkan pada sang Ketua 
dari markas Benteng Macan Gunung.
Laki-laki gagah ini tiba-tiba gerakkan lengan-
nya mengangkat bahu Pitra Sena. "Bangunlah, calon 
menantuku....! Aku terima pinanganmu pada anakku 
Pipit Lurik!" Ujar Jaran Perkoso. Dan wajahnya segera 
berpaling pada anak perempuannya. "Terimalah dia 
sebagai calon suamimu, anakku.... Bukankah kalian 
telah saling mengenal?" Tanya Jaran Perkoso dengan 
tersenyum haru.
"Aku.... aku menyintainya, ayah..." Berkata per-
lahan Pipit Lurik dengan hati polos. Dan Jaran Perkoso 
menatap lagi pada Pitra Sena lekat-lekat, seraya ucap-
nya.
"Kau bersedia menikahi anakku yang sudah 
begini keadaannya...?" Pitra Sena mengangguk. Seraya 
tatap wajah Jaran Perkoso, lalu beralih pada Pipit Lu-
rik. "Aku akan menikahinya dengan setulus hatiku, 
Ramanda...!
Dengan jalan ini aku tinggalkan segala tindak 
kejahatan kelakuan ku... . .! Aku tak dapat memungki-
ri untuk tidak mencintainya, Ramanda! Walau apapun 
yang telah terjadi...!"
Suara kata-kata Pitra Sena terdengar jelas dan 
pasti. Gelimang hidupnya dari para wanita dan gadis-
gadis cantik sekapan ayahnya telah membuatnya se-
makin sadar dan semakin dewasa. Bahwa dia telah 
tersesat dalam pendidikan yang salah. Tak di duga cin-
ta justru bersemi pada gadis bernama Pipit Lurik, yang 
justru akan dijadikan wanita "barang" pesanan oleh 
ayahnya. Namun kasih sayang dan cinta ternyata telah 
semakin berakar pada Pipit Lurik. Bercampur rasa ka-
sihan dan kasih sayang pada gadis itu. Satu kejadian 
yang tak diduga adalah munculnya Gantar Sewu yang 
memang menjadi sahabat sang ayah.
Gantar Sewu telah pergunakan ilmunya untuk 
mengelabui Pipit Lurik, saat Pitra Sena berangkat me-
nemui nenek sakti Bikhu Sokalima di puncak Ratawu. 
Ternyata di sana dijumpai Jaran Perkoso dan Resi 
Paksi Sakti Jalatunda. Kiranya sang Resi lah yang te-
lah menolong Jaran Perkoso.
Pitra Sena telah beberkan segala kejahatan 
ayahnya pada kedua orang sakti itu, termasuk Jaran 
Perkoso yang turut mendengarkan penuturannya. De-
mikianlah, hingga berakhir dengan kejadian seperti 
tersebut di atas.
Kedua sejoli yang telah bersatu hati itu tampak 
berangkulan dengan terharu. Semua hadir di situ Cu-
ma bisa tersenyum penuh keharuan, juga memuji atas 
sikap Pitra Sena. Hal tersebut ternyata memang sudah 
diketahui oleh Roro Centil dan Jaka Keling, hingga me-
rekapun cuma bisa menarik napas lega.
Tiba-tiba saat dalam keheningan itu, Pipit Lurik 
lepaskan rangkulannya, dan berpaling mencari dua 
tubuh yang dibawa Roro Centil tadi. Sekejap dia sudah 
melompat kesana. karena baru tersadar sang dara ini, 
setelah sekilas dapat melihat kalau kedua orang itu 
adalah dua dari si Tiga Siluman Bukit Hantu.

yang bersih saja. Cinta mengalahkan segalanya. Dan 
kekotoran memang tak luput dari sifat insan di dunia 
ini, walaupun cuma setitik. Namun setidak-tidaknya 
dengan niat orang yang berusaha mencuci kekotoran 
itu, niscaya mereka sudah menuju kesatu jalan yang 
bersih...... Walau kodrat dan takdir adalah Tuhan Yang Maha Menentukan.



                          TAMAT















































Share:

0 comments:

Posting Komentar