1
Kakek berdaster biru itu sesungguhnya
sudah berusaha berjalan tegak menggunakan dua
kakinya. Hanya saja hembusan angin di daerah
Lembah itu kencang luar biasa sedahsyat topan.
Hembusan angin yang ganas luar biasa memerih-
kan kulitnya. Bukan cuma itu, beberapa kali si
kakek sempat jatuh terjengkang. Orang tua be-
rambut panjang tergerai inipun menggerutu tak
berkeputusan.
Tidak lama kemudian ia bangkit lagi. Teta-
pi dari arah depan tiga batu menggelinding ke
arahnya. Si kakek tidak sempat melihat adanya
bahaya itu. Tidak pelak dua diantara batu itu
menghantam perut dan keningnya.
"Huek... Keparat terkutuk...!" damprat si
kakek sambil mengusapi keningnya yang meng-
gembung bengkak. Entah siapa yang dimaki
olehnya. Tidak ada orang lain di situ terkecuali di-
rinya. Sedangkan selebihnya hanyalah puluhan
kura-kura yang berjalan merayap.
SI kakek memperhatikan kawanan kura-
kura itu sejenak. Selanjutnya masih bersungut-
sungut dia berkata. "Supaya selamat agaknya aku
harus merangkak seperti mahluk-mahluk itu." Ia
singsingkan daster birunya yang mirip pakaian
perempuan. Setelah itu dia merangkak.
Satu keanehan kemudian terjadi. Begitu si
kakek berjalan merayap, puluhan mahluk
mahluk berkepala kuning itu segera mengiringnya
dari belakang tidak ubahnya seperti prajurit men-
giring rajanya.
Melihat ini si kakek yang dikenal dengan
nama Ki Betot Segala tidak kuasa lagi menahan
tawa.
"Ini jelas keputusan edan yang pernah ku-
lakukan seumur hidup. Mengapa aku harus me-
lakukan hal tolol seperti ini?" kembali Ki Betot
Segala mendamprat. Mulut memaki namun me-
rangkak tetap ia lakukan.
Tidak sampai sepemakan sirih Ki Betot Se-
gala segera sampai di sebuah batu besar berlekuk
di tengah-tengahnya seperti lumpang. Batu itu
dalam keadaan kosong.
Setelah memperhatikan keadaan di sekeli-
lingnya dan tidak ditemui juga orang yang dicari
akhirnya dia menyeletuk. "Jauh-jauh aku datang
ke sini tidak tahunya aku cuma mendapati tahta
kedudukan yang kosong! Manusia yang bernama
Ki Sumpit Prakoso, dimana gerangan dirimu be-
rada? Apakah tahta kerajaan kura-kuramu seka-
rang sudah pindah ke langit?" Si kakek lalu ter-
tawa tergelak-gelak.
Belum lagi tawa menggeledek si kakek le-
nyap, tiba-tiba saja hembusan angin yang mener-
bangkan bebatuan terhenti. Dalam waktu bersa-
maan dari arah terhentinya hembusan angin ter-
sebut terdengar suara raungan keras menggele-
dek.
Suara raungan disusul dengan berkelebat
nya satu sosok bayangan aneh yang celakanya
segera kirimkan serangan dahsyat ke arah Ki Be-
tot Segala.
Satu pukulan segera menyambar ke bagian
dada kakek ini, si kakek segera berkelit dengan
miringkan tubuhnya ke samping. Walau begitu
tak urung bagian bahunya masih terkena samba-
ran pukulan orang.
Ki Betot Segala terjajar, namun ia menge-
nali siapa orang yang telah menyerangnya. Orang
itu bercelana hitam gombrong, dadanya yang te-
lanjang dipenuhi bulu lebat. Bagian punggung
menggelembung seperti punuk, tapi sebenarnya
bukan punuk. Punggung itu ditumbuhi semacam
batok besar yang sangat keras mirip punggung
kura-kura. Selain itu sangat keras luar biasa
punggung itu juga menjadi sumber kesaktiannya.
Selain punggungnya yang aneh, di bagian
belakangnya juga mencuat ekor seperti buntut.
Sedangkan keanehan lain yang terdapat dalam di-
ri orang tua satu ini, terletak pada bagian kepala.
Bagian kepala sama sekali tidak mirip dengan ke-
pala manusia. Sebab mulai dari bagian leher ke
atas berupa kepala naga berwarna putih.
Walau mengenali siapa adanya yang datang
menyerang, namun Ki Betot Segala tidak sempat
bicara. Semua ini dikarenakan begitu dapat tegak
kembali kini manusia aneh di depan sana sudah
menyerangnya. Kali ini ia menyerang dengan ku-
ku-kukunya yang tajam runcing seperti kuku singa.
"Kurang ajar. Orang datang bukan disam-
but dengan suguhan lezat, sebaliknya kau malah
menyerangku!" Ki Betot Segala mengumpat.
Orang tua ini menjadi gusar. Terbukti begitu se-
pasang tangan menyambar, Ki Betot Segala segera
melesat ke atas. Ketika si kakek mengapung di
udara, kaki yang terlindung di balik daster mele-
sat melabrak dada lawannya. Orang berpunggung
kura-kura berkepala naga jatuhkan diri hingga
sama rata dengan tanah. Tendangan Ki Betot lu-
put, tetapi ia terus bergerak ke bawah sambil me-
lakukan serangan bertubi-tubi. Tangan dan kaki
lakukan serangan bersamaan dan untuk diketa-
hui Ki Betot Segala selain dikenal kehebatannya
dalam hal membetot apa saja ia juga memiliki pu-
kulan yang sanggup meruntuhkan bukit batu. Ti-
dak mengherankan begitu tinjunya berkiblat, ter-
dengar deru angin bersiutan. Tak ayal lawan kini
dalam ancaman bahaya besar. Celakanya lagi
orang satu ini tidak menyadari adanya bahaya
dari arah depan.
Tidak terhindarkan lagi pukulan Ki Betot
Segala menghajar punggung lawan tepat menge-
nai bagian yang menonjol seperti batok kura-
kura.
Duuk!
"Uuukh...Edan suro...!"
Bagian punggung yang menonjol itu remuk
sebagaimana yang diharapkan oleh Ki Betot. Se-
baliknya orang tua itu sendiri seperti dilemparkan
tampak mencelat di udara. Orang tua ini memandang ke depan. Dia pun langsung melontarkan
kutuk serapah. Punggung yang semula dia ang-
gap remuk terkena pukulan ternyata tidak cidera
sama sekali.
Malah sosok berkepala naga dengan tenang
bangkit berdiri, silangkan kedua tangan di depan
dada, lalu tertawa tergelak-gelak.
"Ternyata kau Ki Betot Segala. Semula ku-
kira siapa kunyuknya yang datang ke Lembah
Kura-kura ini. Ha ha ha." Orang itu kembali men-
gumbar tawa. Ketika tawanya terhenti ia kembali
berkata. "Sudah sangat lama kita tidak bertemu.
Selama itu barang apa saja milik orang yang su-
dah kau dapatkan?" Dia lalu menatap ke arah je-
mari tangan Ki Betot, kali ini dia mengulum se-
nyum. "Ah, tanganmu bengkak rupanya? Kasihan
sekali!"
Ki Betot katupkan bibirnya. Ia tidak me-
nanggapi ucapan manusia berkepala naga pung-
gung seperti kura-kura itu.
Lalu dia mengusap jemari tangannya sen-
diri. Setelah melakukan tiga kali usapan disertai
pengerahan tenaga dalam, maka tangan yang
menggelembung bengkak itu kembali pulih seba-
gaimana semula.
Bersungut-sungut Ki Betot menatap orang
di depannya sejenak. Dalam hati kecilnya ingin
sekali dia menjahili kakek itu, namun mengingat
kepentingannya datang ke lembah kura-kura jauh
lebih besar maka ia terpaksa menahan segala
keinginannya yang kurang terpuji.
Dengan serius lalu dia berkata, "Ki Sumpit
Prakoso alias Kura-Kura Naga! Ketahuilah aku ti-
dak bakal datang ke lembah yang busuk ini jika
tidak membawa urusan besar"
Kakek berkepala naga itu kedipkan ma-
tanya. Dia akhirnya duduk di atas lubang batu
begitu rupa hingga mirip ayam mengeram.
Kakek ini dongakkan kepala, lalu dengan
sikap dingin segera ajukan pertanyaan. "Aku su-
dah menduga ku tak bakal menyambangi lembah
bau pesing ini jika tidak membawa maksud suatu
keperluan. Sebelum kau mengatakan apa keper-
luanmu aku ingin bertanya dimana dua sauda-
ramu yang sinting itu? Mengapa mereka tidak tu-
rut serta?"
Dikatai orang gila, Ki Betot Segala berubah
cemberut. Dengan bersungut-sungut pula ia men-
jawab. "Dua saudaraku itu punya kaki, punya
otak walau agak miring. Mana aku tahu mereka
pergi kemana, namanya juga orang-orang gila.
Mungkin saja mereka sedang mengemis di pasar,
mungkin juga sedang menangis di alun-alun Ke-
diri. "
"Ah, kasihan sekali. Semakin tua ternyata
kau mudah naik darah. Baiklah kurasa tidak ada
gunanya aku bertanya tentang dua orang gila itu.
Sekarang jangan malu-malu, katakan saja men-
gapa kau datang kemari?"
Ki Betot Segala terdiam. Dia menyadari sa-
habatnya yang bergelar Kura-Kura Naga itu kini
kesaktiannya makin bertambah tinggi. Kesulitan
orang tua satu ini memang sulit diatur. Semua ini
menimbulkan keraguan di hati Ki Betot.
Kiranya Kura-Kura Naga dapat membaca
kekisruhan di hati sahabatnya. Maka tanpa
membuang-buang waktu lagi ia berkata. "Ki Be-
tot, aku tidak mau menemui orang yang bengong
melompong. Jika kau punya kepentingan, harap
cepat kau utarakan. Seandainya kau ragu kusa-
rankan sebaiknya segera angkat kaki dan aku bi-
sa meneruskan tapaku!"
Ki Betot merasa tidak enak hati, namun bi-
birnya menyunggingkan senyum. Sambil terse-
nyum ia mengambil duduk di atas batu bundar
tidak jauh dari hadapan Ki Sumpit Prakoso.
Setelah duduk ia berkata, "Sobatku Ki
Sumpit. Beberapa purnama belakangan ini dunia
persilatan menjadi gempar dengan munculnya sa-
tu benda sakti bernama Sengkala Angin Darah."
"Sengkala Angin Darah?" desis si kakek ka-
get. Masih dengan mata membelalak tak percaya
ia menggumam. "Bukankah Sengkala Angin Da-
rah berarti malapetaka?"
"Ya... kau betul. Sengkala artinya malape-
taka."
"Lalu apa ujud benda itu? Apakah berupa
senjata, batu, jimat atau apa?" tanya Ki Sumpit
Prakoso tertarik.
Ki Betot Segala geleng kepala. "Sesungguh-
nya aku sendiri belum melihat benda sakti itu, te-
tapi menurut yang kudengar benda itu ujudnya
mirip manusia. Dia berambut panjang, punya hidung, punya mata dan punya rambut. Gigi-
giginya runcing. Benda itu besarnya tidak lebih
dari lengan manusia, panjangnya tidak lebih dari
dua jengkal. Kabarnya benda sakti itu dulunya
adalah manusia seperti kita yang hidup ratusan
bahkan ribuan tahun lalu. Tetapi benda itu kini
membatu melalui sebuah proses yang aneh, rumit
dan tak masuk akal. Kesaktiannya antara lain
dapat menghanguskan dan membunuh manusia.
Benda itu tidak mudah disentuh. Siapa yang be-
rani menyentuhnya bisa terlempar atau hangus
seketika!"
"Hmm, sungguh luar biasa." Ki Sumpit
Prakoso mendecak penuh rasa kagum. "Dimana
benda sakti itu berada sobatku?" Si kakek jadi in-
gin tahu.
Ki Betot kembali terdiam, dia menarik na-
fas sambil menatap mata naga sahabatnya. Dia
tidak melihat kesan keji, niat yang licik terpancar
lewat tatapan mata Ki Sumpit. Semua ini tentu
membuat perasaan Ki Sumpit menjadi lega. Ki Be-
tot segera melanjutkan. "Benda itu pertama dite-
mukan di daerah hutan Pacitan. Banyak orang
yang berusaha memiliki benda itu menjadi kor-
ban. Tetapi dengan cara yang dirahasiakan, se-
seorang berhasil mengambil Sengkala Angin Da-
rah"
"Seseorang yang kau sebut itu apakah ti-
dak punya nama?" Tanya Ki Sumpit yang tidak
suka dengan pembicaraan yang bertele-tele.
"Jika aku tahu namanya dan andai aku ta
hu siapa yang mengambilnya mustahil aku da-
tang ke sini. Sampai saat ini tak ada yang tahu
benda itu di tangan siapa. Yang jelas sekarang ini
berbagai kalangan dari golongan hitam maupun
putih berusaha mencari benda itu. Mereka saling
curiga satu sama lain bahkan mulai saling bu-
nuh."
Ki Sumpit Prakoso manggut-manggut sam-
bil tertawa.
"Mengapa tertawa?" kata Ki Betot heran.
"Kalau mereka saling bunuh itu bagus, ba-
nyak yang mati tambah rame dan aku menyu-
kainya." Ki Sumpit selanjutnya terdiam, mencoba
memeras otak memecahkan teka-teki yang diha-
dapinya. Tapi ia kemudian malah terlihat bin-
gung. Dia lalu bertanya. "Eeh, sobatku aku tidak
melihat yang kau ceritakan itu ada sangkut paut-
nya dengan diriku. Atau kau barangkali hendak
menuduh aku telah mengambil benda itu secara
diam-diam?"
Ki Betot gelengkan kepala.
"Kau salah. Siapa yang menuduhmu? Ma-
salah ini memang tak ada kaitannya dengan diri-
mu. Justru aku ingin mengajakmu menyelidik di
tangan siapa benda itu kini berada." Tegas Ki Be-
tot Segala.
"Oh, kalau begitu maksudmu legalah su-
dah hatiku ini. Kukira kau menuduhku telah
mencuri. Tapi... sobatku, bukankah yang menjadi
incaran itu tak ada pemiliknya?"
"Ya...kau benar."
"Andai demikian apa perlunya kita menye-
lidik? Kita bukan mata-mata pangeran Kediri.
Orang tua seperti kita tak patut melakukan pe-
kerjaan seperti itu."
"Tampang memang sudah tua, wajah jelek
juga kuakui. Tapi aku masih gagah. Cuma kea-
daanmu yang berantakan."
"Tua bangka sialan." Umpat si kakek ber-
kepala naga lalu julurkan lidahnya yang panjang
bercabang. "Sekarang lanjutkan keteranganmu!"
Ki Betot melanjutkan. "Barang memang ti-
dak bertuan, mengingat kesaktiannya. Alangkah
berbahaya bila benda itu jatuh ke tangan orang
yang salah. Dunia persilatan bisa dibuat kiamat."
Ki Sumpit manggut-manggut. Apa yang di-
katakan sahabatnya memang benar adanya. "Kau
apakah sudah menghubungi orang segolongan
dengan kita?"
"Aku sudah lakukan, tapi mereka malah
menuduhku ingin mengangkat benda itu sendiri."
Ki Sumpit tertawa.
"Ada yang lucu?" tegur Ki Betot tersing-
gung.
"Tidak ada. Aku jadi senang melihat kau ti-
dak ikutan menjadi gila seperti mereka. Itu berarti
di rimba persilatan kini hanya ada dua manusia
yang waras yaitu aku dan kau. Kemudian kita
tunggu apa lagi? Sekarang kurasa adalah waktu
yang tepat bagi kita untuk berangkat!" Ki Sumpit
Prakoso tampaknya memang sudah tidak sabar.
Ki Sumpit Prakoso bangkit berdiri, tetapi Ki
Betot memberi isyarat agar sahabatnya duduk la-
gi.
"Eh, masih adakah yang ingin kau sampai-
kan atau mungkin kau merasa betah berlama-
lama di lembah bau pesing ini?"
Ki Betot tampak serius. "Begini. Apakah
kau pernah kenal atau mendengar tentang seo-
rang tokoh sakti dari Merbabu yang bernama
Gentong Ketawa?"
Mendengar disebutnya nama itu Ki Sumpit
belalakkan matanya yang merah membara. Lidah
panjangnya terjulur keluar masuk pertanda ia tak
dapat menyembunyikan rasa kagetnya. "Jika dia
orangnya, tentu aku pernah mendengar. Tetapi
aku belum pernah bertemu. Yang kutahu tempat
tinggalnya berpindah-pindah. Terkadang di gu-
nung Merbabu ada kalanya di gunung Semeru.
Dia punya seorang murid yang sama gilanya. Na-
manya Gento Guyon bergelar Pendekar Sakti 71.
Kabarnya muridnya itu pernah bertemu dengan
Manusia Seribu Tahun. Dia mendapat gemblen-
gan dari manusia gaib itu. Hal ini yang memung-
kinkan dia dapat membangkitkan tenaga dalam
dari tujuh titik api di tubuhnya." jelas si kakek.
Ki Betot Segala berdecak penuh kagum.
"Luar biasa. Ternyata kau yang tinggal di tempat
bau apek ini lebih banyak tahu perkembangan
yang terjadi di luar sana. Dulu aku beranggapan
Manusia Seribu Tahun cuma legenda, tidak ta-
hunya benar-benar ada."
"Aku memang orang hebat. Lalu apa per
lumu mengingatkan aku tentang dia?"
Yang ditanya terdiam. Wajahnya jelas-jelas
menyimpan keraguan. "Sebenarnya aku ragu ten-
tang hal ini, terlebih-lebih mengingat dia adalah
orang tua yang polos...."
"Ah, mengapa ditahan-tahan? Jangan un-
jukkan sikap seperti orang mau buang hajat di
depanku." Tukas Ki Sumpit tak sabar.
