SATU
UDARA HARI ITU CUKUP CERAH. Langit biru
tak berawan. Matahari bersinar cukup terik membakar
jagat. Di atas tempat ketinggian tampak duduk di ba-
wah pohon seorang dara jelita berpakaian singsat, yai-
tu pakaian orang persilatan. Rambutnya dibiarkan te-
rurai. Sementara sepasang matanya memandang jauh
ke bawah lereng bukit dimana terlihat satu pemandan-
gan indah. Sawah-sawah menghijau bertebaran laksa-
na hamparan permadani yang menyejukkan mata me-
mandang. Di kejauhan terlihat petani mengolah sawah,
memperbaiki saluran, mencangkul kebun, dan seba-
gainya.
Terdengar dara jelita itu menghela nafas.
Lengannya bergerak memotes ujung rumput.
Lalu menggigit-gigitnya dengan mata berkejap-kejap.
Dara jelita itu tak Iain dari Roro Centil, yang telah in-
jakkan kakinya kesatu wilayah dalam pengembaraan-
nya.
Dalam ketenangan semacam itu terkadang Roro
teringat akan pengalamannya selama berpetualang.
Banyak terjadi bermacam peristiwa yang terkadang
nyaris merenggut nyawanya. Dan dalam ketenangan
semacam ini amat terasa sekali betapa tenteramnya ji-
wa jika di setiap wilayah di atas jagat ini penuh keda-
maian...
Akan tetapi keadaan memang susah diterka,
yang disangka daerah tenteram ternyata masih ada sa-
ja kericuhan. Dara perkasa Pantai Selatan ini tiba-tiba
jadi tersentak kaget, ketika sepasang matanya melihat
asap mengepul tebal di kejauhan. Samar-samar ter-
dengar suara teriakan dan jeritan orang meminta to-
long. Sadarlah dia kalau diseberang sana telah terjadi
sesuatu.
Sementara itu dilihatnya para petani yang te-
nang bekerja di tengah sawah mulai terlihat panik, dan
berlarian menuju ke arah asap yang kelihatan semakin
menebal menjulang ke udara bergumpalan.
"Heh, agaknya telah terjadi kebakaran di desa
seberang sana! aku harus segera melihatnya...!" desis
Roro Centil, yang sekejap sudah melompat bangun
berdiri. Dan... di lain kejap tubuhnya segera berkelebat
melesat bagaikan anak panah menuju ke arah keja-
dian.
Apakah sebenarnya yang tengah terjadi? Se-
buah rumah besar di tengah desa di lereng perbukitan
itu memang dalam keadaan terbakar hebat di siang
hari yang lengang itu.
Belasan manusia berlarian dalam keadaan pa-
nik dan berteriak-teriak kalang kabut. Ternyata di
samping teriak dan jeritan wanita dan anak-anak yang
ketakutan dan panik, ada pula teriakan-teriakan lain
dan kegaduhan yang memang berasal dari kejadian
itu.
"Rampoook...! rampoook ...!" "Kejar... mereka
yang telah membakar rumah"
"Mana rampok...? mana...? Oo, rumahku...!
Aiiir...! aiiir! cepat siram!"
Beberapa teriakan terdengar gaduh. Ada yang
berlari ke dalam rumah untuk mengemasi barang-
barangnya, ada yang menjerit-jerit sambil berteriak
rampok. Dalam keadaan demikian sudah tak dikenali
lagi mana rampok, mana penduduk. Dan... sekonyong-
konyong api telah menjalar ke beberapa rumah pendu-
duk. Kini kebakaran di desa itu telah menyebar secara
cepat. Adalah satu hal yang tak mungkin kalau api da-
pat berpindah ke lain wuwungan, karena siang itu tak
ada angin berhembus. Apa lagi jarak antara satu rumah penduduk ke lain rumah cukup berjauhan. Se-
bentar saja keadaan di desa itu semakin panik.
Manusia bersimpang siur dengan segala kesi-
bukannya untuk memadamkan api atau mengemasi
barang-barang, hingga bahkan terlupa pada anak dan
istri.
Jerit tangis dan ratapan pun terdengar disana-
sini...
Sementara itu... Cepat sekali bergeraknya so-
sok-sosok tubuh yang berseliweran diantara kegadu-
han manusia ketika bergerak mengemasi barang-
barang menyambar apa yang bisa dibawa. Dan dalam
kepanikan itu serombongan manusia telah angkat kaki
dari desa itu dengan menggondol beberapa buntalan.
Bahkan beberapa wanita berada dalam pondongan me-
reka.
Pada saat itulah Roro Centil munculkan diri.
Terperanjat Roro melihat kejadian ini. Segera Roro ber-
tindak cepat. Tubuhnya berlompatan ke beberapa
arah. Suara lengkingan panjang yang merdu terdengar
dimana-mana. Ternyata Roro Centil telah lepaskan
hantaman telapak tangannya untuk memadamkan api.
Setiap kali lengannya bergerak yang dibarengi dengan
melompatnya tubuh dara perkasa itu, segera keluar
uap berhawa dingin yang segera memadamkan api.
Dengan perdengarkan suara lengkingan-
lengkingan panjang setiap kali Roro bergerak melam-
bung atau melompat ke atas wuwungan, lengannya
bergerak tiada henti. Hingga beberapa saat antaranya
api yang mengamuk di beberapa rumah dapat terpa-
damkan.
Tentu saja kejadian itu tak luput dari pengliha-
tan mata penduduk. Mereka memandang Roro dengan
mata terbelalak. Manusia ataukah seorang Dewi yang
telah menolong mereka?
Suatu hal yang mustahil dilakukan manusia
menurut pendapat mereka. Akan tetapi mereka melihat
sendiri dengan mata kepala ketika dara cantik itu ber-
lompatan ke setiap wuwungan dan mengitari setiap
rumah untuk memadamkan api. Sayang... selanjutnya
mereka tak mengetahui lagi kemana lenyapnya si pe-
nolong.
Kekalutan memang segera mereda, akan tetapi
tetap saja kegaduhan terdengar dimana-mana. Karena
beberapa orang laki-laki dengan menghunus senjata
telah berlarian mengejar ke arah barat, dimana meng-
hilangnya belasan sosok tubuh yang menjadi biang ke-
ladi kericuhan.
"Kejar mereka...! "perampok-perampok itu se-
makin nekat. Mereka makin berani melakukan kejaha-
tan disiang hari! Teriak geram seorang laki-laki berte-
lanjang dada seraya bergerak melompat mendahului
beberapa orang lainnya. Ternyata laki-laki itu baru pu-
lang dari sawah.
Paculnya masih tergenggam ditangan. Semen-
tara itu teriakan seorang wanita tua terdengar menghi-
ba.
"Anakku...! oh, anakku diculik! anakku diculik
perampok! toloong...!"
"Sawitri kemana...? Sawitriiii...!" teriak pula
seorang laki-laki. Seorang anak kecil berwajah cemong
dengan keringat deras mengalir berlari-lari mengham-
piri. "Celaka.....! kakak
Sungkimah dibawa perampok! dibawa kesa-
na...!" teriak si bocah laki-laki ini dengan wajah pucat
pias.
"Ha!? dimana...! dimana?" teriak seorang laki-
laki yang membelitkan kain sarungnya di leher.
"Disana, dibawa ke bawah bukit!" Tak ayal si
bocah laki-laki ini segera ditanyai. "Apa saja yang kau
lihat.?"
"Mereka kurang lebih ada lima belas orang! be-
berapa orang membawa buntalan dan menggotong pe-
ti. yang lainnya memanggul orang perempuan!"
"Berapa orang perempuan yang kau lihat.?"
tanya seorang laki-laki berkumis yang tubuhnya masih
belepotan lumpur.
"Ti... tiga! ya! aku cuma lihat tiga...! Salah sa-
tunya jelas sekali kakakku.. ! Kakakku... Sungkimah!
Oh. huuu... huuu... huuu... tolonglah dia! huuu...
hhuuu..." Selesai bercerita bocah ini menggerung me-
nangis sambil berteriak-teriak agar cepat menolong
kakak perempuannya yang dilarikan perampok.
Seorang wanita tua berlari-lari menghampiri,
ketika mendengar salah seorang anak gadisnya diculik
perampok, wanita ini menjerit parau karena terkejut-
nya, lalu jatuh pingsan tak sadarkan diri. Kembali ga-
duhlah keadaan di dalam desa itu.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat keluar dari
desa itu. Ternyata dialah Roro Centil. Sejak tadi dia
mendengarkan penjelasan si bocah laki-laki itu dari si-
si sebuah pondok yang jendelanya telah jebol beranta-
kan.
Roro memang sudah menduga kalau kejadian
itu didalangi oleh oknum perampok yang melakukan
kejahatan disiang hari, di saat kaum laki-laki keba-
nyakan bekerja di sawah atau mencangkul kebun.
Dalam beberapa kali melompat, terkejut Roro
Centil melihat beberapa sosok tubuh terkapar mandi
darah dalam keadaan tak bernyawa. Dapat diduga me-
reka adalah para pengejar yang telah jadi korban keke-
jian perampok itu.
Roro kertak gigi menahan geram. Tiba-tiba ter-
dengar suara lengkingan merdunya yang panjang, dan
tubuhnya berkelebat melesat ke arah depan lalu lenyap terhalang pepohonan.
"Bedebah...! cepat sekali para perampok itu
menghilang!" Desis Roro karena tak menampak adanya
bayangan orang dihadapannya. Beberapa tempat di
sekitar situ segera diperiksanya, akan tetapi tetap tak
dijumpai kawanan perampok itu. Cuma beberapa
mayat yang tergeletak.
"Setan alas! perampokan ini pasti didalangi seo-
rang yang berilmu tinggi...!" gumam Roro, setelah me-
meriksa setiap mayat yang dijumpai mempunyai luka
sama. Yaitu lima buah lubang. di atas batok kepala.
Dan satu luka yang menembus dada, yang dipastikan
bukanlah akibat serangan senjata tajam.
"Serangan keji! Mengapa digunakan untuk
membunuh penduduk yang jelas tak berkepandaian
apa-apa?" tercenung Roro Centil. Siapakah tokoh keji
itu? sentak Roro dalam hati. Tapi tak lama dia sudah
berkelebat untuk mencari jejak lenyapnya para peram-
pok itu.
Sementara beberapa penduduk yang memergo-
ki mayat-mayat para pengejar segera berkerumun den-
gan suara gaduh dan wajah-wajah pucat. Si laki-laki
bertelanjang dada yang berkumis tipis tadi ternyata te-
lah tewas. Paculnya tergeletak di sisinya. Dua orang
pemuda bergolok juga mati dengan keadaan mengeri-
kan.
Tergetar tubuh beberapa lelaki penduduk sete-
lah melihat keadaan yang mengenaskan itu.
***
DUA
Kapal itu sudah meluncur mengikuti arus. Berdiri digeladak paling depan adalah sesosok tubuh ke-
kar berkepala gundul bagian tengahnya, sedangkan
rambut tipis yang hampir bisa dihitung dengan jari
tergerai sebatas bahu.
Laki-laki ini bertampang kaku, berkulit muka
kasar. Dan sebuah benjolan di pipinya ditumbuhi be-
berapa helai rambut. Sepasang matanya mirip mata
serigala. Tajam menatap dan bersinar, menampakkan
kekejaman. Dialah yang bergelar si Cakar Naga Setan.
Sudah beberapa bulan ini dia munculkan diri di seki-
tar sungai Mahakam. Nama aslinya adalah Kembayan.
Menjelang senja setelah melewati muara, pera-
hu sudah merapat ke sebuah tempat yang berair agak
dangkal pada sebuah kelokan tersembunyi. Anak-anak
buahnya dari kawanan perampok itu segera berlompa-
tan membawa barang-barang rampokan termasuk juga
tiga orang tawanan wanita.
"Cepat sedikit...! kumpulkan semua barang-
barang ke gudang!" berkata si Cakar Naga Setan. Dan
dia sendiri melompat mendahului ketiga anak buahnya
yang memondong ketiga wanita.
"Bawa ketiganya ke kamar tahanan sementara.
Ingat! Tak kuizinkan kalian mengganggunya seperti ke-
jadian yang lalu...!" ujarnya tegas.
"Baik, ketua...!" hampir berbareng ketiga anak
buah itu menyahut. Di hadapan mereka segera terlihat
sebaris pagar bambu yang rapat, yang tingginya dua
kali setinggi tubuh manusia. Pada pintu gerbang itu
terdapat tiga orang penjaga, yang segera membukakan
pintu lebar-lebar.
"Selamat datang Ketua...! Wah, agaknya hasil
kali ini cukup memuaskan!" berkata salah seorang se-
raya menjura.
"Aha...! mari aku yang bawa masuk!" berkata
laki-laki pendek kekar yang segera mendekati sang
kawan, untuk ganti memondong tawanan wanita itu.
"Klampot!" memanggil sang Ketua melihat si
pendek kekar ini.
"Kau tak ikut bekerja! Padahal aku suruh kau
turut serta! hm, tak apalah...! tapi bagianmu adalah
yang terakhir!"
Laki-laki bernama Klampot ini cuma perli-
hatkan senyum pahit dan garuk-garuk kepalanya.
"Yah, tak apalah...! terakhir pun lumayan juga.
hehehe..." tertawa menyeringai laki-laki ini, lalu men-
gambil alih memondong tawanan wanita itu Sementara
sang ketua terus melangkah ke dalam.
Ternyata di dalam pagar bambu yang rapat itu
terdapat sebuah bangunan rumah dari kayu yang cu-
kup besar. Mempunyai dua wuwungan rumah. Dapat
dipastikan sebuah rumah agak kecil itulah tempat be-
ristirahatnya sang ketua mereka si Cakar Naga Setan,
karena laki-laki jangkung bermata serigala itu memang
menuju kesana.
Ketiga tawanan wanita segera dibawa masuk
kesatu ruangan yang berada di bagian belakang. Dua
buah kerangkeng berpagar jarang yang di belit dengan
tali-tali kuat sudah siap dibukakan pintunya untuk
menerima penghuni baru.
Setelah menjebloskan ketiga tawanan, pintu te-
rali segera ditutup kembali dan dikunci dengan kuat
dengan sebatang kayu besar yang disilangkan meng-
ganjal pintu. Tampak si pendek kekar itu jelalatkan
matanya menjalari wajah dan potongan tubuh ketiga
tawanan wanita. Sepanjang matanya membinar dan li-
dahnya mengeluarkan air liur Akan tetapi seorang pen-
jaga berkata.
"Maaf, pintu ruangan mau ditutup, silahkan ke-
luar...!'
"Hahaha hehehe... baik! baik! huuu." wajahnya
menyeringai, tapi segera cemberut, seraya garuk-garuk
kepala mendongkol. Namun dia memang tak berhak
mengganggu lebih dulu Kecuali mau kena damprat
sang Ketua mereka Masih untung kalau cuma didam-
prat. kalau kena hajar tentu akan lebih susah lagi.
BRAK! Pintu ruangan tempat tawanan segera
ditutup.
Ketiga wanita itu tergolek dalam keadaan ping-
san. Ternyata mereka telah dibius dengan sapu tangan
yang ditekapkan ke hidung masing-masing. Selang tak
lama salah seorang telah siuman dari pingsannya.
Mengetahui dirinya berada dalam kerangkeng
bersama kedua gadis lainnya, wanita ini mulai menan-
gis. Tahulah dia bahwa kini dirinya telah dijadikan ta-
wanan para perampok. Dan tak di ketahuinya lagi di-
mana kini adanya. Akhirnya sang gadis ini terisak-isak
menangis, setelah berusaha membangunkan kedua
gadis yang dikenalnya satu kampung itu tak juga sa-
darkan diri.
Malam semakin melarut, Suasana di dalam pa-
gar mulai diterangi lampu-lampu gantung. Dua orang
laki-laki tampak memasuki ruangan tempat tawanan.
Dan memasang lampu disamping kerangkeng kayu
bertali kuat itu. Kiranya dua gadis itu sudah sadarkan
diri. Mereka saling berangkulan dengan menangis teri-
sak.
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku dari tempat ini,
perampok laknat!" teriak salah seorang gadis yang ber-
nama Sungkimah, dengan menatap tajam pada dua
orang yang mendekati kerangkeng.
"Hahaha... sudahlah! Hentikan tangismu! kau
akan dipelihara disini baik-baik! Aku mana punya ke-
kuasaan membebaskan kalian..." berkata si penjaga.
Saat itu terdengar suara. Tinggalkan ruangan ini,
anak-anak!" Segera keduanya menoleh. ternyata sang
Ketua mereka telah masuk ke ruangan itu melalui pin-
tu tengah yang rupanya khusus tempat masuk si Ca-
kar Naga Setan.
"Ba... baik Ketua...!" sahut salah seorang dian-
tara mereka. Lalu bergegas kedua penjaga itu ke luar.
Laki-laki ini menatap pada ketiga gadis itu den-
gan senyum kaku. Sepasang mata mulai liar menjalari
sekujur tubuh gadis bernama Sungkimah yang ternya-
ta adalah gadis paling cantik diantara kedua gadis ka-
wannya.
"Hehehe... kau akan mendapat giliran pertama
malam ini melayaniku!" berkata Kembayan alias Si Ca-
kar Naga Setan.
"Nah, silahkan kau keluar...!"ujar laki-laki ke-
pala perampok itu. Sepasang lengannya telah bergerak
membuka pintu kerangkeng Akan tetapi justru gadis
itu berlari ke sudut ruangan dengan wajah pucat pias.
"Iblis...! aku tak sudi! bebaskan aku bebas kan
kami! rupanya kaulah si kepala perampok yang jahat
itu! Kalian memang manusia-manusia biadab! tidak...!
aku tak sudi! lebih baik mati dari pada melayani nafsu
bejatmu!" berteriak marah gadis itu. Rupanya diantara
ketiga gadis, gadis bernama Sungkimah itulah yang
paling berani buka suara.
Sementara yang dua lagi gemetar ketakutan
tanpa bisa keluarkan suara kecuali menangis terisak-
isak ketakutan.
"Hahaha... hebat! keberanianmu memang boleh
dibanggakan! justru aku menyenangi gadis yang berani
sepertimu! Baiklah! terpaksa aku yang akan menyeret
mu sendiri! berkata si Cakar Naga Setan dengan terta-
wa menyeringai. Dan... BRAK! dia telah masuk ke da-
lam kerangkeng, lalu menutupkan kembali pintunya.
Sekali tubuhnya bergerak melompat, dia sudah tiba di
hadapan gadis itu. Lengannya meluncur menyambar
pinggang si gadis.
Akan tetapi di luar dugaan gadis itu mampu
mengelakkan diri. Tak heran, karena si Cakar Naga Se-
tan menganggap gadis itu tak berkepandaian apa-apa
hingga dia lakukan sambaran dengan gerakan biasa
saja. Tak disangka kalau sambarannya luput. Hal itu
membuat wajahnya berubah beringas.
"Heh! kau akan tahu kelak siapa aku! tak seo-
rangpun perempuan yang mampu lolos dari tanganku!
hehe..." tertawa sinis laki-laki ceriwis ini. Tiba-tiba...
Krep! BREET! BREEET...!
Sekali sambar pinggang gadis itu kena di ter-
kam. Dan detik selanjutnya pakaian si gadis telah di-
cabik-cabik dengan menggeram gusar.
Terperangah kedua gadis itu seketika melihat
sekejap saja pakaian si gadis kawannya itu hampir
tanggal seluruhnya robek berserpihan.
Sedangkan si gadis itu sendiri ternganga den-
gan wajah pucat pias.
Merontalah si gadis itu dengan berteriak-teriak
histeris. Akan tetapi mana mampu dia melepaskan pe-
lukan si Cakar Naga Setan yang sudah kalap? Lengan
si Cakar Naga cengkeram rambut gadis itu dengan
membentak.
"Berteriaklah setinggi langit! Atau kau akan ke-
hilangan rambutmu yang bagus ini berikut kulit kepa-
lamu.!"
Menghadapi perlakuan yang kejam ini terpaksa
si gadis menahan rasa sakitnya dengan menggigit bi-
birnya hingga berdarah.
