https://matjenuhkhairil.blogspot.com : Tempat Membaca Cerita Silat Wiro Sableng Dan Pendekar Sakti Di Seluruh Nusantara

Sabtu, 13 Desember 2025

Pendekar Gila Episode Misteri Gadis Bisu


MISTERI GADIS BISU
Oleh Firman Raharja
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Mardiansyah
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dart penerbit
Firman Raharja
Serial Pendekar Gila dalam episode:
Misteri Gadis Bisu
128 hal ; 12 x 18 cm

1

Pagi telah hadir bersama munculnya sang Men-
tari dari peraduannya, menyinari jagat raya. Angin pagi
bertiup dengan lembut, menambah suasana pagi tera-
sa sejuk. Burung-burung berkicau riang, turut me-
nikmati kehangatan mentari.
Desa Kembang Tebu yang terletak di sebelah
utara Gunung Kapuran telah ramai. Terlebih di Pasar
Gembreng, para pedagang telah memenuhi lingkungan
pasar yang hanya dibatasi pagar bambu. Riuh suasana
pasar dari suara tawar-menawar antara para pembeli
dan penjual.
Di tengah keramaian orang di Pasar Gembreng,
nampak seorang gadis berusia sekitar lima belas tahun
melangkah agak sempoyongan. Badannya sedikit
membungkuk. Tubuhnya kotor berdebu. Pakaian biru
kehitaman yang melekat di tubuhnya kumal dan com-
pang-camping. Begitu pula dengan rambutnya yang
kemerahan tampak kusut masai.
"Uhk uhk uhk...!" gadis itu mengeluarkan suara
seperti batuk.
Orang-orang di pasar seketika menepi, saat ga-
dis berbadan bungkuk dengan keadaan menyedihkan
itu lewat. Bau tubuhnya yang menyengat itu membuat
orang-orang langsung menepi. Mereka seolah tak ingin
tersentuh tubuh gadis itu.
"Uhk uhk uhk...!"
Gadis yang tampak seperti gelandangan itu ter-
nyata bisu. Barulangkali mulutnya mengeluarkan sua-
ra batuk yang terdengar kering. Tangannya dijulurkan
meminta belas kasihan. Ada juga orang yang memberi,
tapi kebanyakan mendengus penuh kebencian. Bah-
kan terkadang ada yang mencaci-ma

Gadis itu tak menghiraukan semua cacimaki
dan kebencian orang. Kakinya terus melangkah tersa-
ruk-saruk. Setiap bertemu dengan orang, tangannya
dijulurkan meminta belas kasihan.
"Uhk uhk uhk...!"
"Kasihan," gumam seorang pemuda berpakaian
rompi kulit ular berambut gondrong yang tingkah la-
kunya seperti orang gila. Tangannya menggaruk-garuk
kepala. Wajahnya tampak muram, merasa iba me-
nyaksikan gadis seusia itu telah menjadi gelandangan.
Pemuda tampan bertingkah laku seperti orang tolol
yang ternyata Pendekar Gila itu menghampiri gadis bi-
su yang tengah menjulurkan tangan pada seorang wa-
nita yang dilihat dari dandanannya tentu orang kaya.
"Uhk uhk uhk...!" gadis itu mengeluarkan batuk
sambil mengulurkan tangannya di depan wanita beru-
sia sekitar empat puluh tahun dengan dandanan yang
penuh gemerlapan permata.
"Apa...?!" bentak wanita itu melotot. "Muak se-
kali aku melihatmu!"
Wanita setengah baya yang rambutnya disasak
konde dan mengenakan baju hijau itu hendak melang-
kah pergi. Namun gadis bisu itu seketika menghadang
di hadapannya.
"Uhk uhk uhk...!"
Gadis bisu itu kembali mengulurkan tangan,
mengharap wanita setengah baya yang berwajah ga-
rang itu mau memberinya sedikit uang.
"Bocah tak tahu diri! Cuh...!" wanita setengah
baya yang wajahnya nampak judes itu menyemburkan
ludah ke wajah si gadis.
"Uhhh...!" gadis bisu itu mengeluh panjang.
Pendekar Gila yang melihatnya merasa iba. Sementara
gadis itu segera menyeka ludah bekas semburan wani-
ta setengah baya yang telah berlalu pergi meninggal

kannya.
"Dik, sudahlah. Jangan kau terus memaksa
orang yang tak mau memberi padamu. Ini untukmu,"
Sena segera mengeluarkan tiga keping uang emas pada
gadis bisu itu.
"Uhk uhk uhk...!" gadis bisu itu menatap Pen-
dekar Gila sambil menggerak-gerakkan tangannya ke
kiri dan kanan. Sepertinya berusaha menolak uang
pemberian Sena. Kemudian kepalanya mengangguk-
angguk, seakan mengucapkan terima kasih. Lalu gadis
itu dengan tak acuh berlalu meninggalkan Pendekar
Gila dan pemberiannya.
"Hi hi hi...! Lucu sekali gadis kecil itu," gumam
Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Wajahnya
nyengir dengan tangan kiri menimang-nimang uang
yang ditolak gadis bisu itu.
Pendekar Gila benar-benar tak mengerti melihat
tingkah laku gadis bisu itu. Dia meminta-minta pada
semua orang yang berpapasan dengannya. Bahkan
sampai diludahi, tapi setelah diberi malah menolak.
"Hm! Aneh...!" kembali Sena menggumam.
"Aneh sekali gadis itu. Hei, tunggu...!" Kini Sena benar-
benar seperti orang gila. Sambil tertawa cekikikan ka-
kinya melompat-lompat mengejar gadis bisu yang ber-
lalu dari hadapannya. Namun, dalam sekejap saja, ga-
dis bisu itu telah menghilang di tengah-tengah kera-
maian orang.
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Benar-benar bocah
edan. Eh! Hi hi hi.... Bukankah aku juga gila? Hua ha
ha...!" Sena tertawa-tawa membuat semua orang di pa-
sar itu memperhatikannya. Sena segera meninggalkan
pasar. Tubuhnya melesat melompat-lompat dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
"Bocah edan...!" gumam salah seorang yang me-
lihatnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Tumben, hari ini di pasar ada dua bocah aneh.
Yang satu bisu, yang lain gila..,!" sambut lelaki berusia
sekitar lima puluh lima tahun. Tubuhnya pendek ku-
rus dengan kumis panjang menghias atas bibirnya.
Namun wajahnya menggambarkan ketenangan dan ke-
sabaran. "Pertanda apakah kemunculan bocah-bocah
aneh itu?"
Usai bergumam lirih sambil menggeleng-
gelengkan kepala, lelaki bertubuh pendek yang berna-
ma Ki Wulung itu menghela napas panjang. Lelaki tua
itu termasuk orang bijak dan adil di Desa Kembang
Tebu.
Namun Ki Wulung tampaknya tidak dihiraukan
orang-orang di desanya. Semua orang menjauhi di-
rinya, menganggap bahwa Ki Wulung orang tak waras.
Dahulu Ki Wulung datang bersama istrinya, ke-
tika akan terjadi pembakaran terhadap keluarga Gagar
Blarak. Sebetulnya dia orang suruhan seseorang untuk
mengawasi Desa Kembang Tebu. Tingkah lakunya
yang seperti orang aneh itu, membuat penduduk Desa
Kembang Tebu menjauhi dan mengasingkan mereka.
Meski belum tahu siapa kedua bocah aneh itu, Ki Wu-
lung merasakan ada sesuatu di dalam diri kedua bo-
cah aneh itu.
"Pemuda gila itu, kurasa bukan orang semba-
rangan. Tubuhnya kekar berisi. Jelas dia pernah men-
jalani gemblengan berat dan latihan-latihan yang cu-
kup lama. Kurasa dia bukan pemuda gila biasa," gu-
mam Ki Wulung sambil melangkah meninggalkan pa-
sar.
Ki Wulung yang telah banyak makan asam ga-
ram kehidupan, nampaknya tak mau begitu saja
membuang pikiran mengenai kedua bocah yang baru
saja dilihatnya. Bocah yang aneh, dengan tingkah laku
yang aneh pula. Satu bertingkah laku seperti orang gi

la sedangkan satunya lagi bertingkah laku seperti
gembel.
Gadis itu..., mungkinkah dia benar-benar bisu.
Tapi. Tanyanya dalam hati. Mungkin dia memang bisu.
Tapi, tampaknya dia bukan gadis sembarangan pula.
Buktinya dalam sekejap saja, telah menghilang. Ah,
pertanda apakah kemunculan kedua bocah aneh itu?
Tiada henti Ki Wulung bertanya-tanya dalam
hati. Kakinya melangkah semakin cepat menuju ru-
mahnya yang berada di sebelah timur Pasar Gembreng.
Meski tubuhnya kurus dan pendek, dibebani belanjaan
yang banyak, Ki Wulung melangkah begitu ringan. Hal
itu menunjukkan kalau lelaki berusia lima puluh lima
tahun itu bukan orang biasa. Setidaknya dia memiliki
ilmu silat yang tidak bisa dianggap remeh. Itu jelas ter-
lihat dari gerakan langkahnya, tampak ringan meski-
pun beban berat belanjaan bergayut di tubuhnya.
"Coba nanti aku lihat di kitab primbon. Siapa
tahu primbonku ada terdapat dua bocah aneh itu!"
Gumam Ki Wulung dalam hati sambil terus melangkah
menuju rumahnya. Pikirannya terus membayangkan
kedua bocah aneh yang sempat dilihatnya di pasar.
Ki Wulung semakin mempercepat langkahnya.
Hatinya berharap ingin cepat sampai di rumah dan se-
gera melihat kitab primbon untuk mengetahui siapa
kedua bocah itu dan pertanda apa kedatangan ke-
duanya di Desa Kembang Tebu.
***
Sebuah rumah kecil dari bilik bambu yang ter-
lihat di tengah kebun jagung dan singkong itulah ru-
mah Ki Wulung. Kebun jagung itu berada di sebelah
timur Desa Kembang Tebu. Di situ tidak ada rumah
lain kecuali rumah Ki Wulung.

Di tengah-tengah kebun singkong dan jagung,
terbentang jalan menuju pintu rumah bilik milik Ki
Wulung.
"Nyi! Nyi...!" seru Ki Wulung ketika sampai di
depan pintu rumahnya. Belanjaan yang sejak tadi
membebani pundaknya diturunkannya.
Dari dalam rumah kecil itu, muncul seorang
wanita berusia sebaya dengan Ki Wulung. Pakaiannya
abu-abu dengan rambut digelung kecil ke atas. Wanita
tua itu tak lain istri Ki Wulung. Sosoknya lebih tinggi
dibandingkan dengan suaminya.
"Ada apa sih, Ki? Teriak-teriak kayak anak kecil
saja?" sungut Nyi Wulung yang merasa terganggu den-
gan seruan suaminya. "Sampai-sampai aku kaget!"
"Lho, lho...! Suami capek, bukannya mengambil
minum malah ngedumel. Tak baik lho, Nyi...," canda Ki
Wulung.
"Iya iya, aku tahu. Mau teh atau kopi...?" tanya
Nyi Wulung.
Ki Wulung tersenyum menggoda.
"Kalau boleh, kopi dengan jagung bakar," pinta
Ki Wulung.
"Huh, enaknya," wajah Nyi Wulung cemberut.
Ki Wulung nyengir.
Nyi Wulung berlalu meninggalkan suaminya
yang kini duduk di dipan bambu di emperan rumah bi-
lik itu sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan kain
ikat mirip blangkon yang tadi menutupi kepalanya.
"Huh, capek sekali," gumam Ki Wulung masih
mengipasi tubuhnya. Matanya memandangi pohon ja-
gung dan singkong yang memenuhi sekeliling rumah-
nya. Pohon-pohon jagung telah berbuah. Dan tampak-
nya tak lama lagi sudah dapat dipetik. Begitu juga po-
hon singkong. Sebentar lagi dapat dicabut untuk di-
ambil hasilnya.

"Ah, lumayan juga hasilnya," gumam Ki Wu-
lung, berbicara pada diri sendiri.
Dari dalam muncul Nyi Wulung membawa se-
cangkir kopi dan piring yang berisi lima bonggol jagung
bakar.
"Hm, sedap...!" gumam Ki Wulung menggoda
sambil mengendus-endus, mencium aroma jagung ba-
kar dan kopi pahit yang disuguhkan istrinya.
"Huh, tua bangka masih kayak anak kecil! Su-
dah, aku sedang memasak. Apa saja yang kau beli,
Ki?" tanya Nyi Wulung sambil membuka bungkusan
daun pisang yang tadi dibawa suaminya.
"Lihat saja sendiri!" jawab Ki Wulung sambil
menyeruput kopi pahitnya. Kemudian diambilnya se-
bonggol jagung bakar yang masih panas, lalu ditiup-
nya.
"Aku masak dulu, Ki."
"Eh, tunggu, Nyi."
"Ada apa lagi?" tanya Nyi Wulung dengan ken-
ing berkerut, sambil menghentikan langkahnya dan
memandang suaminya.
"Tolong ambilkan primbon."
"Untuk apa, Ki? Tidak bosan-bosannya kau
dengan primbon kuno itu. Apa kau tak jemu dianggap
orang tak waras? Yang kerjanya hanya membuka-buka
primbon, kemudian bertutur yang bukan-bukan...!"
omel Nyi Wulung.
Kedua orang tua itu memang dikucilkan dari
pergaulan, karena keduanya dianggap sudah tak waras
lagi. Hal itu disebabkan Ki Wulung senantiasa berpe-
doman dan percaya pada kitab primbonnya.
"Alaaah...! Bukankah ramalan primbonku ba-
nyak yang benar? Kau ingat akan apa yang terjadi lima
tahun lalu, ketika Gagar Blarak dan anak-istrinya di-
bakar?" tanya Ki Wulung.

"Ya!" sahut Nyi Wulung masih! kurang senang.
"Nah, siapa yang pertama kali tahu? Bukankah
aku? Dulu kau tak percaya dan mengatakan kalau Ga-
gar Blarak orang baik-baik. Kau baru percaya setelah
pembakaran hidup-hidup itu, bukan?"
"Iya, iya...," sungut Nyi Wulung.
"Ambilkan ya, Nyi!"
"Untuk apa lagi...?" tanya Nyi Wulung masih
merungut tak senang. "Apakah kau tak bosan-
bosannya dikucilkan orang banyak?"
"Pokoknya ada. Persetan dengan mereka yang
mengucilkan aku. Yang pasti, aku tak pernah berbuat
jahat pada mereka. Aku hanya ingin membantu mere-
ka. Mengenai bagaimana tanggapan mereka terhadap
diriku, itu urusan mereka," kilah Ki Wulung.
Nyi Wulung dengan merengut berlalu mening-
galkan suaminya yang tengah menikmati kopi pahit
dan jagung bakar sambil memandangi kebun jagung
dan singkongnya yang nampak subur. Dan kelihatan-
nya akan menghasilkan buah yang banyak.
Tidak lama berselang, Nyi Wulung telah kemba-
li muncul membawa kitab primbon yang diminta sua-
minya.
"Nih...!"
Nyi Wulung hendak berlalu pergi, namun sua-
minya dengan cepat menahannya. "Tunggu, Nyi!"
"Apa lagi...?"
"Duduklah dulu!" ajak Ki Wulung sambil meng-
geser duduknya ke samping kiri.
Dengan wajah merengut tak senang, karena
suaminya selalu mengotak-atik dan membuka lembar
demi lembar kitab primbon, akhirnya Nyi Wulung pun
menurut duduk. Sedangkan suaminya kini membuka
lembar demi lembar kitab tebal terbuat dari daun lon-
tar. Kitab itu berisi coretan-coretan mengenai berbagai

macam ramalam.
"Tadi di pasar aku melihat dua anak muda
aneh, Nyi," tutur Ki Wulung.
Nyi Wulung tak menyahut
"Kau tahu, mengapa aku mengatakan kedua-
nya aneh?" tanya Ki Wulung melanjutkan ceritanya.
"Mana aku tahu?" sahut Nyi Wulung sengit,
merasa ucapannya tak pernah digubris suaminya. Du-
duknya pun kini tak menghadap ke arah suaminya,
melainkan memandang lepas ke depan tanpa tujuan.
"Nah, dengar ceritaku!" ujar Ki Wulung berusa-
ha membuat istrinya tersenyum. Namun Nyi Wulung
tak juga tersenyum, malah mencibirkan bibir. Hal itu
membuat Ki Wulung cengengesan, lalu melanjutkan
ceritanya.
"Kedua bocah itu aneh. Satu seperti pemuda gi-
la, tapi pakaiannya terbuat dari kulit ular tanpa len-
gan. Wajahnya tampan, dan bersih. Rambutnya gon-
drong bergelombang diikat kulit ular...."
Ki Wulung membuka lagi lembaran buku prim-
bonnya. Diminumnya kopi, kemudian dia meneruskan
ucapannya.
"Di primbon ini, dikatakan kalau pemuda se-
perti itu adalah pemuda digdaya. Tentunya dia seorang
pendekar. Lalu, satu lagi seorang gadis berusia sekitar
lima belas tahun. Tubuhnya agak bungkuk, pakaian-
nya compang-camping berwarna biru kehitaman-
hitaman. Dia bisu, namun dari tindak-tanduknya, dia
bukan gadis biasa. Nah, bagaimana pendapatmu,
Nyi...?" tanya Ki Wulung meminta pendapat istrinya.
"Huh, untuk apa aku berpendapat?" balik Nyi
Wulung.
"Lho, siapa tahu pendapatmu benar, Nyi?"
"Kurasa mereka akan membuat bencana saja.
Huh!"

"Kurasa tidak, Nyi," bantah Ki Wulung seraya
menggerak-gerakkan tangan kanannya.
"Alaaah, sok tahu! Jelas mereka pura-pura gila
dan tak saling kenal. Pasti ada maksud-maksud ter-
tentu yang hendak membuat onar desa ini," dengus
Nyi Wulung.
Ki Wulung sesaat terdiam. Sepertinya dia ber-
pikir dengan pendapat yang dikatakan istrinya.
"Ah, tidak! Dalam kitab primbon ini dikatakan
kalau keduanya hendak bertujuan baik," tukas Ki Wu-
lung berapi-api, menentang pendapat istrinya yang
berlawanan dengan pendapatnya.
"Dari mana kau tahu mereka baik?"
"Dari primbon."
"Huh! Mana buktinya...?"
Nyi Wulung merebut kitab primbon yang ada di
tangan suaminya dan berusaha melihat tulisan atau
gambaran pada primbon itu mengenai kedua anak
muda aneh yang dikatakan suaminya.
"Mana...!"
Nyi Wulung melemparkan kitab primbon itu ke
arah suaminya.
"Lho, kamu tak melihat, Nyi?"
"Melihat apa? Hanya tulisan dan gambar-
gambar begini?" rungut Nyi Wulung.
"Nah, itu buktinya."
"Bukti apa?"
"Bukti mereka bertujuan baik. Mereka akan
menolong kita, Nyi."
"Sontoloyo! Mana ada orang asing menolong ki-
ta, Aki Peot?! Aku pikir mereka malah bertujuan me-
nyengsarakan kita!" bantah Nyi Wulung tak mau ka-
lah.
"Tidak juga, Nyi. Jelas mereka orang baik-baik.
Sayang, istri Soma menanggapinya kurang enak...,"

gumam Ki Wulung dengan wajah tiba-tiba berubah
murung, menjadikan Nyi Wulung mengerutkan ke-
ningnya.
"Memangnya kenapa dengan istri Soma, Ki?"
tanya Nyi Wulung tak mengerti.
"Hhh.... Dia meludahi si gadis," gumam Ki Wu-
lung setengah mendesah.
"Lho, bukankah Nyi Writampi orang baik? Ba-
gaimana mungkin dia berbuat kasar begitu...?" bantah
Nyi Wulung.
"Itu yang tak ku mengerti," gumam Ki Wulung
dengan wajah masih menggambarkan kemurungan.
Lelaki tua itu merasa sedih ketika melihat gadis bisu
itu diludahi Nyi Writampi yang dianggapnya baik dan
memang sehari-hari selalu baik terhadap siapa pun.
"Atau mungkin kebaikan Nyi Writampi kalau
berada di depan kakaknya saja, Ki?" tanya Nyi Wulung.
Yang dimaksud olehnya tiada lain Ki Legok Menggo,
Kepala Desa Kembang Tebu.
"Entahlah, Nyi. Sungguh tak kusangka, kalau
Nyi Writampi tega melakukan hal itu. Mungkin dia se-
dang marah," gumam Ki Wulung disertai helaan napas
panjang. "Ah, sudahlah! Perutku lapar sekali. Lagi pu-
la, masih banyak yang harus kukerjakan. Sebentar la-
gi, jagung dan singkong itu panen, Nyi."
"Ya! Tentunya kita akan mendapat uang yang
cukup lumayan, Ki."
"Ya ya ya.... Sayang, kita belum punya anak,"
keluh Ki Wulung membuat istrinya merengut dan ber-
lalu meninggalkan suaminya.
Ki Wulung hanya menggeleng-gelengkan kepala
perlahan, dengan mata masih menyapu ke kebunnya.
Dilihatnya singkong dan jagung yang tumbuh subur
mengelilingi pekarangan rumah gubuknya.

2

Waktu bergulir cepat, seirama dengan perputa-
ran bumi. Tak terasa, pagi terus merayap, lalu menghi-
lang dan berganti malam. Terik mentari yang siang tadi
begitu menyengat, berganti tiupan-angin malam yang
sejuk dan menyentuh perasaan syahdu.
"Kuk, kuk, kuuuk...!"
Suara burung hantu terdengar pilu, seakan me-
ratapi kegelapan malam yang semakin sepi dan men-
cekam. Gesekan daun bambu yang tertiup angin terasa
mengiris hati.
Tepat tengah malam, terlihat sesosok tubuh
berkelebat cepat dari satu rumah ke rumah lain. Gera-
kannya begitu cepat dan ringan, hingga tak menimbul-
kan suara sedikit pun. Sosok tubuh itu berhenti. Ke-
mudian cepat menyelinap ke balik sebatang pohon be-
sar di pinggir jalan, ketika terlihat dua orang lelaki ber-
tubuh tinggi tegap berjalan ke arahnya sambil berca-
kap-cakap. Mereka adalah dua orang pengawal Ki Le-
gok Menggo, Kepala Desa Kembang Tebu.
"Panas sekali malam ini, Kakang Badri," ujar
salah seorang.
"Benar! Tidak seperti biasanya," sahut orang
yang bernama Badri. "Sebaiknya kita beristirahat saja
dulu di bawah pohon itu, Adi Sardi!"
Orang yang dipanggil Sardi melirik pohon di
pinggir jalan yang ditunjuk Badri. Kemudian, kepa-
lanya terangguk. Tampaknya, dia menyetujui ajakan
itu. Mereka terus melangkah mendekati pohon yang
cukup besar, berdaun lebat dan rimbun sekali. Tapi
sedikit pun tak terlihat adanya gerakan pada daun-
daun pohon itu. Memang, angin pun rasanya tak ber-
hembus malam itu.

"Uh...!"
Sardi mengeluh pendek begitu duduk di atas
akar yang menyembul keluar dari dalam tanah.
"Ada apa kau ini, Sardi?" tegur Badri.
"Aku merasa tak enak malam ini, Kang," sahut
Sardi seraya mendesah pendek.
"Ada yang kau pikirkan?"
"Entahlah...," desah Sardi.
Kening Badri berkerut melihat Sardi tampak
begitu gelisah. Duduknya pun tak tenang, seperti be-
rada di atas bara api yang setiap saat bisa membakar
sampai jadi arang. Mereka terdiam, tak bicara lagi se-
dikit pun. Perlahan Sardi bangkit berdiri sambil meng-
hembuskan napas panjang. Badri ikut berdiri, dan te-
rus memandanginya dengan kelopak mata agak me-
nyipit.
"Ayo, kita pulang saja, Kakang! Perasaanku se-
makin tak karuan malam ini," ajak Sardi.
"Baiklah," sahut Badri.
Tapi baru saja mereka akan melangkah me-
ninggalkan pohon di pinggir jalan itu, mendadak....
Slap!
"Heh?!"
"Hah...?!"
Kedua orang pengawal kepala desa itu tersen-
tak kaget ketika tiba-tiba saja berkelebat sesosok
bayangan dari balik pohon. Begitu cepatnya kelebatan
itu sehingga tahu-tahu di depan mereka telah berdiri
seseorang yang membuat mata keduanya terbelalak
kaget.
"Kau...?!" tersekat suara Bardi.
Bet!
Belum juga mereka bisa berbuat sesuatu, tiba-
tiba saja orang itu sudah bergerak begitu cepat. Na-
mun, kedua pengawal kepala desa itu cepat menyada

ri. Mereka langsung berlompatan memisah diri meng-
hindari serangan cepat itu.
"Hiyaaa...!"
Baru saja Sardi menjejakkan kakinya di tanah,
orang aneh itu sudah kembali bergerak begitu cepat
bagai kilat. Pada saat itu, terlihat kilatan cahaya kepe-
rakan berkelebatan begitu cepat menuju leher lelaki
bertubuh tegap dan berotot ini. Karena begitu cepat,
Sardi tidak sempat menghindar. Ditambah lagi rasa
keterkejutan dan keseimbangan tubuhnya belum sem-
pat terkuasai. Sehingga....
Crasss!
"Aaakh...!" Sardi menjerit melengking.
Seketika tubuhnya jatuh menggelepar dengan
leher hampir putus. Hanya sebentar Sardi mampu
menggelepar seperti ayam disembelih, sesaat kemudian
sudah mengejang kaku. Lalu, diam tak bergerak-gerak
lagi. Mati.
"Sardi...!" pekik Badri tertahan.
Pada saat yang sama, orang aneh itu sudah
bergerak cepat memutar tubuhnya. Dan kembali kila-
tan cahaya keperakan terlihat berkelebat begitu cepat
"Heh...?! Hups!"
Cepat-cepat Badri melompat ke belakang,
menghindari tebasan senjata yang secepat kilat itu.
Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu mendarat
manis sekali di tanah. Karena begitu ringan hingga tak
menimbulkan suara. Namun, baru saja bisa mengua-
sai keseimbangan tubuhnya, satu serangan secepat ki-
lat kembali meluruk ke tubuhnya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Badri kembali melenting ke udara, dan berpu-
taran beberapa kali. Tapi tanpa diduga sama sekali,
orang aneh itu melesat cepat mengejarnya. Seketika itu
pula tangan kanannya kembali dikibaskan, kemudian

disusul cahaya kilat keperakan berkelebat begitu cepat
mengarah ke dada lelaki bertubuh tinggi tegap itu.
Begitu cepat serangan orang aneh ini, sehingga
membuat Badri yang berada di udara tak sempat me-
lakukan gerakan untuk menghindar. Dan...
Bret!
"Akh...!"
Begkh!
Satu tendangan yang begitu keras mendarat
membuat tubuh Badri terbanting ke tanah. Darah
muncrat dari dadanya yang terbelah, seperti tersabet
pedang. Namun, Badri masih bisa bangkit berdiri,
meskipun terhuyung. Darah semakin banyak mengu-
cur dari dadanya yang terbelah cukup lebar itu.
"Yeaaah...!"
Sebelum, Badri mampu menguasai keseimban-
gan tubuhnya, orang aneh itu sudah meluruk lagi den-
gan kecepatan luar biasa. Sementara, Badri hanya ter-
belalak kaget dengan mulut ternganga.
Bet!
Cras!
Senjata berupa pisau mirip badik di tangan
orang aneh yang ternyata gadis bisu itu menebas ke
leher Badri.
"Aaakh...!"
Kembali terdengar jeritan panjang melengking
tinggi. Sesaat kemudian tubuh Badri limbung. Tubuh-
nya yang berlumuran darah ambruk ke tanah dengan
luka menganga lebar di lehernya. Seketika itu juga, da-
rah menyembur deras sekali dari lehernya.
Sementara, si gadis bisu berdiri tegak meman-
dangi. Sebentar kemudian, tubuhnya melesat secepat
kilat, hingga dalam sekejap mata saja tubuhnya telah
lenyap.
Pada saat itu pula rumah-rumah di sekitar per

tarungan tampak terbuka pintunya. Lampu-lampu
yang tak begitu terang pun terlihat sinarnya menye-
ruak lewat pintu-pintu yang terbuka. Sesaat kemudian
bermunculan para penduduk Desa Kembang Tebu.
Suara pertempuran yang hanya sebentar itu membuat
para penduduk terbangun dari tidur. Mereka bermun-
culan hendak mengetahui keributan yang terjadi
hanya beberapa saat itu. Namun, begitu mengetahui
ada dua orang yang tergeletak di tengah jalan, tak seo-
rang pun yang menghampiri. Terlebih lagi setelah tahu,
siapa yang tergeletak berlumuran darah di tengah ja-
lan.
Sementara tak jauh dari jalan itu, terlihat Nyi
Wulung dan suaminya keluar dari rumah. Tempat per-
tarungan itu memang tak jauh dari rumah mereka.
Sehingga mereka melihat jelas dua orang pengawal ke-
pala desa yang terkapar tak bernyawa dengan keadaan
mengerikan.
"Malapetaka apa lagi ini...?" desah Ki Wulung,
bertanya pada diri sendiri.
"Rupanya sang Hyang Widhi sudah memperli-
hatkan kebesarannya," gumam Nyi Wulung pelan, sea-
kan berkata pada diri sendiri.
Suami istri berusia lima puluh lima tahun itu
segera masuk kembali ke rumahnya. Tak seorang pun
berani mendekati mayat kedua pengawal kepala desa
itu.
Mereka takut kalau-kalau dituduh sebagai
pembunuh, atau akan dianggap mengetahui kejadian
itu. Dengan begitu mereka akan mengalami kesulitan.
Paling tidak akan menghadapi pertanyaan yang justru
dapat memojokkan mereka.
Malam semakin sepi. Angin menghembuskan
hawa dingin dan basah yang menyelimuti Desa Kem-
bang Tebu.

***
Kematian dua orang pengawal Ki Legok Menggo
yang belum diketahui pelakunya, membuat suasana
Desa Kembang Tebu jadi gempar. Semua orang berbi-
cara masalah kematian keduanya. Namun sejauh itu
mereka belum dapat mengetahui siapa pelakunya.
"Bagaimana pendapatmu, Ki? Apakah kau ma-
sih tetap yakin kalau kehadiran dua anak muda itu
membawa berkah...?" Nyi Wulung bertanya sinis pada
suaminya.
Ki Wulung terdiam sambil menghela napas da-
lam-dalam. Matanya menatap lepas ke depan.
"Kok diam? Mana bukti primbonmu...?" sinis
Nyi Wulung, semakin membuat Ki Wulung bertambah
membisu. "Makanya, jangan percaya dengan primbon!"
"Lalu apa menurutmu kejadian ini, Nyi?" tanya
Ki Wulung tiba-tiba. Matanya menatap sang istri yang
kini duduk di dipan panjang dalam rumahnya.
Nyi Wulung menarik napas dalam-dalam. Se-
pertinya wanita berusia lima puluh lima tahun itu ten-
gah memikirkan tentang kejadian-kejadian yang menu-
rutnya berhubungan dengan peristiwa yang menimpa
keluarga Gagar Blarak.
"Kurasa kejadian ini ada hubungannya dengan
pembakaran keluarga Gagar Blarak, Ki."
"Maksudmu, Ki Gagar Blarak hidup lagi?" tanya
Ki Wulung dengan kening berkerut.
"Mungkin."
"Akh!" pekik Ki Wulung tertahan. Matanya me-
mandang lekat wajah istrinya.
"Kau tak percaya, Ki?" tanya Nyi Wulung den-
gan pandangan kurang senang.
"Bukan itu maksudku, Nyi..., Tapi, jelas sekali
kita melihat kejadian itu. Keluarga Gagar Blarak mati

terbakar," gumam Ki Wulung.
"Apa tidak mungkin arwahnya, Ki?"
"Ah! Kau jangan mengada-ada, Nyi."
"Lho, siapa tahu, Ki."
Ki Wulung tersenyum dengan kepala mengge-
leng-geleng mendengar perkataan istrinya. Bagaima-
napun juga, rasanya tak masuk akal kalau manusia
sudah terbakar kini hidup dengan utuh membunuh
dua orang pengawal Ki Legok Menggo.
"Rasanya tidak mungkin, Nyi."
Nyi Wulung menarik napas dalam-dalam. Dia
pun tak tahu siapa yang telah membunuh kedua pen-
gawal kepala desa itu. Dulu, ketika seluruh keluarga
Gagar Blarak mendapat hukuman, hatinya mengata-
kan kalau sebenarnya keluarga itu tidak bersalah. Tapi
dia tak dapat berbuat apa-apa. Dia hanyalah seorang
wanita tua yang terkucil dari semua orang. Para pen-
duduk menganggap dia dan suaminya orang-orang
sinting, tak patut untuk didekati.
"Tapi menurutku, ada sangkut paut antara ke-
jadian semalam dengan peristiwa beberapa tahun yang
lalu, Ki."
Kini gantian Ki Wulung yang terdiam. Dihe-
lanya napas dalam-dalam, seperti ada sesuatu yang
membebani pikirannya. Ki Wulung bangkit dari du-
duknya, melangkah ke kebun yang ada di sekeliling
rumahnya.
"Tangkap dia...!"
Ki Wulung tersentak kaget, ketika tiba-tiba ter-
dengar suara perintah menangkap dirinya. Lelaki tua
itu melihat ke asal suara itu. Seketika matanya terbe-
lalak, ketika melihat beberapa orang warga desa yang
dipimpin jawara Desa Kembang Tebu ini.
Lelaki berusia tiga puluh tahun yang bertubuh
tinggi besar dengan wajah garang itulah yang tadi me

neriakkan perintah penangkapan. Kumisnya melintang
menghias bibirnya. Dan rambutnya yang terurai, beri-
kat kepala kain coklat.
"Ki Wulung, kami diperintahkan untuk me-
nangkapmu!" seru jawara desa itu lantang.
"Menangkapku...?" tanya Ki Wulung dengan
mata menyipit dan kening berkerut.
"Ya!"
"Apa salahku, Ki Majal...?" tanya Ki Wulung.
"Kami tak tahu. Kami hanya menjalankan pe-
rintah menangkapmu!" sahut jawara Desa Kembang
Tebu yang ternyata bernama Ki Majal itu.
"Hm, enak sekali kau berkata! Kalau aku bersa-
lah, aku menuruti kata-katamu. Tapi kalau tidak, jelas
aku menolak! Walaupun Ki Legok Menggo sendiri yang
datang kemari!" dengus Ki Wulung.
"Orang gila! Kami datang dengan menghargai-
mu. Kalau kau tetap bersikeras begitu, jangan salah-
kan jika kami menangkapmu dengan kekerasan!" ben-
tak Ki Majal sengit.
"Hm, kalian orang-orang yang tak tahu adat!
Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba hendak me-
nangkap orang!" dengus Ki Wulung tak mau kalah.
"Kurang ajar...! Tutup mulutmu, Orang Sinting!
Tangkap dia!" perintah Ki Majal sambil menggerakkan
tangan kanannya, memberi isyarat pada warga desa
yang patuh padanya, untuk menangkap Ki Wulung.
Serentak lima orang warga desa yang menjadi
anak buah Ki Majal memburu Ki Wulung. Kelimanya
dengan tangan kosong berusaha menangkap lelaki tua
yang mereka anggap orang sinting.
"Kalian benar-benar iblis!" dengus Ki Wulung
geram. Tubuhnya segera melompat ke samping.
Gusrak!
Kelima warga desa yang memburu Ki Wulung,

seketika tersuruk mencium dipan, ketika mereka me-
lompat hendak menangkap Ki Wulung.
"He he he...! Kuwalat kalian...!" seru Ki Wulung
terkekeh-kekeh, menyaksikan kelima anak buah Ki
Majal harus tumpang tindih karena menubruk angin.
"Orang tua gila! Rupanya kau benar-benar
mencari penyakit! Tangkap dia...! Masa' kalian berlima
harus kalah dengan orang tua peot?!" dengus Ki Majal
marah, menyaksikan kelima anak buahnya diperma-
inkan Ki Wulung.
Kelima warga desa itu segera bangun, meski-
pun merasakan sakit di wajahnya karena mencium di-
pan. Kelimanya kembali merangsek Ki Wulung. Kali ini
mereka bergerak menyebar, mengepung dari lima arah.
"Kuwalat! Kalian akan kuwalat, berani sama
orang tua!" bentak Nyi Wulung yang baru keluar dari
dalam rumahnya. Wanita tua itu nampak sengit, me-
nyaksikan suaminya dikeroyok lima lelaki muda warga
desa.
"Diam kau! Jangan turut campur!" bentak Ki
Majal sambil bergerak cepat mendekati Nyi Wulung.
Kemudian dengan gerakan cepat lelaki berbadan kekar
dan berwajah garang itu menangkap kedua tangan Nyi
Wulung.
"Setan! Lepaskan aku...!" maki Nyi Wulung
sambil berusaha berontak dari pegangan tangan Ki
Majal. Matanya melotot sengit, memandang penuh ke-
bencian.
Ki Majal tak peduli dengan pelototan mata wa-
nita tua itu. Lelaki kekar itu tenis memegangi tangan
Nyi Wulung, malah memelintirnya ke belakang ketika
wanita tua itu berontak. Nyi Wulung pun meringis ke-
sakitan.
"Kurang ajar! Kuwalat kau, Majal!"
"Aku tak peduli! Kau pun harus ditangkap!"

"Cuh! Enak sekali kau berkata, Setan!" maki
Nyi Wulung sambil terus berusaha berontak. Namun
gerakannya lemah karena cengkeraman tangan Ki
Majal begitu kuat
"Ki Wulung! Menyerahlah! Jangan sampai aku
berbuat keji terhadap istrimu!" ancam Ki Majal sambil
mencabut golok dari pinggangnya.
Sret!
Golok tajam itu ditempelkan di leher Nyi Wu-
lung, untuk mengancam Ki Wulung agar menghenti-
kan pertarungannya dengan kelima anak buahnya.
Namun Ki Wulung seperti tak peduli melihat is-
trinya dalam ancaman Ki Majal. Dia terus menggebrak
lima orang lawannya yang menyerang.
"Kalian memang iblis! Sepantasnya kalian di
neraka!" dengus Ki Wulung sambil menggerakkan tan-
gannya, memukul lawan.
Pletak!
"Aduh!"
"Nih bagianmu! Hia...!"
Pletak!
"Aaakh...!"
Pekik kesakitan terdengar ketika sekali gebra-
kan saja Ki Wulung mampu memukul kelima lawan-
nya. Kelima lelaki warga Desa Kembang Tebu itu me-
megangi kepala dan wajah yang terkena pukulan Ki
Wulung.
"Kurang ajar! Kau benar-benar menginginkan
istrimu mati, Orang Tua Gila!" maki Ki Majal sambil
mengayunkan goloknya hendak menghunjamkan ke
perut Nyi Wulung. "Mampuslah istrimu, Orang Tua Gi-
la! Hih...!"
Golok Ki Majal melesat cepat ke dada wanita
tua itu. Hampir saja ujung golok menghunjam dada
Nyi Wulung, ketika tiba-tiba sebuah bayangan berkele
bat cepat mendahului gerakan golok jawara desa itu.
Bret!
"Aaakh...!" Ki Majal terpekik ketika sebuah
benda tajam menyerupai badik menghujam lehernya.
Seketika lehernya yang terkoyak lebar memuncratkan
darah segar. Sesaat kemudian, tubuh jawara Desa
Kembang Tebu itu mengejang lalu roboh tak bernyawa.
Semua mata terbelalak, menyaksikan kejadian
yang begitu cepat. Mereka tak tahu siapa yang telah
melontarkan senjata itu. Hanya bayangan biru kehita-
man yang melesat meninggalkan tempat kejadian itu.
Tak satu pun yang melihat dengan jelas, karena orang
itu cepat gerakannya.
Sementara kelima orang anak buah Ki Majal
kini lari tunggang langgang, menyaksikan pimpinan
mereka telah mati dibunuh seseorang yang belum di-
ketahui.
***
3

Kematian Ki Majal yang tanpa diketahui pela-
kunya, semakin membuat penduduk Desa Kembang
Tebu bingung dan tak mengerti tentang apa sebenar-
nya yang terjadi di desa itu. Orang-orang yang diang-
gap baik, telah ditemukan tewas. Pertama kedua pen-
gawal kepala desa. Lalu menyusul jawara desa. Kema-
tian mereka sama, tergores sebuah benda tajam. Tidak
diketahui siapa pelakunya.
Warga Desa Kembang Tebu kini dilanda kere-
sahan dengan adanya peristiwa-peristiwa pembunuhan
itu. Sejauh ini, para pendekar Desa Kembang Tebu be-
lum mendapatkan jawaban, siapa pelaku pembunuhan

terhadap kedua pengawal kepala desa itu.
Ki Legok Menggo benar-benar dibuat bingung
dengan kejadian-kejadian yang menimpa desanya. Le-
laki tua yang pribadi dan sikapnya selalu tenang itu
tak dapat berbuat apa-apa. Dia memang agak lemah
dalam menghadapi permasalahan di desanya. Hampir
semua tugas lebih banyak dipegang adik sepupunya
yang bernama Ki Soma. Bahkan masalah hukuman
pada Gagar Blarak pun Ki Soma yang memutuskan,
bukan dirinya.
Sore itu, nampak seorang gadis berusia sekitar
lima belas tahun dengan keadaan memelas melangkah
menyelusuri jalanan di Desa Kembang Tebu. Gadis itu
berhenti di depan rumah seorang penduduk yang pin-
tunya terbuka.
"Uhk uhk uhk...!" suara gadis cantik berpa-
kaian biru kehitaman itu, seakan bermaksud menga-
takan sesuatu. Matanya memandang ke sekelilingnya,
seperti ada sesuatu yang sedang dicari.
Dari dalam rumah keluar seorang wanita muda.
Kening wanita berpakaian merah jambu dengan ram-
but digelung ke atas itu mengerut. Matanya meman-
dang ke sekelilingnya, seakan ada sesuatu yang dik-
hawatirkan.
"Masuk," ajaknya setelah melihat sekelilingnya
sepi.
Gadis bisu itu kembali mengedarkan pandan-
gannya ke sekeliling tempat itu. Dan ketika tahu di se-
kelilingnya tak ada orang yang melihat, gadis bisu itu
pun melangkah masuk.
Wanita cantik berpakaian merah jambu segera
menutup pintu rumahnya setelah gadis bisu itu ma-
suk. Kemudian, diajaknya menuju ke sebuah kamar
yang ada di rumah itu.
"Hati-hatilah, jangan sampai orang-orang men

curigaimu, Murni! Dengan terbunuhnya dua orang
pengawal Ki Legok Menggo dan Ki Majal, kini semua
orang waspada. Warga desa kini menuduh Ki Wulung
dan istrinya," ujar wanita cantik berusia sekitar tiga
puluh tahun itu.
"Uhk uhk...!" gadis bisu yang ternyata bernama
Murni menganggukkan kepalanya, pertanda mengerti.
"Kau harus mendapatkan dalang dari semua
kejadian ini. Aku yakin, pasti ada hubungannya den-
gan pembakaran kedua orang tuamu," kembali wanita
cantik yang bernama Suriwarni menegaskan.
"Uhk uhk uhk...!" jawab Murni seraya men-
gangguk-anggukkan kepala. Tangannya digerak-
gerakkan, seakan hendak memberitahukan sesuatu.
Tangannya bergerak dan menempel di keningnya me-
nyilang. Kemudian digerakkan menggaruk-garuk kepa-
lanya dengan mulut nyengir.
"Hm, pemuda gila...," gumam Suriwarni. "Sia-
pakah pemuda gila itu?"
"Uhk uhk uhk...!"
Kembali Murni menggerakkan tangan kanan-
nya, mengatakan kalau dia tidak tahu. Namun dia
berpikir, kalau pemuda gila itu tampaknya bukan pe-
muda sembarangan. Gadis itu menyimpulkan dari pa-
kaian yang dikenakan serta gerakannya yang cepat
dan gesit.
"Hm, aku mengerti. Tak perlu takut, karena
kau bertujuan baik. Kau hendak membuka kedok sia-
pa sebenarnya orang yang telah melakukan semuanya
di desa ini. Biar aku yang akan memberitahukan pe-
muda gila itu jika aku bertemu," kata Suriwarni.
Murni mengangguk-anggukkan kepala dengan
mulut tersenyum. Sepertinya gadis itu merasa senang
atas bantuan Suriwarni selama ini. Telah lima tahun
lebih dirinya dibantu dan diasuh Suriwarni. Bahkan

nyawanya pun diselamatkan Suriwarni yang dalam
dunia persilatan dikenal dengan julukan Bayangan Bi-
dadari.
"Uhk uhk uhk...!"
"Ya, ya.... Tak usah kau pikirkan. Aku meno-
longmu dengan tulus. Kau harus bisa menunjukkan
kebenaran yang ada. Aku yakin, ada sesuatu yang tak
beres di desa ini."
Selesai menjura, gadis bisu itu pun melangkah
meninggalkan rumah Suriwarni untuk meneruskan
penyelidikannya guna membuka tabir yang menyeli-
muti Desa Kembang Tebu.
***
Kematian kedua pengawalnya dan seorang ja-
waranya, menyebabkan Ki Legok Menggo sedih. Lelaki
berusia lima puluh tahunan itu termenung memikir-
kan kejadian-kejadian yang terjadi di desanya. Orang
yang dianggap sebagai momok kejahatan di Desa Kem-
bang Tebu telah disingkirkannya. Namun kini muncul
lagi orang lain yang sepak terjangnya melebih Ki Gagar
Blarak.
"Hhh...!" desah Ki Legok Menggo yang duduk di
kursinya seorang diri. Pikirannya tak lepas dari peris-
tiwa yang baru saja terjadi, kematian Ki Majal. "Kalau
begitu, kurasa bukan Ki Wulung dan istrinya. Lalu
siapa...?"
Ki Legok Menggo masih termangu di kursinya,
mencoba menerka-nerka siapa pelaku dari pembunu-
han-pembunuhan yang dalam sehari telah memakan
tiga korban.
Tengah Ki Legok Menggo termangu di atas kur-
sinya, dari luar nampak seorang lelaki masuk.
"Ada apa, Soma?" tanya Ki Legok Menggo, me

noleh ke adik sepupunya yang bernama Ki Soma.
Lelaki berwajah agak pucat dengan kumis tipis,
berpakaian kuning lengan panjang itu menghela na-
pas, lalu duduk di hadapan Ki Legok Menggo. Wajah-
nya yang pucat dengan mata agak sipit menggambar-
kan kemurungan. Sepertinya merasakan duka atas
kematian tiga orang tangan kanan Ki Legok Menggo.
"Kulihat wajahmu murung, ada apa...?" kembali
Ki Legok Menggo bertanya. Matanya menatap lekat wa-
jah adik sepupunya yang tampak gelisah, hingga beru-
langkali membetulkan duduknya.
"Aku khawatir dengan keselamatanmu, Ka-
kang," sahut Ki Soma.
Ki Legok Menggo tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala.
"Apa yang kau khawatirkan, Soma?" tanya Ki
Legok Menggo penuh kesabaran. Senyumnya masih
mengembang di bibir, seakan pasrah dengan apa yang
terjadi. "Kau mengkhawatirkan aku dibunuh orang
aneh itu?"
"Benar, Kakang. Dan kurasa orang itu telah ki-
ta kenali."
"Siapa...?"
"Ki Wulung."
"Ah! Jangan asal menuduh, Soma! Apakah kau
melihat buktinya...?" tanya Ki Legok Menggo berusaha
mengingatkan adik sepupunya. Lelaki tua itu bangkit
berdiri dari duduknya, lalu melangkah menuju jendela.
"Rasanya sulit kalau kita menuduh orang aneh itu. La-
gi pula, bukankah kau begitu akrab dengannya? Men-
gapa kini malah menuduh dia?"
Ki Soma terdiam, tapi wajahnya masih meng-
gambarkan kegelisahan. Tampaknya ada sesuatu yang
sedang dipikirkannya.
"Tapi dilihat dari gerak-geriknya yang aneh, ku

rasa dialah orangnya, Kakang. Atau setidaknya dia
mengenai orang yang telah menolong dirinya tadi pagi,"
tukas Ki Soma berusaha meyakinkan kakak sepu-
punya.
Ki Legok Menggo menghela napas dalam-dalam.
Tubuhnya berbalik, kembali menatap wajah Ki Soma.
"Kau yakin itu, Soma?" tanya Ki Legok Menggo
menegaskan.
"Ya! Mana ada orang yang menolong tanpa pa-
mrih dan tidak saling kenal?" Ki Soma balik bertanya.
"Hanya pendekar saja yang berbuat begitu."
"Mungkin pembunuh yang belum kita ketahui
itu pendekar, Soma."
Ki Soma tersenyum sinis, kemudian mengge-
leng-gelengkan kepala. Sementara Ki Legok Menggo
terdiam. Pikirannya kembali dilanda seribu macam
pertanyaan mengenai ucapan adik sepupunya itu.
"Benar juga katamu, Soma. Hm, tapi apakah
mungkin Ki Wulung mempunyai niat buruk seperti
itu...?" tanya Ki Legok Menggo.
"Mengapa tidak? Dalamnya laut bisa diduga,
Kang. Tapi dalamnya hati, kita tak tahu."
Ki Legok Menggo termangu-mangu mendengar
ucapan adik sepupunya. Seakan apa yang dikatakan
adik sepupunya disetujuinya.
"Lalu apa rencanamu, Soma?"
"Hm...," gumam Ki Soma tak jelas. Matanya
memandang lepas ke pintu, seakan tengah memikirkan
jalan apa yang sepantasnya dia lakukan untuk lang-
kah selanjutnya. "Kalau Kakang memberi izin, bagai-
mana jika para pendekar di desa ini mencari Ki Wu-
lung dan istrinya, yang tiba-tiba menghilang semenjak
terbunuh-nya Ki Majal?"
Sejenak Ki Legok Menggo terdiam. Tangannya
menopang dagu. Kakinya melangkah menuju meja

tempat adik sepupunya masih duduk sambil terse-
nyum. Sepertinya merasa yakin kalau apa yang diren-
canakan akan terlaksana.
"Hhh...!" Ki Legok Menggo menarik kursinya,
duduk di hadapan Ki Soma yang masih sabar me-
nunggu keputusan kakak sepupunya. "Kalau memang
itu yang kau anggap baik untuk mengatasi semuanya,
aku setuju saja."
"Beres, Kakang. Di tanganku, semua akan
beres. Kakang tinggal menunggu hasilnya," kata Ki
Soma berusaha meyakinkan hati kakak sepupunya.
"Ya, ya.,.. Aku percaya dengan gagasanmu, So-
ma...," sambut Ki Legok Menggo sambil tersenyum. Le-
laki tua itu merasa, setiap urusan yang ditangani Ki
Soma selalu cepat beres. Hal itu telah dibuktikan den-
gan tertangkapnya Gagar Blarak, karena dianggap se-
bagai biang keladi dari kejadian yang banyak memba-
wa korban.
"Hua ha ha...! Selama aku berada di samping-
mu, tak akan ada orang yang berani usil menggang-
gumu, Kakang! Bukan begitu...?" tanya Ki Soma sambil
tertawa tergelak-gelak. Ki Legok Menggo pun turut ter-
tawa senang mendengar ucapan adik sepupunya itu.
"Ya ya...! Kau memang benar, Soma. Selama
kau ada di sampingku, kedudukanku tak akan mung-
kin tergeser oleh orang-orang yang bermaksud jahat.
Tak percuma sejak kecil kau ku asuh," tukas Ki Legok
Menggo turut senang.
"Baiklah, Kakang. Aku permisi dulu untuk
mengundang mereka."
Setelah menjura hormat pada Ki Legok Menggo,
Ki Soma pun melangkah meninggalkan tempat itu.
Namun, baru saja beberapa tindak Ki Soma melang-
kah, tiba-tiba....
Swing! Swing!

"Awas, Kakang!" pekik Ki Soma sambil melent-
ing dan bersalto, mengelakkan serangan-serangan ge-
lap yang melesat ke tubuhnya.
Jlep, jlep!
"Aaakh...!
"Wuaaa...!"
Dua orang penjaga rumah Ki Legok Menggo ter-
pekik keras ketika senjata-senjata rahasia itu mener-
jang tubuh mereka.
Ki Soma dan Ki Legok Menggo dengan gesit
mengelak. Sehingga senjata-senjata rahasia itu melesat
di atas kepala dan bawah kaki mereka lalu menghun-
jam di dinding rumah Ki Legok Menggo.
Jlep, jlep...!
"Kurang ajar!" maki Ki Soma gusar. Dengan ce-
pat lelaki itu memburu keluar mencari asal datangnya
senjata-senjata rahasia itu. Namun sesampainya di
luar, dia tidak menemukan siapa-siapa. Yang dapat di-
lihatnya hanya dua orang penjaga rumah Ki Legok
Menggo yang tergeletak mati dengan leher terhunjam
senjata-senjata berbentuk pisau kecil berwarna putih.
Dengan wajah merengut, Ki Soma kembali ma-
suk menemui kakak sepupunya.
"Kau temui?" tanya Ki Legok Menggo.
"Setan! Dia begitu cepat berlalu," dengus Ki
Soma. Matanya menatap tajam dua pisau kecil yang
menancap di dinding. Di gagang pisau kecil itu terda-
pat lipatan surat.
Ki Soma menggeram sengit. Dengan penuh ke-
bencian, dihampirinya pisau-pisau kecil itu. Kemudian
dicobanya untuk mencabut pisau kecil yang terdapat
surat di gagangnya.
"Hih!"
Mata Ki Soma terbelalak, ketika mencabut pi-
sau-pisau kecil itu. Ternyata pisau itu cukup kuat dan

menancap dalam. Sehingga Ki Soma harus mengerah-
kan tenaganya untuk dapat mencabut pisau itu.
"Setan alas! Keras sekali pisau ini!" dengus Ki
Soma sambil kembali berusaha mencabut pisau kecil
yang menancap di dinding rumah.
"Hhh...!"
Prut!
Hampir saja tubuh Ki Soma terjengkang, ketika
pisau dapat dicabutnya dari dinding. Diamatinya pisau
kecil itu, kemudian dibukanya lipatan surat yang ada
di gagang pisau.
"Kau kenal siapa pemilik pisau-pisau ini, Ka-
kang?" tanya Ki Soma sambil menyerahkan pisau kecil
dan surat yang telah dibuka dari gagang pisau.
"Entahlah," sahut Ki Legok Menggo.
Dibukanya lipatan surat, kemudian dengan ha-
ti-hati dibacanya isi surat itu. Seketika mata Ki Legok
Menggo membelalak, ketika membaca tulisan di daun
lontar itu.
Ki Legok Menggo, kalau kau memang tak becus
memimpin, kuharap kau pergi saja dari Desa Kembang
Tebu. Biar aku yang menggantikan mu. Kau tak ada ar-
tinya sama sekali di desa ini!
Ki Wulung.
"Kurang ajar! Rupanya tua bangka itu benar-
benar ingin membuat keonaran di desa ini, Kakang!"
geram Ki Soma.
Ki Legok Menggo terdiam. Tatapan matanya ko-
song. Meskipun surat itu ditujukan pada dirinya, dan
jelas merupakan hinaan yang menyakitkan, tapi dia
tak dapat berbuat apa-apa. Dia belum bisa menentu-
kan jalan apa yang harus dilakukan untuk menangga-
pi isi surat itu.

"Kakang, kita tak boleh diam saja! Jelas dia be-
nar-benar menantangmu. Sebagai seorang adik, aku
tak bisa membiarkan hinaan yang pahit ini," Ki Soma
masih terus menggeram sengit. Tangannya mengepal
dengan gigi-gigi bergemerutuk menahan amarah.
"Hhh...," desah Ki Legok Menggo lirih. Diku-
lumnya bibir dalam-dalam. Kakinya melangkah menu-
ju pintu rumahnya. Dilihatnya dua sosok penjaga ru-
mahnya tewas dengan keadaan yang mengenaskan. Di
leher mereka, terhunjam pisau-pisau kecil berwarna
keperakan.
"Jelas yang dimaksud adalah Kakang. Mengapa
Kakang masih diam?" desak Ki Soma, mengharap Ki
Legok Menggo segera memutuskan untuk menghadapi
hinaan itu. "Kalau Kakang tak ambil tindakan, berarti
tak khawatir kedudukan Kakang akan tergoyah oleh-
nya. Kakang harus ingat, bagaimana susahnya dulu
Kakang mendapatkan kedudukan ini!"
Ki Soma terus mendesak kakak sepupunya
agar segera mengambil keputusan untuk melakukan
tindakan.
"Kini semua sudah jelas, pasti Ki Wulung
orangnya. Mengapa mesti bingung? Kita harus sece-
patnya menangkap Ki Wulung!" tegas Ki Soma berapi-
api. Matanya berkilat, karena terbakar amarah yang
me-luap-luap.
"Baiklah, Soma. Kini kuserahkan semua pada-
mu," akhirnya Ki Legok Menggo membuat keputusan.
"Perintahkan pada para pendekar Kembang Tebu un-
tuk menangkap Ki Wulung. Cari dia sampai dapat!"
"Baik, Kakang."
Ki Soma pun segera beranjak meninggalkan
rumah Ki Legok Menggo.
Tidak lama kemudian, terdengar suara kenton-
gan memberi isyarat agar warga Desa Kembang Tebu
berkumpul.
"Ada apa, ya?" tanya seorang lelaki berusia se-
kitar empat puluh tahun dengan tubuh gemuk pada
rekannya.
"Mana aku tahu. Yang jelas kita harus segera
berkumpul di rumah Ki Legok Menggo," sahut lelaki
bertubuh kurus dan berkumis lebat.
Berbondong-bondong warga Desa Kembang Te-
bu menuju rumah Ki Legok Menggo. Di wajah mereka
tergurat ketidak mengertian akan apa yang terjadi. Su-
dah tiga kali ini mereka diperintahkan kumpul di ru-
mah Ki Legok Menggo.
"Mungkin ada yang menjadi korban lagi," gu-
mam seorang lelaki berkepala botak.
"Iya! Kemarin juga begitu," sambung lelaki ber-
tubuh pendek.
"Kematian kok seperti pisang goreng saja," gu-
mam lelaki bertubuh tinggi dan berwajah garang. "Ka-
lau memang tak becus memimpin, bukankah lebih
baik menyerahkan saja kekuasaannya."
Dari langkah para warga Desa Kembang Tebu
terdengar gerutuan beberapa orang. Tampaknya mere-
ka merasa terganggu. Ketenangan yang selama ini di-
rasakan, tiba-tiba harus mendengar ribut-ribut ten-
tang pembunuhan. Meskipun begitu akhirnya mereka
berkumpul di halaman luas depan rumah Ki Legok
Menggo.
Tidak begitu lama, Ki Legok Menggo keluar me-
nyambut warga desa yang berdatangan ke rumahnya,
setelah mendengar suara kentongan dipukul. Wajah
mereka menggambarkan ketidakmengertian serta keti-
daksenangan atas undangan yang beruntun selama
beberapa hari ini.
"Ada apa lagi, Ki Legok Menggo?" tanya lelaki
bertubuh tinggi tegap dengan suara lantang. "Hampir

setiap hari kami diundang. Dan hampir setiap hari
kami dengar kematian. Sampai kapan keributan ini
akan terjadi?!"
"Tenang, Saudara! Aku tahu perasaan kalian.
Aku pun sebenarnya tak menghendaki lagi ada pem-
bunuhan. Tapi, semua terjadi begitu mendadak, tanpa
seorang pun yang tahu. Dan sore ini pun kembali dua
orangku mati. Namun, kini aku telah mengetahui siapa
sebenarnya pelaku dari bencana ini..."
"Siapa...?!"
"Katakan saja, Ki!"
"Biar kami cari!"
"Hukum gantung...!"
Teriakan warga desa yang memang sudah jemu
dan marah dengan kejadian-kejadian itu semakin ra-
mai dan keras. Halaman rumah Ki Legok Menggo be-
rubah hiruk-pikuk. Para warga Desa Kembang Tebu
semakin tidak sabar untuk mengetahui pelaku tindak
kekejian itu.
"Dengar semua! Orang yang telah berusaha me-
rongrong kedudukan Kakang Legok tak lain Ki Wu-
lung...!" seru Ki Soma, dari arah belakang penduduk.
"Dia malah telah berani mengirim surat hinaan pada
Kakang Legok! Ini suratnya...!"
Serentak warga desa membalikkan tubuh me-
natap Ki Soma yang menunjukkan surat itu. Seketika
itu, para warga yang marah berteriak-teriak semakin
garang.
"Cari dia!"
"Pancung kepalanya!"
***
4

Malam datang menyelimuti bumi, membawa
suasana berbeda dari biasanya. Suasana yang penuh
misteri di tengah kegelapan yang menyelubungi bumi.
Suasana yang terasa lebih mencekam dan menyeram-
kan.
Suara angin yang menerpa dedaunan, serta su-
ara binatang malam, seperti mengalunkan tembang-
tembang aneh yang membuat tubuh merinding. Mem-
bawakan syair-syair yang mengiris jiwa. Bulan sabit
pun mengintip di balik awan, sepertinya enggan me-
nampakkan wujudnya.
Malam itu Desa Kembang Tebu bagaikan mati.
Tak seorang manusia pun yang masih berada di luar
rumah dalam malam gelap dan sunyi itu. Sepertinya
penduduk Desa Kembang Tebu telah terlelap dalam ti-
dur. Begitu pula yang dirasakan Ki Rumbayung, salah
seorang pendekar Desa Kembang Tebu yang malam itu
tak mampu memejamkan matanya.
Ki Rumbayung merasakan kegelisahan yang
mencekam, setelah tadi sore dia mendapatkan sebuah
tanda yang aneh. Ketika dia sedang duduk-duduk di
serambi depan rumahnya, tiba-tiba sebilah pisau belati
kecil melesat ke arahnya. Hampir saja pisau belati itu
mengenai lehernya, kalau saja Ki Rumbayung tak sege-
ra berkelit ke samping dengan cepat.
Ki Rumbayung pun melompat bangun dan be-
rusaha mengejar pelaku yang telah melemparkan pi-
sau kecil itu. Namun dalam sekejap saja, pelaku telah
menghilang entah ke mana. Tinggal Ki Rumbayung
seorang diri yang menggerutu marah.
Dengan masih bersungut-sungut, lelaki berusia
empat puluh tahun dan bertubuh gemuk itu melang

kah ke serambi rumahnya di mana pisau kecil itu be-
rada. Lelaki gemuk berambut bergelombang sebatas
bahu itu segera mencabut pisau kecil yang menghun-
jam di dinding papan rumahnya.
Ketika Ki Rumbayung membuka lipatan kertas
di gagang pisau, matanya membelalak. Di lipatan itu,
tertera gambar silang merah.
Ki Rumbayung benar-benar tak mengerti, siapa
sebenarnya pelempar pisau kecil itu. Dia juga tak
mengerti apa maksud dari tanda silang merah itu.
Ki Rumbayung masih nampak gelisah. Hatinya
tak tenang setelah mendapatkan isyarat silang merah.
Lelaki berusia hampir setengah baya itu berjalan mon-
dar-mandir di kamarnya. Sesekali terdengar tarikan
nafasnya panjang-panjang, dengan hembusannya yang
terasa berat. Ketika kegelisahan masih mendera ji-
wanya, tiba-tiba....
Brak!
"Hei?!"
Ki Rumbayung tersentak kaget, ketika terden-
gar sesuatu jatuh. Mata Ki Rumbayung menyapu ke
sekelilingnya dengan pandangan tajam. Tangannya
siap untuk menyerang jika terjadi sesuatu yang tak
terduga.
Wrrr...!
Sebuah senjata melesat cepat ke arah Ki Rum-
bayung. Cepat-cepat lelaki gemuk berpakaian ungu itu
melompat ke samping, mengelakkan serangan gelap
itu.
"Uts!"
Wrrr!
Jlep!
"Kurang ajar! Siapa kau...?!" bentak Ki Rum-
bayung geram. Cepat-cepat dia melompat ke jendela,
berusaha melihat siapa yang tadi menyerangnya. Na

mun belum juga sampai, tiba-tiba sebuah bayangan
biru kehitam-hitaman telah mendahului masuk ke
kamar dengan cepat dan langsung menyerang Ki Rum-
bayung.
Wuttt!
"Uts! Setan alas! Siapa kau...?!" bentak Ki
Rumbayung sambil mengelakkan serangan yang da-
tangnya secara mendadak dan cepat itu. Tubuhnya
dimiringkan ke samping, kemudian dengan tubuh agak
rendah Ki Rumbayung berusaha membalas serangan
lawan.
Srt!
Tangan Ki Rumbayung menarik pedang yang
tersampir di pundaknya, setelah serangan balasannya
dapat dielakkan lawan. Dengan jurus 'Sempalan Ka-
rang', Ki Rumbayung bergerak menyerang lawan. Pu-
kulan tangannya menimbulkan suara menderu dari
angin yang menyertainya.
"Heaaa...!"
"Uhk uhk uhk!"
Wanita berpakaian biru kehitam-hitaman itu
tampaknya masih muda, tapi tak bisa berbicara.
Hanya gerakan-gerakan anggota tubuhnya memberi
isyarat yang mengatakan kalau Ki Rumbayung harus
bersiap untuk mati.
Ki Rumbayung tersentak kaget, lalu menyurut
mundur ke samping dengan mata tajam menatap gadis
bertubuh agak bungkuk. Kini gadis itu berada di de-
pannya dan berkata dengan bahasa isyarat kalau lelaki
di depannya harus mati.
"Siapa kau?! Rupanya kau bisu, Bocah. Apa
maksudmu mengatakan aku harus mati?!" bentak Ki
Rumbayung bersikap waspada. Pedang telah siap di
tangan kanannya.
"Uuuhk...!"

Gadis bisu berusia sekitar lima belas tahun
berpakaian kumal dan tubuh agak bungkuk itu melo-
long panjang. Kemudian dengan cepat tubuhnya berge-
rak menyerang Ki Rumbayung. Gadis itu menggeng-
gam sebilah pisau yang menyerupai badik panjang dan
tajam. Pisau itu dibabatkan ke leher Ki Rumbayung
dengan cepat.
Wut..!
"Hiaaa...!"
Ki Rumbayung tersentak kaget menyaksikan
kecepatan serangan gadis bisu itu. Dengan cepat Ki
Rumbayung melompat ke samping, kemudian dengan
cepat pula melancarkan serangan.
"Hop! Yeaaa...!"
Ki Rumbayung terus bergerak meliukkan tubuh
dengan sesekali balas menyerang. Pedangnya bergerak
cepat, membabat ke tubuh lawan yang gencar melaku-
kan serangan. Namun lawan yang bertubuh bungkuk
itu sangat gesit. Sehingga sulit bagi Ki Rumbayung un-
tuk dapat menempatkan serangannya pada sasaran
yang tepat.
Dengan jurus 'Buaya Memburu Lawan' gadis
bisu itu terus merangsek Ki Rumbayung. Serangan-
serangannya datang begitu cepat. Sehingga Ki Rum-
bayung pun kewalahan.
"Heaaa...!"
"Ukh!"
Gadis bisu dan bungkuk yang mengenakan pa-
kaian biru kehitam-hitaman itu semakin mengganas.
Dia melompat cepat. menerjang ke arah Ki Rum-
bayung. Begitu cepat gerakannya, hingga membuat Ki
Rumbayung tersentak kaget.
Edan! Bocah semuda ini memiliki ilmu yang
tinggi. Hm, siapa sebenarnya bocah bisu ini? Dan
mengapa dia menyerangku? Tanya Ki Rumbayung da

lam hati sambil bergerak ke samping dengan disertai
liukan tubuhnya, mengelakkan sabetan pisau dan
hantaman tangan kiri gadis bisu itu.
"Uts! Hih...!"
Begitu lepas dari serangan, Ki Rumbayung se-
gera melepaskan satu jotosan keras ke tubuh lawan.
Disusul dengan tebasan pedangnya yang tak kalah ce-
pat, memburu gadis bisu yang dengan ringan bergerak
ke samping dan melompat ke belakang.
"Uhk uhk...!"
Gadis bisu itu bersalto dua kali di udara. Ke-
mudian dengan enteng, tubuhnya melayang di udara.
Bersamaan dengan itu tangannya menghantam ke
arah Ki Rumbayung. Hal itu membuat Ki Rumbayung
tersentak kaget. Cepat-cepat lelaki tua itu memapaki
pukulan lawan dengan tangan kirinya.
Plak!
"Uhk!"
"Hup! Uts...!"
Ki Rumbayung membelalakkan mata, meman-
dang tajam gadis bisu di hadapannya dengan kening
berkerut. Tubuhnya terhuyung ke belakang, setelah
berbenturan dengan tangan gadis itu. Dia tak me-
nyangka kalau gadis semuda itu ternyata mampu
mengimbangi tenaga dalam yang dimilikinya.
"Uuu...!" gadis itu melolong panjang. Matanya
menatap tajam Ki Rumbayung. Seolah-olah ada sesua-
tu yang tersimpan pada sorot matanya.
"Siapa kau sebenarnya, Bocah?! Mengapa da-
tang-datang menyerangku...?" tanya Ki Rumbayung.
"Uuu...!"
Gadis bisu bertubuh bungkuk itu menggerak-
kan tangannya, seperti hendak memberitahukan siapa
dirinya. Ditunjuk dengan telunjuk tangannya, kalau
dirinya semata-mata untuk mencari pembunuh orang

tuanya dan membalas dendam atas kematian kedua
orangtuanya.
"Siapa nama orangtuamu, Bocah?!" bentak Ki
Rumbayung.
"Uuu...!" gadis bisu itu kembali menggerak-
gerakkan tangannya, mengatakan bahwa kedua orang-
tuanya tak lain yang dulu dibakar Ki Rumbayung ber-
sama para pendekar Desa Kembang Tebu lainnya.
"Heh...?! Kau anak Gagar Blarak...?"
"Uuu...!" seru gadis bisu itu sambil mengang-
guk-anggukkan kepalanya. Kemudian dengan cepat
gadis itu kembali menyerang Ki Rumbayung. Gerakan
yang dilakukan begitu cepat. Sabetan dan pukulannya
mengandung tenaga dalam tinggi, membuat Ki Rum-
bayung terpaksa berjumpalitan untuk dapat menge-
lakkan serangan gencar itu.
"Hups! Heaaa...!"
"Uhk...!"
Wut!
Pertarungan di dalam kamar yang cukup luas
itu tak terelakkan lagi. Keduanya saling serang dengan
jurus-jurus andalan mereka.
Gerakan gadis bisu itu sangat cepat, menyerang
ke seluruh bagian tubuh Ki Rumbayung. Tangan ka-
nannya yang memegang pisau mirip badik, bergerak ke
leher lelaki setengah baya itu.
Wut!
Trang!
"Hih!"
Begitu mendapat kesempatan, dengan jurus
'Gelombang Pasang' Ki Rumbayung segera menyerang
lawan. Tubuhnya melenting ke udara laksana gelom-
bang, kemudian menukik ke bawah dengan pedang
siap menusuk kepala lawan.
"Yeaaa...!"

Wuttt!
"Uuu...!"
Gadis bisu yang melihat serangan lawan segera
menggeser kakinya dua tindak ke belakang. Lalu den-
gan cepat senjatanya yang mirip badik dibabatkan,
memapak serangan Ki Rumbayung.
"Uuu...!"
"Heaaa...!"
Trang!
Ki Rumbayung dengan cepat menarik pedang-
nya. Lalu dengan cepat pula dia bergerak ke belakang
tubuh lawan. Kakinya digerakkan menendang ke arah
punggung lawan.
"Heaaa!"
Gadis bisu itu tersentak kaget, dia berusaha
berbalik dan memapaki serangan lawannya. Namun
ternyata tendangan Ki Rumbayung lebih cepat, hing-
ga...
Degk!
"Uuukh...!"
Gadis bisu itu terpekik keras, tubuhnya ter-
huyung ke depan hampir mencium tanah. Untung sa-
ja, keseimbangannya dapat dikuasai, hingga tidak te-
rus meluncur. Tubuhnya berbalik, menatap bengis pa-
da Ki Rumbayung.
"Uuu...!"
Setelah melolong panjang, gadis bertubuh
bungkuk itu dengan cepat kembali menyerang. Pisau
yang menyerupai badik di tangannya bergerak cepat,
membabat ke leher lelaki setengah baya itu.
Ki Rumbayung tersentak kaget. Pedangnya se-
gera digerakkan untuk mengimbangi serangan yang di-
lancarkan gadis itu. Sesekali tangan dan kakinya ber-
gerak memukul dan menendang ke dada dan perut la-
wan.

"Yeaaa...!"
"Uuu...!"
Trang!
Tangan Ki Rumbayung bergetar hebat, ketika
beradu dengan senjata di tangan si gadis bisu. Mata Ki
Rumbayung membelalak lebar, memandang dengan te-
gang ke arah gadis bisu yang juga menatap wajahnya
penuh kebencian.
"Uuu...!"
Gadis bisu itu melolong panjang, kemudian
kembali menyerang Ki Rumbayung. Tangan kanannya
yang memegang senjata mirip badik bergerak ke leher
Ki Rumbayung. Sedangkan tangan kirinya kini melan-
carkan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga da-
lam begitu kuat.
"Uuu...!"
Wut!
"Heit! Edan...!" maki Ki Rumbayung, sambil
bergerak mengelak ke samping. Sehingga pukulan la-
wan yang mengandung tenaga dalam tinggi lewat bebe-
rapa jari di samping tubuhnya.
Gadis bisu yang merasa serangannya dapat di-
elakkan lawan nampak semakin beringas. Serangan
yang dilakukannya semakin cepat dan menggunakan
tenaga dalam tinggi. Sedangkan tangan kanannya ber-
gerak menyabetkan senjata ke leher lawan
Wut!
"Ikh!" Ki Rumbayung tersentak kaget, tak me-
nyangka kalau serangan lawan begitu cepat. Dengan
cepat Ki Rumbayung melompat ke belakang, menge-
lakkan sabetan senjata lawan. Namun, rupanya gadis
bisu itu bagaikan tak mau memberikan harapan dan
kesempatan pada lelaki setengah baya itu. Dia kembali
memburu ke arah Ki Rumbayung dengan cepat.
"Uuu...!"

Wut! Wut!
Gadis bisu bertubuh bungkuk yang mengaku
anak Gagar Blarak itu semakin beringas menyerang.
Gerakannya liar, sulit untuk diterka ke arah mana dia
menyerang. Hal itu cukup membuat Ki Rumbayung
kewalahan. Lelaki berusia setengah baya itu harus ber-
jumpalitan ke sana kemari untuk dapat menghindari
sabetan dan pukulan lawan.
"Eits! Heaaa...!"
Baru saja Ki Rumbayung mengelakkan seran-
gan, tiba-tiba tangan gadis itu merogoh sesuatu dari
balik pakaiannya. Kemudian dengan cepat tangan ki-
rinya dikibaskan. Saat itu juga....
Swing! Swing!
Lima bilah pisau kecil berwarna perak melesat
dari tangannya. Ki Rumbayung kaget melihat benda-
benda meluncur ke tubuhnya.
"Hup!"
Dengan cepat Ki Rumbayung bergerak. Tubuh-
nya melenting, mengelakkan pisau-pisau kecil itu.
Tangannya mengebutkan pedangnya.
Trang! Trang!
Jlep!
"Akh...!" Ki Rumbayung terpekik ketika pa-
hanya terhunjam sebilah pisau kecil yang dilemparkan
gadis bisu itu. Mulutnya meringis menahan rasa sakit.
"Uuu...!"
Gadis bisu itu melolong panjang. Kemudian
tanpa menghiraukan Ki Rumbayung yang menahan
rasa sakit, tangannya berkelebat menyerang dengan
sabetan senjata berupa pisau mirip badik ke leher Ki
Rumbayung.
Wret!
Cras!
"Aaa...!" Ki Rumbayung menjerit dengan leher
hampir putus. Darah langsung muncrat. Sesaat Ki
Rumbayung meregang, kemudian ambruk tanpa nya-
wa.
"Uuu...!" gadis bisu itu melolong panjang. Se-
saat kemudian tubuhnya melesat meninggalkan tem-
pat itu, menembus kegelapan malam yang sunyi men-
cekam.
***
5

Ki Soma dan para pengikutnya yang tengah
mengejar Ki Wulung bersama istrinya, kini telah sam-
pai di Hutan Waradas. Hutan ini terletak di sebelah
barat Desa Kembang Tebu. Sejauh itu, mereka belum
menemukan jejak lelaki tua yang dianggap sebagai
orang tak waras. Juga dianggap teman dari orang yang
telah membunuh dua orang pengawal Ki Legok Menggo
dan seorang jawara Desa Kembang Tebu.
"Hm.... Menurut petunjuk warga, Ki Wulung
dan istrinya lari ke hutan ini," gumam Ki Soma.
"Benar, Ki," sahut Ki Kalawuku, seorang lelaki
berusia sekitar tiga puluh tahun bertubuh kekar den-
gan sorot mata tajam. Rambutnya terurai lepas, den-
gan ikat kepala kain merah. Lelaki ini juga jawara Desa
Kembang Tebu
"Sebaiknya kita bagi dua saja! Sebagian ikut
aku, dan sebagian lagi ikut kau," usul Ki Soma.
"Baiklah," sahut Ki Kalawuku.
Setelah dibagi, kedua kelompok yang masing-
masing dipimpin Ki Soma dan Ki Kalawuku menyebar.
Satu ke arah selatan sedangkan yang satunya lagi ke
arah utara.

Dengan diikuti sepuluh orang. Ki Kalawuku
menerobos hutan. Namun tiba-tiba langkah kakinya
terhenti, ketika telinganya mendengar suara gelak tawa
dari dalam hutan. Kening Ki Kalawuku berkerut dalam
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian. Mengapa kalian
harus lari-lari seperti dikejar setan? Hua ha ha...!"
"Hei, sepertinya ada orang di dalam hutan ini,
selain Ki Wulung dan istrinya," gumam Ki Kalawuku.
"Didengar dari suaranya, tentunya orang yang
tertawa itu masih muda. Suaranya aneh, seperti orang
gila saja."
Ki Kalawuku menggerakkan tangan kanannya
memberi perintah pada sepuluh anak buahnya untuk
menerobos masuk dan melihat siapa pemuda yang se-
perti orang gila itu.
Mata Ki Kalawuku dan kesepuluh pengikutnya
terbelalak, ketika melihat seorang pemuda berpakaian
rompi kulit ular tengah tertawa tergelak gelak. Di ha-
dapannya duduk dengan kaki ditekuk Ki Wulung ber-
sama istrinya.
"Hua ha ha...! Orang-orang aneh," gumam pe-
muda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Sena
sambil menggaruk-garuk kepala. "Kalau kalian tak sa-
lah, mengapa mesti lari?"
"Sungguh. Tuan. Kami tak salah.... Kami tak
tahu apa-apa dengan kejadian di desa kami," jawab Ki
Wulung dengan kepala menengadah, menatap wajah
Pendekar Gila yang masih cengengesan.
"Bagus! Rupanya kalian ada di sini! Kami cari-
cari, akhirnya kami temukan juga...!"
Tiba-tiba Sena dikejutkan oleh suara bentakan
dari utara. Cepat Sena memandang ke asal suara itu.
Nampaklah seorang lelaki tinggi tegap berkumis melin-
tang diikuti sepuluh orang penduduk desa.
"Aha, siapa lagi kalian?" tanya Sena masih den

gan gerik-geriknya yang seperti orang gila. Tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nyengir
kuda.
"Bocah edan! Seharusnya kami yang bertanya,
bukan kau?!" bentak Ki Kalawuku. "Siapa kau dan dari
mana kau serta hendak apa kau ke desa kami?"
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki? Hua ha ha...!"
Sena tertawa tergelak-gelak sambil berjingkrakan se-
perti kera.
Sementara Ki Wulung dan istrinya bertambah
tegang, menyaksikan kedatangan Ki Kalawuku dan ke-
sepuluh pengikutnya. Mereka menyadari, kalau Ki Ka-
lawuku dan kesepuluh orang itu tentu akan menang-
kapnya.
Menghadapi sepuluh orang warga Desa Kem-
bang Tebu dan Ki Kalawuku, mungkin Ki Wulung ma-
sih sanggup. Tapi jika pemuda bertingkah laku seperti
orang gila itu ikut membantu, mungkin Ki Wulung
akan kelabakan juga.
"Tuan, sungguh kami tak tahu masalahnya."
ujar Ki Wulung mengharap pengertian Pendekar Gila.
Sena tertawa terbahak-bahak.
"Aha, aku tak tahu apa yang tengah terjadi
dengan kalian. Tapi baiklah, kurasa ada baiknya kita
ngobrol. Hi hi hi...," Sena tertawa cekikikan. "Namaku
Sena, aku hanya ingin lewat di desa kalian."
"Aku tak peduli siapa dirimu. Aku hanya ingin
menangkap kedua orang itu!" bentak Ki Kalawuku.
"Serahkan kedua orang tua itu, kemudian kuharap
kau cepat pergi dari tempat ini!"
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak menden-
gar ucapan Ki Kalawuku. Tangannya kembali mengga-
ruk-garuk kepala. Dengan mulut nyengir, matanya
memandang ke langit.
"Aha, sungguh berartikah kedua orang tua ini

bagi kalian?" tanya Sena.
"Ya! Keduanya harus kami tangkap!"
"Hi hi hi...! Enak sekali kalian hendak menang-
kap orang! Ah ah ah.... Apakah kalian punya bukti
yang memberatkan mereka bersalah?" tanya Sena.
"Ya! Keduanya bersekutu dengan orang yang te-
lah membuat keonaran di desa kami," tukas Ki Kala-
wuku.
Pendekar Gila menatap wajah Ki Wulung yang
masih terdiam di belakangnya.
"Aha, benarkah itu, Ki?" tanya Sena.
"Tidak! Kami tak tahu apa-apa dengan masalah
itu," jawab Ki Wulung.
"Aha, lalu apa yang sebenarnya terjadi?"
"Desa kami akhir-akhir ini diteror seseorang
yang telah membunuh beberapa orang," tutur Ki Kala-
wuku menjelaskan.
"Hi hi.hi..! Apakah kedua orang tua ini orang
baru di desa kalian...?" tanya Sena.
"Kami lama di desa itu, Tuan. Malah sebelum
mereka datang, kami telah lebih dulu tinggal di Desa
Kembang Tebu," selak Nyi Wulung.
"Hm, aneh...! Kurasa keduanya tak salah, Ki.
Mengapa kalian memburu mereka?" tanya Sena.
"Huh, bagaimanapun juga, kami tak mungkin
dibohongi olehmu, Orang Tua Gila! Bukankah pembu-
nuh gelap itu selalu menolongmu?!" dengus Ki Kala-
wuku gusar. "Dan kuminta padamu, Bocah. Jangan
ikut campur urusan kami!"
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak men-
dengar ancaman Ki Kalawuku. Tingkah lakunya yang
seperti orang gila, semakin menjadi-jadi. Ki Kalawuku
yang tak sabar kian bertambah jengkel.
"Tangkap kedua orang tua itu...!" perintah Ki
Kalawuku pada kesepuluh anak buahnya yang seren

tak maju hendak menangkap Ki Wulung dan istrinya.
Melihat kesepuluh anak buah Ki Kalawuku ma-
ju hendak menangkap Ki Wulung, Pendekar Gila yang
melihat kalau kedua orang tua itu tampaknya tak ber-
salah, segera menghadang mereka.
"Aha, mengapa kalian berbuat seenaknya sen-
diri? Kurasa kalian telah salah sangka...."
"Tutup mulutmu, Bocah Edan!" bentak Ki Ka-
lawuku. Kemudian pandangannya beralih pada anak
buahnya. "Dialah yang telah membuat desa kita terce-
kam ketakutan. Mungkin pemuda itulah pelaku pem-
bunuhan itu! Serang dia...!"
"Yeaaa...!"
"Hiaaa...!"
Dengan golok-golok terhunus, sepuluh pengi-
kut Ki Kalawuku segera merangsek maju, bermaksud
menangkap Pendekar Gila dan kedua suami istri itu.
"Aha, rupanya kalian benar-benar berkepala
batu! Baik.... Mari kita main-main. Yeaaa...!"
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat',
Sena segera memapaki serangan sepuluh anak buah
Ki Kalawuku. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari,
dengan sesekali disertai tepukan tangan ke dada la-
wan.
Merasa ada yang membela, Ki Wulung pun tak
mau tinggal diam. Lelaki tua itu segera bergerak guna
menghadapi sepuluh anak buah Ki Kalawuku.
"Yeaaa...!"
"Kurang ajar! Rupanya kalian mencari mam-
pus!" dengus Ki Kalawuku gusar. Dengan pedang siap
di tangan, Ki Kalawuku melesat menyerang Ki Wulung.
"Terimalah kematianmu, Tua Bangka!"
Wut!
"Uts! Hup...!".
Ki Wulung memiringkan tubuhnya ke kanan,

mengelakkan serangan yang dilancarkan Ki Kalawuku.
Kakinya diangkat dengan lutut menekuk. Kemudian
dengan keras dihantamkan ke pinggang lawan.
"Hih!"
Ki Kalawuku segera menarik serangannya dan
melompat ke belakang dengan cepat. Kemudian den-
gan cepat pula dia kembali menyerang. Pedang di tan-
gannya bergerak cepat menggunakan jurus ‘Walang
Jaga Turi’ membabat dan menusuk tubuh lawan
Wut!
"Heaaa...!"
Melihat serangan lawan disertai tenaga dalam
yang cukup tinggi, Ki Wulung pun lebih berwaspada.
Kakinya segera menjejak ke samping, berlompatan se-
bentar kemudian kembali menyerang dengan jurus
‘Lurung Merangsek Mencakar Lawan’. Gerakannya se-
perti seekor lutung. Tangannya membuat cengkeraman
kuat dan memburu Ki Kalawuku.
"Hiaaa...!"
Tangan kanan Ki Wulung maju mencengkeram
ke wajah lawannya dengan cepat, disusul dengan sa-
puan kaki kanannya yang menendang ke kaki lawan.
Wrrrt!
Di pihak lain, Pendekar Gila yang menghadapi
keroyokan sepuluh anak buah Ki Kalawuku nampak
tenang. Gerakan Sena tampak baru sekadar untuk
memapak dan bertahan, belum mulai melancarkan se-
rangan. Tepukan-tepukan tangannya tidak sekuat se-
perti biasanya.
"Hi hi hi...! Hua ha ha...!"
Pendekar Gila tertawa-tawa sambil tubuhnya
meliuk-liuk. Sesekali tangannya merenggut pakaian
lawan, kemudian menggaruk-garuk kepalanya. Setelah
itu tubuhnya melenting dan berjumpalitan seraya
menggaruk-garuk pantat

Suasana Hutan Waradas seketika menjadi riuh
oleh jeritan dan pekikan dari mulut mereka yang me-
lakukan serangan. Banyak pepohonan kecil tumbang
terinjak dan terbabat senjata tajam.
***
"Hi hi hi...! Kalian memang lucu dan aneh.
Mengapa kalian kebingungan? Nih untuk kalian...!" se-
ru Sena sambil menunggingkan pantatnya ke arah la-
wan-lawannya. Lalu dari mulutnya terdengar suara se-
perti kentut
Brut...!
"Hi hi hi! Enak bukan?!"
"Setan alas! Jangan biarkan pemuda gila itu lo-
los! Serang dia...!" seru Ki Kalawuku sambil melesat
menyerang Ki Wulung dengan babatan pedangnya
yang cepat.
Serentak sepuluh orang anak buah Ki Kalawu-
ku merangsek maju, membabat Pendekar Gila dengan
golok terhunus. Serangan datang dari segenap penjuru
dan secara bersamaan.
"Ku rencah tubuhmu, Bocah!"
"Kubikin sate tubuhmu. Hih...!"
Pendekar Gila dengan tertawa-tawa segera me-
lentingkan tubuh ke udara, lalu dengan cepat tangan-
nya menjitak kepala orang-orang yang menyerangnya.
Pletak!
"Aduh!"
"Hi hi hi...! Enak bukan?" Sena terus bergerak,
menjitaki kepala mereka. Tubuhnya berkelebat melent-
ing ke atas, bersalto, dan kembali menjitaki kepala la-
wan.
Pletak!
"Akh!"

Jeritan kesakitan seketika terdengar susul-
menyusul dari mulut kesepuluh orang yang menyerang
Pendekar Gila. Bagaikan ayam terkena penyakit, mere-
ka berputar-putar dengan tangan memegangi kepala
yang terasa sakit dan benjol akibat jitakan tangan
Pendekar Gila.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kalian. Dunia seperti
berputar, bukan?! Hua ha ha...!" Sena tertawa terge-
lak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala, menyaksi-
kan kesepuluh pengeroyoknya memegangi kepala se-
perti orang ayan.
"Waduh! Tolong...!"
Sementara itu, Ki Wulung melakukan serangan
gencar. Jurus-jurus lutungnya sangat cepat. Kini den-
gan jurus 'Lutung Berayun Menendang Lawan', Ki Wu-
lung melenting ke atas, kedua kakinya bergerak me-
nendang.
"Heaaa...!"
Wrt!
"Ups! Hup! Hih...!"
Ki Kalawuku segera berkelit dengan membuang
tubuh ke samping kiri. Kemudian dengan cepat pula
pedangnya dibabatkan ke atas, terarah ke tubuh Ki
Wulung yang berada di atasnya.
Wut!
Pedang Ki Kalawuku begitu cepat membabat ke
arah Ki Wulung. Rasanya sulit bagi laki-laki tua itu
untuk dapat mengelakkan babatan pedang Ki Kalawu-
ku.
"Mampuslah kau, Ki!"
Ki Wulung berusaha mempercepat lentingan
tubuhnya agar dapat lepas dari sabetan pedang lawan.
Namun gerakannya terasa sulit, karena pedang di tan-
gan Ki Kalawuku lebih cepat membabat ke segala arah.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba....

Trang!
"Ukh!"
Ki Kalawuku mengeluh. Tubuhnya terhuyung
ke belakang dengan mulut meringis menahan sakit.
Matanya terbelalak, menatap penuh kemarahan pada
Pendekar Gila yang tertawa tergelak-gelak sambil
menggaruk-garuk kepala. Di tangan Pendekar Gila te-
lah tergenggam Suling Naga Sakti. Suling itulah yang
tadi digunakan untuk menangkis pedang Ki Kalawuku
yang hampir saja membunuh Ki Wulung.
"Aha, kau kira dirimu tak lebih keji dari si
pembunuh itu, Ki?! Kurasa tak seimbang jika kau
menggunakan pedang, sedangkan lawanmu tangan
kosong," kata Sena.
"Cuih! Jangan banyak omong! Kalau kau me-
mang ingin membelanya, kau pun boleh menghadapi-
ku!" dengus Ki Kalawuku dengan gusar. Matanya melo-
tot penuh amarah. Nafasnya memburu, bagaikan ban-
teng terluka.
"Hi hi hi...! Lucu sekali ucapanmu, Ki. Aha, kau
terlalu sombong karena kehebatanmu. Sayang, aku tak
ada waktu untuk menerima tantanganmu. Mari Ki,
Nyi...!" ajak Sena pada Ki Wulung dan istrinya.
"Kurang ajar! Berani kau menghinaku, Bocah
Edan! Anak-anak. serang dia dan jangan biarkan hi-
dup...!" perintah Ki Kalawuku yang sudah marah.
Kesepuluh anak buahnya serentak menyerang
kembali, walau hati mereka telah ciut setelah menda-
pat jitakan Pendekar Gila.
"Heaaat...!"
Merasa tak sempat memberi nasihat pada
orang-orang Desa Kembang Tebu, Pendekar Gila segera
memerintah Ki Wulung dan istrinya pergi dari tempat
itu.
"Kalian pergilah dulu, nanti aku menyusul!

Kerbau-kerbau dungu itu memang harus dibereskan.
Hua ha ha...!" sambil tertawa tergelak-gelak, Pendekar
Gila melesat cepat, memapaki sepuluh anak buah Ki
Kalawuku yang menyerangnya.
Namun, belum sampai Pendekar Gila mengha-
dang mereka, tiba-tiba....
Swing! Swing...!
Jlep! Jlep...!
Puluhan pisau kecil tiba-tiba melesat cepat
menghunjam di tubuh sepuluh pengikut Ki Kalawuku.
Hal itu membuat Pendekar Gila dan Ki Kalawuku ter-
sentak kaget. Keduanya dengan cepat melompat men-
gelakkan serangan gelap itu.
Kesepuluh anak buah Ki Kalawuku menggele-
par bagaikan ayam disembelih. Pisau-pisau kecil tajam
itu menghajar leher dan dada mereka. Sesaat tubuh
mereka meregang, kemudian ambruk tanpa nyawa.
"Hups! Setan alas!" maki Ki Kalawuku sambil
berjumpalitan menghindari serangan-serangan gelap
yang entah dari mana asalnya.
Pisau-pisau kecil itu melesat di bawah kaki Ki
Kalawuku, lalu menghunjam di pepohonan.
Jlep, jlep...!
"Huh! Aneh sekali. Sepertinya ada seseorang
yang berusaha membungkam mereka," gumam Sena
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya
memandang Ki Wulung dan istrinya yang tiba-tiba te-
lah lenyap. "Hei, mereka menghilang!"
"Kini kau telah jelas, bukan?! Masihkah kau tak
percaya dengan kata-kataku, Bocah Edan!" bentak Ki
Kalawuku jengkel, merasa Pendekar Gila penyebab da-
ri kegagalannya menangkap Ki Wulung dan istrinya.
"Aha, jangan cepat marah, Ki. Kurasa ada se-
suatu yang menjadi teka-teki. Lihat, ada surat yang
menempel di gagang belati," tunjuk Sena.

Ki Kalawuku menghampiri pisau-pisau kecil
yang tertancap pada batang pohon. Dia segera berusa-
ha mencabut salah satu pisau yang di gagangnya ter-
dapat surat
"Wih!" Ki Kalawuku harus mengerahkan tenaga
untuk bisa mencabut pisau itu, karena pisau itu me-
nancap dalam di pohon. Namun yang dapat diambilnya
hanya gulungan daun lontar berisikan surat
Ki Kalawuku segera membukanya, kemudian
dengan mata membelalak dibacanya isi surat itu.
Hati-hatilah! Kalian dalam ancaman bahaya.
Ki Kalawuku mengerutkan kening ketika mem-
baca baris pertama, begitu pula dengan Pendekar Gila.
Keduanya saling pandang, tak mengerti maksud se-
sungguhnya pengirim surat itu.
"Hei, apa maksudnya?" tanya Ki Kalawuku se-
perti ditujukan pada diri sendiri.
"Hm...," Sena menggumam tak jelas. "Aha, ku-
rasa dia bermaksud baik. Bacalah lagi yang lainnya."
Ki Kalawuku yang semula benci pada Pendekar
Gila segera menurut membaca tulisan di surat itu. Ma-
ta Ki Kalawuku semakin membelalak, ketika kembali
membaca isi surat itu.
Jika kalian ingin tahu siapa aku, teruslah berja-
lan ke barat. Hati-hati, karena bahaya tengah mengintai
kalian. Khususnya para pendekar di Desa Kembang
Tebu.
Ki Kalawuku benar-benar heran membaca tuli-
san itu. Ditatapnya Pendekar Gila yang masih cen-
gengesan, sepertinya mengerti semua yang terjadi. Dan
ketika lebih dalam lagi Ki Kalawuku mengamati pemu

da gila itu, seketika tuduhannya hilang.
Pemuda gila! Gumam Ki Kalawuku dalam hati.
Hm, siapakah pemuda ini? Mungkinkah dia yang ber-
juluk Pendekar Gila?
"Hi hi hi...! Aneh sekali! Masih ada juga orang
yang baik hati pada para pendekar, khususnya pende-
kar di Desa Kembang Tebu," gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Anak muda, kaukah yang berjuluk Pendekar
Gila?" tanya Ki Kalawuku.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa dengan mulut nyen-
gir. "Namaku Sena, Ki. Hi hi hi...! Hanya orang-orang
saja yang menyebutku gila. Ah, memang aku gila."
Terbelalak mata Ki Kalawuku mendengar pe-
muda bertingkah laku gila itu. Kini hatinya yakin, ka-
lau Sena memang orang yang dijuluki Pendekar Gila.
"Pendekar Gila, kurasa kau mengerti apa mak-
sud tulisan ini. Bagaimana pendapatmu...?" tanya Ki
Kalawuku.
"Hi hi hi...! Aha, mudah saja. Mengapa tak kita
ikuti sarannya? Bukankah dengan begitu kita akan ta-
hu siapa orang yang telah mengirim surat itu?"
Sesaat Ki Kalawuku terdiam. Sepertinya dia
tengah memahami kata-kata dalam tulisan itu. Kalau
memang benar bahwa para pendekar Desa Kembang
Tebu dalam ancaman, berarti ada orang-orang yang
sengaja hendak menghancurkan Desa Kembang Tebu.
Gumam Ki Kalawuku dalam hati. Siapakah, dan apa
tujuan orang itu membuat keonaran di Desa Kembang
Tebu?
"Baiklah, Pendekar Gila. Mari kita ikuti apa
kemauannya!" ajak Ki Kalawuku kemudian.
"Aha, kurasa ada baiknya begitu," sahut Sena
dengan mulut cengengesan dan tangan menggaruk-
garuk kepala.
"Ayolah! Kita harus segera tahu siapa sebenar-
nya orang yang mengirim berita ini!" ajak Ki Kalawuku.
"Aha, bagaimana dengan mayat-mayat itu?"
tanya Sena, seraya menunjuk sepuluh anak buah Ki
Kalawuku.
"Biarkan saja," sahut Ki Kalawuku.
Keduanya segera melesat cepat meninggalkan
Hutan Waradas menuju arah barat, sesuai petunjuk
yang diberikan pembunuh gelap itu.
***
6

Setelah tidak mendapatkan orang yang dica-
rinya, Ki Soma dan orang-orangnya kembali ke desa.
Mereka nampaknya tak berminat untuk meneruskan
pencariannya. Apalagi setelah mereka menemukan ke-
sepuluh mayat anak buah Ki Kalawuku di tengah hu-
tan. Ditambah lagi hilangnya Ki Kalawuku yang entah
ke mana, semakin membuat warga desa pengikut Ki
Soma ciut nyalinya.
Ki Soma akhirnya memutuskan kembali ke De-
sa Kembang Tebu yang letaknya tak jauh dengan Hu-
tan Waradas. Bahkan tepi hutan itu berdekatan den-
gan batas Desa Karang Tebu.
"Setan alas! Rupanya ada yang bermaksud
menggagalkan rencana kita, Diajeng...," dengus Ki So-
ma sambil melangkah mondar-mandir di depan is-
trinya yang masih duduk di atas pembaringan. Mata
Nyi Writampi tak lepas menatap suaminya yang tam-
pak gelisah serta marah.
Malam itu Ki Soma benar-benar marah, karena

akhir-akhir ini terdengar kabar ada dua orang anak
muda aneh. Yang satu seorang pemuda dengan ting-
kah laku gila, sedangkan lainnya seorang gadis bisu
dengan tingkah laku seperti gembel serta berbadan
bungkuk
"Siapakah, Kakang?" tanya wanita cantik beru-
sia sekitar empat puluh tahun dengan rambut sasak
lebar.
"Entahlah. Ada orang yang selalu mendahului
setiap maksud kita. Dia seorang gadis muda bertubuh
bungkuk," jawab Ki Soma masih menunjukkan wajah
penuh amarah. "Sepertinya dia selalu tahu apa yang
bakal kita rencanakan."
Nyi Writampi terdiam, hanya matanya saja yang
masih memandang lekat ke arah suaminya. Wajah wa-
nita itu pun melukiskan ketegangan, mendengar penu-
turan suaminya. Bibirnya digigit, seakan turut mera-
sakan kejengkelan suaminya.
"Kalau begini terus-menerus, bisa-bisa rencana
kita terbongkar, Diajeng," tukas Ki Soma cemas.
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
Ki Soma terdiam, melangkah ke jendela kamar-
nya. Perlahan dibukanya jendela kamar, lalu ditatap-
nya rembulan yang tergantung di langit. Bulan itu
membentuk sabit, dengan cahaya redup.
"Malam ini mungkin akan leluasa kita bergerak,
Diajeng. Kita harus segera menyelesaikan semuanya
dengan cepat, sebelum orang-orang mengetahui," gu-
mam Ki Soma sambil menoleh dan menatap istrinya
yang masih duduk di atas tempat tidur. "Kita harus se-
cepatnya menyingkirkan Kakang Legok Menggo yang
dungu dan tak bisa apa-apa."
"Tapi, Kakang...."
"Ada apa, Diajeng? Kau sepertinya merasa ra-
gu...?"

"Benar, Kakang. Apakah jika kita terburu-buru
tak akan membuat orang curiga? Bukankah lebih baik
kita menggunakan Srindi lebih dahulu? Dengan begitu,
orang tentu tak akan menyangka kalau kitalah pelaku
semuanya," saran Nyi Writampi.
Ki Soma tersenyum mendengar saran istrinya.
Kemudian dengan mengangguk-anggukkan kepala, is-
trinya dihampiri.
"Kau benar, Diajeng. Srindi memang telah ba-
nyak membantu kita. Dan orang-orang menyangka ka-
lau pelaku semuanya adalah orang lain. Hm, benar!
Sekarang ini, memang dialah yang pantas untuk me-
nyingkirkan satu persatu para pendekar di Desa Kem-
bang Tebu ini. Dengan begitu, orang akan menyangka
ini pembalasan arwah keluarga Gagar Blarak," ujar Ki
Soma dengan bibir semakin tersenyum lebar.
"Apakah malam ini pun dia akan kita utus, Ka-
kang?"
"Ya! Malam ini giliran Anggastra. Bukankah ta-
di sore telah diberikan tanda silang merah?" tanya Ki
Soma.
"Benar, Kakang."
"Hm, semua orang akan semakin kebingungan.
Dan jika semua warga telah tak percaya lagi pada Ka-
kang Lenggok Menggo, maka akulah yang akan meng-
gantikan kedudukannya," gumam Ki Soma senang.
"Kalau begitu, kita harus menghubunginya,"
ujar Nyi Writampi.
"Ya. Cepatlah!"
Nyi Writampi mengendap-endap meninggalkan
rumahnya lewat pintu belakang untuk menghubungi
Srindi.
***
Malam sudah jatuh menyelimuti Desa Kembang
Tebu. Kesunyian begitu terasa di desa ini. Tak seorang
pun yang terlihat di luar. Dan rumah-rumah tampak
tertutup rapat pintu dan jendelanya. Hanya cahaya re-
dup dari pelita kecil yang terlihat dari kisi-kisi pintu
dan jendela setiap rumah. Namun, keadaan terang-
benderang terlihat di rumah Ki Anggastra. Bahkan be-
berapa obor terpancang di setiap sudut halaman ru-
mahnya. Suasana rumah Ki Anggastra seperti tengah
mengadakan suatu pesta, tapi hanya para pendekar
yang tampak di sana.
Sementara di dalam salah satu kamar, Ki Ang-
gastra belum juga bisa merebahkan tubuhnya. Hatinya
gelisah, setelah menerima tanda silang merah sore ta-
di. Ketika dia tengah duduk-duduk di serambi, tiba-
tiba melesat ke arahnya sebilah pisau kecil dengan ga-
gang terdapat ikatan daun lontar. Hampir saja pisau
itu membunuhnya, kalau Ki Anggastra tak cepat ber-
gerak mengelak. Ki Anggastra membuka lipatan daun
lontar yang ada di gagang pisau. Ternyata daun lontar
itu bergambar tanda silang merah!
Ki Anggastra tak tahu isyarat apa tanda silang
merah itu. Tapi malam ini dia benar-benar gelisah, ber-
jalan mondar-mandir di dalam kamar. Beberapa kali
terdengar tarikan nafasnya yang panjang, disertai
hembusan napas yang terasa begitu berat.
"Hhh...!"
Bruk!
"Heh...?!"
Tiba-tiba saja Ki Anggastra tersentak kaget, ke-
tika mendengar suara seperti orang terjatuh. Cepat-
cepat lelaki berusia empat puluh tahun dan bercam-
bang le-bat itu melompat ke jendela kamarnya. Tapi
belum juga sampai, mendadak sesosok bayangan biru
berkelebat cepat memasuki kamar melalui jendela yang

terbuka lebar.
"Heii...!"
Hampir saja Ki Anggastra terlanda bayangan bi-
ru itu, kalau saja tak cepat-cepat melompat ke bela-
kang. Dua kali lelaki itu berputar di udara. Lalu den-
gan manis sekali mendarat di lantai yang keras dan li-
cin. Saat itu, seorang bertubuh ramping sudah berdiri
membelakangi jendela. Seluruh tubuhnya tertutup ba-
ju biru yang ketat. Sementara seluruh kepalanya juga
terselubung kain biru pekat. Hanya dua lubang kecil
pada matanya yang terlihat.
"Siapa kau...?" bentak Ki Anggastra. Tangan
kanan Ki Anggastra cepat menyambar pedang yang
tergeletak di atas meja, tak jauh di sebelah kanan. Be-
gitu teraih, pedang itu cepat dipindahkannya ke tan-
gan kiri. Sedangkan orang bertubuh ramping yang
mengenakan pakaian biru tetap berdiri tegap, tak ber-
geming sedikit pun. Dari dua lubang di bagian mata,
terlihat sorot matanya yang begitu tajam, menusuk
langsung ke bola mata pendekar Desa Kembang Tebu
ini. Dari bentuk tubuhnya sudah dapat dipastikan ka-
lau dia seorang wanita.
"Uuu...!" wanita itu berseru. Tiba-tiba saja wa-
nita berbaju biru yang ternyata bisu itu melompat se-
cepat kilat, menerjang Ki Anggastra. Begitu cepat gera-
kannya, sehingga membuat Ki Anggastra terhenyak se-
saat. Namun, dengan cepat pula lelaki setengah baya
itu melompat ke samping, sambil meliukkan tubuhnya,
menghindari pukulan yang melayang cepat itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu lepas dari serangan, Ki Anggastra cepat
melepaskan satu tendangan keras menggeledek, den-
gan tubuh agak miring ke kiri. Tendangannya yang be-
gitu cepat, mengarah langsung ke dada wanita ini.
"Uuu...!"

Tanpa diduga sama sekali, wanita bisu berbaju
biru itu malah menghentakkan tangan kirinya, mema-
pak tendangan Ki Anggastra. Hingga tak pelak lagi,
tangan dan kaki itu beradu keras.
Plak!
"Uuu...!"
"Hup!"
Ki Anggastra terpekik kecil. Lalu dengan cepat
dia melompat beberapa langkah ke belakang. Sedang-
kan wanita bisu itu juga cepat melompat beberapa kali
ke belakang. Mereka kini kembali berdiri saling berha-
dapan, berjarak beberapa langkah.
"Hiyaaa...!"
"Uuu...!"
Wanita berpakaian biru kembali melompat me-
nyerang dengan kecepatan luar biasa. Beberapa puku-
lan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi, dilepaskan secara beruntun. Akibatnya, Ki Ang-
gastra terpaksa berjumpalitan menghindarinya. Maka
pertarungan di dalam kamar yang cukup luas ini pun
tak terelakkan lagi.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Uuu...!"
Begitu memiliki kesempatan, Ki Anggastra ce-
pat melenting ke udara. Lalu, cepat sekali tangannya
mengibas ke kepala wanita yang terselubung kain biru
dengan jurus 'Tepisan Dewa Mengebut Angin'. Dengan
gerakan kepala yang begitu manis, wanita bisu itu
mampu mengelakkan sambaran tangan lawan.
"Yeaaa...!"
"Uuu...!"
Dengan gerakan yang tak terduga dan cepat, Ki
Anggastra memutar tubuhnya. Dan secepat itu pula di-
lepaskannya satu tendangan keras menggeledek den-
gan tubuh berputar cepat. Begitu cepatnya serangan
yang dilakukan Pendekar Kembang Tebu ini, sehing-
ga....
Begk!
"Uuukh...!"
Wanita bisu itu terpekik keras agak tertahan.
Tendangan yang mendarat tepat di dadanya begitu ke-
ras, membuatnya terpental deras ke belakang. Lonta-
ran tubuhnya baru berhenti ketika menghantam dind-
ing kamar, hingga bergetar hendak roboh.
Brak!
Wanita bisu itu cepat menguasai diri dan kem-
bali berdiri tegak, sambil memegangi dada yang terke-
na tendangan keras lawan. Matanya menyorot tajam ke
arah Ki Anggastra.
***
"Hiyaaa...!" Ki Anggastra langsung melompat
menyerang, sambil mengayunkan pedangnya dengan
jurus 'Gelar Babat Yudha'.
"Hih! Yeaaah...!" Wanita bisu itu segera menca-
but senjata badiknya. Kemudian secepat kilat dike-
butkannya untuk menangkis sabetan pedang lawan.
Trang! Terdengar dua senjata berbenturan.
"Hiyaaa...!"
"Uuu...!"
Ki Anggastra langsung melompat menyerang,
sambil mengayunkan pedangnya yang tergenggam di
tangan kanan. Dan secepat itu pula pedangnya dike-
butkan ke arah kepala wanita aneh berbaju biru itu
dengan jurus 'Gelar Babat Yudha'.
"Hih! Yeaaah...!"
"Uuu...!"
Wanita bisu itu segera mencabut senjatanya
yang berupa pisau menyerupai badik dari pinggang-
nya. Kemudian secepat kilat dikebutkannya untuk
menangkis sabetan pedang lawan.
Trang!
"Akh!"
Ki Anggastra tersentak kaget setengah mati.
Cepat-cepat pedangnya ditarik, lalu melompat ke bela-
kang beberapa langkah. Hampir dia tak percaya den-
gan apa yang terjadi barusan. Senjata menyerupai ba-
dik kecil di tangan gadis itu ternyata mampu menahan
pedangnya yang besar dan kuat. Bahkan tangannya
tadi sampai tergetar hebat.
"Hap!"
"Uuu...!"
Ki Anggastra cepat menyilangkan pedangnya di
depan dada. Perlahan kakinya bergeser beberapa lang-
kah ke samping. Kemudian cepat sekali tangan kirinya

bergerak mengebut ke depan. Saat itu juga, terlihat
beberapa benda bulat berwarna putih melesat cepat
dari tangan kiri Ki Anggastra.
"Hup!"
"Uuu...!"
Bersamaan dengan lompatan wanita berpa-
kaian biru dalam menghindari senjata-senjata rahasia
itu, Ki Anggastra sudah lebih cepat lagi melesat ke
udara. Dan secepat kilat pula pedangnya dibabatkan
ke lambung lawan. Tapi, wanita bungkuk itu cepat
menarik tubuhnya ke belakang. Sehingga tubuhnya
agak ter-bungkuk. Dan pada saat itu, Ki Anggastra
mengibaskan tangan kirinya menyambar kepala lawan.
Bret!
"Ukh...!"
Wanita bungkuk itu terpekik, ketika kain biru
penyelubung kepalanya terampas tangan kiri Ki Ang-
gastra. Cepat-cepat tubuhnya meluruk ke bawah sam-
bil berputaran beberapa kali. Tampak di balik selu-
bung, seraut wajah yang sangat menyeramkan. Tepat
pada saat kaki wanita itu menjejak lantai, Ki Anggastra
juga mendarat manis sekali. Namun saat itu juga ma-
tanya terbelalak tegang.
"Kau...?!"
"Uuu!"
Bet!
Begitu cepat dan tiba-tiba wanita itu memba-
batkan senjatanya yang berupa pisau menyerupai ba-
dik ke leher Ki Anggastra. Sehingga....
Cras!
"Aaakh...!"
Ki Anggastra terpekik keras. Darah langsung
muncrat dari lehernya. Hanya sebentar Ki Anggastra
masih bisa berdiri, kemudian tubuhnya limbung dan
ambruk menggelepar di lantai kamarnya. Lalu tak ber
kutik. Mati!
"Uuu...!"
Slap!
Sambil meninggalkan suara lengkingan yang
mengerikan, wanita berpakaian biru itu melesat cepat
meninggalkan kamar melalui jendela yang masih ter-
buka. Begitu cepat kelebatannya, hingga dalam seke-
jap tubuhnya telah menghilang ditelan kegelapan ma-
lam.
***
7

Pendekar Gila dan Ki Kalawuku yang mengikuti
petunjuk dari seseorang penyerang gelap, akhirnya
menemui tempat yang mereka tuju. Sebuah gubuk be-
sar yang terletak di balik Bukit Candra Buana. Jarak
antara bukit itu dengan Desa Kembang Tebu sebenar-
nya tak terlalu jauh. Namun karena keadaannya sulit
untuk dicapai, menjadikan gubuk itu seperti tak per-
nah dikunjungi orang.
"Hm.... Nampaknya gubuk itulah tempatnya,"
gumam Ki Kalawuku.
"Aha, benar katamu, Ki. Aneh sekali, ada gubuk
di balik bukit. Hi hi hi...!" tawa Sena memecah kesu-
nyian pagi itu.
"Ayo kita ke sana!" ajak Ki Kalawuku.
Keduanya dengan berlari-lari kecil menuju gu-
buk besar itu. Mereka harus menaiki bukit itu, agar
dapat leluasa melihat ke sekeliling kaki bukit, tempat
gubuk besar itu berada.
"Aha, indah sekali suasana di sini!" gumam Se-
na sambil menggaruk-garuk kepala.

"Ya! Bukit ini indah, tapi tak seorang pun yang
datang ke tempat ini," gumam Ki Kalawuku. "Seper-
tinya ada sesuatu yang tersembunyi di balik keindahan
bukit ini."
Pendekar Gila cengengesan sambil masih
menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu pandang
ke bawah bukit, ke sekitar tempat gubuk itu berada.
Dari dalam gubuk besar itu tiba-tiba muncul Ki
Wulung dan istrinya yang langsung memandang ke
atas bukit di mana Pendekar Gila dan Ki Kalawuku be-
rada.
"Aha, mereka ada di sini!" seru Sena.
"Hm, rupanya benar dugaanku, kalau Ki Wu-
lung dan istrinya mengenal pembunuh gelap itu," gu-
mam Ki Kalawuku. "Tapi apa maksud orang itu me-
manggil kita ke tempat ini?"
"Hi hi hi...! Apakah tak sebaiknya kita turun?"
ajak Sena.
"Ya ya, mari!"
Keduanya segera melompat ke bawah dan tahu-
tahu telah berdiri di hadapan Ki Wulung dan istrinya
yang tersenyum. Suami istri itu sepertinya tak takut
lagi menghadapi Ki Kalawuku.
"Selamat datang di tempat ini!" sapa Ki Wulung
dengan bibir tersenyum dan menjura hormat.
"Aha, di manakah orang yang mengundang ka-
mi, Ki?" tanya Sena dengan tingkah lakunya yang ko-
nyol persis orang gila. Tangannya menggaruk-garuk
kepala. Sedangkan mulutnya masih cengengesan.
Dari dalam gubuk itu seketika keluar seorang
wanita cantik diikuti gadis berusia sekitar lima belas
tahun. Pendekar Gila mengerutkan kening melihat ga-
dis berpakaian kumal dan bertubuh bungkuk itu.
"Aha, kita bertemu lagi!" seru Sena. "Tak ku-
sangka, kalau akhirnya kita bertemu di sini."

"Selamat datang di gubuk kami, Pendekar Gila!"
sapa wanita cantik berusia sekitar tiga puluh tahun
perpakaian kuning yang tak lain Suriwarni.
"Uuu uuu...!"
Gadis bisu yang bertubuh bungkuk dan berpa-
kaian biru kehitaman itu menggerak-gerakkan tan-
gannya, seperti hendak menyapa Pendekar Gila dan Ki
Kalawuku.
"Terima kasih, Nini. Ada apa sebenarnya kami
dipanggil ke tempatmu?" tanya Ki Kalawuku.
"Masuklah dahulu! Kita bicara di dalam saja,"
ajak Suriwarni sambil merentangkan tangan kanannya
mempersilakan kedua tamunya masuk.
"Hi hi hi...!" Sena tertawa tergelak-gelak. Kemu-
dian diikuti Ki Kalawuku dia melangkah masuk ke ru-
mah gubuk besar tempat tinggal gadis bungkuk dan
Suriwarni.
Mereka duduk di atas tikar dari daun pandan
yang cukup lebar.
"Aha, seperti ada pertemuan penting," gumam
Sena. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan
mulut masih cengengesan.
"Nini, ada perlu apa sebenarnya?" tanya Ki Ka-
lawuku tak sabar.
"Sabarlah, Ki! Kita belum saling kenal satu sa-
ma lainnya. Apakah tak sebaiknya kita saling menge-
nai? Baru setelah itu kita menuju ke pokok masalah-
nya," sahut Suriwarni dengan bibir mengurai senyum.
Semakin menambah kecantikan wanita muda itu.
"Aha, memang benar apa yang kau katakan,
Nini. Baiklah, kami terima usulmu," kata Sena dengan
cengengesan sambil tangannya masih menggaruk-
garuk kepala.
"Terima kasih atas kesabaran serta kedatangan
kalian! Baiklah, aku sebagai tuan rumah akan mem

perkenalkan diri. Namaku Suriwarni, atau orang biasa
memanggilku si Bayangan Bidadari," kata Suriwarni
memperkenalkan dirinya.
"Aha, sungguh beruntung sekali aku dapat ber-
temu dengan Bayangan Bidadari," gumam Sena. "Tak
kusangka, kalau Bayangan Bidadari masih muda dan
cantik."
Suriwarni tersipu-sipu mendengar kata-kata
Pendekar Gila. Sampai-sampai kedua pipinya bersemu
merah! Perlahan kepalanya menunduk, dengan bibir
tersenyum malu-malu.
"Uh uh uh...!"
Gadis bisu terdengar berkata, tangannya berge-
rak memperagakan gerakan. Sepertinya dia ingin men-
jelaskan siapa dirinya.
"Oh, rupanya kau hendak memperkenalkan di-
ri, Dik," sahut Sena. "Katakanlah, aku mungkin bisa
membantumu."
"Uh uh uh," gadis bisu dengan keadaan meme-
las itu kembali menggerak-gerakkan tangannya, men-
gatakan dengan bahasa isyarat siapa dirinya.
"Aha, kau sebenarnya warga Desa Kembang Te-
bu. Kau anak dari salah seorang yang menjadi korban
kebiadaban seseorang yang kini tengah kau cari," Sena
menterjemahkan setiap gerakan yang dilakukan gadis
bisu itu. "Hm, jadi ayahmu tak salah? Ah, siapakah
yang dimaksudkannya?"
"Itulah yang hendak kami bahas, Pendekar Gi-
la," sahut Suriwarni.
"Maksud dia, Ki Gagar Blarak?" tanya Ki Kala-
wuku.
"Benar, Ki. Dia memang putri Ki Gagar Blarak.
Sejak melihat kematian ayah, ibu serta kakaknya,
Murni langsung menjadi bisu," tutur Suriwarni.
"Jadi anak Ki Gagar Blarak masih ada yang hi

dup?" tanya Ki Kalawuku dengan mata membelalak,
seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Bukankah dulu seluruh keluarga Ki Gagar Blarak ma-
ti terbakar?"
"Tidak, Ki. Hanya Ki Gagar Blarak dan istri ser-
ta kakak Murni yang terbakar, sedangkan Murni sen-
gaja kuselamatkan untuk menjadi saksi hidup," tutur
Suriwarni.
"Saksi hidup...?" tanya Ki Kalawuku semakin
berlipat keningnya.
"Ya, saksi hidup," jawab Suriwarni.
"Apa maksudmu...?" tanya Ki Kalawuku.
"Nanti akan kujelaskan, Ki. Kini, sepantasnya-
lah kita saling berkenalan lebih dahulu. Kalau Pende-
kar Gila, aku sudah kenal. Siapakah kisanak sebenar-
nya...?" tanya Suriwarni pada Ki Kalawuku.
"Namaku Kalawuku, dan selama ini menjadi
jawara Ki Legok Menggo," jelas Ki Kalawuku memper-
kenalkan dirinya.
Bayangan Bidadari mengangguk-anggukkan
kepala mendengar penuturan Ki Kalawuku. Dihelanya
napas dalam-dalam. Matanya memandang lepas ke
atas.
"Kita semua menjadi korban dari kebiadaban
seseorang. Kita juga hendak diadu domba olehnya,"
desah Suriwarni lirih dengan wajah masih menenga-
dah.
Kening Ki Kalawuku mengerut, mendengar pe-
nuturan Suriwarni. Matanya membelalak, menatap ta-
jam wajah Bayangan Bidadari. Sepertinya, dia hendak
menegaskan betul tidaknya kata-kata itu.
"Maksudmu, Nini...?"
"Ya, tanpa kita sadari, selama ini kita telah di-
adu domba orang yang memiliki hasrat besar menggu-
lingkan Ki Legok Menggo," desah Suriwarni.

"Aku semakin tak mengerti," tukas Ki Kalawu-
ku.
"Aha, aku juga, Ki. Hi hi hi.... Kalau boleh ku
tahu, bisakah Nini menjelaskan apa yang sebenarnya
telah menimpa Desa Kembang Tebu?" pinta Sena den-
gan tangan menggaruk-garuk kepala.
Bayangan Bidadari menghela napas dalam-
dalam. Pandangannya kini beralih ke wajah Murni
yang hanya diam tenang duduk di sampingnya.
"Bocah malang inilah sebagai saksi utama. Tapi
baiklah, agar kalian tak bingung, aku akan mencerita-
kan semua yang sebenarnya terjadi...."
Semua terdiam menarik napas dalam-dalam.
Lalu Suriwarni pun membuka ceritanya.
Lima tahun yang silam, hiduplah keluarga yang
tenang dan damai. Keluarga Gagar Blarak dan istrinya
yang bernama Dewi Gendri Meni itu memiliki dua
orang anak. Yang satu lelaki bernama Trajusati dan
seorang lagi, gadis yang waktu itu berusia sekitar se-
puluh tahun, bernama Murni.
Kebahagiaan keluarga Gagar Blarak, rupanya
membuat orang yang dengki berusaha menghancur-
kannya. Gagar Blarak tiba-tiba difitnah sebagai anggo-
ta Gerombolan Bajul Ireng. Padahal dia sebenarnya
pendekar yang gigih dalam menegakkan kebenaran
dan keadilan. Hanya saja Gagar Blarak tidak sombong,
sehingga dalam bergerak selalu sembunyi-sembunyi,
dengan harapan tak seorang pun tahu kalau dirinya
seorang pendekar.
Pada mulanya tak seorang pun tahu kalau Ga-
gar Blarak seorang pendekar. Hanya Bayangan Bida-
dari yang memang sebagai kerabat dekat mengeta-
huinya. Namun lama kelamaan, ternyata kependeka-
rannya tercium seorang yang sebenarnya anggota Ge-
rombolan Bajul Ireng.

Seorang anggota Gerombolan Bajul Ireng yang
perkumpulannya dibubarkan dan diobrak-abrik Gagar
Blarak, berusaha membalas dendam. Dengan usa-
hanya yang licik, Gagar Blarak akhirnya dapat difit-
nah. Semua orang menuduh Gagar Blarak anggota Ge-
rombolan Bajul Ireng. Keluarga Gagar Blarak dihukum
bakar. Beruntung Murni yang bersembunyi dapat dis-
elamatkan Bayangan Bidadari.
"Begitulah ceritanya," ujar Suriwarni mengenai
Gagar Blarak dan gadis bisu bertubuh bungkuk. "Apa-
kah kalian sudah jelas?"
"Kurang ajar sekali," gumam Ki Kalawuku.
"Siapakah yang telah melakukan semuanya?"
"Itu yang sedang kami selidiki," sahut Suriwar-
ni.
***
Keheningan melintas di antara mereka ketika
pembicaraan dihentikan sesaat. Hanya tingkah laku
Pendekar Gila yang menjadi perhatian kelima orang di
ruangan gubuk itu. Tingkah laku Pendekar Gila me-
mang mengundang hati mereka tersenyum, karena lu-
cu dan konyol.
"Aha, aku ada akal!" seru Sena tiba-tiba, me-
nyentakkan semua yang ada di tempat itu. Seketika
mata mereka kembali menatap Pendekar Gila yang
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. "Kita
harus memancing orang laknat itu keluar dari Desa
Kembang Tebu."
"Hm, usul yang bagus," sambung Ki Wulung.
"Ya, hanya dengan cara itu kita bisa tahu siapa
sebenarnya biang dari semua kejahatan di Desa Kem-
bang Tebu," sambung Ki Kalawuku. "Aku akan mem-
bantu. "

"Ya. Kau memang sangat diperlukan, Ki. Kare-
na menurut pengamatanku, kini jahanam itu hendak
bertujuan menggulingkan Ki Legok Menggo," tutur Su-
riwarni.
Mata Ki Kalawuku terbelalak, mendengar penu-
turan Bayangan Bidadari. Sama sekali tidak disang-
kanya kalau Ki Legok Menggo menjadi sasaran utama
pembunuhan di desanya.
"Benarkah apa yang kau katakan, Nini?" tanya
Ki Kalawuku memastikan.
"Tak ada gunanya aku berdusta, Ki."
"Hm, kurang ajar sekali. Jelas ini tak boleh di-
biarkan!" geram Ki Kalawuku sambil mengepalkan tan-
gan kanannya. "Kalau saja aku tahu siapa orangnya,
ingin rasanya lehernya kupuntir!"
Bayangan Bidadari tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala, mendengar ucapan Ki Kalawu-
ku.
"Tak mungkin, Ki. Aku tahu bagaimana sak-
tinya Ketua Gerombolan Bajul Ireng. Sulit bagi orang
seperti kita menghadapinya. Entah jika Pendekar Gila
turut serta," desis Suriwarni.
"Jadi, dia Ketua Gerombolan Bajul Ireng...?" Ki
Kalawuku terkejut. Matanya membelalak, memandang
wajah Suriwarni yang menganggukkan kepala.
"Itu sebabnya aku selalu berusaha mencari
Pendekar Gila. Bukannya aku merendahkan kepan-
daianmu, Ki. Tapi menurut kata-kata guruku; orang
yang sebanding dengan Ketua Gerombolan Bajul Ireng
hanyalah Pendekar Gila," tutur Suriwarni.
"Hi hi hi.... Kau terlalu menyanjung nama Pen-
dekar Gila, Nini Ah ah ah.... Kurasa tak sepantasnya
aku menerima sanjungan yang terlalu berlebihan itu.
Aku belum seberapa dibandingkan dengan kalian yang
namanya cukup kondang," kata Sena merendah.

"Terima kasih atas kebaikanmu, Pendekar Gi-
la!" desah Suriwarni. "Namun aku berkata sejujurnya,
sesuai dengan pesan mendiang guruku yang mengata-
kan, bahwa satu-satunya orang yang mampu menan-
dingi ilmu Bajul Ireng hanyalah Pendekar Gila, yang
tentunya Kakang."
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil
menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan, ke-
mudian kepalanya menggeleng-geleng
"Baiklah, kini kita teruskan pembicaraan kita!"
ajak Sena mengalihkan pembicaraan ke pokok masa-
lah semula.
Bayangan Bidadari menghela napas panjang.
Kemudian pandangan matanya diarahkan pada Ki Wu-
lung dan istrinya, membuat lelaki tua dan istrinya ter-
tunduk.
"Perlu juga kuperkenalkan pada kalian, sebe-
narnya Ki Wulung dan Nyi Wulung ini teman-temanku.
Keduanya memang sengaja tinggal di Desa Kembang
Tebu untuk menyelidiki masalah Gerombolan Bajul
Ireng. Ki Wulung sebenarnya berjuluk Pendekar Lu-
tung Sakti. Sedangkan Nyi Wulung tiada lain Dewi Te-
ratai Ungu."
Pendekar Gila tersentak, apalagi Ki Kalawuku,
setelah mendengar siapa sebenarnya dua orang tua
yang tampaknya lemah dan tak berdaya itu. Mereka
ternyata dua orang tokoh persilatan yang cukup ter-
kenal dan disegani.
"Aha, sungguh mataku yang masih muda ru-
panya telah lamur," gumam Sena. "Ada gunung menju-
lang tinggi di hadapanku, sampai aku tak tahu. Teri-
malah hormatku, Pendekar Lutung Sakti."
"Ah, tak apa. Aku lebih suka dipanggil Ki Wu-
lung," sahut Ki Wulung dengan bibir mengurai se-
nyum.

"Maafkan segala kesalahanku, Pendekar Lutung
Sakti," ujar Ki Kalawuku.
"Ah, semua telah ku maafkan. Semua memang
bukan salah kita. Seandainya tak ada si Bajul Ireng,
tak mungkin kita akan dalam keadaan seperti ini. Tapi
selama ini, belum juga aku dapat menemukannya,"
gumam Ki Wulung.
"Ya, mereka memang sengaja berpura-pura se-
perti orang tak waras dan lemah. Hal itu untuk mena-
rik perhatian Bajul Ireng, sehingga tak merasa dimata-
matai. Namun rupanya Bajul Ireng sangat cerdik dan
licik, dia mampu melihat keadaan...," gumam Suriwar-
ni.
"Aha, aku ada pendapat. Hi hi hi...!" Sena ter-
tawa cekikikan.
"Apakah itu?" serentak mereka bertanya.
"Hi hi hi.... Lucu sekali! Mengapa kita tiba-tiba
menjadi orang bodoh...?" tanya Sena, membuat semua
mata kembali memperhatikannya. "Kita benar-benar
bodoh, melebihi kerbau! Hua ha ha...!"
Kening kelima orang yang berada di tempat itu
berkerut mendengar kata-kata Pendekar Gila. Mata
mereka menyipit, tak mengerti maksud ucapan Pende-
kar Gila.
"Pendekar Gila, katakanlah apa maksudmu?"
selak Suriwarni, mengharap Pendekar Gila mau menje-
laskan maksud ucapannya.
Pendekar Gila tertawa cekikikan. Tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Selama ini kalian memang telah di-
perdaya dan hendak diadu domba Bajul Buntung. Eh,
Bajul Ireng. Hi hi hi.... Lucu sekali."
Kelima orang yang hadir di tempat itu semakin
mengerutkan kening. Mereka belum juga memahami
apa maksud Pendekar Gila sebenarnya.

"Apakah kalian tak ingat, kejadian yang telah
melanda Desa Kembang Tebu akhir-akhir ini...?" tanya
Sena sungguh-sungguh.
"Hei, benar...!" seru Ki Wulung.
"Ya ya, aku ingat," sambut Ki Kalawuku.
"Aha, syukurlah! Nah, kematian demi kematian
terus melanda Desa Kembang Tebu. Dan selalu saja
kalian tak dapat menangkap pelakunya, bukan?"
"Benar," jawab Ki Kalawuku. "Bukankah pela-
kunya yang selalu menolong Ki Wulung?"
"Aha kurasa tidak. Kupikir ada orang yang
memperalat seseorang untuk melakukan semuanya...,"
tutur Sena.
"Ah, benar!" seru Nyi Wulung atau Dewi Teratai
Ungu. "Kudengar pelaku pembunuhan itu gadis bung-
kuk dan bisu yang mengenakan pakaian sama dengan
yang dipakai Murni. Aku pun sempat bingung juga
dengan apa yang kudengar, karena kukira Murni pela-
kunya."
"Hi hi hi..... Lucu...!" gumam Sena. "Aha, kita
kini telah menemukan jalannya. Kita tinggal memanc-
ing gadis bisu yang kurasa diperalat seseorang. Kalau
kita bisa menangkapnya, kurasa rahasia gadis bisu
akan tersingkap."
Semua mengangguk-anggukkan kepala, seperti
membenarkan gagasan Pendekar Gila. Memang mereka
pun mendengar kalau pelaku dari semuanya tak lain
seorang gadis bisu bertubuh bungkuk.
"Bagaimana kalau nanti malam kita mengada-
kan penyelidikan?" tanya Ki Kalawuku.
"Tepat!" sambut Suriwarni. "Ki Kalawuku sebi-
sanya menjaga Ki Legok Menggo dari ancaman maut
Bajul Ireng. Aku dan Murni akan berusaha mengha-
dang gadis bisu. Sedangkan Pendekar Gila dan Ki Wu-
lung serta Nyi Wulung, kami harap kalian bersiap

siap!"
"Aha! Tanpa diminta, aku telah siap. Hi hi hi...!
Nanti malam kita akan pesta memburu Bajul Buntung.
Hua ha ha...!" Sena tertawa tergelak-gelak dengan tan-
gan menggaruk-garuk kepala.
"Ya! Kita harus cepat, agar jangan sampai Bajul
Ireng mendahului kita. Korban kekejiannya sudah cu-
kup banyak," gumam Ki Wulung.
"Aku tak habis pikir, mengapa masih saja ada
orang yang bermaksud buruk pada Ki Legok Menggo.
Padahal Ki Legok Menggo baik dan bijaksana. Hanya
sayang, dia dapat dipengaruhi adik sepupunya."
Tersentak semuanya mendengar penuturan Ki
Kalawuku. Lebih-lebih Pendekar Gila.
"Aha, kini sudah jelas!"
"Apa maksudmu, Pendekar Gila?" tanya Suri-
warni.
"Tentunya Bajul Buntung itu tak lain adik se-
pupu Ki Legok Menggo."
"Maksudmu Soma...?" hampir serentak mereka
menegaskan.
"Hi hi hi.... Ternyata otak kalian masih encer,
tidak seperti kerbau. Hua ha ha...!"
Semua mata terbelalak, kemudian saling pan-
dang mendengar penuturan Pendekar Gila. Lalu mere-
ka turut tertawa, setelah membenarkan apa yang dika-
takan Pendekar Gila.
"Hm, kita harus hati-hati menghadapi Soma,"
ujar Ki Kalawuku. "Pantas.... pantas kalau dia selalu
berusaha mengatur semuanya."
"Nanti malam, kita harus bergerak. Ingat apa
yang telah kukatakan," tegas Suriwarni.
"Ya!" sahut semuanya, hampir bersamaan.
***
8

"Celaka, Diajeng. Kita tak mungkin terus-
menerus menahan sabar...," ujar Ki Soma dengan
langkah cepat masuk ke rumahnya. Wajahnya diliputi
amarah. Nafasnya mendengus bagaikan banteng terlu-
ka.
"Ada apa lagi, Kakang?" tanya Nyi Writampi
yang baru keluar dari dalam rumah ketika mendengar
suara suaminya.
"Kudengar kabar, kalau Ki Kalawuku hilang.
Hm, ini sangat berbahaya, Diajeng. Rencana kita bisa
gagal," desis Ki Soma masih kelihatan gelisah. "Terpak-
sa kita harus melakukannya sekarang."
"Sabar, Kakang! Memang tak ada orang yang
bisa mengalahkan kita. Namun apakah tindakan kita
tak membuat orang tahu kalau kita yang telah meren-
canakan semua ini?" tanya Nyi Writampi berusaha
menyabarkan suaminya.
Wanita berusia empat puluh tahun yang masih
tampak cantik itu mencoba tersenyum. Dia berusaha
menenangkan kegelisahan dan kemarahan suaminya.
Hatinya memang membenarkan apa yang dikatakan Ki
Soma. Dengan lenyapnya Ki Kalawuku, bukan tak
mungkin rahasia mereka dapat terbongkar. Hal itu jika
Ki Kalawuku memang masih hidup dalam sandera pi-
hak yang tak menyukai mereka.
"Apakah kau sudah yakin kalau Ki Kalawuku
masih hidup?" tanya Nyi Writampi dengan tangan ber-
gelayut di pundak suaminya. Matanya yang lentik,
memandang penuh arti ke wajah Ki Soma.
"Ya."
"Kau sudah menyelidikinya?"
"Ya. Di hutan tak kutemukan mayatnya. Yang

ada hanya sepuluh pengikutnya," jawab Ki Soma.
Nyi Writampi terdiam, dengan mata masih me-
natap tajam wajah suaminya. Kemudian dihelanya na-
pas panjang. Kakinya melangkah meninggalkan sua-
minya, lalu duduk di kursi ruang tamu. Matanya kem-
bali menatap pada Ki Soma.
"Kurasa dia tak akan sepintar itu, Kakang," ka-
tanya setengah bergumam.
"Maksudmu...?" tanya Ki Soma seraya memba-
likkan tubuh dan melangkah mendekati kursi tempat
istrinya duduk dan tersenyum manis. Senyum yang
membuat Ki Soma mabuk kepayang. Lelaki berusia se-
tengah baya itu pun segera menarik kursi di depan is-
trinya, lalu duduk. Wajahnya tampak masih belum te-
nang.
Nyi Writampi tersenyum lebar. Kepalanya dige-
leng-gelengkan, seakan mengatakan kalau dirinya tak
yakin Ki Kalawuku mengetahui rahasia mereka. Sebab
Ki Kalawuku merupakan orang baru di Desa Kembang
Tebu.
"Kau harus ingat, Kakang. Dia orang baru di
Desa Kembang Tebu ini. Bagaimana mungkin Ki Kala-
wuku tahu semuanya?" ungkap Nyi Writampi dengan
bibir tersenyum dan kepala menggeleng-geleng, tak ya-
kin dengan pendapat suaminya.
Ki Soma terdiam, dia pun berpikiran begitu.
Namun entah mengapa dari pagi hatinya gelisah. Se-
pertinya ada sesuatu yang ditakutkan.
"Yang perlu kita pikirkan sekarang, Ki Anom
Purbo. Dialah yang telah mengetahui siapa kita, Ka-
kang."
"Hm...," gumam Ki Soma tak jelas. Kepalanya
manggut-manggut, seperti memahami ucapan istrinya.
"Memang benar, dialah yang tahu semuanya. Aku pun
mengkhawatirkan Ki Anom Purbo akan membuka ra

hasia kita."
"Bukankah dia telah kita ancam? Lagi pula, an-
tara kita dengannya masih ada sangkut paut yang tak
mungkin dilepaskan begitu saja. Kau ingat, Ki Anom
Purbo bersumpah pada leluhur kita untuk tak saling
menjatuhkan...?" ujar Nyi Writampi berusaha mene-
nangkan hati suaminya.
"Hhh...! Namanya manusia, Diajeng. Manusia
tak bisa dipercaya," dengus Ki Soma.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
"Kita singkirkan Ki Anom Purbo, sebelum raha-
sia kita terbongkar!"
"Kau takut rahasia kita terbongkar?"
"Takut...? Hua ha ha...! Bajul Ireng tak pernah
takut pada siapa pun, Diajeng."
"Kalau memang tak takut, mengapa kau geli-
sah? Empat orang pendekar yang memihak pada Legok
Menggo telah kita singkirkan. Kini tinggal bagaimana
kita menyusun rencana selanjutnya," tutur Nyi Wri-
tampi.
"Hm, benar apa yang kau katakan, Diajeng. Ki-
ta tinggal menyusun rencana selanjutnya. Dan satu
orang lagi yang harus kita singkirkan, tinggal Ki Anom
Purbo," dengus Ki Soma.
"Bagaimana kalau secepatnya saja, Kakang?"
saran Nyi Writampi.
"Maksudmu?"
"Kita bagi kerja kita. Kau bereskan Ki Legok
Menggo, dan aku bersama Srindi menyingkirkan Ki
Anom Purbo! Bagaimana, Kakang?" tanya Nyi Writampi
masih dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Benar juga pendapatmu, Diajeng. Itu memang
cara yang paling baik. Kita memang harus segera me-
nyingkirkan mereka. Aku setuju dengan pendapatmu,"
sahut Ki Soma tersenyum bangga, merasa istrinya

memiliki pikiran yang pintar.
"Kalau begitu, sebaiknya kita persiapkan semu-
anya, Kakang!"
"Ya! Panggil Srindi," perintah Ki Soma. Nyi Wri-
tampi segera berlalu meninggalkan ruang tamu, me-
langkah masuk ke sebuah kamar yang pintunya tertu-
tup rapat. Perlahan-lahan dibukanya pintu kamar. Se-
ketika bau kemenyan dan aroma kayu cendana me-
nyengat hidungnya...
Kamar itu gelap, sehingga sulit untuk melihat
apa yang di dalam. Namun Nyi Writampi tampaknya
sudah terbiasa masuk ke dalam kamar itu. Perempuan
berusia hampir setengah baya ini tahu persis letak se-
tiap benda yang ada di kamar itu. Itu sebabnya Nyi
Writampi tak menabrak sesuatu apa pun, walau me-
langkah dalam keadaan gelap gulita, tanpa setitik ca-
haya.
"Srindi...!" desis Nyi Writampi memanggil seseo-
rang.
"Uuu...!"
Terdengar suara keluhan panjang dari dalam
kamar itu, yang tampaknya berasal dari tempat tidur.
Kemudian nampak kilatan sepasang mata menatap
wajah Nyi Writampi.
"Srindi, kau bersiaplah! Nanti malam kita akan
melakukan semua rencana kita. Kau dan aku me-
nyingkirkan Ki Anom Purbo. Sedangkan Kakang Soma
akan menyingkirkan Legok Menggo tolol itu. Dan se-
bentar lagi kita pun akan menjadi orang yang bebas.
Kita akan dapat berbuat sesuka hati...."
"Uuu...!"
Belum habis ucapan Nyi Writampi, tiba-tiba
Srindi melolong.
"Ada apa, Srindi?" tanya Nyi Writampi.
"Uuu! Ha ha...! Uuu...!"

Blug, blug, blug!
Sosok yang dipanggil Srindi menepuk dadanya,
seolah-olah bermaksud mengatakan sesuatu.
"Oh, maaf. Aku lupa, Srindi! Aku tak ingat ka-
lau kau bukan manusia," pinta Nyi Writampi.
"Uh uh uh...!"
Kembali terdengar suara makhluk yang dipang-
gil Srindi. Matanya yang berkilatan bagaikan menyim-
pan api dari neraka, kini berbinar-binar.
"Ya ya ya...! Meskipun kau bukan manusia,
kami menganggapmu sebagai kerabat, Srindi. Kaulah
yang telah banyak membantu kami. Maka itu, kami
begitu menyayangimu. Kau bersiaplah, nanti sore kita
harus siap!"
"Uuu...!"
Setelah memberitahukan pada makhluk yang
dipanggil Srindi, Nyi Writampi ke luar. Ditutupnya pin-
tu kamar itu rapat-rapat, lalu melangkah ke ruang de-
pan, menemui suaminya.
"Bagaimana, Diajeng?" tanya Ki Soma.
"Dia siap, Kakang."
"Bagus! Kita memang harus secepatnya menye-
lesaikan tugas kita."
Suami istri itu tertawa-tawa senang, mem-
bayangkan apa yang kelak akan terjadi. Membayang-
kan bagaimana mereka akan menjadi Kepala Desa
Kembang Tebu yang ditakuti dan disegani penduduk.
"Tercapailah cita-cita kita. Dengan begitu, bu-
kankah kita akan terlepas dari pengejaran pihak kera-
jaan?" gumam Ki Soma dengan wajah ceria.
"Benar, Kakang. Akhirnya kita dapat terbebas
dari kejaran pihak kerajaan. Legok Menggo tolol, sejak
kapan kita jadi adik sepupunya? Hi hi hi...!" tawa Nyi
Writampi mengikik menyeramkan.
***
Waktu bergulir dengan cepat. Tanpa terasa,
malam telah menggantikan siang. Suasananya pun be-
rubah, terik mentari yang terang-benderang berganti
dengan kegelapan yang disertai hawa dingin.
Di tengah kegelapan, melesat cepat tiga sosok
tubuh. Satu menuju selatan, sedangkan dua lainnya
melesat ke timur Desa Kembang Tebu. Ketiga bayan-
gan yang tak lain Ki Soma dan istrinya serta Srindi itu
bermaksud menjalankan rencana mereka.
Ki Soma kini melesat ke rumah Ki Legok Meng-
go. Sedangkan Nyi Writampi dan Srindi berlari ke ru-
mah Ki Anom Purbo.
Sementara itu, Pendekar Gila dan rekan-
rekannya pun telah mempersiapkan diri. Pendekar Gila
telah siap dengan Ki Wulung berjaga di sekitar rumah
Ki Legok Menggo. Sebelumnya Ki Kalawuku telah kem-
bali dan memberitahukan pada Ki Legok Menggo agar
waspada.
Malam ini udara terasa sangat dingin. Dan pen-
jaga rumah Ki Legok Menggo menggigil, merasakan
hawa dingin yang terasa menusuk tulang sumsum.
Di dalam rumah, Ki Legok Menggo dan Ki Kala-
wuku belum tidur. Keduanya kini tengah berbincang-
bincang di ruang depan.
"Tak kusangka, kalau Soma akan berbuat keji,"
gumam Ki Legok Menggo setelah mendengar penutu-
ran Ki Kalawuku. Matanya memandang dengan tata-
pan sendu. "Jadi Soma itu Ketua Gerombolan Bajul
Ireng?"
"Benar, Ki," sahut Ki Kalawuku.
"Dari mana kau tahu, Kalawuku?"
"Pendekar Gila yang memberitahukan padaku."
"Pendekar Gila?" pekik Ki Legok Menggo kaget.

"Benar, Ki."
"Jadi Pendekar Gila ada di sini...?" tanya Ki Le-
gok Menggo dengan kening berkerut.
"Benar, Ki."
"Untuk apa...?" tanya Ki Legok Menggo belum
mengerti.
"Mulanya hanya lewat. Tapi setelah mengetahui
di desa ini ada sesuatu yang tak beres, Pendekar Gila
pun menyelidiki dan berusaha mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi. Sampai akhirnya dia melihat se-
buah bayangan gadis bungkuk yang habis membunuh
Ki Prastabu," tutur Ki Kalawuku.
"Bukankah pelakunya orang yang menjadi sa-
habat Ki Wulung?"
"Bukan, Ki. Ki Wulung dan Nyi Wulung ternyata
Pendekar Lutung Sakti dan Dewi Teratai Ungu."
"Apa?! Mereka ada di sini?! Jadi mereka tokoh-
tokoh persilatan?" gumam Ki Legok Menggo dengan
mata semakin membelalak, setelah mendengar penu-
turan Ki Kalawuku. "Tak kusangka kalau Bajul Ireng
berada di desa ini. Pantaslah kalau tokoh-tokoh persi-
latan banyak yang datang ke desa ini."
"Begitulah keadaannya, Ki."
"Di mana mereka?" tanya Ki Legok Menggo.
"Mereka sedang berjaga di sekitar rumah ini,
Ki."
"Hm...," gumam Ki Legok Menggo seraya men-
ganggukkan kepala.
Tiba-tiba keduanya tersentak ketika terdengar
suara jeritan menyayat dari dua orang penjaga.
"Aaakh...!"
"Wuaaa...!"
Mata Ki Legok Menggo membelalak tegang,
mendengar jeritan kematian dari dua penjaga rumah-
nya.

"Dia datang, Ki!"
"Siapa...?" tanya Ki Legok Menggo dengan mata
masih membelalak.
"Soma," jawab Ki Kalawuku.
"Bangsat! Rupanya dia mencari mati!" dengus
Ki Legok Menggo sambil melesat keluar hendak mene-
mui Ki Soma, diikuti sang Jawara.
"Ha ha ha...! Akhirnya semuanya akan berak-
hir, Legok Menggo! Malam ini, kau harus kusingkirkan
ke akherat!" kata Ki Soma dengan pongah dan som-
bong. Matanya memandang tajam wajah Ki Legok
Menggo dan Ki Kalawuku yang mendengus sengit.
"Keparat! Rupanya kaulah iblis busuk itu!"
dengus Ki Legok Menggo marah. "Jangan kira semu-
dah itu kau menyingkirkanku, Siluman Busuk!"
"Ha ha ha...! Apa susahnya menyingkirkanmu,
Orang Tua Tolol! Seperti membalikkan telapak tangan
saja, bukan?!" seru Ki Soma dengan suara angkuh.
"Hua ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggema,
mengiringi habisnya perkataan Ki Soma, membuat Ki
Soma tersentak kaget.
Kemudian terdengar lagi ucapan mengejek.
"Jadi, inikah orangnya yang berjuluk Bajul Buntung
itu? Hua ha ha...!"
Ki Soma tersentak kaget, lalu membalikkan tu-
buh menatap ke asal suara itu. Dari pepohonan yang
tumbuh di sekeliling rumah Ki Legok Menggo, melom-
pat dua sosok bayangan yang dalam sekejap telah ber-
diri di hadapan Ki Soma.
"Selamat datang, Pendekar Gila," sapa Ki Kala-
wuku setelah melihat Sena dan Ki Wulung yang sejak
tadi sore telah berjaga-jaga dan mengawasi sekeliling
rumah Ki Legok Menggo.
"Kau...?!" membelalak mata Ki Soma menden

gar sapaan Ki Kalawuku, karena tahu kalau Pendekar
Gila ada di tempat itu. Matanya menatap dua orang
yang telah berada di hadapannya. Seorang lelaki tua
bertubuh kecil pendek dengan kumis lebat. Sedangkan
yang satu seorang pemuda tampan dengan pakaian
rompi kulit ular, yang bertingkah laku seperti orang gi-
la.
"Hi hi hi...! Lucu sekali wujudmu, Bajul Bun-
tung! Mengapa tidak berekor? Hua ha ha...!" Sena ter-
tawa tergelak-gelak dengan badan terbungkuk-
bungkuk. Tangannya menunjuk wajah Ki Soma yang
kian me-merah.
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Bocah!"
bentak Ki Soma marah. Matanya semakin lebar melo-
tot sengit menatap Pendekar Gila yang masih tertawa-
tawa dengan suara yang menggema di sekeliling tem-
pat itu.
"Hua ha ha...! Aneh..., aneh sekali! Ada bajul
buntung yang berbentuk manusia. Padahal dari dulu,
yang namanya bajul bentuknya seperti buaya! Hi hi
hi...!" Sena berusaha memancing amarah Ki Soma agar
benar-benar marah. Tangannya menggaruk-garuk ke-
pala sambil berjingkrakan seperti seekor kera kegiran-
gan.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Kubunuh kalian!
Heaaa...!"
Sambil menggemerutukkan gigi karena marah,
Ki Soma merangsek Pendekar Gila. Kedua tangannya
terangkat dengan kuku membentuk cakar yang kuat.
"Hi hi hi...! Minggir, Ki!"
Sambil cekikikan, Pendekar Gila bergerak men-
gelakkan serangan yang dilancarkan Bajul Ireng. Tu-
buhnya melenting ke udara, berjumpalitan sebentar,
kemudian mendarat ringan di tanah.
Ki Wulung pun melakukan hal yang sama, ber

jumpalitan seperti seekor lutung, kemudian dengan
enak dan ringan mendarat di tanah.
"Hi hi hi..!" Sena tertawa-tawa sambil mengga-
ruk-garuk kepala. "Hati-hati, Ki."
"Oho, izinkan aku main-main sebentar dengan
Bajul Ireng ini, Pendekar Gila!" pinta Ki Wulung.
"Aha! Silakan, Ki!" sahut Sena.
"Bajul Ireng, akulah lawanmu!" seru Ki Wulung
seraya melompat menghadang di depan Ki Soma.
***
Merasa diremehkan Ki Wulung dan Pendekar
Gila, Ki Soma semakin bertambah marah. Dengan
mendengus marah, Ki Soma pun melesat menyerang Ki
Wulung.
"Orang tua edan! Kau harus kubunuh!
Heaaa...!"
Dengan jurus 'Bajul Membuka Mulut Mener-
kam Lawan' Ki Soma melesat menyerang Ki Wulung.
Kedua tangannya yang membentuk cakar, bergerak
susul-menyusul, berusaha mencakar dan mengoyak-
ngoyak tubuh Ki Wulung.
Wut!
"Ets!"
Dengan cepat Ki Wulung melompat ke samping
kiri, kemudian dengan mengegoskan tubuh, kaki ka-
nannya diangkat dan menendang dada lawan. Gerakan
kaki Ki Wulung sangat cepat, menimbulkan desisan
angin yang terasa menyentak.
Wrt!
"Hups!"
Ki Soma tersentak kaget. Dengan cepat dia me-
lompat mundur, lalu segera memburu Ki Wulung. Tan-
gan kanannya kini membentuk pukulan, sedangkan

tangan kirinya dengan jari-jari menyatu membentuk
tusukan yang keras. Itulah jurus 'Grah Brada', sebuah
jurus yang mengandalkan kekuatan pukulan dan tu-
sukan jari-jari tangan.
"Heaaa...!"
Susul-menyusul gerakan tangan Ki Soma me-
nyerang ke bagian tubuh Ki Wulung. Pukulan dan tu-
sukan tangannya begitu cepat dan beruntun. Hal itu
membuat Ki Wulung harus melompat dan berjumpali-
tan di udara untuk mengelakkan serangan-serangan
yang dilakukan Ki Soma. Dengan menggunakan jurus
'Lutung Mabuk' Ki Wulung terus bergerak mengelak-
kan serangan-serangan gencar yang dilancarkan Ki
Soma.
"Hancur tubuhmu, Tua Bangka Edan! Hih...!"
Ki Soma semakin bernafsu untuk segera mem-
bunuh Ki Wulung. Pukulan-pukulan serta tusukan jari
tangannya deras menghunjam ke tubuh lawan dengan
tenaga dalam yang tinggi. Angin pukulan dan tusukan
tangannya terdengar menderu, menyentakkan Ki Wu-
lung yang seketika membelalakkan mata.
Wrt!
"Edan!" maki Ki Wulung sambil melompat ke
belakang.
Namun Ki Soma yang sudah gelap mata dan
marah tak mau melepaskan lawannya begitu saja. Se-
rangannya terus memburu Ki Wulung yang tampak
semakin kewalahan.
Baru angin pukulannya saja, Ki Wulung mera-
sakan hawa panas yang menyengat. Apalagi jika terke-
na pukulan atau tusukan tangan Ki Soma. Tentunya
tubuh Ki Wulung yang kecil dan kurus itu dapat re-
muk tulang-belulangnya.
"Heaaa...!"
"Heits!"

9

Ki Wulung semakin terdesak hebat menghadapi
gempuran-gempuran beruntun yang dilancarkan Ki
Soma. Orang tua itu kini hanya bisa berkelit ke samp-
ing atau bersalto ke belakang. Tidak ada kesempatan
baginya untuk dapat membalas serangan-serangan
yang dilancarkan Ki Soma.
"Tamatlah riwayatmu, Orang Tua Gila!" dengus
Ki Soma sambil memburu tubuh Ki Wulung yang kian
bertambah terdesak. Tangan kanannya memukul den-
gan kekuatan tenaga dalam penuh ke tubuh Ki Wu-
lung.
"Celaka!" pekik Ki Wulung dengan mata melo-
tot, menyaksikan pukulan lawan yang deras dan cepat.
"Mati aku...!"
Wrt!
Ki Wulung benar-benar dalam ancaman maut.
Keadaannya semakin tak menguntungkan lagi untuk
mengelak. Serangan Ki Soma begitu gencar dan susul-
menyusul, tak memberi kesempatan sedikit pun kepa-
da Ki Wulung. Jangankan untuk membalas serangan,
mengelak pun kini rasanya semakin sulit bagi Ki Wu-
lung.
"Heaaa...!"
"Mati aku!"
Pukulan yang dilancarkan Ki Soma menderu
keras ke arah Ki Wulung. Ketika pukulan itu hampir
saja menghantam dada Ki Wulung. Tiba-tiba....
"Heaaa...!"
Pendekar Gila melesat cepat memapak seran-
gan tangan Ki Soma.
Wut!
Plak...!

Benturan keras terjadi, ketika tangan Ki Soma
yang hampir mendarat di dada Ki Wulung dipapak
tangan Pendekar Gila. Tubuh Ki Soma seketika terdo-
rong beberapa langkah ke belakang. Nafasnya men-
dengus geram menyaksikan serangannya yang hampir
saja menewaskan Ki Wulung digagalkan Pendekar Gila.
"Kurang ajar! Kau benar-benar mencari mam-
pus, Bocah Gila!" dengus Ki Soma sengit.
"Hua ha ha...! Begitu marahnya kau, Bajul
Buntung!" ejek Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Bedebah! Kau memang harus secepatnya kuki-
rim ke akherat, Bocah Edan! Yeaaa...!"
"Hi hi hi...!" sambil tertawa-tawa Pendekar Gila
berkelit ke samping, tubuhnya meliuk laksana menari.
Kemudian tangannya bergerak menepuk ke dada la-
wan.
"Hih...!"
"Eits! Yeaaa...!"
Ki Soma semakin beringas. Gempurannya se-
makin cepat dengan disertai tenaga dalam yang kuat,
menimbulkan angin menderu dan menyentak keras.
Melihat serangan maut itu, Pendekar Gila bergerak ce-
pat mengelak.
"Hea!"
"Hits! Hi hi hi...! Tidak kena, Bajul Buntung!"
ledek Sena sambil terus bergerak mengelakkan seran-
gan-serangan yang dilancarkan Ki Soma.
Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan-
serangan gencar dan cepat yang dilancarkan Ki Soma.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali
kedua tangannya bergantian menepuk ke dada Ki So-
ma.
"Yeaaa...!"

Wrt!
"Heits!" Ki Soma mengegos ke samping, kemu-
dian kaki kiri diangkat dan ditendangkan ke tubuh
Pendekar Gila disertai tenaga dalam penuh.
"Eits! Hi hi hi...!"
Pendekar Gila meliuk-liukkan tubuhnya, men-
gelakkan serangan-serangan Ki Soma yang cepat. Te-
lapak tangannya menepuk ke dada lawan, sedangkan
kakinya menyapu dengan cepat ke kaki Ki Soma.
"Yeaaa...!"
"Eits!"
Ki Soma melompat ke atas, kemudian dengan
agak menunduk tangannya mencakar ke wajah Pende-
kar Gila. Gerakan yang tak terduga itu, membuat Pen-
dekar Gila tersentak kaget
"Edan!" maki Sena dengan mata membelalak.
Segera dia melompat mundur, lalu dengan berputar
cepat kaki kirinya menendang ke arah lawan. Kemu-
dian disusul dengan tepukan keras ke dada lawan.
Plak!
Degk!
Pendekar Gila tersentak kaget. Kakinya menyu-
rut dua tindak ke belakang dengan mata membeliak.
Hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat
itu.
"Hah?!"
Mulut Sena melongo bengong. Kepalanya dige-
leng-gelengkan, tak percaya dengan pandangannya.
Tepukan tangannya yang mampu memecahkan kepala
banteng, kini bagaikan tak berarti sama sekali. Ki So-
ma masih berdiri tegak, bahkan kini tersenyum me-
nyeringai menunjukkan kesombongannya.
Bukan hanya Pendekar Gila yang kaget me-
nyaksikan pukulannya tak mempan, tapi semua yang
melihat pun turut terperangah dengan mata membe

liak. Pukulan Pendekar Gila yang terkenal sakti dan
mampu menerbangkan orang, kini bagaikan tak berarti
apa-apa bagi Ki Soma.
"Ha ha ha...! Masih adakah ilmumu yang lebih
hebat Bocah Gila...?" tanya Ki Soma sombong.
"Huh! Hua ha ha...!" Sena ikut tertawa dengan
tangannya menggaruk-garuk kepala. "Hebat! Hebat
kau, Bajul Buntung! Kurasa kau melebihi seekor ker-
bau. Hi hi hi..!"
"Kurang ajar! Kupecahkan kepalamu, Bocah
Edan!" dengus Ki Soma marah. Nafasnya mendengus
marah. Kemudian dengan cepat kembali menyerang.
"Hi hi hi...!"
Sambil tertawa cekikikan dan menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila bergerak cepat mengelakkan se-
rangan yang dilancarkan lawan. Tubuhnya berputar ke
kiri. Kedua tangannya bergerak mencakar ke tubuh
lawan. Gerakannya yang cepat, disertai angin pukulan
keras. Itulah jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'.
"Yeaaa...!"
Wrrr!
"Haps!"
Ki Soma langsung merundukkan kepala, ketika
kedua tangan Pendekar Gila berkelebat cepat mende-
kat. Kemudian dengan cepat pula dia balas menye-
rang. Tangannya digerakkan memukul ke dada Pende-
kar Gila. Sedangkan tangan kirinya kini mencengke-
ram ke wajah Pendekar Gila.
Dengan jurus 'Amukan Bajul Melanda Bumi', Ki
Soma terus menyerang gencar Pendekar Gila. Tubuh-
nya agak merunduk, memukul serta mencengkeram
dengan cepat dan susul-menyusul. Kakinya pun berge-
rak liar, menendang dan menyapu ke kaki Pendekar
Gila.
"Heaaa...!"

"Yeaaa....!"
Ki Soma melontarkan pukulan keras ke dada
Pendekar Gila, disusul dengan cakaran tangan kirinya.
Dengan cepat Pendekar Gila bergerak memutar bagai-
kan melepaskan lilitan tambang. Tangannya bergerak
menyambar kepala dan dada lawan.
Trap!
"Uts!"
"Hih!"
Tangan mereka saling berpegangan, bergerak
cepat ke samping kiri dan saling menyerang. Tapi tetap
saja tangan lawan mampu menangkap. Ki Soma tiba-
tiba melakukan cakaran ke wajah Pendekar Gila. Na-
mun dengan cepat pula Pendekar Gila menangkapnya.
Bergantian keduanya saling serang dan tangkis dengan
tangan bergenggaman.
"Heaaa!"
"Hih!"
Trap!
Bukan hanya tangan yang saling serang dalam
jarak dekat. Tapi kedua kaki mereka pun bergerak ce-
pat, berusaha menyapu kaki lawan.
"Hea!"
Prak!
"Hih!"
Trap!
Tiga lelaki yang menyaksikan jalannya perta-
rungan antara Pendekar Gila dan Ki Soma hanya dapat
melongo bengong. Mata mereka membelalak lebar. Ke-
tiganya berusaha ingin membuktikan dan meyakinkan
dengan apa yang mereka lihat. Selama ini belum per-
nah mereka menyaksikan pertarungan dalam jarak ra-
pat dan cepat
"Benar-benar bukan pendekar sembarangan,"
gumam Ki Legok Menggo dengan mata melotot me

nyaksikan bagaimana Pendekar Gila dengan lincah
bergerak mengimbangi serangan yang dilakukan Ki
Soma. Keduanya kini tampak bukan manusia, melain-
kan seperti seekor buaya dan monyet yang bertarung!
Tubuh keduanya terus bergerak semakin cepat
ke kiri, dengan tangan dan kaki saling bergantian me-
nyerang dan mengait kaki lawan. Sedangkan tangan
mereka yang berpegangan dan saling kait, kini berge-
rak menyikut dan menangkis setiap serangan. Sebuah
gerakan ilmu silat tingkat tinggi kini mereka tunjukkan
di hadapan Ki Legok Menggo, Ki Kalawuku, dan Ki Wu-
lung, yang hanya mampu bengong menyaksikan perta-
rungan kedua orang itu.
"Wah, bukan main! Baru kali ini kulihat jurus-
jurus silat yang hebat dengan gerakan-gerakan yang
lincah dan cepat," gumam Ki Wulung sambil mengge-
leng-gelengkan kepala, merasa kagum.
Kedua orang yang bertarung kini bergulingan di
tanah dengan tangan masih saling kait. Hanya kedua
kaki mereka yang bergerak saling tendang dan tangkis.
Tanah di halaman rumah Ki Legok Menggo se-
ketika beterbangan tersapu kaki Ki Soma dan Pende-
kar Gila. Pepohonan banyak yang tumbang. Malam
yang semula sepi, kini riuh oleh pekikan dan teriakan-
teriakan membelah kesunyian.
***
Sementara itu, di rumah Ki Anom Purbo pun
tengah berlangsung pertarungan seru antara Ki Anom
Purbo yang dikeroyok dua wanita. Yang satu wanita
cantik berusia sekitar empat puluh tahun, sedangkan
satunya lagi makhluk mengerikan berwajah buaya dan
bertubuh agak bungkuk.
"Uuu...!"

"Yeaaa...!"
Dua makhluk itu melesat cepat, bergerak me-
nyerang Ki Anom Purbo dengan sengit. Sementara Ki
Anom Purbo yang tak mau mati sia-sia, dengan cepat
berkelit. Lalu dengan cepat pula lelaki tua itu balas
menyerang dengan pukulan dan babatan pedangnya
dalam jurus 'Menyapu Gelombang'.
"Yeaaa...!"
Wrt!
Pedang di tangan Ki Anom Purbo bergerak ce-
pat, membabat dan menusuk dua lawannya. Tapi ge-
rakan kedua lawannya sangat cepat, sehingga seran-
gan yang dilancarkan Ki Anom Purbo hanya membabat
tempat kosong. Malah ketika keduanya balas menye-
rang, Ki Anom Purbo tampak kelabakan.
"Yeaaa!"
"Uuu...!"
Wrt!
"Hih!"
Ki Anom Purbo berusaha mengelakkan seran-
gan-serangan kedua lawannya. Tubuhnya yang agak
gemuk bergerak melompat sambil merunduk, kemu-
dian balas menyerang dengan pukulan tangan kiri
yang disusul dengan sabetan pedangnya.
"Hih!"
Wrt!
Meski Ki Anom Purbo telah mengerahkan selu-
ruh kepandaiannya, tapi menghadapi dua orang lawan
yang ilmunya setingkat di atasnya membuat lelaki be-
rusia sekitar lima puluh tahun itu kewalahan. Bahkan
serangan-serangannya tak satu pun yang menemui sa-
saran, semua dengan mudah dielakkan kedua lawan-
nya.
"Heaaa...!"
"Uuu...!"

Wrt, wrt...!
Kedua lawan Ki Anom Purbo semakin beringas
menyerang. Keduanya bergerak serentak, dengan tan-
gan membentuk cakar menyerang dari depan dan be-
lakang. Hal itu membuat Ki Anom Purbo semakin ke-
walahan menghadapinya. Dan....
Wrt!
Dugk!
"Ukh...!"
Ki Anom Purbo mengeluh pendek ketika da-
danya terkena pukulan telak tangan Nyi Writampi. Tu-
buhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan bibir
meleleh-kan darah. Matanya membeliak, nafasnya ter-
sengal-sengal.
"Terimalah kematianmu, Orang Tua Tolol!
Heaaa...!"
Nyi Writampi dan Srindi bergerak bersamaan
hendak mencengkeram Ki Anom Purbo yang masih
terhuyung-huyung merasakan sakit di dadanya.
"Hyang Widhi, mungkinkah malam ini kema-
tianku...?" desis Ki Anom Purbo setengah mengeluh.
Dadanya masih terasa sakit, sehingga sulit baginya
untuk bergerak selincah tadi.
"Heaaa!"
"Uuu...!"
Dua lawannya terus melesat cepat dengan ju-
rus 'Bajul Ireng Menghantam Karang' Sebuah pukulan
maut yang siap merenggut nyawa Ki Anom Purbo. Tan-
gan keduanya bergerak semakin cepat. Sesaat lagi
nyawa Ki Anom Purbo tentunya melayang terkena pu-
kulan-pukulan maut yang dilancarkan kedua lawan-
nya. Tapi....
Sesosok bayangan melesat cepat memapaki se-
rangan yang dilancarkan kedua anggota Gerombolan
Bajul Ireng itu.

"Heaaa...!"
Prak, prak!
"Uuu...!"
"Aaakh...!"
Nyi Writampi dan Srindi terpekik seraya me-
lompat mundur menarik serangannya, ketika tiba-tiba
sesosok bayangan memapaki serangan mereka. Mata
keduanya terbelalak, menatap penuh kebencian pada
sesosok wanita cantik yang ternyata Suriwarni alias
Bayangan Bidadari. Sosok wanita itu berdiri di samp-
ing Ki Anom Purbo.
"Menyingkirlah, Ki! Biar aku yang menghajar
kedua makhluk iblis itu," kata Suriwarni sambil mena-
rik pedang dari warangkanya.
Srrrk!
"Akulah lawan kalian!" dengus Suriwarni.
"Bedebah! Rupanya kau mencari mampus!"
dengus Nyi Writampi dengan penuh amarah. Matanya
melotot merah, seperti diliputi api membara.
"Uuu...!"
Srindi yang makhluk buaya pun nampaknya
marah, merasa ditantang perempuan cantik yang telah
menggagalkan serangan mereka. Matanya memerah,
menyorotkan sinar api yang menyilaukan.
"Heaaa...!"
"Uuu...!"
"Yeaaat...!"
Menyaksikan kedua lawannya menyerang, Su-
riwarni tak tinggal diam. Dengan cepat, tangannya
bergerak menyerang dan memapaki serangan kedua
lawannya. Pedang di tangan kanannya digerakkan
dengan cepat, membabat dan menusuk ke tubuh ke-
dua lawannya.
Wuttt!
Glarrr!

"Heaaa.,.!"
Ledakan-ledakan dahsyat menggelegar terden-
gar, ketika jurus-jurus sakti mereka keluarkan. Diikuti
suara yang membisingkan telinga. Malam itu di hala-
man rumah Ki Anom Purbo bagaikan membara karena
hawa panas yang mengurung.
***
Sementara itu, di halaman rumah Ki Legok
Menggo pertarungan antara Pendekar Gila melawan Ki
Soma semakin seru. Tampak tubuh keduanya melent-
ing ke udara, melayang bagai terbang. Jurus-jurus
tingkat tinggi telah mereka keluarkan untuk menja-
tuhkan lawannya.
"Heaaa...!"
"Hih! Yeaaah...!"
Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Terbang
Menyambar Ayam' menukik. Kedua tangannya mem-
buat cengkeraman sekuat baja. Tubuhnya melayang
dari atas dengan kepala di bawah, menukik memburu
lawan.
"Yeaaa...!"
Menyaksikan lawan menyerang dari atas, Ki
Soma pun tak tinggal diam. Dia segera melesat ke atas
menggunakan ilmu meringankan tubuh. Tangannya
membentuk sebuah cakaran yang tak kalah kerasnya.
Bergerak saling bergantian menyerang, mencakar ke
arah Pendekar Gila.
Dengan jurus 'Bajul Sakti Meremukkan Tulang'
Ki Soma berusaha mendahului menyerang. Kedua tan-
gannya direntang lebar-lebar, kemudian dengan men-
gerahkan tenaga dalam, jari-jarinya menghentak ke
tubuh Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"

Wut!
"Ikh! Setan!" maki Sena sambil menarik tubuh-
nya ke belakang. Serangan Ki Soma pun hanya men-
genai angin kosong.
Glarrr!
Ledakan yang disertai kilatan cahaya merah ke-
luar dari kedua telapak tangan Ki Soma. Bergidik se-
mua orang yang menyaksikan kejadian itu. Mata ketiga
lelaki yang menonton, terbelalak tegang dan ngeri. Me-
reka tak dapat membayangkan, bagaimana jika tubuh
manusia yang terkena sasarannya. Pasti tubuh manu-
sia akan hancur menjadi debu. Mengerikan sekali!
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Bajul Buntung!
Kenapa nyamuk kau tepuk...?" ejek Sena, membuat Ki
Soma bertambah marah.
"Kurang ajar! Kuremukkan tubuhmu menjadi
debu, Bocah Gila! Yeaaa...!"
Dengan amarah meluap-luap, Ki Soma kembali
melesat menyerang Pendekar Gila dengan jurus yang
sama. Jurus yang dikerahkan dengan tenaga dalam
tinggi, sehingga mampu mengeluarkan ledakan dah-
syat dan kilatan api.
"Yeaaa...!"
"Hi hi hi...!"
Dengan masih tertawa sambil menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila pun bergerak memapaki seran-
gan lawan. Kali ini dengan jurus 'Si Gila Melebur Gu-
nung Karang', Pendekar Gila menyerang.
"Hiaaa...!"
Tubuh keduanya melesat cepat, semakin lama
semakin dekat. Pendekar Gila merentangkan kedua
tangannya ke atas, kemudian menariknya ke dalam
dan meletakkan kedua tangannya di pinggang.
Ki Soma pun tak tinggal diam. Tangannya dige-
rakkan membentuk lingkaran di atas kepalanya. Ke

mudian dengan jari-jari terbuka, kedua tangannya di-
letakkan di pinggang.
"Yeaaa...!"
"Hiaaa...!"
Tubuh keduanya bergerak semakin cepat dan
bertambah dekat. Kemudian setelah dekat, dengan
mengerahkan tenaga dalam mereka menghentakkan
kedua tangannya.
"Yeaaa...!"
"Heaaa!"
Wusss...!
Kedua tangan mereka yang mengerahkan tena-
ga dalam tingkat tinggi kini melesat maju, berusaha
saling dorong dengan kekuatan tenaga yang mereka
miliki.
Prak!
Glarrr!
"Ukh...!"
"Akh!"
Baik Pendekar Gila maupun Ki Soma kini ter-
lempar ke belakang. Lalu keduanya bersalto di udara
beberapa kali sebelum mendarat dengan tubuh agak
terhuyung ke belakang. Mata mereka saling pandang,
seperti berusaha mengukur kekuatan lawan masing-
masing.
"Ukh!"
Ki Soma mengeluh lirih, dadanya terasa sakit
akibat benturan tenaga dalam tadi. Sementara Pende-
kar Gila tergetar sesaat.
"Pendekar Gila, kini ajalmu akan tiba! Bersiap-
lah...!" seru Ki Soma.
"Hua ha ha...! Enak sekali kau bicara, Bajul
Buntung! Hi hi hi...! Kau kira mudah mencabut nyawa
orang?" ejek Sena.
"Bersiaplah untuk mampus, Pendekar Gila!

Ghrrr...!"
Ki Soma terdiam dengan telapak tangan dile-
takkan menyatu di depan dada. Matanya terpejam,
dengan mulut komat-kamit membaca sesuatu mante-
ra.
Wusss!
Perlahan-lahan tubuh Ki Soma berubah wujud.
Mulanya dari pantatnya keluar ekor yang pendek. Ke-
mudian semakin lama bertambah panjang. Ekornya
berduri-duri. Lalu kedua kakinya perlahan-lahan dipe-
nuhi sisik-sisik tebal dan keras.
Kini wujud Ki Soma benar-benar telah berubah
menjadi Bajul Ireng. Wujud buaya menyeramkan!
"Heh?!"
"Ah! Ilmu siluman!" pekik Ki Wulung.
"Iblis! Rupanya dia iblis!" seru Ki Legok Menggo
dengan mata terbelalak, menyaksikan Ki Soma kini te-
lah berbentuk seekor buaya.
"Uaaa...!"
Dengan mengeluarkan suara yang menyeram-
kan, Bajul Ireng kini melesat menyerang Pendekar Gi-
la. Tangannya yang berkuku runcing mencakar. Mu-
lutnya membuka lebar, menunjukkan gigi-giginya yang
runcing dan tajam. Ekornya bergerak, menyabet ke
sana kemari, menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat.
Wuttt!
Glarrr!
Suasana di halaman rumah Ki Legok Menggo
seketika berubah panas. Dari lecutan-lecutan ekor Ba-
jul Ireng, mengeluarkan hawa panas yang menyengat
"Ilmu iblis!" rutuk Ki Kalawuku.
"Kita harus menjauh!" ajak Ki Wulung.
"Bagaimana dengan Pendekar Gila...?" tanya Ki
Kalawuku cemas.
"Jangan khawatirkan dia! Yang penting kita ha

rus segera menjauh dari sini," ajak Ki Wulung sambil
melompat menjauh dari halaman rumah Ki Legok
Menggo.
"Hm, ilmu iblis!" gumam Sena masih berusaha
tenang menghadapi makhluk jejadian itu. Sudah bera-
pa kali Pendekar Gila menghadapi lawan seperti itu.
Kelelawar Iblis Merah juga merupakan lawannya yang
memiliki ilmu siluman. Kini dia tak gentar sama sekali
menghadapi hal semacam itu. "Hi hi hi...! Lucu sekali
wujudmu, Bajul Buntung! Hua ha ha..!"
"Ghrrr! Ku makan tubuhmu, Pendekar Gila!
Ghrrr...!"
Bajul Ireng menyerang dengan sabetan ekor
dan cakaran tangannya ke tubuh Pendekar Gila. Na-
mun, dengan cepat Pendekar Gila melesat, mengelak-
kan serangan lawan. Kemudian dengan cepat balas
menyerang dengan pukulan ‘Si Gila Melebur Gunung
Karang’
"Heaaa...!"
Glarrr!
Ledakan dahsyat menggelegar, menghantam
tubuh makhluk jejadian yang menyeramkan itu. Tu-
buh Bajul Ireng terpental ke belakang, namun tak
mengalami luka-luka. Bahkan kini semakin garang
menyerang.
"Ghrrr...!"
"Setan! Ilmu setan...!" maki Sena.
Sret!
Pendekar Gila mengeluarkan Suling Naga Sakti
dari ikat pinggangnya, setelah merasa ilmu-ilmunya
tak mempan sama sekali menghadapi Bajul Ireng.
Dengan melompat laksana terbang, Pendekar Gila me-
nyerang Bajul Ireng. Suling Naga Saktinya bergerak
memukul ke arah lawan.
"Heaaa...!"

"Ghrrr...!"
Pletak!
Bajul Ireng semakin marah, merasakan sakit
akibat gebukan Suling Naga Sakti. Geramannya sema-
kin keras. Cakaran dan sabetan ekornya pun kian
mengganas.
"Ghrrr...!"
Bajul Ireng kini kian membabi-buta menyerang.
Halaman rumah Ki Legok Menggo seketika porak-
poranda. Ekor Bajul Ireng menghantam ke sana kema-
ri, menimbulkan ledakan-ledakan dahsyat menggele-
gar.
Glarrr...!
Brak!
Bummm...!

"Heit! Setan...!" maki Pendekar Gila sambil men-
gelakkan serangan ekor Bajul Ireng.
Glarrr...!
Brak!
Bummm...!
Halaman rumah Ki Legok Menggo seketika po-
rak-poranda. Ekor Bajul Ireng menghantam ke sana
kemari, menimbulkan suara menggelegar!
Pepohonan banyak yang roboh terkena sabetan
ekor Bajul Ireng. Sedangkan Pendekar Gila terus me-
lompat ke sana kemari, mengelakkan sabetan-sabetan
ekor lawan. Namun ekor Bajul Ireng bagaikan memiliki
mata. Ke mana Pendekar Gila melesat, ke situ pula
ekor Bajul Ireng memburu.
Celaka aku kalau begini terus! Keluh Sena da-
lam hati. Tak ada jalan lain. Hanya Suling Naga Sakti-
lah lawannya. Ilmuku tak mampu menghadapi Bajul
Ireng itu.
Pendekar Gila kembali melompat mengelakkan
serangan ekor Bajul Ireng yang menghantam ke tu-
buhnya.
"Heit! Setan....!" maki Sena.
Pletak!
Brak!
Bummm...!
Rumah Ki Legok Menggo hancur, terkena han-
taman ekor Bajul Ireng.
"Bajul Buntung! Aku di sini!" tantang Pendekar
Gila sambil melompat ke depan, agar dapat berhada-
pan dengan Bajul Ireng yang semakin garang menye-
rang.
"Ghrrr...!"
Ketika Bajul Ireng hendak kembali melompat,
Pendekar Gila segera meniup Suling Naga Sakti dan

mengarahkan mata kepala naganya ke mata lawan.
Suara Suling Naga Sakti melengking. Dan saat
itu pula dari kedua mata Naga Sakti keluar dua larik
sinar merah dan melesat ke mata Bajul Ireng.
Slarts!
Crot!
"Wuaaa...!"
Lolongan kematian seketika terdengar dari mu-
lut Bajul Ireng. Tubuh makhluk jejadian itu menggele-
par-gelepar dengan asap hitam mengepul keluar dari
tubuhnya. Kemudian tubuh Bajul Ireng diam tanpa
nyawa. Perlahan-lahan berubah menjadi onggokan de-
bu yang membentuk sosok manusia!
***
Bertepatan dengan musnahnya Bajul Ireng, di
halaman rumah Ki Anom Purbo tampak Nyi Writampi
dan Srindi mengalami kejadian yang aneh. Tiba-tiba
tubuh mereka lemah. Gerakan silat mereka kacau. Hal
itu cukup menguntungkan bagi Suriwami, yang tak
menyia-nyiakan keadaan.
"Heaaa...!"
Wrt!
Cras! Cras!
"Aaakh...!"
"Uuukh...!"
Jeritan-jeritan kematian melolong dari mulut
Nyi Writampi dan Srindi, ketika pedang Suriwarni
membabat leher mereka.
Sesaat keduanya terhuyung meregang nyawa,
lalu ambruk dengan darah hitam membanjir keluar
dari goresan di leher mereka.
Tidak terasa pagi telah datang kembali men-
jemput alam persada. Pendekar Gila, Ki Legok Menggo,

Ki Wulung dan Ki Kalawuku segera berangkat ke ru-
mah Ki Anom Purbo. Mereka khawatir dengan kesela-
matan Suriwami. Namun seketika wajah mereka kem-
bali cerah, ketika melihat Suriwarni dan Nyi Wulung
serta Murni yang bisa kembali berbicara masih dalam
keadaan selamat.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar
Gila, " kata Murni yang telah kembali bisa berbicara.
Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Hua ha ha...! Lucu sekali! Hua ha ha...!"
Pagi yang masih buta, seketika terpecahkan
oleh suara gelak tawa Pendekar Gila. Sedangkan Murni
hanya tersipu-sipu malu. Tubuh gadis itu tak bungkuk
lagi, bahkan kecantikannya semakin jelas.
"Sebenarnya Murni memang dalam pengaruh-
ku. Sengaja dia kubuat bisu, agar orang tak curiga pa-
danya," tutur Suriwami menjelaskan pada Pendekar
Gila dan lainnya.
"Aha, pintar sekali!" gumam Sena.
"Nisanak, tentunya kau tahu siapa sebenarnya
Ki Soma? Dan dari mana asalnya?" tanya Ki Legok
Menggo.
"Masalah itu, Ki Anom yang tahu," Suriwarni
melemparkan pertanyaan itu pada Ki Anom Purbo.
"Baiklah, akan kuceritakan siapa mereka sebe-
narnya, termasuk gadis bisu dan bungkuk itu," ujar Ki
Anom Purbo. Kemudian, setelah terbatuk-batuk kecil,
Ki Anom Purbo pun menceritakan siapa sebenarnya Ki
Soma dan istrinya.
"Ki Soma dan istrinya tak lain Siluman Bajul
Ireng. Sebetulnya adik sepupu Ki Legok Menggo telah
tewas di tangan Ki Soma dan istrinya. Keduanya juga
yang memimpin Gerombolan Bajul Ireng, yang diburu
pihak Kerajaan Sempangga. Untuk menghindari keja

ran pihak kerajaan, keduanya menjelma menjadi Soma
dan Writampi yang telah hilang dibantai mereka."
Ki Anom Purbo menghentikan ceritanya sesaat
untuk menghela napas. Keningnya berkerut, seolah-
olah tengah mengingat kejadian yang cukup lama itu.
"Kedua anggota Gerombolan Bajul Ireng itu
menggunakan ilmu 'Pangling Rupa' yang mereka pero-
leh dari seorang lelaki tua renta bernama Angkara Se-
ta. Mereka mendapat ilmu itu ketika menuntut ilmu di
Goa Lawa di Pantai Selatan. Sedangkan gadis bungkuk
dan bisu berwajah buaya itu masih tetap seperti wu-
judnya. Dia tak bisa mengubah wujudnya menjadi ma-
nusia, karena ilmunya belum setinggi ilmu ‘Pangling
Rupa’ yang dimiliki Soma dan Writampi."
Kembali Ki Anom Purbo menghentikan ceri-
tanya. Ditatapnya wajah-wajah yang ada di depannya
untuk, mengetahui tanggapan mereka.
"Karena Soma tahu kalau Ki Gagar Blarak
orang kerajaan dan banyak membunuh anggota ge-
rombolannya, dia memfitnah dan menuduh Ki Gagar
Blarak sebagai pimpinan Gerombolan Bajul Ireng. Se-
dangkan aku diancam. Karena aku memang pernah
berhutang budi pada Bajul Biru, orangtua Soma dan
Raja Bajul. Itu sebabnya aku tak dapat menolong ayah
Murni. Begitulah ceritanya," desah Ki Anom Purbo
dengan mata berkaca-kaca, mengingat penderitaan
yang dialami Murni. Kalau kau mau, biarlah kau kua-
ngkat menjadi anakku, Murni!"
"Terima kasih, Paman," jawab Murni. "Aku su-
dah bersama Bibi Suriwarni."
"Ah, syukurlah kalau begitu! Yang penting, se-
muanya kini telah berlalu," gumam Ki Legok Menggo.
"Aku sangat berterima kasih pada kalian. Entah den-
gan apa aku kelak dapat membalas. Tanpa bantuan
kalian, mungkin desa ini akan menjadi desa yang di

huni iblis-iblis."
"Aha! Bagiku bukan masalah, Ki. Semua yang
kulakukan untuk membela kebenaran dan keadilan.
Kini, yang paling utama bagaimana membangun desa
ini kembali."
"Pintar juga pikiranmu, Pendekar Gila," sahut
Ki Kalawuku.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak menyak-
sikan keceriaan di wajah mereka. Terlebih-lebih Murni,
gadis cantik berusia lima belas tahun itu tersipu malu,
ketika Pendekar Gila memandang wajahnya. Begitu
pun Suriwarni alias si Bayangan Bidadari.
Samar-samar dari arah timur nampak cahaya
kuning kemerahan membias, pertanda pagi telah datang.


                         SELESAI

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung Hari Ini

Cari Blog Ini

Translate

Penting Buat Kita Sebagai Hamba Allah

QS. Al-Ankabut (29): 45 "Bacalah kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan sungguh, mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Menjelaskan fungsi salat sebagai pencegah maksiat).

Mengenai Saya

Foto saya
palembang-indonesia, sumatera selatan, Indonesia
nama :saya matjenuh berasal dari dusun airputih desa sungainaik.buat teman teman yang ingin mengcopas file diblog ini saya persilahkan.. motto:bagikan ilmu mu selagi bermanfaat buat orang lain agama:islam.. hobby:main game