https://matjenuhkhairil.blogspot.com : Tempat Membaca Cerita Silat Wiro Sableng Dan Pendekar Sakti Di Seluruh Nusantara

Minggu, 14 Desember 2025

Gento Guyon Episode Sang Pembantai


1

Matahari telah lama tenggelam. Dingin udara
menjelang malam terasa mencucuk tulang. Di langit
sebelah timur bulan mulai menampakkan diri meng-
gantikan sang surya yang lenyap di ufuk barat. Di ba-
wah sebatang pohon rindang, satu sosok dengan besar
badan seperti raksasa tidur melingkar dengan tangan
bersilangan di depan dada. Nampaknya dia tidur pulas
sekali. Dada kembang kempis, mulut sesekali perden-
garkan suara mendengkur. Nyenyak tidur sosok raksa-
sa yang sekujur tubuhnya ditumbuhi bulu hitam lebat
tak berlangsung lama. Sesaat kemudian tubuhnya
menggeliat, dua kelopak mata yang terpejam bergerak-
gerak. Sayup-sayup telinganya mendengar suara berla-
ri di kejauhan. Sosok raksasa ini membuka mata. Dia
kemudian bangkit, duduk dengan kedua tangan men-
dekap lutut. Dua matanya makin melebar, memandang
ke satu arah di sebelah kiri dimana suara orang berlari
makin bertambah dekat, makin jelas.
Masih tetap berada di tempatnya, sosok tinggi
besar manusia raksasa ini menoleh ke kanan. Disana
berdiri tegak sebuah pondok berlantai tinggi. Kebera-
daan pondok di tengah hutan sunyi diapit kerapatan
pohon besar ini sejak dia sampai di tempat itu sore ta-
di memang sempat mengundang tanya. Pondok bagus
di tengah hutan, berpintu tapi tidak bertangga. Entah
siapa tuan dari pemilik pondok itu. Kini setelah men-
dengar ada suara orang berlari ke arahnya paling tidak
menimbulkan dugaan bahwa orang yang datang bukan
lain pemilik pondok itu.
Suara langkah kaki orang berlari makin ber-
tambah dekat. Timbul perasaan tidak enak bagi sosok

raksasa. Masih dalam keadaan terduduk dia lakukan
satu gerakan. Laksana kilat tubuhnya melesat ke atas
cabang pohon, mendekam di situ di balik reranting
daun sambil mengintai. Tidak berapa lama satu semak
belukar tersibak, muncul seorang nenek berambut pu-
tih, berpakaian kuning dengan renda-renda putih pada
setiap sisinya. Sosok raksasa terus mengawasi. Nenek
yang baru munculkan diri ternyata berwajah seram
rusak seperti bekas dicacah. Wajahnya seolah bukan
rupa manusia lagi, tapi angker laksana setan. Rupanya
dia tidak sendiri karena di atas bagian bahu sebelah
kiri tergeletak menelungkup satu sosok lain, agaknya
seorang gadis, berpakaian serba ungu. Wajah gadis itu
sama sekali tidak terlihat tertutup rambutnya yang ter-
juntai ke bawah.
Sampai di depan pondok si nenek hentikan
langkah, sepasang mata memandang ke atas pondok
sekilas. Sesungging senyum bermain dibibirnya mem-
buat wajah setan si nenek bertambah angker. Tak la-
ma dia melompat ke dalam pondok. Pondok bergetar.
Si nenek lalu melangkah ke sudut ruangan kemudian
baringkan sosok dalam panggulannya di atas balai
bambu.
Si nenek menyeringai, dia lalu duduk di balai
ketiduran. Tangannya terjulur bergerak mengelus dagu
gadis baju ungu yang ternyata seorang gadis cantik
berkulit putih mulus.
Si gadis yang dalam keadaan tertotok hanya bi-
sa memaki si nenek karena sekujur tubuhnya memang
sulit digerakkan, dalam keadaan kaku tertotok. Tidak
hanya tubuh, ternyata jalan suaranya juga tertotok.
Belaian pada dagu membuat sang dara mendelik.
"Perempuan busuk, manusia edan berotak sint-
ing. Apa yang hendak kau perbuat pada diriku. Tua

bangka edan, berani kau berbuat kurang ajar kubu-
nuh kau!" teriak si gadis. Tapi suara si gadis hanya
bergema disekitar rongga dada dan terhenti ditenggo-
rokan. Tak sepatah katapun yang terucap.
Seolah mengerti apa yang ada dalam hati si ga-
dis, si muka setan tersenyum. Tangan yang membelai
dagu kini beralih ke bagian leher. Dia lakukan tiga
usapan di leher sebelah kanan dan sebelah kiri si ga-
dis. Setelah itu si nenek berucap. "Rupanya kau sudah
tidak sabar kekasihku. Berdua-dua tanpa bicara me-
mang kurang enak. Sekarang kau boleh bicara. Hik hik
hik."
Pada usapan keempat membuat si gadis dapat
menggerakkan bagian kepala sekaligus bicara, namun
tetap tak mampu menggerakkan bagian tubuh lainnya.
Begitu jalan suara terbebas dari totokan si gadis men-
damprat. "Perempuan iblis, lepaskan totokan ini. Apa-
kah kau sudah gila hendak berbuat mesum dengan se-
sama jenis mu?"
Si nenek tertawa panjang. Dengan mata melotot
dikobari nafsu setan tangan si nenek berkelebat berge-
rak kebagian dada.
Breeet!
Si gadis menjerit kaget. Pakaian di bagian dada
sebelah kiri robek, memperlihatkan bagian dada yang
putih. Darah si nenek laksana menggelegak, otot dis-
ekujur tubuhnya menegang. Tangan si nenek celami-
tan sedangkan mulutnya berucap. "Aku belum gila, ta-
pi keindahan tubuhmu membuat aku tergila-gila. Kau
tidak tahu siapa diriku sebenarnya. Hik hik hik."
Di atas pohon besar sosok raksasa terus mem-
perhatikan ulah si nenek dengan perasaan heran.
Dia membatin. "Gadis itu jelas gadis culikan.
Tubuhnya dalam keadaan tertotok. Lalu siapa nenek

edan ini? Buat apa dia melakukan semua kegilaannya
pada si gadis? Jangan-jangan nenek muka setan itu
punya kelainan. Kudengar banyak orang yang mem-
punyai kelainan seperti itu. Seperti laki-laki yang
hanya suka pada sesama jenisnya. Gila...!" Sosok rak-
sasa gelengkan kepala.
Sepasang matanya terus memperhatikan, men-
gintip melalui celah atap pondok dan menunggu apa
yang hendak dilakukan si nenek.
Sambil menunggu si raksasa berfikir, dia tak
dapat melihat bagaimana wajah si gadis. Belakangan
ini terlalu banyak kejadian aneh yang terjadi. Salah sa-
tu diantaranya adalah mengenai pertemuan para pen-
dekar golongan putih. Di Kiara Condong.
Konon kabarnya pertemuan itu dilaksanakan
atas gagasan seorang tokoh perempuan yang dikenal
dengan julukan Si Muka Setan. Seorang tokoh golon-
gan lurus namun memiliki wajah seangker setan. Ber-
temu dengan orangnya manusia raksasa ini belum
pernah, tapi melihat si nenek dalam pondok ciri-cirinya
sama persis dengan tokoh itu.
Mungkinkah dia orangnya? Manusia yang se-
lama ini dihormati oleh kalangan dunia persilatan.
Apapun yang dilakukan si nenek dalam pondok jelas
dia menyimpan maksud keji pada si gadis. Agaknya
sosok raksasa itu tak perlu menunggu lebih lama ka-
rena pada waktu itu terdengar suara gelak tawa diser-
tai robeknya pakaian yang direnggut paksa.
Lalu terdengar suara si nenek berucap diantara
deru nafasnya yang memburu tersengal. "Tenang ga-
disku, kita akan bercinta bagaikan suami isteri. Aku
kekasihmu, aku suamimu. Hik hik hik!"
"Nenek keparat. Lepaskan aku!" satu pekikan
terdengar.

Di dalam pondok di atas balai bambu sosok ga-
dis cantik itu pakaiannya awut-awutan tak karuan.
Dia mencoba menutupi dadanya, tapi tentu saja hal itu
tak bisa dia lakukan karena tangannya juga tak dapat
bergerak.
Melihat keindahan yang terpentang di depan
matanya si nenek jadi tak sabar, nafas memburu da-
rah menggelegak.
Laksana kilat dia melompat ke atas balai bam-
bu. Baru saja si muka setan siap memeluk tubuh gadis
itu, tiba-tiba dari bagian atas atap pondok menderu
segelombang angin panas yang langsung melabrak
atap pondok. Atap jebol, tembus sampai ke bagian da-
lam dan menghantam tubuh si nenek. Ternyata dalam
keadaan diri diamuk badai rangsangan si nenek tidak
kehilangan kewaspadaannya. Lebih hebat lagi dia ma-
sih sanggup bergulingan ke lantai pondok sambil me-
nyambar tubuh gadis itu.
Hantaman yang datang dari atap pondok
menghancurkan balai bambu tersebut.
Dengan membiarkan gadis culikan tergeletak di
atas lantai, laksana kilat si nenek melompat bangkit,
berdiri tegak memandang ke arah atap yang jebol ber-
lubang besar, sedangkan mulut semburkan makian
marah. "Kurang ajar, mencari mati berani mencampuri
urusan orang!"
Sosok manusia raksasa yang memiliki nama
aneh Rajo Penitis yang kini telah berdiri di atas bu-
bungan pondok balas menghardik. "Tua bangka bu-
suk, muka setan. Usia sudah mendekati ajal. Hendak
berbuat keji dan mesum dengan sesama kaumnya
sendiri, mengapa menyalahkan orang!"
Mendengar jawaban orang darah si nenek lak-
sana mendidih, bukan karena kobaran nafsu melain

kan karena dibakar amarah. Lalu dia mendongak ke
atas, tangan ditarik ke belakang siap melepaskan satu
pukulan keji. Tindakan yang hendak dia lakukan tak
sempat terlaksana. Karena pada saat itu pula terden-
gar suara tawa bergelak panjang disertai pusaran an-
gin yang menjebol atap pondok. Atap berikut kayu pe-
nyanggahnya terangkat terbang ke udara, berputar la-
lu lenyap di pulas pusaran angin. Dari atap yang jebol
melesat turun satu sosok dengan besar tubuh sangat
luar biasa sekali. Sambil melesat ke lantai pondok se-
cara tak terduga manusia raksasa ini lepaskan ten-
dangan ke arah si nenek.
Muka setan yang belum habis rasa kagetnya,
surut satu langkah dua tangan dipergunakan untuk
menangkis.
Dess! Dess!
Buuk!
Tangkisan bertenaga dalam penuh mampu
membuat sosok besar ini jatuh terduduk. Tapi kaki la-
wan yang sangat besar itu sempat menghantam dada
si nenek, membuatnya mencelat, melayang di udara la-
lu jatuh di atas tanah.
Sambil bangkit berdiri si raksasa yang sempat
melihat wajah gadis itu dua kali dibuat kaget. Pertama
dia kaget karena tak menyangka nenek muka setan itu
memiliki tenaga dalam sangat tinggi. Bahkan akibat
benturan membuat kakinya panas laksana terbakar.
Sedangkan yang kedua dia tidak menyangka gadis
yang hendak digagahi oleh nenek wajah setan adalah
gadis yang sangat dia kenal. Gadis ini bukan lain ada-
lah Sriwidari yang beberapa hari lalu sempat dilari-
kannya untuk dijadikan istri. Sebaliknya gadis berpa-
kaian ungu begitu melihat ada orang telah menyela-
matkan dirinya dari aib besar sempat gembira. Tapi

kini jadi kaget dan kembali dilanda ketakutan. Dito-
long oleh manusia raksasa itu baginya sama saja, tidak
ubahnya lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut
ikan hiu. Malah kini dia menjadi sangat marah melihat
kemunculan Rajo Penitis. Dendamnya pada manusia
raksasa itu setinggi langit karena dialah yang telah
membunuh ayahnya. Juru Obat Angin Laknat. Untuk
lebih jelas (silahkan baca Episode Ki Anjeng Laknat).
Si raksasa sudah tak sempat lagi memikirkan
gadis itu, apalagi menutupi auratnya yang tidak ka-
ruan. Karena di bawah sana nenek muka setan yang
gusar melihat campur tangan raksasa itu telah bangkit
berdiri sambil memandang sosok besar yang tegak di
atas lantai pondok dengan mata mencorong marah,
disertai tatapan penuh selidik.
Jauh dalam hati sesungguhnya dia juga kaget.
Manusia raksasa ini tentu memiliki berat badan
mungkin lebih dari tiga ratus lima puluh kati. Anehnya
ketika dia jejakkan kaki di atas atap pondok tadi sama
sekali tidak menimbulkan guncangan. Bahkan si ne-
nek sampai tidak tahu ada orang berada di atas pon-
dok. Jika tidak mempunyai ilmu meringankan tubuh
yang sangat luar biasa mana mungkin hal itu dapat di-
lakukannya.
***
2

Betapapun nenek muka setan sempat dibuat
kagum, tapi kemarahan ternyata lebih besar mengua-
sai jiwa dan fikirannya. Dia tak mengenal siapa raksa-
sa ini, namun dia menyadari sosok raksasa di depan

nya selain mempunyai tenaga dalam tinggi juga memi-
liki ilmu meringankan tubuh yang cukup sempurna.
"Makhluk raksasa keparat, aku tak pernah ber-
temu denganmu sebelumnya. Mengapa berani lancang
mencampuri urusan orang, siapa dirimu ini yang se-
benarnya!" hardik si nenek.
Si raksasa keluarkan suara tawa pendek. Se-
saat dia pandangi si nenek, merasa muak dia langsung
berkata. "Tua bangka dalam rupa setan. Kau telah me-
lakukan satu kesalahan besar. Bagaimana aku bisa
diam jika orang yang hendak kau gagahi itu adalah ca-
lon istriku? Ha ha ha." Lalu tanpa memberi kesempa-
tan pada nenek muka setan dia melanjutkan ucapan-
nya. "Kau ini bukan saja perempuan edan, tapi juga
memiliki kelainan. Kau hendak berlaku keji pada kaum
sejenis. Apakah ini tidak keliru? Mestinya jodoh-mu
adalah laki-laki, karena cuma laki-laki yang memiliki
pedang. Lagi pula jika laki-laki yang kau ajak berbuat
mesum, mereka pasti tidak akan marah. Bisa jadi laki-
laki itu senang. Tapi laki-laki mana yang mau den-
ganmu, muka rusak, hancur mengerikan seperti setan.
Kurasa setan bengekpun tak sudi bergendak dengan-
mu!"
"Jahanam tengik, kau tak tahu siapa diriku.
Sampai kau mati kau tak bakal mengenali siapa jun-
junganmu ini. Manusia terkutuk cepat katakan siapa
dirimu?" bentak muka setan mengulangi pertanyaan-
nya.
"Rupanya kau penasaran. Kau dengar, namaku
Rajo Penitis. Sekarang kau harus mengganti pakaian
calon istriku, kau juga musti memotong tanganmu
yang telah kau pergunakan untuk menggerayangi ga-
dis itu!" berkata Rejo Penitis ulurkan tangan bersikap
seolah meminta.

"Rajo Penitis, hem. Jika gadis itu calon istrimu,
aku tidak merasa berat mengganti pakaian dan menye-
rahkan dua tanganku ini. Kau meminta ambillah sen-
diri!"
Nenek muka setan lalu ulurkan tangan kirinya.
Ternyata bukan untuk diserahkan karena begitu tan-
gan si nenek diangsurkan ke depan dari telapak tan-
gan itu menderu angin merah ke arah Rajo Penitis dan
juga ke pondok dimana si raksasa dan Sriwidari bera-
da. Sadar lawan lepaskan pukulan jarak jauh bertena-
ga dalam tinggi, Rajo Penitis melesat ke udara, ber-
jumpalitan dua kali lalu jatuh berdiri di luar pondok.
Justru pada waktu itu terdengar suara berderak pon-
dok yang hancur disertai jeritan si gadis yang terpe-
lanting di udara bersama puing-puing pondok yang
bertebaran dikobari api. Rajo Penitis terkejut, tapi ce-
pat melompat menangkap Sriwidari yang meluncur ce-
pat ke arah batu dengan kepala terlebih dulu. Selagi
Rajo Penitis berusaha selamatkan si gadis dari han-
curnya kepala akibat membentur batu. Maka kesempa-
tan ini dipergunakan si muka setan dengan mele-
paskan satu pukulan susulan yang tak kalah dahsyat.
Rajo Penitis menjadi gugup, dia dorongkan tan-
gan kanan menyambuti pukulan lawan, sedangkan
tangan kiri diteruskan menangkap tubuh si gadis. Ka-
rena pikirannya terpecah, baik tangkisan yang dilaku-
kannya maupun gerakan tangan kiri untuk menyela-
matkan Sriwidari tak dapat dilakukannya dengan baik.
Dia hanya dapat menyambar dan membalik kepala si
gadis. Sedangkan bagian tubuhnya tetap jatuh meng-
hempas ke batu. Sekali lagi gadis itu menjerit, bentu-
ran keras pada bagian punggungnya membuat Sriwi-
dari jatuh pingsan seketika.
Manusia raksasa itu sendiri mencelat sejauh

satu tombak terhantam sebagian pukulan lawan yang
tak sempat ditangkisnya. Laksana kilat dia bangkit
berdiri. Akibat pukulan membuat tubuhnya terasa pa-
nas laksana terbakar. Rajo Penitis keluarkan suara
menggerung. Sebaliknya si nenek yang tegak di depan
sana diam-diam menjadi kaget. Pukulan yang dile-
paskannya tadi termasuk salah satu pukulan hebat
yang dia miliki. Tapi pukulan sakti itu hanya membuat
lawan jatuh terjengkang bukan tewas seperti yang di-
harapkan.
Pingsannya Sriwidari membuat Rajo Penitis jadi
marah besar. Kini dia melangkah maju, setiap gerakan
kakinya menimbulkan getaran hebat pada tanah yang
dipijaknya.
"Kau pasti menyesal telah membuat calon istri-
ku jadi seperti itu. Kalau dia sampai mati, kepalamu
akan ku pelintir sampai putus!"
"Hik hik hik! Kalau dia tak dapat kumiliki, ba-
gusnya kau dan dia kukirim ke neraka saja!" teriak
nenek muka setan.
Suara teriakan dijawab dengan satu tendangan
menggeledek yang menghantam ke dahi, leher dan
tenggorokan si nenek. Angin keras menderu, hebatnya
lagi walau kaki itu besar sekali tapi dapat bergerak
laksana kilat, membuat si nenek keluarkan seruan ka-
get, lalu melompat mundur kemudian berkelebat gesit
hindari tendangan lawan. Sambil menghindar muka
setan membalas dengan pukulan-pukulan mautnya
hingga perkelahian itu berlangsung seru menegang-
kan.
Beberapa jurus lamanya si nenek sempat terde-
sak hebat mendapat tendangan beruntun itu. Tapi se-
telah empat puluh jurus kemudian si nenek melaku-
kan gerakan aneh, lalu dia merobah jurus silat serta

gerakan tubuhnya. Sampai akhirnya sekarang dia ba-
las mendesak lawan, malah beberapa kali jotosan dan
tendangan kilat yang dilakukannya sempat mengenai
bagian tubuh lawannya. Rajo Penitis bertahan mati-
matian. Dia lalu lakukan serangan balasan yang da-
tangnya tidak terduga. Beberapa kali Rajo Penitis ber-
hasil susupkan tangannya lakukan jotosan ke tubuh
lawan. Nenek muka setan yang kena hantaman ter-
huyung. Jotosan itu memang tak membahayakan ji-
wanya, tapi mampu membuat tubuh goyah, inipun ba-
ginya sudah merupakan sesuatu yang memalukan.
Sekali ini si nenek melompat mundur sejauh ti-
ga langkah dari lawannya. Kemudian tangan diangkat,
lalu dikepal. Mulut nenek muka setan berkemak-
kemik. Dari tinjunya mengepulkan asap tipis kehita-
man, bukan hanya asap yang keluar tapi tinju sampai
sebatas siku telah pula berubah hitam menggidikkan.
Rajo Penitis menyadari lawan agaknya siap mele-
paskan pukulan saktinya. Si raksasa tidak tinggal di-
am. Dia segera salurkan tenaga dalam ke bagian tan-
gan dan kedua kakinya.
Sementara itu di balik sebatang pohon di sebe-
lah kiri tak jauh dari jatuhnya Sriwidari. Satu sosok
mendekam disana. Sosok berjubah biru yang selalu
menutupi wajahnya dengan ujung jubah yang menjun-
tai di depan dada. Sosok ini berada di situ sejak nenek
muka setan siap menodai Sriwidari. Dia bahkan me-
nyaksikan perkelahian sengit itu. Entah mengapa begi-
tu melihat si nenek hendak menodai si gadis dia malah
menangis tanpa suara sambil tutupi wajahnya dengan
ujung kain jubah birunya.
"Hik hik hik. Mengapa dia berubah, mengapa
dia hendak berbuat mesum dengan gadis itu? Hik hik
hik. Malu aku jadinya. Apakah terlalu banyak yang di

fikirkannya, apakah terlalu berat beban yang meng-
himpit batin hingga membuatnya jadi gila, tidak waras
pikiran." Sosok yang ternyata seorang gadis berdandan
menor turunkan kain jubah yang dipergunakan untuk
menutupi wajah. Malu-malu dia julurkan kepala, men-
gintip ke arah orang yang berkelahi. Kemudian dia me-
lirik ke arah Sriwidari. Pakaian si gadis yang menying-
kapkan aurat atas bawah membuatnya menjadi malu,
kasihan juga iba.
"Kakakku memalukan, dia mungkin sudah tak
waras. Jadi gila, padahal ilmunya tinggi, ini sangat
berbahaya. Aku harus membawa gadis itu, menyingkir
yang jauh mencari selamat! Hi hi hi." Dan gadis berju-
bah biru ini berkelebat dengan satu gerakan cepat luar
biasa tepat pada saat nenek muka setan melepaskan
pukulan ganas ke arah Rajo Penitis. Si gadis sempat
melihat berkiblatnya sinar hitam ke arah si raksasa.
Dia juga melihat manusia raksasa itu melepaskan satu
pukulan yang tak kalah hebatnya.
Tanpa perduli dengan apa yang akan terjadi, si
jubah biru sambar tubuh Sriwidari, lalu berkelebat
pergi dengan kepala dipenuhi tanda tanya melihat pu-
kulan si muka setan.
"Hei... jahanam pencuri hendak kau bawa lari
kemana dia!" teriak muka setan. Berkata begitu sekali
lagi dia lepaskan pukulan ke arah orang yang melari-
kan gadis culikannya. Dua ledakan terjadi berturut-
turut. Ledakan pertama adalah akibat pukulan si ne-
nek yang berbenturan dengan pukulan Rajo Penitis.
Ledakan kedua adalah pukulan si nenek yang diarah-
kan oleh sosok gadis berjubah biru yang tak mengenai
sasaran.
Si nenek yang terhuyung-huyung akibat bentu-
ran pertama, menyumpah habis-habisan karena puku

