1
JARAN PERKOSO adalah nama Ketua dari Pe-
rusahaan Pengantar dan pengawal barang, yang ba-
nyak mempunyai cabang di beberapa tempat.
Laki-laki berusia sekitar 50 tahun itu sudah
lama menduda sejak kematian istrinya delapan tahun
yang lalu. Dan cuma hidup berdua dengan anak ga-
disnya yang berusia 18 tahun bernama Sri Kemuning.
namun segera dikenal dengan julukan PIPIT LURIK,
karena kesukaannya memang mengenakan pakaian
bercorak garis-garis atau lurik. Hingga terkenal dengan
julukan si Pipit Lurik. Dalam merintis usahanya itu,
Jaran Perkoso dibantu oleh dua orang saudara seper-
guruannya bernama Gantar Sewu dan Jaka Keling.
Mereka memang murid-murid kakek sakti dari puncak
Gunung Muria, yang bergelar Resi Paksi Sakti Jala-
tunda.
Namun sejak sepuluh tahun belakangan ini ka-
kek sakti yang bersemayam di puncak Gunung Muria
itu, sudah tak ketahuan lagi bagaimana kabarnya. Ka-
rena pernah pada beberapa bulan belakangan ini Ja-
ran Perkoso dan kedua saudara seperguruannnya me-
nyambangi, namun sang guru yang disebut Eyang Ja-
latunda itu sudah tak lagi berdiam dipondoknya lagi.
Tak seorangpun' mengetahui kemana lenyapnya.
Perusahaan Pengangkut dan Pengawalan ba-
rang yang dipimpin oleh Jaran Perkoso itu diberi nama
BENTENG MACAN GUNUNG, yang markasnya terletak
di sekitar daerah UNGARAN. Pada masa itu memang
nama Perusahaan Ekspedisi Benteng Macan Gunung
sedang terkenal. Karena disamping mempunyai alat
pengangkutan yang kuat, yaitu kereta-kereta barang
dengan kuda-kuda yang kekar, juga dikawal oleh
orang-orang yang tangguh dan berkepandaian tinggi.
Apalagi nama TIGA MACAN GUNUNG MURIA sudah
terkenal dengan ketinggian ilmunya. Hingga perampok-
perampok dan pembegal akan segan mengganggu ba-
rang-barang kawalan mereka.
Namun segala sesuatu di dunia ini memang su-
sah diduga. Dan kelanggengan selalu bersifat sementa-
ra. Demikian juga dengan keadaan Perusahaan dan
Pengawalan barang Benteng Macan Gunung. Sejak
berdirinya delapan tahun yang lalu, sudah banyak
menjatuhkan beberapa saingan dalam usaha jenis itu.
Walaupun sebenarnya langganan bebas memakai jasa
siapa saja tanpa paksaan, namun kenyataannya para
Pedagang atau pengusaha pertanian maupun perke-
bunan, atau para saudagar dan bangsawan lebih cen-
derung memakai jasa Benteng Macan Gunung yang
sudah tersohor akan keamanannya. Karena mereka ti-
dak Usah khawatir merasa was-was lagi akan teran-
camnya barang mereka dari gangguan begal atau pe-
rampok serta gangguan lainnya.
Sehingga sudah sejak lama menimbulkan rasa
iri hati atas kewibawaan Benteng Macan Gunung. Dan
menimbulkan perbagai dendam terselubung pada si
Tiga Macan Gunung Muria yang tengah berjaya.
Sebuah gedung besar dan megah dibangun di
ujung kota Ungaran. Disekeliling gedung adalah berdiri
puluhan barak-barak tempat kereta, serta beberapa is-
tal kuda. Pada bagian belakang gedung megah itu ada-
lah barak-barak dari para pengawal yang keadaannya
bersih dan teratur. Mereka amat senang tinggal di
tempat itu, karena sang Ketua atau majikan mereka
amat memperhatikan akan kesejahteraan mereka, balk
makan dan pakaian. serta gaji yang sesuai.
Sebagai puteri satu-satunya, Pipit Lurik amat
manja pada ayahnya. Wajahnya yang cantik dengan
sepasang mata jeli berbulu mata lentik, juga raut wa-
jah berbentuk daun sirih dengan dagu kecil, hidung
yang mancung serta berbibir tipis itu mengingatkan
pada wajah mendiang istrinya yang telah tiada.
Jaran Perkoso amat menyayangi puterinya ini.
Namun bukan dengan dimanjakan dengan diumbar
segala kemauannya, akan tetapi diam-diam sejak be-
rusia 10 tahun, Pipit Lurik alias Sri Kemuning telah
diwarisi ilmu kepandaiannya. Gadis yang baru berusia
genap delapan belas tahun ini walau kelihatannya le-
mah, namun telah terisi dengan kekuatan dalam yang
tak kelihatan.
Disamping mewarisi lebih dari separuh ilmu
pedangnya, juga Pipit Lurik sudah menguasai berbagai
ilmu lainnya. Seperti ilmu tenaga dalam, dan tangan
kosong. Sejak kecil memang Pipit Lurik telah diajari
cara menunggang kuda, hingga tampak gadis itu
mempunyai kelincahan yang mengagumkan dalam
menunggang kuda, walaupun semua itu dilakukan di
dalam markas yang dipagari dengan tembok tebal.
Terkadang ada rasa sunyi di hati Jaran Perkoso
sejak ditinggal sang istri ke alam baka. namun men-
gingat akan kekhawatirannya pada sang anak, bila
mempunyai seorang ibunya yang telah tiada, Jaran
Perkoso tak sampai hati untuk mengambil istri lagi.
Khawatir kalau sang istri kelak tak menyayangi Pipit
Lurik. Dan akan berakibat tidak baik bagi keadaan da-
lam rumah tangganya.
Demikianlah, hingga sampai sejauh itu Jaran
Perkoso selalu memendam perasaannya. Laki-laki ini
sering terlihat termangu-mangu menatap keluar jende-
la, memperhatikan barak-barak di sekeliling gedung.
Sembilan belas kereta barang dibarak itu cuma bersisa
sebelas kereta. Dan dua puluh ekor kuda dibarak sana
cuma tinggal beberapa ekor lagi, karena hal itu Gantar
Sewu dan Jaka Keling tengah pergi mengantar barang
kawalan kedua tempat. Pesanan mengantar barang da-
ri seorang bangsawan tua di sebelah Utara kota Unga-
ran, yang dikawal oleh Gantar Sewu, dan pesanan satu
lagi adalah atas pesanan dari Adipati Banyu Biru, yang
dikawal oleh Jaka Keling dengan membawa belasan
anak buahnya.
Tampak laki-laki tua ini menghela napas, se-
raya hempaskan tubuhnya ke kursi di belakang me-
janya. Terkadang di hati Jaran Perkoso ada rasa bang-
ga mempunyai saudara seperguruan yang bekerja ra-
jin, patuh dan jujur.
Akan tetapi juga terasa begitu sepinya kalau
sudah keadaan dimarkas Benteng Macan Gunung
menjadi sunyi.
Ada tersirat dihatinya untuk meninggalkan pe-
kerjaannya. Entah mengapa dorongan itu begitu kuat.
Jaran Perkoso merasa usianya sudah semakin menua.
Dan sudah pantas rasanya dia mengundurkan diri ke
tempat sunyi.
Ah, seandainya Pipit Lurik telah bersuami, dan
mempunyai kesenangan... rasanya aku akan leluasa
menyendiri di puncak Muria Disana tampaknya amat
tenang dan tenteram! Sayang Eyang guru telah tak be-
rada di tempat itu, namun biarlah! Aku toh dapat me-
rasakan ketentraman walau hidup menyendiri, sambil
mengenang almarhum Sri Lestari.... . ! Mungkin den-
gan berdiam disana aku dapat menentramkan pera-
saanku! Demikian pikir Jaran Perkoso.
Memikir demikian tiba-tiba wajah laki-laki ini
menampilkan kecerahan. Bibirnya menampakkan se-
nyuman. "Ah, mengapa tak kubujuk anakku agar me-
nerima lamaran si Bangsawan Tua itu? Dia mengajak-
ku berbesan! Dan aku sudah lihat sendiri anak laki-
lakinya cukup tampan! Perangainya kukira baik...! Ya,
cukup sepadan bila bersanding dengan Pipit Lurik.
Pemuda itu bernama PITRA SENA! Hm, nama yang cu-
kup gagah buat anak seorang Bangsawan!" Menggu-
mam lirih Jaran Perkoso.
"Ah, seandainya Pipit Lurik tak menolak, aku
setuju berbesan dengan Raden Mas ANJASMORO
itu...!" Desisnya agak keras sambil gerakkan lengannya
memukul meja di luar sadar.
Terdengar suara langkah kaki mendekati, dan
seorang gadis cantik berwajah bulat sirih sudah mun-
cul di belakang Jaran Perkoso. Gadis ini adalah Sri
Kemuning alias Pipit Lurik. Tampak sepasang alis ga-
dis remaja ini bergerak hampir menyatu. Sepasang ma-
tanya yang tajam menatap pada ayahnya. "Ada apa-
kah, ayah? Tak biasanya ayah memukul meja..." Tanya
Pipit Lurik seraya menggelendot di punggung sang
ayah.
Terkejut Jaran Perkoso, tapi segera merubah
wajahnya menjadi senyum yang amat cerah. "Ah,
anakku...! Aku lupa akan satu jurus ilmu pukulan
yang belum ku turunkan padamu, hingga tanpa sadar
aku memukul meja dengan keras!" Ujar Jaran Perkoso
yang belum mau berterus terang di hadapan anak ga-
disnya.
Akan tetapi wajah gadis itu tak menampakkan
perubahan cerah seperti biasanya. Bahkan mele-
paskan lengannya, seraya beranjak beberapa langkah
ke arah pintu. Dan menatap keluar dimana terdapat
kebun bunga pada halaman gedung.
"Untuk apakah ilmu pukulan itu kupelajari,
ayah? Rasanya aku tak memerlukan segala macam il-
mu silat! Karena bukankah kau menginginkan aku
menikah dengan anak Bangsawan Tua itu...?" Berkata
Pipit Lurik tanpa palingkan wajahnya. Tentu saja kata-
kata itu membuat Jaran Perkoso jadi tersentak kaget,
karena tak menyangka kalau kata-katanya di luar sa-
dar tadi telah terdengar oleh sang anak.
"Anakku...! kau mendengar gumam ku tadi?.. .
ahk, aku... aku cuma..."
"Ayah! Mengapa kau begitu tergesa memikirkan
diriku...? Aku masih ingin hidup bebas, tak mau teri-
kat dulu dengan perkawinan!" Berkata Pipit Lurik,
dengan suara tiba-tiba berubah jadi parau. Dan segera
tampak air mukanya menjadi memerah. Sepasang ma-
tanya sudah berkaca-kaca tergenang air mata yang
mendadak menyembul keluar.
Tergesa-gesa Jaran Perkoso menghampiri, dan
cekal perlahan pundak anak gadisnya. Namun laki-laki
inipun bingung akan berkata apa pada anak gadisnya,
karena sekonyong-konyong bibirnya terasa seperti ter-
kunci, tak tahu apa yang harus diucapkannya.
"Sudahlah, anakku...! kalau kau tak menghen-
daki, aku tak dapat memaksa...!" Akhirnya Jaran Per-
koso membujuk dengan kata-kata lembut, seraya
membelai rambut sang anak. Hatinya pun menjadi lu-
luh kembali. Betapapun dia amat menyayangi puteri
satunya ini, dan tak ada berniat melukai hatinya..
"Ayah.....!" Teriak Pipit Lurik seraya balikkan
tubuhnya dan memeluk sang ayah dengan terisak-
isak. Jaran Perkoso mengusap-usap punggung anak
gadisnya. Sekonyong-konyong hatinya jadi trenyuh,
dan di luar sadar laki-laki inipun menitikkan air mata.
—0OOO0—
Sejak itu Jaran Perkoso tak pernah lagi me-
nyinggung-nyinggung soal perjodohan yang diha-
rapkan akan membuka jalan melaksanakan niatnya.
Bahkan Jaran Perkoso tak mengharapkan sedi-
kitpun untuk berbesan dengan Bangsawan Tua langganannya itu. Namun sejak itu Pipit Lurik nampak ser-
ing menyendiri dalam kamar. Tak menampakkan ke-
lincahannya lagi, atau kemanjaannya di hadapan sang
ayah. Gadis itu selalu menunduk tanpa berani me-
mandang padanya jika berhadapan. Dan jarang sekali
Pipit Lurik berbicara kalau tak ditanya.
Jaran Perkoso merasa amat menyesal dengan
kejadian lalu itu, karena tanpa diduga membuat dia
dan anak gadisnya jadi kurang akrab seperti biasanya.
Makin sepilah hatinya, dan semakin sering Ja-
ran Perkoso merenung bila telah selesai pekerjaannya.
Hingga terbitlah keinginannya membuat keakraban la-
gi pada sang anak gadis. Yaitu dengan mengajaknya
pergi keluar.
Hari itu cuma Gantar Sewu yang pergi mengan-
tar dan mengawal barang. Jaka Keling berada dimar-
kas. Tampak laki-laki berusia 30 tahun itu tengah
membantu para anak buahnya membetulkan kereta-
kereta yang rusak. Dan mengganti roda-rodanya den-
gan yang baru. Ketika Jaran Perkoso menghampiri,
adik seperguruannya ini cepat-cepat menjura.
"Adik Jaka Keling...! Apakah kau tidak pergi
kemana-mana hari ini... ?" Tanya Jaran Perkoso sambil
menggendong tangan di belakang punggung.
"Ada apakah, kakang? tak ada niatku untuk ke-
luar! Aku perlu memperbaiki kereta, bukankah dua
hari lagi akan mengantar barang ke Rawa Pening...!"
Ujar Jaka Keling sambil menepuk-nepukkan kedua
lengannya yang berdebu. Jaran Perkoso manggut-
manggut, dan tersenyum.
"Ah, sukurlah...! kau amat rajin bekerja! Jan-
gan terlalu berlebihan, adikku! Beristirahatlah kalau
memang kau memerlukan istirahat! Pekerjaan itu bisa
dikerjakan Singo Bronto atau yang lainnya! Aku ingin
mengajak Pipit Lurik pergi keluar menghirup udara pegunungan! Kau berjagalah dimarkas! Kalau ada pesa-
nan mengantar barang, suruh sore nanti kembali lagi!
Mungkin aku baru kembali menjelang sore...!" Berkata
Jaran Perkoso.
"Baiklah, kakang...!" Menyahut Jaka Keling
dengan menunduk menatap jemari kakinya. Jaran
Perkoso menepuk-nepuk bahu pemuda itu yang pantas
menjadi muridnya. "Baik-baiklah sepeninggal ku, men-
jaga markas..!" Ujarnya pula. Jaka Keling mengang-
guk- angguk sambil tersenyum.
"Tentu, kakang...!" Sahutnya, seraya kembali
berjongkok meneruskan kembali pekerjaannya. Jaran
Perkoso putarkan tubuh, kembali melangkah menuju
gedung. Sementara Jaka Keling menatapnya sampai
laki-laki kakak seperguruannya itu lenyap dibalik pin-
tu depan halaman gedung megah itu.
Dataran tinggi Limbangan memang merupakan
tempat pemandangan yang indah. Dari atas perbuki-
tan itu terlihat dikejauhan puncak Gunung Merbabu
yang menjulang dikelilingi awan putih. Pada puncak-
nya mengepulkan asap putih tipis. Namun gunung itu
memang amat jauh dari Limbangan dan hanya tampak
samar-samar saja kebiru-biruan. Angin pegunungan
yang membersit di atas perbukitan itu membuat hawa
sejuk nyaman.
Sementara di kejauhan tampak dua ekor kuda
tengah mendaki bukit. Suara ringkiknya sesekali ter-
dengar menyibak keheningan. Tak lama kedua kuda
sudah berada di atas perbukitan menghijau itu.
Kedua penunggangnya adalah seorang laki-laki
tua berusia lima-puluhan tahun. Sedang seorang lagi
adalah seorang gadis remaja yang cantik berbaju lurik.
Siapa lagi kalau bukan Pipit Lurik dan ayahnya, yaitu
Jaran Perkoso yang memang mengajak puterinya un-
tuk bergembira.
Tampaknya sang gadis ini memulai pulih lagi
kelincahannya. Dia merasa berada di alam yang bebas.
Terlihat wajahnya menampilkan senyum tiada hen-
tinya. Terkadang tertawa lepas kalau sang ayah bergu-
rau kata.
Ah, sungguh akan membuat orang yang melihat
keakraban ayah dan anak itu akan menjadi mengiri.
Tiada orang menduga kalau dibalik kegembiraan laki-
laki bernama Jaran Perkoso itu justru tersimpan pera-
saan sedih. Karena keadaan itu mengingatkan pada
masa isterinya masih hidup. Dimana mereka berdua
sering berdua-dua bersenda gurau di kala berbulan
madu.
Namun semua itu cuma tinggal kenangan. Ke-
nangan yang sudah lewat belasan tahun yang silam.
Air-mata laki-laki ini menitik tanpa disadari.
Akan tetapi telah disembunyikan dengan gelak tawa.
Pipit Lurik tersenyum memandang ayahnya yang mela-
rikan kudanya di atas bukit berputar-putar.
"Ayah...! oh, lihatlah! Di bawah ada sungai...!
Tentu airnya jernih sekali!" Teriak Pipit Lurik sambil
menunjuk ke bawah bukit dimana dikejauhan tampak
air sungai yang berkelok-kelok bagaikan ular, terha-
lang pohon dan perbukitan yang menonjol. "Itulah kali
Wringin, anakku...!" Ujar Jaran Perkoso seraya meng-
hampiri sang gadis. "Oh, indahnya...! aku amat betah
berdiam disini, ayah...!" Berkata Pipit Lurik. Dan Jaran
Perkoso cuma tertawa gelak-gelak.
Sementara benak laki-laki ini sudah dipenuhi
lagi dengan bermacam-macam keinginan yang akan
membuat kegembiraan sang anak. Apakah lebih baik
aku mengantarkan si Pipit Lurik ini ke Gunung RA-
TAWU...? Disana ada berdiam sahabat Eyang Guru!
Tampaknya anakku lebih menyenangi keadaan yang
bebas seperti ini...! Memikir demikian Jaran Perkoso
gerakkan kakinya melompat turun dari punggung ku-
da.
"Anakku duduklah disini, di dekatku...!" Berka-
ta Jaran Perkoso. Pipit Lurik menoleh, dilihatnya sang
ayah sudah duduk di atas batu. Segera dia melompat
turun dari kudanya, dan menghampiri kesana. Semen-
tara kudanya dibiarkan makan rumput yang banyak
tumbuh lebat di sekitar perbukitan itu.
Jaran Perkoso tatap wajah anak gadisnya lekat-
lekat. Pipit Lurik menunduk memandang ke bawah.
Gadis ini merasa ada satu keanehan yang terlihat di
wajah sang ayah. Ada hal apakah gerangan yang akan
dibicarakan padaku...? Pikir gadis ini. Selang tak lama
terdengar Jaran Perkoso menghela napas, dan mulai
berkata.
"Anakku...! Benarkah kau senang tinggal di
tempat yang bebas seperti ini?" Tanya Jaran Perkoso
membuka percakapan..
Pipit Lurik angkat wajahnya. Kini ganti dia yang
menatap pada sang ayah dengan wajah menampilkan
keheranan, tapi bibirnya sudah keluarkan kata-kata li-
rih.
"Benar, ayah! Aku bosan hidup terkungkung di
dalam markas! Semua yang kulihat adalah itu, dan itu
lagi...! Aku amat mengiri pada burung-burung yang
bebas lepas di udara itu!"
"Oh, anakku...! mengapa tak kau katakan sejak
dulu-dulu! Ayahmu tentu akan mengabulkan keingi-
nanmu! Kau adalah cahaya mataku, anakku! Sejak
kematian Ibumu delapan tahun yang lalu aku tak ber-
hasrat untuk menikah lagi! Semua itu karena semata-
mata aku menyayangi mu! Karena aku tak sampai hati
kalau kedatangan seorang ibu pengganti ibumu yang
telah tiada justru akan membuatmu jauh dariku!" Ujar
Jaran Perkoso. Mendadak suaranya jadi agak parau.
Ternyata laki-laki ini kembali mengingat akan almar-
hum istrinya.
Pipit Lurik tercenung beberapa saat. Kini dia
mulai mengetahui kalau sang ayah amat menyayan-
ginya.
"Ayah! aku takkan menghalangi kalau kau mau
menikah dengan siapa saja! Mengapa harus mengkha-
watirkan diriku? aku amat senang dan berbahagia ka-
lau melihat ayahpun berbahagia...!" Ujar Pipit Lurik
dengan mata berkaca-kaca.
"Mungkin sudah nasib, dan takdir diriku, di-
tinggal ibu...! Aih memang amat menyenangkan sean-
dainya ibu masih hidup...!" Lanjut Pipit Lurik, seraya
menatapkan pandangan jauh ke bawah bukit.
"Tidak, anakku... Aku amat mencintai ibumu!
Biarlah aku menduda selamanya sampai akhir hayat!
Aku cukup bahagia bila kau mempunyai kegembiraan
dalam hidup! Biarlah, yang sudah tiada tak usah dike-
nang lagi! Ibumu sudah rela dipanggil Yang Kuasa...!"
Berkata demikian, tampak wajah Jaran Perkoso beru-
bah muram. Akan tetapi dia sudah segera dapat me-
nahan kesedihannya.
"Anakku...! aku ada mempunyai kenalan seo-
rang sakti di Puncak Gunung Ratawu! Beliau bergelar
BIKHU SOKALIMA! Seorang Pendekar Wanita yang su-
dah lanjut usia!"
"Seorang Pendekar Wanita....?" Tanya Pipit Lu-
rik dengan suara agak tersentak.
"Ya...! Dahulu di kala mudanya adalah tokoh
Persilatan yang amat dikagumi di Rimba Hijau! sebagai
seorang tokoh penegak keadilan yang berilmu tinggi!".
"Oh, betapa mengagumkan...!" Berkata Pipit Lu-
rik dengan suara kagum memuji. Perubahan-
perubahan wajah Pipit Lurik tampak jelas dimata Ja-
ran Perkoso. Dan sang ayah ini tersenyum. Besar harapannya Pipit Lurik dapat tinggal bersama wanita ko-
sen sahabat Eyang Jalatunda itu di Puncak Ratawu.
"Kau setuju, anakku...?" Tanya Jaran Perkoso
dengan tatap tajam-tajam wajah puterinya. Pipit Lurik
mengangguk seraya tersenyum. Sepasang matanya
yang bening itupun menatap pada sang ayah dengan
bibir setengah terbuka.
"Aku gembira sekali, ayah...! Oh, betapa aku
amat berterima kasih padamu...!".
"Hahaha... bagus! kau memang anakku, yang
cantik dan bengal!" Desah suara Jaran Perkoso seraya
mencubit pipi dara manis itu. Tampak wajah Jaran
Perkoso menampilkan kegembiraan. Bukankah habis
sudah perkaranya? Dia dapat segera meninggalkan pe-
kerjaannya di Markas Benteng Macan Gunung untuk
meneruskan niatnya menyepi dipuncak Gunung Mu-
ria.