Dan dengan tertawa menyeringai si Cakar Naga
Setan mengelus dada si gadis serta mempermainkan-
nya. "Hahaha... bagus! kukira kalau sejak tadi kau
menurut apa kataku, tentu tak kau alami hal seperti
ini!" berkata demikian Kembayan lepaskan cengkeraman lengannya pada rambut si gadis. Dan sepasang
matanya membelalak dengan berbinar-binar menjalari
sekujur tubuh Sungkimah dari ujung kaki sampai
ujung rambut.
Gadis ini berdiri menyandar disudut kerang-
keng dengan pejamkan sepasang matanya. Isaknya di-
cobanya ditahan sekuat hati. Sementara air matanya
meleleh membasahi sepasang pipinya.
Kembayan tampaknya tak perdulikan semua-
nya itu. Bahkan dengan tertawa menyeringai segera
sepasang lengannya bergerak menelusuri setiap lekuk
tubuh gadis itu dengan napas mendengus-dengus ber-
desahan.
Menggigil kedua tubuh gadis itu melihat adegan
panas yang terjadi di depan mata.
"Setan keparat...! manusia iblis tengik! perbua-
tanmu sungguh amat menjijikkan...!!!" tiba-tiba ter-
dengar suara bentakan keras diiringi suara gaduh.
BRRRAKKK...!
Pintu ruangan itu jebol berantakan. Dan...
KRRAAKK!
Pintu kerangkeng kayu itupun menjeblak ter-
buka hancur berkepingan. Sekejap kemudian di situ
telah tegak berdiri seorang dara jelita berpakaian persi-
latan, yang tak lain dari Roro Centil adanya.
Kalau saja pada saat itu ada hantu yang mun-
cul tidaklah membuat si Cakar Naga Setan terkejut.
Akan tetapi munculnya Roro Centil ternyata membuat
nyalinya seperti terbang seketika. Lengannya lepaskan
pelukannya pada pinggang si gadis, dan melompat ke
sudut dengan wajah pucat.
"Heh, kiranya kau manusianya yang menjadi
biang keladi kepala rampok? bagus! bagus...! kau me-
mang manusia penipu tak punya malu, kepala peram-
pok tengik!"
Selesai membentak, tubuh Roro berkelebat ce-
pat, tahu-tahu... BLUK! KRRAAKKK. Sukar dilihat ke-
cepatan Roro bergerak. Karena sekejap saja tubuh si
Cakar Naga Setan terlempar terkena hantaman lengan
Roro, yang langsung membuat kerangkeng kayu itu
patah-patah terkena benturan tubuhnya dengan me-
nimbulkan suara gaduh.
Serangan Roro Centil memang dapat dipapaki
oleh laki-laki kepala rampok ini, akan tetapi tak urang
toh tubuhnya terlempar juga karena tenaga dalam Ro-
ro berada di atas kekuatan tenaga dalamnya.
***
TIGA
AKAN TETAPI tak urung Roro Centil terhuyung
juga ke belakang dua tindak. Lengannya terasa kese-
mutan. Tahulah dia kalau orang ini telah mengalami
kemajuan pesat. Ternyata Roro memang pernah ber-
temu dan bertarung dengan laki-laki bernama Kem-
bayan ini. Bahkan telah pula mengampuni jiwanya.
Sungguh sama sekali Roro tak menyangka kalau bisa
bertemu untuk yang kedua kalinya. Dan ternyata
orang yang telah pernah menyembah-nyembah men-
cium ujung kakinya ini masih juga melakukan kejaha-
tan.
Kejadian enam bulan yang lalu adalah, ketika
Roro berada di Pulau Laut. (wilayah Kalimantan Sela-
tan).
Menurutkan suara gaib dari gurunya ketika Ro-
ro berada di ujung bagian timur Pulau Jawa, Roro diti-
tahkan menuju ke arah utara.
Roro harus mencari satu benda mustika dis
eberang Laut di satu pulau yaitu di wilayah utara dari
Pulau Jawa. Suara gaib itu lenyap tanpa terdengar lagi
ketika Roro tiba di Pulau Laut. Roro sendiri tak menge-
tahui benda mustika apakah yang dibisikkan suara
gaib gurunya itu. Akan tetapi tekad bulat Roro telah
tertanam kuat untuk mendapatkan benda mustika itu.
Demikianlah di Pulau Laut Roro Centil terpaksa
harus menahan dulu langkahnya untuk bersemedhi
mencari ilham atau petunjuk nalurinya.
Sebulan sudah Roro berdiam disana dengan di-
temani si Tutul yang selalu setia mengikutinya dan
membawa kemana saja menuruti keinginan hatinya.
Agaknya Roro memang sudah berjodoh untuk memiliki
siluman harimau Tutul sebagai tunggangannya itu,
hingga memudahkan Roro dalam petualangannya.
Selama itu Roro tak lupa untuk memperdalam
ilmu-ilmunya. Bahkan di luar sadar Roro telah mema-
dukan beberapa jurus ilmu warisan dari gurunya si
Manusia Banci dengan ilmu ciptaannya sendiri.
Sayang jurus aneh itu dilakukan dalam keadaan tidak
sadar. Karena Roro melakukannya dalam keadaan sa-
madhi, dan dalam keadaan separuh tidur.
Kejadiannya adalah demikian...
Hari ketiga puluh di saat Roro lakukan semadi
dalam sebuah lorong yang dibuatnya sendiri dengan
tumpukan batu-batu karang. Tanpa diketahui Roro di
ujung pulau telah mendarat sebuah perahu pada ma-
lam yang diterangi cahaya bulan sabit.
Dua sosok tubuh melompat turun. Ternyata
dua orang laki-laki. Seorang bertubuh pendek kekar
dan seorang lagi agak jangkung berkulit hitam. Ternya-
ta dialah si Cakar Naga Setan dan seorang anak buah-
nya. Kedua orang itu berbisik-bisik pelahan. Suaranya
hanya bisa terdengar oleh mereka berdua.
"Sssst, dimana kau melihat wanita cantik itu
berada?" tanya Kembayan. Klampot tertawa menyerin-
gai.
"Hehehe... sabarlah! Masakan aku berdusta Ke-
tua? Asalkan ada perjanjian dulu untuk yang ini ada-
lah bagianku terlebih dulu, karena aku yang memberi
tahu...!" Mendelik sepasang mata si Cakar Naga Setan.
"Kunyuk!" desisnya. "Kau seorang anak buah
berani bikin usul dengan segala perjanjian tai kucing!
benar-benar kau tak menghargai ku...!"
Klampot kerutkan tubuhnya. Ngeri juga dia ka-
lau sang Ketua jadi marah. Akan tetapi laki-laki pen-
dek kekar ini memang pandai mengambil hati ketua-
nya. Segera dia berkata lagi.
"Bukan begitu, Ketua...! selama aku mengikut
padamu, ku nilai kau adalah seorang ketua yang baik,
yang menghargai ku jerih payah anak buahnya.
Bukankah cita-cita Ketua adalah menjadi seo-
rang raja yang punya banyak kekuasaan. Betapa ba-
nyak para Raja-raja yang jatuh dari singgasana karena
tak menghargai bawahannya, hingga si bawahan ju-
stru membenci sikap Raja semacam itu! Hingga tak ja-
rang terjadi pemberontakan-pemberontakan yang
mengancam kedudukan Raja dan kekuasaannya. Ak-
hirnya... berakhir dengan kejatuhan kekuasaan sang
Raja! Nah, aku sebagai bawahanmu cuma memberi
contoh saja. Kalau untuk masalah ini selanjutnya ada-
lah terserah Ketua..." Ujar Klampot berbisik.
Merah padam wajah si Cakar Naga Setan. Gi-
ginya gemeletuk menahan geram. Akan tetapi dia cuma
bisa manggut-manggut. Kemendongkolan pada anak
buahnya mendadak luntur.
"Hm, benar juga pendapatmu, Klampot! baik-
lah, untuk hal ini aku mengalah...!" ujar Kembayan.
Agaknya termakan juga dia oleh kata-kata Klampot
yang dinilainya benar.
Klampot tersenyum penuh kemenangan. Ha-
tinya membatin. "Hehehe... jarang ada Ketua yang se-
macam ini...!"
Tak lama mereka dengan berindap-indap segera
merayap mendekati ke tengah pulau.
Benar saja setelah melewati bukit-bukit kecil,
segera terlihat susunan batu-batu karang di ujung
agak sebelah dalam pulau, tempat yang dihuni Roro
Centil. Tampaknya Roro memang tak mengetahui ke-
datangan mereka, karena sudah beberapa malam ber-
turut-turut dia kurang tidur. Dalam duduk bersemadhi
itu ternyata Roro setengah tertidur. Tapi nalurinya
memang teramat peka.
Bahkan dalam keadaan mimpi, Roro tengah be-
rusaha memadukan jurus-jurus baru ciptaannya den-
gan jurus-jurus yang diwariskan gurunya si Manusia
Banci.
Sementara itu dua sosok tubuh memperhatikan
Roro dengan pandangan aneh, karena melihat sikap
orang yang bersemadhi itu gerak-gerakkan sepasang
lengannya dengan mata terpejam Si Cakar Naga Setan
waspada khawatir kedatangannya telah diketahui, tapi
nyatanya tidak Sepasang lengan itu kembali terhenti.
Dan laki-laki itu memberi isyarat untuk menyergap.
Akan tetapi apa yang terjadi kemudian...? Tahu-tahu
Roro mengigau. Sepasang lengannya bergerak memu-
tar, lalu menyodok ke depan dengan gerakan seperti
orang menggeliat, seraya sepasang lengannya mengge-
brak ke atas batu yang diduduki.
Hebat akibatnya. Ternyata kedua orang itu ta-
hu-tahu rasakan tubuhnya seperti disentakkan satu
gelombang tenaga tak terlihat. Dan terpental ke atas
tanpa dapat dicegah lagi...
Terdengar suara teriakan tertahan si Cakar Na-
ga Setan dan anak buahnya. Akan tetapi yang membuat aneh, adalah kedua tubuh itu tak turun lagi ke
bawah. Tetap tergantung di udara bagai di sangga dua
batang galah yang tak kelihatan.
Membeliak kedua pasang mata laki-laki ceriwis
pengganggu wanita itu. Sukar untuk dipercaya, ilmu
apakah yang digunakan Roro...? Sementara keduanya
berusaha gerakkan kaki dan tangan. Tapi serasa tena-
ganya hilang musnah. Bahkan untuk bernafas pun su-
lit rasanya. Mengeluh si Cakar Naga Setan. Keringat
dingin pun bercucuran di sekujur tubuh. Dan megap-
megap nafasnya bagai orang yang kelelap di dalam air.
Sementara Roro Centil justru tak mengetahui sama se-
kali. Dara Pantai Selatan ini tampak tersenyum, lalu
tertawa seperti mengigau. Dan... memanglah dia ten-
gah mengigau.
"Hihihi... jurus ini kunamakan jurus Kosong-
kan Perut Menahan Lapar, guru..! hebat bukan?"
Ternyata Roro mengigau. Dan dalam mimpinya
dia berbicara dengan gurunya si Manusia Banci. Tentu
saja membuat si Cakar Naga Setan terperangah, dan
takutnya bukan main. Wanita cantik yang masih begi-
ni muda sudah punya ilmu setinggi langit, apa lagi gu-
runya...? pikirnya. Sementara dilihatnya Klampot anak
buahnya itu sudah benar-benar kehabisan napas, dan
terkulai tak sadarkan diri. Beberapa saat lagi maut
akan segera menjemputnya. Kembayan alias si Cakar
Naga Setan ini masih mampu bertahan, akan tetapi be-
lum lagi sepenanak nasi wajahnya sudah berubah pu-
cat bagai mayat. Tak ada lagi udara yang akan dihi-
rupnya. Memang membuat dia heran setengah mati,
karena tak adanya udara sama sekali disekelilingnya.
Angin semilir yang berhembus dari arah laut seolah
terbendung tak bisa lewat di tempat itu.
Berteriaklah si Cakar Naga Setan demi meno-
long jiwanya.
"No...nona pendekar perkasa...! ampunilah
aku...! ampunilah jiwaku...! Tut... tut...tur... turunkan-
lah aaakk...akkuu... hhhhh."
Roro Centil tiba-tiba terbangun dari tidurnya,
seraya mengucak-ucak kedua matanya. Telinganya se-
perti mendengar orang mengeluh, dan meratap memo-
hon ampun. "Mimpikah aku?" pikir Roro. Akan tetapi
pada saat itu...
BLUK! BLUK!
Dua sosok tubuh jatuh di kiri-kanannya bagai-
kan suara jatuhnya dua buah nangka masak. Roro
terkejut dan melompat kaget, seraya berteriak.
"Aaaaiiii...!?". Sekejap kakinya telah melompat
dan hinggap di atas batu karang.
Dilihatnya dua sosok tubuh manusia bagaikan
terjatuh dari langit saja nampaknya. Tergolek di dalam
lorong batu buatannya. Masih untung bagian dasarnya
adalah pasir, kalau batu karang yang keras itu, nis-
caya kalau tidak patah tulang. tentu patah leher kedua
manusia itu.
Kalau Klampot si anak buah laki-laki botak di
tengah, berambut tipis itu jatuh dalam keadaan masih
tak sadarkan diri, adalah si Cakar Naga Setan menga-
duh kesakitan. Akan tetapi dia dapat kembali berna-
pas...
Dengan heran Roro Centil melompat kembali ke
hadapan kedua orang itu, seraya bentaknya.
"Manusia-manusia edan dari mana kalian be-
rani mengganggu semadhiku?" Pucat pias wajah si Ca-
kar Naga Setan. Akan tetapi tak ayal dia segera me-
nyembah dengan tubuh bergetaran dan suara yang
tersendat menggeletar bagai orang terkena demam pa-
nas.
"Aa... am... ampunilah nyawa hamba nona Pe...
Pendekar..." Ucapnya dengan jantung
berdetak keras. Entah apa kelanjutannya, apa-
kah nyawanya masih bisa dipertahankan menghadapi
gadis muda berilmu tinggi yang galak ini?
"Hamba tak berani lagi mengganggu wanita....!
hamba bersumpah, nona Pendekar...! sungguh mataku
buta tak mengetahui dalamnya lautan, tingginya lan-
git!" Tentu saja kata-kata itu membuat Roro tertegun.
Tahulah dia kalau kedua manusia itu memang ber-
maksud jahat nadanya selagi dia ketiduran dalam se-
madhi.
"Aneh, orang ini! tak ku apa-apakan tahu-tahu
minta ampun. Lalu cara bagaimana dia bisa berjatu-
han kemari? padahal aku tak mengetahui kedatangan-
nya..."
Berkata Roro dalam hati. Akan tetapi setelah
berpikir sejenak, segera dia tersenyum. "He? ku lihat,
dan ku rasakan menurut naluri ku di sekitar sini tak
ada orang lain. Berarti apakah dia telah kena serangan
jurus aneh dalam mimpi ku?" Roro tak dapat berpikir
banyak. Orang sudah minta ampun, mengapa harus
tanya ini-itu? pikirnya. "Kesempatan ini jarang ada!
dan satu kejadian aneh telah menolongku! bagus! aku
harus berpura-pura seolah memang telah mempecun-
dangi manusia ini!"
Berpikir demikian, segera Roro umbar suara
tertawa mengikik.
"Hihi... hihi... kau telah berani mengganggu
orang semadhi, tentu ada hukuman yang berat! apa
lagi kalian berniat jahat!" Ujar Roro dengan suara din-
gin.
Menggeletar sekujur tubuh si Cakar Naga Se-
tan. Seraya ucapnya terbata-bata.
"Ampunilah... selembar nya... nyawa hamba ini,
nona Pendekar..." Melihat tubuh orang menggigil geme-
taran dan nafasnya pun masih megap-megap tampak
nya Roro merasa kasihan juga.
"Urusan mengampuni sih gampang! sebutkan
dulu siapa kau? Dan siapa pula monyet pendek yang
pingsan itu! Lalu ceritakan apa tujuan kalian ke tem-
pat ini!" bentak Roro.
"Namaku Kembayan...!" menerangkan si Cakar
Naga Setan dengan lesu. Nyalinya sudah lenyap ter-
hembus angin. Karena sekujur tubuhnya boleh dikata-
kan seperti tak bertenaga lagi.
"Dia ini adalah sahabatku... bernama Klampot.
Kami tak sengaja sampai kemari. Tadinya kami berniat
memancing ikan di malam hari. Tapi kami lupa mem-
bawa kail. Ketika mendarat telah melihat nona disini.!
Kami mengakui bersalah, nona Pendekar! janganlah
hukum kami... kasihan anak istri kami menunggu di-
rumah. Siapa yang memberi makan kalau hamba ma-
ti...?" Tutur Kembayan. Tentu saja separuh kata-
katanya adalah dusta. Akan tetapi tampaknya Roro tak
mau panjang lebar menanyakan segala macam.
"Baiklah! Ku ampuni nyawamu! segeralah ang-
kat kaki dari sini sebelum aku merobah keputusan!"
bentak Roro.
"Te... terima kasih! terima kasih... nona Pende-
kar...!" ucap Kembayan seraya menyembah-nyembah
hormat. Hatinya bersorak girang. Akan tetapi tiba-tiba
dia berkata.
"Nona Pendekar telah mengampuni nyawaku,
apakah guru nona bisa biarkan aku pergi dengan se-
lamat?" tanyanya.
Lagi-lagi Roro dibuat memikir. Untunglah Roro
teringat akan suara mengigaunya, dan terpikir tentang
mimpi anehnya dalam semadhi. Segera dia menyahut
lantang.
"Guruku sudah pergi sejak tadi. Silahkan kau
merat! dan bawa kawanmu ini...!"
"Baik, baik...! Terima kasih, nona Pendekar."
Ucap si Cakar Naga Setan. Lalu terhuyung-huyung
mendekati Klampot.
Ternyata Klampot pun sudah tersadar dari
pingsannya. Dan sejak tadi mendengarkan pembica-
raan dengan hati kebat-kebit. Ketika tubuhnya di-
goyang-goyang, dia pura-pura baru saja membuka ma-
tanya Lalu buru-buru menyembah pada Roro dengan
gemetar.
Roro tak pedulikan kedua orang itu, segera
kembali duduk bersila untuk teruskan semadhi. Se-
mentara benaknya bekerja, kejadian apakah tadi hing-
ga kedua orang ini bisa digagalkan niat jahatnya?
Tak menunggu perintah sampai tiga kali, segera
kedua manusia itu tertatih-tatih mendekati perahu
yang ditambatkan di sebelah ujung pulau. Dan selan-
jutnya tinggalkan pulau itu dengan hati lega...
Demikianlah kisah yang dialami Roro. Tentu sa-
ja dia mengenali wajah si laki-laki bernama Kembayan
itu.
Ternyata Roro telah mencari jejak para peram-
pok dengan penasaran. Dan berhasil mengetahui se-
buah perahu besar di tempat persembunyian, yang ba-
ru saja ditambatkan.
Dengan melompati pagar bambu, Roro segera
tiba di dalam markas para perampok di malam hari
itu...
***
EMPAT
KEMUNCULAN RORO CEJSTIL itu tentu saja
membuat si Cakar Naga Setan terkejut setengah mati.
Tiga bulan sudah sejak kejadian itu, tak pernah lagi
dia mendengar dimana kabarnya wanita muda yang
aneh dan berilmu tinggi itu berada. Hingga diam-diam
si Cakar Naga Setan segera membentuk lagi anggota
komplotan perampoknya.
Dan selama dua bulan itulah si Cakar Naga Se-
tan mulai beraksi dengan segala kejahatannya.
"Bangunlah, Kembayan! kukira kedokmu kini
sudah terbuka! Kali ini tak mungkin kau bisa berdusta
untuk yang kedua kalinya!" bentak Roro dengan suara
dingin mencekam.
Mengeluh si Cakar Naga Setan. "Celaka! hari ini
habislah aku!" berkata dia dalam hati. Tiba-tiba tu-
buhnya bergerak melompat menyambar si gadis ber-
nama Sungkimah itu. Dibawanya tubuh gadis itu ber-
gulingan. Terpekik gadis itu. Sementara itu api obor te-
lah membakar ruangan. Roro terkejut juga karena tak
menyangka kalau si Cakar Naga Setan akan berbuat
licik demikian, menjadikan si gadis tawanannya seba-
gai sandera.
