1
Dangau kecil itu terletak di atas telaga, bertiang
bambu beratap rumbia kering. Di atas bagian atap ter-
dapat lubang empat persegi mungkin gunanya sebagai
jalan keluar masuknya udara, bisa jadi juga merupa-
kan sebuah jendela merangkap pintu mengingat keem-
pat sisi dinding tertutup rapat dan tidak terlihat
adanya pintu di keempat bagian dinding dangau terse-
but.
Saat itu masih sangat pagi, keadaan di sekelil-
ing telaga masih terang-terang tanah. Dalam kesu-
nyian pagi yang tenang dari dalam dangau satu suara
berucap. "Nyana, kapan pertemuan para tokoh itu ber-
langsung? Saat ini hari apa, tanggal dan malam atau
sudah siang?"
Lalu ada suara orang batuk-batuk kecil disertai
suara nafas menguik. Dangau di atas telaga bergoyang
keras. Selanjutnya terdengar suara kecil menjawab.
"Kalau kau bertanya hari, mungkin ini hari Rabu, ka-
lau mengenai tanggal. Mana aku tahu. Sejak kecil aku
tak pernah belajar menghitung, otakku bebal. Selain
itu guruku cerewet, setiap melakukan kesalahan kepa-
la langsung di jitak. Lihat saja kepalaku banyak sekali
pitaknya.
Orang yang ajukan pertanyaan menarik nafas,
suasana di dalam dangau kembali berubah sunyi.
"Nyana, kalau tak salah sekarang sudah pagi. Tidak
bisa tidak kita harus pergi ke Kiara Condong. Kau ha-
rus ikut denganku, kau ku dukung di bahu ku. Aku
membutuhkan penunjuk jalan."
"Sekarang memang sudah pagi. Aku memaklu-
mi keadaanmu, tubuh kurus kering, tangan dan kaki
begitu juga hanya perutmu saja yang gendut besar se
perti kerbau bunting. Tapi apa perlunya kita kesana?
Orang seperti kita tak dibutuhkan disana, bahkan me-
reka, para tokoh yang mengadakan pertemuan sama
sekali tak memandang muka pada kita." menyahuti
orang yang di panggil Nyana.
"Manusia selalu memandang orang lain dari se-
gi penampilannya, kedudukan juga hartanya. Kita
kaum segolongan dengan mereka. Biarpun mereka
bersikap seperti itu, namun aku merasa perlu untuk
ikut menyumbangkan tenaga. Apa yang akan terjadi
adalah peristiwa besar. Dan belum tentu setiap niat
baik disambut dengan baik, terlebih-lebih oleh kaum
golongan hitam. Mereka pasti tidak suka hal itu terja-
di." kata yang pertama tadi.
Terdengar suara tawa di tengah desah nafas
yang tersendat. "Sapa, kita ini kaum cacat. Badanku
sehat walaupun sedikit bengek, tapi kakiku buntung.
Sedangkan kau, kaki dan tanganmu kurus kering, pe-
rut besar seperti orang bunting, tapi matamu buta.
Sungguhpun begitu jika memang itu kau punya mau
aku hanya mengikuti saja. Yang terpenting kau harus
menggendong aku di atas bahumu. Ha ha ha." kata
Nyana diiringi tawa bergelak.
"Seperti dulu. Aku yang mendukung kau yang
menjadi penunjuk jalan! Sekarang kau naik ke bahu
ku!"
Tak ada jawaban, hanya tawa yang terdengar
disertai guncangan keras pada dangau. Setelah itu ter-
dengar suara menderu dari bagian atap dangau yang
terbuka seperti jendela melesat dua sosok tubuh yang
saling menempel satu sama lain. Enak saja dua sosok
serba kuning yang saling menempel itu salah satunya
lakukan gerakan berjumpalitan ke tepi telaga. Begitu si
kurus ceking yang mendukung si gemuk berkaki bun-
tung jejakkan kaki di tanah di tepi telaga, maka dan
gau yang ditinggalkannya pun roboh.
"Aku seperti mendengar suara orang menga-
muk di tengah telaga. Saudaraku Nyana coba katakan
apa yang terjadi padaku!" tanya si kurus bertangan,
kaki kecil berperut buncit pada laki-laki sebaya yang
duduk di atas bahunya.
Nyana tersenyum mendengar pertanyaan Sapa.
Dengan cepat lalu menoleh ke arah telaga dan menja-
wab. "Tak ada orang yang berkelahi, dugaanmu nga-
wur. Yang kulihat tempat tinggal kita roboh tercerai
berai. Sekarang baiknya kita menuju ke selatan telaga
ini. Dari ujung sebelah selatan sana ada jalan menuju
ke Kiara Condong."
"Baiklah," kata laki-laki buta. Enak saja dia me-
langkahkan kaki. Tapi langkahnya kemudian terhenti
begitu si gemuk yang duduk di bahunya menepuk ba-
gian kepalanya. "Ada apa lagi?" tanya Sapa.
"Mengapa kau menuju ke arah barat. Memang-
nya kau mau buang hajat? Kalau mau ke selatan, pu-
tar tubuhmu satu langkah ke sebelah kanan." ujar
Nyana.
Si kurus kering berperut buncit Sapa mengge-
rutu. "Kau sudah tahu biar mataku ini melek tapi tak
bisa melihat. Mana aku bisa membedakan selatan uta-
ra?" kata Sapa, dia lalu memutar langkah menghadap
ke kanan. Seperti tadi baru beberapa langkah dia me-
nindak Nyana yang jadi penunjuk jalan kembali mene-
puk kepala Sapa. Si buta ini tentu saja jadi kesal siap
mendamprat. Akan tetapi Nyana sudah berbisik dekat
telinganya.
"Ssst... jangan berisik. Aku melihat sesuatu....!"
"Sesuatu apa? Katakan cepat!" desak Sapa ti-
dak sabar.
"Aku...aku...!" suara Nyana terbata-bata seperti
ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya. Sepa
sang mata yang melek namun tak dapat melihat itu
berkedip-kedip. "Hemm aku merasakan jantungmu
berdetak lebih cepat, darah berdesir. Kakimu yang
buntung terasa gemetar, lalu ku rasakan pula anumu
bergerak-gerak. Aku yakin kau melihat suatu peman-
dangan bagus. Pemandangan indah memiliki nyawa,
katakan padaku!"
"Kau betul. Saat ini aku melihat perempuan
yang sedang mandi." kata Nyana.
"Hah...!" Sapa belalakkan matanya. Sudut seke-
liling mata si buta berkeriapan. Sepasang matanya
timbul tenggelam seperti tambur yang dipukul seorang
algojo. "Bagaimana rupanya, apakah dia mandi dalam
keadaan polos?" tanya Sapa ingin tahu.
"Kau betul."
"Cantik telanjang. Apakah mulus?" tanya si bu-
ta lagi sambil menelan ludahnya.
"Mulus... benar-benar mulus. Wajah lumayan
cantik, rambut tak begitu panjang. Hemm, indah be-
tul."
"Rasanya rugi aku jadi buta begini. Kalau tidak
aku tentu bisa ikutan melihat pemandangan itu." ujar
Sapa seakan menyesali kebutaannya.
"Rejekiku besar sejak dulu cuma rejekimu yang
kecil. Aduh mulusnya!" kata Nyana lagi. "Licin berkilat,
sungguh yang satu ini luar biasa sekali."
"Maksudmu... maksudmu pahanya licin?" Sapa
menelan ludah.
"Tidak, bukan? Malah bagian itu hitam?" Nyana
menyahuti.
Lagi-lagi mata buta Sapa mendelik.
"Jadi yang licin apanya?"
"Kepalanya yang botak sangat licin." kata Nya-
na. Laki-laki berkaki buntung itu kemudian tertawa
terbahak-bahak. Sapa unjukkan wajah cemberut tapi
otaknya berfikir. "Jangan-jangan dia....?" batin Sapa.
"Sapa. Apakah kau tak mau tanya bagian tu-
buhnya yang lain?"
Yang ditanya gelengkan kepala.
"Kau baru saja melakukan suatu kedustaan
padaku? Harusnya tadi aku tak menanggapi?"
Nyana tak dapat lagi menahan tawanya. Tawa
itu membuat tubuhnya berguncang keras hingga
membuat tubuh kurus kering Sapa yang mendukung-
nya ikut pula bergoyang.
"Kau betul Sapa. Yang kulihat dan kukatakan
padamu itu sebetulnya adalah monyet botak yang se-
dang mandi. Aku tak tahu apa monyet jantan apa mo-
nyet betina. Ha ha ha."
"Setan buntung sialan. Hari masih pagi kau su-
dah mengadali aku." damprat Sapa. Demikian jengkel-
nya dia sampai kemudian tanpa bicara lagi langsung
berlari dengan kecepatan luar biasa. Nyana yang jadi
penunjuk jalannya tentu saja jadi ketakutan dan men-
cengkeram rambut Sapa dengan erat sambil berteriak.
"Hei, hei. Larinya yang pelan. Belok kiri, jangan
ke kanan. Yang di sebelah kanan itu jurang. Nah belok
lagi ke kanan yang di sebelah kiri penuh onak duri."
Sapa mengomel panjang pendek. "Sialan, me-
mang sekarang kita sudah sampai dimana?"
"Baru di ujung telaga!" kata Nyana menyahuti.
"Berlari dari tadi baru sampai di ujung tela-
ga.?!" si buta delikkan matanya. "Nyana apakah kau
tak melihat atau mendengar ada orang yang mengikuti
kita sejak tadi?"
Si gendut berkaki buntung memandang ke se-
kelilingnya. Tapi dia tidak melihat suatu apapun terke-
cuali suara gemeretak ranting seperti terinjak sesuatu.
"Aneh, suaranya sudah kudengar, tapi orangnya sama
sekali belum kulihat?!" Nyana membatin dalam hati.
Laki-laki itu kemudian menepuk bahu Sapa memberi
isyarat agar melanjutkan perjalanan. Tapi setelah di-
tunggu Sapa tetap tak beranjak dari tempatnya berdiri.
"Orang itu tidak boleh dianggap angin lewat.
Aku merasa dia mengawasi kita terus. Aku yakin dia
bukan orang yang membawa tujuan baik." kata Sapa
lagi.
Nyana diam-diam mulai diliputi perasaan tidak
enak. Selagi Nyana memandang nyalang mencari ke
setiap penjuru sudut, maka pada saat itu pula satu
semak belukar di sebelah kirinya terkuak, satu kepala
tersembul. Muncul sosok tubuh berpakaian serba me-
rah. Belum lagi hilang rasa kaget di hati Nyana, sosok
berpakaian merah itu sudah berkelebat ke arah mere-
ka menghadang di tengah jalan.
Ternyata dia adalah seorang pemuda tampan,
kedua alis matanya hitam tebal. Mata mencorong ta-
jam menyorotkan keangkuhan dan kesombongan. Pe-
muda itu memandang ke arah Sapa dan Nyana bebe-
rapa jenak lamanya. Setelah itu sesungging senyum
meremehkan bermain di bibir si pemuda.
"Dua manusia cacat yang berjalan dengan tu-
buh tumpang tindih. Kalian hari ini harus merasa ber-
syukur karena telah bertemu dengan seorang majikan
besar. Nah, agar tidak mendapat kesulitan, sebaiknya
jawab pertanyaanku!" kata pemuda itu dengan sikap
angkuh.
Baik Sapa mau pun Nyana yang di dunia persi-
latan di kenal dengan julukan Sepasang Dewa Berwa-
jah Ganda jadi kaget mendengar ucapan orang. Nyana
yang duduk di atas bahu saudaranya memandang
mendelik pada pemuda di depannya. Sebaliknya Sapa
yang tidak bisa melihat ajukan pertanyaan dengan su-
ara perlahan. "Siapa kunyuk gendeng yang mengaku
sebagai majikan kita itu Nyana? Katakan bagaimana
ciri-cirinya!"
"Masih sangat muda, pakaian merah rambut
panjang, alis tebal. Sedangkan tatapan matanya me-
nyimpan segala kekejian yang dimiliki setan!" jawab
Nyana.
"Dia tak pantas menjadi majikan kita, dia lebih
pantas menjadi mandor di neraka." kata Sapa menci-
bir.
Walau kedua orang ini bicara dengan suara
perlahan saja, namun semua itu tetap terdengar oleh
si baju merah dengan jelas. Hingga membuat wajah Si
pemuda berubah merah padam. "Dua manusia cacat
keparat. Sekali lagi kau bicara sembarangan. Maji-
kanmu ini tak akan memberi ampun." hardik si pemu-
da.
Bentakan itu membuat Sapa menjadi sangat
jengkel. Dia memberi isyarat pada Nyana berupa
guyangan bahu kiri. Tapi Nyana malah mengetuk ke-
pala Sapa yang botak sebagai tanda tak usah terlalu
cepat mengambil tindakan karena mereka sama sekali
belum mengenal siapa dan apa maksud tujuan pemu-
da itu.
"Majikan, mungkin kami akan memanggilmu
begitu. Tapi kau harus mengatakan siapa dirimu ini!"
ujar Nyana bersikap tenang namun curiga. Kedua pipi
si pemuda menggembung besar, rahangnya bergemele-
tukan sedangkan matanya mencorong marah. "Dua
kunyuk cacat celaka, kau tidak layak ajukan perta-
nyaan padaku. Aku Panji Anom yang patut bertanya,
sedangkan kalian harus menjawab mengerti?!" bentak
si baju merah yang ternyata Panji Anom Penggetar Ja-
gad.
Semakin bertambah mendidihlah Sapa men-
dengar dampratan itu. Tanpa sadar, saking marahnya
salah satu kaki dihentakkan ke batu. Batu itu hancur
berkeping-keping.
Melihat gelagat yang tidak baik ini Nyana lang-
sung berucap. "Maaf, kau jangan melotot seperti itu.
Saudaraku ini punya sakit aneh pada kakinya. Untuk
menghilangkan penyakit itu terkadang dia merasa per-
lu berbuat begitu." Apa yang dikatakan Nyana ini se-
mata-mata adalah untuk menghindari sesuatu yang ti-
dak diinginkan, karena pemuda itu kelihatannya bu-
kan pemuda sembarangan.
"Segala ilmu picisan, jika aku mau saat ini juga
aku sanggup membuat tubuh saudaramu itu berubah
menjadi serpihan debu. Sayang aku ada keperluan lain
yang sangat penting. Pertanyaanku hanya satu, dima-
nakah letak daerah Kiara Condong?"
Baik Sapa maupun Nyana diam-diam menjadi
kaget. Pemuda itu menanyakan daerah yang hendak
mereka tuju. Pasti ada sesuatu yang hendak diper-
buatnya. Sesuatu apa dan untuk apa? Semuanya ma-
sih tidak jelas. Tapi mereka sama meyakini apapun tu-
juan pemuda itu pasti membekal maksud-maksud
yang tidak baik.
"Kalian tidak tuli, mengapa tidak menjawab?"
tanya Panji Anom curiga juga geram.
"Aku yang akan menjawab. Daerah yang kau
tanyakan itu masih jauh." kata Sapa menyahuti.
"Mungkin kau harus melewati ujung dunia dan mele-
wati langit karena letak daerah yang kau tanyakan
adanya di neraka! Ha ha ha!" jawablah yang tak terdu-
ga ini bukan saja membuat Panji Anom melengak ka-
get, sebaliknya Nyana juga tak kalah kagetnya.
"Dasar buta mulutmu suka bicara ceroboh!"
sesal Nyana yang agaknya dapat membaca kehebatan
yang dimiliki oleh pemuda itu.
2
Kali ini Panji Anom sudah tak dapat lagi mem-
bendung kemarahannya. Didahului dengan bentakan
keras menggeledek dia kibaskan lengan bajunya. Dari
ujung lengan baju yang dikibaskan terdengar suara
menderu yang disertai menebarnya hawa panas mem-
bakar. Nyana jadi terkesima, namun dia cepat sekali
dorongkan kedua tangannya ke depan menyambuti se-
rangan lawan yang sangat berbahaya ini. Sebaliknya
Sapa yang buta begitu merasa ada hawa panas me-
nyambar tubuhnya langsung jatuhkan diri ke belakang
setelah jauh sebelumnya sempat lepaskan pukulan
yang sama.
Gerakan menjatuhkan diri ini diteruskan den-
gan serangkaian gerakan bergulung-gulung seperti ro-
da berputar. Dengan begitu sesekali tubuh Nyana be-
rada di atas lain saat berpindah ke bawah. Hebatnya
lagi tubuh dua bersaudara ini tetap saling menempel
dengan ketat satu sama lain.
Buuum! Buum!
Di belakang Sepasang Dewa Berwajah Ganda
ini terdengar suara ledakan berdentum.
Tubuh yang bergulung-gulung itu sempat ber-
getar. Di depan sana Panji Anom berdiri tegak dengan
kedua kaki terpentang. Dari bentrokan tenaga dalam
tadi dia sudah dapat mengukur kalau tenaga dalam
kedua lawannya ternyata jauh berada di bawah pemu-
da itu sendiri.
"Calon bangkai celaka. Hanya sedikit kau
punya kepandaian sekarang berani bertingkah di de-
panku. Tak ada jalan selamat terkecuali mampus!"
Dengan gerakan secepat walet menyambar Pan-
ji Anom melompat ke depan, dalam keadaan seperti itu
dia lepaskan satu tendangan menggeledek ke arah la-
wan.
Wuuut!
"Masuk ke air!" teriak Nyana begitu melihat ka-
ki lawan mendera punggungnya. Tapi sayang gerakan
pasangannya agak lamban, sehingga tanpa dapat di-
hindari lagi laki-laki itu jadi sasaran tendangan.
Dees!
"Walah... remuk... remuk punggungku!" pekik
Nyana kalang kabut. Herannya walau dia kena diten-
dang lawannya, tapi kakinya yang buntung masih saja
menempel di dada Sapa sehingga si kurus buta ikut
pula terkapar.
"Buta tolol, kau terlalu mengikuti perasaan hati
dan mulutmu. Kubilang kau jangan membuat perkara,
sebaliknya malah cari penyakit. Akibatnya kau lihat
sendiri!" rutuk Nyana sambil meringis kesakitan.
"Kau sendiri manusia tolol, mengapa mau saja
dihina orang!" dengus Sapa tak mau kalah. Dia sendiri
dengan cepat segera bangkit berdiri sedangkan saat itu
Panji Anom sambil berteriak keras langsung lepaskan
pukulan ke arah mereka.
"Kalian hidup tapi tak berguna bagi orang lain.
Sekarang lebih baik kalian berangkat ke neraka!" be-
lum lagi suara Panji Anom lenyap, dari telapak tan-
gan si pemuda yang telah berubah menghitam hingga
ke bagian siku melesat sinar hitam menggidikkan yang
langsung menghantam tubuh kedua lawannya. Sepa-
sang Dewa Berwajah Ganda tentu saja tidak tinggal di-
am. Begitu mereka melihat sinar hitam pekat meluruk
deras ke arah mereka keduanya langsung menghan-
tam menyambuti serangan lawan. Tapi kemudian me-
reka berubah kaget ketika mendapat kenyataan bahwa
pukulan yang mereka lepaskan bahkan saja tak sang-
gup membendung serangan lawan tapi juga amblas
tersedot ke dalam sinar merah itu.
"Selamatkan diri!" teriak Nyana memberi aba-
aba pada Sapa. Si kurus kering yang memang telah
menyadari adanya gelagat yang tidak baik ini langsung
saja jejakkan kakinya lakukan satu gerakan yang
membuat tubuh mereka melesat di udara. Tapi secepat
apapun dia bergerak lakukan tindakan penyelamatan
bagian bawah kakinya sampai sebatas pusar masih
sempat terkena sambaran serangan lawannya.
Jesss!
Sapa menjerit kesakitan, dia dan adiknya jatuh
tenggelam ke dalam telaga yang dalam. Dua sosok tu-
buh itu begitu menyentuh permukaan air langsung
tenggelam tidak timbul lagi. Panji Anom Penggetar Ja-
gad sunggingkan seringai sinis. Tapi dalam hati dia ju-
ga merasa kecewa karena tidak sempat mendapat ja-
waban dari apa yang dia tanyakan. "Dua kacoa cacat
itu sungguh manusia tak tahu penyakit. Mereka pasti
tak akan selamat setelah terkena pukulan Kutukan
Dalam Pusara." Fikir pemuda itu. Murid Begawan Panji
Kwalat itu terdiam sejurus lamanya, mata memandang
ke tengah telaga. Karena menganggap Sapa dan Nyana
benar-benar telah mati terkena pukulannya, maka
tanpa menunggu lebih lama lagi dia segera tinggalkan
tempat itu.
Hanya beberapa saat setelah Panji Anom berla-
lu di tepi telaga muncul seorang pemuda lain berambut
gondrong. Wajah pemuda itu cukup tampan bertelan-
jang dada dan bercelana hitam. Di bagian leher pemu-
da ini melingkar seuntai kalung bermata batu berben-
tuk bulat lonjong berwarna putih pudar agak kuning
kecoklatan.
Saat sampai di tepi telaga si gondrong yang bu-
kan lain adalah Gento Guyon ini langsung saja mem-
basuh mukanya. Setelah itu menyusul kedua tangan
baru kemudian bagian kaki. Di saat ia membasuh se-
bagian kaki Gento tanpa sengaja memandang ke ten-
gah telaga. Sepasang mata pemuda itu mendelik ketika
melihat air di tengah telaga nampak bergelombang he-
bat disertai gelembung-gelembung air yang semakin
lama banyak bermunculan dipermukaan air.