Dan bukankah puncak Gunung Muria dengan
Puncak Gunung Ratawu tak begitu berjauhan?. Sekali-
kali dia dapat mengunjungi Pipit Lurik dipuncak Rata-
wu.
Akan tetapi manusia bisa berencana, namun
segalanya adalah di tangan nasib yang menentukan.
Ketika tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda yang
santar. Kedua ayah dan anak itu menoleh ke belakang.
Seketika mereka jadi terperanjat karena tahu-tahu ke-
dua ekor kuda mereka tengah berkelojotan, melonjak-
lonjak disertai ringkikan-ringkikan yang mengenaskan.
Keduanya sudah segera melompat ke dekat kuda mas-
ing-masing.
Terkejut Pipit Lurik ketika melihat darah me-
netes dari perut dan leher binatang itu. Sesaat Setelah
meregang nyawa, kuda itupun diam tak bergerak lagi,
dan telah melepaskan nyawanya.
Demikian juga yang dialami Jaran Perkoso, ku
da tunggangannya mati dengan luka-luka pada perut
dan lehernya. Ketika memeriksa lukanya, kedapatan
beberapa buah paku telah menancap di beberapa ba-
gian tubuh binatang itu. Jelas paku-paku yang men-
gandung racun. Pucatlah wajah Jaran Perkoso. Dia
sudah bangkit berdiri untuk melihat ke beberapa pen-
juru disekeliling bukit itu.
"Keparat...! Siapakah yang telah melakukan
perbuatan keji yang pengecut ini! Keluarlah...! Tam-
pakkan dirimu, binatang. . .!" Teriak Jaran Perkoso.
Wajahnya seketika berubah merah padam bahkan gu-
sarnya.
Sekonyong-konyong dari lamping batu bukit,
berlompatan tiga sosok tubuh baju hijau, diiringi suara
tertawa mengikik seorang wanita.
"Hihihi... hihi... selamat berjumpa Ketua Ben-
teng Macan Gunung...! Hari ini Ketua utama dari tiga
Macan Gunung Muria bertemu dengan Tiga Siluman
Bukit Hantu! Hihihi... hihi... sungguh satu pertemuan
yang jarang terjadi...!"
Terkesiap Jaran Perkoso ketika melihat kemun-
culan tiga manusia ini. Dua orang laki-laki berjubah
hijau itu adalah yang mempunyai kedua tubuh seperti
bumi dengan langit. Kalau yang satu adalah manusia
pendek cebol dengan kepala botak. Adalah yang satu
lagi seorang yang jangkung kurus mirip jerangkong
dengan rambut gondrong yang sudah memutih. Pada
lengannya masing-masing mencekal sebuah tongkat.
Si jangkung memegang tongkat yang berkepala tengko-
rak. Pada bagian ujung kepala tengkoraknya menyem-
bul benda runcing mirip ujung tombak. Sedangkan si
pendek memegang tongkat yang berkepala berbentuk
tulang lengan, terbuat dari besi berwarna kuning den-
gan jari-jarinya yang terentang.
Si pendek mempunyai wajah yang berkulit kasar bermata sipit dengan hidung besar menggembung.
Mulutnya lebar hampir membelah pipinya yang tem-
bam, dengan barisan giginya yang berderet besar- be-
sar. Dikeningnya terdapat benjolan sebesar telur ayam.
Dialah yang bernama SETO BUNGKRIK. Berbeda den-
gan si jangkung yang berwajah lancip dengan kumis
lebat yang menutupi seluruh bibirnya, bermata besar
yang menonjol keluar, dengan hidung melengkung mi-
rip paruh burung Betet. Dia bernama WONG DUWUR.
Sedang yang satu lagi adalah seorang wanita
setengah umur, namun masih tampak genit. Wajahnya
masih cukup lumayan cantiknya, karena memakai be-
dak tebal serta gincu pemulas bibir yang merah me-
rangsang. Di dahinya menampak beberapa kerutan
yang menampilkan usia tuanya. Wanita ini memakai
baju hijau dengan belahan lebar di dada hingga me-
nampakkan hampir sebagian payudaranya yang su-
dah, kendur. Namun dapat diakui wanita ini masih
memiliki tubuh yang cukup merangsang laki-laki hi-
dung belang. Pada lehernya tergantung sebuah kalung
mirip mutiara sebesar-besar kelereng. Rambutnya
memakai gelung kecil di sebelah atas, yang sisa ram-
butnya dibiarkan terjuntai. Di pinggangnya sebelah kiri
terdapat sebuah kantong kulit, serta terselip di antara
jemarinya adalah seruas bambu hitam yang panjang-
nya hampir sedepa. Pada bagian tengah bambu hitam
terdapat beberapa lubang, seperti bentuk seruling.
Wanita inilah yang tadi melepaskan paku-paku
beracunnya. Dialah yang bernama KEMANG SURI. Ke-
tiga orang ini adalah tiga orang Tokoh Hitam yang pada
belasan tahun yang silam pernah membuat kegempa-
ran di Rimba Hijau dengan ulah perbuatannya. Ta-
dinya ketiga orang ini berpisah-pisah. Namun kini
muncul dengan berbareng serta mempunyai gelaran
baru, sejak beberapa tahun tak kedengaran kabarnya.
Tentu saja Jaran Perkoso mengenali wanita itu,
karena wanita itu pernah mempunyai urusan asmara
dengannya.
"Kemang Suri...!? Mau apa kau muncul disini
menggangguku... ?" Tanya Jaran Perkoso dengan wa-
jah menampakkan terkejut dan marah.
"Hihihi.. Jaran Perkoso...! Aku dengar Istrimu
sudah mampus, apakah tak ada niatan kau kawin la-
gi?" Berkata Kemang Suri tanpa acuhkan pertanyaan
orang. Memerah wajah Jaran Perkoso. "Aku tak perlu
saran dari kau kalau aku mau menikah, ataupun ti-
dak! Itu adalah urusanku! Kini jawab pertanyaanku,
apa maumu dengan mengganggu ketenteramanku...!
Dan kedua monyet hutan ini mengapa bisa bersatu
denganmu?"
"Hihihi... jelak-jelek keduanya adalah "suami-
ku!" Tenaganya masih belum kalah dengan anak mu-
da! Dan ilmunya juga tinggi! Aku khawatir kalau mere-
ka marah, bisa menguliti kulit tubuhmu siang-siang,
Jaran Perkoso! Hihihi..." Wanita itu kembali mengikik
tertawa memperlihatkan barisan giginya yang masih
rata namun sudah kehitam-hitaman. Wanita inilah
yang tadi melepaskan paku-paku beracunnya yang di
simpan di kantong kulit.
Sementara Pipit Lurik sudah melompat ke sisi
sang ayah, seraya keluarkan bentakan nyaring. "Bede-
bah! Rupanya kalian yang telah membunuh kuda kuda
kami...?!". Ketiga manusia itu segera menatap pada Pi-
pit Lurik dengan sorot mata tajam.
"Heh heh heh.... anak gadismu memang cantik,
sobat Macan Gunung Muria! Amat mirip sekali dengan
ibunya. Sayang Sri Sulastri menolak cintaku, gara-gara
munculnya kau yang jual lagak dihadapannya! Heh
heh heh... walau kejadian itu sudah hampir dua puluh
tahun tapi sakit hatiku masih tersimpan didadaku, Jaran Perkoso...! Akan tetapi akan kulupakan sakit hati
itu, asalkan kau berikan anak gadismu padaku untuk
pengganti ibunya...!" Berkata si Pendek Seto Bungkrik,
sambil matanya memain mengerling genit pada sang
gadis. Terasa mau meledak dada Jaran Perkoso men-
dengarkan ocehan si manusia pendek bertongkat kepa-
la Tengkorak itu.
"Keparat...! Siapa sudi bermantukan manusia
setan macam kau?.
"Aku kau bilang manusia setan...? hehehe-
hehe... kaulah yang jadi setan penyebab kegagalanku
menyunting Sri Lestari karena kau telah merebutnya!
Memang kini aku sudah jadi setan, yang sebentar lagi
akan menguliti kulit tubuhmu...!" Teriak si pendek gu-
sar.
"Huh, manusia iblis semacammu memang pan-
dai berputar lidah! Menyesal aku tak membunuhmu
mampus waktu itu! Perbuatanmu yang telah membu-
nuh gurumu sendiri dan mau memperkosa anak ga-
disnya karena anak gadis sang guru itu telah menolak
cintamu! Lalu kedatanganku yang menolong gadis itu,
apakah kau anggap aku merebutnya? Hahaha... ma-
nusia edan semacammu dibandingkan dengan anjing,
kukira masih lebih berharga seekor anjing...!"
Mendeliklah sepasang mata sipit si pendek Seto
Bungkrik. Giginya terdengar berkeraot menahan kema-
rahan. Wajahnya seketika berubah jadi merah bagai
kepiting rebus. Akan tetapi tiba-tiba si pendek ini bah-
kan tertawa gelak-gelak.
"Heheheheh... sudah kukatakan urusan itu
akan segera kulupakan, asalkan kau carikan penggan-
tinya! Yaitu anak gadismu yang cantik ini..! hehehe..
hehe..". Berkata lagi si pendek diantara derai tawanya,
menutupi kegusaran hatinya.
"Setan keparat...! Enyahlah kau...!" Teriak Pipit
Lurik yang diam-diam telah melolos pedangnya. Sejak
tadi dadanya sudah bergelombang mendengar kata-
kata si pendek ini. Begitu mengetahui kejahatan ma-
nusia di hadapannya itu, dia sudah tak dapat mena-
han sabar lagi.
WHUUUT...!
TRANGNG!
Pedang dilengan Pipit Lurik nyaris terlepas. Ke-
tika pedangnya berkelebat menabas kepala si pendek
itu, mendadak tongkat kepala Tengkorak itu bergerak
menangkis. Terasa telapak tangan Pipit Lurik tergetar.
tenaga sampokannya yang terlihat santai acuh tak
acuh itu ternyata bertenaga besar. Gadis itu melompat
mundur dua tindak.
"Ahoi...", ! biarlah aku yang menangkapnya,
kakang Seto...!" Tiba-tiba si jangkung berkumis sebe-
sar singkong itu buka suara.
"Hihihi... biarlah aku izinkan kalian memiliki
gadis itu. Dan si Jaran Perkoso, bapaknya ini adalah
bagianku...!" Ujar Kemang Suri dengan perlihatkan se-
nyuman dan kerlingan genitnya pada laki-laki dihada-
pannya.
Betapa muaknya Jaran Perkoso melihat tingkah
si wanita setengah umur yang dimasa mudanya selalu
mengejar-ngejarnya. Bahkan sampai dia sudah meni-
kah dengan Sri Lestari, Kemang Suri masih selalu
mengganggu ketentraman rumah tangganya.
Kemang Suri adalah pernah menjadi saudara
seperguruannya pada puluhan tahun yang silam. Na-
mun Jaran Perkoso telah beberapa tahun lebih dulu
menjadi murid Eyang Paksi Sakti Jalatunda di puncak
Gunung Muria.
Sang guru telah membawa gadis itu ketika se-
pulang dari turun gunung. Gadis yang tak ketahuan
asal-usulnya itupun menjadi murid Eyang Jalatunda.
Menurut yang didengar dari cerita gurunya, Kemang
Suri ditemukan terikat di sebatang pohon di dalam hu-
tan lebat yang banyak terdapat binatang buas.
Entah apa kesalahan wanita itu, hingga diikat
di tempat berbahaya. Karena jelas kalau tak ditolong
oleh Ki Jalatunda, pasti tewas kelaparan atau diterkam
binatang buas. Ki Jalatunda melepaskan ikatannya,
dan mau mengembalikan ke desa. Akan tetapi Kemang
Suri menangis, dan memohon menjadi muridnya. Dia
mengatakan bahwa dirinya telah diperkosa oleh orang-
orang jahat, yang setelah memperkosa lalu mengikat-
nya di hutan itu.
Karena merasa kasihan, dan gadis itu meren-
gek-rengek terus-menerus, terpaksa Ki Jalatunda
membawanya ke Puncak Gunung Muria. Tak dinyana
baru beberapa bulan sudah ketahuan belangnya. Ter-
nyata gadis itu adalah wanita yang amat dibenci di de-
sa itu, karena perbuatannya merusak rumah tangga
orang. Dia adalah seorang janda yang berperangai bu-
ruk. Demikianlah, berkali-kali Kemang Suri menggoda
Jaran Perkoso untuk berbuat mesum. Karena tak ta-
han, Jaran Perkoso mengadukan pada gurunya. Hing-
ga Kemang Suri diusir dari Puncak Muria. Dan tak di-
perkenankan lagi menggunakan ilmu-ilmu yang telah
diwariskan padanya.
Beruntung dapat diketahui kelakuan buruk
Kemang Suri lebih awal, sehingga ilmu-ilmu Resi Paksi
Sakti Jalatunda belum meresap kuat ditubuh dan
otaknya. Sejak itu Kemang Suri tak ada kabarnya lagi.
Dan beberapa tahun kemudian, sang guru kembali
membawa dua orang murid laki-laki. Yaitu Gantar Se-
wu dan Jaka Keling. Hingga kelihatan perbedaan
usianya amat jauh antara Jaran Perkoso dengan kedua
saudara seperguruannya itu. Gantar Sewu dan Jaka
Keling anak yatim piatu sejak kecil, sebelum diambil
murid oleh Ki Jalatunda.
Keduanya bekerja pada seorang pamannya
yang amat bengis dan kejam, sebagai penggali tambang
intan. Tubuh kedua anak laki-laki tanggung itu kurus
kering. Karena tak tahan menderita terus-menerus me-
reka lari dari tempat pekerjaannya. Namun nyaris ter-
timpa lorong goa yang longsor. Beruntung datang sang
guru menolongnya. Dan mereka dijadikan kedua mu-
ridnya.
Ternyata Resi Paksi Sakti Jalatunda banyak
mempunyai simpanan harta yang dipendam didalam
pondoknya di Puncak Muria. Dan ternyata juga sang
guru adalah bekas anak seorang Bangsawan yang
kaya-raya. Karena harta dan nyawanya banyak diincar
penjahat, sang guru mengasingkan diri ke Puncak Gu-
nung Muria. Disana sang guru memperdalam ilmu-
ilmu, dan menciptakan jurus-jurus ilmu silat yang he-
bat. Hingga kemudian Rimba Persilatan menjadi geger
dengan munculnya seorang tokoh pembela keadilan,
dan penjunjung kebenaran yang dikenal dengan julu-
kan si Pendekar Lengan Tunggal. Cacat pada anggota
tubuhnya itu adalah akibat keganasan para perampok
sewaktu membunuh kedua orang tuanya, dan mengu-
ras habis harta bendanya.
Dua belas tahun berumah tangga, ternyata Ja-
ran Perkoso telah dikaruniai seorang anak perempuan,
yang diberi nama Sri Kemuning (kemudian dikenal
dengan nama Pipit Lurik), berusia waktu itu sekitar 10
tahun.
Muncul pula satu musibah, yang berakhir den-
gan kehancuran rumah tangganya. Yaitu sejak keda-
tangan seorang wanita yang ternyata adalah bekas ke-
kasih Jaran Perkoso.
Akibat guna-guna serta ilmu hitam yang digu-
nakan wanita itu, Jaran Perkoso berbalik membenci istrinya. Hingga sang istri pergi meninggalkan Jaran
Perkoso, yang selanjutnya mereka hidup bersama ba-
gaikan suami istri di rumah yang ditinggali Jaran Per-
koso dan istrinya. Sementara sang istri (Sri Lestari)
ternyata pergi mengadu pada Ki Jalatunda, di puncak
Gunung Muria. Dengan bersusah payah Sri Lestari da-
pat mencapai puncak gunung itu. Disana dia menangis
dihadapan sang Resi Paksi Sakti Jalatunda mengadu-
kan nasibnya.
Sang Resi adalah seorang yang arif bijaksana,
segera menanyakan asal mula kejadian yang menimpa
musibah keluarga mereka.
Tentu saja Sri Lestari menceritakan semua ke-
jadian. Terkejut sang Resi. Karena dia mempunyai du-
gaan kalau Jaran Perkoso telah terkena tenung wanita
itu. Karena Ki Jalatunda memang mempunyai seorang
musuh bebuyutan yang memiliki ilmu tenung demi-
kian yang bergelar JENTIK KUNING hingga dengan ter-
gesa-gesa sang Resi segera turun gunung.
Dengan ilmu kesaktiannya, sang Resi berhasil
menumpas ilmu tenung wanita itu dan membebaskan
Jaran Perkoso dari pengaruh jahat yang mengendap
dalam otaknya. Jaran Perkoso sadar! Dan dia sendiri
yang menghabisi nyawa si wanita yang telah meracuni
kehidupannya itu. Yaitu wanita bekas kekasihnya...
Jaran Perkoso berangkat ke puncak Muria un-
tuk menjemput lagi istrinya. Namun yang didapati ada-
lah, istrinya telah tewas. Sebuah belati tergenggam di
tangan wanita itu dengan beberapa lubang bekas tu-
sukan di dada dan lambungnya. Sedangkan Sri Ke-
muning, si bocah perempuan yang baru berusia 10 ta-
hun itu telah lenyap entah kemana.
Jaran Perkoso meratap dan berteriak-teriak ka-
lap seperti orang yang tidak waras. Laki-laki inipun
nekat mau menghabisi nyawanya sendiri, karena merasa tak guna hidup lagi. Dosanya terasa amat besar
terhadap anak dan istrinya.
Jaran Perkoso menduga istrinya tewas membu-
nuh diri karena merasa sedih dan putus asa atas ting-
kah laku perbuatannya yang di luar sadar.
Untunglah Resi Paksi Sakti Jalatunda meno-
long, dan berhasil mencegah perbuatan dosa itu. Den-
gan lemah lembut sang guru memberi wejangan, bah-
wa Jaran Perkoso tak perlu merasa bersalah, karena
sudah jelas hilangnya akal waras laki-laki itu adalah
akibat perbuatan wanita keji itu, yang menggunakan
ilmu jahat dan sesat terhadapnya. Namun sesuatu
yang terjadi adalah di luar dugaan... Karena ternyata
Sri Kemuning masih hidup. Bocah perempuan berusia
10 tahun itu telah ditolong oleh seorang nenek tua,
yang tak lain adalah BIKHU SOKALIMA. Wanita sakti
itu adalah penghuni puncak Gunung RATAWU, yang
tak berapa jauh dari Gunung Muria.
Nenek tua sakti itu memang tengah berada di
bawah lereng. Memang kedatangannya ke Puncak Gu-
nung Muria adalah untuk menjumpai Resi Paksi Sakti
Jalatunda.
Ketika tiba-tiba dia melihat sesosok tubuh kecil
melayang dari atas Puncak Gunung Muria. Dengan
takdir Tuhan Sri Kemuning dapat diselamatkan nya-
wanya. Bocah perempuan itu dalam keadaan pingsan.
Bagaikan mendapat emas sebesar gunung, Ja-
ran Perkoso begitu gembiranya melihat sang anak ter-
nyata masih hidup, dipeluknya Sri Kemuning dengan
terisak-isak, dan diciuminya tak putus-putus, serasa
tak ingin lagi dia berpisah dengan anak kesayangan-
nya itu, yang telah kehilangan ibunya yang amat dika-
sihi.
Demikianlah, Jaran Perkoso tinggal kan puncak
Muria, setelah guru dan murid serta sahabat baik sang
Resi menguburkan jenazah Sri Lestari.
Niat baik si nenek BIKHU SOKALIMA terpaksa
ditolaknya untuk menjadikan Sri Kemuning sebagai
muridnya, karena Jaran Perkoso tak sampai hati un-
tuk tinggalkan sang anak, dipuncak Ratawu.
Kepergiannya adalah membawa pesan dari gu-
runya, yaitu mencari dua orang adik Seperguruannya,
yang juga telah turun gunung. Juga dengan membawa
bekal yang cukup berarti dari separuh harta milik sang
guru, untuk membangun kehidupan lagi. Sang guru
menyuruh Jaran Perkoso menikah lagi. Akan tetapi la-
ki-laki ini cuma menggeleng kepala, sambil tersenyum.
Demikianlah, hingga lebih dari tujuh tahun su-
dah, Jaran Perkoso hidup menduda. Ilmu dan fikiran-
nya dicurahkan untuk menambah kesejahteraan ra-
kyat. Yaitu mendirikan usaha Pengangkutan dan pen-
gawalan barang, yang sejauh itu dikelola, ternyata me-
nampakkan kemajuan pesat. Sedangkan kedua sauda-
ra seperguruannya yaitu Gantar Sewu dan Jaka Keling
turut membantunya didalam perusahaan itu. Hingga
terkenallah nama Tiga Macan Gunung Muria yang
bermarkas diujung kota Ungaran. Dengan nama mar-
kasnya, Benteng Macan gunung.
***
2
"Kemang Suri...! tak dinyana kau masih hidup,
dan belum juga dapat menghilangkan kelakuanmu
yang buruk!, bahkan bergabung dengan manusia-
manusia tengik macam begitu...! Sungguh tak berma-
lu...!" Ujar Jaran Perkoso.
Sementara sepasang matanya sudah melirik kearah si jangkung berkumis tebal itu yang maju mende-
kati Pipit Lurik. Diam-diam tersentak juga hati Jaran
Perkoso, karena sulitlah baginya menghadapi mereka
disebabkan adanya Pipit Lurik. Dia amat mengkhawa-
tirkan nasib anak gadisnya itu. Tiba-tiba dengan
menggertak gigi, Jaran Perkoso melompat ke arah sang
anak seraya berteriak.
"Anakku...! Cepatlah menyingkir! Biar aku yang
menghadapi anjing-anjing gelandangan ini...!" Lengan-
nya sudah bergerak menyambar lengan Pipit Lurik,
dan di bawanya melompat sejauh lima tombak.
"Cepatlah pergi menyelamatkan diri...!" Bentak
Jaran Perkoso dengan wajah berubah tegang.
"Tidak, ayah! Aku harus membantumu mela-
wan mereka...!" Berkata Pipit Lurik dengan tatap tajam
wajah ayahnya.
"Mereka bertiga, dan ayah akan menghadapinya
seorang diri...? Tidak! Aku harus membantumu! Aku
tak mungkin meninggalkanmu seorang diri...!" Teriak
Pipit Lurik. Terbeliak mata Jaran Perkoso. Disamping
kagum pada keberanian anak gadisnya, namun juga
amat mengkhawatirkan keselamatan diri sang anak.
Karena bukan mustahil kalau ketiga manusia yang
menamakan dirinya TIGA SILUMAN BUKIT HANTU itu
akan sukar dilayani. Terlebih melihat si pendek yang
diketahuinya bernama Seto Bungkrik itu, yang amat
berhasrat pada anak gadisnya.