Melihat api berkobar dan kedua gadis tawanan
itu berteriak ketakutan, Roro segera kibaskan lengan-
nya memadamkan api.
Namun saat itu si Cakar Naga Setan telah me-
lesat masuk ke dalam ruangan melalui pintu khusus.
Brak! sekejap pintu itu sudah tertutup kembali. Len-
gan Roro bergerak menghantam dinding rumah papan
itu hingga jebol berantakan. "Jangan lari pengecut bu-
suk!" teriak Roro. Namun bayangan si Cakar Naga Se-
tan sudah tak kelihatan lagi.
Betapa geramnya Roro Centil. Terdengar suara
lengkingan nyaring wanita pantai selatan itu. Tiba-tiba
tubuhnya melesat mendobrak genting wuwungan.
KRRRAAAK...!
Sesaat Roro sudah berdiri di atas wuwungan
rumah. Benar saja! Kembayan berada di atas, dan ba-
ru saja sembulkan kepalanya dari sebuah lubang men-
ganga di atas wuwungan. Sepasang mata Roro ternyata
telah melihat dengan jeli sekali, walau sinar bulan tak
cukup menerangi dengan jelas. Kakinya bergerak men-
congkel pecahan genting. Dan.... TAS!
Roro telah menendangnya dengan ujung terom-
pah. Pecahan genting itu memecah menjadi beberapa
bagian, dan meluruk ke arah kepala si Cakar Naga Se-
tan. Terbelalak mata laki-laki itu. Trak! tak! tak!
Untung dia cepat menyeplos kembali ke dalam
lubang, tertambat sedikit saja pecahan genting itu
akan menembus batok kepalanya.
Namun Roro sudah mengetahui dimana si Ca-
kar Naga Setan bersembunyi. Segera Roro berteriak.
"Hei! lutung gundul! Aku tak perdulikan gadis
itu mampus atau tidak! Kalau kau tak keluar akan
kuhancurkan rumah ini berikut semua yang ada di da-
lamnya! kecuali kau mau kuajak berdamai! Segera kau
turunlah! Seraya berkata, Roro Centil melompat ke
bawah. Dan hinggap ditanah dengan gerakan ringan.
Akan tetapi baru saja kakinya menyentuh ta-
nah, telah membersit belasan senjata rahasia meluruk
ke arahnya.
"Keparat! keroco-keroco sialan! Kalian mencari
mati!" bentak Roro. Gadis pantai selatan ini
putarkan tubuhnya. Rambutnya yang terurai
bergerak mengibas. Tak menunggu lama lagi empat so-
sok tubuh terjungkal roboh, termakan senjata-senjata
rahasia yang dilontarkan mereka sendiri. yang telah
berbalik meminta korban majikannya.
Lima orang perampok anak buah si Cakar Naga
Setan tampak ke sisi dinding rumah. Roro perdengar-
kan dengusan di hidung. Tubuhnya tiba-tiba melesat
lenyap. Dan... sukar diikuti oleh mata, karena tak lama
kemudian kelima sosok tubuh itu terlempar ke udara
dengan jeritan-jeritan kematian. Dan tubuh-tubuh itu
jatuh bergedebukan ke tanah untuk melepaskan nya-
wa.
Seketika keringat dingin si Cakar Naga Setan
mencucur deras membanjir di sekujur tubuh tiada
henti, di tempat persembunyiannya.
Laksana berhadapan dengan Malaikat Maut sa-
ja layaknya. Bergetar sekujur tubuh laki-laki itu den-
gan mata membeliak menyaksikan anak buah nya ba-
gaikan daun-daun kering diterbangkan angin berge-
limpangan tewas.
"Tungguuu...!" teriaknya seraya melompat ke-
luar.
"Bagus!" berkata Roro seraya sudah palingkan
wajahnya menatap si Cakar Naga Setan. Bibir wanita
ini menampakkan senyum yang mengerikan dalam ta-
tapan matanya.
"Kau mau kuajak berdamai?" tanya Roro den-
gan bertolak pinggang.
"Yy... ya...! aku bersedia menyerahkan semua
harta yang ku rampok! Dan kita... kita berdamai." ujar
si Cakar Naga Setan.
"Bagus!" segera kumpulkan barang-barang! pe-
rintahkan sisa-sisa anak buahmu mengumpulkannya
di halaman. Dan kau tak kuperkenankan melangkah
sedikitpun dari tempatmu!" berkata Roro dengan suara
berpengaruh.
"Ba... baik! tapi dengan syarat! Aku dan sisa
anak buahku kau perkenankan meninggalkan tempat
ini!"
"He...? nanti dulu! aku tak butuh segala macam
syarat! Kau telah membunuh beberapa orang desa
dengan keji! Mereka tak bersalah! Kalian telah pula
membakar rumah dan merampok harta.
Selain itu pula kau telah mempermainkan
kaum ku! Entah berapa banyak perempuan yang telah
kau perlakukan dengan seenak perutmu! Rupanya tak
ada jalan lain selain kau serahkan dirimu! Aku akan
membawamu kepada yang berhak menentukan huku-
man apa yang terbaik buat kalian terutama kau, Cakar
Naga Setan! Atau kau mau tunjukkan kehebatan Ca-
kar Naga kentutmu itu di hadapan ku?"
Merah padam seketika wajah laki-laki ini.
Menghadapi Roro ternyata tidaklah mudah.
Apalagi dia pernah mengibuli si nona Pendekar
ini. Untuk melepaskan diri kedua kalinya cukup sulit
rasanya. Hal mana membuat dia jadi nekat.
Tiba-tiba dengan menggerung keras laki-laki
kepala perampok ini menerjang lenyaplah sudah rasa
takutnya. Lupalah dia akan kejadian yang telah mem-
buat dia mengapung di udara pada beberapa bulan
yang lalu. Sepasang cakarnya menyambar bagaikan
puluhan cakar maut yang bersiutan mengancam jiwa
sang gadis Pendekar ini.
Akan tetapi Roro Centil cukup dengan pakai ju-
rus Bidadari Mabuk Kepayang, loloslah dia dan bebe-
rapa serangan berbahaya.
Hal mana membuat si Cakar Naga Setan sema-
kin menjadi-jadi kemarahannya.
Tiba-tiba dia merobah gerakan silatnya. Tu-
buhnya berkelebatan bagai bayangan. Inilah jurus Se-
ribu Bayangan! jurus yang menjadi andalannya Se-
mentara dalam berkelebatan itu sesekali cakarnya me-
nyambar batok kepala lawan. Terkejut juga Roro Centil
menghadapi jurus ini. Karena dia harus konsentrasi-
kan indranya untuk mengetahui mana tubuh lawan
yang asli
Dua puluh jurus berlalu. Ternyata Roro masih
dapat mengimbangi dengan kegesitannya, bahkan sengaja mengulur waktu agar si Cakar Naga Setan kehabi-
san napas, karena kecapaian.
Dan pada saat yang tepat, Roro lakukan seran-
gan telak menotok tiga jalan darah lawan. Robohlah si
Cakar Naga Setan dengan memekik tertahan. Melihat
ketuanya dapat dipecundangi, segera sisa-sisa kawa-
nan perampok itu munculkan diri untuk menyerah.
Wajah-wajah mereka tampak pucat dalam ca-
haya bulan yang telah bersitkan cahaya terangnya.
Masing-masing berjongkok dengan memegangi kepala
dengan suara menghiba minta diampunkan jiwanya.
"Semua yang berada di dalam segera keluar!
kalau berani melarikan diri, jangan salahkan aku ka-
lau aku bertindak kejam!" teriak Roro dengan suara
lantang. Akan tetapi memang tak ada sisa lagi dari de-
lapan perampok anak buah si Cakar Naga Setan. Ke-
cuali seorang yang membandel melarikan diri ke dalam
gelap. Dialah Klampot! laki-laki kekar ini memilih me-
larikan diri menuju keluar pagar melalui belakang ru-
mah, dengan memondong seorang gadis tawanan. Yai-
tu Sungkimah. Akan tetapi pendengaran Roro kali ini
sudah digunakan dengan tajam, mendengar dari jarak
jauh Dan Roro segera mengetahui jejak langkahnya Ti-
ba-tiba tubuh si Pendekar Wanita ini berkelebat....
Kedelapan perampok terbelalak ternganga. Dan
beberapa kejap kemudian telah terdengar jeritan parau
laki-laki bernama Klampot itu.
Kepala mereka semua menengadah ke atas.
Ternyata sesosok tubuh terlempar melambung ke uda-
ra dengan keluarkan teriakan parau.
Dan jatuh berdebuk tak jauh dari hadapan me-
reka. Bergidik ngeri kedelapan perampok ini melihat
Klampot tak berkutik lagi dalam keadaan tulang-tulang
remuk.
Terdengar suara tertawa mengikik Roro Centil
yang membangunkan bulu roma. Dan... tahu-tahu
bersyiur segelombang angin menerpa tubuh kedelapan
anak buah si Cakar Naga Setan. Terdengar suara-
suara keluhannya diiringi bergedebukan jatuh kedela-
pan orang itu. Roro muncul kembali dengan memang-
gul tubuh si gadis bernama Sungkimah itu dipundak-
nya.
"Hihihi... hari sudah malam, kalian beristira-
hatlah disini dulu. Besok kalian harus bekerja men-
gantar barang rampokan itu ke desa korban kalian,
dan mengembalikan ketiga gadis tawanan yang kalian
culik!" ujar Roro. Kedelapan orang itu cuma manggut-
manggut dan menyahut dengan suara mengeluh.
"Baik...! ba... baik...!" Akan tetapi disamping
mengeluh, hati mereka bergirang karena Roro tak
membunuhnya. Segelombang angin yang menerpa cu-
ma membuat urat-urat tubuh mereka menjadi kaku
tanpa bisa dapat digerakkan lagi.
Tahulah mereka kalau si wanita Pendekar telah
lancarkan jurus menotok jarak jauh yang amat hebat.
Setelah perdengarkan tertawa dingin dan an-
camannya yang membuat tubuh kedelapan orang itu
bergidik, segera beranjak melangkah menuju rumah
tinggal para perampok itu. Ketika melewati tubuh si
Cakar Naga Setan Roro mendenguskan suara di hi-
dung. Tiga totokannya telah melumpuhkan "Naga" ini
untuk tak dapat berkutik lagi. Akan tetapi terperanjat
Roro ketika melihat dara mengalir dari mulut Kem-
bayan. Diantara darah yang bersimbah itu tampak se-
potong lidah yang telah putus. Biji mata laki-laki ini
membeliak tak berkedip lagi, yang nampak hanya pu-
tihnya saja. Ketika Roro memperlihatkan dengan jelas
ternyata si Cakar Naga Setan ini telah tewas. Dia bu-
nuh diri dengan menggigit lidahnya sendiri...!
"Manusia bodoh! rupanya kau mengambil jalan
"terbaik" menurut pendapatmu...!" Tubuh Roro berke-
lebat untuk segera memasuki rumah besar itu. Dan
pada keesokan harinya perahu besar milik perampok
itu sudah mengarungi sungai Mahakam untuk men-
gembalikan harta rampokan, serta mengembalikan ke-
tiga gadis tawanan itu. Tentu saja perjalanan itu di
bawah pengawalan Roro Centil. Dara Perkasa ini berdi-
ri di depan geladak, berpegang pada tali tiang layar
dengan gagahnya. Sementara kedelapan orang bekas
anak buah si Cakar Naga Setan itu membantu men-
dayung dan memegang kemudi.
Sebenarnya hati kedelapan orang itu agak ke-
bat-kebit karena khawatir akan balasan dari penduduk
untuk memberi hukuman pada mereka. Akan tetapi
Roro telah menjamin keselamatannya. Dan memang
sebenarnya mereka tak mempunyai kesalahan yang
terlalu berat.
Perahu besar itu terus meluncur ke arah suara.
Sungai Mahakam yang bersih jernih itu tiba-tiba ber-
golak menyibak... Dan puluhan ekor buaya putih ber-
munculan dipermukaan air. Tentu saja membuat kede-
lapan orang pendayung perahu terperangah kaget.
"Celaka..! kita tak dapat teruskan perjalanan!
Entah ada kesalahan apa pada kami, hingga tak seper-
ti biasanya "mereka" mengganggu...!" Berkata salah
seorang pada Roro dengan wajah pucat. Roro Centil
kerutkan keningnya memandang ke depan, dimana
puluhan ekor buaya putih itu seperti sengaja mengha-
dang.
"Gulungkan layar! kita menepi!" perintah Roro.
Perintah segera dilaksanakan. Sementara ketiga wanita
tawanan yang akan dipulangkan itu juga memandang
dengan wajah pucat. Akan tetapi tiba-tiba perahu be-
sar itu bergerak memutar, seperti terbawa pusaran air
dari bawah permukaan.
Lalu perahu itupun oleng ke kiri dan ke kanan.
Tentu saja teriakan-teriakan ketakutan terdengar dari
mulut ketiga gadis. Begitu kerasnya oleng perahu
hingga seorang dari kedelapan pendayung itu terjung-
kal masuk sungai.
"Tolooong...! haep..." teriaknya, seraya berusaha
berenang ke perahu. Akan tetapi sekejap tubuhnya te-
lah lenyap. Terperanjat Roro. Baru sekali ini mengala-
mi kejadian aneh semacam itu.
Putaran perahu itu semakin cepat, dan sema-
kin oleng badan perahu. Dua orang anak buah si Ca-
kar Naga Setan kembali perdengarkan teriakannya,
Tubuh mereka terjungkal ke sungai. Lalu lenyap dite-
lan ombak. Apakah yang diperbuat Roro? Saat itu juga
dia sudah sambar tubuh dua orang gadis untuk me-
lompat ke darat. Baru saja Roro jejakkan kakinya ke
tanah. Terdengar suara jeritan saling susul, ketika se-
kejap perahu besar itu telah terbalik. Lalu tenggelam
bagaikan disedot masuk ke dalam air yang bergulung-
gulung. Teriakan-teriakan manusia yang masih berada
di dalam perahu besar itu sekejap saja lenyap, bersa-
ma lenyapnya perahu besar itu.
Terbelalak sepasang mata Roro memandang-
nya. Diam-diam bergidik juga tengkuk Roro. "Kasihan,
aku tak dapat menyelamatkan gadis yang satu lagi!"
berkata Roro dalam hati.
Anehnya puluhan buaya putih yang tadi terli-
hat bermunculan di atas permukaan air sungai telah
lenyap.
Air sungai kembali mengalir tenang, mening-
galkan gelembung-gelembung air di bekas tenggelam-
nya perahu.
"Kejadian aneh ini harus diselidiki...! Akan te-
tapi aku harus mengantar kedua gadis ini dulu ke de-
sanya...!" pikir Roro dalam benaknya. Lalu tatap kedua
gadis itu, yang diantaranya terdapat Sungkimah. Tam-
pak wajah-wajah pucat mereka. Sesaat Roro menatap
ke atas tebing dengan tengadahkan kepala. Tiba-tiba
lengannya bergerak meraih kedua pinggang si dua ga-
dis itu. Dan...
Sstt... tap! Roro Centil telah membawanya me-
lesat ke atas tebing dan hinggapkan kaki dipuncak ba-
tu dengan ringan.
Kedua gadis itu menahan napas dan menutup
matanya dengan perasaan ngeri. Selanjutnya mereka
cuma merasakan tubuhnya meluncur cepat sekali. Ke-
tika kedua gadis itu membuka matanya, ternyata telah
berada di tengah desanya. Tentu saja kemunculan ke-
dua gadis itu bersama seorang wanita muda yang ten-
gah menjadi topik pembicaraan di setiap sudut desa
itu membuat penduduk jadi terkejut. Akan tetapi juga
bergirang, karena melihat kembalinya kedua gadis itu
bersama si wanita Pendekar.
Seorang bocah laki-laki berusia kurang lebih 10
tahun segera mengenali kakaknya. Dan... berlarilah
dia memburu ke arahnya.
"Kakak...! kakaaak...!" teriaknya penuh haru.
Gadis yang dipanggilnya itu ternyata mengenali adik-
nya. Dan diapun berlari untuk memburu sang adik.
Selanjutnya keduanya telah berpelukan dengan me-
nangis terharu. Sementara gadis yang satunya segera
mendekati pada Roro, seraya berkata.
"Kakak Pendekar...! terima kasih atas bantuan
dan pertolongan kakak...! Entah dengan apa kami
membalas budi anda...!" ucapnya dengan air mata ber-
linang.
"Roro manggut-manggut dengan tersenyum.
"Sudahlah...! pergilah kau temui sanak famili mu! dan
ceritakan, bahwa aku tak dapat menyelamatkan seo-
rang dari kawanmu yang terculik, karena kejadian
aneh di muara sungai itu...!"
Selesai berkata, tubuh Roro berkelebat. dan le-
nyap dari pandangan mata penduduk.
Sungkimah lepaskan pelukannya pada sang
adik. Akan tetapi ketika menoleh ke arah Roro, kecewa
dan tertegunlah dia, karena tak menampak si Pende-
kar Wanita yang telah menolongnya itu.
"Dia telah pergi, Sungkimah...!" ucap gadis itu.
"Ah, betapa cepatnya...! betapa hebatnya...!
sayang aku belum sempat ucapkan terima kasih untuk
yang kedua kalinya...!" ucap Sungkimah dengan hati
masygul. Sementara itu seorang wanita tua telah ber-
lari-lari ke arahnya.
"Anakku... aaa...aanakku...! kau... kau sela-
mat...? Oh, Tuhan... syukurlah! syukurlah. ." berkata
si wanita tua seraya kemudian memeluk sang gadis
anaknya itu dengan hati girang dan terharu.
Tak dikisahkan betapa gembiranya dua orang
gadis itu. Gadis yang satu lagi pun telah berpelukan
dengan ayah dan ibunya. Dan seluruh penduduk sege-
ra berdatangan untuk menanyakan perihal pertolon-
gan si Pendekar Wanita aneh dan sakti itu. Sementara
Kepala Desa cuma bisa tersenyum haru, mengetahui
anak gadisnya tak dapat diselamatkan.
Tapi dia mengetahui kejadian itu adalah karena
musibah lain. Karena dari penuturan kedua gadis, si
Kepala Perampok itu telah tewas.
Tapi penuturan kedua gadis tentang kejadian di
muara sungai Mahakam telah membuat mereka terpe-
rangah dengan mata terbelalak.
Sementara diam-diam seorang laki-laki tua
berdesis pelahan dengan wajah berubah pucat. "Cela-
ka...! pasti perbuatan lasykar Ratu Siluman Buaya Pu-
tih, si Peri Lubuk Siluman itu...!"
Tak lama laki-laki berjubah kumal itu beringsut
keluar dari kerumunan penduduk. Lalu lenyap dibalik
tikungan jalan desa.
Dialah seorang dukun tua yang mengetahui ra-
hasia kejadian aneh di muara Sungai Mahakam.
***
LIMA
Roro melangkah memasuki sebuah kota yang
agak ramai di kawasan daerah itu. Sementara benak-
nya masih saja tak dapat melupakan kejadian aneh di
muara sungai Mahakam.
Beberapa orang laki-laki dan wanita tampak
berkerumun disudut kota itu, tepat disamping sebuah
restoran kecil yang banyak pengunjungnya.
"Obat kuat...! obat kuat...! ya! siapa lagi! mu-
rah! nyaman dan tahan lama...! Pasti puas!" teriak seo-
rang pedagang obat sisi jalan yang menggembar-
gemborkan obat dagangannya.
Si pedagang obat itu seorang laki-laki tegap
berkumis sebesar jari. Tanpa mengenakan baju. Berce-
lana pangsi warna hitam. Berambut panjang sebatas
bahu dengan ikat kepala hitam. Sehelai kain diben-
tangkan di tanah. Dimana di atasnya terlihat obat-obat
yang didagangkannya, berbentuk butiran-butiran pel
berwarna kehitaman. Sepintas memang mirip kotoran
kambing.
