1
Bukit kecil itu letaknya tidak jauh dari Telaga
Tengkorak Hantu. Di Lereng kaki bukit, di bawah cu-
rahan hujan lebat sesosok tubuh berpakaian hitam,
bertopi tinggi dihiasi dua buah tanduk kerbau duduk
diam disana. Bersikap seolah tak perduli dengan apa
yang terjadi disekelilingnya, walau saat itu tubuh dan
pakaian sosok kakek tua ini basah kuyup terkena si-
raman air hujan.
Sekian lama dalam keadaan seperti itu, telinga
kiri si kakek bergerak-gerak. Sepasang mata yang ter-
pejam terbuka, si kakek gerakkan kepala ke sebelah
kiri, dua bola matanya yang merah seperti habis me-
nangis memandang ke jurusan Telaga Tengkorak Han-
tu. Tidak ada binatang atau satupun manusia yang
terlihat, terkecuali kepekatan kabut akibat derasnya
hujan yang tercurah. Si kakek kembali pada sikapnya
semula. Dia hembuskan nafasnya yang terasa menye-
sak di dada, kepala menggeleng, mulut yang tertutup
kumis kelabu membuka berucap. "Tidak mungkin. Aku
belum tuli, telingaku tidak salah mendengar. Suara
yang kudengar barusan tadi sama sekali bukan suara
gemuruh hujan. Suara tadi datangnya dari arah telaga.
Ada sesuatu yang jatuh ke dalam telaga itu. Batu? Ti-
dak! Jika batu sebesar apapun bila jatuh ke dalam te-
laga suaranya bukan seperti yang kudengar? Apa
mungkin suara setan penghuni telaga?" gumam si ka-
kek. Sekali lagi dia putar kepala ke arah telaga, ma-
tanya memandang ke tempat itu, berputar liar menco-
ba mencermati. Tatap mata si kakek terhenti, diam
memperhatikan begitu melihat tiga batang pohon ka-
puk besar seukuran tiga pelukan orang dewasa. Ha-
tinya mendadak gelisah, jantung berdebar. Satu demi
satu ketiga pohon yang terdapat di sebelah barat tepi
telaga itu ditelitinya, dari bagian pangkal batang hing-
ga ke bagian pucuk pohon. Si kakek jadi tercekat begi-
tu melihat sebuah lubang besar di pertengahan batang
pohon. Ketiga lubang yang terdapat di pohon itu sama
menghadap ke arah telaga. Sedangkan di mulut lubang
ditiap pohon itu tersumpal satu tengkorak kepala ma-
nusia berwarna hijau ditumbuhi lumut. Memandang
ke arah tiga tengkorak dengan mata mendelik, mulut si
kakek kembali berucap.
"Tiga pohon kapuk di tepi telaga. Pada masing-
masing lubang di sumpal dengan tengkorak kepala.
Celaka! Berarti aku telah sampai di Telaga Tengkorak
Hantu. Bagaimana aku bisa melantur hingga sampai
ke tempat ini?" kata si kakek dengan suara tercekat
dan wajah berubah pucat. Cepat dia palingkan wajah-
nya ke jurusan lain. Dia kini jadi ingat konon telaga itu
sangat angker. Banyak roh jahat dan mahluk gaib
tinggal didalam telaga. Belasan tahun telaga itu tak
pernah didekati manusia, walau konon pemandangan
bagian dasar telaga sangat indah.
Ingat dengan segala cerita yang didengarnya se-
lama ini apalagi di tambah dengan suara aneh yang
didengarnya barusan tadi membuatnya ingin tinggal-
kan bukit itu secepatnya. Si kakek bangkit berdiri, ke-
pala didongakkan ke atas, sepasang mata memandang
ke langit. Langit tertutup awan kelabu. Sementara cu-
rahan hujan tidak lagi sederas tadi, tapi juga tidak
menunjukkan tanda-tanda akan terhenti.
"Aku tidak mau mencari penyakit. Yang ku ta-
hu Si Muka Setan telah terbunuh. Tapi tiga orang sak-
si mengatakan sahabatku itu belum mati. Malah gen-
tayangan, hendak berlaku bejad menodai seorang ga-
dis. Sungguh gila. Aku sendiri terlanjur membunuh
Rajo Penitis, telah kulakukan satu dosa besar yang ti
dak akan impas jika tidak kutebus dengan kematian
pula. Tidak mengapa. Aku rela membayar hutang nya-
wa asal aku sudah dapat bertemu dengan Si Muka Se-
tan. Aku ingin tahu apakah nenek Muka Setan yang
mereka jumpai itu memang sahabatku adanya atau
cuma palsu belaka."
Selesai berkata si kakek balikkan badan siap
hendak pergi. Di saat dia membalikkan badan itulah
sudut matanya menangkap ada sesuatu yang bergerak
di tengah telaga. Si kakek tercekat, dia urungkan niat-
nya untuk tinggalkan tempat itu. Kembali si kakek pu-
satkan perhatian ke tengah telaga. Saat itu air telaga
bergolak menimbulkan gelombang hebat disertai den-
gan munculnya gelembung memutih laksana buih. Di
tengah curah air hujan yang sudah tidak seberapa de-
ras lagi gelombang di tengah telaga makin menghebat,
bergerak keseluruh penjuru telaga lalu lenyap setelah
menghempas tepian telaga.
Terdorong oleh rasa keingintahuan yang besar
si kakek membuat satu gerakan. Laksana kilat tubuh-
nya berkelebat melesat ke balik batu besar yang terda-
pat di sebelah kiri telaga. Dari balik tempat persembu-
nyiannya dia julurkan kepala, sepasang mata di pen-
tang memandang lurus ke tengah telaga.
Si kakek menduga mustahil gelombang besar
itu terjadi akibat curahan air hujan. Ternyata dugaan-
nya tidak meleset karena hanya beberapa saat setelah
itu di permukaan air muncul satu sosok serba kuning.
Sosok itu kemudian melesat ke udara. Di udara dia la-
kukan gerakan berjumpalitan sebanyak tiga kali.
Wuuut! Wuut! Wuuut!
Hanya dalam beberapa kejapan sosok yang
muncul dari dasar telaga telah jejakkan kakinya di
pinggir telaga itu. Kini dengan jelas si kakek dapat me-
lihat satu sosok seorang perempuan tua, berambut pu
tih berwajah hancur mengerikan seperti dicacah.
Si kakek jadi tercekat, wajah pucat, tubuh ber-
getar. Semua ini bukan karena akibat rasa takut meli-
hat betapa angkernya wajah si nenek. Melainkan kare-
na sosok yang dilihatnya bukan orang asing dalam hi-
dup si kakek tapi adalah orang yang sangat dia kenal.
"Si Muka Setan? Bagaimana dia dapat hidup
kembali. Tidak mungkin? Sulit untuk dapat kuper-
caya!" kata si kakek dengan bibir bergetar.
Sosok berpakaian kuning berenda putih di tepi
telaga yang tubuhnya dalam keadaan basah kuyup ti-
ba-tiba dongakkan kepala ke langit. Senyum angker si
nenek muka setan mengembang. "Seharusnya bangsat
Perampas Benak Kepala sudah datang kesini, meng-
hadap padaku dan melaporkan tentang segala yang te-
lah dilakukannya. Hemm, sudah satu hari lebih men-
gapa dia tidak kembali? Gerangan apa yang terjadi pa-
danya?" batin si nenek. Orang tua itu diam sejenak dia
ingat sesuatu. Sambil menepuk kepala dia berucap.
"Ah, aku lupa bukan dia yang menemuiku, tapi aku
yang mencarinya. Terlalu banyak mereguk manisnya
madu cinta membuat aku lupa. Untuk sementara se-
baiknya kutinggalkan dulu istana sorga kenikmatan di
dasar telaga. Aku akan menyelidik, menyirap kabar
siapa tahu dua manusia tolol itu sudah dapat me-
nangkap Pendekar Sakti Gento Guyon. Pemuda edan
itu harus kubunuh secepatnya, kalau tidak dia bisa
menjadi penghalang dari semua cita-cita keinginanku!"
Selesai bicara sendiri si nenek hendak beranjak
pergi, tapi entah mengapa niatnya urung. Kini dia ma-
lah memandang di seputar tepi telaga. Matanya jelala-
tan mencari-cari.
Di balik batu kakek bertopi tinggi di buat he-
ran. "Dia mengatakan dua manusia tolol? Siapa yang
dimaksudkannya? Dia juga menginginkan Gento
Guyon? apa benar yang berdiri di tepi telaga itu me-
mang Si Muka Setan sahabatku. Rambut, wajah serta
pakaian yang dia pakai sama persis. Bisa jadi dia Si
Muka Setan. Mungkin Muka Setan yang lain, bukan
sahabatku Si Muka Setan yang telah mati." membatin
si kakek dalam hati. Dia gelengkan kepala lanjutkan
ucapannya. "Mungkin yang kulihat ini adalah saudara
Kembar Si Muka Setan. Tidak mungkin, Muka Setan
tak pernah mengatakan dia mempunyai saudara kem-
bar!" Sesaat si kakek diliputi perasaan bingung. Se-
mentara itu ditepi telaga sana Si Muka Setan sudah
menghadap ke arah batu dimana si kakek bersem-
bunyi. Nenek itu kemudian berkata.
"Dalam hujan begini aku jadi malas untuk me-
ninggalkan telaga. Sayang pekerjaanku tak dapat di-
tunda. Baiklah, sebelum pergi kurasa ada baiknya aku
bereskan dulu tikus comberan yang bersembunyi di
balik batu." kata si nenek. Belum lagi gema suara si
nenek lenyap laksana kilat dia hantamkan tangan ka-
nannya ke arah batu dimana si kakek bersembunyi.
Sinar hitam menggidikkan membersit dari lima ujung
jari nenek berwajah setan, melesat sebat ke arah batu
hingga menimbulkan ledakan berdentum. Si kakek
yang sempat melihat datangnya serangan lawan lang-
sung melompat ke samping selamatkan diri sehingga
ketika pukulan maut menghantam batu si kakek su-
dah tak berada lagi di tempat itu.
Batu hancur berkeping-keping, bertebaran di
udara dalam keadaan dikobari api, kemudian jatuh
berserakan ke berbagai arah.
"Hemm, rupanya kau tikus comberan tua
mempunyai kebisaan juga. Pantas saja kau berani
muncul di tempat ini?!" dengus si nenek sambil mem-
perhatikan kakek bertopi tinggi yang telah berdiri tegak
sejarak empat tombak di depannya. Sebaliknya si ka
kek-jadi bertambah heran begitu melihat kenyataan
bahwa Si Muka Setan ternyata sudah tak mengena-
linya lagi. Untuk meyakinkan dugaannya itu si kakek
sengaja berucap menyebut nama asli Si Muka Setan.
"Ayu jelita. Astaga! Apakah kau sudah tidak mengenal
sahabatmu sendiri. Apa yang terjadi dengan dirimu se-
lama ini?"
Diam-diam nenek berwajah setan terkejut. Dia
sama sekali tidak tahu kakek itu bersahabat dengan
dirinya. Akal cerdik, otak liciknya langsung berfikir
mencari jalan untuk memuslihati orang tua didepan-
nya.
"Hik hik hik. Sejak terjadi benturan hebat serta
guncangan batin yang amat berat dalam jiwaku aku
sudah tidak lagi dapat membedakan mana teman ma-
na sahabat. Tua bangka bertopi tanduk dapatkah kau
membantu diriku untuk dapat mengenal siapa dirimu
ini?" tanya Si Muka Setan seperti orang bingung. Wa-
jah si nenek berubah memelas, sedih bahkan dia sam-
pai teteskan air mata. Jauh berbeda dengan yang dili-
hat si kakek pertama tadi, bengis, garang dan penuh
kecongkakan.
Si kakek tidak mudah terkecoh. Dia melihat
ada yang ganjil, ada sesuatu yang tidak wajar dalam
diri nenek yang mengaku dirinya telah menjadi gila ini.
Sungguhpun begitu dia tetap menjawab. "Muka Setan.
Aku tahu kejadian yang menimpa keluarga dan kera-
batmu. Tapi kau harus bisa menerima kenyataan tak-
dir yang sudah digariskan Tuhan. Aku, Gelombang
Tangis Dalam Duka adalah sahabatmu sendiri. Aku
merasa ikut prihatin atas musibah itu!" ujar si kakek.
Menyangka pancingannya sudah mengena pada
sasaran yang diharapkan Si Muka Setan masih dengan
unjukkan wajah sedih berucap.
"Aku berterima kasih atas simpati yang kau
tunjukkan. Aku pasti tidak akan melupakannya!
Hanya saat ini dihatiku masih ada beberapa ganjalan!"
kata si nenek ragu-ragu.
"Sahabat, kita berteman sudah cukup lama,
malah sudah berlangsung belasan tahun. Jika kau
memang punya ganjalan dihati katakan saja padaku.
Sebagai sahabat aku pasti akan membantumu!"
"Begitukah?" gumam si nenek disertai tatapan
menyelidik.
Kakek Gelombang Tangis Dalam Duka anggukkan kepala.
2
Nenek muka setan mengusap air matanya, da-
lam hati ia tertawa penuh kemenangan karena merasa
telah berhasil memperdaya orang tua itu. Kemudian
dengan suara sedemikian rupa hingga mengundang
rasa simpati orang Si Muka Setan berkata. "Kau ingat
pertemuan itu?" Di depannya Gelombang Tangis Dalam
Duka anggukkan kepala. Si Muka Setan melanjutkan.
"Seharusnya aku hadir dan memimpin pertemuan itu.
Sayang di tengah perjalanan seorang pemuda berilmu
tinggi menghadangku. Dia bermaksud menghalangi
aku untuk memimpin pertemuan para pendekar. Kami
terlibat perkelahian sengit. Aku kalah bahkan kepala-
ku terluka di bagian dalam."
Si kakek cepat memotong. "Bagaimana ciri-ciri
pemuda itu?" tanyanya dengan pandangan penuh seli-
dik.
"Pemuda itu berambut gondrong, dilehernya
melingkar sebuah kalung, bertelanjang dada suka ter-
senyum, mungkin otaknya kurang waras. Masih be-
runtung aku berhasil menyelamatkan diri. Belakangan
baru kuketahui pemuda sakti itu bernama Gento
Guyon."
Si kakek terdiam, otaknya cepat berfikir men-
gingat. "Ciri-ciri yang disebutkannya sama persis den-
gan pemuda itu. Aku baru saja bertemu dengannya
beberapa hari yang lalu. Jika dia mengaku dihadang
oleh pemuda itu, mungkin ini hanya satu kedustaan
saja." fikir Gelombang Tangis Dalam Duka. Masih ku-
rang yakin si kakek ajukan pertanyaan. "Sahabatku,
mungkin akibat luka di dalam kepalamu membuat fiki-
ranmu terganggu. Tapi yang membuat aku heran ba-
gaimana setelah mengalami gangguan ingatan kini
mengalami perubahan kebiasaan pula?!"
"Apa maksudmu?" tanya si nenek dengan tatap
mata tak mengerti.
Gelombang Tangis Dalam Duka tersenyum pe-
nuh arti. Dengan sikap tenang namun mengejutkan
bagi si nenek dia berucap. "Nenek Muka Setan yang
sesungguhnya tidak pernah berendam di dalam air,
apalagi yang namanya tinggal di dalam telaga. Malah
sahabatku itu seperti kucing. Takut air dan mandinya
setiap satu tahun sekali. Itu keanehan pertama. Se-
dangkan yang kedua, Si Muka Setan yang kukenal tak
pernah suka atau mencintai kaum sejenis. Apalagi
sampai berbuat keji pada seorang gadis. Tapi kau me-
nurut yang kudengar malah menculik gadis dan mela-
kukan perbuatan mesum pada gadis culikannya. Muka
Setan, apakah segala kegilaan yang telah kau lakukan
ini ada hubungannya dengan cacat cedera yang terjadi
di dalam otakmu? Aku sahabatmu Gelombang Tangis
mohon diberi penjelasan. Cukup sekian pertanyaanku,
si tua yang murah tangis ini menunggu jawaban." kata
si kakek.
Tak pernah menyangka mendapat pertanyaan
seperti itu, Si Muka Setan tentu saja jadi tercekat. Ru
panya tidak rupa setan lagi, tapi telah berubah memu-
tih laksana kertas. Kini dia merasa telah ditelanjangi
oleh si kakek. Tapi dasar si nenek banyak akal musli-
hat, dengan tenang dia menjawab. "Sahabatku. Dalam
keadaan otak tidak waras, seseorang bisa me-lakukan
atau berbuat apa saja diluar kesadarannya. Apa yang
aku katakan itu kalaupun memang benar terjadi pasti
diluar kesadaranku. Karena terkadang aku sendiri ti-
dak mengenal siapa diriku. Orang gila sering melaku-
kan perbuatan menyimpang diluar kebiasaannya. Jika
kau lihat aku mendekam di dasar telaga itu, berdasar-
kan apa yang kukatakan masihkah kau menganggap
aneh segala yang kulakukan?!"
Si kakek gelengkan kepala. Tapi dia ingat, Si
Muka Setan, seperti yang dilihatnya telah mati. Kea-
daannya mengenaskan. Kepala berlubang, isi kepala
lenyap. Gelombang Tangis Dalam Duka tak mau terke-
coh bahkan dia tak kehabisan akal.
"Sahabatku, aku ingin menyembuhkan penya-
kitmu agar kau mendapatkan kewaras-anmu kembali.
Maukah kau?"
"Tentu saja mau, malah aku merasa berterima
kasih sekali." jawab si nenek. Dalam hati, dia bertanya.
"Apa lagi yang hendak dilakukan oleh jahanam tua ini?
Seandainya dia hendak bertingkah yang tidak-tidak
aku harus menghabisinya secepat mungkin."
Didepannya sana Gelombang Tangis Dalam
Duka melangkah maju dua tindak sehingga jarak dian-
tara mereka hanya tinggal sekitar tiga langkah saja. Si
kakek ulurkan tangannya, lalu berucap. "Aku ingin
memeriksa luka didalam kepalamu. Aku akan menya-
lurkan tenaga sakti di bagian kepalamu itu. Kemari-
lah.... maju mendekat...!"
Si Muka Setan tercengang, bukannya maju
mendekati si kakek. Sebaliknya dia melompat mundur.
Matanya terbelalak seolah saat itu dia melihat satu so-
sok hantu besar berdiri tegak di depannya.
"Sahabatku Muka Setan mengapa? Aku ber-
maksud baik hendak menolongmu kemarilah!" kata si
kakek lagi. Dia maju mendekat. Setiap Gelombang
Tangis Dalam Duka melangkah maju sebaliknya si ne-
nek bergerak mundur. Sampai akhirnya Si Muka Setan
membentak. "Berhenti! Jangan coba-coba mendekati
aku lagi!" kata si nenek bengis.
Bentakan keras itu tidak membuat si kakek
merasa takut, malah sambil tertawa tergelak-gelak Ge-
lombang Tangis Dalam Duka memandang tajam ke
arah Si Muka Setan dengan sorot mata sulit ditebak.
"Muka Setan. Aku tahu ada sesuatu yang kau
sembunyikan bukan? Sesuatu yang kau tak ingin
orang lain mengetahuinya. Aku sudah melihat, aku
sudah merasakannya. Ha ha ha!" kata si kakek sambil
mengumbar tawanya. Dia kemudian melanjutkan uca-
pannya. "Kau bukan sahabatku Si Muka Setan, mung-
kin kau orang lain. Seseorang yang sengaja menyaru
sebagai Muka Setan untuk kepentingan dan maksud-
maksud tertentu. Padahal aku adalah salah seorang
yang menyaksikan dengan kepala sendiri bahwa Si
Muka Setan yang sebenarnya telah tewas dan kini ber-
kubur di Kiara Con-dong."
"Jika kau sudah mengetahuinya, berarti aku
akan membungkam mulutmu agar tidak usil lagi. Hik
hik hik!" sahut Si Muka Setan. Kini nada suaranya te-
lah berubah sama sekali, melengking penuh keangku-
han.
"Kau hendak membungkam mulutku. Ha ha ha!
Akan kukelupas wajah yang buruk itu hingga aku da-
pat melihat wajah aslimu. Setelah itu baru kutelanjan-
gi tubuhmu hingga aku dapat melihat apakah kau pe-
rempuan sejati atau banci! ha ha ha!"
Wajah yang dipenuhi carut marut itu meng-
gembung merah, mulut terkatub rapat sedangkan se-
pasang matanya mencorong angker.
"Tua bangka tolol kau mengira dirimu itu sia-
pa? Kau sama sekali tidak akan pernah dapat menyen-
tuh tubuhku. Karena sebelum itu kau lakukan nya-
wamu akan kubuat amblas terbang ke neraka!"
Gelombang Tangis Dalam Duka sebagaimana
julukannya langsung keluarkan suara menggerung.
Dia menangis keras. Si nenek tercekat begitu menya-
dari ternyata tangis kakek itu bukan tangis biasa ka-
rena mengandung satu kekuatan dan pengaruh hebat
hingga bagi orang yang memiliki tingkat tenaga dalam
tidak begitu tinggi bisa terpengaruh ikut terseret dalam
tangisan itu. Sebaliknya Si Muka Setan begitu menu-
tup indera pendengarannya langsung mengumbar ta-
wa. Suara tawa dan tangis akhirnya saling tindih,
hingga terjadilah adu tenaga sakti melalui suara tawa
dan tangis masing-masing lawan.
Beberapa saat keduanya tampak keluarkan ke-
ringat dingin, wajah mereka nampak tegang, sedang-
kan sekujur tubuh bergetar. Malah kaki si kakek mulai
amblas melesak ke dalam tanah. Diam-diam orang tua
itu jadi kaget, tak menyangka tenaga dalam lawan ter-
nyata tidak berada di bawahnya. Dalam hati Gelom-
bang Tangis Dalam Duka merutuk. "Nenek keparat ini
jelas bukan Si Muka Setan. Entah siapa dia adanya,
tapi aku melihatnya ada hawa keji yang dipergunakan
untuk menyerangku lewat suara tawa itu."
