1
Gemuruh angin dan kobaran api menjilat-
jilat melambung tinggi bagai hendak menggapai
langit. Sesekali terdengar suara ledakan berden-
tum. Bebatuan yang dikobari api muncrat di uda-
ra. Suasana di sekeliling lapangan itu berubah te-
rang benderang.
Tidak mengherankan akibat api yang keluar
dari dalam lubang menghitam itu mencuat pepo-
honan yang terdapat di sekitarnya jadi hangus
menghitam.
Semburan api dan gemuruh angin yang me-
nebarkan hawa panas itu memang berlangsung
cukup lama. Tetapi kemudian kobaran api men-
jadi surut. Bersamaan dengan itu hembusan an-
gin panas mereda pula. Suasana di sekelilingnya
kemudian berubah menjadi sunyi.
Kesunyian yang terjadi ternyata tidak ber-
langsung lama. Sekejap kemudian di tempat itu
muncul seorang kakek berpakaian kembang-
kembang. Kakek itu berambut panjang, sedang-
kan kedua matanya juling.
Orang tua ini membekal sebuah tombak ber-
mata tiga. Ketika jejakan kaki di tempat itu dia
pusatkan perhatiannya ke arah lubang yang men-
ganga hitam terletak di depan sana.
Setelah memperhatikan lubang yang masih
mengepulkan uap panas, si kakek menelan ludah.
Orang tua berpakaian kembang-kembang ini
dikenal dengan nama Saba Geni. Dia dalam hati
berkata "Sengkala Angin Darah ... Hmmm, ternya-
ta mahluk sakti yang sangat langka itu jatuh di
tempat ini." Sekali lagi matanya yang juling me-
nyapu pandang.
Dia melihat pepohonan yang hangus porak
poranda. Saba Geni juga merasakan adanya hawa
panas yang menyengat kepulan asap tebal yang
keluar dari lubang tempat jatuhnya benda terse-
but.
"Seperti yang telah kuduga, seperti yang dika-
takan sahabatku pula. Sengkala Angin Darah ak-
hirnya benar-benar munculkan diri. Ini berarti
malapetaka tak mungkin dapat dihindari lagi.
Aku harus mengambil benda itu. Aku tak mung-
kin mau dekati lubang. Benda itu baru saja jatuh
dari langit. Jika kupaksakan diri mau dekati lu-
bang, tubuhku bisa hangus. Dari sini saja aku te-
lah merasakan kedahsyatannya. Dari sini aku bi-
sa menggunakan tenaga dalam, mengangkat
Sengkala Angin Darah dari jarak yang jauh. Sete-
lah benda yang ujudnya seperti manusia mini itu
kudapatkan selekasnya aku tinggalkan tempat
ini" Setelah berkata begitu si kakek angkat dua
tangannya di atas kepala.
Tangan itu disilangkan antara satu dengan
yang lainnya. Setelah itu secara perlahan namun
pasti dia salurkan setengah dari tenaga dalam
yang dia miliki ke arah kedua belah tangannya.
Sekejap saja tangan Saba Geni bergetar keras.
Tak lama kemudian si kakek segera arahkan dua
tangannya yang teraliri tenaga dalam ke arah mu-
lut lubang yang menganga hitam. Dari jarak jauh
si kakek kemudian segera mengangkat benda
yang berada di dalam lubang tersebut. Gambaran
yang didapatnya selama ini hanyalah sekedar ka-
bar yang sempat dia dengar dari dunia persilatan.
Tetapi untuk mengeluarkan Sengkala Angin
Darah dari dalam lubang menganga ternyata bu-
kan pekerjaan mudah. Justru pada gebrakan per-
tama ini saja si kakek sudah merasa ada satu ke-
kuatan luar biasa yang keluar dari lubang itu
mendorongnya. Saba Geni terhuyung tiga tindak
ke belakang. Kakek ini terkejut bukan main, tu-
buhnya keluarkan keringat dingin. Sambil meng-
gerutu dalam hati dia kembali arahkan tangan-
nya. Setelah dua tangan sejajar dengan perut, se-
cara perlahan dia mengangkat kedua tangan ke
atas.
"Ups, celaka! Aku tidak ubahnya mengangkat
benda yang beratnya ratusan kati. Benda itu
memberontak. Dia melakukan perlawanan, na-
mun aku harus mendapatkannya dengan cara
apapun." fikir Saba Geni. Dan orang tua inipun
akhirnya memaksakan diri. Justru apa yang dila-
kukannya ini membuat tubuhnya makin tergetar
sedangkan kedua kaki amblas ke dalam sampai
tanah ke mata kaki.
Kejut di hati Saba Geni bukan kepalang. Te-
tapi pada sisi lain dia juga merasa penasaran. Ka-
rena itu tanpa fikir panjang lagi dia segera cabut
tombak bermata tiga yang tergantung di punggung.
Dengan kekuatan penuh senjata dihunjam-
kan ke tanah. Seketika terdengar suara menderu
dan bersuitnya angin menggidikkan begitu tom-
bak melesat ke bawah.
Ketika senjata yang menjadi andalan si kakek
menghunjam ke tanah. Batu-batu sebesar kepala
kerbau berpentalan di udara. Tanah sekawasan
tempat itu bergetar hebat. Sedangkan Sengkala
Angin Darah tampak bergerak naik ke permukaan
dengan posisi kaki menghadap ke atas.
Dengan tubuh serta pakaian bersimbah ke-
ringat si kakek dengan mata berkeriapan meman-
dang ke arah lubang. Mulutnya mengurai senyum
begitu melihat sebagian kaki Sengkala Angin Da-
rah yang besarnya tidak lebih dari boneka itu ter-
sembul mencuat di permukaan lubang. Saba Geni
simpan tombaknya ke tempat semula. Setelah itu
dia kembali salurkan tenaga sakti ke bagian tan-
gan hingga ke dua belah tangan si kakek berwar-
na merah kebiruan hingga sebatas siku.
Dua tangan yang telah berubah merah kebi-
ru-biruan kemudian diangkat ke atas. Setelah itu
dengan disertai teriakan melengking tinggi si ka-
kek melompat di atas ketinggian lalu hantamkan
tangannya ke arah lubang.
Wuuus, wuuus!
Buuum!
Terdengar suara ledakan menggelegar begitu
pukulan Saba Geni menghantam sisi lubang. Be-
batuan porak poranda. Tanah di sekeliling lubang
berhamburan di udara.
Tak lama setelah gelapnya debu yang menu-
tupi pemandangan lenyap, terlihatlah satu pe-
mandangan aneh namun melegakan hati sekali-
gus mendebarkan.
Di mulut lubang hitam yang hangus porak
poranda Saba Geni melihat satu sosok dalam
ujud manusia. Besarnya sosok manusia dengan
warna kulit kemerah-merahan ini tidak lebih be-
sar dari boneka atau lengan bocah kecil. Sedang-
kan panjang tubuhnya tidak lebih dari dua jeng-
kal. Sosok seperti boneka itu berambut panjang
namun kasar hampir tiga kali dari panjang tu-
buhnya sendiri. Rambut itu berwarna putih, se-
dang sepasang matanya dalam keadaan terpejam.
Wajah angker perpaduan antara manusia dan
monyet dan ditumbuhi bulu-bulu halus.
Sedangkan gigi mencuat, panjang sekaligus
tajam mirip taring dua di atas dan dua di bawah.
Kemudian bagian jemari mahluk aneh ini ditum-
buhi kuku-kuku yang panjang, runcing setengah
melingkar berwarna hitam. Begitu juga halnya
dengan jari kaki sama dengan kuku tangan.
Meskipun sebelumnya Saba Geni sudah per-
nah mendengar tentang ciri-ciri mahluk ini, tak
urung dia sempat tercengang juga.
Saba Geni mengusap matanya. Mahluk aneh
yang dilihatnya masih tetap berada di tempatnya.
Saba Geni terdiam, otaknya berfikir keras
mencari cara terbaik untuk membawa benda sakti
itu.
Cukup lama si kakek dalam keadaan seperti
itu. Dia menyadari andai dia mengambil Sengkala
Angin Darah dengan tangan telanjang, meskipun
disertai pengerahan tenaga dalam dapat dipasti-
kan tangannya akan hangus gosong. Bukti nyata
sudah ada di depan mata dengan adanya mayat-
mayat hangus menghitam yang bertebaran di se-
kitar tempat itu.
Satu-satunya cara adalah mengerahkan selu-
ruh tenaga dalam untuk melindungi tubuh dari
serangan ganas yang keluar dengan sendirinya
dari tubuh mahluk itu.
Tapi ada satu hal yang mengkhawatirkan Sa-
ba Geni. Bagaimana andai kesaktian yang dia mi-
liki ternyata kalah kuat dengan pancaran hawa
panas yang bersumber dari Sengkala Angin Da-
rah?
Dia dapat memastikan nasibnya bakal tidak
kalah menggenaskan dengan mayat-mayat yang
bertebaran di sekitarnya. Andai itu sampai terjadi
Sengkala Angin Darah pasti bakal jatuh ke tangan
fihak ketiga. Dan ini sangat tidak dia ingini.
Selagi Saba Geni memutar otak memikirkan
cara yang terbaik, pada waktu bersamaan terlihat
dua bayangan berkelebat. Dua bayangan berpa-
kaian serba kuning dan sangat menyolok beram-
but panjang. Gerakannya cepat bukan main se-
perti kilat.
Melihat kehadiran dua tamu yang tidak diun-
dang ini tentu si kakek tidak tinggal diam. Apalagi
salah satu diantaranya bergerak ke arah Sengkala
Angin Darah.
"Pencuri busuk. Aku bersusah payah menge-
luarkan benda itu. Sekarang enak saja kau hen-
dak mengambilnya?" berkata begitu Saba Geni
melesat ke depan. Selagi tubuhnya melesat sede-
mikian rupa si kakek lepaskan satu tendangan ki-
lat ke arah perut sosok yang berusaha meraih
Sengkala Angin Darah yang tergeletak di atas ta-
nah.
"Aih ... Tua bangka edan!" Orang itu kelua-
rkan seruan kaget lalu batalkan niatnya dan ter-
paksa melompat mundur menjauh dari benda
sakti tersebut. Dengan begitu serangan Saba Geni
tidak mengenai sasaran.
Dua sosok serba kuning sama jejakkan kaki
di depan si kakek. Astaga! Ternyata mereka pe-
rempuan semua dan merupakan gadis-gadis yang
masih muda berpakaian transparan, berdandan
menyolok.
Beberapa saat lama yang Saba Geni memper-
hatikan perempuan itu. Sebaliknya yang dipan-
dang malah pusatkan perhatiannya ke arah mah-
luk aneh yang tergeletak dalam posisi terjungkir.
"Saudaraku, lihat! Benda yang kita cari itu ter-
nyata benar-benar ada di sini. Sebaiknya kita
ambil sebelum ada orang lain yang mengacaukan
rencana kita!" kata perempuan yang berbadan le-
bih jangkung.
"Ah, aku gembira sekali, Larti. Ternyata untuk
mendapatkannya tidak sulit. Guru pasti senang
bila kita membawa benda itu kepadanya," sahut
satunya lagi siap bergerak ke depan.
Saba Geni tidak tinggal diam. Dia segera
menghalangi. "Jangan lakukan! Tak satupun di
antara kalian yang boleh mengambilnya. Aku
yang telah mengeluarkannya. Benda itu jadi mi-
likku!" sergah si kakek.
Gadis yang bernama Laras dan Larti saling
berpandangan. Lalu dongakkan kepala dan sama
tertawa tergelak-gelak. Puas mereka tertawa pe-
rempuan yang bernama Laras berkata ditujukan
pada temannya. "Hem, kau dengar Larti? Dia ter-
nyata mengaku sebagai pemilik benda sakti itu."
Yang diajak bicara tersenyum. "Benda itu
sangat diinginkan oleh guru kita. Kalau dia men-
gaku telah mengeluarkannya dari lubang. Kita
wajib berterima kasih padanya karena secara ti-
dak langsung dia telah membantu. Jadi tidaklah
salah jika kita memberikan imbalan pada kakek
ini!"
"Eh, apa maksudmu?" tanya Laras.
"Jangan bodoh! Apa salahnya jika kau mene-
mani kakek ini barang satu malam. Sementara
aku yang membawa benda itu untuk kuserahkan
pada guru. Hi... hi... hi."
Laras tertawa lebar. "Aku tidak keberatan, ta-
pi apakah laki-laki setua dia masih sanggup me-
nyenangi diriku? Melihat penampilan dia sudah
tak bisa lagi berbuat apa-apa, apa lagi memberi
ku sorga yang indah. Hi... hi... hi."
"Kalau dia sudah tidak berguna alangkah le-
bih baik jika kita bunuh saja! Sekarang kita ber
bagi tugas, kau hadapi dia dan aku mengambil
Sengkala Angin Darah!" tegas Larti.
Melihat gelagat yang tidak baik ini, Saba Geni
tidak dapat tinggal diam. Dengan suara melengk-
ing dia berkata. "Berani kalian mengambil benda
itu? Jangan salahkan jika aku terpaksa berlaku
kurang ajar!" Dua perempuan itu saling pandang.
Tanpa menghiraukan ancaman si kakek mereka
sama anggukkan kepala. Kemudian laksana kilat
Larti melewati bagian kepala si kakek.
"Perempuan kurang ajar. Kalian berdua ter-
nyata mencari mati!" berkata begitu si kakek han-
tamkan tangannya ke atas mencegah gerakan
Larti yang berniat mengambil benda sakti yang
tergeletak di belakangnya. Melihat temannya
mendapat serangan, Laras pun tidak tinggal di-
am. Dengan gerakan cepat perempuan itu le-
paskan pukulan beruntun ke arah si kakek.
Hawa panas menyambar kaki Saba Geni juga
di bagian dadanya. Kakek bermata juling kelua-
rkan suara berdengus, lalu melempar diri ke
samping. Selanjutnya orang tua ini berguling se-
lamatkan diri. Serangan si kakek yang di arahkan
ke atas tentu saja luput. Begitu Larti lolos dari
pukulan tangan kosong lawan dia melesat ke ba-
wah teruskan niatnya menyambar Sengkala Angin
Darah, sedangkan sang teman terus mencecar
kakek itu dengan serangan-serangan mautnya.
"Perempuan tidak tahu diri. Katakan kalian
murid siapa biar kelak mudah bagiku untuk
mengadakan perhitungan!" teriak Saba Geni sambil hindari serangan gencar yang dilancarkan La-
ras. Orang tua ini kemudian balas lakukan satu
serangan balasan dengan melepaskan pukulan
saktinya. Di depan sana Laras malah mengumbar
tawa. Begitu melihat selarik sinar merah melesat
dari tangan si kakek dia melesat ke udara. Di atas
ketinggian dia juga melepaskan satu pukulan
yang tidak kalah dahsyatnya.
Dua pukulan bentrok di udara. Satu ledakan
berdentum mengguncang tempat itu. Laras men-
jerit keras, tubuhnya terpental dan jatuh tak jauh
dari Sengkala Angin Darah. Di pihak Saba Geni,
meski tubuhnya sempat terhuyung akibat bentrok
pukulan dengan lawan, tapi begitu melihat lawan
jatuh terkapar segera melesat ke arah Laras. Tan-
pa memberi kesempatan pada perempuan itu dia
hentakkan kakinya ke perut Laras. Dengan sekali
pijak isi perut lawan pasti berburaian. Tetapi ge-
rakan si kakek tiba-tiba tertahan begitu menden-
gar suara jeritan Larti. Ketika si kakek meman-
dang ke arah datangnya suara dia jadi tercekat.
Di samping sebelah kirinya sana, agak jauh di de-
pan dia melihat Larti yang berusaha mengambil
benda sakti itu jatuh terkapar. Sekujur tubuhnya
mengucurkan darah, sedangkan kedua tangan
yang telah meraih benda sakti yang diperebutkan
tampak melepuh. Larti tampaknya tidak sanggup
bangkit lagi, nafasnya megap-megap sedang dari
mulut dan hidungnya mengucurkan darah. Meli-
hat kenyataan yang tidak terduga ini Laras men-
jerit. "Larti, apa yang telah terjadi denganmu?"
Laras memandang ke arah saudaranya dengan
mata terbelalak, muka pucat dan mulut terngan-
ga.
"Cepat... ambil benda itu, Laras.... lekas kau
bawa pergi untuk diserahkan pada guru!" Seru
Larti dengan nafas terputus-putus.
Ingat pada tugas yang diberikan oleh gu-
runya, tanpa. pikir panjang lagi. Laras segera me-
lesat ke arah dimana Sengkala Angin Darah terge-
letak. Dalam keadaan seperti itu agaknya Laras
sudah tidak lagi memikirkan resiko yang dia ha-
dapi. Di depannya Saba Geni anehnya kini tidak
berusaha mencegah atau menghalang-halangi
niat perempuan itu. Dia hanya diam tegak sambil
mengawasi.
Ketika Laras berhasil dekati benda itu dengan
cepat dia mengambilnya. Tapi di luar dugaan La-
ras, dari sekujur tubuh mahluk aneh yang telah
berubah seperti mayat yang diawetkan ini mende-
ru segulung hawa panas luar biasa. Hawa panas
menghantam dadanya. Dada perempuan itu ber-
lubang besar, hangus menghitam mengerikan.
Sebagaimana saudaranya, Laras juga jatuh terka-
par. Dia menemui ajal seketika dengan mata
membeliak keluar. Sedangkan Sengkala Angin
Darah yang telah banyak memakan korban jatuh
terpental tergeletak tak jauh dari mayat kedua pe-
rempuan itu. Saba Geni tercengang melihat keja-
dian yang berlangsung cepat dengan akibat san-
gat mengerikan itu. Tapi dia segera menyadari
apa yang harus dilakukan. Ketika melihat Sengkala Angin Darah terguling-guling di atas tanah.
