https://matjenuhkhairil.blogspot.com : Tempat Membaca Cerita Silat Wiro Sableng Dan Pendekar Sakti Di Seluruh Nusantara

Kamis, 18 Desember 2025

Pendekar Gila Episode Penghianatan Joko Galing


PENGHIANTAN JOKO GALING
Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja
Serial Pendekar Gila
dalam episode:
Penghianatan Joko Galing
128 hal; 12 x 18 cm

1

Pagi yang cerah, langit tampak bersih tanpa
mega. Angin pegunungan berhembus sejuk. Di dalam
sebuah rumah bilik yang berada di lereng Pegunungan
Panalu, pagi itu nampak seorang lelaki tua berusia tu-
juh puluh tahun dengan pakaian serba merah duduk
di atas sebuah batu persegi. Di hadapan lelaki tua itu,
seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun du-
duk bersila.
"Segala ilmu yang aku miliki telah kuturunkan
pada dirimu, Joko," lelaki berjenggot serta berambut
putih terurai itu berkata kepada muridnya. "Kini wak-
tumu untuk mengamalkan segala ilmu yang kau miliki."
Lelaki muda yang dipanggil Joko Galing hanya
diam saja, menundukkan kepalamendengarkan penuh
perhatian ucapan sang Guru. Lima tahun sudah Joko
Galing menjadi murid Ki Mandra. Selama itu pula dia
dididik dan digembleng dalam asuhan orang tua sakti
itu, hingga kini menjadi seorang pemuda yang memiliki
ilmu dan kemampuan tinggi.
Ki Mandra memandangi Joko Galing, lalu berkata,
"Berjalanlah sesuai dengan apa yang selama ini
aku ajarkan pada dirimu!"
Joko Galing menengadahkan kepala sambil
berkata,
"Baik, Guru. Akan kulaksanakan semua yang
Guru petuahkan dan ajarkan kepadaku."
Ki Mandra mengangguk-anggukkan kepala,
dengan bibir menyunggingkan senyum. Tampaknya le-
laki tua berambut putih itu mengerti apa yang diucapkan sang Murid.

"Guru.... Kalau boleh aku ingin bertanya," ujar
Joko Galing kemudian.
"Tentang apa, Joko?"
Joko Galing terdiam sesaat, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Guru, apakah benar orangtua ku mati dibu-
nuh Panca Iblis?"
Ki Mandra tak menyahuti, tapi dari anggukan
kepalanya bisa diartikan kalau sang Guru menjawab
pertanyaan sang Murid. Kemudian ditatapnya wajah
Joko Galing.
"Bolehkan aku menuntut balas, Guru?"
Ki Mandra tersenyum, menggelengkan kepala.
"Sebagai seorang pendekar, kau tak boleh menyimpan dendam, sekecil apa pun, Joko. Melangkah-
lah di jalan lurus. Kalau ingin menumpas Panca Iblis,
kau harus mendasarkan tindakanmu pada kepentin-
gan umum, dengan tujuan menegakkan kebenaran
dan keadilan. Bukan karena dendam kesumatmu.
Memang kebiadaban Panca Iblis telah banyak merugi-
kan orang. Tumpaslah keangka-ramurkaan yang mereka lakukan. Itulah sebenarnya jalan yang lurus bagi
seorang pendekar. Kau mengerti, Joko?"
Joko Galing tidak segera menjawab. Ditariknya
napas panjang, lalu menganggukkan kepala perlahan.
"Bagus."
Ki Mandra bangkit dari duduknya, lalu melang-
kah meninggalkan sang Murid seorang diri, menuju
kamarnya. Tak lama kemudian lelaki tua itu kembali
keluar dan mendekati Joko Galing. Tangannya meng-
genggam sebilah pedang. Ditatapnya wajah Joko Gal-
ing yang duduk bersila di hadapannya.
"Joko, pedang pusaka ini sengaja kusimpan
baik-baik," ujar Ki Mandra setelah menatap wajah mu-
ridnya. "Dulu Pedang Lembayung Merah ini sempat

menggegerkan dunia persilatan. Barang siapa mem-
pergunakan pedang ini, dan memiliki ilmu pukulan
'Lembayung Merah', dia akan menjadi pendekar yang
sulit dikalahkan. Kau memang tak memiliki pukulan
'Lembayung Merah' tapi kau menguasai ilmu 'Serat
Kendali', yang berguna sebagai pengendali nafsu ang-
kara murka. Pakailah pedang ini untuk kebaikan. Jan-
gan kau gunakan dalam tindak kejahatan," saran Ki
Mandra.
Joko Galing terdiam menundukkan kepala, be-
rusaha meresapi apa yang dikatakan gurunya.
Hatinya merasa bangga, karena yakin kalau
pedang sakti ini akan menjadi miliknya. Dan setelah
memiliki Pedang Lembayung Merah, dia akan menjadi
pendekar yang sakti.
"Terimalah pedang ini, Joko."
Ki Mandra mengulurkan tangannya, menyerah-
kan Pedang Lembayung Merah pada Joko Galing. Pe-
muda itu segera menyambut dengan mengulurkan ke-
dua telapak tangannya ke atas. Setelah sampai di tan-
gan, segera diciumnya pedang pusaka itu. Kemudian
dililitkan tali pedang ke tubuhnya, hingga senjata itu
tersandang di punggung Joko Galing.
"Ingat, Joko! Pedang itu hanya untuk membela
kebenaran dan keadilan. Jangan kau gunakan dalam
tindak kejahatan! Jika kau lakukan hal itu, celakalah
dirimu. Kau akan menerima siksa dari pedang itu," tu-
tur Ki Mandra memperingatkan Joko Galing yang telah
menyandang senjata pusaka itu.
"Baik, Guru! Selalu kuingat segala pesanmu,"
sahut Joko Galing sambil menundukkan kepala.
"Joko, jika kau sudah turun gunung, carilah
seorang pendekar yang bisa membantumu. Mintalah
petunjuk, dan bila perlu mengabdilah padanya!" saran
Ki Mandra lagi.

"Siapakah dia, Guru?" tanya Joko Galing ingin
tahu.
"Aku sendiri kurang tahu namanya. Tapi di ka-
langan dunia persilatan dia dikenal dengan julukan
Pendekar Gila. Tingkah lakunya memang seperti orang
gila," jawab Ki Mandra.
Sesaat Joko Galing terdiam, dengan kening
mengerut. Hatinya bertanya-tanya siapa sebenarnya
Pendekar Gila. Dihelanya napas dalam-dalam, seakan-
akan berusaha menenangkan perasaannya. Ingin seka-
li dia seperti Pendekar Gila, yang sangat kesohor dan
disegani di kalangan dunia persilatan.
"Siapakah Pendekar Gila itu, Guru? Dan men-
gapa dia disegani tokoh-tokoh persilatan?" dengan
agak ragu, akhirnya Joko Galing bertanya.
"Hm..., dia seorang pendekar berbudi luhur. Il-
munya sangat tinggi, tetapi tidak sombong dan merasa
besar. Bahkan, sering merendahkan diri," jawab Ki
Mandra.
Joko Galing terdiam. Kepalanya mengangguk-
angguk, seakan mengerti. Namun perasaan hatinya
yang iri pada Pendekar Gila, tak dapat ditepiskan. Dia
ingin seperti pendekar itu yang tersohor bahkan sangat
ditakuti.
"Ada apa lagi, Joko? Tampaknya kau bimbang,"
tukas Ki Mandra dengan mata menatap tajam ke wajah
Joko Galing. Tatapan lelaki tua itu seperti tengah me-
nyelidik apa yang dipikirkan sang Murid.
"Ah! Tidak, Guru! Aku mengerti."
"Bagus kalau begitu."
Ki Mandra sesaat menghela napas pelan. Ma-
tanya masih menatap wajah sang Murid. Kepala lelaki
tua itu mengangguk-angguk. Tangan kirinya membe-
lai-belai jenggotnya yang panjang dan putih.
"Berangkatlah! Amalkan semua ilmu yang telah

kau peroleh, untuk membela kebenaran dan keadilan!"
perintah Ki Mandra, setelah sesaat terdiam menatapi
wajah muridnya.
"Baik, Guru! Aku mohon pamit," pinta Joko
Galing sambil menyembah. Kemudian dengan diikuti
tatapan mata sang Guru, Joko Galing melangkah me-
ninggalkan rumah gurunya.
Lima tahun terasa begitu cepat berlalu. Joko
Galing tak pernah lupa pada peristiwa mengenaskan,
yang menimpa keluarganya. Kedua orang tuanya di-
bantai Panca Iblis.
Joko Galing menengadahkan wajah meman-
dang ke langit biru. Dihelanya napas panjang-panjang,
menghirup udara pagi yang sejuk.
Hm, kini aku telah punya kemampuan. Akan
kubalas kematian keluargaku. Tunggulah pembala-
sanku, Panca Iblis! Hutang nyawa harus dibayar nya-
wa pula, batin Joko Galing penuh dendam. Tangannya
memegang gagang Pedang Lembayung Merah yang ter-
sampir di punggung.
Srt!
Dicabutnya Pedang Lembayung Merah dari wa-
rangka. Seketika tubuhnya tergetar hebat. Seakan pe-
dang itu mengandung kekuatan sangat dahsyat yang
disertai keluarnya cahaya merah menyilaukan mata.
"Ukh! Akh...!"
Joko Galing mendesah. Tubuhnya mengucur-
kan keringat dingin, ketika mengerahkan tenaga dalam
untuk dapat menguasai kekuatan pedang itu.
"Ukh! Akh...! Pedang ini seperti menyedot selu-
ruh kekuatanku," keluh Joko Galing merasakan geta-
ran yang teramat kuat. Sehingga dirasakan tenaganya
terkuras habis.
Pedang itu terus tergetar dengan hebat. Sema-
kin keras getaran yang ditimbulkan, semakin terang

sinar merah yang keluar.
"Ukh! Akh...!"
Joko Galing terus melenguh. Tenaganya sema-
kin lama terkuras. Wajahnya memucat, bagaikan tak
berdarah. Rasa gentar seketika menjalar di hatinya,
menyaksikan kedahsyatan Pedang Lembayung Merah
di tangannya. Dia menyangka, kalau kekuatan pedang
itu hebat sekali.
"Oh, tenagaku hampir habis!" keluh Joko Gal-
ing dengan wajah kian memucat dan tegang, merasa-
kan getaran pedang masih tetap kuat.
"Joko, Anakku. Kau tak akan mampu mengen-
dalikan kekuatan pedang itu, jika batinmu belum te-
nang. Hatimu diliputi rasa dendam. Dendam adalah
setan. Gunakanlah ilmu 'Serat Kendali' yang kau mili-
ki. Dengan ilmu itu kau akan mampu memegang Pe-
dang Lembayung Merah'," terdengar suara gurunya
memberi tahu.
"O, ampunkanlah aku, Guru. Aku telah terlena
melupakan petuahmu," keluh Joko Galing.
Kemudian dengan memejamkan mata, Joko
Galing mengerahkan ilmu 'Serat Kendali'. Dibuangnya
perasaan marah. Dan segera disatukan segenap rasa
dan indra pada ketenangan jiwanya. Saat itu pula, Pe-
dang Lembayung Merah mulai melemah. Getaran dan
sinar merah yang menyilaukan mata tampak mereda.
Napas Joko Galing tersengal-sengal, seperti ha-
bis berlari kencang ribuan tombak. Keringat masih
mengucur, membasahi sekujur tubuhnya. Perlahan-
lahan ditariknya napas panjang mencoba mengatur pe-
rasaan.
"O, betapa hebat pedang ini!" gumam Joko Gal-
ing lirih.
"Hati-hatilah, Anakku. Berangkatlah dengan
ketenangan jiwamu! Jiwa seorang pendekar," suara Ki

Mandra gurunya kembali terdengar.
"Baik, Guru. Terima kasih atas jasamu selama
ini!" sahut Joko Galing.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh, pemuda itu melesat meninggalkan tempat itu.
Tubuhnya dalam sekejap saja sudah menghilang di ba-
lik pepohonan hutan yang dilaluinya.
Kini tujuan Joko Galing hanya satu, mencari
Panca Iblis yang telah membantai keluarganya. Juga
telah membuat kesengsaraan penduduk Desa Kalasan.
Kemudian yang kedua, mencari Pendekar Gila seperti
yang disarankan sang Guru.
"Hea! Heaaa...!"
Tubuh Joko Galing terus melesat menggunakan
ilmu lari yang bernama 'Gerak Sewu". Sebuah ilmu lari
yang mengandalkan kecepatan gerakan kaki. Sehingga
kaki Joko Galing seperti ada seribu, karena begitu ce-
pat gerakannya. Dalam sekejap saja pemuda itu telah
sampai di bawah Gunung Panalu.
"Hih...!"
Joko Galing menghela napas. Matanya meman-
dang lepas ke atas, seolah-olah hendak melihat sang
Guru yang berada di lereng gunung itu. Teringat kem-
bali lima tahun yang lalu dia ditolong lelaki tua itu dari
kematian yang telah merenggut keluarganya.
"Guru, sungguh besar jasamu padaku," desah
Joko Galing ketika teringat kebaikan Ki Mandra yang
telah mengasuhnya selama ini. Tanpa adanya lelaki
tua itu, mungkin dia sudah mati pula di tangan Panca
Iblis.
Baiklah, untuk mengetahui siapa sebenarnya
Joko Galing kita kembali ke lima tahun yang silam. Ki-
ta akan mengikuti sejenak bagaimana sampai Joko
Galing menjadi murid Ki Mandra.

***
Lima tahun yang lalu, Desa Kalasan yang di-
pimpin oleh Ki Santanu diserang lima orang yang me-
namakan dirinya Panca Iblis dari Suwelang. Dengan
menunggang kuda mereka menuju Desa Kalasan. Pan-
ca Iblis membunuh setiap orang yang di-jumpai di ja-
lan.
"Ha ha ha...! Katakan pada Ki Santanu, setiap
bulan purnama warga Desa Kalasan harus menyetor-
kan upeti pada kami!" seru lelaki bertubuh besar ber-
pakaian ungu. Kumis panjang melintang dan cambang
bauk menghiasi wajahnya. Dialah Gaja Polo, pemimpin
Panca Iblis.
"Ya! Jangan sesekali berani melawan! Kami tak
segan-segan membunuh kalian!" sambung lelaki beru-
sia sekitar empat puluh tahun, yang berbadan gemuk
dan pendek. Wajahnya bersih dari kumis dan cambang
bauk. Lelaki berpakaian kuning gading itu bernama
Barda, orang kelima dari Panca Iblis.
Warga Desa Kalasan yang ketakutan melihat
sepak terjang Panca Iblis tak satu pun yang berani me-
lawan. Semua diam membisu, meski dari pancaran
mata mereka tergambar kebencian yang mendalam.
"Katakan pada Ki Santanu, agar disiapkan pes-
ta meriah! Kami akan datang ke rumahnya!" seru Gaja
Polo.
"Hai, jawab...! Kalian seperti orang bisu!" ben-
tak Ranguwalang, lelaki bertubuh tinggi dan kurus,
mengenakan pakaian biru kehitaman. Lelaki berambut
kaku dan hidung pesek itu, orang ketiga dari Panca Ib-
lis. Namun para warga desa yang ketakutan itu tak
mampu menjawab bentakan keras itu.
"Kurang ajar! Kalian rupanya mencari mam-
pus!" maki Sartakulir, orang kedua dari Panca Iblis.

Rambutnya yang panjang terurai, dengan ikat kepala
kain coklat.
Crang!
Sartakulir mencabut pedangnya. Kemudian di-
jalankan kudanya mendekat ke kerumunan penduduk
yang tak berani pergi dari tempat itu. Karena jika per-
gi, melayanglah nyawa mereka.
"Ayo, jawab! Apa kalian ingin pedang ini yang
bicara?!" bentak Sartakulir sambil mengancung-
acungkan pedang di depan warga desa yang semakin
ketakutan. Namun tiba-tiba...
"Pengecut! Kalian hanya berani dengan orang-
orang lemah!" terdengar bentakan keras dari belakang.
Ketika Sartakulir menolehkan kepala, dilihat-
nya dua orang berbadan tegap dengan muka tak kalah
garang, telah berdiri sekitar sepuluh tombak di bela-
kangnya. Kedua lelaki berpakaian sama hitam dengan
loreng-loreng merah itu, tak lain tangan kanan Ki San-
tanu.
"Heh...! Siapa kalian?!" bentak Gaja Polo. "Be-
rani benar menantang Panca Iblis!"
"Hm, apa yang mesti kami takutkan?! Sepasang
Clurit dari Simolawang, tak pernah gentar!" sahut Ker-
to Badru. Lelaki berbadan tinggi tegap dengan kumis
melintang tebal.
"Kurang ajar! Rupanya kau mencari mampus,
Centeng Tolol!" bentak Gaja Polo. Matanya membelalak
lebar diliputi amarah.
"Hm, kuharap kalian jangan sesekali berani
menginjakkan kaki di desa ini!" kata Kerto Wala. Wa-
jahnya pun menunjukkan keangkeran, seolah ingin
menunjukkan pada kelima Panca Iblis kalau mereka
bukan orang-orang sembarangan.
"Kurang ajar! Singkirkan mereka!" perintah Ga-
ja Polo pada keempat rekannya.

"Biar aku saja yang menyingkirkan centeng to-
lol itu!" sahut Barda sambil melompat dari punggung
kudanya. Dengan langkah tegap sambil membusung-
kan dada, Barda berjalan perlahan mendekati kedua
tangan kanan Ki Santanu. Tangannya memegang golok
besar yang tersandang di punggungnya.
Kedua tangan kanan Ki Santanu segera menca-
but senjata masing-masing yang berbentuk clurit. Ma-
ta keduanya menatap tajam lelaki berpakaian kuning
gading yang melangkah semakin dekat.
"Bersiaplah kalian untuk mampus!" dengus
Barda sambil menarik goloknya dari warangka.
Srt!
"Hea!"
"Yea!"
Barda segera merangsek dengan kibasan golok
besarnya. Kerto Badru dan Kerto Wala seketika ber-
lompatan mundur mengelakkan babatan golok lawan.
Kemudian dengan cepat keduanya balas menyerang
dengan sambaran cluritnya.
"Hea!"
"Yea!"
Wuttt!
Dalam sekejap, pertarungan telah berjalan den-
gan seru. Namun tampaknya kemampuan Kerto Badru
dan Kerto Wala berada setingkat di bawah lawannya.
Dalam beberapa gebrakan saja, Barda mampu mengu-
asai keadaan. Golok besarnya terus berkelebat cepat
memburu kedua lawannya.
"Mampuslah kalian!" bentak Badra.
Wrt!
Golok besar itu berkelebat cepat
Jreb! Jreb!
"Wuaaa...!"
Kedua lawan Badra menjerit kesakitan ketika

golok besarnya membabat tubuh Kerto Badru dan Ker-
to Wala. Kedua ambruk dengan mata terbelalak. Se-
saat keduanya mengejang kesakitan, kemudian tewas.
Badra tersenyum mencibirkan bibirnya. Kemu-
dian dengan angkuh didepaknya kedua tubuh tangan
kanan Ki Santanu yang sudah menjadi mayat.
"Lihat! Apakah kalian ingin seperti mereka?!"
seru Badra pada warga Desa Kalasan yang semakin ke-
takutan setelah menyaksikan kedua tangan kanan Ki
Santanu dalam beberapa gebrakan saja telah tewas.
"Cepat katakan pada Ki Santanu, siapkan pe-
nyambutan kami!" perintah Gaja Polo.
Warga desa yang sudah ketakutan itu pun me-
nurut. Mereka segera meninggalkan tempat itu, untuk
memberi tahu Ki Santanu tentang kedatangan Panca
Iblis.
Ki Santanu yang tak suka kalau orang-orang
jahat menginjakkan kaki di desanya, dengan tegas me-
nolak kedatangan Panca Iblis. Mendengar penolakan
kepala desa itu. Panca Iblis itu mengamuk, mereka
membakari rumah-rumah penduduk dan membantai
orang-orang Desa Kalasan. Bahkan keluarga Ki Santa-
nu dibantai habis. Namun tanpa diduga, ketika pem-
bantaian keji itu tengah berlangsung, tiba-tiba sesosok
tubuh berkelebat cepat dan merenggut tubuh Joko
Galing dari amukan Panca Iblis.
Sosok itu ternyata Ki Mandra. Sejak saat itu,
Joko Galing diangkat sebagai murid orang tua sakti
itu.
Joko Galing menarik napas panjang-panjang,
setelah membayangkan kembali kejadian yang menge-
naskan lima tahun silam. Entah bagaimana keadaan-
nya Desa Kalasan saat ini, pikir pemuda itu.
"Hm," Joko Galing menggumam tak jelas, kemudian melesat menuruni lereng gunung. Tujuannya
hanya satu, ke Desa Kalasan.
***
2

Desa Kalasan kini benar-benar bagaikan desa
mati! Sepi, seperti tak berpenghuni. Sore hari pintu-
pintu rumah telah tertutup, pagi dan siang tiada seo-
rang anak pun yang tampak bermain-main di luar ru-
mah. Kehidupan bagai tercekam rasa takut. Apalagi se-
jak Ki Santanu sebagai Kepala desa Kalasan mati di-
bunuh Panca Iblis,
Segala sesuatu yang diperintahkan Panca Iblis
harus dilaksanakan. Selama lima tahun Desa Kalasan
di bawah kekuasaan orang-orang durjana.
Namun akhir-akhir ini warga bertambah resah
dengan kedatangan seorang wanita muda dan cantik
yang telah mampu mengalahkan Panca Iblis. Wanita
itu menghendaki agar para pemuda tampan harus me-
relakan dirinya sebagai kekasihnya. Mereka dijadikan
pemuas nafsu wanita cantik itu.
"Kabarkan kepada semua penduduk, agar se-
tiap malam menyerahkan anak lelaki mereka kepada-
ku. Kalian mengerti...?!"
"Daulat, Nyi Mas," jawab kelima orang yang
menamakan dirinya Panca Iblis yang telah takluk pada
wanita cantik itu.
"Bila ada warga atau pemuda yang membantah,
tumpas! Jangan beri ampun!" kembali wanita cantik
berpakaian merah jambu itu berkata.
"Daulat, Nyi Mas!" jawab orang-orang Panca Iblis serempak.