Di depan sana masih dengan tertawa mengum-
bar tawanya si nenek Muka Setan sendiri memaki.
"Tua bangka jahanam! Aku akan menghabisimu. Nya-
wamu tidak akan bertahan lebih dari lima jurus dimu-
ka!"
Masih dengan tertawa si nenek hantamkan
tangannya ke depan. Sinar hitam membersit dari tela-
pak tangannya. Kedua sinar berhawa dingin mengidik-
kan itu langsung menyambar tubuh lawan disertai su-
ara bergemuruh bagaikan tanggul besar yang jebol di-
labrak banjir. Si kakek yang menyerang lawan melalui
suara tangis kejutnya bukan alang-alang. Dia tidak
menyangka dalam keadaan mengadu kesaktian dari ja-
rak jauh lawan masih dapat menyerangnya dengan
pukulan pula. Padahal salah sedikit saja dalam mela-
kukan gerakan akibatnya bisa fatal bagi nenek itu. Ke-
nyataan yang terjadi malah sebaliknya. Dua sinar hi-
tam itu ternyata dua kali lebih ganas dari serangan
yang dilakukan lewat tawa.
Seketika Gelombang Tangis Dalam Duka henti-
kan suara tangisnya. Dia melompat ke samping, tapi
gerakannya ini kalah cepat dengan pukulan lawan, se-
hingga bahu kirinya masih terkena sambaran pukulan
lawan. Si kakek menjerit kesakitan, tubuh terhuyung
bagian bahu dikobari api. Dia bergerak menjauh se-
dangkan tangan kanan sibuk memadamkan api yang
membakar pakaian di bagian bahu.
Di belakang si kakek terdengar dua kali leda-
kan berturut-turut akibat dua pukulan yang menyam-
bar bahu orang tua itu menghantam pohon di bela-
kangnya. Pohon hancur tumbang disertai suara gemu-
ruh. Tanpa menghiraukan semua itu si kakek ini mele-
sat ke depan, mempergunakan kesempatan selagi la-
wan siap melepaskan pukulan kedua dia langsung le-
paskan tendangan disertai dua pukulan yang menga-
rah ke bagian wajah dan bahu lawannya. Nenek Muka
Setan terkejut besar, tapi segera melompat ke udara
hindari tendangan. Tendangan lawan dapat dielakan-
nya tapi si kakek masih berhasil susupkan pukulan-
nya ke dada nenek itu.
Deeees!
Hantaman yang sangat keras membuat si ne-
nek jatuh terjengkang. Tanpa menghiraukan sakit
yang mendera dadanya orang tua itu melompat bang-
kit, tegak dengan terhuyung-huyung dari mulutnya
terdengar sumpah serapah. Kesempatan itu dipergu-
nakan oleh Gelombang Tangis Dalam Duka merangsak
maju dengan sepuluh jari tangan berkelebat. Lima
mencari sasaran di bagian wajah sedangkan lima lain-
nya menyambar dada si nenek.
"Tua bangka keparat! Dia mencoba melihat ba-
gaimana rupa asliku. Baiklah, rasa penasaranmu akan
kubuat impas hari ini!" geram Si Muka Setan dalam
hati. Orang tua itu mundur satu langkah, dua tangan
cepat diputar sedemikian rupa lalu di dorong ke depan.
Pada saat itu dua tangan si nenek telah berubah
menghitam sampai sebatas siku
Dua gelombang angin menderu dari telapak
tangan Si Muka Setan. Akibatnya sungguh sangat luar
biasa. Hantaman itu bukan saja membuat dua seran-
gan berupa cakaran si kakek berbalik dan hampir
menghantam wajahnya sendiri tapi juga membuat Ge-
lombang Tangis Dalam Duka jatuh terjajar lalu tergul-
ing-guling.
Si nenek tertawa lebar. Dia memutar tangannya
yang semakin menghitam setelah itu laksana kilat si
nenek melompat ke arah lawan disertai teriakan me-
lengking. Laki-laki tua itu jadi tercekat begitu melihat
lawan telah berada disampingnya. Lebih kaget lagi ke-
tika melihat kedua tangan si nenek siap melancarkan
pukulan mautnya.
Tak punya pilihan lain, masih dalam keadaan
menelentang ia sambut serangan lawannya. Dua tan-
gan yang diangkat ke udara bergerak secara bersilan-
gan seperti gunting begitu tangan si nenek meluncur
ke bagian dadanya.
Plak!!
Benturan keras terjadi, membuat salah satu
dari serangan yang dilancarkan Si Muka Setan tak
mengenai sasaran, sebaliknya tangannya yang lain
menghantam bagian perut kakek itu, membuat si
orang tua menjerit setinggi langit.
Pakaian hitam di bagian perut si kakek hangus
robek meninggalkan bekas telapak tangan. Asap men-
gepul, bagian perut si kakek hangus gosong menebar-
kan bau sangit daging terbakar. Gelombang Tangis Da-
lam Duka begitu perutnya terkena pukulan lawan su-
dah tak mampu lagi bergerak dari tempatnya. Dia ter-
kapar, mata mendelik seakan tak percaya dengan apa
yang terjadi pada dirinya. Hanya sesaat saja terdengar
suara erangan. Di lain kejab erangannya terputus, ke-
pala terkulai jiwa melayang.
Si Muka Setan tertawa bergelak. Dia memper-
hatikan Gelombang Tangis Dalam Duka sejenak sambil
berkata sinis. "Sepuluh manusia berkepandaian seper-
timu belum tentu sanggup menghadapi aku. Kelak se-
luruh kawan-kawanmu juga akan mengalami nasib
seperti dirimu.!" kata si nenek. Selesai bicara sendiri
dia bukan langsung tinggalkan mayat lawannya. Seba-
liknya mayat si kakek dipanggulnya, kemudian dibawa
pergi entah kemana.
3
Di bawah sebatang pohon besar gadis cantik
berpakaian putih berkembang merah nampak duduk
termenung menekuri pendupaan menyala yang terda-
pat didepannya. Tak jauh di depannya seorang kakek
tua berambut kelabu, berpakaian hitam berkumis teb-
al masih pulas di buai mimpi. Di langit sebelah timur
matahari baru saja munculkan diri dari balik bukit.
Udara di pagi itu terasa dingin sekali, membuat tidur si
kakek kelihatan nyenyak sekali.
Si gadis yang bukan lain adalah Roro Centil
adanya jadi tak sabar menunggu. Dia bangkit berdiri,
melangkah mendekati si kakek. Setengah berjongkok
dia bangunkan orang tua itu.
"Mbah... sudah siang Mbah. Bangun Mbah, kita
harus meneruskan perjalanan.!"
Si kakek yang dibangunkan menggeliat seben-
tar, tangan ditendangnya tapi kejab kemudian kembali
tertidur.
Roro Centil gelengkan kepala. Dia jadi kesal
melihat orang tua ini. Sejak meninggalkan gunung
Sembung yang merupakan tempat tinggal si kakek,
orang tua yang bernama Mbah Petir ini memang selalu
membikin ulah. Ada saja keisengan yang dilakukannya
hingga membuat perjalanan mereka jadi sering tertun-
da.
"Mbah bangun! Pendupaanmu digondol mal-
ing!" teriak gadis itu dengan suara keras dekat telinga
si kakek. Teriakan yang keras membuat Mbah Petir
tersentak kaget.
"Hah, apa? Jeroanku di gondol maling?" sentak
si Mbah. Serentak dia bangkit dan duduk. Rasa kejut
membuat si kakek terkentut-kentut. Roro Centil me-
lompat mundur sambil tekab hidungnya karena kentut
Mbah Petir ternyata bau pete.
"Orang tua sialan. Kentut tidak bilang-bilang,
mana bau pete lagi!" si gadis mengomel panjang pen-
dek.
Si Mbah yang pendengarannya kadang tergang-
gu nampak kalang kabut. Bangkit berdiri matanya jela-
latan memandang kesegenap penjuru arah. Aneh, ke-
mudian tersenyum. Dia mengusap perutnya sendiri.
"Roro kau suka menggodaku. Jeroanku masih ada dis-
ini kau bilang di gondol maling!" ucap Mbah Petir sam-
bil menarik nafas lega.
"Orang tua tuli. Orang bilang pendupaan dia bi-
lang jeroan." Roro Centil menggerutu. Di depan sana si
kakek melanjutkan ucapannya yang terputus tadi."
"Roro kau jangan kelewat sering membuat aku
kaget. Aku bisa terkencing-kencing sambil kentut. Un-
tung tadi aku tidak seberapa kaget, jadi cuma kentut
saja. Coba kalau tidak, repot aku jadinya."
"Mbah Petir dari pada bicara tak karuan lebih
baik Mbah junjung saja pendupaan itu. Beberapa hari
yang lalu kulihat kalau Mbah berada dekat pendupaan
pendengaran Mbah jadi normal. Dari pada aku harus
teriak melulu, lama-lama capek aku!" kata si gadis
kesal. Tanpa menunggu jawaban Mbah Petir, Roro
Centil langsung angkat pendupaan berisi bara menyala
dan segera meletakkannya diatas kepala Mbah Petir.
Orang tua yang sering merasa ketakutan bila menden-
gar suara petir sejenak lamanya nampak kebingungan.
Tapi kenyataan yang terjadi kemudian memang aneh.
Karena begitu pendupaan menyala itu diletakkan di
atas kepala Mbah Petir telinga orang tua ini jadi terang
dan pendengarannya jadi normal kembali.
"Walah kulit kepalaku rasanya seperti hangus
terbakar, Roro. Tapi aneh pendengaranku jadi tajam
kembali."
"Biar kepalamu hangus melepuh tidak mengapa
yang penting kau bisa mendengar suaraku. Dengan
begitu aku tidak teriak melulu bila bicara denganmu!"
kata si gadis.
Mbah Petir tersenyum. "Sekarang apa yang
akan kita lakukan?" Mbah Petir ajukan pertanyaan
sambil menyandarkan punggungnya di batang pohon,
sementara asap tebal mengepul dari atas pendupaan
yang berada di atas kepalanya.
"Mbah ini bagaimana? Engkau yang menjadi
penunjuk jalan. Kau yang menentukan arah langkah.
Mengapa sekarang harus bertanya padaku? Kalau be-
gitu percuma saja kau dipanggil Dukun Sakti!" gerutu
si gadis.
Mbah Petir yang pendengarannya jadi normal
akibat pengaruh pendupaan yang diletakkan diatas
kepala enak saja menyahut. "Yang mengatakan aku ini
dukun sakti kan orang-orang gila yang berobat kepa-
daku. Aku sendiri tidak sakti-sakti amat."
"Baiklah, kalau begitu sekarang kau kerahkan
kesaktianmu untuk melihat dimana sebenarnya nenek
Muka Setan itu berada!"
Mbah Petir manggut-manggut. Dia pejamkan
kedua matanya, dua tangan disilangkan ke depan da-
da. Kumisnya yang tebal bergerak, mulut komat-kamit
membaca mantra. Tak berselang lama terdengar suara
Mbah petir yang seperti orang mengigau. "Wes suwi ora
mangan pete. Sudah lama nggak makan pete. Tidak
juga tempe apalagi dele, Heee... wewe, genderuwo,
memedi, jembalang. Aku Mbah Petir ingin melihat se-
suatu yang tersembunyi di balik kasatnya mata raha-
sia dari orang yang kucari dimana kini gerangan ber-
sembunyi!" kata si kakek. Roro Centil yang sangat per-
caya dengan kemampuan si kakek dalam dunia perdu-
kunan memperhatikan segala ucapan bahkan sampai
pada gerak gerik orang tua itu.
Di depannya sana tubuh Mbah Petir tiba-tiba
bergetar, seiring dengan itu pula pohon yang dijadikan
tempat bersandar berguncang keras. Setelah itu ter-
dengar suara kentut si kakek bertalu-talu. Kalang ka-
but Roro Centil melompat menjauh hindari berondon-
gan kentut Mbah Petir yang menebar bau pete me-
nyengat.
"Sialan... sialan. Tidak biasanya si Mbah sam-
pai terkentut-kentut bila memusatkan perhatian dan
menyambung tali rasa dengan dunia gaib. Tapi kali ini
agaknya ada sesuatu yang hebat dilihat orang tua ini!"
sambil mendekap hidungnya si gadis berkata.
Pada kesempatan itu Mbah Petir berucap. "Aku
melihat seorang pemuda gondrong, bertelanjang da-
da...!"
Roro Centil yang mengenal orang yang dis-
ebutkan langsung memotong ucapan si kakek. "Mbah,
kau keliru melihat. Orang yang baru kau sebutkan itu
adalah Pendekar Sakti Gento Guyon. Aku mengenal-
nya, dia sama sekali bukan orang jahat." menerangkan
si gadis. Dalam kesempatan itu Roro Centil jadi terin-
gat pada gadis yang bersama Gento. Sehingga secara
iseng namun hati berdebar dia ajukan pertanyaan.
"Mbah, apakah si gondrong bersama-sama seorang ga-
dis cantik?"
Mulut si kakek komat-kamit lagi, masih dengan
mata terpejam dia menjawab. "Kalau gadis yang kau
maksudkan itu berkumis, berjengggot tebal berpakaian
kuning-kuning penuh tambalan dan berambut klimis.
Gadis itu saat ini bersama si gondrong menuju ke sua-
tu tempat!"
Roro Centil berjingkrak kaget, matanya membu-
lat besar, mulut ternganga wajah merah padam. "Mbah
kau melantur. Mana ada perempuan berjenggot dan
berkumis. Hanya satu manusia di rimba persilatan ini
dengan ciri-ciri sebagaimana yang kau sebutkan. Dia
adalah Raja Pengemis! Sudahlah Mbah jangan melan-
tur seperti itu. Sekarang coba cari dimana bersembu-
nyinya Si Muka Setan?"
Si kakek diam tak menjawab, kembali dia ke-
rahkan segala kekuatan yang dia miliki, hingga pen-
dupaan diatas kepalanya bergetar hebat, sedangkan
bara api yang berada didalam pendupaan nampak me-
nyala berkobar, membuat si kakek golang golengkan
kepalanya yang kepanasan. "Roro, aku hanya melihat
telaga tak jauh dari sini. Aku juga melihat mayat se-
seorang. Aku melihat bayangan orang berlari, tapi tak
dapat kuketahui laki-laki atau perempuan. Ada satu
kekuatan yang melindungi dirinya hingga aku tak da-
pat meneliti siapa bayangan itu. "jelas si kakek.
"Ada telaga tak jauh dari sini, tapi ada mayat
pula. Kemudian ada orang berlari? Apakah ketiga hal
yang disebutkan Mbah Petir ada hubungannya satu
sama lain? Aneh, mayat itu mayat siapa. Mengapa
muncul dalam pandangan mata batin orang tua ini" fi-
kir Roro Centil. Merasa bingung gadis ini gelengkan
kepala. Baru saja Roro Centil hendak ajukan perta-
nyaan. Mendadak sontak kesunyian ditempat itu dipe-
cahkan oleh suara gelak tawa seseorang.
Mbah Petir yang sedang memusatkan perhatian
dalam tali sambung rasa dengan dunia gaib jadi terke-
jut. Konsentrasinya buyar, sedangkan semua apa yang
dilihatnya lenyap dalam seketika.
"Pokrol, siapa itu yang tertawa?!" bentak Mbah
Petir yang sempat terkencing dan terkentut-kentut
mendengar suara tawa orang.
"Bukan aku Mbah. Mungkin setan kobakan
yang tertawa!" sahut Roro Centil sambil palingkan wa-
jah memandang ke arah mana suara tawa tadi terden-
gar. Belum lagi lenyap rasa heran dihati si gadis, dari
arah sebelah kanannya dia melihat satu bayangan biru
berkelebat ke arahnya. Di lain kejab di depannya ber-
diri tegak seorang gadis berjubah biru berdandan me-
nor. Gadis ini dengan malu-malu sambil terus tertawa
tutupi wajahnya dengan ujung jubah yang menjuntai
di bagian dada.
"Jubah biru, muka celemongan tak karuan.
Memandangku dengan malu-malu. Agaknya gadis ini
manusia yang tidak mempunyai kewarasan." memba-
tin Roro Centil dalam hati. Sebaliknya Mbah Petir yang
dibuat marah mendengar suara tawa gadis jubah biru
ini ketika membuka mata dan memandang ke depan
jadi melengak kaget. Dia rasa-rasa kenal dengan gadis
berjubah biru. Dicobanya untuk mengingat, sayang
otaknya seperti buntu.
"Hik hik hik. Mbah Pete.... Mbah Pete...? Mujur
sekali aku dapat bertemu dengan dirimu hari ini,
Mbah." kata si gadis yang bukan lain adalah Puteri
pemalu, gadis sakit ingatan murid Si Muka Setan. Se-
jenak Puteri Pemalu memandang ke arah si kakek, lalu
beralih pada gadis yang berada di depan kakek itu.
Mulut usilnya berucap. "Mbah Pete... gadis ini apamu-
kah? Pembantu, istri atau kekasihmu? Hik hik hik!"
Dikatakan istri Mbah Petir, Roro Centil jadi me-
radang. Dengan sengit Roro Centil membentak. "Gadis
gila! Melihat tampangmu membuat aku jadi muak. Per-
tama kau begitu kurang ajar memanggil sahabatku ini
dengan Mbah Pete. Kedua beraninya kau mengatakan
aku ini istri sahabatku! Siapakah dirimu ini gadis gi-
la?"
Puteri Pemalu tertawa panjang. Ucapan Roro
Centil sama sekali tidak membuatnya menjadi marah.
Malah dengan tenang dia menyahuti. "Kalau kau tidak
merasa jadi istrinya mengapa harus, marah. Aku me-
manggil orang tua penjunjung dupa itu dengan panggi-
lan Mbah Pete karena memang betul dia paling doyan
makan pete. Begitu keranjingannya dia akan pete
sampai keringat bau pete, mulut bau pete bahkan
sampai kentutnyapun bau pete. Hik hik hik. Bukankah
begitu Mbah?"
Bukannya marah Mbah Petir malah ikutan ter-
tawa, membuat Roro Centil jadi heran sambil meman
dang pada Mbah Petir dengan mata mendelik. Masih
dengan tertawa si kakek terus berusaha mengingat.
Mbah Petir kemudian tepuk keningnya sendiri. Pada
Roro Centil dia berbisik. "Tak usah diambil hati, aku
ingat siapa dia. Gadis ini manusia sinting. Kalau lagi
waras bicaranya bisa lempang, tapi kalau gilanya lagi
angot bicaranya suka melantur." selesai bicara begitu
pada Roro Centil dia kemudian beralih pada gadis ber-
jubah biru. Pada gadis ini dia mendamprat. "Kau...
hem, beberapa tahun yang lalu kau pernah mengerjai
aku. Waktu itu aku sedang mandi di sungai. Begitu se-
lesai celana dan pakaianku raib, bukan itu saja. Cela-
na kolorku bahkan amblas! Gadis gila sialan.... kau...!"
Mbah Petir tidak meneruskan ucapannya. Mungkin dia
malu besar, buktinya wajah si kakek bersemu merah.
Puteri Pemalu kembali tergelak. "Biar aku yang
lanjutkan ceritanya itu Mbah Pete," kata si jubah biru
sambil melirik ke arah Roro Centil. "Kemudian Mbah,
kau melihat bajumu melayang dari atas pohon, setelah
itu celana panjang dan juga celana kolormu yang bau.
Bau pete. Aku juga masih ingat Mbah. Waktu itu kau
tak berani keluar dari dalam sungai. Kau berendam
didalam air, sampai kulit dan perabotanmu jadi keri-
put kedinginan. Kau jadi tak tahan. Sungai kau ken-
cingi, kentutmu meledak seperti bunyi petasan. Keeso-
kan harinya di bagian hilir sungai kulihat ikan-ikan
mati terkapar. Ikan-ikan itu mati karena air kencing
dan kentutmu yang bau. Aku sempat memeriksa air
sungai itu. Tanganku yang kumasukkan ke dalam air
sungai, baunya tujuh hari tak mau hilang Mbah.
Sungguh luar biasa, kentut dan kencingmu ternyata
sangat beracun! Hik hik hik."
Merasa ditelanjangi di depan Roro Centil, wajah
Mbah Petir memang sempat memerah, tapi dia kemu-
dian malah tertawa tergelak-gelak. Sambil terkekeh
mulutnya menyeletuk. "Mengapa tidak kau minum saja
air sungai itu sekalian. Kalau kau lakukan aku yakin
kau juga ikut mabok kebauan pete. Tapi kurasa me-
mang itu satu-satunya obat untuk menyembuhkan
penyakit gilamu. Ha ha ha!"
4
Puteri Pemalu tertawa mengikik mendengar
ucapan Mbah Petir. Malu-malu si gadis turunkan
ujung jubah lebarnya yang dipergunakan untuk menu-
tupi bagian wajah, lalu berucap. "Mbah Pete sebenar-
nya aku tidak gila. Orang saja yang mengatakan aku
ini orang gila, padahal aku cuma sinting sedikit. Hik
hik hik!"
"Aku tidak akan heran, orang yang gilanya me-
lebihi takaran memang suka begitu. Mengaku diri pal-
ing waras dan paling benar." ucap Roro Centil disertai
senyum mengejek.
Puteri Pemalu pandangi Roro Centil sekilas. Se-
telah itu kembali beralih pada Mbah Petir sambil aju-
kan pertanyaan. "Mbah, temanmu itu usil dan ceriwis-
nya seperti dukun beranak. Apakah dia memang du-
kun benaran atau cuma gadungan? Sumpah klenger
jika aku melahirkan kelak tidak mau memanggil dia.
Bisa jadi karena keceriwisannya anak-anak yang mau
keluar masuk lagi ke dalam perut. Hik hik hik!"
