PUSAKA HANTU JAGAL
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali
dalam episode:
Pusaka Hantu Jagal
128 hal.
1
ANGIN di Lembah Biara berhembus membawa
suara denting aneh ke arah perbukitan. Suara denting
itu membuat dedaunan berguguran dan ranting-
ranting kering saling patah dengan sendirinya. Gelom-
bang suara denting itu ternyata mempunyai kekuatan
tenaga dalam yang cukup tinggi, sehingga memekak-
kan gendang telinga manusia maupun hewan yang ada
di sekitar Lembah Biara.
Denting yang mengiang-ngiang itu timbul dari
perpaduan dua senjata rencong milik seorang lelaki be-
rusia sekitar empat puluh tahun. Lelaki itu mengena-
kan pakaian serba putih, berkumis lebat, dan bercam-
bang rata sampai di bagian jenggotnya yang pendek
itu. Sekalipun ia mengenakan pakaian serba putih,
namun dilihat dari raut wajahnya yang bertulang keras
bertonjolan dengan bentuk mata sedikit besar dan liar,
maka orang dapat menyimpulkan bahwa lelaki itu bu-
kanlah lelaki berjiwa kesatria.
Namanya Rencong Geni. Dari mana asal lelaki
itu, hanya gadis berpakaian merah darah itulah yang
mengetahuinya. Gadis itu kini sedang menghadapi se-
rangan Rencong Geni dengan menggunakan senjata
trisulanya dari logam merah tembaga. Dengan gesitnya
gadis itu berulang kali menghindari serangan lawan-
nya sambil sesekali melepaskan pukulan jarak jauh
melalui tangan kirinya yang tidak menggenggam trisu-
la tersebut. Rambutnya yang panjang berkepang dua
sering digunakan sebagai senjata cambuk melalui ki-
basan kepalanya. Dari ujung rambut yang masing-
masing mempunyai logam putih runcing itu, sering ter-
lihat sinar merah melesat ke arah Rencong Geni.
Pada satu kesempatan, Rencong Geni sengaja
hentikan serangannya. Ia berdiri dengan tetap sigap,
matanya memandang tajam kepada gadis berhidung
mancung dan bermata bundar indah itu. Suaranya
terdengar menghardik dengan lantang,
"Kuberi kesempatan sekali lagi untuk memper-
timbangkan keputusanmu, Manis Madu! Jika kau te-
tap tak mau serahkan pusaka tersebut padaku, maka
akan ku habisi nyawamu dilembah ini juga!"
"Aku tidak tahu menahu soal pusaka itu, Pa-
man Rencong Geni! Kalau Paman sengaja ingin cari
perkara denganku, kulayani sampai kapan pun kekua-
tan Paman mampu bertahan!"
"Ha, ha, ha, ha...! Ibumu pun tunduk padaku,
Manis Madu! Mengapa kau mau coba-Coba melawan-
ku, Anak Manis?"
"Ibu tunduk pada Paman Rencong Geni, karena
Ibu merasa lebih muda dan pernah diasuh oleh Pa-
man. Tetapi aku tidak seperti ibu. Aku adalah Manis
Madu yang dibesarkan dan dididik oleh guruku sendi-
ri! Tak perlu aku tunduk kepadamu, Paman Rencong
Geni!"
"Keparat! Gadis tak tahu sopan sama sekali!"
geram Rencong Geni semakin jengkel hatinya. Lalu ia
berseru lagi dengan sedikit mengendurkan urat-
uratnya,
"Ketahuilah, Manis Madu... Siapa pun yang
memegang Pusaka Hantu Jagal, dia adalah musuhku.
Karena aku harus merebut pusaka itu dari tangannya
sebagai mas kawinku untuk melamar Dewi Gita Dara!"
"Kalau begitu Paman salah musuh. Bukan aku
musuhmu, Paman. Karena aku tidak pernah meme-
gang Pusaka Hantu Jagal. Bahkan melihat bentuknya
pun belum pernah!"
"Omong kosong! Gurumu mempunyai pusaka
itu dan pasti diwariskan kepada salah satu muridnya.
Menurut kabar yang kudengar, murid kesayangan gu-
rumu adalah kau sendiri. Jadi aku yakin, pusaka itu
pasti diwariskan kepadamu, Manis Madu."
"Keyakinan yang ngawur itu, Paman!" bantah
gadis yang bernama Manis Madu itu. "Guru tidak per-
nah bicara tentang Pusaka Hantu Jagal!"
"Itu lebih omong kosong lagi!" sergah Rencong
Geni sambil melangkah satu tindak. Semakin tampak
kemarahannya akibat rasa tidak percayanya itu. Tapi
Manis Madu tetap tenang dan sigap dengan senjata tri-
sulanya di tangan kanan yang tetap terangkat ke atas.
Rencong Geni tambahkan kata, "Seorang guru
pasti akan ceritakan tentang pusaka-pusaka maut
yang ada di rimba persilatan. Jika gurumu tidak ceri-
takan tentang Pusaka Hantu Jagal, dan tidak tahu
menahu tentang pusaka itu, jelas itu suatu kebohon-
gan besar yang dimiliki oleh gurumu! Mungkinkah gu-
rumu itu bekas seorang penipu?!"
"Jangan merendahkan nama Guru seenaknya
saja, Paman! Sekarang apa mau Paman akan ku turu-
ti!"
"Aha...?! Kau makin tampakkan keberanianmu
untuk menutupi kebohonganmu, Manis Madu. Baik-
lah, akan ku paksa kau bicara tentang pusaka itu den-
gan kedua rencong saktiku ini! Heaaah...!"
Rencong Geni berkelebat mainkan jurus ba-
runya dengan tetap menggenggam kedua rencong di
tangan kanan-kirinya. Manis Madu sendiri cepat pa-
sang kuda-kuda lebih tangguh lagi, sebab ia tahu pa-
man angkatnya itu tidak akan main-main lagi dalam
menyerangnya.
Ternyata dugaan Manis Madu memang benar.
Rencong Geni tidak main-main lagi dalam menyerang-
nya. Dua rencongnya saling digesekkan dengan cepat,
sriiing...! Suara denting itu lebih tajam lagi menusuk
gendang telinga. Manis Madu sempat tersentak kaget
dan menyeringai karena merasa sakit di kedua telin-
ganya. Pada saat itulah, Rencong Geni melompat da-
lam satu tendangan berputar. Wuuut...! Plak!
Pipi berkulit kuning langsat itu bagaikan di-
tampar dengan balok kayu cukup keras. Manis Madu
terpental memutar dan jatuh di bawah sebatang po-
hon. Dengan ganasnya Rencong Geni menerjang gadis
berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu. Dua ren-
congnya ditebaskan membuka dari tengah ke samping
kanan-kiri. Sasarannya adalah dada gadis itu.
Wuuussstt...! Trakk, plaaak...!
Manis Madu berhasil menangkis rencong kiri
dengan trisulanya, sedangkan rencong di tangan ka-
nan berhasil ditendangnya kuat-kuat mengenai perge-
langan tangan lawan. Akibatnya, satu rencong itu le-
pas dari tangan lawan yang merasa kesemutan dan
sukar dipakai menggenggam kuat-kuat. Weees...!
"Keparat!" teriak Rencong Geni lalu berusaha
menghantamkan telapak tangannya yang kiri. Telapak
tangan itu keluarkan sinar biru yang tak dapat dihin-
dari oleh Manis Madu. Wuuusst...! Duub...! Tepat ke-
nai dada Manis Madu yang segera mengejang dan tu-
buhnya terlempar ke samping.
Bruuussh...! Manis Madu bagai dibuang ke se-
mak-semak berjarak tujuh langkah dari tempatnya
semula. Rencong Geni segera melompat dan berguling
di tanah sambil menyambar rencongnya yang terlem-
par jatuh itu.
Tubuh Manis Madu menjadi merah bagai habis
terpanggang api. Matanya terbeliak-beliak karena
mengalami sukar bernapas. Rencong Geni menyeringai
dari tempatnya, lalu senjata rencongnya digesrekkan
kembali. Sriiing...! Srrringng...!
"Aahg...!" Manis Madu memekik tertahan sambil berguling-guling. Telinganya mulai keluarkan darah
kental berwarna merah kehitaman.
"Ha, ha, ha, ha...! Kau tak akan bisa mengalah-
kan aku, Manis Madu! Jika kau tak mau serahkan Pu-
saka Hantu Jagal, kupecahkan kepalamu dengan jurus
'Gema Kubur' ini! Heeh...!"
Sriiing...! Kedua rencong itu saling beradu.
Dentingannya hadirkan gelombang lebih kuat lagi,
membuat gadis tersebut semakin memekik kesakitan.
Trisulanya di lepaskan begitu saja, kedua tangannya
mendekap telinga dengan kuat-kuat. Kini nafasnya
mampu dihela walau berat dan tersendat-sendat.
Srriiinggg! Sekali lagi kedua rencong itu dige-
srekkan. Manis Madu keluarkan darah dari mulutnya,
walau tak seberapa banyak, namun membuat wajah
merahnya memucat bagaikan mayat.
Rencong Geni tak mengetahui ada sepasang
mata yang memperhatikan pertarungannya dari atas
bukit. Sepasang mata itu milik seorang pemuda tam-
pan yang mengenakan baju selempang dari kulit be-
ruang coklat yang membungkus pakaian putih lengan
panjang di dalamnya. Pemuda itu menyandang pedang
di punggungnya, membiarkan rambutnya yang pan-
jang sebatas punggung itu tergetar dipermainkan an-
gin bukit.
Di samping pemuda tampan berwajah menga-
gumkan itu, terdapat seekor burung rajawali besar
berbulu merah. Melihat keberadaan burung rajawali
merah yang tampak kekar dan tegar itu ada di samp-
ing si pemuda, maka orang akan dapat mengenali
bahwa pemuda itu tak lain adalah Yoga, yang bergelar
Pendekar Rajawali Merah.
Rupanya sudah sejak tadi Yoga berdiri meman-
dangi pertarungan Rencong Geni dengan Manis Madu
dari atas bukit tersebut. Dalam hatinya Yoga berkata,
"Agaknya gadis itu benar-benar tidak tahu me-
nahu tentang pusaka yang disebut-sebutkan oleh si le-
laki berwajah angker tersebut. Ia sudah hampir mati,
tapi tetap tak mau bicara tentang pusaka itu. Hmm...!
Lelaki yang kudengar tadi dipanggil sebagai Paman
Rencong Geni itu semakin ganas mengumbar kemara-
hannya. Manis Madu bisa binasa oleh kekuatan tenaga
dalam yang di salurkan melalui gelombang suara den-
tingan dua rencong tersebut. Manis Madu agaknya tak
mempunyai lapisan tenaga dalam tinggi, sehingga gen-
dang telinganya bisa ditembus oleh dentingan suara
tadi. Atau, barangkali karena jaraknya yang terlalu de-
kat, sehingga Manis Madu sampai separah itu, se-
dangkan aku dan Merah dalam keadaan jauh, sehing-
ga tak mampu ditembus suara denting itu? Hmmm...
sebaiknya kuselamatkan dulu gadis yang terancam
maut itu!"
Kemudian Pendekar Rajawali Merah memerin-
tahkan kepada burung rajawalinya dengan berkata,
"Merah! Selamatkan gadis itu!"
"Keaaak...!" burung itu berkeak satu kali, ke-
mudian segera terbang menuruni bukit dengan gagah-
nya. Ke dua sayapnya terbentang bagaikan ksatria
yang hendak maju ke medan perang. Kibasan sayap
itu membuat daun-daun yang tadi berguguran karena
suara denting. rencong, kini semakin berhamburan ke
mana-mana. Angin besar menghempas di sekitar tem-
pat pertarungan tersebut.
Gemuruh suara angin yang datang membuat
Rencong Geni yang hendak membunuh Manis Madu
menjadi terhenti. Kepalanya segera berpaling ke bela-
kang, memandang datangnya seekor burung besar
berkecepatan tinggi. Rencong Geni terkejut sesaat,
namun cepat putar badan dan siap hadapi terjangan
Rajawali Merah. Kedua rencongnya semakin keras di
adu dan suara dentingannya semakin kuat mele-
paskan tenaga dalam penghancur gendang telinga.
"Keaaak...!" sayap burung itu menebas ke de-
pan. Angin yang timbul semakin kuat dan membuat
tubuh Rencong Geni terhempas ke belakang. Wuutt...!
Bruuus...!
Rencong Geni terlempar jatuh di semak-semak
kering. Tapi ia segera bangkit dan hendak menyerang
burung rajawali itu. Namun, tiba-tiba sayap kanan
sang rajawali bergerak membuka dalam satu hempa-
san kuat. Sayap itu mengenai tubuh Rencong Geni.
Baahg...! Rencong Geni kembali terpental bagai men-
dapat hantaman yang luar biasa kerasnya. Tulang te-
rasa linu sekali, Kain bajunya sempat robek akibat ter-
kena hempasan sayap kanan sang rajawali.
Pada kesempatan itu, sang rajawali bergerak
cepat menyambar tubuh Manis Madu dengan kedua
cakarnya yang kekar perkasa itu. Wuuut...! Tubuh
yang sudah tak berdaya itu dibawanya terbang menuju
ke atas bukit. Sementara itu, Rencong Geni bangkit
dan berteriak garang,
"Lepaskan gadis itu, Burung Setan! Lepaskan
dia!" "Keaaak...! Keaaak...!" rajawali serukan suara,
seakan sebuah tantangan untuk mengejarnya.
Melihat seorang pemuda tampan berdiri di atas
bukit dan dihampiri oleh sang rajawali, Rencong Geni
segera kerutkan dahinya tajam-tajam seraya hatinya
berkata,
"Siapa pemuda itu? Apakah dia yang bergelar
Rajawali Merah?! Hmmm...! Keparat betul dia! Ru-
panya dia mau ikut campur urusanku! Kubunuh juga
dia bersama burung iblisnya itu!"
Rajawali Merah melepaskan cengkeraman ca-
karnya. Manis Madu tergeletak di dekat kaki Yoga.
Keadaannya sudah sangat parah. Yoga segera men
gangkat gadis itu, lalu dinaikkan ke punggung Rajawa-
li merah.
Matanya memandang ke arah lembah, di sana
Rencong Geni tengah berlari cepat ke arahnya, ingin
merebut Manis Madu dari tangan Yoga.
"Berhenti kau, Bangsat! Jangan bawa gadis itu
jika mau selamat!" teriak Rencong Geni keluarkan an-
caman liarnya.
Yoga sudah berada di atas punggung sang ra-
jawali, lalu berkata, "Cepat tinggalkan dia, Merah!"
"Keaaak...!"
"Haai...! Berhenti!" teriak Rencong Geni melihat
Yoga bersiap ingin membawa terbang Manis Madu.
Maka serta-merta Rencong Geni mempertemukan
ujung kedua rencongnya yang diacungkan ke depan,
lalu dari pertemuan ujung rencong itu menyemburlah
nyala api yang membentuk garis lurus ke arah burung
tersebut. Wuuussst...!
"Keaaak...!" burung itu membentangkan sayap-
nya, matanya memandang tajam, lalu dari matanya ke-
luar sinar merah bagaikan tambang besi yang bergerak
cepat, lurus menghantam nyala api dari rencong la-
wan.
Blaaar...! Pertemuan kedua gelombang itu me-
nimbulkan ledakan dahsyat dan membuat Rencong
Geni terpental berguling-guling menuruni lereng hing-
ga sampai ke tempat pertempurannya tadi. Pada saat
itu, rajawali merah tersebut segera terbang meninggal-
kan puncak bukit dan membawa Yoga serta Manis
Madu yang tak sadarkan diri itu.
Burung rajawali berbulu besar merah itu ter-
bang bagaikan ingin melanglang buana. Namun sebe-
narnya ia mengikuti perintah majikan mudanya yang
merupakan murid majikan tuanya berjuluk Dewa Ge-
ledek itu. Maka ketika Yoga memerintahkan sang raja
wali untuk merendah, burung itu pun terbang meren-
dah. Dan ketika Yoga berkata,
"Aku perlu sembuhkan luka-luka gadis ini du-
lu, Merah. Carilah tempat yang aman!"
"Keaaak...!" burung itu bagaikan memberi ja-
waban patuh, lalu segera mendarat setelah ia temukan
tempat yang menurutnya aman.
Burung besar berbulu merah itu berada tak
jauh dari Yoga. Burung itu memperhatikan tuan mu-
danya mengobati gadis itu dengan kepala manggut-
manggut, seakan sedang mempelajari bagaimana tuan
mudanya menyembuhkan luka parah pada sang gadis.
"Keaaak...! Kaaak, kaak, keaak...."
Yoga paham dengan bahasa burung itu, maka
ia pun menjawab, "Nanti kalau sudah tiba saatnya,
kuajarkan kepadamu bagaimana cara melakukan pe-
nyembuhan seperti ini, Merah!" . "Keaaakk..!"
"Tak perlu khawatir. Dia akan sembuh. Roh
Eyang Guru Dewa Geledek yang memberitahukan pa-
daku bagaimana cara melakukan penyembuhan secara
singkat seperti yang kulakukan tadi."
"Keak, keak, keak, keak...!"
"Sudah, jangan tertawa! Nanti kalau gadis itu
siuman dan melihatmu, dia bisa menjerit ketakutan!"
"Kkuuuk... kkuuuk...!" burung itu seperti se-
dang bersungut-sungut, dan Yoga tertawa pelan sambil
berkata,
"Bukan takut karena wajahmu jelek, tapi takut
karena bentuk mu yang besar! Dia pasti kaget. Tapi
kalau sudah ku jelaskan, tentunya dia tak akan takut
padamu!" "Keak, keak, keak...!" burung itu tertawa
sambil di usap-usap paruhnya oleh Yoga, ia mende-
kam, sehingga tampak pendek.
Manis Madu mulai menggeliat siuman. Kulitnya
yang merah bagai terbakar dari dalam itu mulai menguning kembali. Wajah pucatnya kian segar. Kemudian
mata bundarnya yang indah itu mulai mengerjap-
ngerjap dengan pernapasan yang tampak teratur.
Kepala gadis itu tergolek ke kiri. Lalu, serentak
ia bangkit karena terkejut melihat seekor burung besar
mendekam ke tanah dalam jarak hanya tiga langkah
dari tempatnya tergeletak. Manis Madu melompat
mundur dengan tangan menggeragap mencari senja-
tanya yang tertinggal di tempat pertarungannya tadi.
Ketika ia berjalan mundur sambil memperhati-
kan burung besar itu dengan tegang, tiba-tiba pung-
gungnya menabrak sesosok manusia yang sengaja di-
am dan sengaja biar ditabrak itu.
"Aauh....!" Manis Madu terpekik kaget sambil
berbalik dan kedua tangannya siap pasang jurus pe-
nangkis.
Matanya memandang tajam pada seraut wajah
pemuda tampan, dan mata tajam itu tiba-tiba menjadi
redup berubah kagum manakala pemuda itu sung-
gingkan senyum yang sungguh menawan hati. Kepala
Manis Madu memandang bolak-balik antara burung
besar dan pemuda tampan, ia tampak bingung sekali,
terlebih setelah menyadari dirinya ada di tempat asing
yang bukan tempat pertarungannya tadi.
"Siapa kau?" Manis Madu mencoba menghardik
Yoga. Tapi dengan kalem dan penuh daya pikat, Yoga
menjawabnya,
"Namaku Yoga. Dia itu si Merah, burung raja-
wali tunggangan ku!"
Makin tajam kerut di dahi Manis Madu. Ma-
tanya melirik bolak-balik antara rajawali dan Yoga. La-
lu, ia berucap kata, seperti bicara pada dirinya sendiri,
"Pendekar Rajawali Merah...?"
"Betul!" jawab Yoga tetap kalem. Ia melangkah
dekati rajawalinya. "Si Merah ini yang membawamu
pergi dari pertarungan mu dengan Rencong Geni! Jika
tidak disambar si Merah, kau pasti mati di tangan pa-
manmu!"
"Kau tahu nama paman angkatku itu ru-
panya?"
"Kudengarkan percakapan kalian, kuperhatikan
pertarungan kalian, lalu ku simpulkan, bahwa kau
bukanlah tandingan dari Rencong Geni!"
Manis Madu menarik napas dan menghem-
paskannya. Ia sedang memendam rasa heran setelah
menyadari keadaan tubuhnya terasa segar dan tak
mengalami nyeri sedikit pun. Lalu, ia pandangi pemu-
da tampan itu, ia perhatikan kain lengan bajunya yang
kiri terhempas angin itu, dan keraguannya pun hilang.
Ia yakin betul bahwa ia telah bertemu dengan seorang
pendekar tampan pemikat hati wanita yang amat di-
kenal di rimba persilatan itu. Ia yakin betul telah ber-
temu dengan Pendekar Rajawali Merah, karena ia tahu
tangan kiri pendekar tampan itu buntung. Maka, hati
Manis Madu pun semakin berdebar-debar antara gi-
rang dan tegang.
"Kaukah yang mengobati luka-lukaku?" ta-
nyanya sekadar iseng daripada suasana mati karena
kegugupannya menghadapi pendekar tampan yang
sering didengar ceritanya dari mulut para wanita itu.
"Ya, aku yang melakukannya. Tapi percayalah,
hal itu kulakukan hanya sebatas rasa persahabatan
yang manusiawi. Tanpa ada niat untuk memiliki Pusa-
ka Hantu Jagal itu."
Manis Madu menghempas napas lagi. Lalu, ia
berkata, "Kau tahu juga tentang pusaka tersebut ru-
panya?"
"Sudah kubilang tadi, aku mendengar percaka-
pan mu dengan Rencong Geni yang amat bernafsu
memiliki Pusaka Hantu Jagal itu."
"Ya. Dia memang sangat bernafsu, karena ru-
panya dia ingin hadiahkan Pusaka Hantu Jagal kepada
Dewi Gita Dara sebagai mas kawin lamarannya." "Sia-
pa Dewi Gita Dara itu?" "Penguasa Teluk Gangga!"
"Dan kenapa kau pertahankan pusaka itu?"
"Sumpah mati aku tak memiliki pusaka itu dan tak
pernah dengar sebelumnya. Bahkan aku sangsi, apa-
kah benar guruku memiliki Pusaka Hantu Jagal, lalu...
seperti apa, berupa apa pusaka itu dan... ah, sangat
membingungkan bagiku. Aku ingin segera temui guru-
ku untuk menanyakan kebenarannya!"
* * *
2
MEREKA sepakat menemui gurunya Manis Ma-
du. Diam-diam Yoga sendiri ternyata menyimpan rasa
penasaran dan ingin tahu apa sebenarnya yang dina-
makan Pusaka Hantu Jagal itu? Sebuah pedang atau
sebuah keris? Karena dengan wajah polos dan jujur
Manis Madu benar-benar tidak mengetahui seluk-
beluk tentang Pusaka Hantu Jagal. "Kita naik rajawali
saja!" kata Yoga. "Tidak. Aku tidak mau!" Manis Madu
menolak dengan wajah cemas.
"Tidak apa-apa! Kalau kau takut, kau bisa ber-
pegangan tubuh ku!"
"Berpegangan...?!" gumam Manis Madu, lalu
hatinya menyambung kata, "Oh, alangkah senangnya
bisa berpegangan tubuhnya? Aku memeluknya dari be-
lakang, semakin lama semakin erat dan... oh, tidak!
Aku tidak berani lakukan hal itu. Aku gugup, gemetar,
dan bisa-bisa malah pegangan ku lamas, lalu aku ja-
tuh dari punggung burung itu. Oh, ngeri!"
Manis Madu bergidik sendiri. Tersenyum me-
nahan geli sambil tundukkan kepala, menyembunyi-
kan senyum tersipunya. Ia tetap menolak dengan ala-
san yang dibuat-buat,
"Guru berpesan, aku tak boleh naik kendaraan
apa pun jika pergi ke mana saja!" "Aneh sekali?"
"Memang aneh. Tapi aku harus patuh dengan
nasihat Guru."
"Baiklah kalau begitu." Yoga berpaling kepada
si Merah dan berkata, "Tinggalkan kami, setelah uru-
san ini beres kau kupanggil lagi, Merah." "Keaaak...!
Kuuuk... kuuuk...!"
"Husy, jangan ngledek kau!" sambil Yoga terse-
nyum pada si Merah.
"Ngomong apa burung mu itu?" tanya Manis
Madu. "Dia sangka kita mau berkasih-kasihan," jawab
Yoga pelan, dan wajah Manis Madu menjadi merah da-
du menahan malu.
"Burungmu nakal."
"Yang mana?" tanya Yoga, "Eh... maksudku,
yang merah ini atau yang putih?"
"Yang itu!" sambil Manis Madu melirik si Merah
yang memiring-miringkan kepala memandang! Manis
Madu. Yoga hanya tertawa. "Dia gemar bercanda." "Kau
punya berapa burung, sehingga kau tanya yang ma-
na?"
"Ada dua! Yang satu rajawali putih. Tapi dia...
dia...." "Keaaak...!" si Merah berseru panjang sambil
bentangkan sayap. Ucapan Yoga menjadi terhenti, lalu
burung itu terbang sambil ditertawakan tuan mu-
danya. "Tapi kenapa?" desak Manis Madu. "Tapi si Me-
rah-lah yang sering menjadi tunggangan ku! Dan seka-
rang ia terburu-buru mencari si Putih. Ia baru ingat
kalau sudah lama meninggalkan si Putih. Maka ia ter-
bang secepatnya."
Sambil melangkah Manis Madu berkata, "Ku-
dengar burung rajawali putih milik seorang gadis can-
tik yang bergelar Pendekar Rajawali Putih."
"Benar."
"Apa hubungannya denganmu? Murid sepergu-
ruan?"
"Selain itu juga dia adalah guru angkatku."
"Guru angkat?"