lan kedua untuk mencegah orang melarikan Sriwidari
tak mengenai sasaran. Dia semakin geram karena di-
kejauhan dia mendengar ada suara orang berkata.
"Walah... hampir mati aku. Sialan... tobaat...!"
Suara lenyap, sosok jubah biru juga lenyap.
Si nenek memandang ke depan. Di depannya
sana Rajo Penitis nampak terkapar. Mulutnya yang
menyemburkan darah keluarkan suara erangan, dada
kembang kempis laksana mau meledak. Kecewa atas
segala yang terjadi, kini sambil menyeringai dia hendak
lampiaskan kemarahannya pada Rajo Penitis yang ru-
panya menderita luka dalam hebat akibat benturan
pukulan tadi. Dia melangkah tiga tindak. Tangan ka-
nan di angkat tinggi siap melepaskan satu pukulan
mematikan.
"Malam ini ajalmu sampai, kau segera mengha-
dap malaikat penjaga neraka makhluk raksasa tolol!"
Si nenek Muka Setan menggeram. Perlahan tangan di-
turunkan siap menghantam. Namun gerakannya jadi
tertahan seketika, mulut ternganga mata memandang
ke satu arah ketika mendadak dia mendengar suara
siulan yang datang dari kejauhan. Si nenek batalkan
niat untuk membunuh lawannya, seperti orang gugup
dia balikkan badan. Tanpa menoleh dia berucap ditu-
jukan pada Rajo Penitis. "Makhluk keparat pengganggu
kesenangan orang. Nyawamu ku perpanjang tiga hari
lagi. Nanti bila urusan pentingku selesai aku akan
mencarimu, mencabut nyawa busukmu!" habis berka-
ta dengan tergesa-gesa si nenek berkelebat pergi ting-
galkan Rajo Penitis seorang diri.
Seperginya nenek muka setan, Rajo Penitis ke-
luarkan suara erangan. Dia terbatuk, dada semakin
menyesak, mulut kembali semburkan darah hidup.
Cepat Rajo Penitis masukkan tangannya ke dalam kan

tong celana dia mengambil dua buah benda kecil ber-
warna merah, lalu memasukkan benda itu ke dalam
mulut.
Begitu obat memasuki kerongkongannya, rasa
panas di dada berangsur lenyap, berganti dengan rasa
sejuk. Si raksasa bangkit, duduk dan terlolong seperti
orang bodoh. Dia kitarkan pandang, Sriwidari ternyata
lenyap. Tadi dia memang sempat melihat berkelebat-
nya sosok serba biru. Mungkin sosok itulah yang telah
melarikan Sriwidari. Dengan perasaan sedih dia berka-
ta.
"Gadis itu sudah dua kali dilarikan orang.
Mungkin dia tidak berjodoh denganku. Kasihan, orang
tuanya terlanjur terbunuh di tanganku. Karena aku
harus mencarinya." Membatin Rajo Penitis. Mendadak
dia usap keningnya, kening langsung mengernyit keti-
ka teringat sahabatnya Gento Guyon. Setengah menge-
rang si raksasa berguman. "Kurcaci kecil, kurcaci je-
lek. Kemana kau? Aku sekarang tidak butuh istri
pengganti. Aku memerlukan seorang sahabat. Kurcaci
kecil! Aku Kurcaca ingin bertemu denganmu!"
Terhuyung-huyung Rajo Penitis bangkit berdiri.
Tangan kanan mendekap dada yang masih terasa sa-
kit. Entah mengapa saat itu dia merasa begitu rindu
pada Gento. Kerinduan yang makin menghunjam da-
da, melecut kalbunya yang paling dalam. Aneh entah
kerinduan atau terkenang pada nasib hidupnya sendi-
ri, Rajo Penitis kucurkan air mata. Kemudian seperti
orang mabuk dia berlari tinggalkan tempat itu.
***
3

Gadis cantik berdandan menor berjubah biru
membawa Sriwidari ke sebuah tempat sunyi tak dari
sungai Citarum. Saat itu banjir besar melanda sekitar
kawasan sungai sampai kebagian pendataran rendah.
Di satu tempat perbukitan si jubah biru turun-
kan gadis dalam panggulannya. Sriwidari lalu diba-
ringkan di atas tanah dengan hanya beralaskan daun
dan rumput-rumput kering. Sesaat lamanya gadis ber-
dandan menor yang sering tertawa-tawa sendiri itu
pandangi gadis yang ditolongnya, dari kepala sampai
ke bagian kuku. Si jubah biru menjadi kasihan melihat
bagaimana pakaian Sriwidari yang acak-acakan, dis-
ana sini. Rasa malu melihat semua itu membuat dia
tutupi wajahnya dengan ujung jubah.
"Hik hik hik. Bagaimana aku harus menolong,
bagaimana aku harus mengganti pakaian yang rusak?
Bajuku cuma satu, pakaian juga cuma satu." Kata ju-
bah biru sambil memandangi dirinya sendiri. Dia lalu
gelengkan kepala ketika melihat buntalan yang tergan-
tung dipinggangnya. "Mengapa aku lupa. Dalam bunta-
lan ini bukankah terdapat dua lembar pakaian salinan.
Sialan otak masih waras tapi mudah pikun." Si jubah
biru yang bukan lain adalah gadis sinting yang biasa
dipanggil Puteri Pemalu dengan cepat menarik bunta-
lan lalu membukanya. Dia mengambil seperangkat pa-
kaian lengkap, kebetulan sekali pakaian itu berwarna
ungu. Gadis sakit ingatan ini lalu mendekati Sriwidari.
"Dia tidur atau pingsan. Hik hik hik, mungkin
pingsan. Selagi gadis ini pingsan sebaiknya pakaian-
nya kuganti saja." Kata Puteri Pemalu. Beberapa saat
lamanya Puteri Pemalu nampak sibuk mengganti pa

kaian Sriwidari. Selesai mengganti pakaian orang Pute-
ri Pemalu duduk termenung. Wajahnya nampak sedih,
tapi mulut tetap tertawa.
"Kakakku itu, bagaimana mungkin perangainya
bisa berubah begitu rupa? Dia mengatakan aku gila,
otakku miring. Tak tahunya sekarang malah dia yang
gila. Tapi benarkah karena kegilaannya itu membawa
perubahan pada pukulan sakti yang dia miliki? Puku-
lan yang dilepaskannya padaku sama sekali bukan
pukulan yang biasanya kulihat. Pukulan itu lebih keji,
lebih dahsyat bahkan mengandung racun jahat. Puku-
lan seperti itu tidak pernah dia miliki sebelumnya. Ayu
Jelita alias Muka Setan. Apa yang telah terjadi pada di-
rimu? Mengapa kau hendak berbuat keji pada kaum
sejenis?" kata Puteri Pemalu dengan perasaan sedih.
Walau dirinya merasa prihatin melihat apa yang terjadi
pada Si Muka Setan, namun mulutnya tetap menyem-
burkan tawa. Suara tawa lenyap, Puteri Pemalu pan-
dangi Sriwidari. Gadis itu masih belum sadarkan diri.
Gadis berdandan menor mulai diliputi kegelisahan.
Bukan gelisah memikirkan Sriwidari, melainkan kare-
na hati dan fikirannya merasa tidak dapat menerima
apa yang telah dilakukan oleh Si Muka Setan. Dia ma-
sih ingat beberapa waktu yang lalu telah terjadi pem-
bantaian keji atas keluarga Si Muka Setan. Seperti di-
ketahui, Si Muka Setan sesungguhnya adalah guru Pu-
teri Pemalu, namun gadis yang terganggu ingatan ini
suka memanggilnya kakak.
Puteri Pemalu ingat beberapa hari yang lewat Si
Muka Setan pergi untuk memimpin pertemuan di Kia-
ra Condong. Puteri Pemalu mencoba mengikuti tapi
kehilangan jejak. Kelanjutan pertemuan gadis sakit in-
gatan itu tidak tahu. Tapi kemudian terjadi sesuatu
yang mengejutkan. Dia yang dalam perjalanan menuju

ke tempat pertemuan untuk mencari Bagus Awan Pe-
teng melihat gurunya hendak melakukan perbuatan
terkutuk pada seorang gadis.
Puteri Pemalu dekap wajahnya, mulut bergu-
man. "Muka Setan. Benarkah dia kakakku? Atau
mungkin masih ada si Muka Setan yang lain. Jika be-
nar yang kulihat tadi malam itu adalah kakakku, men-
gapa pukulannya lain? Pukulan sakti yang dile-
paskannya sama sekali bukan pukulan yang biasanya?
Apakah mungkin dia menciptakan ilmu pukulan baru
yang tak pernah diajarkannya padaku? Harusnya aku
segera menyelidik. Tak mungkin aku menunggui gadis
ini sampai sadar. Jika dia nanti tahu aku punya hu-
bungan dengan Muka Setan aku bisa mendapat malu
besar! Hik hik." Kata Puteri Pemalu disertai gelak tawa
panjang.
Sekali lagi gadis sakit ingatan ini pandangi Sri-
widari. Setelah itu dia lakukan tiga totokan di bagian
dada untuk memperlancar jalan darah di tubuh Sriwi-
dari, kemudian dia bangkit berdiri. "Aku tak bisa me-
nunggumu sampai sadar. Aku takut banyak perta-
nyaanmu. Aku bisa jadi malu. Aku harus pergi menca-
ri Si Muka Setan. Aku akan bertanya segala sesuatu
tentang kebejatan yang hendak dia lakukan padamu.
Hik hik hik!" selesai dengan ucapannya Puteri Pemalu
jejakkan kaki, lalu berkelebat tinggalkan Sriwidari seo-
rang diri.
Tak lama setelah perginya gadis sinting tadi,
Sriwidaripun siuman. Dia jadi kaget ketika dapatkan
dirinya berada di pinggir sungai itu seorang diri, lebih
kaget lagi ketika mendapati pakaiannya yang hancur
habis tercabik-cabik kini telah berganti dengan pa-
kaian yang lain. Ingat sekaligus sadar dirinya telah di-
tolong oleh seseorang, tanpa menghiraukan rasa sakit

yang mendera sekujur tubuhnya Sriwidari kitarkan
pandang. Tidak terlihat Rajo Penitis, tidak terlihat pula
Si Muka Setan yang hendak menodai dirinya.
Tempat itu sama sekali telah berubah. Saat itu
dia mulai menyadari dirinya berada di tepi sebuah
sungai, di pinggir kawasan hutan pinus.
Sriwidari merasa gembira karena dirinya terle-
pas dari ancaman aib besar. Tapi siapa yang telah me-
nolong dan memberinya pakaian? Gadis itu pejamkan
matanya, mencoba mengingat-ingat. Yang teringat
olehnya justru ketika pondok yang terkena hantaman
pukulan nenek Muka Setan hancur berantakan, dia
yang berada di atas lantai pondok terpelanting tinggi
ke udara. Kemudian selagi tubuhnya meluncur deras
dengan kepala menghadap ke arah batu, si raksasa
Rajo Penitis mencoba menyelamatkannya. Bagian ke-
pala dapat diselamatkan dari kehancuran, tapi bagian
tubuh yang lain menghantam batu. Lalu dia jadi tak
sadarkan diri. Sriwidari menduga mungkin selagi di-
rinya dalam keadaan tak sadar itulah seseorang yang
begitu baik hati telah menyelamatkannya. Memba-
wanya pergi ke tempat yang aman, di pinggir sungai
itu.
"Siapapun yang telah menyelamatkan diriku
aku patut mengucapkan rasa terima kasih. Tapi dima-
na penolongku itu sekarang? Dia sengaja tidak mau
menungguiku hingga sadar. Tidak mau mendengar se-
gala basa-basi atau memang ada sesuatu yang diraha-
siakannya!" batin si gadis. Beberapa saat berlalu, Sri-
widari masih dalam sikapnya, menelentang sedangkan
mata menerawang memandang ke langit dimana ma-
tahari baru saja menampakkan diri di langit sebelah
timur.
Sriwidari lalu menggeliat, bangkit duduk. Saat

duduk dia merasakan kepalanya berdenyut sakit. Dia
gelengkan kepala untuk mengusir rasa sakit yang
menghebat. Belum lagi rasa sakit hilang sepenuhnya
mendadak dia mendengar suara langkah kaki. Sriwida-
ri tercekat, mengira yang datang adalah orang-orang
yang tidak diharapkan atau yang sangat dia benci.
Dia menoleh, memandang ke jurusan mana su-
ara langkah kaki terdengar. Semak belukar di bawah
deretan pohon pinus tersibak. Muncul sosok kepala,
tidak satu tapi sebanyak empat orang. Orang pertama
yang munculkan diri di tempat itu adalah seorang ga-
dis cantik berpakaian putih berkembang merah. Ram-
but terurai, kulit putih mulus. Di pinggang sebelah kiri
membekal sebilah pedang, sarung pedang berwarna
kuning keemasan. Sedangkan yang di belakangnya
dua laki-laki cacat berpakaian kuning. Laki-laki yang
satu berbadan kurus, tangan dan kaki kecil, perut
buncit besar mata buta. Di atas bahu si buta duduk
sang teman atau mungkin saudaranya. Orang yang
duduk di atas bahu badannya lebih besar, sehingga
yang mendukung dengan yang didukung memiliki be-
sar tak seimbang. Laki-laki ini kedua kakinya buntung
sebatas lutut, wajah ceria selalu memperlihatkan ke-
bahagiaan, sayang setiap tarikan nafas mengeluarkan
suara aneh seperti orang bengek.
Hati Sriwidari berdebar gelisah, dia sama sekal
tak mengenai ketiga orang itu. Tapi kemudian dia me-
narik nafas lega begitu melihat kemunculan orang ke
empat. Yang terakhir muncul adalah seorang pemuda
berambut gondrong sebahu, bertelanjang dada berce-
lana hitam. Di leher pemuda gagah itu tergantung me-
lingkar seuntai kalung. Mata kalung terbuat dari batu
berwarna putih buram kuning kecoklatan, bentuk ma-
ta kalung bulat lonjong.

Jika tiga temannya terheran-heran melihat ga-
dis yang duduk di atas tanah perbukitan itu, sebaik-
nya si gondrong tercekat, mulut tersenyum sedangkan
mata dipentang lebar. Bagaimanapun dia tak akan lu-
pa pada gadis di depannya sana, beberapa hari yang
lalu dia menolong si gadis dari cengkeraman Rajo Peni-
tis. Gadis yang sangat cantik, sering mengusik fikiran-
nya beberapa malam belakangan sayang dia tak tahu
namanya.
Sebaliknya Sriwidari merasa gembira sekali ber-
temu dengan si gondrong. Pemuda ini yang telah
membuatnya nekad meninggalkan rumah setelah pe-
ristiwa terbunuhnya sang ayah tercinta Juru Obat An-
gin Laknat di tangan Rajo Penitis. Sriwidari tidak
mampu melupakan si gondrong sejak pertemuan yang
tidak terduga itu. Dia yang sempat marah ketika meli-
hat si gondrong jatuhkan diri ke sungai, di saat dirinya
sedang dalam keadaan polos mandi di sungai. Pemuda
itu memang sempat menyebalkan, tapi belakangan en-
tah mengapa di hatinya timbul bunga-bunga kerin-
duan terhadap pemuda itu. Dia ingin menyapa, sayang
nama si gondrong dia tak tahu. Di samping itu hatinya
jadi tidak enak karena si gondrong datang bersama
seorang gadis yang memiliki wajah tak kalah cantik
dengannya.
"Kau... bukankah...!" Agak ragu si gondrong
yang bukan lain Pendekar Sakti Gento Guyon adanya
mencoba menyapa ramah.
"Iya aku, Sriwidari. Orang yang pernah kau se-
lamatkan dari tangan manusia raksasa keparat itu!"
kata si gadis.
"Aku... aku Gento. Maaf waktu itu aku tak
sempat perkenalkan diri!" kata sang pendekar. Dia lalu
melirik ke arah tiga sahabatnya yang memandangnya

penuh heran karena tak menyangka Gento ternyata
mengenal gadis berpakaian ungu itu. Tanpa diminta
Gento memperkenalkan nama ketiga sahabatnya. "Ga-
dis berbaju putih yang ada kembangnya ini adalah sa-
habatku, namanya Roro Centil. Pakaiannya indah, se-
tiap pakaian yang dia miliki selalu ada kembangnya.
Karena selain menyukai kembang, orang tuanya me-
mang tukang jual kembang di pasar Kelewer," mene-
rangkan Gento sambil tertawa lepas. Gadis yang ber-
nama Roro Centil delikkan mata pada si pemuda dan
Gento pura-pura tak melihat. Lalu setelah hentikan
tawanya dia berpaling pada sahabatnya cacat. "Ka-
wanku si kuda gering perut buncit ini namanya Sapa.
Matanya kurang awas, hingga biarpun gajah lewat di
depan mata dia pasti tak melihat. Sedangkan yang
menjadi majikannya dan duduk di atas bahu itu ada-
lah si pemalas bernama Nyana. Kakinya buntung,
mungkin dulu disambar petir. Mereka berdua dikenal
dengan sebutan Sepasang Dewa Berwajah Ganda. Tapi
aku lebih suka memanggil mereka Dewa cacat berna-
sib sengsara. Ha ha ha!" Gento mengakhiri ucapannya
dengan tawa bergelak.
"Bocah edan sialan. Mulutmu sungguh mem-
buat gatal telinga kami!" damprat Sapa, tangan si buta
menggapai hendak memukul. Tapi dia memukul angin
karena tak tahu posisi Gento secara pasti.
"Nah, kau dapat melihat begitulah kalau gi-
lanya lagi angot. Orang yang hendak dipukulnya di-
mana, memukulnya kemana." Kata Gento masih saja
tertawa. Si buta Sapa jadi kesal hingga membanting
kakinya. Kaki amblas, Sriwidari kaget sekaligus sadar
bahwa laki-laki itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi.
"Sudah, kalian jangan bertengkar. Persoalan
yang kita hadapi belum selesai. Jika kalian terus bica

ra melantur, biar aku pergi mencari pembunuh kepa-
rat itu seorang diri!" tegas Roro Centil yang diam-diam
rupanya merasa tidak enak hati melihat Gento sering
melirik ke arah gadis cantik yang bernama Sriwidari.
Sepasang Dewa Berwajah Ganda langsung ter-
diam. Gento mengusap wajahnya pulang balik. Se-
dangkan Sriwidari yang mendengar ucapan Roro Centil
jadi terheran-heran tapi kemudian ajukan pertanyaan.
"Pembunuh? Siapa yang dibunuh siapa pula yang
membunuh?"
Roro Centil tidak menjawab pertanyaan orang,
dia memandang ke arah Gento sambil berkata. "Untuk
pertanyaanmu itu biar si gendeng Gento yang menja-
wab!"
Pendekar Sakti Gento Guyon pandangi Roro
Centil sekilas, lalu menatap ke arah Sriwidari. Si Gadis
tundukkan kepala, tapi telinga tetap dipasang siap
mendengar penjelasan orang.
"Begini, beberapa hari yang lalu kami baru saja
sampai ke Kiara Condong untuk melihat pertemuan
para tokoh dan pendekar golongan putih, sekalian in-
gin ikut mendengar hasil pertemuan yang dipimpin
oleh Si Muka Setan." Ujar Gento. Mendengar pemuda
itu menyebut Si Muka Setan, wajah Sriwidari sempat
berubah, namun dia memendam keinginannya untuk
tidak bertanya. Gento kemudian melanjutkan. "Tapi
apa yang terjadi disana benar-benar di luar dugaan.
Seluruh penjaga pertemuan tewas terbunuh, otak me-
reka lenyap kepala bolong. Kemudian mereka yang ha-
dir di dalam ruangan rahasia juga tewas di racun, be-
berapa diantaranya terkena pukulan Telapak Beracun.
Bukan hanya itu saja, bahkan pemimpin pertemuan
agaknya mati sehari sebelumnya. Kami menemukan
pusara tak jauh di halaman rumah."

"Pertemuan. Aku memang mendengar tentang
rencana ini sebelumnya," gumam Sriwidari dalam hati.
Dia lalu ajukan pertanyaan. "Apakah kau dan saha-
batmu itu sudah tahu siapa kiranya pembunuh keji
itu?"
"Pembunuhan itu mungkin tak bekerja seorang
diri, bisa jadi dua orang. Masih dalam penyelidikan.
Tapi salah seorang diantaranya kami sudah dapat
menduga. Dia adalah si penyedot otak yang dikenal
dengan julukan Perampas Benak Kepala," menerang-
kan Roro Centil.
"Perampas Benak Kepala. Aku tak mengenal-
nya. Tapi... tadi sahabatmu yang pernah menolongku
mengatakan dia menemukan sebuah kubur pemimpin
pertemuan. Kalau tak salah aku mendengar bukankah
yang memimpin pertemuan itu adalah Si Muka Setan?"
"Benar," sahut Nyana.
Kini Sriwidari dibuat terkejut. Mulut menggu-
mam sedangkan kepala digelengkan beberapa kali.
Keempat orang di depannya tentu saja menjadi heran.
Seakan tak perduli dengan sikap yang ditunjukkan
orang, Sriwidari berkata. "Aku tak percaya bangsat
yang bergelar Si Muka Setan itu benar-benar mampus!
Mungkin pusara itu hanya tipuan, atau sesuatu yang
dibuat untuk mengelabuhi orang lain."
"Gadis cantik, mulutmu lancang sekali. Si Mu-
ka Setan adalah manusia yang sangat disegani, men-
gapa kau seperti membenci dirinya?" tanya Sapa mera-
sa tidak senang.
Sriwidari tertawa panjang, tapi wajahnya jelas
menunjukkan rasa benci. "Orang lain bisa berangga-
pan begitu, tapi aku tidak. Malah jika aku bertemu
dengannya Muka Setan akan kupenggal kepalanya."
Dengus si gadis.

Semakin bertambah heranlah Gento, Roro Cen-
til juga Sepasang Dewa Berwajah Ganda mendengar
suara ketus Sriwidari. Roro Centil yang kenal betul
dengan Si Muka Setan melompat maju. Wajah gadis ini
merah padam, matanya mendelik memandang pada
gadis itu.
"Gadis lancang, berani kau menghina dan men-
caci orang yang telah berkubur? Apa salah dan do-
sanya kepadamu hingga kau tega mengucapkan kata-
kata seperti itu?" hardik Roro Centil siap melabrak
Sriwidari.
Si gadis tersenyum sinis.
"Dosa si keparat Muka Setan selangit tembus
sedalam lautan. Perbuatannya terhadapku lebih ren-
dah dari binatang. Si Muka Setan baru saja tadi ma-
lam hendak berbuat keji, ingin melampiaskan nafsu
mesumnya kepadaku. Beruntung ada seseorang yang
menolongku, jika tidak mungkin aku mendapat aib be-
sar!" kata Sriwidari. Dia kemudian menuturkan keja-
dian yang sebenarnya. Termasuk juga tentang kemun-
culan Rajo Penitis yang membelanya. Tapi pertolongan
manusia raksasa itu tak ada arti bagi Sriwidari karena
orang itu telah membunuh ayahnya, lebih celaka lagi
hendak memperistri dirinya.
Gento dan para sahabatnya tentu jadi tercen-
gang mendengar penjelasan Sriwidari. Bagaimana
mungkin Si Muka Setan yang sudah berkubur di da-
lam pusara bisa gentayangan kembali. Malah berubah
jahat bahkan hendak berbuat keji pada Sriwidari. Apa-
kah Si Muka Setan memang masih hidup, atau mung-
kin ada Muka Setan yang lain? Lalu siapa yang terku-
bur di halaman rumah pertemuan itu? Paling tidak
pertanyaan ini menyelimuti benak setiap orang yang
ikut mendengar penjelasan gadis itu.

