..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 17 Maret 2025

RORO CENTIL EPISODE PENUNGGANG KUDA SETAN

matjenuh khairil

 

SATU

"Aku tidak bersalah...! Mengapa kalian mau 
menghukumku? Bukan aku yang melakukan! Demi Tu-
han aku tidak melakukan apa-apa...!"
"Bedebah... Kau berani berdusta?"
PLAK! DESS...!
Pemuda tanggung itu menjerit keras, dan jatuh 
tersungkur bergulingan. Ketika bangkit lagi bibirnya te-
lah mengucurkan darah dan pipinya jadi merah mem-
bengkak. Sementara sebelah lengannya memegangi da-
danya yang berusaha kena jejakkan kaki. Terperangah 
pemuda tanggung ini dengan sepasang mata membela-
lak dan tubuh gemetaran ketika tiga sosok tubuh tegap 
itu kembali beranjak menghampiri.
Dengan wajah pucat bagai kertas, dia beringsut 
menyeret tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba dia sudah me-
lompat berdiri. Pemuda tanggung ini bertampang lugu 
dan polos, serta tampaknya seperti orang dungu. Men-
getahui dirinya sudah kepepet, membuat dia jadi nekat. 
Percuma! Manusia-manusia ini tak dapat lagi 
menerima penjelasanku... apapun daya upaya yang ku-
lakukan untuk membela diri, tak mungkin dianggap! 
Agaknya kematian akan segera kuhadapi... Apa boleh 
buat! Aku tak akan melawan, demi membela kebenaran
ku... Berkata dalam hati si pemuda bertampang dungu 
itu. Pakaiannya yang terbuat dari bahan kain kasar 
berwajah putih tampak sudah berlepotan dengan darah 
bercampur debu tanah.
"Bagus! Kau mau melawan? Hahahaha... silakan 
majulah kau kacung tengik!" Berkata laki-laki kekar di 
hadapannya dengan tertawa sinis. Sementara kedua 
kawannya cuma perlihatkan senyum menghina. Mereka 
adalah tiga orang laki-laki berusia sekitar 20 tahun lebih. Orang yang barusan bicara adalah seorang laki-laki 
yang berwajah kasar dengan sepasang mata agak sipit. 
Bibirnya agak lebar dengan hidung mencuat ke atas. 
Pakaiannya dari sutera yang berwarna warni. Dialah 
yang bernama BRAJA PATI. Murid tertua dari Pe-
sanggrahan di puncak Gunung Argasomala.
Sedangkan yang dua lagi bertubuh agak pendek 
namun kekar. Seorang yang berpakaian serba hitam, 
berambut keriting adalah yang bernama DASA MUKTI. 
Dan yang seorang lagi tubuhnya lebih hebat dan lebih 
kekar lagi. Dadanya yang bidang dibiarkan telanjang 
terbuka separuhnya. Tampak bulu dadanya yang lebat, 
tak beda dengan wajahnya yang penuh ditumbuhi den-
gan cambang bauk. Mempunyai raut wajah yang mele-
bar. Cukup gagah, akan tetapi sepasang matanya agak 
menonjol dan mempunyai sorot mata yang liar. Mema-
kai baju rompi warna merah, dan celana dari sutera hi-
tam. Dialah yang bernama KALA BUTHO. Murid ketiga 
dari Pesanggrahan di puncak Argasomala.
Siapakah pemuda bertampang dungu yang da-
lam keadaan diancam maut itu? Dia bernama 
WIBISANA. Kejadian apakah yang telah menimpanya 
hingga dia dituduh telah berbuat sesuatu yang tak da-
pat diampuni? Marilah kita tengok dulu kejadian di be-
lakang, sebelum kedatangan ketiga murid Pesanggrahan 
puncak Argasomala. Dan siapakah sebenarnya pemuda 
bernama WIBISANA itu...
KUTUT PRAJA SETHA sudah lebih dari dua be-
las tahun mendiami Pesanggrahan yang dibangunnya di 
puncak ARGASOMALA. Tiga tahun yang lalu menerima 
tiga orang murid yang datang berturut-turut ke tempat 
kediamannya. Pemuda yang pertama datang adalah 
yang bernama Braja Pati. Sebulan kemudian muncul 
Dasa Mukti dan terakhir Kala Butho. Entah mengapa 
tokoh Rimba Hijau yang telah lama menyembunyikan

diri itu tak sampai hati menolak keinginan mereka un-
tuk berguru.
Demikianlah, selama tiga tahun itu Kutut Praja 
Setha menggembleng mereka dengan sungguh-
sungguh. Diwariskan segenap ilmu yang ada padanya 
untuk dapat di amalkan. Karena mereka mengaku ada-
lah orang-orang yang teraniaya, yang orang tuanya 
masing-masing tewas oleh kaum penjahat.
"Aku tak menginginkan kalian membalas den-
dam, murid-muridku...! Karena dendam-mendendam 
takkan ada habisnya kalau cuma menuruti hawa nafsu 
saja! Akan tetapi kalau memang orang yang telah mem-
bunuh orang tua kalian itu tidak juga berhenti melaku-
kan kejahatan, silahkanlah! Karena dengan mele-
nyapkannya berarti telah pula menghindarkan malape-
taka buat orang lain!" Berpesan Kutut Praja Setha wan-
ti-wanti dengan suara agak di tekan. Ketiga orang mu-
ridnya itu manggut-manggut mendengarkan wejangan 
sang guru mereka.
Sehari kemudian, ketiga muridnya itu berpami-
tan untuk turun gunung. Kakek tua bertubuh kurus 
jangkung yang rambut kumis dan jenggotnya telah pan-
jang memutih semua itu, memberinya izin serta do'a 
dan restu. Berangkatlah ketiga pemuda itu dengan telah 
dibekali ilmu-ilmu kedigjayaan yang telah dituntutnya.
Kutut Praja Setha mengantarkan kepergiannya dengan 
helaan napas lega. Karena seperti melepaskan tiga ekor 
anak singa dari kandangnya. Hatinya membatin; 
Haih...! Aku telah sembarangan saja menerima orang...! 
Mudah-mudahan kecerobohanku tak membawa benca-
na di kemudian hari. Untunglah aku sudah waspada se-
jak setahun yang lalu, hingga ilmu simpananku tak ku-
turunkan padanya...
Sementara itu sejak delapan tahun yang lalu Ki 
Kutut Praja Setha telah ketitipan seorang bocah laki

laki berusia dua belas tahun. Bernama WIBISANA. 
Anehnya Wibisana tak mau diangkat murid oleh Kutut 
Praja Setha. Selama itu si bocah laki-laki cuma mem-
bantu-bantu saja di Pesanggrahan puncak Argasomala. 
Watak Wibisana memang tak seperti umumnya seorang 
bocah normal. Selain bertampang dungu juga otaknya 
kurang cerdas. Tapi bertulang baik dan kuat.
"Terimalah dia sebagai pembantumu, kakang...! 
bocah ini anak sahabatku! Bukan aku tak mau mene-
rimanya berdiam di tempatku, tapi kau hidup sendiri di 
tempat sunyi dan tenang ini. Kalau kubawakan seorang 
teman, tentu dapat membantu-bantu pekerjaanmu...! 
Dia seorang bocah yang jujur dan amat rajin ....!" Demi-
kianlah yang diucapkan KUTUT MAJA padanya delapan 
tahun yang lalu. Kutut Maja adalah adik kandungnya 
yang berdiam diwilayah Kota Raja. Waktu itu Kutut Ma-
ja masih menjabat sebagai seorang Tumenggung. Dan 
datang ke puncak Argasomala dengan membawa seo-
rang bocah laki-laki bernama Wibisana itu.
Menampak bocah yang dibawa adiknya itu ber-
tampang dungu dan kelihatan tolol, Kutut Setha ke-
rutkan keningnya.
"Anak siapakah bocah ini? Apakah kau mengen-
al orang tuanya?" Bertanya Kutut Praja Setha.
"Dia anak seorang sahabatku...!" Jawab Kutut 
Maja singkat.
"Mengapa dengan sahabatmu itu? Mengapa dia 
tak turut mengantar anaknya?" Tanya Kutut Praja Se-
tha yang sengaja ingin mengetahui lebih banyak.
"Sahabatku itu pernah berjasa padaku. Dia telah 
gugur dalam menjalankan tugas...! Aku amat sibuk 
dengan urusan tugasku selama ini, hingga tak dapat 
mengurusnya dengan baik. Makanya kubawa kemari, 
karena kulihat kakang disini kesepian. Bukankah akan 
lebih leluasa kalau kakang beroleh teman yang bisa


disuruh bila ada keperluan...?" Tutur Kutut Maja.
"Hm, kemanakah ibu anak ini?" Tanya lagi Kutut 
Praja Setha setelah manggut-manggut sambil mengelus 
jenggotnya yang cuma sejumput.
"Telah meninggal...!" Sahut Kutut Maja lirih.
Terangguk-angguk kepala Kutu Praja Setha 
sambil memandangi bocah itu yang tampak terduduk 
diam sambil mempermainkan jari-jari lengannya. Demi-
kianlah, Kutut Praja Setha pun menerima bocah laki-
laki itu berdiam di pesanggrahannya di Puncak Argaso-
mala.... Tumenggung Kutut Maja kemudian meninggal-
kan tempat sunyi diatas gunung itu, setelah memberi-
tahukan nama si bocah, yang bernama Wibisana.
Wibisana bekerja dengan rajin membantu Kutut 
Praja Setha, ternyata susunan tulangnya amat baik. 
Juga bertubuh kuat, walau kelihatannya kurus dan le-
mah. Wibisana jarang bicara. Sikapnya yang tampak 
seperti dungu itu menimbulkan perasaan kasihan dihati 
Kutut Praja Setha. Akan tetapi Wibisana selalu menolak 
untuk menjadi muridnya. Jawabannya cuma mengge-
lengkan kepala atau mengangguk-angguk bila setuju 
atau mengerti apa yang diperintahkan Kutut Praja Se-
tha.
Ketika lima tahun berselang Ki Kutut Praja Se-
tha menerima berturut-turut tiga orang murid, Wibisa-
na masih tetap seperti dulu tanpa berkeinginan mempe-
lajari ilmu kedigjayaan. Dan sikapnya masih seperti 
orang bodoh. Demikianlah, hingga tiga tahun berlalu 
sudah, dimana ketiga orang murid Kutut Praja Setha te-
lah menamatkan pelajarannya di Pesanggrahan puncak 
Argasomala...
Kini mereka kembali tinggal berdua lagi. Dengan 
ditemani oleh Wibisana Ki Kutut Praja Setha lebih tente-
ram dan bahagia sekali tampaknya. Serta rasa lega 
memenuhi dadanya. Dua pekan sejak kepergian ketiga

muridnya turun gunung, Ki Kutut Praja Setha mulai 
sering bersemadhi di kamarnya. Segala keperluannya 
dan tugas mengurus Pesanggrahan diserahkan semua 
pada Wibisana. Malam itu puncak Argasomala dalam 
keadaan gelap gulita. Tak sepotong bulan pun menam-
pakkan diri.
Wibisana duduk di depan Pesanggrahan me-
mandang ke atas langit. Dilihatnya secercah sinar ber-
warna merah meluncur cepat sekali atas puncak Arga-
somala.
Benda apakah itu...? Apakah tahi bintang yang 
jatuh...? Bertanya Wibisana dalam hati. Akan tetapi se-
gera dia sadar kalau malam yang gelap pekat itu tak 
ada bintang sebutirpun tersembul di atas langit. Dia 
sudah melompat keluar, dan lihat sinar merah itu se-
makin mendekati ke atas pesanggrahannya. Tepat di 
atas wuwungan, sinar kemerahan itu lenyap.
"Aneh! Cahaya apakah?" Gumamnya lirih. Dan 
dengan terpaku menatap ke atas wuwungan pesanggra-
han, akan tetapi tak ada tanda-tanda yang ditimbulkan 
dari bekas lenyapnya sinar merah itu. Keadaan cuaca 
kembali gelap seperti semula lagi.
Tak berapa lama tiba-tiba angin bertiup keras 
membersit, dengan suaranya yang bersiutan. Beberapa 
lampu lilin terbuat dari damar, di dalam ruangan Pe-
sanggrahan tertiup padam. Wibisana cepat-cepat ma-
suk. Tak mungkin baginya untuk memasang lampu la-
gi, karena pasti akan padam percuma. Segera dia beran-
jak masuk ke kamarnya. Mengunci pintu, dan tidur...." 
Malam memang sudah amat larut. Dan Ki Kutut Praja 
Setha memang sudah beberapa hari tak keluarkan dari 
kamar semadhinya.
Menjelang pagi, terkejutlah Wibisana ketika me-
lihat pintu kamar semadhi sang kakek telah jebol be-
rantakan. Terperanjat pemuda dungu ini. Segera dia

sudah melompat menghampiri untuk memeriksa. Dan 
terkejutlah seketika Wibisana, mengetahui keadaan di-
ruang semadhi sang kakek telah berantakan. Sesosok 
tubuh tampak terkapar tak bergeming di atas batu tem-
pat semadhi...
"Kakeeeek ....!?" Teriaknya dengan tersentak ka-
get. Dan sudah melompat memburunya. Tampak Ki Ku-
tut Praja Setha sudah terkapar tak bernyawa. Keadaan-
nya amat mengerikan, karena dari mulut, mata dan te-
linganya mengalirkan darah.
"Apakah gerangan yang terjadi....?" Desis Wibi-
sana dengan mata terbelalak lebar menyaksikan keja-
dian itu. Seketika air matanya sudah menggenang dan 
meleleh turun. Dan dipelukinya tubuh kaku yang sudah 
tak bernyawa itu dengan isak tersendat dikerongkon-
gan.... Selang beberapa saat Wibisana baru tersadar. 
Dia sudah menghapus air matanya, dan melompat ke-
luar memeriksa sekitar tempat di pesanggrahan. Akan 
tetapi tak di jumpai tanda-tanda yang mencurigakan 
atau adanya arang jahat yang mendatangi ke Pe-
sanggrahan malam tadi.
Tercenung seketika Wibisana. Dia jadi tak tahu
harus berbuat apa...! Apakah sinar merah yang kulihat 
semalam itu, yang telah mencelakai kakek...? Bertanya 
Wibisana dalam hati. Akan tetapi hal itu tak masuk ak-
al. Entah sinar apakah itu yang telah meluncur ke atas 
pesanggrahan, dan tiba-tiba lenyap di atas wuwungan, 
tepat pada atas genting kamar kakek...! Pikir si pemuda 
dungu dalam benaknya. Namun otaknya menemui jalan 
buntu. Akhirnya dia cuma termangu-mangu di depan 
pesanggrahan tanpa tahu harus berbuat apa..."
***

DUA

Saat itulah terdengar derap suara kaki-kaki ku-
da mendatangi... Dan segera terlihat tiga penunggang 
kuda tersebut dari lereng gunung, mendaki jalan menu-
ju ke atas ke tempat Pesanggrahan. Ternyata ketiganya 
adalah BRAJA PATI, DASA DAN KALA BUTHO. Yaitu ti-
ga, orang murid Ki Kutut Praja Setha. Tentu saja mem-
buat air muka Wibisana jadi berseri girang karena akan 
segera terlepaslah dia dari kebingungannya. Namun 
kembali berubah keruh ketika mengingat akan musibah 
yang telah menimpa di Pesanggrahan itu.
Sekejap antaranya tiga ekor kuda sudah di de-
pan halaman Pesanggrahan. Dasa Mukti dan Kala Bu-
tho melompat turun, lalu mencancang kudanya di tiang 
pendopo di sisi Pesanggrahan. Braja Pati masih berada 
di atas punggung kuda. Sepasang matanya melirik pada 
Wibisana yang tengah menghampiri dengan wajah pu-
cat. Setelah menjura hormat, Wibisana segera ceritakan 
kejadian yang telah dilihatnya itu dengan peluh bercu-
curan dan tubuh gemetar. Karena tak tertahankan ke-
sedihannya, hingga dia bercerita sambil menangis.
Dasa Mukti dan Kala Butho sudah melompat 
untuk mendengarkan penuturan Wibisana.
"Hah!? Guru... telah tewas....?!" Hampir berba-
reng mereka berteriak. Dan wajah-wajah mereka tam-
pak berubah pucat. Sekejapan saja mereka telah ber-
lompatan memburu ke arah kamar gurunya. Segera 
terpampang dihadapan mereka keadaan mayat Ki Kutut 
Praja Setha yang terkapar dengan keadaan yang men-
genaskan. Sementara Wibisana cuma terpaku ditem-
patnya dengan masih terisak-isak. Bajunya pada bagian 
lengan telah basah oleh ingus dan air mata, yang digunakan untuk menyekanya. Tak sanggup dia untuk dua 
kali melihat keadaan sang kakek majikannya itu. Kare-
na terasa amat ngeri menatap mayatnya.
Pada saat itulah tiga orang murid Ki Kutut Praja 
Setha telah melompat kembali ke hadapannya. Dan 
Braja Pati sudah perdengarkan bentakan keras. Pucat 
seketika wajah Wibisana karena tanpa sebab, tahu-tahu 
dialah yang kena sasaran tuduhan membunuh guru 
mereka. Tentu saja Wibisana membela diri. Akan tetapi 
mereka tetap menuduhnya sebagai si pembunuh. Hal 
itu memang satu hal yang amat tidak mungkin, karena 
apalah artinya kepandaian seorang kacung, yang tak 
pernah mempelajari ilmu silat. Dan untuk apa membu-
nuh si kakek sakti yang berilmu tinggi itu, yang telah 
lima tahun dia mengabdi padanya....?
"Hm! Wibisana! Kau pergunakanlah ilmu kedig-
jayaan mu untuk menghadapiku...! Kau telah berada di 
Pesanggrahan ini lebih dulu sebelum kami, tentu ilmu 
yang kau miliki lebih hebat!" Berkata Braja Pati dengan 
perlihatkan senyum sinis.
"Aku tak pernah. belajar silat apapun dari be-
liau! Mengapa kalian menuduhku membunuhnya? Aku 
.... aku sendiri tak mengetahui kejadiannya. Ketika pa-
gi-pagi aku melintas ke kamarnya ternyata keadaan 
kamar semedhi kakek Kutut Praja telah berantakan! 
Dan sudah kujumpai dalam keadaan tak bernyawa...!" 
Berkata Wibisana.
"Hm, bolehlah kau bilang begitu, dan kau me-
mang tak ada kemampuan untuk membunuh beliau, 
akan tetapi kau bisa menyuruh lain orang untuk men-
cabut nyawanya, bukan...?" Kala Butho menyelak bica-
ra dengan plototkan matanya.
"Aku tak pernah mengenal siapa-siapa ditempat 
ini, dan tak pernah aku pergi kemana-mana. Mana 
mungkin aku melakukan perbuatan keji itu...?" BelaWibisana dengan ketus. "Sudahlah, kakang! Kita habisi 
saja nyawanya, biar arwah sang Guru kita tenteram di
alam Baka! Kacung tak berguna ini biar merasakan sik-
saan di alam Akhirat!" Teriak Dasa Mukti dengan serius. 
Lengannya sudah dikepalkan, seperti tak sabar untuk 
menghajar orang.
"Kalian bunuhlah aku! Matipun bukanlah apa-
apa bagiku! Akan tetapi demi Tuhan aku tak melakukan 
apa-apa...!" Teriak Wibisana dengan menggertak gigi, 
dan busungkan dada di hadapan ketiga laki-laki itu.
"Kau tak akan melakukan perlawanan untuk membela 
diri...?" Tanya Braja Pati dengan naikkan alis.
"Sudah kukatakan, aku tak punya kepandaian 
apa-apa. Membela diri pun tak guna!" Berkata Wibisana 
dengan mata menatap tajam pada mereka, lalu menen-
gadah ke langit sambil menghela napas. Sepasang ma-
tanya yang menitikkan air bening itu dikatupkan. Dia 
sudah tak perduli lagi akan nasibnya. Cuma satu yang 
ditunggunya yaitu kematian..." Braja Pati memberi isya-
rat pada kedua saudara seperguruannya untuk mengu-
rung Wibisana, karena mengira Wibisana tengah mera-
palkan mantera ajiannya untuk menghadapi mereka. 
Dan dengan berteriak berbareng mereka sudah mener-
jang Wibisana. BUK! BLUK....! DHESS ....!
Tiga hantaman yang hampir berbareng itu jatuh 
berdebukan ke tubuh Wibisana. Terhuyung tubuh pe-
muda dungu itu dengan seketika. Dari mulutnya me-
nyembur darah segar. Akan tetapi tak ada teriakan ke-
luar dari mulutnya, karena Wibisana telah menahan ra-
sa sakit sekuat tenaga. Sekejap tubuhnya sudah roboh 
ambruk. Akan tetapi tiba-tiba kembali melompat berdiri. 
Dan pentangkan lengan, serta tengadahkan kepalanya 
ke langit. Sepasang matanya kembali dipejamkan, se-
perti menantang maut. Ketiga saudara seperguruan itu 
sejenak saling pandang, akan tetapi mereka sudah menerjang lagi dengan hantamkan pukulan yang lebih ke-
ras...
Kali ini Wibisana roboh untuk tidak bangkit lagi, 
karena dia sudah pingsan tak sadarkan diri. Ketiganya 
menampakkan senyuman dibibir. Kaki Kala Butho 
kembali menendang. Dan tubuh si pemuda bertampang 
dungu itu terlempar membalik dengan tubuh terlen-
tang. Akan tetapi memang sudah tak tahu apa-apa lagi. 
Sepasang matanya mengatup dengan bibir setengah 
terbuka, yang mengucurkan darah membasahi tanah 
dan pakaiannya.
"Apakah tak sebaiknya bocah ini dibunuh saja, 
kakang?" Bertanya Kala Butho. "Heh, biarkanlah dulu! 
Mari kita periksa dulu ruangan kamar Ki Kutut Praja 
Setha itu! Kitab itu lebih penting untuk kita temui ....!"
Ujar Braja Pati seraya melompat ke dalam Pe-
sanggrahan. Lalu diikuti dengan cepat oleh Kala Butho 
dan Dasa Mukti. Akan tetapi betapa terkejutnya mereka 
ketika tak menjumpai lagi tubuh guru mereka yang te-
lah terkapar menjadi mayat. Kejadian aneh itu mem-
buat mereka terperangah. "Apakah si Dewi Setan Ke-
mangmang telah menyatroni kemari dan menjemput 
mayatnya?" Desis Dasa Mukti pelahan.
"Untuk apa...?" Tanya Kala Butho dengan ke-
rutkan keningnya menatap Dasa Mukti.
"Siapa tahu dia memang memerlukan! Kulihat di kamar 
dukun sakti itu ada beberapa mayat manusia yang su-
dah dikeringkan...!" Berkata Dasa Mukti dengan tubuh 
bergidik seram.
"Kita tidak tahu pasti akan hal itu! Segera kita 
bisa mengetahui kalau kita sudah kesana! Sekarang 
mari kita geledah seisi tempat ini, cari kitab itu sampai 
ketemu!" Ucap Braja Pati dengan cepat. Dan segera mu-
lai menggeledah. Sebentar saja seisi kamar telah menja-
di berantakan. Akan tetapi setelah mengobrak abrik setiap tempat, kitab yang dicarinya tak juga di temukan.
"Celaka! Kita telah minta si Dukun Sakti itu 
membunuhnya, jangan-jangan kitab itupun telah pula 
diambilnya...!" Berkata Braja Pati dengan mengeluh. Ka-
la Butho dan Dasa Mukti pun jadi mengeluh putus asa.
"Haih! Kalau benar jatuh ke tangan si Dewi Se-
tan Kemangmang, ludaslah harapan kita...!"
Gerutu Kala Butho dengan garuk-garuk kepa-
lanya yang gatal. Dasa Mukti si rambut keriting itu cu-
ma mengeluh sambil jatuhkan pantatnya ke lantai batu. 
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh disebelahnya. Seko-
nyong-konyong dinding di belakangnya menjeblak ter-
buka. Terkejut mereka, karena disitu ada sebuah ruang 
lagi. Serentak mereka telah menerobos masuk ke dalam. 
Segera saja diruang yang agak gelap itu ditemukan se-
buah rak buku. Akan tetapi setelah diperiksa, tak satu-
pun buku yang dimaksud ada disitu.
"Menurut guru, kitab itu disimpan di dalam se-
buah peti kayu cendana berukiran tengkorak!" Berkata 
Kala Butho
"Cari peti kayu cendana itu...!" Teriak Braja Pati 
dengan suara berdesis. Sekejapan ruangan rahasia itu 
sudah diacak-acak. Akan tetapi tak dijumpai kotak yang 
dimaksud.
"Hm, kalau begitu, kita harus menanyakan pada 
si Dewi Setan Kemangmang dengan terang-terangan. 
Apakah dia yang telah mengambilnya?" Kata Braja Pati 
tegas. Kedua saudara seperguruannya mengangguk. 
Tak lama mereka sudah bergegas keluar dari Pe-
sanggrahan itu. Wibisana tampak masih terkapar di 
tempatnya. Kala Butho sudah lebih dulu melompat 
menghampiri.
"Hm, dia masih hidup! Apakah kita biarkan saja 
bocah ini? Toh dia tak mempunyai kepandaian apa-
apa...!" Tanya Kala Butho, seraya palingkan wajah me