"Satu butir untuk setiap kali mau tidur." berka-
ta tukang obat yang usianya sekitar 35 tahun itu. Seo-
rang pembeli manggut-manggut seraya menerima
bungkusan obat yang dibelinya.
"Ya...! siapa lagi? cuma tinggal satu, dua tiga...
empat... lima! ya, tinggal lima orang lagi! cepatlah! Hari
ini adalah hari terakhir kami buka disini! Kemanjuran
obat kami telah diuji, dan sudah banyak yang memuji!"
Ucapnya dengan nada keras, merayu pembelinya.
Roro yang kepingin tahu segera beranjak
menghampiri. Beberapa orang penonton segera me-
nyingkir ke tepi dengan cengar-cengir.
"Aha...! seorang gadis asing dari mana...? Eh,
mau beli obat kuat dia barangkali...?" terdengar suara
berbisik-bisik.
"Ssst....! coba perhatikan. Alangkah cantiknya
gadis ini? Baru selama ini ku melihat seorang gadis se-
cantik dan semanis ini..." ujar kawannya. Saat itu seo-
rang laki-laki dari arah sisi penonton, beranjak meng-
hampiri Roro seraya pura-pura kakinya tersandung.
"Hai! jangan mendorong...!" teriaknya seolah-
olah kaget. Akan tetapi lengannya bergerak merangkul
pinggang Roro. Cepat sekali kejadian itu. Roro Centil
bertindak gesit, menyambar tubuh seorang wanita tua
bertubuh gembrot di hadapannya. Lalu asongkan pada
si laki-laki yang pura-pura terjatuh itu.
"Aiiiyaaa...!? maaf, maaf nona..." Laki-laki itu
tertawa menyeringai. Sepasang lengannya memeluk
erat pinggang orang, yang dikiranya pinggang si dara
cantik pendatang asing itu. Akan tetapi terkejut dia
mengetahui siapa yang telah dipeluknya. Ternyata tu-
buh wanita gembrot, tua dan sudah ubanan. Seketika
merahlah wajahnya karena malu. "Oh, maaf, maaf,
mak! aku tak sengaja...!" ucapnya gelagapan. Selanjut-
nya dia segera ngeloyor pergi dengan tersipu.
Sementara diam-diam laki-laki ini terheran ka-
rena tak melihat Roro berada di situ lagi. "Heran, ke-
mana gadis asing itu? cepat sekali lenyapnya!" berkata
dia menggumam.
Beberapa orang lainnya yang tadi melihat Roro
pun terheran karena cepat sekali lenyapnya Roro dari
pandangan mata mereka. Sementara tukang obat ma-
sih menjajakan dagangannya tak mengetahui kejadian
barusan.
Kemanakah Roro Centil? ternyata dia telah be-
rada di dalam ruangan restoran duduk dibangku dis-
udut ruangan.
Seorang pelayan segera menghampiri dengan
terheran, karena tak melihat gadis ini masuknya.
"No... nona pesan makanan apa... ?" tanyanya
memperhatikan wajah si tetamu.
"Apapun boleh! asalkan makan enak pasti ku
ganyang...!" sahut Roro seperti acuh tak acuh. Lidah-
nya terjulur sedikit, basahi kedua bibirnya. Sementara
lirikan matanya memperhatikan seorang laki-laki yang
duduk di sebelah kanannya. Laki-laki ini berbaju serba
putih. Tadi ketika dia berkelebat masuk ke dalam,
hanya dialah yang mengetahui kedatangannya.
Yang membuat Roro agak aneh adalah sepa-
sang mata laki-laki itu membersitkan sinar tajam ba-
gaikan menusuk jantung. "Siapakah dia?" tanya Roro
dalam hati. Roro merasa tak bermusuhan pada laki-
laki itu, akan tetapi sinar matanya seperti mengan-
dung maksud tidak baik terhadapnya. Itu menurut
dugaan Roro. Ketika selesai bersantap, si tetamu laki-
laki berbaju serba putih itu beranjak keluar setelah
membayar makanan.
Cepat-cepat Roro memanggil pelayan. Setelah
membayar, tanpa menunggu pengembalian uangnya,
Roro bergegas keluar untuk menguntitnya.
Cepat sekali berjalannya laki-laki berbaju putih
itu. Kali ini Roro tak boleh ayal memasang indranya,
agar tak kehilangan jejak. Ternyata yang ditujunya
adalah ke arah muara sungai Mahakam.
Tiba-tiba di sisi sungai tubuh laki-laki ini mele-
nyap sirna. Tentu saja Roro Centil jadi terkejut, sepa
sang matanya menatap heran. Roro menduga laki-laki
itu menggunakan ilmu Halimunan, akan tetapi me-
mandang dengan mata batin ternyata tubuh si laki-laki
itu berubah menjadi seekor buaya putih. Terperangah
Roro Centil. Tahulah dia kalau laki-laki itu sebangsa
siluman.
Buaya putih itu segera merayap masuk ke da-
lam sungai menyelam dan sesaat kemudian Roro baru
tersadar dari terperangahnya.
Roro Centil termangu-mangu memandang tem-
pat kosong. Sementara itu kembali terbayang kejadian
aneh yang telah menenggelamkan perahu dan mema-
kan korban sembilan nyawa dari perahu perampok
yang ditumpanginya.
Roro mengambil keputusan untuk menyelidiki
keadaan di bawah air.
Akan tetapi Roro memang perlu bersemadhi du-
lu mencari petunjuk, apakah adanya kejadian ini ber-
hubungan dengan benda mustika yang dalam usaha
pencariannya....? Hal itulah yang membuat Roro ter-
paksa harus menahan sabar untuk menanti saat ter-
baik mengungkap misteri di dasar sungai Mahakam.
Sesaat tubuh si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan itu berkelebat pergi dari tempat itu. Sementara di-
am-diam dia mengingat-ingat wajah laki-laki penjel-
maan si siluman Buaya Putih.
Baru saja kakinya jejakkan di tanah berbatu di
atas tebing, satu suara terdengar menyapa. "Kakak
Pendekar...!" Roro tahan gerakan lengannya yang tadi
sudah disiapkan untuk menghantam bila terjadi ke-
mungkinan.
Ternyata Roro telah waspada dan mengetahui
adanya sesosok tubuh dibalik batu besar di atas tebing
itu.
Disamping terkejut, juga heran si Pendekar
Wanita ini karena ternyata sosok tubuh itu adalah seo-
rang bocah laki-laki berusia kurang lebih 10 tahun.
Barulah dia ingat kalau bocah itu adik Sungkimah, si
gadis yang beberapa hari yang lewat telah ditolongnya.
Sekejap Roro sudah melompat ke hadapannya,
dan bertanya dengan heran.
"Eh, adik kecil yang gagah! sedang mengapa
kau di tempat ini?"
"Kakak Pendekar, sebelum menjawab perta-
nyaanmu, aku mewakilkan kedua orang tuaku mengu-
capkan terima kasih pada kakak Pendekar atas perto-
longan kakak tempo hari!" berkata si bocah laki-laki
dengan membungkukkan tubuhnya. Sementara sepa-
sang matanya lalu menatap kagum pada Roro. Akan
tetapi sepasang mata itu tampak berkaca-kaca.
Dan... selanjutnya dengan seka air matanya, si
bocah laki-laki itu kuatkan hati untuk bercerita.
Ternyata si bocah laki-laki ceritakan tentang
keadaan di desanya sepeninggal Roro. Pada malam itu
juga terjadi penyerbuan buaya-buaya putih ke dalam
desa. Buaya-buaya siluman itu ternyata menggondol
kembali kedua gadis desa itu, dan lenyap dalam ke-
pungan penduduk.
Kejadian menyedihkan serta musibah yang ber-
turut-turut menimpa desa Tembalu membuat pendu-
duk gelisah, resah. Lenyap bencana perampok, kini
muncul bencana siluman. Diam-diam si bocah laki-laki
ini pergi dari rumahnya tanpa setahu kedua orang tu-
anya, dengan tujuan mencari Roro Centil. Ternyata
berhasil menjumpai Roro di tempat itu...
Terenyuh hati Roro mendengar penuturan itu.
Jerih payahnya menolong dua gadis desa itu cuma sia-
sia. Dipandanginya wajah si bocah laki-laki dengan
penuh perasaan iba.
"Aku pasti akan membalaskan dendammu itu,
adik gagah!" ujar Roro seraya mengusap kepala anak
itu. Bocah ini menatap Roro dengan mata basah. Tiba-
tiba dia memeluk kaki Roro dengan terisak.
"Oh, terima kasih...! terima kasih kakak Pende-
kar....!"
"Haiiiih! sudahlah, siapakah namamu adik ga-
gah....!" tanya Roro. Cepat-cepat anak itu usap air ma-
tanya lagi dan menjawab dengan tersenyum.
"Namaku... Sugala!"
"Namamu bagus! Nah, kini kau akan kuantar
pulang. Tentu kedua orang tuamu akan lebih susah
karena kehilangan mu...!" berkata Roro.
"Aku tinggal dengan seorang tua laki-laki. Dia
seorang dukun sakti yang mengetahui tentang silu-
man-siluman buaya itu!" ujar Sugala.
"He? begitukah" tanya Roro dengan heran, akan
tetapi diam-diam hatinya bergirang. Bocah laki-laki itu
mengangguk. "Kedua orang tuakupun telah mengeta-
hui aku ada bersamanya..." ucapnya dengan tenang.
"Bagus! kalau begitu ajaklah aku ke tempat
orang tua itu!" ujar Roro dengan leletkan lidah basahi
bibirnya. Sepasang matanya berkejap-kejap, sementara
hatinya berkata. "Mujurlah kalau demikian, karena
aku segera bisa tahu mengenai siluman-siluman buaya
putih itu!"
"Marilah, kakak Pendekar..." ujar Sugala seraya
berlari-lari dengan girang menuju ke arah belakang
bukit di atas tebing itu.
Roro beranjak mengikuti dengan tersenyum
melihat si bocah laki-laki itu mendaki lereng bukit
dengan merangkak. Keinginannya untuk tiba
lebih cepat di tempat si laki-laki tua yang dikatakan
Dukun Sakti itu oleh si bocah, membuat Roro bergerak
melompat dan menyambar tubuh bocah itu. Dan... se-
kali tubuhnya melesat, sekejap sudah tiba di atas bukit.
Tentu saja membuat anak itu tertawa girang.
"Di bawah bukit sana itulah tempat kakek dukun itu
tinggal!" ujar Sugala.
"Bagus! mari kita kesana: "Berkata Roro seraya
kembali melesat menuruni bukit. Bocah laki-laki ini
sepanjang perjalanan tertawa-tawa girang, bahkan
berkali-kali memuji kehebatan ilmu "terbang" Roro
yang pergunakan kecepatan larinya untuk cepat tiba di
tempat yang dituju.
***
ENAM
KAKEK TUA berjubah putih itu duduk di atas
bangku reyot. Pada bibirnya terselip rokok kawung.
Sepasang matanya merem-melek menikmati asap ro-
kok yang sesekali dihisapnya.
Di hadapannya duduk Roro Centil pada bangku
yang agak baikan. Sementara si bocah laki-laki mema-
suki dapur, lalu kembali lagi dengan membawa baki
berisi dua buah cawan berisi air putih.
Lalu dengan membungkuk-bungkuk hormat
Sugala meletakkan cawan-cawan berisi suguhan mi-
numan itu di atas meja. Kemudian kembali ke dapur
menyimpan baki, dan duduk di depan pintu dapur
mendengarkan pembicaraan sang dukun tua dengan
tetamunya.
"Aku memang pernah mendengar dikala aku
muda dahulu, yaitu adanya satu kisah menarik men-
genai penghuni-penghuni lubuk sungai Mahakam."
Terdengar si kakek membuka pembicaraan mengenai
pertanyaan Roro Centil.
"Kisah itu bermula pada sepasang suami istri
yang baru menikah, dan mendiami sebuah pondok di-
tepi muara sungai Mahakam.
Suaminya bernama KENCA. Seorang laki-laki
muda dan gagah yang amat menyayangi istrinya. Sua-
tu ketika di saat sang istri mencuci piring-piring kotor
diperigi, salah satu sendok makan telah terjatuh ma-
suk ke sungai. Sang suami yang ketika itu tengah
mandi mengetahui sendok makan yang dicuci sang is-
tri tercebur segera menyelam ke bawah permukaan air
untuk mengambilnya. Sementara sang istri yang masih
muda belia itu meneruskan mencuci.
Apakah yang terjadi dengan laki-laki bernama
Kenca itu?
Ternyata satu pusaran air di bawah perigi
membuat tubuhnya terbawa masuk ke dalam sebuah
lubuk di bawah permukaan air.
Makin lama semakin dalam tubuh Kenca ter-
bawa pusaran air, hingga tak kuasa lagi dia untuk
bernapas. Sepasang matanya membelalak meman-
dang, dan dibuka lebar-lebar untuk melihat keadaan
sekelilingnya. Lengannya berusaha menggapai untuk
berontak dari pusaran air yang telah menyedot tubuh-
nya.
Akan tetapi sia-sia...
Kenca tak mampu untuk menyelamatkan diri.
Dia pingsan tak sadarkan diri. Ketika siuman di dapati
dirinya berada dalam sebuah kamar, serta ruangan
yang amat indah..." Sampai disini si kakek dukun tua
itu berhenti bercerita untuk menghisap dalam-dalam
rokok kawungnya.
Roro tak sabaran untuk bertanya. "Bagaimana
kelanjutannya, pak tua...?"
Si bocah laki-laki bernama Sugala itupun tam-
paknya tak sabar menanti, dan usap-usap kedua matanya. Si kakek dukun itu tersenyum, lalu lanjutkan
ceritanya.
"Ruangan kamar yang indah itu adalah ruan-
gan kamar sebuah Istana di dasar lubuk, yaitu istana
Ratu Siluman Buaya Putih!"
"Ah...!?" Roro tersentak, seraya ucapnya. "Te-
ruskan pak tua, lalu bagaimana selanjutnya?"
"Kenca terkejut melihat seorang wanita cantik
berada dihadapannya. Dan setelah wanita itu memper-
kenalkan diri bahwa dia adalah Ratu Siluman didasar
lubuk, hampir-hampir dia tak percaya.
Tapi melihat kenyataan bahwa dirinya berapa
di dalam air, tapi dia merasa tak kesulitan bernafas,
bahkan seperti bernafas di udara biasa saja, yakinlah
Kenca akan kenyataan yang di hadapinya.
Sang Ratu Siluman itu meminta Kenca untuk
tinggal menetap di istananya. Kenca tak dapat meno-
lak, bahkan kemudian Kenca memperistri sang Ratu
Siluman dan tinggal didasar lubuk hingga bertahun-
tahun. Dari perkawinan mereka, Kenca memperoleh
seorang anak laki-laki.
Suatu ketika, sang Ratu berpesan pada Kenca
agar menjaga istana, karena dia akan pergi dalam wak-
tu lama. Namun sang Ratu memberi peringatan pada
suaminya agar tak membuka sebuah pintu yang men-
jadi pantangan baginya.
Kenca menanyakan pantangannya, namun
sang Ratu tak memberitahukan. Demikianlah, akhir-
nya Kenca berjanji akan menuruti pesan sang Ratu is-
trinya itu. Saat itu anak Kenca sudah berusia lima ta-
hun.
Kenca memang telah melupakan istrinya. Telah
melupakan dunia manusia, karena hidup di Istana Ke-
rajaan Siluman dengan kemewahan yang tiada tara.
Segala keperluannya dilayani oleh para dayang istana.
Dan berpuluh-puluh pengawal siap menerima perintah
menjalankan tugas.
Keadaan dikerajaan Ratu Siluman itu mirip
dengan Kerajaan manusia saja layaknya, Hingga mem-
buat Kenca betah berdiam disana, dan melupakan
bahwa dia masih mempunyai seorang istri yang setia
menunggu kedatangannya.
Beberapa hari ditinggal istrinya, timbullah
keinginan Kenca dalam benaknya. Yaitu ingin menge-
tahui rahasia apa gerangan di dalam ruangan yang
pintunya terlarang dibuka itu.
Saat anak laki-lakinya dibawa bermain oleh
pengasuh Istana, Kenca memberanikan diri membuka
pintu terlarang yang menjadi pantangan itu. Pintu pun
terbuka. Dan, tiba-tiba saja.... Pusaran air bergolak ke-
ras dari dalam ruangan itu. Kenca terperangah. Pan-
dangan matanya sekonyong-konyong menjadi gelap.
Dia tak dapat melihat apa-apa lagi. Gelap pekat! Yang
dirasa kan adalah tubuhnya mengapung ke atas per-
mukaan air. Nafasnya megap-megap, karena sukar
sekali kini Kenca untuk bisa bernafas.
Akhirnya tubuh Kenca tersembul juga keper-
mukaan air...
Dalam keadaan terengah-engah itu, Kenca
membuka matanya. Alangkah terkejutnya Kenca ketika
melihat istrinya masih belum selesai mencuci piring di
atas perigi. Terperangah mata Kenca memandangnya.
Ternyata dia telah berada di alam manusia lagi.
Sungguh tak masuk akal apa yang dialami
Kenca, karena bertahun-tahun dia tinggal didasar lu-
buk dikerajaan Siluman bahkan telah mempunyai seo-
rang anak dari perkawinanya dengan sang Ratu Silu-
man, tapi kenyataannya sang istri belum lagi selesai
mencuci piring-piring kotor. Bahkan begitu Kenca
muncul di atas permukaan air, langsung sang istri
menanyakan sendok makan yang diselaminya...!
Tersipu Kenca, dan berdusta mengatakan bah-
wa tak diketemukan benda itu di bawah air. Akhirnya
setelah selesai mencuci dan mandi, Kenca bergegas
pulang bersama istrinya...!
Tampak si dukun tua itu berhenti lagi bercerita,
terbatuk-batuk sejenak, lalu ulurkan lengan meraih
cawan meneguk air putih di dalamnya. Roro menghela
napas. Tegang juga cerita itu, namun kakek dukun itu
memang belum tuntas ceritanya.
Sang dukun tua sulut rokok kawungnya yang
mati. Setelah menghisapnya beberapa kali lalu te-
ruskan bercerita...
"Kenca tak berani menceritakan kisah yang di-
alaminya pada sang istri. Namun pada malamnya,
pondok Kenca didatangi berpuluh-puluh ekor buaya
putih, yang mengelilingi pondok.
Demikianlah setiap malam hal itu terjadi. Me-
reka tak lain lasykar dari sang Ratu Siluman didasar
lubuk sungai Mahakam. Yaitu sang Ratu Siluman
Buaya Putih.
Kenca dicekam ketakutan bersama istrinya se-
tiap malam. Akhirnya Kenca memutuskan pindah. Ya,
Kenca pindah pada siang hari tanpa membawa satu
bendapun dari pondoknya kecuali pakaian yang dipa-
kainya. Dan sejak itu Kenca dan istrinya baru merasa
aman dari ketakutan. Namun pada suatu malam Ken-
ca bermimpi. Sang Ratu Siluman Buaya Putih men-
gancamnya akan membunuhnya kalau tak kembali ke
dalam lubuk, menyerahkan diri pada sang Ratu.
Dalam mimpinya itu Kenca menerima sebuah
benda, yaitu sebuah Benda Mustika yang dapat diper-
gunakan untuk bernafas di dalam air. Benda mustika
itu ternyata benar-benar terwujud dan didapati dalam
genggaman tangan Kenca ketika terbangun dari tidur..." Sampai disini si kakek dukun berhenti sejenak
untuk menghisap rokok kawungnya. Lalu melempar-
kan puntung itu jauh-jauh keluar jendela. "Benda
Mustika macam apakah itu, pak tua...?" bertanya Roro
Centil dengan jantung berdetak keras. Sementara ha-
tinya membatin. "Jangan-jangan itulah benda Mustika
yang diperintahkan guru untuk memilikinya dari bisi-
kan gaib yang kuterima...!" kakek dukun itu lanjutkan
lagi ceritanya.
"Benda itu adalah sebutir mutiara, yang di ha-
ruskan pada Kenca untuk menelannya!"