Dengan gerakan seperti kilat si kakek segera ber-
kelebat dan menyambar benda itu. Tetapi belum
lagi tangan si kakek yang teraliri tenaga dalam
penuh berhasil meraih benda tersebut. Dari arah
belakangnya terlihat ada satu bayangan berkele-
bat menyambar ke arah benda di depan si kakek.
"Benda sehebat ini hanya pantas berada di
tanganku!" Satu suara bergema di udara. Seketi-
ka Saba Geni palingkan kepala ke belakang. Dia
hanya sempat melihat satu tangan berkelebat
menghantam bagian kepalanya, sedangkan tan-
gan satunya lagi berkelebat menyambar Sengkala
Angin Darah yang tergeletak di depan Saba Geni.
Secepat kilat Saba Geni berusaha hindari seran-
gan, sayangnya gerakan yang dilakukannya kalah
cepat dari serangan lawan. Kakek berpakaian
kembang-kembang inipun akhirnya menjerit begi-
tu merasakan kepalanya mau meledak terkena
pukulan lawan.
Seketika Saba Geni merasakan pandangan
matanya berubah menjadi gelap. Dia jatuh ter-
sungkur di tanah. Dia mengerang lirih. Dan keti-
ka kakek mata juling bangkit berdiri dia tidak lagi
melihat bayangan putih yang menyerangnya be-
rada di sekitar situ. Kejut si kakek makin menja-
di-jadi ketika dapati kenyataan Sengkala Angin
Darah juga ternyata ikut raib bersama hilangnya
bayangan tadi.
Marah dan kecewa Saba Geni tidak terkira.
Dia segera melayangkan pandangan matanya kesegenap penjuru. Si kakek menggeram setelah
benar-benar mengetahui tak ada lagi orang di
tempat itu.
"Keparat! Aku telah bersusah payah mengelu-
arkan benda itu dari lubang. Tak disangka akhir-
nya aku harus gigit jari. Kunyuk berpakaian putih
tadi siapa dia yang sebenarnya. Gerakannya san-
gat cepat seperti setan. Sangat jarang aku berte-
mu dengan orang yang memiliki kecepatan gerak
seperti dia. Sayang sekali, tadi aku tidak melihat
bagaimana raut wajahnya. Siapa pun dia aku ti-
dak perduli. Benda itu harus kudapatkan. Aku
tak perduli apapun yang akan terjadi. Bagiku
yang terpenting Sengkala Angin Darah harus
menjadi milikku!" dengus si kakek dengan tinju
terkepal. Bagaimana pun si kakek jelas tidak bisa
menutupi rasa kecewanya. Benda Sakti itu sudah
ada di depan mata. Jika kini berpindah tangan
dia menganggap hal ini sangat keterlaluan sekali.
Saba Geni sejenak terdiam sambil menarik
napas. Kemudian orang tua ini segera bangkit
berdiri. Belum lagi si kakek sempat beranjak dari
tempatnya. Tiba-tiba terdengar suara tawa mero-
bek kesunyian. Selagi suara tawa masih mengu-
mandang di udara terdengar pula ada orang ber-
kata. "Orang tua. Apa yang kau lakukan di sini?
Kau bingung memikirkan perempuan montok
yang telah menjadi bangkai itu atau memikirkan
apa? Atau mungkin kau sedang berfikir bagaima-
na cara membunuh diri yang paling enak agar
kau bisa menyusul mereka. Ha ha ha!"
2
Walau yang sesungguhnya Saba Geni merasa
kaget mendengar suara orang. Si kakek kiranya
tidak bisa menerima ejekan orang apalagi dirinya
saat itu sedang dilanda kemarahan. Saba Geni
menjadi berang. Orang tua ini segera balikkan
badan. Dia kemudian memandang ke arah da-
tangnya suara. Si kakek melengak kaget begitu
matanya membentur satu sosok laki-laki tua be-
rumur sekitar lima puluh tahun, berambut dan
berjanggut putih. Sosok itu berpakaian aneh ber-
bentuk daster seperti pakaian yang biasa di kena-
kan perempuan hamil. Sosok berpakaian serba
biru ini berdiri menyender di sebatang pohon
hangus di sebelah kiri lapangan.
Orang tua itu bersikap acuh tak acuh, mulut-
nya selalu mengumbar tawa dan senyum. Ketika
melihat Saba Geni menatap ke arahnya dengan
mata mendelik tak urung laki-laki itu menyeletuk.
"Orang tua yang sedang dilanda amarah dan bin-
gung. Kau memandangku seperti melihat setan.
Aku berada di sini mengapa matamu jelalatan ke
arah lain? Aku yakin ada yang tidak beres terjadi
pada matamu. Mungkin juga kau selalu memper-
gunakan kedua matamu untuk mengintip perem-
puan mandi. Kau jadi kualat, lalu matamu dibalik
oleh setan. Hik hik hik. Mata jelek begitu menga-
pa kau pelihara, mengapa tidak kau ganti saja
dengan telur dadar mata sapi?! Ha ha ha!"
Saba Geni menggeram, mulut terkatup rapat.
Dua pipinya menggembung besar sedangkan peli-
pisnya bergerak-gerak. "Keparat gila berdaster bi-
ru. Memangnya kau monyet edan dari mana. Be-
rani kau menghina orang apakah tidak takut ma-
ti?" hardik Saba Geni dengan suara keras meng-
geledek. Orang yang bersandar di pohon hangus
bukannya kaget, sebaliknya malah tertawa terge-
lak-gelak. Puas dia tertawa, si kakek gerakkan
tubuhnya. Pada kesempatan lain pinggulnya me-
lenggang lenggok, kaki bergerak lincah sedangkan
kepala digolak-golek seperti orang menari. Sambil
menari si kakek tertawa mengekeh. Meskipun si
daster biru menari tanpa irama gendang namun
dia kelihatan begitu menghayati tariannya terse-
but. Lalu sambil melenggang lenggok dia berkata.
"Ah... olala. Dari pada marah, lebih baik menari
denganku sampai tua. Goyang pinggulmu ikut
irama gerakanku. Anggap saja kau mendengar
suara gendang di pukul bertalu-talu. Hayo gerak-
kan kaki tanganmu, jangan malu-malu. Jangan
kau fikirkan benda sakti itu, menari saja biar
asyik..." kata si kakek sambil meliuk-liukkan tu-
buhnya.
Saba Geni surut mundur satu langkah ke be-
lakang. Sepasang matanya yang juling terus
memperhatikan orang di depannya. Si kakek me-
mutar otak, berfikir keras siapa adanya manusia
satu ini. "Kakek geblek berpakaian seperti orang
bunting ini, aku pernah mendengar tentang di-
rinya. Tapi mana saudaranya yang lain? Aku tahu
dia bukan manusia sembarangan. Dulu dia per-
nah membuat kegegeran di beberapa wilayah di
pulau Jawa ini. Aku harus berhati-hati. Dia ma-
nusia aneh yang sulit ditebak kemauannya. Kalau
terpaksa aku harus membunuhnya." geram si ka-
kek dalam hati.
Selagi Saba Geni berfikir begitu secara tak
terduga kakek berdaster biru hentikan tariannya.
Dengan sikap seperti orang tolol dia ajukan per-
tanyaan. "Kakek mata juling, mengapa kau tidak
ikut menari!" Si daster biru kemudian pandangi
wajah Saba Geni. Tiba-tiba dia tepuk keningnya
sambil berkata. "Oh... ternyata fikiranmu sedang
keruh. Kasihan...! Mengapa kau yang sudah tua
mau dibuat pusing dengan segala urusan yang
berbahaya?" Si kakek kemudian tertawa lebar.
Tingkah laku si daster biru membuat Saba
Geni menjadi muak. Si kakek makin tambah
jengkel. Dengan suara parau Saba Geni berkata.
"Kalau tidak salah mata ini melihat bukankah
saat ini aku tengah berhadapan dengan salah sa-
tu dari tiga manusia kembar?"
Si daster biru bukan menjawab pertanyaan
Saba Geni, sebaliknya kembali tertawa mengekeh.
Setelah tawanya lenyap si kakek usap-usap pe-
rutnya yang terbungkus daster longgar.
"Perut buncit seperti ini bukan berarti aku pe-
rempuan yang lagi bunting. Biar matamu juling
memandang tak karuan arah ternyata kau men-
genali orang. Ha ha ha. Kau tidak salah melihat.
Aku memang satu dari tiga manusia kembar. Aku
adalah Ki Edan Samberata. Dan kau sendiri sia-
pa?"
"Cuma manusia edan, pantas tingkahnya se-
perti orang tidak waras." batin si kakek dalam ha-
ti. Biarpun begitu tetap jawab pertanyaan orang.
"Aku Saba Geni."
"Saba Geni...?" desis Ki Edan Samberata. Ma-
ta kakek itu berkeriapan, kening berkerut, agak-
nya dia sedang berusaha mengingat-ingat. Ki
Edan Samberata kemudian gelengkan kepala.
"Rasanya aku tidak mengenalmu! Aneh... ba-
gaimana kau bisa mengenal diriku?" Saba Geni
sunggingkan seringai dingin. "Tiga manusia Kem-
bar dikenal dengan segala perbuatannya yang gi-
la-gilaan. Malah kudengar salah seorang diantara
kalian sangat ahli dalam hal ilmu sulapan."
Ki Edan Samberata tampak tersipu seperti
seorang gadis cantik yang malu-malu. "Ah, kau
terlalu berlebihan. Yang punya ilmu sulapan ada-
lah saudaraku Ki Comot Jalulata. Sedangkan aku
dan saudara satunya lagi cuma punya kebisaan
membetot dan menyambar. Tak usah kujelaskan
kau pasti tahu apa yang aku maksudkan. Ha ha
ha!"
"Manusia edan ada kepentingan apa kau da-
tang kemari?' tanya Saba Geni ingin tahu. Si Ka-
kek lagi-lagi tertawa mengekeh. "Kau seperti kura-
kura dalam perahu. Sudah tahu pura-pura tak
mengerti maksud kedatanganku. Tujuanku da-
tang kemari kurasa sama saja dengan tujuanmu.
Bukankah kau sendiri sedang berusaha untuk
mendapatkan benda itu?" Sadarlah Saba Geni,
ternyata orang-orang dunia persilatan sudah ba-
nyak yang tahu tentang kemunculan benda itu.
Sesaat si kakek terdiam. Diamnya tidak begi-
tu lama. Kemudian dengan berterus terang dia
berkata. "Memang aku sedang mencari Sengkala
Angin Darah. Aku bahkan hampir mendapatkan-
nya. Sayang kemudian muncul dua perempuan
tolol itu." kata Saba Geni sambil menunjuk ke
arah dua mayat perempuan cantik yang telah te-
was menjadi korban keganasan Sengkala Angin
Darah. Celakanya lagi begitu aku berusaha me-
raih benda sakti itu tiba-tiba muncul seseorang
yang tidak kukenal berpakaian serba putih. Di-
alah orangnya yang melarikan benda itu. Tapi dia
tak bakal lari terus menerus dariku. Cepat atau
lambat aku pasti akan menangkapnya."
"Ha ha ha. Bagaimana mungkin kau bisa
mencari atau menangkap orang itu sedang wa-
jahnya sama sekali tidak kau kenali." Ki Edan
Samberata sunggingkan seringai sinis.
"Diam! Kau tidak berhak mencampuri uru-
sanku. Aku muak melihat tingkahmu. Mulai saat
ini kuharap kau tidak lagi bertemu denganku!" Ki
Edan Samberata lagi-lagi tertawa. "Kau tak mau
bertemu denganku? Mengapa? Padahal aku bisa
mengajarimu menari?"
"Perduli setan dengan tarian gilamu itu!"
damprat Saba Geni berang.
"Ah, ternyata kau gampang sekali naik darah,
mata juling. Kau mengatakan tidak mau lagi ber
temu dengan diriku, ada apa rupanya?'
"Ha ha ha. Kau tidak mengerti rupanya? Ka-
rena jika kita bertemu lagi untuk urusan yang
sama aku pasti akan membunuhmu!"
"Ha ha ha. Apakah ini merupakan suatu an-
caman?"
"Terserah kau mau menganggap apa. Sengka-
la Angin Darah yang kemunculannya sudah ku-
tunggu-tunggu sejak dulu. Tak akan kubiarkan
benda itu jatuh ke tangan siapa pun!" Habis ber-
kata begitu tanpa menoleh lagi kakek mata juling
balikkan badan dan tinggalkan tempat itu. Saba
Geni sama sekali tidak tahu kalau pada waktu di-
rinya membalikkan badan Ki Edan Samberata
mencomot sesuatu dari balik kantong bajunya.
Tak lama setelah Saba Geni pergi. Ki Edan
Samberata buka jemari tangannya yang dikepal.
Mata si kakek terbelalak begitu melihat benda hi-
tam berbentuk bulat di tangannya. Si kakek men-
gendus benda tersebut. Dia langsung bersin dan
terbatuk-batuk. Wajahnya merah seketika se-
dangkan darah laksana menggelegak dijalari pe-
rasaan aneh. Setelah menenangkan debaran jan-
tung serta perasaan aneh yang merayapi pera-
saannya. Si kakek berfikir.
Benda itu dia amati. Dan seketika dia tertawa
tergelak-gelak. "Ha.. ha... ha... Kakek bau tanah
mata juling tadi. Bagaimana mungkin sudah mau
mampus masih menyimpan pil pengungkit gai-
rah? Gairah siapa yang hendak dia bangkitkan?
Orang tua tak tahu diri, bukan mustahil nenek
moyang pun disikatnya juga. Ha.. ha.. ha"
Sambil tertawa si kakek segera hampiri kedua
mayat perempuan itu. Dia melihat bagaimana da-
da Laras yang bolong. Dia juga melihat betapa
kedua tangan Larti melepuh hitam. "Mereka me-
nemui ajal akibat serangan benda yang sama. Ta-
pi menemui ajal dengan luka yang berbeda. Aku
merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Benda
itu menyimpan kekuatan dengan daya bunuh
yang berbeda. Apakah mungkin?" desis Ki Edan
Samberata sambil gelengkan kepala.
"Aku harus menyelidik. Aku takut seseorang
telah mengatur rencana untuk menjalankan se-
buah tipu muslihat. Apapun rencana itu pasti
bakal menimbulkan kekacauan di rimba persila-
tan. Andai dugaanku tidak meleset, dunia persila-
tan pasti berada di ambang bencana perang be-
sar. Aku harus menghubungi dua kembaranku Ki
Comot Jalulata dan Ki Betot. Setelah itu baru ku-
hubungi kaum segolongan agar mereka tidak ter-
libat dalam urusan Sengkala Angin Darah."
Setelah memutuskan begitu dia goyang-
goyangkan pinggulnya. Tak lama kemudian dia
tinggalkan tempat itu.
3
Kakek berpakaian hitam tak terkancing ber-
tubuh gendut besar luar biasa nampak tercen-
gang mendengar penuturan muridnya. Sama sekali dia tak pernah menyangka sang murid ber-
temu dengan Manusia Seribu Tahun. Kenyataan
ini memang sulit untuk dipercaya, sebab selama
ini keberadaan Manusia Seribu Tahun tidak
ubahnya seperti sebuah legenda. Bahkan banyak
yang meyakini kakek yang satu itu kehidupannya
setara dengan para dewa-dewa. Lebih menghe-
rankan lagi Gento mengakui Manusia Seribu
Tahun menurunkan beberapa ilmu sakti yang
sulit dicari tandingan yang di dunia ini.
"Ilmu Menitis Bayangan Raga dan ilmu Mem-
belah Jasad bukan ilmu biasa. Bagi Gento kua-
nggap ilmu yang diwariskan oleh manusia seribu
tahun kepadanya merupakan sebuah harta yang
tidak ternilai harganya." Batin si kakek. Dia me-
mandang ke arah sang murid sejenak. Ketika me-
lihat sebuah kalung tergantung di leher sang mu-
rid kakek gendut Gentong Ketawa ajukan perta-
nyaan. "Jadi kakek sakti itu juga telah memberi-
kan kalung butut itu kepadamu." Sang pendekar
tersenyum. "Kalung ini bukan kalung sembaran-
gan, ndut. Manusia Seribu Tahun memberinya
nama Batu Raja Langit. Kalau kau mau mencoba
kedahsyatannya boleh saja. Silahkan kau berdiri
di depan sana. Aku di sini dan cukup mengerah-
kan sedikit tenaga dalam ke mata kalung. Setelah
itu aku mengusap mata kalung tiga kali. Kujamin
sekejap saja tubuh gendutmu jadi matang." Si
kakek gelengkan kepala.
"Meski pun sudah tua, aku belum siap mati
Gege...!" ujar si kakek menyebut nama panggilan
muridnya sambil memandang ke arah kalung
yang tergantung di leher pemuda itu dengan pe-
rasaan takjub. Dia kemudian ajukan pertanyaan
lagi. "Lalu apa arti rajah Angka 71 yang tertera di
telapak tangan kanan dan dada sebelah kirimu
itu?"
Gento tertawa tergelak-gelak mendapat perta-
nyaan seperti itu. Sebaliknya tanpa menghirau-
kan pertanyaan si kakek dia melirik ke arah gadis
berpakaian serba kuning berkulit putih berwajah
cantik yang duduk tak jauh dari hadapannya.
Setelah kedipkan matanya ke arah gadis itu
barulah Gento menjawab. "Seperti yang telah ku-
katakan Manusia Seribu Tahun telah berkenan
membuka tujuh titik sumber pembangkit tena-
ga dalam. Dia menamakannya tujuh inti Cakra.
Tujuh titik pembangkit tenaga dalam itu dapat
kugunakan sekaligus jika aku menghendakinya.