natap Braja Pati. "Bodoh! Apakah tak kau perhatikan 
bahwa dia mempunyai kekuatan tubuh yang luar biasa? 
Tiga serangan kita sekaligus tadi dia telah mampu me-
nahannya. Selama lima tahun di Pesanggrahan ini tak 
mungkin tenaga dalamnya tak mengalami kemajuan 
hebat, walaupun dia tak mempunyai kepandaian ilmu 
silat!" Berkata Braja Pati dengan tegas.
"Benar! Membiarkan penyakit tanpa menum-
pasnya sama saja dengan membiarkan diri kita teran-
cam bahaya kelak!" Ujar Dasa Mukti tandas. "Kalau be-
gitu biarkan aku saja yang mengantarkan nyawanya ke 
Akherat!" Berkata Kala Butho seraya sudah mencabut 
senjatanya. Sebuah kapak yang bermata lebar berkila-
tan telah berada dalam genggaman tangannya. Baru sa-
ja dia mau mengayunkan senjatanya, telah terdengar 
suara bentakan Braja Pati.
"Tunggu ....!" Terpaksa Kala Butho menahan ge-
rakannya.
"Cara itu akan menimbulkan kesan bahwa ke-
matiannya dibunuh oleh senjata tajam! Bagi kaum 
Rimba Hijau golongan putih, akan mudah mengenali 
bekas senjatamu!"
"Lalu dengan cara apakah yang akan kita per-
gunakan membunuh mampus kacung tak berguna ini?" 
Tukas Kala Butho yang sudah tak sabaran menghun-
jamkan kapak mautnya.
"Bawa kemari ketiga ekor kuda kita!" Perintah 
Braja Pati. Tak ayal Dasa Mukti dan Kala Butho sudah 
melompat ke arah kuda-kuda mereka, dan memba-
wanya ke dekat Wibisana tergeletak. Braja Pati ikatkan 
tambang yang berada pada leher kuda lengan Wibisana. 
"Nah, kalian masing-masing ikat tambangmu pada se-
belah lengannya!" Perintah Braja Pati. Mengertilah Kala 
Butho dan Dasa Mukti. Segera mereka cepat bekerja 
mengikat sebelah lengan Wibisana dengan kuat. Tak

lama ketiganya sudah melompat naik ke punggung ku-
da masing-masing...
Braja Pati segera memberi tanda, setelah kuda-
kuda mereka telah menghadap ketiga arah.
"Bersiaplah! Satu... dua... tiga! Yaaaak...!"
Ketiga ekor kuda mereka perdengarkan ringki-
kannya, dan masing-masing melompat berlari dengan 
cepat, ketika sang majikan masing-masing mengeprak 
pantatnya. Dasa Mukti ke arah barat, Kala Butho ke 
arah timur, dan Braja Pati ke arah Utara. Sekejap ke-
mudian terjadilah satu pemandangan yang amat tra-
gis...." KRRAAAAKKK....! Mengerikan sekali, karena se-
ketika tubuh Wibisana sudah tersebar menjadi tiga ba-
gian.
Darah menyemburat memercik kebumi... Dan 
putuslah nyawa Wibisana si pemuda dungu itu dengan 
seketika.
***
TIGA


Angin santar membersit keras ketika ketiga pe-
nunggang kuda itu menuruni puncak Argasomala. Asap 
hitam membumbung ke udara dari atas puncak gunung 
itu. Ternyata manusia-manusia ini telah membakarnya. 
Beberapa saat antaranya mereka sudah berada di ba-
gian lereng paling bawah. Dan sesaat kemudian telah 
mencongklang pesat kuda-kuda mereka melalui jalan 
yang rata. Suara-suara ringkik kuda mereka dan derap 
kaki-kaki kuda itu semakin menjauh dari tempat sunyi 
dan tenang itu. Tak lama kemudian lenyap... mening-
galkan sisa-sisa debu tipis yang masih terlihat mengepul di kejauhan.
"Kita menemui guru lebih dahulu untuk menceri-
takan kejadian tadi! Khususnya mengenai lenyapnya 
mayat Ki Kutut Praja Setha dan peti besi berisi kitab 
pusaka itu...!" Berkata Braja Pati, ketika telah tiba di wi-
layah sekitar kota Raja setelah melewati tugu perbata-
san.
"Pelahan dulu, kakang Braja!" Tiba-tiba Kala Bu-
tho berkata, seraya berpaling pada kakak seperguruan-
nya.
"Hm, ada apakah?" Tanya Braja Pati, seraya per-
lambat lari kudanya. Kala Butho termenung sejenak se-
perti sedang berfikir. Lalu ujarnya dengan tersenyum.
"Kapankah kakang akan mengunjungi ke tempat si De-
wi Setan Kemangmang?" Entahlah, kukira menunggu 
keputusan dari guru lebih dulu!"
"Ada apakah dengan pertanyaanmu itu Kala Bu-
tho? Kok tampaknya penting seka...!" Tanya Braja Pati 
dengan kerutkan keningnya. Kala Butho perlihatkan gi-
ginya, tertawa kecil menyeringai.
"Benar, kakang...! Aku ada sedikit urusan di desa 
sebelah utara itu! Kalau bisa, dan kau tak keberatan 
tunggulah sampai besok. Kita berangkat bersama-sama 
menemui dukun sakti itu...!"
Berkata Kala Butho. Setelah berfikir sejenak, Bra-
ja Pati segera menjawab.
"Pergilah! Awas, hati-hati! Kejadian di puncak Ar-
gasomala jangan sampai bocor! Hati-hati berbicara, ka-
lau sampai terdengar kejadian itu ke telinga salah seo-
rang anak buah Tumenggung Kutut Maja, akan mem-
bahayakan kedudukan kita untuk berdiam diwilayah 
Kota Raja ini!"
Kala Butho mengangguk. Lalu segera putar ku-
danya setelah minta diri pada Braja Pati. Dasa Mukti 
cuma memonyongkan mulutnya pada laki-laki itu. "Paling-paling mau menemui si janda anak pak Kuwu dide-
sa Waru...!" Gerutu Dasa Mukti. Akan tetapi cepat me-
macu kudanya menyusul kakak seperguruannya yang 
telah memacu kudanya...
***
Rumah besar yang terletak disudut Kota Raja itu 
tampak kelihatan sunyi, ketika dua penunggang kuda 
memasuki halamannya. Terdengar suara batuk-batuk 
dari dalam rumah berdinding papan kayu Mahoni itu. 
Dan sesosok tubuh muncul di pintu. Seorang tua ber-
tubuh jangkung, memakai pakaian jubah warna hitam 
dengan sebuah pipa dari gading terselip di bibir, tampak 
memandang keluar.
"Heh! Kalian sudah kembali lagi...! Tentu mem-
bawa hasil yang memuaskan...!" Berkata laki-laki tua 
berwajah seperti orang mengantuk itu. Lalu beranjak 
lagi masuk ke dalam. Braja Pati dan Dasa Mukti saling 
pandang, lalu melompat turun dan tuntun kudanya un-
tuk diikat ke tiang kayu pagar di depan rumah. Tak la-
ma sudah memasuki rumah papan itu. Braja Pati sege-
ra menjura di hadapan orang tua itu, yang masih asik 
menghisap pipanya.
"Guru...! Hamba membawa kabar yang kurang 
baik, dari puncak Argasomala!" Berkata Braja Pati den-
gan suara rendah. Terbatuk-batuk laki-laki tua, segera 
sudah buka matanya yang menyipit.
"Ha...?" Kurang baik bagaimana? Apakah tak kau 
dapatkan Kitab Pusaka Tengkorak Hitam itu...! Ta-
nyanya dengan suara serak.
"Benar Guru...! Bahkan..." Segera Braja Pati tu-
turkan kejadian di Pesanggrahan pada gurunya, juga 
mengenai lenyapnya mayat Kutut Praja Setha. Sementa-
ra Desa Mukti sudah mengambil tempat duduk disebelah belakang kakak seperguruannya. Tercenung laki-
laki tua itu dengan wajah sebentar pucat sebentar me-
rah.
"Jadi si Kutut Praja Setha itu telah tewas...?" 
Tanya laki-laki tua itu. "Benar, guru...! Kami telah lihat 
sendiri mayatnya! Aku punya dugaan si Dewi Setan 
Kemangmang yang telah membawa mayatnya tanpa se-
tahu kami.... ketika kami tengah mengurusi anak muda 
tolol, kacung Ki Kutut Praja Setha itu!" Ujar Dasa Mukti 
yang ikut menimbrung bicara.
"Huh! Percuma saja kalian berguru selama tiga 
tahun! Tujuan kalian adalah mencuri Kitab Pusaka 
yang berada di dalam kotak kayu cendana itu. Aku me-
rasa yakin benar dia masih menyimpannya! Agaknya 
dia telah waspada, dan akupun telah menduga, dia tak-
kan mewariskan ilmu-ilmu yang berada dalam Kitab 
Pusaka Tengkorak Hitam pada kalian...!" Gerutu orang 
tua itu seraya kembali terbatuk-batuk hebat. Setelah 
reda batuknya, sepasang mata sipitnya sudah menyapu 
wajah mereka.
"Kalian harus tanyakan pada Dukun Sakti itu, 
apakah dia yang telah mengambil kitab itu...?"
"Rencana kami pun memang demikian, guru! Sekalian 
menyelidiki apakah mayat Ki Kutut Praja Setha ada dis-
ana...! Dan bagaimana kalau memang benar dia yang 
telah mengambilnya...!" Tanya Braja Pati.
"Kalian harus memintanya...! Ucap si orang tua 
itu dengan tegas.
"Kalau dia tak memberikan... Apakah yang harus 
kami lakukan...?" Tercenung orang tua itu hingga bebe-
rapa saat.
"Hm, kukira kalian bukan sebangsa keledai yang 
tolol! Carilah akal untuk mendapatkannya, kalau perlu 
pakai siasat licik!" Ujar si guru ini seraya kembali 
menghisap pipa ya, dan menyedotnya dalam-dalam. Lalu hembuskan asapnya dengan mata meram-melek.
"He? Tak kulihat ada si Kala Butho? Kemana dia?" Ta-
nyanya tiba-tiba. Braja Pati cepat ceritakan kemana Ka-
la Butho pergi.
"Bocah setan! Lebih mementingkan urusannya 
sendiri! Baiklah! Besok kalian sudah harus pergi ke 
tempat si Dewi Setan Kemangmang...! Nah, kalau kalian 
mau beristirahat, segeralah beristirahat...!" Ucapnya 
kemudian. Braja Pati dan Dasa Mukti mengangguk, lalu 
beranjak bangkit untuk segera menuju kebiliknya.
"Haih! Seandainya luka dalamku telah sembuh, aku 
yang akan melabrak sendiri si Dukun Sakti itu!" Gu-
mam orang tua itu sambil rebahkan tubuhnya pada 
bantal yang selalu berada di belakang kursi tempat du-
duknya. Tiba-tiba dia sudah angkat lagi tubuhnya. Dan 
bentangkan lebar sepasang matanya yang seperti orang 
mengantuk itu.
"He!? Bagaimana kalau ternyata bukan dia yang 
mengambilnya? Wah, akan jadi runyam akibatnya! 
Seandainya Ki Kutut Praja Setha telah mempelajari isi 
kitab itu, kurasa tak mungkin si Dewi Setan Kemang-
mang berhasil membunuhnya dengan ilmu teluh yang 
di pergunakannya. Aku tahu betul kehebatan ilmu yang 
berada dalam kitab Tengkorak Hitam itu... Berkata da-
lam hati laki-laki tua itu.
"Apakah selama ini Ki Kutut Praja Setha tak per-
nah mempelajari?" Desisnya pelahan. Hm, bisa juga! 
Karena Ki Kutut Praja Setha seorang golongan putih! 
Jawabnya dalam hati. Lalu termangu-mangu beberapa 
saat, hingga tanpa disadari api pipanya telah padam. 
Laki-laki tua itu tak menyulutnya lagi, tapi segera be-
ranjak bangkit meninggalkan kursinya. Dan melangkah 
ke arah kamarnya dengan tubuh terbungkuk-bungkuk.
"Haih...! Gagallah harapanku memiliki kitab Pu-
saka itu karena kebodohan ketiga muridku..." Gerutunya lirih. Tubuhnya pun lenyap dibalik tirai pintu 
kamar.
***
Siapakah gerangan laki-laki tua bertubuh jang-
kung, yang mempunyai wajah mirip orang mengantuk 
itu? Dialah tokoh Rimba Hijau yang pada beberapa ta-
hun yang silam digelari si Siluman Naga Buntung. Ka-
rena sebelah lengannya memang buntung sebatas per-
gelangan tangan. Akan tetapi kini telah disambungnya 
kembali tangan palsu yang terbuat dari perunggu.
Ternyata dia telah mengirim ketiga orang murid-
nya untuk berguru pada Ki Kutut Praja Setha, dengan 
harapan sang murid dapat mencuri Kitab Pusaka yang 
berada di tangan kakek tua penghuni puncak Argaso-
mala itu. Tampaknya laki-laki tokoh Rimba Persilatan 
itu telah terluka dalam yang dideritanya sejak lama. Ke-
jadian apakah yang dialaminya pada beberapa tahun 
yang lalu? Baiklah, kita coba mengguar sedikit kisah 
pada beberapa tahun yang silam...
Pada tiga belas tahun yang silam, terbetik berita 
adanya seorang kakek pertapa yang kurang waras, yang 
muncul dan perginya mirip siluman. Kakek pertapa gila 
itu mendiami sebuah pulau yang bernama Pulau Teng-
korak Hitam. Karena para nelayan sering melihat sea-
kan-akan di atas pulau itu dihuni oleh makhluk-
makhluk halus. Bila malam purnama akan tampak 
bayangan-bayangan hitam mirip tengkorak manusia 
berseliweran di atas bukit batu di pulau itu. Itulah se-
babnya pulau terpencil itu dinamakan Pulau Tengkorak 
Hitam. Bahkan tak seorang nelayan pun berani lewat 
dekat pulau itu...
Akan tetapi suatu ketika sebuah kapal pesiar 
milik seorang saudagar kaya bernama I Made Sora Dwi

pa terpaksa singgah untuk merapat ke Pulau Tengkorak 
Hitam. Kapal pesiarnya mengalami kerusakan berat. 
Dan harus diperbaiki. Untunglah I Made Sora Dwipa 
membawa serta orang-orang ahli dan para pengawal 
yang berkepandaian tinggi. Hingga tak sampai tengge-
lam diperairan sekitar Pulau itu.
Demikianlah, mereka segera mendarat. Dan se-
lama beberapa hari terpaksa menjadi penghuni "Pulau 
Hantu" itu. Tentu saja kesempatan baik itu tak disia-
siakan I Made Sora Dwipa untuk menyelidiki sekitar pu-
lau, yang ternyata tak berpenghuni. Beberapa hari ber-
keliling mengitari pulau itu bersama para pengawalnya, 
tak dijumpainya sepotong pun manusia. Sementara be-
berapa orang ahli yang dibawanya sibuk memperbaiki 
kapalnya.
Menjelang malam bulan purnama, terperangah I 
Made Sora Dwipa dan para pengawalnya ketika melihat 
bayangan-bayangan hitam mirip tengkorak berseliweran 
dipuncak bukit. Entah apa yang telah terjadi di pulau 
itu, karena I Made Sora Dwipa didapati telah tewas be-
rikut para pengawalnya. Beberapa orang ahli yang di 
bawanya-pun tewas semua. Dan kapal pesiarnya mus-
nah menjadi abu. Kejadian itu diceritakan oleh seorang 
pengawal yang berhasil hidup, dan dapat menyela-
matkan diri, setelah beberapa bulan tersiksa di pulau 
tersebut. Kiranya dari sekian banyak orang, cuma laki-
laki itulah yang cuma tinggal hidup. Dia seorang ahli 
membuat huruf dan mengukir kapal. Keahliannya itu 
ternyata telah menolong jiwanya. Karena si pertapa gila 
itu telah menyuruhnya menulis rahasia ilmu hitam 
yang telah diciptakannya selama puluhan tahun.
Nyaris laki-laki itupun menjadi gila, karena si 
pertapa aneh itu telah menyiksa setengah mati dalam 
membuat huruf-huruf tulisan itu, yang di suruhnya 
menulis dengan darahnya sendiri. Dendam kesumat

yang luar biasa terpendam dalam dada laki-laki itu. Dia 
memutuskan untuk membalas perlakuan yang teramat 
menyakitkan itu. Dan laki-laki itu berhasil menemukan 
sejenis tumbuhan yang mengandung racun. Kitab itu 
selesai ditulis dengan penderitaan yang luar biasa. Akan 
tetapi diapun berhasil meracun mati si pertapa gila itu, 
setelah selesai membuat peti kayu cendana yang diukir 
dengan ukiran kepala tengkorak.
***
EMPAT

Dengan sebuah rakit yang dibuatnya, laki-laki 
itu meninggalkan Pulau Tengkorak Hitam. Ternyata peti 
kayu cendana yang berisi kitab itu telah ditinggalkan-
nya di pulau itu. Dalam keadaan terapung-apung di 
tengah laut, seorang nelayan telah menolongnya. Tentu 
saja di dalam perahu nelayan itu si laki-laki menutur-
kan kisah tragisnya yang dialaminya di Pulau Tengko-
rak Hitam.
Berita itupun menyebar kemana-mana, dan ter-
dengar pula oleh Siluman Naga Buntung, yang pada 
waktu itu masih berjulukan si Siluman Sungai Kuning. 
Siluman Sungai Kuning adalah seorang kepala peram-
pok yang berada di perairan Sungai Kuning, dan amat 
ditakuti orang diwilayah itu. Dicarinya laki-laki itu un-
tuk diminta keterangannya. Terutama mengenai dimana 
tempat di sembunyikannya peti kayu cendana yang be-
risi kitab pusaka itu. Akan tetapi laki-laki itu dite-
muinya telah tewas.
Ternyata kematiannya adalah di tangan si Raja 
Racun bernama GRUNO. Siluman Sungai Kuning yang