"Mahluk apakah yang ada di dalam telaga itu?
Apakah mungkin setan telaga munculkan diri me-
nyambut kehadiranku?" kata si gondrong seorang diri.
Belum juga hilang rasa heran di hati pemuda itu, di
atas muncul dua sosok tubuh berpakaian serba kun-
ing yang saling menempel satu sama lain. Begitu mun-
culkan diri salah seorang diantaranya sambil sembur-
kan air yang memenuhi rongga mulut langsung berka-
ta. "Masih untung kita memiliki ilmu Bernafas Dalam
Air. Kalau tidak bukan hanya tubuh jelek ini saja yang
amblas ditelan telaga, tapi nyawa juga bisa ikut tergu-
sur!"
"Walau buntung kaki kau memang masih be-
runtung. Tapi aku, tubuhku dan dada ke bawah seper-
ti remuk, sakitnya bukan main. Malah sebagian tu-
buhku sekarang ini tidak terasa seperti beku!" menya-
huti yang satunya lagi.
"Sekarang sebaiknya kita berenang ke tepi! Se-
mua penyakit harus kau tanggung sendiri karena ini
memang salahmu. Punya mulut suka bicara semba-
rangan!" kata yang kakinya menempel di bahu sauda-
ranya. Yang dimarahi hanya diam saja, mulut komat-
kamit entah apa yang dibaca.
Sementara mereka kemudian berenang menepi,
maka Gento yang berdiri tegak di tepi telaga nampak
melongo memperhatikan kedua orang yang berenang
dalam posisi menelentang itu.
Ketika si cacat Sapa dan Nyana tiba di tepi tela-
ga, orang ini jadi terkejut melihat kehadiran Gento di
tempat itu. Terhuyung-huyung Sapa yang selama ini
mendukung adiknya kemanapun mereka pergi menco-
ba berdiri. Tapi gagal, malah dia kemudian menjerit
dan tergelimpang roboh.
"Ada apa dengan dirimu, Sapa?" tanya Nyana
yang juga ikut terguling hingga dia terlepas dari pung-
gung si buta.
"Aduh, kakiku seperti lumpuh. Jahanam tadi
nampaknya sengaja membuat kakiku cacat seumur
hidup!" jawab Sapa.
Gento Guyon sendiri pertama melihat si cacat
kaki dan si buta mata ini sempat merasa prihatin juga
sedih. Namun. ia tak lagi mampu menahan gelak ta-
wanya ketika melihat mulai dari pusar hingga ke kaki
si kurus berperut besar bermata buta dalam keadaan
polos, alias telanjang. Kalaupun ada sisa-sisa celana
yang melekat ditubuhnya bagian sisa celana itu tidak
menutupi tempat yang seharusnya tertutupi.
"Ha ha ha. Semula aku menduga kalian dede-
mit penghuni telaga. Tidak tahunya hanya dua orang
sinting yang habis pelesiran di dalam telaga ini."
Nyana yang dapat melihat langsung meman-
dang tajam pada Gento. Yang dipandang malah terta-
wa tergelak-gelak. Sedangkan Sapa masih dalam kea-
daan menelentang hanya dapat kedap-kedipkan ma-
tanya yang putih buta.
"Nyana....!" Si tangan dan kaki kurus berperut
buncit besar membuka mulut. "Siapa orang yang bera-
da di depan kita saat ini. Mendengar suaranya aku ya-
kin dia bukan pemuda yang membuat kakiku jadi se-
perti ini. Jika tadi kita hampir mendapat celaka, aku
khawatir sekarang kita bertemu dengan orang gila."
Mendengar ucapan Sapa, Gento bukannya ma-
rah tapi malah tertawa sampai ada air mata yang ke-
luar dari matanya.
Sambil duduk Nyana kembali pandangi si gon-
drong. "Sapa, kurasa dia memang orang kurang waras.
Orang ini memakai kalung batu."
"Kalung... kalung. Biasanya yang diberi kalung
hanya binatang penjaga berkaki empat. Coba kau lihat
belakang punggung apakah kau melihat ada ekor tum-
buh di situ?" tanya Sapa lagi.
Si pemuda langsung katupkan mulutnya begitu
mendengar ucapan si buta berbadan kurus kering.
Sementara itu sambil merangkak Nyana sudah mengi-
tari Gento seperti orang yang memeriksa sesuatu.
"Bagaimana ekornya ada tidak"
"Tidak, mungkin sengaja disembunyikan di ba-
lik celana belakang!" sahut Nyana. Laki-laki itu kemu-
dian tertawa. Walaupun Gento sempat dibuat jengkel
melihat ulah si gemuk berkaki buntung, namun meli-
hat orang ini tertawa dia juga ikutan tertawa sambil
menunjuk-nunjuk ke arah Sapa yang terlentang. Keti-
ka Nyana ikut memandang ke arah yang ditunjuk Gen-
to, maka laki-laki itu delikkan mata dan jadi kalang
kabut sibuk mencari apa saja yang dapat diperguna-
kan untuk menutup aurat Sapa.
Kiranya laki-laki itu sendiri dengan kedua tan-
gan terpaksa mendekap selangkangannya.
"Apa kukatakan, dasar kalian berdua orang sin-
ting. Orang lain diperiksa, diteliti. Diri sendiri auratnya
sampai kemana-mana. Ha ha ha!" kata Gento disertai
tawa tergelak-gelak.
Selagi pemuda itu tertawa, tiba-tiba terdengar
suara bentakan. "Dasar edan, apa yang kau perguna-
kan untuk menutup ini ku?" hardik Sapa pada adik-
nya.
"Aku tidak menemukan pakaian, jadi kupakai
saja daun talas hutan untuk menutupi itunya!" jawab
Nyana gugup.
Sapa jadi kelojotan, tangannya terus mengga-
ruk bagian yang terkena getah daun talas.
"Sialan...sialan.....! Kau saudara kurang ajar.
Lihat, aku jadi kegatalan. Akh...akh....!"
Nyana jadi bingung tak tahu harus berbuat
apa. Gento masih dengan tertawa-tawa keluarkan se-
suatu dari balik saku celananya. Benda yang ternyata
hanya sebelah dari bagian celana itu diberikan pada
Nyana. Laki-laki berkaki buntung itu menerimanya.
Tapi begitu disingkapkan dia jadi belalakkan mata dan
memandang murid si gendut Gentong Ketawa dengan
terheran-heran.
Seolah mengerti apa yang difikirkan Nyana
enak saja Gento menjawab. "Bagian dari celana itu me-
rupakan celana wasiat. Beruntung saudaramu dapat
yang kanan. Sedangkan yang sebelah kiri dibawa oleh
guruku entah kemana. Jika langsung dipakai cuma
yang di sebelah kanan saja yang tertutup. Sedangkan
yang sebelah kiri mengintip keluar. Sebaliknya di ro-
bek saja, biar bisa tertutup semua. Ha ha ha."
"Pemuda edan sialan, pemberianmu ini tak da-
pat kami lupakan. Kelak kami Sepasang Dewa Berwa-
jah Ganda pasti akan membalasnya!" kata Sapa. Se-
dangkan Nyana dengan muka cemberut sibuk merobek
sempalan celana itu hingga menjadi kain yang lebar.
Gento Guyon sendiri begitu mendengar Sapa
menyebut julukan mereka tak dapat menahan se-
nyum. "Kalian berdua menyandang gelar Dewa. Tapi
kurasa kalian adalah dewa yang sengsara. Buat apa
memakai gelar seperti itu jika harus hidup seperti ini?
Yang satu badannya gemuk, tapi kaki buntung sesak
nafas. Sedangkan yang satunya lagi badan kurus ker-
ing, tangan kecil kaki kecil, cuma perut yang besar ca-
cingan. Sudah itu mata buta lagi. Sungguh baru hari
ini aku melihat dewa, tapi tiba-tiba saja hatiku jadi se
dih dan menjadi iba. Ha ha ha!" kata Gento,
Saat itu Sapa sudah melilitkan celana yang te-
lah dirobek menjadi kain hingga bentuknya seperti sa-
rung. Tapi laki-laki berumur tiga puluhan ini masih
belum sanggup menggerakkan badan mulai dari dada
ke bawah.
"Pemuda gila, kau boleh bicara apa saja. Kare-
na kau telah menanam satu budi besar jadi aku tak
ambil perduli segala ucapanmu. Sekarang kau jawab
siapa namamu dan kau hendak kemana?" tanya Sapa.
"Kau ingin tahu siapa namaku. Dengar baik-
baik paman berdua, namaku Gento." jawab si pemuda
serius. "Sedangkan mengenai tujuanku, aku tak dapat
mengatakannya. Lalu kalian sendiri mengapa sampai
tenggelam di dalam telaga? Apakah ingin menjadi
ikan? Ha ha ha."
Melihat sikap Gento yang ramah, walau tingkah
lakunya seperti orang sinting, Sepasang Dewa Berwa-
jah Ganda jadi cepat akrab. Si kaki buntung kemudian
menyahuti. "Namaku Nyana, sedangkan saudaraku itu
Sapa. Kami sebenarnya hendak ke Kiara Condong. Ta-
pi baru saja hendak melakukan perjalanan kami diha-
dang oleh seorang pemuda gila berambut gondrong."
jelas Nyana.
"Gila berambut gondrong?" desis Gento. "Ba-
gaimana ciri-cirinya.?" tanya Gento beberapa saat ke-
mudian setelah berdiam diri cukup lama.
"Pemuda itu berpakaian merah, lagak bicaranya
penuh kesombongan. Dia sangat angkuh bahkan min-
ta pada kami untuk memanggilnya majikan!" jelas Sa-
pa.
"Berpakaian merah, sombong." gumam si pe-
muda. Wajahnya mendadak berubah memerah, se-
dangkan mata terpentang lebar. "Siapa lagi bangsat
dengan ciri-ciri seperti itu. Pasti dia! Panji Anom Peng
getar Jagad alias Lira Watu Sasangka alias Begawan
Muda. Bukankah terakhir kali aku bertemu dia terluka
parah akibat hantaman senjata Bidadari Biru. Kemu-
dian kulihat seseorang melarikannya. Bagaimana
mungkin dia dapat sembuh secepat itu. Padahal dia
terkena senjata ampuh Bintang Penebar Petaka. Jika
tidak ditolong oleh seseorang yang berkepandaian san-
gat tinggi. Tapi mengapa dia muncul di sini?" fikir Gen-
to. Dia terdiam, mencoba berfikir memutar otak. Satu
kemungkinan yang pasti. "Aku tahu sekarang. Dia pas-
ti hendak ke Kiara Condong. Bukankah pertemuan pa-
ra pendekar dan tokoh-tokoh rimba persilatan akan
berlangsung tidak lama lagi?"
"Gento, kulihat wajahmu pucat, mata mendelik,
bibir bergetar. Apakah kau mengenal siapa adanya
pemuda itu?" tanya Nyana nampak heran sekali.
"Pada bedebah yang satu itu aku bukan saja
kenal, tapi malah sudah pernah bentrok dengannya.
Pemuda itu bernama Panji Anom. Dia manusia yang
memiliki seribu akal licik otaknya dipenuhi dengan
berbagai macam rencana jahat lagi keji. Disamping itu
ilmunya sangat tinggi. Masih untung kalian dapat me-
nyelamatkan diri." ujar Gento.
"Saudaraku Nyana memang selamat, kalau pun
ada kekurangan pada kakinya itu terjadi sejak dulu.
Sedangkan aku, kakiku sekarang ini terus lumpuh. Ji-
ka aku lumpuh berarti kami semua tak dapat pergi
kemanapun. Karena saudaraku Nyana ini biasanya
cuma duduk d bahu ku!"
"Kalau saudara bisanya cuma menjadi benalu,
lebih baik suruh mati atau bunuh diri saja!" kata Gen-
to menanggapi. Walaupun begitu dia tetap mengham-
piri Sapa. Sejenak dia memeriksa bagian tubuh Sapa
yang dingin bagaikan es tanpa menghiraukan Nyana
yang memandangnya dengan mata mendelik karena
ucapan Gento tadi.
"Paman terkena pukulan berbahaya, dalam
waktu tiga hari mendatang jika tidak cepat menda-
patkan pertolongan bukan hanya kaki paman saja
yang lumpuh tapi juga sekujur tubuh paman akan
mengalami kelumpuhan. Sekarang aku hanya bisa
memberikan obat. Obat ini warisan Tabib Setan. Jika
tabib itu tidak berdusta, maka jiwamu selamat. Jika
dia ternyata berbohong, mungkin paman Nyana harus
membuat selamatan tiga hari mendatang? aku rasanya
tak perlu bertanya, kemana Panji Anom pergi. Aku ha-
rus menyusulnya ke Kiara Condong!" kata Gento. Sete-
lah memberikan tiga butir pil berwarna hitam merah
dan biru cepat sekali Gento berdiri. Sekali berkelebat
tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata.
"Hi Gento... tunggu. Pil ini obat atau racun?"
tanya Nyana dengan suara keras. Di kejauhan sana
terdengar suara tawa tergelak-gelak.
"Pastinya aku tak tahu, entah racun entah ob-
at. Yang aku tahu Tabib Setan itu tabib gila. Terka-
dang racun dibilangnya obat, terkadang obat dia bilang
racun. Tapi aku yakin yang kuberikan itu adalah salah
satu dari yang aku sebutkan! Ha ha ha!"
"Bocah edan sialan tadi sungguh membuat aku
jadi bingung dan takut!" keluh Nyana. Ketika dia me-
mandang obat itu matanya mendelik seperti melihat
setan.
"Bocah itu pasti tidak berdusta. Berikan obat
itu, masukkan ke dalam mulutku. Kalau umur pendek
aku pasti mati setelah makan obat ini." kata Sapa tan-
pa merasa ragu sedikitpun.
Nyana dengan berat hati terpaksa masukkan ti-
ga pil pemberian Gento ke dalam mulut Sapa. Begitu
tiga butir obat melewati tenggorokkannya, Sapa segera
merasakan tenggorokan dan perutnya terasa panas se
perti terbakar. Sapa menjerit-jerit. Hawa panas terus
menjalar ke sekujur tubuhnya. Sedangkan di bagian
dada ke bawah satu keanehan terjadi. Bagian tubuh
yang terasa lumpuh itu mengepulkan asap tipis ber-
warna kehitam-hitaman. Seketika itu pula Sapa mera-
sakan kedua kakinya mulai dapat digerakkan. Bahkan
sebagian tubuh yang berubah dingin laksana es itu ki-
ni terasa hangat kembali. Si buta Sapa berseru kegi-
rangan.
"Aku bisa sembuh... aku bisa sembuh. Bocah
edan itu tidak berdusta. Dia hebat, obatnya mujarab!"
serunya dengan wajah penuh kegirangan.
"Syukur aku turut merasa senang. Dengan be-
gitu kau bisa menggendongku lagi. Ha ha ha!" sahut
Nyana ikut girang pula.
3
Di samping tebing batu si kakek berambut pu-
tih riap-riapan itu sandarkan tubuhnya. Nafasnya
agak mengengah. Sejak bentrok dengan Raja Pengemis
kakek tua bermata buta ini menang mengalami luka
dalam yang cukup berat. Masih beruntung dia ketika
lawan mengerahkan ilmu Ajian Penyedot Raga, si ka-
kek langsung melepaskan sinar maut yang keluar dari
mata tunggalnya yang menempel di bagian jari telun-
juk tangan kanan. Sehingga sebelum tubuhnya terse-
dot oleh pengaruh kesaktian ilmu lawan dia masih da-
pat selamatkan diri. Walaupun dia selamat dan berha-
sil melarikan diri, tapi si kakek buta atau yang dikenal
dengan nama Si Mata Aneh ini mengalami guncangan
dibagian dalam. Sampai kini luka dalam itu masih te-
rasa nyeri, walaupun dia telah berusaha menyembuh-
kannya melalui penyaluran tenaga dalam.
Si Mata Aneh kemudian duduk lalu julurkan
kedua kakinya sedang punggung tetap bersandar pada
lamping batu. Dia menarik nafas, selanjutnya dua kaki
disilangkan dalam keadaan bersila. Rupanya Si Mata
Aneh mencoba sembuhkan luka dalam yang dia derita
melalui penyaluran tenaga dalam. Tak lama berlalu
dua rongga mata yang growong itu sudah mengatup.
Tubuh si kakek berpakaian kuning mengucurkan ke-
ringat, selain itu tangan dan kakinya juga bergetar.
Hawa panas mengalir ke sekujur tubuh, membuat rasa
sakit di bagian dada akan bertambah hebat. Si kakek
keluarkan suara racau tak karuan. Terlebih-lebih saat
dari bagian dada mengepulkan asap tipis berwarna
kemerahan, suara racau semakin bertambah keras.
Di balik gerumbul semak belukar sosok gadis
yang terus mengikuti dan mengintai gerak-gerik si ka-
kek dengan jelas dapat melihat semua ini. Dengan cu-
kup jelas apalagi saat itu pula purnama bersinar cu-
kup terang.
"Dia orang yang sangat berbahaya. Jika ku-
biarkan hidup, bukan mustahil dia akan membuat ke-
kacauan di Kiara Condong yang akan berlangsung dua
hari mendatang. Nenek tua itu memberi perintah ke-
padaku agar menyapu bersih seluruh daerah dimana
pertemuan akan berlangsung dari gangguan orang-
orang seperti dia. Jika aku mau turun tangan kurasa
sekarang adalah waktu yang tepat untuk menghabisi
Si Mata Aneh. Sekarang itu dia sedang memusatkan
fikiran dan segala perasaan itu menyembuhkan luka
dalam akibat pukulan Raja Pengemis. Dalam keadaan
seperti itu hanya dengan sekali hantam aku yakin
nyawanya langsung amblas!" berkata si pengintai yang
bukan lain adalah Roro Centil. Diam-diam gadis ber-
pakaian putih dengan motif kembang-kembang merah
salurkan tenaga dalam ke tangan kiri. Sedangkan tan
gan kanan segera memegang hulu pedang yang terselip
di pinggang sebelah kiri. Dia sudah berniat untuk
membunuh lainnya dengan didahului satu pukulan
yang dilanjutkan dengan serangan pedang. Tetapi ge-
rakan Roro Centil sekonyong-konyong jadi tertahan ka-
rena saat itu dia dikejutkan dengan terdengarnya sua-
ra gelak tawa seseorang.
Suara tawa disertai dengan berkelebatnya satu
sosok tubuh yang langsung berdiri tegak di bawah ke-
rimbunan pohon rindang tak jauh di depan Si Mata
Aneh. Kakek buta itu sendiri yang sedang mengerah-
kan hawa saktinya jadi terusik, tersentak kaget hingga
konsentrasinya buyar tapi dia merasa cukup berun-
tung karena proses penyembuhan itu sudah sampai
pada tahap akhir sehingga dia tidak menderita akibat
yang tak diinginkan.
"Bangsat mana yang berani mengusik ketenan-
ganku disini!" hardik Si Mata Aneh. Dua rongga ma-
tanya yang besar hitam kemerahan memandang ke de-
pan. Daun telinga kiri kanan bergerak-gerak. Seolah
rongga mata bolong itu dapat melihat, Si Mata Aneh
kembali berkata. "Aku mencium bau amis, sayang ter-
lalu banyak orang di dunia ini yang tubuhnya menebar
bau busuk seperti ini." Kemudian Si Mata Aneh mi-
ringkan kepala dan pasang telinga dengan baik. Entah
mengapa dengan tidak terduga si kakek di balik rasa
kejutnya malah mengumbar tawa.
"Aku mendengar ada denyut jantung, tapi telin-
gaku ini juga menangkap adanya denyut otak. Tidak
satu, mungkin puluhan boleh jadi ratusan. Denyut pu-
luhan otak yang campur aduk hingga membuat jalan
fikiran jadi kacau. Kau yang saat ini berdiri dihada-
panku pasti setan alas berilmu aneh berkepala besar.
Aku tidak dapat ditipu, kau si segala cerdik segala akal
si penyedot otak bergelar Perampas Benak Kepala!" te
bak Si Mata Aneh.
Di balik semak belukar tak jauh dari situ, Roro
Centil jadi terperangah mendengar ucapan Si Mata
Aneh. Saat itu dia memang melihat satu sosok tubuh
berpakaian serba hitam berdiri tegak di bawah kegela-
pan batang pohon. Sosok aneh itu memiliki ukuran
kepala sepuluh kali lebih besar dari kepala orang bi-
asa. Potongan dagu berbentuk bulat runcing, sedang-
kan dibagian atas menggembung bengkak, berkerenyu-
tan seperti bisul yang siap meletus. Roro Centil sama
sekali tak dapat melihat wajah orang berkepala besar
itu karena posisi orang itu memunggungi dirinya. Tapi
walaupun begitu ia jelas baru kali ini melihat sosok
berkepala besar tersebut.
"Siapa dia? Dari nada bicaranya mungkin Si
Mata Aneh mengenal siapa adanya orang itu? Aku in-
gin lihat apa yang terjadi, jika ternyata mereka bersa-
habat, usahaku untuk membunuh Si Mata Aneh pasti
akan mengalami banyak kendala." Roro Centil memba-
tin dalam hati.
"Klak! Klak! Klak!" di depan sana si pendek ber-
kepala besar kembali mengumbar tawa. Tawa anehnya
kemudian terhenti disusul dengan ucapan. "Mata
Aneh, kau memang tidak salah menduga. Adapun
orang yang berdiri dihadapanmu saat ini memang Pe-
rampas Benak Kepala adanya. Aku si cerdik pandai.
