https://matjenuhkhairil.blogspot.com : Tempat Membaca Cerita Silat Wiro Sableng Dan Pendekar Sakti Di Seluruh Nusantara

Rabu, 17 Desember 2025

Gento Guyon Episode Liang Pemasung Sukma


1

Matahari tepat berada di atas kepala. Udara
di siang itu memang terasa menggelisahkan. Panas
laksana menggarang batok kepala, ketenangan
lembah dan bukit-bukit membiru di sebelah timur
Lembah seakan tidak terusik. Namun suara cericit
burung yang tengah mencari makan mewarnai ke-
sunyian lembah. Beberapa saat kemudian di ten-
gah lembah terdengar ada suara menggeram diser-
tai makian marah. Hiruk pikuk suara burung le-
nyap, mahluk-mahluk lucu itu berterbangan me-
ninggalkan lembah mencari selamat. Dan di ten-
gah-tengah suara bentakan yang menggelegar itu
terdengar suara deru angin ribut. Lalu pepohonan
besar yang tumbuh di sekitar kawasan lembah ter-
cerabut berhamburan di udara. Bukan hanya pe-
pohonan saja, bahkan batu-batu sebesar kerbau
juga nampak berpelantingan ke berbagai arah.
Hanya dalam waktu sekejap kawasan lembah
hampir gundul.
Sedangkan di tengah lembah berdiri tegak
seorang laki-laki tua setengah baya dan seorang
perempuan bertubuh tinggi dan berbadan besar
seperti raksasa. Kedua orang itu saling berhada-
pan dengan mata mencorong dan wajah melua-
pkan kemarahan.
"Kau terlalu berburuk sangka, suamiku. An-
tara aku dengan Tabib Setan tidak punya hubun-
gan apa-apa. Mengapa kau marah membabi buta?"
tanya si perempuan raksasa heran.

Laki-laki raksasa yang bernama Senggana
yang bukan lain adalah suami dari perempuan itu
mendengus geram sambil palingkan wajahnya ke
jurusan lain. "Siapa percaya dengan mulutmu,
Senggini. Aku melihat dari tatapan matamu bahwa
kau menaruh gairah pada kakek keparat itu!" te-
riak si raksasa tua yang merasa kesal karena di-
bakar api cemburu.
Senggini tersenyum. "Kakang Senggana, bi-
arpun kau pernah mengatakan telah merelakan
aku mencari pengganti dirimu. Tapi aku tidaklah
segila itu. Kuakui sebagai istri aku memang per-
nah kecewa dan menderita batin hebat akibat kau
tak mampu lagi menjalankan kewajibanmu seba-
gai suami. Namun aku juga harus mengerti semua
itu bukanlah kesalahanmu. Kau kehilangan ke-
perkasaanmu sebagai laki-laki sejati akibat terke-
na pengaruh racun Perubah Bentuk. Dalam hal ini
mengapa kita tidak berusaha mencari kesembu-
han dengan menemui Srimbi?" ujar Senggini.
Apa yang dikatakan oleh sang istri sebenar-
nya merupakan jalan terbaik untuk memecahkan
persoalan kemelut batin yang mereka alami selama
ini. Cuma kiranya rasa cemburu telah membakar
jiwa laki-laki raksasa itu hingga dia tidak dapat la-
gi menggunakan fikiran sehatnya.
Dengan hati masih dilanda rasa cemburu
dia berkata, "Sejuta alasan bisa saja kau katakan.
Padahal jauh di lubuk hatimu aku tahu kau ber-
harap agar aku cepat mati bukan? Dengan begitu
kau bisa mengawini Tabib Setan laknat itu bu-
kan?" ujar Senggana disertai seringai sinis. Men

dengar ucapan suaminya Senggini tundukkan wa-
jah. Dengan polos dia menjawab. "Semula aku
memang berharap begitu, kakang. Tapi kemudian
aku berpikir haruskah karena penyakitmu itu
anak-anak kita kehilangan orang tua. Padahal ka-
lau kita mau berusaha mencari obat dari penya-
kitmu itu, bukan mustahil kau bisa kembali seper-
ti sediakala!"
"Siapa percaya dengan mulut busukmu, pe-
rempuan tengik. Mungkin lebih baik kita mati ber-
sama-sama!" Habis berkata Senggana yang memi-
liki tenaga besar itu mencabut pohon yang terda-
pat di sebelah kirinya. Pohon sebesar pelukan
orang dewasa tersebut dibolang-balingkan di uda-
ra. Begitu bagian batangnya kena dicekal Sengga-
na, maka laki-laki raksasa itu menghantamkan
pucuk pohon ke bagian pinggang istrinya. Senggini
yang tidak menyangka suaminya masih dilanda
kemarahan keluarkan seruan kaget. Cepat dia me-
lompat ke samping sambil menundukkan tubuh-
nya yang tinggi seperti pohon kelapa. Dia meraih
batu besar. Dengan menggunakan batu itu dia
menangkis hantaman pohon.
Bress! Praak!
Pohon yang dipergunakan untuk memukul
hancur berpatahan, sedangkan batu yang diper-
gunakan untuk menangkis patah menjadi dua.
Senggini yang semula telah berubah fikiran dan
ingin menyembuhkan suaminya dari pengaruh ra-
cun Perubah Bentuk ini kini ikut terpancing kema-
rahan suaminya.
"Kau tidak mau mendengar segala ucapan

ku tidak menjadi apa. Rupanya memang sudah
menjadi takdir bahwa diantara kita harus mati
bersama-sama!" teriak Senggini.
"Bagus! Kini ternyata tidak ada lagi keme-
sraan dan kelembutan. Kau telah berani melawan
dan berani menentang. Sekarang aku tak segan-
segan lagi untuk membunuhmu!" geram Senggana.
Begitu selesai berucap, Senggana melesat ke arah
istrinya sambil hantamkan tangannya ke dada dan
perut Senggini.
Perempuan raksasa itu tentu saja tahu su-
aminya bermaksud jatuhkan tangan keji. Karena
itu tanpa bicara lagi dia juga menyambuti pukulan
Senggana. Akibatnya terjadilah benturan yang
amat dahsyat. Kedua suami istri itu sama-sama
terlempar sejauh dua tombak, lalu jatuh bergede-
bukan seperti suara gunung meletus.
Bentrok pukulan membuat keduanya mera-
sa tangan mereka seperti hancur sedangkan dada
terasa sakit luar biasa. Bahkan dari mulut Senggi-
ni meneteskan cairan kental berwarna merah.
Senggini menyeka mulutnya. Begitu melihat
darah perempuan itu menjadi bertambah kalap.
Dengan terhuyung-huyung dia bangkit. "Bertahun-
tahun aku menjadi teman hidupmu, telah banyak
kesenangan yang kau dapatkan dari diriku. Tak
pernah kusangka kini kau malah menghendaki
kematianku!"
'Huh, jika seorang istri menjadi tidak ber-
guna malah jadi bumerang dalam hidup, buat apa
aku memeliharanya!" sahut Senggana sambil
bangkit berdiri.

"Aku sudah tahu seberapa hebat ilmumu.
Sekarang marilah kita mengadu nyawa!"
Senggana menyeringai mendengar tantan-
gan istrinya. Dengan cepat dia kerahkan tenaga
dalam lalu menyalurkannya ke bagian tangan. Se-
kejap saja kedua tangan laki-laki raksasa itu telah
berubah menjadi biru pertanda dia telah menge-
rahkan suatu ilmu dahsyat yang dikenal dengan
name 'Raksasa Menelan Bintang'. Senggini terke-
siap melihat suaminya menggunakan ilmu yang
menjadi andalan keluarga mereka itu. Tapi tanpa
banyak bicara perempuan itu juga tak mau men-
galah dan dengan segera melintangkan kedua tan-
gannya siap melepaskan pukulan 'Raksasa Mem-
belah Bulan'. Ilmu pukulan ini juga bukan ilmu
sembarangan. Tingkatannya hampir sama dengan
pukulan Raksasa Menelan Bintang, namun puku-
lan yang hendak digunakan Senggini mempunyai
keanehan lain yaitu bila pukulan telah slap dile-
paskan tak mungkin dibatalkan. Jika hal itu sam-
pai terjadi pasti dapat menewaskan pemiliknya
sendiri. Tapi rupanya Senggini sudah tidak meng-
hiraukan apapun yang bakal terjadi. Dalam waktu
hampir bersamaan dia hantamkan kedua tangan-
nya ke arah Senggana.
Sinar kuning kehitaman berkiblat menderu
dari telapak tangan perempuan itu, sedangkan da-
ri arah depannya menderu segulung angin panas
disertai melesatnya sinar biru. Di saat dua puku-
lan manusia raksasa itu hampir bertubrukan di
udara, pada waktu hampir bersamaan terdengar
seruan disertai berkelebatnya sosok berpakaian

serba kuning. "Tidak kubiarkan orang tua saling
membunuh hanya karena persoalan sepele!" Sam-
bil berteriak dengan gerakan sedemikian rupa so-
sok yang besarnya tidak sampai sepersepuluh dari
kedua raksasa tersebut hantamkan kedua tangan-
nya ke dua arah.
Dua larik sinar kuning redup melesat dari
telapak tangannya. Satu memapas sinar kuning
yang melesat dari tangan Senggini sedangkan sa-
tunya lagi menghantam Senggana.
"Akh...celaka...!" Kedua suami istri itu ham-
pir bersamaan keluar seruan kaget. Tapi tak satu-
pun dari mereka yang dapat menghentikan puku-
lan yang terlanjur mereka lepaskan.
Tak dapat dihindari terjadilah bentrokan
yang sangat keras luar biasa. Sosok berpakaian
kuning yang kebetulan berada di antara dua puku-
lan tak sanggup menyelamatkan diri. Dua pukulan
yang dimaksudkannya untuk membuyarkan puku-
lan suami istri raksasa itu tak mampu ditahannya.
Buummm!
Satu ledakan keras mengguncang kawasan
lembah. Sosok berpakaian kuning yang bukan lain
adalah Anggana putera suami istri itu menjerit ke-
sakitan. Tubuhnya yang baru saja kembali ke ujud
manusia normal terpelanting tinggi di udara. Lalu
meluncur ke bawah dan jatuh bergedebukan.
"Anakku!" pekik Senggini. Dia terkesiap me-
lihat nasib buruk yang menimpa anaknya. Tanpa
fikir panjang lagi dia menubruk Anggagana. Se-
dangkan Senggana masih tertegak di tempatnya
berdiri. Dua matanya mendelik besar, nampaknya

dia masih belum percaya melihat kenyataan itu.
Dengan penuh penyesalan dia berjalan mengham-
piri Anggagana. Laki-laki itu dengan mata berkaca-
kaca duduk bersimpuh di depan anaknya. Sang
anak mengerang, pakaiannya hangus, kulit tu-
buhnya juga hangus, rambut rontok sedangkan
sepuluh jemari tangannya gosong.
Biarpun keadaan Anggana sudah sangat
parah dan tak mungkin dapat diselamatkan lagi
namun si pemuda masih dapat membuka ma-
tanya. Malah setelah memperhatikan ayah dan
Ibunya silih berganti dengan suara lirih dia berka-
ta. "Ayah...uukh...ibu.... Mungkin inilah akhir dari
perjalanan hidupku. Aku sama sekali tidak me-
nyesal jika harus mengakhiri hidup dengan cara
seperti ini. Ibu yang melahirkan aku ke dunia ini,
ibu dan ayah pula yang membesarkan. Andai se-
karang harus mati aku tidak menyalahkan siapa-
siapa, tapi kuminta padamu ayah dan ibu jangan-
lah kalian bertengkar lagi memperdebatkan sesua-
tu yang tidak jelas. Jika aku mati jangan pula ka-
lian saling menyalahkan dan berniat saling bunuh.
Kalian berdua sudah sangat tua, jika dulu bisa
saling mencinta mengapa sekarang harus berakhir
dengan cara yang amat tragis. Aku tahu ada yang
menjadi ganjalan di antara kalian berdua. Tapi ku-
rasa itu bisa diselesaikan, penyakit ayah dapat pu-
la disembuhkan asal kalian mau terus berusaha
mencari nenek Srimbi. Hanya dia satu-satunya
yang mampu membuatkan obat penawar racun
agar bentuk badan kalian bisa kembali.
Ka...kalian...tidak bertengkar lagi...!" habis berkata

begitu Anggagana yang menjadi korban pukulan
ganas kedua orang tuanya langsung terkulai. Pe-
muda itu tewas dengan luka-luka mengerikan di
sekujur tubuhnya.
Menyaksikan kematian anaknya Senggini
dan Senggana meraung keras. Mereka sama me-
meluki jasad sang anak malang.
"Huk huk huk! Anakku, jika bukan ketolo-
lan ayahmu tidak mungkin kau berakhir seperti
ini." desah Senggini di sela-sela tangisnya.
"Istriku jangan lagi kau menyalahkan aku.
Kita berdua sama-sama bersalah!" ujar Senggana
dengan sabar. Mungkin kini setelah melihat hasil
perbuatannya dia harus sadar tidak ada gunanya
lagi mereka berdebat.
"Huh, kau suami tolol. Susah payah aku
melahirkan dan membesarkannya tidak tahunya
kau malah membuatnya seperti ini!" dengus Seng-
gini masih saja memeluki mayat Anggagana.
"Jangan berkata begitu. Dalam hal ini kau
tidak boleh melupakan diriku. Anak-anak kita ter-
lahir berkat kerjasama yang baik di antara kita.
Jika kau tidak turun bakti mana mungkin kau bi-
sa hamil, andai kau tidak hamil mana mungkin
melahirkan!" ujar Senggana dengan wajah serius.
Dalam keadaan biasa ucapan suaminya pal-
ing tidak mengundang tawa bagi istrinya. Tapi
alangkah tidak patut ucapan itu dilontarkan oleh
seorang ayah di saat mereka kehilangan orang
yang mereka cintai.
Dengan geram dia mendamprat. "Laki-laki
tak berguna. Anakmu tewas akibat perbuatan tolol

yang kita lakukan, dalam keadaan berduka masih
juga kau sanggup bicara melantur?"
Senggana terdiam. Rasanya percuma saja
dia meladeni sang istri yang sedang dilanda duka.
Karena itu tanpa bicara lagi laki-laki tersebut sege-
ra meninggalkan Senggini kemudian membuat se-
buah kubur tak jauh dari sebuah lapangan kecil
yang terdapat di lembah.
Beberapa saat kemudian setelah acara pen-
guburan jenazah Anggagana selesai, Senggana
berdiri tegak di depan pusara anaknya dengan wa-
jah tertunduk dan berlinangan air mata. Sama se-
kali dia tidak berani memandang istrinya yang se-
dang menancapkan sebuah nisan di kepala ma-
kam.
Senggini sendiri setelah selesai menan-
capkan batu nisan yang diambil dari batu kali se-
gera membuka mulut. "Anggagana anakku, maaf-
kanlah kesalahan Ibu dan ayahmu ini nak. Mulai
sekarang kami berjanji tidak akan bertengkar lagi."
ujar Senggini sambil melirik ke arah Senggana.
Sang suami dengan mata masih memerah ang-
gukkan kepala.
"Benar anakku, ayah minta maaf. Ketololan
yang harus ayah bayar dengan mahal. Oh menga-
pa harus berakhir begini? Huk huk huk!" Sengga-
na menangis tersedu-sedu.
Sebagai istri Senggini tentu saja tidak tega
membiarkan suaminya tenggelam dalam kepedi-
han. Dia segera berdiri, lalu menghampiri Sengga-
na. Dengan hati masih diliputi kesedihan dia ber-
kata.

"Kakang, sudahlah. Kita tidak boleh terlalu
larut dalam kesedihan ini. Kita memang sama-
sama bersalah, tapi kelewat lama tenggelam dalam
penyesalan semua itu tak bakal menyelesaikan
persoalan yang kita hadapi." ujar Senggini sambil
mengelus-elus bahu suaminya. Mendengar ucapan
Senggini dan mendapat belaian sang Istri yang tu-
lus Senggana merasa terharu. Dia membalikkan
badan lalu memeluk perempuan itu. Beberapa saat
lamanya suami istri itu saling berpelukan. Setelah
mereka melepaskan rangkulan masing-masing
Senggana membuka mulut dan berkata. "Istriku
saat ini apapun yang kau katakan aku hanya me-
nurut saja. Aku tidak ingin terjadi perpecahan di
antara kita. Kematian Anggagana kuanggap seba-
gai suatu tindakan tolol oleh orang tua seperti kita.
Saat ini jika kau punya rencana katakan saja!"
Senggini terdiam, dia mencoba berfikir ke-
ras. Rasanya saat ini satu-satunya jalan adalah
mencari nenek Srimbi. Mungkin nenek itu bisa di-
bujuk agar mau membuatkan obat pemunah ra-
cun 'Perubah Bentuk', karena bagaimanapun apa
yang menimpa suami atau dirinya adalah akibat
perbuatan Angin Pesut.
Ketika Senggini menceritakan semua ini pa-
da Senggana, orang tua itu bertanya. "Kurasa me-
nemui nenek Srimbi memang jalan satu-satunya
yang terbaik. Tapi untuk kau ketahui nenek Srim-
bi paling tidak menyimpan dendam selangit karena
merasa dirinya diabaikan Angin Pesut. Jika dia ta-
hu Angin Pesut yang telah membuat tubuh kita
begini rupa. Sudah pasti dia menolak membuat

ramuan obat untuk kita."
Senggini manggut-manggut. Dia terdiam
cukup lama. Senggini sadar apa yang dikatakan
suaminya itu memang benar adanya. Srimbi pasti
tidak mau melakukan apa yang mereka minta ka-
rena dia begitu membenci pada Angin Pesut. Kini
rasanya tidak ada lagi jalan untuk mencari kesem-
buhan bagi mereka terkecuali memaksa Angin Pe-
sut untuk membujuk Srimbi.
"Kakang, jika nenek itu tidak mau menolong
kita kurasa ada baiknya bila kita mencari jalan
lain!" ujar Senggini setelah mempertimbangkannya
cukup lama. "Jalan lain apa?" tanya orang tua itu.
"Karena manusia laknat bernama Angin Pesut itu
yang telah membuat dirimu menjadi begini, ba-
gaimana seandainya kita mencari bangsat yang
menjadi penyebab dari segala kesusahan kita se-
lama ini?"
"Mencari Angin Pesut tidak mudah. Tapi ki-
ta pasti menemukannya. Kabar terakhir kudengar
Angin Pesut mendapat serangan besar dari mu-
suh-musuhnya. Bahkan kudengar gua yang men-
jadi tempat tinggalnya telah diserbu. Menurut
pendapatku Angin Pesut mungkin telah kena dita-
wan oleh musuh-musuhnya."
"Bagaimana jika ternyata manusia dajal itu
telah terbunuh?" tanya Senggini ragu-ragu.
Mendengar pertanyaan istrinya sepasang
mata Senggana nampak meredup. Tapi demi me-
nyenangkan hati istrinya dia berkata menghibur.
"Siapapun tahu Angin Pesut memiliki ilmu yang
amat tinggi. Selain mempunyai pukulan beracun

dia juga memiliki ilmu maha dahsyat berupa pu-
kulan 'Ratap Langit'. Ilmunya itu sanggup meng-
hancurkan benda apa saja termasuk juga lawan-
lawannya. Konon itulah satu-satunya pukulan ter-
hebat yang ada di dunia persilatan saat ini. Jadi
menurutku lawan setangguh apapun tak bakal
mudah merobohkannya!"
Senggini manggut-manggut. Dia menyadari
Angin Pesut memang manusia berkepandaian san-
gat tinggi. Namun dia yakin setiap ilmu pasti ada
kelemahannya, karena sudah menjadi kodrat ma-
nusia tidak ada sesuatupun yang sempurna di du-
nia ini kecuali Gusti Allah.
"Suamiku, kalaulah benar apa yang kau ka-
takan berarti kesempatan untuk mendapatkan ob-
at penawar bisa kita peroleh melalui perantaraan
Angin Pesut. Sabarlah kakang, jika kita berusaha
keras tentu kita bisa mendapatkan semua yang ki-
ta inginkan!"
"Jika ternyata laki-laki terkutuk itu meno-
lak bagaimana?" tanya Senggana.
Sang istri menyeringai lalu dongakkan ke-
pala. Masih dengan tatapan menerawang ke langit
perempuan itu berkata. "Jika dia menolak maka
aku akan menempurnya sampai salah seorang dari
kami binasa!" tegas perempuan itu. Senggana me-
rasa sangat terharu sekali mendengar ucapan is-
trinya. Keharuan itu begitu mendalam hingga
membuat kuduknya menjadi dingin.
Kemudian dengan suara serak bergetar laki-
laki itu menimpali. "Istriku aku merasa senang
mendengar ucapanmu. Kau tidak sendiri, aku pasti membantumu. Jika kita berdua maju bersama,
masa' kita tidak sanggup membunuhnya!" tegas
Senggana.
Senggini tersenyum sambil acungkan kepa-
lan tinjunya. Senggana juga tersenyum lalu
acungkan tinjunya ke udara sebagai pertanda su-
ami istri itu telah sama mencapai kata sepakat. Te-
tapi sebelum senyum mereka lenyap, mendadak
sontak dalam keheningan suasana tiba-tiba ter-
dengar suara gelak tawa melengking laksana da-
tang dari langit. Meskipun Senggana dan Senggini
sama terkejut namun mereka tetap bersikap te-
nang. Seolah mereka menganggap suara tawa yang
mengandung tenaga dalam tinggi itu bagai ngian-
gan nyamuk yang bermain di liang telinga.
Tak berselang lama suara tawa lenyap. Sua-
sana kembali berubah sunyi. Pasangan suami istri
saling pandang tapi tetap tidak lupa bersikap was-
pada.
Keheningan tak berlangsung lama karena
kemudian terdengar suara orang berkata lantang.
"Dua mahluk raksasa tolol. Kalian adalah pembual
yang malang. Takdir kematian Angin Pesut sudah
ditentukan ada di tanganku. Jika kalian berani
mengusiknya bahkan membuat selembar rambut-
nya saja gugur maka jiwa kalian bakal tak kuam-
puni!" ancam suara itu lantang. Biarpun diejek
raksasa tolol kedua suami istri itu tetap berlaku
tenang tapi diam-diam memasang telinga coba
memastikan dari arah mana suara itu datang. Ke-
tika tahu suara datang dari balik pohon yang ter-
dapat di sebelah kanan mereka, Senggana yang

memiliki tinggi badan sama dengan pucuk pepo-
honan langsung gerakkan tangannya.
Braak!
Pohon sebesar batang kelapa berdaun lebat
itu berderak hancur, lalu jatuh berdebum disertai
suara bergemuruh berat. Hampir bersamaan den-
gan tumbangnya pepohonan terdengar suara tawa
mengejek disertai berkelebatnya satu bayangan ke
arah Senggana. Manusia raksasa itu hantamkan
tinjunya menyambuti kedatangan orang. Sekali
kena saja bayangan serba hitam dapat dipastikan
tubuhnya hancur berantakan. Tapi sesuatu di luar
dugaan Senggana terjadi, bayangan hitam menda-
dak berkelit ke samping lalu lakukan gerakan ber-
jumpalitan sedemikian rupa dan jejakkan diri di
antara Senggana dan Senggini.
Tak lama kemudian kedua suami istri itu
melihat di depan mereka berdiri tegak sosok pe-
rempuan berambut panjang awut-awutan. Penam-
pilan maupun ujud si nenek tidak dapat dikatakan
sebagai manusia seutuhnya karena setiap saat se-
lalu berubah-ubah antara wajah manusia dan se-
rigala.
"Nenek jelek muka anjing sebenarnya eng-
kau punya hubungan apa dengan Angin Pesut?"
Senggana merasa mengenal nenek bermuka seri-
gala ini ajukan pertanyaan. Si nenek mendengus
geram, namun belum lagi dia sempat menjawab
pertanyaan orang, Senggini sudah membuka mu-
lut dan berkata, "Suamiku, apakah kau tidak per-
nah mendengar sebuah kisah yang meriwayatkan
tentang seorang gadis nekad yang membunuh calon mertuanya?"
Senggana terdiam, keningnya berkerut sete-
lah berfikir sejenak lamanya sambil tersenyum dia
menjawab. "Ahh...sekarang aku baru ingat. Konon
kudengar calon mertua tidak merestui hubungan
gadis itu dengan anaknya karena gadis yang ber-
hasrat menjadi calon menantunya itu ternyata ha-
nyalah gadis keji berjiwa telengas."
Senggini seolah ingin membeberkan riwayat
hidup orang melanjutkan ucapan suaminya. "Kau
benar suamiku. Setelah sang kekasih tahu ayah-
nya tewas terbunuh di tangan gadis pujaannya,
kemudian pemuda itu menuntut balas, lalu terja-
dilah perkelahian sengit antara hidup dan mati....!"
Senggana menyambuti. "Benar...benar. Da-
lam perkelahian itu gadis pembunuh kalah. Ke-
mudian sang pemuda pujaan menjebloskannya ke
suatu tempat bernama 'Liang Pemasung Sukma'."
"Sungguh menyedihkan. Tapi bagaimana
gadis yang dulunya cantik kini mukanya bisa be-
rubah-ubah seperti serigala?" tanya Senggini.
"Oh ya, aku lupa mengatakannya padamu.
Sejak dia dijebloskan ke dalam Liang Pemasung
Sukma dendamnya pada pemuda pujaan setinggi
langit sedalam lautan. Kemarahannya itu mem-
buat dia berhasil membebaskan diri dari penda-
man Liang Pemasung Sukma. Konon jika tidak sa-
lah aku mendengar dia lalu mempelajari ilmu se-
tan yang bernama Serigala Seribu."
"Wah kalau begitu hebat juga ya?" tanya is-
trinya disertai senyum mengejek.
Senggana menganggukkan kepala."Kejadian

itu memang hebat, bagaimana tidak. Orang yang
dulunya sama mencinta pada akhirnya saling
bermusuhan seperti musuh bebuyutan. Cinta
memang sesuatu yang unik. Karena cinta mem-
buat orang bahagia, cinta juga bisa membuat
orang menderita. Tapi akibat cinta buta, orang bisa
jadi celaka! Ha ha ha."
"Suamiku apakah mahluk tak kenal ujud
yang kini berada di hadapan kita termasuk korban
cinta buta?" tanya Senggini.
"Oh kalau yang satu ini kurasa bukan kor-
ban cinta tapi korban dendam kesumat dan letu-
san gunung!'' sahut Senggana. Kedua suami istri
itu kemudian tertawa tergelak-gelak.
Si nenek yang tahu dirinya disindir terus
menerus sejak tadi sebenarnya sudah tidak dapat
lagi menahan luapan amarahnya. Semua ini ter-
cermin jelas lewat wajahnya yang cepat sekali be-
rubah-rubah antara wajah manusia dan rupa seri-
gala.
Sambil mendengus nenek berpakaian hitam
menggeram. "Dua manusia tolol sudah puaskah
kalian membeberkan riwayat hidupku atau mung-
kin masih ada lagi yang hendak kalian sampai-
kan?" tanya si nenek ketus.
Senggini terdiam sedangkan Senggana den-
gan tenang berkata. "Bukankah yang kami kata-
kan ini adalah kenyataan yang sebenarnya, Ni
Pambayon? Suatu kenyataan dari sebuah masa la-
lu kelabu dari perjalanan hidupmu sendiri."
Si nenek yang memang memiliki nama Ni
Pambayon atau yang lebih dikenal dengan julukan

Bayangan Maut tentu saja kaget tak menyangka
orang mengenali dirinya bahkan tahu bagaimana
masa lalunya. Cuma rasa kaget itu berlangsung
sekejap saja karena begitu teringat pada penghi-
naan yang dilakukan kedua manusia raksasa itu
dia mengumbar kemarahannya. "Dua manusia hi-
na dina. Pandai sekali kalian membicarakan kebu-
rukan orang, padahal aku tahu kalian sendiri saat
ini sedang berada di ambang maut. Di dalam tu-
buhmu juga tubuh istrimu mendekam racun jahat
berupa racun Perubah Bentuk. Racun itu telah
membuat tubuh kalian berkembang tidak wajar
hingga menjadi sosok raksasa. Lalu... jika diri su-
dah berada diambang maut apa perlunya mencari
Angin Pesut?" tanya Ni Pambayon alias Bayangan
Maut disertai seringai mengejek.
Senggana dan Senggini saling berpandan-
gan. Senggini anggukkan kepala memberi isyarat
untuk menjawab pertanyaan si nenek.
"Ni Pambayon, siapapun gelarmu aku tak
peduli. Yang jelas, Angin Pesut harus memper-
tanggung-jawabkan semua perbuatannya di masa
lalu!" tegas Senggana.
"Hik hik hik! Manusia tolol, jika dulu saja
kalian tidak bisa mengalahkan si jahanam Angin
Pesut, apakah kini kalian mengira bisa membu-
nuhnya?" dengus si nenek.
Senggini melangkah maju satu tindak lalu
menyambuti ucapan si nenek. "Angin Pesut boleh
mempunyai ilmu segudang, dia boleh memiliki il-
mu hebat Ratap Langit, tapi kami punya cara un-
tuk menghancurkan ilmunya."

