1
Malam merangkak perlahan, membawa kegelapan
yang terasa mencekam. Angin semilir menghembus-
kan hawa basah dan dingin yang menusuk tulang
sum-sum. Bulan sabit di langit kelabu, menyusup di
balik awan-awan berarak yang menghadangnya.
Malam terus merangkak, gelap menyelubungi
bumi. Keadaan itu membuat Istana Telaga Mas yang
terletak di tengah-tengah dan dikelilingi hutan serta
pegunungan, tampak sepi bagaikan mati. Semua
penghuni istana itu telah terlelap dalam tidur. Hanya
sepuluh orang pranjurit jaga yang masih membuka
mata. Mereka tengah berjaga-jaga di sekitar istana
dengan bersenjata tombak.
Meskipun rasa kantuk yang berat menyergap
mata, mereka tetap berusaha bertahan. Kesetiaan
dan rasa tanggung jawab terhadap amanat yang di-
bebankan membuat kesepuluh prajurit itu tetap
menjalani tugas.
Kesepuluh prajurit yang mengenakan pakaian
rompi hitam dengan hiasan keemasan di depan dada,
berjalan-jalan memeriksa keadaan di sekeliling
istana. Mata mereka yang tajam laksana mata burung
hantu terus mengawasi segenapa penjuru istana.
Mereka dibagi menjadi empat kelompok. Tiga di
depan, tiga di belakang, dua di samping kanan, dan
dua lagi di samping kiri. Hal itu dimaksudkan, jika
terjadi sesuatu dari semua penjuru, mereka akan
segera mengetahui. Kesepuluh prajurit itu terus menjaga keamanan lingkungan istana. Sesekali antar
pemimpin kelompok saling bertemu, untuk melapor-
kan keadaan di tempat jaga masing-masing.
"Bagaimana keadaan di belakang?" tanya prajurit
bertubuh tinggi besar dengan kumis melintang.
Matanya tajam dan lebar, beralis lebat. Lelaki itu
bernama Kaung.
"Aman," sahut lelaki bertubuh tinggi kekar. Hidung-
nya besar dan bermulut agak lebar. Kumis tipis meng-
hias di atas bibirnya. Dia bernama Kebir, pimpinan
jaga di belakang istana.
"Samping juga aman," tambah kedua prajurit yang
berjaga di samping. Yang satu bernama Udel, seorang
lagi bernama Jirin. Keduanya sama-sama bertubuh
tinggi.
Kaung mengangguk-anggukkan kepala, men-
dengar laporan ketiga temannya.
"Bagaimana depan?" tanya Kabir pada Kaung.
"Beres."
"Kurasa keadaan memang aman," tukas Udel.
"Tapi bagaimanapun, kita harus tetap waspada,"
ujar Kaung.
"Benar! Karena bahaya bisa saja datang setiap
saat," sambung Kebir.
"Ya, ya," gumam Udel.
"Baiklah, kita kembali ke tempat kita masing-
masing!" kata Kaung mengakhiri pertemuan, yang
senantiasa dilakukan dalam selang waktu yang tidak
lama, untuk mengetahui keamanan rekan-rekan yang
lain.
Mereka pun segera kembali ke tempat tugas,
berbaur dengan teman-teman yang masih berjaga di
pos masing-masing.
Sementara itu dari sebelah barat telaga yang
mengelilingi Istana Telaga Mas, sesosok tubuh yang
terbalut pakaian serba hitam dengan muka ditutup
topeng kain hitam berkelebat menuju tepian telaga
itu. Gulungan tali besar tersangkut di pundak orang
itu.
Dari kedua lubang yang memperlihatkan mukanya,
tampak kalau sosok itu ternyata seorang lelaki. Mata-
nya yang tajam mengawasi istana yang terletak di
tengah-tengah telaga itu. Sebentar kemudian me-
natap air telaga yang tampak kekuningan.
"Hm, mampukah aku menyeberangi telaga seluas
ini?" gumam lelaki bertubuh tinggi tegap berpakaian
lengan panjang dan bertopeng selubung hitam.
Sebentar kemudian sepasang matanya yang tampak
dari lubang jelalatan memandang ke sana kemari.
Mata lelaki itu kembali memandang istana. Jika
dilihat dari belakang dan samping, Istana Telaga Mas
seolah-olah berada di tengah telaga. Namun dari
depan, akan tampak terletak di tanah biasa. Hal itu
karena di depan Istana Telaga Mas memang tanah
biasa. Bahkan luas tanahnya bisa digunakan sebagai
alun-alun.
"Pantas kalau telaga ini dinamakan Telaga Mas.
Airnya kekuning-kuningan dan berkilauan seperti
emas," gumam lelaki itu sambil menyapukan
pandangan ke depan. Benaknya berputar mencari
jalan, bagaimana caranya untuk dapat menyeberangi
telaga yang luas itu.
Lelaki berpakaian serba hitam itu menghela napas
panjang. Dia masih bingung untuk menyeberangi
telaga itu.
"Hm, kalaupun bisa menyeberangi, mampukah aku
menjalankan tugasku?" dari suaranya tercermin
keraguan. Seakan ada sesuatu yang membuatnya
bimbang. "Menurut Rama Mangunda, prajurit di
Istana Telaga Mas bukan prajurit sembarangan.
Mereka para prajurit pilihan yang gagah berani...."
Lelaki itu nampak masih mematung termangu-
mangu memandangi tembok istana yang tinggi.
Keraguan akan kamampuan dirinya terus bergayut
dalam hati. Orang-orang kalangan rimba persilatan
menjuluki dia sebagai Kalong Maut. Namun, entah
mengapa, kini hatinya bimbang. Padahal selama ini
sepak terjangnya sebagai pembunuh bayaran, tak
pernah gagal.
Kini, untuk melaksanakan perintah dari Rama
Mangunda, Kalong Maut tiba-tiba kebingungan.
Apalagi ketika ingat kata-kata Rama Mangunda,
bahwa prajurit di Istana Telaga Mas bukanlah prajurit
biasa.
"Ah, bukan Kalong Maut kalau gagal melakukan
pekerjaan ini," gumamnya berusaha menepis
perasaan gelisah dan kebimbangan.
Kalong Maut terdiam sesaat. Sejurus kemudian
matanya kembali menatap sekitar Hutan Wiring
tempat dia kini berada. Lelaki itu kemudian
melangkah perlahan, seperti mencari-cari sesuatu.
Tak lama kemudian, di tangannya telah tergenggam
sebatang cabang pohon.
Crakkk!
Dengan golok panjangnya, batang kayu itu
dipotong menjadi sepanjang lengan.
Crakkk!
Satu lagi Kalong Maut memotong kayu sepanjang
lengannya. Setelah selesai membuat dua kayu
pendek, Kalong Maut melangkah ke tepi telaga.
"Hm, dengan kayu ini, mungkin aku bisa
mengarungi telaga luas ini," gumam Kalong Maut.
Kemudian dilemparkan kedua kayu itu ke air telaga.
"Hih...!"
Pluk! Pluk!
Kayu itu sesaat tenggelam. Namun, tak lama
kemudian telah muncul kembali ke permukaan air.
Sejurus kemudian, Kalong Maut terdiam sambil
menyatukan kedua telapak tangan di dada. Lalu
ditariknya napas dalam-dalam. Dan...
"Hoppp...!"
Tubuh Kalong Maut melenting ke atas dan bersalto
dua kali di udara. Kemudian dengan ringan kedua
kaki Kalong Maut hinggap di atas kedua kayu yang
mengambang di permukaan air.
"Ups! Akhirnya bisa juga," gumam Kalong Maut.
Kedua kayu itu bagaikan tak tertekan beban
barang sedikit pun, tetap mengapung di atas air.
Dilihat dari caranya, jelas Kalong Maut memiliki ilmu
meringankan tubuh yang telah sempurna.
Dengan ilmu 'Kalong Mengayuh' Kalong Maut
menjalankan kedua kayu itu. Seketika tubuhnya yang
berpijak di kedua kayu melesat menuju Istana Telaga
Mas. Bagaikan sebuah kendaraan yang sangat cepat
benda itu membawanya menyeberangi air.
"Heaaa...!"
Srrrts!
Kedua kayu terus meluncur dengan cepat. Tubuh
Kalong Maut bagaikan tak memiliki beban barang
sedikit pun berdiri memijak di atasnya.
"Hm, akhirnya aku berhasil. Kini yang harus ku-
pikirkan, bagaimana caranya agar bisa masuk
istana?" tanya Kalong Maut pada diri sendiri. Dari
suaranya menunjukkan keraguan kembali menggayut
di lubuk hatinya. "Ah, itu urusan nanti."
Kalong Maut berusaha menepiskan kebimbangan
sambil berusaha meyakinkan diri, kalau selama ini
usahanya selalu berhasil. Belum pernah sekali pun
mengalami kegagalan.
***
Kayu yang dinaiki Kalong Maut terus melaju ke
Istana Telaga Mas dengan cepat bagaikan didorong
tenaga yang begitu besar. Tak berapa lama
kemudian, Kalong Maut sampai di tembok belakang
istana.
"Aku harus bersembunyi. Hooop...!" lelaki gagah
berselubung hitam itu melompat lalu menyelinap di
antara tembok tinggi yang mengelilingi istana.
"Hm, para prajurit itu tengah berjaga-jaga."
Mata Kalong Maut sejenak menatap ke atas,
seakan hendak mengukur ketinggian tembok itu.
"Akan kucoba melewatinya. Hooop...!"
Kalong Maut melompat bagaikan terbang. Lalu
dengan ringan hinggap di atas tembok. Sejenak
matanya yang tampak dari dua lubang selubung
hitam, mengawasi ke bawah.
"Hooop...!"
Seketika lelaki berpakaian serba hitam melompat
turun, kembali keluar tembok. Hal itu karena tiba-tiba
dilihatnya dua orang prajurit jaga berjalan.
"Untung mereka tak melihatku. Kalau keduanya
tahu, huhhh..., bagaimana jadinya aku!" rungutnya
dalam hati.
"Kakang, aku rasa keadaan aman. Apa tak
sebaiknya kita ke depan saja?" terdengar suara
prajurit berkata.
"Ya. Ke depan saja kalian!" ujar Kalong Maut
dalam hati.
"Ah, bukankah di depan sudah ada prajurit jaga?
Biarlah kita di belakang saja. Toh kita berdua di sini,"
jawab prajurit lainnya.
"Sial...," sungut Kalong Maut dalam hati. "Prajurit
ini minta dihajar!"
Sesaat kemudian tak terdengar lagi pembicaraan
mereka. Hal itu sempat membuat Kalong Maut
mengernyitkan keningnya. Sejenak lelaki berselubung
kepala hitam itu menarik napas sambil
mengandalkan ilmu menangkap suara, untuk coba
mendengarkan desah napas para prajurit tadi.
"Hm, mereka ada di sebelah kiriku," gumam
Kalong Maut. "Akan kulumpuhkan mereka. Hooop...!"
Kalong Maut kembali melompat ke atas tembok,
dengan ringan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Dengan tajam matanya mengawasi kedua prajurit
yang sedang duduk-duduk sambil menghisap rokok
kawungnya.
"Aku harus menenangkan mereka. Yeaaa...!"
Kalong Maut segera melompat menuju dua prajurit
itu untuk menotok tubuh mereka agar tak ribut.
Namun tampaknya kedua prajurit itu merasa ada
seseorang melompat. Seketika mereka memalingkan
wajah ke belakang.
"Siapa kau?!" bentak salah seorang dari kedua
prajurit dengan keras.
"Setan! Harus cepat dibereskan!" gerutu Kalong
Maut dalam hati. Dengan cepat tangannya bergerak,
menotok ke arah kedua prajurit itu.
"Hih...!"
Tuk! Tuk!
"Ukh!"
"Ekh!"
Seketika tubuh mereka terkulai lemas, tak mampu
bergerak sedikit pun. Kemudian terjatuh ke tanah.
Bentakan keras tadi tampaknya sempat didengar
prajurit lain. Seketika mereka berhamburan menuju
belakang istana, tempat kedua rekannya berada.
"Penjahat! Tangkaaap...!"
"Jangan biarkan dia lolos...!"
"Maliiing...! Maliiing...!"
Seruan-seruan para prajurit, menyentakkan Kalong
Maut yang sedang menyeret tubuh kedua prajurit
yang telah ditotoknya.
"Celaka!" gumam Kalong Kalong lirih. Matanya
terbelalak, menatap delapan prajurit yang kini
berhamburan memburu dia dengan senjata siap
menyerang. Mereka langsung mengepung Kalong
Maut, yang beringas, nekat karena telah terjepit.
"Seraaang...!"
"Tangkap dia...!"
"Hea!"
Wuttt!
Kalong Maut tersentak kaget, ketika tombak salah
seorang prajurit melesat begitu cepat ke tubuhnya.
Dengan cepat pula lelaki berpakaian serba hitam itu
memiringkan tubuhnya untuk mengelakkan serangan
itu.
"Uts! Hih...!"
Tombak yang dilemparkan prajurit, melesat
beberapa jengkal di sampingnya. Namun dengan
cepat para prajurit lain melakukan serangan gencar.
"Celaka! Tak ada pilihan lagi, kecuali harus
membereskan mereka semua," gumam Kalong Maut
dalam hati. Kemudian dengan cepat dan lincah
tubuhnya bergerak mengelak dari serangan tombak
para prajurit. Kakinya menjejak dan melompat ke
sana kemari, mengelitkan tusukan dan sabetan
senjata lawan.
Wrrrt!
"Hahhh...!"
Kalong Maut kembali tersentak kaget, ketika
sebilah pedang hendak menyambar lehernya. Dengan
cepat tubuhnya merunduk. Pedang pun melesat di
atas kepalanya.
"Edan! Aku benar-benar akan dibikin perkedel!"
Wrrrt!
Bugkh!
Prajurit yang menyerangnya tak mampu
mengelakkan tendangan lawan yang datang begitu
cepat. Tak ampun lagi kaki Kalong Maut mendarat
telak di dadanya.
"Aaakh...!"
Prajurit itu terpekik keras. Tubunya terdorong ke
belakang dan jatuh duduk di tanah. Mulutnya
meringis karena dada dan tulang pantatnya dirasakan
nyeri.
"Bedebah kubunuh kau...!" dengan sisa tenaga
yang ada, prajurit itu kembali bangkit dan kembali
menyerang.
"Heaaa...!"
"Menyerahlah, Maling!" bentak salah seorang
prajurit
"Huh...!" hanya suara itu yang keluar dari mulut
Kalong Maut. Tampaknya dia benar-benar tak mau
menyerah. Dia tahu menyerah berarti mati di tiang
gantungan. Meski tak menyerah, mungkin kematian
pun dapat merenggutnya. Sebab para prajurit Istana
Telaga Mas tampak kian bertambah jumlahnya.
"Bangsat! Kau tak mau menyerah? Seraaang...!"
Wuttt! Wuttt!
Beberapa batang tombak dan pedang terus
memburu dan berkelebat ke tubuh Kalong Maut.
"Mampus kau, Bangsaaat...!"
"Cincang tubuhnya...!" teriak prajurit yang
memegang tombak. Senjatanya menusuk ke perut
lawan. Namun, dengan cepat dan ringan Kalong Maut
mengelak dari tusukan itu. Bahkan tangannya yang
terbungkus pakaian hitam sempat melancarkan satu
pukulan keras.
"Ini untuk kalian. Hiaaat...!"
Wrrrt! Wrrrt!
Tangan kanan dan kiri Kalong Maut menderu-deru
begitu cepatnya menyerang. Hal itu begitu
mengejutkan para prajurit yang tak menyangka akan
mendapat balasan pukulan cepat dan keras. Mereka
melompat mundur. Namun ada juga yang dengan
gagah berani memapaki serangan itu dengan sabetan
golok besar yang berada di tangannya.
"Buntung lenganmu, Iblis!"
Wrrrt!
Kalong Maut tersentak ketika golok besar di
tangan prajurit itu membabat tangannya. Dengan
cepat ditarik kembali serangannya. Namun tiba-tiba
prajurit yang memegang golok besar kembali
merengsek dengan tebasan-tebasan goloknya
mengarah ke tubuh Kalong Maut.
Wuttt! Wuttt!
Bertubi-tubi golok besar itu menderu menyerang
ke tubuh lelaki berpakaian serba hitam. Namun
dengan gerakan yang tak kalah cepatnya, Kalong
Maut terus mengelakkan serangan itu. Matanya
mengawasi gerakan golok lawan sambil mencari
kesempatan untuk melakukan serangan balik.
Wuttt...!
"Eittt...!"
Kalong Maut melompat ke samping. Kaki kirinya
berjinjit dengan kaki kanan masih terangkat. Dan
ketika tubuh prajurit bersenjata golok merangsek,
segera kaki kanannya melesat ke perut lawan.
"Ini untukmu! Hih...!"
Wuttt!
Prajurit bergolok tersentak, dia bermaksud
menangkis tendangan Kalong Maut dengan goloknya.
Namun, ternyata tendangan lawan datang lebih cepat
dari apa yang dibayangkan. Sehingga....
Bugkh!
"Aaakh...!"
Prajurit bergolok itu terpekik pendek. Perutnya
dirasakan nyeri dan mual. Tubuhnya terhuyung ke
belakang, menjadikan dia kini bagaikan seekor babi
terlempar.
Blukkk!
Lelaki itu terbanting di tanah. Dan...
"Hoaaakh...! Hoaaakh...!"
Tampak cairan merah mengalir dari mulutnya.
Tendangan keras Kalong Maut terasa membuat
perutnya bagai diaduk-aduk. Mual dan rasa nyeri
bercampur jadi satu.
Melihat hal itu, para prajurit lainnya segera
menyerbu. Namun, Kalong Maut nampak tak gentar
sedikit pun. Dia kembali melakukan serangan cepat
dan menangkis setiap serangan yang datang.
***
Pertarungan antara Kalong Maut dengan para
prajurit di Istana Telaga Mas berlangsung kian seru.
Seakan-akan tak bakal selesai dalam malam itu. Para
prajurit semakin bertambah banyak. Mereka
berdatangan setelah mendengar suara ribut
pertarungan di belakang istana itu.
Kalong Maut yang menghadapi keroyokan,
semakin tegang. Pengeroyoknya bukan hanya
sepuluh orang, melainkan telah puluhan jumlahnya.
Dan tampaknya mereka adalah para prajurit pilihan.
"Tangkap maling itu...!" teriak Patih Arya Denta
memerintah pada prajuritnya. Sementara Kalong
Maut terus berusaha melawan prajurit yang berusaha
mendesaknya.
"Celaka! Prajurit semakin banyak," gumam Kalong
Maut dalam hati, sambil berusaha mengelakkan
tusukan dan babatan senjata lawan. Tubuhnya
melompat ke sana kemari, menghindari serangan-
serangan cepat yang dilancarkan lawan.
"Yeaaa...!"
"Mampus kau!"
Teriakan-teriakan keras mengiringi setiap
serangan yang dilancarkan para prajurit.
Wuttt!
Sebuah tombak melesat terarah ke perut Kalong
Maut Hampir menusuk perutnya, kalau saja lelaki
berpakaian hitam itu tak secepat kilat berkelit ke
samping dan melompat ke belakang.
"Uts! Celaka...! Tak ada kesempatan bagiku
melakukan serangan balas...," gumam Kalong Maut
sambil terus berusaha mencari celah untuk me-
loloskan diri. Dia merasa tak ada kesempatan lagi.
Bahkan kini nyawanya dalam ancaman karena terus-
menerus menghadapi kepungan para prajurit Istana
Telaga Mas yang semakin bertambah jumlahnya.
"Tangkap dia...!" kembali Patih Arya Denta berseru,
memerintah pada prajuritnya.
"Tak ada jalan lain," desis Kalong Maut, "Hanya
dengan jalan ini. Hih...!"
Kalong Maut dengan cepat melemparkan sesuatu
yang diambilnya dari balik bajunya, mendahului
serangan gencar para prajurit.
Dummm! Duarrr!
Ledakan-ledakan yang disertai gulungan asap
tebal terdengar. Para prajurit tersentak lalu ber-
lompatan mundur, mengelakkan asap hitam itu.
Seketika itu pula, dengan cepat Kalong Maut melesat
meninggalkan tempat pertarungan. Tubuhnya me-
lenting ke atas pagar istana, lalu melompat ke air
telaga yang tampak begitu tenang.
Byurrr!
Tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu langsung
tenggelam, bagai ditelan air telaga yang dalam.
"Cari dia...!"
Terdengar suara Patih Arya Denta, memerintah
pada prajuritnya untuk mencari orang yang telah
membuat onar. Sepertinya lelaki bertubuh tinggi
tegap dan berwajah tampan yang dihiasi kumis tipis
itu sangat marah karena Istana Telaga Mas hampir
saja kemasukan penjahat.
Para prajurit serentak berhamburan keluar untuk
mengejar Kalong Maut. Namun, mereka tak menemu-
kannya. Para prajurit terus menunggu sampai Kalong
Maut muncul ke permukaan air. Namun sampai men-
jelang pagi, lelaki berselubung kepala dan berpakaian
serba hitam itu belum juga muncul ke permukaan air
telaga.
***
2
Pagi datang membawa kecerahan. Kicau burung
menambah indahnya suasana pagi. Semilir angin
yang bertiup mengusir embun, terasa sejuk di badan.
Mentari baru terbit, ketika seorang pemuda berambut
gondrong dengan pakaian terbuat dari kulit ular tanpa
lengan membuka matanya, setelah semalaman tidur
pulas.
Pemuda yang tak lain Pendekar Gila, kini menye-
ngirkan mulutnya. Matanya agak menyipit karena di-
terpa cahaya matahari pagi yang telah sepenggalah
tingginya. Ditutupinya mulut yang terbuka karena
menguap.