bernama ARYO RUDITA itu bergegas menyusul Gruno si 
Raja Racun. Ternyata manusianya telah berangkat ber-
layar menuju Pulau Tengkorak Hitam. Tentu saja Arya 
Rudita tak mau keduluan untuk memiliki kitab keramat 
yang ditulis dengan darah itu. Segera siapkan kapal 
layarnya, dan bersama anak buahnya segera berlayar 
pula menyusul si Raja Racun ke pulau tersebut.
Dalam pertarungan memperebutkan peti kayu 
cendana berisi kitab itu, Arya Rudita terkena pukulan 
beracun yang membuat hitam sebelah telapak tangan-
nya. Akan tetapi dia berhasil membinasakan si Raja Ra-
cun itu dengan senjata andalannya yaitu Sepasang 
Tombak Rantai Maut.
Akan tetapi Arya Rudita kalah cepat, karena pa-
da waktu itu ada beberapa orang lagi dari kaum golon-
gan hitam yang turut memperebutkan peti kayu cenda-
na berisi kitab itu. Satu pertarungan seru terjadi di pu-
lau itu. Tampak seorang tua berpedang kayu di kerubu-
ti oleh empat orang tokoh Rimba Hijau yang berjulukan 
si Empat Iblis Kembar. Ternyata laki-laki tua berpedang 
kayu itu adalah KUTUT PRAJA SETHA. Yaitu seorang 
Pendekar dari Golongan Putih.
Keempat Iblis Kembar berhasil ditewaskan Kutut 
Praja Setha. Sayang, disaat Arya Rudita mau melabrak 
untuk merebut peti Kayu cendana yang berada ditangan 
Pendekar tua itu, keadaan lukanya semakin parah. 
Hingga tak mungkin baginya untuk mengejar Kutut Pra-
ja Setha, yang sudah segera berlayar pergi meninggal-
kan Pulau Tengkorak Hitam.
Arya Rudita terpaksa membuntungi sebelah len-
gannya sebatas pergelangan tangan untuk menghindari 
menjalarnya racun jahat mengalir ketubuhnya. Demi-
kianlah, dengan tangan hampa Arya Rudita alias si Si-
luman Sungai Kuning pulang dengan tangan hampa. 
Bahkan kembali pulang dengan membawa luka, kehilangan sepotong lengannya.
Sejak itu Arya Rudita menyembunyikan diri un-
tuk mengobati luka pada lengannya. Dan baru muncul 
lagi di Rimba persilatan dengan gelar Siluman Naga 
Buntung. Tapi Arya Rudita tidak lagi beroperasi di Sun-
gai Kuning, melainkan mencari kehidupan baru dilain 
tempat. Beberapa tahun kemudian Siluman Naga Bun-
tung terjebak dalam satu pertarungan dengan musuh 
besarnya yang pernah mendendam padanya. Dalam 
pertarungan itu, ternyata Siluman Naga Buntung men-
galami kekalahan. Dengan menderita luka dalam dia 
berhasil menyelamatkan diri. Beruntunglah dia dapat 
berkenalan dengan seorang Tumenggung bernama 
KUTUT MAJA, yang tak mengetahui kalau dia adalah 
seorang penjahat kawakan.
Dengan menyamar menjadi orang biasa atau ra-
kyat jelata yang tak mempunyai kepandaian apa-apa, 
serta seorang tua yang berpenyakitan, Arya Rudita ber-
hasil tinggal diwilayah Kota Raja. Dengan mendapat 
perlindungan sang Tumenggung yang baik hati itu. 
Bahkan namanya pun dirubah menjadi PARTO 
KENDAL. Dari sang Tumenggung itulah Arya Rudita 
alias Parto Kendal itu mengetahui dimana berdiamnya 
KUTUT PRAJA SETHA, yang ternyata adalah kakak 
kandung (kakak tertua) sang Tumenggung itu.
Demikianlah, dengan diam-diam Arya Rudita 
mengirim ketiga muridnya bekas anak buahnya yang 
setia, untuk berguru pada Ki Kutut Praja Setha yang 
pernah berjulukan si Pendekar Pedang Kayu. Tujuan 
utamanya adalah mencuri Kitab pusaka dari pulau 
Tengkorak Hitam yang telah berada di tangan tokoh go-
longan putih itu.
Ternyata selama tiga tahun, dan sampai ketiga 
muridnya itu menamatkan pelajarannya, mereka tak 
berhasil menemukan dimana disimpannya Kitab Pusaka itu. Yang menuntut penjelasan sang guru mereka 
(Arya Rudita) disimpan dalam sebuah peti kayu Cenda-
na, berukiran kepala tengkorak. Hingga membuat Arya 
Rudita alias Parto Kendal jadi uring-uringan.
Adapun ketiga muridnya itu telah mempunyai 
hubungan dengan seorang Dukun Sakti bergelar si Dewi 
Setan Kemangmang. Ternyata sebelum datang ke pun-
cak Argasemala, masing-masing ketiga murid Arya Ru-
dita itu telah meminta Ilmu Pengasihan agar diterima 
menjadi murid oleh Ki Kutut Praja Setha. Tentu saja 
mereka telah memenuhi persayaratan yang diajukan 
sang Dukun Sakti itu, hingga ternyata kemudian mere-
ka berhasil menjadi murid penghuni puncak Argasoma-
la itu..."
Gagal mencuri Kitab Pusaka, Arya Rudita meme-
rintahkan untuk mencoba meminta si Dukun Sakti itu 
untuk membunuh Kutut Praja Setha. Ternyata hal itu 
memang sudah direncanakan ketiga muridnya. Pembu-
nuhan dengan ilmu "TELUH" itu berhasil baik. Akan te-
tapi peti kayu Cendana berisi Kitab Pusaka itu tak di-
jumpai, walaupun telah diketahui tempat rahasia pe-
nyimpanan kitab, oleh ketiga murid si Siluman Naga 
Buntung itu. Dan kembalilah mereka dengan tangan 
hampa. (Setelah membunuh Wibisana si kacung dungu 
di Pesanggrahan puncak Argasomala). Bahkan mayat 
Kutu Praja Setha pun telah lenyap dengan misterius...
Kala Butho pacu kudanya memasuki desa Wa-
ru... Sebentar kemudian dia sudah berada di tengah de-
sa. Mulailah laki-laki kekar yang mengenakan Rompi 
warna merah dengan celana pangsi hitam ini pentang 
mata jelalatan ke setiap tempat dan lorong rumah pen-
duduk. Sikapnya yang petantang-petenteng itu dengan 
sebilah kapak bermata dua terselip di belakang pung-
gung membuat beberapa orang desa sudah cepat-cepat 
menyingkir. Akan tetapi beberapa pasangan mata telah

memperhatikan kedatangannya.
"Siapakah laki-laki sombong itu?. Sikapnya 
membuat aku muak melihatnya...!" Bertanya dengan 
berbisik-bisik salah seorang dari beberapa orang muda-
muda yang berkerumun disudut sebuah rumah besar.
"Hm, dialah yang bernama Kala Butho! Kabar-
nya murid dari puncak Argasomala...!" Menyahut salah 
seorang yang berusia lebih tua.
"Puncak Argasomala?" Gumam laki-laki berbaju 
putih itu. Dia adalah anak dari Pak Kuwu, atau Kepala 
Desa yang baru datang dari daerah lain. Tentu saja se-
bagai orang "baru" walaupun sudah sejak kecil dia ber-
diam di tempat ini, namun karena pemuda itu baru pu-
lang dari berguru di lain daerah, membuat dia tak men-
getahui keadaan kampungnya.
"Ya! Di puncak Argasomala itu tinggal seorang 
tua sakti yang mendirikan sebuah Pesanggrahan. Me-
nurut yang kutahu kakek tua itu bernama Ki Kutut Pra-
ja Setha. Pada belasan tahun yang silam dia bekas seo-
rang Pendekar yang bergelar si Pendekar Pedang 
Kayu...!" Ujar pemuda kawannya itu. Mendengar penu-
turan itu laki-laki ini manggut-manggut seraya mem-
perhatikan ke arah mana perginya si penunggang kuda 
yang bersikap sombong itu.
"Eh, apa katamu tadi? Gurunya di atas puncak 
Argasomala itu bernama... Kutut Praja Setha yang ber-
gelar si Pendekar Pedang Kayu?"
"Benar...! Dan dia adalah salah seorang dari tiga 
muridnya...!".
"Hm, seperti pernah kudengar guruku menye-
but-nyebut nama dan gelarnya itu. Akan tetapi aku tak 
menyangka kalau kakek tua itu berdiam di puncak Ar-
gasomala. Dan sungguh tak kuduga kalau laki-laki pe-
nunggang kuda itu adalah muridnya. Ah, tentu berke-
pandaian tinggi...!" Berkata laki-laki berusia 20 tahun

lebih itu. Dia bernama BONDAN.
"He? Dia menuju ke rumahku... Tampaknya ada 
keperluan penting! Baiklah, aku tinggal dulu kawan-
kawan. Barangkali dia mau menemui ayahku...! Ayahku 
sedang tak ada di rumah..." Ujar Bondan, dang bergegas 
beranjak setengah berlari menuju ke arah rumahnya 
yang berada agak ke sudut desa.
Kala Butho sudah memasuki halaman rumah 
panggung yang besar itu. Sepasang matanya jelalatan 
menatap ke beberapa jendela dan pintu rumah. Saat itu 
didengarnya suara orang berlari di belakangnya. Dili-
hatnya seorang pemuda berhidung mancung, dengan 
kulit agak kehitaman berlari menghampiri. Begitu sam-
pai pemuda itu segera menjura. Kala Butho tak mem-
perlihatkan sikap sopan untuk membalas penghorma-
tan orang. Bahkan dengan kerutkan keningnya dia ber-
tanya.
"Siapakah kau...?" Tanyanya dengan tanpa tu-
run dari punggung kudanya. Melengak juga si pemuda 
bernama Bondan itu melihat sikap laki-laki ini.
"Aku... aku... namaku Bondan! Aku anak dari 
Kepala Desa disini! Siapakah kau sobat? Apakah kau 
ada perlu dengan ayahku? Beliau sedang tidak ada...! 
Berkata Bondan dengan agak tergagap, tapi segera 
kembali biasa lagi, dan lakukan pertanyaan pada Kala 
Butho.
"Ooo... begitu..." Jawab Kala Butho dengan per-
lihatkan senyumnya. Lalu melompat turun dari ku-
danya.
"Bagus! Haha... aku bukan mau bertemu dengan 
ayahmu! Kau pasti adiknya Surmila! Mukamu amat mi-
rip benar dengannya! Hahaha... tolong kau ikatkan ku-
daku, aku sahabat kakak perempuanmu, Surmila...! 
Dan kedatanganku adalah untuk menemuinya..." Sam-
bil berkata Kala Butho berikan tali kendali kudanya pada pemuda itu. Tentu saja membuat wajah Bondan jadi 
memerah. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara 
sang kakak dari lubang jendela.
Kakang Kala Butho...! Kaukah yang datang...?" 
Dan sebuah kepala tersembul dari jendela. Kepala seo-
rang wanita yang berwajah cantik dengan perlihatkan 
senyumannya. Dialah Surmila kakak perempuannya 
yang telah menjadi seorang janda. Kala Butho sudah 
palingkan wajahnya menatap pada wanita muda itu. 
Dan tanpa perdulikan kudanya, segera melompat ke
tangga rumah panggung itu. Sekejap sudah berada da-
lam kamar.
"Bondan! Tolong cancang kuda itu ditiang ru-
mah...!" Seraya berkata, sang kakak sudah gerakkan 
tangannya menutup jendela. Bondan berdiri terperan-
gah dengan sepasang mata membelalak. Begitukah ki-
ranya sikap sang kakak perempuannya, menerima lelaki 
yang jelas bukan suaminya untuk memasuki kamar 
sembarangan?. Berkata dalam hati pemuda ini. Namun 
kakinya sudah beranjak melangkah untuk mendekati 
tiang rumah, dan mengikatkan kuda Kala Butho pada 
tiang itu.
Sesaat dia sudah mendengar suara tertawa 
mengkikik kakak perempuannya dari sela jendela. "Ah, 
aku jadi merasa malu berdiam di rumah ini...!" Gumam 
Bondan. Seraya melangkah pergi dengan kepala tertun-
duk layu. Entahlah, apakah hal demikian sering dilaku-
kan pula selagi ada ayah...? Bisik hati pemuda itu. Tiba-
tiba rasa muak telah membuat si pemuda itu melang-
kah lebih cepat, untuk segera tinggalkan rumahnya. 
Seperti telinganya mendengar suara setan tertawa dari 
balik jendela yang tertutup itu... Tak lama Bondan su-
dah melenyap dibalik tikungan jalan.
***

LIMA

"Hik hik hik... hihihik... Sudahlah, tak usah ka-
lian risaukan kemana lenyapnya mayat Ki Kutut Praja 
Setha! Kalian adalah laki-laki bertubuh kuat yang amat 
aku senangi. Asalkan kalian mau meninggalkan guru-
mu yang tak berguna itu dan menghamba padaku se-
lama beberapa tahun, ku tanggung kalian akan memili-
ki semua ilmu-ilmuku dengan sempurna! Dan kalian 
dapat malang melintang di dunia Rimba Hijau tanpa 
harus ada yang kalian takuti...!"
"Benarkah itu, nenek Dukun Sakti...?"
"Mengapa aku harus berdusta? Kalau kalian bersedia, 
kita akan pindah untuk mendiami Pulau Tengkorak Hi-
tam...!" Terbelalak tiga pasang mata laki-laki itu, yang 
tak lain dari Kala Butho,
Braja Pati dan Dasa Mukti. Ternyata mereka te-
lah berada di tempat kediaman si Dukun Sakti alias si 
Dewi Setan Kemangmang. Untuk beberapa saat mereka 
cuma kasak-kusuk tanpa bisa memberi jawaban.
"Hik hik hik... itu terserah kalian. Kalau tidak 
mau aku takkan memaksa!" Ujar wanita Dukun Sakti 
itu seraya meneruskan pekerjaannya; mengaduk-aduk 
cairan berbau busuk dalam kuali di atas tungku panas. 
Sementara disekeliling ruangan kamarnya tampak be-
berapa mayat manusia yang telah dikeringkan bergelan-
tungan mirip Mummi. Tapi diantara mayat-mayat yang 
telah kering itu tak ada tubuh Ki Kutut Praja Setha. 
Bermacam ramuan dan kembang beraneka warna bera-
da di beberapa tempat di atas meja. Sementara asap pe-
dupaan tak hentinya mengepul, menebarkan bau yang 
menusuk hidung!
Berdiri bulu kuduk ketiga laki-laki itu ketika

melongok ke ruang tempat si wanita Dukun Sakti itu. 
Akan tetapi memandang bahwa mereka amati memer-
lukan ilmu-ilmu Hitam yang dimiliki si wanita Dukun 
itu, akhirnya selang beberapa saat kasak-kusuk, mere-
ka pun membulatkan tekad bersama untuk menerima 
tawaran si Dewi Setan Kemangmang. Dan serentak me-
reka sudah bersujud. Braja Pati segera berkata.
"GURU...! Terimalah kami menjadi murid-
muridmu ...! Kami akan mengabdi padamu untuk men-
dalami ilmu-ilmu yang kau miliki, dan menjalankan 
semua perintahmu...!"
Wanita Dukun Sakti yang tampaknya masih 
sangat muda itu tiba-tiba perdengarkan suara terta-
wanya mengikik.
"Hik hik hik... bagus! Bagus...! Kalian memang 
sudah kuduga akan menerima tawaranku! Disamping 
kalian akan mendapat kenikmatan, juga akan bertam-
bahnya ilmu kalian dengan menghamba dan menjadi
muridku ...! Hik hik hik....".
***
LIMA TAHUN BERSELANG............
Sebuah Kerajaan yang bernama Kerajaan 
PUGAR ALAM telah berdiri di wilayah sebelah tenggara 
di Pulau Jawa. Tentu saja terciptanya Kerajaan Pugar 
Alam itu membuat orang merasa aneh, karena dalam 
waktu cepat Kerajaan itu telah berkembang menjadi be-
sar dan wilayahnya semakin meluas. Adapun Istana Ke-
rajaan Pugar Alam berada di tengah sebuah telaga yang 
disekelilingnya selalu dipenuhi kabut tipis. Hingga kea-
daan Istana itu selalu tampak samar-samar.
Menurut berita yang terdengar, sang Raja Kera-
jaan Pugar Alam itu bergelar Baginda Raja NARA

SYIWA. Dengan permaisurinya yang bernama SINOM 
SARI. Tak sebarang orang dapat menyeberangi telaga 
yang tertutup kabut itu walau pun telah bayak dibuat 
jembatan untuk menghubungkannya. Bahkan mana 
jembatan mana telaga sudah tak kelihatan lagi. Sebuah 
Istana Kerajaan yang misterius... karena memang mirip 
dengan sebuah Kerajaan Setan atau Siluman.
Para pengawal Istananya adalah terdiri orang-
orang bekas tawanan dari Kerajaan yang telah ditaklu-
kannya. Akan tetapi setelah berada di dalam lingkungan 
Istana yang selalu tutup kabut itu, sikap mereka amat-
lah aneh. Karena mereka tak pernah berbicara, dan 
memang sudah tak dapat berbicara lagi.
Kemunculan serta perginya para pengawal dan 
penjaga di Istana itu ketahuan lagi. Lenyap begitu saja 
dibalik asap kabut. Ah, benar-benar membuat orang 
menjadi penasaran untuk mendatangi Istana yang aneh 
itu... Sementara orang-orang Kerajaannya menyebar 
luas di sekitar wilayah yang dikuasai Baginda Raja 
KARA SYIWA itu.
***
Hari sudah hampir senja... Ketika pada permu-
laan musim hujan seorang gadis berkerudung kain se-
lendang, berjalan dengan bergegas di satu jalan setapak 
menuju desa.
Sebentar-sebentar langkahnya agak dipercepat, 
namun terkadang juga berhenti untuk menghapus ke-
ringat yang mengalir di dahinya.
Tiba-tiba tiga sosok tubuh berlompatan dari sisi 
kiri dan kanan jalan setapak yang banyak tumbuh 
menggerombol semak lebat. Sekejap saja tiga-orang la-
ki-laki dengan wajah menyeringai telah berdiri mengha-
langi jalan. Tersentak hati- si gadis berkerudung ini,

dengan sepasang mata beningnya membeliak menatap 
mereka. Tak terasa bibirnya sudah bergetar mengelua-
rkan seman kaget.
"Ohh...! Si... siapa kalian? Mengapa mengha-
dangku di tengah jalan?"
"Hahaha... hari sudah sore begini, adik manis. 
Kau pasti akan kemalaman di jalan. Sebaliknya kau 
menginap saja malam ini di rumah kami...!" Berkata sa-
lah seorang yang berkumis tikus. Matanya menatap pa-
da sang dara di hadapannya dengan biji mata memutar 
menelusuri sekujur tubuh orang.
"Benar, adik cantik...! Besok pagi tentu aku 
akan antarkan kau sampai ke rumah! Hehehe... jangan 
khawatir, orang tuamu pasti tak akan marah, bahkan 
jangan-jangan aku lantas diangkat menjadi menantu...!"
"Hoahaha... hahaha... Eh, mengacalah dulu kau Muka 
Babi! Kalau aku yang mengantarkannya pasti bisa ja-
di...!" Tiba-tiba kawan nya yang satu berkata menyela 
sambil pasang gaya gagah. Merengut si Muka Babi
mendengar cemooh sobatnya itu.
"Huh! Kukira kaupun tak lebih baik dariku Mu-
ka Macan! Belum lagi calon mertuamu datang menyam-
but, dia sudah ngacir lari lintang pukang! Heheheh." 
Yang bernama julukan Muka Macan itu memang kulit 
wajahnya belang-belang. Akan tetapi mendapat ejekan 
si Muka Babi itu dia tidak marah, bahkan tertawa men-
gakak. "Hohoho... hahahahehehaha... hak hak... tak 
apalah kalau cuma calon mertua yang ngacir! Asal calon 
biniku ini sayang padaku habis perkara!"
"Hehehe... bukankah begitu adik cantik...? Eh, 
boleh aku tahu siapa namamu?" Tiba-tiba si Muka Ma-
can sudah melompat mendekati dara itu. Tentu saja 
membuat si gadis berkerudung itu jadi terperanjat. Ka-
kinya secara tak sengaja telah melangkah ke belakang... 
akan tetapi bahkan tersangkut akar pohon. Dan tak

ampun lagi sudah jatuh terlentang.
"Aiiih, hati-hati adik cantik...!" Berkata si Muka 
Macan. Dan sekonyong-konyong tubuhnya sudah me-
nubruk dara yang tengah terperangah kaget. Tahu-tahu 
tubuh si Muka Macan telah menindihnya. Berteriak-
teriak gadis itu dengan ketakutan, ketika tanpa ayal lagi 
laki-laki bermuka belang itu sudah menciumi pipinya. 
Akan tetapi tiba-tiba...
BUK! Satu hantaman keras membuat tubuh si 
Muka Macan terlempar bergulingan. Ternyata si Muka 
Tikus telah melompat, dan sudah berdiri di situ. Dialah 
yang telah menghantam pundak si Muka Macan dengan 
telapak tangannya. Sementara si Muka Macan sekejap 
sudah melompat berdiri lagi dengan terkejut. Akan teta-
pi segera tertawa menyeringai, melihat siapa yang me-
nyerangnya.
"Hehehe... kakang Muka Tikus! Mengapa kau 
mencegahku? Bukankah aku yang lebih dulu punya ke-
sempatan... ?"
"Heh! Kita bertiga adalah satu perguruan! Segala 
sesuatu tak bisa dikangkangi sendirian! Dan bukan dis-
ini tempatnya...!" Membentak si Muka Tikus.
"Betul! Kakang Muka Tikus...! Si Muka Macan 
memang terlalu rakus! Seharusnya mengenai korban 
yang kita temukan bertiga, harus diadakan undian se-
cara adil untuk menentukan siapa yang berhak dulu 
mencicipi tubuh gadis manis ini!" Si Muka Babi telah 
menimbrung bicara.
"Heheheh... baik! Baiklah, aku memang salah! 
Aku serahkan keputusan ini padamu kakang Muka Ti-
kus! Bagaimana rencanamu yang baik!" Ujar si Muka 
Macan seraya menatap pada kedua saudara sepergu-
ruannya, sambil usap-usap pundaknya yang terasa 
nyeri. Muka Tikus tak menjawab, tapi menatap pada 
gadis itu, yang sudah bangkit duduk dengan wajah pias

bagai mayat menatap mereka berganti-ganti. Tubuhnya 
gemetaran menahan rasa takut yang luar biasa. Karena 
dia tak menyangka bakal menemui kejadian ini.
Tahu-tahu dengan sekali lengannya bergerak, si Muka 
Tikus telah menotok tubuhnya. Gadis ini keluarkan ke-
luhan pelahan dari mulutnya lalu roboh tak sadarkan 
diri. Dan sekejap sudah berada dalam pondongan si 
Muka Tikus yang bertubuh kurus jangkung itu. Tak be-
rapa lama ketiganya sudah berkelebatan lenyap dirim-
bunnya pepohonan...
***
BRET! BRET....! BRET....!
Terdengar suara kain baju yang dirobek dari da-
lam pondok terpencil di tempat paling sudut di sisi hu-
tan itu. Sementara dua sosok mayat seorang kakek dan 
nenek tua renta terlihat tumpang tindih di semak-
semak belakang rumah gubuk itu. Si Muka Macan dan 
Muka Babi telah melemparkannya dari jendela, lalu se-
gera menutupnya lagi. Dalam undian yang tadi dilaksa-
nakan, ternyata si Muka Tikuslah yang justru menang 
dan mendapat giliran pertama untuk mencicipi korban-
nya. Terpaksa kedua laki-laki seperguruan itu menung-
gu di luar gubuk. Akan tetapi keduanya tampak tidak 
tenang, karena selalu mondar-mandir seperti gelisah 
menunggu giliran.
"Heheheh... habis ini pasti giliranku, Muka Ba-
bi!" Berkata si Muka Macan.
"Hm, belum tentu...! Apakah kau sudah yakin 
akan memenangkan undian nanti!" Tugas si Muka Babi 
dengan sepasang mata sipitnya yang diplototkan, akan 
tetapi tetap saja sipit. Cuma agak membeliak sedikit.
"Kita lihat sajalah nanti, karena kakang Muka 
Tikus yang berhak mengundi!" Ujar si Muka Macan

dengan garuk-garuk kepalanya. Rambut keritingnya 
yang gondrong itu bergerak-gerak bagaikan hidup. Se-
mentara sepasang matanya sebentar-sebentar menatap 
ke arah jendela gubuk petani tua itu.
Sementara di dalam kamar gubuk itu, di atas 
pembaringan dari balai- balai bambu, tampak terbujur 
tubuh mulus si gadis berkerudung tadi. Pakaiannya te-
lah hancur beserpihan pada bagian atasnya, karena te-
lah dirobek dengan paksa si Muka Tikus. Sepasang ma-
ta laki-laki tinggi kurus itu terbeliak semakin lebar me-
nampak sepasang buah dada yang membuntal padat 
tersembul di hadapannya.
"Hehehe... nasib baik, aku memenangkan un-
dian lebih dulu! Aiih lembutnya..." Berdesis keluar sua-
ra dari mulutnya.
***
ENAM


Jari-jari lengan si Muka Tikus merayapi bagian-
bagian perbukitan tubuh si dara cantik yang sudah tak 
ingat apa-apa lagi itu. Dan beberapa kejap kemudian 
seluruh pakaian sang gadis telah terlepas semua dari 
tempatnya. Kini terpampang sudah satu pemandangan 
yang membuat dengus napas si Muka Tikus semakin 
berdesahan. Wajahnya tertawa menyeringai. Tak ayal 
lengannya sudah bergerak membuka pakaiannya.
Akan tetapi baru bagian atasnya saja yang ter-
buka, tiba-tiba laki-laki ini merandek sejenak ketika la-
pat-lapat di luar gubuk didengarnya suara ringkik kuda.
"Siapakah yang datang...?" Desisnya pelahan, 
dan tersentak kaget. Segera dia sudah beranjak mengintip dari celah jendela.
Seekor kuda hitam tahu-tahu telah muncul di 
belakang si Muka Babi dan Si Muka Macan. Binatang 
ini perdengarkan ringkikannya berkali-kali dengan me-
lompat-lompat mengelilingi sekitar tempat itu. Tentu sa-
ja membuat kedua orang itu jadi terheran, karena bina-
tang itu tak berpenunggang. Munculnya pun tak keta-
huan, karena tahu-tahu sudah berada dibelakang me-
reka.
"Hahaha .... kukira kuda orang yang terlepas! 
Bagaimana kalau kita tangkap saja, Muka Babi. Ber-
tanya si Muka Macan seraya berpaling pada kawannya.
"Heheheheh... boleh juga! Ayolah, kau jaga sebe-
lah sana aku disini!" Teriak si Muka Babi. Muka Macan 
mengangguk, lalu berkelebat melompat. Sementara si 
kuda hitam yang masih berlari-larian memutar itu, tiba-
tiba menerjangkan ke arah si Muka Macan. Terkejut 
manusia itu, untung dengan gesit dia sudah melompat 
menghindar. Muka Babi tiba-tiba melompat dari arah 
belakang ke atas punggung kuda. Hehehe... aku yang 
akan berhasil menangkap! Sorak hatinya. Akan tetapi di 
luar dugaan, sepasang kaki kuda hitam itu telah me-
nyambutnya dengan cepat.
DESSS....!
Terlemparlah tubuh si Muka Babi yang memang 
bulat itu diiringi teriakan tertahan. KRAK...! Tubuhnya 
sudah menghantam batang pohon yang seketika patah 
berderak. Dan tubuh bulat itu menggelinding ke tanah. 
Tak lama dia sudah mencoba bangun dengan ter-
huyung. Wajahnya menyeringai kesakitan, sambil me-
megangi punggungnya yang terasa sakit sekali.
"Kuda setan...!" Teriaknya dengan wajah beru-
bah gusar. Dan lengannya telah bergerak menghantam 
dari jarak jauh. Kebetulan sang kuda sudah bergerak 
memutar lagi ke arahnya.