Mbah Petir tidak menjawab, tapi ikutan terta-
wa. Roro Centil langsung menyambuti ucapan Puteri
Pemalu. "Gadis jelek, kau bicara soal beranak segala.
Bunting tidak, hamil tidak. Lagipula siapa yang sudi
menjadi suamimu. Dandanan medok, muka celemon-
gan. Setan pun tak kan sudi hidup denganmu!" kata
Roro Centil ketus.
Tawa Puteri Pemalu mendadak lenyap, wajah
gadis itu berubah merah padam. Bola matanya berpu-
tar liar memandang Roro Centil dengan penuh keben-
cian dan amarah.
"Celaka! Dia mau mengamuk, Roro. Kau sih bi-
cara seenakmu sendiri?" sesal si kakek.
"Kalau dia mau marah siapa takutkan dia? Se-
sekali gadis gila ini harus diberi pelajaran agar tidak
bicara seenaknya!" dengus si gadis. Mbah Petir geleng-
kan kepala. "Kau sahabatku, dia juga masih terhitung
teman sendiri." sahut Mbah Petir bingung.
Roro Centil tersenyum sinis. "Rupanya Mbah
sudah ketularan penyakit edannya. Sudah terang dia
mempermalukan dirimu dengan menyembunyikan pa-
kaian disaat dirimu sedang mandi, kau kok malah
mengakuinya sebagai teman. Jika benar seorang te-
man dia tak akan menyusahkan dirimu apalagi mem-
buatmu malu besar!"
Mbah Petir seperti orang linglung anggukkan
kepala. "Kau benar, seorang sahabat pasti tidak
mungkin tega membuat malu temannya. Lalu apa yang
harus kita lakukan?"
"Tenang saja Mbah disitu. Gadis ini biar aku
yang mengurus!" jawab Roro Centil sambil berlaku
waspada.
Di depan sana gadis sakit ingatan agaknya siap
menghantam Roro Centil dengan salah satu pukulan
tangan kosong. Tapi entah mengapa tangan kanan
yang sudah diangkat diatas kepala itu perlahan-lahan
diturunkannya kembali. Seperti orang yang baru ingat
akan sesuatu cepat sekali dia berpaling pada Mbah Pe-
tir.
"Biar, urusanku dengan gadis centil ini kutun-
da dulu." kata si gadis. Dia memandang lurus pada
kakek didepannya. "Mbah Pete.... sekarang aku baru
ingat. Sebenarnya perjalananku kali ini selain mencari
seseorang juga ingin menemui dirimu."
Merasa heran, Mbah Petir ajukan pertanyaan.
"Menemui diriku? Untuk maksud dan tujuan apakah?"
"Mungkin dia hendak mengajakmu pergi pelesi-
ran, Mbah. Siapa tahu kau merupakan laki-laki ida-
man baginya. Bukankah sampai sekarang Mbah masih
bujangan, masih perjaka? Memang kulihat dirimu ma-
sih gagah, wajah tampan." puji Roro Centil perlahan.
Mbah Petir sempat merasa senang mendengar pujian
itu.
Laki-laki mana yang tidak senang mendapat
pujian? Apalagi yang memujinya adalah seorang gadis
cantik. "Tapi Mbah.. ketampananmu itu baru bisa dili-
hat dimalam buta dan oleh perempuan buta pula, na-
mun menurutku lebih baik kau banyak mendekatkan
diri pada Gusti Allah. Karena dalam taksiranku
umurmu paling juga hanya sampai pada beduk magrib
nanti! Hi hi hi!"
Mbah Petir yang tadinya merasa berbunga-
bunga mendapat pujian kini berubah cemberut, men-
damprat. "Kau memang gadis sialan!"
Si kakek kini sambil mesem-mesem meman-
dang ke arah Puteri Pemalu. "Katakan apa kepentin-
ganmu?" Mbah Petir ulangi pertanyaannya.
"Mbah Pete, terus terang aku mau minta tolong
padamu untuk menyembuhkan guruku, kakak Muka
Setan dari kegilaan!"
"Hah...!" Mbah Petir berseru kaget.
"Si Muka Setan masih hidup?!" tanya Roro Cen-
til tercekat. "Gadis gila kau jangan bercanda!"
"Kau yang gila!" Puteri Pemalu balas memaki.
"Guruku Si Muka Setan memang masih hidup. Hanya
sekarang ini dia dalam keadaan terganggu ingatan.
Menurut pengakuannya kepala kakakku itu terbentur
batu ketika bentrok dengan seorang pemuda bergelar
Pendekar Sakti Gento Guyon. Saat ini aku sedang da-
lam perjalanan mencari pemuda itu. Aku akan menye-
ret pemuda itu untuk mendapat hukuman atas dosa
yang dilakukannya!"
Segala yang diucapkan Puteri Pemalu ini tentu
mengejutkan bagi Roro Centil. Baru saja beberapa
waktu yang lalu dia dan Gento berada di Kiara Con-
dong suatu tempat yang dijadikan pertemuan para
pendekar. Tapi ketika mereka sampai disana, mereka
hanya menjumpai mayat-mayat yang berkaparan.
Bahkan di salah satu ruangan rahasia para pendekar
juga beberapa tokoh penting tewas diracun dan ada
pula yang tewas terkena pukulan Telapak Beracun.
"Bagaimana gadis sakit ingatan ini mengaku
gurunya masih hidup, bahkan berani melempar fitnah
keji Gento yang telah menciderai Si Muka Setan?"
"Gadis gila Puteri Pemalu. Agaknya penyakit gi-
lamu semakin bertambah parah. Aku sendiri telah me-
lihat pusara nenek Muka Setan di Kiara Condong. Ba-
gaimana sekarang kau mengatakan nenek itu masih
hidup?"
"Hik hik hik. Gadis gendeng... aku bicara yang
sebenarnya. Beberapa hari yang lalu aku bertemu den-
gan kakak Muka Setan. Dia berada di dalam Telaga
Tengkorak Hantu, tinggal disana dan baru saja meno-
dai seorang gadis. Hal yang tak mungkin dilakukannya
jika otaknya waras!" sahut Puteri Pemalu sengit.
Bukan hanya Roro Centil saja yang dibuat ter-
perangah, Mbah Petir pun tak kalah kagetnya. Roro
Centil jadi ingat waktu Mbah Petir mengadakan sam-
bung rasa dengan dunia gaib, dia mengatakan melihat
sebuah telaga. Dia juga mengaku melihat ada satu
bayangan berkelebat, tak dapat dipastikan siapa
bayangan itu adanya. Yang jelas siapapun orang itu
pasti dia memiliki ilmu yang sangat tinggi yang sang-
gup menangkal pandangan gaib Mbah Petir.
"Mbah, bagaimana pendapatmu tentang uca-
pannya tadi?" tanya Roro Centil melalui ilmu mengi-
rimkan suara.
"Namanya juga orang gila, mengapa harus di-
percaya? Tapi kurasa dia tidak berdusta dalam hal ini."
jawab Mbah Petir.
"Maksudmu dia telah bertemu dengan Muka
Setan?"
"Benar. Tapi Si Muka Setan yang palsu, atau
orang yang sengaja menyaru sebagai Muka Setan un-
tuk suatu tujuan dan kepentingan tertentu."
"Apa yang kalian bicarakan? Nampaknya kalian
tak percaya bahwa aku benar-benar telah bertemu
dengan guruku?" tanya Puteri Pemalu merasa tidak
enak hati.
Mbah Petir menyahuti. "Kami tentu saja per-
caya. Kau mengatakan Muka Setan telah berbuat keji
pada seorang gadis?"
"Benar. Itu karena otaknya sakit." jawab Puteri
Pemalu.
"Orang yang sama. Dia juga hampir menodai
Sriwidari. Berarti siapa pun adanya Si Muka Setan
yang ditemui gadis itu, pastilah dia orangnya yang te-
lah membunuh para tokoh di tempat pertemuan itu
bersama Perampas Benak Kepala!" fikir Roro Centil.
"Kalau Mbah Pete percaya. Sebaiknya Mbah ce-
pat pergi ke Telaga Tengkorak Hantu. Aku mohon kau
mau menolongnya. Bantulah dia, sembuhkan otaknya
yang sakit, hingga dia mendapatkan kewarasannya
kembali!" berkata Puteri Pemalu penuh rasa hormat.
"Kau sendiri hendak kemana?" tanya Mbah Pe-
tir.
"Hik hik hik. Aku tentu saja mau mencari pe
muda gondrong bernama Gento yang telah menciderai
guruku!" sahut si gadis. Dengan malu-malu dia melan-
jutkan ucapannya, "Selain itu tentu saja aku akan
mencari kekasihku."
Sambil tersenyum simpul Roro Centil bertanya.
"Siapa kekasihmu itu? Aku tak percaya kau punya ke-
kasih!"
Penuh semangat gadis sakit ingatan ini menja-
wab. "Kekasihku ciri-cirinya sama dengan Gento
Guyon. Namanya Bagus Awan Peteng... aih malu aku
telah membuka rahasiaku sendiri. Hik hik hik!"
Roro Centil kerutkan keningnya. Belum lagi dia
sempat ajukan pertanyaan Puteri Pemalu telah berke-
lebat pergi tinggalkan tempat itu.
Kedua orang ini saling pandang.
"Mbah, menurutmu apakah ada orang dengan
nama seperti itu?"
Mbah Petir tersenyum. "Bagus Awan Peteng...
Bagus Awan Peteng." Si kakek menyebut nama itu be-
rulang kali. Tiba-tiba dia tepuk keningnya sambil ter-
tawa tergelak-gelak. "Dia kena tepu, dia telah di tepu.
Maksudku dia telah ditipu oleh pemuda yang dite-
muinya."
"Maksudmu Mbah?" tanya si gadis tak menger-
ti.
"Mana ada orang dengan nama seperti itu. Ba-
gus Awan Peteng bukankah artinya sama dengan Ba-
gus Siang Malam. Dasar gadis gila, bukan mustahil
pemuda itu adalah Gento Guyon sahabatmu,"
"Jadi... jadi pemuda edan itu kekasihnya gadis
gila tadi?" desis Roro Centil. Mbah Petir menangkap
adanya rasa cemburu dalam nada suara si gadis, hing-
ga sambil tersenyum dia berucap. "Bisa jadi karena
sahabatmu Gento mengetahui dia gadis gila, sehingga
Gento memalsukan namanya. Wah urusan bisa ru
nyam jika mereka bertemu nanti. Ha ha ha!"
Kata-kata yang diucapkan Mbah Petir paling ti-
dak menyejukkan perasaan si gadis.
"Mbah, sebaiknya sekarang kita langsung saja
menuju telaga itu. Aku ingin cepat mengetahui sekali-
gus meringkus Si Muka Setan. Jika sudah tertangkap
nanti baru bisa ketahui sebenarnya dia perempuan
atau laki-laki yang menyembunyikan jati dirinya diba-
lik penyamaran!"
Mbah Petir cepat memotong ucapan si gadis.
"Tidak perlu gegabah, Roro. Kau harus ingat sudah
dua kali aku mencoba untuk mengetahui siapa adanya
orang yang bersembunyi dibalik penyamaran dalam
rupa Si Muka Setan. Dua kali pula aku mengalami ke-
gagalan. Jika ilmunya tidak tinggi sekali, hal itu tak
mungkin bisa dilakukannya. Selain itu kita juga harus
ingat, menurutmu apakah mungkin manusia dapat hi-
dup dan tinggal didasar telaga sebagai mana yang di-
katakan oleh Puteri Pemalu tadi?"
"Mungkin gadis gila itu bicara ngawur, Mbah
Petir?"
"Terkadang dia memang begitu. Tapi apa yang
dikatakannya tadi sama sekali bukan ngawur. Dia bi-
cara tentang sebuah kebenaran." ujar Mbah Petir. Ke-
mudian tanpa menunggu tanggapan gadis didepannya
si kakek melanjutkan. "Dia beruntung, nenek Muka
Setan tidak membunuh atau menodainya. Dia cuma
diperalat untuk melakukan suatu tugas....!"
"Mengingat gadis tadi disuruh menangkap Gen-
to Guyon. Apakah mungkin nenek itu mempunyai sua-
tu dendam pada Gento?"
"Masih belum dapat kupastikan. Hanya dengan
membongkar kedok penyamarannya baru bisa kita ke-
tahui siapa dirinya? Boleh jadi dia memang musuh be-
buyutan Gento Guyon. Buktinya dia berani memfitnah
pemuda gendeng itu sebagai orang yang telah melu-
kainya. Sehingga Puteri Pemalu mau saja disuruh
mengerjakan perintahnya!" ujar si kakek.
"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan,
Mbah?" tanya Roro Centil.
"Tidak ada pilihan lain. Kita memang harus ke
telaga itu secepatnya. Seperti yang kukatakan tadi, ki-
ta harus berlaku waspada." pesan si kakek. Roro Centil
anggukkan kepala. Dia kemudian mengikuti Mbah Pe-
tir yang sudah berjalan didepannya.
5
Si gondrong bertelanjang dada itu berdiri tegak
di depan gundukan tanah yang masih memerah. Tak
jauh di sampingnya persis di bagian kepala makam
seorang laki-laki setengah baya berambut panjang hi-
tam berpakaian serba kuning diwarnai tambalan du-
duk bersimpuh sambil mengguratkan nama orang
yang dikubur dengan menggunakan kuku jarinya. Ba-
tu besar yang telah diberi nama lalu diletakkan diatas
kepala makam.
Masih dengan tanpa kata si orang tua beram-
but klimis diam disitu. Si gondrong menarik nafas
pendek. Sepasang matanya yang terasa hangat berke-
dap-kedip. Dua air mata bergulir, jatuh melewati pi-
pinya. Mulutnya bergetar, kemudian terdengar sua-
ranya yang parau. "Sriwidari. Kau telah mengorbankan
nyawamu hanya untuk membantuku. Perampas Benak
Kepala telah ku bunuh untuk menebus dosa-dosanya.
Aku yakin segalanya masih belum berakhir. Masih ada
orang yang bersembunyi dibalik serangkaian misteri
yang disuguhkannya padaku. Tetapi.... kau tak usah
khawatir, aku akan terus mencari siapa sebenarnya
pelaku dari serangkaian peristiwa keji ini. Nenek Muka
Setan!" desis si gondrong yang bukan lain adalah Pen-
dekar Sakti Gento Guyon. "Muka Setan kurasa pe-
nampilan dan kedoknya hanya palsu belaka. Aku tahu
persis Si Muka Setan telah mati. Aku melihat pusa-
ranya di Kiara Condong!" geram sang pendekar sambil
kepalkan dua tinjunya.
Seperti telah dituturkan dalam episode sebe-
lumnya. Pendekar Sakti Gento Guyon terlibat perkela-
hian sengit dengan tokoh penyedot otak yang dikenal
dengan sebutan Perampas Benak Kepala. Tokoh hitam
itu untuk mengecoh Gento menyerang Sriwidari dan
Raja Pengemis yang saat itu berada di belakang Gento
dengan sinar biru yang memancar dari kepalanya. Se-
bagaimana telah diketahui sinar maut yang keluar dari
kepala Perampas Benak Kepala sangat berbahaya se-
kali. Karena selain sanggup menjebol batok kepala ju-
ga dapat memindahkan otak orang kedalam kepalanya
hanya dalam waktu yang sangat singkat. Gento sendiri
tak sempat menyelamatkan Sriwidari, karena pada
saat itu dirinya juga mendapat serangan enam sinar
maut. Jika Raja Pengemis lolos dari maut akibat cer-
min sakti batu segitiga di tangan, sebaliknya Sriwidari
mengalami nasib malang.
Pedang yang dipergunakan untuk menangkis
hantaman sinar biru jadi leleh. Sinar maut itu kemu-
dian menghantam bagian atas ubun-ubunnya. Gadis
itu terkapar dengan luka mengerikan di bagian kepala.
Gento sendiri akhirnya dengan menggunakan
kalung Batu Raja Langit. Yaitu batu sakti pemberian
Manusia Seribu Tahun berhasil menghantam titik ke-
lemahan Perampas Benak Kepala. Hingga dari kepala
lawannya yang terluka menyembur cairan otak yang
bukan kepalang banyaknya.
"Gento, kesedihan dan kemarahan tidak pernah
menyelesaikan satu persoalan apapun yang kau hada-
pi. Agaknya gadis ini mempunyai kesan tersendiri di
hatimu." Satu suara seakan mengingatkan Gento bah-
wa hidup manusia didunia ini sesungguhnya adalah
fana adanya. Dan orang yang baru bicara tadi bukan
lain adalah laki-laki berbaju kuning Raja Pengemis
Tangan Akherat.
"Kau benar paman, kesanku kepadanya semata
dalam pandanganku Sriwidari adalah gadis yang baik.
Rasanya tidak pantas baginya untuk mati muda!" sa-
hut Gento sambil duduk dan menyandarkan pung-
gungnya di sebatang pohon yang terletak tidak begitu
jauh dari pusara.
"Ingat Gento, bagi seorang pendekar seperti di-
rimu rasanya tidak patut pula bagiku untuk mengata-
kan bahwa sesungguhnya umur manusia, rejeki jodoh
dan maut sudah ditetapkan oleh Gusti Allah. Tidak
bersyukur dan tidak mau menerima kenyataan yang
telah digariskan sang takdir. Bukankah sama artinya
dengan menentang kehendak Gusti Allah?!"
"Ya, aku tahu hal itu paman. Aku bukannya
menyesali apa yang telah terjadi. Tapi jika saja Sriwi-
dari tidak bersamaku saat itu, mungkin dia tidak akan
mengalami kejadian menggenaskan seperti ini!"
"Kau tidak boleh menyesali dirimu sendiri.
Seandainya aku juga terbunuh di tangan Perampas
Benak Kepala. Apakan kau juga akan menyalahkan di-
rimu lagi?" Gento gelengkan kepala.
"Tentu saja tidak paman. Pertama kau sudah
berada ditempat itu sebelum aku dan Sriwidari datang.
Malah kulihat kau kalang kabut, jika kemudian aku
datang membantu anggap saja ini satu keberuntungan
bagimu. Tapi seandainya yang terjadi lain. Misalnya
kau terbunuh waktu itu, paling aku cuma meman-
jatkan doa. Untuk keselamatan diriku!"
"Dan kau pasti tidak mau berdoa untukku bu-
kan?" kata Raja Pengemis sambil delikkan matanya.
Murid kakek gendut Gentong Ketawa ini tertawa men-
gekeh. "Tentu saja aku mau. Cuma aku pasti bingung
dan malaikat pengantar doa juga ikut bingung, kema-
na dia akan mengantarkan doaku itu. Ke surga atau
neraka? Melihat potongan dan tongkronganmu, aku ti-
dak yakin kau bisa masuk surga. Paling tidak kau ha-
rus dimandikan dengan api dulu di neraka jahanam.
Ha ha ha!"
"Pemuda edan kurang ajar. Apa kau mengira
dirimu bisa masuk sorga heh!" dengus Raja Pengemis.
Tawa Gento semakin bertambah keras menga-
kak. "Kalau paman bertanya tentang diriku, jelas aku
ragu menjawabnya. Sebab yang ku tahu kakek
moyangku tidak meninggalkan warisan di sana. Biar
diemperannya sekalipun mungkin tidak bisa. Kesala-
hanku banyak, dosaku juga menumpuk. Bagaimana
orang banyak dosa bisa masuk sorga. Jadi kurang le-
bih bisa mencium bau sorganya saja aku sudah se-
nang sekali. Ha ha ha!"
"Dasar sialan." damprat Raja Pengemis. Walau
dia bicara begitu, namun diam-diam dia merasa se-
nang bersahabat dengan Gento. Di matanya Gento se-
lain konyol, agak urakan tapi dia adalah pemuda jujur
dan polos disamping juga suka bicara apa adanya.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" ber-
tanya Raja Pengemis setelah berdiam diri sejenak la-
manya.
"Paman adalah seorang raja, walau cuma Raja
Pengemis. Bagaimana jika paman mengajari aku ten-
tang bagaimana cara mengemis yang paling baik?" Ra-
ja Pengemis mendelik. "Dalam keadaan seperti ini ma-
sihkah kau mau berlaku kurang ajar?"
"Hemm...!" Gento menggumam kemudian me
nyeka wajahnya. Setelah itu baru berucap. "Kita me-
mang harus mencari tahu dimana beradanya Si Muka
Setan. Aku yakin Muka Setan yang sebenarnya me-
mang telah tiada. Jadi sekarang yang gentayangan
adalah nenek Muka Setan yang palsu. Atau orang yang
berkedok sebagai nenek Muka Setan?"
"Bisa jadi dia ibu moyangnya Si Muka Setan."
sahut Raja Pengemis.
Gento gelengkan kepala.
"Aku jadi ingat dengan seseorang. Manusia se-
gala keji sekaligus musuh besarku. Namanya Panji
Anom Penggetar Jagad murid kakek sialan Begawan
Panji Kwalat!" berkata sang pendekar dengan suara
perlahan.
Raja Pengemis terlonjak kaget mendengar nama
yang disebutkan Gento. Dengan mata terbelalak lebar
dia bertanya. "Panji Anom, nama itu pernah kudengar.
Jadi dia murid Begawan Panji Kwalat? Begawan edan
yang tinggal di hutan Banyubiru?"
"Benar paman."
"Manusia yang satu itu bukan saja sangat ber-
bahaya karena memiliki ilmu Sabda Alam. Dengan il-
munya itu orang dapat dibunuhnya hanya dengan me-
lalui ucapan. Disamping itu dia juga mempunyai ilmu
kesaktian yang lain. Konon kudengar lagi, mungkin dia
sudah mati! Seandainya dia masih hidup dimasa de-
pan kau akan mengalami berbagai macam rintangan
Gento. Sebab jika mereka berdua telah bersatu, apalagi
jika mereka menggabungkan ilmu kemudian diturun-
kannya pada muridnya aku tak dapat membayangkan
betapa besar malapetaka yang harus kau singkirkan."