"Ilmunya lebih tinggi dariku, karena ia banyak
pelajari ilmu-ilmu dari mendiang guru kami, ditambah
lagi dia punya ilmu dari sebuah kitab kuno yang kini
tekun dipelajari semua, dan aku banyak mendapatkan
ilmu baru darinya, sehingga aku menyebutnya guru
angkat!"
"Kusangka kau adalah kekasih si Pendekar Ra-
jawali Putih itu?"
Yoga hanya tertawa kecil, membiarkan dirinya
dilirik Manis Madu secara mencuri-curi. Dan tiba-tiba
tangan Manis Madu digenggamnya. Manis Madu ber-
desir, ingin meronta namun tak kuasa dicekam kein-
dahan. Yoga berhenti melangkah, Manis Madu bingung
walau akhirnya berhenti juga dengan jantung berde-
bar-debar gugup karena girang.
"Apakah kau punya teman?" tanya Yoga pelan,
matanya memandang lembut kepada Manis Madu,
membuat Manis Madu menjadi salah tingkah.
"Maksudmu... maksudmu... teman di hatiku?"
"Teman yang selalu mengikutimu?"
"Mmm... mmm... kekasih, maksudmu?"
"Terserah apa sebutannya, tapi adakah orang
yang selalu mengikutimu?" suara Yoga makin pelan.
Manis Madu menunduk, bimbang menjawab,
namun akhirnya berkata lirih, "Tidak. Ti... tidak
punya. Percayalah."
"Kalau begitu, segeralah menepi ke pohon itu
dan bersembunyi di sana," sambil Yoga melirik ke arah
pohon besar berakar gantung.
"Kenapa?"
"Seseorang sedang mengikuti kita. Ku rasakan
dalam firasat ku, dia ingin berbuat jahat, dan kaulah
sasarannya."
"Oh...?!" Manis Madu terpekik tertahan. Wajah-
nya menjadi merah dadu kembali karena malu pada
diri sendiri. Ia telah salah duga atas pertanyaan Yoga
tadi. Ternyata Yoga tidak bermaksud mengutarakan isi
hatinya, melainkan ingin menyelidiki siapa orang yang
mengikuti mereka sejak tadi.
Yoga mengantar Manis Madu ke bawah pohon
besar. Ketika Manis Madu sudah berada di balik ba-
tang pohon tersebut, serta-merta Yoga menyentakkan
tangan kanannya dalam gerakan memutar arah.
Wuuut...!
Bruuuss...!
Pukulan jarak jauh tanpa sinar telah dile-
paskan oleh Yoga ke arah semak-semak. Kerimbunan
semak itu buyar seketika bagai diterjang sabit raksasa,
terpotong habis dan menyebar ke mana-mana poton-
gan dedaunannya. Bersamaan dengan itu, melompat-
lah sekelebat bayangan biru yang segera melenting ke
udara dan bersalto satu kali, kemudian mendarat di
tempat bebas. Jleeg...!
"Landak Gamping?!" cetus Manis Madu sambil
bergegas dekati Yoga.
"Hak, hak, hak, hak. Syukurlah kalau kau ma-
sih ingat aku, Manis Madu! Rupanya namaku terukir
lekat dalam hatimu, Bocah Manis. Hak, hak, hak,
hak...!"
Pria itu tertawa jelek. Tak enak didengar ta-
wanya itu. Tapi Yoga tidak perhatikan tawanya me-
lainkan memperhatikan sosok penampilannya. Pria itu
berusia sekitar tiga puluh tahun lebih sedikit, berba-
dan kurus, berpakaian biru muda dengan celana hitam
sebatas betis. Tubuhnya yang kurus itu mempunyai
kulit putih seperti kapur, rambutnya berpotongan
pendek tapi berdiri tegak lurus semua. Barangkali ka-
rena keadaan tubuh yang aneh itulah maka ia berjuluk
Landak Gamping. Rambutnya kaku dan lurus seperti
bulu seekor landak, dan tubuhnya putih seperti kapur
alias damping.
"Siapa orang itu, Manis Madu?" bisik Yoga.
"Landak Gamping, anak buah Rampok Gu-
nung!" bisik Manis Madu juga.
"Punya urusan apa denganmu?"
"Rampok Gunung ingin memperistri aku. Tiga
anak buahnya sudah kubunuh karena ingin menang-
kapku. Sekarang Rampok Gunung mengutus Landak
Gamping dengan tujuan yang sama!"
"Kau mau menjadi istri Rampok Gunung?"
"Tidak!" jawabnya dengan geram bernada benci.
"Kalau begitu, biar ku tangani dia."
"Ini urusanku. Biar aku saja yang tangani dia."
"Baiklah. Urus dia, aku mundur di belakang mu!" kata
Yoga sambil melangkah mundur tak jauh dari Manis
Madu berdiri.
Dengan suara ketus dan lantang Manis Madu
menyapa Landak Gamping,
"Apakah kau bermaksud sama dengan tiga te-
man mu yang sudah kubunuh di Sungai Gantang itu,
Landak Gamping?!"
"Tidak. Aku tidak punya maksud yang sama.
Kalau tiga temanku itu bermaksud menculik mu dan
membawanya ke Gua Prahara, tapi aku tidak. Aku
hanya ingin menyadarkan dirimu, bahwa jika kau ma-
sih bersikeras menolak lamaran ketuaku, maka aku
diberi wewenang untuk membunuhmu! Hak, hak, hak,
hak...!"
Landak Gamping terguncang-guncang tubuh-
nya ketika tertawa. Matanya yang cekung sedikit terpe-
jam jika ia sedang tertawa. Wajahnya semakin memu-
akkan buat Manis Madu. Maka dengan beraninya Ma-
nis Madu berkata lantang juga,
"Mengapa hanya kau yang datang untuk mem-
bunuhku? Mengapa bukan ketuamu sendiri? Apakah
dia takut berhadapan denganku? Apakah ketuamu si
Rampok Gunung itu banci yang takut ulat daun?!"
"Hei, Manis Madu..., bicaramu jangan sembro-
no! Kalau ada anak buah yang lain mendengar uca-
panmu itu, dia bisa berang padamu dan tak ada am-
pun lagi bagi siapa pun yang berani merendahkan
sang Ketua kami. Untung aku hanya sendirian, jadi
aku masih bisa timbang rasa dan memaafkan uca-
panmu. Sebagai balasan kebaikan ku yang telah me-
maafkan kamu, ku mohon kau mau ikut denganku
menghadang sang Ketua. Tak akan kukatakan kepada
beliau tentang penghinaanmu tadi. Percayalah!"
"Aku tak bersedia ikut denganmu. Tapi aku
bersedia memenggal kepala ketuamu biar cepat terki-
rim ke neraka!"
Landak Gamping diam. Tak ada senyum, tak
ada tawa. Wajahnya mulai tegang, matanya meman-
dang tajam. Sepi terjadi di sekitar hutan itu. Kejap be-
rikutnya terdengar Landak Gamping ucapkan kata
dingin sambil mulai mencabut gagang cambuk yang
sejak tadi terselip di pinggang kanannya,
"Agaknya aku tak mau buang-buang waktu lagi
untuk segera membunuhmu, Manis Madu. Kau sudah
jelas-jelas merendahkan ketuaku dan menolak ajakan
damainya. Perlu kau ketahui, Manis Madu, kalau kau
mau menjadi istri sang Ketua, maka seluruh keluar-
gamu akan dijamin kesejahteraan dan keselamatannya
oleh kekuatan Partai Perampok Gua Prahara. Tetapi ji-
ka kau tetap menolak lamaran sang Ketua, seluruh ke-
luargamu sampai tujuh turunan akan selalu diganggu
oleh Partai Perampok Gua Prahara. Dibantai, disiksa
dan diperlakukan seperti binatang. Pertimbangkanlah
hal itu, Manis Madu!"
Manis Madu menjawab dengan sinis. "Untuk
apa mempertimbangkan ancaman anak kemarin sore?
Partai Perampok Gua Prahara tidak ubahnya seperti
kelompok anak ingusan yang sedang bermain perang-
perangan, yang masing-masing berlagak menjadi ja-
goan buncis!"
"Jahanam kau! Kau bukan saja menghina ke-
tuaku, melainkan menghina Partai Perampok Gua
Prahara!
Kau sudah layak dihancurkan, Manis Madu.
Hiaaah...!"
Landak Gamping menggerakkan tangannya
memutar, dan cambuk hitam berduri itu melesat pan-
jang ke arah kepala Manis Madu. Wuuut...!
Taaar...!
Manis Madu dengan lincah cepat gulingkan tu-
buh ke tanah. Wuuss! Sekejap kemudian sudah berdiri
sedikit jongkok, lalu kedua tangannya disentakkan ke
depan. Wuuut...! Dua sinar kuning melesat dari tela-
pak tangan kanan-kiri. Zlaaap...!
"Hiaah...!" tangan Landak Gamping yang kiri
menyentak ke depan, menahan gerakan kedua sinar
kuning sebesar telur bebek itu. Sinar kuning itu ber-
henti di udara bagai tak bisa bergerak. Lalu dengan sa-
tu lompatan cepat ke samping kiri, Landak Gamping
melecutkan cambuknya. Taaar...! Satu kali lecutan
hancur sudah dua sinar kuning secara bersamaan.
Duaaar...!
Manis Madu tak mau kehilangan kesempatan.
Ketika Landak Gamping melecutkan cambuk ke arah
dua sinar kuningnya itu, ia segera melompat bersalto
dan kakinya berhasil menendang punggung lawannya
dengan keras, hingga terdengar suara, duuhg...!
Landak Gamping terdorong ke depan, ter-
huyung-huyung hampir jatuh. Tetapi, lelaki berambut
tegak itu segera putar badannya sambil kibaskan cam-
buk berdurinya dengan cepat. Wuuut...! Brreet...!
"Auh...!" Manis Madu terpekik dengan suara
tertahan. Mata kakinya robek terkena lecutan cambuk
berduri. Bruuk...! Gadis cantik itu jatuh terduduk dan
telapak kakinya yang terluka cepat menjadi biru legam.
"Celaka! Racun pada duri cambuk itu sangat
ganas?" pikir Yoga yang mengetahui keadaan luka Ma-
nis Madu.
Landak Gamping tak mengenai ampun. Ia sege-
ra melecutkan cambuknya lagi ke punggung Manis
Madu yang sedang berusaha bangkit sambil menahan
rasa sakit itu.
Taaar...!
Cambuk itu keluarkan sinar hijau dari ujung-
nya. Sinar itu seperti sepotong besi runcing yang me-
nembus ke punggung Manis Madu. Claap...!
"Aaahg...!" Manis Madu terpekik keras. Kepa-
lanya terdongak matanya terpejam, tubuhnya menjadi
gemetar dan ia pun jatuh dengan keadaan menggele-
par-gelepar bagai ayam disembelih.
Landak Gamping belum merasa puas. Kali ini ia
akan membelah tubuh yang menggelepar itu dengan
ujung cambuknya yang amat berbahaya. Namun keti-
ka tangannya terangkat, tiba-tiba seberkas sinar me-
rah bening melesat dari telapak tangan Yoga. Zlaap...!
Ouurb...! Sinar merah bening itu kenai ulu hati Lan-
dak Gamping. Zraak...! Tubuh putih Landak Gamping
menjadi merah memar, kulitnya mengalami retak
retak. Wajahnya menyeringai menahan sakit yang luar
biasa hingga ia keraskan semua urat-urat pada tu-
buhnya. Darah mulai merembes dari retakan kulit tu-
buhnya. Sementara itu, Yoga hanya diam tertegun
memandang lawannya yang masih bisa berdiri dengan
limbung ke sana-sini itu.
"Gila! Rupanya dia berilmu cukup tinggi. Bi-
asanya Jurus 'Rajawali Lebur Jagat' menghancurkan
batu atau pepohonan, tapi kini jurus itu tak mampu
menghancurkan tubuh Landak Gamping! Jika ia tidak
berilmu cukup tinggi, tak mungkin ia bisa bertahan te-
tap utuh dan hanya mengalami keretakan pada seku-
jur kulit tubuhnya?" pikir Yoga dalam kebisuannya.
"Kubalas ikut campur mu! Kubalas bersama
sang Ketua! Tunggu saatnya tiba, Bangsat! Aku tahu...
kau Pendekar Rajawali Merah!" geram Landak Gamp-
ing, setelah itu cepat larikan diri dan tak mau menoleh
lagi.
Keadaan Manis Madu sangat berbahaya. Yoga
cepat-cepat bertindak menyelamatkan nyawa gadis
yang menjadi penunjuk jalan rahasia Pusaka Hantu
Jagal itu. Apalagi Yoga lupa tanyakan, siapa nama
guru gadis itu. Jika sampai Manis Madu tewas, maka
Yoga akan kehilangan penunjuk jalan untuk menuju
jalan rahasia Pusaka Hantu Jagal yang telah mem-
buatnya menjadi sangat ingin tahu itu.
Rupanya Landak Gamping telah melepaskan
ilmunya yang cukup berbahaya dan tak mudah disem-
buhkan begitu saja. Yoga lakukan dengan gunakan ju-
rus 'Tapak Serap' sebagai pengobatan luka luar. Ba-
gian mata kaki yang robek dan mengandung racun ga-
nas itu ditutup dengan telapak tangannya. Telapak
tangan itu memancarkan sinar hijau bening, lalu be-
rubah putih bening, berubah lagi biru bening, kemu-
dian juga merah bening, dan hal ini belum pernah di
alami oleh Yoga.
"Biasanya tak sampai berubah-ubah warna be-
gini? Apakah ini pertanda luka racun yang mengenai
kaki Manis Madu adalah sesuatu yang sulit disembuh-
kan?"
Pendekar Rajawali Merah masih tetap lakukan
pengobatan dengan jurus 'Tapak Serap'-nya. Nafasnya
tertahan beberapa saat, sampai akhirnya warna biru
legam di kaki Manis Madu mulai pudar. Kian lama
warna biru legam itu kian menipis, lalu kembali seperti
warna kulit aslinya. Barulah Yoga melepaskan telapak
tangan yang menempel pada luka di mata kaki terse-
but.
Luka itu hilang lenyap tak berbekas, kecuali
darah yang menetes di rerumputan. Tetapi keadaan
tubuh Manis Madu masih berkelojot bagai ayam dis-
embelih yang tinggal beberapa saat lagi mencapai ajal-
nya. Hal itu membuat Pendekar Rajawali Merah sedikit
tegang. Ia mencoba lakukan pengobatan 'Tapak Serap'
melalui punggung Manis Madu yang tadi ditembus si-
nar hijau. Tetapi sentakan-sentakan tubuh Manis Ma-
du semakin kuat. Mata gadis itu telah berbalik memu-
tih, mulutnya mulai semburkan busa.
Gawat! Tak cukup dengan jurus 'Tapak Serap'
saja rupanya. Aku harus salurkan hawa murni ku ke
dalam tubuh Manis Madu. Tapi... tapi ia harus buka
pakaian. 'Tapak Serap' harus dilakukan bersama le-
pasnya hawa murni ku ke dalam tubuhnya. Jika tidak
begitu, ia pasti mati! Hanya saja... kalau ia sembuh da-
ri sadar, lalu ia dapatkan dirinya dalam keadaan tidak
berpakaian, apakah dia tidak akan menuduhku seba-
gai pemuda yang berniat kurang ajar kepadanya?"
Pendekar Rajawali Merah sempat bimbang se-
saat. Ia yakin bahwa gadis itu akan berhasil disela-
matkan dari maut yang telah mengancam jiwa dan
menguasai separo nyawa itu. Namun, ia sangsi akan
anggapan Manis Madu terhadap dirinya. Ia tak mau
cemar karena salah duga itu.
"Ah, biarlah apa kata dia nanti. Kalau kuje-
laskan pelan-pelan dia pasti bisa memaklumi. Yang
penting aku tidak berniat jahat dan usil kepadanya!
Hanya saja... tak bisa dilakukan pengobatan di tempat
terbuka begini. Hmmm... di mana ada gua di sekitar
sini? Atau... sebaiknya kubawa dia ke tempat yang le-
bih layak untuk melakukan pengobatan itu!" Yoga
memandang sekelilingnya dengan masih tampak sedi-
kit tegang, sebab ia harus berpacu dengan sang maut.
Terlambat sedikit, maka nyawa gadis cantik itu akan
melayang selamanya.
* * *
3
MANUSIA Kabut yang dijuluki oleh pendekar
Rajawali Putih dengan nama Tua Usil, siang itu dalam
perjalanan pulang dari rumah Bocah Bodoh, anak Nyai
Sembur Maut yang mewarisi Pedang Jimat Lanang itu.
Lelaki yang berpakaian coklat muda dengan rambut
putih tipis dan kumis putih tipis pula itu masih tetap
bergigi ompong satu di sebelah kanan depan. Ia cen-
gar-cengir sendiri membayangkan kebodohan Cola Co-
lo yang disuruh ibunya memanjat pohon kelapa, dan
hanya memanjat saja tanpa memetik buahnya. Sampai
sang ibu berteriak menyuruh memetik buah kelapa
muda, barulah Cola Colo memetiknya. Itu pun masih
harus dibawanya turun untuk diserahkan kepada sang
ibu, bukan dijatuhkan untuk kemudian diambil sete-
lah ia bisa turun dengan bebas. Akibat kebodohan Cola Colo itu, ia pun jatuh dan hampir saja menimpa tu-
buh Tua Usil. Rasa-rasanya memang pantas sekali Co-
la Colo dijuluki Bocah Bodoh, karena kebodohannya
terkadang melampaui batas kebodohan bocah berusia
lima tahun.
Langkah kaki Tua Usil terhenti ketika ia men-
dengar suara pekik pertarungan di balik bukit yang tak
seberapa tinggi itu. Tua Usil berpikir, "Siapa yang ber-
tarung? Jangan-jangan Nona Lili, majikanku yang ber-
tarung dengan musuh-musuhnya? Kalau begitu, aku
harus membantu Nona Lili secepatnya, supaya Nona
Lili tidak menunda-nunda waktu lagi untuk mengajari
ku berdiri di atas ilalang!"
Tua Usil dari dulu memang sangat ingin mem-
punyai ilmu yang bisa membuatnya berdiri di atas ila-
lang, seperti yang dilakukan Lili pada saat jumpa per-
tama dengannya. Tapi sampai akhirnya Tua Usil men-
gabdi menjadi pelayan Lili, si Pendekar Rajawali Putih,
ilmu itu masih saja belum diberikan oleh Lili. Sebab Li-
li tidak ingin memberikan jika belum mengetahui sebe-
rapa tinggi ilmu si Tua Usil itu. Sedangkan menurut
anggapan Lili, Tua Usil masih menyembunyikan diri
berlagak menjadi orang bodoh yang tidak berilmu. Pa-
dahal, Tua Usil memang tidak mempunyai ilmu apa-
apa kecuali hanya jurus-jurus tangan kosong yang
sangat rendah. Satu-satunya ilmu tinggi yang dimiliki
hanyalah bisa merubah dirinya menjadi kabut, karena
ilmu itu adalah ilmu warisan yang di berikan secara
turun-temurun dari ayahnya.
Apa yang diduga Tua Usil ternyata keliru. Bu-
kan Pendekar Rajawali Putih yang bertarung di balik
bukit kecil itu, melainkan dua orang lelaki tua yang
sama-sama berambut putih rata. Menurut dugaan Tua
Usil kedua lelaki itu sama-sama berusia sekitar tujuh
puluh tahun.
"Hei, ada apa mereka saling beradu ilmu den-
gan sungguh-sungguh?" pikir Tua Usil dari persembu-
nyiannya. "Aku kenal dengan mereka. Yang berjubah
putih lusuh itu pasti Ki Pamungkas dari Perguruan
Gerbang Bumi. Dan yang mengenakan pakaian model
biksu berwarna hijau tua itu pasti yang bernama Resi
Gutama, dari Perguruan Kuil Dewa. Setahuku mereka
dulunya bersahabat. Mengapa sekarang saling bunuh?
Sejak kapan mereka bermusuhan?"
Mata si Tua Usil. terkesiap melihat tubuh Resi
Gutama meluncur ke depan dengan berputar cepat ba-
gai tonggak yang hendak menghunjam dada Ki Pa-
mungkas. Dan pada saat itu, Ki Pamungkas hanya ki-
baskan jubah putihnya dalam keadaan berputar satu
kali. Dari kibasan itu terpancar sinar putih menyilau-
kan membentang bagaikan dinding baja. Tubuh Resi
Gutama yang meluncur itu menghantam sinar putih
tersebut.
Blaaar...!
Sinar putih pecah dan pudar seketika, tapi tu-
buh Resi Gutama terpental ke samping sekitar delapan
tombak jauhnya. Lelaki berjenggot putih panjang den-
gan kepala bagian tengahnya botak itu segera bangkit
dari kejatuhannya. Tiba-tiba tubuhnya bagaikan
menghilang. Claap...! Tahu-tahu sudah berada di bela-
kang Ki Pamungkas dan menghantamkan telapak tan-
gannya ke punggung Ki Pamungkas. Baaahk...! Puku-
lan itu memancarkan sinar kuning dalam sekejap.
Pukulan tersebut membuat Ki Pamungkas ter-
hempas ke depan bagaikan daun kering disapu badai.
Lelaki berjubah putih yang mempunyai rambut pendek
warna putih dan jenggot putih yang tak begitu panjang
itu segera menggeliat bangkit dengan memuntahkan
darah kental lebih dulu. Dalam keadaan kedua tangan
masih di tanah dan kaki berlutut, Ki Pamungkas sege
ra hentakkan telapak tangannya memukul tanah di
depannya. Buuhg...!
Bruuuul...!
Tua Usil terperanjat kagum melihat tanah yang
dipakai berpijak Resi Gutama itu tersembur ke atas
bagai mengalami ledakan dahsyat dari dalam bumi,
melemparkan tubuh Resi Gutama yang tergolong ge-
muk itu melambung ke atas hingga menerabas dahan,
ranting, dan daun pepohonan. Zrraaak...!
Dengan cepat Resi Gutama bersalto satu kali
dalam keadaan turun, lalu dari ujung-ujung jari tan-
gannya keluar sepuluh larik sinar biru yang menyer-
gap tubuh Ki Pamungkas. Zuuutt...! Jraaab...!
"Aaahg...!"
Ki Pamungkas terpekik. Tubuhnya menggerin-
jal-gerinjal dililit sinar biru sepuluh larik itu. Dengan
kepala mendongak dan mulut ternganga, Ki Pamung-
kas berkelojotan sambil berusaha melepaskan diri. ia
menyerukan suara erang yang memanjang, makin la-
ma semakin tinggi.
""Aaaaa...! Heaaah...!"
Blaar...! Sepuluh larik sinar biru pecah seketika
saat kedua tangan Ki Pamungkas menyentak bersama-
sama dengan memancarkan sinar merah membara.
Sekalipun tubuhnya terjungkal, berguling-guling ke
belakang, namun Ki Pamungkas merasa selamat dari
ancaman maut jurus hebat lawannya. Nafasnya teren-
gah-engah dan matanya melirik tajam pada Resi Gu-
tama yang sedang berdiri dengan tegak dalam jarak
sepuluh langkah di depannya.
""Kau memang keras kepala, Pamungkas! Il-
mumu masih di bawah ilmuku! Lunakkan sedikit ke-
kerasan hatimu, supaya aku tidak membunuhmu,
Pamungkas!"
Dengan napas terengah-engah, Ki Pamungkas
yang memang nyata-nyata kalah ilmu itu masih berani
berkata,
"Tak akan kubiarkan kau membunuhku, Gu-
tama!| Tak akan kubiarkan kau memilikinya!"
"Percayalah padaku, Pamungkas. Roh Guru
hadir dalam mimpiku dan menyerahkannya padaku."
"Roh Guru pun hadir dalam mimpiku dan
memberitahukannya padaku!"
"Baiklah kalau begitu. Terpaksa satu di antara
kita harus mati!"
"Aku siap menghadapimu, Gutama! Sekalipun
kau punya ilmu dari kakakmu sendiri, tapi aku pun
punya ilmu dari nenekku sendiri! Kita sama-sama
punya kelebihan ilmu dan kita selesaikan urusan Ini
dengan ilmu andalan kita masing-masing."
"Bersiaplah...," ucap Resi Gutama dengan ka-
lem dan berwajah dingin.
Ki Pamungkaspun memandang dengan sorot
mata dingin, lalu menggerakkan kedua tangannya pe-
lan-pelan ke samping kanan-kiri. Tiba-tiba kedua tan-
gan itu bergerak cepat patah-patah. Jurus aneh yang
belum pernah dilihat Resi Gutama dipamerkan oleh Ki
Pamungkas. Jurus itulah yang dinamakan Jurus
'Patah Garuda', yang menjadi Jurus andalan KI Pa-
mungkas. Dalam keadaan bergerak membungkuk
maupun melangkah, tampak seperti gerakan patah-
patah yang sulit diikuti oleh pandangan mata.
Resi Gutama pun segera keluarkan Jurus an-
dalannya, yaitu mengeraskan kedua tangannya dalam
gerakan lamban, terangkat ke depan, dan keluarlah
kuku-kuku tajam dari setiap ujung Jarinya. Jurus itu-
lah yang dinamakan jurus 'Cakar Langit', pemberian
dari kakaknya. Tubuh Resi Gutama bergetar karena
kerasnya urat di sekujur tubuh itu. Matanya pun be-
rubah menjadi merah ketika kesepuluh jari sudah berkuku hitam. Dari setiap kuku memercik bunga api
warna biru saling berlompatan bagai tak sabar me-
nunggu mangsanya.
Heaaah...!" Resi Gutama mengerang panjang,
lalu segera sentakkan kakinya dengan lembut ke ta-
nah, tapi membuat tubuhnya terdorong cepat bagai
melompat penuh nafsu untuk membunuh. Sementara
itu, Ki Pamungkas pun sentakkan kaki dan tubuhnya
pun melayang bagaikan terbang ke arah lawannya
dengan telapak tangan menyala hijau. "Eaaahh...!"