Tidak, anakku...! Sekali ini turutlah perintah
ayah! Pergilah selamatkan nyawamu! Pergilah ke pun-
cak gunung Ratawu! Kelak kau akan dapat membalas
dendam dibelakang hari, seandainya aku tewas! Tapi
aku akan berusaha melawannya sekuat tenaga! Bila
aku berhasil menyelamatkan nyawaku, kelak aku akan
menyusulmu kesana...!" Bisik Jaran Perkoso dengan
suara tergetar.
Akan tetapi tiga manusia itu telah berkelebatan
melompat mengurung mereka. Tak ada jalan lain, ter-
paksa Jaran Perkoso cabut keluar pedangnya dibela-
kang punggung.
"Majulah kalian Tiga Siluman Bukit Hantu! Ka-
lian kira aku si Jaran Perkoso takut menghadapi ce-
cunguk-cecunguk macam kalian...!" Sementara Pipit
Lurik sudah pasang kuda-kuda, siap menghadapi ke-
mungkinan. Jaran Perkoso masih sempat berbisik.
"Hati-hati anakku...!".
Dan tubuhnya sudah melompat menerjang Ke-
mang Suri, dengan kelebatkan pedangnya yang berki-
latan menebas pinggang dan leher. Dua serangan be-
runtun telah dilakukan. Sementara sebelah lengannya
siap melakukan hantaman.
WHUT! WHUT!....._
Tak dikira setelah belasan tahun menghilang,
Kemang Suri mempunyai kegesitan luar biasa meng-
hindari serangan maut Jaran Perkoso. Tubuhnya ber-
kelebat menghindar, dan sebelah lengannya lakukan
hantaman ke arah dada Jaran Perkoso. Akan tetapi
Jaran Perkoso telah siap untuk memapakinya, hingga
kedua telapak tangan mereka saling beradu....
DWESSSS...,! Tampak uap putih mengepul aki-
bat benturan lengan itu. Tubuh Jaran Perkoso ter-
huyung lima langkah, sedangkan Kemang Suri ter-
huyung ke belakang enam-tujuh langkah, akan tetapi
sekejap, Kemang Suri sudah tampilkan wajah tertawa
menyeringai, tampakkan barisan giginya yang kehita-
man. Sepasang kakinya telah berdiri teguh lagi mena-
pak di tanah.
"Hihihi... hihi... hebat! Hebat...! Hayo keluarkan
jurus-jurus ilmu pedang warisan gurumu si kakek tua
renta puncak gunung Muria itu, Jaran Perkoso...! Atau
kau harus belajar sepuluh tahun lagi pada si kakek
bangkotan itu di AKHIRAT...!!" teriak Kemang Suri
dengan tertawa mengejek.
Tentu saja kata-kata itu membuat Jaran Perko-
so jadi melengak. Hah?! Apakah mereka telah membu-
nuh Eyang Jalatunda? Sentak hati Jaran Perkoso. Pe-
rubahan wajah laki-laki berusia setengah abad itu
tampak jelas oleh Kemang Suri. "Eh, tampaknya kau
merasa aneh dengan ucapanku?. Hihihi... si kakek
bangkotan yang pernah mengusirku itu telah kami ki-
rim nyawanya ke alam baka!"
"Heheheheh.... Jaran Perkoso...! kau sudah tak
bisa merengek-rengek lagi ke puncak Gunung Muria
untuk minta pertolongan! Lebih baik kau berikan anak
gadismu ini padaku, lalu aku tak mencampuri uru-
sanmu lagi...!" Teriak si pendek Seto Bungkrik seraya
berkelebat ke arahnya. Sementara si jangkung kawan-
nya itu bergerak melompat ke arah Pipit Lurik. Gadis
ini segera tabaskan pedangnya dengan jurus-jurus aja-
ran sang ayah. Terdengar suara bersiutan mengurung
tubuh si jangkung bernama Wong Duwur itu. Akan te-
tapi Wong Duwur cuma ganda tertawa saja.
"Hahahehehe... ilmu pedang warisan ayahmu
itu sudah ketinggalan jaman, anak manis. Lebih baik
kau belajar pada si pendek kawanku itu! Jurus-jurus
ilmu bergulat di tempat tidur tentu akan dapat diwa-
riskan padamu, tanpa kau pinta.! Hehehe..."
"Tutup bacotmu, setan jerangkong!" Berteriak
marah Pipit Lurik. Kini permainan ilmu pedangnya
semakin hebat, keluarkan angin menderu yang men-
gurung setiap langkah lawannya. Akan tetapi tampak-
nya hal itu tak membuat si jangkung menjadi terkejut.
Tubuhnya berlompatan cepat sekali, hingga yang keli-
hatan cuma bayangan hijau saja. Apa lagi kini ditam-
bah dengan keluarnya asap tipis dari sepasang mata
kepala tengkorak di ujung tongkatnya. Membuat dengan leluasa si jangkung menyelinap menghindar. Ada-
pun Pipit Lurik tampak terkejut, karena hidungnya
sudah mengendus asap yang berbau amis, serta me-
nyesakkan pernapasan.
Sementara Jaran Perkoso yang dalam keadaan
kalut fikiran, karena mendengar gurunya telah tewas
di angan ketiga manusia ini, telah menggerung keras
membabatkan pedangnya bagaikan naga mengamuk.
Jurus-demi jurus terus berlalu, dan suara benturan
senjata kerap terdengar dari beradunya pedang dengan
tongkat si pendek Seto Bungkrik.
Laki-laki pendek ini tampaknya amat penasa-
ran untuk menjatuhkan Jaran Perkoso. karena dia
pernah dipecundangi belasan tahun yang silam, ketika
akan melaksanakan niatnya memperkosa Sri Lestari.
WHUT! WHUT! WHUTT...! TRANG! TRANG!
Tiga hantaman berkelebatan saling susul me-
nerjang ke arah Jaran Perkoso. Tongkat berkepala te-
lapak tangan besi, berwarna kuning itu mengarah ke
arah leher, lalu berubah menyambar ke bawah selang-
kangan dan meluncur lagi menyambar batok kepala
lawan. Jaran Perkoso tampak terkejut bukan main, ka-
rena jelas tongkat berkepala tangan besi yang berujung
kuku tajam itu adalah senjata yang telah dilumuri ra-
cun. Bila kurang waspada sedikit saja akan membuat
luka yang berbahaya.
Beruntung dengan gerakan melompat dan ber-
salto. dia dapat menghindari serangan-serangan ber-
bahaya tadi. Bahkan lakukan gerakan menangkis den-
gan pedangnya. Ketika tongkat tangan besi itu melun-
cur ke arah jantung dan pinggang.
DWESSS...! Jaran Perkoso balas menyerang
dengan pukulan tenaga dalam. Itulah salah satu dari
jurus tangan kosong yang bernama Pukulan Geledek.
Uap putih panas yang tersimpan di dalam telapak tangannya sudah sejak tadi disiapkan untuk menghantam
lawan. Terkejut si pendek Seto Bungkrik. Karena pu-
kulan itu di luar dugaan. Sedangkan dia dalam kea-
daan posisi tak menguntungkan sehabis melakukan
serangkaian serangan mengandung maut tadi.
Namun beruntunglah karena di saat kritis itu
yang tak sempat Seto Bungkrik menangkis, sudah ter-
dengar suara bentakan Kemang Suri. Tubuhnya me-
lompat cepat sekali mendorong tubuh Seto Bungkrik
yang jatuh bergulingan. Sedang pukulan maut dari Ju-
rus Pukulan Geledak itu lewat... dan menghantam pa-
da batu besar. Batu itu hancur lumat dengan keadaan
hangus.
Pada saat mereka terperangah, Jaran Perkoso
melirik ke arah anak gadisnya, terkejut laki-laki ini
mengetahui Pipit Lurik dalam bahaya. Karena terku-
rung oleh rapatnya uap beracun yang keluar dari se-
pasang mata tengkorak di tongkat si jangkung alls
WONG DUWUR yang melayani si gadis dengan menge-
keh tertawa.
WHUUK...! Jaran Perkoso telah gigit belakang
mata pedangnya, sedangkan kedua lengan diperguna-
kan menghantamkan angin pukulannya. Inilah satu
jurus dari ilmu tenaga dalam yang dinamakan Tiupan
Angin Puyuh.
Segera segelombang angin keras bergulung-
gulung menerjang ke arah pertarungan.
Angin bergulung itu tak begitu keras, karena
Jaran Perkoso cuma bermaksud mengusir asap bera-
cun berbau amis yang mengurung Pipit Lurik. Gadis
ini cuma merasai tubuhnya terhuyung dua langkah,
namun asap yang mengurungnya telah sirna seketika.
WHUT! WHUT! WHUT! Jaran Perkoso sudah
menerjang Wong Duwur dengan beberapa tabasan pe-
dang. namun laki-laki jangkung sudah berlompatan
menghindar. Seraya perdengarkan dengusan di hi-
dung, si jangkung ini tertawa sinis.
"Heheheh... Jaran Perkoso! Walau kau punya
ilmu setinggi langit, namun menghadapi kami yang te-
lah bersatu, akan percuma hasilnya! Sudah sejak lama
aku ingin membunuhmu! Sayang aku harus menyik-
samu dulu sebelum kau mampus!"
"Wong Duwur! Iblis Hutan Dandaka...! Kau
urusilah gadis itu berdua dengan kau si pendek Seto
Bungkrik! Aku yang akan tundukkan laki-laki ini...!"
Tiba-tiba Kemang Suri memotong kata-kata Wong Du-
wur.
Seraya berkata, tangannya sudah bergerak
mengangkat senjatanya, dengan menempelkan ujung-
ujung bambu berlubang itu pada bibirnya. Segera
membersit suara melengking tinggi. Ternyata adalah
sebuah seruling.
"Bagus! kita sama-sama menawan kedua ekor
kambing ini...!" Berkata si pendek Seto Bungkrik, se-
raya melompat ke arah Pipit Lurik. Terkejut gadis. ini,
yang tak ayal segera putarkan pedangnya melindungi
diri.
Tak ada harapan bagi Jaran Perkoso untuk
mundur menyelamatkan diri, karena mereka telah ter-
kurung oleh kepungan tiga manusia keji ini, yang su-
dah terkenal masing-masing kejahatannya di Rimba
Persilatan.
Apa lagi kini mereka telah bersatu. Kalau gu-
runya sendiri sudah dapat mereka tewaskan apalagi,
dia seorang yang harus menghadapi cuma ditemani
seorang anak gadisnya. Harapannya untuk menyela-
matkan sang anak dari tangan mereka ternyata sema-
kin tipis. Karena Pipit Lurik, sekejap sudah dikepung
kedua tokoh itu.
Kini suara tiupan seruling itu sudah membersit
panjang membuat Jaran Perkoso kerutkan keningnya.
Karena terasa telinganya mendadak menjadi bising.
Adapun kedua tokoh hitam itu telah mengetahui akan
kehebatan suara tiupan seruling Kembang Suri. Den-
gan diam-diam telah menyumpal telinganya masing-
masing, sedangkan Jaran Perkoso segera putarkan pe-
dangnya yang mengeluarkan suara bersiutan menan-
dingi suara tiupan seruling aneh Kemang Suri, yang
mulai melagukan nada-nada tinggi rendah.
WHUK! WHUK! Laki-laki ini hantamkan telapak
tangannya dua kali dengan pukulan Geledeknya. Ke-
mang Suri tertawa mengikik, seraya jatuhkan tubuh-
nya bergulingan. Namun ketika bangkit lagi kembali
teruskan suara tiupan serulingnya. Melengking-
lengking suaranya, membuat telinga Jaran Perkoso
tergetar. Tubuhnya bergoyang goyang, dan kepalanya
berdenyutan.
"Perempuan setan...!" Bentak Jaran Perkoso se-
raya melompat menerjang dengan sambarkan pedang-
nya. Kekalutan memikirkan keadaan anak gadisnya
membuat laki-laki ini menyerang membabi-buta. Se-
mentara di luar sadarnya Pipit Lurik sudah roboh ter-
kulai terkena totokan si jangkung Wong Duwur. Dan
sekejap saja sudah berada dalam pondongan si pendek
Seto Bungkrik.
Terkejut Jaran Perkoso melihat anak gadisnya
sudah roboh tertawan. namun usahanya untuk me-
lompat ke arah kedua orang itu, telah tertahan oleh
suara bersitan tiupan seruling yang membuat kepa-
lanya menjadi pening. Akhirnya terpaksa lengannya
bergerak menutupi telinganya yang sebelah, sedang
lengannya yang masih mencekal pedang digunakan
menunjang tubuhnya agar tidak jatuh. Mau tidak mau
Jaran Perkoso harus mengakui kelemahannya. Namun
diam-diam dia sudah siapkan satu jurus untuk menghantam si wanita dihadapannya.
Melihat keadaan Jaran Perkoso sudah kena
pengaruh tiupan bertenaga dalam yang mempengaruhi
lawan, Kemang Suri dengan tertawa mengikik segera
lompat menghampiri. Tapi baru saja kakinya menjejak
tanah, Jaran Perkoso menggerung keras seraya kelua-
rkan jurus permainan pedang yang dinamakan Naga
mengamuk.
***
3
Kemang Suri terkejut karena mendadak Jaran
Perkoso telah bangkit kembali dengan serangan-
serangan berbahayanya. Terpaksa tubuhnya berkele-
batan melompat dan menghindar dari tabasan-tabasan
maut pedang Jaran Perkoso. Kini wanita itu tak mem-
punyai kesempatan lagi meniup serulingnya. Bahkan
dengan berteriak-teriak kaget jatuhkan diri bergulin-
gan Nyaris pedang Jaran Perkoso merobek lambung-
nya. Namun tak urung ujung rambutnya sepanjang sa-
tu jengkal telah terbabat putus. Debu mengepul kehi-
taman disertai suara menderu dari angin pukulan
yang dilancarkan Jaran Perkoso.
BUK! Satu hantaman telak kena menyerempet
kulit lengan Kemang Suri. Wanita ini menjerit parau.
Bajunya hangus terbakar. Lengannya sebatas pundak
mengelupas. Belum lagi dia berbuat sesuatu kilatan
pedang telah meluncur ke arah dada. TRANGNG...!
Pedang di tangan Jaran Perkoso terlempar, ke-
tika tongkat si jangkung Wong Duwur menangkis me-
nyelamatkan nyawa Kemang Suri. Dan selanjutnya
ganti Wong Duwur yang merangsak Jaran Perkoso.
WUT! WUT! Wut! TRANG...! TRANG...!
Jarang Perkoso berlompatan menghindar, dan
menangkis beberapa kali. Telapak tangannya telah
memerah yang memegang gagang pedang akibat ben-
turan-benturan dengan si jangkung yang tenaga da-
lamnya ternyata setingkat diatasnya.
Mengeluh laki-laki ini. Terlebih kini asap bera-
cun berbau amis mulai mengurung dirinya. Sementara
sudah terdengar lagi tiupan seruling Kemang Suri yang
melengking-lengking.
TRANG!... terdengar suara benturan kedua sen-
jata.
Kali ini Jaran Perkoso tak mampu memperta-
hankan pedangnya, yang telah segera terlepas dari
genggamannya. WHUTT...! Tongkat berkepala Tengko-
rak Wong Duwur sudah meluncur ke arah ubun-ubun
Jaran Perkoso. Akan tetapi pada saat kritis itu berke-
lebat bayangan hijau yang menangkis serangan maut
itu.
PLAK...! Apa yang terjadi? Kiranya Kemang Suri
telah menggagalkan serangan maut Wong Duwur. Ke-
pala tengkorak tongkat si jangkung itu miring ke
samping, dan mengenai tanah disamping tubuh Jaran
Perkoso.
"Tahan! kau tak boleh membunuhnya...!" Teriak
Kemang Suri. Dan secepat kilat lengannya bergerak
menotok tubuh laki-laki yang sudah tak berdaya ke-
habisan tenaga itu. Jaran Perkoso perdengarkan kelu-
hannya, dan roboh terguling.
"Hahahehehe... hehe... Wong Duwur, biarkan
dewi kita mengurusi laki-laki itu! Aku akan berikan
bagian padamu setelah beres urusanku...! Hahaha..
hahaha... !" Terdengar mengakak tertawa si pendek Se-
to Bungkrik. Wong Duwur pun tersenyum manggut-
manggut, seraya berkata pada Kemang Suri yang masih melototkan matanya dengan mendongkol. Telapak
tangannya terasa kesemutan setelah barusan menolak
tongkat maut si jangkung itu.
"Oh, maafkan dewiku...! aku lupa kalau si Ja-
ran Perkoso itu bagianmu! hehe... hehehe..." Ujar Wong
Duwur dengan perdengarkan tertawa yang kurang
enak didengar.
"Sudahlah, kau minggatlah yang agak jauh!
jangan ganggu urusanku...!" bentak Kemang Suri den-
gan bibir cemberut. Tapi justru membuat kerlingan ta-
jam pada laki-laki jangkung itu. Pertanda kalau si
jangkung itu harus mengerti maksudnya.
"Hihihi.. Jaran Perkoso, aku berani bertaruh
kalau kau toh akhirnya akan menyenangi diriku. Wa-
laupun aku sudah usia hampir setengah abad, pasti
kau akan tak merasa kecewa, nanti! Hihihi..." Ujar
Kemang Suri seraya lengannya bergerak membukai
pakaian Jaran Perkoso.
Laki-laki itu cuma pelototkan matanya dengan
gusar. Giginya gemeletuk berbunyi menahan geram.
Sementara di luar dugaan si pendek Seto Bungkrik, ju-
stru membawa sang tawanan ke hadapan Kemang Su-
ri. Lalu jatuhkan tubuh gadis itu tepat di dekat Jaran
Perkoso.
"Bagus! kau kerjailah anak si Jaran Perkoso itu
di depan matanya, biar semangat jantannya mengge-
bu-gebu... hihihi... hihi..." Terbelalak mata Jaran Per-
koso, serasa dadanya mau meledak menyaksikan per-
buatan yang tengah diperagakan di depan matanya.
Sementara Kemang Suri telah membuka paksa apa
yang melekat di tubuh Jaran Perkoso.
BRET. BRET! BRET...! Kini laki-laki itu sudah
bagaikan seekor kambing benggala yang sudah dipen-
tang dengan keadaan selesai dikuliti. Kepalanya disan-
darkan pada pangkuan Kemang Suri. Laki-laki ini
memaki kalang kabut. "Setan keparat...! Bunuhlah
aku! mengapa kalian menyiksa dengan cara biadab se-
perti ini? Kalian memang iblis-iblis bermuka manu-
sia..."
—oOOOo—-
Pipit Lurik bukannya tak sadar akan apa yang
tengah terjadi terhadap dirinya. akan tetapi dia me-
mang tak berdaya. Dan biarkan lengan-lengan kasar si
pendek itu melepaskan sehelai demi sehelai pakaian
yang melekat ditubuhnya.
Sepasang matanya dipejamkan kuat-kuat. bi-
birnya telah digigit sendiri hingga mengeluarkan darah.
Daya upayanya melepaskan diri dari pengaruh totokan
si jangkung kurus itu tak membawa hasil.
Jaran Perkoso tak akan sanggup melihat keja-
dian gila yang terpampang dihadapannya. Dilihatnya si
pendek Seto Bungkrik dengan tertawa mengekeh mulai
memperagakan kepandaian lengannya menjuluri sepa-
sang bukit daging yang masih kencang memutih ra-
num. Ternyata upaya untuk bertahan dengan segala
kepasrahan itu, tidaklah membuat gadis ini bisa gigit
bibir belaka. Karena rasa takut yang luar biasa,.
Pipit Lurik tiba-tiba belalakkan sepasang ma-
tanya. Dan perdengarkan jeritan sekuat-kuat. Berte-
riak-teriak sang gadis ini bagaikan orang kemasukan
setan Akan tetapi dengan menyeringai, justru si pen-
dek ini telah keluarkan sebuah benda dari dalam saku
bajunya. Benda terdiri dari dua butir pil itu dengan ce-
pat telah dijejalkan masuk ke mulut sang gadis. Se-
mentara lengannya bergerak menotok urat suaranya,
hingga lenyaplah suara teriakannya. Cuma sepasang
matanya saja yang terbelalak. Kedua butir pel itu seke-
jap telah tertelan lewat tenggorokannya.
Terperangah Jaran Perkoso. Nafasnya terasa
memburu... bagaimana dia dapat sanggup melihat ke-
jadian sedemikian bejatnya di depan mata?. Laki-laki
ini gerakkan tubuhnya membuka totokan. Tenaga da-
lamnya dikerahkan sepenuhnya untuk disebar ke se-
kujur tubuh. Tampaknya hal itu membawa hasil. Na-
mun baru dia mau bergerak meronta, Kemang Suri te-
lah tutupkan sapu tangan berbau harum dihidungnya.
Mendadak terasa kepalanya menjadi pening...
dan tubuhnya kembali lemas tanpa tenaga. Sepasang
matanya mendadak seperti mengantuk, dan terkulai
kepalanya di pangkuan Kemang Suri dengan mata ter-
pejam.
Berlainan dengan cara si pendek Seto
Bungkrik. Kalau laki-laki itu mengeluarkan dua butir
pil yang dijejalkan ke mulut sang korban, adalah Ke-
mang Suri merogoh kantong kulitnya. Dan keluarlah
sebuah bumbung bambu. Di dalamnya terdapat cairan
berwarna hitam. Setelah membuka sumbatannya, se-
gera diteguknya benda cair dalam bumbung itu tiga
kali tegukan. Lalu menutup kembali sumbatannya,
dengan pipi masih menggembung. Setelah menyimpan
kembali bumbung bambu itu dalam kantong kulit, ke-
palanya membungkuk. Menelan sedikit cairan dalam
mulutnya itu, lalu sisanya dituangkan dalam mulut
Jaran Perkoso yang sudah dipentang ternganga lebar...
Entah cairan apakah itu... Akan tetapi tak lama
ketika laki-laki itu sadarkan diri pandangan matanya
menjadi aneh dan liar. Bibirnya seperti menyeringai
dengan sikap aneh melihat adegan di depan matanya.
Dilihatnya si pendek cebol telah lepaskan sesuatu yang
mengganggu pada tubuhnya. Dan... Pipit Lurik tidak
lagi ketakutan seperti melihat hantu dihadapannya.
Bahkan... ketika si pendek Seto Bungkrik merangkul-
nya serta menghunjamkan wajahnya ke belahan kedua
bukit berputik kemerahan itu, tubuhnya bergelinjan-
gan seperti terangsang hebat. Lengannya sudah berge-
rak mengelus kepala gundul si pendek Seto Bungkrik
dan membelainya dengan bibir mendesah dan mata se-
tengah terpejam.
Getarannya terasa sampai ke hati Jaran Perko-
so. Membuat tubuh laki-laki ini bergelinjangan mena-
han kobaran hawa nafsu yang seperti tak terkendali-
kan. Tahu-tahu Jaran Perkoso rasakan belaian lembut
mengelus wajahnya. Belaian dari dua buah benda lu-
nak berputik lebar. Tak ayal bagaikan seekor bayi yang
kehausan, Jaran Perkoso melumatnya dengan lahap.
Tentu tak menolak jika sang ibu mengangsongkan se-
suatu untuk dilumatnya oleh sang bayi. Dan... di lain
kejap tampak Kemang Suri perdengarkan rintihannya.
