1
Kakek berdaster biru berperut besar seperti
perempuan hamil itu masih duduk di pohon randu
miring di tepi telaga kecil. Dua tangan dijadikan
bantalan kepala. Sedangkan salah satu kakinya
yang terjulur ke permukaan telaga terus ber-
goyang-goyang tak mau diam.
Matanya menerawang memandang ke langit
biru. Dalam kesunyian suasana di sekitar telaga
dan di tengah-tengah panas terik yang membakar
dia berkata seorang diri. "Sengkala Angin Darah.
Benda sakti yang konon berasal dari jasad mayat
manusia digjaya yang telah mati ribuan tahun lalu
itu kini semakin banyak meminta korban. Padahal
masih tidak jelas di tangan siapa benda itu berada.
Hem...!" Si kakek menggumam. Dia terdiam bebe-
rapa saat lamanya. Lalu berfikir sambil mengingat-
ingat. Mulut si kakek berdaster biru yang dikenal
dengan nama Ki Edan Samberata salah satu dari
tiga tokoh kembar bertabiat aneh berkomat-kamit.
"Kalau tidak salah waktu terjadi perebutan
Sengkala Angin Darah antara Saba Geni dengan
dua gadis bernama Laras dan Larti. Aku sempat
melihat satu bayangan putih berkelebat diantara
kepulan asap tebal yang sangat panas luar biasa.
Bayangan putih kemudian lenyap bersama hilang-
nya asap panas dan benda itu. Siapapun adanya
orang berpakaian putih itu, aku yakin dia telah
berhasil membawa lari Sengkala Angin Darah. Tapi
apakah benar barang yang dilarikannya adalah
benda sakti yang sesungguhnya atau cuma palsu
belaka? Konon menurut yang kudengar Sengkala
Angin Darah merupakan sebuah benda sakti luar
biasa hebatnya. Jangankan sampai menyentuh-
nya. Orang yang berani mendekati benda itu seja-
rak empat tombak tubuhnya pasti terpental, lalu
hangus dan tewas seketika. Sosok serba putih itu
bukan saja sanggup menerobos kepulan asap pa-
nas dan pusaran angin yang bergulung-gulung, te-
tapi Sengkala Angin Darah juga dibawanya pergi.
Dia pasti bukan orang berkepandaian rendah." Ka-
ta Ki Edan Samberata. Orang tua itu terdiam lagi.
Hanya mulutnya berkemak-kemik,
Keningnya berkerut dan ia mencoba berfikir keras,
siapa gerangan sosok berpakaian putih yang telah
melarikan Sengkala Angin Darah.
Ki Edan Samberata lalu manggut-manggut.
Bersikap seolah telah mengetahui sesuatu. Padah-
al hatinya diliputi perasaan bingung.
Selagi Ki Edan terombang-ambing oleh fiki-
rannya sendiri. Pada waktu bersamaan dia men-
dengar suara langkah kaki berlari cepat ke arah te-
laga. Ki Edan coba memasang pendengarannya.
Ternyata suara orang yang berlari itu datang dari
arah sebelah timur. Baru saja orang tua ini ber-
maksud meninggalkan telaga, gerakannya jadi ter-
tahan karena di tepi telaga saat itu telah muncul
dua laki-laki. Laki-laki pertama adalah seorang
pemuda berpakaian serba hitam berbadan tegap.
Sedangkan di bagian pinggangnya tergantung sebi-
lah pedang. Sedangkan orang yang menyertai ada-
lah seorang kakek berbadan kurus dan cuma memakai penutup aurat. Yang mengerikan dari pe-
nampilan kakek ini. Sekujur tubuhnya digelayuti
sembilan ekor ular berwarna hitam. Sembilan ular
itu tentu saja sangat beracun.
Melihat penampilan dan ciri-ciri si kakek. Ki
Edan Samberata tentu saja tahu siapa kakek di
pinggir telaga itu. Sedangkan mengenai pemuda
yang menyertainya Ki Edan sama sekali tidak
mengenalnya.
Melihat orang berdaster biru tiduran di ba-
tang pohon kapuk doyong di atas telaga si kakek
nampaknya terkejut sekali. Bahkan tanpa sadar ia
meraba bagian selangkangannya sendiri.
"Bangsat jahat ini, bukankah dia orangnya
yang telah mengambil anuku?" batin si kakek ge-
ram. Dengan geram pula tanpa menghiraukan pe-
muda yang menyertainya dia langsung mendam-
prat. "Tua bangka kurang ajar bernama Ki Comot
Jalulata. Kucari ke mana-mana tidak tahunya ada
di sini. Sekarang cepat kembalikan barangku. Se-
telah itu kau harus membunuh diri sebagai pene-
bus atas segala dosa yang telah kau lakukan ke-
padaku!" teriak si kakek yang bukan lain adalah
Iblis Ular Sembilan. Rasa kejut kemudian berubah
menjadi tawa ketika Ki Edan menyadari agaknya
telah terjadi kesalah pahaman.
Masih dalam keadaan rebah di pohon ka-
puk Ki Edan berkata. "Orang tua sinting. Agaknya
kau sudah gila. Bertemu dengan dirimu saja baru
kali ini. Enak saja kau mengatakan dan meminta
supaya aku mengembalikan barangmu. Memang
barang apa yang kuambil?" hardik Ki Edan.
"Kurang ajar. Jangan berlagak tolol. Bukan-
kah kau yang datang ke puncak bukit di Telaga
Setan. Waktu itu kau mengambil barangku yang di
bawah, apakah kau masih mau mangkir?" si kakek
berteriak marah.
"Hak hak hak! Sepanjang hidup cuma ma-
kan laler dengan kelapa hijau. Tapi semua itu Cu-
ma membuatku menjadi Ki Edan. Dan kau… enak
saja menuduhku telah mengambil barangmu? Apa
kau mengira barangmu paling bagus sedunia? Se-
tan... kau dengar baik-baik. Namaku bukan Ki
Comot. Aku saudaranya si tua jahil itu. Namaku
sendiri adalah Ki Edan Samberata. Sekarang se-
baiknya kau pergilah dari hadapanku!" ujar Ki
Edan Samberata tegas.
Mendengar ucapan orang yang terkesan tak
memandang muka sama sekali marahlah Iblis Ular
Sembilan dibuatnya.
Tapi belum lagi si kakek sempat bicara pe-
muda yang bersamanya langsung bicara. "Orang
tua, jangan kau berani bertingkah di depanku. Se-
rahkan apa yang diminta oleh kakek sahabatku ini
cepat!"
"Eh, kau siapa?" tanya Ki Edan sambil me-
mandang tajam ke arah pemuda itu. Si pemuda
tersenyum. Dengan suara lantang pula dia menja-
wab. "Aku yang gagah ini bernama Pasadewa."
"Pasadewa? Badan tegap, kulit hitam, ber-
bulu macam monyet lutung begitu mengaku orang
gagah. Ha ha ha. Lalu apa perlumu membantu Ib-
lis Ular Sembilan menanyakan barangnya yang ti-
dak ada padaku?"
"Kakek jahanam. Berani kau menghinaku.
Terima kematianmu!" teriak Pasadewa kalap. Pe-
muda itu siap melabrak ke arah si kakek!
Namun pada saat bersamaan terdengar su-
ara seruan. "Pasadewa tahan!" Pemuda itu terpak-
sa membatalkan niatnya untuk menyerang. Den-
gan cepat ia menoleh.
Ternyata yang mencegahnya tadi adalah sa-
habatnya Iblis Ular Sembilan.
"Mengapa kau melarangku?" Tanya Pasa-
dewa penuh teguran.
Iblis Ular Sembilan tersenyum sambil ber-
kata.
"Membunuh manusia seperti dia sama mu-
dahnya dengan membalikkan tangan. Tapi sebe-
lum itu kita lakukan bukankah lebih baik kita ta-
nyakan beberapa hal penting kepadanya?" ujar si
kakek. Lalu tanpa menunggu lebih lama ia berkata
ditujukan pada Ki Edan Samberata. "Ki Edan.
Mungkin kau memang bukan Ki Comot Jalulata.
Kau pasti saudara kembarnya. Sebagai saudara
kembar kau tentu tahu di mana saudaramu Ki
Comot Jalulata yang telah mengambil perabotan-
ku. Katakan cepat, jangan berani berdusta!" tegas
Iblis Ular Sembilan.
Ki Edan dongakkan kepala, mata berkedip-
kedip sedangkan kening berkerut seakan mencoba
mengingat-ingat. Setelah itu dengan mimik serius
dia menjawab. "Saudaraku Ki Comot Jalulata itu
sama seperti saudara kembarku satunya lagi yaitu
Ki Betot Segala. Orangnya angin-anginan tidak
mudah ditebak karena otaknya terkadang memang
mengalami gangguan. Menurut dugaanku saat ini
dia pasti ada di sekitar kolong langit juga. Aku per-
caya akan hal itu. Cuma di kolong langit sebelah
mana silahkan kau cari sendiri!" ujar si kakek.
Jawaban ini tentu saja membuat geram Iblis
Ular Sembilan. Namun ia masih berusaha mene-
kan kemarahannya dengan mengajukan perta-
nyaan lain. "Jawaban yang cukup bagus." Geram-
nya. "Satu lagi pertanyaanku. Apakah kau tahu di
tangan siapa benda sakti bernama Sengkala Angin
Darah berada?"
Mendengar pertanyaan itu diam-diam Ki
Edan Samberata terkejut. Tapi dasar Ki Edan
orangnya suka mengerjai orang lain. Dengan te-
nang dia menjawab. "Sengkala Angin Darah..."
gumam Ki Edan berulang-ulang. "Benda itu me-
mang menjadi rebutan banyak pihak. Kalau tak
salah benda itu sekarang berada di puncak Sebe-
las Tangga Kematian." Jelas si kakek.
Iblis Ular Sembilan jadi tercengang menden-
gar penjelasan Ki Edan Samberata. Sebagai orang
yang sudah kenyang makan asam garam dunia
persilatan dan cukup mengenai banyak daerah
tentu saja Iblis satu ini tahu benar di mana letak
daerah itu. Sebaliknya Pasadewa yang tidak men-
getahui daerah yang disebutkan segera ajukan
pertanyaan. "Orang tua edan. Kau jangan main-
main. Kurasa di tanah Jawa ini tak ada suatu dae-
rah pun bernama Puncak Sebelas Tangga Kema-
tian."
"Sobat muda. Kau tak usah risau. Aku tahu
tempat yang disebutkannya itu. Tapi untuk mencapai tempat itu tidak mudah. Akan banyak rin-
tangan yang kita hadapi. Selain itu Puncak Sebelas
Tangga Kematian adalah tempat yang sangat ber-
bahaya. Tempat itu ditinggali oleh seorang tokoh
maha ganas bergelar Iblis Dalam Matahari atau Ib-
lis Matahari. Kudengar tak seorangpun dapat ke-
luar dari tempat itu dalam keadaan hidup bila ber-
temu dengan Iblis Matahari. Jika benda sakti itu
berada di tangan Iblis Matahari, akan sulit bagi ki-
ta untuk mendapatkannya!" ujar Iblis Ular Sembi-
lan.
Pasadewa mendengus sinis. "Aku memiliki
burung rajawali putih siluman. Biarpun benda itu
ada di neraka, rajawali silumanku pasti sanggup
membawa kita ke tempat itu. Tapi siapa berani
menjamin kalau manusia sinting berpakaian se-
perti nenek bunting itu tidak mengadali kita?" ujar
Pasadewa yang segera memperhatikan Ki Edan.
Si kakek tersenyum. Dia bangkit berdiri, se-
lanjutnya melompat turun dari pohon kapuk mir-
ing. Sambil bertolak pinggang dia mencoba meya-
kinkan. "Kalian berdua adalah orang-orang gagah.
Apa yang kuketahui ini belum pernah kuberitahu-
kan pada orang lain."
"Lalu mengapa kau begitu saja memberita-
hukan semua itu pada kami?" tanya Iblis Ular
Sembilan curiga.