Karena tujuh sumber pembangkit tenaga dalam
bersumber dari seluruh bagian tubuhku dan di-
pergunakan untuk satu tujuan yaitu menegakkan
keadilan dan menumpas kezaliman. Maka antara
tujuan dan yang satu itu tidak dapat di pisahkan
antara yang satu dengan yang lain. Satu nama
lain saling mengikat. Itulah antara lain arti angka
71" jelas Gento. Dia kemudian ajukan perta-
nyaan. "Guru sendiri bagaimana? Sejak tergulung
Angin putih itu aku kehilangan jejak dirimu. Se-
mula aku menyangka tidak ada lagi harapan ba-
giku bertemu dengan dirimu. Tapi ternyata kau
panjang umur."
"Murid geblek. Kau pasti mengatakan diriku
sudah mati, bukankah begitu?" dengus si kakek
dengan mata mendelik.
Gento tertawa mengekeh.
"Boleh saja kau bilang. Yang jelas aku merasa
senang karena kita pada akhirnya bertemu kem-
bali. Aku senang kau berumur panjang dan kuha-
rap kau panjang segalanya."
"Heeh... apa maksudmu dengan panjang sega-
lanya itu?"
"Tak perlu kujelaskan kupikir kau tahu sendi-
ri. Ha ha ha!" jawab sang pendekar disertai tawa
tergelak-gelak.
Gentong Ketawa mendamprat muridnya begi-
tu mengetahui maksud ucapan Gento. Dengan
wajah merah tanpa sadar si gendut dekap bagian
bawah perutnya. Apa yang dilakukan si kakek
tentu membuat gadis berpakaian kuning yang du-
lunya adalah manusia raksasa Anggagini jadi ikut
tertawa namun segera palingkan kepala ke juru-
san lain.
"Ternyata dia tidak berubah." batin sang dara.
Sementara itu Gentong Ketawa kemudian
berkata. "Gege, kau adalah orang yang sangat be-
runtung. Di rimba persilatan ini seingatku belum
ada orang atau tokoh manapun yang bisa menge-
luarkan tenaga sakti dari tujuh titik pembangkit
tenaga dalam. Manusia Seribu Tahun agaknya te-
lah memberikan satu kepercayaan kepadamu,
kau tidak boleh menyia-nyiakan amanat orang."
"Aku mengerti guru. Bagaimana dengan diri
mu sendiri? Kau belum menceritakan pengala-
manmu setelah terpisah denganku."
Sebagaimana telah dikisahkan dalam episode
sebelumnya antara murid dan guru sempat terpi-
sah beberapa waktu lamanya. Si kakek yang ter-
bawa pusaran angin putih mempertemukan di-
rinya dengan Nyi Sekar Langit. Sedangkan Gento
sendiri dibawa ke alam Batas kehidupan atau
alam Luar Pandang oleh manusia Seribu Tahun.
Untuk lebih jelas (baca episode Ki Anjeng Laknat).
Si kakek menarik nafas. Setelah memandang
muridnya sejenak dia alihkan perhatiannya pada
Anggagini. Tak lama orang tua itu membuka mu-
lut. "Kejadian yang kualami kurang begitu mena-
rik untuk kau ketahui. Pusaran angin putih yang
menyergapku itu sebenarnya adalah sebuah ke-
saktian yang dikerahkan oleh Nyi Sekar Langit
untuk menjemputmu. Tapi rupanya telah terjadi
satu kekeliruan. Sehingga bukan kau yang kena
dijemput melainkan aku."
"Tentunya kau senang bertemu dengan Nyi
Sekar Langit. Orangnya cantik berambut panjang
dan masih muda." sindir Gento. Wajah si gendut
berubah cemberut. Dengan mata menerawang dia
menyahut. "Cantik apanya? Kalau dibilang se-
nang ya tidak juga. Aku sendiri malah dia minta
untuk mencari dirimu. Sulit sekali menemukan
kau. Dia pasti korban majikan Mahluk Kutukan
Neraka." ujar si kakek unjukkan wajah sedih.
"Kau tak usah khawatir. Nyi Sekar Langit saat
ini pasti dalam keadaan sehat selalu."
"Heh...!" Gentong Ketawa terperangah. "Ba-
gaimana kau bisa memastikan Nyi Sekar Langit
selamat?" Sambil tersenyum Gento menjawab.
"Aku dan Tabib Setan telah menolongnya ketika
terjadi keributan besar di teluk Rembang."
"Apa kau masih juga mau meladeni tabib ce-
laka itu? Aku tidak tahu kau telah menolongnya
padahal selama ini aku mengkhawatirkan kese-
lamatannya."
"Ah, agaknya kau telah jatuh cinta padanya.
Jika benar. Aku muridmu cukup tahu diri mela-
markan dia untukmu."
"Murid edan. Jangan bicara ngacok! Kupe-
cahkan batok kepalamu nanti!" berkata begitu si
kakek angkat tangannya lakukan gerakan hendak
menggepuk kepala Gento. Tapi sang pendekar se-
gera melompat, jatuhkan diri di samping Anggagi-
ni. Setelah berada di samping gadis itu dia berbi-
sik. "Anggagini maafkan aku. Sejak tadi aku tidak
menegurmu karena aku harus menjawab perta-
nyaan-pertanyaan kakek gendut itu" Anggagini
tersenyum. Dia gembira bisa bertemu dengan
Gento kembali. Dan gadis ini jadi semakin kagum
pada Gento setelah melihat kenyataan ternyata
ilmu kesaktian yang dimiliki pemuda itu semakin
maju pesat.
"Tidak mengapa Gento. Aku bisa memaklumi.
Sekian lama kalian terpisah tentu di antara kalian
timbul kerinduan." ujar sang dara. Gentong Keta-
wa turunkan tangannya batalkan niat. Dia kemu-
dian malah menyahut. "Aku sebenarnya muak
melihat tampang bocah edan ini." celetuk si gen-
dut bersungut-sungut.
"Ha ha ha. Kita sama gendut. Aku juga mau
mual melihat tampangmu. Tapi mengingat kau
guruku aku jadi harus tahu diri!"
"Murid sialan. Mestinya kubunuh kau sejak
dulu." maki si kakek. Gento malah ketawa. "Jadi
sekarang kita hendak kemana?" tanya Anggagini
mengalihkan pembicaraan.
"Aku terserah gendut saja. Asal tidak ke nera-
ka aku pasti mau ikut." sahut sang pendekar.
Murid dan guru akhirnya saling berpandangan. Si
kakek kemudian malah menguap lebar. Sekejap
kemudian si kakek sudah memejamkan matanya.
"Ah, ndut. Apa yang kau lakukan? Kalau kau
mau tidur, aku dan gadis ini sebaiknya pergi sa-
ja." Gentong Ketawa gelengkan kepala.
"Bocah, siapa yang tidur? Dengarkanlah baik-
baik!" ujar kakek itu dengan serius. Gento cibir-
kan mulut. Tapi tak urung ketika melihat kakek
itu sepertinya tidak bercanda. Gento akhirnya
menanggapi. "Jika ada hal penting yang hendak
kau katakan lekas katakan!" ujar Gento. Kakek
Gentong Ketawa masih dengan mata setengah
terpejam kemudian berkata. "Beberapa purnama
yang lalu dalam semediku, aku melihat malapeta-
ka bakal terjadi di rimba persilatan. Aku melihat
ada cahaya keluar dari dalam perut bumi. Kemu-
dian kulihat orang-orang dunia persilatan saling
bunuh memperebutkan benda itu. Tidak ada ja-
lan lain, kita harus melakukan sesuatu untuk
mencegah terjadinya pertumpahan darah."
Bukan cuma Gento yang dibuat terkejut
mendengar ucapan si kakek. Sebaliknya Anggagi-
ni pun sama saja.
"Kek apakah yang kau lihat dalam semedimu
itu bisa dipercaya?" tanya Anggagini.
"Guru. Aku bukannya meragukan apa yang
kau lihat. Dulu pun kau sering mengatakan hal-
hal yang tidak mungkin. Tapi pada akhirnya apa
yang kau katakan ternyata memang terbukti."
"Ada kalanya aku suka bercanda. Tapi kali ini
aku bicara yang benar. Ketahuilah benda yang di-
perebutkan itu memiliki kekuatan yang sangat
besar. Bentuknya seperti orang tua lanjut usia
yang sudah mati dan telah diawetkan. Kehebatan
benda yang bernama Sengkala Angin Darah dapat
menghanguskan apa saja. Mahluk yang telah
membatu itu berasal dari alam batu. Usianya ri-
buan tahun dan muncul setiap seribu tahun se-
kali. Ah... ah sungguh mengerikan sekali." berka-
ta begitu tubuh si kakek tiba-tiba bergetar. Ke-
mudian seolah ada satu kekuatan tak terlihat
mendorongnya si kakek jatuh terjengkang.
"Guru... ada apa guru...!" seru Gento sambil
menghampiri gurunya.
"Kek, bangun kek...!" ujar Anggagini pula
yang telah berada di samping kanan kakek Gen-
tong Ketawa.
Si kakek mengerang pendek. Kedua matanya
kembali terbuka sedangkan tubuhnya bersimbah
keringat dingin.
"Guru ada apa sebenarnya, apa yang kau li-
hat?" tanya si pemuda.
"Gento, kita harus memberi tahu para saha-
bat di rimba persilatan." tegas si kakek tanpa
menghiraukan pertanyaan muridnya.
"Guru...!'
"Kakek gendut apakah semua yang kulihat
bukan cuma sekedar mimpi?" tanya Anggagini
penasaran.
"Aku sama sekali tidak bermimpi kala itu.
Yang kulihat dalam semedi itu kenyataan yang
pasti." jawab si kakek tegas
"Benda yang kau lihat itu berupa mahluk hi-
dup atau apa?" Gento ajukan pertanyaan.
Si kakek tidak segera menjawab. Dia berfikir
sejenak baru kemudian berkata. "Benda sakti itu
dulunya mahluk hidup. Suatu proses alam telah
terjadi pada dirinya. Ujudnya bahkan seperti ma-
nusia, cuma ukurannya lebih kecil. Dia juga
punya hidung, rambut, kumis, kaki juga tangan.
Cuma mahluk ini telah membatu. Biarpun telah
berubah menjadi batu anehnya tetap hidup. Se-
dangkan usianya mencapai ribuan tahun." jelas si
kakek.
Anggagini tercengang. Seumur hidup rasanya
baru kali ini dia mendengar ada mahluk seaneh
itu. Belum lagi gadis berpinggul dan berdada ba-
gus itu sempat bertanya. Tiba-tiba Gento ajukan
pertanyaan. "Guru andai mahluk itu seperti ma-
nusia apakah dia punya anu juga?"
Mata si kakek mendelik. "Bocah, bertanya boleh saja. Tapi pertanyaanmu jangan konyol." me-
negur si gendut. "Anu apa maksudmu? Anu kepa-
lanya? Anunya tentu saja ada. Cuma besar kecil-
nya mana aku tahu." dengus si kakek. Dasar sa-
ma sintingnya pernyataan Gento meski pun
membuat si gendut marah tetap dia jawab juga.
Sang dara gelengkan kepala melihat kekonyolan
murid dan gurunya itu.
"Mahluk batu itu kira-kira sebesar apa?"
"Hmm, kira-kira sebesar lengan bocah kecil." po-
los saja si kakek menjawab. Gento manggut-
manggut.
"Kalau cuma sebesar lengan bayi berarti
anunya kira-kira sebesar lidi guru."
"Bocah kurang ajar. Ada-ada saja. Ha ha ha."
si gendut tertawa. Gemuruh angin datang ke arah
mereka. Tiga pasang mata sama layangkan pan-
dang ke arah datangnya suara. Mereka jadi ter-
cengang begitu melihat di atas ketinggian segu-
lung awan hitam berputar putar secara cepat me-
lintas di atas mereka.
"Menghindar! Cari tempat berlindung!" Kakek
Gentong Ketawa keluarkan suara keras. Seperti
dikomando ketiganya berlompatan menjauh dari
awan yang berputar di pulau angin ribut. Sayang
gerakan mereka kalah cepat dengan gerakan
awan yang datang bersama hembusan angin. Tak
terduga begitu pusaran awan lewat di atas kepala,
mereka merasakan adanya satu sengatan hawa
panas yang sangat luar biasa. Baik si kakek mau-
pun Gento dan Anggagini sama dorongkan kedua
tangannya ke atas menangkis sambaran maut itu.
Tapi mereka berteriak kaget begitu merasakan te-
naga yang datang dari atas sana ternyata jauh le-
bih besar dari tenaga mereka bertiga.
Buumm!
Tiga ledakan terdengar berturut-turut disertai
jeritan dan keluhan panjang. Tiga sosok tubuh
sama terlempar ke udara, lalu jatuh bergedebu-
kan dalam posisi tidak karuan.
Anggagini merintih. Dia menggeliat. Dia mera-
sa sekujur tubuhnya laksana hangus. Ketika dia
duduk, sang dara dapati ada darah meleleh dari
mulutnya. Dengan cepat dia menghimpun tenaga
untuk menyembuhkan si luka dalam yang dia
alami. Tidak berselang lama setelah rasa menye-
sak di dadanya berangsur lenyap dia bangkit ber-
diri.
Dia memperhatikan sekelilingnya namun ti-
dak melihat Gento dan gurunya ada di sekitar si-
tu. Sedangkan pusaran angin yang datang dari
awan hitam tadi lenyap. Ketika si gadis alihkan
perhatian ke sudut matanya membentur satu so-
sok bertubuh besar, tubuh gendut Gentong Keta-
wa.
Kakek itu dalam posisi menungging seperti
orang menyembah, tangan mendekap dada serta
mulutnya mengerang tak berkeputusan.
"Uhuk... setan apa pula yang lewat tadi? Tak
ada hujan tak ada silang sengketa, mengapa be-
rani menyerang orang yang tidak berdosa? Aduh
panasnya tubuhku ini. Rasanya seperti kambing
yang dipanggang di atas bara." keluh si kakek.
"Kakek gendut. Gento tidak ada di sini. Dia
entah jatuh dimana." seru sang dara yang merasa
khawatir atas keselamatan si pemuda.
Si kakek terperanjat. Sambil meringis kesaki-
tan dia bangkit. "Apa katamu? Muridku hilang?
Jatuh kemana bocah gila itu?" desis si kakek.
Perasaan cemas meliputi dirinya. Dia lalu
memandang ke arah lenyapnya pusaran awan ta-
di. Dan tiba-tiba Gentong Ketawa berseru. "Ang-
gagini sebaiknya kita ikuti jejak awan tadi."
Sang dara tampak kebingungan. "Diikuti ke-
mana kek?"
"Sudah. Jangan banyak tanya. Ikut saja den-
ganku!" tegas si kakek yang sempat melihat di ba-
lik gumpalan awan hitam itu tadi seperti ada ju-
bah melambai.
Tanpa fikir panjang sang dara segera mengi-
kuti si kakek tinggalkan tempat itu.
4
Pelita kecil yang menerangi ruangan itu me-
mancarkan cahaya merah temaram. Di atas ran-
jang tergeletak seorang laki-laki bertampang ang-
ker. Dalam keadaan polos laki-laki itu menatap
langit-langit ruangan yang buram.
Tidak berselang lama pintu terbuka. Dari ba-
lik pintu muncul seorang gadis cantik berpakaian
hanya sebatas dada. Sambil melenggang lenggok
dia hampiri laki-laki yang terbaring di atas ran-
jang. Dia duduk di bibir ranjang sedang jemari
tangannya yang lembut membelai dada si laki-
laki.
Laki-laki itu menggeliat. Dia meraih gadisnya
lalu memeluk gadis tersebut dengan erat. Si gadis
merintih manja ketika tangan Laki-laki itu menge-
lus punggungnya. "Kakang Pasadewa, kau adalah
laki-laki perkasa. Aku ingin selalu bersamamu
menikmati hangatnya cintamu sepanjang waktu.
Kakang... oh..." suara manja si gadis mendadak
lenyap karena si laki-laki mendadak tenggelam-
kan wajah sang dara di dalam pelukannya.
Tetapi ketika sang dara mulai diamuk gairah,
Pasadewa dorongkan tubuh gadis itu menjauh
dari dirinya.
Dia memekik kaget tak menyangka diperlaku-
kan sekasar itu.
Selagi dia terheran-heran laki-laki yang ber-
nama Pasadewa itu meraih pakaiannya yang ber-
tumpuk satu demi satu. "Kakang kau hendak
kemana?" Pasadewa tidak menjawab. Selesai ber-
pakaian dia berkata. "Kau dengar! Sudah dua hari
berlalu. Seharusnya kedua muridmu telah kem-
bali menemui kita di sini. Kenyataannya sampai
selarut ini mereka tidak muncul. Aku punya fira-
sat mereka tak dapat melakukan tugas. Aku ya-
kin Laras dan Latri telah menemui ajal."
Wajah si gadis sama sekali tidak mancarkan
perubahan. Malah dengan sikap tenang dia ke-
mudian menanggapi. "Kakang Pasadewa, jika dugaanmu benar sebaiknya kita tunggu sampai be-
sok pagi. Malam masih panjang. Kita punya wak-
tu untuk bersenang-senang." Gadis itu lalu me-
raih tangan Pasadewa dan meletakannya di depan
dada.
Darah Laki-laki itu berdesir, namun hanya
berlangsung sesaat. Begitu dia berhasil menekan
gejolak perasaannya, dengan cepat Pasadewa ber-
kata, "Pandan Arum. Jangan kau halangi niatku
untuk dapatkan Sengkala Angin Darah. Bagiku
benda itu satu-satunya yang dapat kupergunakan
untuk menundukkan tokoh-tokoh sakti di tanah
Jawa. Jika mereka semua sudah dapat kubuat
bertekuk lutut di bawah kakiku. Kurasa untuk
menguasai dunia persilatan hanya tinggal persoa-
lan waktu."
"Apapun rencanamu aku tetap mendukung
kakang. Sudah lama kita hidup bersama. Bahkan
jiwa ragaku pun telah kuserahkan. Setiap saat
aku siap membantu. Satu pintaku penuhi keingi-
nanku!" kata Pandan Arum disertai lirikan meng-
goda.
"Kau tidak pernah puas. Kau baru bisa berse-
nang-senang dengan diriku bila berhasil membu-
juk Iblis Ular Sembilan agar mau membantu kita."
Pandan Arum terkesiap begitu mendengar
permintaan kekasihnya. Wajah cantik si gadis be-
rubah pucat, sedang bola matanya terbelalak le-
bar.
Seolah tak percaya dia ajukan pertanyaan.
"Apakah Iblis Ular Sembilan yang kakang maksudkan adalah kakek yang berdiam di Telaga Se-
tan?"
"Ha ha ha. Tentu saja. Apakah di dunia ini
masih ada Iblis Ular Sembilan yang lain?"
"Mengapa kau menyuruhku menemui mahluk
jahanam itu? Aku rela melakukan apa saja asal
jangan kau suruh aku bertemu dengannya." Kata
si gadis tampak jerih.
Pasadewa kembali mengumbar tawa. Dia sa-
dar sepenuhnya Pandan Arum tergila-gila kepa-
danya. Setiap saat Pandan Arum selalu mendam-
bakan belaian kasihnya. Dan kesempatan inilah
yang selalu dimanfaatkan oleh Pasadewa. Setelah
puas tertawa Pasadewa kemudian kembali mene-
gaskan. "Perintahku tidak bisa ditawar lagi Pan-
dan Arum. Jika kau benar-benar mencintaiku
kau harus bersedia melakukan permintaanku."
"Bukankah selama ini aku telah banyak ber-
korban untukmu, kakang?"
"Memang. Tapi semua itu belum cukup untuk
mengetahui ketulusan hatimu." Kilah Pasadewa.
"Lagi pula tugas yang kuberikan tidak berat. Kau
cukup meminta Iblis Ular Sembilan bekerja sama
denganku."
"Bagaimana jika seandainya dia marah dan
membunuhku?"
"Orang seperti dia tak pernah membunuh wa-
nita. Kau jangan takut. Dia tak mungkin membu-
nuh perempuan secantik dirimu!" Pasadewa
meyakinkan.
Pandan Arum terdiam. Sebenarnya dia merasa berat untuk melakukan permintaan Pasadewa
karena menemui Iblis Ular Sembilan baginya sa-
ma saja dengan melakukan tindakan konyol yang
membahayakan diri sendiri. Tapi bagaimana pun
dia mencintai laki-laki itu. Dia tidak dapat hidup
tanpa laki-laki itu.
Dengan berat hati akhirnya dia berkata. "Ka-
lau memang itu permintaanmu, baiklah kakang.
Tapi setelah tugas ini selesai aku laksanakan kau
harus menikahi diriku. Di samping itu kau juga
harus mencari dua muridku!"
"Ha ha ha. Permintaanmu pasti kupenuhi.
Sekarang pergilah!" kata Pasadewa.
Setelah berpakaian rapi Pandan Arum segera
tinggalkan ruangan itu. Sementara sepeninggal-
nya sang dara Pasadewa duduk tertegun di bibir
ranjang. Pemuda itu tersenyum membayangkan
cita-citanya yang kelak bakal dia capai.
Laki-laki itu kemudian bangkit berdiri, na-
mun belum lagi Pasadewa sempat beranjak ting-
galkan kamar mendadak dia merasakan ada hawa
sedingin es menerpa jendela kamar. Pasadewa
terkejut. Sayup-sayup dia mendengar ada suara
orang berkata. "Segala cita-cita manusia pasti
akan tercapai selama orang itu berusaha keras
untuk menggapai apa yang dia cita-citakan..."
"Siapa yang bicara?" desis Pasadewa. Dia lalu
melangkah ke arah jendela.
Jendela itu segera dibuka. Dia memandang ke
segenap sudut penjuru. Tak ada yang terlihat ke-
cuali kegelapan.
Dalam gelap kembali terdengar suara menge-
keh. "Kau tidak perlu mencari diriku. Mengenai
siapa diriku sebenarnya tidak penting. Kehadi-
ranku di sini hanyalah untuk memberi kabar
bahwa benda sakti yang bernama Sengkala Angin
Darah itu kini berada di tangan seorang kakek
sakti bernama Empu Barada Sukma. Jika kau
berminat dengan benda itu sebaiknya kau segera
pergi. Cari orang itu sebelum benda yang berada
di tangannya berpindah ke tangan orang lain."
Kata suara yang tak mau menampakkan ujudnya
tersebut.
"Bagaimana aku bisa mempercayai kata-
katamu?"
"Kau tak perlu percaya padaku. Kau manusia
cerdik yang bisa mempergunakan otak. Aku
hanya sekedar memberimu kabar agar kau tidak
jadi pusing memikirkan benda itu. Pergilah! Atau
kau akan menyesal tidak mendapatkan benda
itu."
Pasadewa sejenak tampak bimbang. Tapi ke-
mudian dia segera memutuskan untuk menuruti
nasehat suara tanpa rupa itu.
"Baiklah. Tapi ingat, jika ternyata kau hanya
menipuku. Aku bersumpah pasti akan mencari-
mu." Kata Pasadewa.
Tidak ada jawaban. Suara yang didengarnya
tadi lenyap. Kini kegelapan kembali diwarnai ke-
sunyian.
"Empu Barada Sukma. Hmm, aku tahu dima-
na harus menemukan kakek itu. Tapi untuk
mencapai tempat itu aku membutuhkan tunggan-
gan. Aku harus menggunakan Rajawali Siluman
untuk mencapai tempat itu!" batin laki-laki terse-
but.
Tanpa membuang waktu Pasadewa rang-
kapkan kedua tangannya di depan dada. Bersa-
maan dengan itu kedua matanya terpejam, se-
dangkan mulut tampak berkemak-kemik.
"Rajawali Siluman, aku Pasadewa. Titisan Ra-
ja Pedang Betala Surya memanggilmu. Cepat kau
datang menghadap! Bawa aku pergi ke tempat tu-
juan." Gumam Pasadewa.
Hanya beberapa saat setelah itu terdengar
suara gemuruh angin dan pekik melengking da-
lam kegelapan di atas sana.
Pasadewa dongakkan kepala memandang ke
arah kegelapan langit. Kemudian dia melihat
mahluk raksasa berupa seekor burung rajawali
putih berkelebat di atasnya.
Burung siluman berputar-putar di atas ru-
mah. Kepakan sayap mahluk itu menimbulkan
deru angin hingga membuat pepohonan di seki-
tarnya bertumbangan. Pasadewa tersenyum.
Dia bersuit tiga kali. Sang rajawali siluman
memekik dan bergerak merendah.
Pemuda itu melesat keluar melalui jendela
yang terbuka.
"Sahabatku apakah kau telah siap membawa
diriku?"
Kikkk!
Mahluk raksasa itu keluarkan pekikan keras.
Pasadewa tak mau menunggu lebih lama. Dia se-
gera lentingkan tubuhnya ke atas. Dan di lain
waktu Pasadewa sudah duduk di atas punggung
rajawali raksasa itu.
Si pemuda bersuit tiga kali. Rajawali siluman
kembali memekik. Kemudian bergerak membu-
bung ke angkasa, lalu lenyap dari pandangan mata.
5
Puncak gunung Kelud pagi itu diselimuti ka-
but tebal. Hawa dingin terasa sangat mencucuk.
Tapi tak jauh dari kaki gunung di tengah dingin-
nya suasana di antara bebatuan terjal terlihat sa-
tu bayangan berkelebat. Di satu tempat di depan
mulut goa yang terlindung akar menjuntai dan te-
tumbuhan merambat sosok itu hentikan lang-
kahnya.
Dia ternyata adalah seorang Laki-laki berwa-
jah angker, bagian kepala botak tepat di bagian
ubun-ubun. Sedangkan di punggung Laki-laki itu
tergantung sembilan golok besar berwarna hitam.
Sekejap si baju ungu berwajah mirip beruang
memandang ke mulut gua. Sedang cuping hi-
dungnya tampak kembang kempis mengendus.
Kemudian muka beruang yang dikenal dengan ju-
lukan si Tangan Besi itu tersenyum.
Dia mengendus bau sesuatu yang sangat
khas, bau kemenyan.
"Dia ada di tempat. Kuharap urusan berjalan
lancar. Jika urusanku berhasil Raden Sobari pas-
ti akan merasa senang."
Sekali lagi Laki-laki itu memandang ke mulut
gua. Dia lalu berteriak. "Kertasona... aku Tangan
Besi datang menyambangi. Ada urusan penting
yang hendak kusampaikan kepadamu. Apakah
aku boleh masuk?"
Mula-mula sunyi. Kesunyian yang amat men-
cekam dan membuat Laki-laki itu merasa tidak
enak hati. Membayangkan kekejian yang dilaku-
kan sang dukun. Kesunyian ternyata tidak ber-
langsung lama. Kejab kemudian Tangan Besi di-
kejutkan oleh dentuman suara kentut.
Tangan Besi cepat tekap hidungnya. Tangan
Besi masih saja mengendus bau tidak sedap
hingga perutnya terasa mual.
"Jahanam kurang ajar. Bau isi perutnya bu-
suk bukan main." Rutuk Tangan Besi dalam hati.
Muka beruang bersungut-sungut. Selagi di-
rinya dalam keadaan seperti itu tiba-tiba dia dike-
jutkan oleh terdengarnya pintu batu yang terbu-
ka.
Samar-samar dia melihat ada cahaya biru te-
maram membersit keluar dari dalam ruangan
gua.
Seiring dengan terlihatnya cahaya. Dari ruan-
gan dalam terdengar suara serak seseorang seper-
ti dicekik setan.
"Matahari belum lagi menampakkan diri. Se-
tan gila dari mana di pagi buta berani berteriak di
depan tempat tinggalku?"
Tangan Besi biarpun tidak senang disebut Se-
tan Gila tetap menjura ke arah gua.
"Mbah Dukun Kertasona, aku Tangan Besi
orang kepercayaan Pangeran Sobari. Dulu aku ju-
ga pernah kemari, apakah kau ingat,..?"
"Ha ha ha. Aku baru ingat sekarang. Bukan-
kah kau kunyuknya yang pernah memberi ku ha-
diah berupa lima perawan cantik dari kotaraja?
Kemudian kelima perawan itu kulepas lima bulan
sesudahnya dalam keadaan bunting. Ha ha ha.
Terima kasih!"
"Aku senang Mbah Kertasona merasa se-
nang."
"Ya ya... aku senang. Tapi apakah kini kau
datang dengan membawa hadiah yang sama?"
tanya suara di dalam.
"Tidak Mbah. Aku datang membawa maksud
keperluan. Sebagai imbalan kau bakal menda-
patkan barang yang tidak ternilai harganya." Sa-
hut muka beruang.
"Tidak ternilai itu apakah ini berarti tidak ada
nilainya sama sekali?" teriak orang di dalam gua.
"Barang yang kubawa justru memiliki nilai
yang tinggi, terdiri dari permata dan jambrut."
"Hmm, jambrut aku sangat membutuhkan-
nya. Kau tunggulah sebentar!"
Tangan Besi terpaksa menunggu, walaupun
ini adalah hal yang tidak dia sukai.
Belum lama menunggu terdengar suara dari
dalam.
"Kau masuklah!"
Sekali berkelebat Tangan Besi telah berada di
dalam ruangan gua. Dia melengak ketika melihat
tiga perempuan cantik terlihat sibuk merapikan
pakaiannya. Mereka pasti korban kebejatan Mbah
Dukun
Ketiga perempuan itu selanjutnya pergi me-
ninggalkan ruangan itu. Dengan wajah merah
Tangan Besi balikkan badan menghadap ke arah
sang dukun.
Di ranjang batu yang diberi nama Ranjang Pe-
lepas Kesucian Mbah Dukun Kertasona yang juga
dikenal dengan julukan Setan Santet Delapan
Penjuru tampak duduk bersila dengan pakaian
seadanya. Melihat kehadiran Tangan Besi, si ka-
kek yang wajahnya ditumbuhi cambang bawuk
lebat menatap ke arah tamunya sejenak.
"Sudah banyak perawan datang padaku. Se-
gala macam santet dapat kulenyapkan. Sebagai
imbalan mereka harus menyerahkan kehorma-
tannya. Ha ha ha!" si kakek tertawa aneh. "Mere-
ka orang bodoh, bertuhan tapi malah menyembah
aku."
Merasa disindir Tangan Besi jadi tidak enak
hati. Tapi dengan menebalkan muka dan mem-
buang rasa malu jauh-jauh dia duduk. Tanpa
sungkan dia ajukan pertanyaan. "Mbah apakah
kita sudah bisa memulai sekarang?"
Si kakek batuk beberapa kali. Setelah itu dia
bangkit, melangkah turun dari ranjang kemudian
duduk di depan Tangan Besi.
"Muka beruang, kabar apa yang kau bawa da-
ri Kediri?" tanya si kakek dingin.
Tangan Besi tidak segera menjawab. Dia men-
gambil sebuah kantong berukuran dua kepalan
tangan. Pengikat kantong dibuka, isinya dikelua-
rkan. Mata si kakek yang berwarna putih pucat
seketika berbinar melihat batu jambrut dan per-
mata bertebaran di atas lutut.
Dua dari batu jambrut kemudian diselipkan
di balik topi songkok hitamnya. Sedangkan yang
lain dia masukkan ke dalam kantong.
"Kau membawa hadiah begini banyak, namun
yang paling kusukai adalah hadiah gadis pera-
wan."
"Lain kali aku pasti membawa hadiah yang
Mbah minta."
Si kakek manggut-manggut.
"Sekarang katakan apa yang harus aku laku-
kan. Menyantet orang sampai mati, memelet seo-
rang puteri atau mengobati orang sekarat?"
"Bukan... bukan itu Mbah." Ujar Tangan Besi.
"Pangeran Sobari meminta pada Mbah agar sudi
membantu kami mendapatkan benda sakti man-
dra guna. Konon menurut laporan mata-mata
kami, benda itu ada di hutan Pacitan. Jika Mbah
berhasil mendapatkan benda langka itu Pangeran
Sobari berkenan memberikan sebidang tanah di
Blitar, berikut rumah termasuk istri. Mbah juga
akan diangkat menjadi tumenggung.
"Ha ha ha, pangeranmu itu ternyata manusia
ngaco. Kau rupanya tidak tahu aku tidak bisa
membaca dan menulis. Lagipula aku tak akan
mau menjadi tumenggung."
"Kalau Mbah tidak mau tidak mengapa."
"Aku memang tak menghendakinya. Aku lebih
suka hidup dengan cara seperti ini karena begitu
banyak kesenangan yang bisa kudapatkan. Tawa-
ran itu aku terima. Tapi sebagai upahnya aku
minta puteri adipati." Tegas si kakek.
Tangan Besi merasa lega mendengar keputu-
san si kakek itu. Dengan cepat dia segera menja-
wab. "Hadiah yang Mbah minta nanti akan aku
sampaikan pada adipati. Pangeran Sobari pasti
setuju."
Si kakek anggukkan kepala. Setelah itu dia
mengambil sebuah pendupaan besar yang terletak
di sudut gua. Pendupaan itu kemudian diletakkan
di depan Tangan Besi.
Tangan Besi kaget juga. Rupanya dia takut
pendupaan itu dituangkan ke atas kepalanya.
Dugaan Tangan Besi meleset karena pendu-
paan itu kemudian diangkat tinggi melewati ba-
gian atas kepalanya.
Si kakek duduk bersila. Mulut berkemak-
kemik sedang dua matanya dalam keadaan terpe-
jam.
Tidak selang berapa lama di tengah suara
rancauannya tubuh si kakek tampak bergetar.
Secara perlahan si kakek dongakkan wajahnya ke
atas. Setelah itu mulut terbuka lebar. Begitu mu-
lut terbuka pendupaan menyala berisi bara segera
dituangkan ke dalam mulut.
Jzzzth!
Terdengar suara potongan bara menyentuh li-
dah, asap tebal mengepul. Lalu mulut yang penuh
berisi bara dikatubkan.
Glek!
Bara menyala ditelan amblas ke dalam perut
si kakek. Tangan Besi yang tidak sanggup me-
nyaksikan kejadian ini segera palingkan kepala ke
jurusan lain.
Setelah bara ditelan, kembali terdengar suara
racauan si kakek. Dari mulut terlihat kepulan
asap tipis keluar.
Meski sempat dilanda ketegangan Tangan Be-
si nyaris tidak dapat menahan ketawa melihat
apa yang dilakukan kakek itu. "Orang tua aneh.
Bara dia makan seperti kerupuk, sungguh luar
biasa."
Sementara asap tipis berwarna biru semakin
lama semakin membubung tinggi ke udara. Ke-
mudian bergulung-gulung membentuk sosok be-
sar dalam bentuk samar.
Tapi makin lama makin jelas. Sosok itu tam-
pak sangat angker, dua matanya mencorong ta-
jam. Kedua alisnya yang hitam lebat mencuat ke
atas, hidung tinggi. Ketika menyeringai terlihat
dua pasang taringnya yang mencuat panjang.
Seiring dengan munculnya sosok transparan
serba putih itu tiba-tiba terdengar suara hembu-
san angin kencang. Tangan Besi menggigil. Ber-
samaan dengan itu Mbah Dukun yang duduk di
depan Tangan Besi berkata. "Wahai jin sesat pengabdi dari segala kesesatan. Aku junjunganmu
Setan Santet Delapan Penjuru memberi perintah
padamu untuk menyelidiki keberadaan benda
sakti yang bernama Sengkala Angin Darah. Jika
benda itu masih terpendam di dalam tanah, maka
keluarkanlah. Andai benda itu telah berada di
tangan manusia katakan padaku siapa manu-
sianya. Perintahku tidak bisa dibantah. Karena
aku adalah raja dari segala kesesatan. Pergilah!
Bisikkan segala yang kau lihat padaku. Kau baru
boleh kembali setelah kuberi tanda berupa ketu-
kan. Jin sesat lakukan tugasmu!" perintah Mbah
Dukun.
Hembusan angin makin bertambah keras ber-
campur dengan busuknya bau bangkai. Kemu-
dian terdengar raungan menggelegar menggetar-
kan dinding gua. Asap yang muncul dari mulut si
kakek lenyap ditiup angin. Begitu asap lenyap so-
sok tinggi besar yang tercipta dari asap juga ikut
lenyap.
Suasana di dalam gua kembali sepi mence-
kam. Tangan Besi diam menunggu. Tidak berani
bergerak atau bersuara. Hanya sepasang matanya
saja melotot menatap ke arah Mbah Dukun. Ka-
kek itu masih memejamkan matanya.
Tak lama Tangan Besi melihat daun telinga
kiri si kakek bergerak-gerak. Mbah Dukun ke-
rutkan keningnya sedangkan mulutnya mulai
bertutur memberi penjelasan. "Jin sesat menga-
takan, benda sakti itu sudah tidak berada lagi di
tempatnya. Seseorang telah mengambilnya. Jin
sesat tak dapat melihat orang itu. Orang yang
menguasai Sengkala Angin Darah dilindungi se-
macam tabir, dia memiliki kesaktian yang sangat
tinggi. Bukan cuma itu yang menjadi kendala.
Benda sakti yang diinginkan pangeranmu itu ter-
nyata mempunyai daya tolak luar biasa. Huh,
edan. Orang yang berlindung di balik tabir ternya-
ta mengetahui kehadiran mahluk piaraanku ini.
Dia bahkan hendak menangkap jinku." Seru si
kakek. Suaranya timbul tenggelam, sedangkan
tubuhnya bergetar keras. Tak lama setelah si ka-
kek dapat menguasai diri. Si kakek memukul lan-
tai gua satu kali. Dia juga berseru keras. "Jin se-
sat, kembali...!"
Seketika itu juga di mulut gua terdengar sua-
ra deru. Hembusan angin yang masuk ke dalam
gua berputar-putar. Tangan Besi kembali men-
cium bau bangkai. Kemudian muncul sosok tipis
dalam ujud mahluk raksasa berambut lebat.
Secara perlahan sosok besar itu kembali me-
mudar menjadi kabut. Kemudian segera bergerak
masuk ke dalam mulut si kakek yang telah terbu-
ka.
Dua tangan si kakek yang bersilangan di de-
pan dada segera disentakkan. Bersamaan dengan
gerakan tangan, mata orang tua ini terbuka. Wa-
jah si kakek tampak letih dan bersimbah keringat.
Kemudian dengan tatapan mata kuyu namun pe-
nuh keyakinan dia berkata. "Pulanglah kau! Aku
menyanggupi permintaan Sobari. Pembantuku jin
sesat boleh tak sanggup menghadapi orang itu.
Tapi aku Setan Santet Delapan Penjuru punya se-
ribu cara untuk mendapatkan yang kuinginkan.
Beri aku waktu beberapa hari. Jika dalam waktu
yang kujanjikan aku tak datang menemui pange-
ranmu, berarti jangan kau harapkan pertolon-
ganku lagi."
Lega hati Tangan Besi mendengarnya.
Dia menjura hormat ke arah kakek di depan-
nya. Setelah itu Tangan Besi berkata. "Baiklah.
Sekarang aku mohon pamit." Ujar Tangan Besi.
Si kakek anggukan kepala.
Tangan Besi bangkit berdiri. Kemudian dia
segera tinggalkan ruangan itu. Seperginya Tangan
Besi, Mbah Dukun tersenyum sinis. "Benda itu
memang harus kutemukan, tapi begitu kuda-
patkan tak mungkin kuberikan pada siapapun."
Dengus si kakek.
"Hanya aku yang patut dapatkan benda itu,
aku pula yang berhak menyimpannya. Ha ha ha!"
kata si kakek sambil tertawa tergelak-gelak.
6
Ledakan yang demikian kerasnya membuat
pendekar Sakti 71 terlempar sejauh belasan tom-
bak. Pemuda ini lalu jatuh menggelinding ke arah
lereng bukit.
Dia menggeliat, sedang mulutnya merintih tak
berkeputusan. "Aduh sakitnya biyung. Kepalaku
sakit seperti mau meledak, perut mual ingin
kencing ingin berak."
Dengan terhuyung-huyung sambil bangkit
berdiri dia pegang kepalanya. Sedang mata me-
mandang jelalatan.
Dia tidak menemukan orang yang dicari. Gu-
runya maupun Anggagini tak ada di sekitar situ.
Karena kepala masih sakit dan matanya berku-
nang-kunang, maka diapun duduk di atas rum-
put. Beberapa kali dia gelengkan kepala untuk
mengusir rasa pusing.
Pada saat dirinya dalam keadaan sedemikian
rupa, tiba-tiba meluncur sebuah benda berwarna
kuning menghantam kepalanya.
Blak!
Benda yang menimpa kepala itu kemudian ja-
tuh di atas pangkuan. Setelah diteliti ternyata se-
buah rambutan. Gento layangkan pandang ke se-
genap penjuru arah. Tidak ada yang terlihat ter-
kecuali pepohonan yang tumbuh di sekitar bukit.
"Siapa yang berani berbuat kurang ajar pada-
ku?" fikir Gento. Dia kemudian berteriak. "Hei,
siapa yang melemparku?"
"Hi hi hi. Pemuda tolol siapa yang melempar-
ku? " kata satu suara.
Mendengar suara mencemo'oh Gento berkata.
"Aku memang tolol. Lalu kau yang merasa orang
pintar apakah begitu pengecut tak berani tunjuk-
kan diri?" Gento mendengus disertai senyum
mengejek.
"Kau mengatakan aku pengecut? Coba lihat
baik-baik." Setelah berkata begitu satu bayangan
putih berkelebat dari balik kelebatan pohon. Se-
cepat kilat sosok itu bergerak ke arah Gento lalu
lakukan serangkaian serangan gencar.
Gento terkesiap mendapat serangan yang ber-
langsung cepat itu. Lebih kaget lagi begitu me-
nyadari datangnya serangan begitu mematikan
dan mengincar bagian tubuh yang lemah.
"Hebat agaknya kau setan gila, sehingga begi-
tu datang menyerang orang yang tidak berdosa."
Desis Gento.
Dengan gerakan tidak kalah cepat sang pen-
dekar melesat ke udara, lalu berjumpalitan dekati
lawan. Kemudian dengan cepat pula tangan si
pemuda menyambar ke depan.
"Aih, pemuda sialan, manusia kurang ajar!"
maki sosok berbaju putih sambil tekap bagian
dada. Sosok ini kemudian balikkan badan lalu
meluncur ke bawah dan jejakan kaki di atas ta-
nah.
Melihat orang tidak menyerangnya lagi Gento
pun melesat turun kemudian jejakkan kaki dua
langkah di depan sosok berpakaian putih.
Sang pendekar memandang ke depan. Dia
kemudian jadi melengak kaget begitu melihat so-
sok berkepala botak itu.
"Kau... rasanya aku pernah mengenalmu,
pemuda cakep berkepala botak. Jika tidak salah
aku menduga bukankah kau orangnya yang ber-
nama Takga alias Botak ke tiga?"
Sosok berpenampilan seperti seorang pemuda
itu tertawa merdu. Dengan sinis dia berkata. "Kau
salah mengenali orang. Otakmu yang miring ru-
panya masih belum lempang hingga kau tak da-
pat mengingat aku. Aku adalah Taktu alias Botak
ke satu." menjelaskan pemuda berkepala botak
itu. Untuk lebih jelasnya siapa Taktu, (silahkan
anda baca episode tabib setan).
"Botak ke satu. Sekarang aku baru ingat bu-
kankah kau orangnya yang bernama Ararini? Ka-
sihan sekali, sejak dulu sampai sekarang ram-
butmu botak terus. Yang tumbuh justru tonjolan
bisul di dada. Ha ha ha."
"Kau tidak tahu keadaanku yang sebenarnya.
Tak usah bicara sembarangan. Kau sendiri du-
lunya adalah seorang pecundang. Apakah kau in-
gat bagaimana ketika tabib setan menjitaki kepa-
lamu ketika kau kalah bertarung denganku? Hi
hi."
Gento terdiam, mulut tersenyum. Ingat pada
peristiwa yang terjadi dimasa kecilnya memang
membuat wajah sang pendekar jadi memerah.
Tapi dia kemudian masih tertawa cengengesan.
"Waktu itu segalanya cukup memalukan. Tapi
kau jangan lupa aku pernah menolongmu juga
membantu gurumu Sang Cobra. Satu lagi yang
tak boleh kau lupakan. Aku pernah berjanji akan
menjajaki jurus-jurus silatmu."
"Pemuda sinting, aku tak akan pernah melu-
pakan kejadian itu. Kalau kau mau menjadi pe-
cundang lagi, silakan saja. Kau pasti tak bakal
menang !" dengus Taktu.
"Tunggu, sebelum kita memulai aku ingin
mengetahui sesuatu."
"Apa yang ingin kau ketahui?"
"Ee... aku tidak melihat dua saudaramu yang
lain. Kemana Takwa dan Takga?" tanya Gento.
Seperti telah diketahui Takwa dan Takga adalah
saudara seperguruan Ararini.
"Buat apa kau tanyakan mereka?"
"Aku hanya ingin memastikan agar tidak ter-
jadi kecurangan. Dulu kalian pernah menge-
royokku! Ha ha ha."
Wajah cantik Taktu bersemu merah. Dengan
suara lantang dia mendamprat. "Untuk mengha-
dapi pemuda sepertimu perlu apa main keroyok.
Dengan kedua tanganku sendiri aku bisa meng-
gebukmu."
Gento tersenyum. "Kau nampaknya terlalu
yakin dengan kemampuan yang kau miliki."
"Sejak dulu aku memang yakin dengan ke-
mampuan diri sendiri. Sekarang tunggu apa lagi?
Aku siap menghadapimu." Tantang Taktu.
"Hmm, sebenarnya saat ini aku sedang risau
memikirkan guruku."
"Aku sudah tahu. Gurumu dan gadis baju
kuning itu sudah pergi. Mungkin mereka me-
nyangka engkau sudah mati dihantam pusaran
angin hitam tadi." Dengus sang dara ketus.
Sang pendekar berjingkrak kaget. Dia tentu
tak menyangka Taktu mengetahui kejadian aneh
yang menimpa mereka.
"Jadi kau tahu pusaran angin dan awan tadi
menghantam kami?" tanya Gento seolah tak per
caya.
"Dasar pemuda tolol. Rupanya kau masih be-
lum tahu bahwa dibalik pusaran angin tadi ber-
lindung seseorang yang dikenal dengan julukan
Iblis Awan Hitam?"
Gento gelengkan kepala.
"Aku tidak tahu. Aku juga belum bisa memas-
tikan apakah iblis itu yang telah mendapatkan
Sengkala Angin Darah."
"Mengenai pertanyaanmu itu tak bisa kupas-
tikan. Aku hanya mengikuti orang tadi." Jelas
Taktu.
"Jika begitu aku harus menyusul guruku se-
kaligus mencari tahu di tangan siapa benda maut
itu kini berada." Setelah berkata begitu sang pen-
dekar balikkan badan siap melangkah pergi. Te-
tapi Taktu lakukan satu gerakan cepat. Di lain
saat dia telah berdiri menghadang di depan Gen-
to.
"Heh, kau hendak berbuat apa?"
Taktu tersenyum sinis. "Apakah kau telah lu-
pa dengan ucapanmu sendiri? Bukankah kau
menantang aku? Jika hari ini tidak kulayani, ke-
lak di kemudian hari kau pasti mengatakan diriku
manusia pengecut!"
"Untuk sementara kuharap kau melupakan
masalah tantangan itu." kata Gento mengalah.
"Tidak bisa begitu. Kalau kau tidak mau aku
pasti memaksamu!" tegas Taktu tetap ngotot.
Gento menarik nafas pendek. "Kau rupanya
manusia keras kepala. Baiklah tapi jika kau kalah
apakah kau mau menjadi kekasihku? Ha ha ha."
Wajah Taktu bersemu merah. Matanya men-
delik memandang geram pada sang pendekar.
"Sejak kecil sampai sekarang rupanya kau
masih saja bicara sombong bermulut besar. Tin-
dakanmu yang meremehkan orang lain dapat
mencelakakan dirimu sendiri. Lihat serangan...!"
teriak Taktu. Sang dara tiba-tiba saja berkelebat
ke depan.
"Hei... tunggu...!" Gento tidak sempat lagi me-
lanjutkan ucapannya karena pada saat itu dua
tangan Taktu telah menyambar tenggorokan dan
ke dua matanya.
Meski sempat terkejut melihat serangan Tak-
tu yang maju pesat, Gento tarik kepalanya ke be-
lakang. Dia menggunakan jurus Congcorang Ma-
buk untuk menghadapi lawan. Secepat kilat den-
gan jemari tangan di tekuk dan tubuh bergoyang-
goyang kaki si pemuda menyambar perut, se-
dangkan tangan bergerak menghantam dagu.
Plak!
Duk!
Dess!
Dua serangan Taktu yang ganas dapat dipa-
tahkan oleh si pemuda, sedangkan kakinya me-
nyambar perut. Gadis itu terjajar ke belakang.
Taktu tidak mengeluh, sebaliknya diam-diam
menjadi kaget tak menyangka Gento yang dite-
muinya belasan tahun yang lalu tidak sama den-
gan Gento yang dia hadapi saat ini.
"Kau pasti kalah. Kau harus menjadi keka
sihku. Ha ha ha." Berkata pemuda itu sambil ber-
kacak pinggang.
"Manusia sombong. Baru bisa membuatku
terjajar bukan berarti kau telah mengalahkan
aku!" belum lagi gema suara teriakan Taktu le-
nyap. Laksana mata pedang dua kaki Taktu ber-
gerak lincah. Setiap ujung kaki menyentuh batu,
maka batu-batu itu melayang melesat menghan-
tam sang pendekar.
Serangan batu yang datang laksana curah
hujan ini bukan serangan biasa karena selalu te-
rarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Dengan mengandalkan ilmu meringankan tu-
buh dan gerak cepat laksana elang menyambar
pemuda ini berkelebat di udara. Gento yang su-
dah mengerahkan tenaga saktinya ke bagian tan-
gan segera menghantam.
Dess! Dess!
Angin dingin menderu dari tangan pemuda
itu, lalu bergerak sedemikian rupa sesuai dengan
berputarnya tangan. Dan batu-batu itu segera
berbalik menghantam ke arah Taktu dengan ke-
cepatan berlipat ganda begitu membentur tangan
Gento.
Selagi Taktu dibuat sibuk, sang pendekar me-
luncur ke bawah. Tangan kiri terjulur terarah ke
bagian kepala, sedang tangan kanan meluncur ke
bagian dada.
Serangan yang mengarah ke bagian dada ini
sebenarnya hanya tipuan saja karena begitu Tak-
tu memaki sambil lindungi dadanya Gento belok
kan serangan ke bagian perut.
Dess!
Satu pukulan keras melabrak perut Taktu.
Tapi tak terduga Taktu tanpa menghiraukan rasa
sakit segera melompat ke atas. Sambil berkelebat
tangannya masih sempat mengemplang kepala
Gento. Gento memekik keras, dia merasakan ke-
palanya yang dikemplang orang seperti mau mele-
tus.
''Bagus, semula aku menyangka kau hanya
membawa gunung. Tidak disangka ternyata kau
membawa palu godam juga, ha ha ha."
"Pemuda keparat, sebaiknya kau mampus!"
teriak Taktu sambil melepaskan pukulan tangan
kosong.
"Ah teganya kau hendak membunuh kekasih
sendiri. Dimana letak kasih sayangmu?" cibir si
pemuda menggoda, namun dia tetap dorongkan
kedua tangannya menyambuti pukulan lawan.
"Kasih sayang edan. Kurasa dia telah pergi ke
akherat." Sahut Taktu geram.
Jauh di dalam hati sebenarnya Taktu merasa
penasaran karena pemuda yang dimasa kecil per-
nah dia pecundangi ternyata kini memiliki ilmu
kepandaian yang sangat luar biasa.
"Kepada siapa setan gondrong ini berguru?
Tak mungkin si gendut sinting itu mengajarkan
ilmu sehebat ini."
Buum!
Benturan keras tidak dapat di hindari lagi.
Lereng bukit bergetar. Akibat ledakan membuat
Taktu terpental tinggi di udara. Sedangkan Gento
amblas ke dalam tanah sampai setinggi lutut. Oh
kekasihku. Bagaimana kau bisa terbang tinggi.
Padahal kau tidak punya sayap. Mulut berkata
begitu padahal dalam hati dia memaki karena
ternyata tidak mudah membebaskan kedua kaki
yang terjepit tanah. Tak punya pilihan lain si pe-
muda segera kerahkan tenaga dalamnya yang
bersumber dari bagian pusat, kening dan pung-
gung.
Di atas sana Taktu kembali mendamprat.
"Pendekar sinting sekarang bersiaplah menerima
kenang-kenangan dariku."
Dalam keadaan mengambang di atas keting-
gian gadis itu memutar tangannya. Setelah itu
dengan cepat tangan dihantamkan ke arah Gento.
Secara berturut-turut sinar merah, biru hitam
kekuning-kuningan menderu dari telapak tangan
si gadis. Berturut-turut pula sang pendekar me-
rasakan adanya hawa panas dan dingin menyam-
bar tubuhnya.
Gento terkesiap, tapi dua jengkal lagi pukulan
itu menghancurkan tubuhnya, pada waktu ber-
samaan pula dari bagian kening Gento membersit
sinar putih laksana perak memapas habis lima la-
rik sinar maut yang dilepaskan Taktu.
Gento melompat setelah menarik ke dua ka-
kinya yang terpendam. Begitu dua kakinya berada
di atas tanah dia gerakkan tangannya ke arah
empat pohon besar di sebelah kanan, empat po-
hon bertumbangan.
Gento kembali sentakkan tangannya. Empat
pohon besar yang masih beranting dan berdaun
lebat melesat di udara menghantam ke arah Tak-
tu secara susul-menyusul.
Si gadis jadi terkesiap, jantungnya seolah
berhenti berdenyut. Dengan tubuh bersimbah ke-
ringat dingin dia cabut pedangnya. Dengan pe-
dang di tangan Taktu mengamuk seperti orang gi-
la. Dalam waktu singkat daun maupun ranting-
ranting pohon rambas berguguran. Empat pohon
menjadi gundul. Kemudian ketika melihat ke em-
pat pohon yang digunakan untuk menyerang be-
rubah menjadi potongan kecil Gento pun tarik ba-
lik tenaga dalamnya.
Empat batang pohon jatuh berdebum. Taktu
sendiri segera jatuhkan diri. Dia duduk dengan
nafas megap-megap, wajah pucat pakaian ber-
simbah keringat.
Nampaknya Taktu terlalu menguras banyak
tenaga ketika menghadap serangan pohon-pohon
tadi.
Sekejap lamanya Gento memperhatikan seke-
lilingnya yang porak poranda. Setelah itu dia be-
ralih pada Taktu.
Gento tak dapat menahan tawa melihat Taktu
yang kuyu, meski jauh di lubuk hati terselip juga
rasa kasihan.
"Jurus pedangmu ternyata cukup hebat, Tak-
tu. Tapi kau jelas tak bisa mengalahkan aku. Kini
apakah kau telah siap menjadi kekasihku?" tanya
Gento.
Sekujur tubuh Taktu menegang, matanya
mendelik sedang mulut terkatup rapat. Dia men-
jadi kesal, marah dan jengkel pada diri sendiri.
Sama sekali dia tak menyangka pemuda itu dapat
menjatuhkannya. Jauh di lubuk hati dia memang
harus mengakui kehebatan Gento, Ilmu pemuda
itu sekarang sudah berada jauh di atasnya.
"Gondrong, sekarang dengan jujur aku men-
gakui segala kehebatanmu. Aku mengaku kalah!"
Gento sama sekali tidak merasa tersanjung.
Sebaliknya dia malah menggoda.
"Apakah kini kau sudah bersedia menjadi ke-
kasihku?"
Taktu tersipu, lalu palingkan wajahnya ke ju-
rusan lain. "Dari pada bicara tidak berguna bu-
kankah lebih baik kita cari gurumu atau benda
sakti itu?" ucapnya tanpa berpaling pada Gento.
"Hhh, jadi kau mau ikut denganku? Tapi
mengapa kau tidak mau menjawab pertanyaan-
ku?"
"Buat apa aku melayani pertanyaan gila. Jo-
doh, hidup matinya seseorang ada di tangan Gus-
ti Allah. Maka lebih baik kau bertanya kepa-
danya."
"Bagaimana aku bisa bertanya pada Tuhan?"
"Gampang. Kau mati saja dulu." Sahut gadis
itu disertai tawa.
Gadis itu kemudian sarungkan pedangnya.
Setelah itu dia melangkah pergi. Gento segera
mengikutinya.
7
Telaga setan terletak di puncak bukit di sebe-
lah selatan Kediri. Air di telaga itu demikian ke-
ruhnya. Sewaktu-waktu air telaga bisa hilang raib
entah kemana.
Saat itu matahari belum lagi menampakkan
diri. Hawa dingin demikian mencucuk. Di pinggir
telaga di atas altar batu bundar berwarna hitam
terlihat satu pemandangan mengerikan. Sedikit-
nya sembilan ekor ular dalam keadaan bergelung
melingkari sosok tubuh berpakaian ala kadarnya.
Sementara itu di lereng bukit satu sosok ber-
pakaian serba kuning nampak berkelebat menuju
ke bagian puncak bukit, sosok berbadan ramping
itu nampaknya dalam keadaan tergesa-gesa.
Tak lama setelah melewati semak belukar
berduri sosok berpakaian kuning yang ternyata
adalah seorang gadis berambut panjang sampai di
tepi telaga. Sejenak si gadis mengatur nafas yang
agak memburu, sedangkan mata memandang ke
arah telaga yang mengepulkan uap kebiru-biruan.
"Telaga ini yang dinamakan telaga setan. Aku
tidak melihat Iblis Ular Sembilan ada di sekitar
sini." Kata sang dara. Dia lalu melangkah ke sisi
sebelah kanan telaga. Di satu tempat tak jauh da-
ri batu bundar langkah si gadis mendadak ter-
henti. Sepasang matanya terbelalak lebar me-
mandang lurus ke arah batu dimana dia melihat
sedikitnya sembilan ular hitam berbelang kuning
menggelungi sosok tubuh bertelanjang dada.
"Iblis Ular Sembilan?" desis sang dara kecut.
Dengan perasaan jijik si gadis kitarkan pan-
dangan. Mata memandang ke segenap sudut pen-
juru. Gadis ini jadi gelisah, pikirannya tidak te-
nang. Kemudian dia memutuskan untuk me-
manggil Iblis Ular Sembilan. Belum lagi dia laksa-
nakan niatnya. Sembilan ular yang bergelung ke-
luarkan suara desis. Ular-ular itu agaknya men-
getahui kehadiran sang dara. Terbukti mereka se-
gera bergerak, angkat kepala dan siap menyerang.
Si gadis mengusap tengkuknya. Dia lalu kem-
bali memandang ke arah batu bundar. Dia terke-
jut ketika melihat seorang Laki-laki renta berwa-
jah tirus berkulit hitam duduk di sana. Sosok itu
sama sekali tidak berpakaian.
Auratnya terbungkus secarik kain hitam. Se-
dangkan wajahnya yang keriput nampak demi-
kian kurusnya tidak ubahnya seperti tengkorak
terbalut kulit.
Melihat penampilannya saja sang data ra-
sanya sudah mau pingsan. Dia yang ingin bicara
mendadak seperti kehilangan kata-kata.
Tapi akhirnya dia memberanikan diri juga.
Dengan suara bergetar dia ajukan pertanyaan.
"Aku Pandan Arum. Apakah benar saat ini sedang
berhadapan dengan Iblis Ular Sembilan?"
Di depan sana kakek muka jerangkong mem-
buka matanya yang cekung. Dua bola mata me-
mandang lurus ke arah si gadis. Melihat siapa
yang datang tenggorokan si kakek bergerak naik
turun. Dua matanya timbul tenggelam, sedang-
kan lidahnya yang bercabang dan berwarna hitam
nampak terjulur.
"Tua bangka ini ternyata bukan cuma julu-
kannya saja ular. Tapi lidahnya juga bercabang
seperti ular." Batin Pandan Arum mendadak dia
merasa tengkuknya menjadi dingin.
"Di pagi buta aku kedatangan seorang dara.
Seorang gadis yang kuanggap dapat memanaskan
hasrat yang menggelora. Rejekiku besar. Katakan
siapa namamu tadi gadis cantik. Ha ha ha."
Meskipun geram mendengar kata-kata yang
diucapkan si kakek, tapi Pandan Arum terpaksa
memendam kemarahannya karena dia membu-
tuhkan kakek itu. "Aku Pandan Arum. Kekasihku
Pasadewa menyuruhku untuk bertemu dengan-
mu."
"Kekasihmu... Pasadewa kekasihmu. Nama
itu sepertinya tak asing di telingaku." Gumam si
kakek.
"Pasadewa adalah pemuda sakti yang memili-
ki tunggangan rajawali siluman. Dia dikenal di
empat penjuru angin, mungkin kau juga menge-
nalinya."
Kening si kakek berkerut. Dia kemudian ter-
tawa. Tawa dingin yang membuat tengkuk Pan-
dan Arum merinding.
"Pasadewa manusia cerdik yang punya ambisi
dan cita-cita tinggi. Aku pernah mengenalinya.
Lalu gerangan apa yang membuatmu datang ke-
mari?"
"Kekasihku berpesan agar kau sudi berga-
bung dengannya guna mendapatkan Sengkala
Angin Darah." Jelas Pandan Arum.
Lagi-lagi si kakek umbar tawanya mendengar
ucapan si gadis.
"Seumur hidup aku belum pernah diperintah
orang. Bagaimana mungkin bocah ingusan seperti
kekasihmu itu berani-beraninya memerintahku?"
"Aku tidak tahu. Aku cuma ditugaskan. Aku
cuma ditugaskan menyampaikan pesan. Setelah
pesan kusampaikan setuju tidaknya semua terpu-
lang kepadamu!"
Si kakek terdiam, nampaknya dia tengah ber-
fikir. Dua matanya yang liar menjelajahi tubuh
padat si gadis. Tak lama kemudian dia berkata.
"Tawaran Pasadewa itu mungkin saja bisa kute-
rima, asal kau bersedia memberi ku kesenangan."
Berkata si kakek sambil tersenyum.
Pandan Arum tercengang mendengar ucapan
kakek jerangkong itu. Dia tidak menduga si kakek
meminta sesuatu yang tak mungkin dia kabul-
kan. Melihat tampang Ular Iblis Sembilan saja
Pandan Arum merasa hendak muntah, apalagi ji-
ka harus melayani keinginannya.
"Kau tidak perlu memikirkan baik buruknya,
Pandan Arum. Permintaanku kuanggap sebagai
imbalan dari harapan Pasadewa." Ujar si kakek.
"Cinta suciku hanya kupersembahkan pada
Pasadewa. Bagaimana mungkin aku tega
mengkhianatinya?" dengus sang dara marah.
"Aku tidak meminta cintamu, aku hanya in
ginkan tubuhmu. Aku cuma sekali bicara, kalau
kau menolak penolakanmu bisa membuat kau
kehilangan kesempatan hidup!"
"Eh, apa maksudmu?"
Si kakek memungut ular hitam berbelang
kuning di depannya. Dia lalu menciumi binatang
menjijikkan itu sambil berkata. "Iblis Ular Sembi-
lan cukup hanya memberi perintah. Kemudian
salah satu ular ini akan mematukmu. Kau mati
seketika dan tak mungkin lagi bertemu dengan
kekasihmu."
Mendidih darah Pandan Arum mendengar an-
caman si kakek. Ingin dia melabrak si kakek
meskipun sadar dirinya tidak mungkin unggul
menghadapinya. Tapi belum lagi sempat melaku-
kan apa yang menjadi niatnya. Pada waktu itu li-
dah si kakek yang bercabang terjulur panjang. Li-
dah itu kemudian menjilat mulut dan hidung
Pandan Arum.
Melihat gerakan lidah yang dapat memanjang
bukan main kagetnya sang dara. Dia berusaha
menghindar, namun gerakan yang dilakukannya
kalah cepat dengan gerakan lidah Iblis Ular Sem-
bilan.
Tak pelak lagi mulut dan hidung sang dara
terkena sambaran lidah kakek itu.
"Tua bangka keparat!" damprat si gadis. Dia
menyeka mulut dan hidungnya yang terkena air
ludah. Pada saat itulah dia mencium bau sesuatu
yang tidak sedap. Bau busuk yang membuat ke-
palanya pusing seketika.
Darah Pandan Arum menggelegak seperti ter-
bakar. Ketika dia memandang ke depan dalam
pandangannya sosok si kakek entah mengapa be-
rubah menjadi pemuda tampan luar biasa.
Sang dara merintih lirih. Dia jatuh terduduk,
sekujur tubuhnya menjadi panas diamuk rang-
sangan. Iblis Ular Sembilan tertawa mengekeh.
"Pada akhirnya kau jatuh di dalam pelukan-
ku. Sekarang kau baru mengerti lidahku dapat
merubah keadaan. Mari kita bersenang-senang,
setelah itu baru aku bersedia memenuhi permin-
taan kekasihmu Pasadewa. Ha ha ha!"
Selesai berkata si kakek segera melompat ke
depan Pandan Arum. Tubuh itu kemudian dibo-
pongnya. Setelah Iblis Ular Sembilan berkelebat
ke arah pondok tersembunyi tak jauh dari telaga
dengan diikuti oleh kesembilan ularnya.
Sesampainya di dalam gubuk si kakek menci-
umi Pandan Arum. Sebentar saja pakaian sang
dara sudah tak karuan rupa. Anehnya sang dara
tidak menolak. Dirinya yang sudah berada dalam
pengaruh sirapan malah membalas tak kalah
hangatnya.
Si kakek makin bersemangat. Ketika dia hen-
dak melampiaskan kekejiannya tak terduga men-
dadak terdengar suara suitan panjang. Suara sui-
tan disusul dengan suara bergelak membuat gu-
buk bergoyang berderak-derak seperti dihantam
puting beliung.
Si kakek tersentak kaget. Cepat dia bangkit
berdiri, lalu meninggalkan Pandan Arum yang berada dalam pengaruh sirapan.
Dia lalu berdiri tegak di mulut gubuk. Sepa-
sang matanya timbul tenggelam memperhatikan
keadaan di sekitarnya. Tapi dia tidak melihat ada
orang di sekitar situ.
"Jahanam yang baru keluarkan siulan. Harap
tunjukkan diri!"
Kembali suara siulan menyahuti ucapan si
kakek. Kemudian ada angin berhembus yang dis-
usul dengan suara ledakan. Semua itu terjadi di
depan hidung si kakek. Asap dan debu membum-
bung tinggi. Ketika kepulan asap yang menyeli-
muti lenyap. Kini di depan Iblis Ular Sembilan
berdiri tegak seorang kakek tua berambut putih.
Kakek itu memakai daster seperti baju hamil ber-
warna biru. Sementara di pinggangnya tergantung
sebuah kendi terbuat dari perunggu berwarna pu-
tih. Sedangkan dari mulut kendi mengepul uap
putih seperti es.
Melihat dandanan serta penampilan kakek sa-
tu in!, siapapun yang melihatnya pasti tidak da-
pat menahan tawa. Betapa tidak. Begitu muncul
si kakek tampak sibuk dan selalu kerepotan
membenahi daster maupun topi tingginya yang
kedodoran.
8
Biarpun penampilan si kakek berdaster biru
selalu mengundang tawa, tapi Iblis Ular Sembilan
yang merasa keinginannya tidak kesampaian ka-
rena kehadiran si kakek daster biru malah men-
jadi berang.
Dengan bengis dia membentak. "Kunyuk gila
berdaster biru! Berani kau hadir di Telaga Setan.
Kau bahkan berani mengganggu kesibukan orang
apakah tidak takut mati?"
Si daster biru tidak bergeming, malah dia
dongakkan kepala. Sejenak dia benahi topi ting-
ginya yang berwarna biru. Setelah topi terpasang
sebagaimana seharusnya dia tertawa tergelak-
gelak.
"Mengobrak-abrik pakaian orang, ingin men-
coba melampiaskan nafsu bejat apakah itu yang
kau sebut sebagai kesibukan?" tanya si kakek
sambil berkacak pinggang.
Merasa diremehkan dan sadar orang telah
mengetahui perbuatannya Iblis Ular Sembilan
membentak. "Pengintip tengik. Apa yang kami la-
kukan atas dasar suka sama suka. Kau jangan
bicara sembarangan di depanku!"
"Hak hak hak. Aku Ki Comot Jalulata, tukang
sulapan dan seorang ahli sihir di tujuh penjuru
bumi, mana mungkin kena dibodohi orang. Ter-
nyata benar seperti kata pepatah lidah tidak ber-
tulang. Benar pula kata orang lidahmu yang ber-
cabang itu berlumur racun keji hingga setiap pe-
rempuan lemah iman terperangkap bujuk rayu-
mu. Iblis Ular Sembilan, kau jangan mencoba
bersilat lidah denganku. Atau mungkin kau ingin
aku merubah lidahmu menjadi sebuah tali yang
melilit lehermu sendiri?"
Iblis Ular Sembilan terperangah. Sama sekali
dia tak menduga orang mengetahui siapa dirinya.
Di tatapnya kakek yang berdiri di depan sana
dengan sorot mata menyelidik. Kini dia baru ingat
ahli sihir yang satu ini sangat jarang sekali mun-
cul di dunia persilatan. Konon dia lebih banyak
mengasingkan diri di daerah Barat Jawa. Dia ta-
hu selain ilmunya sangat tinggi. Ki Comot Jalula-
ta sangat ahli pula dalam hal permainan sihir. Si
daster biru ini tidak sendiri, dia masih punya dua
saudara Laki-laki kembar yang sama miring otak-
nya. Kedua saudaranya itu adalah Ki Betot Segala
dan Ki Edan Samberata.
Iblis Ular Sembilan tidak melihat dua saudara
Ki Comot Jalulata bersamanya. Baginya ini meru-
pakan suatu keuntungan. Dia yakin dengan mu-
dah pasti bisa menghabisi lawan secepatnya.
Sambil tersenyum dia berkata. "Kakek gila kau
datang sendiri? Begitu muncul kau berani men-
gancam. Apakah kau tidak menyadari sedang be-
rada dimana?"
"Ha ha ha. Sedang berada dimana ya?" gu-
mam Ki Comot dengan lagak seperti orang bin-
gung. Kalau tidak salah aku sedang berada di
tempat mesum. Oh ya... mengenai saudaraku itu
mereka punya kaki. Mereka pergi kemana buat
apa kau bertanya?" setelah menjawab Ki Comot
Jalulata mengumbar tawa. Iblis Ular Sembilan
merasa darahnya mendidih. Kali ini dia benar-
benar merasa diremehkan orang. Dengan suara
bergetar dia menggeram." Kedatanganmu kesini
tanpa seizinku. Kini kau berani mengusik kete-
nanganku. Dua alasan itu sudah cukup bagiku
untuk membunuhmu seratus kali."