"Huaaahhh..., enak sekali aku tidur," gumam
Pendekar Gila sambil cengengesan. Dipicingkan
matanya, mengintip matahari yang muncul ke per-
mukaan bumi dengan perlahan.
Pendekar Gila bangun dari tidurnya lalu duduk di
cabang pohon, tempat semalam dia tertidur. Sena
termenung menikmati keindahan pagi di Hutan
Selendang Manyar, yang terletak tak jauh dari Istana
Telaga Mas yang luas itu. Tangannya menggaruk-
garuk kepala, dengan mulut masih nyengir kuda.
"Hop! Yeaaa...!"
Tubuh Pendekar Gila melompat dan bersalto
beberapa kali di udara, sebelum mendarat begitu
ringan di bawah pohon itu. Tangannya kembali meng-
garuk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan. Kemudi-
an kakinya melangkah menuju telaga yang tak jauh
dari Hutan Selendang Manyar.
Diraupnya air telaga yang bening dan bersih itu.
Dicucinya wajah dengan air telaga itu. Kemudian,
mulutnya berkumur-kumur untuk menghilangkan rasa
tak enak yang ada di mulutnya.
"Wuah, segar sekali!" gumam Pendekar Gila.
Pemuda tampan itu kemudian bangkit berdiri. Mata-
nya manatap hamparan telaga luas itu. Namun men-
dadak keningnya berkerut. Matanya melihat sesosok
tubuh terapung di permukaan air yang tampak
keemasan dan berkilauan diterpa cahaya matahari.
Mata Sena terbelalak menatap sesosok tubuh
terapung di permukaan air. Tangannya menggaruk-
garuk kepala, dengan mulut nyengir.
"Aha, mayat siapa itu?" gumam Pendekar Gila
masih terus memperhatikan sosok tubuh terbungkus
pakaian hitam mengapung di air. Tampaknya lelaki itu
telah menjadi mayat. Sosok tubuhnya terapung dan
terus terbawa riak air menepi mendekati Pendekar
Gila.
Ketika sosok berpakaian hitam kian dekat,
Pendekar Gila menjejakkan kaki dan melenting ke
udara. Setelah bersalto beberapa kali, dengan jurus
'Gila Menyambar' Sena menukik sambil menyambar
tubuh yang terapung itu.
"Hih!"
Direnggutnya tubuh itu dengan tangan kanannya.
Kemudian Pendekar Gila kembali melenting ke udara.
Setelah berjumpalitan dua kali di udara, kakinya
menjejak di atas tanah tepian telaga sambil mem-
bopong tubuh terbungkus kain hitam.
"Aha, rupanya masih hidup," gumam Pendekar Gila
setelah memeriksa denyut nadinya. Matanya me-
natapi sosok tubuh yang pingsan tertutup kain hitam.
Tangannya perlahan-lahan membuka selubung
kepala orang itu. Seketika tampaklah wajah lelaki
garang dengan codet menghiasi pipi sebelah kirinya.
Pendekar Gila mengerutkan keningnya, matanya
masih menatap wajah lelaki bercodet yang tak lain
Kalong Maut.
"Hm, kurasa lelaki ini bukan orang baik-baik,"
gumam Pendekar Gila dalam hati. Keningnya semakin
berkerut dengan hati penuh rasa heran melihat
seorang lelaki pingsan di telaga itu. "Bukankah di
tengah telaga ini Istana Telaga Mas berdiri? Hm, apa
yang sebenarnya dilakukan orang ini?"
Sebagai seorang pendekar, Sena tak memandang
siapa pun yang perlu pertolongannya. Meski lelaki itu
orang jahat, Pendekar Gila tetap menolongnya.
Dibantunya Kalong Maut untuk mengeluarkan air
yang telah masuk ke perutnya.
"Hoakkk!"
"Teruskan, Kisanak! Kau harus mengeluarkan air
yang telah masuk ke perutmu," ujar Sena sambil terus
menekan perut Kalong Maut. Ditelungkupkan tubuh
lelaki berpakaian serba hitam, lalu diangkat perutnya
berulang-ulang. Sehingga...
"Hoakkk!"
Air keluar dari mulut Kalong Maut yang semakin
bertambah banyak, setelah Pendekar Gila turut
menopangnya. Perlahan-lahan lelaki berpakaian
hitam itu mulai siuman dari pingsannya. Matanya
membuka, memandang ke sekeliling, kemudian
tertuju ke wajah Pendekar Gila yang tersenyum
sambil menggaruk-garuk kepala. Keningnya yang
masih basah berkerut seperti belum yakin kalau dia
masih dalam keadaan hidup.
"Di mana aku...?" desisnya.
"Aha, jelas kau masih hidup, Kisanak," jawab
Pendekar Gila masih dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. Kalong Maut mengerutkan kening,
merasa heran dengan tingkah laku pemuda yang
menolongnya.
"Siapa pemuda ini? Tingkah lakunya seperti orang
gila. Tapi dilihat dari pakaian dan tubuhnya yang
bersih, jelas dia bukan orang gila biasa. Hm....
Siapakah pemuda bertingkah laku gila ini?" tanya
Kalong Maut dalam hati. Matanya tak berkedip
menatap wajah Pendekar Gila yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Anak muda, terima kasih atas pertolonganmu,"
ujar Kalong Maut seraya berusaha bangkit.
"Aha, sudah sewajarnya semua orang tolong-
menolong dengan sesamanya," tukas Pendekar Gila
masih cengengesan, gerak-geriknya kian membuat
Kalong Maut semakin mengerutkan kening.
"Mungkinkah dia yang berjuluk Pendekar Gila? Ah,
bahaya sekali jika dia tahu siapa aku?" gumam
Kalong Maut dalam hati, merasa was-was takut kalau
pemuda yang diduganya Pendekar Gila sampai tahu
siapa dirinya.
Hati Kalong Maut benar-benar gelisah, setelah
yakin siapa pemuda yang bertingkah laku seperti
orang gila itu. Rasa takut kalau pendekar itu meng-
hukumnya, membuatnya kelabakan bingung sendiri.
"Kisanak, kenapa kau sampai pingsan di telaga
ini?" tanya Pendekar Gila setelah lama terdiam dan
menatap Kalong Maut yang tampak membisu.
Kalong Maut semakin was-was mendengar per-
tanyaan yang dilontarkan Pendekar Gila. Rasa takut
kalau Pendekar Gila akan mengetahui siapa dirinya,
semakin membuat lelaki berpakaian serba hitam
bertambah takut. Matanya menatap tak berkedip ke
wajah Pendekar Gila yang masih berdiri. Degup
jantungnya semakin memburu kencang.
"Aha, kau tampak gelisah, Kisanak? Kenapa...?"
tanya Pendekar Gila seraya menatap tajam wajah
lelaki yang wajahnya berubah pucat. Kalong Maut
bagai dihadapkan pada Dewa Pengadilan. Keringat
dingin pun mengalir di keningnya, meskipun dingin
masih menyelimuti tubuhnya. Hal itu membuat
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening,
memandang heran melihat perubahan wajah Kalong
Maut yang pucat pasi.
"Ampunilah aku, Pendekar! Memang aku ber-
salah," ujar Kalong Maut merasa takut sendiri.
Sehingga dia tiba-tiba mengakui kesalahannya. Hal
itu tentu saja membuat Pendekar Gila semakin heran,
dengan mata menyipit Sena menatap tajam wajah
Kalong Maut.
"Aha, kenapa kau berkata begitu, Kisanak?
Kurasa, tadi aku tak bertanya tentang kesalahanmu.
Aku hanya bertanya, mengapa kau sampai pingsan di
telaga ini?" tanya Pendekar Gila dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan mulutnya tetap
cengengesan.
"Ya, semua hendak kukatakan padamu. Meskipun
aku belum tahu siapa kau sebenarnya, tapi aku yakin
kalau kaulah yang sering disebut sebagai Pendekar
Gila. Bukan begitu...?" sahut Kalong Maut mencoba
menduga-duga siapa sebenarnya pemuda bertingkah
laku seperti orang gila itu.
"Aha, terlalu tinggi sebutan itu untukku, Kisanak.
Ah, sudahlah, tak perlu kau pikirkan nama itu. Kini,
aku ingin tahu, mengapa kau sampai pingsan di
telaga ini?" desak Pendekar Gila penasaran.
Dengan takut-takut Kalong Maut akhirnya menuturkan siapa dirinya. Dan mengapa dia sampai
pingsan di dalam telaga itu.
"Saya diperintah seseorang untuk membunuh anak
dan keluarga Baginda Aji Wardana," tutur Kalong
Maut mengakhiri ceritanya.
Pendekar Gila mengerutkan keningnya, men-
dengar penuturan Kalong Maut.
"Aha, mengapa anak Baginda Aji Wardana harus
kau bunuh? Dan siapa sebenarnya yang menyuruh
membunuh...?" tanya Pendekar Gila semakin tertarik.
"Aku sendiri tak tahu. Aku hanya diperintah
seseorang untuk membunuhnya dengan imbalan
cukup besar," jawab Kalong Maut.
"Aha, rupanya kau pembunuh bayaran. Siapa yang
menyuruhmu, Kisanak...?" tanya Pendekar Gila ber-
usaha membongkar siapa sebenarnya orang yang
bermaksud membuat pertumpahan darah di Istana
Telaga Mas.
“Yang menyuruhku, Rama...." Belum juga selesai
ucapan Kalong Maut tiba-tiba....
Swing, swing!
Jrep, jrep!
"Aaakh...!"
Kalong Maut memekik tertahan dengan mata
terbelalak ketika dua bilah senjata rahasia meng-
hujam tenggorokan dan dadanya. Sesaat tubuhnya
mengejang, kemudian ambruk tanpa nyawa. Hal itu
membuat Pendekar Gila tersentak kaget. Lalu dengan
cepat segera mendekati tubuh Kalong Maut Dibalik-
kan tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu,
tampaklah dua bilah senjata berupa bintang kecil
terbuat dari logam.
"Ah, siapa pula yang telah membunuhnya?"
gumam Pendekar Gila sambil mengedarkan
pandangan ke sekeliling tempat itu.
Kresek!
Terdengar dari dalam hutan suara langkah kaki
berlari. Pendekar Gila menoleh lalu cepat melompat,
berusaha mengejar orang itu.
"Hai, jangan lari!" seru Pendekar Gila sambil terus
melesat mengejar orang yang diduganya telah mem-
bunuh Kalong Maut. "Aha, rupanya kau mau main
kucing-kucingan denganku. Baik...!"
Pendekar Gila terus melesat dengan cepat,
memburu suara orang berlari di dalam hutan itu.
Pendekar Gila terus mengejar orang yang telah
membunuh Kalong Maut dengan senjata rahasianya
yang berupa bintang. Namun sampai di tengah hutan,
dirinya hanya mendapati kesunyian, tak ada siapa
pun. Seperti tak ada seorang manusia pun di dalam
hutan itu.
"Ah, aneh sekali," gumam Pendekar Gila dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Keningnya
mengerut berlipat-lipat, merasa aneh dengan apa
yang dilihat. "Ah, siapa yang telah menyerang Kalong
Maut? Tapi yang jelas, pasti orang-suruhan."
Pendekar Gila masih mengawasi sekeliling hutan
itu dengan segenap kemampuan penglihatan dan
pendengaran. Dia berusaha mencari orang yang telah
menyerang Kalong Maut secara gelap. Namun tetap
tak berhasil menemukan orang dalam hutan ini.
"Aha, kenapa menghilang?" gumam Pendekar Gila
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Hi hi hi...
lucu sekali! Orang itu bisa menghilang seperti tuyul."
Pendekar Gila cengengesan sendiri sambil meng-
garuk-garuk kepalanya. Matanya masih merayapi
sekelilingnya, berusaha mencari-cari orang yang dia
yakini ada dalam hutan ini. Tetap saja tak juga
dilihatnya siapa pun di dalam hutan ini.
Tangan kirinya menepuk-nepuk kening. Matanya
masih memandang ke sekeliling yang sunyi dan sepi,
tak dilihat adanya tanda-tanda bekas orang lewat di
hutan ini.
Pendekar Gila nyengir kuda, tangannya kembali
menggaruk-garuk kepalanya.
"Hua ha ha...! Lucu sekali.... Hoi, di mana kau?!"
serunya berteriak-teriak memanggil. Tapi tak ada
sahutan. "Hi hi hi...! Tolol sekali aku! Bagaimana
mungkin orang akan menyahuti teriakanku?"
Dengan menggeleng-geleng kepala sambil
cengengesan, Pendekar Gila melangkah keluar hutan.
Dia bermaksud kembali ke tempat mayat Kalong
Maut berada. Namun, tiba-tiba terdengar suara orang-
orang berteriak....
"Itu dia orangnya!"
"Tangkap dia...!"
Mata Pendekar Gila terbelalak, ketika melihat
siapa yang berteriak-teriak itu. Ternyata para prajurit
dari Istana Telaga Mas. Keningnya berkerut ketika
hatinya menyadari bahwa orang-orang itu semua
menudingkan tangan padanya.
"Aha, ada apa sebenarnya?" gumam Pendekar Gila
tak mengerti.
"Tangkap dia! Jangan sampai lolos...!" seru lelaki
bertelanjang dada dengan hiasan kalung akar bahar
yang terjuntai di perutnya. Rambutnya digelung ke
atas, dengan wajah dihiasi kumis tebal. Dilihat dari
sosok tubuhnya yang tinggi besar dan pakaian bawah
yang dipakainya, lelaki berbadan kekar itu tentu
senopati perang kerajaan.
Pendekar Gila tersentak kaget. Benaknya semakin
tak mengerti, mengapa kini dia diburu pihak kerajaan.
Padahal dia sama sekali tidak tahu apa-apa.
"Menyerahlah kau, Anak Muda?!" bentak Senapati
Awong Purbo yang membuat Pendekar Gila semakin
mengerutkan kening, karena tak tahu apa yang
sebenarnya terjadi.
"Aha, ada apa pihak kerajaan memburuku?" tanya
Pendekar Gila penasaran.
"Kaulah yang semalam membuat kerusuhan di
istana! Kau harus ditangkap!" bentak Senapati Awong
Purbo dengan wajah menggambarkan kemarahan.
Pendekar Gila tersentak mendengar bentakan
Senapati Kerajaan Telaga Mas yang menuduhnya
sebagai perusuh. Namun, Pendekar Gila hanya
cengengesan, seakan tak menghiraukan ucapan
Senapati Awong Purbo yang sudah marah.
"Aha, lucu sekali kau, Senapati? Kenapa kau
menuduhku sembarangan tanpa bukti?"
"Cuih! Masih juga kau menyangkal, Bocah Edan! Di
sini tak ada orang lain, hanya kau! Dan kami tahu,
perusuh itu lari ke tempat ini setelah menceburkan
diri ke telaga!" tukas Senapati Awong Purbo semakin
marah, melihat tingkat laku pemuda yang seperti
orang gila itu.
"Aha, apa kalian tak melihat ada sesosok tubuh di
tepi telaga itu?!" seru Pendekar Gila berusaha
membela diri.
"Bedebah! Kau pikir kami dapat dikibuli, Bocah
Edan! Di sini tak ada siapa-siapa! Keluarlah kau dan
menyerahlah!" seru Senapati Awong Purbo sengit,
karena Pendekar Gila belum juga mau menyerah.
Pendekar Gila mengerutkan kening, merasa aneh
dengan apa yang terjadi. "Ke mana mayat Kalong
Maut?" tanya dalam hati. Tangannya menggaruk-
garuk kepala, sepertinya merasa tak mengerti dengan
apa yang terjadi.
"Ah, ke mana mayat lelaki bermuka codet tadi?"
gumam Sena semakin bingung dan heran mendengar
penuturan senapati yang mengatakan kalau di tepi
telaga tak ada siapa-siapa dan tak ada mayat.
"Bocah, keluarlah!" seru Senapati Awong Purbo.
"Jangan kau di dalam terus dengan tingkah lakumu
yang memuakkan!"
"Aha, baiklah, aku akan keluar. Tapi kurasa kalian
telah salah sangka," tukas Pendekar Gila sambil
melangkah keluar dari Hutan Selendang Manyar.
Mata Pendekar Gila terbelalak ketika tak melihat
lagi sosok mayat lelaki bermuka codet yang tadi
ditolongnya.
"Lihat! Kau tak melihat apa-apa, bukan? Masihkah
kau membantah tuduhan. Kaulah pelaku kekacauan
yang semalam terjadi di belakang istana?" bentak
Senapati Awong Purbo dengan mata melotot,
semakin bertambah galak. Namun Pendekar Gila
justru cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi.... Lucu sekali! Bukankah tadi di sini ada
mayat lelaki bermuka codet?" tanya Pendekar Gila
pada senapati dan para prajurit yang telah berada tak
jauh di depannya.
"Banyak omong! Tangkap diaaa...!" perintah
Senapati Awong Purbo pada para prajuritnya. Para
prajurit Istana Telaga Mas pun segera bergerak
mengepung Pendekar Gila dengan senjata lengkap.
Pendekar Gila tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...! Lucu sekali kalian? Mau berburu apa
kalian dengan senjata itu?" tanya Sena berkelakar,
membuat mata semua prajurit mendelik. Tapi Sena
yang memang konyol malah cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
"Jangan banyak omong, Bocah Edan! Ikut kami ke
Istana Telaga Mas!" perintah Senapati Awong Purbo
sambil menggerakkan tangan kanannya, memerintah
para prajuritnya untuk menggiring Pendekar Gila ke
istana.
"Aha, baiklah, aku menurut. Tapi perlu kalian
ketahui, aku tak tahu-menahu dengan masalah
kalian," ujar Pendekar Gila sambil melangkah
mengikuti perintah senapati.
Sepeninggal Pendekar Gila yang digiring para
prajurit kerajaan, tampak sesosok tubuh berpakaian
merah tersenyum sinis memandangi mereka. Dilihat
dari bentuknya sosok berpakaian merah itu seorang
wanita. Senyum bibirnya menggambarkan rasa puas
atas tertangkapnya Pendekar Gila di tangan prajurit
Istana Telaga Mas.
***
3
Pendekar Gila dihadapkan pada sidang para sesepuh
kerajaan yang dipimpin Baginda Aji Wardana. Meski
pun dihadapkan pada sidang kerajaan, Sena yang
memang konyol masih bertingkah laku seperti orang
gila. Kadang tertawa-tawa seorang diri atau meng-
garuk-garuk kepalanya. Hal itu tentu saja membuat
para sesepuh kerajaan yang terdiri dari Ki Gede
Mundu, Ki Gede Semperan, Nyi Ageng Durgageni, dan
Ki Ageng Martayupa hanya mampu menggeleng-
gelengkan kepala.
"Siapa namamu, Kisanak?" tanya Ki Gede Mundu
membuka pertanyaan dalam sidang.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian orang-orang tua? Tapi
baiklah, namaku Sena Manggala," jawab Pendekar
Gila memperkenalkan nama dirinya.
Ki Gede Mundu mengangguk-anggukkan kepala.
Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila. Lelaki
berusia sekitar tujuh puluh tahun berpakaian resi dan
berjenggut panjang itu menatap wajah Pendekar Gila.
Wajahnya yang tenang menggambarkan kesabaran
jiwanya. Tatapan matanya seakan tengah menyelami
jiwa Sena.
"Sena, benarkah kau telah membuat kerusuhan
semalam di istana ini?" tanya Ki Gede Semperan.
Lelaki berusia enam puluh delapan tahun yang
wajahnya terhias kumis putih lebat. Tatapan matanya
yang lebar, juga menyiratkan rasa ingin mendalami
sifat pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila.
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil meng-
garuk-garuk kepalanya. Kepalanya mendongak ke
atas seakan ada sesuatu yang dilihatnya di atas
genting. Kemudian....
"Aha, kenapa kau mengintip, Sobat! Hih...!"
Semua orang yang ada di ruang sidang tersentak
kaget, ketika tanpa diduga sebelumnya Pendekar Gila
menghantamkan sebuah pukulan ke atas.
Wrttt!
Brak!
"Wuaaa...!"
Dari atas genting, sesosok tubuh meluncur dan
terbanting ke lantai seketika.
Blukkk...!
Keempat pemuka istana yang menyidang
Pendekar Gila terbelalak kaget. Mereka tegang ber-
campur rasa kagum melihat ketajaman naluri
pemuda gila itu.
Lelaki yang terbanting di lantai akibat pukulan
jarak jauh yang dilakukan Pendekar Gila ternyata
seorang prajurit.
Mata Baginda Aji Wardana terbelalak, ketika tahu
siapa yang telah mengintai jalannya persidangan itu.
Baginda Aji Wardana segera bangkit dari duduknya.
Dengan mata beringas, dihampirinya prajurit yang
terkapar di lantai. Kemudian dengan geram dicing-
keramnya pundak sang Prajurit.
"Siapa yang menyuruhmu?" dengus Baginda Aji
Wardana marah.
"Aaa.... Ampun, Baginda..., saya..., saya.... Aaakh!"
Belum sempat prajurit itu menjawab tiba-tiba
sebilah senjata rahasia berbentuk bintang meng-
hujam tenggorokannya. Tak seorang pun tahu dari
mana datangnya senjata rahasia itu.
"Aha, kau ada di sini rupanya!" seru Pendekar Gila
seraya melesat mengejar ke tempat datangnya
senjata rahasia itu. Hal itu membuat para sesepuh
yang ada di tempat itu terkejut. Namun, mereka tak
dapat berbuat apa-apa, melihat Pendekar Gila
melesat keluar.