"Barda, coba kau cari anak Ki Santanu!"
Barda mengerutkan kening mendengar perintah
wanita yang dipanggil Nyi Mas itu.
"Untuk apa, Nyi Mas? Bukankah anak itu nanti
akan merepotkan kita?!"
"Jangan membantah, Barda!" bentak wanita
cantik itu yang ternyata Nyi Mas Lindri.
Barda terdiam. Segala perintah pimpinannya
memang harus dilaksanakan dan tak seorang pun
yang berani membantah.
"Daulat, Nyi Mas. Saya akan mencarinya," ja-
wab Barda setelah terdiam beberapa saat. "Namun,
apabila kelak anak itu membahayakan kita, Nyi Mas
jangan menyesali dan menyalahkanku!"
"Semua tanggung jawabku, Barda!" suara Nyi
Mas Lindri meninggi, pertanda marah. Kelima lelaki
yang duduk di hadapannya menundukkan kepala, tak
berani bertatap pandang.
Nyi Mas Lindri memang seorang wanita cantik,
tapi ilmunya di atas kelima Panca Iblis.
Barda yang tahu gelagat, segera minta pamit.
Lelaki berpakaian kuning gading itu beranjak pergi un-
tuk mencari Joko Galing. Walau tak tahu apa sebenar-
nya maksud sang Ketua, Barda tak berani membantah
apalagi menentangnya. Dengan perasaan kurang enak,
Barda melangkah pergi.
"Aneh! Bukankah dulu dia yang menyuruh agar
dibunuh semua keturunan Ki Santanu?! Kenapa seka-
rang malah menyuruhku mencari anaknya yang hi-
lang?" Barda bertanya-tanya sendiri. "Hm.... Untuk apa
anak itu? Ah, memang susah bekerja sama dengan
wanita!"
Barda telah melangkah jauh meninggalkan Hu-
tan Gendis tempat Panca Iblis berada. Namun pikiran-
nya masih bingung harus menuju arah mana untuk

mencari anak Ki Santanu, yang entah berada di mana.
Tapi ketika Barda tengah berjalan memasuki sebuah
hutan, tiba-tiba....
"Manusia keparat..! Tungguuu...!"
Barda tersentak, lalu memalingkan wajah ke
arah suara itu. Dilihatnya segerombolan orang berla-
rian mengejar Barda. Dua puluh lima orang yang men-
genakan ikat kepala bergambar tanduk merah itu ter-
nyata anak buah Begal Setan Tanduk Merah. Sebuah
perkumpulan begal yang akhirnya terdesak kedudu-
kannya di Hutan Gendis setelah kedatangan Panca Ib-
lis, apalagi semenjak Panca Iblis dipimpin Nyi Mas Lin-
dri.
Siapa mereka...? Tanya Barda dalam hati. Apa
urusan mereka denganku?
Barda yang belum yakin apa maksud gerombo-
lan itu nampak terdiam menunggu kedatangan mere-
ka. Namun Barda tersentak kaget, ketika melihat tan-
gan orang-orang itu menggenggam senjata terhunus,
seperti tengah memburu musuh.
"Siapa kalian?" tanya Barda belum mengerti.
Ketua Begal Setan Tanduk Merah tersenyum
sinis mendengar pertanyaan Barda. Bagi dia ucapan
Barda adalah ucapan seorang pengecut. Pertanyaan
seseorang yang tengah ketakutan.
"Ha ha ha...! Kenapa harus berpura-pura, Bar-
da? Apa kau tak ingat dengan kami yang telah kau hi-
na dulu? Setahun yang lalu. Kau dan teman-temanmu
telah memaksa kami harus menyingkir dari Hutan
Gendis," ujar Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah
yang bernama Mangala.
Barda kembali mengerutkan kening. Dia benar-
benar tak mengerti siapa sebenarnya mereka. Bertemu
saja baru kali ini.
"Kedatangan Panca Iblis, telah menyebabkan

kami sengsara. Kekuasaan kami di wilayah Desa Kala-
san lenyap. Maka itu, kami akan menuntut balas! Nah,
kini kematianmu menandai awal perjuangan kami!
Anak buah, seraaang...!" perintah Mangala.
Mendengar perintah pimpinannya, seketika ke-
dua puluh orang anggota Begal Setan Tanduk Merah
segera mengepung Barda yang masih berusaha tenang.
Semua anggota Begal Setan Tanduk Merah te-
lah siaga tanpa menyerang, semua menunggu perintah
dari pimpinan mereka. Mata mereka terus menatap ta-
jam pada wajah Barda.
Barda menyunggingkan senyum.
Kesempatan, akan aku dului mereka, gumam
Barda membatin.
Srt!
"Yeaaa...!"
Secepat kilat Barda mencabut golok besarnya,
lalu secepat kilat dibabatkan ke tubuh musuh-musuh
yang merangsek dirinya.
"Awaaas...!" pekik Mangala mengingatkan pada
anak buahnya. Namun serangan Barda ternyata da-
tang begitu cepat. Sehingga....
Bret! Bret! Bret...!
"Aaakh...!"
"Wuaaa...!"
Tiga orang anak buah Begal Setan Tanduk Me-
rah terpekik, ketika perut mereka terbabat golok besar
Barda. Mereka tak dapat berbuat apa-apa kecuali
mengerang kesakitan. Sesaat ketiganya kelojotan lalu
akhirnya roboh dengan tubuh berlumuran darah.
"Bangsat! Kau telah membunuh anak buahku.
Kau harus mampus di tangan kami. Seraaang...!" pe-
rintah Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah.
Gerombolan itu langsung menyerang dengan
senjata mereka.

Wrt!
"Yeaaa...!"
Pedang dan golok di tangan anggota Begal Se-
tan Tanduk Merah berkelebat memburu tubuh Barda.
Dengan cepat Barda mengelak sambil memapakai se-
rangan dengan kibasan golok besarnya.
Wrt!
Trang! Trang...!
Prak!
Terdengar beberapa kali benturan keras. Pe-
dang dan golok kedua lawan yang menyerang patah.
Kedua anak buah Begal Setan Tanduk Merah tersentak
dan melompat mundur menghindari babatan golok
Barda.
Wrt!
"Hap...!"
Dua orang yang lain merangsek maju.
"Hiyaaat...!"
"Heaaa...!"
Teriakan-teriakan keras mengiringi serangan
yang dilakukan anak buah Mangala.
Wrt! Srap!
Pedang dan tombak berkelebat mengarah ke
tubuh Barda. Segera Barda kembali mengibaskan go-
loknya.
"Heaaa...!"
Wuttt!
"Mampus kau Barda...!" pekik orang memegang
tombak seraya menyodokkan ujung tombak yang runc-
ing dan beracun ke tubuh Barda.
"Uts!" Barda tersentak, lalu melompat mundur
mengelakkan serangan lawan.
Wrt!
"Ihhh...!"
Tombak lawan terus mencecar tubuh Barda.

Namun dengan cepat Barda bergerak ke samping dan
melompat mundur mengelakkan serangan itu.
Aku harus menghalau serangannya, pikir Bar-
da. Golok besar itu dikibaskan ketika tombak lawan
kembali melesat ke perutnya.
Wrt!
Trang!
Dentangan keras pun terdengar ketika golok
besar di tangan Barda berhasil membabat tombak la-
wan.
Prak!
"Hah...?!"
Terbelalak mata orang yang menyerang Barda,
ketika ujung tombaknya patah tersambar golok besar
Barda. Belum sempat hilang rasa kagetnya, Barda te-
lah kembali merangsek sambil membabatkan golok.
Wrt!
"Ahhh...! Bangsat!"
Orang itu tersentak kaget karena merasa mati
langkah. Golok di tangan Barda berkelebat cepat ke
tubuhnya. Hampir saja nyawanya melayang, kalau ka-
wan yang lain tak segera membantu.
"Minggir...! Heaaa...!"
Wuttt!
Serangan cepat pedang lawan sempat membuat
tersentak Barda. Namun kemudian-dengan cepat pula
golok besarnya dikibaskan. Dan....
Trang!
"Mampus kau!" bentak Badra. Golok besarnya
terus berkelebat memapak dan melancarkan serangan
ke tubuh lawan. Namun belum sempat golok itu men-
genai sasaran, tiga orang melesat cepat memapak se-
rangan Barda dengan trisula. Mereka dikenal dengan
julukan Trisula Setan.
"Hea!"

"Yea!"
Teriakan-teriakan terdengar, mengiringi seran-
gan ganas mereka.
Trang, trang!
Badra tersentak kaget lalu segera menarik se-
rangan ke belakang dengan mata terbelalak kaget. Se-
dangkan tiga orang bersenjata trisula itu tersenyum,
mengejek Barda yang sejenak tampak kewalahan.
Ketiga Trisula Setan itu, merupakan penjajak-
kan terakhir bagi Gerombolan Begal Setan Tanduk Me-
rah. Jika ketiganya terdesak, maka Gerombolan Begal
Setan Tanduk Merah akan menyerang secara serentak.
"Kami lawanmu, Barda," ujar lelaki berkepala
botak dan bertubuh besar. Matanya menatap tajam
wajah Barda. "Nah, kini hadapilah Trisula Setan!"
"Hea...!"
"Yea...!"
"Hea...!"
Tanpa menunggu jawaban dari Barda. Trisula
Setan segera menggebrak dengan serangan. Trisula di
tangan mereka langsung mencecar secara bergantian
ke tubuh Barda dengan jurus 'Kembang Mayang Kara'.
Melihat serangan beruntun yang dilakukan ke-
tiga lawannya. Barda segera melompat menghindar
sambil membabatkan golok besarnya untuk menangkis
serangan.
Wuttt!
Srt!
"Hah...!"
Barda tersentak kaget, ketika goloknya terjepit
di ujung trisula lawan. Tangan Barda menarik dengan
kuat, berusaha melepaskan golok besar itu. Namun
trisula yang lain langsung merangsek dan ikut menje-
pit senjata Barda.
Krek!

Trang!
Mata Barda membeliak kaget. Keringat dingin
mengucur deras dari tubuhnya. Seluruh tenaga dalam
yang ada telah dikerahkan untuk membebaskan go-
loknya dari jepitan trisula lawan
"Matilah kau, Barda...!" satu lagi Trisula Setan
melesat, tapi tak seperti kedua rekannya. Lawan yang
ketiga kini mengarahkan trisulanya ke mata Barda.
Srt!
"Ahhh...!" sentak Barda sambil mengerakkan
kepala, mengelakkan serangan yang hampir menusuk
matanya. Lalu dengan cepat Barda bergerak melompat
ke belakang dan melepaskan goloknya. Nyawanya ter-
lepas dari maut, namun senjata andalannya kini ber-
pindah ke tangan lawan.
"Hah...!"
Mata Barda membelalak. Tubuhnya semakin
terdesak serangan lawan yang terus memburu. Dengan
hati diliputi rasa cemas. Barda terus melompat ke sana
kemari, mengelakkan serangan lawan. Dia tak mau
mati begitu saja di tangan anak buah Begal Setan Tan-
duk Merah.
Sementara trisula di tangan lelaki bertubuh ku-
rus terus memburu Barda.
"Ha ha ha...! Kini mampuslah kau, Barda!" seru
Mangala, pimpinan Begal Setan Tanduk Merah sambil
tertawa terbahak-bahak. "Kau harus memberitahukan
di mana kelemahan Panca Iblis pada kami!"
"Bedebah! Sampai mati pun tak akan kuberita-
hu, Kunyuk!" dengus Barda sengit.
Mangala mencibirkan bibir mengejek Barda. La-
lu sambil mengibaskan tangan sebagai isyarat kepada
Trisula Setan agar segera membereskan lawannya,
pimpinan Begal Setan Tanduk Merah melangkah mun-
dur dengan masih tertawa terbahak-bahak.

"Selamat berpisah, Barda! Hua ha ha...! Mam-
puslah kau...!"
Tanpa senjata Barda terpaksa harus mengha-
dapi Trisula Setan yang terus menyerang dengan ga-
nas. Meskipun gerakannya untuk mengelak terus di-
percepat. Namun Barda tetap semakin terdesak dan
tampak kewalahan. Dia tak mampu lagi melakukan se-
rangan, kecuali hanya bergerak menjauh dari ketiga
lawan tangguhnya itu.
"Hea...!"
"Yea...!"
Teriakan-teriakan keras terus terdengar, mengi-
ringi serangan yang kian ganas dari Trisula Setan.
Wrt! Srt!
Ketiga trisula itu terus membabat dan menusuk
ke tubuh Barda yang kian mengendur pertahanannya.
Hingga....
Wuttt!
Bret!
"Aaakh...!"
Barda terpekik ketika perutnya tersambar trisu-
la di tangan salah seorang lawan.
Trisula Setan terus mengejar tubuh Barda yang
kian melemah tubuhnya. Namun tiba-tiba sesosok tu-
buh berkelebat cepat Dan....
Wrt!
Trang, trang, trang...!
"Aaa...!"
Ketiga Trisula Setan itu terpekik. Ketiganya me-
rasakan ada hawa panas menjalar lewat tangannya,
ketika senjata mereka berbenturan keras dengan se-
buah suling yang tiba-tiba memapaki serangan ke tu-
buh Barda.
"Aha...! Rasanya tak adil, Kisanak! Satu orang
harus menghadapi keroyokan...," ujar pemuda berompi

kulit ular yang telah menangkis serangan Trisula Se-
tan. Mulutnya cengengesan sambil menyelipkan suling
ke pinggang.
"Setan...! Berani benar kau ikut campur?!" maki
Mangala. Matanya seketika menatap seorang pemuda
bertingkah laku seperti orang gila yang berdiri di
samping Barda. "Bedebah! Kau rupanya mencari
mampus, Anak Muda! Kau berani menolong penjahat!"
Pemuda yang tak lain Sena atau yang berjuluk
Pendekar Gila itu tertawa terbahak-bahak mendengar
ucapan pimpinan Begal Setan Tanduk Merah.
"Apakah kalian bukan penjahat? Hi hi hi...!"
"Bangsat! Siapa kau, Bocah Gila!" dengus Man-
gala marah. "Katakan, sebelum anak buahku ini men-
cincang tubuhmu!"
"Hi hi hi.... Lucu! Aku katakan juga percuma,
Kisanak! Nah, kalau kalian manusia, hendaknya me-
melihara rasa kemanusiaan. Mengapa kalian mau
membunuh orang yang sudah tak berdaya? Hi hi hi..!"
sahut Sena.
"Bocah edan! Jangan menggurui kami! Anak
buah, serang keduanya jangan beri ampun...!"
"Hiaaat..!"
Gerombolan Begal Setan Tanduk Merah segera
melaksanakan perintah pimpinannya. Mereka serentak
mengepung dan menyerang Pendekar Gila yang beru-
saha melindungi Barda.
"Sobat, apa kau bisa menjaga diri?" tanya Sena
sambil cengengesan, tangannya menggaruk-garuk ke-
pala. Padahal lawan-lawannya siap untuk melakukan
serangan. Hal itu membuat Barda terheran-heran me-
lihat tingkah laku pemuda yang menolongnya. Seakan
pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu, belum
siap untuk melakukan pertarungan.
"Aku akan berusaha," sahut Barda.

"Aha, bagus! Kita akan main-main dengan me-
reka, Kisanak!" ujar Sena sambil cengengesan.
"Bocah edan! Rupanya kau mencari mampus!"
dengus lelaki berkepala botak, salah seorang dari Tri-
sula Setan.
"Hi hi hi...! Mampus...? Aha, rupanya kau su-
dah tak betah hidup, Botak..!" ujar Sena, semakin
membuat orang-orang Begal Setan Tanduk Merah ber-
tambah marah.
"Kurang ajar! Kupecahkan kepalamu...!" dengus
Mangala.
"Hiaaa...!"
"Heit! He he he...!"
Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' Pen-
dekar Gila bergerak mengelakkan serangan lawan, se-
kaligus melindungi Barda.
"Hea...!"
"Yea...!"
Menyaksikan jurus yang dilancarkan Pendekar
Gila, anak buah Begal Setan Tanduk Merah bertambah
marah dan beringas. Jurus yang sepintas kelihatan
lemah dan pelan itu, mengundang mereka untuk terus
melakukan serangan-serangan gencar. Mereka men-
ganggap pemuda bertingkah laku gila itu tak memiliki
kemampuan ilmu silat.
"Kucincang tubuhmu, Bocah Edan!" maki Man-
gala seraya mengayunkan pedang membabat Pendekar
Gila. Namun, dengan jurus 'Gila Menari Menepuk La-
lat', tubuh Sena meliuk. Kemudian sambil cengenge-
san, tangannya bergerak menepuk ke dada lawan.
"Hi hi hi...! Kurang tepat, Kisanak! Hih...!"
Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah tersentak
kaget, ketika tangan Pendekar Gila tiba-tiba hampir
menghantam dadanya. Padahal gerakan Pendekar Gila
tampak pelan dan lemah.