Karena Sriwidari melihat rasa tidak percaya pa-
da tatapan mata Gento dan kawan-kawannya. Dia lalu
gerakkan tangannya ke balik pakaian pemberian orang
lalu merenggut pakaiannya yang asli.
Bret! Bret!
Pakaian yang tercabik-cabik itu ditunjukkan
pada Gento. Si gondrong memperhatikannya dengan
mata mendelik. Dia tahu pakaian itulah yang dipakai
Sriwidari saat dirinya dibawa lari oleh Rajo Penitis. Ini
berarti Sriwidari memang tidak berkata dusta. Gento
menganggukkan kepala ketika Sapa, Nyana dan Roro
Centil menatap kepadanya.
"Rasanya sulit untuk bisa kupercaya. Nenek
Muka Setan kuketahui sebagai orang normal. Dia per-
nah bersuami, punya anak punya keturunan. Bagai-
mana mungkin dia menyukai kaum sejenis. Kalaupun
itu benar, tentu sudah dilakukannya padaku." Kata
Roro Centil dengan mulut bergetar dan tubuh terasa
dingin.
Gento terdiam, untuk membuktikan apakah Si
Muka Setan benar-benar telah mati atau masih hidup,
dia harus membongkar pusara di Kiara Condong. Tapi
mungkin jasadnya sudah mulai membusuk. Satu-
satunya cara adalah menemukan dimana beradanya Si
Muka Setan yang hampir menodai Sriwidari. Jika su-
dah bertemu baru bisa dipastikan orang itu apakah Si
Muka Setan yang asli, atau cuma seseorang yang me-
nyamar sebagai Si Muka Setan. Fikir Gento.
"Bagaimana Gento, kau percaya dengan ucapan
gadis itu?" tanya Roro Centil dalam kebimbangan.
"Aku percaya dia bicara benar. Kurasa memang
ada orang yang sengaja menyiasati kita, melakukan
beberapa penipuan supaya kita jadi bingung. Aku
punya usul, itupun kalau kalian setuju!" ujar Gento,

lalu si gondrong terdiam melihat reaksi gadis disebe-
lahnya.
"Apa usulmu. Asal kau tak menyuruh kami me-
lakukan hal yang tidak-tidak, kami pasti akan mela-
kukannya!" ujar Nyana.
Gento tersenyum. "Usul pertama cocok untuk
kalian. Pekerjaan ini memang pantas untuk dilakukan
berdua."
"Katakan cepat!" kata Sapa.
"Baik. Untuk membuktikan benar tidaknya Si
Muka Setan telah mati, kalian harus membongkar ku-
burnya. Dengan begitu kita baru bisa menyakini apa-
kah orang yang hendak berbuat keji pada Sriwidari,
apakah roh Si Muka Setan atau hanya seseorang yang
hendak mencari keuntungan dibalik kematian orang
tua itu." Kata Gento memberi penjelasan.
Sapa dan Nyana tercekat kaget. Sama sekali dia
tak menyangka akan mendapat tugas seperti itu. Tak
dapat dibayangkan betapa ngerinya mereka harus
mengeluarkan orang yang sudah mati dari kuburnya.
"Gento, apakah kau tidak bisa memberi tugas
yang lain untuk kami?" tanya Sapa dengan suara ter-
cekat lidah kelu. Sementara itu Roro Centil yang tidak
mengerti dengan tujuan Gento kernyitkan alisnya.
"Tentu saja bisa," sahut si gondrong dengan se-
nyum bermain dibibirnya. "Paman berdua boleh men-
cari Perampas Benak Kepala, setelah itu cari nenek je-
lek kurang ajar itu. Apa benar dia Si Muka Setan sebe-
narnya atau cuma hantu kesasar yang menyamar se-
bagai Si Muka setan...!"
"Lalu kau sendiri bagaimana?" tanya Nyana in-
gin tahu.
"Aku... aku bersama dua gadis ini akan mencari
musuh besarku Panji Anom. Sejak dia menghantam

kalian di telaga, aku tidak lagi mendengar kabar beri-
tanya. Apakah dia sudah menjadi diraja dunia persila-
tan atau malah menjadi raja diraja
cacing tanah." Kata Gento sambil tertawa.
"Apa yang hendak kau lakukan itu cukup sulit
dan memakan waktu yang lama, Gento. Selain itu an-
caman besar selalu membayangi jiwa kita." Kata Roro
Centil.
Gento terdiam, tapi memandang pada Roro
Centil.
"Maksudmu?"
"Aku tak akan pergi bersamamu, aku lebih baik
mengambil jalan pintas yang gampang tak mengan-
dung banyak resiko. Terus-terang aku akan menemui
orang pintar. Dia seorang dukun sakti, namanya Mbah
Peti. Dia tahu berbagai hal gaib yang susah dipecah-
kan. Melalui dia aku akan tanyakan segala teka-teki
pembunuhan keji ini, aku juga akan bertanya apa
memang benar Sriwidari hendak dinodai nenek Muka
Setan!" ujar Roro Centil, diam-diam dia melirik ke arah
gadis berbaju ungu.
"Mendengar nada ucapan sahabat Roro Centil,
agaknya dia tidak mempercayai ucapanku."
"Bukan tidak percaya, segala sesuatunya harus
dibuktikan bukan? Kami sendiri melihat pusara nenek
Muka Setan di Kiara Condong. Sekarang kau mengata-
kan Si Muka Setan hampir saja menebar aib atas diri-
mu, apakah ini tidak membingungkan?!" ujar Roro
Centil sinis.
"Sudahlah, tak perlu berdebat. Kalau Roro Cen-
til mau bertemu dengan dukun sakti bernama Mbah
Pentil itu silahkan saja. Jika nanti bertemu katakan
padanya, Gento kirim salam," ujar si gondrong.
"Apakah kau mengenal dukun sakti dari gu

nung Sembung itu?" tanya Roro Centil terheran-heran.
Murid si gendut Gentong Ketawa tertawa terba-
hak-bahak. "Mendengar namanya saja baru kali ini.
Bagaimana Mbah Sentir... eeh apa tadi namanya?"
"Mbah Petir." Jawab Roro Centil.
"Ya, Mbah Petir bisa mengenalku? Ha ha ha!"
"Dasar pemuda sinting, tak kenal berlagak ra-
mah." Dengus Roro Centil bersungut-sungut. Gadis itu
kemudian memutar badan, setelah melirik sekilas pada
Sriwidari dia pun berkelebat pergi.
"Agaknya Roro Centil membawa satu ganjalan
di hati. Dia seperti tidak suka padaku." Kata Sriwidari
seperginya Roro Centil.
Gento tertawa pendek. "Tak usah kau risaukan
dia. Roro Centil memang besar ambek, tapi dia gadis
yang baik." Jawab si pemuda.
"Gento, jadi apa yang harus kami lakukan?" sa-
tu suara bertanya. Yang baru bicara itu adalah Nyana.
Salah seorang dari Sepasang Dewa Berwajah Ganda.
"Kalau kami harus mencari tiga orang yang kau
sebutkan tadi, mungkin cuma arwah kami yang bisa
menjumpaimu lagi!" Sapa menimpali.
"Jika paman berdua merasa tugas ini sangat
berat, sebaiknya paman kembali ke Kiara Condong, la-
lu pastikan apakah benar Si Muka Setan yang terku-
bur di pusara itu. Tapi ingat, jangan kalian ikutan pula
menguburkan diri disana. Ha ha ha."
"Gento, walaupun kami berdua para orang ca-
cat. Kami juga menginginkan keselamatan dan ingin
umur panjang juga. Walaupun bagian badan ini cacat
tapi yang lain-lainnya ditanggung mantap." Celetuk
Sapa sambil tersenyum. Gento menjadi heran, lalu
ajukan pertanyaan. "Apa yang lain-lainnya itu?" Sapa
dan Nyana tertawa tergelak-gelak. Si kurus Sapa ba

likkan badan sambil melangkah pergi dia menjawab.
"Sebagai orang muda kau tentu tahu apa yang kumak-
sudkan. Kau laki-laki aku laki-laki. Perabotan sama
selera sama. Ha ha ha!"
Sang pendekar yang akhirnya tahu maksud
ucapan si buta Sapa jadi geleng kepala sambil me-
nyengir sendiri. Masih dengan tersenyum dia pandangi
Sriwidari, bersama gadis itu memandang kepadanya
juga. Sehingga mata mereka saling bertemu pandang.
Gento kedipkan matanya tiga kali. Sriwidari tunduk-
kan kepala dengan wajah bersemu merah.
"Sekarang kau hendak kemana, Gento?" tanya
si gadis, suaranya bergetar menahan deburan jantung
yang tidak karuan.
"Mencari pembunuh itu, juga mencari Si Muka
Setan." Jawab Gento.
"Jika aku ikut denganmu apakah tidak kebera-
tan?"
"Ha ha ha. Aku senang saja diikuti gadis secan-
tikmu. Tapi bagaimana jika calon suamimu Rajo Peni-
tis nanti cemburu melihat kita berduaan?"
Diingatkan akan nama itu wajah Sriwidari
nampak menegang. Dia kepalkan tinjunya, lalu berka-
ta. "Jika bertemu dengannya merupakan satu kebe-
runtungan karena dengan begitu aku dapat membu-
nuhnya, membalaskan kematian ayahku Juru Obat
Angin Laknat!" geram si gadis.
Gento tidak ingin menanggapi karena takut
Sriwidari jadi bertambah marah. Dia hanya tertawa
dan tertawa lagi sambil tinggalkan tepian sungai cita-
rum yang meluap-luap.
***
4

Nenek Muka Setan terus berlari ke arah mana
siulan tadi terdengar. Sepanjang semak belukar yang
dilewatinya mulutnya terus semburkan kata makian.
Rupanya dia masih kesal karena niat untuk membu-
nuh Rajo Penitis jadi tak kesampaian akibat siulan
yang didengarnya tadi. Di satu tempat tak jauh dari
kerapatan pepohonan besar nenek muka setan henti-
kan langkah. Saat itu daerah disekitarnya masih dis-
aput kegelapan, udara malam menjelang pagi terasa
dingin mencucuk. Bersikap seolah tidak terpengaruh
oleh keadaan alam disekitarnya, si nenek kitarkan
pandang ke sekeliling tempat itu.
Orang yang dicari dan keluarkan siulan tak ada
di tempat itu. Kini dia putar kepala ke kiri. Disana ter-
dapat tebing tanah merah yang longsor. Si Muka Setan
sempat melengak begitu melihat satu sosok duduk di
atas gundukan reruntuhan tanah, duduk dengan kaki
tertekuk menyentuh dagu, sedangkan kedua tangan
memegang kepalanya yang besar bukan main. Sosok
itu berpakaian hitam, wajah ditumbuhi bulu, kedua
mata hampir tertutup seperti terdesak cairan yang
memenuhi bagian atas serta samping kepalanya yang
besar dipenuhi urat bersembulan, berkerenyutan se-
perti hendak meletus.
Memandang pada manusia berkepala besar se-
tengah botak ini membuat si nenek sunggingkan seu-
las senyum sinis, tapi matanya memandang ke arah
laki-laki berpakaian hitam di atas longsoran tanah
dengan tatapan aneh jika tidak dapat dikatakan takut.
"Manusia penyedot otak bergelar Perampas Be-
nak Kepala. Kau baru saja menggagalkan niatku untuk

membunuh makhluk raksasa jahanam yang telah
mengusik kesenanganku. Kau memanggilku, heh?!"
tanya nenek Muka Setan penuh teguran.
Manusia dengan kepala lima kali lebih besar
dari manusia biasa perlihatkan seringai. Otaknya yang
sering kacau karena begitu banyak otak orang lain
yang bercampur aduk dengan otaknya sendiri berfikir.
"Tua bangka muka setan ini tak bisa kupandang en-
teng. Ilmunya tinggi, keji, dan berbahaya. Empat ma-
lam yang lalu aku dapat dikalahkannya, sehingga aku
harus patuh dengan segala perintahnya. Tapi aku tak
boleh tunduk padanya, bersikap patuh selama hi-
dupku. Aku harus menggunakan akal, mencari cara
agar suatu hari nanti, bukan aku yang berada di ba-
wah perintahnya. Melainkan dia yang harus menjalan-
kan perintahku!" batinnya berkata begitu tapi mulut-
nya tetap bicara lain. "Nenek Muka Setan, aku tak
sengaja telah mengusik kesenangan mu, aku mohon
maaf. Aku sengaja memanggilmu karena ingin bicara
padamu!" jawab Perampas Benak Kepala, suaranya pe-
lan sedangkan wajahnya tertunduk hingga mengesan-
kan laki-laki angker itu jerih terhadap si nenek.
Si nenek menatap sekilas orang didepannya,
otaknya mulai menduga gerangan apa yang ada dalam
hati manusia cerdik berkepala besar ini. Dia gelengkan
kepala berusaha membuang prasangka buruknya se-
jauh mungkin. Rasanya tak mungkin Perampas Benak
Kepala yang telah ditundukkannya itu berkhianat ke-
padanya. Perampas Benak Kepala boleh saja punya se-
ribu akal. Tapi si nenek merasa memiliki akal panjang.
"Katakan apa yang ingin kau sampaikan!" ber-
kata Si Muka Setan kemudian setelah terdiam cukup
lama.
Perampas Benak Kepala Angkat wajahnya. Se

pasang mata laki-laki itu memandang tajam ke arah si
nenek. Mulutnya membuka. "Nenek Muka Setan. Se-
suai dengan perjanjian kita. Tugasku membunuh para
penjaga pertemuan telah kulaksanakan. Sesuai dengan
perjanjian pula, akhir dari kematian para penjaga me-
rupakan akhir dari pengabdianku kepadamu! Bukan-
kah begitu?"
Si Muka Setan gelengkan kepala, lalu tertawa
tergelak-gelak.
"Perjanjian itu aku yang membuat, aku yang
atur aku pula yang menentukan. Bila aku menghen-
daki perjanjian diperpanjang. Maka untuk selanjutnya
kau tidak akan bisa menghindar dari tugas-tugas yang
harus kau laksanakan. Hik hik hik!"
Perampas Benak Kepala tersentak kaget, ma-
tanya yang hampir tertutup membuka lebar, meman-
dangi si nenek dengan kilatan api amarah, bibir terka-
tub rapat sedangkan gerahamnya bergemeletukan.
"Muka Setan keparat! Kau hendak memperalat
diriku, mau memanfaatkan tenagaku demi memenuhi
segala cita-cita gilamu?" geram Perampas Benak Kepa-
la merasa diperbudak.
"Hik hik hik. Benar kuakui otakmu cerdik, tapi
aku lebih pintar, lebih licik darimu. Diriku berada di
atas segala kecerdikan orang. Kau boleh saja memban-
tah, kau boleh saja tidak patuhi perintahku. Tapi kau
tidak mungkin bisa lari dariku. Aku tahu dimana ke-
lemahanmu, aku tahu apa saja yang bisa kuperbuat
atas dirimu!"
"Tua bangka jahanam. Baiklah untuk sementa-
ra aku memang tidak dapat berbuat apa-apa. Tapi kau
harus ingat aku manusia yang mempunyai seribu akal.
Seluruh otak yang ada dikepalaku ini kelak akan ku-
kerahkan untuk memecahkan teka-teki ilmu pukulan

yang kau miliki."
Nenek Muka Setan hanya tertawa mendengar
ucapan Perampas Benak Kepala. Dengan sikap tenang,
namun penuh kesombongan dia berkata. "Segala kein-
ginanmu tak mungkin terwujud, malah kau bisa cela-
ka di tanganku." Dengus si nenek. Dia lalu melan-
jutkan ucapannya. "Kau dengar, tugas yang harus kau
lakukan adalah mencari seorang pemuda gondrong
bernama Gento Guyon. Jika kau bertemu dengannya,
kau harus menangkap pemuda itu hidup atau mati.
Setelah itu kau harus membawanya ke hadapanku!" Si
Muka Setan kemudian menjelaskan ciri-ciri pemuda
yang diinginkannya.
"Orang yang kau maksudkan belum pernah
aku bertemu dengannya." Kata Perampas Benak Kepa-
la jengkel.
"Kau manusia cerdik, kau tahu apa yang harus
kau perbuat. Selain itu kau juga harus membunuh pa-
ra sahabat pemuda itu, jangan sisakan walau seorang-
pun!"
"Tugas yang kau berikan tidak mudah. Kalau
boleh aku tahu, mengapa kau menginginkan Gento
Guyon?". tanya Perampas Benak Kepala.
"Hik hik hik! Manusia keparat. Kau tidak layak
bertanya. Kau hanya berhak jalankan perintahku!" te-
riak nenek Muka Setan.
"Kau juga perempuan edan keparat! Awas! Ke-
lak aku akan membunuhmu!" geram si kepala besar
dalam hati.
"Sekarang juga kau harus berangkat!"
"Aku berangkat kapan saja aku mau. Untuk
yang satu itu kau tak boleh mengatur aku. Satu hal
yang ingin kutanyakan, jika pemuda itu telah kuring-
kus kemana aku akan membawanya?"

"Kau tak usah bertanya, aku nanti yang akan
mencarimu!" sahut si nenek.
"Keparat kurang ajar, nenek tua ini semakin
membuat aku geram!" Si Kepala Besar kembali meru-
tuk dalam hati.
"Baik, sekarang segalanya kau yang menentu-
kan. Cepat kau menyingkir, aku ingin memulihkan te-
naga dalamku!" dengus Perampas Benak Kepala sinis.
Si nenek tersenyum, lalu memutar langkah, sekali dia
gerakkan kaki maka sosoknya lenyap dari hadapan Pe-
rampas Benak Kepala. Seperginya nenek Muka Setan,
laki-laki itu terdiam. Dia jadi ingat kejadian empat ma-
lam yang lalu. Semua yang berlangsung di malam itu
sekarang seorang membayang jelas di matanya.
Malam itu setelah terjadi perkelahian antara di-
rinya dengan kakek buta yang dikenal dengan julukan
Si Mata Aneh. Tanpa menunggu lebih lama setelah
berhasil membunuh tokoh sesat bermata ganjil di ba-
gian jari tangannya itu si penyedot otak langsung ber-
kelebat pergi tinggalkan lawannya. Di satu pendataran
rendah tidak jauh dari tempat terjadinya perkelahian
Perampas Benak Kepala hentikan larinya. Dia merasa
sejak tadi seperti ada orang yang mengikuti tak jauh
dibelakang. Laki-laki berkepala besar itu menoleh,
memandang ke belakang dengan tatapan penuh seli-
dik. Tapi aneh. Dia tidak melihat sesuatu apapun dibe-
lakangnya. Langkah orang yang mengikuti seakan le-
nyap ditelan bumi.
"Tidak mungkin aku salah mendengar. Aku je-
las dapat merasakan ada orang yang mengikuti, men-
gapa sekarang lenyap? Lenyap kemana?" fikir si besar
kepala.
Sekali lagi dia memandang ke sekelilingnya. Si
penguntit yang diharapkannya muncul saat itu juga

tak mau memperlihatkan diri. Perampas Benak Kepala
akhirnya jadi tidak sabar. Dia memutuskan hendak
meneruskan perjalanannya. Tapi baru saja manusia
penyedot otak ini hendak memutar tubuh dan tinggal-
kan tempat itu, entah dari mana datangnya seko-
nyong-konyong di tempat itu telah muncul sosok seo-
rang nenek angker berpakaian kuning berenda putih.
Wajah nenek itu rusak mengerikan bahkan lebih bu-
ruk dari wajah setan. Perampas Benak Kepala yang
sempat tercekat pandangi orang tidak dikenalnya ini
untuk beberapa jenak lamanya. Dengan suara bergetar
dia ajukan pertanyaan. "Makhluk aneh berujud seo-
rang perempuan, wajah buruk mengerikan seperti se-
tan. Aku merasakan kau membayangi diriku sejak ta-
di. Apakah kau tidak takut mati? Atau kau tidak takut
otakmu kupindahkan ke dalam kepalaku?"
Yang ditanya bukannya menjawab, sebaliknya
malah tertawa tergelak-gelak. Tawa si nenek lenyap,
mulut komat-kamit sambil sunggingkan senyum.
"Apa perlunya takut kepadamu. Buat apa aku
takut mati. Jika kau mempunyai kemampuan memin-
dahkan otak orang lain ke dalam kepalamu, maka aku
punya kemampuan memindahkan rohmu ke neraka.
Hik hik hik!" jawab si nenek dengan sikap pongah dan
tak memandang dengan sebelah matapun pada orang
di depannya.
Perampas Benak Kepala keluarkan suara
menggeram! "Lagakmu seperti malaikat pencabut nya-
wa. Agaknya kau belum tahu siapa diriku adanya!"
"Hik hik hik. Justru karena aku tahu siapa di-
rimu, justru aku tahu kelebihan yang kau miliki maka
aku mengikutimu, membayangi dirimu. Apakah kau
mengira aku mau melakukan sesuatu hanya untuk
kesia-siaan heh?!"

Perampas Benak Kepala jadi tercengang. Dia
berpikir dan tak habis mengerti apa yang sebenarnya
yang diinginkan oleh nenek bermuka setan ini. Belum
lagi Perampas Benak Kepala sempat ajukan perta-
nyaan, nenek Muka Setan melanjutkan ucapannya ta-
di. "Ketahuilah, terus-terang aku merasa kagum den-
gan kelebihan yang kau miliki. Untuk itu kau harus
merasa beruntung karena aku telah memilihmu. Pili-
han yang tepat untuk seorang calon raja di raja dunia
persilatan."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku?! Hik hik hik. Kau telah kupilih
menjadi seorang pembantu, kau akan berangkat men-
jadi kacung. Satu kedudukan terhormat bagimu kare-
na kau akan kupercaya melakukan tugas-tugas pent-
ing!" tegas nenek Muka Setan.
Wajah angker Perampas Benak kepala nampak
berubah merah padam. Sekujur otot-otot tubuhnya
menegang, mulut terkunci rahang bergerak-gerak. Se-
dangkan urat-urat darah yang bersembulan dikepa-
lanya nampak menggembung, kepala itu sendiri berke-
renyutan tidak ubahnya seperti jantung yang berde-
nyut.
Perlahan dia memandang ke depan, menatap
tajam pada nenek muka setan yang kelihatannya me-
rasa tidak bersalah atas apa yang telah diucapkannya.
Perampas Benak Kepala lalu berkata dengan suara
dingin menusuk. "Tua bangka rongsokan muka setan!
Sungguh kau tidak tahu gelagat. Kau mengira kau da-
pat memaksa diriku menjadi seperti apa yang kau in-
ginkan? Aku manusia cerdik. Jika pada Tuhan aku
yang diciptakan tak pernah mengabdi kepadaNya, ada-
lah suatu mimpi jika aku harus berhamba pada manu-
sia butut rongsokan sepertimu!" dengus laki-laki itu

sengit. Si Muka Setan tertawa bergelak.
"Hidupku tak pernah berpijak pada mimpi.
Apapun yang kukatakan adalah kenyataan. Berhari-
hari aku mengikutimu, seluruh gerak gerikmu berada
dalam pengawasanku. Hingga di balik segala keheba-
tanmu aku menemukan sesuatu. Suatu rahasia yang
mungkin tak pernah kau sadari dan mungkin pula tak
pernah diketahui oleh orang lain. Apakah kau ingin
mengatakan apa yang kuucapkan ini sebagai suatu
kedustaan belaka? Aku tak pernah mau ambil perduli.
Yang terpenting bagiku, kau harus menjadi pembantu-
ku. Hik hik hik!"
Si penyedot otak menggeram. "Kau hanya akan
mati sia-sia ditanganku, nenek Muka Setan?!"
Nenek Muka Setan mendengus sinis. "Kau be-
lum tahu siapa diriku. Sikapmu yang menganggap en-
teng orang lain hanya membuat kau cepat jatuh ke
tanganku!"
Perampas Benak Kepala tidak menanggapi. Se-
perti biasanya dia siap mengambil posisi menyerang
dengan mengerahkan kekuatan kepalanya. Tapi tu-
buhnya tak bergerak sama sekali dari tempatnya. Si
Muka Setan sadar betul jika sampai dari kepala lawan
memancarkan sinar biru, maka dia bisa mendapat ke-
sulitan besar. Karena itu habis berkata Si Muka Setan
melesat ke arah lawan sambil gerakkan tangan kanan
kiri ke bagian samping kepala lawannya.
Perampas Benak Kepala tercekat tak menyang-
ka akan mendapat serangan dibagian itu. Sehingga dia
melompat mundur, dua tangan diangkat dipergunakan
untuk melindungi bagian kepalanya, sedangkan kaki
kiri tanpa terduga menyambar perut lawannya.
Plak! Plak!
Desss!