Mulanya senapati hendak mengejar Pendekar Gila
yang lari dari tempat sidang. Namun Baginda Aji
Wardana segera mencegahnya.
"Senapati, tunggu! Biarkan dia mengejar orang
yang telah membunuh prajurit ini!"
"Daulat, Baginda," sahut Senapati Awong Purbo
seraya mengurungkan niatnya.
Tak berapa lama kemudian Pendekar Gila telah
kembali masuk dengan cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala. Di pundaknya terdapat seorang
prajurit yang telah ditotoknya.
"Wredamukta...!" sentak semua orang di ruang
idang, setelah tahu siapa yang dipanggul Pendekar
Gila. Mata mereka terbelalak, seperti tak percaya
kalau pembunuh prajurit yang mengintai itu, pimpinan
prajurit Istana Telaga Emas.
Betapa marahnya Baginda Aji Wardana, menyaksi-
kan orang yang telah mengganggu acara sidang,
ternyata pimpinan prajuritnya.
"Aha, bagaimana mungkin kalian menyidangku?
Kalau kalian kini telah tahu sendiri, sesungguhnya di
istana ini telah menyusup para pemberontak...?"
tanya Pendekar Gila sambil melemparkan tubuh
Wredamukta ke depan tempat sidang.
Semua orang di ruang sidang saling pandang.
Mata mereka membuka lebar, merasa malu dengan
apa yang telah terjadi.
Baginda Aji Wardana semakin murka ketika
mengetahui bahwa dalam istananya ada prajurit yang
bersekongkol dengan pemberontak. Dada sang Raja
bergerak turun naik. Hatinya diliputi amarah yang
meluap-luap.
"Hukuman gantung buat dia!" perintah Baginda Aji
Wardana dengan penuh amarah.
"Ampun.... Ampunilah hamba, Baginda," ratap
Wredamukta.
"Bawa dia pergi!" perintah Baginda Raja Wardana
pada Senapati Awong Purbo.
"Daulat, Baginda," jawab Senapati Awong Purbo.
Kemudian setelah menyembah, Senapati Awong
Purbo segera menyeret Wredamukta.
"Ampunkanlah nyawa hamba, Baginda," ratap
Wredamukta berusaha memohon ampunan dari
Baginda Aji Wardana. Namun Senapati Awong Purbo
telah menyeretnya, bagaikan tak menghiraukan
ratapan Wredamukta.
Baginda Aji Wardana menghela napas panjang,
lalu kembali duduk. Matanya kini menatap sosok
pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila,
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
"Bocah edan! Bisakah kau membuktikan kalau di
Istana ini telah dimasuki kaum pemberontak?!"
bentak Baginda Aji Wardana.
"Aha, kurasa Baginda yang bijaksana nanti akan
mengetahui sendiri. Untuk apa prajurit itu mengintai
jalannya sidang, kemudian untuk apa pula pimpinan
prajurit ini membunuh anak buahnya?" kilah
Pendekar Gila mengajukan pendapat.
Semua kepala mengangguk-angguk, tampaknya
memahami apa yang dikemukan Pendekar Giia.
Namun mereka tak mau percaya begitu saja.
Bagaimana pun, Pendekar Gila orang asing dan baru
di tempat ini. Wajar kalau mereka mencurigai setiap
orang baru.
"Baiklah, Kisanak! Kali ini kau kubebaskan. Tapi
dengan satu sarat," ujar Baginda Aji Wardana.
"Aha, apakah saratnya, Baginda?" tanya Sena ingin
tahu.
"Jangan sesekali kau berkeliaran di sekitar wilayah
kerajaan ini," jawab Baginda Aji Wardana tegas.
"Aha, bagaimana kalau kebetulan aku lewat di
wilayah ini, Baginda...?" tanya Sena yang merasa
keputusan Baginda Aji Wardana kurang adil.
"Kau akan kami tangkap," sahut Baginda Aji
Wardana tegas.
"Hm, baiklah. Tapi perlu kuingatkan pada kalian.
Sesungguhnya banyak pemberontak yang menyusup
di kerajaan ini. Hati-hatilah!" ujar Sena memperingat-
kan Baginda Aji Wardana.
"Tutup mulutmu! Pergi cepat dari sini, jangan
sampai pikiranku jadi berubah!" bentak Baginda Aji
Wardana sengit. Bagaimanapun dia merasa malu
karena pemuda itu seakan-akan memberi petuah
padanya. Padahal sebenarnya Pendekar Gila ber-
maksud baik. Dia tak ingin raja yang sudah tua
usianya itu menghadapi perebutan kekuasaan
dengan pertumpahan darah.
"Baiklah, hamba mohon pamit," kata Sena sambil
berkelebat meninggalkan ruang sidang. Namun
hatinya tetap merasa tak bisa meninggalkan wilayah
Istana Telaga Emas begitu saja. Dia merasa Baginda
Aji Wardana kini dalam ancaman pemberontak yang
siap menggulingkan kekuasaannya.
"Hm, siapakah pimpinan pemberontak itu?
Rama...? Ah..., sayang lelaki bermuka codet itu hanya
menyebut nama Rama. Rama siapa...?" tanya Sena
sambil terus melangkah meninggalkan Istana Telaga
Emas. Pikirannya masih diliputi ketidakmengertian
akan semua yang terjadi di istana itu. Kelihatannya
ada penjahat yang berusaha menggulingkan tahta
Baginda Aji Wardana.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, seperti
kegirangan. Kakinya terus melangkah, semakin jauh
dari istana. Namun, hatinya tetap berjanji akan terus
berusaha mengawasi Istana Telaga Emas. Dia merasa
yakin, kalau ada orang-orang yang bertujuan hendak
menggulingkan tahta Baginda Aji Wardana.
"Ah, bagaimana aku harus menyelidiki semuanya?"
pikir Sena kebingungan. "Aku tak ingin bentrok
dengan pihak kerajaan. Tapi, aku juga tak boleh
tinggal diam. Bagaimanapun kerajaan itu harus bisa
diselamatkan dari ancaman penggulingan ke-
kuasaan."
Dengan masih berpikir-pikir, bagaimana cara
terbaik agar bisa menyelamatkan keluarga Baginda
Aji Wardana, Pendekar Gila terus melangkah.
Benaknya masih ingat kata-kata Kalong Maut yang
mengatakan hendak membunuh keturunan dan
keluarga Baginda Aji Wardana.
"Aha, aku ada akal...! Baiklah, aku akan
menyelidiki dari kejauhan secara sembunyi-
sembunyi," gumam Sena sambil terus melangkah
meninggalkan Istana Telaga Emas yang semakin jauh.
***
Malam datang dengan perlahan, menggantikan
siang. Kegelapan menyelimuti bumi persada.
Semenjak terjadinya usaha pembunuhan Kalong
Maut dan peristiwa di ruang sidang yang berhasil
digagalkan Pendekar Gila, penjagaan Istana Telaga
Emas semakin diperketat
Malam telah semakin larut, nampak sesosok
bayangan bergerak berjalan mengendap-endap
menuju sebuah bangunan di samping kiri istana.
Bangunan itu tempat anak-anak Baginda Aji Wardana
tidur. Sepertinya ada sesuatu yagn hendak dilakukan
sosok bayangan itu. Sehingga jalannya dia harus
mengendap-endap untuk mendekati bangunan besar
di samping kiri istana.
Lingkungan istana kerajaan memang dibagi
menjadi lima bagian. Bagian pertama istana, diapit
dua bangunan. Sebelah kiri bangunan tempat tidur
bagi anak-anak sang Raja, serta para emban. Sebelah
kanan, untuk tidur sang Raja dan permaisuri serta
selirnya.
Di belakang istana, ada dua bangunan yang
disediakan bagi para sesepuh dan pembesar istana.
Malam itu, Baginda Aji Wardana tengah berada di
kamar permaisuri yang bernama Dewi Ayu Tunjung
Sari. Sehingga dengan leluasa, Nyi Mas Lindri keluar
meninggalkan kamarnya.
"Hm, rupanya semua telah tidur. Para prajurit itu
kurasa tak menjadi masalah. Mereka merupakan
orang-orang yang telah memihak padaku," gumam
orang itu. Dilihat dari nada suara dan bentuk
tubuhnya jelas sosok itu seorang wanita muda.
Pakaian yang dikenakannya merah jambu.
Wanita itu terus mengendap-endap, mendekat ke
bangunan tempat anak-anak Baginda Aji Wardana
malam itu telah terlelap dalam tidurnya.
"Hm, dengan matinya Sulara, baginda akan
menjadi lemah jiwanya. Bukankah dengan begitu, aku
akan bisa mempengaruhinya?" gumam wanita ber-
pakaian serba merah jambu sambil terus mengendap-
endap semakin mendekat ke bangunan itu.
Sesaat matanya mengawasi ke sekeliling tempat
itu. Kemudian, setelah merasa tak seorang pun yang
melihatnya, wanita berwajah terselubung kain merah
jambu itu perlahan-lahan membuka jendela salah
satu kamar pada bangunan besar itu.
Kreeettt...!
Meski jendela itu dibuka dengan pelan sekali,
suara terbukanya daun jendela masih terdengar. Hal
itu membuat wanita itu sesaat menghentikan
gerakannya. Matanya mengawasi sekeliling tempat
itu. Kemudian dengan perlahan-lahan, kembali
dibukanya jendela kamar tempat Sulara.
"Hm, aman...," gumam wanita itu. Kemudian degan
ringannya tubuh wanita itu melompat masuk lalu
dengan hati-hati ditutupnya kembali jendela kamar
itu.
Pemuda berwajah tampan dengan rambut terurai
yang masih teradur pulas itu, nampaknya tidak
terjaga oleh kedatangan seseorang yang tak
diundang ke dalam kamarnya.
Wanita berpakaian merah jambu menyunggingkan
senyum di bibir. Tangan kanannya mengambil
sesuatu dari balik pakaiannya. Dan kini tergenggam
di tangannya sebilah pisau tajam dan runcing, berkilat
putih.
"Mampuslah kau, Sulara!" dengus wanita
berpakaian merah jambu itu sambil melangkah,
mendekati tubuh Sulara, yang tersentak kaget dan
bangun.
"Siapa kau...?!"
Wrrrt!
Wanita itu menghujamkan pisau di tangannya ke
dada Sulara.
Jrebbb!
"Aaakh...!"
Malam yang semula sepi, seketika dipecahkan
suara jeritan kematian dari mulut Sulara. Bersamaan
dengan itu, sosok bayangan merah jambu berkelebat
meninggalkan kamar Sulara. Begitu cepat bayangan
itu melesat, sehingga dalam sekejap saja bayangan
itu telah menghilang di kegelapan malam.
Para prajurit yang mendengar teriakan, serentak
berhamburan menuju kamar tempat Sulara. Mereka
berteriak-teriak.
"Pembunuhan...! Pembunuhaaan...!"
Dalam sekejap saja, seluruh penghuni istana
berhamburan keluar. Mereka semua terkejut bukan
kepalang. Baginda Raja Wardana tergesa-gesa berlari
ke kamar putranya. Seketika mata sang Raja ter-
belalak lebar, ketika melihat apa yang terjadi.
"Sulara...!" pekik Baginda Aji Wardana, setelah
melihat tubuh putranya telah terkapar berlumur
darah. Dadanya terhujam belati yang mengandung
racun. Sedangkan permaisuri Dewi Ayu Bitari,
seketika pingsan. Wanita itu tampaknya tak kuat
menahan kesedihan atas kematian putra sulung,
yang diharapkan bakal menggantikan suaminya
sebagai raja.
Baginda Aji Wardana benar-benar murka atas
kematian anaknya. Matanya menatap tajam ke
seluruh prajurit yang jaga malam itu. Napasnya
tersengal-sengal, diliputi amarah yang meluap-luap.
"Prajurit-prajurit bodoh! Tak ada gunanya kalian
berjaga!" bentak Baginda Aji Wardana murka.
Dicabutnya keris pusaka yang ada di pinggang.
Sret!
"Kalian harus mati, sebagai pengganti anakku!"
Bagaikan banteng terluka sang Raja hendak
mengamuk dan bermaksud menyerang sepuluh
prajurit jaga malam itu. Beruntung Ki Gede Mundu
segera datang menyabarkanya.
"Sabar, Anak Agung. Tak baik kau menuruti nafsu
amarah. Mereka memang salah. Tapi sebagai
seorang raja, kau tak boleh berlaku menuruti nafsu
angkara murkamu. Mereka hanya lalai dalam
menjalankan tugas," tutur Ki Gede Mundu terus
berusaha menyabarkan Baginda Aji Wardana.
"Tapi putra mahkota telah mati, Ki Gede. Dan
semua ini karena kelalaiannya mereka," kilah
Baginda Aji Wardana masih kelihatan marah. Keris
pusaka yang mengeluarkan sinar kuning bernama
Kyai Peget, masih tergenggam di tangannya.
"Aku tahu, Anak Agung. Kami pun turut berduka
cita atas kematian putra mahkota. Kini, cari
pembunuh itu...!" kata Ki Gede Mundu setengah
memerintah para prajurit untuk mencari pelaku
pembunuhan terhadap putra mahkota.
Prajurit yang dari tadi diam, serentak beranjak
untuk mencari pelaku pembunuh Sulara. Seluruh
lingkungan istana mereka lacak, tapi mereka tak
menemukan tanda-tanda kalau pembunuh masih
berada di dalam lingkungan istana.
"Lingkungan istana telah kami lacak, tetapi kami
tak menemukan tanda-tanda kalau pembunuh masih
berada di lingkungan istana," lapor senapati kerajaan
yang memimpin langsung pelacakan terhadap pelaku
pembunuhan.
"Bodoh! Cari di luar...!" bentak sang Raja gusar.
Matanya terbelalak marah, menerima laporan
senapatinya. Sedangkan permaisuri masih pingsan.
Memang masih ada tiga anak lagi. Tetapi permaisuri
merasa sedih, karena anak sulungnya harus mati.
"Daulat, Baginda," Senapati Awong Purba
menyembah, kemudian bersama puluhan prajurit
segera melanjutkan tugas pelacakan di luar istana.
Mereka kembali menelusuri tepian Telaga Mas,
tempat mereka menemukan Pendekar Gila siang tadi.
Hingga menjelang pagi mereka terus menyelidiki
Telaga Mas dalam usahanya mencari orang yang
patut dicurigai sebagai pelaku pembunuhan. Namun,
mereka tak dapat menemukan jejak pembunuh.
Meski begitu mereka tak mau putus asa. Mereka
terus menelusuri tepian Telaga Mas, dengan mata
mengawasi telaga.
Kalau-kalau pelaku yang kabur tercebur di air
telaga dan akan muncul.
***
Tanpa mereka ketahui, Pendekar Gila mem-
perhatikan gerak-gerik para prajurit dari kejauhan.
Sena yang sudah menaruh curiga kalau akan terjadi
sesuatu di Istana Telaga Mas, sengaja tak mau
meninggalkan wilayah sekitar telaga itu. Dengan
sembunyi-sembunyi, Sena berusaha mengawasi apa
yang bakal terjadi di stana itu.
"Hm, rupanya telah terjadi sesuatu di istana.
Mungkinkah apa yang dikatakan Kalong Maut
benar?" jumam Sena lirih. "Tampaknya pembunuhan
terhadap keluarga Baginda Aji Wardana telah terjadi."
***
"Cari pembunuh itu...!" teriak Senapati Awong
Purbo pada para prajuritnya. "Kita harus segera
nenangkap pembunuh itu!"
"Tapi, Kanjeng Senapati, nampaknya tak ada
tanda-tanda kalau pelaku itu mencebur ke telaga ini,"
salah seorang prajurit menjawab.
"Aha, rupanya benar apa yang kuduga. Di istana
telah terjadi sesuatu," gumam Sena sambil meng-
garuk-garuk kepala. "Kurasa di dalam istana telah
dimasuki para pemberontak."
Pendekar Gila terus memperhatikan gerak-gerik
para prajurit yang dipimpin Senapati Awong Purbo.
Mereka masih mencari pelaku pembunuhan di
sekeliling Telaga Mas. Sesekali wajahnya tampak
termenung, seperti sedang berusaha memikirkan
siapa sebenarnya yang dimaksud Kalong Maut.
"Rama.... Ah, Rama siapakah? Lelaki bercodet itu
seakan hendak mengatakan nama seseorang.
Sayang, dia telah terbunuh," gumam Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Aku harus menolong keluarga istana dari
ancaman maut. Hm. Jelas sekali, kalau pelaku
pembunuhan berada dalam istana. Sudah dari tadi
aku di sini mengawasi Istana Telaga Mas, tapi belum
kulihat ada orang yang mencurigakan."
Sementara dari kejauhan, masih terlihat Senapati
Awong Purbo dan para prajuritnya terus berusaha
mencari orang yang dicurigai di sekitar Telaga Mas.
Tapi sampai pagi mereka tak juga menemukan tanda-
tanda kalau orang yang dicari akan muncul.
"Tak ada, Kanjeng Senapati...!" seru salah seorang
prajurit.
"Ya! Nampaknya pembunuh itu tak keluar," gumam
Senapati Awong Purbo sambil mengangguk-angguk
kepala. "Jelas pelakunya berada di dalam istana."
Pendekar Gila mengangguk-anggukkan kepala,
mendengar ucapan Senapati Awong Purbo. Mulutnya
tersenyum-senyum, dengan tangan menggaruk-garuk
kepalanya.
"Aha, apa yang kau katakan benar, Senapati. Ah,
sayang sekarang kalian tak mengizinkan aku ke
istana. Kalau saja aku diperbolehkan ke istana, ingin
rasanya aku menangkap pengkhianat itu," geram
Sena. Kemudian dengan cepat tubuhnya melesat
meninggalkan tempat itu, ketika Senapati Awong
Purbo dan para prajuritnya juga meninggalkan tepian
Telaga Mas.
Di ufuk timur, mentari merangkak naik perlahan.
Diikuti kicau burung, berdendang riang.
***
4
Pendekar Gila yang berusaha mencari tahu dalang
dari pelaku pembunuhan di Istana Telaga Mas,
tampaknya menemui kesulitan. Karena sumber yang
dapat dimintai keterangan tak ada. Orang yang
semula dapat dijadikan sumber telah tewas sebelum
menjelaskan siapa sebenarnya tokoh yang berdiri di
balik peristiwa pembunuhan di Istana Telaga Mas.
Pagi itu, Pendekar Gila telah sampai di Desa
Kembang Puan, yang terletak di sebelah selatan
Istana Telaga Mas. Saat itu, di sebuah kedai yang
terletak di persimpangan jalan di Desa Kembang
Puan, ramai pengunjung berdatangan. Nampaknya
kedai itu sangat disukai orang-orang yang kebetulan
lewat. Di antara mereka juga ada yang sengaja
datang ke kedai itu.
Tampaknya ada sesuatu yang menarik di kedai itu,
hingga mampu mengundang kehadiran banyak orang,
terutama kaum lelaki. Baik dari kalangan persilatan,
maupun orang-orang biasa.
Ketika Pendekar Gila masuk, keningnya berkerut
menyaksikan banyaknya orang yang mengunjungi
kedai itu. Sehingga ruangan kedai penuh sesak.
Kehadiran Sena yang tingkah lakunya seperti
orang gila, membuat orang-orang menoleh padanya.
Ada yang mengerutkan kening, ada yang tersenyum-
senyum. Bahkan ada yang menggerutu seakan tak
suka melihat kehadiran Pendekar Gila di kedai ini.
"Bocah edan, mau apa dia masuk kedai ini?!" dengus
lelaki berhidung mancung dan bermata sipit dengan
alis melengkung ke atas.
Tampaknya lelaki dari Jepang yang bernama
Takakira itu tak suka atas kehadiran Pendekar Gila di
kedai itu. Mata lelaki berusia tiga puluh lima tahun
itu, menatap tajam wajah Pendekar Gila.
"Hi hi hi.... ha ha ha! Banyak sekali orang di sini!
Sepertinya ada pesta," gumam Sena cengengesan
sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah
lakunya yang seperti orang gila, membuat pengunjung
kedai yang tak suka padanya bertambah kesal dan
benci.
"Bocah edan, mau apa kau kemari?!" sentak
seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun
berpakaian abu-abu. Tangannya memegang sebuah
payung yang gagangnya terbuat dari kayu. Dilihat dari
payung yang dipegangnya wanita tua itu tak lain Nyi
Pinggi Weni atau si Payung Sakti dari Walaparu.
"Aha, yang jelas aku pun ingin ikut berpesta
dengan kalian semua," sahut Pendekar Gila sambil
berusaha mencari tempat duduk di antara padatnya
pengunjung kedai itu. Gerak-geriknya masih seperti
orang gila. Orang-orang pun muak melihat tingkah
lakunya.
"Huh! Bocah edan sepertimu, tahu apa dengan
urusan kita. Cepat pergi dari kedai ini!" bentak
seorang lelaki tua dengan pakaian seperti resi
berwarna ungu. Rambut digelung ke atas, tangan
memegang sebuah senjata berbentuk tasbih ungu.
Matanya yang tajam, menatap penuh selidik terhadap
pendekar gila.
"Hi hi hi.... Kenapa kau galak sekali, Ki? Bukankah
aku kemari untuk ikut berpesta dengan kalian? Ha ha
ha, kupikir di sini akan ada pesta besar. Rasanya, tak
ada salahnya aku turut serta untuk menghabiskan
sisa makanan yang tak habis kalian santap," ujar
Sena sambil duduk di bangku yang masih kosong.
"Bocah edan! Aku tak mengundangmu. Enyahlah
dari sini!" bentak lelaki tua berusia enam puluh tahun
itu bengis. Sepotong paha ayam dilemparkan ke arah
pendekar gila.