Bayangan maut terdiam. Dia pernah men-
dengar kedua raksasa itu bukan orang sembaran-
gan. Mereka juga memiliki ilmu hebat yang tak da-
pat dipandang sebelah mata. Suaminya punya il-
mu pukulan Raksasa Membelah Bintang, sedang
istrinya memiliki pukulan Raksasa Membelah Bu-
lan. Dua pukulan hebat itu bila dilepaskan bersa-
maan bisa membuat tempat di sekitarnya jadi po-
rak poranda.
Tapi nampaknya Bayangan Maut tidak per-
duli. Baginya kedua manusia raksasa itu boleh
mempunyai ilmu pukulan yang sanggup meron-
tokkan gunung sekalipun. Namun jika mereka be-
rani membunuh Angin Pesut sebelum dirinya
sempat melakukan pembalasan, kedua raksasa itu
harus berhadapan dulu dengannya.
"Dua manusia tolol, aku sudah mengatakan
bahwa takdir kematian Angin Pesut ada di tangan-
ku. Karena itu aku hanya bisa memberi saran,
mengingat hidup kalian tidak lama lagi. Mengapa
tidak kembali saja ke puncak Kemukus tempat
tinggal kalian. Anak kalian telah mati korban keto-
lolan sendiri. Sedangkan yang satunya lagi entah
kemana. Jika kalian berdua ingin berbulan madu
mengenang saat pertama kali dulu. Kurasa seka-
ranglah waktunya. Aku memberi kesempatan bagi
kalian untuk meneguk sorga dunia yang kedua
kali. Hik hik hik!" kata Bayangan Maut disertai ta-
wa mengekeh.
"Kalau kami menolak?" tanya Senggana.
"Maksudmu?" Si nenek pura-pura tak tahu.
"Kami tetap memutuskan mencari Angin

Pesut!" tegas Senggini.
"Angin Pesut tak bakal sanggup membua-
tkan obat pemunah untuk kalian!" tegas si nenek
mulai tak dapat lagi menahan kesabarannya.
"Jika dia tidak mampu berarti dia harus
menebus semua kesalahan dengan nyawanya!"
Habislah sudah kesabaran Bayangan Maut.
Dengan suara lantang menggeledek nenek itu ber-
teriak. "Aku sudah mengatakan, takdir kematian
Angin Pesut ada di tanganku. Jika ada orang be-
rani mendahuluinya maka dia harus berhadapan
dengan Bayangan Maut. Karena kalian tetap ber-
laku nekad, sekarang terimalah kematianmu!"
Baru saja teriakan si nenek lenyap dia la-
kukan gerakan berputar setengah lingkaran. Begi-
tu tubuhnya berputar dia berkelebat ke arah
Senggana sambil berkelebat kedua tangannya yang
terpentang melesat ke bagian perut Senggana. La-
ki-laki itu tidak tinggal diam, dia segera mengang-
kat kakinya. Dengan mempergunakan lutut dia
menangkis serangan lawan.
Buuuk!
Breeet!
Si nenek terdorong mundur. Benturan keras
antara tangan kanan dengan lutut lawannya me-
nimbulkan rasa sakit luar biasa. Tapi jemari tan-
gan kiri Bayangan Maut sempat membuat robek
paha Senggana. Laki-laki itu meringis kesakitan.
Biarpun besar dan tinggi lawan bagi raksasa ini
tak sampai setengah besar dirinya, namun caka-
ran tangan Bayangan Maut menimbulkan luka
dan mengucurkan darah.

Senggana menggerung, tangannya yang be-
sar dan panjang terjulur. Tangan yang satunya be-
rusaha mencengkeram pinggang Bayangan Maut,
sedangkan yang satunya lagi menghantam kepala
si nenek.
Nenek angker yang wajahnya setiap saat be-
rubah antara wajah manusia dan serigala ini tak
mau berlaku ayal. Dia sadar jika dirinya kena di-
cengkeram atau dipukul lawan. Kalau bukan ping-
gangnya yang remuk pasti kepalanya jadi hancur.
Karena itu dengan gerakan gesit bagaikan serigala
menghindar dari sergapan harimau, dia berkelit
sambil melompat ke belakang. Baru saja Bayangan
Maut jejakkan kakinya dari arah belakang, Seng-
gini melepaskan satu tendangan menggeledek ke
bagian punggung si nenek.
Gemuruh suara angin tendangan yang tidak
ubahnya seperti pohon roboh membuat Bayangan
Maut bantingkan diri ke sebelah kanan sambil
bergulingan mencari selamat. Namun secepat apa-
pun si nenek menghindar, tendangan Senggini ter-
nyata datangnya lebih cepat dari yang nenek itu
duga.
Buuk!
Tendangan yang amat keras bertenaga dua
puluh kali lipat manusia biasa itu membuat
Bayangan Maut terpelanting sejauh sepuluh tom-
bak. Jika bukan tokoh sesat berkepandaian tinggi,
yang terkena tendangan perempuan raksasa itu
dapat dipastikan tubuhnya rusak.
"Kau tidak apa-apa suamiku?" Habis mele-
paskan tendangan Senggini ajukan pertanyaan.

"Kau harus hati-hati, setiap serangannya
mengandung racun jahat. Beruntung aku pernah
terkena pukulan racun Perubah Bentuk hingga
membuat racunnya tidak begitu berbahaya!" ucap
Senggana menyahuti.
Sementara itu Bayangan Maut yang dibuat
terpelanting jungkir balik oleh lawannya sambil
memaki menyemburkan sumpah serapah sudah
berdiri tegak. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang
mendera punggungnya diam-diam si nenek salur-
kan tenaga dalam ke bagian tangan. Dua tangan
lalu disilangkan, mulutnya berkemak-kemik seper-
ti merapal mantra ajian. Setelah itu sambil meng-
geram dalam hati Bayangan Maut membatin. "Ke-
dua raksasa itu tidak boleh dianggap remeh. Tena-
ganya sepuluh kali lipat dari tenaga manusia bi-
asa. Aku harus membunuhnya. Dengan ajian
Bayangan Serigala ini kurasa aku bisa berbuat
banyak!" fikir si nenek. Dengan tangan masih ber-
silangan di depan dada dia berteriak. "Dua manu-
sia besar keras kepala, baru membuat aku jatuh
bukan berarti kalian telah mengalahkan aku. Lihat
serangan...!"
Belum lagi suara teriakan si nenek lenyap,
tahu-tahu tubuhnya melesat kira-kira setinggi da-
da Senggana dan Senggini. Kedua raksasa itu
mendengus lalu bersirebut saling mendahului
memukul Bayangan Maut. Tapi karena pukulan
mereka seolah menghantam angin. Karena biarpun
tubuh lawannya terkena pukulan mereka, kedua-
nya merasa seolah memukul bayangan. Malah
kemudian kedua suami istri itu saling mengadu

tinju.
Bruuk!
Senggana dan Senggini terhuyung dan sa-
ma-sama unjukkan wajah kaget. Sementara dari
sebelah kiri Bayangan Maut yang memendam den-
dam selangit akibat terkena tendangan Senggini
tidak menyia-nylakan kesempatan ini. Tubuhnya
yang berputar mengambang di udara meluncur de-
ras ke arah perempuan raksasa itu lalu kakinya
menghantam.
Dukk!
Dees! Dess!
Tendangan keras membuat Senggini jatuh
berdebum. Si nenek tidak puas dan kini meluncur
deras mengikuti arah jatuhnya Senggini sambil
melancarkan serangkaian tendangan dan hujam-
kan kuku-kuku jarinya ke arah perut lawan.
Sosok besar Senggini tentu saja tidak dapat
bergerak lincah sebagaimana manusia normal
lainnya. Karena itu dia dorongkan kedua tangan-
nya, menghantam lawan dengan pukulan 'Raksasa
Membelah Bulan'. Gerakan melepaskan pukulan
termasuk terlambat karena waktu itu Bayangan
Maut tidak ubahnya seperti iblis yang berlari ken-
cang sempat menghantam perut dan hujamkan
kuku-kukunya ke dada Senggini.
Di tengah jeritan Senggini yang menyayat,
tubuh Bayangan Maut tiba-tiba seperti disentak-
kan ke belakang terhantam sinar kuning yang
memancar dari tangan lawan.
Bayangan Maut meraung begitu merasakan
bagaimana mulai dada ke atas tiba-tiba terasa seperti meleleh. Selagi dia terhuyung-huyung sambil
mendekap wajahnya, dari arah belakang menderu
pula sinar panas luar biasa.
Si nenek terkesiap, dia tidak sempat melihat
ke belakang. Tapi sadar seperti Senggini yang telah
menghantam dirinya dengan pukulan 'Raksasa
Membelah Bulan', Senggana juga pasti melepaskan
pukulan 'Raksasa Membelah Bintang'. Sadar akan
bahaya yang lebih besar mengancam dirinya.
Bayangan Maut dengan terhuyung-huyung me-
lompat ke samping. Tak urung pukulan Senggana
masih menyambar bagian bahunya.
Si nenek meraung keras. Tubuhnya jatuh
terpelanting, sementara Senggana meraung hebat
melihat luka yang dialami istrinya. Sebaliknya
Bayangan Maut yang cidera akibat hantaman ke-
dua lawan segera bangkit berdiri. Dengan mena-
han rasa sakit yang mendera wajah dan pung-
gungnya si nenek berkata. "Dengan menggunakan
ilmu ajian Serigala Seribu aku pasti bisa membu-
nuhnya. Tapi ilmu itu sangat membutuhkan kon-
sentrasi penuh. Ah... kurang ajar mana mungkin
aku bisa konsentrasi dalam keadaan sakit begini.
Sebaiknya aku pergi saja. Untuk sementara biar-
lah dia meratap seperti orang gila. Kelak bila dia
nekad mencari Angin Pesut, disanalah dia kuhabi-
si!" membatin si nenek. Selesai berkata begitu tan-
pa membuang waktu lagi Bayangan Maut berkele-
bat meninggalkan Senggana yang tengah meratap
dan memeluki istrinya.
Senggana memang tidak tahu lawannya te-
lah melarikan diri. Dia sendiri ketika itu menangis

terguguk memeluki jasad istrinya. Ternyata akibat
luka menganga di bagian dada tembus sampai ke
bagian jantung serta tendangan beruntun yang di-
alami istrinya membuatnya tak dapat bertahan hi-
dup.
"Istriku mengapa harus berakhir seperti
ini?" desis Senggana getir. "Aku tidak rela hal se-
perti ini terjadi. Ni Pambayon harus menerima ba-
lasanku!" kata Senggana.
Dengan mata bersimbah air mata laki-laki
itu palingkan kepala memandang ke arah jatuhnya
Bayangan Maut namun Senggana jadi melengak
kaget karena lawan yang telah menjadi penyebab
kematian istrinya ternyata sudah raib entah pergi
ke mana.
Si orang tua menggeram, dua tangannya di-
kepal. Sambil menggerung dia berkata. "Kau tidak
bakal lolos dari tanganku, Bayangan Maut!" geram
Senggana.
Masih dalam keadaan kalut dan duka,
Senggana menyempatkan diri menguburkan sang
istri tercinta secara layak. Setelah penguburan
sang istri selesai tidak menunggu lama lagi dia se-
gera mengejar Bayangan Maut.

2

Pemuda itu tegak diam sambil silangkan
kedua tangannya di depan dada. Sementara ma-
tanya memandang ke arah kali Progo. Tak berselang lama dia layangkan pandangannya ke arah
deretan pepohonan yang tumbuh menjulang di se-
panjang pinggiran kali. Mendadak dia palingkan
kepala ke arah bagian hulu Kali Progo. Si pemuda
bertelanjang dada yang adalah Pendekar Sakti 71
Gento Guyon gelengkan kepala. Sekejap tadi dia
mendengar suara gemuruh aneh. Suara gemuruh
itu datangnya dari dalam tanah dan sekarang sua-
ra itu tiba-tiba lenyap.
Masih dengan sikap tertegun dan sambil
mengusap wajahnya pulang balik sang pendekar
jadi bicara sendiri. "Jelas suara yang kudengar tadi
bukan suara gemuruh air sungai tapi suara sesua-
tu di dalam tanah, suara apapun yang kudengar
itu jelas bergerak mendekat kemari!" Berkata begi-
tu murid kakek Gentong Ketawa itu hentakkan
kedua kakinya hingga membuat tubuhnya melesat
di udara. Selagi tubuhnya mengambang diatas ke-
tinggian dia berkelebat ke arah pepohonan yang
terdapat di pinggir sungai. Setelah itu si gondrong
jejakkan kakinya di salah satu cabang pohon lalu
mendekam di balik kelebatan dedaunan. Pendekar
sakti 71 memasang mata mempertajam pendenga-
ran. Beberapa saat dia menunggu. Suara gemuruh
makin mendekat, tapi dia tidak mendengar tanda-
tanda kehadiran seseorang di tempat itu.
Di satu tempat tak jauh dari pohon dimana
dia berada sang pendekar melihat daun-daun dan
ranting kering yang bertebaran di atas permukaan
tanah tersibak. Dengan hati berdebar Gento me-
nunggu gerangan apa yang bakal muncul dari ba-
wah permukaan tanah. Tak begitu lama apa yang

ditunggu oleh Gento pun terjadilah. Mendadak
daun-daun kering berterbangan. Bersamaan den-
gan hembusan angin yang tak jelas datang dari
mana terjadi pula suatu ledakan yang amat dah-
syat. Tanah bermuncratan di udara sehingga ter-
jadi sebuah lubang besar. Berturut-turut dari da-
lam lubang yang menganga melesat dua sosok
bayangan. Bayangan pertama yang munculkan diri
dari dalam tanah berpakaian serba hitam, sedang-
kan yang di belakangnya berpakaian serba putih.
Dalam waktu sekejap tak jauh dari lubang
berdiri tegak seorang nenek berwajah setan se-
dangkan di sebelahnya tampak pula seorang gadis.
Yang mengejutkan gadis yang bersama si nenek
cukup dikenal oleh Gento, sedangkan nenek yang
bersamanya baru kali ini Gento melihatnya.
"Nenek satu ini mayat hidup atau setan ke-
sasar." Fikir Gento sambil mengusap tengkuknya
yang merinding. "Wajahnya rusak seperti bekas di-
cacah, lidah terjulur, gigi-giginya seperti taring se-
rigala sedangkan bagian hidungnya lenyap hingga
cuma berupa lubang besar mengerikan. Dan satu
lagi yang aneh kulihat dada nenek itu berlubang
besar." Gento memperhatikan gerak-gerik si nenek
dan dia menemukan satu kejanggalan lagi yang
tak mungkin dimiliki oleh manusia lain. Ke-
jangggalan itu ada pada kaki si nenek. Kaki itu ti-
dak seperti kaki manusia karena nenek itu memi-
liki kaki seperti kaki kuda dengan bagian telapak
kaki tajam seperti mata tombak.
"Segala keburukan ada padanya. Mungkin
dia bukan manusia benaran bisa jadi dia embah

nya siluman. Lalu apa perlunya Mutiara Pelangi
bersama nenek itu, apa dia cucu siluman juga?"
fikir Gento sambil mencoba menahan geli.
Selagi Gento cengar cengir melihat segala
keangkeran serta keanehan yang terdapat pada di-
ri si nenek. Nenek berhidung grumpung alias
sumplung itu tiba-tiba ajukan pertanyaan pada
gadis yang pernah menyelamatkan Gento dari Lu-
bang kubur. "Pelangi apa betul pemuda yang kau
cintai itu miring otaknya?"
Sang dara terkejut mendengar pertanyaan
yang tidak disangka-sangka itu. Sementara di
tempatnya mendekam Gento menjadi gelisah.
"Nenek muka hantu itu mudah-mudah bu-
kan aku yang dimaksudkannya!"
"Maksud guru?" tanya Mutiara Pelangi. Si
nenek delikkan matanya, dengan kesal dia berka-
ta. "Rupanya berapa banyak pemuda yang kau cin-
tai?"
"Cuma satu guru?"
Di atas pohon Gento mengusap habis wa-
jahnya. Kini dia semakin yakin dirinyalah yang
menjadi pusat pembicaraan. "Celaka, harusnya
aku tinggalkan tempat ini sejak tadi. Sekarang se-
galanya sudah kasip, jika aku pergi mereka pasti
melihatku!"
"Katakan siapa nama pemuda itu?" kembali
terdengar suara si nenek.
"Namanya Gento guru. Terus terang dia ti-
dak sinting. Cuma tingkah lakunya saja yang se-
perti orang kurang waras." menerangkan sang da-
ra dengan muka bersemu merah.

"Hik hik hik. Soal ketidak beresan otaknya
kita bisa membawanya ke pandai besi. Aku kenal
seorang pandai besi yang hebat di Mojogendeng.
Sebelum dia menjadi pendamping hidupmu kita
bisa betulkan dulu otaknya agar kau bisa mempu-
nyai pasangan hidup waras lahir dan batin."
Malu-malu sang dara palingkan wajahnya
ke jurusan lain. Dengan suara lirih dia berkata.
"Semuanya terserah guru, aku hanya mengikut sa-
ja!"
Di balik kerimbunan pohon wajah Gento be-
rubah pucat, tubuh menggigil sedangkan pakaian
bersimbah keringat dingin. "Celaka! Mengapa Pe-
langi jadi tidak bermalu dengan mengatakan men-
cintai aku pada gurunya? Padahal aku tidak per-
nah berbicara begitu kepadanya! Terus terang aku
memang menyukai gadis-gadis cantik. Wah urusan
benar-benar jadi kapiran!" gerutu sang pendekar.
Di bawah sana si nenek mengguman sendi-
ri. "Ternyata tidak mudah mencari bocah edan itu.
Kurasa sebaiknya kita cari dia di keramaian kota,
siapa tahu dia sedang jadi peminta-minta di sana!
Hik hik hik!"
"Nenek sial!" tanpa sadar Gento mengum-
pat.
Biarpun suaranya hanya perlahan saja, tapi
rupanya si nenek mendengar makian Gento. Cepat
orang tua itu palingkan kepala dan memandang ke
arah kelebatan pepohonan. Orang tua itupun ke-
mudian berteriak keras. "Orang yang bersembunyi
di pohon harap tunjukkan diri!" perintah si nenek.
"Ah celaka sudah. Mengapa aku tidak bisa

menjaga mulut. Harusnya aku tidak keterlepasan
bicara tadi!"
Gento menggerutu menyesali diri.
Sementara itu Mutiara Pelangi nampak ke-
bingungan. "Eh...rupanya guru bicara pada siapa?"
Si nenek tidak menanggapi. Kembali dia
berteriak ditujukan pada Gento. "Jika kau tidak
mau tunjukkan dirimu, aku akan membakar mu
hidup-hidup di situ!" Dan ancaman ini bukan cu-
ma gertakan saja, karena begitu selesai berkata si
nenek Palasik angkat tangan kanannya siap untuk
dihantamkan.
Pendekar Sakti 71 sudah melihat adanya
gelagat yang tidak baik menanggapi ucapan orang
dengan tawa tergelak-gelak. Mutiara Pelangi tentu
saja menjadi kaget karena dia memang mengenali
siapa adanya orang yang mengumbar tawa terse-
but. Dia jadi gelisah, hatinya tidak tenang dan
yang jelas dia merasa malu atas pengakuannya ta-
di karena pemuda yang mereka bicarakan ternyata
berada di tempat itu. Pada saat itu begitu puas
mengumbar tawa Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
berkata dengan nada mencemo'oh. "Nenek wajah
remuk, berani kau bicara kurang ajar pada diriku?
Apa kau tidak takut kubetoti lidah dan gigi-gigimu
yang jelek itu? Ha ha ha!"
Tercengang si nenek mendengar ucapan
Gento. Seumur hidup malang melintang di dunia
persilatan belum pernah ada orang yang berani
bersikap kurang ajar kepadanya. Hari ini seolah-
olah dia mendapat mimpi buruk memalukan, apa-
lagi penghinaan ini dilakukan di depan muridnya.
Sambil menggeram dia pun menghardik. "Kadal
sialan! Siapa kau, cepat tunjukkan diri?"
"Rupanya kau setan tuli. Kau dengar...aku
adalah rajanya setan. Cepat berlutut di depanku
atau kau lebih suka menerima gebukanku?! Ha ha
ha!" balas Gento tak kalah lantangnya.
Lenyaplah sudah segala kesabaran nenek
Palasik. Sambil menggeram dia salurkan tenaga
dalam ke tangan kanan. Setelah itu si nenek ber-
kata tegas. "Rupanya kau mau menjadi raja setan
benaran. Untuk mengabulkan permintaanmu itu
tidak sulit bagiku!" Selesai berkata tangan si nenek
pun dihantamkan ke arah deretan pohon dimana
Gento bersembunyi. Seketika itu juga lima larik
sinar hitam menggidikkan berhawa panas luar bi-
asa berkiblat menghantam pohon besar tempat
persembunyian Gento.
"Wualah kwalat kau!" Sekejap lagi pukulan
lima sinar menghantam pohon terdengar suara
sumpah serapah yang disertai melesatnya satu so-
sok tubuh bertelanjang dada. Di belakang sosok
Gento terdengar suara ledakan berdentum. Pohon
hancur porak poranda dikobari api. Gento yang
kemudian jejakkan kaki tak jauh dari nenek Pala-
sik dan Pelangi jadi leletkan lidah. Jika dia tidak
cepat menghindari tadi mungkin dirinya saat ini
telah menjadi mayat hangus.
Sang dara sendiri begitu melihat Gento te-
gak di depannya meski sebelumnya sudah mendu-
ga tetap terkejut. Dia merasa senang bisa bertemu
dengan sang pendekar, namun jauh di dalam hati
merasa malu bila ingat pembicaraan dirinya dengan sang guru. Dia yakin Pendekar Sakti 71 pasti
mendengar semua yang mereka bicarakan. Dengan
muka merah padam Pelangi palingkan wajahnya
ke jurusan lain.
Sementara itu nenek Palasik kini meman-
dang ke arah Gento, memperhatikan dengan teliti
dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. "Ram-
butnya gondrong, lagak cengar cengir seperti orang
edan tidak memakai baju, hemm." Gumam si ne-
nek, lalu ajukan pertanyaan ditujukan pada mu-
ridnya. "Apakah pemuda gelo ini yang telah meron-
tokkan hati dan jiwamu, Pelangi?"
Malu-malu sambil tundukkan wajahnya
sang dara menganggukkan kepala.
"Dia muridnya kakek aneh Gentong Keta-
wa!" menerangkan Pelangi juga masih dengan tun-
dukkan wajahnya.
Mendengar muridnya menyebut Gentong
Ketawa si nenek berjingkrak kaget. Seakan tak
percaya dengan pendengarannya sendiri si nenek
membuka mulut. "Coba katakan lagi bocah ini
murid siapa?"
"Murid kakek Gentong Ketawa."
Si nenek tiba-tiba dongakkan kepala, lalu
tertawa tergelak-gelak. "Gentong ketawa...hik hik
hik! Jadi gondrong kutu kupret ini muridnya Gen-
tong Ketawa? Sejak dulu aku selalu meragukan
kewarasan kakak pendengkur itu. Keraguanku
ternyata terbukti. Kini dia menularkan penyakit gi-
lanya pada sang murid." dengus nenek Palasik.
Baik Gento maupun Pelangi sama terkejut
tak menyangka nenek itu kenal dengan kakek

Gentong Ketawa.
Dengan sikap acuh si nenek lalu berkata.
"Monyet gondrong kau tentu sudah mendengar
semua pembicaraan kami. Sekarang aku ingin ber-
tanya apakah kau mengenal gadis yang ada di
sampingku ini?" tanya nenek Palasik sambil mena-
tap tajam pada Gento.
Sang pendekar tersenyum, matanya sengaja
dikedap-kedipkan, setelah itu dengan mengguna-
kan jemari tangan Gento membembengkan ma-
tanya atas bawah baru kemudian manggut-
manggut.
"Ohh...aku kenal. Ternyata aku memang
mengenalnya. Cuma dia, sedangkan dirimu biar
mata ini kubembeng sepuluh kali pasti tidak ku-
kenali. Lagipula siapa sudi mengenal nenek tak
kenal ujud sepertimu. Muka rusak, hidung lenyap,
gigi runcing lidah terjulur. Ibarat pemandangan di-
rimu itu tidak sedap dipandang! Ha ha ha!"
Mendengar ucapan Gento yang menjengkel-
kan gusarlah si nenek dibuatnya. Tetapi dia beru-
saha mengurut dada menabahkan hati. Dia sadar
pemuda itu memiliki ilmu meringankan tubuh
yang luar biasa di samping tentunya kesaktian
yang sangat tinggi. Karena itu nenek Palasik me-
langkah maju dua tindak. Dengan perlahan dia
berkata. "Aku sudah mengenal gurumu, jadi kau
tidak perlu lagi menerangkan siapa dirimu. Seka-
rang katakan padaku apakah kau mengenal dan
mencintai muridku?"
"Ah, disinilah letak pangkal persoalan. Ka-
lau kau tanya apakah aku kenal dengan muridmu,

terus terang aku mengenalnya. Tapi masalah cinta
mana bisa kujawab!" tegas Gento.
"Aku hanya menginginkan jawaban antara
iya dan tidak!" tegas si nenek pula.
"Ah nek jangan mendesakku. Terus terang
aku menyukai pemandangan yang bagus-bagus
dan yang indah. Kalau aku suka bukan berarti
aku cinta!"
"Bocah kunyuk sialan. Kau mengira perem-
puan itu ibarat pemandangan, selagi bagus kau
pandangi terus, kemudian setelah bosan langsung
kau tinggalkan? Kurang ajar! Segala kegilaanmu
ternyata tidak berbeda jauh dengan gurumu. Le-
kas kau jawab ya atau tidak?" desak si nenek.
Gento jadi salah tingkah. Sebaliknya Mutia-
ra Pelangi merasa semakin tidak enak hati.
Beberapa saat sang pendekar terdiam. Dia
melirik ke arah Pelangi, gadis itu malah palingkan
wajahnya ke arah lain. Gento merasa serba salah,
namun sang pendekar segera membulatkan hati
dengan berkata. "Nek, terus terang aku menyukai
muridmu, tapi aku tidak men....!"
Ucapan Gento langsung dipotong oleh ne-
nek Palasik. "Bocah edan, berani mampus kau
menipuku?" damprat si nenek. Cepat dia men-
gangkat tangannya siap melepaskan pukulan me-
matikan. Tapi pada saat itu Pelangi melompat
menghalangi niat keji gurunya.
Lalu dengan getir dia berkata. "Guru, kau
hendak membunuh orang yang tidak bersalah? Se-
jak pertama aku sudah mengatakan, kau tidak bo-
leh ikut campur dalam segala urusanku. Dan kini

akibatnya kau tahu sendiri. Campur tanganmu
sama sekali tidak membawa pada suatu penyele-
saian sebaliknya malah menjadi sesuatu yang
amat memalukan bagi diriku." kata sang dara den-
gan suara parau.
"Kau gadis tolol yang selalu mengalah. Aku
membelamu untuk menemukan titik terang, seba-
liknya kau malah menyalahkan diriku!" damprat si
nenek kesal.
"Kita hidup pada jaman yang berbeda guru.
Segala sesuatu tidak dapat lagi dipaksakan. Su-
dahlah, daripada aku menanggung rasa malu lebih
lama, sekarang juga aku mohon pamit." selesai
berkata begitu Mutiara Pelangi balikkan badan
siap meninggalkan tempat itu.
Melihat hal ini Gento cepat berkata, "Pelangi
kita harus membicarakan kesalah pahaman yang
terjadi antara kita!" Gento kemudian melangkah
maju.
Tapi Pelangi gelengkan kepala. "Tidak perlu
lagi Gento. Tak ada gunanya kita bicara. Perlu kau
ketahui, semula aku ingin merahasiakan semua isi
hatiku. Bahkan aku tak bermaksud mencarimu.
Tapi nenek itulah yang memaksa!"
Habis berkata begitu sang dara pun dengan
hati terluka berkelebat meninggalkan gurunya dan
sang pendekar. Nenek Palasik mencoba mencegah
sambil berteriak. "Pelangi jangan pergi dulu!"
Sia-sia saja si nenek berteriak karena sang
dara telah berkelebat lenyap meninggalkan dirinya.
Setelah Pelangi berlalu beberapa saat kehe-
ningan menyelimuti tempat itu. Gento sendiri merasa serba salah. Ingin dia cepat berlalu, tapi mu-
rid kakek gendut Gentong Ketawa takut si nenek
tersinggung.
Selagi sang pendekar berada dalam keragu-
raguan tiba-tiba saja nenek Palasik membalikkan
badan sambil memandang pada Gento dengan ma-
ta melotot, sementara wajahnya yang hancur men-
gerikan nampak tegang luar biasa.
"Pemuda sinting berani sekali kau mem-
permainkan muridku?" teriak si nenek sengit.
Mendapat makian begitu rupa meskipun
kesal Gento masih dapat menahan diri. Dengan
suara perlahan dia berkata. "Nek... siapa yang be-
rani mempermainkan muridmu, apalagi dia per-
nah menyelamatkan nyawaku. Semua ini hanya
kesalah pahaman saja!"
"Kalau sadar pernah ditolong, kalau kau sa-
dar pernah diselamatkan, mengapa sekarang kau
lukai perasaannya?"
"Nah...nah...kau salah lagi nek. Muridmu
terlalu mengikuti perasaannya sendiri." ujar Gento.
Gusarlah si nenek mendengar ucapan sang
pendekar. Dengan suara lantang perempuan tua
itu berkata. "Apapun pendapatmu kau harus min-
ta maaf pada muridku."
"Bukankah aku sudah melakukannya tadi?"
Sepasang alis mata si nenek berkerut tajam.
Nenek Palasik terdiam cukup lama. Dia berfikir ti-
dak ada gunanya berdebat dengan Gento. Karena
itu dengan geram dia berkata. "Rupanya kita harus
menyelesaikan segala persoalan ini dengan jalan
kekerasan!"