Tubuhnya bergelinjangan menahan kenikmatan yang
tiada tara.
Angin gunung di sekitar tempat yang seperti te-
duh, tapi gersang itu berhembus menyentuh kulit-kulit
daun dan dahan-dahan telanjang. Menghempas-
hempaskan rantingnya. Beberapa helai daun jatuh me-
layang turun ke tanah... di sela desahan dan suara ter-
tawa mengikik Kemang Suri, terdengar si pendek Seto
Bungkrik menggerutu, yang seperti memaki dirinya...!
"Kunyuk...!? aku lupa memakan obat...!" Dan
terpaksa dia harus berdiam menunggu waktu berlalu.
Sementara matanya menatap ke arah dua ekor kamb-
ing yang saling berpacu di atas rumput. Kemang Suri
seperti dihujani serangan-serangan hebat. Membuat
tubuhnya bergelinjangan tak menentu. Mulutnya tern-
ganga berdesahan. Sepasang lengannya bergerak men-
dekap tubuh Jaran Perkoso berubah. Namun bersa-
maan dengan keluhan Kemang Suri bergelinjanganlah
sepasang kuda yang saling bergumul itu melepaskan
semua naluri, mencapai puncak tertinggi diujung syaraf.
Seto Bungkrik, si pendek berkepala gundul ini
leletkan lidahnya. Saat itu tiba-tiba satu bayangan hi-
jau berkelebat mendekatinya.
"Heheheheh... kini giliran aku, bukan...?" Ber-
kata sosok tubuh itu yang tak lain dari si jangkung
Wong Duwur. Dia sudah segera lepaskan jubahnya.
"Kunyuk tua! Menyingkirlah dulu...! Aku belum
lakukan apa-apa...!"
"Hah!?... tapi..." Ujar si jangkung penasaran.
"Jangan tanya apa-apa! berikan padaku ra-
muan simpananmu...! Desis Seto Bungkrik dengan ju-
lurkan lengannya. Wajah Wong Duwur jadi berubah
kecewa. Lengannya bergerak menyambar jubahnya.
Lalu meraba-raba ke dalam kantung jubah. Entah dari
mana datangnya, tahu-tahu bersyiur angin keras ber-
gulung-gulung seperti pusaran angin puyuh. Seto
Bungkrik dan Wong Duwur jadi terkejut. Bahkan ju-
bah si jangkung telah terbawa melayang ke atas. Ter-
paksa laki-laki itu mengejarnya. "Setan...!? Ucap Wong
Duwur seraya lakukan lompatan tinggi untuk me-
nangkap jubahnya yang terbawa pusaran angin ke
udara.
Si Pendek Seto Bungkrik tak sabaran. Tubuh-
nya bergerak melompat untuk turut mengejar jubah.
"Celaka...! Aku khawatir bungkusan obat ramuan da-
lam kantung jubahnya lenyap melayang...!" Desisnya.
Ketika jejakkan kaki ke dekat Wong Duwur ternyata
laki-laki jangkung itu sudah berhasil menyambar ju-
bahnya. Dan kembali melayang turun. Sementara an-
gin pusaran itu masih berputar-putar menerbangkan
dedaunan dan debu pasir dan tanah. Membuat mereka
harus menyipitkan mata.
Pada saat itulah berkelebat sebuah bayangan
kuning, menyambar tubuh Pipit Lurik, tanpa seorang
pun yang melihat kejadian yang begitu cepat. Lalu
membawanya berkelebat. Sementara Kemang Suri ma-
sih pejamkan mata setelah berhasil mencapai kepua-
san. Bahkan ketika angin pusaran itu menerpa seperti
tak perduli lagi. Hingga saat tubuh bugil Pipit Lurik di-
bawa berkelebat dia tak mengetahui sama sekali. Apa-
lagi gerakannya tak menimbulkan suara.
Namun sesaat sesudah bayangan kuning itu
lenyap, Kemang Suri baru tersadar setelah membuka
mata melihat tubuh Pipit Lurik dan si pendek Seto tak
berada di tempat. Saat itu si pendek Seto sudah kem-
bali melompat ke tempat asalnya. Akan tetapi betapa
terkejutnya melihat ke tempat sang gadis itu yang su-
dah tinggal bekasnya saja.
"Hah...!" Kemana dia??!" Teriak si pendek ini
dengan mata terbelalak.
"Hei, dewiku, apakah kau melihat kemana gadis
itu...?" Tanyanya pada Kemang Suri. Tentu saja Ke-
mang Suri gelengkan kepalanya.
"Kunyuk! Pasti ada orang yang telah melari-
kannya ketika terjadi angin pusaran tadi!" Sentak Seto
Bungkrik dengan tercenung. Tak ayal dia sudah ban-
tingkan kaki dengan geram. Lalu tubuhnya bergerak
melompat untuk menyambar pakaiannya yang sudah
melayang ke beberapa tempat, terkena serempetan an-
gin tadi.
"Huh, sial...! kita harus cari kemana gadis itu!"
Berkata si pendek Seto Bungkrik dengan hati mengkal,
karena niatnya belum tercapai, tapi dia sudah keburu
lemas karena mengumbar emosi berlebihan.
Akibat kemendongkolannya itu, Jaran Perkoso-
lah yang dijadikan sasarannya.
***
4
Siapakah gerangan yang telah melarikan tubuh
bugil Pipit Lurik? Marilah kita ikuti kemana keper-
giannya... Berkelebatnya bayangan kuning itu begitu
cepat membawa lari tubuh Pipit Lurik yang dalam kea-
daan tanpa busana. begitu cepatnya hingga seolah di-
bawa terbang menuruni bukit, menyeberangi sungai
dan memasuki hutan rimba.
Selang kira-kira semakanan nasi, sosok tubuh
itu memperlambat larinya, karena jalan yang dilalui
adalah memasuki celah-celah pepohonan dan semak
belukar. Kiranya yang memondongnya adalah seorang
laki-laki berpakaian indah, dari sutera kuning. Mema-
suki benang-benang emas di bagian dadanya. Ikat ke-
palanya juga dari bahan yang mahal yang biasa dipa-
kai oleh para bangsawan. Ternyata laki-laki itu masih
berusia cukup muda, yaitu sekitar dua puluhan tahun.
Berwajah tidak begitu jelek, dan cukup gagah. Menilai
dari pakaiannya, memang mirip anak seorang bangsa-
wan. Di belakang punggung pemuda ini terselip gagang
sebuah senjata yang terbungkus kain sutera hitam.
Tak lama pemuda bangsawan itu telah mema-
suki satu tempat yang bersih dan teratur. Di bagian
depan tampak anak tangga dari batu yang memanjang
berkelok-kelok. Segera dia mempercepat lagi langkah-
nya. Sementara bibirnya selalu menampakkan senyu-
man, yang sebentar-sebentar leletkan lidah. Bahkan
entah beberapa kali lengannya bergerak mengelus atau
meraba tubuh gadis yang dipanggulnya.
Beberapa kejap antaranya, si pemuda itu telah
berada di depan sebuah pondok mungil yang berada di
atas undakan tangga. Tempat itu sunyi, tiada orang.
Dan pondok mungil beratap ijuk itupun sunyi tanpa
penghuni.
Secepatnya pemuda ini sudah mendekati pon-
dok mungil itu, dan terdengar suara pintunya ketika
dibuka. Matanya liar meneliti tempat sekitar ruangan,
yang cuma terdapat sebuah pembaringan lengkap den-
gan bantal dan guling beralaskan kulit harimau. Dan
sebuah meja kecil dengan sebuah kendi air diatasnya.
"Hm, bagus! Sudah kuduga, tempat yang sering
dikunjungi ayah ini adalah tempat yang nyaman! En-
tah kemana penjaganya...? Apakah tak seorangpun
yang menjaga tempat ini...?" Berguman si pemuda.
Tapi segera jatuhkan perlahan beban yang di-
bawanya di pembaringan. Sementara sentakan-
sentakan kuat di hatinya sudah sedari tadi dirasakan
pemuda itu. Apalagi kini melihat tubuh mulus tanpa
sehelai benangpun menutupi, terpampang dengan se-
gala keindahannya.
"Ah, memang amat cantik, gadis ini...! Kalau
tak salah adalah anak si Ketua Perusahaan Pengantar
dan Pengawalan barang! Karena aku pernah melihat-
nya ketika ayah mengajakku memesan kereta untuk
mengantar barang-barang milik ayah, berikut menga-
walnya. Dan tampaknya ayah amat akrab bercakap-
cakap dengan si Ketua Benteng Macan Gunung! Ya,
orang tua itu bernama Jaran Perkoso...!" Memikir si
pemuda dalam hati. Sementara lengannya bergerak
mengelus kedua perbukitan yang ranum itu dan ber-
henti di satu putiknya.
Makin lama semakin menjulur ke arah yang
lainnya. Dan terdengar desahan-desahan keluar dari
mulut sang gadis. Rupanya pengaruh dari dua butir pil
yang dijejalkan ke mulut gadis itu oleh si pendek Seto
Bungkrik masih bereaksi.
Hal mana membuat si pemuda Bangsawan itu
semakin tergetar jantungnya. Debaran demi debaran
didadanya berkelanjutan dengan dilepaskannya pa-
kaian pemuda itu, yang tampakkan senyum menyerin-
gai.
Tak berapa lama terdengar desah-desah angin
seperti saling bertumpuan menerpa di dalam pondok
mungil itu.
Kegagalan si pendek Seto Bungkrik dalam me-
laksanakan hajatnya telah membuat Pipit Lurik bagai-
kan seekor ular betina yang mengeliat dan mendesis
tiada henti.
—oOOOo—
Tiga sosok tubuh tampak berindap-indap men-
dekati pondok mungil itu. Sesosok tubuh sudah me-
lompat dengan tak sabar ke depan pondok. Dan..
BRRAAKKK....!
Pintu papan berukir pondok itu telah hancur
berantakan dihantam pukulan lengan sosok tubuh itu
yang tak lain dari si pendek Seto Bungkrik.
"Bedebah, pencuri busuk! Kuhabisi nyawa-
mu...!" Teriak Seto Bungkrik seraya melompat ke da-
lam.
Akan tetapi tak ada jawaban, kecuali sesosok
tubuh layu yang tergeletak keluarkan keluhan di atas
pembaringan bertilamkan seprai dari Kulit macan. Itu-
lah Pipit Lurik, yang masih belum tersadar dari penga-
ruh pil yang dijejalkan si Seto Bungkrik padanya.
Tubuh wanita itu telah tertutupkan kain seli-
mut. Sepasang matanya masih terpejam dengan wajah
pucat dan rambut awut-awutan. Adapun si pendek ini
telah jelalatkan matanya mengitari seluruh ruangan,
bahkan berjongkok melongok ke bawah pembaringan,
namun memang di pondok itu tak dijumpai siapa-
siapa. "Setan belang...! kemana kaburnya si pencuri
sialan itu...?" Desis suara si pendek. Namun disamping
mendongkol, tapi juga bergirang karena si gadis telah
ditemukan juga. Walau tentunya dia telah keduluan
oleh sang pencuri yang tentunya sudah mencicipi ke-
hangatan tubuh gadis incarannya.........
Sementara si jangkung Wong Duwur dan Ke-
mang Suri telah menyusul melompat ke depan pondok
mungil di ujung batu undakan itu.
Akan tetapi pada saat itu juga terdengar satu
suara halus di belakang mereka. Entah dari mana
munculnya telah berdiri sesosok tubuh berpakaian ba-
gus, dengan menggendong tangan dibelakang, tengah
menatap mereka.
"Maaf sobat-sobat orang sakti...! ada apakah
membuat kegaduhan di tempatku...?" Bertanya orang
itu.
Terkejut kedua tokoh hitam ini, dan segera pa-
lingkan mukanya menatap ke arah suara dibelakang-
nya. Seorang laki-laki tua bertubuh gemuk dengan ba-
ju sutera warna-warni. Memakai jubah panjang warna
biru tua yang belahannya terbuka di depan, perli-
hatkan wajah tersenyum pada mereka.
Laki-laki gemuk ini berkumis tipis yang ujung-
nya terjuntai memanjang. Jenggotnya yang berwarna
putih cuma sejumput saja, bagai jenggot kambing. Wa-
jahnya tampak ramah dengan sepasang mata agak si-
pit, serta alis terjuntai pula kedua ujungnya. Seto
Bungkrik cepat-cepat melompat ke pintu untuk meli-
hat siapa adanya yang telah buka suara. Jangan-
jangan ini pencurinya yang menggondol gadisku...!
Sentak hatinya begitu melihat ada sesosok tubuh di si-
si batu undakan.
Mereka bertiga jadi saling pandang, karena si-
kap orang tua itu tak seperti orang berilmu tinggi, jelas
seorang bangsawan menilik dari pakaiannya. Belum
lagi Seto Bungkrik buka mulut, si bangsawan tua itu
sudah mengulang bicara.
"Sekali lagi, aku si tua ANJASMORO mohon
maaf pada anda orang- orang sakti, ada apakah yang
terjadi hingga membuat kegaduhan di tempat ku
ini...?" Berkata demikian orang tua bangsawan ini
menjura dengan sikap amat hormat. Hening sejenak.
Dan kembali ketiganya saling pandang. Tak mungkin
kalau orang ini yang telah melakukan penculikan pada
si gadis tadi. Demikian pikir dibenak mereka masing-
masing. Tak ayal segera mereka balas menjura.
"Hihihi... kami digelari si TIGA SILUMAN BUKIT
HANTU! Kedatangan kami kemari adalah mencari seo-
rang pencuri busuk yang telah mencuri adik perem-
puan rekan kami!" Ujar Kemang Suri dengan sikap ge-
nit, seraya lirikkan mata pada si pendek Seto
Bungkrik. "Oh!? begitukah...? lalu..." Jawab si Bang-
sawan tua seperti menampakkan keterkejutannya.
"Kami mengejarnya, ternyata malingnya sudah
lenyap, sedangkan adik perempuan rekan kami itu
berhasil kami temukan lagi berada di dalam pondok
mungil ini...!"
"Ya, aku si Seto Bungkrik yang telah menghajar
daun pintu pondok ini, karena menduga dia bersem-
bunyi di dalam! Ternyata benar! Namun kami terlam-
bat datang, karena manusianya sudah merat terlebih
dulu!" Ujar si pendek dengan wajah geram.
"Apakah anda mengetahui jelas ciri-ciri si pen-
culik itu?"
"Sayang sekali kami tak mengetahuinya sama
sekali baik rupa maupun pakaiannya!" Ujar lagi Ke-
mang Suri.
Sementara si Bangsawan tua kerutkan kening-
nya.
"Aneh! Lalu dari siapa kalian orang-orang sakti
bisa mengetahui kalau penculiknya sembunyi dalam
pondok ini?" tanya si Bangsawan tua.
"Kami menemukan seorang penjaga di tempat
ini, akan tapi sayang dia seorang yang gagu! Di cuma
menunjuk-nunjuk saja ke arah sini memberitahukan
dengan isyarat! Apakah dia penjaga di tempat ini yang
ditugaskan oleh anda?" tutur Kemang Suri seraya aju-
kan pertanyaan. Laki-laki tua Bangsawan itu kembali
unjukkan wajah tersenyum, dan berkata:
"Benar! Sudahlah kalau penculiknya tak dapat
ditemukan, kalau adik perempuan sobat... Seto
Bungkrik ini sudah dapat ditemukan tak menjadi apa!
Oh, ya disamping terkejut, aku si tua Anjasmoro mera-
sa kebetulan sekali berjumpa dengan para tokoh sakti
Rimba Persilatan yang ternyata bergelar Tiga Siluman
Bukit Hantu! Bagaimana kalau aku si tua ini mengajak
anda ke tempat tinggalku?. Ya, hitung-hitung menam-
bah pengetahuanku, karena aku amat senang berke-
nalan dengan orang-orang sakti Rimba Hijau! Haha-
ha... jangan khawatir, aku si tua akan menjamu kalian
orang-orang sakti sampai puas!" Berujar si laki-laki
tua Bangsawan dengan menunjukkan sikap persaha-
batan.
Melengak si Tiga Siluman Bukit Hantu ini, dan
lagi-lagi ketiganya saling pandang. Seto Bungkrik dan
Wong Duwur cuma manggut-manggut menatap pada
Kemang
Suri. Kemang Suri palingkan lagi kepalanya
menatap pada si laki-laki tua Bangsawan itu, seraya
manggut-manggut dan menyatakan bersedia bertamu
ke tempat tinggal si Bangsawan tua.
—oOOOo—
Di sebelah utara kota UNGARAN ternyata merupakan daerah yang hidup, karena disana banyak
tinggal kaum Ningrat dan para pedagang maupun
Bangsawan. Bahkan di tempat itu adapula tinggal ke-
luarga dari Adipati Banyu Biru.
Disudut utara kota yang padat penduduknya
itu tinggal seorang bangsawan Tua yang terkenal ra-
mah tamah dan berwibawa. Yaitu Raden Mas Anjasmo-
ro, yang mendiami gedung megah dengan belasan pen-
gawal yang dimilikinya.
Menjelang senja, tampak iringan-iringan orang
berkuda memasuki wilayah utara kota Ungaran. Ter-
nyata adalah si Bangsawan Tua Anjasmoro itu, yang
datang bersama ketiga tamunya si Tiga Siluman Bukit
Hantu. Tentu saja si pendek Seto Bungkrik membawa
serta si gadis bernama Pipit Lurik itu dalam pang-
kuannya di atas kuda.
Beberapa penduduk yang sempat berpapasan
dengan rombongan itu tentu akan menjura hormat pa-
da si Bangsawan terkenal itu, yang berikan senyu-
mannya pada setiap orang yang dijumpai.
Tak berapa lama dua orang penjaga telah mem-
bukakan pintu utama di depan gedung megah milik si
Bangsawan Tua itu. Dan mereka segera beranjak ma-
suk. Ketika mereka masing-masing turun dari ku-
danya, segera beberapa penjaga berdatangan untuk
membenahi kuda-kuda itu. Binatang tunggangan yang
mereka naiki adalah didapatkan dengan mudah. Kare-
na di setiap tempat si Bangsawan Tua banyak mempu-
nyai kenalan.
PIPIT LURIK terkejut ketika dapatkan dirinya
berada di sebuah pembaringan empuk berseprai bersih
dan bagus. Dan dalam sebuah kamar yang indah. Se-
buah jendela yang terkuak terbuka sebagian, menam-
pakkan latar belakang sebuah taman bunga. Juga se-
buah lampu gantung yang terbuat dari besi ukiran berada di langit-langit ruangan kamar. Gadis ini beranjak
bangkit untuk duduk, terkejut dia karena rasakan tu-
buhnya tak mengenakan pakaian sama sekali, kecuali
sebuah selimut berbau harum yang membungkus tu-
buhnya.
Oh, apa yang telah terjadi denganku? Di mana-
kah ini? Tempat ini bukan kamarku...! Ya, kamar ini
lebih indah, dan amat indah melebihi kamarku...! Ber-
tanya-tanya Pipit Lurik dalam hati.
Segera dia mulai mengingat-ingat apa yang te-
lah terjadi. Gadis ini ternyata telah lupa pada kejadian
di atas bukit, akibat pengaruh dua butir pil yang dije-
jalkan dalam mulutnya oleh si pendek Seto Bungkrik.
Semalam suntuk dia telah tertidur pulas, bah-
kan ketika dia tersadar, matahari sudah mulai me-
ninggi.
Setelah lama termangu-mangu, akhirnya Pipit
Lurik mulai dapat mengingat lagi kejadian mengerikan
di atas bukit, dimana tubuhnya tengah digeluti oleh si
pendek Seto Bungkrik salah satu dari Tiga Siluman
Bukit Hantu.
Mengingat demikian, gadis ini tiba-tiba perden-
garkan jeritan histeris. Wajahnya seketika pucat pias
ketakutan.
"Tidaaaak...! tidaaaak...! Oh, lepaskan aku...!
lepaskaaaann!" Dan dia sudah bangkit dari pembarin-
gan. Sekejap saja sepasang matanya telah member-
sitkan air bening yang menggenangi pelupuk matanya.
Pada saat itulah sesosok tubuh melompat ke
dalam kamar setelah membuka daun pintu dengan ce-
pat. Terkejut pipit Lurik menatap siapa yang datang.
Akan tetapi juga terheran... karena di hadapannya bu-
kanlah wajah jelek si pendek gundul itu, melainkan
seorang pemuda gagah berpakaian mewah, yang mena-
tap padanya. Dan segera telah berikan senyuman manis terhadapnya.
"Oh...? no... nona sudah sadarkan diri...? Su-
kurlah! Dan tenanglah, nona..! kau berada di tempat
yang aman! Namaku PITRA SENA! Kau berada di ka-
mar dalam gedung ayahku Raden Mas Anjasmoro...!"
Berkata pemuda itu dengan lemah lembut. Adapun Pi-
pit Lurik tergesa-gesa menutupi kembali tubuhnya,
dan membuntalnya dengan selimut. Apakah gerangan
yang terjadi? Mengapa aku bisa berada di gedung si
Bangsawan Tua sahabat ayahku ini..? Sentak hati Pipit
Lurik.
Tiba-tiba mendadak gadis ini rasakan kepa-
lanya mendadak jadi pening dan rumit memikirkan
semuanya. Dan sekonyong-konyong dia mulai mengin-
gat pada sang ayah.
Tak ayal Pipit Lurik kembali menjerit histeris
menyebut-nyebut nama ayahnya, dengan menelung-
kupkan wajah di kedua lengannya.
Membuat pemuda itu jadi tampak kebingun-
gan, dan segera mendekati seraya mengelus pundak-
nya. Akan tetapi Pipit Lurik telah melompat ke sudut
pembaringan.
"Pergi kau...! pergii Jangan jamah aku! Ke mana
ketiga manusia iblis itu? Katakan di mana mereka!
Aku harus membunuhnya mampus! Dia... dia pasti te-
lah bunuh ayahku! Ayaaah...! oh, ayaaaah....." Setelah
berteriak-teriak, Pipit Lurik kembali menangis tersedu-
sedu.
Pemuda bernama Pitra Sena itu cuma men-
diamkan saja menatap si gadis dengan tersenyum, ka-
rena maklum kalau dia tengah shok dengan kejadian
yang dialaminya. Tiba-tiba sang gadis sudah hentikan
lagi tangisnya. Kini hatinya memikir akan apa yang te-
lah dialami. Barulah dia sadar kalau dirinya telah ter-
noda.
Ya, ternoda oleh si manusia pendek bernama
Seto Bungkrik itu. Dan dia ingat benar akan kejadian-
nya. Seketika lemahlah sekujur tubuhnya. Air matanya
yang mengalir di pipi terasa panas. Tiba- tiba dia telah
angkat wajahnya, seraya menatap pada si pemuda
yang masih berdiri menatapnya.
"Maafkan kekhilafan ku, kakak...! Dapatkah
kau ceritakan mengapa aku bisa sampai berada di si-
ni?" Bertanya Pipit Lurik menahan isaknya.
Pitra Sena tersenyum, seraya menyahuti den-
gan kata-kata lemah lembut.