"Modarlah kau...!" Bentaknya dengan keras.
WHKKK...! Angin pukulan dahsyat tiba-tiba ter-
lontar dari lengan si Muka Babi.
BHUSSSS... Begitu angin pukulan itu tiba, tiba-
tiba si Kuda Hitam melenyap menjadi segumpal asap hi-
tam. Dan sekejap kemudian sirna tak menampak apa-
apa lagi. Tentu saja hal itu membuat keduanya belalak-
kan mata.
"Aneh!? Apakah kuda itu benar-benar KUDA 
SETAN...?" Sentak si Muka Babi dengan suara berdesis. 
Sementara si Muka Macan telah melompat mendeka-
tinya. "Hati-hati, Muka Babi! Kukira ada musuh yang 
telah menyelinap kemari...!" Berkata si Muka Macan 
dengan wajah tenang.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bergedu-
brakan dari arah gubuk. Serentak mereka segera meno-
leh. Apakah yang dilihatnya?. Sosok tubuh si Muka Ti-
kus terlempar menjebol wuwungan rumah diiringi teria-
kan menyayat hati. Serpihan atap rumbia dan poton-
gan-potongan bambu berpentalan ke udara.
Keduanya jadi terbelalak terkesima. Akan tetapi
si Muka Macan telah melompat cepat dari situ. Dan 
dengan sigap sekali telah menanggap tubuh si Muka Ti-
kus. Lalu dengan tergopoh-gopoh segera memondong-
nya ke tempat kawannya. Ketika mereka memeriksanya 
seketika terperanjatlah si Muka Macan dan si Muka Ba-
bi, karena kakak seperguruan mereka itu telah tewas 
dengan keadaan muka hancur mengerikan!
"Hah!? Siapakah yang telah membunuhnya?" 
Teriak si Muka Macan dengan wajah pucat. Sementara 
si Muka Babi telah kucurkan keringat dingin. Tiba-tiba 
terdengar suara ringkik kuda di belakangnya. Seketika 
kedua manusia itu sudah putar tubuh dan melompat 
mundur. Segera terlihat di hadapan mereka seekor ku-
da hitam yang tadi. Akan tetapi kini lengkap dengan penunggang kudanya. Yaitu seorang laki-laki yang men-
genakan jubah warna merah. Wajahnya mengenakan 
topeng Tengkorak berwarna Hitam.
"Akulah yang telah membunuhnya...!" Berkata 
orang itu dengan suara bagai es.
"Ssssii.... siapa kkkau... kau?!" Membentak si 
Muka Macan dengan suara bentakan yang agak terga-
gap dan bergetar. Karena dari kemunculannya yang ti-
ba-tiba itu mereka bagaikan melihat kedatangan hantu.
"Hm, tak perlu aku memperkenalkan diri... Se-
butlah aku Si PENUNGGANG KUDA SETAN...!" Selesai 
orang itu berkata lengannya bergerak bagai bayangan. 
Tahu-tahu tengkuk si Muka Babi telah dicengkeram. 
Laki-laki pendek bulat ini seketika rasakan nyawanya 
bagaikan terbang... Akan tetapi lengannya sudah laku-
kan hantaman ke arah dada si Penunggang Kuda Setan. 
BHUSSS...! Aneh! Bagaikan menghantam angin saja, 
pukulan lengannya itu sudah nyeplos lewat. Laki-laki 
berjubah merah itu perdengarkan suara di hidung, dan 
sekali lengannya bergerak, melayanglah tubuh si Manu-
sia Babi entah kemana...
Bukan main terkejut dan gusarnya si Muka Ma-
can. Sekejap saja dia sudah keluarkan senjatanya, yaitu 
sepasang cakar baja, yang bagian ujungnya berbentuk 
telapak kaki macan, dengan ujung cakarnya yang runc-
ing-runcing. Dengan membentak keras dia sudah me-
nerjang si Penunggang Kuda Setan.
Bersiuran senjata itu ke arah tubuh lawan, akan 
tetapi semua yang dilakukan sia-sia belaka. Karena tu-
buh si Penunggang Kuda Setan bagaikan tubuh bayan-
gan saja. Hantaman beruntun itu luput bagai menghan-
tam angin. Dan tahu-tahu si Muka Macan telah perden-
garkan perdengarkan teriakan kaget. Ketika sekali len-
gan si Penunggang Kuda Setan berkelebat, sepasang 
senjata tak berguna itu terpental entah kemana. "Hah!?

Celaka...! Aku bukan berhadapan dengan manusia..." 
Desis suara si Muka Macan dengan terperangah kaget. 
Serentak tanpa ayal lagi dia sudah putar tubuh, dan ti-
ba-tiba telah berkelebat melarikan diri..."
"Hahahaha... sekali lagi aku menjumpai kalian 
melakukan kejahatan, nyawamu takkan kuampuni la-
gi!" Terdengar suara tertawa si Penunggang Kuda Setan 
dan kata-kata ancaman yang seperti itu menusuk-
nusuk lubang telinganya. Jatuh bangun si Muka Macan 
menyelamatkan diri, namun sekejap kemudian segera 
lenyap di balik rimbunnya pepohonan lebat. Sementara 
cuaca senja di sekitar tempat itu semakin gelap. Hujan 
mulai turun rintik-rintik terbawa angin. Dalam kere-
mangan itu tampak sekilas bayangan tubuh si laki-laki 
berjubah merah dengan topeng muka Tengkoraknya 
yang sudah tak jelas kelihatan lagi. Suara ringkik kuda 
kembali terdengar, dan diantara keremangan yang se-
makin memudar berganti dengan gelap gulita itu, 
bayangan si Penunggang Kuda Setan itupun melenyap 
pula...
***
Di tepi telaga itu sesosok tubuh duduk di hada-
pan api memanaskan tubuhnya. Cuaca pagi itu masih 
diselimuti kabut. Dan hawa dingin menyebar di sekitar-
nya. Ternyata seorang laki-laki yang bertubuh separuh 
telanjang. Bercelana pangsi yang sudah kumal. Ram-
butnya dikepang dua, yang diikatkan menjadi satu di 
belakang kepala. Memandang ke tengah telaga yang 
tampak hanyalah kabut putih yang menyelimuti, meng-
halangi pandangan mata.
Di belakang punggung laki-laki yang duduk 
menghadap api unggun itu adalah sebuah bukit batu. 
Pada satu celah lubang tampak terbujur sesosok tubuh

wanita, yang membuntal tubuh dengan selimut... Ter-
nyata wanita itu adalah si gadis yang hampir menjadi 
korban nafsu iblis si Muka Tikus.
Selang beberapa saat tampak tubuh gadis itu 
mulai bergerak. Kelopak matanya pun membelalak ter-
buka. Tiba-tiba setelah berkedipan beberapa saat gadis 
ini telah melompat bangun. Terdengar suaranya tersen-
tak ketika memandang tubuhnya yang berselimutkan 
sebuah jubah warna merah. Dan semakin terkejut men-
getahui keadaan tubuhnya dalam keadaan tak berpa-
kaian.
"Dimanakah aku? Dan... jubah siapakah ini?" 
Desisnya tersentak. Segera saja dia teringat akan keja-
dian yang telah menimpa dirinya. Kemanakah tiga ma-
nusia yang telah mencegatku di jalan tadi?. Berkata da-
lam hati si gadis ini. Tiba-tiba pandangan matanya ter-
tatap ke arah sesosok tubuh yang duduk membelakan-
gi, menghadap ke api unggun. Menduga kalau orang itu 
adalah salah satu dari tiga orang yang mau memperko-
sanya, dan mengingat akan hal itu si gadis sudah lantas 
menangis terisak-isak.
"Eh mengapa kau menangis...?" Tiba-tiba satu 
suara telah terdengar di belakangnya. Terkejut si gadis 
ini ketika menoleh, tahu-tahu laki-laki yang duduk 
menghadap ke api unggun itu telah berada di dekatnya.
"Kau... kau manusia jahanam...! Kau telah nodai 
diriku... oh... hhh...!" Teriak sang dara ini dengan teri-
sak seraya tatap wajah orang. Akan tetapi segera saja 
dia tampak tersentak kaget, karena wajah laki-laki di 
hadapannya mengenakan topeng yang mengerikan se-
kali. Yaitu topeng Tengkorak yang berwarna hitam le-
gam.
"Kau... kau siapakah?" Sentak sang gadis yang 
sudah beringsut ke sudut dinding batu. Sementara ma-
tanya menjalari wajah dan perawakan laki-laki di hada

pannya.
"Ah, apakah namaku cukup berguna buatmu? 
Aku telah memberi pelajaran pada tiga manusia bejat 
yang mau mengganggumu itu. Tenangkan hatimu 
adik...! Aku bukan manusia jahat, walau tampangku 
mungkin akan membuat orang menilai demikian...! Kau 
dalam keadaan baik-baik tak kurang suatu apa, per-
cayalah...!" Berkata si laki-laki itu dengan suara ramah.
Akan tetapi segera balikkan tubuhnya untuk 
kembali beranjak mendekati api unggun. Tercenung 
sang gadis ini dengan sepasang mata menatap pung-
gung laki-laki itu. Ahh, aku telah salah menduga! Kalau 
begitu aku... aku telah terhindar dari bencana...? Seolah 
serasa mimpi si dara cantik ini setelah mengetahui ka-
lau kemudian ternyata benarlah dia tak merasakan apa-
apa dan kelainan dari tubuhnya.
"Dia pasti seorang Pendekar yang telah berilmu 
tinggi yang telah menyelamatkan kehormatanku! Oh, 
aku harus berterima kasih padanya....!" Desis gadis ini 
pelahan. Wajahnya kembali berseri. Segera dia bangkit 
berdiri, dan kenakan jubah warna merah itu membung-
kus tubuhnya. Udara dingin di pagi remang dinihari itu 
membuat tubuhnya agak menggigil. Dengan berjingkat-
jingkat dihampirinya laki-laki itu. Ternyata kedatangan-
nya sudah diketahui.
"Kau kedinginan? Hangatkanlah tubuhmu dekat 
api! Duduklah...!" Ucap pemuda itu seraya geserkan se-
bongkah batu di sebelahnya. Gadis ini tanpa sungkan-
sungkan segera duduk di atas batu itu, seraya ucapnya.
"Aku... aku mau mengucapkan terimakasih pa-
damu..... ng... Tuan Pendekar...! Dan... mohon kau 
maafkan aku karena aku menyangka!"
"Ah, sudahlah! Manusia hidup memang harus 
tolong menolong! Siapa tahu dengan menolong orang, 
kelak kalau aku mendapat celaka orang pun akan menolongku..." Potong laki-laki itu seraya tambahkan kayu 
kering pada onggokan api hingga api semakin membe-
sar. Dan menampakkan jelas wajahnya. Terlongong si 
dara itu sambil mengangguk-angguk. Suasana kembali 
senyap. Cuma yang terdengar suara kayu kering yang 
terbakar api.
Cuaca pun mulai terang. Bunyi suara burung-
burung sudah terdengar menyambut datangnya pagi 
yang cerah. Kabut yang menyelubungi alam sekitar itu 
mulai menipis. Dan beberapa saat kemudian, cahaya 
Mentari mulai menampak di langit sebelah timur. Ter-
dengar suara menghela nafas laki-laki bertopeng itu.
"Sebentar lagi aku akan mengantarkan kamu ke 
tempat tinggal mu ....!" Berkata si laki-laki itu seraya 
bangkit berdiri. Tiba-tiba tubuhnya telah berkelebat le-
nyap. Terkejut si gadis itu, seketika wajahnya berubah 
pucat.
"Ah, apakah dia bukan manusia...!" Desisnya pe-
lahan dengan tersentak kaget. Namun akhirnya dia cu-
ma termangu-mangu duduk di atas batu. Mau kemana-
kah dia... ? Gumamnya dalam hati. Gadis desa ini tak 
mengerti ilmu kepandaian orang-orang Rimba Hijau, 
hingga tak mengetahui kalau laki-laki itu adalah seo-
rang yang berilmu amat tinggi. Dia cuma melihat tahu-
tahu tubuh si laki-laki bertopeng tengkorak itu telah le-
nyap dari hadapannya.
Sebenarnya dia bernama Sutirah, yang bertu-
juan pulang ke rumah orang tuanya di desa yang ditu-
junya itu. Sudah beberapa pekan dia tinggal sementara 
di rumah pamannya. Sang paman tadinya akan men-
gantarkannya pulang, akan tetapi tak ada kesempatan 
hari itu. Dan lagi hari sudah menjelang sore. Hingga 
menahan sang gadis keponakannya itu sampai besok. 
Tak dinyana setelah kepergian sang paman, Sutirah te-
lah meminta izin pada bibinya untuk pulang sendiri hari itu juga.
Sang bibi tak mampu mencegah, karena Sutirah 
memaksa untuk pulang hari itu juga. Dan tanpa me-
nunggu jawaban Sutirah langsung berangkat pulang 
sendirian. Hingga kemudian di saat melalui jalan seta-
pak ketika sudah hampir mendekati desa yang ditu-
junya, telah dicegat oleh tiga orang kawanan begal. Ke-
tiga begal itu ternyata yang menamakan dirinya si Tiga 
Setan Brandal. Yaitu si Muka Tikus, Muka Babi dan si 
Muka Macan.
Untunglah dalam keadaan tak sadarkan diri, ke-
tika Sutirah mau dirampas kehormatannya, telah dito-
long oleh si Penunggang Kuda Setan.
Namun si Penunggang Kuda Setan itu tak mau 
memberitahukan siapa dirinya pada sang gadis. Dan 
bahkan Sutirah menyangka pemuda bertopeng Tengko-
rak itu sebangsa makhluk halus yang menyerupai ma-
nusia, yang telah menyelamatkan dirinya.
Sutirah sudah mulai gelisah karena sampai be-
berapa saat si Muka Tengkorak tak juga munculkan di-
ri. Tahu-tahu sudah terdengar suara di sebelah kirinya.
"Aku akan mengantarmu pulang sekarang! Kau pakai-
lah pakaian ini...!" Terhenyak si gadis, karena ketika 
berpaling, si laki-laki itu sudah berada lagi ditempat itu, 
seraya julurkan lengannya yang mencekal seperangkat 
pakaian. Namun dengan segera Sutirah cepat-cepat 
menyambuti, dengan wajah masih pucat. Selesai beri-
kan pakaian itu, si laki-laki Muka Tengkorak segera ba-
likkan tubuh beranjak ke tepi telaga. Dan berdiri disana 
tak bergeming. Langkah-langkah kakinya sejenak men-
jadi perhatian dara ini. Legalah hatinya, karena jelas 
sepasang kakinya menginjak tanah, menandakan laki-
laki itu bukanlah sebangsa siluman atau dedemit mak-
hluk halus. Akan tetapi manusia biasa...
Oh, tentu dia seorang yang berilmu amat tinggi...! Kalau tidak, mustahil dapat menolongku, dan 
menghajar tiga orang jahat yang mau mencelakai diriku 
itu...! Pikirannya dalam benak. Segera dia bergegas 
memakai pakaian pemberian laki-laki penolongnya itu. 
Entah dari mana dia dapatkan pakaian ini... Bisik ha-
tinya. Selang sesaat antaranya Sutirah sudah selesai 
mengenakannya. Agak kebesaran sedikit, tapi Sutirah 
sudah bersukur dapat menutupi tubuhnya.
***
TUJUH


Matahari sudah berada tepat di atas kepala keti-
ka terdengar suara ringkik kuda, dan sekejap sudah ter-
lihat di tepian telaga tadi, seekor kuda berbulu hitam 
dengan penunggangnya. Siapa lagi kalau bukan si Pe-
nunggang Kuda Setan. Hm, gadis itu sudah kuantarkan 
ke rumah orang tuanya, selesailah tugasku! Terdengar 
suaranya menggumam. Sepasang mata laki-laki miste-
rius itu kini menatap tajam ke tengah telaga berkabut. 
Jelas pancaran matanya membersit seperti mau me-
nembus pekatnya kabut, yang memancar dari balik to-
peng Tengkoraknya. Hembusan angin keras dari arah 
perbukitan membuat jubah merahnya berkibaran. Pada 
pundak sebelah kanannya tampak tersembul sebuah 
gagang pedang dari kayu hitam.
"Apakah anda mau menyeberang kesana...?" Ti-
ba-tiba terdengar satu suara merdu di belakangnya, mi-
rip suara wanita. Laki-laki Muka Tengkorak itu meno-
leh. Tampaknya seperti terkejut, karena tak mengetahui 
kalau di belakangnya ada orang. Segera sudah dilihat-
nya seorang gadis cantik berbaju hitam tengah duduk

ongkang-ongkang kaki di atas tebing batu. Adalah aneh, 
kalau jarak antara tebing batu dan tempatnya berdiri 
cukup jauh sekitar tujuh-delapan tombak. Akan tetapi 
suaranya seperti berada dekat di belakangnya.
"Siapakah nona...?" Bertanya si Penunggang Ku-
da Setan, yang sudah putarkan kudanya menghadap ke
arah gadis itu.
"Namaku RORO CENTIL...!" Sahut sang dara 
kenes, dan tampak ayu itu, Dan tubuhnya sudah me-
lompat ringan ke hadapan laki-laki itu. Ujung kakinya 
hinggap di atas batu besar tanpa timbulkan suara. Ki-
ranya gadis manis itu tak lain dari si Pendekar Wanita 
Pantai Selatan.
"Aku telah melihat sepak terjang mu menghajar 
si Tiga Setan Brandal, yang mau memperkosa gadis de-
sa itu! Hihihih... kalau aku jadi laki-laki setidaknya aku 
cium dulu gadis desa itu sebelum kuantarkan ke rumah 
orang tuanya...!" Ujar Roro Centil dengan masukkan jari 
kelingkingnya mengorek tahi hidung, lalu sentilkan ke 
arah depan.
Tentu saja sikap dan kata-kata si gadis yang ba-
ru muncul itu membuat si Penunggang Kuda Setan jadi 
melengak heran. Akan tetapi juga membuat geli. Sean-
dainya dia tak memakai topeng, tentu sudah kelihatan 
bibirnya tersenyum. Gadis aneh...! Baru bertemu sudah 
berkata seenaknya saja! Tapi seumur hidupku baru ku-
temui gadis yang seperti ini... ! Gumam si Penunggang 
Kuda Setan dengan tertegun. Dan yang lebih membuat-
nya tertegun adalah si gadis itu mengetahui nama julu-
kan ketiga begal yang dihajarnya. Bahkan mengetahui 
pula sepak terjangnya. Setelah berfikir sejenak, segera 
laki-laki itu melompat turun dari punggung kuda.
"Nona...! Tampaknya kau tahu banyak tentang 
orang-orang kaum Rimba Hijau. Tujuanku memang 
mau menyelidiki Istana Kerajaan Pugar Alam yang berada di tengah danau berkabut itu...!" Berkata si Laki-
laki Penunggang Kuda Setan seraya menjura pada Roro 
Centil.
"Hm, apa maksudmu mau menyelidiki Istana Se-
tan itu?" Tanya Roro sambil rapikan rambutnya yang 
tersibak angin.
"Istana Setan...?" Tanya laki-laki bertopeng 
tengkorak dengan heran.
"Ya! Karena semua pengawal disana terdiri dari 
orang-orang yang sudah mati. Kalau ternyata bisa hi-
dup lagi apakah bukannya sudah menjadi setan?" Tu-
kas Roro dengan serius. Tentu saja penjelasan Roro itu 
membuat si laki-laki Muka Tengkorak jadi kepingin ta-
hu lebih jelas.
"Kau pernah kesana?" Tanyanya lagi. Roro ja-
tuhkan pantatnya untuk duduk di atas batu. Kepalanya 
menggeleng.
"Melihat Istana Setan itupun aku belum pernah, 
aku cuma mendengar berita dari sahabatku...!" Ujar Ro-
ro. Laki-laki Muka Tengkorak itu pun jadi ikut-ikutan 
duduk di atas batu di hadapannya.
"Siapakah sahabatmu itu?"
"Dia bernama JOKO SANGIT! Sahut Roro.
"Eh, bicara padamu seperti bicara dengan hantu 
saja...! Apakah mukamu jelek hingga kau pakai topeng 
Tengkorak itu?" Tiba-tiba Roro balas bertanya dengan 
pertanyaan lain. Tentu saja membuat si laki-laki Muka 
Tengkorak jadi melengak. Pertanyaan itu memang wa-
jar, akan tetapi hal itu membuat si laki-laki Muka Teng-
korak jadi menunduk.
"Jelek atau bagus adalah pemberian Tuhan! Aku 
memakai topeng ini bukan karena wajahku jelek atau 
bagus, akan tetapi aku memang tak akan membukanya, 
kecuali di hadapan musuh besarku...!" Ujarnya dengan 
tertawa hambar. Roro jadi tercenung sesaat. Namun segera manggut-manggut mengerti.
"Siapakah musuh besarmu...?" Tanya Roro tiba-
tiba. Laki-laki Muka Tengkorak tak segera menjawab. 
Terdengar suara helaan nafasnya sejenak, lalu ujarnya 
dengan suara yang terdengar agak serak, dan bernada 
dingin.
"Aku tak dapat memberitahukan, karena hal ini 
adalah urusanku...!"
"Hm, baiklah! Akupun tak ingin mengetahui 
urusanmu, serta mencampuri urusan dendam pati! 
Cuma aku mau memperingatkan, hati-hatilah kalau 
kau mau menyeberangi telaga! Tak sedikit nyawa ma-
nusia, dan tokoh-tokoh kosen kaum Rimba Hijau yang 
setelah menyeberang tak pernah ada kabarnya lagi. Hi-
hihh... hihi...
Seraya tertawa mengikik, Roro Centil sudah 
bangkit berdiri. Lalu putarkan tubuh untuk beranjak 
pergi.
"Eh, nona...ng...mau ke manakah kau?"
Si laki-laki Muka Tengkorak sudah berseru menahan 
dengan tergagap.
"Namaku RORO CENTIL!" Sahut Roro seraya 
menahan langkahnya.
"Oh, ya ...! Nona Roro Centil, boleh aku tahu 
kemana tujuanmu...?" Ulangnya seraya sudah melom-
pat ke hadapan Roro. Roro tatap wajah laki-laki berto-
peng Tengkorak itu seperti mau melihat wajah asli 
orang di hadapannya.
"Saat ini aku berdiam di Lembah SOKA, berga-
bung dengan para Senapati dari Tiga Kerajaan yang te-
lah bersatu...!" Sahutnya datar.
"Ah...!?" Tersentak si laki-laki Muka Tengkorak. 
Sepasang mata dari balik topeng Tengkoraknya itu 
membelalak lebar.
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi?" Tanya