Gento tersenyum, otak cerdiknya cepat be-
kerja.
Dengan serius sang pendekar kemudian be-
rucap. "Apa yang kau ucapkan itu apakah berarti
perkelahian hidup dan mati di antara kita?"
"Tepat!" sahut si nenek tegas.
"Tantanganmu itu mengerikan sekali nek.
Aku sendiri takut mati sebab kalau kuhitung anta-
ra dosa dan pahalaku tentu masih banyakan do-
sa." ujar Gento sambil mengusap-usap wajahnya.
"Kamu takut menghadapi tua bangka seper-
tiku?" tanya nenek Palasik disertai tawa mengejek.
"Nek, mungkin kau mempunyai ilmu hebat.
Tapi terus terang selama hidup aku tidak pernah
takut kepada siapapun terkecuali pada Gusti Al-
lah. Jika kau menghendaki ada kematian di antara
kita, bagiku tidak jadi soal. Asal kau mau meme-
nuhi permintaanku"
"Apa permintaanmu?" potong si nenek ce-
pat.
"Syaratku begini. Jika aku kalah aku mau
memenuhi permintaanmu."
"Apakah termasuk menjadi pendamping hi-
dup muridku?"
Pertanyaan itu membuat Gento menjadi ra-
gu, namun dia sadar harus mengambil keputusan
yang cepat. Sehingga dia menganggukkan kepala.
Si nenek menarik nafas lega, malah orang
tua itu sempat mengulum senyum. Dalam hati dia
berkata. "Dulu ketika aku bentrok dengan gendut
gila guru bocah ini aku sanggup mengatasi hampir
semua ilmu pukulannya. Masa' sekarang aku bisa

dikalahkan oleh bocah miring bau kencur ini? Ku-
rasa dalam tiga gebrakan aku sudah bisa mem-
buatnya bertekuk lutut!"
Yakin dengan kemampuannya sendiri den-
gan tegas si nenek berkata. "Jika ternyata aku
yang kalah?" tanya si nenek.
Lagi-lagi sang pendekar tertawa. Begitu ta-
wanya lenyap Pendekar Sakti 71 berkata. "Jika
kau kalah maka kau harus ikut denganku. Bukan
cuma itu saja, kau juga harus membantu aku me-
lenyapkan seorang nenek jahat bernama Ni Pam-
bayon alias Bayangan Maut!"
Mendengar ucapan Gento, nenek Palasik
berjingkrak kaget. Ni Pambayon alias Bayangan
Maut kalau dia tidak salah mengingat adalah mu-
suh besar Angin Pesut. Lalu apa hubungannya
pemuda ini dengan Angin Pesut. Bekas tokoh sesat
yang beberapa hari lalu mempecundangi dirinya?
Merasa curiga nenek Palasik bertanya.
"Apakah yang kau minta ini ada hubungannya
dengan Angin Pesut?"
"Betul nek. Bagaimana kau bisa tahu?"
"Cuah, Angin Pesut adalah bangsat yang te-
lah membunuh suamiku. Buat apa kau membela
manusia durjana itu?" tanya si nenek lagi sambil
semburkan ludah.
"Dulu Angin Pesut memang manusia jahat.
Setelah dia kehilangan anak satu-satunya dia me-
nyadari segala kekeliruannya. Dia benar-benar te-
lah bertobat. Jika Tuhan mengampuni dosa ham-
banya selagi dirinya mau bertobat, sebagai manu-
sia mengapa kita begitu sombong tidak mau memaafkan dosa kesalahan orang?"
"Aku bukan Gusti Allah!" dengus si nenek
ketus.
"Siapa mengatakan dirimu Tuhan nek. Cu-
ma sebagai manusia bukankah kau punya hati
nurani, punya perasaan dan akal? Aku tidak me-
maksa, kalau kau tidak mau aku membatalkan
tawaranmu!" ujar Gento. Sang pendekar kemudian
memutar tubuh siap meninggalkan si nenek.
Nenek Palasik jadi serba salah. Bagaimana
pun juga perasaannya begitu berat menerima ta-
waran Gento karena orang yang akan dia bantu
adalah musuh besar pembunuh suaminya. Dia
sendiri seperti yang telah dituturkan pada episode
sebelumnya telah berusaha membalaskan kema-
tian sang suami. Tapi di luar dugaan Angin Pesut
dapat mengalahkannya. Kenyataan itu merupakan
suatu kejadian yang sangat memalukan. Sebagai
orang yang dikalahkan apakah dia masih punya
muka bertemu dengan Angin Pesut?
"Tunggu!" seru nenek Palasik setelah seje-
nak sempat bergulat dengan fikirannya sendiri.
"Kuterima tantanganmu bocah sinting. Tapi ingat
tua bangka yang tegak di belakangmu ini tidak
pernah memakai peraturan dalam perkelahian ini.
Jika nasibmu masih bagus, mungkin kau bisa lo-
los dari kematian. Tapi jika takdir matimu memang
ada di tanganku, jangan salahkan aku!"
Bersamaan dengan ucapannya itu dengan
kecepatan yang sulit diikuti kasat mata tangan si
nenek melesat ke arah Gento. Lima jari tangan
menyambar bahu Gento.

Sang pendekar terkesiap ketika merasakan
ada hawa dingin menghujam ke bagian bahu. Ce-
pat dia miringkan kepala sambil meliukkan tu-
buhnya, sementara tanpa menoleh dia kibaskan
tangannya ke belakang menangkis serangan si ne-
nek.
Plak!
Breet!
Benturan yang keras membuat nenek Pala-
sik terhuyung, tapi salah satu kukunya masih
sempat menggores lengan Gento.
Murid kakek Gentong Ketawa segera balik-
kan badan, lengannya terasa perih dan mengucur-
kan darah.
Si nenek diam-diam menjadi kaget tak me-
nyangka lawan ternyata memiliki tingkat tenaga
dalam yang tinggi, lebih terkejut lagi serangannya
dapat dihindari Gento.
Nenek Palasik mengerung dahsyat. Laksana
kilat tubuhnya melesat ke arah Gento sambil lan-
carkan serangkaian serangan yang sangat cepat
luar biasa. Dalam waktu singkat sosok nenek Pa-
lasik tidak ubahnya seperti bayangan maut yang
menyambar dari segala penjuru. Setiap serangan-
nya pasti tertuju ke arah bagian-bagian tubuh
yang sangat mematikan. Biarpun Gento saat itu
telah menggunakan serangkaian jurus Belalang
Mabuk warisan kakek Gentong Ketawa, tapi apa
yang dilakukannya tidak sanggup mengatasi se-
rangan si nenek. Tak ayal lagi sang pendekar ter-
desak hebat. Pada suatu kesempatan lawan julur-
kan tangannya menghantam wajah Gento. Pemuda

itu menarik kepala ke belakang. Tapi sang pende-
kar terkecoh. Begitu kepala ditarik mundur, tan-
gan kiri si nenek menghantam ke arah dada. Gento
memang masih sempat melihat gerakan tangan ki-
ri nenek itu, tapi tidak sempat lagi menghinda-
rinya.
Buuk!
Hantaman yang keras membuat Pendekar
Sakti 71 jatuh terbanting. Dadanya seperti ambrol,
nafas megap-megap, sedangkan dari mulut me-
nyemburkan darah segar.
"Aku sudah mengatakan dalam perkelahian
ini aku tidak memakai aturan. Kau salah besar ji-
ka menganggap aku bertindak setengah-setengah
dalam menyerangmu!" dengus si nenek sambil
berdiri tegak siap melancarkan serangan kembali.
Gento menyeringai, biarpun sang pendekar
menderita sakit hebat pada bagian dadanya na-
mun masih sempatnya Gento bergurau. "Orang
tua, jika baru bisa mengeluarkan kecap asin dari
mulutku kau jangan bangga dulu. Bagiku semua
itu masih belum ada artinya! Ha ha ha!" Kagetlah
si nenek mendengar ucapan Gento.
"Bocah ini agaknya memang gila beneran.
Dia bersikap seolah tak merasakan apa-apa.
Mungkin dia mengharapkan aku benar-benar
mengirimnya ke neraka!" batin orang tua itu ge-
ram.
Karena memang menginginkan satu keme-
nangan mutlak terhadap perkelahian yang terjadi.
Tanpa menunggu lama, selagi Gento baru saja
berdiri tegak si nenek kini melakukan serangan

kedua. Kali ini dia mempergunakan kedua kakinya
yang mirip tapak kuda namun berujung runcing
seperti tombak. Gento Guyon terpaksa mengerah-
kan segenap ilmu kepandaian yang dia miliki.
Dengan mengandalkan Jurus 'Dewa Menari di Atas
Awan' pemuda itu mencoba menangkis serangan
berbahaya nenek itu. Kenyataan yang terjadi ter-
nyata di luar perhitungan Gento. Sehebat apapun
dia mencoba menangkis atau membuat mentah se-
rangan nenek Palasik. Kenyataannya sang pende-
kar tetap terdesak. Malah serangan balasan yang
dilakukan Gento dengan mudah dapat ditepis la-
wan. Gento merasa mati kutu, sementara serangan
si nenek makin berbahaya dan tambah ganas.
Gento melompat mundur, merasa tak punya pili-
han lain dia melepas pukulan 'Iblis Ketawa Dewa
Menangis' dan pukulan 'Dewa Awan Mengejar Ib-
lis'. Berturut-turut dari telapak tangan sang pen-
dekar menderu angin berhawa panas dan dingin
disertai melesatnya sinar merah dan biru meng-
hantam tubuh si nenek.
Melihat angin kencang menghantam dirinya
si nenek malah merentangkan kedua tangan ke
atas seolah bersikap pasrah dihantam pukulan
sambil mengumbar tawa. "Hanya pukulan Dewa
Awan Mengejar Iblis dan Iblis Tertawa Dewa Me-
nangis, siapa takut ?" Bersamaan dengan ucapan
mencemo'oh si nenek saat itu pula tubuhnya tergi-
las habis dihantam sinar dan gelombang angin
yang melesat dari tangan pendekar sakti 71.
Blam! Blam!
Dua ledakan berturut-turut mengguncang

tempat itu. Di depan sana satu lubang besar men-
ganga mengepulkan asap tebal berwarna kelabu.
Namun si nenek lenyap. Gento terkejut besar. Ke-
jutan pertama dia tak menyangka lawan mengenali
dua pukulan yang dilepaskannya sedangkan keju-
tan kedua si nenek yang dihantam pukulannya ti-
ba-tiba raib, padahal jelas pukulan tadi melibas di-
rinya.
Selagi Gento dilanda keheranan dan rasa
tak percaya dengan apa yang terjadi dari lubang
besar yang menganga hitam melesat satu bayan-
gan hitam yang disertai bergemuruhnya suara ta-
wa di udara. Di lain waktu di depan Gento, nenek
Palasik berdiri tegak sambil berkacak pinggang.
"Jika ilmu gurumu yang kau pergunakan
untuk melawanku. Dalam dua jurus di depan di-
rimu cuma tinggal nama!" ejek si nenek.
"Ha ha ha! Jika satu jurus di depan kau tak
sanggup berlutut di depan kakiku biar aku ber-
henti jadi manusia!" sahut Gento pula tanpa ber-
maksud menyombongkan diri.
"Hik hik hik! Ingin kulihat kau bisa berbuat
apa bocah!" perempuan tua itu mendengus sinis.
Cepat dia memutar kedua tangannya siap melan-
carkan serangan yang lebih ganas ke arah Gento.
Sadar lawan memiliki kecepatan gerak dan
ilmu yang sangat tinggi, maka Gento pun silang-
kan kedua tangan di depan dada siap mengerah-
kan ilmu andalan warisan Manusia Seribu Tahun
berupa ilmu aneh bernama Merintis Bayangan Ra-
ga. Begitu sang pendekar merapal mantra aji ilmu
andalannya dari bagian ubun-ubun sang pendekar
mengepul asap tipis berwarna putih, Asap tersabut
kemudian menyelimuti diri Gento.
Melihat keanehan yang terjadi pada Gento si
nenek yang siap melancarkan serangan jadi terke-
siap. Dengan mata mendelik dia pandangi lawan-
nya. Nenek Palasik kemudian terkesima ketika me-
lihat di depan sana sosok pemuda gondrong berte-
lanjang dada itu telah mengembar menjadi lima
orang.
"Kadal buntung ini, bagaimana mungkin
tubuhnya bisa berubah banyak seperti itu? Ilmu
gila apa yang dia miliki. Ilmu seaneh itu mustahil
warisan dari si gendut gila Gentong Ketawa?" desis
si nenek. Menyangka apa yang dilihatnya cuma ti-
puan saja, Nenek Palasik kedipkan matanya. Sete-
lah berkedip ternyata sosok Gento tetap lima
orang. Si nenek gelengkan kepala. "Sungguh tak
bisa kupercaya!" batinnya lagi dalam hati.
Selagi nenek Palasik terkesima melihat ke-
nyataan itu sosok Gento dan kembarannya berge-
rak cepat mengepung si nenek lalu lima mulut
membuka serentak.
"Hantam...!" Kelima sosok Gento berteriak,
bersamaan itu pula lima sosok bertelanjang dada
melakukan gebrakan menghujani nenek Palasik
dari segala penjuru dengan serangan-serangan ga-
nas.
Melihat serangan datang dari seluruh pen-
juru itu si nenek tidak tinggal diam. Dua tangan-
nya menghantam kian kemari, tadangkan kakinya
melepaskan tendangan berputar. Setiap tendangan
yang dilepaskannya pasti mengenai sasaran. Tetapi anehnya biarpun tendangan mengenai sasaran,
semuanya nampak sia-sia karena tidak satupun
dari pukulan dan tendangan itu yang sanggup
menjatuhkan Gento dan empat kembarannya.
Nenek Palasik jadi kaget besar dia mencoba
menggunakan ilmu 'Menyusup Bumi' untuk
menghadapi gempuran yang dilakukan lawan-
lawannya. Namun belum lagi sempat merapal
mantra-mantra ilmunya. Pada waktu bersamaan
dari arah belakang salah satu kembaran sang
pendekar menyergap si nenek dari belakang. Si
nenek meronta sambil hantamkan sikunya ke be-
lakang. Tapi biarpun sodokan sikunya tepat men-
genai sasaran rasanya seperti menghantam angin.
Kembali si nenek dibuat kaget, sekali lagi
dia meronta. Sayang pada waktu yang sama pula
empat kembaran Gento yang lain secara beramai-
ramai mengangkat dan membanting si nenek di
atas tanah.
Wuut! Ngeek!
Blegkh!
Nenek Palasik merasakan sekujur tubuhnya
remuk, sedangkan perabotan miliknya baik yang di
luar maupun yang di dalam seakan rontok. Selagi
si nenek mengerang kesakitan, satu sosok berpu-
tar cepat memperlakukan diri sedemikian rupa
hingga membuat posisinya seperti orang bersujud.
Sementara itu begitu sosok lima kembaran Gento
silangkan tangannya kembali ke depan dada. Se-
rentak lima mulut komat-kamit membaca mantra.
Secara perlahan satu demi satu sosok Gento kem-
baran berubah menjadi asap. Asap itu melesat ke

bagian ubun-ubun lalu lenyap. Lenyapnya keem-
pat kembaran sang pendekar membuat pemuda
itu kembali seperti sediakala.
Sementara nenek Palasik yang posisinya se-
perti orang sujud mengerang lirih. Dengan pan-
dangan nanar dia duduk berlutut, ketika dia men-
gangkat wajahnya pandangan si nenek membentur
sosok Gento yang berdiri tegak selangkah di de-
pannya.
"Bocah... ternyata kehebatanmu di luar
perhitunganku. Semula aku duga dengan mudah
dapat menjatuhkan dirimu." kata si nenek sambil
menyeka darah yang menetes di bibirnya.
"Apakah sekarang kau mengakui kekala-
hanmu?" tanya si pemuda.
"Sebenarnya aku belum kalah. Tapi karena
kau memiliki ilmu setan aku terpaksa mengaku
kalah. Aku tidak malu mengakui sebelumnya tak
pernah melihat ilmu seaneh itu. Kalau boleh aku
tahu, siapa yang telah mengajarkan ilmu itu pa-
damu?"
"Aku tidak bisa mengatakannya padamu
nek. Yang jelas sekarang kau harus ikut dengan-
ku. Kita akan ke Wonosari karena di tempat itulah
kemungkinan bagi kita bisa menemukan Angin Pe-
sut!"
Si nenek keluarkan suara menggerendeng.
Biarpun begitu dia tetap bangkit berdiri. "Kau yang
memenangkan perkelahian. Sekarang kau jalan di
depan" Gento Guyon tertawa.
"Nek...menang atau kalah itu bukan sesua-
tu yang membanggakan bagiku. Jika aku yang

berjalan di depan, siapa berani menjamin kau tak
bakal menghantamku dari belakang!" kata Gento.
"Bocah keparat! Aku boleh mempunyai rupa
yang buruk, namun hatiku tak seburuk wajahku!"
damprat si nenek kesal.
"Kalau kau bicara begitu barulah aku per-
caya!" Selesai berkata Gento berkelebat tinggalkan
tempat itu sedangkan nenek Palasik mengikutinya
tak jauh di belakang.

3

Matahari belum lagi menampakkan diri di
ufuk sebelah timur. Udara di pinggir sungai itu te-
rasa dingin menusuk sedangkan suasana masih
disaput kegelapan. Dalam keremangan suasana
terdengar suara erangan tak berkeputusan. Dan
ternyata suara erangan itu berasal dari salah satu
cabang pohon dimana tergantung sosok tubuh
seorang kakak berambut dan beralis merah. Kea-
daan kakek itu memang sangat mengenaskan. Pa-
kaian hitam yang melekat di tubuhnya hancur ter-
cabik-cabik. Sedangkan tubuh kakek itu sendiri
dipenuhi luka mengerikan akibat cambukan rotan
berduri. Sementara darah mengucur dari setiap
luka yang ada di tubuhnya.
Di tempat itu ternyata si kakek tidak sendiri
karena tidak jauh dari pohon tempat di mana di-
rinya tergantung dengan posisi kaki menghadap ke
atas dan kepala menghadap ke bawah. Tampak

pula seorang gadis cantik berpakaian serba merah.
Di bagian pinggang gadis itu tergantung sebilah
pedang. Bagian rangka padang terbilang unik ka-
rena rangka itu tidak terbuat dari kayu atau besi
sebagaimana mestinya melainkan berasal dari po-
tongan tangan manusia. Sedangkan di tangan
sang dara tergenggam sebatang rotan berduri.
Agaknya benda itulah yang dipergunakan gadis
berpakaian serba merah ini untuk menyiksa si ka-
kek.
Sejak tadi si gadis tidak henti-hentinya me-
mandang ke arah si kakek. Agaknya ia merasa he-
ran melihat daya tahan yang dimiliki oleh kakek
itu. Dan kini setelah sekian lama ia memperhati-
kan si kakek dengan tatapan dingin. Akhirnya dia
membuka mulut berkata. "Angin Pesut, ternyata
selama ini nama besarmu hanya kosong belaka.
Gelar Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan di de-
panku tidak ada artinya sama sekali. Dulu guruku
pernah mengatakan bila bagian tubuhmu terpo-
tong dengan cepat bersambung kembali. Satu dari
dua yang dikatakan guruku telah kulakukan. Dan
kini tinggal satu lagi untuk menguji kebenaran ce-
rita itu. Aku sebenarnya sangat ingin memotong
tanganmu atau membuntungi kakimu supaya da-
pat kulihat apakah anggota tubuhmu yang telah
tercerai berai dapat menyambung kembali. Tapi
kuanggap hal itu kurang sedap jika tidak kulaku-
kan di depan guruku!" ujar si gadis yang adalah
Indah Sari ini dengan suara ketus.
Kakek yang tergantung dan dalam keadaan
terluka cukup parah itu mengerang. Bibirnya yang

bengkak membiru itu berkata, "Indah Sari, segala
yang dikatakan gurumu bukan suatu kebohongan.
Terkecuali niatnya mengelabui dirimu selama ini.
Aku tidak mau melakukan apa yang bisa kulaku-
kan karena aku tahu kau adalah putriku, anakku
yang hilang!"
"Cukup!" hardik Indah Sari. "Sekali lagi kau
mengaku-ngaku aku sebagai anakmu aku pasti
membunuhmu! Ketahuilah kedua orang tuaku te-
lah lama mati, bahkan mereka mampus sejak aku
masih kecil!" dengus sang dara dengan muka me-
rah padam menahan kegeraman.
"Kalau itu katamu, aku tidak memaksa. Sa-
tu hal yang patut kau ketahui andai aku mau
membunuhmu bagiku hanya pekerjaan semudah
membalikkan telapak tangan. Biarpun tubuhmu
mengandung racun hal itu tidaklah begitu berarti
bagiku!" kata Angin Pesut.
Mendengar ucapan si kakek mendidihlah
darah gadis ini. Sungguh dia tidak habis mengerti
mengapa Angin Pesut yang sudah tidak berdaya
masih saja bisa bicara sombong. Padahal kini dia
sudah tak sanggup melakukan tindakan sekecil
apapun.
"Angin Pesut, tua bangka keparat! Benarkah
kau dapat membunuhku? Hik hik hik!" Indah Sari
tertawa dingin. Dengan tatapan sinis dia melan-
jutkan ucapannya. "Mulutmu memang kelewat ta-
kabur kakek keparat. Jika aku tidak ingat dengan
pesan guruku, pasti saat ini aku telah membu-
nuhmu!" geram sang dara. Kemudian tanpa berka-
ta apa-apa lagi gadis itu segera melecutkan rotan

panjang yang dipegangnya sejak tadi. Begitu rotan
melibat pinggang si kakek sang dara langsung me-
nyentakkan tubuh Angin Pesut.
Dheel!
Masih dalam keadaan terikat Angin Pesut
jatuh berdebum. Orang tua itu mengeluh. Indah
Sari tertawa tergelak-gelak. Tak berselang lama se-
perti orang kesetanan segera menyeret tubuh si
kakek. Karena gadis itu mengerahkan ilmu lari ce-
patnya, tak ayal lagi tubuh Angin Pesut yang telah
terluka itu membentur bebatuan dan batang pe-
pohonan. Angin Pesut benar-benar merasakan de-
rita hebat akibat perbuatan darah dagingnya sen-
diri.
Setelah sekian lama Indah Sari berlari sam-
bil menyeret tubuh Angin Pesut yang sudah tidak
berdaya tiba-tiba sang dara menghentikan lang-
kahnya. Dia palingkan kepala ke belakang, kening
Indah Sari berkerut tajam. Dalam hati dia berkata.
"Aku merasakan ada orang yang membayangiku.
Tapi mengapa orangnya tidak kelihatan?"
Indah Sari menarik nafas, lalu berkata lagi.
"Aku tidak perduli. Siapapun yang coba-coba
menghalangiku pasti kubunuh!"
Beberapa saat sang dara menunggu, setelah
merasa yakin memang tidak ada orang yang men-
gikutinya dia pun segera balikkan badan dan siap
melanjutkan perjalanan kembali. Tapi alangkah
kagetnya gadis ini ketika melihat di depannya sana
kini telah berdiri tegak seorang kakek tua beram-
but kaku. Kakek itu berpakaian serba hitam ber-
badan tegak, sedangkan kepalanya selalu digelengkan tak mau diam.
"Kakek keparat ini siapa dia adanya? Dia
muncul begitu saja seperti setan. Sedangkan aku
sendiri tidak mengetahuinya. Sungguh menakjub-
kan! Aku yang memiliki ilmu begini tinggipun tidak
bisa mengetahui kehadirannya!" fikir Indah Sari.
Namun rasa herannya cuma berlangsung sekejap.
Dia yang sejak kecil dididik untuk tidak mengenal
rasa takut pada siapapun segera membentak.
"Rambut macam ijuk. Aku tidak punya si-
lang sengketa denganmu, cepat menyingkir dari
hadapanku!"
Si kakek bukannya menuruti perintah sang
dara. Sebaliknya malah dongakkan kepala. Den-
gan kepala terus menggeleng tak mau diam seba-
gaimana kebiasaannya kakek itu tertawa tergelak-
gelak.
Tak berselang lama begitu tawanya lenyap
si Kakek memandang lurus ke arah Indah Sari.
Dengan ketus dia berkata, "Aku Tapa Gedek tak
pernah patuh pada perintah raja apalagi perintah
rakyat jelata dan anak durhaka sepertimu. Ha ha
ha!"
Mendengar ucapan si kakek Indah Sari jadi
belalakkan matanya. Dia heran bagaimana kakek
rambut kaku itu bisa mengatakan dirinya anak
Angin Pesut. Bahkan menuduh dia sebagai anak
yang durhaka? Agaknya yang tegak di depan sana
itu adalah sahabat Angin Pesut. Karena merasa
curiga Indah Sari kemudian ajukan pertanyaan.
"Kakek gila kau ini siapa? Ada hubungan apa kau
dengan Angin Pesut?"