"Kemudian... ? Apakah Kenca menelan benda
itu, dan kembali ke kerajaan Ratu Siluman Buaya Pu-
tih itu...?" tanya Roro tak sabar.
Sang dukun tua itu menggeleng. "Tidak! Kenca
tak mau melakukannya. Dia lebih mencintai istrinya
ketimbang harus menjadi warga siluman di dasar lu-
buk.
Akan tetapi akibat pembangkangan itu, istrinya
disambar buaya putih yang muncul di saat sang istri
mencuci pakaian ditepi sungai. Kematian istrinya
membuat Kenca menderita sakit lahir batin.
Akan tetapi untuk melabrak Kerajaan Ratu Si-
luman Buaya Putih sama dengan mengantarkan di-
rinya untuk tak kembali lagi ke alam Manusia.
Bertahun-tahun Kenca menderita, hingga tu-
buhnya menjadi tua renta. Rambutnya memutih, dan
tubuhnya menjadi bungkuk, walau sebenarnya dia be-
lum begitu tua...!" Sampai disini si kakek dukun itu
berhenti sejenak lagi untuk menghela nafas.
"Sungguh kasihan orang bernama Kenca itu,
dapatkah pak tua menceritakan selengkapnya kema-
nakah kini orang yang bernama Kenca itu?" tanya Ro-
ro.
Yang ditanya tersenyum. Dari kerut-kerut wajahnya nampakkan kedukaan yang amat mendalam.
Jelas kisah itu bukanlah cuma dongeng semata, akan
tetapi memang benar-benar telah terjadi.
"Orang yang bernama Kenca itu adalah aku
sendiri...!" tiba-tiba menyahut kakek berjubah putih
itu seraya bangkit berdiri. Terhenyak Roro Centil seke-
tika seolah tak percaya pada pendengarannya.
"Jadi... jadi orang yang kau kisahkan itu adalah
dirimu sendiri?"
"Benar...! Hehehe... memang aku si Kenca itu.
Aku mendapat firasat akan adanya seorang pendekar
yang dapat menebuskan kematian istri ku! Ternyata
kaulah orangnya. Syukurlah, dengan kemunculanmu
didaerah ini kukira akan ada manfaatnya bagi kesejah-
teraan penduduk di wilayah ini. Lasykar Ratu Siluman
Buaya Putih itu telah mulai unjukkan keganasannya
lagi! Kukira ada seseorang yang telah mendalangi,
hingga bergentayangannya buaya-buaya siluman itu
mencari mangsa. Dalam beberapa hari ini, aku telah
mendengar banyak peristiwa. Tidak saja di desa Tem-
balu akan tetapi di hilir sungai Mahakam telah pula
terjadi kegemparan menyebarnya siluman-siluman
buaya putih meminta korban...!" tutur sang dukun
bernama Kenca itu.
Kalau saja Roro tak dapat menahan girangnya
tentu sudah melompat-lompat atau menari-nari dide-
pan si kakek dukun, karena saat itu juga si dukun tua
Kenca telah mengeluarkan sebutir mutiara yang mem-
bersitkan cahaya terang. Dan berada itu diberikan pa-
da Roro seraya ucapnya.
"Inilah mutiara itu! sesuai dengan pirasat yang
kudapatkan dalam semadhiku, kaulah orangnya yang
berhak menerima benda mustika ini!"
Tertegun Roro Centil menatap mutiara itu dan
mata si kakek dukun berganti-ganti. "Ah, beginikah jalannya aku harus mendapatkan benda Mustika yang
kucari dengan mengarungi lautan menurut pada bisi-
kan gaib guruku itu...?" bisik hati Roro. Seraya len-
gannya menerima benda itu dari tangan si kakek du-
kun alias Kenca.
Roro sadar, dengan benda di tangannya itu, tu-
gas berat menantinya. Karena dia harus segera menya-
troni sarang siluman Buaya Putih. Serta merta segera
ditelannya benda mustika itu...
***
TUJUH
RORO CENTIL tercenung berdiri di atas bukit.
Dikejauhan terlihat sungai Mahakam yang berbelok-
belok bagaikan seekor ular yang menjulur di bawah
tebing. Tiba-tiba lengannya bergerak menghantam ke
belakang, disertai teriakan terkejutnya yang diiringi
melompatnya tubuh Roro setinggi lima tombak. Suara
bersyiurnya ratusan benda telah membuat indra pen-
dengarannya yang peka, serta nalurinya yang tajam
menyadarinya akan adanya bahaya mengancam.
WHUUUK...! PRASSSS...! Benar saja ratusan ja-
rum-jarum halus telah meluruk ke belakang tubuh-
nya, mengancam jiwa sang Pendekar Wanita Pantai Se-
latan ini dengan maut! Namun gerakan lengan Roro te-
lah membuat ratusan jarum-jarum itu buyar berteba-
ran, balik lagi ke arah asalnya.
Tiga sosok tubuh berlompatan disertai teria-
kan...
"Aiiyyaaa...!" dan salah satu memekik, karena
beberapa batang jarum maut itu mengenai kakinya.
Bergulingan tubuh laki-laki berpakaian serba hijau itu.
Dua orang lainnya yang juga berpakaian sama, segera
melompat mendekati. Srek! Dia telah cabut keluar go-
loknya yang tersoren dipunggung.
Sementara laki-laki yang terkena serangan ba-
lik itu mengerang memegangi sebelah kakinya. "Le-
paskan kakimu, Jambal...!" berteriak laki-laki itu.
Orang yang terluka itu menyadari akan kesela-
matan jiwanya. Segera rebahkan tubuhnya terlentang.
Dan... CRASSS...! terdengar suara teriakan parau ke-
sakitan. Ternyata laki-laki itu telah membacok putus
sebelah kaki kanannya yang terkena jarum.
Lalu cepat sekali lengan laki-laki itu menotok
jalan darah dilutut kawannya. Saat itu sudah terden-
gar bentakan keras Roro Centil.
"Setan alas...! kunyuk hitam dari mana kalian
membokong orang mengincar nyawaku?" Dan Roro su-
dah berdiri tegak di atas batu cadas.
Sepasang matanya menatap pada ketiga orang
dihadapannya. Melihat salah seorang dari mereka ju-
stru berakibat fatal terkena jarumnya sendiri. Roro ter-
senyum jumawa,. Walau diam-diam bergidik ngeri. Ba-
gaimana kalau dia kurang waspada? tentu terpaksa
dia membuntungi lengannya sendiri, untuk menolong
nyawa, bila kaki atau lengannya terkena serangan ja-
rum.
"Hihihi... kalian cari penyakit, kini kalian rasa-
kan akibatnya! Segeralah sebutkan siapa kalian. Sebe-
lum nona besarmu mengirim nyawa kalian ke Akhi-
rat.!" bentak Roro. Ketiga laki-laki berbaju serba hi-
tam itu ternyata mengenakan topeng tengkorak hingga
tak dikenali wajahnya.
Akan tetapi sebagai jawabannya adalah seran-
gan dahsyat sepasang golok besar salah seorang dari
laki-laki bertopeng tengkorak itu. Tabasan-tabasan
maut yang menimbulkan hawa dingin menerpa ke arah
Roro. Sepasang golok besar laki-laki itu menerjang ke
arahnya bagaikan bayangan-bayangan atau kilatan
berkredepan saling susul. Terkejut Roro Centil, karena
lawannya mempunyai jurus serangan yang teramat ce-
pat. Ayal sedikit saja akan putuslah pinggang atau leh-
er si Pendekar Wanita itu. WUT! WUT! WUT!
TRRANGNGNGNG! Terpaksa Roro keluarkan senjata
rantai genitnya menangkis serangan. Tangkisan senja-
ta Roro tampaknya membuat si Topeng Tengkorak ter-
kejut juga. Otomatis serangannya menjadi ngawur. Ro-
ro perdengarkan suara tertawa dingin. Kini Rorolah
yang ganti menerjang dan mendesak lawan. Saat kea-
daan sang lawan mulai terdesak, tiba-tiba kawan si la-
ki-laki bertopeng itu bantu menerjang dengan senjata
ruyungnya. Senjata ruyung besi ini mempunyai gera-
kan lebih cepat bergerak mengurung Roro, hingga ter-
paksa Roro berikan saat kelonggaran pada lawannya si
laki-laki bersenjata sepasang golok.
Ternyata gabungan kedua orang lawan itu
membuat mereka tampaknya semakin sulit dijatuhkan
Roro. Jurus-jurus kedua lawan itu amat aneh, dan me-
reka bertarung dengan mengandalkan gerak tipu yang
membingungkan. Roro kertak gigi menahan geram, ti-
ba-tiba Roro merobah gerakan silatnya. Kali ini terpak-
sa Roro pergunakan jurus Pusaran Angin Puyuh wari-
san si paderi bulat Dewa Angin Puyuh. Dalam berkele-
batan menghindari serangan, Roro Centil putarkan tu-
buhnya bagaikan kincir. Empat serangan senjata sepa-
sang golok dan sepasang ruyung itu jadi ngawur, ka-
rena terkena hempasan segelombang angin yang di-
timbulkan dari putaran tubuh Roro. Dan gerakan-
gerakan memutar itu ternyata menggoyahkan posisi
ketat kedua manusia bertopeng itu. Bahkan kini kedu-
anya tak dapat melihat jelas tubuh lawan, kecuali
membersitnya pusaran angin di setiap arah yang menjadi sasaran mereka.
Tiba-tiba... TRRANG! TRRANGNG...!
Terperangah keduanya ketika tahu-tahu senja-
ta Roro telah menghantam terlepas masing-masing se-
pasang senjata mereka.
"Meratlah kalian ke Akhirat!" Detik itu di saat
mereka terperangah terdengar bentakan Roro melengk-
ing tajam menusuk jantung.
Detik itu sebuah lengan menjulur panjang me-
nyambar ke pinggang Roro. Tentu saja membuat Roro
Centil terkejut, karena dia tengah lancarkan serangan
maut pada kedua lawannya. Terpaksa Roro batalkan
serangannya untuk mengelakkan sambaran lengan
aneh yang terjulur menyambar pinggang itu. Akan te-
tapi tak urung...
BREET...!
Bajunya kena juga terjambret dan robek hampir
sebagian menyibakkan kulit punggung Roro. Cepat se-
kali Roro jatuhkan diri berguling, karena melihat sam-
baran berikutnya dari juluran lengan aneh yang se-
buah lagi.
PRASSSS! Batu cadas di atas tebing itu hancur
kena cengkeraman lengan aneh itu setengah jengkal
dari tubuh Roro.
Tersengal napas Roro Centil karena dia tak di-
beri kesempatan sama sekali. Baru saja dia melompat
berdiri kembali menyambar lengan aneh, dari dua ju-
rusan yang bergerak melingkar. BREBEET...! Lagi-lagi
baju Roro robek kena jambretan. "Gila! Setan alas! aku
mau ditelanjangi...?" memaki Roro. Sadarlah dia bah-
wa si penyerangnya itu bukan lawan sembarangan.
Lengan-lengan aneh itu tak ketahuan dari mana mun-
culnya, dan dia tak diberi kesempatan untuk melihat
tampang si penyerang.
"Hahahaha... haha... ingin kulihat kehebatan siPendekar Wanita Pantai Selatan yang telah kesohor di
seantero jagat ini!" tiba-tiba terdengar suara dan kata-
kata tanpa Roro sempat tahu dimana "manusia"nya.
Pakaian Roro sudah sobek disana-sini. Dapat
dibayangkan kehebatan si penyerangnya karena pada
saat itu ketinggian ilmu Roro sudah hampir tak dapat
diukur, namun masih bisa dipermainkan lawan begitu
rupa. Hal mana membuat Roro seperti kehilangan ak-
al, karena merasa ilmu yang dimiliki tak berguna.
Timbullah seketika penyakit anehnya. Tiba-tiba Roro
Centil melompat sejauh delapan tombak. Dan disana-
lah dia mengumbar tawanya. Rasa mendongkolnya ka-
rena tak mampu melihat si penyerang membuat dia
pergunakan tertawa sejadi-jadinya. Di luar sadar suara
tertawa Roro yang bagaikan menggelitik liang telinga
dan menggetarkan jantung itu amat berpengaruh pada
lawan. Karena memanglah Roro Centil pergunakan te-
naga dalamnya melalui suara tertawa. Hebat akibat-
nya! Daun-daun pohon disekeliling tempat itu bergeta-
ran, dan rontok bertaburan. Bumi seperti tergetar. Dan
tiga orang bertopeng tengkorak tiba-tiba perdengarkan
jeritan keras. Tubuh mereka terjungkal ke tanah. Tak
sempat lagi mereka menutup lubang telinga, yang se-
gera telah mengalirkan darah.
Makin lama semakin keras tertawa Roro. Dan...
sukar untuk dibendung lagi, karena Roro Centil telah
pergunakan satu ilmu tertawa yang paling mengerikan.
Itulah ilmu tertawa dari si daun lontar warisan gu-
runya si Manusia Banci.
Akibatnya ketiga laki-laki bertopeng itu bergu-
lingan, dengan meraung-raung mengerikan. Sekejap
kemudian ketiga tubuh itu sudah tidak berkutik lagi.
Mati dengan mengalirkan darah dari mata, telinga, hi-
dung dan mulutnya. Satu kejadian yang amat menge-
rikan. Karena cuma dengan tertawa, Roro Centil telah
membuat binasa ketiga manusia bertopeng tengkorak.
Saat itu sesosok tubuh terhuyung keluar dari
balik batu tebing yang menonjol. Dialah seorang laki-
laki jangkung kurus berwajah mengerikan, karena
mempunyai dua buah taring pada sisi belahan bibir-
nya. Rambut putihnya beriapan bagai kan rambut sin-
ga. Akan tetapi yang membuat heran kedua matanya
buta.
"Berhenti...!" teriak laki-laki kurus bertaring itu
dengan membentak keras. Batu-batu kerikil berlonca-
tan terkena getaran suara yang mengandung tenaga
dalam hebat itu.
Hebat, pengaruh bentakan itu! Seketika Roro
Centil hentikan suara tertawanya yang mengundang
maut. Tampak dihadapannya "manusia" yang memang
sedang ditunggunya agar menampakkan diri.
Melihat keadaan "manusia" itu lebih mirip si-
luman, Roro Centil terhenyak. Diam-diam hatinya ber-
gidik seram melihat tampang orang.
"Siapakah kau? manusia ataukah setan?" ben-
tak Roro.
"Grrrr...! Terserah kau mau menganggap apa
padaku! heh! Aku di juluki si Jerangkong Mata Buta!
Kau telah membunuh si Cakar Naga Setan. Kuakui
kehebatanmu! Juga telah menewaskan ketiga orang
anak buahku. Akan tetapi jangan harap kau dapat me-
loloskan diri dari tanganku!" membentak laki-laki ber-
taring itu dengan suara keras menggeledek. Lagi-lagi
tanah tergetar, dan batu-batu kerikil berloncatan. Sua-
ra bentakan itu juga membuat tergetarnya tubuh Roro
menahan kekuatan suara yang seperti menindih da-
danya. Jelas kakek mata buta ini bertenaga dalam
tinggi.
Terbukti dia tak roboh oleh suara tertawa Roro
yang mengundang maut.
"Apamukah si Cakar Naga Setan itu?" tanya Ro-
ro penasaran.
"Grrr...! dia salah seorang muridku! Ketahuilah,
kemunculanmu sudah kuramal sebelumnya. Bahwa
akan datang ke wilayah kekuasaanku ini seorang to-
koh Rimba Hijau dari tanah Jawa! Berita kehebatan
sepak terjang mu telah kudengar sejak jauh-jauh hari.
Akan tetapi... hahaha... rupanya disinilah tempat ku-
burmu, bocah perempuan!"
Tersentak Roro Centil. Kalau jauh-jauh hari
kemunculannya sudah diramal maka pantas saja ka-
lau dia diancam maut tanpa sebab. Memikir demikian
Roro segera bersiap menghadapi kemungkinan yang
bakal terjadi. Tugas untuk menumpas kejahatan Ratu
Siluman Buaya Putih belum lagi dilaksanakan, ternya-
ta telah muncul lagi lain bahaya. Agaknya kali ini Roro
harus banyak mengalami perbagai ujian dalam tugas
kependekarannya.
WHHUUUUUUUKK...!
WHHUUUUUUUKKKKK!
Sukar sekali diduganya karena begitu habis ka-
ta-katanya, si Jerangkong Mata Buta telah gerakkan
sepasang lengannya menghantam dan mencengkeram
ke arah batok kepala Roro. Gilanya sepasang lengan si
kakek muka seram itu dapat mulur panjang.
BRRASSSS! KRRAAKKKKK!
Dua terjangan maut itu dapat dihindari Roro,
dengan bergerak melompat menghindari serangan.
Akibatnya tanah dan batu menyemburat hancur. Dan
sebatang pohon besar kena dicengkeram hancur luluh.
"Edan!" maki Roro di tengah udara. Belum lagi
kakinya menjejak tanah kembali terdengar bersyiurnya
angin keras. Ternyata sepasang lengan itu sudah me-
luncur lagi untuk menyambar kakinya.
Terpaksa Roro gunakan sebelah lengannya
menghantam. Akan tetapi kali ini Roro harus menga-
kui keunggulan tenaga dalam lawan. Karena bagaikan
menghantam karang, Roro rasakan lengannya kesemu-
tan. Tapi tubuhnya dapat melejit melalui pukulan itu
sejauh enam tombak. dan hinggapkan kaki di atas ba-
tu di tempat ketinggian.
***
DELAPAN
ANEH, TAMPAKNYA walaupun mata si kakek
muka seram itu buta, tapi mengetahui dimana berke-
lebatnya tubuh Roro. Seakan-akan lengannya mempu-
nyai mata saja, segera meluncur ke arah Roro. Namun
Roro Centil memang telah siap. Rantai Genitnya telah
dibelitkan di pinggang. Sepasang lengannya terentang,
memapaki serangan.
BLHAARRR! Terdengar suara keras menggele-
dek. Itulah jurus Taufan Melanda Karang yang amat
dahsyat.
Terdengar pekikan paras si Jerangkong Mata
Buta Sepasang lengannya hancur beserpihan. Manu-
sianya sendiri terlempar beberapa tombak terkena ha-
wa pukulan jurus dahsyat itu.
Baru saja tubuh si Jerangkong Mata Buta ber-
henti terpental, Roro telah melesat memburunya Dan...
WHHUUUUKK...!
Kembali sepasang lengannya lancarkan seran-
gan dahsyat. Angin pukulan Roro menimbulkan ge-
lombang angin dahsyat yang membuat tubuh si Je-
rangkong Mata Buta terlempar ke bawah tebing den-
gan perdengarkan bunyi berkrotakan. Dan...
BYYURRR! Air sungai menyemburat ke udara, menelan
tubuh manusia bertaring itu untuk tak timbul lagi.
Akan tetapi air di tempat bekas terjatuhnya tubuh si
Jerangkong Mata Buta tampak diwarnai genangan da-
rah berwarna merah....
Roro Centil berdiri di atas batu tebing menatap
ke bawah. Terdengar suara helaan nafas nya. Angin
barat dari arah perbukitan membersit menyibak ram-
butnya. Gadis Pendekar ini berdiri lama, tercenung
menatap jauh ke dasar sungai Sementara angin nakal
menyibakkan serpihan pakaiannya yang robek disana-
sini yang sudah hampir tak berbentuk pakaian lagi.
Akan tetapi ketika Roro melangkah untuk beranjak
dan situ tubuhnya terhuyung limbung. Tampak terli-
hat keletihan yang amat luar biasa pada Roro, karena
akibat pengeluaran tenaga dalam yang menguras habis
tenaganya. Setelah mengeluarkan suara tertawa yang
mempergunakan penyaluran tenaga dalam mencapai
hampir tiga perempat tenaga dalam, lalu menerjang si
Jerangkong Mata Buta dengan jurus dahsyat Taufan
Melanda Karang, lalu menghantam lawannya dengan
pukulan tenaga dalam terakhir tentu saja membuat si
Pendekar Wanita Pantai Selatan kehabisan tenaga.