Braas...! Mereka bertabrakan di pertengahan ja-
rak dalam keadaan sama-sama melayang. Resi Guta-
ma menghantamkan Jurus 'Cakar Langit'-nya bebera-
pa kali ke tubuh Ki Pamungkas, sedangkan Ki Pa-
mungkas melepaskan jurus 'Patah Garuda'-nya yang
mengenai leher, dada, dan pinggang kiri lawannya.
Pada saat itu, mata si Tua Usil terbelalak te-
gang karena melihat kedua tubuh yang sama-sama
bertabrakan di udara itu memancarkan cahaya api
yang begitu besar. Beberapa daun di sekitarnya men-
jadi kering seketika dan pohon-pohon yang agak jauh
dari mereka menjadi layu. Tua Usil sendiri sempat ter-
sentak tubuhnya Ketika terkena hembusan angin pa-
nas dari perpaduan dua jurus maut tersebut.
Tua Usil segera lompat ke bongkahan batu be-
sar, Berlindung di sana dari sengatan hawa panas
yang menyebar ke berbagai penjuru. Ketika hawa pa-
nas itu dirasakan telah lenyap, ia pun mulai menon-
golkan kepalanya pelan-pelan dari samping batu besar.
"Hahh...?" Tua Usil berteriak keras-keras sam-
bil melompat mundur, karena begitu ia menongolkan
kepala dari samping batu, tiba-tiba di depannya persis
terdapat moncong seekor babi hutan yang rupanya ju-
ga sedang mencari tempat perlindungan akibat hawa
panas tadi.
"Huuik...!" Babi hutan itu pun kaget melihat
Tua Usil, dan lari kembali arah dengan terbirit-birit.
Tua Usil ngos-ngosan sambil pegangi dadanya yang
berdetak-detak keras karena kagetnya tadi.
"Babi! Hampir saja aku menderita malu berci-
uman dengannya! Cuih!" Tua Usil meludah dengan jijik
dan jengkel.
Alam menjadi sunyi, seakan lengang tanpa sua-
ra apa pun. Bahkan daun pun tak mau bergemerisik,
angin enggan berhembus, babi hutan tadi entah ke
mana mendekamnya. Tak terdengar lagi suara napas
dan langkah kakinya. Alam menjadi mati dalam bebe-
rapa kejap, tapi Tua Usil tak mau hanyut dalam kema-
tian itu.
Tua Usil segera dekati tempat pertarungan an-
tara KI Pamungkas dengan Resi Gutama tadi. Ia ge-
leng-geleng kepala karena heran melihat tanah menjadi
hitam, rerumputan hangus, beberapa batang pohon
masih berdiri walau sudah menjadi arang. Semak-
semak habis tersapu hawa panas yang membuatnya
hitam keriting.
"Ilmu apa yang mereka adukan tadi?" gumam
Tua Usil.
Di sebelah barat, pakaian biksu warna hijau
yang dikenakan Resi Gutama telah menjadi abu. Tu-
buh Resi Gutama terbujur kaku, tanpa nyawa lagi dan
kulitnya melepuh hitam. Sedangkan di sebelah timur
tubuh Ki Pamungkas juga sudah dalam keadaan ter-
bakar, Jubah putihnya menjadi hitam. Rambutnya pu-
tihnya keriting hitam. Wajahnya bengkak dengan luka-
luka di sekujur tubuh bekas cakaran yang menghitam
pula.
"Oooh...!"
Terdengar suara keluh Tua Usil kaget dan
memperhatikan tubuh Ki Pamungkas, ternyata masih
bergerak-gerak dan sedang mendekati ajal. Tua Usil
segera dekati tokoh sakti itu. Mata Ki Pamungkas mu-
lai terbuka pelan-pelan, mulutnya yang ternganga mu-
lai, menggerakkan bibir, lidah, dan tenggorokannya
bagai ingin menelan ludah yang telah punah dari mu-
lutnya.
"Tahan sebentar, Ki. Aku akan carikan air un-
tukmu!" kata Tua Usil.
"Tak... tak... perlu...," ucap Ki Pamungkas lirih
sekali. "Dekatlah pada... ku...!"
Dengan bingung, Tua Usil merangkak mende-
kati mulut Ki Pamungkas. Ia mendengar Ki Pamungkas
ucapkan kata pelan, "Pancasona...?"
"Ya, aku Pancasona, Ki. Syukurlah kalau kau
masih mengenaliku!" Tua Usil merasa bangga menden-
gar nama aslinya disebutkan.
"Masuklah ke... sumur...."
Tua Usil berkerut dahi, menarik telinganya dari
dekat mulut Ki Pamungkas. Ia bergumam dalam ha-
tinya, "Ini orang sudah mau mati tapi masih mau cela-
kai orang saja? Apa maksudnya?"
"Masuklah... ke Sumur Condong di.... seb... se-
belah... barat sana!"
"Untuk apa kau suruh aku masuk ke Sumur
Condong yang belum ku tahu letaknya itu, Ki?"
"Ad... ada... pusaka... yang... yang kupere-
butkan dengan Gutama. Lekas... ambillah...!"
Tua Usil berpikir, "ini amanat orang mau mati.
Kalau tidak ku turuti, arwahnya bisa mengejar-
ngejarku. Baiklah, ku turuti saja!"
Tua Usil segera bergerak ke arah barat. Ia sem-
pat ngeri melihat mayat Resi Gutama yang berjarak
sekitar sepuluh tombak lebih dari tempat Ki Pamung-
kas berada. Mata Tua Usil mencari-cari sumur yang
dimaksud sampai beberapa saat, akhirnya ia temukan
juga setelah hampir patah semangat dan menganggap
ditipu.
Ternyata dalam jarak lebih kurang delapan be-
las langkah dari tempat Resi Gutama terkapar menjadi
mayat, ada lubang tanah berbentuk miring, seperti gua
kecil yang tak seberapa dalam. itulah yang dimaksud
Sumur Condong oleh Ki Pamungkas tadi. Sumur itu
kering, tanpa air setetes pun. Yang ada hanya beba-
tuan kecil dan sampah daun kering. Melihat keadaan
di dalamnya cukup aman dan tak sukar untuk keluar
kembali dari sumur itu, maka Tua Usil pun melompat
turun ke dalam sumur tersebut.
"Mana pusaka yang dimaksud oleh Ki Pamung-
kas itu?!" gerutu Tua Usil sambil matanya mencari-cari
di sekeliling tanah yang dipijaknya. Kerikil-kerikil dis-
ingkapkan, dedaunan kering disingkirkan. Tetap saja
ia tidak temukan sebentuk pusaka di dalam sumur itu.
"Ah, benar-benar orang mau mati itu bikin kes-
al hatiku! Dia tipu aku untuk masuk sumur ini. Apa
maksudnya menipuku begini? Sebaiknya aku segera
keluar saja dari sumur ini!"
Dengan memanjat salah satu batu pada dinding
sumur yang miring, Tua Usil dapat dengan mudah
mencapai permukaan sumur. Tetapi tiba-tiba matanya
menangkap sekilas sinar kuning berkerilap pada dind-
ing sumur. Sinar itu terselip di antara susunan batu
dinding sumur yang lebarnya satu langkah manusia
dewasa.
"Sinar apa itu?" pikir Tua Usil. "Batu aneh...?!
Mungkin batu bersinar inilah yang dimaksud pusaka
oleh Ki Pamungkas."
Tua Usil segera membongkar batu kanan-
kirinya, lalu mengambil batu bersinar kuning itu.
Zraab...!
"Oh, ternyata bukan batu? Ini sebuah pisau
bersarung emas?!" Tua Usil berdebar-debar memperha-
tikan pusaka tersebut. Rupanya yang tampak di per-
mukaan dinding sumur tadi adalah ujung gagang pi-
sau yang juga berlapis emas berukir seperti sarung pi-
saunya.
Pisau itu seluruhnya berukuran satu jengkal
setengah. Gagangnya tak terlalu panjang. Ketika Tua
Usil membawanya naik ke permukaan sumur dan
mencabut pisau dari sarungnya, ternyata mata pisau
itu berwarna hitam seperti perunggu, tapi dikelilingi
sinar merah bening. Tua Usil gemetar sekujur tubuh-
nya. Matanya tak bisa berkedip memandangi mata pi-
sau berukuran satu jengkal, berujung runcing, bersisi
tumpul di kanan-kirinya. Tapi sinar merah yang men-
gelilingi mata pisau itu yang membuat Tua Usil yakin,
bahwa pisau itu adalah pisau bertuah. Rasa takut
membuat Tua Usil buru-buru menyarungkan pisau
tersebut, kemudian cepat-cepat berlari menemui Ki
Pamungkas yang sedang sekarat.
"Ki..., aku berhasil! Pisau inikah yang kau mak-
sud pusaka?"
Mata Ki Pamungkas terbuka kecil, bibirnya ber-
gerak-gerak ingin tersenyum, namun sulit karena ba-
nyak luka cabikan. Ia hanya menjawab dengan suara
semakin pelan,
"Benar.... Itu yang... dinamakan.... Pu.... Pusa-
ka Hantu Jagal!"
"Ada hantunya, Ki?"
"Tidak," jawab Ki Pamungkas dengan susah
payah. "Hantu Jagal... adalah nama julukan... guruku,
juga... gurunya Gutama."
Ki Pamungkas terbatuk-batuk sebentar sambil
menyeringai menahan rasa sakit. Sementara itu, Tua
Usil masih terbengong mendengarkan ucapan Ki Pa-
mungkas dan menyimak suara batuknya. Sesaat kemudian, suara Ki Pamungkas terdengar menjadi serak
dan lirih,
"Tikamlah aku dengan... pisau itu..."
"Bagaimana?" Tua Usil kaget dan setengah ti-
dak percaya dengan pendengarannya. Ki Pamungkas
mengulangi,
"Tikamlah aku dengan pisau Itu... sekarang ju-
ga...."
"Tid... tid... tidak mau!" Tua Usil melepaskan
pisau itu, jatuh di samping lengan KI Pamungkas yang
sudah tidak bisa bergerak lagi. Tua Usil mundur dari
jongkoknya dengan mata tegang.
"Aku bukan seorang pembunuh. Aku tidak tega
memenuhi permintaanmu, Ki Pamungkas. Kau bukan
musuhku."
"Laku... lakukanlah, Pancasona. Kkkau... yang
beruntung rupanya. Tikamlah aku, lalu pisau itu men-
jadi pusaka milikmu. Pertahankan selamanya... jangan
sampai jatuh ke tangan orang lain.... Apalagi orang se-
sat, jangan sam... pai...!"
Tua Usil tidak berucap kata apa-apa karena
bingung menghadapi permintaan aneh tersebut. Ma-
tanya masih memandang tegang kepada Ki Pamungkas
yang hanya mampu menatap dengan mata sipit. Lalu,
terdengar kembali suaranya yang tampak dipaksakan
keluar dari kerongkongannya,
"Pisau pusaka itu akan membuatmu... berilmu
tinggi. Setiap kau tikamkan ke tubuh orang berilmu,
maka... seluruh ilmu orang tersebut akan mengalir ke
dalam tubuhmu, kekuatannya... tenaga dalamnya...
jurus-jurusnya... semuanya akan... berpindah menjadi
milikmu. Jika... diadu dengan pusaka lain berbentuk
apa pun, bisa... bisa keluarkan ledakan gempa yang
cukup hebat. Pisau itu... juga bisa sedot racun seganas
apa pun dengan hanya... ditempelkan pada lukanya
saja. Sebab itu, tikamlah aku, Pancasona. Selain aku
bangga bisa mati karena pisau pusaka guruku, juga...
ilmuku akan mengalir ke tubuhmu dan menjadi mi-
likmu selamanya. Lakukanlah, Pancasona...."
Tua Usil yang bernama asli Pancasona itu ma-
sih diam dalam kebimbangannya. Jantungnya bertam-
bah berdetak-detak karena tegang. Ki Pamungkas me-
nunggu sampai beberapa saat, namun Tua Usil masih
saja diam bagaikan patung bernyawa.
"Tolonglah, Pancasona... Bunuh aku dengan pi-
sau pusaka milik guruku, agar kematianku bukan ke-
matian yang sia-sia, dan... dan lebih terhormat daripa-
da... kematian Gutama itu.... Ku mohon, tolonglah...!
Lakukan perintahku di akhir hidupku ini...."
Suaranya semakin kecil, semakin tipis, berben-
tuk bisikan-bisikan yang mengharukan hati. Tua Usil
iba mendengar permohonan tersebut. Akhirnya, ia
paksakan diri untuk mencabut pisau pusaka tersebut.
Repotnya, ketika pisau ingin dihunjamkan, tangan Tua
Usil sangat gemetar. Guncangannya cukup hebat ka-
rena rasa takut dan tegang di dalam hati.
"Lakukan...," suara itu hampir tak lagi terden-
gar.
"Diii... diii... di sebelah mana aku harus menu-
suknya? Dii... di... di betis saja, ya?"
"Jan... tung...!" jawab KI Pamungkas.
"Jan... jantung? Oh, jangan...! Kalau kutikam
jantungmu, nanti kau mati, Ki Pamungkas. Apakah
kau tak tahu bahwa jantung adalah...."
"Lekas... sebelum nafasku berakhir...! Lekas...!"
Ki Pamungkas sangat memohon dan membuat hati
Tua Usil kian terharu.
"Terserahlah. Kalau kau mati tanggung jawab-
mu sendiri, Ki! Hiaaah!"
Jruub...!
Dengan kedua tangan Tua Usil menghunjam-
kan pisau pusaka itu ke dada kiri Ki Pamungkas, tepat
pada bagian jantungnya. Seketika itu pula tubuh Ki
Pamungkas bercahaya merah bening, sedangkan pisau
itu sendiri juga bercahaya merah bening sampai pada
gagangnya. Bahkan kini kedua tangan Tua Usil pun
menjadi bercahaya merah bening. Kian lama, tubuh
Tua Usil menyala merah bening seluruhnya, sedang-
kan cahaya merah pada tubuh Ki Pamungkas pun re-
dup. Ki Pamungkas sudah tidak bernyawa lagi. Pisau
pun dicabut oleh Tua Usil, tubuh Tua Usil tidak lagi
bercahaya merah. Tapi benarkah Tua Usil sekarang
berilmu sama tingginya dengan ilmunya Ki Pamung-
kas? Tua Usil tak yakin akan hal itu.
* * *
4
SETELAH tertegun beberapa saat lamanya, dan
setelah dalam hatinya masih saja timbul rasa tidak
percaya bahwa ilmu yang ada pada diri Ki Pamungkas
telah berpindah rasa menjadi miliknya, maka Tua Usil
pun memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu.
"Yang penting keinginannya sudah ku penuhi.
Bukan salahku jika Ki Pamungkas mati. Toh tanpa
kubunuh pun dia akan mati dengan sendirinya karena
luka parah dari pertarungannya dengan Resi Gutama!
Sebaiknya, sekarang ku makamkan saja jenazah me-
reka berdua, siapa tahu punya keberuntungan tersen-
diri memakamkan kedua jenazah tokoh sakti ini...?!"
Tua Usil menyelipkan Pusaka Hantu Jagal ke
balik bajunya hingga tak mudah terlihat siapa pun. Ia
merasa ngeri dan takut pisau bersarung dan bergagang emas itu akan diincar oleh orang jahat sebagai
perhiasan yang amat mahal harganya. Sebab itu harus
disembunyikan di balik baju.
Pada saat ia bergegas ingin menggali tanah
dengan menggunakan tonggak kayu runcing, tiba-tiba
dari arah belakang terasa ada sepasang kaki yang me-
nendangnya dengan sangat kuat. Buuhg...!
"Aahg...!" Tua Usil terpekik, tubuhnya terlempar
ke depan dan berguling-guling. Tapi dengan cepat ka-
kinya mampu menyentak dan ia bangkit seketika itu
juga, berdiri tegak sambil memandang ke arah orang
yang menendangnya. Dalam hatinya Tua Usil sempat
berkata,
"Aneh. Kok aku tidak terlalu merasa sakit men-
dapat tendangan sekuat itu? Kok aku bisa cepat bang-
kit dan berdiri setegak ini? Dan... oh, rupanya perem-
puan cantik itu yang tadi menyerangku! Siapa dia?"
Perempuan cantik itu masih tergolong muda.
Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Matanya sedikit
lebar bertepian hitam, memandang tajam namun
punya keindahan tersendiri dari bentuk bulu matanya
yang lentik itu. Alisnya tebal, hidungnya mancung,
rambutnya panjang di sanggul ke atas sebagian, Gadis
itu kenakan pakaian serba kuning, dengan senjata pe-
dang di pinggang dari gading, gagang dan sarung pe-
dangnya nyata-nyata dari gading berukir. Di ujung ga-
gang pedang ada hiasan bentuk burung walet.
Gadis itu segera menahan tangis mati-matian
melihat ke arah mayat Ki Pamungkas. Ia sempat ber-
simpuh di samping jenazah tersebut dan mengucap
kata duka, "Guru, maafkan aku...! Aku terlambat me-
nolongmu. Guru...!"
Tua Usil berucap kata, "Ooo... gadis itu murid-
nya Ki Pamungkas! Pantas ia menendangku, mungkin
maksudnya aku tak boleh menguburkan jenazah gurunya di sembarang tempat. Mungkin mau dibawanya
ke Perguruan Gerbang Bumi."
Gadis itu tundukkan kepala dengan mata ter-
pejam kuat dan kedua tangan mengepal kencang. Se-
saat kemudian mata itu terbuka lagi, lalu pelan-pelan
melirik ke arah Tua Usil. Lirikan tajam itu membuat
Tua Usil ragu untuk menyapanya dengan ramah, ak-
hirnya ia hanya bisa tersenyum tawar dan salah ting-
kah.
Tetapi hati Tua Usil menjadi cemas ketika gadis
itu bangkit dan mulai melangkah pelan-pelan mende-
katinya dengan sorot pandangan mata berkesan ber-
musuhan. Tua Usil diam saja dengan dahi berkerut
menatap gadis cantik itu. Dalam jarak empat langkah
di depan Tua Usil, gadis itu berhenti dan segera berka-
ta dengan geram,
"Akan kubalas kematian Guru sekarang juga!"
"Hmmm..., eh... ya, balaslah! Tapi... siapa maksud mu
yang akan kau balas itu?"
Makin sipit mata gadis itu memandang Tua Usil
ketika berkata,
"Jangan merasa bangga dulu jika kau bisa
membunuh guru ku. Belum tentu kau bisa membu-
nuhku: Walet Gading, murid kinasih Ki Pamungkas!"
"Tung... tung... tunggu dulu!" tangan si Tua Usil
di hadangkan ke depan keduanya. Ia bergerak mundur
dengan rasa takut. "Aku bukan... bukan...."
"Hiaaat...!" Walet Gading melompat dengan satu
sentakan kaki ringan. Sentakan ringan itu hasilkan
lompatan cepat dan dada Tua Usil menjadi sasaran te-
lak dari tendangan Walet Gading. Duuhg...!
"Uhg...!" Tua Usil terdorong mundur tiga tindak.
Tapi ia tidak merasakan sesak napas ataupun nyeri
pada dadanya. Sedangkan Walet Gading sendiri Justru
terpental ke belakang bagaikan mendapat serangan
balik dari tenaga dalamnya yang dikerahkan melalui
tendangan kaki kanannya tadi.
Bruuk...! Walet Gading rubuh tak sempat men-
jaga keseimbangannya. Namun ia cepat-cepat berdiri
karena" takut diserang lawan. Ternyata lawannya ju-
stru sedang melarikan diri dengan ketakutan.
"Berhenti kau!" teriak Walet Gading yang segera
berlari mengejar Tua Usil. Dalam hatinya, Walet Gad-
ing berkata, "Mengapa ia lari ketakutan? Padahal ia
mempunyai tenaga dalam yang cukup tinggi. Terbukti
tendangan ku dapat dipantul-balikkan dan hampir sa-
ja membuatku celaka?! Ah, persetan dengan ilmunya!
Aku harus bisa menangkapnya dan membalas kema-
tian Guru! Pasti dialah orangnya!"
Tua Usil tak menyadari bahwa larinya lebih ce-
pat dari biasanya. Ia bagai mempunyai tenaga peringan
tubuh yang mampu mempercepat gerakan larinya,
jauh lebih cepat dari apa yang pernah dilakukan dalam
pelarian sebelumnya. Sayangnya, Walet Gading pun
mempunyai ilmu peringan tubuh dengan kecepatan
seimbang, sehingga Tua Usil yang sesekali menengok
ke belakang itu merasa jaraknya semakin dekat den-
gan lawan, dan merasa larinya sama saja dengan pela-
rian sebelumnya. Karena timbul rasa takut di dalam
hatinya, maka Tua Usil berusaha mencari tempat un-
tuk bersembunyi. Maksudnya biar tidak terlalu men-
guras tenaga dan membuat nafas terengah-engah.
Zaaap...! Tua Usil berbelok ke balik pohon be-
sar yang berongga, ia bersembunyi di sana dengan hati
berdebar-debar. Ia tidak menyadari bahwa gerakan
berbelok itu dapat dilakukan dengan patah dan cepat.
Ia hanya berpikir,
"Mengapa nafas ku tidak terlalu ngos-ngosan?
Padahal aku sudah lari sejauh ini?! Apakah sekarang
nafas ku tambah panjang?"
Walet Gading menerabas semak ilalang di de-
pan Tua Usil. Mata Tua Usil melihat jelas, dan hatinya
sedikit tenang karena lawannya bisa terkecoh oleh ge-
rakan sembunyinya.
"Gadis itu pasti sangka akulah pembunuh Ki
Pamungkas! Aku tidak mau dituduh begitu. Aku meni-
kamkan pisau ini hanya karena didesak oleh permo-
honannya sendiri. Bukan atas kemauanku. Kulakukan
itu dengan cara sangat terpaksa! Aku tidak mau men-
gakui sebagai pembunuh Ki Pamungkas. Resi Gutama
itulah pelakunya, sebab tanpa kutikam dengan pisau
pusaka ini, toh Ki Pamungkas akan mati juga!"
Tua Usil bersungut-sungut sambil keluar dari
rongga pohon. Ia segera lari ke arah lain agar tak ber-
temu dengan Walet Gading. Tetapi tiba-tiba sebuah se-
rangan berupa pukulan tenaga dalam tanpa sinar dile-
paskan dari arah belakangnya. Tenaga dalam itu ber-
gerak cepat dan menghadirkan hawa panas.
Wuuut...!
Weees...! Tua Usil tiba-tiba sentakkan kakinya
ke tanah dan tubuhnya melenting ke atas sambil ber-
salto ke belakang satu kali. Kemudian ia mendaratkan
kedua kakinya dengan sigap di tanah tak jauh dari
tempatnya menghindar tadi. Jleeg...!
"Lho... kok bisa begin!?!" pikir Tua Usil. "Aku
bisa menghindar dan berguling-guling di udara satu
kali? Sejak kapan aku bisa melompat dengan gaya se-
perti Nona
Lili?!"
Duaar...! Kriiieeett...! Brrruusk...! Sebatang po-
hon tumbang karena terkena pukulan tenaga dalam
yang lolos dari tubuh Tua Usil. Mata lelaki berusia se-
kitar enam puluh tahun itu terbelalak heran.
"Edan! Kalau batang pohon sekokoh itu saja bi-
sa patah dan tumbang terkena hawa panas tadi, apa
lagi tubuhku. Pasti akan lumer seperti bubur!" pikir-
nya dengan ngeri.
"Hadapilah aku, Pengecut!" bentak suara di be-
lakangnya. Tua Usil terlonjak kaget dan segera ingat
bahwa ada orang yang menyerangnya dari belakang.
Ketika ia berbalik arah, ia makin kaget, karena ternya-
ta yang menyerangnya tadi adalah Walet Gading.
"Wah, dia sudah mulai cabut pedang?!" pikir
Tua Usil dengan cemas. Ia bergerak mundur pelan-
pelan sambil berkata,
"Bukan aku yang membunuh... yang membu-
nuh Ki Pamungkas! Tadi dia bertarung sendiri den-
gan..."
"Tutup mulutmu! Tak perlu kau berdalih lagi!"
bentak Walet Gading.
"Ceritanya begini,..."
"Heaaat...!".
Wuuus...! Walet Gading melompat dan cepat
tebaskan pedangnya ke arah leher Tua Usil. Dengan
rasa takut, Tua Usil berteriak,
"Jangan...!" tapi di luar kesadaran tubuhnya
berkelok turun ke bawah dan berputar satu kali, kaki
kanannya terangkat sendiri dan menendang lengan
Walet Gading. Buuuhg...!
Tua Usil kaget melihat hasil tendangan kakinya
dapat membuat tubuh gadis cantik itu terpental dan
membentur pohon dengan keras. Pohon itu bergun-
cang dan sebagian daunnya runtuh.
"Cepat sekali kakiku berkelebat. tadi? Hebat
pula kekuatan tendangan ku, padahal itu kulakukan
dengan tak sengaja. Pasti gadis itu semakin berang
dan... dan tak akan segan-segan lagi membunuhku!
Lari saja kalau mau cari selamat..!"
Setelah berpikir begitu, Tua Usil pun tak mau
hiraukan lagi bagaimana hasib lawannya, ia segera
melarikan diri dengan cepat di luar kemampuan bi-
asanya. Sementara itu, Walet Gading bergegas menge-
jarnya kembali sambil berkata dalam hatinya,
"Tendangan putarnya seperti jurus 'Belalang
Binal'! Hanya murid-murid Perguruan Gerbang Bumi
yang mempunyai jurus 'Belalang Binal'. Tap! mengapa
orang itu bisa memiliki jurus 'Belalang Binal'? Apakah
dia bekas muridnya Ki Pamungkas juga? Aku jadi
tambah penasaran! Bagaimanapun juga aku harus bi-
sa menangkap dan mengorek keterangan darinya!"