Ki Comot Jalulata tersenyum. Kembali dia
benahi topinya yang miring. Kemudian enak saja
dia berkata. "Yang kuganggu bukan ketenangan-
mu. Kau merasa terusik karena tak sempat ber-
buat keji. Kau mengatakan aku datang tanpa izin,
padahal aku telah memintanya pada seseorang."
"Kurang ajar, kau minta ijin pada siapa?"
hardik Iblis Ular Sembilan berang.
Sambil tersenyum-senyum Ki Comot Jalulata
menjawab. "Masa kau sudah lupa. Bukankah aku
sudah minta ijin sama bapak emakmu yang mati
penasaran dipancung perwira Kediri?"
Disambar petir Iblis Ular Sembilan rasanya
tak akan seterkejut itu. Yang dikatakan Ki Comot
Jalulata memang sebuah kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri. Ayah Iblis Ular Sembilan dulunya
juga manusia keji yang banyak melakukan berba-
gai kejahatan. Dan memang benar dia tewas di
tangan perwira Kediri. Tapi bagaimana Ki Comot
Jalulata bisa sampai mengetahui prihal ayahnya.
Padahal kejadian itu telah berlangsung seratus
tahun lalu.
"Kau tak usah bingung. Aku seorang ahli sihir
yang selalu gentayangan di tujuh lapis bumi. Aku
baru saja bertemu dengan ayahmu. Ha ha ha."
"Bertemu ayahmu? Dimana?"
"Di neraka... hahaha." Sahut Ki Comot Jalula
ta disertai tawa tergelak. Mata cekung yang men-
jorok ke dalam rongga itu seperti mau melompat
keluar. Iblis Ular Sembilan menggerung, tanpa bi-
cara dia jejakkan kakinya dengan satu hentakan
keras. Puncak bukit bergetar akibat hentakan ka-
ki si kakek. Bersamaan dengan itu sembilan ular
beracun melesat dari tiga penjuru arah. Di lain
waktu dalam waktu sekejap tubuh si kakek telah
dilingkari sembilan ular hitam berbelang kuning
yang masing-masing kepalanya terdongak meng-
hadap ke arah Ki Comot Jalulata.
Melihat sembilan ular bergelung melingkari
tubuh lawan, Ki Comot Jalulata tertawa tergelak-
gelak meskipun hatinya sempat tercekat. Tapi si
kakek sendiri tetap bersikap tenang. Malah sam-
bil tersenyum orang tua ini berkata. "Iblis Ular
Sembilan, saat ini kau sedang berhadapan den-
gan seorang ahli sihir. Nama besarmu boleh
membuat gentar dunia persilatan. Kau bakal me-
nyesal menggunakan ular-ular itu."
Iblis Ular Sembilan hanya mendengus.
Ki Comot Jalulata kerahkan ilmu menipu
pandang. Dia segera tarik daster biru yang menu-
tupi kaki. Di balik daster si kakek turunkan cela-
na ke bawah. Astaga! Bagian bawah perut si ka-
kek ternyata licin tanpa aurat. Ki Comot Jalulata
turunkan kembali dasternya. "Kau tahu aku da-
lam keadaan polos. Aku bisa memindahkan ke-
punyaanmu jika aku mau."
"Kakek jahanam lebih baik kau mati!" berkata
begitu Iblis Ular Sembilan jentikkan tangannya ke
atas. Terdengar suara letusan dan kiranya itu
adalah sebuah isyarat bagi sembilan ular peliha-
raannya.
Sembilan ular buka mulutnya. Kemudian
dengan gerakan laksana terbang sembilan ular
melesat ke udara bergerak lurus menyerang Ki
Comot Jalulata. Si kakek berusaha mengelak, tapi
gerakan berkelit yang dilakukannya kalah cepat
dengan gerakan ular-ular yang menyerangnya.
Sembilan ular menghujam di tubuh si kakek
membuat orang tua ini menjerit kesakitan.
Tak lama tubuh si kakek hancur tercabik-
cabik digerogoti sembilan ular berbisa ini. Ketika
tubuh itu ambruk, yang terlihat kini hanya beru-
pa tengkorak dan tulang belulang yang berwarna
putih kemerahan berlumuran darah.
Melihat kejadian ini meledaklah tawa Iblis
Ular Sembilan. "Ternyata hanya begitu saja keku-
atan yang dia miliki. Aku sudah tahu siapapun
orangnya pasti tidak bakal sanggup mengalahkan
serangan sembilan ular mautku. Ha ha ha." Den-
gus si kakek jerangkong sinis.
Tapi selagi si kakek tertawa, saat itu pula ter-
dengar suara ledakan keras.
Buus!
Begitu ledakan terjadi seketika terlihat kepu-
lan asap di depan si kakek. Begitu kepulan asap
lenyap, di depan iblis Ular Sembilan sekonyong-
konyong muncul Ki Comot Jalulata dalam kea-
daan segar bugar tidak kekurangan sesuatu apa.
Iblis Ular Sembilan terkejut bukan main. Dia
tercengang, mata mendelik mulut ternganga.
Melihat kesempatan ini Ki Comot Jalulata se-
gera gerakkan tangan kanannya ke bagian se-
langkangan lawan.
Sreet!
Setelah dapatkan apa yang dia inginkan orang
tua ini melompat mundur. Dia kemudian acung-
kan tangannya yang memegang benda berlumu-
ran darah. Sambil tertawa mengekeh Ki Comot
Jalulata berkata. "Iblis Ular Sembilan, apakah
kau lupa aku adalah seorang ahli sihir. Ular-
ularmu itu cuma bisa menyerang bayanganku.
Kau tak bakal sanggup membunuhku. Sebagai
peringatan sekarang punyamu kutahan. Untuk
sementara kau harus puasa, kelak mungkin aku
akan mengembalikannya. Tapi jika ternyata kau
tidak berubah, senjatamu ini akan kuhanyutkan
di laut. Seumur hidup kau tak bakal lagi bisa me-
rusak perempuan. Ha ha ha." Habis berkata Ki
Comot Jalulata masukkan benda berlumur darah
ke dalam kendi peraknya.
Iblis Ular Sembilan tersentak kaget. Dia tak
menyangka orang telah mengambil miliknya tan-
pa rasa sakit. Ketika dia singkapkan kain penu-
tup aurat si kakek merasa nyawanya terbang.
Benda yang berada di situ telah lenyap, polos licin
tanpa bekas. Pucatlah wajah si kakek. Dia pun
kemudian jadi kalang kabut berteriak tak karuan.
"Manusia jahanam. Kembalikan... kembalikan
punyaku...!"
Dia melabrak ke depan. Tetapi Ki Comot Jalulata yang diserangnya telah lenyap.
Sayup-sayup Iblis Ular Sembilan mendengar
suara Ki Comot Jalulata di kejauhan. "Agaknya
kau lupa, sesuai julukan Ki Comot. Aku selalu
mengambil barang milik siapa saja yang kua-
nggap tidak layak untuk dipelihara. Waktumu sa-
tu purnama. Jika kau dapat menyerahkan benda
sakti Sengkala Angin Darah, aku akan berikan
milikmu. Kalau gagal pasti ada burung yang bakal
kulepas terbang dan tidak bakal kembali lagi ke
sangkarnya. Ha ha ha!"
"Kakek terkutuk. Aku pasti akan mencarimu!"
teriak si kakek. Tapi suara teriakannya lenyap be-
gitu saja. Si kakek pun menjadi marah. Dengan
membabi buta dia melepaskan pukulan ke berba-
gai sudut penjuru. Salah satu pukulan menghan-
curkan pondok hingga Pandan Arum yang terbar-
ing di atas ranjang terlempar. Sang dara jatuh ke
atas tanah. Begitu dirinya terjatuh kesadarannya
pulih kembali. Dia terkejut ketika dapati dirinya
dalam keadaan polos. Dengan cepat dia mengam-
bil pakaian dan segera mengenakannya. Semula
dia berniat melabrak Iblis Ular Sembilan. Tetapi
urung begitu melihat Iblis Ular Sembilan ternyata
telah berdiri tegak di sampingnya dengan wajah
kuyu dan mata menerawang kosong.
"Orang tua apa yang terjadi?" tanya Pandan
Arum heran.
"Kau tidak pantas bertanya. Sekarang juga ki-
ta temui kekasihmu. Aku..." Si kakek tidak lan-
jutkan ucapannya. Pandan Arum tidak berani
bertanya lebih jauh. Dia tahu kakek itu seperti te-
lah kehilangan sesuatu. Sesuatu apa Pandan
Arum tak dapat menduganya. Tak mau mencari
perkara, Pandan Arum akhirnya memilih diam
sambil mengikuti Iblis Ular Sembilan yang telah
melesat ke arah lereng bukit.
9
Orang tua itu duduk di depan pintu gua. Se-
sekali dia mengusap rambut, cambang serta jeng-
gotnya yang putih panjang menjela.
Kemudian dia dongakkan kepala, mulut tersenyum. Dia tidak menghiraukan keadaan di se-
kitar gua yang gelap berselimut kabut. Cukup lama si kakek dalam keadaan seperti itu. Dia lalu
memandang ke depan mencoba menembus kege-
lapan. Tapi konsentrasinya terusik begitu telin-
ganya mendengar suara berdesir serta gemerisik
daun bergesekan. Dia palingkan kepala ke arah
mana suara gemerisik terdengar. Lalu mulutnya
yang tertutup kumis terbuka. "Mahluk tangan
roh, apakah engkau yang datang?"
Tidak ada jawaban. Si kakek jadi gelisah. Sekejap dia palingkan kepala melirik ke dalam gua.
Menunggu dalam kesunyian membuatnya jadi ti-
dak sabar.
Kemudian dia berteriak. "Mahluk Tangan Roh,
aku ingin kau jawab pertanyaanku. Apakah kau
sudah tuli bisu?"
Suara si kakek lenyap. Pepohonan di depan
mulut gua tampak bergoyang-goyang. Di kejau-
han sama terdengar suara lolong panjang. Suara
lolong kemudian lenyap berganti dengan suara je-
rit menggidikkan. Setelah itu terdengar pula sua-
ra tetabuhan. Suara itu demikian aneh bagai ira-
ma yang tengah menjalankan acara persembahan.
Suara tetabuhan lambat laun menghilang
dengan sendirinya, bagai ditelan angin lembah.
Sesudahnya sayup-sayup seakan datang dari ja-
rak ribuan tombak terdengar jawaban pelan se-
perti rintihan. "Empu Barada Sukma yang menja-
di tugas telah kujalankan. Telah kusebarkan ka-
bar bahwa Sengkala Angin Darah kini telah bera-
da di tangan Gentong Ketawa. Kau tak perlu lagi
mengotori tangan dengan darah musuh besarmu."
Kata satu suara, kakek yang bernama Empu Ba-
rada Sukma tersenyum. "Kau telah lakukan tugas
dengan baik, tangan roh. Gentong Ketawa pasti
akan diburu banyak pihak. Walau begitu kita tak
boleh berpuas hati. Dia bukan manusia semba-
rangan. Selusin orang berkepandaian tinggi be-
lum tentu sanggup menghabisinya. Gendut gila
itu mungkin bukan manusia. Apalagi kini kuden-
gar dia punya seorang murid. Murid yang sama
sintingnya dengan gurunya. Kita harus waspada!"
"Empu, kau adalah penguasa tunggal di lem-
bah ini. Perintahmu selain dipatuhi oleh semua
penghuni lembah sesat. Buat apa kau membuang
tenaga. Lagi pula benda itu kini ada di tanganmu.
Kau punya kesempatan memperluas daerah ke
kuasaan. Sementara muslihat kita telah termakan
oleh mereka yang menginginkan Sengkala Angin
Darah."
"Tidak, Tangan Roh! Kita justru harus mem-
persiapkan satu kekuatan. Aku takut perburuan
yang kita rencanakan mengalami kegagalan. Se-
karang kumpulkan penghuni lembah. Setelah itu
kita berangkat tinggalkan lembah ini!" belum lagi
mahluk Tangan Roh sempat menjawab, tiba-tiba
terdengar suara gemuruh datang dari selatan
lembah.
"Tangan Roh, aku mendengar suara Rajawali
Siluman. Mahluk itu hanya dimiliki oleh pemuda
bernama Pasadewa. Gerangan apa yang mem-
buatnya sampai datang kemari?" tanya Empu Ba-
rada Sukma heran.
"Kau tidak pernah datang ke rumahnya?"
tanya si kakek curiga kalau-kalau orang keper-
cayaannya salah menyebar kabar.
"Aku sungguh tidak tahu." Sahut mahluk
Tangan Roh serius.
Sementara suara kepakan sayap burung ma-
kin bertambah jelas. Kemudian di tengah suara
bergemuruh yang terdengar mendadak terdengar
pula suara teriakan yang seakan datang dari lan-
git, "Empu Barada Sukma, aku Pasadewa datang
bersama Rajawali siluman. Kuharap kau menden-
gar apa yang aku minta." Si kakek dongakkan ke-
pala ke atas. Dia melihat sosok pemuda duduk di
atas punggung rajawali putih.
"Jahanam!" sang Empu menggeram. Dia lalu
berseru ditujukan pada mahluk Tangan Roh. "Ce-
pat kumpulkan orang-orang kita, kemudian tung-
gu di lorong rahasia." Perintah si kakek.
"Baiklah. Perintah segera kulakukan!" jawab
mahluk Tangan Roh di gelapnya lembah.
Sementara di atas sana rajawali siluman ber-
putar-putar. Makin lama terbangnya makin ren-
dah. Setiap kepakan sayap sang burung membuat
pepohonan di sekitarnya bertumbangan. Si kakek
tentu saja tercengang menyaksikan kejadian itu.
Selagi Empu Barada Sukma dibuat terkesima.
Pada waktu itu terdengar suara Pasadewa.
"Empu Barada Sukma. Dari sini aku meli-
hatmu. Kau berdiri di depan mulut gua itu. Men-
gapa kau tidak menjawab pertanyaanku?" hardik
Pasadewa kesal.
"Ha ha ha. Bocah tolol, berteriak seperti orang
gila. Sebenarnya kau punya urusan apa datang
kemari?"
"Empu Barada Sukma kau jangan berlagak
pikun. Bukankah Sengkala Angin Darah ada pa-
damu?" sahut si pemuda yang masih terus berpu-
tar-putar di atas lembah.
"Sejak menetap di lembah ini belum pernah
aku gentayangan di luar sana. Bagaimana mung-
kin aku dapatkan benda itu?"
"Kau tak usah mungkir. Seseorang telah
memberi tahu aku. Benda itu memang berada di
tanganmu!"
"Yang kau katakan itu adalah sebuah fitnah
keji. Menurut yang aku dengar justru benda itu
telah didapatkan oleh seorang tokoh sakti berna-
ma Gentong Ketawa. Jika kau menghendakinya
mengapa tidak segera mencari kakek itu?"
Di atas burung tunggangannya Pasadewa
sempat dibuat tertegun. Dia menjadi bimbang.
"Gentong Ketawa? Siapa yang dimaksudkannya
itu?"
Melihat Pasadewa ragu-ragu si kakek kembali
menegaskan. "Kalau kau tak percaya dan masih
saja curiga, kau turunlah kemari. Periksa guaku
ini!" Pasadewa kembali terdiam. Tampaknya dia
mulai termakan ucapan si kakek. Terbukti dia la-
lu berkata.
"Baiklah... aku akan mencari orang yang kau
maksudkan. Tapi bagaimana jika nanti kau ter-
nyata membohongiku?"
"Aku sudah mengatakan, silahkan turun dan
periksa tempat tinggalku ini. Aku sudah tua. Aku
rela mempertaruhkan nyawa demi sebuah kejuju-
ran, tunggu apa lagi. Turunlah..!" tantang si ka-
kek.
Melihat sikap si kakek yang makin bersung-
guh-sungguh Pasadewa jadi bertambah bimbang.
Dia akhirnya berkata. "Baiklah, sekali lagi
aku mempercayaimu. Tapi ingat aku akan kemba-
li jika yang kau katakan ini ternyata hanyalah se-
buah dusta!"
Empu Barada Sukma anggukkan kepala.
Pasadewa sendiri kemudian bersama binatang
tunggangannya segera pergi meninggalkan lem-
bah itu.
Seperginya Pasadewa si kakek tidak lagi dapat
menahan tawanya. "Manusia bodoh. Mengaku
cerdik tapi tolol. Ha ha ha."
10
Setelah melakukan pengejaran sekian lama,
Saba Geni merasa sekujur tubuhnya letih bukan
main. Dia kemudian berhenti lalu menghirup
udara segar sepuas-puasnya.
Orang tua ini kemudian menyandarkan tu-
buhnya pada sebatang pohon. Sementara kedua
matanya memandang lurus ke depan.
"Agaknya untuk mendapatkan benda itu tidak
akan mudah. Kalau bukan karena kedua perem-
puan itu tentu urusanku tidak jadi begini. Kini
aku tidak tahu kemana harus mencari orang ber-
pakaian putih yang telah melarikan Sengkala An-
gin Darah."
Kakek berpakaian kembang-kembang ini ter-
cenung. Angannya melayang jauh entah kemana.
Lamunan si kakek buyar seketika begitu dia
mendengar ada suara gemeretak tak jauh di bela-
kangnya.
Seketika itu juga Saba Geni palingkan kepala
dan memandang lurus ke belakang.
Kakek ini kaget ketika melihat kehadiran ka-
kek tua berambut panjang awut-awutan. Orang
tua yang baru datang berpakaian serba hitam.
Bagian kepalanya agak botak, wajah angker bermata tajam.
Saba Geni sama sekali tidak mengenali siapa
adanya kakek yang satu ini. Tapi melihat cara
orang menatapnya dia punya firasat siapapun
adanya kakek jelek di depannya pasti membawa
maksud dan tujuan buruk.