"Panji Anom sendiri sebenarnya orang yang
berbahaya. Bukan hanya ilmu kepandaiannya saja
yang tinggi. Disamping itu Panji Anom sangat licik,
memiliki berbagai muslihat juga segudang kekejian
lainnya" kata Gento. Dia kejadian menceritakan perte-
muannya dengan Panji Anom hingga pemuda itu ak-
hirnya terkena hantaman senjata Bintang Penebar
Bencana. Untuk lebih jelasnya (silahkan anda ikuti ep-
isode Bidadari Biru).
"Aneh, walaupun waktu itu dia terluka parah.
Namun beberapa waktu yang lalu dia muncul di se-
buah telaga. Panji Anom melukai Sepasang Dewa Ber-
wajah Ganda. Beruntung dua manusia cacat itu mem-
punyai ilmu bernafas dalam air. Kalau tidak mungkin
mereka sudah tewas!" kata Gento.
Raja Pengemis merasa terkesan mendengar pe-
nuturan Gento, juga merasa kagum dengan ilmu ke-
pandaian serta kesaktian yang dimilikinya. Masih pe-
nasaran Raja Pengemis ajukan pertanyaan. "Setelah
kejadian di telaga itu, apakah kau mendengar sepak
terjangnya selanjutnya?"
"Itulah yang membuat aku heran. Setelah keja-
dian itu aku tak pernah mendengar kabar beritanya.
Justeru yang sering muncul adalah Si Muka Setan.
Padahal nenek tua itu sesungguhnya telah berkubur di
Kiara Condong." kata Gento lagi.
Raja Pengemis terdiam sejenak, otaknya berfi-
kir. "Kau telah mengutus si picak dan si kaki buntung.
Menurut pengakuanmu kedua orang itu saat ini se-
dang menuju ke Kiara Condong untuk membongkar
pusara Si Muka Setan. Hanya dengan melihat mayat-
nya baru kita dapat memastikan Si Muka Setankah
yang terkubur disana atau orang lain."
"Kau benar, paman. Tapi mereka sampai seka-
rang tidak kembali menemuiku. Sampai disini aku ber-
fikir bukan mustahil telah terjadi sesuatu yang tak di-
inginkan pada mereka?"
"Maksudmu?"
"Mengingat yang kuhadapi sekarang ini adalah
merupakan persoalan besar, aku jadi takut mereka
malah terbunuh di tengah jalan!" ujar murid si gendut
Gentong Ketawa.
"Sudahlah, jangan terlalu kau risaukan. Jika
mereka terbunuh, anggap saja semua ini terjadi atas
kehendak takdir." tenang saja Raja Pengemis menim-
pali.
Gento gelengkan kepala. "Kau ini manusia aneh
paman. Terlalu menggampangkan nyawa orang dan
terlalu menganggap remeh persoalan."
"Ha ha ha. Kau pemuda edan, tapi terkadang
penuh keperdulian. Aku ingin bertanya apakah kau
pernah bertemu dengan manusia pitak?" tanya Raja
Pengemis masih dengan tertawa-tawa.
Kedua alis mata Gento terangkat naik, berkerut
lalu gelengkan kepala. "Aku tidak pernah bertemu atau
mengenal Manusia Pitak. Mendengar namanya saja ba-
ru kali ini. Apakah dia bangsanya manusia atau turu-
nan memedi?" tanya Gento.
"Dia masih turunan manusia, wataknya aneh.
Kelak jika bertemu dengan orang itu kau akan menda-
pat pelajaran baru bagaimana caranya dia menghadapi
hidup ini!"
"Kalau begitu sebaiknya sekarang kita lan-
jutkan perjalanan sambil menyirap kabar apakah sa-
habatku Roro Centil telah kembali dari menemui Mbah
dukun atau malah berguru pada dukun itu."
"Eh, sahabatku. Ternyata kau begitu banyak
memiliki teman wanita. Apakah temanmu yang satu ini
hanya sekedar teman atau kekasih?" tanya Raja Pen-
gemis lalu kedipkan sebelah matanya.
"Orang tua apa maksudmu?" tanya Gento jadi
salah tingkah.
"Nah-nah, kulihat sudah. Gadis yang kau se-
butkan pasti bukan hanya sekedar teman, dia pasti
kekasihmu."
"Bagaimana kau bisa berangggapan begitu?"
"Kulihat wajahmu merah, matamu jadi mengke-
lerep dan begitu bersemangat. Ha ha ha."
"Ha ha ha. Paman bisa saja. Terus terang
orangnya cantik, sayang ceriwis. Aku suka berteman
padanya dia juga begitu. Sedangkan untuk urusan cin-
ta sebaiknya kuserahkan saja pada Mbah Dukun. Ha
ha ha!" sahut Gento seenaknya.
"Bagaimana jika Mbah Dukunnya malah jatuh
cinta pada Roro Centil?" tanya Raja Pengemis disela-
sela tawanya.
"Gampang saja. Aku yang jadi juru nikahnya,
kau menjadi saksinya. Roro Centil pasti akan kuka-
winkan melawan dukun itu. Ha ha ha!"
Kedua orang ini sejenak larut dalam tawa. Un-
tuk sesaat mereka jadi lupa pada persoalan yang mereka hadapi.
6
Tawa Gento dan Raja Pengemis seketika terhen-
ti begitu terdengar suara tawa lain yang disertai berke-
lebatnya satu sosok serba biru ke arah mereka. Tak
berselang lama di depan Gento dan sahabatnya berdiri
tegak seorang gadis cantik berdandan menor memakai
jubah kedodoran. Jika Raja Pengemis merasa heran
melihat kehadiran gadis itu, sebaliknya Gento seman-
gatnya seperti terbang meninggalkan dirinya. Muka
pucat, mata terbelalak dan mulut ternganga lebar.
"Gadis sakit ingatan ini bagaimana bisa muncul
disini? Waduh, celaka aku!" batin Gento ketakutan se-
kali.
"Gento, ada apa dengan dirimu? Mengapa wa
jahmu mendadak pucat begitu rupa?" tanya Raja Pen-
gemis.
"Eh, anu...gawat. Urusan bisa gawat lebih baik
kita minggat dari sini secepatnya!" Gento berbisik.
"Mengapa harus pergi? Apakah kau merasa ga-
dis ini terlalu cakep untukmu?" Belum lagi pertanyaan
Raja Pengemis tak sempat dijawab oleh sang pendekar.
Gadis berjubah biru ini sambil tutupi wajahnya beru-
cap. "Aih, kakang Bagus Awan Peteng, tidak kusangka
kita bertemu lagi di tempat ini. Oh kakangku, Keka-
sihku, curahan jantungku! Apa yang kau lakukan dis-
ini bersama gembel pengemis itu? Hik hik hik!" Raja
Pengemis dan Gento saling berpandangan. Sama sekali
orang tua itu tidak marah dikatakan dirinya gembel
pengemis. Malah dia gelengkan kepala sambil mencoba
mencari jawab lewat tatap mata pemuda.
"Kau...benarkah namamu Bagus Awan Peteng?
Apa benar kau ini kekasihnya gadis yang baru tercebur
dari comberan itu?" tanya Raja Pengemis.
"Semua itu tidak benar. Gadis ini ngaco, pasti
otaknya miring!" sahut Gento dengan wajah merah pa-
dam.
"Aku tahu kau pasti malu mengakui gadis ini
sebagai kekasihmu karena ada aku. Tidak boleh begitu
Gento, mau jelek mau cantik, entah mulus entah burik
jika kalian sudah saling mencinta tunggu apa lagi?!"
Merasa dipojokkan Gento menjadi kesal. Dia
bangkit berdiri, lalu berucap dengan suara keras. "Kau
dengar Raja Pengemis. Beberapa hari yang lalu aku
memang bertemu dengannya di sebuah kedai. Dari
semula aku sudah menduga otaknya pasti miring. Ter-
nyata dugaanku tidak meleset, dia bukan saja miring
tapi gila sungguhan. Lagipula siapa sudi punya keka-
sih seperti dia. Kalau dia merasa dirinya cakep masih
bagus berjodoh denganmu. Ha ha ha!"
"Kakang Bagus Awan Petang, kau sangat keter-
laluan sekali. Setelah memadu kasih denganku, sete-
lah kita bermesra-mesra, mengapa kau tega bicara se-
perti itu. Kau buang diriku setelah tinggal ampasnya.
Huk huk huk!" kata si gadis sambil menangis tersedu-
sedu.
"Bicara soal ampas, hampir setiap hari orang
membuang ampas. Mengapa harus kau persoalkan.
Jika paman pengemis ini mau berikan saja ampasmu
padanya. Lagipula dia sangat senang dengan segala
sesuatu yang bekas. Dia suka sisa bekas orang! Ha ha
ha."
"Sialan! Kau telah berbuat, mengapa tak berani
bertanggung jawab!" damprat Raja Pengemis.
Gento semakin jengkel saja mendengar ucapan
Raja Pengemis. "Raja Pengemis jangan ngaco. Aku tak
pernah memadu kasih, tak pernah pula bermesra-
mesra dengan hantu kuntilanak ini. Enak saja kau su-
ruh aku bertanggung jawab!" labrak Gento sengit.
"Ha ha ha. Paling tidak kau harus menanggung
biaya hidup dan perongkosan melahirkan!"
"Kampret sontoloyo. Siapa yang bunting, siapa
yang hamil. Menyentuhnya saja tidak bagaimana bisa
bunting. Gila sungguh keterlaluan. Mimpi apa aku se-
malam?!" kata sang pendekar sambil menepuk kening-
nya yang terasa pusing mendadak.
"Anggap saja kau mimpi kejatuhan kuntilanak
ini!" celetuk Raja Pengemis.
Gento sama sekali tidak menanggapi ucapan
Raja Pengemis. Dia memandang tajam ke arah Puteri
Pemalu.
"Hei kau, gendoruwo kesasar siapa namamu?"
tanya Gento sambil tudingkan telunjuknya.
"Hik hik hik. Masa' kakang lupa. Namaku Ayu
Seruni atau Puteri Pemalu. Kakang aku rindu, apakah
kau tidak mau memelukku?!" berkata begitu Puteri
Pemalu kembangkan tangannya.
"Pantas kau telah membuat aku malu hari ini.
Kalau kau mau dipeluk mintalah pada Raja Pengemis,
dia pasti tidak menolak!"
"Gento, tak usah malu-malu. Lakukan saja apa
yang dimintanya. Hitung-hitung aku bisa melihat pe-
mandangan gratis. Ha ha ha!" kata Raja Pengemis.
"Gento? Jadi...jadi kau bukan Bagus Awan Pe-
teng?" tanya Puteri Pemalu dengan suara tercekat. Se-
pasang mata gadis berdandan menor itu mendelik.
Sikap manjanya, suaranya yang lembut ketika
memanggil Gento dengan Bagus Awan Peteng kini le-
nyap sekali. Mendadak wajah Puteri Pemalu berubah
bengis, sedangkan matanya menyorot tajam penuh ke-
bencian.
"Wajahmu sangat mirip sekali dengan Bagus
Awan Peteng. Tidak tahunya kau Gento Guyon. Orang
yang telah membuat celaka guruku Si Muka Setan,
hingga dia jadi kehilangan kewarasannya. Kau telah
membuat satu kesalahan besar. Aku akan meringkus-
mu hidup atau mati!" dengus Puteri Pemalu sinis.
Raja Pengemis dan Gento saling berpandangan.
"Celaka Gento, gadis ini penyakit gilanya kambuh lagi."
kata Raja Pengemis berbisik.
"Kubilang juga apa? Gadis ini bicaranya suka
ngaco. Bertemu dengan Si Muka Setan saja aku belum
pernah. Enak saja dia menuduhku telah mencelakai
nenek itu." sahut sang pendekar. Tapi dia kemudian
segera ingat bahwa Si Muka Setan yang sebenarnya
sudah mati. Jika sekarang dia menyebut-nyebut Si
Muka Setan pasti orang yang dimaksudkannya adalah
Si Muka Setan yang sedang mereka cari.
"Puteri Pemalu. Agaknya kau salah melihat
orang, mungkin kau keliru mengenali gurumu. Keta
huilah, Si Muka Setan telah tewas. Kuburnya kami te-
mukan di Kiara Condong di depan halaman tempat
pertemuan. Kau telah diperdaya oleh musuhmu sendi-
ri, malah tidak tertutup kemungkinan dialah yang te-
lah membunuh gurumu." tegas Gento.
"Kau hendak memutar balikkan kenyataan?
Huh, kau mau menipuku. Kau tak mungkin bisa
memperdaya diriku. Sekarang lebih baik kau menye-
rah untuk kubawa kehadapan guruku!" teriak Puteri
Pemalu sengit.
"Ha ha ha! Dia mengajarmu menjumpai gu-
runya. Ikut saja, siapa tahu gurunya hendak memberi
restu atas tali kasih yang kalian bina selama ini." satu
suara menimpali dan yang baru bicara tadi bukan lain
adalah Raja Pengemis.
Meskipun jengkel, Gento menimpali ucapan
orang. "Sayang tali kasih itu putus karena kuperguna-
kan untuk main layangan. Karena aku tidak punya tali
lagi, apakan kau mau meminjamkan tali celanamu un-
tuk menyambung tali kasih yang putus itu? Ha ha ha!"
Raja Pengemis tidak menanggapi hanya ta-
wanya saja yang makin bertambah keras. Di depan sa-
ja Puteri Pemalu mendamprat. "Pengemis semprul. Se-
baiknya cepat angkat kaki dari hadapanku, silahkan
mengemis di tempat lain. Jangan kau berani mencam-
puri urusanku!"
"Tenang saja puteri gila. Raja Pengemis tak
mungkin mengemis harta bendamu. Tapi jika keadaan
memaksa aku bisa meminta nyawamu. Ha ha ha!" sa-
hut Raja Pengemis.
"Paman Raja Pengemis, daripada nyawanya
yang kau minta. Masih bagus orangnya sekalian kau
bawa pulang. Ha ha ha."
"Semula niatku memang begitu tapi aku takut
malah jadi ikut gila!" sahut Raja Pengemis.
Mendengar kata-kata bernada mengejek Puteri
Pemalu tidak dapat lagi menahan kemarahannya. "Ra-
ja Pengemis, aku tak punya urusan denganmu. Se-
baiknya kau cepat menyingkir!"
"Ha ha ha. Gento Guyon bagaimanapun saha-
batku. Masa' aku harus diam berpangku tangan meli-
hat teman sendiri digebuk orang. Sebelum kau berhasil
menangkapnya terimalah gebukanku dulu!" bentak la-
ki-laki itu.
"Paman biar....!"
Raja Pengemis cepat memotong. "Kau tenang
saja disitu. Duduk yang anteng, biar aku akan menjaj-
al gadis ini!" potong Raja Pengemis. Gento tersenyum.
"Menjajalnya sih boleh saja, tapi jangan keterusan." ce-
letuk Gento. Raja Pengemis yang tahu kemana arah
ucapan si pemuda delikan matanya. Gento Guyon ter-
tawa terkekeh lalu dia beralih pada Puteri Pemalu
sambil berucap. "Kau sudah mendengar apa yang di-
ucapkannya. Kau hadapi dia dulu. Kau harus dapat
membunuhnya atau paling tidak sanggup membun-
tungi kedua tangan dan kakinya."
"Dasar bocah edan, rupanya kau senang meli-
hat teman sendiri menjadi cacat heh!" hardik Raja
Pengemis.
"Kurang lebih memang begitu." sahut sang
pendekar enteng.
Di depan sana Puteri Pemalu tanpa banyak bi-
cara lagi langsung berkelebat melesat kedepan menye-
rang Raja Pengemis dengan pukulan tangan kosong.
Angin menderu menghantam wajah laki-laki itu. Raja
Pengemis tarik kepalanya kebelakang sambil melompat
ke samping. Dua tangan dipergunakan untuk me-
nangkis. Hingga terjadi benturan keras.
Duk! Duuk!
Puteri Pemalu memekik kaget dan terhuyung
dua tindak kebelakang. Raja Pengemis sendiri nampak
bergetar, alisnya mengernyit matanya setengah terbela-
lak ketika melihat bagaimana tangannya yang diper-
gunakan menangkis pukulan lawan berubah membiru
dan mengepulkan asap tipis. Lebih kaget lagi ketika
melihat ujung lengan bajunya hangus menjadi bubuk.
Didepan sana Puteri Pemalu sempat merasakan
dadanya menjadi sesak, gadis ini cepat memandang ke
depan. Melihat ujung pakaian lawannya hangus, dia
tertawa lebar.
"Gembel pengemis, saat ini pakaianmu yang
kubuat hangus. Sebentar lagi tubuh dan nyawamu
akan kubuat amblas! Hik hik hik!"
Raja Pengemis menjadi geram, apalagi ketika
melihat Gento. Pemuda itu nampaknya tersenyum
mencemooh. Malah si gondrong kemudian sengaja
memanas-manasi. "Paman Raja Pengemis, kau sung-
guh membuat malu kaum lelaki. Baru menghadapi ga-
dis sakit ingatan saja kau sudah kedodoran. Hayo,
tunggu apa lagi, keluarkan semua ilmu simpanan yang
kau miliki!"
"Kadal gondrong. Lihat apa yang akan kulaku-
kan!" teriak Raja Pengemis kesal. Laki-laki itu tiba-tiba
saja melompat mundur kebelakang. Dua tangan dipu-
tar sedemikian rupa membentuk perisai diri yang ko-
koh. Di depannya Puteri Pemalu kembali melakukan
gebrakan dengan melancarkan serangkaian serangan
bertubi-tubi namun sulit dibaca ke mana arahnya.
"Bagus majulah lebih mendekat!" Raja Penge-
mis berseru. Dan ternyata lawan memang semakin
bertambah dekat ke arahnya. Bersamaan dengan itu
pula Puteri Pemalu lepaskan tendangan dan pukulan-
nya.
Tendangan dan pukulan yang dilancarkan ga-
dis itu menghantam benteng pertahanan yang dibuat
oleh Raja Pengemis. Si gadis jadi tercekat ketika mera-
sakan bagaimana pukulan serta tendangan yang dila-
kukan seolah menabrak satu benteng yang sangat ko-
koh. Selagi si gadis di buat tercengang dengan kenya-
taan yang dihadapinya, Raja Pengemis susupkan tan-
gannya. Tangan meluncur ke arah perut lawan. Lalu...
Desss! Deees!
Puteri Pemalu keluarkan keluhan panjang. Dua
pukulan mendera perutnya, membuat gadis ini jatuh
terguling-guling sambil muntahkan darah segar. Meli-
hat kejadian itu Pendekar Sakti Gento Guyon berseru.
"Walah paman Raja Pengemis. Begitu tega kau terha-
dap calon istrimu. Sudah tak pernah kau urus kini
kau malah menyakitinya."
"Pemuda sinting. Semua ini kulakukan semata-
mata hanya untukmu, tolol!"
"Oh kalau begitu aku harus berterima kasih
padamu."
Puteri Pemalu bangkit berdiri. Dia keluarkan
suara gerengan marah. Tanpa menghiraukan darah
yang menetes di sudut bibirnya gadis ini melompat ke
depan. Tubuhnya masih terhuyung-huyung ketika
berkata. "Jika aku tak sanggup melenyapkanmu dari
dunia ini Raja Pengemis, seumur hidup aku pasti akan
merasa penasaran dan dikejar-kejar perasaan berdo-
sa!"
"Ha ha ha. Daripada kejar-kejaran dan terus
memendam rasa penasaran bukankah lebih baik Raja
Pengemis kau ajak kawin saja. Setelah itu jadilah ka-
lian raja dan ratu pengemis.!" mulut Gento usil lagi.
Hingga bukan saja membuat Raja Pengemis dibuat
jengkel. Sebaliknya Puteri Pemalu jadi ingin meringkus
pemuda itu secepatnya.
"Raja Pengemis terimalah kematianmu!" teriak
Puteri Pemalu. Laksana kilat gadis itu melompat ke
udara. Dua tangan diputar didepan dada, hingga dari
kedua tangan itu memancar cahaya putih yang me-
lingkar bergulung-gulung. Begitu kedua tangan kemu-
dian didorong ke depan, lingkaran cahaya putih itu
kemudian melesat kedepan disertai suara gemuruh
hebat dan sengatan hawa panas yang luar biasa.
"Jaring Jaring Matahari!" teriak Raja Pengemis
yang mengenali ilmu pukulan yang dimiliki gadis itu.
Sambil dorongkan kedua tangannya ke depan, Raja
Pengemis melompat ke samping selamatkan diri. Puku-
lan yang dilancarkan laki-laki itu amblas lenyap, begi-
tu masuk dalam lingkaran cahaya putih dalam bentuk
kerucut terbalik itu.
Buuum!
Satu ledakan berdentum mengguncang angka-
sa. Tanah disekitarnya bergetar hebat, batu dan debu
beterbangan. Satu lubang akibat pukulan menganga
lebar. Gento jadi tercekat, tak menyangka gadis sakit
ingatan itu memiliki pukulan hebat.
Sebaliknya di depan sana begitu pukulan luput
dan Puteri Pemalu jejakkan kaki diatas tanah dia kem-
bali menghantam Raja Pengemis. Orang tua itu segera
sadar apa yang harus dilakukannya. Karena itu dia
langsung mencabut cermin batu segitiga dari balik
pinggang dan kemudian langsung dipergunakan untuk
menangkis serangan si gadis.
Teesss!