Kemampuanku dalam hal berfikir melebihi orang pin-
tar di dunia ini. Tapi terkadang...!"
Si Mata Aneh langsung menyahuti. "Terkadang
tingkah lakumu seperti binatang jika otak binatang di
dalam kepalamu sedang bekerja. Kau memang cerdas,
sayang kecerdasanmu mendekati kegilaan karena isi
kepalamu kau campur adukkan dengan otak orang
lain. Ha ha ha!" kata si kakek buta disertai tawa men-
cibir.
Di bawah kegelapan pohon sekeliling kepala
manusia penyedot otak ini berkeredutan seperti jan-
tung yang memompa kan darah. Sepasang mata yang
hampir tertunduk kelopak bagian atas nampak mem-
buka. Dalam gelap mata yang kemerahan itu seolah
memancing sinar angker dingin menggidikkan.
"Semua yang kau ucapkan tidak ku bantah.
Tiap hari korban terus berjatuhan. Jiwa mereka me-
layang, karena isi kepalanya ku sedot habis. Tapi se-
mua itu belum memiliki arti apa-apa karena aku masih
punya suatu keinginan yaitu menyedot otak semua to-
koh-tokoh hebat di dunia persilatan termasuk satu di-
antaranya adalah dirimu! Klak Klak Klak!" kata Peram-
pas Benak Kepala disertai tawa aneh.
Wajah Si Mata Aneh berubah pucat, ucapan to-
koh cerdas dari Neraka Bangkai itu sungguh tak per-
nah dia duga sama sekali. Tapi rasa kagetnya hanya
berlangsung sesaat saja, pada detik lainnya si kakek
buta keluarkan suara menggembor penuh tantangan.
"Sungguh tak pernah kusangka. Aku menge-
nalmu sejak kau berada di Neraka Bangkai. Jika kau
menghendaki diriku mengapa kau tidak melakukannya
sejak dulu? Saat itu kepalamu belum sebesar seka-
rang, sedangkan otakmu belum banyak tercampur
dengan otak busuk milik orang lain, "dengus Si Mata
Aneh.
Di balik tempat persembunyian Roro Centil
yang ikut mendengarkan pembicaraan itu jadi terse-
nyum. "Kakek buta itu rupanya mengenal si kepala be-
sar. Mereka kenal satu sama lain, aku jadi ingin meli-
hat apa yang hendak dilakukan si kepala besar pada si
buta." fikir si gadis.
Dalam kesempatan itu Perampas Benak Kepala
menjawab ucapan Si Mata Aneh. "Waktu itu aku belum
memiliki kekuatan serta bekal yang cukup. Sekarang
setelah segala ilmu yang kumiliki menjadi sangat sem-
purna kurasa tidak ada salahnya jika kau menghenda-
ki otakmu. Jika nanti isi kepalamu sudah menyatu
dengan otakku, mungkin aku baru bisa mengetahui
rencana-rencana apa saja yang ada dalam otakmu se-
lama ini."
"Kau cerdas, tapi terlalu bermimpi jika ingin
menyatukan otakmu dan otakku. Menurutku sekarang
ini bukankah lebih baik kita bersatu pendapat satukan
kekuatan. Beberapa hari yang datang akan ada perte-
muan kaum yang mengatas namakan dirinya sebagai
golongan putih. Jika pertemuan dibiarkan berlang-
sung, kelak mereka akan bersatu. Seandainya hal itu
terjadi kelak kita mengalami banyak kesulitan untuk
mencari keuntungan dari mereka."
"Apa maksudmu mata aneh? Kau mengajakku
untuk menghancurkan mereka? Kemudian bila mereka
telah hancur apa lagi yang kau inginkan?" tanya Pe-
rampas Benak Kepala.
"Ha ha ha. Benar dugaanku kau cerdas tapi
akibat kecerdasanmu itu menjadikan dirimu sebagai
manusia paling tolol. Jika mereka kita biarkan bersa-
tu, mereka akan menjadi kuat. Sedangkan kaum sesat
tetap menjadi golongan yang lemah. Aku tak mengin-
ginkan hal itu terjadi. Kita harus menghancurkan me-
reka. Kelak bila persatukan kaum golongan putih da-
pat kita pecah belahkan, tak sulit lagi bagimu untuk
mendapatkan apa yang kau inginkan. Kau bisa ber-
buat apa saja, sedangkan aku pasti selalu mendukung
setiap rencanamu!" ujar Si Mata Aneh. Melihat dari
pembicaraan ini jelas sudah kalau yang sebenarnya Si
Mata Aneh jerih pada Perampas Benak Kepala.
"Manusia bangsat durjana. Sebelum kau meng-
hancurkan para pendekar yang hendak mengadakan
pertemuan itu, aku yang akan menghancurkan lebih
dulu. Sebelum kau membunuh mereka, aku pasti akan
membunuhmu sepuluh kali!" rutuk Roro Centil geram.
Si Perampas Benak Kepala menggeleng perla-
han. "Sayang sekali Mata Aneh aku tak membutuhkan
semua dari yang kau sebutkan itu. Saat ini aku hanya
membutuhkan otak yang mempunyai berbagai kelebi-
han. Aku tak pernah inginkan harta atau kedudukan.
Karena kau termasuk orang yang memiliki kemam-
puan yang hebat, maka akupun akan meminta isi ke-
palamu!" tegas si penyedot otak. Di tempat persembu-
nyiannya Roro Centil tersenyum.
"Syukur... keputusan kepala besar membuat
aku tak usah bersusah payah mencabut nyawa buruk
si buta itu!"
Mata Aneh jadi hilang kesabarannya menden-
gar keputusan Perampas Benak Kepala. Dia julurkan
kedua kakinya, kemudian bangkit tegak. Dengan suara
lantang dia kemudian berkata. "Manusia segala kesia-
lan. Diajak mencari kesenangan kau malah memilih ja-
lan celaka. Apa kau mengira aku takut padamu?" den-
gus Si Mata Aneh sinis. Dia lalu melanjutkan. "Jika ta-
di aku memberi penawaran padamu, bukan berarti
aku merasa takut padamu. Boleh saja kau bunuh ra-
tusan orang lain dengan kekuatan kepalamu. Namun
jangan coba kau melakukan tindakan gegabah pada-
ku."
"Kau terlalu yakin dengan kemampuan mata
tunggalmu kakek pikun. Jika kepalaku ini mampu
menghancurkan bukit, menjebol batok kepala setiap
orang apa susahnya menjebol kepalamu?"
"Perampas Benak Kepala, rupanya kau belum
pernah mengalami batu sandungan selama hidupmu.
Kau lihatlah sekarang apa yang aku lakukan!" teriak si
kakek buta. Baru saja gema suaranya lenyap Si Mata
Aneh lakukan gerakan cepat dengan melompat ke de
pan. Melihat lawan menghantam kepalanya yang be-
sar, si penyedot otak lalu gerakan dua tangannya. Satu
dipergunakan untuk menangkis sedangkan tangan
yang satunya lagi hantamkan satu pukulan mengarah
dibagian dada.
Tapi Perampas Kepala jadi tercekat, karena be-
gitu serangan dan tangkisan yang dilakukannya men-
deru ke depan. Si kakek buta batalkan serangan den-
gan menarik kedua tangan ke belakang. Masih dalam
keadaan mengambang di udara dia lakukan gerakan
sedemikian rupa hingga kaki menghadap ke atas dan
kedua tangan menghadap ke bawah sejajar dengan ke-
pala lawan yang besar bukan main. Tangan itu kemu-
dian langsung menghantam disertai pengerahan tena-
ga dalam penuh ke arah kepala lawannya.
Walaupun Perampas Benak Kepala merasakan
adanya angin menyambar dari bagian atas kepala. Dia
yang terkadang melangkah dengan terhuyung-huyung
tak sempat lagi menghindar. Sehingga dengan telak
pukulan kedua tangan Si Mata Aneh menghantam ba-
gian atas kepalanya.
Dieeel!!!
Kepala yang kena hantaman bukannya remuk
sebagaimana yang diharapkan si kakek buta. Tapi te-
tap tak mengalami akibat apapun, malah Si Mata Aneh
diam-diam jadi kaget karena dia tidak ubahnya seperti
memukul karet berlapis-lapis, hingga tak urung mem-
buat tubuhnya laksana dicampakkan akibat tenaga
dalamnya membalik.
4
Bukan hanya Si Mata Aneh saja yang tercen-
gang melihat kejadian ini sebaliknya Roro Centil juga
dibuat kaget. Betapa tidak, kepala Perampas Benak
Kepala kelihatannya seperti lembek, berkerenyutan tak
mau diam. Bahkan urat-urat darahnya bertonjolan se-
perti mau meletus. Tapi anehnya ketika Si Mata Aneh
menghantamnya dengan satu pukulan bertenaga da-
lam tinggi kepala besar itu sama sekali tidak remuk.
Hanya kedua kaki si kepala besar saja yang amblas
sampai sedalam lutut.
Perampas Benak Kepala dengan tubuh oleng
tarik satu demi satu kakinya yang terbenam. Setelah
itu kepalanya digolang golengkan. Belum lagi Peram-
pas Benak Kepala melakukan suatu tindakan, maka
pada saat itu pula Si Mata Aneh tanpa memberi ke-
sempatan lagi kembali berkelebat lancarkan serang-
kaian tendangan yang tidak berkeputusan ke dada dan
perut lawan. Si kepala besar dengan sigap menangkis
tendangan gencar yang dilancarkan lawannya. Dengan
begitu dia tidak dapat menerapkan ilmu Penyedot Otak
yang dia miliki.
Ternyata sehebat apapun orang ini menangkis
tendangan lambat laun pertahanannya jebol juga. Satu
tendangan menggeledek berhasil menyusup menghan-
tam perut si penyedot otak hingga membuatnya ter-
banting jatuh menelentang. Di sana Perampas Benak
Kepala sedang berusaha bangkit berdiri kesempatan
itu dipergunakan oleh Mata Aneh untuk mengusap
punggung telunjuk jari tangan kanannya. Bagian mata
di jari telunjuk mengedip dan membuka. Si Mata Aneh
langsung mengarahkan mata di telunjuk jarinya itu ke
arah lawan. Tiga kali mata tunggal yang berada di atas
telunjuk berkedip berturut-turut tiga larik sinar merah
membersit lalu melesat dengan kecepatan kilat meng-
hantam ke bagian kepala lawannya. Perampas Benak
Kepala keluarkan suara menggerung, di saat itu dia te-
lah berdiri tegak dengan tangan disilangkan ke depan
dada. Sedangkan dari kepalanya membersit tiga larik
sinar biru yang meluncur deras sambil meliuk-liuk
memapak serangan lawannya. Tiga sinar merah dan
sinar biru tadi kemudian bertubrukan di udara hingga
terdengar suara letupan tiga kali berturut-turut. Selan-
jutnya tiga sinar merah itu amblas tersedot sinar biru
yang mencuat dari bagian samping kepala si penyedot
otak.
Ternyata bukan hanya sampai di situ saja aki-
batnya, karena begitu sinar merah lenyap mata yang
tumbuh di atas jemari tangan itu ikut pula terbetot
hingga tanggal. Si Mata Aneh menjerit setinggi langit.
Sementara satu sinar yang lebih dahsyat kini mencuat
dari kening Perampas Benak Kepala. Seperti seekor
ular yang berlari cepat sinar itu menderu ke bagian
ubun-ubun Si Mata Aneh. Dalam keadaan menderita
sakit yang teramat sangat, dimana dia sendiri tidak
dapat melihat Si Mata Aneh yang telah kehilangan ma-
ta ajaibnya masih dapat merasakan ada hawa aneh
menyambar bagian atas kepalanya. Tanpa pikir pan-
jang lagi Si Mata Aneh langsung jatuhkan diri, bergu-
lingan di atas tanah hindari serangan sinar yang me-
mancar dari bagian kening lawan. Celakanya sinar itu
seolah memiliki mata dan nyawa, terus mengejar ke-
manapun Si Mata Aneh menghindar.
"Jahanam sialan!" rutuk si kakek buta sambil
lepaskan salah satu pukulan mautnya. Karena dia tak
dapat melihat dimana posisi lawannya maka serangan
yang dilepaskannya menjadi ngawur dan menghantam
semak belukar dimana Roro Centil bersembunyi. Se-
mak belukar hangus gosong diterjang api. Si gadis
sambil merutuk dalam hati cepat menyingkir, kembali
berlindung di tempat yang aman lanjutkan intaiannya.
Ternyata bukan hanya Roro Centil saja yang
menyaksikan perkelahian sengit itu, karena di suatu
tempat tersembunyi dan terlindung dari cahaya rem-
bulan satu sosok tubuh mendekam disana, memperha-
tikan setiap gerak-gerik Perampas Benak Kepala den-
gan mata membelalak penuh rasa takjub sedangkan
mulut mengulum senyum muslihat.
Di depannya sana sinar biru tadi kini sudah
menghunjam di bagian atas kepala Si Mata Aneh. Si
kakek buta mencoba lindungi bagian ubun-ubunnya
dengan dua tangan. Tapi dia kembali menjerit, dua
tangan yang dipergunakan untuk melindungi kepala
laksana disengat bara api. Bahkan tangan itu berlu-
bang besar. Mata aneh kehilangan akal dan daya un-
tuk menyelamatkan diri sementara kepalanya sendiri
dirasakan bagai mau meledak. Beberapa detik sinar
menghunjam batok kepalanya, tak lama kemudian ter-
dengar suara letupan, bagian atas kepala terkuak,
otaknya tersedot, lalu bergerak melewati sinar biru itu
menuju ke arah bagian kepala lawan. Ketika cairan
otak itu menyentuh kening Perampas Benak Kepala,
gumpalan otak langsung lenyap, sementara kepala
manusia penyedot otak semakin menggembung besar.
Ketika cairan otak di dalam kepala Si Mata
Aneh terkuras habis dan kakek buta itu sendiri sudah
tak dapat bergerak lagi. Maka sinar biru yang sanggup
menjebol kepala lawan dan dapat memindahkan otak
Si Mata Aneh kepalanya sendiri, secara perlahan na-
mun pasti sinar tadi nampak meredup berangsur surut
dan kemudian lenyap tak meninggalkan bekas.
Terhuyung-huyung Perampas Benak Kepala ke-
luarkan suara tawa panjang. Sepasang matanya ber-
kedap-kedip, berputar liar seakan ada pergolakan di
dalam kepalanya.
"Glak! Glak! Glak! Sekarang aku baru mengerti,
setelah terjadi sambung rasa dan sambung otak ter-
nyata si picak yang otaknya telah kusatukan dengan
otakku ini punya sejuta rencana. Aha, dia ingin men-
jadi raja, raja diraja dunia persilatan. Aduh... sekarang
otak siapa ini yang bekerja?" kata si kepala besar sam-
bil memukul kepalanya sendiri. "Ah, mengapa otak
yang ini cuma perempuan saja yang difikirkannya.
Aduh... aduh... fikiran berubah lagi. Entah otak milik
siapa lagi sekarang yang ikut berfikir. Ah, ternyata
cuma angka-angka perjudian. Sialan betul.!" rutuk Pe-
rampas Benak Kepala. "Wah... celaka betul. Semua
otak yang tergabung dalam kepalaku ikutan berfikir.
Otakku kacau... walah kacau...!" teriak laki-laki berke-
pala besar itu. Dengan terhuyung-huyung dia berlari
cepat tinggalkan tempat itu.
Sosok yang mendekam dan ikut menyaksikan
kejadian yang mengerikan tadi tidak tinggal diam. Dia
langsung mengikuti ke arah mana Perampas Benak
Kepala melenyapkan diri.
Sedangkan Roro Centil yang tidak mengetahui
ada orang lain yang turut menyaksikan kejadian itu ti-
dak mengejar laki-laki berkepala besar itu. Sekarang
dia keluar dari tempat persembunyiannya. Ketika dia
mendekati mayat Si Mata Aneh, dilangit bulan tertutup
sekelompok awan, hingga suasana di tempat itu hanya
terang temaram. Roro Centil berjongkok di samping
mayat si kakek buta. Dia segera memeriksa bagian ke-
pala. Gadis cantik ini bergidik ngeri, kepala dipaling-
kan ke arah lain sedangkan matanya dalam keadaan
terpejam.
"Tak pernah kumenyangka sinar biru itu sang-
gup menjebol batok kepala kakek buta ini. Penyedot
otak atau pemindah otak. Siapapun dirinya dia ternya-
ta lebih berbahaya dari Si Mata Aneh ini. Seandainya
dia bermaksud membuat kekacauan dalam pertemuan
para tokoh dan pendekar di Kiara Condong nanti, be-
lum tentu aku sanggup mencegahnya. Si Mata Aneh
salah satu tokoh sesat yang berilmu tinggi saja dapat
dibunuhnya, apalagi aku? Tapi bagaimana pun aku
harus melakukan tugas yang diberikan oleh Si Muka
Setan, sekalipun aku harus berkorban nyawa untuk
melakukan tugas yang sangat mulia ini aku tidak per-
duli!" kata si gadis seorang diri. Sekali lagi dia mem-
perhatikan bagian kepala yang bolong melompong dan
berlumuran darah itu. Tak lama dia bangkit berdiri.
Setelah terdiam sejenak lamanya dia kemudian memu-
tuskan untuk segera ke Kiara Condong untuk segera
melaporkan tentang kemunculan tokoh aneh berkepala
besar itu pada Si Muka Setan. Roro Centil kemudian
memutar langkah, tapi dia jadi tercekat ketika melihat
di depannya sana kini nampak seorang pemuda berdiri
tegak dengan dua tangan disilangkan ke depan dada.
Pemuda gondrong bertelanjang dada itu memandang-
nya dengan bibir menyunggingkan senyum.
Roro Centil tentu saja jadi kaget, karena dia
sama sekali tidak mendengar suara langkah orang. La-
lu bagaimana si gondrong itu tahu-tahu sudah berada
di situ. Hanya satu kemungkinan, siapapun pemuda
gondrong yang ada di depannya pasti memiliki ilmu
dan kepandaian tinggi. Roro Centil harus bersikap
waspada. Walaupun pemuda ini berwajah polos dan
seperti tak membekal maksud jahat, tapi dia tidak bo-
leh percaya dengan sikap manis yang ditunjukkan
orang.
"Sejak tadi kulihat kau memelototi mayat itu.
Adakah dia saudaramu, ayah, atau mungkin suami-
mu?" Si gondrong yang tak betah diam mulai usil.
Ucapan terakhir si gondrong tanpa disadari membuat
wajah si gadis berubah merah padam. Tapi paling ti-
dak sedikit banyaknya ucapan si pemuda membuat
Roro Centil jadi kaget. "Dia telah mengawasiku sejak
tadi, sedangkan aku sendiri tidak merasakan kehadi
rannya. Jika dia datang dengan membawa maksud bu-
ruk tentu sudah sejak tadi hal itu dilakukannya." fikir
si gadis. Sungguhpun mungkin si gondrong bukan
orang jahat, tapi Roro Centil tetap unjukkan wajah
bengis.
"Setan gondrong, siapa dirimu ini? Buat apa
kau campuri segala urusanku?" bentak Roro Centil. Si
gondrong Pendekar Sakti Gento Guyon yang dibentak
bukannya surut, sebaliknya malah mengumbar ta-
wanya.
"Oh dunia, rupanya jalannya roda kehidupan
ini sudah terbalik. Ada seorang gadis cantik bersuami-
kan tua bangka buta. Ha ha ha!" kata Gento. Dia lalu
melanjutkan ucapannya. "Siapapun diriku ini tidak
penting. Seperti katamu tadi, aku ini cuma setan gon-
drong kesasar. Cuma mungkin peruntunganku lagi
mujur, sedang tersesat bertemu dengan gadis cantik
pula. Duh gusti... mungkin inilah bukti dari mimpiku
semalam...!"
Terpancing dengan lagak dan cara bicara Gento
yang terkesan polos seenaknya, tanpa sadar Roro Cen-
til ajukan pertanyaan. "Memangnya tadi malam kau
mimpi apa?" tanya si gadis.
Gento tak langsung menjawab dia maju selang-
kah. Sebaliknya Roro Centil malah surut ke belakang
satu tindak.
"Tadi malam, hem, aku mimpi duduk di atas
kursi kebesaran. Kursi itu berada di bawah pohon du-
rian. Sayang sekali kursinya ambruk ditabrak setan,
sedangkan dari atas durian jatuh menimpa kepalaku.
Ha ha ha!" sahut Gento lalu tertawa lagi.
"Pemuda sinting! Siapa kau dan apa maksud-
mu mengintai diriku!" hardik Roro Centil sungguhpun
dalam hati dia merasa geli mendengar ucapan Gento
yang melantur. Diam-diam dia menjadi suka dengan
watak maupun prilaku si gondrong.
"Bagusnya kau memanggilku Gento. Kau sendi-
ri siapa? Mengapa kau menuduh aku telah mengintai-
mu? Terus-terang aku kebetulan saja melintasi daerah
ini. Ketika melihatmu berada di depan mayat itu semu-
la aku mengira kau hantu cantik yang sedang berduka
cita. Karena itu aku tidak mau mengganggu. Sekarang
aku mohon pamit, hendak berlalu dari hadapanmu!"
selesai berkata Gento siap hendak melangkah pergi.
Tapi Roro Centil hentikan gerakan pemuda itu dengan
menghadang di depannya.
"Tunggu!" berseru si gadis.
