https://matjenuhkhairil.blogspot.com : Tempat Membaca Cerita Silat Wiro Sableng Dan Pendekar Sakti Di Seluruh Nusantara

Rabu, 17 Desember 2025

Gento Guyon Episode Iblis Dalam Matahari



Serial Pendekar Sakti 71 Gento Guyon dalam Episode Iblis Dalam Matahari karya Edwin Hartanto


    Orang tua itu pulas dibuai mimpi. 

    Sementara sembilan ekor ular berbisa melilit tubuhnya. 

    Dingin udara menjelang pagi Sama sekali tidak mengusik tidurnya. 

    Tetapi ketenangan si kakek ternyata tidak berlangsung lama. 

    Entah dari mana datangnya tiba-tiba saja terdengar pekikan melengking. 

    Kakek bermata cekung berbadan kurus macam jerangkong melompat dari balai yang ditidurinya. 

    Orang tua ini layangkan pandang memperhatikan bagian halaman. 

    Tidak terlihat ada siapapun di halaman itu. 

    Sesosok tubuh berpakaian kuning berambut panjang. 

    Sosok itu adalah seorang gadis yang tewas dengan dada berlubang mengerikan. 

    "Suara pekikan itu. . . ? Mustahil suara Pandan Arum? Pandan Arum sudah mati dan orang yang sudah mati tidak bisa menjerit". 

    Membatin si kakek dalam hati. 

    Orang tua ini gelengkan kepala.  Sejenak ia berfikir, rasanya mustahil Gento kembali lagi ke tempat itu. 

    Menurut dugaannya setelah melarikan diri bersama gadis berkepala botak yang bersamanya, setidaknya saat ini Gento tentu pergi mencari Sengkala Angin Darah. 

    Ingat betapa pentingnya benda itu bagi Pasadewa si kakek yang dikenal dengan julukan Iblis Ular Sembilan tidak ingin membuang waktu dengan berdiam lebih lama di rumah Pasadewa.  Si kakek segera memutuskan untuk meninggalkan rumah itu. 

    Sebelum pergi sekali lagi dia layangkan pandang ke halaman.  Kembali tatap matanya membentur sosok Pandan Arum.  Dalam hatinya muncul keinginan untuk menguburkan mayat gadis malang tersebut yang tewas akibat patukan ular miliknya. 

    Tetapi pada saat bersamaan di langit terdengar pekikan keras yang disusul dengan terdengarnya suara bergemuruh. 

    Si kakek terkesima, dengan cepat ia dongakkan kepala.  Saat itu pula si kakek melihat satu mahluk berbulu putih besar luar biasa.  Mahluk itu dikenal si kakek sebagai burung rajawali siluman milik Pasadewa. 

    Wuuk!

    Wutt!

    "Kucing kurap.  Aku melihat Pasadewa berada di atas punggung rajawali itu.  Mengapa dia bersikap seolah ingin membunuhku?"

    Maki Iblis Ular Sembilan terus memandang ke atas. 

    Burung tadi lenyap hilang raib entah kemana.  Si kakek menjadi kesal. 

    Dalam kegeramannya si kakek berteriak lantang. 

    "Pasadewa begitukah caramu menyambut seorang tamu? Atau kau memang sudah tidak membutuh kan bantuanku lagi hah ?"

    Di atas sana terdengar suara tawa bergelak. 

    Dari kegelapan rajawali siluman kembali memperlihatkan diri disertai suara gemuruh angin menderu memekakkan telinga. 

    Si kakek terpaksa tutupi kedua telinganya. 

    Rajawali putih keluarkan pekikan panjang, kemudian sosok berpakaian hitam yang duduk di atas punggung rajawali tersebut melompat, melayang ke bawah dengan gerakan sedemikian rupa dan jejakkan kakinya di depan mayat Pandan Arum. 

    Si pemuda pandangi mayat Pandan Arum dengan mata terbelalak penuh rasa tak percaya. 

    Masih dengan wajah kaget pemuda itu berseru ditujukan pada rajawali siluman. 

    "Putih, pergilah dari sini! Kau kembali ke asalmu, nanti jika aku membutuhkanmu, aku pasti akan memanggilmu lagi. "

    Kraak!

    Di atas ketinggian rajawali siluman berbulu putih memekik keras, lalu berputar-putar, semakin lama semakin tinggi hingga akhirnya lenyap dari pandang mata. 

    Tidak lama setelah rajawali itu lenyap pemuda berpakaian hitam berwajah dingin itu segera memeriksa Pandan Arum. 

    Kemudian diapun segera tahu bahwa gadisnya tewas akibat gigitan ular ganas milik si kakek. 

    Kematian itu mengguncang perasaan Pasadewa karena baginya Pandan Arum lebih dari hanya sekedar kekasih. 

    Gadis itu memang bukan yang pertama dalam hidupnya, namun Pandan Arum selama ini selalu setia mendampinginya. 

    Selain itu dia juga sangat patuh menjalankan perintah-perintah yang diberikan Pasadewa. 

    Kini ketika dirinya dihadapkan pada kematian Pandan Arum yang dia rasakan begitu cepat tidak urung membuat dirinya merasa kehilangan. 

    Perlahan Pasadewa bangkit, Ia balikkan tubuh dan memandang lurus pada Iblis Ular Sembilan dengan tatapan dingin penun teguran. 

    "Dapatkah paman jelaskan padaku tentang kematiannya ini?"

    Tanya pemuda itu berusaha menahan kemarahannya. 

    Si kakek tampak merasa serba salah.  Dia lalu melangkah maju, dengan penuh penyesalan dia menjawab. 

    "Aku sama sekali tidak bermaksud membunuhnya. "

    Kening Pasadewa berkerut, ia merasa heran mendengar jawaban si kakek. 

    "Tidak bermaksud membunuhnya, kenyataan Pandan Arum terbunuh oleh ularmu.  Aku melihat racun ularmu telah menyebar ke sekujur tubuhnya. "

    Tukas si pemuda penasaran. 

    Si kakek cepat memotong. 

    "Tunggu! Kau dengar dulu penjelasanku!"

    Pasadewa terdiam.  Si kakek berfikir sejenak lalu melanjutkan ucapannya. 