Sambil tersenyum-senyum Ki Edan menja-
wab. "Kau tak usah berburuk sangka padaku ka-
kek kurus. Terlalu banyak berburuk sangka mem-
buat fikiranmu menjadi tidak tenang. Kurasa itu-
lah yang membuat tubuhmu tidak bisa gemuk.
Aku rela memberitahukan tempat itu kepadamu
karena mengingat kesalahan yang dibuat oleh
saudaraku Ki Comot Jalulata. Aku tidak tahu buat
apa dia mengambil barang antikmu. Yang jelas ra-
hasia penting ini kujelaskan padamu hitung-
hitung sebagai penebus dosa yang dilakukan oleh
saudara kembarku itu!" ujar Ki Edan Samberata.
Jawaban ini rupanya cukup meyakinkan
bagi Iblis Ular Sembilan. Sambil memandang pada
Pasadewa dengan lirikan penuh arti, Iblis Ular
Sembilan kemudian berkata ditujukan pada Ki
Edan. "Terima kasih atas Segala penjelasanmu.
Tapi terus terang, aku tetap akan membunuhmu!"
Ki Edan nampak tercekat. Tapi mulutnya
menyunggingkan senyum penuh arti. "Sudah ku-
duga orang-orang golongan sesat sejak dulu me-
mang tidak pernah memegang janji. Mestinya ku-
bunuh kalian sejak dari tadi. Sayangnya aku tidak
punya nafsu membunuh manusia banyak dosa se-
perti kalian. Kakek kurus, jika kau memang mau
membunuhku. Cepat lakukan! Tapi ingat. Jika aku
sudah mati, arwahku pasti akan mencari saudara-
ku. Akan kuminta barangmu yang pasti disimpan
di dalam kendi perak pembeku. Jika barangmu te-
lah kudapatkan. Aku akan meremasnya sampai
hancur. Seumur hidup kau pasti menderita gun-
cangan batin yang berat. Tanpa barang antik, hi-
dupmu pasti tidak berguna walaupun hidupmu
diperpanjang oleh Gusti Allah selama seribu tahun
lagi! Ha ha ha!" kata Ki Edan disertai tawa terge-
lak-gelak.
Iblis Ular Sembilan sempat ciut nyalinya
mendengar ucapan Ki Edan. Dia ingat biarpun
usianya sudah sangat lanjut. Tapi yang namanya
semangat dan nafsu tentu tidak kalah dengan pe-
muda belasan tahun. Benar kata Ki Edan, apa ar-
tinya hidup tanpa yang satu itu? Dia tidak akan
dapat menikmati segala keindahan yang ada di se-
kelilingnya. Salah satu keindahan yang pernah ter-
lewati itu ada pada diri Pandan Arum, kekasih Pa-
sadewa. Tapi pada saat itu muncul satu keraguan
lain di hatinya. Benarkah pusaka yang diwarisinya
sejak dirinya terlahir ke dunia masih utuh? Pa-
dahal kejadian pencurian barang antik itu sudah
berlangsung seminggu lebih.
"Iblis Ular Sembilan. Dalam beberapa hal
mungkin boleh kita mempercayai ucapannya. Tapi
untuk persoalan barangmu yang hilang, siapa
yang berani menjamin barang itu tidak busuk
sampai hari ini. Biarlah aku yang mewakilimu un-
tuk membetot nyawanya!" tegas Pasadewa.
"Jangan! Biarkan aku yang melakukannya!"
teriak Iblis Ular Sembilan. Selesai berkata begitu
Iblis Ular Sembilan goyangkan bahu kiri kanan.
Begitu bahu diguncang. Dua ular hitam bergelayu-
tan di bagian bahu laksana kilat langsung melesat
ke udara. Sedangkan mulutnya yang bergigi tajam
itu siap menghujam ke bagian dada dan perut Ki
Edan. Melihat serangan ganas binatang berbisa ini
Ki Edan memang sempat terkesiap. Namun dengan
cepat sekali ia jatuhkan diri hingga tubuhnya sa-
ma rata dengan pohon yang tadi dipergunakan un-
tuk merebahkan diri. Setelah itu tangan kanan di-
pergunakan untuk mematahkan cabang pohon.
Dengan mempergunakan cabang pohon tersebut
kedua ular itu coba dihalaunya.
Wuut! Wuut!
Sambaran angin deras yang keluar dari ca-
bang pohon membuat kedua ular itu sempat terdo-
rong mundur. Hanya sesaat saja hal itu terjadi ka-
rena di lain kejab kedua ular sambil mengeluarkan
desisan marah kembali menyerbu ke arah si kakek
dengan kecepatan berlipat ganda.
Ki Edan gelengkan kepala. Secepat kilat dia
melesat ke udara. Tapi ular-ular yang tadinya me-
nukik tajam ke bawah, kini secara tiba-tiba berba-
lik berputar dua kali, kemudian ikut melesat pula
ke atas mengejar lawannya. Ki Edan merasa mati
kutu, tapi tidak kehabisan akal. Cepat dia merogoh
sesuatu dari balik saku celananya. Dua buah ben-
da berwarna putih kemilau berbentuk bulat sebe-
sar buah karet lalu disambitkan ke arah kedua
ular itu.
Hebatnya begitu kedua benda dilempar ke
udara. Hanya dalam waktu sepersekian detik telah
berubah menjadi dua buah senjata berbentuk roda
dengan sisi bergerigi seperti gergaji. Kedua senjata
itu kemudian berputar dan menghantam kedua
ular tersebut. Dua binatang berbisa tak dapat lagi
menghindar dan langsung terpotong-potong men-
jadi beberapa bagian. Darah muncrat ke mana-
mana. Iblis Ular Sembilan keluarkan suara raun-
gan marah begitu melihat dua ularnya hancur di
tangan lawan. Dengan penuh kemarahan kakek ini
melompat ke udara. Dua tangan dihantamnya ke
sekujur tubuh lawan. Sedangkan tujuh ular yang
bergelayutan di tubuhnya ikut pula berlesatan
menyerbu ke arah Ki Edan. Rasa kaget di hati ka-
kek ini bukan olah-olah. Tujuh ular kini menye-
rang dirinya dari tujuh arah. Sedangkan dua pu-
kulan Iblis Ular Sembilan disadari oleh Ki Edan
dapat meremukkan dada dan menghancurkan isi
perutnya. Tapi ia menyadari serangan tujuh ular
beracun itu tentulah lebih berbahaya bahkan san-
gat mengancam keselamatan jiwanya. Karena itu
dia tidak mau mengambil resiko. Hanya dalam be-
berapa saat saja sambil mengumbar teriakan
menggelegar, Ki Edan segera mengerahkan jurus-
jurus silatnya yang penuh keedanan.
Dalam keadaan tubuh mengambang di atas
ketinggian sekitar empat tombak di atas tanah Ki
Edan lalu memutar kedua tangannya membentuk
sebuah perisai diri yang sangat kokoh. Anginpun
kemudian menderu dari kedua tangan Ki Edan.
Kemudian tubuh si kakek meliuk-liuk seperti
orang menari. Terkadang tubuh yang mengapung
di udara itu nampak terhuyung, tidak jarang mir-
ing ke kanan atau ke kiri. Kemudian kakinya me-
lesat ke atas.
Tas! Tees! Tes!
Buuk! Buuk!
Tujuh ular terpental terkena sambaran an-
gin yang keluar dari telapak tangan maupun ujung
lengan daster biru Ki Edan. Sedangkan tendangan
kaki orang tua ini mengenai perut Iblis Ular Sem-
bilan. Tapi tak urung salah satu pukulan kakek itu
mendera bahu Ki Edan membuat orang tua itu ja-
tuh terpelanting. Begitu juga halnya dengan Iblis
Ular Sembilan.
Celaka bagi Ki Edan Samberata, begitu tu-
buhnya hampir menyentuh tanah sebuah tendan-
gan yang luar biasa keras menghantam bagian
punggungnya. Tak urung tubuhnya terpental lagi.
Lalu jatuh berkelukuran.
"Jangan beri kesempatan, bunuh dia!" te-
riak Iblis Ular Sembilan yang pada waktu itu telah
bangkit berdiri. Begitu berdiri tegak dia jentikkan
jemari tangannya ke arah tujuh ular yang berteba-
ran di atas tanah. Hebatnya begitu tangan dijen-
tikkan, ketujuh ular piaraannya segera melesat ke
arah si kakek, kemudian bergelayutan di sekujur
tubuh orang tua itu.
Sementara Pasadewa adalah seorang pemu-
da penuh ambisi dan selalu haus darah. Karena
itu begitu mendapat aba-aba dari sahabatnya den-
gan tidak membuang-buang waktu lagi dia lang-
sung melesat ke arah Ki Edan Samberata. Selagi
tubuh pemuda ini mengapung di udara dia mele-
paskan pukulan Lisus Nyawa. Salah satu keheba-
tan pukulan yang dilepaskannya ini selain sang-
gup menjebol gunung juga dapat memporak po-
randakan konsentrasi lawan. Dan memang itulah
yang kemudian terjadi. Ketika tangan kiri Pasade-
wa menghantam ke arah Ki Edan. Dari telapak
tangan Pasadewa menderu angin yang sangat ken-
cang luar biasa. Hebatnya setelah berada di udara
pusaran angin memecah menjadi beberapa bagian.
Masing-masing pusaran angin tersebut kemudian
menghantam kaki dan anggota tubuh Ki Edan dan
lainnya. Ki Edan delikkan mata. Tapi dia tidak
mau mati konyol terhantam pusaran angin yang
bersumber dari kesaktian lawannya itu. Kini tanpa
membuang waktu lagi Ki Edan Samberata mulai
memperlihatkan segala kegilaannya. Sambil berte-
riak keras Ki Edan hantamkan kaki tangannya ke
atas tanah. Satu guncangan hebat luar biasa me-
landa daerah di sekitar telaga. Tanah kemudian
terbelah merengkah. Ki Edan amblas lenyap dalam
rengkahan tanah. Dengan begitu pusaran angin
yang menggila hanya melabrak tempat kosong ke-
mudian menghantam beberapa pohon di pinggir
telaga. Di antara pepohonan ada yang bertumban-
gan disertai suara berderak. Tapi tidak jarang pe-
pohonan sebesar pelukan orang dewasa tercabut
sampai ke akar-akarnya, lalu mencelat beberapa
tombak jauhnya dari tempat dimana pohon-pohon
itu berdiri.
Pasadewa terkesiap, tak percaya dengan ke-
nyataan yang terjadi. Dia memandang dengan ma-
ta mendelik ke arah rengkahan tanah. Dan Pasa-
dewa jadi kaget ketika melihat secara tidak terduga
dari dalam tanah dimana Ki Edan melenyapkan di-
ri melesat puluhan batu-batu panas membara se-
besar anak kerbau ke arah dirinya juga Iblis Ular
Sembilan.
"Jahanam celaka, bagaimana hal ini bisa
terjadi?" desis Pasadewa.
"Kurang ajar. Darimana si gila itu menda-
patkan batu berapi?' batin Iblis Ular Sembilan
sambil menghindari terjangan bebatuan yang
mengobarkan api tersebut.
Selagi kedua lawan nampak sibuk mencari
selamat. Dari dalam rengkahan tanah Ki Edan me-
lesat keluar. Dalam keadaan berjumpalitan di uda-
ra Ki Edan mengumbar tawa sambil berkata. "Aku
baru saja keluar dari perut bumi. Di sana ternyata
aku tidak diterima penguasa bumi. Tempatnya pa-
nas luar biasa seperti di neraka. Tempat itu kurasa
cocok untuk kalian! Nah... aku sudah berbaik hati
membuatkan suatu jalan. Sekarang masuklah ke
dalam lubang itu!" ujar Ki Edan. Baru saja kakek
aneh ini selesai berucap, baik Iblis Ular Sembilan
maupun Pasadewa tiba-tiba merasakan sekujur
tubuhnya seperti tertarik, tersedot ke arah lubang
menganga akibat hantaman kaki Ki Edan.
Kedua orang ini dalam kagetnya segera
mengerahkan seluruh tenaga sakti yang mereka
miliki untuk bertahan agar tidak sampai terpero-
sok amblas ke dalam lubang. Sekujur tubuh mere-
ka bergetar, berkeringat bercucuran. Iblis Ular
Sembilan menggeram dalam hati. "Bangsat gila ini
punya ilmu apa rupanya?" maki si kakek.