"Edan! Jurus edan...!" maki Mangala sambil
melompat mundur, mengelakkan serangan yang dilan-
carkan Pendekar Gila. Matanya terbelalak, seperti tak
percaya dengan apa yang terjadi. Tubuhnya hampir sa-
ja terhantam telapak tangan Pendekar Gila, kalau saja
tak segera mencelat ke belakang.
"Hi hi hi...!"
Dengan cengengesan, Pendekar Gila kembali
bergerak. Tubuhnya diputar ke arah kiri. Kemudian
dengan tangan diangkat ke atas, tubuhnya mengitari
Barda. Sedangkan tangannya yang telah memegang
Suling Naga Sakti, kini bergerak memukul lawan-
lawannya yang hendak menyerang.
"Tenang, Kisanak! Kau harus memusatkan ji-
wamu agar tidak pusing," saran Sena, mengingatkan
pada Barda agar tidak terpengaruh gerakan dari jurus
'Gila Melepas Lilitan Benang'. Sebuah jurus yang
membuat lawan terbelalak keheranan.
"Jurus edan!" maki Mangala, pimpinan Begal
Setan Tanduk Merah, merasa sangat sulit baginya dan
anak buahnya untuk dapat menembus pertahanan
Pendekar Gila.
"Cuih! Anak-anak, pergi...!"
Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah segera
menggerakkan tangan kanan, memerintah anak buah-
nya agar cepat meninggalkan tempat itu. Seketika itu
pula, anak buah Begal Setan Tanduk Merah berlarian
meninggalkan Hutan Galadema, tempat pertarungan
mereka berada.
***
3

"Hai, jangan lari...!" teriak Barda sambil beru-
saha mengejar Gerombolan Begal Setan Tanduk Me-
rah. Namun, Pendekar Gila segera mencegahnya.
"Aha, biarkan saja gerombolan itu pergi, Kisa-
nak! Tak usah kau kejar. Sia-sia saja kau mengejar
mereka," ujar Pendekar Gila sambil melangkah mende-
kati Barda yang segera menghentikan langkahnya.
"Tapi mereka sangat berbahaya, Kisanak," ujar
Barda cemas.
"Hi hi hi...! Kecemasan hanya ada di hati orang
yang berbuat dosa dan salah...," tutur Pendekar Gila
dengan cengengesan sambil tangannya menggaruk-
garuk kepala. Seakan-akan berbicara pada diri sendiri.
Mendengar ucapan Pendekar Gila, Barda ter-
sentak. Dia tidak menyangka, kalau pemuda tampan
yang bertingkah laku seperti orang gila itu mampu
berbicara seperti layaknya seorang guru besar.
Pendekar Gila melangkah sambil menengadah-
kan wajah ke langit. Dilihatnya mendung berarak-arak
berkumpul jadi satu. Seakan-akan mendung itu mem-
beri suatu petunjuk kepada dirinya.
"Ah, mendung berkumpul. Langit tampak se-
makin gelap. Mungkin akan turun hujan," gumam Se-
na.
Barda turut mendongak ke atas, memandang
mendung yang kian menebal itu. Hatinya tersentuh ju-
ga mendengar penuturan Pendekar Gila. Dia turut
membenarkan ucapan pemuda aneh di hadapannya.
Dihelanya napas dalam-dalam, seolah ingin mene-
nangkan perasaan hatinya.
"Kisanak, tutur ucapanmu sangat menyentuh
hatiku. Kalau boleh ku tahu, siapakah Kisanak sebenarnya?" tanya Barda dengan bola mata menatap ta-
jam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat
Barda bertambah mengerutkan kening. Mata Barda
semakin tak berkedip menatap pemuda itu.
"Ha ha ha, siapa pun diriku, kurasa tak pent-
ing. Aku manusia biasa sepertimu. Hanya saja, mung-
kin keadaan kita yang berbeda," tutur Sena dengan
cengengesan persis orang tolol.
Barda menghela napas panjang-panjang. Entah
mengapa, kini dia merasakan kebenaran ucapan pe-
muda di hadapannya. Dan tanpa sadar, hatinya yang
selama ini gelap, tiba-tiba bagaikan diterangi cahaya.
Kesadaran Barda mulai timbul, bahwa segala yang
pernah dilakukan selama ini salah.
"Mungkinkah pemuda ini tokoh yang dijuluki
sebagai Pendekar Gila?" tanya Barda dalam hati, beru-
saha menduga-duga. "Dilihat dari tindak tanduk dan
ilmunya, jelas merupakan ciri-ciri Pendekar Gila. Hm,
Mungkin dialah orangnya."
"Aha, apa yang kau pikirkan, Kisanak?" tiba-
tiba Sena bertanya, menyentakkan Barda dari lamu-
nannya. "Dan mengapa gerombolan tadi mengatakan
kau orang jahat?"
Barda kembali menghela napas. Kini Barda me-
rasa seperti tengah dihadapkan pada dewa yang se-
dang mengadilinya. Tak bisa lagi berdusta di hadapan
pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu. Seakan
ada sesuatu yang mendorong untuk menceritakan se-
mua tingkah laku hidupnya selama ini;
"Apa yang mereka katakan memang benar, Ki-
sanak. Aku salah seorang anggota Panca Iblis. Tapi se-
jak Panca Iblis dikalahkan Nyi Mas Lindri, hatiku sela-
lu ingin meninggalkan mereka...," desah Barda seakan
berusaha menghilangkan beban yang mengganjal jiwanya.
"Aha, lalu mengapa kau tak meninggalkan me-
reka?" tanya Sena.
"Aku tak mampu," sahut Barda setengah men-
geluh, "Nyi Mas Lindri bukan orang sembarangan. Dia
memiliki ilmu tinggi, hingga kami tak mampu menga-
lahkan. Panca Iblis harus tunduk dan patuh pada se-
tiap perintahnya.."
"Hm...," gumam Sena tak jelas. Mulutnya nyen-
gir, lalu tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Tadi pun, aku harus menuruti perintahnya un-
tuk mencari anak Ki Santanu. Nyi Mas Lindri bukan
hanya kejam, dia semakin menambah penderitaan
warga Desa Kalasan...," lanjut Barda menceritakan.
"Maksudmu...?" tanya Sena.
Barda menarik napas dalam-dalam. Ditatapnya
mendung yang semakin menebal di langit.
"Nyi Mas Lindri tak hanya menuntut upeti dari
warga Desa Kalasan. Tapi lebih dari itu, dia juga seo-
rang wanita cabul yang doyan anak muda. Dengan il-
munya yang tinggi, dia memaksakan kehendak untuk
memuaskan nafsu. Warga yang memiliki anak lelaki
muda diharuskan menyerahkannya pada Nyi Mas Lin-
dri sebagai pemuas nafsu birahinya."
"Ha ha ha, tak boleh dibiarkan!" gumam Sena.
"Apa selama ini tak ada yang menentang?"
"Siapa yang berani Kisanak?" sahut Barda balik
bertanya.
Pendekar Gila nyengir sambil menggaruk-garuk
kepala. Tingkah lakunya tetap seperti orang gila. Hal
itu membuat Barda mengerutkan kening keheranan.
"Aha, lalu apa Kisanak tetap mau mencari anak
Ki Santanu itu?" tanya Sena.
"Entahlah. Kejadian ini membuat jalan pikiran-
ku mulai terbuka. Aku ingin kembali hidup di jalan

yang benar, meninggalkan duniaku yang gelap," jawab
Barda sepertinya benar-benar hendak meninggalkan
dunia hitamnya. Dunia yang selalu membuat dirinya
bagai dikejar-kejar rasa takut dan cemas. Perasaan do-
sa dan musuh yang banyak.
"Benarkah kau ingin meninggalkan dunia hi-
tammu?" tanya Pendekar Gila berusaha meyakinkan.
"Ya," tegas Barda. "Mulai saat ini aku bertekad
untuk kembali ke jalan lurus."
"Aha, bagus! Kurasa memang secepatnya kau
harus menyadari semuanya, Kisanak."
"Terima kasih! Kini bolehkah aku bertanya, sia-
pa kau sebenarnya Anak Muda?"
"Namaku Sena. Tetapi orang biasa memanggil-
ku dengan sebutan Pendekar Gila," jawab Sena yang
membuat mata Barda terbelalak semakin lebar.
"Sudah kuduga," desis Barda dalam hati. "Ka-
lau memang Pendekar Gila. Ah, beruntung sekali aku
bisa bertemu dengannya. Pantas, tutur katanya begitu
arif dan bijaksana."
"Aha, kau kembali termenung, Kisanak. Lalu
siapa kau sebenarnya? Aku memang telah mendengar
Panca Iblis. Tapi aku belum pernah bertemu dengan
kalian," ujar Sena.
"Namaku, Barda," sahut Barda memperkenal-
kan diri, "Kalau Kisanak tak keberatan, ingin rasanya
aku menyertaimu. Aku ingin jauh dari mereka."
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak men-
dengar permintaan dan ucapan Barda. Mulutnya cen-
gengesan sambil menggeleng-geleng kepala, seakan-
akan hendak mengatakan sesuatu.
"Ha ha ha, mengapa kau takut, Kisanak! Kebe-
naran akan senantiasa dilindungi Hyang Widhi. Tak
perlu Kisanak takut pada mereka!" ujar Sena. Namun,
Barda nampaknya belum yakin pada dirinya sendiri.

Hatinya masih dilanda rasa takut menghadapi Nyi Mas
Lindri.
"Tapi, Nyi Mas Lindri sangat kejam, Kisanak.
Dia tak akan membiarkanku begitu saja," ujar Barda
cemas. "Izinkanlah aku mengikutimu! Bukan hanya
Nyi Mas Lindri yang akan menghukumku, tapi mung-
kin anak Ki Santanu yang masih hidup. Anak itu pasti
akan membalas dendam atas kematian keluarganya."
Mendengar penuturan Barda, Pendekar Gila
hanya berdiam. Dihelanya napas dalam-dalam. Dia
memahami kekhawatiran yang melanda hati lelaki di
hadapannya. Apalagi setelah mengetahui tekad Barda
untuk meninggalkan dunia hitamnya.
"Aha, baiklah! Kalau begitu kita berangkat ke
tempat tinggal Panca Iblis!" ajak Sena dengan cen-
gengesan.
Terbelalak mata Barda mendengar ajakan Pen-
dekar Gila. Keningnya berkerut merasa heran dan tak
mengerti mengapa Pendekar Gila justru mengajaknya
ke tempat tinggal Panca Iblis.
"Untuk apa...?" tanya Barda.
"Aha, bukankah mereka orang-orang yang ha-
rus ditumpas?" tanya Sena yang membuat Barda se-
makin tersentak.
"Jadi...?"
Belum sempat Barda selesai berkata, Pendekar
Gila dengan masih cengengesan menyahut cepat.
"Kurasa warga Desa Kalasan harus segera di-
bebaskan dari penderitaan yang mereka timbulkan.
"Kau akan menyerang mereka?"
"Aha, kurasa tidak, selama mereka bersedia se-
cara baik-baik meninggalkan Desa Kalasan," jawab Se-
na, sambil menatap wajah Barda dengan mulut cen-
gengesan.
"Kenapa? Bukankah kau sendiri ingin bebas

dari mereka?"
"Benar."
"Aha, kita harus segera ke sana, Barda!" sentak
Sena."
"Aku tak yakin, apa kita mampu menghadapi
mereka," gumam Barda lirih, tampaknya dia meragu-
kan kemampuan Pendekar Gila yang masih muda itu.
"Aha, apa yang membuatmu ragu, Kisanak?"
tanya Sena sambil menatap wajah Barda. Barda ter-
diam, lalu menghela napas dalam-dalam. Sepertinya
ada sesuatu kebimbangan yang bergayut di hatinya.
"Aku masih ragu, apakah kau mampu menga-
lahkan Nyi Mas Lindri? Karena ilmunya jauh di atas
ilmuku," ujar Barda setengah mendesah lirih.
Pendekar Gila tertawa sambil menggaruk-garuk
kepala. Kemudian dihelanya napas panjang-panjang.
Matanya memandang lepas ke langit yang tertutup
mendung.
Barda turut terdiam, dengan perasaan yang
masih diliputi kebimbangan.
Mungkinkah pemuda yang bergelar Pendekar
Gila ini mampu menghadapi Nyi Mas Lindri yang sakti
itu? Tanya Barda dalam hati. Telah banyak tokoh per-
silatan tua dan berpengalaman menghadapi Nyi Mas
Lindri. Namun, belum ada yang mampu mengalahkan-
nya.
Barda memperhatikan Pendekar Gila dengan
seksama, seakan masih berusaha meyakinkan dirinya
akan kemampuan pemuda yang bertingkah laku gila
itu.
"Aha, keraguan akan membuat langkah ter-
hambat. Mengapa kau masih ragu, Barda? Bukankah
mati untuk membela kebenaran dan keadilan itu tekad
orang ksatria?" tanya Sena, berusaha mendorong se-
mangat Barda yang masih diliputi rasa takut dan tak

percaya diri.
"Baiklah, aku mengikutimu."
"Aha, bagus! Kita harus segera ke sana. Ayo!"
ajak Sena.
Keduanya segera melesat meninggalkan Hutan
Galadema. Tak lama kemudian hujah lebat pun meng-
guyur hutan ini.
***
Sementara itu, Joko Galing yang hendak menu-
ju Desa Kalasan, kini telah sampai di Desa Sangga
Lumajang di kaki Gunung Panalu. Ketika kakinya se-
dang menyelusuri Desa Sangga Lumajang tiba-tiba ma-
tanya melihat lelaki tua tengah diseret empat orang le-
laki bertampang garang.
"Hm, permainan apa lagi yang hendak dipertun-
jukkan orang-orang itu...?" dengus Joko Galing sambil
menghentikan langkah, dan menatap tajam ke lima le-
laki yang menyeret lelaki tua itu.
"Aduh... ampun!" ratap lelaki tua kurus yang
bertelanjang dada itu.
"Kalau kau minta ampun, katakan di mana
anak lelakimu kau sembunyikan!" bentak lelaki berwa-
jah garang yang duduk di punggung kuda.
"Sungguh, Tuan! Hamba tak menyembunyikan.
Anak hamba telah pergi sebelum Tuan datang," jawab
lelaki tua itu.
"Setan! Kau kira kami bisa dibohongi, heh?!"
bentak lelaki berkuda itu sambil mempercepat langkah
kudanya.
Lelaki tua itu menjerit kesakitan. Tubuhnya lu-
ka-luka tergores tanah jalanan.
"Aduh...! Ampuuun...!" teriak lelaki tua itu. Tu-
buhnya yang terkapar di tanah kelojotan kesakitan.

Joko Galing yang menyaksikan kejadian itu,
merasa trenyuh. Tubuhnya segera melesat. Kemudian
dengan gerakan yang sangat cepat, Joko Galing men-
cabut pedangnya. Lalu dalam sekejap saja, Pedang
Lembayung Merah di tangannya telah membabat tali
yang mengikat tangan orang tua itu.
Srt!
Bret!
Tali itu putus. Sementara, kuda penarik lelaki
tua itu tiba-tiba menjadi liar. Tampaknya kuda coklat
itu ketakutan, melihat Pedang Lembayung Merah yang
mengeluarkan sinar merah.
Belum sempat lenyap rasa kaget mereka, Joko
Galing dengan cepat mengelebatkan pedangnya me-
nyerang keempat lelaki yang terperangah menyaksikan
gerakannya.
"Kalian harus mampus! Hih...!"
Wrt!
Dengan mata terbelalak, keempat lelaki berusia
sekitar tiga puluh tahun itu melompat mundur. Mere-
ka semakin terperanjat menyaksikan gerakan cepat
Joko Galing. Namun....
Wuttt!
Jrab! Jrab!
Pedang Lembayung Merah di tangan Joko Gal-
ing berhasil membabat lawan.
"Akh...!"
"Wua...!"
Dua orang terpekik keras, ketika Pedang Lem-
bayung Merah membabat perut mereka. Mata kedua
orang itu terbelalak tegang. Seketika darah menyem-
bur keluar dari luka yang menganga. Sesaat tubuh ke-
duanya mengejang, kemudian ambruk dan tewas.
"Bangsat! Siapa kau?! Berani sekali melawan
Panca Iblis!"

Lelaki berkuda itu marah ketika menyaksikan
dua orang temannya dalam sekali gebrakan saja telah
tewas di tangan pemuda itu.
"Aku Joko Galing. Aku datang untuk menum-
pas kalian, para begundal yang telah membuat warga
menderita. Heaaa...!"
Joko Galing yang diliputi dendam kesumat tan-
pa banyak kata segera mengamuk bagaikan banteng
terluka. Pedang Lembayung Merah di tangannya berge-
rak cepat, menyerang kedua orang lawannya.
Wrt!
Cras!
"Wua...!"
Kedua orang itu terpekik ketika Pedang Lem-
bayung Merah membabat perut mereka. Sesaat tubuh
keduanya mengejang kemudian ambruk dan tewas.
Terbelalak mata lelaki yang duduk di atas
punggung kuda, menyaksikan kehebatan ilmu pedang
lawan. Hanya dengan dua kali gebrakan saja, keempat
kawannya telah tewas. Merasa dia pun tak bakal sang-
gup menghadapi pemuda itu, lelaki penunggang kuda
yang ternyata anak buah Panca Iblis segera mengge-
bah kudanya.
"Mau lari ke mana kau?!" bentak Joko Galing.
Kemudian dengan cepat pemuda itu melesat, membu-
ru lelaki berkuda itu.
Dengan menggunakan ilmu 'Gerak Sewu', da-
lam sekejap saja Joko Galing mampu menghadang le-
laki berkuda itu.
"Ah!"
Lelaki bermuka garang itu tersentak kaget me-
lihat Joko Galing telah berdiri menghadang di hada-
pannya
"Mau lari ke mana, Bajingan?!" bentak Joko
Galing geram. Matanya melotot, menatap tajam wajah
lelaki yang masih duduk di punggung kuda itu.
"Minggir! Jangan halangi aku!" sentak lelaki
berpakaian biru tua, yang ternyata bernama Rawanda.
Joko Galing tersenyum sinis. Dengan pedang di
tangan kanannya. Pemuda itu melangkah mendekati
Rawanda yang masih duduk di atas punggung kuda.
Menyaksikan Joko Galing melangkah mende-
kat, Rawanda mengerutkan kening. Perasaan cemas
dan takut seketika menyelimuti jiwanya. Dia tahu ba-
gaimana kehebatan pedang di tangan pemuda itu, ke-
tika membantai keempat kawannya.
"Kau pun harus mampus, Bajingan! Tapi untuk
kali ini, aku mengampunimu. Biar salah satu kuping-
mu kupenggal. Katakan pada Panca Iblis, Joko Galing
anak Ki Santanu akan menuntut balas," suara Joko
Galing terasa tenang dan dingin sekali. Matanya yang
membuka lebar, menatap tajam wajah Rawanda yang
kini pucat pasi mendengar ucapan Joko Galing.
"Tidak! Jangaaan...! Ampunilah nyawaku," ra-
tap Rawanda ketakutan.
"Aku tak akan membunuhmu. Aku hanya ingin
minta kenang-kenangan darimu. Setelah itu, cepatlah
minggat dari hadapanku," usai berkata demikian, Joko
Galing melompat. Tubuhnya bersalto beberapa kali di
udara, kemudian dengan cepat membabatkan Pedang
Lembayung Merah ke telinga Rawanda.
"Jangaaan...!" pekik Rawanda ketakutan.
Wrt!
"Akh...!"
Lelaki berkuda itu terpekik keras, memegangi
kuping sebelah kirinya yang putus. Darah bercucuran
membasahi pakaiannya. Sementara kuping yang putus
itu telah berada di tangan Joko Galing.
"Enyahlah dari sini! Katakan pada pimpinan-
mu, Joko Galing akan datang! Siapkan nyawa mereka!
Hea...!" Joko Galing memukul pantat kuda itu, yang
seketika lari dengan tunggang-langgang.
Joko Galing tertawa melihat kejadian lucu tadi.
Sebentar kemudian pemuda itu segera melesat, me-
nyusul lari kuda yang ditunggangi Rawanda.
***
4

Di bawah pimpinan Nyi Mas Lindri, Panca Iblis
semakin menancapkan kuku kekuasaan, mencengke-
ram warga Desa Kalasan dan desa-desa lain di sekitar
Hutan Gendis. Selama itu, belum ada seorang warga
pun yang berani menentang kekuasaan Nyi Mas Lindri
Siang itu, Nyi Mas Lindri dan empat tokoh dari
Panca Iblis berkumpul di sebuah ruang pertemuan
yang juga merupakan kamar khusus Nyi Mas Lindri.
Wanita cantik bertubuh sintal itu berbaring di
dipan dari kayu jati berukir. Di belakangnya, empat
pemuda tampan bertelanjang dada tampak memijati
tubuhnya yang mulus. Sesekali mereka men-ciumi tu-
buh Nyi Mas Lindri yang hanya tertutup pakaian tipis
dan tembus pandang berwarna merah jambu. Matanya
yang lembut tapi tajam menatap keempat lelaki tangan
kanannya.
"Barda belum juga pulang. Mungkinkah dia
mendapat kesulitan di jalan...?" gumam Nyi Mas Lin-
dri. Tubuhnya menggeliat kenikmatan ketika keempat
pemuda tampan itu membelai dan menciumi sekujur
tubuhnya.
"Kurasa Barda tak mungkin menemukan anak
Ki Santanu, Nyi Mas. Lagi pula untuk apa bocah itu