Walet Gading menjadi sangat penasaran. Ia se-
gera mengambil arah potong jalan. Sampai akhirnya ia
berhasil menghadang langkah Tua Usil di tanah lapang
yang dulunya bekas rawa-rawa namun sekarang su-
dah kering dan memadat.
"Kau tak akan bisa lolos dari ancaman maut
ku, Pengecut!" sentak Walet Gading dengan mata tajam
memandang Tua Usil. Yang dipandang menjadi salah
tingkah dan serba bingung.
"Ku mohon... ku mohon padamu...." Tua Usil
gelagapan karena gugup. Bahkan untuk lanjutkan
ucapannya sudah tak mampu, karena Walet Gading
mendekatinya dengan pedang tetap terhunus dan siap
tebas.
"Siapa kau sebenarnya! Mengakulah, Pengecut!"
gertak Walet Gading.
"Ak... aku... aku Pancasona. Eh... anu... aku si
Tua Usil, pelayannya Nona Lili. Ak... aku...! Ya, aku itu
tadi yang kukatakan. Hmmm, kuharap... kuharap kau
tidak marah padaku, Nona Cantik...!" Tua Usil menco-
ba tersenyum, namun karena disertai rasa takut hing-
ga senyuman itu berkesan sinis, membuat Walet Gad-
ing makin merasa bermusuhan.
"Kau punya hubungan apa dengan guruku, Ki
Pamungkas itu?! Katakan sejelasnya!" bentak Walet
Gading.
'"Tid... tidak ada hubungan apa-apa. Ak... aku
cuma kenal sama dia karena dia tokoh sakti di rimba
persilatan. Ak... aku...."
"Kau murid lamanya?!"
"O, tidak! Sumpah, aku bukan muridnya! Sum-
pah serapah pun berani!" Tua Usil mencoba meyakin-
kan sampai angkat kedua jarinya ke atas.
"Dari mana kau kuasai jurus 'Belalang Binal'
itu?!"
"Dari... eh, jurus apa kau bilang tadi?!" Tua Usil
berkerut dahi dan merasa asing dengan nama jurus
tersebut.
Walet Gading tak mau mengulang pertanyaan-
nya, hanya sunggingkan senyum sinis sambil memba-
tin,
"Agaknya kalau tidak ku paksa orang itu tak
mau sebutkan siapa dirinya! Sebaiknya ku coba untuk
menyerangnya supaya aku tahu persis bagaimana se-
harusnya aku bersikap kepadanya!"
Walet Gading membuka jurus pedang yang ba-
ru dengan mengelebatkan pedang gadingnya itu. Tua
Usil menjadi kebingungan dan takut. Ia melangkah
mundur dan mencari tempat berlindung. Tapi pohon
yang diharapkan bisa menjadi tempat berlindung itu
cukup jauh dari tempatnya berdiri. Tua Usil pun hanya
bisa berjaga-jaga untuk hindari serangan sebisa-
bisanya sambil mulutnya menceracau tak karuan,
"Jangan bunuh aku...! Sungguh, aku belum
kepingin mati, Nona. Kasihanilah aku. Tahan amarah
mu...! Kau pasti salah duga...! Tolong, jangan bunuh
aku! Setua ini aku belum pernah kawin, jangan dulu
kau bunuh aku...! Tolong, Nona! Tolong...!"
"Hiaaat...!"
Wuuut, wuuut, wuuut, wuuut...!
Walet Gading lepaskan jurus pedang yang me-
nebas dengan cepat dan bertubi-tubi dari berbagai
arah. Sulit diikuti oleh pandangan mata. Tetapi Tua
Usil tiba-tiba menjatuhkan diri dan berguling maju, la-
lu dengan cepat ia mencakar kaki Walet Gading den-
gan gerakan cepat sekali. Crak, crak, crak...! Yang te-
rakhir ia gunakan punggungnya untuk bertumpu di
tanah, sehingga kakinya mampu menendang tinggi
dengan sentakan kuat. Tepat mengenai siku Walet
Gading. Plaaak..!
Wees...! Pedang Walet Gading sempat terpental
lepas. Namun segera ditangkap oleh gadis itu dengan
bersalto mundur dua kali. Taab...! Pedang itu
kembali di tangan Walet Gading, tapi gadis itu rasakan
perih di bagian betisnya. Ketika dilihatnya, ternyata
betis itu sudah berdarah akibat cakaran di beberapa
tempat.
"Jurus 'Gagak Sekarat'!" gumamnya dalam ge-
ram. Ia segera menatap Tua Usil yang sudah berdiri te-
gak dan siap-siap melarikan diri kembali. Namun Wa-
let Gading berseru,
"Tunggu! Aku ingin tahu siapa yang ajarkan
kamu jurus 'Gagak Sekarat" dan jurus 'Tendangan To-
pan' tadi?!"
"Aku tidak tahu!" jawab Tua Usil dengan cepat,
lalu segera larikan diri lagi sambil berpikir, "Kenapa
aku tadi bisa bergerak seperti itu? Padahal aku hanya
bergerak ngawur saja untuk menutupi rasa takutku?!"
Walet Gading tak hiraukan luka di betisnya. Ia
masih tetap penasaran dan mengejar Tua Usil. Dalam
hati Walet Gading sempat berkata,
"Hanya beberapa murid saja yang mendapat ju-
rus 'Tendangan Topan' dan 'Gagak Sekarat'! Murid-
murid terpilih itu hanya ada empat orang, dan jurus
'Gagak Sekarat' merupakan jurus ciri bagi murid
murid yang mempunyai tingkatan tinggi dan sejajar.
Termasuk diriku, dan ketiga temanku itu. Tapi menga-
pa orang tua itu mempunyai jurus 'Gagak Sekarat'?
Siapa dia sebenarnya?! Aku semakin curiga padanya!"
Usaha mengejar Tua Usil itu tiada habisnya,
karena tingkat kepenasaran Walet Gading semakin
tinggi. Tanpa disadari olehnya, pengejaran itu diketa-
hui oleh seseorang yang sedang melayang terbang di
angkasa bersama seekor burung rajawali putih.
Gadis cantik berpakaian merah jambu dengan
jubah tipis warna putih menunggang seekor burung
rajawali besar berbulu putih. Gadis cantik berselem-
pang pedang perak di punggungnya itu tak lain adalah
Lili; si Pendekar Rajawali Putih yang memang sedang
mencari-cari Tua Usil untuk suatu keperluan. Maka
begitu ia melihat Tua Usil berlari dalam pengejaran
seorang gadis yang belum dikenalnya, mulut Lili pun
segera keluarkan perintah kepada burung rajawali be-
sar itu,
"Putih, hadang gadis yang mengejar Tua Usil
itu!"
"Keakk." jawab burung betina itu dengan suara
pelan, lalu ia segera bergerak menukik ke arah Walet
Gading. Pada waktu itu, Walet Gading ingin lepaskan
pukulan jarak jauhnya untuk menahan pelarian si Tua
Usil. Tetapi, tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara bu-
rung rajawali putih yang berteriak keras-keras meme-
kakkan telinga.
"Keaaakkk...! Keaaak..!"
Wuuut...! Plook...! Wajah Walet Gading bagai-
kan ditampar oleh kaki burung besar yang menguncup
itu. Andai kaki itu tidak menguncup, wajah Walet Gad-
ing yang terperangah kaget itu pasti akan robek dis-
ambar cakar rajawali yang mirip mata pedang itu.
Pukulan itu membuat Walet Gading terpental
dari jatuh dengan sangat kerasnya. Sementara itu, bu-
rung rajawali putih itu melayang rendah ke arah Tua
Usil. Lelaki itu berhenti ketika mendengar suara teria-
kan burung yang cukup membuat telinganya budek
itu. Tapi ia segera tersenyum lega melihat Lili ada di
atas punggung burung betina itu.
"Nona Li...! Tolong saya...! Gadis itu mau bunuh
saya, Nona Li!"
Burung besar berhenti dengan kedua sayapnya
masih sedikit terentang walau tak lebar. Lili melompat
turun dari punggung rajawali dan sebentar kemudian
sudah bersama-sama Tua Usil. Sedangkan Walet Gad-
ing segera bangkit dan hendak menghamburkan puku-
lan jarak jauhnya secara bertubi-tubi ke arah Tua Usil
dan Pendekar Rajawali Putih. Namun tiba-tiba burung
besar itu melompat di depan Lili, sayapnya dibentang-
kan kian lebar, lalu dikepakkan satu kali. Wuuut...!
Angin besar timbul seketika itu bagaikan badai. Tubuh
Walet Gading terhempas terpelanting ke belakang dan
berjungkir balik beberapa kali. Tiga pohon tumbang
seketika karena hempasan kepak sayap burung yang
mempunyai tenaga cukup kuat dan berbahaya itu.
"Putih...!" seru Lili. "Menyingkirlah, biar kuha-
dapi gadis itu!"
"Kaaakk...!" burung itu memekik bagai tak mau
menyingkir dan ingin hadapi Walet Gading.
Lili menghardik dengan suara lebih keras lagi,
"Putih...!"
Wuuuk, wuuuk, wuuuk...! Burung itu terbang
ke arah samping dan membiarkan Walet Gading bang-
kit, lalu menghampiri lawannya dengan pedang sudah
sejak tadi dimasukkan ke sarungnya. Langkahnya cu-
kup tegap dan tampak memar biru pada bagian tulang
pipinya akibat hantaman kaki burung.
"Mengapa kau diburu olehnya?" tanya Lili ke
pada Tua Usil.
"Saya... saya disangka membunuh gurunya,
Nona LI. Padahal saya tiba di situ, gurunya sudah se-
karat akibat bertarung dengan lawannya. Lalu, gu-
runya minta supaya saya mempercepat kematiannya,
agar tak terlalu menderita lama-lama. Saya menolak,
tapi gurunya memaksa terus, akhirnya saya mengikuti
sarannya, menusukkan pisau ke jantungnya!"
Tua Usil seperti anak kecil yang mengadukan
peristiwa itu dan merasa dirinya tak bersalah. Lili tidak
memandang Tua Usil, melainkan memperhatikan lang-
kah Walet Gading yang tampak ingin berhadapan den-
gan Tua Usil untuk membalas dendam. Maka, dengan
tenang Lili pun berkata kepada Tua Usil,
"Biar kutangani dia."
"Terima kasih, Nona Li!" Tua Usil semakin lega
hatinya.
Dalam jarak lima langkah, Walet Gading ber-
henti di depan Lili. Matanya jelas memancarkan per-
musuhan, Lili sendiri tidak kalah tajam memandang-
nya, bahkan lebih berkesan dingin bagaikan gunung
es.
"Apa urusanmu denganku sehingga kau berani
mencampuri persoalanku dengan tua bangka itu,
hah?!" Walet Gading menghardik, menampakkan kebe-
raniannya. Lili tetap tenang, tanpa senyum sedikit
pun, dan berkata dengan nada dingin,
"Kalau kau ingin membunuh pelayanku ini,
kau harus berurusan dulu denganku!"
"Kau memang patut diberi pelajaran, Gadis
Edan! Heiaaah...!"
Walet Gading melompat sambil kibaskan kaki
menendang wajah Lili. Tetapi dengan tangkas tangan
Lili bergerak cepat menghantam kaki itu dalam gera-
kan jari menguncup dan dilakukan secara berkali-kali.
Tub, tub, tub, tub...! Plook...! Punggung tangan
Lili menyentak bagai sayap burung rajawali mengibas.
Pukulan itu mengenai dagu Walet Gading. Gadis itu
kembali terpental dan jatuh dengan sekujur tubuh te-
rasa lemas. Kaki yang dipakai menendang terasa re-
muk tulang keringnya. Dagunya terasa pecah, hingga
giginya sempat merobek salah satu bibirnya. Bibir itu
pun berdarah walau hanya sedikit.
"Edan! Jurus apa yang digunakannya tadi? pi-
kir Walet Gading. "Semua uratku terasa putus! Celaka!
Tak mungkin aku bisa melawannya dalam keadaan se-
perti ini! Aku harus bisa melarikan diri!"
* * *
5
SEKALIPUN sebenarnya Lili dapat kejar Walet
Gading dengan mudah, tapi hal itu tidak mau di laku-
kannya. Ia biarkan Walet Gading pergi dengan terseok-
seok kaki kanannya. Bahkan ketika Walet Gading lon-
tarkan kata-kata ancaman,
"Suatu saat aku akan temui kau dan membala-
si luka-lukaku ini!"
Pendekar Rajawali Putih hanya tersenyum si-
nis. Tapi suara tawa Tua Usil yang terkekeh dalam
kemenangannya membuat Walet Gading menjadi se-
makin jengkel. Hanya saja ia tak berani melampiaskan
kemarahan yang sudah membara di dadanya. Ia beru-
saha pergi ke tempat di mana ia temukan jenazah gu-
runya; Ki Pamungkas. "Lain kali jangan coba-coba me-
nolong orang sekarat!" kata Lili kepada Tua Usil. "Ka-
lau tak bisa sembuhkan, lebih baik doakan saja. Jan-
gan mempercepat kematiannya!" "Baik, Nona Li. Soal
nya...."
"Ya sudah. Semuanya sudah telanjur. Yang
penting sekarang cari Tuan Yo."
"Tuan Yo...?! Apakah Tuan Yo hilang?" "Sejak
pulang dari ziarah ke makam Eyang Guru Dewa Gele-
dek, aku belum sempat jumpa dia! Mungkin... mung-
kin dia sedang mencari gadis lain buat bermesraan!"
Lili mulai bersungut-sungut cemberut.
"He, he, he...! Itu tak mungkin, Nona Li! Tuan
Yo tak mungkin bermesraan dengan gadis lain, sebab
Tuan Yo sangat cinta sama Nona Li. Kalau tak percaya,
tanyakan saja pada..."
"Kamu tak perlu membelanya!" sentak Lili. "Aku
lebih tahu daripada kamu! Yang penting sekarang, cari
dia sampai ketemu!"
"Baik, Nona Li!" jawab Tua Usil dengan sikap
patuhnya.
"Suruh dia temu! aku di tempat kediaman Resi
Gumarang. Kami ingin bicarakan tentang perkawinan
kami dengan Resi Gumarang!"
"Naaah... itu lebih baik, Nona Li! Lebih cepat le-
bih dapat ikannya!"
"Kau pikir kami mau pergi memancing?!" sen-
tak Lili dengan mata mendelik. Lalu, ia melangkah
mendekati burung rajawalinya. Tua Usil menyertainya
dari belakang sambil berkata,
"Apakah Tuan Yo sudah tahu tempat kediaman
Resi Gumarang itu?"
"Dia sudah pernah ke sana bersama kekasih
gelapnya; Kencana Ratih!" (Dalam episode: "Bunga Pe-
nyebar Maut'). Pada saat Lili berkata begitu, Tua Usil
hanya cengar-cengir menahan geli, sebab dia tahu ma-
jikan cantiknya itu amat pencemburu. Ia sering mera-
sa geli jika melihat Lili melontarkan kata-kata bernada
cemburu, karena Tua Usil tahu di balik kecemburuan
itu pasti tersimpan cinta yang begitu indah dan begitu
dalam.
Ketika Lili sudah berada di punggung rajawali
putih, Tua Usil sempat berseru, "Bagaimana kalau
saya gagal temui Tuan Yo?"
"Aku tak akan pulang sebelum Yoga datang ke
sana! Pokoknya cari dia sampai ketemu, karena aku
sudah capek mencarinya sejak beberapa hari yang la-
lu!"
"Baik, akan saya lakukan tugas itu, Nona Li.
Yang penting, jangan lupa... he, he, he, he...! Nona ha-
rus ajarkan kepada saya cara berdiri di atas ilalang!"
Dengan menuding tegas, Lili berkata, "Selesai perkawi-
nan ku, kau kuangkat menjadi muridku!"
"Yihuuu...!" Tua Usil berteriak kegirangan. Ia
melonjak-lonjak seperti anak kecil mendengar janji itu.
Tanpa disadari burung besar itu segera berkelebat ter-
bang. Sayapnya menghempas, dan anginnya membuat
tubuh Tua Usil terpelanting serta jatuh berguling-
guling. Nafasnya sempat gelagapan karena jaraknya
dengan sayap cukup dekat.
Tua Usil meraup wajahnya sendiri sambil men-
dongak memandang kepergian Lili bersama rajawali
betinanya itu. Ia menggerutu pelan,
"Kurang ajar! Wajah orang tua dikipas pakai
sayap sebesar itu! Untung lubang hidungku agak le-
bar, jadi tidak tersumbat angin sepenuhnya...!"
Langkah Tua Usil pun mulai santai, tidak me-
rasa diburu oleh bahaya yang mengejarnya. Tua Usil
tidak tahu bahwa segala gerak-geriknya sejak tadi di-
ikuti oleh seseorang dari tempat persembunyian. Bah-
kan sejak Tua Usil bicara dengan Ki Pamungkas, yang
kemudian menancapkan pisau Pusaka Hantu Jagal
itu, orang tersebut mencuri dengar segala macam
pembicaraan tersebut dari tempat yang amat tersem
bunyi namun cukup dekat jaraknya.
Orang itu kehilangan arah sejak Tua Usil berla-
ri dikejar oleh Walet Gading. Dan orang itu kembali
temukan Tua Usil ketika Tua Usil bicara dengan Lili
dan Walet Gading telah pergi. Kini orang itu sengaja
membiarkan Tua Usil menjauhinya. Setelah beberapa
saat, barulah ia berlari mengejar Tua Usil dengan na-
pas terengah-engah.
"Tua Usil...!" teriak orang itu. "Tua Usil...! Hoi,
tunggu!"
Mendengar seruan orang di kejauhan, Tua Usil
hentikan langkah dan segera memandang ke belakang.
Dahinya sedikit berkerut, matanya sedikit menyipit un-
tuk menangkap pandangan jelas siapa orang yang ber-
lari ke arahnya itu. Setelah orang itu lebih dekat lagi,
Tua Usil pun segera mengenalinya dan berkata sendiri,
"Hmm...! Raja Tipu?! Mau apa dia memanggil
dan mengejarku? Kelihatannya dia sangat terburu-
buru. Ada hal penting apakah yang dibawanya?"
Tua Usil membiarkan lelaki berpakaian abu-
abu berikat kepala kuning yang dikenal dengan julu-
kan Raja Tipu. Lelaki itu berusia sekitar lima puluh
tahun dengan badan sedikit gemuk dan tergolong pen-
dek, (Untuk mengetahui siapa lelaki itu, baca serial
Jodoh Rajawali dalam episode; "Pedang Jimat La-
nang").
Wajah Raja Tipu tampak tegang, ini memang
dibuat begitu supaya apa yang dikatakan nanti akan
dipercaya oleh Tua Usil. Sementara itu, Tua Usil sendi-
ri memandang dengan tenang walau dahinya tetap
berkerut menyimpan keheranan.
"Ada perlu pentingkah kau, menemui ku, Raja
Tipu?"
"Ya. Penting sekali!" jawab Raja Tipu di sela na-
fasnya yang masih ngos-ngosan itu. "Tuan Yo ditang
kap oleh musuhnya!"
"Tuan Yo...?!"Tua Usil kaget dan mulai tegang,
"Dari mana kau mengetahuinya?!"
"Aku melihat Tuan Yo mau disiksa di atas ka-
wah Gunung Sinanjung! Dia ingin diceburkan ke da-
lam kawah itu jika dia tidak serahkan sebuah pusaka
yang bernama Pusaka Hantu Jagal!"
"Hahhh...?!" Tua Usil semakin tegang, karena ia
ingat tentang pisau yang dinamakan Pusaka Hantu
Jagal. Secara tidak sadar tangannya lekas pegang pi-
sau itu dari luar baju. Mata Raja Tipu melirik ke arah
tangan tersebut, dan ia tahu ada pisau di balik baju
Tua Usil itu.
"Aku mencoba mengikutinya terus, tapi akhir-
nya aku tertangkap dan aku dijadikan utusan! Aku ha-
rus menghubungi kau atau Pendekar Rajawali Putih
dan memberitahukan, bahwa Tuan Yo diceburkan ke
dalam kawah Gunung Sinanjung jika sampai esok pagi
tidak ditebus dengan Pusaka Hantu Jagal itu!"
"Celaka! Kalau begitu aku harus ke puncak
Gunung Sinanjung!"
"Kau tidak akan bisa menyelamatkan Tuan Yo!"
kata Raja Tipu semakin berapi-api. "Kau tidak akan bi-
sa membebaskannya, kecuali kau membawa Pusaka
Hantu Jagal!"
"Aku membawanya! Aku mempunyai pusaka
itu!" kata Tua Usil sedikit ngotot. Tapi ia ragu untuk
menunjukkan pisau tersebut. Raja Tipu segera berka-
ta,
"Jika benar kau mempunyai Pusaka Hantu
Jagal, biarlah kubawa pusaka itu ke puncak Gunung
Sinanjung! Karena akulah yang ditugaskan dan diper-
caya membawa pusaka itu untuk membebaskan Tuan
Yo!"
"Kau...?!" Tua Usil menjadi ragu dari semakin
heran. "Apa hubunganmu dengan orang yang menang-
kap Tuan Yo itu?"
"Kami sama-sama tawanan. Hanya bedanya,
aku dibebaskan dengan tugas membawa pusaka terse-
but. Bisa saja aku melarikan diri dan tak mau muncul
lagi, tapi esok pagi Tuan Yo pasti sudah diceburkan ke
kawah Gunung Sinanjung! Aku kasihan padanya!"
"O, ya... terima kasih atas rasa kasihanmu itu.
Tapi..." Tua Usil kembali diliputi kebimbangan dalam
ketegangannya. Ia ingat pesan Ki Pamungkas, bahwa
pisau Pusaka Hantu Jagal jangan sampai jatuh ke tan-
gan orang lain. Apalagi orang sesat. Sedangkan lawan
yang menangkap Tuan Yo itu, pastilah orang sesat
yang ingin berkuasa dengan menggunakan senjata Pu-
saka Hantu Jagal. Tapi jika pusaka itu tidak diserah-
kan, Yoga akan mati mendidih di dalam kawah berapi
itu.
"Sudahlah, jangan banyak pertimbangan! Nanti
kedatanganku terlambat," kata Raja Tipu. "Kalau benar
pisau pusaka itu ada padamu, biarlah kubawanya ke
sana sekarang juga, supaya Tuan Yo tidak diceburkan
ke dalam kawah yang mampu melelehkan baja itu!"
Tua Usil masih diam sampai beberapa saat
sambil mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi jeng-
got tipis, hanya terdiri dari beberapa lembar rambut
putih itu. Lalu, ia berkata kepada Raja Tipu,
"Apakah orang itu menjamin keselamatan Tuan
Yo jika pusaka ini kuserahkan padanya?"
"Sangat menjamin, karena semula ia menyang-
ka Tuan Yo yang punya Pusaka Hantu Jagal. Orang itu
hanya menghendaki pusaka itu saja!"
"Hmm...!"Tua Usil manggut-manggut. "Siapa
orang yang menawan Tuan Yo sebenarnya? Aku jadi
penasaran dan ingin tahu?"
"Siapa lagi kalau bukan bekas majikanku; Nyai
Iblis Mata Genit! Orang satu itu memang jahatnya me-
lebihi iblis! Sebenarnya Tuan Yo bisa kalahkan dia ka-
lau saja pedang pusakanya tidak dicuri lebih dulu oleh
anak buah Iblis Mata Genit!" Raja Tipu seakan me-
nampakkan kebenciannya kepada iblis Mata Genit.
Mata Tua Usil pun menyipit benci karena terin-
gat dirinya tersiksa dan nyaris menjadi santapan
buaya piaraan iblis Mata Genit. Mulutnya pun serukan
geram,
"Orang itu memang pantas dirajang menjadi se-
ratus potong!"
"Kurasa Tuan Yo mampu lakukan itu jika pe-
dangnya sudah dikembalikan! Dengan menukarnya
memakai Pusaka Hantu Jagal, maka pedang dan Tuan
Yo akan di bebaskan. Dan saat itulah kita hancurkan
Iblis Mata Genit bersama-sama! Aku pun ingin sekali
memotong jari-jarinya!"
Pisau pusaka itu dikeluarkan dari balik baju,
dipandangi dengan sorot mata penuh keragu-raguan.
Raja Tipu tak sabar dan mendesaknya sambil berusa-
ha mengambil pisau itu dari tangan Tua Usil,
"Cepatlah! Kasihan kekasih majikanmu itu, se-
bentar lagi mati menjadi bubur di dalam kawah Gu-
nung Sinanjung!"
Tua Usil menarik tangannya, pisau itu tak
sampai terjamah oleh tangan Raja Tipu. Tua Usil cepat
berkata,
"Tunggu dulu...! Katamu tadi, Iblis Mata Genit
yang menawan Tuan Yoga...?!"
"Benar! Kau kan tahu sendiri kehebatan ilmu
iblis Mata Genit dan keganasannya terhadap lawan!
Dia sulit diajak damai!"
"Ya, ya... aku tahu," kata Tua Usil sambil me-
masukkan kembali pusaka itu di balik bajunya. Raja
Tipu berkerut dahi melihat pusaka tersebut kembali
dimasukkan oleh Tua usil. Makin heran lagi setelah
melihat Tua Usil tersenyum sinis sambil manggut-
manggut memandanginya.
"Raja Tipu, hampir saja aku terpengaruh oleh
tipuanmu!" katanya.
"Ini bukan tipuan. ini sungguh-sungguh, Tua
Usil. Kalau kau tak percaya, mari datang sendiri ke
Gunung Sinanjung dan melihat seperti apa Tuan Yo
menderita siksaan dan ketegangan. Seluruh wajahnya
telah hancur dihantam Iblis Mata Genit yang tak kenal
kasihan sedikit pun!"