    "Malam tadi ketika aku sampai ke sini bersama kekasihmu itu, tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya.  Kami masuk ke dalam, tapi selagi aku menikmati hidangan makan malam yang disediakan Pandan Arum, tiba-tiba muncul seorang pemuda gondrong mengaku bernama Gento Guyon.  Dia datang bersama dengan seorang gadis berkepala botak.  Aku curiga mereka tahu dimana Sengkala Angin Darah berada.  Ketika kudesak mereka tidak mau mengaku.  Tidak dapat dicegah akhirnya terjadi perkelahian sengit di antara kami.  Ternyata pemuda itu memiliki kepandaian tinggi.  aku terpaksa menggunakan ular-ularku untuk melumpuhkannya.  Sayang dia dapat meloloskan diri dari serangan ular-ularku, kemudian secara tak disengaja salah satu ularku malah menembus dada Pandan Arum yang sedang menghadapi gadis berkepala botak kawan pemuda itu. "

    Jelas Iblis Ular Sembilan. 

    Penjelasan itu tidak membuat Pasadewa percaya begitu saja, apalagi dia tahu benar siapa adanya kakek yang satu ini. 

    Si kakek adalah tua bangka yang pantang melihat pinggul bagus dan dada montok, boleh jadi si kakek hendak melakukan perbuatan keji pada Pandan Arum. 

    Mungkin kekasihnya menolak hingga si kakek terpaksa membunuhnya. 

    Kini Pasadewa melangkah maju. 

    Sekali lagi ditatapnya si kakek dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. 

    Setelah itu ia bertanya dengan nada mnenuntut. 

    "Paman. . . aku membutuhkan Suatu ketegasan apakah semua yang kau ucapkan itu mengandung kebenaran atau Cuma kebohongan belaka. "

    Pertanyaan si pemuda membuat si kakek berjingkrak kaget. 

    Dia sama sekali tidak menduga Pasadewa akan bertanya seperti itu. 

    Lebih tidak menduga lagi ternyata Pasadewa tidak percaya dengannya. 

    Dengan perasaan tidak senang dia menjawab. 

    "Pasadewa! Aku datang ke sini semata-mata untuk memenuhi panggilanmu.  Sekarang mengapa kau hadapkan aku pada pertanyaan yang tidak berguna.  Kau mengira aku membunuh kekasihmu dengan sengaja.  Mengapa kau begitu keji dengan menuduhku hendak melakukan perbuatan yang tidak-tidak kepadanya?"

    Pasadewa tersenyum sinis. 

    Dengan sikap tenang dia berkata. 

    "Bukan aku menuduhmu paman.  Aku bicara begitu karena aku tahu kebiasaanmu.  Kau adalah orang yang pantang melihat daun muda. "

    "Tunggu. . . "

    Potong Iblis Ular Sembilan dengan cepat. 

    "Kau hendak mengatakan sesuatu ?"

    "Ya.  Sekarang kau jangan berfikir aku hendak mengajak Pandan Arum bersenang-Senang karena sebagai laki-laki aku telah kehilangan anuku.  Apakah kau paham?"

    Kini Pasadewa yang dibuat kaget. 

    "Apa maksud paman dengan kehilangan anu? Bagaimana hal itu bisa terjadi? Siapa yang telah mengambilnya?"

    Ditanya seperti itu membuat wajah si kakek berubah menjadi muram. 

    Dengan perasaan sedih namun geram dia menjawab. 

    "Aku memang telah kehilangan barang milikku yang paling berharga.  Yang mengambilnya adalah seorang kakek jahanam bernama Ki Comot Jalulata.  Kejadian itu berlangsung beberapa saat sebelum aku memutuskan untuk menemuimu. "

    "Ki Comot Jalulata. . "

    Desis Pasadewa mencoba mengingat nama itu. 

    Begitu ingat dengan kakek yang satu itu ia menepuk keningnya. 

    "Bukankah orang yang kau maksudkan adalah seorang ahli sihir, orang tua yang selalu berpakaian seperti orang hamil?"

    "Tepat.  Memang dia orangnya!"

    Geram si kakek. 

    "Kalau tidak salah dia memiliki dua saudara kembar.  Bagaimana kakek iseng itu bisa menjahilimu?"

    Tanya Pasadewa heran. 

    Si kakek tentu saja tidak mungkin mengatakan bahwa pada saat itu dia sedang berusaha melampiaskan nafsu bejatnya pada Pandan Arum sampai kemudian secara tidak terduga datang kakek itu, lalu tanpa disadari mengambil kepunyaan si kakek secara aneh. 

    Si kakek pun akhirnya terpaksa berkata dusta. 

    "Kurasa jahanam Ki Comot Jalulata sempat mendengar pembicaraanku dengan Pandan Arum.  Bahkan kemungkinan dia tidak senang mendengar rencanaku yang berniat membantumu.  Sejak saat itu aku bersumpah akan membunuhnya. "

    Geram si kakek sambil kepalkan tinju.  Penjelasan ini membuat Pasadewa jadi percaya. 

    "Hmm. . .  andai yang kau katakan itu memang benar adanya itu berarti kita bukan saja harus menemukan benda sakti yang kucari.  Lebih dari itu kita juga harus mencari Ki Comot Jalulata. "

    Ujar si pemuda. 

    Diam-diam dia merasa geli namun juga kasihan. 

    "Bagus.  Aku juga sependapat denganmu!"

    Kata si kakek. 

    "Seharusnya aku tak dapat memaafkan kesalahanmu, tapi setelah setelah melihat penderitaanmu, aku jadi ikut prihatin.  Semoga arwah Pandan Arum dapat pula memaafkan kesalahanmu. "

    Si kakek manggut-manggut. 

    Dalam hati ia tertawa karena bukan seperti itu kenyataan yang sebenarnya.  Dengan penuh minat si kakek lalu bertanya. 

    "Sekarang apa rencanamu selanjutnya?"

    "Aku sudah tahu bahwa sekarang ini Sengkala Angin Darah berada di tangan seseorang bernama Gentong-Ketawa. "

    "Gentong Ketawa?"

    Tukas si kakek kaget. 

    Pasadewa anggukkan kepala. 

    Iblis Ular Sembilan kemudian teringat pada pemuda gondrong yang meloloskan diri tadi malam. 