"Ah kau. Mukaku memang sudah begini
dari sananya." Maki Ki Betot. "Begini, belakangan
kudengar kabar di luaran sana bahwa Sengkala
Angin Darah sebenarnya berada di tangan Gen-
tong Ketawa. Entah siapa yang meniupkan kabar
ini. Yang pasti sebagian orang dunia persilatan
memburu kakek itu!"
"Aku tidak percaya. Orang seperti dia mana
pernah ambil perduli dengan segala macam benda
sakti. Banda keramat miliknya saja selama ini ti-
dak terurus. Ha ha ha!" tegas Ki Sumpit Prakoso
disertai tawa tergelak-gelak.
"Aku juga berpendapat begitu. Mudah-
mudahan kabar itu memang tidak benar." Gu-
mam Ki Satot Segala.
"Ah, sudahlah. Mari kita berangkat!" den-
gus sang Kura-Kura Naga tidak sabaran.
Ki Betot Segala anggukkan kepala. Mereka
pun kemudian berkelebat tinggalkan lembah itu.
2
Kalaupun ada orang yang sangat berambisi
untuk mendapatkan Sengkala Angin Darah maka
Pangeran Sobalilah orangnya. Itu sebabnya ban-
tuan yang diberikan Dukun Kertasona dianggap-
nya tidak cukup. Sang pangeran kemudian men-
gutus dua orang terbaiknya yaitu Tunggul Miring
dan Tunggul Oleng. Tetapi Tunggul Oleng tewas
mengenaskan bersama perwira lainnya. Luka-
luka yang dideritanya sangat mengerikan. Se-
dangkan Tunggul Miring hilang raib dan kemung-
kinan besar melarikan diri. Usaha yang dilakukan
kedua orang terbaiknya untuk menemui dan min-
ta bantuan Wanaraga atau yang dikenal dengan
julukan Pengemis Nyawa gagal. Pangeran Sobali
merasa kecewa sekali.
Kini bersama orang kuatnya yang bergelar
si Tangan Besi, ia membawa dua ratus pasukan
meninggalkan Kediri. Dengan rombongannya me-
reka menuju ke selatan. Dalam perjalanan dia
menyerap kabar Sengkala Angin Darah ternyata
telah berada di tangan kakek sakti bernama Gen-
tong Ketawa.
Sepanjang jalan Pangeran Sobali berfikir,
jika benda itu memang berada di tangan orang
yang bernama Gentong Ketawa ia menganggap
untuk mendapatkannya tentu bukan persoalan
sulit.
Pada saat itu laki-laki tegap berpakaian hi
tam berwajah mirip beruang yang mengiringi di
sebelah kanannya tiba-tiba berkata. "Pangeran,
siapa sebenarnya orang yang bernama Gentong
Ketawa itu?"
"Hmm, dia seorang kakek aneh, salah satu
tokoh dunia persilatan. Ilmunya hebat tapi
orangnya aneh."
"Seandainya dia tidak mau memberikan
apa yang gusti minta, kita hendak berbuat apa?"
Pangeran Sobali tersenyum licik. "Siapa
yang melawan keinginanku sama halnya dengan
menantang kerajaan. Aku tidak akan membiar-
kannya. Aku pasti bakal menjatuhkan hukuman
berat" tukas laki-laki itu.
"Aku sependapat dengan pangeran. Cuma
yang kita dengar sebenarnya masih simpang siur.
Saya berharap kita punya kesempatan lain."
"Gusti benar. Setelah Tunggul Oleng dan
Tunggul Miring tak bisa kita harapkan kita me-
mang harus menentukan pilihan lain."
Pemuda gagah berpakaian kuning bergela-
pan itu anggukkan kepala.
"Seharusnya Pengemis Nyawa bisa dihu-
bungi. Jika ia mau membantu kita sebenarnya
aku punya rencana untuk mengangkat dia jadi
Tumenggung. Tapi agaknya kita tidak bisa berha-
rap banyak lagi."
Tangan Besi yang mempunyai kesaktian
tingkat tinggi itu menyadari ucapan pangeran So-
bali. Ia tahu pangeran Sobali tidak ingin kegaga-
lan. Tapi Tangan Besi tidak mau banyak bicara.
Segera saja dipacunya kuda ke depan. Tak sam-
pai sepeminum teh rombongan ini tiba di kawa-
san belantara batu yang diapit dua bukit curam.
Jalan di tempat itu sunyi sekali dan kelihatannya
jarang dilewati orang.
Tangan Besi yang memimpin di depan tiba-
tiba merasa tengkuknya merinding. Sementara itu
kuda tunggangannya mulai meringkik gelisah.
Tangan Besi segera memberi aba-aba. Para praju-
rit yang berada di belakang termasuk pangeran
Sobali segera hentikan kudanya.
"Ada apa?" Tanya pangeran pada Tangan
Besi.
"Pangeran sebaiknya kita memutar arah
saja. Di depan sana banyak tulang belulang ber-
serakan. Saya yakin ada yang tidak beres di tem-
pat ini!" ujar si Tangan Besi.
Sang pangeran menggeram marah. "Jika
kau berbalik mundur, berarti kau seorang penge-
cut. Aku benci manusia pengecut. Namun jika
kau tetap bersikeras aku tidak melarang. Tetapi
sebelum itu kau lakukan sebaiknya kau gorok du-
lu lehermu!"
Suara tegas sang pangeran membuat ciut
hati prajurit-prajurit yang turut serta bersa-
manya.
Si Tangan Besi berdiri tercekat. Dengan pe-
rasaan kecut ia berkata. "Kalau pangeran tidak
berkenan mengambil jalan lain, baiklah, kita le-
wati jalan ini. Biarkan saya yang memimpin di
depan."
Pangeran mendengus. "Sekarang jalan!" pe-
rintahnya ketus.
Prajurit-prajurit bergerak. Tangan Besi
menggebrak kudanya. Belum lagi mereka jauh
berlalu, tiba-tiba kuda tunggangannya kembali
meringkik. Bersamaan dengan itu terdengar pula
suara tawa bergelak yang seakan datang dari se-
gala penjuru.
Pada waktu bersamaan dari atas ketinggian
melesat cepat sosok bayangan yang terdiri dari
bayangan biru, merah, hitam dan kuning.
Semua orang yang berada di jalan itu tentu
saja tersentak kaget. Ketika mereka semua me-
mandang ke depan di tengah jalan berdiri tegak
satu sosok serba merah.
Baik pangeran Sobali maupun Tangan Besi
dongakkan kepala ke kanan dan kiri tebing. Ter-
nyata tiga sosok lainnya kini tampak menempel
bergelayutan di tebing itu tidak ubahnya seekor
laba-laba.
Empat sosok berpenampilan warna warni
tadi ternyata terdiri dari dua laki-laki dan dua pe-
rempuan.
Tetapi mereka jelas bukan manusia biasa.
Mereka masing-masing memiliki tangan empat
buah, sedangkan setiap jarinya berkuku runcing
dan tajam. Melihat penampilan keempat sosok
itu, pangeran Sobali segera mengenali mereka.
Adapun keempat orang tersebut bukan lain
adalah Empat mahluk laba-laba yang dikenal
dengan julukan Empat Laba-Laba Beracun.
Pangeran Sobali kini jadi menelan ludah.
Dalam hati ia membatin. "Mengapa aku harus
bertemu dengan para iblis ini? Mereka bukanlah
manusia sembarangan. Biasanya dimana pun me-
reka hadir selalu menebar maut. Belum pernah
ada yang lolos bila berada di tangan mereka. Aku
tidak mau mencari permusuhan. Kalau perlu aku
harus menggunakan muslihat untuk meman-
faatkan jasa mereka."
Baru saja sang pangeran berkata begitu,
tiba-tiba gadis bertangan empat berpakaian kun-
ing buka suara. "Saudara-saudaraku, nampaknya
hari ini kita mendapat rejeki besar." Ujarnya
sambil bergelayutan di sisi tebing sebelah kanan.
"Kau benar saudara kuning. Semakin ba-
nyak kita membunuh semakin hebat pula daya
serang racun yang kita miliki." Sahut laki-laki
berbaju merah yang menghadang di tengah jalan.
"Jangan terlalu cepat mengambil keputu-
san. Rasanya sebelum membunuh alangkah lebih
baik jika kita tanyai mereka dulu. Seandainya
mereka berguna mengapa tidak biarkan mereka
hidup untuk sementara?" ujar laki-laki muda
berpakaian hitam berkulit hitam macam arang.
Sama seperti saudaranya yang lain pemuda ini
juga mempunyai empat buah tangan.
Gadis berpakaian merah yang bergelayutan
di sisi tebing sebelah kanan tiba-tiba saja men-
gumbar tawa. Dengan gerakan seperti seekor la-
ba-laba memburu mangsa ia berkelebat. Hanya
dalam waktu sekedipan mata ia telah berdiri di
depan pangeran Sobali.
Sejenak ia menatap tajam ke arah sang
pangeran, lalu sambil sunggingkan seulas se-
nyum tipis ia berkata. "Yang satu ini kukira bu-
kan manusia biasa. Pakaiannya begini mewah,
badan sedikit bau menyan. Kurasa ia seorang
bangsawan. Orang seperti dia alangkah baiknya
jika kupajang di sarangku!"
"Tidak begitu. Justru dia harus dipajang di
sarangku!" tukas gadis berpakaian kuning ketus.
"Kakak kuning, kau tidak berhak atas di-
rinya. Kau sudah banyak memiliki pajangan yang
terdiri dari pemuda gagah. Jadi kali ini dia harus
menjadi milikku!"
"Kalian jangan berebut..." menyela pemuda
berbaju biru. "Sebaiknya diam di tempat masing-
masing. Aku punya beberapa pertanyaan untuk
mereka!"
Kedua gadis yang memiliki paras lumayan
cantik jadi terdiam. Pemuda berpakaian biru kini
melangkah lebih mendekat.
Tak lama ditatapnya Tangan Besi dan Pan-
geran Sobali silih berganti. Setelah itu ia pun ber-
tanya. "Kalian ini kunyuk dari mana hah?"
Tangan Besi menggeram begitu dirinya dis-
ebut kunyuk. Tapi pangeran Sobali dengan cepat
menjawab. "Aku pangeran Sobali dari Kediri. Yang
di sebelahku ini adalah Tangan Besi orang keper-
cayaanku, sedang yang di belakang sana adalah
orang-orangku. Lalu para sahabat ini siapakah?"
Tanya pangeran Sobali lemah lembut. Padahal hatinya geram bukan main.
Empat mulut tiba-tiba terbuka dan kelua-
rkan tawa serentak. Hanya beberapa saat tawa
mereka lenyap juga secara bersamaan.
Gadis berbaju kuning membuka mulut
memberi pujian. "Ah... ternyata dia adalah seo-
rang pangeran."
'Pantas saja pakaiannya bagus, penampilan
bagus. Kudanya juga bagus." Ujar gadis berbaju
merah tak mau kalah.
Pemuda berbaju hitam dan gadis berbaju
kuning tiba-tiba lakukan gerakan. Tubuhnya ber-
kelebat melayang ke bawah. Selanjutnya ia jejak-
kan kakinya di atas tanah.
"Kami adalah Laba-Laba Beracun. Gadis
berbaju merah dan yang berbaju kuning itu ada-
lah Laba-Laba Merah dan Laba-Laba Kuning. Se-
dangkan pemuda berbaju hitam adalah Laba-
Laba Hitam dan aku sendiri Laba-Laba Biru." Je-
las pemuda berbaju biru. Dia lalu melanjutkan.
"Sesuai ketentuan siapapun yang lewat di tempat
ini, mereka tidak akan kami biarkan hidup. Tapi
mengingat dirimu seorang pangeran, rasanya aku
masih bisa mempertimbangkan nyawamu."
"Aku menghargai sikapmu, Laba-Laba Bi-
ru. Nama besar kalian sudah sering kudengar.
Mohon dimaafkan jika aku dan rombongan ini di-
anggap lancang karena memasuki kawasan keku-
asaanmu tanpa ijin." Ujar Pangeran Sobali.
"Aku bisa memakluminya. Tapi harap je-
laskan kalian hendak pergi ke mana?" Tanya Laba-Laba Biru curiga.
Pada kesempatan itu tiba-tiba Laba-Laba
Kuning menyela tidak puas. "Kakang mengapa
kau memaafkannya? Seharusnya dia dan rom-
bongannya kita bunuh!"
"Adik. Demi memandang kedudukan orang
kali ini kita harus melakukan suatu pengecua-
lian. Kau diam saja di situ, tak usah campuri du-
lu pembicaraan kami." Kata Laba-Laba Hitam
Laba-Laba Kuning sebenarnya merasa ke-
cewa, tapi demi menghormati dua saudara laki-
lakinya dia diam membisu.
Sementara demi mendengar pertanyaan
Laba-Laba Biru, pangeran Sobali terdiam. Dia ra-
gu untuk mengatakan yang sebenarnya. Diapun
melirik ke arah Tangan Besi.
Si baju Ungu bersenjata golok besar dan
memiliki tangan sekeras baja ini anggukkan kepala.
3
Pangeran Sobali sadar anggukkan kepala
tangan kanannya itu merupakan isyarat persetu-
juan. Karena itu sang pangeran lanjutkan berkata. "Kami sebenarnya sedang melakukan perjala-
nan guna mencari sebuah benda sakti. Benda itu
tidak dan belum jelas berada di tangan siapa. Ta-
pi berdasarkan petunjuk yang kami dapatkan,
Sengkala Angin Darah kabarnya berada di tangan
seorang kakek sakti bernama Gentong Ketawa."
Empat Laba-Laba Beracun saling pandang,
satu sama lain kemudian mereka berbisik. Meli-
hat empat bersaudara itu bicara dengan cara se-
demikian rupa pangeran Sobali menjadi tidak
enak hati.
"Aku telah berjanji siapa saja yang bisa
mendapatkan benda sakti itu, aku akan membe-
rikan imbalan berupa hadiah besar. Apa saja
permintaannya bahkan kuturuti. Tentu saja se-
panjang permintaan itu dapat kukabulkan."
"Pangeran Sobali, bagaimana kalau kami
minta nyawamu. Apakah kau juga bersedia me-
nyerahkan nyawamu sebagai imbalan?" Tanya
Laba-Laba Hitam.
Pertanyaan ini sudah barang tentu cukup
mengejutkan bagi pangeran itu dan juga orang-
orangnya. Tetapi ternyata dalam segala hal pange-
ran Sobali tidak pernah kekurangan akal dan se-
lalu bersikap tenang.
Dengan tersenyum ia kemudian bahkan
menjawab. "Jika memang itu persyaratan yang
kalian minta tentu aku tidak dapat menyanggu-
pinya. Sebelumnya bukankah sudah kukatakan
sepanjang permintaan itu dapat kukabulkan."
Ujar sang pangeran.
Laba-Laba Kuning tersenyum, dia lalu be-
rucap. "Pangeran jika kuminta kau bersenang-
senang dengan diriku apakah kau mau?" Tanya si
gadis sambil membusungkan dada.
"Hmm, kau gadis yang cantik. Kurasa tidak
patut melakukan apa yang kau sebutkan karena
diantara kita belum terdapat ikatan suami istri."
Ujar pangeran Sobali.
"Jika kami menyanggupi permintaanmu
apakah kau mau menikahi kedua adikku dan
mengangkatnya menjadi permaisuri? Lalu kau
bersedia pula memboyongnya ke Kediri dan men-
jadikannya ratu di sana?" bertanya Laba-Laba Hi-
tam yang disambut tawa mengikik Laba-Laba
Kuning.
Sedangkan Laba-Laba Merah hanya tersipu
malu.
"Kakang Hitam jaga mulutmu. Siapa yang
inginkan jodoh." Dengus Laba-Laba Merah pura-
pura marah. Padahal di dalam hatinya merasa
senang. Siapa yang tidak senang berjodoh dengan
seorang pangeran, orangnya tampan, terpandang
dan memiliki pengaruh luas. Laba-Laba Merah
yang semula sangat bernafsu membunuh rom-
bongan kerajaan itu kini berubah fikiran setelah
dapat memahami keinginan yang terkandung di
dalam ucapan saudaranya. Dia tahu, jika mereka
dapat menjadi permaisuri Kediri, tentu jalan un-
tuk menuju kejayaan terbuka luas. Dia dan Laba-
Laba Kuning tentu pula dapat mempengaruhi
pangeran Sobali.
"Adik tidak perlu marah. Jika pangeran ini
menerima kalian menjadi istrinya. Tidak ada sa-
lahnya jika kita membantu apa yang kini sedang
dia cari." Ujar Laba-Laba Biru.
"Pangeran... gusti harus berhati-hati. Saya
melihat mereka bukanlah orang baik. Mereka bi-
cara di balik satu siasat keji!" ujar Tangan Best
memberi ingat melalui ilmu menyusupkan suara.
Pangeran Sobali tersenyum. Dia tahu apa
yang ditakutkan oleh Tangan Besi. Seakan tidak
menghiraukan peringatan pembantunya, Pange-
ran Sobali berkata. "Dua adik kalian adalah gadis
yang cantik. Merupakan satu kehormatan bagiku
jika dapat mempersunting mereka. Kebetulan aku
belum punya pendamping. Aku bersedia men-
gangkat mereka menjadi permaisuri. Asalkan ka-
lian mau menerima dan dua syarat!"
"Apa syaratmu katakan pada kami!" sahut
Laba-Laba Biru penuh tantangan. Sedangkan La-
ba-Laba Merah dan Laba-Laba Kuning tampak
bahagia sekali.
"Pangeran katakan apa syaratmu. Kami
Empat Laba-Laba Beracun pasti akan memenu-
hinya!" ujar gadis berpakaian merah.
"Pertama kali kalian harus menemukan
Sengkala Angin parah. Setelah benda sakti itu di-
dapatkan serahkan padaku. Namun sebelum itu,
untuk mengetahui apakah kalian memiliki ilmu
tinggi, salah seorang diantara kalian berempat
harus sanggup mengalahkan Tangan Besi!" tegas
pangeran Sobali.