Dan jatuhlah dia mendeprok di tanah berbatu. Pan-
dangan matanya mendadak mulai nanar dan berku-
nang-kunang. Bumi terasa berputar, dan pandangan
matanyapun menjadi gelap. Akhirnya Roro terkulai
menggabruk tak sadarkan diri...
Entah dari mana munculnya laki-laki misterius
yang pernah berjumpa dengan Roro direstoran, tahu-
tahu sudah berada di hadapan Roro Centil yang tergo-
lek tak sadarkan diri. Cepat sekali gerakan laki-laki
itu, sekejap sudah menyambar tubuh Roro dan me-
mondongnya. Lalu bergegas menuruni lereng tebing.
Beberapa saat antaranya telah tiba di tepi mua-
ra sungai. Seperti kejadian kemarin, sosok tubuh laki
laki berbaju serba putih itu melenyap. Dan berubah
menjadi seekor buaya putih, dengan tubuh Roro bera-
da pada moncongnya. Pelahan makhluk melata itu me-
rayap sisi air. Lalu menyelam, menenggelamkan tubuh
Roro yang segera lenyap di bawah permukaan!
Ketika Roro sadarkan diri betapa terkejutnya,
karena dia berada di dalam sebuah relung goa, dimana
disekelilingnya berjajar berpuluh-puluh buaya putih.
Ada yang tengah ngangakan mulutnya lebar-lebar, ada
pula yang beringsut-ingsut berdesakan dengan ka-
wannya.
Roro sendiri terkapar di atas sebuah batu da-
lam keadaan tanpa busana. Terperanjat Roro Centil,
dan kagetnya bukan alang kepalang. Kemanakah le-
nyapnya pakaiannya yang telah cabik-cabik itu? Dan
kemana pula senjata Rantai Genitnya...?
Roro benar-benar tak habis pikir. Segera dia te-
ringat akan peristiwa yang terjadi pada dirinya, yang
diingatnya adalah dia berada di atas tebing setelah
menghantam si Jerangkong Mata Satu dengan puku-
lannya hingga manusia muka seram bertaring itu ter-
lempar, dan tercebur ke dalam sungai. Akan tetapi
mengapa kini berada di satu tempat seram yang dikeli-
lingi buaya-buaya putih? Roro tak dapat berpikir terla-
lu jauh. Dirasakannya kepalanya masih berdenyutan,
dan terasa lemah sekali tenaganya untuk bergerak.
"Apakah ini tempat sarang Siluman Buaya Pu-
tih...?" berkata Roro dalam hati dan tersentak kaget.
"Ataukah ini cuma mimpi...?" gumamnya lagi, seraya
mengucak-ucak matanya. Dalam keadaan kebingun-
gan itu, terdengar suara tertawa bernada dingin yang
membangunkan bulu roma.
"Hehehe hehehe... jangan terkejut, nona cantik!
Kau berada di dalam "Istana"ku! Satu kehormatan
buat seorang anak manusia yang bisa menjadi tetamu
terhormat ku! Heheheh... hehehehe!"
Roro belalakkan matanya menatap ke arah re-
lung goa dihadapannya. Ternganga mulut Roro Centil
melihat sesosok tubuh tersembul keluar dari dalam re-
lung goa bagian dalam. Tentu saja! Karena yang mun-
cul adalah sesosok tubuh berkepala buaya, akan tetapi
bertubuh manusia. Sepasang mata manusia buaya itu
menjalari sekujur tubuh Roro dengan liar, bagaikan
tengah menimbang-nimbang akan diapakankah calon
korbannya ini...?
Baru sekali ini Roro rasakan ketegangan luar
biasa pada syarafnya. Dan tubuhnya bergetaran seir-
ing dengan degup jantungnya yang semakin cepat. Un-
tuk menghadapi manusia-manusia biasa mungkin Ro-
ro masih bisa pergunakan akal sehatnya. Akan tetapi
menghadapi makhluk-makhluk siluman begini, serasa
otaknya menjadi buntu. Tak tahu lagi apa yang akan
diperbuatnya, karena saat itu tubuhnya terasa teramat
letih tak bertenaga sama sekali.
"A... apa yang kau mau menawan ku...? berkata
Roro dengan tergagap.
"Heheheheh hahahaha... tentu ada maksudnya,
nona cantik! Karena aku akan memperistri mu!" Sahut
si manusia buaya.
Tentu saja jawaban itu membuat Roro terbela-
lak. "Gila! Apa-apaan...?" sentak Roro terperanjat.
"Bedebah! Siapa sudi bersuamikan manusia si-
luman macam kau?" bentak Roro gusar.
"Aku tidak mau...!" teriak Roro seraya beringsut
undur menggeser tubuhnya. "Aku mau...!" berkata si
manusia buaya seraya beranjak menghampiri.
"Siluman keparat! Jangan coba-coba kau dekati
aku, rasakan pukulanku!" bentak Roro seraya gerak-
kan lengannya menghantam ke depan. Akan tetapi dia
mengeluh lalu roboh terlentang. Tak kuasa Roro menahan tubuhnya.
"Heheheh... kau tak bisa menolak keinginan
ku!" berkata si makhluk siluman buaya seraya melom-
pat ke hadapan Roro. Dan... sekaligus lengannya ber-
gerak memeluk tubuh Roro dengan gulirkan tubuhnya
menindih si Pendekar Wanita Pantai Selatan.
Tersentak Roro Centil dengan keringat dingin
mengucur deras membasahi sekujur tubuh. Sementara
itu moncong si manusia buaya menyosor ke leher Roro
dengan mendengus-denguskan hidungnya. Tampaknya
Roro memang sudah tak berdaya. Dan saat itu Roro
benar-benar sudah pasrah akan nasib yang bakal me-
nimpanya. Akan tetapi detik itu...
GRRRR...! Terdengar suara menggeram dah-
syat. Dan tahu-tahu seekor harimau tutul telah men-
jelma di belakang punggung si manusia buaya. Detik
berikutnya sepasang kakinya telah mencengkeram
punggung si manusia buaya. BREETT! Siluman manu-
sia buaya memekik kesakitan ketika kuku-kuku runc-
ing si Tutul merobek kulit punggungnya, ketika dengan
terkejut dia berusaha menghindari terkaman harimau
yang luar biasa besarnya itu.
Selanjutnya terjadilah pergumulan seru, antara
si manusia buaya lawan harimau tutul di relung goa
itu.
Sementara puluhan ekor buaya bergerak me-
ngurung, dan membantu sang pemimpinnya. Gigit
menggigit, cakar mencakar dan hempas menghempas
menimbulkan suara gaduh sekali.
Saat terjadi pertarungan secercah sinar aneh
yang mirip sehelai selendang sutera telah menjulur ke
arah tubuh Roro dan membelitnya. Kemudian...
PLASH! Tubuh si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu
telah dibetot keluar dari dalam relung goa. Sukar un-
tuk diikuti oleh mata, karena detik itu juga tubuh Roro
Centil telah dibawa melesat oleh sesosok bayangan
yang meluncur cepat dengan memanggul tubuh dara
itu.
Roro rasakan angin membersit menerpa wajah-
nya. Terasa tubuhnya bagaikan melayang cepat entah
kemana... Tapi kelanjutannya entah dari mana da-
tangnya hawa mengantuk. Dan Roro sudah tak ingat
apa-apa lagi.
***
Terkejut Roro Centil ketika melihat seorang wa-
nita tua duduk bersimpuh di hadapannya, seraya be-
rucap...
"Maaf, Ratu...! Hamba terpaksa membawa pa-
duka Ratu kemari, untuk memberi petunjuk."
"Siapakah kau, orang tua...?" Tanya Roro den-
gan heran, seraya menatap wajah orang serasa Roro
pernah mengenalnya, tapi entah dimana. Aneh, ketika
Roro bangkit untuk duduk ternyata hal itu mudah se-
kali dilakukan. "Ah, apakah tenagaku telah pulih...?"
desis Roro dalam hati "Syukurlah paduka Ratu telah
kembali sehat!" ucap si nenek. Lalu lanjutkan ucapan-
nya." Hamba adalah pengasuh si Tutul! Apakah padu-
ka Ratu lupa...?"
Tentu saja Roro jadi melengak. Setelah sekian
lama diingat-ingat barulah Roro mengenali wanita tua
itu, yang pernah dijumpai di pulau Andalas. baca:
Serial Roro Centil, judul: Siluman Kera Putih.
Betapa girangnya Roro dengan pertemuan itu.
Cepat-cepat Roro menjura hormat pada wanita tua itu,
yang membahasakan dirinya dengan sebutan Ratu.
Roro sendiri memang tak tahu sebabnya. Cuma karena
kebetulan Roro mempunyai Cincin berbatu Merah De-
lima yang dapat menundukkan si Harimau Tutul Siluman itulah yang membuat si wanita tua menghorma-
tinya, dan menganggap Roro sebagai Ratu si pemilik
Harimau Tutul yang selama ini diasuhnya.
Ternyata nenek misterius itu telah menolong
Roro dengan mengembalikan tenaga dalamnya serta
kesempurnaan kondisi tubuhnya seperti sediakala,
yaitu dengan cara memijit-mijit beberapa jalan darah,
di saat Roro tertidur pulas akibat aji sirep yang diper-
gunakannya.
***
SEMBILAN
AH, PADUKA RATU...! Tak layak hamba mene-
rima penghormatan anda! Buru-buru lengan si nenek
terjulur mengangkat bahu Roro. Terasa hawa hangat
mengalir ke sekujur tubuh Roro ketika pundaknya ter-
sentuh lengan wanita tua itu. Tahulah Roro kalau si
nenek itu seorang manusia sakti yang berilmu tinggi.
"Ah, mengapa aku tak mengangkat guru padanya?" se-
gera terpikir dibenak Roro. Bukankah dengan berguru
padanya setidak-tidaknya dia dapat memperoleh tam-
bahan ilmu? Untuk berpetualang di Rimba Persilatan
tidaklah cukup cuma berbekal ilmu dengan apa yang
sudah dimilikinya karena di atas langit masih ada lan-
git. Dan bukan sedikit kaum golongan hitam yang be-
rilmu tinggi. Akan sukarlah bagi Roro untuk mewujud-
kan cita-citanya menumpas kejahatan dan menegak-
kan keadilan di jagat raya ini.
Berpikir demikian, tiba-tiba Roro bersujud dan
memeluk wanita misterius itu, seraya berucap.
"Nenek! Angkatlah aku sebagai muridmu...! Wa-
lau kau menyebutku dan menganggapku sebagai Ratu
mu, tapi aku merasa bukanlah seorang Ratu. Perke-
nankanlah aku menjadi muridmu...!"
"Ah, ah... ah... !? Apa-apaan paduka Ratu?
Jangan berbuat begini!" Tersentak si wanita tua miste-
rius. Seraya mengangkat tubuh Roro berdiri memba-
rengi tubuhnya yang bergerak melompat untuk berdiri.
Tentu saja Roro tercengang. Karena dalam membung-
kuk, bersujud serta memeluk kaki si nenek tua itu Ro-
ro telah pergunakan ilmu memberatkan tubuh, dan ge-
rakan lengannya memeluk kedua kaki si wanita tua itu
telah mempergunakan ajian Sari Rapet, yang membuat
lengannya menempel kuat di kaki sang nenek. Jan-
gankan seekor kuda, tenaga sepuluh ekor kudapun bi-
la di "kerjai" Roro dengan ilmu memberatkan tubuh
dan ajian Sari Rapet, sudah dapat dipastikan tak akan
mampu bergerak dari tempatnya. Akan tetapi si nenek
itu dengan mudah dapat melepaskan cekalan kuat se-
pasang lengan Roro, bahkan mampu mengangkatnya
untuk berdiri.
"Luar biasa!" sentak Roro dalam hati. Sepasang
mata Roro menatap nenek itu penuh kekaguman. Tak
salah dugaannya yakinlah dia kalau si wanita tua mis-
terius itu seorang nenek yang sakti mandraguna.
"Nenek! Mengapakah kau menolak keinginan
ku?" tanya Roro penasaran. Perempuan tua ini tak
menjawab. Kakinya melangkah ke belakang dua tin-
dak, lalu putar tubuh untuk selanjutnya beranjak me-
langkah menuju keluar pondok reyot dipuncak bukit
itu. Terdengar suara helaan nafasnya. Sepasang ma-
tanya menatap ke bawah lereng. Dan terdengar sua-
ranya lirih.
"Bukan hamba menolak, paduka Ratu! Akan te-
tapi belum tiba saatnya...! Hamba kira dengan ilmu
yang paduka Ratu miliki sudah cukup sempurna.
Bahkan paduka Ratu dapat menciptakan jurus-jurus
ilmu silat yang pasti tak kalah hebatnya dengan cip-
taan para golongan tua kaum Rimba Hijau!"
"Untuk menciptakan jurus-jurus itu memang
aku pernah, tapi entah mengapa aku cepat lupa. Se-
perti yang pernah ku coba, tapi cuma dalam mimpi...!"
tukas Roro dengan leletkan lidah membasahi bibirnya
yang kering.
"Cuma dalam mimpi...?" ucap si nenek sambil
tersenyum, dan balikkan tubuh menatap Roro. Roro
mengangguk. Nama jurusnya aku ingat, akan tetapi
aku lupa bagaimana cara mempergunakannya!" lanjut
Roro.
Tertawa terkekeh si nenek memperlihatkan tiga
buah giginya yang hitam.
"Ya, ya... apakah nama jurus ciptaanmu itu?"
Roro segera mengingat-ingat, selang sesaat ba-
ru menjawab.
"Kalau tak salah jurus itu kunamakan... Men-
gosongkan Perut Menahan Lapar!" Kalau saja si nenek
misterius itu tak pandai menyembunyikan wajah ter-
kejutnya, tentu Roro akan melihat mimik wajah si wa-
nita tua itu berubah. Karena di hati si nenek telah
membatin. "Luar biasa... junjungan ku ini telah mam-
pu mempergunakan jurus hebat itu dalam usia begini
muda! Kalau memang jurus yang dinamakan demikian
itu adalah jurus langka itu, kiranya akan sulitlah dija-
tuhkan lawan yang bagaimanapun tinggi ilmunya!
Sayang dia cuma menciptakannya dalam mimpi...!" ha-
tinya membatin demikian akan tetapi bibirnya berge-
rak berbicara.
"Nama jurus yang hebat... heheheh... kelakpun
paduka Ratu dapat mengingatnya!" Roro cuma ter-
diam, tundukkan wajah tenggelam dalam terman-
gunya. Terkejut Roro barulah dia menyadari kalau tu-
buhnya telah mengenakan pakaian yang utuh. Bahkan
senjata Rantai Genit sudah sejak tadi terbelit diping-
gangnya. Melihat perubahan wajah Roro si nenek ter-
senyum.
"Hehehe... hamba telah mengganti pakaian pa-
duka Ratu dengan yang baru! Dan senjata kesayangan
paduka Ratu itu tentu saja tak lupa hamba ikatkan di
tempat semula!" Membelalak sepasang mata Roro Cen-
til, barulah dia teringat akan si Tutul yang sewaktu
menolong dirinya, tengah bertarung dengan si manusia
buaya. Bahkan puluhan ekor buaya putih turut pula
mengerubutinya. Keheranan Roro Centil segera terja-
wab, ketika si wanita misterius itu menceritakan keja-
dian di relung goa di sarang makhluk siluman buaya
putih. Ternyata setelah mengamankan Roro, si nenek
telah kembali ke dalam relung goa membantu perta-
rungan si Tutul dengan manusia siluman buaya. Ke-
hebatan sepak terjang si pengasuh harimau tutul itu
telah membuat porak poranda puluhan buaya putih.
Mereka menghambur melarikan diri, termasuk si ma-
nusia buaya yang pandai menyelamatkan diri. Selan-
jutnya segera si wanita tua itu memeriksa isi ruangan
relung goa dan menemukan pakaian dalam Roro serta
senjata Rantai Genitnya...
***
BEBERAPA HARI berdiam di atas puncak bukit
itu, Roro banyak menerima penjelasan mengenai si Ra-
tu Siluman Buaya Putih dari wanita tua itu sebelum
bermohon diri. Dan semua itu menjadi bekal untuk
Roro menyatroni ke sarang ratu siluman itu.
Kita tinggalkan dulu Roro Centil yang sudah
bersiap-siap untuk berangkat ke sarang Ratu Siluman
Buaya Putih. Marilah kita menjenguk ke pondok tem-
pat tinggal si dukun tua bernama Kenca. Sesosok tubuh tampak menyatroni pondoknya. Dialah si laki-laki
berbaju serba putih. Pancaran matanya tampak bera-
pi-api mengandung dendam menatap ke arah pondok.
Sekali berkelebat tubuhnya sudah melesat tiba di de-
pan rumah gubuk sederhana itu.
BRRAAAK...! Tiba-tiba kakinya menghantam
daun pintu yang tertutup itu yang segera menjeblak
terbuka dengan papan hancur beserpihan. Ditung-
gunya sesaat, akan tetapi tak ada orang yang muncul
dari dalam. Sekejap dia telah melompat masuk ke da-
lam ruangan. "Dukun keparat! Keluarlah kau...! Aku
akan membunuh mu! Terdengar suara bentakannya.
Akan tetapi tetap tak ada sahutan. Tentu saja mem-
buat laki-laki ini jadi gusar. Kakinya bergerak. Dan,
hancurlah pintu kamar itu. Akan tetapi setelah meme-
riksa di setiap sudut, bahkan ke kolong tempat tidur
tak dijumpai ada siapa-siapa. Tahulah dia kalau si
penghuni pondok itu tak ada di rumah. Kecuali pon-
dok yang kosong melompong, dan sebuah tempat pe-
dupaan.
"Keparat! Manusianya sudah kabur rupanya..."
memaki laki-laki itu dengan suara berdesis. Dan kare-
na gusarnya dihancurkannya pondok itu. Tak lama dia
sudah berkelebat pergi. Ternyata menuju ke muara
sungai. Disana laki-laki itu kembali merobah dirinya
mewujud seekor buaya putih, yang kemudian mengge-
losor menyelam ke bawah permukaan air.
Kiranya sesosok tubuh sejak tadi telah melihat
kejadian itu, dan menguntit si laki-laki hingga menjel-
ma menjadi buaya putih yang menyelam ke dalam
sungai di muara itu.
Dialah Roro Centil adanya. Gadis ini leletkan li-
dah sambil tersenyum. Hatinya membatin. "Bagus! Su-
kurlah Kenca tak berada dipondoknya. Aku mengkha-
watirkan keselamatan si bocah laki-laki itu. Kuduga
pasti si kakek dukun tengah mengantarkannya kemba-
li ke rumah orang tuanya...! Hm, aku dapat segera
mengikuti kemana gerangan perginya si manusia silu-
man buaya itu!"
Pelahan Roro mendekati ke tepi air. Lalu tu-
runkan kakinya. Dan menyelamlah Roro Centil untuk
mengikuti jejak si manusia siluman buaya. Aneh! Roro
rasakan leluasa bernapas. Sepasang matanya segera
dibuka terpentang mencari kemana gerangan berge-
raknya buaya siluman itu. Terlihat buaya penjelmaan
si laki-laki berbaju putih itu bergerak meluncur menu-
ju ke dasar sungai. Cepat Roro memburunya. Ternyata
buaya itu memasuki relung-relung batu berlumut di
dasar sungai. Berliku-liku meniti batu-batu dan me-
masuki celah demi celah.
Hingga kemudian sang "Buaya Putih" memasu-
ki satu lorong panjang di dasar sungai. "Apakah ini
yang namanya lubuk Hantu itu?" pikir Roro.
Ketika buaya yang dibuntutinya itu memasuki
satu celah di ujung lorong, segera lenyaplah makhluk
itu. Roro cepat berenang menyusulnya. Akan tetapi
saat itu dari sebuah lorong bagian lain tersembul seso-
sok makhluk menyeramkan. Berambut panjang beria-
pan. Sepasang matanya memancarkan sinar berwarna
merah menyala bagaikan bara api. Makhluk ini lengan
dan kakinya mirip manusia. Akan tetapi kulit pung-
gungnya bersisik dan berduri mirip buaya, serta mem-
punyai ekor pendek. Wajahnya mirip setengah manu-
sia setengah buaya dan bermoncong tak terlalu pan-
jang.