Makin lebar saja senyuman Tua Usil menden-
gar ucapan itu, sehingga Raja Tipu sedikit cemas ja-
dinya. Tua Usil berkata,
"Iblis Mata Genit tidak akan bisa kalahkan
Tuan Yo!"
"Siapa bilang? Aku melihat dengan mata kepa-
laku sendiri!" Raja Tipu tetap ngotot.
"Bahkan melawanmu pun sekarang ia tak akan
mampu!" Tua Usil mencibir, merasa punya kemenan-
gan.
"Itu anggapanmu! Tapi kenyataannya, ia bisa
mencuri pedang pusaka Tuan Yo dan menghajarnya
hingga babak belur begitu!"
"Omong kosong!"tukas Tua Usil. Ia melengos
sambil mencibir sombong. Katanya lagi,
"Pedang Tuan Yo tidak bisa dicuri oleh siapa
pun. Siapa yang mencuri pedang itu, maka ia akan
mati bunuh diri dengan pedang itu juga! Naaah... kau
belum tahu rahasia pedang pusakanya Tuan Yo, bu-
kan? He, he, he, he...! Kau tak akan bisa menipuku,
Tamboyan!" Raja Tipu yang bernama asli Tamboyan itu
sedikit menggeragap. Ia baru mau berkata sesuatu, ta-
pi Tua Usil sudah mendahuluinya bicara,
"Dan lagi, Iblis Mata Genit sudah tidak punya
ilmu lagi! Ilmunya sudah disedot dan hilang dari ra-
ganya sejak ia bertarung melawan Nona Li di depan
para tokoh berilmu tinggi beberapa waktu yang lalu!
Makanya kukatakan tadi, Iblis Mata Genit tak akan
menang jika melawanmu, karena dia sudah kehilangan
semua ilmunya! He, he, he...!" (Baca serial Jodoh Ra-
jawali dalam episode: "Geger Perawan Siluman").
Semakin tajam kerutan dahi Raja Tipu, sema-
kin jelas kecemasannya. Ia menggumam di luar kesa-
darannya, "Benarkah Iblis Mata Genit sudah kehilan-
gan ilmunya?"
"Naaah... ketahuan sudah, kau hampir saja
berhasil membohongiku! Untungnya aku ingat tentang
dua hal tadi!"
"Bukan begitu. Aku merasa aneh dengan uca-
pan mu. Kalau benar Iblis Mata Genit sudah kehilan-
gan ilmu, lantas siapa yang menghajar Tuan Yo sampai
wajahnya sehancur itu?!"
"Sudahlah, kau tak perlu lagi berusaha meni-
puku! Kau adalah Raja Tipu, jadi kau kerjanya hanya
menyebarkan tipuan dan kebohongan dengan cara ba-
gaimanapun. Aku tak akan percaya dengan ucapan-
mu!"
Raja Tipu masih ngotot juga, "Ini bukan tipuan!
Aku berani angkat sumpah apa saja! Tuan Yo benar-
benar dalam bahaya dan bisa ditebus dengan hanya
menukarnya memakai Pusaka Hantu Jagal!"
"Dan pisau yang kutunjukkan padamu itu tadi
namanya Pusaka Setan Jagal, bukan Pusaka Hantu
Jagal! Weee...!" Tua Usil mencibir lagi.
"Omong kosong! Ki Pamungkas menyebutnya
Pusaka Hantu Jagal!"
"Naaah... ketahuan lagi kau berbohong! Dari
mana kau tahu kalau pusaka ini milik Ki Pamungkas?
Jika kau tahu pusaka ini milik Ki Pamungkas, mengapa kau mengejarku untuk mencari pisau ini? tentunya
kalau kau punya niat mau selamatkan Tuan Yo, kau
akan ajak aku temui Ki Pamungkas dan meminta pu-
saka ini untuk menebus Tuan Yo?!"
Raja Tipu tertegun dengan memendam kedong-
kolan. Ia telah salah ucap dengan menyebutkan nama
Ki Pamungkas. Seharusnya ia tak perlu sebutkan na-
ma itu. Ia sendiri telah terpancing oleh tipuan Tua Usil
dengan memelesetkan nama Pusaka Hantu Jagal men-
jadi Pusaka Setan Jagal. Ia benar-benar tak sadar dan
sangat menyesal telah termakan pancingan Tua Usil
itu. Akhirnya ia berkata terus terang,
"Baiklah. Semua itu memang tipuan ku! Sebe-
narnya aku hanya ingin meminjam Pusaka Hantu Jag-
al itu untuk mengobati saudaraku yang terkena racun
berbahaya. Tak ada obat yang bisa menghilangkan ra-
cun itu, selain melalui pengobatan Pusaka Hantu Jag-
al."
"Apa pun alasanmu, aku tidak akan serahkan
pusaka ini kepadamu!" kata Tua Usil dengan tegas.
"Kalau begitu kau membuka permusuhan den-
gan ku, Tua Usil!"
"Aku tidak membuka permusuhan. Aku hanya
tidak akan serahkan pisau ini kepadamu! Kalau kau
menganggapku membuka permusuhan, itu terserah
tanggapanmu sendiri!"
"Kau bisa kehilangan nyawa jika mengajakku
berselisih!"
"Sudah kubilang, aku tidak mengajak siapa
pun berselisih. Aku hanya mempertahankan pusaka
ini agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Mengerti?!"
"Aku tidak mengerti. Aku bisa mengerti setelah
menghajarmu sampai kau mau serahkan pisau itu!
Hiaaat...!"
Raja Tipu akhirnya lepaskan satu tendangan
lurus ke depan, arahkan ke dada Tua Usil. Tapi karena
Tua Usil sudah menyerap ilmu yang semula menjadi
milik Ki Pamungkas, maka Tua Usil secara tak sengaja
membiarkan tendangan itu menghantam dadanya den-
gan telak. Deehg...!
Wuuus...! Gusraaak...!
Tubuh orang yang menendangnya itu justru
terpental tujuh langkah jauhnya, dan jatuh di semak-
semak berduri. Craas...!
"Aaaooh...!" Raja Tipu berteriak kesakitan. Tu-
buhnya tergores duri-duri tajam, bahkan banyak yang
menusuk bagian pantat dan punggungnya. Ia menge-
rang kesakitan dengan tangan meraih-raih berusaha
minta tolong untuk ditarik dari semak berduri itu. Te-
tapi Tua Usil justru sibuk merenungi keheranannya
dan berkata dalam hati,
"Mengapa aku tadi tidak menghindar? Mengapa
kudiamkan saja tendangan si Raja Tipu? Dan... aneh-
nya dadaku hanya seperti diterpa sehelai daun kering
tanpa timbul rasa sakit sedikit pun. Aneh sekali. Ke-
napa pula tubuh Raja Tipu terpental sendiri sampai se-
jauh itu? Apakah diam-diam ada orang yang meno-
longku dari tempat persembunyiannya? Wah, jangan-
jangan orang itu Tuan Yoga sendiri? Atau mungkin se-
seorang yang ingin menghendaki pisau pusaka ini
dengan cara berbuat baik dulu padaku?!"
"Hoooii...! Tolong akuuu...! Aku tak bisa berdi-
ri...!" teriak Raja Tipu di sela-sela rintihan sakitnya.
Tua Usil segera sadar akan hal itu, lalu menertawakan
hingga terkekeh-kekeh. Ia melangkah kira-kira empat
langkah, lalu berhenti. Dari sana ia berseru, "Siapa
yang suruh kamu bertelur di situ, hah?! He, he, he...!"
"Tua Usil... tolong aku. Aku tak bisa keluar dari
semak-semak ini karena banyaknya duri! Tolonglah...!
Aku minta maaf atas niat jahat ku tadi. Aku tak akan
mengganggu mu dan tak akan mengincar pusaka itu
lagi! Tolonglah, Tua Usil...!"
"Makanya, jadi orang jangan suka menipu dan
bermaksud jahat, nanti terjerat dengan kejahatanmu
sendiri!"
"Iya, iya... aku akan turuti nasihatmu itu, Tua
Usil. Yang penting, cepatlah tolong aku! Semakin aku
bergerak semakin banyak duri yang menghunjam tu-
buhku! Aduuh... mataku hampir kecolok duri!"
"Lolos dari semak berduri saja tak mampu, kok
mau melawanku! Begini caranya lolos dari semak ber-
duri!"
Jiuug...! Tua Usil hentakkan kaki kanannya ke
tanah, dan tiba-tiba tubuh Raja Tipu terlonjak terbang
ke atas karena hentakan kaki tersebut. Cruuussr...!
"Aaaa,..!" Raja Tipu menjerit keras-keras bukan
karena takut dalam keadaan terlempar ke atas, namun
karena semakin banyak tubuhnya digores oleh duri-
duri pada saat tubuh itu terlempar ke atas. Repotnya
lagi, ia justru kembali jatuh ke dalam semak duri ter-
sebut.
Braaas...!
"Woadoow...!" teriaknya semakin keras. Tubuh-
nya sudah berlumur darah karena dicabik-cabik mata
duri yang rimbun itu. Tua Usil justru terbengong kaget
melihat tubuh Raja Tipu jatuh kembali ke tempat yang
sama dalam keadaan tengkurap.
"Kasihan dia! Malah semakin parah. Seharus-
nya begitu melompat, dia bersalto ke depan atau ke be-
lakang biar tidak jatuh di semak berduri lagi!" gumam
Tua Usil sendirian. Maka, ia kembali hentakkan ka-
kinya ke
tanah. Jleeg...! Wuuut...!
"Lho, kok malah tubuhku sendiri yang naik ke
atas. Waaauw...!"
Biuug...! Tua Usil jatuh terduduk. Anehnya, ia
tak rasakan sakit sedikit pun. Ia menyeringai bukan
karena sakit tapi karena ngeri. Karena jengkelnya, Tua
Usil menghantamkan telapak tangannya ke tanah.
Buuhg...! Kini tubuh Raja Tipu yang terlempar naik
seperti tadi.
Brrraast...!
"Aaaa,..!" Raja Tipu berteriak kesakitan karena
menerabas duri lagi. Tapi pada saat itu, tangan Tua
Usil menyentak ke depan, dan tubuh Raja Tipu terdo-
rong hingga jatuhnya tidak di semak berduri lagi.
"Gila! Dari mana aku punya tenaga sehebat
ini?!" pikir Tua Usil.
* * *
6
GADIS itu tak bisa menahan air matanya ketika
melihat jenazah Resi Gutama yang mulai menyebarkan
bau busuk itu. Jenazah Resi Gutama ditemukan seca-
ra tidak disengaja: Pada awalnya Yoga-lah yang men-
cium bau busuk itu. Lalu, gadis itu yang tak lain ada-
lah Manis Madu, mempunyai firasat tak enak dan in-
gin mencari bau busuk tersebut. Maka ditemuilah je-
nazah Resi Gutama yang membuat Manis Madu terpe-
kik kaget lalu hamburkan tangisnya dalam pelukan
Yoga. Gadis itu memeluk Yoga di luar kesadarannya.
"Manis Madu..., mengapa kau menangis melihat
jenazah itu? Apakah itu jenazah ayahmu atau kakek-
mu?". "Tidak. Itu adalah jenazah guruku! Resi Gutama!
Oooh... keadaannya sungguh mengerikan! Aku tak tega
mendekatinya. Yoga! Aku tak tega memandanginya!"
ucap Manis Madu di sela tangisnya. Selama dua hari
dalam perjalanannya bersama Yoga, agaknya gadis itu
menjadi semakin akrab. Terlebih setelah ia disela-
matkan oleh Yoga dari luka parah akibat pertarungan-
nya dengan Landak Gamping, hubungan itu terasa
semakin cepat akrab. Ketika Manis Madu siuman, ia
dapatkan dirinya hanya berlapis kain di bagian terten-
tu saja, sementara tangan kanan Yoga masih menem-
pel di punggungnya menyalurkan hawa murni penolak
racun pengering luka. Manis Madu ketika itu hampir
menjerit karena kaget mengetahui keadaan tubuhnya.
Tapi Yoga segera jelaskan duduk perkaranya, sehingga
Manis Madu tak jadi marah. kepada pendekar tampan
itu. Bahkan mereka beristirahat di dalam gua tersebut
untuk satu malam. Namun tak sedikit pun Manis Ma-
du menemukan sikap tak sopan dari Pendekar Rajawa-
li Merah. Ia sendiri merasa heran, namun juga malu
pada diri sendiri.
Kini, ketika ia menangis dalam pelukan Yoga,
dianya cepat-cepat beringsut menjauh setelah ia sadari
apa yang ia lakukan; yaitu memeluk pria yang bukan
kekasihnya, namun yang mendebarkan hatinya, Ketika
Yoga menenangkan tangisnya, ketika pendekar tampan
itu berhasil membujuk dukanya, Manis Madu pun se-
gera ucapkan kata,
"Maafkan aku. Aku tak sengaja berbuat kurang
ajar padamu.".
"Dalam hal apa maksudmu?" "Menangis dalam
pelukan mu." "Oh, tak perlu dijadikan masalah. Itu hal
yang wajar saja."
"Aku tak tahan memendam rasa kaget dan du-
ka ku melihat guru ku tewas dalam keadaan seperti
itu!"
"Ya, aku bisa memaklumi. Hanya saja, kalau
benar dia guru mu, berarti kita telah kehilangan jejak
untuk melacak tentang Pusaka Hantu Jagal itu!"
Sambil sesekali memandang jenazah gurunya
dari kejauhan, karena tak tahan bau busuk jika harus
mendekat, Manis Madu akhirnya berkata lirih,
"Ya. kita telah kehilangan jejak melacak pusaka
itu!"
"Selain gurumu, siapa lagi orang yang tahu ten-
tang Pusaka Hantu Jagal itu?"
"Aku tidak tahu! Karena Guru sendiri tidak
pernah singgung-singgung tentang pusaka tersebut!
Kurasa saudara-saudara seperguruanku juga tak ada
yang tahu tentang Pusaka Hantu Jagal. Jadi...."
Manis Madu berhenti bicara karena dadanya
masih sesekali disekap isak tangis yang tersisa. Pende-
kar Rajawali Merah mengawali bicara setelah mereka
sama-sama diam,
"Jadi bagaimana maksudmu?"
"Kita lupakan saja tentang Pusaka Hantu Jagal
itu! tak ada jalan lain untuk mendapatkan keterangan
tentang pusaka itu. Yoga."
"Jika memang itu maumu, aku pun tidak kebe-
ratan! Namun sebaiknya kita urus dulu jenazah guru-
mu itu, setidaknya kita bawa pulang ke perguruanmu.
Biar dimakamkan dengan penghormatan terakhir dari
para muridnya!"
"Lalu, bagaimana jika mereka menanyakan sia-
pa pembunuhnya? Kita tak bisa memberikan keteran-
gan. Karena... kulihat di sini tak ada jejak yang bisa
dipakai sebagai tanda atau ciri-ciri si pembunuhnya!"
Wajar jika mereka tidak tahu siapa pembunuh-
nya, karena mayat Ki Pamungkas rupanya sudah di-
usung pulang ke perguruannya oleh Walet Gading. Ji-
ka di situ masih ada mayat Ki Pamungkas, maka Ma-
nis Madu akan tahu bahwa gurunya tewas karena per-
tarungannya dengan rekan seperguruannya sendiri,
yaitu Ki Pamungkas, yang kini menjadi ketua Perguruan Gerbang Bumi itu. Tapi karena tak ada mayat di
sana, hanya ada bekas sisa benda-benda terbakar,
maka Manis Madu hanya bisa menduga-duga,
"Lawannya jelas orang berilmu tinggi! Tak
mungkin orang tak berilmu tinggi bisa kalahkan Guru
dengan keadaan seperti itu!"
Yoga menimpali, "Tentunya memang begitu.
Dari alam sekitarnya yang hangus dan berantakan be-
gini, ini sudah menandakan gurumu bertarung mela-
wan musuh yang berilmu setidaknya sejajar dengan
ilmu yang dimilikinya. Bisa jadi lebih tinggi dari il-
munya."
Seseorang yang sebenarnya hanya bermaksud
lewat di lereng tak jauh dari tempat itu, tiba-tiba mem-
belokkan arahnya dan menghampiri tempat tergele-
taknya mayat Resi Gutama. Orang itu berpakaian ro-
bek-robek dengan bekas luka tersayat-sayat atau ter-
cabik-cabik. Luka itu belum kering sepenuhnya. Masih
ada yang tampak basah dan lembab oleh darah. Orang
itu tak lain adalah si Raja Tipu, yang sebetulnya ber-
maksud menuju ke Gerojogan Gaib, sebuah air terjun
yang mempunyai khasiat dapat sembuhkan luka da-
lam waktu singkat.
Melihat kehadiran Raja Tipu, Manis Madu ter-
sentak bagai tergugah dendam dan kemarahannya. Ia
segera melompat menyerang Raja Tipu dengan satu
tendangan yang berbahaya. Wuuus...! Untung saja Ra-
ja Tipu tergelincir batu dan jatuh dengan sendirinya.
Jika tidak, maka kepalanya akan menjadi sasaran ten-
dangan kaki maut Manis Madu yang sudah disaluri
tenaga dalam cukup tinggi itu.
"Kau yang membunuh Resi Gutama, guruku
itu, bukan?" bentak Manis Madu yang segera didekati
Yoga dan disadarkan dari kemarahannya. Pada saat
itu Raja Tipu yang sudah menyeringai karena luka
lukanya terbentur bebatuan itu, berusaha bangkit
dengan rasa takut yang menggetarkan hati.
"Buk.. bukan aku yang membunuhnya, Nona!"
jawab Raja Tipu yang dipandang Manis Madu dengan
sorot mata yang tajam penuh dendam.
"Pasti kau! Pasti kau orangnya! Tubuhmu sam-
pai hancur begitu, pasti karena melawan guruku!"
"Sumpah, Nona! Bukan aku pelakunya!"
Yoga berbisik pelan kepada Manis Madu, "Aku
yakin memang bukan dia. Aku kenal dia. Dia tidak be-
rilmu tinggi, bahkan tidak punya ilmu apapun kecuali
ilmu menipu!"
Pelan-pelan Manis Madu diajak menjauhi Raja
Tipu. Yoga menjelaskan lagi, "Dia dikenal dengan nama
Raja Tipu. Dia bekas pelayannya Iblis Mata Genit, tapi
dia sama sekali bukan orang berarti di rimba persila-
tan ini! Percayalah, bukan dia pelakunya."
"Tapi dia terluka begitu, tersayat-sayat dan...."
"Bisa saja disebabkan karena orang lain. Jan-
gan kau lakukan balas dendam kepada orang lain yang
salah, Manis Madu."
Raja Tipu rupanya punya maksud tersendiri
datang menemui Yoga di tempat itu. Mulanya ia ber-
maksud memberitahu Yoga, bahwa Tua Usil telah me-
lukainya sedemikian rupa dan ia ingin menuntut ganti
rugi berupa sejum1ah uang untuk membayar seorang
tabib yang telah dihubunginya. tetapi mendengar gadis
cantik itu hendak menuntut balas atas kematian gu-
runya, Raja Tipu segera berubah pikiran. Hatinya ber-
kata;
"O, rupanya tokoh yang bertarung dengan Ki
Pamungkas ini bernama Resi Gutama, guru dari gadis
cantik itu! Hmmmm... sekarang saatnya aku memba-
laskan sakit hatiku kepada si tua Usil yang telah
mempermainkan diriku di atas semak-semak berduri
tempo hari! Kulihat tadi Tua Usil berjalan di Lembah
Cadas Kuning, Aku tak berani mendekatinya karena
aku tahu dia memegang pisau Pusaka Hantu Jagal."
Manis Madu akhirnya kembali tenang, ia mem-
percayai ucapan Yoga, karena ia yakin, Yoga tak akan
tega membohonginya. Sikap Yoga selama dua hari ber-
samanya menunjukkan sikap seorang kesatria yang
tak mau berbohong, kecuali kepada lawan yang patut
dimusnahkan.
Pendekar Rajawali Merah melirik ke arah Raja
Tipu, dan merasa heran melihat Raja Tipu masih ber-
diri ditempatnya. Kemudian, dari tempatnya Yoga ber-
seru:
"Kenapa kau tak segera pergi, Raja Tipu? Apa-
kah kau ingin Manis Madu merubah pikirannya dan
kembali menuduh mu sebagai pembunuh gurunya
itu?"
Raja Tipu segera mendekat, dengan hati-hati
dan penuh rasa takut yang dibuat-buat, ia pun berka-
ta: "Jika nona Manis Madu itu ingin tahu siapa pem-
bunuh Resi Gautama, aku bisa tunjukkan di mana
orangnya sekarang berada!"
Terangkat wajah sendu itu menjadi beringas
kembali. Manis Madu cepat hampir Raja Tipu, men-
cengkeram bajunya yang sudah robek sambil berkata
dalam geram,
"Katakan, siapa pembunuhnya dan di mana dia
berada saat ini! Lekas katakan!"
"Pem... pem... pembunuhnya...." Raja Tipu se-
sekali melirik Yoga dengan rasa takut. Hal itu menim-
bulkan rasa ingin tahu begitu besar pada diri Pendekar
Rajawali Merah, sehingga pendekar tampan itu segera
ikut berkata,
"Katakan saja, jangan takut!"
"Pembu... pembunuhnya adalah si Tua Usil...,"
"Hah...?!" Yoga terkejut.
Manis Madu heran dan membentak lagi, "Tua
Usil siapa maksudmu?! Seperti apa ciri-cirinya, hah?!"
"Tuan Yoga lebih tahu, Nona. Dan sekarang Tua
Usil ada di Lembah Cadas Kuning, sedang beristirahat
di sana!"
"Omong kosong! Tua Usil tidak mungkin bisa
membunuh Resi Gutama!" sentak Yoga dengan sikap
pembelaan terhadap diri Tua Usil.
"Siapa bilang tidak bisa, Tuan Yo? Lihatlah tu-
buhku ini, penuh dengan luka sayat dan cabikan. Ini
juga perbuatan dari Tua Usil," kata Raja Tipu dengan
begitu meyakinkan sekali.
Mata gadis itu memandang Yoga yang mulai
cemas dan menjadi salah tingkah sendiri. Kemudian,
Yoga mendekati Raja Tipu dan berkata,
"Kalau Tua Usil melukaimu seperti ini, mung-
kin saja benar. Sebab kau dan dia sama-sama tidak
mempunyai ilmu! Tapi kalau Tua Usil membunuh Resi
Gutama, jelas itu omong kosongmu saja! Bisa-bisa ku-
robek mulutmu yang suka mengumbar kebohongan,
Raja Tipu!"
"Saya tidak berbohong, Tuan Yo! Luka-luka
saya itu memang akibat ulah si Tua Usil!"
"Ya. Tapi bukan berarti Tua Usil membunuh
Resi Gutama!" sentak Yoga hampir terpancing ama-
rahnya.
"Kalau Tuan Yo dan Nona Manis Madu tak per-
caya, ya sudah! Saya akan pergi mencari tabib yang bi-
sa obati luka-luka saya ini!"
Raja Tipu segera melangkah tinggalkan mereka.
Dalam hatinya merasa cemas, takut kalau Yoga men-
jadi marah dan menghajarnya, sebab ia tahu setinggi
apa ilmu yang dimiliki Pendekar Rajawali Merah itu.
Sekali gebrak, Raja Tipu merasa dapat mati dua kali.
Karena itu sebelum kemarahan Yoga tiba, ia harus su-
dah pergi. Setidaknya berita bohongnya sudah berpen-
garuh dalam otak Manis Madu.
Ketika dalam jarak beberapa langkah, Raja Tipu
sempat berhenti karena menemukan gagasan baru.
Dari sana ia berseru,
"Nona...! Sejujurnya kukatakan padamu, Resi
Gutama dibunuh oleh Tua Usil dengan menggunakan
Pusaka Hantu Jagal!"
"Hahh...?!" Yoga dan Manis Madu sama-sama
terperanjat tegang. Raja Tipu cepat lari tinggalkan me-
reka karena takut dikejar oleh Pendekar Rajawali Me-
rah yang kelihatan semakin berang itu.
Kini tinggal Yoga dan Manis Madu saling berta-
tap pandang. Cukup lama mereka saling bungkam
memikirkan kata-kata Raja Tipu yang menyinggung
tentang Pusaka Hantu Jagal itu.
Beberapa saat kemudian, Yoga lebih dulu ber-
kata, "Jangan percaya dengan fitnah Raja Tipu itu!
Memang begitulah kerjanya setiap hari, menipu dan
menipu."
"Tapi dia sebutkan tentang Pusaka Hantu Jag-
al, Yoga?"
"Ya, itu yang ku herankan. Dia tahu tentang
pusaka tersebut. Pasti dia tahu, sebab dia bisa se-
butkan nama pusaka tersebut!"
"Kurasa dia tahu karena dia melihat Tua Usil
membawa pusaka itu! Dia bisa sebutkan karena dia
melihat Tua Usil membunuh guruku dengan Pusaka
Hantu Jagal!"
"Tidak, itu tidak mungkin! Tua Usil hanya seo-
rang pelayan yang tidak punya ilmu apa-apa selain il-
mu merubah dirinya menjadi segumpal kabut. Dulu
kerjanya mengganggu wanita cantik dengan mem-
bungkus tubuh wanita itu memakai ilmu kabutnya,
yang juga berarti memeluk dan menggerayangi tubuh
wanita tersebut. Karenanya kami menamakan dia Tua
Usil. Tak mungkin ia sampai memiliki Pusaka Hantu
Jagal, jika benar pusaka itu milik gurumu!"
Manis Madu tertegun dalam kegelisahan. Yoga
sendiri menjadi semakin resah, karena ia tahu kata-
kata Raja Tipu itu telah berpengaruh dalam otak Manis
Madu dan dipercaya. Karenanya, Pendekar Rajawali
Merah pun segera berkata,
"Manis Madu, percayalah padaku! Bukan Tua
Usil yang membunuh gurumu. Bukan! Aku berani ber-
taruh, potong leherku kalau memang Tua Usil yang
melakukan pembunuhan itu!"