"Pasadewa! Pergunakan ilmu meringankan
tubuhmu. Bangsat ini punya ilmu yang sanggup
membuat seolah-olah tanah yang kita pijak inipun
berpihak kepadanya!" teriak Iblis Ular Sembilan.
"Hiya...!"
"Huup!"
Baik si kakek maupun Pasadewa dengan
gerakan laksana kilat sama-sama melesat ke uda-
ra. Anehnya begitu tubuh mereka mengambang di
atas tanah pengaruh daya tarik yang luar biasa ta-
di mendadak lenyap.
"Kurang ajar kedua setan ini ternyata dapat
meloloskan diri dari pengaruh kekuatan ilmuku!"
gerutu Ki Edan sambil bersungut-sungut. Dengan
cepat orang tua ini melompat mundur begitu meli-
hat kedua orang yang melesat di udara itu kini te-
lah menghantamkan pukulan secara bersamaan
ke arah dirinya. Ki Edan tidak punya pilihan lain.
Diapun segera menangkis kedua serangan itu.
Tangan kiri dipergunakan menangkis serangan Ib-
lis Ular Sembilan. Sedangkan tangan kanan diper-
gunakan untuk menyambuti pukulan Pasadewa.
Plak! Plak!
Buuk!
Pukulan yang dilakukan Iblis Ular Sembilan
ternyata masih dapat ditangkis oleh Ki Edan. Tapi
hantaman keras yang dilakukan oleh Pasadewa
masih sempat menghantam bagian dada orang tua
itu. Akibatnya Ki Edan Samberata terpelanting se-
jauh tiga tombak. Dadanya seperti remuk, sakit
berdenyut dan serasa hancur di bagian dalam.
Tanpa menghiraukan rasa sakit yang dia
derita Ki Edan bangkit berdiri. Iblis Ular Sembilan
merasa sekaranglah saatnya untuk menghabisi
lawannya. Tapi sebelum dia sempat mengambil
tindakan, Pasadewa sudah mencabut pedangnya.
Pedang berwarna putih mengkilat itu lalu diangkat
tinggi siap dihujamkan ke dada lawan.
Kemudian laksana kilat sambil berseru dia
melabrak ke arah Ki Edan.
"Orang tua sekaranglah akhir dari segala
cerita hidupmu. Heaa...!"
Ki Edan menyadari serangan Pasadewa ada-
lah serangan yang sangat berbahaya sekali. Karena itu dia tidak mau bersikap ayal. Dua tangan
dengan mempergunakan tenaga dalam penuh ke-
mudian didorongkannya ke depan menyambuti tu-
sukan dan babatan pedang lawannya. Sinar merah
melesat dari telapak tangan si kakek. Tapi pada
waktu yang hampir bersamaan pula mendadak
angin bertiup kencang, kilat bersabung petir
menggelegar. Di lain waktu Pasadewa menjerit.
Bukan karena terhantam sinar merah yang men-
cuat dari telapak tangan Ki Edan. Melainkan aki-
bat hantaman angin dingin luar biasa yang seolah
datang dari segala penjuru.
Ki Edan tertegun. Sebaliknya Iblis Ular
Sembilan terkesiap. Mata memandang lurus ke
arah Pasadewa yang nampak megap-megap dan
berusaha bangkit berdiri. Pedang milik pemuda itu
terpental entah ke mana. Sementara itu di tengah-
tengah suara deru petir yang diseling oleh suara
raungan mengerikan lapat-lapat terdengar suara
orang berkata. "Begitu banyak orang binasa kare-
na mencari suatu kejelasan. Jika sayang nyawa
harap angkat kaki dari tempat ini!"
"Jahanam! Siapa yang baru bicara tadi, ha-
rap tunjukkan diri!" teriak Iblis Ular Sembilan. De-
ru suara angin semakin menghebat. Seiring den-
gan hembusan angin yang sangat luar biasa itu,
pohon-pohon tercabut hingga ke akar-akarnya.
Kemudian belasan pepohonan menyerang
Iblis Ular Sembilan. Kakek berbadan kurus itu ter-
kejut bukan main. Sebelum batang pepohonan
yang melayang-layang sempat menghantam kepala
dan tubuhnya si kakek dengan muka pucat bergulingan selamatkan diri. Pasadewa demi melihat ge-
lagat yang tidak menguntungkan ini segera merap-
al mantra memanggil rajawali siluman yang men-
jadi burung tunggangannya selama ini.
"Rajawali siluman datanglah! Selamatkan
kami!" teriak Pasadewa.
Beberapa saat lamanya setelah gema suara
Pasadewa lenyap. Di angkasa sana terdengar suara
pekik rajawali disertai suara gemuruh yang me-
ningkahi suara gemuruh pertama. Kemudian di
tempat itu muncul seekor burung rajawali raksasa
berbulu putih. Burung Rajawali itu dengan kedua
kakinya langsung menyambar Pasadewa dan Iblis
Ular Sembilan. Seakan tidak terpengaruh oleh
hembusan angin menggila yang melabraknya dari
segala penjuru. Burung rajawali siluman berbulu
putih itu selanjutnya melesat tinggi dan terus
membubung ke udara.
Ki Edan yang sempat terkesima melihat dua
keanehan yang terjadi secara bersamaan menjadi
kaget begitu menyadari kedua lawannya berhasil
meloloskan diri.
Si kakek kemudian terdiam beberapa saat
lamanya. Dalam hati dia berkata. "Pemuda itu, ba-
gaimana dia bisa memiliki burung piaraan rajawali
siluman. Untung aku telah menipu mereka!" fikir-
nya.
Seakan mengerti apa yang ada di hati si ka-
kek saat itu. Di tengah-tengah suara deru angin
itu muncul satu sosok seorang pemuda berambut
panjang berpakaian putih. Suara deru angin men-
dadak lenyap, kilat yang menyambar juga raib. Sipemuda memandang si kakek sambil berkata. "Ki
Edan. Kau bukan menipu mereka. Sesungguhnya
kau telah memberi satu petunjuk dimana ke-
mungkinan benda itu berada!" ujar pemuda itu.
"Akh... si edan ini ternyata mengatakan se-
suatu yang benar? Padahal aku menyebutnya se-
cara ngawur?" ujar Ki Edan Samberata sambil de-
kap mulutnya.
"Tidak. Aku sudah melakukan penyelidikan.
Dan aku yakin Sengkala Angin Darah saat ini ke-
mungkinan besar berada dalam kekuasaan Iblis
Matahari."
"Iblis Matahari?" desis Ki Edan unjukkan
wajah kaget. "Bukankah dajal yang satu itu ber-
diam di Puncak Sebelas Tangga Kematian?" kata si
kakek.
"Memang dan kau telah mengatakannya!"
ujar pemuda itu.
"Lalu buat apa dipersoalkan? Sangat ba-
nyak orang yang menginginkan benda celaka itu.
Belum tentu Sengkala Angin Darah dapat dimiliki
oleh Iblis Ular Sembilan maupun pemuda yang
bersamanya."
"Memang betul. Tapi harus diingat. Dengan
membiarkan semua orang pergi ke Puncak Sebelas
Tangga Kematian. Berarti akan banyak korban
yang berjatuhan. Padahal di antara mereka belum
tentu semuanya merupakan orang yang berdosa!"
ujar pemuda itu.
Ki Edan terdiam, tapi kemudian setelah ber-
fikir sejenak dia berkata. "Mengapa kau begitu
memikirkan nasib orang-orang serakah itu? Apakah ini bukan berarti engkau sendiri sebenarnya
menghendaki Sengkala Angin Darah?" sindir Ki
Edan Samberata.
Si pemuda tersenyum. Hanya itu yang sem-
pat dilihat si kakek. Karena sekejap kemudian an-
gin kencang kembali berhembus. Hembusan angin
yang demikian kerasnya membuat pemuda itu le-
nyap dari pandangan mata. Ki Edan lagi-lagi di-
buat kaget. Pemuda itu datang dan pergi seperti
setan. Tapi meskipun pemuda itu lenyap, si kakek
sempat mendengar suara si pemuda yang bicara
seperti orang yang melantunkan bait-bait syairnya.
Orang tua...
Terlalu lama memendam curiga berburuk
sangka
Hanyalah akan menumpuk dosa
Tiada keburukan dapat menyatu dalam hati
yang putih
Pandanglah cakrawala
Di langit ada mendung
Tapi teriknya matahari kadangkala mem-
buyarkan angan dan harapan
Lalu...
Buat apa aku bicara dusta
Jika esok hidup penuh celaka ?
Suara si pemuda kemudian lenyap. Begitu
suara gemuruh suara angin ikut pula mele-
nyapkan diri sekali lagi di langit terdengar suara
petir menggelegar. Kemudian suasana di sekeli-
lingnya berubah menjadi sunyi.
Ki Edan Samberata diam tertunduk. Dia
mencoba mengingat-ingat siapa gerangan pemuda
yang telah menolongnya tadi. Akhirnya Ki Edan
tepuk keningnya sendiri. "Astaga! Bukankah pe-
muda itu si Tanpa Nama yang mempunyai julukan
Penyair Halilintar? Sungguh luar biasa pemuda
itu. Menyesal sekali aku sempat punya prasangka
yang bukan-bukan. Masih semuda itu tapi sudah
mempunyai kesaktian yang sangat luar biasa. Gi-
la." Ujar si kakek. "Beruntung dia tidak melantun-
kan bait-bait syairnya sepanjang hari. Kalau tidak
telingaku bisa tuli. Tapi apa benar seperti katanya
Sengkala Angin Darah memang telah dikuasai Iblis
Matahari. Aku harus mencari saudara kandungku
sekaligus memberitahukan apa yang baru kuden-
gar tadi!" kata si kakek.
Tidak mau berlama-lama lagi, Ki Edan
Samberata akhirnya tinggalkan tempat itu.
2
Berkat pertolongan yang diberikan Tapa
Gedek, luka dalam yang diderita gadis cantik ber-
nama Anggagini itu akhirnya dapat disembuhkan.
Anggagini merasa sangat senang sekali karena Ta-
pa Gedek ternyata mempunyai sifat yang hampir
sama dengan kakek gendut. Yang membuat gadis
ini menjadi gelisah karena Gentong Ketawa sampai
saat ini masih belum juga sadarkan diri. Kakek
berpakaian serba hitam, berambut kaku seperti
ijuk dan suka menggelengkan kepala ini sudah
mengeluarkan seluruh racun yang terdapat di ba-
gian lukanya. Tapi sampai sejauh itu si kakek gen-
dut masih belum menunjukkan tanda-tanda akan
sadar.
Anggagini yang saat itu duduk di atas batu
dalam keadaan bersila tiba-tiba membuka ma-
tanya. Dia memandang ke arah di mana si gendut
terbaring. Si gendut diam tak bergerak. Ketika
Anggagini bermaksud menghampiri orang tua itu
Tapa Gedek tiba-tiba mencegahnya.
"Hei, kuning cantik." Kata Tapa Gedek. Me-
rasa tak mengenal Anggagini si kakek enak saja
memanggil gadis itu 'kuning' karena Anggagini
memang berpakaian serba kuning. "Kau tak usah
merisaukan kakek kerbau bunting itu. Luka da-
lammu baru saja dalam taraf penyembuhan. Be-
lum sembuh betul. Jika kau banyak bergerak aku
kuatir luka itu akan kambuh lagi. Kakek itu tidak
apa-apa. Seluruh racun yang mendekam di bagian
luka dan yang menjalar di beberapa bagian tubuh-
nya telah kusedot keluar. Dia hanya membutuh-
kan waktu untuk istirahat." Ujar si kakek.
"Kau memanggilnya kerbau bunting? Men-
gapa kau berkata begitu kek?" tanya Anggagini
sambil kerutkan keningnya heran.
Tapa Gedek geleng-gelengkan kepala.