Sinar putih yang bergerak seperti lingkaran
spiral ini langsung berbalik ke arah pemiliknya. Masih
untung Puteri Pemalu cepat jatuhkan diri hindari se-
rangannya sendiri. Walaupun begitu bagian bahu
sampai kebahagiaan ketiaknya masih terkena samba-
ran sinar putih tadi. Kalang kabut Puteri Pemalu sam-
bil memadamkan api langsung berkelebat melarikan
diri. Raja Pengemis tidak sempat mengejar. Dia sendiri
sibuk meniup-niup tangannya yang dipergunakan
memegang gagang cermin. Rupanya akibat benturan
sinar tadi membuat cermin sampai ke gagangnya men-
jadi panas luar biasa. Orang tua ini lebih tercekat lagi
ketika melihat bagaimana tangannya yang memegang
cermin melepuh hangus.
"Raja Pengemis memang hebat. Punya senjata
seperti kaca rias milik banci. Ha ha ha. Ada apa den-
gan tanganmu?" tanya Gento yang saat itu sudah
bangkit berdiri sambil memandang ke arah si orang
tua.
Dengan muka masam Raja Pengemis menja-
wab. "Gadis gila tadi membuat tanganku melepuh." ru-
tuk si orang tua.
"Masih bagus tangan yang melepuh. Kalau si-
nar tadi sampai menghantam matamu, kepalamupun
bisa meletus paman. Sudahlah... kuucapkan terima
kasih atas bantuanmu. Sebaiknya sekarang kita pergi
saja." kata Gento dengan lagak tak perduli.
Raja Pengemis menggerutu, lalu mengomel pan-
jang pendek dan mengejar ke arah lenyapnya Gento.
7
Ketika Mbah Petir dan Roro Centil sudah me-
masuki kawasan telaga Tengkorak Hantu, mereka ti-
dak langsung menuju ke tepi telaga, melainkan sengaja
mengambil jalan memutar ke sebelah kiri telaga itu
untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diin-
ginkan. Akan tetapi baru saja beberapa tindak dari ja-
lan utama langkah mereka mendadak terhenti. Kedua
kaki terasa berat untuk digerakkan sedangkan mata
memandang lurus kedepan. Kejut dihati kedua orang
ini bukan kepalang. Sekian lamanya mereka terdiam.
Perasaan mereka oleh pemandangan yang terpampang
di depan satu sosok tubuh dengan leher terjerat tali
dadung. Sosok yang dalam keadaan tergantung itu
berpakaian serba hitam, lidah terjulur mata membeliak
keluar. Dari telinga, hidung dan mulut sosok itu mene-
teskan darah berwarna merah kehitaman. Sosok itu
ternyata adalah seorang kakek tua memakai topi tinggi
yang dihias dengan dua tanduk kerbau. Walau wajah
si mayat dalam keadaan menggembung bengkak dan
sulit dikenali. Tapi melihat ciri pakaian serta topi yang
dikenakan orang Roro Centil masih ingat siapa geran-
gan mayat yang tergantung itu adanya.
"Gelombang Tangis Dalam Duka!" desis si gadis
sambil meraba tengkuknya yang terasa dingin bagai-
kan es.
"Kau mengenal kakek itu?" tanya Mbah Petir
dengan suara bergetar. Saking kagetnya orang tua ini
tanpa sadar sampai terkencing dan terkentut-kentut.
"Dia adalah salah seorang tokoh yang seharus-
nya ikut hadir dalam pertemuan di Kiara Condong itu.
Siapapun tidak pernah menduga dia tewas dengan ca-
ra seperti ini." ujar Roro Centil.
"Mungkinkah dia mati menggantung diri?"
"Tidak mungkin Mbah." sahut si gadis tegas.
Roro Centil terdiam sejenak baru kemudian melan-
jutkan. "Aku banyak mengenal watak dan kebiasaan
tokoh yang hadir dalam pertemuan itu. Gelombang
Tangis Dalam Duka bukan manusia yang gampang pu-
tus asa dalam menghadapi persoalan atau musibah.
Seseorang pasti telah membunuhnya. Orang yang me-
miliki ilmu kesaktian yang luar biasa, lalu menggan-
tungnya dengan cara begini keji!"
"Aku jadi teringat dengan pengakuan Puteri
Pemalu. Barangkali Si Muka Setan seperti yang diceri-
takannya memang ada dan tinggal disekitar Telaga ini.
Paling tidak kita sudah sama mengetahui Si Muka Se-
tan yang asli telah meninggal dunia. Jadi siapapun
adanya Si Muka Setan yang palsu ini, pasti dia me-
nyimpan niat keji untuk mencelakakan kita semua!"
ujar Mbah Petir dengan suara perlahan.
Roro Centil anggukkan kepala.
Sejenak dia kembali memandang ke arah mayat
yang tergantung. Angin berhembus menebarkan bau
busuk juga menyingkapkan pakaian sebelah kanan si
mayat. Roro Centil melihat sesuatu.
"Mbah, sebaiknya mayat itu kita turunkan saja.
Aku melihat ada yang tidak beres!" kata si gadis.
"Kau betul. Pada pakaian mayat seperti ada pe-
san. Ditulis dengan semacam cat dengan warna putih!"
Mbah Petir menimpali. Kemudian si Mbah dengan di-
ikuti Roro Centil segera mendekati pohon dimana
mayat Gelombang Tangis Dalam Duka tergantung dis-
itu. Mbah Petir menunggu di bawah, sedangkan Roro
Centil mencabut salah satu dari dua pedang pendek
yang terselip di pinggang sebelah kiri.
Gadis itu lalu melompat, bergerak mendekati
tali, sedangkan pedang di tangan kanannya berkelebat
menyambar tali itu.
Teees!
Satu tebasan dilakukan Roro Centil, tali putus
dan tubuh kaku tanpa nyawa itu meluncur deras jatuh
dalam pelukan Mbah Petir. Bau busuk yang menebar
dari diri si mayat membuat si kakek buru-buru mem-
baringkan mayat Gelombang Tangis Dalam Duka di-
atas rerumputan. Sedangkan Roro Centil yang sudah
jejakkan kakinya ke tanah segera masukkan pedang ke
tempat semula. Setelah itu tanpa menghiraukan bau
busuk yang menyesakkan dada, Roro Centil memerik-
sa pakaian si mayat.
Si gadis surut dua langkah ketika melihat satu
luka akibat pukulan beracun terdapat di bagian tubuh
Gelombang Tangis Dalam Duka. Luka itu berwarna hi-
tam, meninggalkan lima jari tangan. Pakaian yang ter-
kena pukulan hangus menghitam. Roro Centil jadi in-
gat, pukulan yang sama juga telah menewaskan Malai-
kat Kuku Seribu dan Si Burung Merak di dalam ruan-
gan rahasia. Semua ini merupakan suatu bukti bahwa
Gelombang Tangis Dalam Duka terbunuh di tangan
orang yang sama.
"Nenek Muka Setan? Siapapun dirimu, aku tak
mungkin bisa mengampuni jiwamu!" geram Roro Centil
dengan wajah tegang dan geraham bergemeletukan.
Mbah Petir sendiri tak mampu keluarkan sua-
ra, lidahnya terasa kelu, tubuh gemetaran.
Hati si kakek saat itu dicekam ketegangan yang
luar biasa, hingga kentut dan kencingnya terpancar si-
lih berganti.
Roro Centil kemudian mendekati mayat Gelom-
bang Tangis. Dengan tangan gemetar dan mata mende-
lik dia menyingkapkan pakaian luar si mayat. Gadis ini
tercenang begitu melihat dua baris kalimat yang ditulis
melintang dari bagian dada sampai ke bagian kaki.
Dengan bibir bergetar dia menyimak tulisan itu.
'Kematian akan menghampiri siapa saja yang datang ke
tempat ini. Terkecuali bagi mereka yang mau menjadi
kaki tangan calon raja diraja rimba persilatan'.
"Manusia gila! Dia beranggapan dirinya malai-
kat pencabut nyawa hingga dapat memastikan kema-
tian setiap orang." gumam Roro Centil. Gadis ini ke-
mudian kitarkan pandangan matanya kesegenap pen-
juru sudut, memperhatikan setiap semak belukar, pe-
pohonan juga batu-batu di kanan kirinya. Tak ada sia-
papun yang terlihat. Suasana tetap lengang, seakan
memang tidak ada siapapun disitu terkecuali mereka
sendiri.
"Mbah Petir! Rasanya kita tidak mungkin men-
guburkan mayat kakek ini. Menurutku ada baiknya
kalau kita memeriksa kawasan telaga secepatnya. Aku
yakin bangsat pembunuh itu bersembunyi di sekitar
sini!" terdengar suara Roro Centil memecahkan kehe-
ningan suasana.
"Ee... Roro, ada baiknya kalau kita tinggalkan
tempat ini secepatnya. Perasaanku mengatakan ada
orang yang mengawasi segala gerak gerik kita. Aku
berfikir alangkah baiknya kalau kita mencari selamat.
Aku... aku takut sekali!" jawab Mbah Petir sambil de-
kap celananya yang basah oleh air kening.
Melihat Mbah Petir yang tiba-tiba berubah jadi
penakut Roro Centil sangat geram sekali. "Sudah ku-
duga sejak semula rasa pengecutmu pasti segera mun-
cul begitu kau melihat kejadian seperti ini. Percuma
kau jadi laki-laki. Mana keberanianmu, mana kejanta-
nanmu sebagai lelaki heh?"
Dengan gugup Mbah Petir menyahut.
"Kejantananku....i....ini. Ada ditempatnya, ma-
lah membuat celanaku basah!"
"Mbah dukun gendeng. Bukan itu maksudku,
siapa perduli dengan barang bau pesing begitu?" dam-
prat si gadis dengan muka merah padam dan perasaan
jengkel.
"He he he. Biar pesing tapi antik." kata Mbah
Petir cengengesan.
Roro Centil gelengkan kepala. "Tidak Mbah, kita
tak mungkin tinggalkan tempat ini. Kita harus mencari
nenek Muka Setan, aku harus membuat perhitungan
dengannya. Sudah terlalu banyak nyawa yang me-
layang secara sia-sia. Kita harus membalaskan kema-
tian mereka agar arwah mereka tidak penasaran!" te-
gas Roro Centil.
Mbah Petir terdiam, sepasang matanya berke
dap-kedip menerawang entah kemana.
"Kurasa kau benar. Kematian mereka hanya
suatu kesia-siaan saja jika kita yang hidup tidak mela-
kukan sesuatu. Sekarang apapun keputusanmu aku
akan ikut mendukung sepenuhnya. "ujar Mbah Petir.
"Dukungan yang membabi buta hanya akan
melahirkan penyesalan seumur hidup. Kalian akan
mati ditanganku. Hik hik hik!" teriak satu suara di ser-
tai tawa tergelak-gelak.
Baik si gadis maupun si kakek sama tercekat
sama pula melengak kaget. Rasa kaget membuat Mbah
Petir terkentut-kentut. Kencingnya memancar tak ter-
tahankan.
"Gawat... aduh Roro. Aku kencing lagi kentut
lagi."
"Jangan ditahan Mbah keluarkan saja semua!"
sahut Roro Centil dengan perasaan tegang. Dengan ce-
pat si gadis memandang ke satu jurusan dimana suara
dan tawa tadi terdengar. Mendadak Roro Centil berte-
riak ditujukan pada si kakek.
"Mbah Petir menyingkir!"
Kalang kabut Mbah Petir selamatkan diri ber-
lindung di balik pohon begitu melihat belasan batu be-
sar laksana dilontarkan menerjang ke arah mereka.
Buum! Buuum!
Batu bermentalan menghantam tempat kosong.
beberapa diantaranya hancur berkeping-keping setelah
membentur bebatuan lain yang terdapat di tempat itu.
"Kiamat... siapa yang melempari kita dengan
batu Roro!" dari tempat perlindungannya Mbah Petir
ajukan pertanyaan pada si gadis yang bersembunyi tak
jauh darinya.
"Bukan demit bukan setan Mbah. Dia pasti
manusia, tapi terlalu pengecut untuk menunjukkan di-
ri!" sahut Roro Centil. Terhuyung-huyung dia bangkit,
lalu keluar dari balik pohon. Tapi gadis ini kemudian
tercengang begitu melihat suasana disekelilingnya di-
penuhi asap hijau. Saat Roro menarik nafas, dia lang-
sung terbatuk. Roro Centil mengendus bau sesuatu
yang menyengat. Cepat dia tekab hidungnya.
"Astaga! Mengapa tiba-tiba ada asap hijau me-
menuhi tempat ini. Aku... aku seperti mencium bau...!"
Malu-malu tapi takut, Mbah Petir menyahuti.
"Asap hijau ini akibat aku terlalu banyak kentut, jan-
gan marah Roro. Aku.. aku tak sengaja!"
"Orang tua geblek, kentutmu sebesar apa kok
sampai bisa mengebul begini?" damprat si gadis ma-
rah.
Belum sempat si kakek menjawab. Dari arah
suara tadi kini terdengar makian disertai berkelebat-
nya satu sosok tubuh berpakaian serba kuning.
"Iblis dari mana kentutnya bau pete begini!"
Si kakek melengak, dalam kejutnya kentut dan
kencingnya terpancar saling susul menyusul, hingga
membuat suasana ditempat itu selain dipenuhi bau
pesing juga diwarnai bau pete yang menyengat.
8
Hanya dalam waktu sekejapan mata saja dide-
pan mereka telah berdiri tegak sosok nenek tua be-
rambut putih panjang berpakaian serba kuning beren-
da putih. Wajah perempuan tua ini rusak mengerikan
seperti bekas di cacah. Berdiri tegak dengan segala
keangkerannya si nenek berwajah setan memandang
ke arah si kakek dan Roro Centil silih berganti.
Si nenek dongakkan kepala, sepasang matanya
yang mencorong tajam penuh kesombongan meman-
dang ke langit. Tak lama kemudian terdengar tawanya
yang melengking, menusuk telinga.
"Gadis cantik datang ke tempat kediamanku di
saat udara dingin begini. Sungguh kau datang pada
waktu yang tepat. Hik hik hik." kata Si Muka Setan
disertai tawa mengikik panjang. Tak lama setelah puas
memperhatikan Roro Centil, dia alihkan perhatiannya
pada Mbah Petir sambil berkata. "Rasanya aku tidak
membutuhkan tua bangka penjujung dupa sepertimu.
Tubuh menebar bau pesing, kentut berasap disertai
busuknya bau pete. Jahanam sepertimu layak kukirim
ke neraka secepatnya!" dengus si nenek.
Dihina sedemikian rupa, jika semula Mbah Pe-
tir ketakutan setengah mati melihat keangkeran nenek
itu, maka kini timbul keberaniannya. Mbah Petir maju
selangkah, mulutnya mendamprat. "Manusia gila kesa-
sar, rupanya kau baru datang dari neraka. Pantas
ujudmu tak karuan rupa." kata Mbah Petir. Lalu dia
melanjutkan. "Kudengar tadi kau menghendaki saha-
batku itu? Agaknya otakmu memang tak waras hingga
menyukai kaum sejenis. Tapi setelah melihat tam-
pangmu, jangankan Roro Centil kurasa binatang pun
tak sudi denganmu!"
"Kakek penjunjung dupa bau pesing pete. Gili-
ranmu akan tiba sebentar lagi. Sekarang aku ingin bi-
cara dengan gadis ini!" dengus nenek Muka Setan. Dia
kemudian berpaling pada Roro Centil. "Gadis cantik,
namamu bagus sekali. Sangat sesuai dengan orang-
nya. Nama bagus, kulit mulus wajah cantik. Sesuai
benar dengan seleraku. Aku akan mengajakmu ke sor-
ga, tapi sebelum itu biar kuhabisi dulu kakek penjun-
jung dupa bau pesing ini!" Selesai bicara si nenek ba-
likkan badan sambil mengangkat tangan siap dihan-
tamkan ke arah Mbah Petir. Si kakek tercekat, tapi dia
sendiri sudah berlaku waspada dari segala kemungki-
nan. Roro Centil yang berdiri tak jauh dari sebelah kiri
Mbah Petir melompat maju sambil berteriak.
"Manusia biadab, ternyata bukan perbuatanmu
saja yang keji. Tapi rupanya mulut dan hatimu me-
nyimpan kebiadapan. Katakan padaku siapa yang te-
lah membunuh kakek itu?" hardik Roro Centil sambil
menunjuk mayat Gelombang Tangis Dalam Duka yang
terbujur kaku didepannya.
Si Muka Setan melirik ke arah si mayat sekilas.
Kemudian dia tertawa. "Tua bangka yang suka menan-
gis itu memang aku yang membunuhnya agar dia da-
pat meneruskan tangisnya di akherat!" jawab Si Muka
Setan.
Mendengar jawaban si nenek, Roro Centil diam-
diam terkejut. Dia ingat dengan pukulan yang bersa-
rang didada si kakek. Pukulan itu yang telah mene-
waskannya. "Kau membunuhnya dengan pukulan Te-
lapak Beracun, bukankah begitu?" pancing si gadis.
"Ternyata selain cerdik matamu cukup jeli. Aku
memang membunuhnya dengan pukulan Beracun!"
sahut Si Muka Setan penuh rasa bangga.
Seketika wajah Roro Centil berubah merah pa-
dam, mata melotot penuh amarah. Dia jadi ingat den-
gan kejadian yang menimpa Si Burung Merak dan Ma-
laikat Kuku Seribu. Mereka semua adalah orang pent-
ing yang hadir dalam pertemuan para pendekar. Kedua
orang itu juga tewas akibat terkena pukulan yang sa-
ma. Dengan tubuh bergetar dilanda kemarahan si ga-
dis berteriak.
"Jadi kau bangsatnya yang juga telah membu-
nuh orang-orang di dalam ruangan pertemuan rahasia
itu?"
Meledaklah tawa si nenek mendengar perta-
nyaan Roro Centil. "Kau benar, memang aku yang te-
lah membunuh mereka. Bukan hanya itu saja aku pu-
la yang telah memerintahkan Perampas Benak Kepala
membunuh para pengawal pertemuan juga seorang
nenek malang yang akan memimpin pertemuan itu.
Sayang Perampas Benak Kepala tidak kembali kesini,
bahkan seolah dia lenyap di telan bumi!"
Kagetlah Roro Centil mendengar pengakuan Si
Muka Setan. Dia tahu Perampas Benak Kepala bukan
manusia yang dapat dijatuhkan dengan mudah. Dia
dapat membunuh lawan dengan hantaman sinar maut
yang keluar dari kepalanya sebelum lawan dapat me-
nyentuhnya. Tapi nenek buruk didepannya malah
mampu menundukkan si penyedot otak bahkan men-
jadikannya sebagai kaki tangan. Siapapun adanya
orang yang memakai dandanan dan menyaru sebagai
Si Muka Setan ini pastilah memiliki ilmu serta kesak-
tian yang sulit dijajaki. Roro Centil sadar dirinya bera-
dapan dengan lawan tangguh, karena itu diapun ber-
laku waspada.
"Aku yakin Perampas Benak Kepala telah ter-
bunuh di tangan seseorang. Orang yang sangat men-
ginginkan nyawamu!" pancing Mbah Petir.
Si Muka Setan berjingkrak kaget mendengar
ucapan si kakek. Cepat dia berpaling ke arah Mbah Pe-
tir. "Tua bangka bau pete? Siapa kau berani mengata-
kan budakku terbunuh. Siapa yang membunuhnya?!"
hardik Si Muka Setan. Mbah Petir menyeringai.
"Siapa diriku tidak penting bagimu. Cukup kau
mengenalku sebagai si Mbah Dukun bau pete. Karena
aku dukun, maka aku tahu Perampas Benak Kepala
telah tewas di tangan seseorang!" sahut si kakek ber-
bohong.
"Jahanam, dukun keparat. Di dunia ini tidak
ada manusia yang paling kubenci selain pemuda edan
Pendekar Sakti Gento Guyon. Tapi aku tidak yakin dia
mampu mengalahkan Perampas Benak Kepala, jan-
gankan lagi membunuhnya. Hik hik hik." kata si ne
nek.
"Pengakuanmu itu merupakan suatu bukti
bahwa kau sebenarnya bukan nenek Muka Setan. Kau
Muka Setan yang palsu. Karena Si Muka Setan yang
sebenarnya tidak punya silang sengketa dengan Gento
Guyon, bahkan kenalpun kurasa tidak!"
Sepasang mata si nenek membelalak lebar, dia
jadi kaget. Bukan saja karena orang mengetahui raha-
sianya, tapi juga tidak menyangka bahwa gadis itu ter-
nyata kenal dengan musuh besarnya.
"Gadis cantik, apakah kau punya hubungan
tertentu dengan Pendekar Sakti Gento Guyon?" tanya
Si Muka Setan disertai pandangan penuh selidik.
"Apakah aku mengenalnya atau tidak, semua
itu bukan urusanmu.!" sahut Roro Centil tegas.
Merasa diremehkan Si Muka Setan menggerung
marah. "Gadis kurang ajar. Rupanya kau belum tahu
siapa dirimu?!" teriak si nenek.
Sambil tertawa-tawa, Mbah Petir menyahuti.
"Kira-kiranya aku tahu. Menurut gadis gila Puteri Pe-
malu, engkau ini adalah gurunya. Menurut panga-
kuannya pula kau mengalami guncangan di bagian
kepala, hingga otakmu jadi sinting. Kurang lebih gila-
mu lebih hebat dari yang diderita gadis itu. Karenanya
dia memintaku untuk mengobati otakmu yang tidak
waras. Pengobatan seperti yang diminta gadis itu
hanya akan menimbulkan kekacauan dikemudian ha-
ri. Jadi menurutku pengobatan yang paling tepat ada-
lah dengan memenggal kepalamu. Ha ha ha!" kata si
kakek disertai tawa tergelak-gelak.