"Aku ingin sekali percaya padamu. Yoga. Tapi
kata-kata dan bukti luka di tubuh Raja Tipu itu lebih
meyakinkan hatiku ketimbang bujukan mu. Kurasa
kau sendiri mungkin sudah mengetahui apa dan ba-
gaimana Pusaka Hantu Jagal tersebut!"
Pendekar Rajawali Merah geleng-geleng kepala.
Tidak, Manis Madu. Aku tidak tahu menahu tentang
pusaka itu. Tapi aku memang ingin tahu. Karena aku
mengajak mu memburu pusaka tersebut untuk mem-
buktikan kebenarannya!"
"Maaf, Yoga. Aku harus pergi ke Lembah Cadas
Kuning untuk temui orang yang bernama Tua Usil itu!
Aku harus bikin perhitungan dengan pelayanmu itu.
Yoga! Kalau kau ingin memihak dia, silakan!'
Tangan Yoga menyambar lengan Manis Madu,
menahannya sambil berkata, "Jangan lakukan kebo-
dohan, Manis Madu! Kalau memang benar dia yang
membunuh gurumu, biar aku yang tangani masalah-
nya!"
"Tidak bisa. Yoga," jawab Manis Madu dengan
kalem, tapi sebenarnya menahan ledakan amarah dan
kekecewaan terhadap diri Yoga yang tampak berpihak
membela Tua Usil. "Ini urusan perguruan, dan aku
adalah murid Perguruan Kuil Dewa! Aku harus mem-
balas kematian guruku kepada pelakunya!"
Wuuut...! Manis Madu sentakkan tangannya
hingga lepas dari genggaman Yoga, ia segera pergi ting-
galkan Yoga tanpa peduli seruan Yoga yang melarang-
nya menyerang Tua Usil.
"Manis Madu... dengar dulu penjelasanku! Ma-
nis Madu...!"
Manis Madu berlari cepat dengan hati bergolak
tak menentu. Yoga menghembuskan napas kejengke-
lannya. Ia menggeram sendirian,
"Kurang ajar! Ini semua gara-gara bualan si Ra-
ja Tipu! Kuhancurkan mulutnya jika lain kali aku ber-
temu dengannya! Seenaknya dia memfitnah Tua Usil.
Kurasa ia punya masalah sendiri dengan Tua Usil, se-
hingga meminjam tangan orang lain untuk memba-
laskannya, seperti yang dilakukan pada diriku agar
menyerang Perguruan Tengkorak Emas! Tapi... tapi dia
bisa sebutkan tentang Pusaka Hantu Jagal. Apakah
benar Tua Usil punya pusaka tersebut dan membunuh
Resi Gutama! Setinggi apakah ilmu yang dimiliki Tua
Usil sebenarnya? Jika benar dia mempunyai pusaka
seperti itu, mengapa ketika ditawan Iblis Mata Genit,
Tua Usil hanya bisa melarikan diri sambil menjerit-jerit
minta tolong?! Oh, aku harus segera menyusul Manis
Madu agar tak terjadi peristiwa berdarah sebelum se-
galanya menjadi jelas betul!"
Dengan gunakan jurus 'Langkah Bayu', Pende-
kar Rajawali Merah berkelebat dengan cepat bagaikan
menghilang lenyap dari tempatnya. Apa pun yang ter-
jadi, ia harus mencegah tindakan Manis Madu yang bi-
sa membabi buta karena dendam dan sakit hatinya
melihat sang Guru tewas.
Padahal kala itu Tua Usil memang sedang be
ristirahat di bawah sebuah pohon rindang, di Lembah
Cadas Kuning. Tetapi ia segera bergegas naik ke atas
pohon tersebut begitu melihat seorang gadis dalam
pengejaran seorang lelaki berpakaian serba putih, ber-
kumis, dan bercambang lebat, bertubuh sedikit ge-
muk, dan mengenakan ikat kepala kain merah berga-
ris-garis hitam. Tua Usil mengenali perempuan yang
dikejar oleh lelaki itu. Perempuan muda dan cantik itu
tak lain adalah Walet Gading, tapi lelaki pengejarnya
tak dikenal oleh Tua Usil.
Lelaki yang mengejar Walet Gading tak lain
adalah Rencong Geni, yang masih tetap berusaha
memburu Pusaka Hantu Jagal sebagai mas kawin un-
tuk melamar Dewi Gita Dara. Setelah gagal memaksa
Manis Madu, ia segera mengalihkan buruannya kepa-
da Walet Gading, sebab Rencong Geni tahu, hanya ada
dua orang yang bisa sebutkan di mana Pusaka Hantu
Jagal itu berada, yaitu Resi Gutama dari Perguruan
Kuil Dewa dan Ki Pamungkas dari Perguruan Gerbang
Bumi.
Rupanya sudah beberapa hari ini, Rencong Ge-
ni tidak bisa temukan di mana Resi Gutama dan Ki
Pamungkas. Akibatnya, murid-murid pilihan dari ke-
dua tokoh sakti itu yang menjadi sasaran pencarian
Rencong Geni. Sebab ia yakin, setiap guru akan men-
ceritakan tentang pusaka-pusaka dahsyat kepada mu-
rid-murid andalannya, bilamana perlu disuruh mere-
butnya.
Pelarian Walet Gading menjadi tersendat, kare-
na Rencong Geni melepaskan pukulan jarak jauhnya
berupa sinar biru berbentuk lempengan bundar yang
melesat dengan cepatnya ke arah punggung Walet
Gading. Pukulan itu menghantam telak di punggung
gadis itu. Duub...!
"Ahhg...!" Walet Gading tersentak dan jatuh ter
sungkur dengan mata terbeliak-beliak dan tubuh
menggeliat menahan rasa sakit sekujur badan. Hal itu
membuat pengejaran Rencong Geni menjadi semakin
dekat, dan akhirnya berhenti di depan Walet Gading
dalam jarak tujuh langkah. Wajahnya menyeringai
puas melihat buruannya jatuh, lalu ia segera berseru,
"Sekarang juga kalau aku mau membunuhmu,
dengan mudah sekali kulakukan pekerjaan itu, Walet
Gading! Tapi aku masih beri kesempatan padamu un-
tuk menunjukkan di mana Pusaka Hantu Jagal itu
disembunyikan oleh eyang gurumu!"
"Kalau kau ingin membunuhku, lakukanlah!"
kata Walet Gading dengan mulut sudah berdarah sejak
tadi. "Aku memang tidak tahu tentang pusaka itu, wa-
lau aku pernah mendengar ceritanya dari guruku; Ki
Pamungkas! Tapi Guru tak pernah memberi tahu di
mana letak penyimpanan pusaka itu!"
"Aku tak percaya!"
"Terserah! Sekarang apa maumu?!" tantang Wa-
let Gading dalam keadaan lemah. Dan pada saat itu,
Rencong Geni segera mencabut kedua senjatanya
sambil berkata,
"Aku terpaksa membunuhmu sebagai obat ke-
cewaku, Walet Gading!"
Dari atas pohon, Tua Usil membatin! "Kasihan!
Gadis itu memang tidak tahu di mana pusaka itu, tapi
masih saja didesak dan diancam! Aku harus turun
tangan membantunya!"
Wuuut...! Bruuus...!
Tua Usil segera melompat turun dari atas po-
hon dan bersalto dua kali. Jleeg...! Ia berdiri tepat di
depan Rencong Geni, seakan melindungi niat Rencong
Geni yang ingin menyerang Walet Gading dengan dua
senjata kembarnya itu.
"Siapa kau?! Mau cari modar kau, hah?!" ben
tak Rencong Geni.
Tua Usil menjawab dengan kalem, "Jangan
memaksa orang yang tak berdaya! Dia memang bukan
tandingan mu! Akulah lawanmu!"
"Keparaaat...! Heaaah...!" Rencong Geni sudah
tak kenal berunding lagi. Kemarahannya mulai meluap
sampai ke ubun-ubun mendengar tantangan seperti
itu. Maka dengan cepat ia melompat dan menyerang
menggunakan dua rencongnya yang ditebaskan den-
gan cepat ke berbagai arah.
Tubuh Tua Usil hanya meliuk-liuk menghindari
tiap tebasan senjata tersebut yang sesekali sengaja di-
gesekkan hingga keluarkan bunyi denting yang meme-
kakkan gendang telinga. Tapi Tua Usil tetap tenang.
Setiap ia berkelit, ia berhasil menendang atau
memukul lawannya, walau tidak terlalu parah akibat-
nya. Tapi hal itu membuat lawan menjadi semakin pe-
nasaran. Gerakannya menjadi serba terburu nafsu,
sehingga dalam satu kesempatan, Tua Usil berhasil
menghentakkan kedua tangannya mengenai dada Ren-
cong Geni dengan telak sekali. Daaahhg...!
Bruuus...! Tersembur darah kental dari mulut
Rencong Geni yang terhuyung-huyung mundur ke be-
lakang. Pada saat itu, Walet Gading berkata dalam ha-
tinya yang terkejut,
"Jurus 'Harimau Dendam'! Dari mana orang itu
dapatkan jurus tersebut?! Aneh sekali?!"
Pada waktu itu, Rencong Geni cepat-cepat te-
gakkan badan dan menahan rasa sakit di dadanya.
Kedua rencongnya segera dipertemukan, dan perte-
muan ujung rencong itu keluarkan sinar api yang
membentuk garis lurus mengarah ke dada Tua Usil,
Namun dengan cepat Tua Usil pertemukan kedua tela-
pak tangannya di dada, dan disodokkan ke depan se-
hingga dari ujung jemarinya itu meluncur sinar ungu
bergelombang-gelombang yang meluncur menghantam
sinar merah apinya lawan.
Zruuubb...! Sinar api itu bagai tertelan padam
oleh gelombang sinar ungu. Sedangkan sinar ungu itu
masih terus melesat dan akhirnya menghantam tubuh
Rencong Geni.
Craaas...!
Terdengar suara seperti batang pisang ditebas
dengan pedang. Tubuh Rencong Geni runtuh ke tanah
menjadi potongan-potongan menurut persendian yang
ada dalam susunan tubuhnya. Jelas, Rencong Geni ti-
dak lagi bernapas. Tapi agaknya bukan hal itu yang
mengherankan Walet Gading, melainkan jenis jurus
yang digunakan Tua Usil itu.
"Jurus 'Gerhana Rajam'?! Hanya Guru yang
mempunyai jurus 'Gerhana Rajam'. Tapi mengapa
orang aneh itu bisa memilikinya?!"
Sementara itu, dalam hati Tua Usil pun terpetik
keheranan yang tajam, membuat hatinya bertanya-
tanya, "Apa yang telah kulakukan tadi? Dari mana ku-
dapatkan jurus bercahaya ungu tadi? Jangan-jangan
Walet Gading itulah yang menyerang lawan secara di-
am-diam?"
* * *
7
TERNYATA pertarungan Rencong Geni dengan
Tua Usil bukan hanya ditonton oleh Walet Gading saja,
melainkan ada dua pasang mata lain yang menyaksi-
kannya, yaitu mata Pendekar Rajawali Merah dan Ma-
nis Madu. Keberhasilan Tua Usil membunuh Rencong
Geni merupakan sesuatu yang amat memukau dan
membuat kedua pengintai itu tertegun untuk sementa-
ra waktu. Yang dapat mereka lakukan saat itu hanya
memandangi kematian Rencong Geni yang sedemikian
hebatnya, jauh dari pikiran serta dugaan mereka ber-
dua, terutama Pendekar Rajawali Merah.
Yoga nyaris tak bisa bicara melihat jurus-jurus
yang digunakan Tua Usil. Semakin kelu lidahnya meli-
hat Tua Usil pergunakan jurus 'Gerhana Rajam' tadi.
Jika jurus itu dimiliki tokoh sakti seperti Resi Gutama
atau Iblis Mata Genit atau yang lainnya. Yoga tak terla-
lu terpukau kagum. Tapi jurus itu ternyata diperguna-
kan oleh tokoh tua yang selalu mendesak Lili untuk
diajarkan berdiri di atas ilalang sebagai tanda bahwa ia
tidak memiliki ilmu apa-apa kecuali ilmu 'Halimun' sa-
ja, Jelas hal itu sangat menyita seluruh perhatian dan
perasaan Yoga, ia menjadi malu sendiri kepada Manis
Madu, karena sepanjang perjalanan ia telah membujuk
kemarahan Manis Madu dengan meyakinkan kata-
katanya, bahwa Tua Usil bukan manusia berilmu ting-
gi. Kenyataannya, Tua Usil sempat membuat mata Ma-
nis Madu tak berkedip karena mengagumi kedahsya-
tan jurus itu.
"Orang seperti itu kau katakan tidak berilmu
tinggi?" sindir Manis Madu dalam bisikan. Yoga sempat
diam terbungkam oleh rasa malu dan bingungnya.
Kemudian ia berucap lirih,
"Ini sangat di luar dugaan! Sungguh di luar du-
gaan!" "Maksudmu, di luar dugaan kalau aku bisa
memergoki ilmunya itu?"
Yoga semakin tak enak hati. Ia hanya berkata,
"Maafkan kata-kataku tadi! Sejujurnya kukatakan pa-
damu, cukup lama aku bergaul dengan Tua Usil, tapi
tak pernah kulihat dia keluarkan jurus sedahsyat itu!"
Kemudian Yoga sedikit bercerita tentang kehidupan
sehari-hari yang di alami dengan si Tua Usil itu.
"Pantas saja kalau guruku tewas di tangannya!"
gumam Manis Madu bernada geram.
"Mungkinkah memang dia pembunuh guru-
mu?"
"Siapa lagi kalau bukan dia? Lihat saja kesak-
tiannya begitu menakjubkan, sejajar dengan tingkat
ketinggian ilmu guruku!"
Yoga terpojok dan tak punya alasan untuk
membela Tua Usil. Tapi firasat yang ada pada diri Yoga
mengatakan, bahwa bukan Tua Usil yang lakukan
pembunuhan terhadap diri Resi Gutama. Entah men-
gapa firasat Yoga sangat kuat mengatakan begitu, se-
hingga ia masih mencari cara untuk menghindari per-
tarungan antara Manis Madu dan Tua Usil. Yoga sen-
diri dapat menakar, bahwa Tua Usil dapat menghan-
curkan tubuh Manis Madu dalam satu gebrakan saja
jika memang Tua Usil-lah yang membunuh Resi Gu-
tama. Sedangkan Yoga merasa sayang jika Manis Ma-
du harus mati karena salah sasaran dendamnya.
"Begini saja, aku akan desak dia untuk menga-
ku. Jika benar dia yang membunuh gurumu, kuserah-
kan dia padamu. Terserah apa yang terjadi nanti. Yang
jelas kau akan mati jika benar Tua Usil berilmu tinggi
dan bisa membunuh gurumu. Jika memang Tua Usil
tidak mengaku, maka kita akan cari bersama-sama
siapa pelaku sebenarnya."
"Apakah itu tidak terlalu bertele-tele? Sekarang
juga aku bisa menyerang dan membunuhnya!"
"Tahan nafsumu, Manis Madu. Aku tak ingin
kau atau dia mati secara sia-sia, hanya karena fitnah
si Raja Tipu!" ucap Yoga dalam nada bisiknya.
"Aku lebih baik mati, daripada membiarkan
pembunuh guruku tetap hidup dan berkeliaran di
alam bebas!" tegas Manis Madu dengan nada bisik pu-
la.
"Ssst...! Kita selidiki dulu apa yang dilakukan
Tua Usil itu! Apa yang dibicarakan dengan gadis ber-
gaun kuning itu, kita simak baik-baik. Siapa tahu bisa
menjadi petunjuk untuk menyimpulkan siapa pembu-
nuh gurumu itu!"
Manis Madu cemberut kesal dan mende-
nguskan nafasnya, namun ia turuti keinginan pende-
kar tampan tersebut. Ketampanan Yoga itulah yang se-
jak tadi membuat hati Manis Madu selalu menunda
kemarahannya, membuat sejuk gejolak darah yang
mendidih.
Setelah Tua Usil merasa terheran-heran dengan
apa yang dilakukannya, sampai ia pandangi, kedua
tangannya dan ia pandangi mayat Rencong Geni seca-
ra berganti-gantian, maka ia pun segera mendekati
Walet Gading yang wajahnya kian memucat dan ber-
sandar di bawah pohon.
Rupanya sebelum tiba di tempat tersebut, Walet
Gading telah lakukan pertarungan dengan Rencong
Geni yang membuat tubuhnya terluka di beberapa
tempat, termasuk luka pukulan tenaga dalam di pung-
gungnya itu. Lengannya bengkak membiru karena ra-
cun di ujung rencong kembar tersebut. Dan Tua Usil
memperhatikan keadaan Walet Gading dengan rasa iba
hati. Walet Gading sendiri hanya bisa menatap ben-
gong kepada orang yang pernah diburu karena dituduh
membunuh gurunya itu.
Tua Usil bersimpuh dl depan Walet Gading
yang sudah berkeringat dingin dengan bibir membiru.
Sebentar lagi pasti gadis itu akan mati jika tidak segera
ditolong. Karena itu, Tua Usil berkata, "Angkat kedua
tanganmu ke depan, rapatkan dengan tanganku...!"
Walet Gading sepertinya tahu persis apa yang
di maksud Tua Usil itu. Maka, ia pun mengangkat ke-
dua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Kedua
Manis Madu bergegas bangkit, ingin keluar dari
persembunyiannya, namun lagi-lagi tangan Yoga me-
nahannya, membuat Manis Madu berbisik,
"Biarkan aku menghadapinya!"
"Tunggu dulu! Dengarkan dulu percakapannya.
Tua Usil kelihatannya tak sadar dengan segala tinda-
kannya. Perhatikan setiap ucapannya!"
"Bisa saja dia berkata bohong!"
"Apakah kau tak bisa menilai kejujuran seseo-
rang dari raut wajahnya?" Yoga bernada meremehkan,
dan Manis Madu tak mau terang-terangan diremeh-
kan, karena itu ia berkata,
"Bisa saja dia mainkan wajah sejujur mungkin,
tapi hati orang siapa yang bisa tahu secara pasti!"
sambil ia kembali jongkok di tempatnya semula.
Jarak mereka tak begitu jauh, namun juga ti-
dak dibilang dekat dengan percakapan Tua Usil dan
Walet Gading. Hanya saja, angin bertiup ke arah Yoga
dan Manis Madu, sehingga percakapan itu terbawa
oleh angin dan mudah diterima oleh telinga para pe-
ngintainya.
Walet Gading perdengarkan suaranya, "Setahu-
ku, jurus 'Gerhana Rajam' hanya milik guruku; Ki Pa-
mungkas. Tapi mengapa kau juga memilikinya? Apa-
kah kau dulu teman seperguruan dengan Ki Pamung-
kas?"
"Bukan. Aku tak pernah punya guru dan tak
pernah belajar ilmu silat. Satu-satunya ilmu yang ku-
miliki hanya ilmu 'Halimun', itu ilmu turunan dari le-
luhur ku!"
"Tapi... tapi mengapa kau memiliki semua jurus
yang dimiliki oleh guruku?"
"Aku sendiri tak yakin, apakah benar aku me-
lakukan gerakan jurus yang dimiliki oleh gurumu.
Yang jelas, aku kenal gurumu hanya sebatas seorang
sahabat saja. Tak terlalu akrab. Dulu aku pernah me-
nolongnya membuat kan topeng yang menyerupai wa-
jah Ki Pamungkas. Dari situlah aku kenal beliau. Aku
diberi upah berupa uang, bukan berupa ilmu! Dan apa
yang kulakukan tadi, sungguh di luar rencana piki-
ranku. Tangan dan kakiku seperti bergerak dengan
sendirinya. Bahkan sentakan-sentakan nafas ku seper-
ti bekerja dengan sendirinya."
"Aneh!" gumam Walet Gading dalam keterme-
nungannya.
"Memang aneh, dan di luar jangkauan otakku."
"Lalu, apa yang kau lakukan saat guruku te-
was?" "Apakah kau tetap menuduhku sebagai pembu-
nuh Ki Pamungkas?"
Walet Gading menarik napas, dihempaskan le-
pas sambil berkata,
"Saat aku kembali ke tempat jenazah guruku
berada, dan membawanya pulang ke perguruan, aku
sempat melihat mayat lain ada di sana. Mayat itu ada-
lah mayat Resi Gutama, Ketua Perguruan Kuil Dewa!"
Manis Madu bergegas bangkit begitu menden-
gar nama almarhum gurunya disebutkan. Tapi tan-
gannya kembali ditahan oleh Yoga. Mulut Yoga mende-
sis pelan, "Ssst...!"
Manis Madu kembali jongkok, melindungi di-
rinya dengan kerimbunan daun-daun semak yang ada
di belakang Walet Gading. Ia kembali menyimak perca-
kapan tersebut tanpa timbulkan suara sedikit pun.
Walet Gading berkata, "Ketika kutemukan Je-
nazah Resi Gutama, aku jadi berkesimpulan bahwa
guruku tewas karena pertarungannya dengan Resi Gu-
tama. Hati ku sempat menyesal, mengapa aku bersike-
ras menuduh mu sebagai pembunuh guruku. Aku
minta maaf padamu, Tua Usil."
Senyum tipis Tua Usil mekar bagaikan orang
memperoleh kemenangan sepenuhnya. Ia pun berkata,
"Tak apa. Lupakan soal itu:"
"Menurutmu, apakah pendapatku itu benar?"
"Sangat benar!" jawab Tua Usil dengan tegas.
"Aku melihat sendiri pertarungan Resi Gutama dengan
Ki Pamungkas. Sangat seru dan menakjubkan. Kedua-
nya sama-sama kuat. Tapi keduanya segera sama-
sama gunakan jurus andalan yang tidak mereka pero-
leh ketika mereka dalam satu perguruan. Resi Gutama
tewas lebih dulu, ketika aku datang Ki Pamungkas
masih sempat bernapas beberapa saat. Lukanya san-
gat parah. Aku ingin mencarikan air buat minum, ka-
rena kulihat Ki Pamungkas kehausan. Tapi dia mela-
rang, dan bahkan menyuruhku mengambil sebuah pu-
saka yang mereka perebutkan."
"O, jadi... guruku bertarung dengan Resi Guta-
ma karena memperebutkan sebuah pusaka?"
"Ya. Pusaka itu ada di dalam Sumur Condong,
tak jauh dari tempat pertarungan mereka. Aku disuruh
mengambil pusaka itu, dan kukerjakan perintahnya.
Ternyata pusaka itu bernama Pusaka Hantu Jagal!"
"Hahh...?!" Walet Gading terkejut dengan mem-
belalakkan mata.
Di persembunyian, Manis Madu juga terkejut
dan hampir terpekik, namun mulutnya buru-buru di-
tutup oleh tangan Yoga. Matanya melebar menatap
mata Yoga yang memandangnya dengan sikap terpe-
ranjat juga itu.
"Aku pernah mendengar cerita tentang Pusaka
Hantu Jagal itu dari guruku," kata Walet Gading.
"Apakah... apakah pusaka itu berupa sebilah pisau
bersarung dan bergagang emas berukir?"
"Benar!" jawab Tua Usil dengan jujur. Kemu-
dian, Tua Usil menceritakan segala keterangan yang
dituturkan oleh Ki Pamungkas menjelang ajalnya tiba.
Sampai tentang kehebatan Pusaka Hantu Jagal itu,
amanat mempercayakan pusaka itu menjadi milik Tua
Usil, dan akhirnya permintaan Ki Pamungkas yang te-
rakhir pun dituturkan kepada Walet Gading.
"Aku mencoba menolak permintaannya itu, tapi
ia semakin meratap dan ingin mati lebih terhormat lagi
dengan pisau pusaka itu. Dia memohon-mohon pada-
ku, dan... aku tak tega. Lalu, kulakukan permintaan
terakhirnya itu dengan sangat terpaksa!"
Walet Gading tertunduk sedih, Sementara itu,
Manis Madu pun tertunduk dalam dukanya sendiri.
Suasana menjadi hening beberapa kejap setelah itu,
Walet Gading segera perdengarkan suaranya,
"Kalau begitu, seluruh ilmu guruku telah meni-
tis ke dalam ragamu! Ilmumu jauh lebih tinggi dari il-
muku, karena kau adalah pengganti guruku!"
Setelah berkata begitu, Walet Gading segera
berlutut dan tundukkan kepala, memberi hormat ke-
pada Tua Usil yang dianggap sebagai titisan Ki Pa-
mungkas. Tua Usil menjadi kikuk ketika Walet Gading
berkata,
"Maafkan kebodohan saya tadi, Guru!"
Karena kikuk, Tua Usil jadi ikut-ikutan berlu-
tut, lalu berkata, "Jangan berlebihan begitu dalam
menganggap diriku. Aku bukan gurumu! Aku bahkan
ingin serahkan Pusaka Hantu Jagal ini kepadamu, ka-
rena kau adalah muridnya yang kinasih!"
Tua Usil keluarkan pisau Pusaka Hantu Jagal
dari balik bajunya. Walet Gading memandangi pusaka
itu, semakin percaya dengan apa yang diceritakan Tua
Usil. Tapi ia segera menggeleng dan berkata,
"Aku tak berani melanggar wasiat almarhum
Guru; Ki Pamungkas. Pisau pusaka itu adalah milik-
mu, karena Guru mempercayakannya kepadamu! Pi-
sau pusaka itu juga sebagai lambang, bahwa kau telah
menggantikan kedudukan mendiang Guru; Ki Pa-
mungkas. Sebaiknya sekarang juga kita pulang ke per-
guruan, karena kaulah sekarang yang memegang tam-
puk kepemimpinan, sebagai Ketua dan Guru di Pergu-
ruan Gerbang Bumi!"