"Mumpung dia tidak sadar. Biarkan saja aku me-
manggil dia dengan sebutan apa. Tapi... apa sebe-
narnya yang telah terjadi. Sebelumnya aku melihat
wajah dan sekujur kakek ini membiru. Racun yang
terdapat di bagian lukanya jelas bukan racun biasa. Racun itu jelas seperti racun binatang?"
Meskipun sempat kaget tak menyangka ka-
kek itu mempunyai pengalaman luas dalam hal ra-
cun. Namun sang dara anggukkan kepala sambil
menjawab. "Dugaanmu benar, Kakek Gentong Ke-
tawa memang menderita keracunan setelah dia
terluka akibat terkena cakaran salah satu dari
Empat Laba-Laba Beracun. Tapi akhirnya keempat
manusia laba-laba itu dapat dibunuh oleh kakek
gendut." Ujar Anggagini memberi penjelasan.
"Hemm, Empat Manusia Laba-Laba kuketa-
hui bukan orang-orang yang baik. Yang membuat
aku heran mengapa mereka sampai menanam
permusuhan pada kakek ini?"
Sang dara tersenyum baru menjawab. "Me-
mang tidak ada permusuhan. Benda sakti yang
bernama Sengkala Angin Darah itulah yang men-
jadi gara-garanya." Sahut Anggagini.
Si kakek jadi semakin tidak mengerti hingga
membuat kepalanya bergoyang tak mau diam.
"Gara-gara? Hem, apa maksudmu?"
"Begini. Empat Manusia Laba-Laba menu-
duh Sengkala Angin Darah ada di tangan kakek
gendut. Entah siapa yang menyebarkan kabar fit-
nah itu. Yang jelas selama beberapa hari ini kami
terus dikejar-kejar oleh orang-orang dunia persila-
tan. Mereka semua mempunyai tujuan yang sama,
yaitu meminta benda sakti itu."
"Apakah benda sakti itu yang mereka minta
memang ada pada gendut itu?" tanya Tapa Gedek
sambil menatap ke arah Gentong Ketawa.
"Benda sakti apa? Aku telah bersamanya selama beberapa hari. Dan aku tahu benda itu me-
mang tidak ada padanya."
"Mungkin ada orang yang sengaja melontar-
kan fitnah untuk maksud dan tujuan tertentu."
Ujar Tapa Gedek setelah beberapa saat lamanya
sempat terdiam.
"Saya rasa juga begitu kek. Hanya aku tidak
tahu siapa orangnya. Mungkin nanti setelah kakek
gendut sadar kau dapat menanyakan langsung
kepadanya." Kata Anggagini. Lalu gadis itu ajukan
pertanyaan. "Kau sendiri siapa? Mengapa mau-
maunya bersusah payah menolong kami?"
Tapa Gedek tidak segera menjawab, melain-
kan pandangi mayat-mayat yang bergelimpangan
yang merupakan kaum cacat dari Lembah Sesat.
Baru saja si kakek hendak menjawab. Tak disang-
ka-sangka Gentong Ketawa menggeliat. Keluarkan
suara mengeluh seperti orang yang baru bangun
tidur, lalu duduk dengan mata jelalatan.
Sebagaimana wataknya, begitu sadar si
gendut bukannya menunjukkan sikap seperti
orang yang baru sembuh dari lukanya. Malah se-
baliknya orang tua ini menggumam. "Walah cucu-
ku Anggagini. Rupanya kau masih dalam keadaan
segar bugar. Ah, orang-orang malang itu mati se-
mua. Siapa yang membunuh? Padahal aku merasa
tidak melakukan apa-apa. Yang aku rasakan ju-
stru tidur di satu tempat yang sejuk, indah dan di-
temani oleh beberapa gadis cantik." Ucapan si ka-
kek mendadak terhenti begitu pandangannya
membentur sosok Tapa Gedek.
Gentong Ketawa menatapi kakek berambut
kaku itu. Ia berusaha mengingat sesuatu. Rasanya
tadi dia sempat melihat orang itu sebelum pada
akhirnya tidak sadarkan diri akibat berusaha me-
nahan serangan orang-orang cacat dari Lembah
Sesat. Dia melihat satu bayangan berkelebat
menghajar para pengeroyok. Setelah itu dia tidak
ingat lagi apa yang terjadi.
Merasa diperhatikan sedemikian rupa seba-
liknya Tapa Gedek jadi serba salah. Sehingga di-
apun bertanya. "Ada yang aneh dalam diriku ka-
kek gendut? Atau kau mengira aku ini seorang pe-
rempuan yang patut kau pandangi seperti itu?"
Gentong Ketawa tertawa lebar. Dia kemu-
dian berkata. "Rambut kaku, kulit hitam, pakaian
hitam. Kepala golang goleng melulu tak mau diam.
Apakah mungkin dalam diri orang dengan ciri-ciri
seperti itu ada yang menarik untuk dipandang?
Aku tidak ingat apakah aku pernah mengenalmu
sebelumnya. Tapi terus terang aku merasa berte-
rima kasih atas budi pertolonganmu. Kakek ber-
tampang bagus kau siapa?"
"Ha ha ha. Aku merasa kecakepan. Mes-
tinya kalau ada air jernih di sekitar sini aku patut
berkaca dulu." Kata Tapa Gedek. "Namun biarlah
tampangku memang sudah begini adanya. Aku ti-
dak perlu berkaca. Oh ya, kau bertanya siapa aku,
kakek gendut. Ketahuilah, namaku Tapa Gedek."
"Tapa Gedek. Aku tidak kenal dengan nama
jelek seperti itu." Gumam Gentong Ketawa.
"Kau boleh tidak mengenalku, karena waktu
itu aku tidak selalu bersama guruku."
"Siapa nama gurumu itu?" tanya si gendut
lagi.
"Guruku bergelar Manusia Selaksa Angin."
jawab Tapa Gedek.
Mendengar jawaban Tapa Gedek meledak-
lah tawa si gendut. Begitu kerasnya dia tertawa
sampai perutnya yang gendut bergoyang-goyang
sedangkan matanya yang sipit nampak seperti ter-
pejam. Begitu tawa Gentong Ketawa terhenti dia
berucap. "Oalah... jadi kau muridnya kakek salah
kaprah si tukang kentut itu. Ah bagaimana dia se-
karang. Masih seperti dulu apa sudah bongkok?
Kalau sudah bongkok punuknya ada berapa?"
"Guruku bukan sapi kek. Mana mungkin
ada punuknya." Ujar Tapa Gedek. Dia lalu melan-
jutkan. "Guruku masih seperti yang dulu. Kea-
daannya begitu-begitu saja. Masih suka kentut
malah kini kentutnya tambah dahsyat."
"Kau kelayapan meninggalkan gurumu.
Apakah sengaja ya mengintili aku?" tanya Gentong
Ketawa dengan tatapan penuh selidik.
"Siapa yang mengintili dirimu? Guruku cu-
ma berpesan padaku agar aku bisa membantumu
melakukan apa saja. Sebab menurut guru biarpun
temannya yang bernama Gentong Ketawa itu ba-
dannya besar seperti gajah bunting tapi otaknya
cuma sebesar buah kacang ijo. Guruku takut ter-
jadi sesuatu pada temannya itu."
"Kakek sial. Apakah kau lupa kalau orang
yang kau sebutkan itu adalah diriku?" hardik Gen-
tong Ketawa dengan mata melotot.
Tapa Gedek tertawa lebar. "Justru kau ada-
lah orang yang dimaksudkan oleh guruku. Itulah
sebabnya aku tadi bicara sopan karena takut me-
nyinggung perasaanmu." Ujar si kakek.
"Sopan apanya? Kau sudah berani bicara
kurang ajar. Mengatakan otakku cuma sebesar
kacang hijau, apakah kau sudah melihatnya sen-
diri?"
"Belum kek. Tapi kira-kira isi kepalamu ku-
rang lebih memang seperti yang dikatakan guru-
ku!" kata Tapa Gedek tetap ngotot.
"Sial. Awas... kapan-kapan jika aku bertemu
dengan tua bangka tolol Selaksa Angin pasti akan
kujitaki kepalanya yang setengah botak itu pulang
balik!" geram si gendut sambil mengusap kening-
nya yang selalu keringatan.
"Sudahlah kek. Kakek berambut kaku ini
bukan saja telah menolongmu tapi juga telah me-
nolongku. Sekarang sebaiknya kita bicarakan saja
urusan kita." Ujar Anggagini menengahi.
"Hemm, dia betul." Kata Tapa Gedek me-
nimpali. "Akupun jadi ingin tahu mengapa orang-
orang rimba persilatan mengejar dirimu bahkan
berniat ingin membunuhmu?"
Gentong Ketawa terdiam, wajahnya menda-
dak berubah muram. Dia bangkit berdiri sambil
menarik nafas dalam-dalam. Sekejap lamanya ia
layangkan pandangan matanya ke arah mayat-
mayat yang bergelimpangan. Mayat-mayat yang
semasa hidupnya bernasib malang. Hidup ter-
kungkung di Lembah Sesat diperbudak oleh seo-
rang manusia serakah lagi culas bernama Empu
Barada Sukma. Memandang ke arah mayat-mayat
itu mendadak mata si kakek meredup. Gentong
Ketawa merasakan sepasang matanya terasa pa-
nas. Diapun kemudian berkata dengan suara ter-
sendat. "Setelah melihat kemunculan orang-orang
dari lembah sesat ini. Rasanya sekarang baru aku
sadari siapa kira-kira orangnya yang telah mem-
buatku dikejar-kejar oleh kaum dunia persilatan."
"Memangnya mereka itu siapa kek? Ketika
aku muncul kemari, kulihat kau seperti mengalah
ketika mereka menyerangmu!" kata Tapa Gedek
sambil memandang tajam pada kakek itu.
Lagi-lagi Gentong Ketawa menarik nafas
pendek. Dengan perasaan berat pula ia berkata.
"Jika aku bicarakan tentang orang-orang cacat ini.
Maka semua itu tidak terlepas dari dosa yang telah
dilakukan oleh datuk sesat bernama Empu Barada
Sukma."
"Empu Barada Sukma?" desis Tapa Gedek
tersentak kaget. Lalu orang tua ini meneruskan
ucapannya. "Guruku mengatakan kakek sesat itu
adalah musuh besarmu. Ilmunya sangat tinggi.
Bahkan guruku merasa yakin jika orang itu sam-
pai menggunakan ilmu pukulan Pelenyap Jasad
Penyedot Darah kau mungkin tak sanggup meng-
hadapinya."
"Manusia Selaksa Angin benar. Biarpun aku
menggabungkan tiga pukulan sakti yang aku mili-
ki mungkin tidak bakal dapat berbuat banyak. Ku-
rasa hanya guruku Dewa Kincir Samudera yang
bisa menghancurkan kakek jahanam itu." Ujar
Gentong Ketawa.
"Astaga. Jadi engkau yang setua ini masih
punya guru?" tanya Tapa Gedek dengan mata terbelalak tak percaya.
"Ha ha ha. Memangnya cuma dirimu saja
yang punya. Aku juga punya tapi dia sangat jauh,
malah tempat tinggalnya aku tidak tahu."
"Guru sendiri tapi kau mengaku tidak tahu
dimana tempat tinggalnya?" ujar Tapa Gedek he-
ran.
"Guruku itu selalu menghabiskan waktunya
di satu pulau di tengah samudera. Di pulau apa
dan samudera mana aku sendiri belum pernah di-
beri tahu." Kata si gendut.
"Kek... aku tidak melihat apa hubungannya
mengenai orang-orang cacat yang telah menyerang
kita ini dengan orang yang bernama Empu Barada
Sukma." Ucap Anggagini menyela.
"Hubungannya tentu sangat erat sekali.
Orang-orang itu sejak bayi dirampas dari tangan
orang tuanya. Kemudian salah satu anggota badan
mereka dibuat cacat sebagai tanda kesetiaan. Sete-
lah itu jiwa mereka diracuni. Hingga menjadikan
mereka tidak mengenal diri sendiri, menjadi liar
dan ganas. Empu Barada Sukma sejak dulu punya
ambisi ingin menjadi paduka raja dunia persilatan,
memiliki prajurit yang ganas dan sebuas harimau.