Kedua pipi si nenek menggembung besar, bibir
terkatup sedangkan mata mencorong tajam. "Kau ma-
nusia rongsokan tidak berguna, kau yang akan ku-
singkirkan terlebih dulu. Setelah itu hem, untuk gadis
secantik sahabatmu itu aku sudah punya rencana ter
sendiri!" habis berkata begitu Si Muka Setan berkele-
bat ke arah si kakek, tangan kanannya bergerak me-
nyambar bagian leher Mbah Petir dengan cengkeraman
lima kuku jari siap merobek leher orang tua itu. Kaget
kakek itu bukan kepalang membuat kentutnya terpan-
car bertalu-talu. Sambil terkentut-kentut si kakek se-
lamatkan diri dengan melompat kebelakang. Asap hi-
jau mengepul di udara menutupi pemandangan, mem-
buat Si Muka Setan kelabakan, sambil memaki dia ki-
baskan tangan kiri untuk mengusir asap kentut yang
menebar bau busuknya petai. Megap-megap Si Muka
Setan melompat mundur. Roro Centil sendiri yang me-
nyadari bau kentut si kakek dapat membuat kepalanya
jadi pusing jauh sebelumnya sudah menutup penci-
uman sambil menahan nafas.
Didepan sana si kakek memandang mendelik
sambil memperbaiki pendupaan diatas kepalanya yang
miring.
"Manusia keparat? Busuk betul baumu. Tapi
aku ingin melihat apakah kau mampu menghindari
pukulan Telapak Beracunku!" dengus nenek Muka Se-
tan. Perempuan itu diam-diam kerahkan tenaga da-
lamnya ke bagian kedua tangan. Si kakek tercekat ke-
tika melihat betapa kedua tangan Si Muka Setan hing-
ga sampai sebatas siku nampak berubah menghitam
disertai menebarnya bau busuk menyengat.
"Mbah Petir! Harap kau berlaku hati-hati. Seka-
rang dia mengerahkan pukulan Telapak Beracun. Jan-
gan pula kau sampai menjadi korban berikutnya dari
keganasan pukulan itu!" melalui ilmu menyusupkan
suara Roro Centil memberi peringatan.
"Aku sudah melihat. Kekejian itu paling tidak
harus dapat kuhentikan, andai terpaksa aku akan
mengadu jiwa dengan setan tua ini!" jawab Mbah Petir.
Tak berselang lama mulut si Mbah nampak komat
kamit, kemudian terdengar gumaman tidak jelas. Ber-
samaan dengan suaranya yang terdengar, pendupaan
diatas kepala si kakek tampak menyala disertai me-
mancarnya cahaya yang merah terang disertai dengan
mengepulnya asap tebal yang bergulung-gulung. Asap
lalu menebar dan meluncur deras ke arah lawan. Pada
waktu bersamaan nenek Muka Setan melesat ke arah-
nya, dua tangan berkelebat. Satu menghantam pupus
asap sirapan yang mampu membuat si nenek pingsan,
sedangkan tangan yang satunya lagi menghantam ke
arah dada. Asap sirapan yang menebar dari pendu-
paan lenyap dihantam pukulan Si Muka Setan, se-
dangkan tangan nenek itu menyambar ke atas jan-
tung.
Kejut Mbah Petir tidak terkira, kencing meman-
cang disertai suara kentut seperti petasan. Si kakek
melompat ke samping, tangan bergerak ke atas kepala.
Pendupaan melayang lalu diangsurkan ke arah tangan
Si Muka Setan yang seharusnya menghantam dada
Mbah Petir.
Jross! Braak!
"Waaakhh...!"
Si Muka Setan menjerit keras ketika pukulan-
nya menghantam pendupaan. Walau pendupaan han-
cur dan bara didalamnya bertaburan. Namun sebagian
punggung Telapak Tangan Si Muka Setan hangus me-
lepuh. Kenyataan ini membuat kemarahan dihati si
nenek makin berkobar-kobar. Sementara hancurnya
pendupaan membuat pendengaran Mbah Petir ter-
ganggu lagi.
"Tua bangka mampuslah!" teriak si nenek. Lak-
sana kilat dia kembali menyerbu, merangsak ganas ke
arah lawan sedangkan tangan dan kakinya berkelebat
menyambar sedikitnya ke sepuluh bagian tubuh si ka-
kek. Beberapa saat lamanya Mbah Petir memang dapat
menghindari hujan serangan yang makin menghebat
itu. Tapi ketika si nenek merobah jurus-jurus silatnya,
dalam waktu singkat si kakek terdesak hebat.
"Hebat luar biasa, tapi siapa takut mati!" me-
muji si kakek setelah berhasil meloloskan diri dari hu-
jan serangan lawan yang sangat gencar itu.
"Ingin kulihat apakah kau memang tidak takut
mati!" dengus Si Muka Setan. Sekonyong-konyong Si
Muka Setan berkelebat ke arah si kakek, dua tangan
bergerak berbareng mencari sasaran didada dan perut
si kakek.
"Ilmu Kutukan Mendera Bumi! Mbah Petir me-
nyingkir!" teriak Roro Centil yang rupanya mengenali
pukulan lawan. Mbah Petir tanpa pendupaan diatas
kepalanya tentu saja tidak dapat mendengar suara te-
riakan si gadis. Orang tua itu sama sekali tidak berge-
rak dari tempatnya, dua tangannya diangkat ke atas
menyambut serangan lawan.
Plak! Plak!
Desss!
Dua tangan bentrokan keras di udara membuat
Mbah Petir menjerit karena tangan yang dipergunakan
untuk menangkis laksana terbakar sedangkan tubuh-
nya terjengkang akibat satu hantaman berhasil me-
nyusup menghantam dada. Sebaliknya di depan sana
Si Muka Setan juga belalakkan matanya ketika melihat
bagaimana lengan baju kuningnya robek, dibalik baju
yang robek kini tersembul pakaian merah.
"Manusia setan siap kau?" teriak Roro Centil
kaget. Gadis ini langsung mencabut dua bilah pedang
yang terselip dipinggang kanan kiri. Tak jauh di sebe-
lah kirinya dengan nafas megap-megap Mbah Petir ber-
teriak. "Roro... hoek... aku percaya hanya dengan me-
robek-robek wajah setannya kita baru bisa mengetahui
siapa bangsat yang menyamar sebagai Muka Setan ini.
Hayo tunggu apa lagi apakah kau tidak mau berga-
bung denganku berebut pahala melenyapkan nyawa
bangsat penipu ini?!"
"Hem, aku khawatir kau tak akan dapat melak-
sanakan keinginanmu itu tua bangka bau pete!" den-
gus Si Muka Setan. Dia lalu melompat sambil berte-
riak. "Ini bagianmu!" bersamaan dengan suara teria-
kannya itu si nenek kembali melancarkan pukulan ke
arah Mbah Petir. Selarik sinar hitam membersit dari
tangan si nenek, bergerak bergulung-gulung kemudian
menghantam tubuh Mbah Petir. Dalam keadaan seper-
ti itu Mbah Petir coba selamatkan diri dengan bergu-
lingan ke samping. Tapi celakanya tubuh si kakek tak
dapat digerakkan sama sekali. Seakan bagian pung-
gungnya menempel dengan tanah. Tak menyangka ter-
jadi hal aneh diluar perhitungannya si kakek hanya
mampu belalakkan mata, sedangkan mulutnya komat-
kamit membaca mantra untuk menerapkan ilmu anda-
lannya.
Didepan sana Roro Centil demi melihat bahaya
besar yang dialami oleh sahabatnya tidak tinggal diam.
Dua pedang dilemparkannya ke arah lawan. Satu
menghujam ke bagian punggung dan satunya lagi me-
luncur ke bagian rusuk.
Mendengar suara mendesing dari bagian sam-
pingnya, Si Muka Setan cepat berpaling. Dia tercekat,
namun cepat mengambil tindakan dengan mengi-
baskan tangannya ke arah dua cahaya putih yang me-
luncur deras ke arahnya.
Bumm! Buuum!
Tring! Tring!
Terdengar suara berdentum disertai dentring
senjata yang berhasil di tangkis oleh Si Muka Setan.
Guncangan keras membuat Roro Centil tergetar. Gadis
itu cepat lakukan satu gerakan untuk menyambut pe
dang yang berbalik menghantam dirinya.
Pedang kena ditangkap kembali. Tapi dia jadi
terkejut, ketika melihat bagaimana ujung kedua pe-
dangnya putus tidak ubahnya seperti membentur besi
baja.
9
Tak begitu jauh dari tempat tegaknya Roro Cen-
til, justru Si Muka Setan saat itu dibuat tercengang.
Pukulan yang dilepaskannya tadi jelas-jelas menghan-
tam tubuh lawan. Tapi mengapa mendadak tubuh
Mbah Petir raib tidak meninggalkan bekas? Kemana
perginya orang tua itu?
"Tidak mungkin pukulan yang kulepaskan
membuat tubuhnya hancur menjadi debu. Apa mung-
kin dukun bau pete itu mempunyai ilmu melenyapkan
diri?" fikir si nenek. Dia rupanya penasaran hingga ki-
tarkan pandang disekitar lubang bekas pukulan yang
masih mengepulkan asap hitam. Orang yang dicarinya
tetap tidak kelihatan.
"Hi hi hi! Kau heran, nenek setan?" satu suara
berucap mengejutkan si nenek. Dia langsung memba-
likkan tubuhnya. Melihat kedepan sana Roro Centil
tampak berdiri tegak dengan pedang disilangkan dide-
pan dada. Melihat pada gadis itu sekilas, si nenek
sunggingkan senyum. Tapi senyum itu hanya mem-
buat wajahnya semakin menyeramkan.
"Kau sahabatnya, kau pasti tahu apa yang dila-
kukan tua bangka tadi?!" ujar Si Muka Setan penuh
curiga.
Roro Centil tertawa. "Mungkin dia mati akibat
pukulanmu. Bisa jadi tubuhnya amblas kedalam bumi.
Perduli apa? Nenek setan, melihat kau melepaskan
pukulan 'Kutukan Mendera Bumi', aku rasanya pernah
mendengar ilmu pukulan itu. Hemm.. aku baru ingat
sekarang. Pukulan itu konon pernah membuat geger
rimba persilatan belasan tahun yang lalu. Kalau tak
salah pemilik pukulan keji itu adalah manusia keparat
bergelar Begawan Panji Kwalat. Ada hubungan apa kau
dengan manusia jahanam itu?!" teriak Roro Centil.
"Hik hik hik. Kau baru bisa mengetahui ada
hubungan apa antara aku dengannya setelah bersedia
menjadi pengantinku satu malam.!" sahut Si Muka Se-
tan.
"Perempuan gila, otakmu benar-benar tidak wa-
ras! Setelah kau hancurkan rencana pertemuan para
pendekar, setelah kau bunuh para pendekar dunia
persilatan. Apakah kau mengira dirimu dapat melo-
loskan diri dari incaran maut?"
"Maut tak pernah mengincar diriku, karena dia
adalah sahabatku. Justeru sekarang ini maut sedang
mengintai dirimu. Tapi sebelum maut itu menjemput-
mu, aku harus bersenang-senang dulu dengan diri-
mu!" kata si nenek disertai tawa terkekeh-kekeh.
"Sebelum kau melakukan niat gilamu, sebaik-
nya kau makan pedangku!" bentak Roro Centil. Suara
bentakan lenyap, dua pedang pendek yang telah bun-
tung pada bagian ujungnya berkiblat, sinar putih lak-
sana kilatan cahaya bertabur di udara disertai suara
berkesiuran. Ketika Roro Centil merangsak kedepan,
maka sinar putih menyilaukan mata itu mengurung Si
Muka Setan. Mendapat serangan gencar dengan meng-
gunakan jurus andalan ini Si Muka Setan sama sekali
tidak menjadi jerih. Sebaliknya dia malah tertawa ter-
bahak-bahak. Dengan tenang pula si nenek kibaskan
tangannya lancarkan pukulan Telapak Beracun.
Wuuut!
Dua tangan menyambar, satu ke bawah sa
tunya lagi ke atas. Hawa dingin disertai menebarnya
cahaya hitam melabrak ke arah Roro Centil membuat
dua pedang yang siap menghantam dada dan kepala si
nenek tertahan di udara seolah ada satu kekuatan
yang menahannya. Selagi Roro Centil dibuat kaget atas
kenyataan yang dihadapinya, dua tangan Si Muka Se-
tan kembali berkelebat dan tahu-tahu pedang di tan-
gan si gadis sudah kena dicekalnya.
Sekuat tenaga Roro Centil berusaha menarik
lepas pedangnya dari jepitan tangan lawan. Tapi kedua
pedang sama sekali tidak bergerak. Malah badan pe-
dang yang berwarna putih mengkilap, kini berubah
menghitam. Dalam waktu sekejap seluruh badan pe-
dang menghitam keseluruhannya. Roro Centil tercekat,
terlebih-lebih ketika merasakan dua tangan yang me-
megang hulu pedang tiba-tiba terasa panas. Si gadis
sadar akan bahaya yang mengancam jiwanya andai dia
terus mempertahankan pedang itu. Tanpa fikir pan-
jang lagi pedangpun dilepaskannya, dia melompat
mundur sambil melepaskan pukulan tangan kosong.
Tak menyangka lawan sempat melepaskan pu-
kulan ke arahnya, maka Si Muka Setan sambil cam-
pakkan pedang rampasan segera melompat sela-
matkan diri. Tapi tak urung bagian kakinya sempat
terkena hantaman pukulan lawan.
Si Muka Setan meraung, sambil berjingkrak
tangannya sibuk memadamkan api yang membakar
ujung kaki celakanya. Selagi nenek angker ini sibuk
memadamkan api, Roro Centil melompat tinggi di uda-
ra. Tubuhnya berputar sedangkan kaki melesat meng-
hantam si nenek disaat dirinya baru saja tegak berdiri.
Dess!
Nenek muka setan meraung, sebagian kulit wa-
jahnya terkelupas tapi tak ada darah yang menetes.
Malah dibalik robekan wajahnya tersembul kulit-kulit
halus. Tendangan tadi membuat Si Muka Setan jatuh
terjengkang. Seakan tidak menghiraukan sakit yang
mendera wajahnya si nenek melompat bangkit. Den-
dam dan amarah membuat nenek ini menjadi gelap
mata.
"Aku yakin wajahmu yang hancur itu hanya
palsu adanya. Aku ingin melihat wajah yang sesung-
guhnya. Baru kemudian kulucuti seluruh pakaianmu
hingga aku dapat melihat engkau laki-laki atau perem-
puan!"
"Hik hik hik. Jika kau sudah tahu siapa diriku.
Aku takut kau terus merengak, mengemis cinta kasih-
ku, tapi apa perlunya kau lihat wajahku. Kau tak cu-
kup pantas untuk melihatnya. Gadis cantik bersiap-
siaplah untuk menikmati malam indahmu!" Si Muka
Setan menyahuti.
Sebelum si nenek mengambil suatu tindakan,
guna meringkus Roro Centil, maka pada saat itu pula
si gadis melompat ke arahnya dengan tangan terjulur
siap lancarkan cakaran ke bagian wajah lawan. Gera-
kan yang dilakukan gadis itu sungguh cepat luar bi-
asa, tahu-tahu kini tubuhnya hanya tinggal sejarak se-
tengah langkah saja dari hadapan lawannya. Di luar
dugaan Si Muka Setan dorongkan tangannya ke atas
menangkis sambaran tangan kanan lawan, sedangkan
tangan kiri meluncur me-remas bagian dada sebelah
kiri Roro Centil.
"Tua bangka kurang ajar!" pekik gadis itu. Den-
gan gugup dia lakukan gerakan berjumpalitan kebela-
kang. Tapi gerakannya ini kalah cepat dengan gerakan
tangan lawan yang meremas dada.
Roro Centil menjerit tertahan. Dilain saat dia
merasa sekujur tubuhnya menjadi kaku. Tak ampun
lagi gadis ini jatuh terhempas, diam tidak berkutik tapi
langsung memaki begitu menyadari dirinya kena dito
tok oleh lawan secara kurang ajar,
"Perempuan hina. Lepaskan totokan keparat
ini!!"
Si Muka Setan datang menghampiri, berdiri te-
gak didepan Roro Centil. Wajah di dongakkan ke atas,
sedangkan mulut mengumbar tawa. Dengan mata jela-
latan merayapi keelokan tubuh si gadis Si Muka Setan
berucap. "Tidak seorangpun perempuan yang sudah
berada dalam kekuasaanku kulepaskan. Terkecuali...
Hik hik hik." Si nenek tidak melanjutkan ucapannya.
Dia memandang lurus ke arah kegelapan di seberang
telaga. Di tempat itu dibawah kerapatan pepohonan
dia membangun sebuah pondok. Satu tempat peristi-
rahatan tersembunyi sekaligus merupakan tempat di-
rinya bersenang-senang dengan perempuan culikan-
nya. Dengan bibir menyunggingkan senyum penuh ar-
ti, Si Muka Setan langsung menyambar Roro Centil.
Gadis yang dalam keadaan tertotok kaku ini lalu dile-
takkan diatas panggulan dibahu sebelah kiri. Setelah
itu dia berlari cepat melewati bagian tepi telaga.
Sadar dengan bahaya besar yang mengancam-
nya, Roro Centil berteriak, "Nenek keparat lepaskan
aku. Lepaskan...!"
Si Muka Setan sama sekali tidak menanggapi,
malah dia semakin mempercepat larinya.
Kembali pada Mbah Petir yang sempat terkena
pukulan si nenek. Ketika Si Muka Setan melepaskan
pukulan ke arah Mbah Petir. Orang tua ini memang ti-
dak sempat menghindar. Pukulan pertama ini telah
membuat Mbah Petir menderita luka di bagian dalam.
Luka dalam yang tidak dapat dianggap ringan. Disaat
seperti itulah Mbah Petir menyadari kalau tenaga da-
lam lawannya ternyata dua tingkat diatasnya. Yang dia
khawatirkan bukan perbedaan tenaga dalam yang me-
reka miliki. Tapi si kakek menyadari pukulan yang di
lepaskan lawannya selain sangat berbahaya juga men-
gandung racun ganas. Melihat dari kenyataan yang
ada tidaklah mengherankan tokoh-tokoh seperti Ma-
laikat Kuku Seribu maupun Si Burung Merak dapat
dibunuh oleh nenek itu.
Sadar pula kalau dirinya tidak bakal sanggup
menghadapi Si Muka Setan ketika nenek itu mele-
paskan pukulan untuk yang kedua kalinya, maka
Mbah Petir pun dengan terpaksa menggunakan ajian
Panglemunan. Yaitu ilmu melenyapkan diri. Sehingga
ketika pukulan Si Muka Setan menghantam ke arah-
nya si kakek mendadak raib dari pandangan mata.
Lenyap dari penglihatan orang si kakek me-
nyingkir. Namun dia tidak pergi jauh apalagi melarikan
diri. Bagaimanapun dia sangat mengkhawatirkan kese-
lamatan sahabatnya Roro Centil. Rasa cemasnya atas
keselamatan gadis itu kemudian terbukti. Roro Centil
bukan saja tak dapat menjatuhkan si nenek, malah dia
sendiri kena dicelakai dan ditotok oleh nenek Muka Se-
tan itu.
"Apa yang harus aku lakukan kini. Aku seorang
diri tak mungkin sanggup menyelamatkan Roro dari
cengkeraman nenek keparat itu. Hukh... celaka. Aku
sekarang mesti menyembuhkan luka dalamku dulu.
Biarlah untuk sementara aku berada dalam penerapan
ilmu Panglemunan, sehingga keberadaanku disini ti-
dak diketahui oleh siapapun!" kata si kakek.
Mbah Petir kemudian mengeluarkan sebuah
kantong kecil butut berwarna hitam dari balik pakaian
hitamnya. Kantong lalu dibuka, dia mengeluarkan tiga
buah benda berwarna putih, hitam dan merah. Ketiga
benda yang terjadi pel mujarab ini cepat dimasukkan-
nya kedalam mulut. Begitu obat memasuki tenggoro-
kannya, Mbah Petir merasakan adanya hawa panas
laksana membakar tenggorokan juga bagian lambung
nya. Beberapa kejap kemudian hawa panas menjalar
ke sekujur tubuh Mbah Petir. Orang tua ini meraung
hebat. Sekujur tubuh Mbah Petir bergetar, keringat
membasahi wajah dan pakaian orang tua ini. Walau-
pun begitu hawa panas bukannya makin mereda, tapi
semakin menggila seolah membakar dibagian dalam
terlebih-lebih di bagian dada.
"Walah tobaat... Obat atau racun yang kumi-
num tadi. Walah... walah...!" Tubuh si kakek mengele-
par wajahnya nampak merah, sedangkan mata mende-
lik seperti mau melompat keluar.
Mbah Petir kemudian terpaksa mencekik leher-
nya sendiri agar tidak keluarkan suara teriakan begitu
dia mendengar suara orang bercakap-cakap menuju ke
arahnya. Dia yang saat itu tak jauh dari sebatang po-
hon segera palingkan wajahnya ke arah datangnya su-
ara. Si orang tua menahan nafas, mulut terkatub rapat
untuk menjaga agar jangan ada suaranya yang keluar
walaupun saat itu rasa sakit akibat obat yang dima-
kannya terus mendera tidak kunjung henti.
Tidak berapa lama kemudian di tempat itu
muncul seorang pemuda berambut gondrong, berwajah
tampan bertelanjang dada. Sedangkan dileher si gon-
drong yang suka tersenyum seperti orang sinting ini
tergantung seuntai kalung bermata batu dengan warna
putih buram agak kuning kecoklatan. Bersama si gon-
drong adalah seorang laki-laki setengah baya beram-
but klimis rapi. Orang ini berpakaian kuning diwarnai
tambal-tambalan. Melihat pada penampilan serta pa-
kaian yang dikenakanya yang bersama si gondrong itu,
Mbah Petir paling tidak mengenali siapa dia adanya.
"Raja Pengemis ini bagaimana bisa muncul ber-
sama pemuda gondrong itu? Apakah dia pemuda yang
bernama Gento Guyon? Aku ingin tahu apa yang dica-
rinya di tempat ini?" kata Mbah Petir. Karena kebera
daannya tidak dapat dilihat oleh siapapun, maka enak
saja dia mendengar pembicaraan orang.
Mula-mula yang membuka mulut adalah Raja
Pengemis. "Tadi aku seperti mendengar ada suara
orang berteriak kesakitan disini. Aneh mengapa suara
itu tiba-tiba lenyap?" kata orang tua itu, sedangkan
matanya memandang liar memperhatikan kesetiap su-
dut.
Pemuda yang bersamanya menyeringai. "Aku
tidak mendengar suara apapun. Barangkali telingamu
sudah rusak, perlu diganti dengan telinga yang baru.
Orang tua seperti paman sebaiknya memakai telinga
gajah, jadi pendengaran bisa lebih terang. Ha ha ha!"
"Aku tidak bergurau, Gento. Jelas tadi aku
mendengar ada suara orang menjerit. Suara jeritan itu
seperti orang yang menderita sakit luar biasa."
Si gondrong Gento Guyon tidak menanggapi.
Matanya memandang ke depan. Kening murid kakek
gendut Gentong Ketawa berkerut ketika melihat tempat
itu berantakan seperti bekas terjadi perkelahian disitu.
10
Pendekar Sakti Gento Guyon sendiri tadi me-
mang sempat mendengar suara jeritan. Entah siapa
yang menjerit, yang jelas ditempat itu seperti pernah
terjadi perkelahian hebat. Lalu Gento mencium adanya
bau bangkai. Cepat sekali pemuda itu memeriksa kea-
daan disekelilingnya. Jika Gento mengendus bau bu-
suk, sebaiknya Raja Pengemis yang berdiri tidak jauh
dari Mbah Petir mencium bau pesing petai.
"Bau pesing, orang yang terlibat perkelahian
disini rupanya sampai terkencing-kencing. Mungkin
dia menghadapi lawan yang tangguh!" Raja Pengemis
berkata perlahan.
"Ha ha ha. Ternyata bukan cuma telingamu sa-
ja yang tidak beres. Rupanya hidungmu juga menga-
lami gangguan. Siapa bilang bau pesing? Siapa bilang
bau pete? Aku malah mencium bau busuk!" sahut si
pemuda sambil bersungut-sungut.
Di tempat duduknya Mbah Petir yang masih
menerapkan ilmu Panglemunan tak dapat menahan
senyum.
"Yang bau pesing dan bau pete itu diriku, se-
dang yang bau busuk pasti bersumber dari mayat ka-
kek Gelombang Tangis!" kata Mbah Petir. Tapi dia ma-
sih tidak berani menunjukkan diri. Di sebelah kiri sa-
na Gento Guyon mendadak keluarkan seruan terta-
han.
"Paman Raja Pengemis, aku menemukan mayat
seseorang disini!"
"Mayat... mayat siapa?" tanya Raja Pengemis.
Tergesa-gesa dia datang menghampiri. Tak lama ke-
mudian dia sudah berdiri disamping Gento. Dua orang
ini saling berpandangan.
"Kau mengenalnya?"
Gento anggukkan kepala. "Walaupun mayatnya
hampir membusuk, tapi aku tahu siapa orang ini. Be-
berapa hari yang lalu dia bertemu denganku setelah
membunuh sahabatku Rajo Penitis. Tak disangka se-
seorang telah membunuhnya di sini, kemudian mayat-
nya digantung. Paman lihatlah pesan itu?!" kata si
gondrong sambil menunjuk ke arah dua baris kalimat
yang tertera di bagian baju dan celana si mayat.
"Aku sama sekali tidak mengenali siapa yang
telah membuatnya?" ucap raja Pengemis disertai ge-
lengan kepala.
"Yang kita lihat adalah suatu kesombongan."
gumam Gento. "Pemuda jahanam itu mungkinkah dia
orangnya?"
"Siapa maksudmu?"
"Aku belum dapat memastikan. Kita lihat saja
nanti, sebelum kutemukan bukti aku tidak bisa men-
duganya begitu saja. Seperti yang paman lihat ditem-
pat ini telah terjadi perkelahian, tapi aku melihat tidak
ada korban disini."
"Mungkin mereka yang terlibat perkelahian sa-
ma-sama terluka dan sama melarikan diri."
Gento Guyon tersenyum. "Rupanya paman
menganggap mereka adalah orang-orang pengecut?"
"Kami bukan pengecut, tapi nenek jahanam itu
memang sangat tinggi sekali ilmunya!" satu suara me-
nyahuti membuat Gento dan Raja Pengemis melonjak
kaget. Mereka lalu memutar tubuh dan menghadap
langsung ke arah datangnya suara.
Kejut dihati Gento bukan kepalang ketika meli-
hat seorang kakek tua berpakaian serba hitam duduk
setengah rebah dengan tubuh bersandar pada batu tak
jauh dari tempat mereka berada. Sebaliknya Raja Pen-
gemis setelah memperhatikan dan meneliti wajah ka-
kek itu tak dapat lagi menahan tawanya.
"Kalau tak salah yang duduk rebahan disitu
bukankah dukun sakti yang selama ini dikenal dengan
julukan Mbah Petir? Apa saja yang kau lakukan disitu
Mbah, sedang kencing atau kentut? pantas tadi aku
mencium bau pesing. Rupanya kau sedang dalam kea-
daan ketakutan hingga secara pengecut menerapkan
ilmu menghilang untuk menghindari musuh.?" tanya
Raja Pengemis disertai senyum mengejek.
"Rupanya siapa kakek bau pesing ini?" tanya
Gento berbisik.
"Dia si dukun sakti yang hendak ditemui saha-
batmu Roro Centil!" jawab Raja Pengemis.
Di depan sana Mbah Petir yang baru saja sem
buh dari luka dalam yang dia alami terbatuk-batuk
sambil memegangi dadanya. Terhuyung-huyung Mbah
Petir bangkit berdiri.
Si kakek yang menjadi budek kembali akibat
pendupaannya hancur dihantam nenek Muka Setan
jadi tersenyum-senyum. Bukannya menjawab perta-
nyaan Raja Pengemis, Mbah Petir malah ajukan perta-
nyaan. "Walah syukur sekali kau datang."
Setelah berkata begitu dia beralih pada Gento.
"Dan pemuda gondrong yang bersamamu itu siapa-
kah?"
"Kau masih mengenaliku, Mbah. Bagus. Saha-
batku pemuda gondrong itu adalah Pendekar Sakti
Gento Guyon." jawab Raja Pengemis. Mbah Petir
manggut-manggut.
"Mbah, mengapa kau sampai berada disini?
Dimana sahabatku Roro Centil. Apa dia belum bertemu
denganmu?" tanya si pemuda.
Si kakek entah mendengar pertanyaan Gento
atau sebaliknya, malah unjukkan wajah kaget. "Ba-
gaimana kalian bisa mengetahui Roro Centil di culik
nenek Muka Setan?"
Gento tercengang. "Paman Raja Pengemis. Ter-
nyata bicara dengannya tidak menyambung. Rupanya
Mbah Petir saking kelewat saktinya jadi tuli. Tak ku-
sangka Roro Centil malah mengagulkan kakek budek
ini." kata Gento pada Raja Pengemis.
"Tak usah mencaci kekurangan orang. Kau
dengar tadi katanya Roro Centil dilarikan nenek Muka
Setan. Kita harus mengejarnya!" kata Raja Pengemis
pula.
"Mau dikejar kemana?"
"Tanyakan pada Mbah Petir!" sahut Raja Pen-
gemis.
Mesem-mesem sambil mengusap hidungnya
Gento ajukan pertanyaan pada kakek didepannya den-
gan suara keras. "Mbah budek.... nenek itu membawa
Roro centil kemana?"
Suara menggeledek itu tentu saja didengar oleh
Mbah petir. Sebaliknya Raja Pengemis yang berada tak
begitu jauh dari Gento jadi pengang.
"Gondrong sialan, bicara jangan seperti geledek
begitu?" bentak Raja Pengemis sewot. Gento tertawa
bergelak.
Di depan mereka Mbah Petir menyahuti.
"Gadis itu... celaka. Nenek Muka Setan mem-
bawanya ke seberang telaga."
"Sudah lama Mbah? Siapa saja yang dibawanya
kesana?" tanya Gento lembut perlahan.
"Gondrong tolol. Bicara dengannya harus den-
gan suara keras!"
"Raja Pengemis. Tadi aku sudah bicara keras
kau melarang, sekarang kau malah menyuruhku ber-
teriak?"
"Maksudku yang jelas."
"Apa menurutmu suaraku tidak jelas? Sudah-
lah dari pada kita berdebat lebih baik kita susul nenek
sialan itu!"
Selesai berkata sang pendekar cepat memutar
tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Raja Pen-
gemis segera mengikuti.
Mbah Petir sempat termangu melihat kepergian
mereka. "Hei... tunggu...!" si kakek berteriak. Suara te-
riakannya lenyap, tak ada jawaban. Mbah Petir kemu-
dian mengejar ke arah lenyapnya Gento dan Raja Pen-
gemis.
11
Di atas sebuah balai kayu tubuh si gadis tergo-
lek kaku dalam keadaan tertotok. Suasana didalam
pondok yang terang temaram membuat Roro Centil
merasa sulit untuk mengenali keadaan didalam pon-
dok. Suasana pondok yang sunyi menyadarkan gadis
ini bahwa Si Muka Setan tidak berada di pondok saat
itu.
"Nenek keparat itu pergi kemana? Apa yang
hendak dilakukannya terhadapku?" fikir gadis itu. Da-
lam keadaan dirinya tidak berdaya Roro Centil jadi te-
ringat pada Sriwidari. Gadis itu pernah mengatakan si
nenek pernah hendak berbuat keji terhadap dirinya.
Mungkinkah hal yang sama akan menimpa dirinya?
Berfikir sejauh itu membuat hati si gadis dilanda kere-
sahan.
Dia tahu Si Muka Setan tidak berada di pon-
dok, entah pergi kemana dan entah apa pula yang di-
lakukannya diluaran sana. Namun Roro Centil menya-
dari lambat atau cepat dirinya juga pasti berada dalam
incaran bahaya. Nenek itu segera kembali ke pondok.
Jika dia memang ingin selamat dari aib besar dan se-
gala kekejian yang mungkin dilakukan Si Muka Setan
maka kesempatan itu sekarang adanya.
"Aku harus membebaskan diri dari pengaruh
totokan!" gumam Roro Centil. Lalu diam-diam si gadis
pusatkan fikiran dan segera mengerahkan tenaga da-
lamnya. Tenaga dalam selanjutnya disalurkan ke ba-
gian dada.
Desss!
Roro Centil mengeluh perlahan ketika merasa-
kan tenaga dalam yang dikerahkan kebagian dada
yang kena ditotok berbalik. Ternyata totokan Si Muka
Setan tak mudah untuk dipunahkan. Penasaran Roro
Centil kembali kerahkan tenaga saktinya.
Dess! Dees!
Kembali hal yang sama terjadi. Dia bukan saja
gagal melenyapkan totokan orang, tapi juga akibat
benturan tenaga dalam dengan tenaga totokan yang
melumpuhkan seluruh tubuhnya menimbulkan rasa
sakit luar biasa di bagian dalam.
"Apa dayaku kini?" Roro Centil mengeluh putus
asa.
Gadis itu memandang ke langit-langit pondok,
tapi kemudian perhatiannya beralih ke arah pintu
pondok begitu dia mendengar suara langkah kaki ber-
lari cepat menuju kepondok itu. Satu bayangan berke-
lebat melewati pintu yang terbuka. Dilain kesempatan
sosok Si Muka Setan telah berdiri tegak disamping ba-
lai ketiduran.
Roro Centil tercekat, namun dia memang tidak
hendak bicara apapun dengan nenek bermuka seram
itu. Hanya sepasang matanya saja yang memandang
dengan mata mendelik ke arah orang tua itu.
"Hik hik hik. Aku sudah tahu kau tidak sabar
lagi menunggu saat malam pengantin itu. Kekasihku,
kau harus bersabar. Aku baru saja mempersiapkan di-
ri agar diriku menjadi lebih tangguh dibandingkan
dengan waktu-waktu sebelumnya!" kata Si Muka Se-
tan.
"Tua bangka keparat, siapa sudi berbuat keji
denganmu. Lepaskan totokan ini. Man kita bertempur
sampai seribu jurus!" teriak Roro Centil marah.
Si nenek tertawa cekikikan. Tawanya kemudian
lenyap berganti dengan seringai dikobari nafsu bejat.
"Kita memang akan bertempur. Tidak menung-
gu malam nanti, tapi sekarang. Pertempuran seru yang
tak mungkin dapat kau lupakan seumur hidup. Malah
kelak aku yakin kau pasti mencariku, lalu merengek-
rengek mengajak bertarung lagi! Hik hik hik!"
Sadar dengan maksud ucapan Si Muka Setan,
Roro Centil pun mendamprat. "Manusia keji, terkutuk.
Kau menyangka diriku serendah itu?"
"Disini aku yang berkuasa, disini aku yang me-
nentukan. Apa yang kau lihat tidak selalu seperti itu
kenyataan yang sebenarnya!" kata si nenek dengan se-
nyum bermain dimulutnya.
Dengan penuh kegeraman Roro Centil yang ti-
dak dapat menggerakkan tubuhnya itu meludahi wa-
jah buruk si nenek. Si Muka Setan seka wajahnya
yang dipenuhi ludah. "Hem, ternyata bau ludahmu
semerbak, membuat aku tak tahan menunggu lebih
lama!" selesai berkata begitu si nenek tertawa bergelak.
Tawanya lalu terhenti, sedangkan tangan kanannya
berkelebat menyambar ke bagian dada.
Breet!
Raaak!
Pakaian yang menutupi bagian dada Roro Cen-
til robek besar, aurat si gadis tersibak. Roro Centil
memaki memaki panjang pendek. Melihat pada dada
yang putih mulus itu membuat si nenek semakin ber-
tambah beringas dilanda nafsu setan. Si nenek tidak
sampai disitu saja bertindak, digerakkan tangannya
lagi ke bawah.
Breet!
"Perempuan sundal, jahanam keparat! Aku ber-
sumpah pasti akan membunuhmu!" teriak Roro Centil.
"Aku tak percaya kau dapat melakukannya!"
sahut si nenek. Sekali lagi tangannya bergerak. Men-
dadak gerakan tangan yang hendak merobek pakaian
Roro Centil jadi tertahan ketika terdengar suara gelak
tawa tak jauh dari pondok itu.
"Jika punya rejeki besar, jangan serakah sendi
ri lupakan sahabat. Ha ha ha!"
Kemudian ada suara lain menimpali. "Dia me-
mang begitu, biar sudah tua tapi masih juga serakah.
Aku tidak yakin dia perempuan tua sungguhan!"
Belum lagi lenyap rasa kaget Si Muka Setan, ti-
ba-tiba saja dia mendengar suara menderu datang dari
dua arah. Tidak jelas apa yang menimbulkan suara de-
ru itu, tapi Si Muka Setan menduga deru angin itu
pasti bersumber dari pukulan sakti. Dugaannya tidak
meleset. Dua sinar panas menghantam pondok itu dari
dua arah.
Braak!
Buum! Buuum!
Satu ledakan menggelegar terjadi berturut-
turut disertai makian dan jerit kesakitan seorang pe-
rempuan. Dua sosok tubuh terpental di udara. Salah
satu diantaranya berhasil melakukan gerakan sedemi-
kian rupa hingga dapat jatuhkan diri dengan kaki ter-
lebih dulu menyentuh tanah.
Wajah orang ini nampak pucat. Sedangkan sa-
tunya lagi melayang tak karuan, jatuh dengan kepala
membentur tanah. Satu sosok berkelebat menyela-
matkan dan menurunkan orang yang ditolong ke tem-
pat aman.
Ternyata orang yang baru diselamatkan Raja
Pengemis bukan lain adalah Roro Centil.
Di depan sana pondok yang hancur dalam wak-
tu singkat telah lenyap dalam kobaran api. Kepingan
pondok yang hancur bertebaran dimana-mana.
"Ha ha ha! Rupanya kunyuk betina jelek ini
yang telah membuat kegegeran di rimba persilatan.
Sayang singgasananya telah hancur, hingga pesta pen-
gantin tidak dapat dilangsungkan seperti yang diha-
rapkan!"
Terkejut Si Muka Setan cepat palingkan wajah
memandang ke arah orang yang baru saja bicara. Ter-
nyata orang itu bukan lain adalah seorang pemuda be-
rambut gondrong bertelanjang dada. Melihat siapa
adanya pemuda ini kejut Si Muka Setan bukan kepa-
lang. Rasa kejut kemudian lenyap berganti dengan
dendam dan amarah yang selama ini menyesakkan
dadanya.
"Pendekar Sakti Gento Guyon. Beberapa waktu
yang lalu kau dan temanmu hampir membuat aku ce-
laka. Sekarang adalah saatnya pembalasan itu!" mem-
batin si nenek. Perlahan dia putar kepalanya ke sebe-
lah kanan di seberang pondok yang hancur dilamun
api. Dia melihat disana berdiri tegak seorang laki-laki
berusia setengah baya. Laki-laki itu berpakaian serba
kuning, berambut kelimis. Melihat caranya menyela-
matkan Roro Centil tadi, si nenek dapat menduga sia-
papun adanya orang tua itu pasti dia bukan manusia
sembarangan. Tapi Si Muka Setan tidak takutkan dia.
Saat ini orang yang menjadi sasaran utamanya adalah
Pendekar Sakti Gento Guyon. Si gondrong itu harus di-
lenyapkan hingga dia dapat berbuat apa saja di dunia
persilatan kelak tanpa ada orang yang dapat mengha-
langi.
"Nenek Muka Setan. Kulihat kau memandang-
ku terus sejak tadi. Apakah kau merasa jatuh cinta
padaku? Atau kau merasa terganggu atas kehadiran
kami? Kalau begitu mohon dimaafkan karena kami ti-
dak menyangka kau sedang berbulan madu didalam
pondok itu! Ha ha ha." kata Gento lalu tertawa terge-
lak-gelak.
"Apa betul dia sedang berbulan madu, Gento.
Semula aku menyangka dia dukun beranak dari nera-
ka. Tapi siapa yang hendak melahirkan. Kulihat perut
gadis sahabatmu ini kempes. Aneh... gadis ini bukan
bayi lagi. Mengapa dia hendak menelanjanginya?" cele
tuk Raja Pengemis. Diapun kemudian ikut tertawa.
"Kalau begitu dia adalah perempuan gila yang
baru saja terlepas dari penjara neraka!" kata Gento
"Bangsat jahanam bernama Gento Guyon. Ru-
panya kau datang sengaja hendak mencari mati! Aku
Si Muka Setan memang telah lama menunggumu.
Sayang kesempatan bertemu denganmu baru seka-
rang, setelah aku merasa lelah membunuh orang-
orang tolol yang mengaku dirinya sebagai manusia dari
golongan lurus." dengus si nenek disertai seringai si-
nis.
Tak menyangka orang mengenal siapa dirinya,
tentu saja Gento di buat kaget. Tapi rasa kaget itu
hanya berlangsung sesaat saja. Karena di lain saat dia
sudah ajukan pertanyaan. "Kuntilanak setan, bertemu
denganmu rasanya baru kali ini. Bagaimana kau bisa
tahu namaku? Apa arwah Perampas Benak Kepala te-
lah datang menyambangimu dan memberi kabar pa-
damu bahwa junjunganmu ini akan datang menemui
dirimu?"
Si Muka Setan berjingkrak kaget mendengar
ucapan Pendekar Sakti Gento Guyon. Dia tak pernah
menyangka Perampas Benak Kepala telah tewas bah-
kan tak pernah membayangkan pula terbunuh di tan-
gan orang yang sangat dia benci. Jika benar Gento
mampu membunuh kaki tangannya itu, berarti ilmu
kesaktian yang dimiliki lawan telah maju pesat. Si ne-
nek melirik ke arah Gento. Dia melihat sebuah kalung
bermata batu tergantung di leher Gento.
"Kalung itu, apakah mungkin suatu benda yang
menyimpan kesaktian? Lima purnama yang lalu dia ti-
dak memiliki benda itu? Akh... kurasa kalung batu itu
hanya benda rongsokan yang dipungutnya di tengah
jalan. Dasar pemuda edan? Buat apa aku takutkan
dia? Malah kini dia harus tunduk dan patuh kepada
ku." kata si nenek dalam hati.
"Muka Setan, sejak tadi kau melirik terus kepa-
daku. Apakah kau merasa jatuh cinta? Atau kau se-
sungguhnya takut kepadaku karena sadar Perampas
Benak Kepala dapat kubunuh dengan mudah?" panc-
ing Gento.
"Ha ha ha! Perampas Benak Kepala kuakui
memang telah membantuku selama ini. Tapi bagiku
dia bukan segalanya. Aku hanya memanfaatkan ke-
pandaian dan ilmu yang dia miliki sebagai alat. Jika
benar dia terbunuh ditanganmu apa hebatnya?"
"Gento, suara nenek itu. Apa kau yakin dia
memang seorang perempuan?" tanya Raja Pengemis
terkejut mendengar suara si nenek mendadak jadi be-
rubah. Pendekar Sakti Gento Guyon tertawa panjang.
"Raja Pengemis! Sayang aku tak dapat menja-
wab pertanyaanmu. Aku sama sekali belum memeriksa
perabotannya. Kau tadi yang mengintip dari belakang
pondok apa belum melihat bagaimana rupanya dia
punya? Putih atau burik bulat atau seperti bintang?
Ha ha ha!"
"Kalau tak salah seperti buah melon, itu juga
baru sebelahnya saja. Sedang yang sebelah lagi gelap.
Ha ha ha!" sahut Raja Pengemis sambil mengumbar
tawanya pula.
"Keteranganmu membuat aku ragu. Mungkin
yang kau lihat milik orang lain. Sedang yang dia punya
setahuku seperti golok semar. Ha ha ha!"