Dua tangan beradu keras. Benturan itu saja
sudah membuat keduanya bergetar, tapi tendangan
yang menghantam perut si nenek membuatnya terpe-
lanting sejauh tiga langkah. Terbungkuk-bungkuk
sambil menahan sakit luar biasa Si Muka Setan meng-
gerung. Dia terbelalak begitu melihat bagaimana tan-
gannya yang bentrok dengan tangan lawan nampak
gembung bengkak membiru. Tak menyangka lawan ju-
ga memiliki tenaga dalam setinggi itu. Maka nenek
Muka Setan lipat gandakan tenaga dalam. Dua tangan
lalu diangkat tinggi, tanpa memberi kesempatan pada
lawan untuk menggunakan kekuatan kepalanya. Ne-
nek Muka Setan kembali berkelebat, lalu menyerang
dalam jarak dekat tanpa memberi jarak pada lawan-
nya. Perampas Benak Kepala yang selalu mencari ke-
sempatan untuk memusatkan perhatian siap menye-
rang lawan dengan kekuatan kepalanya jadi tercekat.
Dia berkelebat ke samping mencoba hindari hantaman
dan tendangan lawan yang selalu terarah di bagian
samping kepalanya.
Melihat lawan sibuk selamatkan kepalanya, Si
Muka Setan tertawa terkekeh. Tangan kiri lalu berge-
rak menyambar. Dari tangan itu berturut-turut mele-
sat sinar hitam, bergerak sedemikian rupa, seperti di-
atur. Tiga sinar menghantam dari depan belakang juga
samping kepala Perampas Benak Kepala. Sambil meru-
tuk panjang pendek, laki-laki itu cepat tekuk kakinya,
bungkukkan badan hingga kepalanya selamat dari
hantaman sinar menggidikkan tadi. Dalam keadaan
membungkuk tangan digerakkan ke atas.
Buuum!
Tiga letusan keras menggelegar, menggoncang
tempat disekelilingnya, merobek kesunyian malam. Si
Muka Setan terhuyung, Perampas Benak Kepala jatuh


terduduk.
Muka Setan kembali terkekeh, benturan tadi
memang sempat membuat dadanya terguncang kepala
mendenyut sakit. Dia yang penuh kesombongan dan
selalu menganggap rendah orang lain tidak merasa-
kannya. Malah kini dia kembali melabrak ke depan
siap menghantam titik kelemahan lawan dengan jari
tangannya. Justru pada waktu itu dari bagian kepala
lawan nampak mengepulkan asap putih kebiruan. Lalu
dari kedua sisi kepala di atas bagian telinga membersit
sinar biru. terang. Sinar bergerak sedemikian rupa,
berkelebat menyambar ke arah Si Muka Setan yang
sedang mengapung di udara.
Si nenek tercekat dan keluarkan jeritan me-
nyayat begitu merasakan sambaran angin sinar maut
itu. Tubuhnya sontak berubah kaku, nyeri bukan main
seperti ditusuk ribuan batang jarum. Selain itu pan-
dangannya seolah menjadi gelap, kepala mendenyut. Si
Muka Setan tercekat, dia sadar bahaya besar kini se-
dang mengancam dirinya. Untuk itu dia kerahkan se-
luruh tenaga, lalu lakukan gerakan sedemikian rupa
hingga membuat tubuhnya yang sedang mengambang
jatuh ke bawah
Brees!
Begitu jatuh dia langsung bergulingan mende-
kati lawannya. Sinar yang seharusnya menghantam
batok kepala Si Muka Setan kini tiba-tiba berbalik te-
rus bergerak mengejar ke arah si nenek. Melihat ini Si
Muka Setan tercekat. "Keparat jahanam. Dia benar-
benar hendak membolongi kepalaku!" rutuk Si Muka
Setan.
Mulutnya merutuk, tapi niatnya tetap berjalan.
Baginya tak ada sesuatu yang dapat menghentikan se-
rangan cahaya maut itu terkecuali dia langsung meng

hancurkan sumbernya. Karena itu tanpa menghirau-
kan sinar yang melesat dari arah belakang, kini dia la-
kukan satu lompatan. Dua jari tangan bergerak menu-
suk bagian atas telinga kiri kanan.
Perampas Benak Kepala menjerit, jeritan kesa-
kitan membuat sinar maut yang mampu menjebol ba-
tok kepala dan memindahkan otak lawannya berang-
sur-angsur surut, lalu lenyap dibalik kepala lawannya.
Laki-laki itu meronta, mencoba membebaskan diri dari
jari lawannya yang menusuk bagian samping kepala
yang lunak. Tapi semakin dia meronta, maka tusukan
yang dilakukan si nenek semakin menghunjam, malah
kepala itu kini mulai meneteskan darah.
"Jahanam, lepaskan tanganmu! Lepaskan...!"
teriak Perampas Benak Kepala sambil meringis kesaki-
tan, sedangkan wajahnya yang angker kini berubah
sepucat kapas.
Si Muka Setan tertawa bergelak, mulutnya me-
nyeringai penuh kemenangan.
"Jika aku mau, dua jariku itu bisa langsung
menembus otakmu. Kau tak bakal lolos dari kematian.
Kini keselamatan jiwamu tergantung pada kemurahan
hatiku!" geram Si Muka Setan dingin.
"Keparat! Bagaimana kau tahu salah satu ba-
gian titik kelemahanku?" tanya Perampas Benak Kepa-
la dengan nafas mengengah.
"Hik hik hik! Seperti yang kukatakan, kau boleh
saja memiliki seribu akal, tapi aku manusia yang pan-
jang akal. Orang lain boleh jerih bertemu denganmu,
mereka boleh kau ambil otaknya. Tapi aku, hik hik
hik. Dihadapanku segala kehebatanmu tak mempu-
nyai arti sama sekali!" kata Si Muka Setan ketus.
Perampas Benak Kepala terdiam. Baginya saat
ini yang terpenting adalah mencari selamat. Dalam

keadaan seperti itu tak mungkin dia melawan. Nenek
Muka Setan tahu akan kelemahannya. Tak ada jalan
selamat, satu-satunya jalan adalah mengikuti apa yang
diinginkan nenek itu.
"Sekarang kau bisa berbuat apa? Hendak me-
nentang kekuasaanku?!" Si Muka Setan berkata diser-
tai seringai mengejek. Walaupun darah akibat tusukan
jari dikepalanya sudah menetes membasahi sebagian
wajahnya. Namun sedikitpun Perampas Benak Kepala
tidak unjukkan sikap takut. Dengan suara menggereng
dia ajukan pertanyaan. "Aku mengakui kali ini kau
menang. Sekarang katakan apa yang harus kukerja-
kan untukmu!"
Si Muka Setan dongakkan kepala, lalu tertawa.
Dia lalu berkata. "Kau harus pergi ke Kiara Condong.
Habisi seluruh penjaga pertemuan para pendekar. Se-
telah itu menyingkir yang jauh. Untuk tugas berikut-
nya aku yang akan melakukannya sendiri!"
"Tugas itu akan kulakukan sekarang. Tapi in-
gat, setelah itu kita tidak mempunyai ikatan atau per-
janjian apapun!" kata Perampas Benak Kepala. Si Mu-
ka Setan tertawa bergelak. Dia lalu tarik kedua jarinya
dari kepala laki-laki itu. Perampas Benak Kepala lang-
sung mengusap luka kecil disamping kepalanya. Begi-
tu diusap luka lenyap tak meninggalkan bekas. Si ne-
nek sempat melengak, tapi dia tutupi rasa kagetnya
dengan tawa bergelak.
"Sekarang kau harus pergi ke Kiara Condong.
Jika tugas telah kau lakukan baru kau boleh menemui
aku! Hik hik hik." Selesai berucap dan sambil men-
gumbar tawa si nenek tinggalkan lawannya.
Perampas Benak Kepala menggeram, dalam ha-
ti dia bersumpah akan mencari dan membunuh nenek
Muka Setan itu untuk membalas kekalahannya malam
ini.
***
5

Gadis itu berlari diantara semak belukar dan
batu cadas yang bertonjolan di permukaan tanah.
Sampai di satu ketinggian dia hentikan larinya. Mata
menyapu pandang ke daerah di sekelilingnya. Dari ke-
tinggian bukit dimana dia berdiri saat itu gadis berbaju
putih berkembang merah ini dapat melihat hijaunya
pemandangan di daerah itu. Dia kemudian menoleh ke
sebelah kiri, bibirnya tersenyum. Gunung Sembung
yang menjulang tinggi ke angkasa sudah tak seberapa
jauh lagi dari tempat dirinya berada. Disayangkan cua-
ca kurang begitu baik. Disana sini terlihat kabut men-
gantung menghalangi pemandangan. Selain itu di atas
sana mendung nampak kian menebal. Si gadis merasa
perlu berpacu dengan waktu, dia tak ingin hujan turun
di saat mendaki lereng Sembung.
"Mudah-mudahan Mbah Petir ada di tempat.
Aku harus bisa sampai ke pondoknya sebelum kabut
menghadang perjalananku!" kata si gadis yang bukan
lain adalah Roro Centil.
Tidak menunggu lebih lama Roro Centil berke-
lebat tinggalkan bukit yang berada di kaki gunung. Dia
lalu mengerahkan ilmu lari cepatnya, hingga dalam
waktu tidak lama dia sudah berada di jalan setapak di
lereng sebelah barat gunung Sembung.
Turunnya rahmat Tuhan ternyata tidak dapat
ditunda. Sebelum Roro Centil sampai ke tempat tujuan
kilat menyambar, petir menggelegar sambung me

nyambung tiada henti. Lalu hujan pun turun tak kepa-
lang tanggung derasnya. Si gadis semakin memperce-
pat larinya. Sampai di satu lapangan Roro Centil hen-
tikan langkah. Dia memandang ke sebelah kiri, gadis
ini tercekat, mata membelalak mulut ternganga.
Dia melihat satu pondok porak poranda dikoba-
ri api. Tak jauh di halaman pondok yang tenggelam da-
lam kobaran api, di atas tanah satu sosok menelung-
kup dengan wajah dibenamkan ke tanah, dua tangan
menutup telinga, pantat menungging seperti orang su-
jud, sedangkan pakaian tercabik-cabik hangus disana
sini.
Dalam keadaan seperti itu dari mulut sosok
yang menungging terdengar suara ratap tak berkepu-
tusan.
"Malaikat, walah tobaaat aku. Pondokku habis,
harta benda ludes dihantam petir. Habis sudah semua,
Walah... bagaimana ini? Kemana aku harus cari sela-
mat. Duh Gusti... apa dosa hamba Mu ini. Kalau aku
memang banyak dosa mohon dimaafkan. Oh... tobat...
aku takut... Petir-petir, kalau mau menyambar jangan
dekat-dekat sini. Aku suka kagetan...!" ratap sosok
yang ternyata adalah seorang kakek tua penuh rasa
takut. Belum lagi ratap takutnya terhenti, tak jauh dari
si kakek kilat kembali menyambar, petir menggelegar.
Hingga bukan saja membuat si kakek bertambah ke-
cut, tapi kencingnya pun terpancar.
Dut! Dut! Dut!
"Walah tobat, hancur sudah kencingku, wa-
duh... waduh tak tertahan sudah kentutku. Sialan,
sungguh sialan. Beginilah kalau jadi orang suka kage-
tan." Cepat sekali si kakek pergunakan tangan untuk
mendekap aurat serta ujung punggungnya agar kenc-
ing dan kentutnya tidak keluar lebih banyak lagi.

Usaha yang dilakukannya ini hanya sia-sia,
kencing tetap terpancar sedang kentut terus terdengar
bertalu-talu.
Si kakek berambut panjang kelabu jadi kalang
kabut. Dia bangkit berdiri. Tangan kiri dipergunakan
untuk mendekap auratnya, sedangkan tangan kanan
dipergunakan untuk mendekap bagian pantatnya.
Memancarnya air kencing dan deru suara kentut terus
saja terdengar, apalagi saat itu entah petir terus me-
nyambar menggelegar disekitar lapangan.
"Waduh kaget lagi, ngocor lagi, kentut lagi! Sia-
lan. Kalau begini jika sampai ketahuan orang aku bisa
malu besar. Masa sudah tua bangka kencing dan ken-
tut di celana!" si kakek merutuk habis-habisan.
Tak jauh dari si kakek yang tampak kalang ka-
but menghentikan kencing dan kentutnya. Roro Centil
yang memperhatikan sejak tadi tak dapat lagi mena-
han tawanya. Walau si kakek yang selalu menonggeng
dan sibuk mendekap aurat serta bagian di bawah au-
rat setiap mendengar suara petir walau pakaiannya
sudah kacau sedemikian rupa tapi jelas dia masih
mengenali orang tua itu. Si gadis kemudian berseru
keras.
"Mbah Petir dukun sakti yang suka kagetan.
Aku Roro Centil datang menyambangimu?"
Si kakek berpakaian hitam berbadan tinggi be-
sar yang sering kaget dan ketakutan bila mendengar
suara petir nampak celingukan. Dia lalu berdiri tegak,
tangan masih mendekap selangkangan dan bagian ba-
wah selangkangannya. Sementara itu suara petir tidak
lagi terdengar, hujan mulai mereda. Si kakek terheran-
heran, tubuhnya yang terus bergoyang tak mau diam
bagaikan pucuk ilalang ditiup angin kemudian berpu-
tar. Dia jadi melengak kaget. Rasa kaget yang mem

buat kencing dan kentutnya keluar tak dapat ditahan
lagi.
"Waduh, mancur sudah. Waduh kentut lagi...!"
Si kakek sambil mendumel dan merasa malu tutupi
bagian yang memancarkan kencing dan keluarkan
kentut, sehingga keadaannya saat itu membuat geli
bagi orang yang melihatnya.
Si gadis melangkah mendekati si kakek. Orang
tua itu dengan malu-malu malah melangkah mundur
menjauh. Sedangkan tatap matanya memandang ke
depan berusaha mengenali orang. Sepasang alis si ka-
kek kemudian berkerut. Mulutnya keluarkan satu se-
ruan. "Kau... kau... bukankah kau gadis konyol yang
dulu suka menjahiliku?" tanya si kakek yang penden-
garannya agak budek ini. Si gadis hanya tersenyum
mendengar ucapan Mbah Petir. Kemudian orang tua
itu ketuk keningnya. "Tidak salah, kau pasti Roro Upil.
Bocah kampret yang dulu sering menggelitik telingaku
selagi tidur hingga sekarang terjadi ketidak beresan
pada pendengaranku."
"Bukan itu namaku, namaku Roro Centil...!"
"Apa...?? Roro Cendil?"
"Bukan Cendil. Cendil itu bubur Mbah! Maka-
nan ringan buatan orang jawa. Namaku Roro Centil,
Centil, bukan Cendil!" teriak si gadis dengan suara ke-
ras dan perasaan jengkel.
Mbah Petir tersenyum. "Oh, ya... aku baru in-
gat, bukankah namamu Roro Centil, bukan Upil atau
Cendil?!" kata si kakek.
Roro Centil yang sekujur tubuh dan pakaian-
nya jadi basah terkena curahan air hujan jadi bersun-
gut-sungut.
"Sejak tadi aku juga sudah bilang begitu!" kata
si gadis. Dia lalu pandangi kakek di depannya. Menya

dari dirinya diperhatikan begitu rupa Mbah Petir jadi
celingukkan. Dia malu, karena sadar celananya yang
basah bukan saja karena terkena siraman air hujan,
tapi juga karena terkena pancaran air kencingnya sen-
diri.
"Mbah... kau kencing di celana ya Mbah? Mbah
kaget lagi, Mbah jadi terkencing-kencing dan kentut
lagi, bukankah begitu Mbah?" tanya si gadis.
Dalam suasana hujan begitu rupa, pendenga-
ran si kakek semakin ngaco. Sehingga lain yang di-
tanya lain pula yang jawaban si kakek.
"Siapa bilang aku membakar gubukku sendiri.
Apa kau kira aku sudah gila. Pondok itu baru saja di-
hantam petir. Untung aku masih bisa menyelamatkan
diri. Syukur cuma pakaianku yang terbakar, bagaima-
na kalau sekujur tubuhku yang terbakar. Lagipula
sialnya dirimu ini, datang bertamu di saat musim hu-
jan begini!" Mbah Petir mengomel.
Roro Centil menarik nafas, lalu gelengkan kepa-
la. Rasanya tak sabar dia menghadapi orang tua tuli
yang suka kagetan ini. Mau bicara salah tak bicara ju-
ga salah?
"Terserahmulah, Mbah. Aku bicara apa kau
menjawab kemana?" kata Roro Centil dalam hati.
"Roro Centil. Kau tak usah sedih. Aku punya
tempat tinggal lain tak jauh dari sini. Mari ikuti aku.!"
berkata begitu si kakek balikkan badan kemudian ber-
kelebat menyisir jalan setapak di sebelah timur pondok
yang terbakar. Roro Centil yang mengikuti tak jauh di-
belakang terpaksa dekap hidungnya saat tercium bau
pesing menyengat.
"Orang tua ini mungkin sepanjang hidup yang
dimakannya cuma jengkol melulu!" umpat gadis itu.
Tak lama setelah melewati pepohonan besar

mereka sampai di sebuah pondok sederhana yang be-
rada di bawah sebatang pohon berdaun lebat. Mbah
Petir membuka pintu, dia melangkah masuk, lalu pin-
tu di tutupnya kembali. Dari dalam pondok terdengar
suara si kakek.
"Kau tunggu dulu di situ. Aku tadi banyak ka-
get dan ketakutan sekali. Kau sudah tahu penyakitku,
jika terkejut dan takut terus menerus akibatnya kentut
dan kencingku tak dapat ku tahan.!"
Roro Centil menanggapi. "Bagaimana jika kau
ketakutan dan terkejut sepanjang hari. Cairan ditu-
buhmu bisa amblas menjadi kencing, sedangkan ken-
tutmu tidak berupa angin lagi tapi ampasnya juga ikut
keluar. Hi hi hi!"
Karena pada dasarnya Mbah Petir orang tuli.
Maka ucapan si gadis terdengar samar ditelinganya.
Sehingga enak saja dia menjawab. "Sabar dulu kau di
situ. Aku baru hendak bertukar celana."
Mendengar jawaban si kakek, Roro Centil hanya dapat
mengurut dada. Dia pun akhirnya memilih diam. Fi-
kirnya dari pada bicara dan dijawab tak karuan kejun-
trungannya lebih baik berdiam diri. Tak lama pintu
pondok terbuka. Di dalam pondok suasana nampak te-
rang temaram karena di dalam ruangan itu hanya ada
sebuah pelita kecil yang menerangi. Roro Centil duduk
di sudut kiri, sedangkan di depannya Mbah Petir yang
sudah berganti pakaian duduk menghadap sebuah
pendupaan berisi bara menyala.
***
6

Mulut Mbah Petir yang tertutup kumis berwar-
na putih kelabu komat-kamit, entah membaca mantra
atau apa. Roro Centil jadi ingat Mbah Petir dulu suka
minum teh tubruk. Tak pernah menggunakan sarin-
gan. Habis minum serbuk teh menempel dikumisnya.
Jadi kumis itu fungsinya antara lain sebagai penyaring
teh.
Habis komat-kamit, Mbah Petir taburkan ser-
buk kayu damar. Terdengar suara berkeretakan ketika
serbuk damar menyentuh permukaan bara. Pondok
kecil itu kemudian menjadi gelap diwarnai asap tebal
agak kecoklatan. Dalam gelap Mbah Petir terbatuk dis-
elingi suara kentut bertalu-talu. Untung di dalam
ruangan itu dipenuhi asap serbuk damar yang terba-
kar, sehingga kentut Mbah Petir yang konon mengan-
dung racun jahat mematikan tak tercium oleh Roro
Centil.
Setelah menunggu tak seberapa lama asap teb-
al lenyap, di depan sana wajah Mbah Petir semakin hi-
tam dipenuhi jelaga. Roro Centil berlagak tak tahu.
Beberapa saat si kakek dan gadis itu saling berpan-
dangan. Mbah Petir kemudian membuka mulut, sua-
ranya memecah keheningan suasana.
"Roro Centil! Kita bersahabat sudah cukup la-
ma. Kau datang kemari tentu bukan ingin menjam-
bangi tua bangka ini bukan? Kau datang dengan
membekal satu persoalan pelik, menyangkut kegegeran
yang terjadi di Kiara Condong, bukankah begitu?"
tanya si kakek. Sesaat dia memandang ke atas bara
dalam pendupaan, kemudian mengangkat wajah lalu
memandang lurus ke arah si gadis.