Rencana itu kemudian menjadi berantakan karena
aku muncul di lembah itu. Pasukannya yang su-
dah terlatih kubuat porak poranda. Sebagian di
antara mereka masih bisa kubuat sadar. Sedang-
kan yang membangkang terpaksa kuhabisi. Sejak
saat itu aku tahu Barada Sukma pasti menyimpan
dendam kepadaku." Ujar si kakek.
"Kemudian bagaimana kau tahu orang itu
yang menjadi pangkal bencana hingga membuat-
mu dikejar-kejar orang?" tanya Tapa Gedek.
"Sebelumnya Barada Sukma secara terang-
terangan telah mengirimkan orang untuk menang-
kapku dalam keadaan hidup atau mati. Usaha itu
gagal. Kemudian belakangan ini muncul persoalan
lain. Orang-orang rimba persilatan mencari diriku.
Semula aku memang tidak dapat menduga siapa
orangnya yang telah menyebarkan berita gila itu.
Tapi fikiranku kemudian terbuka setelah kaum ca-
cat dari lembah sesat ini muncul dan menyerang-
ku."
"Ini berarti Barada Sukma memang ingin
melihatmu tewas di tangan orang lain." ujar Tapa
Gedek.
"Mungkin saja. Tapi kurasa dia punya suatu
rencana tentang benda itu. Barada Sukma ingin
memiliki Sengkala Angin Darah agar dia dapat
mewujudkan impiannya yang sempat kandas di
tengah jalan."
"Atau mungkin Sengkala Angin Darah me-
mang sudah berada di tangannya. Kurasa siasat
yang dijalankannya semata-mata karena ia ingin
membalaskan rasa sakit hatinya kepadamu sekali-
gus sengaja ingin mengalihkan perhatian orang
lain!" potong Tapa Gedek.
Gentong Ketawa manggut-manggut.
Anggagini bertanya. "Lalu apa yang akan ki-
ta lakukan?"
"Yang harus kita lakukan adalah mencari
benda sakti itu. Kemudian jika ternyata Sengkala
Angin Darah berada di tangan Barada Sukma kita
harus menyingkirkan kakek itu." Ujar Gentong Ke-
tawa.
"Aku ikut denganmu. Aku yakin mungkin
cuma aku yang bisa menghadapi Empu Barada
Sukma."
Si gendut menyeringai, memperhatikan ka-
kek di depannya sambil berkata. "Memang kau
mempunyai bekal ilmu kepandaian apa hingga be-
rani ikut denganku?"
"Jangan meremehkan diriku. Aku memiliki
ilmu pukulan Gelombang Naga!" kata Tapa Gedek.
"Hah...!" si gendut terperangah. Kakek tua
itu berjingkrak kaget, matanya terbelalak seakan
tidak percaya. "Kk... kau bagaimana bisa menda-
patkan ilmu selangka itu? Tapa Gedek... kau jan-
gan main-main. Ilmu Gelombang Naga kudengar
konon terdapat di Kubur Kuno, makam tua yang
tempatnya sendiri jarang orang yang tahu."
"Siapa yang main-main? Aku memang per-
nah sampai ke tempat itu." Ujar si kakek. Kemu-
dian dia menceritakan bagaimana dirinya sampai
terjeblos ke Makam Tua. Untuk lebih jelasnya si-
lahkan ikuti Episode 'Gelombang Naga'.
Gentong Ketawa geleng-gelengkan kepala,
tapi mulutnya berdecak penuh rasa kagum.
"Sungguh aku tidak percaya jika tidak men-
dengarnya sendiri. Tidak pernah kusangka manu-
sia butut sepertimu bisa mendapatkan ilmu itu!"
"Gendut sialan. Orang bertampang bagus
begini dikatakan butut!" kata Tapa Gedek bersun-
gut-sungut.
Gentong Ketawa tertawa tergelak-gelak.
Anggagini juga tidak mampu menahan tawanya
melihat tingkah kedua kakek itu.
"Ah... jadi marah rupanya. Tidak mengapa.
Kau mau ikut aku tidak melarang. Sekarang tung-
gu apa lagi? Mari kita pergi!" Selesai bicara si gen-
dut bangkit berdiri. Lalu tanpa bicara lagi si gen-
dut berkelebat pergi diikuti oleh Tapa Gedek dan
Anggagini.
3
Si gondrong bertelanjang dada itu masih sa-
ja menyandarkan tubuhnya di badan patung batu
tapa yang terdapat di kaki bukit. Dua kaki dijulur-
kan. Sedangkan kedua matanya nampak berkedap
kedip memandang ke langit. Sore itu cuaca me-
mang begitu cerah, langit biru tidak berawan dan
angin semilir berhembus membuat si gondrong
menjadi mengantuk.
Tak jauh dari si gondrong seorang gadis
berwajah cantik berpakaian serba putih duduk
bersila dengan kedua mata terpejam. Gadis berke-
pala botak sebagaimana layaknya seorang rahib
itu nampak begitu gelisah. Orang yang ditunggu
masih juga belum menampakkan diri. Padahal me-
reka sudah berada di situ cukup lama.
Sang dara jadi tidak sabar. Matanya yang
terpejam lalu terbuka. Dia memandang ke arah si
gondrong, Melihat sikap si gondrong yang tenang-
tenang saja gadis ini jadi tidak sabar.
"Gento... sampai kapan kita menunggu
orang tua itu? Aku curiga jangan-jangan dia meni-
pu kita?" Tak sabar gadis berkepala botak menge-
mukakan kekhawatirannya.
Si gondrong yang memang Pendekar Sakti
71 Gento Guyon adanya diam membisu.
"Pemuda geblek itu, apa yang difikirkan-
nya?" batin si gadis. Tak sabar Taktu bangkit ber-
diri. Kemudian dia menghampiri Gento. Setelah
dekat barulah dia tahu ternyata murid kakek gen-
dut Gentong Ketawa tertidur lelap. Semakin ber-
tambah jengkel saja gadis ini dibuatnya.
"Gento?" kata gadis itu dengan suara keras,
membuat Gento berjingkrak kaget dan mengusap-
usap matanya.
"Mengapa kau berteriak-teriak begitu Tak-
tu? Apa kau mengira aku tuli?" tanya sang pende-
kar sambil memandangi sang dara.
"Hi hi hi. Kau tidak tuli. Tapi semua orang
yang tidur mempunyai sikap seperti orang tuli."
Gento terdiam, lalu tersenyum sendiri. Dia
memang sempat tertidur sekejap tadi. Semua itu
karena dirinya terlalu lelah. Lalu Gento mencari-
cari. Memandang sekelilingnya. Kakek yang di-
tunggu masih belum kelihatan batang hidungnya.
"Mana orang tua itu?" Gento ajukan perta-
nyaan.
"Justru itu kubangunkan dirimu. Kakek itu
tidak kunjung muncul, aku punya firasat dia me-
nipu kita!" sahut Taktu.
"Menipu bagaimana?" "Waktu kita tinggal-
kan dirinya bukankah dia tengah terlibat perkelahian sengit dengan Setan Santet Delapan Penjuru.
Dan Setan Santet seperti yang kita sama-sama li-
hat bukanlah manusia sembarangan. Ilmu kesak-
tiannya cukup tinggi, tapi yang lebih berbahaya
adalah ilmu santet serta Jin Sesat yang menjadi
piaraannya. Mungkin saja Ki Comot Jalulata ba-
nyak mengalami kesulitan dalam menghadapi Se-
tan Santet sehingga dia terlambat datang kemari."
Ujar Gento tenang.
"Baiklah kukira kita hanya bisa menung-
gunya beberapa saat lagi. Jika dia tidak muncul
juga sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini se-
cepatnya."
"Baiklah, aku setuju saja. Yang terpenting
kita harus mencari guruku. Bagaimanapun pera-
saanku jadi tidak enak jika belum bertemu den-
gannya." Kata pemuda itu.
"Aku rasa gurumu tidak apa-apa. Malah ku-
fikir dialah yang cemas memikirkan dirimu."
"Hemm...!" Gento hanya menggumam. Dia
lalu bangkit tapi tiba-tiba perhatiannya tertuju ke
balik bukit dimana tadi sempat didengarnya suara
aneh mencurigakan.
"Ada apa?" tanya Taktu yang memang tidak
mendengar suara apa-apa.
"Ada ranting terinjak patah. Ada orang di
sekitar situ. Aku harus menyelidik." Kata Gento.
"Aku tidak mendengar apa pun. Tapi apa
perlunya kau berletih diri melakukan segala pe-
nyelidikan. Paling juga yang datang Ki Comot Jalu-
lata." Kata Taktu.
"Kalau dia adanya mengapa tidak langsung
menemui kita. Padahal dia sudah tahu kita me-
nunggunya di sini." Kata Gento curiga.
Kecurigaan pemuda itu nampaknya me-
mang beralasan. Karena di balik semak belukar
saat itu mendekam satu sosok yang terus memata-
matai gerak-gerik mereka.
Sayangnya niat Gento tidak terlaksana ka-
rena pada saat itu satu bayangan serba biru nam-
pak berkelebat di antara cabang pepohonan. Gento
dan Taktu sama memandang ke arah sosok yang
datang. Tak lama kemudian di depan mereka ber-
diri tegak seorang kakek berpakaian seperti orang
hamil berwarna biru bersongkok hitam.
Begitu munculkan diri si kakek menyerin-
gai. Seringai kakek itu lenyap. Kemudian dia ber-
kata. "Maaf, aku membuat kalian menunggu agak
lama."
"Memangnya kau kemana saja kek?" Tanya
Taktu.
"Tak usah ditanya. Dia pasti sibuk menghi-
tung-hitung barang hasil jarahannya di sepanjang
jalan. Bukankah begitu Ki Comot?" rutuk Gento
jengkel.
Kakek berdaster biru Ahli Sihir Dari Goa Es
yang dikenal dengan nama Ki Comot Jalulata ter-
tawa tergelak-gelak.
"Kau benar. Di jalan aku memang terpaksa
menghitung kembali perabotan milik orang yang
telah kucuri. Sayang aku cuma bisa mendapatkan
bukit hidung dan telinga kanan Setan Santet. Co-
ba kalau bisa kuambil barangnya yang di bawah.
Tentu jumlah simpananku makin bertambah. Ha ha ha!"
Tetapi tiba-tiba saja si kakek berpaling ke
arah Gento. Mulutnya menyeringai penuh arti.
Seakan mengerti apa yang difikirkan Ki
Comot, Gento mengancam. "Berani kau berbuat
kurang ajar padaku, aku pasti membunuhmu!"
Melihat Gento yang kalang kabut Taktu jadi
tersenyum geli.
Ki Comot Jalulata tertawa mengekeh. Dia
gelengkan kepala. Setelah pandangi sang pendekar
dan Taktu yang berkepala botak, Ki Comot berka-
ta. "Rasanya memang tidak pantas bagiku berbuat
ceroboh pada orang-orang sebaik kalian."
"Tidak usah basa basi. Katakan saja men-
gapa kau meminta kami menunggu di sini. Apakah
ada sesuatu yang hendak kau sampaikan?" tanya
si pemuda langsung pada titik persoalan.
"Hmm, kau betul. Kalau begitu sebaiknya
kau dan gadis temanmu itu cepat ikuti aku!"
"Mengikutimu?" tanya sang Pendekar. "Ka-
mi tidak bakal pergi ke mana pun apalagi sampai
ikut denganmu jika kau tidak mau mengatakan
apa sebenarnya yang hendak kau sampaikan."
"Ini menyangkut urusan penting. Apa yang
kuketahui menyangkut urusan besar dan kesela-
matan orang-orang dunia persilatan." Ujar Ki
Comot.
"Keselamatan dunia persilatan. Apakah
yang hendak kau katakan pada kami ada sangkut
pautnya dengan Sengkala Angin Darah?" tanya
Taktu.
"Benar."
"Kabar yang kudengar terakhir benda itu
ada pada Gentong Ketawa guruku. Hingga begitu
banyak orang yang mengejarnya. Guruku menjadi
manusia buruan. Padahal yang kuketahui sebelum
kami terpisahkan guruku sama sekali tidak tahu
menahu tentang benda itu. Kini si gendut berada
dalam ancaman bahaya besar. Lalu kau sendiri
apakah punya pendapat lain?" tanya Gento.