Gerakan Gento jadi tertahan. Tanpa menoleh
dia bertanya. "Kau melarang aku pergi, apakah ini be-
rarti kau menyukai aku? Atau barangkali sudah jatuh
cinta pada pandangan pertama! Ha ha ha."
"Pemuda sinting kurang ajar, lancang sekali
mulutmu. Kau kira aku ini gadis apa?" damprat si ga-
dis dengan mata melotot ke arah si pemuda. "Ketahui-
lah, mayat yang kepalanya berlubang ini adalah salah
satu tokoh sesat yang hendak melakukan kejahatan di
Kiara Condong...!"
Begitu menyebut daerah itu Roro Centil dekap
mulutnya, seakan dia merasa bersalah karena keterle-
pasan bicara.
Gento manggut-manggut, seakan sudah tak
merasa asing dengan daerah yang disebutkan gadis di-
depannya. Kemudian dia mengguman seperti mengu-
lang kata-kata yang diucapkan gadis itu. "Kiara Con-
dong... Kiara Condong." Setelah itu sejenak Gento pan-
dangi si mayat. Mayat terbujur kaku, berpakaian kun-
ing, rongga matanya berlubang besar berwarna merah
kehitaman. Lalu pemandangan yang sudah menye-
ramkan itu ditambah dengan keseraman yang lain
dengan adanya sebuah lubang menganga di atas kepa
la. Gento bergidik ngeri. Dia raba tengkuknya, tengkuk
itu kini bukan terasa tengkuk lagi, tapi sudah berubah
dingin laksana es. Dia memandang pada gadis di de-
pannya, tenggorokannya terasa tercekat ketika dia
ajukan pertanyaan. "Makhluk jelek mengerikan ini,
engkaukah yang telah membunuhnya?"
Roro Centil gelengkan kepala. "Bukan aku tapi
seseorang berilmu tinggi. Kepalanya besar. Dia me-
mindahkan otak orang ini ke dalam kepalanya." sahut
Roro Centil. Kemudian secara panjang lebar dia menu-
turkan apa yang terjadi. Gento Guyon dibuat tercen-
gang mendengar penurutan si gadis.
"Ada manusia mampu menyedot otak orang lain
melalui kekuatan sinar yang terpancar dari kepalanya.
Sungguh aku baru kali ini mendengarnya!" kata Gento
seakan pada dirinya sendiri.
"Orang itu akan menjadi suatu ancaman yang
sangat besar bagi pertemuan para tokoh."
Gento kembali menatap ke arah si mayat. "Si
Mata Aneh, sepak terjangnya konon kudengar mem-
buat geger dunia persilatan. Tidak kusangka begitu
bertemu nyawanya sudah berangkat ke akherat. Lalu
kau sendiri sebenarnya ditugaskan sebagai mandor,
pengawal atau apa oleh Si Muka Setan?" tanya Gento
polos.
"Aku... aku dibebani tugas untuk menyikat ha-
bis para pengacau tengik yang berusaha mengganggu
jalannya pertemuan." jawab Roro Centil ragu-ragu.
Gento mengendus-endus badannya sendiri,
cuping hidungnya kembang kempis sambil menyengir
dia nyeletuk. "Kebetulan sekali badanku bau tengik.
Jika kau mau menyikatnya, budi baikmu tak akan ku-
lupakan seumur hidup. Ha ha ha."
Bukannya marah si gadis malah ikut tertawa.
"Pantas sejak kau hadir disini aku mencium bau bu
suk. Agaknya kau bangsanya tikus comberan yang ti-
dak pernah mandi. Hi hi hi."
"Kau mungkin betul. Belakangan aku sibuk se-
kali hingga tidak sempat mengurus diri sendiri. Terus-
terang aku sekarang ini sedang mengejar seseorang."
kata Gento Guyon kembali berubah serius.
"Seseorang siapa?" tanya si gadis dengan alis
berkerut tajam.
"Mungkin situ kenal atau pernah mendengar
pemuda bernama Lira Watu Sasangka, alias Panji
Anom Penggetar Jagad atau Begawan Muda.?"
Roro Centil menggeleng, karena memang baru
kali ini mendengar nama itu.
"Namaku bukan Situ, cukup kau panggil Roro
saja. Sedangkan mengenai orang yang kau sebutkan
aku sama sekali tak mengenalnya."
Senyum-senyum Gento menyahut. "Habis sejak
tadi kau tak mau mengatakan siapa namamu, jadi ku-
panggil Situ saja."
"Kau sudah tahu namaku, sekarang ceritakan
tentang pemuda itu!" pinta si gadis, tanpa mereka sa-
dari kini keduanya menjadi akrab seolah mereka tidak
ubahnya seperti orang yang sudah bersahabat lama
saja. Sebaliknya Gento juga mengakui gadis yang men-
gaku bernama Roro memang cantik. Wajahnya bulat
lonjong, berambut hitam panjang berpakaian ungu.
Selain itu dia juga sangat lincah dan enak diajak bica-
ra. Mudah akrab, namun penuh rasa curiga.
"Panji Anom," Pendekar Sakti Gento Guyon
membuka ucapan. "Pemuda itu memiliki kesaktian
tinggi, dia cerdik, licik banyak akal juga sangat berba-
haya. Terus-terang saat ini aku khawatir dengan ke-
munculannya." Kata si pemuda. dia lalu menuturkan
tentang pertemuannya dengan Panji Anom sampai ke-
mudian murid Begawan Panji Kwalat itu terluka dan
dilarikan oleh seseorang yang hingga sampai saat ini
belum diketahui siapa adanya. Mengenai pertemuan
Gento dengan Panji Anom dapat diikuti dalam Episode
Bidadari Biru. "Sekarang aku tambah khawatir lagi
dengan munculnya Perampas Benak Kepala."
"Bagaimana kau bisa tahu ada pertemuan di
Kiara Condong?" tanya Roro Centil.
"Guruku yang mengatakan hal itu kepadaku.
Sayang guruku sendiri kemudian raib tak ketahuan
dimana rimbanya saat ini. Aku tak tahu bagaimana
nasibnya. Aku hanya bisa berdoa semoga dia dalam
keadaan selamat."
Sekali lagi Gento menuturkan tentang angin
putih yang menerbangkan gurunya hingga membuat
orang tua itu terpesat entah kemana.
"Siapapun gurumu pasti dia adalah seorang
manusia berkepandaian tinggi dan mempunyai penga-
laman luas."
"Ah rupanya dia belum tahu siapa guruku? Ka-
lau sintingnya tidak lagi angot bicaranya memang lem-
pang. Coba kalau sedang senewen orang bisa berang-
gapan guruku manusia sinting." batin Pendekar Sakti
Gento Guyon sambil tersenyum sendiri. Walau hatinya
bicara begitu, namun mulutnya berucap lain. "Kau be-
tul. Guruku manusia paling baik sedunia, paling tidak
kepada diriku. Dia jarang marah, paling juga setahun
sekali!"
"Mendengar ceritamu itu, mungkin sangat me-
nyenangkan bila aku bisa bertemu dengan beliau." ujar
Roro Centil sambil memandang pada Gento penuh ka-
gum.
Gento tersenyum. "Bertemu dengan beliau me-
mang sesuatu yang menyenangkan, terkadang juga
menyebalkan." kata Gento. "Tapi sudahlah, sekarang
ini aku harus ke Kiara Condong." berkata begitu Gento
pun siap hendak melangkah pergi.
"Kita mempunyai tujuan yang sama. Jika kau
tak keberatan atau mungkin tidak membuat kekasih-
mu marah kurasa ada baiknya kita meneruskan perja-
lanan bersama-sama." Kemudian Roro Centil melirik
ke Gento, mencoba melihat bagaimana reaksi pemuda
itu. Tapi Gento Guyon ternyata hanya diam saja. Ma-
lah kepalanya mendongak ke langit, memandang ke
arah bulan yang kini bersinar terang kembali.
"Malam begini indah. Berjalan sendiri hanya
berteman angin alangkah sunyinya. Kurasa perjalanan
ini tambah menyenangkan bila berdua bersama seo-
rang gadis cantik. Lebih menyenangkan lagi bila gadis
itu adalah kekasihnya!" sindir Gento disertai tawa ter-
gelak-gelak.
"Gento kau sedang bersair atau sedang mengi-
gau?" tanya Roro Centil malu-malu.
"Menurutmu apakah aku sedang bersair.?"
Si gadis gelengkan kepala.
"Seorang penyair selalu menghembuskan nafas
berupa kata-kata yang indah. Sedangkan yang kau
ucapkan tadi rasanya sangat berbeda sekali."
"Hemm...!" Gento menggumam tapi juga mulai
mengayunkan langkahnya.
Roro Centil mengikuti tak jauh di belakang mu-
rid si gendut Gentong Ketawa.
"Jadi menurutmu tadi aku sedang apa?" tanya
Gento kemudian.
"Kau bisa saja sedang mengigau, seperti orang
yang terserang demam panas tinggi. Hi hi hi."
"Tidak mengapa aku berpenyakit demam asal-
kan kau yang menjadi tabibnya. Ha ha ha." kata pe-
muda itu pula disertai tawa tergelak-gelak.
5
Si nenek berpakaian merah yang rambutnya
dihias dengan tusuk konde berbentuk burung merak
itu terus kucurkan air mata. Sedangkan di depannya
seorang kakek tua yang memanggul jasad kaku seo-
rang nenek tua berpakaian kuning berenda putih ber-
wajah setan. Sama seperti nenek yang terus mengikuti
tak jauh dibelakang, maka perasaan si kakek yang
rambut serta jenggot dikepang ini juga diliputi pera-
saan sedih dan duka yang mendalam. Betapapun so-
sok tanpa nyawa yang menderita luka bolong mengeri-
kan di bagian kepala ini adalah seorang tokoh sekali-
gus satu-satunya orang yang mempunyai gagasan un-
tuk mempersatukan seluruh kaum golongan putih.
Segala keinginannya itu baru saja hendak di-
ujudkan, tapi siapa menyangka dalam perjalanan me-
nuju ke tempat pertemuan bersejarah itu jiwanya me-
layang. Sekarang walaupun Si Muka Setan telah men-
jadi mayat, si kakek dan si nenek yang dikenal dengan
nama Malaikat Kuku Seribu Kepang Lima Belas dan Si
Burung Merak telah bertekad untuk melanjutkan per-
temuan, meneruskan cita-cita luhur Si Muka Setan.
Walau dalam pertemuan nanti akan terjadi keguncan-
gan sehubungan berita duka yang menimpa pencetus
cita-cita luhur itu. Biarlah walaupun Muka Setan tidak
dapat lagi memimpin pertemuan dalam upaya mem-
persatukan kaum rimba persilatan aliran putih. Tapi
Malaikat Kuku Seribu tetap merasa yakin, arwah Si
Muka Setan pasti akan turut menyaksikan semua itu
sehingga Muka Setan dapat beristirahat dengan tenang
di alam sana.
"Sobatku Burung Merak, sebentar lagi kita su-
dah sampai di tempat tujuan. Apakah kau dapat men
jamin keamanan di tempat ini?" Si kakek tanpa meno-
leh ajukan pertanyaan. Nenek yang terus mengikuti
sekaligus berjaga-jaga dari segala kemungkinan yang
tidak diingini cepat seka air matanya. Pelupuk mata Si
Burung Merak saat itu nampak bengkak menggem-
bung besar, mungkin karena dia terlalu banyak men-
gucurkan air mata di sepanjang perjalanan. Dengan
suara serak parau diliputi kegundahan Si Burung Me-
rak menjawab. "Aku telah menempatkan penjaga di se-
tiap sudut, di tempat-tempat tersembunyi yang musta-
hil dapat diketahui oleh pihak musuh. Selain itu pen-
jaga di tempat terbuka juga telah siap. Alat rahasia,
berupa jebakan telah ku atur begitu rupa hingga setiap
tamu yang tidak diundang segera menemui ajal sebe-
lum mereka sempat melampiaskan niat kejinya!" Ma-
laikat Kuku Seribu merasa puas mendengar penjelasan
Si Burung Merak.
"Aku percaya kau manusia yang memiliki piki-
ran cerdik. Tidak salah jika sahabat almarhum Si Mu-
ka Setan memilihmu untuk menjadi wakilnya dalam
mengatur segala persiapan jalannya pertemuan." kata
Malaikat Kuku Seribu kagum.
Si nenek sama sekali tidak merasa tersanjung
mendengar pujian itu. Beberapa saat suasana berubah
hening, hanya langkah-langkah kaki saja yang terden-
gar. Kakek dan nenek tua ini tenggelam dalam fikiran-
nya sendiri. Tak berselang lama mereka melewati ti-
kungan jalan. Setelah lewat di tikungan itu tampaklah
umbul-umbul berwarna kuning, merah juga biru ber-
deret berjejer di sepanjang kanan kiri jalan. Selain itu
puluhan pengawal berseragam putih berdiri tegak ber-
deret menyambut kehadiran mereka.
Di ujung umbul-umbul yang terpasang ternyata
telah berkumpul belasan tokoh juga pendekar golon-
gan persilatan. Ternyata mereka datang lebih awal di
tempat itu. Bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-
pun Malaikat Kuku Seribu dan Si Burung Merak terus
melangkah kaki mendekati sebuah rumah besar dima-
na para tokoh berkumpul di situ.
Lalu terdengar seorang penjaga di depan pintu
berteriak ditujukan pada semua orang yang berada di
dalam rumah.
"Wakil ketua dan sahabatnya telah datang!"
Dari dalam rumah berdinding kayu bulat ber-
munculan belasan orang yang terdiri dari laki-laki dan
perempuan. Semula mereka girang melihat kedatangan
Si Burung Merak dan Malaikat Kuku Seribu. Tapi ke-
gembiraan itu berubah menjadi rasa kaget penuh tan-
da tanya ketika melihat satu sosok tubuh terbujur
memelintang dalam panggulan Malaikat Kuku Seribu.
Mereka berlompatan menyerbu ke arah dua to-
koh ini begitu mengenali bahwa mayat yang dibawa
oleh Malaikat Kuku Seribu tiada lain adalah mayat Si
Muka Setan orang yang mereka tunggu.
"Gusti Allah apa yang terjadi dengan ketua per-
temuan ini?" tanya seorang laki-laki setengah baya
bersenjata pedang. Dia adalah Aribaya, ketua pergu-
ruan Bulan Terang wakil dari barat.
"Siapa yang membunuhnya!" terdengar satu
suara lain.
"Keparat jahanan. Mengapa bukan aku yang
menjadi korban? Mengapa harus dia, orang yang san-
gat kuhormati dan memiliki segudang cita-cita luhur!"
satu suara lainnya menyentak. Dari arah belakang sa-
tu sosok melompat ke depan menyibakkan gelombang
kerumunan orang yang hendak melihat mayat Si Muka
Setan yang baru dibaringkan ke tanah oleh si kakek
beralis merah.
Orang yang menyeruakkan kerumunan itu ter-
nyata adalah seorang laki-laki bermuka penuh cele
mongan hitam, berpakaian serba biru memakai topi
tinggi berbentuk tanduk kerbau. Orang ini dikenal
dengan julukan Gelombang Tangis Dalam Duka. Se-
perti biasanya dia selalu menangis bila melihat orang
mati, terlebih-lebih orang yang meninggal itu dalam
keadaan terluka parah. Tapi tangisnya langsung le-
nyap berganti dengan tawa bila dia melihat sesuatu
yang lucu. Dibandingkan Si Muka Setan, kakek yang
satu ini memiliki ilmu kesaktian sulit dijajaki. Si Muka
Setan sendiri menaruh hormat padanya, sayang dia
punya prilaku aneh angin-anginan.
Kini begitu si kakek dapat berada di depan si
mayat dia langsung duduk bersimpuh kucurkan air
mata. Dia menangis melolong, meratap menghiba-hiba.
Membuat orang yang berada di sekelilingnya ikut teng-
gelam dalam kesedihan. Bahkan banyak diantara me-
reka yang mulai ikut menangis mengikuti irama tangis
si kakek. Kiranya tangis si kakek mengandung suatu
pengaruh yang sangat kuat hingga membuat orang lain
jadi ikut terhanyut.
Selagi orang lain ikut tenggelam dalam tangi-
sannya, Gelombang Tangis Dalam Duka berucap. "Mu-
ka Setan, malang nian suratan nasibmu. Sudah muka
buruk seperti setan suratan nasibmu buruk pula. Pa-
dahal kau manusia yang sangat baik di dunia ini. Dulu
juga kau sering membantu diriku. Aku ditimpa kesu-
sahan, kau datang menolong, aku lapar kau yang
memberi makan, dan... dan aku yang berhutang kau
yang membayar...! Huk huk huk!" kata si kakek masih
tetap saja menangis berhiba-hiba.
Musibah yang terjadi memang terasa memilu-
kan, tapi baik Si Burung Merak maupun Malaikat Ku-
ku Seribu yang tak terkena pengaruh tangisan si ka-
kek tak mau membiarkan semua itu berlarut-larut.
Baginya yang pergi biarlah pergi, setiap kesedihan
yang berlarut-larut tak mungkin mengembalikan orang
yang telah mati.
Malaikat Kuku Seribu kemudian melangkah
maju, lalu menyentuh bahu Gelombang Tangis Dalam
Duka. Si kakek langsung memandang ke atas "Hu hu-
huhu... apa...?" dengus si orang tua yang merasa tan-
gisnya terusik dengan mata melotot.
"Sahabatku, Gelombang Tangis. Ku mohon hen-
tikan kesedihanmu. Kasihan sobat-sobat kita yang jadi
ikutan menangis karena tangismu. Kita harus mengu-
burkan sahabat Muka Setan secepatnya. Hal ini bukan
berarti kita melupakan segala budi baiknya. Tapi kita
harus segera mengadakan pertemuan. Penyatuan go-
longan putih sudah waktunya untuk dilaksanakan.
Apalagi mengingat waktunya sangat mendesak, dan ti-
dak tertutup kemungkinan saat ini ada musuh yang
mengancam jiwa dan keselamatan kita. Selain itu aku
berharap setelah acara penguburan dan pertemuan
nanti berakhir, kiranya kita dapat menyatukan kekua-
tan untuk mencari pembunuh sahabat kita Si Muka
Setan!" jelas Malaikat Kuku Seribu secara panjang le-
bar.
"Huk huk, jadi aku tak boleh sedih disini, jadi
aku tak diizinkan menangis disini. Padahal saat ini
dukaku tiada terkira. Kalau aku tak boleh menangis
tak boleh bersedih di tempat ini, baiknya aku pergi un-
tuk melanjutkan tangis dan kesedihanku di tempat
lain. Huk huk huk." berkata begitu sambil menutupi
wajah dan melangkah dengan terbungkuk-bungkuk
Gelombang Tangis Dalam Duka tinggalkan kerumunan
orang ramai.
"Sahabatku Gelombang Tangis, tunggu!" seru Si
Burung Merak.
Yang dipanggil jangankan berbalik, sedang ber-
palingpun tidak. Dia terus saja melangkah sambil me
nangis sedangkan tubuhnya tetap membungkuk seper-
ti orang yang berlaku sopan pada orang lain yang dile-
watinya. Padahal tak ada orang lain di sekeliling si ka-
kek.
"Sahabat, apakah kau tak ikut menghadiri ja-
lannya pertemuan?!" tanya Malaikat Kuku Seribu seo-
lah mengingatkan.
Gelombang Tangis sudah tak perduli, sementa-
ra langkahnya kian menjauh. Tanpa pernah menoleh
ke belakang dia menjawab.
"Pertemuan... pertemuan apa? Hatiku sudah
terlanjur sedih sudah pula amat terluka. Yang ingin
kudengar adalah suaranya sahabatku Si Muka Setan.
Jika dia sudah mati pertemuan itu tak ada lagi gu-
nanya bagiku. Biarkan aku berpuas diri dalam kesedi-
han dan tangisan duka. Si tua ini mohon dimaklum,
mohon pamit karena hendak teruskan tangis di tempat
lain. Huk huk huk!"
"Gelombang Tangis, kau boleh menangis di
tempat ini sampai bosan!" kata Si Burung Merak yang
merasa tidak enak melihat kepergian si kakek karena
orang tua aneh itu merupakan seorang tokoh sesepuh
golongan putih yang sangat disegani.
Walaupun Si Burung Merak sudah berusaha
membujuk dan mencegah kepergian Gelombang Tangis
Dalam Duka, tapi percuma saja. Karena kakek itu
dengan sangat cepat sekali telah lenyap dari pandan-
gan mata. Si Burung Merak hendak mengejar, tapi di-
cegah oleh Malaikat Kuku Seribu.
"Manusia yang satu itu tak usah dikejar. Jika
dia tak berkenan dia bisa marah besar. Lebih baik kau
perintahkan para sahabat yang lain untuk memper-
siapkan acara penguburan!" ujar Malaikat Kuku Seri-
bu.
Si Burung Merak menarik nafas pendek, dia la
lu segera memberi aba-aba pada para pendekar serta
beberapa tokoh yang hadir di tempat itu untuk mem-
buat sebuah kubur, peti mati dan beberapa hal lain
yang sangat diperlukan dalam acara penguburan itu.
Menjelang sore hari, jenazah Si Muka Setan
pun segera diturunkan ke dalam liang lahat. Belasan
pendekar yang seluruhnya terdiri dari aliran putih ini
tak dapat membendung air matanya ketika melihat je-
nazah si nenek mulai ditimbun dengan tanah mereka.