"Begitulah kira-kira, Mbah. Aku memang da-
tang membekal suatu persoalan rumit. Persoalan itu
menyangkut terbunuhnya pemimpin pertemuan para
pendekar yang seharusnya berlangsung dua hari yang
lalu. Saya datang kemari adalah ingin menanyakan
siapa sebenarnya yang telah membunuh para tokoh
dan pendekar yang berkumpul di dalam ruangan raha-
sia. Kiranya Mbah Petir bisa membantu saya melalui
kekuatan batin yang Mbah miliki!" Kata si gadis menje-
laskan maksud tujuannya.
Mbah Petir anggukkan kepala. Dalam hati Roro
Centil jadi heran, kakek di depannya itu entah menga-
pa setiap berada di depan pendupaan pendengarannya
seakan pulih kembali.
"Hebat. Urusanmu menyangkut masalah pelik.
Orang terbunuh, tapi kau tak tahu siapa pembunuh-
nya? Bagaimana kau bisa tak tahu?" tanya si kakek
dengan mata terpejam.
"Kalau aku tahu buat apa aku jauh-jauh da-
tang menemui dan bertanya padamu, Mbah!" sahut si
gadis kesal.
Mbah Petir manggut lagi, lalu dia tertawa hing-
ga terlihatlah gigi si kakek yang hanya beberapa buah.
"Kau benar. Jika kau tahu untuk apa susah payah da-
tang ke sini." Ucap Mbah Petir. Si Mbah kemudian
mentertawai ketololannya sendiri. Dia kemudian men-
gambil sikap duduk bersila. Dua tangan diletakkan di
atas lutut, dua mata dipejamkan. Mulut Mbah Petir
kembali komat-kamit. Roro Centil sadar saat itu si ka-
kek sedang mengerahkan kekuatan untuk melakukan
sambung rasa dengan dunia gaib, sehingga si gadis tak
bicara apa-apa lagi takut mengganggu konsentrasi si
kakek. Dia hanya memandang Mbah Petir dengan te-
linga dipentang siap mendengarkan.

Tak berselang lama sekujur tubuh Mbah Petir
bergetar, keringat bercucuran membasahi sekujur tu-
buh dan pakaian Mbah Petir. Mulut Si kakek yang ko-
mat-kamit kemudian terkatub, setelah itu terdengar
suara racau yang tak berkeputusan. Pendupaan yang
terletak di depan Mbah Petir bergetar hebat, sedangkan
wajah si kakek nampak berkerut tegang.
"Kau dengar!" dengan mata terpejam si kakek
berucap. "Aku melihat ada rumah besar. Kejadian ini
kurasa sebelum terjadinya pembantaian itu." Mene-
rangkan si kakek. Dia lalu melanjutkan ucapannya.
"Aku melihat banyak penjaga disana. Ada umbul-
umbul, banyak pula penjaga yang bersembunyi. Aku
juga melihat... aku melihat ada seorang laki-laki ber-
kepala setan, maksudku kepalanya besar sekali. Laki-
laki itu dihadang oleh dua orang pengawal berseragam
putih. Oh... oh, dua pengawal itu dibunuhnya dengan
satu pukulan. Kulihat pengawal lain berhamburan
mengepung laki-laki itu. Tapi... tapi dari kepala si ka-
kek itu bermunculan sinar biru. Sinar-sinar maut itu
menyambar ke arah mereka, menghantam ubun-ubun.
Batok kepala berlubang, otak bercampur darah ber-
hamburan dan oleh sinar biru dipindah ke kepala ka-
kek itu sendiri. Aku melihat dari tempat tersembunyi
bermunculan pengawal yang lain. Tapi... akh sayang
mereka mengalami nasib yang sama. Sekarang kulihat
si kepala besar tinggalkan tempat itu, lari terhuyung
seperti orang mabuk sambil memegang kepalanya..."
"Pastilah orang yang dilihat Mbah Petir adalah
Perampas Benak Kepala." kata Roro Centil membatin
dalam hati.
Di depannya sana tubuh Mbah Petir nampak
berguncang, terkadang oleng ke kiri, kadang ke kanan.
Tidak jarang hampir terlentang seperti orang yang be

rada di dalam perahu kecil yang dihantam topan dan
ombak. Walaupun begitu si kakek tetap menuturkan
apa yang dilihatnya melalui sambung rasa dalam gaib
itu. "Si kepala besar pergi, tapi kemudian muncul seo-
rang nenek. Nenek itu celingak-celinguk seperti mal-
ing. Dia berpakaian serba kuning berenda putih. Wa-
jahnya rusak seperti dicacah. Mukanya hancur menye-
ramkan seperti Muka Setan. Nenek ini tertawa melihat
mayat-mayat yang bergelimpangan. Dia lalu berkelebat
ke dalam rumah. Wadow... di dalam rumah gelap seka-
li. Agak remang-remang, nah sekarang sudah kulihat.
Dua orang bersenjata pedang menghadang nenek mu-
ka setan. Terjadi pertengkaran mulut. Tapi tak diduga
Si Muka Setan menghantam dua orang itu dengan pu-
kulan ganas. Orang itu roboh... terus...!"
"Tak usah diteruskan Mbah" kata Roro Centil
yang memang sudah melihat apa yang dituturkan
Mbah Petir beberapa hari yang lalu bersama Gento.
Untuk lebih jelasnya (Ikuti Gento Guyon Episode Ke-
melut Iblis). Di depan sana si kakek tidak meneruskan
apa yang dilihatnya melalui indera gaibnya itu. Tapi
matanya tetap terpejam, sedangkan tubuh bergetar
pertanda dia belum keluar atau melepaskan diri dari
lingkaran tabir gaib. Heran mendengar penuturan si
kakek, Roro Centil akhirnya ajukan pertanyaan.
"Mbah, di halaman depan kulihat sebuah pusara, pada
nisan nama tertera nama Si Muka Setan, Aku jadi cu-
riga jangan-jangan Si Muka Setan yang kau lihat
hanya palsu belaka. Atau kalau mbah sanggup, coba
pastikan siapa kiranya yang terkubur dalam pusara
itu!"
"Aku akan mencoba memastikan keduanya se-
kaligus. Akan ku mulai dari nenek yang menuruni
anak tangga ruangan bawah tanah. Nenek itu menye

bar racun yang merusak pernafasan, dia kemudian
membunuh laki-laki dan perempuan tua. Astaga orang
itu adalah Si Burung Merak dan Malaikat Kuku Seribu
Kepang Lima Belas. Sayang... celaka... aku tak dapat
menentukan apakah nenek Muka Setan itu asli adanya
atau palsu. Ada satu kekuatan yang menghalangi pe-
mandanganku. Kekuatan itu datang dari sekujur tu-
buhnya. Aku tak dapat menembus perisai gaib yang
berasal dari kesaktiannya sendiri." Kata si kakek, den-
gan wajah pucat, nafas mengengah dia lanjutkan uca-
pannya.
"Di dalam kubur itu kulihat ada sosok mayat
perempuan. Pakaiannya berwarna kuning seperti yang
dipakai nenek Muka Setan yang kulihat di dalam
ruangan bawah. Kepala mayat itu bolong, wajahnya
sudah tak dapat ku kenali, rusak membusuk dipenuhi
belatung." Menerangkan si kakek.
"Cukup Mbah. Segalanya sudah cukup jelas
bagiku. Aku merasa yakin mayat yang terkubur dalam
pusara yang Mbah lihat adalah Mayat Si muka Setan.
Ini berarti ada ketidak beresan yang sedang terjadi.
Aku sekarang baru yakin dengan pengakuan Sriwida-
ri...!" kata si gadis.
Di depannya Mbah Petir nampak membuka ma-
tanya. Wajah orang tua itu nampak letih dibasahi ke-
ringat. Memandang ke arah si kakek Roro Centil sem-
pat dibuat kaget, di mata si gadis mendadak wajah
orang tua itu berubah sepuluh tahun lebih tua dari
usia yang sebenarnya.
Si kakek menarik nafas, lalu memandang ke
pendupaan dengan tatap matanya yang kuyu. Bara di
atas pendupaan padam, bersamaan dengan padamnya
bara maka penyakit budek tuli si Mbah kembali seperti
sediakala.

"Aku telah melakukan sesuatu yang sangat ja-
rang kulakukan akhir-akhir ini. Semua itu semata ka-
rena demi mengingat persahabatan kita. Sekarang apa
yang hendak kau lakukan?" tanya Mbah Petir, sedang-
kan tubuhnya terus bergoyang tak mau diam seperti
ilalang ditiup angin.
"Kurasa aku harus mencari perempuan itu, ne-
nek Muka Setan yang kau lihat dalam tali sambung ra-
sa antara dunia nyata dengan alam gaib." Sahut Roro
Centil.
Mbah Petir manggut-manggut, entah menden-
gar atau tidak yang jelas ketika dia bicara kemudian
membuat gatal telinga si gadis.
"Tak usah kau bongkar pusara itu. Sebaiknya
kau cari saja nenek berwajah setan itu. Jika bertemu
kau harus bisa menotoknya baru nanti kau bisa me-
mastikan apakah dia Si Muka Setan yang asli atau
palsu adanya. Jika dia yang asli, berarti perempuan
yang berkubur di Kiara Condong itu bukan Si Muka
Setan, mungkin mayat orang lain."
"Ya si Mbah. Budek dipelihara, jadinya seperti
ini." Roro Centil mengomel dalam hati.
"Roro, Sekarang aku ada usul. Bagaimana jika
aku ikut denganmu. Rasanya tidak tega hati ini meli-
hatmu mencari pembunuh itu seorang diri. Bagaimana
pendapatmu?" tanya Mbah Petir penuh harap. Roro
Centil dongakkan wajahnya ke langit-langit pondok,
berfikir sejenak baru kemudian berkata sambil terse-
nyum.
"Mbah Petir sebagai teman aku merasa berteri-
ma kasih atas bantuan yang telah kau berikan juga
keinginanmu untuk ikut denganku. Tapi dengan ikut-
nya Mbah Petir, apakah nantinya bukan malah mere-
potkan diriku? Mbah orangnya suka kaget, kalau su

dah kaget kentut dan kencing tak dapat Mbah tahan.
Aku bisa malu berpergian denganmu, Mbah?"
Mbah Petir tersenyum. "Bagus, aku tahu kau
pasti mau kuikuti. Aku senang. Sudah lama si tua ini
mendekam di gunung Sembung. Sesekali aku juga in-
gin melihat perkembangan dunia luar. Jadi sekarang
kita berangkat? Kau tunggu disini, aku akan memper-
siapkan bekal juga pakaian ganti yang banyak supaya
nanti jika aku kaget dan kencingku terpancar aku bisa
ganti secepatnya. Dasar gadis nakal yang baik." Kata
Mbah Petir.
Roro Centil jadi melongo. "Ya si Mbah, me-
mangnya tadi aku bicara apa Mbah? Aku belum men-
gijinkan kau ikut denganku kau kok malah kegiran-
gan?!"
Mbah Petir yang mempunyai gangguan pada te-
linganya tanpa menunggu lagi langsung bangkit berdi-
ri. Dia menghampiri gerobak tempat pakaian, menge-
luarkan beberapa helai pakaian dari dalam gerobok itu
lalu memasukkannya ke dalam kantong perbekalan.
Tak lama kemudian Mbah Petir sudah kembali
menghampiri Roro Centil.
"Aku sudah siap, sekarang kita berangkat!" ka-
ta Mbah Petir.
"Mbah, mestinya kau tak usah ikut denganku.
Nantinya aku bisa jadi repot!" ujar si gadis masih tetap
duduk di depannya.
"Tepat sekali, aku juga berpendapat begitu.
Pergi seorang diri memang tidak enak. Masih bagus
berdua seperti katamu itu. Kita bisa bertukar fikiran,
bisa satukan pendapat untuk menemukan pembunuh
sialan itu!" sahut Mbah Petir.
"Mbah Petir!" teriak Roro Centil jengkel. Di de-
pannya si kakek kerutkan keningnya. Suara teriakan
si gadis ditelinganya hanya merupakan suara sayup-
sayup yang samar.
"Ada apa? Bicaralah yang keras!"
"Aku sudah berteriak Mbah. Tenggorokanku
mau pecah. Mbah budek, Mbah tuli. Percuma saja kita
bicara. Sekarang kalau mau ikut, ayolah!" kata Roro
Centil setengah berteriak.
Mbah Petir tertawa lebar. Dia kemudian mem-
buka pintu, sedangkan si gadis segera mengikuti tak
jauh di belakangnya.
Tidak berselang lama kedua orang ini telah
berkelebat menyusuri lereng gunung Sembung melalui
jalan setapak.
***
7

Di bawah terik matahari bersikap seakan tidak
perduli kakek berpakaian hitam bertopi tinggi yang ke-
dua sisinya dihias dengan tanduk kerbau ini terus saja
menangis. Tangisnya makin lama makin terguguk ti-
dak perduli wajahnya yang bercelemongan hitam itu
telah basah oleh keringat dan air mata. Yang aneh dan
hebatnya lagi saat kakek ini menangis tanah di sekeli-
lingnya terguncang keras. Tidak hanya itu saja daun
menghijau yang terdapat di pepohonan berguguran.
Sedangkan air yang terdapat di dalam telaga kecil tak
jauh di sebelah kirinya berguncang, muncrat di udara
seakan dilanda gempa.
Tangis si kakek tak berlangsung lama, karena
saat itu tiba-tiba dia mendengar ada suara gemuruh

yang disertai dengan terdengarnya suara bergedebu-
kan seperti suara orang berlari cepat yang tengah me-
nuju ke arahnya. Si kakek seka air mata yang memba-
sahi pipi. Kepala dimiringkan ke kanan mencoba men-
genali suara langkah orang yang datang. Si kakek ke-
mudian mengguman sendiri. "Manusia atau dedemit
yang datang kemari. Kalau manusia mengapa lang-
kahnya begitu berat? Dasar celaka. Berani sekali da-
tang mengganggu ketenangan orang yang sedang ber-
duka!" rutuk si kakek.
Siapakah kakek berpakaian hitam bertopi tinggi
ini? Seperti telah dituturkan pada episode sebelumnya.
Kakek bertopi tinggi yang kedua sisinya dihias dengan
tanduk kerbau ini memiliki gelar Gelombang Tangis
Dalam Duka. Dia termasuk salah satu tokoh yang di-
undang untuk menghadiri pertemuan para pendekar di
Kiara Condong. Kakek yang suara tangisnya dapat
mempengaruhi orang lain ini begitu terkejut ketika me-
lihat Malaikat Kuku Seribu datang bersama Si Burung
Merak dengan membawa mayat Si Muka Setan. Pa-
dahal Si Muka Setan sendiri sesungguhnya adalah
orang yang akan memimpin pertemuan itu. Kematian
si nenek berwajah angker yang masih terhitung saha-
bat kakek ini sendiri sungguh membuat Gelombang
Tangis Dalam Duka menjadi sangat terpukul, diapun
kemudian dengan perasaan marah langsung tinggal-
kan Kiara Condong untuk mencari pembunuh saha-
batnya sambil terus menangis di sepanjang jalan.
Kedukaan yang melanda jiwa si kakek tentu sa-
ja membawa kerugian besar bagi orang lain, karena
pengaruh tangisnya bukan saja membuat orang lain
jadi terhanyut dan ikut menangis, tapi juga akibat tan-
gis itu membuat buah pepohonan gugur sebelum wak-
tunya, begitu juga ketika si kakek melewati daerah

persawahan penduduk yang luas. Padi yang baru saja
menguning rontok dilanda gelombang tangisnya.
Kini di tempatnya duduk, Gelombang Tangis
Dalam Duka tak perlu menunggu lebih lama karena
pada saat itu pula di belakangnya muncul satu sosok
tinggi besar bertelanjang dada dengan sekujur tubuh
ditumbuhi bulu hitam lebat. Masih dalam keadaan
terduduk orang tua itu memutar badan. Gelombang
Tangis Dalam Duka sempat tercengang begitu melihat
satu sosok manusia raksasa berdiri disana, tegak
mengawasi dengan pandangan terheran-heran. Dalam
kagetnya si kakek membuka mulut ajukan pertanyaan.
"Makhluk besar apa yang kau cari di tempat
ini? Kehadiranmu membuat tangisku jadi terhenti. Ce-
pat katakan siapa dirimu, setelah itu baru kau boleh
ikut menangis!"
"Orang tua, aku mencari sahabatku Gento
Guyon. Pendekar Sakti 71. Namaku Rajo Penitis, mo-
hon dimaafkan kalau keasyikan tangismu merasa ter-
ganggu karena kehadiranku!" kata si tinggi besar.
Si kakek terdiam, kening berkerut lalu kepala
digelengkan. "Gento Guyon? Pendekar Sakti 71, baru
sekali ini aku mendengar nama itu. Lalu kau sendiri
bernama Rajo Penitis? Hemm, namamu pernah aku
mendengar. Kau manusia yang selalu gagal dalam du-
nia percintaan, bertenaga besar, badan besar, tapi to-
lol. Rasanya aku tak suka kau berlama-lama berdiri di
depanku. Masih ada kesempatan buatmu untuk me-
nyingkir. Saat ini aku sedang berduka atas kematian
sahabatku Si Muka Setan. Dalam keadaan seperti ini,
aku tidak mau melihat seekor kecoak pun mengganggu
ketenanganku!"
Rajo Penitis walau merasa tersinggung men-
dengar ucapan si kakek, tapi dia masih saja berdiri di

tempatnya. Hal ini tentu menimbulkan kemarahan ba-
gi si kakek.
"Kau... apakah tak mendengar perintahku?!"
hardik si kakek.
Dengan sikap tenang Rajo Penitis menjawab.
"Orang tua siapapun dirimu aku tidak perduli. Baru
saja tadi kau ada menyebut Si Muka Setan. Malah kau
mengatakan orang tua itu sudah mati. Tapi kurasa
pendapatmu itu keliru. Kalau Si Muka Setan yang kau
maksudkan adalah seorang nenek berpakaian kuning
wajah hancur mengerikan seperti setan. Kurasa orang
itu masih hidup," kata Rajo Penitis.
Gelombang Tangis Dalam Duka tercengang
mendengar ucapan, Rajo Penitis. Seolah tak percaya
dia berucap. "Coba kau ulangi apa yang kau sebutkan
tadi?" perintah si kakek.
"Orang tua kurasa kau belum tuli untuk men-
dengar apa yang kukatakan tadi. Sekali lagi kukatakan
Si Muka Setan mungkin masih hidup!"
Si kakek belalakkan mata lebar, wajah tercen-
gang mulutnya ternganga. Sekali lagi dia mengguman
kepala digelengkan. "Bagaimana kau bisa mengetahui
sahabatku itu masih hidup, sedangkan aku menyaksi-
kan dengan mata kepala sendiri. Si Muka Setan tewas,
kepala berlubang, isi otak lenyap. Dia terbunuh. Ma-
laikat Kuku Seribu yang membawanya ke Kiara Con-
dong! Manusia besar badan, jangan kau berani mem-
buat pusing kepalaku. Saat ini fikiranku sedang ka-
cau. Kau bisa kubunuh di tempat ini!" geram si kakek.
Orang tua itu tiba-tiba bangkit berdiri. Dua tangan di-
angkat siap melepaskan satu pukulan yang berbahaya.
"Tunggu orang tua!" sergah Rajo Penitis.
"Kau hendak bicara apa, katakan cepat!" ben-
tak Gelombang Tangis Dalam Duka tak dapat lagi ber

sabar diri.
"Beberapa hari yang lalu, aku baru saja berte-
mu dengan seorang nenek tua yang ciri-cirinya sama
persis dengan Si Muka Setan. Aku tak berani menga-
takan dia sahabatmu atau bukan, cuma segalanya
sama mirip dengan Si Muka Setan."
"Bicaramu ngaco manusia besar, mungkin ada
yang tidak beres dalam otakmu! Sekarang teruskan bi-
caramu yang ngaco belo tak karuan!" kata si kakek.
"Perempuan itu membawa seorang gadis. Dia
kemudian masuk ke dalam pondok dan hendak me-
lampiaskan nafsu kejinya pada gadis malang yang di-
bawanya. Beruntung aku sempat mencegah, sayang
sekali aku hampir celaka dan dia melarikan diri saat
mendengar suara siulan!"
"Cukup! Kau bicara tak karuan kejuntrungan-
nya. Lebih dari itu kau fitnah pula dirinya. Sahabatku
Muka Setan bukan manusia gila. Bagaimana kau be-
rani mengatakan dia hendak berbuat keji pada kaum
sejenisnya sendiri?" hardik si kakek sengit juga sema-
kin bertambah merah.
"Orang tua, aku bicara sesuai dengan kenya-
taan yang kulihat. Kalau kau tidak percaya siapa yang
memaksamu?!"
"Raksasa tolol jahanam. Jika aku tidak melihat
mayat Si Muka Setan dengan mata kepalaku sendiri
mungkin aku mempercayai segala ucapanmu. Manusia
tengik tega betul kau memfitnah sahabatku yang su-
dah berpulang? Kubunuh kau!" teriak Gelombang Tan-
gis Dalam Duka. Suara teriakannya belum lagi lenyap
ketika dia keluarkan suara raungan tangis menyayat.
Suara tangisnya demikian keras, sedih memilukan
membuat siapa saja yang mendengarnya ikut terseret,
tenggelam dalam kesedihan si kakek. Rajo Penitis me

mang sempat merasakan hal itu. Tapi dia segera me-
nutup indera pendengarannya, setelah itu segera ke-
rahkan tenaga dalam untuk kemudian disalurkan ke
arah kaki dan tangannya. Satu raungan laksana mero-
bek langit di tengah panas yang terik membakar. La-
lu...
Duk! Duk! Duk!
Terdengar suara bergedebukan ketika Rajo Pe-
nitis berlari ke depan menyerbu ke arah lawan sambil
lepaskan satu pukulan yang disusul dengan tendangan
menggeledek ke perut si kakek.
Angin menderu menyertai tendangan dan pu-
kulan yang dilancarkan Rajo Penitis. Si kakek tercekat,
namun cepat berkelit ke samping. Dua tangan segera
didorongkan menangkis dua serangan yang datang da-
lam waktu bersama.
Plak! Plak!
Benturan keras yang terjadi membuat si kakek
keluarkan jeritan tertahan. Tubuhnya terdorong mun-
dur sejauh satu langkah. Ketika dia melihat kedua
tangannya yang terasa sakit, tangan itu nampak me-
mar.
Di depannya sana Rajo Penitis terhuyung bebe-
rapa tindak, jika dia tidak cepat memperbaiki keseim-
bangan tubuhnya niscaya si raksasa jatuh terjeng-
kang. Rajo Penitis menggerung, tanpa memperdulikan
tangan dan kakinya yang mendenyut sakit dia lang-
sung lakukan satu gerakan berputar. Sambil berputar
sedemikian rupa tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara.
Gerakannya sangat ringan seakan tubuh yang sangat
besar itu tidak memiliki bobot sama sekali.
Masih dalam keadaan melesat sambil berputar,
Rajo Penitis menghantam lawan dengan mendorong-
kan kedua tangan dengan gerakan melingkar. Wuuut!