Swit!
Paha ayam itu melesat cepat, seperti mengandung
kekuatan tenaga dalam. Menderu keras dekat muka
Pendekar Gila.
"Eit!"
Trep!
Dengan sedikit merundukkan kepala serta tangan
kanan bergerak cepat, Pendekar Gila menyambar
paha ayam itu. Hal itu membuat lelaki tua berkumis
putih serta semua orang di kedai itu terbelalak.
"Hi hi hi...! Terima kasih, Ki! Kau baik sekali,"
dengan tak acuh Sena segera menyantap paha ayam
itu hingga habis. Lelaki tua itu semakin geram,
setelah tahu kalau pemuda yang bertingkah laku gila
mampu menangkap lemparan yang disertai tenaga
dalam.
"Hm, bocah itu bukan orang sembarangan. Tapi
aku ingin tahu, sampai seberapa kehebatan tenaga
dalamnya," gumam lelaki tua itu dalam hati.
Tangannya segera mengambil guci arak yang ada di
hadapannya.
"Minum ini! Hik...!"
Wusss!
Guci arak itu melesat berputar-putar dengan cepat
ke arah Pendekar Gila yang masih menggerogoti sisa-
sisa daging paha ayam. Sementara tangan kanan
memegang tulang paha ayam di mulutnya, sedangkan
tangan kirinya diangkat...
Trap!
Dengan ringan dan mudah sekali Pendekar Gila
menangkap guci yang melesat begitu cepat, karena
dilemparkan dengan kekuatan tenaga dalam.
"Ha ha ha! Kau ternyata baik sekali, Ki," Sena
langsung menuang arak dari guci. Hal itu membuat
mata semua orang yang ada di kedai semakin
terbelalak. Semua orang yang tahu siapa lelaki tua
yang melemparkan guci arak, hanya melongo
bengong melihat Pendekar Gila dengan mudah
menangkap lemparannya.
Lelaki tua berpakaian ungu itu menelan ludah.
Matanya terbelalak, menyaksikan barang yang
dilemparkannya, dengan mudah ditangkap pemuda
bertingkah laku gila itu.
"Hm, benar apa yang kuduga. Ternyata pemuda itu
bukan orang sembarangan," desis hati lelaki tua ang
tiada lain Rama Mangunda. "Bahaya, kalau bocah itu
tahu siapa aku dan hendak apa kami berkumpul di
kedai ini."
"Aha, terima kasih atas jamuanmu, Ki! Kukembali-
kan guci arakmu."
Pendekar Gila segera mendorong guci arak dengan
sentilan jari tangannya ke arah Ki Rama Mangunda.
Wrrr!
Guci arak itu berputar keras seperti gasing,
melesat menuju Ki Rama Mangunda. Mata lelaki tua
itu terbelalak. Ki Rama Mangunda tak menyangka,
kalau telaga dalam pemuda itu sangat hebat.
Buktinya, hanya dengan menyentilkan jari tangannya,
dia mampu membuat guci arak yang berat itu melesat
dan berputar cepat seperti gasing, menderu ke
tubuhnya.
Wrrr!
Guci arak masih berputar dengan cepat, menderu
dekat Ki Rama Mangunda. Lelaki tua itu tersentak
kaget, merasakan hawa panas yang menderu. Dia tak
berani menangkap guci itu. Segera dimiringkan
tubuhnya ke samping agak merendah, mengelakkan
terjangan guci arak itu.
"Celaka! Bocah ini bukan orang gila biasa!" pekik
Ki Rama Mangunda sambil mengelakkan sambaran
guci arah yang terus menderu ke arahnya.
Wrrr!
Guci arak itu melesat beberapa jari di atas
kepalanya, terus menderu dengan putaran cepat
seperti gasing. Akhirnya guci itu pun menghantam
kayu penyangga kedai.
Brakkk!
Duarrr...!
Ledakan menggeiegar terdengar bersamaan
dengan getaran dahsyat yang terasa meng-
guncangkan kedai. Guci pecah berantakan, araknya
muncrat dan langsung menyiram orang-orang yang
berada dekat tiang penyangga kedai.
Crattt!
"Aduh...!"
Mereka yang terkena percikan arak itu terpekik
kesakitan. Pakaian yang terkena arak, seketika
mengeluarkan asap bagai terbakar. Hal itu membuat
Ki Rama Mangunda terbelalak heran. Begitu juga
dengan lelaki berhidung seperti betet dan si Payung
Sakti.
"Bocah edan! Berani lancang kau bertingkah di
sini!" bentak si Hidung Betet geram. Lelaki bersenjata
sepasang pedang itu langsung bangkit dari tempat
duduknya, melangkah mendekati Pendekar Gila yang
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Pemuda berompi dari kulit ular itu masih tenang-
tenang saja, padahal si Hidung Betet telah
menunjukkan kemerahannya.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki? Mukamu pucat
seperti tikus. Ha ha ha...!" dengan suara lepas,
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mengejek
Rama Mangunda yang kian bertambah marah
mendengar ejekan Sena.
"Bocah edan! Siapa kau?!" bentak Rama
Mangunda marah. Wajahnya yang pucat, kini merah
bagai terbakar api amarahnya yang meluap-luap. Dia
merasa telah dipermainkan Pendekar Gila di depan
para pengikutnya.
"Kurang ajar! Kupecahkan batok kepalamu!"
bentak si Hidung Betet. Tangannya dengan kekuatan
tenaga dalam penuh, menyambar cepat kepada
Sena.
Wuttt
Dengan masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala, Sena bagaikan tak melihat serangan
lawan, begitu cepat merundukkan tubuh. Hal itu
mengakibatkan serangan si Hidung Betet meleset di
atas kepala.
"Wua kau galak sekali, Betet Jelek!"
Setelah berkata begitu, Pendekar Gila men-
dorongkan kedua telapak tangannya ke dada lelaki
berhidung seperti paruh betet yang rambutnya diikat
ekor kuda.
Bukkk!
"Ukh!"
Si Hidung Betet yang tak menyangka kalau bocah
gila itu menyerangnya, tak mampu mengelak. Tak
ampun lagi, tubuhnya terdorong kuat ke belakang,
dan baru berhenti, setelah menghantam salah satu
meja di kedai itu.
Brakkk...!
"Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak
sambil berjingkrakkan seperto monyet "Lucu..., hi hi
hi...! Lucu sekali kau, Betet! Kenapa kau seperti
mabuk?! Hua ha ha...!"
"Ukh..., Setan! Kubunuh kau, Bocah Gila!" maki si
Hidung Betet sengit, merasa telah dipermainkan.
Dengan cepat tubuhnya bangun. Tangannya menarik
dua pedang yang berada di punggung.
Srekkk!
Sena semakin tertawa terbahak-bahak, melihat si
Hidung Betet telah mengeluarkan kedua pedang
kembarnya. Tangannya masih menggaruk-garuk
kepala. Tubuhnya berjingkrakan tak ubahnya seperti
monyet.
"Hi hi hi...! Kau benar-benar seperti burung betet
marah," gumam Sena yang membuat si Hidung Betet
bertambah marah.
"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan!"
Si Hidung Betet segera bergerak menyerang
dengan kedua senjatanya, memburu Sena yang tetap
tenang sambil cengengesan.
"Putus lehermu! Hih...!"
Lelaki berpakaian seperti pesilat Jepang yang
bernama Takakira membabatkan pedangnya ke
tubuh lawan. Namun dengan cepat Pendekar Gila
merunduk, hingga pedang Takakira melesat di atas
tubuhnya. Kemudian dengan cepat pula, me-
lancarkan dengan pukulan telapak tangan kirinya ke
dada lawan.
"Hih!"
"Uts!" lelaki Jepang itu tersentak melihat serangan
yang datang secara tiba-tiba. Dengan cepat dia
membabatkan pedang di tangan kirinya ke bawah,
berusaha melindungi dadanya dari serangan lawan.
***
Pendekar Gila dengan jurus 'Gila Menari Menepuk
Lalat' bergerak meliuk-liuk menyerang dan terus
mendesak Takakira. Lelaki berhidung betet itu
tersenak kaget melihat gerakan ilmu silat yang
dilancarkan Sena. Gerakan meliuk-liuk tubuh
Pendekar Gila, seperti orang menari. Kemudian
gerakan menepuknya, seperti main-main.
Bukan hanya si Hidung Betet yang mengerutkan
kening dengan mata terbelalak, melainkan semua
orang yang ada di situ termasuk Rama Mangunda
dan si Payung Sakti. Mereka dibuat kaget melihat
gerakan ilmu silat Pendekar Gila. Gerakannya aneh,
sekilas seperti main-main dan sangat lemah. Namun,
dengan gerakan seperti itu, mampu membuat
Takakira harus kerepotan menghadapi gempuran
yang dilancarkan Sena.
"Celaka! Bocah itu bukan bocah gila
sembarangan." desis Rama Mangunda dalam hati,
merasa tegang menyaksikan bagaimana Takakira
yang menjadi salah satu andalannya terdesak terus
menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan
Pendekar Gila. Bahkan kalau Pendekar Gila mau,
sudah sejak tadi Takakira dapat dikalahkan.
Rama Mangunda tak ingin berlarut-larut. Melihat
pertarungan Takakira dengan bocah gila itu segera
melesat mendekati keduanya.
"Hentikan!" bentaknya keras.
Takakira dan Pendekar Gila segera melompat ke
belakang, menghentikan pertarungan itu.
"Aha, mengapa kau menyuruh berhenti, Ki?
Bukankah di sini memang akan ada pesta? Apakah
tak sebaiknya pesta itu didahului oleh arak? Hi hi hi...!
Seperti pesta yang lainnya?" ujar Sena sambil
cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Rama Mangunda benar-benar marah dan ter-
singgung dengan sikap Pendekar Gila. Namun
ketajaman pikiran dan perasaannya dapat membaca
siapa sesungguhnya pemuda yang bertingkah laku
seperti orang gila itu. Menghadapi pemuda ber-
pakaian rompi dari kulit ular itu berarti mencari
penyakit Rama Mangunda bermaksud melerai
bahkan ingin membujuknya agar dapat diajak bekerja
sama.
"Kisanak, di sini tak ada pesta. Kalau kau mau
makan, mintalah! Biar nanti aku yang membayarnya,"
ujar Rama Mangunda berusaha membujuk Sena.
"Aha, ternyata kau tak seburuk temanmu, Orang
Tua. Ha ha ha perutku memang lapar sekali. Paha
ayam yang kau berikan, rasanya kurang mengganjal
perutku. Begitu juga dengan arak yang kau beri,
belum cukup menghilangkan rasa hausku," jawab
Sena dengan cengengesan.
Rama Mangunda tersenyum-senyum, lalu
mengedipkan mata pada Takakira dan si Payung
Sakti. Tangannya menepuk-nepuk pundak Pendekar
Gila.
"Kisanak, kau boleh minta sesuka hatimu. Setelah
itu, kau boleh pergi dari sini! Pak Tua, beri dia
makanan yang enak-enak!" perintah Rama Mangunda
sambil mengedipkan mata, memberi isyarat pada
pemilik kedai agar makanan yang akan disajikan
pada Pendekar Gila dibubuhi racun.
Pemilik kedai ternyata tersenyum dan menganggukkan kepala. Hal itu tertangkap Pendekar Gila
yang hanya cengengesan sambil terus menggaruk-
garuk kepala. Sepertinya Sena tak tahu, niat buruk
Rama Mangunda itu.
"Kisanak, duduklah di kursiku. Sebentar lagi kau
akan menikmati makanan enak," ujar Rama
Mangunda sambil mengiringi Sena yang masih
bertingkah laku seperti orang gila menuju ke
bangkunya.
"Hi hi hi...! Lucu sekali jenggotmu, Ki! Seperti
jenggot kambing...," celoteh Sena sambil menunjuk
jenggot Rama Mangunda, "Aha, ada kutunya, Ki!"
Pret!
"Aaakh...!"
Tangan Sena mencabut jenggot Rama Mangunda
dengan keras, membuat lelaki tua itu terpekik
kesakitan dengan mata terbelalak marah. Hampir
saja Takakira dan si Payung Sakti melabrak pemuda
bertingkah laku konyol dan seperti orang gila itu,
kalau saja Rama Mangunda tak segera melarangnya.
Lelaki tua itu mengedipkan mata, memberi isyarat
agar tak usah melawan bocah gila itu, karena
menurutnya Sena tentu akan mati oleh racun yang
ditaburkan di makanan.
"Hi hi hi...! Sakit, Ki...? Ah, maaf! Aku hanya ingin
mengambil kutunya," kata Sena dengan seenaknya,
bagaikan tak bersalah.
Rama Mangunda tersenyum terpaksa sambil
menganggukkan kepalanya, meski dalam hatinya
memaki sengit dan merutuki perbuatan Pendekar Gila
yang dianggapnya terlalu kurang ajar.
"Bocah edan! Sebentar lagi kau akan mampus,
masih bisa bertingkah!" geram Rama Mangunda
dalam hati.
"Ah, rupanya makanan sudah siap, Kisanak.
Kuharap kau dapat menyantapnya dengan sepuas
hatimu!" ujar Rama Mangunda berusaha menunjuk-
kan keramahan, agar pemuda itu tak curiga, kalau
makanan yang dihidangkan padanya mengandung
racun ganas. Racun yang bagi manusia biasa tak
mungkin mampu bertahan hidup seketika.
"Aha, kelihatannya sangat enak, Ki! Apakah kau
tak ikut bersantap denganku? Ayolah!" ajak Sena,
yang membuat mata Rama Mangunda terbelalak,
dengan wajah pucat pasi. Bagaimanapun dirinya tahu
racun apa yang ditaburkan pada makanan itu.
Rama Mangunda kelabakan, bingung mendengar
ajakan Sena. Ditelan ludahnya beberapa kali, ber-
usaha membasahi kerengkongannya yang kering.
"Aha ayolah, Ki!" ajak Sena sambil menarik tangan
Rama Mangunda untuk makan bersama. "Kurasa
antara kita telah terjalin rasa kesetiakawanan. Kau
telah memberiku makanan yang enak-enak. Bukan-
kah sebaiknya kita makan bersama?"
"Ah, tidak..., terima kasih! Kami sudah makan tadi.
Bagaimana kami bisa makan lagi? Nanti aku tak kuat
jalan," jawab Rama Mangunda berusaha menolak.
"Benar, Sobat. Kami tadi habis makan," sambung
Takakira berusaha meyakinkan Pendekar Gila.
"Aha, jadi kalian tak makan?" tanya Sena sambil
cengengesan. "Baiklah, kumakan sendiri."
Dengan lahap Sena menyantap makanan itu. Dia
yang kebal segala macam racun dan tahu kalau
makanan itu beracun, pura-pura merasakan pening.
Kemudian tergeletak tidur. Hal itu dilakukan karena
ingin tahu, apa yang sebenarnya hendak direncana-
kan mereka selanjutnya.
"Mampuslah kau, Bocah!" dengus Rama
Mangunda sambil tersenyum kecut, "Buang Dia...!"
perintahnya pada anak buahnya.
Empat lelaki berbadan kekar dengan kepala botak
melangkah menghampiri tubuh Pendekar Gila
kemudian bagaikan menenteng bangkai, keempatnya
membawa tubuh Pendekar Gila yang dianggap
mereka orang gila.
***
5
Keempat lelaki berkepala botak dan berbadan kekar
itu terus membawa tubuh Pendekar Gila menuju
perbatasan Desa Kembang Puan. Di sana ada sebuah
sungai yang cukup besar dan deras airnya.
"Kita buang saja ke sungai ini," usul salah seorang
dari mereka.
"Aha, enak sekali kalian ngomong," tiba-tiba Sena
bangun.
Keempat lelaki yang memegangi tangan dan kaki
Pendekar Gila tercekat kaget bukan kepalang.
Mereka mengira pemuda yang dibawanya benar-
benar telah mati oleh racun. Apalagi ketika tiba-tiba
tubuh Pendekar Gita melenting ke atas dan berputar
cepat sekali.
Krakkk!
Kretek!
Suara gemeretak seperti tulang patah terdengar
bersama berputarnya tubuh Pendekar Gila.
"Aduh!"
"Aaakh...!"
Keempat lelaki berbadan tegap dengan kepala
botak itu terpekik keras, ketika tulang tangannya
bagaikan patah akibat hentakan tubuh Pendekar Gila.
Tangan mereka yang memegang tangan dan kaki
Sena, seketika lepas. Bahkan kini keempat lelaki
berkepala botak itu meringis-ringis kesakitan.
"Hua ha ha...! Kalian kena tipu! Hi hi hi...!" Sena
tertawa-tawa sambil berjingkrakkan seperti seekor
monyet. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Hal itu
membuat geram keempat lelaki berkepala botak.
"Kurang ajar! Kupecahkan kepalamu, Bocah edan!"
dengus lelaki berkepala botak dengan hidung besar
sambil meluruk ke tubuh Pendekar Gila dengan
kepalan tangannya yang besar.
Wuttt!
"Eit! Ada kebo ngamuk! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa-tawa dan menggaruk-garuk kepala,
Sena menarik kaki kanannya ke samping. Kemudian
menekuknya ke bawah. Dan ketika lelaki berkepala
botak itu menyerang, dengan cepat Sena me-
miringkan tubuhnya ke samping sambil mengangkat
kaki kirinya ke atas.
Deggg!
Serangan lawan luput, malah lutut Pendekar Gila
menghantam keras ke dada lawan. Tak ampun lagi,
tubuh besar itu terjungkal ke tanah dan langsung
terpelanting ke sungai yang deras airnya.
Byurrr!
"Happp! Tolooong...!" lelaki berhidung besar itu
berteriak. Tangannya berusaha menggapai-gapai,
mencari pegangan. Namun, arus sungai yang deras,
terus menyeret tubuhnya yang besar.
Ketiga temannya yang menyaksikan kejadian itu,
seketika marah. Mata mereka menatap penuh
kebengisan pada Pendekar Gila yang masih
cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya, bagai-
kan tak menghiraukan kemarahan ketiga lawannya.
"Bocah edan. Kubunuh kauuu...!" lelaki beralis
lebat dan mata lebar membentak. Kemudian
ketiganya serentak menyerang Pendekar Gila dengan
pukulan dan sambaran tangan mereka yang besar
dan kekar.
Wrrrt!
"Hait! Hi hi hi...! Kalian tak ubahnya seperti tiga
kerbo dungu. Tenaga saja yang besar, tapi otak kalian
di dengkul," sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila terus
berkelit. Sementara mulutnya terus mengejek ketiga
lawannya yang semakin bertambah sengit.
Ketiga lelaki berbadan tinggi tegap dan berpakaian
hijau lumut itu kembali menghantamkan tangannya
berbarengan ke kepala lawan.
"Remuk kepalamu, Bocah Edan!"
Wrrrt!
"Aha! Belum, Sobat.... Hi hi hi!" Sena mengegoskan
tubuhnya, ke samping sambil mengangkat kaki
kanannya. Saat itu pula, salah seorang dari ketiganya
yang menyerang tak mampu menarik serangannya.
Tanpa ampun lagi....
Degkh!
"Ukh...!" lelaki itu terpekik. Tubuhnya terhuyung
huyung ke belakang, mendekat ke tepi sungai yang
cukup dalam itu. Beruntung salah seorang dengan
cepat mencekal tangannya. Kalau tidak, tubuh lelaki
itu tentu tercebur dan terbawa arus, seperti temannya
yang pertama.
"Bedebah! Rupanya kau harus dihajar, Bocah
Edan!" geram lelaki bercambang bauk lebat. Tangan-
nya yang mengepal terangkat ke atas. Kemudian
bagaikan banteng, lelaki bercambang bauk itu
menyeruduk. Tangannya bergantian menyerang tubuh
Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Gayamu persis kerbo, Sobat! Ah, lucu
sekali!" dengan melompat ke sana kemari meng-
elakkan serangan lawan yang menyeruduk, Pendekar
Gila terus menggoda dan berusaha membuat
lawannya marah.
"Hea!"
Lelaki bercambang bauk lebat itu terus mencecar
dengan hantaman-hantaman keras. Rerumputan dan
tanah di tepi sungai berhamburan terkena hantaman-
hantaman tangannya. Dahsyat sekali jurus 'Banteng
Menyelak' yang dilancarkan lelaki itu. Sehingga tepian
sungai bagaikan diguncang gempa bumi. Pendekar
Gila tak merasa gentar, bahkan dari mulutnya terus
terdengar ejekan. Hal itu membuat lawan bertambah
geram. Kedua temannya kini turut menggempur
lawan dengan jurus yang tak kalah dahsyat.
"Heaaa...!"
Wrrrt!
"Hi hi hi...! Bagus! Rupanya ada tiga kerbo yang
ngamuk. Aha, kebetulan sekali," Sena segera me-
lentingkan tubuhnya ke atas, lalu dengan cepat
menjejakkan kakinya di salah seorang. Dengan
enaknya Sena berpijak di pundak lelaki berhidung
besar dengan mulut lebar. Pijakan itu disertai
tekanan yang kuat. Akibatnya kaki lawan amblas ke
tanah sampai sebatas lutut.
Menyaksikan tingkah laku pemuda gila yang
menari-nari di atas pundak, kedua temannya ber-
tambah marah.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!"
Kedua lelaki bertubuh besar menyerang dari
samping kanan dan kiri secara bersamaan, dengan
pukulan keras.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Ketika tangan keduanya melesat dan hampir
sampai, dengan cepat. Pendekar Gila melompat ke
atas. Dan...
Jrot!
"Wuaaa...!"
Orang yang tadi dijadikan pijakan kedua kaki Sena,
menjerit keras. Kepalanya terkena pukulan kedua
temannya. Sampai-sampai kepalanya hancur
berantakan, memuncratkan darah dan otak.