dicari? Bukankah hanya akan membuat repot kita?"
tanya Gaja Polo, yang tampaknya tak setuju dengan
rencana Nyi Mas Lindri.
"Huh! Kau tahu apa, Gaja Dungu! Menurut pe-
tunjuk yang kuperoleh, justru anak Ki Santanu yang
bakal membantuku mencapai cita-cita menundukkan
dunia persilatan," tegas Nyi Mas Lindri.
Gaja Polo terdiam. Dia tak berani lagi memban-
tah ucapan sang Pimpinan. Bagaimanapun, kemam-
puannya tak sanggup menghadapi Nyi Mas Lindri yang
berilmu tinggi. Ilmu wanita cantik itu, jauh berada di
atasnya.
"Kalian tahu, jika aku bisa menjadikan anak Ki
Santanu sebagai kekasihku, maka cita-citaku menjadi
ratu persilatan akan terlaksana. Itu kata petunjuk
yang kuterima," tutur Nyi Mas Lindri sambil terus me-
nikmati rabaan dan ciuman keempat pemuda tampan
yang telah menjadi budak nafsunya.
"Apakah tak akan sebaliknya, Nyi Mas?" tanya
Saratakulir.
"Kalian takut anak itu balas dendam atas ke-
matian kelurganya?"
"Ya," sahut Sartakulir. "Itu yang selalu kuce-
maskan."
Nyi Mas Lindri tertawa terkekeh sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Wanita cantik itu bangkit dari
pembaringan, lalu duduk di dipan berukir itu dengan
senyum mengembang di bibirnya. Seakan hendak me-
nunjukkan kecantikannya.
"Selama masih ada aku, tak mungkin dia ber-
buat begitu," katanya sombong, menjadikan keempat
lelaki dari Panca Iblis mengerutkan kening. Mereka se-
perti belum yakin dengan apa yang diucapkan Nyi Mas
Lindri.
"Sungguhkah itu, Nyi Mas?" tanya Gaja Polo ingin tahu.
Nyi Mas Lindri kembali tersenyum, lalu bangkit
dari duduknya, melangkah mendekati Gaja Polo dan
ketiga kawannya. Matanya yang lentik, menatap tajam
pada keempat tangan kanannya itu.
"Kita buktikan saja nanti! Selama Nyi Mas Lin-
dri ada bersama kalian, tak mungkin dia berkutik,"
ujar Nyi Mas Lindri meyakinkan. Kemudian matanya
memandang lepas keluar, Hutan Gendis tampak ter-
hampar dengan pepohonan besar mengelilingi tempat
tinggal mereka.
Keempat lelaki di hadapannya hanya mampu
diam. Meski mereka belum yakin dengan apa yang di-
katakan sang Pimpinan, mereka tak berani untuk me-
nentang. Mereka tak ingin mati sia-sia di tangan wani-
ta cantik berhati iblis yang sadis itu. Tak peduli siapa
pun jika tak disukai, Nyi Mas Lindri akan membunuh
dengan pukulan mautnya yang bernama 'Gelap Ngam-
par'.
Ketika mereka tengah membicarakan masalah
Barda yang belum juga datang. Tiba-tiba....
"Nyi Mas Lindri, aku datang...!"
Dari luar terdengar suara teriakan seseorang
yang sangat dikenalnya. Suara Barda yang sepertinya
mengandung permusuhan itu, membuat Nyi Mas Lin-
dri dan keempat Panca Iblis membelalak kaget
"Barda!" seru Nyi Mas Lindri. "Sejak kapan dia
berteriak seperti itu?!"
"Nyi Mas Lindri, keluar kau!" kembali terdengar
suara Barda berteriak menantang. Baik Nyi Mas Lindri
maupun keempat anak buahnya belum percaya teria-
kan Barda.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutnya!" den-
gus Nyi Mas Lindri sengit. Kemudian dengan penuh
amarah wanita cantik itu melesat keluar diikuti keempat Panca Iblis.
Seketika mata mereka terbelalak, melihat Barda
yang didampingi pemuda bertingkah laku seperti orang
gila, berdiri menantang. Hal itu membuat Nyi Mas Lin-
dri semakin bertambah marah, merasa telah ditantang
anak buahnya.
"Barda keparat! Rupanya kau sudah bosan hi-
dup!" dengus Nyi Mas Lindri geram.
"Hm, hidup matiku bukan di tanganmu, Wanita
Iblis!" balas Barda tak mau kalah, "Aku datang untuk
menghentikan sepak terjangmu yang kelewat biadab!"
"Hi hi hi...! Cantik sekali kau, Nyi. Sayang, di
hatimu bersarang iblis...," gumam Sena sambil cen-
gengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Barda keparat! Rupanya Bocah Edan itu yang
membuatmu berani menantangku!" dengus Nyi Mas
Lindri dengan mata melotot garang menatap Pendekar
Gila.
"Hua ha ha...! Nyi Mas Lindri, kucari-cari ak-
hirnya kutemui kau di sini," gumam Sena dengan cen-
gengesan sambil tangan menggaruk-garuk kepala. "Se-
telah gagal menyingkirkan keluarga Baginda Aji War-
dana, tak bosan-bosannya kau berbuat kejahatan,
Nyi!"
"Cuih! Rupanya kau memang mencari mampus,
Pendekar Gila! Kau selalu saja mencampuri urusan-
ku!" dengus Nyi Mas Lindri sengit, karena selama ini
Pendekar Gila senantiasa menghalangi maksudnya.
Rencananya menggulingkan Baginda Aji Wardana gag-
al juga karena campur tangan Pendekar Gila (Untuk
mengetahui lebih jelas siapa sebenarnya Nyi Mas Lin-
dri, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
"Istana Berdarah").
"Aha, kurasa kaulah yang mencari penyakit.
Perempuan Busuk!" balas Sena. "Kucari kau ke mana

mana untuk mempertanggungjawabkan pemberonta-
kanmu yang gagal. Ternyata kau ada di sini, Nyi!"
"Kurang ajar! Bunuh dia...!" perintah Nyi Mas
Lindri sambil menggerakkan tangan kanan pada
keempat anak buahnya yang sejak tadi hanya mampu
diam. Mereka tak tahu harus berbuat apa.
Mendengar perintah Nyi Mas Lindri, keempat
lelaki yang tergabung dalam Panca Iblis, seketika men-
cabut senjata mereka dan langsung menggebrak Pen-
dekar Gila.
"Yea...!"
"Hi hi hi...! Mengapa tikus-tikus ini yang kau
ajukan, Nyi...?" ejek Sena sambil tertawa cengengesan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila masih tenang. Bahkan tingkah
lakunya semakin gila. Dengan melompat-lompat sam-
bil menggaruk-garuk kepala seperti seekor monyet,
Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan.
"Hea!"
"Heit! Barda, bersiaplah! Kita akan main-main
dengan tikus-tikus ini," ujar Sena sambil bergerak me-
liuk-liukkan tubuhnya, mengelakkan serangan-
serangan yang dilancarkan empat orang dari Panca Ib-
lis. Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat', Pende-
kar Gila bergerak mengelakkan serangan-serangan la-
wan.
Barda yang telah bertekad kembali ke jalan lu-
rus, tak mau tinggal diam. Dia segera membantu Pen-
dekar Gila, menghadapi serangan yang dilancarkan
keempat bekas kawannya. Dengan golok besar di tan-
gan, Barda yang semakin yakin pada kebenaran dan
keadilan, bagaikan macan lapar. Tangannya dengan
cepat membabatkan golok besarnya.
"Hiaaa...!"
Wrt!
Trang!
Benturan keras senjata terdengar memecahkan
suasana sepi Hutan Gendis.
"Yea!"
"Barda! Keparat, kubunuh kau!" geram Gaja Po-
lo, melihat temannya kini berpihak pada Pendekar Gila
yang seharusnya dimusuhi. Pedang di tangannya ber-
kelebat menyerang Barda. Namun, dengan cepat Barda
bergerak mengelak, seraya membabatkan golok besar-
nya.
"Yea!"
Wrt!
Trang!
Gaja Polo semakin marah menyaksikan bekas
kawannya tak gentar sedikit pun menghadapinya.
Dengan jurus 'Kalamandaka' Gaja Polo berusaha me-
nekan pertahanan Barda. Pedangnya menderu deras
menusuk dan membabat ke tubuh Barda.
"Yea!"
"Haits!"
Melihat Gaja Polo menyerang dengan jurus an-
dalannya, Barda pun tak mau tinggal diam. Kakinya
melompat dua tombak ke belakang. Kemudian dengan
jurus 'Genta Caragata', Barda membabatkan golok be-
sarnya.
"Hea!"
Wrt!
Angin menderu keras, ketika golok di tangan
Barda membabat ke tubuh Gaja Polo. Golok itu mam-
pu mengeluarkan angin yang sangat keras. Gerakan-
nya sangat cepat, melebihi serangan yang dilancarkan
lawan.
"Hea!"
Teriakan keras terus terdengar mengiringi se-
rangan yang kian ganas dan cepat.

Wrt!
Trang!
"Ukh...!" Mata Gaja Polo terbelalak kaget, ketika
pedangnya berbenturan dengan golok besar Barda.
Tangannya dirasakan bergetar dan kesemutan. Namun
kakinya segera melompat ke belakang, berusaha men-
jauhi serangan lawan.
***
Suasana di Hutan Gendis yang semula tenang,
kini terdengar suara teriakan-teriakan pertarungan
mereka. Selain itu beberapa pohon tumbang terbabat
senjata dan terhantam pukulan. Rerumputan morat-
marit terinjak kaki mereka. Bahkan binatang hutan
tampak berlarian ketakutan.
Pendekar Gila yang menghadapi keroyokan tiga
orang lawan, masih tampak tenang. Dengan jurus 'Gila
Melempar Batu', Pendekar Gila berusaha menggempur
pertahanan ketiga lawannya.
"Hea!"
"Hi hi hi...! Kalian benar-benar seperti tikus sa-
wah," ejek Sena sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Kemudian tangannya kembali bergerak, seperti me-
lemparkan batu menyerang lawan-lawannya. Ketiga
lawannya tersentak kaget, ketika dari gerakan melem-
par yang dilakukan Pendekar Gila melesat gumpalan
angin menderu keras ke tubuh mereka. Angin kencang
itu, seketika menahan serangan ketiga lawannya.
"Ilmu edan!" maki Sartakulir. Dia berusaha me-
nerobos serangan yang dilancarkan Pendekar Gila.
Namun, angin yang menderu ke tubuhnya dirasakan
begitu kuat. Sulit bagi Sartakulir untuk menembus
pertahanan Pendekar Gila. "Benar-benar ilmu edan!"
"Hi hi hi...! Kalian persis tikus sawah. Hua ha ha!"
"Bocah edan, kubunuh kau!" maki Wadas Ka-
pul. Lelaki bertubuh gemuk dengan alis tebal dan hi-
dung mancung itu tampak marah karena tak mampu
berkutik, terkurung angin topan dari tangan Pendekar
Gila.
"Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak.
Tubuhnya melompat ke sana kemari seperti monyet,
sambil menggaruk-garuk kepala. "Lucu sekali ..! Kalian
seperti tikus sawah dikejar kucing. Hi hi hi...!"
"Bedebah! Bocah edan itu harus segera kusing-
kirkan!" maki Nyi Mas Lindri, melihat ketiga tangan
kanannya terdesak, dan tak mampu berbuat apa-apa.
Wanita itu segera melesat memburu Pendekar Gila,
Kemudian dengan jurus 'Sapuan Topan'nya, dia meng-
halau pukulan yang dilemparkan Pendekar Gila.
"Hancur tubuhmu, Bocah Edan! Hih...!"
"Aha, kebetulan sekali kau ikut campur, Nyi! Hi
hi hi...!"
Dengan melompat seperti monyet, Pendekar Gi-
la mengelakkan pukulan yang dilontarkan Nyi Mas
Lindri
Wrt!
Jlegarrr...!
Ledakan dahsyat terdengar, mengakibatkan ta-
nah yang terkena hantaman pukulan Nyi Mas Lindri
hancur dan berhamburan. Hawa panas seketika me-
nyelimuti suasana di hutan ini. Beberapa pohon besar
ikut hancur dan tumbang terkena pukulan dahsyat
itu.
"Hi hi hi...! Kurang tepat, Nyi," ejek Sena meng-
goda. Hal itu membuat Nyi Mas Lindri semakin marah.
Mata wanita cantik itu melotot sengit. Nafasnya men-
gendus lalu kedua telapak tangannya disatukan di da-
da, sepertinya hendak memusatkan kekuatan tenaga
dalamnya.
"Bocah edan! Kini terimalah pukulan 'Gelap
Ngampar'ku! Heaaa...!"
"Aha, ku tahu pukulanmu bernama Gelap Guli-
ta, Nyi. Hi hi hi...!" ejek Sena sambil melompat ke
samping ketika tangan Nyi Mas Lindri menghantam ke
tubuhnya.
Wuttt!
Jlegar...!
"Hi hi hi...! Masih kurang tepat, Nyi," goda Sena
sambil melompat-lompat kegirangan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Mulutnya yang cengengesan
membuat Nyi Mas Lindri semakin geram dan marah.
"Kurang ajar! Kau benar-benar harus mampus,
Bocah Edan! Yea...!"
Nyi Mas Lindri yang merasa telah dua kali ter-
ganggu rencananya karena campur tangan Pendekar
Gila, semakin geram dan marah. Tangannya yang ber-
kuku panjang, bergerak menyambar dan mencengke-
ram pemuda itu.
Mendapat serangan begitu cepat, tidak mem-
buat Pendekar Gila kalang kabut. Tingkahnya justru
semakin konyol. Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk
Lalat', Pendekar Gila balas menyerang. Tubuhnya me-
liuk-liuk laksana menari, sambil sesekali telapak tan-
gannya menepuk ke dada lawan.
"Hi hi hi...! Hiaaa...!"
"Hah...!" Nyi Mas Lindri tersentak kaget melihat
serangan lawan, tiba-tiba telah berada dekat dadanya.
Padahal gerakan Pendekar Gila nampak sangat lambat,
tapi entah bagaimana tiba-tiba telah memburu tubuh-
nya dengan tepukan yang mengeluarkan desiran angin
panas yang keras.
"Hi hi hi...!"
"Jurus edan!" maki Nyi Mas Lindri sambil melompat mengelakkan serangan. Kalau kurang cepat
melompat mundur, niscaya dadanya terkena pukulan
Pendekar Gila.
Setelah mengegoskan kaki ke samping, Nyi Mas
Lindri bergerak mencakarkan tangannya ke muka la-
wan. Namun, dengan cepat pula, Pendekar Gila mena-
rik kepalanya ke belakang mengelakkan cakaran la-
wan. Kemudian dengan kepala menunduk, kembali
menepukkan tangannya ke dada lawan.
"Hiaaa...!"
"Hait! Edan! Jurus edan...!" maki Nyi Mas Lindri
sambil melompat ke samping kiri. Serangan Pendekar
Gila meleset.
Sementara itu anak buahnya yang tadi berta-
rung, kini terhenti. Mereka terlongong bengong melihat
gerakan-gerakan ilmu silat yang dilancarkan kedua-
nya.
"Ck ck ck..! Pemuda itu ternyata berilmu ting-
gi," terdengar decak kagum Gaja Polo, menyaksikan ju-
rus-jurus aneh yang dilancarkan Pendekar Gila. Baru
kali ini, dia melihat seorang pemuda memiliki ilmu
yang sangat tinggi.
"Untuk itu, kukatakan pada kalian. Kini bukan
saatnya untuk tetap bertahan pada apa yang selama
ini kita lakukan," ujar Barda. "Nyi Mas Lindri saja be-
lum tentu akan mampu mengalahkan Pendekar Gila."
"Apa?! Diakah yang bernama Pendekar Gila?!"
keempat orang dari Panca Iblis tersentak, setelah men-
dengar penuturan Barda. Mata mereka terbelalak
"Ya, dialah Pendekar Gila," sambung Barda me-
negaskan.
Semakin bertambah kaget mereka ketika meli-
hat apa yang kini terjadi. Nyi Mas Lindri tampak terde-
sak dan harus berjuang mati-matian untuk dapat me-
lepaskan diri dari buruan Pendekar Gila.

"Kurang ajar! Bocah ini terlalu berbahaya bagi-
ku," maki Nyi Mas Lindri dalam hati. Tak ada kesem-
patan bagiku kalau terus begini. Aku harus pergi dari
sini.
"Hi hi hi...! Apa yang kau pikirkan, Nyi? Kau
harus segera dikirim ke akherat sana. Hea...!"
Pendekar Gila mempercepat jurusnya. Kali ini
kedua tangannya ditarik ke belakang. Lalu diletakkan
di pinggang dengan jari-jari terbuka. Itulah awal dari
jurus yang dahsyat 'Gila Melebur Gunung Karang'.
Belum sempat Pendekar Gila melakukan seran-
gan, Nyi Mas Lindri telah mendahului dengan melem-
parkan suatu benda ke Pendekar Gila.
Jlegar!
Asap hitam membubung menutupi pandangan
mata Pendekar Gila dan kelima Panca Iblis. Saat itu
juga, Nyi Mas Lindri melesat meninggalkan tempat itu.
"Kurang ajar! Dia pergi...!" seru Barda sengit
"Aha, Iblis Betina itu benar-benar licik," dengus
Sena, "Kini terserah, apakah kalian masih akan tetap
pada pendirian kalian. Aku akan mengejar dia."
"Aku ikut, Sena!" kata Barda.
"Hm, terserahmu."
"Kami ikut!" sambung keempat orang dari Pan-
ca Iblis. Keenam lelaki itu segera melesat memburu ke
arah Nyi Mas Lindri pergi.
***
5

Pagi nampak cerah, dengan langit biru tanpa
awan. Udara semilir menimbulkan hawa sejuk dan ba-
sah. Burung-burung pun berkicau riang menambah

indahnya pagi itu.
Di kejauhan, nampak seorang pemuda berpa-
kaian merah tanpa lengan melangkah. Kepalanya ter-
tutup tudung caping lebar. Pemuda itu tak lain Joko
Galing. Kakinya melangkah menuju Desa Kalasan,
tempat tanah kelahirannya.
Joko Galing terus melangkah, tanpa menengok
ke kanan dan kiri. Dia masih ingat benar jalan-jalan
yang menuju desanya.
"Hm, desa ini sekarang sepi sekali," gumam Jo-
ko Galing lirih. Matanya memandang ke sekeliling.
Rumah-rumah penduduk tampak tertutup. Sepertinya
penduduk sangat takut menampakkan mukanya.
Joko Galing menarik napas dalam-dalam. Dia
merasa sedih menyaksikan penderitaan warga de-
sanya. Dendam pada Panca Iblis yang dianggap telah
merubah suasana kehidupan desanya, kian membakar
hatinya.
"Panca Iblis keparat! Tunggulah pembalasan-
ku!" dengus Joko Galing sengit. Tangannya terkepal
seperti menahan kemarahan. Matanya yang tajam,
memandang ke sekeliling, bagaikan seekor elang yang
mencari mangsa.
Dengan langkah mantap, Joko Galing terus me-
langkah menelusuri jalan Desa Kalasan yang lengang
dan sepi. Di kanan dan kiri jalan memang berdiri ru-
mah-rumah penduduk. Tetapi semua pintu dan jende-
lanya tertutup rapat. Tak seorang pun yang tampak
berada di luar rumah. Sehingga desa itu tampak seper-
ti mati dan tak berpenghuni.
"Ke mana mereka semua? Apa mereka telah
pindah, mengungsi ke desa lain?" tanya Joko Galing
dengan mata memandangi ke rumah-rumah penduduk
yang masih sangat dikenalnya dengan baik.
Joko Galing kembali menarik napas, dan meneruskan langkah kakinya. Kini dia hendak sekali meli-
hat keadaan rumahnya. Dibelokkan langkah kakinya
ke barat.
Sampai di rumahnya Joko Galing pun hanya
mendapati keadaan sunyi. Rumah kosong tak ber-
penghuni. Dia langsung melangkah menuju belakang
rumah. Dilihatnya tiga buah kuburan berjajar jadi sa-
tu. Itulah kuburan ayah, ibu, dan adiknya.



Dendam kesumat Joko Galing semakin memun-
cak, setelah menyaksikan kuburan keluarganya. Gemu-
ruh halilintar pun bersahut-sahutan bagai menyambut
sumpah Joko Galing.
"Panca Iblis keparat! Akan kuminum darah ka-
lian! Ayah, Ibu, adikku, tenanglah kalian di alam sana.
Akan kubalaskan sakit hati ini!" sumpahnya tegas.
"Ayah, Ibu, Adikku...! O, sungguh malang nasib
kalian! Aku bersumpah, akan meminum darah mere-
ka!" teriak Joko Galing dengan suara keras menggele-
gar. Bersamaan dengan itu, langit yang mendung
menghantarkan gemuruh halilintar bagaikan menyam-
but sumpah Joko Galing. Dewa-dewa yang di kayangan
seolah-olah turut memberi kesaksian.
Dendam kesumat Joko Galing semakin bergelo-
ra. Kesedihan pun kembali terkuak, setelah menyaksi-
kan kuburan keluarganya.
"Panca Iblis keparat! Kuminum darah kalian!
Ayah, Ibu, Adikku, semoga tenang kalian di alam sa-
na!" dengan menundukkan kepala, Joko Galing men-
cium nisan kedua orangtua dan adiknya. Kemudian
segera bangkit berdiri. Namun....
"Wua! Hi hi hi...! Ha ha ha...! La la la...!" Joko
Galing tersentak kaget, ketika tiba-tiba seorang lelaki
berpakaian compang-camping hendak menyerangnya.
Joko Galing mengelit ke samping, kemudian dengan
cepat tangannya menang-kap kaki lelaki gila berpa-
kaian compang-camping.
Gusrak!
Lelaki gila itu langsung terjerembab, karena ke-
dua kakinya tertangkap Joko Galing.
"Hu hu hu...! Jahat! Kau jahat..!" maki lelaki gila sambil menangis tersedu-sedu.
Joko Galing mengerutkan kening, memandangi

lelaki gila yang usianya tidak begitu jauh dengannya.
Lelaki itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Na-
mun karena keadaannya, tampak lebih tua dari usia
sebenarnya.
Mata Joko Galing membeliak, ketika mengenali
siapa lelaki gila itu.
"Kang Kasmin...? O, kaukah Kang Kasmin?" de-
sis Joko Galing dengan mata masih menatap lelaki
yang dipanggil Kang Kasmin.
Orang gila itu seketika menghentikan tangis-
nya. Matanya menyipit dengan kening mengerut, me-
natap wajah Joko Galing. Mulutnya komat-kamit, se-
perti hendak mengatakan sesuatu.
"Kang.... Kang Kasmin, apakah kau lupa den-
ganku," tanya Joko Galing berusaha mengingatkan
pada Kasmin, siapa dirinya.
"Hi hi hi.... Siapa kau?!" bentak Kasmin sambil
cengengesan. Matanya tajam, menatap wajah Joko
Galing yang mendekat lalu jongkok di hadapannya.
"Aku Joko, Kang. Aku Joko Galing, yang dulu
kau ajak main-main," ujar Joko Galing berusaha men-
gingatkan Kasmin.
Kasmin berusaha mengingat-ingat nama Joko
Galing. Seketika tangisnya meraung. Seakan lelaki gila
itu telah sembuh dari ingatannya.
"Wua! Joko...! O, dari mana saja, kau Joko. Hu
hu hu...!"
Joko Galing semakin trenyuh mendengar tangi-
san Kasmin, yang kini memeluk tubuhnya. Seketika
dendamnya pada Panca Iblis bertambah membara.
"Kang, apa sebenarnya yang terjadi di desa ini,
sejak kematian keluargaku...?" tanya Joko Galing pe-
nasaran.
Dengan masih menangis tersedu-sedu, Kasmin
pun menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Semenjak kematian Ki Santanu, Panca Iblis semakin me-
rajalela. Panca Iblis terus memaksakan kehendak, agar
penduduk menyetor hasil bumi pada mereka.
Merasa tak kuat lagi dalam tekanan Panca Iblis,
secara diam-diam penduduk berusaha pergi dari Desa
Kalasan. Namun, penduduk yang mencoba kabur, di-
bunuh. Hal itu semakin membuat para penduduk ke-
takutan. Akhirnya mereka pun hanya pasrah, meneri-
ma nasibnya.
Sampai akhirnya di Istana Telaga Mas terjadi
pemberontakan. Tetapi pemberontakan itu dapat diga-
galkan, atas bantuan seorang pendekar yang sering
disebut Pendekar Gila. Pendekar Gila yang telah meng-
gagalkan pemberontak, akhirnya datang ke Desa Kala-
san. Kabarnya, tengah mengejar seseorang yang didu-
ga dalang dari pemberontakan di Istana Telaga Mas.
Sejak kedatangan Pendekar Gila ke Desa Kala-
san, perubahan terjadi. Panca Iblis akhirnya bersekutu
dengan Pendekar Gila, memburu Nyi Mas Lindri. Wani-
ta itu sebenarnya istri selir Baginda Aji Wardana yang
dituduh Pendekar Gila sebagai pemberontak dan hen-
dak ditangkap.
"Begitulah ceritanya, Joko. Semenjak keluarga
Ki Lurah dibantai, penduduk semakin dicekam rasa
takut. Beberapa hari sejak kedatangan Pendekar Gila
warga desa agak tenang. Tetapi mereka juga masih
was-was, karena Pendekar Gila kini bersekutu dengan
Panca Iblis," tutur Kasmin mengakhiri ceritanya.
Joko Galing tersentak kaget mendengar penu-
turan Kasmin, bahwa Pendekar Gila yang menurut gu-
runya sebagai tokoh yang patut dipanuti, kini malah
bersekutu dengan Panca Iblis tokoh sesat yang telah
membantai keluarganya.
"Tidakkah kau salah dengar, Kang?" tanya Joko
Galing masih belum percaya.