Mendengar ucapan pangeran Kediri yang
terakhir itu Empat bersaudara Laba-Laba Bera-
cun sama mengumbar tawa. Tangan Besi tentu
saja menjadi sangat geram karena kedua gadis
dan pemuda itu nampak seperti meremehkan di
rinya. Belum lagi Tangan Besi sempat mengu-
capkan sepatah katapun, tawa keempat laba-laba
mendadak terhenti. Lalu Laba-Laba Hitam berka-
ta dengan suara lantang. "Pangeran, siapapun di-
antara kami yang kau hendaki untuk menghadapi
orangmu akibatnya pasti akan sama saja. Kau
hanya tinggal menyebutkan, apakah setelah orang
itu boleh kami habisi?"
"Tidak! Tangan Besi adalah pembantu se-
tiaku. Kalian hanya berhak menunjukkan kehe-
batan yang kalian miliki. Sehingga untuk urusan
benda sakti itu aku tidak merasa telah keliru da-
lam memilih orang!" ujar Pangeran Sobali.
"Kalau begitu biarkan aku saja yang maju,
sekalian ingin menunjukkan pada pangeran bah-
wa aku bukanlah seorang calon permaisuri yang
mengecewakan!" kata gadis berbaju kuning.
Laba-Laba Kuning kemudian melompat
maju, berdiri dengan berkacak pinggang di depan
Tangan Besi, sedangkan dua tangannya yang lain
terlipat di depan dada.
Melihat sikap gadis bertangan empat yang
terkesan sangat meremehkan itu mendidih ra-
sanya darah Tangan Besi.
"Gadis ini harus kuberi pelajaran. Jika ti-
dak sikapnya semakin bertambah kurang ajar!"
geram laki-laki itu dalam hati.
"Tangan Besi, tunggu apa lagi. Calon per-
maisuriku siap menghadapimu. Ingat kalian tidak
boleh saling membunuh karena aku hanya ingin
memastikan tidak keliru menilai orang!" ujar pangeran.
"Baiklah. Saya pun siap menguji orang!"
sahut Tangan besi. Laki-laki itu kemudian bung-
kukkan badan. Begitu tubuhnya membungkuk
sosoknya amblas lenyap di udara. Bukan main
cepat gerakan Tangan Besi ini, begitu semua mata
memandang ke atas. Laksana gasing berputar tu-
buhnya sudah meluruk deras ke bawah.
Wuut!
Sambaran kedua tangannya yang meng-
hantam bahu dan kepala Laba-Laba Kuning tidak
mengenai sasaran karena lawan mendadak le-
nyap, berkelebat di udara. Begitu tubuh gadis ini
mengambang di udara, dia berputar, kakinya me-
lesat menghantam pinggang Tangan Besi.
Laki-laki berpakaian ungu ini begitu mera-
sakan ada angin yang menyambar pinggang sege-
ra menyambuti serangan lawan dengan mendo-
rongkan tangan kirinya yang sekeras baja.
Blaak!
Benturan keras antara tangan dan kaki la-
wan membuat Tangan Besi tergetar. Tapi gadis itu
sebaliknya meraung kesakitan. Kakinya yang di-
pergunakan untuk menendang laksana remuk.
Dalam sakitnya dia memandang ke depan. "Kepa-
rat itu punya ilmu apa. Tangannya benar-benar
keras luar biasa." maki Laba-Laba Kuning dalam
hati. Sebaliknya Tangan Besi yang merasa berada
di atas angin tidak lagi memberi kesempatan pada
gadis itu. Sambil melompat ke depan, dua tan-
gannya kembali dihantamkan ke dada dan perut
lawannya.
Tapi kali ini Laba-Laba Kuning sudah ber-
kelit menghindar. Dengan kecepatan luar biasa
dia melesat ke atas, lalu bagaikan seekor laba-
laba tangan dan kakinya menempel di dinding
tebing yang terjal. Pukulan Tangan Besi meng-
hantam sisi tebing, membuat batu tebing hancur
berlubang besar seperti dihantam petir.
Keluarga Laba-Laba berdecak kaum meli-
hat kedahsyatan pukulan Tangan Besi. Tapi me-
reka sama sekali tidak menjadi ciut karena sadar
biar bagaimanapun segala ilmu maupun kesak-
tian yang dimiliki Laba-Laba Kuning jauh lebih
tinggi dari Tangan Besi.
Sebaliknya Tangan Besi begitu melihat la-
wan dapat meloloskan diri dari pukulannya tanpa
menunggu lebih lama lagi jejakkan kakinya. Tu-
buh laki-laki itu melesat ke udara. Setelah berada
di atas ketinggian dia lakukan gerakan berjumpa-
litan mendekati tebing dimana lawan bergelayu-
tan di situ.
Dua tombak jaraknya dengan sasaran,
Tangan besi hantamkan tangannya kembali. Tapi
secara tak terduga dengan menggunakan tangan
kanan sementara tangan yang lain melekat pada
tebing, sang dara ikut pula menghantam me-
nangkis serangan lawan. Selarik sinar kuning
menderu, terjadi benturan keras. Anehnya puku-
lan gadis itu terus meluncur melabrak Tangan
Besi. Tak ayal lagi laki-laki itu menjerit sambil
dekap dadanya yang terasa ditembus dua batang
tombak. Tangan Besi jatuh bergedebukan. Tanpa
menghiraukan rasa sakit yang dia derita, secepat
kilat dia bangkit berdiri. Laksana kilat sambil
menggerung dia mencabut goloknya. Golok dipu-
tar hingga mengeluarkan suara angin menderu
yang disertai berkelebatnya sinar putih menyilau-
kan mata.
"Hem, rupanya kau punya senjata hebat.
Ingin kulihat apakah kau dapat menggunakan
senjata itu dengan baik!" kata Laba-Laba Kuning
yang sudah jejakkan kakinya di atas jalan disertai
senyum sinis.
Tanpa menghiraukan ucapan orang Tangan
Besi segera merangsak ke depan. Golok besar
menyambar ke segenap penjuru arah menimbul-
kan angin dingin luar biasa dan mengurung se-
tiap gerak gadis itu hingga membuat Laba-Laba
Kuning jadi terdesak.
Ketika mata golok menyambar pinggang
dan kaki gadis ini, sang dara cepat berkelit, lalu
jatuhkan diri bergulingan dan dia kemudian jen-
tikkan sepuluh jarinya siap menangkis dengan
ilmu Jaring Laba-Laba.
Sinar Kuning berpilin-pilin seperti jaring
meluncur dari sepuluh jari Laba-Laba kuning.
Tangan Besi yang belum pernah merasakan ke-
hebatan jaring laba-laba itu teruskan babatan go-
loknya. Dengan sekali tebas tentu jaring laba-laba
itu akan hancur porak poranda. Setidaknya begi-
tulah Tangan Besi berfikir.
Tapi segala perkiraannya meleset. Begitu
mata golok menyentuh untaian jaring yang ter-
buat dari air liur yang lengket. Ternyata gerakan
golok jadi tertahan. Tangan Besi menarik golok
besarnya. Golok tidak bergeming. Tangan Besi
terkejut. Pangeran Sobali apalagi. Dia tahu senja-
ta andalan pembantunya itu bukan senjata sem-
barangan. Selama ini belum pernah ada lawan
berkepandaian tinggi dapat lolos dari kematian
mendapat serangan golok. Tapi kini tidak disang-
ka seorang gadis yang masih muda belia mampu
memupus serangan Tangan Sesi hanya dengan
cara seperti itu.
"Aku harus berhati-hati. Segala siasat ha-
rus kujalankan secara halus agar aku tidak men-
dapat celaka!" batin Pangeran Sobali. Kemudian
pemuda itu bertepuk tangan memberi isyarat pa-
da kedua orang di depannya yang sedang terlibat
mengadu kepandaian.
"Laba-Laba Kuning, lepaskan dia. Sekarang
aku percaya dengan kemampuan yang kalian mi-
liki!" ujar pemuda itu.
Si gadis tersenyum, dua tangannya dige-
rakkan secara bersilangan. Begitu tangannya ber-
gerak maka jaring laba-laba yang dipergunakan
memerangkap Tangan Besi lenyap. Tangan Besi
menarik nafas pendek. Berbagai perasaan berke-
camuk dalam hatinya. Malu, penasaran, juga ke-
cewa. Setelah sarungkan kembali senjatanya Tan-
gan Besi kembali menghampiri kudanya. Dengan
kesal dia melompat ke atas kuda.
"Sekarang kalian berempat kuterima di
lingkunganku. Syarat pertama sudah kalian pe-
nuhi. Jika Sengkala Angin Darah cepat kalian te-
mukan. Pintu istana terbuka lebar untuk kalian!"
ujar Pangeran Sobali memberi harapan.
"Kuingatkan janjimu itu pangeran. Jika
ternyata nanti kau ingkar janji kami akan datang
ke Kediri. Istanamu akan kami ratakan dan kau
harus menyerahkan nyawamu!" ujar Laba-Laba
Biru, saudara paling tua diantara tiga laba-laba
lainnya.
Laba-Laba Biru selesai berkata segera
memberi isyarat pada tiga saudaranya. Kemudian
tanpa pamit lagi mereka meninggalkan tempat
itu.
"Mereka sangat berbahaya gusti pangeran."
Kata Tangan Besi.
Pangeran Sobali tersenyum. Sambil me-
nyentakkan tali kekang kuda dia menjawab. "Se-
gala sesuatunya tergantung keadaan. Menda-
patkan Sengkala Angin Darah bukan pekerjaan
mudah. Kita menghadapi banyak kesulitan. Kita
juga bakal menghadapi gelombang kekuatan be-
sar. Untuk apa berlatih diri menguras tenaga. Ji-
ka kita dapat menghimpun tenaga orang lain se-
gala macam cara dapat kita tempuh untuk meraih
apa yang kita inginkan di dunia ini!" sahut Pange-
ran Sobali disertai seringai lirih.
"Apa maksudmu, Pangeran?"
"Ha ha ha. Dasar manusia tolol. Apa kau
mengira aku mengangkat dua gadis salah kaprah
itu menjadi permaisuri sungguhan? Mereka hanyalah alat untuk mencapai suatu tujuan!"
"Ah, tak saya sangka. Ternyata pangeran
sangat cerdik. Semula saya kaget mendengar
pangeran berniat menjadikan gadis tadi sebagai
permaisuri. Ternyata itu hanyalah tipu muslihat
saja." ujar Tangan Besi. Laki-laki itu menggebrak
kudanya. Kudapun kemudian berlari meninggal-
kan tempat itu dengan diikuti ratusan prajurit
bersenjata.
4
Orang tua berkulit hitam, bermata cekung
itu duduk diam di bagian pendopo depan kedia-
man Pasadewa. Sembilan ekor ular berbelang-
belang kuning tetap bergelayut di sekujur tubuh-
nya dan terutama di bagian leher. Di langit men-
dung kian menebal dan si kakek pejamkan ma-
tanya.
Perjalanan jauh telah ditempuhnya, se-
dangkan telaga Setan telah pula ia tinggalkan.
Semua itu ia lakukan karena demi memenuhi
permintaan Pasadewa. Tidak disangka ketika
sampai di tempat kediamannya ternyata Pasade-
wa entah pergi kemana.
Kakek angker yang sekujur tubuhnya dilili-
ti sembilan ular beracun menarik nafas dalam-
dalam. Dia mendengar suara keluh Pandan Arum
yang tengah menyiapkan makan malam untuk
kakek ini.
Ingat dengan kecantikan gadis ini dan
membayangkan lekuk lengkung tubuhnya. Sekali
lagi kakek yang dikenal dengan julukan Iblis Ular
Sembilan ini jadi terjebak oleh keinginannya sen-
diri.
Tubuh kakek berumur tujuh puluhan ini
bergetar hebat. Sebenarnya ini adalah kesempa-
tan bagi si kakek untuk mencicipi kehangatan
Pandan Arum. Suasana yang ada terasa benar
sangat mendukung. Pasadewa tidak berada di
tempat sementara langit gelap gulita. Dengan il-
mu lidahnya yang mampu membuat seseorang
mau menuruti apa yang ia inginkan. Tentu tidak
sulit baginya menjadikan Pandan Arum jatuh ke
dalam pelukannya.
Tetapi bila melihat keadaan dirinya saat
itu, tiba-tiba saja Iblis Ular Sembilan merasa da-
rahnya mendidih terbakar amarah. Lalu kedua
pipinya yang kempot menggembung besar, rahang
bergemeletukan, sedang dua tangannya terkepal.
Iblis Ular Sembilan raba auratnya yang
cuma tertutup selembar kain dekil. Ternyata po-
los. Dia telah kehilangan kebanggaannya sebagai
laki-laki. Ia kehilangan senjata pusaka yang ia
bawa sejak lahir. Benda itu telah diambil secara
paksa tapi tidak terasa oleh seorang kakek sinting
ahli sihir yang dikenalnya dengan nama Ki Comot
Jalulata. Padahal saat itu ia hampir saja berhasil
melampiaskan hasratnya pada Arum Pandan
yang ketika itu telah berada dalam pengaruhnya.
Sayang tiba-tiba saja muncul Ki Comot Jalulata.
Kakek aneh berdaster biru itu bukan saja meng-
gagalkan keinginannya, lebih dari itu tanpa dis-
adarinya Ki Comot diam-diam telah mengambil
anunya kemudian dia masukkan ke dalam kendi
es, kendi perak yang selalu tergantung di ping-
gangnya.
Ingat dengan semua itu iblis Ular Sembilan
dengan mata mendelik tiba-tiba menggeram.
"Ki Comot Jalulata, kau penyebab dari se-
mua sengsara dan derita hidupku. Jangankan ke
lubang semut ke neraka sekalipun kau tetap ku-
cari! Karena ulahmu aku jadi tidak dapat lagi ber-
senang-senang dengan perempuan. Padahal ke-
sempatan itu kini terbuka lebar. Aku tak perduli
kau memiliki segudang ilmu sihir. Apa yang kau
lakukan harus kau bayar mahal. Nasibmu bakal
celaka! Apalagi bila barangku sampai rusak. Eng-
kau kira barang itu buat mainan? Biarpun bulu-
kan selama ini tidak pernah mengecewakan. Jika
kau tidak melarikan diri, sembilan ularku pasti
saat itu telah menggerogoti daging dan tulang be-
lulangmu. Bahkan kentutmu sekalipun tidak
akan tersisa."
Belum lagi kekesalan si kakek lenyap. Di
langit tiba-tiba kilat menyambar. Petir menggele-
gar dan hujan pun turun bagai tercurah dari lan-
git.
Di saat hujan turun dan angin kencang
bertiup, bersamaan dengan itu pula Pandan Arum
keluar menemuinya. Pandan Arum berpakaian
kuning, tapi nampaknya sengaja memakai pakaian yang tipis ketat hingga menonjolkan lekuk
lengkung tubuhnya.
Iblis Ular Sembilan seketika belalakkan
matanya, sayang dia cuma bisa menelan ludah
tanpa dapat berbuat apa-apa.
Sambil tersenyum genit mengundang per-
hatian, gadis itu berkata. "Orang tua, kekasihku
mungkin akan kembali besok pagi. Aku sudah
menyiapkan hidangan untukmu di dalam sana.
Ada ikan pepes, ada tuak juga jengkol mata ker-
bau. Lekaslah masuk, di luar dingin lebih baik
berada di dalam."
Iblis Ular Sembilan menelan ludah.
"Mmm, ikan pepesmu pasti enak. Sayang
aku datang pada waktu yang kurang tepat." ka-
kek itu menggerutu kesal.
Pandan Arum yang berdiri di depan pintu
kedipkan matanya. "Eh, apakah maksudmu? Kau
tidak suka dengan hidangan yang kusediakan?
Apakah mungkin kau lebih suka bila aku meng-
hidangkan diriku?" goda Pandan Arum lebih be-
rani.
"Ha ha ha. Aku tentu saja suka dengan hi-
dangan mu. Sayang kekasihmu tidak berada di
tempat." kilah si kakek.
"Kau tidak perlu risau orang tua. Anggap
saja kau berada di rumahmu sendiri." Ujar Pan-
dan Arum.
Si kakek bangkit berdiri. Tanpa bicara apa-
apa ia melangkah masuk ke dalam. Pandan Arum
segera mengikuti di belakang.
Iblis Ular Sembilan duduk di atas kursi
kayu, menghadap ke sebuah meja bundar. Di atas
meja itu terhidang makanan berikut lauk pauk-
nya. Dua kendi tuak keras juga tersedia. Iblis Ular
Sembilan segera menuangkan nasi ke dalam pir-
ing tanah, mengambil beberapa lauk pauk dan
mulai mengunyah.
Sementara di luar sana hujan turun den-
gan deras, malah makin lama makin bertambah
deras. Di halaman air menggenangi.
Kilat menyambar dan di kejauhan terden-
gar suara guruh. Seketika kegelapan berubah
menjadi terang benderang. Dan sebelum kegela-
pan kembali menyelimuti alam sekitarnya. Dari
arah sudut sebelah timur rumah tersebut terlihat
dua bayangan berkelebat menuju ke arah pendo-
po depan.
Sosok pertama adalah seorang pemuda
bertelanjang dada berambut gondrong, sementara
pada saat berlari menuju pendopo kedua tangan-
nya ditekabkan ke bagian telinga. Sedangkan di
belakang si gondrong terlihat satu sosok lainnya.
Orang kedua berkepala botak plontos berpakaian
serba putih. Di punggung si botak tergantung se-
bilah pedang panjang dengan bagian gagang be-
rukir bagus.
Baik si gondrong yang berada di depan
maupun si gadis berpakaian putih keduanya sa-
ma dalam keadaan basah kuyup. Begitu sampai
di pendopo si gondrong tertawa terpingkal-
pingkal.
"Hebat!" pujinya. "Di sepanjang jalan kita
dimandikan oleh malaikat. Rupanya malaikat ta-
hu aku tak pernah mandi, sekarang basah ja-
dinya luar dalam. Dan kau... wah untung kepa-
lamu tidak ada rambutnya. Tapi melihat pa-
kaianmu yang basah kuyup mata ini ingin kedip
melulu. Hujan begini memang asyik, apalagi jika
ada makanan dan tuak harum. Tentu jauh lebih
enak dan lebih hangat. Ha ha ha...!" Pemuda itu
tepuk perutnya hingga mengeluarkan suara aneh.