Saba Geni merasa tidak ada perlunya me-
layani orang tua itu. Tanpa bicara apa-apa dia
memutar tubuh lalu melangkah pergi. Baru saja
beberapa tindak dia melangkah tiba-tiba kakek
angker berambut panjang riap-riapan lakukan sa-
tu gerakan dan di lain saat telah berdiri tegak di
depan Saba Geni.
Melihat tingkah orang, Saba Geni yang sedang
kalut ini menjadi marah. Dua matanya mendelik
sedangkan mulutnya membentak. "Siapapun
adanya dirimu aku tidak perduli. Kuharap kau
segera menyingkir dari hadapanku!"
Bukannya patuhi perintah. Sebaliknya kakek
berambut panjang itu malah bertolak pinggang.
Dia kemudian dongakkan kepala sambil tertawa
tergelak-gelak.
"Tua bangka tuli, apakah kau tidak menden-
gar ucapanku?" hardik Saba Geni jengkel.
Kakek di depannya tiba-tiba hentikan tawa.
Dia melangkah maju satu tindak. Setelah itu dia
balas membentak.
"Tua bangka keparat, mestinya aku membu-
nuhmu saat ini juga. Tapi tidak mengapa, mulut
lancangmu yang telah berani memakiku dapat
kumaafkan asal kau mau menjawab pertanyaan
ku!" ujar kakek berpakaian hitam dengan seringai
bermain di mulut.
"Kau siapa hah...?"
"Bagus kalau kau ingin tahu siapa aku. Ha ha
ha." Kata orang tua itu sambil tertawa mengekeh.
Setelah tawanya lenyap kakek berbaju hitam ber-
kata. "Kau dengar baik-baik. Namaku Dukun Ker-
tasona biasa dipanggil Mbah Dukun. Aku lebih
dikenal dengan julukan Setan Santet Delapan
Penjuru, apakah sudah jelas?"
"Setan Santet Delapan Penjuru?" desis Saba
Geni. "Siapa yang tidak mengenal manusia bejat
satu ini? Dengan ilmu setannya dia membuat
bencana. Banyak gadis-gadis cantik menjadi kor-
ban kebejatan nafsunya. Dia bukan manusia
sembarangan. Kabarnya dia juga memiliki jin pia-
raan."
Setelah tahu siapa gerangan kakek itu Saba
Geni diam-diam mulai berlaku waspada.
"Kulihat wajahmu berubah pucat. Kurasakan
jantungmu berdetak keras. Apakah ini sebuah
pertanda bahwa kau mengenali diriku? Ha ha ha."
Suara Mbah Dukun memecah keheningan. Saba
Geni tersentak kaget, tapi dia tersenyum.
"Dukun Kertasona, hhm... kenal rasanya ti-
dak. Justru yang kudengar selama ini hanya ke-
bejatanmu. Sekarang kau kulihat gentayangan
tak karuan kejuntrungannya. Apa sebenarnya
yang kau cari?"
Mendengar pertanyaan orang sebenarnya pa-
nas juga hati Mbah Dukun Kertasona. Tapi kakek
ini berusaha memendam perasaan, malah dia
kemudian tertawa.
Begitu tawanya lenyap dia segera berkata.
"Aku sendiri rasanya tidak perlu mengenal siapa
dirimu. Yang ingin kutanyakan siapa orangnya
yang telah melarikan Sengkala Angin Darah keti-
ka kau terlibat perkelahian dengan dua gadis
itu?"
Rasa kaget di hati Saba Geni tidak terkira.
Dia menyangka kakek itu melihat kejadian yang
berlangsung di tengah hutan Pacitan. Kemudian
secara diam-diam dia mengikuti kemana Saba
Geni pergi. Karena itu tanpa ragu dia berkata.
"Jika kau melihat kejadian itu, mengapa kau ti-
dak segera mengejar orang yang telah melarikan
Sengkala Angin Darah?"
Mbah Dukun Kertasona tersenyum mengejek.
"Aku tidak melihatnya secara langsung. Apa
yang kulihat semuanya melalui tali sambung ra-
sa. Beberapa pembantuku telah kusebar, mereka
telah meneliti. Dan selain Ki Edan Samberata,
kau adalah dua orang yang dapat kutanyai." Jelas
si kakek.
"Ha ha ha. Kalau aku tahu siapa bangsat
yang telah melarikan benda itu apakah kau men-
gira aku bersedia memberitahukannya padamu?
Dan sayang kebetulan aku tidak sempat menge-
nali siapa adanya orang berpakaian serba putih
itu." jawab Saba Geni ketus.
Sayangnya orang seperti Mbah Dultun Kerta-
sona tidak mudah dibuat percaya begitu saja.
"Mulut pandai berdusta, Saba Geni. Siapa
mau percaya dengan bualanmu? Bagaimanapun
kau harus mengatakan padaku siapa yang telah
membawa Sengkala Angin Darah!"
"Manusia keparat keras kepala! Kau pergilah
ke neraka. Tanyakan pada penjaga di sana siapa
yang melarikan benda itu!" kata Saba Geni kehi-
langan kesabarannya.
Mbah Dukun Kertasona sunggingkan seringai
dingin. Dengan tenang dia kembali berucap.
"Apakah ini berarti merupakan suatu permintaan
bahwa salah satu diantara kita harus ada yang
mati? Ha ha ha!"
"Mungkin begitu. Kau yang mati sedangkan
aku harus tetap hidup demi mendapatkan Seng-
kala Angin Darah!" sahut Saba Geni.
"Bagus. Ha ha ha. Aku yang mati dan kau
terpaksa kujadikan roh gentayangan." Dengus
Mbah Dukun Kertasona sengit.
Saba Geni tidak lagi menanggapi. Kemudian
kakinya bergerak cepat. Tak terduga kakinya di-
hantamkan ke pasir.
Buum!
Hentakan itu menimbulkan suara ledakan ke-
ras berdentum. Hamparan pasir muncrat di uda-
ra, lalu menderu menghantam ke bagian wajah
dan sekujur tubuh lawannya.
Serangan ini tentu bukan serangan biasa, ka-
rena bila sampai mengenai mata, pasir yang telah
berubah panas membara itu bisa membuat mata
hancur menjadi buta. Andai sempat mengenai tubuh akan dipenuhi lubang seperti ditembusi ja-
rum.
Mbah Dukun menggeram. "Manusia licik pen-
gecut!"
Si kakek lalu dorongkan kedua tangannya ke
depan untuk menangkis serangan itu sementara
dia sendiri melompat ke samping.
Seketika terdengar suara gemuruh dari tan-
gan Mbah Dukun Kertasona. Angin seganas badai
gurun melesat menyambut ribuan pasir yang me-
nyerang ke arah dirinya.
Bess! Preesh!
Pasir-pasir itu berhamburan, mental ke sege-
nap penjuru arah begitu terhantam pukulan si
kakek. Malah sebagian diantaranya berbalik
menghantam Saba Geni.
Tapi kakek berpakaian kembang-kembang itu
telah lenyap. Ternyata dia melompat ke udara. Di
udara orang tua ini lakukan gerakan berjumpali-
tan sedemikian rupa. Setelah posisinya berada di
atas kepala Mbah Dukun Kertasona, tiba-tiba dia
meluncur deras ke bawah. Lalu dua tangannya
dihantamkan ke bagian kepala lawan
Mbah Dukun yang baru lolos dari serangan
pertama segera merasakan adanya hawa dingin
menyambar ubun-ubunnya. Dia segera miringkan
kepala lakukan gerakan menghindar. Tapi sayang
gerakan yang dia lakukan masih kalah cepat den-
gan gerakan lawan.
Tanpa ampun lagi pukulan Saba Geni meng-
hantam di bagian kepalanya.
Deees! Blees!
Hantaman cepat yang dilakukan lawan men-
gandung tenaga dalam penuh. Sehebat-hebatnya
Mbah Dukun Kertasona bertahan tak urung dia
amblas ke tanah sedalam dada. Si kakek merasa
kepalanya laksana mau meledak. Pandangan ma-
tanya jadi berkunang-kunang. Dia mengerang
sambil memaki. Sementara tangannya terus
menggapai. Rupanya dia berusaha keluar dari da-
lam tanah. Tapi usaha yang dilakukannya tak
semudah yang dia bayangkan.
Sementara itu di lain pihak Saba Geni telah
jejakkan kakinya tak jauh dari lawan. Ketika ka-
kek itu memutar badan dan memandang ke arah
lawan, Saba Geni benar-benar terkejut. Dia me-
nyadari ketika menghantam kepala lawan tadi dia
merasa tangannya seperti membentur bola besi.
Tangan itu terasa sakit bukan main, celakanya
kini tampak bengkak menggembung.
Si kakek memaki dalam hati, namun biarpun
begitu kini tanpa menghiraukan sakit pada ba-
gian tangan. Apalagi ketika melihat lawan masih
belum dapat membebaskan diri dari pendaman.
Saba Geni tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Selagi Mbah Dukun Kertasona berjuang keras
bebaskan diri, Saba Geni melepaskan satu ten-
dangan ke arah lawan.
Wuuut!
Wuuus!
Serangkum angin dingin berkiblat dari kaki si
kakek. Sinar putih menyilaukan menghampar di
udara membuat mata tak dapat melihat apa-apa.
Mbah Dukun merutuk habis-habisan mendapat
serangan beruntun seperti itu. Dia batalkan niat
untuk bebaskan diri dari pendaman tanah yang
menghimpitnya. Selanjutnya Mbah Dukun gerak-
kan dua tangannya yang bebas. Tangan itu ke-
mudian didorong dengan kecepatan luar biasa
sambuti tendangan lawan.
Dari telapak tangan orang tua itu mencuat si-
nar biru terang mengandung hawa panas luar bi-
asa. Dua kekuatan bertenaga dalam tinggi ben-
trok di udara.
Kawasan di pinggir sungai lagi-lagi dilanda
goncangan hebat begitu terjadi ledakan berden-
tum. Bentrokan kaki dengan dua tangan lawan
membuat Saba Geni terlempar ke udara. Orang
tua itu menjerit, namun begitu jatuh terjengkang
dia segera bangkit kembali dan siap lakukan se-
rangan.
Sementara akibat bentrokan tadi kini Mbah
Dukun makin menderita saja. Tubuh si kakek ki-
ni yang terlihat hanya bagian leher sampai kepa-
la. Walau begitu Mbah Dukun Kertasona tidak
merasa putus asa. Sekuat tenaga dia berusaha
membebaskan diri dari dalam tanah yang hampir
menguburnya hidup-hidup.
Melihat ini Saba Geni tertawa tergelak-gelak.
Dengan sinis dia kemudian berkata. "Mbah Du-
kun nampaknya kau akan segera mati. Aku cu-
kup menghantammu dengan satu pukulan mema-
tikan maka tamatlah riwayatmu. Ha ha ha!"
Mbah Dukun tidak menjawab. Sebaliknya dia
malah ikut tertawa. Tak lama setelah itu bahkan
kedua matanya terpejam seolah dirinya telah siap
menerima datangnya kematian. Padahal sesung-
guhnya di dalam hati Mbah Dukun diam-diam
tengah merapal mantra dari ilmu hitamnya.
Sementara melihat sikap lawan, Saba Geni
sendiri sebenarnya siap menyerang kembali. Kali
ini si kakek tak mau bersikap ayal. Si kakek sa-
lurkan tenaga dalam bagian tangan hingga kedua
tangan itu dalam waktu sekejap telah berubah
merah hingga sebatas siku.
Rupanya Saba Geni telah siap melepaskan
pukulan andalannya yang bersumber dari ajian
Gelombang Geni. Sekedar diketahui siapapun
yang terkena ajian pukulan si kakek tubuhnya
pasti meleleh seperti timah dipanaskan.
Mbah Dukun Kertasona sendiri tentu tidak
melihat perubahan tangan lawan karena waktu
itu kedua matanya dalam keadaan terpejam. Se-
mentara mulutnya berkemak-kemik membaca
mantra. Satu-satunya yang dirasakan oleh Mbah
Dukun udara di sekitarnya berubah menjadi pa-
nas seakan dirinya berada dalam tungku bara
menyala.
"Tua bangka, ajal dan kematianmu telah
sampai saat ini. Bersiap-siaplah berangkat ke ak-
herat!" Saba Geni berteriak melengking. Bersa-
maan dengan itu dia melesat ke depan. Dua tan-
gan dihantamkan ke bagian kepala lawan.
Sinar merah berkiblat. Api menyambar dan
saat itu juga Mbah Dukun Kertasona tenggelam
dalam kobaran api.
Tetapi pada waktu bersamaan terdengar pula
suara raung menggelegar. Asap putih mencuat di
sela-sela kobaran api yang membakar. Bersamaan
dengan Itu terdengar suara ledakan tiga kali ber-
turut-turut. Satu sosok melesat di udara.
Melesatnya sosok itu diikuti dengan muncul-
nya satu sosok lainnya. Sosok tersebut dalam
ujud mahluk raksasa berwajah angker, beralis
tebal dan bermata merah bagai menyala.
Begitu muncul sosok itu menyeringai mem-
perlihatkan gigi-giginya yang runcing mengerikan.
Belum lagi hilang rasa kaget di hati Saba Geni,
sosok mahluk raksasa yang sekujur tubuhnya di-
tumbuhi bulu-bulu halus lebat meniup ke arah
kobaran api.
Puuuh!
Angin dahsyat menderu dari mulut sosok rak-
sasa. Seketika api yang membakar langsung pa-
dam. Lubang dimana Mbah Dukun terpendam te-
lah kosong bahkan telah hancur porak poranda.
Saba Geni tercengang.
"Aku di sini Saba Geni. Ha ha ha."
Saba Geni memandang ke arah datangnya
suara. Si kakek jadi tercekat begitu melihat Mbah
Dukun telah berdiri tegak di sebelahnya. Kakek
itu tersenyum, sementara sedikitpun tubuhnya
tidak terluka.
"Saba Geni! Tenaga dalammu boleh tinggi, il-
mu kesaktianmu boleh hebat. Tapi kau tak bakal
lolos dari tangan Jin Sesat mahluk gaib piaraan-
ku. Ha ha ha."
"Aku akan membunuh mahluk terkutuk itu!"
teriak Saba Geni. Dengan cepat dia mengambil
senjatanya berupa tombak bermata tiga. Melihat
lawan menghunus senjata lawan kembali tertawa
mengekeh.
"Kau boleh juga menggunakan seribu tombak,
Saba Geni! Ha ha ha!" si kakek kemudian berte-
riak ditujukan pada Jin Sesat. "Bunuh dan habisi
manusia bersenjata tombak itu!"
Jin Sesat keluarkan suara raungan. Sosoknya
yang besar melesat ke depan. Dua tangan berge-
rak, sepuluh jari berkuku tajam menyambar ke
batang leher Saba Geni. Si kakek tidak tinggal di-
am. Dia melompat ke atas kemudian tusukkan
tombaknya ke dada lawan.
Sinar putih berkiblat menyilaukan mata. Jin
Sesat segera lindungi dada dan matanya yang
menjadi incaran serangan. Sedangkan tusukan
yang mengarah ke bagian tubuh yang lain sengaja
dibiarkan.
Braak!
Craak!
Hunjaman tombak yang mengarah ke bagian
pinggang tidak ubahnya seperti menghantam
tembok baja. Saba Geni malah terdorong mundur.
Lalu meluncur ke bawah. Belum lagi sosoknya ja-
tuh ke tanah, Mbah Dukun menyambut dengan
satu pukulan.
Desss!
Hantaman keras melabrak punggung Saba
Geni. Tubuh orang tua itu kembali terpental ke
atas. Si kakek menjerit. Dan selagi si kakek men-
jerit serta kehilangan keseimbangan, satu tangan
menyambar lehernya.
Creep!
Sekejap saja leher Saba Geni telah berada di
dalam jepitan Jin Sesat. Si kakek terkejut. Dia
meronta, sedangkan tombak ditusukkan ke ba-
gian dada mahluk angker yang menjepit lehernya.
Si kakek megap-megap. Tusukannya hanya
menimbulkan suara berdentring.
"Jahanam celaka!" keluh si kakek sambil me-
ronta.
"Bunuh dia sekarang!" seru Mbah Dukun Ker-
tasona.
Secepat Mbah Dukun memerintah secepat itu
pula Jin Sesat gerakkan tangannya yang men-
cengkeram leher lawan. Tak lama kemudian ter-
dengar suara tulang leher patah dan suara jerit
tertahan.
Saba Geni berkelojotan. Darah menyembur
dari mulut dan hidungnya. Orang tua itu tewas
seketika dengan lidah terjulur dan mata mende-
lik.
Melihat lawan tewas Jin Sesat lepaskan kor-
bannya. Kakek itu jatuh terbanting dan tidak ber-
kutik lagi.
Mbah Dukun Kertasona tertawa tergelak-
gelak. Dia kemudian menyilangkan kedua tangan
di depan dada, sedangkan mulutnya kembali ber
kemak-kemik. Setelah itu terdengar seruannya.
"Jin Sesat, kembali....!"
Mahluk angker itu kemudian melayang ke
arah si kakek. Setelah berada di atas kepala
Mbah Dukun ujudnya memudar, lalu lenyap be-
rubah menjadi asap biru.
Wuus!
Asap pun masuk ke dalam mulut, lalu lenyap
tidak meninggalkan bekas. Mbah Dukun Kertaso-
na tertawa panjang. Dia hampiri mayat lawannya.
Setelah merasa yakin lawan benar-benar tewas
dia berucap. "Aku sudah menduga manusia den-
gan kepandaian seperti dirimu tak mungkin sang-
gup menghadapi Jin Sesat. Seperti yang kukata-
kan kini arwahmu yang bergentayangan penasa-
ran! Ha ha ha!" sambil tertawa panjang Mbah Du-
kun Kertasona berkelebat tinggalkan mayat Saba Geni.
Tamat







0 komentar:
Posting Komentar