Melihat adanya seorang manusia memasuki
ruangan "Istana"nya, makhluk ini membentak gusar.
"Krrraah...! Siapakah kau manusia, berani me-
masuki tempat bersemayam ku!" Terkejut Roro Centil,
seraya balikkan tubuhnya. Terperangah Roro melihat
makhluk aneh yang mengerikan itu. Tak terasa ka-
kinya melangkah mundur dua tindak. "Ssssi... siapa-
kah kau...? Apakah kau si Ratu Siluman Buaya Pu-
tih...?"
"Hm, tidak salah! Katakan siapa dirimu, dan
maksud apa menyatroni tempatku...?" bentaknya lagi
seraya melompat ke hadapan Roro. Gerakannya ringan
sekali seolah tak berada di dasar air.
"Hihihi... bagus! Aku bernama Roro Centil! Ke-
datanganku adalah memang mau membekuk mu, Ra-
tu...!" berkata Roro dengan senyum jumawa.
"Edan! Besar sekali nyalimu? Hah, tapi me-
mang pantas karena kau bisa menyambah dasar air.
Namun kesombonganmu akan mengubur diri mu sen-
diri di dasar lubuk ini, manusia...!" ujarnya ketus.
Akan tetapi diam-diam si Ratu Siluman Buaya Putih
terkejut juga melihat sesuatu bersinar dari bagian pu-
sar tubuh Roro. "Hm, untuk bertarung dengan manu-
sia sombong macam kau, aku takkan gentar walau be-
lum kuketahui persoalan apakah kau mau mering-
kusku? Tapi kau memiliki Mutiara Gaib Dasar Lubuk,
dari mana kau dapatkan benda itu?"
Terkejut juga Roro mengetahui si Ratu Buaya
itu tahu kalau dia membekal mutiara mukjizat dalam
perutnya.
"Hihihi... kau kenal seorang manusia laki-laki
bernama KENCA? Dialah yang telah memberikan ben-
da ini padaku!" sahut Roro santai.
"Hm, sudah kuduga! Dimanakah adanya Kenca
kini... ?" sekonyong-konyong suara sang Ratu Siluman
Buaya Putih jadi agak lunak.
Roro yang sudah paham kalau Kenca adalah
bekas "suami" makhluk ini, segera menjawab.
"Dia masih hidup dan sehat segar bugar! Akan
tetapi istrinya dialam manusia telah tewas akibat ketelengasan mu. Dan kau telah pula membuat menderita
hidupnya! Kau adalah makhluk siluman yang berbeda
alam dengan manusia, mengapa kau menyusahkan
manusia? Dia kau bersuamikan dengan paksa. Keta-
huilah! Walaupun bagaimana manusia tetaplah manu-
sia, tak dapat dia kau paksa menjadi makhluk siluman
macam kau! Disamping kau merebut kemerdekaan
seorang manusia kau juga banyak membuat keonaran
menculik dua orang gadis yang dilakukan oleh lasykar
mu. Sudah tentu adalah atas perintahmu sebagai Ra-
tunya!"
***
SEPULUH
SERAYA BERKATA diam-diam Roro Centil ber-
kata dalam hati. "Heran! Menurut cerita Kenca, sang
Ratu Siluman Buaya Putih seorang wanita yang amat
cantik, akan tetapi nyatanya adalah makhluk yang
menyeramkan begini?"
Saat itu terdengar suara sahutan menggeledek
begitu selesai Roro bicara.
"Dusta! Aku tak pernah melakukan kekejian
semacam itu, apa lagi memerintahkan lasykarku! Ti-
dak sama sekali aku! Bahkan memberikan mustika
mutiara itu agar dia kembali bersamaku karena kami
sudah terlanjur punya keturunan!" "Aneh...!? Kalau
bukan suruhanmu, habis siapa yang dapat ku salah-
kan? Bahkan aku sendiri hampir mengalami nasib
naas karena tertawan di saat aku tak sadarkan diri,
oleh lasykar mu. Beruntung nasibku baik ada yang
menolongku!" ujar Roro terheran.
Saat itu tiba-tiba tersembul seekor buaya putih
dari ujung lorong.
"Ibu...! Manusia ini telah berani memasuki wi-
layah kita mengapa tak dibunuh segera?" Berkata de-
mikian si buaya putih telah merobah ujudnya menjadi
seorang laki-laki baju putih yang tadi dibuntuti Roro.
Sang Ratu palingkan kepalanya menatap pada laki-laki
itu. Sementara Roro diam-diam terkejut, hatinya mem-
batin. "Hm, sudah kuduga, dia ini pasti anak Kenca!"
Akan tetapi aneh...? Mengapa dia mengobrak-abrik
pondok dukun tua itu bahkan mencari Kenca untuk
membunuhnya? Pikir Roro Centil.
"Anakku, manusia ini datang karena salah pa-
ham. Ibu telah ada yang memfitnah dan di tuduh me-
lakukan kejahatan pada penduduk! Persoalan bisa dis-
elesaikan secara damai, mengapa harus main bunuh
saja?" Memang aneh sang Ratu Siluman Buaya Putih
ini. Kalau tadi memang marah luar biasa tempatnya
disambah orang, akan tetapi kini berbaik mau menga-
jak berdamai.
"Maafkan kelancangan anakku, sobat manu-
sia...! Sesungguhnya hal ini membuat aku penasaran
untuk membongkar kasus kejahatan yang terselubung
dalam selimut di Kerajaan ku! Marilah kupersilahkan
anda untuk berbincang-bincang di Istana...!" Ujar sang
Ratu dengan suara lembut.
Melihat suara serta sikap sang Ratu yang tak
bermusuhan, apalagi mengajak Roro untuk singgah ke
"Istana" tentu saja Roro tak menolak. Karena memang
Roro penasaran sekali yang bagaimanakah "Istana"
sang Ratu Siluman Buaya Putih itu seperti yang di-
dongengkan Kenca? Lantas saja Roro mengangguk, se-
raya berkata.
"Hm, kalau itu keinginanmu aku tak dapat me-
nolak!"
"Terima kasih, turutlah kataku. Pejamkan mata
anda...!" ujar sang Ratu. Sejenak Roro ragu-ragu, men-
gapa harus pakai pejamkan mata segala? Pikirnya.
Akan tetapi Roro segera menyahut. "Baiklah...! Dan se-
gera dia turuti perintah itu. Keberanian Roro dalam
mengambil keputusan adalah termasuk ugal-ugalan.
Akan tetapi didorong rasa ingin tahu, Roro tak
mengkhawatirkan adanya tipu daya dari pihak siluman
yang belum diketahui wataknya.
Ternyata memang tak ada kejadian apa-apa se-
lain sebentar kemudian terdengar suara sang Ratu.
"Nah, sekarang bukalah mata anda!"
Roro belalakkan matanya lebar-lebar. Dan...
bagaikan di alam mimpi saja layaknya karena semua-
nya telah berubah. Dia berada dalam sebuah mahligai
indah yang keindahannya melebihi istana Kerajaan di
alam manusia. Dinding ruangan terbuat dari batu pua-
lam putih, dengan lantai licin berkilat berwarna-warni.
Beberapa pintu dijaga oleh pengawal istana yang ke-
semuanya mirip manusia. Juga perabotan lain terma-
suk kursi-kursi dan meja Kerajaan yang anggun. Du-
duk di sebuah kursi singgasana seorang wanita yang
cantik luar biasa mengenakan pakaian Kerajaan. Di
hadapannya pada anak tangga ada dupa setanggi yang
mengepulkan asap harum. Tercengang Roro Centil me-
lihat keajaiban itu. Dan hatinya tercekat. Kakinya be-
ranjak melangkah mendekat ke arah wanita cantik
luar biasa itu. "Andakah... sang Ratu itu...?" tanya Ro-
ro terperangah.
"Benar, silahkan duduk, nona Pendekar...! Ada
suara gaib yang membisik di telingaku ternyata adalah
si Pendekar Wanita Roro Centil, betulkah demikian...?"
"Aiiii...! Ratu telah mengetahui? Ssi... siapa
yang telah membisikinya?" Tanya Roro seraya melom-
pat ke kursi Kerajaan di hadapan Ratu Siluman Buaya
Putih, dan duduk menyandar di bangku yang empuk
itu dengan tumpangkan sebelah kaki.
"Hm, dia sahabatku, juga orang yang kau kenal
baik, bernama MURI ASIH!"
"He? siapa dia? Aku baru kenal namanya. Sia-
pakah yang Ratu maksudkan...?" tanya Roro terheran.
"Wah, masakan anda tak mengenal nama bekas
pengasuh si Tutul macan peliharaan anda...?" Ujar
sang Ratu dengan tersenyum manis memperlihatkan
dua lekukan di pipinya. Disamping kagum melihat ke-
cantikan sang Ratu, Roro juga terperangah mendengar
penjelasan itu. Dan dia pun manggut-manggut men-
gerti, dan berpikir. "Ah, pantaslah kalau si Ratu Silu-
man ini tak memusuhi ku? Baru ku tahu kalau nenek
pengasuh si Tutul bernama Muri Asih!" Entah bangsa
manusia ataukah bangsa siluman si nenek itu, Roro
enggan menanyakannya.
Demikianlah, sikap bersahabat sang Ratu Si-
luman Buaya Putih ternyata memang ada dasarnya.
Roro ternyata menjadi seorang tetamu terhormat di Ke-
rajaan Siluman di dasar lubuk muara sungai Maha-
kam, yang dihuni makhluk-makhluk siluman. Keliha-
tannya terlalu musykil. Tapi alam siluman atau alam
halus memang penuh dengan kemisteriusan. Terka-
dang di luar jangkauan pemikiran manusia. Kalau Du-
nia Rimba Persilatan sudah banyak keanehannya, apa-
lagi dunia Rimba Siluman...?
"BODOH...! Carilah akal untuk membunuhnya?
Manusia itu bisa membahayakan kita! Ketahuilah! Si-
fat manusia tak bisa dipercaya! Dia pandai berpura-
pura, berakal licik tak bisa dipercaya. Ibumu itu seo-
rang Ratu yang tolol! Bila kita biarkan dia menjadi ta-
mu agung di Istana Kerajaan Siluman kelak bukan sa-
ja membahayakan ibumu sendiri, juga bisa memba-
hayakan kita." Bentakan dan kata-kata bernada keras
itu terdengar di satu relung goa yang keadaannya telah
porak-poranda. Itulah kata-kata yang keluar dari mu-
lut si manusia kepala buaya. Di hadapannya duduk
menundukkan wajah si laki-laki baju putih.
"Apakah aku harus menentang ibuku sendi-
ri....?" berkata laki-laki muda itu dengan suara parau.
Tampaknya dia dalam kebimbangan.
"Hm, kau memang siluman yang bodoh! Aku
sudah suruh kau membunuh dukun tua bernama
Kenca itu, yang susah payah aku menyelidiki tempat-
nya! Akan tetapi pekerjaanmu sia-sia...! Manusia ber-
nama Kenca itu adalah pembunuh ayahmu, akan teta-
pi justru ibumu mencintainya! Hal ini tak perlu kau
tanyakan pada ibumu, karena kau tahu sifat ibumu.
Sekali kau bertanya, maka kau akan dibunuhnya! Jadi
maksudku bukan kau harus menentang ibumu, tapi
demi ketenteraman bangsa siluman maka wanita yang
kuketahui bernama Roro Centil itu harus di lenyapkan
segera. Carilah jalan terbaik untuk membunuhnya se-
cara diam-diam. Sementara aku akan mencari Kenca!
Aku takkan turun tangan untuk membunuh manusia
itu. Karena kau pasti akan penasaran sekali kalau tak
membunuh dengan tanganmu sendiri musuh besarmu
itu...!"
Tercenung pemuda baju putih ini. Tampak wa-
jahnya menegang, dan dadanya berombak-ombak. Be-
berapa tetes air mata jatuh meluncur membasahi baju
dan meleleh dipipinya. Sepasang lengannya bergerak,
dan kedua tangannya terkepal. Terdengarlah suaranya
tergetar menahan gejolak perasaan yang menggebu di
dada menahan dendam.
"Aku... aku segera akan bunuh manusia pe-
rempuan itu, paman! Dan... terima kasih atas ban-
tuanmu...!"
"Bagus! Akan tetapi sebaiknya kau tunda dulu
niatmu itu, aku akan mencari manusia bernama Kencaitu! Anak buahku telah berhasil menyelidiki dimana
adanya dia!" berkata si manusia berkepala buaya, sete-
lah berpikir sejenak.
"Terserah bagaimana baiknya paman...!" sahut
laki-laki baju putih itu. Nah, selama aku pergi segera
kau susun rencanamu!"
Selesai berkata si manusia kepala buaya mele-
sat keluar dari relung goa dan melenyapkan diri. Laki-
laki baju putih itu cuma duduk termangu dengan piki-
ran kosong...
Di atas tebing, manusia kepala buaya itu mero-
bah ujudnya menjadi seorang kakek berkaki pincang.
Berpakaian penuh tambalan dengan topi tudung bu-
tut. Lalu dengan melompat dan berlari-lari cepat sege-
ra menuju ke arah timur...
Ternyata Kenca memang berada di desa Temba-
lu. Setelah mengantarkan si bocah laki-laki bernama
Sugala itu ternyata tak kembali kepondoknya. Ada be-
rita bahwa pondoknya telah porak-poranda. Laki-laki
tua ini mendapat firasat tidak baik. Itulah sebabnya
dia menyembunyikan diri di desa Tembalu. Akan tetapi
makhluk-makhluk siluman buaya putih telah menye-
bar mencari jejaknya. Dan diketahui dimana adanya
dia. Anak buah si laki-laki kepala buaya ternyata tak
mengambil tindakan sesuai perintah. Kecuali memberi
laporan dimana adanya dukun tua bernama Kenca itu.
Siang itu tiba-tiba udara mendadak berubah
gelap. Angin keras membersit dari arah barat. Kenca
duduk bersila dalam sebuah kamar, di sebuah pondok
yang disediakan orang tua Sugala untuk tempatnya
menginap sementara. Sepasang matanya yang tadi ter-
pejam kini terbuka. Udara yang mendadak menjadi ge-
lap seperti mau turun hujan itu memang mencuriga-
kan hatinya. Karena sebagai seorang yang "berisi" se-
gera mengetahui adanya tanda-tanda bakal datang
marabahaya. Segera bibirnya tampak berkomat-kamit
membaca mantera.
Sisa pedupaan yang masih mengepul asap itu
ditambahnya lagi dengan kemenyan. Sementara tam-
pak wajah laki-laki tua ini kelihatan resah.
TRAK...! Tiba-tiba tempat pedupaan dari tanah
liat itu pecah. Tersentak Kenca. Wajahnya berubah
pucat. Dan pada saat itu juga pintu diketuk dari luar.
"Siapa...?" teriak Kenca dengan suara tertahan. Ter-
dengar suara batuk-batuk seperti suara orang tua
yang penyakitan.
"Siapakah bapak...?" Tanya Kenca, setelah
membuka pintu.
"Ooooh, aku tersesat jalan, nak...! Udara gelap,
angin kencang. Berilah aku tempat bermalam. Agaknya
hari mau hujan...!" Ujar si kakek kurus kering berkaki
pincang itu.
"Aaah, tentu dengan segala senang hati!" sahut
Kenca berbasa-basi. Akan tetapi diam-diam dia mem-
perhatikan kakek pincang itu. Timbul kecurigaannya
karena dia melihat sepasang kaki si kakek pincang itu
tak menginjak tanah. Bahkan tongkatnyapun meng-
gantung di udara. Namun terlambat. Sekali lengan si
kakek menjulur, Kenca telah kena ditotok roboh. Se-
lanjutnya cepat sekali gerakan si kakek pincang. Seke-
jap sudah memanggul tubuh Kenca pada pundaknya.
Dan... kejap berikutnya kakek pincang itu sudah mele-
sat pergi dan lenyap dalam kegelapan cuaca.
***
SEBELAS
"INILAH MANUSIANYA yang telah membunuh
ayahmu, Loman...!" teriak si kakek pincang di mulut
relung goa. Cepat sekali siluman buaya ini telah bera-
da di sarangnya lagi. Pada pundaknya tertelungkup
tubuh Kenca dalam keadaan tak berkutik. Akan tetapi
tak ada sahutan. Membuat sang "kakek" jadi terheran.
"LOMAAN...! LOMAAN!" teriaknya memanggil. Akan te-
tapi tetap tak ada sahutan. Dengan kesal dibanting-
kannya tubuh Kenca ke batu berlumut di bawah ka-
kinya. Mengeluh Kenca menahan sakit. Dan si kakek
pincang ini melompat ke dalam.
"Lomaan! Dimanakah kau...?" teriak lagi si ka-
kek pincang. Beberapa ruangan di dalam relung goa
itu diperiksanya. Akan tetapi memang tak ada peng-
huni siapa-siapa di dalamnya. Dengan memaki pan-
jang pendek segera beranjak keluar lagi. "Kemana pula
anak-anak buahku...?" desisnya tersentak. Akan tetapi
ketika baru dia tiba di mulut relung goa lagi, satu ben-
takan keras terdengar. "Siluman edan! ayoh, bertarung
lagi denganku!"
Terkejut kakek ini melihat siapa yang muncul.
Ternyata tak lain dari gadis cantik bangsa manusia
yang pernah jadi tawanannya, yang berhasil melo-
loskan diri karena kemunculan siluman Harimau Tutul
dan seorang nenek sakti yang kemudian mengobrak-
abrik sarangnya. Dialah Roro Centil!
"Hihihi... tak usah kau menyaru menjadi ka-
kek-kakek pincang segala! Mana kepala buayamu, si-
luman tengik...?" Teriak Roro yang dapat melihat ujud
aslinya dengan mata batin.
Mendelik sepasang mata si kakek pincang. Gu-
sarnya bukan kepalang karena ketahuan modalnya,
disamping terkejut karena kemunculan wanita pende-
kar ini di sarangnya. Bahkan bukan main terkejutnya
dia mengetahui Kenca sudah berdiri bebas, dan terle-
pas dari pengaruh totokannya.
"Kurang ajar! Kau berani melepaskan dia?" ben-
tak si kakek pincang.
"Mengapa tidak berani?" sahut Roro dengan
bertolak pinggang.
"Kau... kau akan tahu akibatnya! Hayo kelua-
rkan harimau tutul piaraan mu itu, apakah kau kira
aku takut? Hahahah... kali ini kau takkan dapat lolos
dari tanganku! Seperti janji ku, kau harus ku peristri
untuk menjadi penghuni sarangku menemani diriku
yang kesepian...!"
Mengakak tertawa si kakek pincang serta ber-
kata jumawa seperti tak memandang sebelah mata.
Tiba-tiba lengannya bergerak menghantam Roro
dengan pukulannya, disertai melompatnya tubuh si
kakek pincang. Serangan itu ternyata di barengi den-
gan tiga serangkaian tendangan beruntun yang cepat
sekali. Membuat Roro agak terkejut, karena tak me-
nyangka bakal diserang mendadak begitu rupa. Na-
mun Roro Centil segera gunakan jurus melompat yang
indah. Tubuhnya menekuk ke belakang hingga kepa-
lanya hampir menyentuh tanah. Sementara pukulan
pertamanya dipapaki dengan sebelah tangan.
WHUKKK...! Angin pukulan Roro membersit ke-
ras. Akan tetapi si kakek cepat putarkan tongkatnya.
Hebat akibatnya, tubuh Roro terlempar dua tombak.
Akan tetapi dengan bersalto Roro kembali jejakkan ka-
kinya ke tanah.
"Bagus! Jaga yang ini!" teriak si kakek pincang.
DHERR! DHERR...! Dua kilatan sinar berkredep
menyambar kaki Roro sebelum menginjak tanah.