"Tenangkan hatimu, nona..! beristirahatlah,
aku akan memanggil pelayan untuk membawakan pa-
kaian buatmu...! Biarlah nanti setelah kau selesai ber-
santap, aku akan menceritakan kejadiannya pada no-
na... ng... anda bernama Pi... Pipit Lurik, bukan...?"
Pipit Lurik mengangguk seraya tundukkan wa-
jahnya. Tatapan mata pemuda anak si Bangsawan Tua
Raden Mas Anjasmoro itu seperti menembus ke jan-
tungnya, membuat hatinya jadi berdebar. Diakah yang
telah menolongku...? Ataukah ayahnya..?r
Ah, seandainya dia atau ayahnya yang telah
melakukan pertolongan padaku, sama saja! Tapi
alangkah menyesalnya aku menolak keinginan ayah
menjodohkan aku padanya. Dan kini... kini semua ha-
rapan ayah telah musnah! Bahkan aku tak tahu ba-
gaimana nasib ayah kini! Ya, aku tak tahu lagi! Namun
aku pasti akan segera tahu, kalau ayah Pitra Sena su-
dah menuturkannya padaku...! Memikir gadis ini.
Sementara Pitra Sena telah keluar dari kamar
untuk memanggil pelayan. Ternyata beberapa pelayan
wanita telah berada di balik pintu sejak tadi, karena
telah mendengar suara teriakan-teriakan dan tangis
Pipit Lurik di dalam kamar. Segera saja Pitra Sena me-
nyuruhnya menyediakan pakaian untuk sang gadis
itu.
Sementara dia sendiri berlalu ke arah ruangan
depan, dimana sang ayah masih duduk sambil meng-
hisap cangklongnya.
Laki-laki Bangsawan ini sudah sejak tadi men-
dengar suara teriakan dan tangisan gadis itu. Akan te-
tapi dilihatnya Pitra Sena telah berlari melihat, hingga
dia tak berniat bangun melihatnya. Adapun Raden Mas
Anjasmoro ini tengah bercakap-cakap dengan anak la-
ki-lakinya itu, yang terputus oleh teriakan Pipit Lurik
tadi.
Tak lama Pitra Sena sudah muncul di ruangan
depan. Laki-laki gemuk ini menoleh, seraya menatap
pada sang anak.
"Bagaimana dengan gadis itu, Pitra Sena! Apa-
kah sudah dapat kau bujuk dan jelaskan kejadian-
nya?" Tanyanya.
"Sudah, ayah! akan tetapi aku belum ceritakan
apa-apa padanya! Kuharap kau mengerti, ayah...." Pi-
tra Sena mendekati ayahnya, dan bisikkan sesuatu
padanya. Selang sesaat, terdengar suara tertawa pela-
han Sang Bangsawan Tua ini.
"Jadi kau menginginkannya? Hm, gadis itu te-
lah ternoda! Terserah kau! Asalkan kau tak mengawi-
ninya! Kau tahu! Punya istri itu banyak resikonya, dan
kau masih terlalu muda!" Ujar sang Bangsawan tua
itu.
"Ayah...! Akulah yang telah menodainya! Dan
aku yakin bahwa akulah yang pertama...!" Berkata Pi-
tra Sena dengan tersenyum pada sang ayah.
Raden Mas Anjasmoro naikkan alisnya dengan
mata melotot menatap sang anak.
"Jadi kau yang menculiknya...?" Tanyanya den-
gan heran.
"Benar ayah! Gadis itu tengah diperkosa...!
akan tetapi aku telah lihat sendiri bahwa si pendek Se-
to Bungkrik itu belum berhasil melakukannya!
"Lalu kau culik?"
"Ya, dengan pergunakan jurus "Angin Puyuh
Menghalau Naga", tapi tidak terlalu keras! Cukup me-
nerbangkan jubah si jangkung Wong Duwur itu!" Lalu
Pitra Sena ceritakan sedikit akan perbuatannya, hing-
ga berhasil menggondol Pipit Lurik.
"Bocah edan! Hati-hati kau, jangan sembaran-
gan membuka rahasia kalau kau ada mempunyai ilmu!
Aku memang pernah mengajak si tua Jaran Perkoso
itu untuk berbesan! Akan tetapi dengan maksud ter-
tentu...."
"Apakah itu, ayah?" Tanya Pitra Sena ingin ta-
hu.
"Hm, nantilah aku jelaskan...! Kini bagaimana
mengenai keadaan si tua Jaran Perkoso itu? Apakah
masih bisa diselamatkan nyawanya?"
"Entahlah! Ketika aku kembali lagi ke bukit itu,
dia sudah hampir mati! Luka-lukanya amat parah! Su-
dan pasti dihajar oleh si pendek Seto Bungkrik itu,
yang amat mendendam padanya!" ujar Pitra Sena. Lalu
teruskan pembicaraannya.
"Tadinya aku tak mau ambil peduli, akan tetapi
kudengar dia memanggil namaku. Segera ku hampiri.
Ternyata dia ada berkata-kata:
"Anak Mas... kau carilah.. a.. anakku Pipit Lu-
rik! Ah, seandainya kau berjodoh... dengan.. anak ga-
disku, alangkah bahagianya aku...".
Berkata si pemuda tirukan suara Jaran Perko-
so.
"Lalu bagaimana kelanjutannya?" Tanya Raden
Mas Anjasmoro penuh perhatian.
"Dia tuliskan sesuatu yang aku tak mengerti
pada sobekan pakaiannya dengan darah, lalu berikan
pada ku.! Tampaknya dia mau katakan sesuatu lagi,
tapi dia sudah keburu pingsan! Karena bukit itu jauh
dari desa, dan aku tak mau pakaian ku kotor kena da-
rah. Terpaksa dia ku tinggalkan saja di bukit itu, entah
mati ataukah masih bernyawa, aku tak mengetahui..!"
Ujar Pitra Sena polos.
Terkejut Raden Mas Anjasmoro, segera terden-
gar suaranya mendesis.
"Apakah, kain bertuliskan darah itu masih be-
rada padamu?" Pitra Sena mengangguk. "Cepat beri-
kan padaku, aku ingin lihat!". Berkata si Bangsawan
Tua dengan nada tak sabar.
Cepat-cepat Pitra Sena berikan sobekan kain
yang diselipkan di saku celananya, yang telah dibung-
kus sobekan kain lagi. Bahkan Pitra Sena sendiri
hampir lupa kalau masih mengantongi sobekan kain
pemberian Jaran Perkoso.
Laki-laki Bangsawan tua itu memperhatikan tu-
lisan yang tak berbentuk huruf, seperti tak mempunyai
arti sama sekali. Bahkan beberapa kali dia memutar-
mutarkan dan membolak-baliknya, akan tetapi tetap
tak mengerti.
"Hm, mungkin si tua Jaran Perkoso itu menyu-
ruhmu memberikan kain bertuliskan darah ini untuk
anak gadisnya..." Ujarnya perlahan. "Biarlah aku yang
menyimpannyal" Sambungnya lagi.
Kemunculan si Tiga Siluman Bukit Hantu ter-
nyata membawa bencana besar atas keadaan di sekitar
wilayah kota Ungaran. Karena siang itu keadaan di da-
lam markas Benteng Macan Gunung tengah terjadi ke-
kacauan..... suara benturan senjata dan bentakan-
bentakan keras, serta teriakan-teriakan ngeri terden-
gar saling susul. Bercampur dengan suara ringkik ku-
da yang ketakutan. Apakah gerangan yang terjadi?.
Kiranya setelah habis dijamu oleh Raden Mas
Anjasmoro, si Tiga Siluman Bukit Hantu mendatangi
ke markas itu untuk melakukan pembunuhan. Teru-
tama adalah men cari dua dari Tiga Macan Gunung
Muria.
Tentu saja kedatangannya disambut oleh para
anak buah penghuni markas, hingga terjadi pertarun-
gan seru. Namun para anak buah bagaikan lalat yang
dimakan api. Beberapa betas sosok tubuh sudah ber-
kaparan mandi darah dalam keadaan tak bernyawa.
Saat itu Gantar Sewu belum, kembali dari mengawal
barang. Cuma ada Jaka Keling yang menjaga markas.
Laki-laki ini memang sedang resah, karena seperti janji
Jaran Perkoso yang akan kembali pada Sore kemarin,
ternyata tak kelihatan datang. Bahkan sampai menje-
lang slang lagi. Dia baru mengutus beberapa orang
anak buahnya untuk melihat atau menyelidiki ke be-
berapa tempat dataran tinggi.
Namun belum lagi para anak buahnya kembali,
telah datang tiga manusia yang menebar maut di mar-
kas Benteng Macan Gunung.
Di sudut pertarungan tampak pemuda berusia
tiga puluh tahun itu tengah bertarung dengan si pen-
dek bertongkat kepala telapak tangan besi yang me-
layaninya dengan seru.
"Hahaha.. hehe... ilmu pedang Tiga Macan Gu-
nung ternyata cuma begini saja! Hayo, keluarkan ju-
rus-jurus maut mu yang terkenal itu!"
"Iblis pendek keparat! Apa kesalahan pihak
kami? Mengapa tiba- tiba kalian lakukan pembantaian
di markas kami!" Bentak Jaka Keling, seraya lakukan
serangkaian serangan. Pedangnya berkelebatan bagai-
kan puluhan pedang yang berkelebatan mengurung
tubuh sang lawan.
"Hehehe ... tak perlu tanya-tanya segala kesa-
lahan! Pokoknya Tiga Macan Gunung Muria harus kutumpas semua sampai lenyap! Setelah Jaran Perkoso,
kini giliran saudara-saudara seperguruannya!" Ujar si
pendek Seto Bungkrik seraya mengelakkan beberapa
serangan bahkan balas merangsak dengan hebat.
Namun Jaka Keling dengan lincah menghinda-
ri, walau tak urung ujung telapak tangan besi itu me-
robek pakaiannya yang menyerempet bahu, dan meng-
gores kulitnya. Jaka Keling melompat mundur tiga
tombak. Wajahnya meringis, merasakan pedih dari lu-
kanya. namun hai itu tak membuatnya terkejut. Me-
lainkan kata-kata tentang kakak seperguruannya Ja-
ran Perkoso itulah yang membuatnya terperanjat.
"Hah!? Kalian... telah membunuh kakang Jaran
Perkoso?". Teriaknya tertahan. "Hahaha... tidak salah!
kakak seperguruanmu itu sudah mampus! dan anak
gadisnya telah berada dalam tawananku...!".
Terkejut bukan alang kepalang Jaka Keling,
Seketika dia sudah membentak keras, dan menerjang
dengan sambaran-sambaran pedangnya yang mengge-
bu.
"Iblis keparat! aku akan adu jiwa denganmu..!".
Dan mengamuklah Jaka Keling bagaikan singa terluka.
***
5
Sementara Kemang Suri dan Wong Duwur den-
gan enak saja melakukan pembantaian secara keji.
Kepandaian kedua manusia itu bukanlah tandingan
para anak buah si Tiga Macan Gunung Muria. Teria-
kan-teriakan maut terdengar dimana-mana. Singo
Bronto salah seorang tangan kanan Tiga Macan Gu-
nung Muria itu tampak telah terluka parah. Sebelah
lengannya dihantam remuk oleh tongkat kepala Teng-
korak Wong Duwur. Akan tetapi tanpa menghiraukan
rasa sakit yang luar biasa itu, dia sesudah menerjang
lagi dengan gigih.
"Hehehe... tenagamu kuat juga! Apakah kau sa-
lah satu dari si Tiga Macan Gunung Muria?". Berkata
dingin si jangkung Wong Duwur. Akan tetapi Singo
Bronto tak menjawab. Bahkan mencecar dengan se-
rangan-serangan tajam dengan sebelah lengan. Ter-
nyata cukup membuat Wong Duwur harus waspada.
Salah-salah lengannya bisa kena terbabat putus oleh
pedang lawan yang mengamuk hebat ini. Tiba-tiba la-
ki-laki jangkung ini perdengarkan suara geraman
menggertak. Tongkatnya berputar cepat dengan puta-
ran menyilang, membuat Singo Bronto terperangah Ka-
rena dia sudah tak dapat membedakan lagi kemana
arah sambaran tongkat lawan. Ketika tahu-tahu benda
keras telah menghantam kepalanya.
Laki-laki ini perdengarkan jeritannya. Lalu ro-
boh terguling meregang nyawa. Sekejap kemudian te-
was dengan kepala rengat mengerikan.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar bentakan
keras yang bersuara nyaring.
"Iblis-iblis keji! Hentikan perbuatan kalian...!!"
Suara itu terdengar amat berpengaruh. Mem-
buat ketiga tokoh hitam itu segera melompat mundur.
Jaka Keling pun dapat bernapas lega, karena segera
terlepas dari kepungan ketat tongkat si pendek Seto
Bungkrik.
Sementara beberapa pasang mata segera tertu-
ju pada berkelebatnya sesosok tubuh yang telah bera-
da di tempat itu.
Siapakah gerangan pendatang bersuara nyaring
ini?. Tak lain adalah si Pendekar Wanita Pantai. Sela-
tan RORO CENTIL.
Seorang dara cantik luar biasa dengan rambut
lebat terurai ke punggung, berbaju sutera warna me-
rah muda tengah berdiri menatap ketiga manusia di-
hadapannya, Di kedua lengannya mencekal sepasang
senjata RANTAI GENIT, yang bentuk bandulannya mi-
rip buah dada.
Melengak ketiga manusia bergelar Tiga Siluman
Bukit Hantu itu. Jelas suara bentakan barusan amat
berpengaruh. Karena seperti bergetar menembus ke
masing-masing jantung, menimbulkan hawa aneh
yang membuat menciutnya nyali orang.
Melihat yang muncul adalah seorang dara can-
tik, serta bersenjatakan benda aneh demikian si pen-
dek Seto Bungkrik jadi tersenyum lucu. Akan tetapi
bentakan itu memang telah membuat jantungnya sera-
sa copot. Siapakah gerangan adanya gadis aneh ini?
Pikir si pendek dalam benaknya. Sementara Kemang
Suri sudah mendengus dihidung melihat dara itu. Dia
sudah melompat ke hadapan Roro Centil dan berkata
dengan nada menghina.
"Eh, dari mana datangnya kuntilanak centil
ini?. Hihihi.. rupanya masih doyan menyusu, hingga
kemana-mana membawa tetek ibunya...?
Seraya berkata Kemang Suri palingkan kepa-
lanya pada dua kawannya di belakang. Wong Duwur
dan Sato Bungkrik lantas saja menimpali dengan ter-
tawa gelak-gelak. Adapun Roro Centil cuma perli-
hatkan senyumannya, dan tertawa jumawa seraya
berkata seenaknya.!
"Hu, tidak salah ucapan mu itu Ratu Kuntila-
nak! Aku memang masih doyan menyusu...!" Seraya
berkata Roro Angkat sebuah Rantai Genitnya. Bandu-
lan aneh berbentuk buah dada itu diangkatnya tinggi-
tinggi. Lalu tengadahkan kepalanya seraya monyong-
kan mulut untuk mengecup putik "buah dada". Dengan ujung lidah dia telah memutar putik diujung
payudara senjatanya itu. yang segera mengucur air.
Selanjutnya dengan lahap Roro sudah menenggaknya
beberapa teguk.!
Seandainya yang berkata seorang laki-laki ga-
gah, tak nantinya dia akan marah dirinya disebut Ratu
Kuntilanak.
Akan tetapi yang menyebutnya adalah seorang
gadis bertampang lugu seperti remaja baru kemarin
sore, tentu saja membuat darahnya seketika naik ke
kepala. Apalagi dengan sikap memandang rendah, Ro-
ro Jual lagak dihadapannya.
"Eh, setan centil! sebutkan namamu, sebelum
aku mengirim mu ke Akhirat! Tidak tahukah kau bah-
wa tengah berhadapan dengan TIGA SILUMAN BUKIT
SETAN...?". Bentak Kemang Suri. Di saat menyebut ju-
lukan mereka, sengaja Kemang Suri memberi tekanan
keras agar membuat sang dara itu terkejut.
Akan tetapi si dara yang tengah meneguk arak
dari sebuah "payudara" senjatanya itu sekonyong-
konyong terbatuk-batuk. Karena tiba-tiba saja dia te-
lah tertawa geli. Akibat batuknya itu, sisa-sisa arak da-
lam mulut telah tersembur ke depan. Menyemprot ke
muka dan pakaian Kemang Suri yang berada dihada-
pannya sejarak lima langkah. Tentu saja Kemang Suri
tak mau mukanya kena cepretan air arak. Segera ia
melangkah cepat ke belakang, akan tetapi tak urung
bajunya terkena juga semburan air arak dari mulut
Roro Centil.
"Hihihi.. hihi.. kau menyebutku se.. Setan Cen-
til?. Uhuk! uhuk! uhuk! Setannya biarlah kuberikan
buatmu! Kalau Centilnya tepat sekali untukku! Karena
namaku memang Roro Centil!". Berkata si Pendekar
Wanita ini dengan masih terbatuk batuk, dan tertawa
mengikik geli.
"Bocah edan...! Mulutmu memang harus kure-
mukkan...!" Teriak Kemang Suri, seraya sudah mau
menerjang. Akan tetapi Wong Duwur sudah melompat
untuk menahan.
"Tunggu, dewiku...!" Melengak Kemang Suri.
Namun segera laki- laki ini membungkuk bisikkan se-
suatu di telinga Kemang Suri. Terkejut wanita ini keti-
ka melirik ke arah pakaiannya ternyata sudah bolong
bolong terkena semburan arak tadi. Yakinlah kini ka-
lau gadis yang diremehkannya ternyata berkepandaian
tinggi. Segera dia beri isyarat untuk mengurung si dara
aneh.
"He, apakah kesalahannya orang-orang markas
ini, hingga sampai kalian si Tiga Siluman Tengik telah
mengamuk membantai orang semaunya?" Tanya Roro,
yang seperti tak acuh meneruskan menenggak arak.
Tiga manusia itu tak memberi jawaban, me-
lainkan saling kedipkan mata memberi isyarat. Dan
dengan berbareng telah berlompatan menerjang ke
arah Roro.
Jaka Keling yang melihat kejadian itu jadi men-
celos hatinya. Celaka! wanita itu dalam bahaya...! Sen-
tak hati Jaka Keling. akan tetapi sungguh di luar du-
gaan, tahu-tahu ketiga Siluman Bukit Setan itu per-
dengarkan seruan tertahan, dan bergulingan menghin-
darkan diri. Karena tiba-tiba saja bersemburan air
arak yang menyemprot ketiga penjuru. Beruntung me-
reka dapat lolos dari air semburan arak, namun tak
urung kepala gundul si pendek Seto Bungkrik terkena
juga cipratan air semburan arak itu. Seketika melepuh
bagaikan terkena letikan api. Laki-laki pendek ini me-
nyeringai gusar seraya usap-usap kepala gundulnya.
Akan tetapi tiba-tiba....
HUUK..! Kembali dia harus berguling menelak-
kan diri ketika merasai sambaran angin ke arah kepalanya.
"Hihihi.. Awas, hati-hati dengan kepala gundul
mu, pendek jelek Kalau hilang tak ada gantinya..!" Ter-
dengar satu suara.
"Bocah edan! Rasakan senjataku." Teriak Ke-
mang Suri seraya melepaskan paku-paku berbisanya.
Serangkum senjata rahasia meluruk ke arah Roro. Ga-
dis ini gerakkan lengannya mengibas. Dan segelom-
bang angin santar segera membuat paku-paku berbisa
itu berbalik meluruk ke arah si penyerang.
"Gila...!?" Memaki Kemang Suri seraya melom-
pat tinggi tiga tombak. Senjata rahasianya berdesis
meluruk lewat di bawah kakinya. Akan tetapi terkejut
wanita ini ketika injakkan kaki ke tanah, belasan paku
berbisa itu balik kembali menyerang ke arahnya.
Edan!? memaki dia dalam hati. Untung dengan cepat
Kemang Suri putarkan seruling hitamnya, hingga bela-
san paku maut itu buyar ke beberapa penjuru.
Adapun si jangkung berkumis baplang itu jadi
terkejut melihat ilmu aneh yang dipergunakan Roro.
Namun sebagai tokoh yang sudah banyak pengalaman
di dunia Rimba hijau, dia sudah keluarkan bentakan
seraya menerjang dengan tongkat kepala tengkorak-
nya. "Sebutkan siapa gurumu, nona Centil!"
Roro tertawa mengikik seraya mengelak dengan
pergunakan jurus langkah Bidadari Mabuk Kepayang.
"Hihihi... tanyakan pada gurumu diliang kubur, pasti
akan tahu siapa guruku...!" Dan sekonyong-konyong...
DWES...! Roro sudah hantamkan sebelah tela-
pak kakinya menendang ke dada lawan. Hal mana di-
lakukan dengan tiba-tiba, yang si jangkung tak me-
nyangka sama sekali. Untuk mengelak sudah terlam-
bat. Karena dia tengah perhatikan gerakan cara men-
gelak si dara itu, yang aneh seperti orang terhuyung
mabuk, namun telah berhasil meloloskan serangan
nya. Terpaksa dia gunakan kekuatan tenaga dalam
menahan dada. Akan tetapi si jangkung mengeluh, dan
terhuyung tiga langkah. Seandainya dia tak bertenaga
dalam tinggi, tentu sudah terlempar sejauh lima tom-
bak. Diam-diam Roro terkejut juga mengetahui kehe-
batan kekuatan lawan. Dia memang sengaja perguna-
kan sepertiga tenaga dalam untuk sementara si pendek
sudah menggerung keras menerjang dengan tongkat-
nya, menerjang Roro Centil. Telapak tangan besi itu
berdentingan terkena tangkisan senjata Roro yang ba-
gaikan karet. Bila beradu hantaman langsung mental
balik menyerang lagi ke arah lawan berpantulan.
Tentu saja membuat si pendek Seto Bungkrik
jadi kewalahan menyerang seorang diri. Untunglah da-
tang Wong Duwur yang bantu menerjang Roro. Hingga
segera terjadi pertarungan sengit. Belasan juruspun
berlalu sudah Agaknya Roro cukup merasa sulit men-
jatuhkan lawan karena mereka bekerja sama dalam
menyerang dan menyelamatkan kawan Apa lagi tiba-
tiba terdengar suara tiupan seruling yang membersit
tinggi menggetarkan anak telinga.
Roro seperti terkejut, dan berpaling ke arah si
peniupnya. Nada seruling yang tinggi rendah itu
mungkin akan memberi orang lain akan terkena pen-
garuh, akan tetapi bagi Roro tidaklah mempunyai arti
yang berarti, karena dia sudah salurkan tenaga batin-
nya untuk menutupi pendengaran. Sementara kedua
penyerangnya tiba-tiba melompat mundur.
Roro amat heran, tapi segera manggut-manggut
mengerti. Rupanya mereka mempersiapkan diri untuk
menutupi telinganya. Adapun Roro Centil segera kelua-
rkan akalnya. Tiba-tiba tampak tubuhnya seperti ter-
huyung keras mau jatuh. Wajahnya berubah meme-
rah. Dan terhuyung-huyung dia seperti berusaha me-
nahan kekuatan tenaga dalam yang merusak dan menyerang ke otak.