Ki Comot Jalulata terdiam beberapa saat
lamanya. Pengakuan Gento yang mengatakan Gen-
tong Ketawa adalah gurunya cukup membuat Ki
Comot merasa terkejut. "Coba kau ulangi Gentong
Ketawa tadi apamu?"
Gento jadi heran sendiri. Diperhatikannya
kakek berdaster itu. Tidak ada kesan mencuriga-
kan. Tatap mata Ki Comot biasa saja.
Barulah kemudian tanpa rasa ragu sang
pendekar menjawab. "Gentong Ketawa itu adalah
guruku! Kau mengenalnya?" tanya si pemuda.
"Kenal orang sih tidak, Tapi nama besarnya
dulu sering kudengar. Kurasa hampir seluruh
orang-orang di dunia persilatan tanah Jawa men-
genal kakek gendut sinting itu." Kata Ki Comot.
"Kebetulan sekali. Aku membutuhkan orang-orang
jujur untuk membantuku."
"Membantu apa?" tanya Taktu tidak sabar.
"Aku tahu sekarang ini sangat banyak orang
yang ingin memiliki Sengkala Angin Darah! Aku te-
lah melakukan penyelidikan. Dan benda itu
adanya di Puncak Sebelas Tangga Kematian."
"Ah, kau bicara apa? Aku sudah mengata-
kan banyak orang mengejar guruku karena menyangka benda itu ada di tangannya."
"Itu hanyalah sebuah fitnah. Kau tak usah
cemas. Aku yakin dengan apa yang kulihat. Jelas
Sengkala Angin Darah kini berada di Puncak Sebe-
las Tangga Kematian."
"Kalau benar. Lalu siapa yang telah mem-
bawa Sengkala Angin Darah ke tempat itu?" tanya
Taktu.
"Tentu saja penguasa Puncak Tangga Kema-
tian." Jawab Ki Comot.
"Jika benar benda itu berada dalam kekua-
saannya. Mengapa kau tidak merebutnya. Lalu
membawanya pergi dan disimpan ke tempat yang
aman?" tanya Gento.
Ki Comot Jalulata gelengkan kepala, wajah-
nya menunjukkan rasa jerih. "Tidak semudah itu
Gento. Penguasa Puncak Sebelas Tangga Kematian
bukan manusia sembarangan. Dia memiliki ber-
macam-macam kesaktian yang setara dengan ilmu
yang dimiliki iblis. Seingatku belum pernah ada
yang selamat bila bertemu dengannya. Biarpun
orang itu memiliki kepandaian segudang. Lima
orang berkepandaian tinggi sepertiku berbarengan
menyerangnya belum tentu sanggup merobohkan-
nya."
"Gila. Ki Comot sepengetahuanku bukanlah
orang berkepandaian rendah. Jika begitu ilmu
yang dimiliki penguasa Puncak Sebelas Tangga
Kematian benar-benar tak dapat dijajaki." Batin
Gento. Sang Pendekar lalu ajukan pertanyaan lagi.
"Ki apakah kau sudah melihat bagaimana ujud
benda maut itu?"
"Sama sekali belum. Tapi aku sudah meli-
hat bekas dimana Sengkala Angin Darah diletak-
kan. Sebelumnya kurasa Iblis Dalam Matahari
pernah meletakkannya di atas batu besi berbentuk
lempengan. Kulihat batu besi itu berubah merah
menjadi bara. Tanah di sekitar batu bahkan seper-
ti amblas, mengepulkan asap tebal. Pepohonan di
sekelilingnya hangus terbakar dan di sekitar tem-
pat itu porak poranda bagaikan baru saja dihan-
tam topan."
"Benda sakti yang sangat luar biasa. Sung-
guh tak masuk akal Sengkala Angin Darah yang
memiliki kekuatan sedahsyat itu bisa dikuasai oleh
seseorang?" ujar Taktu.
"Ini adalah suatu kenyataan yang sulit di-
percaya." Ujar Gento pula.
"Memang tapi apa yang kukatakan ini se-
suai dengan apa yang kulihat. Yang perlu kita la-
kukan adalah merebut benda itu, lalu memba-
wanya ke tempat aman agar tidak jatuh ke tangan
orang yang salah."
"Apakah kau tidak termasuk bagian dari
yang salah itu?" sindir Gento disertai senyum
mencibir.
Wajah Ki Comot Jalulata nampak berubah.
Dengan mata mendelik dia berkata. "Aku tidaklah
seburuk yang kau duga. Kepadaku kau tak perlu
menaruh rasa curiga."
"Bukannya begitu Ki. Kau tahu sendiri, aku
sudah mengatakan guruku yang tidak tahu mena-
hu tentang benda itu saja dikejar-kejar dan hen-
dak dibunuh orang. Tentu aku tidak bisa disalah
kan jika harus bersikap lebih hati-hati. Pada ha-
kekatnya aku tidak keberatan membantumu. Cu-
ma harus diingat. Apa yang akan kita lakukan bu-
kanlah suatu persoalan yang mudah. Karena se-
lain Iblis Dalam Matahari yang menurut katamu
mempunyai kepandaian tinggi. Kita juga pasti
akan menghadapi tokoh-tokoh lainnya. Dan mere-
ka bukan orang sembarangan."
"Aku tahu Gento. Kita memang harus ber-
hati-hati. Tapi alangkah lebih baik bila kita sampai
ke sana lebih cepat sebelum didahului oleh orang
lain." Ujar Ki Comot Jalulata.
Gento dan Taktu akhirnya setuju. Mereka
kemudian bergerak meninggalkan tempat itu. Me-
reka sama sekali tidak tahu sejak tadi pembica-
raan mereka didengar oleh seseorang yang men-
gintai dari balik semak belukar lereng bukit. Sosok
itu tanpa memberi tanggapan apa-apa segera pula
berkelebat pergi ketika ia melihat! Ki Comot dan
sang pendekar juga Taktu tinggalkan patung batu
tapa.
4
Ki Betot Segala salah satu dari tiga manusia
Kembar yang suka memakai daster berwarna biru
itu berjalan dengan mengendap-endap menelusuri
sungai kecil berbatu. Sampai di satu tempat dia
hentikan langkahnya. Kakek itu menarik nafas
pendek, lalu berpaling ke belakang. Di belakang
nya seorang kakek tua berambut putih dan berpa-
kaian serba ungu menyeringai.
"Mengapa berhenti? Teruskan saja berjalan,
kau memimpin di depan dan aku di belakangmu."
Ujar kakek berbaju ungu.
"Bukit itu sudah tidak jauh lagi dari sini.
Kau bisa melihat sendiri. Di depan sana!" ujar Ki
Betot Segala.
Kakek berambut putih memandang ke arah
yang ditunjuk sahabatnya. Tak jauh di depan sana
di balik tiga pohon cemara yang menjulang tinggi
dia memang melihat sebuah bukit berwarna kehi-
jau-hijauan. Si kakek cepat gelengkan kepala.
"Bukan... bukan itu bukit yang kita cari.
Puncak Sebelas Tangga Kematian memang berada
di suatu bukit. Tapi setahuku bukit itu tidak ber-
warna hijau, tapi merah. Warnanya merah seperti
darah."
"Ki Sumpit Prakoso. Kau jangan mengada-
ada, sepanjang hidup aku belum pernah melihat
bukit berwarna merah. Mungkin penglihatanmu
ngawur. Kau salah dalam menerapkan kesaktian
batin, hingga yang kau lihat melalui indera kee-
nam itu ngawur semua." Kata Ki Betot Segala
menggerutu.
"Jangan tolol. Bukankah kau sendiri yang
meminta agar aku mengerahkan kekuatan batin
untuk melihat keberadaan Sengkala Angin Darah.
Seperti yang sudah kulakukan ketika kita belum
memutuskan melakukan perjalanan kemari, benda
itu tidak ada pada Gentong Ketawa. Penglihatan
batinku tidak pernah menipu."
"Jika kau tidak melihat benda itu berada di
tangan Gentong Ketawa lalu kau melihat apa?"
Tanya Ki Betot Segala.
Dengan perasaan kesal, sambil meme-
jamkan kedua matanya Ki Sumpit Prakoso atau
yang lebih dikenal dengan julukan Kura-Kura Na-
ga itu berkata. "Seperti yang kulihat dalam pengli-
hatan batinku saat ini dan sebagaimana yang ku-
lihat kemarin. Aku melihat bukit berwarna merah
seperti kaca. Bukit itu memiliki sebelas tangga
berbentuk aneh terbuat dari batu. Bukit dengan
ciri-ciri seperti itu pastilah bukit merah yang sela-
ma ini dikenal dengan nama Puncak Sebelas
Tangga Kematian." Ujar Ki Sumpit Prakoso.
Ki Betot Segala tertawa dingin. Sambil
memperhatikan sahabatnya dan dengan disertai
senyum mencibir dia berkata. "Ki Sumpit. Menu-
rutmu apakah tidak terjadi suatu kejanggalan."
"Kejanggalan apa maksudmu?" tanya Ki
Sumpit.
"Bukankah aku memintamu untuk melihat
keberadaan benda sakti Sengkala Angin Darah me-
lalui kekuatan yang kau miliki. Tapi apa yang ke-
mudian terjadi? Yang kau lihat dan yang kau ka-
takan bukan seperti yang aku minta. Apakah ini
tidak aneh?"
"Kau boleh saja berpendapat begitu. Tapi
aku punya pendapat lain. Boleh jadi tempat yang
kulihat sebagai isyarat bahwa benda sakti yang ki-
ta cari memang berada di sana. Bukankah kau
mengatakan benda sakti itu memiliki kekuatan
yang sangat dahsyat luar biasa?"
"Memang betul."
"Nah, atas dasar semua itu aku menyim-
pulkan kekuatan penglihatan batinku tidak dapat
menembus secara pasti benda itu, melainkan
hanya sanggup melihat satu tempat dimana benda
itu berada." Ujar Ki Sumpit Prakoso. Atas jawaban
sahabatnya Ki Betot Segala menggumam. "Jika
pendapatmu benar. Apapun yang terjadi kita ha-
rus datang ke tempat itu. Tapi jika dugaanmu itu
meleset berarti segala yang kita lakukan saat ini
sia-sia saja." Ujar Ki Betot Segala.
"Sudahlah, kau harus percaya padaku!" ka-
ta Ki Sumpit Prakoso.
"Baiklah, bukit merah itu letaknya sudah
tidak jauh lagi dari tempat ini."
"Kalau begitu kita tak perlu mengendap-
endap seperti maling. Ayo ikuti caraku!" berkata Ki
Betot Segala kemudian berlari cepat mengikuti
anakan sungai. Ki Sumpit segera menyusulnya.
Tak sampai sepenanakan nasi mereka berlari. Di
bawah sebatang pohon beringin putih mereka ber-
henti kembali.
"Lihat Ki Sumpit, bukit yang kau maksud-
kan ada di depan sana. Tapi mengapa sekeliling
bukit itu diberi tangga?" ujar Ki Betot Segala sam-
bil memandang lurus ke arah bukit gundul ber-
warna merah yang jaraknya hanya sejauh lima pu-
luh tombak dari tempat mereka berada.
"Aku tidak tahu. Kita harus meneliti, kita
harus mendekati bukit itu. Setelah itu baru bisa
kita cari tahu dimana benda itu disembunyikan!"
"Kau yakin orangnya tidak berada di tem
pat, Ki Sumpit?" tanya Ki Betot Segala ragu-ragu.
"Mana aku tahu. Sudahlah jangan banyak
tanya. Sekarang kau yang harus mengikuti aku!"
ujar kakek itu. Lalu tanpa menunggu jawaban sa-
habatnya Ki Sumpit segera berlari diantara kera-
patan pepohonan yang terdapat di kaki bukit. Tapi
aneh, setelah sekian lama mereka berlari mereka
masih belum juga sampai ke bagian lereng bukit
merah.
"Gila. Jangan-jangan apa yang kita lihat
hanya fatamorgana?"
"Apa maksudmu Ki Sumpit?" tanya Ki Betot
Segala.
"Apakah kau tidak ingat, ketika kita berada
di bawah pohon beringin putih tadi. Dari sana ja-
raknya seperti tidak begitu jauh. Tapi setelah kita
datangi mengapa tidak sampai-sampai. Malah kini
seperti yang sama kita lihat di depan kita malah
ada lembah segala. Ada yang tidak beres. Aku jadi
curiga bukan mustahil sekarang kita sedang me-
masuki sebuah perangkap!" ucap Ki Sumpit.
"Lalu apakah kita harus membatalkan niat
menyelidiki bukit itu?"
"Tidak begitu." Sahut Ki Sumpit. "Semua
rencana harus kita jalankan. Aku tidak pernah ter-
tipu oleh penglihatan batinku. Aku yakin sekali
Sengkala Angin Darah memang disembunyikan di
bukit itu. Sekarang mari kita seberangi lembah
itu!"
"Ki Sumpit apakah tidak sebaiknya kita
ambil saja jalan memutar dari sebelah barat untuk
menghindari terjadi hal-hal yang tidak kita ingin
kan." Usul Ki Betot Segala.
Ki Sumpit tersenyum, enak saja dia menja-
wab. "Tak perlu risau. Mengambil jalan memutar
aku malah takut mengundang perhatian orang."
"Terserahmulah Ki Sumpit. Cuma sekarang
kau yang harus berjalan di depanku."
"Baik. Siapa yang takut?" Dan Ki Sumpit
mendahului Ki Betot Segala. Tapi baru saja bebe-
rapa langkah mereka bergerak. Mendadak sontak
di atas langit sana terdengar suara gemuruh hebat
tidak ubahnya seperti suara langit yang runtuh.
Kemudian terdengar pula suara pekikan
menggelegar.
Dalam kagetnya kedua kakek ini sama don-
gakkan kepala memandang ke langit. Wajah kedua
orang tua ini mendadak berubah, mata terbelalak
sedangkan mulut ternganga.
"Sungguh sulit kupercaya." Gumam Ki
Sumpit Prakoso.
"Burung rajawali putih. Itu adalah burung
siluman?" seru Ki Betot Segala.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau burung ra-
jawali putih itu adalah burung siluman?" tanya Ki
Sumpit yang terus memandangi burung rajawali
yang kini mulai berputar merendah.
"Aku sering mendengar tentang burung itu.
Pemiliknya adalah seorang pemuda bernama Pa-
sadewa."
"Pasadewa? Apa perlunya burung itu datang
ke bukit merah?" tanya Ki Sumpit lagi
"Kau lihat, di atas punggung burung raja-
wali itu. Setidaknya ada dua orang duduk di sana.
Yang berbaju hitam kuyakin adalah Pasadewa. Se-
dangkan yang di belakangnya aku tidak tahu."
"Lihat! Burung itu semakin mendekati pun-
cak bukit dan kedua penunggangnya berlompatan
turun." Seru Ki Sumpit Prakoso.
Ki Betot Segala memang melihat penung-
gang burung siluman itu berlompatan turun dan
jejakkan kaki di tanah pedataran yang terdapat di
puncak bukit. Kemudian burung rajawali kembali
membumbung tinggi ke angkasa. Setelah itu men-
dadak lenyap dari pandangan Ki Betot Segala.
Si kakek jadi terkejut; "Seperti kataku, bu-
rung itu memang burung siluman."
"Aku sekarang percaya. Hem... ilmu apa
yang dimiliki Pasadewa sampai dia bisa memiliki
burung siluman?"
"Aku tidak tahu. Sebaiknya kita ke sana!"
"Tapi kita harus berhati-hati. Dari sini kita bisa
melihat ada anak-anak tangga batu untuk menca-
pai puncak bukit merah. Aku curiga di tangga-
tangga itu terdapat banyak jebakan. Karenanya ki-
ta jangan naik melalui sebelas tangga batu. Kita
cari jalan lain!" ujar Ki Sumpit.
Ki Betot Segala anggukkan kepala. Mereka
kemudian bergerak ke arah sebelah barat lereng
bukit. Sampai di sana melalui jalan berbatu yang
cukup berbahaya lagi licin keduanya mulai men-
daki menuju puncak bukit merah.
* * *
Sementara itu setelah melompat turun dari
punggung rajawali siluman yang mereka tunggan-
gi. Pasadewa dan Iblis Ular Sembilan segera meme-
riksa seluruh penjuru puncak bukit. Di bagian
puncak bukit yang datar mereka tidak menemu-
kan apa-apa atau melihat ada tanda-tanda kehi-
dupan di situ.
Pasadewa nampak begitu kecewa, tapi juga
menjadi kesal karena beranggapan Ki Edan Sam-
berata telah membohongi mereka.
Kakek dan pemuda berbadan tambun itu
saling berpandangan. Pasadewa tiba-tiba merasa
muak. Dia palingkan wajahnya ke arah lain, me-
mandang ke arah tiga pohon yang tidak begitu be-
sar yang mulai dari daun, batang sampai pada
bunganya yang berwarna merah.
"Aku merasa kakek keparat itu telah men-
gerjai kita. Harusnya kita bawa serta dia ke tempat
ini agar kita tahu dia bicara dusta atau benar." Ge-
ram Pasadewa sambil kepalkan tinjunya.
"Nasibnya lebih beruntung karena tiba-tiba
muncul pertolongan." Menyahuti Iblis Ular Sembi-
lan.
"Waktu kita dibawa terbang rajawali silu-
man. Aku melihat seorang pemuda berpakaian
serba putih. Apakah pemuda itu yang menolong si
kakek edan?"
"Kalau bukan dia siapa lagi?"
"Siapa pemuda itu?" tanya Pasadewa.
"Ku kira Penyair Halilintar." Sahut Iblis Ular
Sembilan yang lebih banyak mengenal orang-orang
aneh berkepandaian tinggi secara lebih luas.
"Huh... omong kosong. Hanya seorang pe
nyair. Bagaimana bisa mendatangkan gemuruh
angin, kilat dan petir?"
Si kakek berbadan kurus yang di tubuhnya
kini digelayuti tujuh ekor ular hitam berbisa terse-
nyum. "Penyair Halilintar kudengar bukan hanya
sekedar seorang penyair." Menerangkan si kakek
tanpa maksud memuji. "Dia memiliki ilmu yang
dapat mendatangkan kilat dan petir. Tidak hanya
sampai di situ dia juga mempunyai ilmu yang da-
pat mendatangkan badai puting beliung. Malah
konon Penyair Halilintar memiliki salah satu syair
yang dapat membunuh lawan hanya dengan sekali
berucap saja."
"Sudah! Jangan diteruskan segala ucapan-
mu yang tidak berguna itu paman. Yang kubutuh-
kan saat ini adalah Sengkala Angin Darah. Seka-
rang kita sudah berada di Puncak Sebelas Tangga
Kematian. Suatu nama yang menyeramkan,
hemm... tapi ternyata jangankan benda sakti itu.
Seekor kecoak busuk pun tidak kutemukan di si-
ni." Dengus Pasadewa kesal. "Atau mungkin harus
kuhancurkan bukit ini dulu paman?"
"Jangan...!" cegah Iblis Ular Sembilan den-
gan suara bergetar.
"Mengapa? Kau takut? Wajahmu nampak
begitu tegang? Apa yang kau lihat?" masih dengan
nada tinggi pemuda itu bertanya.
"Pasadewa... aku merasakan ada yang tidak
beres di tempat ini. Kau lihat akar-akar gantung
yang terdapat di pohon merah itu langsung berge-
rak-gerak begitu kau mengancam hendak meng-
hancurkan bukit ini!" seru si kakek.
Pasadewa tertawa tergelak-gelak mendengar
ucapan Iblis Ular Sembilan. Begitu tawanya lenyap
sambil berkacak pinggang si pemuda berkata.
"Kau tidak minum tuak keras. Bagaimana bisa bi-
cara ngaco' seperti orang mabuk berat? Kau jan-
gan mengada-ada atau membuatku bertambah
marah!"
"Siapa yang bicara ngaco? Lihat... akar-akar
gantung itu kini bergerak hendak melilit tubuh-
mu!" teriak si kakek.
Melihat si kakek bicara dengan bersungguh-
sungguh. Dengan cepat Pasadewa memutar tubuh
dan memandang ke belakang. Pemuda ini kelua-
rkan seruan kaget tapi masih sempat menyela-
matkan diri dari libatan akar-akar ketiga pohon
berwarna semerah darah itu.
Pasadewa yang masih menelungkup di atas
tanah terbelalak memperhatikan ketiga pohon
berwarna merah itu. Mulai dari batang, akar gan-
tung, cabang-cabang pohon semuanya mengalami
getaran seperti pembuluh darah. Sedangkan ba-
gian-bagian daunnya nampak mengembang dan
mengempis seperti paru-paru.
Sedangkan akar gantung yang terdapat di
setiap pohon terus meliuk-liuk seperti ular beru-
saha menggapai dan melilit Pasadewa dan si ka-
kek.
5
Sementara itu Ki Sumpit Prakoso dan Ki Be-
tot Segala, setelah berjuang keras mendaki lereng
bukit akhirnya sampai di puncak bukit sebelah
barat. Mereka kemudian mendekam di balik batu
berwarna merah. Dari tempat itu keduanya julur-
kan kepala memandang ke arah Pasadewa dan Ib-
lis Ular Sembilan.
Kejut kedua kakek itu bukan alang kepa-
lang ketika melihat bagaimana Pasadewa dan te-
mannya berjuang keras menghindari serangan-
serangan akar-akar gantung dari tiga pohon ber-
warna merah.
"Sungguh aku tak habis mengerti, mengapa
akar pepohonan itu bisa berubah menjadi liar dan
menyerang mereka!" gumam Ki Betot Segala sam-
bil memandang lurus ke depan dengan tatapan ti-
dak berkesip.
Ki Sumpit terdiam, keningnya berkerut. Dia
berusaha berfikir keras mengenai pohon aneh itu.
Sampai kemudian si kakek tepuk keningnya sendi-
ri sambil berkata. "Aku baru ingat sekarang. Kalau
aku tidak keliru, pohon merah itu tentulah pohon
penghisap darah alias pohon kematian. Pohon itu
sama ganasnya dengan binatang buas. Jika sam-
pai mereka terlilit akar-akar yang menjulai itu, da-
rah mereka pasti akan disedot habis sampai tidak
bersisa sama sekali!"
"Lalu mereka menemui ajal secara menge-
naskan?" menyahuti Ki Betot Segala, Ki Sumpit
anggukkan kepala.
"Kau benar."
"Siapa kakek yang tubuhnya digelayuti ular-
ular hitam itu?" tanya Ki Betot Segala.
"Kalau tidak salah dialah orangnya yang
bergelar Iblis Ular Sembilan. Tokoh sesat dari Tela-
ga Setan. Kakek itu sangat berbahaya. Dengan
ular-ularnya yang sangat berbisa dia bisa membu-
nuh siapa saja!" jelas Ki Sumpit Prakoso.
Ki Betot Segala terdiam sambil usap-usap
wajahnya yang terasa dingin dilanda ketegangan.
* * *
Sementara itu Iblis Ular Sembilan dan Pa-
sadewa nampaknya terpaksa berjuang keras me-
nyelamatkan diri dari serangan puluhan akar gan-
tung yang meliuk-liuk menyerang mereka.
"Kita tidak mungkin bisa bertahan dengan
cara seperti ini. Lakukan sesuatu atau kita ting-
galkan bukit ini?" teriak Iblis Ular Sembilan.
"Apa? Tinggalkan bukit ini? Tidak! Aku ya-
kin benda yang kita cari ada di sekitar sini." Sahut
Pasadewa.
"Pasadewa... seperti yang kau lihat. Puncak
bukit kosong melompong. Tidak ada apapun terke-
cuali pohon celaka itu!"
"Sengkala Angin Darah adalah benda yang
sangat berharga. Mana mungkin diletakkan di
sembarang tempat. Sudahlah, jangan banyak
membantah. Kita hancurkan dulu pohon keparat
itu. Baru kemudian kita lakukan pencaharian. Di
puncak bukit ini pasti ada jalan rahasia."