Terbelalak mata kedua temannya yang menyerang,
ketika menyadari apa yang terjadi. Sedangkan
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil duduk
di atas cabang pohon di tepi sungai. Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Lucu sekali kalian ini. Mengapa
kepala teman kalian pukul?" ejek Sena sambil
tertawa.
"Bedebah! Turun kau, Bocah Edan!" bentak lelaki
bercambang bauk lebat seraya menghantamkan
pukulan jarak jauhnya yang disertai tenaga dalam
yang kuat.
"Heaaa...!"
Wrrrt!
"Hi hi hi...!" Sena segera melompat, berjumpalitan
di udara mengelakkan serangan. Pukulan lelaki
bercambang bauk menerjang pohon.
Jlegar!
Brakkk!
Cabang pohon itu hancur, dan jatuh ke sungai.
Sedangkan Pendekar Gila kini dengan tingkah laku
seperti orang tolol telah berada di belakang mereka.
"He he ha, apa yang kalian cari?" tanya Sena
menyentakkan keduanya.
Kedua lelaki tinggi besar berkepala botak itu
membalikkan tubuh. Secepat itu pula Sena men-
dorong tubuh keduanya ke belakang.
"Hea!"
"Wua...!"
Kedua lelaki berkepala botak itu terpekik
ketakutan, karena tubuh mereka kini terdorong keras
ke sungai. Keduanya berusaha menghentikan kaki
agar tak tercebur. Namun dorongan tangan Sena
sangat kuat, sehingga mereka tak mampu menahan
kedua kaki mereka. Dan....
"Wuaaa!"
Byurrr!
Keduanya tercebur ke sungai yang sangat deras.
Tangan keduanya berusaha menggapai-gapai, me-
minta tolong. Pendekar Gila hanya tertawa-tawa
sambil berjingkrakan.
"Ha ha ha...! Mandilah, biar badan kalian tak bau!"
seru Sena. Kemudian dengan cepat Sena melesat
meninggalkan tepian sungai, kembali masuk ke Desa
Kembang Puan.
***
Secara diam-diam, Sena berusaha menyelidiki apa
yang hendak dilakukan orang-orang yang berkumpul
di kedai. Tubuhnya segera melompat ke atas se-
batang pohon di samping kedai itu. Kemudian dengan
cepat dikerahkan ilmu 'Penyadap Suara'nya agar
dengan jelas dapat mendengar pembicaraan orang-
orang di kedai.
"Bagaimana kalau kita melakukannya sekarang
saja, Rama?" terdengar suara si Payung Sakti ber-
kata. Si Payung Sakti ternyata istri Rama Mangunda.
Pendekar Gila berkerut keningnya, mendengar nama
Rama disebut-sebut si Payung Sakti.
"Hm, tentunya Rama itulah yang dimaksud lelaki
bermuka codetan," gumam Sena sambil terus
memasang pendengarannya untuk dapat mengikuti
pembicaraan orang-orang di dalam kedai.
"Kurasa kita harus sabar, tunggu perkembangan
selanjutnya. Kita juga harus menunggu kabar dari Nyi
Mas Lindri, bagaimana perkembangan di istana," kini
terdengar suara lelaki tua yang dipanggil Rama.
"Aha, ternyata lelaki tua berpakaian resi itulah
yang bernama Rama," gumam Sena dalah hati, "Hm,
siapakah Nyi Mas Lindri itu? Kudengar dia berada di
dalam istana. Ah, celaka dua belas! Rupanya benar
dugaanku, istana dalam kekuasaan para pem-
berontak. Tinggal menunggu saatnya, pemberontakan
akan terjadi."
"Hampir separo lebih prajurit kerajaan telah
memihak pada kita. Kita tinggal bergerak saja, maka
kekuasaan Aji Wardana dungu itu akan hancur. Ha ha
ha...!" Rama Mangunda terdengar tertawa senang.
Sepertinya dia merasa apa yang dicita-citakan akan
terlaksana.
Pendekar Gila semakin mengerutkan keningnya
mendengar penuturan Rama Mangunda. Hatinya kian
yakin, kalau kehancuran kekuasaan Baginda Aji
Wardana kini berada di ambang pintu.
"Aku harus menolong Baginda," bisik Sena lirih.
"Anakku memang hebat, dia mampu menarik hati
Aji Wardana, sampai-sampai raja tolol itu tidak tahu,
siapa sesungguhnya Nyi Mas Lindri," kembali
terdengar suara Rama Mangunda berkata bangga,
merasa anaknya telah mampu menyusup ke Istana
Telaga Mas bersama beberapa pengawalnya. Bahkan,
mereka telah mampu mengajak para prajurit-prajurit
Istana Telaga Mas, untuk ikut bersama mereka.
Mereka kini siap untuk merebut kekuasaan Baginda
Aji Wardana.
Saat itu, dari arah timur nampak seorang wanita
cantik berpakaian merah jambu melesat di atas
kudanya yang putih polos.
"Tentunya wanita ini yang bernama Nyi Mas Lindri.
Kelihatannya wanita cantik ini hendak menuju ke
kedai," gumam Sena dalam hati sambil terus
memperhatikan kuda putih yang ditunggangi wanita
itu. Langkah kuda semakin perlahan ketika men-
dekati kedai.
"Hop!" Nyi Mas Lindri menghentikan lari kudanya,
ketika matanya melihat seseorang berpakaian rompi
kulit ular bertengger di atas pohon akasia. "Bocah
edan! Rupanya kau dari tadi memata-matai kami!"
Orang-orang yang ada di kedai berhamburan
keluar ketika mendengar suara bentakan Nyi Mas
Lindri. Mereka semakin bertambah marah, setelah
melihat Pendekar Gila ternyata masih hidup. Bahkan
kini tertawa terbahak-bahak di atas cabang pohon
akasia.
"Bocah setan! Kubunuh kau!" dengus si Payung
Sakti sambil membuka payungnya yang terbuat dari
kulit, kemudian melesat bermaksud menyerang
Pendekar Gila.
Brat!
"Hea!"
Payung itu diputar dengan cepat, menimbulkan
angin yang keras, menderu ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Genit sekali kau, Nyi! Sudah tua masih
main payung. Bukankah tak ada hujan?" ejek Sena
sambil melompat, mengelak dari hantaman Payung
Sakti itu.
Brak! Krak!
Cabang pohon itu, hancur berantakan diterjang
angin dahsyat dari payung. Kalau saja Sena masih
berada di situ, mungkin tubuhnya ikut hancur
terhantam payung di tangan si Payung Sakti.
"Aha, payungmu seperti kapak saja, Nyi! Ah, kurasa
kau juga termasuk penebang kayu yang hebat," ejek
Sena cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Hal itu membuat si Payung Sakti bertambah
marah.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!"
Wrrrt!
Payungnya kembali dibuka lalu diputar, menimbul-
kan angin yang menderu keras menerpa ke
sekelilingnya. Tapi Pendekar Gila malah tertawa
terbahak-bahak. Tingkah lakunya masih konyol.
Bahkan dalam keadaan kosong diserang begitu,
mulutnya sempat mengejek.
"Hi hi hi...! Kau mau main tari payung, Nyi?" Sena
langsung membuang tubuh ke samping, meng-
elakkan serangan payung lawan yang menderu keras.
Kemudian dengan cepat, tubuhnya bersalto di udara.
Menyaksikan lawan dapat mengelakkan serangan-
nya, si Payung Sakti semakin beringas. Semakin
kencang perempuan tua itu memutar payungnya,
berusaha mengeluarkan angin lebih besar agar
mampu menghantam Sena.
Wrrr!
Angin membadai keluar dari putaran payung di
tangan si Payung Sakti. Daun-daun kering beterbang-
an. Pohon-pohon kecil bertumbangan, terhempas
dah-yatnya angin dari Payung Sakti.
"Ha ha ha, kau perusak lingkungan, Nyi! Payung
bubutmu itu bagaikan hama saja," ejek Sena sambil
berkelit cepat, ketika si Payung Sakti menyerang
tubuhnya. Seketika itu pula, kakinya menendang ke
punggung si Payung Sakti yang masih melesat maju.
Perempuan tua itu tak mampu lagi mengelakkan
tendangan. Tanpa ampun lagi....
Degkh!
"Ukh!"
Tubuh si Payung Sakti terhuyung-huyung ke depan,
malah hampir tersungkur mencium tanah. Pendekar
Gila tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak lan
menggaruk-garuk kepala.
Melihat hal itu, Nyi Mas Lindri yang sudah jengkel
ejak pertama kali melihat Pendekar Gila di istana,
segera memerintahkan anak buahnya untuk
menyerang.
"Serang dan tangkap hidup atau mati...!"
Serentak semua orang yang ada di situ bergerak
maju, berusaha menangkap Pendekar Gila. Pendekar
Gila tersentak kaget, tapi dengan cepat segera
melesat meninggalkan tempat itu. Hal itu membuat
Nyi Mas Lindri dan anak buahnya semakin geram,
mereka langsung mengejarnya.
"Tangkap jangan sampai kabur!" perintah wanita
cantik itu kepada anak buahnya agar mengejar
Pendekar Gila. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah
menghilang.
Nyi Mas Lindri semakin marah karena gagal
menangkap Pendekar Gila. Matanya yang indah,
mengawasi ke sekelilingnya, berusaha mencari
Pendekar Gila. Namun tak juga menemukan pemuda
berambut gondrong dengan pakaian rompi dari kulit
ular itu.
"Dia Pendekar Gila, Rama," sahut Nyi Mas Lindri.
"Apa?!"
Mata Rama Mangunda terbelalak kaget, ketika
tahu siapa sebenarnya pemuda itu. Dia sering men-
dengar nama itu, tetapi tak pernah menyangka kalau
Pendekar Gila ternyata masih sangat muda.
"Sudah kuduga, kalau pemuda itu si Pendekar Gila.
Tapi aku masih ragu," gumam Rama Mangunda
sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Tapi, benarkah
dia Pendekar Gila, Anakku?!"
"Benar, Rama. Dialah Pendekar Gila," tutur Nyi Mas
Lindri.
"Pendekar Gila dari Goa Setan?" menegaskan
Rama Mangunda.
"Ya."
"Hm, pantas. Pantas kalau begitu," gumam Rama
Mangunda sambil menggaruk-garuk kepala. Tangan
kanannya mengelus-elus jenggotnya yang putih.
"Bagaimana, Ki? Apakah dengan adanya Pendekar
Gila kita akan menghentikan semuanya...?" tanya si
Payung Sakti. Didengar dari nada suaranya, wanita
tua itu merasa gentar mendengar nama Pendekar
Gila. Dia pun telah sering mendengar sepak terjang
pemuda itu. Namun baru kali ini melihat orangnya.
"Tidak! Kita harus meneruskan rencana untuk
mencapai cita-cita. Kita harus bisa mempengaruhi
semua prajurit, agar dapat berpihak pada kita. Dan
yang penting, kau harus bisa mempengaruhi
senapati, Anakku," tutur Rama Mangunda.
"Baik, Rama. Aku akan tetap menjalankan tugasku
dengan baik," sahut Nyi Mas Lindri, "Aku harus segera
ke istana, untuk memberitahukan bahwa Pendekar
Gila masih ada di wilayah ini. Kalian bersiap-siaplah!
Lusa malam, kita akan melaksanakan semuanya."
"Siap!" sahut anak buahnya serempak.
Setelah menjura hormat kepada ayah dan ibunya
Nyi Mas Lindri segera melompat ke punggung kuda
lalu menggebahnya. Kuda putih polos itu pun
seketika berlari kencang meninggalkan Desa
Kembang Puan, untuk kembali ke Istana Telaga Mas.
Dia harus mendahului Pendekar Gila, agar raja tak
manaruh curiga padanya.
***
6
Meski telah diancam akan dijebloskan ke penjara
bawah tanah oleh Baginda Aji Wardana, jika
kedapatan masih berada di sekitar Istana Telaga
Mas, Pendekar Gila tetap nekat. Hal itu karena dirinya
tak suka melihat kejahatan yang bakal menimpa
keluarga istana. Hati Pendekar Gila tak tenang kalau
belum memberi tahu pada Baginda Aji Wardana,
mengenai rencana pemberontakan Rama Mangunda
dan para pengikutnya.
Dengan masih cengengesan dan bertingkah laku
konyol, Pendekar Gila mendekat ke pintu gerbang
Istana Telaga Mas.
"He he he...! Selamat pagi!" sapa Sena masih
cengengesan.
Senapati Awong Purbo tersentak ketika melihat
siapa yang menyapanya. Matanya terbelalak, dan
jengkel dan kagum akan keberanian Pendekar Gila.
Meski telah diancam, pemuda gila itu nekat datang.
"Bocah edan! Mau apa lagi kau datang ke istana?!"
bentak Senapati Awong Purbo dengan kepala meng-
geleng-geleng, melihat Pendekar Gila datang lagi ke
istana. Padahal Baginda Aji Wardana telah meng-
ancamnya.
"Aha, aku ingin bertemu dengan baginda," sahut
Sena.
"Bukankah kau sudah diancam akan dihukum jika
berani datang kemari?!" dengus Senapati Awong
Purbo semakin jengkel, soalnya saat itu istana tengah
dalam suasana duka cita atas kematian putra
mahkota.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala, mendengar bentakan Senapati Awong
Purbo. Sepertinya pemuda itu tak takut sama sekali
akan ancaman yang bakal membuatnya masuk ke
penjara bawah tanah. Niatnya telah bulat. Dia harus
memberitahukan pada Baginda Aji Wardana, kalau
akan terjadi pemberontakan di istana.
"Aha, apa pun yang akan kuterima, aku telah siap.
Aku hanya ingin memberitahukan pada baginda
tentang sesuatu yang sangat berbahaya," tutur Sena
dengan cengengesan.
"Katakan padaku, kemudian cepat pergi!" perintah
Senapati Awong Purbo tegas. "Aku tak ingin
melihatmu masuk ke penjara bawah tanah."
"Ha ha ha, sudah kukatakan. Aku tak takut
dihukum, asalkan aku telah berjasa pada kerajaan,
menyelamatkan baginda dan rakyat kerajaan yang
tak berdosa."
"Jadi kau memaksa ingin bertemu baginda, Bocah
Edan?!"
"Ya," jawab Sena tegas.
"Hm, mencari penyakit!" dengus Senapati Awong
Purbo. "Prajurit, jaga dia!"
"Hi hi hi, aku tak akan lari, Senapati!" seru Sena
sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. Senapati Awong Purbo, meninggalkan
Pendekar Gila untuk melaporkan pada baginda.
Tak lama kemudian, Senapati Awong Purbo telah
kembali dengan muka kelihatan suram. Nampaknya
lelaki bertubuh besar itu mendapatkan amarah dari
Baginda Aji Wardana.
"Tangkap dia!" perintah Senapati Awong Purbo
pada prajurit-prajurit yang langsung bergerak
menangkap Sena.
"Aha, beginikah caranya orang-orang kerajaan
memperlakukan seorang tamu...?" sindir Sena
dengan mulut masih cengengesan, tanpa rasa takut
sedikit pun. Bahkan ketika diseret para prajurit
menghadap baginda, tingkahnya tetap konyol seperti
orang gila.
"Jangan bawanyak omong! Nanti bicara saja
dengan baginda!" bentak Senapati Awong Purbo terus
mengiringi kedua prajurit yang membawa Pendekar
Gila masuk ke istana.
Setelah berada di hadapan Baginda Aji Wardana,
Senapati Awong Purbo menyembah. Kemudian
menyurut mundur beberapa langkah, lalu duduk
bersila.
"Ampun Baginda Yang Mulia, pemuda inilah yang
hamba maksud."
Baginda Aji Wardana sesaat terdiam. Matanya
menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih
cengengesan, tanpa menunjukkan rasa takut sedikit
pun.
"Anak muda, masihkah kau ingat apa yang
kukatakan beberapa hari lalu?" tanya Baginda Aji
Wardana seraya menggerakkan tangan kanan
memerintah prajurit melepaskan pegangan pada
Pendekar Gila.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan, kemudian menyembah sebagaimana
layaknya menghadap seorang raja. Lalu dengan
tindak-tanduk sopan. Sena duduk dengan rapi.
Baginda Aji Wardana berkerut keningnya melihat
sikap pemuda di hadapannya.
"Ampun, Baginda! Apa yang Baginda sabdakan,
hamba masih ingat," jawab Sena sambil menyembah.
"Lalu, mengapa kau datang lagi?"
"Ampun, Baginda! Kedatangan hamba, semata-
mata hendak memberitahukan pada Baginda, kalau
pemberontakan akan segera terjadi. Dan kalau
hamba diperkenankan memberitahukan siapa dalang
dari semuanya, hamba bersedia menunjukkan."
Baginda Aji Wardana semakin mengerutkan kening
mendengar penuturan Pendekar Gila. Sepertinya dia
tengah menimbang apa yang dikatakan pemuda gila
itu.
"Anak muda, jangan kau berkata sembarangan!
Atau mungkin justru kaulah yang hendak membuat
keonaran!" bentak Baginda Aji Wardana gusar.
"Ampun, Baginda Yang Mulia! Kalau memang
hamba pembuat keonaran, manalah sudi hamba
menghadap Baginda?" kilah Sena masih menujukkan
sikapnya yang sopan seperti orang sehat dan waras.
Hal itu membuat Baginda Aji Wardana semakin heran
menyaksikan tindak-tanduk pemuda itu yang telah
dianggap gila.
"Hm, kalau benar apa katamu, katakan siapa
dalang pemberontakan yang akan terjadi?" tanya
Baginda Aji Wardana tertarik ingin tahu.
"Nyi Mas Lindri, Baginda," jawab Sena.
"Apa?!" bentak Baginda Aji Wardana dengan mata
terbelalak, karena merasa ucapan Sena hanyalah
mengada-ada. "Prajurit, tangkap dan masukkan ke
penjara! Jelas, dialah yang telah membunuh anakku!"
"Tapi, Baginda...," Sena berusaha membela diri,
tetapi kedua pranjurit telah menangkap dan menyeret
tubuhnya meninggalkan ruangan itu. "Baginda,
berhati-hatilah, karena pemberontakan akan terjadi!"
"Phuih! Rupanya kaulah dalang dari semua
kejadian ini, Bocah Edan! Pantas tingkah lakumu
pura-pura gila!" dengus Baginda Aji Wardana marah.
"Seret dia dan jebloskan ke penjara bawah tanah!"
Kedua prajurit terus menyeret tubuh Sena dari
hadapan baginda. Kemudian membawanya menuju
penjara bawah tanah, tempat bagi orang-orang yang
hendak berkhianat pada kerajaan.
"Ini tempatmu, Bocah Edan!" bentak salah seorang
prajurit sambil mendorong masuk tubuh Sena.
Kemudian mengunci pintu yang terbuat dari besi.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil
menggeleng-geleng kepala. Tanpa memperlihatkan
rasa takut sedikit pun. "Prajurit pengkhianat! Kalian
pantas dijuluki Tikus-tikus Busuk! Hua ha ha...!"
Kedua prajurit seketika marah, mendengar ejekan
Pendekar Gila. Namun, belum sempat mereka ber-
buat sesuatu, tiba-tiba muncul sesosok wanita
berpakaian merah jambu.
"Percuma kalian mengurusi bocah edan itu," ujar
wanita cantik yang tak lain Nyi Mas Lindri.
"O, Gusti Ayu! Apakah pertemuan sudah selesai?"
tanya kedua prajurit hampir bersamaan.
"Gara-gara bocah edan itu, semuanya berantakan.
Tapi bersiaplah! Lusa malam, kita akan segera mulai.
Beri tahu yang lain!" ujar wanita itu setengah berbisik,
dengan mata melirik pada Pendekar Gila yang hanya
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sendika, Gusti Ayu," sahut kedua prajurit hampir
bersamaan.
"Pergilah!"
"Daulat, Gusti Ayu."
Keduanya segera menyembah, kemudian beranjak
meninggalkan ruangan bawah tanah tempat
menyekap Sena. Sepeninggal kedua prajurit, Nyi Mas
Lindri mendekat ke pintu penjara tempat Sena
berada. Bibir Nyi Mas Lindri mengurai senyuman
menggoda.
"Anak bagus, kalau kau mau jadi kekasihku, kau
akan enak. Maukah kau mendampingiku, jika kelak
aku duduk sebagai ratu...?" tanya Nyi Mas Lindri
dengan bibir masih mengurai senyum.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, mendengar
ucapan Nyi Mas Lindri. Tangannya menggaruk-garuk
kepala. Hal itu membuat wanita cantik itu semakin
merekahkan senyum, menyangka kalau Pendekar
Gila itu bersedia menerima tawarannya.
"Ha ha ha, kau memang cantik, Nyi! Sayang, kau
akan menjadi ratu maksiat. Hi hi hi...!"
Terbelalak mata Nyi Mas Lindri, mendengar ejekan
Pendekar Gila. Napasnya memburu, dilanda
kemarahan. Seketika wajah wanita berpakaian merah
jambu itu memerah. Gigi-giginya saling beradu,
menahan geram yang meluap-luap.
"Pemuda dungu! Dikasih hati, malah minta
rempela! Huh, tunggu saja saatnya nanti! Kalau
semua rencana berjalan lancar, kau akan men-
dapatkan ini...!" Nyi Mas Lindri menggorokkan
tangannya ke lehernya.
"Hua ha ha...! Kau mau pesta kambing guling, Nyi?"
ejek Sena sambil tertawa cekikikan dengan kepala
tergeleng-geleng.
Mata wanita cantik itu semakin melotot garang.