Dan pada saat berikutnya dua sosok tubuh
jangkung dan pendek itu telah menerjang lagi dengan
berbareng.
"Mampuusss...!" Teriak mereka hampir serem-
pak. Akan tetapi di detik itu terdengar suara pekik ke-
sakitan. Dua tubuh penyerang itu terlempar tiga tom-
bak terguling-guling. Kalau si botak pendek Seto
Bungkrik adalah menjerit karena sepotong lengannya
hancur. Akan tetapi si jangkung ini adalah sebelah ka-
kinya yang hancur sebatas lutut.
Tentu saja kejadian mendadak itu membuat
Kemang Suri terperanjat. Dan sekejap saja tiupan se-
rulingnya terhenti.
Saat dia tengah terperangah itulah, tiba-tiba
berkelebat sebuah bayangan merah ke arahnya.
WHUSSS...!
PLAK..! Dia telah hantamkan telapak tangan-
nya, akan tetapi dia sendiri yang terlempar ke bela-
kang. Dan di saat sebelum tubuhnya menyentuh ta-
nah, tahu-tahu PLAS...! Seruling ditangannya telah le-
nyap disambar bayangan merah itu.
BUK! tubuhnya terbanting ke tanah. Saat ma-
nalah tiba-tiba Jaka Keling yang sejak tadi jadi penon-
ton, dengan menutupi kedua telinganya, tiba-tiba me-
nampak kesempatan di depan mata. Segera disambar-
nya pedang yang ditancapkan tadi di tanah. Dan...
JROOSS...!
Pedangnya telah di hujamkan tepat pada jan-
tung si wanita bernama Kemang Suri itu. Terbeliak se-
pasang mata Kemang Suri. Akan tetapi Jaka Keling
sudah menyentakkan pedangnya. Darah segar segera
menyemburat keluar memancar deras. Kemang Suri
berkelojotan meregang nyawanya, Namun tak tame
sudah tak berkutik lagi. mati, dengan mata melotot.
"Hihihi...bagus! Sobat muda!" Teriak Roro Centil
yang sudah berdiri di depan anak muda itu. Pada len-
gan Roro Centil tercekal seruling hitam Kemang Suri.
KRAAK...! Roro sudah hancurkan seruling itu.
Sementara si kedua manusia pendek dan jang-
kung itu mengetahui kematian Kemang Suri segera
sambar tongkat ,asing-masing dan melesat kabur me-
larikan diri,
"Terima... kasih atas bantuan anda... nona
pendekar....!!" Berkata Jaka Keling seraya menjura.
Suaranya terdengar parau. Tampak wajahnya pucat
pias. Agaknya sudah sejak tadi dia menahan kekuatan
tubuhnya untuk bisa berdiri, karena luka pada ba-
hunya yang tergores ujung tongkat si pendek Seto
Bungkrik itu mengandung racun, yang mulai menjalar
ke seluruh tubuh.
Terkejut Roro Centil, baru mau dia berkata, ta-
hu-tahu Jaka Keling sudah jatuh menggabruk di ta-
nah. Tak ayal Roro Centil segera memburunya. Ternya-
ta Roro bertindak cepat tanpa sungkan-sungkan. Sege-
ra ia periksa luka orang. Terkejut Roro mengetahui se-
lingkaran bekas luka sudah berwarna hitam.
"Racun ular sendok...? Desis Roro. Dan sekejap
dia sudah bungkukkan tubuh, dengan merundukkan
kepala. Ternyata mulutnya sudah digunakan untuk
menyedot darah pada bekas luka ini.
Tak berapa lama Roro sudah muntahkan lagi
cairan darah berwarna hitam dari mulutnya. Lalu sa-
lurkan tenaga dalam ke telapak tangan. Dan menem-
pelkannya ke punggung laki-laki itu. Segera terlihat
perlahan-lahan wajah laki-laki itu berubah seperti bi-
asa kembali. Bahkan lukanya yang menghitam telah
lenyap warna hitamnya.
Roro keluarkan sejumput obat bubuk dari da-
lam botol kecil dari kantong bajunya.
Tak lama tubuh laki-laki itu mulai bergerak
kembali. Dan terdengarlah keluhan, lalu bangkit du-
duk. Merasa keadaan tubuhnya telah kembali normal,
dan lihat gadis pendekar itu menatap dengan senyum
di hadapannya, tahulah dia kalau dirinya baru saja di-
tolong. Luka di bahunya sudah tak terasa nyeri lagi.
"Ah, anda telah mengobati lukaku? eh,.. te.. te-
rima kasih, nona Pendekar!" Ucapnya dengan suara
tergagap. Akan tetapi Roro menyahuti.
"Hihi... panggillah namaku saja, aku Roro Cen-
til! Racun ular Sendok itu amat jahat! terlambat sedikit
lagi, anda tak mungkin tertolong...! Tutur Roro Centil.
Melengak pemuda ini. Segera dia manggut-manggut
seraya kembali ucapkan terima kasih. "Budi pertolon-
gan anda amat besar, nona... Roro...! Semoga Tuhan
membalas kebaikan hati anda!" Ujarnya lirih dan sua-
ranya terdengar bersemangat.
"Ah, sudahlah! Siapakah nama anda, sobat
muda...?" Tanya Roro.
"Oh, ya aku Jaka Keling! adik seperguruan dari
ketua Markas Benteng Macan Gunung ini!"
Menyahuti Jaka Keling, seraya bangkit berdiri
menuruti Roro Centil. Gadis Pendekar Pantai Selatan
ini manggut-manggut.
"Baiklah, nanti kau bisa ceritakan padaku! mari
kita tolong dulu kawan-kawanmu!" Ujar Roro seraya
beranjak melompat. Sementara matanya sudah me-
mandang ke sekitar. Puluhan mayat bergelimpangan.
Suara mengerang dari yang terluka terdengar disana-
sini. Tapi lebih banyak yang tewas ketimbang yang lu-
ka.
"Aih, aku datang terlambat! Gara-gara mengu-
rusi orang usil di rumah makan tadi itu, hingga begini
besar korban yang berjatuhan!" Gerutu Roro perlahan.
Segera dengan sisa-sisa para anak buah yang masih
hidup dan dibantu Jaka Keling, Roro Centil lakukan
pertolongan dan merawat yang terluka. Keadaan di
markas itu begitu trenyuh, sampai-sampai Roro ham-
pir jatuhkan air mata.
***
6
Gantar Sewu kepal-kepalkan tinjunya dengan
wajah memerah padam. Disudut matanya tampak
mengalirkan air mata. Penguburan para jenazah sudah
selesai sejak kemarin. Dan biaya-biaya pengeluaran
untuk keluarga korban sudah dibagikan. Dan sejak
hari itu papan nama yang terpancang di pintu markas,
sudah dicopot. Jaka Keling duduk disudut ruangan
dengan wajah tertunduk. Pemuda ini terlalu lelah
mengurus penguburan mayat-mayat rekannya dan
mengantarkan pada masing-masing keluarganya. Dia
telah bekerja keras selama dua hari belakangan ini. Di-
tambah harus memikirkan nasib Pipit Lurik yang me-
nurut apa yang didengarnya dari si Tiga Siluman Bukit
Hantu, sang gadis telah ditawan mereka.
"Sungguh menyesal aku tak menemui pertem-
puran di markas kita! sehingga yang ku tahu adalah
segalanya sudah selesai! Berarti selesai jugalah usia
Benteng Macan Gunung!" Ujar Gantar Sewu dengan
suara terdengar sedih.
"Kasihan nasib kakang Jaran Perkoso! Beliau
memang pernah mengatakan padaku akan mengun-
durkan diri dari kepemimpinan di Markas Benteng Ma-
can Gunung ini, untuk menyepi ke puncak Muria! Tak
dinyana belum lagi terkabul rencana yang sudah lama
ditimbang-timbangnya itu, beliau sudah keburu dipanggil oleh Yang Kuasa...!" Lanjut Gantar Sewu den-
gan suara terdengar bergetar menahan kesedihan. Ja-
ka Keling angkat kepalanya menatap sang kakak kan-
dungnya.
"Kakang Gantar Sewu! Kini apakah rencanamu
selanjutnya?" Tanya Jaka Keling setelah suasana lama
menjadi hening.
"Yah, aku serahkan pada pilihan mu bagaima-
na baiknya. Kukira sebaiknya kita berpisah! Silahkan
kau ambil jalan mu sendiri! Dan aku juga mengambil
langkah sendiri! Kau sudah cukup dewasa, Jaka Kel-
ing! Bahkan lebih dari dewasa! Aku tak dapat mengha-
langi niatmu menentukan jalan hidupmu, disamping
kita harus mencari dimana adanya Pipit Lurik, dan
membalaskan dendam kakak seperguruan kita yang
telah menanam jasa besar pada kita...!" Hening seje-
nak. Jaka Keling termenung tanpa berkata apa-apa.
Dan Gantar Sewu kembali teruskan bicaranya.
"Kau jangan khawatir, mengenai harta pening-
galan kakang Jaran Perkoso, akan segera kita bagi
dua! Tanah dan gedung markas ini akan kutawarkan
pada seorang hartawan tua kenalan kita, yang sering
memesan kereta untuk mengangkut dan mengawal ba-
rang! Satu dua hari ini mungkin aku akan berangkat
ke Gemolong, sekalian pindah dengan anak istriku!
Terserah pada keinginanmu, apakah akan turut ber-
samaku atau mencari kehidupan sendiri...!". Gantar
Sewu lanjutkan ucapannya seraya tatap wajah adiknya
dalam-dalam. Seperti ingin mengetahui apa isi hati
yang terkandung di dalam dada sang adik.
Akhirnya Jaka Keling bicara juga, setelah me-
renung lama.
"Ya, kalau kakang sudah mengatakan untuk ki-
ta mengambil jalan hidup sendiri-sendiri aku tak dapat
menolak! Mengenai urusan gedung markas ini aku tak
mau mencampuri! Cukup bagiku sedikit bekal untuk
perjalanan mencari Pipit Lurik! Dan seekor kuda yang
kuperlukan. Mengenai urusan balas dendam, hal itu
adalah urusan belakangan. Yang penting adalah me-
nemukan dahulu dimana adanya Pipit Lurik!" Ujar Ja-
ka Keling dengan suara datar. Tampak Gantar Sewu
kerutkan keningnya, seperti terheran mendengar jawa-
ban Jaka Keling. Setelah menghela napas Gantar Sewu
perlihatkan senyumnya, seraya berkata;
"Hm, baiklah! kalau cuma itu keinginanmu!
Aku memuji akan tekadmu untuk mencari Pipit Lurik!
Benar! Itu memang tanggung jawab kita! Kepergianku
ke Gemolong adalah cuma mengantarkan anak-istriku,
sekalian pindah dari wilayah Ungaran ini! Tapi bukan
berarti aku tak mengacuhkan anak gadis saudara se-
perguruan kita? akupun akan berusaha mencari, dan
tentu saja membalaskan dendam pati ini! Kukira wa-
laupun mereka telah terluka oleh pendekar wanita itu,
mereka berdua masih bisa membahayakan. Bukan
mustahil mereka akan mengacau lagi kemari! itulah
sebabnya aku akan menjual tanah dan
gedung ini...!"
Jaka Keling cuma manggut-manggut dihadapan
kakaknya. Namun tak lama dia sudah keluar gedung
untuk menuju ke baraknya. Jaka Keling memang sela-
lu tidur dibarak. Gantar Sewu cuma menatap pung-
gung sang adik. Yang sudah melangkah lebar keluar
gedung.
-oOOOo-
"Kau akan berangkat sekarang, Jaka...!" Tanya
Gantar Sewu. Laki-laki ini mengangguk. Dia sudah
siapkan seekor kuda dari kandang di belakang barak-
nya. Kuda yang memang miliknya. Pemberian dari Ja
ran Perkoso yang telah dibelikan kakak seperguruan-
nya itu dengan harga mahal.
Barusan kepergiannya ke barak adalah untuk
berkemas. Gantar Sewu menatapnya dengan pandan-
gan sedih. "baiklah, adikku...! Semoga Tuhan selalu
melindungimu...!"
Gantar Sewu masuk kembali ke dalam ruangan
kamar. Tak lama sudah keluar dengan membawa se-
buah buntelan kecil yang perdengarkan suara geme-
rincing. Agaknya Gantar Sewu sudah mempersiapkan-
nya sejak tadi.
"Terimalah ini untuk bekal dalam perjalananmu
semoga kau dapat menghemat sisa uang ini...!" Ujar
Gantar Sewu seraya berikan buntalan itu pada Jaka
keling.
"Baik, kakang! Titipkan salamku pada kakang
mbok, dan anakmu...!"
Tentu, Jaka...! Kalau kau temui kesulitan, cari-
lah aku di Gemolong! berhasil atau tidak pencarian ku
menyelidiki dimana adanya Pipit Lurik, aku memang
akan menetap disana...! Nah, selamat berjuang! Aku
yakin pendekar Wanita itu bisa dijadikan Dewi Peno-
long dalam upaya menumpas kedua iblis dari Tiga si-
luman bukit Hantu!"
Jaka Keling cuma manggut-manggut, talu se-
lipkan sekantung uang itu ke balik pakaian. Lalu be-
ranjak mendekati kudanya. melompat ke atas pung-
gung si hitam. Dan... tanpa menoleh lagi segera keprak
kudanya yang membedal cepat meninggalkan hala-
man markas dengan perdengarkan suara ringkikkan-
nya.
Gantar Sewu menatap kepergian sang adik
dengan tersenyum. Dan terdengar suara helaan nafas-
nya. Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berubah aneh. Se-
nyumnya mendadak sirna. Dia sudah balikkan tubuh
nya untuk beranjak cepat kembali ke kamar. Kamar
itu adalah kamar Jaran Perkoso.
"Hm, aku harus cari dimana kakang Jaran Per-
koso menyembunyikan peta sisa harta warisan guru!
Aku yakin guru telah berikan seluruh hartanya pada
kakang Jaran Perkoso!" Desis suara Gantar Sewu. Dan
segera dia bekerja membongkar kembali, dan menga-
duk-aduk seluruh isi lemari. Juga mencari di tempat-
tempat lainnya. Sebuah pajangan berbentuk kepala
rusa, tempat menggantung pakaian dicopotnya. Lalu
diperiksa, kalau-kalau Jaran Perkoso menyembunyi-
kan peta di situ. Entah mengapa hatinya semakin ya-
kin kalau kakak seperguruannya menyimpan peta har-
ta sang guru.
Dan... hatinya seperti tersentak. Jantungnya
berdebar keras. Dia telah temukan secarik kertas kulit
tipis yang digulung kecil, pada sebuah lubang dibalik
pajangan kepala menjangan. Segera dengan cepat di-
bukanya. Tampak wajahnya berubah berseri menye-
ringai.
"Hahaha... bagus, akhirnya kutemukan juga!
Hampir aku mencurigai si Jaka Keling!" Gumam Gan-
tar Sewu. Seraya teliti peta itu. Dugaannya tepat kalau
Jaran Perkoso ada menyimpan peta harta pusaka gu-
runya.
Urusan ini lebih penting, ketimbang mencari
Pipit Lurik dan membalaskan dendam pati kakang Ja-
ran Perkoso! Namun aku harus ke Limbangan dulu
menyelesaikan urusanku! Pikir Gantar Sewu dengan
menampakkan senyum puas....."
Baiklah, kita tinggalkan dulu Gantar Sewu den-
gan segala rencananya. Mari kita ikuti kemana geran-
gan langkah sang adik bernama Jaka keling itu.
—oOOOo—
Kuda hitam itu mencongklang lari dengan pe-
sat. Penunggangnya adalah seorang laki-laki gagah
berkulit hitam. Pakaiannya sederhana, berwarna abu-
abu dengan ikat kepala sehelai kain berwarna jingga.
Dialah Jaka Keling yang telah tinggalkan mar-
kas Benteng Macan Gunung. Entah kemana tujuan-
nya. Tapi yang jelas dia tengah menuju ke arah barat,
dari kota Ungaran. Laki-laki ini tak membawa seba-
tang pedang, yang biasa diselipkan di belakang pung-
gungnya. Menjelang Matahari menggelincir, dia sudah
tiba di satu kota lagi, setelah menyeberangi dua buah
sungai. Yaitu sebuah kota bernama Singorojo. Sepa-
sang matanya mulai mencari dimana adanya tempat
penginapan. Beberapa bulan berselang dia memang
pernah singgah di kota ini.
Segera saja dia mudah temukan tempat di ten-
gah kota agak menyudut di sebelah selatan jalanan.
Setelah tambatkan kudanya, segera Jaka Keling beran-
jak masuk. Seorang pelayan mempersilahkannya den-
gan menjura hormat.
Segera Jaka keling mencari kursi di dalam
ruangan bagian bawah restoran Itu. Dia berniat mengi-
si perut dulu. Beberapa pasang mata tampak memper-
hatikannya. Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar
suara memanggil namanya.
"Sobat Jaka Keling, silahkan duduk disini...!"
Terkejut Jaka keling ketika melihat yang memanggil-
nya adalah justru orang yang tengah dicarinya. Siapa
lagi kalau bukan Pendekar Wanita Roro Centil. Tergo-
poh gopoh Jaka Keling menghampiri. Setelah menjura,
lalu menyeret kursi untuk segera duduk.
"Hihi... aku tak menyangka kau akan datang
begitu cepat, sobat Jaka..." Berkata Roro seraya mena-
tap dengan tersenyum. Sementara seorang pelayan te-
lah menghampiri mejanya. Segera Jaka Keling memesan makanan.
"Aku menyangka takkan menjumpai anda dis-
ini, nona Roro! Bukankah anda ada mengatakan kalau
anda sementara ini berada di desa PATEAN? Niatku
memang akan kesana, tapi keburu senja! Justru mak-
sudku mau menginap disini, untuk teruskan lagi per-
jalananku esok untuk mencari anda di desa Patean!"
Ujar Jaka Keling dengan suara perlahan. Roro mang-
gut-manggut dan tersenyum.
"Patean adalah desa tempat kelahiranku...!
Namun keadaan desa itu kini sudah tak seperti dulu
lagi ketika aku kecil! Bahkan sudah banyak orang-
orang yang pindah! Karena wilayah sekitar Kota Raja
sudah mulai sepi, sejak Kerajaan Medang atau Mata-
ram dipindahkan ke Jawa Timur!" Ujar Roro datar.
Jaka Keling manggut-manggut. Diapun sudah
mengetahui akan kepindahan Kerajaan Medang yang
telah berganti dengan nama Mataram itu. Bahkan ke-
retanya sering dipakai untuk mengangkut barang- ba-
rang, yang dalam kepindahannya dilakukan dengan
berangsur-angsur. Tentu saja dari para pembesar tidak
keseluruhannya pindah ke daerah baru itu.
Namun walau demikian dari pergantian wilayah
Kerajaan, membuat susunan Pemerintahan berubah
pula. Bahkan sudah dua kali di wilayah lama terjadi
penggantian Raja baru.
Selesai bersantap, Roro mengajak keluar. Niat-
nya adalah mendengarkan penuturan Jaka Keling, ka-
rena untuk pembicaraan demikian kurang leluasa di-
lakukan di tempat terbuka, yang banyak telinga men-
dengarkannya.
Bahkan sudah sejak tadi lima orang yang du-
duk melingkar mengelilingi satu meja paling besar, ser-
ing lirikan mata memandang ke arah mereka.
"Apakah aku perlu memesan tempat dulu?"
Tanya Jaka Keling lirih.
"Tak usahlah. kukira lebih baik kita cari pengi-
napan lain." Berkata Roro dengan suara yang terden-
gar agak keras.
Membuat beberapa orang segera menoleh. Tan-
pa perdulikan mata para pengunjung restoran di ru-
mah Penginapan itu, Roro panggil pelayan. Tergesa-
gesa seorang pelayan menghampiri. Namun sebelum
Roro rogoh sakunya untuk membayar, Jaka Keling su-
dah berikan beberapa keping uang perak yang dikelua-
rkan terlebih dulu.
"Ambillah sisanya untukmu!" Ujar Jaka Keling
seraya tersenyum pada sang pelayan. Manggut-
manggut laki-laki pelayan itu sambil ucapkan terima
kasih, lalu beranjak pergi.
***
7
Pemandangan di sekitar kota Singorojo cukup
indah, jalan-jalan terlihat bersih berpagar bambu me-
magari deretan rumah penduduk desa disudut kota
Singorojo. Pertanda para penduduk adalah orang-
orang yang mengerti akan kebersihan dan kerapian,
serta keindahan desanya. Semakin ke ujung, ternyata
semakin sepi dari rumah penduduk. Ternyata di ba-
gian sebelah bawah adalah daerah perkebunan, yang
terlihat indah dari tempat ketinggian berpadang rum-
put itu. Beberapa pohon berdaun rindang tumbuh dis-
ana.
Jaka Keling tuntun kudanya disamping Roro
Centil Tampaknya mereka sambil melangkah, telah
banyak bercakap-cakap. Dan bahkan Jaka Keling telah
tuturkan kejadian di markas. Roro tampak manggut-
manggut mengerti. Tak lama pembicaraan mereka su-
dah dilanjutkan sambil duduk di bawah pohon rin-
dang, dengan mata menatap ke bagian bawah tempat
ketinggian yang berpemandangan indah itu.
Tampaknya Roro sering menjadi perhatian Jaka
Keling dalam setiap gadis pendekar itu berbicara. Ka-
rena wajah cantik dan menawan hati dari Roro Centil
mau tak mau mendebarkan jantungnya. Akan tetapi
Jaka keling bukanlah seorang pemuda yang kurang
ajar. Dia berusaha menyembunyikan perasaannya
yang selama ini ditutupnya buat setiap wanita. Bahkan
sampai seusia tiga puluhan tahun, Jaka Keling tak
pernah sedikitpun berhasrat untuk mengenal wanita.
Namun tak disangka kalau hari ini dia bisa bercakap-
cakap dengan wanita... Bahkan seorang gadis cantik
ayu memikat hati, juga seorang pendekar wanita, yang
berkepandaian tinggi. Sungguh suatu keberuntungan
pada nasib Jaka Keling bisa berkenalan dengan dara
perkasa itu.
"Aku akan membantumu mencari dimana
adanya keponakan angkatmu bernama Sri Kemuning
alias Pipit Lurik itu...!" Ujar Roro.
"Sayang kedua manusia iblis itu berhasil me-
nyelamatkan diri! akan tetapi andai mereka tewas pun
justru menjadi semakin sulit mengetahui dimana
adanya gadis itu karena dia toh berada dalam tawanan
si tiga Siluman Bukit Hantu?" Ujar Roro Centil. Jaka
Keling cuma manggut-manggut membenarkan.
"Ah, sebenarnya aku merasa malu, karena
membuat anda menjadi repot, nona Roro!" Ujar Jaka
Keling. Roro kerutkan sedikit keningnya seraya berka-
ta.