Tua Usil geleng-gelengkan kepala. "Tidak. Aku
tidak sanggup. Aku tidak tahu bagaimana caranya
menjadi guru dan ketua di sebuah perguruan. Aku tak
mau menerima jabatan itu."
"Tapi kaulah yang diserahi tugas tersebut! Kau
yang dipercaya."
"Hanya secara kebetulan saja, akulah satu-
satunya orang yang mendekati Ki Pamungkas saat
menjelang ajalnya tiba."
"Itu pertanda kau yang mendapat anugerah da-
ri dewata untuk menggantikan kepemimpinan men-
diang Guru; Ki Pamungkas!"
"Begini saja!" kata Tua Usil sambil bangkit ber-
diri, berjalan dua langkah, lalu berbalik arah dan ber-
kata, "Kalau memang aku yang dipercaya, diserahi tu-
gas, mendapat anugerah atau apa lagi sebutannya....
Sekarang tugas itu ku limpahkan kepadamu, Walet
Gading! Kau saja yang menjadi ketua di Perguruan
Gerbang Bumi, sekaligus menjadi guru!"
"Mana mungkin? Di Perguruan Gerbang Bumi
ada empat orang yang ilmunya sejajar denganku! Me-
reka pasti akan memberontak dan tak mau patuh pa-
daku," kata Walet Gading dengan sangsi.
"Kalau begitu, kau saja yang menjadi ketua.
Soal guru, biarlah kau dan ketiga murid yang ilmunya
sejajar denganmu itu yang bertindak sebagai guru."
Walet Gading berpikir sejenak, setelah itu ber-
kata, "Bagaimana jika kau ajarkan padaku beberapa
jurus tertinggi yang dimiliki Ki Pamungkas semasa hi-
dupnya? Kau yang menjadi guruku."
"He, he, he, he...! Sudah kukatakan, aku tidak
ada potongan menjadi guru! Aku tidak tahu harus ba-
gaimana mengajar murid-murid ku! Dan aku tidak ta-
hu nama jurus-jurus yang kumiliki ini!"
Sulit juga memutuskannya. Tua Usil terang-
terangan menolak jabatan itu, karena merasa tidak
mempunyai kemampuan yang sesuai. Sedangkan Wa-
let Gading tidak mau melanggar wasiat mendiang gu-
runya yang diberikan kepada Tua Usil menjelang ajal-
nya tiba.
Sebenarnya saat itu Yoga ingin keluar dari per-
sembunyiannya dan menengahi perdebatan itu. Tetapi
pemuda tampan itu segera terkejut karena baru me-
nyadari bahwa Manis Madu sudah tidak ada di sam-
pingnya. Mata Yoga mencari sekeliling tempat itu, ter-
nyata gadis tersebut sudah berada cukup jauh dalam
pelariannya. Arah pelarian menuju ke tempat tergele-
taknya jenazah Resi Gutama.
"Dia pasti kecewa karena tak berhasil temukan
pembunuh gurunya yang sebenarnya! Atau, mungkin
dia kecewa karena Pusaka Hantu Jagal jatuh ke tan-
gan Tua Usil? Sebaiknya kususul dia agar tak guncang
hatinya dengan peristiwa ini! Biarlah Tua Usil berem-
buk terus sampai ubannya bertambah. Mereka pasti
akan temukan jalan keluar sendiri."
Dugaan Yoga itu memang benar. Ketika Yoga
pergi menyusul Manis Madu, samar-samar terdengar
suara Walet Gading berkata,
"Ada baiknya masalah ini kita bicarakan ber-
sama tiga murid yang lain, supaya semuanya sama-
sama enak dan tak ada saling iri."
"Lalu, bagaimana dengan pisau pusaka ini?"
"Tetaplah kau pegang dan menjadi milik mu,
karena memang begitulah wasiat mendiang Guru! Jan-
gan sampai jatuh ke tangan orang lain!"
"Apakah aku harus ikut berunding dengan ke-
tiga murid yang ilmunya setingkat denganmu itu?"
"Ya. Sebab kaulah saksi hidup, dan pusaka itu-
lah buktinya!"
"Baiklah," jawab Tua Usil dengan napas ter-
hempas, seperti orang terpaksa. Lalu, dia berbisik,
"Bisakah kau berdiri di atas ilalang yang sedang
tumbuh?"
"Bisa. Kenapa?"
Bisikannya makin pelan, "Ajarkan aku, supaya
bisa berdiri di atas ilalang, seperti Nona Lili itu!"
"Kau pasti sudah bisa. Sebab Ki Pamungkas bi-
sa lakukan hal itu!"
"Ah, yang benar?!" Tua Usil terperangah girang
bercampur ragu.
* * *
8
LELAKI berkepala gundul dengan jenggot pu-
tihnya yang panjang itu mengenakan pakaian berka-
bung warna abu-abu. Biasanya ia mengenakan pa-
kaian putih model biksu yang hanya diselempangkan
dari pinggang ke pundak. Tapi agaknya kali ini ia sen-
gaja mengenakan pakaian abu-abunya sebagai pera-
saan berkabung yang amat dalam. Lelaki berusia seki-
tar delapan puluh tahun itu, sengaja berdiri di luar
gua tempat tinggalnya, yang tepat berada di lereng se-
buah jurang terjal yang cukup dalam.
Ketika seekor burung rajawali besar berwarna
putih melintas di langit atas kepalanya, lelaki itu
hanya diam saja, tidak memandangnya sedikit pun.
Namun ia tahu, ada seseorang yang duduk bertengger
di punggung sang rajawali tersebut. Orang yang duduk
di punggung rajawali putih itu tak lain adalah Lili;
Pendekar Rajawali Putih, murid dari mendiang Dewi
Langit Perak; istri dari Dewa Geledek. Lelaki berbadan
kurus itu sangat kenal baik dengan kedua tokoh sakti
tersebut, semasa pasangan suami-istri yang kondang
kesaktiannya itu masih hidup. Sayang ia tak bisa
menghadiri dalam pemakaman kedua tokoh sakti bera-
liran silat rajawali itu, karena tempatnya yang saling
berjauhan dari kediamannya yang sengaja mengasing-
kan diri itu.
Lelaki berpakaian abu-abu itu tak lain adalah
Resi Gumarang, satu-satunya tokoh sakti yang sangat
dihormati oleh Lili dan Yoga, itulah sebabnya ketika ra-
jawali putih itu mendarat di bibir tebing, Lili segera tu-
run dan memberinya hormat dengan berlutut satu ka-
ki dan tundukkan kepala, sedang sang rajawali pun
cepat mendekam serta merendahkan kepala sebagai
tanda hormatnya kepada sang resi.
"Selamat datang di pengasingan ku, Pendekar
Rajawali Putih," sambut Resi Gumarang dengan nada
kurang ramah. Wajahnya pun dilapisi kemurungan
akibat ungkapan jiwa dukanya, Pendekar Rajawali Pu-
tih tidak tersinggung, namun justru merasa heran dan
bertanya dengan sangat sopan,
"Kalau boleh saya tahu, apa gerangan yang
membuat Eyang Resi bermurung wajah hari ini?"
"Tidak apa-apa," jawab Resi Gumarang dengan
senyum canggung. "Aku hanya merasa sedikit kurang
enak badan."
"Mohon jangan dustai hati saya, Eyang Resi.
Pakaian abu-abu yang Eyang Resi kenakan menanda-
kan masa duka sedang menyelimuti hati Eyang Resi.
Saya hanya ingin ikut berduka cita atas masa berka-
bung yang melanda hati Eyang Resi Gumarang. Na
mun izinkan saya mengetahui penyebabnya secara
pasti, Eyang Resi."
Resi Gumarang melemparkan pandangan ma-
tanya ke tempat jauh. Ia melangkah menjauhi Lili se-
bentar, seakan ingin membuang rasa duka dan kemu-
rungannya. Namun Lili mendekat dengan mendesak
pertanyaan lebih halus lagi.
"Barangkali ada yang bisa saya bantu untuk
meredakan duka di hati Eyang Resi saat ini?"
"Tidak ada," jawab Resi Gumarang. "Agaknya
kau tahu persis bahwa aku sedang berkabung. Me-
mang benar. Sekalipun aku tak hadir di tempatnya,
tapi aku tahu bahwa adikku yang bernama Resi Gu-
tama itu dua hari yang lalu sudah meninggal dunia
akibat suatu pertarungan dengan rekan seperguruan-
nya yang bernama Ki Pamungkas."
Hening tercipta sebentar, lalu suara Pendekar
Rajawali Putih terdengar halus, "Saya turut berduka
cita atas wafatnya adik Eyang Resi Gumarang itu."
"Terima kasih, Lili. Aku hanya menyesali lang-
kah adikku yang keliru itu. Ia mati hanya untuk bere-
but pusaka milik mendiang gurunya yang bernama
Hantu Jagal."
"Sepertinya saya pernah mendengar nama julu-
kan Hantu Jagal itu, Eyang Resi. Kalau tidak salah, ia
termasuk tokoh sakti yang berusia sampai ratusan ta-
hun dan baru meninggal setelah dirinya mampu ber-
temu dengan sang kekasih, walau sudah dalam kea-
daan menjadi tulang belulang. Eyang Guru Dewi Langit
Perak pernah ceritakan hal itu kepada saya, ketika
kami sama-sama terdampar di dasar laut."
"Kisah cinta mereka memang kondang dan
menjadi legenda sepanjang masa. Tapi ketika kisah
cinta antara gurumu dengan Dewa Geledek hadir, le-
genda itu beralih ke kisah cinta Dewi Langit Perak
dengan Dewa Geledek. Barangkali akan beralih lagi
kepada kisah cinta Lili dan Yoga."
Senyum Pendekar Rajawali Putih mekar dalam
sikap tersipu malu. Resi Gumarang pun menyungging-
kan senyum tipis, seakan memaksakan diri untuk
menghapus dukanya. Tapi ia segera kembali menutur-
kan kisah Hantu Jagal dengan mengatakan,
"Tokoh beraliran putih itu cukup ditakuti oleh
para tokoh sesat, sehingga dijuluki mereka dengan
nama Hantu Jagal. Sebutan itu lebih dikenal di rimba
persilatan, sehingga julukannya sendiri tenggelam dan
kalah kondang. Semasa kejayaannya mencapai pun-
cak, tokoh sesat berjuluk Malaikat Gelang Emas itu
belum hadir di permukaan bumi. Andai Hantu Jagal
masih hidup di saat ini, maka Malaikat Gelang Emas
pasti sudah lenyap sejak hari-hari kemarin, dikalah-
kan oleh Hantu Jagal. Sayang sekali tokoh sesat itu
hadir di saat Hantu Jagal sudah tiada. Ketiga murid-
nya tidak ada yang sanggup mengalahkan Malaikat
Gelang Emas."
"Berapa murid Hantu Jagal sebenarnya,
Eyang?"
Tiga orang; Gutama, Pamungkas, dan Wicaksa-
na. Ketiganya membuka perguruan sendiri-sendiri ali-
ran silat Hantu Jagal, namun Wicaksana tak bisa
sempurna turunkan seluruh ilmunya kepada murid-
muridnya, karena ia sudah lebih dulu dibunuh oleh
Malaikat Gelang Emas. Dan Hantu Jagal meninggalkan
sebuah pusaka yang tak diketahui oleh para muridnya
di mana letak penyimpanan pusaka tersebut. Dulu,
pusaka itu sering diburu oleh beberapa tokoh sakti,
termasuk murid Wicaksana yang bernama Nyai Kuku
Setan. Tetapi segera reda akibat tak menemukan jejak
peninggalan Pusaka Hantu Jagal. Beberapa kurun
waktu kemudian, timbul kembali peristiwa perburuan
Pusaka Hantu Jagal, namun seseorang telah menye-
barkan berita palsu bahwa
Pusaka Hantu Jagal telah berhasil ditemukan
oleh Malaikat Gelang Emas. Maka perburuan itu pun
berhenti dan lenyap dari peredaran bumi. Sekarang
agaknya perburuan itu menjadi hangat kembali, terle-
bih setelah terbunuhnya Gutama, adikku, dan Pa-
mungkas."
"Apakah keduanya dibunuh oleh seseorang
yang haus Pusaka Hantu Jagal?" tanya Lili.
"Mereka justru saling bunuh sendiri untuk be-
rebut pusaka tersebut. Sekalipun aku tidak pernah di-
ajak bicara oleh mereka, sekalipun aku tidak melihat-
nya sendiri, tapi roh kawekasan ku meneropong jauh
ke sana dan menyaksikan pertarungan itu. Aku tak bi-
sa ikut campur karena itu urusan antara murid aliran
Hantu Jagal."
"Apakah pusaka itu berhasil ditemukan oleh
salah satu dari keduanya, Eyang?"
Resi Gumarang yang bermata lembut itu meng-
geleng pelan. "Pusaka itu memang telah berhasil dite-
mukan oleh seseorang, melainkan bukan murid aliran
silat Hantu Jagal. Tetapi aku melihat sendiri dengan
mata sukmaku, Pamungkas memohon-mohon agar di-
bunuh dengan pisau pusaka itu oleh si pemiliknya
yang sekarang, dan pemilik pusaka itu dengan sangat
terpaksa menuruti keinginan Pamungkas. Ia membe-
namkan pisau itu ke jantung Pamungkas. Padahal pi-
sau pusaka itu mempunyai kekuatan dapat memin-
dahkan seluruh ilmu dan kepandaian apa pun milik
orang yang ditikamnya, menjadi milik orang yang me-
nikamkan pisau itu. Maka, mata sukmaku telah meli-
hat, seseorang yang semula tidak mempunyai ilmu, ki-
ni menjadi orang berilmu tinggi setara dengan keting-
gian ilmu Pamungkas. Bahkan mungkin ia akan menjadi lebih sakti lagi jika pisaunya berulang kali diguna-
kan untuk membunuh para tokoh sakti lainnya!"
Pendekar Rajawali Putih menunda niatnya un-
tuk membicarakan masalah rencana perkawinannya
dengan Yoga, karena ia lebih tertarik dengan cerita Pu-
saka Hantu Jagal itu. Setelah hatinya merasa kagum
sesaat dengan kehebatan pusaka tersebut, maka ia
pun ajukan tanya,
"Kalau boleh saya tahu, siapa tokoh yang me-
miliki Pusaka Hantu Jagal itu, Eyang? Apakah dia dari
golongan putih atau golongan hitam?"
"Setahuku dia dari golongan putih, sebab me-
mang tidak pernah punya golongan. Ia hanyalah seo-
rang pelayan dari dua majikan yang berilmu tinggi dan
beraliran putih."
Lili berkerut dahi memikirkan dan mencoba-
coba menebak siapa orang yang dimaksud. Tetapi ia
justru menjadi penasaran karena tak mempunyai ke-
pastian dalam tebakannya, Sehingga ia mendesak den-
gan tanya,
"Siapa nama orang itu, Eyang?"
"Pancasona!"
Terkesiap mata Pendekar Rajawali Putih yang
punya kecantikan melebihi bidadari itu. Ia menggu-
mamkan nama itu dengan sangat pelan, seakan tak
percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Pancasona...?!"
"Ya. Pancasona, alias si Tua Usil, pelayanmu!"
"Hahh...?!" kini mata indah itu membelalak ka-
get dengan bibir bak kuncup mawar merekah indah.
"Dia yang berhak memilikinya, karena dia yang
menemukannya! Setelah ketiga murid Hantu Jagal itu
tiada lagi, tak ada orang yang berhak mewarisi pusaka
itu karena memang Hantu Jagal tidak mewariskan ke-
pada siapa pun. Orang yang menemukan pusaka itu
adalah orang yang berhak memilikinya. Sebab dengan
meninggal nya ketiga murid Hantu Jagal, pusaka itu
menjadi pusaka tanpa tuan. Namun sekarang sudah
menjadi pusaka bertuan, yaitu Tua Usil itulah tuan
dari pusaka tersebut. Kuharap kau dapat mengarah-
kan Tua Usil agar tidak menyalahgunakan pusaka itu
dan membuatnya menjadi orang yang rakus ilmu. Ka-
takan kepadanya, agar jangan menggunakan pusaka
tersebut jika tidak dalam keadaan yang sangat berba-
haya, dan jadikan dia tokoh pembela kebenaran."
"Baik. Akan saya bimbing dia agar tidak menja-
di tokoh sesat dengan senjata pusakanya itu, Eyang!"
Resi Gumarang menganggukkan kepala dengan
penuh wibawa. Ia memandangi wajah Lili yang terme-
nung beberapa saat membayangkan Tua Usil dengan
pusakanya. Lalu, Resi Gumarang menyunggingkan se-
nyum tipis dan berkata,
"Kau datang dengan maksud ingin menanyakan
tentang perkawinanmu dengan Pendekar Rajawali Me-
rah, bukan?"
"Benar, Eyang! Saya ingin kejelasan jodoh saya
itu, karena setahu saya, banyak gadis yang jatuh cinta
kepada Yoga dan...." kata-kata itu terhenti sesaat. Lili
menatap Resi Gumarang dengan dahi sedikit berkerut,
menampakkan kecurigaannya terhadap keadaan seke-
liling. Resi Gumarang sendiri tampak sedikit curiga,
namun ia masih bisa bersikap tenang.
"Rupanya kau menangkap gelagat tak beres di
sekitar kita, Lili?"
"Benar, Eyang!"
"Kita memang sedang kedatangan tamu yang
tak ramah."
"Kalau begitu, biar saya yang hadapi, Eyang!"
"Tunggu...!"
Lili sudah telanjur melesat dan hinggap di salah
satu batu tebing, lalu dengan lincahnya ia melenting
ke atas, bersalto dua kali dan kini berada di permu-
kaan bibir tebing. Resi Gumarang merasa cemas, maka
ia pun segera menyusui Lili naik ke bibir tebing, dan
ternyata di sana mereka sudah berhadapan dengan li-
ma orang berwajah tak ramah.
Burung rajawali putih itu segera terbang ke
arah lain, seakan menghindar, namun sebenarnya
mencari peluang untuk membantu majikannya jika
terjadi sesuatu yang akan membahayakan sang maji-
kan. Burung itu berputar-putar siap lakukan serangan
sewaktu-waktu terhadap lima orang berwajah tak ra-
mah itu.
Satu dari kelima orang itu adalah seorang wani-
ta berusia sekitar empat puluh tahun kurang, masih
kelihatan cantik namun sudah tampak matang dalam
hidupnya. Perempuan berjubah hijau itu menyandang
senjata pedang di pinggangnya, dengan kesepuluh ja-
rinya berkuku runcing bak mata pisau. Rambutnya
disanggul sebagian dengan diberi tusuk konde berben-
tuk seekor ular dari bahan logam putih mengkilat.
Mungkin dapat digunakan sebagai senjata sewaktu-
waktu.
"Siapa mereka, Eyang?" bisik Lili kepada Resi
Gumarang.
"Orang-orang Perguruan Latar Jagat. Perem-
puan itu ketuanya, murid dari Wicaksana yang berge-
lar Nyai Kuku Setan!"
Pendekar Rajawali Putih segera paham, karena
ia masih ingat cerita Resi Gumarang tentang Wicaksa-
na, murid Hantu Jagal yang tewas di tangan Malaikat
Gelang Emas itu. Tetapi apa maksud Nyai Kuku Setan
datang ke pengasingan Resi Gumarang dengan mem-
bawa empat anak buahnya yang berwajah tak ramah
itu?
Terdengar suara Nyai Kuku Setan berseru ke-
pada Resi Gumarang,
"Tentunya kau sudah mengetahui maksud ke-
datanganku, Resi Gumarang! Kita tak perlu berbasa-
basi lagi, bukan?"
"Ya. Ucapan batinmu sudah kudengar, maksud
hatimu sudah ku baca. Kau menghendaki Pusaka
Hantu Jagal, bukan?"
"Benar!"
"Tapi mengapa kau datang kemari?"
"Karena Gutama adalah adikmu, dan pasti kau
tahu di mana Gutama berada sekarang ini! Aku akan
memaksanya untuk bicara tentang Pusaka Hantu Jag-
al itu. Karena menurut beberapa tokoh sakti, pusaka
itu belum dimiliki oleh Malaikat Gelang Emas atau to-
koh lainnya. Gutama pasti tahu di mana letak pusaka
itu, atau justru dialah yang menyembunyikannya!"
"Atas dasar apa kau ingin menuntut pusaka
itu, Nyai Kuku Setan?" tanya Resi Gumarang dengan
kalem.
"Kami dari aliran silat Hantu Jagal merasa
punya hak memiliki pusaka tersebut!"
"Ada tiga perguruan dari aliran Hantu Jagal.
Apakah itu berarti ketiga perguruan mempunyai hak
atas Pusaka Hantu Jagal itu?!"
"Persetan dengan dua perguruan milik Gutama
dan Pamungkas! Yang penting, kami orang-orang Per-
guruan Latar Jagat punya hak lebih tinggi untuk me-
miliki pusaka tersebut, karena Eyang Guru Wicaksana
adalah murid sulung dari Eyang Hantu Jagal!" kata
Nyai Kuku Setan dengan suara lantang yang memua-
kkan bagi Lili. Mata Lili sejak tadi menatap Nyai Kuku
Setan dengan tajam dan berkesan dingin. Ia tak ingin
bertindak lebih dulu sebelum mendapat izin dari Resi
Gumarang.
Terdengar suara Nyai Kuku Setan berseru lagi,
"Sebaiknya, beritahukan kepadaku di mana Gutama
berada! Jangan kau ikut menyembunyikan adikmu itu,
Resi Gumarang!" "
"Aku tidak menyembunyikan dia. Mungkin ka-
lau kau ingin temui dia, kau harus pergi ke alam ku-
bur, karena Gutama sudah tewas bersama Pamung-
kas!"
"Hm...!" perempuan yang jauh lebih muda dari
Resi Gumarang itu tersenyum sinis, tak ada sopan
santunnya sedikit pun. Ia bahkan berkata dengan le-
bih kasar lagi,
"Jangan harap kami mudah percaya dengan
omonganmu, Gumarang! Aku tahu kau selalu berada
di pihak perguruan adikmu! Dan jangan bikin kami hi-
lang kesabaran, sehingga lakukan pemaksaan secara
kasar padamu! Perguruan Kuil Dewa sudah kami ob-
rak-abrik, tapi Gutama tak kami temukan di sana. Sa-
tu-satunya orang yang tahu di mana dia adalah kau,
Gumarang!"
Pendekar Rajawali Putih tak sabar dan menco-
ba berbisik pelan kepada Resi Gumarang, "Biar saya
yang hadapi mereka, Eyang!"
"Jika kau mau, lakukanlah!" bisik Resi Guma-
rang. Tapi ia segera berkata kepada Nyai Kuku Setan,
"Aku berkata yang sebenarnya, Nyai Kuku Se-
tan. Gutama sudah tewas. Di mana kuburnya, aku be-
lum sempat mengetahuinya!"
"Kalau begitu, pasti dia sudah titipkan pusaka
itu padamu!"
"Tidak. Aku tidak mendapat titipan apa-apa da-
ri adikku!"
"Barangkali dengan sedikit paksaan kau baru
akan mengaku, Gumarang! Baiklah...!" Nyai Kuku Se-
tan segera serukan perintah kepada keempat anak
buahnya yang tentu saja orang-orang pilihan.
"Serang dia! Bikin dia mengaku!"
"Heaaat...!" keempat anak buah Nyai kuku Se-
tan serempak dalam gerak mengurung Resi Gumarang
dan Lili. Namun Pendekar Rajawali Putih itu segera
tampil di depan Resi Gumarang dan berkata lantang,
"Kau berhadapan denganku, Nyai Kuku Setan!"
"Bocah ingusan! Mau cari mampus rupanya
kau ini, hah?! Serang!"
"Heaah...!" Keempat anak buah Nyai Kuku Se-
tan serempak lepaskan pukulan bersinar warna-warni
ke arah Pendekar Rajawali Putih. Zlaaap!
Namun dengan gerak sedikit merendah dan
memutar cepat, Pendekar Rajawali Putih kibaskan tan-
gannya bagai menabur sesuatu ke arah keempat pen-
gepungnya itu. Ternyata sinar putih keperakan telah
melingkari tubuhnya dan membuat sinar-sinar yang
menyerangnya itu berbalik arah dan menerjang para
pemiliknya.
Blaaar...!
Keempat penyerang itu terpental ke empat pen-
juru. Satu di antaranya nyaris terjungkal masuk ju-
rang. Untung Nyai Kuku Setan cepat berkelebat bagai-
kan angin dan berhasil menangkap orang yang nyaris
masuk ke jurang itu. Wuuut...!
Tiga penyerangnya bangkit kembali dan laku-
kan serangan dengan jurus serupa. Tetapi, burung ra-
jawali besar itu segera menukik dan menyambar dua
dari ketiga penyerang itu. Wuuuss...! Craaak...! Cakar
tajam sang rajawali berhasil menyambar tubuh mereka
dan dibawanya terbang tinggi. Dua orang itu berteriak-
teriak ketakutan. Satu orang lagi berusaha mele-
paskan serangan dengan sinar biru keluar dari ujung
jari telunjuknya. Namun bertepatan dengan keluarnya
sinar, tubuh itu telah dihantam lebih dulu oleh puku
lan tenaga dalam Lili yang menggunakan tangan kiri,
Dees...!
"Uuuhg...!"
Orang tersebut segera tumbang dalam satu
sentakan yang membuat tubuhnya melayang memben-
tur batu besar. Praak...! Kepala orang itu nyaris pecah,
kini berlumur darah dan tak mampu lagi bangkit un-
tuk lakukan penyerangan. Ia hanya mengerang-
ngerang dengan tubuh menggeliat menahan sakit.
"Hentikan!" teriak Nyai Kuku Setan. "Atau ku
ledakkan tubuh resi peot ini!"