Gadis berkepala botak berdandan dan ber-
pakaian seperti laki-laki tidak menanggapi. Seba-
liknya dia memperhatikan suasana di sekeliling
pendopo yang gelap temaram. Kemudian iapun
melihat cahaya yang membersit keluar.
Gadis itu lalu berkata. "Sebaiknya kita
minta ijin berteduh pada pemilik rumah, Gento."
Enak saja si gondrong menanggapi. "Walah
buat apa minta ijin segala? Kita menumpang cu-
ma sebentar, setelah hujan reda kita pergi."
Dengan seenaknya si gondrong yang ada-
lah Pendekar Sakti 71 Gento Guyon malah men-
dekati dinding bilik yang terbuat dari bambu. Se-
lanjutnya Gento mengintai ke dalam.
Sepasang mata pemuda ini terbelalak lebar
ketika melihat pemandangan di dalam sana. Tan-
pa sadar ia menggerutu. "Kakek jelek itu agaknya
seorang pemain sulap. Tubuhnya dipenuhi ular
berbisa, hm... siapa dia?" Si gadis jadi heran.
"Kau bicara apa?" Tanya gadis itu, tapi kemudian
diapun ikutan pula mengintai.
Begitu dia melihat pemandangan di dalam
sana, gadis yang biasa dipanggil Taktu alias botak
ke satu ini jadi tercekat. "Kakek aneh. Tubuhnya
dililiti ular. Dia makan dengan lahap seperti orang
kesurupan, ditemani seorang gadis cantik. Ra-
sanya aku belum pernah bertemu atau mengenai
manusia dengan ciri-ciri seperti dia." kata gadis
itu tegang.
Berbeda dengan Gento. Melihat makanan
yang terhidang di atas meja, pemuda ini malah
menelan ludah.
"Makanan itu pasti enak, apalagi ada tuak-
nya. Kalau saja kita boleh ikut makan bersama
pasti asyik. Tapi bila melihat kakek itu, bisa-bisa
selera makanku jadi lenyap. Ular yang bergelayut
di tubuhnya memang menjijikkan. Namun lebih
menjijikkan tubuh telanjang kakek itu. Kau
bayangkan dia hanya memakai cawat. Jauh ber-
beda dengan gadis yang menemaninya, gadis itu
cantik. Pakaiannya menerawang, yang seharus-
nya ditutupi malah mengintip keluar."
"Kau jangan bicara ngaco, Gento. Sebaik-
nya lekas kita tinggalkan tempat ini. Terus terang
aku merasa geli melihat ular-ular itu." Kata Taktu
berbisik.
Bisikan yang begitu dekat dengan telinga
membuat Gento merinding. Pemuda itu tekap te-
linganya. Sambil mengusap-usap telinganya ia
berkata. "Jangan terburu-buru. Kita sebaiknya
menunggu sebentar lagi."
Suara Gento yang diucapkan agak keras
tentu saja membuat kaget orang yang berada di
bagian dalam.
Si kakek tiba-tiba membentak. "Siapa di-
luar?"
"Di dalam siapa?" Gento malah balik ber-
tanya.
"Kurang ajar, ditanya malah balas ber-
tanya!" geram kakek di dalam.
"Oh begitu. Aku Gento dan sahabatku ini
Taktu. Situ dan gadis itu siapa?" Tanya sang pen-
dekar pula kaku.
"Gento... Gento siapa cepat katakan!"
"Gento! Gento ya Gento, laki-laki seperti-
mu. Cuma masih gagah, belum peot dan jelek se-
perti dirimu." Ujar sang pendekar ketus.
Sunyi sejenak. Baru saja Gento hendak
mengintai ke dalam lagi mendadak sontak dinding
yang dipergunakan mengintip berderak jebol.
Braak!
Dari balik dinding yang jebol tiba-tiba ber-
kelebat satu sosok bayangan. Bayangan itu bu-
kan lain adalah bayangan si kakek angker yang
diikuti oleh gadis berpakaian serba kuning.
Hanya beberapa saat, tidak jauh di depan
Gento dan Taktu berdiri tegak kakek aneh itu. Ia
memandang ke arah Gento dengan kedua ma-
tanya yang menyorot tajam.
Dia pun lalu membentak. "Apa yang kalian
lakukan di sini? Mengintai orang bisa membuat
kalian celaka!"
Enak saja Gento menjawab. "Eeh, orang
tua siapa yang mengintai dirimu? Kami hanya
menumpang berteduh, kalau tidak boleh biarkan
kami pergi!" kata pemuda itu.
Kakek itu tertawa tergelak-gelak. Begitu
tawanya lenyap ia berkata. "Kau dan kawanmu
itu tidak akan kubiarkan pergi begitu saja. Terke-
cuali kau jawab dulu beberapa pertanyaanku."
Dengus Iblis Ular Sembilan.
Sementara itu Pandan Arum diam-diam
merasa kagum melihat kehadiran Gento yang ber-
tubuh kekar dan berwajah tampan itu. Dalam ha-
ti ia membatin. "Sayang aku sudah punya keka-
sih. Jika tidak tentu aku bisa menjadikan dia se-
bagai kekasihku!"
Di depannya Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon pada saat itu telah tertawa terbahak-
bahak. "Kakek bengek, kau ini sebenarnya siapa?
Jika aku mau pergi aku bisa pergi sekehendak
hati. Mana bisa kau melarang kami?" dengus mu-
rid si gendut Gentong Ketawa sambil mengusap-
usap bukti hidungnya.
Di mata kakek itu sikap Gento ia anggap
sebagai suatu penghinaan. Dengan geram ia men-
jawab. "Pemuda sinting, ketahuilah aku adalah
Iblis Ular Sembilan."
Gento unjukkan tampang kaget, tapi mulut
tetap sunggingkan seringai mengejek. "Iblis Ular
Sembilan. Jadi kau iblis itu... pantas tampangmu
kulihat memang sangat mirip dengan setan. Tapi
mengingat tubuhmu yang kurus bagaimana kalau
nama itu kuubah menjadi Iblis Kurus Cacingan?
Ha ha ha."
Penghinaan itu membuat wajah si kakek
berubah menjadi merah kelam. Taktu sendiri tak
dapat menahan tawa. Sedangkan Pandan Arum
cepat palingkan wajah ke jurusan lain sambil me-
nyembunyikan senyumnya. Masih belum lenyap
kejengkelan di hati si kakek, Gento kembali me-
nyeletuk. "Namamu sekarang jadi bagus. Seka-
rang aku ingin tahu gadis cantik baju kuning itu
siapa? Istrimu atau anakmu?"
Si kakek mendamprat. "Kau tidak layak
bertanya!"
Pandan Arum sendiri sebenarnya ingin
menjawab, tapi dia takut didamprat oleh si kakek.
"Jika kau tidak layak bertanya, berarti aku
pun tidak layak menjawab pertanyaanmu." Kata
Gento. Pemuda itu lalu palingkan kepala ke arah
Taktu. Pada Taktu ia berkata. "Sobatku botak tu-
runan, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. Hu-
jan sudah reda, aku kasihan pada guruku. Aku
takut gara-gara mengkhawatirkan diriku dia ma-
lah kesasar di neraka. Nanti aku bisa dibuat re-
pot. Lagipula tugas kita adalah mencari tahu
benda sakti itu sebenarnya berada di tangan sia-
pa?"
Di luar dugaan begitu Gento ada menyebut
tentang benda sakti, Iblis Ular Sembilan langsung
berkelebat ke arahnya. Dua tangan menyambar
ke arah pinggang. Tapi Gento cepat berbalik sam-
bil mendorong Taktu ke samping, Taktu terjatuh,
namun ia selamat dari tendangan si kakek. Sebaliknya serangan tangan yang dilakukan kakek itu
juga tidak mengenai sasarannya.
Bukan cuma Pandan Arum, Iblis Ular
Sembilan sendiri diam-diam jadi kaget. Sama se-
kali dia tidak pernah menyangka si gondrong
yang semula dianggapnya hanyalah pemuda le-
mah ternyata mampu menghindari serangan
mautnya. Padahal tadi ia mengerahkan jurus Ular
Melibas Mangsa.
Si kakek menggerung, tapi sebelum lan-
jutkan serangan masih sempat ajukan satu per-
tanyaan. "Tadi kau ada menyebut tentang benda
sakti. Apakah benda yang kau maksudkan adalah
Sengkala Angin Darah?"
Kini Gento yang dibuat kaget mendengar
pertanyaan si kakek. Dia tidak menduga Iblis Ular
Sembilan ternyata tahu juga tentang kemunculan
benda sakti itu. Karena pada dasarnya pemuda
ini seorang pemuda konyol suka mempermainkan
perasaan orang, enak saja ia berkata. "Kalau ben-
da itu kau tanyakan padaku mana aku tahu. Apa
yang kukatakan tadi adalah tentang benda yang
lain."
Iblis Ular Sembilan mana mungkin bisa di-
buat percaya. Dia gelengkan kepala berulang kali.
Ketika kepala si kakek menggeleng, sembilan ular
yang melingkari tubuh kakek ini juga ikut ber-
goyang
5
Gento memperhatikan setiap gerak yang di-
lakukan oleh Iblis Ular Sembilan. Dia sangat ya-
kin. Dengan julukannya tentu sembilan ular-ular
yang melingkari tubuhnya tentu sangat berba-
haya.
Sementara itu Pandan Arum ajukan perta-
nyaan pada si kakek. "Iblis Ular Sembilan, apakah
kau ingin agar aku meringkus gadis berkepala bo-
tak itu?"
Tanpa berpaling dari Gento si kakek men-
jawab. "Dalam keadaan biasa walau kepalanya
botak aku pasti sangat membutuhkannya. Tapi
saat ini aku benar-benar tidak butuh perempuan
yang manapun." Dengus si kakek.
Jawaban ini cukup membingungkan Pan-
dan Arum. Dia merasa ada keanehan terjadi pada
kakek itu. Tapi apa dan bagaimana bentuk kea-
nehan itu sang dara tidak tahu.
Kemudian Pandan Arum pun teringat pada
benda sakti yang baru saja dikatakan oleh Gento.
Dia menduga Gento dan Taktu pastilah tahu ba-
nyak tentang Sengkala Angin Darah. Itu sebabnya
tanpa menghiraukan ucapan Iblis Ular Sembilan,
Pandan Arum sekonyong-konyong melompat ke
depan. Lalu dengan sekonyong-konyong ia me-
nyerang Taktu dengan kecepatan luar biasa.
"Ah rupanya kau gadis keras kepala. Kakek
itu menyuruhmu menontonnya, tapi kau malah
menyerang diriku. Baiklah, aku siap melayani-
mu!" dengus Taktu. Gadis itu jatuhkan diri hinda-
ri serangan. Begitu satu hantaman lewat di bela-
kangnya, dengan kakinya Taktu lakukan satu ge-
rakan bersilangan bagai menggunting.
Wuuut!
Serangan ini dengan mudah dapat dihinda-
ri oleh Pandan Arum. Tubuh gadis itu melesat ke
udara. Selagi tubuhnya mengapung ia menghan-
tam kepala botak Taktu.
Taktu rupanya maklum jika sampai kepala
botaknya terkena tendangan lawan, kepala itu
mungkin saja bisa remuk atau rengat. Dengan
bertumpuan pada kedua tangan kaki kirinya me-
lesat menyambut serangan lawan.
Plak!
Benturan keras yang terjadi membuat Pan-
dan Arum terjatuh. Sedangkan Taktu tanpa
menghiraukan rasa sakit akibat benturan segera
bangkit berdiri. Selanjutnya ia pun melesat ke
arah lawan sambil hantamkan kedua tangan dan
kakinya ke arah lawan. Mendapat serangan ganas
yang dilakukan secara bersamaan itu, Pandan
Arum benar-benar tak mampu menyembunyikan
rasa kagetnya.
Gadis itu tidak dapat lagi berfikir lama. Se-
gera disambutinya serangan itu. Dua tangan tiba-
tiba didorongkan ke depan.
Plak!
Dua bentrokan keras kembali terjadi. Begi-
tu tangannya membentur tangan Taktu diapun
melesat ke atas. Kali ini dia melepaskan tendan-
gan yang mengarah ke bagian wajah Taktu.
Taktu melompat mundur sambil lindungi
wajahnya. Tidak urung tendangan Pandan Arum
masih mengenai bagian bahu. Murid Peri Tanpa
Bayangan terhuyung, bahunya terasa nyeri, na-
mun dengan cepat ia sudah berdiri lagi dengan
posisi siap menyerang.
Sementara pada waktu bersamaan Iblis
Ular Sembilan saat itu sudah merangsak ke de-
pan. Dia menggempur lawan dengan serangan-
serangan hebat, ganas dan berlangsung dengan
cepat.
Menghadapi serangan ganas yang dilan-
carkan oleh Iblis Ular Sembilan, Gento mengelak
sambil menangkis. Tidak jarang dengan mengan-
dalkan jurus Congcorang Mabuk yang dipadu
dengan jurus Manusia Seribu Tahun Gento serta
merta melakukan serangan balik.
Iblis Ular Sembilan dibuat melengak kaget.
Sambil memandang ke arah lawan dia membatin
di dalam hati. "Aku sungguh tidak pernah men-
duga pemuda sinting ini ternyata memiliki ilmu
yang tinggi. Mungkin aku harus menggunakan ju-
rus Sembilan Ular Terbang untuk meringkusnya.
Jika meringkus pun tak dapat kulakukan, lebih
baik dia kubunuh saja!"
Selagi lawan tertegun, pada saat itu Gento
berteriak! "Iblis cacingan. Apakah kau telah keha-
bisan tenaga? Kulihat nafasmu kembang kempis.
Melihat keadaanmu, apakah kau masih juga ingin
tahu tentang benda sakti itu?" Tanya si pemuda
disertai senyum mengejek.
"Manusia sombong, apakah kau masih bisa
bermulut sombong setelah kuhujani dengan se-
ranganku?" dengus si kakek.
"Aku tahu di luar memang hujan, tapi apa
benar kau mempunyai kemampuan menyerang
dengan kecepatan seperti hujan?" Tanya Gento
sinis.
Bukan jawaban yang didapat Gento, seba-
liknya ia malah menyilangkan kedua tangannya
di depan dada. Dengan mata menyorot tajam tu-
buh si kakek bergetar hebat. Ternyata saat itu si
kakek tengah mengerahkan dalam yang ia miliki.
Kemudian bersamaan dengan itu pula sembilan
ular yang melingkari tubuhnya mengeliat, sembi-
lan kepala terangkat tegak disertai desis mengeri-
kan. Mulut sembilan ular terbuka memperli-
hatkan taring-taringnya yang runcing, lidah-
lidahnya yang bercabang terjulur siap menyerang
Gento.
Gento terkesima melihat ular yang semula
terkesan jinak, kini menjadi beringas. Belum lagi
hilang rasa kaget di hati Gento, Iblis Ular Sembi-
lan mendadak lakukan gerakan berputar. Dua
tangan yang bersilangan kini disibakkan, dengan
gerakan laksana kilat kakek ini melesat ke arah
Gento.
Sosok si kakek berkelebat lenyap seperti
bayangan. Tahu-tahu sekarang berada di depan
pemuda itu. Gento merasakan ada angin yang
menyambar dadanya. Tidak membuang waktu
Gento berkelit lalu melesat ke udara. Namun se-
cepat apapun gerakan yang dilakukan oleh murid
Gentong Ketawa ini, tak urung bagian kakinya
masih kena dihantam lawan. Gento menjerit ter-
tahan, walau kakinya seperti remuk hebatnya ia
tidak sampai terjatuh.
Iblis Ular Sembilan jadi penasaran. Dengan
mengandalkan jurus Sembilan Ular Terbang si
kakek mengejar Gento yang sudah melesat di
udara.
Dalam keadaan mengambang di udara, ter-
jadilah perkelahian sengit. Keduanya saling mele-
pas pukulan dan tendangan yang sangat berba-
haya. Tetapi Gento tiba-tiba melambung lebih ke
atas lagi. Dengan beberapa kali gerakan di lain
waktu dia telah berada di belakang lawannya.
Laksana kilat dia hantamkan tangannya ke ba-
gian punggung kaki itu.
Plak! Desss!
Satu hantaman keras membuat si kakek
jatuh tersungkur. Tetapi begitu tubuhnya jatuh,
dengan cepat dia bangkit lagi. Orang tua ini
menggeram dengan sengitnya.
Dia dongakkan wajahnya ke atas, setelah
itu tangan digerakkan ke arah badan, lalu diki-
baskan.
Tiga ekor ular besar berbelang kuning me-
lesat membeset udara dengan kecepatan laksana
anak panah mengincar tiga bagian di tubuh Gen-
to. Melihat ini sang pendekar sempat terkejut, tetapi dia juga tidak menunggu lebih lama. Dengan
cepat dia dorongkan dua tangan ke depan. Ru-
panya ia melepaskan pukulan Iblis Tertawa Dewa
Menangis.
Begitu dua tangan didorong, terdengar sua-
ra bergemuruh disertai berkiblatnya sinar merah
berhawa panas luar biasa. Pukulan itu melabrak
tiga ular yang menyerangnya. Dua ular langsung
terpental ke tanah, namun tidak mati terkena pu-
kulan Gento. Sedang ular yang satunya lagi ber-
balik, kemudian melesat ke arah Taktu yang se-
dang terlibat perkelahian dengan Pandan Arum.
Melihat ini Gento tercekat. Sang Pendekar pun
kemudian berteriak.
"Sobat botak awas di belakangmu!"
Taktu sempat kaget, tanpa menoleh ke be-
lakang gadis ini segera jatuhkan diri dan bergu-
lingan menjauh. Tak ayal lagi ular itu meluncur
ke arah Pandan Arum.
"Pandan.... menyingkirlah!" teriak Iblis Ular
Sembilan begitu melihat mahluk piaraannya ma-
lah membahayakan keselamatan Pandan Arum.
Meski sudah diperingatkan, namun gera-
kan menghindar yang dilakukan gadis itu kalah
cepat dengan daya luncur mahluk itu. Tak ayal
lagi ular itu menghujam di bagian dada Pandan
Arum tepat di bagian jantung.