si Penunggang Kuda Setan.
"Hihihi... tak tahukah kau, bahwa ratusan, bah-
kan hampir lebih dari seribu laskar para Senapati dari 
Tiga Kerajaan telah menggabung menjadi satu. Mereka 
tengah mempersiapkan untuk menggempur Kerajaan 
Setan bernama PUGAR ALAM yang Istananya berada di 
tengah telaga ini...!" Tutur Roro dengan suara dingin.
Lagi-lagi si laki-laki Muka Tengkorak itu melen-
gak. Akan tetapi kembali tundukkan wajahnya. Seraya 
berkata lemah.
"Ah, sayang... urusanku membalas dendam be-
lum lagi terlaksana, seandainya sudah tuntas urusan-
ku, aku pasti akan turut bergabung dengan mereka...!"
"Nah, selesaikanlah urusanmu dulu, aku dan kaum 
Pendekar dari segenap penjuru, dengan di restui serta 
mendapat bala bantuan dari Kerajaan MATARAM, siap 
menunggu kedatanganmu untuk bergabung dengan 
kami...!" Berkata Roro Centil dengan tersenyum. Lalu 
sudah enjot tubuhnya melompat ke atas tebing batu. 
Disana dia balikkan tubuhnya lagi. Sepasang mata dara 
perkasa itu menatap ke bawah. Ke arah si Penunggang 
Kuda Setan. Lengannya menggapai.
"Penunggang Kuda Setan...! Sampai jumpa lagi... 
!" Laki-laki Muka Tengkorak ini balas lambaikan tan-
gannya.
"Aku pasti kesana bila urusanku sudah sele-
sai...!" Teriaknya lantang. Namun Roro sudah balikkan 
tubuhnya, dan berkelebat cepat tinggalkan tebing di sisi 
telaga itu. Sekejap kemudian sudah lenyap tak keliha-
tan lagi. Laki-laki si Penunggang Kuda Setan kembali 
tundukkan wajahnya. Tampak dari sela topengnya 
mengalir turun setetes air bening. Dadanya bergerak 
naik turun seperti menahan kesedihan, kemarahan ser-
ta kekecewaan yang mengaduk menjadi satu! dalam da-
da. Akan tetapi tiba-tiba dia sudah melompat ke atas

punggung kudanya. Dan diiringi suara meringkiknya si 
Kuda Hitam tunggangannya itu. Binatang itu sudah me-
lesat cepat sekali, melompati tebing batu di hadapan-
nya.
"Tunggulah kalian manusia-manusia jahanam...! 
Si Penunggang Kuda Setan akan menuntut balas pati!" 
Terdengar suara gumamnya.
Sekejap antaranya suara ringkik kuda itu sudah 
lenyap bersama lenyapnya mahluk dan penunggangnya!
Sepekan kemudian... di satu wilayah jajahan Kerajaan 
Pugar Alam.
Laki-laki berwajah belang ini bergegas memasu-
ki pendopo Kadipaten. Dua orang penjaga menjura 
hormat, dan mempersilahkan masuk. Mereka telah 
mengenal akan siapa adanya laki-laki ini. Akan tetapi 
heran juga karena tak seperti biasanya datang sendi-
rian. Mereka mengenalnya yang bergelar si Muka Ma-
can. Kemanakah si Muka Babi dan si Muka Tikus...? 
Namun mereka cuma berbisik-bisik saja tak berani me-
nanyakan.
Setelah melewati satu pintu lagi, segera telah be-
rada di ruangan dalam.
"Ah, kemanakah Adipati Rama Sepuh?" Desis-
nya pelahan. Sepasang matanya jelalatan mengitari 
ruangan. Suara tertawa cekikikan dari ruangan kamar 
disebelah mengundang keinginan untuk mengintip. Dari 
lubang kunci segera terlihat satu pemandangan yang 
membuat darahnya tersirap. Karena sang Adipati ten-
gah digeluti oleh dua orang wanita yang separuh telan-
jang.
"Kakang Rama Sepuh... Hihihihi.... ah, geli...! 
Hihihi..." Kembali terdengar suara tertawa yang renyah 
mengundang perhatian. Dua penjaga di ujung ruangan 
sudah beranjak mendekati si Muka Macan ini. Akan te-
tapi baru mau membentak, segera di urungkan karena

mengetahui orang itu adalah si Muka Macan yang asik 
mengintip. Lalu cepat-cepat melangkah pergi.
"Siapa di luar...!" Tiba-tiba satu bentakan menggeledek 
telah membuat si Muka Macan terlonjak kaget. Seraya 
buru-buru mengambil sikap sebaik mungkin seolah tak 
melakukan apa-apa.
"Ham... hamba, Gusti Adipati...!" Ujarnya dengan 
tergagap.
"Ada keperluan penting Gusti Adipati, hamba... Man-
draka, si Muka Macan!" Hening sejenak... Dan terdengar 
lagi suara dari dalam.
"Tunggulah di ruang depan. Sebentar aku da-
tang...!"
"Baik, Gusti Adipati...!" Sahut si Muka Macan, 
dan dengan senyum pahit dia sudah "ngeloyor" pergi 
menuju ke ruangan depan tempat biasa diadakan per-
temuan. Agak lama juga laki-laki berwajah belang ini 
menanti kedatangan sang Adipati itu. Namun tak lama 
sudah datang yang ditunggunya. Seorang laki-laki ber-
tubuh kekar dengan pakaian dinas, segera keluar me-
nemuinya.
"Ada hal penting apakah Mandraka...?" Tanya 
sang Adipati. Menilik dari usianya Adipati ini berusia 
sekitar 37 tahun. Dengan pakaian kebesarannya seba-
gai seorang Adipati, tampak benar kelihatan kewiba-
waannya. Akan tetapi sinar matanya memang terlalu 
liar untuk seorang pejabat yang berhati bersih.
"Celaka, Gusti...! Hamba baru tiba dari Pe-
sanggrahan Puri Kencana...!"
"Apa yang telah terjadi disana? Dan... mana ka-
wanmu yang lain?" Belum lagi si muka macan yang 
bernama Mandraka itu selesai berbicara, sudah disam-
bar pertanyaan sang Adiati.
"Begini, Gusti ..." Segera Mandraka tuturkan ke-
jadiannya dengan secara singkat, yaitu pertama adalah

kejadian yang membuat kematian saudara sepergu-
ruannya si Muka Tikus, dan si Muka Babi yang di jum-
pai tubuhnya dalam keadaan terluka. Karena tangan 
dan kakinya patah, akibat dilemparkan si penunggang 
Kuda setan. Dan yang kedua diceritakan kejadian di pe-
sanggrahan Puri Kencana.
***
DELAPAN


Puri Kencana adalah tempat menampung para 
wanita tawanan, dari Kerajaan Swarna Mega yang ber-
hasil dikuasai Kerajaan PUGAR ALAM. Dan Adipati Ra-
ma Sepuh ini. Puri Kencana bukan saja tempat para 
tawanan wanita, akan tetapi merupakan tempat pelesir 
sang Adipati Rama Sepuh dan para pejabat baru lain-
nya. Sejak didudukinya Kerajaan Swarna Mega itu. Ba-
nyak terjadi perubahan kekuasaan yang dipegang oleh 
orang-orang dari Kerajaan Pugar Alam.
Setelah membawa si Muka Babi ke rumah seo-
rang sahabatnya yang ahli dalam menyambung tulang 
patah, si Muka Macan bermaksud akan segera mela-
porkan kejadian itu pada Adipati Rama Sepuh. Akan te-
tapi diurungkan. Dan tujuannya dirubah dengan men-
gunjungi dulu Puri Kencana. Tentu saja sebagai manu-
sia yang sudah berwatak bejad, apalagi maksudnya tak 
kesampaian untuk mengagahi si gadis desa bernama 
Sutirah itu.
Akan tetapi betapa terkejutnya dia mengetahui 
keadaan Puri Kencana telah porak-poranda. Dan para 
wanita tawanan telah meloloskan diri. Beberapa mayat 
penjaga di Puri itu telah bergelimpangan menjadi mayat.
Dari seorang penjaga yang luka parah segera diketahui 
kalau mereka dibebaskan oleh para pemberontak dari 
rakyat dan sisa-sisa lasykar Kerajaan Swarna Mega, 
yang pada terjadi penyerahan kedaulatan banyak me-
nyembunyikan diri.
"Cuma itu laporan hamba, Gusti Adipati...! Sele-
bihnya kalau ada kekurangan hamba tak mengetahui..." 
Tutur Mandraka si Muka Macan. Merah padam seketika 
wajah sang Adipati Rama Sepuh. Lengannya sudah 
menggebrak meja hingga sempal bagian ujungnya.
"Keparat...! Rupanya rakyat Swarna Mega sudah 
merencanakan pemberontakan...!" Sang Adipati ini se-
gera berdiri, lengannya bertepuk tiga kali. Dan dengan 
tergesa-gesa dua pengawal datang menghadap.
"Pengawal! Perintahkan semua kawan-kawan 
mu untuk menjaga ketat lingkungan Kadipaten ini!" Pe-
rintahnya.
"Daulat Kanjeng Gusti Adipati!" Segera kedua 
penjaga mengundurkan diri. Tak lama di luar gedung 
Kadipaten segera sibuk para Ketua pengawal untuk 
membagi tugas pada anak buahnya.
"Apakah yang harus hamba lakukan, Gusti Adi-
pati...?" Tanya Mandraka.
Termenung sejenak sang Adipati Rama Sepuh. 
Lalu ujarnya. "Hubungilah Resi Parto Kendal! Suruh be-
liau kemari...!"
"Baik, Gusti Adipati!" Sahut Mandraka. Akan te-
tapi sebelum si Muka Macan itu beranjak keluar ruan-
gan, sudah terdengar suara tertawa terkekeh diluar ge-
dung.
"Heheheheheh... heheh... Aku sudah datang, 
Adipati...!" Dan sesosok tubuh telah berkelebat masuk. 
Ternyata seorang kakek berjubah mewah berwarna 
kuning gemerlapan. Lengannya mencekal sebatang 
tongkat bergagang perak. Pada bibirnya terselip sebatang pipa terbuat dari gading gajah, yang masih menge-
pulkan asap. Sang kakek ini sudah mengambil tempat 
duduk di kursi, berhadapan dengan sang Adipati Rama 
Sepuh. 
"Aku sudah tahu akan kerusuhan itu..." Ujar 
sang Resi Parto Kendal. Pemberontakan tidak hanya be-
rada di Kerajaan jajahan Swarna Mega ini saja, akan te-
tapi juga di Kerajaan Swarna Bumi dan Kerajaan Song-
go Langit!" Tutur sang Resi, seraya menghisap pipanya.
"Hah!? Begitukah Resi...?" Sentak Adipati Rama 
Sepuh dengan belalakkan matanya. Sang Resi cuma 
manggut-manggut.
"Heheheh... tenanglah Adipati! Permaisuri Ratu 
Kerajaan PUGAR ALAM tentu takkan membiarkan hal 
ini... !" Sambung sang Resi Parto Kendal.
"Apakah tak sebaiknya aku bergabung dengan 
dua saudaraku di Dua Kerajaan itu?" Bertanya Adipati 
Rama Sepuh, meminta pendapat sang Resi. Akan tetapi 
tiba-tiba sudah terdengar suara tertawa cekikikan, kali 
ini adalah suara wanita yang terdengar mengikik.
"Hihihi.... hihi.... sudah terlambat, sobat Tu-
menggung! Peperangan sudah berkecamuk! Pemberon-
takan di dua Kerajaan itu sudah di mulai. Orang-
orangmu sudah tinggal menunggu kematiannya saja!"
BRAKK...! Tiba-tiba atap genting di atas ruang 
pertemuan gedung Kadipaten itu sudah berlubang be-
sar. Dan serpihan-serpihan genting meluruk berjatu-
han. Tentu saja hal itu membuat terperanjat ketiga ma-
nusia yang tengah berunding dibawahnya. Serentak 
berlompatan untuk menyingkir. Dan melayanglah seso-
sok tubuh, dari lubang menganga di atap wuwungan 
itu. Ringan sekali gerakannya, tahu-tahu sudah berdiri 
di hadapan mereka sesosok wanita tua alias nenek-
nenek.
"Bikhu SOKALIMA ....!" Tersentak ketika Resi

Parto Kendal melihat siapa yang datang. Akan tetapi 
sang Resi cepat-cepat merubah sikap jumawa, menutu-
pi rasa terkejutnya. Sementara hatinya diam-diam men-
geluh. Haii! Mau apa jauh-jauh nenek peot penghuni 
puncak Ratawu ini datang kemari...?
"Hihihi... Resi Palsu! Kau masih ingat padaku?" 
Berkata si nenek dengan suara dingin. Sepasang ma-
tanya memancar tajam menatap wajah orang.
"Sukurlah kalau demikian! Hm, ARYA RUDITA 
alias iblis SILUMAN SUNGAI KUNING... dan alias 
SILUMAN NAGA BUNTUNG...! Hihihi.... namamu ba-
nyak sekali. Dan kini adalah Resi Parto Kendal! Wah, 
wah, wah...! Bukan main! Hihihi... akan tetapi seribu 
kali kau ganti nama dan julukan, nyatanya aku masih 
bisa mencarimu! Kau tentu menyangka aku takkan tu-
run gunung lagi sejak menjadi pertapa di puncak Rata-
wu!
Berdirinya Kerajaan Pagar Alam itulah yang 
mengundang aku meninggalkan puncak Gunung Rata-
wu! Sekalian mencarimu! Bukankah dendam diantara 
kita belum terselesaikan?" Ujar si nenek yang terus nye-
rocos bicara seperti tak ada putusnya. Akan tetapi tam-
paknya Resi Parto Kendal tak merasa jeri. Bahkan men-
gekeh tertawa.
"Heheheheh.... sukurlah kedatanganmu di saat 
luka dalam yang kuderita telah sembuh! Tentu ilmu 
yang kau miliki semakin hebat Bikhu Sokalima? Sela-
mat berjumpa lagi...dan ah, kau masih cantik walaupun 
sudah nenek-nenek peot...!" Seraya berkata Resi Parto 
Kendal bungkukkan tubuh menjura.
"Hihihi... tingkahmu masih seperti berandal be-
rangkat birahi saja, Arya Rudita. Tak usah pakai peng-
hormatan segala...!" Seraya berkata si nenek kibaskan 
lengannya pelahan. Akan tetapi pada saat itu telah ter-
jadi satu benturan tenaga dalam yang luar biasa. Karena disaat Resi Parto Kendal membungkuk, telah mengi-
rim serangan tenaga dalam menghantam si nenek pun-
cak Ratawu itu. Segelombang angin dahsyat menyam-
bar ke arah perut. Akan tetapi dengan kibaskan lengan-
nya, ternyata si nenek bergelar Bikhu Sokalima itu telah 
memakai serangan halus yang tak kelihatan itu.
DHESSS...! Satu benturan keras terdengar, dis-
ertai mengepulnya uap putih dan hitam yang bergulung 
menjadi satu. Tampak tubuh si nenek puncak Ratawu 
itu terhuyung dua tindak. Dan sang Resi Parto Kendal 
terdorong ke belakang sampai tiga tindak. Terkejut sang 
Adipati Rama Sepuh. Pada kesempatan itu satu lirikan 
kilat dari sepasang mata Resi Parto Kendal telah mem-
buat sang Adipati itu mengerti kalau lirikan itu tanda 
isyarat padanya. Diam-diam Adipati ini telah kerahkan 
ajiannya. Tampak bibirnya komat-kamit membaca man-
tera. Tiba-tiba dia sudah keluarkan bentakan menggele-
dek.
"Nenek tua! Kau berlututlah! Kau telah lancang 
masuk kekadipaten dan membuat keonaran...! Berlutut-
lah, agar aku dapat meringankan dosamu!" Terkejut 
Bikhu Sokalima. Suara bentakan itu ternyata telah 
mempengaruhi syarafnya. Seketika tampak perubahan 
wajah si nenek, yang tampak pucat pias... Di luar kesa-
darannya sepasang kakinya tahu-tahu terasa lemah, 
dan sudah menekuk untuk segera berlutut. Akan tetapi 
satu bisikan halus telah menyusup ke telinganya. Aiii.... 
sungguh dunia sudah terbalik. masakan orang yang le-
bih tua mau sujud di hadapan bocah kemarin sore?
Terkejut Bikhu Sokalima. Entah suara siapa 
yang telah menyadarkan dirinya dari pengaruh dahsyat 
yang menyerang otaknya itu. Tiba-tiba si nenek telah 
kerahkan kekuatan batinnya untuk menolak. Tiba-tiba 
dia sudah membentak keras.
"Tidak! Kaulah yang seharusnya sujud padaku,

bocah edan...!" Berbareng dengan itu, dengan satu ke-
kuatan dahsyat si nenek telah menyentakkan tubuhnya 
untuk kembali bangkit. Dan dia sudah terbebas dari 
pengaruh itu. Akan tetapi pada detik itu tongkat Resi 
Parto Kendal telah menyambar deras, dibarengi hanta-
man sebelah telapak tangannya. Inilah telapak tangan 
palsu yang terbuat dari perunggu, dan sudah direndam 
racun. Dua serangan itu membuat Bikhu Sokalima ter-
kesiap. Namun dengan miringkan kepalanya, serangan 
tongkat yang dahsyat itu lewat.
WHUUK....! DHESSS...! Akan tetapi hantaman 
telapak tangan manusia itu sukar dielakkan, terpaksa 
sebelah lengannya dipakai menangkis. Akan tetapi aki-
batnya si nenek menjerit kaget. Seketika tubuhnya su-
dah terlempar keluar Pendopo sampai delapan tombak. 
Ketika bangkit berdiri, Bikhu Sokalima meringis kesaki-
tan, karena sebelah lengannya telah lumpuh. Terkejut si 
nenek ini melihat sebelah lengannya sebatas siku ber-
warna kehitaman. Tahulah dia kalau telah terkena ra-
cun.
"Heheheh... nenek peot! Kini kau sudah bukan 
tandinganku lagi. Sebaiknya kau menyerah dan berga-
bung dengan kami. Mudah-mudahan Adipati akan 
mengampuni kesalahanmu...!" Berkata sang Resi Parto 
Kendal yang telah melompat keluar. Kemudian disusul 
dengan berkelebatnya tubuh Adipati Rama Sepuh dan si 
Muka Macan.
"Bedebah! Kau terlalu bermulut besar Arya Ru-
dita! Siapa sudi bergabung dengan anak buah Kerajaan 
Setan...!" Teriak Bikhu Sokalima, seraya gerakkan len-
gannya menotok sebelah atas lengannya yang keracu-
nan. Dengan begitu darah beracun segera terhenti un-
tuk tidak menyebar keseluruh tubuh.
Diam-diam dalam hati si nenek ini mengeluh. 
Celaka aku lupa kalau dia telah mengganti lengannya

yang buntung itu dengan tangan palsu dari perunggu...! 
Sementara beberapa pengawal Kadipaten telah mengu-
rung sekitar tempat itu. Mereka terkejut, karena tak 
mengetahui datang mana datangnya musuh yang telah 
masuk menyelinap ke dalam gedung Kadipaten.
"Hm, serahkan nenek tua renta ini padaku Re-
si.....'" Tiba-tiba Adipati Rama Sepuh sudah melompat 
ke hadapan Bikhu Sokalima. Akan tetapi pada saat itu 
terdengar keras, disusul dengan munculnya Tumeng-
gung KUTUT MAJA.
"Parto Kendal! Manusia busuk ...! Tak kukira 
manusia yang kuanggap sahabat dan kulindungi, ter-
nyata adalah manusia yang hatinya beracun!" Teriak 
Kutut Maja. Sang kakek ini menatap Resi Parto Kendal, 
dengan tatapan mata berapi-api.
"Ternyata belakangan baru kuketahui bahwa 
kaulah yang menyebabkan kehancuran keluarga saha-
batku bernama PAMUJI...! Istrinya kau perkosa, lalu 
kau bunuh setelah kau puas menyiksanya. Kemudian 
menyusul kematian Pamuji sendiri di tangan mu! Ah, 
betapa aku menjadi menyesal setengah mati, justru 
orang yang kulindungi....! Seorang manusia iblis yang 
telah membunuh sahabat baikku itu!" Terasa suara ka-
kek tua bernama Kutut Maja ini mengandung penyesa-
lan luar biasa. Segera teringat dia ketika membawa 
WIBISANA ke puncak gunung Argasomala untuk dis-
erahkan pada kakak kandungnya yang bernama Kutut 
Praja Setha.
Ketika beberapa tahun yang lalu dia mengun-
jungi puncak Argasomala, ternyata tempat itu telah 
musnah menjadi abu. Tak diketahui kemana lenyapnya 
sang kakak dan juga bocah yatim piatu bernama Wibi-
sana itu. Yang melaporkan kejadian itu adalah seorang 
pembantu keluarga Pamuji sendiri. Yaitu seorang laki-
laki pengurus kuda. Ketika terjadinya peristiwa itu dia