"Tentang apa?" Kasmin malah balik bertanya.
"Tentang Pendekar Gila. Mana mungkin Pende-
kar Gila bersekutu dengan Panca Iblis...?" tanya Joko
Galing masih belum yakin dengan cerita Kamsin.
"Terserah, mau percaya atau tidak. Yang pent-
ing, Pendekar Gila telah bersekutu dengan Panca Iblis.
Malah mereka masih memburu Nyi Mas Lindri, yang
dianggapnya pemberontak kerajaan," tutur Kasmin be-
rusaha meyakinkan Joko Galing, akan kebenaran ceri-
tanya.
Joko Galing tercenung, dia merasa tak habis
pikir dengan cerita yang dituturkan Kasmin. Ingatan-
nya kembali melayang pada gurunya, Ki Mandra yang
menganjurkan agar dia mencari Pendekar Gila untuk
meminta petunjuk dan pengalaman guna melengkapi
segala ilmunya.
Aneh, bagaimana mungkin Pendekar Gila bisa
bersekutu dengan penjahat? Tanya Joko Galing dalam
hati dengan kening mengerut, belum juga bisa menye-
rap kenyataan yang diceritakan Kasmin. Bukankah
guru mengatakan kalau Pendekar Gila penegak kebe-
naran dan keadilan? Mengapa harus menjalin hubun-
gan dengan para penjahat?
Joko Galing benar-benar tak mengerti dengan
cerita Kasmin. Antara percaya dan tidak, Joko Galing
terus merenung. Sekilas petuah gurunya kembali te-
ringat dan terngiang di telinganya.
Joko Galing mengulum bibirnya dalam-dalam,
merasakan kebimbangan yang mendera di hatinya.
Kemudian kata-kata Kasmin yang baru saja diucapkan
terngiang.
"Siapakah yang benar? Gurukah? Atau Kang
Kasmin?" batin Joko Galing berusaha memastikan
mana yang benar antara ucapan gurunya dengan uca-
pan Kasmin. Dihelanya napas dalam-dalam, seperti berusaha meredakan pikirannya.
"Apa yang kau pikirkan, Joko?" tanya Kasmin,
"Sudah jelas Panca Iblis telah membinasakan keluar-
gamu. Kau harus menuntut balas atas kematian ke-
luargamu!"
Joko Galing hanya terdiam membisu. Ucapan
Kasmin terasa sebuah cambuk yang menyakitkan. Se-
perti mendera jiwanya, agar mau menuntut balas ke-
matian yang menimpa keluarganya.
Haruskah aku menuruti hawa nafsuku? Tanya
Joko Galing dalam hati. Kemudian kembali teringat pe-
tuah gurunya, sebelum dia turun gunung.
Joko Galing menarik napas dalam, merasakan
kebimbangan di hati. Satu sisi dia telah bersumpah di
depan makam kedua orang tuanya, bahwa dia akan
meminum darah Panca Iblis. Di lain sisi, dia teringat
petuah yang dikatakan sang Guru.
"Kang Kasmin, aku pergi dulu," akhirnya Joko
Galing yang masih bimbang segera pamit. Dia tak ingin
berlama-lama di Desa Kalasan.
"Hati-hatilah, Joko!" ujar Kasmin melepas ke-
pergian Joko Galing dengan pandangan mata bangga
dan sedih, karena harus kembali berpisah. Bangga ka-
rena merasa temannya kini telah menjadi se-orang
pendekar, yang akan menumpas sepak terjang Panca
Iblis.
Dengan langkah lesu, Joko Galing meninggal-
kan Kasmin yang masih mengikuti langkahnya dengan
tatapan mata penuh kekaguman dan kesedihan.
***
Joko Galing kini melangkah ke Hutan Gendis di
mana Panca Iblis berada. Telah bulat tekad di hatinya,
menumpas Panca Iblis. Kini dia tak peduli lagi dengan

Pendekar Gila. Bagaimanapun, Pendekar Gila tak ada
urusan dengannya. Tetapi jika memang turut campur
dan membela Panca Iblis, maka tak ada pilihan lain
kecuali bertarung dengan Pendekar Gila.
Tak lama kemudian, Joko Galing sampai di Hu-
tan Gendis tempat Panca Iblis berada. Mata Joko Gal-
ing menatap dengan tajam ke sekeliling tepian hutan
yang sepi.
Hm, hutan ini nampak sepi. Apakah mungkin
Panca Iblis telah pergi dari sini, seperti apa yang dika-
takan Kang Kasmin? Tanya Joko Galing dalam hati.
Joko Galing terus melangkah, dengan hati-hati
kakinya menapaki hutan itu. Matanya yang tajam,
memandang ke sekeliling hutan. Diangkatnya caping
penutup kepalanya.
Setapak demi setapak kaki Joko Galing me-
langkah. Hati-hati sekali, karena tak ingin Panca Iblis
mendengar kedatangannya.
"Hm, mungkinkah ini sebuah jebakan?" gumam
Joko Galing.
Srt!
Dicabutnya Pedang Lembayung Merah dari wa-
rangka. Pedang itu seketika mengeluarkan sinar merah
membara. Seketika suasana di Hutan Gendis yang se-
mula agak gelap, tiba-tiba terang benderang karena si-
nar pedang itu.
Dengan tangan memegang Pedang Lembayung
Merah dan mata mengawasi sekeliling. Joko Galing te-
rus melangkah masuk ke Hutan Gendis. Kini langkah-
nya semakin dekat ke tempat yang dituju. Meski Panca
Lima hanya terdiri dari lima orang, tapi mereka beril-
mu tinggi. Itulah sebabnya dia langsung mengeluarkan
pedang pusaka itu.
"Sepi. Mungkinkah mereka sengaja bersem-
bunyi?" tanya Joko Galing sambil terus melangkah pelan, setapak demi setapak dan sangat hati-hati. Ma-
tanya masih mengawasi sekeliling tempat itu. Dikerah-
kan pendengarannya, sehingga jika ada suara sekecil
apa pun akan cepat terdengar.
Joko Galing terus melangkah, semakin masuk
ke dalam hutan. Tetapi keadaannya sangat sepi, ba-
gaikan tak berpenghuni lagi. Hal itu membuat Joko
Galing kian merasa heran.
"Aneh, benar-benar sepi," gumam Joko Galing
semakin penasaran. Kakinya terus melangkah, beru-
saha mendekat tempat tinggal Panca Iblis.
Karena kehilangan kesabarannya, Joko Galing
segera melesat berusaha secepat mungkin sampai ke
tempat Panca Iblis berada. Dengan Pedang Lembayung
Merah di tangan, dia yakin akan mampu mengalahkan
Panca Iblis.
Iblis benar-benar telah menguasai jiwa yang di-
penuhi dendam dan nafsu. Tubuhnya terus melesat
cepat, mendekat ke tempat tinggal Panca Iblis yang
masih sepi. Setelah berada sekitar sepuluh tombak di
depan rumah tempat berkumpulnya Panca Iblis, Joko
Galing menghentikan langkah.
"Panca Iblis keparat, keluar kalian!" serunya
menantang.
Tak ada sahutan. Suasana di hutan itu sepi.
Yang terdengar hanya gema suaranya sendiri.
"Kurang ajar! Pengecut! Keluarlah kalian! Ha-
dapilah Joko Galing, anak Ki Santanu! Keluarlah ka-
lian...!" seru Joko Galing berkali-kali.
Kembali tak ada jawaban. Hanya suaranya saja
yang bergema.
"Pengecut! Kalian benar-benar pengecut!" maki
Joko Galing semakin sengit, karena seruan tantangan-
nya tak mendapat sahutan.
Mata Joko Galing menatap tajam pada bangunan menyerupai candi itu, seakan belum percaya den-
gan penglihatannya. Dia merasa kalau Panca Iblis ma-
sih bersembunyi, dan bermaksud menjebaknya.
"Huh, Pengecut! Rupanya hanya kecoa busuk
macam kalian yang telah berani membunuh keluarga-
ku! Keluarlah kalian, hadapi aku! Hadapi anak Ki San-
tanu!" kembali Joko Galing berseru, menantang kelima
Panca Iblis. Nafasnya memburu, dibakar amarah yang
meluap-luap. Bara dendam bagaikan membakar selu-
ruh jiwanya.
Sepi suasana di hutan itu, bagaikan tak ada
penghuninya. Hal itu membuat Joko Galing bertambah
marah dan tak sabar. Nafansya mendengus keras. Ma-
tanya semakin tajam memandang bangunan di hada-
pannya.
"Kurang ajar! Kalian benar-benar pengecut!
Baik, aku yang akan membunuh kalian! Heaaa...!" ba-
gaikan kesetanan, dengan Pedang Lembayung Merah
Joko Galing melesat. Pedang di tangannya digerakkan
dengan cepat, membabat ke depan sambil melesat ma-
suk.
Wrt!
"Hea!"
Brakkk!
Trakkk!
Dengan pedang itu Joko Galing memporak-
porandakan bangunan tempat tinggal Panca Iblis. Na-
mun, setelah ke sana kemari tak diketemukan seorang
pun lawan yang dicarinya. Yang dilihatnya hanya be-
berapa mayat lelaki muda yang telah membusuk di se-
buah ruangan tertutup. Mayat-mayat itu tergeletak da-
lam keadaan telanjang bulat. Tampaknya mereka ada-
lah para pemuda yang telah menjadi pemuas nafsu bi-
rahi Nyi Mas Lindri.
"Bedebah! Mereka benar-benar telah pergi!"

dengus Joko Galing sengit. "Ke mana kalian lari, tak-
kan kubiarkan hidup! Akan ku hisap darah kalian!"
Dengan berteriak marah, Joko Galing kembali
melesat meninggalkan Hutan Gendis.
***
6

Angin sore yang sejuk, meniup dedaunan di
Hutan Palawera. Kicau burung terdengar ramai me-
nyemarakkan suasana senja. Namun, tiba-tiba bu-
rung-burung itu berhamburan terbang ke sana kemari.
Tampaknya mereka terkejut ketika mendadak berkele-
bat cepat sesosok bayangan merah yang melesat ke
hutan itu. Sosok bayangan itu ternyata seorang wanita
berpakaian merah jambu yang tak lain Nyi Mas Lindri.
Napas Nyi Mas Lindri terengah-engah setelah
berlari sekuat tenaga, menghindari kejaran Pendekar
Gila. Matanya tampak jelalatan melihat keadaan di se-
kitar tempat itu. Seakan-akan hatinya khawatir dan
takut kalau Pendekar Gila dapat menemukan dirinya.
"O, Pendekar Gila keparat! Kau selalu saja men-
jadi perintang semua cita-citaku," dengus Nyi Mas Lin-
dri dengan napas memburu. "Sayang aku tak mampu
menandinginya. Kalau saja ilmuku setarap dengan il-
mu Pendekar Gila, kupertaruhkan nyawaku mengha-
dapi keparat itu."
Ketika Nyi Mas Lindri masih dalam keadaan
menoleh ke belakang, dan saat tubuhnya hendak me-
langkah balik ke depan, tubuh Nyi Mas Lindri mena-
brak sesosok tubuh seorang lelaki.
Brukkk!
"Akh...!" Nyi Mas Lindri tersentak kaget. Tu

buhnya ditarik mundur beberapa langkah dengan ma-
ta terbelalak menatap lelaki muda yang memakai tu-
dung caping di kepala.
"Siapa kau?" tanya Nyi Mas Lindri dengan mata
menatap tajam pemuda berpakaian rompi merah yang
tersenyum padanya.
"Kaukah Nyi Mas Lindri?" tanya lelaki muda
berkumis tipis dengan tubuh tegap. Bibirnya kembali
tersenyum.
"Be..., benar. Siapa kau sebenarnya, Kisanak?
Dan dari mana kau tahu namaku...?" tanya Nyi Mas
Lindri agak menggeragap.
Lelaki muda itu membuka capingnya, dan
nampaklah seraut wajah tampan.
"Aku Joko Galing, anak Ki Santanu. Tahukah
kau, di mana Panca Iblis sekarang berada?" tanya Joko
Galing. Matanya yang tajam bagai sepasang mata
elang, tak berkedip memandang wanita cantik jelita
itu.
"Kau anak Ki Santanu?" tanya Nyi Mas Lindri
seakan-akan tak percaya.
"Iya," sahut Joko Galing.
Mata Joko Galing menatap wajah cantik Nyi
Mas Lindri yang juga tengah menatapinya. Keduanya
beradu pandang dengan senyum tersungging di bibir.
Mata lembut wanita itu seakan memiliki daya tarik
kuat, yang mampu meluluhkan hati siapa saja yang
menatapnya. Apalagi ditambah dengan senyuman ma-
nisnya, semakin membuat hati lelaki akan tergetar.
Begitu juga dengan Joko Galing yang masih terlalu hi-
jau pengalamannya di dunia persilatan. Hatinya tiba-
tiba tergetar hebat mendapat tatapan tajam mata milik
Nyi Mas Lindri.
Sungguh cantik, Wanita ini! Gumam Joko Galing dalam hati.
Hm, kebetulan! Pucuk dicinta ulam tiba. Lelaki
yang kuharapkan akan mampu membantu dalam
mencapai cita-citaku sekarang berada di depan mata-
ku, desis Nyi Mas Lindri. Aku harus merayunya, agar
pemuda ini memihak padaku.
Keduanya masih saling pandang, seakan beru-
saha merajut benang-benang yang ada di hati masing-
masing. Senyuman manis pun belum lenyap di bibir
mereka.
Joko Galing kian terpana melihat kecantikan
wanita di depannya. Semenjak kecil dia telah sering
mendengar nama Nyi Mas Lindri yang konon kecanti-
kannya bagai bidadari. Pemuda itu pun tahu kalau Nyi
Mas Lindri adalah selir Baginda Aji Wardana. Namun,
sungguh tak menduga sebelumnya, kalau dirinya akan
berjumpa seperti sekarang ini.
Sebenarnya usia Joko Galing terpaut jauh den-
gan Nyi Mas Lindri. Namun anak muda yang belum
memiliki pengalaman hidup di dunia persilatan ini,
seakan-akan tak peduli. Apalagi, ketika hatinya mera-
sakan getaran aneh. Getaran yang belum pernah di-
alaminya selama ini.
Sebaliknya, Nyi Mas Lindri yang memang men-
dambakan kehadiran pemuda ini, merasakan seperti
mendapat anugerah. Menurut wangsit atau petunjuk
gaib yang pernah diterima, Joko Galinglah orang yang
akan membantu dirinya. Kini tanpa bersusah-payah
mencari, akhirnya Nyi Mas Lindri menemukan tokoh
muda itu. Nyi Mas Lindri segera merajut tali, mema-
sang jerat bagi hati Joko.
"Joko...," desis Nyi Mas Lindri dengan gerakan
kepala manja. Matanya memejam, kemudian perlahan-
lahan bibirnya merekah. Tangan kanannya meremas
rambut yang terurai panjang bergelombang, sedangkan
tangan kiri mengelus-elus paha yang tampak tersingkir

dari pakaiannya.
Joko terperanjat, seketika darah nya berdesir
cepat. Ditelan ludahnya beberapa kali. Matanya tak
berkedip menatap Nyi Mas Lindri yang menggeliat-
geliat sambil mendesis, mengundang birahi.
Suasana redup senja di sekitar Hutan Palawera
menambah gejolak di hati Joko. Pemuda itu bagaikan
orang lapar dihadapkan makanan lezat yang belum
pernah dirasakannya.
"Ng... ah.... Joko...," kembali Nyi Mas Lindri
mendesis. Gerakan tangannya yang mengusap-usap
paha kirinya, semakin membuat mata Joko melotot,
"Dekatlah, Anak Manis...!"
Joko kembali menelan ludah. Matanya menatap
paha Nyi Mas Lindri yang putih mulus. Kakinya mulai
melangkah, mendekati tubuh Nyi Mas Lindri yang te-
lah rebah di atas rerumputan. Tubuh sintal yang ter-
bungkus pakaian tipis tembus pandang itu menggeliat-
geliat mengundang birahi.
"Joko.... Akh..., akh...!"
Joko mulai lupa daratan. Lupalah segala inga-
tannya tentang Panca Iblis tentang dendamnya, dan
tentang penderitaan warga Desa Kalasan. Hatinya ter-
tutup nafsu birahi pada tubuh Nyi Mas Lindri yang
semakin menggeliat-geliat
Gelora membara di dadanya, menimbulkan ke-
beranian Joko. Pemuda itu jongkok, lalu rebah di
samping tubuh Nyi Mas Lindri. Dengan agak gemetar
tangannya mulai membelai paha mulus Nyi Mas Lindri.
Matanya menatap wajah cantik jelita itu yang terus
mendesis-desis kenikmatan.
"Kau cantik sekali, Nyi! Waktu kecil, aku sering
membayangkan. Ah, ternyata kini kita bertemu," gu-
mam Joko setengah berbisik.
"Kau ingin memiliki diriku, Joko?" desis Nyi