Si gadis menjerit keras, matanya mendelik.
Tubuhnya langsung membiru, lalu ambruk dan
tewas seketika. Sedangkan ular yang memangut-
nya kemudian kembali ke arah si kakek, selanjutnya kembali bergelung di tubuh orang tua itu.
Tak terkirakan betapa marahnya orang tua
ini. Apa yang terjadi setidaknya membuat pera-
saan dan jiwanya terguncang. Lebih celaka lagi
bila mengingat ia harus mempertanggung jawab-
kan kematian Pandan Arum di depan kekasihnya
Pasadewa.
"Jahanam betul! Kau telah membuat uru-
sanku menjadi kapiran. Kau harus mampus!" ge-
ram si kakek yang kini telah berdiri di hadapan
pemuda itu.
"Ha ha ha... urusanmu yang mana yang te-
lah kubuat menjadi kapiran? Kau melakukan tin-
dakan tolol dengan membunuh kawan sendiri.
Kau yang membunuh, mengapa harus menyalah-
kan aku?"
Apapun alasan Gento tentu si kakek tak
dapat menerimanya. Tanpa bicara lagi Iblis Ular
Sembilan dorongkan kedua tangannya ke arah
sang pendekar. Gerakan yang dia lakukan kali ini
tampaknya biasa saja, bahkan terkesan begitu
lemah. Ini bertolak belakang dengan serangan se-
belumnya. Tetapi akibat yang ditimbulkan sung-
guh sangat luar biasa sekali.
Murid Gentong Ketawa mendadak merasa-
kan sekujur tubuhnya seperti ditindih gunung es.
Sekujur tubuhnya terasa kaku dan nyeri di setiap
persendian. Dalam kagetnya tak menyangka la-
wan memiliki ilmu seaneh itu Gento cepat salur-
kan tenaga dalam ke bagian tengah. Setelah tena-
ga mengalir ke bagian tengah. Dia segera dorong
kan kedua tangan itu ke depan.
Hawa panas membersit dari tangan pemu-
da itu. Tetapi apa yang menjadi kenyataan kemu-
dian membuat Gento lebih kaget lagi. Serangan
yang dilancarkannya seolah amblas begitu saja,
sedang dari arah depan hawa dingin menyerang-
nya dengan kekuatan berlipat ganda.
"Kurang ajar! Ilmu apa yang dimiliki oleh
iblis satu ini?" rutuk Gento. Pemuda itu segera
berkelit ke samping. Sementara di depan sana la-
wan sudah lakukan lompatan sambil melepaskan
pukulan ke beberapa bagian di tubuh pemuda
itu.
Gento yang merasa tubuhnya seolah men-
jadi beku akibat serangan pertama segera me-
nangkis sambil menghindar. Sayang salah satu
pukulan lawan masih sempat mendarat di tubuh-
nya.
Buuk!
Buuk!
Dua pukulan keras berturut-turut meng-
hantam dada Gento membuat pemuda ini jatuh
terlentang di halaman yang digenangi air. Melihat
kenyataan ini Taktu pun tidak tinggal diam. Tu-
buhnya berkelebat, melesat setengah tombak di
udara. Lalu dengan cepat kakinya menghantam
pinggang si kakek.
Dess!
Iblis Ular Sembilan jatuh ke samping. Dia
menggeram begitu melihat siapa yang telah me-
nyerangnya.
"Gadis berkepala botak, rupanya kau ingin
mampus mendahului temanmu? Baiklah, biar sa-
lah satu mahluk piaraanku ini membantumu be-
rangkat ke akherat!" Si kakek bangkit berdiri.
Kemudian dengan gerakan cepat melemparkan
salah satu ularnya ke arah Taktu.
Di udara terlihat benda hitam panjang ber-
belang kuning melesat cepat ke arah Taktu. Gadis
ini tanpa membuang waktu langsung berkelit. Ta-
pi begitu ular itu tidak mengenai sasarannya, ti-
ba-tiba saja mahluk ini berbalik dan mengejar
Taktu. Taktu tercekat. Kalang kabut gadis ini se-
lamatkan diri dengan melesat ke atas. Serangan
ular lewat setengah jengkal di bawah kakinya. Se-
perti tadi, begitu sasarannya luput maka ular itu
berbalik. Semula Taktu sudah melihat bahwa ular
itu sepertinya tidak mempan pukulan. Itu sebab-
nya tanpa fikir panjang lagi ia segera mencabut
pedangnya. Sambil berjumpalitan di udara. Taktu
babatkan pedangnya ke arah ular yang melesat ke
arahnya.
Sinar putih berkiblat disertai deru angin
kencang. Tidak dapat dihindari lagi mata pedang
kemudian menghantam mahluk melata tersebut.
Tringg!
Terdengar suara berdentring. Taktu terke-
jut. Ular itu sama sekali tidak terluka. Sementara
gagal membunuh lawan, ular itu kemudian men-
jalar merambati kaki si kakek, lalu melingkar ber-
gelung di kaki itu bagai seorang bocah yang mele-
paskan lelah.
Walau kecewa ularnya tidak dapat mem-
bunuh Taktu, namun Iblis Ular Sembilan nam-
paknya tidak begitu perduli, sebab baginya yang
terpenting saat itu adalah membunuh atau me-
nangkap si gondrong yang dia anggap sangat ber-
bahaya bahkan memiliki ilmu yang tidak rendah.
Sadar lawan berilmu tinggi dan tidak ter-
duga Iblis Ular Sembilan tiba-tiba melemparkan
lima ularnya ke arah sang pendekar.
Ternyata serangan yang dilakukannya kali
ini hanya muslihat saja, terbukti begitu Gento
menghindar dari serangan lima ular itu Iblis Ular
Sembilan berkelebat ke arah Gento.
Empat jari tangannya berkelebat menyu-
sup ke arah pertahanan pemuda itu. Dan semua
ini dilakukan dengan tiba-tiba. Sang pendekar
tercengang. Serangan kelima ular itu saja sebe-
narnya telah membuatnya kewalahan. Apalagi ki-
ni lawan ikut menyerangnya dari jarak yang begi-
tu dekat.
Sebagai pemuda cerdik Gento segera men-
gambil tindakan dengan menghindari patukan ke-
lima ular yang berputar-putar mengelilinginya.
Luput dari kepungan lawan dia sambut dengan
pukulan Raja Dewa Ketawa. Ini adalah salah satu
pukulan dahsyat yang jarang dipergunakan Gento
dalam pengembaraannya. Seandainya lawan ter-
kena pukulan ini maka tubuhnya akan seperti di-
gelitik. Dia akan terus tertawa sampai menemui
ajal dalam keadaan tertawa.
Iblis Ular Sembilan memang belum mengenal betul siapa pemuda ini. Itu sebabnya walau
dirinya sempat merasakan ada hawa dingin me-
nyambar tubuhnya, namun tetap saja dia julur-
kan jarinya ke arah leher Gento dalam usahanya
melakukan totokan.
Dess!
Sebelum totokan tepat mengenai sasaran,
pukulan yang dilakukan Gento menghantam tu-
buh kurus lawannya. Orang tua itu seketika terja-
jar, tertegun lalu tertawa terpingkal-pingkal.
Gento bergulingan menjauh. Lima ular kini
sudah tidak terkendali lagi. Mereka saling bertu-
brukan satu sama lain, begitu jatuh mereka lari
berserabutan mendapatkan kakek itu.
Melihat kejadian aneh ini Taktu yang se-
mula hendak turun tangan membantu Gento kini
malah terheran-heran.
"Kau apakan dia?" Taktu bertanya begitu
berada di depan Gento.
Gento tersenyum. "Aku cuma berusaha
membuat hatinya senang, itu sebabnya kuhantam
dia dengan pukulan Raja Dewa Ketawa. Sekarang
sebaiknya kita cepat pergi. Kurasa tenaga dalam
kakek itu tidak rendah. Begitu dia sadar dan da-
pat menggunakan tenaga dalamnya. Dia pasti se-
gera bisa mengatasi keanehan yang terjadi pa-
danya."
Taktu mengangguk.
Sebelum Gento berkelebat tinggalkan Iblis
Ular Sembilan pemuda itu tiba-tiba berteriak lantang.
"Iblis Ular Sembilan. Tertawalah kau sam-
pai puas, kalau perlu sampai gila dan sampai
mampus. Kuharap kau cepat mati, agar di lain
waktu aku tidak bakal pernah bertemu dengan
kakek edan sepertimu! Ha ha ha....!
Si kakek tidak menjawab. Orang tua ini te-
rus saja tertawa. Tetapi jauh di lubuk hati sebe-
narnya Iblis Ular Sembilan kaget juga mendapati
dirinya dalam keadaan seperti itu.
Iblis Ular Sembilan merasa mulutnya se-
perti mau robek dan otaknya bagai mau meledak
pula. Kemudian kesadarannya pulih. Dia sadar
dirinya sudah dikerjai orang. Itu sebabnya si ka-
kek berteriak keras di tengah suara gelak tawanya.
Sejalan dengan teriakannya, tawa si kakek
mendadak terhenti. Iblis Ular Sembilan ter-
huyung-huyung seperti orang linglung.
"Jahanam pemuda gondrong itu." Geram-
nya dengan nafas megap-megap. "Bagaimana
dengan ilmunya bisa membuat diriku seperti ini?
Hmm... aku harus mengejar. Aku harus bisa
mengorek keterangan dari mulutnya. Barulah se-
telah itu aku membunuhnya!" geram si kakek.
Iblis Ular Sembilan lalu balikkan badan.
Selanjutnya tanpa menghiraukan mayat Pandan
Arum dia berlari cepat ke arah Gento dan Taktu
lenyap.
6
Puncak gunung yang semula dalam kea-
daan sunyi tiba-tiba dikejutkan oleh suara ber-
gemuruh hebat. Bersamaan dengan itu tanah di
sekitarnya juga bergetar, pepohonan bertumban-
gan.
Kejadian ini berlangsung cepat. Tidak lama
setelah itu dari balik gua yang terbelah porak po-
randa terlihat satu sosok serba kuning melesat ke
udara membebaskan diri dari bebatuan yang
menghimpitnya.
Sosok serba kuning itu jatuh bangun di-
hempas angin yang datang dari arah depan. Dia
yang ternyata adalah seorang kakek bertato teng-
korak tepat di bagian kening itu jadi menggeram.
Gler!
Ujung tongkat amblas sejengkal ke dalam
tanah disertai percikan bunga api. Kemudian
orang tua ini hantamkan tangan kirinya ke arah
depan persis dengan arah datangnya angin topan
tersebut.
Buum!
Satu ledakan akibat benturan pukulan dan
hembusan angin mengguncang bagian puncak
gunung. Kakek angker berpakaian kuning diwar-
nai tambalan bergambar tengkorak itu jatuh ber-
lutut. Dentuman tadi sekaligus mengakhiri hem-
busan topan yang melanda tempat itu.
Terbungkuk-bungkuk sambil dekap da
danya yang berdenyut si rambut putih ini bangkit
berdiri. Dua matanya menatap ke depan. Tak la-
ma kemudian si kakek dongakkan kepala dan ter-
tawa tergelak-gelak.
"Ha ha ha. Duniaku baru saja dilanda ben-
cana hebat. Aku tahu rencana itu bukan kehen-
dak Tuhan. Penyair Halilintar, mengapa kau usik
tapaku. Katakanlah apa salah dan dosaku?" Ge-
ram si kakek merasa tidak senang.
Suara si kakek kemudian lenyap. Lalu dia
menunggu. Tak lama kemudian dari arah lereng
bukit tiba-tiba terdengar suara raungan mengge-
ledek.
Suara raungan bergerak menjauh, namun
satu bayangan bergerak cepat menuju ke bagian
puncak gunung.
Tak lama kemudian kakek baju kuning me-
lihat satu sosok berpakaian serba putih berjalan
mengambang di permukaan tanah. Walau si baju
putih berjalan biasa namun sekejap saja telah
sampai di depan kakek berpakaian sutera kuning.
Yang baru datang itu ternyata adalah seo-
rang pemuda, badan tegap, wajah tampan namun
dipenuhi cambang bawuk lebat, rambut panjang
menjela namun tersisir rapi.
Melihat pada penampilan pemuda yang sa-
tu ini ia tidak ubahnya seperti seorang sastrawan.
Melihat siapa yang datang di depannya se-
gera berseru, "Penyair Halilintar, mengapa kau
hancurkan tempat ini?"
Si pemuda bersikap tenang. Tidak hanya
itu, ia kemudian juga tersenyum. Senyum tipis
yang menggambarkan kekerasan jiwa.
"Kakek Wanaraga, kukenal kau dengan ju-
lukan si Pengemis Nyawa. Keberadaanmu di sini
telah mengusik ketenteraman Semerah Darah.
Mahluk itu kini menjadi beringas. Padahal aku
sedang meneliti sisi kehidupannya yang lain. Se-
mua itu kulakukan agar aku bisa membuat kehi-
dupan mahluk itu berguna bagi manusia!"
"Kurang ajar!" bentak si kakek berapi-api.
"Kau biarkan mahluk terkutuk penghisap darah
itu hidup bebas? Sementara kau hendak mengu-
sir diriku dari tempat tapa ini?" Pengemis Nyawa
kini merasa tersinggung. Sekali lagi Penyair Hali-
lintar tersenyum.
"Rasanya bukan keberadaanmu yang men-
jadi persoalan bagiku!"
"Jika bukan aku lalu apa?" sentak si ka-
kek.
Penyair Halilintar menarik nafas dan
menghembuskannya. Setelah itu sambil meman-
dang tajam ke arah Pengemis Nyawa ia membuka
mulut buka suara. "Beberapa hari yang lalu mun-
cul prajurit Pangeran Sobali. Kudengar pangeran
itu masih punya hubungan persahabatan den-
ganmu."
"Memang kuakui. Tapi hubungan persaha-
batanku dengannya tidak lebih dekat dibanding-
kan hubunganku dengan Empu Barada Sukma."
Sahut Pengemis Nyawa dengan tegas.
"Begitukah?" gumam Penyair Halilintar.
"Kalau demikian halnya kau mewakili kebaikan.
Hendaknya kau suka memberi peringatan pada
sahabatmu itu agar jangan suka memperkeruh
suasana yang terjadi saat ini."
Mendengar itu sepasang mata si kakek
berkerut tajam.
"Apa maksudmu, Penyair Halilintar?"
Tanya si kakek tidak mengerti.
"Mungkin kau hanya pura-pura Pengemis
Nyawa, itu aku tidak perduli. Aku hanya ingin
bertitip pesan, hendaknya Empu Barada Sukma
jangan lagi menyebar fitnah demi keuntungan di-
rinya sendiri!"
Si kakek jadi bingung tentu saja semakin
bertambah jengkel.
"Jahanam. Aku tidak tahu apa maksudmu,
ucapanmu hanya membuat kepalaku jadi pusing.
Bicaralah terus terang!" bentak si kakek tidak sa-
bar.
"Aku tidak layak menerangkannya pada-
mu. Kau cari sendiri sahabatmu itu, kemudian
kau tanyakan duduk persoalan yang sebenarnya,"
"Jika kau tahu apa yang dilakukan saha-
batku Barada Sukma mengapa kau tidak membe-
ritahukannya padaku?"
"Dunia persilatan sedang dilanda keka-
cauan. Mana mungkin aku jelaskan segalanya
padamu. Aku tidak punya waktu bicara panjang
lebar denganmu!" sahut Penyair Halilintar.
Pengemis Nyawa benar-benar merasa ter-
hina mendengar ucapan Penyair Halilintar.
"Penyair gila. Mengingat usiaku seharusnya
kau bisa berlaku hormat kepadaku. Tapi kau
sendiri malah sebaliknya."
"Penghormatanku hanya berlaku pada
orang yang menjunjung tinggi keadilan." Sahut
pemuda itu dingin.
"Itu berarti kau hanya mencari perkara
denganku!"
"Terserah kau mau beranggapan apa. Yang
panting bagiku cepat kau tinggalkan tempat ini!"
perintah Penyair Halilintar.
Sebagai orang tua, kata-kata yang di-
ucapkan pemuda itu tidak ubahnya bagai sebuah
tamparan yang cukup pedes hingga membuat
Pengemis Nyawa merasa harga dirinya sebagai
orang tua seperti dicabik-cabik.
Dengan suara lantang menyimpan geram,
Pengemis Nyawa akhirnya bertanya. "Penyair Ha-
lilintar, kau tadi mengatakan ada prajurit kera-
jaan mencari diriku. Sekarang mereka berada di
mana?"
"Mereka telah tewas dicabik-cabik mahluk
penghisap darah, pemakan daging manusia tanpa
aku sempat mencegahnya."
"Apakah kau tahu mengapa mereka men-
cariku?" Tanya si kakek diam-diam merasa ngeri.
"Mungkin untuk satu kepentingan. Mung-
kin mereka ingin minta bantuanmu untuk men-
dapatkan benda sakti bernama Sengkala Angin
Darah itu. Aku tidak tahu pasti. Lebih baik kau
tanyakan saja pada pangeran Sobali."
"Celaka. Kau telah membunuh para teta-
muku tanpa memberi kesempatan pada mereka
untuk menemuiku?" teriak Pengemis Nyawa.
"Yang membunuh mereka bukan aku, tapi
mahluk Semerah Darah." Jawab pemuda itu te-
nang.
"Tapi mahluk terkutuk itu berada dalam
pengawasanmu. Karena itu kau harus memper-
tanggung jawabkan perbuatannya."
"Orang tua kau dengar! Aku tidak bertang-
gung jawab atas semua perbuatan Semerah Da-
rah. Yang kulakukan selama ini adalah sekedar
ingin mengetahui asal usul dan tabiat hidupnya.
Mahluk itu tidak dapat digolongkan sebagai bina-
tang, tapi juga tak bisa disebut manusia. Penge-
mis Nyawa, sebagai orang yang kenal baik dengan
Barada Sukma, sebaiknya kau temuilah dia dan
tinggalkan tempat ini!"
Pengemis Nyawa tentu tambah jengkel.