"Aii... mengapa berkata begitu? Aku si Roro
Centil mana bisa berdiam diri melihat segala macam
kejahatan? Justru aku kini sedang mencari seorang
penjahat terselubung yang telah mengacaukan kea-
daan di beberapa wilayah...!"
"Oh!? Apakah kejahatan yang telah dilakukan-
nya?" Tanya Jaka Keling.
"Hihihi... kejahatan yang biasa dilakukan oleh
kaum laki-laki! Apa lagi kalau bukan pemerkosaan
terhadap wanita, termasuk penculikan. Dan tentu saja
ada efek lainnya, yaitu pembunuhan...!" Tandas Roro
dengan suara terdengar seperti kesal.
Lengan gadis pendekar ini menjumput sebuah
batu kecil, dan jentikan keras dengan jarinya ke arah
depan, seraya perdengarkan dengusan di hidung. Tak
disangka gerakan yang dilakukan Roro seperti melepas
rasa kesalnya itu berakibat lain. Karena di luar dugaan
Roro telah perlihatkan kepandaiannya menyambit yang
tampak aneh. Batu kecil yang melayang ke depan itu
mendadak memutar arah, dan meluncur ke balik se-
mak pepohonan lebat.
Terdengar suara orang berteriak mengaduh dari
balik belukar itu, yang disusul dengan teriakan suara
memaki.
"Aduh!?" Setan alas! Siapa yang menyambit
ku?" Dan berapa sosok tubuh sudah berlompatan ke-
luar dari semak lebat itu.
"He! Giran...! Sudah pasti laki-laki hitam itu!
Mungkin dia mengetahui kita mengintip mereka dis-
ini!" Desis suara seseorang. Karena tempat itu lengang
suara desisan itu terdengar cukup jelas. Ternyata ke-
lima orang yang tadi duduk dalam restoran pengina-
pan, ditambah dua orang kawannya lagi. Rupanya me-
reka mengincar pada Roro, yang memang tak menam-
pakkan seperti orang persilatan. Pakaiannya biasa saja
berwarna putih dari kain blacu murahan. Senjata Ran-
tai Genitnya dibungkus dalam kain blacu yang tersangkut di pinggang, tertutup pakaian luarnya.
Namun wajah cantiknya, dan sikapnya yang
terlihat memang seperti gadis genit, telah membuat
mereka menguntitnya. Apa lagi kedatangan Jaka Kel-
ing, ternyata membuat mereka mendongkol. Karena
menghalang niatannya yang sudah direncanakan.
Adapun Jaka Keling walaupun tanpa menyandang Pe-
dang, salah seorang dari kawan mereka telah mengenal
kalau dia adalah salah seorang dari Tiga Macan gu-
nung Muria.
"Heh, kalau memang benar dia, kita sudah ke-
palang basah ketahuan! Mengapa tak kita ringkus saja
laki-laki itu! Sengaja dia mau bikin gara-gara! Aku ada
berita yang datang cepat, bahwa Markas Benteng Ma-
can Gunung telah ditutup! Semua karyawannya dibu-
barkan! Tampaknya ada terjadi perpecahan dengan Ke-
tiga Macan Gunung Muria itu!" Berbisik seseorang, di
belakang mereka.
Yang bicara adalah salah seorang dari dua ka-
wannya yang di tengah jalan ikut nimbrung menguntit.
Keduanya itu ternyata adalah dua orang pendatang
dari wilayah kota Ungaran, yang mempunyai sahabat
di sekitar kota Singorojo.
Mendapat gosokan dari kedua laki-laki itu, si
korban yang tangannya telah melembung benjol kena
sambitan batu, jadi beringas.
"Bagus! Biar aku hadapi dia! Sekalian ingin ta-
hu kehebatan yang bagaimanakah yang dimiliki si Ma-
can Gunung Muria itu?". Desis si laki-laki itu dengan
geram. Kelima orang itu adalah anggota dari komplo-
tan terselubung, sebagai pelacak mencari korban yang
telah ditugaskan oleh ketuanya.
Setelah berunding, tampak kelima orang itu se-
pakat untuk keluar menampakkan diri. Sementara ke-
dua orang kawan yang nimbrung itu tampaknya tenang-tenang saja.
Tak lama segeralah berlompatan kelima tubuh
orang itu keluar dari balik semak belukar. Dan sekejap
sudah mengurung di belakang Roro dan Jaka keling.
"Eh, Macan Gunung Muria! Tak usah kau me-
nyamar jadi pelancong! Kami sudah tahu kau adalah si
Jaka Keling! Kau kira di wilayah sini bisa jual lagak
seenaknya?! Hm, kami si Lima Naga Raksasa Dewa
bukanlah kaum perampok! Tapi perbuatanmu mence-
lakai orang adalah tak bisa dibenarkan!" Berkata laki-
laki yang tangannya bengkak itu dengan suara meng-
geledek. Adapun ke empat kawannya diam-diam beru-
saha menahan senyum, karena si kawan mereka yang
satu ini telah berani membuat gelaran yang amat ke-
terlaluan angkernya, padahal mereka tak mempunyai
gelaran sama sekali. Tak lebih dari anak-anak buah
dari Ketua komplotannya.
Mendengar bentakan itu Jaka Keling segera pa-
lingkan tubuh. dan bangkit berdiri menatap pada ke-
lima orang di hadapannya, yang berdiri membuat se-
tengah lingkaran pada jarak dua tombak dari tempat
mereka duduk. Adapun Roro Centil yang sudah men-
getahui kemunculannya seolah tiada menggubris sama
sekali.
"Ah, anda mungkin salah menduga orang! Aku
bukan salah seorang dari Macan Gunung Muria! Dan
namaku bukanlah Jaka Keling! Anda mengatakan aku
telah jual lagak! Tapi aku merasa tak mengganggu an-
da?! Harap kalian menyingkirlah, jangan mengganggu
pembicaraan kami!" Ujar Jaka Keling dengan terse-
nyum.
"Setan usil! Kau sudah sambit lenganku sampai
bengkak begini, mengapa kau bilang tak mengganggu?
Heh, tak usah kau berdusta, kami telah tahu kereta-
kan di markas mu! Tiga Macan Gunung Muria sudah
tak punya kewibawaan apa-apa!". Berkata laki-laki
bertubuh sama hitamnya dengan Jaka Keling. Berwa-
jah brewok dengan sepasang matanya yang memerah.
Roro Centil sudah melompat bangun berdiri seraya pu-
tarkan tubuh.
"Hihihi... kami sedari tadi sedang mengobrol
disini, masakan bisa mencelakai orang!? Jangan-
jangan lengan mu dipatuk ular! Siapa suruh mengintip
orang dengan bersembunyi di semak-semak lebat?"
Ujar Roro seraya menatap pada lengan orang yang me-
rah membengkak.
Merah seketika wajah kelima orang itu! Se-
dangkan si laki-laki hitam bertampang brewok itu
tampak sedikit terkejut, karena bualannya dengan
memperkenalkan "julukan" mata yang seram, tak
membawa hasil untuk menggertak orang.
Karena dari kelima orang itu tak ada yang bisa
bicara lagi, tiba- tiba kedua orang tadi sudah berkele-
bat ke tempat mereka. Kedua orang itu dengan cepat
menjura ke hadapan Roro, seraya berkata.
"Maaf, nona... apakah anda yang bernama nona
Roro...?" Tanya salah seorang. Keduanya adalah laki-
laki berusia sekitar tiga puluhan tahun. Roro menatap
mereka dengan penuh selidik, tapi tak urung segera
mengangguk.
"Benar! Ada keperluan apakah kalian mena-
nyakan namaku?" Sementara Roro sudah berpikir ka-
lau, dua laki-laki ini cuma cari-cari alasan saja. Men-
genai namanya diketahui orang itu, tentu mudah di-
terka. Karena sewaktu masuk ke restoran di Pengina-
pan itu, Jaka Keling telah menyebut namanya.
Keduanya adalah diketahui Roro berada tak be-
rapa jauh dari dekat mejanya; yang seolah tak turut
memperhatikan.
"Hamba berdua adalah utusan dari Adipati
banyu biru! Ada surat rahasia dari beliau untuk anda,
untuk segera datang ke tempat yang telah diperuntuk-
kan pertemuan! Silahkan anda membacanya!" Ujar la-
ki-laki itu seraya berikan segulung kertas pada Roro.
Dengan agak heran Roro terpaksa menyambuti.
Ketika membaca isi surat yang singkat itu, segera wa-
jahnya tampilkan senyuman.
"Baik! Aku akan segera datang kesana dalam
satu dua hari ini...! Ujar Roro Kedua laki-laki itu sege-
ra menjura, lalu salah seorang menggamit lengan ka-
wannya untuk segera putar tubuh beranjak mening-
galkan mereka dengan berkelebat pergi. Akan tetapi
dikejauhan, salah seorang dad mereka telah berteriak.
"Kalau anda tak tahu jalan, silahkan hubungi kami di
salah satu penginapan di desa Boja...!
Roro tak menyahut, namun meneliti isi surat
dalam tulisan di kertas itu. Lalu selipkan dalam saku
pakaiannya.
"Mari kita berangkat, sobat Jaka...!" Berkata
Roro seraya palingkan wajah menatap Jaka Keling. la-
ki-laki ini mengangguk, lalu sambar tali di leher kuda,
seraya sempat melirik pada kelima orang itu yang cu-
ma terpaku dengan mata melotot padanya.
“Tahan...! Kalian tidak bisa pergi begitu saja!"
Berkata si kulit hitam brewok. Roro Centil menoleh,
seraya pasang wajah lucu.
"Eh, mengapa? kau katakan bahwa kalian bu-
kan perampok! Lalu apa maksudmu menahan kami?"
Tanya Roro.
"Aku tak tahu menahu dengan surat rahasia
dari Adipati Banyu biru! Tapi kalau anda dengan suka-
rela mau menemui ketua kami, tanpa laki-laki itu, aku
si Kromo Yudho dan ke empat kawanku ini tak akan
bertindak kekerasan!"
Roro jadi naikkan alisnya dengan tertawa geli.
toskan kepalannya.
Pemuda itu tiba-tiba rundukkan tubuhnya
hingga hampir menyentuh tanah. Dan di iringi henta-
kan keras, sepasang lengannya bergerak saling susul
menghantam ke arah lima penyerangnya. Terdengarlah
suara.. Bak! Buk! Bak! Buk!
Dan sekejapan saja dengan diiringi teriakan-
teriakan keras, kelima tubuh itu roboh berjungkalan
untuk tidak mampu berdiri lagi. Karena masing-
masing perutnya telah terkena hantaman tinju Jaka
Keling. Sehingga kelimanya meringis-ringis memegangi
perutnya yang merasa mulas.
Roro bertepuk tangan melihat akhir dari perta-
rungan yang cuma berlangsung dalam beberapa kejap
itu.
"Hebat! hebat... ! Kalian sudah kalah... ! Segera-
lah kalian merat dari sini!" berkata Roro seraya tatap
kelima orang itu. Sambil menahan rasa sakit pada pe-
rutnya, segera mereka kembali mengambil senjata
masing-masing.
Akan tetapi di luar dugaan mereka telah berke-
lebatan mengurung Roro. Rupanya isyarat dari Kromo
Yudho yang menjadi pimpinan dari keempat kawannya
itu amat dipatuhi. "Heh, walau bagaimanapun kau ha-
rus ikut menghadap ketua kami! Atau senjata-senjata
kami akan berbicara. Kromo Yudho mengharap dengan
menangkap Roro maka si pemuda tak bisa berbuat
apa-apa. Akan tetapi ketika Kromo Yudho gerakkan go-
loknya untuk ditempelkan ke leher Roro, laki-laki ini
menjerit parau. Tahu-tahu goloknya telah mental en-
tah kemana. Dan dia sendiri dalam keadaan tertotok
dengan berdiri kaku, dengan posisi menyerang. Terke-
jutlah kelima kawannya. Belum lagi mereka berbuat
sesuatu. Tiba-tiba terdengar suara mengikik tertawa.
Dan tubuh Roro lenyap dari pandangannya. Kejap berikutnya, giliran tubuh-tubuh merekalah yang tertotok
dengan berdiri kaku bagal arca.
"Hihihi... sebaiknya kalian jadi patung saja dis-
impan!" Ujar Roro, yang sudah berdiri tegak di hada-
pan kelima orang itu.
"Nah, untuk membuat patung jadi awet, harus
dioleskan bahan pengeras ini supaya kalian tahan la-
ma!" Ujar Roro, seraya keluarkan sebuah tabung bam-
bu yang telah dibuka sumbatnya. Pucat piaslah seke-
tika wajah kelima orang itu. Menghadapi "gertakan"
Roro itu mereka seketika berteriak-teriak mohon am-
pun. Bahkan diantaranya sudah ada yang menangis
tersedu sedu.
Baik! aku akan ampuni nyawa kalian! tapi se-
butkan siapa ketua kalian. Dan apa maksudnya aku
kalian suruh menghadap Ketuamu!" Bentak Roro den-
gan suara berubah bengis. Keempat orang itu saling li-
rik dengan kawannya. Rupanya Kromo Yudho lah yang
segera buka mulut. Keringat dingin sudah bercucuran
dari sekujur tubuh.
***
8
Setitik api yang kecil, bisa membuat kebakaran
besar...
Demikian juga dengan komplotan terselubung
yang mendiami wilayah Singorojo. Dengan adanya
pengakuan Kromo Yudho pada Roro Centil. Akhirnya
diketahui siapa adanya dalang dari komplotan terselu-
bung itu.
Ternyata Roro Centil bertindak kejam. Seperti
diketahui watak wanita pendekar ini memang aneh,
dan sudah diterka. Terkadang genit, lucu dan menarik
hati. Namun terkadang kejam tak kenal ampun.
Empat dari kelima orang itu telah diputuskan
urat suaranya, hingga mereka tak dapat bicara lagi.
Mengenai cara ini jarang orang yang dapat melakukan
dari Kaum Rimba Hijau. Karena seperti diketahui Roro
Centil banyak mempunyai guru, yang diantaranya ada-
lah Resi Jayeng Rana asal Tibet. Tokoh ahli obat-
obatan yang mengenal betul akan keadaan urat-urat
tubuh manusia.
Akan tetapi cara kejam ini adalah Roro sendiri
yang mendapatkan, setelah mengetahui dan mempela-
jari.
Cuma datangnya niat, dan cara yang dilaku-
kan, adalah bagaimana munculnya waktu itu saja. Se-
perti diketahui, Roro Centil pernah terluka di kepala
yang dialami ketika berusia tujuh tahun. Yaitu terkena
terjangan kaki-kaki kuda. Dan dalam gemblengan gu-
runya si Wanita Aneh Pantai Selatan alias si Manusia
Banci, banyak lagi hal-hal yang membuat Roro menjadi
seorang gadis yang berwatak mirip gurunya. Terka-
dang membuat orang jadi kebingungan akan sikapnya.
Tapi terkadang juga apa yang dilakukannya membuat
orang jadi kagum.
Roro tinggalkan tempat itu dengan membawa
serta Kromo Yudho. Cuma laki-laki yang seorang inilah
yang selamat dari diputuskannya urat suara, oleh Ro-
ro. Surat dari Adipati itu diberikan pada Jaka Keling.
Jaka Keling diperintahkannya menunggu di tempat
yang dimaksud dalam isi surat itu. Dengan janji, Roro
akan segera menyusul pada hari yang ditetapkan. Se-
mentara Roro sendiri segera membawa Kromo Yudho,
yang dicengkeram punggungnya bagaikan mencengke-
ram seekor kucing. Dan dibawa berkelebat cepat sekali.
Jaka Keling cuma terpana, melihat kepergian
wanita Pendekar itu. Namun tak ayal dia segera be-
rangkat pergi dengan mencongklang kudanya.
—oOOOo—
Terkejut Tumenggung Yoga Bumi, ketika tahu-
tahu seorang gadis telah datang menghadap, dengan
menenteng sesosok tubuh laki-laki berkulit hitam ber-
wajah brewok ke hadapannya. Dan menjatuhkan sosok
tubuh laki-laki itu di lantai.
"Andakah tumenggung Yoga Bumi yang menja-
ga keamanan di wilayah Singorojo ini...?" Tanya Roro
Centil. Terkejut Tumenggung ini karena baru pertama
kali didatangi seorang gadis cantik yang sikapnya tan-
pa sopan santun. Bahkan "nyelonong" saya masuk ke
Pesanggrahan tanpa membawa perantara dari pengaw-
al yang memberitahukan kalau mau menghadap. Baru
selesai Roro bicara, empat orang prajurit sudah berla-
rian ke dalam dengan wajah pucat pias Karena sewak-
tu ditegur, Roro sudah melesat masuk dengan cepat
sekali.
Sang Tumenggung menatap keempat prajurit,
lalu menatap pula pada Roro. Dan kemudian terakhir
menatap pada laki-laki yang tertunduk menyembunyi-
kan mukanya berjongkok diatas lantai.
Otaknya yang encer ternyata sudah dapat men-
duga kalau yang datang bukanlah orang sembarangan.
Apalagi dengan membawa seorang laki- laki yang tam-
pak gemetaran tubuhnya. Sudah dapat dipastikan
adalah seorang penjahat yang tertangkap. Atau juga
seorang pesakitan yang baru dibawa ke luar dari taha-
nan. Segera dia berikan isyarat pada keempat prajurit
supaya menyingkir kembali.
"Benar! aku Tumenggung Yoga Bumi adanya!
Siapakah anda, nona... ? Dan siapa pulakah orang
ini...?" Tanya sang Tumenggung dengan sikap sabar.
"Namaku Roro Centil! Mengenai orang ini, dia
adalah salah seorang anak buah dari komplotan terse-
lubung yang selama ini mengganggu ketertiban rakyat!
Ketuanya bernama Kala Butho! Perlu diketahui, bahwa
komplotannya adalah disamping menculik gadis-gadis
cantik untuk dijual dan diumpankan pada para bang-
sawan hidung belang, juga kepada orang asing dan pa-
ra pembesar Kerajaan! Bahkan juga melakukan pula
serangkaian pembunuhan dan perampokan secara ter-
selubung! Kala Butho baru salah satu anak buah dari
gembong besar penyalur wanita-wanita cantik yang
mempunyai cabang di wilayah Singorojo ini! Gembong-
nya telah aku selidiki...! Silahkan anda memeriksanya!
Dan tentunya setelah berhasil mengorek keterangan,
hendaknya segera menggulung secepatnya komplotan
itu disarangnya! Aku cuma bisa membantu anda den-
gan membawa salah seorang anak buahnya ini!" Ucap
Roro dengan suara terdengar nyaring merdu.
Selesai berkata, tiba-tiba lengannya telah ber-
gerak menjambak rambut Kromo Yudho. Tentu saja
laki-laki ini berteriak kesakitan dan memohon ampun
berulang kali.
"Bicaralah kau yang sebenarnya pada Tumeng-
gung! Dan tunjukkan dimana tempat komplotan itu!
Kalau kau berdusta, aku yang akan menghukum mu
dengan cara yang paliiing kejam! Mengerti...!" Bentak
Roro, seraya lepaskan jambakannya. Kromo Yudho
manggut-manggut dengan nyawa terasa seperti sudah
di ujung ubun-ubun.
"Nah, aku pergi, tumenggung! Tapi kalau ter-
nyata kau sendiri melindungi komplotan itu, aku akan
gantung leher mu di alun-alun...! Bentak Roro dengan
suara sedingin es. Terkesiap Tumenggung Yoga Bumi.
Seperti kepalanya kena palu godam, mendengar anca-
man Roro. Edan! masakan aku mau melindungi penja-
hat? sentaknya dalam hati. Akan tetapi baru dia mau
buka suara, si gadis aneh itu sudah berkelebat lenyap
dengan tinggalkan suara tertawa mengikik yang mem-
buat bulu roma bangun berdiri.
Sejenak tumenggung Yoga Bumi jadi terpaku
tak bergeming.
"Aneh...!" Siapakah gerangan wanita muda
itu...? Namanya Roro... Cen.. til?" Gumam sang Tu-
menggung seraya mengelus-elus jenggotnya yang cuma
sejumput.
"Roro Centil...!... Hm, ya.. ya.. aku seperti per-
nah mendengar nama itu ...!? Tiba-tiba wajahnya me-
nyentak kaget seraya mendesis.
"Tidak salah...! Dia pasti si Pendekar Wanita
Pantai Selatan! Ooooh, pantas! pantas...! Orang Rimba
Hijau kelakuannya memang aneh-aneh...
0OO**OO0
Dengan bujuk rayu Pitra Sena yang bersikap
manis pada Pipit Lurik, akhirnya jatuh Juga sang ga-
dis dalam pelukan si pemuda anak laki-laki Bangsa-
wan Tua Raden Mas Anjasmoro untuk yang kedua ka-
linya.
Gadis cantik puteri Jaran Perkoso itu cuma bi-
sa mandah saja ketika lengan-lengan nakal si pemuda
mulai menelusup membelai sekujur tubuhnya.
Udara senja yang dingin di sekitar tempat ber-
pemandangan indah itu menyibak tubuh-tubuhnya
yang bergelinjangan di rerumputan menghijau, pada
salah satu bukit yang terhalang matahari.
Entah kali ini sang gadis telah berikan kehan-
gatan tubuhnya untuk yang ke berapa kali. Karena
cumbuan Pitra Sena benar-benar meluluhkan hati dan
jantungnya. Harapannya untuk berguru pada nenek
sakti di puncak Ratawu, telah gagal. Karena mau tak
mau dia harus membalas budi Keluarga Bangsawan
itu yang telah menyelamatkannya dan tangan si Tiga
Siluman Bukit Hantu. Pitra Sena dan ayahnya ternyata
manusia-manusia yang pandai berpura-pura. Raden
Mas Anjasmoro telah berjanji akan segera menikahkan
mereka. Pipit Lurik yang dalam keadaan kalut dan me-
rasa telah ternoda oleh si pendek Seto Bungkrik, tentu
saja tak berdaya menolak untuk dinikahi oleh Pitra
Sena, bahkan dia merasa bersyukur bahwa masih bisa
menuruti keinginan sang ayah, walau keadaannya se-
karang sudah lain. Karena berita kematian ayahnya te-
lah terdengar juga. Bahkan markas Benteng Macan
Gunung yang telah bubar pun sampai ke telinganya.
Dan tak diketahui lagi nasib kedua pamannya, Gantar
Sewu dan Jaka Keling. berada. Bahkan tak diketahui
mati dan hidupnya. Yang diketahuinya adalah si Tiga
Siluman Bukit Hantu telah melabrak ke sana.
Ada niat Pipit Lurik untuk mencari mereka,
mencari tahu kabar beritanya. Akan tetapi Pitra Sena,
tak mengizinkannya. Kabar berita itupun diberitahu-
kan oleh Pitra Sena. Bahwa seorang sahabat ayahnya
yang telah memberitahukan kejadian tersebut. Dan da-
ri Pitra Sena juga Pipit Lurik mengetahui kalau tanah
dan gedung Markas Benteng Macan Gunung telah di-
beli oleh calon Mertuanya itu. Gadis yang tengah shok
itu cuma bisa menuruti keinginan sang calon sua-
minya, yang hampir setiap saat mencumbuinya. Demi-
kian pula halnya dengan hari itu. Pitra Sena telah
mengajaknya ke tempat yang berpemandangan indah
itu. Pipit Lurik tenggelam dalam madunya cinta berahi,
yang seolah-olah melupakan semua kemelut dihatinya.