Suasana penguburan berlangsung dalam keheningan
mencekam, hanya gemeretak suara tanah yang me-
nimpa penutup peti mati saja yang terdengar bagai
mengetuk dada mereka yang hadir.
Setelah liang lahat menjadi sebuah gundukan
tinggi bertabur bunga Si Burung Merak meletakkan
sebuah batu besar di atas kepala makam. Dalam ke-
sempatan itu pula Burung Merak dengan kepala ter-
tunduk dan suara bergetar dalam keharuan berucap.
"Muka Setan sahabat kami. Segala kekejian yang terja-
di denganmu, kami yang berkumpul disini tak akan
melupakannya. Kami berjanji di depan kuburmu dis-
aksikan oleh langit dan bumi, pasti akan mencari
orang yang telah membunuhmu setelah pertemuan ini
berakhir!" kata si nenek dengan mata berkaca-kaca.
Malaikat Kuku Seribu Kepang Lima Belas me-
langkah maju. Kakek ini dengan tak kalah sedihnya
berucap. "Aku Malaikat Kuku Seribu. Segala yang ter-
jadi pada dirimu saat ini telah membakar darah tuaku.
Api kemarahan yang berkobar dalam diriku akan
menghanguskan pembunuh jahanam yang telah mele-
nyapkan jiwamu. Biarlah aku pertaruhkan sisa hi-
dupku untuk menyabung nyawa demi membela harga
diri dan kehormatan kaum golongan putih!"
"Kami semua siap mengorbankan nyawa!" seru
para pendekar juga tokoh yang berada di sekeliling ku
bur. Seolah-olah ikut pula terbakar oleh kemarahan
dan dendam.
"Terima kasih atas bantuan kalian semua. Tapi
hal penting yang harus kalian ingat, mulai malam nan-
ti pertemuan akan dilangsungkan di tempat rahasia.
Kita harus mencapai suatu kata sepakat agar persa-
tuan dan kesatuan dapat diujudkan." ujar Si Burung
Merak.
"Karena ketua sudah tidak ada lagi, sebagai
wakilnya apapun katamu kami pasti akan mendengar-
nya!" sahut Aribaya yang kemudian diikuti oleh yang
lainnya.
Malaikat Kuku Seribu walaupun masih berduka
sedikitnya merasa puas karena ternyata mereka
menghormati Si Burung Merak dan mempercayakan
pertemuan nanti berada di bawah pimpinan si nenek
tua itu.
6
Keesokan harinya ketika Pendekar Sakti Gento
Guyon dan Roro Centil sampai di Kiara Condong, ke-
duanya sama dibuat kaget begitu melihat mayat-mayat
bergelimpangan di sekitar rumah besar tempat ber-
langsungnya pertemuan. Kejadian ini tentu saja tak
pernah terduga, terlebih-lebih bagi Roro Centil. Bebe-
rapa saat lamanya si gadis hanya dapat memandang
ke arah mayat-mayat para pengawal pertemuan yang
berserakan di setiap penjuru sudut dengan tubuh ge-
metar, mata melotot dan mulut ternganga.
Hal yang sama juga terjadi pada Gento, pemuda
ini tidak pernah menyangka telah terjadi pembantaian
keji di tempat itu. Tetapi dia walaupun saat itu dilanda
berbagai perasaan yang tidak menentu, namun dengan
cepat segera melakukan penyelidikan di sekeliling ru-
mah besar. Satu demi satu mayat para pengawal itu
diperiksanya. Ternyata para pengawal pertemuan yang
berjaga-jaga di luar itu seluruhnya tewas dengan batok
kepala berlubang, isi otak terkuras dan mata membe-
liak lebar.
"Perampas Benak Kepala!" dengan perasaan di-
liputi ketegangan dan tangan terkepal penuh kegera-
man Gento mengguman. "Dia yang telah melakukan
segala kekejian ini? Semua pengawal telah diban-
tainya. Iblis keji itu benar-benar sangat ganas sekali."
desis si pemuda. Mayat-mayat yang bergeletakan itu
hanya beberapa saat saja sempat menyita perhatian-
nya. Ketika dia teringat pada tokoh serta para pende-
kar yang konon kabarnya akan melakukan pertemuan
di tempat itu Gento berbalik dan menemui Roro Centil.
"Pembunuhan keji ini nampaknya belum lama
berselang. Kau sudah dapat memastikan siapa pela-
kunya, Roro?" tanya Gento pada si gadis yang saat
tengah memeriksa mayat salah seorang pengawal.
Tanpa berpaling pada Gento, Roro Centil men-
jawab. "Aku telah melihat luka-luka ini. Bagian atas
kepala berlubang besar, isi kepala terkuras keluar, ku-
lihat begini banyak sekali ceceran darah. Aku merasa
yakin semua ini adalah hasil perbuatan makhluk ke-
parat penyedot otak!"
"Aku telah memeriksa daerah sini. Aku juga te-
lah memeriksa tempat tersembunyi dimana pengawal
lainnya melakukan penjagaan." gumam Gento. "Ada-
kah mereka dapat memberi penjelasan padamu siapa
orangnya yang telah melakukan pembantaian disini?"
tanya Roro Centil tak sabar. Gadis itu bahkan bangkit
berdiri dan menghadap langsung ke arah murid kakek
gendut besar Gentong Ketawa.
Gento Guyon gelengkan kepala.
"Tak satupun pertanyaan yang dapat kuaju-
kan."
"Mereka tak mau menjawab karena mungkin
mereka tak mengenalmu. Bisa jadi mereka sangat ke-
takutan sekali!" ujar si gadis. "Kalau begitu biar aku
yang bertanya pada mereka." berkata begitu Roro Cen-
til siap melangkah menuju ke tempat-tempat rahasia.
Tapi Gento mencegahnya.
"Jika kau sendiri yang bertanya pada mereka,
kurasa sama saja. Sebab mereka semua juga tewas,
malah keadaan mereka lebih mengerikan lagi!"
Roro Centil tercengang, tapi juga kesal bukan
main. Bagaimana mungkin dalam keadaan seperti itu
si gondrong ini masih bisa bercanda dengan mengulur
waktu untuk mengatakan sesuatu.
"Kau sungguh menyebalkan." kata si gadis be-
rubah cemberut.
Gento tak dapat menahan senyumnya melihat
sikap si gadis.
"Dalam keadaan seperti ini kau tak perlu ma-
rah-marah, apalagi sampai sakit hati padaku." Gento
lalu memandang ke arah rumah besar beratap gen-
teng. Rumah itu kelihatan begitu sunyi.
"Roro... jika pertemuan itu memang berlang-
sung disini. Dimanakah para pendekar persilatan go-
longan putih itu berada?"
Pertanyaan itu sungguh membuat Roro Centil
tersentak kaget. Dia berpaling ke arah rumah besar.
Dengan gugup dan tergesa-gesa dia berkata. "Di dalam
rumah itu disatu ruangan rahasia! Gento cepat ikuti
aku!" Selesai berkata tanpa menunggu lagi Roro Centil
langsung bergegas menuju bagian pintu depan. Karena
suasana di depan rumah terasa sunyi, maka si gadis
langsung mendobrak pintu. Pintu terkuak lebar. Gento
dan Roro Centil dengan sikap penuh waspada lang
sung menyerbu masuk ke dalam. Di dalam ruangan
besar mereka tidak melihat ada orang berkumpul di si-
tu, terkecuali dua sosok mayat terbujur kaku.
"Gento lihat!" pekik Roro Centil begitu menge-
nali dua mayat bersenjata pedang yang tergeletak tan-
pa nyawa dalam jarak yang tidak berjauhan.
"Siapa mereka?" tanya Gento dengan suara ber-
getar. "Kau lihat kepala mereka masih utuh, namun
mata membeliak mulut ternganga. Bagian dada han-
gus gosong, ada lima jari membekas di dada itu." kata
Gento yang sudah bersimpuh disamping Roro Centil.
"Mereka ini adalah dua pimpinan dari Pengemis
Pedang Utara. Dua manusia berilmu pedang sangat
tinggi. Melihat posisi tangan para pendekar ini nam-
paknya mereka berusaha mencabut pedang, tapi
mungkin serangan lawan datangnya lebih cepat. Sete-
lah melihat mayat mereka yang utuh, apakah mungkin
pembunuhnya adalah orang yang sama?"
"Maksudmu si Perampas Benak Kepala?" tanya
Gento. Roro Centil anggukkan kepala. "Jika dia men-
gapa tak menggunakan kekuatan otaknya?"
Roro Centil terdiam, dia berusaha berfikir keras
memecahkan segala misteri yang tengah dihadapinya.
"Dugaanku memang jahanam penyedot otak itu
pelakunya. Dia sengaja tidak menggunakan kekuatan
otaknya untuk mengecoh lawan. Dia sengaja menggu-
nakan ilmunya yang lain, untuk meninggalkan kesan
seolah dia memiliki segudang ilmu setan yang dapat
dipergunakan untuk mengalihkan perhatian kita." kata
si gadis.
Gento tidak langsung memberi tanggapan. Dia
julurkan tangannya lalu sibakkan pakaian si mayat
yang gosong. Tangannya merayapi bagian dada yang
terluka. Tidak ada tulang dada yang patah, hingga
hangus gosong saja. Ini berarti sang pembunuh meng
gunakan pukulan berhawa panas, tanpa pengerahan
tenaga dalam penuh tapi menghancurkan bagian tu-
buh di dalam terlebih-lebih pada bagian jantung. Sia-
papun pembunuhnya pasti sangat memahami bagian
tubuh lawannya yang paling mematikan. Gento ge-
lengkan kepala, mulutnya mendesah dalam keresahan.
"Orang seperti Perampas Benak Kepala adalah
manusia paling cerdik. Apalagi di dalam kepalanya
menyatu puluhan bahkan mungkin ratusan otak orang
lain. Seribu akal digabung menjadi satu akan menim-
bulkan satu pemikiran yang cemerlang. Melihat luka-
luka yang dialami oleh para pengawal di luar sana. Je-
las orang yang telah membunuh mereka adalah Pe-
rampas Benak Kepala. Tapi mungkinkah kedua pende-
kar ini dibunuh oleh orang yang sama?" ujar Gento
seolah bertanya pada dirinya sendiri.
"Jika Perampas Benak Kepala memang orang
yang cerdik dalam bermuslihat hal itu bisa saja terjadi.
Apalagi bila mengingat di dalam kepalanya bukan
hanya terdapat otaknya sendiri. Puluhan otak orang
lain yang belum tentu dari manusia baik-baik menyatu
di situ. Jika otak-otak itu serentak berfikir, ini bisa
menghasilkan satu gagasan gila." ujar Roro Centil.
"Semacam keinginan gila di atas kegilaan."
"Untuk sementara setidaknya kita hanya punya
dugaan begitu. Nantinya aku akan melakukan penyeli-
dikan, jika kau mau tentu kau juga bisa ikut memban-
tuku!" kata Roro Centil sambil melirik ke arah Gento.
Pemuda itu menanggapinya dengan kedipan mata.
Si gadis tersipu, wajahnya menjadi merah jen-
gah, namun dia segera alihkan pandangannya ke su-
dut ruangan. Roro Centil bangkit berdiri. Dia memberi
isyarat pada Gento agar mengikutinya. Di satu tempat
di sudut ruangan si gadis membungkuk, tangannya
meraih suatu benda berbandul batu yang dihubung
kan dengan rantai rahasia. Begitu bandul batu bulat
berwarna seperti tanah ditarik ke atas. Maka terdengar
suara bergemuruh. Lantai tanah di tengah ruangan
terkuak. Satu lubang berbentuk empat persegi mem-
buka, Gento terperangah, dia julurkan kepala. Ternya-
ta di lubang itu terdapat tangga batu yang menghu-
bungkan ke satu ruangan rahasia di bawah tanah. Wa-
laupun Roro Centil tak memberikan suatu penjelasan
apapun mengenai ruangan itu, Gento sudah dapat
memperkirakan bahwa di dalam ruangan bawah tanah
itulah pertemuan dilakukan.
Roro Centil julurkan kepala, ternyata ruangan
yang baru dibukanya itu cukup gelap. Si gadis terpak-
sa menyalakan sebuah pelita. Kini dia melangkah
mendekati lubang empat persegi. Gento yang berdiri
disampingnya mencoba melihat keadaan di dalam. Ta-
pi dia mengendus bau sesuatu, sesuatu yang sangat
samar dan tak mungkin tercium terkecuali bagi orang
yang memiliki penciuman sangat tajam.
Gento mengusap matanya yang terasa pedas.
"Racun... aku mencium bau racun pelumpuh
syaraf." Membatin pemuda itu dalam hati. Dia menoleh
ke arah gadis disebelahnya. "Roro, tahan pernafasan-
mu. Aku menaruh duga ada yang tidak beres telah ter-
jadi di bawah sana." kata pemuda itu.
"Apa maksudmu?" tanya si gadis tak mengerti.
"Ikuti saja kata-kataku. Waktu kita sangat
sempit, kita harus melihat bagaimana nasib para tokoh
dan pendekar di dalam ruangan pertemuan!" tegas
Gento. Tanpa bicara Roro Centil lakukan apa yang di-
perintahkan kepadanya. Setelah itu mereka mulai me-
nuruni tangga batu, Roro Centil dibagian depan se-
dangkan Gento Guyon mengikuti tak jauh di bagian
belakang sambil menjaga segala kemungkinan yang ti-
dak diinginkan. Baru saja gadis itu sampai diundakan
paling bawah dia menjerit keras.
"Ya Tuhaan.... Mengapa sampai begini?" seru
Roro Centil. Sepasang matanya terbelalak memandang
ke seluruh penjuru ruangan dengan tatapan seakan
tak percaya.
Murid si gendut Gentong Ketawa juga tak kalah
kagetnya. Berulang kali dia menyebut nama Allah
sambil menyeka wajahnya yang berkeringat beberapa
kali.
"Perampas Benak Kepala, jika memang benar
semua ini adalah hasil dari kejahatanmu, aku ber-
sumpah akan menghancurkan tubuhmu sampai lu-
mat!" dengus Gento dengan rahang bergemeletukan
menahan amarah. Tanpa pikir panjang sambil tetap
menahan nafas Gento segera memeriksa puluhan
mayat-mayat para tokoh golongan putih juga para
pendekar yang ikut tergabung dalam pertemuan itu.
Ternyata mereka semuanya tewas. Beberapa diantara
mereka ada yang mengalami pukulan di bagian dada,
tapi ada pula yang mengalami pendarahan hebat dari
bagian hidung dan mulut. Untuk sementara waktu
pemuda ini dapat menduga pendarahan yang mereng-
gut jiwa itu tentu akibat racun jahat yang sengaja dite-
bar di dalam ruangan itu.
"Racun Penghancur Syaraf, racun sirapan,
adakah pelakunya adalah orang yang sama?" fikir si
pemuda.
Di depannya sana Roro Centil dengan pipi ber-
linangan air mata nampak sibuk mencari-cari. Dia
menarik nafas heran ketika orang yang dicarinya tidak
ada di dalam ruangan itu. Yang terlihat oleh gadis itu
justru dua sosok mayat orang yang sangat dikenalnya.
"Kakek Malaikat Kuku Seribu dan nenek Bu-
rung Merak? Mereka ada disini tapi Muka Setan entah
kemana? Apakah yang terjadi di tempat ini Gento?
Mengapa tempat ini tiba-tiba berubah menjadi nera-
ka?" tanya Roro Centil tak mampu menahan isak tan-
gisnya.
"Pembunuhan demi pembunuhan kejam." sa-
hut Gento bergetar.
"Mereka yang berada di sini semuanya memiliki
ilmu tinggi. Untuk membunuh mereka bukan suatu
pekerjaan mudah?!" ujar Roro Centil terheran-heran.
"Memang, tapi jika racun ditebar di tempat ini,
lalu pintu rahasia di tutup rapat, kejadiannya tidak
beda dengan ikan dalam kolam yang ditebari tuba. Ta-
pi lihat, pembunuh itu nampaknya sempat masuk ke-
mari lalu menghabisi orang-orang yang masih berta-
han hidup dengan satu pukulan yang sama. Jika be-
nar pembunuhnya adalah Perampas Benak Kepala.
Berarti Si Burung Merak dan Malaikat Kuku Seribu
sempat bertarung dengan sang pembunuh. Kita harus
mencari petunjuk." Gento Guyon menegaskan. Roro
Centil dengan perasaan tegang dan jantung berdebar
anggukkan kepala. Dia lalu memeriksa mayat para to-
koh serta pendekar yang bertebaran di dalam ruangan
rahasia satu demi satu. Sedangkan Gento segera me-
neliti mayat Malaikat Kuku Seribu dan Si Burung Me-
rak. Kedua tokoh yang masih merupakan sahabat de-
kat Si Muka Setan ini juga tewas akibat pukulan yang
keji. Pakaian di bagian dada hangus tembus sampai ke
permukaan dada tepat di bagian jantung. Ketika
dia memeriksa bagian tangan Malaikat Kuku Seribu
yang memiliki kuku panjang, terkejutlah pemuda ini
dibuatnya. Dengan kening berkerut dia berusaha
membuka jemari tangan si kakek. Ketika jemari tangan
terbuka, di ujung kuku dia menemukan robekan pa-
kaian berwarna kuning. Melihat keadaannya Gento
menduga mungkin Malaikat Kuku Seribu berusaha
mencakar tubuh lawannya. Kemudian lawan menghin
dar, tapi ujung pakaiannya masih kena disambar oleh
jemari tangan si kakek.
"Pembunuh itu, mungkinkah seseorang yang
memakai pakaian berwarna kuning?" gumam Gento.
Dia memutar otak mencoba mengingat-ingat. Begitu
Gento ingat sesuatu, tanpa sadar dia menepuk kepa-
lanya. "Jahanam yang satu itu, bukankah dia juga
berniat datang ke tempat ini. Mungkin dia yang telah
melakukan pembunuhan ini. Jika benar Panji Anom
pelakunya, setahuku ketika bentrok denganku dia tak
memiliki ilmu iblis sekeji ini. Selain itu pakaian Panji
Anom bukan kuning seperti robekan pakaian ini. Aku
ingat betul Panji Anom selalu memakai pakaian ber-
warna merah. Lalu siapa, hhm, buntu!" gerutu Gento
lalu mengusap wajahnya habis-habisan.
"Gento, aku tidak menemukan petunjuk apa-
pun yang bisa menuntun kita kepada pembunuh yang
sebenarnya!" Roro Centil mengeluh.
"Sebaiknya kau kemari!"
"Ada apa?"
"Kita duduk berduaan disini sambil bertangis-
tangisan."
"Apa?" Roro Centil delikkan matanya. Gento
yang tadi bicara dengan bergurau kini menjawab se-
rius. "Bukan untuk berduaan, tapi ada yang ingin ku-
tunjukkan padamu."
"Roro Centil mendekat, setelah berada di samp-
ing Gento dia melihat di tangan pemuda itu terdapat
robekan pakaian. Entah pakaian siapa."
"Kau kenal dengan orang yang berpakaian se-
perti ini?" tanya si pemuda sambil memandang tajam
ke arah gadis itu. "Aku menemukannya di ujung kuku-
kuku Malaikat Kuku Seribu." menerangkan Gento.
"Banyak orang berpakaian dengan warna seper-
ti itu. Diantaranya Si Muka Setan juga memakainya,
lalu Raja Pengemis, selain dia Si Mata Aneh, kudengar
Sapa dan Nyana si manusia telaga juga berpakaian
sama. Belum lagi dukun cabul di pasar Gondong, para
gembel yang berkeliaran di pasar Turi. Dan...!"
"Sudah!" potong Gento jadi puyeng sendiri.
"Maksudku bukan begitu, aku cuma ingin tahu siapa
saja orangnya yang mempunyai hubungan dengan per-
temuan ini?"
"Kurasa cuma nenek Muka Setan. Aku sendiri
tidak menemukan mayat nenek itu ada diantara
mayat-mayat ini." jawab Roro Centil dengan wajah dan
sinar mata masih diliputi keheranan.
"Dia yang menjadi biang dari semua malapeta-
ka ini? Tidak mungkin." potong Gento cepat sambil ge-
lengkan kepala. "Kau mengatakan Si Muka Setan yang
punya keinginan untuk mempersatukan kaum golon-
gan putih, dia juga yang mengatur pertemuan ini. Ba-
gaimana mungkin mendadak rencananya berubah lalu
melakukan pembantaian sekeji ini?"
"Aku curiga dia pembunuhnya karena hanya
dia yang tahu adanya ruangan rahasia ini, seperti kau
lihat mayat Muka Setan tak ada disini." Roro Centil
mengajukan alasannya.
Sekali lagi Gento gelengkan kepala seakan tak
percaya Muka Setan yang membunuh para pendekar
itu.
"Bagaimana dengan Raja Pengemis?" tanya
Gento.
Roro Centil yang memiliki pengalaman luas dan
banyak mengenai para tokoh dunia persilatan lang-
sung menjawab.
"Mengenai yang satu itu aku kurang tahu. Ku-
akui kesaktiannya sangat tinggi. Dia jarang muncul di
dunia ramai. Tapi beberapa hari yang lalu aku bertemu
dengan orang itu di sebuah kedai tak jauh dari sini."
"Muncul dengan tiba-tiba disaat pertemuan to-
koh golongan putih akan berlangsung apakah ini bu-
kan sesuatu yang aneh?" ujar Gento. Mungkin kita ha-
rus menyelidiki semua orang-orang yang kau se-
butkan. Terkecuali Si Mata Aneh, orang itu bukankah
sudah tewas di tangan Perampas Benak Kepala?"