Mas Lindri.
"Yah...," jawab Joko dengan suara bergetar.
"Aku ingin memiliki semua yang ada padamu."
"Benarkah itu, Bocah Bagus?!" tanya Nyi Mas
Lindri manja.
Joko tak menyahut tapi menganggukkan kepala
sambil tersenyum. Kemudian perlahan-lahan wajahnya
mendekat ke wajah Nyi Mas Lindri. Bibirnya hampir
melumat bibir merah wanita cantik itu.
"Kau benar-benar ingin memiliki diriku, Joko?"
tanya Nyi Mas Lindri ingin meyakinkan.
"Masihkah kau tak percaya, Nyi Ayu?"
"Oh, Joko...! Bagaimana kalau kini aku jadi bu-
ronan Pendekar Gila? Apakah kau akan tetap ingin
memiliki diriku?" tanya Nyi Mas Lindri mengeluh.
Joko yang tengah mabuk kepayang hanya ter-
senyum. Diajaknya Nyi Mas Lindri duduk. Kemudian
tangannya dengan lembut membelai-belai rambut wa-
nita cantik itu.
"Tak akan kubiarkan orang menyakitimu, Nyi
Ayu. Aku akan selalu di sisimu," jawab Joko tegas, be-
rusaha membesarkan hati wanita cantik itu. Nyi Mas
Lindri tersenyum manja, lalu menyandarkan kepala di
pundak Joko. Hal itu membuat jantung pemuda itu
berdegup semakin keras.
"Oh, Joko.... Lindungilah aku dari kejaran Pen-
dekar Gila dan Panca Iblis...," ratap Nyi Mas Lindri
manja. Rambutnya diusap-usapkan ke wajah Joko,
seakan-akan hendak membangkitkan gairah pemuda
itu. Dan benar, Joko pun segera merebahkan tubuh-
nya, lalu dengan buas menciumi tubuh wanita itu.
"Aku akan melindungimu, Nyi Ayu. Asalkan
kau bersedia jadi milikku," bisik Joko sambil terus
menggeluti tubuh Nyi Mas Lindri di atas rerumputan.
"Aku akan menjadi milikmu, Joko. Apalagi setelah semuanya kudapatkan. Kau bakal menjadi raja,
Joko, mendampingiku," desis Nyi Mas Lindri di tengah
desahan nafsunya yang menggebu.
Tak lama kemudian keduanya telah saling ber-
gelut memacu nafsu yang semakin menggelegak. De-
sahan dan rintihan kenikmatan keluar dari Joko. Begi-
tupun Nyi Mas Lindri yang telah berpengalaman den-
gan banyak perjaka. Dan akhirnya desahan panjang
mengiringi puncak kenikmatan terlepas dari mulut me-
reka. Kemudian tubuh keduanya terkapar lemas.
Angin sore berhembus menepiskan rambut me-
reka. Sesuatu telah terjadi. Joko kini telah mengecap
kenikmatan yang belum pernah dialaminya. Godaan
itu datang secara mendadak, di saat dirinya harus
mengawali perjuangan di tengah rimba persilatan
***
Panca Iblis yang telah sadar dan bertekad kem-
bali ke jalan lurus, mengikuti Pendekar Gila mencari
Nyi Mas Lindri. Namun sudah dua hari mencari, mere-
ka belum juga menemukan jejak wanita cantik berhati
busuk itu.
"Aha, kurasa repot juga mencari wanita iblis
itu. Hm, bagaimana kalau kita berpencar saja?" tanya
Pendekar Gila. Dia merasa kurang leluasa bergerak
bersama Panca Iblis.
Panca Iblis saling pandang mendengar saran
Pendekar Gila. Meskipun berlima, mereka tampak
khawatir jika harus menghadapi Nyi Mas Lindri.
"Aha, mengapa kalian masih bimbang? Tetap
yakinlah terhadap tekad kalian. Kebenaran, akan se-
nantiasa dalam lindungan Hyang Widhi. Lagi pula, ka-
lian lima orang. Kenapa mesti takut? Ah, sebagai pen-
dekar, tunjukkanlah jiwa besar kalian," tutur Sena

memberi semangat pada kelima teman barunya.
"Tapi, kami belum mampu menghadapi Nyi Mas
Lindri," sahut Gaja Polo cemas. Hatinya cemas dan ta-
kut kalau mereka akan bertemu Nyi Mas Lindri.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak men-
dengar ucapan Gaja Polo. Kepalanya menggeleng-
geleng, kemudian tangannya bergerak menggaruk-
garuk.
"Ha ha ha, mengapa kalian jadi pengecut begi-
tu? Bukankah sudah kukatakan, bahwa kebenaran
akan senantiasa dalam kemenangan. Meski kita kalah
dan mati, tetapi di swargaloka akan mendapat keme-
nangan," tutur Sena sambil menggeleng-geleng kepala
dan tersenyum.
Kelima Panca Iblis terdiam. Mereka tampak
masih bimbang untuk menentukan pendirian. Namun,
setelah dipikir-pikir, memang benar apa yang dikata-
kan Pendekar Gila. Lagi pula, bukankah mereka ada
lima orang? Mengapa mesti takut dengan Nyi Mas Lin-
dri yang hanya seorang wanita? Dulu mereka kalah
bukan karena ilmu kesakitan Panca Iblis berada di
bawah Nyi Mas Lindri, melainkan karena terpengaruh
kecantikannya yang sangat menggiurkan.
"Baiklah, Sena. Kita memang tak mungkin ber-
sama-sama begini terus," ujar Barda.
"Ya, lagi pula sangat sulit mencari lawan den-
gan cara bergerombol seperti ini," sambung Gaja Polo.
"Aha, rupanya pikiran kalian telah terbuka. Ku-
sarankan pada kalian, mengabdilah pada Istana Telaga
Mas. Katakan pada Baginda Aji Wardana, kalau aku
yang menyuruh kalian. Semoga kalian diterima!"
"Mungkinkah itu, Sena?" tanya mereka bersa-
maan, seakan-akan tak percaya pada apa yang dikata-
kan Pendekar Gila.
"Bagaimana mungkin kami yang bekas orang

jahat menjadi prajurit kerajaan?" tanya Gaja Polo.
"Aha, jika kalian memang benar-benar ingin
mengabdi pada kerajaan, tentunya baginda akan me-
nerimanya. Apalagi kini mata Baginda Aji Wardana te-
lah terbuka, sejak peristiwa pemberontakan yang gagal
itu," tutur Sena sambil cengengesan.
Kelima Panca Iblis saling pandang, seakan-
akan berusaha meyakinkan satu sama lainnya.
"Baiklah, Sena. Kami akan mengikuti saranmu.
Kami hendak mengabdikan hidup, untuk Istana Telaga
Mas. Sekaligus menebus dosa-dosa yang telah kami
lakukan selama ini," ujar Gaja Polo mantap.
"Ya, itu bagus. Nah, sampai jumpa lagi!" ujar
Sena sambil melesat meninggalkan Panca Iblis Dalam
sekejap saja, tubuhnya telah lenyap dari pandangan
mereka yang terkagum-kagum melihat kehebatan ilmu
Pendekar Gila.
"Mungkinkah kita diterima di kerajaan?" tanya
Sartakulir yang dari tadi hanya diam.
"Semoga benar, apa yang dikatakan Sena. Ayo
kita segera berangkat ke istana," ajak Gaja Polo.
Panca Iblis segera meninggalkan Hutan Palung,
tempat mereka berhenti, setelah dua hari dua malam
mengikuti Pendekar Gila memburu Nyi Mas Lindri.
***
7

Setelah Joko Galing menjadi kekasihnya, Nyi
Mas Lindri segera mengumpulkan kembali para pengi-
kutnya yang dulu sempat tercerai-berai karena kehadi-
ran Pendekar Gila. Para tokoh dari golongan sesat dan
yang tak suka dengan Baginda Aji Wardana, dikumpulkannya. Kemudian dibentuk suatu perkumpulan
yang dinamakan Serikat Iblis. Tujuan pertama Serikat
Iblis tak lain merongrong kewibawaan raja. Kemudian
jika semuanya berjalan baik, akan melakukan pembe-
rontakan untuk menggulingkan Baginda Aji Wardana.
Malam itu, ketika bulan purnama bersinar te-
rang. Serikat Iblis melakukan gerakannya di Desa Ke-
daungan, merampok serta menculik gadis dan perjaka
desa.
"Ambil semua barang serta anak gadisnya...!"
perintah Joko Galing kepada anak buahnya. "Sekaligus
bawa perjakanya...!"
Tanpa diperintah dua kali anak buahnya segera
mengerjakan perintah Joko Galing.
Seluruh rumah penduduk digeledah. Para war-
ga yang membangkang atau melawan disiksa secara
kejam.
"Tolong...!" teriak penduduk.
Wrt!
Cras!
"Aaa...!" pekikan kematian merupakan jawaban
dari mereka yang berusaha melawan. Tak seorang pun
yang mampu menghadapi kebengisan orang-orang Se-
rikat Iblis.
"Cepat...!" seru Joko Galing.
Gerombolan yang dipimpin Joko Galing bekerja
dengan cepat dan sempurna. Semua anak buahnya tak
ada yang berani membangkang dan menolak perintah
pimpinan mereka yang berilmu tinggi.
Penduduk yang menjadi korban kian banyak.
Golok dan pedang di tangan para perampok itu terus
membabat dengan ganas. Jeritan kematian terus ter-
dengar diikuti tubuh-tubuh bergelimpangan tanpa
nyawa.
"Lepaskan gadis itu, Bangsat!" Salah seorang

penduduk ada yang berani menggertak marah, mung-
kin dia memiliki sedikit ilmu. Dan dengan sengit diba-
lasnya setiap serangan yang dilakukan anggota Serikat
Iblis.
"Orang tua tak tahu diri, mampus kau!" bentak
salah seorang anggota Serikat Iblis.
Lelaki tua berwajah keriput itu ternyata Sena-
pati Istana Telaga Mas yang bernama Sedayu sedang
menyamar. Tubuhnya berkelit dari babatan golok pe-
rampok yang menyerangnya. Kemudian dengan cepat
pula, kaki Senapati Sedayu menendang dada lawan.
Tak ampun lagi....
Bugkh!
Ngek!
"Aaa...!"
Perampok itu menjerit, dari mulutnya meleleh
darah segar. Matanya melotot, lalu ambruk tanpa nya-
wa lagi. Melihat kejadian itu, kawan-kawannya segera
maju menyerang Senapati Sedayu.
Wrt!
"Mampus kau, Tua Bangka...!" bentak seorang
garong.
"Eit...! Tidak kena, Iblis!" sahut Senapati Se-
dayu seraya melompat ke sana kemari menghindari se-
tiap babatan dan tusukan senjata lawan. Walau
usianya telah lanjut, gerakan lelaki berpakaian biru itu
begitu gesit dan lincah. Bahkan dengan cepat dan ke-
ras ia balik menyerang musuh. "Yang jelas kalian ha-
rus ada yang mati. Hiaaat...!"
Setelah mengelit Senapati Sedayu melancarkan
tinju ke muka penyerangnya. Tangan tua itu melesat
cepat, dan dengan telak mendarat di wajah lawan.
Bletak!
"Akh!"
Orang itu terpekik ketika pukulan Senapati Sedayu mendarat. Tubuhnya bergulingan beberapa kali
ke tanah, lalu bangkit berdiri.
"Bedebah! Kubunuh kau, Kunyuk!" bentak ga-
rong yang lain marah. Kemudian dengan cepat me-
rangsek tubuh Senapati Sedayu. Namun kini mereka
benar-benar kena batunya, karena lelaki tua itu bu-
kanlah lawan sembarangan. Serangan yang dilancar-
kan ketiga garong, seperti tak berarti sama sekali.
Wuttt!
Seorang garong menyerang dengan goloknya,
tapi Senapati Sedayu segera melompat mengelakkan
serangan. Kemudian mengirimkan tendangan, meng-
hantam wajah lawan.
"Ini untuk kalian! Heaaa...!" kaki Senapati Se-
dayu melayang dan secepat kilat menghantam wajah
lawan.
Beg, beg, beg...!
"Akh!"
Tiga kali kaki Senapati Sedayu mendarat telak
di pipi lawan. Pekikan keras terdengar mengiringi tu-
buh seorang perampok terhuyung-huyung ke bela-
kang.
Betapa marah Joko Galing melihat beberapa
anak buahnya mati di tangan Senapati Sedayu. Den-
gan geram, Joko Galing melompat maju, menghadang
serangan lelaki tua yang sedang mengamuk dan ba-
nyak memakan korban di pihaknya.
"Bodoh! Melawan orang tua saja kalian tak be-
cus!" bentak Joko Galing. "Minggir kalian. Biar aku
yang menghadapi orang tua kudisan ini!"
Orang-orang Serikat Iblis yang hendak menye-
rang kembali Senapati Sedayu, seketika melompat
mundur.
Kini dua orang yang memiliki ilmu cukup tinggi
itu saling berhadapan. Mata keduanya saling beradu
pandang, berusaha menjajaki kekuatan lawan masing-
masing.
"Orang tua kudisan! Katakan, siapa kau sebe-
narnya?" bentak Joko Galing.
"Siapa pun diriku, bukan masalah. Yang jelas,
kau harus disingkirkan dari muka bumi ini!" dengus
lelaki berpakaian lengan panjang tak kalah geram. Ma-
tanya yang agak sipit, menatap tajam wajah Joko Gal-
ing.
"Huh, rupanya kau mencari mampus, Orang
Tua Busuk!" geram Joko Galing. Nafasnya mendengus,
bagaikan seekor banteng yang marah. Matanya masih
menatap tajam lelaki berwajah tua yang masih tenang,
berdiri tiga tombak di hadapannya dengan kedudukan
siap menyerang.
"Dari suaranya, jelas dia bukan orang tua.
Mungkin usianya seusia denganku," gumam Joko Gal-
ing setelah menyelidik dengan pandangan tajam lelaki
di hadapannya. "Kau bisa kelabui orang lain. Tapi Joko
Galing tidak!"
"Hm, kurasa kaulah yang mencari mampus,
Murid Murtad!" balas Senapati Sedayu tak kalah sen-
git. Joko Galing tersentak kaget. Sungguh tak mendu-
ga, kalau lawannya tahu siapa dirinya.
"Bedebah! Siapa kau sebenarnya?!" bentak Joko
Galing semakin marah, merasa kedok dirinya telah di-
ketahui orang berwajah tua itu.
"Sudah kukatakan, siapa aku sebenarnya, bu-
kan masalah bagimu. Yang pasti, aku datang untuk
menghentikan sepak terjangmu!" jawab lelaki bermuka
tua itu.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bangsat!"
Dengan geram penuh kemarahan, Joko Galing
bergerak menyerang lawan. Tangan kanannya meng-
hantam ke wajah lawan, dengan disertai tenaga dalam.
Namun dengan cepat Senapati Sedayu melompat ke
samping mengelakkan serangan sambil melancarkan
serangan tendangan keras ke wajah Joko Galing yang
tubuhnya masih condong ke depan.
"Yea!"
"Hea!"
Joko Galing membuang tubuhnya ke kiri, men-
gelakkan serangan itu. Kemudian dengan cepat tan-
gannya bergerak menyambar kaki Senapati Sedayu,
disusul sebuah pukulan tangan kiri ke lambung lawan.
"Hea!"
"Uts! Hea...!"
Dengan cepat Senapati Sedayu melompat ke be-
lakang, mengelakkan pukulan yang disertai tenaga da-
lam tinggi. Sehingga deru angin keras terasa menghen-
takkan tubuhnya.


"Bedebah! Siapa kau sebenarnya?" bentak Joko
Galing marah merasa kedok dirinya terbuka.
"Sudah kukatakan, siapa aku sebenarnya, buka
masalah bagimu!" jawab Senapati Sedayu.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bangsat!" geram
Joko Galing. Tangan kanannya menghantam wajah le-
laki tua itu. Tapi, Senapati Sedayu cepat menghinda-
rinya!
Mendapat serangan berbahaya itu Senapati Se-
dayu tersentak. Matanya terbelalak kaget. Namun se-
gera dibuang perasaan gentar yang tiba-tiba melan-
danya. Lalu segera bergerak membalas serangan den-
gan jurus 'Gerak Harimau Mengintai Mangsa'. Tubuh-
nya melangkah dengan gerakan pelan, seirama lang-
kah kaki yang tertata rapi.
"Yea!"
Tangan Senapati Sedayu berkelebat cepat men-
cakar ke wajah lawan. Joko Galing segera mengelit ke
samping, hingga serangan lawan melesat beberapa
jengkal di samping wajahnya. Kemudian pemuda be-
rompi merah itu balas menyerang dengan jurus 'Ayam
Jantan Mematuk Cacing'. Tangannya bergerak mema-
tuk ke tubuh lawan, diikuti kibasan tangan kirinya
yang disertai tenaga dalam kuat.
"Hea!"
"Yea!"
Dalam jurus 'Ayam Jantan Mematuk Cacing',
Joko Galing terus memburu lawannya dengan seran-
gan-serangan mematikan. Tangan kanannya bagaikan
patuk ayam, mematuk-matuk ke wajah dan dada la-
wan. Sedangkan tangan kirinya, tak ubahnya sayap
ayam, mengepak dan menghantam ke dada dan ping-
gang lawan dengan disertai tenaga dalam kuat. Hal itu
membuat Senapati Sedayu terdesak.

"Hea!"
"Yea!"
"Celaka! Benar-benar bukan pemuda semba-
rangan," desis Senapati Sedayu dalam hati. Dia terke-
jut menyaksikan serangan-serangan yang dilancarkan
Joko Galing. Namun begitu, lelaki berwajah tua itu tak
mau mengalah begitu saja. Tubuhnya terus bergerak
mengelakkan serangan-serangan sambil sesekali me-
lancarkan serangan balasan ke tubuh Joko Galing.
"Yea!"
Wrt!
Tangan Joko Galing terus menderu cepat, me-
matuk dan menghantam lawan yang semakin terdesak
hebat. Bahkan Senapati Sedayu tak mampu melancar-
kan serangan, kecuali hanya bergerak mengelakkan
serangan.
"Tenaga dalamnya luar biasa," gumam Senapati
Sedayu yang tampak semakin kewalahan menghadapi
Joko Galing. Pemuda berompi merah itu terus mela-
brak dan tak memberikan kesempatan sedikit pun ke-
pada Senapati Sedayu untuk membalas serangan.
***
"Celaka! Benar-benar celaka aku" pekik Sena-
pati Sedayu tegang, melihat serangan Joko Galing se-
makin gencar dan cepat. Sampai-sampai dia hams
mengerahkan segenap tenaga agar dapat mengelakkan
serangan.
"Mau ke mana kau, Orang Tua Kudisan! Kini
ajalmu hampir tiba! Heaaa...!"
Joko Galing terus bergerak menyerang, dengan
pukulan dan patukan yang cepat dan mematikan. Se-
napati Sedayu benar-benar kelabakan. Ruang gerak-
nya semakin sempit, karena serangan lawan bagai

mengurung.
"Terimalah ajalmu, Lelaki Kudisan! Heaaa...!"
Joko Galing benar-benar bermaksud mengakhi-
ri pertarungan. Serangannya semakin cepat dan dah-
syat. Jurus 'Ayam Jantan Membantai Lawan' yang
menjadi andalannya dikeluarkan. Kedua tangannya
bagai sayap mengepak lebar. Kemudian dengan kaki
kiri diangkat ke atas, Joko Galing menghantamkan
tangan kanan dan kiri bergantian. Pukulan-pukulan
yang mengandung tenaga dalam tinggi menderu keras.
"Celaka! Mati aku...!" keluh Senapati Sedayu
yang semakin tegang, menghadapi gempuran Joko Gal-
ing. Lelaki berwajah tua itu terus menghindar dengan
mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.
Joko Galing yang semakin geram terus membu-
ru lawannya dengan jurus-jurus maut
"Mau lari ke mana kau, Orang Tua Kudisan?!"
dengus Joko Galing sambil terus mencecar lawan den-
gan serangan-serangan yang cepat Senapati, Sedayu
masih mampu mengerahkan kewaspadaannya untuk
menghindari serangan.
Celaka! Benar-benar bukan lawanku, gumam
Senapati Sedayu dalam hati, semakin tegang mengha-
dapi serangan-serangan dahsyat itu.
"Hea!"
"Uts! Hih...!"
Senapati Sedayu mencoba memapak serangan
lawan, dia berusaha mengukur kekuatan tenaga la-
wan.
Duar!
Ledakan dahsyat menggelegar, ketika dua tan-
gan mereka saling beradu.
"Akh...!" Senapati Sedayu memekik tertahan.
Tubuhnya terlempar jauh ke belakang. Kemudian ja-
tuh terduduk dengan darah meleleh di sela-sela bibir

nya.
"Ukh! Hoakkk...!"
"Hua ha ha! Akhirnya kau harus mampus juga,
Lelaki Kudisan! Bunuh dia...!" perintah Joko Galing
pada anak buahnya sambil menggerakkan tangan ka-
nannya.
Seketika gerombolan dari Serikat Iblis menyer-
bu Senapati Sedayu.
"Hea!"
"Tamatlah riwayatku," desis Senapati Sedayu
pasrah, karena tak mampu lagi mengelakkan serangan
yang dilakukan anak buah Joko Galing. Pedang dan
golok di tangan para perampok itu, siap membabat tu-
buhnya. Namun tiba-tiba....
"Hea!"
Dukh!
Tran, trang...!
"Akh...?!"
Kelima perampok yang hendak membabatkan
senjata mereka ke tubuh lelaki berwajah tua itu terpe-
kik kaget sambil melompat ke belakang. Mereka mera-
sakan hawa panas menyengat, manakala senjata me-
reka tersambar senjata seorang anak muda yang telah
berdiri dekat lelaki berwajah tua itu.
"Hi hi hi...! Lucu sekali! Tak kusangka, orang-
orang seperti kalian hanya berani pada orang yang te-
lah lemah," ujar pemuda bertampang gila cengengesan
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Bocah edan! Jangan ikut campur urusanku!"
bentak Joko Galing sengit. Matanya terbelalak, mena-
tap tajam wajah pemuda berompi kulit ular. Pemuda
yang ternyata Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha, rupanya kau pimpinan tikus-tikus
busuk itu?!. Hi hi hi kau pun seperti tikus-tikus busuk
itu!" kata Sena sambil memonyongkan mulutnya, mengejek Joko Galing yang semakin marah.
"Bocah edan! Kuhajar mulutmu yang lancang
itu!" bentak Joko Galing sengit
"Aha, kurasa mulutmu yang pantas untuk di-
hajar, Tikus Busuk! Sayang, aku tak ada waktu."
Usai berkata begitu, Sena segera membopong
tubuh Senapati Sedayu. Kemudian tanpa menghirau-
kan caci maki Joko Galing, Pendekar Gila langsung
melesat meninggalkan tempat itu. Meski memanggul
beban, dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', Sena mampu
melesat dengan cepat
"Kurang ajar! Kejar dia...!" perintah Joko Gal-
ing.
Joko Galing dan kelima anak buah yang masih
hidup, segera melesat mengejar Pendekar Gila.
***
8