diancam akan dibunuh bila berani membuka mulut. 
Karena ketakutan si laki-laki pengurus kuda menghi-
lang entah kemana.
Beberapa tahun kemudian laki-laki itu datang 
ke gedung kediaman Tumenggung Kutut Maja untuk 
meminta pekerjaan. Dan dari penuturan si pengurus 
kuda itulah di ketahui siapa adanya Parto Kendal. Ka-
rena saat Parto Kendal mengunjungi Gedungnya, si 
pengurus kuda yang telah diterima bekerja padanya itu 
segera mengenali wajahnya.
"Kedatanganku bukan dengan urusan saha-
batku itu saja. Akan tetapi tentu saja untuk menumpas 
kaki tangan Kerajaan PUGAR ALAM, yang telah jelas-
jelas mau menguasai kekuasaan di seluruh Pulau Jawa 
ini!" Berkata Tumenggung Kutut Maja dengan suara 
dingin dan tegas.
Tak perlu banyak bicara Kutut Maja! Kau berada 
di wilayah kekuasaan Kerajaan Pugar Alam. Dan keda-
tanganmu cuma mengantarkan kematian!"
"Pengawal! Mengapa kalian melongo saja! Bunuh 
manusia pengacau ini!" Teriak Parto Kendal seraya me-
nyapu pandangan pada para pengawalnya yang telah 
mengurung tempat itu. Serentak sudah terdengar sua-
ra-suara bentakan keras, disusul menerjangnya bebe-
rapa pengawal Kadipaten dengan senjata-senjata telan-
jang.
"Keparat....! Kau benar-benar memandang ren-
dah padaku Parto Kendal?" Tumenggung Kutut Maja 
berteriak marah. Lengannya telah bergerak mencabut 
senjatanya sebuah tombak pendek bercabang dua dari 
belakang punggungnya. Dan sekali tubuhnya berkele-
bat, tiga pengawal Kadipaten roboh terjungkal dengan 
diiringi teriakan kematian. Karena leher dan dada me-
reka telah terpanggang senjata sang Tumenggung tua 
ini. Yang lainnya seketika mundur ketakutan. Melihat

demikian Resi Parto Kendal perdengarkan bentakan ke-
ras, dan sudah menerjang dengan senjata tongkatnya.
WHUK! WHUKK....! TRANG....!
Tiga rangkaian serangan Parto Kendal berhasil 
dielakkan Kutut Maja, dan serangan terakhir mendapat 
sambutan tangkisan senjata tombak bercabangnya. 
Sementara Adipati Rama Sepuh menerjang si nenek 
puncak Ratawu yang mendapat sambutan dengan sege-
ra. Kali ini Bikhu Sokalima harus hati-hati menghadapi 
serangan tenaga batin yang sewaktu-waktu digunakan 
lawan. Namun masih sempat nenek itu memperingati 
Tumenggung Kutut Maja.
"Awas, hati-hati dengan tangan kirinya, Tu-
menggung...!"
"Aku sudah mengetahui nini Bikhu! Terima ka-
sih atas peringatanmu!" Berkata Kutut Maja seraya len-
gannya menghantam batok kepala sang Resi.
WHUTT....!
Serangan itu disusul dengan berkelebatnya tom-
bak pendek bercabang dua ditangan kanannya. 
TRANG...! Lagi-lagi terjadi benturan kedua senjata me-
reka. Kali ini Kutut Maja telah gunakan dengan tenaga 
dalam lebih dari separuh, membuat tubuh Arya Rudita 
alias Parto Kendal itu terhuyung tiga-empat tindak. Ke-
sempatan ini dipergunakan sang Tumenggung untuk 
melompat menerjang dan hantamkan lagi senjatanya. 
TRANG....!
Lagi-lagi Parto Kendal luput dari serangan, dan 
sudah pergunakan lagi tongkatnya untuk
menangkis. Akan tetapi tenaga dalamnya memang be-
rada setingkat di bawah Kutut Maja. Kembali tubuhnya 
terhuyung.
***

SEMBILAN

BHUK...! Satu hantaman telak dari pukulan Ku-
tut Maja mengenai dada Parto Kendal. Aneh! Laki-laki 
tua itu tak menangkis, akan tetapi bersama dengan itu 
lengannya telah bergerak menghantam ke arah selang-
kangan lawan. Untunglah Kutut Maja waspada, tom-
baknya berputar dengan cepat, menangkis serangan.
PRRAKKK....!
Memekik Parto Kendal ketika lengan palsunya 
terhantam putus. putaran tombak Kutut Maja tidak 
berhenti di situ saja, akan tetapi terus menerjang ke 
arahnya. Sang Resi ini memang mempunyai taktik ber-
tarung yang sudah berpengalaman. Di saat Kutut Maja 
hantamkan lengannya, sengaja dia tak mengelak, kare-
na mengharap dapat memukulkan telapak tangan pe-
runggunya menghabisi nyawa lawan, yaitu dengan 
mengerahkan kebagian alat vital Kutut Maja. Dengan 
mempergunakan ilmu memberatkan tubuh dan salur-
kan tenaga dalam ke arah dada, membuat tubuhnya tak 
bergeming.
Akan tetapi dia salah perhitungan. Tak di sang-
ka Kutut Maja mempunyai sepasang mata yang tajam. 
Nalurinya yang peka membuat dia dapat menangkis se-
rangan colongan itu dengan putarkan tombaknya. Bah-
kan berhasil membabat putus lengan palsunya.
Di saat bahaya maut mengancam, karena putaran tom-
bak bercabang Kutut Maja menyerbu ke arahnya, saat 
itulah terdengar bentakan keras.
"Tahan...!" Itulah suara Adipati Rama Sepuh. 
Bentakan itu mengandung tenaga batin yang kuat. 
Membuat Kutut Maja melengak, dan kena terpengaruh. 
Tanpa disadari hantaman yang sedianya sudah disgannya telah lumpuh.
DHESS....! Terjangan kaki Adipati Rama Sepuh 
teramat cepat dan keras, membuat si nenek puncak Ra-
tawu tak dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Seke-
tika sudah terlepas dari cekalannya. Saat itu satu han-
taman lengan lawan sudah tak mampu dihindarkan la-
gi. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ringkik 
kuda. Dan...."
BLUK...! Tubuh Adipati Rama Sepuh terlempar 
bergulingan. Ketika dia bangkit lagi jadi terkejut, karena 
yang menghajar pantatnya tak lain dari seekor kuda. 
Entah dari mana munculnya tahu-tahu seekor kuda 
berbulu hitam sudah ada di situ. Saat dia terkesima itu-
lah, sebuah bayangan merah telah melayang ke atas 
punggung kuda. Dan sekejap kemudian diatas pung-
gung kuda telah duduk sesosok tubuh berjubah merah 
berwajah mengerikan mirip tengkorak, yang hitam le-
gam.
"Siapa kau...?!" Bentak Adipati Rama Sepuh, 
yang sudah melompat berdiri.
"Akulah yang akan mengirim nyawamu ke Nera-
ka BRAJA PATI...!" Bentak sosok tubuh itu dengan sua-
ra yang seperti menembus ke jantungnya.
"Kau... kaukah si PENUNGGANG KUDA 
SETAN...?" Tanya Adipati Rama Sepuh, yang jadi terke-
jut karena si Muka Tengkorak itu mengetahui nama as-
linya.
"Benar! Dan mungkin kau masih ingat akan wa-
jahku ini....!" Berkata si Penunggang Kuda Setan, seraya 
tiba-tiba lengannya telah bergerak membuka topeng 
Tengkorak yang dikenakannya. Selang sesaat suasana 
menjadi hening mencekam. Akan tetapi sudah terdengar 
suara terkejut si Adipati Rama Sepuh alias Braja Pati 
ini.
"Kau... kau si bocah dungu WIBISANA.....???"

Bukan saja Braja Pati yang terkejut, akan tetapi Tu-
menggung Kutut Maja juga terperanjat. Karena tak me-
nyangka kalau si penunggang kuda hitam itu adalah 
Wibisana. Yaitu si bocah laki-laki, yang pada tiga belas 
tahun yang silam di bawanya ke Puncak Argasomala di 
kediaman kakak kandungnya Kutut Praja Setha. Kalau 
Kutut Maja terkejut bercampur girang, adalah Braja Pati 
pucat pias wajahnya. Karena seketika seperti berhada-
pan dengan hantu.
"Bukankah kau... kau...???" Kata-katanya ter-
sumbat dikerongkongan. Karena segera terlintas pada 
benaknya ketika lima tahun yang lalu di puncak Arga-
somala, dia bersama Dasa Mukti dan Kala Butho telah 
membunuh Wibisana dengan cara yang mengerikan. 
Yaitu kaki dan tangan Wibisana diikat dengan tiga tam-
bang pad tiga ekor kuda. Lalu bersama-sama mereka 
menariknya, hingga tubuh Wibisana terbelah menjadi 
tiga bagian. Setelah itu mereka membakar Pesanggra-
han di atas puncak Argasomala itu.
Merasa berhadapan dengan hantu, Braja Pati 
segera merapal mantera. Seketika tubuhnya lenyap dari 
pandangan mata. Terkesiap Kutu Maja. Sementara itu 
dengan diam-diam Arya Rudita alias Resi Parto Kendal 
telah melarikan diri. Terkejut Bikhu Sokalima, namun 
terpaksa dia urungkan mengejar mengetahui dirinya 
sudah terluka. Kini sepasang mata nenek itupun jadi 
terbelalak mengetahui tiba-tiba tubuh Adipati Rama Se-
puh menghilang dari pandangan mata.
Akan tetapi itu saat itu sudah terdengar benta-
kan keras si Penunggang Kuda Setan. Lengannya berge-
rak menghantam!
BHUSSSS.....! Segelombang uap putih meluncur 
cepat ke arah dimana tubuh Braja Pati melenyap. Ter-
dengar suara teriakan kaget. Dan tahu-tahu sesosok 
tubuh sudah terlempar bergelimpangan. Sekejap saja si

Penunggang Kuda Setan telah menyusulnya. Sang Kuda 
Hitam melompat cepat ke arah tubuh Braja Pati yang 
sudah menampakkan diri lagi. Dan.... SRET! Ditangan 
Wibisana sudah tergenggam sebuah pedang kayu.
"Kau takkan dapat lolos lagi dari tangan Braja 
Pati!" Bentak si Penunggang Kuda Setan. Braja Pati ra-
sakan seluruh tubuhnya kesemutan. Namun dia sudah 
melompat berdiri seraya merapal mantera lagi.
"Ah...?" Tersentak Kutut Maja melihat pedang 
itu, karena jelas itulah pedang kayu milik kakak kan-
dungya. Dengan pedang itulah sang kakak telah men-
dapat julukan si Pendekar Pedang Kayu pada puluhan 
tahun yang silam.
"Hahahahah .... Wibisana! Kau kira aku takut 
walau kau telah menjadi setan setelah kubunuh mam-
pus?. Kali ini kau akan jadi setan betulan yang tak da-
pat menjelma lagi!" Berkata Braja Pati. Ternyata dia su-
dah mampu memulihkan kekuatannya, bahkan pada 
kedua lengannya telah tercekal dua ekor ular hitam se-
besar ibu jari kaki.
"Kau hadapilah ularku...!" Bentak Braja Pati, se-
raya bantingkan ular itu ke tanah. Tiba-tiba terjadilah 
keanehan. Kabut hitam bergulung-gulung di hadapan si 
Penunggang Kuda Setan. Sekejap dua ekor ular raksasa 
telah menjelma dari gumpalan asap kabut hitam itu. 
Kuda hitam tampak perdengarkan ringkikannya hingga 
melonjak berjingkrakan, seperti takut. Akan tetapi sege-
ra si Penunggang Kuda Setan sudah menenangkannya. 
Sementara Kutut Maja dan Bikhu Sokalima terperangah 
melihat kejadian itu.
HOOOSSSY ....! HOOOSSSY....!
WHUT! WHUT! WHUUT....! Kedua ekor ular rak-
sasa itu sudah menerjang Wibisana, yang segera keprak 
kudanya menghindar. Pedang kayunya menabas... Akan 
tetapi pada saat itu Braja Pati sudah turut menerjang

mengirimkan tusukan senjatanya, yaitu sebuah keris 
yang berwarna merah. Entah sejak kapan benda itu su-
dah tercabut dari serangkanya di belakang punggung.
TRAKK...! Pedang kayu si penunggang kuda Se-
tan telah bergerak menangkis. Sementara kuda hitam-
nya melonjak menerjang dengan kedua kakinya. Braja 
Pati cepat lemparkan tubuhnya kesamping. Sementara 
kedua ular raksasa telah julurkan lagi kepalanya me-
nerjang ganas. Namun kali ini agaknya si Penunggang 
Kuda Setan tak dapat mengelakkan diri. Tubuhnya ter-
lempar dari atas kuda. Saat itu Braja Pati sudah mem-
burunya dengan lompatan kilat. Keris merahnya melun-
cur deras ke arah dada.
JROS...! Cepat sekali senjata itu sudah terhujam 
telak ke dada Wibisana. Terkaparlah tubuh laki-laki be-
rusia dua puluh tahun itu tanpa berkelojotan lagi. Ka-
rena keris merahnya mengandung racun yang luar bi-
asa ganasnya.
"Hahaha... hahahaha... ternyata cuma begitu sa-
ja kehebatan si kacung dungu! Heh, akan kulihat apa-
kah kali ini kau mampu untuk jadi setan untuk kedua 
kali...!" Berkata Braja Pati.
Manusia ini sejak berguru pada si Dukun Sakti 
alias si Dewi Setan Kemangmang, telah menjadi seorang 
yang sakti. Dan memiliki bermacam ilmu sihir yang he-
bat menakutkan.
Kedua Ular Siluman itu kembali mengecil lalu 
melenyap. Sementara Kutut Maja dan Bikhu Sokalima 
jadi terperanjat melihat kematian Wibisana yang telah 
membuatnya bergirang dengan kemunculannya lagi. 
Walau merasa aneh. Karena mendengar bahwa Adipati 
Rama Sepuh alias Braja Pati itu telah membunuhnya.
"Aha! Braja Pati jangan bergirang dulu! Masakan 
orang yang sudah mampus masih kau bunuh juga!" 
Tentu saja kata-kata itu membuat Braja Pati jadi terperanjat. Karena si Penunggang Kuda Setan masih tetap 
tegak duduk di atas kuda hitamnya dengan pedang 
kayu di tangan. Ketika melihat ke bawah dimana dia 
barusan menghujamkan kerisnya, ternyata yang tergele-
tak di situ tak lain dari mayat si Muka Macan.
Bukan saja Braja Pati yang terkejut akan tetapi 
Kutut Maja dan si nenek puncak Ratawu juga terkejut, 
karena hal itu tak luput dari matanya. Si Penunggang 
Kuda Setan terbunuh tewas oleh keris merah Braja Pati. 
Akan tetapi nyatanya Wibisana masih segar bugar bera-
da di atas punggung kuda hitamnya.
Pucat pias wajah Braja Pati. Akan tetapi dengan 
menggerung keras, dia sudah menerjang dengan keris 
merahnya. Ketika bibirnya membaca mantera, dari 
ujung keris itu menyembur segelombang api yang me-
nerjang ke tubuh si Penunggang Kuda Setan. Akan te-
tapi dengan kibaskan pedang kayunya, semburan api 
itu mendadak lenyap. Dibarengi dengan ringkikan kuda 
hitamnya, pedang kayu Wibisana meluncur deras ke 
arah leher Braja Pati. Terkesiap laki-laki ini. Namun 
dengan sebat dia pergunakan keris merahnya untuk 
menangkis.
TRAK! Sekali hantam ternyata keris Braja Pati 
telah terpental entah kemana. Dalam keadaan terkejut 
itu Braja Pati seperti hilang akal. Dia sudah balikkan 
tubuh untuk melarikan diri. Akan tetapi.....
***
SEPULUH


CRAT...! Satu pemandangan mengerikan segera 
terpampang didepan mata Kutut Maja dan Bikhu Soka

lima. Apa yang terjadi? Dengan pekik mengerikan me-
nyayat hati sang Adipati Romo Sepuh alias Braja Pati 
hentikan langkahnya. Karena tubuhnya telah terpang-
gang oleh pedang kayu si Penunggang Kuda Setan, yang 
telah melesat dari punggung kuda hitamnya. Dan keja-
dian berikutnya adalah darah segar menyemburat ke 
udara, ketika si Penunggang Kuda Setan menyontekkan 
pedangnya. Sekejap kemudian tubuh Braja Pati telah 
terbelah dua, dari sebatas perut sampai kepala.
BRUK...! Tubuh laki-laki itu ambruk ke tanah 
tak berkutik lagi. Berkubang dalam genangan darahnya 
sendiri. Kutut Maja dan Bikhu Sokalima terperangah 
dengan mata membelalak.
Tumenggung tua ini sudah beranjak mengham-
piri laki-laki si Penunggang Kuda Setan.
"WIBISANA...! Benarkan kau... kau bocah anak 
sahabatku, bernama PAMUJI itu? Tergetar suara Kutut 
Maja, yang telah menatapnya dengan sepasang mata 
membelalak tak berkedip. Seperti tak percaya pada pen-
glihatannya.
"Benar, Paman...! Aku bocah yang malang itu. 
Yang pernah kau antarkan ke puncak Argasomala...!" 
Berkata si Penunggang Kuda Setan dengan suara haru. 
Tampak setetes air bening mengalir turun dari sudut 
matanya.
"Ah, anak mas...! Betapa hebatnya kau...
Teriak Kutut Maja dengan suara berdesis. Selan-
jutnya laki-laki tua itu sudah memeluk pemuda itu 
dengan bercucuran air mata. Sementara Bikhu Sokali-
ma segera tundukkan wajahnya. Diapun jadi terharu 
karenanya. Namun tiba-tiba nenek puncak Ratawu ini 
telah keluarkan suara keluhan, dan roboh ke tanah. 
Akibat banyak mengeluarkan tenaga dan gerakan, toto-
kan yang telah digunakan menghentikan darah beracun 
dari luka di lengan nya telah terbuka. Dan darah beracun segera mengalir ke tubuhnya.
Terkesiap Kutut Maja melihat nenek tua saha-
batnya itu roboh berdebuk. Segera dia sudah lepaskan 
pelukannya, dan melompat ke arah Bikhu Sokalima.
"He? Kemana gerangan si Adipati keparat itu?" 
Desisnya tersentak. Rupanya dia bara teringat akan Re-
si Parto Kendal, yang sudah sedari tadi melarikan diri. 
Sementara Wibisana telah pula melompat ke dekat me-
reka.
"Ah? Celaka paman...! Dia telah terkena racun 
jahat Resi palsu itu!" Berkata Wibisana. Kutut Maja tak 
menjawab, namun lengannya sudah bekerja cepat me-
notok ke beberapa bagian tubuh Bikhu Sokalima, untuk 
mencegah menjalarnya darah beracun ke jantung. Lalu 
ambil dua butir pil, dan jejalkan ke mulut si nenek. Ti-
ba-tiba tubuh laki-laki tua ini telah berkelebat masuk 
ke dalam gedung Kadipaten. Tak lama sudah keluar lagi 
dengan membawa segelas air. Cepat-cepat dia mem-
bungkuk, dan mengangkat tubuh si nenek seraya me-
minumkan air dalam gelas. Ternyata si nenek itu belum 
lagi pingsan.
Segera meneguknya dengan lemah. Pelahan Ku-
tut Maja merebahkannya lagi. Tampak laki-laki Tu-
menggung ini pejamkan sepasang matanya. Sebelah te-
lapak tangannya ditempelkan ke bagian perut Bikhu 
Sokalima, dan sebelah lagi berada di atas dadanya. 
Tangan yang berada di atas dada itu mengejang berge-
taran. Sedangkan yang menempel di perut si nenek ke-
pulkan uap putih. Ternyata dia sedang berusaha me-
nyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh si nenek puncak 
Ratawu itu untuk mengusir racun.
Wibisana tersenyum melihatnya. Ada harapan 
dapat tertolong! Pikir si Penunggang Kuda Setan ini. 
Akan tetapi tiba-tiba wajah pemuda ini menegang. Ke-
palanya berpaling ke kiri dan kanan. Sepasang matanya

menyebar ke beberapa arah.
"Bedebah! Iblis pembunuh kedua orang tuaku 
itu tak boleh lolos lagi hari ini...!" Desis Wibisana.
"Paman, aku harus segera pergi menyusul Resi 
palsu itu untuk membalas dendam pati!"
Berkata Wibisana. Dan tanpa menunggu jawa-
ban juga tak perlu menunggu jawaban sang Tumeng-
gung itu karena dia tahu orang tua itu sedang berusaha 
keras menolong Bikhu Sokalima. Wibisana sudah ber-
kelebat melompat ke atas punggung kudanya. Tak lama 
terdengar suara ringkik sang kuda hitam yang sekejap 
sudah mencongklang pesat bagai deru angin tanpa me-
nimbulkan suara tampak kakinya. Sesaat si Penung-
gang Kuda Setan telah melenyap. Diam-diam Kutut Ma-
ja telah melihat kejadian itu, karena matanya sedikit 
terbuka.
"Ah...!? Apakah dia telah mewariskan ilmu dari 
Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam...?"
Desisnya pelahan. Luar biasa...! Gerakannya ba-
gaikan siluman! Sentak hatinya. Bibirnya menampak-
kan senyum. Akan tetapi hatinya membatin. Ah, entah 
kemanakah gerangan kakang Kutut praja Setha .... Ka-
lau dia yang telah mengajarkan ilmu dalam kitab yang 
telah diwariskan pada bocah itu, tentu dia masih hidup!
"Bocah itu memang patut dijuluki si Penunggang 
Kuda Setan. kuda dan penunggangnya sama-sama aneh 
dan menakjubkan! Semoga dendam bocah itu dapat ce-
pat terbalaskan!" Gumamnya lirih. Dan terdengar laki-
laki tua itu menghela napas panjang. Ternyata usa-
hanya menyembuhkan Bikhu Sokalima membawa hasil 
memuaskan. Wanita tua dari puncak Ratawu itu sudah 
buka kelopak matanya. Tak lama tubuhnya mulai ber-
gerak-gerak, dan dengan mengeluh lirih, dia sudah be-
rusaha untuk bangkit duduk.
"Hehehe... sukurlah kau bisa tertolong, nini Bik