"Jahanam! Kau kira dirimu siapa? Kau be-
ranggapan dapat memerintahku sesuka hatimu
sendiri?" dengus si kakek dengan mata mendelik.
Pemuda itu tersenyum. Dia dongakkan ke-
pala ke langit. Setelah itu mulutnya berkemak-
kemik. Bersamaan dengan itu dua tangan diang-
kat seperti layaknya orang berdoa kemudian dari
mulutnya menggumam lantunan bait-bait syair.
Hidup dalam puluhan tahun
Belum pernah bertemu maut dan cela
Naluri berbisik melihat angkara murka ma
nusia....
Berjalan diantara hembusan angin
Ingin kutegakkan jalan keadilan
Lalu musuh bermunculan di mana-mana
Kepadamu banyak kugantungkan harap
Agar tidak banyak jiwa melayang sia-sia
Tapi jika harapan tak bersambut
Mengumbar nafsu amarah bukanlah jalan
terbaik
Orang tua
Kuminta kau pergi dengan tutur kata
Jika kau keras kepala
Jangan salahkan jika tangan terpaksa bicara
Selesai Penyair Halilintar melantunkan
bait-bait syairnya saat itu pula terlihat kilat me-
nyambar diiringi dengan gelegar suara petir dan
halilintar sambung menyambung. Pengemis Nya-
wa bukan kaget, sebaliknya malah tertawa terge-
lak. Tongkat hitam di tangan langsung dilintang-
kan ke depan dada.
Dengan nada mengejek dia berkata, "Itulah
senandung terakhir yang aku dengar. Selanjutnya
kau akan melantunkan syair bututmu di neraka!"
Selesai berkata begitu, Pengemis Nyawa
pukulkan tongkat hitamnya ke atas tanah. Begitu
tongkat menyentuh permukaan tanah terjadi le-
dakan dahsyat menggelegar memekakkan telinga.
Debu dan batu berlesatan di udara. Si kakek
mendadak raib dari pandangan mata. Penyair Halilintar segera mencari-cari. Pemuda ini segera
melompat mundur ketika melihat sepasang tan-
gan tanpa badan terjulur cepat dengan gerakan
menjebol dada dan membetot jantung.
Walau si pemuda sempat kaget melihat ke-
jadian ini, tapi dengan tenang dia menyambut se-
rangan tangan itu yang mencuatkan kuku-
kukunya yang panjang.
Plak! Plaak!
Benturan terjadi dua kali berturut-turut.
Dua tangan yang terjulur siap membetot jantung
nampak bergetar, sekaligus membuat si kakek
terlihat seutuhnya kembali. Orang tua ini tercen-
gang.
Tidak membuang waktu dia segera han-
tamkan tongkat saktinya ke udara. Ketika tongkat
memukul udara kembali terdengar suara ledakan
menggeledek. Tetapi sebelum Pengemis Nyawa be-
rubah lenyap menjadi bayangan, Penyair Halilin-
tar tiba-tiba keluarkan suara raungan yang keras.
Tubuhnya berputar tiga kali. Gerakan berputar
yang dia lakukan membuat sosoknya melambung
di udara.
Begitu tubuhnya melambung dari langit
mencuat cahaya kilat yang langsung menyambar
tubuh pemuda itu.
Dalam waktu sekejap sang penyair telah di-
lingkupi cahaya putih menyilaukan yang bergetar
menjalari sekujur badan. Ketika cahaya itu be-
rangsur lenyap, maka dari tubuh itu pula mende-
ru angin yang sangat dahsyat luar biasa. Deru
angin itu melabrak si Pengemis Nyawa.
Tak ayal lagi Pengemis Nyawa jatuh ter-
banting. Sambil semburkan sumpah serapah si
kakek cepat gerakkan tongkatnya ke permukaan
tanah.
Braak!
Tanah berderak. Berpegangan pada tongkat
saktinya Pengemis Nyawa dapat bertahan, walau
tidak urung pakaian kuningnya robek di beberapa
bagian.
"Pengemis Nyawa, bukankah aku sudah
mengatakan kepadamu agar meninggalkan pun-
cak gunung Kawi ini secepatnya?"
"Aku baru mau pergi setelah dapat me-
menggal kepalamu!" sahut Pengemis Nyawa sinis.
"Kalau begitu lakukanlah jika kau mampu!"
Dengan tubuh mengambang di udara Pe-
nyair Halilintar berputar tiga kali. Apa yang ke-
mudian terjadi benar-benar merupakan kenya-
taan yang sulit dipercaya.
Dari sekujur tubuh pemuda itu angin dah-
syat kembali menderu. Kekuatan yang menyer-
tainya bahkan berlipat ganda. Pengemis Nyawa
kali ini jadi tercekat. Dia berusaha bertahan seka-
ligus hendak melepaskan serangan balik, tapi pa-
da waktu bersamaan ujung tongkat yang tertan-
cap di tanah berderak patah.
Patahnya tongkat membuat Pengemis Nya-
wa jatuh terpelanting, bergulingan lalu melesat
lenyap ke arah lereng gunung.
Terdengar suara jerit menggidikkan disertai
suara berdebum seperti suara tubuh terhempas
ke atas batu. Setelah itu sunyi menghantui. Pe-
nyair Halilintar kembali memutar tubuhnya den-
gan gerakan berlawanan arah. Tak lama ia mele-
sat turun dan jejakkan kakinya di atas tanah.
"Aku tidak tahu apakah orang tua itu hi-
dup atau mati. Apapun akibatnya bagiku sama
saja. Aku harus membantu orang-orang yang
membutuhkan pertolongan." Fikir pemuda itu.
Sejenak ia memandang ke arah lereng gu-
nung. Lalu pemuda ini bersuit nyaring.
Dari lereng gunung terdengar suara raun-
gan menggidikkan. Dengan wajah muram Penyair
Halilintar berkata. "Semerah Darah mahluk dari
alam lain. Kau boleh mengiringi perjalananku.
Tapi kau tidak boleh membuat kekacauan atau
membunuh dengan seenak sendiri. Kau tidak bo-
leh memakan manusia atau meminum darahnya."
Dari lereng gunung terdengar suara raun-
gan panjang.
Pemuda itu tersenyum, lalu dengan suara
perlahan ia berkata. "Sejak kecil manusia harus
belajar agar setelah besar tidak menjadi kurang
ajar. Kau hanyalah mahluk ciptaan gusti Allah
juga. Aku tidak mengatakan dirimu adalah manu-
sia seperti diriku, Semerah Darah, namun aku ju-
ga tidak dapat mengatakan dirimu adalah bina-
tang. Dalam ujudmu yang menyeramkan kau juga
punya darah, jantung dan otak. Mungkin suatu
saat kau dapat berkata bahwa hidup tidak berpi-
hak kepadamu. Itu bukanlah suatu hal yang perlu kau tangisi. Segala yang terjadi atas mahluk
bernyawa semuanya berjalan atas ketentuan sang
takdir. Jika kau terlahir dari rahim ibu manusia
jangan kau salahkan ibumu. Kau berada dalam
pengawasanku. Sekarang kita pergi untuk mela-
kukan suatu tugas, jangan kau cemarkan nama-
ku dengan perbuatan nistamu!" Penyair Halilintar
lalu balikkan badan. Setelah itu berkelebat ting-
galkan tempat itu.
Dari lereng gunung terdengar raungan mi-
rip ratap tangis. Ratapan yang kemudian mengi-
kuti kemana perginya penyair itu.
7
Tunggul Miring memacu kudanya mening-
galkan gunung Kawi. Setelah sampai di pinggir
sungai kecil, laki-laki itu melompat turun dari
kudanya. Laki-laki itu sendiri kemudian duduk
menyandarkan punggungnya di batang pohon.
Dia menarik nafas, sementara fikirannya mene-
rawang membayangkan kejadian di gunung Kawi.
Semuanya berlangsung cepat. Delapan prajurit
tewas tercabik-cabik dalam waktu singkat. Bukan
cuma itu sobatnya Tunggul Oleng juga kemudian
menjadi korban. Tidak jelas siapa yang membu-
nuh mereka. Tunggul Miring sendiri hanya meli-
hat satu bayangan berkelebat. Sosok itu miring
binatang, tapi juga hampir mirip manusia.
"Aku tidak bisa menduga. Mungkin juga
dia adalah Pengemis Nyawa. Jika Pengemis Nya-
wa, mengapa ia mengaku sebagai Penyair Halilin-
tar. Pangeran Sobali memintaku untuk menjum-
pai kakek itu, sebelum usaha mencapai hasil ma-
lapetaka datang menghadang. Apa yang harus ku-
lakukan kini. Kembali ke Kediri adalah hal yang
tidak bisa kulakukan," fikir laki-laki itu. Tunggul
Miring pejamkan matanya.
Dia sama sekali tidak tahu sejak tadi ada
sepasang mata yang terus memperhatikan gerak
geriknya. Tidak lama setelah Tunggul Miring pe-
jamkan matanya orang itu berkelebat tinggalkan
tempat persembunyiannya. Sesaat kemudian dia
telah jejakkan kaki di depan Tunggul Miring. La-
ki-laki itu terkejut, dia membuka matanya. Dan
lebih kaget lagi ketika melihat siapa sosok yang
berdiri di depannya. "Setan Santet Delapan Penju-
ru?" Tunggul Miring ajukan pertanyaan sambil
rangkapkan kedua tangan di depan dada. Yang
ditanya sunggingkan seringai dingin. Sepasang
matanya memandang angker ke arah Tunggul
Miring, membuat laki-laki itu jadi tidak enak hati.
"Bukankah kau sendiri kaki tangan pange-
ran Kediri? Apa yang kau lakukan di tempat ini?"
"Benar Mbah, aku adalah orang keper-
cayaan Pangeran Sobali."
"Tepat seperti yang kuduga dan dugaanku
ternyata tidak salah." guman kakek itu. Dengan
perasaan kesal Tunggul Miring menjawab."Aku
baru saja menjalankan perintah pangeran Sobali."
"Tugas apa?"
"Tugas... eh, tugasku menemui seseorang
bernama Pengemis Nyawa." jawab laki-laki itu gu-
gup. Kegugupannya bukan karena melihat tam-
pang angker kakek itu, melainkan karena seko-
nyong-konyong ia melihat di atas kepala kakek itu
muncul seraut wajah mengerikan. Wajah itu se-
perti iblis yang tingginya hampir menyandak lan-
git. Herannya sosok itu lenyap begitu Tunggul
Miring kedipkan matanya. "Pengemis Nyawa,
hmm. Orang tua itu sama liciknya dengan Barada
Sukma. Aku telah mencium adanya hal yang ti-
dak beres. Aku sebenarnya sudah mendapat pe-
tunjuk di tangan siapa benda sakti itu berada.
Pangeran Sobali, hmm... ternyata kau tidak bisa
menaruh kepercayaan penuh kepadaku. Kau ular
kepala dua, kau meremehkan jerih payahku. Ke-
lak kau pasti akan menyesali tindakanmu. Aku
tahu banyak orang mengatakan Sengkala Angin
Darah jatuh ke tangan Gentong Ketawa. Tapi aku
lebih percaya pada penglihatan mata batinku.
Orang boleh memburu Gentong Ketawa, tapi aku
tidak bakal berbuat tolol dengan mengikuti arus
yang menyesatkan." batin si kakek dalam hati.
Setan Santet Delapan Penjuru kemudian meman-
dang ke depan, memperhatikan Tunggul Miring
yang seperti orang kebingungan.
"Kau tidak kembali ke Kediri?" tanya si ka-
kek tiba-tiba.
"Tidak. Aku tidak akan pernah kembali ke-
sana."
"Itu berarti kau telah melakukan suatu ke
salahan? Kau gagal melakukan tugasmu? Jika
begitu orang sepertimu sudah sepantasnya dis-
ingkirkan." Pucat wajah Tunggul Miring menden-
gar ucapan si kakek. Dengan suara bergetar dia
bertanya." A... apa maksudmu?"
"Hahaha. Sebab betapapun kau dan pange-
ran mu sama memuakkan bagiku. Kau akan ku-
bunuh!" dengus kakek itu sengit. Seketika sepa-
sang mata laki-laki itu mendelik besar. Semula
dia menaruh harapan bisa minta perlindungan
pada kakek ini, tidak disangka harapannya sia-
sia. Tunggul Miring tidak mau mati konyol. Den-
gan cepat dia mencabut pedang. Melihat ini si ka-
kek tertawa tergelak-gelak.
"Dengan pedang itu kau hendak melawan-
ku? Pedang itu tak bakal sanggup melukai diri-
ku." Selesai berkata Setan Santet Delapan Penju-
ru mengambil boneka kayu berbentuk orang-
orangan. Dia juga mengeluarkan sebatang jarum.
Tunggul Miring tak tahu apa yang akan dilakukan
kakek itu yang jelas saat itu dia melihat bibir si
kakek berkemak kemik membaca sesuatu.
"Dia hendak melakukan sesuatu padaku?!"
fikir Tunggul Miring. Dan sebelum si kakek sele-
sai dengan mantra-mantranya Tunggul Miring se-
gera mengambil tindakan.
Diawali dengan teriakan melengking Tung-
gul Miring melompat ke depan lalu babatkan pe-
dangnya ke perut lawan. Si kakek sama sekali ti-
dak mengelak. Serangan pedang tepat mengenai
sasaran. Bahkan ujung pedang amblas ke dalam
perut tembus ke punggung. Si kakek yang perut-
nya di tambus pedang tenang saja. Malah dia ma-
sih sempat mengumbar tawa.
"Sudah kukatakan, pedangmu tidak berarti
bagiku!" kata si kakek.
Tunggul Miring tercengang, geram juga ce-
mas. Dan selagi dirinya dalam keadaan seperti
itu, kaki si kakek tiba-tiba berkelebat menghan-
tam dada Tunggul Miring. Tunggul Miring jatuh
terjengkang, pedang di tangan terlepas. Di depan
sana Setan Santet Delapan Penjuru usap luka be-
kas tusukan. Luka itu mendadak lenyap tidak
berbekas. Laki-laki itu terkesima, wajahnya pucat
sedangkan sekujur tubuh basah bersimbah ke-
ringat.
"Dia bukan manusia, dia setan...!" Tunggul
Miring bangkit berdiri sambil memungut pedang-
nya. Melihat lawan siap menyerangnya kembali si
kakek tertawa sambil berkata. "Kau hendak me-
lawan Setan Santet Delapan Penjuru? Semua
usahamu hanya akan sia-sia manusia tidak ber-
guna."
Setelah itu dia kemudian menusuk bagian
depan patung kayu itu.
Cees!
Terdengar suara desis aneh disertai men-
gepulnya asap tipis dari bagian tangan yang ditu-
suk jarum. Bersamaan dengan itu Tunggul Miring
tiba-tiba menjerit kesakitan. Pedang di tangan ter-
lepas jatuh berkerontangan. Tunggul Miring de-
kap lengan tangan kanan yang menggembung biru dan mengucurkan darah. Tetapi ketika si ka-
kek menggoyang jarum yang menancap di lengan
patungnya. Tunggul Miring menjerit kembali. Sa-
kit pada bagian lengannya semakin menjadi-jadi.
"Lenganmu sudah tidak berguna, sekarang
aku akan mengaduk-aduk perutmu! Hahaha...!"
kata si kakek yang menyerang lawan dengan
menggunakan ilmu hitamnya. Dengan cepat ja-
rum yang menancap pada lengan patung dicabut.
Kemudian ditusukkannya kembali ke bagian pe-
rut. Sekali lagi Tunggul Miring meraung kesaki-
tan. Sambil mendekap perutnya yang seperti di-
remas-remas, Tunggul Miring jatuh terduduk. Da-
ri bagian pusar kaki tangan pangeran Kediri itu
mengucur darah. Tidak hanya sampai disitu, pe-
rut Tunggul Miring kini secara perlahan namun
pasti tampak menggelembung besar seperti pe-
rempuan hamil sembilan bulan. Penderitaan
Tunggul Miring tambah menjadi-jadi bila si kakek
memutar mutar jarum yang menghunjam pada
perut patung. Laki-laki itu mencoba bangkit ber-
diri, namun keinginannya ini tidak terlaksana.
Di depannya sang dukun tersenyum din-
gin. Puas membuat perut lawan melembung besar
seperti mau meletus kini dia memindahkan jarum
dan menusukkannya di bagian kepala. Ketika ja-
rum menembus kening patung, kening Tunggul
Miring kini menyemburkan darah. Darah ternyata
tidak keluar dari bagian itu saja. Tapi juga dari
bagian mata, hidung, mulut dan telinga. Tidak
terperikan bagaimana penderitaannya. Si kakek
lagi-lagi mengumbar senyum.
"Kakek keparat! Jika kau tidak membu-
nuhku hari ini, kelak aku pasti mencarimu untuk
mengadakan perhitungan." kata Tunggul Miring
dengan suara tersendat.
"Tunggul Miring manusia terkutuk. Kau ti-
dak bakal dapat melakukan keinginanmu. Aku
Setan Santet Delapan Penjuru telah menyantet
perut dan kepalamu. Jika aku mau sekarang juga
kepala dan perutmu meledak. Kau akan menemui
ajal secara menyedihkan. Hahaha..." kata si ka-
kek sinis.
Tunggul Miring yang keadaannya sudah ti-
dak karuan, kedua kakinya bergerak, tangan
menggapai berusaha bangkit berdiri. Tapi keingi-
nannya itu tidak terlaksana. Setan Santet Dela-
pan Penjuru tertawa bergerak. Dia lalu balikkan
badan dan berkelebat tinggalkan tempat itu.
"Setan Santet Delapan Penjuru... manusia
pengecut laknat! Kau... aark...!" Jerit Tunggul
Miring terhenti seketika karena tiba-tiba saja ke-
pala dan perutnya meletus secara bersamaan.
Darah, otak dan isi bagian dalam perut berham-
buran keluar. Bersamaan dengan itu Tunggul
Miring pun tewas seketika.