Mendengar ancaman tersebut, Pendekar Raja-
wali Putih berpaling ke belakang, dan ia terkejut meli-
hat Resi Gumarang telah dikurung sinar merah mem-
bara berpijar-pijar. Sinar itu bagaikan membungkus
tubuh Resi Gumarang dalam jarak dua jengkal dan tu-
buhnya. Rupanya Nyai Kuku Setan telah berhasil me-
lepaskan jurus 'Penjara Kubur'-nya di luar pengeta-
huan Lili, dan membuat Resi Gumarang tak berani ba-
nyak bergerak dari tempatnya sendiri.
"Sedikit saja kau sentuh sinar itu, tubuhmu
akan hancur, Gumarang!" kata Nyai Kuku Setan. Ke-
pada Lili ia berkata, "Cobalah hancurkan sinar 'Penjara
Kubur'-ku itu kalau kau ingin melihat tubuh resi peot
itu hancur berkeping-keping!"
Lili menggeram menahan jengkel. Firasatnya
mengatakan, sinar merah itu tak boleh tersentuh oleh
benda apa pun, dan jika dilawan dengan sinar lain
akan timbulkan ledakan yang dapat hancurkan tubuh
Resi Gumarang. Pendekar Rajawali Putih tak mau kor-
bankan sang resi. Ia hanya menggeram penuh kejeng-
kelan, "Licik!"
Di kejauhan terdengar suara bergema panjang,
"Aaaa...!"
Dua anak buah Nyai Kuku Setan yang disam
bar oleh si Putih saat itu sedang dilepaskan dari ke-
tinggian yang melebihi pucuk pohon cemara. Mereka
melayang-layang dan jatuh ke dalam jurang. Sudah
pasti tak ada harapan untuk hidup lagi bagi mereka.
"Burung bangsat...!" teriak Nyai Kuku Setan, la-
lu ia sentakkan tangan kirinya, dan melesatlah lima la-
rik sinar dari ujung kukunya. Zraaap...!
Melihat rajawalinya hendak dibunuh dengan
lima larik sinar hijau itu, Lili segera lepaskan pukulan
bersinar putih yang semakin jauh semakin melebar
cahayanya. Wuuuut...! Sinar putih itu menerjang lima
larik sinar hijau dan menimbulkan suara ledakan yang
cukup dahsyat dan membahana.
Glegaaar...!
Nyai Kuku Setan cepat berpaling ke arah Pen-
dekar Rajawali Putih dengan wajah bengisnya semakin
tajam. Sementara itu, si Putih segera bergerak men-
jauh dengan suaranya yang kian mengecil, bagaikan
menertawakan serangan Nyai Kuku Setan.
"Kalau kau merasa berilmu tinggi, hadapilah
aku! Jangan dengan cara licikmu itu!" kata Lili sambil
siap-slap lakukan serangan.
Nyai Kuku Setan justru serukan tawa, lalu ber-
kata, "Sia-sia aku melayani bocah ingusan sepertimu!
Sinar 'Penjara Kubur' itu tidak akan kulepaskan jika
Gumarang tidak mau serahkan Pusaka Hantu Jagal
itu!"
Terdengar suara Resi Gumarang berkata, "Aku
tidak tahu soal pusaka itu! Jangan libatkan aku dalam
urusan perguruan kalian!"
"Omong kosong! Kau orang sakti, kau orang
yang bisa meneropong isi hati seseorang, bisa menge-
tahui apa yang bakal terjadi, bisa melihat apa yang
tersembunyi dari mata manusia, kau pasti tahu di ma-
na pusaka itu disimpan oleh adikmu, Gumarang!"
Lili menggeram sambil hendak lepaskan puku-
lan mautnya, tapi Nyai Kuku Setan berseru seketika,
"Kau akan menyesal kalau kau berhasil mem-
bunuhku, karena 'Penjara Kubur' itu tak ada yang bisa
melepaskan selain diriku! Sebaiknya sekarang bujuk
resi peot itu agar mau tunjukkan di mana Pusaka Han-
tu Jagal itu berada, agar aku bisa memilikinya!"
"Persetan dengan perintahmu, Perempuan ib-
lis!" geram Lili dengan tajam dan ketus. Tapi ia tak be-
rani menyerang Nyai Kuku Setan, karena jika perem-
puan itu mati di tangannya, lalu siapa yang akan le-
paskan jurus 'Penjara Kubur' yang menawan dan men-
gancam keselamatan Resi Gumarang, si calon penghu-
lunya kelak itu.
* * *
9
TANPA setahu Nyai Kuku Setan atau siapa pun,
Resi Gumarang mengirimkan suara batinnya kepada
Lili yang mengatakan, "ilmu 'Penjara Kubur' ini me-
mang berbahaya. Tak ada yang bisa melepaskannya
kecuali dia. Sebaiknya, bawa kemari Tua Usil dan la-
kukan siasat agar dia mau lepaskan sinar merah yang
mengurungku ini! Tapi ingat, Pusaka Hantu Jagal jan-
gan sampai jatuh ke tangan perempuan itu!"
Pendekar Rajawali Putih segera tanggap dengan
suara aneh yang didengarnya itu. Ia melirik Resi Gu-
marang, dan sang resi anggukkan kepala secara sa-
mar-samar. Maka, Lili pun berkata kepada Nyai Kuku
Setan dengan kemarahan terpendam kuat-kuat,
"Akan kucari pusaka itu secepatnya. Tapi jika
kau berbuat curang, apa sangsinya?!"
"Hik, hik, hik, hik...! Bocah ingusan, dengar ka-
ta ku...! Aku hanya menghendaki pusaka itu saja. Aku
tidak akan mengganggu kalian jika memang pusaka
itu sudah ada di tanganku. Keperluan ku memiliki pu-
saka itu hanya untuk membalas dendam kepada Ma-
laikat Gelang Emas yang telah menewaskan guruku
itu! Demi dendam ku kepada Malaikat Gelang Emas,
maka dengan terpaksa kulakukan cara seperti ini su-
paya aku dapatkan Pusaka Hantu Jagal itu. Nah, ka-
lau kau sudah paham, lekas cari pusaka itu dan akan
ku tukar dengan kebebasan resi peot itu!"
"Sekali lagi kau berani berbuat curang, kule-
nyapkan seluruh ilmumu dengan jurus 'Sirna Jati'-ku!"
Rupanya Nyai Kuku Setan tahu tentang ilmu
'Sirna Jati'. Ia membatin dalam kebisuan mulutnya,
"Benarkah dia memiliki ilmu 'Sirna Jati'? Bu-
kankah ilmu 'Sirna Jati' hanya ada dalam Kitab Jagat
Sakti, milik leluhur orang-orang Pulau Kana yang ke-
turunan raksasa itu? Oh, celaka kalau dia memang
punya jurus 'Sirna Jati'. Bisa habis ilmuku dile-
nyapkan oleh jurus itu jika aku mengecewakan dia!
Sebaiknya aku harus bertindak hati-hati kepada gadis
ingusan ini!"
Pendekar Rajawali Putih segera mengepalkan
kedua tangannya. Kepalan itu saling dipertemukan di
dada, lalu dari tengah kepalan itu melesat selarik sinar
putih keperakan berbentuk gelombang-gelombang
lingkaran yang melesat ke angkasa. Sinar putih kepe-
rakan itu menimbulkan suara denging yang makin
tinggi semakin menggema. Itulah isyarat untuk me-
manggil burung rajawali putih yang tadi menghilang
setelah membuang mangsanya ke dalam jurang.
Suara denging itu hilang seketika setelah dua
tangan yang mengepal di depan dada itu terpisahkan.
Seekor burung rajawali putih berkelebat muncul dari
balik kerimbunan pohon di kejauhan sana, terbang
dengan cepatnya menuju ke arah majikannya.
Kepakan sayap rajawali itu menjadi lamban se-
telah Lili berseru kepada burung yang hendak menda-
rat,
"Hati-hati sayap mu, Resi Gumarang dalam
penjara sinar merah!"
"Keaaak...!" burung itu menjawab, seakan men-
gerti maksud majikannya.
Dengan menunggang rajawali putih tersebut,
Lili pun segera pergi tinggalkan tempat itu mencari ke
mana perginya Tua Usil. Kepada si Putih pun, Lili se-
rukan kata,
"Kita mencari Tua Usil, karena dialah yang
memegang Pusaka Hantu Jagal itu!"
"Keak, keaaak...!" rajawali betina itu manggut-
manggut, terbangnya tidak terlalu tinggi agar mata ma-
jikannya mampu memandang setiap orang yang dilin-
tasinya. Dan orang-orang yang melihat burung besar
terbang rendah itu saling ketakutan, ada yang bersem-
bunyi di sembarang tempat hingga kepalanya terben-
tur benda keras, ada yang hanya mendongak bengong
saking kagumnya.
Pencarian Lili sampai kepada kerumunan orang
di tanah pemakaman. Rupanya sekelompok murid Per-
guruan Kuil Dewa yang habis diacak-acak oleh Nyai
Kuku Setan itu masih sempat memakamkan jenazah
gurunya. Dari antara mereka, Lili menangkap seraut
wajah tampan yang tak lain adalah milik Pendekar Ra-
jawali Merah.
"Lihat, Yoga ada bersama gadis cantik itu! Dia
bahkan memeluk gadis yang sedang menangis itu, Pu-
tih! Panggil dia!" ucap Lili dengan hati panas karena
cemburu.
"Keaaak...! Keaaaak...!"'
Semua orang yang baru saja selesai memakam-
kan Resi Gutama memandang ke atas, termasuk Yoga.
Merasa terkejut, sempat bubar dari kerumunan. Ting-
gal Yoga yang tetap berdiri memandang burung rajawa-
li besar itu dengan senyum indah di bibirnya. Yang di-
tatap adalah seraut wajah cantik si penunggang bu-
rung tersebut.
Manis Madu ingin pisahkan diri dari Yoga kare-
na ada rasa tak enak melihat kedatangan burung putih
dan gadis cantik penunggangnya. Tapi Yoga sempat
menahan tangan Manis Madu sambil berkata,
"Jangan takut. Akan ku kenalkan kau kepada
kekasihku itu!"
Ada luka perih saat hati Manis Madu menden-
gar ucapan Yoga. Tapi luka perih itu ditahannya dan ia
berusaha untuk menjadi lebih dewasa dari sikap yang
ada saat itu. Ia pun tak jadi pergi tinggalkan Yoga. Bu-
rung putih itu mendarat agak jauh dari tanah pema-
kaman. Kemudian Yoga menghampirinya bersama Ma-
nis Madu. Lili turun dari punggung burung tersebut
dengan wajah cemberut.
"Kebetulan kau datang. Guru! Ada berita pent-
ing yang harus kusampaikan kepadamu!"
"Kebetulan aku memergoki mu, bukan kebetu-
lan aku datang!" ucap Lili dengan nada cemburu yang
hanya bisa dicerna oleh Yoga. Pemuda tampan itu
hanya tersenyum, nyengir, namun menawan hati.
"O, ya... ini teman baruku; Manis Madu na-
manya. Dia murid Resi Gutama yang...."
Lili menyahut dengan ketus, "Yang tewas kare-
na bertarung dengan Ki Pamungkas!"
"Dari mana kau tahu?"
"Resi Gumarang yang menceritakannya!"
Manis Madu menyela, "Resi Gumarang kakak
dari guruku, Yoga!"
"Ooo...!" Yoga manggut-manggut dengan te-
nang.
"Sekarang Resi Gumarang dalam bahaya. Ter-
kurung oleh jurus 'Penjara Kubur' dari Nyai Kuku Se-
tan!"
"Nyai Kuku Setan?!" Manis Madu terkejut dan
menjadi beringas wajahnya. "Dia yang telah mempo-
rakporandakan perguruanku!"
"Karena dia mencari gurumu!" kata Lili. "Kini
dia menyandera Resi Gumarang, calon penghulu kita!"
katanya kepada Yoga dengan menegaskan kata 'calon
penghulu kita' untuk memukul hati Manis Madu. Dan
memang, murid Resi Gutama itu menjadi terpukul du-
ka, namun tetap bertahan untuk tidak menampakkan
kekecewaan hatinya mendengar ucapan tersebut.
"Mengapa Resi Gumarang yang menjadi sasa-
ran Nyai Kuku Setan?" tanya Yoga kepada Lili.
"Nyai Kuku Setan memanfaatkan kesaktian Re-
si Gumarang. Ia tahu persis, bahwa Resi Gumarang
pasti tahu di mana Pusaka Hantu Jagal berada. Dia
menghendaki pusaka itu untuk ditukar dengan kebe-
basan dan keselamatan Resi Gumarang!"
"Pusaka Hantu Jagal...?! Aku tahu. Aku tahu di
mana pusaka itu sekarang berada!" kata Yoga.
Tapi Lili menjawabnya sendiri, "Di tangan pe-
layan kita; Tua Usil!"
"Oh, kau tahu juga hal itu rupanya?"
"Resi Gumarang sempat bicara padaku sebelum
Nyai Kuku Setan menyergapnya! Sekarang, cari si Tua
Usil dan bawa dia ke sana bersama Pusaka Hantu
Jagal!"
"Apakah kita benar-benar akan menukar pusa-
ka itu dengan nyawa Resi Gumarang?!" tanya Pendekar
Rajawali Merah sedikit cemas.
"Akan kuserang dia begitu Resi Gumarang di
bebaskan dari ilmu 'Penjara Kubur'-nya!"
"Tapi jika dia membawa Pusaka Hantu Jagal
apakah...."
Lili memotong ucapan Yoga, "Kugunakan ilmu
'Sirna Jati', biar lenyap pula kekuatan dalam pusaka
itu dan tidak lagi menjadi bahan rebutan!"
"Baiklah. Aku setuju dengan rencanamu.
Guru."
"Sekarang kita cari si Tua Usil itu berada.
Mungkin sedang dalam perjalanan menuju ke pondok
kita!"
"Tidak. Tua Usil ada di Perguruan Gerbang
Bumi," kata Yoga. "Dia ingin dinobatkan sebagai ketua
dan guru disana!"
Lili tertawa kecil, geli mendengar berita itu. "Ki-
ta culik ketua dan guru mereka!" katanya dalam berse-
loroh.
"Aku setuju!" kata Yoga sambil mengangguk.
"Aku ikut membebaskan Resi Gumarang!" kata Manis
Madu.
"Tetaplah tinggal bersama saudara-saudara se-
perguruanmu. Benahi perguruanmu yang sudah dio-
brak-abrik oleh Nyai Kuku Setan itu. Biar urusan ini
kuselesaikan dengan guru cantik ku ini, Manis Madu."
Sebenarnya hati Manis Madu kecewa, tapi se-
kali lagi ia harus menelan kekecewaan tersebut, Keha-
diran Lili membuat Manis Madu menjadi rendah diri
dan tak berani banyak berharap kepada Yoga. Sebab
dalam hati ia mengakui, Lili memang lebih cantik dari
dirinya.
Yoga segera memanggil burung rajawali merah-
nya. Tangan kanannya menggenggam dua jari, semen-
tara jari kelingking, jari telunjuk, dan jempolnya berdi-
ri tegak. Tangan itu dirapatkan ke dada sekejap, ke-
mudian disentakkan naik dengan lurusnya. Maka melesatlah tiga sinar merah dari ujung jari-jari tersebut.
Tiga larik sinar merah itu bertemu di angkasa dan ber-
dentum menimbulkan gema menggaung-gaung. Kejap
berikutnya, terdengar suara teriakan burung rajawali
merah di kejauhan, makin lama semakin dekat, teru-
tama setelah burung rajawali putih pun memberi suara
teriakan menyahut dari bawah.
Dengan mengendarai masing-masing burung
raksasanya itu, Lili dan Yoga sama-sama pergi tinggal-
kan tanah sekitar kuburan Resi Gutama. Mereka me-
nuju ke Perguruan Gerbang Bumi dan menemui Tua
Usil di sana.
Kehadiran dua pendekar rajawali bersama se-
pasang burungnya itu menjadi pusat kerumunan mu-
rid-murid Perguruan Gerbang Bumi. Tua Usil semakin
dikagumi oleh mereka, karena mereka tahu, dua pen-
dekar yang mengendarai sepasang burung rajawali itu
adalah dua pendekar sakti yang namanya banyak
menjadi bahan pembicaraan para tokoh rimba persila-
tan. Maka ketika Tua Usil menyatakan ingin pergi
membebaskan Resi Gumarang, Walet Gading beserta
murid-murid lainnya tidak merasa keberatan, justru
merasa bangga terhadap orang yang dianggapnya se-
bagai titisan Ki Pamungkas itu.
"Tapi saya tidak setuju kalau Nona Lili mau
sirnakan kesaktian pisau Pusaka Hantu Jagal ini," ka-
ta Tua Usil sebelum naik ke punggung burung rajawali
merah bersama Yoga.
"Kita tak punya cara lain, daripada pisau itu
menjadi milik perempuan iblis itu!" kata Lili.
Setelah diam sebentar, Tua Usil berkata, "Kalau
begitu, biar saya yang hadapi Nyai Kuku Setan, Nona
Li!"
"Apakah kau sanggup mengalahkan dia?"
"Mudah-mudahan sanggup," jawab Tua Usil
sambil cengar-cengir tak pantas sedikit pun untuk
menjadi orang terhormat di sebuah perguruan.
Setelah ingat cerita Resi Gumarang tentang il-
mu Ki Pamungkas yang telah berpindah menjadi milik
Tua Usil, Lili pun hanya angkat bahu sebagai tanda
menyerahkan masalah itu kepada si Manusia Kabut
itu. Maka, mereka pun segera terbang bersama sepa-
sang rajawali besar menuju puncak gunung, tempat
pengasingan Resi Gumarang.
Sekalipun sudah mewarisi seluruh ilmunya Ki
Pamungkas, namun Tua Usil masih saja berdebar-
debar dan takut mengendarai burung besar yang
membawanya terbang. Kedua tangannya menggeng-
gam kuat-kuat kain baju Yoga di bagian pundak den-
gan tubuh gemetar. Yoga tertawa pelan berulang kali
ketika Tua Usil dengan bergetar serukan kata,
"Pelan-pelan saja, Tuan Yo...! Jangan tinggi-
tinggi...!"
Lili sendiri sempat terkikik geli melihat wajah
Tua Usil pucat karena takut melakukan perjalanan
angkasa nya. Dalam hati, Lili membatin, "Jika terbang
serendah ini saja dia ketakutan, apakah mungkin dia
punya keberanian menghadapi Nyai Kuku Setan nan-
ti?"
Dugaan Lili, Tua Usil akan gentar jika melihat
kesepuluh kuku tajam lawannya nanti. Tapi setelah
mereka tiba di tempat, ternyata Tua Usil tidak terlalu
gentar. Hanya masih sedikit gemetar karena perjalanan
angkasanya tadi.
Nyai Kuku Setan tertawa kegirangan melihat
kehadiran Lili bersama Tua Usil dan Pendekar Rajawali
Merah. Dengan lantang ia bertanya, "Siapa di antara
kedua lelaki ini yang membawa Pusaka Hantu Jagal?"
"Aku!" Tua Usil berani menjawab dengan tegas.
Lalu, ia keluarkan pisau pusaka itu dari balik bajunya,
ia cabut dari sarung emasnya dan ia perlihatkan sinar
merah yang mengelilingi pisau tersebut.
"Kau lihat sendiri, aku telah membawa pusaka
yang kau cari, Nyai!" kata Tua Usil dengan berani. Yoga
dan Lili menduga, keberanian itu pasti keberanian
yang dimiliki Ki Pamungkas semasa hidupnya.
"Benar-benar tak disangka kaulah orangnya
yang menyimpan pusaka milik eyang guruku itu! Coba
kuperiksa benda itu!"
Tua Usil segera menarik mundur pisau yang
sudah tak bersarung itu. Ia berkata, "Aku tak mau ter-
kecoh oleh tipu daya mu itu, Nyai. Bebaskan dulu Resi
Gumarang, baru akan kuserahkan pisau pusaka ini
kepadamu!"
Nyai Kuku Setan menggeram jengkel. Nafasnya
ditarik sebagai penahan luapan amarahnya, matanya
memandang sedikit menyipit menandakan rasa curiga,
yang membuat hatinya bimbang. Lalu, ia perdengarkan
suara,
"Apakah kau bisa kupercaya, Pak Tua?!"
"Kalau kau tak percaya padaku, aku pun akan
pergi. Tentang nasib Resi Gumarang itu bukan uru-
sanku!"
"Tunggu dulu!" Nyai Kuku Setan tampak kha-
watir. Hatinya berkata, "Orang ini agaknya memang
tak punya hubungan apa-apa dengan Gumarang. Ka-
lau dia pergi, semakin susah aku mengejar dan mela-
wannya, karena ia memegang pusaka itu. Sebaiknya
kubebaskan saja tawananku!"
Lalu, ia berkata kepada Tua Usil, "Kalau kau
menipuku, kuhancurkan mereka semua yang ada di
sini, termasuk kedua burung setan itu! Mengerti?!"
Matanya melotot biar kelihatan lebih ganas dan lebih
bersungguh-sungguh dengan ancamannya.
"Baik. Aku setuju dengan perjanjian itu, asal
setelah kau memiliki pusaka ini, jangan ganggu kami
lagi!"
"Aku pun setuju dengan perjanjian ini!" kata
Nyai Kuku Setan.
Ia segera menghadap Resi Gumarang yang se-
jak tadi tak berani bergerak sedikit pun itu. Kedua
tangannya terjulur ke depan. Tangan itu segera geme-
tar, dan sinar merah yang membungkus Resi Guma-
rang itu segera disedotnya hingga terhisap masuk ke
dalam kedua telapak tangan berkuku runcing itu. Satu
anak buahnya segera mencabut pedang dan menem-
pelkan pedang itu ke leher Resi Gumarang sebagai si-
kap berjaga-jaga jika terjadi kelicikan yang dilakukan
oleh Tua Usil.
Mata Tua Usil melirik Lili, kemudian melirik
anak buah Nyai Kuku Setan yang tinggal tersisa satu
orang dan sedang mengancam Resi Gumarang itu. Lili
sepertinya bisa tanggap dengan lirikan mata Tua Usil.
Tapi ia tetap diam saja tanpa menunjukkan sikap yang
mencurigakan.
"Sudah kubebaskan resi peot itu! Sekarang se-
rahkan Pusaka Hantu Jagal itu. Lekas!" bentak Nyai
Kuku Setan.
"Ambillah...!" sambil berkata begitu, tiba-tiba
tangan kiri Tua Usil yang memegangi sarung pisau ter-
sebut segera menyentak ke depan. Dari dalam sarung
pisau keluar cahaya biru yang melesat dengan cepat-
nya bagai cahaya petir. Claaap...! Taaas...!
Cahaya biru itu menghantam perut Nyai Kuku
Setan, membuat perempuan itu mendelik dan tak bisa
bernapas dalam sesaat, tubuhnya sedikit membung-
kuk. Sementara itu, Lili cepat sentilkan jarinya ke arah
pedang yang mengancam leher Resi Gumarang. Tas...!
Traaang...! Pedang itu patah menjadi dua bagian. Ser-
ta-merta Yoga lepaskan pukulan dari tangan kanannya
berupa seberkas sinar merah terang yang menghantam
pinggang orang bersenjata pedang patah itu. Desss...!
Orang tersebut terdorong mundur, dan terlempar ma-
suk ke dalam jurang.
"Aaaa...!" jerit kematian menggema sampai ke
dasar jurang. Jerit kematian itu ternyata bersamaan
dengan suara pekik tertahan dari mulut Nyai Kuku Se-
tan. Suara pekik itu membuat Yoga dan Lili sama-
sama palingkan wajah memandang ke arah Tua Usil.
Mereka terperanjat melihat Tua Usil telah berhasil
menghunjamkan
pisau pusaka itu ke lambung Nyai Kuku Setan.
Tubuh perempuan itu bercahaya merah bening, dan
lama-lama cahaya itu berpindah membungkus tubuh
Tua Usil, kejap berikutnya padam. Pisau pun dicabut,
Tua Usil menghembuskan napas lega.
Resi Gumarang yang sejak tadi tetap tenang itu
segera berkata dengan senyum tipis,
"Seluruh ilmu Nyai Kuku Setan telah berpindah
ke. dalam raga Tua Usil. Semakin hebat saja ilmu
orang usil itu...!"
Tua Usil bagaikan baru sadar atas apa yang ia
lakukan itu. Maka dengan wajah takut dan salah ting-
kah, Tua Usil berkata,
"Saa... saya... saya tak sengaja, Nona Lili!
Sungguh... saya tak sengaja membunuh perempuan
ini.... Maafkan saya, Non Lili. Maafkan saya, Tuan
Yo...!" ia bergegas mendekati Resi Gumarang dan ber-
kata,
"Maafkan saya, Resi...!"
Yoga dan Lili hanya memandangi Tua Usil tan-
pa bisa bicara. Resi Gumarang menepuk-nepuk pun-
dak Tua Usil.
"Jaga dirimu untuk tetap berbuat baik dan me-
lawan yang jahat!"
"Ba... baik. Baik, Resi...!"
Ia berpaling memandang Yoga dan Lili, namun
kedua pendekar rajawali itu masih sama-sama terte-
gun bengong, membuat Tua Usil menjadi semakin sa-
lah tingkah. Tapi ia segera ikuti pandangan mata Lili
dan Yoga ke arah tangannya. Dan Tua Usil terkejut se-
telah melihat, ternyata di kesepuluh jari tangannya te-
lah keluar kuku runcing bagaikan mata pedang, siap
menjadi cakar maut bagi lawannya. Apakah itu per-
tanda ilmu hitam yang dimiliki Nyai Kuku Setan juga mengalir dalam diri Tua Usil?
SELESAI
Segera menyusul!!
JEJAK TAPAK BIRU
0 comments:
Posting Komentar