Namun melihat mata Nyi Mas Lindri yang melotot,
Sena semakin mengeraskan suara tawanya.
"Bocah edan! Tunggu saja saatnya nanti!" bentak
Nyi Mas Lindri geram.
"Ha ha ha...! Nyi Ayu, tunggu saja saatnya nanti!
Tubuhmu yang elok, akan dijadikan santapan warga
kerajaan!" balas Sena sambil tertawa berbahak
bahak. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya,
sedangkan tubuhnya berjingkrakan seperti monyet.
Nyi Mas Lindri menggeram sengit. Ingin rasanya
menghajar mulut pemuda tampan itu. Namun niatnya
diurungkan. Dia takut kalau membuka pintu itu, Sena
akan keluar. Dan dapat membuat repot. Apalagi telah
diketahui Pendekar Gila berilmu tinggi. Sulit baginya
meladeni ilmunya. Meski selama ini keduanya belum
pernah saling bentrok.
"Hua ha ha...! Kalau marah, makin cantik saja kau,
Nyi?" ejek Sena. "Sayang sekali, kau terlalu angkuh
dan serakah!"
"Tutup mulutmu, Pendekar Gila! Kau benar-benar
cari penyakit! Kalau saja kau jadi kekasihku, aku
yakin kau akan hidup bahagia!" ujar Nyi Mas Lindri
masih berusaha merayu Pendekar Gila.
"Aha, menyenangkan sekali tawaranmu, Nyi! Siapa
yang tak tergiur mendengar tawaran dari wanita
secantik kau? Sayang, kau melangkah di jalan yang
kurang menyenangkan. Terlalu besar hasratmu,
membuat gelap mata dan melawan arus yang telah
digariskan Hyang Widhi," tukas Sena dengan
cengengesan.
"Huh, dasar bocah edan! Tak tahu barang enak...!"
dengus Nyi Mas Lindri seraya melangkah meninggal-
kan Sena yang masih tertawa dan menggeleng-
gelengkan kepala.
***
Malam datang membawa kegelapan yang kian
mencekam. Angin malam yang bagaikan enggan
bertiup, membuat suasana malam itu terasa panas.
Sesosok bayangan tampak berjalan, mengendap
endap menuju bangunan di samping kiri istana.
Bayangan itu ternyata sesosok tubuh berpakaian
merah jambu. Langkahnya tampak tenang, bagaikan
tak merasa takut sedikit pun. Para prajurit yang
tengah jaga malam seperti tak mempedulikan
kejadian yang bakal terjadi.
Sosok berpakaian merah jambu yang tak lain Nyi
Mas Lindri terus melangkah, mengendap-endap
menuju kamar anak-anak Baginda Aji Wardana yang
tinggal dua orang lagi. Jika dua anak baginda Aji
Wardana semuanya telah binasa, maka jalan untuk
mendapatkan tahta kerajaan telah berada di ambang
pintu.
Nyi Mas Lindri terus mengendap-endap, semakin
mendekat ke sebuah jendela kamar anak kedua
Baginda Aji Wardana yang bernama Kindra Wasa.
Setelah membuka jendela dengan pelan, wanita itu
segera melompat masuk. Namun, tiba-tiba sesosok
bayangan bergerak cepat dan menyergap tubuhnya.
"Siapa kau?! Mau apa kau masuk ke kamar Raden
Kindra Wasa?"
Nyi Mas Lindri bukan takut, malah tersenyum
manis ketika tahu orang yang menangkapnya.
Dengan manja, wanita itu malah merapatkan
tubuhnya ke tubuh Senapati Awong Purbo.
"Kakangmas Senapati, tentunya kau kedinginan
malam ini, bukan? Ikutlah denganku, aku bersedia
jadi istrimu, Kakang," bisik Nyi Mas Lindri merayu
sambil tangannya mengusap-usap dada Senapati
Awong Purbo dengan lembut. Didongakkan
kepalanya, dengan mata perlahan-lahan memejam.
Senapati Awong Purbo kelabakan mendapat
rayuan Nyi Mas Lindri. Darah kejantanannya meng-
gelegak, seakan mendidih dibakar gejolak nafsu
birahi. Apalagi tangan lembut wanita cantik dan
mempesona itu, kini merayap perlahan di dadanya,
menambah deburan jantungnya semakin kencang.
"Berjanjilah, Kakang! Berjanjilah, Kakang mau
memihak padaku! Kalau Kakang mau, aku bersedia
jadi istrimu, jika semua rencana ini telah selesai."
Setelah berkata begitu, Nyi Mas Lindri mengajak
Senapati Awong Purbo pergi dari tempat itu, menuju
bangunan keputren yang terletak di sebelah kiri
istana, tempat kamarnya berada.
Senapati Awong Purbo bagai kerbau dicocok
hidung, mengikuti langkah Nyi Mas Lindri. Pikirannya
kini sudah tak terkendali lagi. Bagaimanapun dirinya
tak dapat menolak tawaran wanita cantik selir sang
Raja ini. Baginya ini satu kesempatan untuk dapat
menikmati tubuh Nyi Mas Lindri yang montok dan
bahenol itu.
Keduanya masuk ke sebuah kamar yang ada di
keputren. Nyi Mas Lindri segera mengunci pintu
kamar, agar tak diketahui yang lainnya.
Dengan langkah melenggok bak macan lapar, istri
selir raja itu melangkah ke tempat tidur. Matanya
yang bening dengan nakal menatap wajah Senapati
Awong Purbo. Lelaki gagah itu tak berkedip
memandang lenggak-lenggok tubuh Nyi Mas Lindri.
Nyi Mas Lindri semakin menjadi-jadi setelah
merasa Senapati Awong Purbo kini berada dalam
perangkapnya. Satu persatu pakaiannya dibuka. Hal
itu membuat mata lelaki itu semakin terbelalak lebar.
Senapati Awong Purbo tak berkedip menatap tubuh
yang mulus dan indah itu.
"Ayolah, Kakang!" ajak Nyi Mas Lindri sambil
merebahkan tubuhnya yang sudah telanjang, ke atas
pembaringan. Mulutnya mendesah-desah. Matanya
mengerjap-ngerjap, semakin mengundang birahi
Senapati Awong Purbo.
Sekuat apa pun iman Senapati Awong Purbo,
digoda begitu rupa, akhirnya jatuh juga. Matanya tak
berkedip, seakan takut kalau-kalau pemandangan
menarik di depannya hilang. Kemudian kakinya
melangkah mendekat ke ranjang tempat di mana
tubuh Nyi Mas Lindri terbaring dengan keadaan
telentang dan sangat menantang itu.
"Gusti Asyu, mengapa kau lakukan ini?" desah
Senapati Awong Purbo berusaha menyadarkan selir
rajanya.
Wanita itu tersenyum, mengulurkan kedua tangan-
nya untuk memeluk leher Senapati Awong Purbo.
Melihat hal itu, senapati muda itu merundukkan
kepala. Sehingga tangan Nyi Mas Lindri kini memeluk
dan mulai membawa turun leher lelaki bertubuh
gagah itu.
"Kau mau membantuku, Kakang Senapati?" tanya
Nyi Mas Lindri.
"Apa rencanamu, Gusti Ayu?"
"Berjanjilah dulu, Kakang! Jika kau telah berjanji,
maka kelak aku bersedia jadi istrimu," bisik Nyi Mas
Lindri sambil merapatkan tubuhnya. Ditekannya leher
Senapati Awong Purbo, yang semakin bertambah
dekat dengan wajahnya.
"Baiklah, aku berjanji. Tapi aku harus jadi suami-
mu, jika semua yang kau cita-citakan terlaksana,"
jawab Senapati Awong Purbo.
"Terima kasih, Kakang! Aku akan menjadi ratu, dan
kelak kau menjadi raja di kerajaan ini. Bagaimana...?"
Senapati Awong Purbo tersentak kaget mendengar
penuturan Nyi Mas Lindri. Hampir saja lelaki itu
terlonjak kalau saja tangan wanita itu tak menekan
lehernya semakin mendekat ke wajahnya.
"Bagaimana, Kakang?"
"Kau tak main-main, Gusti Ayu?"
"Tidak," sahut Nyi Mas Lindri dengan senyum
semakin menawan, yang membuat hati Senapati
Awong Purbo bertambah gemas ingin segera melumat
bibirnya.
"Apa telah kau pikirkan masak-masak?"
"Sudah. Lusa, semuanya akan beres," sahut Nyi
Mas Lindri sambil mendekap tubuh Senapati Awong
Purbo yang seketika lekat dengan tubuh halus mulus
itu.
"Bagaimana dengan Pendekar Gila itu?" tanya
Senapati Awong Purbo. "Dia sangat berbahaya."
"Itu urusan gampang, Kakang. Jika semuanya
sudah beres, kita singkirkan dia. Kita akan menjadi
raja dan ratu, bukan?" Nyi Mas Lindri terus menciumi
wajah Senapati Awong Purbo yang membuat lelaki
bertubuh kekar itu bertambah nafsu.
"Baiklah, aku berpihak padamu," jawab Senapati
Awong Purbo membalas ciuman Nyi Mas Lindri.
Kemudian tak begitu lama, keduanya telah membisu.
Hanya rintihan dan lenguhan kenikmatan yang
terdengar dari mulut Nyi Mas Lindri.
Keduanya terus berpacu, berusaha menumpahkan
nafsu yang telah menggelegak. Beberapa saat
lamanya mereka bergelut, sampai akhirnya kedua
tubuh tergeletak kelelahan.
Di luar, ketika hawa malam semakin tak nyaman,
sesosok bayangan berkelebat menuju bangunan
sebelah kiri istana. Sosok bayangan itu terus
melangkah menuju kamar anak Baginda Aji Wardana.
Setelah mengawasi sekitarnya, sosok itu perlahan-
lahan membuka jendela kamar yang ditempati putra
Baginda Aji Wardana.
"Tentunya bocah ini masih tidur," gumam sosok
yang dari suaranya ternyata seorang lelaki. Dengan
cepat, lelaki itu bergerak menusukkan sebuah benda
tajam berkilat ke tubuh yang masih terlelap di tempat
tidurnya.
Crab!
"Aaakh...!"
Pekikan tertahan terdengar dari mulut orang
terbaring di tempat tidur. Sesaat tubuhnya
mengejang, kemudian diam tanpa nyawa. Darah
membasahi tempat tidur. Sosok pembunuh itu
langsung melesat cepat meninggalkan kamar, lalu
menghilang di kegelapan malam.
Istana Telaga Mas geger oleh teriakan para prajurit
jaga yang berlarian menuju kamar putra raja, setelah
mendengar teriakan.
***
7
Pendekar Gila disekap dalam penjara bawah tanah
nampak tengah duduk bersila, mengheningkan cipta
guna memusatkan hati dan pikiran. Kedua telapak
tangannya saling menyatu diletakkan di depan dada.
Matanya memejam rapat, memusatkan batinnya.
Saat itu, tampaknya Pendekar Gila tengah
mengerahkan telepati untuk menghubungi gurunya.
Dia ingin meminta petunjuk sang Guru, bagaimana
untuk dapat menebus dinding bawah tanah. Telah
beberapa ilmu yang dimiliki dikerahkan, tapi tak
mampu menghancurkan dinding penjara itu.
"Ada apa kau memanggilku, Sena?" terdengar
gema suara Singo Edan bertanya.
"Guru, kau menerima panggilanku?"
"Ya, ada apa?"
"Aku mengalami kesulitan, Guru."
"Jangan suka mengeluh, Sena! Bagi seorang
pendekar, pantang untuk mengeluh. Nyawa seorang
pendekar, merupakan taruhan bakti bagi kebenaran
dari keadilan!" seru Singo Edan.
"Ampun, Guru! Bukan aku mengeluh, tapi aku kini
benar-benar dalam kesulitan," ujar Sena berusaha
meyakinkan gurunya, kalau dirinya tengah dalam
keadaan sulit.
"Katakan, apa yang membuatmu begitu?!"
"Kini aku dihadapkan pada sebuah masalah. Aku
harus menolong keluarga Baginda Aji Wardana, yang
dalam ancaman pemberontakan. Tapi kini aku dalam
tahanan bawah tanah," tutur Sena.
"Gunakan pukulan 'Gila Melebur Gunung
Karangmu'."
"Sudah, tak bisa."
"Ajianmu 'Inti Api'?"
"Sudah, Guru. Tetap tak bisa?" sahut Sena.
"Inti Bayu'?"
"Semua ajian telah kukerahkan. Tetapi dinding ini
terlalu kuat untuk diruntuhkan," sahut Sena.
"Hm," hanya suara gumam lirih yang terdengar.
Sepertinya Singo Edan maupun Pendekar Gila tengah
berpikir mencari jalan yang baik guna mengeluarkan
Sena dari tahanan bawah tanah.
"Apakah kau tak bermaksud menjebol pintu
besinya?" tanya Singo Edan.
"Percuma, Guru. Semua prajurit akan mendengar,"
jawab Sena.
Suasana kembali hening. Singo Edan seakan
tengah berpikir-pikir mencari jalan keluar guna
membebaskan muridnya. Sedangkan Pendekar Gila
masih melakukan semadi, menyatukan batinnya
dengan sang Guru.
"Apa kau sudah coba memanggil Naga Sakti?"
tanya suara Singo Edan.
"Belum, Guru. Tapi..., aha, aku ada akal! Aku akan
memanggil Bocah Sakti itu," ujar Sena sambil tertawa
cengengesan.
"Bocah gila! Dalam kesulitan masih tertawa-tawa!"
maki Singo Edan, "Siapa yang kau maksud Bocah
Sakti itu?"
"Anak angkat dan murid Paman Naga Brahma,"
jawab Sena.
"Naga Brahma...?" terdengar suara Singo Edan
bertanya setengah bergumam, "Hm, adik seperguruan
Naga Sakti?"
"Benar, Guru."
"Kapan kau bertemu?"
"Sudan agak lama, Guru. Sejak kejadian di Lembah
Akherat," jawab Sena menuturkan (Untuk mengetahui
kisah Bocah Sakti, ikuti serial Pendekar Gila dalam
episode "Perjalanan ke Akherat").
"Hm, cobalah! Mumpung masih malam," seru Singo
Edan.
"Terima kasih, Guru!"
Pendekar Gila segera memusatkan batinnya untuk
memanggil adik seperguruannya, Supit Songong, yang
ada di Pulau Karang Api di Danau Sambak Neraka.
Srt!
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Saktinya.
Kemudian dihujamkan ujung suling itu ke tanah.
Crab!
Setelah menghujamkan suling itu sampai berdiri di
tanah, Sena pun segera kembali duduk bersila.
Matanya kini menatap lekat ke kepala Naga Sakti.
"Supit.., Supit.., datanglah!" bisik Sena, "Aku butuh
bantuanmu!"
Saat itu nun jauh di sebelah barat Gunung Kapur,
terlihat air Danau Sambak Neraka bergejolak hebat.
Dua Naga Api yang menghuni danau itu, muncul dari
dalam air dengan suaranya yang menggelegar.
Gerrr!
Supit Songong dan Naga Brahma yang sedang
melakukan semadi tersentak bangun, ketika tiba-tiba
di hadapan mereka muncul seorang Naga Sakti. Naga
yang berwarna emas dengan mahkota di kepalanya
juga berwarna emas.
"Kakang Naga Sakti, ada apa kau datang?" tanya
Naga Brahma kaget
"Aku memerlukan anak angkatmu, untuk membongkar penjara bawah tanah tempat Pendekar Gila
disekap," jawab Naga Sakti.
"Ah, bagaimana mungkin Pendekar Gila bisa
berada di penjara bawah tanah, Kakang? Bukankah
dia memiliki beribu macam akal dan kepandaian?"
tanya Naga Brahma sepertinya tak yakin dengan apa
yang disampaikan Naga Sakti.
"Memang Pendekar Gila bisa saja menghancurkan
penjara bawah tanah itu. Tetapi dia tak ingin
kebebasannya mengundang perhatian orang banyak,"
ujar Naga Sakti.
"Lalu apa yang harus kami perbuat, Kakang?"
"Buatlah terowongan di malam ini, dari sini sampai
Istana Telaga Mas yang ada di sebelah timur Gunung
Kapur."
"Akan kulakukan, Kakang."
"Cepatlah, jangan sampai terlambat!" ujar Naga
Sakti.
"Baik, Kakang."
Setelah Naga Sakti raib, menghilang dari
pandangan mata Naga Sakti, ular naga besar itu
dengan dibantu Supit Songong, segera melakukan
perintah Naga Sakti. Membuat lubang yang akan
tembus sampai penjara bawah tanah di Istana Telaga
Mas.
Suling Naga Sakti yang ditancapkan di tanah oleh
Pendekar Gila kini nampak bergetar. Hal itu
menandakan kalau sukma Naga Sakti telah kembali
menyatu dalam suling mas itu. Dengan cepat Sena
mencabut Suling Naga Saktinya. Kemudian
menyelipkan ke pinggang, ketika nampak dua orang
prajurit datang memeriksa tempat itu.
"Masih ada, Kakang," terdengar suara seorang
prajurit berkata pada kawannya.
"Beres. Bocah itu sangat berbahaya," sahut yang
lain.
"Ayo kita pergi!" ajak prajurit pertama. Sepertinya
mereka takut kalau-kalau Pendekar Gila keluar dan
menyerang mereka. Kedua prajurit jaga itu pun
kembali meninggalkan penjara bawah tanah.
Sementara itu, Naga Brahma dan Supit Songong
masih terus membuat lorong panjang, yang meng-
hubungkan penjara bawah tanah di Istana Telaga
Mas dengan Pulau Karang Api.
"Ayo Supit! Kita harus menyelesaikan pekerjaan
malam ini juga," ujar Naga Brahma memberi
semangat pada anak angkatnya, sekaligus muridnya.
"Baik, Rama."
Bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun yang
sekujur tubuhnya ditumbuhi sisik itu terus menggali
lubang, dibantu Naga Brahma. Supit Songong tak
ubahnya seperti seekor tikus yang menggali lubang.
Begitu cepat hingga dalam sebentar saja, lorong itu
telah sampai di pertengahan jalan.
Supit Songong yang merasa sudah sampai, segera
merangkak naik untuk melihat sudah sampai di mana
dia menggali lubang. Kini kepala bocah bersisik itu
muncul di permukaan tanah, menimbulkan sebuah
lubang di kaki Gunung Kapur.
"Ah, belum sampai," gumamnya seraya turun lagi.
"Bagaimana, Supit?"
"Belum, Rama. Kita baru sampai di Gunung
Kapur," jawab bocah kecil itu.
"Berarti tinggal sedikit lagi. Ayo, kita harus cepat!"
ajak Naga Brahma sambil terus bekerja membuat
lubang besar dan panjang itu.
Dos!
Tanah yang menjadi dinding panjang bawah tanah,
seketika jebol. Hal itu membuat Pendekar Gila
tersentak kaget. Namun ketika tahu siapa yang
datang, dengan senang disambutnya mereka.
"Aha, Paman rupanya yang datang. Terimalah
sembahku, Paman."
"Ah, sudahlah, jangan buang-buang waktu! Kau
harus segera keluar dari sini," sahut Naga Brahma.
"Ikutiah aku!"
"Baik, Paman."
"Supit, tutup lagi terowongan ini dengan rapi, agar
tak diketahui orang lain," perintah Naga Brahma pada
anak angkatnya, si bocah bersisik dan berlidah ular.
"Baik, Rama."
Supit Songong segera bekerja dengan giat,
menutupi kembali lubang yang telah dibuatnya.
Dalam sekejap saja, dinding penjara bawah tanah itu
kembali seperti semula bagaikan tak pernah terjadi
apa-apa.
***
Pendekar Gila dan Naga Brahma serta Supit
Songong akhirnya sampai di Pulau Karang Api,
tempat bersemayam Naga Brahma dan Supit
Songong.
"Wuah, segar sekali! Tiga hari aku terkurung di
bawah tanah," gumam Sena sambil merentangkan
kedua tangan menghirup udara terbuka yang terasa
sangat segar. Mulutnya kembali cengengesan,
dengan tangan tak luput menggaruk-garuk kepala.
"Apa yang sebenarnya terjadi di Istana Telaga Mas,
Sena?" tanya Naga Brahma ingin tahu.
"Rumit, Paman," jawab Sena seenaknya sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Apanya yang rumit?"
"Mungkin lusa, Istana Telaga Mas akan berdarah,"
desah Sena. "Pertumpahan darah tak akan bisa
dihindarkan. Kasihan Baginda Aji Wardana."
Naga Brahma dan Supit Songong terdiam, men-
dengar penuturan Pendekar Gila. Sedangkan
Pendekar Gila, cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Kemudian terdengar suara lenguhannya.
"Ah, kasihan raja tua itu. Dia tak sadar, kalau
musuh telah menyusup ke dalam istana," kembali
Sena bergumam.
"Bisakah kau menjelaskan, apa yang sebenarnya
tengah berkemelut di Istana Telaga Mas, Sena?" pinta
Naga Brahma.
"Aha, dengan senang hati," jawab Sena.
Pendekar Gila kemudian menuturkan apa yang
telah terjadi di Istana Telaga Mas. Tentang selir raja
yang berambisi merebut kekuasaan suaminya. Nyi
Mas Lindri berhasrat dan begitu bersemangat untuk
menjadi ratu. Hal itu karena wanita cantik itu seorang
wanita cabul. Bila dirinya menjadi ratu, sudah dapat
dipastikan, tak akan ada pemuda tampan yang
berkeliaran. Para pemuda akan menjadi pemuas
nafsunya.