Sepak terjang Joko Galing yang bersekutu dengan Nyi Mas Lindri dan Begal Setan Tanduk Merah go-
longan sesat lain, akhirnya sampai di telinga Ki Man-
dra. Betapa murka lelaki tua itu mengetahui sang Mu-
rid telah melanggar sumpahnya. Bahkan Pedang Lem-
bayung Merah digunakan untuk keangkaramurkaan
dan kejahatan, bukan untuk membela kebenaran se-
perti janji Joko Galing di hadapan Ki Mandra
Ki Mandra benar-benar merasa dicoreng-
moreng mukanya dengan kotoran manusia, atas per-
buatan Joko Galing. Meskipun para pendekar belum
menudingkan tuduhan padanya, sebagai pendekar pe-
negak kebenaran dan keadilan. Ki Mandra merasa perlu menghukum muridnya. Dia menganggap Joko Gal-
ing telah keterlaluan dan keluar dari ajaran yang per-
nah diberikan.
"Aku yang harus bertanggung jawab. Hm..., ba-
gaimanapun, akulah gurunya," gumam Ki Mandra se-
telah menghela napas dalam-dalam. Lelaki tua itu sea-
kan-akan berusaha menahan amarah.
Ki Mandra bangkit dari duduknya, melangkah
masuk ke kamar tengah. Kemudian keluar lagi dengan
raut wajah telah berubah. Lelaki tua itu mengenakan
wajah samaran. Hal itu dilakukan agar tak terlalu
menjadi perhatian tokoh-tokoh kalangan persilatan.
Sebuah pedang bertengger di punggungnya. Setelah
merasa yakin penyamarannya tak akan diketahui, Ki
Mandra segera meninggalkan gubuk bilik di tengah hu-
tan yang letaknya di Gunung Panalu.
Pagi terus merangkak dengan cepat, berubah
siang yang panas. Saat itu, Ki Mandra telah sampai di
Desa Sigaran Jati. Ketika Ki Mandra sampai di perba-
tasan Hutan Seweru, tiba-tiba langkahnya terhenti. Di-
lihatnya beberapa sosok tubuh berhamburan mengha-
dang langkahnya. Sosok-sosok berpakaian merah dan
bersenjata golok serta pedang yang ternyata para begal
Hutan Seweru. Mereka langsung mengurung Ki Man-
dra yang wajahnya tertutup topeng kulit.
"Serahkan apa yang kau bawa pada kami?!" pe-
rintah Pimpinan Begal Hutan Seweru.
Para begal itu, mengenakan topi bertanduk me-
rah. Mereka tentunya Gerombolan Begal Setan Tanduk
Merah, yang kini dalam kekuasaan Joko Galing dan
Nyi Mas Lindri.
"Aku tak membawa apa-apa, Kisanak. Hanya
selembar nyawaku yang masih melekat di tubuh. Apa-
kah kau juga memintanya?" tanya Ki Mandra dengan
tenang. Matanya menatap tajam ke seluruh begal yang

mengelilingnya.
"Cuih! Apa kau kira kami dapat kau bohongi?
Serahkan bungkusan yang kau bawa itu pada kami!"
bentak Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah sengit.
"Bungkusan ini bukan sembarangan. Isinya
akan kuserahkan pada sahabatku, Joko Galing. San-
gat menyesal sekali, kalau kuberikan pada kalian. Ten-
tunya Joko Galing akan marah padaku," jawab Ki
Mandra.
Mendengar jawaban lelaki berwajah buruk itu,
Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah tersentak kaget.
Apalagi ketika mendengar nama Joko Galing disebut
"Siapa kau? Dari mana kau mengenal pimpinan
kami?!" bantah Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah.
Lelaki bernama Mangala itu terbelalak, matanya mena-
tap tajam penuh selidik pada lelaki buruk muka di de-
pannya.
"Aha, kami sangat akrab, Kisanak. Aku dan Jo-
ko Galing dua sahabat yang selalu bersama-sama. Ke
mana pun kami pergi selalu berdua. Sayang, semenjak
jadi pimpinan orang-orang seperti kalian, dia begitu
saja melupakan ku," tutur Ki Mandra dengan tarikan
napas yang menyiratkan kesedihan atas perpisahan-
nya dengan Joko Galing.
"Bohong! Pimpinan kami masih muda, sedang-
kan kau telah tua dan buruk rupa!" bentak Mangala
karena tak percaya, kalau lelaki bermuka buruk itu
teman pimpinannya.
"Kalau kau tak percaya, kau boleh tanya pada
pimpinanmu, apakah benar Mandra itu temannya?!"
ujar Ki Mandra dengan suara masih tenang. Bahkan
bibirnya tersenyum, meskipun senyum itu tipis dan
tersembunyi.
Mangala dan kesepuluh anak buahnya terdiam
dan saling pandang. Mereka tampaknya tengah berusaha meyakinkan ucapan Ki Mandra. Belum juga me-
reka sempat berkata, Ki Mandra yang ingin meyakin-
kan Pimpinan Begal Setan Tanduk Merah berkata lagi,
"Katakan juga, aku akan berkunjung padanya.
Di manakah tempatnya?!" tanya Ki Mandra kemudian.
"Kalau kau memang temannya, ikut kami," ajak
Mangala.
"Terima kasih," jawab Ki Mandra.
Dengan dikawal anak buah Begal Setan Tanduk
Merah, Ki Mandra dibawa menuju Hutan Mentaok di
dekat Bukit Jalmus. Di tempat itu markas Serikat Iblis
berada.
Hm, penjagaan di sini sangat ketat, gumam Ki
Mandra dalam hati, menyaksikan banyak prajurit dari
aliran sesat berjaga-jaga di hutan itu. Mata mereka ta-
jam, dengan muka garang mengawasi Ki Mandra yang
dikawal Gerombolan Begal Setan Tanduk Merah.
"Tunggu di sini, aku akan melaporkan pada
pimpinan," perintah Mangala ketika mereka telah sam-
pai di depan tempat kediaman Joko Galing dan Nyi
Mas Lindri.
Anak buah Begal Setan Tanduk Merah menu-
rut, menahan Ki Mandra di luar. Sedangkan Mangala
segera melangkah masuk. Tiba-tiba dari dalam terden-
gar suara Nyi Mas Lindri.
"Ada apa, Mangala?"
"Ampun, Nyi Ayu! Hamba mau menghadap.
Apakah tidak mengganggu?" tanya Mangala yang be-
lum sempat masuk.
"Masuklah!" perintah Nyi Mas Lindri. Saat
Menggali berada di dalam, seketika terlihat pemandan-
gan yang tidak senonoh.
"Ada apa, Mangala?" tanya Joko Galing terse-
nyum.
"Ampun, Ketua! Ada seorang lelaki bermuka

buruk yang mengaku bernama Mandra hendak mene-
mui Ketua. Katanya dia sahabat Ketua," lapor Mangala
sambil menundukkan kepala ketika melihat peman-
dangan di depannya.
Joko Galing tersentak kaget mendengar laporan
Mangala. Joko Galing segera memerintah Nyi Mas Lin-
dri untuk merapikan pakaiannya untuk menyabut ke-
datangan gurunya.
"Cepat pakai bajumu, Lindri! Guruku datang,"
perintah Joko Galing dengan wajah tampak tegang.
"Gurumu?" tanya Nyi Mas Lindri tersentak. "Ya,
guruku," sahut Joko Galing, "Cepatlah kenakan pa-
kaianmu!"
Nyi Mas Lindri segera menurut mengenakan
pakaiannya dengan rapi. Bagaimanapun yang datang
ke tempat mereka adalah guru dari calon suaminya.
Dia merasa harus menghormati dan menyambutnya.
Dengan wajah tegang, Joko Galing melangkah
keluar diikuti Nyi Mas Lindri dan Mangala. Mata Joko
Galing menatap tajam lelaki bermuka buruk di depan
rumah. Dia tahu persis wajah lelaki itu tertutup kedok
kulit. Gurunya sengaja menyamar agar tidak diketahui
"Guru, selamat datang!" sapa Joko Galing sam-
bil melangkah mendekat Ki Mandra. Lelaki muda itu
hendak bersujud menyembah. Namun, tiba-tiba Ki
Mandra membuka kedoknya sambil membentak keras.
"Murid murtad! Rupanya sumpah dan janjimu
hanyalah sumpah iblis! Kau harus ku hukum!"
Joko Galing tersentak kaget, segera diurungkan
niatnya menyembah. Matanya menatap nanar pada
wajah sang Guru yang telah menunjukkan wajah as-
linya. Wajah tua yang dingin tapi diliputi amarah.
"Guru! Apa salahku, Gum?" tanya Joko Galing
belum menyadari mengapa tiba-tiba Ki Mandra sangat
marah terhadapnya.

"Pengkhianat...!" maki Ki Mandra. "Tak kusang-
ka, kau akhirnya menjadi budak iblis, Joko!"
Joko Galing semakin tersentak kaget menden-
gar makian gurunya. Hatinya seakan tertutup, hingga
tak menyadari apa yang telah dilakukan selama ini.
Jiwanya yang telah terpaut Nyi Mas Lindri, bagaikan
tak menghiraukan apa yang dikatakan sang Guru.
Bahkan kalau Ki Mandra terus mendesak, dia pun
takkan tinggal diam begitu saja.
"Guru, jangan asal menuduh! Apa salahku...?"
tanya Joko Galing berusaha menyembunyikan kebu-
rukannya.
"Masih kau tak mau mengakui kesalahanmu,
Murid Laknat! Kau telah menjalankan ilmu yang kutu-
runkan untuk kejahatan, untuk memuaskan nafsu ib-
lismu. Hanya seorang wanita iblis licik yang menjadi
buronan Istana Telaga Mas, kau rela mengorbankan
sumpahmu, Joko!" kecam Ki Mandra masih dengan
suara tertahan.
Menggelegak amarah Joko Galing, mendengar
kecaman begitu rupa di depan kekasih dan anak
buahnya. Harga dirinya tersinggung. Pikirannya seke-
tika jadi gelap. Dia tak sadar siapa yang kini berada di
hadapannya.
"Tutup mulutmu, Keparat!" dengus Joko Galing
sengit
Sreng!
Dicabutnya Pedang Lembayung Merah dari wa-
rangka yang tersampir di punggung. Joko Galing yang
telah gelap mata karena pengaruh iblis, mendengus
dan maju, mendekati Ki Mandra.
"Enyah kau dari sini, sebelum pedang ini me-
menggal kepalamu!" bentak Joko Galing dengan wajah
merah membara bagaikan terbakar.
"Jangan sembarangan dengan pedang pusaka

itu, Bocah Laknat!" bentak Ki Mandra berusaha me-
nyadarkan muridnya yang telah gelap mata.
"Jangan banyak omong! Cepat pergi dari tempat
ini, atau pedang pusaka ini akan memenggalmu, Kepa-
rat!" bentak Joko Galing sambil melangkah mendekat
Para anak buahnya melompat mundur. Mereka tidak
berani mendekat takut kalau-kalau menjadi sasaran
pedang pusaka sakti di tangan Joko Galing.
"Celakalah kau, Joko! Celakalah kau, Murid
Keparat!" maki Ki Mandra sambil menyurut mundur.
Kemudian tangannya memegang gagang Pedang Lem-
bayung Putih yang tersampir di pinggang.
Sreng!
Cahaya terang berwarna putih, keluar dari pe-
dang di tangan Ki Mandra. Cahaya berkilauan itu be-
radu dengan cahaya merah yang keluar dari pedang di
tangan Joko Galing.
***
Joko Galing tersenyum sinis, menyaksikan gu-
runya telah mengeluarkan pedang pusakanya. Ma-
tanya yang tajam, memandang garang ke wajah sang
Guru yang dengan tenang membawa Pedang Pusaka
Lembayung Putih ke depan dadanya.
"Hm, bagus! Memang itulah yang kuharapkan.
Aku ingin tahu, seberapa hebat ilmumu, Tua Bangka!"
dengus Joko Galing dengan angkuh.
"Murid celaka! Kau akan celaka!" bentak Ki
Mandra tak sabar menahan amarah yang telah lama
tertahan di dalam dada. Nafasnya mendengus penuh
amarah. Matanya menatap tajam wajah Joko Galing
yang tersenyum mencibirkan bibirnya.
"Kaulah yang akan celaka, Orang Tua Tolol!
Kau telah berani masuk ke kandang macan. Berarti

kau mencari celaka. Mencari mampus!" geram Joko
Galing sengit Digerakkan Pedang Lembayung Merah ke
samping menyilang. Matanya tajam menatap gurunya.
"Cuih! Hyang Widhi akan melaknatmu!"
"Bersumpah serapahlah, Ki! Sepuasmu, sebe-
lum nyawamu kukirim ke akherat!" dengus Joko Gal-
ing. Dikibaskan pedangnya ke depan, kemudian ditarik
ke belakang dan digerakkan ke samping.
Semua yang menyaksikan kejadian itu, mera-
sakan ketegangan. Mereka semua tahu, kehebatan Pe-
dang Lembayung Merah di tangan Joko Galing. Na-
mun, mereka pun menduga kalau Pedang Lembayung
Putih di tangan Ki Mandra, guru Joko Galing bukanlah
pedang sembarangan. Apalagi pedang pusaka itu bera-
da di tangan pemiliknya yang pasti, yang menciptakan
kedua pedang serta jurus-jurus ilmu pedang itu. Bu-
kan tak mungkin kalau gerakan Ki Mandra akan lebih
gesit dibandingkan Joko Galing.
Namun, tak ada yang berani menduga, siapa
yang bakal menang dalam pertarungan antara guru
dan murid yang sama-sama memegang pedang pusaka
itu. Joko Galing masih muda dan kelihatan gesit serta
lincah, sedangkan Ki Mandra sebagai pencipta kedua
pedang dan jurus-jurusnya. Sudah tentu, lelaki tua itu
tahu kelemahan dan kehebatan jurusnya sendiri.
"Bersiaplah, Tua Bangka! Sebentar lagi, kuki-
rim kau ke neraka!" dengus Joko Galing.
"Huh, kaulah yang harus kukirim ke neraka!
Heaaa...!"
"Yea...!"
Jeritan menggelegar mengiringi kedua murid
dan guru itu melesat saling serang dengan pedang pu-
saka di tangan masing-masing. Keduanya mengguna-
kan jurus yang sama, 'Sapuan Lembayung'. Pedang
mereka bergerak ke samping kiri, menyilang di depan.

Kemudian, dengan cepat bergerak ke depan menebas,
dilanjutkan dengan menusuk
"Hea!"
Trang!
"Yea!"
Trang!
Joko Galing dan Ki Mandra terus berkelebat,
saling serang dan tangkis dengan pedang.
Mereka membabat dan mengelak mundur, ke-
mudian melakukan serangan lagi.
"Hea!"
Wrt!
Trang!
Seketika dentang dari pedang yang saling bera-
du terdengar keras.
"Hih!"
Wrt!
Trang!
Guru dan murid itu terus saling babat dan tu-
suk. Namun, dengan cepat mereka mengelak dan me-
nangkis serangan lawan. Jurus-jurus yang sama, terus
dikeluarkan. Sehingga, gerakan keduanya bagai se-
dang berlatih ilmu pedang. Tubuh mereka berkelebat
cepat dan memutar pedang dengan cepat pula. Dari
gerakan pedang yang begitu cepat, keluar sinar putih
dan merah bergulung-gulung, menutup tubuh mereka.
Sehingga yang tampak kini hanya kelebatan dua pe-
dang di antara cahaya merah dan putih.
"Yea!"
Wuttt!
Tiba-tiba Ki Mandra mengeluarkan jurus sim-
panan yang baru diciptakan beberapa purnama yang
lalu. Jurus 'Paduan Lembayung Menyapu Buana', yang
dikeluarkan membuat Joko Galing tersentak kaget. Ba-
ru kali ini dilihatnya jurus yang dikeluarkan sang

Guru. Sebuah jurus perpaduan dari semua jurus
'Lembayung' yang ditambah dengan gerakan lincah
dan gesit, membuat Joko Galing kewalahan mengha-
dapinya.
"Celaka! Orang tua itu ternyata memiliki jurus
andalannya," gumam Joko Galing seraya berusaha
mengelak dari babatan pedang Ki Mandra, yang sangat
cepat dan mematikan.
"Mampuslah kau, Murid Murtad! Heaaa...!"
Wrt!
Ki Mandra membabatkan pedangnya dengan
cepat ke tubuh muridnya. Nampaknya lelaki tua ber-
jubah resi berwarna merah ini tak sabar lagi. Dia ingin
segera menghabisi nyawa muridnya yang telah mem-
buat malu dan mencoreng mukanya dengan perbuatan
sesat.
"Celaka! Tak ada pilihan lain. Aku harus me-
minta bantuan anak buahku," desis Joko Galing dalam
hati, sambil bergerak mengelakkan serangan yang di-
lancarkan Ki Mandra.
Trang!
"Hih! Serang dia...!" seru Joko Galing pada anak
buahnya.
Mendengar teriakan perintah sang Ketua semua
anggota Serikat Iblis menyerbu Ki Mandra.
"Hea...!"
"Yea...!"
"Pengecut! Jangan harap aku akan membiarkan
kau begitu saja, Murid Murtad! Yeaaa...!"
Kini bagai banteng terluka Ki Mandra menga-
muk dengan membabatkan pedangnya menggempur
para pengeroyoknya.
"Hea...!"
Wrt!
Pedang Lembayung Putih di tangan Ki Mandra

berkelebat memburu mangsa.
Jrab, jrab!
"Akh...!"
"Aaakh...!"
Jeritan-jeritan kematian melengking susul-
menyusul, ketika Pedang Lembayung Putih di tangan
Ki Mandra, membabat cepat ke arah mereka. Tanpa
ampun lagi, dalam satu gebrakan saja, lima orang
anak buah Joko Galing menemui ajalnya. Mereka te-
was dengan perut dan dada sobek. Melihat kejadian
yang hanya sekejap mata itu, Joko Galing semakin ge-
ram.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Keparat! Heaaa...!"
"Kubantu kau, Joko!" seru Nyi Mas Lindri sam-
bil melesat ikut mengeroyok Ki Mandra. Sehingga Ki
Mandra kini harus menghadapi keroyokan Joko Galing
dan Nyi Mas Lindri serta dua puluh anak buahnya.
Meski dikeroyok orang banyak Ki Mandra tak
merasa gentar sedikit pun. Lelaki tua itu bagai banteng
terluka, begitu ganas mengamuk dengan memba-
batkan pedangnya. Namun, Ki Mandra tak menyadari,
kalau usianya telah tua. Tenaganya akan terkuras ha-
bis karena harus mengerahkan gerakan cepat serta
kewaspadaan tinggi.
"Jangan harap aku takut menghadapi keroyo-
kan kalian, Pengecut!" maki Ki Mandra sambil terus
bergerak, menyerang dan mengelakkan serangan-
serangan lawan. Pedang Lembayung Putih di tangan-
nya menderu-deru, mencari sasaran.
Wrt!
Bret!
"Akh....!"
Dua orang lagi terpekik keras, terkena babatan
pedang di tangan Ki Mandra. Tubuh mereka terlontar
ke belakang, kelojotan sebentar, kemudian diam tanpa
nyawa.
***
9

Joko Galing kian marah menyaksikan banyak
anak buahnya mati di tangan Ki Mandra. Gigi-giginya
saling bergemerutukan menahan geram.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Keparat! Ayo, Lin-
dri kita habisi orang tua keparat itu!" ajak Joko Galing
sambil melesat menyerang Ki Mandra yang tengah
menghadapi keroyokan anggota Serikat Iblis.
Kedatangan Joko Galing dan Nyi Mas Lindri
yang menyerang dari dua arah secara bersamaan,
membuat Ki Mandra kewalahan.
"Celaka!" pekik Ki Mandra kaget, melihat seran-
gan kedua Pimpinan Serikat Iblis itu. Mata orang tua
itu membelalak tegang, melihat dua serangan yang me-
lesat ke tubuhnya.
Hampir saja nyawa Ki Mandra termangsa Pe-
dang Lembayung Merah di tangan Joko Galing serta
pukulan yang dilancarkan Nyi Mas Lindri. Namun,
dengan sekuat tenaga Ki Mandra bergerak menghinda-
ri serangan itu.
"Aha, ada pesta, Senapati! Bukankah lebih baik
lata ikut berpesta membasmi tikus-tikus itu? Heaaa...!"
Pendekar Gila melesat cepat, bersalto di udara
dan dengan cepat membabatkan Suling Naga Saktinya
memapak tusukan pedang Joko Galing yang mengan-
cam jiwa Ki Mandra.
Trang!
"Ukh! Setan! Siapa kau...?!" bentak Joko Galing
dengan tubuh melompat mundur. Dirasakan tangan

nya seperti kesemutan akibat benturan senjatanya
dengan suling di tangan pemuda yang kini cengenge-
san sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Lucu...! Kenapa kau seperti tikus
sawah yang ketemu ular? Ha ha ha...!" Sena tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
Melihat kedatangan Senapati Sedayu semua
mata terbelalak kaget. Apalagi Nyi Mas Lindri, ketika
melihat kehadiran Pendekar Gila di tempat itu. Mereka
tahu siapa adanya Senapati Sedayu yang gagah berani.
Kedudukannya sebagai senapati menggantikan Awong
Purbo yang binasa setelah gagalnya pemberontakan.
Senapati Sedayu semenjak berusaha menggagalkan
perampokan di Desa Kedaungan, sekarang hendak
menangkap Serikat Iblis. Selain itu dia memang utu-
san dari Istana Telaga Mas untuk menangkap Nyi Mas
Lindri yang telah mendalangi pemberontakan.
"Pendekar Gila, kau memang harus mampus!
Kau selalu ikut campur urusanku!" bentak Nyi Mas
Lindri sengit, yang sekaligus membuat Ki Mandra ter-
belalak ketika tahu pemuda berpakaian rompi kulit
ular itu ternyata Pendekar Gila.
"Aha, rupanya kau harus kutangkap, Tikus Be-
tina. Hi hi hi...! Kebetulan sekali. Kucari ke mana-
mana, akhirnya kudapatkan kau di sini. Senapati, di-
alah pengkhianat kerajaan yang harus kau tangkap,"
ujar Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan.
"Cuih! Jangan kira semudah itu kalian me-
nangkapku!" dengus Nyi Mas Lindri.
"Hua ha ha...! Rupanya tikus betina itu mau
main petak umpet lagi, Senapati," sahut Sena sambil
tertawa terbahak-bahak, sampai tubuhnya turut ter-
guncang. Kemudian digeleng-gelengkan kepalanya.
"Tuan Pendekar, Terimalah salamku!" sela Ki
Mandra mengambil kesempatan luang itu.