"Kau benar. Tapi jawaban yang pasti hanya bisa
kita dapatkan setelah kita bertemu dengan Si Muka
Setan. Nenek itu adalah salah satu kunci dari sekian
kejadian keji yang terjadi disini!" ujar Roro Centil.
"Kalau begitu mari kita tinggalkan ruangan ini!"
ujar Gento.
Roro Centil ikut pula bangkit, lalu mengikuti si
gondrong yang sudah menaiki anak tangga yang
menghubungkan ke rumah besar.
7
Ketika hampir sampai di Kiara Condong tempat
dimana pertemuan para tokoh golongan putih berlang-
sung Sapa dan Nyana alias Sepasang Dewa Berwajah
Ganda tidak langsung melewati jalan utama, tapi me-
reka mengambil jalan memutar dari arah belakang. Hal
ini sengaja mereka lakukan untuk menghindari keja-
dian yang tidak diinginkan.
Sampai disatu tempat tak jauh di belakang ru-
mah besar tempat berlangsungnya pertemuan si kaki
buntung Nyana yang duduk di atas bahu saudaranya
yang buta memberi isyarat pada Sapa, hingga langkah
si buta kurus kering berperut buncit ini hentikan
langkah.
"Ada apa lagi? Sakit nafasmu kambuh?" tanya
Sapa.
"Bukan penyakitku yang kambuh. Kulihat telah
terjadi kekacauan disini. Mayat-mayat pengawal berge-
letakan. Kulihat kepalanya berlubang, darah bercece-
ran, uh mengerikan sekali." jelas Nyana yang menjadi
pemandu jalan. Sapa jadi terkejut, lututnya bergetar.
Walaupun matanya mendelik tentu saja dia tak dapat
melihat suatu apapun karena mata itu buta pana.
"Kau melihat ada orang lain disini?" tanya Sa-
pa, suaranya tercekat seperti ayam tertelan karet. Ini
merupakan tanda bahwa si buta sedang dilanda kete-
gangan luar biasa.
"Tempat ini sunyi sekali, seolah telah berubah
menjadi kubur pembantaian massal. Tapi tunggu, aku
melihat pohon di sebelah sana bergerak-gerak. Eeh...
ada sosok tubuh mendekam disana. Orang itu mema-
kai pakaian berwarna kuning, gerak-geriknya mencuri-
gakan. Orang itu sekarang bicara sendiri. Nyana aku
tahu matamu buta, tapi pendengaranmu masih bagus
dari pendengaranku. Coba kau simak baik-baik apa
yang diucapkannya?!"
Sapa anggukkan kepala, dia kemudian miring-
kan kepala, daun telinga kiri kanan bergerak-gerak se-
perti telinga keledai. Si buta Sapa kemudian memang
menangkap satu suara, suara racau tapi jelas tertang-
kap artinya.
"Orang-orang tolol itu pada mampus semua.
Mereka membuang nyawa sebelum satu kata sepakat
didapat. Tak satupun jiwa yang dapat diselamatkan.
Kini roh mereka gentayangan dipermukaan bumi. Du-
nia gila, dipenuhi dengan orang-orang celaka!" Lalu so-
sok yang mendekam, dengan matanya yang tajam dan
terus mengawasi rumah besar terdiam.
Sapa mengatakan apa yang didengarnya pada
sang adik yang duduk dibagian bahunya.
"Orang itu patut untuk kita tanyai. Bisa jadi dia
yang telah membunuh para pengawal pertemuan dan
mengambil otaknya untuk dimakan!" desis Nyana curi-
ga.
"Katakan arahnya kita datangi orang itu!"
"Kau cukup menghadap ke kiri, jalan lurus ke
depan. Tidak sampai lima tombak kita sudah berada di
depan hidung pengintai itu." ujar Nyana memberi an-
car-ancar.
Tanpa bicara lagi Sapa pun mengayunkan
langkah ke arah sosok berpakaian serba kuning ber-
tambal-tambalan putih. Walaupun laki-laki itu dalam
keadaan buta, namun setiap langkah yang dilakukan-
nya sama sekali tak menimbulkan suara. Sehingga ke-
tika dia sampai disamping orang yang dituju. Sosok
berpakaian kuning penuh tambalan putih jadi terkejut
dan sempat surut dua langkah.
Dengan mata terbelalak orang ini bangkit berdi-
ri. Dia sangat heran melihat kehadiran kedua orang
cacat ini. Sebaliknya Nyana langsung mengatakan ba-
gaimana ciri-ciri orang dihadapannya pada Sapa.
"Rambut klimis rapi, baju kuning bertambal-
tambal putih, badan tinggi semampai, kau lihat ku-
misnya besar atau kecil. Kulitnya bopeng atau mulus?"
tanya Sapa berbisik pula.
"Kumis tebal, janggutnya seperti janggut mbek.
Kulit tidak bopeng, hanya burik sedikit. Naga-naganya
dia ini pengemis. Tapi mana ada pengemis yang berpe-
nampilan seperti ini." jawab Nyana.
"Hak hak hak. Aku tahu orang yang berada di
depan kita pasti Raja Pengemis. Manusia tengik ber-
pendirian pletat-pletot seperti perempuan yang sedang
menari. Apa yang dilakukannya di tempat ini!" tanya
Sapa dengan suara keras.
Melihat saudaranya yang asal bicara saja, Nya-
na langsung bekap mulut Sapa.
"Cari penyakit lagi, orang yang kita bicarakan
itu ada di depan kita tolol!" damprat Nyana.
"Biar saja dia mendengar. Aku tahu apa yang
dilakukannya disini? Mungkin saja dia yang membu-
nuh para penjaga. Dia itu manusia plin plan, pendirian
tidak tetap mengapa berlaku sungkan?!" dengus Sapa
sengit.
Wajah klimis orang tua didepan sana berubah
mengelam, pelipis bergerak-gerak, rahang gemeletukan
sedang sepasang matanya mendelik besar akibat di-
landa kemarahan. "Para manusia cacat konyol sialan.
Jika kubunuh mereka semuanya atau tidak kubunuh
apa urusanmu?" hardik si orang tua yang memang Ra-
ja Pengemis adanya.
"Hah, jadi dia telah membunuhnya?" tanya Sa-
pa kaget.
"Dia belum mengatakan yang sebenarnya." kata
Nyana menyahuti.
"Aku yakin dia yang melakukan semua ini!" Sa-
pa tetap ngotot.
"Ha ha ha, kalian bertengkar bertanya tentang
pembantaian yang terjadi di tempat ini? Aku bisa
memberi jalan agar kalian tahu jawaban yang kalian
inginkan." kata Raja Pengemis.
"Kalau begitu cepat katakan padamu bagaima-
na caranya?" tanya Sapa.
"Huh, matamu melek sayang buta. Jadi percu-
ma saja kuberitahu. Mungkin orang yang kau gendong
itu layak mendengarnya. Ketahuilah untuk mengetahui
siapa adanya pembunuh orang-orang itu aku harus
mengantar kau dan saudaramu itu ke akherat. Sampai
disana nanti kalian baru bisa bertanya pada malaikat
penjaga neraka. Ha ha ha!"
"Hah, apa kataku. Raja Pengemis manusia ti-
dak benar, otaknya miring buat apa bertanya segala,
sebaiknya kita tangkap saja!" desak Sapa sudah tidak
sabaran.
"Kalau begitu kita tangkap dia untuk diadili!"
teriak Nyana. Belum lagi suara teriakannya lenyap Sa-
pa yang menjadi inti dari setiap gerakan sudah me-
lompat ke depan. Karena dia melompat, maka tubuh
Nyana yang menopang di atas bahunya ikut pula ber-
gerak. Selagi tubuh si kaki buntung condong ke depan,
maka Nyana julurkan tangan satu mencengkeram
rambut Raja Pengemis, sedangkan satunya lagi melun-
cur melakukan totokan di bagian leher lawan. Sedang-
kan Sapa sendiri sambil melepaskan tendangan tak
lupa menghantamkan tangannya melepas pukulan
Dewa Tidur Memecah Karang, yaitu salah satu puku-
lan yang menjadi andalan Sepasang Dewa Berwajah
Ganda.
Raja Pengemis jadi terkejut melihat formasi se-
rangan lawannya. Bukan saja cengkeraman si kaki
buntung amat bahaya tapi juga tendangan dan puku-
lan yang dilepaskan Sapa terasa dingin luar biasa
membuat perut dan dadanya terasa seperti ditusuk ra-
tusan batang jarum beracun tapi juga tubuhnya ter-
gontai. Raja Pengemis cepat melompat ke samping, sa-
tu tangan dipergunakan menangkis serangan Nyana
sedangkan tangan yang satunya lagi langsung diki-
baskan ke arah Sapa.
Plak! Plak!
Buum!
Dua pukulan beradu keras di udara hingga
mengeluarkan suara ledakan menggelegar. Sapa ter-
huyung lalu terpelanting. Karena orang yang mendu-
kungnya jatuh, maka Nyana pun ikut terjatuh, semen-
tara itu dua tangannya yang berbenturan dengan tan-
gan Raja Pengemis terasa ngilu, melembung bengkak
membiru. Sedangkan Sapa dengan cepat bangkit lagi,
dia sama sekali tidak menghiraukan perutnya yang se
rasa remuk seperti diaduk-aduk.
Sebaliknya Raja Pengemis bukan tak merasa-
kan akibat dari benturan dan tangkisan yang dilaku-
kannya tadi. Tapi orang yang satu ini sangat pandai
menyembunyikan perasaannya.
"Monyet buntung dan kadal buta. Kalau tak sa-
lah aku mengingat bukankah kalian berdua adalah
Sepasang Dewa Berwajah Ganda? Manusia kesasar
tengik tak tahu penyakit. Sudah cacat tak berguna
masih juga mencampuri urusan orang lain!"
Habis berkata begitu Raja Pengemis hantamkan
tangannya ke atas dan ke bawah.
Wuuus!
Selarik sinar biru menyambar ke udara, lalu
melesat terbagi menjadi dua bagian ke arah dua sasa-
ran sekaligus. Nyana yang melihat serangan ini mak-
lum tentu serangan Raja Pengemis selain ganas juga
mengandung racun jahat. Untuk itu tanpa membuang
waktu lagi Nyana pukulkan tangan kiri kanan ke arah
lawan. Dalam kesempatan yang sama Sapa seakan da-
pat melihat bahaya yang mengancam juga menghan-
tam ke depan.
Satu gelombang angin dahsyat menderu mela-
brak pukulan Raja Pengemis, hingga serangannya
buyar di udara, lebih dari itu sebagian pukulan lawan
terus melabrak ke arah dirinya. Raja Pengemis kelua-
rkan seruan tertahan namun dengan cepat dia melom-
pat ke samping, sekali lagi dia lipat gandakan tenaga
dalamnya, lalu kembali memukul ke depan.
Sepasang Dewa Berwajah Ganda bukan saja
kaget melihat pukulannya amblas tersapu serangan
lawan, tapi akibat pukulan balasan yang dilepaskan
Raja Pengemis membuat mereka jatuh terpelanting, la-
lu menggelundung tidak ubahnya tenggiling. Setelah
menggelinding menjauhi lawannya, Sapa lakukan satu
sentakan sedemikian rupa, hingga membuat tubuh
Nyana juga ikut tersentak ke atas. Wuut! Di lain waktu
Sapa sudah berdiri tegak, mulut si buta berkomat-
kamit. Kemudian keduanya sama keluarkan suara te-
riakan. "Pergunakan serangan Dewa Menggandakan
Pukulan!"
"Yaa...!" Kedua manusia cacat ini bicara dan
menyahuti ucapannya sendiri. Raja Pengemis yang me-
rasa berada di atas angin untuk sementara hanya
memperhatikan gerakan tangan orang yang berputar
menyambar ke tiga penjuru arah seolah dua pasang
tangan itu kini telah berubah menjadi puluhan ba-
nyaknya. Melihat gelombang angin yang ditimbulkan
oleh gerakan tangan kedua lawannya, Raja Pengemis
sadar lawan tengah mengerahkan ilmu andalannya.
Baru saja Raja Pengemis hendak lakukan satu lompa-
tan sambil susupkan dua tangannya ke arah lawan,
pada saat itu Sapa dan Nyana sudah menghantam
tangan ke arah orang tua ini. Dalam pandangan Raja
Pengemis, tangan kedua lawannya kini seolah menyer-
bu ke segala penjuru tubuhnya, menghantam bagian-
bagian yang mematikan. Raja Pengemis cepat men-
gambil keputusan untuk selamatkan diri. Dia cepat
melangkah mundur dengan satu gerakan yang sulit.
Tapi tak urung tangan lawan masih sempat menghan-
tam rusuknya di bagian sebelah kiri.
Raja Pengemis menjerit keras, tulang rusuk
yang kena dihajar lawan seperti patah, sementara se-
rangan lawan laksana gelombang badai yang terus me-
labraknya tidak berkeputusan kemanapun Raja Pen-
gemis mencoba menghindar. Tak terduga orang tua itu
keluarkan suara menggerung, tubuhnya berputar dua
kali, lalu melesat ke udara. Dengan begitu serangan
lawan yang bertubi-tubi menghantam tempat kosong.
Selagi tubuh Raja Pengemis meluncur deras ke bawah,
dia menghantam ke arah lawannya.
Raja Pengemis yang sudah dibuat kalang kabut
oleh serangan lawannya kali ini melepaskan pukulan
Penghancur Raga, salah satu pukulan andalan dianta-
ra beberapa pukulan yang dia miliki.
Akibatnya sungguh sangat mengerikan sekali.
Semak belukar di sekelilingnya hangus terbakar, batu
dan pasir berubah panas seolah api.
"Waduh, tobat. Selamatkan diri!" teriak Nyana
yang tiba-tiba melihat benda apa saja yang dilewati
pukulan Raja Pengemis berubah menjadi api. Melom-
pat-lompat seperti kanguru. Sapa berusaha melo-
loskan diri dari ancaman bahaya maut. Tapi kemana-
pun orang ini menghindar tanah yang dipijaknya men-
jadi panas luar biasa. Rupanya inilah yang membuat si
buta Sapa menjerit-jerit tak berkeputusan.
Raja Pengemis yang tadinya siap membunuh
kedua lawannya dengan ilmu Penyedot Raga kini ter-
tawa tergelak-gelak. Rupanya apa yang terjadi dengan
Sepasang Dewa Berwajah Ganda sempat membuat geli
perasaannya. Sapa yang berjingkrak-jingkrak kesaki-
tan dimatanya tidak ubahnya seperti seekor kuda yang
tak mau ditunggangi majikannya.
Akan tetapi selagi Sepasang Dewa Berwajah
Ganda jadi kalang kabut selamatkan diri, pada saat itu
pula terdengar suara menggemuruh disertai bertiup-
nya angin dingin yang sangat luar biasa. Angin itu
berputar bergulung-gulung di atas tanah yang panas.
Lalu terus bergerak mengelilingi Sapa dan Nyana sea-
kan memberikan perlindungan. Begitu angin dingin itu
memulas tubuh kedua orang cacat ini, maka hawa pa-
nas langsung lenyap, tanah yang luar biasa panasnya
berubah dingin. Di depan sana Raja Pengemis nampak
terhuyung tubuhnya mengepulkan asap putih, tapi
nampaknya orang tua itu sedang berusaha keras me
lawan sesuatu, satu kekuatan yang dahsyat namun
tak terlihat kasat mata.
"Sialan tengik, siapa yang mencoba mengadu
tenaga dalam dengan diriku!" rutuk Raja Pengemis
yang baru saja dapat menguasai diri.
Jika Sepasang Dewa Berwajah Ganda tertawa-
tawa seperti seorang bocah yang kegirangan sebaliknya
Raja Pengemis wajahnya mendadak berubah pucat.
"Waduh, habis kepanasan kini tubuh kita se-
perti diguyur es ya saudaraku!" celetuk Sapa.
"Betul, esnya dingin amat. Tubuhku jadi segar."
Nyana menyahuti sambil dongakkan wajahnya ke lan-
git. "Syukur ada dewa, dewanya baik amat."
Tapi baik kedua orang ini maupun Raja Penge-
mis kemudian sama terdiam dan sama pula meman-
dang ke satu arah begitu mereka mendengar suara si-
ulan tak berketentuan. Suara siulan kemudian lenyap,
di tempat itu muncul seorang pemuda berambut gon-
drong bertelanjang dada. Melihat kemunculan si Gon-
drong Gento Guyon Raja Pengemis jadi melengak.
"Apakah si gondrong ini tadi yang mengadu ke-
saktian denganku?" kata Raja Pengemis seorang diri.
"Rasanya tidak mungkin, dia masih muda, bagaimana
mungkin tenaga dalamnya malah lebih tinggi dariku?"
Di depan sana si gondrong yang baru muncul-
kan diri dengan sikap acuh tak acuh memandang Raja
Pengemis sekilas, setelah itu dia menoleh ke arah Sapa
dan Nyana. Melihat kedua orang ini senyum Gento
menghias dibibirnya. "Hem, kalian lagi. Dua dewa pal-
ing malang di dunia. Kita bertemu lagi, bagaimana
dengan obat yang kuberikan tempo hari? Ha ha ha.
Kukira paman Sapa sudah minggat ke akherat karena
obat itu, tidak tahunya masih segar bugar malah tadi
sempat kulihat berjingkrak-jingkrak seperti orang se-
dang bermain kuda."
"Pemuda edan, dibalik segala tingkah edanmu
ternyata kau mempunyai obat mujarab. Aku Sapa,
mengucapkan terima kasih lahir batin!" kata si buta.
"Aku juga mengucapkan terima kasih karena
kali ini kau menyelamatkan kami dari panggangan api
yang dibuat oleh Raja Pengemis!" ujar Nyana pula.
"Ha ha ha. Kukira kalian sedang pesta mandi
api. Tidak tahunya raja gembel itu yang membuat
ulah? Untung aku punya nafas sedikit panjang, kalau
tidak mungkin kalian sudah jadi singkong bakar!" Gen-
to lalu tertawa-tawa tak perduli Raja Pengemis me-
mandangnya dengan tatapan dingin menusuk.
Raja Pengemis sendiri akhirnya menjadi marah
begitu melihat si gondrong ini nampaknya tidak me-
mandang sebelah matapun padanya. Apalagi dia kini
tahu orang yang telah menolong kedua lawannya tadi
adalah pemuda ingusan yang agaknya mempunyai
otak kurang waras ini.
"Monyet gondrong, kau datang tidak diundang
beraninya mencampuri urusan orang lain?" hardik Ra-
ja Pengemis.
Dimaki dirinya 'monyet gondrong' kuping Gento
sempat memerah. Tapi dengan tenang sambil terse-
nyum dia menjawab. "Mungkin diriku ini hanya mo-
nyet gondrong. Tapi apakah engkau lupa bahwa kau
adalah bapak monyet. Hei bapak monyet, bagaimana
dirimu ini masa sampai lupa pada anak sendiri. Ha ha
ha."
Mendengar ucapan Gento Sapa dan Nyana jadi
ikutan tertawa hingga tempat itu jadi berisik oleh sua-
ra gelak tawa mereka. Mendidihlah darah raja Penge-
mis mendengar kata-kata Gento. Dia sering malang
melintang di dunia persilatan, banyak tokoh-tokoh
penting yang menaruh rasa hormat kepadanya, tapi
kali ini ada seorang pemuda berkalung batu seperti
orang sinting bicara seenaknya.
"Bocah edan, bicara terus-terang dan terus-
terang apa maumu. Sehingga aku dapat menentukan
hukuman apa yang akan kujatuhkan padamu atas
ucapanmu tadi?" hardik Raja Pengemis geram.
Beberapa saat Gento terus saja tertawa, malah
kini dia duduk di atas batang pohon kering dengan
kaki bersilangan satu sama lain dengan santainya.
8
Sikap Gento yang tidak dibuat-buat ini jelas
semakin membuat Raja Pengemis bertambah jengkel.
Tapi dia masih berusaha menahan diri untuk menung-
gu beberapa saat lamanya.
Sebaliknya Gento pandangi si orang tua, terle-
bih-lebih pakaiannya yang berwarna kuning. Pemuda
inipun akhirnya tercekat begitu melihat bagian ujung
baju di sebelah bawah nampak robek besar seperti di-
renggut secara paksa. "Mayat-mayat yang kepalanya
berlubang dan otaknya lenyap boleh jadi merupakan
hasil perbuatan Perampas Benak Kepala. Tapi para to-
koh, pendekar yang tewas terbunuh di dalam ruangan
pertemuan rahasia itu?" fikir Gento. Dia ingat betul,
cabikan baju yang terdapat di saku celananya warna
maupun coraknya sama persis dengan warna pakaian
Raja Pengemis. Tapi dia sendiri merasa tidak boleh
berlaku gegabah melempar tuduhan tanpa alasan,
"Pemuda sinting! Kau tak mau mengatakan apa
keinginanmu. Agaknya kau ingin agar aku menjatuh-
kan tangan jahat kepadamu secepatnya?!" Gento ter-
senyum. Nyana jadi tak sabar. "Gento, mengapa kau
diam saja. Orang ini jelas telah mengaku membunuh
para penjaga itu."
"Tidak begitu paman, segala tindakan apalagi
tuduhan harus disertai dengan bukti. Sekarang kalian
menyingkirlah, bantu sahabatku Roro yang saat ini se-
dang memeriksa kawasan ini."
"Kau berkata begitu, perintahmu segera kami
lakukan. Tapi kau harus berhati-hati. Raja Pengemis
manusia edan yang tidak bisa kau pandang sebelah
mata." mengingatkan Sapa. Lalu dia pergi meninggal-
kan Gento dan Raja Pengemis. Orang tua ini rupanya
tidak membiarkan lawan meloloskan diri begitu saja,
dia segera mengejar, tapi gerakannya dihalangi oleh
Gento Guyon.
"Pemuda sialan. Kau benar-benar mencari ma-
ti!" rutuk laki-laki itu sengit. Gerakan kakinya yang
mengayun kini berubah menendang. Hanya sekali ten-
dang pasti pemuda itu terjengkang, begitulah fikir Raja
Pengemis. Tapi satu gerakan yang dibuat Gento mem-
buat pemuda itu lenyap dari hadapannya.
"Hei, kemana minggatnya gondrong kurang ajar
tadi!" maki si orang tua tercekat.
"Aku disini Raja Pengemis, tepat dibelakang-
mu!" kata Gento. Terkejut Raja Pengemis cepat balik-
kan badan. Rasanya kalau pemuda itu mau tentu dia
sudah kena dicelakainya sejak tadi. Kenyataan ini yang
membuat tengkuk Raja Pengemis berubah menjadi
dingin.
"Seperti katamu tadi orang tua. Mungkin salah
seorang diantara kita akan ada yang mati. Kalau tidak
aku pasti kau. Terkecuali kau mau berkata jujur kepa-
daku!" kata Gento sambil pandangi orang didepannya
dengan tatap mata penuh curiga.
Raja Pengemis menjadi kaget. "Eh, apa mak-
sudmu pemuda sinting?"
"Seperti yang kau lihat, di tempat ini telah ter-
jadi pembantaian. Siapa yang membunuh para pen
gawal itu kami kira-kira sudah tahu."
"Kau mengatakan kami, berarti kau tidak sen-
dirian datang ke tempat ini." sergah si kakek.
Gento anggukkan kepala.
"Kau benar, aku bersama kawanku, Roro...
nama panjangnya aku tak tahu entah Roro Cendil atau
Roro Upil." menerangkan Gento sambil mengusap wa-
jahnya pulang balik.
"Itu menandakan bahwa kau bocah edan. Nama
lengkap kawan sendiri pun tak bisa mengingat." den-
gus Raja Pengemis disertai senyum mengejek.
"Lalu apakah ada pembunuhan yang lainnya
lagi?"
"Ada," sahut Gento. "Pembunuhan itu terjadi di
ruangan bawah tanah di suatu tempat yang dijadikan
ruangan pertemuan. Mereka yang terbunuh adalah pa-
ra tokoh dan pendekar golongan putih. Hanya pembu-
nuhan yang terjadi diruangan itu ciri-cirinya sangat
lain. Tapi aku menemukan bukti berupa robekan pa-
kaian yang mungkin sempat direnggut oleh seorang
korban. Pakaian yang kutemukan sama persis dengan
pakaianmu."
"Jadi robekan pakaian itu berwarna kuning?"
Raja Pengemis ajukan pertanyaan disertai senyum
mencibir.
Gento anggukkan kepala.
"Kulihat bajumu juga robek di sebelah bawah.
Robekan baju entah kemana, tapi bisa jadi yang seka-
rang ada ditanganku!"
Sambil memperhatikan baju bawahnya, Raja
Pengemis mengumbar tawa. "Hanya dengan bukti se-
perti itu kau hendak menghukum? Ha ha ha! Sungguh
otak dan jalan fikiranmu sangat sempit sekali. Ha ha
ha!" Mendengar ucapan Raja Pengemis yang jelas
menghinanya Gento tersenyum kecut. Tapi dengan te
gas dia kemudian tetap berkata, melanjutkan ucapan-
nya.
"Mungkin satu bukti tidak kuat, Raja Pengemis.
Jika aku mau menyelidik, mungkin pula di dunia ini
ribuan manusia memakai baju sepertimu. Tapi aku
hanya tinggal mencari dua bukti. Salah satu diantara
dua bukti itu antara lain bisa kucari jika kau mengi-
zinkan aku menggeledah tubuhmu, hanya ku geledah
saja jadi kau tak perlu telanjang di hadapan ku!"
Mendengar ucapan Gento, Raja Pengemis men-
delik. Wajahnya merah padam. Dua tangan terkepal
sebagai tanda bahwa dia sangat geram mendengar
ucapan pemuda itu. Tapi ketenangan dan cara bicara
Gento pulalah yang membuatnya mampu menahan di-
ri.
"Apa yang kau cari hingga kau merasa perlu
memeriksa tubuhku?" tanya orang tua itu heran.
"Karena kita laki-laki, adalah suatu ketololan
jika aku mencari barang yang sama. Yang jelas aku in-
gin memastikan apakah di salah satu kantung pa-
kaianmu tersimpan racun syaraf atau tidak."
"Ha ha ha. Sungguh kau pemuda tak waras
yang sangat nekad sekali. Terus-terang aku tidak per-
nah menyimpan racun itu." bantah Raja Pengemis.
"Ha ha ha, aku hanya akan percaya jika kau
mau kugeledah." kata Gento tetap nekad.
"Bocah tengik sialan. Jika kau tidak percaya
pada ucapanku aku tidak perduli. Tapi kau jangan
pernah mimpi bisa menggeledah aku. Bocah tengik sia-
lan. Jika kau mampu lakukanlah!" Raja Pengemis yang
jengkel akhirnya ajukan tantangan.
"Bagus. Ha ha ha. Ucapanmu kuanggap sebagai
suatu tanda bahwa kau memang memberi izin padaku.
Sekarang juga aku akan mencari dua bukti yang san-
gat kubutuhkan itu. Raja Pengemis lihat tanganku!" te
riak murid si gendut Gentong Ketawa memberi aba-
aba.
Raja Pengemis keluarkan tawa bergelak. Dia
sudah berniat memberi pelajaran pada pemuda yang
dianggapnya konyol kurang ajar itu. Kalau perlu men-
cidrainya hingga salah satu anggota tubuhnya menjadi
cacat. Di depan sana Gento membuka serangan den-
gan jurus Belalang Terbang.
Segalanya berlangsung dengan sangat cepat
dan tidak terduga-duga, karena ketika tubuh Gento
melesat menyerbu ke arah lawannya dengan tangan
terpentang lurus dengan kepala. Raja Pengemis lang-
sung merasakan adanya angin deras yang menyambar
bagian wajahnya. Orang tua itu segera sadar, kalau
pemuda itu sedang berusaha menjatuhkannya. Raja
Pengemis mendengus, tangan kiri digerakkan dari ba-
wah ke atas menangkis serangan lawan, sedangkan
tangan kanan yang terkepal meluncur ke depan men-
cari sasaran di bagian tubuh Gento.
Tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh tak
terduga dan membuat Raja Pengemis jadi melongo. Be-
gitu tangan lawan hampir membentur tangannya, tiba-
tiba Gento liukkan tubuh depannya, serentak dengan
itu pula kepala menukik tajam ke bawah sedangkan
tangan kanan kiri gentayangan menggerayangi saku
baju dan celana lawannya. Apa yang dilakukannya itu
berlangsung sangat singkat sekali. Raja Pengemis yang
gagal menangkis serangan dan gagal pula memukul
dada lawan, kini dengan cepat hantamkan lututnya ke
wajah Gento. Tapi pemuda ini sudah jejakkan kaki, la-
lu tarik wajahnya dari jangkauan lutut lawan.
Sekali lagi serangan Raja Pengemis yang diken-
al sangat cepat itu hanya mengenai tempat kosong.
Dua tombak didepannya sana Gento Guyon tertawa
tapi keningnya berkerut tajam.
"Aku telah menggeledah kantong mu Raja Pen-
gemis, tak kutemukan apa yang kucari. Cuma tadi
sempat terpegang oleh ku sepotong tebu, mungkin. Ha
ha ha. Adalah mengherankan orang seperti dirimu ma-
sih suka makan tebu?"
"Pemuda edan, kau masih bisa meloloskan diri
dari Tendangan Kaki Bertekuk Lutut. Apakah kau bisa
meloloskan diri Uluran Tangan Pengemis?" seru Raja
Pengemis dengan muka merah padam.
Wuuut!
Dua tangan Raja Pengemis lalu ditadahkan ber-
sikap seperti peminta sedekah. Setelah itu tangan dis-
odorkan ke depan. Kemudian laksana kilat ditarik lagi
ke belakang. Tangan dibalik, lalu dengan tangan mem-
bentuk cakar dia menyerbu ke arah Gento. Tangan lalu
terayun ke kiri dan ke arah kanan. Setiap gerakan tan-
gan disertai suara bersiutan dan setiap menyambar ke
tubuh Gento, pemuda ini pasti merasakan tubuhnya
yang terkena sambaran angin lawan laksana disayat-
sayat belati. Meskipun Gento mengembangkan jurus-
jurus Belalang Terbangnya, tapi dia cepat sekali terde-
sak, malah lawannya hanya dalam waktu beberapa de-
tik sudah mampu mengurung ruang gerak pemuda itu.
Bukan hanya itu saja, tubuhnya seolah tenggelam da-
lam badai serangan lawannya. Gento tak mungkin ke-
luar dari kungkungan serangan tangan lawan yang
seakan datang dari seluruh penjuru arah itu. Tapi dia
sendiri tak mungkin terus bertahan dalam keadaan
seperti itu. Maka dengan tangan sengaja ditekuk dia
menangkis serangan lawannya.
Dess!
Breet!
Benturan siku dengan tangan lawannya me-
nimbulkan rasa sakit yang tidak terkira. Walaupun
Gento berhasil melompat selamatkan diri dari gelom
bang serangan lawan, tak urung kulit dadanya tergores
kuku lawan. Lima goresan kuku jari membekas disana,
hingga mengeluarkan darah serta menimbulkan rasa
sakit yang tidak terkira.
Gento menyeringai, didepannya Raja Pengemis
sunggingkan senyum mengejek. "Sekarang kulitmu
yang ku cabik, sebentar lagi nyawamu pasti akan ku-
renggutkan dari jasadmu!"
"Ha ha ha. Bisa saja kau orang tua, memang-
nya kau ini wakil dari malaikat maut. Huh... sampai di
situ sajakah kesaktian dan ilmu yang kau miliki?"
pancing Gento sengaja memanasi lawannya.
Sebenarnya Raja Pengemis bukan orang yang
mudah terpengaruh oleh ucapan lawannya, namun ka-
rena dia sadar pemuda yang satu ini memiliki tenaga
dalam yang tinggi, maka diapun tak mau berlaku ayal.
Masih dengan jurus yang sama dia kembali menyerbu
ke depan, tapi kali ini serangannya sedikit berubah
dengan kecepatan berlipat ganda. Dua tangan kembali
menyambar ke bagian perut dan dada pemuda itu.
Pendekar Sakti Gento Guyon yang sudah mendapat
gembelengan tambahan serta tenaga dalam tinggi dari
Manusia Seribu Tahun segera miringkan tubuhnya ke
kiri. Setelah itu dia menghindar dengan langkah ter-
huyung-huyung, gerakannya pun jadi sembarangan.
Rupanya pada saat itu Gento telah mengerahkan jurus
Congcorang Mabuk.
Raja Pengemis diam-diam jadi heran. Bagaima-
na mungkin setiap serangan yang dilancarkannya tak
mengenai sasaran, malah berulang kali tubuhnya
hampir menjadi sasaran tendangan lawan.
"Pemuda ini, langkahnya grubak-grubuk seperti
orang mabuk. Aku seperti mengenai jurus yang diper-
gunakannya itu?! batin Raja Pengemis.
"Raja Pengemis, lihat!" teriak si pemuda. Terke
jut orang tua itu melompat mundur, sedangkan ka-
kinya menghantam deras ke kaki Gento. Pemuda ini
melompat, sambil melompat secara tak terduga lang-
sung menghantamkan tinjunya ke wajah lawan.
Dees!
Brak!
Raja Pengemis jatuh terguling-guling, peman-
dangannya berkunang-kunang kepala laksana mau
meledak, sedangkan pelipisnya menggembung besar,
bengkak membiru. Terhuyung Raja Pengemis bangkit
berdiri, dia yang sudah hampir mengenali jurus yang
dipergunakan Gento mendadak jadi lupa lagi. Kini aki-
bat guncangan yang keras akibat pukulan tadi malah
menimbulkan kemarahan hebat di hati Raja Pengemis.
"Pukulanmu sungguh hebat, bocah. Kepalaku
sampai mau meledak, dan kurasakan dunia ini seperti
berputar. Tapi... semua itu bukan berarti kau telah
menang menghadapi aku. Aku punya salah satu ilmu
yang selama ini tak seorang lawanpun selamat dari
padanya."
Dalam hati Gento membatin. "Bagus, memang
ini yang kutunggu. Racun pelumpuh syaraf boleh jadi
tak kau miliki. Tapi siapa bisa menduga bahwa se-
sungguhnya kau orangnya yang memiliki pukulan Te-
lapak Beracun yang membuat tokoh dan pendekar di
ruangan rahasia itu tak ada yang selamat." Lalu Gento
berteriak lantang. "Raja Pengemis, yang aku tahu na-
manya pengemis bisanya cuma meminta-minta. Jika
ternyata kau memiliki sesuatu yang patut dibanggakan
mengapa tak segera kau perlihatkan kepadaku?"
"Kau pasti akan sangat menyesal telah menen-
tangku!" teriak Raja Pengemis pula.
Tak menunggu lebih lama orang tua itu letak-
kan dua tangannya yang terkepal di atas kepala. Mulut
si orang tua berkemak-kemik, entah apa yang diba
canya. Tapi Gento menyadari pastilah lawan hendak
menggunakan ilmunya yang paling hebat, untuk itu
dia segera bersikap waspada dan langsung mengerah-
kan ilmu andalan warisan Manusia Seribu Tahun, yai-
tu ilmu Menitis Bayangan Raga. Gento silangkan dua
tangannya di depan dada, salah satu kaki ditekuk.
Kemudian tangan kanan yang disilangkan itu digerak-
kan secara perlahan ke depan. Satu perubahan terjadi,
tubuh pemuda itu tiba-tiba mengembar menjadi dua.
Dari dua menjadi tiga dan terus berlanjut sampai men-
jadi lima dalam sosok yang sama. Pada saat itu Raja
Pengemis sudah menghantam ke Gento yang telah
mengembar menjadi lima orang mendadak merasakan
ada satu kekuatan yang menyedot tubuhnya ke arah
Raja Pengemis. Daya sedot semakin bertambah besar,
lima sosok Gento Guyon bergetar hebat. Di depan sana
Raja Pengemis merasa lima kekuatan menahan daya
tarik yang bersumber dari ilmu anehnya. Biasanya
orang yang terkena pukulan Penyedot Raga, bukan
hanya tenaga dalamnya saja yang terkuras berpindah
ke tubuh Raja Pengemis, selain itu nyawanya juga ti-
dak akan tertolong walaupun pengerahan ilmu itu ber-
langsung sangat singkat.
Tapi kini kenyataan yang dia hadapi, tubuh la-
wan yang dapat berubah menjadi lima orang ini seakan
mampu bertahan dari pengaruh ilmunya. Walaupun
saat itu kelima sosok dalam ujud sang pendekar Sakti
sudah nampak bergetar sedangkan kakinya mulai am-
blas pula ke dalam tanah.
Gento Guyon sendiri merasa seluruh perut dan
daging tubuhnya laksana dicabik-cabik. Kedua ma-
tanya seperti mau tanggal. Diapun tak mau mengambil
resiko yang dapat membahayakan keselamatan ji-
wanya. Karena itu diapun berteriak.
"Lima Bayangan Menyatu Raga!" Seiring dengan
itu pula satu demi satu sosok Gento yang lain berlom-
patan berdiri di atas bahu. Setiap sosok kaki Gento
menyentuh Gento yang lain, maka sosok itu amblas,
sampai kemudian menjadi satu kembali dalam ujud
sosok Gento yang sesungguhnya. Setelah empat
bayangan lain menyatu badan, maka Gentopun tanpa
sungkan-sungkan lagi menghantam ke depan. Kini ke-
kuatan pukulan yang telah berubah menjadi lima kali
lipat itu melabrak tubuh Raja Pengemis. Dua kekuatan
beradu keras di udara membuat Gento Guyon dan Ra-
ja Pengemis terlempar ke belakang masing-masing se-
jauh lima tombak. Mereka sama jatuh menelungkup.
Dari mulut dan hidung masing-masing lawan me-
nyembur darah kental kehitaman. Pendekar Sakti Gen-
to Guyon yang wajahnya berubah pucat seperti mayat
cepat telan dua pil mujarab.
Sedangkan dibelakangnya sana Raja Pengemis
segera duduk bersila. Dia mencoba mengatur nafas
dan jalan darahnya yang kacau. Mata orang tua ini
terpejam. Sedangkan Gento masih dalam keadaan du-
duk langsung memutar tubuh. Dia menunggu. Dan ki-
ni baru yakin bahwa Raja Pengemis tak memiliki ilmu
Telapak Beracun. Tidak lama berselang Raja Pengemis
membuka matanya. Si pemuda melihat wajah orang
tua itu masih pucat.
"Raja Pengemis, apakah kau masih ingin me-
lanjutkan perkelahian ini hingga salah seorang dianta-
ra kita ada yang mati seperti katamu tadi?" tanya Gen-
to diam-diam juga merasa kagum dengan kehebatan
yang dimiliki oleh Raja Pengemis.
"Percuma, kau begitu tangguh. Aku... aku se-
benarnya masih punya pertanyaan untukmu." berkata
Raja Pengemis dengan suara lunak dan disertai se-
nyum. Melihat sikap orang yang mendadak berubah
Gento jadi heran.
9
Dengan sikap acuh, namun hati diliputi rasa
ingin tahu Gento pandangi Raja Pengemis. "Apa perta-
nyaanmu, Raja Pengemis? Setelah kita berkelahi apa-
kah kau sekarang ingin mengajari aku bagaimana
menjadi raja dari pada para pengemis?" kata Gento
disertai senyum mengejek.
Raja Pengemis gelengkan kepala. "Aku ingin
bertanya, setelah melihat jurus-jurus silatmu tadi apa
hubunganmu dengan orang tua sinting Gentong Keta-
wa?"
Mendapat pertanyaan yang tak disangka-
sangka itu Gento Guyon tentu saja jadi melengak ka-
get. Dia tak mengerti bagaimana Raja Pengemis bisa
mengenai gurunya?
Sebenarnya dia tak ingin menjawab pertanyaan
orang tua itu, karena Gento memang dilarang menga-
takan siapa gurunya pada sembarang orang. Tapi me-
lihat tatapan Raja Pengemis yang teduh dan menco-
rong tajam tapi bukan menyimpan permusuhan. Maka
diapun akhirnya menjawab. "Kakek Gentong Ketawa
itu adalah guruku!"
Mata Raja Pengemis membulat lebar, ada pera-
saan girang membayang di wajahnya, "Benarkah Gen-
tong Ketawa sahabatku itu gurumu? Sudah lama seka-
li kami tidak bertemu dengan si edan yang satu itu.
Dimana dia sekarang?" tanya Raja Pengemis ramah.
Yang ditanya berubah murung. "Aku juga se-
dang mencarinya!" kata Gento. Dia kemudian menceri-
takan segala sesuatu yang terjadi juga angin putih
yang membuat gurunya terpesat entah kemana.
"Angin putih." Raga Pengemis mengguman da
lam hati. "Aku berharap gurumu dalam keadaan sela-
mat. Dia beruntung karena memiliki murid yang san-
gat hebat. Hampir saja kita saling berbunuhan. Lalu
mengapa kau sampai di tempat ini?"
"Aku sengaja memenuhi keinginan guruku. Ta-
pi tak pernah kusangka kejadiannya sampai seperti ini
Paman. Para tokoh itu semuanya tewas. Ada yang dije-
bol kepalanya. Ada yang terkena racun penghancur
syaraf ada pula yang terkena pukulan Telapak Bera-
cun!" menerangkan Gento.
"Para pengawal yang mati itu aku sudah meli-
hatnya. Iblis penyedot otak, barangkali dia pelakunya.
Akhir ini namanya menjadi momok bagi dunia persila-
tan. Sedangkan orang yang memiliki ilmu Racun Pe-
lumpuh Syaraf atau yang mempunyai pukulan Telapak
Tangan aku belum tahu."
"Semula aku curiga padamu, karena kulihat
pakaianmu robek. Warna pakaian paman sama persis
dengan robekan pakaian yang kutemukan di salah sa-
tu tangan korban. Maaf aku telah salah menduga."
"Tidak mengapa, yang jelas aku tidak punya ra-
cun atau pukulan yang keji. Menurutku bisa jadi pela-
ku pembunuhan ini adalah orang yang sama!"
"Maksudmu Si Perampas Benak Kepala itu pe-
lakunya?" tanya Gento penuh perhatian.
"Mungkin saja, orang itu sangat cerdik. Otak-
nya bukan cuma satu, tapi puluhan. Ingat daya fikir-
nya pun menjadi sangat hebat. Tapi aku akan mem-
bantumu, aku akan berusaha mencari pembunuh
yang sebenarnya sekaligus mencari muridku yang
murtad!" ketika berkata begitu wajah Raja Pengemis
berubah murung.