Nyi Mas Lindri dengan ayahnya, kini menghimpun
kekuatan untuk menyerbu ke istana. Bahkan diduga
pelaku pembunuhan terhadap dua orang anak
Baginda Aji Wardana, tak lain orang-orang dalam
istana sendiri.
"Nah, begitulah kisahnya. Kini Istana Telaga Mas
dalam bahaya, tinggal menunggu saatnya, istana itu
akan berdarah. Pertumpahan darah akan terjadi di
Sana," tutur Sena mengakhiri ceritanya.
"Walah..., pertanda bahaya...!" gumam Naga
Brahma turut merasa sedih mendengar apa yang
bakal terjadi di Istana Telaga Mas.
"Begitulah, Paman. Aku sendiri sedang bingung,
harus bagaimana menolong Baginda Aji Wardana. Di
pihak lain, tentunya aku harus menghadapi para
pemberontak, yang nampaknya berjumlah besar,"
tukas Sena seperti ingin meminta pendapat Naga
Brama
"Selamatkan saja Baginda Aji Wardana! Mengenai
pemberontak, biar Supit yang menghadapinya.
Setelah menyelamatkan baginda, barulah kau
membantu Supit. Bagaimana dengan cara itu, apa
kau setuju dengan cara yang kukatakan?" tanya Naga
Brahma.
"Hm, betul juga. Baiklah kalau begitu, Paman.
Memang jalan satu-satunya harus menyelamatkan
Baginda Aji Wardana dan sisa kelurganya yang hidup,
jika pemberontakan itu meletus," gumam Sena.
"Bagaimana Supit, apakah kau siap?" tanya Naga
Brahma.
"Saya siap, Rama," jawab Supit Songong yang
sedari tadi diam.
"Bagus kalau memang begitu. Bantulah kakakmu,
Supit!"
"Baik, Rama. Bahkan jika Rama mengizinkan, ingin
sekali aku ikut terus dengan Kakang Sena," kata
bocah bersisik ular itu dengan senyum mengembang
di bibirnya. Matanya memandang Pendekar Gila yang
cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
"Aha, kalau aku tak keberatan, Supit. Tetapi, kau
tentunya harus menyelesaikan dulu semua ilmu yang
Paman turunkan! Bukan begitu, Paman?"
"Ya, benar. Kau harus menyelesaikan semua ilmu
yang Rama berikan, Supit."
"Baik, Paman."
"Kembali pada masalah yang tadi kau ceritakan,
hanya menyelematkan Baginda Aji Wardana, jalan
terbaik. Ajaklah Baginda Aji Wardana ke lorong itu.
Lewat lorong itu, tak ada yang mengetahui. Para
pemberontak pun tak mungkin dapat mengejar,"
saran Naga Brahma.
"Wah, betul pendapatmu, Paman. Ah, ternyata aku
semakin tolol saja," gumam Pendekar Gila sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Ah, kau terlalu merendah, Pendekar Gila. Mana
mungkin Dewata memilihmu sebagai penegak
kebenaran dan keadilan, jika kau tolol?" tanya Naga
Brahma. "Hyang Widhi telah menggariskan, dirimu
sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Kurasa,
Hyang Widhi tak seenaknya menurunkan seseorang
untuk menjadi pendekar. Hyang Widhi telah memilih
janin bayi yang akan keluar dari rahim manusia."
"Aha, sungguh berharga sekali apa yang kau
tuturkan, Paman. Ah, aku semakin bertambah kerdil
dan bodoh di hadapanmu," gumam Sena dengan
mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala-
nya.
"Jangan berkecil hati begitu, Sena! Jiwamu agung.
Bayangkan abdimu adalah Kakang Naga Sakti, yang
jika murka tak dapat seorang manusia atau dewa pun
mampu menanggulanginya. Tapi di tanganmu,
Kakang Naga Sakti begitu patuh dan setia. Bukankah
itu pertanda kebesaranmu...?!" ujar Naga Brahma
berusaha meyakinkan Pendekar Gila.
"Benar, Kakang. Sungguh kau sangat beruntung,
menjadi tuan dari Paman Naga Sakti," sambung Supit
Songong.
Pendekar Gila mengerutkan kening, mendengar
penuturan Naga Brahma. Naga Sakti yang menjelma
suling dan menjadi senjatanya memang sangat sakti.
Tapi menurutnya, bukan karena dirinya yang sakti.
Dibandingkan dengan Hyang Widhi, ilmunya belum
seberapa. Itu pula yang menjadikan Pendekar Gila
senantiasa sadar, bahwa apa yang semuanya terjadi
tak luput dari pengamatan mata Hyang Widhi yang
maha mengetahui.
Keakraban telah terjalin antara mereka berdua.
Meski Pendekar Gila manusia, sedangkan Naga
Brahma seekor ular naga. Hal itu karena antara
mereka ada hubungan kuat saling menghargai satu
sama lain. Sifat saling hormat dan mencintai antar
sesama makhluk ciptaan Hyang Widhi, membuat
mereka bisa melakukan hubungan baik.
Setelah bertukar pikiran sampai larut, Sena
akhirnya meminta diri untuk tidur di dalam goa.
Waktu itu Supit Songong telah tidur. Namun, cara
tidur bocah bersisik itu aneh. Bukan merebah,
melainkan berdiri dengan salah satu kakinya
diangkat, bertengger di kaki yang lainnya.
"Hai, sedang apa pula Adik Supit, Paman?" tanya
Sena ketika melihat cara tidur Supit Songong.
"Itulah cara tapa yang Paman ajarkan padanya. Dia
bisa tidur sambil berdiri, dengan salah satu kakinya
terangkat."
"Aha, lucu sekali! Untuk apa hal itu dilakukan,
Paman?" tanya Sena semakin ingin tahu, apa
gunanya cara tidur sambil berdiri itu.
"Dengan membiasakan tidur berdiri seperti itu,
batinnya akan senantiasa mampu mengendalikan
hawa nafsu. Selain itu dapat membedakan gerak
benda sekecil apa pun dengan mata terpejam. Dia
tahu, kau kini sedang berada di hadapannya, meski
pun tertidur," tutur Naga Brahma menjelaskan.
Pendekar Gila semakin terkagum-kagum men-
dengar penuturan Naga Brahma. Dia baru melihat,
cara tidur yang aneh. Dengan cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala, kakinya melangkah men-
dekat ke Supit Songong. Kemudian berusaha ikut
melakukan hal seperti yang dilakukan Supit Songong.
"Aha, enak juga, Paman!" ujar Sena dengan
kekonyolannya.
Naga Brahma tertawa terbahak-bahak menimbul-
kan suaranya yang menggelegar.
Malam pun semakin jauh, membawa mereka ke
dalam kegelapan bersama hawa dingin yang
perlahan-lahan menyelimuti tubuh. Namun, karena
telah terbiasa dalam keadaan begitu, mereka pun tak
merasakan. Mereka segera tertidur nyenyak.
Sementara itu, jauh di Istana Telaga Mas, malam
itu kembali di istana gempar karena terbunuhnya
anak bungsu Baginda Aji Wardana. Semua peristiwa
itu sama. Korban ditusuk sebilah senjata yang
menghujam dada, dalam keadaan tidur pulas. Hal itu
membuat Baginda Aji Wardana bertambah marah dan
putus asa. Bagaimanapun, kini ketiga anaknya telah
tiada. Semua tewas terbunuh. Namun, sampai sejauh
itu, belum juga diketemukan siapa pelaku dari semua
peristiwa itu.
"Geledah istana! Siapa pun pelakunya, harus
dihukum mati!" seru Baginda Aji Wardana pada para
prajurit. "Paman Path Arya Denta, kau kutugaskan
membersihkan istana ini dari para pemberontak.
Rupanya apa yang dikatakan pemuda gila itu benar
adanya. Di sini telah kemasukan para pemberontak."
"Daulat, Baginda. Segala titah yang Baginda
sabdakan, akan hamba lakukan," jawab patih Arda
Denta. "Prajurit, ikut aku!"
Malam itu juga, Patih Arya Denta beserta para
prajurit melaksanakan apa yang dititahkan Baginda
Aji Wardana. Mereka langsung melakukan peng-
geledahan terhadap semua yang ada di Istana Telaga
Mas dan sekitarnya. Namun mereka tak juga dapat
menemukan tanda-tanda adanya pemberontakan
yang menyusup di istana.
"Penjagaan harus dilipatgandakan!" perintah Patih
Arda Denta menegaskan. "Jelas pemberontak telah
menyusup ke dalam istana. Siapa pun yang dicurigai,
harus ditangkap untuk ketertiban dan keamanan!"
Kini Istana Telaga Mas benar-benar berdarah,
meski belum banjir. Tiga nyawa putra Baginda Aji
Wardana, menjadi korban. Namun sejauh itu, belum
juga didapat tanda-tanda akan terjadi pem-
berontakan.
***
8
Istana Telaga Mas kini benar-benar dilanda
ketegangan. Ancaman pemberontak bagaikan men-
cekam jiwa para penghuni istana yang setia pada
sang Baginda Aji Wardana. Siang itu Baginda Aji
Wardana, dan para sesepuh kerajaan serta Patih Arya
Denta mengadakan pertemuan. Mereka membahas
masalah pembunuhan yang telah merenggut ketiga
putra Baginda Aji Wardana. Baginda semakin cemas
terhadap keselamatan dirinya dan sang Permaisuri.
Karena bagaimanapun, pembunuh biadab yang di-
duga orang dalam istana itu tentu ingin menyingkir-
kan raja dan permaisuri.
Suasana ruang pertemuan yang dinamakan ruang
Inggil Kepanggihan nampak hening. Tak ada seorang
pun yang berani membuka mulut, seperti tercekam
perasaan mereka sendiri, setelah kejadian pem-
bunuhan demi pembunuhan melanda putra-putra
Baginda Aji Wardana. Apalagi kini baginda nampak
bermu-am durja. Kilatan matanya, menggambarkan
kemarahan yang terpendam.
Lama suasana ruang Inggil Kepanggilan hening.
Hanya desah napas yang terdengar.
"Istana kini sudah tak aman lagi," kata Baginda Aji
Wardana setengah mengeluh. "Sampai saat ini,
belum juga diketemukan tanda-tanda dan jejak si
pembunuh biadab itu!"
Semua yang hadir pada persidangan itu tak ada
yang menyahut. Mereka diam membisu, tak ada yang
hendak membuka suara. Baik para sesepuh maupun
para pembesar istana, seperti Patih Arya Denta,
Senapati Awong Purbo, dan para hulubalang. Mereka
yang sebenarnya tahu, pelaku dari pembunuhan-
pembunuhan keji itu, membungkam mulut.
"Mungkin benar apa kata Pendekar Gila, kalau Nyi
Mas Lindri terlibat di dalamnya," tutur Baginda Aji
Wardana kemudian, setelah lama tak ada yang
menyahut.
Kembali baginda memandangkan matanya ke
seluruh dewan sidang yang hadir. Tetapi semuanya
kembali hanya diam, malah menundukkan kepala,
ketika baginda menatap pada mereka.
"Kenapa diam? Kalian sudah seperti kerbau
dicocok hidungnya? Kalian sebagai prajurit, tak ubah-
nya seperti kerbau-kerbau dungu!" dengus Baginda Aji
Wardana antara marah dan panik.
Para prajurit tetap diam dan hanya tertunduk
mendengar kemarahan sang Baginda.
"Bawa pemuda gila itu ke tempat sidang!" perintah
Baginda Aji Wardana pada prajurit pengawal.
"Daulat, Baginda," kedua prajurit pengawal
menyembah, kemudian melangkah meninggalkan
ruang sidang.
Wajah Baginda Aji Wardana kini benar-benar
diliputi ketakutan dan rasa cemas. Dia bagaikan
menerima siksaan batin yang sangat kuat. Namun,
Baginda Aji Wardana sadar, kalau sampai dia jatuh
sakit, tentunya para pemberontak akan dengan
mudah merebut singgasana kerajaan. Pemberontak
mungkin akan mengumumkan pada rakyat, bahwa
raja mereka dalam keadaan tak berdaya dan anak-
anaknya terbunuh.
Baginda Aji Wardana tak ingin kejadian itu ber-
langsung di kerajaannya. Hatinya tak ingin Istana
Telaga Mas dikuasai orang-orang yang tak ber-
tanggung jawab. Orang-orang yang akan menyalah-
gunakan tanggung jawab dan wewenang.
Sebenarnya Baginda Aji Wardana juga mau turun
tahta. Namun karena dipandangnya belum ada yang
pantas untuk menggantikan dirinya, maka tetap
dipegangnya tampak pimpinan kerajaan.
Dua orang prajurit yang diperintah untuk meng-
ambil Pendekar Gila dari tahanan bawah tanah, telah
kembali dengan wajah nampak tegang. Hal itu
membuat Baginda Aji Wardana mengerutkan kening.
"Mana bocah itu?" tanya Baginda Aji Wardana.
"Pendekar itu menghilang, Gusti."
"Apa?! Apakah kau tak berdusta, Prajurit? Mana
mungkin di penjara bawah tanah dapat lepas!" bentak
Baginda Aji Wardana semakin marah, "Apakah telah
kalian periksa, mungkin pemuda itu merusak
sesuatu?"
"Ampun, Baginda! Tak ada kerusakan sekecil apa
pun. Anak muda itu benar-benar menghilang," jawab
kedua prajurit itu setelah menyembah lagi.
Terbelalak semua mata yang ada di tempat sidang
mendengar laporan kedua prajurit. Baginda Aji
Wardana semakin tegang, Pikirannya kini ber-
kecamuk dengan rasa takut yang mendera jiwanya.
"Mungkinkah pendekar itu juga pemberontak?"
tanya Baginda Aji Wardana dalam hati bimbang.
"Ampun, Baginda Yang Mulia! Hamba rasa, pelaku
pembunuhan itu Pendekar Gila." Senapati Awong
Purbo, berusaha mengambil kesempatan baik itu
untuk mengecohkan pikiran Baginda Raja Aji
Wardana yang semakin kacau dan bimbang.
"Hm, kalau memang benar dia bisa menghilang,
kurasa benar apa katamu, Senapati. Cari pendekar
itu, tangkap hidup atau mati!" perintah Baginda Aji
Wardana.
"Daulat, Baginda Yang Mulia. Hamba pamit
mundur," pinta Senapati Awong Purbo sambil
menyembah. Kemudian segera meninggalkan
ruangan sidang. Sang Baginda yang duduk di atas
singgasananya tampak hanya mengangguk. Sedang-
kan para sesepuh duduk diam di samping kanan dan
kirinya. Patih Arya Denta duduk di sisi para sesepuh
istana. Sedangkan para hulubalang dan petinggi
istana, duduk bersila di bawah.
"Paman Patih, Bagaimana menurut pendapatmu?"
tanya Baginda Aji Wardana menatap wajah patihnya.
"Ampun, Baginda! Hamba rasa Baginda harus
berhati-hati. Jelas sekali, kalau para pemberontak
telah menyusup dalam istana. Bahkan mungkin, para
prajurit sebagian besar telah ditutup mulutnya agar
tak memberitahukan pada kita," tutur Patih Arya
Denta.
Baginda Aji Wardana mengangguk-anggukkan
kepala, menyetujui ucapan patihnya.
"Ki Gede Mundu, bagaimana menurut pendapat-
mu?" tanya Baginda Aji Wardana kepada penasihat-
nya.
"Ampun, Baginda! Menurut hamba, apa yang
dikatakan Paman Path benar adanya. Baginda harus
hati-hati, jangan terlalu sering mengadakan per-
temuan seperti ini! Karena mata-mata musuh,
mungkin akan mendengar dan melaporkan pada
pimpinan pemberontak."
"Baiklah, sidang kububarkan," Baginda Aji
Wardana pun menutup pertemuan itu, setelah
merasa ucapan Patih Aya Denta dan Ki Gede Mundu
dianggapnya benar. Mereka pun segera meninggal
kan ruang sidang untuk kembali bekerja pada
tempatnya masing-masing.
***
Malam merangkak dengan suasana agak gelap.
Bulan sabit tampak berada di langit sebelah barat.
Angin malam bertiup semilir basah, membawa rasa
dingin. Para prajurit tampak masih berjaga-jaga di
sekitar Istana Telaga Mas. Mereka kini dilipat-
gandakan jumlahnya, agar sewaktu-waktu terjadi
pemberontakan mereka telah siap.
Di kejauhan lolongan anjing hutan terdengar
menyayat, terasa kian mencekam. Angin terus
menghembuskan hawa dingin yang menusuk tulang
sum-sum. Juga membawa rasa kantuk.
Para penjaga masih berusaha menahan rasa
kantuk yang menyerang mata, ketika tiba-tiba
terdengar suara pekikan dari luar benteng istana.
"Serbuuu...!"
"Seraaang...!"
"Singkirkan raja tua tak berarti ituuu...!"
Para prajurit segera bersiap. Mereka langsung
menabuh kentongan untuk membangunkan prajurit
lain. Namun para prajurit yang bermunculan dari
belakang istana tiba-tiba menyerang dan membunuh
prajurit jaga. Hal itu mengakibatkan suasana makin
kacau. Banyak prajurit istana yang masih setia pada
Baginda Aji Wardana tersentak kaget, melihat teman-
teman mereka banyak yang memihak kepada
pemberontak.
"Bedebah! Rupanya kalian pemberontak yang telah
menyusup ke istana!" dengus para prajurit yang setia
pada Baginda Aji Wardana. Kemudian dengan gagah
berani tanpa merasa takut sedikit pun, prajurit
pengikut Baginda Aji Wardana menghadang serangan
dari luar dan dalam.
"Hea!"
"Tumpas pemberontak...!" teriak Patih Arya Denta
yang baru bangun dari tidur, karena kaget mendengar
teriakan para prajuritnya.
"Patih keparat! Aku lawanmu!" tiba-tiba Senapati
Awong Purbo menghadang. Hal itu membuat Patih
Arya Denta membelalakkan mata.
"Keparat! Rupanya kau pun biang pemberontak,
Senapati! Kubunuh kau! Heaaa...!"
"Hea!"
Dengan senjata berupa keris di tangan mereka,
kini patih dan senapati saling serang. Pertarungan
antara pemberontak dengan pihak kerajaan pun
semakin seru.
"Hea!"
Trang!'
Pekikan-pekikan keras yang ditingkahi dentang
senjata berbenturan kian memecah suasana malam.
Crab!
"Wua!"
Pekikan-pekikan pun tak luput mulai terdengar dari
prajurit yang gugur. Suasana di alun-alun Istana
Telaga Mas yang semula sepi kini hiruk-pikuk dari
suara-suara jeritan prajurit dan beradunya senjata.
Pertarungan antara Patih Arya Denta melawan
Senapati Awong Purbo berjalan dengan seru. Dengan
senjata berupa keris, mereka terus berkelebat saling
serang.
"Hea!"
"Yea!"
Trang!
"Mampuslah, Senapati Keparat!" dengus Patih Arya
Denta seraya terus mendesak Senapati Awong Purbo
dengan sabetan dan tusukan kerisnya. Senapati
muda itu tampak kewalahan dan hanya bisa
mengelak.
"Celaka! Matilah aku...!" Pekik Senapati Awong
Purbo dalam hati, agak ciut nyalinya menyaksikan
serangan-serangan gencar yang dilakukan Patih Arya
Denta.
"Tamatlah riwayatmu, Pengkhianat! Heaaa...!"
Patih Arya Denta beringas melakukan serangan.
Keris di tangannya berkelebat cepat, menusuk ke
dada lawan yang telah terdesak hebat
"Mati aku...!" keluh Senapati Awong Purbo dengan
mata terbelalak, ketika keris di tangan Patih Arya
Denta semakin cepat menusuk ke dadanya. Tak ada
kesempatan lagi baginya untuk dapat mengelakkan
serangan lawan yang sangat cepat dan mematikan
itu. Sesaat lagi, nyawa senapati pengkhianat itu
hampir mati di tangan Patih Arya Denta. Namun, tiba-
tiba....
Trang!
"Ukh!" Patih Arya Denta terpekik sambil melompat
mundur, ketika senjatanya beradu dengan senjata
berupa dua bilah pedang kembar di tangan orang
asing berhidung betet "Siapa kau?! Kenapa kau ikut
campur dalam pemberontakan ini, Orang Asing!"
bentak Patih Arya Denta.
"He he he...! Siapa aku sebenarnya, tak jadi
masalah. Yang pasti, kau dan rajamu harus
disingkirkan!" jawab lelaki berhidung betet yang
bernama Takakira dengan mencibirkan bibirnya.
"Keparat, kubunuh kau!" dengus Patih Arya Denta
sengit sambil bergerak hendak menyerang. Namun
mendadak terdengar teriakan seorang pemuda
didahului gelak tawa membahana.
"Hua ha ha...! Paman Patih, biarkan mereka!
Adikku yang menghadapi! Kau bantulah baginda
menyelamatkan diri!" seru Sena.
Patih Arya Denta dan prajurit yang masih setia
pada Baginda Aji Wardana, juga para pemberontak
tersentak kaget, mendengar seruan Pendekar Gila.
Apalagi Rama Mangunda serta si Payung Sakti dan
Takakira yang telah tahu siapa pemuda itu. Mereka
kaget melihat kehadiran Pendekar Gila yang secara
tiba-tiba.
"Bukankah dia berada dalam penjara?" tanya
Rama Mangunda seperti bertanya pada diri sendiri.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian! Tikus-tikus Busuk!
Rupanya kalian mencari mati! Hua ha ha...! Supit,
hadapi mereka!" seru Sena sambil terus tertawa
terbahak-bahak dengart tangan menggaruk-garuk
kepala.
"Baik, Kakang," jawab bocah bersisik ular yang tak
lain Supit Songong. Semua orang yang ada di alun-
alun istana terbelalak melihat keanehan bocah kecil
berusia sekitar sepuluh tahun itu.