Satu gelombang angin berputar dahsyat menyambar
apa saja yang dilaluinya. Membuat batu dan pasir ber-
lesatan di udara membubung tinggi ke angkasa. Lebih
hebatnya lagi, tanah yang dilalui pusaran angin aneh
itu berlubang dalam berkelok-kelok tidak ubahnya se-
perti bekas jejak ular besar yang berjalan di atas tanah
lembek.
Gelombang Tangis Dalam Duka sempat dibuat
tercekat, tapi hanya sesaat. Dia cepat melompat mun-
dur sambil mengumbar tangisnya.
"Manusia salah kaprah, tukang fitnah sahabat
orang. Kau rupanya memiliki pukulan Pusaran Topan
Prahara? Apa yang telah kau perlihatkan padaku itu
hanya akan mempercepat kematianmu. Kau akan ma-
ti, huk huk huk. Betapa aku semakin sedih kare-
nanya!" teriak si kakek. Masih sambil melompat mun-
dur sambil hindari terjangan pusaran angin yang ber-
sumber dari pukulan lawan. Gelombang Tangis Dalam
Duka siapkan dua pukulan mautnya. Di tangan kiri
dia mempersiapkan pukulan 'Duka Dalam Penyesalan'
sedangkan di tangan kanan dia siap melepaskan puku-
lan 'Gelombang Sakratul Maut'.
Sambil berteriak keras si kakek melesat ke de-
pan. Dua tangan kemudian dihantamkan ke arah pu-
saran angin yang menggulung bagaikan puting be-
liung. Cahaya hitam berkiblat dari tangan kiri si ka-
kek, sedangkan dari tangan kanan menderu bahaya
putih berkilauan laksana perak.
Bumm!
Satu ledakan keras berdentum ketika masing-
masing serangan bertemu di udara, bersamaan dengan
itu pula satu jeritan terdengar seolah menenggelamkan
suara ledakan itu. Kemudian ada suara jatuhnya satu
sosok yang berat di atas tanah. Beberapa saat kegela
pan menyelimuti daerah disekitar situ. Si kakek ter-
huyung-huyung dan mencoba menjauh dari kegelapan
akibat debu. Ketika kegelapan sirna dan suasana jadi
terang kembali, si kakek pun memandang ke depan. Di
depannya sana sosok manusia Raksasa Rajo Penitis
nampak terkapar. Dari sekujur tubuhnya mengucur-
kan darah. Laki-laki itu diam tak berkutik, mungkin
juga tewas terkena pukulan lawannya yang sangat ga-
nas itu.
Si kakek tercengang, seolah baru tersadar den-
gan apa yang dilakukannya dia pandangi kedua tan-
gannya sendiri. Wajah si orang tua berubah pucat ke-
tika melihat telapak tangannya masih membiaskan si-
nar putih dan hitam.
"Aku... aku... telah membunuhnya? Dua tan-
ganku telah melakukan suatu perbuatan keji? Huk
huk huk! Mengapa aku jadi pembunuh, mengapa aku
harus membunuh? Gusti, Gusti... dia mati. Dia mati
aku berdosa?!" desis Gelombang Tangis Dalam Duka
seakan tak percaya dengan apa yang telah dilakukan-
nya sendiri. Orang tua itu kemudian menangis tersedu.
Selagi si kakek tenggelam dalam tangisnya. Pada saat
itu pula terdengar suara bentakan sekaligus seruan
kaget seseorang.
"Astaga! Orang tua, betapa kejinya perbuatan-
mu ini. Kau telah membunuh sahabatku!"
Bentakan itu membuat tangis si kakek terhenti
seketika. Dalam keadaan terkejut dia memandang ke
arah datangnya suara bentakan tadi.
***
8

Dua bayangan berkelebat, satu langsung menu-
ju ke arah Rajo Penitis, sedangkan satunya lagi jejak-
kan kakinya tak jauh dari hadapan Gelombang Tangis
Dalam Duka. Si kakek dengan mata masih berurai
tangis dan hati diamuk kesedihan memandang ke arah
orang yang datang. Ternyata sosok berpakaian ungu
yang berdiri tegak di depannya adalah seorang gadis
cantik berkulit putih mulus dengan bentuk dagu se-
perti pinang terbelah. Sedangkan yang satunya lagi
adalah seorang pemuda tampan rambut gondrong se-
bahu, bertelanjang dada bercelana hitam. Di lehernya
melingkar sebuah kalung. Mata kalung berasal dari ba-
tu, berwarna putih buram, kuning kecoklatan. Gelom-
bang Tangis Dalam Duka memperhatikan keduanya
sejenak. Dia gelengkan kepala karena sama sekali tak
mengenal siapa adanya pemuda dan gadis itu.
Si gondrong Pendekar Sakti Gento Guyon yang
saat itu berada di samping Rajo Penitis dapat melihat
betapa sahabatnya yang bermandikan darah akibat
terkena pukulan. Si kakek masih bernafas, tapi mung-
kin jiwanya tak mungkin dapat diselamatkan lagi.
"Sobatku kurcaca, ini aku sahabatmu kurcaci
kecil. Bicaralah, apa yang kau lakukan kepadanya
hingga orang tua itu menjatuhkan tangan begini kejam
terhadapmu?" tanya Gento, lalu raih tangan besar Rajo
Penitis yang besar luar biasa namun telah berubah
menjadi dingin laksana es.
Sepasang pelupuk mata yang menggembung
bengkak nampak bergerak-gerak. Lalu mata itu terbu-
ka sedikit. Rajo Penitis mencoba memaksakan se-
nyumnya begitu melihat seraut wajah yang sangat dia

kenal.
"Sahabatku kurcaci jelek. Engkaukah ini...?!
tanya Rajo Penitis seakan tak percaya dengan pengli-
hatannya sendiri.
"Benar. Ini aku, diriku kurcaci kecil." Jawab
Gento, merasa terharu juga sedih. Dia semakin mem-
pererat genggaman tangannya pada tangan Rajo Peni-
tis. Betapa tangan sang sahabatnya itu kini bertambah
dingin. Sepasang mata si raksasa memandang kosong
pada Gento. Si gondrong menyadari tak ada harapan
lagi bagi Rajo Penitis untuk dapat bertahan lebih lama.
"Sahabatku...!" kata Rajo Penitis. Suaranya per-
lahan tercekat, nampak benar bahwa sang sahabat
nampak bersusah payah ketika hendak bicara. Dalam
keadaan semakin bertambah payah pula dia mene-
ruskan ucapannya. "Di dunia ini hidupku hanya seba-
tang kara. Beruntung aku punya seorang sahabat di
akhir hidupku. Walau otakmu agak sedikit miring, tapi
kau baik. Karenamu aku jadi sadar, hingga kini aku
tak mengejar perempuan untuk kujadikan istri. Kurca-
ci kecil, tolong kau sampaikan salam maafku pada
Sriwidari. Aku pernah bersalah membunuh orang tua-
nya! Aku juga pernah bersalah hendak memperistri di-
rinya...!"
"Kau memang bersalah, kau memang layak di-
bunuh seribu kali!" satu suara menimpali disertai ber-
kelebatnya satu bayangan ungu yang langsung mele-
paskan satu pukulan mematikan ke arah Rajo Penitis.
Tanpa menoleh Gento yang sempat kaget men-
dengar teriakan itu sudah dapat menduga orang yang
kirimkan pukulan ke arah raksasa sahabatnya itu pas-
tilah Sriwidari gadis yang datang bersamanya.
Diapun berseru sambil menghantam ke bela-
kang.

"Widari jangan!"
Buuum!
Benturan keras disertai dengan terdengarnya
suara jeritan. Sriwidari yang pukulannya dimentahkan
oleh Gento jatuh terbanting dengan jatuh punggung
menghantam tanah.
Merasa serangannya digagalkan Gento si gadis
jadi marah. Dia melompat bangkit sambil membentak.
"Mengapa kau membelanya, Gento! Kau hendak
melindungi penjahat itu?" Tanpa menoleh dia menja-
wab.
"Apakah kau mau menjadi seorang pengecut,
membunuh orang yang sudah tak berdaya? Lagipula
dia sudah bertobat. Tidakkah kau ikut mendengarnya?
Lebih baik kau urus kakek tengik itu, jangan sampai
kabur!" ujar Gento.
Meskipun hatinya masih merasa kecewa na-
mun Sriwidari tetap lakukan apa yang diperintahkan
oleh Gento. Sementara sang pendekar sendiri kemu-
dian kembali memandang ke arah Rajo Penitis.
"Mengapa kau cegah dia dari keinginannya un-
tuk membunuhku? Aku akan lebih senang mati di
tangannya. Tapi sebelum itu kurcaci, aku akan kata-
kan padamu. Kalaupun aku mati, tapi rohku tetap
akan hidup. Kita bisa terus bersahabat. Kurcaci, satu
permintaanku tolong kau carikan anakku...!"
"Anakmu? Siapa nama anakmu?" tanya Gento.
Pertanyaan Gento agaknya tidak berjawab ka-
rena pada saat itu kepala Rajo Penitis terkulai. Melihat
kematian Rajo Penitis pemuda itu jadi tercekat. Wajah
tertunduk, sedangkan genggamannya pada tangan
manusia raksasa itu jadi terlepas.
"Sahabatku, mengapa kau pergi secepat itu?"
desis Gento seakan menyesali. Kemudian dia pandangi

tubuh besar yang terbujur diam di depannya. Tubuh
yang berlumuran darahnya sendiri. Gento tahu, Rajo
Penitis tidak berilmu rendah, jika dia sampai terbunuh
di tangan kakek itu berarti siapapun adanya si kakek
pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Sementara itu di depan sana si kakek sudah
bangkit berdiri, sambil menangis terguguk dia memu-
tar langkah siap hendak pergi.
"Orang tua kau hendak kemana? Menghindar
dari tanggung jawab?" hardik Sriwidari. Dia kemudian
melompat ke depan si kakek sambil hunuskan pedang
hingga gerakan orang tua itu jadi terhalangi.
Langkah si kakek jadi tertahan, orang tua itu
memandang ke depannya. "Aku hendak pergi, jangan
kau halangi!" kata si kakek.
"Kau telah membunuh Rajo Penitis sekarang
hendak pergi begitu saja? Orang tua kau harus serah-
kan kepalamu, atau paling ringan harus bisa memberi
penjelasan padaku mengapa kau membunuh saha-
batku itu?!" satu suara berucap, satu bayangan berke-
lebat ke arah si kakek. Kemudian tak jauh dari depan
Gelombang Tangis Dalam Duka si gondrong Gento
berdiri di situ. Wajahnya jelas menyimpan kemarahan
pada si kakek juga duka atas kematian Rajo Penitis.
"Engkau ini siapa bocah gondrong? Kau kerabat
manusia tolol raksasa itu?" si kakek ajukan perta-
nyaan sambil menatap tajam pada Pendekar Sakti
Gento Guyon dengan matanya yang merah karena ter-
lalu banyak menangis.
"Dia sahabatku!"
Si kakek tersenyum sinis. "Bukan sanak bukan
kadangmu. Cuma seorang sahabat. Lalu gadis ini
apamukah? Adikmu, kekasihmu atau mungkin istri-
mu?!" tanya si kakek lagi, dia melirik ke arah Sriwidari

dengan sudut matanya.
"Dia juga sahabatku!"
"Rupanya cuma seorang sahabat juga". Gelom-
bang Tangis Dalam Duka tersenyum mengejek. "Jika
kalian berdua sahabat manusia itu, ketahuilah aku tak
punya waktu banyak untuk memberi penjelasan. Tapi
perlu kalian tahu satu hal, aku terpaksa melakukan
pembunuhan karena dia telah memfitnah sahabatku
Si Muka Setan."
"Fitnah... fitnah apa?" tanya Gento.
"Dia mengatakan sahabatku Si Muka Setan
masih hidup, bahkan lebih keji lagi dia mengaku Si
Muka Setan hendak berlaku keji terhadap seorang ga-
dis. Bagaimana dia berani lancang bicara seperti itu?
Sedangkan sahabatku Si Muka Setan telah berkubur
di Kiara Condong sehari sebelum pertemuan. Aku
bahkan melihat mayatnya dengan mata kepalaku sen-
diri!"
Penjelasan itu bukan saja membuat Sriwidari
jadi melengak tercekat, begitu pula halnya dengan mu-
rid si gendut Gentong Ketawa. "Kakek ini melihat
mayat Si Muka Setan. Pantas mayat orang tua itu tak
kami temukan di dalam ruangan pertemuan. Semula
aku dan Roro Centil menduga nenek itu yang bertang-
gung jawab atas kematian para pendekar. Tidak ta-
hunya orang yang terkubur dalam pusara di halaman
rumah itu memang Si Muka Setan adanya." Selagi
Gento tenggelam dalam fikirannya sendiri mendengar
penjelasan si kakek yang tidak terduga ini. Sebaliknya
Sriwidari berteriak dengan suara lantang. "Orang tua,
siapapun dirimu ini yang sebenarnya aku tak perduli.
Tapi terus-terang adapun gadis yang dimaksudkan
oleh Rajo Penitis itu akulah orangnya. Dia datang
mencoba menyelamatkan diriku. Jika dia mengatakan

seperti apa yang kukatakan ini, berarti dia tidak ber-
dusta, tidak pula memfitnah. Karena apa yang dikata-
kannya itu memang benar adanya. Si Muka Setan
memang hendak berbuat mesum padaku!"
Laksana mendengar suara petir, sekujur tubuh
si kakek bergetar, mata melotot, mulut ternganga se-
dangkan wajah nampak pucat bagaikan mayat. Bebe-
rapa saat lamanya si kakek tak mampu keluarkan su-
ara atau berucap barang sepatah katapun. Hanya ma-
tanya memandang kepada Gento dan Sriwidari silih
berganti.
"Dia yang mengalami kejadian itu. Dia sak-
sinya, apakah kau masih tidak percaya?" suara Gento
memecah keheningan.
Dengan mulut bergetar suara tercekat si kakek
menyahuti. "Jika apa yang dikatakan sahabatmu itu
benar, berarti telah terjadi sesuatu yang tidak beres.
Aku berani bersumpah Si Muka Setan telah mati, aku
sendiri yang melihat mayatnya. Aku melihat kepalanya
yang berlubang besar, sedangkan isi kepala lenyap
sama sekali! Aku yakin ada seseorang yang berusaha
mengelabuhi kita untuk mencapai sesuatu yang men-
jadi tujuannya. Karena aku tahu jika seandainyapun
Si Muka Setan memang masih hidup, dia tak mungkin
melakukan perbuatan sekeji itu. Kuakui wajahnya
memang angker seperti setan. Tapi aku tahu pasti ha-
tinya sangat baik sekali!" jelas Gelombang Tangis Da-
lam Duka.
"Sekarang apa yang harus kau lakukan? Kau
telah membunuh sahabatku Rajo Penitis. Kau mem-
bunuhnya karena kau anggap dia telah memfitnah Si
Muka Setan, padahal dia mengatakan yang sebenar-
nya. Apa tanggung jawabmu?"
Pertanyaan Gento membuat si kakek sadar ba

gaimana pun dia tidak mungkin menghindar dari dosa
yang telah dilakukannya.
"Aku tak akan mungkir dan tidak bakal lari dari
segala apa yang telah kulakukan. Jika dia terbunuh di
tanganku tanpa rasa bersalah. Berarti aku harus
mempertanggung jawabkan kesalahanku. Tapi aku
minta waktu, karena saat ini aku ingin mengetahui
yang sebenarnya apakah Si Muka Setan masih hidup
sebagaimana yang kau katakan atau sudah mati seba-
gaimana yang kulihat?" ujar si kakek.
Gento tersenyum, dia melirik ke arah jenazah
Rajo Penitis sekilas, baru kemudian beralih pada Sri-
widari untuk selanjutnya kembali menatap si kakek.
"Orang tua, katakan kapan kau bersedia mene-
rima hukuman dariku?"
"Aku minta waktu sampai aku bisa bertemu
dengan Muka Setan. Setelah itu kau baru boleh mem-
bunuhku!" kata si kakek dengan mata berkaca-kaca
penuh kesadaran dia melanjutkan. "Aku tak akan lari.
Kau tak perlu takut. Aku hanya ingin membuktikan
kebenaran pengakuan sahabatmu itu."
"Engkaupun tak usah takut, orang tua, juga
tak usah menangis. Karena aku hanya akan meminta
kedua tanganmu yang kau pergunakan untuk mem-
bunuh Rajo Penitis. Bukan nyawamu!" ujar Gento pu-
la.
"Tidak, aku telah berhutang nyawa padanya.
Maka kau nanti harus mengambil nyawaku, bukan
tanganku!"
"Aku cuma minta tangan!"
"Kubilang kau harus mengambil nyawaku!" te-
riak si kakek lalu menangis tersedu-sedu. Sriwidari
tertegun mendengar tangis si kakek yang serasa meng-
getarkan jiwa menyentuh perasaan.
"Kakek aneh, dia bisa berlaku kejam dalam se-
saat saja, tap mengapa begini cengeng?" fikir si gadis.
Sedangkan Gento saat itu sambil tersenyum se-
gera berkata. "Baiklah, kau tak usah menangis lagi.
Biar nanti kuambil tangan dan nyawamu sekaligus!"
Si kakek tercengang, mata yang berurai tangis
memandang ke depannya dengan tatap seakan tak
percaya. "Pemuda edan... sinting. Huk huk huk. Biar
aku menyingkir dulu dari hadapanmu, meneruskan
tangis di tempat lain sambil mencari Si Muka Setan!"
Si kakek dengan terbungkuk-bungkuk sambil menyeka
air matanya segera tinggalkan Gento dan Sriwidari.
Murid Gentong Ketawa pandangi kepergian kakek itu.
Kepala menggeleng, mulut mengurai senyum. "Bagus,
menangislah terus sampai tua. Mudah-mudahan kau
cepat menemukan nenek itu agar tidak melakukan
pembunuhan lagi secara membabi buta!" kata Gento.
"Kau percaya dia mau menebus kesalahannya
Gento?" tanya Sriwidari yang ikut memperhatikan ke-
pergian si kakek.
"Ha ha ha. Mana aku tahu, manusia yang per-
nah melakukan pembunuhan seribu kalipun kalau
masih punya kesempatan untuk menyelamatkan diri
pasti dilakukannya. Sudahlah, sebaiknya kita pergi!"
kata pemuda itu.
***
9

Ayu Seruni atau yang sering disebut Puteri Pe-
malu duduk di bawah satu pohon besar tak jauh dari
tepi sebuah telaga. Matanya tak henti mengawasi tela

ga itu dimana tadi dilihatnya satu bayangan masuk ke
dalam telaga itu, lenyap lalu tidak muncul-muncul la-
gi. Seakan tak percaya dia kerjabkan matanya bebera-
pa kali, mulutnya yang selalu sunggingkan senyum
baik dirinya sedang berada dalam kesedihan maupun
dalam kegembiraan melongo besar. Dia tidak terse-
nyum, tidak pula tertawa. Malah wajah gadis yang
mengalami gangguan ingatan ini nampak pucat dalam
ketegangan yang luar biasa.
Setengah jam berlalu, sosok yang melenyapkan
diri ke dalam air telaga masih belum juga muncul atau
menyembul ke permukaan air. Si gadis sinting mulai
berprasangka yang bukan-bukan. "Orang tadi seperti
hendak bunuh diri. Datang langsung menceburkan diri
ke tengah telaga lalu tidak timbul lagi. Manusia edan
sekalipun tidak mungkin melakukan perbuatan sene-
kad itu." Kata Puteri Pemalu. Sebagaimana kebiasaan-
nya dia langsung tertawa sambil tutupi wajahnya den-
gan ujung jubah birunya. Ketika dia berkata seperti itu
sikapnya seolah tidak menyadari bahwa saat itu se-
sungguhnya memiliki gangguan ingatan.
Sekali lagi Puteri Pemalu layangkan pandang ke
tengah telaga. Telaga tetap sunyi, air telaga tetap pula
tenang, tidak beriak tidak pula bergelombang. "Manu-
sia atau silumankah yang kulihat tadi. Jika manusia
mengapa sudah selama ini masih belum muncul juga?
Tidak ada manusia yang mampu menyelam lalu berada
di dalam air selama itu?" ujar si gadis. Dia kemudian
kitarkan pandangan matanya ke sekeliling telaga. Ken-
ing berkerut seakan berusaha mengingat dan menge-
nali daerah itu. Dia melihat tiga pohon kapuk besar.
Masing-masing dari ketiga pohon kapuk itu terdapat
sebuah lubang besar. Di dalam lubang besar itu me-
nyumpal satu tengkorak kepala manusia yang sudah

sangat tua ditumbuhi lumut.
Melihat pada tiga pohon kapuk ini Puteri Pema-
lu keluarkan satu seruan kaget, dua matanya terpen-
tang lebar. Mulut bergetar menyebut satu nama. "Bu-
kankah telaga ini yang bernama Telaga Tengkorak
Hantu? Tempat yang paling angker dimana para hantu
dedemit dan makhluk halus sering gentayangan dis-
ini?" gumam Puteri Pemalu. Tanpa sadar dia bangkit
berdiri, mata memandang lurus ke tengah telaga yang
bening. Ketika dia hendak memutar badan siap me-
ninggalkan tempat itu. Pada waktu bersamaan pula
matanya sempat menangkap adanya satu gerakan di
tengah telaga. Terkejut, heran juga tegang membuat
Puteri Pemalu urungkan niatnya. Dia lalu melompat ke
atas pohon, kemudian mendekam di pohon itu sambil
mengintai ke telaga, menunggu apa yang akan terjadi
dengan dada berdebar.
Gadis sakit ingatan ini tak perlu menunggu ter-
lalu lama, karena begitu dia berada di atas pohon, air
ditengah telaga mengalami pergolakan hebat. Bersa-
maan dengan terjadinya pergolakan di tengah telaga,
dari bagian bawahnya terdengar seperti ada pintu batu
yang terhempas. Gelembung-Gelembung air bermun-
culan. Satu sosok nampak bergerak dari bagian dasar
telaga menuju ke permukaan.
Wuuut! Wuutt!
Satu sosok tubuh terlempar di udara dalam
keadaan polos terlanjang. Di belakangnya menyusul
satu sosok bayangan serba kuning. Bayangan itu ber-
gerak ke arah jatuhnya sosok telanjang berambut pan-
jang. Walaupun Puteri Pemalu tak melihat bagaimana
rupa sosok polos bugil ini namun melihat dari rambut-
nya yang panjang, kulit serta dadanya yang menonjol
jelas sosok yang terjatuh di tepi telaga itu adalah seo

rang gadis. Mungkin satu kekejian mengerikan telah
terjadi atas dirinya.
Dengan malu-malu gadis sinting ini tutupi wa-
jahnya. Tak berselang lama ujung jubah diturunkan,
mata memandang ke arah sosok berpakaian kuning
yang berdiri tak jauh dari sosok gadis telanjang yang
agaknya sudah tak bernyawa lagi.
Untuk yang kesekian kalinya Puteri Pemalu
kembali dibuat tercengang. Sosok berpakaian kuning
berenda putih yang baru munculkan diri dari dasar te-
laga sambil membawa sosok mayat seorang bukannya
dedemit ataupun siluman sebagaimana yang dia sang-
ka. Melainkan seseorang, sosok nenek berwajah ang-
ker seperti setan yang sangat dikenalnya.
"Kakak... kakak Muka Setan? Benarkah dia
adanya? Mengapa dia semakin jauh dalam kesesatan.
Kemana kebaikan-kebaikan yang dia miliki selama
ini?" tanya Puteri Pemalu pada dirinya sendiri.
Sekali lagi Puteri Pemalu memandang ke tepi
telaga. Saat itu nenek Muka Setan yang muncul dari
dasar telaga nampaknya sudah siap tinggalkan tempat
itu. Tapi dia jadi terkejut ketika mendengar satu se-
ruan.
"Kakak... Muka Setan tunggu!"
Seruan itu disusul dengan tersibaknya rerant-
ing dan dedaunan pohon yang kemudian disusul oleh
munculnya satu kepala. Satu sosok berpakaian jubah
biru melesat ke arah si nenek yang belum lagi hilang
rasa kagetnya.
"Kakak... hik hik hik. Sungguh tak kusangka
dirimu telah jauh berada dalam kesesatan. Mengapa
kau membunuhnya, mengapa gadis itu kau perlaku-
kan secara keji. Kau perempuan dia perempuan, lalu
apanya yang...!" Puteri Pemalu tidak lanjutkan uca
pannya, melainkan malah tutupi wajahnya.
Beberapa saat lamanya nenek Muka Setan se-
perti bingung melihat kehadiran si gadis dan menden-
gar segala apa yang diucapkannya. Tapi karena otak-
nya yang cerdik dia segera menyadari apa yang harus
dia lakukan.
"Gadis gila, kau tahu siapa diriku ini? Hayo ja-
wab?" hardik si nenek dengan mata mencorong me-
mandang penuh teguran.
"Kakak, kau adalah Si Muka Setan, yang sebe-
narnya masih terhitung guruku sendiri. Aku hanya in-
gin mengatakan apa yang kau lakukan beberapa hari
belakangan telah jauh menyimpang dari segala yang
pernah kau tunjukkan padaku selama ini kakak!"
"Kalau kau sudah tahu dan dapat membedakan
kedudukan antara murid dan guru, mengapa kau tak
cepat memberi hormat dan minta maaf kepadaku?"
dengus Si Muka Setan.
Si gadis tertawa mengikik.
"Hik hik hik. Kakak ini bagaimana, selama ini
aku tak pernah melakukan seperti yang kau ucapkan!"
jawab gadis itu.
Kening Si Muka Setan berkerut dalam mem-
buat wajahnya yang angker bertambah menyeramkan.
"Kau tak melakukan selama ini. Tapi sekarang
kau harus mau menghormat dan minta maaf padaku!
Jika kau menolak, aku pasti menganggapmu sebagai
murid gila yang tidak tahu aturan."
Ucapan si nenek malah membuat tawa Puteri
Pemalu makin bertambah keras.
"Hik hik hik! Kakak ini bagaimana, bukankah
kau sudah tahu sejak dulu aku sudah gila, kewarasan
terganggu sedangkan kesadaran timbul tenggelam.
Agaknya kau sendiri mulai ikutan menjadi gila ya?!"

Si Muka Setan dibuat tercekat. Kembali otak-
nya berfikir, kembali seribu muslihat muncul dibenak-
nya. Diapun kemudian menyeringai. Si nenek pun mu-
lai mempergunakan muslihatnya.
"Kau benar, sekarang ini fikiranku memang se-
lalu kalut, sering pula kacau. Mungkin aku juga kehi-
langan kewarasan seperti dirimu." Kata nenek Muka
Setan unjukkan muka sedih.
"Hik hik hik. Kau pasti kualat karena sering
menghina aku dulu. Tapi mengapa sekarang setelah
menjadi gila kau bisa mempunyai kebiasaan jelek ter-
kutuk, kakak? Apakah kau melakukan semua itu di
luar kesadaranmu?" tanya Puteri Pemalu, dengan ma-
lu-malu dia tutupi wajahnya.
"I... iya, kau betul. Mengapa aku melakukan
semua itu. Oh, betapa terkutuknya diriku ini? Huk
huk huk!" Nenek Muka Setan dekap wajahnya yang
cacat mengerikan, dia menangis tersedu sedu sambil
memukul kepalanya kanan kiri.
"Betapa memalukan diriku ini, lebih baik kau
bunuh saja aku. Bunuh...!" jerit nenek itu.
"Tidak begitu kakak. Mana mungkin aku tega
membunuhmu, setelah seluruh kaum kerabatmu di-
bunuh orang. Aku maklum telah terjadi kegoncangan
batin yang hebat dalam jiwamu. Tapi kau tak perlu ri-
sau, aku pernah mendengar seorang dukun hebat,
namanya Mbah Petir. Aku bisa minta tolong kepadanya
untuk membantu menyembuhkan penyakit gilamu itu.
Agar kau tidak lagi berbuat mesum pada kaum sendiri.
Hik hik hik!"
Diam-diam Si Muka Setan terkejut. Semua
yang diucapkan Puteri Pemalu merupakan sesuatu
yang membuatnya menjadi faham dengan keadaan
yang sebenarnya. Diam-diam dia melirik ke arah gadis

di depannya. "Gadis gila ini sangat berbahaya. Jika dia
tak kubunuh sekarang, dia bisa menghancurkan sega-
la rencanaku. Tapi...!" Si Muka Setan terdiam, berfikir
sejenak lalu menyeringai begitu terlintas satu akal di
benaknya. "Tidak! Kematiannya bisa ku perpanjang.
Aku akan memanfaatkan tenaganya. Dia akan kusu-
ruh mencari pemuda jahanam bergelar Pendekar Sakti
Gento Guyon. Rasanya aku tidak mungkin bisa hidup
tenteram jika pemuda itu masih gentayangan di rimba
persilatan."
"Kakak... apakah kau mau ikut denganku? Aku
akan membawamu untuk menemui Mbah Petir. Dia
pasti bisa menyembuhkan penyakitmu."
"Kau... ah namamu pun aku lupa!" kata si ne-
nek yang memang tidak tahu siapa nama gadis berju-
bah hijau itu.
"Hik hik hik! Begitulah kalau orang gila, nama
saudara sendiri juga lupa, apalagi kalau gilanya masih
baru. Namaku Puteri Pemalu, bukankah dulu kakak
yang memberikan nama itu?" ujar si gadis. Seandainya
saja Puteri Pemalu bukan gadis yang sakit ingatan.
Tentu pertanyaan Si Muka Setan menimbulkan kecuri-
gaan dihatinya. Tapi karena pada dasarnya fikiran ga-
dis itu memang kurang waras, maka segala kejangga-
lan yang dilihatnya dia anggap sebagai sesuatu yang
biasa saja.
"Kau benar Puteri Pemalu. Setelah bertemu
denganmu fikiranku jadi tambah kacau, apalagi seka-
rang aku teringat pada sanak keluargaku yang dibu-
nuh orang. Aku merasa berterima kasih atas perha-
tianmu. Tapi aku tak bisa ikut denganmu karena diri-
ku kini dalam keadaan terancam?" berkata begitu den-
gan sangat sempurna sekali si nenek unjukkan mimik
ketakutan.

Puteri Pemalu menjadi iba sehingga dia meme-
luk Si Muka Setan dengan sikap seakan melindungi.
"Selama ada aku kau tak boleh takut. Ah, tubuhmu
gemetar, keringat bercucuran. Siapakah orangnya yang
telah membuatmu jadi begini?"
"Orang itu... masih sangat muda, rambut gon-
drong bertelanjang dada. Di leher pemuda itu terdapat
sebuah kalung bermata batu, namanya Kalung Batu
Raja Langit. Kalung itu sangat berbahaya, dan benda
laknat itu pula yang membuat aku jadi kurang waras
begini. Andai saja kau bisa membawa pemuda itu pa-
daku, atau membunuhnya dan merampas kalung itu
sekaligus. Tentu aku tidak menghabiskan waktu den-
gan segala penderitaan yang mendera diriku di dalam
telaga itu. Aku takut, aku takut muridku!" kata si ne-
nek sambil menyembunyikan wajahnya di celah dada
Puteri Pemalu. Ketika wajah si nenek menyentuh celah
dada si gadis sinting, nafasnya mengengah darah ber-
gemuruh sedangkan jantung berdetak lebih cepat.
Namun dia mencoba menahan diri dari segala macam
rangsangan yang selalu bergelora di dalam jiwanya.
"Kakak, kau sangat ketakutan sekali." Kata Pu-
teri Pemalu semakin mempererat pelukannya, hingga
wajah buruk si nenek semakin terbenam di dada si ga-
dis.
"Kau... kau betul. Aku sangat ketakutan sekali.
Kumohon kau cari pemuda keparat itu. Tolong ba-
laskan dendamku kepadanya." Pinta si nenek Muka
Setan. Sambil mengangguk Puteri Pemalu lepaskan pe-
lukannya pada si nenek. Dia surut dua langkah sekali
lagi dia pandangi wajah si nenek seakan ingin memas-
tikan bahwa perempuan yang baru dipeluknya Si Mu-
ka Setan gurunya, bukan orang lain. Si nenek mena-
han nafas, dia baru merasa lega ketika mendengar Pu

teri Pemalu berkata.
"Baiklah kakak. Jika menurut kenyataan yang
sebenarnya sudah pantas sebagai murid aku membela
kepentingan gurunya. Cuma ciri-ciri pemuda yang kau
sebutkan itu membuatku heran?"
"Heran, apa yang membuatmu merasa seperti
itu?" tanya si nenek dengan tatapan penuh selidik.
"Aku... aku...!" Puteri Pemalu, tutupkan ujung
jubah ke wajahnya. *
"Katakan saja tak usah malu-malu.!"
Masih dengan malu-malu, si gadis sinting
membuka mulut berucap. "Orang yang baru engkau
sebutkan ciri-cirinya hampir sama dengan seseorang
yang pernah kukenal. Rambut gondrong, tampan, ber-
telanjang dada juga memakai kalung batu. Cuma aku
tak tahu, batu mata kalung itu apakah batu kuburan
atau batu kali."
"Hem, siapa nama pemuda itu?"
"Namanya... kalau tak salah adalah Bagus
Awan Peteng!"
Kening Si Muka Setan kembali berkerut. "Cela-
ka, jika sampai gadis gila ini ternyata jatuh cinta kepa-
da pemuda itu." Batin si nenek dalam hati. Sambil ter-
senyum dan penuh ketenangan dia berkata. "Mungkin
pemuda yang kau sebutkan itu hanya kebetulan saja
mempunyai ciri-ciri mirip dengan Pendekar Sakti Gen-
to Guyon. Apakah kau jatuh cinta pada Bagus Awan
Peteng?" berkata begitu si nenek melirik ke arah si ga-
dis.
Puteri Pemalu tertawa sambil tutupi wajahnya
dengan ujung kain jubah yang lebar. Dengan malu-
malu dia menjawab. "Terus-terang aku memang jatuh
cinta padanya sejak pandangan pertama. Tapi kakak
tak perlu risau, kalau ternyata nanti Bagus Awan Pe

teng itu cuma nama samaran, aku tetap berketat akan
membawanya kepadamu!"
Semakin bertambah legalah perasaan si nenek.
Dia lalu tersenyum. "Puteri Pemalu, kau memang sau-
daraku yang baik. Kelak aku pasti akan membalas se-
gala kebaikanmu ini dengan satu imbalan besar yang
tak akan pernah kau lupakan sepanjang hidupmu. Hik
hik hik!"
"Tak usah basa-basi kakak. Aku tidak mengha-
rapkan apa-apa. Kau jangan membuat aku malu. Se-
karang aku mohon pamit!" kata si gadis. Sambil berke-
lebat tinggalkan tempat itu Puteri Pemalu sempat
berpesan. "Kakak, aku akan kembali secepatnya. Jaga
dirimu baik-baik!"
Si nenek Muka Setan sunggingkan seringai si-
nis. "Satu lagi gadis gila tolol kena kuperdaya. Hik hik
hik. Ternyata tidak sulit untuk menjalankan segala
rencana dan cita-citaku!" gumam si nenek. Tak berse-
lang lama setelah perginya Puteri Pemalu, maka nenek
Muka Setan itupun berkelebat pergi tinggalkan telaga.
***
10

Sapa berdiri tegak mematung di depan pusara
Si Muka Setan. Nyana yang duduk di atas bahunya ju-
stru pada saat itu memandang dengan tercengang ke
arah bangunan rumah besar yang kini telah sama rata
dengan tanah. Bangunan itu bukan hanya hancur, ta-
pi telah berubah menjadi kepingan debu yang tidak be-
rarti.
Bagaimana mungkin rumah besar yang baru

beberapa hari lalu ketika dia meninggalkannya masih
dalam keadaan utuh, kini menjadi seperti itu. Siapa
yang telah membakarnya? Apa yang dilihat Nyana ma-
sih belum seberapa bila dibandingkan dengan rasa ka-
getnya ketika melihat ke halaman dan ke sekeliling
rumah yang terbakar. Dua hari yang lalu, ketika dia,
Gento dan Roro Centil tinggalkan tempat itu banyak
mayat-mayat para pengawal pertemuan bergeletakan
disana. Tapi kali ini tak satupun mayat yang terlihat.
Seolah mayat-mayat itu raib ditelan bumi.
"Aneh, apakah mungkin ada seseorang yang
begitu baik hati menguburkan semua mayat pengawal
di suatu tempat, dimana?" batin Nyana tidak habis
memikir.
"Sejak tadi kau diam, nafasmu tersengal. Ge-
rangan apa yang sebenarnya yang kau lihat!" satu sua-
ra menyadarkan Nyana dari lamunannya. Dan orang
yang baru bicara adalah si buta Sapa yang mendu-
kungnya kemanapun mereka pergi.
"Mayat-mayat para pengawal itu, Sapa."
"Mengapa mayat para pengawal yang kau bica-
rakan. Kita tidak datang kesini jika bukan untuk me-
menuhi permintaan Gento untuk membongkar pusara
Si Muka Setan!" kata Sapa seolah mengingatkan.
"Kau benar. Tapi telah terjadi ketidak beresan
disini. Mayat-mayat itu lenyap. Seolah mereka hidup
kembali, kemudian pergi berbondong-bondong ke sua-
tu tempat entah kemana!"
"Nyana kau jangan menakut-nakuti aku!" ujar
Sapa, suaranya pelan hampir tak terdengar.
"Aku bicara yang sebenarnya. Bahkan rumah
besar itu sekarang sudah menjadi abu."
"Mungkinkah orang yang sudah mati, kepala
bolong malah kehilangan otak dapat hidup kembali?"

Nyana terdiam, sedangkan matanya meman-
dang kesetiap sudut. Dan entah mengapa dia tiba-tiba
merasa berpasang-pasang mata seperti tengah menga-
wasi gerak-geriknya.
Nyana gelengkan kepala mencoba menghilang-
kan segala bayangan menyeramkan yang menyelimuti
jiwanya.
"Pernah mendengar ilmu Pembangkit Arwah
Pemindah Jasad?" lirih Nyana ajukan pertanyaan.
Sepasang mata buta Sapa dan cuma merupa-
kan bola mata memutih berkedip. Dia lalu mengang-
guk. "Itu adalah ilmu langka milik salah seorang pen-
tolan golongan sesat cabang atas. Konon pemilik dan
ilmunya sendiri telah punah." Sahut Sapa.
"Sulit untuk dapat memastikannya. Tapi entah
mengapa tempat ini dalam pandanganku berubah
menjadi suatu tempat yang angker!" ketika berkata be-
gitu Nyana memandang ke arah pusara. Dia melihat
gundukan tanah pusara sudah tidak utuh lagi, batu
nisannya yang bertuliskan nama Si Muka Setan juga
nampak miring. Pusara itu seperti habis dibongkar, la-
lu ditimbun kembali.
"Nyana, kita tak usah berlama-lama disini. Se-
baiknya makam Si Muka Setan kita bongkar. Nanti se-
telah kita dapat memastikan bahwa nenek itu yang
memang telah dikuburkan disini baru kita timbun
kembali."
"Tunggu...!"
"Ada apa lagi?" tanya Sapa tampak tidak sabar.
Nyana sebenarnya ingin mengatakan ketidak
wajaran yang dilihatnya. Tapi entah mengapa lidahnya
terasa berat untuk digerakkan.
"Ah, tidak apa-apa. Sekarang mari kita gali pusara ini!"

Nyana lalu melompat dari bahu Sapa. Dengan
menggunakan batu nisan juga potongan bamboo yang
ditemukan di sekitar makam, kedua orang cacat ini
mulai melakukan penggalian.
Tanah pusara itu ternyata sangat empuk. Hing-
ga dalam waktu yang tidak berapa lama penggalian
yang dilakukan sudah cukup dalam. Mungkin tidak
sampai satu meter lagi mereka pasti sudah sampai di
dasar makam. Selagi kedua laki-laki cacat yang biasa
dipanggil dengan julukan Sepasang Dewa Berwajah
Ganda sibuk melakukan tugasnya. Maka pada saat itu
pula di angkasa terlihat kilat menyambar disertai gele-
gar petir di samping mereka. Nyana terlonjak kaget,
sedangkan Sapa melompat ke samping sebelah kiri
kubur sambil menubruk saudaranya.
"Apa yang terjadi? Aku seperti mendengar suara
gelegar petir. Nyana apakah kau melihat mendung di
langit?" tanya Sapa dengan suara bergetar, tubuh
menggigil ketakutan.
Dalam kagetnya Nyana dongakkan wajahnya ke
langit. Dia tidak melihat tanda-tanda akan turunnya
hujan. Langit tetap bersih, matahari bersinar terang,
tapi yang aneh kegelapan menyelimuti sekitar tempat
itu.
"Semoga ini bukan awal dari datangnya mala-
petaka?!" Nyana menggumam dalam hati. Dugaan laki-
laki berkaki buntung itu agaknya meleset karena pada
detik itu juga angin tiba-tiba berhembus menerbang-
kan kabut yang seolah datang dari segenap penjuru
arah. Nyana tercekat, dalam takutnya dia berpelukan
dengan saudaranya yang buta. Kemudian kilat kembali
menyambar. Suara petir berdentum menghantam pe-
pohonan disekitarnya juga membuat tanah makan di-
mana kedua orang itu berada jadi rengkah terbelah,

menimbulkan lubang memanjang yang sangat dalam.
"Saudaraku apa yang terjadi?"
"Celaka, cepat keluar dari lubang ini!" teriak
Nyana. Suara teriakan Nyana serta merta berubah
menjadi jerit mengerikan. Dia dan saudaranya bukan
saja tak mampu keluar menyelamatkan diri dari lu-
bang kubur bersama saudaranya. Tapi juga ketika dia
hendak melompat keluar tinggalkan lubang kubur
yang belum selesai digali, di bagian dasar makam seca-
ra tak terduga tanah terkuak lebar menyeret keduanya
hingga terperosok ke dalam dasar lubang yang baru
ternganga akibat sambaran petir.
Sapa dan Nyana berusaha menggapai sisi ka-
nan kiri lubang dalam usaha menyelamatkan diri. Tapi
usaha mereka sia-sia. Dalam tiupan angin keras yang
diselingi dengan suara petir, kembali terdengar suara
jerit menyayat disertai suara gemuruh bertautnya ta-
nah yang sempat terbelah.
Blam!
Tanah bertaut, suara jeritan lenyap. Lubang
kubur ikut pula lenyap rata dengan tanah. Suara petir
terhenti, hembusan angin aneh yang sempat mempo-
rak porandakan daerah itu juga mereda.
Kabut putih yang tadinya memenuhi daerah itu
juga ikut pula lenyap berubah jadi kepulan asap yang
membubung tinggi ke angkasa.
***
Laki-laki tua berambut kelimis berpakaian rapi
warna kuning namun diwarnai tambal-tambalan ini
duduk diam termenung di atas batu. Dua tangan di-
pergunakan untuk mendekap lutut. Udara di senjata
itu memang terasa dingin menusuk, apalagi saat itu

dia berada di kaki gunung Salak sementara matahari
sudah tenggelam dibalik bukit beberapa waktu yang la-
lu. Dalam diamnya si kakek berfikir kemana dia harus
mencari muridnya yang telah melarikan jimat sakti Li-
sus Sukmo yang merupakan warisan keluarga sejak
turun temurun. Berkat kehebatan jimat sakti itu dia
diangkat menjadi Raja Pengemis oleh seluruh kaum
pengemis di delapan penjuru angin. Tapi kini tanpa ji-
mat itu kedudukannya sebagai raja pengemis juga bisa
runtuh. Karena hanya orang yang memegang jimat Li-
sus Sukmo sajalah yang dianggap memiliki kekuatan
paling hebat dan juga dianggap paling mampu melin-
dungi keamanan para kaum pengemis.
Diam berlama ditempat sesunyi itu ternyata
membuat perasaan si orang tua jadi tidak enak. Dia
memandang ke sekelilingnya. Saat itu kegelapan mulai
menyelimuti daerah sekitarnya.
Si orang tua menarik nafas lalu menghem-
buskannya kembali.
"Persoalanku dengan murid murtad itu me-
mang menyangkut masalah yang tidak bisa dianggap
sepele. Tapi aku sendiri sudah berjanji pada Gento un-
tuk membantu mencarikan pembunuh para pendekar
yang ikut pertemuan di Kiara Condong. Kurasa ini bu-
kan masalah yang gampang. Walaupun berat namun
aku tak mau menyalahi janji. Kurasa untuk sekarang
ini alangkah baiknya jika aku mencari pembunuh ke-
parat itu. Jika nanti persoalan ini telah selesai baru
kemudian kucari pula muridku. Menak Sangaji, kau
bakal menerima hukuman berat dariku. Bersusah
payah aku mendidikmu tidak pernah kusangka setelah
besar malah banyak menyusahkan aku!" rutuk Raja
Pengemis Tangan Akherat geram.
Laki-laki tua itu baru saja hendak melompat

turun dari atas batu ketika sayup-sayup dia menden-
gar suara langkah kaki yang diselingi dengan suara
orang bicara.
Timbul keinginan di hati laki-laki itu untuk
bersembunyi. Akan tetapi belum lagi niatnya terlaksa-
na di tempat itu muncul seorang laki-laki berpakaian
serba hitam. Laki-laki itu berwajah angker mengeri-
kan, berkepala besar luar biasa, sedangkan matanya
hanya merupakan dua buah garis mendatar. Mata
hampir lenyap karena pelupuk mata seolah terdesak
cairan yang terdapat di bagian atas kepalanya.
Walaupun Raja Pengemis merasa belum pernah
bertemu dengan sosok berkepala besar berpakaian
serba hitam ini. Paling tidak dia sudah dapat menduga
siapa gerangan adanya sosok manusia aneh berkepala
besar ini.
"Makhluk jahanam salah kaprah. Melihat ujud-
nya aku menjadi muak. Aku yakin sekali dialah orang-
nya yang telah membantai para pengawal pertemuan di
Kiara Condong." Membatin Raja Pengemis dalam hati.
"Manusia berpakaian kuning. Melihat penampi-
lanmu aku sudah dapat menduga siapa kiranya dirimu
ini. Kau pasti Raja Pengemis Tangan Akherat? Kebetu-
lan sekali, malam ini aku akan mendapat tambahan
otak segar. Ha ha ha. Kudengar kau mempunyai fiki-
ran dan pengalaman luas. Jika otakmu tergabung den-
gan otakku, kurasa bagiku akan terbuka jalan lain un-
tuk melakukan suatu pembalasan!"
"Manusia gila salah kaprah, bicara tak karuan
kejuntrungannya. Bukankah dirimu ini yang dikenal
dengan julukan Perampas Benak Kepala? Kau pula
manusianya yang telah membunuh para pengawal per-
temuan? Apakah ini berarti kau juga yang telah mem-
bantai para pendekar juga beberapa tokoh cabang atas

di dalam ruangan pertemuan?" hardik laki-laki itu
sengit. Perampas Benak Kepala dongakkan wajahnya
ke langit. Saat itu bulan mulai memancarkan ca-
hayanya yang kuning keemasan. Tawa sosok berkepala
besar itu bergema merobek kesunyian.
"Tidak layak kau ajukan pertanyaan seperti itu
kepadaku. Kelak kau akan mendapatkan jawaban per-
tanyaanmu setelah berada di neraka!" dengus Peram-
pas Benak Kepala.
Raja Pengemis pada dasarnya adalah manusia
yang paling tidak suka banyak bicara. Mendengar uca-
pan Perampas Benak Kepala darahnya laksana mendi-
dih, tubuhnya bergetar. Seumur hidup baru kali ini ra-
sanya dia merasa tidak dipandang sebelah mata oleh
orang lain,
"Agaknya inilah saatnya aku memenuhi janjiku
pada Gento. Aku yakin dia adalah pembunuh tengik
yang telah membunuh banyak tokoh di Kiara Condong.
Jika tidak kubereskan dia sekarang, kelak pasti akan
menimbulkan bencana lebih besar lagi!" rutuk Raja
Pengemis dalam hati. Sambil memandang sosok di de-
pannya dengan tatapan dingin Raja Pengemis berkata.
"Kau bicara tentang neraka? Seolah kau sudah menge-
tahui seluk-beluk tempat terkutuk itu. Apakah kau
yakin kau dapat mengirimkan ke sana?"
Perampas Benak Kepala tertawa terbahak-
bahak. Setiap tawanya bergema di udara, maka kepa-
lanya yang besar berkerenyutan tak mau diam tidak
ubahnya seperti denyut jantung.
***
11