"Ah...?!" teriak Roro dengan suara tertahan. Terpaksa
dia gerakkan tubuhnya melompat-lompat menghindari
kilatan yang menyambar ke arah kakinya. Akhirnya
Roro melompat agak jauh dan jejakkan kaki dengan
aman. Sementara sepasang lengannya telah siap melancarkan serangan balasan. Akan tetapi terkejut Roro
ketika melihat si kakek pincang itu tak tampak lagi ba-
tang hidungnya. Dan lebih-lebih lagi terkejutnya meli-
hat Kenca tak ada di tempat berdirinya.
"Setan alas! Aku terkecoh! Pasti kakek Kenca
telah dilarikannya!" Sentak Roro dalam hati. Mata Roro
jelalatan mencari jejak si kakek pincang dengan berke-
lebat memasuki lorong goa sarang si manusia kepala
buaya itu. Beberapa ruangan diperiksanya, namun tak
dijumpai di mana gerangan lenyapnya sang lawan.
"Sialan...!" maki Roro dengan mendongkol. Di
ubak-ubaknya seisi goa itu yang ternyata pada bagian
ujungnya adalah jalan buntu.
Sejenak termenung Roro. "Apakah dia mempu-
nyai jalan rahasia?" pikir Roro. Dia lupa kalau yang di-
hadapinya adalah makhluk siluman. Tentu saja mu-
dah bagi si kakek pincang untuk membawanya "ter-
bang" keluar goa dengan cepat.
Goa di lereng tebing yang tempatnya tersem-
bunyi itu memang banyak terdapat batu-batu yang
bertonjolan. Ternyata si kakek pincang memang telah
melompat kesana setelah menyambar tubuh Kenca, la-
lu lenyap di belakang batu.
Karena tak dijumpai kemana lenyapnya si ka-
kek pincang itu, Roro Centil segera melesat keluar goa.
Lalu melompat ke atas batu tebing di relung bagian
atas goa. Sampai disana kembali diarahkan pandan-
gannya mencari kalau-kalau terlihat tubuh lawan yang
dikejarnya.
"Gila! cepat benar larinya siluman itu!" gumam
si wanita Pendekar ini. Teringat bahwa si Tutul bisa
diperintahkan menyusul segera di panggilnya makhluk
sahabatnya itu.
"Tutul! kejarlah kemana dia perginya! Bantu
aku mencarinya!" desis Roro dengan mata masih mengawasi sekitar tebing.
"Grrrr...!" terdengar suara menggeram. Dan se-
sosok bayangan hitam melesat ke arah belakang teb-
ing. Roro berkelebat menyusul.
Sementara itu di lain tempat satu teriakan ka-
get terdengar santer....
"Loman...!?" Dan sesosok tubuh berkelebat me-
nyusul ke arah sisi tebing. Dialah si Ratu Siluman
Buaya Putih. Apakah yang dilihatnya...? Ternyata pe-
muda bernama Loman itu dalam keadaan terduduk
disudut batu dengan keadaan menyeringai kesakitan.
Sebuah belati terhunjam dilambungnya.
"Loman, anakku...! Mengapa kau lakukan
ini...?" tersentak Ratu dengan jeritannya. Tampak wa-
jah Ratu Siluman itu pucat pias menatap sang anak.
Diguncang-guncangkannya bahu anak muda itu den-
gan air mata mengalir bercucuran.
"Ibu... ku pilih jalan ini adalah demi kebaikan
ibu..." berkata lirih pemuda itu dengan menahan sakit.
Sementara darah merembes keluar dari lukanya. "Apa
maksudmu anakku...?" tanya Ratu dengan sedih.
"Aku... aku tak dapat menceritakannya, ibu...
tapi semua ini demi ketenteraman "kalian" berdua!
Aku... aku cuma jadi perintang antara dendam dan
cinta, dan membuat suasana Kerajaan siluman penuh
kemelut...! Se... selamat tinggal ibu... selesai berkata
demikian tubuh Loman terkulai dan nyawanya pun
melayang. Menangis terguguk sang Ratu Siluman itu
mendekap tubuh sang anak dalam pelukannya.
Pada saat itulah terdengar suara berkakakan.
"Hahaha... hahaha... mengapa kau tangisi kematian-
nya, Ratu...? Heh, sayang... sayang... dia tak sempat
melihat ayahnya! Juga "musuh besar"nya! Padahal ka-
lau manusia bernama Kenca ini mampus ditangannya
akan membuat hatiku senang...!"
Sang Ratu menoleh ke arah suara itu, dan
tampak si kakek pincang berdiri memandang kepa-
danya. Sementara di atas pundak tertelungkup seso-
sok tubuh.
Bruk...! Dilemparkannya tubuh yang di pang-
gulnya itu ke tanah, seraya berkata. "Heh, inilah "sua-
mi" tercinta mu, Ratu...! Katakanlah, dengan cara ba-
gaimana aku harus membunuhnya!" Selesai berkata
tiba-tiba tubuh si kakek pincang melenyap, dan beru-
bah menjadi seorang laki-laki gagah berwajah tampan.
Berpakaian mirip seorang Raja. Tentu saja membuat
Ratu Siluman itu melengak dan tercengang.
"Kau... kau... Bahadur ... ssu... suamiku?" ucap
sang Ratu dengan suara tergetar.
"Hahaha... benar! Matamu ternyata masih
awas! Patutkah kau tangisi kematian seorang anak ha-
ram hasil perzinahan mu dengan bangsa manusia...?"
Tertunduk sang Ratu Siluman. Hatinya terasa
bagai disayat-sayat. Cinta dan dendam mengaduk
menjadi satu dalam dadanya. Tiba-tiba dia bangkit
berdiri setelah baringkan tubuh Loman di tanah. Kini
sepasang matanya menatap tajam pada laki-laki gagah
di hadapannya, alias suaminya sendiri.
"Patut! Mengapa tidak? Lebih seratus tahun
kau tak pernah muncul. Dan selama itu aku setia me-
nanti tanpa tahu beritamu. Apakah aku salah. kalau
menikah dengan bangsa manusia?" teriak sang Ratu
lantang.
Siluman laki-laki gagah itu tercenung tunduk-
kan wajah menatap tanah. Tampaknya sulit sekali dia
menjawab alasan istrinya.
"Kalau aku menangisi kematian satu makhluk
yang masih menjadi darah daging ku sendiri adalah
wajar! Bangsa kami bangsa siluman juga punya hati
dan perasaan untuk menghargai pengorbanannya, walaupun hal ini memang tak dapat dibenarkan. Karena
membunuh diri itu adalah suatu dosa besar! Tapi nilai
dari pengorbanan itu bagi kita betapa amat berhar-
ganya! Dia korbankan jiwanya demi ketenteraman ki-
ta! Demi kerukunan kita kembali...! Karena adanya dia
telah menimbulkan dendam di hatimu! Kau fitnah aku
dengan segala macam perbuatan gilamu mengganggu
penduduk manusia. Menculik, membunuh, bahkan
memperkosa! Apakah hal itu dapat dibenarkan...?"
Sang Ratu "nyerocos" bicara dengan bernapsu sekali.
Sementara air matanya mengalir turun membasahi
pipinya yang ranum. Wajahnya yang cantik jelita itu
menimbulkan rasa iba bagi yang melihatnya.
Bahadur tak bisa buka mulut. Terpaku tak ber-
geming mendengarkan khotbah sang istri.
Sementara Kenca telah bangkit duduk dengan
mengeluh, menyeringai menahan sakit akibat dun kali
terbanting ke tanah. Sepasang matanya terbelalak me-
natap sang Ratu dan laki-laki gagah yang tundukkan
wajahnya tanpa bisa bicara apa-apa. Ketika melihat
pada sosok tubuh seorang pemuda yang telah tak ber-
napas dengan belati terhujam dilambungnya, dia ter-
paku memandang. Nalurinya mengatakan bahwa anak
muda itu adalah darah dagingnya.
"Bahadur! Walau bagaimana pun aku masih
menerima kau di hatiku, sekarang kau harus mema-
srahkan keputusan pada Kenca! Dialah yang berhak
memutuskannya! Bahkan dia juga berhak membalas
dendam atas perbuatanmu!" ujar sang Ratu, seraya
menoleh pada Kenca.
"Kematian adalah sudah digariskan oleh Yang
Maha Kuasa. Aku memang sudah sejak lama kau pe-
rintahkan untuk kembali ke Kerajaan Siluman, olehmu
Ratu! Tapi aku memang tak berniat meneruskan ru-
mah tangga ini. Kita pada dasarnya adalah makhluk
Tuhan jua, namun kita berbeda alam. Itulah sebabnya
aku sudah sejak dulu-dulu tetap menolak untuk kem-
bali, walaupun kau Ratu telah memberikan mutiara
mustika untuk aku pulang. Tapi aku merasa Negara-
mu bukanlah tempat pulang yang tepat. Aku memilih
kebebasan hidup di alam manusia layaknya. Silahkan
kalian berkumpul lagi...! Agaknya pengalaman ini biar-
lah menjadi kenang-kenangan selama hidupku...!" ber-
kata Kenca dengan suara lirih. Terasa trenyuh hati
sang Ratu mendengar pernyataan itu.
Bahadur tercenung mendengar kata-kata Ken-
ca. Betapa kini dia menyadari bahwa tidak semua ma-
nusia bersipat buruk. Ternyata banyak yang mempu-
nyai kebesaran jiwa seperti Kenca. Tanpa disadari me-
reka Roro Centil telah sejak tadi berada di tempat itu
bersama sang Harimau Tutulnya.
"Aiiii! Kalau begitu urusan sudah beres...! Eh,
kakek pincangnya sudah ganti ujud lagi jadi laki-laki
ganteng! Wah, wah, bisa-bisa aku kepincut nih Ra-
tu...!" berkata Roro dengan kedipkan mata.
***
DUA BELAS
RATU SILUMAN BUAYA PUTIH tersenyum dian-
tara derai air matanya, menatap Roro dengan meng-
gumam. "Ah, gadis bengal! Pandai sekali kau menggo-
da! Sementara Bahadur beranjak mendekati Kenca.
Menggamit pundak orang untuk diangkat berdiri. Dita-
tapnya wajah laki-laki tua itu dengan kagum dan ter-
haru. Kenca tundukkan wajahnya menatap tanah.
"Aku bersalah dan berdosa besar telah mem-
buat kericuhan pada penduduk. Sudilah kau wakilkan
aku meminta maaf pada mereka, bangsa mu, bangsa
Manusia...! Dan kukagumi keluhuran budimu, Ken-
ca...!" Ucap Bahadur dengan suara rendah. Kenca
mengangguk. "Aku berjanji akan menyampaikan pesan
itu, sobat! Semoga kalian dapat kembali rukun seperti
sedia kala...!" Pelahan Bahadur lepaskan pelukannya,
lalu beranjak menghampiri Ratu. Kedua pasang mata
itu saling tatap.
"Istriku...! Maafkanlah kesalahanku, karena se-
lama itu aku tak memberi kabar padamu, juga maaf-
kanlah karena aku telah memfitnah mu...!"
"Yah, sudahlah! Lupakanlah yang sudah berla-
lu! Mari kita kebumikan jenazah Loman!" ujar Ratu la-
lu berpaling pada Kenca. "Kenca...! Relakanlah aku
mengebumikan jenazah Loman di Kerajaan kami, un-
tuk menjadikan kenang-kenangan pada kami... Loman
adalah pahlawan bagi hati kami. Pengorbanannya te-
lah memupus dendam dan menghidupkan Cinta dida-
da kami..!" Kenca mengangguk-angguk seraya berkata
lirih.
"Silahkan, aku tak keberatan. Dan... aku segera
akan mohon diri pada kalian berdua... setelah urusan
menjadi beres begini!" Kemudian Kenca memondong
jenazah Loman untuk diserahkan pada Ratu. Cepat-
cepat Bahadur menerimanya. Untuk yang pertama dan
yang terakhir kalinya Kenca menatap wajah darah da-
gingnya itu. Hatinya terharu. Tapi kemudian segera
putar tubuh, seraya berkata. "Selamat tinggal dan se-
lamat jalan Ratu, dan juga padamu sobat Bahadur."
"Selamat jalan, saudara Kenca...!" ucap Ratu
hampir berbareng dengan Bahadur. Selanjutnya Kenca
segera beranjak melangkah, namun segera menoleh
pada Roro. "Nona, Pendekar...! Apakah kau bersedia
mengantarku pulang? aku tak tahu jalan. Tujuanku
adalah ke desa Tembalu...!"
"Eh, ya...! Tentu aku bersedia, tapi tunggu du-
lu!" berkata Roro. Tubuhnya berkelebat melompat ke-
hadapan Bahadur.
"Kau tak bisa pergi begitu saja! Kau kemanakan
ketiga gadis yang kau culik itu?" berkata Roro dengan
suara tegas.
"Apakah kau telah membunuhnya setelah kau
perkosa? Dan apakah orang-orang yang kesemuanya
kau culik itu sudah pada mati...?" bentak Roro dengan
beruntun.
Tersenyum suami sang Ratu Siluman Buaya
Putih, akan tetapi sebelum dia sempat menjawab, se-
sosok tubuh berkelebat hinggapkan kaki dengan rin-
gan di tempat itu seraya menyahuti.
"Ketiga wanita desa itu telah aku pulangkan
kembali ke tempat tinggalnya, dan tawanan laki-laki
lainnya telah kubebaskan, paduka Ratu...!"
Melengak Roro melihat siapa yang datang dan
bicara, yang ternyata tak lain dari si wanita tua penga-
suh si Tutul alias nenek Muri Asih. Roro terlongong
menatap nenek tua yang selalu menyebutnya "paduka
Ratu" itu. Sementara Bahadur sendiri juga melengak
terkejut. Namun segera menjura, dengan wajah beru-
bah agak pucat. "Dialah sahabatku yang bernama Muri
Asih, Bahadur...!" berbisik sang Ratu pada suaminya.
"Ah, terima kasih atas usaha anda itu, sobat
Muri Asih. Sebenarnya aku tiada berniat menggang-
gunya, kecuali cuma menawan...! Aku... aku sengaja
melakukan penculikan itu karena... karena..."
"Karena rasa dendam dan cinta mu pada istri-
mu, bukan...? Dan kaupun begitu juga Ratu Siluman!
Kaupun mengawini Kenca karena rasa dendam pada
Bahadur yang tak pernah kembali pulang. Namun ter-
nyata kau memang masih mencintai...!" Memotong si
nenek Muri Asih dengan tertawa terkekeh.
"Benar, sobatku...! apa yang kau katakan itu
tiada salah...!" menyahut sang Ratu dengan tersipu.
Ternyata nenek Muri Asih ini pulalah yang te-
lah membisiki Loman dengan suara gaibnya, ketika dia
berada seorang diri di dalam relung goa. Diceritakan
siapa sebenarnya ayah Loman, dan siapa sebenarnya
sang "paman" yang telah memperalatnya untuk mela-
kukan kejahatan. Semua itu berdasarkan karena sang
"paman" alias Bahadur memang berniat membunuh
Kenca melalui tangan Loman, karena kecemburuannya
pada sang Ratu yang sebenarnya masih istri Bahadur.
Ternyata kemelut di Kerajaan Siluman Buaya Putih itu
berakhir dengan pengorbanan Loman yang dilakukan
demi terjalinnya kerukunan diantara kedua suami istri
itu...
***
RORO CENTIL manggut-manggut mendengar
penuturan nenek Muri Asih, dalam perjalanan menuju
keluar dari wilayah sungai Mahakam. Kenca sudah
berpisah tadi diperjalanan untuk kembali meneruskan
sisa hidupnya. "Jadi yang telah membisiki suara gaib
itu sebenarnya adalah kau nenek Muri Asih...?" tanya
Roro terheran.
"Benar! Tadinya aku tak mau turut campur da-
lam urusan itu, akan tetapi aku menganggap kalau
bekerja haruslah sampai tuntas. Setelah memberita-
hukan pada Ratu Siluman Buaya Putih dimana adanya
manusia yang jadi biang kerok membawa kerusuhan
dan kemelut di Kerajaan Siluman itu, aku langsung
menyelidiki dimana ditawannya orang-orang yang telah
diculik si Bahadur itu, yang disekap di relung goa lain.
Setelah kubebaskan beberapa laki-laki, lalu aku men-
gantar ketiga gadis tawanan si Bahadur kembali ke desanya..."
Demikian tutur Muri Asih, hingga kemudian dia
muncul lagi di saat Roro lakukan pertanyaan pada Ba-
hadur.
Matahari sudah semakin condong ke arah ba-
rat. Kedua nenek dan gadis itu sudah tiba di tepi laut.
Tiba-tiba nenek Muri Asih hentikan langkahnya,
menggamit. "Roro..." ucapnya. Muri Asih tidak lagi
memanggil dengan sebutan paduka Ratu atas permin-
taan Roro Centil.
"Roro... agaknya aku tak dapat menemanimu
terus, kukira hanya sampai disini saja aku mengan-
tarmu. Apakah kau akan terus kembali ke Pulau Ja-
wa?" Sejenak Roro tercenung. Rasanya berat berpisah
dengan orang sakti yang telah banyak membantunya
itu.
"Entahlah, tapi mungkin juga aku akan kembali
ke Pulau Jawa, karena aku pernah mendengar sang
Ratu Siluman Buaya Putih berfirasat akan terjadinya
banyak musibah pada bangsa manusia, juga tanda-
tanda buruk pada Kerajaannya. Firasat sang Ratu itu
mengatakan adanya seorang tokoh golongan manusia
yang sesat yang bakal menggegerkan satu wilayah di
Pulau Jawa. Bahkan menurut berita gaib yang diteri-
ma, saat ini ada bersemayam seorang tokoh di satu
daerah di Pulau Jawa yang bergelar si Ririwa Bodas.
Manusia itu adalah penganut ilmu siluman, akan teta-
pi dari jenis siluman jahat atau siluman golongan hi-
tam. Aku khawatir manusia itu akan banyak membuat
kerusuhan disana..." ujar Roro dengan memandang
jauh ke tengah laut.
"Yah, itulah tugasmu sebagai seorang Pende-
kar! Aku tak dapat menemanimu, namun aku percaya
kau pasti akan dapat mengatasinya!" tukas Muri Asih.
Lalu lanjutnya. "Nah, baiklah kukira kini waktunya kita berpisah!"
"Tunggu...! Eh, nenek Muri...! Kapankah wak-
tunya kau mengangkat ku menjadi muridmu?" tanya
Roro.
"Heheheh... sabarlah! Dengan ilmu yang seka-
rang kau miliki dan kecerdasanmu kukira masih bisa
menandingi pentolan-pentolan golongan hitam!" Selesai
berkata, wanita kosen itu berkelebat... dan lenyap dari
pandangan mata Roro.
"Nenek Muriiii...! Apakah kau mengetahui pe-
rihal guruku si Manusia Aneh dari Pantai Selatan...!"
Tiba-tiba Roro kembali berteriak Namun tak ada sahu-
tan. Kecuali suara membersitnya angin laut dan suara
deburan ombak kecil-kecil yang menghempas di pantai
karang.
Roro membanting kakinya ke atas pasir
"Huuuh...!" Untung cuma melesak sebatas betis karena
tak pergunakan tenaga dalam. Wajahnya tampak cem-
berut.
"Dasar nenek pelit!" desisnya pelahan seraya
mencabut kembali kakinya yang amblas. Lubang bekas
kaki itu segera terisi dengan air yang merembes masuk
dari bawah pasir. Roro Centil yang sampai saat itu tak
pernah tahu tentang gurunya si Manusia Banci yang
entah masih hidup entah sudah mati itu, cuma me-
mendam kekecewaan di hatinya. Sang guru memang
sering muncul, akan tetapi cuma suara gaibnya saja
yang terdengar.
Akhirnya setelah termenung lama di tepi pan-
tai, Roro segera memanggil sahabatnya si harimau Tu-
tul yang segera muncul perdengarkan suara mengge-
ramnya. Tak lama satu bayangan kilat bagaikan hem-
busan angin meluncur pesat meninggalkan pantai Pu-
lau Kalimantan untuk terus membalik menuju ke arah
Pulau Jawa, di mana segala macam peristiwa dan kemelut telah menantinya. Dan sebagai seorang Pende-
kar yang memang sudah menjadi tugasnya menegak-
kan keadilan di jagat raya ini, Roro tak pernah berhenti berpetualang...
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar