https://matjenuhkhairil.blogspot.com : Tempat Membaca Cerita Silat Wiro Sableng Dan Pendekar Sakti Di Seluruh Nusantara

Selasa, 16 Desember 2025

Gento Guyon Episode Gelombang Naga


1

Cahaya bulan empat belas timbul tenggelam
dalam bayangan mendung kelabu. Suara serangga
malam sesekali terdengar diselingi suara lolong anj-
ing di kejauhan. Angin berhembus perlahan, namun
suasana di malam itu terasa panas menggelisahkan.
Di langit cahaya bulan kembali tertutup mendung
tebal. Sementara di satu tempat pemakaman bernama Liang Landak, satu sosok berpakaian serba hi-
tam berambut kaku macam ijuk muncul di sana,
berdiri tegak dengan tubuh terhuyung-huyung. Sepasang matanya berusaha menembus dalam gelap.
Secara samar dia melihat batu-batu nisan yang ber-
sembulan di dalam tanah. Sosok itu gelengkan kepa-
la. Agaknya kehadirannya di tempat itu adalah sesuatu yang tidak disengaja. Terbukti dia begitu ter-
kejut.
"Bagaimana aku bisa sampai ke sini? Kalau
tidak salah bukankah tempat ini yang dinamakan
Liang Landak. Tempat pemakaman beberapa tokoh
sesat beberapa abad yang silam? Gila... jika bukan
karena Bayangan Maut tadi rasanya tidak mungkin
aku sampai kesasar ke tempat ini. Hemm, nenek keparat itu kurasa bukan manusia. Tapi roh gentayan-
gan berujud manusia dan serigala. Gila... aku men-
guras hampir ilmu kesaktian yang kumiliki. Tapi dia
tidak mati. Pukulan Delapan Tinju Mabuk, jurus Tujuh Pedang Perisai Dewa, Pukulan Tanpa Ujud. Dengan pukulan-pukulan itu aku telah mencoba meng-
hancurkannya. Tapi aku tidak ubahnya seperti
menghantam angin. Beruntung aku dapat melarikan

diri, lebih untung lagi dia tak tahu aku pergi ke arah
mana. Jika tidak bisa amblas nyawaku." Sambil gelengkan kepala sosok yang ternyata adalah kakek
aneh bernama Tapa Gedek itu leletkan lidah.
"Jika nenek sakti itu tidak mempan pukulan
sakti. Apa yang dia miliki hampir sama dengan An-
gin Pesut alias Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Mengapa dia begitu marah ketika aku tidak mengambil
tindakan apa-apa pada Angin Pesut. Walau dia tak
mengatakan, aku yakin nenek itu menyimpan den-
dam selangit pada kakek itu. Sayang aku tak tahu
silang sengketa apa yang terjadi antara mereka.
Huh... buat apa ku fikirkan segala urusan orang.
Saat ini aku sudah tersesat jauh, aku harus kembali
ke gunung Lawu?" fikir kakek itu.
Kakek yang memiliki kebiasaan menggeleng-
kan kepala itu kemudian balikkan badan bermaksud
tinggalkan tempat itu. Akan tetapi secara tak terduga begitu dia memutar langkah, salah satu kakinya
menginjak batu menonjol yang tersembul di permu-
kaan tanah. Ketika batu yang terinjak tak sengaja
itu amblas ke dalam tanah. Detik itu juga terdengar
suara bergemuruh hebat. Tanah terkuak lebar seluas tiga tombak. Tapa Gedek tersentak kaget, wa-
jahnya mendadak pucat, namun dia cepat melesat
ke udara, berjumpalitan beberapa kali agar dirinya
tidak sampai ikut amblas ke dalam tanah. Kakek ini
memang berhasil jejakkan kaki tak jauh dari mulut
lubang. Tapi kemudian sesuatu yang tidak terduga
terjadi atas dirinya. Dari bagian tanah yang amblas
dan mengeluarkan suara gemuruh dahsyat. Tiba-
tiba saja ada satu kekuatan namun tidak terlihat
menarik dirinya ke bawah.

"Hah..."
Dalam kejutnya Tapa Gedek berusaha me-
nyelamatkan diri dengan menyambar sebatang anak
pohon seukuran lengan orang dewasa. Tapi kekuatan yang menariknya dari bagian dalam lubang itu
ternyata lebih dahsyat. Semakin Tapa Gedek menco-
ba bertahan, semakin bertambah hebat pula daya
tarik di bawah sana.
Kraaak!
Pohon yang dijadikan tempat bertahan ber-
derak patah. Tak ampun lagi tubuh Tapa Gedek ter-
sedot ke bawah dan terus terseret masuk ke dalam
lubang menganga.
Blung!
SI kakek jatuh ke dalam lubang menganga
yang tak terukur dalamnya. Suasana di dalam lu-
bang yang semula gelap gulita kini berubah terang-
benderang begitu pinggul Tapa Gedek menghantam
bagian dasar lubang menganga. Dengan terengah-
engah dan wajah pucat diliputi ketegangan si kakek
bangkit berdiri. Tapa Gedek menarik nafas. Dingin-
nya udara di dalam lubang membuat sekujur tubuh
Tapa Gedek menggigil. Gerahamnya bergemeletukan.
Si kakek kerahkan tenaga dalam untuk mele-
nyapkan rasa dingin yang menyerang dirinya. Hawa
dingin itu secara perlahan berangsur lenyap.
Tapa Gedek kitarkan pandang menatap ke
segenap penjuru. Ruangan di bagian dasar lubang
menganga itu ternyata cukup luas. Bagian dinding-
nya terdiri dari bebatuan indah dipahat sedemikian
rupa oleh seorang juru ukir yang memiliki cita rasa
seni tinggi. Tapa Gedek tertegun melihat semua ini.
Ukir-ukiran yang terdapat di bagian dinding lubang

indah menakjubkan dan sangat menarik perhatian-
nya. Tapi kemudian perhatiannya lebih tertuju pada
sebuah lorong panjang selebar dua tombak dengan
bagian langit-langit setinggi satu setengah tombak.
Dari lorong inilah cahaya menyilaukan ini berasal.
Sambil memandang ke arah lorong menyilaukan ini
Tapa Gedek bertambah heran. Dalam hati dia berka-
ta. "Tempat aneh, aku tak pernah menyangka ada
ruangan seperti ini di bawah kubur Liang Landak?
Dan cahaya itu seakan ada kehidupan terpendam di
bawah sini. Naluriku mengatakan ada bahaya besar
yang bakal terjadi. Aku harus segera mencari sela-
mat." kata si kakek. Kemudian orang tua itu don-
gakkan kepalanya ke atas. Bagian permukaan lu-
bang sama sekali tak terlihat disaput kegelapan. SI
kakek tak dapat memperkirakan berapa dalam jarak
antara dasar lubang dengan mulut lubang.
"Celaka! Aku tidak punya ilmu Cecak Me-
rayap, tak mungkin aku bisa merayap sampai ke
atas sana." kata si kakek. Kembali dia memandang
ke arah lorong. Kini dia teringat ketika dia bertahan
pada kayu dia mendengar suara gemuruh dahsyat,
serta adanya satu kekuatan yang menarik tubuh-
nya. Suara gemuruh lenyap dan kekuatan yang
membetotnya juga Lenyap begitu dia terjatuh ke da-
lam lubang.
"Untuk sementara aku harus melupakan ba-
gaimana caranya agar aku dapat tinggalkan tempat
ini. Sekarang aku harus mencari tahu kekuatan apa
yang sanggup memaksaku hingga terjatuh di tempat
Ini." berkata begitu Tapa Gedek akhirnya membu-
latkan tekad memasuki lorong yang ditaburi cahaya
putih menyilaukan yang berada di sebelah kirinya.

Begitu si kakek menelusuri lorong berbentuk
bundar tersebut, dia merasakan satu sengatan yang
sangat luar biasa panasnya. Tapa Gedek menyerin-
gai. Hawa panas membuat tubuhnya seolah mau
meleleh. Hanya karena tekad serta rasa ingin tahu
yang begitu kuat membuat Tapa Gedek tidak ber-
geming. Malah dengan langkah lebar dia terus saja
susuri lorong cahaya itu.
Tak berapa lama kemudian sampailah si ka-
kek di ujung lorong yang sekaligus merupakan batas
cahaya antara putih dan biru. Sampai di batas anta-
ra dua cahaya putih dan biru si kakek hentikan
langkahnya. Tertegun dalam keraguan Tapa Gedek
pandangi ruangan luas berwarna biru itu. Sekali lagi
Tapa Gedek jadi bicara sendiri. "Ruangan itu ter-
bungkus kabut. Aku hampir tak dapat melihat ge-
rangan apa yang terdapat dibalik kabut. Perasaanku
jadi tidak enak. Seolah ada cahaya yang mengintai-
ku disana. Mungkin aku harus mundur kembali ke
tempat semula di mana aku terjatuh. Di tempat itu
aku bisa menunggu hingga pagi tiba, fikir Tapa Ge-
dek. Lalu cepat sekali dia memutar tubuh. Tapi si
kakek tercekat begitu lorong di belakangnya menda-
dak Lenyap, raib entah kemana.
"Tak mungkin! Bagaimana bisa terjadi hal
yang seperti ini. Aku jelas melewati lorong itu. Men-
gapa lorong yang kulewati tiba-tiba saja raib. Mung-
kinkah perangkap, mungkin jebakan? Siapa yang te-
lah menjebakku?" Selagi fikiran si kakek dipenuhi
tanda tanya. Di saat hati orang tua itu diselimuti pe-
rasaan gelisah, maka pada saat itu pula terdengar
satu ngiangan di telinga kanannya.
"Tapa Gedek. Jangan kau sampai melewati

batas cahaya putih itu. Jika kau sampai memasuki
ruangan batas biru, maka sekujur tubuhmu akan
meleleh bagaikan lilin. Ruangan biru sekilas me-
mang terasa dingin, tapi apa yang kau rasakan itu
adalah tipuan saja. Bukan keadaan yang sesung-
guhnya." kata suara itu. Tapa Gedek tentu saja ter-
sentak kaget.
Jelas suara ngiangan yang di dengarnya jelas
bukan sesuatu yang asing bagi dirinya. Suara yang
dia dengar adalah suara gurunya Manusia Selaksa
Angin. Suara itu tentu saja sangat mengejutkan di-
rinya, karena Tapa Gedek sama sekali tak menyang-
ka sang guru mengetahui dirinya terjebak di Liang
Landak. Walaupun begitu Tapa Gedek tak mau ter-
tipu, apalagi mengingat saat ini kitab ilmu Gelom-
bang Naga ada ditangannya. Lalu dengan melalui il-
mu mengirimkan suara dia segera ajukan perta-
nyaan. "Guru... benarkah kau guruku?" Sayup-
sayup kembali terdengar suara ngiang jawaban.
"Samber geledek. Tentu saja aku gurumu."
damprat suara itu ketus. Tapa Gedek sampai ber-
jingkrak kaget. Namun dengan tenang dia kembali
ajukan pertanyaan. "Jika engkau guruku, diantara
kita sejak dulu punya perjanjian dan punya kata
sandi. Sebutkan sandimu guru!"
"Kakek setan. Baiklah, kau dengar! Sandiku
adalah Dewa tersenyum memandang bidadari. Bida-
dari menangis menatap bulan. Bulan runtuh me-
nimpa kepala dewa, lalu bidadarinya kawin dengan
siapa?"
"Denganku saja." sahut Tapa Gedek melalui
ilmu mengirimkan suara pula.
"Kepalamu pitak, Tapa Gedek. Sekarang kau

sebutkan sandimu. Aku curiga jangan-jangan kau
orang lain yang menyaru sebagai muridku!"
"Kau tak percaya. Baiklah, dengarkan sandi
muridmu ini. Burung puyuh buah rambutan di balik
bukit ada bebek. Tak usah kau suruh aku memberi
sambutan. Karena muridmu ini juga sudah menjadi
seorang kakek!"
"Manusia sial kurang ajar. Sekarang kau be-
rada dalam ancaman bahaya besar. Kau akan ter-
pendam di bawah kubur para manusia sesat bebe-
rapa abad silam itu jika kau tak segera menutup lo-
rong cahaya putih itu dengan kabut saktimu."
"Hah... memang apa yang harus aku laku-
kan, guru. Beri aku petunjuk. Aku tak ingin mati
atau celaka di tempat ini!" ujar Tapa Gedek melalui
ilmu mengirimkan suara.
Belum lagi si kakek mendengar jawaban gu-
runya, pada detik itu pula terdengar suara raungan
dahsyat menggelegar. Ruangan biru bergetar hebat.
Tapa Gedek jatuh terduduk. Dua matanya yang ter-
pentang memandang lurus ke arah ruangan serba
batu yang memancarkan cahaya biru dan disapu
kabut tipis yang mengambang di permukaan lantai.
Belum lagi gema suara raungan Lenyap dari
balik kabut muncul satu sosok berwajah angker
mengerikan. Sosok ini tak dapat dikatakan sebagai
manusia seutuhnya karena wajahnya berujud wajah
kelelawar, bermulut runcing namun memiliki daun
telinga lebar. Di bagian belakang kepala manusia se-
tengah kelelawar ini menjulai rambutnya yang pan-
jang dan putih. Dia nyaris tidak berpakaian. Da-
danya ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat sedangkan
dua tangannya memiliki sayap menyerupai jubah.

Sepuluh jemari tangan berkuku panjang hitam men-
cuat. Dari celah bibirnya juga mencuat dua pasang
taring panjang.

2

Manusia setengah kelelawar itu, begitu mun-
cul dari kepekatan kabut di dalam ruangan biru
langsung menyerbu ke arah Tapa Gedek yang saat
itu berada di batas antara cahaya putih dan biru.
Kakek itu melompat mundur ke belakang sambil do-
rongkan kedua tangannya ke arah ujung terowongan
di mana manusia kelelawar itu bergerak cepat siap
mencabik dirinya.
Buuum!
Satu ledakan berdentum mengguncang
ruangan di bawah pemakaman. Manusia Kelelawar
terpental ke belakang. Langit-langit ruangan biru
runtuh. Manusia kelelawar mencoba bangkit. Tapi
sebelum manusia aneh itu sempat melakukan se-
rangan untuk yang kedua kalinya Tapa Gedek men-
dengar suara bisikan gurunya.
"Pergunakan Perisai Gaib yang pernah aku
ajarkan padamu?!" perintah Manusia Selaksa Angin.
Si kakek tentu saja terkejut setengah mati menden-
gar perintah itu. "Guru... jika ujung terowongan ku-
tutup dengan perisai gaib, berarti aku tidak akan
dapat keluar dari tempat ini?" ujar Tapa Gedek.
"Ha ha ha. Kau memang tak mungkin bisa
keluar dari kehidupan bawah tanah itu, Tapa Gedek.
Terkecuali kau berhasil mengamalkan ilmu Gelom-
bang Naga yang terdapat dalam kitab yang kau bawa. Kau tak punya pilihan lain. Hidup matimu ter-
gantung mau tidaknya kau mengamalkan ilmu itu.
Cepat kau tutup ujung lorong dengan perisai gaib."
"Baiklah." sahut si kakek. Kemudian dua
tangan cepat sekali disilangkan ke depan dada. Se-
kujur tubuh Tapa Gedek bergetar juga basah ber-
simbah keringat.
Wuuus!
Begitu dua tangan didorongkan ke depan
maka menderulah hawa dingin laksana topan yang
dengan cepat menutupi ujung terowongan bercahaya
putih.
Begitu terowongan itu tertutup tabir gaib.
Tapa Gedek masih sempat mendengar adanya suara
benturan-benturan keras yang menghantam perisai
gaib yang diciptakannya. Mungkin manusia kelela-
war di luar sana berusaha menghancurkan perisai
yang diciptakan oleh Tapa Gedek. Tapi nampaknya
kakek itu tidak perduli. Dia sandarkan tubuhnya ke
dinding batu sambil hembuskan nafasnya dalam-
dalam.
"Sekarang apa lagi? Guru pernah mengata-
kan kitab Gelombang Naga pada akhirnya baru bisa
kupelajari jika aku benar-benar menghadapi urusan
besar. Apakah engkau merasa sekarang saat yang
kau janjikan itu telah tiba?" tanya si kakek.
"Kau bukan saja menghadapi urusan besar.
Jiwamu saat ini berada dalam ancaman bahaya be-
sar. Ketahuilah, jalan satu-satunya agar kau dapat
keluar dari Liang Landak itu hanya melalui ruangan
biru. Dari ruangan itu ada sebuah jalan menuju ke-
luar. Jalan keluar yang kumaksud harus pula mela-
lui kubur seorang dedengkot. Tapi untuk sampai ke

sana tidaklah mudah. Setidaknya ada tiga petaka
besar yang menghadangmu, salah satu petaka itu
adalah Manusia Kelelawar seperti yang kamu lihat
tadi. Ratusan tahun manusia setengah mahluk ja-
hanam itu terpendam disini. Ilmu kesaktiannya tak
seorang pun mampu menjajaki."
"Tapi aku memiliki ilmu yang tak dapat di-
anggap remeh." sahut Tapa Gedek. Sayup-sayup
terdengar suara tawa bergelak. Lalu suara ngiang
tawa Lenyap, si kakek mendengar suara caci maki.
"Tapa Gedek muridku yang tolol. Rupanya kau ma-
sih belum mengerti, kau dengar... tiga manusia yang
menginginkan nyawamu itu memiliki ilmu kepan-
daian serta ujud hampir sama dengan Bayangan
Maut. Jika menghadapi Bayangan Maut semua ilmu
yang kau miliki hampir tidak berguna, apa mungkin
kau sanggup menghadapi tiga mahluk penghuni
Liang Landak ini dengan cara yang sama? Kau ha-
rus dapat menguasai ilmu Gelombang Naga!"
"Tapi... bukankah kitab ini sebelumnya telah
berada di tangan Angin Pesut. Aku yakin dia juga te-
lah berhasil menguasai ilmu yang sama!" kata Tapa
Gedek.
"Kau benar, Tapa Gedek, Angin Pesut me-
mang telah mempelajari ilmu Gelombang Naga. Den-
gan ilmu itu mungkin dia dapat menjawab tantan-
gan lawan. Tapi Angin Pesut tidak mendapatkan inti
ilmu Gelombang Naga yang sesungguhnya, karena
inti ilmu itu tersembunyi di balik kulit kitab itu. Se-
karang kau tak punya waktu. Keluarkan kitab dari
balik punggungmu, kemudian robek kulitnya. Dan
kau akan dapati selembar daun lontar berisi inti il-
mu Gelombang Naga yang sejati!" perintah suara itu

tegas.
Meskipun terkejut tak menyangka gurunya
yang berada di gunung Lawu bisa mengetahui dima-
na kitab disimpannya. Tapi Tapa Gedek keluarkan
juga kitab dari balik pinggangnya. Sesuai perintah
Manusia Selaksa Angin kitab butut berwarna cokelat
itu dibuka. Kemudian kulit pembungkus kitab diro-
bek oleh si kakek. Begitu sampul kitab dirobek se-
lembar daun lontar yang terselip di kulit kitab itu
terlontar, melayang dan jatuh ke pangkuan si kakek.
Jatuhnya daun lontar di atas pangkuan
orang tua ini membuat suasana panas di dalam
ruangan sempit itu sontak menjadi dingin luar bi-
asa. Dengan tangan gemetar dia mengambil daun
lontar dipangkuannya. Di atas daun lontar itu ter-
nyata tertera beberapa baris kalimat berupa mantra.
Si kakek membaca dan menghapalnya beberapa
kali.
"Gelombang Naga.. ilmu yang bersumber pada
kekuatan air. Ilmu seribu kelembutan, seribu kedah-
syatan. Bila Gelombang Naga bicara setan dan Iblis
lari tunggang langgang. Bila gunung terkena pukulan
ilmu ini, gunung runtuh. Gelombang Naga adalah ke-
damaian, Gelombang Naga sebuah kedahsyatan,
namun Gelombang Naga juga adalah satu kehancu-
ran."
Selesai kakek itu membaca tulisan yang ter-
tera diatas daun lontar itu. Tiba-tiba saja sekujur
tubuh si kakek bergetar hebat. Getaran semakin la-
ma semakin menggila. Lalu bersamaan dengan itu
pula Tapa Gedek mendengar suara sayup-sayup be-
rupa ngiangan di telinga kanannya. "Kau telah
menghapal mantra-mantra di atas daun lontar itu.

Sekarang tarik nafas dalam-dalam sebanyak tiga
kali. Jangan kau hembuskan nafasmu sebelum
mendapat aba-aba dariku!"
Tapa Gedek yang sekujur tubuhnya telah
bermandikan keringat kini mulai menarik nafas pan-
jang sebanyak tiga kali. Begitu dia menarik nafas da-
lam-dalam. Secara aneh dan mengejutkan daun lon-
tar yang tergeletak di atas pangkuannya mendadak
sontak ikut tersedot masuk ke dalam lubang hi-
dungnya. Si kakek tentu saja jadi melengak kaget.
Bagian tenggorokannya mengeluarkan suara seperti
tercekik. Si kakek menggapaikan tangannya. Dia
nampak kelabakan, tapi belum lagi sempat menarik
daun lontar yang tersedot hidungnya, daun itu am-
blas Lenyap di dalam rongga hidung. Tersedotnya
daun lontar itu menimbulkan hawa panas sekaligus
hawa dingin luar biasa. Si kakek menggerung, tu-
buhnya terkapar, lalu berkelojotan sekaligus bergu-
lingan di atas lantai yang membuat tubuhnya me-
mancarkan cahaya berwarna merah kuning dan bi-
ru. Cahaya itu membentuk bayangan sosok naga
yang pada akhirnya menjadi surut, lalu Lenyap di
bagian atas ubun-ubun dan berubah menjadi kepu-
lan asap tipis warna warni.
"Kraaaagh...! Haarkh...!"
Tapa Gedek bangkit berdiri. Kini dia merasa-
kan sekujur tubuhnya terasa enteng. Namun dia ju-
ga masih merasakan adanya sesuatu yang bergejo-
lak di bagian dalam hingga membuat Tapa Gedek
jadi gelisah.
"Guru... guru. Apakah kau masih mendengar
suaraku?" tanya si kakek.
"Mengapa harus teriak murid setan. Aku ti


dak ada di situ, tapi aku tetap mendengar mu. Kau
simak baik-baik apa yang kukatakan ini. Sekarang
kau telah menguasai ilmu Gelombang Naga yang se-
sungguhnya. Karena ilmu telah kau kuasai. Kau
punya satu tugas membantu salah seorang saha-
batku...!"
"Siapa sahabatmu itu guru?"
"Sahabatku seorang manusia aneh bernama
Gentong Ketawa. Kakek itu saat ini berada dalam
ancaman bahaya besar." Tapa Gedek begitu men-
dengar nama Gentong Ketawa disebut gurunya cepat
memotong. "Kalau tak salah aku pernah mendengar
kakek berbadan gendut luar biasa itu. Dia seorang
tokoh aneh dari gunung Merbabu. Konon kudengar
pemuda aneh yang memiliki Gelar Pendekar Sakti 71
Gento Guyon adalah muridnya. Apa perluku mem-
bantu kakek sakti berkepandaian seperti dia?" ujar
Tapa Gedek.
"Tapa Gedek, orang yang bernama Empu Ba-
rada Sukma itu bukan manusia sembarangan. Ilmu
yang dia miliki kini maju pesat. Kukira hanya ilmu
Gelombang Naga yang dapat menghentikan niatnya
menjatuhkan tangan keji pada Gentong Ketawa."
"Apakah aku boleh tahu silang sengketa apa
yang terjadi diantara mereka hingga, Empu Barada
Sukma menghendaki nyawa si gendut sinting itu?"
tanya si kakek.
"Ha ha ha. Peristiwanya sudah berlangsung
puluhan tahun silam. Aku tidak (ayak mengatakan-
nya padamu. Jika kau bertemu dengan Gentong Ke-
tawa tanyakan saja langsung kepadanya. Keluarlah
kau dari lorong batas putih. Setelah itu masuki
ruangan biru, dari ruangan itu jika kau sanggup bisa keluar dengan cara menjebol batu makam de-
dengkot nomor satu golongan hitam. Kakek tua
bangka muridku. Satu hal yang patut kau ingat,
jangan sampai kau tertipu oleh penglihatanmu sen-
diri. Nanti seandainya kau bertemu dengan Gentong
Ketawa, sampaikan salamku padanya. Dan jangan
lupa minta padanya untuk menyanyikan satu tem-
bang Pelipur Lara yang dulu pernah kami nyanyikan
bersama dalam suka dan duka!"
"Baik. Nanti akan kuminta dia menyanyikan
sepuluh nyanyian tentang suka duka kehidupan ne-
raka!' sahut Tapa Gedek.
"Ah, boleh. Boleh saja, sepuluh nyanyian Ne-
raka memang sudah banyak dilupakan orang. Mu-
ridku... sampai disini aku bicara. Lakukan tugasmu.
Jangan sampai kau membuatku kecewa. Gentong
Ketawa adalah sahabatku, jika dia sampai celaka di
tangan Empu Barada Sukma. Maka umurmu tidak
bakal lama!"
"Aku mengerti. Izinkan aku memikul tugas
ini!" jawab Tapa Gedek.
Tak ada jawaban. Suasana di dalam lorong
yang sempit itu sunyi mencekam. Tapa Gedek kitar-
kan pandang, kemudian dia memperhatikan tabir
gaib yang dibuatnya sendiri. "Aku harus singkirkan
tabir itu. Begitu aku keluar paling tidak Manusia Ke-
lelawar telah menungguku. Seandainya dia bisa ku-
bereskan, konon menurut guru masih ada lagi dua
bahaya yang mengincarku. Guru tak mengatakan
apa bentuk bahaya yang menghadangku. Yang jelas
aku harus berhati-hati." fikir Tapa Gedek.
"Biar kulenyapkan tabir pelindung ini dulu."
berkata begitu si kakek yang mempunyai kebiasaan

menggelengkan kepala ini segera menyilangkan ke-
dua tangannya di depan dada. Begitu dua tangan
saling bersilang, mulut si kakek pun nampak ber-
kemak-kemik. Beberapa saat setelah itu dari ujung
jari telunjuk si kakek terlihat dua larik sinar merah
sepanas bara dan setajam mata pedang melesat
menghantam tirai gaib yang terdapat di depannya.
Blep! Blep! Bleep!
Tiga kali letupan terjadi berturut-turut Kabut
putih yang merupakan ujud nyata tirai gaib Lenyap.
Begitu kabut Lenyap, dari ruangan serba biru ter-
dengar suara deru aneh disertai menyambarnya ha-
wa panas luar biasa. Bersamaan dengan itu pula
terdengar suara seperti lolong manusia tapi mirip
pula dengan suara cericit kelelawar. Tapa Gedek
meskipun dirayapi ketegangan namun tak menghi-
raukannya. Setindak demi setindak kakinya me-
langkah memasuki ruangan luas bertabur cahaya
biru.

3

Kita tinggalkan dulu Tapa Gedek yang terje-
bak di dalam ruang kehidupan bawah tanah yang
merupakan kubur para tokoh sesat beberapa abad
silam. Sementara itu pada waktu yang hampir ber-
samaan tiga bayangan berkelebat memasuki kawa-
san dua bukit yang terdapat di daerah Imogiri. Tiga
sosok bayangan itu terus melewati reruntuhan puing
gedung, kemudian terus bergerak ke arah kawasan
telaga, lalu memasuki celah dua bukit curam. Sam-
pai di depan mulut sebuah gua sosok yang berada di

bagian depan memperlambat larinya, sampai akhir-
nya berhenti sama sekali.
Melihat orang di depannya hentikan larinya,
dua sosok yang mengikuti di bagian belakang ikut
pula hentikan Langkah. Sosok yang berhenti di de-
pan mulut gua ternyata adalah seorang nenek je-
rangkong, berpakaian biru lusuh rambut awut-
awutan. Nenek ini bukan lain adalah Serimbi bekas
istri Angin Pesut. Sedangkan dua orang yang mengi-
kuti di belakangnya bukan lain Pendekar Sakti 71
Gento Guyon bersama seorang kakek berpakaian
serba putih berambut dan berjanggut putih, berpipi
tembem hidung pesek. Kakek ini di kenal dengan
nama Sateaki, adik seperguruan Angin Pesut. Berdi-
ri dalam keadaan berdampingan seperti itu si pemu-
da berbisik pada kakek di sebelahnya. "Aki... kau
yakin di dalam gua itu kubur saudaramu berada?!"
"Bocah edan. Aku tak pernah mengatakan
kakangku Angin Pesut telah menemui ajal. Kau sen-
diri yang bermulut lancang. Kau katakan pada be-
kas kakak iparku telah mati. Padahal aku tahu ka-
kang Angin Pesut dalam keadaan sehat tak keku-
rangan sesuatu apa. Sial! Gara-gara mulutmu yang
lancang nampaknya aku juga bakal mendapat su-
sah!" gerutu si kakek. Gento tersenyum. Meskipun
dia tahu bahaya serta kesulitan apa yang bakal me-
reka hadapi begitu si nenek tahu Angin Pesut se-
sungguhnya belum mati namun sang pendekar tetap
berlaku tenang. Malah dia sempatnya bersiul-siul.
Suara siulan murid kakek gendut Gentong
Ketawa mendadak Lenyap begitu melihat nenek
angker berotak sinting di depan sana balikkan ba-
dan dan menatap tajam ke arah si kakek dan Gento

silih berganti.
"Ki, nampaknya dia curiga kita telah meni-
punya. Sebaiknya kau cepat beri penjelasan pa-
danya sebelum dia marah dan menghancurkan ba-
tok kepalamu!" kata sang pendekar dengan suara
perlahan sekali. Mendengar ucapan Gento tentu saja
Sateaki jadi tercekat. Dengan muka pucat dan suara
bergetar tak kalah lirihnya si kakek menyahuti.
"Aa..aku.. ? Mengapa harus aku? Kau sendiri
sudah tahu, sejak kita berada di pulau apung dia
sudah menunjukkan rasa ketidak senangannya. Le-
bih baik kau saja yang bicara dengannya karena
sampai sekarang dia tetap mengira kau adalah adik-
nya!" pinta si kakek.
"Sejak tadi kudengar kalian saling berbisik.
Apa yang kalian bicarakan?!" hardik si nenek sambil
delikkan matanya dengan tatapan bengis.
Sateaki terkesiap tak tahu harus menjawab
apa. Sebaliknya sang pendekar yang memiliki otak
cerdik cepat melompat dekati si nenek, setelah dekat
dia berbisik dekat telinga Serimbi. "Kakak... kau
jangan mudah curiga. Aku hanya bertanya padanya
dimana Angin Pesut dikuburkan. Lalu kakek jelek
itu menjawab bekas suamimu itu dikuburkan di da-
lam gua. Mayatnya tergeletak begitu saja di atas lan-
tai!" kata pemuda itu. Si nenek terdiam. Hanya se-
pasang matanya yang menjorok ke dalam rongga
merayapi wajah sang pendekar membuat hati pemu-
da itu dirayapi perasaan tidak enak lalu pura-pura
alihkan perhatiannya ke mulut gua. Sementara itu
Sateaki yang sempat melihat apa yang dilakukan
Gento dalam hati membatin. "Nyawanya dan nyawa-
ku sudah berada di ujung tanduk. Muslihat apa lagi

yang dijalankannya untuk mengelabui bekas kakak
ipar? Salah sedikit dia bicara, sebentar lagi nyawa
pasti melayang. Sial betul. Mengapa urusan menda-
dak jadi rumit begini? Kalau saja aku tahu urusan
tak mungkin terselesaikan sebagaimana yang kuha-
rapkan. Tidak nantinya aku mau pergi ke pulau ter-
kutuk bersama pendekar edan itu?" kata Sateaki tak
hentinya menyesali.
Pada kesempatan itu agaknya nenek Serimbi
terpancing oleh ucapan Gento yang selama ini dia
anggap sebagai adiknya yang pernah hilang. Terbuk-
ti dia kemudian berkata. "Baik... adikku Belalang
Kecil. Selamanya aku percaya padamu. Pertama kita
akan lihat ke dalam. Jika benar Angin Pesut telah
mati aku merasa senang. Berarti tugasku hanya
tinggal mencari putriku tercinta. Tapi jika ternyata
kau menipuku, dengan sangat terpaksa aku akan
membunuhmu juga membunuh tua bangka itu!"
dengus si nenek.
"Aduh, tamatlah kali ini riwayatku!" keluh
sang pendekar.
Sateaki yang ikut mendengar ancaman si
nenek tidak bicara apa-apa. Tapi biar bagaimanapun
diam-diam si kakek merasa khawatir juga. Orang
tua ini menyadari ilmu kesaktian yang dia miliki bila
dibandingkan dengan ilmu sakti yang dimiliki bekas
kakak iparnya itu jelas jauh diatasnya. Nenek Se-
rimbi mempunyai ilmu beberapa tingkat di bawah
Angin Pesut. Tapi nenek itu memiliki ilmu merin-
gankan tubuh yang sudah sampai pada puncaknya.
Selain itu dia juga mempunyai beberapa pukulan
yang mengandung racun ganas. Apalagi jika dia
sampai menggunakan pukulan Perubahan Bentuk.

Mereka berdua bisa celaka seumur hidup.
"Hayo tunggu apa lagi...!" dengus si nenek.
Sang Pendekar memberi isyarat pada Sateaki
agar orang tua itu mengikutinya. Beberapa saat ke-
mudian beriringan ketiga orang ini masuk ke dalam
gua. Suasana ruangan gua yang berwarna merah
membuat si nenek dan Gento membutuhkan waktu
beberapa saat lamanya untuk menyesuaikan diri
dengan pemandangan di dalam. Sementara Sateaki
sendiri diam-diam menjadi heran ketika mendapati
ruangan gua itu dalam keadaan kosong. Dua sosok
mayat membusuk yang berada di atas lantai gua
masih tergeletak di tempatnya.
"Kemana perginya kakang Angin Pesut?" fikir
si kakek. Tapa Gedek terdiam. Dia jadi ingat, ketika
hendak memasuki mulut gua tadi si kakek sempat
melihat suasana mulut gua dalam keadaan porak
poranda, seakan di tempat itu telah terjadi suatu
pertarungan hebat. Yang mengherankan dia tak me-
lihat ada mayat tergeletak di situ. Kemana perginya
Angin Pesut? Pertanyaan ini sempat mengusik benak
si kakek. Lamunan Sateaki buyar seketika karena
saat itu terdengar suara si nenek angker berpakaian
lusuh memecah keheningan.
"Aku tidak melihat kubur di dalam ruangan
ini. Itu artinya kalian telah menipuku mentah-
mentah. Angin Pesut tidak mati, Iblis Tujuh Rupa
Delapan Bayangan masih bernafas hingga detik ini.
Tidak ada jalan selamat bagi seorang penipu terke-
cuali mati!" berkata begitu si nenek cepat balikkan
badan lalu angkat tangan kanannya. Sekejap saja
tangan si nenek angker telah berubah menghitam
sampai ke bagian siku. Tangan yang menghitam itu

mengepulkan asap tipis berbau tidak sedap. Melihat
ini tercekatlah kakek Sateaki. Dengan wajah pucat
tanpa sadar dia berseru. "Pukulan Racun Lanang Hi-
tam? Pendekar Sakti 71?! Bagaimana kau masih da-
pat bersikap setenang itu padahal bekas kakak ipar-
ku siap membunuh kita?!" desis si kakek yang nam-
pak begitu panik melihat nenek sakit ingatan itu
siap manghajar mereka dengan salah satu pukulan
mautnya.
"Pendekar Sakti 71. Jadi pemuda geblek ini
kunyuk yang menyandang gelar Pendekar Sakti 71.
Rupanya betul, kau bukan Belalang kecil. Kau bu-
kan adikku yang tenggelam terseret arus air bah
Bengawan Solo. Lalu siapa dirimu ini yang sebenar-
nya monyet gondrong?'" tanya si nenek dengan sua-
ra menggereng marah.
Gento mengusap habis wajahnya. Tak lama
kemudian terdengar pula suara tawanya. "Kakak,
aku adalah monyet gondrong sebagaimana yang kau
katakan. Sekarang apakah kau hendak turun tan-
gan keji pada adikmu sendiri setelah bertahun-
tahun kita tidak bertemu? Jika kau tega lakukanlah,
aku siap menerima kematian. Arwah ayah ibu kita
pasti tidak bakal tenteram di alam sana jika sampai
kau jatuhkan tangan jahat kepadaku!" habis berkata
begitu sang pendekar pura-pura pejamkan matanya.
Kakek Sateaki yang melihat kelakuan Gento
merasa geram dibuatnya. Dalam hati dia memaki.
"Pendekar sinting itu. Apa dia tidak tahu kakak Se-
rimbi terganggu ingatannya, masih juga dia berlaku
konyol. Benar-benar mencari mampus!" Sementara
itu si nenek menjadi ragu begitu mendengar ucapan
Gento. Perlahan tangannya diturunkan, namun se

pasang matanya masih memandang lurus ke arah
Gento. "Mungkin ucapanmu suatu kedustaan besar.
Kusesalkan aku terlanjur menyayangimu, tidak per-
duli siapapun dirimu. Tapi satu hal kuminta darimu
dan kau harus menjawabnya dengan jujur. Kau mau
mengabulkan permintaan ini?" tanya si nenek. En-
tah mengapa mendadak saja kedua matanya nam-
pak berkaca-kaca.
"Kakak... seandainya aku mampu menja-
wabnya. Aku tak ingin membuatmu kecewa!" ujar si
pemuda. Si nenek anggukkan kepala. Setelah itu
mulutnya membuka bertanya. "Katakan yang sebe-
narnya Angin Pesut masih hidup atau sudah mati?"
"Kakak.. apakah kau masih mencintai gon-
doruwo yang satu itu, atau kau ingin bertemu den-
gannya?" goda sang pendekar, lalu kedipkan ma-
tanya. Sepasang mata si nenek mendelik besar. Se-
kali tangannya bergerak, maka leher sang pendekar-
pun sudah kena dicekalnya. Gento keluarkan suara
jeritan seperti dicekik. Lidah terjulur sedangkan ma-
ta melotot.
"Sekali lagi kau bicara seenak perutmu ku-
pecahkan kepalamu! Siapa bilang aku masih men-
cintai si jahanam Angin Pesut. Siapa bilang aku in-
gin bertemu! Manusia pembawa nestapa dan ke-
sengsaraan itu layak mati di tanganku!" dengus si
nenek sengit.
"Kakak, kalaupun kau marah, mohon di-
maafkan. Tapi jangan kau cekik diriku seperti ini.
Aku bisa mati lemas kakak!" sergah sang pendekar
dengan nafas tersengal-sengal. Seakan tersadar si
nenek lepaskan cekalannya disertai tawa mengikik.
"Katakan Belalang Kecil. Kau jangan coba

mengalihkan pembicaraan!" Lagi-lagi perempuan sa-
kit ingatan itu mendengus.
"Kalau kau ingin tahu, Angin Pesut masih
hidup atau sudah mati. Sebaiknya kau tanyakan
langsung pada adik seperguruannya. Dia ada dibe-
lakangku.!", ujar Gento lalu menunjuk ke arah Sa-
teaki.
Si kakek jadi tercengang. Tengkuknya terasa
dingin begitu melihat nenek Serimbi memandangnya
dengan mata mendelik.
"Sateaki. Sekarang kau kuminta bicara jujur.
Katakan dimana Angin Pesut berada. Jangan berani
berdusta jika tidak ingin celaka di tanganku!" ancam
si nenek. Untuk beberapa saat lamanya Sateaki tak
mampu bicara barang sepatah katapun. Dia melirik
ke arah Gento seakan meminta pendapat. Tapi pe-
muda yang diliriknya malah kedipkan mata.
"Katakan cepat! Aku tidak punya waktu ber-
lama-lama disini!" bentak nenek tua itu sudah tidak
sabar. Belum lagi Sateaki sempat menjawab perta-
nyaan orang. Pada waktu yang hampir bersamaan
pula mendadak sontak terdengar suara jeritan me-
lengking yang disertai dengan berhembusnya angin
dingin luar biasa. Suara lengking seperti jerit manu-
sia semakin lama berubah seperti suara lolong seri-
gala. Semua orang yang berada di dalam ruangan
gua jadi tercekat. Walaupun begitu Gento masih
sempat berucap. "Nampaknya kita kedatangan tamu
agung, kakak. Katakan padaku, apakah aku yang
datang menyambut tamu, atau kau sendiri yang
hendak menemuinya?" Si nenek mendengus. Tanpa
berkata apa-apa dia berkelebat ke mulut gua yang
kemudian disusul oleh Gento dan Sateaki.

4

Berdiri tegak di depan mulut gua si nenek
sama sekali tidak melihat apapun terkecuali hembu-
san angin dingin yang menerbangkan bebatuan dan
debu. Karena itu si kakek yang sudah berdiri tiga
Langkah di belakang si nenek berucap kecewa.
"Hanya angin." Baru saja suara si kakek Lenyap,
pada saat itu pula terdengar suara tawa panjang
yang meningkahi suara deru angin yang menyerang
mereka.
"Hik hik hik. Ha ha ha! Kepada para setan
yang berdiri di mulut gua. Aku datang ingin men-
jemput nyawa busuk Angin Pesut. Jika kalian tahu
dimana bersembunyinya jahanam itu cepat katakan
padaku!" Mendengar ucapan orang yang belum terli-
hat ujudnya, si nenek balas gelak tawa dengan tawa
panjang menggidikkan. Sedangkan Sateaki memutar
kepala, kitarkan pandang. Dia coba memastikan dari
mana suara tawa berasal. Tapi Sateaki gagal menge-
tahui dimana keberadaan orang. Sebaliknya Gento
menyeringai. Tidak perduli rambut gondrongnya me-
lambai-lambai dihantam angin kencang dia menyele-
tuk. "Orang yang baru bicara. Engkau menyebut
kami setan? Kau sendiri siapa! Engkau menyebut
kami setan? Kau sendiri siapa? Mungkin kau bapak
dan ibu setan? Barang kali kau malaikat maut? Ka-
lau malaikat penjemput nyawa datangnya kok mem-
beri tahu segala?! Kurasa kau malaikat maut kesa-
sar. Rasanya perlu kukatakan padamu, kau datang
pada waktu yang tidak tepat. Angin Pesut tidak ada

disini! Pergilah ke neraka, kurasa Angin Pesut sudah
berada disana, namun kau lupa. Ha ha ha!"
"Belalang kecil benar. Angin Pesut sudah di
neraka. Kau yang membawanya bagaimana bisa lu-
pa?" kata si nenek angker menimpali.
"Tiga manusia calon celaka. Tidak kutemu-
kan orangnya di tempat ini pasti akan ada orang
yang membunuhnya. Kalian bertiga punya hubun-
gan apa dengan Angin Pesut?" tanya suara itu lagi.
"Walah, Aku dan kakakku ini tidak punya
hubungan apa-apa. Tapi kalau kakek itu jelas ada.
Dia saudara seperguruan Angin Pesut. Jika kau mau
nyawanya, ambil saja. Aku dan kakakku tidak ambil
perduli. Dia sudah tua, jika sekarang harus mati
sudah pantas baginya. Ha ha ha!" kata sang pende-
kar seenaknya sendiri.
"Pendekar Sakti 71 sialan. Harap jaga mu-
lutmu. Umur boleh tua, tubuh boleh berubah jadi
rongsokan. Masalah semangat aku tidak kalah den-
gan yang muda!" dengus si kakek ketus. Murid ka-
kek Gentong Ketawa itu tertawa mengekeh. Semen-
tara itu hembusan angin makin menggila, membuat
Serimbi, Sateaki dan Gento nyaris terpental. Nenek
itu sambil tertawa cekikikan hentakkan dua kakinya
berturut-turut pada tanah yang dipijaknya. Dua ka-
ki amblas seperti menancap di dalam tanah. Perta-
hanan yang dilakukannya membuat tubuh nenek
Sakit ingatan itu meliuk-liuk bagai sebatang pohon
cemara ditiup angin.
Sedangkan Sateaki terpaksa jatuhkan diri,
hingga tubuhnya rebah menelungkup sama rata
dengan lantai goa. Gento sendiri masih tegak berka-
cak pinggang. Biar nampaknya dia berlaku tenang,

sejak tadi sang pendekar kerahkan tenaga dalam ke
bagian kaki, hingga dia dapat bertahan dan mem-
buat tubuhnya tidak sampai tersapu mental. Malah
kini seperti orang yang baru saja mendapatkan se-
bongkah intan permata sambil mengumbar tawa
sang pendekar berkata. "Lumayan. Sejak tadi aku
sudah kepanasan. Kini ada orang gila dengan suka-
rela mengipasi, membuat tubuh dan ketiakku yang
kegerahan kini menjadi dingin! Hem... nyaman be-
tul. Semakin lama semakin asyik! Ha ha ha!"
"Pemuda gondrong jahanam. Rupanya kau
manusia sinting. Biar tambah asyik sekarang ku-
tambah lagi!" teriak suara itu. Agaknya suara tanpa
rupa bertambah jengkel. Terbukti hembusan angin
yang sangat keras itu kini berubah menjadi panas.
Tidak hanya sampai disitu saja. Batu-batu sebesar
kepalan tangan yang tidak jelas dari mana datang-
nya ikut pula menghantam Gento dan si nenek yang
bertahan di sampingnya.
Mendapat serangan begitu rupa si nenek se-
lamatkan diri dengan berlindung dibalik mulut gua.
Sebaliknya Gento yang tidak bergerak dari tempat-
nya jadi kalang kabut memukul balik batu-batu
yang menghantam sekujur tubuhnya
"Walah sudah tidak asik lagi. Tiupan angin
membuat tubuhku jadi gerah kepanasan. Yang ku-
sayangkan ada pula yang usil melempariku dengan
batu. Pantas kakakku tidak mau ikutan makan an-
gin. Ha ha ha!" berkata begitu masih dengan terta-
wa-tawa Pendekar Sakti 71 Gento Guyon gerakkan
bahunya kanan kiri.
Wuus! Wuus!
Satu gelombang tenaga sakti yang tidak ter

lihat melesat dari kedua bahu sang pendekar, lalu
membentuk satu perisai laksana tembok baja dan
terus bergerak ke arah mana hembusan angin be-
rasal. Dalam keadaan tegak berdiri otot-otot di seku-
jur tubuh pemuda itu nampak menegang. Wajahnya
nampak merah padam, namun mulut tetap me-
nyunggingkan senyum.
Buuumm!
Beradunya dua tenaga sakti menimbulkan
satu ledakan berdentum. Di depan sana terdengar
pekikan kaget. Pendekar Sakti 71 sendiri terhuyung
dua tindak ke belakang, wajah berubah pucat. Se-
dangkan nafasnya sempat memburu.
Setelah mengatur jalan nafas, pemuda ini
berpaling pada Serimbi. Sementara itu hembusan
angin berhawa panas sama sekali Lenyap. Dengan
tenang Gento berkata. "Kakak... adikmu Belalang
Kecil masih kepanasan. Dan mengapa malah ber-
sembunyi disitu?" Lalu si gondrong melirik ke arah
Sateaki. melihat kakek itu masih rebah menelung-
kup di lantai gua dia menyeletuk. "Oalah, tua
bangka lumutan itu mengapa tidur disitu? Hey ban-
gun, sekarang sudah siang. Tamu yang datang perlu
kita beri sambutan."
Tersipu-sipu si kakek bangkit berdiri. Se-
mentara itu si nenek sudah melompat dan kembali
berdiri di tempatnya semula. "Belalang Kecil! Ilmu
kesaktianmu tidak rendah. Tapi nampaknya kita
bakal menghadapi satu persoalan besar," berkata si
nenek dengan suara lirih. Gento hanya menyengir
sedangkan tatap matanya memandang lurus ke de-
pan.
"Malaikat jejadian, apakah kau masih berada

disitu? Kami menunggumu, cepat kau tunjukkan di-
ri!" teriak si pemuda.
"Ha ha ha hik hik hik. Gondrong jahanam
aku masih berada di sini. Sepuluh tombak di de-
panmu. Untuk menyelesaikan satu perkara aku
memang harus menunjukkan diriku! Lihatlah baik-
baik...!" kata suara yang belum jelas ujudnya laki-
laki atau perempuan.
Tak lama kemudian sepuluh tombak di de-
pan Gento mendadak sontak terdengar suara lolon-
gan panjang. Suara lolong disertai dengan pusaran
angin dingin yang menimbulkan satu lubang besar.
Suara lolong dan raungan lenyap, hembusan angin
mereda. Di atas lubang akibat pusaran angin mun-
cul kabut tipis berwarna putih. Lalu di tengah kabut
itu terlihat secara samar ujud sesuatu. Ujud yang-
kemudian membentuk satu sosok seorang perem-
puan tua renta berkulit hitam berwajah angker
mengerikan.
Yang membuat semua orang jadi terkesima
wajah nenek berpakaian hitam itu hampir setiap
saat selalu berubah antara wajah serigala dan wajah
manusia.
Baik Gento maupun nenek Serimbi sama se-
kali tidak mengenali siapa perempuan yang hadir
dalam kepulan kabut itu. Apalagi Gento. Rasanya
seumur hidup baru kali ini dia melihat ada orang
yang mukanya berubah-ubah seperti ini.
"Aki.... hantukah atau manusia sungguhan
yang berada dihadapan kita itu?" tanya Gento den-
gan suara perlahan sekali.
"Mungkin inilah yang dinamakan hantu seri-
gala kesasar. Kita harus berhati-hati!" pesan si ka

kek. Sementara itu di depan sana sosok yang diseli-
muti kepulan asap tipis begitu memperhatikan ne-
nek Serimbi nampak sunggingkan seringai. "Perem-
puan dengan tampang seperti dirimu, rasanya aku
pernah mengenal. Bukankah engkau yang bernama
Serimbi, Istri Angin Pesut? Hik hik hik. Mengapa
keadaanmu jadi tidak karuan begini, perempuan
malang?"
Serimbi tercekat. Wajahnya mendadak beru-
bah dingin menyeramkan begitu sosok dalam rupa
manusia dan serigala menyebut nama Angin Pesut.
Dengan suara keras Serimbi ajukan pertanyaan.
"Tua bangka keparat tak karuan ujud, siapa
dirimu ini? Sekali lagi kau menyebut nama Angin
Pesut kupatahkan batang lehermu!"
"Hik hik hik. Aku Bayangan Maut. Kulihat
sekarang kau telah kehilangan tali cinta kasih den-
gan manusia jahanam itu. Bukan hanya itu saja.
Kau telah kehilangan anakmu satu-satunya. Malang
sungguh malang jika kebahagiaan harus ditukar
dengan penderitaan berkepanjangan. Seorang ma-
napun tidak akan sanggup kehilangan anaknya yang
semata wayang." Kata demi kata yang diucapkan
oleh Bayangan Maut membuat perempuan sakit in-
gatan itu berubah menjadi beringas. Tidak ubahnya
seperti orang yang baru terjaga dari tidur, si nenek
gelengkan kepala. Dia mencoba mengingat siapa
adanya nenek serigala ini. Namun semakin dipaksa
otaknya untuk berfikir, jalan fikiran Serimbi malah
menjadi kacau.
"Jahanam, jadi sakit kepalaku. Dajal serigala
siapa kau? Engkaukah orangnya yang telah mencu-
lik anakku?" hardik si nenek dengan tatapan liar seperti orang kesetanan.
"Hik hik. hik. Aku senang kau akhirnya men-
jadi gila sungguhan. Namun untuk mendapatkan
jawaban dari pertanyaanmu itu sebaiknya kau pergi-
lah ke akherat!" dengus Bayangan Maut.
"Nenek tengik sialan wajah serigala. Sebaik-
nya kau mengakulah. Jika memang kau orangnya
yang telah menculik puteri Angin Pesut, dimana
anak itu sekarang?" Sepasang mata angker Bayan-
gan Maut memandang tajam pada si kakek, tak la-
ma kemudian dia pun sunggingkan seringai maut
"Bangsat Sateaki. Kau boleh tidak mengenal-
ku. Karena segala silang sengketa dan dendam ke-
sumat ini hanya aku dan Angin Pesut saja yang
mengetahuinya. Begitu pun kau pasti akan menda-
pat giliran. Hik hik hik." sahut Bayangan Maut ke-
tus.
"Ha ha ha. Lagak bicaramu keren amat, ne-
nek Muka setan. Tadi kau malah ada menyebut ak-
herat segala. Rupanya kau ini orang yang ditu-
gaskan di akherat. Jika betul, aku jadi ingin tahu
bagaimana seluk beluk akherat yang sebenarnya!"
Gento ikut menyela.
Mendidihlah darah Bayangan Maut menden-
gar ucapan Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Sambil
kertakkan rahang dia mendamprat. "Setan Godrong.
Kau yang paling cakap dibandingkan dua tua bang-
ka itu. Kematianmu telah kuputuskan yang paling
belakang!"
"Terima kasih. Ternyata kau baik sekali. Ku-
harap kau juga sudi kiranya menyediakan diri untuk
kujadikan tunggangan menuju akherat! Ha ha ha."
usul si pemuda.

"Belalang Kecil. Aku muak mendengar uca-
pan tua bangka muka serigala itu. Ingin kulihat
apakah mulut besarnya sesuai dengan kepandaian
yang dia miliki!" dengus Serimbi. Belum lagi sempat
sang pendekar memberi jawaban, nenek disamping-
nya sudah berkelebat ke arah Bayangan Maut. Bu-
kan main cepat gerakan perempuan tua itu. Tahu-
tahu kini dia telah berada di atas sosok lawannya.
Dengan kecepatan sulit diikuti kasat mata dua tan-
gannya menyambar berturut-turut ke arah bahu
dan batok kepala lawan yang setiap saat wajahnya
berubah
Melihat serangan ganas dan berlangsung
sangat cepat itu. Siapapun pasti menduga lawan tak
bakal sanggup melepaskan diri dari serangan itu.
Tapi apa yang terjadi kemudian membuat Gento dan
Sateaki jadi tercekat sekaligus melengak kaget.
Bayangan Maut meskipun sempat terkejut namun
masih sanggup menghindar. Malah kini sambil me-
lesat ke udara dia masih sempat lancarkan serangan
balasan.

5

Dua tangan Bayangan Maut bergerak meng-
hantam ke atas. Begitu nenek yang wajahnya selalu
berubah-ubah itu hantamkan dua tangannya terjadi
satu keanehan. Sepuluh kuku tangannya yang hi-
tam secara aneh menjulur panjang dan mengepul-
kan asap tipis berwarna hitam berbau busuk. Seba-
gai orang yang sangat berpengalaman dalam hal ra-
cun, tentu saja Serimbi sadar betul serangan kuku

lawannya mengandung racun ganas. Sehingga
meskipun sadar dirinya kebal terhadap serangan
mengandung racun dia terpaksa lakukan gerakan
berjumpalitan selamatkan kedua kakinya dari sam-
baran sepuluh kuku lawannya.
Wuus!
Krak! Kraakk!
Sepuluh kuku menghunjam batu tebing bu-
kit curam yang terdapat di seberang mulut gua.
Asap tebal mengepul dari bagian batu tebing yang
terkena cakaran si nenek. Baru saja Bayangan Maut
mencabut jemari tangannya yang menancap pada
batu, laksana kilat Serimbi berbalik lalu hantam dua
pukulannya yang juga mengandung racun ke tubuh
lawan.
Buuk! Buuk!
Pyaar!
Hantaman itu dengan tepat mengenai bagian
punggung Bayangan Maut. Tapi aneh kedua puku-
lan Serimbi seakan amblas ke dalam tubuh lawan
dan selanjutnya menghantam batu di depan Bayan-
gan Maut. Menyadari lawan yang dipukulnya tidak
ubah seperti bayang-bayang, si nenek cepat lesatkan
tubuhnya menjauhi lawan. Ketika Bayangan Maut
balikkan badan, dia pun mengumbar tawanya.
"Nenek gila yang malang. Rupanya kau lupa,
aku adalah Bayangan Maut. Tubuhku hanya berupa
bayangan yang tidak dapat disentuh walaupun kau
mengerahkan seluruh pukulan beracun yang kau
miliki! Hik hik hik!"
"Celaka! Kalau begitu akan sulitlah mengata-
si nenek serigala ini!" batin Gento.
"Tak satupun dari kita yang bakal sanggup

meloloskan diri dari maut. Bayangan Maut tubuh-
nya sama sekali tidak dapat disentuh. Padahal tu-
buhnya mengandung racun ganas...!" ujar kakek Sa-
teaki pula.
Sementara itu Serimbi nampaknya memang
tidak mempunyai pilihan lain. Di dalam hatinya
hanya ada satu tekad. Dia harus menggempur lawan
dengan kekuatan penuh. Tapi sebelum hal itu dila-
kukannya dia berpaling pada Gento yang selama ini
dia anggap sebagai adiknya. Kepada sang pendekar
nenek sinting ini berteriak. "Belalang Kecil adikku.
Aku tidak dapat menjajaki seberapa tinggi kesaktian
yang dimiliki oleh tua bangka ini. Tapi sebelum se-
gala sesuatu yang tidak diinginkan terjadi sebaiknya
cepat tinggalkan tempat ini!"
Gento merasa terharu mendengar peringatan
si nenek. Dia tidak menyangka nenek sakit ingatan
itu ternyata sangat perduli pada keselamatannya.
Tapi Gento kemudian menjawab. "Kakak... jika kau
celaka, buat apa aku hidup? Apapun yang terjadi
aku tidak akan meninggalkanmu!" Ucapan Gento
membuat si nenek tergugah. Begitu terharunya dia
hingga tanpa sadar membuatnya kucurkan air mata.
"Hik hikk! Belalang Kecil. Siapapun dirimu
kau telah kuanggap sebagai adik sendiri. Jika kau
tetap berada disini karena ingin membelaku. Aku-
pun tidak takut lagi menghadapi nenek muka seriga-
la itu!" tegas si nenek.
"Bagus! Sekalian saja maju biar aku tak
usah banyak membuang waktu menyingkirkan dua
manusia sedeng!" kata Bayangan Maut disertai se-
ringai mengejek. Mendengar ucapan orang Gento ja-
di tertawa. Sebaliknya nenek Serimbi keluarkan sua

ra menggerung. Berpijak di atas sebuah ranting ker-
ing, Serimbi gerakkan kakinya ke atas hingga tu-
buhnya melayang di udara. Begitu sampai pada ke-
tinggian tertentu dia memutar kedua tangannya di
udara. Seiring dengan berputarnya dua tangan si
nenek, dari kedua tangannya menderu angin topan
yang disertai melesatnya puluhan larik sinar merah
dan biru. Kedua sinar itu bukan cuma menghantam
Bayangan Maut, tapi juga menghantam lamping ba-
tu! Hingga batu jatuh berguguran menimpa diri
Bayangan Maut. Baik Gento maupun Sateaki tak
dapat melihat apa yang terjadi karena pemandangan
mereka terhalang kepulan debu tebal serta deru an-
gin hebat yang keluar dari tangan Serimbi.
Bayangan Maut yang melihat serangan dah-
syat ini tentu saja berusaha lindungi diri dengan
melepaskan pukulan balasan. Puluhan batu sebesar
kerbau memang dapat dihalaunya atau dipukul
hancur. Tapi yang datang kemudian jumlahnya ber-
lipat ganda. Manusia berkepandaian selangit sekali-
pun bila mendapat serangan begitu rupa tentu jadi
kewalahan. Begitu juga yang terjadi dengan Bayan-
gan Maut. Sebelum seluruh batu yang berlesatan
dari tebing bukit menguruk tubuhnya, Bayangan
Maut coba selamatkan diri.
Akan tetapi lawan nampaknya memang tidak
memberi kesempatan lagi. Nenek Serimbi menguras
seluruh tenaga sakti yang dia miliki, hingga ratusan
batu menghujani Bayangan Maut. Nenek berwajah
serigala itu Lenyap dari pandangan mata akibat ter-
timbun batu. Sateaki jadi terkesima begitu melihat
tumpukan batu yang membukit. "Gento mungkin-
kah nenek serigala itu mati?" tanyanya dengan ber

bisik.
"Aku tidak tahu, Ki. Coba nanti biar kau pe-
riksa." sahut sang pendekar. Tak lama kemudian Se-
rimbi telah jejakkan kakinya diatas tanah. Nafasnya
nampak memburu dan tersengal. Dia memandang
pada bongkahan batu yang bertumpuk lalu berucap
pada Gento.
"Belalang Kecil. Satu hal yang patut kau ke-
tahui. Jika nenek itu dapat kutimbun dengan batu.
Berarti yang datang ke depan kita bukan bayangan-
nya. Dia datang bersama ujud kasarnya. Tapi agak-
nya kau harus memikirkan dan mencari titik kele-
mahan nenek itu agar kau tidak berhadapan dengan
bayangan!"
"Apa maksudmu, kakak?"
"Belalang tolol. Bayangan Maut bukan hantu,
bukan setan, bukan pula siluman. Dia mempunyai
raga sebagaimana kita."
"Aku tahu sekarang. Tapi mungkinkah nenek
jelek tadi masih hidup?" tanya Gento. Belum lagi
pertanyaannya berjawab. Sateaki yang sejak tadi
melihat ke arah tumpukan batu yang menimbun
Bayangan Maut keluarkan seruan keras.
"Lihat. Batu bergerak-gerak. Dia masih hi-
dup!" teriak si kakek.
"Apa kataku. Jahanam betul!" maki Serimbi.
Nenek tua itu tanpa bicara lagi langsung melompat
ke atas tumpukan batu. Sambil melompat dua tan-
gan dihantamkan ke bawah.
Wuus! Wuut!
Sinar merah dan sinar biru pekat berhawa
panas luar biasa dan mengandung racun ganas
menghantam timbunan batu menimbulkan ledakan

menggelegar membuat batu hancur berkeping-
keping, berlesatan diudara dalam keadaan menyala
dikobari api. Di seberang batu yang berkeping-
keping si nenek jatuhkan diri dengan dua kaki terle-
bih dulu menginjak tanah. Tiga pasang mata sama
pusatkan perhatian ke arah bekas Ledakan. Bayan-
gan Maut yang mereka perkirakan tewas terkena
pukulan si nenek Lenyap tak terlihat. Sateaki mena-
rik nafas lega. Namun perasaan lega itu hanya ber-
langsung sesaat, karena beberapa saat kemudian
mendadak sontak terdengar suara tawa mengekeh
berbaur dengan suara lolongan panjang. Belum lagi
Lenyap rasa kaget dihati sang pendekar seolah mun-
cul dari dalam perut bumi sosok Bayangan Maut
melesat keluar dari timbunan kepingan batu yang
menyala. Begitu tubuhnya berada di udara dengan
kecepatan laksana kilat dia menghantam ke tiga
arah sekaligus.
Wuut! Wuut! Wuut!
Tiga gelombang angin menderu disertai suara
bergemuruh dahsyat laksana air bah yang menjebol
sebuah bendungan raksasa. Nenek Serimbi memekik
kaget. Namun dia masih sempat melompat ke bela-
kang selamatkan diri dari pukulan maut lawan. Se-
cepat apapun gerakan menghindar yang dilakukan
si nenek tak urung bahunya masih terkena samba-
ran angin pukulan lawan. Pakaian berikut kulit di-
balik pakaian di bagian bahu hangus mengepulkan
asap.
Si nenek sambil memaki dan tubuh ter-
huyung sibuk memadamkan api yang membakar tu-
buhnya. Sedangkan Sateaki sendiri memang sempat
melompat ke belakang sambil melepaskan pukulan

saktinya untuk menangkis serangan Bayangan
Maut. Tapi pukulan yang dilepaskannya amblas, Le-
nyap begitu membentur serangan lawan. Kakek ini
jatuh terpelanting dengan pakaian hangus di bagian
depan.
Tak jauh di sebelahnya Gento yang sempat
melihat lawan melepaskan pukulannya tadi dengan
gerakan terhuyung seperti orang mabuk masih sem-
pat melompat ke samping hingga pukulan yang di-
lancarkan lawan hanya mengenai tempat kosong.
Begitu selamat sang Pendekar berseru. "Ka-
kak... Sateaki... kalian tidak apa-apa bukan?" ta-
nyanya pada si kakek dan Serimbi yang tengah si-
buk memadamkan api.
"Celaka! Kobaran api yang membakar tubuh-
ku mengandung racun?!" seru si nenek kaget.
"Akh... racun dengan cepat menjalar ke seku-
jur tubuhku! Wuakh...akkh...!" jerit si kakek.
"Sateaki!" seru Pendekar Sakti 71 Gento
Guyon kaget begitu melihat si kakek melejang-lejang
sedangkan matanya mendelik. Sekujur tubuh Sa-
teaki saat itu telah membiru pula.
Bayangan Maut tertawa panjang. Dia berdiri
bertolak pinggang. Sementara Gento mencoba sela-
matkan sahabatnya itu dengan menotok beberapa
pembuluh darah yang menuju ke jantung. Setelah
itu dari balik kantong hitam perbekalan obat Gento
mengambil dua butir pil penawar racun, lalu mema-
sukkannya ke dalam mulut si kakek. Karena si ka-
kek tetap tidak bergerak meskipun obat penawar ra-
cun telah dimasukkan ke mulutnya, maka Gento
pun menepuk pipi kanan kiri kakek itu.
"Hik hik hik. Kau tak perlu cemas setan gon

drong! Dia hanya terkena pukulan seratus hari. Ti-
dak lama lagi dia pasti sadar. Namun jika sampai
seratus hari dimuka dia tak menemukan obat pena-
war racun itu. Dapat kupastikan seluruh tubuhnya
segera bertanggalan dan dia akan mati dalam kea-
daan menggenaskan!" kata Bayangan Maut sinis.
"Bangsat jahanam! Dia tak punya salah dosa
apa-apa. Tapi kau melukainya secara keji!" teriak
Gento. Dengan tangan terkepal dan wajah berubah
kelam membesi pemuda itu bangkit berdiri. Saat
sang pendekar balikkan badannya, dia melihat Se-
rimbi masih berdiri tegak sedangkan tangan kiri
mendekap bahu kanannya.
"Kakak...kau tidak apa-apa bukan?" tanya
Gento khawatir.
Si nenek umbar tawanya.
"Aku tidak kekurangan sesuatu apa. Cuma
bajuku robek. Hingga bahuku yang mulus tersem-
bul. Aku jadi malu. Hik hik hik. Belalang Kecil, ma-
sih beruntung ditubuhku mengandung berbagi jenis
racun. Jika orang biasa yang terkena pukulannya,
aku tak bisa menjamin apakah dia mampu bertahan
hidup. Hik hik hik!" Setelah mendengar ucapan Se-
rimbi, Gento kini memandang tajam ke arah Bayan-
gan Maut. Dalam hati dia berkata. Jelas nenek ini
bukan manusia sembarangan. Dia tak mungkin da-
pat kusingkirkan dengan pukulan sakti sekalipun.
Agaknya aku perlu menggunakan ilmu Menitis
Bayangan Raga untuk menghadapinya." batin si pe-
muda.
"Setan gondrong, apakah kau telah siap mati
bersama-sama dengan kakakmu itu?" kata si nenek
muka serigala dingin.

"Ha ha ha. Bayangan Maut, rupanya kau tu-
kang meracun orang. Sedikit banyaknya aku ingin
tahu sampai dimana kehebatan racunmu!" kata si
pemuda disertai senyum mengejek. Sikap yang
terkesan meremehkan yang ditunjukkan sang pen-
dekar tentu saja membuat Bayangan Maut jadi gelap
mata.

6

Padahal apa yang dilakukan Gento hanya
suatu muslihat untuk memancing kemarahan la-
wannya. Nampaknya Bayangan Maut luput mem-
perhatikan semua itu. Dengan penuh kegeraman dia
melangkah lebih ke depan sebanyak dua tindak.
Sementara akibat gejolak kemarahan yang melanda
jiwanya membuat wajah maupun tubuh Bayangan
Maut cepat sekali berubah-ubah antara ujud manu-
sia serigala dengan rupa seorang nenek angker ber-
tubuh agak bungkuk.
"Bocah sial! Rupanya kau belum tahu siapa
diriku. Kau tak bakal sempat menyaksikan keheba-
tan ilmuku karena sekejap lagi nyawamu segera ku-
kirim ke neraka!"
"Walah, kau memanggilku bocah sial? Sung-
guh keterlaluan sekali. Tidak mengapa biar rupa ku
tidak lebih buruk dimata setan akupun akan me-
manggilmu nenek serigala sial. Ha ha ha!" kata si
pemuda. Kemudian dia melanjutkan ucapannya "La-
lu nenek serigala sial. Kapan kau akan mengirimku
ke neraka? Dengan apa kau hendak membawaku
kesana? Aku pasti tidak menolak. Yang terpenting

walau rongsokan, rasanya lebih bagus jika aku naik
ke punggungmu. Tapi aku perlu tanya kakakku itu."
ujar Gento. Kemudian dia berpaling pada Serimbi.
Pada nenek sakit ingatan Gento ajukan pertanyaan.
"Kakak... bagaimana ini. Apakah kau mau ikutan ke
neraka juga? Kalau kau ikut, aku jadi bingung kare-
na yang kutahu kuda yang akan membawaku cuma
satu. Kudanya perempuan, sudah tua bungkuk pu-
la. Apakah kau mau berjalan kaki, yang akan me-
makan waktu lama. Salah-salah kau malah kesasar
ke surga. Ha ha ha!"
"Belalang Kecil. Biar lambat yang penting ki-
ta satu tujuan. Aku yang sudah tua harus tahu diri.
Biar aku membonceng di belakang punggungnya.
Yang terpenting sebagai saudara kita tetap seiring
sejalan! Hik hik hik!" sahut si nenek disertai tawa
tergelak-gelak.
Merah padam wajah Bayangan Maut. Darah-
nya Laksana mendidih, sedangkan bagian dada ne-
nek itu seperti mau meledak terbakar amarah. Ke-
marahan itu telah membuat sepuluh kuku jari tan-
gan maupun jari kaki mencuat panjang dengan sen-
dirinya. Kejab kemudian dengan kemarahan me-
luap-luap Bayangan Maut berkelebat dengan kece-
patan Laksana kilat ke arah sang pendekar. Sepuluh
jemari tangan berkelebat menyambar leher dan wa-
jah Gento, sedangkan kaki kanannya melesat meng-
hantam bagian perut. Murid kakek Gendut Gentong
Ketawa begitu melihat serangan ganas ini segera
mempergunakan jurus Congcorang Mabuk. Salah
satu jurus menghindar sekaligus jurus penyerangan,
warisan gurunya Gentong Ketawa.
Dengan tubuh terhuyung dia hindari seran

gan lawan. Tiga serangan pertama yang dilancarkan
Bayangan Maut dapat dia hindari. Tapi ketika si ne-
nek setengah manusia setengah serigala ini balikkan
badan dan menyerangnya kembali dengan gencar
Gento nampak kerepotan sekali. Tak ingin tangan
atau kaki lawan menyentuh tubuhnya, berturut-
turut Gento hantamkan pukulan Iblis Ketawa Dewa
Menangis dan pukulan Dewa Awan Mengejar Iblis.
Wuut! Wuut!
Sinar merah dan sinar biru berturut-turut
melesat ke arah lawannya. Hawa panas dan hawa
dingin saling tindih menindih. Bayangan Maut ter-
tawa tergelak-gelak. Dua tangan disilangkan ke de-
pan dada. Sedangkan mulutnya berucap. "Hanya
pukulan picisan seperti ini yang kau miliki? Kalau
cuma seperti ini kepandaian yang kau miliki, kau
tak bakal lolos dari kematian!" dengus Bayangan
Maut. Berkata begitu dua tangan yang bersilangan
di depan dada itu lalu didorongkannya ke depan.
Wuuues!
Satu kekuatan yang tak terlihat menderu
laksana air bah. Lalu terjadi benturan. Benturan ke-
ras menimbulkan suara letupan halus. Secara aneh
dua pukulan sakti yang dilepaskan Gento tersedot
amblas, kemudian menghantam dada Bayangan
Maut. Nenek serigala itu tertawa panjang. Ternyata
betapapun dahsyat pukulan yang dilepaskan Gento.
Tapi pukulan itu seolah hanya menghantam bayan-
gan saja. Malah Gento sendiri saat itu terpelanting
belasan tombak ke belakang. Pemuda ini jatuh ter-
jengkang begitu punggungnya menghantam lamping
bukit. Pemuda ini menjerit kesakitan.
Dengan terhuyung-huyung dia bangkit, na

mun belum lagi sang pendekar sempat berdiri tegak
sepenuhnya. Bayangan Maut telah melesat ke arah-
nya siap menghunjamkan sepuluh kuku-kukunya
yang hitam beracun. Melihat hal ini Serimbi tentu
saja tidak tinggal diam. Sambil keluarkan seruan ke-
ras nenek itu memotong gerakan Bayangan Maut
dari arah samping. Nenek setengah manusia seten-
gah serigala itu tersentak kaget begitu merasakan
ada angin dingin menyambar tulang rusuknya. Dia
cepat berpaling, lalu balikkan badan batalkan se-
rangan ke arah Gento. Kini Bayangan Maut setelah
melihat siapa yang menyerangnya langsung gerak-
kan siku kirinya menangkis serangan lawan.
Plak! Plak!
Dess! Dess!
Tangkisan yang dilakukannya membuat
Bayangan Maut maupun Serimbi sama bergetar. Ta-
pi dalam keadaan seperti itu masing-masing lawan
masih sanggup menyarangkan pukulannya ke ba-
gian dada dan perut. Akibatnya sungguh luar biasa
sekali bagi Serimbi. Nenek sakit ingatan itu jatuh
terpental.
Tubuhnya amblas ke dalam tanah. Sedang-
kan Bayangan Maut juga mengalami hal yang sama.
Tapi dia tidak cidera sedikitpun. Malah kini dia
mengumbar tawa begitu melihat lawan yang terkena
pukulan di bagian perutnya tak mampu bangkit lagi.
"Hik hik hik. Nenek gila, kau telah terkena
pukulan beracun Tujuh Hari. Dalam tujuh hari di-
muka, ajal pasti datang menjemputmu. Kau akan
mati secara menggenaskan seperti gelandangan di
pasar!" Serimbi mengerang, dari mulutnya menyem-
burkan darah kental kehitaman. Walaupun begitu

dia masih sempat bicara ditujukan pada Gento. "Be-
lalang Kecil. Lekas tinggalkan tempat ini. Dia memi-
liki pukulan mengandung racun keji. Pergilah sela-
matkan dirimu. Umurku tak bakal lama, sebelum
aku mati satu pintaku kepadamu, adikku. Jika kau
panjang umur, tolong kau cari putriku. Katakan....
katakan padanya bertahun-tahun aku mencarinya.
Sampaikan pula salam rinduku pada putriku itu.
Hugkh....!" Belum sempat si nenek lanjutkan uca-
pannya dia sudah jatuh terkapar.
Bergetar hati sang pendekar mendengar uca-
pan tulus Serimbi. Dengan mata berkaca-kaca me-
nahan haru dalam hati dia berkata. "Nenek sakit in-
gatan itu bukan sanak bukan saudara kandungku.
Tapi kebaikannya sungguh luar biasa. Biarpun inga-
tannya terganggu, tapi cara berfikir dan rasa keke-
luargaan yang dia miliki masih lebih bagus dari ma-
nusia yang mengaku memiliki kewarasan."
"Setan gila. Kau sudah dengar apa yang dika-
takannya. Sekarang apakah kau sudah siap untuk
menerima nasib yang sama?" hardik Bayangan
Maut.
Pendekar Sakti 71 Gento Guyon sunggingkan
seringai mengejek. Dia bangkit berdiri, memutar tu-
buh menghadap langsung ke arah lawan. Dua tan-
gan terkepal, pelipis bergerak-gerak. Setengah
menggeram dia berkata. "Nenek siluman. Dua orang
telah kau buat celaka. Jangan kira aku hanya bisa
berpangku tangan membiarkan segala kekejianmu.
Majulah, aku sudah siap menghadapimu!" dengus
sang pendekar. Bayangan Maut dongakkan wajah-
nya ke langit, lalu tertawa terkekeh-kekeh.
"Kau bakal mampus percuma di tanganku!

Hik hik hik!" habis berkata sosok Bayangan Maut
mendadak berkelebat. Sekejap saja tubuhnya telah
Lenyap dari hadapan Gento. Di lain saat pemuda itu
merasakan ada angin dingin menyambar bahu dan
kepalanya. Gento segera memutar tubuh, lalu mi-
ringkan tubuhnya. Setelah itu sosoknya melesat ke
udara. Berjumpalitan di udara beberapa kali. Den-
gan menggunakan daya apung serta ilmu meringan-
kan tubuh yang dia miliki Gento melepaskan satu
pukulan dahsyat ke bawah.
Sinar merah berkiblat disertai deru angin
dingin luar biasa. Hawa dingin kemudian berubah
menjadi panas membakar begitu pukulan hampir
mencapai sasaran.
Buum!
Pukulan mengenai tempat kosong. Lawan
yang diserang telah berkelebat Lenyap dan kini telah
pula bergerak ke atas. Diantara kepulan debu akibat
pukulan tadi Gento melihat lawan tahu-tahu telah
berada di hadapannya. Sang Pendekar tidak mau
mengambil resiko yang membuatnya mati keracu-
nan. Sambil bergerak mundur dia hantamkan ka-
kinya ke perut Bayangan Maut.
Dess!
Satu tendangan mendarat telak di perut si
nenek. Tapi lawan malah tertawa mengekeh. Dia
kemudian melepaskan pukulan jarak jauhnya ke
arah Gento
Dua larik sinar hitam berkiblat, menebar bau
busuk luar biasa disertai hawa dingin mematikan.
Gento sadar pukulan yang dilancarkan lawan men-
gandung racun mematikan. Untuk itu dia menge-
rahkan tiga sumber inti tenaga dalam atau Inti Cakra yang berpusat di bagian punggung, pusar juga di
bagian kening. Tiga pusat pembangkit tenaga dalam
digerakkan, hawa panas menjalar ke sekujur tubuh-
nya. Gento pun lalu silangkan kedua tangannya di
depan dada. Dua tangan yang bersilangan lalu dido-
rong.
Buuum!
Terjadi Ledakan keras berdentum ketika pu-
kulan Bayangan Maut membentur tangan Gento.
Sang pendekar jatuh terpelanting dan terhempas di
lereng bukit. Nafasnya megap-megap, sekujur tu-
buhnya laksana terbakar. Masih beruntung dia se-
belumnya telah lindungi diri dengan pengerahan te-
naga sakti yang bersumber pada tiga bagian tubuh-
nya. Seandainya Gento hanya mengandalkan tenaga
dalam yang bersumber pada pusarnya saja dapat
dipastikan tubuhnya menjadi leleh akibat pukulan
lawan yang mengandung racun mematikan itu.
Bayangan Maut sendiri nampak tercengang
melihat si gondrong hanya terjatuh tak kekurangan
sesuatu apa. Padahal dalam perhitungannya tadi
pemuda itu pasti tak sanggup menyelamatkan diri
karena dia melepaskan pukulan yang paling keji di-
antara sekian banyak pukulan yang dia miliki.
Kini setelah dua kakinya menginjak tanah
Bayangan Maut mendongak ke atas, memandang ke
lereng bukit curam dimana lawan masih terbaring di
tempatnya.
"Setan gondrong! Ternyata nyawamu alot ju-
ga. Tapi jangan harap sekali ini kau sanggup melo-
loskan diri dari tanganku!" teriak si nenek. Selesai
berkata Bayangan Maut gosokkan tangannya satu
sama lain. Setelah itu tangan yang mengepulkan

asap tipis itu disapukan ke bagian wajah leher juga
sekujur tubuhnya. Mendadak sontak dalam pan-
dangan Gento sosok si nenek yang berada di bawah
sana telah berubah ujud menjadi seekor serigala be-
sar tanpa buntut
Melihat pemandangan seperti ini membuat
sang pendekar sempat tercekat. Tapi dia dengan ce-
pat bangkit berdiri. Dua tangan kemudian disilang-
kan ke depan dada. Sedangkan mulutnya berkemak-
kemik membaca mantra. Dari bagian ubun-ubun
murid Gentong Ketawa ini secara perlahan namun
pasti terlihat asap tipis berwarna putih mengepul ke
udara.
Bersamaan dengan itu pula, Bayangan Maut
keluarkan suara lolong panjang tidak ubahnya se-
perti seekor serigala yang murka. Lalu sosok serigala
ini tanpa terduga melesat ke udara, terus bergerak
ke arah ketinggian lereng bukit tempat dimana la-
wan berada. Dengan mulut terbuka lebar disertai
taring-taringnya yang siap merobek, kaki depan se-
rigala itu juga bergerak ke arah dada siap mencabik
tubuh lawannya.
Tapi pada waktu itu Pendekar Sakti 71
Guyon yang telah mengeluarkan ilmu Bayangan Ra-
ga, sosoknya telah mengembar menjadi lima orang.
Dalam keadaan mengembar tak jelas mana yang asli
dan yang mana cuma bayangan. Tentu saja lawan
menjadi terkesima. Sama sekali Bayangan Maut tak
menyangka lawan memiliki ilmu seaneh dan selang-
ka itu.
Tapi dia tak mungkin mundur. Dia kemudian
menyerang sosok Gento yang berada di sebelah kiri.
Dua taringnya menghunjam, sepuluh kuku tangan

nya menyambar membeset dada.
Wuut!
Wuus!
Bayangan Maut terkecoh. Yang diserangnya
ternyata hanya kembaran Gento yang palsu. Lalu
dia balikkan badan siap menyerang lagi. Pada waktu
yang bersamaan Gento dan empat kembarannya
sama melepaskan satu pukulan berbarengan. Aki-
batnya tentu sangat luar biasa sekali. Lima besar
bergabung menjadi satu, menghantam satu sasaran
di lima bagian tubuh. Manusia dengan kesaktian
sehebat apapun pasti tak sanggup menahannya.
Begitu pula yang terjadi dengan Bayangan
Maut. Apalagi saat itu jarak antara dirinya dengan
lawan begitu dekat. Sungguhpun dia sudah menco-
ba menangkis kelima serangan maut lawannya. Te-
tap saja tubuhnya tersapu mental. Lalu terpelanting
sejarak dua puluh tombak, kemudian membentur
tebing yang terdapat di seberang sana. Meliuk-liuk
seperti layangan putus dan jatuh berdebum di kaki
bukit
Bayangan Maut menjerit kesakitan. Sedang-
kan di atas bukit, empat sosok kembaran Gento
mendadak Lenyap dari pandangan mata. Pemuda ini
sambil tertawa bergerak melesat ke arah Bayangan
Maut. Begitu jejakkan kaki dia berdiri bertolak ping-
gang. Nenek setengah manusia setengah serigala
yang kini kembali dalam ujudnya yang asli dengan
tertatih-tatih bangkit berdiri.
"Nenek serigala. Racunmu memang ganas,
tapi ternyata tak sanggup melukai kembaranku. Se-
karang aku tahu lima pukulan yang menghantam
lima bagian tubuhmu telah membuat ujud kasarmu

dapat kusentuh dapat pula kulukai. Kali ini aku in-
gin mengadu jiwa denganmu!" kata Gento, sedang-
kan tangan kanannya sengaja ditempelkan pada ma-
ta kalung Batu Raja Langit siap diusap untuk me-
nyerang nenek itu.
Bayangan Maut terbatuk-batuk. Dia tidak
mungkin melanjutkan pertempuran mengingat uru-
sannya belum beres. Semula dia menduga, dengan
mudah dapat membunuh pemuda itu. Apalagi dua
lainnya sudah dia lukai. Tapi diluar dugaan dia
mendapat sandungan. Pemuda gondrong yang suka
cengengesan itu ternyata memiliki ilmu kepandaian
sulit dijajaki.
"Kalau kugempur dia, mungkin aku bisa me-
nang. Tapi kurasa kalungnya itu bukan mata kalung
sembarangan. Aku dapat merasakan satu kekuatan
dahsyat terkandung dalam kalung itu. Lebih baik
aku mengurut dada bersabar diri. Kelak jika uru-
sanku dengan Angin Pesut dapat kubereskan baru
aku membuat perhitungan dengan setan gondrong
ini." berflkir begitu Bayangan Maut segera berkata.
Namun dengan cepat tangannya menyelinap dibalik
pakaiannya. "Setan gondrong, aku belum kalah.
Nanti aku pasti membunuhmu!" Gento tertawa men-
gekeh dengan mulut terpencong. Begitu tawanya Le-
nyap, dia dibuat terperangah karena pada saat ber-
samaan pula lawan telah membanting benda hitam
bulat yang dia ambil dari balik bajunya.
Buum!
Satu letupan bergema disertai menebarnya
asap tebal berwarna biru menutupi pemandangan
mata, Gento melompat mundur sambil tutup jalan
nafas khawatir benda yang dilemparkan Bayangan

Maut mengandung racun ganas. Tapi dia juga sadar
apa yang hendak dilakukan lawan sehingga sang
pendekar pun berteriak. "Nenek serigala setan jan-
gan lari!"
Percuma saja pemuda ini berteriak. Karena
begitu asap biru Lenyap maka si nenek Lenyap pula
dari pandangan mata. Seakan lupa pada nenek Se-
rimbi dan Sateaki yang terkapar di tempatnya mas-
ing-masing, Pendekar Sakti 71 Gento Guyon pun se-
gera melakukan pengejaran.
"Bangsat serigala itu mencari Angin Pesut.
Mungkin lebih baik jika aku mengikutinya" fikir
Gento.

7

Gadis raksasa yang dikenal dengan nama
Anggagini itu nampak terus mendaki ke arah pun-
cak bukit dimana terdapat rumah besar luar biasa
yang selama ini ditinggali oleh para kerabatnya. Di
belakang mengikutinya seorang kakek berpakaian
serba putih berjanggut putih menjulai ke dada. Ka-
rena jangkauan kaki gadis setinggi pucuk pohon itu
sangat lebar meskipun saat itu dia berjalan biasa,
namun kakek berpakaian putih yang mengikuti di
belakang terpaksa berlari kecil. Dalam hati si kakek
yang bukan lain Tabib Setan adanya menggerutu.
"Obat penawar racun pemberian nenek sinting itu
sudah amblas ke dalam perutnya satu jam yang la-
lu. Mengapa tubuhnya tidak menunjukkan pe-
rubahan? Jangan-jangan bocah sial Gento Guyon
dan nenek sakit ingatan itu telah menipu. Hem...

kulihat obat pemusnah racun tadi bentuknya bulat
hitam ada putihnya seperti tahi kambing. Mungkin
obat itu memang bukan penawar racun, tapi tahi
kambing sungguhan. Sialan... bagaimana jika gadis
cantik itu tahu yang dimakannya bukan obat pena-
war racun Perubah Bentuk? Bocah edan. Tega-
teganya dia mengakali gadis secantik Anggagini?!"
Baru saja Tabib Setan berperasangka yang
bukan-bukan, bersamaan dengan itu gadis raksasa
Anggagini melangkah disertai keluhan panjang.
"Akh...perutku....tubuhku...!'' Anggagini
mengerang. Dua tangan dipergunakan mendekap
perutnya yang terasa panas terbakar. Tergopoh-
gopoh Tabib Setan menghampiri. Dia berdiri di de-
pannya.
"Apa...apa yang terjadi dengan dirimu?"
tanya si kakek sambil dongakkan kepala meman-
dang ke atas. Karena tinggi si kakek hanya sebatas
lutut Anggagini. Maka tabib iseng ini dengan jelas
dapat melihat paha putih mulus gadis raksasa ini.
Tabib Setan menyeringai, lalu garuk-garuk kepa-
lanya. Dalam hati dia berkata. "Luar biasa, yang mu-
lus seperti ini baru sekarang aku melihatnya. Jika
aku punya istri seperti dia, tidak akan kukubur se-
belum benar-benar mati. Bocah edan itu?! Tolol se-
kali dia. Mengapa memilih pergi dengan nenek gila.
Perempuan seperti itu apanya yang diharap, cuma
tinggal rongsokan dan alot pula."
"Kakek tabib, wualah perut dan sekujur tu-
buhku mengapa menjadi panas begini. Walah tobat
aku. Akh...!" Tak tahan menanggung penderitaan
sakit yang luar biasa Anggagini pun menjerit setinggi
langit. Suara jeritannya yang menggelegar bahkan

sampai membuat Tabib Setan terkapar. Itu tentu sa-
ja mengundang perhatian penghuni rumah raksasa
yang berada di puncak bukit. Tak berselang lama
kemudian terlihat tiga sosok tubuh dengan tinggi
dan besar luar biasa berkelebat keluar dari bagian
pintu depan. Lalu terdengar suara Langkah tergesa.
Setiap langkah menimbulkan getaran hebat. Di lain
saat tempat dimana Anggagini jatuh terduduk telah
dikelilingi oleh tiga manusia raksasa yang bukan
lain adalah kerabat gadis itu sendiri.
"Anggagini apa yang terjadi padamu?" satu
suara bertanya. Tabib Setan yang telinganya sempat
mengucurkan darah akibat jeritan Anggagini dengan
kepala pening dan mata berkunang-kunang kitarkan
pandang coba mengenali. Ternyata yang baru saja
bicara adalah Anggagana pemuda yang masih meru-
pakan kakak kandung Anggagini.
Gadis raksasa itu mengerang, lalu terguling
di atas tanah. Melihat ini perempuan cantik seten-
gah baya yang bernama Senggini nampak panik dan
menubruk putrinya yang cantik jelita.
"Apa yang terjadi dengan dirimu, nak?" tanya
Senggini sambil menangis terisak-isak. Sebaliknya
suaminya yang bernama Senggana masih dapat ber-
laku tenang. Namun perhatiannya langsung tertuju
pada Tabib Setan yang tengah berusaha berdiri te-
gak. Sekali tangan Senggana yang besar itu berkele-
bat menyambar. Di lain waktu leher Tabib Setan su-
dah berada dalam cengkeramannya. Sang tabib me-
rasakan dadanya jadi sesak seketika. Dia sulit ber-
nafas, lidahnya terjulur matanya mendelik.
Dia hendak mengatakan sesuatu, sementara
kaki meronta dan tangan menggapai. Tapi suaranya

tak dapat keluar sama sekali akibat cekikan bapak
raksasa.
"Apa yang telah kau lakukan pada putriku?
Ramuan apa yang telah kau berikan padanya? Pa-
tutnya aku mengucapkan terima kasih padamu. Ta-
pi jika putriku celaka. Kaupun tak bakal hidup lebih
lama!" geram Senggana sambil mempererat cekalan-
nya hingga membuat sang tabib makin menderita
saja. Anggagana yang mempunyai watak berangasan
melompat ke samping ayahnya. Dia kemudian me-
nyambar kaki sang tabib
"Ayah..serahkan tua bangka ini padaku. Biar
kumakan dia mentah-mentah..!"
"Sial! Mengapa jadi sial begini. Kaki dan le-
herku seperti mau tanggal ditarik dibetot oleh bapak
dan anak." maki si kakek dalam hati. Dengan nafas
megap-megap dia mencoba bicara. Tapi karena ceki-
kan di lehernya semakin bertambah erat membuat
suara si kakek hanya sampai di tenggorokannya sa-
ja. Apalagi saat itu Anggagana berusaha merebut di-
rinya dari tangan sang ayah. Akibatnya terjadilah ta-
rik menarik. Tabib Setan merasa sekujur tubuhnya
seperti bertanggalan tercerai berai. Tak tahan me-
nanggung penderitaan yang begitu hebat, Tabib Se-
tan melepaskan pukulannya ke arah Anggagana.
Dari telapak tangannya yang dapat bergerak bebas
melesat selarik sinar biru berhawa panas luar biasa.
Tapi pukulan maut itu bagi raksasa Anggagana tidak
memiliki arti sama sekali. Sekali dia mengibaskan
tangannya, sinar biru yang dimata Anggagana cuma
sebesar benang tersapu mental lalu Lenyap di udara.
"Tabib cebol ini hendak melawan ayah. Biar
kuhabisi sekalian!" teriak Anggagana kalap.dan

pemuda ini kembali menarik kedua kaki Tabib Se-
tan.
Bret! Breet!
Terdengar suara robeknya kain. Ternyata
akibat tarikan yang begitu keras membuat celana
sang tabib terbelah dua. Dalam keadaan kesakitan
Tabib Setan menjadi panik melihat auratnya ter-
sembul keluar. Dia menjerit-jerit. Kalang kabut sang
tabib coba tutupi auratnya. Dia memaki habis-
habisan. Tapi mana mungkin bapak dan anak rak-
sasa mendengar karena seperti tadi suara si kakek
hanya sampai di tenggorokan saja.
"Sialan... aku berteriak juga percuma. Pa-
dahal aku memaki dari kambing sampai ke anjing.
Akh...bocah edan. Ternyata nasibmu selalu lebih
baik dariku. Walaupun kau ikut dengan nenek gila
itu kurasa lebih menyenangkan.!" keluh sang tabib.
Akibat gerakan menyelamatkan diri yang sia-sia
membuat tubuh Tabib Setan menjadi lemas sendiri.
Akhirnya tak banyak yang dapat dilakukan-
nya terkecuali bersikap pasrah sambil berdoa dalam
hati semoga jika dia mati dapat masuk surga.
Entah secara kebetulan atau memang doa
Tabib Setan di kabulkan Tuhan. Di saat penderitaan
si kakek sampai pada puncak ketabahannya. Pada
detik itu pula Senggini tiba-tiba berteriak. "Kakang
Senggana, lihat anak kita?!" seru perempuan terse-
but. Bukan hanya Senggana, tapi anaknya Anggaga-
na yang bengis juga ikut palingkan kepala meman-
dang ke arah Anggagini. Mereka sama tercengang,
mata terbelalak dan mulut ternganga. Saat itu me-
reka melihat satu proses sedang terjadi. Tubuh Ang-
gagini secara perlahan namun pasti mengalami penyusutan. Baik mengenai tinggi maupun besar tu-
buhnya terus mengerut dan semakin mengecil.
Hingga pada akhirnya kembali ke ukuran manusia
normal.
"Keajaiban yang kami tunggu akhirnya da-
tang juga!" desis Senggana. Dia beringsut mendekati
Anggagini. Demikian kaget dan gembiranya laki-laki
tua ini melihat perubahan yang terjadi sampai ceka-
lannya pada leher Tabib Setan terlepas. Pada waktu
yang sama Anggagana yang juga terheran-heran me-
lihat perubahan yang terjadi pada adiknya juga le-
paskan cekalan pada kedua kaki sang tabib. Lalu
bapak dan anak raksasa bersirebut mendekati Ang-
gagini. Tak ayal lagi Tabib Setan begitu leher dan
kaki dilepas orang jatuh terbanting.
Si kakek menggeliat sambil merintih kesaki-
tan. Tapi tak ada yang menghiraukannya. Seluruh
kerabat raksasa tenggelam dalam luapan kegembi-
raan, hingga seolah dirinya dilupakan. Sambil men-
gusap dan mengurut leher yang membiru akibat di-
cekik Senggana, Tabib Setan mencoba duduk. Dia
menyeringai. Sekujur tubuhnya terasa sakit luar bi-
asa. Tapi walaupun dia dalam keadaan seperti itu
sang tabib ikut memperhatikan perubahan yang ter-
jadi pada diri Anggagini.
"Bapak raksasa tolol itu. Hampir mampus
aku dibuatnya. Dia mengira apa yang terjadi pada
anaknya merupakan suatu keajaiban. Padahal jika
bukan atas pertolongan bocah edan sahabatku sam-
pai perawan bulukan putrinya tetap menjadi raksa-
sa."
Sementara itu Anggagini sudah rebah dalam
pelukan ibunya. Dia nampak kaget melihat keadaan

dirinya sendiri. Sedangkan matanya jelalatan men-
cari kian kemari.
"lbu...aku, aku menjadi manusia normal.
Obat penawar racun Perubah Bentuk pemberian
pemuda itu sungguh hebat sekali. Akh...kemana
dia?" tanya Anggagini yang kini tinggi tubuhnya
hampir sama dengan Tabib Setan.
"Syukurlah anakku. Memang apa yang terja-
di padamu telah ibu dambakan sejak dulu." ujar
Senggini.
"Apa yang kau cari anakku?" tanya Senggana
ketika melihat anaknya masih saja sibuk mencari-
cari.
"Kakek tabib. Sahabat kakek tabib yang
memberikan obat penawarnya padaku!" jelas sang
dara yang makin bertambah jelita begitu tubuhnya
menyusut kembali ke ukuran manusia normal.
"Sahabat Tabib Setan. Siapa dia?" tanya
Senggini.
"Namanya Gento Guyon. Pendekar Sakti 71,
serta nenek Serimbi dan kakek berjenggot kambing
bernama Sateaki!" sahut Anggagini. Kemudian dia
menceritakan pertemuannya dengan sang pendekar
serta nenek yang telah memberikan obat penawar
racun Perubah Bentuk. Untuk lebih Jelasnya silah-
kan (baca Episode Perisai Maut).
Terkecuali Anggagana yang memang tidak
tahu siapa adanya Serimbi dan Sateaki. Suami istri
Senggana dan Senggini sama melengak kaget begitu
anak gadisnya menyebut dua nama itu.
"Sateaki. Orang tua itu adalah adik Angin
Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Se-
dangkan Serimbi adalah nenek malang yang anak

nya diculik orang...!" ujar Senggana.
"Serimbi bekas istri Angin Pesut. Iblis itulah
yang dulu pernah menciderai kami dengan pukulan
Perubah Bentuk, hingga keadaan kami dan kalian
jadi seperti ini. Anggagini... jadi kau telah menda-
patkan obat penawar racun Perubah Bentuk?"
"Betul Ibu. Satu telah kumakan dan sisanya
masih ada satu lagi!"
Senggini, Senggana dan Anggagana saling
berpandangan. Lalu si pemuda raksasa berucap
dengan wajah muram. "Berarti cuma satu diantara
kita yang bakal mendapat kesembuhan."
"Kami sudah tua," berkata Senggana. "Kau
masih muda. Obat itu bisa kau makan. Bukankah
begitu istriku?" kata laki-laki tua itu sambil melirik
istrinya. Sang istri terdiam. Dia jadi teringat pada
Tabib Setan. Kakek yang membuatnya tergila-gila
dan jatuh hati pada pandangan pertama. Pada diri
sang tabib, dia menemukan jati diri seorang laki-laki
sejati. Karena sadar dirinya tak mampu memberikan
kebahagiaan pada sang istri. Sejak dulu Senggana
memang memberikan kebebasan pada istrinya un-
tuk mencari suami pengganti. Apalagi kini orang tua
itu sadar selain tak mampu memberikan nafkah ba-
tin dia juga sering sakit-sakitan. Senggini sadar se-
bagai laki-laki suaminya sudah mencoba berjiwa be-
sar dengan memberi kebebasan pada dirinya untuk
menentukan pilihan hidup. Tapi sebagai wanita te-
gakah dia meninggalkan suaminya?
"Tabib Setan. Jika aku dapatkan obat itu,
mungkin aku dapat berubah seperti putriku. Tapi
apakah kau mau menikahiku? Yang lebih penting
lagi apakah kau mencintaiku, sebagaimana aku

mencintaimu? Aku memang tak dapat melupakan-
mu. Di depan suami dan anak-anakku, aku selalu
berusaha menutupi perasaanku dengan mengacuh-
kan dirimu. Padahal aku ingin sekali membenamkan
diri dalam pelukanmu. Tapi aku juga tidak ingin
mengorbankan kepentingan putraku Anggagana!"
Seakan dapat membaca fikiran istrinya, Senggana
lalu berkata. "Istriku kau tak usah ragu. Yang men-
jadi janjiku tetap kupegang sampai mati!" Senggini
tersentak sekaligus berucap.
"Tidak kakang. Lupakanlah semua itu, Ang-
gagini, berikan obat penawar racun itu pada kakang
mu. Dia harus menjadi seperti dirimu." tegas sang
Ibu.
"Tapi Ibu...!" Anggagana mengajukan ke-
beratannya. Tapi sang ibu gelengkan kepala sambil
berucap.
"Kami sudah tua. Tak perlu dirisaukan"
Anggagana tidak dapat lagi membantah. Ke-
tika Anggagini memberikan obat penawar racun Pe-
rubah Bentuk itu kepadanya, si pemuda dengan be-
rat hati terpaksa menelannya. Beberapa saat suami
istri itu menunggu. Tapi tak terjadi perubahan pada
diri Anggagana. Seolah mengerti Anggagini berkata.
"Membutuhkan waktu lama untuk mengem-
balikan kakang Anggagana kembali seperti manusia
normal. Tapi ibu tak usah takut. Aku akan meminta
pada sahabat Tabib Setan agar mau memberikan
obat penawar racun untuk ayah dan ibu." si gadis
berjanji. Senggini geleng kepala. Sedangkan Sengga-
na berpaling ke arah mana dia meninggalkan sang
tabib tadi. Ternyata Tabib Setan masih berada di
tempatnya, memandang ke arah Senggana dan

Senggini penuh rasa takut. Kakek itu rupanya su-
dah lupa akan keadaan dirinya sendiri. Senggana
jadi tak dapat menahan tawa begitu melihat aurat
tabib yang pernah menolong menyembuhkan penya-
kitnya dan penyakit sang istri.
"Raksasa itu agaknya sudah gila. Sekarang
dia tertawa-tawa sendiri!" batin si kakek, lalu diapun
ikut pula tertawa.
"Tabib... kau mau ikut tertawa boleh saja.
Tapi rapikan dulu auratmu. Barang jelek sebaiknya
tak usah dipamerkan, karena aku juga punya yang
lebih bagus. Ha ha ha!"
Pucatlah wajah tabib konyol itu. Mendadak
tawanya Lenyap, wajahnya merah padam. Apalagi
pada saat itu Anggagini dan Senggini memandang
pula kepadanya. Tabib Setan dekap bagian bawah
perutnya. Begitu didekap celananya malah melorot
ke bawah. Kalang kabut si kakek rapikan celananya
yang melorot sampai ke paha. Begitu celana dirapi-
kan yang seharusnya terbungkus malah nongol lagi.
Tabib Setan akhirnya jadi panik. Dia memutar tu-
buh. Lalu sambil memegangi celana dengan tangan
kanan dan dekap auratnya dengan tangan kiri sang
tabib puntang panting menuruni lereng bukit.
"Kakek tabib. Tunggu... aku harus ikut den-
ganmu. Aku ingin bertemu sekaligus mengucapkan
terima kasih pada sahabatmu Gento dan nenek itu!
Tabib, aku juga ingin minta obat penawar racun pa-
da nenek Serimbi!" Anggagini bangkit berdiri dan
siap mengejar si kakek yang telah Lenyap dari pan-
dangan mata. Tapi ayahnya mencekal tangannya.
"Tidak usah di kejar, putriku. Kau tak perlu
minta obat penawar racun itu pada Serimbi. Bukan

dia yang bersalah. Yang patut menanggung dosa da-
ri semua ini adalah Angin Pesut"
"Ayah...tapi. Tapi aku ingin bertemu dengan
pemuda itu!" kata Anggagini terbata-bata. Sang ayah
pandangi wajah anaknya sejenak. Dalam hati dia
berkata. "Anak gadisku saat ini kiranya sedang
kasmaran dengan seseorang. Mungkin pada pemuda
yang disebutnya itu. Istriku juga mengalami hal
yang sama. tapi aku tidak tahu dia jatuh cinta pada
laki-laki mana?" keluh Senggana.
"Anggagini, Baiklah. Kau boleh menyusulnya.
Tapi jika benar kau tertarik pada pemuda itu hen-
daknya kau selidiki dulu siapa dia dan bagaimana
wataknya!" ujar Senggana mengalah.
"Ah, terima kasih ayah. Ibu... izinkan aku
menyusul kakek itu!" ujar Anggagini dengan pera-
saan terharu. Sang ibu tersenyum kecut. Rasanya
ingin sekali dia menitip salam untuk Tabib Setan.
Tapi malu dan Anggagini kemudian berkelebat me-
nuruni bukit. Sedangkan saat itu satu proses se-
dang terjadi pada diri anak mereka Anggagana. Se-
bagaimana yang terjadi pada Anggagini, tubuh Ang-
gagana pun nampak mulai menyusut bergerak me-
mendek sementara pemuda itu meraung-raung ke-
panasan. Tubuhnya menggelepar, menggelinjang,
bahkan meronta. Hingga pada akhirnya pemuda
raksasa itu berubah ke dalam bentuk serta tinggi
tubuh manusia pada umumnya. Suami istri raksasa
itu tentu sangat bahagia sekali. Begitu juga halnya
dengan sang anak.
"Ayah… Ibu…!" seru si pemuda
"Anakku, syukurlah"
"Kami senang kau bisa menjadi manusia

normal. Tapi sebelum aku menutup mata. Kalian
harus ikut denganku" ujar Senggana.
"Pergi kemana suamiku?" tanya sang istri.
Senggana menjawab dingin. "Apakah tidak
layak jika kita mencari Angin Pesut Setelah sekian
tahun dia rampas kebahagiaan kita?"
"Tapi suamiku?"
"Tidak ada tapi-tapi ikuti aku!" perintah
Senggana.
Meskipun merasa bingung melihat jalan fiki-
ran suaminya yang berubah-ubah. Namun Senggini
tidak berani membantah. Dia dan Anggana lalu
bangkit berdiri. Kemudian mengikuti Senggana yang
telah lebih dahulu berkelebat menuruni bukit

8

Hari merembang petang, suasana di sekitar
lembah yang terletak di kawasan Bantul itu pun te-
rasa sunyi mencekam. Di kejauhan sayup-sayup
terdengar suara serangga yang menandakan seben-
tar lagi suasana segera berganti dengan malam. Tak
berselang lama suara bising serangga Lenyap, sua-
sana di kawasan lembah hijau itu terasa semakin
sunyi.
Di suatu tempat dikawasan lapangan kecil
permukaan tanah tiba-tiba saja bergerak disertai ge-
lombang hebat seperti air laut yang ditiup angin
kencang. Lalu gerakan dipermukaan tanah menda-
dak terhenti. Hanya sesaat saja karena dilain waktu
terjadi satu gerakan hebat. Kemudian permukaan
tanah berhamburan. Tanah pun tersibak, terbelah

rengkah. Terlihat pula satu lubang menganga lebar.
Dari dalam tanah muncul satu sosok yang belum je-
las apa adanya.
Tapi tak lama kemudian, segala sesuatunya
semakin bertambah jelas. Seiring dengan keluarnya
sosok itu, tersembul satu kepala. Munculnya bagian
kepala diikuti dengan bagian tubuh lainnya. Mulai
dari tangan badan dan kaki. Sosok serba hitam itu
kemudian muncul kepala yang lain yang disusul
dengan bagian badan.
Ternyata mereka bukan hantu, atau dedemit
yang baru saja keluar dari dalam perut bumi. Mere-
ka adalah dua orang perempuan. Yang satunya be-
rupa seorang nenek berpakaian serba hitam, wajah
angker rusak mengerikan. Di kedua sudut bibir
mencuat sepasang taring, Lidah terjulur panjang se-
perti lidah anjing. Sedangkan hidungnya hanya be-
rupa rongga besar, sumplung seperti bekas ditera-
bas senjata. Selain itu di bagian dadanya yang ter-
buka nampak berlubang besar, hangus menghitam
seperti bekas terkena senjata tajam yang dibakar.
Keangkeran itu ditambah lagi dengan sepa-
sang kakinya yang berbentuk kaki kuda, dengan ba-
gian telapak kaki berbentuk runcing seperti mata
tombak. Jauh berbeda dengan orang kedua. Sosok
yang satunya lagi ternyata adalah seorang gadis can-
tik, berpakaian putih berambut hitam panjang terge-
rai. Perbedaan nenek dengan gadis itu memang ti-
dak ubahnya seperti langit dan bumi. Yang satu
berwajah angker seperti setan. Sedangkan satunya
cantik seperti puteri raja.
Tapi nampaknya si nenek juga dalam kea-
daan terluka. Terbukti wajah yang angker itu nam

pak pucat, nafas mendengus sedangkan lengan kiri
terus didekapkan di bagian dada. Siapa adanya ga-
dis dan nenek itu? Mereka bukan lain adalah nenek
Palaslk dan Mutiara Pelangi atau yang lebih dikenal
dengan julukan Puteri Kupu Kupu Putih.
Seperti telah diceritakan dalam Episode Peri-
sai Maut, nenek berwajah rusak bertampang seram
ini telah terlibat perkelahian dengan Angin Pesut,
perempuan itu tidak dapat menerima kematian ka-
kaknya Paladirja yang tewas dalam satu perkelahian
beberapa waktu yang lalu dengan Angin Pesut.
Walaupun Angin Pesut sudah mengatakan
penyesalannya bahkan memperjelas duduk persoa-
lan yang sebenarnya. Namun nenek Palasik tidak
mau mengerti dengan semua penjelasan itu. Malah
dia kemudian menantang Angin Pesut Ketika bekas
tokoh sesat itu menolak dan tidak melayani keingi-
nan si nenek. Perempuan itu nekad menyerangnya.
Akibat tak tahan menderita sakit yang hebat karena
gempuran si nenek, akhirnya ilmu liar yang terdapat
di dalam tubuh Angin Pesut dan dikenal dengan il-
mu Ratap Langit secara tak terkendali menghantam
diri perempuan itu, Mendapat serangan ilmu dah-
syat dan belum ada duanya di rimba persilatan itu.
Nenek Palasik yang memiliki ilmu Menyusup Bumi
menderita, cidera berat.
Dalam keadaan terluka nenek Palasik ber-
sama muridnya segera melarikan diri. Sedangkan
Angin Pesut sendiri sengaja tak melakukan pengeja-
ran. Kini setelah munculkan diri di lembah yang
sunyi itu si nenek cepat mengambil kantong perbe-
kalan obatnya. Sebagian obat yang berwarna kuning
dan biru itu dikeluarkan, lalu menelannya sekaligus.

Melihat cara gurunya menelan obat yang
terkesan sembarangan membuat Mutiara Pelangi ja-
di kaget.
"Guru... begitu banyak kau memakan obat
apakah itu tidak membahayakan keselamatanmu?"
tanya sang dara khawatir. Si nenek delikkan ma-
tanya membuat nyali Pelangi jadi ciut, lalu cepat
tundukkan wajahnya. Saking kesalnya, merasa tak
suka ditegur, nenek Palasik membentak. "Kau gadis
ingusan tahu apa. Luka dalamku begini hebat. An-
gin kentut manusia setan. Aku tak sanggup menan-
dinginya. Dan ini sesuatu yang sangat memalukan."
"Bukan Angin Kentut guru, tapi Angin Pe-
sut...!" kata sang dara membetulkan ucapan gu-
runya.
"Kampret. Mau Angin Pesut atau Angin Ken-
tut bagiku sama saja. Hemm....agaknya aku harus
belajar seratus tahun lagi agar aku dapat membina-
sakan Angin Pesut." geram si nenek kepalkan tan-
gannya
"Seratus tahun lagi kau pasti sudah jadi ta-
nah dan Angin Pesut sudah pula menjadi angin be-
naran!" sahut sang dara sambil berusaha menyem-
bunyikan tawa
"Murid goblok. Pandai sekali engkau mem-
bantah!" sekali lagi nenek Palasik mendamprat. Tapi
kemudian dia jadi ingat sendiri. "Betul juga kata Pe-
langi. Seratus tahun lagi aku pasti sudah menjadi
tanah. Saat itu muridku sendiri mungkin sudah al-
marhum." batin si nenek, lalu ia memaki ketololan-
nya sendiri.
Si nenek terdiam, hawa panas akibat penga-
ruh obat yang ditelannya terasa membakar rongga

dada, semakin lama menjalar ke sekujur tubuhnya
Si nenek keluarkan keringat dingin menahan penga-
ruh hawa panas yang menyerang dirinya. Kemudian
dia terbatuk beberapa kali. Batuk pertama dari mu-
lut si nenek menyembur darah kental merah kehi-
taman. Batuk yang kedua dari mulut, perempuan
itu keluar benda putih sebesar telur burung puyuh.
Si nenek cepat mengambil benda bulat tersebut, lalu
buru-buru menelannya kembali. Apa yang dilakukan
si nenek mengundang heran bagi Pelangi. Hingga di-
apun bertanya.
"Guru, bagaimana mungkin dari mulutmu
bisa keluar telur burung puyuh? Memang sejak ka-
pan kau memakannya?" Lagi-lagi si nenek mendelik.
"Telur burung puyuh jidadmu benjol. Yang
kutelan tadi adalah jimat warisan guruku. Sudah,
kau jangan banyak tanya. Aku ingin bersemedi un-
tuk memulihkan tenaga dalam!" ujar perempuan tua
itu. Tak berselang lama nenek Palasik telah men-
gambil sikap bersila. Dua mata dipejamkan, sedang-
kan dua tangan ditopangkan di atas lutut. Beberapa
saat berlalu. Sekujur tubuh nenek angker itu berge-
tar hebat. Pakaian dan tubuhnya basah bersimbah
keringat. Sedangkan dari bagian ubun-ubun menge-
pulkan asap tipis berwarna kelabu.
Secara perlahan namun pasti wajah yang
angker pucat itu nampak kemerah-merahan. Nafas
nenek Palasik yang memburu, tersengal dan tidak
teratur sekarang mulai berangsur normal kembali
seperti sediakala. Beberapa saat berlalu perempuan
tua itu masih juga tenggelam dalam semedinya.
Sampai pada akhirnya dia membuka sepasang ma-
tanya yang terpejam.

Si nenek memandang ke depan, ternyata
sang murid masih tetap duduk di tempatnya me-
nunggu dengan sabar. "Pelangi...!" berkata perem-
puan itu. Pelangi angkat wajahnya yang tertunduk,
memandang pada gurunya namun tak sepatah ka-
tapun keluar dari bibir mungil si gadis.
"Sekarang kita harus mencari Gento, pende-
kar edan yang telah menghinamu itu?" ujar nenek
Palasik melanjutkan ucapannya. Sang dara ber-
jingkrak kaget mendengar ucapan sang guru yang
tidak pernah diduganya itu. Dengan air muka beru-
bah gadis itu, berucap.
"Guru, buat apa kita mencari dia? Lagipula
aku tidak merasa dihina?!" Orang tua di depannya
keluarkan suara mendengus.
"Bocah goblok! Pemuda itu kau bilang per-
nah mengatakan suka padamu, kemudian dia ber-
paling pada gadis lain dan tak menghiraukanmu la-
gi. Apakah bukan menghina namanya? Itu adalah
sebuah penghinaan yang tidak boleh didiamkan be-
gitu saja. Pemuda itu harus diberi pelajaran biar ti-
dak memandang rendah semua wanita?!" kata si ne-
nek ketus.
"Guru, sebaiknya tak usah membesar-
besarkan masalah. Aku yakin dia tidak bermaksud
begitu kepadaku! Sudahlah, lupakan saja.!" Sepa-
sang mata nenek Palasik mendelik besar. Dia mera-
sa geram sekali mendengar ucapan muridnya.
"Kau ini adalah gadis tolol sedunia. Dia su-
dah menyakitimu, mengapa kau bicara seperti
membelanya? Bocah itu tak bisa dibiarkan. Aku
akan menghajarnya, kalau perlu kuseret dia dihada-
panmu!" Ucapan si nenek tentu saja membuat heran

Pelangi.
"Guru apa maksudmu?"
"Hik hik hik. Apakah kau benar-benar men-
cintainya?" tanya si nenek disertai tawa mengikik,
sementara sepasang matanya menatap tajam gadis
di depannya.
Mendapat pertanyaan seperti itu seketika
wajah sang darah berubah merah jengah. Dia ter-
diam sebentar, kemudian dengan tersipu-sipu dia
menjawab. "Aku kurang tahu, yang jelas aku suka
ingat padanya." ujar Pelangi polos. Si nenek belalak-
kan matanya. "Hah...Jadi kau cuma ingat, bukan
rindu?"
"Mungkin juga rindu?"
"Nah-nah...apakah kau juga sering terbayang
wajahnya?" desak gurunya.
"Terbayang juga, kadang-kadang." menyahuti
Pelangi sambil tundukkan wajahnya. Mendengar ja-
waban muridnya nenek Palasik tertawa tergelak-
gelak. Ketika tawanya lenyap dia cepat berucap.
"Kau selalu mengingat, kau rindu, kau juga suka
terbayang-bayang wajahnya. Tidak salah lagi itulah
penyakit yang selalu menggerogoti hati manusia, te-
rutama gadis atau pemuda seusiamu."
"Penyakit, aku terkena penyakit?!" desis Pe-
langi bingung.
"Hik hik hik. Betul, kau terkena penyakit.
Penyakit cinta namanya. Penyakit itu jika tidak dio-
bati bisa melahirkan penderitaan. Jadi kau harus
kuobati."
Semakin bertambah bingung saja gadis ini.
Dengan polos dia bertanya. "Guru, apakah kau
mempunyai obatnya?" Nenek Palasik gelengkan ke

pala.
"Obat yang kau butuhkan tak ada padaku.
Itu ada pada Gento. Jadi jalan satu-satunya harus
kuseret kemari!" kata si nenek.
"Apa artinya dengan menyeret dia kemari?"
"Perawan ingusan. Ternyata kau tak mengerti
juga apa maksudku. Jika kau sudah suka padanya,
maka aku akan menjodohkan dia denganmu!"
Pucatlah wajah sang dara mendengar ucapan
gurunya. Apa yang dikatakan si nenek sebagai sesu-
atu yang sangat memalukan dan tak mungkin dila-
kukan. Benar dia akui dirinya merasa suka dan se-
nang pada Gento. Tapi dia tidak ingin segala sesua-
tunya terjadi dengan cara dipaksakan. Sebagai wani-
ta tentu dia sangat malu sekali.
"Guru... sebaiknya batalkan saja keinginan-
mu itu. Kau tak perlu memaksa orang. Jika dia me-
mang suka pada Nyi Sekar Langit, biarkan saja. Aku
sudah merasa senang jika dia dapat hidup bahagia."
"Bahagia diatas penderitaan orang lain, begi-
tu yang kau maksudkan? Tidak bisa. Jika kau men-
derita dia pun harus menderita." kata si nenek tetap
ngotot.
"Guru...aku...!"
"Jangan banyak bicara. Ikut denganku. Kita
cari pemuda itu!" berkata begitu si nenek sambar
tangan kirinya. Setelah itu tanpa berkata apa-apa
lagi iapun berkelebat pergi bersama Pelangi.

9

Kita kembali pada Tapa Gedek yang baru sa-
ja berhasil menguasai inti ilmu Gelombang Naga.
Saat itu si kakek baru jejakkan kakinya di dalam
ruangan serba biru yang terletak di bawah Liang
Landak. Hawa panas luar biasa langsung menyen-
gatnya begitu Tapa Gede menginjakkan kakinya di-
lantai ruangan yang diwarnai kabut tersebut.
Beberapa saat Lamanya dengan sikap was-
pada si kakek berdiri tegak ditempatnya. Sedangkan
sepasang mata memandang liar ke setiap penjuru
sudut. Anehnya Tapa Gedek tidak melihat Manusia
Kelelawar yang menyerangnya tadi berada disitu.
"Mahluk terkutuk itu? Aku tak melihat tan-
da-tanda kehadirannya disini. Tapi perasaanku
mengatakan dia berada tidak jauh dari ruangan ber-
cahaya biru ini. Ukh...tubuhku terasa panas seperti
terbakar. Barangkali jika aku belum menguasai ilmu
Gelombang Naga aku bisa hangus terpanggang di
ruangan ini." batin Tapa Gedek.
Orang tua itu baru saja hendak melangkah
lagi ketika secara tak terduga terjadi getaran hebat
pada bagian dinding ruangan yang terdiri dari tanah
dan batu. Si kakek sempat tercekat, nampak jelas
wajahnya diliputi ketegangan. Rupanya dia khawatir
jika sampai ruangan runtuh, maka dirinya pasti ter-
kubur hidup-hidup di tempat itu. Ternyata getaran
hanya berlangsung sesaat saja. Suasana jadi tenang
kembali. Satu hal yang membuat orang tua ini men-
jadi terheran-heran. Akibat getaran yang tidak begi-
tu keras membuat kabut yang berada di dalam
ruangan tersebut mendadak Lenyap entah kemana.
Kini Tapa Gedek dapat melihat segala sesuatu yang berada di dalam ruangan itu secara lebih je-
las. Sekali lagi Tapa Gedek kitarkan pandang. Si ka-
kek kemudian jadi tertegun ketika dia melihat dua
sosok berupa seorang kakek berambut putih dan
gadis cantik berambut panjang duduk bersila di su-
dut ruangan itu. Dua tangannya yang berkuku pan-
jang diletakkan di atas pangkuan. Melihat pada dua
sosok ini sekilas, keadaan maupun posisi mereka
seperti patung hasil buatan tangan. Yang terasa
aneh kedua patung gadis maupun patung dalam ru-
pa seorang kakek itu jauh berbeda dengan berbagai
jenis patung yang terdapat di dalam ruangan itu.
"Mungkinkah patung kakek dan gadis cantik
itu hasil buatan manusia bermuka kelelawar yang
kulihat tadi? Tapi...akh....!" Tapa Gedek keluarkan
seruan tertahan begitu melihat mata patung si gadis
serta merta berkedip.
"Tak dapat kupercaya. Gadis itu ternyata bu-
kan patung. Dia manusia dan...!" Tapa Gedek tak
dapat meneruskan ucapannya karena saat itu juga
dia melihat patung dalam rupa seorang kakek juga
kedap-kedipkan sepasang matanya. Sekarang sete-
lah melihat dengan mata kepala sendiri. Tapa Gedek
baru ingat akan sesuatu yang pernah diceritakan
oleh gurunya. "Jadi...jadi mereka ini rupanya Manu-
sia Patung?" desis si kakek. Ingat akan pesan gu-
runya Manusia Selaksa Angin, merinding sekujur
tubuh si kakek. Tengkuknya mendadak berubah
dingin laksana es. Dia memandang ke arah dua ma-
nusia patung itu. "Patung gadis itu seluruhnya ber-
warna putih. Pakaiannya tipis membayangkan au-
ratnya. Jadi gadis itu adalah Patung Putih. Dan pa-
tung kakek disebelahnya seluruh badan berwarna

hitam. Mungkin dialah Patung Hitam. Jika benar
apa yang dikatakan oleh guru. Berarti patung-
patung ini hidup atas kesaktian seseorang yang
mempunyai kesanggupan menangkap roh gentayan-
gan, lalu memasukkannya ke dalam diri patung
yang dikehendaki!"
Si kakek terdiam. Fikirannya melayang jauh.
Semua kata-kata sekaligus pesan yang disampaikan
oleh gurunya sebelum dia ditugaskan mengambil
kembali Kitab Gelombang Naga yang pernah dicuri
oleh Angin Pesut kini terngiang kembali di telin-
ganya.
Satu purnama yang lalu sebelum keberang-
katan Tapa Gedek, dalam keheningan malam yang
dingin. Guru si kakek yang selalu berlindung di ba-
lik dinding pondok sempat berkata. "Tapa Gedek.
Usiamu tidak muda lagi. Namun umurmu juga terus
bertambah. Perjalanan hidup manusia, susah se-
nang seiring dengan berlalunya sang waktu semakin
mendekati ajal. Sejalan dengan bertambahnya umur,
maka waktu kehidupan manusia itu semakin ber-
tambah sempit. Amat merugilah dirimu jika kau ti-
dak mau menggunakan kesempatan serta waktu
yang ada padamu. Muridku, kehidupan manusia di
dunia ini amat penuh dengan tantangan, cobaan,
serta godaan. Selain itu, kelicikan, ketidak jujuran,
fitnah keji serta keserakahan dan kemunafikan da-
pat kau lihat terjadi dimana-mana. Terkadang tin-
dak tanduk dan perbuatan manusia malah lebih keji
dari binatang. Lebih dari itu muridku, satu hal yang
harus kau ingat. Dunia ini memang indah, tapi
keindahan yang bersifat memperdaya."
"Apakah ini ada hubungannya dengan diriku

yang bujang lapuk dan kere guru?" tanya si kakek.
Dari balik dinding pondok terdengar suara tawa
pendek. "Aku tak pernah bicara tentang diri seseo-
rang secara khusus. Mengenai rejeki, jodoh serta
maut yang ada pada dirimu, itu sepenuhnya berada
di tangan Gusti Allah. Manusia hanya sanggup be-
rusaha. Tidak lebih dan itu. Dan sudah menjadi wa-
tak tabiat manusia, tak pernah merasa cukup. Sam-
pai datangnya ajal menjemput."
"Selain kitab Gelombang Naga itu, apa lagi
yang harus kulakukan, guru?" tanya Tapa Gedek.
"Jika kitab Gelombang Naga telah kau da-
patkan, maka kau harus sanggup menguasai il-
munya. Ilmu Gelombang Naga adalah ilmu langka
satu-satunya yang terdapat di delapan penjuru an-
gin. Kelak kau akan bertemu dengan seorang pende-
kar sakti. Tapi sebelum itu terjadi, kuharap kau
berhati-hatilah bila bertemu dengan Manusia Pa-
tung."
"Manusia Patung...siapakah dia?" tanya Tapa
Gedek tak mengerti.
"Manusia Patung sebenarnya hanyalah se-
buah patung. Tapi jika seseorang memasukkan roh
penasaran kedalam diri patung itu, dia akan menja-
di hidup dan dapat diperintah untuk melakukan ke-
jahatan apa saja. Manusia Patung lebih ganas dari
iblis sesat. Untuk menghancurkannya juga sulit.
Terkecuali kau sanggup membunuh sumber yang
menghidupkannya."
"Guru, siapa orang yang kaumaksudkan itu?
Dan dia tinggal dimana?"
"Manusia sakti yang sanggup memindahkan
arwah gentayangan ke dalam patung memiliki julukan Bumelang nama yang sesungguhnya adalah Pati
Raga. Manusia yang satu itu memiliki kesaktian
yang sudah sampai pada puncaknya, sampai pada
taraf mumpuni. Usianya sudah ratusan tahun.
Sayang aku tak mengetahui secara pasti dia tinggal
atau berada dimana!" ujar sang guru.
"Baiklah. Aku akan ingat semua pesanmu,
guru. Sekarang murid mohon pamit, mohon diri."
kata Tapa Gedek.
"Pergilah Tapa Gedek. Dari sini aku selalu
berdoa untuk keselamatan. Kelak bila kitab dapat
kau ambil kembali, dari tempat ini pula aku akan
memberi petunjuk selanjutnya mengenai apa yang
harus kau lakukan!" ujar si kakek dari balik dind-
ing.
"Petunjuk selalu aku harapkan guru. Karena
walaupun aku sudah tua, muridmu ini suka berlaku
tolol disamping juga mudah lupa." selesai berkata
Tapa Gedek menjura hormat, setelah itu dia bangkit
berdiri, balikkan badan kemudian meninggalkan
pondok.
* * *
Lamunan Tapa Gedek buyar seketika begitu
keheningan di dalam ruangan serba biru serta merta
dipecahkan oleh satu suara teriakan mengguntur
menyakitkan telinga. Laksana kilat si kakek me-
mandang ke arah dua Manusia Patung, Patung Hi-
tam dan Patung Putih. Ternyata bukan patung itu
yang berteriak. Dalam kaget Tapa Gedek alihkan
perhatian ke arah terowongan yang dia perkirakan
sebagai jalan satu-satunya keluar dari tempat itu.

Selagi Tapa Gedek memandang ke arah itu. Dia me-
lihat satu bayangan hitam berkelebat melewati tero-
wongan. Dilain saat si kakek merasakan ada angin
menyambar tubuhnya. Tapa Gedek melompat hinda-
ri sambaran angin, lalu berdiri dua tindak di bela-
kang. Sejurus Tapa Gedek memandang ke depan.
Dan didepannya kini telah berdiri tegak satu sosok
berwajah seperti kelelawar, bermulut hitam panjang
runcing dengan sepasang taring panjang mencuat.
"Manusia kelelawar!" desis Tapa Gedek.
Sosok di depannya sunggingkan seringai
buas. Sepasang matanya yang merah menyala me-
natap tajam pada si kakek. Lalu terdengar suara
erangan. "Hidup terpendam selama lima puluh ta-
hun. Baru hari ini ada orang dari dunia bebas yang
sampai ke tempat ini. Kakek tua siapakah dirimu
ini? Katakanlah sebelum aku membunuhmu!" ben-
tak Manusia Kelelawar sengit. Tapa Gedek golang ge-
lengkan kepala. Dia tersenyum.
"Tidak ada angin tidak ada hujan. Tidak ada
silang sengketa tidak ada persoalan, enak saja kau
mau membunuhku?"
"Hidup di dalam perut bumi panasnya seperti
di neraka. Sudah banyak orang yang terbunuh di
dalam Liang Landak ini tanpa sebab silang sengketa.
Di tempat ini sama seperti dengan di rimba Persila-
tan. Siapa yang kuat dia yang menang. Kehadiran-
mu disini telah mengurangi persediaan udara yang
ada. Pertanyaanku hanya sekali, siapa dirimu?"
"Aku Tapa Gedek."
"Tapa Gedek. Satu nama yang pernah hadir
dalam mimpiku. Hemm... ha ha ha. Agaknya kau
manusia satu-satunya yang mampu menjebol penutup batu makam di ujung terowongan itu sebagai ja-
lan satu-satunya menuju kebebasan! Kalau begitu
kematianmu bisa ditunda. Sekarang kau ikuti aku!"
kata Manusia Kelelawar.
Tanpa bicara lagi, sosok berkepala dalam ru-
pa setengah manusia setengah kelelawar yang kedua
tangannya ditumbuhi sayap kulit itu memutar tu-
buh lalu berkelebat ke arah terowongan menuju
liang kubur yang terletak di ujung terowongan.
"Manusia Kelelawar, siapa dia dan apa ren-
cananya aku tidak tahu. Yang jelas aku harus ber-
hati-hati." fikir Tapa Gedek. Tak lama kemudian ka-
kek itu melangkah mengikuti manusia kelelawar.
Sementara sepeninggalnya Tapa Gedek dan Manusia
Kelelawar. Dua Manusia Patung yang duduk di su-
dut ruangan biru nampak pula bergerak-gerak. Ke-
dua mata terbuka lebar. Dua tangan yang berada di
atas pangkuan bergerak-gerak. Selanjutnya mereka
bangkit berdiri.
"Manusia Kelelawar telah menemukan orang
untuk membuka jalan menuju kebebasan. Patung
Putih, mari kita ikuti mereka!" kata patung berujud
seorang kakek dengan suara parau, begitu jelas.
"Patung Hitam. Agaknya kita merasa perlu
membantu Manusia Kelelawar untuk membereskan
tamu tak diundang itu!' ujar si gadis.
"Buat apa. Manusia Kelelawar bukan maji-
kan kita. Bukan pula orang yang telah menghi-
dupkan kita. Pengabdian kita hanya pantas kita be-
rikan pada Bumerang. Kalau perlu Manusia Kelela-
war juga harus kita singkirkan. Orang itu terlalu
berbahaya dan haus darah."
"Untung kita tidak mempunyai darah. Kita
hidup tanpa darah, tak pernah makan tidak juga
minum. Hik hik hik."
"Ya, kita juga tidak memiliki jantung. Tapi
punya keinginan dan nafsu. Ha ha ha!" kata Patung
Hitam. Dua manusia Patung sama berdiri, saling be-
rangkulan sama berpelukan. Kemudian mereka
mencium satu sama lain. Terdengar suara tawa
mengikik. Setelah itu mereka melepaskan pelukan-
nya masing-masing. Dua Manusia Patung memutar
tubuhnya, lalu sama melangkah menelusuri tero-
wongan. Setiap langkah mereka pasti disertai den-
gan suara berdentum. Tanah di sekitarnya pun ber-
getar seperti dilanda gempa.
Sementara itu Tapa Gedek telah sampai di
ujung lorong. Bagian ujung lorong ternyata merupa-
kan sebuah ><><>hal92><><> tak lebih dari seten-
gah tembok sedangkan panjangnya hampir dua
tombak. Di sudut kubur terdapat sebuah gelondon-
gan kayu peti mati dalam keadaan tertutup rapat.
Agaknya itulah peti mati tokoh sesat yang dikubur-
kan di tempat itu beberapa abad silam.
Setelah memperhatikan bagian dalam liang
kubur yang sempit itu Tapa Gedek berpaling pada
Manusia Kelelawar. Sosok serba hitam bersayap ku-
lit macam jubah menunjuk ke atas.
"Langit-langit batu penutup makam. Berta-
hun-tahun aku berusaha menjebolnya tapi tak per-
nah berhasil!" menerangkan sosok berwajah lancip.
"Kau mengira aku Sanggup menjebolnya?!"
tanya si kakek disertai seringai sinis.
"Paling tidak begitulah yang kudapatkan da-
lam mimpiku!" jawab Manusia Kelelawar acuh tak
acuh.

"Langit-langit penutup liang kubur ini ting-
ginya hanya tiga jengkal diatas kepalaku. Aku bisa
saja melepaskan salah satu pukulan sakti. Tapi jika
gagal, kemudian pukulan itu berbalik. Aku bisa ce-
laka!" Manusia Kelelawar tertawa panjang. Begitu
suara tawanya Lenyap dia berkata, "Persetan dengan
dirimu. Jika kau mampus terkena pukulanmu sen-
diri, bagiku itu lebih baik.”
"Manusia tak karuan berujud, apa kau men-
gira aku takut denganmu. Udara disini semakin ber-
tambah panas. Kau menyingkirlah, akupun ingin
bebas dari tempat celaka ini!" kata Tapa Gedek.
Manusia Kelelawar menyeringai. Dia melang-
kah mundur, masuk kembali ke dalam mulut tero-
wongan sejauh tiga tombak dari liang kubur. Begitu
manusia setengah mahluk menjijikkan itu berlalu
Tapa Gedek tekuk kaki kanannya hingga posisi
orang tua ini setengah berjongkok. Dia dongakkan
wajahnya, memandang ke langit-langit yang bukan
lain adalah batu tebal penutup kubur. Dalam hati
dia berkata. "Jika Manusia Kelelawar tak sanggup
menjebol penutup makam ini. Berarti langit-langit
batu itu bukan benda biasa. Manusia Kelelawar aku
yakin memiliki kesaktian tinggi. Dia hidup ratusan
tahun. Kesaktiannya sulit dijajagi. Aku tak mungkin
menggunakan pukulan Delapan Tinju Mabuk, atau
pukulan Tiga Topan Menggulung Bumi. Jika kugu-
nakan pukulan Tanpa Ujud andai sampai gagal dan
penutup liang kubur tak dapat kuhancurkan. Aku
khawatir pukulan berbalik. Sekali aku terkena pu-
kulan itu, tubuhku bisa hancur tanpa bentuk.
Agaknya aku harus menggunakan ilmu pukulan Ge-
lombang Naga. Mudah-mudahan bisa berhasil. Aku

juga ingin tahu seberapa hebat kedahsyatan ilmu
yang baru kukuasai itu!" fikir si kakek.
Orang tua ini menarik nafas, setelah menye-
ka keringat yang membasahi wajahnya Tapa Gedek
pun segera mengerahkan tenaga dalam yang dia mi-
liki. Tenaga dalam itu kemudian disalurkannya ke
bagian tangan. Mulut Tapa Gedek komat-kamit
membaca lapal mantra pembangkit ilmu Gelombang
Naga. Tak berselang lama sekujur tubuh si kakek
bergetar hebat. Asap tebal mengepul menyelimuti di-
rinya. Sosok Tapa Gedek seolah Lenyap, samar-
samar Manusia Kelelawar melihat dari bagian ubun-
ubun sosok si kakek yang bergetar muncul bayan-
gan sosok kepala naga. Bayangan sosok dalam ujud
ular naga itu terus meliuk-liuk. Mula-mula bagian
kepala, kemudian badan yang akhirnya disusul den-
gan bagian kaki. Ternyata bayangan naga berwarna
putih itu tidak sendiri, karena kemudian dari bagian
ubun-ubun si kakek muncul lagi satu kepala dalam
rupa dan warna yang sama. Selanjutnya muncul lagi
naga ke tiga dalam ukuran lebih besar terkesan le-
bih buas dan beringas. Sosok Tapa Gedek lenyap.
Yang terlihat di mata Manusia Kelelawar hanya be-
rupa sosok ular naga berwarna putih besar, dengan
bagian leher bercabang dan berkepala tiga.
Selanjutnya terdengar suara raungan dah-
syat luar biasa disertai suara bergemuruh seperti
suara gelombang air laut ditengah hujan badai. Lalu
di tengah-tengah suara lengkingan dan gemuruh
menggila terlihat ada tiga bola api melesat keluar da-
ri mulut kepala naga putih yang terbuka menganga.
Tiga bola api menghantam langit-langit penu-
tup kubur. Satu Ledakan keras menggelegar. Batu

penutup makam yang kerasnya melebihi baja han-
cur berkeping-keping. Serpihan batu penutup kubur
berhamburan di udara. Manusia Kelelawar jatuh
terpelanting terkena getaran Ledakan. Sejenak La-
manya kubur yang telah terbuka menganga menjadi
gelap tertutup debu. Sosok Naga Putih berkepala ca-
bang tiga melesat keluar disertai suara raung dah-
syat. Tak berselang lama suara raungan aneh
6ergemuruh seperti badai, lenyap. Debu-debu yang
menutup pemandangan sirna. Tak jauh dari sisi ku-
bur yang menganga berdiri tegak Tapak Gedek. So-
sok naga putih berkepala tiga yang sudah menghan-
curkan batu penutup kubur lenyap entah kemana.
Tapa Gedek dengan wajah kuyu menarik na-
fas pendek. Dia palingkan kepala, memandang ke
arah kubur yang menganga. Justeru pada saat itu
satu bayangan hitam berkelebat keluar. Lalu jejak-
kan kaki di depan Tapa Gedek
"Orang tua, kemana perginya naga putih
berkepala tiga tadi?" tanya Manusia Kelelawar terhe-
ran-heran. Sedangkan matanya memandang kesege-
nap sudut penjuru tanah pemakaman. Yang ditanya
nampak kebingungan.
"Naga putih berkepala tiga? Manusia Kelela-
war aku sama sekali tidak tahu apa maksudmu? '
ujar Tapa Gedek kebingungan.
"Ha ha ha. Kau telah mengerahkan ilmu Ge-
lombang Naga. Kemudian kulihat dirimu lenyap.
Berganti dengan sosok naga putih besar berkepala
tiga. Kau tak menyadari apa yang terjadi dengan di-
rimu. Bagus. Kebetulan sekali. Kini aku telah bebas.
Agar tidak menjadi penyakit di kemudian hari. Se-
perti yang telah kukatakan aku harus membunuh
mu!" dengus Manusia Kelelawar. Bukannya terkejut.
Tapa Gedek tetap unjukkan sikap tenang.

10

Beberapa saat kedua orang ini saling beradu
pandang. Tapa Gedek kemudian sunggingkan seulas
senyum. Dengan tenang dia berucap. "Manusia Kele-
lawar. Ternyata di dalam jiwamu perilaku binatang
lebih menonjol dari pada sikap serta watak yang se-
harusnya dimiliki oleh manusia. Aku tidak ubahnya
seperti menolong anjing yang terjepit. Begitu kau
kubebaskan dari segala beban derita yang meng-
himpitmu, kau malah hendak menggigitku. Tapi
jangan kira aku takut padamu. Jika kau inginkan
nyawaku ambillah sendiri. Ingat, waktuku sempit
sekali. Aku harus membantu salah seorang sahabat
guruku!" ujar si kakek.
"Membunuhmu bukan pekerjaan yang sulit.
Aku tak perlu membutuhkan waktu yang lama!" Ba-
ru saja Manusia Kelelawar selesai berucap, laksana
kilat dia kibaskan kedua tangannya ke arah si ka-
kek. Karena tangan itu ditumbuhi semacam sayap
berupa kulit yang lebar seperti jubah. Maka begitu
kedua tangan lawan dikibaskan menderulah segu-
lung angin yang membuat si kakek jatuh terpelant-
ing Laksana dihantam angin topan.
Sementara itu Manusia Kelelawar begitu ki-
baskan tangannya yang bersayap berkelebat lenyap
dari pandangan mata. Tapa Gedek begitu dapat
bangkit berdiri jadi terkejut melihat lawan lenyap
dari hadapannya. Ketika dia mendengar suara desing di udara, Tapa Gedek langsung dongakkan kepa-
la memandang ke atas. Ternyata Manusia Kelelawar
terbang di atasnya, kemudian menukik tajam, me-
nyambar ke arah si kakek sambil hantamkan kedua
tangan serta sayapnya.
Belum lagi tangan sayap itu menyentuh tu-
buh si kakek, sambaran anginnya saja sudah mem-
buat orang tua itu terjajar ke belakang. Tapa Gedek
tentu tidak ingin dirinya menjadi sasaran serangan
lawan. Sambil jatuhkan diri ke samping kakek itu
hantamkan tangannya ke arah Manusia Kelelawar.
Yang diarahnya adalah dada dan sayap lawan. Yang
dilepaskannya adalah pukulan Delapan Tinju Ma-
buk.
Manusia dengan berkepandaian tinggi seka-
lipun paling tidak pasti menderita cidera berat bila
terkena pukulan ini. Tapi Manusia Kelelawar hanya
bergetar. Terdorong mundur sejauh dua tindak.
Dengan posisi terbang rendah dia kembali menyerbu
ke arah si kakek. Tapa Gedek gelengkan kepala. Ba-
ru saja bangkit dia harus berjibaku selamatkan diri
hindari tebasan sayap lawannya.
Serangan Manusia Kelelawar luput. Sayap-
nya menghantam nisan dan pohon besar di belakang
Tapa Gedek. Batu nisan hancur berkeping-keping.
Pohon besar berderak roboh disertai suara mengge-
muruh hebat. Bekas hantaman sayap tidak ubahnya
seperti ditebas senjata tajam. Gagal membunuh la-
wannya, Manusia Kelelawar melesat ke udara. Ter-
bang membubung tinggi, berputar-putar untuk se-
lanjutnya menukik ke bawah siap menghantam ke-
pala Tapa Gedek. Kakek itu tidak tinggal diam.
Dia jejakkan kaki, hingga tubuhnya melesat

ke udara. Dengan mengandalkan ilmu meringankan
tubuh kini dia jejakkan kakinya di atas cabang po-
hon. Lawan nampaknya tidak lagi memberi kesem-
patan padanya. Laksana kilat Manusia Kelelawar
meluncur ke arah pohon, lalu...
Cras! Cras! Craas!
Braak!
Buum!
Satu kenyataan yang sulit dipercaya terjadi.
Tapa Gedek bahkan sampai delikkan mata, mulut
ternganga lebar seolah tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Secara mengerikan cabang pohon besar
yang jumlahnya mencapai puluhan terbabat putus,
berjatuhan diatas tanah kubur seperti diterabas sen-
jata. Kini posisi si kakek tak terlindung lagi. Pohon
besar itu benar-benar menjadi gundul sampai ke
pucuknya. Bertahan pada batang pohon, si kakek
menyadari lawan tak mungkin dapat dihadapi den-
gan pukulan saktinya. Merasa tidak punya pilihan
lain, maka diapun segera merapal ilmu ajian Gelom-
bang Naga.
Belum lagi selesai Tapa Gedek membaca
mantra-mantranya. Manusia Kelelawar berkelebat
lagi ke arah pohon yang gundul. Tiga gerakan dari
pucuk pohon hingga ke bagian bawah batang dila-
kukannya.
Crees!
Crees!
Cres!
Buum!
Pohon besar yang telah menjadi gundul ter-
babat putus di tiga bagian. Robohnya pohon tentu
saja membuat Tapa Gedek ikut terbanting. Lebih celaka lagi pertengahan batang pohon menimpa tubuh
si kakek. Mustahil Tapa Gedek dapat selamatkan di-
ri dari himpitan batang pohon tersebut. Terkesan
tak perduli, tanpa menghiraukan rasa sakit yang
menderanya pula si kakek terus merapal mantra
ajian Gelombang Naga.
Sementara itu dari atas sana lawan kembali
menukik siap menghabisi Tapa Gedek. Satu tombak
lagi sayap dan tangan lawan mencabik hancur tu-
buh Tapa Gedek, tetapi tiba-tiba terdengar suara te-
riakan dahsyat dari mulut si kakek. Dari sekujur
tubuh orang tua itu muncul kabut tebal yang segera
menyelimuti dirinya. Apa yang terjadi ketika si ka-
kek berada di dalam lubang kubur terulang kembali.
Dari ubun-ubun Tapa Gedek muncul satu kepala
berwarna putih. Kepala seekor naga. Kemunculan
kepala yang pertama disusul dengan munculnya ke-
pala naga yang kedua dan ketiga. Mendadak angin
bertiup kencang disertai suara bergemuruh menggi-
dikkan. Sosok Tapa Gedek Lenyap. Suara raung, lo-
long dan gemuruh laksana badai di laut makin
menghebat. Sosok Tapa Gedek yang diselimuti kabut
seketika lenyap. Kini di tempat itu muncul sosok na-
ga putih dengan besar luar biasa berkepala tiga. Bi-
natang itu mengamuk, bagian ekornya melibas apa
saja yang terdapat disekitarnya. Tiga kepalanya
mendongak ke atas, mulut yang bergigi runcing ter-
buka. Tiba buah lidah yang bercabang terjulur me-
nyambar ke arah sayap Manusia Kelelawar. Meski-
pun sayap Manusia Kelelawar setajam mata pedang.
Tapi lidah naga putih berkepala tiga ini jauh lebih
tajam dari pedang. Ketika terjadi benturan antara
dua sayap Manusia Kelelawar dengan tiga lidah naga

terdengar seperti ada sesuatu yang robek.
Manusia Kelelawar terpental ke belakang dan
dia menjerit begitu sayap kanannya robek besar
mengucurkan darah terkena sambaran lidah naga
tersebut. Tapi orang ini ternyata memiliki nyali luar
biasa besar. Walaupun terluka dia kembali menye-
rang badan sang naga putih. Yang diserang juga ti-
dak bodoh. Tiga kepala dengan satu badan itu lang-
sung meliuk bergerak merendah menyambut seran-
gan lawan Manusia Kelelawar yang siap hunjamkan
taring-taringnya yang mencuat panjang terpaksa ba-
talkan serangan. Lalu memutar badan sambil ke-
pakkan sayapnya. Tapi secara tak terduga, ekor na-
ga putih terangkat ke atas lalu melibas tubuh la-
wannya.
Braak!
"Akkkh!"
Disertai jeritan keras, Manusia Kelelawar ja-
tuh terpental. Tubuhnya bergulingan akibat demi-
kian kerasnya hantaman ekor lawannya. Begitu ge-
rakan tubuhnya terhenti, dari mulutnya menyem-
burkan darah. Naga berkepala tiga itu tak memberi
kesempatan. Dia balikkan badan dan segera mem-
buru ke arah lawannya.
Merasa tak sanggup menghadapi lawannya.
Manusia Kelelawar dalam keadaan cidera di bagian
dalam, serta terluka pula di bagian sayapnya segera
pula gerakkan kedua tangan.
Wuuut!
Mendadak tubuh kelelawar itu melambung
tinggi ke udara. Kemudian berputar-putar sebanyak
dua kali selanjutnya bergerak ke arah timur, lalu le-
nyap dari pandangan mata.

Baru saja Manusia Kelelawar menghilang da-
ri pandangan mata dari dalam liang kubur yang ter-
buka muncul seorang kakek berkulit hitam serta
gadis berkulit putih berpakaian putih tipis tembus
pandang. Kemunculan dua Manusia Patung itu ten-
tu saja diluar dugaan Tapa Gedek yang kini telah
kembali dengan ujud asli. Tapa Gedek gelengkan ke-
pala dan palingkan wajahnya ke jurusan lain begitu
melihat penampilan si gadis yang demikian menggo-
da. Dalam hati dia berkata. "Dia pasti dua patung
yang kulihat di sudut ruangan serba biru tadi. Wa-
lau cuma patung, di dalamnya bersemayam roh ja-
hat. Siapapun pasti tergoda melihat penampilannya
itu. Aku sendiri tak mungkin menggunakan ilmu Ge-
lombang Naga terus menerus."
"Kakek hebat. Tadi kami sempat mendengar
suara gemuruh seperti gelombang besar di laut. Ka-
mi juga mendengar suara teriakan aneh seperti sua-
ra naga. Adakah dirimu seekor naga?" tanya kakek
hitam.
"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan,
patung hidup." sahut Tapa Gedek ketus.
"Ah... rupanya kau mengetahui siapa kami
adanya." Patung gadis berkulit putih ikut bicara.
Disertai senyum genit dan basahi bibir dengan lidah
gadis itu melanjutkan ucapannya. "Orang tua
meskipun aku juga patung tapi aku mempunyai se-
suatu yang sama seperti gadis pada umumnya. ka-
lau kau mau tidur denganku, aku bersedia melaya-
nimu sebagaimana layaknya suami istri. Hik hik
hik." Tapa Gedek meludah. Mendengar ucapan gadis
itu perutnya terasa mual dan ingin muntah. "Patung
Putih... dan kau Patung Hitam. Tak usah kau meng

gunakan tipu daya untuk memuslihati diriku. Aku
tahu sejarah keberadaan kalian. Sebelum aku beru-
bah fikiran sebaiknya kalian pergilah yang jauh. Bu-
kankah lebih baik kalian mencari Bumerang? Orang
yang telah membuat kalian hidup seperti sekarang?"
dengus si kakek.
Terkejutlah Patung Hitam dan Patung Putih
mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Tapa Ge-
dek. Kakek dan gadis itu saling melempar pandang.
Mereka kemudian nampak bicara satu sama lain
dengan bahasanya sendiri. Bahasa yang cuma beru-
pa racun yang tidak dimengerti oleh Tapa Gedek.
Tak lama setelah itu Patung Hitam berkata dituju-
kan pada Tapa Gedek. "Orang tua, aku ingin menga-
jukan satu pertanyaan. Kemanakah perginya Manu-
sia Kelelawar?"
"Ha ha ha! Apakah bangsat bersayap itu sa-
habat kalian?" tanya si kakek. Patung Putih dengan
cepat menyahuti. "Kami bangsanya patung tidak
mengenal kata sahabat. Kehidupan kami hanyalah
untuk orang yang telah memasukkan arwah kami ke
dalam patung ini."
"Patung cantik. Jika kalian ingin tahu. Ma-
nusia Kelelawar membawa lukanya ke neraka. Apa-
kah kalian sudah puas dengan jawabanku ini?"
"Ah, kau sanggup mengalahkan Manusia Ke-
lelawar? Berarti kau adalah orang tua sakti yang
perkasa." puji Patung Hitam. "Apakah kau masih ti-
dak mau bersenang-senang dengan gadis ini? Dia
adalah gadis menyenangkan yang sangat luar biasa
sekali."
"Persetan dengan semua ucapanmu. Aku ti-
dak punya waktu dan tidak akan pernah bermaksiat 

dengan perempuan manapun apalagi cuma manusia
patung!" dengus Tapa Gedek. Kemudian tanpa bica-
ra lagi si kakek balikkan badan dan segera pula ber-
kelebat pergi. Dua manusia patung tidak mengejar.
Mereka saling berpandangan. Si gadis berkata den-
gan nada menyesal.
"Sayang sekali dia tak mau bersenang-
senang denganku. Jika dia dapat kuperdaya, tentu
seluruh ilmu sekaligus tenaga sakti yang dia miliki
pasti berpindah ke tubuhku."
"Tak usah gusar. Kesempatan masih banyak.
Untuk merampas kesaktian dari orang yang mau
kau cumbui masih terbuka. Kelak jika seluruh
orang-orang berkepandaian tinggi bertekuk lutut di
bawah kakimu. Di saat itu baru terbuka jalan untuk
menentukan Langkah selanjutnya. Sekarang kita
harus pergi. Masih banyak calon korban, masih ba-
nyak sasaran yang dapat kita raih!" ujar si kakek. Si
gadis cantik anggukkan kepala. Kemudian melang-
kah pergi meninggalkan Liang Landak.

11

Empat sosok tubuh tergeletak kaku dengan
sekujur tubuh membiru keracunan. Dibalik pakaian
dada yang terbuka terlihat satu luka menghitam be-
kas sentuhan lima jari telapak tangan. Satu dari
empat mayat laki-laki bersenjata pedang itu pa-
kaiannya dalam keadaan terbuka seperti orang yang
baru saja hendak buang hajat.
Keberadaan mayat di pinggir sungai itu tentu
saja mengundang perhatian seorang kakek berpakaian hitam, berambut dan beralis merah yang ke-
betulan melintas daerah itu. Si kakek yang adalah 
Angin Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Bayangan adanya 
memperhatikan mayat itu sejenak, kemudian sambil 
berjongkok dia memeriksa keempat mayat itu satu 
demi satu.
Tak lama kemudian dia menarik nafas, lalu 
berdiri sambil gelengkan kepala berulang-ulang. 
"Mereka semua tewas akibat terkena racun. Tidak 
ada luka di bagian dalam terkecuali luka di dada. 
Melihat luka ini nampaknya hanya sekedar usapan 
saja. Tapi mengapa akibatnya begini fatal? Dan 
mayat yang satunya itu. Hem... agaknya dia hendak 
melakukan kekejian terhadap seseorang. Agaknya 
mereka menemui batu sandungan. Orang yang hen-
dak dijadikan korban memiliki ilmu lebih tinggi. Me-
reka terpedaya. Aku tidak mengenal siapa mereka. 
Namun melihat penampilan serta pakaian yang me-
reka pakai, mungkin orang-orang ini hanya kawa-
nan perampok yang konon kabarnya sering berkelia-
ran di tempat ini!" batin si kakek dalam hati.
Dengan tatap mata tak bersemangat sekali 
lagi dia memperhatikan ke empat mayat yang berada 
di depannya. Setelah itu si kakek melangkahkan ka-
kinya menyisir tepian sungai berbatu. Tapi baru be-
berapa tindak dia mengayunkan Langkah, secara 
tak terduga satu benda bulat berwarna hitam me-
layang ke arahnya. Jika si kakek tidak cepat meng-
hindar sambil rundukkan kepala. Benda yang mele-
sat ke arahnya itu dapat dipastikan menghantam 
wajahnya.
Praak!
Terdengar suara benda pecah menghantam

batu di belakangnya. Si kakek cepat balikkan badan
dan memeriksa benda bulat itu. Astaga! Angin Pesut
tercekat sambil belalakkan mata. Benar dulu dia
sering melakukan pembantaian, membunuh dengan
sewenang-wenang. Tapi kejadian itu telah berlang-
sung lama. Setelah dirinya bertobat dan tidak per-
nah membunuh lagi. Melihat benda yang ternyata
adalah penggalan kepala itu tanpa sadar membuat
tengkuknya berubah menjadi dingin.
Si kakek cepat memandang ke arah mana
potongan kepala tadi dilemparkan orang. Tapi dia ti-
dak melihat apapun, karena kawasan di pinggir
sungai itu ditumbuhi semak belukar lebat. Siapapun
yang bersembunyi di situ tak mungkin dapat dilihat.
Selagi si kakek termangu. Kesunyian di tepi sungai
itu dipecahkan oleh terdengarnya suara tawa yang
teramat dingin menyeramkan.
"Hik hik hik. Empat laki-laki tolol tewas ke-
racunan. Yang menjadi pimpinannya telah kupeng-
gal pula kepalanya. Kini datang orang yang selama
ini kucari. Orang yang harus kubunuh dengan tan-
ganku sendiri. Begitulah tugas yang harus kujalan-
kan. Titah itu telah kusanggupi, kujunjung diatas
kepalaku. Orang tua... melihat penampilanmu. Ku-
rasa tidak salah jika aku menduga dirimu adalah
Angin Pesut, manusia dengan gelar Iblis Tujuh Rupa
Delapan Bayangan!" kata satu suara sambil terus
umbar tawanya.
Sebagai bekas tokoh sesat yang sudah ke-
nyang malang melintang di rimba persilatan. Se-
sungguhnya Angin Pesut tidak akan heran bila begi-
tu banyak orang yang mengenal siapa dirinya. Yang
membuatnya kaget, suara tawa yang didengarnya


Jelas suara tawa perempuan muda. Mungkin
usianya belum sampai dua puluh tahun. Dengan si-
kap tenang Angin Pesut akhirnya menyahuti. "Kau
tak salah menduga. Aku memang ingin Pesut. Aku
tak perlu bertanya mengapa kelima laki-laki itu kau
bunuh. Tapi jika kau memang punya keperluan
denganku. Sebaiknya tunjukkan dirimu, datang ke-
mari dan katakan apa kepentinganmu!" ujar si ka-
kek.
Kembali terdengar suara tawa menggeledek.
Semak belukar di seberang kanan sungai tersibak.
Satu kepala tersembul, kemudian berkelebat ke arah
Angin Pesut. Melihat gerakan orang, si kakek mak-
lum gadis yang melesat ke arahnya itu pasti memili-
ki ilmu meringankan tubuh yang sudah sangat sem-
purna.
Tak lama kemudian di depan si kakek berdiri
tegak seorang gadis berpakaian merah ketat. Gadis
itu berwajah cantik, rambutnya panjang tergerai.
Sedangkan dipinggangnya tergantung sebilah pe-
dang. Yang menarik perhatian Angin Pesut. Bagian
rangka pedang bukan terbuat dari kayu atau besi.
Melainkan berasal dari sepotong lengan tangan en-
tah milik siapa. Melihat pada potongan dan bentuk
pedangnya, Angin Pesut dapat memastikan senjata
yang tergantung di pinggang si gadis pasti bukan
senjata sembarangan.
Yang aneh, si kakek dadanya berguncang ke-
ras begitu memandang ke arah sang dara.
"Orang tua... aku datang untuk mencabut
nyawamu" hardik si gadis dingin. Angin Pesut terse-
nyum arif. Sama sekali dia tidak merasa tersing-
gung. Malah dengan lembut dia berkata.

"Gadis jelita siapa namamu? Agaknya kau
memiliki suatu ganjalan besar terhadapku. Atau
mungkin aku pernah berlaku salah pada orang tua-
mu?"
"Aku tidak punya orang tua." jawab gadis itu
polos. Kembali darah si kakek berdesir mendengar
jawaban sang dara.
"Lalu dendam siapa yang hendak kau ba-
laskan?"
"Dendam guruku!" dengus si gadis.
Angin Pesut tersenyum tipis.
"Mengapa gurumu tidak datang langsung ke-
padaku?" tanya si kakek.
"Untuk menghadapi manusia sepertimu. Gu-
ruku tak perlu repot mengotori tangannya dengan
darah busukmu!"
"Darahku memang busuk. Tapi terus terang
kau tidak bakal sanggup membunuhku!" jawab si
kakek.
"Kau manusia sombong. Terlalu memandang
remeh orang lain. Aku tidak akan membiarkanmu
hidup!" dengus si gadis.
"Baiklah. Jika kau tetap bersikeras dengan
pendirianmu tidak mengapa. Tapi sebelum itu kata-
kan siapa dirimu, siapa pula gurumu?!" ujar Angin
Pesut.
"Tua bangka, kau dengar baik-baik. Namaku
Indah Sari Purnama. Adapun nama guruku aku ti-
dak akan mengatakannya padamu!" jawab si gadis.
Angin Pesut terdiam. Dalam hati dia berkata. "Gadis
ini mengapa jantungku berdebar-debar begitu aku
melihatnya? Wajahnya sangat mirip sekali dengan
Serimbi. Mungkinkah dia anakku? Sayang sekali ketika dia diculik orang aku belum sempat membe-
rinya nama. Hanya ada satu jalan untuk mengenal-
nya. Aku harus bisa melihat punggungnya. Di ba-
gian punggung anakku dulu terdapat sebuah tahi la-
lat. Tapi itu agaknya tidak mudah untuk kulaku-
kan!" fikir si kakek.
"Angin Pesut bersiaplah untuk menghadap
malaikat maut!" teriak Indah Sari. Berkata begitu
tanpa memberi kesempatan lagi pada Angin Pesut
sang dara berkelebat ke depan lancarkan satu se-
rangan ganas yang langsung mengarah pada bagian
mata si kakek.
Sadar gadis ini bukan lawan sembarangan,
Angin Pesut tentu saja segera melompat hindari se-
rangan sang dara. Wuuut! Serangan yang dilancar-
kan lawan dapat dielakkannya. Namun begitu se-
rangannya luput gadis ini langsung berbalik dan kini
menyerang bagian tulang punggungnya. Si kakek
terkesiap. Dia melesat ke depan. Dalam hati Angin
Pesut menjadi sangat kaget karena tak pernah men-
duga lawan menyerangnya di bagian yang memati-
kan.
"Celaka! Nampaknya dia mengetahui kele-
mahan ku? Dia menyerang bagian-bagian tubuhku
yang paling mematikan!" desis kakek itu tercekat.
Laksana kilat dia cepat balikkan badan. Tapi saat
itu lawan telah berada dihadapannya dan tengah
melancarkan serangan di bagian tulang rusuknya.
Karena serangan ini juga cukup berbahaya.
Maka Angin Pesut pun terpaksa gerakkan tangannya
melakukan tangkisan.
Raak!
Lengan si kakek dengan jemari tangan si gadis beradu keras di udara membuat Indah Sari ter-
dorong mundur. Tapi lengan si kakek sempat ter-
gores kuku lawannya yang mengandung racun ga-
nas. Walaupun Angin Pesut kebal terhadap berbagai
jenis racun. Tapi nampaknya racun di tubuh si gadis
bukan racun sembarangan. Terbukti Angin Pesut
yang dikenal memiliki kekebalan bahkan mempu-
nyai ajian Panca Sona, suatu ilmu hebat yang apabi-
la pemilik ilmu itu terpotong anggota tubuhnya, ma-
ka potongan tubuh segera bertaut kembali, kini
nampak terluka. Gadis itu tertawa mengekeh meli-
hat lawan dapat dilukainya. "Angin Pesut. Kau boleh
mempunyai ilmu Pancasona. Tubuhmu boleh kebal.
Tapi guruku telah mempelajari kekurangan-
kekurangan dari ilmu yang kau miliki. Kepadaku dia
khusus mengajarkan beberapa bagian tubuhmu
yang harus kuserang. Manusia sombong kau me-
mang hebat, tapi sebagai manusia kau memiliki ba-
nyak kelemahan. Sekarang kau lihatlah tanganmu.
Konon kudengar bila dirimu terluka, maka luka itu
segera bertaut kembali. Tapi kenyataannya. Hik hik
hik. Luka itu tak akan pernah lenyap sebagaimana
yang sering terjadi dengan dirimu Angin Pesut. Ka-
rena kuku-kukuku mengandung racun. Bukan
hanya bagian kuku. Malah sekujur tubuhku sangat
beracun!" kata Indah Sari Purnama sinis.
Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan perhati-
kan lengannya yang tergores kuku sang dara. Angin
Pesut melengak kaget. Lengan itu memang terluka
meneteskan darah. Tapi anehnya luka itu tak mau
bertaut kembali sebagaimana yang biasanya sering
terjadi.
"Hmm… Gadis ini sangat berbahaya. Aku yakin siapapun yang menjadi gurunya pasti telah
memberi bekal berbagai kebolehan yang khusus un-
tuk mengincar bagian-bagian tubuhku yang terle-
mah. Aku tidak boleh berdiam diri berpangku tan-
gan. Gadis ini harus kuringkus! Aku harus tahu sia-
pa gurunya!" batin si kakek dalam hati.
"Angin Pesut! Sekarang bersiap-siaplah kau
untuk menyambut seranganku yang kedua!" teriak
sang dara. Selesai dia berkata tubuhnya berkelebat
lenyap dari pandangan mata. Kemudian si kakek
melihat ada bayangan merah menyambar ke bagian
ulu hatinya. Yang diserang lawan ini juga bagian ti-
tik kelemahannya. Sehingga secepat kilat si kakek
jatuhkan diri menghindar dari jangkauan tangan la-
wannya.
Wuus!
Serangan yang mengarah ke bagian ulu hati
tidak mengenai sasaran, membuat sang dara jadi
kalap dan kini gerakkan tangannya ke bawah men-
garah ke bagian lutut Angin Pesut

12

Secepat apapun kakek ini menghindar. Tapi
bagian lututnya tetap saja terkena sambaran kuku
lawannya.
Breet!
Terdengar suara robeknya kulit di bagian lu-
tut. Si kakek kembali terluka. Luka beracun yang
meneteskan darah. Walaupun luka itu tidak mem-
bahayakan jiwanya namun membuat si kakek men-
jadi kerepotan. Apalagi nampaknya sang dara tidak

lagi memberi kesempatan pada lawannya. Begitu
melihat Angin Pesut bangkit berdiri dia kembali ber-
gerak ke depan, lepaskan satu tendangan kilat ke
bagian perut, sedangkan tangannya lakukan baba-
tan ke bagian leher. Angin dingin menyambar ke ba-
gian perut dan lehernya. Si kakek yang rupanya pe-
nasaran untuk mengetahui siapa adanya gadis itu
yang sebenarnya segera jejakkan kakinya.
Duuk! Duuuk!
Dua kali hentakan membuat tubuh si kakek
melesat ke udara. Di udara dia lakukan gerakan se-
demikian rupa, berjumpalitan menjauh lalu jejakkan
kakinya di tebing kanan sungai. Indah Sari tidak
membiarkannya begitu saja. Dia pun mengejar.
Dengan gerakan ringan tubuhnya melenting ke atas,
lalu meluruk deras ke arah kakek itu. Sejarak seten-
gah tombak di depan kakek itu kakinya berkelebat
menghantam kepala.
Wuut!
Lawan tiba-tiba lenyap. Tendangan hanya
menghantam angin. Ketika Indah Sari dongakkan
kepala ke atas. Ternyata lawan telah berdiri di pu-
cuk pohon.
"Jahanam pengecut! Apakah bisamu cuma
menghindar!" maki si gadis. Sambil berkelebat ke
atas mengejar si kakek, Indah Sari hantamkan dua
tangannya ke depan. Angin dingin laksana es diser-
tai kepulan uap putih menderu ganas menghantam
tubuh Angin Pesut. Sebelum pukulan lawan meng-
hantam dirinya. Dia kembali berkelebat ke pohon
yang berada di sebelahnya.
Buum!
Pucuk pohon rambas hangus terkena puku

lan gadis itu. Kepingan bertaburan di udara. Bagian
bawah pohon kemudian nampak menghitam, daun-
daunnya hangus berguguran.
Indah Sari merutuk habis-habisan. Gagal
menghabisi lawannya kini dia bergerak ke pohon
lainnya. Dimana lawan berdiri tegak disitu sambil
memandangnya dengan tatapan penuh rasa tidak
mengerti. Laksana burung walet Indah Sari melun-
cur deras ke arah si kakek. Dua tangan yang berku-
ku panjang dan setajam mata pedang menyambar
wajah, tenggorokan serta dada Angin Pesut. Kakek
itu menyambar cabang pohon di depannya. Dengan
cabang pohon berdaun lebat dia menangkis seran-
gan sang dara.
Bret! Breet! Breet!
Tes! Tes!
Cabang yang dipergunakan untuk menang-
kis, terbabat kuku lawan. Putus bertaburan ke uda-
ra. Potongan reranting pohon kemudian secara aneh
menghantam mata dan sekujur tubuh Angin Pesut.
Si kakek keluarkan seruan kaget, namun cepat han-
tamkan kedua tangannya ke depan.
Dari telapak tangan si kakek menderu hawa
panas luar biasa disertai sambaran angin yang de-
mikian keras. Potongan kayu yang seharusnya me-
nancapi sekujur tubuh dan matanya berpentalan
dan berbalik menghantam Indah Sari. Gadis itu
menghindar ke samping, lalu meluncur turun, jejak-
kan kaki di atas tanah dengan wajah pucat pasi.
Angin Pesut nampaknya tidak memberi hati.
Apalagi saat itu dia melihat luka di bagian lengan
dan lututnya tidak mau bertaut kembali dan me-
nimbulkan rasa nyeri luar biasa. Sambil berteriak

keras si kakek melesat ke bawah. Tubuhnya melun-
cur sedemikian rupa. Sedangkan dua tangan me-
nyambar ke arah perut si gadis demikian cepatnya.
Dalam pandangan Indah Sari sepasang tangan si
kakek kini berubah menjadi beberapa pasang siap
untuk menjebol perut dan dada sang dara.
Dalam kagetnya Indah Sari segera gerakkan
tangannya melakukan tangkisan. Tapi ternyata se-
rangan si kakek hanya tipuan saja. Karena begitu
lawan menyambuti serangannya dia lakukan gera-
kan jungkir balik sedemikian rupa, kemudian men-
gitari tubuh sang dara. Tepat posisinya berada di
atas si gadis, tangan kirinya menyambar punggung
Indah Sari.
Bretttt!
Terdengar suara robeknya pakaian. Indah
Sari menjerit kaget. Sebaliknya Angin Pesut begitu
kaget begitu melihat di bagian punggung sang dara
yang putih mulus itu terdapat satu titik besar ber-
warna hitam berupa tahi lalat.
"Di.. dia anakku...!" desis Angin Pesut den-
gan tubuh tergetar menahan keharuan.
Sebaliknya Indah Sari menjerit sambil me-
maki. Kalang kabut dia sibuk berusaha menutupi
punggungnya yang terbuka lebar. Tapi mana mung-
kin hal itu dapat dilakukannya. Karena tangannya
sulit menjangkau bagian punggung. Gagal menutupi
punggung sang dara berteriak keras. "Tua bangka
mesum. Ajalmu sudah di ambang mata tapi kau ma-
sih berani berlaku kurang ajar. Aku harus membu-
nuhmu!" maki si gadis marah bukan main. Angin
Pesut angkat salah satu tangannya. "Kau dengar.
Aku hanya ingin melihat satu tanda di punggungmu.

Satu tanda berupa tahi lalat. Ternyata di pung-
gungmu memang ada tahi lalatnya. Aku sama sekali
tidak bermaksud kurang ajar." kata si kakek dengan
suara bergetar menahan rasa haru dan bahagia. Wa-
laupun dalam keadaan marah bukan main. Men-
dengar ucapan si kakek Indah Sari menjadi bingung.
"Apa maksudmu orang tua?" hardiknya. Dengan ma-
ta berkaca-kaca si kakek menjawab.
"Dulu aku punya anak perempuan. Di pung-
gungnya ada tahi lalat. Aku belum sempat membe-
rinya nama karena dia baru saja dilahirkan. Sayang
sekali dia diculik oleh seseorang yang tidak kukenal.
Jika dia masih hidup tentu sudah sebesar dirimu.
Sudah lama aku mencarinya, tapi sampai sekarang
aku belum menemukannya!"
"Huh, yang jelas aku bukan anakmu!" den-
gus sang dara sinis.
"Mengingat tahi lalat di punggungmu, mung-
kin saja kau anakku. Bisa jadi seseorang sengaja
membesarkanmu, lalu mendidikmu. Untuk kepen-
tingannya sendiri bisa jadi dia memperalatmu untuk
membunuhku!" kata si kakek.
"Tua bangka keparat. Jangan coba-coba
mempengaruhiku. Aku tidak mudah terkecoh. Atau
mungkin kau kehilangan nyali untuk menghadapi
aku?"
Si kakek tersenyum tipis. Dia menggigit bibir.
Jiwanya terguncang, perasaannya begitu pedih.
Dengan lirih dia menjawab. "Kuakui ilmu kepan-
daianmu sangat tinggi. Tapi dengan kepandaianmu
itu, jika aku bersungguh-sungguh dalam mengha-
dapimu. Kau tak bakal sanggup mengalahkan aku.
Malah jika tadi aku bermaksud keji padamu. Kurasa

bukan pakaianmu saja yang dapat kubuat robek.
Tapi kepalamu sendiri bukan dapat kupecahkan. In-
dah Sari, kau pasti anakku. Wajahmu sangat mirip
dengan bekas Istriku Serimbi yang bukan lain ada-
lah ibumu sendiri!" kata si kakek sambil titikkan air
mata.
Mendengar ucapan Angin Pesut, mendidihlah
darah sang dara. Dengan mata mendelik penuh ke-
bencian Indah Sari membentak. "Tua bangka. Kau
bukan ayahku, perempuan yang kau katakan itu ju-
ga bukan ibuku. Ayah Ibuku telah lama meninggal.
Lagipula tak mungkin aku punya orang tua keji se-
perti dirimu!" kata sang dara sengit.
"Kalau ayah ibumu sudah mati apakah kau
pernah melihat kuburnya?" tanya si kakek lagi. In-
dah Sari tentu menjadi bingung. Selama ini dia me-
mang belum pernah melihat kubur kedua orang tu-
anya. Gurunya bahkan tak pernah memberi tahu
dimana kubur mereka. Tak mau dikecoh orang gadis
ini berucap. "Angin Pesut, jika kau punya senjata
cabutlah. Karena aku pasti membunuhmu!"
"Indah Sari percayalah, gurumu pasti selama
ini telah menipu dirimu. Kemudian memperalat di-
rimu untuk membunuh orang tua sendiri!" ujar si
kakek dengan kesabaran luar biasa.
Sebagai jawaban sang dara langsung menca-
but Pedang Tumbal Perawan dari rangkanya yang
berasal dari lengan gadis yang dijadikan tumbal pe-
dang itu. Melihat pedang yang menggeletar begitu
tercabut dari rangkanya. Angin Pesut terkejut juga
maklum pedang di tangan Indah Sari bukan senjata
biasa. Melainkan senjata sakti mandra guna yang
menyimpan kesaktian sekaligus memiliki pengaruh

Iblis. Pedang itu pasti sangat mematikan. Fikir si
kakek.
Si kakek tentu saja tak mau mati sebelum
tahu secara pasti siapa gadis itu yang sebenarnya.
Karena itu begitu melihat sinar pedang yang ber-
warna hitam itu bergulung-gulung menerjang ke
arah dirinya si kakek segera berkelit menghindar.
Baru saja si kakek mengelak, kini pedang yang ber-
gerak dengan kemauannya sendiri itu malah meng-
hantam ke bagian lambungnya.
Kakek tua yang sudah kenyang malang me-
lintang di rimba persilatan dan merupakan momok
paling ditakuti belasan tahun yang lalu itu untuk
pertama kalinya seumur hidup dibuat kaget. "Gila,
pedang ini seolah memiliki nyawa. Punya otak, mata
dan jalan fikiran sehingga dia dapat membaca gera-
kan lawan!" fikir si kakek. Tak punya pilihan lain
Angin Pesut akhirnya jatuhkan diri. Bergulingan
menghindar, tapi lawan terus mengejar mengikuti
gerakan pedang. Angin Pesut terpaksa dorongkan
kedua tangan lepaskan pukulan yang diperkirakan
tidak membahayakan keselamatan sang dara
Segulung angin dingin menghantam gadis
itu, tapi Indah Sari telah memutar pedang menjadi-
kan senjatanya sebagai perisai. Ketika pukulan si
kakek membentur senjata lawan. Pukulan itupun
amblas lenyap tidak meninggalkan bekas. Terkejut
orang tua itu bukan kepalang. Sementara itu indah
Sari telah berkelebat ke arahnya sambil babatkan
pedang di tangan dua kali berturut-turut. Angin Pe-
sut kembali berkelit. Tak urung rambutnya kena di-
tebas putus senjata lawan. Tak punya pilihan lain si
kakek terpaksa hantamkan kakinya ke tubuh lawan

dalam upayanya menyelamatkan diri.
Dess!
Tendangan yang keras membuat Indah Sari
terjajar ke belakang. Mempergunakan kesempatan
ini Angin Pesut lesatkan tubuhnya ke udara. Sean-
dainya dia ingin membunuh gadis itu atau bermak-
sud mencelakainya. Hal ini sebenarnya dapat dila-
kukan si kakek sejak tadi. Karena bagaimana pun si
kakek masih unggul dalam hal ilmu, kecepatan serta
pengalaman. Tapi entah mengapa walau orang in-
ginkan jiwanya dia malah tak tega untuk jatuhkan
tangan keji.
Sementara itu melihat lawan berkelebat ke
udara dan membubung tinggi ke angkasa. Indah Sa-
ri tidak membiarkannya begitu saja.
Cepat sekali dia mengejar. Lalu menyerang
lawannya dengan kecepatan berlipat ganda.
Laksana setan, Angin Pesut terus menghin-
dari serangan senjata yang datangnya laksana air
bah itu. Demikian hebatnya pertarungan itu hingga
baik yang menyerang maupun yang mendapat se-
rangan ganas berkelebat seperti bayangan saja. An-
gin Pesut yang sengaja tidak mau menyakiti Indah
Sari akhirnya mulai terdesak. Beberapa jurus ke-
mudian dia bahkan hampir kehilangan kepalanya
akibat sambaran senjata lawan. Si kakek tidak mau
mati sia-sia. Tangannya terjulur menghantam ping-
gang sang dara. Tapi pada waktu yang sama ujung
pedang lawan juga menyambar dadanya.
Buuk!
Craas!
Dua Jeritan menggema di udara. Dua sosok
tubuh meluncur ke bawah. Lalu....
Bluk! Bluk!
Keduanya jatuh terduduk. Saling berhadap-
hadapan. Indah Sari merintih kesakitan. Sedangkan
Angin Pesut sibuk menotok beberapa urat darah be-
sar untuk mencegah agar racun tidak sampai men-
jalar kemana-mana. Luka akibat goresan senjata la-
wan nampak membiru kehitaman. Dan luka itu ti-
dak pula mau bertaut lagi. Seolah si kakek kehilan-
gan kekebalannya. Walaupun dia terluka tapi meli-
hat gadis itu merintih si kakek jadi tidak tega malah
menghawatirkan keselamatan gadis itu.
"Indah Sari kau...!" Angin Pesut tidak melan-
jutkan ucapannya. Melainkan menghampiri si gadis
siap memberikan pertolongan. Si gadis merasa inilah
saatnya untuk menghabisi Angin Pesut. Pedang yang
terjatuh disampingnya segera diambil. Tapi begitu
dia siap menusukkan pedang Tumbal Perawan di
dada si kakek. Pada saat yang bersamaan dia men-
dengar suara ngiang ditelinganya.
"Jangan kau bunuh dia. Biar aku yang
membunuhnya! Aku segera datang!" jelas orang yang
baru bicara itu bukan lain adalah gurunya sendiri.
Sehingga pedang dilepaskan. Tapi begitu si kakek te-
lah berada dalam jangkauannya. Tangan kanannya
langsung menyambar ke beberapa bagian tubuh An-
gin Pesut. Sedikitnya tiga totokan hebat melanda diri
si kakek. Membuat orang tua itu dalam keadaan ka-
ku tertotok tak dapat bergerak-gerak lagi. Angin Pe-
sut jadi tercekat. Lalu memandang gadis itu penuh
rasa heran.
"Indah Sari, mengapa kau lakukan ini, anak-
ku? Apakah kau tega membunuh ayahmu sendiri?"
tanya si kakek bergetar.

"Kau bukan ayahku. Kalau bukan atas perin-
tah guru, aku pasti membunuhmu sekarang ini!"
dengus sang dara.
"Aku rela mati ditanganmu asal kau mau
mengakui aku ini adalah ayahmu!" rintih si kakek
dengan berurai air mata. Si gadis sama sekali tidak
bergeming, dia juga tidak menjawab. Malah kemu-
dian dia keluarkan segulung tali dari balik saku ce-
lananya. Dia hampiri kakek malang ini. Kemudian
Indah Sari dengan cekatan mengikat kaki dan tan-
gan Angin Pesut. Dalam keadaan semakin tidak ber-
daya Angin Pesut diseretnya.
"Indah Sari... apa yang hendak kau laku-
kan?" tanya si kakek. Dalam keadaan fikiran normal
dan bukan gadis itu yang dihadapinya. Angin Pesut
bisa saja membebaskan diri dari pengaruh totokan
bahkan mampu pula melepas ikatan pada tangan
dan kakinya. Tapi kini hal itu tidak dilakukannya.
Dia tidak tega untuk mencelakai gadis yang dia ang-
gap sebagai putrinya yang hilang itu.
"Aku akan menggantungmu, Angin Pesut.
Kaki di atas dan kepala di bawah. Menunggu keda-
tangan guruku yang akan membunuhmu. Selama
itu aku bisa menyiksamu sampai puas. Hik hik hik!"
kata Indah Sari beberapa saat kemudian. Angin Pe-
sut pasrah dan tidak lagi menghiraukan keselama-
tan dirinya sang dara digantung sang dara di satu
pohon yang terdapat di pinggir sungai. Si gadis ke-
mudian memukuli tubuh bekas tokoh sesat yang
malang itu dengan rotan berduri hingga membuat
sekujur tubuh si kakek dipenuhi bilur-bilur luka.
Sekujur tubuh si kakek basah bersimbah darah.
Namun anehnya walaupun menderita sakit yang
luar biasa. Si kakek tidak mengeluh atau menjerit
kesakitan. Dia terlalu larut, tenggelam dalam kese-
dihan memikirkan nasib dirinya. Dia rindu pada
anaknya. Terlalu amat rindu ingin bertemu. Hingga
membuat Angin Pesut mati rasa, hilang kesadaran
tentang apa yang terjadi pada dirinya. Keadaan
orang tua ini memang menggenaskan. Tubuhnya
babak belur penuh luka.
Tapi hatinya lebih terluka lagi begitu melihat
kenyataan sang anak yang dia cari ternyata tidak
mengakui dirinya sebagai seorang ayah. Angin Pesut
dalam segala penderitaan dan beban batin yang te-
ramat menekan jiwanya hanya dapat kucurkan air
mata. Air mata sejuta duka yang tak mungkin dapat
dilukiskan dengan kata-kata, bercampur dengan cu-
curan darah yang mengalir dari setiap luka di tu-
buhnya akibat cambukan rotan berduri. Indah Sari
tertawa senang. Tawa yang mungkin di atas penderi-
taan sekaligus kepedihan hati sang ayah.


                        TAMAT


NANTIKAN EPISODE SELANJUTNYA!!!
LIANG PEMASUNG SUKMA
Mengapa disebut Liang Pemasung Sukma. Jika ingin
tahu ceritanya, Silahkan cari bukunya.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung Hari Ini

Cari Blog Ini

Translate

Penting Buat Kita Sebagai Hamba Allah

QS. Al-Ankabut (29): 45 "Bacalah kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Menjelaskan fungsi salat sebagai pencegah maksiat).

Mengenai Saya

Foto saya
palembang-indonesia, sumatera selatan, Indonesia
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game