8
Tidak berselang lama setelah Tunggul Mir-
ing menemui ajal secara menggenaskan di tangan
Setan Santet Delapan Penjuru. Tiba-tiba saja ti-
dak jauh dari tepian sungai tersebut muncul dua
sosok berpakaian hitam dan kuning. Kedua orang
tersebut yang satu adalah seorang kakek berpa-
kaian hitam tidak terkancing. Tubuhnya besar
luar biasa, pipi tembem berkening lebar. Sedang-
kan orang yang bersamanya adalah seorang gadis
cantik berambut panjang.
Ketika mereka sampai di tepi sungai itu si
kakek gendut yang adalah Gentong Ketawa
adanya guru pendekar Sakti 71 sempat terkesiap
kaget melihat mayat Tunggul Miring yang dalam
keadaan menggenaskan sedemikian rupa. Gadis
yang datang bersamanya juga tidak kalah kaget-
nya.
Sejenak lamanya si gendut memperhatikan
keadaan mayat itu dari ujung rambut hingga ke
ujung kaki.
Dengan perasaan heran ia berkata, "Aneh...
orang ini tewas dengan kepala dan perut meledak.
Rasanya dia tidak mungkin jatuh dari langit. Bila
melihat bekas luka-luka di tubuhnya kemungki-
nan besar dia adalah korban guna-guna."
"Memangnya dia siapa kek?" tanya gadis
berpakaian serba kuning yang bernama Anggagini.
"Aku kurang begitu yakin. Tapi melihat ci-
ri-ciri serta pakaiannya yang begini mewah paling
tidak dia adalah orang kepercayaan Pangeran Ke-
diri. Rasanya aku belum pernah melihat kekejian
sehebat ini. Setan Santet Delapan Penjuru, apa
salah dosa orang ini. Aku yakin ilmunya sangat
tinggi. Tetapi semua orang juga tahu tidak mudah
mengalahkan apalagi mencelakai kakek itu!"
"Apakah kau mengenal Setan Santet Dela-
pan Penjuru itu kek?"
"Aku pernah mendengar. Ciri-ciri perbua-
tannya dapat kukenali tapi bertemu orangnya aku
belum pernah. Aku tidak tahu apakah ini ada hu-
bungannya dengan benda sakti itu. Nampaknya
kekacauan mulai terjadi di mana-mana!" gumam
si kakek. Dia lalu melirik ke arah Anggagini. Se-
lanjutnya orang tua ini berkata. "Sebaiknya kita
teruskan perjalanan. Aku berharap semoga tidak
terjadi sesuatu pada bocah edan itu. Nanti kita
juga akan menyelidiki apa sebenarnya yang dicari
Setan Santet Delapan Penjuru." ujar si kakek. Ba-
ru saja si gendut dan Anggagini hendak melang-
kah pergi, mendadak dia mendengar suara tam-
bur yang diiringi suara langkah kaki kuda. Kuda-
kuda itu tampaknya memang menuju ke arah me-
reka.
"Lekas bersembunyi!" perintah si kakek di-
tujukan pada si gadis. Kedua orang ini kemudian
melompat ke balik sebatang pohon tidak jauh dari
mayat Tunggul Miring.
Tidak berselang lama di tempat itu muncul
dua penunggang kuda. Penunggang kuda pertama
berpakaian mewah seperti layaknya seorang
bangsawan. Sedangkan satunya lagi adalah seo-
rang laki-laki berpakaian ungu. Di punggung laki-
laki itu membekal sebuah golok besar berwarna
putih mengkilap. Kehadiran orang ini kemudian
diikuti oleh kehadiran ratusan prajurit. Melihat
seragam orang-orang itu, si kakek segera tahu
bahwa mereka adalah para prajurit Kediri.
"Yang berbaju putih pastilah pangeran Ke-
diri. Tapi apa perlunya dia membawa serta sekian
banyak prajurit?" fikir si kakek.
Sebaliknya begitu sampai pangeran Kediri
sendiri sangat terkejut melihat kuda milik Tung-
gul Miring berada di situ. Bukan cuma itu dia le-
bih kaget begitu melihat mayat Tunggul Miring.
"Tangan Besi, cepat kau periksa apakah itu
mayat Tunggul Miring?" perintah sang pangeran.
Tangan Besi dengan hati berdebar segera turun
dari kudanya. Dia segera merinding begitu meli-
hat keadaan si mayat.
"Gusti... ini memang mayat Tunggul Mir-
ing!" seru Tangan Besi. Pangeran Sobali tercekat.
"Aku menyuruhnya menemui Pengemis
Nyawa. Mengapa si tolol ini malah kesasar sampai
kemari? Lalu kemana Tunggul Oleng?" Tanya
sang pangeran dengan nada geram.
Di balik pohon Gentong Ketawa menjadi
terheran-heran. Dia membatin dalam hati. "Aku
kenal dengan keparat Pengemis Nyawa. Dia saha-
bat Empu Barada Sukma. Aku bahkan tahu hubungan mereka tidak beda dengan kotoran den-
gan kentut. Lalu apa perlunya pangeran ini me-
minta kaki tangannya menemui Pengemis Nya-
wa?"
Sementara pada kesempatan itu Tangan
Besi berkata, "Pangeran, menurut hemat saya ada
beberapa kemungkinan mengenai Tunggul Miring.
Kemungkinan pertama dia memisahkan diri den-
gan Tunggul Oleng. Kemungkinan kedua bisa jadi
dia dan Tunggul Oleng sudah sampai ke gunung
Kawi. Mungkin terjadi sesuatu yang luar biasa di
tempat itu. Merasa terdesak Tunggul Miring mela-
rikan diri ke sini." Ujar Tangan Besi menyampai-
kan pendapatnya.
"Kalau benar pendapatmu itu, lalu siapa
yang membunuhnya?" Tanya sang pangeran.
Tangan Besi terdiam. Dia kembali mem-
perhatikan mayat Tunggul Miring. Melihat luka-
luka itu membuat Tangan Besi menggigil ketaku-
tan.
"Pangeran..." ujarnya dengan suara terce-
kat.
"Kau menemukan suatu petunjuk?"
Dia menelan ludah basahi tenggorokannya
yang mendadak terasa kering. Akhirnya ia berka-
ta, "Kalau tidak salah saya dapat memastikan
kematian Tunggul Miring pasti akibat perbuatan
santet. Tidak ada orang yang memiliki kemam-
puan santet seperti ini selain Setan Santet Dela-
pan Penjuru!"
Kening Pangeran berkerut tajam. Heran juga tidak begitu percaya.
"Setan Santet Delapan Penjuru? Mengapa
dia membunuhnya? Padahal dia tahu Tunggul
Miring adalah orang kepercayaanku? Dan yang
lebih mengherankan lagi beberapa hari yang lalu
kau menjumpainya untuk meminta bantuannya?"
"Memang betul pangeran!"
"Waktu itu kau mengatakan dia menyang-
gupi permintaanku. Bukankah begitu?"
"Benar pangeran." Sahut Tangan Besi.
"Jika benar, sekarang dapatkah kau menje-
laskan padaku mengapa dia membunuh Tunggul
Miring?"
Tangan Besi terdiam.
Tapi kemudian menjawab. "Apa yang gusti
tanyakan sangat sulit bagi saya untuk menje-
laskannya. Tapi kemungkinan Setan Santet tahu
kemungkinan pengkhianatan yang dilakukan
Tunggul Miring. Karena dia membantu kita, si
kakek merasa perlu membereskan orang-orang
yang berusaha mengkhianati gusti!"
Penjelasan itu memang masuk di akal.
Pangeran manggut-manggut.
"Kebenarannya nanti bisa kita tanyakan
pada kakek itu. Sebenarnya saat ini kita kehilan-
gan petunjuk. Gentong Ketawa yang kita cari ti-
dak kita ketahui dimana rimbanya. Aka takut di-
dahului orang. Padahal yang kuinginkan Sengkala
Angin Darah dapat kumiliki selekas mungkin."
"Pangeran apakah benar Sengkala Angin
Darah berada di tangan Gentong Ketawa?" Tanya
Tangan Besi ragu-ragu.
"Mengapa kau tidak mempercayainya? Ba-
nyak petunjuk mengarah pada orang tua itu. buk-
tinya orang-orang dunia persilatan kini mencari-
cari kakek itu."
Di tempat persembunyiannya bukan Ang-
gagini saja yang dibuat kaget. Si gendut juga ter-
kesima.
Dalam hati ia memaki. "Sial betul. Bagai-
mana pangeran bisa-bisanya menuduhku? Rupa
benda keparat itu saja aku tidak tahu." Sadar di-
rinya difitnah orang kakek gendut itu kemudian
berteriak lantang.
"Siapa berani menyebar kabar keji terha-
dap tua bangka sepertiku? Dia pasti akan men-
dapat ganjaran yang setimpal. Ha ha ha....!"
Pangeran Sobali, Tangan besi dan semua
prajurit yang berada di situ terperanjat. Hampir
bersamaan mereka memandang ke pohon di ma-
na suara tadi berasal.
Tanpa bicara Tangan Besi segera berkele-
bat ke arah pohon sambil hantamkan kedua tan-
gannya ke pohon itu.
Belum lagi pukulan mengenai sasaran dari
balik pohon ada angin menderu dan segera
menghantam Tangan Besi.
Tangan Besi terdorong mundur, jungkir ba-
lik lalu terjatuh di kaki kuda Pangeran Sobali.
Sambil menggeram marah Tangan Besi
bangkit berdiri, dia lalu berteriak keras. "Kurang
ajar! Siapa dirimu harap tunjukkan diri!"
Sebagai jawaban satu bayangan kuning
berkelebat ke arah Tangan Besi. Satu tamparan
keras melesat bersiutan di udara. Tangan Besi be-
rusaha menghindar, tapi sayang gerakannya ka-
lah cepat dari datangnya tamparan itu.
Plak!
Tamparan mendarat di pipi Tangan Besi.
Pipi laki-laki itu memerah sedangkan dirinya ter-
jajar.
Dua kali Tangan Besi merasa dipermalu-
kan orang. Tidak terkira betapa malunya Tangan
Besi dibuatnya. Ketika dia memandang ke arah
orang yang menamparnya tadi Tangan Besi jadi
melengak kaget.
Di depan sana berdiri tegak seorang gadis
berwajah cantik sekali berpakaian kuning ketat
berambut panjang. Gadis itu berkacak pinggang.
"Siapa kau?" hardik Tangan Besi.
Sementara itu Pangeran Sobali tetap men-
gawasi dari atas kudanya. Pangeran ini sendiri
memang harus mengakui kecantikan gadis ini ti-
dak kalah cantik dengan putri-putri raja. Tapi
tindakannya menampar Tangan Besi merupakan
sesuatu yang tidak dapat dimaafkan.
"Kau bertanya diriku siapa?" ujar Anggagini
disertai senyum sinis. "Aku adalah sahabat orang
yang baru kalian fitnah."
Tangan Besi dan pangeran Sobali saling
pandang.
"Jadi kau sahabat kakek Gentong Ketawa?"
Tanya sang pangeran beberapa saat kemudian.
"Betul."
"Hmm, lalu dimana orang tua itu seka-
rang?"
"Buat apa kau menanyakannya?"
"Dia harus menyerahkan Sengkala Angin
Darah pada pangeran Sobali !" dengus Tangan
Besi.
"Kurang ajar, pandai-pandainya kalian
mengatakan benda itu ada padanya!" hardik Ang-
gagini marah.
"Gadis cantik, kau tidak perlu melindungi
sahabatmu. Semua orang tahu benda sakti itu
memang ada padanya." Tukas Tangan Besi tetap
bersikeras.
"Segala fitnah keji memang sudah ada se-
jak iblis diciptakan. Tapi aku belum pernah meli-
hat tukang fitnah yang gilanya sehebat kalian.
Kurang ajar....benar-benar kurang ajar dan patut
diajar!" kata satu suara keras melengking.
Kemudian dari balik pohon melesat satu
sosok berbadan besar luar biasa.
Dengan gerakan enteng sosok itu kemu-
dian berjumpalitan di udara. Selanjutnya dia je-
jakkan kakinya di samping Anggagini.
Dengan lagaknya yang terkesan tidak per-
duli kakek itu berkipas-kipas dengan mengguna-
kan jari-jari tangannya yang sengaja dirapatkan.
Saat itu juga terdengar suara angin mende-
ru-deru keluar dari jemari si kakek yang digerak-
kan ke depan dan ke belakang.
Para prajurit yang berada di belakang kuda
pangeran tampak terhuyung-huyung nyaris ter-
jengkang.
Sedangkan Pangeran Sobali sendiri yang
berada di depan hampir terpelanting dari atas
punggung kudanya.
9
Si gendut terus saja berkipas-kipas hingga
membuat jengkel orang sang pangeran dan Tan-
gan Besi. Malah orang tua itu bersikap acuh keti-
ka belasan prajurit bergerak mengepungnya den-
gan senjata terhunus.
Orang tua ini selanjutnya berkata. "Suasa-
na semakin bertambah panas ketika tukang fit-
nah hadir di sini. Seharusnya aku marah besar
difitnah orang. Tapi biarlah tidak mengapa, aku
berusaha membuat badan jadi dingin. Agar hati
dan otakku ikutan menjadi dingin."
Walaupun Pangeran Sobali maupun Tan-
gan Besi sebelumnya tidak pernah bertemu den-
gan Gentong Ketawa. Melihat penampilan si ka-
kek setidaknya mereka dapat menduga tentu
orang tua ini orangnya yang mereka cari.
Itu sebabnya pangeran Sobali segera berka-
ta, "Orang tua, kau tentu sudah mendengar pem-
bicaraan kami."
Si kakek mendengus.
"Pembicaraan apa?" ujar si gendut berhenti
berkipas.
"Tentu saja tentang Sengkala Angin Da-
rah." Tangan Besi menyahuti.
Gentong Ketawa dongakkan kepala. "Ten-
tang benda itukah yang kalian maksudkan?"
"Betul." Sahut Pangeran Sobali.
"Aku sama sekali tidak tahu tentang Seng-
kala Angin Darah. Jika benda sakti yang lain ten-
tu saja aku punya. Tapi benda itu tidak akan ku-
berikan kepada siapapun. Lagipula buat apa se-
bab kalian juga punya. Ha ha ha...!"
"Gendut kau bicara apa?" hardik Tangan
Besi.
"Ah kau siapa? Yang kukatakan cukup je-
las, kau bicara tentang benda aneh milikku sendi-
ri."
"Kakek jahanam, bukan itu yang kami
maksudkan!" hardik Tangan Besi marah. "Lalu
apa?"
"Kami menginginkan Sengkala Angin Da-
rah. Cepat kau serahkan benda yang kami minta
itu. Jika tidak kau akan segera merasakan aki-
batnya!" ujar Tangan Besi berapi-api.
Sambil berkacak pinggang si gendut kem-
bali mengumbar tawa. Pada kesempatan itu Ang-
gagini berbisik. "Kakek gendut. Orang kerajaan ini
ngawur. Kalau tidak diberi pelajaran mereka se-
makin kurang ajar."
"Tenang saja. Jika mereka berani bertindak
gegabah akan kubuat barisan prajurit itu menjadi
porak poranda. Bahkan kalau perlu pangeran dan
orang jelek bersenjata golok itu akan ku obrak-
abrik!" sahut si kakek berbisik sambil kedipkan
matanya.
Anggagini terkejut.
Sementara kakek itu sendiri kini mengha-
dap ke arah pangeran Sobali dan Tangan Besi.
"Pangeran, terus terang kukatakan padamu. Ben-
da yang kalian cari itu memang tidak ada padaku.
Aku sama sekali tidak tahu menahu tentang
Sengkala Angin Darah." Ujar si kakek.
Pangeran Sobali mendengus.
"Siapa yang percaya ucapanmu?"
"Aku tidak pernah memintamu memper-
cayai ucapan tua bangka gendut sepertiku. Tapi
hendaknya kau mau berfikir dengan kepala din-
gin untuk melakukan fitnah keji seperti yang kau
ucapkan tadi!"
"Hem, banyak bukti yang mengarah pada-
mu, Gentong Ketawa. Orang-orang di rimba persi-
latan kini mengincarmu. Jadi sebelum Sengkala
Angin Darah jatuh ke tangan orang lain, sebaik-
nya serahkan benda itu kepada kami!" tegas Tan-
gan Besi.
"Fitnah busuk. Monyet mana yang telah
mengatakan pada kalian benda itu ada padaku?
Coba jelaskan biar si tua ini bias memberi jawa-
ban!" kata si kakek jengkel.
"Tidak perlu kami memberi penjelasan!"
dengus Tangan Besi. Dia kemudian berteriak pa-
da belasan prajurit yang mengepung si kakek dan
Anggagini. "Prajurit, geledah orang tua dan gadis
itu!"
"Pangeran sinting. Jangan kau salahkan
diriku jika kau terpaksa bertindak kasar!" teriak
Gentong Ketawa geram.
Sementara itu belasan prajurit berlompa-
tan ke arah Anggagini dan Gentong Ketawa.
Belasan tangan menggerayangi tubuh gadis
itu. Tapi Anggagini tidak memberi hati. Melihat
tangan-tangan prajurit bergerak merayapi tubuh-
nya. Laksana kilat sebelum tangan-tangan itu
menyentuh bagian-bagian tubuhnya, Anggagini
gerakkan tangannya secara berputar. Sedikitnya
enam prajurit dibuatnya terpental, jatuh bergede-
bukkan. Sedangkan beberapa prajurit yang me-
nyerang si gendut mendadak berpelantingan se-
perti dihembus angin, lalu jatuh tumpang tindih
sejarak tujuh tombak dari kakek itu. Gentong Ke-
tawa mengumbar tawa. Sambil berkacak pinggang
dia berkata. "Pangeran tolol. Kutegaskan sekali
lagi benda sakti itu tak ada padaku. Jika kau te-
tap nekad hendak menggeledahku kalian semua
bisa menemui nasib celaka atau paling tidak
mendapat bogem mentah dariku. Sebaiknya kau
pergilah, bawa semua prajuritmu!" perintah si
gendut.
"Kau tidak layak memerintahku! Prajurit,
tangkap dan bunuh kakek gila dan gadis itu!" te-
riak Pangeran Sobali.