"Aha, seharusnya akulah yang menghaturkan
salam padamu, Ki. Tapi sudahlah! Kita tak punya wak-
tu lagi. Aku harus menangkap tikus betina ini," kata
Sena sambil menunjuk Nyi Mas Lindri.
"Cuih! Jangan asal ngomong, Bocah Edan! Ka-
lau kau mau menangkapnya, langkahi dulu mayatku!"
bentak Joko Galing sengit, merasa kekasihnya hendak
ditangkap Pendekar Gila. Bagaimanapun dia tak mem-
biarkan Nyi Mas Lindri yang telah memikat hati dan te-
lah memberi kepuasaan jiwa selama ini ditangkap
Pendekar Gila.
"Aha, begitukah? Hi hi hi...! Bagaimana, Ki?"
tanya Sena meminta izin pada Ki Mandra.
"Kuserahkan padamu, Pendekar," jawab Ki
Mandra.
"Aha, terimakasih. Hi hi hi...! Kisanak, rupanya
kau pun harus ditangkap, karena kau telah melaku-
kan kejahatan yang merongrong kewibawaan kera-
jaan!"
"Cuih! Banyak omong! Heaaa...!"
Joko Galing yang memang ingin menjajaki
sampai seberapa ilmu Pendekar Gila tak mau banyak
kata. Segera dengan Pedang Lembayung Merah melesat
menyerang Pendekar Gila.
"Hi hi hi...!" dengan tertawa cekikikan, Pende-
kar Gila segera mengelakkan serangan lawan. Tubuh-
nya meliuk-liuk seperti menari dengan sesekali mene-
pukkan tangannya ke dada lawan.
Tersentak kaget semua yang ada di tempat itu,
menyaksikan jurus aneh yang dikeluarkan Pendekar
Gila. Jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat', gerakannya
seperti orang menari, lemah gemulai dan meliuk-liuk.
Tepukan tangannya pun nampak lemah, tapi ternyata
mampu mengejar gerakan Joko Galing yang cepat
"Kurang ajar! Pecah kepalamu, Gila! Hih...!" Joko Galing mengibaskan Pedang Lembayung Merah ke
kepala Pendekar Gila dengan jurus 'Sapuan Lem-
bayung'. Namun dengan mudah bagaikan menari,
Pendekar Gila mengelitkan serangan lawan. Kepalanya
dirundukkan sambil meliuk, lalu dengan cepat pula
tangannya menepuk ke dada Joko Galing.
"Hih!"
"Uts!" Joko Galing tersentak kaget. Sungguh tak
disangka tepukan tangan Pendekar Gila begitu cepat.
Padahal gerakan yang dilancarkan tampak lambat dan
lemah. Tetapi deru angin yang keluar dari tepukan
tangan Pendekar Gila, cukup keras dan menyentakkan
Joko Galing.
Di tempat lain, Senapati Sedayu dan Ki Mandra
tak tinggal diam. Ki Mandra menghadapi para pengikut
Serikat Iblis. Sedangkan Senapati Sedayu menghadapi
Nyi Mas Lindri.
"Yea!"
"Hea!"
Ki Mandra dengan pedang pusakanya, bagai
banteng terluka, sangat sulit untuk ditahan. Babatan-
babatan pedangnya, membuat anak buah Joko Galing
kewalahan.
"Hea!"
Wrt!
Cras!
"Akh!"
Dua orang terpekik, ketika terbabat Pedang
Lembayung Putih di tangan Ki Mandra. Tubuh mereka
terpental ke belakang dengan usus terburai. Kemudian
jatuh ke tanah, sesaat kejang dan akhirnya terkapar
berlumuran darah.
Pendekar Gila dengan cengengesan terus men-
gelitkan serangan pedang yang dilancarkan Joko Gal-
ing. Tubuhnya meliuk-liuk sambil sesekali menari.

"Hea!"
Wrt!
Joko Galing yang kian marah, mempercepat ge-
rakannya dengan jurus yang lain. Kini dengan jurus
'Lembayung Kembar' pemuda itu berusaha menekan
Pendekar Gila. Pedang Lembayung Merah di tangan
Joko Galing bergerak cepat, membabat dan menusuk
ke bagian tubuh Pendekar Gila. Gerakan membabat
dan menusuk itu begitu cepat seakan tak ingin mem-
beri kesempatan pada Pendekar Gila untuk membalas
serangan.
"Aha, hebat juga pedangmu, Tikus Busuk! Hi hi
hi...! Wauw, hampir saja kepalaku terpenggal," gumam
Sena sambil merunduk, lalu dengan cepat menggerak-
kan tangan kanannya menghantam ke dada lawan.
"Hih...!"
"Hea! Pecah kepalamu, Gila! Hih...!" Joko Galing
membabatkan pedang dari atas ke bawah, seperti hen-
dak membelah kepala lawan. Namun dengan cepat
Pendekar Gila menggulingkan tubuh ke bawah. Kaki
kanannya menyambar kaki Joko Galing.
Wut!
Brat!
Bukkk!
Tubuh Joko Galing terjatuh, karena tak me-
nyangka kakinya akan terkena sambaran kaki Pende-
kar Gila. Saat itu juga, Pendekar Gila tertawa terba-
hak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala. Dia sea-
kan-akan membiarkan Joko Galing bangun lagi.
"Hi hi hi...! Tikus sawah jatuh. Ha ha ha...!"
"Cuih! Kau benar-benar mempermainkanku,
Gila! Jangan salahkan aku kalau kupenggal lehermu!
Heaaa...!"
"Hi hi hi...! Mengapa menyesal, Tikus Busuk!
Hua ha ha!"

Joko Galing yang sudah marah segera melaku-
kan serangan dengan membabatkan pedang. Namun
dengan tubuh meliuk, kemudian melompat ke sana
kemari Pendekar Gila menghindari serangan Joko Gal-
ing, sesekali tubuh Pendekar Gila melenting ke udara.
"Yea!"
Melihat Pendekar Gila menukik ke bawah. Joko
Galing dengan cepat membabatkan pedangnya ke atas.
Disangkanya tubuh Pendekar Gila akan terus meluruk
turun, namun ternyata Pendekar Gila cepat membuang
tubuh sambil bersalto ke depan. Lalu dengan cepat pu-
la, menjejakkan kaki kanannya ke punggung Joko Gal-
ing.
Deg!
"Ukh! Keparat.,.!" maki Joko Galing dengan tu-
buh terhuyung ke depan karena tendangan kaki Pen-
dekar Gila yang keras telah menghantam punggung-
nya.
"Hi hi hi...! Di situ tak ada kodok," ledek Pende-
kar Gila sambil tertawa cekikikan. Tangannya kembali
menggaruk-garuk kepala.
"Kurang ajar! Kupertaruhkan nyawaku untuk
melawanmu, Gila! Yeaaa...!"
Dengan amarah meluap-luap, Joko Galing
kembali menyerang Pendekar Gila. Pedang Lembayung
Merah semakin menyala terang. Sepertinya pedang itu
turut merasakan kemarahan pemegangnya.
"Hea!"
"Aha, nyawa siapa yang diadu, Tikus Busuk! Hi
hi hi...! Hia!"
Sret!
Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga
Saktinya. Kemudian dengan tingkah lakunya yang ko-
nyol dikibaskan suling itu tepat ketika Pedang Lem-
bayung Merah membabat ke tubuh Sena.

Trang!
"Ukh...!" Joko Galing terpekik merasakan tan-
gannya sangat panas setelah beradu dengan suling
berkepala naga di tangan Pendekar Gila. Matanya ter-
belalak tak percaya, menyaksikan suling kecil itu
mampu menandingi Pedang Lembayung Merah di tan-
gannya.
"Hi hi hi...! Kenapa, Tikus Busuk? Hi hi hi...!
Mukamu pucat, seperti menghadapi malaikat maut,"
ejek Sena sambil tertawa terbahak-bahak dengan tan-
gan menggaruk-garuk kepala.
"Cuih! Kita tentukan, siapa yang hams pergi ke
akherat, Pendekar Gila!"
"Aha, kenapa buru-buru ingin ke akherat? Hi hi
hi...!"
"Kurang ajar! Hea...!"
***
Pertarungan Pendekar Gila melawan Joko Gal-
ing masih berjalan seru, ketika dari luar hutan berda-
tangan para prajurit Istana Telaga Mas. Di antara pra-
jurit itu, turut pula Panca Iblis yang telah menuruti sa-
ran Pendekar Gila. Mereka telah dijadikan prajurit oleh
Baginda Aji Wardana.
Nyi Mas Lindri kian ketakutan ketika para pra-
jurit Istana Telaga Mas mengepung wilayah itu. Seper-
tinya mereka membuat pagar betis yang kuat.
"Aha, kalian datang tepat pada waktunya.
Tangkap saja tikus betina itu...," ujar Sena sambil te-
rus bergerak mengelakkan dan menangkis serangan
Joko Galing.
Joko Galing yang melihat prajurit-prajurit Ista-
na Telaga Mas telah mengepung wilayah itu, semakin
nekat. Pedang di tangannya membabat dan menusuk

dengan deras ke tubuh Pendekar Gila. Namun, dengan
masih cengengesan sambil bertingkah laku konyol Se-
na terus mengelak.
Kemarahan Joko Galing kian marah ketika dia
melihat kedatangan Panca Iblis yang sudah menjadi
prajurit-prajurit kerajaan. Dendamnya pada mereka
semakin berkobar-kobar, bagaikan membakar da-
danya.
"Bajingan! Kalian datang juga! Kubunuh kalian!
Heaaa...!" Joko Galing kini melesat memburu Panca Ib-
lis dengan Pedang Lembayung Merah terayun siap
membinasakan mereka. Namun dengan cepat, Pende-
kar Gila berkelebat memapakinya.
"Hea!"
Trang!
"Ukh!" Joko Galing menyurut mundur beberapa
tindak ke belakang. Tangannya terasa bergetar hebat
akibat pedangnya berbenturan dengan Suling Naga
Sakti. "Bedebah! Kau benar-benar mencari mampus,
Pendekar Gila!"
Dengan marah, Joko Galing yang semakin di-
kuasai iblis terus berusaha melabrak Pendekar Gila
dengan babatan dan tusukan pedangnya. Jurus-jurus
andalan dan sangat berbahaya, dikerahkan untuk da-
pat membinasakan Pendekar Gila.
Wrt!
"Hea!"
Sedikit pun tak tampak kegugupan Pendekar
Gila, meski serangan tampak semakin gencar dan ga-
nas. Dengan tingkah lakunya yang konyol tubuh Sena
meliuk, bergerak bagai menari melompat ke sana ke-
mari mengelakkan serangan lawan.
"Hi hi hi...! Hati-hati, Kisanak! Bertarung jan-
gan terlalu nafsu!" goda Sena semakin membuat Joko
Galing marah.

"Terimalah jurus pamungkas ku, Pendekar Gila!
'Lembayung Melepas Sukma'! Heaaa...!"
Pedang di tangan Joko Galing bergerak begitu
cepat, memburu lawan. Namun, Pendekar Gila cepat
menggunakan jurus 'Gila Terbang Menyambar Mang-
sa', Sena melesat bagaikan terbang, kemudian menu-
kik dan menyerang lawan.
"Aha, ada tikus mengamuk! Hi hi hi...!"
"Cuih! Tembus dadamu, Pendekar Gila!" maki
Joko Galing sambil menusukkan pedangnya ke dada
Pendekar Gila yang telah turun ke tanah lagi, setelah
melesat ke udara.
Wrt!
"Hi hi hi...! Aha, jurusmu masih kaku, Kisa-
nak!"
Pendekar Gila melentingkan tubuhnya ke atas,
kemudian dengan cepat ditotokkan kepala Suling Naga
Saktinya ke kepala Joko Galing.
"Ini untukmu, Kisanak! Kau belum merasakan
jitakanku, bukan?! Nih kuberi!"
Bletak!
"Aduhhh...!" Joko Galing menjerit sambil me-
megangi kepala yang tersambar kepala Naga Sakti. Tu-
buhnya memutar-mutar menahan rasa sakit yang ber-
deyut-denyut di kepala.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau! Seperti tikus ma-
buk racun. Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-
bahak sambil berjingkrakan melihat Joko Galing ber-
putar sambil mengaduh kesakitan. Tangan Joko Galing
masih memegangi kepala yang terasa sakit
"Bangsat! Kubunuh kau, Pendekar Gila!" maki
Joko Galing semakin sengit.
Tawa Pendekar Gila semakin keras dan terba-
hak-bahak. Kemudian tubuhnya kembali melompat ke
atas. Dipukulkan lagi Suling Naga Saktinya ke kepala

Joko Galing.
"Rupanya kau mau nambah jitakanku, Kisa-
nak. Hih...!"
Bletakkk!
"Wadaw...! Sakit...!" Joko Galing menjerit-jerit
kesakitan dengan tubuh berputar-putar. Tangannya
kini melepaskan Pedang Lembayung Merah dan men-
dekap kepala yang berdenyut-denyut sakit
Semua prajurit yang ada di situ, tertawa meli-
hat kelucuan yang terjadi. Joko Galing yang marah,
tak mampu berbuat apa-apa. Kepalanya terasa berde-
nyut sakit disertai pandangan mata yang berkunang-
kunang.
"Tobat! Sakit..! Aduh...!"
Joko Galing terus menjerit-jerit merasakan ke-
sakitan yang tak terkira, akibat totokan kepala Suling
Naga Sakti.
Melihat orang yang diandalkan kini dijadikan
permainan Pendekar Gila, Nyi Mas Lindri bermaksud
kabur. Namun, sebelum wanita itu sempat mengelua-
rkan senjata rahasia, Pendekar Gila telah melenting ke
atas dan bersalto beberapa kali di udara. Kemudian
tubuhnya menunduk, menubruk Nyi Mas Lindri.
"Aha, mau lari ke mana kau, Nyi? Hi hi hi...!"
"Lepaskan aku!" pekik Nyi Mas Lindri berusaha
melepaskan diri dari pelukan Pendekar Gila. Wanita
cantik berhati iblis itu meronta-ronta, berusaha mele-
paskan pelukan kuat Pendekar Gila. Namun dengan
cepat sekali Pendekar Gila menotok tubuh Nyi Mas
Lindri. Seketika tubuhnya terkulai lemas dan tak
mampu digerakkan. Hanya matanya saja yang masih
terbuka bisa digerakkan.
"Aduh, tobat..!" Joko Galing masih meraung-
raung, merasakan sakit akibat totokan Naga Sakti.
Ki Mandra segera menghampiri. Dipungutnya

Pedang Lembayung Merah yang terpental di tanah. Ma-
ta lelaki tua itu memandang dengan tatapan dingin
pada muridnya yang murtad itu.
"Bersiaplah kau untuk menerima hukumannya,
Murid Murtad!" dengus Ki Mandra.
"Ampun! Jangan...! Aku tobat. Jangan bunuh
aku...!" Joko Galing segera berusaha bangun. Dipeluk-
nya kedua kaki Ki Mandra sambil meratap, memohon
ampunan dari sang Guru. "Ampunilah muridmu,
Guru! Ampunilah selembar nyawaku!"
"Sebagai seorang pendekar, patutkah kau me-
rengek begitu, Joko? Kau telah melanggar sumpahmu.
Maka kau pun harus mendapatkan hukumannya," ja-
wab Ki Mandra dengan suara datar. Wajahnya nampak
dingin dan seolah tak menghiraukan tatapan Joko Gal-
ing.
"Ampunilah nyawaku, Gum!"
"Bersiaplah, Joko!" kata Ki Mandra.
Tangan Ki Mandra kini terangkat tinggi, men-
gayunkan Pedang Lembayung Merah.
Semua yang ada di situ tersentak diam. Mata
mereka memandang ngeri, menyaksikan apa yang
akan dilakukan Ki Mandra terhadap muridnya yang
murtad. Pendekar Gila juga terkesima, hanya mampu
bengong. Dia berusaha mencegah, tapi terlambat.
"Ki, jangaaan...!"
Wrt!
Cras!
"Akh...!"
Lolongan kematian seketika keluar dari mulut
Joko Galing, ketika Pedang Lembayung Merah di tan-
gan Ki Mandra menghujam di punggung pemuda itu.
Darah menyembur keluar membasahi sekujur tubuh."
"Ahhh...," Sena mengeluh lirih, merasa bersalah
tak dapat mencegah tindakan Ki Mandra yang menu

rutnya tak manusiawi dan kurang mencerminkan ke-
pendekarannya.
"Guru...! Kau..., kau...!" terbata-bata Joko Gal-
ing sambil berusaha memeluk kaki Ki Mandra. Namun,
tubuhnya tak mampu menahan, ambruk mencium ta-
nah.
Kematian yang mengenaskan. Seakan tak ada
ampunan baginya. Ki Mandra yang tahu kalau Pende-
kar Gila agak kecewa dengan perbuatannya segera me-
langkah menghampiri pemuda berompi kulit ular itu.
"Maafkan aku, Pendekar! Sungguh hanya jalan
itulah satu-satunya yang dapat kulakukan. Kalau ti-
dak, maka dunia ini akan hancur karenanya. Dia tak
akan mampu berubah. Iblis telah menguasai hati dan
jiwanya," ujar Ki Mandra.
"Apakah tak ada jalan lain? Bukankah Hyang
Widhi mengampuni umatnya?" tanya Sena dengan mu-
lut meringis sambil menggeleng-geleng kepala.
Ki Mandra terdiam membisu.
Semua terdiam, tak ada yang berkata. Pendekar
Gila menghela napas panjang.
"Ah, sudahlah, semua sudah terjadi. Kini ba-
gaimana nasib Nyi Mas Lindri juga terserah pihak ke-
rajaan. Terserah pada keputusan baginda," gumam
Sena.
Mentari berarak merambat ke arah barat, lalu
perlahan-lahan turun. Bias merah nampak menggam-
bar di langit belahan barat, ketika mereka meninggal-
kan Hutan Mentaok, tempat mayat Joko Galing diku-
burkan.
Esok harinya, Nyi Mas Lindri sebagai terpidana
pelaku pemberontakan akan mengalami hal yang sa-
ma. Wanita cantik berhati iblis itu harus menjalani
hukuman yang setimpal, digantung!
Pendekar Gila hanya mampu menghela napas,

sambil beranjak meninggalkan Istana Telaga Mas dan
melanjutkan pengembaraannya.

                       SELESAI

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung Hari Ini

Cari Blog Ini

Translate

Penting Buat Kita Sebagai Hamba Allah

QS. Al-Ankabut (29): 45 "Bacalah kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Menjelaskan fungsi salat sebagai pencegah maksiat).

Mengenai Saya

Foto saya
palembang-indonesia, sumatera selatan, Indonesia
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game