Raja Pengemis diam-diam memperhatikan kea-
nehan itu. Hingga dia berkesimpulan agaknya bagian
kepala itu selain merupakan ancaman yang berbahaya
bagi lawannya juga adalah titik kelemahan Perampas
Benak Kepala. "Bagiku walaupun kau seorang raja, ta-
pi tetap tak memiliki arti apapun dihadapanku. Apa
susahnya mengirimkan ke sana? Sekarang juga aku
akan melakukannya!" berkata begitu Perampas Benak
Kepala melompat mundur. Kepala digelengkan siap
menyerang dengan menggunakan kekuatan kepalanya.
Di depan sana walaupun Raja Pengemis belum pernah
berhadapan dengan manusia aneh ini namun sudah
dapat menduga apa kiranya yang hendak dilakukan
oleh lawan. Sehingga sambil keluarkan teriakan keras
dia melesat ke depan, menyerbu sambil hantamkan
kedua tangannya sekaligus. Satu tangan menghantam
dada sedangkan tangan kirinya menghantam kepala,
masing-masing dengan pengerahan tenaga dalam pe-
nuh.
Perampas Benak Kepala tercekat tercekat, kon-
sentrasinya buyar namun dia melompat ke samping.
Hantaman di bagian dada luput, tapi tangan kiri lawan
tetap menghantam bagian atas kepalanya.
Duuuk!
Begitu tangan membentur kepala lawan, Raja
Pengemis tercekat. Kepala yang semula dikiranya me-
rupakan bagian titik kelemahan lawan ternyata keras-
nya melebihi batu. Bukan hanya itu saja, tangan Raja
Pengemis yang dipergunakan untuk menghantam ke-
pala terasa sakit luar biasa. Yang lebih mengejutkan
lagi tubuh Raja Pengemis terlempar ke belakang seolah

ada satu kekuatan hebat yang telah mencampakkan-
nya.
Dalam keadaan meluncur jungkir balik, Raja
Pengemis sambil memaki berusaha agar dia dapat ja-
tuh dengan kaki menyentuh tanah terlebih dahulu.
Walau goyah dan terhuyung, laki-laki itu memang da-
pat melakukan apa yang dia harapkan. Tapi pada saat
itu Perampas Benak Kepala telah menyerbu ke arah-
nya sambil menghantam Raja Pengemis dengan se-
rangkaian pukulan beruntun.
Deru angin yang ditumbulkan akibat pukulan
lawannya membuat Raja Pengemis yang baru berusaha
memperbaiki kuda-kudanya jadi terpelanting, jatuh
bergulingan, namun laksana kilat masih dalam kea-
daan menelungkup laki-laki itu melepaskan pukulan
yang tak kalah dahsyatnya.
Wuuut! Wut!
Saat Raja Pengemis mendorong kedua tangan-
nya menanggapi serangan lawan, maka detik itu pula
dari telapak tangan si orang tua memancarkan cahaya
kuning menyilaukan, berbentuk bulat seperti lingka-
ran. Perampas Benak Kepala jadi tercekat ketika mera-
sakan seluruh pukulan yang dilepaskannya tersedot ke
dalam cahaya lingkaran kuning yang semakin lama
bergerak maju ke arah lawannya. Sosok penyedot otak
tergontai, dia kembali hantamkan kedua tangannya ke
depan. Angin panas menderu, tapi seperti tadi pukulan
susulan yang dilepaskan lawan amblas tidak berbekas.
Malah kini tubuh Perampas Benak Kepala ikut terseret
mendekati lingkaran maut.
"Ilmu Penyedot Raga?!" Perampas Benak Kepala
keluarkan satu seruan. Wajahnya mendadak berubah
pucat. Tak bisa dia bayangkan bagaimana andai tu-
buhnya masuk dalam lingkaran cahaya kuning itu.

Bukan hanya tubuhnya saja yang amblas, tapi jiwanya
sendiri pasti tidak ketolongan.
Manusia cerdik seribu akal ini cepat alirkan te-
naga dalam ke bagian kaki. Setelah itu dua tangan di
dorong, bukan ke arah lingkaran cahaya yang mena-
riknya. Tapi ke arah tanah.
Wuuut!
Buuum!
Satu ledakan berdentum, tubuh Perampas Be-
nak Kepala melesat ke udara terdorong oleh tenaga
pukulannya sendiri juga gerakkan kaki yang menjejak
ke tanah. Selagi tubuhnya mengapung di udara. Maka
Perampas Benak Kepala kerahkan seluruh tenaga sakti
yang dia miliki ke bagian kepalanya. Ketika tubuhnya
meluncur ke bawah, kaki menjejak tanah. Maka pada
saat itu pula maka dari bagian depan maupun kedua
sisi atas telinganya membersih cahaya biru terang
yang semakin memanjang, berkelok-kelok seperti ular,
lalu menyerbu ke arah Raja Pengemis.
Buuum!
Satu ledakan menggelegar mengguncang tem-
pat itu saat salah satu sinar biru menghantam lingka-
ran sinar kuning yang terpancar dari pukulan Raja
Pengemis. Lingkaran sinar maut lenyap, sinar biru
yang menembusnya terus bergerak ke arah Raja Peni-
tis. Masih dalam keadaan terhuyung-huyung akibat
benturan yang terjadi, Raja Pengemis selamatkan diri
dari serangan tiga sinar yang mengejarnya dengan me-
lompat ke belakang. Sadar akan bahaya yang mengan-
camnya, Raja Penitis secepat kilat meraih cermin batu
segitiga yang terselip di bagian pinggang. Tangan yang
memegang cermin bergerak, cermin batu segitiga ber-
kiblat menangkis tiga cahaya yang kini bergerak ke
atas hendak menembus kepalanya.

Angin menderu, hawa aneh dari cermin berta-
bur di udara, cahaya putih yang memancar dari cermin
menyambar tiga sinar biru yang keluar dari kepala la-
wan.
Tes! Tes! Tes!
Terjadi benturan hebat, Raja Pengemis menda-
dak menjerit. Cermin batu segitiga yang dipergunakan
untuk menangkis jatuh terlepas dari genggamannya.
Sedangkan tangan Raja Pengemis mengepulkan asap
disertai terciumnya bau kulit hangus terbakar. Laki-
laki itu melihat bukan hanya tangannya saja yang
hangus, tapi senjata saktinya juga mengepulkan asap.
Di udara saat terjadi benturan antara ketiga sinar den-
gan cermin tadi sempat membuat ketiga sinar biru itu
bergetar, kemudian berbelok arah tapi kemudian kem-
bali meluncur menyerang Raja Pengemis.
"Jahanam tengik, celaka!" desis laki-laki itu.
Cepat sekali dia jatuhkan diri bergulingan hindari ter-
jangan sinar yang menghantam ke bagian kepalanya.
"Celaka. Andai jimat sakti itu ada ditanganku,"
desis Raja Pengemis putus asa ketika melihat ketiga
sinar terus memburunya kemanapun dia menghindar
selamatkan diri.
Agaknya laki-laki itu tak mungkin dapat melo-
loskan diri dari ancaman maut yang bersumber dari
serangan kepala lawannya itu. Beruntung pada saat
yang menegangkan itu dari arah belakang Raja Penge-
mis terdengar suara teriakan yang disertai dengan ber-
kelebatnya dua sosok bayangan ke arah laki-laki itu.
"Berani membuat sahabatku celaka, kubunuh
kau!" bersamaan dengan itu pula sinar merah dan si-
nar putih berkiblat. Bukan menghantam tiga sinar
maut tadi tapi melesat menghantam Perampas Benak
Kepala.

Si kepala besar tercekat, dalam keadaan ber-
konsentrasi seperti itu dia tak mungkin menangkis
pukulan yang datangnya tidak terduga ini. Walaupun
begitu dengan gugup dia dorongkan kedua tangannya
menyambuti.
Glaar!
Wuaaak!
Perampas Benak Kepala jatuh bergulingan, ter-
lempar sejauh tiga tombak. Tiga sinar maut yang me-
nyerang Raja Pengemis lenyap. Di depan sana si kepala
besar berusaha bangkit sambil merintih. Sedangkan
sekujur tubuhnya hitam gosong, namun dia masih da-
pat berdiri tegak sambil memandang ke depannya den-
gan wajah pucat hati tercekat.
Dia melihat di depan sana berdiri tegak seorang
pemuda berambut gondrong bertelanjang dada berce-
lana hitam. Seuntai kalung melingkar dilehernya. Di
samping si gondrong, disebelah kiri tak jauh dari Raja
Pengemis nampak seorang gadis cantik berpakaian
ungu memandang ke arahnya dengan tatap penuh ke-
bencian. Di tangan gadis itu tergenggam sebilah pe-
dang yang dilintangkan ke depan dada.
"Hampir saja nyawaku amblas ditangan keparat
kepala besar itu. Untung kau cepat datang Gento. Aku
berhutang nyawa padamu!" kata Raja Pengemis sambil
memungut kaca batu segitiga sambil memeriksa senja-
ta sakti itu. Ternyata cermin batu tidak mengalami ke-
rusakan walaupun tadi dipergunakan untuk menang-
kis benturan ketiga sinar sakti lawannya.
Gento tersenyum, namun tetap matanya tetap
tertuju lurus ke depan. Sesaat Pendekar Sakti Gento
Guyon dan Perampas Benak Kepala saling berpandan-
gan.
"Hati-hati, manusia itu sangat berbahaya!" Raja

Pengemis yang telah berdiri di belakang Gento membe-
ri bisikan.
"Inilah bangsatnya yang telah banyak melaku-
kan pembunuhan. Kejahatannya tak mungkin untuk
diampuni. Hem... kepala besar begitu rupa. Apakah
isinya benar-benar otak sungguhan atau cuma ampas
kotoran. Kepala di atas besar bukan main apakah ke-
pala yang dibawah juga besar? Ha ha ha!" kata Gento
disertai tawa tergelak-gelak.
Perampas Benak Kepala menggeram. Ucapan
pemuda itu membuat wajahnya menjadi merah padam.
"Pemuda edan! Diantara sekian banyak orang
yang kucari, kaulah yang paling kuinginkan. Jiwa bu-
sukmu yang kuanggap paling berharga saat ini. Seka-
rang lebih baik kau menyerah untuk kubawa ke satu
tempat!" hardik Perampas Benak Kepala tegas.
"Jangan ikuti apa yang dimintanya!" kata Sri-
widari pelan.
Gento tertawa bergelak. "Walaupun edan, tapi
aku belum gila untuk mengikuti apa yang dimintanya.
Malah malam ini aku seharusnya menagih hutang jiwa
orang-orang yang tidak berdosa yang telah terbunuh
ditangannya!" sahut Gento. Lalu dia bicara ditujukan
pada Perampas Benak Kepala. "Perampas Benak Kepa-
la. Kulihat kepalamu sudah penuh, melar hingga tu-
buhmu jadi tak seimbang. Atas nama kemanusiaan,
aku akan memecahkan kepala itu sekarang juga. Tapi
sebelum satu kebaikan ini kulakukan untukmu, kau
harus menjawab pertanyaanku, kau melakukan segala
kejahatan ini untuk siapa?" tanya si pemuda.
Perampas Benak Kepala menanggapi perta-
nyaan Gento dengan tawa panjang. "Nantinya kau pas-
ti akan tahu jawaban yang kau minta bila otakmu te-
lah menyatu dalam kepalaku!" jawab laki-laki itu sing

kat.
"Begitu. Mengingat otakku besar, mana mung-
kin dapat memasuki kepalamu. Karena itu aku harus
membelahnya dulu!" sahut Gento. Dalam hati dia ber-
kata. "Dia tidak mau mengatakan apa yang kuingin-
kan. Sekarang tinggal memastikan jika ternyata nanti
dia tidak memiliki ilmu pukulan Beracun berarti selain
dia masih ada orang lain yang bertanggung jawab da-
lam pembunuhan itu!"
"Pemuda edan, kau diam. Apakah ini berarti
kau telah siap menyerahkan kepalamu?" teriak Peram-
pas Benak Kepala. Dalam hati pula dia berkata. "Aku
akan mengacaukan perhatian pemuda ini. Akan kuse-
rang mereka bertiga sekaligus, terlebih-lebih gadis itu.
Dari sinar matanya aku melihat gadis berbaju ungu itu
menaruh rasa kasih yang begitu besar pada Gento.
Hmm."
"Aku telah siap, kepala besar. Mengapa kau ti-
dak segera bertindak!" sahut Gento.
Perampas Benak Kepala keluarkan suara
menggerung. Laksana kilat tubuhnya melesat ke de-
pan, lancarkan satu serangan menggeledek ke arah
pemuda itu sambil lepaskan tendangan beruntun.
Dengan mengandalkan jurus Congcorang Mabuk, Gen-
to hindari serangan lawan, sementara tubuhnya nam-
pak menghuyung tak karuan, dua tangan digerakkan
ke depan menangkis serangan lawan. Perampas Benak
Kepala menemui satu kenyataan tak satupun serangan
ganas yang dilancarkannya mengenai sasaran yang dia
harapkan. Si banyak akal ini kemudian melompat ke
udara. Begitu tubuhnya mengambang kakinya berpu-
tar menyapu kepala Gento. Gento cepat tundukkan
kepalanya, kemudian melompat mundur seperti orang
mau jatuh, tapi cepat menghantam ke atas dengan pu

kulan Dewa Menangis Iblis Tertawa. Pukulan ini ada-
lah warisan gurunya Gentong Ketawa. Sinar merah
berkiblat, menderu di udara lalu menghantam kaki la-
wannya. Hantaman keras dibagian kaki membuat la-
wannya terpental, menjerit, lalu jatuh terbanting se-
jauh dua tombak. Perampas Benak Kepala meringis
kesakitan, kedua kakinya terasa panas seperti ter-
panggang. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang men-
deranya dia berjumpalitan begitu rupa, sehingga kini
dia dapat berdiri tegak dan langsung kerahkan tenaga
saktinya ke bagian kepala siap melancarkan serangan
mautnya.
"Gento, hati-hati. Dia hendak mengerahkan si-
nar penyedot otak dari kepalanya." Satu suara berseru
memperingatkan. Dan yang baru bicara tadi adalah
sahabatnya Raja Pengemis.
Gento maklum betapa berbahayanya jika lawan
menggunakan kekuatan kepalanya. Masih dengan
menggunakan rangkaian jurus Congcorang Mabuk
pemuda itu segera lakukan satu gerakan yang mem-
buat tubuhnya melesat ke arah lawan. Dua tangan lalu
dihantamkan ke bagian kepala
Buuuk!
Hantaman keras tidak membuat lawannya ja-
tuh, kepala itu juga tidak bergeming. Malah Gento me-
rasakan tangannya seperti menghantam batu, sedang-
kan tubuhnya seperti dilemparkan ke belakang.
Pendekar Sakti Gento Guyon jatuh terduduk.
Seolah tak merasakan suatu akibat apapun dia bang-
kit berdiri, memandang ke depan dengan mata mende-
lik tapi siap melancarkan pukulan Dewa Awan Menge-
jar Iblis. Ilmu pukulan ini didapatnya dari Tabib Setan.
Sekejab saja kedua tangan Gento telah berubah me-
mutih laksana perak hingga kebagian pangkal lengan.

Laksana kilat didahului dengan teriakan keras si pe-
muda melompat sekaligus hantamkan dua pukulannya
ke arah lawan.
Cahaya putih menyilaukan menyambar di uda-
ra, melesat deras ke arah Perampas Benak Kepala. Ta-
pi sinar itu begitu hampir menyentuh tubuh lawannya
sekonyong-konyong terhenti seakan ada tembok gaib
yang menahannya. Sejalan dengan tertahannya puku-
lan Gento dari kepala lawan membersit keluar sinar bi-
ru. Sinar itu bukan sana membuat pukulan Gento ter-
sedot lenyap dalam kepala lawan tapi juga kini menye-
rang Gento, Sriwidari dan Raja Pengemis yang berjaga-
jaga tak jauh di belakangnya. Raja Pengemis yang su-
dah mengetahui kehebatan ilmu lawannya ini dengan
pengerahan tenaga dalam penuh langsung kiblatkan
cermin batu segitiga ditangannya. Sehingga sinar maut
yang hendak menjebol batok kepalanya itu membelok
ke arah kiri menghantam pohon besar mengeluarkan
suara berdentum. Pohon hangus roboh mengeluarkan
suara berisik.
Sedangkan Sriwidari sendiri begitu melihat si-
nar biru yang memancar dari kepala lawan segera kib-
latkan pedangnya menangkis, tapi dia terkejut ketika
melihat kenyataan pedang yang dipergunakan untuk
menangkis langsung meleleh. Malah sebagian sinar te-
rus menyerbu ke arah kepalanya. Si gadis tercekat,
mencoba selamatkan diri dari jangkauan sinar dengan
melompat ke belakang. Sayang gerakannya kalah ce-
pat. Dilain saat terdengar suara letupan mengerikan
yang disertai jeritan Sriwidari. Raja Pengemis yang
hendak menolong gadis itu tak dapat lakukan niatnya
karena pada saat itu sinar biru yang datang kemudian
kembali menyerangnya. Tak tertolong lagi Sriwidari
terbanting roboh, kepala hancur mengerikan, isi otak

nya bertaburan.
Gento yang melihat semua itu keluarkan suara
raungan marah. Tapi dia sendiri saat itu juga sedang
berada dalam posisi yang sulit, apalagi sedikitnya ada
enam sinar maut yang menyerangnya dari enam juru-
san. Kalang kabut sambil keluarkan keringat dingin
Gento jatuhkan diri ke tanah, bergulingan lalu mele-
paskan pukulan saktinya secara bertubi-tubi ke arah
lawan. Seperti tadi pukulan yang dilepaskannya hanya
sia-sia, tersedot amblas ke dalam sinar biru. Dalam
keadaan diri terancam, bahaya besar begitu rupa ada
keinginan di hati si pemuda untuk menggunakan gada
saktinya. Tapi semua itu akan memakan waktu. Tak
ada jalan lain, dia teringat pada kalung Batu Raja Lan-
git pemberian Manusia Seribu Tahun. Dia pun lalu sa-
lurkan tenaga ke dada, setelah itu dia mengusap mata
kalung tiga kali sambil membayangkan wajah Manusia
Seribu Tahun.
Gento berteriak. "Hantam bagian titik kelema-
han manusia jahanam itu!" Batu bergetar, sinar putih
menyilaukan mata membersit, berkiblat di udara me-
mancar laksana seterang sinar matahari lalu menderu
laksana gelombang kilat menghantam sisi kepala Pe-
rampas Benak Kepala.
Blaaam! Jeeees!
Satu ledakan berdentum terdengar disertai
dengan bunyi sesuatu seperti kulit kepala yang bocor
ditembus mata pedang. Di depan sana terdengar suara
jeritan menyayat. Lawan terpelanting roboh, sisi atas
telinga kirinya robek besar. Dari bagian yang robek itu-
lah darah dan cairan otak menyembur keluar. Roboh-
nya Perampas Benak Kepala membuat sinar maut-
maut yang menyerang Gento lenyap, begitu pula sinar
yang menyerang Raja Pengemis.

Di depan sana lawan merintih, semburan otak
semakin bertambah banyak seolah bendungan anak
sungai yang jebol. Dengan menyemburnya cairan otak
maka kepala Perampas Benak Kepala berangsur men-
gecil menyusut dan kembali ke ukuran normal.
Gento tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia se-
gera melompat ke arah lawan, satu tangan ditekankan
ke arah leher. Dari mulutnya keluar satu pertanyaan
disela-sela dengus nafas dan erangan marah. "Katakan
siapa yang telah menyuruhmu melakukan semua ini?"
Sosok laki-laki itu mengerang, kepalanya yang
keriput mengecil menggeleng. Gento memperkeras ce-
kikannya pada leher lawan.
"Cepat katakan siapa orang itu?" hardik Gento
sengit. Sekali lagi lawan gelengkan kepala. Cekikan
Gento yang keras membuat kematian Perampas Benak
Kepala semakin bertambah cepat.
"Katakan... katakan...!" teriak pemuda itu lagi.
Percuma saja dia berteriak. Karena nyawa lawannya
telah amblas dalam cengkeraman maut.
"Gento sahabatku sudahlah. Agaknya kau ha-
rus berusaha lebih keras lagi untuk memecahkan mis-
teri pembunuhan ini. Sekarang sebaiknya kita urus
mayat sahabatmu." Kata Raja Pengemis.
Ucapan orang tua itu mengingatkan Gento pada
Sriwidari. Dia bangkit berdiri. Masih dengan perasaan
marah dan kecewa Gento hampiri Sriwidari. Pemuda
itu tercengang, mata membelalak melihat betapa kepa-
la sahabatnya hancur mengerikan sedangkan benak-
nya bertaburan.
"Sri... walah... Sriwidari, mengapa segalanya
berakhir begini?" desis Gento dengan perasaan sedih,
tanpa sadar dia teteskan air mata. "Jahanam itu telah
pun binasa, tapi aku yakin masih ada yang lain. Saha

batku aku bersumpah akan mencari bangsat itu. Akan
kubunuh dia agar arwahmu tidak penasaran!" desis
Gento kemudian. Melihat bagian kepala si gadis kema-
rahan Gento makin meluap, untuk pertama kalinya
dalam hidup dia seolah merasa kehilangan, kehilangan
sesuatu yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
"Sebaiknya kita kuburkan dia!" kata Raja Pen-
gemis yang diam-diam merasa berterima kasih pada
pemuda itu karena telah menyelamatkan dirinya.
"Baiklah paman. Tolong bantu aku!" sahut Gen-
to. Dengan tubuh terasa lunglai dia membantu Raja
Pengemis mengangkat jenazah Sriwidari. Perlahan ke-
duanya lalu tinggalkan tempat itu.


                        TAMAT


SEGERA TERBIT !!!
MBAH PETE

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung Hari Ini

Cari Blog Ini

Translate

Penting Buat Kita Sebagai Hamba Allah

QS. Al-Ankabut (29): 45 "Bacalah kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Menjelaskan fungsi salat sebagai pencegah maksiat).

Mengenai Saya

Foto saya
palembang-indonesia, sumatera selatan, Indonesia
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game