    Pemuda itu mengaku bernama Gento Guyon. 

    Gentong Ketawa dan Gento Guyon dua nama yang rasanya memiliki persamaan satu dengan yang lain. 

    Si kakek jadi curiga bukan mustahil antara nama yang disebutkan Pasadewa dengan pemuda gondrong itu sesungguhnya mempunyai hubungan murid dan guru. 

    Pantas saja pemuda itu tidak mau mengaku. 

    Setelah sempat terdiam akhirnya Iblis Ular Sembilan berterus terang. 

    "Gentong Ketawa menurut yang kudengar bukan nama asing di dunia persilatan.  Jika benda itu memang ada di tangannya rasanya tidak bakal mudah bagi kita untuk merampasnya". 

    Pasadewa tersenyum sinis. 

    "Rupanya paman takut kepadanya?"

    Si kakek tertawa tergelak-gelak. 

    "Iblis Ular Sembilan merasa takut?"

    "Gentong Ketawa boleh memiliki seribu kesaktian.  Sehebat apapun ilmu yang dia miliki pasti tidak bakal dapat meloloskan diri dari ular-ularku!"

    Geram kakek itu. 

    "Aku percaya, malah salah satu ularmu telah meminta satu nyawa.  Kuharap pengorbanan kekasihku tidak sia-sia.  Namun jika ternyata paman gagal membantuku atau berusaha mengangkangi benda sakti Itu maka aku tak akan segan-segan membunuhmu!"

    "Kau tak usah takut.  Aku bukan manusia serakah yang kemaruk dengan segala macam benda sakti.  Yang terpenting bagiku benda milikku yang ada di tangan Ki Comot Jalulata harus kurebut kembali, sebab tanpa yang satu itu hidup ini menjadi tidak berarti lagi. "

    "Keadaanmu memang menyedihkan.  Tapi aku kan berjanji akan menbantumu mengambil milikmu yang hilang. "

    Ujar Pasadewa serius. 

    Setelah berbincang-bincang cukup lama keduanya sama sepakat untuk mencari Sengkala Angin Darah. 

    Maka pergilah keduanya tanpa menghiraukan mayat Pandan Arum lagi. 

    ********

 
  

    Di atas batu besar yang didudukinya sejak tadi kakek gendut Gentong Ketawa seringkali menarik nafas sambil gelengkan Kepala. 

    Apa yang dilakukan kakek ini membuat heran gadis berpakaian kuning yang sedang sibuk membolak balik ikan yang dipanggangnya. 

    Sambil menyelesaikan pekerjaannya si gadis cantik yang bernama Anggagini ini ajukan pertanyaan. 

    "Kek sejak tadi kulihat kepalamu bergoyang melulu.  Apakah kau menderita penyakit ayan ?"

    Gerakan kepala si kakek jadi terhenti. 

    Wajahnya kemudian mendongak, memandang kearah gadis itu dengan bersungut-sungut. 

    Ia berkata. 

    "Seumur hidup rasanya aku belum pernah terserang penyakit ayan.  Tapi beratnya persoalan yang kuhadapi saat ini membuat kepalaku seperti mau pecah. "

    Sahut kakek gendut ini sambil mengusapi kepalanya. 

    Si gadis segera datang menghampiri.  Dia lalu memberikan ikan yang dipanggangnya sambil berkata. 

    "Tidak usah pusing kek, lebih baik kau makan ikan panggang ini biar badanmu tambah besar. . . "

    Si kakek tersenyum. 

    Kemudian dengan berhati-hati dimakannya ikan pemberian si gadis dengan tidak bernafsu.  Melihat hal ini tentu saja Anggagini diliputi keheranan. 

    "Apa lagi yang kau pikirkan kek? Pikiranmu terganggu akibat benda yang bernama Sengkala Angin Darah itu?"

    "Hmm, Sengkala Angin Darah atau benda sakti apapun namanya tidak akan pernah mengusik ketenanganku selama keberadaannya tidak dikait-kaitkan dengan diriku.  Kenyataannya yang terjadi saat ini orang-orang dunia persilatan mulai mengejar-ngejar diriku karena mereka menyangka benda sakti yang menghebohkan itu menurut mereka berada di tanganku. "

    Kata si gendut kembali cemberut. 

    "Mungkin kau punya musuh kek.  Atau tidak tertutup kemungkinan ada seseorang yang menaruh dendam kesumat kepadamu sehingga secara sengaja orang itu diam-diam melemparkan fitnah keji kepadamu. "

    Ujar sang dara mengemukakan pendapatnya. 
Si kakek tidak langsung menjawab.  Orang tua ini terdiam beberapa jenak lamanya sambil terus berfikir.  Dengan perasaan bimbang orang tua ini berkata. 

    "Dalam hidup setiap orang kemungkinan mempunyai musuh walau kejadian ini sesungguhnya tidak diinginkan.  Tetapi menyangkut persoalan yang menimpa diriku saat ini tentu saja aku tidak bisa menduga siapa orangnya.  Mungkin saja orang yang melontarkan tuduhan keji itu menyimpan dendam kesumat yang mendalam terhadap diriku ini.  aku juga tidak tahu. "

    "Jadi kenyataannya memang sulit untuk mengetahui siapa orang yang telah menyebarkan kabar bahwa benda sakti Sengkala Angin Darah berada di tanganmu?"

    "Kurasa memang begitu, namun kita harus menyelidiki masalah ini.  Aku tidak mau keadaan ini berlarut-larut.  Kau sendiri tahu kemarin Pangeran Sobali menghadang kita.  Dari kejadian itu tidak tertutup kemungkinan masih banyak lagi beberapa tokoh dunia persilatan yang mencariku.  Mereka juga pasti menyangka Sengkala Angin Darah benar-benar berada di tanganku. "

    Kakek itu menggerutu. 

    "Mengenai pangeran Sobali kurasa dia tidak akan mengejar kita karena tidak mudah baginya untuk membebaskan totokanku. "

    Kata gadis itu serius. 

    Si gendut menganggukkan kepala.  Dia selanjutnya bahkan menimpali. 