hu!" Berkata Kutut Maja. Nampak wajah si nenek yang 
pucat itu pelahan mulai berobah merah. Bahkan sebe-
lah lengannya yang lumpuh dan kehitaman sudah da-
pat menipis. Sementara sejak tadi uap hitam terus me-
rembus keluar dari telapak tangannya.
"Ah! Kau hebat sekali Tumenggung! Terima ka-
sih atas pertolonganmu...!" Sang Tumenggung tua ini 
cuma tersenyum seraya berkata.
"Cuma sedikit kepandaian yang kupunyai, ke-
sembuhan mu hakekatnya adalah Kebesaran Tuhan ju-
ga yang masih memberi kau umur panjang, Nini Bikhu!" 
Nenek puncak Ratawu itupun manggut-manggut den-
gan tersenyum.
Ketika matahari mulai condong ke arah barat, 
kedua tokoh tua itu sudah berkelebat pergi tinggalkan 
tempat itu. Ternyata Tumenggung Kutut Maja telah 
mengajak Bikhu Sokalima menuju ke lembah SOKA un-
tuk bergabung dengan para pejuang lainnya.
***
Kita ikuti langkah-langkah Roro Centil.... Sulit 
untuk menerka kemana tujuan si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu. Ternyata sejak berpisah dari si Penung-
gang Kuda Setan, Roro tidak terus menuju ke lembah 
SOKA. Akan tetapi diam-diam terus mengikuti kemana 
perginya pemuda berkuda itu, yang diketahui memang 
mencari musuh-musuh besarnya. Rasa penasaran un-
tuk bisa. mengetahui wajah dibalik topeng Tengkorak 
laki-laki misterius itu akhirnya terbuka juga.
Ketika tengah terjadi pertarungan di halaman 
gedung Kadipaten Kerajaan Swarna Mega, ternyata Roro 
sudah mengetahui, akan tetapi tak memunculkan diri. 
Sengaja ingin melihat kehebatan, serta mengetahui wa-
jah laki-laki bertopeng tengkorak itu. Dan memang akhirnya Roro segera dapat melihat jelas ketika si Penung-
gang Kuda Setan membuka topengnya di hadapan mu-
suh besarnya.
Akan tetapi ketika Resi Parto Kendal melarikan 
diri di saat si Penunggang Kuda Setan tengah bertarung 
melayani Adipati Romo Sepuh alias Braja Pati, yang ter-
nyata adalah salah seorang dari musuh besarnya, Roro 
segera menguntitnya. Ternyata Resi Parto Kendal yang 
tak lain dari Arya Rudita yang pernah bergelar si Silu-
man Sungai Kuning itu tak berlari jauh, akan tetapi 
menonton pertarungan dari tempat persembunyiannya. 
Kemunculan Tumenggung Kutut Maja dan si Penung-
gang Kuda Setan membuat nyalinya menjadi ciut. Apa-
lagi menyaksikan bahwa si Penunggang Kuda Setan itu 
tak lain dari Wibisana, yang sudah jelas telah mewarisi 
ilmu dari Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam yang di 
incarnya. Saat Braja Pati tewas di tangan pemuda ber-
kuda itu, sang Resi segera berkelebat melarikan diri 
dengan tubuh kucurkan keringat dingin.
"Eh, Resi...! Mau kemana kau...? Mengapa ter-
buru-buru pergi?" Tiba-tiba Roro sudah berkelebat 
menghadang. Tentu saja sang Resi Palsu ini jadi tersen-
tak kaget, karena tahu-tahu di hadapannya telah berdiri 
sesosok tubuh semampai berwajah jelita.
"Siapa kau, bocah perempuan...?" Bentak sang 
Resi.
"Hihihi... namaku Roro Centil! Tampaknya kau 
ketakutan sekali melihat kemunculan si Penunggang 
Kuda Setan. Apakah dia musuh besarmu...?"
"Perduli apa dengan urusanku! Menyingkirlah 
kau bocah...!" Bentak Resi Parto Kendal dengan men-
dongkol, namun dengan hati kebat-kebit. Apakah bocah 
centil inipun salah seorang musuh? Gerakannya ringan 
sekali, tentu berilmu tinggi...! Gumam hatinya.
"Hihi... aku tak akan pergi menyingkir sebelum

kau jawab pertanyaanku!" Berkata Roro dengan berto-
lak pinggang.
Mata Resi ini melotot karena gusarnya. Akan te-
tapi hatinya memikir. Hm kalau kuladeni bisa-bisa aku 
akan tertahan lebih lama lagi disini...! Akan gagallah tu-
juanku untuk menyeberang ke Istana Kerajaan Pugar 
Alam. Aku harus secepatnya menyeberang kesana, se-
belum terlambat. Aku yakin Ratu Permaisuri SINOM 
SARI dan Baginda Raja Nara Syiwa akan dapat memper-
tahankan Istananya, dan memusnahkan para pembe-
rontak dari tiga Kerajaan jajahannya! Berfikir demikian 
Resi Parto Kendal alias Arya Rudita ini segera memutar 
otak untuk dapat lolos dari daerah ini, secepatnya.
"Baiklah, aku akan jawab pertanyaanmu, bocah 
centil! Akan tetapi kau harus pegang janjimu untuk le-
kas menyingkir bila telah kujawab!" Ujarnya dengan su-
ara datar menahan kemendongkolan hatinya.
"Baik...! Aku akan pegang janji. Setelah kau ja-
wab pertanyaanku, silahkan kau lewat dengan aman!" 
Ujar Roro dengan serius.
"Si Penunggang Kuda Setan itu adalah bekas 
muridku! Dia telah mendurhakai aku gurunya, dan
mencuri kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam dari tan-
ganku! Tentu saja bocah setan itu adalah musuh besar-
ku...! Nah! Kau sudah mengerti bukan? Aku tak dapat 
menandinginya dengan ilmu yang cuma segelintir pada-
ku ini....! Makanya aku terpaksa melarikan diri, untuk 
kelak membunuh mampus bocah durhaka itu...!" Tutur 
sang Resi berdusta.
"Oooh, begitu ....!" Tukas Roro dengan manggut-
manggut.
"Sungguh jahat sekali muridmu itu...!"
"Baiklah, aku akan memberimu jalan! Tapi... eh, 
tunggu dulu!" Teriak Roro. Resi ini sudah mau beranjak 
untuk melompat pergi, ketika Roro menyingkir ke tepi

jalan yang akan dilalui.
"Apa maumu lagi, bocah centil?" Tanyanya. Ter-
paksa dia tahan langkahnya.
"Boleh aku tahu kemana tujuanmu...?" Tanya 
Roro sambil garuk-garuk tengkuknya yang
gatal.
"Aku mau ke arah selatan...!" Sahut sang Resi, 
dan sambungnya lagi.
"Cukup dengan pertanyaanmu itu! Apakah kau 
mau mengingkari janjimu?"
"Hihihi.... ah, tidak! Silahkanlah kau lewat..." 
Ujar Roro nyengir. Tak ayal Arya Rudita sudah kele-
batkan tubuhnya untuk berlalu dengan cepat. Dan se-
bentar saja sudah lenyap dibalik rimbunnya pepohonan 
di atas bukit.
***
SEBELAS


Bocah perempuan yang genit dan aneh!? Apa 
maunya menanyakan segala tetek bengek! Bagusnya dia 
tak menyulitkanku...!" Gumam Arya Rudita sambil per-
cepat langkahnya. Tak berapa lama tempat yang dituju 
sudah kelihatan. Itulah tepian telaga berkabut, dimana 
di tengah telaga berdiri Istana Kerajaan PUGAR ALAM. 
Wajah laki-laki tua ini bersitkan sinar cerah. Karena tak 
lama lagi dia akan segera tiba di tempat yang aman. 
Memikir demikian, segera makin dipercepat tindakan 
kakinya.
Akan tetapi laki-laki tua ini sudah merandek 
dengan wajah pucat. Apakah yang dilihatnya?. Ternyata 
di hadapannya telah berdiri seekor harimau tutul sebesar kerbau yang menghadang di tengah jalan.
"Hah?! Edan! Dari mana munculnya makhluk 
ini....?" Desis Resi Parto Kendal dengan mata membe-
liak. Karena tak mau berurusan dengan si Raja Rimba 
itu sang Resi segera berkelebat ke lain arah. Akan tetapi 
lagi-lagi sang harimau tutul telah berada lagi di hada-
pannya menghadang jalan yang akan dilalui.
"Keparat...!" Memaki Arya Rudita, sementara ka-
kinya sudah melangkah mundur. tetapi harimau tutul 
itu tak mengejar. Cuma menggeram menatap padanya. 
Bahkan selonjorkan kaki di tengah jalan, lalu menguap 
memperlihatkan deretan gigi dan taringnya yang runc-
ing-runcing.
Bolak-balik Resi itu mencari jalan untuk bisa 
meneruskan perjalanan ke tempat tujuannya, akan te-
tapi selalu saja sang harimau tutul itu menghadang ja-
lan. Lama-kelamaan resi ini jadi tak sabar untuk segera 
bertindak. Segera sudah menerobos cepat disaat sang 
harimau belum menampakkan diri. Akan tetapi tiba-
tiba...
BUK!
Satu hantamam yang tak kelihatan telah mem-
buat tubuhnya terlempar kembali ke tempat semula, 
dan jatuh bergulingan.
"Setan keparat...!" Makinya. Akan tetapi keringat 
dingin sudah keluar membasahi sekujur tubuh. Dan 
tampak harimau tutul itu sudah berada di hadapannya 
lagi menghadang jalan.
"Oh, habislah aku hari ini...! Akan tertunda wak-
tuku untuk menyeberangi telaga! Gumamnya dengan 
wajah pucat pias. Setelah diperhatikan baik-baik, yakin-
lah Resi ini kalau harimau tutul itu bukan harimau bi-
asa.
"Pasti ada yang mengecohku agar langkahku jadi 
tertunda...! He? Jangan-jangan perbuatan si perawan

centil itu? Apakah dia punya piaraan makhluk harimau 
siluman...?" Desisnya tersentak. Baiknya aku cari jalan 
lain, atau pura-pura aku kembali lagi... Berkata sang 
Resi dalam hati.
Dan dia sudah putar tubuh untuk kembali me-
nuju ke arah utara. Kira-kira sepenanak nasi, laki-laki 
tua ini bergerak memutar, setelah beberapa saat berke-
lebatan cepat dengan mengerahkan ilmu larinya. Kini 
dia menuju arah timur, yang untuk kemudian merobah 
arah menuju lagi ke selatan.
Di satu sisi bukit dicobanya untuk berhenti den-
gan menyelinap kebalik batu, mengamati ke sekitar 
tempat. Tampaknya suasana aman, karena tak ada ter-
lihat bayangan tubuh harimau siluman itu. Akan tetapi 
begitu Resi ini munculkan diri sungguh terkejut bukan 
kepalang, karena tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda 
tak seberapa jauh dari situ.
"Ah!? Celaka...!" Sentaknya dengan suara terge-
tar. Jelas itulah tanda-tanda kemunculan si Penung-
gang Kuda Setan. Belum lagi dia angkat kaki untuk me-
lesat dari situ, sudah terdengar suara bentakan keras. 
"Iblis keparat, pembunuh ayah ibuku...! Jangan harap 
kau dapat melarikan diri lagi...!" Dan tahu-tahu di ha-
dapannya telah muncul seekor kuda hitam dengan pe-
nunggangnya yang duduk tegak di atas punggung kuda. 
Jubah merahnya berkibaran tertiup angin yang mem-
bersit dari arah perbukitan.
Resi Parto Kendal tak dapat berkutik lagi. Akan 
tetapi mana manusia itu mau unjukkan diri takut 
menghadapi si Penunggang Kuda Setan? Bahkan sudah 
lebih dulu menerjang ganas dengan tongkat peraknya.
WHUKK....! WHUKK....! Walaupun sebelah len-
gannya sudah tak mempunyai telapak lagi, ternyata 
masih dapat digunakan untuk menghantam lawan. Dan 
tongkat peraknya digunakan sebaik-baiknya. Dua serangan beruntun dan terjangan sebelah lengannya yang 
buntung itu cuma lolos lewat ketika si Penunggang Ku-
da Setan melompat setinggi lima tombak. SRET...! Pe-
dang kayu si Penunggang Kuda Setan telah tercabut ke-
luar dari serangkanya.
Satu bentakan keras dari pemuda bernama Wi-
bisana itu sudah terdengar menggeledek dibarengi ter-
jangan kilat ke arah leher Resi Parto Kendal. Namun 
dengan jatuhkan diri ke arah samping dia masih mam-
pu menghindarkan diri.
Bahkan tongkat peraknya sudah membersitkan 
ratusan jarum berbisa menyerang lawan. Saat itu Wibi-
sana dalam keadaan mengambang di udara. Tampak 
terkejut pemuda ini. Akan tetapi pada saat gawat itu se-
rangkum angin telah menyambar buyar jarum-jarum 
maut itu. Dalam keadaan heran, si Penunggang Kuda 
Setan sudah kirimkan tabasan kilat ke arah leher Resi 
Parto Kendal alias si Siluman Naga Buntung. Terperan-
gah Resi ini karena justru dia sedang dalam posisi yang 
tak menguntungkan.
DHESS...! Tanpa sempat berfikir lagi, sang Resi 
ini sudah lenyap suaranya. Karena sekejap mata leher-
nya sudah tertabas putus. Menggelindinglah kepala To-
koh Rimba Hijau yang pernah membuat bermacam 
keonaran itu. Darah menyemburat memancar dari ba-
tang tubuhnya yang sudah tak berkepala. Dan ambruk 
ke tanah tanpa berkelojotan lagi.
Angin pegunungan membersit keras, meluruk-
kan daun-daun kering yang berjatuhan ke tanah. Se-
saat antaranya tubuh pemuda itu sudah melesat ke 
atas punggung kudanya. Dan kejap berikutnya sudah 
tinggalkan tempat itu dengan diiringi suara ringkik ku-
da.
Bersamaan dengan berkelebatnya si Penunggang 
Kuda Setan. Sebuah bayangan melesat menyusul pemuda berkuda itu. Dialah Roro Centil, yang barusan te-
lah membantu menghalau jarum-jarum berbisa dengan 
pukulan jarak jauhnya. Angin pukulan dara Perkasa 
Pantai Selatan itu telah buyarkan jarum-jarum maut 
Resi Parto Kendal, tanpa diketahui lagi oleh si Penung-
gang Kuda Setan.
Kalau Wibisana melesat dengan Kuda Siluman-
nya yang luar biasa itu, adalah Roro Centil meluncur di 
belakangnya dengan duduk di atas punggung si Hari-
mau Tutul sahabatnya. Hingga yang tampak adalah dua 
bayangan kilat melesat cepat bagaikan angin, melewati 
bukit dan ngarai. Ke manakah tujuan mereka? Ternyata 
Roro telah kirimkan suara melalui tenaga dalamnya 
yang hebat ke telinga pemuda itu.
"Sobat Wibisana...! Apakah kau mau menuju ke 
lembah SOKA...?". Tentu saja si Penunggang Kuda Se-
tan terkejut. Ketika itu juga sudah hentikan lari ku-
danya. Tampak di belakangnya sebuah bayangan me-
nyusulnya. Lalu berhenti pula di hadapannya kira-kira 
lima tombak di atas bukit itu. Terperangah seketika Wi-
bisana melihat gadis ayu yang belum lama dikenalnya 
itu tengah duduk tegak di atas punggung seekor hari-
mau tutul yang amat besar.
"Ah!? Kiranya anda... nona Roro Centil...!" Roro 
mengangguk sambil tersenyum, lalu tepuk leher si ha-
rimau tutul untuk segera mendekat ke tempat pemuda 
itu. Tiba-tiba kuda hitam Wibisana perdengarkan ring-
kikannya seraya melonjak-lonjak mengangkat kedua 
kaki depannya. Tampaknya seperti takut melihat hari-
mau tutul di hadapannya itu. Akan tetapi tak lama su-
dah dapat tenang kembali. Roro tersenyum manis se-
raya berkata.
"Aiiih, agaknya kudamu baru mengenal binatang 
sahabatku ini...!"
"Biarlah mereka saling kenal mengenal. Bukan

kah kitapun baru saja saling mengenal...?" Tukas Wibi-
sana.
"Benar juga katamu, sobat Wibisana...! Eh, ya... 
mengapa tak kau pakai topeng setanmu lagi?" Tanya 
Roro seraya melompat turun dari punggung si Tutul.
"Kukira tak perlu lagi! Musuh besarku sudah 
kukirim nyawanya ke Akherat. Walaupun masih dua 
orang lagi yang belum kutemukan...! Namun sudah cu-
kup puas hatiku. Dendam pati itu sedikitnya telah ter-
balaskan...!" Berkata Wibisana. Kemudian laki-laki in-
ipun melompat turun dari punggung kuda hitamnya.
"Oh, ya...! Boleh aku tahu siapa kedua orang lagi 
musuh besarmu itu?" Tanya Roro lagi. Sementara ma-
tanya melirik pada kedua binatang Siluman yang tam-
pak saling mendekati. Akan tetapi tampaknya mengerti 
kalau mereka tak boleh bermusuhan, seperti juga ke-
dua majikan. mereka. Dan tampak saling tatap dengan 
mengendus-ngendus hidungnya. Wibisana menghela 
napas, seraya sahutnya.
"Mereka adalah dua orang yang pernah turut 
menganiayaku di puncak Argasomala. Juga manusia 
yang telah merencanakan pembunuhan pada guruku...! 
Mereka bernama Kala Butho dan Dasa Mukti...!". Roro 
manggut-manggut mendengarkan penuturan singkat 
Wibisana.
"Ceritamu menarik sekali, sobat Wibisana...! Ka-
lau kau tak keberatan, ceritakanlah selengkapnya. Aku 
juga ingin tahu siapa gerangan gurumu itu. Muridnya 
begini hebat, tentu gurunya seorang yang amat sakti...!" 
Ujar Roro.
"Ah, baiklah! Bagaimana kalau kita bicara sam-
bil jalan saja?"
"Kudamu...?" Tanya Roro. Wibisana tak menja-
wab, akan tetapi tepukkan lengannya satu kali, dan se-
kejap si kuda hitam itu sudah melenyapkan diri. Roro

pun segera beri isyarat pada si Tutul. Dan binatang si-
luman itu segera tak menampakkan diri.
Demikianlah... Wibisana segera tuturkan secara 
keseluruhan riwayat dirinya pada Roro. Entah mengapa 
pemuda ini tak mampu untuk menolak. Senyum manis 
dan kerlingan mata wanita Pantai Selatan itu membuat 
hatinya terasa bergetar aneh. Saat itu seperti dia me-
nemukan sebuah jarum dari dasar laut. Selama ini Wi-
bisana tak pernah mempunyai sahabat wanita. Dan un-
tuk pertama kalinyalah dia jalan dan mengobrol berdua 
dengan wanita. Sementara Mentari semakin condong ke 
arah barat. Pantulkan sinar merahnya dari balik perbu-
kitan, yang tampak indah sekali.
Kedua remaja berlaian jenis itu tampak akrab 
sekali, seperti sepasang Sejoli yang tengah bercinta, 
membicarakan soal asmara.
***
Untuk lebih lengkapnya kisah Wibisana itu, ma-
rilah kita menengok pada kejadian delapan tahun yang 
silam di puncak Argasomala. Yaitu pada kejadian le-
nyapnya mayat Ki KUTUT PRAJA SETHA dan tewasnya 
Wibisana yang dibunuh oleh ketiga murid si Penghuni 
puncak Argasomala itu sendiri. Ketiga orang itu adalah 
Braja Pati, Dasa Mukti dan Kala Butho. Ternyata ketiga 
laki-laki itu adalah murid Arya Rudita alias si Siluman 
Naga Buntung, yang pernah juga bergelar si Siluman 
Sungai Kuning.
Arya Rudita mengutus ketiga muridnya untuk 
berguru ke puncak Argasomala adalah dengan satu 
maksud, yaitu mencuri Kitab Pusaka Pulau Tengkorak 
Hitam. Namun tak membawa hasil. Selama tiga tahun 
mereka berguru pada Ki Kutut Praja Setha. Akhirnya 
ketiga murid murtad Ki Kutut Praja Setha itu meminta

bantuan pada seorang Dukun Sakti yang bergelar si 
Dewi Setan Kemangmang, untuk membunuh Ki Kutut 
Praja Setha. Ketiga murid murtad itu sudah melihat 
bukti kematian guru kedua mereka, di Pesanggrahan 
puncak Agrasomala. Namun ternyata mayat kakek itu 
lenyap disaat mereka menganiaya Wibisana yang men-
jadi kacung atau pembantu di Pesanggrahan itu.
Kemanakah lenyapnya mayat Ki Kutut Praja Se-
tha?. Sebenarnya Ki Kutut Praja Setha tidak tewas...! 
Mayat yang dilihat ketiga murid itu adalah sebongkah 
batu. Dengan kesaktiannya yang dimiliki, Kutut Praja 
Setha berhasil menipu pandangan Braja Pati, Dasa 
Mukti dan Kala Butho. Kekuatan Ilmu TELUH yang di-
pergunakan si Dewi Setan Kemangmang itu telah me-
nemui sasaran yang salah. Karena Kutut Praja Setha te-
lah berhasil menukar terlebih dulu raganya dengan se-
bongkah batu yang telah dipersiapkan. Naluri tokoh 
sakti tokoh puncak Argasomala itu teramat peka. Dia 
telah mengetahui bakal terjadi bencana yang menimpa 
tempat tinggalnya.
Hingga bukan saja berhasil menipu si tiga murid 
murtadnya, akan tetapi menipu juga si Dukun Sakti 
Dewi Setan Kemangmang itu, yang mengirimkan seran-
gan ilmu hitam melalui siluman jahat! Dengan demikian 
tahulah Kutut Praja Setha akan watak ketiga muridnya 
itu. Bahkan mengetahui pula maksud tujuan mereka 
sebenarnya, yang didalangi oleh gurunya. Yaitu Arya 
Rudita alias kakek tua sakitan yang mengaku bernama 
Parto Kendal.
Ilmu MALIH RAGA itu adalah salah satu dari il-
mu yang berada dalam Kitab Pusaka Pulau Tengkorak 
Hitam, yang telah berhasil dikuasai. Bahkan selanjut-
nya Kakek penghuni puncak Argasomala itupun meno-
long Wibisana. Yaitu mengganti tubuhnya dengan se-
buah ranting kayu. Tentu saja Wibisana sendiri terkecoh. Karena dari tempat persembunyiannya bersama Ki 
Kutut Praja Setha, dia telah saksikan tubuhnya sendiri 
telah diikat dengan tiga utas tambang, lalu ditarik tiga 
ekor kuda hingga tubuh palsu pemuda itu beserpihan 
menjadi tiga bagian. Hampir saja pemuda dungu itu 
berteriak karena ngerinya. Untung Ki Kutut Praja Setha
telah cepat menekap mulutnya.
Setelah membakar Pesanggrahan ketiga murid 
durhaka itu tinggalkan puncak Argasomala, setelah ter-
lebih dulu mengacak-acak kamar semadhi Kutut Praja 
Setha mencari Kitab Pusaka. Namun tak membawa ha-
sil.
Demikianlah kisah sebenarnya. Hingga kemu-
dian Wibisana menjadi murid tokoh sakti itu, dan me-
warisi ilmu dari Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam.
***
DUA BELAS


Bau sedapnya daging panggang yang berhembus 
dari atas bukit itu membangkitkan selera orang yang 
kebetulan lewat tak jauh dari bukit itu.
"Aih.... perutku mendadak lapar...!" Berkata Ro-
ro seraya mengelus perutnya. Hidungnya sudah men-
gendus bau sedap dari puncak bukit itu.
"Eh, Wibisana! Bagaimana kalau kita singgah ke 
tempat orang memanggang daging itu? Kukira dia tak 
keberatan kalau kita memintanya barang sedikit...!" Be-
lum lagi Wibisa menyahut, Roro sudah berkelebat.
"Ah? Gadis aneh...!" Gumam Wibisana dengan 
gelengkan kepala. Sikap Roro itu di nilainya seperti si-
kap seorang laki-laki saja. Akan tetapi diapun memang

rasakan perutnya lapar. Mau tak mau Wibisana segera 
beranjak menyusul. Akan tetapi tak lama segera mena-
han langkahnya. Dilihatnya Roro sudah berdiri di hada-
pan seseorang yang sedang membolak-balik panggang 
daging kelinci pada sebuah api unggun. Di belakang 
orang itu ada sebuah gubuk kecil beratap rumbia. Ca-
haya api pada senja yang kian temaram itu jelas me-
nampakkan wajah orang itu. Dan jantungnya jadi ber-
detak keras. Karena itulah wajah Dasa Mukti. Wibisana 
takkan lupa melihat mimik wajah serta rambutnya yang 
keriting itu.
"Hehehe... tampaknya kau lapar, nona...! Apa-
kah kau ingin mencicipi daging panggang kelinciku?" 
Bertanya laki-laki itu. Wajahnya tampak menyeringai 
tersenyum melihat kedatangan seorang gadis ayu yang 
sebentar kemudian sudah berdiri di dekatnya.
"Benar sekali dugaanmu, paman...! Kalau kau 
sudi membaginya sedikit padaku untuk berdua aku 
makan dengan sahabatku, aku amat berterima kasih 
sekali!" Ujar Roro dengan tersenyum.
"Berdua...?" Tanya orang itu yang ternyata me-
mang Dasa Mukti adanya. Cepat sekali Dasa Mukti jela-
latkan matanya mengintari tempat itu dengan pandan-
gan mata tajam. Akan tetapi tak dilihatnya ada siapa-
siapa. Tentu saja, karena Wibisana sudah pergunakan 
ajian Halimunan untuk melenyapkan diri.
"Siapa yang datang...?" Tahu-tahu terdengar su-
ara dari dalam gubuk. Dan sesosok tubuh sudah me-
lompat keluar. Ternyata seorang laki-laki kekar yang te-
lanjang dada, menampakkan bulu-bulu dadanya yang 
lebat. Roro palingkan wajahnya menatap pendatang itu. 
Sepasang mat si laki-laki kekar itu mendadak berbinar 
menatap Roro, dan sudah rayapi sekujur tubuh gadis di 
hadapannya dari kepala sampai ke kaki.
Saat itu telinga Roro sudah menangkap suara

seperti orang terisak menangis, dari dalam gubuk Roro 
krenyitkan alisnya, dan tiba-tiba sudah bergerak me-
lompat masuk ke dalam gubuk yang pintunya masih 
menjeblak terbuka. Apakah yang dilihat Roro?... Ternya-
ta seorang wanita tengah terisak menutupi wajahnya di 
atas pembaringan, dengan keadaan tubuh telanjang bu-
lat. Serpihan-serpihan bajunya berserakan disana-sini.
Tahulah dia apa yang telah terjadi.
"Bedebah...!" Desis Roro. Dan dia sudah melesat 
lagi keluar dari dalam pondok. Akan tetapi pada saat itu 
dua bayangan tubuh telah menyergapnya. Kalau saja 
bukan Roro Centil yang saat itu disergap mereka, tentu 
dua laki-laki itu sudah berhasil meringkusnya. Akan te-
tapi hati mereka jadi mencelos, karena pada saat itu Ro-
ro justru pentangkan lengan dan kaki dengan gerakan 
cepat sekali.
BHUK! DHES....! Akibatnya kedua laki-laki itu 
terlempar bergulingan. Seorang kena tendangan kaki, 
dan seorang lagi terkena jotosan lengan Roro. Namun 
dengan cepat kedua laki-laki itu sudah melompat berdi-
ri. Ternyata keduanya tak lain dari Kala Butho dan Da-
sa Mukti adanya. Keadaan gawat akibat diserangnya 
Kerajaan Swarna Bumi dan Songgo Langit yang dikua-
sai oleh kedua tokoh ini, sebagai orang-orang dari Kera-
jaan PUGAR ALAM, membuat mereka menyingkirkan 
diri mencari keselamatan. Karena banyaknya kaum 
Pendekar dari tokoh Rimba Hijau yang datang bermun-
culan, membantu pemberontakan rakyat kedua Kera-
jaan jajahan itu.
Tak dinyana akibat ulah mereka yang brutal, 
terpaksa harus berurusan dengan Roro Centil sang 
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Bahkan saat itu juga 
sudah terdengar suara ringkik kuda... Dan muncullah 
di tempat itu si Penunggang Kuda Setan.
"Heh! Dasa Mukti! Kala Butho...! Tak ada cara
baik lagi bagi kalian, selain serahkan nyawa mu dengan 
segera...!" Berkata Wibisana yang sudah kenakan lagi 
topeng tengkoraknya. Terperangah Kala Butho dan Da-
sa Mukti melihat kemunculan si penunggang kuda ber-
wajah Tengkorak yang muncul dengan misterius. Tahu-
lah mereka kalau berhadapan dengan tokoh berilmu 
tinggi. Akan tetapi kedua manusia ini memang tak gen-
tar untuk menghadapinya, karena mereka juga punya 
bekal ilmu hitam yang belum dikeluarkan. Sementara 
Roro Centil segera mengetahui kalau kedua manusia itu 
adalah justru musuh besar si Penunggang Kuda Setan 
yang tengah dicarinya.
"Bagus! Sementara mereka bertempur, aku yang 
makan besar!" Gumam Roro. Sekaligus bergerak, Roro 
Centil sudah menyambar panggang daging kelinci di 
atas bara api unggun.
"Hihihi... silahkan kau lunasi hutangmu, Wibi-
sana! Aku mengisi perutku dulu yang lapar...!" Berkata 
Roro dengan mengerling.
"Silahkan nona Roro Centil! Rasa laparku akan 
segera hilang, bila sudah membunuh mampus kedua 
manusia durhaka ini ...!" Sahut si Penunggang Kuda Se-
tan. Terperangah seketika Kala Butho dan Dasa Mukti.
"Dia dia si Wibisana, kacung dungu itu?" Desis Kala Bu-
tho, yang segera saling pandang pada kawannya.
"Benar! Akulah Wibisana! Kacung dungu Ki Ku-
tut Praja Setha! Kedatanganku adalah untuk mewakil-
kan beliau mengirim nyawa kalian ke Neraka!" Memben-
tak si Penunggang Kuda Setan. Seraya berkata, si Pe-
nunggang Kuda Setan telah lepaskan topengnya, Senga-
ja dilakukan agar membuat mereka terkejut. Tampak 
keduanya segera belalakkan mata memandang wajah si 
laki-laki penunggang kuda. Yaitu wajah seorang pemu-
da yang menampak seperti wajah orang dungu.
Seketika jantung mereka menyentak kaget Karena mengetahui Wibisana telah tewas ditangannya. Otak 
mereka tak mampu memikirkan lebih lanjut, karena se-
gera Dasa Mukti memberi isyarat untuk siap siaga. La-
ki-laki ini cepat cabut senjatanya yang terselip di ping-
gang. Sebuah rantai berujung sebuah tengkorak lengan 
dari besi telah tercekal ditangannya. Sementara Kala 
Butho tercenung sejenak. Senjatanya berada di dalam 
gubuk. Tiba-tiba dia sudah melompat. menerobos ma-
suk dari jendela.
BRAKK! Jendela kayu itu sudah jebol diterjan-
gya. Terdengar suara menjerit dari dalam. Itulah suara 
wanita yang telah disekapnya, yang jadi terkejut karena 
melihat jendela terjebol berantakan. Sekejap tubuh Kala 
Butho sudah berada di dekatnya. Lengan laki-laki itu 
bergerak cepat menyambar sebuah kapak bermata lebar 
yang menyandar di sisi pembaringan. Baru saja lengan-
nya mencekal gagang kapak, sesosok tubuh sudah ber-
kelebat ke dalam.
"Hm! Cepatlah kau keluar lagi!" terdengar suara 
dingin di belakangnya. Ternyata Roro Centil yang sudah 
berkelebat masuk menyusul yang mengkhawatirkan Ka-
la Butho melarikan diri. Juga khawatir mencelakai si 
wanita sekapan yang berada di dalam pondok.
"Heh!?" Mendengus Kala Butho. Sekejap dia su-
dah balikkan tubuh, dan tiba-tiba langsung tabaskan 
senjata yang dicekalnya.
WHUUT...! WWHUKK...!. BHRAAKKKK...! Terpe-
kik Kala Butho, karena sekejap tubuhnya sudah ter-
lempar keluar menjebol dinding anyaman bambu pon-
dok itu, dan terlempar keluar. Roro yang masih meme-
gangi tusukan panggang daging kelinci di tangannya, 
bahkan masih komat-kamit mulutnya mengunyah, se-
ketika jadi terkejut karena Kala Butho menyerangnya. 
Namun dengan melompat, tabasan maut itu lolos. Sece-
pat kilat kakinya lakukan tendangan keras, hingga tak

ampun tubuh Kala Butho terlempar keluar menjebol 
dinding.
Dengan terhuyung laki-laki ini bangkit berdiri. 
Untung pedangnya tak terlepas dari genggamannya. 
Saat itu sudah terdengar bentakan keras.
"Manusia-manusia laknat...! Segera terimalah 
kematianmu...!" Secercah sinar berkelebat menghantam 
tubuh Kala Butho. Laki-laki ini tak sempat berkutik la-
gi. Kilatan itu begitu cepat datangnya. Dan...
BHUSSSS... Sekejap tubuh manusia ini telah 
terbakar hangus diiringi teriakan menyayat hati. Dan 
roboh ke tanah untuk tidak berkutik lagi.
Sekujur tubuhnya menghitam hangus, hingga 
mengelupas kulitnya menampakkan tulang-tulangnya 
yang memutih. Sesosok tubuh telah berdiri di tempat 
itu. Seorang tua berjubah putih dengan kumis dan 
jenggotnya yang panjang menjuntai.
"Guru...!" Teriak si Penunggang Kuda Setan ter-
sentak. Kiranya kakek tua renta itu tak lain dari Ki Ku-
tut Praja Setha. Melihat siapa yang datang, Dasa Mukti 
terperangah dengan mata membelalak. Wajahnya pucat 
pias bagai mayat. Dan tubuhnya sudah bergetaran he-
bat, dengan keringat mengucur di sekujur tubuh. Senja-
tanya pun terlepas dari tangannya. Dan dia sudah ja-
tuhkan diri berlutut di tanah.
"Guru...! Ampunilah kesalahanku...!" Berkata 
Dasa Mukti dengan suara Parau. Nyalinya sudah ter-
bang seketika, karena dia tak akan sanggup menyela-
matkan nyawanya lagi. Kemunculan demi kemunculan 
dari orang-orang yang telah dibunuhnya bersama sau-
dara seperguruannya, juga melalui tangan si Dukun 
Sakti Dewi Setan Kemangmang, membuat dia ketakutan 
sekali. Seolah-olah berhadapan dengan hantu para ar-
wah dari alam Akhirat.
"Kesalahanmu teramat besar, Dasa Mukti Gurumu si Arya Rudita dari Braja Pati sudah mampus ter-
lebih dulu! Kini adalah giliranmu menyusul mereka ke 
Neraka! Kau tidak saja turut melakukan kejahatan 
membunuh Wibisana dengan cara keji, akan tetapi telah 
mengangkat guru pada si Dewi Setan Kemangmang Du-
kun Sesat itu!
"Aku sudah mengetahui siapa adanya Ratu Per-
maisuri SINOM SARI yang menguasai Kerajaan Setan 
PUGAR ALAM! Tak lain dari Dukun Sesat Dewi Setan 
Kemangmang gurumu itu! Kau adalah salah seorang 
dari murid si wanita penghamba iblis yang sesat! Otak-
mu sudah di pengaruhi kejahatan...! Maka tak ada jalan 
lain selain kau mati!" Berkata Ki Kutut Praja Setha den-
gan suara dingin. Menggigil seketika tubuh Dasa Mukti.
"Pilihlah diantara tiga! Aku yang turun tangan 
atau muridku Wibisana yang mewakilkan mencabut 
nyawamu! Ataukah kau membunuh diri! Bentak Ki Ku-
tut Praja Setha. Ternyata diam-diam tokoh sakti ini te-
lah mengikuti sepak terjang muridnya si Penunggang 
Kuda Setan. Sekalian untuk menguji kemampuannya 
menumpas para muridnya yang murtad, yang meng-
hamba pada manusia iblis sesat si Dewi Setan Ke-
mangmang. Karena tak sabar, kakek puncak Argasoma-
la itu telah melenyapkan nyawa Kala Butho sekalian 
munculkan diri.
Akan tetapi pada saat itu bersyiur angin keras 
disertai hawa busuk yang memuakkan, Dan...
WHUSSSS...! Tubuh Dasa Mukti lenyap seketi-
ka. Terperangah seketika semua yang berada ditempat 
itu. Pada saat itulah terdengar suara tertawa mengikik 
menyeramkan.
"Hihihihihi... hik hik hik... Kalian orang-orang 
gagah! Silahkanlah datang menyeberang ke Istana Kera-
jaan Pugar Alam di tengah TELAGA BERKABUT! Aku 
menanti kalian... Hihihi... hik hik..." Tampaklah di atas

kepala mereka sejarak dua puluh tombak seekor mak-
hluk menyerupai Kelelawar yang bertanduk, terbang 
melayang berputar-putar. Di atas punggung makhluk 
yang besarnya tiga kali tubuh manusia itu duduk seo-
rang wanita cantik berpakaian Kerajaan. Sementara pa-
da sepasang kaki binatang Kelelawar raksasa itu ter-
cengkeram tubuh Dasa Mukti.
Setelah perdengarkan suara tertawa mengikik 
lagi, tubuh makhluk kelelawar raksasa itupun melesat 
ke angkasa... dan lenyap di kegelapan awan hitam. Se-
jenak mereka terpukau... Roro Centil masih menatap ke 
arah makhluk itu melenyap. Ketika menoleh pada Ki 
Kutut Praja Setha, tampak orang tua itu tundukkan ke-
palanya dengan menghela nafas. Dan ucapannya datar, 
namun penuh semangat.
"Heh...! Kita kaum Pendekar memang saat ini 
menghadapi banyak tantangan! Si Dewi Setan Ke-
mangmang jelas sudah sesumbar. Tentunya dia sudah 
siap menghadapi segala kemungkinan! Dan sudah tu-
gas kita menumpas manusia iblis itu, demi terciptanya 
kedamaian di bumi ini... !"
Roro Centil dan Wibisana sama manggut-
manggut mendengar sabda kakek sakti puncak Arga-
somala itu. Selang sesaat...
"Ah, aku lupa memperkenalkan padamu, guru...! 
Inilah sahabatku dari Pendekar golongan putih. Dia 
bernama RORO CENTIL." Berkata Wibisana yang sudah 
melompat turun dari kudanya. Dan si kuda hitam pun 
sudah melenyapkan diri. Kutut Praja Setha naikkan alis 
putihnya menatap pada Roro. Lengannya sudah berge-
rak mengelus jenggotnya.
"Oh...!? Aku baru teringat akan nama itu, apa-
kah nona yang terkenal dengan julukan si pendekar 
Wanita Pantai Selatan...?" Bertanya si kakek puncak 
Argasomala.

"Hihi... begitulah orang menggelariku, kakek Ku-
tut Praja Setha! Dan aku yang muda ini sungguh amat 
beruntung dapat berkenalan dengan kau orang tua sak-
ti!" Berkata Roro seraya menjura padanya. Roro me-
mang selalu menaruh hormat pada orang-orang terten-
tu yang dikaguminya. Terutama pada para tokoh Rimba 
Persilatan Golongan Putih.
"Hahahaha... sudahlah! Tak perlu banyak pera-
datan! Aku yang tua ini sudah jarang berkelana! Tak 
tahu lagi kalau pada zaman ini sudah muncul seorang 
Pendekar Wanita, yang sepak terjangnya banyak ku-
dengar sejak aku turun gunung lagi!" Berkata Kutut 
Praja Setha. Lalu melirik pada muridnya.
"Hm, Wibisana! Kau masih kurang cukup penga-
laman...! Banyak- banyaklah belajar pada nona Pende-
kar Roro Centil ini...!" Ujarnya dengan suara tandas.
"Baik, guru...! Aku memang merasa kurang dalam hal 
pengalaman!" Sahut Wibisana.
"Ah, ah... ah...! Kalian membuat aku jadi malu 
hati!" Tukas Roro dengan tersenyum.
"Hahaha... mengapa malu? Kenyataan mana bi-
sa dibantah. Bahkan aku yang tua ini merasa sepak ter-
jangku di waktu muda tidaklah membuat aku malu!"
"Nah! Hari sudah menjelang malam! Apakah rencana 
nona Roro selanjutnya?"
"Aku akan mengantarkan dulu wanita yang be-
rada di dalam gubuk, ke tempat tinggalnya!" Berkata 
Roro, yang segera teringat akan wanita korban si Kala 
Butho itu.
"Hm, baiklah! Kukira sebaiknya kalian antarkan 
berdua! Sekalian cari tempat bermalam.
Selanjutnya cepat-cepatlah kalian ke lembah 
SOKA, bergabung dengan para Pendekar lainnya...!" 
Ujar Ki Kutut Praja Setha. Kedua remaja ini mengangguk.

"Nah! Baik-baiklah menjaga diri." Selesai berka-
ta, Kutut Praja Setha berkelebat pergi Sekejap kemu-
dian sudah tak nampak lagi dalam keremangan malam.
Esok harinya...
Mentari baru saja beranjak dari peraduan, dan 
sembulkan diri dari balik bukit. Akan tetapi sepagi itu 
dua sosok tubuh sudah berkelebatan tinggalkan sebuah 
gedung sederhana di satu kota kecil di wilayah itu.
Mereka tak lain Roro dan Wibisana si Penung-
gang Kuda Setan. Selesai mengantar wanita malang itu, 
mereka menginap di sebuah penginapan kecil yang cu-
kup baik dan bersih. Dan menjelang pagi sudah be-
rangkat untuk teruskan perjalan ke lembah SOKA.
"Haii...! Tunggu..!" Satu suara telah memanggil 
dibelakang mereka. Keduanya segera hentikan langkah. 
Dan sesosok tubuh sudah melompat kehadapan mere-
ka. Ternyata seorang laki-laki bercambang bauk lebat.
"Aii...! Joko Sangit! Kau dari mana...?"
"Hahaha... aku menginap di Penginapan itu ju-
ga! Apakah kau tak melihatku?"
"Huh! Kalau aku tahu masakan aku tak mene-
gur mu...!" Tukas Roro.
"Hahahaha .... bukankah kau ada menanyakan 
tempat penginapan pada seseorang?" Tanya Joko San-
git. Roro turunkan alisnya mengerenyit.
"Benar! Pada seorang tua bungkuk yang mon-
dar-mandir di jalanan!" Jawab Roro.
"Hehehehe... itulah aku...!" tukas Joko Sangit.
"Ha...?" Sepasang mata Roro membeliak.
"Hm, aku tahu! Kau sengaja menguntitku bu-
kan? Hihihi... kau tak perlu curiga! Roro Centil bukan 
sebangsa Kuntilanak pencari mangsa!" Ujar Roro den-
gan tersenyum genit, dan cibirkan bibirnya.
"Siapa dia...?" Tanya Joko Sangit, seraya mene-
guk arak yang sedari tadi dicekalnya dalam sebuah guci. Tahulah Roro kalau diam-diam Joko Sangit men-
cemburuinya.
"Hm, kenalkan sahabatku yang baru turun gu-
nung ini. Namanya Wibisana alias si Penunggang Kuda 
Setan! Dia murid Ki Kutut Praja Setha...!" Ujar Roro.
"Ah...!? Selamat jumpa sobat Wibisana!" Seru 
Joko Sangit seraya mengajaknya berjabat tangan. Ke-
duanya sama-sama menjura.
"Hihihi... kita tak perlu khawatir menghadapi 
manusia-manusia setan Istana Kerajaan PUGAR ALAM! 
Kita telah ke tambahan seorang pendekar lagi yang 
akan turut membantu perjuangan kaum Pendekar, me-
numpas manusia-manusia setan di tengah Telaga Ber-
kabut....!" Ucap Roro dengan sepasang mata bersinar.
Joko Sangit manggut-manggut sambil terse-
nyum, lalu tenggak lagi araknya sampai ludas. Semen-
tara jantungnya diam-diam sudah berdetak kencang. 
Heh! Apakah ilmunya jauh berada di atasku? Sentak 
hati Joko Sangit. Tak dapat disangkal lagi kalau diam-
diam Joko Sangit merasa takut tersaing oleh si pemuda 
bernama Wibisana itu di hadapan Roro Centil. Dan sete-
lah bersahabat sekian lama, laki-laki ini mulai ada hati 
pada Pendekar Wanita Pantai Selatan. Karena nyata nya 
sampai saat ini Roro Centil masih dalam keadaan sendi-
ri tanpa pasangan.
Namun walau demikian Joko Sangit amat 
menghormati Roro, karena adanya tali persaudaraan di-
antara guru mereka. Sesaat kemudian tiga sosok tubuh 
sudah berkelebatan cepat di atas perbukitan hijau. En-
tah kelak apakah mereka masih bisa bercengkerama la-
gi. Karena tak lama lagi mereka bakal menghadapi satu 
perjuangan besar dengan taruhan nyawa....


                      TAMAT


SEGERA MENYUSUL........!

"MISTERI TELAGA BERKABUT"



















































Share:

0 comments:

Posting Komentar