Merah padam wajah cacat si nenek. Walaupun
begitu dia masih berusaha menahan diri. Sambil me-
nyeringai penuh keangkuhan Si Muka Setan membuka
mulut berucap. "Aku tidak akan heran, orang yang su-
dah mendekati ajal biasanya memang suka bicara nga-
co. Aneh... orang lain banyak berdoa diakhir hidupnya,
tapi kalian tidak. Malah bicara ngaco belo tak ka
ruan...!"
"Muka Setan! Kau kira dirimu wakil malaikat
maut, hingga dengan seenaknya sendiri dapat memas-
tikan kematian orang?" kata Raja Pengemis.
"Dia bukan wakil malaikat maut, manusia den-
gan rupa seperti dirinya pasti wakil dari nafsunya sen-
diri!" kata Gento menimpali.
12
Untuk beberapa saat lamanya kawasan di tepi
Telaga Tengkorak Hantu itu diwarna gelak suara tawa
Raja Pengemis dan Gento Guyon. Nenek Muka Setan
kertakkan rahang, dua bola matanya memandang
mendelik pada Gento dan Raja Pengemis, kemudian
sambil melompat maju Si Muka Setan berucap. "Dua
manusia calon puntung neraka. Aku muak mendengar
tawa kalian. Karena itu kau dan kawanmu boleh me-
neruskannya di neraka!"
Gento hentikan tawanya, sedangkan Raja Pen-
gemis diseberang pondok yang telah berubah menjadi
bara masih juga mengumbar tawanya. Sang pendekar
kemudian berkata. "Rupanya kau penjaga di neraka?
Tapi mengapa bisa kesasar kemari? Kalau tak kebera-
tan sebaiknya tolong carikan tempat untuk kami di ne-
raka sana. Jangan lupa carikan yang ada tempat pe-
mandiannya, sebab kawanku Raja Pengemis sudah se-
tahun lebih tidak mandi! Ha ha ha."
"Sekalian tukang urutnya. Kalau bisa gadis
yang cantik. Bukan nenek berwajah setan sepertimu!"
kata Raja Pengemis menimpali.
Tampang angker si nenek berubah tegang, din-
gin menggidikkan. Secara tak terduga dia menghantam
Raja Pengemis dengan pukulan jarak jauh. Kemudian
laksana kilat dia berbalik, berkelebat cepat ke arah
Gento sambil kibaskan kedua tangannya ke arah pe-
muda itu.
Di sebelah sana segulung angin laksana topan
prahara melabrak habis tubuh Raja Pengemis. Orang
tua itu sempat tercekat, namun segera sadar bahaya
besar mengancam nyawanya. Tidak membuang waktu
lagi Raja Pengemis melompat ke sebelah kiri, lalu ja-
tuhkan tubuh terus bergulingan hingga dia selamat
dari terjangan pukulan lawan. Di belakang orang tua
itu terdengar suara ledakan berdentum. Batu bertabu-
ran di udara, pepohonan rambas seperti diterjang sen-
jata tajam. Raja Pengemis leletkan lidah, muka pucat,
sedangkan tengkuk tidak rasa tengkuk lagi, dingin ba-
gaikan es.
"Nenek Muka Setan ini entah siapa dia adanya.
Tapi kurasa dua atau tiga orang berkepandaian seper-
tiku belum tentu sanggup menjatuhkannya!" gumam
orang tua itu.
Sementara itu ketika mendapat serangan dari
Muka Setan, Gento cepat melangkah mundur satu tin-
dak kebelakang. Setelah tangan kanan digerakkan ke
atas menangkis serangan lawan, sedangkan tangan ki-
ri melesat menghantam perut si nenek.
Duduk! Duuk!
Dess!
Bentrokan keras akibat tangkisan Gento, serta
hantaman tangan kiri yang berhasil perut si nenek
membuat Muka Setan terpental, jatuh dengan kedua
kaki ditekuk. Terhuyung-huyung Muka Setan memaki.
Tapi pada saat itu Gento telah mencecarnya dengan
serangkaian tendangan beruntun. Dua tangannya juga
berkelebat menyambar ke bagian wajah si nenek.
Si Muka Setan keluarkan suara raungan dah-
syat. Dia memutar tubuhnya ke belakang selamatkan
wajah dari sembaran jemari lawan. Sambil berbalik
tangan kirinya menyambar kebelakang menyambut
tendangan Gento.
Breet!
Bukan hanya sambaran tangan Gento saja
yang tidak mengenai sasaran. Sebaliknya kaki kiri
sang pendekar yang melepaskan tendangan kena di-
hantam lawannya. Sambil berjingkrak menahan sakit
dan mata terbelalak ketika melihat bagaimana ujung
kaki celananya hangus menjadi bubuk terkena samba-
ran tangan si nenek, Gento Guyon selamatkan diri ke
samping.
"Jadi kau manusianya yang memiliki pukulan
Telapak Beracun? Berarti kau pula orangnya yang te-
lah membunuh beberapa tokoh golongan putih cabang
atas!" teriak Gento marah.
Si nenek tertawa bergelak sambil bertolak ping-
gang. Sesungging seringai mengejek bermain dibibir-
nya. "Kalau sudah tahu mengapa tidak cepat berlutut
dihadapanku? Jiwamu pasti kuampuni, tapi kau harus
menyalak seperti anjing! Hik hik hik!"
"Kalau aku anjing, kau pantas menjadi nenek-
nya. Nah sekarang nenek anjing katakan padaku ba-
gaimana caranya berlutut. Apakah dengan posisi me-
nungging, atau pantatku harus menghadap ke arah-
mu. Kalau caranya seperti terakhir yang kusebutkan
yang bisa melakukannya hanya Mbah Petir. Karena
cuma dia yang bisa kentut, sayang orangnya tidak ada
disini! Ha ha ha!" kata Gento dengan nada mengejek.
"Paling tidak kau harus membuka celanamu,
Gento. Dengan begitu dia bisa sekalian bercermin di-
pantatmu!" celetuk Raja Pengemis menimpali.
Mendengar ucapan kedua lawannya darah si
nenek laksana mendidih, sepasang mata berkilat dipe-
nuhi nafsu membunuh.
"Dua manusia jahanam. Pertama kali aku akan
membereskan monyet gondrong ini dulu!" teriak si ne-
nek. Kemudian dia melanjutkan ucapannya ditujukan
pada Raja Pengemis. "Setelah itu baru giliranmu pen-
gemis keparat. Untuk kematianmu aku telah memilih-
kan jalan yang paling sulit!" Tanpa memberi kesempa-
tan lagi bagi lawan-lawannya untuk bicara. Didahului
teriakan keras si nenek menyerbu ke arah Gento. Kali
ini dia menghantamkan dua tangannya sekaligus. Dua
larik cahaya putih menyilaukan mata berkiblat. Hawa
panas menyambar disertai suara gemuruh hebat.
"Pukulan Kutukan Mendera Bumi! Bangsat ja-
hanam jadi kiranya kau Panji Anom murid kakek ke-
parat Begawan Panji Kwalat?" seru Gento kaget begitu
mengenali pukulan lawan.
Si nenek tertawa bergelak. "Bagus kalau kau
sudah tahu siapa diriku. Bersiaplah untuk mati!" kata
si nenek yang ternyata adalah Panji Anom Penggetar
Jagad.
Sadar dengan siapa dirinya berhadapan, Gento
Guyon tak mau mengambil resiko. Dengan cepat dia
menangkis serangan lawan dengan pukulan Iblis Ke-
tawa Dewa Menangis.
Segulung angin menderu disertai melesatnya
selarik sinar tujuh warna seperti pelangi. Dua pukulan
bentrok di udara menimbulkan ledakan berdentum.
Dua sosok tubuh terlempar kebelakang. Gento jatuh
bergulingan, dadanya serasa remuk, nafas megap-
megap namun cepat bangkit kembali.
Didepannya sana dengan terhuyung-huyung, Si
Muka Setan sudah berdiri kembali. Baju dibagian dada
robek besar, hangus menjadi bubuk. Dibalik baju yang
hangus terlihat pakaian lain berwarna merah. Pada
bagian pakaian didepan dada terlihat sulaman ber-
gambar bumi berwarna hijau juga lintasan kilat ber
warna putih.
"Panji Anom manusia jahanam, jadi rupanya
kau orangnya yang menjadi dalang dari peristiwa yang
mengerikan itu? Sejak semula aku memang sudah
menduga. Sayang aku berada dalam keraguan!" den-
gus Gento Guyon.
Di depannya si nenek robek topeng kulit tipis
yang menutupi wajah aslinya. Begitu kedok dibuka
maka terlihatlah seraut wajah tampan seorang pemu-
da. Wajah yang membayangkan kelicikan serta kesom-
bongan.
Raja Pengemis terperangah. Dia sama sekali tak
pernah menyangka kalau wajah sosok nenek Muka Se-
tan yang dilihatnya sejak tadi sesungguhnya hanya
kedok belaka.
"Jadi ini bangsatnya yang bernama Panji Anom.
Pantas saja dia hendak berlaku keji pada setiap gadis
yang diculiknya!" kata Raja Pengemis sambil gelengkan
kepala penuh rasa tak percaya.
Panji Anom tertawa lebar. Tanpa menghiraukan
Raja Pengemis kini dia menyerang. Tidak kepalang
tanggung untuk serangan kedua ini dia menghantam
lawannya dengan pukulan Kutukan Mendera Bumi ju-
ga pukulan Tiga Petaka Bumi. Begitu dia menghantam
kedepan, kemudian laksana kilat Panji Anom jatuhkan
diri dengan posisi berlutut, sedangkan tangan dihan-
tamkan ke tanah. Apa yang terjadi kemudian sungguh
mengerikan. Dari atas menderu sinar putih yang lang-
sung melibas Gento. Sedangkan dari tanah mendadak
terdengar suara bergemuruh disertai melesatnya sela-
rik sinar merah yang langsung memecah menjadi tiga
bagian. Tiga sinar itu satu diantaranya menghantam
bagian kaki Gento, satunya lagi melesat tak terduga ke
arah Raja Pengemis. Orang tua itu melompat ke udara.
Sedangkan Gento nampak repot sekali. Tak urung pe
muda ini kemudian lesatkan tubuhnya ke udara. Tapi
sinar putih masih sempat menghantam bagian ka-
kinya.
Buuum!
Murid kakek Gendut Gentong Ketawa jatuh
bergulingan. Kedua kaki celananya hangus robek sam-
pai sebatas lutut. Jika Raja Pengemis dapat menghin-
dari serangan lawan. Maka begitu jatuh Gento merasa
sulit untuk berdiri. Dua kakinya yang kena dihantam
pukulan lawan selain panas bukan main juga terasa
lumpuh. Dia mencoba berdiri tapi jatuh lagi. Melihat
hal ini Panji Anom sang musuh bebuyutan tak tinggal
diam. Sambil melompat ke arah Gento dia lepaskan
tendangan ke wajah lawannya.
Nampaknya sang pendekar merasa sulit meng-
hindari serangan itu, tapi dia tetap bergulingan ke
samping mencari selamat. Raja Pengemis melihat sa-
habatnya berada dalam ancaman bahaya besar segera
melompat sambil melepaskan pukulan Penyedot Raga.
Wuuut!
Selarik sinar kebiruan menderu menghantam
Panji Anom dari arah samping. Merasakan ada angin
dingin menyambar ke arahnya, Panji Anom terpaksa
batalkan tendangan ke arah Gento. Tubuhnya berpu-
tar, tangan kanan lalu dihantamkan melepas pukulan
Prahara Perut Bumi.
Sinar putih kuning dan merah berkiblat dari
tangan si pemuda. Tapi kejut si pemuda bukan kepa-
lang ketika melihat bagaimana pukulan yang dile-
paskannya amblas tersedot oleh serangan lawan. Bu-
kan hanya itu saja, tubuhnya sendiri kemudian ikut
tertarik ke arah lawan. Tak mau konyol dan celaka di-
hantam pukulan lawannya. Panji Anom gerakkan tan-
gan kanan ke atas, tangan yang bergetar dan menebar
bau busuk itu lalu didorongnya ke arah Raja Penge
mis.
Wuuut!
"Ilmu Kutukan Dalam Pusara!" seru Raja Pen-
gemis kaget. Sadar betapa ganasnya pukulan lawan,
Raja Pengemis tarik balik serangannya. Dengan cepat
dia melompat mundur selamatkan diri. Sayang gera-
kan yang dilakukannya kalah cepat dengan serangan
Panji Anom.
Hanya dalam waktu sekejap tubuhnya mencelat
lima tombak terkena pukulan lawannya. Raja Penge-
mis menjerit, tubuhnya jatuh tenanting, dari mulut
dan hidungnya menyemburkan darah, sedangkan se-
kujur tubuh orang tua itu nampak membiru, nafas
megap-megap mata mendelik.
"Manusia keparat! Kau telah mencelakai saha-
batku! Kubunuh kau!" teriak Gento yang kini sudah
dapat berdiri. Panji Anom balikkan badan menghadap
langsung ke arah si pemuda.
"Ha ha ha! Kau bisa apa Gento. Dengan ilmuku
yang sekarang kau tidak akan lolos dari kematian!" ka-
ta Panji Anom bangga. Gento tersenyum. "Aku tidak
percaya dengan segala bualanmu, Panji Keparat! Ha ha
ha!" sahut Gento.
Merasa diri diremehkan lawannya. Panji Anom
sambil keluarkan suara menggerung melesat kedepan,
selagi melesat di udara dia lakukan gerakan aneh. Tu-
buhnya dibungkukkan sedemikian rupa sedangkan
tangannya terjulur menghantam dada Gento. Si gon-
drong coba menangkis, tangkisan luput karena kini
tangan bergerak ke bawah menghantam perut.
Desss!
Satu hantaman yang sangat keras mendera pe-
rut Gento membuat pemuda ini jatuh terduduk, me-
nyeringai kesakitan sambil pegangi perutnya yang
mendadak terasa beku dan menimbulkan sakit luar
biasa. Memandang kebagian perutnya mata Gento
mendelik besar begitu melihat bagaimana bagian pe-
rutnya nampak membiru.
Cepat pemuda ini mengambil dua butir pel
berwarna hitam dan menelannya. Begitu obat ditelan si
pemuda merasakan adanya hawa panas menyebar ke-
bagian perut, hawa dingin akibat pukulan berangsur
lenyap. Sambil menyeringai Gento bangkit berdiri. Pan-
ji Anom terkejut melihat lawan dapat menyembuhkan
diri dari pukulan Kutukan Dalam Pusara secepat itu.
Tapi dia nampaknya tidak perduli. Saat itu dia sangat
bernafsu sekali untuk menghabisi lawannya. Didahului
dengan bentakan keras dia melompat kedepan siap
lancarkan tendangan dan pukulan. Tapi pada saat itu
Gento telah mengerahkan salah satu ilmu andalannya,
yaitu ilmu Menitis Bayangan Raga warisan manusia
setengah roh setengah manusia Kakek Seribu Tahun.
Gerakan Panji Anom sekonyong-konyong jadi tertahan
ketika melihat bagaimana tubuh dan sosok Gento kini
telah mengembar menjadi lima orang.
"Jahanam keparat! Pemuda edan ini punya il-
mu apa? Mengapa aku dulu tidak melihatnya?!" kejut
si pemuda. Walaupun hatinya sempat menjadi jerih
melihat lawannya yang bisa berubah menjadi lima
orang itu. Namun Panji Anom adalah manusia penuh
kesombongan. Dengan penuh rasa percaya diri dia li-
pat gandakan tenaga dalamnya lalu menghantam den-
gan dua pukulan berturut-turut ke lima arah.
Wuuut! Wuuut!
Udara dingin dan panas datang silih berganti
menderu dan langsung menghantam kelima sosok
Gento. Di depan sana kelima sosok Gento kerahkan
tenaga kebagian kalung. Kemudian mata Kalung Raja
Langit diusap tiga kali. Dari kelima masing-masing ma-
ta kalung yang tergantung dileher lima kembaran Gen
to membersit sinar putih yang langsung menyambar
kedepan menyambat pukulan Panji Anom.
Buuum!
Satu ledakan menggelegar laksana menggun-
cang seluruh bumi. Panji Anom menjerit. Tubuhnya
terpental, pakaian dikobari api. Di depan sana sosok
Gento tergontai, empat kembarannya lenyap. Asap teb-
al menutupi pemandangan. Dalam gelap Gento me-
lompati lubang besar dikobari api yang terjadi akibat
ledakan tadi. Dia memburu ke arah jatuhnya Panji
Anom. Tapi Gento akhirnya menjadi kaget ketika men-
dapati Panji Anom telah lenyap meninggalkan tempat
itu.
Pemuda ini hanya melihat ceceran darah dan
serpihan pakaian yang hangus di tempat jatuhnya
Panji Anom. Gento menarik nafas. Saat itu asap tebal
telah sirna dan suasana menjadi terang seperti semula.
Gento memandang ke sebelah kiri.
"Pemuda jahanam itu telah melarikan diri!" ka-
ta Raja Pengemis yang saat itu sudah dapat duduk
kembali, namun beberapa bagian tubuhnya nampak
masih membiru.
"Ya, ini sangat kusesalkan. Harusnya pemuda
itu tak kubiarkan lolos agar kelak tidak menimbulkan
malapetaka lagi!" sesal Gento.
"Sudahlah. Sebaiknya kau bebaskan dulu gadis
sahabatmu itu dari pengaruh totokan." ujar Raja Pen-
gemis.
"Tidak usah, aku sudah membebaskannya!" sa-
tu suara menyahuti. Lalu Gento dan Raja Pengemis
mencium adanya bau pesing dan bau kentut. Mereka
cepat menoleh ke arah Roro Centil. Keduanya melen-
gak ketika melihat Mbah Petir sudah duduk disamping
si gadis dan nampak sibuk mengganti pakaian gadis
itu dengan pakaian yang baru.
"Mbak Pesing, bagaimana kau bisa ada disitu!"
desis Gento heran.
"Ha ha ha. Sebenarnya aku sudah disini sejak
tadi. Tapi aku tidak berani menolong, tidak pula berani
membantu. Jadi aku bersembunyi saja di batu itu."
Mbah Petir sambil menunjuk ke arah batu besar seja-
rak dua langkah dibelakangnya.
"Dasar manusia pengecut, orang tua sepertimu
buat apa hidup jika tidak berguna?!" damprat Raja
Pengemis.
"Ingat, aku seorang dukun. Bukan jago silat. He
he he!" sahut Mbah Petir tenang.
"Dukun gila, mengobati sakit kentut dan ken-
cingmu sendiri saja tidak becus. Sebenarnya Mbah le-
bih pantas menjadi penjaja pete" kata Gento bersun-
gut-sungut. Pemuda itu kemudian menghampiri Raja
Pengemis. Melihat keadaan orang tua itu dia gelengkan
kepala. Kemudian tanpa bicara apa-apa dia sumpalkan
tiga butir pel kemulut Raja Pengemis.
"Hoek, apa ini?" teriak Raja Pengemis sambil
berusaha muntahkan obat pemberian Gento. Pemuda
itu sambil terkekeh-kekeh ketuk tenggorokan Raja
Pengemis. Akibatnya obat tadi masuk kedalam perut
Raja Pengemis.
"Aku suka lupa. Yang kuberikan padamu tadi
entah obat entah racun, paling tidak salah satu dianta-
ranya. Ha ha ha! Tunggu satu hari, kalau paman sehat
berarti yang kuberikan adalah obat, jika sebaliknya be-
rarti yang paman makan tadi racun.!"
"Pemuda edan, tega betul kau!" teriak Raja Pen-
gemis.
Gento tidak ambil perduli. Dia melirik ke arah
Roro Centil. Si gadis dengan tatap mata berbinar se-
perti hendak mengucapkan sesuatu, tapi tidak jadi ke-
tika melihat Gento kedipkan mata ke arahnya.
"Sebaiknya untuk sementara kau bersama
Mbah bau pete itu Roro. Siapa tahu kelak kau berjo-
doh dengannya. Tapi jika boleh aku memberi saran,
sebaiknya kau memilih aku saja. Ha ha ha." kata Gen-
to sambil tertawa. Tak lama dia berpaling pada Raja
Pengemis. "Paman, paling tidak kau membutuhkan
waktu satu hari untuk beristirahat disini. Aku berjanji
akan mencari muridmu."
"Kalau begitu aku ikut?!" kata Raja Pengemis.
Gento gelengkan kepala.
"Tak usah. Jika kau ikut berarti aku harus
menggendongmu. Menggendong tua bangka dan pen-
gemis sepertimu aku takut ketularan jadi kere. Ha ha
ha!"
"Bocah sialan. Berani sekali kau menghinaku!"
damprat Raja Pengemis.
Yang dimaki terkesan tidak perduli. Masih den-
gan tertawa-tawa dia hampiri Roro Centil. Ditoelnya
dagu gadis itu. Wajah Roro Centil berubah kemerahan.
"Pemuda kurang ajar kubunuh kau!" teriak si gadis.
Mulutnya membentak marah, tapi sebenarnya hati si
gadis merasa berbunga-bunga.
Tawa Gento makin melebar. Tepat disamping
Mbah Petir dia hentikan langkah, tubuhnya mem-
bungkuk mulut didekatkan ke telinga Mbah Petir. Tapi
tiba-tiba dia tegak kembali.
"Mbah budek Mbah Pete, tadinya aku mau
mengucapkan selamat tinggal padamu. Tapi tak jadi,
telingamu ternyata selain culean juga bau pete. Ha ha
ha!" kata Gento sambil berkelebat pergi.
Mbah Petir yang tidak mendengar ucapan Gen-
to hanya senyum-senyum saja. Mulutnya berucap. "Te-
rima kasih. Kau memang pemuda hebat. Ha ha ha!!!"
Roro Centil tersenyum.
"Kakek geblek, orang menghina dirinya dia ma
lah berterima kasih! Dasar tolol!" dengus laki-laki itu
lalu tertawa tergelak-gelak.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA!!!
- SETAN SABLENG –







0 komentar:
Posting Komentar