Gento menjadi heran. "Kau menyebut muridmu,
murid murtad, apakah yang telah terjadi?" tanya Gen-
to,
"Anak itu ku didik sejak kecil. Namanya Menak
Sangaji. Setelah dewasa dia malah pergi dengan mem-
bawa sebuah jimat yang sangat berbahaya bila digu-
nakan untuk jalan yang salah. Pemuda itu harus ku-
temukan dan kubawa ke tempat pertapaan. Kalau per-
lu segala ilmu yang kuturunkan kepadanya kukuras
lagi!" geram si kakek.
"Siapa nama muridmu itu, namun barangkali
suatu saat aku bisa membantu mencarikannya un-
tukmu!" ujar Gento.
"Pemuda baik, terima kasih kau mau memban-
tu. Nama muridku itu adalah Menak Sangaji." kemu-
dian Raja Pengemis menerangkan ciri-ciri sang murid.
Gento menggangguk tanda mengerti.
"Kau sendiri siapa namamu?" tanya Raja Pen-
gemis.
"Aku, namaku Gento Guyon paman!" Menden-
gar Gento menyebut namanya Raja Pengemis terse-
nyum.
"Namamu hampir sama dengan nama gurumu.
Tapi gurumu walaupun sinting lebih beruntung diban-
dingkan diriku. Aku kagum dengan segala kehebatan
yang kau miliki."
Sadar orang menyanjungnya, Gento malah bi-
cara merendah. "Apa yang kumiliki belum seberapa di-
bandingkan dengan kekuasaan Gusti Allah paman. Se-
tiap ilmu hebat masih ada yang lebih hebat lagi. Di
atas langit masih ada langit bukankah begitu ujar-ujar
para orang tua dulu paman?!" tanya Gento sambil me-
natap tajam pada Raja Pengemis.
"Apa yang kau katakan itu memang benar
adanya. Gento, aku senang bertemu denganmu. Tapi
aku tak dapat menunggu lebih lama lagi denganmu,
kelak mungkin bila ada umur panjang kita pasti ber-
temu lagi." kata Raja Pengemis. Orang tua itu kemu
dian bangkit berdiri. Sebelum pergi Gento sempat me-
lihat Raja Pengemis mengurut dadanya.
"Paman, apakah luka dalammu masih sakit?"
"Tidak. Aku tidak apa-apa. Kau tak usah meri-
saukannya. Sekarang aku harus pergi dulu, untuk
mencari pembunuh dan muridku yang murtad itu!" te-
gas Raja Pengemis.
Selesai berkata si orang tua tinggalkan tempat
itu. Gento Guyon pandangi kepergian Raja Pengemis
sekilas. Setelah itu dia kembali menjumpai Roro Centil
yang ketika ditinggalkannya tadi sedang sibuk meme-
riksa di bagian halaman depan.
Roro Centil duduk bersimpuh di depan pusara
itu. Dengan mulut bergetar dia membaca batu nisan
bertuliskan nama orang yang sangat dikenalnya. Sekali
lagi si gadis memperhatikan, membacanya lagi beru-
lang-ulang. 'DISINI BERISTIRAHAT DENGAN SENANG,
SI MUKA SETAN'.
Roro Centil gelengkan kepala seakan tak per-
nah percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Cu-
kup lama dia termenung, sementara tanpa disadari air
matanya bergulir menetes membasahi pipi.
"Muka Setan mengapa semua ini harus terjadi.
Benarkah yang berada di dalam pusara ini adalah di-
rimu? Jika benar siapa yang telah membunuhmu?!"
tanya Roro Centil seorang diri.
"Gadis cantik, jika benar yang dimakamkan di
situ adalah Si Muka Setan, tangis dan deraian air mata
tak akan pernah menyelesaikan masalah.!" kata satu
suara. Roro Centil tentu saja menjadi kaget, cepat dia
menoleh ke belakang.
Si gadis jadi melengak kaget ketika dilihatnya
dua orang laki-laki berdiri tegak dibelakangnya. Yang
membuat Roro Centil menjadi sangat heran salah satu
dari mereka yang berkaki buntung duduk di atas bahu
temannya yang berbadan kurus dan berperut buncit.
Tapi si gadis kemudian nampak menjadi girang ketika
dia mengenal kedua laki-laki cacat ini.
"Paman Sapa... paman Nyana?" seru Roro Cen-
til, dengan cepat dia menyeka kedua matanya yang ba-
sah.
"Roro...! Kau berada disini. Pusara yang kau
tangisi itu?" tanya Nyana. Dia kemudian langsung
mendekati gadis itu.
"Aku bukan menangisi pusara, yang ku tangisi
adalah orang yang berada di dalam pusara ini." sahut
Roro Centil.
Nyana tanpa bertanya lagi langsung melihat ke
bagian kepala nisan. Dengan jelas dia melihat satu
nama tertera disini. "Si Muka Setan!"
"Memang siapa yang berkubur disini, Nyana?"
tanya Sapa yang tak dapat melihat sama sekali.
"Si Muka Setan." jawab Nyana singkat.
Sepasang mata buta Sapa mendelik besar, dia
sama sekali tak mampu menyembunyikan rasa kaget-
nya. "Bukankah dia orangnya yang telah merencana-
kan pertemuan besar ini?"
"Paman betul. Tapi nampaknya dia telah terbu-
nuh, mungkin sebelum pertemuan itu dimulai." jelas
Roro Centil.
"Siapakah pembunuh jahanam itu? Apakah
orang yang sama? Maksudku tokoh gila yang telah
menyedot otak para pengawal ini?" tanya Nyana den-
gan perasaan geram.
"Aku tidak dapat memastikannya paman Nya-
na, karena tak seorangpun orang-orang yang berada
disini yang dapat menyelamatkan diri. Malah mereka
yang hendak melakukan pertemuan di satu ruangan
rahasia di rumah itu semuanya tewas terbunuh!" kata
Roro Centil.
"Gusti Allah, mengapa segala kebiadaban ini
kau biarkan terjadi?" desis Sapa dengan suara berge-
tar.
"Kita harus mencari pembunuh itu!" tegas Nya-
na.
Roro Centil anggukkan kepala.
"Memang kita akan mencarinya." sahut si gadis.
Dia kemudian ajukan pertanyaan lagi. "Oh ya, bagai-
mana paman berdua bisa sampai kemari?"
"Aku dan adikku memang sengaja datang. Ba-
rangkali walaupun tidak diundang kami para orang
cacat ini bisa menyumbangkan tenaga! Tapi secara tak
terduga setelah sampai disini kami hanya melihat satu
kekejian yang sangat luar biasa. Masih untung aku tak
bisa melihat, jika tidak mungkin aku sudah pingsan."
"Selain itu sahabat sekaligus penolong kami
Gento Guyon memang menyuruh kami untuk mene-
muimu, barang kali kau membutuhkan bantuan!" ujar
Nyana ikut menimpali.
Begitu Nyana menyebut nama Gento, Roro Cen-
til jadi kaget. Sejak keluar dari pintu depan rumah be-
sar tadi, Gento memang menyuruhnya untuk menyeli-
dik di sekitar halaman depan. Sedangkan Gento sendi-
ri karena memang mendengar suara teriakan dan ben-
takan langsung berlari ke arah datangnya suara. Ba-
gaimana yang terjadi selanjutnya Roro Centil sama se-
kali tidak tahu.
Khawatir akan keselamatan si pemuda, maka
tanpa sadar si gadis langsung bangkit. Telinga dipa-
sang, tapi akhirnya dia menjadi heran karena suara
perkelahian sudah tidak lagi terdengar.
"Paman, saat paman berdua meninggalkan
Gento apa yang sedang dilakukannya?" tanya si gadis
cemas.
Sapa menjawab. "Mereka saling bentak
bentakan."
Roro Centil sebenarnya tak dapat menahan ra-
sa geli mendengar jawaban si buta, tapi rasa khawatir
dan kecemasan yang menggelayuti dirinya akan kese-
lamatan si pemuda membuatnya tak bisa tersenyum
apalagi tertawa.
"Aku sudah tak mendengar suara perkelahian
lagi. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Gento?!" lalu
tanpa fikir panjang lagi si gadis balikkan badan dan
bermaksud menyusul si gondrong. Akan tetapi langkah
si gadis jadi tertahan begitu melihat Gento telah mun-
cul dihadapannya. Seakan tidak pernah terjadi apa-
apa sebelumnya sambil tersenyum-senyum Gento
menghampiri mereka.
"Gento, bagaimana? Siapa orang itu?" tanya Ro-
ro Centil.
"Maksudmu orang yang hampir membuat cela-
ka, para dewa sengsara ini?" Roro Centil mengangguk.
"Dia bukan pembunuh yang kita cari. Dia Raja Penge-
mis. Orang itu rupanya masih terhitung sahabat guru-
ku. Sekarang dia pergi untuk mencari muridnya yang
telah melarikan jimat sakti. Tapi sebelum pergi dia ber-
janji untuk membantu mencari jejak pembunuh yang
sebenarnya!" ujar Gento.
"Raja sialan itu, masih beruntung dia merupa-
kan sahabat gurumu, jika tidak. Kami pasti akan men-
carinya!" sahut Sapa rupanya masih merasa jengkel
pada Raja Pengemis. Gento tersenyum.
"Sudahlah, kalau memang telah kalah tak usah
ngotot salah sedikit jiwamu bisa melayang, paman."
"Bukan jiwaku yang melayang, tapi jiwanya
yang akan kubuat melayang!" dengus Nyana.
Gento tertawa, lalu gelengkan kepala. Pemuda
itu lalu melirik ke arah Roro Centil, tanpa sadar dia
melihat satu pusara berada di belakang gadis itu. Se
pasang alis si pemuda terangkat naik.
"Pusara siapa itu?" tanya Gento pada Roro Cen-
til.
"Kubur Si Muka Setan! Nampaknya dia terbu-
nuh sebelum pertemuan para pendekar dilangsung-
kan." menerangkan gadis itu.
Pendekar Sakti Gento Guyon berjingkrak kaget.
Sama sekali dia tak menyangka kalau orang yang dicu-
rigainya sebenarnya telah tewas. Tapi apakah memang
benar yang berkubur dalam pusara itu Si Muka Setan?
Bagaimana jika semua ini hanya merupakan muslihat
musuh untuk mengelabuhi mereka? Fikir Gento. Jika
memang betul Si Muka Setan telah terbunuh, rasanya
daftar orang yang mereka curigai semakin bertambah
sedikit.
"Roro, jika Si Muka Setan telah terbunuh, be-
rarti orang yang membantai para tokoh di dalam ruan-
gan pertemuan bukan dia." ujar Gento.
"Mungkin bukan dia, masih ada orang lain. Ta-
pi siapa? Apakah musuh besarmu Panji Anom Pengge-
tar Jagad?" tanya si gadis penuh selidik.
"Aku tidak merasa pasti. Setahuku Panji Anom
tak memiliki pukulan Telapak Beracun, dia juga tak
mempunyai racun mematikan Pelumpuh Syaraf!" ja-
wab si pemuda penuh keyakinan.
"Apakah Perampas Benak Kepala?" duga Roro.
"Aku juga kurang pasti. Untuk membuktikan
semua itu satu-satunya jalan adalah mencari Peram-
pas Benak Kepala. Hanya setelah berhadapan dengan
dia baru kita bisa mengetahui apakah dia memiliki dua
hal yang aku sebutkan tadi!" kata Gento.
"Jika benar, berarti dia memang pelaku satu-
satunya yang bertanggung jawab atas serangkaian pe-
ristiwa yang terjadi!" kata Nyana menimpali.
"Akupun jadi ingin memecahkan kepalanya.
Aku mau lihat otak siapa saja yang berada di balik be-
nak kepalanya!" ujar Sapa tak mau ketinggalan.
"Kalau sudah didapat kata sepakat, tak ada sa-
lahnya jika kita berangkat sekarang juga!" berkata Ro-
ro Centil dengan perasaan tidak sabar.
"Aku setuju." Sapa dan Nyana menyahuti.
"Baiklah, aku tahu para dewa sengsara ini su-
dah tidak sabar ingin membuat gulai otak yang tersim-
pan di dalam kepala Perampas Benak Kepala."
"Hueek...!" Kedua laki-laki cacat itu muntah
berbarengan begitu mendengar ucapan Gento. Si gon-
drong tertawa terkekeh-kekeh. Roro Centil tersenyum,
kemudian membalikkan badan dan melangkah pergi.
10
Gadis berpakaian ungu berwajah cantik dengan
bentuk dagu seperti pinang terbelah itu duduk diam di
atas sebuah batu. Sejak ayahnya tewas ditangan Rajo
Penitis, dia memang tidak dapat lagi hidup tenteram.
Perasaannya selalu gundah gelisah dan dia menjadi ti-
dak lagi tinggal di rumahnya seorang diri. Tiap hari dia
hanya termenung memikirkan nasibnya yang tinggal
sebatang kara.
Dalam keadaan seperti itu terkadang dia jadi
teringat pada si gondrong. Orang yang telah menolong
menyelamatkan dirinya dari Rajo Penitis. Setiap malam
bayangan wajah Gento seakan bermain di pelupuk ma-
tanya. Semua ini merupakan suatu siksaan tersendiri
bagi gadis yang bernama Sriwidari ini. Selama hidup
rasanya baru kali ini dia didera oleh perasaan begitu
rupa. Celakanya semakin dia mencoba untuk melupa-
kan pemuda yang pernah menolongnya itu, maka
bayang Gento seakan bertambah lebat di dalam be
naknya.
"Si gondrong itu, namanya saja aku belum ta-
hu. Bahkan aku tidak sempat mengucapkan rasa teri-
ma kasih atas semua pertolongannya." membatin Sri-
widari.
Dia lalu menarik nafas sambil berfikir, andai
saja ayahnya Juru obat Angin Laknat tidak terbunuh
di tangan Rajo Penitis, andainya dia tidak ditotok dan
dilarikan oleh manusia raksasa itu, mungkin dia tak
pernah mengenal si gondrong. Mungkin juga dia tak
akan tahu apa artinya rindu. Tapi apa artinya semua
itu jika sekarang hati dan jiwanya terombang-ambing
oleh rasa gelisah yang tidak berkesudahan?
Sriwidari gelengkan kepala. Dia jadi ingat pada
Rajo Penitis, si raksasa pembunuh ayahnya. Ingat pa-
da manusia yang satu ini, wajah si gadis nampak me-
negang, sepasang matanya berkilat tajam dijilati rasa
dendam. Tanpa sadar Sriwidari kepalkan tinjunya.
"Manusia laknat keji, pembunuh keparat! Aku
akan mencarimu, aku tak mungkin hidup tenteram se-
lama kau masih hidup bebas bergentayangan di atas
bumi!" geram Sriwidari.
Biasanya dalam keadaan seperti itu manusia
suka berlaku lengah. Orang bahkan bisa lupa dimana
dirinya berada saat itu. Apalagi bila kekalutan benar-
benar menyergap jiwa, bisa saja orang lupa pada ba-
haya yang mungkin bisa muncul secara tak terduga.
Begitu juga halnya yang terjadi dengan Sriwidari saat
itu. Dalam keadaan seperti itu dia sama sekali tidak
tahu kalau saat itu ada sepasang mata yang terus
mengawasi segala gerak-geriknya.
Sepasang mata yang memandangnya dengan
penuh nafsu mengandung gairah.
"Gadis cantik bersunyi diri ditempat yang begini
sepi. Sungguh rejekiku hari ini benar-benar sangat be
sar. Aku akan meringkusnya, lalu membawanya ke sa-
tu tempat. Wajah cantik, kulit putih mulus, dada dan
pinggul...!" satu seringai bermain di bibir si pengintai.
"Orang seperti dia sangat sesuai dengan seleraku. Dia
cocok untuk kubawa menikmati sorga dunia!" Si pen-
gintai menelan ludah. Sekonyong-konyong dia melesat
keluar dari balik tempat persembunyiannya. Dalam
keadaan melesat di udara tangan sosok berpakaian
serba kuning itu terjulur ke depan lancarkan totokan
di bagian punggung Sriwidari.
Tapi nampaknya si gadis memiliki indera pen-
dengarannya yang sangat tajam, terbukti begitu dia
mendengar adanya hembusan angin Sriwidari lang-
sung menoleh ke belakang. Dia melihat satu tangan
terjulur, semua ini sudah merupakan suatu tanda ada
bahaya yang sedang mengancamnya. Tanpa fikir pan-
jang dia jatuhkan diri lalu bergulingan hindari totokan.
Begitu selamat dari totokan orang dia langsung bangkit
berdiri dan mencabut pedang pendeknya.
Sriwidari tak kuasa menutupi rasa kagetnya ke-
tika dia melihat satu sosok berupa seorang nenek tua
berwajah angker seperti setan berpakaian warna kun-
ing telah berdiri tegak didepannya.
"Perempuan tua wajah Setan siapa dirimu ini
yang sebenarnya!" tanya Sriwidari berusaha mene-
nangkan diri dan mengatur debaran hati.
"Hik hik hik! Namaku tak penting, tapi julu-
kanku sesuai dengan rupa wajahku!" sahut si nenek.
Si gadis meneliti, dia memang tak mengenali
nenek berwajah setan ini sehingga dia kembali ber-
tanya. "Mengapa kau menyerangku!"
Si Muka Setan dongakkan wajahnya yang men-
gerikan. Lalu dia tertawa panjang. "Tak cukup waktu
bagiku untuk menjelaskannya. Aku akan membawamu
ke satu tempat. Tempat itu adalah sebuah sorga, sorga
penuh nikmat yang tak ada duanya!" sahut si nenek.
Walaupun dirinya adalah seorang gadis, namun dia fa-
ham arti ucapan si nenek. Sehingga sambil melintang-
kan pedang di depan dada Sriwidari berucap "Perem-
puan gila, agaknya kau mempunyai kelainan. Otakmu
tidak waras dipenuhi fikiran keji!"
"Karena otakku paling waras maka aku menga-
jakmu untuk menikmati sorga. Hanya orang gila saja
yang tak tahu betapa hebat sorga itu!" kata si nenek,
lagi-lagi dia keluarkan tawa.
Merah padam wajah si gadis mendengar uca-
pan Si Nenek,
"Tua bangka keparat, manusia hina penuh kee-
danan. Lihat pedang dan mampuslah!" teriak Sriwidari.
Laksana kilat dia memutar pedang membentuk sinar
putih bergulung bagaikan gelombang awan putih di-
permainkan angin. Selanjutnya pedang dibabatkan ke
arah si nenek, mendera deras sedikitnya mengancam
tiga bagian tubuh lawannya.
Melihat serangan pedang yang ganas luar biasa
si nenek keluarkan tawa panjang. Sejengkal lagi mata
pedang membabat putus tiga bagian tubuhnya dia
langsung lakukan satu gerakan aneh. Tahu-tahu tu-
buh si nenek lenyap dan serangan pedang hanya men-
genai tempat kosong. Dalam kagetnya tak menyangka
lawan memiliki kehebatan luar biasa, Sriwidari memu-
tar tubuh. Dia melihat Si Nenek berdiri di situ dengan
seringai bermain dimulut.
"Permainan jurus pedangmu memang hebat.
Kurasa banyak lawan tak sanggup menghadapimu.
Tapi jika kau mau menjatuhkan aku butuh belasan
tahun lagi untuk belajar agar kau bisa lebih hebat!"
ejek Si Muka Setan.
Sriwidari merasa terhina, wajahnya merah pa-
dam. Tanpa banyak bicara dia keluarkan teriakan me
lengking. Sontak pedangnya diputar sebat dengan ke-
cepatan dan kekuatan berlipat ganda. Setelah itu di-
apun menyerbu lawannya dengan serangkaian seran-
gan ganas.
Si nenek meskipun kaget tapi tetap mengumbar
tawanya. Dia sama sekali tak berusaha menghindari
serangan lawan, seakan dia pasrah tubuhnya menjadi
serangan senjata lawan. Melihat ini si gadis semakin
bersemangat. Pedang lalu dibabatkan ke bagian perut.
Di saat pedang meluncur ke bagian perutnya si nenek
berkelit cepat. Lalu tangan dikibaskan ke arah Sriwi-
dari.
Tring!
"Hek!"
Hanya berupa kibasan tangan saja yang dila-
kukan si nenek, tapi mampu membuat pedang ditan-
gan Sriwidari terbetot lepas sedangkan tubuhnya jadi
tertotok kaku tak dapat digerakkan. Sriwidari tercekat,
dia mencoba menggerakkan tubuhnya. Gagal, dia lalu
berteriak mendamprat.
"Nenek keparat, perempuan cabul. Lepaskan
diriku!" tapi suara teriakan itu tak pernah keluar dari
mulutnya. Ternyata alat suaranya juga dalam keadaan
tertotok. Sriwidari mendelik besar, sadar akan apa
yang mungkin terjadi, Sriwidari merutuk habis-
habisan.
Si Muka Setan tersenyum penuh arti. Dia me-
langkah mendekat. Dipandangnya wajah cantik itu
dengan tatap penuh keinginan.
"Sekarang kita tinggalkan tempat ini sayang. Hi
hi hi! Kita pari tempat yang cocok buat kita berdua!"
sambil berkata begitu si nenek langsung menyambar
tubuh Sriwidari lalu membawanya berlari secepat ter-
bang.
Si gadis menjerit-jerit. Tapi jeritannya tak per
nah terdengar. Jerit yang kemudian berubah menjadi
rasa takut yang seumur hidup belum pernah dialaminya.
TAMAT
SEGERA TERBIT !!!
SANG PEMBANTAI







0 komentar:
Posting Komentar