    "Persoalan ini kelihatannya sangat sepele padahal yang sebenarnya sangat rumit sekali. "

    "Yang lebih rumit lagi adalah menjelaskan persoalan yang sebenarnya pada orang-orang yang menginginkan benda itu kek. "

    "Tepat.  Yang kau katakan itu memang benar.  Terkecuali aku dapat meringkus orang yang telah menyebarkan kabar dusta itu secepatnya.  Sayangnya hingga saat ini aku belum menemukan petunjuk apa-apa dan semua ini sangat menyulitkan posisiku. "

    Keluh orang tua Itu lagi sambil mengusap-usap keningnya. 

    Anggagini terdiam. 

    Dia tidak dapat membayangkan bagaimana jika dirinya yang menjadi Gentong Ketawa, mungkin dia dibuat sama bingungnya. 

    Sang dara baru saja hendak mengatakan sesuatu, namun pada waktu bersamaan gadis itu tiba-tiba mendengar suara aneh seperti suara binatang merayap yang datang dari empat penjuru sudut. 

    Dengan suara perlahan gadis ini bertanya

    "Kakek apakah kau ada mendengar sesuatu?"

    "Aku mendengar suara itu seperti suara serangga yang membuat sarang. "

    Desisnya. 

    Walau begitu anehnya si kakek tetap duduk tenang di tempatnya. 

    Kini hanya sepasang mata si kakek yang sipit menatap liar ke berbagai sudut arah. 

    Tidak terlihat tanda-tanda kehadiran orang lain di tempat itu terkecuali desau suara angin. 

    Anggagini merasa tidak puas. 

    Hatinya mulai diliputi kegelisahan. 

    Dia lalu memberi isyarat pada si kakek agar tetap menunggu di tempatnya. 

    "Kau hendak kemana?"

    Tanya si gendut. 

    "Aku mau menyelidik.  Aku yakin ada orang yang mengawasi gerak gerik kita. "

    "Kau gadis yang baik, berhati-hatilah.  Jika ternyata menemukan rejeki jangan kau lupakan si gendut ini. "

    Si gendut pun lalu tertawa tertahan-tahan. 

    Anggagini menganggukkan kepala, baru saja dia hendak bergerak dari tempatnya secara tak terduga dari empat penjuru arah melesat empat bayangan. 

    Keempat sosok bayangan tersebut terdiri dari bayangan biru, hitam, bayangan kuning dan yang terakhir bayangan merah. 

    Kejadian itu memang berlangsung singkat sekali. 

    Belum lagi lenyap rasa kejut di hati Anggagini, kini di sekeliling mereka berdiri tegak dua orang pemuda dan dua orang gadis. 

    Dua pemuda yang berdiri di depan si gendut berpakaian hitam berkulit hitam, sedang pemuda yang satunya lagi berpakaian biru berkulit biru. 

    Sedangkan gadis yang menyertai kedua pemuda itu berkulit kuning dan berkulit merah. 

    Satu kenyataan aneh yang dilihat oleh Anggagini kedua pemuda dan gadis itu memiliki dua pasang tangan. 

    Sepasang tangan berada di bahu kiri dan bahu kanan sebagaimana umumnya. 

    Sedangkan dua tangan yang lain menempel di ketiak. 

    Melihat penampilan orang yang terasa aneh si gendut tidak dapat menahan tawanya. 

    Masih dengan tertawa-tawa si kakek bangkit berdiri. 

    Setelah memperhatikan orang-orang yang mengepungnya, Gentong Ketawa berkata. 

    "Empat manusia aneh, berujud dan berpenampilan seperti laba-laba, mengapa kallan berlaku kurang ajar mengganggu ketenangan kami? Siapa kalian ini rupanya?"

    Pemuda bertangan empat berkulit biru melangkah maju, lalu dengan sinis dia menjawab. 

    "Kami Empat Laba-Laba Beracun, datang menemui dengan membawa tujuan penting. "

    "Hmm.  Setelah melihat warna kulitmu dan potongan badanmu yang bagus, aku kiranya dapat menduga kaulah orangnya yang memiliki gelar Laba-Laba Biru. "

    Setelah itu si gendut alihkan perhatiannya pada pemuda yang berbadan hitam.  Sambil tersenyum ia melanjutkan. 

    "Dan kau yang berbadan gosong tentulah Laba-Laba Hitam.  Sedang yang lainnya bergelar Laba-Laba Kuning sementara yang terakhir adalah Laba-Laba Merah. "

    Walau sempat terkejut tak menyangka orang mengenali diri mereka, namun Laba-Laba Hitam segera menyahuti. 

    "Bagus! Ternyata kau sudah mengenali siapa kami. "

    Sementara itu dengan suara perlahan Anggagini bertanya. 

    "Kek apakah kau benar benar mengenal mereka?"

    "Kakek moyangnya saja aku tidak kenal bagaimana aku bisa mengenal bocah-bocah pandir ini?"

    Sahut si kakek dengan suara perlahan pula.  Setelah itu dengan sikap tenang ia kembali ajukan pertanyaan. 

    "Tadi kudengar salah seorang diantara kalian mengatakan bahwa kalian datang dengan membawa tujuan.  Kalau boleh aku tahu tujuan apakah itu?"

    "Melihat penampilan dan potongan badanmu benar kau orangnya yang bernama Gentong Ketawa ?"

    Tanya gadis berpakaian serba kuning mewakili teman-temannya. 

    "Ha ha ha. . . kalian tidak keliru.  Orang berbadan besar seperti gentong yang kini berdiri di depan kalian memang bernama Gentong Ketawa. "

    Sahut si kakek. 

    Mendengar jawaban si gendut, kedua gadis dan permuda itu serentak saling berpandangan. 

    Tidak lama setelah itu pemuda berkulit hitam membuka mulut. 

    "Ternyata kami datang pada orang yang tepat. "

    "Ehh. . . tunggu.  Kau mengatakan telah datang pada orang yang tepat.  Tepat apanya?"

    Tukas si kakek. 

    Empat Laba-Laba Beracun sama sunggingkan seringai sinis.  Laba-Laba Merah dengan cepat menjawab. 

    "Bukankah kau orangnya yang telah mendapatkan benda sakti Sengkala Angin Darah? Benda itu kini menjadi incaran banyak orang.  Nah, sebelum benda itu jatuh ke tangan orang lain, lebih baik kau serahkan pada kami.  Setelah itu kujamin kami segera berlalu dari hadapanmu.  Hi hi hi. "

    Gadis berpakaian serba merah tertawa mengikik. 

    Kejut si kakek dan Anggagini bukan main. 

    Mereka sama sekali tidak menduga bahwa kedatangan empat manusia laba-laba itu ternyata karena menginginkan benda yang sebenarnya tidak berada di tangan si kakek. 

    *******
   

    Cukup lama si gendut terdiam.  Hanya tatapan matanya saja memandang ke arah Empat Laba-Laba Beracun silih berganti. 

    Tak sabar Laba-Laba Hitam melihat sikap si kakek, diapun akhirnya membentak. 

    "Kakek gendut, jangan kau berpura-pura tolol belagak bego.  Kami tidak punya waktu menunggu jawabanmu lebih lama.  Kau hanya tinggal mengatakan, mau menyerahkan benda sakti yang ada padamu atau tidak!"

    Gentong Ketawa sebenarnya merasa geram sekali mendengar bentakan orang.  Tapi dia mencoba menindih kejengkelannya dengan mengumbar tawa.  Tak lama, begitu tawanya lenyap dia berkata. . 

    "Orang-orang sinting sialan! Sudah kukatakan aku tidak menyimpan barang yang kalian inginkan.  Apa yang kalian dengar tentang Sengkala Angin Darah semua itu hanyalah fitnah.  Aku tidak memilikinya.  Daripada membuang waktu sebaiknya kalian minggat dari hadapanku.  Jika kalian tak percaya biarkan aku telanjang!"

    Berkata begitu si kakek bersikap ingin memelorotkan celananya ke bawah. 

    Gadis berkulit kuning dan berkulit merah cepat palingkan wajahnya ke arah lain. 

    Sedangkan Anggagini yang berdiri di samping si kakek cepat mencegah dengan berkata. 

    "Kek. . . kau jangan bertindak gila membuat malu diriku.  Jika kau telanjang aku bisa ketiban sial empat puluh hari.  Masih bagus kalau anumu mulus tanpa cacat.  Kalau ternyata bulukan, dua kali aku ketiban sial!"

    Ujar Anggagini. 

    Mendengar ucapan sang dara, Gentong Ketawa tak dapat lagi menahan tawanya.  Masih dengan tertawa namun muka cemberut dia berkata. 

    "Jelek amat sih tidak, kondisinya masih lumayan.  Habis dua pemuda dan gadis-gadis tolol ini tidak mau percaya. "

    "Biarkan aku yang bicara!"

    Kata Anggagini. 

    Setelah berkata begitu sang dara balikkan badan dan menghadap ke arah Empat Laba Laba Beracun.  Cepat dia berkata. 

    "Sejak awal terjadinya kegegeran tentang kemunculan Sengkala Angin Darah aku sudah menyertai kakek ini.  Dan aku tahu pasti kakek gendut tidak menemukan apa-apa, walau cuma seekor kutu busuk sekalipun.  Kuharap kalian tidak mengganggunya.  Apa yang kalian dengar mengenai kakek ini hanyalah kabar dusta.  Oleh karena itu kalian jangan mengganggu kami!"

    Tegas Anggagini memberi peringatan. 

    Anehnya walau sang dara telah memberi penjelasan demikian rupa ternyata Empat Laba-Laba Beracun tidak mudah dibuat percaya. 

    Malah pemuda yang berpakaian biru melompat maju. 

    Dengan sinis dia berseru. 

    "Gendut! Setiap orang bisa saja mencari dalih.  Aku menaruh dugaan boleh jadi benda itu kau simpan atau kau sembunyikan di suatu tempat. "

    "Tidak tertutup kemungkinan kau menunggu keadaan sampai aman, suatu saat setelah semua orang melupakannya kau baru mengambilnya. "

    Kata Laba-Laba Hitam menimpali. 

    Mendengar tuduhan yang tidak beralasan itu mendidihlah darah si gendut.  Dengan geram dia berteriak. 

    "Empat Laba-Laba setan penunggu kuburan.  Perlu apa aku bicara dusta? Sejak kalian masih berupa air kencing aku sudah bicara jujur.  Jika kalian tidak percaya sekarang terserah kalian mau berbuat apa. "

    Kedua gadis dan pemuda itu sama sunggingkan seringai anah.  Mereka merasa seperti ditantang.  Laba-Laba Kuning kemudian berkata. 

    "Kami punya berbagai macam cara untuk memaksa seseorang agar mau bicara jujur.  Cara itu bila kulakukan bisa membuat dirimu menderita seumur hidup!"

    "Pergunakan jaring Laba-Laba!"

    Kata Laba-Laba Hitam menyambuti. 

    Selagi si gendut dan Anggagini dibuat terheran-heran mendengar ucapan mereka.  Pada waktu yang bersamaan Empat Laba-Laba Beracun bergerak cepat mengelilingi mereka. 

    "Anggagini, berhati-hatilah.  Mereka nampaknya hendak menjebak kita!"

    Kata si kakek mengingatkan. 

    Bersama si gendut gadis itu mengambil sikap saling memunggungi.  Baru saja langkah itu ditempuhnya tiba-tiba terdengar aba-aba. 

    "Serang. . . !"

    Teriak Laba-Laba Biru lantang. 

    Bersamaan dengan suara teriakan itu, masih dalam keadaan berputar, delapan pasang tangan menderu ke arah si kakek dan si gadis. 

    Serangan delapan tangan itu memang cukup berbahaya dan ganas sekali. 

    Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah dari mulut dua pemuda dan dua gadis itu menyembur cairan lengket masing-masing berwarna merah, biru, kuning dan hitam sesuai dengan warna kulit masing-masing. 

    Begitu cairan itu melesat di udara, delapan pasang tangan segera menyambuti, dua puluh jemari tangan didorongkan ke depan. 

    Cairan lengket terbelah membentuk benang-benang rajutan tidak ubahnya seperti sarang laba-laba. 

    Benang lengket yang terbentuk dari cairan yang keluar dari mulut itu kemudian menyergap ke arah si kakek gendut dan Anggagini, mempersempit ruang gerak dan mengurung keduanya. 

    "Celaka. . . !"

    Sang dara keluarkan keluhan tertenan. 

    Mulut mengeluh tapi dua tangannya bergerak sebat melepaskan pukulan tangan kosong berturut-turut mengisi tenaga dalam tinggi ke arah jaring laba-laba yang bergerak meringkusnya. 

    Sebaliknya Gentong Ketawa juga tidak tinggal diam. 

    Dengan gerakan enteng tubuhnya melesat ke udara. 

    Dalam keadaan seperti itu kedua tangannya berputar mencoba memukul hancur jaring laba-laba yang datang menyergapnya dari atas dan bawah. 

    Angin menderu, sinar merah berkiblat, hawa panas luar biasa menebar pertanda si kakek mengerahkan tenaga dalam tinggi saat melepaskan pukulan Iblis Tertawa Dewa Menangis. 

    Akibatnya sungguh luar biasa. 

    Jaring laba-laba yang menyergapnya dari atas dapat dipukul hancur, sedangkan jaring yang menyerang dari kanan dan kirinya dapat dibuat mental nyaris meringkus pemiliknya sendiri. 

    Laba-Laba Biru dan Laba-Laba Hitam keluarkan seruan tertahan. 

    Serentak mereka berlompatan mundur dengan muka pucat dan tubuh bersimbah keringat dingin. 

    Dalam waktu yang hampir bersamaan pula Anggagini sendiri berhasil menghalau jaring-jaring milik gadis berkulit merah dan kuning. 

    Tapi baru saja Anggagini lolos dari serangan pertama, laksana kilat Laba-Laba Kuning dan Laba-Laba Merah telah melesat kembali ke arahnya. 

    Dua pasang tangan dengan jemari membentang ke arah wajah dan perut sang dara. 

    Sedangkan dua pasang tangan yang lain milik Laba-Laba kuning masih dengan mengandalkan semburan cairan lengket tetap berusaha meringkus lawannya. 

    Mendapat serangan yang berbeda ini tentu saja Anggagini dibuat repot. 

    Dia terpaksa mengandalkan kecepatan gerak dan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tahap sempurna. 

    Dua serangan yang mengarah ke bagian wajah dan perut dapat ditepisnya. 

    Tapi serangan yang datang dari arah belakang rasanya memang tidak akan mudah untuk dihindari. 

    Karena itu dalam keadaan terdesak Anggagini tidak mau berlaku ayal. 

    Dia menggenjot tubuhnya hingga melesat di udara. 

    Saat tubuhnya melesat, laksana kilat dia mencabut pedang yang terselip di balik pakaiannya. 

    Pedang dibabatkan secara berputar, cahaya putih berkilauan berkiblat, angin dingin menderu. 

    Lalu terdengar suara seperti tali diputuskan. . . . 

    Tess!

    Tess!

    Jaring laba-laba yang berasal dari air liur gadis berkulit kuning hancur berguguran. 

    Tidak hanya sampai di situ saja, pedang itu bahkan berkelebat menyambar jemari tangan gadis berkulit kuning. 

    Gadis itu keluarkan seruan kaget, melompat mundur, lalu bergulingan menghindari tebasan pedang. 

    Sementara itu perkelahian antara kakek gendut Gentong Ketawa dengan dua pemuda berkulit biru dan hitam ternyata juga sudah sampai pada puncaknya. 

    Beberapa kali usaha Laba-Laba Hitam dan Laba-Laba Biru yang mencoba meringkus kakek Gentong Ketawa dengan sergapan jaring yang mirip dengan rumah laba-laba menemui kegagalan. 

    Jaring-jaring mereka dengan mudah dapat dihancurkan pukulan si kakek. 

    Sebaliknya serangan balasan yang dilakukan si gendut yang berupa tendangan dan pukulan cukup merepotkan mereka. 

    Laba-Laba Hitam dan Biru akhirnya saling memberi isyarat. 

    Mereka yang dalam keadaan mengapung di udara kemudian lakukan gerakan berjumpalitan ke belakang, lalu jejakkan kaki masing-masing pada salah satu cabang pohon berseberangan. 

    Dengan begitu lawan mereka kini berada di tengah-tengah, terkepung dari dua arah. 

    Selagi si kakek belum sempat menyadari apa yang bakal dilakukan oleh kedua lawannya. 

    Tiba-tiba saja Laba-Laba Biru berteriak. 

    "Laba-Laba Menjebak Mangsa!"

    Kata pemuda itu menyebut nama jurusnya yang segera mendapat sambutan dari Laba-Laba Hitam. 

    "Laba-Laba Menghisap Darah!"

    Serentak dengan terdengarnya sahutan pemuda berkulit hitam, terlihat pula dua bayangan biru dan hitam berkelebatan di sekeliling si kakek. 

    Mereka dengan gerakan kilat berpindah dari satu cabang pohon ke cabang yang lain. 

    Di lain kesempatan si kakek gendut jadi terperangah ketika mendapati dirinya terkurung empat perisai berupa sarang laba-laba. 

    Gentong Ketawa kertakkan rahang. 

    Lalu segera salurkan tenaga dalam ke bagian tangan. 

    Setelah itu tanpa fikir panjang lagi berturut-turut dia melepaskan pukulan "Raja Dewa Ketawa'"

    Dan pukulan "Selaksa Duka"

    Ke arah sarang laba-laba yang kini telah mengurungnya dari segala arah. 

    Untuk sekedar diketahui. 

    pukulan Raja Dewa Ketawa adalah salah satu pukulan berbahaya yang bila sampai mengenai lawah akan membuat syaraf tawanya seperti digelitik. 

    Orang yang terkena pukulan itu bisa mati seketika akibat syaraf tawanya terguncang hebat. 

    Apa yang terjadi kemudian memang Sungguh luar biasa. 

    Dari kedua tangan si kakek menderu sinar hitam dan sinar biru. 

    Kedua sinar itu disertai suara bergemuruh menghantam rumah laba-laba berupa jaring dari air liur yang sangat lengket dan mengandung racun. 

    Dua pukulan hanya sanggup menghancurkan sebagian jaring laba-laba. 

    Kemudian sebagian pukulan melabrak Laba-Laba Biru dan Laba-Laba Hitam. 

    Kedua pemuda itu sempat terpental. 

    Namun dengan cepat sekali dapat menguasai diri. 

    Tak kalah dahsyatnya mereka juga melepaskan pukulan balik ke arah si kakek. 

    Tubuh Gentong Ketawa yang mengambang di udara dan masih terkurung empat jaring laba-laba tersapu mental. 

    Celakanya orang tua ini menabrak salah satu jaring yang terdapat di belakangnya. 

    Begitu menyentuh jaring punggungnya langsung lengket. 

    Kakek ini menjerit, sentuhan pada jaring membuat tubuhnya seperti tersengat bara api menyala. 

    Dengan sekuat tenaga kakek itu berusaha membebaskan diri dari jaring sarang laba-laba yang menempel di tubuhnya. 

    Tapi usaha itu sia-sia. 

    Si kakek terus meronta. 

    Sementara Anggagini yang melihat kejadian itu tentu saja tidak dapat menolong si kakek, karena pada saat yang bersamaan dia sendiri juga sedang menghadapi gempuran sengit yang dilakukan oloh Laba-Laba Kuning dan Laba-Laba Merah. 

    Sebaliknya Laba-Laba Hitam dan Biru melihat lawan dalam keadaan terjebak tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. 

    Dengan gerakan laksana kilat menyambar kedua pemuda ini segera menyerbu ke depan. 

    Laba-Laba Biru menyerang bagian wajah dan perut si kakek, sedangkan Laba-Laba Hitam pada waktu yang bersamaan berusaha mencabik putus pinggang dan kaki orang tua itu. 

    Gentong Ketawa dengan menggunakan tangan kanannya yang bebas bergerak segera mencabut senjatanya berupa baja pipi bercabang dua yang runcing pada kedua ujungnya, sedangkan kedua kakinya yang masih bebas bergerak lepaskan tendangan beruntun ke arah Laba-Laba Hitam. 

    Satu tendangan membuat Laba-Laba Hitam terpental. 

    Babatan yang dilakukan si kakek juga membuat Laba-Laba Biru menderita cidera di bagian perut. 

    Tapi tak urung bagian bahu kiri si kakek kena dilukai kuku jemari lawannya. 

    Luka itu mengucurkan darah berwarna merah kehitaman pertanda serangan kuku lawannya mengandung racun hebat. 

    Gentong Ketawa menyeringai kesakitan. 

    Sambil menggigit bibirnya sampai berdarah akibat menahan rasa sakit yang tiada tara. 

    Tapi dia tidak sempat memikirkan luka yang dideritanya karena pada saat itu Laba-Laba Biru bersama Laba-Laba Hitam telah menyerangnya kembali dengan serangkaian serangan maut dalam jurus laba-laba yang menjadi andalannya. 

    Jika saja tubuh si kakek bebas bergerak. 

    Tentu serangan kedua lawannya meskipun dahsyat luar biasa, tidak begitu berarti bagi orang tua ini. 

    Tapi karena punggungnya lengket dengan tali-tali jaring laba-laba, dimana tangan kirinya juga tidak dapat digerakkan. 

    Tentu saja serangan mereka menjadi serangan yang berbahaya sekali dan yang celakanya, kedua pemuda-pemuda itu kini mulai pula menyemburkan air liur beracun ke arah Gentong Ketawa. 

    Mendapat serangan begitu rupa si kakek langsung memutar senjata di tangan kanannya. 

    Putaran senjata menimbulkan gelombang angin hebat membentuk perisai diri. 

    Semburan ludah beracun berbalik arah dan nyaris mengenai pemiliknya sendiri. 

    Kedua pemuda itu cepat menghindar, namun dengan gerakan kilat cepat berbalik kembali menyerang si kakek. 

    Kini kedua tangan Laba-Laba Biru berusaha merampas senjata di tangan si kakek, sedangkan dua tangannya yang lain meluncur deras ke bagian perut. 

    Sekali saja sepuluh jari tangan Laba-Laba Biru menerobos pertahanan si gendut dapat dipastikan isi perut Gentong Ketawa berbusaian keluar. 

    Nampaknya bahaya besar kini sedang mengancam jiwa si kakek, apalagi mengingat pada waktu itu Laba-Laba Hitam menyerangnya dari arah belakang. 

    "Celaka kakek gendut!"

    Batin Anggagini yang sempat melihat posisi si kakek saat itu benar-benar dalam keadaan terjepit. 

    Sementara dia sendiri saat itu tidak dapat memberikan pertolongan. 

    Akan tetapi pada saat yang kritis mendadak sontak terdengar suara menggemuruh hebat disertai suara lolong dan teriakan. 

    Lalu dari sebelah selatan tempat terjadinya pertempuran terlihat ada angin menderu, merobohkan popohonan yang dilaluinya. 

    Belum lenyap rasa kaget di hati Laba-Laba Biru dan Hitam. 

    Di tengah-tengah Suara gemuruh angin yang menghancurkan apa saja yang dilaluinya, terlihat dua bayangan merah dan bayangan putih melesat laksana kilat ke arah kedua pemuda dan si kakek. 

    Laba-Laba Hitam dan Laba-Laba Biru meraung kesakitan. 

    Di kanan kiri si gendut terdengar ledakan berdentum. 

    Gentong Ketawa merasakan tubuhnya tiba-tiba terbebas dari belenggu jaring laba-laba yang menjerat tubuhnya. 

    Orang tua ini jatuh berdebum hanya beberapa saat setelah kedua lawannya jatuh terkapar di atas tanah. 

    Belum lagi Gentong Ketawa sempat berdiri, dalam deru angin kencang itu terlihat bayangan merah yang tidak jelas ujudnya menyambar ganas ke arah Laba-Laba Merah dan Laba-Laba Kuning. 

    Baik si kakek gendut maupun Anggagini hanya mellhat kedua gadis itu tersentak lalu jatuh terpelanting dengan darah menyembur dari bagian leher mereka yang nyaris putus. 

    Tak lama kemudian suara bergemuruh bergerak ke arah utara. 

    Bayangan putih dan bayangan merah lenyap dari pandangan mata. 

    Si kakek gendut terduduk lemas. 

    Pandangan matanya berkunang-kunang. 

    Dia cepat menotok jalan darah yang terdapat di sekitar luka di bahu kiri yang terkena cakaran lawannya tadi. 

    Setelah itu orang tua ini segera mengambil obat berwarna hitam yang terdapat di kantong bajunya. 

    Begitu obat ditelan dan memasuk tenggorokan, Gentong Ketawa merasakan adanya hawa sejuk yang sangat luar biasa. 

    Ketika obat bereaksi di sekitar luka beracun di bahunya si kakek meraung hebat. 

    Anggagini yang sejak tadi memperhatikan mayat lawan-lawannya dan maklum telah ditolong orang menjadi tersentak kaget mendengar jeritan si kakek. 

    Dengan cepat dia mendatangi. 

    Gadis ini tercekat ketika mendapati wajah si kakek juga sekujur tubuhnya nampak merah kebiru-biruan. 

    "Kek. . . kau. . .  kakek keracunan!"

    Desisnya. 

    Cepat Anggagini bersimpuh di samping Gentong Ketawa. 

    Dia sangat prihatin melihat keadaan orang tua itu. 

    Gentong Ketawa yang sekujur tubuhnya basah bersimbah keringat masih sempat-sempatnya sunggingkan seringai. 

    "Racun Laba-Laba Biru memang tidak dapat dianggap remeh.  Kedua pemuda itu ternyata cukup hebat.  Jika saja aku tidak kena dijebak jaring laba-laba yang mereka buat mungkin akibatnya tidak separah ini.  Uakh. . semakin tidak nyaman saja rasanya badanku ini.  Beruntung ada orang menolong kita.  Kalau tidak nyawaku mungkin bisa tidak ketolongan!"

    Ujar si kakek dengan kening berkerut menahan sakit. 

    "Kau benar kek.  Kedua gadis itu juga ilmunya cukup tinggi.  Mereka juga mencoba menjebakku dengan cara seperti yang dilakukan kedua saudaranya terhadapmu.  Aku masih beruntung dengan mengandalkan kecepatan gerak dan pedang dapat meloloskan diri dari serangan mereka.  Kini Empat Laba-Laba Beracun tewas.  Tapi siapa yang telah menolong kita tadi?"

    Tanya Anggagini heran bercampur perasaan ngeri. 

    Ngeri melihat tubuh Laba-Laba Kuning dan Merah yang tercabik-cabik. Jauh berbeda dengan mayat dua pemuda yang menyerang si kakek. 

    Kedua pemuda itu tewas dengan satu tusukan di dada masing-masing. 

    Gentong Ketawa terdiam beberapa saat lamanya. 

    Dia sendiri sebenarnya tidak dapat menduga siapa yang telah menolongnya tadi. 

    Orang itu bergerak dalam hembusan angin. 

    Paling tidak dia memiliki ilmu Sepi Angin atau ilmu yang mengandalkan kekuatan angin topan. 

    "Sulit bagiku untuk mengetahuinya secara pasti, Anggagini.  Orang yang menolong memiliki ilmu kesaktian sulit dijajaki.  Mungkin dia juga mempunyai ilmu Sapu Jagad.  Dia datang dan pergi dalam waktu yang begitu cepat.  Seolah dia tidak mengharapkan basa-basi yang berbau segala ucapan terima kasih.  Atau bisa juga dia memang tidak ingin dikenali orang. "

    Ujar si kakek. 

    "Kalau benar begitu, aku melihat ada beberapa keanehan kek. "

    "Keanehan ?"

    Gumam si kakek dengan alis berkerut dan mata memandang tajam pada Sang dara. 

    "Ya, yang datang menolong kita tadi mungkin salah satunya bukan manusia seperti kita.  Aku sudah melihat mayat duรก pemuda yang menyerangmu.  Mereka mati akibat cidera berat yang menembus sampai ke jantung.  Sedangkan Laba-Laba Kuning dan Laba-Laba Merah, mereka tewas dengan tubuh tercabik-cabik, leher hampir putus dan kehilangan darah.  Seolah darah mereka disedot habis oleh pembunuhnya. "

    "Lalu kau beranggapan bayangan merah yang menyerang kedua gadis itu memang binatang?"

    "Begitulah.  Tapi mana ada binatang berbulu merah?"

    Ujar sang dara. 

    Gentong Ketawa manggut-manggut. 

    "Kau benar.  Siapapun si baju putih tadi kita merasa patut berterima kasih kepadanya.  Aku merasa berhutang nyawa, tapi kuharap aku dapat membalas segala budi pertolongannya kelak. "

    "Lalu sekarang bagaimana kek? Kau dalam keadaan terluka, mungkin kita harus mencari tempat yang aman agar kakek dapat menyembuhkan luka di bahu kakek itu. "

    Anggagini memberi saran. 

    Di luar dugaan si gendut teryata menolak.  Malah seolah-olah tidak menghiraukan luka yang dideritanya orang tua itu berkata. 

    "Sebaiknya kita teruskan perjalanan ini.  Aku punya kepentingan untuk mencari tahu siapa sebenarnya orang yang telah melempar fitnah ini kepadaku.  Lagipula aku belum tahu bagaimana nasib muridku. "

    Diingatkan tentang Gento, dada sang dara sempat berdebar.  Tapi kemudian dia mencoba mengingatkan. 

    "Kek jika kau terlalu memaksakan diri racun laba-laba yang mendekam di bagian lukamu bisa menjalar ke sekujur tubuh. "

    Orang tua itu tertawa tergelak-gelak. 

    "Kau anak baik.  Tapi kau tak usah mengkhawatirkan diriku. "

    Gentong Ketawa selanjutnya bangkit berdiri. 

    Tetapi ketika berjalan tubuhnya terhuyung-huyung seperti orang mabuk.  Kakek ini kemudian menyeletuk sendiri. 

    "Oalah, mabuk tidak minum pun tidak, lalu mengapa tubuh ini tak mau berjalan tegak?"

    Si gadis sesungguhnya handak mencegah, sayang Gentong Ketawa malah mempercepat langkahnya. 

    Tidak ada pilihan lain, gadis itu segera menyusulnya. 

    *******. 

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung Hari Ini

Cari Blog Ini

Translate

Penting Buat Kita Sebagai Hamba Allah

QS. Al-Ankabut (29): 45 "Bacalah kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Menjelaskan fungsi salat sebagai pencegah maksiat).

Mengenai Saya

Foto saya
palembang-indonesia, sumatera selatan, Indonesia
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game