Direngkuhnya bibir laki- laki tempat menggantungkan
tengah pagar bambu terdapat satu pintu yang mem-
buat bagai sengaja dibuat untuk jalan menembus hu-
tan bambu. Kedua laki-laki yang telah memberi surat
dari Adipati Banyu Biru itu melompat cepat melalui
pintu membulat dari ruas-ruas batang bambu. Dan tak
kelihatan bayangannya lagi.
Tanpa pikir panjang Roro segera melompat
mengikut... Akan tetapi tiba-tiba....
RRRRRRRRRRRTTT...!
Terkejut Roro Centil, karena tahu-tahu tubuh-
nya telah terkena jeratan dalam sebuah jala. Hingga
sekejap tubuh nya telah terbungkus masuk dalam tali-
tali jala sutera itu.
Bersamaan dengan terjeratnya Roro, segera
berlompatan belasan sosok tubuh yang segera mengu-
rung di beberapa penjuru.
"Hahaha... haha... Akhirnya berhasil juga aku
menawan si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Cen-
til!" Sesosok tubuh gemuk segera perdengarkan suara
tertawa dan kata-katanya. Roro Centil dapat melihat
siapa orangnya dari balik tali jala sutera. "Eh, monyet
bunting! aku sudah tahu, kaulah gembong penculikan
wanita, dan ketua dari komplotan terselubung yang
merampok harta Pusaka Kerajaan Mataram! Aku
punya tugas untuk menangkapmu, dari Kanjeng Gusti
Raja secara rahasia! Kedokmu telah terbuka! Dan kau
pula rupanya Adipati Banyu Biru...!
Hihihi... jangan kau bergirang dulu monyet
bunting! Orang-orangmu justru telah menjadi musuh-
mu, kecuali dua laki-laki yang menjebakku itu...!" Te-
riak Roro. Terkejut laki-laki Bangsawan tua itu, yang
ternyata tak lain dari Raden Mas Anjasmoro. Segera
dia tatap pada para anak buahnya yang memang khu-
sus ditempatkan di sekitar markas tersembunyi itu.
"Para pengawal! Lepaskan tali jala ini....!" Berkata Roro dengan suara berpengaruh. Suara yang te-
lah dilontarkan dengan tenaga dalam yang amat ting-
gal. Dan suara yang telah menggetarkan jantung setiap
orang. Tampak beberapa orang telah melompat ke de-
katnya. Dan serentak sudah memutuskan tali jala su-
tera. Dan sekejap Roro Centil sudah lompat berdiri.
Gila...!? Edan...! Mengapa bisa jadi demikian?
Sentak hati Adipati Banyu Biru. Namun belum lagi ha-
bis rasa aneh dan terkejutnya sudah terdengar perin-
tah Roro Centil yang membentak keras memberi perin-
tah.
"Tangkap hidup atau mati manusia keparat
ini...!" Dan bagaikan di komandokan seorang Senapati,
belasan orang-orang Raden Mas Anjasmoro alias Adi-
pati Banyu Biru itu, sudah berlompatan menerjang
dengan senjata telanjang.....
Adapun kedua orang yang telah memberi surat
pada Roro itu tampak seperti orang yang kebingungan.
Wajahnya pucat pias bagai mayat. Roro Centil tiba-tiba
telah melompat menerjang untuk mengirimkan puku-
lan mautnya. Dalam keadaan panik demikian, mana
mampu keduanya mengelakkan serangan Roro yang
dilakukan dengan cepat sekali. PRAKK...! PRAKKK...!
Terdengar suara teriakan pendek parau, dis-
usul dengan robohnya kedua tubuh itu, yang setelah
menggeliat sejenak lalu segera lepaskan nyawanya.
Ternyata kepalanya telah rengat akibat hantaman ke-
dua telapak tangan Roro.
Sementara itu Raden Mas Anjasmoro dengan
membentak gusar segera gerakkan lengannya meng-
hantam para penyerang dari anak-anak buahnya sen-
diri, .pekik dan jeritan maut segera terdengar saling
susul. Beberapa sosok tubuh terlempar dengan kepala
hancur, dan tulang belulang remuk.
"Hantam teruuuus...!" Teriak Roro memberi semangat pada mereka yang tengah menerjang si laki-
laki Bangsawan tua itu. Sementara Roro sudah berke-
lebat lenyap dari tempat itu. Ternyata Roro terus me-
nyusup masuk ke dalam tempat rahasia itu.
Segera ditemuinya sebuah lobang goa. Roro su-
dah mau melompat ke dalam. Akan tetapi tiba-tiba se-
gera batalkan niatnya. Dijumputnya beberapa buah
batu hampir sebesar kepalan, lalu dilontarkannya ke
dalam. Roro sembunyi di sisi goa. Selang tak lama tiba-
tiba terdengar suara bentakan keras dari dalam goa,
disusul dengan berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Kunyuk kurang ajar manakah yang telah iseng
sambitkan batu?" Akan tetapi begitu keduanya mun-
cul, Roro Centil bergerak cepat sekali untuk gerakkan
tangannya menotok kedua tubuh itu.
Terkesiap keduanya, namun sudah terlambat
Seketika kedua tubuh itu roboh terguling dengan kea-
daan tubuh kaku tanpa dapat bergerak. Sungguh su-
kar di duga karena ternyata kedua orang itu adalah si
pendek Sato Bungkrik dan si jangkung Wong Duwur.
Melihat siapa yang telah menotoknya betapa terperan-
jatnya kedua manusia itu. Namun sebelum keduanya
sempat buka suara, Roro Centil telah gerakkan lagi
lengannya menotok urat suara mereka, gagulah sudah
kedua Siluman Bukit Hantu itu. Tak menunggu untuk
berlama-lama lagi, tahu-tahu Roro Centil sudah sam-
bar kedua jubah ditengkuk orang, dan apa yang dila-
kukan gadis Pendekar yang berwatak aneh itu? Ter-
nyata Roro telah menyeretnya pergi dari situ.
Memang janggal kalau seorang gadis yang keli-
hatan lemah tak bertenaga mampu menyeret dua tu-
buh manusia. Yang satu panjang bagai galah, dan satu
lagi pendek kekar. Namun kenyataannya memanglah
demikian.
Mereka cuma bisa mengeluh dengan berdesis,
merasa perih dari bekas lukanya yang kembali berda-
rah terkena batu-batu kerikil tajam yang membentur
luka dan tubuhnya. Namun dalam keadaan demikian
mereka memang tak dapat berbuat apa apa, selain hati
yang kebat-kebit. Karena maut sudah terbayang di de-
pan mata.
***
9
"Hihihi.. tak usah kalian gelisah, kambing-
kambing bandot! Aku cuma berbaik hati untuk men-
gubur kalian di dasar jurang...! Berkata Roro Centil.
Seraya mempercepat larinya. Tentu saja membuat ke-
dua manusia ini jadi ketakutan setengah mati. Namun
apa mau dikata? Berteriakpun mereka sudah tak
sanggup. Kecuali cuma bisa mendesis dengan meringis
menyeringai. Karena seketika saja terdengar suara
berkelotakan dan bergedebukan, ketika batu dan ta-
nah berpentalan mengenai kepala dan tubuh mereka.
Bahkan ketika melewati belukar, duri-duri tajam itu
telah menggores sekujur wajah dan merobek kulit,
yang bukan alang kepalang pedihnya. Apalagi bila
mengenai bekas luka kutung di tangan maupun di ka-
ki mereka, yang telah dihancurkan Roro. Dan baru
diobati beberapa hari.
Mendekati arah tepi bukit, tiba-tiba telinga Roro
mendengar suara bentakan dan teriakan dari orang
yang bertarung. Ternyata ada pula suara wanita. Ter-
cekat hati Roro. Segera diseretnya kedua tubuh tawa-
nannya itu untuk dibawa menyeruak masuk melewati
semak belukar. Terdengar suara ranting-ranting yang
patah akibat diterjang oleh kedua tubuh manusia yang
diseretnya. Tak lama sudah kelihatan siapa adanya
yang bertarung seru disamping bukit.
Ternyata tak lain dari Jaka Keling dengan Pitra
Sena. Saat itu Jaka Keling tengah menghadapi lawan-
nya dengan tangan kosong. Begitu juga Pitra Sena
yang tak mempergunakan senjata. Sementara seorang
gadis tengah menatap ke arah pertarungan dengan se-
pasang mata basah bersimbah air mata.
Siapakah gadis itu? Apakah Pipit Lurik...? Gu-
mam Roro dalam hati. Sekejap Roro sudah melompat
ke tempat pertarungan. Tampak sepasang mata Roro
menatap pada Pitra Sena. Aneh! Tatapan mata Roro
Centil seperti baru melihat orang. Tahu-tahu kedua
tawanannya sudah dilepaskan menggabruk ke tanah.
Tampak sepasang mata Roro Centil tiba-tiba
dipejamkan. Tubuhnya berdiri tak bergeming. Asap ti-
pis bagai kabut tiba-tiba keluar dari mulut Roro yang
agak renggang. Bahkan kabut putih itu juga keluar da-
ri hidung, telinga dan... mata. Tiba-tiba sekejap, Roro
sudah kembali buka matanya. Terdengar suara gadis
pendekar ini berkata perlahan. Akan tetapi sesung-
guhnya dia tengah mengirim suara jarak jauh. "Jaka...!
Menyingkirlah!". Suara itu menyusup ke dalam cuping
telinga Jaka Keling. Tentu saja dia segera palingkan
kepalanya. Dan melihat adanya Roro Centil. Tak ayal
segera dia lompat menjauh. Pada saat itu, Roro sudah
berkelebat ke hadapan Pitra Sena WHUUUSSSSSH.....
Segelombang asap kabut meluncur dari lengan Roro
menerjang ke arah Pitra Sena, disertai bentakan halus
yang menyusup masuk ke telinga Pitra Sena.
"Mukamu tidak wajar, sobat...! Kembalilah ke
bentuk asalmu...!" Ketika asap kabut yang bergelom-
bang itu menerpa tubuh Pitra Sena, ternyata telah di
iring! pula oleh satu hantaman telak ke arah dada lawan.
"BUK...!" Pitra Sena mengeluh, tubuhnya ter-
lempar. Dan jatuh bergulingan tepat ke hadapan Pipit
Lurik. Ternyata gadis ini tengah menggenggam sebuah
rencong di tangannya. Niat untuk bunuh diri hampir
dilaksanakan, karena tak kuasa menanggung malu.
Betapa perbuatannya telah diketahui oleh Jaka Keling,
sang paman angkat. bukan kepalang terkejutnya Pipit
Lurik ketika tubuh sang calon suaminya yang jatuh ke
hadapannya adalah bukan Pitra Sena.
Siapakah gerangan adanya "Pitra Sena itu....?
Ternyata tak lain dari GANTAR SEWU, adik sepergu-
ruan Jaran Perkoso. Tentu saja membuat Pipit Lurik
dan Jaka Keling terkejut. Asap kabut yang dilontarkan
Roro Centil telah dibarengi bentakan berkekuatan te-
naga batin yang amat tinggi, membuat sirna "ilmu si-
hir" yang dipergunakan Gantar Sewu. Saat itu satu
suara telah menelusup masuk ke telinga Pipit Lurik.
Suara itu amat berpengaruh... akan tetapi bukanlah
suara dari Roro Centil.
"Bunuhlah dia, anakku...! Bunuh mampus ma-
nusia licik tak tahu membalas budi itu...!" Tersentak
Pipit Lurik. "Ayah...? Desisnya lirih. Benarkah itu sua-
ra ayah...? Sentak hatinya. akan tetapi kedua lengan-
nya mendadak bagaikan digerakkan satu tenaga gaib,
segera menghunjamkan rencong milik "Pitra Sena" itu
tepat menembus ke jantung laki-laki itu.
Terperangah "Pitra Sena" alias Gantar Sewu.
Sepasang matanya membeliak. Dan wajahnya tampak
menyeringai kesakitan. Sementara Pipit Lurik sudah
melompat berdiri seraya melepaskan rencongnya yang
telah terhunjam di dada laki-laki itu.
"Kau... kau...? Ka... Kakang Gantar Sewu...?"
Teriak Jaka Keling. Saat itu tanpa ada seorangpun
yang mengetahui sesosok tubuh bagaikan siluman te-
lah muncul di belakang Roro. Sosok tubuh itu tak lain
dari Raden Mas Anjasmoro yang telah menyusul Roro
Centil. Sepasang lengannya tampak diangkat sebatas
dada.
Dan tiba-tiba laki-laki bangsawan tua itu telah
lancarkan serangan dahsyat pada punggung Roro Cen-
til, pada jarak dua tombak......
BHUKKK...!
Terdengarlah suara jerit mengerikan disertai
terlemparnya tubuh manusia dengan darah berpuncra-
tan ke setiap penjuru. Dan... BRUKKI Tubuh yang ter-
lempar itu baru berhenti berguling ketika menghantam
batang pohon. Dan sosok tubuh itu telah diam tanpa
berkutik lagi. Langsung tewas seketika. Apakah yang
terjadi? Kiranya bukan Roro Centil yang terkena sasa-
ran serangan dahsyat itu. Melainkan si laki-laki bang-
sawan tua itu sendiri yang terlempar dengan tulang-
tulang tubuh remuk. Karena begitu
Raden Mas Anjasmoro mengangkat kedua len-
gannya, telah berkelebat dua sosok tubuh menghan-
tamnya terlebih dulu. Sekejap di tempat itu telah ber-
diri dua orang tua renta. Ternyata adalah Resi Paksi
Sakti Jalatunda dan Bikhu Sokalima. Keduanya telah
gerakkan masing-masing lengannya menghantam ke
arah Raden Mas Anjasmoro.
Terperangah semua orang, termasuk Roro Cen-
til. Karena jelas kalau tak segera muncul kedua tokoh
sakti Rimba Persilatan itu, sukar dipastikan nasib Roro
Centil yang dalam keadaan amat kritis.
"Guruuu...!?" Teriak Jaka Keling seraya lompat
ke hadapan kedua orang kosen itu. Dan segera bersu-
jud di depan sang Resi.
Bersamaan dengan itu, berkelebat sesosok tu-
buh ke tempat itu. Ternyata tak lain dari Jaran Perko-
so, yang masih berdiri dengan segar bugar. Cuma kea-
daan tubuhnya penuh dengan balutan. Terbelalak sepasang mata Pipit Lurik. Dan... melompatlah gadis ini
memburunya.
"Ayaaaah....!?" Jaran Perkoso menoleh. Dan ter-
jadilah pertemuan yang mengharukan. Kedua ayah
dan anak itu berpelukan dengan masing-masing ber-
simbah air mata.
"Hik hik hik... apakah murid durhaka mu itu
belum mampus, sobat Jalatunda?" Tiba-tiba terdengar
suara Bikhu Sokalima. Nenek sakti puncak gunung
Ratawu itu sudah berkelebat ke arah dimana Gantar
Sewu masih terkapar dengan nafas empas-empis ting-
gal satu-satu.
Akan tetapi memang laki-laki itu belum meng-
hembuskan nafasnya. Segera mereka semua beranjak
menghampiri Jaran Perkoso tatap wajah saudara se-
perguruannya itu dengan bengis.
"Tak kusangka diam-diam hatimu berbulu,
Gantar Sewu! Kau kira kejahatanmu tak akan menda-
pat balasan setimpal?" Bentak Jaran Perkoso dengan
suara dingin. Gantar Sewu tampak tersenyum pedih.
Dari kedua pelupuk matanya telah keluarkan air ben-
ing yang mengalir turun ke pipi.
"Maaf.. kan adikmu ini, kakang... ! Me.. me-
mang akulah.. yang te.. telah membunuh.. is.. istrimu,
kakang mbok Sri.. Les.. ta.. ri....." Ucap Gantar Sewu
dengan suara terputus-putus.
Tentu saja membuat Pipit Lurik jadi terperan-
gah dengan mata terbelalak. Juga Jaka Keling, yang
tak menyangka sama sekali. Sedangkan kedua kakek
sakti dan nenek kosen itu cuma tersenyum hambar
mendengar pengakuan Gantar Sewu Namun tubuh si
kakek sakti Puncak Muria itu tampak bergetar mena-
han kemendongkolan hatinya. Betapa muridnya yang
telah di didiknya susah payah, ternyata manusia tak
berguna.
Selanjutnya setelah berkata beberapa patah ka-
ta lagi, Gantar Sewu pun tewas. Keadaan di tempat itu
jadi hening. Saat itulah tiba-tiba sesosok tubuh berba-
ju kuning melompat ke tempat itu. Semua orang den-
gan cepat palingkan kepala.
"Pitra Sena...!" Teriak Pipit Lurik dengan mulut
ternganga dan sepasang mata membeliak. Ter-
nyata yang muncul memang benar-benar Pitra Sena.
Pemuda ini tak menjawab, akan tetapi melompat
menghampiri tubuh
Raden Mas Anjasmoro. Dan..... terlihatlah dia
duduk bersimpuh di hadapan sang ayah. Terdengar
suara kata-katanya bergetar lirih.
"Ayah, agaknya kematianmu memang harus
dengan cara begini...! Aku memang anak bengal,
ayah...! tapi aku bukan manusia jahat! Aku bahkan
terlibat dalam kejahatan karena perbuatanmu... Oh!,
betapa terkutuknya aku.!" Selanjutnya sudah terden-
gar suara isak tersebut yang keluar dari bibir pemuda
itu. Perlahan Resi Paksi Sakti Jalatunda alias si Pen-
dekar Lengan tunggal, beranjak menghampiri. Lalu
cekal pundak orang dengan perlahan.
"Sudahlah, anak muda...! Walau dia ayahmu,
akan tetapi pada dasarnya adalah musuhmu! Cuma
pertalian darah yang tak dapat dilepaskan! Jasa dan
pengorbanan mu amat besar pada bangsa dan Kera-
jaan atas kesadaran mu membongkar kejahatannya!
Kau telah turut membantu melenyapkan gembong dari
penculikan para gadis cantik juga gembong dari bebe-
rapa perampokan harta pusaka Kerajaan yang telah
berlangsung lama sejak dua tahun yang lalu. Dia juga
musuh kaum pendekar golongan kanan, yang selama
ini dalam kejaran kaum pendekar penegak keadilan,
juga buronan dari pihak Kerajaan Mataram! Jarang
sekali orang sepertimu berada di dunia ini! Tapi ternyata apapun bisa terjadi!" Ujar sang
Resi dengan suara lirih dan tegas. Semua orang
yang mendengarkan jadi tercenung. Dan sama-sama
menundukkan wajah.
Angin senja berdesir halus menyibak dedau-
nan... Matahari semakin menggelincir kepermukaan
gunung. Saat itu Pitra Sena telah melangkah perlahan
ke arah di mana Jaran Perkoso dan Pipit Lurik yang
tengah menatap padanya.
Tiba-tiba Pitra Sena tunduk berlutut dihadapan
laki-laki tua yang masih bertampang gagah itu. Tak
ada kata-kata yang keluar dari bibirnya, kecuali isak
tertahan yang telah dipersembahkan pada sang Ketua
dari markas Benteng Macan Gunung.
Laki-laki gagah ini tiba-tiba gerakkan lengan-
nya mengangkat bahu Pitra Sena. "Bangunlah, calon
menantuku....! Aku terima pinanganmu pada anakku
Pipit Lurik!" Ujar Jaran Perkoso. Dan wajahnya segera
berpaling pada anak perempuannya. "Terimalah dia
sebagai calon suamimu, anakku.... Bukankah kalian
telah saling mengenal?" Tanya Jaran Perkoso dengan
tersenyum haru.
"Aku.... aku menyintainya, ayah..." Berkata per-
lahan Pipit Lurik dengan hati polos. Dan Jaran Perkoso
menatap lagi pada Pitra Sena lekat-lekat, seraya ucap-
nya.
"Kau bersedia menikahi anakku yang sudah
begini keadaannya...?" Pitra Sena mengangguk. Seraya
tatap wajah Jaran Perkoso, lalu beralih pada Pipit Lu-
rik. "Aku akan menikahinya dengan setulus hatiku,
Ramanda...!
Dengan jalan ini aku tinggalkan segala tindak
kejahatan kelakuan ku... . .! Aku tak dapat memungki-
ri untuk tidak mencintainya, Ramanda! Walau apapun
yang telah terjadi...!"
Suara kata-kata Pitra Sena terdengar jelas dan
pasti. Gelimang hidupnya dari para wanita dan gadis-
gadis cantik sekapan ayahnya telah membuatnya se-
makin sadar dan semakin dewasa. Bahwa dia telah
tersesat dalam pendidikan yang salah. Tak di duga cin-
ta justru bersemi pada gadis bernama Pipit Lurik, yang
justru akan dijadikan wanita "barang" pesanan oleh
ayahnya. Namun kasih sayang dan cinta ternyata telah
semakin berakar pada Pipit Lurik. Bercampur rasa ka-
sihan dan kasih sayang pada gadis itu. Satu kejadian
yang tak diduga adalah munculnya Gantar Sewu yang
memang menjadi sahabat sang ayah.
Gantar Sewu telah pergunakan ilmunya untuk
mengelabui Pipit Lurik, saat Pitra Sena berangkat me-
nemui nenek sakti Bikhu Sokalima di puncak Ratawu.
Ternyata di sana dijumpai Jaran Perkoso dan Resi
Paksi Sakti Jalatunda. Kiranya sang Resi lah yang te-
lah menolong Jaran Perkoso.
Pitra Sena telah beberkan segala kejahatan
ayahnya pada kedua orang sakti itu, termasuk Jaran
Perkoso yang turut mendengarkan penuturannya. De-
mikianlah, hingga berakhir dengan kejadian seperti
tersebut di atas.
Kedua sejoli yang telah bersatu hati itu tampak
berangkulan dengan terharu. Semua hadir di situ Cu-
ma bisa tersenyum penuh keharuan, juga memuji atas
sikap Pitra Sena. Hal tersebut ternyata memang sudah
diketahui oleh Roro Centil dan Jaka Keling, hingga me-
rekapun cuma bisa menarik napas lega.
Tiba-tiba saat dalam keheningan itu, Pipit Lurik
lepaskan rangkulannya, dan berpaling mencari dua
tubuh yang dibawa Roro Centil tadi. Sekejap dia sudah
melompat kesana. karena baru tersadar sang dara ini,
setelah sekilas dapat melihat kalau kedua orang itu
adalah dua dari si Tiga Siluman Bukit Hantu.
yang bersih saja. Cinta mengalahkan segalanya. Dan
kekotoran memang tak luput dari sifat insan di dunia
ini, walaupun cuma setitik. Namun setidak-tidaknya
dengan niat orang yang berusaha mencuci kekotoran
itu, niscaya mereka sudah menuju kesatu jalan yang
bersih...... Walau kodrat dan takdir adalah Tuhan Yang Maha Menentukan.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar