SATU
"Aku tidak bersalah...! Mengapa kalian mau
menghukumku? Bukan aku yang melakukan! Demi Tu-
han aku tidak melakukan apa-apa...!"
"Bedebah... Kau berani berdusta?"
PLAK! DESS...!
Pemuda tanggung itu menjerit keras, dan jatuh
tersungkur bergulingan. Ketika bangkit lagi bibirnya te-
lah mengucurkan darah dan pipinya jadi merah mem-
bengkak. Sementara sebelah lengannya memegangi da-
danya yang berusaha kena jejakkan kaki. Terperangah
pemuda tanggung ini dengan sepasang mata membela-
lak dan tubuh gemetaran ketika tiga sosok tubuh tegap
itu kembali beranjak menghampiri.
Dengan wajah pucat bagai kertas, dia beringsut
menyeret tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba dia sudah me-
lompat berdiri. Pemuda tanggung ini bertampang lugu
dan polos, serta tampaknya seperti orang dungu. Men-
getahui dirinya sudah kepepet, membuat dia jadi nekat.
Percuma! Manusia-manusia ini tak dapat lagi
menerima penjelasanku... apapun daya upaya yang ku-
lakukan untuk membela diri, tak mungkin dianggap!
Agaknya kematian akan segera kuhadapi... Apa boleh
buat! Aku tak akan melawan, demi membela kebenaran
ku... Berkata dalam hati si pemuda bertampang dungu
itu. Pakaiannya yang terbuat dari bahan kain kasar
berwajah putih tampak sudah berlepotan dengan darah
bercampur debu tanah.
"Bagus! Kau mau melawan? Hahahaha... silakan
majulah kau kacung tengik!" Berkata laki-laki kekar di
hadapannya dengan tertawa sinis. Sementara kedua
kawannya cuma perlihatkan senyum menghina. Mereka
adalah tiga orang laki-laki berusia sekitar 20 tahun lebih. Orang yang barusan bicara adalah seorang laki-laki
yang berwajah kasar dengan sepasang mata agak sipit.
Bibirnya agak lebar dengan hidung mencuat ke atas.
Pakaiannya dari sutera yang berwarna warni. Dialah
yang bernama BRAJA PATI. Murid tertua dari Pe-
sanggrahan di puncak Gunung Argasomala.
Sedangkan yang dua lagi bertubuh agak pendek
namun kekar. Seorang yang berpakaian serba hitam,
berambut keriting adalah yang bernama DASA MUKTI.
Dan yang seorang lagi tubuhnya lebih hebat dan lebih
kekar lagi. Dadanya yang bidang dibiarkan telanjang
terbuka separuhnya. Tampak bulu dadanya yang lebat,
tak beda dengan wajahnya yang penuh ditumbuhi den-
gan cambang bauk. Mempunyai raut wajah yang mele-
bar. Cukup gagah, akan tetapi sepasang matanya agak
menonjol dan mempunyai sorot mata yang liar. Mema-
kai baju rompi warna merah, dan celana dari sutera hi-
tam. Dialah yang bernama KALA BUTHO. Murid ketiga
dari Pesanggrahan di puncak Argasomala.
Siapakah pemuda bertampang dungu yang da-
lam keadaan diancam maut itu? Dia bernama
WIBISANA. Kejadian apakah yang telah menimpanya
hingga dia dituduh telah berbuat sesuatu yang tak da-
pat diampuni? Marilah kita tengok dulu kejadian di be-
lakang, sebelum kedatangan ketiga murid Pesanggrahan
puncak Argasomala. Dan siapakah sebenarnya pemuda
bernama WIBISANA itu...
KUTUT PRAJA SETHA sudah lebih dari dua be-
las tahun mendiami Pesanggrahan yang dibangunnya di
puncak ARGASOMALA. Tiga tahun yang lalu menerima
tiga orang murid yang datang berturut-turut ke tempat
kediamannya. Pemuda yang pertama datang adalah
yang bernama Braja Pati. Sebulan kemudian muncul
Dasa Mukti dan terakhir Kala Butho. Entah mengapa
tokoh Rimba Hijau yang telah lama menyembunyikan
diri itu tak sampai hati menolak keinginan mereka un-
tuk berguru.
Demikianlah, selama tiga tahun itu Kutut Praja
Setha menggembleng mereka dengan sungguh-
sungguh. Diwariskan segenap ilmu yang ada padanya
untuk dapat di amalkan. Karena mereka mengaku ada-
lah orang-orang yang teraniaya, yang orang tuanya
masing-masing tewas oleh kaum penjahat.
"Aku tak menginginkan kalian membalas den-
dam, murid-muridku...! Karena dendam-mendendam
takkan ada habisnya kalau cuma menuruti hawa nafsu
saja! Akan tetapi kalau memang orang yang telah mem-
bunuh orang tua kalian itu tidak juga berhenti melaku-
kan kejahatan, silahkanlah! Karena dengan mele-
nyapkannya berarti telah pula menghindarkan malape-
taka buat orang lain!" Berpesan Kutut Praja Setha wan-
ti-wanti dengan suara agak di tekan. Ketiga orang mu-
ridnya itu manggut-manggut mendengarkan wejangan
sang guru mereka.
Sehari kemudian, ketiga muridnya itu berpami-
tan untuk turun gunung. Kakek tua bertubuh kurus
jangkung yang rambut kumis dan jenggotnya telah pan-
jang memutih semua itu, memberinya izin serta do'a
dan restu. Berangkatlah ketiga pemuda itu dengan telah
dibekali ilmu-ilmu kedigjayaan yang telah dituntutnya.
Kutut Praja Setha mengantarkan kepergiannya dengan
helaan napas lega. Karena seperti melepaskan tiga ekor
anak singa dari kandangnya. Hatinya membatin;
Haih...! Aku telah sembarangan saja menerima orang...!
Mudah-mudahan kecerobohanku tak membawa benca-
na di kemudian hari. Untunglah aku sudah waspada se-
jak setahun yang lalu, hingga ilmu simpananku tak ku-
turunkan padanya...
Sementara itu sejak delapan tahun yang lalu Ki
Kutut Praja Setha telah ketitipan seorang bocah laki
laki berusia dua belas tahun. Bernama WIBISANA.
Anehnya Wibisana tak mau diangkat murid oleh Kutut
Praja Setha. Selama itu si bocah laki-laki cuma mem-
bantu-bantu saja di Pesanggrahan puncak Argasomala.
Watak Wibisana memang tak seperti umumnya seorang
bocah normal. Selain bertampang dungu juga otaknya
kurang cerdas. Tapi bertulang baik dan kuat.
"Terimalah dia sebagai pembantumu, kakang...!
bocah ini anak sahabatku! Bukan aku tak mau mene-
rimanya berdiam di tempatku, tapi kau hidup sendiri di
tempat sunyi dan tenang ini. Kalau kubawakan seorang
teman, tentu dapat membantu-bantu pekerjaanmu...!
Dia seorang bocah yang jujur dan amat rajin ....!" Demi-
kianlah yang diucapkan KUTUT MAJA padanya delapan
tahun yang lalu. Kutut Maja adalah adik kandungnya
yang berdiam diwilayah Kota Raja. Waktu itu Kutut Ma-
ja masih menjabat sebagai seorang Tumenggung. Dan
datang ke puncak Argasomala dengan membawa seo-
rang bocah laki-laki bernama Wibisana itu.
Menampak bocah yang dibawa adiknya itu ber-
tampang dungu dan kelihatan tolol, Kutut Setha ke-
rutkan keningnya.
"Anak siapakah bocah ini? Apakah kau mengen-
al orang tuanya?" Bertanya Kutut Praja Setha.
"Dia anak seorang sahabatku...!" Jawab Kutut
Maja singkat.
"Mengapa dengan sahabatmu itu? Mengapa dia
tak turut mengantar anaknya?" Tanya Kutut Praja Se-
tha yang sengaja ingin mengetahui lebih banyak.
"Sahabatku itu pernah berjasa padaku. Dia telah
gugur dalam menjalankan tugas...! Aku amat sibuk
dengan urusan tugasku selama ini, hingga tak dapat
mengurusnya dengan baik. Makanya kubawa kemari,
karena kulihat kakang disini kesepian. Bukankah akan
lebih leluasa kalau kakang beroleh teman yang bisa
disuruh bila ada keperluan...?" Tutur Kutut Maja.
"Hm, kemanakah ibu anak ini?" Tanya lagi Kutut
Praja Setha setelah manggut-manggut sambil mengelus
jenggotnya yang cuma sejumput.
"Telah meninggal...!" Sahut Kutut Maja lirih.
Terangguk-angguk kepala Kutu Praja Setha
sambil memandangi bocah itu yang tampak terduduk
diam sambil mempermainkan jari-jari lengannya. Demi-
kianlah, Kutut Praja Setha pun menerima bocah laki-
laki itu berdiam di pesanggrahannya di Puncak Argaso-
mala.... Tumenggung Kutut Maja kemudian meninggal-
kan tempat sunyi diatas gunung itu, setelah memberi-
tahukan nama si bocah, yang bernama Wibisana.
Wibisana bekerja dengan rajin membantu Kutut
Praja Setha, ternyata susunan tulangnya amat baik.
Juga bertubuh kuat, walau kelihatannya kurus dan le-
mah. Wibisana jarang bicara. Sikapnya yang tampak
seperti dungu itu menimbulkan perasaan kasihan dihati
Kutut Praja Setha. Akan tetapi Wibisana selalu menolak
untuk menjadi muridnya. Jawabannya cuma mengge-
lengkan kepala atau mengangguk-angguk bila setuju
atau mengerti apa yang diperintahkan Kutut Praja Se-
tha.
Ketika lima tahun berselang Ki Kutut Praja Se-
tha menerima berturut-turut tiga orang murid, Wibisa-
na masih tetap seperti dulu tanpa berkeinginan mempe-
lajari ilmu kedigjayaan. Dan sikapnya masih seperti
orang bodoh. Demikianlah, hingga tiga tahun berlalu
sudah, dimana ketiga orang murid Kutut Praja Setha te-
lah menamatkan pelajarannya di Pesanggrahan puncak
Argasomala...
Kini mereka kembali tinggal berdua lagi. Dengan
ditemani oleh Wibisana Ki Kutut Praja Setha lebih tente-
ram dan bahagia sekali tampaknya. Serta rasa lega
memenuhi dadanya. Dua pekan sejak kepergian ketiga
muridnya turun gunung, Ki Kutut Praja Setha mulai
sering bersemadhi di kamarnya. Segala keperluannya
dan tugas mengurus Pesanggrahan diserahkan semua
pada Wibisana. Malam itu puncak Argasomala dalam
keadaan gelap gulita. Tak sepotong bulan pun menam-
pakkan diri.
Wibisana duduk di depan Pesanggrahan me-
mandang ke atas langit. Dilihatnya secercah sinar ber-
warna merah meluncur cepat sekali atas puncak Arga-
somala.
Benda apakah itu...? Apakah tahi bintang yang
jatuh...? Bertanya Wibisana dalam hati. Akan tetapi se-
gera dia sadar kalau malam yang gelap pekat itu tak
ada bintang sebutirpun tersembul di atas langit. Dia
sudah melompat keluar, dan lihat sinar merah itu se-
makin mendekati ke atas pesanggrahannya. Tepat di
atas wuwungan, sinar kemerahan itu lenyap.
"Aneh! Cahaya apakah?" Gumamnya lirih. Dan
dengan terpaku menatap ke atas wuwungan pesanggra-
han, akan tetapi tak ada tanda-tanda yang ditimbulkan
dari bekas lenyapnya sinar merah itu. Keadaan cuaca
kembali gelap seperti semula lagi.
Tak berapa lama tiba-tiba angin bertiup keras
membersit, dengan suaranya yang bersiutan. Beberapa
lampu lilin terbuat dari damar, di dalam ruangan Pe-
sanggrahan tertiup padam. Wibisana cepat-cepat ma-
suk. Tak mungkin baginya untuk memasang lampu la-
gi, karena pasti akan padam percuma. Segera dia beran-
jak masuk ke kamarnya. Mengunci pintu, dan tidur...."
Malam memang sudah amat larut. Dan Ki Kutut Praja
Setha memang sudah beberapa hari tak keluarkan dari
kamar semadhinya.
Menjelang pagi, terkejutlah Wibisana ketika me-
lihat pintu kamar semadhi sang kakek telah jebol be-
rantakan. Terperanjat pemuda dungu ini. Segera dia
sudah melompat menghampiri untuk memeriksa. Dan
terkejutlah seketika Wibisana, mengetahui keadaan di-
ruang semadhi sang kakek telah berantakan. Sesosok
tubuh tampak terkapar tak bergeming di atas batu tem-
pat semadhi...
"Kakeeeek ....!?" Teriaknya dengan tersentak ka-
get. Dan sudah melompat memburunya. Tampak Ki Ku-
tut Praja Setha sudah terkapar tak bernyawa. Keadaan-
nya amat mengerikan, karena dari mulut, mata dan te-
linganya mengalirkan darah.
"Apakah gerangan yang terjadi....?" Desis Wibi-
sana dengan mata terbelalak lebar menyaksikan keja-
dian itu. Seketika air matanya sudah menggenang dan
meleleh turun. Dan dipelukinya tubuh kaku yang sudah
tak bernyawa itu dengan isak tersendat dikerongkon-
gan.... Selang beberapa saat Wibisana baru tersadar.
Dia sudah menghapus air matanya, dan melompat ke-
luar memeriksa sekitar tempat di pesanggrahan. Akan
tetapi tak di jumpai tanda-tanda yang mencurigakan
atau adanya arang jahat yang mendatangi ke Pe-
sanggrahan malam tadi.
Tercenung seketika Wibisana. Dia jadi tak tahu
harus berbuat apa...! Apakah sinar merah yang kulihat
semalam itu, yang telah mencelakai kakek...? Bertanya
Wibisana dalam hati. Akan tetapi hal itu tak masuk ak-
al. Entah sinar apakah itu yang telah meluncur ke atas
pesanggrahan, dan tiba-tiba lenyap di atas wuwungan,
tepat pada atas genting kamar kakek...! Pikir si pemuda
dungu dalam benaknya. Namun otaknya menemui jalan
buntu. Akhirnya dia cuma termangu-mangu di depan
pesanggrahan tanpa tahu harus berbuat apa..."
***
DUA
Saat itulah terdengar derap suara kaki-kaki ku-
da mendatangi... Dan segera terlihat tiga penunggang
kuda tersebut dari lereng gunung, mendaki jalan menu-
ju ke atas ke tempat Pesanggrahan. Ternyata ketiganya
adalah BRAJA PATI, DASA DAN KALA BUTHO. Yaitu ti-
ga, orang murid Ki Kutut Praja Setha. Tentu saja mem-
buat air muka Wibisana jadi berseri girang karena akan
segera terlepaslah dia dari kebingungannya. Namun
kembali berubah keruh ketika mengingat akan musibah
yang telah menimpa di Pesanggrahan itu.
Sekejap antaranya tiga ekor kuda sudah di de-
pan halaman Pesanggrahan. Dasa Mukti dan Kala Bu-
tho melompat turun, lalu mencancang kudanya di tiang
pendopo di sisi Pesanggrahan. Braja Pati masih berada
di atas punggung kuda. Sepasang matanya melirik pada
Wibisana yang tengah menghampiri dengan wajah pu-
cat. Setelah menjura hormat, Wibisana segera ceritakan
kejadian yang telah dilihatnya itu dengan peluh bercu-
curan dan tubuh gemetar. Karena tak tertahankan ke-
sedihannya, hingga dia bercerita sambil menangis.
Dasa Mukti dan Kala Butho sudah melompat
untuk mendengarkan penuturan Wibisana.
"Hah!? Guru... telah tewas....?!" Hampir berba-
reng mereka berteriak. Dan wajah-wajah mereka tam-
pak berubah pucat. Sekejapan saja mereka telah ber-
lompatan memburu ke arah kamar gurunya. Segera
terpampang dihadapan mereka keadaan mayat Ki Kutut
Praja Setha yang terkapar dengan keadaan yang men-
genaskan. Sementara Wibisana cuma terpaku ditem-
patnya dengan masih terisak-isak. Bajunya pada bagian
lengan telah basah oleh ingus dan air mata, yang digunakan untuk menyekanya. Tak sanggup dia untuk dua
kali melihat keadaan sang kakek majikannya itu. Kare-
na terasa amat ngeri menatap mayatnya.
Pada saat itulah tiga orang murid Ki Kutut Praja
Setha telah melompat kembali ke hadapannya. Dan
Braja Pati sudah perdengarkan bentakan keras. Pucat
seketika wajah Wibisana karena tanpa sebab, tahu-tahu
dialah yang kena sasaran tuduhan membunuh guru
mereka. Tentu saja Wibisana membela diri. Akan tetapi
mereka tetap menuduhnya sebagai si pembunuh. Hal
itu memang satu hal yang amat tidak mungkin, karena
apalah artinya kepandaian seorang kacung, yang tak
pernah mempelajari ilmu silat. Dan untuk apa membu-
nuh si kakek sakti yang berilmu tinggi itu, yang telah
lima tahun dia mengabdi padanya....?
"Hm! Wibisana! Kau pergunakanlah ilmu kedig-
jayaan mu untuk menghadapiku...! Kau telah berada di
Pesanggrahan ini lebih dulu sebelum kami, tentu ilmu
yang kau miliki lebih hebat!" Berkata Braja Pati dengan
perlihatkan senyum sinis.
"Aku tak pernah. belajar silat apapun dari be-
liau! Mengapa kalian menuduhku membunuhnya? Aku
.... aku sendiri tak mengetahui kejadiannya. Ketika pa-
gi-pagi aku melintas ke kamarnya ternyata keadaan
kamar semedhi kakek Kutut Praja telah berantakan!
Dan sudah kujumpai dalam keadaan tak bernyawa...!"
Berkata Wibisana.
"Hm, bolehlah kau bilang begitu, dan kau me-
mang tak ada kemampuan untuk membunuh beliau,
akan tetapi kau bisa menyuruh lain orang untuk men-
cabut nyawanya, bukan...?" Kala Butho menyelak bica-
ra dengan plototkan matanya.
"Aku tak pernah mengenal siapa-siapa ditempat
ini, dan tak pernah aku pergi kemana-mana. Mana
mungkin aku melakukan perbuatan keji itu...?" BelaWibisana dengan ketus. "Sudahlah, kakang! Kita habisi
saja nyawanya, biar arwah sang Guru kita tenteram di
alam Baka! Kacung tak berguna ini biar merasakan sik-
saan di alam Akhirat!" Teriak Dasa Mukti dengan serius.
Lengannya sudah dikepalkan, seperti tak sabar untuk
menghajar orang.
"Kalian bunuhlah aku! Matipun bukanlah apa-
apa bagiku! Akan tetapi demi Tuhan aku tak melakukan
apa-apa...!" Teriak Wibisana dengan menggertak gigi,
dan busungkan dada di hadapan ketiga laki-laki itu.
"Kau tak akan melakukan perlawanan untuk membela
diri...?" Tanya Braja Pati dengan naikkan alis.
"Sudah kukatakan, aku tak punya kepandaian
apa-apa. Membela diri pun tak guna!" Berkata Wibisana
dengan mata menatap tajam pada mereka, lalu menen-
gadah ke langit sambil menghela napas. Sepasang ma-
tanya yang menitikkan air bening itu dikatupkan. Dia
sudah tak perduli lagi akan nasibnya. Cuma satu yang
ditunggunya yaitu kematian..." Braja Pati memberi isya-
rat pada kedua saudara seperguruannya untuk mengu-
rung Wibisana, karena mengira Wibisana tengah mera-
palkan mantera ajiannya untuk menghadapi mereka.
Dan dengan berteriak berbareng mereka sudah mener-
jang Wibisana. BUK! BLUK....! DHESS ....!
Tiga hantaman yang hampir berbareng itu jatuh
berdebukan ke tubuh Wibisana. Terhuyung tubuh pe-
muda dungu itu dengan seketika. Dari mulutnya me-
nyembur darah segar. Akan tetapi tak ada teriakan ke-
luar dari mulutnya, karena Wibisana telah menahan ra-
sa sakit sekuat tenaga. Sekejap tubuhnya sudah roboh
ambruk. Akan tetapi tiba-tiba kembali melompat berdiri.
Dan pentangkan lengan, serta tengadahkan kepalanya
ke langit. Sepasang matanya kembali dipejamkan, se-
perti menantang maut. Ketiga saudara seperguruan itu
sejenak saling pandang, akan tetapi mereka sudah menerjang lagi dengan hantamkan pukulan yang lebih ke-
ras...
Kali ini Wibisana roboh untuk tidak bangkit lagi,
karena dia sudah pingsan tak sadarkan diri. Ketiganya
menampakkan senyuman dibibir. Kaki Kala Butho
kembali menendang. Dan tubuh si pemuda bertampang
dungu itu terlempar membalik dengan tubuh terlen-
tang. Akan tetapi memang sudah tak tahu apa-apa lagi.
Sepasang matanya mengatup dengan bibir setengah
terbuka, yang mengucurkan darah membasahi tanah
dan pakaiannya.
"Apakah tak sebaiknya bocah ini dibunuh saja,
kakang?" Bertanya Kala Butho. "Heh, biarkanlah dulu!
Mari kita periksa dulu ruangan kamar Ki Kutut Praja
Setha itu! Kitab itu lebih penting untuk kita temui ....!"
Ujar Braja Pati seraya melompat ke dalam Pe-
sanggrahan. Lalu diikuti dengan cepat oleh Kala Butho
dan Dasa Mukti. Akan tetapi betapa terkejutnya mereka
ketika tak menjumpai lagi tubuh guru mereka yang te-
lah terkapar menjadi mayat. Kejadian aneh itu mem-
buat mereka terperangah. "Apakah si Dewi Setan Ke-
mangmang telah menyatroni kemari dan menjemput
mayatnya?" Desis Dasa Mukti pelahan.
"Untuk apa...?" Tanya Kala Butho dengan ke-
rutkan keningnya menatap Dasa Mukti.
"Siapa tahu dia memang memerlukan! Kulihat di kamar
dukun sakti itu ada beberapa mayat manusia yang su-
dah dikeringkan...!" Berkata Dasa Mukti dengan tubuh
bergidik seram.
"Kita tidak tahu pasti akan hal itu! Segera kita
bisa mengetahui kalau kita sudah kesana! Sekarang
mari kita geledah seisi tempat ini, cari kitab itu sampai
ketemu!" Ucap Braja Pati dengan cepat. Dan segera mu-
lai menggeledah. Sebentar saja seisi kamar telah menja-
di berantakan. Akan tetapi setelah mengobrak abrik setiap tempat, kitab yang dicarinya tak juga di temukan.
"Celaka! Kita telah minta si Dukun Sakti itu
membunuhnya, jangan-jangan kitab itupun telah pula
diambilnya...!" Berkata Braja Pati dengan mengeluh. Ka-
la Butho dan Dasa Mukti pun jadi mengeluh putus asa.
"Haih! Kalau benar jatuh ke tangan si Dewi Se-
tan Kemangmang, ludaslah harapan kita...!"
Gerutu Kala Butho dengan garuk-garuk kepa-
lanya yang gatal. Dasa Mukti si rambut keriting itu cu-
ma mengeluh sambil jatuhkan pantatnya ke lantai batu.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh disebelahnya. Seko-
nyong-konyong dinding di belakangnya menjeblak ter-
buka. Terkejut mereka, karena disitu ada sebuah ruang
lagi. Serentak mereka telah menerobos masuk ke dalam.
Segera saja diruang yang agak gelap itu ditemukan se-
buah rak buku. Akan tetapi setelah diperiksa, tak satu-
pun buku yang dimaksud ada disitu.
"Menurut guru, kitab itu disimpan di dalam se-
buah peti kayu cendana berukiran tengkorak!" Berkata
Kala Butho
"Cari peti kayu cendana itu...!" Teriak Braja Pati
dengan suara berdesis. Sekejapan ruangan rahasia itu
sudah diacak-acak. Akan tetapi tak dijumpai kotak yang
dimaksud.
"Hm, kalau begitu, kita harus menanyakan pada
si Dewi Setan Kemangmang dengan terang-terangan.
Apakah dia yang telah mengambilnya?" Kata Braja Pati
tegas. Kedua saudara seperguruannya mengangguk.
Tak lama mereka sudah bergegas keluar dari Pe-
sanggrahan itu. Wibisana tampak masih terkapar di
tempatnya. Kala Butho sudah lebih dulu melompat
menghampiri.
"Hm, dia masih hidup! Apakah kita biarkan saja
bocah ini? Toh dia tak mempunyai kepandaian apa-
apa...!" Tanya Kala Butho, seraya palingkan wajah me
natap Braja Pati. "Bodoh! Apakah tak kau perhatikan
bahwa dia mempunyai kekuatan tubuh yang luar biasa?
Tiga serangan kita sekaligus tadi dia telah mampu me-
nahannya. Selama lima tahun di Pesanggrahan ini tak
mungkin tenaga dalamnya tak mengalami kemajuan
hebat, walaupun dia tak mempunyai kepandaian ilmu
silat!" Berkata Braja Pati dengan tegas.
"Benar! Membiarkan penyakit tanpa menum-
pasnya sama saja dengan membiarkan diri kita teran-
cam bahaya kelak!" Ujar Dasa Mukti tandas. "Kalau be-
gitu biarkan aku saja yang mengantarkan nyawanya ke
Akherat!" Berkata Kala Butho seraya sudah mencabut
senjatanya. Sebuah kapak yang bermata lebar berkila-
tan telah berada dalam genggaman tangannya. Baru sa-
ja dia mau mengayunkan senjatanya, telah terdengar
suara bentakan Braja Pati.
"Tunggu ....!" Terpaksa Kala Butho menahan ge-
rakannya.
"Cara itu akan menimbulkan kesan bahwa ke-
matiannya dibunuh oleh senjata tajam! Bagi kaum
Rimba Hijau golongan putih, akan mudah mengenali
bekas senjatamu!"
"Lalu dengan cara apakah yang akan kita per-
gunakan membunuh mampus kacung tak berguna ini?"
Tukas Kala Butho yang sudah tak sabaran menghun-
jamkan kapak mautnya.
"Bawa kemari ketiga ekor kuda kita!" Perintah
Braja Pati. Tak ayal Dasa Mukti dan Kala Butho sudah
melompat ke arah kuda-kuda mereka, dan memba-
wanya ke dekat Wibisana tergeletak. Braja Pati ikatkan
tambang yang berada pada leher kuda lengan Wibisana.
"Nah, kalian masing-masing ikat tambangmu pada se-
belah lengannya!" Perintah Braja Pati. Mengertilah Kala
Butho dan Dasa Mukti. Segera mereka cepat bekerja
mengikat sebelah lengan Wibisana dengan kuat. Tak
lama ketiganya sudah melompat naik ke punggung ku-
da masing-masing...
Braja Pati segera memberi tanda, setelah kuda-
kuda mereka telah menghadap ketiga arah.
"Bersiaplah! Satu... dua... tiga! Yaaaak...!"
Ketiga ekor kuda mereka perdengarkan ringki-
kannya, dan masing-masing melompat berlari dengan
cepat, ketika sang majikan masing-masing mengeprak
pantatnya. Dasa Mukti ke arah barat, Kala Butho ke
arah timur, dan Braja Pati ke arah Utara. Sekejap ke-
mudian terjadilah satu pemandangan yang amat tra-
gis...." KRRAAAAKKK....! Mengerikan sekali, karena se-
ketika tubuh Wibisana sudah tersebar menjadi tiga ba-
gian.
Darah menyemburat memercik kebumi... Dan
putuslah nyawa Wibisana si pemuda dungu itu dengan
seketika.
***
TIGA
Angin santar membersit keras ketika ketiga pe-
nunggang kuda itu menuruni puncak Argasomala. Asap
hitam membumbung ke udara dari atas puncak gunung
itu. Ternyata manusia-manusia ini telah membakarnya.
Beberapa saat antaranya mereka sudah berada di ba-
gian lereng paling bawah. Dan sesaat kemudian telah
mencongklang pesat kuda-kuda mereka melalui jalan
yang rata. Suara-suara ringkik kuda mereka dan derap
kaki-kaki kuda itu semakin menjauh dari tempat sunyi
dan tenang itu. Tak lama kemudian lenyap... mening-
galkan sisa-sisa debu tipis yang masih terlihat mengepul di kejauhan.
"Kita menemui guru lebih dahulu untuk menceri-
takan kejadian tadi! Khususnya mengenai lenyapnya
mayat Ki Kutut Praja Setha dan peti besi berisi kitab
pusaka itu...!" Berkata Braja Pati, ketika telah tiba di wi-
layah sekitar kota Raja setelah melewati tugu perbata-
san.
"Pelahan dulu, kakang Braja!" Tiba-tiba Kala Bu-
tho berkata, seraya berpaling pada kakak seperguruan-
nya.
"Hm, ada apakah?" Tanya Braja Pati, seraya per-
lambat lari kudanya. Kala Butho termenung sejenak se-
perti sedang berfikir. Lalu ujarnya dengan tersenyum.
"Kapankah kakang akan mengunjungi ke tempat si De-
wi Setan Kemangmang?" Entahlah, kukira menunggu
keputusan dari guru lebih dulu!"
"Ada apakah dengan pertanyaanmu itu Kala Bu-
tho? Kok tampaknya penting seka...!" Tanya Braja Pati
dengan kerutkan keningnya. Kala Butho perlihatkan gi-
ginya, tertawa kecil menyeringai.
"Benar, kakang...! Aku ada sedikit urusan di desa
sebelah utara itu! Kalau bisa, dan kau tak keberatan
tunggulah sampai besok. Kita berangkat bersama-sama
menemui dukun sakti itu...!"
Berkata Kala Butho. Setelah berfikir sejenak, Bra-
ja Pati segera menjawab.
"Pergilah! Awas, hati-hati! Kejadian di puncak Ar-
gasomala jangan sampai bocor! Hati-hati berbicara, ka-
lau sampai terdengar kejadian itu ke telinga salah seo-
rang anak buah Tumenggung Kutut Maja, akan mem-
bahayakan kedudukan kita untuk berdiam diwilayah
Kota Raja ini!"
Kala Butho mengangguk. Lalu segera putar ku-
danya setelah minta diri pada Braja Pati. Dasa Mukti
cuma memonyongkan mulutnya pada laki-laki itu. "Paling-paling mau menemui si janda anak pak Kuwu dide-
sa Waru...!" Gerutu Dasa Mukti. Akan tetapi cepat me-
macu kudanya menyusul kakak seperguruannya yang
telah memacu kudanya...
***
Rumah besar yang terletak disudut Kota Raja itu
tampak kelihatan sunyi, ketika dua penunggang kuda
memasuki halamannya. Terdengar suara batuk-batuk
dari dalam rumah berdinding papan kayu Mahoni itu.
Dan sesosok tubuh muncul di pintu. Seorang tua ber-
tubuh jangkung, memakai pakaian jubah warna hitam
dengan sebuah pipa dari gading terselip di bibir, tampak
memandang keluar.
"Heh! Kalian sudah kembali lagi...! Tentu mem-
bawa hasil yang memuaskan...!" Berkata laki-laki tua
berwajah seperti orang mengantuk itu. Lalu beranjak
lagi masuk ke dalam. Braja Pati dan Dasa Mukti saling
pandang, lalu melompat turun dan tuntun kudanya un-
tuk diikat ke tiang kayu pagar di depan rumah. Tak la-
ma sudah memasuki rumah papan itu. Braja Pati sege-
ra menjura di hadapan orang tua itu, yang masih asik
menghisap pipanya.
"Guru...! Hamba membawa kabar yang kurang
baik, dari puncak Argasomala!" Berkata Braja Pati den-
gan suara rendah. Terbatuk-batuk laki-laki tua, segera
sudah buka matanya yang menyipit.
"Ha...?" Kurang baik bagaimana? Apakah tak kau
dapatkan Kitab Pusaka Tengkorak Hitam itu...! Ta-
nyanya dengan suara serak.
"Benar Guru...! Bahkan..." Segera Braja Pati tu-
turkan kejadian di Pesanggrahan pada gurunya, juga
mengenai lenyapnya mayat Kutut Praja Setha. Sementa-
ra Desa Mukti sudah mengambil tempat duduk disebelah belakang kakak seperguruannya. Tercenung laki-
laki tua itu dengan wajah sebentar pucat sebentar me-
rah.
"Jadi si Kutut Praja Setha itu telah tewas...?"
Tanya laki-laki tua itu. "Benar, guru...! Kami telah lihat
sendiri mayatnya! Aku punya dugaan si Dewi Setan
Kemangmang yang telah membawa mayatnya tanpa se-
tahu kami.... ketika kami tengah mengurusi anak muda
tolol, kacung Ki Kutut Praja Setha itu!" Ujar Dasa Mukti
yang ikut menimbrung bicara.
"Huh! Percuma saja kalian berguru selama tiga
tahun! Tujuan kalian adalah mencuri Kitab Pusaka
yang berada di dalam kotak kayu cendana itu. Aku me-
rasa yakin benar dia masih menyimpannya! Agaknya
dia telah waspada, dan akupun telah menduga, dia tak-
kan mewariskan ilmu-ilmu yang berada dalam Kitab
Pusaka Tengkorak Hitam pada kalian...!" Gerutu orang
tua itu seraya kembali terbatuk-batuk hebat. Setelah
reda batuknya, sepasang mata sipitnya sudah menyapu
wajah mereka.
"Kalian harus tanyakan pada Dukun Sakti itu,
apakah dia yang telah mengambil kitab itu...?"
"Rencana kami pun memang demikian, guru! Sekalian
menyelidiki apakah mayat Ki Kutut Praja Setha ada dis-
ana...! Dan bagaimana kalau memang benar dia yang
telah mengambilnya...!" Tanya Braja Pati.
"Kalian harus memintanya...! Ucap si orang tua
itu dengan tegas.
"Kalau dia tak memberikan... Apakah yang harus
kami lakukan...?" Tercenung orang tua itu hingga bebe-
rapa saat.
"Hm, kukira kalian bukan sebangsa keledai yang
tolol! Carilah akal untuk mendapatkannya, kalau perlu
pakai siasat licik!" Ujar si guru ini seraya kembali
menghisap pipa ya, dan menyedotnya dalam-dalam. Lalu hembuskan asapnya dengan mata meram-melek.
"He? Tak kulihat ada si Kala Butho? Kemana dia?" Ta-
nyanya tiba-tiba. Braja Pati cepat ceritakan kemana Ka-
la Butho pergi.
"Bocah setan! Lebih mementingkan urusannya
sendiri! Baiklah! Besok kalian sudah harus pergi ke
tempat si Dewi Setan Kemangmang...! Nah, kalau kalian
mau beristirahat, segeralah beristirahat...!" Ucapnya
kemudian. Braja Pati dan Dasa Mukti mengangguk, lalu
beranjak bangkit untuk segera menuju kebiliknya.
"Haih! Seandainya luka dalamku telah sembuh, aku
yang akan melabrak sendiri si Dukun Sakti itu!" Gu-
mam orang tua itu sambil rebahkan tubuhnya pada
bantal yang selalu berada di belakang kursi tempat du-
duknya. Tiba-tiba dia sudah angkat lagi tubuhnya. Dan
bentangkan lebar sepasang matanya yang seperti orang
mengantuk itu.
"He!? Bagaimana kalau ternyata bukan dia yang
mengambilnya? Wah, akan jadi runyam akibatnya!
Seandainya Ki Kutut Praja Setha telah mempelajari isi
kitab itu, kurasa tak mungkin si Dewi Setan Kemang-
mang berhasil membunuhnya dengan ilmu teluh yang
di pergunakannya. Aku tahu betul kehebatan ilmu yang
berada dalam kitab Tengkorak Hitam itu... Berkata da-
lam hati laki-laki tua itu.
"Apakah selama ini Ki Kutut Praja Setha tak per-
nah mempelajari?" Desisnya pelahan. Hm, bisa juga!
Karena Ki Kutut Praja Setha seorang golongan putih!
Jawabnya dalam hati. Lalu termangu-mangu beberapa
saat, hingga tanpa disadari api pipanya telah padam.
Laki-laki tua itu tak menyulutnya lagi, tapi segera be-
ranjak bangkit meninggalkan kursinya. Dan melangkah
ke arah kamarnya dengan tubuh terbungkuk-bungkuk.
"Haih...! Gagallah harapanku memiliki kitab Pu-
saka itu karena kebodohan ketiga muridku..." Gerutunya lirih. Tubuhnya pun lenyap dibalik tirai pintu
kamar.
***
Siapakah gerangan laki-laki tua bertubuh jang-
kung, yang mempunyai wajah mirip orang mengantuk
itu? Dialah tokoh Rimba Hijau yang pada beberapa ta-
hun yang silam digelari si Siluman Naga Buntung. Ka-
rena sebelah lengannya memang buntung sebatas per-
gelangan tangan. Akan tetapi kini telah disambungnya
kembali tangan palsu yang terbuat dari perunggu.
Ternyata dia telah mengirim ketiga orang murid-
nya untuk berguru pada Ki Kutut Praja Setha, dengan
harapan sang murid dapat mencuri Kitab Pusaka yang
berada di tangan kakek tua penghuni puncak Argaso-
mala itu. Tampaknya laki-laki tokoh Rimba Persilatan
itu telah terluka dalam yang dideritanya sejak lama. Ke-
jadian apakah yang dialaminya pada beberapa tahun
yang lalu? Baiklah, kita coba mengguar sedikit kisah
pada beberapa tahun yang silam...
Pada tiga belas tahun yang silam, terbetik berita
adanya seorang kakek pertapa yang kurang waras, yang
muncul dan perginya mirip siluman. Kakek pertapa gila
itu mendiami sebuah pulau yang bernama Pulau Teng-
korak Hitam. Karena para nelayan sering melihat sea-
kan-akan di atas pulau itu dihuni oleh makhluk-
makhluk halus. Bila malam purnama akan tampak
bayangan-bayangan hitam mirip tengkorak manusia
berseliweran di atas bukit batu di pulau itu. Itulah se-
babnya pulau terpencil itu dinamakan Pulau Tengkorak
Hitam. Bahkan tak seorang nelayan pun berani lewat
dekat pulau itu...
Akan tetapi suatu ketika sebuah kapal pesiar
milik seorang saudagar kaya bernama I Made Sora Dwi
pa terpaksa singgah untuk merapat ke Pulau Tengkorak
Hitam. Kapal pesiarnya mengalami kerusakan berat.
Dan harus diperbaiki. Untunglah I Made Sora Dwipa
membawa serta orang-orang ahli dan para pengawal
yang berkepandaian tinggi. Hingga tak sampai tengge-
lam diperairan sekitar Pulau itu.
Demikianlah, mereka segera mendarat. Dan se-
lama beberapa hari terpaksa menjadi penghuni "Pulau
Hantu" itu. Tentu saja kesempatan baik itu tak disia-
siakan I Made Sora Dwipa untuk menyelidiki sekitar pu-
lau, yang ternyata tak berpenghuni. Beberapa hari ber-
keliling mengitari pulau itu bersama para pengawalnya,
tak dijumpainya sepotong pun manusia. Sementara be-
berapa orang ahli yang dibawanya sibuk memperbaiki
kapalnya.
Menjelang malam bulan purnama, terperangah I
Made Sora Dwipa dan para pengawalnya ketika melihat
bayangan-bayangan hitam mirip tengkorak berseliweran
dipuncak bukit. Entah apa yang telah terjadi di pulau
itu, karena I Made Sora Dwipa didapati telah tewas be-
rikut para pengawalnya. Beberapa orang ahli yang di
bawanya-pun tewas semua. Dan kapal pesiarnya mus-
nah menjadi abu. Kejadian itu diceritakan oleh seorang
pengawal yang berhasil hidup, dan dapat menyela-
matkan diri, setelah beberapa bulan tersiksa di pulau
tersebut. Kiranya dari sekian banyak orang, cuma laki-
laki itulah yang cuma tinggal hidup. Dia seorang ahli
membuat huruf dan mengukir kapal. Keahliannya itu
ternyata telah menolong jiwanya. Karena si pertapa gila
itu telah menyuruhnya menulis rahasia ilmu hitam
yang telah diciptakannya selama puluhan tahun.
Nyaris laki-laki itupun menjadi gila, karena si
pertapa aneh itu telah menyiksa setengah mati dalam
membuat huruf-huruf tulisan itu, yang di suruhnya
menulis dengan darahnya sendiri. Dendam kesumat
yang luar biasa terpendam dalam dada laki-laki itu. Dia
memutuskan untuk membalas perlakuan yang teramat
menyakitkan itu. Dan laki-laki itu berhasil menemukan
sejenis tumbuhan yang mengandung racun. Kitab itu
selesai ditulis dengan penderitaan yang luar biasa. Akan
tetapi diapun berhasil meracun mati si pertapa gila itu,
setelah selesai membuat peti kayu cendana yang diukir
dengan ukiran kepala tengkorak.
***
EMPAT
Dengan sebuah rakit yang dibuatnya, laki-laki
itu meninggalkan Pulau Tengkorak Hitam. Ternyata peti
kayu cendana yang berisi kitab itu telah ditinggalkan-
nya di pulau itu. Dalam keadaan terapung-apung di
tengah laut, seorang nelayan telah menolongnya. Tentu
saja di dalam perahu nelayan itu si laki-laki menutur-
kan kisah tragisnya yang dialaminya di Pulau Tengko-
rak Hitam.
Berita itupun menyebar kemana-mana, dan ter-
dengar pula oleh Siluman Naga Buntung, yang pada
waktu itu masih berjulukan si Siluman Sungai Kuning.
Siluman Sungai Kuning adalah seorang kepala peram-
pok yang berada di perairan Sungai Kuning, dan amat
ditakuti orang diwilayah itu. Dicarinya laki-laki itu un-
tuk diminta keterangannya. Terutama mengenai dimana
tempat di sembunyikannya peti kayu cendana yang be-
risi kitab pusaka itu. Akan tetapi laki-laki itu dite-
muinya telah tewas.
Ternyata kematiannya adalah di tangan si Raja
Racun bernama GRUNO. Siluman Sungai Kuning yang
bernama ARYO RUDITA itu bergegas menyusul Gruno si
Raja Racun. Ternyata manusianya telah berangkat ber-
layar menuju Pulau Tengkorak Hitam. Tentu saja Arya
Rudita tak mau keduluan untuk memiliki kitab keramat
yang ditulis dengan darah itu. Segera siapkan kapal
layarnya, dan bersama anak buahnya segera berlayar
pula menyusul si Raja Racun ke pulau tersebut.
Dalam pertarungan memperebutkan peti kayu
cendana berisi kitab itu, Arya Rudita terkena pukulan
beracun yang membuat hitam sebelah telapak tangan-
nya. Akan tetapi dia berhasil membinasakan si Raja Ra-
cun itu dengan senjata andalannya yaitu Sepasang
Tombak Rantai Maut.
Akan tetapi Arya Rudita kalah cepat, karena pa-
da waktu itu ada beberapa orang lagi dari kaum golon-
gan hitam yang turut memperebutkan peti kayu cenda-
na berisi kitab itu. Satu pertarungan seru terjadi di pu-
lau itu. Tampak seorang tua berpedang kayu di kerubu-
ti oleh empat orang tokoh Rimba Hijau yang berjulukan
si Empat Iblis Kembar. Ternyata laki-laki tua berpedang
kayu itu adalah KUTUT PRAJA SETHA. Yaitu seorang
Pendekar dari Golongan Putih.
Keempat Iblis Kembar berhasil ditewaskan Kutut
Praja Setha. Sayang, disaat Arya Rudita mau melabrak
untuk merebut peti Kayu cendana yang berada ditangan
Pendekar tua itu, keadaan lukanya semakin parah.
Hingga tak mungkin baginya untuk mengejar Kutut Pra-
ja Setha, yang sudah segera berlayar pergi meninggal-
kan Pulau Tengkorak Hitam.
Arya Rudita terpaksa membuntungi sebelah len-
gannya sebatas pergelangan tangan untuk menghindari
menjalarnya racun jahat mengalir ketubuhnya. Demi-
kianlah, dengan tangan hampa Arya Rudita alias si Si-
luman Sungai Kuning pulang dengan tangan hampa.
Bahkan kembali pulang dengan membawa luka, kehilangan sepotong lengannya.
Sejak itu Arya Rudita menyembunyikan diri un-
tuk mengobati luka pada lengannya. Dan baru muncul
lagi di Rimba persilatan dengan gelar Siluman Naga
Buntung. Tapi Arya Rudita tidak lagi beroperasi di Sun-
gai Kuning, melainkan mencari kehidupan baru dilain
tempat. Beberapa tahun kemudian Siluman Naga Bun-
tung terjebak dalam satu pertarungan dengan musuh
besarnya yang pernah mendendam padanya. Dalam
pertarungan itu, ternyata Siluman Naga Buntung men-
galami kekalahan. Dengan menderita luka dalam dia
berhasil menyelamatkan diri. Beruntunglah dia dapat
berkenalan dengan seorang Tumenggung bernama
KUTUT MAJA, yang tak mengetahui kalau dia adalah
seorang penjahat kawakan.
Dengan menyamar menjadi orang biasa atau ra-
kyat jelata yang tak mempunyai kepandaian apa-apa,
serta seorang tua yang berpenyakitan, Arya Rudita ber-
hasil tinggal diwilayah Kota Raja. Dengan mendapat
perlindungan sang Tumenggung yang baik hati itu.
Bahkan namanya pun dirubah menjadi PARTO
KENDAL. Dari sang Tumenggung itulah Arya Rudita
alias Parto Kendal itu mengetahui dimana berdiamnya
KUTUT PRAJA SETHA, yang ternyata adalah kakak
kandung (kakak tertua) sang Tumenggung itu.
Demikianlah, dengan diam-diam Arya Rudita
mengirim ketiga muridnya bekas anak buahnya yang
setia, untuk berguru pada Ki Kutut Praja Setha yang
pernah berjulukan si Pendekar Pedang Kayu. Tujuan
utamanya adalah mencuri Kitab pusaka dari pulau
Tengkorak Hitam yang telah berada di tangan tokoh go-
longan putih itu.
Ternyata selama tiga tahun, dan sampai ketiga
muridnya itu menamatkan pelajarannya, mereka tak
berhasil menemukan dimana disimpannya Kitab Pusaka itu. Yang menuntut penjelasan sang guru mereka
(Arya Rudita) disimpan dalam sebuah peti kayu Cenda-
na, berukiran kepala tengkorak. Hingga membuat Arya
Rudita alias Parto Kendal jadi uring-uringan.
Adapun ketiga muridnya itu telah mempunyai
hubungan dengan seorang Dukun Sakti bergelar si Dewi
Setan Kemangmang. Ternyata sebelum datang ke pun-
cak Argasemala, masing-masing ketiga murid Arya Ru-
dita itu telah meminta Ilmu Pengasihan agar diterima
menjadi murid oleh Ki Kutut Praja Setha. Tentu saja
mereka telah memenuhi persayaratan yang diajukan
sang Dukun Sakti itu, hingga ternyata kemudian mere-
ka berhasil menjadi murid penghuni puncak Argasoma-
la itu..."
Gagal mencuri Kitab Pusaka, Arya Rudita meme-
rintahkan untuk mencoba meminta si Dukun Sakti itu
untuk membunuh Kutut Praja Setha. Ternyata hal itu
memang sudah direncanakan ketiga muridnya. Pembu-
nuhan dengan ilmu "TELUH" itu berhasil baik. Akan te-
tapi peti kayu Cendana berisi Kitab Pusaka itu tak di-
jumpai, walaupun telah diketahui tempat rahasia pe-
nyimpanan kitab, oleh ketiga murid si Siluman Naga
Buntung itu. Dan kembalilah mereka dengan tangan
hampa. (Setelah membunuh Wibisana si kacung dungu
di Pesanggrahan puncak Argasomala). Bahkan mayat
Kutu Praja Setha pun telah lenyap dengan misterius...
Kala Butho pacu kudanya memasuki desa Wa-
ru... Sebentar kemudian dia sudah berada di tengah de-
sa. Mulailah laki-laki kekar yang mengenakan Rompi
warna merah dengan celana pangsi hitam ini pentang
mata jelalatan ke setiap tempat dan lorong rumah pen-
duduk. Sikapnya yang petantang-petenteng itu dengan
sebilah kapak bermata dua terselip di belakang pung-
gung membuat beberapa orang desa sudah cepat-cepat
menyingkir. Akan tetapi beberapa pasangan mata telah
memperhatikan kedatangannya.
"Siapakah laki-laki sombong itu?. Sikapnya
membuat aku muak melihatnya...!" Bertanya dengan
berbisik-bisik salah seorang dari beberapa orang muda-
muda yang berkerumun disudut sebuah rumah besar.
"Hm, dialah yang bernama Kala Butho! Kabar-
nya murid dari puncak Argasomala...!" Menyahut salah
seorang yang berusia lebih tua.
"Puncak Argasomala?" Gumam laki-laki berbaju
putih itu. Dia adalah anak dari Pak Kuwu, atau Kepala
Desa yang baru datang dari daerah lain. Tentu saja se-
bagai orang "baru" walaupun sudah sejak kecil dia ber-
diam di tempat ini, namun karena pemuda itu baru pu-
lang dari berguru di lain daerah, membuat dia tak men-
getahui keadaan kampungnya.
"Ya! Di puncak Argasomala itu tinggal seorang
tua sakti yang mendirikan sebuah Pesanggrahan. Me-
nurut yang kutahu kakek tua itu bernama Ki Kutut Pra-
ja Setha. Pada belasan tahun yang silam dia bekas seo-
rang Pendekar yang bergelar si Pendekar Pedang
Kayu...!" Ujar pemuda kawannya itu. Mendengar penu-
turan itu laki-laki ini manggut-manggut seraya mem-
perhatikan ke arah mana perginya si penunggang kuda
yang bersikap sombong itu.
"Eh, apa katamu tadi? Gurunya di atas puncak
Argasomala itu bernama... Kutut Praja Setha yang ber-
gelar si Pendekar Pedang Kayu?"
"Benar...! Dan dia adalah salah seorang dari tiga
muridnya...!".
"Hm, seperti pernah kudengar guruku menye-
but-nyebut nama dan gelarnya itu. Akan tetapi aku tak
menyangka kalau kakek tua itu berdiam di puncak Ar-
gasomala. Dan sungguh tak kuduga kalau laki-laki pe-
nunggang kuda itu adalah muridnya. Ah, tentu berke-
pandaian tinggi...!" Berkata laki-laki berusia 20 tahun
lebih itu. Dia bernama BONDAN.
"He? Dia menuju ke rumahku... Tampaknya ada
keperluan penting! Baiklah, aku tinggal dulu kawan-
kawan. Barangkali dia mau menemui ayahku...! Ayahku
sedang tak ada di rumah..." Ujar Bondan, dang bergegas
beranjak setengah berlari menuju ke arah rumahnya
yang berada agak ke sudut desa.
Kala Butho sudah memasuki halaman rumah
panggung yang besar itu. Sepasang matanya jelalatan
menatap ke beberapa jendela dan pintu rumah. Saat itu
didengarnya suara orang berlari di belakangnya. Dili-
hatnya seorang pemuda berhidung mancung, dengan
kulit agak kehitaman berlari menghampiri. Begitu sam-
pai pemuda itu segera menjura. Kala Butho tak mem-
perlihatkan sikap sopan untuk membalas penghorma-
tan orang. Bahkan dengan kerutkan keningnya dia ber-
tanya.
"Siapakah kau...?" Tanyanya dengan tanpa tu-
run dari punggung kudanya. Melengak juga si pemuda
bernama Bondan itu melihat sikap laki-laki ini.
"Aku... aku... namaku Bondan! Aku anak dari
Kepala Desa disini! Siapakah kau sobat? Apakah kau
ada perlu dengan ayahku? Beliau sedang tidak ada...!
Berkata Bondan dengan agak tergagap, tapi segera
kembali biasa lagi, dan lakukan pertanyaan pada Kala
Butho.
"Ooo... begitu..." Jawab Kala Butho dengan per-
lihatkan senyumnya. Lalu melompat turun dari ku-
danya.
"Bagus! Haha... aku bukan mau bertemu dengan
ayahmu! Kau pasti adiknya Surmila! Mukamu amat mi-
rip benar dengannya! Hahaha... tolong kau ikatkan ku-
daku, aku sahabat kakak perempuanmu, Surmila...!
Dan kedatanganku adalah untuk menemuinya..." Sam-
bil berkata Kala Butho berikan tali kendali kudanya pada pemuda itu. Tentu saja membuat wajah Bondan jadi
memerah. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
sang kakak dari lubang jendela.
Kakang Kala Butho...! Kaukah yang datang...?"
Dan sebuah kepala tersembul dari jendela. Kepala seo-
rang wanita yang berwajah cantik dengan perlihatkan
senyumannya. Dialah Surmila kakak perempuannya
yang telah menjadi seorang janda. Kala Butho sudah
palingkan wajahnya menatap pada wanita muda itu.
Dan tanpa perdulikan kudanya, segera melompat ke
tangga rumah panggung itu. Sekejap sudah berada da-
lam kamar.
"Bondan! Tolong cancang kuda itu ditiang ru-
mah...!" Seraya berkata, sang kakak sudah gerakkan
tangannya menutup jendela. Bondan berdiri terperan-
gah dengan sepasang mata membelalak. Begitukah ki-
ranya sikap sang kakak perempuannya, menerima lelaki
yang jelas bukan suaminya untuk memasuki kamar
sembarangan?. Berkata dalam hati pemuda ini. Namun
kakinya sudah beranjak melangkah untuk mendekati
tiang rumah, dan mengikatkan kuda Kala Butho pada
tiang itu.
Sesaat dia sudah mendengar suara tertawa
mengkikik kakak perempuannya dari sela jendela. "Ah,
aku jadi merasa malu berdiam di rumah ini...!" Gumam
Bondan. Seraya melangkah pergi dengan kepala tertun-
duk layu. Entahlah, apakah hal demikian sering dilaku-
kan pula selagi ada ayah...? Bisik hati pemuda itu. Tiba-
tiba rasa muak telah membuat si pemuda itu melang-
kah lebih cepat, untuk segera tinggalkan rumahnya.
Seperti telinganya mendengar suara setan tertawa dari
balik jendela yang tertutup itu... Tak lama Bondan su-
dah melenyap dibalik tikungan jalan.
***
LIMA
"Hik hik hik... hihihik... Sudahlah, tak usah ka-
lian risaukan kemana lenyapnya mayat Ki Kutut Praja
Setha! Kalian adalah laki-laki bertubuh kuat yang amat
aku senangi. Asalkan kalian mau meninggalkan guru-
mu yang tak berguna itu dan menghamba padaku se-
lama beberapa tahun, ku tanggung kalian akan memili-
ki semua ilmu-ilmuku dengan sempurna! Dan kalian
dapat malang melintang di dunia Rimba Hijau tanpa
harus ada yang kalian takuti...!"
"Benarkah itu, nenek Dukun Sakti...?"
"Mengapa aku harus berdusta? Kalau kalian bersedia,
kita akan pindah untuk mendiami Pulau Tengkorak Hi-
tam...!" Terbelalak tiga pasang mata laki-laki itu, yang
tak lain dari Kala Butho,
Braja Pati dan Dasa Mukti. Ternyata mereka te-
lah berada di tempat kediaman si Dukun Sakti alias si
Dewi Setan Kemangmang. Untuk beberapa saat mereka
cuma kasak-kusuk tanpa bisa memberi jawaban.
"Hik hik hik... itu terserah kalian. Kalau tidak
mau aku takkan memaksa!" Ujar wanita Dukun Sakti
itu seraya meneruskan pekerjaannya; mengaduk-aduk
cairan berbau busuk dalam kuali di atas tungku panas.
Sementara disekeliling ruangan kamarnya tampak be-
berapa mayat manusia yang telah dikeringkan bergelan-
tungan mirip Mummi. Tapi diantara mayat-mayat yang
telah kering itu tak ada tubuh Ki Kutut Praja Setha.
Bermacam ramuan dan kembang beraneka warna bera-
da di beberapa tempat di atas meja. Sementara asap pe-
dupaan tak hentinya mengepul, menebarkan bau yang
menusuk hidung!
Berdiri bulu kuduk ketiga laki-laki itu ketika
melongok ke ruang tempat si wanita Dukun Sakti itu.
Akan tetapi memandang bahwa mereka amati memer-
lukan ilmu-ilmu Hitam yang dimiliki si wanita Dukun
itu, akhirnya selang beberapa saat kasak-kusuk, mere-
ka pun membulatkan tekad bersama untuk menerima
tawaran si Dewi Setan Kemangmang. Dan serentak me-
reka sudah bersujud. Braja Pati segera berkata.
"GURU...! Terimalah kami menjadi murid-
muridmu ...! Kami akan mengabdi padamu untuk men-
dalami ilmu-ilmu yang kau miliki, dan menjalankan
semua perintahmu...!"
Wanita Dukun Sakti yang tampaknya masih
sangat muda itu tiba-tiba perdengarkan suara terta-
wanya mengikik.
"Hik hik hik... bagus! Bagus...! Kalian memang
sudah kuduga akan menerima tawaranku! Disamping
kalian akan mendapat kenikmatan, juga akan bertam-
bahnya ilmu kalian dengan menghamba dan menjadi
muridku ...! Hik hik hik....".
***
LIMA TAHUN BERSELANG............
Sebuah Kerajaan yang bernama Kerajaan
PUGAR ALAM telah berdiri di wilayah sebelah tenggara
di Pulau Jawa. Tentu saja terciptanya Kerajaan Pugar
Alam itu membuat orang merasa aneh, karena dalam
waktu cepat Kerajaan itu telah berkembang menjadi be-
sar dan wilayahnya semakin meluas. Adapun Istana Ke-
rajaan Pugar Alam berada di tengah sebuah telaga yang
disekelilingnya selalu dipenuhi kabut tipis. Hingga kea-
daan Istana itu selalu tampak samar-samar.
Menurut berita yang terdengar, sang Raja Kera-
jaan Pugar Alam itu bergelar Baginda Raja NARA
SYIWA. Dengan permaisurinya yang bernama SINOM
SARI. Tak sebarang orang dapat menyeberangi telaga
yang tertutup kabut itu walau pun telah bayak dibuat
jembatan untuk menghubungkannya. Bahkan mana
jembatan mana telaga sudah tak kelihatan lagi. Sebuah
Istana Kerajaan yang misterius... karena memang mirip
dengan sebuah Kerajaan Setan atau Siluman.
Para pengawal Istananya adalah terdiri orang-
orang bekas tawanan dari Kerajaan yang telah ditaklu-
kannya. Akan tetapi setelah berada di dalam lingkungan
Istana yang selalu tutup kabut itu, sikap mereka amat-
lah aneh. Karena mereka tak pernah berbicara, dan
memang sudah tak dapat berbicara lagi.
Kemunculan serta perginya para pengawal dan
penjaga di Istana itu ketahuan lagi. Lenyap begitu saja
dibalik asap kabut. Ah, benar-benar membuat orang
menjadi penasaran untuk mendatangi Istana yang aneh
itu... Sementara orang-orang Kerajaannya menyebar
luas di sekitar wilayah yang dikuasai Baginda Raja
KARA SYIWA itu.
***
Hari sudah hampir senja... Ketika pada permu-
laan musim hujan seorang gadis berkerudung kain se-
lendang, berjalan dengan bergegas di satu jalan setapak
menuju desa.
Sebentar-sebentar langkahnya agak dipercepat,
namun terkadang juga berhenti untuk menghapus ke-
ringat yang mengalir di dahinya.
Tiba-tiba tiga sosok tubuh berlompatan dari sisi
kiri dan kanan jalan setapak yang banyak tumbuh
menggerombol semak lebat. Sekejap saja tiga-orang la-
ki-laki dengan wajah menyeringai telah berdiri mengha-
langi jalan. Tersentak hati- si gadis berkerudung ini,
dengan sepasang mata beningnya membeliak menatap
mereka. Tak terasa bibirnya sudah bergetar mengelua-
rkan seman kaget.
"Ohh...! Si... siapa kalian? Mengapa mengha-
dangku di tengah jalan?"
"Hahaha... hari sudah sore begini, adik manis.
Kau pasti akan kemalaman di jalan. Sebaliknya kau
menginap saja malam ini di rumah kami...!" Berkata sa-
lah seorang yang berkumis tikus. Matanya menatap pa-
da sang dara di hadapannya dengan biji mata memutar
menelusuri sekujur tubuh orang.
"Benar, adik cantik...! Besok pagi tentu aku
akan antarkan kau sampai ke rumah! Hehehe... jangan
khawatir, orang tuamu pasti tak akan marah, bahkan
jangan-jangan aku lantas diangkat menjadi menantu...!"
"Hoahaha... hahaha... Eh, mengacalah dulu kau Muka
Babi! Kalau aku yang mengantarkannya pasti bisa ja-
di...!" Tiba-tiba kawan nya yang satu berkata menyela
sambil pasang gaya gagah. Merengut si Muka Babi
mendengar cemooh sobatnya itu.
"Huh! Kukira kaupun tak lebih baik dariku Mu-
ka Macan! Belum lagi calon mertuamu datang menyam-
but, dia sudah ngacir lari lintang pukang! Heheheh."
Yang bernama julukan Muka Macan itu memang kulit
wajahnya belang-belang. Akan tetapi mendapat ejekan
si Muka Babi itu dia tidak marah, bahkan tertawa men-
gakak. "Hohoho... hahahahehehaha... hak hak... tak
apalah kalau cuma calon mertua yang ngacir! Asal calon
biniku ini sayang padaku habis perkara!"
"Hehehe... bukankah begitu adik cantik...? Eh,
boleh aku tahu siapa namamu?" Tiba-tiba si Muka Ma-
can sudah melompat mendekati dara itu. Tentu saja
membuat si gadis berkerudung itu jadi terperanjat. Ka-
kinya secara tak sengaja telah melangkah ke belakang...
akan tetapi bahkan tersangkut akar pohon. Dan tak
ampun lagi sudah jatuh terlentang.
"Aiiih, hati-hati adik cantik...!" Berkata si Muka
Macan. Dan sekonyong-konyong tubuhnya sudah me-
nubruk dara yang tengah terperangah kaget. Tahu-tahu
tubuh si Muka Macan telah menindihnya. Berteriak-
teriak gadis itu dengan ketakutan, ketika tanpa ayal lagi
laki-laki bermuka belang itu sudah menciumi pipinya.
Akan tetapi tiba-tiba...
BUK! Satu hantaman keras membuat tubuh si
Muka Macan terlempar bergulingan. Ternyata si Muka
Tikus telah melompat, dan sudah berdiri di situ. Dialah
yang telah menghantam pundak si Muka Macan dengan
telapak tangannya. Sementara si Muka Macan sekejap
sudah melompat berdiri lagi dengan terkejut. Akan teta-
pi segera tertawa menyeringai, melihat siapa yang me-
nyerangnya.
"Hehehe... kakang Muka Tikus! Mengapa kau
mencegahku? Bukankah aku yang lebih dulu punya ke-
sempatan... ?"
"Heh! Kita bertiga adalah satu perguruan! Segala
sesuatu tak bisa dikangkangi sendirian! Dan bukan dis-
ini tempatnya...!" Membentak si Muka Tikus.
"Betul! Kakang Muka Tikus...! Si Muka Macan
memang terlalu rakus! Seharusnya mengenai korban
yang kita temukan bertiga, harus diadakan undian se-
cara adil untuk menentukan siapa yang berhak dulu
mencicipi tubuh gadis manis ini!" Si Muka Babi telah
menimbrung bicara.
"Heheheh... baik! Baiklah, aku memang salah!
Aku serahkan keputusan ini padamu kakang Muka Ti-
kus! Bagaimana rencanamu yang baik!" Ujar si Muka
Macan seraya menatap pada kedua saudara sepergu-
ruannya, sambil usap-usap pundaknya yang terasa
nyeri. Muka Tikus tak menjawab, tapi menatap pada
gadis itu, yang sudah bangkit duduk dengan wajah pias
bagai mayat menatap mereka berganti-ganti. Tubuhnya
gemetaran menahan rasa takut yang luar biasa. Karena
dia tak menyangka bakal menemui kejadian ini.
Tahu-tahu dengan sekali lengannya bergerak, si Muka
Tikus telah menotok tubuhnya. Gadis ini keluarkan ke-
luhan pelahan dari mulutnya lalu roboh tak sadarkan
diri. Dan sekejap sudah berada dalam pondongan si
Muka Tikus yang bertubuh kurus jangkung itu. Tak be-
rapa lama ketiganya sudah berkelebatan lenyap dirim-
bunnya pepohonan...
***
BRET! BRET....! BRET....!
Terdengar suara kain baju yang dirobek dari da-
lam pondok terpencil di tempat paling sudut di sisi hu-
tan itu. Sementara dua sosok mayat seorang kakek dan
nenek tua renta terlihat tumpang tindih di semak-
semak belakang rumah gubuk itu. Si Muka Macan dan
Muka Babi telah melemparkannya dari jendela, lalu se-
gera menutupnya lagi. Dalam undian yang tadi dilaksa-
nakan, ternyata si Muka Tikuslah yang justru menang
dan mendapat giliran pertama untuk mencicipi korban-
nya. Terpaksa kedua laki-laki seperguruan itu menung-
gu di luar gubuk. Akan tetapi keduanya tampak tidak
tenang, karena selalu mondar-mandir seperti gelisah
menunggu giliran.
"Heheheh... habis ini pasti giliranku, Muka Ba-
bi!" Berkata si Muka Macan.
"Hm, belum tentu...! Apakah kau sudah yakin
akan memenangkan undian nanti!" Tugas si Muka Babi
dengan sepasang mata sipitnya yang diplototkan, akan
tetapi tetap saja sipit. Cuma agak membeliak sedikit.
"Kita lihat sajalah nanti, karena kakang Muka
Tikus yang berhak mengundi!" Ujar si Muka Macan
dengan garuk-garuk kepalanya. Rambut keritingnya
yang gondrong itu bergerak-gerak bagaikan hidup. Se-
mentara sepasang matanya sebentar-sebentar menatap
ke arah jendela gubuk petani tua itu.
Sementara di dalam kamar gubuk itu, di atas
pembaringan dari balai- balai bambu, tampak terbujur
tubuh mulus si gadis berkerudung tadi. Pakaiannya te-
lah hancur beserpihan pada bagian atasnya, karena te-
lah dirobek dengan paksa si Muka Tikus. Sepasang ma-
ta laki-laki tinggi kurus itu terbeliak semakin lebar me-
nampak sepasang buah dada yang membuntal padat
tersembul di hadapannya.
"Hehehe... nasib baik, aku memenangkan un-
dian lebih dulu! Aiih lembutnya..." Berdesis keluar sua-
ra dari mulutnya.
***
ENAM
Jari-jari lengan si Muka Tikus merayapi bagian-
bagian perbukitan tubuh si dara cantik yang sudah tak
ingat apa-apa lagi itu. Dan beberapa kejap kemudian
seluruh pakaian sang gadis telah terlepas semua dari
tempatnya. Kini terpampang sudah satu pemandangan
yang membuat dengus napas si Muka Tikus semakin
berdesahan. Wajahnya tertawa menyeringai. Tak ayal
lengannya sudah bergerak membuka pakaiannya.
Akan tetapi baru bagian atasnya saja yang ter-
buka, tiba-tiba laki-laki ini merandek sejenak ketika la-
pat-lapat di luar gubuk didengarnya suara ringkik kuda.
"Siapakah yang datang...?" Desisnya pelahan,
dan tersentak kaget. Segera dia sudah beranjak mengintip dari celah jendela.
Seekor kuda hitam tahu-tahu telah muncul di
belakang si Muka Babi dan Si Muka Macan. Binatang
ini perdengarkan ringkikannya berkali-kali dengan me-
lompat-lompat mengelilingi sekitar tempat itu. Tentu sa-
ja membuat kedua orang itu jadi terheran, karena bina-
tang itu tak berpenunggang. Munculnya pun tak keta-
huan, karena tahu-tahu sudah berada dibelakang me-
reka.
"Hahaha .... kukira kuda orang yang terlepas!
Bagaimana kalau kita tangkap saja, Muka Babi. Ber-
tanya si Muka Macan seraya berpaling pada kawannya.
"Heheheheh... boleh juga! Ayolah, kau jaga sebe-
lah sana aku disini!" Teriak si Muka Babi. Muka Macan
mengangguk, lalu berkelebat melompat. Sementara si
kuda hitam yang masih berlari-larian memutar itu, tiba-
tiba menerjangkan ke arah si Muka Macan. Terkejut
manusia itu, untung dengan gesit dia sudah melompat
menghindar. Muka Babi tiba-tiba melompat dari arah
belakang ke atas punggung kuda. Hehehe... aku yang
akan berhasil menangkap! Sorak hatinya. Akan tetapi di
luar dugaan, sepasang kaki kuda hitam itu telah me-
nyambutnya dengan cepat.
DESSS....!
Terlemparlah tubuh si Muka Babi yang memang
bulat itu diiringi teriakan tertahan. KRAK...! Tubuhnya
sudah menghantam batang pohon yang seketika patah
berderak. Dan tubuh bulat itu menggelinding ke tanah.
Tak lama dia sudah mencoba bangun dengan ter-
huyung. Wajahnya menyeringai kesakitan, sambil me-
megangi punggungnya yang terasa sakit sekali.
"Kuda setan...!" Teriaknya dengan wajah beru-
bah gusar. Dan lengannya telah bergerak menghantam
dari jarak jauh. Kebetulan sang kuda sudah bergerak
memutar lagi ke arahnya.
"Modarlah kau...!" Bentaknya dengan keras.
WHKKK...! Angin pukulan dahsyat tiba-tiba ter-
lontar dari lengan si Muka Babi.
BHUSSSS... Begitu angin pukulan itu tiba, tiba-
tiba si Kuda Hitam melenyap menjadi segumpal asap hi-
tam. Dan sekejap kemudian sirna tak menampak apa-
apa lagi. Tentu saja hal itu membuat keduanya belalak-
kan mata.
"Aneh!? Apakah kuda itu benar-benar KUDA
SETAN...?" Sentak si Muka Babi dengan suara berdesis.
Sementara si Muka Macan telah melompat mendeka-
tinya. "Hati-hati, Muka Babi! Kukira ada musuh yang
telah menyelinap kemari...!" Berkata si Muka Macan
dengan wajah tenang.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bergedu-
brakan dari arah gubuk. Serentak mereka segera meno-
leh. Apakah yang dilihatnya?. Sosok tubuh si Muka Ti-
kus terlempar menjebol wuwungan rumah diiringi teria-
kan menyayat hati. Serpihan atap rumbia dan poton-
gan-potongan bambu berpentalan ke udara.
Keduanya jadi terbelalak terkesima. Akan tetapi
si Muka Macan telah melompat cepat dari situ. Dan
dengan sigap sekali telah menanggap tubuh si Muka Ti-
kus. Lalu dengan tergopoh-gopoh segera memondong-
nya ke tempat kawannya. Ketika mereka memeriksanya
seketika terperanjatlah si Muka Macan dan si Muka Ba-
bi, karena kakak seperguruan mereka itu telah tewas
dengan keadaan muka hancur mengerikan!
"Hah!? Siapakah yang telah membunuhnya?"
Teriak si Muka Macan dengan wajah pucat. Sementara
si Muka Babi telah kucurkan keringat dingin. Tiba-tiba
terdengar suara ringkik kuda di belakangnya. Seketika
kedua manusia itu sudah putar tubuh dan melompat
mundur. Segera terlihat di hadapan mereka seekor ku-
da hitam yang tadi. Akan tetapi kini lengkap dengan penunggang kudanya. Yaitu seorang laki-laki yang men-
genakan jubah warna merah. Wajahnya mengenakan
topeng Tengkorak berwarna Hitam.
"Akulah yang telah membunuhnya...!" Berkata
orang itu dengan suara bagai es.
"Ssssii.... siapa kkkau... kau?!" Membentak si
Muka Macan dengan suara bentakan yang agak terga-
gap dan bergetar. Karena dari kemunculannya yang ti-
ba-tiba itu mereka bagaikan melihat kedatangan hantu.
"Hm, tak perlu aku memperkenalkan diri... Se-
butlah aku Si PENUNGGANG KUDA SETAN...!" Selesai
orang itu berkata lengannya bergerak bagai bayangan.
Tahu-tahu tengkuk si Muka Babi telah dicengkeram.
Laki-laki pendek bulat ini seketika rasakan nyawanya
bagaikan terbang... Akan tetapi lengannya sudah laku-
kan hantaman ke arah dada si Penunggang Kuda Setan.
BHUSSS...! Aneh! Bagaikan menghantam angin saja,
pukulan lengannya itu sudah nyeplos lewat. Laki-laki
berjubah merah itu perdengarkan suara di hidung, dan
sekali lengannya bergerak, melayanglah tubuh si Manu-
sia Babi entah kemana...
Bukan main terkejut dan gusarnya si Muka Ma-
can. Sekejap saja dia sudah keluarkan senjatanya, yaitu
sepasang cakar baja, yang bagian ujungnya berbentuk
telapak kaki macan, dengan ujung cakarnya yang runc-
ing-runcing. Dengan membentak keras dia sudah me-
nerjang si Penunggang Kuda Setan.
Bersiuran senjata itu ke arah tubuh lawan, akan
tetapi semua yang dilakukan sia-sia belaka. Karena tu-
buh si Penunggang Kuda Setan bagaikan tubuh bayan-
gan saja. Hantaman beruntun itu luput bagai menghan-
tam angin. Dan tahu-tahu si Muka Macan telah perden-
garkan perdengarkan teriakan kaget. Ketika sekali len-
gan si Penunggang Kuda Setan berkelebat, sepasang
senjata tak berguna itu terpental entah kemana. "Hah!?
Celaka...! Aku bukan berhadapan dengan manusia..."
Desis suara si Muka Macan dengan terperangah kaget.
Serentak tanpa ayal lagi dia sudah putar tubuh, dan ti-
ba-tiba telah berkelebat melarikan diri..."
"Hahahaha... sekali lagi aku menjumpai kalian
melakukan kejahatan, nyawamu takkan kuampuni la-
gi!" Terdengar suara tertawa si Penunggang Kuda Setan
dan kata-kata ancaman yang seperti itu menusuk-
nusuk lubang telinganya. Jatuh bangun si Muka Macan
menyelamatkan diri, namun sekejap kemudian segera
lenyap di balik rimbunnya pepohonan lebat. Sementara
cuaca senja di sekitar tempat itu semakin gelap. Hujan
mulai turun rintik-rintik terbawa angin. Dalam kere-
mangan itu tampak sekilas bayangan tubuh si laki-laki
berjubah merah dengan topeng muka Tengkoraknya
yang sudah tak jelas kelihatan lagi. Suara ringkik kuda
kembali terdengar, dan diantara keremangan yang se-
makin memudar berganti dengan gelap gulita itu,
bayangan si Penunggang Kuda Setan itupun melenyap
pula...
***
Di tepi telaga itu sesosok tubuh duduk di hada-
pan api memanaskan tubuhnya. Cuaca pagi itu masih
diselimuti kabut. Dan hawa dingin menyebar di sekitar-
nya. Ternyata seorang laki-laki yang bertubuh separuh
telanjang. Bercelana pangsi yang sudah kumal. Ram-
butnya dikepang dua, yang diikatkan menjadi satu di
belakang kepala. Memandang ke tengah telaga yang
tampak hanyalah kabut putih yang menyelimuti, meng-
halangi pandangan mata.
Di belakang punggung laki-laki yang duduk
menghadap api unggun itu adalah sebuah bukit batu.
Pada satu celah lubang tampak terbujur sesosok tubuh
wanita, yang membuntal tubuh dengan selimut... Ter-
nyata wanita itu adalah si gadis yang hampir menjadi
korban nafsu iblis si Muka Tikus.
Selang beberapa saat tampak tubuh gadis itu
mulai bergerak. Kelopak matanya pun membelalak ter-
buka. Tiba-tiba setelah berkedipan beberapa saat gadis
ini telah melompat bangun. Terdengar suaranya tersen-
tak ketika memandang tubuhnya yang berselimutkan
sebuah jubah warna merah. Dan semakin terkejut men-
getahui keadaan tubuhnya dalam keadaan tak berpa-
kaian.
"Dimanakah aku? Dan... jubah siapakah ini?"
Desisnya tersentak. Segera saja dia teringat akan keja-
dian yang telah menimpa dirinya. Kemanakah tiga ma-
nusia yang telah mencegatku di jalan tadi?. Berkata da-
lam hati si gadis ini. Tiba-tiba pandangan matanya ter-
tatap ke arah sesosok tubuh yang duduk membelakan-
gi, menghadap ke api unggun. Menduga kalau orang itu
adalah salah satu dari tiga orang yang mau memperko-
sanya, dan mengingat akan hal itu si gadis sudah lantas
menangis terisak-isak.
"Eh mengapa kau menangis...?" Tiba-tiba satu
suara telah terdengar di belakangnya. Terkejut si gadis
ini ketika menoleh, tahu-tahu laki-laki yang duduk
menghadap ke api unggun itu telah berada di dekatnya.
"Kau... kau manusia jahanam...! Kau telah nodai
diriku... oh... hhh...!" Teriak sang dara ini dengan teri-
sak seraya tatap wajah orang. Akan tetapi segera saja
dia tampak tersentak kaget, karena wajah laki-laki di
hadapannya mengenakan topeng yang mengerikan se-
kali. Yaitu topeng Tengkorak yang berwarna hitam le-
gam.
"Kau... kau siapakah?" Sentak sang gadis yang
sudah beringsut ke sudut dinding batu. Sementara ma-
tanya menjalari wajah dan perawakan laki-laki di hada
pannya.
"Ah, apakah namaku cukup berguna buatmu?
Aku telah memberi pelajaran pada tiga manusia bejat
yang mau mengganggumu itu. Tenangkan hatimu
adik...! Aku bukan manusia jahat, walau tampangku
mungkin akan membuat orang menilai demikian...! Kau
dalam keadaan baik-baik tak kurang suatu apa, per-
cayalah...!" Berkata si laki-laki itu dengan suara ramah.
Akan tetapi segera balikkan tubuhnya untuk
kembali beranjak mendekati api unggun. Tercenung
sang gadis ini dengan sepasang mata menatap pung-
gung laki-laki itu. Ahh, aku telah salah menduga! Kalau
begitu aku... aku telah terhindar dari bencana...? Seolah
serasa mimpi si dara cantik ini setelah mengetahui ka-
lau kemudian ternyata benarlah dia tak merasakan apa-
apa dan kelainan dari tubuhnya.
"Dia pasti seorang Pendekar yang telah berilmu
tinggi yang telah menyelamatkan kehormatanku! Oh,
aku harus berterima kasih padanya....!" Desis gadis ini
pelahan. Wajahnya kembali berseri. Segera dia bangkit
berdiri, dan kenakan jubah warna merah itu membung-
kus tubuhnya. Udara dingin di pagi remang dinihari itu
membuat tubuhnya agak menggigil. Dengan berjingkat-
jingkat dihampirinya laki-laki itu. Ternyata kedatangan-
nya sudah diketahui.
"Kau kedinginan? Hangatkanlah tubuhmu dekat
api! Duduklah...!" Ucap pemuda itu seraya geserkan se-
bongkah batu di sebelahnya. Gadis ini tanpa sungkan-
sungkan segera duduk di atas batu itu, seraya ucapnya.
"Aku... aku mau mengucapkan terimakasih pa-
damu..... ng... Tuan Pendekar...! Dan... mohon kau
maafkan aku karena aku menyangka!"
"Ah, sudahlah! Manusia hidup memang harus
tolong menolong! Siapa tahu dengan menolong orang,
kelak kalau aku mendapat celaka orang pun akan menolongku..." Potong laki-laki itu seraya tambahkan kayu
kering pada onggokan api hingga api semakin membe-
sar. Dan menampakkan jelas wajahnya. Terlongong si
dara itu sambil mengangguk-angguk. Suasana kembali
senyap. Cuma yang terdengar suara kayu kering yang
terbakar api.
Cuaca pun mulai terang. Bunyi suara burung-
burung sudah terdengar menyambut datangnya pagi
yang cerah. Kabut yang menyelubungi alam sekitar itu
mulai menipis. Dan beberapa saat kemudian, cahaya
Mentari mulai menampak di langit sebelah timur. Ter-
dengar suara menghela nafas laki-laki bertopeng itu.
"Sebentar lagi aku akan mengantarkan kamu ke
tempat tinggal mu ....!" Berkata si laki-laki itu seraya
bangkit berdiri. Tiba-tiba tubuhnya telah berkelebat le-
nyap. Terkejut si gadis itu, seketika wajahnya berubah
pucat.
"Ah, apakah dia bukan manusia...!" Desisnya pe-
lahan dengan tersentak kaget. Namun akhirnya dia cu-
ma termangu-mangu duduk di atas batu. Mau kemana-
kah dia... ? Gumamnya dalam hati. Gadis desa ini tak
mengerti ilmu kepandaian orang-orang Rimba Hijau,
hingga tak mengetahui kalau laki-laki itu adalah seo-
rang yang berilmu amat tinggi. Dia cuma melihat tahu-
tahu tubuh si laki-laki bertopeng tengkorak itu telah le-
nyap dari hadapannya.
Sebenarnya dia bernama Sutirah, yang bertu-
juan pulang ke rumah orang tuanya di desa yang ditu-
junya itu. Sudah beberapa pekan dia tinggal sementara
di rumah pamannya. Sang paman tadinya akan men-
gantarkannya pulang, akan tetapi tak ada kesempatan
hari itu. Dan lagi hari sudah menjelang sore. Hingga
menahan sang gadis keponakannya itu sampai besok.
Tak dinyana setelah kepergian sang paman, Sutirah te-
lah meminta izin pada bibinya untuk pulang sendiri hari itu juga.
Sang bibi tak mampu mencegah, karena Sutirah
memaksa untuk pulang hari itu juga. Dan tanpa me-
nunggu jawaban Sutirah langsung berangkat pulang
sendirian. Hingga kemudian di saat melalui jalan seta-
pak ketika sudah hampir mendekati desa yang ditu-
junya, telah dicegat oleh tiga orang kawanan begal. Ke-
tiga begal itu ternyata yang menamakan dirinya si Tiga
Setan Brandal. Yaitu si Muka Tikus, Muka Babi dan si
Muka Macan.
Untunglah dalam keadaan tak sadarkan diri, ke-
tika Sutirah mau dirampas kehormatannya, telah dito-
long oleh si Penunggang Kuda Setan.
Namun si Penunggang Kuda Setan itu tak mau
memberitahukan siapa dirinya pada sang gadis. Dan
bahkan Sutirah menyangka pemuda bertopeng Tengko-
rak itu sebangsa makhluk halus yang menyerupai ma-
nusia, yang telah menyelamatkan dirinya.
Sutirah sudah mulai gelisah karena sampai be-
berapa saat si Muka Tengkorak tak juga munculkan di-
ri. Tahu-tahu sudah terdengar suara di sebelah kirinya.
"Aku akan mengantarmu pulang sekarang! Kau pakai-
lah pakaian ini...!" Terhenyak si gadis, karena ketika
berpaling, si laki-laki itu sudah berada lagi ditempat itu,
seraya julurkan lengannya yang mencekal seperangkat
pakaian. Namun dengan segera Sutirah cepat-cepat
menyambuti, dengan wajah masih pucat. Selesai beri-
kan pakaian itu, si laki-laki Muka Tengkorak segera ba-
likkan tubuh beranjak ke tepi telaga. Dan berdiri disana
tak bergeming. Langkah-langkah kakinya sejenak men-
jadi perhatian dara ini. Legalah hatinya, karena jelas
sepasang kakinya menginjak tanah, menandakan laki-
laki itu bukanlah sebangsa siluman atau dedemit mak-
hluk halus. Akan tetapi manusia biasa...
Oh, tentu dia seorang yang berilmu amat tinggi...! Kalau tidak, mustahil dapat menolongku, dan
menghajar tiga orang jahat yang mau mencelakai diriku
itu...! Pikirannya dalam benak. Segera dia bergegas
memakai pakaian pemberian laki-laki penolongnya itu.
Entah dari mana dia dapatkan pakaian ini... Bisik ha-
tinya. Selang sesaat antaranya Sutirah sudah selesai
mengenakannya. Agak kebesaran sedikit, tapi Sutirah
sudah bersukur dapat menutupi tubuhnya.
***
TUJUH
Matahari sudah berada tepat di atas kepala keti-
ka terdengar suara ringkik kuda, dan sekejap sudah ter-
lihat di tepian telaga tadi, seekor kuda berbulu hitam
dengan penunggangnya. Siapa lagi kalau bukan si Pe-
nunggang Kuda Setan. Hm, gadis itu sudah kuantarkan
ke rumah orang tuanya, selesailah tugasku! Terdengar
suaranya menggumam. Sepasang mata laki-laki miste-
rius itu kini menatap tajam ke tengah telaga berkabut.
Jelas pancaran matanya membersit seperti mau me-
nembus pekatnya kabut, yang memancar dari balik to-
peng Tengkoraknya. Hembusan angin keras dari arah
perbukitan membuat jubah merahnya berkibaran. Pada
pundak sebelah kanannya tampak tersembul sebuah
gagang pedang dari kayu hitam.
"Apakah anda mau menyeberang kesana...?" Ti-
ba-tiba terdengar satu suara merdu di belakangnya, mi-
rip suara wanita. Laki-laki Muka Tengkorak itu meno-
leh. Tampaknya seperti terkejut, karena tak mengetahui
kalau di belakangnya ada orang. Segera sudah dilihat-
nya seorang gadis cantik berbaju hitam tengah duduk
ongkang-ongkang kaki di atas tebing batu. Adalah aneh,
kalau jarak antara tebing batu dan tempatnya berdiri
cukup jauh sekitar tujuh-delapan tombak. Akan tetapi
suaranya seperti berada dekat di belakangnya.
"Siapakah nona...?" Bertanya si Penunggang Ku-
da Setan, yang sudah putarkan kudanya menghadap ke
arah gadis itu.
"Namaku RORO CENTIL...!" Sahut sang dara
kenes, dan tampak ayu itu, Dan tubuhnya sudah me-
lompat ringan ke hadapan laki-laki itu. Ujung kakinya
hinggap di atas batu besar tanpa timbulkan suara. Ki-
ranya gadis manis itu tak lain dari si Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
"Aku telah melihat sepak terjang mu menghajar
si Tiga Setan Brandal, yang mau memperkosa gadis de-
sa itu! Hihihih... kalau aku jadi laki-laki setidaknya aku
cium dulu gadis desa itu sebelum kuantarkan ke rumah
orang tuanya...!" Ujar Roro Centil dengan masukkan jari
kelingkingnya mengorek tahi hidung, lalu sentilkan ke
arah depan.
Tentu saja sikap dan kata-kata si gadis yang ba-
ru muncul itu membuat si Penunggang Kuda Setan jadi
melengak heran. Akan tetapi juga membuat geli. Sean-
dainya dia tak memakai topeng, tentu sudah kelihatan
bibirnya tersenyum. Gadis aneh...! Baru bertemu sudah
berkata seenaknya saja! Tapi seumur hidupku baru ku-
temui gadis yang seperti ini... ! Gumam si Penunggang
Kuda Setan dengan tertegun. Dan yang lebih membuat-
nya tertegun adalah si gadis itu mengetahui nama julu-
kan ketiga begal yang dihajarnya. Bahkan mengetahui
pula sepak terjangnya. Setelah berfikir sejenak, segera
laki-laki itu melompat turun dari punggung kuda.
"Nona...! Tampaknya kau tahu banyak tentang
orang-orang kaum Rimba Hijau. Tujuanku memang
mau menyelidiki Istana Kerajaan Pugar Alam yang berada di tengah danau berkabut itu...!" Berkata si Laki-
laki Penunggang Kuda Setan seraya menjura pada Roro
Centil.
"Hm, apa maksudmu mau menyelidiki Istana Se-
tan itu?" Tanya Roro sambil rapikan rambutnya yang
tersibak angin.
"Istana Setan...?" Tanya laki-laki bertopeng
tengkorak dengan heran.
"Ya! Karena semua pengawal disana terdiri dari
orang-orang yang sudah mati. Kalau ternyata bisa hi-
dup lagi apakah bukannya sudah menjadi setan?" Tu-
kas Roro dengan serius. Tentu saja penjelasan Roro itu
membuat si laki-laki Muka Tengkorak jadi kepingin ta-
hu lebih jelas.
"Kau pernah kesana?" Tanyanya lagi. Roro ja-
tuhkan pantatnya untuk duduk di atas batu. Kepalanya
menggeleng.
"Melihat Istana Setan itupun aku belum pernah,
aku cuma mendengar berita dari sahabatku...!" Ujar Ro-
ro. Laki-laki Muka Tengkorak itu pun jadi ikut-ikutan
duduk di atas batu di hadapannya.
"Siapakah sahabatmu itu?"
"Dia bernama JOKO SANGIT! Sahut Roro.
"Eh, bicara padamu seperti bicara dengan hantu
saja...! Apakah mukamu jelek hingga kau pakai topeng
Tengkorak itu?" Tiba-tiba Roro balas bertanya dengan
pertanyaan lain. Tentu saja membuat si laki-laki Muka
Tengkorak jadi melengak. Pertanyaan itu memang wa-
jar, akan tetapi hal itu membuat si laki-laki Muka Teng-
korak jadi menunduk.
"Jelek atau bagus adalah pemberian Tuhan! Aku
memakai topeng ini bukan karena wajahku jelek atau
bagus, akan tetapi aku memang tak akan membukanya,
kecuali di hadapan musuh besarku...!" Ujarnya dengan
tertawa hambar. Roro jadi tercenung sesaat. Namun segera manggut-manggut mengerti.
"Siapakah musuh besarmu...?" Tanya Roro tiba-
tiba. Laki-laki Muka Tengkorak tak segera menjawab.
Terdengar suara helaan nafasnya sejenak, lalu ujarnya
dengan suara yang terdengar agak serak, dan bernada
dingin.
"Aku tak dapat memberitahukan, karena hal ini
adalah urusanku...!"
"Hm, baiklah! Akupun tak ingin mengetahui
urusanmu, serta mencampuri urusan dendam pati!
Cuma aku mau memperingatkan, hati-hatilah kalau
kau mau menyeberangi telaga! Tak sedikit nyawa ma-
nusia, dan tokoh-tokoh kosen kaum Rimba Hijau yang
setelah menyeberang tak pernah ada kabarnya lagi. Hi-
hihh... hihi...
Seraya tertawa mengikik, Roro Centil sudah
bangkit berdiri. Lalu putarkan tubuh untuk beranjak
pergi.
"Eh, nona...ng...mau ke manakah kau?"
Si laki-laki Muka Tengkorak sudah berseru menahan
dengan tergagap.
"Namaku RORO CENTIL!" Sahut Roro seraya
menahan langkahnya.
"Oh, ya ...! Nona Roro Centil, boleh aku tahu
kemana tujuanmu...?" Ulangnya seraya sudah melom-
pat ke hadapan Roro. Roro tatap wajah laki-laki berto-
peng Tengkorak itu seperti mau melihat wajah asli
orang di hadapannya.
"Saat ini aku berdiam di Lembah SOKA, berga-
bung dengan para Senapati dari Tiga Kerajaan yang te-
lah bersatu...!" Sahutnya datar.
"Ah...!?" Tersentak si laki-laki Muka Tengkorak.
Sepasang mata dari balik topeng Tengkoraknya itu
membelalak lebar.
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi?" Tanya
si Penunggang Kuda Setan.
"Hihihi... tak tahukah kau, bahwa ratusan, bah-
kan hampir lebih dari seribu laskar para Senapati dari
Tiga Kerajaan telah menggabung menjadi satu. Mereka
tengah mempersiapkan untuk menggempur Kerajaan
Setan bernama PUGAR ALAM yang Istananya berada di
tengah telaga ini...!" Tutur Roro dengan suara dingin.
Lagi-lagi si laki-laki Muka Tengkorak itu melen-
gak. Akan tetapi kembali tundukkan wajahnya. Seraya
berkata lemah.
"Ah, sayang... urusanku membalas dendam be-
lum lagi terlaksana, seandainya sudah tuntas urusan-
ku, aku pasti akan turut bergabung dengan mereka...!"
"Nah, selesaikanlah urusanmu dulu, aku dan kaum
Pendekar dari segenap penjuru, dengan di restui serta
mendapat bala bantuan dari Kerajaan MATARAM, siap
menunggu kedatanganmu untuk bergabung dengan
kami...!" Berkata Roro Centil dengan tersenyum. Lalu
sudah enjot tubuhnya melompat ke atas tebing batu.
Disana dia balikkan tubuhnya lagi. Sepasang mata dara
perkasa itu menatap ke bawah. Ke arah si Penunggang
Kuda Setan. Lengannya menggapai.
"Penunggang Kuda Setan...! Sampai jumpa lagi...
!" Laki-laki Muka Tengkorak ini balas lambaikan tan-
gannya.
"Aku pasti kesana bila urusanku sudah sele-
sai...!" Teriaknya lantang. Namun Roro sudah balikkan
tubuhnya, dan berkelebat cepat tinggalkan tebing di sisi
telaga itu. Sekejap kemudian sudah lenyap tak keliha-
tan lagi. Laki-laki si Penunggang Kuda Setan kembali
tundukkan wajahnya. Tampak dari sela topengnya
mengalir turun setetes air bening. Dadanya bergerak
naik turun seperti menahan kesedihan, kemarahan ser-
ta kekecewaan yang mengaduk menjadi satu! dalam da-
da. Akan tetapi tiba-tiba dia sudah melompat ke atas
punggung kudanya. Dan diiringi suara meringkiknya si
Kuda Hitam tunggangannya itu. Binatang itu sudah me-
lesat cepat sekali, melompati tebing batu di hadapan-
nya.
"Tunggulah kalian manusia-manusia jahanam...!
Si Penunggang Kuda Setan akan menuntut balas pati!"
Terdengar suara gumamnya.
Sekejap antaranya suara ringkik kuda itu sudah
lenyap bersama lenyapnya mahluk dan penunggangnya!
Sepekan kemudian... di satu wilayah jajahan Kerajaan
Pugar Alam.
Laki-laki berwajah belang ini bergegas memasu-
ki pendopo Kadipaten. Dua orang penjaga menjura
hormat, dan mempersilahkan masuk. Mereka telah
mengenal akan siapa adanya laki-laki ini. Akan tetapi
heran juga karena tak seperti biasanya datang sendi-
rian. Mereka mengenalnya yang bergelar si Muka Ma-
can. Kemanakah si Muka Babi dan si Muka Tikus...?
Namun mereka cuma berbisik-bisik saja tak berani me-
nanyakan.
Setelah melewati satu pintu lagi, segera telah be-
rada di ruangan dalam.
"Ah, kemanakah Adipati Rama Sepuh?" Desis-
nya pelahan. Sepasang matanya jelalatan mengitari
ruangan. Suara tertawa cekikikan dari ruangan kamar
disebelah mengundang keinginan untuk mengintip. Dari
lubang kunci segera terlihat satu pemandangan yang
membuat darahnya tersirap. Karena sang Adipati ten-
gah digeluti oleh dua orang wanita yang separuh telan-
jang.
"Kakang Rama Sepuh... Hihihihi.... ah, geli...!
Hihihi..." Kembali terdengar suara tertawa yang renyah
mengundang perhatian. Dua penjaga di ujung ruangan
sudah beranjak mendekati si Muka Macan ini. Akan te-
tapi baru mau membentak, segera di urungkan karena
mengetahui orang itu adalah si Muka Macan yang asik
mengintip. Lalu cepat-cepat melangkah pergi.
"Siapa di luar...!" Tiba-tiba satu bentakan menggeledek
telah membuat si Muka Macan terlonjak kaget. Seraya
buru-buru mengambil sikap sebaik mungkin seolah tak
melakukan apa-apa.
"Ham... hamba, Gusti Adipati...!" Ujarnya dengan
tergagap.
"Ada keperluan penting Gusti Adipati, hamba... Man-
draka, si Muka Macan!" Hening sejenak... Dan terdengar
lagi suara dari dalam.
"Tunggulah di ruang depan. Sebentar aku da-
tang...!"
"Baik, Gusti Adipati...!" Sahut si Muka Macan,
dan dengan senyum pahit dia sudah "ngeloyor" pergi
menuju ke ruangan depan tempat biasa diadakan per-
temuan. Agak lama juga laki-laki berwajah belang ini
menanti kedatangan sang Adipati itu. Namun tak lama
sudah datang yang ditunggunya. Seorang laki-laki ber-
tubuh kekar dengan pakaian dinas, segera keluar me-
nemuinya.
"Ada hal penting apakah Mandraka...?" Tanya
sang Adipati. Menilik dari usianya Adipati ini berusia
sekitar 37 tahun. Dengan pakaian kebesarannya seba-
gai seorang Adipati, tampak benar kelihatan kewiba-
waannya. Akan tetapi sinar matanya memang terlalu
liar untuk seorang pejabat yang berhati bersih.
"Celaka, Gusti...! Hamba baru tiba dari Pe-
sanggrahan Puri Kencana...!"
"Apa yang telah terjadi disana? Dan... mana ka-
wanmu yang lain?" Belum lagi si muka macan yang
bernama Mandraka itu selesai berbicara, sudah disam-
bar pertanyaan sang Adiati.
"Begini, Gusti ..." Segera Mandraka tuturkan ke-
jadiannya dengan secara singkat, yaitu pertama adalah
kejadian yang membuat kematian saudara sepergu-
ruannya si Muka Tikus, dan si Muka Babi yang di jum-
pai tubuhnya dalam keadaan terluka. Karena tangan
dan kakinya patah, akibat dilemparkan si penunggang
Kuda setan. Dan yang kedua diceritakan kejadian di pe-
sanggrahan Puri Kencana.
***
DELAPAN
Puri Kencana adalah tempat menampung para
wanita tawanan, dari Kerajaan Swarna Mega yang ber-
hasil dikuasai Kerajaan PUGAR ALAM. Dan Adipati Ra-
ma Sepuh ini. Puri Kencana bukan saja tempat para
tawanan wanita, akan tetapi merupakan tempat pelesir
sang Adipati Rama Sepuh dan para pejabat baru lain-
nya. Sejak didudukinya Kerajaan Swarna Mega itu. Ba-
nyak terjadi perubahan kekuasaan yang dipegang oleh
orang-orang dari Kerajaan Pugar Alam.
Setelah membawa si Muka Babi ke rumah seo-
rang sahabatnya yang ahli dalam menyambung tulang
patah, si Muka Macan bermaksud akan segera mela-
porkan kejadian itu pada Adipati Rama Sepuh. Akan te-
tapi diurungkan. Dan tujuannya dirubah dengan men-
gunjungi dulu Puri Kencana. Tentu saja sebagai manu-
sia yang sudah berwatak bejad, apalagi maksudnya tak
kesampaian untuk mengagahi si gadis desa bernama
Sutirah itu.
Akan tetapi betapa terkejutnya dia mengetahui
keadaan Puri Kencana telah porak-poranda. Dan para
wanita tawanan telah meloloskan diri. Beberapa mayat
penjaga di Puri itu telah bergelimpangan menjadi mayat.
Dari seorang penjaga yang luka parah segera diketahui
kalau mereka dibebaskan oleh para pemberontak dari
rakyat dan sisa-sisa lasykar Kerajaan Swarna Mega,
yang pada terjadi penyerahan kedaulatan banyak me-
nyembunyikan diri.
"Cuma itu laporan hamba, Gusti Adipati...! Sele-
bihnya kalau ada kekurangan hamba tak mengetahui..."
Tutur Mandraka si Muka Macan. Merah padam seketika
wajah sang Adipati Rama Sepuh. Lengannya sudah
menggebrak meja hingga sempal bagian ujungnya.
"Keparat...! Rupanya rakyat Swarna Mega sudah
merencanakan pemberontakan...!" Sang Adipati ini se-
gera berdiri, lengannya bertepuk tiga kali. Dan dengan
tergesa-gesa dua pengawal datang menghadap.
"Pengawal! Perintahkan semua kawan-kawan
mu untuk menjaga ketat lingkungan Kadipaten ini!" Pe-
rintahnya.
"Daulat Kanjeng Gusti Adipati!" Segera kedua
penjaga mengundurkan diri. Tak lama di luar gedung
Kadipaten segera sibuk para Ketua pengawal untuk
membagi tugas pada anak buahnya.
"Apakah yang harus hamba lakukan, Gusti Adi-
pati...?" Tanya Mandraka.
Termenung sejenak sang Adipati Rama Sepuh.
Lalu ujarnya. "Hubungilah Resi Parto Kendal! Suruh be-
liau kemari...!"
"Baik, Gusti Adipati!" Sahut Mandraka. Akan te-
tapi sebelum si Muka Macan itu beranjak keluar ruan-
gan, sudah terdengar suara tertawa terkekeh diluar ge-
dung.
"Heheheheheh... heheh... Aku sudah datang,
Adipati...!" Dan sesosok tubuh telah berkelebat masuk.
Ternyata seorang kakek berjubah mewah berwarna
kuning gemerlapan. Lengannya mencekal sebatang
tongkat bergagang perak. Pada bibirnya terselip sebatang pipa terbuat dari gading gajah, yang masih menge-
pulkan asap. Sang kakek ini sudah mengambil tempat
duduk di kursi, berhadapan dengan sang Adipati Rama
Sepuh.
"Aku sudah tahu akan kerusuhan itu..." Ujar
sang Resi Parto Kendal. Pemberontakan tidak hanya be-
rada di Kerajaan jajahan Swarna Mega ini saja, akan te-
tapi juga di Kerajaan Swarna Bumi dan Kerajaan Song-
go Langit!" Tutur sang Resi, seraya menghisap pipanya.
"Hah!? Begitukah Resi...?" Sentak Adipati Rama
Sepuh dengan belalakkan matanya. Sang Resi cuma
manggut-manggut.
"Heheheh... tenanglah Adipati! Permaisuri Ratu
Kerajaan PUGAR ALAM tentu takkan membiarkan hal
ini... !" Sambung sang Resi Parto Kendal.
"Apakah tak sebaiknya aku bergabung dengan
dua saudaraku di Dua Kerajaan itu?" Bertanya Adipati
Rama Sepuh, meminta pendapat sang Resi. Akan tetapi
tiba-tiba sudah terdengar suara tertawa cekikikan, kali
ini adalah suara wanita yang terdengar mengikik.
"Hihihi.... hihi.... sudah terlambat, sobat Tu-
menggung! Peperangan sudah berkecamuk! Pemberon-
takan di dua Kerajaan itu sudah di mulai. Orang-
orangmu sudah tinggal menunggu kematiannya saja!"
BRAKK...! Tiba-tiba atap genting di atas ruang
pertemuan gedung Kadipaten itu sudah berlubang be-
sar. Dan serpihan-serpihan genting meluruk berjatu-
han. Tentu saja hal itu membuat terperanjat ketiga ma-
nusia yang tengah berunding dibawahnya. Serentak
berlompatan untuk menyingkir. Dan melayanglah seso-
sok tubuh, dari lubang menganga di atap wuwungan
itu. Ringan sekali gerakannya, tahu-tahu sudah berdiri
di hadapan mereka sesosok wanita tua alias nenek-
nenek.
"Bikhu SOKALIMA ....!" Tersentak ketika Resi
Parto Kendal melihat siapa yang datang. Akan tetapi
sang Resi cepat-cepat merubah sikap jumawa, menutu-
pi rasa terkejutnya. Sementara hatinya diam-diam men-
geluh. Haii! Mau apa jauh-jauh nenek peot penghuni
puncak Ratawu ini datang kemari...?
"Hihihi... Resi Palsu! Kau masih ingat padaku?"
Berkata si nenek dengan suara dingin. Sepasang ma-
tanya memancar tajam menatap wajah orang.
"Sukurlah kalau demikian! Hm, ARYA RUDITA
alias iblis SILUMAN SUNGAI KUNING... dan alias
SILUMAN NAGA BUNTUNG...! Hihihi.... namamu ba-
nyak sekali. Dan kini adalah Resi Parto Kendal! Wah,
wah, wah...! Bukan main! Hihihi... akan tetapi seribu
kali kau ganti nama dan julukan, nyatanya aku masih
bisa mencarimu! Kau tentu menyangka aku takkan tu-
run gunung lagi sejak menjadi pertapa di puncak Rata-
wu!
Berdirinya Kerajaan Pagar Alam itulah yang
mengundang aku meninggalkan puncak Gunung Rata-
wu! Sekalian mencarimu! Bukankah dendam diantara
kita belum terselesaikan?" Ujar si nenek yang terus nye-
rocos bicara seperti tak ada putusnya. Akan tetapi tam-
paknya Resi Parto Kendal tak merasa jeri. Bahkan men-
gekeh tertawa.
"Heheheheh.... sukurlah kedatanganmu di saat
luka dalam yang kuderita telah sembuh! Tentu ilmu
yang kau miliki semakin hebat Bikhu Sokalima? Sela-
mat berjumpa lagi...dan ah, kau masih cantik walaupun
sudah nenek-nenek peot...!" Seraya berkata Resi Parto
Kendal bungkukkan tubuh menjura.
"Hihihi... tingkahmu masih seperti berandal be-
rangkat birahi saja, Arya Rudita. Tak usah pakai peng-
hormatan segala...!" Seraya berkata si nenek kibaskan
lengannya pelahan. Akan tetapi pada saat itu telah ter-
jadi satu benturan tenaga dalam yang luar biasa. Karena disaat Resi Parto Kendal membungkuk, telah mengi-
rim serangan tenaga dalam menghantam si nenek pun-
cak Ratawu itu. Segelombang angin dahsyat menyam-
bar ke arah perut. Akan tetapi dengan kibaskan lengan-
nya, ternyata si nenek bergelar Bikhu Sokalima itu telah
memakai serangan halus yang tak kelihatan itu.
DHESSS...! Satu benturan keras terdengar, dis-
ertai mengepulnya uap putih dan hitam yang bergulung
menjadi satu. Tampak tubuh si nenek puncak Ratawu
itu terhuyung dua tindak. Dan sang Resi Parto Kendal
terdorong ke belakang sampai tiga tindak. Terkejut sang
Adipati Rama Sepuh. Pada kesempatan itu satu lirikan
kilat dari sepasang mata Resi Parto Kendal telah mem-
buat sang Adipati itu mengerti kalau lirikan itu tanda
isyarat padanya. Diam-diam Adipati ini telah kerahkan
ajiannya. Tampak bibirnya komat-kamit membaca man-
tera. Tiba-tiba dia sudah keluarkan bentakan menggele-
dek.
"Nenek tua! Kau berlututlah! Kau telah lancang
masuk kekadipaten dan membuat keonaran...! Berlutut-
lah, agar aku dapat meringankan dosamu!" Terkejut
Bikhu Sokalima. Suara bentakan itu ternyata telah
mempengaruhi syarafnya. Seketika tampak perubahan
wajah si nenek, yang tampak pucat pias... Di luar kesa-
darannya sepasang kakinya tahu-tahu terasa lemah,
dan sudah menekuk untuk segera berlutut. Akan tetapi
satu bisikan halus telah menyusup ke telinganya. Aiii....
sungguh dunia sudah terbalik. masakan orang yang le-
bih tua mau sujud di hadapan bocah kemarin sore?
Terkejut Bikhu Sokalima. Entah suara siapa
yang telah menyadarkan dirinya dari pengaruh dahsyat
yang menyerang otaknya itu. Tiba-tiba si nenek telah
kerahkan kekuatan batinnya untuk menolak. Tiba-tiba
dia sudah membentak keras.
"Tidak! Kaulah yang seharusnya sujud padaku,
bocah edan...!" Berbareng dengan itu, dengan satu ke-
kuatan dahsyat si nenek telah menyentakkan tubuhnya
untuk kembali bangkit. Dan dia sudah terbebas dari
pengaruh itu. Akan tetapi pada detik itu tongkat Resi
Parto Kendal telah menyambar deras, dibarengi hanta-
man sebelah telapak tangannya. Inilah telapak tangan
palsu yang terbuat dari perunggu, dan sudah direndam
racun. Dua serangan itu membuat Bikhu Sokalima ter-
kesiap. Namun dengan miringkan kepalanya, serangan
tongkat yang dahsyat itu lewat.
WHUUK....! DHESSS...! Akan tetapi hantaman
telapak tangan manusia itu sukar dielakkan, terpaksa
sebelah lengannya dipakai menangkis. Akan tetapi aki-
batnya si nenek menjerit kaget. Seketika tubuhnya su-
dah terlempar keluar Pendopo sampai delapan tombak.
Ketika bangkit berdiri, Bikhu Sokalima meringis kesaki-
tan, karena sebelah lengannya telah lumpuh. Terkejut si
nenek ini melihat sebelah lengannya sebatas siku ber-
warna kehitaman. Tahulah dia kalau telah terkena ra-
cun.
"Heheheh... nenek peot! Kini kau sudah bukan
tandinganku lagi. Sebaiknya kau menyerah dan berga-
bung dengan kami. Mudah-mudahan Adipati akan
mengampuni kesalahanmu...!" Berkata sang Resi Parto
Kendal yang telah melompat keluar. Kemudian disusul
dengan berkelebatnya tubuh Adipati Rama Sepuh dan si
Muka Macan.
"Bedebah! Kau terlalu bermulut besar Arya Ru-
dita! Siapa sudi bergabung dengan anak buah Kerajaan
Setan...!" Teriak Bikhu Sokalima, seraya gerakkan len-
gannya menotok sebelah atas lengannya yang keracu-
nan. Dengan begitu darah beracun segera terhenti un-
tuk tidak menyebar keseluruh tubuh.
Diam-diam dalam hati si nenek ini mengeluh.
Celaka aku lupa kalau dia telah mengganti lengannya
yang buntung itu dengan tangan palsu dari perunggu...!
Sementara beberapa pengawal Kadipaten telah mengu-
rung sekitar tempat itu. Mereka terkejut, karena tak
mengetahui datang mana datangnya musuh yang telah
masuk menyelinap ke dalam gedung Kadipaten.
"Hm, serahkan nenek tua renta ini padaku Re-
si.....'" Tiba-tiba Adipati Rama Sepuh sudah melompat
ke hadapan Bikhu Sokalima. Akan tetapi pada saat itu
terdengar keras, disusul dengan munculnya Tumeng-
gung KUTUT MAJA.
"Parto Kendal! Manusia busuk ...! Tak kukira
manusia yang kuanggap sahabat dan kulindungi, ter-
nyata adalah manusia yang hatinya beracun!" Teriak
Kutut Maja. Sang kakek ini menatap Resi Parto Kendal,
dengan tatapan mata berapi-api.
"Ternyata belakangan baru kuketahui bahwa
kaulah yang menyebabkan kehancuran keluarga saha-
batku bernama PAMUJI...! Istrinya kau perkosa, lalu
kau bunuh setelah kau puas menyiksanya. Kemudian
menyusul kematian Pamuji sendiri di tangan mu! Ah,
betapa aku menjadi menyesal setengah mati, justru
orang yang kulindungi....! Seorang manusia iblis yang
telah membunuh sahabat baikku itu!" Terasa suara ka-
kek tua bernama Kutut Maja ini mengandung penyesa-
lan luar biasa. Segera teringat dia ketika membawa
WIBISANA ke puncak gunung Argasomala untuk dis-
erahkan pada kakak kandungnya yang bernama Kutut
Praja Setha.
Ketika beberapa tahun yang lalu dia mengun-
jungi puncak Argasomala, ternyata tempat itu telah
musnah menjadi abu. Tak diketahui kemana lenyapnya
sang kakak dan juga bocah yatim piatu bernama Wibi-
sana itu. Yang melaporkan kejadian itu adalah seorang
pembantu keluarga Pamuji sendiri. Yaitu seorang laki-
laki pengurus kuda. Ketika terjadinya peristiwa itu dia
diancam akan dibunuh bila berani membuka mulut.
Karena ketakutan si laki-laki pengurus kuda menghi-
lang entah kemana.
Beberapa tahun kemudian laki-laki itu datang
ke gedung kediaman Tumenggung Kutut Maja untuk
meminta pekerjaan. Dan dari penuturan si pengurus
kuda itulah di ketahui siapa adanya Parto Kendal. Ka-
rena saat Parto Kendal mengunjungi Gedungnya, si
pengurus kuda yang telah diterima bekerja padanya itu
segera mengenali wajahnya.
"Kedatanganku bukan dengan urusan saha-
batku itu saja. Akan tetapi tentu saja untuk menumpas
kaki tangan Kerajaan PUGAR ALAM, yang telah jelas-
jelas mau menguasai kekuasaan di seluruh Pulau Jawa
ini!" Berkata Tumenggung Kutut Maja dengan suara
dingin dan tegas.
Tak perlu banyak bicara Kutut Maja! Kau berada
di wilayah kekuasaan Kerajaan Pugar Alam. Dan keda-
tanganmu cuma mengantarkan kematian!"
"Pengawal! Mengapa kalian melongo saja! Bunuh
manusia pengacau ini!" Teriak Parto Kendal seraya me-
nyapu pandangan pada para pengawalnya yang telah
mengurung tempat itu. Serentak sudah terdengar sua-
ra-suara bentakan keras, disusul menerjangnya bebe-
rapa pengawal Kadipaten dengan senjata-senjata telan-
jang.
"Keparat....! Kau benar-benar memandang ren-
dah padaku Parto Kendal?" Tumenggung Kutut Maja
berteriak marah. Lengannya telah bergerak mencabut
senjatanya sebuah tombak pendek bercabang dua dari
belakang punggungnya. Dan sekali tubuhnya berkele-
bat, tiga pengawal Kadipaten roboh terjungkal dengan
diiringi teriakan kematian. Karena leher dan dada me-
reka telah terpanggang senjata sang Tumenggung tua
ini. Yang lainnya seketika mundur ketakutan. Melihat
demikian Resi Parto Kendal perdengarkan bentakan ke-
ras, dan sudah menerjang dengan senjata tongkatnya.
WHUK! WHUKK....! TRANG....!
Tiga rangkaian serangan Parto Kendal berhasil
dielakkan Kutut Maja, dan serangan terakhir mendapat
sambutan tangkisan senjata tombak bercabangnya.
Sementara Adipati Rama Sepuh menerjang si nenek
puncak Ratawu yang mendapat sambutan dengan sege-
ra. Kali ini Bikhu Sokalima harus hati-hati menghadapi
serangan tenaga batin yang sewaktu-waktu digunakan
lawan. Namun masih sempat nenek itu memperingati
Tumenggung Kutut Maja.
"Awas, hati-hati dengan tangan kirinya, Tu-
menggung...!"
"Aku sudah mengetahui nini Bikhu! Terima ka-
sih atas peringatanmu!" Berkata Kutut Maja seraya len-
gannya menghantam batok kepala sang Resi.
WHUTT....!
Serangan itu disusul dengan berkelebatnya tom-
bak pendek bercabang dua ditangan kanannya.
TRANG...! Lagi-lagi terjadi benturan kedua senjata me-
reka. Kali ini Kutut Maja telah gunakan dengan tenaga
dalam lebih dari separuh, membuat tubuh Arya Rudita
alias Parto Kendal itu terhuyung tiga-empat tindak. Ke-
sempatan ini dipergunakan sang Tumenggung untuk
melompat menerjang dan hantamkan lagi senjatanya.
TRANG....!
Lagi-lagi Parto Kendal luput dari serangan, dan
sudah pergunakan lagi tongkatnya untuk
menangkis. Akan tetapi tenaga dalamnya memang be-
rada setingkat di bawah Kutut Maja. Kembali tubuhnya
terhuyung.
***
SEMBILAN
BHUK...! Satu hantaman telak dari pukulan Ku-
tut Maja mengenai dada Parto Kendal. Aneh! Laki-laki
tua itu tak menangkis, akan tetapi bersama dengan itu
lengannya telah bergerak menghantam ke arah selang-
kangan lawan. Untunglah Kutut Maja waspada, tom-
baknya berputar dengan cepat, menangkis serangan.
PRRAKKK....!
Memekik Parto Kendal ketika lengan palsunya
terhantam putus. putaran tombak Kutut Maja tidak
berhenti di situ saja, akan tetapi terus menerjang ke
arahnya. Sang Resi ini memang mempunyai taktik ber-
tarung yang sudah berpengalaman. Di saat Kutut Maja
hantamkan lengannya, sengaja dia tak mengelak, kare-
na mengharap dapat memukulkan telapak tangan pe-
runggunya menghabisi nyawa lawan, yaitu dengan
mengerahkan kebagian alat vital Kutut Maja. Dengan
mempergunakan ilmu memberatkan tubuh dan salur-
kan tenaga dalam ke arah dada, membuat tubuhnya tak
bergeming.
Akan tetapi dia salah perhitungan. Tak di sang-
ka Kutut Maja mempunyai sepasang mata yang tajam.
Nalurinya yang peka membuat dia dapat menangkis se-
rangan colongan itu dengan putarkan tombaknya. Bah-
kan berhasil membabat putus lengan palsunya.
Di saat bahaya maut mengancam, karena putaran tom-
bak bercabang Kutut Maja menyerbu ke arahnya, saat
itulah terdengar bentakan keras.
"Tahan...!" Itulah suara Adipati Rama Sepuh.
Bentakan itu mengandung tenaga batin yang kuat.
Membuat Kutut Maja melengak, dan kena terpengaruh.
Tanpa disadari hantaman yang sedianya sudah disgannya telah lumpuh.
DHESS....! Terjangan kaki Adipati Rama Sepuh
teramat cepat dan keras, membuat si nenek puncak Ra-
tawu tak dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Seke-
tika sudah terlepas dari cekalannya. Saat itu satu han-
taman lengan lawan sudah tak mampu dihindarkan la-
gi. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ringkik
kuda. Dan...."
BLUK...! Tubuh Adipati Rama Sepuh terlempar
bergulingan. Ketika dia bangkit lagi jadi terkejut, karena
yang menghajar pantatnya tak lain dari seekor kuda.
Entah dari mana munculnya tahu-tahu seekor kuda
berbulu hitam sudah ada di situ. Saat dia terkesima itu-
lah, sebuah bayangan merah telah melayang ke atas
punggung kuda. Dan sekejap kemudian diatas pung-
gung kuda telah duduk sesosok tubuh berjubah merah
berwajah mengerikan mirip tengkorak, yang hitam le-
gam.
"Siapa kau...?!" Bentak Adipati Rama Sepuh,
yang sudah melompat berdiri.
"Akulah yang akan mengirim nyawamu ke Nera-
ka BRAJA PATI...!" Bentak sosok tubuh itu dengan sua-
ra yang seperti menembus ke jantungnya.
"Kau... kaukah si PENUNGGANG KUDA
SETAN...?" Tanya Adipati Rama Sepuh, yang jadi terke-
jut karena si Muka Tengkorak itu mengetahui nama as-
linya.
"Benar! Dan mungkin kau masih ingat akan wa-
jahku ini....!" Berkata si Penunggang Kuda Setan, seraya
tiba-tiba lengannya telah bergerak membuka topeng
Tengkorak yang dikenakannya. Selang sesaat suasana
menjadi hening mencekam. Akan tetapi sudah terdengar
suara terkejut si Adipati Rama Sepuh alias Braja Pati
ini.
"Kau... kau si bocah dungu WIBISANA.....???"
Bukan saja Braja Pati yang terkejut, akan tetapi Tu-
menggung Kutut Maja juga terperanjat. Karena tak me-
nyangka kalau si penunggang kuda hitam itu adalah
Wibisana. Yaitu si bocah laki-laki, yang pada tiga belas
tahun yang silam di bawanya ke Puncak Argasomala di
kediaman kakak kandungnya Kutut Praja Setha. Kalau
Kutut Maja terkejut bercampur girang, adalah Braja Pati
pucat pias wajahnya. Karena seketika seperti berhada-
pan dengan hantu.
"Bukankah kau... kau...???" Kata-katanya ter-
sumbat dikerongkongan. Karena segera terlintas pada
benaknya ketika lima tahun yang lalu di puncak Arga-
somala, dia bersama Dasa Mukti dan Kala Butho telah
membunuh Wibisana dengan cara yang mengerikan.
Yaitu kaki dan tangan Wibisana diikat dengan tiga tam-
bang pad tiga ekor kuda. Lalu bersama-sama mereka
menariknya, hingga tubuh Wibisana terbelah menjadi
tiga bagian. Setelah itu mereka membakar Pesanggra-
han di atas puncak Argasomala itu.
Merasa berhadapan dengan hantu, Braja Pati
segera merapal mantera. Seketika tubuhnya lenyap dari
pandangan mata. Terkesiap Kutu Maja. Sementara itu
dengan diam-diam Arya Rudita alias Resi Parto Kendal
telah melarikan diri. Terkejut Bikhu Sokalima, namun
terpaksa dia urungkan mengejar mengetahui dirinya
sudah terluka. Kini sepasang mata nenek itupun jadi
terbelalak mengetahui tiba-tiba tubuh Adipati Rama Se-
puh menghilang dari pandangan mata.
Akan tetapi itu saat itu sudah terdengar benta-
kan keras si Penunggang Kuda Setan. Lengannya berge-
rak menghantam!
BHUSSSS.....! Segelombang uap putih meluncur
cepat ke arah dimana tubuh Braja Pati melenyap. Ter-
dengar suara teriakan kaget. Dan tahu-tahu sesosok
tubuh sudah terlempar bergelimpangan. Sekejap saja si
Penunggang Kuda Setan telah menyusulnya. Sang Kuda
Hitam melompat cepat ke arah tubuh Braja Pati yang
sudah menampakkan diri lagi. Dan.... SRET! Ditangan
Wibisana sudah tergenggam sebuah pedang kayu.
"Kau takkan dapat lolos lagi dari tangan Braja
Pati!" Bentak si Penunggang Kuda Setan. Braja Pati ra-
sakan seluruh tubuhnya kesemutan. Namun dia sudah
melompat berdiri seraya merapal mantera lagi.
"Ah...?" Tersentak Kutut Maja melihat pedang
itu, karena jelas itulah pedang kayu milik kakak kan-
dungya. Dengan pedang itulah sang kakak telah men-
dapat julukan si Pendekar Pedang Kayu pada puluhan
tahun yang silam.
"Hahahahah .... Wibisana! Kau kira aku takut
walau kau telah menjadi setan setelah kubunuh mam-
pus?. Kali ini kau akan jadi setan betulan yang tak da-
pat menjelma lagi!" Berkata Braja Pati. Ternyata dia su-
dah mampu memulihkan kekuatannya, bahkan pada
kedua lengannya telah tercekal dua ekor ular hitam se-
besar ibu jari kaki.
"Kau hadapilah ularku...!" Bentak Braja Pati, se-
raya bantingkan ular itu ke tanah. Tiba-tiba terjadilah
keanehan. Kabut hitam bergulung-gulung di hadapan si
Penunggang Kuda Setan. Sekejap dua ekor ular raksasa
telah menjelma dari gumpalan asap kabut hitam itu.
Kuda hitam tampak perdengarkan ringkikannya hingga
melonjak berjingkrakan, seperti takut. Akan tetapi sege-
ra si Penunggang Kuda Setan sudah menenangkannya.
Sementara Kutut Maja dan Bikhu Sokalima terperangah
melihat kejadian itu.
HOOOSSSY ....! HOOOSSSY....!
WHUT! WHUT! WHUUT....! Kedua ekor ular rak-
sasa itu sudah menerjang Wibisana, yang segera keprak
kudanya menghindar. Pedang kayunya menabas... Akan
tetapi pada saat itu Braja Pati sudah turut menerjang
mengirimkan tusukan senjatanya, yaitu sebuah keris
yang berwarna merah. Entah sejak kapan benda itu su-
dah tercabut dari serangkanya di belakang punggung.
TRAKK...! Pedang kayu si penunggang kuda Se-
tan telah bergerak menangkis. Sementara kuda hitam-
nya melonjak menerjang dengan kedua kakinya. Braja
Pati cepat lemparkan tubuhnya kesamping. Sementara
kedua ular raksasa telah julurkan lagi kepalanya me-
nerjang ganas. Namun kali ini agaknya si Penunggang
Kuda Setan tak dapat mengelakkan diri. Tubuhnya ter-
lempar dari atas kuda. Saat itu Braja Pati sudah mem-
burunya dengan lompatan kilat. Keris merahnya melun-
cur deras ke arah dada.
JROS...! Cepat sekali senjata itu sudah terhujam
telak ke dada Wibisana. Terkaparlah tubuh laki-laki be-
rusia dua puluh tahun itu tanpa berkelojotan lagi. Ka-
rena keris merahnya mengandung racun yang luar bi-
asa ganasnya.
"Hahaha... hahahaha... ternyata cuma begitu sa-
ja kehebatan si kacung dungu! Heh, akan kulihat apa-
kah kali ini kau mampu untuk jadi setan untuk kedua
kali...!" Berkata Braja Pati.
Manusia ini sejak berguru pada si Dukun Sakti
alias si Dewi Setan Kemangmang, telah menjadi seorang
yang sakti. Dan memiliki bermacam ilmu sihir yang he-
bat menakutkan.
Kedua Ular Siluman itu kembali mengecil lalu
melenyap. Sementara Kutut Maja dan Bikhu Sokalima
jadi terperanjat melihat kematian Wibisana yang telah
membuatnya bergirang dengan kemunculannya lagi.
Walau merasa aneh. Karena mendengar bahwa Adipati
Rama Sepuh alias Braja Pati itu telah membunuhnya.
"Aha! Braja Pati jangan bergirang dulu! Masakan
orang yang sudah mampus masih kau bunuh juga!"
Tentu saja kata-kata itu membuat Braja Pati jadi terperanjat. Karena si Penunggang Kuda Setan masih tetap
tegak duduk di atas kuda hitamnya dengan pedang
kayu di tangan. Ketika melihat ke bawah dimana dia
barusan menghujamkan kerisnya, ternyata yang tergele-
tak di situ tak lain dari mayat si Muka Macan.
Bukan saja Braja Pati yang terkejut akan tetapi
Kutut Maja dan si nenek puncak Ratawu juga terkejut,
karena hal itu tak luput dari matanya. Si Penunggang
Kuda Setan terbunuh tewas oleh keris merah Braja Pati.
Akan tetapi nyatanya Wibisana masih segar bugar bera-
da di atas punggung kuda hitamnya.
Pucat pias wajah Braja Pati. Akan tetapi dengan
menggerung keras, dia sudah menerjang dengan keris
merahnya. Ketika bibirnya membaca mantera, dari
ujung keris itu menyembur segelombang api yang me-
nerjang ke tubuh si Penunggang Kuda Setan. Akan te-
tapi dengan kibaskan pedang kayunya, semburan api
itu mendadak lenyap. Dibarengi dengan ringkikan kuda
hitamnya, pedang kayu Wibisana meluncur deras ke
arah leher Braja Pati. Terkesiap laki-laki ini. Namun
dengan sebat dia pergunakan keris merahnya untuk
menangkis.
TRAK! Sekali hantam ternyata keris Braja Pati
telah terpental entah kemana. Dalam keadaan terkejut
itu Braja Pati seperti hilang akal. Dia sudah balikkan
tubuh untuk melarikan diri. Akan tetapi.....
***
SEPULUH
CRAT...! Satu pemandangan mengerikan segera
terpampang didepan mata Kutut Maja dan Bikhu Soka
lima. Apa yang terjadi? Dengan pekik mengerikan me-
nyayat hati sang Adipati Romo Sepuh alias Braja Pati
hentikan langkahnya. Karena tubuhnya telah terpang-
gang oleh pedang kayu si Penunggang Kuda Setan, yang
telah melesat dari punggung kuda hitamnya. Dan keja-
dian berikutnya adalah darah segar menyemburat ke
udara, ketika si Penunggang Kuda Setan menyontekkan
pedangnya. Sekejap kemudian tubuh Braja Pati telah
terbelah dua, dari sebatas perut sampai kepala.
BRUK...! Tubuh laki-laki itu ambruk ke tanah
tak berkutik lagi. Berkubang dalam genangan darahnya
sendiri. Kutut Maja dan Bikhu Sokalima terperangah
dengan mata membelalak.
Tumenggung tua ini sudah beranjak mengham-
piri laki-laki si Penunggang Kuda Setan.
"WIBISANA...! Benarkan kau... kau bocah anak
sahabatku, bernama PAMUJI itu? Tergetar suara Kutut
Maja, yang telah menatapnya dengan sepasang mata
membelalak tak berkedip. Seperti tak percaya pada pen-
glihatannya.
"Benar, Paman...! Aku bocah yang malang itu.
Yang pernah kau antarkan ke puncak Argasomala...!"
Berkata si Penunggang Kuda Setan dengan suara haru.
Tampak setetes air bening mengalir turun dari sudut
matanya.
"Ah, anak mas...! Betapa hebatnya kau...
Teriak Kutut Maja dengan suara berdesis. Selan-
jutnya laki-laki tua itu sudah memeluk pemuda itu
dengan bercucuran air mata. Sementara Bikhu Sokali-
ma segera tundukkan wajahnya. Diapun jadi terharu
karenanya. Namun tiba-tiba nenek puncak Ratawu ini
telah keluarkan suara keluhan, dan roboh ke tanah.
Akibat banyak mengeluarkan tenaga dan gerakan, toto-
kan yang telah digunakan menghentikan darah beracun
dari luka di lengan nya telah terbuka. Dan darah beracun segera mengalir ke tubuhnya.
Terkesiap Kutut Maja melihat nenek tua saha-
batnya itu roboh berdebuk. Segera dia sudah lepaskan
pelukannya, dan melompat ke arah Bikhu Sokalima.
"He? Kemana gerangan si Adipati keparat itu?"
Desisnya tersentak. Rupanya dia bara teringat akan Re-
si Parto Kendal, yang sudah sedari tadi melarikan diri.
Sementara Wibisana telah pula melompat ke dekat me-
reka.
"Ah? Celaka paman...! Dia telah terkena racun
jahat Resi palsu itu!" Berkata Wibisana. Kutut Maja tak
menjawab, namun lengannya sudah bekerja cepat me-
notok ke beberapa bagian tubuh Bikhu Sokalima, untuk
mencegah menjalarnya darah beracun ke jantung. Lalu
ambil dua butir pil, dan jejalkan ke mulut si nenek. Ti-
ba-tiba tubuh laki-laki tua ini telah berkelebat masuk
ke dalam gedung Kadipaten. Tak lama sudah keluar lagi
dengan membawa segelas air. Cepat-cepat dia mem-
bungkuk, dan mengangkat tubuh si nenek seraya me-
minumkan air dalam gelas. Ternyata si nenek itu belum
lagi pingsan.
Segera meneguknya dengan lemah. Pelahan Ku-
tut Maja merebahkannya lagi. Tampak laki-laki Tu-
menggung ini pejamkan sepasang matanya. Sebelah te-
lapak tangannya ditempelkan ke bagian perut Bikhu
Sokalima, dan sebelah lagi berada di atas dadanya.
Tangan yang berada di atas dada itu mengejang berge-
taran. Sedangkan yang menempel di perut si nenek ke-
pulkan uap putih. Ternyata dia sedang berusaha me-
nyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh si nenek puncak
Ratawu itu untuk mengusir racun.
Wibisana tersenyum melihatnya. Ada harapan
dapat tertolong! Pikir si Penunggang Kuda Setan ini.
Akan tetapi tiba-tiba wajah pemuda ini menegang. Ke-
palanya berpaling ke kiri dan kanan. Sepasang matanya
menyebar ke beberapa arah.
"Bedebah! Iblis pembunuh kedua orang tuaku
itu tak boleh lolos lagi hari ini...!" Desis Wibisana.
"Paman, aku harus segera pergi menyusul Resi
palsu itu untuk membalas dendam pati!"
Berkata Wibisana. Dan tanpa menunggu jawa-
ban juga tak perlu menunggu jawaban sang Tumeng-
gung itu karena dia tahu orang tua itu sedang berusaha
keras menolong Bikhu Sokalima. Wibisana sudah ber-
kelebat melompat ke atas punggung kudanya. Tak lama
terdengar suara ringkik sang kuda hitam yang sekejap
sudah mencongklang pesat bagai deru angin tanpa me-
nimbulkan suara tampak kakinya. Sesaat si Penung-
gang Kuda Setan telah melenyap. Diam-diam Kutut Ma-
ja telah melihat kejadian itu, karena matanya sedikit
terbuka.
"Ah...!? Apakah dia telah mewariskan ilmu dari
Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam...?"
Desisnya pelahan. Luar biasa...! Gerakannya ba-
gaikan siluman! Sentak hatinya. Bibirnya menampak-
kan senyum. Akan tetapi hatinya membatin. Ah, entah
kemanakah gerangan kakang Kutut praja Setha .... Ka-
lau dia yang telah mengajarkan ilmu dalam kitab yang
telah diwariskan pada bocah itu, tentu dia masih hidup!
"Bocah itu memang patut dijuluki si Penunggang
Kuda Setan. kuda dan penunggangnya sama-sama aneh
dan menakjubkan! Semoga dendam bocah itu dapat ce-
pat terbalaskan!" Gumamnya lirih. Dan terdengar laki-
laki tua itu menghela napas panjang. Ternyata usa-
hanya menyembuhkan Bikhu Sokalima membawa hasil
memuaskan. Wanita tua dari puncak Ratawu itu sudah
buka kelopak matanya. Tak lama tubuhnya mulai ber-
gerak-gerak, dan dengan mengeluh lirih, dia sudah be-
rusaha untuk bangkit duduk.
"Hehehe... sukurlah kau bisa tertolong, nini Bik
hu!" Berkata Kutut Maja. Nampak wajah si nenek yang
pucat itu pelahan mulai berobah merah. Bahkan sebe-
lah lengannya yang lumpuh dan kehitaman sudah da-
pat menipis. Sementara sejak tadi uap hitam terus me-
rembus keluar dari telapak tangannya.
"Ah! Kau hebat sekali Tumenggung! Terima ka-
sih atas pertolonganmu...!" Sang Tumenggung tua ini
cuma tersenyum seraya berkata.
"Cuma sedikit kepandaian yang kupunyai, ke-
sembuhan mu hakekatnya adalah Kebesaran Tuhan ju-
ga yang masih memberi kau umur panjang, Nini Bikhu!"
Nenek puncak Ratawu itupun manggut-manggut den-
gan tersenyum.
Ketika matahari mulai condong ke arah barat,
kedua tokoh tua itu sudah berkelebat pergi tinggalkan
tempat itu. Ternyata Tumenggung Kutut Maja telah
mengajak Bikhu Sokalima menuju ke lembah SOKA un-
tuk bergabung dengan para pejuang lainnya.
***
Kita ikuti langkah-langkah Roro Centil.... Sulit
untuk menerka kemana tujuan si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu. Ternyata sejak berpisah dari si Penung-
gang Kuda Setan, Roro tidak terus menuju ke lembah
SOKA. Akan tetapi diam-diam terus mengikuti kemana
perginya pemuda berkuda itu, yang diketahui memang
mencari musuh-musuh besarnya. Rasa penasaran un-
tuk bisa. mengetahui wajah dibalik topeng Tengkorak
laki-laki misterius itu akhirnya terbuka juga.
Ketika tengah terjadi pertarungan di halaman
gedung Kadipaten Kerajaan Swarna Mega, ternyata Roro
sudah mengetahui, akan tetapi tak memunculkan diri.
Sengaja ingin melihat kehebatan, serta mengetahui wa-
jah laki-laki bertopeng tengkorak itu. Dan memang akhirnya Roro segera dapat melihat jelas ketika si Penung-
gang Kuda Setan membuka topengnya di hadapan mu-
suh besarnya.
Akan tetapi ketika Resi Parto Kendal melarikan
diri di saat si Penunggang Kuda Setan tengah bertarung
melayani Adipati Romo Sepuh alias Braja Pati, yang ter-
nyata adalah salah seorang dari musuh besarnya, Roro
segera menguntitnya. Ternyata Resi Parto Kendal yang
tak lain dari Arya Rudita yang pernah bergelar si Silu-
man Sungai Kuning itu tak berlari jauh, akan tetapi
menonton pertarungan dari tempat persembunyiannya.
Kemunculan Tumenggung Kutut Maja dan si Penung-
gang Kuda Setan membuat nyalinya menjadi ciut. Apa-
lagi menyaksikan bahwa si Penunggang Kuda Setan itu
tak lain dari Wibisana, yang sudah jelas telah mewarisi
ilmu dari Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam yang di
incarnya. Saat Braja Pati tewas di tangan pemuda ber-
kuda itu, sang Resi segera berkelebat melarikan diri
dengan tubuh kucurkan keringat dingin.
"Eh, Resi...! Mau kemana kau...? Mengapa ter-
buru-buru pergi?" Tiba-tiba Roro sudah berkelebat
menghadang. Tentu saja sang Resi Palsu ini jadi tersen-
tak kaget, karena tahu-tahu di hadapannya telah berdiri
sesosok tubuh semampai berwajah jelita.
"Siapa kau, bocah perempuan...?" Bentak sang
Resi.
"Hihihi... namaku Roro Centil! Tampaknya kau
ketakutan sekali melihat kemunculan si Penunggang
Kuda Setan. Apakah dia musuh besarmu...?"
"Perduli apa dengan urusanku! Menyingkirlah
kau bocah...!" Bentak Resi Parto Kendal dengan men-
dongkol, namun dengan hati kebat-kebit. Apakah bocah
centil inipun salah seorang musuh? Gerakannya ringan
sekali, tentu berilmu tinggi...! Gumam hatinya.
"Hihi... aku tak akan pergi menyingkir sebelum
kau jawab pertanyaanku!" Berkata Roro dengan berto-
lak pinggang.
Mata Resi ini melotot karena gusarnya. Akan te-
tapi hatinya memikir. Hm kalau kuladeni bisa-bisa aku
akan tertahan lebih lama lagi disini...! Akan gagallah tu-
juanku untuk menyeberang ke Istana Kerajaan Pugar
Alam. Aku harus secepatnya menyeberang kesana, se-
belum terlambat. Aku yakin Ratu Permaisuri SINOM
SARI dan Baginda Raja Nara Syiwa akan dapat memper-
tahankan Istananya, dan memusnahkan para pembe-
rontak dari tiga Kerajaan jajahannya! Berfikir demikian
Resi Parto Kendal alias Arya Rudita ini segera memutar
otak untuk dapat lolos dari daerah ini, secepatnya.
"Baiklah, aku akan jawab pertanyaanmu, bocah
centil! Akan tetapi kau harus pegang janjimu untuk le-
kas menyingkir bila telah kujawab!" Ujarnya dengan su-
ara datar menahan kemendongkolan hatinya.
"Baik...! Aku akan pegang janji. Setelah kau ja-
wab pertanyaanku, silahkan kau lewat dengan aman!"
Ujar Roro dengan serius.
"Si Penunggang Kuda Setan itu adalah bekas
muridku! Dia telah mendurhakai aku gurunya, dan
mencuri kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam dari tan-
ganku! Tentu saja bocah setan itu adalah musuh besar-
ku...! Nah! Kau sudah mengerti bukan? Aku tak dapat
menandinginya dengan ilmu yang cuma segelintir pada-
ku ini....! Makanya aku terpaksa melarikan diri, untuk
kelak membunuh mampus bocah durhaka itu...!" Tutur
sang Resi berdusta.
"Oooh, begitu ....!" Tukas Roro dengan manggut-
manggut.
"Sungguh jahat sekali muridmu itu...!"
"Baiklah, aku akan memberimu jalan! Tapi... eh,
tunggu dulu!" Teriak Roro. Resi ini sudah mau beranjak
untuk melompat pergi, ketika Roro menyingkir ke tepi
jalan yang akan dilalui.
"Apa maumu lagi, bocah centil?" Tanyanya. Ter-
paksa dia tahan langkahnya.
"Boleh aku tahu kemana tujuanmu...?" Tanya
Roro sambil garuk-garuk tengkuknya yang
gatal.
"Aku mau ke arah selatan...!" Sahut sang Resi,
dan sambungnya lagi.
"Cukup dengan pertanyaanmu itu! Apakah kau
mau mengingkari janjimu?"
"Hihihi.... ah, tidak! Silahkanlah kau lewat..."
Ujar Roro nyengir. Tak ayal Arya Rudita sudah kele-
batkan tubuhnya untuk berlalu dengan cepat. Dan se-
bentar saja sudah lenyap dibalik rimbunnya pepohonan
di atas bukit.
***
SEBELAS
Bocah perempuan yang genit dan aneh!? Apa
maunya menanyakan segala tetek bengek! Bagusnya dia
tak menyulitkanku...!" Gumam Arya Rudita sambil per-
cepat langkahnya. Tak berapa lama tempat yang dituju
sudah kelihatan. Itulah tepian telaga berkabut, dimana
di tengah telaga berdiri Istana Kerajaan PUGAR ALAM.
Wajah laki-laki tua ini bersitkan sinar cerah. Karena tak
lama lagi dia akan segera tiba di tempat yang aman.
Memikir demikian, segera makin dipercepat tindakan
kakinya.
Akan tetapi laki-laki tua ini sudah merandek
dengan wajah pucat. Apakah yang dilihatnya?. Ternyata
di hadapannya telah berdiri seekor harimau tutul sebesar kerbau yang menghadang di tengah jalan.
"Hah?! Edan! Dari mana munculnya makhluk
ini....?" Desis Resi Parto Kendal dengan mata membe-
liak. Karena tak mau berurusan dengan si Raja Rimba
itu sang Resi segera berkelebat ke lain arah. Akan tetapi
lagi-lagi sang harimau tutul telah berada lagi di hada-
pannya menghadang jalan yang akan dilalui.
"Keparat...!" Memaki Arya Rudita, sementara ka-
kinya sudah melangkah mundur. tetapi harimau tutul
itu tak mengejar. Cuma menggeram menatap padanya.
Bahkan selonjorkan kaki di tengah jalan, lalu menguap
memperlihatkan deretan gigi dan taringnya yang runc-
ing-runcing.
Bolak-balik Resi itu mencari jalan untuk bisa
meneruskan perjalanan ke tempat tujuannya, akan te-
tapi selalu saja sang harimau tutul itu menghadang ja-
lan. Lama-kelamaan resi ini jadi tak sabar untuk segera
bertindak. Segera sudah menerobos cepat disaat sang
harimau belum menampakkan diri. Akan tetapi tiba-
tiba...
BUK!
Satu hantamam yang tak kelihatan telah mem-
buat tubuhnya terlempar kembali ke tempat semula,
dan jatuh bergulingan.
"Setan keparat...!" Makinya. Akan tetapi keringat
dingin sudah keluar membasahi sekujur tubuh. Dan
tampak harimau tutul itu sudah berada di hadapannya
lagi menghadang jalan.
"Oh, habislah aku hari ini...! Akan tertunda wak-
tuku untuk menyeberangi telaga! Gumamnya dengan
wajah pucat pias. Setelah diperhatikan baik-baik, yakin-
lah Resi ini kalau harimau tutul itu bukan harimau bi-
asa.
"Pasti ada yang mengecohku agar langkahku jadi
tertunda...! He? Jangan-jangan perbuatan si perawan
centil itu? Apakah dia punya piaraan makhluk harimau
siluman...?" Desisnya tersentak. Baiknya aku cari jalan
lain, atau pura-pura aku kembali lagi... Berkata sang
Resi dalam hati.
Dan dia sudah putar tubuh untuk kembali me-
nuju ke arah utara. Kira-kira sepenanak nasi, laki-laki
tua ini bergerak memutar, setelah beberapa saat berke-
lebatan cepat dengan mengerahkan ilmu larinya. Kini
dia menuju arah timur, yang untuk kemudian merobah
arah menuju lagi ke selatan.
Di satu sisi bukit dicobanya untuk berhenti den-
gan menyelinap kebalik batu, mengamati ke sekitar
tempat. Tampaknya suasana aman, karena tak ada ter-
lihat bayangan tubuh harimau siluman itu. Akan tetapi
begitu Resi ini munculkan diri sungguh terkejut bukan
kepalang, karena tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda
tak seberapa jauh dari situ.
"Ah!? Celaka...!" Sentaknya dengan suara terge-
tar. Jelas itulah tanda-tanda kemunculan si Penung-
gang Kuda Setan. Belum lagi dia angkat kaki untuk me-
lesat dari situ, sudah terdengar suara bentakan keras.
"Iblis keparat, pembunuh ayah ibuku...! Jangan harap
kau dapat melarikan diri lagi...!" Dan tahu-tahu di ha-
dapannya telah muncul seekor kuda hitam dengan pe-
nunggangnya yang duduk tegak di atas punggung kuda.
Jubah merahnya berkibaran tertiup angin yang mem-
bersit dari arah perbukitan.
Resi Parto Kendal tak dapat berkutik lagi. Akan
tetapi mana manusia itu mau unjukkan diri takut
menghadapi si Penunggang Kuda Setan? Bahkan sudah
lebih dulu menerjang ganas dengan tongkat peraknya.
WHUKK....! WHUKK....! Walaupun sebelah len-
gannya sudah tak mempunyai telapak lagi, ternyata
masih dapat digunakan untuk menghantam lawan. Dan
tongkat peraknya digunakan sebaik-baiknya. Dua serangan beruntun dan terjangan sebelah lengannya yang
buntung itu cuma lolos lewat ketika si Penunggang Ku-
da Setan melompat setinggi lima tombak. SRET...! Pe-
dang kayu si Penunggang Kuda Setan telah tercabut ke-
luar dari serangkanya.
Satu bentakan keras dari pemuda bernama Wi-
bisana itu sudah terdengar menggeledek dibarengi ter-
jangan kilat ke arah leher Resi Parto Kendal. Namun
dengan jatuhkan diri ke arah samping dia masih mam-
pu menghindarkan diri.
Bahkan tongkat peraknya sudah membersitkan
ratusan jarum berbisa menyerang lawan. Saat itu Wibi-
sana dalam keadaan mengambang di udara. Tampak
terkejut pemuda ini. Akan tetapi pada saat gawat itu se-
rangkum angin telah menyambar buyar jarum-jarum
maut itu. Dalam keadaan heran, si Penunggang Kuda
Setan sudah kirimkan tabasan kilat ke arah leher Resi
Parto Kendal alias si Siluman Naga Buntung. Terperan-
gah Resi ini karena justru dia sedang dalam posisi yang
tak menguntungkan.
DHESS...! Tanpa sempat berfikir lagi, sang Resi
ini sudah lenyap suaranya. Karena sekejap mata leher-
nya sudah tertabas putus. Menggelindinglah kepala To-
koh Rimba Hijau yang pernah membuat bermacam
keonaran itu. Darah menyemburat memancar dari ba-
tang tubuhnya yang sudah tak berkepala. Dan ambruk
ke tanah tanpa berkelojotan lagi.
Angin pegunungan membersit keras, meluruk-
kan daun-daun kering yang berjatuhan ke tanah. Se-
saat antaranya tubuh pemuda itu sudah melesat ke
atas punggung kudanya. Dan kejap berikutnya sudah
tinggalkan tempat itu dengan diiringi suara ringkik ku-
da.
Bersamaan dengan berkelebatnya si Penunggang
Kuda Setan. Sebuah bayangan melesat menyusul pemuda berkuda itu. Dialah Roro Centil, yang barusan te-
lah membantu menghalau jarum-jarum berbisa dengan
pukulan jarak jauhnya. Angin pukulan dara Perkasa
Pantai Selatan itu telah buyarkan jarum-jarum maut
Resi Parto Kendal, tanpa diketahui lagi oleh si Penung-
gang Kuda Setan.
Kalau Wibisana melesat dengan Kuda Siluman-
nya yang luar biasa itu, adalah Roro Centil meluncur di
belakangnya dengan duduk di atas punggung si Hari-
mau Tutul sahabatnya. Hingga yang tampak adalah dua
bayangan kilat melesat cepat bagaikan angin, melewati
bukit dan ngarai. Ke manakah tujuan mereka? Ternyata
Roro telah kirimkan suara melalui tenaga dalamnya
yang hebat ke telinga pemuda itu.
"Sobat Wibisana...! Apakah kau mau menuju ke
lembah SOKA...?". Tentu saja si Penunggang Kuda Se-
tan terkejut. Ketika itu juga sudah hentikan lari ku-
danya. Tampak di belakangnya sebuah bayangan me-
nyusulnya. Lalu berhenti pula di hadapannya kira-kira
lima tombak di atas bukit itu. Terperangah seketika Wi-
bisana melihat gadis ayu yang belum lama dikenalnya
itu tengah duduk tegak di atas punggung seekor hari-
mau tutul yang amat besar.
"Ah!? Kiranya anda... nona Roro Centil...!" Roro
mengangguk sambil tersenyum, lalu tepuk leher si ha-
rimau tutul untuk segera mendekat ke tempat pemuda
itu. Tiba-tiba kuda hitam Wibisana perdengarkan ring-
kikannya seraya melonjak-lonjak mengangkat kedua
kaki depannya. Tampaknya seperti takut melihat hari-
mau tutul di hadapannya itu. Akan tetapi tak lama su-
dah dapat tenang kembali. Roro tersenyum manis se-
raya berkata.
"Aiiih, agaknya kudamu baru mengenal binatang
sahabatku ini...!"
"Biarlah mereka saling kenal mengenal. Bukan
kah kitapun baru saja saling mengenal...?" Tukas Wibi-
sana.
"Benar juga katamu, sobat Wibisana...! Eh, ya...
mengapa tak kau pakai topeng setanmu lagi?" Tanya
Roro seraya melompat turun dari punggung si Tutul.
"Kukira tak perlu lagi! Musuh besarku sudah
kukirim nyawanya ke Akherat. Walaupun masih dua
orang lagi yang belum kutemukan...! Namun sudah cu-
kup puas hatiku. Dendam pati itu sedikitnya telah ter-
balaskan...!" Berkata Wibisana. Kemudian laki-laki in-
ipun melompat turun dari punggung kuda hitamnya.
"Oh, ya...! Boleh aku tahu siapa kedua orang lagi
musuh besarmu itu?" Tanya Roro lagi. Sementara ma-
tanya melirik pada kedua binatang Siluman yang tam-
pak saling mendekati. Akan tetapi tampaknya mengerti
kalau mereka tak boleh bermusuhan, seperti juga ke-
dua majikan. mereka. Dan tampak saling tatap dengan
mengendus-ngendus hidungnya. Wibisana menghela
napas, seraya sahutnya.
"Mereka adalah dua orang yang pernah turut
menganiayaku di puncak Argasomala. Juga manusia
yang telah merencanakan pembunuhan pada guruku...!
Mereka bernama Kala Butho dan Dasa Mukti...!". Roro
manggut-manggut mendengarkan penuturan singkat
Wibisana.
"Ceritamu menarik sekali, sobat Wibisana...! Ka-
lau kau tak keberatan, ceritakanlah selengkapnya. Aku
juga ingin tahu siapa gerangan gurumu itu. Muridnya
begini hebat, tentu gurunya seorang yang amat sakti...!"
Ujar Roro.
"Ah, baiklah! Bagaimana kalau kita bicara sam-
bil jalan saja?"
"Kudamu...?" Tanya Roro. Wibisana tak menja-
wab, akan tetapi tepukkan lengannya satu kali, dan se-
kejap si kuda hitam itu sudah melenyapkan diri. Roro
pun segera beri isyarat pada si Tutul. Dan binatang si-
luman itu segera tak menampakkan diri.
Demikianlah... Wibisana segera tuturkan secara
keseluruhan riwayat dirinya pada Roro. Entah mengapa
pemuda ini tak mampu untuk menolak. Senyum manis
dan kerlingan mata wanita Pantai Selatan itu membuat
hatinya terasa bergetar aneh. Saat itu seperti dia me-
nemukan sebuah jarum dari dasar laut. Selama ini Wi-
bisana tak pernah mempunyai sahabat wanita. Dan un-
tuk pertama kalinyalah dia jalan dan mengobrol berdua
dengan wanita. Sementara Mentari semakin condong ke
arah barat. Pantulkan sinar merahnya dari balik perbu-
kitan, yang tampak indah sekali.
Kedua remaja berlaian jenis itu tampak akrab
sekali, seperti sepasang Sejoli yang tengah bercinta,
membicarakan soal asmara.
***
Untuk lebih lengkapnya kisah Wibisana itu, ma-
rilah kita menengok pada kejadian delapan tahun yang
silam di puncak Argasomala. Yaitu pada kejadian le-
nyapnya mayat Ki KUTUT PRAJA SETHA dan tewasnya
Wibisana yang dibunuh oleh ketiga murid si Penghuni
puncak Argasomala itu sendiri. Ketiga orang itu adalah
Braja Pati, Dasa Mukti dan Kala Butho. Ternyata ketiga
laki-laki itu adalah murid Arya Rudita alias si Siluman
Naga Buntung, yang pernah juga bergelar si Siluman
Sungai Kuning.
Arya Rudita mengutus ketiga muridnya untuk
berguru ke puncak Argasomala adalah dengan satu
maksud, yaitu mencuri Kitab Pusaka Pulau Tengkorak
Hitam. Namun tak membawa hasil. Selama tiga tahun
mereka berguru pada Ki Kutut Praja Setha. Akhirnya
ketiga murid murtad Ki Kutut Praja Setha itu meminta
bantuan pada seorang Dukun Sakti yang bergelar si
Dewi Setan Kemangmang, untuk membunuh Ki Kutut
Praja Setha. Ketiga murid murtad itu sudah melihat
bukti kematian guru kedua mereka, di Pesanggrahan
puncak Agrasomala. Namun ternyata mayat kakek itu
lenyap disaat mereka menganiaya Wibisana yang men-
jadi kacung atau pembantu di Pesanggrahan itu.
Kemanakah lenyapnya mayat Ki Kutut Praja Se-
tha?. Sebenarnya Ki Kutut Praja Setha tidak tewas...!
Mayat yang dilihat ketiga murid itu adalah sebongkah
batu. Dengan kesaktiannya yang dimiliki, Kutut Praja
Setha berhasil menipu pandangan Braja Pati, Dasa
Mukti dan Kala Butho. Kekuatan Ilmu TELUH yang di-
pergunakan si Dewi Setan Kemangmang itu telah me-
nemui sasaran yang salah. Karena Kutut Praja Setha te-
lah berhasil menukar terlebih dulu raganya dengan se-
bongkah batu yang telah dipersiapkan. Naluri tokoh
sakti tokoh puncak Argasomala itu teramat peka. Dia
telah mengetahui bakal terjadi bencana yang menimpa
tempat tinggalnya.
Hingga bukan saja berhasil menipu si tiga murid
murtadnya, akan tetapi menipu juga si Dukun Sakti
Dewi Setan Kemangmang itu, yang mengirimkan seran-
gan ilmu hitam melalui siluman jahat! Dengan demikian
tahulah Kutut Praja Setha akan watak ketiga muridnya
itu. Bahkan mengetahui pula maksud tujuan mereka
sebenarnya, yang didalangi oleh gurunya. Yaitu Arya
Rudita alias kakek tua sakitan yang mengaku bernama
Parto Kendal.
Ilmu MALIH RAGA itu adalah salah satu dari il-
mu yang berada dalam Kitab Pusaka Pulau Tengkorak
Hitam, yang telah berhasil dikuasai. Bahkan selanjut-
nya Kakek penghuni puncak Argasomala itupun meno-
long Wibisana. Yaitu mengganti tubuhnya dengan se-
buah ranting kayu. Tentu saja Wibisana sendiri terkecoh. Karena dari tempat persembunyiannya bersama Ki
Kutut Praja Setha, dia telah saksikan tubuhnya sendiri
telah diikat dengan tiga utas tambang, lalu ditarik tiga
ekor kuda hingga tubuh palsu pemuda itu beserpihan
menjadi tiga bagian. Hampir saja pemuda dungu itu
berteriak karena ngerinya. Untung Ki Kutut Praja Setha
telah cepat menekap mulutnya.
Setelah membakar Pesanggrahan ketiga murid
durhaka itu tinggalkan puncak Argasomala, setelah ter-
lebih dulu mengacak-acak kamar semadhi Kutut Praja
Setha mencari Kitab Pusaka. Namun tak membawa ha-
sil.
Demikianlah kisah sebenarnya. Hingga kemu-
dian Wibisana menjadi murid tokoh sakti itu, dan me-
warisi ilmu dari Kitab Pusaka Pulau Tengkorak Hitam.
***
DUA BELAS
Bau sedapnya daging panggang yang berhembus
dari atas bukit itu membangkitkan selera orang yang
kebetulan lewat tak jauh dari bukit itu.
"Aih.... perutku mendadak lapar...!" Berkata Ro-
ro seraya mengelus perutnya. Hidungnya sudah men-
gendus bau sedap dari puncak bukit itu.
"Eh, Wibisana! Bagaimana kalau kita singgah ke
tempat orang memanggang daging itu? Kukira dia tak
keberatan kalau kita memintanya barang sedikit...!" Be-
lum lagi Wibisa menyahut, Roro sudah berkelebat.
"Ah? Gadis aneh...!" Gumam Wibisana dengan
gelengkan kepala. Sikap Roro itu di nilainya seperti si-
kap seorang laki-laki saja. Akan tetapi diapun memang
rasakan perutnya lapar. Mau tak mau Wibisana segera
beranjak menyusul. Akan tetapi tak lama segera mena-
han langkahnya. Dilihatnya Roro sudah berdiri di hada-
pan seseorang yang sedang membolak-balik panggang
daging kelinci pada sebuah api unggun. Di belakang
orang itu ada sebuah gubuk kecil beratap rumbia. Ca-
haya api pada senja yang kian temaram itu jelas me-
nampakkan wajah orang itu. Dan jantungnya jadi ber-
detak keras. Karena itulah wajah Dasa Mukti. Wibisana
takkan lupa melihat mimik wajah serta rambutnya yang
keriting itu.
"Hehehe... tampaknya kau lapar, nona...! Apa-
kah kau ingin mencicipi daging panggang kelinciku?"
Bertanya laki-laki itu. Wajahnya tampak menyeringai
tersenyum melihat kedatangan seorang gadis ayu yang
sebentar kemudian sudah berdiri di dekatnya.
"Benar sekali dugaanmu, paman...! Kalau kau
sudi membaginya sedikit padaku untuk berdua aku
makan dengan sahabatku, aku amat berterima kasih
sekali!" Ujar Roro dengan tersenyum.
"Berdua...?" Tanya orang itu yang ternyata me-
mang Dasa Mukti adanya. Cepat sekali Dasa Mukti jela-
latkan matanya mengintari tempat itu dengan pandan-
gan mata tajam. Akan tetapi tak dilihatnya ada siapa-
siapa. Tentu saja, karena Wibisana sudah pergunakan
ajian Halimunan untuk melenyapkan diri.
"Siapa yang datang...?" Tahu-tahu terdengar su-
ara dari dalam gubuk. Dan sesosok tubuh sudah me-
lompat keluar. Ternyata seorang laki-laki kekar yang te-
lanjang dada, menampakkan bulu-bulu dadanya yang
lebat. Roro palingkan wajahnya menatap pendatang itu.
Sepasang mat si laki-laki kekar itu mendadak berbinar
menatap Roro, dan sudah rayapi sekujur tubuh gadis di
hadapannya dari kepala sampai ke kaki.
Saat itu telinga Roro sudah menangkap suara
seperti orang terisak menangis, dari dalam gubuk Roro
krenyitkan alisnya, dan tiba-tiba sudah bergerak me-
lompat masuk ke dalam gubuk yang pintunya masih
menjeblak terbuka. Apakah yang dilihat Roro?... Ternya-
ta seorang wanita tengah terisak menutupi wajahnya di
atas pembaringan, dengan keadaan tubuh telanjang bu-
lat. Serpihan-serpihan bajunya berserakan disana-sini.
Tahulah dia apa yang telah terjadi.
"Bedebah...!" Desis Roro. Dan dia sudah melesat
lagi keluar dari dalam pondok. Akan tetapi pada saat itu
dua bayangan tubuh telah menyergapnya. Kalau saja
bukan Roro Centil yang saat itu disergap mereka, tentu
dua laki-laki itu sudah berhasil meringkusnya. Akan te-
tapi hati mereka jadi mencelos, karena pada saat itu Ro-
ro justru pentangkan lengan dan kaki dengan gerakan
cepat sekali.
BHUK! DHES....! Akibatnya kedua laki-laki itu
terlempar bergulingan. Seorang kena tendangan kaki,
dan seorang lagi terkena jotosan lengan Roro. Namun
dengan cepat kedua laki-laki itu sudah melompat berdi-
ri. Ternyata keduanya tak lain dari Kala Butho dan Da-
sa Mukti adanya. Keadaan gawat akibat diserangnya
Kerajaan Swarna Bumi dan Songgo Langit yang dikua-
sai oleh kedua tokoh ini, sebagai orang-orang dari Kera-
jaan PUGAR ALAM, membuat mereka menyingkirkan
diri mencari keselamatan. Karena banyaknya kaum
Pendekar dari tokoh Rimba Hijau yang datang bermun-
culan, membantu pemberontakan rakyat kedua Kera-
jaan jajahan itu.
Tak dinyana akibat ulah mereka yang brutal,
terpaksa harus berurusan dengan Roro Centil sang
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Bahkan saat itu juga
sudah terdengar suara ringkik kuda... Dan muncullah
di tempat itu si Penunggang Kuda Setan.
"Heh! Dasa Mukti! Kala Butho...! Tak ada cara
baik lagi bagi kalian, selain serahkan nyawa mu dengan
segera...!" Berkata Wibisana yang sudah kenakan lagi
topeng tengkoraknya. Terperangah Kala Butho dan Da-
sa Mukti melihat kemunculan si penunggang kuda ber-
wajah Tengkorak yang muncul dengan misterius. Tahu-
lah mereka kalau berhadapan dengan tokoh berilmu
tinggi. Akan tetapi kedua manusia ini memang tak gen-
tar untuk menghadapinya, karena mereka juga punya
bekal ilmu hitam yang belum dikeluarkan. Sementara
Roro Centil segera mengetahui kalau kedua manusia itu
adalah justru musuh besar si Penunggang Kuda Setan
yang tengah dicarinya.
"Bagus! Sementara mereka bertempur, aku yang
makan besar!" Gumam Roro. Sekaligus bergerak, Roro
Centil sudah menyambar panggang daging kelinci di
atas bara api unggun.
"Hihihi... silahkan kau lunasi hutangmu, Wibi-
sana! Aku mengisi perutku dulu yang lapar...!" Berkata
Roro dengan mengerling.
"Silahkan nona Roro Centil! Rasa laparku akan
segera hilang, bila sudah membunuh mampus kedua
manusia durhaka ini ...!" Sahut si Penunggang Kuda Se-
tan. Terperangah seketika Kala Butho dan Dasa Mukti.
"Dia dia si Wibisana, kacung dungu itu?" Desis Kala Bu-
tho, yang segera saling pandang pada kawannya.
"Benar! Akulah Wibisana! Kacung dungu Ki Ku-
tut Praja Setha! Kedatanganku adalah untuk mewakil-
kan beliau mengirim nyawa kalian ke Neraka!" Memben-
tak si Penunggang Kuda Setan. Seraya berkata, si Pe-
nunggang Kuda Setan telah lepaskan topengnya, Senga-
ja dilakukan agar membuat mereka terkejut. Tampak
keduanya segera belalakkan mata memandang wajah si
laki-laki penunggang kuda. Yaitu wajah seorang pemu-
da yang menampak seperti wajah orang dungu.
Seketika jantung mereka menyentak kaget Karena mengetahui Wibisana telah tewas ditangannya. Otak
mereka tak mampu memikirkan lebih lanjut, karena se-
gera Dasa Mukti memberi isyarat untuk siap siaga. La-
ki-laki ini cepat cabut senjatanya yang terselip di ping-
gang. Sebuah rantai berujung sebuah tengkorak lengan
dari besi telah tercekal ditangannya. Sementara Kala
Butho tercenung sejenak. Senjatanya berada di dalam
gubuk. Tiba-tiba dia sudah melompat. menerobos ma-
suk dari jendela.
BRAKK! Jendela kayu itu sudah jebol diterjan-
gya. Terdengar suara menjerit dari dalam. Itulah suara
wanita yang telah disekapnya, yang jadi terkejut karena
melihat jendela terjebol berantakan. Sekejap tubuh Kala
Butho sudah berada di dekatnya. Lengan laki-laki itu
bergerak cepat menyambar sebuah kapak bermata lebar
yang menyandar di sisi pembaringan. Baru saja lengan-
nya mencekal gagang kapak, sesosok tubuh sudah ber-
kelebat ke dalam.
"Hm! Cepatlah kau keluar lagi!" terdengar suara
dingin di belakangnya. Ternyata Roro Centil yang sudah
berkelebat masuk menyusul yang mengkhawatirkan Ka-
la Butho melarikan diri. Juga khawatir mencelakai si
wanita sekapan yang berada di dalam pondok.
"Heh!?" Mendengus Kala Butho. Sekejap dia su-
dah balikkan tubuh, dan tiba-tiba langsung tabaskan
senjata yang dicekalnya.
WHUUT...! WWHUKK...!. BHRAAKKKK...! Terpe-
kik Kala Butho, karena sekejap tubuhnya sudah ter-
lempar keluar menjebol dinding anyaman bambu pon-
dok itu, dan terlempar keluar. Roro yang masih meme-
gangi tusukan panggang daging kelinci di tangannya,
bahkan masih komat-kamit mulutnya mengunyah, se-
ketika jadi terkejut karena Kala Butho menyerangnya.
Namun dengan melompat, tabasan maut itu lolos. Sece-
pat kilat kakinya lakukan tendangan keras, hingga tak
ampun tubuh Kala Butho terlempar keluar menjebol
dinding.
Dengan terhuyung laki-laki ini bangkit berdiri.
Untung pedangnya tak terlepas dari genggamannya.
Saat itu sudah terdengar bentakan keras.
"Manusia-manusia laknat...! Segera terimalah
kematianmu...!" Secercah sinar berkelebat menghantam
tubuh Kala Butho. Laki-laki ini tak sempat berkutik la-
gi. Kilatan itu begitu cepat datangnya. Dan...
BHUSSSS... Sekejap tubuh manusia ini telah
terbakar hangus diiringi teriakan menyayat hati. Dan
roboh ke tanah untuk tidak berkutik lagi.
Sekujur tubuhnya menghitam hangus, hingga
mengelupas kulitnya menampakkan tulang-tulangnya
yang memutih. Sesosok tubuh telah berdiri di tempat
itu. Seorang tua berjubah putih dengan kumis dan
jenggotnya yang panjang menjuntai.
"Guru...!" Teriak si Penunggang Kuda Setan ter-
sentak. Kiranya kakek tua renta itu tak lain dari Ki Ku-
tut Praja Setha. Melihat siapa yang datang, Dasa Mukti
terperangah dengan mata membelalak. Wajahnya pucat
pias bagai mayat. Dan tubuhnya sudah bergetaran he-
bat, dengan keringat mengucur di sekujur tubuh. Senja-
tanya pun terlepas dari tangannya. Dan dia sudah ja-
tuhkan diri berlutut di tanah.
"Guru...! Ampunilah kesalahanku...!" Berkata
Dasa Mukti dengan suara Parau. Nyalinya sudah ter-
bang seketika, karena dia tak akan sanggup menyela-
matkan nyawanya lagi. Kemunculan demi kemunculan
dari orang-orang yang telah dibunuhnya bersama sau-
dara seperguruannya, juga melalui tangan si Dukun
Sakti Dewi Setan Kemangmang, membuat dia ketakutan
sekali. Seolah-olah berhadapan dengan hantu para ar-
wah dari alam Akhirat.
"Kesalahanmu teramat besar, Dasa Mukti Gurumu si Arya Rudita dari Braja Pati sudah mampus ter-
lebih dulu! Kini adalah giliranmu menyusul mereka ke
Neraka! Kau tidak saja turut melakukan kejahatan
membunuh Wibisana dengan cara keji, akan tetapi telah
mengangkat guru pada si Dewi Setan Kemangmang Du-
kun Sesat itu!
"Aku sudah mengetahui siapa adanya Ratu Per-
maisuri SINOM SARI yang menguasai Kerajaan Setan
PUGAR ALAM! Tak lain dari Dukun Sesat Dewi Setan
Kemangmang gurumu itu! Kau adalah salah seorang
dari murid si wanita penghamba iblis yang sesat! Otak-
mu sudah di pengaruhi kejahatan...! Maka tak ada jalan
lain selain kau mati!" Berkata Ki Kutut Praja Setha den-
gan suara dingin. Menggigil seketika tubuh Dasa Mukti.
"Pilihlah diantara tiga! Aku yang turun tangan
atau muridku Wibisana yang mewakilkan mencabut
nyawamu! Ataukah kau membunuh diri! Bentak Ki Ku-
tut Praja Setha. Ternyata diam-diam tokoh sakti ini te-
lah mengikuti sepak terjang muridnya si Penunggang
Kuda Setan. Sekalian untuk menguji kemampuannya
menumpas para muridnya yang murtad, yang meng-
hamba pada manusia iblis sesat si Dewi Setan Ke-
mangmang. Karena tak sabar, kakek puncak Argasoma-
la itu telah melenyapkan nyawa Kala Butho sekalian
munculkan diri.
Akan tetapi pada saat itu bersyiur angin keras
disertai hawa busuk yang memuakkan, Dan...
WHUSSSS...! Tubuh Dasa Mukti lenyap seketi-
ka. Terperangah seketika semua yang berada ditempat
itu. Pada saat itulah terdengar suara tertawa mengikik
menyeramkan.
"Hihihihihi... hik hik hik... Kalian orang-orang
gagah! Silahkanlah datang menyeberang ke Istana Kera-
jaan Pugar Alam di tengah TELAGA BERKABUT! Aku
menanti kalian... Hihihi... hik hik..." Tampaklah di atas
kepala mereka sejarak dua puluh tombak seekor mak-
hluk menyerupai Kelelawar yang bertanduk, terbang
melayang berputar-putar. Di atas punggung makhluk
yang besarnya tiga kali tubuh manusia itu duduk seo-
rang wanita cantik berpakaian Kerajaan. Sementara pa-
da sepasang kaki binatang Kelelawar raksasa itu ter-
cengkeram tubuh Dasa Mukti.
Setelah perdengarkan suara tertawa mengikik
lagi, tubuh makhluk kelelawar raksasa itupun melesat
ke angkasa... dan lenyap di kegelapan awan hitam. Se-
jenak mereka terpukau... Roro Centil masih menatap ke
arah makhluk itu melenyap. Ketika menoleh pada Ki
Kutut Praja Setha, tampak orang tua itu tundukkan ke-
palanya dengan menghela nafas. Dan ucapannya datar,
namun penuh semangat.
"Heh...! Kita kaum Pendekar memang saat ini
menghadapi banyak tantangan! Si Dewi Setan Ke-
mangmang jelas sudah sesumbar. Tentunya dia sudah
siap menghadapi segala kemungkinan! Dan sudah tu-
gas kita menumpas manusia iblis itu, demi terciptanya
kedamaian di bumi ini... !"
Roro Centil dan Wibisana sama manggut-
manggut mendengar sabda kakek sakti puncak Arga-
somala itu. Selang sesaat...
"Ah, aku lupa memperkenalkan padamu, guru...!
Inilah sahabatku dari Pendekar golongan putih. Dia
bernama RORO CENTIL." Berkata Wibisana yang sudah
melompat turun dari kudanya. Dan si kuda hitam pun
sudah melenyapkan diri. Kutut Praja Setha naikkan alis
putihnya menatap pada Roro. Lengannya sudah berge-
rak mengelus jenggotnya.
"Oh...!? Aku baru teringat akan nama itu, apa-
kah nona yang terkenal dengan julukan si pendekar
Wanita Pantai Selatan...?" Bertanya si kakek puncak
Argasomala.
"Hihi... begitulah orang menggelariku, kakek Ku-
tut Praja Setha! Dan aku yang muda ini sungguh amat
beruntung dapat berkenalan dengan kau orang tua sak-
ti!" Berkata Roro seraya menjura padanya. Roro me-
mang selalu menaruh hormat pada orang-orang terten-
tu yang dikaguminya. Terutama pada para tokoh Rimba
Persilatan Golongan Putih.
"Hahahaha... sudahlah! Tak perlu banyak pera-
datan! Aku yang tua ini sudah jarang berkelana! Tak
tahu lagi kalau pada zaman ini sudah muncul seorang
Pendekar Wanita, yang sepak terjangnya banyak ku-
dengar sejak aku turun gunung lagi!" Berkata Kutut
Praja Setha. Lalu melirik pada muridnya.
"Hm, Wibisana! Kau masih kurang cukup penga-
laman...! Banyak- banyaklah belajar pada nona Pende-
kar Roro Centil ini...!" Ujarnya dengan suara tandas.
"Baik, guru...! Aku memang merasa kurang dalam hal
pengalaman!" Sahut Wibisana.
"Ah, ah... ah...! Kalian membuat aku jadi malu
hati!" Tukas Roro dengan tersenyum.
"Hahaha... mengapa malu? Kenyataan mana bi-
sa dibantah. Bahkan aku yang tua ini merasa sepak ter-
jangku di waktu muda tidaklah membuat aku malu!"
"Nah! Hari sudah menjelang malam! Apakah rencana
nona Roro selanjutnya?"
"Aku akan mengantarkan dulu wanita yang be-
rada di dalam gubuk, ke tempat tinggalnya!" Berkata
Roro, yang segera teringat akan wanita korban si Kala
Butho itu.
"Hm, baiklah! Kukira sebaiknya kalian antarkan
berdua! Sekalian cari tempat bermalam.
Selanjutnya cepat-cepatlah kalian ke lembah
SOKA, bergabung dengan para Pendekar lainnya...!"
Ujar Ki Kutut Praja Setha. Kedua remaja ini mengangguk.
"Nah! Baik-baiklah menjaga diri." Selesai berka-
ta, Kutut Praja Setha berkelebat pergi Sekejap kemu-
dian sudah tak nampak lagi dalam keremangan malam.
Esok harinya...
Mentari baru saja beranjak dari peraduan, dan
sembulkan diri dari balik bukit. Akan tetapi sepagi itu
dua sosok tubuh sudah berkelebatan tinggalkan sebuah
gedung sederhana di satu kota kecil di wilayah itu.
Mereka tak lain Roro dan Wibisana si Penung-
gang Kuda Setan. Selesai mengantar wanita malang itu,
mereka menginap di sebuah penginapan kecil yang cu-
kup baik dan bersih. Dan menjelang pagi sudah be-
rangkat untuk teruskan perjalan ke lembah SOKA.
"Haii...! Tunggu..!" Satu suara telah memanggil
dibelakang mereka. Keduanya segera hentikan langkah.
Dan sesosok tubuh sudah melompat kehadapan mere-
ka. Ternyata seorang laki-laki bercambang bauk lebat.
"Aii...! Joko Sangit! Kau dari mana...?"
"Hahaha... aku menginap di Penginapan itu ju-
ga! Apakah kau tak melihatku?"
"Huh! Kalau aku tahu masakan aku tak mene-
gur mu...!" Tukas Roro.
"Hahahaha .... bukankah kau ada menanyakan
tempat penginapan pada seseorang?" Tanya Joko San-
git. Roro turunkan alisnya mengerenyit.
"Benar! Pada seorang tua bungkuk yang mon-
dar-mandir di jalanan!" Jawab Roro.
"Hehehehe... itulah aku...!" tukas Joko Sangit.
"Ha...?" Sepasang mata Roro membeliak.
"Hm, aku tahu! Kau sengaja menguntitku bu-
kan? Hihihi... kau tak perlu curiga! Roro Centil bukan
sebangsa Kuntilanak pencari mangsa!" Ujar Roro den-
gan tersenyum genit, dan cibirkan bibirnya.
"Siapa dia...?" Tanya Joko Sangit, seraya mene-
guk arak yang sedari tadi dicekalnya dalam sebuah guci. Tahulah Roro kalau diam-diam Joko Sangit men-
cemburuinya.
"Hm, kenalkan sahabatku yang baru turun gu-
nung ini. Namanya Wibisana alias si Penunggang Kuda
Setan! Dia murid Ki Kutut Praja Setha...!" Ujar Roro.
"Ah...!? Selamat jumpa sobat Wibisana!" Seru
Joko Sangit seraya mengajaknya berjabat tangan. Ke-
duanya sama-sama menjura.
"Hihihi... kita tak perlu khawatir menghadapi
manusia-manusia setan Istana Kerajaan PUGAR ALAM!
Kita telah ke tambahan seorang pendekar lagi yang
akan turut membantu perjuangan kaum Pendekar, me-
numpas manusia-manusia setan di tengah Telaga Ber-
kabut....!" Ucap Roro dengan sepasang mata bersinar.
Joko Sangit manggut-manggut sambil terse-
nyum, lalu tenggak lagi araknya sampai ludas. Semen-
tara jantungnya diam-diam sudah berdetak kencang.
Heh! Apakah ilmunya jauh berada di atasku? Sentak
hati Joko Sangit. Tak dapat disangkal lagi kalau diam-
diam Joko Sangit merasa takut tersaing oleh si pemuda
bernama Wibisana itu di hadapan Roro Centil. Dan sete-
lah bersahabat sekian lama, laki-laki ini mulai ada hati
pada Pendekar Wanita Pantai Selatan. Karena nyata nya
sampai saat ini Roro Centil masih dalam keadaan sendi-
ri tanpa pasangan.
Namun walau demikian Joko Sangit amat
menghormati Roro, karena adanya tali persaudaraan di-
antara guru mereka. Sesaat kemudian tiga sosok tubuh
sudah berkelebatan cepat di atas perbukitan hijau. En-
tah kelak apakah mereka masih bisa bercengkerama la-
gi. Karena tak lama lagi mereka bakal menghadapi satu
perjuangan besar dengan taruhan nyawa....
TAMAT
SEGERA MENYUSUL........!
"MISTERI TELAGA BERKABUT"
0 comments:
Posting Komentar