"Hadang mereka, jangan sampai mengejar kami,
Supit," seru Sena lagi.
"Baik, Kakang. Pergilah bersama Paman Patih! Biar
kulabrak orang-orang itu," jawab Supit Songon sambil
menyeringai geram menunjukkan lidahnya yang
merah dan bercabang. Matanya yang merah mem-
bara, menatap tajam para pemberontak di bawah
pimpinan Rama Mangunda.
"Ayo Paman Patih, kita tak punya waktu!" ajak
Sena. Dengan cepat Pendekar Gila melesat ke istana
diikuti Patih Arya Denta.
Takakira dan Senapati Awong Purbo hendak
mengejar, tetapi bocah ular Supit Songong telah
menghadangnya. Hal itu membuat keduanya ter-
sentak dan mengurungkan niat mengejar Pendekar
Gila dan Patih Arya Denta.
"Grrr! Hoarrr...!"
Supit Songong mengeluarkan suaranya yang
menggelegar, dan memekakkan telinga. Hal itu
semakin membuat Senapati Awong Purbo dan
Takakira tersentak. Mereka belum sempat melakukan
serangan, bocah ular itu telah menyerangnya dengan
cengkeraman tangan yang berkuku panjang dan
tajam.
"Grrr! Hoarrr!"
"Awaaas...!"
Wrt
Tangan kecil berkuku runcing berkelebat ke muka
kedua lawannya. Mereka tersentak kaget. Cepat-
cepat keduanya mengelit ke samping. Kemudian
melepaskan pukulan ke tubuh Supit Songong. Namun
dengan cepat, bocah sakti itu melentingkan tubuh ke
atas. Dan dengan cepat pula, menukik menyerang
dengan cengkeraman mautnya.
"Grrr! Hoarrr...!"
Kedua lawannya dibuat kalang kabut menghadang
serangan-serangan bocah bersisik ular itu. Bocah
yang matanya membara seperti api itu terus bergerak
cepat menyerang kedua lawannya.
***
Sementara itu, Pendekar Gila dan Patih Arya Denta
telah masuk istana. Keduanya terus menerobos
masuk ke kamar baginda. Firasat mereka mengatakan kalau Baginda Aji Wardana kini dalam ancaman
Nyi Mas Lindri, terbukti wanita cantik berhati iblis itu
tak tampak di luar.
Brakkk!
Pendekar Gila mendobrak pintu kamar. Saat itu
pula Nyi Mas Lindri yang sedang menyerang Baginda
Aji Wardana dan istrinya tersentak kaget. Matanya
terbelalak, ketika melihat kehadiran Pendekar Gila.
Bukan hanya Nyi Mas Lindri yang kaget atas
kehadiran Pendekar Gila. Baginda dan permaisuri pun
kaget.
"Pendekar Gila...!" desis mereka barbarengan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan
cengengesan dan menggeleng-gelengkan kepala
melangkah mendekati Nyi Mas Lindri.
"Pemberontak busuk! Ha ha ha, wajahmu cantik
sekali, Nyi! Sayang, hatimu iblis! Kau harus ditangkap!
Hi hi hi!"
Sena bergerak hendak menangkap Nyi Mas Lindri,
tetapi dengan cepat wanita cantik itu mengelak.
Kemudian dengan menabrak jendela kamar serta
melompati Baginda Aji Wardana, Nyi Mas Lindri
melesat keluar.
"Aha, mau lari ke mana kau, Iblis Betina! Hua ha
ha...! Maaf, Baginda!"
Pendekar Gila melesat mengejar Nyi Mas Lindri.
Seperti tak ingin kehilangan buruannya yang cantik
tetapi berhati iblis.
Nyi Mas Lindri ternyata berlari ke alun-alun,
bergabung dengan para pemberontak yang dipimpin
ayahnya. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin
tertawa terbahak-bahak, karena memang itulah yang
diharapkan. Dengan begitu, dia dapat leluasa menggempur para pemberontak.
"Paman Patih, selamatkan baginda! Biar aku dan
Supit Songong yang menghadang mereka!" seru
Sena, lalu melesat menuju alun-alun istana. Para
prajurit yang masih setia dengan Baginda Aji Wardana
serta para sesepuh istana menghadapi para
pemberontak yang dipimpin Rama Mangunda.
Pendekar Gila terus melesat dengan cepat,
menuju alun-alun yang terletak di depan Istana
Telaga Mas. Sementara Patih Arya Denta menye-
lamatkan baginda dan permaisurinya meninggalkan
istana.
"Hua ha ha...! Prajurit yang setia, serang terus!
Tikus-tikus busuk itu memang harus dibasmi. Hi hi
hi..!" dengan tingkah lakunya yang konyol, Pendekar
Gila berjingkrakan sambil menggaruk-garuk kepala.
Dia segera membantu para prajurit dan sesepuh
istana yang masih terus berusaha menghadang
serangan lawan.
Dengan kehadiran Pendekar Gila dan bocah sakti
membuat semangat para prajurit istana yang masih
setia pada Baginda Aji Wardana kembali pulih.
Mereka dengan gagah berani, terus berusaha
menghadapi lawan.
"Tumpas pemberontak...!"seru Ki Gede Mundu.
"Aha, benar katamu, Ki. Tikus-tikus itu memang
harus ditumpas dari muka bumi! Hi hi hi...!" dengan
cengengesan, Pendekar Gila bergerak menghadang si
Payung Sakti yang sedang mengamuk. Sedangkan Ki
Gede Mundu dan keempat sesepuh istana lainnya
menghadapi Nyi Mas Lindri dan Rama Mangunda.
Sementara, Supit Songon semakin mendesak kedua
lawannya.
"Seraaang...!" perintah Ki Gede Mundu.
Prajurit istana yang semula ciut nyalinya, kini
makin bersemangat. Apalagi kini telah hadir dua
orang sakti yang patut diandalkan. Seorang pemuda
gila dan seorang bocah ular yang sakti. Dalam
beberapa gebrakan saja mereka mampu mendesak
lawan.
"He he he! Supit, bereskan kedua tikus itu! Hua ha
ha...!" seru Sena pada Supit Songong. Sedangkan dia
kini bergerak menggempur si Payung Sakti. Tubuhnya
meliuk-liuk, bagaikan menari-nari. Sesekali tangannya
menepuk ke tubuh lawan.
"Pendekar Gila! Kini akhir hidupmu! Heaaa...!"
Si Payung Sakti memutar payungnya dengan cepat,
menimbulkan angin yang menderu ke tubuh lawan.
Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke atas. Lalu
menukik sambil menghantamkan pukulan tenaga
dalamnya dengan jurus 'Gila Terbang Mencengkeram'
"Hih!"
"Akh!" si Payung Sakti tersentak kaget, men-
dapatkan serangan yang cepat dan tiba-tiba itu.
Tubuhnya bergerak mengelak, tetapi payungnya ter-
hantam pukulan dahsyat Pendekar Gila.
Jlegar!
"Hi hi hi...! Payung bututmu kini seperti tubuhmu,
Nyi!" ejek Sena sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepalanya.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila!
Terimalah ajian 'Garang Gati'ku. Heaaa...!"
"Aha, mengapa gergaji kau bawa, Nyi? Hi hi hi...!"
Wrt!
Angin menderu kencang dari tangan si Payung
Sakti. Pendekar Gila tetap diam, kedua tangannya
disatukan. Kemudian dengan cepat dihempaskan
kedua telapak tangannya ke arah muka.
"Ini untukmu, Nyi! 'Inti Bayu', heaaa...!"
Wesss!
Segumpal angin kencang menderu keras ke tubuh
lawan.
Srt!
Jret!
"Akh...!" si Payung Sakti terpekik, ketika tubuhnya
tersapu angin topan yang keluar dari tangan
Pendekar Gila. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak
sambil menggaruk-garuk kepala dengan tubuh ber-
jingkrak-jingkrak, menyaksikan tubuh si Payung Sakti
terlempar sapuan angin pukulannya.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Nyi! Kenapa kau
main burung-burungan?!" ejek Sena terpingkal-
pingkal, dengan telunjuk menuding tubuh si Payung
Sakti yang terus melayang ke belakang. Tubuh
perempuan tua itu baru berhenti, setelah menerjang
pepohonan di luar istana.
Brakkk!
"Akh...!"
Lolongan kematian terdengar memecah malam,
ketika kepala si Payung Sakti pecah membentur
batang pohon besar.
"Pendekar Gila, aku lawanmu! Heaaa...!" Nyi Lindri
melihat ibunya mati, semakin marah. Tangannya kini
menyerang Sena dengan pukulan 'Gelap
Ngampar'nya. Perempuan cantik berpakaian merah
jambu itu penuh nafsu menyerang Pendekar Gila.
Wrt!
"Uts! Hi hi hi...!"
"Gelap gulitamu masih mentah, Nyi!" ejek Sena
sambil meliukkan tubuhnya mengelakkan hantaman
ajian 'Gelap Ngampar'.
Kekuatan ajian 'Gelap Ngampar' Nyi Mas Lindri
mampu membuat suasana malam bertambah gelap
Mendung di langit tiba-tiba menebal. Awan
berarak-arak menutupi langit di atas Istana Telaga
Mas.
"Kubunuh kau, Pendekar Gila! 'Gelap Ngampar',
yeaaa...!"
Wrrr!
Pendekar Gila yang diserang dengan ajian sakti
'Gelap Ngampar' malah tertawa terbahak-bahak.
Sepertinya sedikit pun tak terpengaruh pukulan-
pukulan yang mendatangkan kegelapan. Malah
dengan berjingkrak-jingkraan, Pendekar Gila balas
menyerang dengan jurus-jurus gilanya yang aneh dan
mengandung kekuatan dahsyat.
Pertarungan keduanya semakin seru. Sementara,
para prajurit dan pemberontak yang tengah ber-
tempur merasa keder melihat suasana yang tiba-tiba
berubah gelap gulita. Hanya Supit Songong yang
masih terus menggempur kedua lawannya.
"Grrr! Hoarrr...!"
Wrt!
Cakar-cakar tangan bocah bersisik ular itu melesat
begitu cepat ke tubuh lawan. Dan....
Crab, crab!
"Wuaaa...!"
Senapati Awong Purbo dan Takakira yang tak
dapat mengelakkan cengkeraman kuku-kuku tajam
Supit Songong, terpekik keras. Tubuh mereka
menggelepar-gelepar dengan leher terkoyak
berantakan terkena kuku-kuku tajam Supit Songong.
Kemudian ambruk dengan nyawa melayang.
Melihat kedua lawannya binasa, Supit Songo kini
beralih menyerang Rama Mangunda. Pimpinan
pemberontakan itu masih bertarung melawan kelima
sesepuh istana yang nampak kewalahan dengan
serangan-serangan lelaki tua itu. Apalagi dengan ajian
'Gelap Ngampar' yang dilancarkan Nyi Mas Lindri,
membuat kelima sesepuh istana itu bertambah
kalang kabut.
"Grrr! Oarrr...! Aku lawanmu, Pemberontak!" maki
Supit Songong seraya bergerak menyerang Rama
Mangunda yang tersentak kaget, melihat bocah ular
itu tiba-tiba menyerang dirinya dengan cakaran-
cakaran mautnya.
"Uts! Celaka...!" pekik Rama Mangunda kaget.
Cepat-cepat tubuhnya dilempar, berusaha meng-
hindar. Namun, Supit Songong kembali memburunya.
Hal itu membuat Rama Mangunda kian tersentak
kaget, dan terus berusaha mengelak sambil
melancarkan serangan-serangan balasan.
"Heaaa...!"
"Grrr! Goarrr!"
Supit Songong mengelit, kemudian dengan cepat
kembali menyerang.
Di tempat lain, Nyi Mas Lindri semakin ciut
nyalinya, melihat banyak korban di pihaknya. Apalagi
Pendekar Gila kini bagaikan tak mempan terhadap
serangan-serangan yang dilancarkannya.
"Celaka! Rama sepertinya juga terdesak. Ah, tak
ada pilihan lain, aku harus kabur dari tempat ini,"
desis Nyi Mas Lindri dalam hati.
"Pendekar Gila, tunggulah pembalasanku!
Heaaa...!" tangan Nyi Mas Lindri mengambil sesuatu
dari balik bajunya. Kemudian dengan cepat
melemparkannya ke depan Pendekar Gila, yang
tersentak kaget.
Jlegar! Jlegarrr...!
Dua kali ledakan dahsyat menggelegar,
menyentakkan Pendekar Gila yang langsung
melompat ke belakang. Asap tebal mengepul
menutupi pandangannya.
"Aha, rupanya kau mau main-main petasan, Nyi!"
ujar Sena. Kemudian dengan ajian 'Inti Bayu'nya,
disapunya asap tebal itu sampai hilang. Seketika
matanya terbelalak, melihat Nyi Mas Lindri telah
menghilang dari pandangannya.
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil meng-
geleng-geleng kepala. Tangannya menggaruk-garuk
kepala.
"Hua ha ha, licik sekali kau, Nyi! Hm, ke mana pun
kau pergi, akan kukejar. Tapi biarlah, aku harus
membantu para prajurit menyelamatkan pem-
berontak itu," kata Sena sambil melangkah ke tempat
para prajurit yang tengah bertempur,
Dengan masuknya Pendekar Gila membantu para
prajurit yang masih setia pada Baginda Aji Wardana,
para pemberontak yang sudah ciut nyalinya karena
pimpinan-pimpinan mereka kabur dan mati dan dapat
didesak.
Sementara itu pula Supit Songong yang meng-
gunakan jurus 'Cakar Naga Sakti'nya terus memburu
Rama Mangunda. Tangannya bergerak cepat, men-
cakar ke muka dan dada lelaki tua itu.
"Grrr! Heaaa...!"
Wrt!
"Uts! Anak setan!" maki Rama Mangunda sambil
bergerak mengelak. Kemudian dengan cepat
membalas serangan dengan jurus 'Sapu Buana'.
Tangannya menghentak keras, mengeluarkan angin
pukulan yang dahsyat. Namun Supit Songong
bagaikan tak takut. Dengan cepat tubuhnya yang
kecil melompat dan terbang, lalu menukik melakukan
serangan balasan.
"Grrr! Kau harus mati, Orang Tua! Heaaa...!"
Supit Songong melesat cepat ke belakang tubuh
Rama Mangunda. Kemudian dengan cepat kedua
kakinya hinggap di pundak lelaki tua itu. Lalu secepat
kilat, sebelum lawannya sempat berbuat sesuatu
kedua tangan Supit Songong mencengkeram leher
Rama Mangunda. Digigit leher itu dengan giginya
yang tajam bertaring.
Crab!
"Aaakh...!"
Rama Mangunda terpekik, dia berusaha menying-
kirkan Supit Songong dari pundaknya. Namun, bocah
itu bagaikan tak peduli, terus mencengkeram dan
menggigit leher Rama Mangunda. Hal itu membua
orang tua itu kelojotan dengan mata melotot. Lalu
tubuhnya menggelepar-gelepar bagaikan ayam
disembelih, sebelum akhirnya ambruk dan mati.
Melihat para pimpinannya mati, prajurit pem-
berontak pun segera menyerah. Mereka segera
dilucuti senjatanya, lalu diperintahkan berkumpul di
alun-alun istana.
***
Dengan menyerahnya para pemberontak,
Pendekar Gila segera menyusul Baginda Aji Wardana
dan Patih Arya Denta yang mengungsi di Hutan
Kalaspitung. Hari itu pula, baginda dan patih kembali
ke istana, untuk kembali memegang tampuk
pimpinan sebagai Raja Istana Telaga Mas.
Pagi yang cerah, ketika mentari bersinar terang di
ufuk timur, di alun-alun istana rakyat berbondong-
bondong. Mereka datang setelah mendengar kabar
tentang pemberontakan yang dapat digagalkan.
"Hukum gantung saja para pemberontak itu!"
"Penggal saja kepala mereka...!"
"Jangan dikasih ampun...!"
Teriakan-teriakan rakyat Kerajaan Telaga Mas yang
marah, memecah pagi. Baginda Aji Wardana yang
duduk di singgasananya, menitikkan air mata. Sedih,
bahagia, serta bermacam perasaan beraduk jadi satu
di dadanya. Begitu pula dengan permaisuri tampak
bersedih.
"Hidup Baginda Aji Wardana...!"
"Hidup Telaga Mas...!"
"Gantung para pemberontak...!"
Rakyat terus berteriak karena marah yang meluap-
luap. Bahkan ada beberapa warga yang berusaha
memukul prajurit-prajurit pemberontak. Beruntung
sesepuh kerajaan dan Patih Arya Denta segera
melerainya.
"Mana Nyi Mas Lindri! Gantung saja dia...!"
"Ya, gantung saja!"
"Gantung iblis jahanam ituuu...!"
Baginda Aji Wardana masih mengurai air mata.
Berdiri di samping kiri dan kanannya, Pendekar Gila
dan Patih Arya Denta. Di samping Pendekar Gila yang
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, berdiri
bocah kecil yang tubuhnya dipenuhi sisi ular.
"Tenang..., tenanglah, Rakyatku," kata Baginda Aji
Wardana setelah lama terdiam. Rakyat kerajaan pun
seketika menurut, tenang dan diam. "Kita harus
bersyukur, karena Hyang Widhi masih mempercaya-
kan tampuk kerajaan ini padaku...!"
"Hidup Baginda Aji Wardana...!"
"Hidup Telaga Mas,..!"
Teriak rakyat penuh bersemangat, memecahkan
Kesunyian yang sekejap terjadi.
"Rakyatku yang kucintai, kita harus berterima kaah
pula atas pertolongan Hyang Widhi yang mengutus
dua orang pendekar guna menumpas keangkara-
murkaan yang melanda kerajaan ini. Dialah Sena
Menggala dan Supit Songong. Jika kalian rakyatku tak
keberatan, aku bermaksud mengangkat Sena sebagai
Senapati di Istana Telaga Mas ini," ujar Baginda Aji
Wardana.
"Setujuuu...!" sahut rakyat penuh semangat. "Hidup
senapati baru...!"
"Bagaimana, Sena? Rakyat Telaga Mas, meng-
harapkan kau bersedia jadi senapati di Istana Telaga
ini," kata Baginda Aji Wardana seraya menoleh pada
Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Ampun, Baginda! Sungguh suatu kehormatan
yang sangat tinggi bagi hamba, mendapat
kepercayaan menjadi senapati. Namun, hamba rasa
masih banyak yang lainnya. Apalah artinya hamba
yang bodoh dan liar ini. Seorang pengembara yang
tak pernah punya arah tujuan. Sekali lagi, hamba
mohon ampun, dengan menyesal hamba menolak.
Biarkanlah hamba mengabdi pada kehidupan ini. Lagi
pula, hamba masih harus menyelesaikan tugas
hamba, menangkap Nyi Lindri," ujar Sena dengan
rendah hati.
"Ya, kalau memang begitu, kami tak bisa
memaksamu, Sena. Yang kuharapkan, bantuanmu,
menangkap Nyi Mas Lindri hidup atau mati. Rasanya
belum tenang kerajaan ini, jika wanita iblis itu masih
berkeliaran," tutur Baginda Aji Wardana.
"Akan hamba usahakan, Baginda. Sekarang juga,
hamba mohon pamit!" pinta Sena.
"Doaku dan seluruh rakyat Istana Telaga Mas,
menyertaimu, Sena. Bagaimana dengan Anak Supit?"
tanya Baginda Aji Wardana.
"Adi Supit, akan kembali ke Pulau Karang Api lewat
lorong di penjara bawah tanah," tutur Sena yang
membuat baginda tersentak kaget. "Ampun, Baginda!
Sebenarnya dulu bukanlah hamba menghilang. Tetapi
Paman Naga Brahma dan Adi Supit-lah yang telah
menolong hamba, membuat terowongan yang meng-
hubungkan kerajaan ini dengan Danau Sambak
Neraka."
"O, begitu...?" ujar Baginda Aji Wardana. "Bolehkah
aku melihatnya?"
"Dengan senang hati, Baginda," jawab Supit.
Mereka pun mengantar Supit Songong ke penjara
bawah tanah. Kemudian dengan disaksikan baginda
serta yang lainnya, Supit Songong masuk ke penjara
bawah tanah. Di situ, Supit Songong membuka
terowongan yang tertutup. Lalu masuk ke lubang
besar itu. Baginda Aji Wardana melongong bengong
melihatnya.
"Wahai rakyatku sekalian! Sejak saat ini, Ki Naga
Brahma dan Anakmas Supit Songong, menjadi
saudara kita!" sabda Baginda Aji Wardana,
"Terowongan ini, sebagai lambang persaudaraan
kita."
"Hidup Baginda Aji Wardana...!"
"Hidup Ki Naga Brahma...!"
Sejak saat itu, antara Baginda Aji Wardana dan
Naga Brahma serta Supit Songong resmi terjalin
hubungan persaudaraan. Terowongan bawah tanah
yang ada di kerajaan, tetap dipelihara. Bahkan
Baginda Aji Wardana memerintah tenaga-tenaga ahli
untuk memperbaiki penjara bawah tanah itu sebagai
tempat yang indah. Tempat yang akan digunakannya
untuk mengadakan pertemuan dengan Naga Brahma
atau pendekar golongan putih yang lain.
Nah, bagaimana dengan Nyi Mas Lindri?
Mampukah Pendekar Gila menangkap wanita cantik
berhati iblis itu? Untuk lebih jelasnya, ikuti lanjutan
kisah "Istana Berdarah" ini dalam judul:
"Pengkhianatan Joko Galing".
SELESAI







0 komentar:
Posting Komentar