Bukan hanya puluhan, kini ratusan praju-
rit dengan senjata bagaikan serigala kelaparan
segera menyerang Gentong Ketawa dan Anggagini.
Anggagini menggeram, dua tangannya diam-diam
telah dialiri tenaga dalam mendadak sontak dido-
rongkannya ke depan. Angin menderu, sinar biru
berkiblat dan menghantam puluhan prajurit yang
menyerangnya dari arah depan. Para prajurit ber-
gelimpangan roboh disertai raung kesakitan di
sana sini.
Jika Anggagini tidak memberi hati pada
prajurit-prajurit yang menyerbu ke arahnya. Lain
halnya dengan Gentong Ketawa. Kakek ini sengaja
kebutkan lengan baju hitamnya melancarkan to-
tokan dari jarak jauh. Akibatnya sungguh luar bi-
asa. Angin sedingin es menerpa prajurit-prajurit
itu. Suara pekikan kaget terdengar silih berganti.
Puluhan prajurit tak mampu lagi gerakkan tu-
buhnya. Mereka kaku tertotok dalam posisi me-
nyerang.
Melihat kenyataan ini kagetlah Pangeran
Sobali dibuatnya. Ketika puluhan prajurit lainnya
siap merangsak maju. Pangeran Sobali angkat
tangannya ke atas. "Tahan...! Ternyata gendut gila
ini punya sesuatu yang diandalkannya. Pantas
saja dia berani jual lagak di depanku!" geram sang
pangeran. "Tangan Besi, sekaranglah saatnya ba-
gimu menunjukkan bakti kepadaku. Cepat kau
bunuh dia! Biar aku yang meringkus gadis cantik
itu!" perintah sang pangeran.
"Manusia tolol mencari penyakit. Majulah
kalian berdua jika memang ingin konyol." Dengus
Gentong Ketawa.
"Tua bangka gendut sambutlah kepalan
tanganku!" teriak Tangan Besi pula tak kalah
sengitnya.
Gentong Ketawa tertawa pendek ketika me-
lihat lawannya merangsak maju sambil hantam-
kan kedua tangannya ke bagian dada dan perut.
Angin deras menyambar. Si kakek gembungkan
perutnya.
Buuk!
Satu hantaman keras mendarat di perut si
gendut. Sedangkan hantaman yang mengarah ke
bagian dada sengaja ditepisnya. Si kakek menjerit
tubuhnya bergetar. Sama sekali dia tidak men-
gangkat tangan lawannya ternyata bukan saja
sanggup menggoyahkan kuda-kudanya, tapi aki-
bat hantaman itu membuat bagian isi dalam pe-
rutnya seperti remuk. Si kakek meringis sambil
mengusap perutnya yang merah memar.
"Hem, tak percuma rupanya kau dijuluki
Tangan besi. Ternyata tanganmu memang seatos
besi! Boleh juga!" kata si kakek meski kesakitan
namun ternyata masih sempat mengumbar se-
nyum.
Sebaliknya diam-diam Tangan Besi sendiri
dibuat kaget. Pukulan yang dilepaskannya tadi
menggunakan tenaga dalam penuh. Jangankan
batu karang, tembok baja sekalipun hancur jika
sampai terkena pukulannya. Aneh! Kakek itu jan-
gankan tewas, ciderapun tidak. Bahkan dia masih
sempatnya tersenyum.
Terdorong oleh rasa penasaran. Tangan
Besi kini salurkan seluruh tenaga dalamnya kebagian tangan. Dengan suara lantang Tangan Be-
si berkata. "Kakek gendut keparat! Jika aku tidak
sanggup membongkar isi perutmu dan meremuk-
kan tulang belulangmu, biarlah untuk selanjut-
nya aku ingin berhenti sebagai manusia!"
Si kakek tertawa ngakak. "Edan amat. Jika
kau hendak berhenti jadi manusia. Selanjutnya
kau mau jadi apa? Jadi monyet, jadi tikus combe-
ran atau jadi arwah gentayangan tak diterima
langit dan bumi? Untuk merubahmu menjadi se-
perti yang kau inginkan, itu persoalan mudah.
Cuma aku orangnya tidak tegaan. Orang yang su-
dah mati saja kalau dibolehkan memilih oleh gus-
ti Allah masih pingin hidup. Kau yang hidup ma-
lah ingin mampus! Ha ha ha!" kata si kakek.
"Tua bangka bukan kau yang hidup! Seba-
liknya kaulah yang pantas mati!" teriak Tangan
Besi.
Disaksikan ratusan prajurit terkecuali
Pangeran Sobali yang kini terlibat perkelahian
sengit dengan Anggagini. Tangan Besi tiba-tiba
saja melompat ke depan. Dua tangannya dihan-
tamkan ke tubuh si kakek dengan gerakan cepat
luar biasa. Gentong Ketawa tidak tinggal diam.
Meskipun tubuhnya besar luar biasa. Dengan ge-
rakan ringan kakek ini berkelit. Di lain waktu
tangannya terjulur dan berhasil menyambar salah
satu tangan lawannya. Si kakek lakukan gerakan
jungkir balik. Dengan begitu tangan lawan jadi
terpelintir. Selanjutnya si gendut sentakkan tan-
gan lawan ke atas.
Kraaak!
Terdengar suara tulang lengan patah lepas
dari persendian. Tangan Besi meraung hebat,
tangan kanannya nyaris tanggal. Laki-laki itu ter-
huyung. Sambil menjerit-jerit dia pandang ke de-
pan. Di depan Gentong Ketawa berdiri tegak den-
gan dua tangan dilipat ke depan. Kakek itu berka-
ta. "Masih ada waktu bagimu untuk memperbaiki
diri, memperbaiki tangan dan terpenting lagi
memperbaiki kau punya mulut agar tidak melon-
tarkan fitnah sembarangan! Aku masih bisa men-
gampunimu!" ujar si gendut serius.
Dalam keadaan seperti itu apapun yang di-
katakan Gentong Ketawa bagi Tangan Besi sudah
tidak ada gunanya. Dia sudah terlanjur cidera be-
rat, dia sudah terlanjur malu. Dan yang lebih
mengerikan lagi saat itu hati dan fikirannya su-
dah disesaki amarah dendam yang meluap-luap.
Tanpa terduga Tangan Besi menyambar goloknya
yang tergantung di pinggang. Dengan tangan ka-
nan golok itu dibabatkan ke arah si kakek selagi
orang tua itu berbalik arah siap membantu Ang-
gagini yang nampaknya agak terdesak menghada-
pi serangan pedang Pangeran Sobali.
Si kakek yang merasa ada sambaran angin
dingin menerpa punggungnya cepat berbalik. Dua
jari tangan digerakkan. Menakjubkan, mata golok
itu kemudian terjepit di antara celah jari tangan-
nya. Tangan Besi berusaha menarik lepas golok-
nya. Tapi jepitan jari si kakek amat keras sekali.
Si kakek menggeram. "Kuberi kau kesem
patan hidup, ternyata tindakanmu makin nekad
tak berkejuntrungan." Ujar si gendut. Jemari tan-
gan kemudian digerakkan ke kiri.
Taak!
Golok besar patah dua, membuat prajurit
belalakkan mata. Tangan Besi terkesima. Belum
lagi hilang rasa kagetnya. Patahan golok berkele-
bat menyambar bagian dada dan terus amblas
sampai ke punggung. Tangan Besi menjerit terta-
han. Matanya mendelik, dia terhuyung sambil
mendekap dadanya yang tertembus potongan go-
lok setelah itu jatuh menelentang. Berkelonjotan
sebentar. Lalu terdiam selamanya.
10
Sebenarnya apa yang terjadi pada Tangan
Besi tidak luput dari perhatian Pangeran Sobali.
Tapi nampaknya dia sendiri pada saat itu lebih
mengkonsentrasikan diri pada serangannya yang
ditujukan pada Anggagini. Kematian Tangan Besi
memang sempat membuatnya kaget, marah serta
kesal yang dikemudian dilampiaskannya pada
Anggagini. Tidaklah mengherankan jika kemudian
serangannya semakin bertambah hebat. Mata Pe-
dang yang berkelebat di udara menaburkan sinar
putih menyilaukan mata. Angin menderu-deru
menyertainya berputarnya pedang di tangan. Se-
dangkan tubuh pemuda itu laksana kilat berkelebat, memotong setiap jalan gerak yang dilakukan
lawannya.
Dalam perkelahian yang telah berlangsung
belasan jurus itu Anggagini memang sempat ter-
desak hebat. Bahkan ketika dia menghindari
sambaran pedang yang mengarah ke bagian
ujung lawan masih sempat memapas rambutnya
yang panjang. Anggagini melompat ke samping
hindari tusukan pedang yang datang bertubi-tubi.
Tapi secara aneh pedang di tangan Pangeran So-
bali kemudian bergerak dari bawah lalu menyam-
bar kebagian dagu. Tak mau wajahnya yang can-
tik menjadi sasaran pedang lawannya. Maka Ang-
gagini melompat mundur. Namun tak urung pe-
dang lawannya menggores bagian bahu.
Breet!
Anggagini menjerit tertahan. Sambaran pe-
dang bukan saja hanya merobek pakaiannya
hingga menyingkap kulit yang putih mulus. Tapi
kulit bahunya juga terluka mengucurkan darah.
Melihat kenyataan ini, Pangeran Sobali tertawa
tergelak-gelak. "Sekarang bahumu, sebentar lagi
tubuhmu akan kubuat telanjang!" kata pemuda
itu sambil terus merangsak maju.
"Pangeran kurang ajar! Kau boleh bicara
seenak perutmu. Tapi sebentar lagi aku akan
membuatmu menjadi patung hidup!" teriak sang
dara sengit. Hampir bersamaan dengan ucapan-
nya itu Anggagini mendadak melompat mundur.
Tusukan dan babatan pedang yang dilancarkan
lawan dapat dihindarinya. Laksana kilat Anggagi
ni melompat ke udara. Pangeran Sobali yang su-
dah merasa berada di atas angin mana mau
membiarkan lawan lolos begitu saja. Pemuda itu
dengan cepat jejakkan kaki, berjumpalitan dia
mengejar lawan sambil babatkan senjatanya seca-
ra menyilang. Serangan yang dilancarkan pemuda
itu bukan serangan biasa karena sang pangeran
mempergunakan jurus Kidung Kematian. Sekejap
saja sinar pedang telah mengepung Anggagini dari
segala penjuru arah.
"Celaka! Pangeran sinting ini ilmu pedang-
nya ternyata tidak bisa dianggap enteng. Ha-
ruskah aku turun memberi bantuan?" fikir Gen-
tong Ketawa yang terus mengawasi.
Sementara itu Anggagini segera tidak ter-
duga tiba-tiba hantamkan salah satu tangannya
ke bagian lengan Pangeran Sobali. Sekali pukul
pedang di tangan lawan paling tidak terjatuh. Ta-
pi ternyata Pangeran Sobali dapat membaca gela-
gat dan gerak orang. Melihat tangan si gadis ber-
kelebat menghantam lengannya dia cepat tarik
pedangnya ke belakang.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh
Anggagini. Tangan kanannya bergerak cepat lan-
carkan totokan yang mengarah pada bagian dada
dan punggung Pangeran Sobali.
Wuuuut! Wuuuut!
Dua larik sinar merah menyambar ke dada
dan punggung pemuda itu. Lawannya masih be-
rusaha menangkis, namun kalah cepat dengan
gerakan sinar berhawa dingin tersebut. Tak ayal
lagi begitu kedua sinar menghantam tubuhnya.
Seperti pohon ditebang Pangeran itu jatuh berge-
debukan dengan tubuh kaku dalam keadaan ter-
totok. Gentong Ketawa tersenyum. "Hebat, ternya-
ta ilmu totokanmu tidak mengecewakan Anggagi-
ni." kata si kakek. Cepat dia melompat mengham-
piri Pangeran Sobali. Anggagini sendiri dengan
cepat memungut pedang milik lawannya. Pedang
kemudian ditempelkannya ke leher Pangeran itu.
Melihat kejadian ini ratusan prajurit yang sejak
tadi terkesima menyaksikan perkelahian antara
sang Pangeran dengan Anggagini kini di buat ka-
get. Sadar junjungannya berada dalam ancaman
bahaya besar. Dengan senjata terhunus mereka
berlompat mengurung si kakek gendut dan Ang-
gagini.
"Kalian dengar! Siapa saja diantara kalian
yang berani maju. Jiwa pangeran mu pasti tidak
akan tertolong.!" ancam Anggagini.
"Berani kau melukainya. Kami semua pasti
akan membunuhmu!" teriak salah seorang praju-
rit berbadan tinggi besar berwajah paling angker
diantara prajurit lainnya. Anggagini tersenyum
sinis. Sedangkan Pangeran Sobali segera berseru.
"Kalian semua jangan perdulikan aku. Bunuh ke-
dua manusia keparat ini!" perintah si pemuda.
"Ha ha ha. Aku memiliki bobot lebih dari
dua ratus kati. Jika kalian bertindak nekad men-
gikuti perintah pangeran gila ini, sekali aku ge-
rakkan kaki, tubuhnya akan menjadi mejret sam-
pai ke ampas-ampasnya!" seru si kakek sambil
angkat kaki kanannya siap di hentakkan ke
punggung Pangeran Sobali.
"Jangan kau hiraukan gendut miring itu.
Cepat kalian bunuh mereka'" teriak Pangeran So-
bali yang sudah tak kuasa berbuat apapun kare-
na sekujur tubuhnya menjadi kaku. Meskipun
Pangeran Sobali sudah berkata begitu. Tapi tak
satupun di antara prajurit yang berani bertindak
gegabah. Mereka khawatir terjadi sesuatu yang ti-
dak diinginkan pada pangerannya. Lagipula me-
reka tahu si gendut tidak bisa dibuat main-main.
Terbukti dengan mudah dia dapat membunuh
Tangan Besi. Ingat semua itu, akhirnya prajurit
berwajah angker yang bicara tadi memilih men-
gambil jalan selamat dengan berkata. "Jangan
kau bunuh pangeran kami!"
"Jahanam, mengapa kau jadi sepengecut
itu!" hardik pangeran merasa terhina.
"Pangeran, keselamatanmu saat ini lebih
panting dari segalanya!" ujar pengawal itu.
"Bangsat tolol!" maki Pangeran Sobali sen-
git.
Anggagini dan Gentong Ketawa tersenyum.
Jika menuruti kata hati ingin sekali si gadis
membunuh Pangeran Sobali. Tapi dia merasa le-
bih baik menahan diri demi menghormati si ka-
kek gendut. Dalam kesempatan itu Gentong Ke-
tawa berkata ditujukan pada seluruh prajurit.
"Jika kalian ingin aku mengampuni pangeran sial
ini. Berlutut kalian semua di depanku!" Semua
prajurit saling berpandangan.
"Jangan kalian lakukan!" teriak Pangeran
Sobali.
"Berlutut!" kata pengawal angker tanpa
menghiraukan ucapan junjungannya. Semua pra-
jurit segera berlutut. Gentong Ketawa kedipkan
matanya ke arah Anggagini. Setelah itu dia me-
lanjutkan. "Tundukkan kepala, mata terpejam,
setelah itu berkokok seperti ayam jantan seba-
nyak tiga kali!"
"Tapi...!" prajurit kepala hendak mengu-
capkan sesuatu.
Gentong Ketawa cepat memotong. "Mem-
bangkang berarti kepala pangeran mu kubuat
menggelinding.'" ancam si kakek.
"Jahanam tua. Aku bersumpah jika kau
biarkan aku hidup. Aku pasti akan terus membu-
rumu. Mulai detik ini kau kunyatakan sebagai
buronan Kediri!" teriak Pangeran Sobali. Si kakek
tertawa. "Terima kasih. Dengan begitu aku men-
ganggap diriku ini termasuk orang penting." sahut
si kakek. "Kalian tunggu apa lagi." teriak si kakek
ditujukan pada ratusan prajurit yang sudah ber-
lutut didepannya.
Seluruh prajurit itu dengan terpaksa dan
demi keselamatan Pangeran Sobali akhirnya ke-
luarkan suara seperti ayam jantan berkokok. Di
luar sepengetahuan mereka. Si kakek dan Angga-
gini sambil menahan geli dengan cepat sekali ber-
kelebat tinggalkan tempat itu. Pangeran Sobali
yang merasa terbebas dari ancaman orang, ketika
melihat prajuritnya masih saja berkokok seperti
ayam jantan dengan geram berteriak. "Prajurit
pandir tidak berguna. Hentikan kegilaan kalian!
Cepat bantu aku duduk!"
Ratusan prajurit tersentak kaget. Mereka
hentikan suaranya dan segera memandang ke de-
pan. Ternyata kakek dan gadis itu lenyap entah
kemana. Beberapa prajurit saling bersirebut me-
nolong Pangeran Sobali duduk. Setelah pemuda
itu dapat duduk bersila sambil menggerutu, me-
maki ketololan prajuritnya dia segera kerahkan
tenaga dalam untuk melenyapkan pengaruh toto-
kan yang bersarang di dada dan punggungnya.
Tapi aneh dan yang membuat pangeran itu terke-
jut, setiap tenaga dalam dialirkan ke bagian yang
tertotok, tenaga dalam itu selalu berbalik ke pu-
sar, terus turun ke bawah perut. Pangeran pun
terkentut-kentut. Beberapa prajurit tidak dapat
menahan tawa. Sedangkan prajurit yang baru
menolong jadi terheran-heran.
"Prajurit keparat, menyingkirlah! Gadis itu
sengaja mengerjai aku. Totokannya sulit kumus-
nahkan. Sialan... keparat, jika kelak bertemu
akan kubuat dia sengsara seumur hidup." Pange-
ran Sobali jadi uring-uringan. Sisa prajurit segera
menjauh takut kena didamprat. Beberapa dianta-
ranya terpaksa menutupi mulut menahan tawa.
Sedangkan Pangeran Sobali cuma bisa mendelik
dan terus mendelik.
TAMAT
NANTIKAN EPISODE
*IBLIS DALAM MATAHARI*







0 komentar:
Posting Komentar