Sebelum menjawab pertanyaan orang kem-
bali si kakek mengumbar tawa. "Kau adalah seo-
rang gadis yang cantik. Namun sayangnya tuli.
Aku sudah mengatakan namaku Tapa Gedek. Hu-
bunganku dengan kakek hebat namun berlaku to-
lol itu seperti minyak dengan air. Yang jelas dia
bukan sanak bukan kadangku." jawab si kakek.
"Kalau bukan apa-apamu mengapa kau
membelanya?" hardik Indah Sari jengkel.
Tapa Gedek mengulum senyum. "Angin Pe-
sut sudah kesohor tentang segala kejahatan dan
rasa penyesalannya. Siapapun tahu kisah getirnya
akibat kehilangan anak. Dia telah mengatakan se-
galanya kepadamu. Mengapa kau masih tidak per-
caya?"
Sang dara terdiam, wajahnya merah padam.
Jelas sekali saat itu dia sudah tidak dapat lagi me-
nahan kemarahannya. Kakek itu mengetahui se-
mua pembicaraan antara dirinya dengan Angin Pe-
sut jelas ini merupakan pertanda si kakek telah
berada di sekitar sungai sejak lama.
"Tua bangka bermulut usil, kau sudah ter-
lalu jauh mencampuri segala urusanku. Kurasa
aku harus membungkam mulutmu!"
Tapa Gedek mengguman tidak jelas. Semen-
tara itu Angin Pesut yang sempat memperhatikan
kakek itu dengan matanya yang bengkak lebam
dengan suara perlahan namun jelas segera berka-
ta. "Orang tua, siapapun dirimu harap jangan
campuri urusan kami. Persoalan diantara kami
adalah masalah yang sangat pribadi. Tak boleh
ada orang luar yang ikut campur!" ujar Angin Pesut mengingatkan.
"Walah, Angin Pesut. Siapa yang mencam-
puri persoalan dalam? Sejak tadi aku dengan gadis
itu juga membicarakan urusan luar, tidak sampai
ke dalam segala. Aku heran Angin Pesut! Dulu kau
adalah manusia jahat yang mudah menurunkan
tangan jahat tanpa pandang bulu siapapun la-
wanmu. Kejahatanmu selangit tembus. Bahkan
kalau di atas langit masih ada langit pasti tembus
lagi. Sekarang mengapa hanya menghadapi anak
yang durhaka ini kau tidak berdaya? Apakah se-
mua ini suatu pertanda ilmu yang kau miliki telah
rontok?"
"Aku tidak mungkin jatuhkan tangan keras
pada anakku sendiri!" jawab si kakek.
Tapa Gedek kembali mengumbar tawa.
"Sampai, dunia kiamat kau mengaku dia sebagai
anakmu, bocah itu tak bakal mempercayainya. Ka-
rena jiwanya sejak kecil diracuni oleh musuh be-
sarmu sendiri! Angin Pesut, bersikap pasrah pada
ketentuan takdir itu memang sudah menjadi ke-
tentuan manusia. Tapi pasrah seperti yang kau la-
kukan ini adalah perbuatan tolol besar! Apakah
kau mau menunggu keajaiban dari langit, atau
kau sedang menunggu datangnya malaikat maut?"
tanya Tapa Gedek disertai seringai mengejek.
Indah Sari sendiri tidak bergeming. Sejak
kecil dari gurunya si gadis selalu mendapat gem-
blengan agar tidak mempercayai semua ucapan
orang terkecuali gurunya sendiri.
Karena itu apapun yang dikatakan baik oleh
Angin Pesut maupun Tapa Gedek tentang dirinya

dia sudah tidak mau mendengarnya lagi. Sebelum
Angin Pesut memberi tanggapan apa-apa atas
ucapan Tapa Gedek. Sang dara melangkah maju
dua tindak. Dengan suara lantang dia berkata.
"Orang tua jika kau tidak menyingkir dari hada-
panku, tidak ada pilihan lain aku pasti akan
membunuhmu!"
"Ha ha ha! Dengan apa kau membunuhku?
Dengan pukulan beracun atau dengan mengguna-
kan Pedang Tumbal Perawan?" tanya si kakek.
"Mengapa harus menggunakan pedang?
Dengan kedua tanganku ini aku sudah sanggup
membungkammu!" tegas sang dara. Baru saja ga-
dis ini selesai berucap dengan kecepatan laksana
kilat sosoknya melesat ke arah Tapa Gedek. Tan-
gan kanan menyambar wajah si kakek sedangkan
tangan kiri sang dara meluncur deras ke bagian
dada.
Angin yang menyambar dari tangan sang
dara menebarkan bau busuk luar biasa pertanda
serangan yang dilancarkan lawan mengandung ra-
cun jahat. Tapa Gedek langsung menutup jalan
pernafasannya. Dia lalu jatuhkan tubuhnya, me-
mungut sepotong ranting, lalu bergulingan ke
samping. Sambil bergulingan ranting di tangan se-
gera dikibaskan ke atas.
Tak! Tak!
Hantaman ranting yang keras mengandung
tenaga dalam tinggi membuat tangan Indah Sari
tersentak, gadis itu bahkan terhuyung namun ti-
dak sampai terjatuh. Hantaman ranting yang di-
lancarkan si kakek membuat kedua tangannya untuk beberapa ketika seakan menjadi lumpuh, nyeri
dan panas luar biasa. Namun semua itu segera le-
nyap begitu sang dara salurkan tenaga dalamnya
ke bagian tangan.
Belum lagi Indah Sari siap dengan serangan
kedua, Tapa Gedek kini balas melancarkan seran-
gan yang tidak kalah dahsyatnya. Di tangan si ka-
kek ranting itu kini menjadi amat berbahaya.
Tetapi Indah Sari yang memiliki ilmu merin-
gankan tubuh serta gerakan cepat yang sudah
sangat sempurna itu secara mengagumkan dapat
menghindari serangan si kakek. Malah sang dara
kemudian melompat tinggi di udara, setelah itu
dengan gerakan cepat dia melepaskan tendangan
beruntun ke arah bagian kepala Tapa Gedek.
Si kakek menyadari betapa berbahayanya
serangan kaki Indah Sari. Jika tendangan sampai
menghantam kepala, dapat dipastikan kepalanya
hancur. Sebaliknya si kakek juga menyadari jika
dia menangkis serangan lawan. Tentu tangannya
yang dipergunakan untuk menangkis, pasti tan-
gannya keracunan karena sekujur tubuh gadis itu
memang mengandung racun jahat. Merasa tidak
punya pilihan lain sambil bergerak mundur meng-
hindari setiap tendangan lawan, Tapa Gedek mele-
paskan pukulan 'Tiga Topan Menggulung Bumi'
serta pukulan 'Tanpa Ujud'. Tiga larik sinar biru
menderu dari tangan si kakek. Sedangkan dari
tangan yang satunya lagi melesat hawa yang amat
ganas luar biasa. Indah Sari yang tak pernah me-
nyangka lawan melepaskan dua pukulan sekaligus
jadi terkesiap. Dia mencoba menarik kedua kakinya sekaligus lakukan gerakan jungkir balik un-
tuk menyelamatkan diri. Sayang tindakan yang di-
lakukan oleh sang dara kalah cepat dibandingkan
serangan lawan. Tak ampun lagi kedua pukulan
itu menghantam kaki kiri Indah Sari.
Tubuh sang dara jatuh terguling. Kakinya
yang terkena pukulan lawan seperti hangus. He-
batnya dengan penuh ketabahan dan sama sekali
tidak memperlihatkan rasa sakit yang dialaminya
dengan terpincang-pincang indah Sari bangkit
berdiri. Sejenak dia pandangi kakinya. Bagian kaki
celananya sebelah bawah ternyata hangus, kasut
kulit yang dipakainya juga hangus. Sang dara me-
nyeringai, sakitnya dirasakannya memang cukup
hebat, namun lebih hebat lagi kemarahan yang
melanda jiwanya.
"Kakek keparat! Kau telah melakukan suatu
kesalahan besar. Aku pasti tak bakal mengampuni
jiwamu!" geramnya.
"Ha ha ha! Siapa yang minta ampun pada
bocah ingusan sepertimu!" sahut si kakek sinis.
Dalam hati dia berkata. "Hari ini aku tidak ubah-
nya dengan memakan buah simalakama. Bila ku-
serang dia dalam jarak rapat aku khawatir tubuh-
nya yang beracun dapat membahayakan jiwaku.
Sebaliknya bila aku menjaga jarak sama saja ar-
tinya dengan membuka kesempatan bagi dia un-
tuk melancarkan serangan-serangan dengan ju-
rus-jurus serigalanya! Mungkin sudah saatnya ba-
giku untuk menggunakan Ilmu pukulan
'Gelombang Naga'. Dengan begitu dia tak bakal
mempunyai kesempatan untuk menggunakan Pedang Tumbal Perawan!"
Pada waktu begitu selesai laksana kilat In-
dah Sari memutar kedua tangannya di atas kepala.
Sepuluh jari berkuku runcing, berwarna hitam
mengandung racun itu berkelebat menyambar
atau menghantam dari atas ke bawah siap menca-
bik-cabik.
Angin Pesut yang melihat jurus-jurus sang
dara dalam hati berkata. "Kakek berambut jabrik
itu. Kurasa sulit baginya untuk meloloskan diri da-
ri serangan Indah Sari. Saat ini bocah itu telah
mengerahkan jurus 'Seribu Serigala Menyapa Ke-
gelapan'.
Dugaan Angin Pesut memang tidak berlebi-
han. Begitu Indah Sari merangsak ke depan, Tapa
Gedek langsung bersurut langkah. Gempuran he-
bat yang dilakukan lawan membuat si kakek da-
lam beberapa gebrakan di depan jadi terdesak he-
bat. Malah ketika sang dara mencecar bagian pe-
rut Tapa Gedek kakek ini nyaris menjadi korban
cakaran lawan. Tapi dengan segala kegesitannya
ditambah tempaan pengalaman selama berpuluh-
puluh tahun membuat Tapa Gedek dapat melo-
loskan diri dari serangan sepuluh kuku lawannya.
Indah Sari mendengus geram. Dia terus me-
rangsak maju. Tiga kali tendangan berturut-turut
dilepaskannya. Si kakek melompat ke samping. Ti-
dak terduga begitu si kakek ini berkelit, sambil mi-
ringkan tubuhnya lima jari tangan sang dara ber-
kelebat di bagian dada. Serangan tak terduga itu
tak dapat dielakkan oleh Tapa Gedek.
Breet!

Baju di bagian dada robek besar. Tidak
hanya itu saja, kuku lawan sempat menggores ku-
lit, tembus ke bagian daging. Bukan cuma darah
berwarna merah kehitaman saja yang mengucur,
tapi sakitnya juga luar biasa. Tapa Gedek ter-
huyung, dia sadar adanya racun ganas yang ter-
dapat di dalam lukanya. Karena itu si kakek cepat
menotok beberapa nadi besar di sekitar bagian lu-
ka untuk mencegah menjalarnya racun ke jan-
tung. Selagi Tapa Gedek dibuat sibuk oleh lu-
kanya. Pada waktu itu pula Indah Sari yang mera-
sa berada di atas angin menerjang kembali sambil
melepaskan satu pukulan ke bagian kepala lawan-
nya. Cahaya hitam berkiblat menghantam kepala
Tapa Gedek di saat lawan hantamkan pukulannya.
Si kakek berseru kaget ketika secara tiba-tiba da-
patkan dirinya terbungkus sinar pukulan yang di-
lepaskan lawan. Akan tetapi dia yang sebelumnya
telah siap dengan pukulan 'Gelombang Naga' tidak
menjadi gugup. Dua tangan yang mendekap dada
segera dihantamkannya ke depan menyambuti
pukulan sang dara. Di depan sana Indah Sari jadi
tercekat saat merasakan tubuhnya seperti meng-
hantam tembok baja. Selain itu sayup-sayup dia
seperti mendengar pekikan aneh seperti suara na-
ga di tengah-tengah deru gelombang laut yang
menggila.
Segala sesuatunya berlangsung cuma dalam
sekejapan saja. Begitu dirinya merasa menghan-
tam tembok baja, pada saat lain mendadak tubuh-
nya seperti dilamun badai topan menggila. Indah
Sari menggerung, lalu lipat gandakan tenaga dalam ke bagian tangan dan kembali menghantam ke
arah Tapa Gedek. Tetapi sehebat apapun dia men-
coba mendobrak serangan lawan. Tetap saja sang
dara tak sanggup bertahan.
Bagaikan pohon kering tubuh sang dara
tersapu angin dahsyat berhawa panas dan dingin
yang bersumber dari Pukulan Gelombang Naga.
Indah Sari jatuh terpelanting, lalu terguling-
guling dan terkapar tak jauh dari tempat Angin Pe-
sut tergeletak. Gadis itu jelas menderita cidera di
bagian perut dan dada. Sedangkan pakaiannya ro-
bek di beberapa bagian. Selagi Angin Pesut terke-
sima tak menyangka kakak berambut jabrik memi-
liki ilmu pukulan sehebat itu, Indah Sari yang ter-
luka dan tak mau mengambil resiko terhadap ke-
mungkinan bahaya-bahaya yang lebih besar cepat
bangkit berdiri. Kemudian dengan terbungkuk-
bungkuk dia menyambar rotan berduri yang diper-
gunakannya untuk menyeret Angin Pesut. Setelah
itu tanpa menunggu lebih lama Indah Sari berke-
lebat tinggalkan lawan sambil menyeret Angin Pe-
sut.
"Anak durhaka hendak lari kemana kau?"
Tapa Gedek memaki. Dia cepat merogoh saku ce-
lananya, mengambil lima butir pil berbentuk bulat
berwarna merah. Kelima pil itu langsung ditelan-
nya. Beberapa saat setelah menelan obat tersebut
Tapa Gedek segera merasakan reaksinya. Bagian
dadanya yang terluka terasa panas bagai terbakar.
Tapa Gedek mengerang kesakitan. Dia jatuhkan
diri, lalu bersila. Tapa Gedek menarik nafas sambil
pejamkan matanya.


"Aku harus memulihkan kondisi tubuhku
dulu. Gadis itu pasti pergi ke Kalimayat. Aku tidak
mungkin mengejar dalam keadaan seperti ini. Pal-
ing tidak aku membutuhkan waktu sepekan untuk
menyembuhkan luka beracun yang kuderita.
Huakh... aku hanya bisa berharap semoga ada
orang lain yang dapat menyingkirkan manusia-
manusia seperti Indah Sari dan gurunya!" batin
Tapa Gedek. Habis berkata begitu masih dengan
mata terpejam si kakek salurkan tenaga sakti ke
bagian lukanya. Dari bagian luka terlihat ada uap
tipis kebiruan mengepul keluar. Si kakek mencium
bau seperti daging terbakar. Tapi dia tidak perduli,
berkali-kali tenaga dalam disalurkan ke bagian lu-
ka tersebut.

4

Kemarau yang berkepanjangan membuat
Kalimayat kering kerontang. Sejauh mata meman-
dang dari arah hulu hingga ke hilir yang terlihat
hanya bebatuan sungai dan hamparan pasir me-
mutih bagaikan untaian mutiara yang gemerlapan
tertimpa cahaya matahari.
Sementara tak jauh di bagian hulu Kali-
mayat tepatnya di sebuah gua seorang nenek ber-
wajah angker berambut panjang riap-riapan du-
duk bersila menghadap ke arah sebuah perapian
yang berasal dari sumber api abadi. Sedangkan di
atas tungku perapian yang senantiasa mengobarkan api tersebut tergantung sebuah benda berben-
tuk empat persegi, terbuat dari batu tebal. Benda
dari batu tersebut bentuk yang sesungguhnya
sangat mirip dengan ayunan bayi, cuma ukuran
dan panjangnya saja yang lebih besar dan lebih
panjang. Sewaktu-waktu ayunan batu tersebut
bergerak turun naik memasuki lubang perapian
yang bagian dasarnya memiliki kedalaman satu
tombak. Anehnya setiap ayunan bata seukuran
tinggi orang dewasa itu masuk ke dalam liang ma-
ka api yang menyala-nyala yang keluar dari liang
perapian seolah-olah menjadi padam. Namun bila
ayunan batu bergerak naik ke atas apipun kembali
berkobar.
Ke arah liang perapian abadi dan ayunan
batu tersebutlah perhatian si nenek tercurah sejak
tadi.
Entah berapa lama si nenek tenggelam da-
lam lamunannya. Yang jelas kemudian si nenek
tersenyum sambil menarik nafas pendek. Sepa-
sang mata orang tua itu berkilat tajam ketika dia
teringat pada kejadian sekitar dua puluh lima ta-
hun yang lalu.
"Saat pembalasan itu kini sudah hampir ti-
ba. Iblis jahanam itu harus tahu bagaimana ra-
sanya tidur dalam ayunan batu kemudian di pen-
dam dalam liang perapian. Liang Pemasung Suk-
ma... begitu dulu Angin Pesut memberi nama liang
perapian itu. Sekarang dia segera tahu tempat itu
bukanlah tempat yang nyaman untuk dijadikan
sebagai tempat ketiduran. Hik hik hik!" Setelah
berkata begitu, si nenek kembali terdiam. Sementara tatapan matanya yang menyorot tajam me-
mandang lurus ke arah liang perapian yang dulu
pernah membuatnya nyaris celaka.
Dalam keadaan menunggu seperti itu agak-
nya menimbulkan rasa bosan bagi si nenek. Pe-
rempuan renta ini lalu pejamkan matanya. Tetapi
itupun tidak berlangsung lama. Mata setan si ne-
nek terbuka kembali begitu pendengarannya yang
tajam mendengar suara berkeresekan seperti ben-
da yang diseret dan dibawa lari cepat. Suara itu
datangnya jelas dari arah gua.
Agaknya biarpun belum tahu siapa orang
yang datang ke gua itu, namun dia punya penden-
garan yang baik. Terbukti si nenek kemudian
nampak sunggingkan seulas senyum kemenangan.
"Mudah-mudahan dia. Jika memang dia,
berarti usahaku dalam membesarkannya selama
ini tidaklah sia-sia. Hik hik hik!" si nenek tertawa
perlahan.
Tawa si nenek kemudian lenyap karena di
depan pintu gua kini telah berdiri sosok seorang
gadis berpakaian serba merah. Pakaian gadis itu
tidak lagi utuh tapi robek di sana sini.
"Guru, aku datang menghadap!" kata si ga-
dis setelah jatuhkan diri berlutut di belakang si
nenek.
Nenek angker yang dikenal dengan julukan
Bayangan Maut sama sekali tidak menoleh. Dia te-
tap duduk sebagaimana tadi. Lama si nenek ter-
diam, barulah kemudian dia berkata. "Kau telah
kembali, tapi apakah tugas yang kuberikan kepa-
damu telah kau lakukan dengan semestinya?"


"Perintahmu telah kulaksanakan. Malah ji-
ka aku tidak ingat dengan pesanmu pasti aku te-
lah membunuhnya!" habis berkata begitu Indah
Sari sentakkan rotan di tangannya. Laksana kilat
sesosok tubuh melesat melewati bagian atas kepa-
la sang dara lalu jatuh bergedebukan persis di de-
pan si nenek. Sosok yang baru terjatuh itu menge-
rang, dia mencoba menggerakkan tangan dan ka-
kinya yang terikat, tapi usahanya tidak membawa
hasil.
"Ha ha ha ha! Angin Pesut.... akhirnya kau
bertekuk lutut di bawah kaki muridku. Sekarang
apakah kau masih mengenali diriku?" tanya si ne-
nek sambil bangkit berdiri. Setelah itu dia meng-
hampiri Angin Pesut. Dengan sikap penuh kesom-
bongan diinjaknya dada si kakek. Perlahan Angin
Pesut membuka matanya yang bengkak dan lebam
membiru. Dengan susah payah dipandanginya pe-
rempuan tua itu. Angin Pesut menyeringai.
"Aku tak bakal melupakanmu Ni Pambayon.
Bagaimana aku bisa melupakan pembunuh orang
tuaku sendiri?" sahut si kakek.
"Bagus! Sekarang kulihat kau tidak berdaya
Angin Pesut? Padahal baru muridku yang turun
tangan. Hik hik hik!"
"Muridmu.... bukankah muridmu itu adalah
anakku? Anak yang kau culik belasan tahun yang
lalu?" tanya Angin Pesut.
"Hik hik hik! Aku tidak pernah menculik
anakmu." Dengus Ni Pambayon alias Bayangan
Maut berbohong. "Kau salah besar jika menyangka
Indah Sari adalah anakmu!" tegas si nenek dengan

suara keras. Hal ini memang disengaja agar mu-
ridnya ikut mendengar segala apa yang di-
ucapkannya.
"Ha ha ha! Sepanjang hidup boleh saja kau
berdusta Ni Pambayon. Tapi sebagai orang tua aku
tak dapat ditipu. Terlebih-lebih setelah melihat no-
da tahi lalat di punggung Indah Sari."
"Puah... kau boleh saja menyebut seribu
tanda. Cuma perlu kau ketahui ketika aku men-
gambilnya sebagai murid, orang tua Indah Sari te-
lah meninggal terserang wabah penyakit aneh!" te-
gas si nenek.
Meskipun Angin Pesut tahu Indah Sari me-
mang anaknya. Namun karena si nenek tetap ngo-
tot akhirnya dia berkata. "Baiklah Ni Pambayon.
Kurasa cuma Tuhan yang tahu kebenaran dari
semua pengakuanmu. Lalu sekarang kau mau
apa?" tanya si kakek.
Bayangan Maut tidak menjawab. Perem-
puan tua itu kitarkan pandangan matanya ke se-
genap penjuru ruangan gua. Barulah setelah itu
perhatiannya tertuju ke arah liang tungku pera-
pian.
"Puluhan tahun yang lalu kau pernah
membawaku ke tempat ini. Kau tahu apa yang kau
lakukan pada diriku, Angin Pesut?" tanya si nenek.
Angin Pesut diam-diam jadi terkesiap. Tanpa sadar
dia menoleh dan menatap ke arah liang perapian
dimana pada bagian atasnya tergantung sebuah
ayunan batu yang dapat digerakkan turun naik.
"Celaka... perempuan ini pasti berniat men-
jebloskan aku ke dalam Liang Pemasung Sukma."

batin si kakek. "Harapanku untuk menyadarkan
Indah Sari agaknya tinggal harapan. Semua per-
juanganku sia-sia, kini paling tidak aku masih
punya kesempatan untuk menyelamatkan diri!" fi-
kir si kakek.
Diam-diam Angin Pesut mengerahkan ajian
saktinya untuk melenyapkan luka-luka yang dia
derita. Satu perubahan tidak terduga kemudian
segera terjadi. Sekujur permukaan kulit si kakek
mengepulkan asap tipis. Bayangan Maut kelua-
rkan suara kaget ketika melihat bagaimana luka-
luka yang terdapat di seluruh tubuh Angin Pesut
lenyap. Untuk menjaga segala sesuatu dari ke-
mungkinan lolosnya Angin Pesut si nenek segera
jentikkan tangannya ke arah tiga bagian tubuh
Angin Pesut. Berturut-turut dari ujung jemari tan-
gannya si nenek melesat lima larik sinar biru
menghantam tubuh Angin Pesut.
Tess! Tess!
Angin Pesut mengeluh tertahan ketika han-
taman sinar tersebut membuat sekujur badannya
mendadak menjadi kaku tak dapat digerakkan.
"Hik hik hik! Kau boleh sanggup menyem-
buhkan luka-lukamu dengan Ilmu setanmu Angin
Pesut. Tapi kau tak bakal kubiarkan lolos Liang
Pemasung Sukma telah menantimu. Sekarang su-
dah waktunya bagimu untuk menerima pembala-
san dariku!" dengus si nenek.
Sementara itu di belakang sana di depan
mulut gua Indah Sari tentu saja terperangah meli-
hat Angin Pesut dapat sembuh dari luka-lukanya
secepat itu. "Tak kusangka kakek itu ternyata

memang mempunyai ilmu setan. Kulihat luka di
tubuhnya bertaut kembali. Mengapa proses pe-
nyembuhan itu tidak dilakukannya ketika aku me-
lakukan berbagai penyiksaan?" fikir Indah Sari.
"Apakah mungkin dia memang ayahku? Ah...tidak,
aku tidak pernah memiliki ayah sejahat itu!"
Dalam kesempatan itu Angin Pesut berkata.
"Ni Pambayon, rupanya hukuman pendam di da-
lam liang perapian selama bertahun-tahun tidak
juga menyadarkan dirimu. Tidak hanya itu saja
kau kemudian melakukan perbuatan salah kaprah
dengan meracuni jiwa seorang anak yang tidak
berdosa!"
"Kau tidak usah membual Angin Pesut. Kau
juga tak perlu mempengaruhi muridku dengan
mengaku sebagai ayahnya. Sekarang meskipun
kau sanggup menyembuhkan luka-lukamu, kau
tak bakal lolos dari Liang Pemasung Sukma." den-
gus Bayangan maut. Begitu selesai berucap si ne-
nek berpaling ke arah muridnya. Setelah itu dia
berkata. "Indah Sari. Cepat bantu aku memasuk-
kan bangsat terkutuk itu ke dalam ayunan batu.
Biar dia rasakan betapa pedihnya dipendam di da-
lam Liang Pemasung Sukma!"
"Guru... demi baktiku kepadamu, apapun
pasti kulakukan! Sekarang muridmu ini siap me-
lakukan perintah!" sahut Indah Sari. Dengan cepat
gadis itu menghampiri Angin Pesut. Kemudian dia
berdiri tegak di depan si kakek. Sekilas dia mena-
tap ke arah Angin Pesut, namun ketika si kakek
menatapnya dengan sorot mata penuh rasa belas
kasih sang dara cepat palingkan kepala dan memandang ke jurusan lain.
Sementara itu tanpa menunggu lebih lama
lagi Bayangan Maut segera menekan salah satu
tonjolan batu yang berfungsi sebagai alat untuk
menggerakkan ayunan.
Begitu tombol batu diinjak terdengarlah su-
ara bergemuruh dahsyat tidak ubahnya sedang
terjadi gempa hebat. Ayunan batu yang tergantung
di atas liang perapian bergerak turun dan jatuh di
samping lubang menganga tersebut.
"Angin Pesut. Jika dulu kobaran api di
Liang Pemasung Sukma tidak bisa menghan-
guskan tubuhku. Maka kini yang terjadi adalah
sebaliknya. Aku telah memasukkan suatu cairan
yang membuat Liang Pemasung Sukma menjadi
panas berlipat ganda. Jangankan hanya tubuh
manusia, besi sekalipun bisa meleleh. Hik hik hik!"
"Perempuan keparat! Manusia keji durjana
pembunuh orang tuaku. Dosamu tak bakal kuam-
puni. Tidak hanya itu saja aku pasti akan mem-
bunuhmu!" teriak Angin Pesut dan untuk pertama
kalinya setelah dirinya bertobat kini si kakek telah
kehilangan kesabarannya.
"Tua bangka keparat! Berani kau mengan-
cam guruku, terimalah tendanganku!" habis ber-
kata begitu Indah Sari melepaskan satu tendangan
ke bagian perut Angin Pesut.
Buuk!
Si Kakek meskipun telah melindungi tu-
buhnya dengan pengerahan tenaga dalam tetap sa-
ja merasakan suatu derita sakit yang luar biasa.
"Anak durhaka yang melupakan asal usul,

jika kau tidak dapat menggunakan otakmu untuk
membedakan mana yang benar dan mana yang sa-
lah. Aku bersumpah atas nama Gusti Allah
umurmu pasti tak bakal lama!" rutuk si kakek.
Tapi tak kalah sengitnya Indah Sari menja-
wab. "Aku tidak punya orang tua sepertimu. Kau
sudah menjadi penyebab biang kesengsaraan gu-
ruku, karena itu sekarang sudah selayaknya kau
menerima balasan dari semua perbuatanmu!" Se-
telah bicara begitu sang dara berpaling dan me-
mandang ke arah Bayangan Maut sambil berkata.
"Guru... aku sudah tidak sabar untuk memasuk-
kannya ke dalam ayunan batu."
"Hik hik hik! Kau benar muridku, sekarang
gurumu ini telah gatal tangan untuk melakukan
tugas. Mari kita angkat dia!" tegas si nenek. Tanpa
menunggu lebih lama murid dan guru itu segera
menggotong Angin Pesut. Begitu si kakek dima-
sukkan ke dalam ayunan maut tersebut dia mera-
sakan sekujur tubuhnya panas bukan main seper-
ti dipanggang.
"Celaka...! Satu-satunya untuk mengatasi
ajian panas di dalam liang itu hanya dengan men-
gerahkan ajian Selimut Es. Tapi seberapa lama
aku bisa bertahan. Saat ini aku bukan saja dalam
keadaan terikat tapi juga tertotok. Bagaimana pun
aku harus berusaha membebaskan diri. Anakku
sudah tidak dapat lagi diharapkan kesadarannya.
Biarpun begitu aku harus mencari kesempatan
untuk meloloskan diri!" batin si kakek.
"Angin Pesut, sekarang kau rasakanlah be-
tapa nyamannya berada di dalam pendaman Liang

Pemasung Sukma. Sekejap lagi kau akan menjadi
daging panggang hangus yang tidak berguna! Hik
hik hik!" Selesai berucap si nenek dan muridnya
segera tinggalkan Angin Pesut. Dia kemudian me-
nekan tonjolan batu yang berfungsi sebagai niat
penggerak ayunan batu. Kemudian tombol batu di-
tekan maka ayunan batu terangkat naik setelah
posisinya tepat berada di mulut perapian abadi
yang dikenal dengan nama Liang Pemasung Suk-
ma itu. Ayunan batu itupun dengan cepat bergerak
turun memasuki liang perapian. Kobaran api men-
dadak lenyap, sebaliknya api kini membakar ayu-
nan batu dimana Angin Pesut terbaring.
Panas luar biasa yang membakar bagian
bawah ayunan batu dalam waktu sekejap menjalar
kemana-mana. Angin Pesut meraung dan menjerit
kesakitan.
Dalam waktu sekejap seiring dengan le-
nyapnya ayunan batu dari pandangan mata seku-
jur tubuh Angin Pesut basah bersimbah keringat.
Tapi biarpun derita siksa sedemikian hebat si ka-
kek masih dapat menggunakan otak cerdiknya.
Diam-diam dia kerahkan ilmu ajian Selimut Es un-
tuk melindungi diri dari pengaruh sengatan panas
yang membakar ayunan batu juga dirinya.
Angin Pesut sadar pengerahan ajian secara
terus menerus tak mungkin dapat dilakukannya.
Tapi dengan menggunakan ajian pelindung tubuh
dari sengatan panas luar biasa paling tidak telah
memberinya kesempatan dan waktu untuk menca-
ri jalan meloloskan diri.
Sementara itu Bayangan Maut tampak me

rasa puas begitu berhasil menjebloskan orang
yang sangat dibencinya ke dalam Liang Pemasung
Sukma. Dengan disertai seringai sinis dia berkata.
"Jahanam tua yang mengaku sebagai ayahmu itu
pasti segera mampus tak lama lagi. Muridku seka-
rang alangkah baiknya jika kita keluar dari gua ini.
Kau harus menceritakan bagaimana caranya me-
ringkus Angin Pesut!"
"Meringkus kakek gila itu tidaklah sesulit
yang kau bayangkan guru. Cuma ketika aku
membawanya kemari aku mendapat satu rintan-
gan besar."
"Rintangan besar apakah?" tanya Bayangan
Maut sambil melangkah meninggalkan ruangan
gua.
Indah Sari menjawab. "Guru tentu sudah
melihat keadaanku yang begini rupa. Semua ini
terjadi akibat ulah seorang kakek bernama Tapa
Gedek."
Mendengar ucapan muridnya si nenek ke-
rutkan kening. "Tapa Gedek? Aku belum pernah
mendengar nama itu. Kulihat bukan hanya pa-
kaianmu saja yang hancur, kulihat kasut mu juga
rusak. Bagaimana ciri-ciri orangnya?" tanya si ne-
nek.
Dengan perasaan masih memendam geram
akibat kekalahannya ketika menghadapi Tapa Ge-
dek dia menerangkan ciri-ciri si kakek. Nenek itu
manggut-manggut. "Kau tak usah berkecil hati. Ji-
ka pada waktu itu kau sempat mempergunakan
Pedang Tumbal Perawan yang tergantung di ping-
gangmu itu. Aku yakin kakek yang bernama Tapa

Gedek itu tak bakal dapat menyelamatkan diri
meskipun dia menggunakan seribu ilmu hebat."
ujar si nenek.
"Tapi aku masih penasaran guru. Kakek itu
mempunyai ilmu aneh yang membuatku hampir
celaka!" ujar sang dara.
Bayangan Maut tersenyum sinis. Dia kemu-
dian membelai kepala muridnya. Tak berselang
lama murid dan guru itu lenyap dari pandangan
mata setelah sosok mereka melewati pintu gua.

5

Tak jauh dari tebing curam yang terdapat di
Kalimayat, kakek gendut berpakaian hitam tak
terkancing itu sejak tadi terus menerus meman-
dang ke arah gua. Sesekali si kakek gendut besar
mengusap wajahnya yang keringatan. Setelah itu
dia kembali mendekam di balik pohon besar, se-
dangkan mulutnya berkata: "Orang yang diseret
oleh gadis berbaju merah tadi aku yakin adalah
Angin Pesut. Jika memang benar dugaanku men-
gapa Angin Pesut berlaku tolol. Dia memiliki ilmu
kesaktian tinggi. Padahal jika Angin Pesut meng-
gunakan salah satu ilmu simpanannya, aku yakin
gadis itu tak bakal bisa meloloskan diri bukan ma-
lah sebaliknya. Dasar kakek tolol, kurasa dia me-
milih mengambil sikap mengalah agar anaknya
mau menyadari bahwa sebenarnya Angin Pesut
adalah orang tua gadis itu. Tolol... sungguh tolol.

Bagaimana gadis itu mau mengakui dia sebagai
orang tua jika sejak kecil bocah itu berada dalam
didikan musuh besarnya?" batin si kakek. Setelah
terdiam sejenak sambil garuk-garuk keningnya
yang lebar si kakek gendut yang bukan lain adalah
Gentong Ketawa guru Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon ini kembali julurkan kepala. Sepasang mata
si kakek yang bulat bundar memandang tak ber-
kesip ke arah mulut gua yang sunyi. Kemudian si
gendut bicara sendiri. "Apa yang terjadi di dalam
gua itu. Apakah Angin Pesut sudah tewas atau dia
menjadi betah karena bertemu dengan bekas ke-
kasihnya?" Kakek Gentong Ketawa gelengkan ke-
pala. Dia tidak yakin Bayangan Maut mau men-
gampuni jiwa bekas dedengkot tokoh sesat itu.
Apalagi urusannya menyangkut persoalan den-
dam. Lalu apa yang harus dia lakukan kini? Satu-
satunya kemungkinan untuk menolong Angin Pe-
sut adalah dengan cara menyerbu ke dalam gua.
Tapi si kakek nampak meragu. "Kudengar Bayan-
gan Maut adalah manusia yang sangat berbahaya.
Jika aku menyerbu ke dalam, boleh jadi Bayangan
Maut dan muridnya menyerangku secara tiba-tiba.
Kalau mereka menyerangku dari dalam nasibku
bisa konyol, mati penasaran sebelum dapat meno-
long kakek goblok Angin Pesut." kata si gendut.
Di tengah-tengah keraguannya itu si gendut
tiba-tiba belalakkan mata ketika melihat dari mu-
lut gua keluar dua sosok tubuh. Satu diantaranya
yang berpakaian merah adalah gadis yang tadi
menyeret Angin Pesut. Sedangkan satunya lagi
seorang nenek berpakaian hitam. Kakek Gentong

Ketawa menduga, nenek yang bersama gadis ber-
baju merah itu pastilah guru sang dara yang ber-
gelar Bayangan Maut. "Mereka telah keluar, tapi
aku tidak melihat Angin Pesut ada diantara mere-
ka. Mungkinkah kakek itu telah mereka bunuh?
Hemm.... aku tidak bisa menunggu lebih lama.
Apapun yang telah terjadi atas diri kakek malang
tersebut aku harus mengetahuinya. Sekarang se-
lagi mereka duduk di depan mulut gua, aku akan
membuat suatu kejutan!" berfikir begitu si gendut
siap keluar dari tempat persembunyiannya, na-
mun belum lagi si gendut sempat mendadak son-
tak terdengar suara gemuruh hebat yang datang
dari arah sebelah selatan Kalimayat. Selagi si gen-
dut dibuat terkesima dan belum tahu gerangan
apa kiranya yang mengeluarkan suara aneh laksa-
na gempa. Dari arah hulu sungai yang kering ke-
rontang muncul satu sosok yang tingginya menca-
pai pucuk pohon. Sosok itu bukan saja bertubuh
tinggi, tapi juga memiliki badan yang sangat besar
seperti raksasa. Setiap kakinya menindak selalu
mengeluarkan suara gemuruh dan guncangan pa-
da tanah yang dipijaknya. Melihat kehadiran sosok
raksasa itu si gendut jadi terkagum-kagum sendiri.
"Ada manusia setinggi dan sebesar itu. Apakah
mungkin dia termasuk salah satu korban pukulan
beracun Perubah Bentuk? Lalu apa yang hendak
dilakukannya di tempat ini?" kata si kakek seorang
diri. Si kakek urungkan niatnya, dia menunggu ge-
rangan apa kiranya yang bakal terjadi.
Sementara begitu muncul diri, raksasa be-
rusia sekitar hampir enam puluh tahun ini dengan

langkah lebar langsung berjalan menuju mulut
gua. Langkah laki-laki itu baru terhenti sepuluh
tombak di depan gua begitu dia melihat orang yang
dicarinya berada disitu bersama seorang gadis
yang tidak dikenalnya. Dengan mulut menyeringai
dan tatapan nyalang si kakek raksasa berteriak.
"Bayangan Maut manusia jahanam! Seperti yang
telah kuduga setelah membunuh istriku ternyata
kau bersembunyi di Kalimayat ini. Kau pasti men-
gira aku tak bakal mengejarmu bukan?" kata rak-
sasa itu dengan suara menggeledek. Gentong Ke-
tawa buru-buru menutup pendengarannya yang
pengang akibat teriakan sang raksasa. "Raksasa
gila, teriak tidak kira-kira. Untung tidak ada orang
hamil disini. Jika tidak bisa melahirkan menda-
dak." gerutu si gendut dengan mulut cemberut.
Sementara itu Bayangan Maut dan murid-
nya sudah tegak berdiri. Indah Sari langsung me-
nutup telinganya yang pengang. Sedangkan
Bayangan Maut dengan sikap tenang sambil ber-
kacak pinggang setelah mengumbar tawa segera
menyahuti. "Senggana... bagimu masih terbuka
kesempatan untuk hidup. Mengapa kau datang
mencari penyakit?" Manusia raksasa yang berna-
ma Senggana dongakkan kepala, dari mulutnya
keluar suara menggeram. Lalu dengan penuh rasa
benci Senggana berkata. "Bagiku penyakit telah
datang sejak dulu. Kedatanganku kemari adalah
untuk mengambil jiwa busukmu!" tegas si kakek.
"Ah, apakah kau telah kehilangan minat un-
tuk minta obat penawar racun Perobah Bentuk?"
tanya si nenek disertai senyum sinis.

"Racun Perobah Bentuk. Keadaanku sudah
terlanjur begini. Keinginan untuk menyembuhkan
diri telah lenyap begitu istriku terbunuh di tan-
ganmu!"
"Hik hik hik. Apa kau mengira jika istrimu
masih hidup kau punya harapan untuk menda-
patkan obat penawar racun? Huh... ketahuilah,
Angin Pesut barang kali saat ini sudah mampus
menjadi arang karena aku telah menjebloskannya
ke dalam Liang Pemasung Sukma!" kata Bayangan
Maut. Sang raksasa kembali memperlihatkan se-
ringai dingin. "Aku sudah menduganya Ni Pam-
bayon. Kau memang manusia segala keji yang ti-
dak layak hidup lebih lama lagi di dunia ini!"
"Kakek sialan! Jangan sekali-kali mencoba
menghina guruku, karena aku pasti tidak tinggal
diam!" kata Indah Sari. Senggana menatap sang
dara dengan sorot mata angker penuh rasa tidak
suka sedangkan Bayangan Maut melalui ilmu me-
nyusupkan suara memberi peringatan pada mu-
ridnya. "Hati-hati muridmu, dia memiliki tenaga
sepuluh kali lebih besar dari manusia biasa. Aku
sendiri hampir kena dicelakainya. Tapi kau tak
perlu risau, kurasa jika keadaan memaksa kita bi-
sa membasahi pedang Tumbal Perawan yang ada
di pinggangmu dengan darahnya!" Indah Sari ang-
gukkan kepala. Senggana yang memang tidak ken-
al pada gadis berbaju merah itu dengan suara se-
rak namun tetap menyengat telinga berucap.
"Kau masih muda bocah. Gurumu itu ada-
lah nenek gila yang punya dendam selangit tembus
pada Angin Pesut. Selama ini kau telah ditipunya

mentah-mentah. Jika kau mau menurut apa kata-
ku, lebih baik kau tak usah mencampuri urusan
kami. Pergilah dari tempat ini selagi masih ada ke-
sempatan!" ujar Senggana. Rupanya meskipun
saat itu Senggana tengah dilanda kemarahan be-
sar akibat kematian istrinya yang telah dibunuh
Bayangan Maut, namun kiranya dia tidak mau
melibatkan gadis itu. Tetapi sayang secara tak ter-
duga niat baik manusia raksasa itu oleh si gadis
ditanggapi dengan penuh kegusaran. Dengan gu-
sar pula dia mencabut pedang miliknya yang ter-
gantung di bagian punggung. Lalu sambil menyi-
langkan pedang di depan dada Indah Sari berseru.
"Kakek raksasa, seperti Angin Pesut rupanya kau
juga manusia gila. Kau tidak usah memberi nase-
hat padaku. Bagiku aku rela mati demi membela
guruku. Karena itu saat ini aku merasa punya ke-
wajiban untuk mewakilinya!" selesai berkata begitu
sang dara tiba-tiba lentingkan tubuhnya ke udara.
Sadar lawan memiliki tinggi badan lima kali lipat
dengan tinggi tubuhnya sendiri, maka Indah Sari
pun menyerang lawan dengan mengandalkan ilmu
mengentengi tubuhnya yang sudah sangat sem-
purna.
Setelah tubuh sang dara berada di atas ke-
tinggian, dengan gerakan cepat dia memutar tu-
buhnya baru kemudian melesat lalu babatkan pe-
dang di tangannya ke arah Senggana. Orang tua
itu sadar meskipun si gadis masih begitu muda,
tapi dia pasti memiliki ilmu kesaktian tak jauh di-
bawah gurunya. Itulah sebabnya begitu melihat
sinar putih menyambar ke bagian wajah dan tenggorokannya manusia raksasa ini segera melompat
mundur sejauh satu langkah, kemudian tangan-
nya ditarik ke atas setelah itu dengan cepat segera
di hantamkannya ke bagian kepala sang dara.
Singg!
Wuut!
Pedang sang dara melenceng dari sasaran
karena begitu dia mendengar suara menderu yang
datang dari bagian atas kepala gadis ini juga ter-
paksa selamatkan kepala dari hantaman lawan.
Tiga kali Indah Sari lakukan gerakan berjumpali-
tan. Dilain waktu dia jejakkan kakinya di atas ta-
nah. Gadis ini tidak menunggu lebih lama, begitu
melihat lawan julurkan tangannya. Dia menyerbu
ke depan. Yang menjadi sasaran adalah bagian
kaki Senggana. Si kakek keluarkan seruan kaget
ketika merasakan sambaran angin dingin disertai
berkelebatnya sinar putih bergulung-gulung mela-
brak bagian kaki. Cepat kakinya yang menjadi sa-
saran pedang lawan diangkat. Begitu lawan berada
di bawah telapak kakinya si kakek segera hentak-
kan kakinya. Sekali serangan Senggana mengenai
sasaran dapat dipastikan tubuh Indah Sari amblas
ke dalam tanah dan remuk seketika.
Tapi pada saat itu gurunya berteriak. "Indah
Sari, awas dari atasmu."
Sang dara tak sempat memandang ke atas,
namun dia sadar akan bahaya yang mengancam-
nya. Sambil memaki sang dara segera jatuhkan di-
ri, lalu bergulingan hindari hantaman kaki lawan.
Blaaaarr!
Tanah tempat dimana Indah Sari tadi berpi

jak amblas, terjadi guncangan yang sangat keras.
Si nenek yang mengawasi berlangsungnya perke-
lahian antara murid dan raksasa itu nampak lim-
bung. Sedangkan Gentong Ketawa yang juga turut
mengawasi perkelahian sengit yang terjadi meng-
gerutu. "Raksasa itu agaknya memiliki kesaktian
tinggi. Tapi aku khawatir jika Bayangan Maut ikut
melakukan penggeroyokan, dia tak bakal dapat
meloloskan diri dari kematian. Aku harus bersikap
waspada. Jika Bayangan Maut berlaku curang aku
juga tak bakal tinggal diam menonton atau jadi
orang tolol. Senggana perlu dibantu." batin si ka-
kek. "Tapi biar bagaimanapun Angin Pesut tidak
boleh mati begitu saja. Bayangan Maut tadi sem-
pat mengatakan pada manusia raksasa itu bahwa
Angin Pesut kemungkinan telah menemui ajal
menjadi arang yang tidak berguna. Akh ... tololnya
aku, mengapa tak kupergunakan saja kesempatan
ini. Selagi Bayangan Maut lengah, aku bisa mela-
kukan pemeriksaan di dalam gua!"
Setelah mengambil keputusan begitu, kakek
Gentong Ketawa segera berkelebat menuju ke arah
gua. Tapi rupanya kemunculan si kakek kiranya
sempat diketahui oleh Bayangan Maut.
"Tamu tak diundang, berani kau masuk ke
dalam gua jiwamu tak bakal kuampuni!" bersa-
maan dengan bentakan si nenek dia dorongkan
kedua tangannya ke arah sosok si gendut yang
saat itu tak pernah menduga mendapat serangan
seperti itu keluarkan seruan kaget. Karena posi-
sinya mengambang di atas ketinggian begitu se-
rangkum hawa dingin menebar bau tak sedap melabrak tubuhnya, membuat si kakek jadi kehilan-
gan keseimbangan. Jungkir balik dalam gerakan
kalang kabut si kakek berputar-putar di udara.
Tak urung dia masih dapat jatuhkan diri dengan
kedua kaki menjejak tanah terlebih dulu.
Kini si kakek berdiri tegak sambil bertolak
pinggang. Sementara perkelahian antara Indah Sa-
ri dan Senggana berlangsung makin sengit, seba-
liknya Bayangan Maut terkesima melihat kehadi-
ran kakek gendut berwajah bundar berpipi tem-
bem yang satu ini.
"Apa yang hendak kau lakukan di dalam
gua hingga kau mencoba memasukinya?" tanya
Bayangan Maut curiga.
Si Gendut unjukkan sikap seperti orang ti-
dak bersalah, enteng saja dia menjawab:"Aku ma-
suk kemana saja ku suka perlu apa kau tahu?"
"Kau ini siapa?" tanya si nenek yang merasa
geram mendengar jawaban si gendut.
Si kakek bersikap acuh. Dia pura-pura me-
mandang ke arah perkelahian dimana Indah Sari
saat itu jatuh terjengkang akibat terkena jotosnya
Senggana. Gadis itu cepat bangkit berdiri, selan-
jutnya kembali menyerbu ke arah lawan dengan
serangan yang amat berbahaya.
Sekilas saja si kakek memandang ke arah
itu, seolah bosan dia layangkan pandang ke arah
si nenek sambil berkata: "Jika kau mau mengenal
siapa diriku cepat bebaskan dulu Angin Pesut!"
"Hah ....!" si nenek terperangah. Dengan
mata mendelik dia ajukan pertanyaan: "Kau me-
mintaku membebaskan Angin Pesut dari Liang

Pemasung Sukma? Hik ...hik ...hik!" Bayangan
Maut tertawa mengikik. "Kau ini siapa? Kerabat-
nya atau sahabatnya?"
"Aku boleh dikatakan orang yang bersimpati
atas nasib buruk yang menimpanya." sahut si
gendut. Seperti orang tolol orang tua itu lalu ikut-
ikutan tertawa.
"Ketahuilah, Angin Pesut mungkin sekarang
sudah mampus. Buat apa kau mengurusi manusia
terkutuk seperti dia?!" hardik Bayangan Maut
sambil unjukkan muka garang. Sebaliknya kakek
Gentong Ketawa menyibukkan diri dengan mengu-
sap wajahnya yang selalu berkeringat. Selanjutnya
dengan mulut terpencong dia berucap. "Nenek ga-
lak, kurasa yang keparat itu adalah dirimu. Di du-
nia ini mana ada orang yang tega memisahkan
anak dari bapaknya. Bukankah gadis itu sesung-
guhnya adalah anak Angin Pesut. Tapi dengan ak-
al bulusmu kau menipunya sejak bocah itu masih
kecil!"
"Gendut kurang ajar. Buat apa kau men-
campuri urusanku? Persoalanku dengan Angin Pe-
sut menyangkut urusan pribadi, orang luar tak bo-
leh campuri" hardik si nenek.
"Ha ha ha. Nenek sinting, keinginanku ma-
suk ke dalam gua juga menyangkut kepentingan
pribadi, mengapa kau menghalangiku?" Si nenek
menjadi gusar mendengar jawaban Gentong Keta-
wa. Dia berfikir si gendut itu kalau dilayani omon-
gan lama kelamaan dirinya bisa ikutan menjadi gi-
la karena itu dengan geram dia berkata.
"Gendut berhidung pesek, kau boleh meli

hat ke dalam gua, kau juga kuizinkan menjenguk
Angin Pesut di dalam Liang Pemasung Sukma,
namun kau harus meninggalkan kepalamu dulu di
sini!" Di luar dugaan kakek Gentong Ketawa me-
nyahuti. "Kau menginginkan kepalaku nek? Buat
apa, lagipula kepala tanpa badan tidak ada gu-
nanya. Lalu kepala yang sebelah mana yang kau
inginkan? Ha ha ha!"
"Kau benar-benar gendut gila. Memangnya
kepalamu ada berapa bangsat!" damprat si nenek
marah. Gentong Ketawa yang merasa tidak punya
kesempatan masuk ke dalam gua sebelum dapat
merobohkan Bayangan Maut segera menanggapi.
"Ha ha ha! Aku lupa aku punya berapa, coba kau
hitung saja sendiri!" kata si kakek diselingi tawa
bergelak.
Merah padam wajah Bayangan Maut begitu
menyadari arti ucapan si kakek, hilang pula kesa-
barannya. Tanpa bicara lagi dan tidak membuang
waktu si nenek tiba-tiba keluarkan satu jeritan
melengking. Bersamaan dengan terdengarnya sua-
ra jeritan perempuan itu sosoknya berkelebat lak-
sana kilat. Dua kaki secara beruntun lepaskan se-
rangkaian tendangan secara susul menyusul. Ber-
samaan dengan tendangan yang dilepaskannya si
nenek juga lancarkan pukulan berupa jotosan
dengan menggunakan tangan kiri, sedangkan tan-
gan kanan dengan jemari terkembang menyambar
bagian wajah.
Kakek Gentong Ketawa begitu melihat se-
rangan itu sebenarnya sempat dibuat terkejut. Be-
lum pernah dia melihat seorang lawan dapat melancarkan serangan secara bersamaan dengan ke-
cepatan seperti itu. Namun dasar kakek konyol
sambil melompat selamatkan diri dia masih sem-
pat menggumam. "Hebat kurasa inilah jurus nenek
moyang serigala. Tak kusangka rupanya kau ma-
sih punya hubungan dengan mahluk menjijikkan
itu. Serigala tua sambutlah gebukanku!" berkata
begitu si gendut hantarkan tangan kirinya me-
nangkis tendangan Lawan. Sementara tangan kiri
berusaha lancarkan totokan di bagian bawah ke-
tiak Bayangan Maut.
Duuk!
Benturan keras antara tangan dan kaki la-
wan membuat tubuh si kakek tergetar. Sebaliknya
si nenek juga keluarkan seruan kaget. Tubuhnya
yang mengapung di udara sempat terdorong mun-
dur, tapi lebih celaka lagi jika dia tidak cepat me-
narik pukulannya dapat dipastikan totokan lawan
mengenai sasarannya. Si kakek begitu melihat la-
wan kehilangan keseimbangan dengan gerakan-
gerakan gerubak gerubuk seperti orang mabuk
merangsang maju. Kini dia melesat ke udara me-
nyusul lawan, sementara tangannya yang terkepal
dihantamkan ke bagian punggung lawan.
Bayangan Maut tidak sempat lagi menghin-
dar. Tak ayal tubuhnya terpental tinggi sejarak se-
puluh tombak terkena hantaran tinju orang tua
itu. Melihat ini Gentong Ketawa terus melenting-
kan tubuhnya mengejar sosok lawannya yang te-
rus melambung. "Ha ... ha, ha, ha! Rupanya kau
mau terbang ke langit. Bayangan Maut, kau ingin
mendarat di bulan, biarlah tua bangka jelek ini

membantumu sampai ke tempat tujuan!" berkata
begitu kakek Gentong Ketawa hantamkan satu
pukulan lagi. Si nenek yang masih belum sempat
menguasai diri terpental tinggi ke udara. Kini ja-
raknya dengan tanah sekitar tiga puluh batang
tombak.
Si nenek yang kemudian meluncur deras ke
bawah setelah pada puncak batas tenaga hanta-
man si Gendut meraung hebat. Dia tidak lagi
menghiraukan rasa remuk redam yang mendera
punggungnya akibat serangan penuh kegilaan
yang dilancarkan kakek Gentong Ketawa. Dia juga
kehilangan keseimbangan hingga saat jatuh ke ta-
nah Bayangan Maut jatuh dengan punggung terle-
bih dulu menghantam tanah.
Bayangan Maut menggeliat. Dia yang semu-
la menganggap remeh lawannya kini menyadari
bahwa lawan yang dihadapinya sesungguhnya bu-
kanlah manusia gila. Tapi seorang kakek konyol
yang menyembunyikan segala kesaktiannya di ba-
lik tampang yang tidak meyakinkan.
"Huarkh...!" begitu berdiri tegak si nenek
meraung hebat. Rasa amarah yang melanda jiwa si
nenek kiranya melebihi rasa sakit yang melanda
punggungnya. Dengan tatapan bengis perempuan
tua itu berseru. "Gendut kurang ajar, aku Bayan-
gan Maut jika hari ini tidak bisa membunuhmu bi-
arlah aku akan berguru pada raja iblis!"
Gentong Ketawa tertawa pendek. Dia lalu
menirukan ucapan si nenek. "Nenek kerempeng,
aku Gentong Ketawa jika hari ini tidak dapat
membetot telingamu biarlah aku juga ingin berguru pada setan ompong. Klak klak klak!"
Bukan main geramnya Bayangan Maut me-
lihat tingkah si gendut. Sambil katubkan mulut-
nya si nenek jatuhkan diri ke tanah. Dari mulut
orang tua itu terdengar suara racau aneh. Hanya
beberapa saat dia keluarkan racauan dengan sikap
seperti serigala hendak menerkam. Setelah itu ke-
tika nenek tersebut tegak seperti semula. Maka ki-
ni wajahnya nampak mengalami perubahan wajah
itu sama sekali bukan wajah si nenek seutuhnya
melainkan berubah-ubah antara wajah si nenek
atau bagian muka serigala.
Kakek Gentong Ketawa sempat dibuat ter-
kesiap melihat perubahan dan penampilan lawan-
nya. Dia segera menyadari kalau pada saat itu la-
wan tengah mengerahkan salah satu ilmu yang
menjadi andalannya.
Si kakek tua tidak mau mengambil resiko,
sadar lawan mengeluarkan ilmu simpanan maka si
kakek lipat gandakan tenaga dalam. Tenaga dalam
lalu disalurkan ke bagian tangan dan kaki. Semen-
tara itu di depan sana Bayangan Maut mengelua-
rkan suara lolongan panjang. Tak lama setelah su-
ara lolongan lenyap Bayangan Maut berkelebat le-
nyap dari pandangan kakek Gentong Ketawa. Si
gendut cepat memutar tubuhnya sambil memen-
tang kedua matanya. Lawan tetap tak terlihat ter-
kecuali satu bayangan hitam yang menyambar
mengelilingi si kakek disertai berkelebatnya tangan
dan kaki yang menyambar ke beberapa bagian tu-
buh si kakek. Sadar lawan dapat melancarkan se-
rangan dengan kecepatan luar biasa si kakek tiba

tiba jejakkan kakinya hingga tubuhnya melesat di
udara. Tapi secara tak terduga lawan dengan cepat
menyusulnya, tahu-tahu tangan Bayangan Maut
terjulur lalu menyambar bagian pinggang kakek
Gentong Ketawa. Si gendut mendapat serangan
begitu rupa masih dapat menghindar. Tapi seran-
gan berikutnya yang datang tidak terduga bertu-
rut-turut menghantam pinggulnya.
Kakek Gentong Ketawa jatuh bergedebukan.
Sebelum orang tua ini sempat berdiri tegak lawan
yang berada di atas ketinggian kini meluncur ke
bawah lalu melepaskan serangkaian tendangan
menggeledek. Meskipun si gendut telah menggu-
nakan jurus Belalang Mabok untuk menghindari
tendangan Bayangan Maut namun salah satu ten-
dangan itu masih menyambar dadanya. Tubuh be-
sar dengan bobot lebih dari dua ratus kati itupun
terpental, lalu jatuh dengan berlutut.
Untuk sementara kita tinggalkan perkela-
hian sengit antara kakek Gentong Ketawa dan
Bayangan Maut yang berlangsung menegangkan.
Kita kembali pada si raksasa Senggana dan Indah
Sari yang juga terlibat perkelahian tak kalah se-
runya dengan kakek gendut.
Saat itu perkelahian antara sang dara den-
gan Senggana sudah berlangsung lebih dari tujuh
puluh jurus. Dalam perkelahian yang cukup pan-
jang itu Indah Sari beberapa kali terkena pukulan
keras yang dilancarkan lawannya. Bahkan darah
nampak pula menetes dari sudut bibir Indah Sari.
Gadis itu sebenarnya sudah merasakan betapa
berbahayanya serangan Senggana. Tubuh sang dara yang terkena pukulan seolah remuk. Beruntung
Indah Sari mendapat gemblengan dari gurunya
sehingga dia dapat bertahan. Sebaliknya serangan
baik berupa pukulan dan tendangan beracun yang
dilancarkan sang dara juga mengenai punggung,
dada maupun perut kakek raksasa itu. Tapi seran-
gan-serangan itu bagi sang raksasa tidak menga-
kibatkan suatu cidera yang berarti. Celakanya bi-
arpun tubuh maupun pukulan sang dara mengan-
dung racun hebat, tapi raksasa Senggana ini kebal
terhadap serangan beracun maupun sentuhan
anggota tubuh lawannya. Hal ini dapat dimengerti
karena sebenarnya di dalam tubuh si kakek juga
mendekam racun yang tak kalah hebatnya berupa
racun Perubah Bentuk.
Akibatnya serangan sang dara yang men-
gandalkan racun yang terkandung di sekujur tu-
buhnya tidak mempunyai arti apa-apa bagi lawan-
nya.
Indah Sari kini merasa telah kehilangan ak-
al untuk menghadapi lawannya. Sementara meng-
harapkan bantuan gurunya saat itu tidak mungkin
mengingat sang guru sendiri sedang menghadapi
gempuran kakek gendut yang tidak dia kenal.
Indah Sari memang berada dalam posisi ter-
jepit, manusia raksasa yang bernama Senggana
tersebut ternyata terlalu tangguh baginya. Dia ti-
dak punya pilihan lain. Satu-satunya cara untuk
menghadapi gempuran manusia raksasa yang ber-
bahaya itu adalah dengan menggunakan Pedang
Tumbal Perawan. Karenanya beberapa saat setelah
tubuhnya terpental sejauh delapan tombak akibat

tendangan Senggana. Indah Sari yang kembali
muntahkan darah segar sambil terbungkuk-
bungkuk bangkit kembali. Senggana yang melihat
kenekadan si gadis saat itu segera memperin-
gatkan. "Masih ada kesempatan bagimu untuk
pergi dari tempat ini. Asal kau berjanji mau berto-
bat dan bersedia meninggalkan gurumu aku pasti
bersedia mengampuni jiwamu! Sekarang tinggal-
kanlah tempat ini!" perintah si kakek dengan suara
nyaring.
Bukannya pergi, Indah Sari sambil mengge-
ram segera mencabut pedang Tumbal Perawan da-
ri rangkanya. Rangka pedang itu sendiri seperti di-
ketahui berasal dari lengan tangan seorang gadis
perawan lengkap dengan jari-jarinya.
Sang raksasa sempat sipitkan matanya ke-
tika melihat pedang hitam berikut rangka pedang
yang tergantung di pinggang sang dara. Dia bah-
kan sempat tertegun ketika melihat pedang terse-
but langsung menggeletar seolah menjadi hidup
ketika berada dalam genggaman lawan.
"Hemm, aku yakin pedang di tangannya itu
bukanlah senjata biasa. Dia merupakan sebuah
senjata sakti yang menyimpan pengaruh dan ke-
kuatan iblis. Rasanya sekarang merupakan saat
yang tepat bagiku untuk melepaskan pukulan
'Raksasa Membelah Bintang." fikir si kakek.
Tak lama kemudian begitu Indah Sari me-
nyerbu ke arahnya dengan serangkaian serangan
mautnya, Senggana segera salurkan tenaga dalam
ke arah kedua belah tangannya. Dua tangan ke-
mudian diangkat tinggi melewati bagian atas kepala begitu dia melihat sinar hitam pekat berhawa
dingin luar biasa bergulung-gulung disertai suara
deru nyaring memekakkan telinga.
Kira-kira dua depa lagi ujung pedang mem-
babat putus kaki Senggana, manusia yang tinggi,
dia segera menghantam Indah Sari yang berada di
bawahnya.
Wuut! Wuut!
Berturut-turut serangkum sinar biru menyi-
laukan mata berkiblat. Hawa panas menggidikkan
langsung menyergap diri sang dara. Indah Sari
yang siap membabat perut Senggana menjerit ka-
get begitu merasakan sambaran hawa panas luar
biasa. Bahkan hawa dingin yang memancar dari
pedang Tumbal Perawan berubah meredup. Tak
punya pilihan lain Indah Sari terpaksa memutar
pedang di tangannya di bagian atas kepala mem-
bentuk perisai diri.
Begitu pedang diputar hawa dingin kembali
menyebar. Tak berselang lama terjadilah benturan
dahsyat luar biasa. Satu ledakan keras bagai men-
cerai beraikan sekujur tubuh orang-orang yang be-
rada di tempat itu. Bahkan Gentong Ketawa dan
Bayangan Maut yang terlibat perkelahian sengit
juga sempat jatuh terjengkang. Begitu juga halnya
Bayangan Maut. Tetapi kedua orang tua itu segera
bangkit kembali, lalu kembali terlibat perkelahian
seru.
Sementara itu begitu terjadi ledakan keras
Indah Sari jatuh terkapar. Pakaian yang melekat di
tubuhnya hancur, wajahnya menghitam. Biarpun
tidak hangus tapi panasnya luar biasa. Sedangkan

Pedang Tumbal Perawan masih tergenggam di tan-
gan si gadis. Pedang tersebut terus menggeletar
tak mau diam. Di depan sana Senggana yang tegak
tergontai-gontai nampak tertegun namun juga ka-
get. Dia terkejut karena ternyata lawan dapat ber-
tahan dari pukulan maut yang dilepaskannya, pa-
dahal jika orang lain yang terkena pukulan itu
pasti jiwanya tidak bakal selamat.
"Pasti ada yang salah." gumam Senggana
dalam hati. Sesaat dia memperhatikan si gadis
yang kini sudah bangkit berdiri. "Tak mungkin dia
dapat bertahan seperti itu. Pedang di tangannya
itu, aku yakin pasti senjata itulah yang membuat-
nya dapat bertahan dari pukulan."
Di depan kakek raksasa itu Indah Sari me-
natap tajam ke arah lawannya dengan pandangan
sinis. "Orang tua, ilmu pukulanmu memang hebat.
Tapi selama padang Tumbal Perawan berada di
tanganku jangan harap kau bisa mengalahkan
aku. Sekarang lihat serangan...!" Indah Sari berte-
riak lantang. Dengan gerakan cepat sang dara me-
nyerbu ke depan. Bersamaan dengan itu pedang di
tangannya terus menggeletar seolah hidup berke-
lebat menyambar ke bagian perut Senggana. Rak-
sasa itu tekankan kedua kakinya ke tanah, selan-
jutnya tubuh sang raksasa melesat ke udara. Da-
lam gerak cepat luar biasa Indah Sari yang gagal
menghantam perut lawan kini memutar

6

Untuk sementara kita tinggalkan dulu ka-
kek Gentong Ketawa dan Bayangan Maut yang ter-
libat perkelahian antara hidup dan mati. Kini kita
lihat dulu bagaimana nasib Angin Pesut yang di-
masukkan ke dalam ayunan batu lalu dipendam
ke dalam Liang Pemasung Sukma.
Setelah Bayangan Maut dan muridnya ber-
lalu meninggalkan gua. Angin Pesut tidak menyia-
nyiakan kesempatan itu. Dia sadar meskipun di-
rinya mengerahkan ilmu Selubung Es untuk me-
lawan hawa panas yang membakar ayunan batu,
hal itu tidak mungkin dapat dipertahankannya se-
cara terus menerus karena dapat menguras habis
seluruh tenaga yang dia miliki. Karenanya Angin
Pesut kemudian sambil tetap melindungi diri sege-
ra mencari jalan keluar. Dia berfikir tak mungkin
dirinya dapat keluar dari Liang Pemasung Sukma
jika dirinya tetap dalam keadaan tertotok juga teri-
kat kedua kaki dan tangan.
"Aku tak tahu Ni Pambayon menggunakan
ilmu totokan apa. Tapi aku dapat merasakan pen-
garuh totokan sangat kuat sekali. Satu-satunya
cara adalah dengan menghancurkan totokan den-
gan penyaluran tenaga dalam. Namun jika ini
sampai gagal resiko yang kutanggung sangat ting-
gi, lalu aku akan kehilangan semua tenaga. Jika
tenagaku terkuras habis, dapat kupastikan tu-
buhku bisa hangus." Batin si kakek.
Dia terdiam lagi, sambil mencoba mengatur
jalan nafas sementara sekujur tubuhnya meskipun
telah diselimuti ajian Selimut Es tetap saja bermandi keringat.
Tak berselang lama kemudian Angin Pesut
mengambil keputusan nekad. Dia tetap bertekad
membebaskan diri dari pengaruh totokan Bayan-
gan Maut meskipun resikonya jika dia gagal tu-
buhnya harus hangus. Sebaliknya jika usaha si
kakek berhasil dia paling tidak akan kehilangan
setengah dari tenaga dalam dan kekuatan yang dia
miliki.
Perlahan Angin Pesut memusatkan fikiran
dan segenap panca inderanya. Secara perlahan pu-
la si kakek salurkan tenaga yang bersumber dari
bagian pusar. Hawa panas mengalir deras dari
arah pusar ke bagian yang terkena totokan. Begitu
tenaga dalam yang disalurkan menyentuh bagian-
bagian tubuh yang kena totokan maka...
Dess! Dess!
Terjadi letupan dua kali berturut-turut. Dari
permukaan kulit yang ditotok mengepulkan asap
tipis berwarna kelabu.
"Kurang ajar. Mengapa bisa gagal!" desis si
kakek dengan hati berdebar dan perasaan kecut.
"Akan kucoba dua kali lagi. Jika sampai
gagal habislah sudah. Berarti hidupku memang
cuma sampai di sini!" guman Angin Pesut. Si ka-
kek lalu pejamkan matanya. Dia melipat gandakan
tenaga dalamnya. Setelah itu jika pertama tadi dia
salurkan tenaga dalam ke arah totokan dengan ca-
ra perlahan maka kini dilakukannya secara cepat.
Deep! Deep! Deep!
Asap tebal mengepul di udara. Si kakek
menarik

lagi. Tapi mengapa tubuhku jadi oleng begi-
ni? Eeh... benar-benar oleng!" kata si nenek den-
gan tubuh termiring-miring.
"Coba kau ingat-ingat nek. Barangkali kau
mabuk, bukankah tadi kau sempat minum air
sungai? Siapa tahu air sungainya diracun orang."
celetuk Gento kesal.
"Gento, kau jangan bercanda. Apa kau kira
telingaku sudah tuli? Tadi sebelum tanah ini ber-
guncang keras aku sempat mendengar suara ber-
gemuruh seperti pohon tumbang. Suara itu bisa
kupastikan datang dari gua Kalimayat.
"Mungkinkah gua yang hendak kita datangi
runtuh?" tanya Gento.
"Mengapa bisa runtuh?"
"Mana aku tahu. Melihat gua itu saja aku
belum pernah." sahut murid kakek Gentong Keta-
wa sambil bersungut-sungut.
"Sebaiknya kita ke sana sekarang!" berkata
begitu tanpa menunggu lebih lama nenek berwajah
remuk mengerikan berhidung sumplung segera ba-
likkan badan. Kemudian tanpa menoleh-noleh lagi
dia segera berkelebat pergi. Di satu tempat di atas
pendataran tinggi si nenek hentikan langkah. Ka-
rena si nenek berhenti Gento yang mengikuti tak
jauh di belakangnya juga ikut berhenti.
Hampir bersamaan kedua orang itu lalu
sama layangkan pandang ke arah mulut gua yang
jaraknya hanya belasan tombak dari tempat mereka berada. Baik Gento maupun nenek Palasik sa-
ma keluarkan seruan kaget ketika melihat apa
yang terjadi di sana.
"Bukankah orang yang tengah terlibat per-
kelahian di depan mulut gua itu adalah gendut
sinting gurumu Gento?" gumam si nenek.
Sang pendekar tergagap mendengar ucapan
si nenek. "Esh... apa katamu nek? Aku yakin sosok
besar itu adalah salah satu dari manusia raksasa
penghuni puncak bukit Kemukus. Kurasa dia te-
was. Sekarang aku tahu suara gemuruh yang kita
dengar tadi pasti berasal dari dirinya."
"Bocah edan, kau ini bicara apa?" geram si
nenek.
"Memangnya tadi kau bertanya apa nek?"
"Ah, kukira kau memperhatikan gurumu
yang sedang terlibat pertarungan tidak tahunya
yang kau lihat manusia raksasa yang sudah mati.
Mengapa kau hiraukan dia. Coba kau perhatikan
baik-baik, saat ini gurumu mendapat serangan
gencar dari lawannya. Jika kita tidak segera mem-
bantu gurumu bisa mati penasaran!"
Pendekar Sakti 71 terdiam. Kembali dia
layangkan pandang ke arah mulut gua, Gento jadi
terkesiap. Apa yang dikatakan nenek Palasik me-
mang benar adanya. Saat itu gurunya sedang ter-
libat satu perkelahian sengit dengan seorang ne-
nek yang tidak dikenalnya. Dari jarak yang cukup
tidak begitu jauh itu si pemuda dapat melihat si
gendut dalam keadaan terdesak menghadapi gem-
puran hebat lawannya.
"Gendut... gendut baru menghadapi nenek

bau tanah saja sudah kalang kabut. Apa karena
kau dan dia sudah sama-sama tua atau barangkali
kau sengaja memberi hati pada lawanmu" kata
Gento.
"Bocah goblok, gurumu dalam keadaan ter-
desak kau malah mentertawainya. Apa kau tidak
melihat lawannya memiliki ilmu dan jurus-jurus
yang hebat?" gumam si nenek. Si pemuda me-
nanggapi ucapan si nenek dengan mencibirkan
mulutnya. Lalu tanpa bicara apa-apa Pendekar
Sakti 71 layangkan pandangan matanya ke arah
gurunya. Benar seperti yang dikatakan nenek Pa-
lasik nampaknya lawan memang bukan manusia
sembarangan, jurus-jurus serta pukulan yang di-
lancarkannya sangat berbahaya. Tapi semua se-
rangannya itu bersumber pada gerak dan tingkah
laku binatang.
"Nenek itu menggunakan jurus-jurus Seri-
gala!"
Orang yang diajak bicara menyeringai. "Ru-
panya kau tidak tahu siapa yang dihadapi oleh gu-
rumu itu?"
"Memangnya siapa?" tanya Gento.
"Manusia jelek yang satu itu bernama Ni
Pambayon bergelar Bayangan Maut. Dia adalah
musuh besar Angin Pesut."
"Hah...!" Gento terperangah. "Jika begitu be-
rarti Angin Pesut sekarang ini ada di sana!" tukas
sang pendekar.
"Kurasa begitu. Cuma aku tidak melihat-
nya."
"Sebaiknya sekarang kita ke sana saja!"

usul Gento.
"Hik hik hik! Jika kau sebagai muridnya
memiliki kepandaian hebat, masa gurumu tidak
sanggup menghadapi nenek itu?" ujar si nenek
disertai tawa sinis.
"Yang aku takutkan bukan nenek itu."
"Lalu apa?" tanya nenek Palasik sambil
memandang tajam ke arah Gento.
"Muridnya."
Nenek Palasik tertawa mengikik. "Kau aneh,
gurunya tidak kau risaukan. Sebaliknya kau ma-
lah merisaukan muridnya? Apakah ini tidak terba-
lik namanya? Apakah murid nenek itu cantik
hingga kau tidak tega menjatuhkan tangan keras
padanya?" tanya si nenek lagi sambil menduga-
duga gerangan apakah yang menjadi ganjalan bagi
pemuda itu.
Pendekar Sakti 71 gelengkan kepala. "Sama
sekali bukan kecantikannya, nek. Kerisauanku
yang pertama, murid Bayangan Maut kemungki-
nan besar adalah putri kakek Angin Pesut. Se-
dangkan yang kedua kudengar Pedang Tumbal Pe-
rawan saat ini berada di tangan gadis itu."
Nenek Palasik sebenarnya sempat terkejut
mendengar kata-kata terakhir yang diucapkan
Gento. Biarpun dirinya belum pernah melihat ba-
gaimana rupa dan bentuk pedang Tumbal Pera-
wan. Namun nenek Palasik sudah mengetahui ka-
lau pedang Tumbal Perawan beberapa pekan te-
rakhir ini telah menimbulkan suatu kegegeran be-
sar dan telah banyak meminta korban. Senjata itu
bukan saja merupakan senjata yang sangat berbahaya. Selain mengandung racun jahat pedang
Tumbal Perawan menyimpan satu kekejian yaitu
menyedot habis darah orang yang menjadi kor-
bannya.
"Lalu apa yang harus kita lakukan. To?"
Gento layangkan pandangannya ke arah so-
sok berpakaian merah yang duduk bersila di atas
batu. Kemudian dia berkata. "Kau lihat gadis yang
di sana itu nek?" tanya sang pendekar sambil me-
nunjuk ke arah dimana sang dara berada. Nenek
Palasik melirik ke arah yang ditunjuk Gento. Sete-
lah itu dia anggukkan kepala.
"Aku menaruh duga gadis itu adalah murid
Bayangan Maut putri dari Angin Pesut." ujar nenek
Palasik.
"Tepat sekali. Aku menaruh dugaan telah
terjadi sesuatu pada kakek Angin Pesut." gumam
sang pendekar.
Si nenek kernyitkan keningnya. "Dugaan?
Dugaan apa maksudmu?" si nenek menukas.
"Kurasa Angin Pesut sudah tewas nek.
Mungkin dia gagal menyadarkan anaknya. Bisa ja-
di gadis itu tidak terima, lalu akibat pengaruh
Bayangan Maut dia lalu membunuh ayahnya sen-
diri."
"Ah, celaka. Benar-benar anak yang durha-
ka!"
"Gadis itu tidak bisa disalahkan. Karena se-
jak kecil dia berada dalam asuhan Bayangan
Maut. Selama dalam asuhannya tentu saja Bayan-
gan Maut meracuninya dengan berbagai pengaruh,
tipu muslihat pokoknya apa saja sehingga dia akhirnya benar-benar merasa yakin bahwa orang tu-
anya memang sudah tidak ada lagi di dunia ini."
"Benar-benar gila. Dia telah mengatur sega-
la sesuatunya dalam jangka waktu yang amat pan-
jang. Bayangan Maut memang benar-benar manu-
sia licik."
"Bukan licik, dia cukup cerdik. Balas den-
dam yang sangat sempurna. Anak dan ayah saling
membunuh, bukankah ini sebuah kenyataan yang
menyakitkan?" kata Gento.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Guruku mungkin butuh bantuan. Kita
hanya tinggal menunggu kesempatan yang terbaik.
Bukannya aku bicara sombong selama gadis itu ti-
dak ikut mengeroyok guruku dan mempergunakan
pedang Tumbal Perawan. Aku yakin nenek itu tak
bakal sanggup membunuhnya. Paling juga mem-
buatnya babak belur!" Gento berucap sambil me-
nahan senyum.
Si nenek jadi tertawa mendengar gurauan
Gento.
"Bocah sial kau!"

7

Kita kembali pada Gentong Ketawa dan
Bayangan Maut yang tengah terlibat perkelahian
antara hidup dan mati. Ketika itu kakek gendut ini
telah menderita luka-luka di beberapa bagian tu-
buhnya. Bagian keningnya yang terkena tinju la-
wannya nampak marah memar, sedangkan pada

bagian dada yang terkena sambaran kuku-kuku
Bayangan Maut nampak meneteskan darah. Baju
hitamnya sudah tidak berupa pakaian lagi, selain
kotor berselimut debu juga tercabik-cabik di bebe-
rapa bagian.
Selain itu bagian bawah kaki celana si gen-
dut juga robek besar. Di balik celana darah terus
menetes dari luka memanjang akibat serangan si
nenek. Sebaliknya lawan yang pada saat itu me-
nyerang si gendut dengan jurus andalan yang di-
kenal dengan nama 'Bayangan Serigala' juga men-
galami nasib tak jauh lebih baik dari kakek Gen-
tong Ketawa.
Pakaian di bagian punggung si nenek yang
terkena pukulan si gendut nampak hangus, bagian
pipi menggembung bengkak terkena tamparan ke-
ras si gendut. Lalu baju di bagian perut robek ter-
kena sambaran senjata kakek Gentong Ketawa
yang berupa sebuah besi pipih bercabang dua
berwarna putih mengkilat berujung runcing den-
gan kedua sisi tajam dan berbentuk seperti gagang
ketapel.
Dibandingkan dengan Bayangan Maut
sesungguhnya kakek Gentong Tertawa lebih men-
derita lagi. Sungguhpun saat itu dia masih dalam
keadaan segar bugar, namun si kakek di luar se-
pengetahuan lawan sebenarnya menderita cidera
di bagian dalam. Biarpun dia mengalami nasib se-
perti itu, sama sekali si gendut yang satu ini tidak
menunjukkan tanda-tanda penderitaan. Mulut ka-
kek Gentong Ketawa selalu mengurai senyum. Apa
yang diperlihatkan si kakek tentu saja mengundang heran bagi Bayangan Maut. Sehingga kini se-
telah dapat tegak kembali akibat bentrok pukulan
dengan si gendut, sambil memperhatikan gerak ge-
rik lawan dalam hati Bayangan Maut berkata.
"Gendut sinting yang satu ini entah punya ilmu
apa. Pukulanku seolah tidak membawa akibat
apa-apa bagi dirinya. Kulihat tubuhnya seolah-
olah kebal pukulan. Padahal ketika aku mengha-
jarnya tadi, aku menggunakan setengah dari tena-
ga sakti yang kumiliki!"
"Nenek serigala. Apa yang ada dalam otak-
mu. Sejak tadi kau memandangku terus. Apakah
ini merupakan suatu tanda bagiku bahwa kita ti-
dak perlu menyambung nyawa. Sebagai gantinya
kita saling berpandangan sampai akhirnya kita
saling jatuh cinta. Ahh... hidup ini memang asyik-
asyik sedap, bukankah begitu nenek cantik?" sin-
dir si kakek. Mulutnya berkata begitu. Tapi yang
sebenarnya diam-diam dia salurkan tenaga dalam
lewat tatapan matanya.
Apa yang dilakukan kakek Gentong Ketawa
ini dirasakan benar oleh Bayangan Maut. Sambil
mendengus dia palingkan wajahnya ke jurusan
lain. Tapi celaka! Kepala si nenek sulit digerakkan,
lehernya seolah menjadi kaku seperti dipantek.
"Kakek jahanam itu rupanya diam-diam
hendak mengadu jiwa denganku. Aku tidak mau
melayaninya dengan cara seperti itu. Sekarang su-
dah waktunya bagiku untuk menggunakan jurus
Serigala Seribu." geram si nenek.
Sambil menggeram pula Bayangan Maut
menggelengkan kepala dengan satu sentakan ke

ras. "Hik hik hik! Kau hendak mencoba menipuku
dengan cara seperti itu, gendut? Kau tak bakal bi-
sa melakukannya!" dengus si nenek begitu berhasil
membebaskan diri dari pengaruh sorot mata kakek
Gentong Ketawa.
"Jika sekarang kau sudah bebas, lalu kau
bisa berbuat apa? Kau hendak memanggil murid-
mu agar dapat bersama-sama melakukan penge-
royokan terhadapku? Silahkan saja. Ha ha ha!"
"Kakek keparat perlu apa aku mengeroyok-
mu. Dengan kedua tanganku ini aku sanggup
membunuhmu!" Bayangan Maut menggeram. Se-
kejap saja nenek itu melesat ke arah lawannya.
Laksana kilat tubuhnya berkelebatan di udara
menyambar dada dan bagian belakang tubuh si
kakek. Gentong Ketawa kembangkan kedua tan-
gannya, lalu menyambuti serangan lawan dengan
tusukan senjata bercabang dua.
Tapi lawannya dengan mudah dapat meng-
hindar serangan senjata si gendut yang datang
laksana badai, malah kini sambil menghindar
Bayangan maut segera melancarkan serangan ba-
lasan. Si kakek bergerak mundur hindari tendan-
gan dan pukulan yang dilepaskan oleh lawannya.
Setelah itu dia balas melakukan serangan yang tak
kalah sengitnya.
Tetapi semua serangan balik yang dilancar-
kan oleh si kakek ternyata dapat ditangkis oleh si
nenek. Bahkan tusukan maupun babatan senjata
di tangan si gendut selalu mengenai tempat ko-
song. Kenyataan ini tentu cukup mengejutkan bagi
kakek Gentong Ketawa.

Sadar lawan telah mengerahkan hampir se-
bagian besar dari ilmu simpanannya si kakek se-
gera melompat ke udara. Melihat lawan berusaha
meloloskan diri Bayangan Maut segera memotong
gerak lawannya sambil melepaskan satu tendan-
gan menggeledek. Dalam keadaan mengambang
tentu sangat sulit bagi kakek gendut ini untuk
menghindar. Namun dia tidak kehabisan akal,
dengan tangan kiri dia menangkis tendangan la-
wan sedangkan tangan kanan meluncur deras
mencari sasaran di bagian perut.
Dess!
Plak!
Tangkisan yang dilakukan si gendut luput.
Tendangan mengenai dada si kakek, sebaliknya se-
rangan tangan kanan kakek gendut Gentong Ke-
tawa juga menghantam perut Bayangan Maut.
Si gendut jatuh bergedebukan, sedangkan
lawannya meskipun sempat terhuyung-huyung
namun masih bisa jatuhkan diri dengan kedua
kaki terlebih dulu menjejak tanah.
Kini sambil memegangi perutnya yang se-
perti hancur Bayangan Maut menatap lurus ke de-
pan. Dia melihat kakek gendut meringkuk, dari
mulutnya yang meneteskan darah terdengar suara
erangan tak berkeputusan. Jelas dia menderita lu-
ka dalam yang tidak ringan.
Menyangka lawannya sudah tidak berdaya
Bayangan Maut dengan nada sinis berkata lan-
tang. "Manusia keparat! Kau lihatlah ke langit! Ku-
lihat di atas sana malaikat maut siap menjemput
nyawamu untuk segera dibawa ke neraka. Kuakui

di antara musuh-musuhku kau adalah salah seo-
rang lawan yang cukup tangguh. Namun pada ak-
hirnya kenyataan membuktikan siapa yang terbaik
di antara kita!"
Si gendut menyeringai kesakitan. Setelah
bersusah payah akhirnya dia mampu duduk men-
jelepok di atas tanah pasir. Sejenak dia menarik
nafasnya yang menggap-menggap. Kemudian sam-
bil menyeka darah yang meleleh di sudut bibirnya
kakek Gentong Ketawa dongakkan kepala meman-
dang ke langit. Setelah menatap langit sambil ter-
senyum dia menggumam. "Bayangan Maut, ru-
panya matamu sudah lamur. Kau mengatakan me-
lihat malaikat maut siap menjemputku. Padahal
yang kulihat saat ini adalah para bidadari cantik
yang tersenyum penuh rasa cinta. Aku yakin kau
pasti merasa iri atas kehadiran mereka sehingga
kau jadi bicara ngaco! Ha ha ha!"
Lenyaplah sudah kesabaran Bayangan
Maut. Dia lalu menarik kedua tangannya ke bela-
kang. Dengan cepat si nenek salurkan tenaga da-
lam ke bagian tangannya. Sementara itu mulut si
nenek berkemak-kemik dan sesekali dari mulut itu
keluar lolongan.
Hanya dalam beberapa kejapan kedua tan-
gan si nenek telah berubah menjadi merah kehi-
taman. Si kakek yang melihat semua itu menyada-
ri lawan nampaknya siap melepaskan pukulan
yang menjadi andalannya. Dia tidak mau men-
gambil resiko. Meskipun saat itu kakek Gentong
Ketawa tengah menderita cidera di bagian dalam,
namun dia juga siap melepaskan pukulan Raja

Dewa Ketawa. Pukulan itu adalah salah satu ilmu
andalan si kakek.
"Auuung...!"
Si nenek keluarkan suara lolongan panjang.
Bersamaan dengan itu pula sosoknya melesat ke
arah kakek gendut sambil hantamkan kedua tan-
gannya ke arah orang tua itu. Si kakek jadi terke-
sima ketika melihat bagaimana dari tangan
Bayangan Maut melesat sinar merah dan hitam.
Sinar itu berturut-turut membentuk rupa sosok
serigala yang menerkam ke arahnya dengan mulut
ternganga siap mencabik-cabik. Yang mengerikan
sinar berbentuk sosok serigala itu ternyata tidak
satu, tapi banyak saling susul menyusul secara
mengerikan.
Si gendut menyadari inilah saatnya dia me-
lepaskan pukulan sebelum cahaya berupa serigala
tersebut menerjang dan mencabik-cabik tubuhnya.
Tanpa menunggu sambil tetap duduk menjelepok
di atas pasir si kakek dorongkan kedua tangan
menyambuti pukulan lawan. Segulung sinar ber-
warna biru merah dan jingga menderu di udara,
membuat suasana di sekitarnya berubah panas
seperti berada di neraka. Lalu terjadilah benturan
keras yang disertai dengan terdengarnya suara le-
dakan berdentum.
Sebelumnya si kakek dalam keadaan terlu-
ka. Akibat luka-lukanya itu membuat kakek Gen-
tong Ketawa tak bisa menggunakan tenaga dalam
penuh. Tak ayal si gendut terjengkang. mulutnya
kembali menyemburkan darah. Celakanya pada
waktu itu Bayangan Maut terus melakukan gebrakan sambil hantamkan tangan kembali ke arah si
kakek.
Cahaya merah dan hitam yang menderu da-
ri tangan Bayangan Maut kembali membentuk so-
sok serigala yang siap memporak porandakan tu-
buh lawannya. Namun ketika pukulan Bayangan
Maut hampir menelan habis sosok si gendut, pada
saat itulah terdengar suara bentakan menggeledek
disertai berkelebatnya dua sosok bayangan ke arah
si nenek. "Siapa yang berani membuat celaka si
gendut dia harus berhadapan denganku!" bersa-
maan dengan terdengarnya suara teriakan itu ter-
lihat segulung angin berhawa panas dan selarik
sinar biru memapas pukulan yang dilepaskan oleh
Bayangan Maut. Pukulan sinar yang membentuk
sosok-sosok serigala itu tak dapat dihindari lagi
akhirnya berbenturan di udara dengan pukulan
yang dilepaskan oleh dua sosok yang berkelebat di
udara.
Buuum! Buum!
Dua ledakan dahsyat berturut-turut meng-
guncang tempat itu. Bayangan Maut keluarkan je-
ritan tertahan, tubuhnya terdorong mundur bebe-
rapa tombak. Tapi meskipun tubuhnya sempat
oleng nenek itu masih dapat jatuhkan diri dengan
kedua kaki terlebih dulu menjejak tanah. Wajah
angker si nenek nampak memucat dadanya terasa
sesak bukan main. Dengan hati masih diliputi rasa
kaget Bayangan Maut memandang lurus ke de-
pannya. Dua sosok yang menyerangnya dengan
pukulan jarak jauh tidak kelihatan akibat udara di
sekitarnya tertutup debu. Barulah ketika debu lenyap si nenek melihat di depan sana berdiri tegak
seorang nenek berpakaian hitam berkaki kuda.
Wajah nenek itu tak kalah menyeramkan diban-
dingkan dirinya sendiri. Karena muka nenek di
depan sana selain hancur mengerikan juga tidak
memiliki hidung.
Jika sosok nenek yang satu ini tidak sedap
dipandang mata, lain halnya dengan sosok yang
satunya lagi. Yang satu ini adalah seorang pemuda
tampang berambut gondrong bertelanjang dada. Di
bagian dada itu tergantung sebuah kalung perma-
ta batu berbentuk bulat lonjong. Lagak si pemuda
selalu cengengesan seperti orang sinting. Ketika
Bayangan Maut memandang ke arah pemuda itu
dia bersikap acuh tak acuh. Seolah dia mengang-
gap kehadiran si nenek yang hampir mencelakai si
gendut sepi-sepi saja. Malah pemuda gondrong itu
bertanya pada kakek Gentong Ketawa. "Gendut...
kulihat tubuhmu babak belur begitu? Dasar kakek
tolol, pada perempuan jelek seperti itu masih juga
bersikap mengalah. Memang apa yang kau ha-
rapkan dari tua bangka seperti dia sehingga kau
mau saja digebuki? Ha ha ha!"
Si gendut yang setelah peristiwa terjadinya
ledakan nampak berusaha menyembuhkan luka
dalamnya melalui pengerahan hawa murni segera
membuka matanya. Dia memandang ke arah si
gondrong. Hatinya menjadi girang melihat kehadi-
ran muridnya. Ketika dia melirik ke arah nenek
yang bersama sang murid kakek Gentong Ketawa
unjukkan wajah cemberut. Sambil bersungut-
sungut dan unjukkan wajah marah si gendut

mendamprat. "Gege... dasar bocah tolol. Memang-
nya selama ini kau kelayapan ke mana saja?"
Dikatakan bocah edan pemuda itu bukan-
nya marah, tapi malah tertawa tergelak-gelak.
Enak saja dia menjawab. "Menurutmu aku pergi
ke mana, ndut? Tentu saja aku pergi ke sorga me-
lihat bidadari-bidadari cantik!" sahut sang pende-
kar.
Si gendut delikkan matanya. "Otakmu be-
nar-benar tidak beres. Kalau kau pergi ke sorga
mengapa yang bersamamu itu seorang genderuwo
berujud seorang nenek bermuka tak karuan?"
Lagi-lagi sang pendekar tertawa bergelak.
Sedangkan nenek yang bersamanya menggerutu
geram dan memandang pada kakek Gentong Ke-
tawa dengan mata mendelik.
"Guru salah sangka. Selesai ke surga aku
mampir ke neraka. Disana aku bertemu dia. Lalu
malaikat penjaga menitipkan nenek ini. Aku ter-
paksa membawanya. Kata penjaga itu nenek yang
kini bersamaku bisa kau jadikan teman hidup. Ha
ha ha!"
"Puah...bocah edan. Apa kau mengira gu-
rumu ini sudah tak sanggup mencari pendamping
hidup sendiri?" damprat si kakek.
"Gendut pesek, lagipula siapa yang sudi
menjadi istrimu. Kalau aku mau selusin kakek bu-
tut sepertimu masih bisa kudapatkan dengan mu-
dah!" damprat si nenek gusar.
"Ha ha ha. Biarpun butut-butut begini aku
tidak ada duanya." Si kakek lalu mengelus hi-
dungnya. Sambil menyengir dia kembali berkata.
"Hidungku memang pesek, tapi masih lumayanlah
daripada kau tidak punya hidung sama sekali!"
Sambil tersenyum Pendekar Sakti 71 me-
nimpali ucapan gurunya. "Guruku memang tidak
ada duanya. Dia tidak ubahnya seperti barang an-
tik, seperti yang pernah kulihat perabotannya juga
antik! Ha ha ha!"
Nenek Palasik menggeram. Setengah berbi-
sik dia berkata ditujukan pada Gento. "Sejak awal
memang sudah kuduga, kau dan gurumu si gen-
dut gila itu memang bukan orang-orang yang tidak
memiliki kewarasan." dengus si nenek.
Melihat nenek Palasik berbisik-bisik kakek
Gentong Ketawa bertanya pada muridnya. "Gege...
memangnya dedemit kesasar itu bicara apa?"
Pendekar Sakti 71 tersenyum, namun ke-
mudian dengan mimik serius dia menyahuti. "Ah...
dia cuma mengatakan dulu ketika kau masih mu-
da dan badanmu belum segendut sekarang kau
merupakan pemuda idaman setiap gadis. Tapi ka-
tanya dasar tidak ada keberesan pada otakmu
maka kau lebih suka menjalin hubungan kasih
dengan para janda genit!"
"Hah dia bicara seperti itu?" teriak si kakek
sambil delikkan matanya. Beberapa saat dengan
muka merah akibat menahan malu karena raha-
sianya dibongkar orang si gendut pandangi si ne-
nek. Nenek Palasik tertawa mengikik melihat si
gendut yang salah tingkah. Barulah kemudian dia
berkata. "Kau lupa padaku Gentong Ketawa? Atau
kau sudah tidak mengenali tua bangka buruk ini"
Si gendut terkesiap, bola matanya membu

lat besar. Dengan mulut bergetar si kakek beru-
cap. "Kau... kau. Bukankah kau Nyai Palasik, Se-
tan Betina dari Ungaran?"
"Hik hik hik. Bagus kalau matamu belum
lamur, sobatku."
"Ah, aku tak menyangka yang hadir di ha-
dapanku ini dirimu adanya sobatku!" ujar si ka-
kek.
"Aku juga tak menduga kakek jelek yang
hampir mampus di tangan nenek itu adalah diri-
mu!" sahut si nenek.
Gentong Ketawa mengekeh sambi bertanya.
"Bagaimana kau bisa bertemu dengan muridku?"
"Mengenai pertanyaanmu itu biarlah mu-
ridmu bocah edan ini yang menjawab nanti setelah
urusan di sini selesai. Yang terpenting sekarang ki-
ta bereskan urusanmu mengenai nenek itu!" ujar
nenek Palasik.
Kakek Gentong Ketawa manggut-manggut.
Dia bersama yang lain-lainnya kemudian sama
memandang ke arah Bayangan Maut juga ke arah
gadis berpakaian merah yang masih duduk di atas
batu. Gadis itu masih memejamkan mata, seolah
tidak perduli dengan semua kejadian yang ber-
langsung di tempat itu.
"Inikah manusianya yang menghendaki ke-
matian Angin Pesut, ndut?" tanya si nenek dituju-
kan pada kakek Gentong Ketawa.
"Kau tidak salah. Konon dulunya dia adalah
kekasih Angin Pesut. Tapi kemudian terjadi sesua-
tu....!"
Ucapan si gendut segera dipotong oleh ne

nek Palasik. "Kau tidak usah menceritakan mimpi
buruk hidupnya. Aku sudah tahu, aku sudah
mendengarnya sejak lama!" ujar si nenek.
Gento memandang ke segenap penjuru. Ka-
rena dia tidak melihat adanya Angin Pesut di seki-
tar tempat itu selain mayat manusia raksasa
Senggana, pemuda itu lalu ajukan pertanyaan.
"Ndut... aku tak melihat kakek Angin Pesut. Di
manakah dia? Apakah nenek setan itu telah mem-
bunuhnya?"
"Saat ini dia berada dalam Liang Pemasung
Sukma. Mengenai nasibnya aku belum tahu. Keti-
ka datang aku hendak memeriksa ke dalam gua,
tapi nenek itu menghalangiku!" jelas si kakek.
"Hem, lalu bagaimana kakek raksasa ini bi-
sa menemui ajal?" tanya sang pendekar.
Kakek Gentong ketawa menunjuk ke atas
batu dimana Indah Sari berada. "Dia yang mem-
bunuhnya!"
Beberapa jenak lamanya Pendekar Sakti 71
Gento Guyon dan nenek Palasik memandang pada
si gadis. Sang pendekar tak dapat menutupi rasa
kagetnya saat melihat pedang yang tergantung di
pinggang Indah Sari.
Kepada nenek Palasik dia berbisik. "Senjata
itu, bukankah merupakan senjata maut yang ber-
nama Pedang Tumbal Perawan?"
Si nenek tidak segera menjawab, dia men-
gamat-amati pedang berangka lengan manusia itu
beberapa jenak lamanya. Setelah itu barulah dia
menganggukkan kepalanya. "Kau tidak salah Gen-
to. Pedang yang tergantung di pinggangnya memang Pedang Tumbal Perawan. Senjata itu amat
berbahaya. Bahkan mungkin tiga kali lebih berba-
haya dari nenek yang di depan kita."
"Jika gadis itu tak bisa dibuat sadar, aku
terpaksa mengambil tindakan tegas. Pedang Tum-
bal Perawan nampaknya sudah memakan korban.
Raksasa ini aku yakin adalah orang tua Anggagi-
ni."
"Anggagini siapa?" tanya si nenek.
"Seorang gadis yang dulunya pernah mene-
rima akibat dari pengaruh Racun Perubah Ben-
tuk."
Si nenek terdiam, dia coba mengingat-ingat.
"Hh, kalau tak salah keluarga raksasa ini ada em-
pat, lalu yang tiga orang lagi kemana?" Gento ge-
lengkan kepala. "Kurasa mengenai raksasa itu tak
penting. Mereka ada dimana tak perlu kita per-
soalkan. Yang harus kulakukan saat ini adalah
mencari tahu apakah Angin Pesut masih hidup
atau sudah mati!"
"Kalau begitu kau harus masuk ke dalam
gua itu Gento!" ujar si nenek.
"Persoalan memeriksa gua serahkan pada-
ku." Kakek Gentong Ketawa tiba-tiba menyahuti.
Sang Pendekar memandang gurunya den-
gan penuh rasa khawatir. Dia sadar saat ini gu-
runya belum pulih sepenuhnya dari luka dalam
yang dia derita. Karena itu dia bertanya. "Guru...
menurutku urusan melihat Angin Pesut ke dalam
gua biar dilakukan oleh nenek Palasik sahabatmu.
Sedangkan kau sebaiknya istirahat, kalau perlu
kau boleh tidur. Kau cari sendiri tempat yang

aman!" ujar sang pendekar.
Si gendut langsung delikkan matanya. "Kau
jangan menganggap remeh lawanmu Gege. Nenek
itu manusia gila. Jika dia maju bersama muridnya
aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian ber-
dua!"
"Guru, apa gunanya kau punya murid jika
setiap menghadapi kesulitan besar kau yang selalu
repot sendiri!" ujar Gento.
Kakek Gentong Ketawa tersenyum. Dia me-
rasa senang mendengar ucapan muridnya. Tetapi
sebagai guru tentu saja dia tidak ingin terjadi se-
suatu yang tidak dikehendaki pada Gege.
"Baiklah. Ada baiknya aku menyingkir ke
tempat yang aman. Aku hendak tidur, kalau kau
merasa kesulitan cukup berteriak yang keras gu-
rumu ini pasti segera datang memberi bantuan!"
habis berkata si kakek bangkit berdiri, setelah itu
tanpa menoleh dia menghampiri batu bundar, me-
rebahkan tubuhnya di sana sambil memejamkan
mata namun tetap memasang telinga.
Setelah melihat kakek gendut merebahkan
diri, Gento kini berpaling pada nenek Palasik.
"Nek...sekarang sudah waktunya kau menyelidiki
ke dalam gua itu!" ujar si pemuda.
Nenek Palasik anggukkan kepala. Tanpa
menunggu lebih lama nenek itu segera berkelebat
ke arah gua. Namun di luar dugaan Bayangan
Maut yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik
orang tiba-tiba tekankan tumit kaki kirinya.
Wuuut!
Laksana kilat dia melesat menghadang ge

rakan nenek Palasik sambil kirimkan satu jotosan
ke arah perut orang. Nenek Palasik terkesiap, tapi
cepat lipat sikunya. Siku segera didorong menang-
kis jotosan lawan.
Duuuuk!
Terdengar seruan kaget. Nenek Palasik ter-
dorong mundur, tubuhnya tergetar namun masih
sempat jatuhkan diri dengan dua kaki menjejak
tanah. Sebaliknya sosok Bayangan Maut hanya
terdorong satu tindak. Dia pandang ke depan den-
gan mata melotot.
"Nenek hidung sumplung berkaki kuda, aku
sudah sering mendengar namamu. Tak pernah ku-
sangka hari ini kita bertemu. Kalau aku tidak sa-
lah mengingat bukankah kau sendiri memendam
kesumat pada Angin Pesut. Kalau tak salah pula,
suamimu dibunuh laki-laki terkutuk itu. Mengapa
kini kau malah hendak membantu Angin Pesut?"
damprat Bayangan Maut.
Nenek Palasik menyeringai. Dia maklum da-
ri benturan tadi ternyata tenaga dalam yang dimi-
liki Bayangan Maut berada satu tingkat di atasnya.
Dia harus berhati-hati tapi juga segera menjawab
pertanyaan orang. "Bayangan Maut, persoalan
dendamku kepada Angin Pesut telah kuselesaikan
dalam suatu pertarungan yang adil. Jika hari ini
aku berada di hadapanmu semata-mata bukan ka-
rena aku membela Angin Pesut. Semua itu semata-
mata kulakukan demi menepati janjiku pada pe-
muda itu!" tegas si nenek.
Bayangan Maut menyeringai. "Memangnya
kau punya janji apa dengan bocah gondrong gila

ini? Mau hidup bergendak dengannya?" desis
Bayangan Maut sinis.
"Hik hik hik. Niat hati memeluk bukit apa
daya bukitnya runtuh. Bayangan Maut, kau tidak
usah iri. Jika dirimu merasa tertarik pada gon-
drong itu silahkan kau bawa saja!"
Bayangan Maut kertakkan rahang. Sekali
melompat dia telah berada di hadapan nenek Pala-
sik. Kemudian secara tak terduga tangannya kiri
kanan secara bersilangan menyambar ke arah ne-
nek Palasik. Si nenek tersentak kaget, dia berusa-
ha melompat mundur sambil menangkis serangan
lawan dengan melakukan totokan pada bagian
bawah lengan.
Bret! Bret!
Gerakan nenek Palasik kiranya kalah cepat
dengan sambaran kuku lawan. Akibatnya bagian
dada si nenek robek besar. Biarpun begitu Bayan-
gan Maut juga tak kalah kagetnya ketika menda-
pati bagaimana bagian sikunya mendadak menjadi
kaku tak dapat digerakkan.
Dengan langkah terhuyung Bayangan Maut
cepat mengusap lengannya dengan tangan satu la-
gi yang luput dari totokan. Sebentar saja totokan
lawan lenyap. Begitu terbebas dari totokan lawan
si nenek menyerbu ke arah nenek Palasik. Tapi si
nenek yang sudah merasakan kehebatan Bayan-
gan Maut tak mau berlaku tolol untuk yang kedua
kalinya. Sekali kakinya dihentakkan ke tanah,
maka tubuhnya langsung amblas lenyap dari pan-
dangan.
Bayangan Maut jadi terkesima untuk bebe

rapa jenak lamanya. Selagi dia tertegun mulutnya
mendesis.
"Ilmu Menyusup Bumi...!" Bayangan Maut
berseru kaget. Justru pada waktu itu permukaan
tanah nampak bergerak-gerak seperti hidup. Gera-
kan tanah yang bergelombang seperti air laut cepat
sekali mendekat ke arah Bayangan Maut. Perem-
puan tua ini baru menyadari bahaya yang men-
gancamnya ketika tanah yang dijadikan sebagai
tempat berpijak sekonyong-konyong amblas. Lalu
dari dalam tanah yang amblas itu menyambar se-
pasang tangan ke bagian kaki Bayangan Maut. Da-
lam kagetnya tak menyangka mendapat serangan
sehebat itu Bayangan Maut masih berusaha me-
nyelamatkan diri dengan cara melompat di udara.
Tapi gerakan yang dilakukan masih kalah cepat
dengan sambaran kedua tangan lawan yang me-
nyembul dari bawah permukaan tanah.
Kratp! Kreek!
Begitu kedua kaki kena dicengkeram,
Bayangan Maut merasakan tubuhnya dibetot ke
bawah dan dibawa masuk ke dalam tanah. Nenek
itu tentu saja jadi kelabakan. Apa yang terjadi pa-
da dirinya memang merupakan suatu kenyataan
yang jauh dari jangkauan akal sehat. Bagaimana
mungkin lawan dapat memperlakukan dirinya se-
perti itu. Dalam gelapnya suasana di bawah sana
Bayangan Maut menjadi sasaran pukulan-pukulan
maut lawannya. Si nenek menggerung hebat, se-
mentara permukaan tanah nampak bergerak-gerak
akibat perkelahian sengit yang berlangsung di da-
lamnya.

Sementara itu ketika tubuh Bayangan Maut
terbetot amblas ke dalam tanah, pada waktu ber-
samaan Indah Sari yang merasakan goncangan
hebat pada batu yang didudukinya nampak mem-
buka matanya. Begitu mata terbuka sang dara
memandang ka arah gurunya. Gadis ini segera
berseru kaget ketika melihat bagaimana tubuh gu-
runya tiba-tiba terperosok amblas ke dalam tanah
seolah ada satu kekuatan yang membetotnya dari
bagian dalam. Tak ingin melihat gurunya menga-
lami nasib celaka. Sambil berteriak nyaring dan
menghunus pedang miliknya sendiri Indah Sari
berkelebat ke arah lenyapnya Bayangan Maut. Dia
lalu hunjamkan pedangnya ke tempat yang dia
perkirakan musuh besar gurunya berada. Melihat
ini Gento tentu tidak ingin terjadi sesuatu pada
nenek Palasik. Karena itu sang pendekar melom-
pat ke depan. Dengan gerakan yang sulit diikuti
kasat mata dia menghantam tangan Indah Sari
yang memegang pedang.
Plak!
Hantaman yang dilakukan Gento tepat
mengenai sasaran. Pedang di tangan sang dara ter-
lepas mental, melambung tinggi ke udara lalu me-
luncur jatuh menimpa salah satu batu yang terda-
pat di sekitarnya.

8

Indah Sari tertegun, apa yang terjadi pada
dirinya merupakan suatu kenyataan yang sulit di-
percaya. Ketika dia memandang ke depan sang da-
ra lebih terkejut lagi ketika melihat seorang pemu-
da tampan berambut gondrong berdiri tegak di ha-
dapannya. Dia yakin pemuda itulah yang telah
membuat pedangnya terjatuh.
"Kau... apakah kau muridnya kakek gendut
itu?" tanya sang dara dengan suara bergetar.
"Kau tak salah. Kakek gendut yang tidur di
atas batu itu memang guruku." Sahut sang pende-
kar. "Kalau tak salah bukankah kau anak kakek
Angin Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Delapan
Bayangan?"
Di luar dugaan pertanyaan Gento mem-
bangkitkan amarah di hati Indah Sari. Dengan ma-
ta menyorot tajam penuh kebencian dan muka
merah padam sang dara berteriak. "Pemuda ber-
mulut lancang. Kau orang gila ketiga yang menga-
takan aku sebagai anak Angin Pesut!"
Gento tersenyum. "Kau tidak bisa menging-
kari satu kenyataan bahwa sesungguhnya kau
anak kakek Angin Pesut. Cuma karena kau terlalu
lama bersama dengan Bayangan Maut, kau jadi
lupa pada asal usulmu. Aku yakin nenek jelek
yang saat ini sedang berjuang melawan maut di
dalam tanah itu telah menghasutmu, meracuni ji-
wa dan fikiranmu sehingga membuatmu tak bisa
menerima kenyataan yang ada. Indah Sari, keta-
huilah kakek Angin Pesut sangat merindukan di-
rimu selama ini. Belasan tahun dia kehilangan di-
rimu. Belasan tahun pula dia meninggalkan kehidupan sesat menjalani kehidupan sebagaimana
yang telah digariskan Tuhan. Semua itu semata-
mata demi rasa cintanya pada dirimu. Mengapa
kini kau tidak mau mengakuinya sebagai seorang
ayah?" tanya Gento.
Pertanyaan sang pendekar memang cukup
menggugah perasaan sang dara. Tapi bila dia ingat
pada pesan gurunya yang pernah mengatakan
agar dia tidak percaya pada ucapan semua orang.
Maka dia jadi mengesampingkan perasaannya
sendiri. Malah dengan suara lantang sang dara
bertanya. "Jika benar aku adalah anak musuh be-
sar guruku apa buktinya?"
"Kakek Angin Pesut pernah mengatakan
anaknya yang hilang mempunyai tanda berupa ta-
hi lalat di bagian punggungnya. Sekarang tanyalah
pada dirimu sendiri apakah kau mempunyai tanda
seperti yang kusebutkan itu?"
Indah Sari nampak ragu-ragu. Dia memang
harus mengakui apa yang dikatakan Gento. Sang
dara menjadi bingung, beberapa saat dia bergulat
dengan fikirannya sendiri. Tapi lagi-lagi dia terin-
gat pada semua ucapan gurunya. Sehingga dengan
keras dia gelengkan kepala.
"Pemuda penipu! Seperti yang lainnya, kau
juga manusia sinting yang mencoba mengecohku.
Tapi aku tak setolol yang kau duga. Sekarang te-
rimalah kematianmu!" selesai berkata, laksana ki-
lat sang dara mencabut Pedang Tumbal Perawan
yang tergantung di pinggangnya. Di tangan Indah
Sari senjata itu bergetar di samping memancarkan
cahaya hitam redup menggidikkan.

"Pedang di tangannya bukan senjata biasa.
Jika bapak raksasa itu dapat dibunuhnya, bukan
mustahil dia juga akan membunuh semua orang
yang mencoba menyadarkan dirinya." batin Gento.
Dengan suara lantang murid kakek gendut Gen-
tong Ketawa. "Gadis tolol, siapa yang menipumu.
Aku cuma menyadarkan dirimu dengan mengata-
kan yang sebenarnya, walau kau tidak percaya,
masak aku mau memaksa!"
Sebagai jawaban Indah Sari melompat ke
arah Gento sambil gerakkan pedang lancarkan sa-
tu tusukan dan babatan. Pedang menggeletar he-
bat mengeluarkan suara gemeletak aneh seperti
suara tulang terbakar. Sinar hitam bertaburan di
udara disertai menebarnya hawa dingin laksana
es. Gento merasakan tiba-tiba nafasnya seperti
tersendat, tenggorokan laksana dicekik setan ter-
kena pengaruh pebawa pedang.
Terkejut pemuda itu melompat mundur. La-
lu meliukkan tubuhnya menghindari terjangan
senjata lawan. Dalam serangan pertama ini si ga-
dis dibuat kecewa karena tusukan maupun baba-
tan yang dilakukannya hanya mengenai tempat
kosong. Indah Sari tidak merasa putus asa, dia te-
rus merangsak maju sambil memperhebat seran-
gannya. Sang dara yakin lawan kali ini tidak bakal
dapat meloloskan diri dari serangan pedangnya.
Karena Indah Sari menyerangnya dengan
kekuatan penuh, dalam waktu sekejap sinar hitam
telah mengurung sang pendekar dari segala penju-
ru. Gento terus bergerak mundur. Mengandalkan
jurus Belalang Mabuk dan jurus Dewa Awan sang

pendekar hindari serangan gencar lawannya. Se-
sekali tubuhnya melompat di udara. Setiap ada
kesempatan dia juga membalas serangan lawan
dengan pukulan tangan kosong. Tapi setiap puku-
lan yang dilepaskannya membentur pedang lawan.
Maka pukulan itu lenyap tanpa bekas.
Gento leletkan lidah, tubuhnya dalam wak-
tu lima belas jurus telah basah bersimbah kerin-
gat. Dalam pada itu sayup-sayup dia mendengar
gurunya yang menelentang di atas batu sambil pe-
jamkan matanya menyenandungkan bait-bait
syair.

Panas yang terik
Terang benderang
Seperti kegelapan bagi sang anak
Belasan tahun berada dalam gelap
Dalam bimbingan sang kelam
Mata dan hatinya menjadi buta
Kini setelah lama tersesat dia tidak tahu lagi
Kemana arah pulang
Anak yang malang ujudnya tidak dapat dis-
entuh
Anak yang malang keayuannya mematikan
Di tangannya tergenggam tangan iblis
Tangan iblis tidak bisa dibuat sembarangan
Kalau tak ingin jiwa melayang
Wahai anak asuhan tabib setan
Konon kau punya pentungan?
Punya seribu ilmu tak akan bisa digunakan
Banyak ilmu mematikan akal
Pentungan wahai pentungan
Dimana kau disimpan

Kemudian suara si kakek lenyap, yang ter-
dengar kini hanya berupa suara dengkuran kakek
Gentong Ketawa yang seolah telah pulas dibuai
mimpi. Sambil Gento sendiri sadar ucapan gu-
runya bukan tanpa makna. Dia tahu di dalam se-
nandung itu terdapat suatu teka-teki yang harus
dicari jalan pemecahannya. Gentopun kemudian
sambil menghindari serangan senjata Indah Sari
berusaha memecahkan teka-teki tersebut. Dia ta-
hu si anak malang yang dimaksudkan gurunya
pastilah gadis yang menjadi lawannya. Tapi kata-
kata terakhir yang diucapkan gurunya itu apa ar-
tinya.
"Gendut brengsek, mau memberi tahu saja
mengapa harus berbelit-belit membingungkan
orang. Kurang ajar....!" Gerutu sang pendekar begi-
tu sambaran pedang lawan nyaris menjebol bagian
perutnya. Pendekar Sakti 71 terpaksa berjumpali-
tan ke belakang. Indah Sari terus merangsak ma-
ju, bahkan kini melepaskan tendangan menggele-
dek secara berantai. Menghadapi serangan pedang
itu saja Gento sudah dibuat kerepotan, apalagi ki-
ni dia harus menghindari tendangan pula. Lebih
celakanya lagi Gento juga terpaksa berfikir keras
mengartikan kata-kata yang diucapkan gurunya.
"Pentungan! Aku tidak menyimpan pentun-
gan!" Gento menggerendeng sambil hindari ten-
dangan dan babatan senjata lawannya. Kalang ka-
but sang pendekar menghindari serangan-
serangan berbahaya. Sedangkan otaknya kembali berfikir. "Aku dapat.... gendut itu tak mung-
kin menyebut pentungan yang di bawah pusarku
ini. Kurasa pentungan yang dimaksudkannya ada-
lah senjata warisan Tabib Setan itu pasti yang di-
maksudkannya!" Baru saja Gento menemukan ja-
waban dari teka-teki dalam senandung syair butut
gurunya pedang di tangan lawan berkelebat me-
nyambar leher Gento.
Sang pendekar belalakan mata, tapi cepat
merunduk dengan kaki setengah ditekuk.
Tess!
Pedang lewat, leher Gento selamat namun
ujung pedang masih sempat membabat putus
rambut gondrongnya. Gento berseru kaget, lalu ja-
tuhkan diri yang dilanjutkan dengan gerakan ber-
gulingan di atas tanah. Pada waktu bersamaan la-
wan melompati dirinya sambil kirimkan satu ten-
dangan menggeledek ke bagian perut Gento. Ce-
patnya tendangan serta tak menduga lawan masih
dapat mengirimkan tendangan keras ke arahnya
membuat Gento tak sempat menghindar.
Buuk!
"Wuarkh...!"
Gento menjerit kaget. Tubuhnya terlempar
sampai sejauh tiga tombak. Terbungkuk-bungkuk
Gento merangkak dan bangkit berdiri. Dia terba-
tuk-batuk dari mulutnya menyembur darah segar.
Tapi dengan cepat dia keluarkan senjata yang
menjadi andalannya.
Begitu senjata yang berupa gada dengan
panjang hampir dua jengkal dan besarnya seibu
jari. Sambil menyeringai menahan sakit Gento melintangkan Penggada Bumi di depan dada. Semen-
tara diam-diam dia salurkan tenaga dalam ke ba-
gian hulu senjata dalam genggamannya.
Melihat senjata lawan yang sekecil itu Indah
Sari meludah. Dengan sinis dan memandang ren-
dah dia berkata. "Dengan senjata itu kau hendak
melawan Pedang Tumbal Perawan. Ketahuilah jika
ada gada yang besarnya seratus kali dari gada
yang ada di tanganmu belum tentu sanggup me-
nandingi pedangku. Senjata seperti itu untuk
menggebuk anjing sekalipun tidak akan terasa!"
Gento tersenyum dingin. "Dengan senjata
penggebuk anjing ini aku akan menggebuk tu-
buhmu yang beracun sampai lumat!" sahut Gento.
Sang dara yang terus menerus memandang
ke arah senjata aneh di tangan Gento hendak
mengucapkan sesuatu. Tapi kemudian dia malah
keluarkan seruan kaget ketika melihat gada ber-
warna kuning keemasan dengan besar tak lebih
dari ibu jari kaki itu kini menunjukkan suatu pe-
rubahan aneh. Penggada bumi mendadak meman-
carkan cahaya kuning kemilau. Mamancarnya ca-
haya dibarengi dengan membesarnya gada terse-
but.
Mula-mula gada membesar sepuluh kali li-
pat dari aslinya. Tapi setiap saat gada terus beru-
bah besar dan memanjang sampai akhirnya sebe-
sar batang kelapa dengan panjang sekitar dua
tombak.
Di atas batu dengkuran si kakek gendut ti-
ba-tiba lenyap, mulut komat-kamit seperti orang
bermimpi makan enak. Setelah terdengar suara sikakek.
"Senjata itu memang hebat. Tapi sifatnya
kok ya seperti punyaku, suka membesar dan men-
gempis. Dasar yang memberikan senjata itu tabib
gila, tidak heran jika prilaku senjatanya seperti
itu!" setelah itu suara si kakek lenyap berganti
dengan suara dengkuran.
Gento tidak menanggapi ucapan si kakek
yang entah mengigau atau bicara dalam keadaan
sadar. Dia kemudian menyerbu ke depan. Gada di
tangannya berputar sebat, angin menderu dingin,
cahaya kuning keemasan bertaburan di udara. In-
dah Sari kertakkan rahangnya, dia menyambut se-
rangan Gento dengan mengibaskan pedang di tan-
gannya.
Sementara itu Bayangan Maut yang sempat
diseret ke dalam tanah oleh lawannya tiba-tiba
terpental ke udara. Sekujur tubuh si nenek sudah
berselemotan debu, sedangkan pakaiannya robek
di sana sini. Bagian pipi lebam membiru terkena
pukulan.
Tak lama setelah nenek itu jejakkan ka-
kinya dengan tubuh terhuyung nafas megap-
megap. Dari lubang menganga yang dilewati
Bayangan Maut berkelebat pula sosok nenek Pala-
sik. Tubuh orang tua ini juga nampak dipenuhi
luka cakaran. Darah berwarna merah kehitaman
mengalir dari setiap luka di sekujur tubuhnya.
Kiranya biarpun nenek Palasik menarik la-
wan ke tanah. Lawan ternyata tidak dapat dike-
cohnya. Bayangan Maut hanya sekejap saja kela-
bakan. Setelah menutup jalan pernafasan untuk

menghindari tanah agar tidak masuk ke dalam sa-
luran nafas, dia segera membalas serangan gencar
lawannya. Kini dalam keadaan sama-sama terluka
Bayangan Maut dengan nafas memburu berseru.
"Kau tak bakal lolos dari kematian nenek bodoh!"
Nenek Palasik yang sudah terluka tidak
menanggapi. Sebaliknya tubuh si nenek melesat ke
udara. Selagi di udara dia lakukan gerakan memu-
tar tubuh dua kali, setelah itu kakinya melesat
menghantam dada Bayangan Maut. Sekali tumit
kaki nenek Palasik yang setajam mata tombak itu
mengenai sasaran dada Bayangan Maut pasti jebol
sampai ke punggung.
Tapi Bayangan Maut dengan gesit mengeser
langkahnya ke sebelah kiri sebanyak satu tindak.
Tendangan nenek Palasik luput. Menyadari ten-
dangannya tidak mengenai sasaran tangan nenek
Palasik melayang menghantam wajah.
Plaak!
Bayangan Maut terpelintir akibat hantaman
yang mendera wajahnya. Namun dengan cepat
tangannya menyambar ke arah dada nenek Pala-
sik. Tak menyangka mendapat serangan yang
amat cepat seperti itu nenek Palasik tidak sempat
mengelak.
Tak ayal lagi sambaran kuku si nenek men-
jebol dadanya. Nenek Palasik meraung keras. Ka-
kek Gentong Ketawa diam-diam mengawasi jalan-
nya perkelahian terkesiap melihat apa yang terjadi
pada sahabatnya.
Laksana kilat orang tua itu berkelebat
menghantam bahu Bayangan Maut. Lawan menjerit dan jatuh terbanting. Tapi usaha kakek gendut
untuk menyelamatkan nenek Palasik terlambat.
Perempuan cacat wajah itu sudah terkapar dengan
dada berlubang menyemburkan darah.
"Palasik!" seru si gendut setengah menge-
rang. Si nenek mengerang lirih. Dengan nafas me-
gap-megap nenek itu berkata. "Gendut sahabatku.
Nenek itu terlalu tangguh, kau berhati-hatilah!" se-
lesai berkata begitu kepala nenek itupun terkulai.
"Sahabatku!" teriak si kakek histeris.
"Kau tak usah bersedih gendut. Karena se-
bentar lagi aku juga bakal mengirimmu ke neraka.
Kau bisa bertemu dan berkumpul kembali den-
gannya di sana!" kata Bayangan Maut yang saat
itu telah berdiri di depan si kakek sambil men-
gangkat tangannya tinggi-tinggi siap hantamkan
pukulan.
Kakek gendut Gentong Ketawa marah besar.
Dia bangkit berdiri, tapi sebelum si kakek sempat
berdiri tegak, tanpa memberi kesempatan Bayan-
gan Maut segera menghantam orang tua itu den-
gan pukulan Seribu Serigala Berebut Bangkai.
Gentong Ketawa bergulingan ke samping.
Dari tangan Bayangan Maut sinar hitam berkiblat
menghantam si kakek. Pada waktu itu pula ter-
dengar suara teriakan. "Bayangan Maut jika kau
bunuh kakek itu jiwamu tak bakal kuampuni!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara te-
riakan itu satu bayangan berkelebat dari mulut
gua. Sedangkan dari telapak tangannya berkiblat
sinar putih menyilaukan mata.
"Pukulan Ratap Langit!" seru Bayangan

Maut yang sempat palingkan kepala memandang
ke arah orang yang keluarkan seruan.
Buum!
Buum!
Terdengar suara ledakan dahsyat dua kali
berturut-turut. Ledakan pertama adalah pukulan
yang dilepaskan Bayangan Maut yang cuma me-
nyambar baju si gendut sampai hangus. Sedang-
kan ledakan kedua adalah akibat pukulan yang di-
lepaskan sosok bayangan yang keluar dari gua.
Bayangan itu bukan lain adalah Angin Pesut.
Bayangan Maut tentu saja menjadi kaget seolah
tak percaya melihat Angin Pesut mampu bebaskan
diri dari pendaman Liang Pemasung Sukma.
Bayangan Maut sendiri sempat terbanting,
pukulan yang dilepaskan Angin Pesut menyambar
tangannya hingga tangan itu kini hangus hancur
mengerikan.
Sebaliknya kakek Gentong Ketawa merasa
lega melihat Angin Pesut dalam keadaan selamat.

9

Kedua musuh bebuyutan itu kini saling
berhadap-hadapan. Bayangan Maut sambil meno-
tok urat besar di bagian sikunya berkata. "Manu-
sia jahanam, bagaimana kau bisa meloloskan diri
dari Liang Pemasung Sukma?"
Dengan tatapan dingin Angin Pesut yang
sempat melirik ka arah Indah Sari yang terlibat

perkelahian sengit dengan Gento menjawab. "Hal
itu tidaklah penting. Yang jelas, kau jangan li-
batkan sahabatku Gentong Ketawa dalam masalah
kita." Tegas si Kakek.
"Aku membunuh siapa saja yang berada di
pihakmu!" dengus Bayangan Maut.
"Angin Pesut kau tak usah risau. Sebagai
sahabat tentu saja kita punya kewajiban saling to-
long menolong!" ujar si gendut.
"Sobat Gentong Ketawa. Kuminta menying-
kirlah, aku akan membuat perhitungan dengan
manusia satu ini!" ujar Angin Pesut.
"Ha ha ha. Kebetulan sekali aku lagi tidak
enak badan. Jika kau memintaku begitu dengan
senang hati pasti kuturuti!" ujar si gendut. Lalu
dengan terbungkuk-bungkuk dia membopong
mayat nenek Palasik menyingkir dari situ.
Seperginya kakek gendut Bayangan Maut
segera berkata. "Sungguhpun saat ini aku telah
kehilangan sebelah tangan, tapi jangan harap kau
dapat meloloskan diri dari tanganku!"
"Sungguhpun aku menghancurkan tubuh-
mu, hai itu tidaklah sebanding dengan kesala-
hanmu yang telah memperdaya muridmu! Dan
kau mengira masih bisa membunuhku dengan ke-
terbatasanmu itu?" sahut si kakek.
Bayangan Maut berteriak lantang. Seiring
dengan teriakannya itu tubuhnya berkelebat le-
nyap dari pandangan mata. Bersamaan dengan itu
pula tiba-tiba Angin Pesut merasakan ada angin
menyambar ke bagian pinggang, dada dan kepa-
lanya. Si kakek menggeram, lalu secepat kilat dia

memutar tangannya menangkis serangan lawan.
Duk! Duk!
Bentrokan keras terjadi, Bayangan Maut ke-
luarkan seruan tertahan. Benturan itu membuat si
nenek terhuyung. Angin Pesut menggeram, lalu le-
paskan satu jotosan ke dada si nenek.
Bayangan Maut jatuh bergedebukan, dari
sudut-sudut bibir si nenek meneteskan darah per-
tanda dia mengalami luka di dalam. Tapi Bayan-
gan Maut dengan cepat bangkit berdiri. Dia mak-
lum tak mungkin dapat menghancurkan Angin Pe-
sut dalam keadaan menderita cidera seperti itu.
Karenanya Bayangan maut segera mengeluarkan
jurus-jurus andalannya berupa rangkaian jurus
Serigala Seribu dan juga jurus Bayangan Serigala.
Dalam waktu singkat si nenek yang telah
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dia miliki
tersebut telah menyerang Angin Pesut dengan se-
rangan beruntun yang datangnya bagaikan air
bah. Beberapa saat Angin Pesut memang sempat
terdesak hebat mendapat serangan itu. Namun ke-
tika si kakek mengerahkan jurus-jurus andalan-
nya pula keadaan jadi berbalik.
Sementara itu perkelahian antara Gento
dan Indah Sari sudah sampai pula pada titik pun-
caknya. Sang pendekar yang sadar tubuh lawan-
nya mengandung racun yang mematikan bila sam-
pai tersentuh olehnya terus menggunakan Pengga-
da Bumi untuk mencecar lawan. Beberapa kali
benturan keras antara Pedang Tumbal Perawan
dengan Penggada Bumi terjadi. Bunga api berpija-
ran di udara, sedangkan tubuh mereka sama tergetar hebat. Tapi yang membuat sang dara heran
gada yang selalu memancarkan cahaya kuning
berkilauan itu tidak putus terbabat senjatanya.
"Pemuda itu dan gada di tangannya bukan
senjata sembarangan. Aku harus menyerang ba-
gian kakinya!" batin sang dara yang saat itu kem-
bali terluka akibat benturan senjata milik sang
Pendekar.
Indah Sari melompat mundur ketika gada di
tangan Gento menghantam kepalanya. Dia lalu
melepaskan pukulan tangan kosong ke arah la-
wan. Begitu tangan kirinya menghantam ke depan,
maka Indah Sari pun menyerbu ke arah lawan.
Pedang di tangan kiri gadis ini membabat ke ba-
gian kaki Gento. Si pemuda melompat lalu me-
nangkis serangan pedang lawannya.
Traang!
Benturan keras kembali terjadi, pedang di
tangan si gadis terlepas dari tangannya. Pedang itu
terpental lalu jatuh tak jauh dari tempat terjadinya
perkelahian antara Angin Pesut dengan Bayangan
Maut.
Melihat senjata lawannya jatuh, Gento se-
benarnya tidak ingin menjatuhkan tangan keji pa-
da sang dara. Tapi gadis ini kiranya berlaku ne-
kad. Dia tetap menyerang Gento dengan pukulan
dan tendangan bertubi-tubi. Merasa didesak si
pemuda terpaksa menggerakkan tangannya yang
memegang gada.
Dengan begitu pukulan maupun tendangan
Indah Sari gagal mencapai sasaran. Sebaliknya
gada besar di tangan sang Pendekar terus meluncur dan menghantam bagian rusuk sang dara.
Braak!
"Wuaakhgh...!"
Indah Sari menjerit setinggi langit. Hanta-
man gada membuat tubuhnya terpelanting sejauh
lima tombak. Gadis itu terkapar tidak berkutik la-
gi. Dengan cepat Gento mendatangi. Ketika hendak
memeriksa, gurunya yang melihat niat Gento sege-
ra berkata. "Jangan kau lakukan. Kau bisa kera-
cunan. Biarkan saja, dia hanya pingsan. Mungkin
beberapa tulang rusuknya ada yang patah. Jika
Angin Pesut selamat, biar gadis itu diurus olehnya
karena tubuh Angin Pesut juga kebal terhadap
berbagai jenis racun.
"Guru kau sendiri bagaimana?" tanya Gento
khawatir.
"Aku, aku tidak apa-apa. Cuma sahabatku
Palasik tidak ketolongan jiwanya" sahut si gendut.
"Ah, aku turut sedih mendengarnya." Desah
Gento sambil melangkah menghampiri si kakek
yang memeluki jasad nenek Palasik.
Sementara itu di tempat terjadinya perkela-
hian kembali terjadi benturan keras antara tangan
Angin Pesut dengan kaki Bayangan Maut. Tubuh
kakek beralis dan berambut merah itu nampak
terhuyung-huyung. Di depan sana Bayangan Maut
jatuh menelentang. Ketika tangannya menggapai-
gapai hendak berdiri tangan si nenek menyentuh
hulu pedang Tumbal Perawan. Si nenek yang su-
dah terluka parah menyeringai kegirangan. Tapi
juga sedih karena menduga muridnya tentulah te-
lah binasa di tangan murid si gendut. Sambil memegang pedang dengan tangan kirinya. Perempuan
itu berkata. "Angin Pesut barangkali Indah Sari te-
lah tewas akibat kekejaman para sahabatmu. Se-
karang kukatakan terus terang kepadamu bahwa
sebenarnya Indah Sari adalah anakmu yang kucu-
lik belasan tahun yang lalu. Kini setelah anakmu
dibunuh oleh pemuda itu apakah tidak tergerak di
hatimu untuk menuntut balas atas kematiannya?"
tanya si nenek sengaja memanas-manasi. Tapi ru-
panya Angin Pesut sungguhpun mengetahui Indah
Sari memang anaknya sebagaimana yang dia duga
selama ini. Kiranya dia sudah tidak kena dibujuk
lagi.
Dengan tegas dia berkata. "Jika dia mati,
semua itu bukan salah sahabatku. Mereka semua
terpaksa melakukannya demi membela diriku.
Kematian Indah Sari kuanggap sebagai suatu tak-
dir!"
Mendengar ucapan Angin Pesut legalah hati
Gento juga perasaan gurunya. Sebaliknya Bayan-
gan Maut menjadi geram karena muslihatnya ter-
nyata tidak membawa hasil.
"Angin Pesut kau lihatlah pedang ini!"
Dengan tatapan dingin si kakek meman-
dang ke arah pedang di tangan si nenek. Kemu-
dian dengan suara dingin pula dia menjawab. "Pe-
dang di tanganmu adalah Pedang Tumbal Pera-
wan. Konon kehebatannya dapat membuat lawan
tidak berdaya. Jika pedang itu kau pergunakan
untuk membelah tubuhku. Meskipun aku memiliki
ilmu ajian Pancasona, tubuhku dapat dipastikan
tidak bakal bersatu kembali. Tapi kau lupa, sebelum pedang itu menyentuh tubuhku, mungkin tu-
buhmu telah luluh lantak terkena pukulan Ratap
Langit! "
"Huh, kita lihat... siapa yang cepat, pukulan
mautmu atau pedang di tanganku ini!" Bayangan
Maut menutup ucapan dengan memutar sebat pe-
dang di tangannya. Suara angin menderu-deru, si-
nar hitam berkiblat di udara. Suasana di sekitar-
nya mendadak jadi redup terkena pebawa pedang.
Angin Pesut sadar, jika sampai Pedang
Tumbal Perawan mengenai bagian tubuhnya, san-
gat kecil kemungkinan bagi dirinya dapat melo-
loskan diri dari maut. Karena itu si kakek sejak
awal sudah merapal ilmu ajian Ratap Langit sam-
bil salurkan tenaga sakti ke arah tangannya.
Begitu si kakek melihat sinar hitam bergu-
lung-gulung bergerak cepat ke arahnya, si kakek
segera menghantamkan kedua tangannya ke arah
Bayangan Maut. Dari telapak tangan si kakek ber-
kiblat sinar putih menyilaukan mata. Hawa panas
bergulung-gulung menyertai melesatnya sinar pu-
tih itu. Lalu...
Buuum!
Kraaash!
Satu ledakan keras mengguncang tempat
itu. Lamping tebing curam runtuh sedangkan di
tengah suara ledakan terdengar jeritan lolong
Bayangan Maut yang kemudian lenyap. Semua
yang berada di tempat itu jadi terkesima. Mereka
sama memandang ke arah Bayangan Maut. Na-
mun nenek itu tidak kelihatan. Ketika kegelapan
yang menyelimuti tempat sekitarnya lenyap terdengar suara kerontangan pedang.
Angin Pesut tegak tergontai dengan muka
pucat dan pakaian hancur tak karuan. Gento dan
gurunya mencari-cari Bayangan Maut. Mereka jadi
tercekat ketika melihat tengkorak kepala dan tu-
lang belulang yang hangus mengepulkan asap me-
nebar bau daging terbakar.
"Apakah yang kita lihat itu adalah tengko-
raknya Bayangan Maut guru?" tanya Gento sambil
meraba tengkuknya yang mendadak dingin.
"Ya... dia telah menjadi korban ilmu ajian
Ratap Langit. Kau lihatlah, Pedang Tumbal Pera-
wan yang tergeletak di samping tulang belulang
Bayangan Maut juga tinggal besi bengkok yang
hangus tidak berguna. Ah, kesaktian yang dimiliki
oleh manusia yang satu itu memang sulit dicari
tandingannya!" gumam si kakek memuji.
Dalam kesempatan itu Angin Pesut dengan
langkah gontai dan wajah kuyu menghampiri me-
reka. Orang tua itu setelah menatap pada Gento
dan gurunya segera berkata. "Para sahabatku, ka-
lian sudah begitu banyak membantu. Entah den-
gan apa aku bisa membalas segala budi kalian."
ujar Angin Pesut.
"Kakek Angin Pesut. Bantuan yang kami be-
rikan tidaklah seberapa. Sebelumnya aku mohon
maaf karena terpaksa menciderai anakmu!"
Angin Pesut anggukkan kepala. Dia meno-
leh ke arah Indah Sari yang dalam keadaan terluka
dan tak sadarkan diri.
Seolah mengerti apa yang dipikirkan Angin
Pesut, kakek Gentong Ketawa berkata. "Angin Pesut, kau bawalah anakmu. Dia masih bisa kau
sembuhkan meski memakan waktu agak lama.
Kau bimbinglah dia, mudah-mudahan dia bisa
menerima kenyataan yang sebenarnya!" ujar si
gendut.
"Anak itu tidak bersalah. Sebagai orang tua
akulah yang bersalah. Karena hitam putihnya
anakku, baik buruknya jalan yang dia tempuh se-
muanya tergantung padaku!" ujar si kakek seolah
menyesali.
"Kakek... masih belum terlambat bagi kakek
untuk membimbing Indah Sari. Bukankah begitu
guru?" kata Gento sambil kedipkan matanya pada
si gendut.
"Muridku benar sobatku Angin Pesut. Ba-
walah dia secepatnya. Cidera pada bagian tulang
rusuknya perlu segera mendapatkan perawatan."
"Kalian semua adalah sahabat-sahabatku
yang baik. Sekali ini aku mohon pamit!" ujar Angin
Pesut. Kakek itu kemudian menjura penuh rasa
hormat. Setelah itu dia menghampiri Indah Sari.
Setelah membopong sang dara, Angin Pesutpun
berkelebat pergi meninggalkan Gento dan gurunya.
Si gendut menarik nafas. "Sekarang lega
sudah hatiku. Mudah-mudahan Indah Sari bisa
menerima keberadaan ayahnya!"
"Aku juga berharap begitu. Tapi di hatiku
sendiri sebenarnya ada satu ganjalan guru." ujar
Gento sambil tersenyum.
"Eeh, bocah edan. Kau punya ganjalan
apa?"
"Aku tak bisa menceritakannya sekarang.

Sebaiknya kita urus dulu mayat nenek Palasik."
"Ah, kau. Jika kau tak mau mengatakan ge-
rangan apa yang mengganjal hatimu aku tak mau
mengubur nenek itu!" kata si gendut sambil ber-
sungut-sungut.
"Kalau kau tak mau ya sudah. Aku juga bi-
sa menguburnya sendiri. Karena segalanya kuker-
jakan sendiri agar mudah aku akan mengubur ne-
nek ini dengan posisi berdiri!"
"Bocah gelo. Kau bisa kualat. Lagj pula...
akh... kau tidak boleh begitu. Biarpun sudah mati
nenek ini bekas sahabatku!" gerutu si kakek.
"Bekas sahabat atau bekas kekasih? Kalau
dia bekas kekasihmu berarti nenek ini bukan pe-
rawan tapi sudah janda. Ha ha ha!" kata sang
pendekar.
Kakek Gentong Ketawa jadi kalang kabut.
"Bocah sial. Kau tahu apa!" dengus si ka-
kek. Orang tua ini kemudian meninggalkan mu-
ridnya untuk membuat sebuah kubur buat sang
sahabat. Di belakangnya Gento terus tertawa mengekeh.

                         - Tamat -

EPISODE SELANJUTNYA!!!
SENGKALA ANGIN DARAH






Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung Hari Ini

Cari Blog Ini

Translate

Penting Buat Kita Sebagai Hamba Allah

QS. Al-Ankabut (29): 45 "Bacalah kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Menjelaskan fungsi salat sebagai pencegah maksiat).

Mengenai Saya

Foto saya
palembang-indonesia, sumatera selatan, Indonesia
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game