Iblis Ular Sembilan merasa tidak punya pi-
lihan lain terkecuali menuruti keinginan Pasade-
wa. Karena itu si kakek lalu silangkan kedua tan-
gannya. Setelah itu kedua tangan secara berturut-
turut lalu dihantamkan ke arah puluhan akar gan-
tung yang menggapai-gapai menyerang mereka. Ti-
ga larik sinar menderu. Tiga larik sinar itu lang-
sung memecah menjadi beberapa bagian setelah
berada di udara. Tak lama terjadi ledakan bertu-
rut-turut. Puncak bukit bergetar hebat. Belasan
akar-akar gantung sebesar lengan orang dewasa
putus bergugusan. Dari setiap ujungnya yang
hancur nampak mengucurkan cairan berwarna
merah seperti darah.
"Pohon itu mempunyai darah seperti kita!"
seru Pasadewa kaget.
Iblis Ular Sembilan terkesima. Tapi kemu-
dian dia cepat berseru ketika melihat di belakang
Pasadewa salah satu akar yang cukup besar men-
julur dan berubah memanjang seperti lintah yang
bergerak di dalam air.
"Pasadewa awas...!" teriak Iblis Ular Sembi-
lan. Tak usah diperingatkan sekalipun Pasadewa
sesungguhnya sudah merasakan adanya sesuatu
yang menyambar dari arah belakangnya. Karena
itu tanpa menoleh dia meloloskan pedang yang
tergantung di pinggang. Setelah itu dia babatkan
pedangnya ke belakang.
Singg! Taas!
Buuum!
Baru saja akar gantung pohon Kematian
terbabat putus oleh ketajaman pedang di tangan
Pasadewa. Tiba-tiba saja dari bagian batang pohon
yang akarnya putus terdengar suara ledakan dah-
syat luar biasa. Debu, bebatuan dan pasir berpe-
lantingan di udara membuat udara menjadi gelap
gulita. Pasadewa melompat mundur untuk meng-
hindari segala sesuatu yang tidak diinginkan terja-
di.
"Aneh... sungguh sulit dipercaya. Bagaima-
na pohon itu bisa mengeluarkan ledakan padahal
aku cuma membabat salah satu akarnya yang
liar!" seru pemuda itu.
"Banyak hal aneh yang tidak bisa ku men-
gerti terjadi di sini. Berhati-hatilah. Pasang mata-
mu baik-baik!" Pesan Iblis Ular Sembilan.
Tidak berselang lama kemudian, debu dan
pasir merah yang memenuhi udara lenyap. Untuk
yang kesekian kalinya Pasadewa kembali dibuat
kaget.
"Ketiga pohon itu bagaimana bisa raib?" se-
runya.
"Aneh? Pohon-pohon itu raib tidak mening-
galkan bekas. Aku hanya melihat satu lubang di
bekas tempat pohon itu berdiri!" ujar Iblis Ular
Sembilan tidak kalah kagetnya.
Belum lagi rasa kaget mereka lenyap, pada
saat hampir bersamaan mendadak puncak bukit
berguncang keras seperti dilanda gempa. Kedua
orang ini saling berpandangan.
"Tempat ini seperti mau runtuh. Cepat kita
turun melalui tangga-tangga itu!" teriak Iblis Ular
Sembilan panik.
Semula Pasadewa merasa ragu mengikuti
saran yang dikatakan oleh kakek itu, tapi karena
guncangan pada bagian puncak bukit makin ber-
tambah menghebat dan disertai tiupan angin ken-
cang yang menerbangkan batu-batu besar. Akhir-
nya sambil menggerutu Pasadewa terpaksa mengi-
kuti kakek itu. Mereka bergerak cepat ke arah
tangga batu yang terdapat di puncak sampai ke
bagian kaki bukit. Tapi begitu kaki mereka men-
ginjakkan undakan tangga batu tersebut. Secara
tak terduga kedua kaki mereka terjeblos. Tangga
batu yang mereka pijak amblas ke bawah. Secepat
yang dapat mereka lakukan keduanyapun berusa-
ha melompat ke atas. Tapi tiba-tiba saja mereka
merasakan ada satu kekuatan yang menyedot dan
menarik tubuh mereka dari bagian dalam. Satu
kekuatan yang membuat sekujur tubuh mereka
seolah kehilangan kekuatan.
"Paman apa yang terjadi?" teriak Pasadewa
panik. Kedua tangan pemuda ini menggapai-gapai
mencoba mencari selamat. Tapi usahanya hanya
sia-sia. Tanah di sekitar undakan anak tangga
yang amblas selalu longsor.
"Bukit ini mungkin memiliki satu tempat
rahasia. Aku... akh...!" suara si kakek mendadak
terputus karena tubuh orang tua itu mendadak le-
nyap. Apa yang terjadi pada Iblis Ular Sembilan
ternyata terjadi pula pada Pasadewa. Kedua orang
itu lenyap terjeblos ke suatu tempat yang penuh
misteri. Anehnya begitu Iblis Ular Sembilan dan
Pasadewa lenyap. Tangga batu yang tadinya am-
blas begitu terinjak kaki mereka kini muncul lagi.
Seakan pada anak tangga itu tidak pernah terjadi
apa-apa.
Apa yang terjadi tentu saja tidak lepas dari
perhatian Ki Sumpit dan Ki Betot Segala. Mereka
tercengang melihat apa yang terjadi.
"Apa kataku. Sebelas tangga batu yang ter-
dapat di kaki sampai ke puncak bukit benar-benar
tangga jebakan. Untung kita tadi tidak naik ke
puncak sini melalui tangga itu. Kalau tidak kita bi-
sa mati konyol!" ujar Ki Sumpit sambil mengusap
tengkuknya yang terasa dingin.
"Kau benar. Pantas saja bukit merah ini di-
beri nama Puncak Sebelas Tangga Kematian. Tapi
apa yang terjadi dengan mereka?" tanya Ki Betot
Segala.
"Aku tidak tahu. Mungkin saja mereka se-
karang menuju ke gerbang maut. Tapi yang jelas
ada satu rahasia di dalam bukit ini."
"Kau hendak mengatakan di dalam bukit
merah ini ada satu kehidupan?" tanya Ki Betot lagi
penuh rasa ingin tahu.
"Aku kira begitu. Seperti yang kukatakan
padamu, Puncak Sebelas Tangga Kematian ini
adalah daerah kekuasaan Iblis Matahari."
"Apakah orang yang kau sebutkan itu masih
hidup?"
"Tentu saja. Orang yang sudah mati mana
punya kekuasaan apa-apa, tolol." Kata Ki Sumpit
sambil unjukkan wajah cemberut.
Mendapat jawaban seperti itu Ki Betot Sega-
la jadi jelalatan memperhatikan suasana di sekeli-
lingnya.
"Gila kau. Mengapa tidak bilang sejak tadi?"
"Ada apa rupanya?"
"Kalau Iblis Matahari masih hidup. Berarti
sebenarnya kita tidak aman berada di tempat se-
perti ini. Puncak bukit ini agak terbuka. Iblis Da-
lam Matahari pasti dengan bebas dapat melihat ki-
ta." Kata Ki Betot Segala cemas.
"Lalu apakah kau punya pendapat lain?"
tanya Ki Sumpit.
"Sebaiknya kita cari tempat persembunyian
dulu. Nanti bila hari telah berubah menjadi gelap
baru kita mulai melakukan penyelidikan."
"Ah, mengapa terburu-buru. Apakah kau
lupa dengan tiga pohon yang menyerang mereka
tadi? Pohon-pohon itu tiba-tiba saja lenyap. Tiga
pohon besar melenyapkan diri. Apakah ini tidak
aneh menurutmu?"
"Sama anehnya, mengapa akar-akar pohon
itu bisa menyerang. Ketika Pasadewa menebaskan
pedangnya. Akar pohon mengucurkan darah. Ini
juga merupakan suatu keanehan. Mungkin pohon
ini ada yang mengendalikan." Ujar Ki Betot Segala
menanggapi.
"Itulah yang patut kita selidiki."
"Sudah kukatakan, kita harus menunggu
sampai hari gelap. Kuharap kau tidak berlaku ce-
roboh jika tidak ingin mendapat kesulitan seperti
Pasadewa dan Iblis Ular Sembilan." Tegas Ki Betot
Segala.
Ki Sumpit merasa tidak punya pilihan lain,
karena apa yang dikatakan oleh sahabatnya me-
mang benar adanya. Tak ada yang dapat mereka
lakukan. Menunggu sampai matahari terbenam
mereka terpaksa mendekam di balik batu.
6
Laki-laki berpakaian warna ungu gemerla-
pan seperti bangsawan itu memegangi kepalanya
yang masih terasa sakit. Sesekali dia memijit-mijit
kepalanya yang mual bukan main. Setelah itu dia
kembali menyandarkan tubuhnya ke batu yang
terdapat di belakangnya.
"Pangeran Sobali. Apakah kau telah siap
melakukan perjalanan kembali?" satu suara tiba-
tiba memecah keheningan. Si laki-laki berpakaian
mewah yang ternyata memang Pangeran Sobali
adanya memperhatikan ke depan di mana suara
tadi terdengar.
Di depan sana entah sejak kapan berdiri te-
gak seorang laki-laki tua berpakaian hitam. Wajah
kakek itu lonjong, gigi-giginya hitam runcing se-
dangkan di keningnya terdapat sebuah lubang
menganga tembus hingga ke batok kepala bela-
kang.
Sesaat lamanya orang tua itu memandang
ke arah Pangeran Sobali dengan tatapan dingin.
Setelah itu dia melangkah mendekati sang pange-
ran. Berhenti di depan Pangeran Sobali sambil
berkata. "Kau masih merasakan kepalamu sakit
mendenyut?"
"Memang. Tapi sebenarnya bukan itu yang
menjadi ganjalan di hatiku." Ujar Pangeran Sobali.
"Kalau bukan lalu apa?"
"Iblis Awan Hitam. Aku merasa berhutang
nyawa padamu karena kau telah menyelamatkan
aku dari tangan kejam Pengemis Nyawa. Yang
membuatku heran mengapa kau menolongku? Pa-
dahal sebelumnya diantara kita satu sama lain ti-
dak saling kenal." Ujar sang pangeran.
Kakek angker berkening bolong menyeringai
sinis, kemudian dongakkan kepala, lalu tertawa
tergelak-gelak.
Setelah puas mengumbar tawa kemudian si
kakek berkata. "Pangeran Sobali bukankah sebe-
lumnya aku sudah mengatakan punya suatu ke-
pentingan denganmu?" ujar si kakek.
"Memang... tapi kau tidak mengatakan apa
kepentinganmu!" ujar Pangeran Sobali.
"Hak hak hak! Rupanya kau terlalu penasa-
ran pangeran. Baiklah, aku akan katakan padamu
apa sebenarnya yang aku inginkan!" kata si kakek.
Orang tua itu menarik nafas, berjalan mondar-
mandir di depan Pangeran Sobali, membuat sang
pangeran jadi gelisah juga tidak sabar.
"Pangeran, kau adalah seorang calon raja di
Kediri. Sebagai seorang raja kau bakal mempunyai
sebuah kekuasaan."
"Lalu apa hubungannya dengan dirimu?"
tanya Pangeran Sobali merasa tidak mengerti.
Iblis Awan Hitam tersenyum.
"Disinilah letak persoalannya, pangeran.
Sebagai seorang calon raja kau harus punya keku-
atan. Tapi kekuatan itu sejauh ini belum pernah
kulihat. Sengkala Angin Darah adalah salah satu
kekuatan besar luar biasa. Dalam upayamu men-
cari benda sakti itu, kau telah kehilangan semua
prajurit dan para pembantumu yang lain. Padahal
jika kau mau hal itu tidak perlu terjadi."
"Aku sungguh tidak mengerti apa maksud
dari semua ucapanmu!" kata laki-laki itu.
Sekali lagi Iblis Awan Hitam yang setiap me-
lakukan perjalanan selalu menggunakan awan pa-
nas itu tersenyum penuh arti.
"Pangeran bukankah kau ingin memiliki
Sengkala Angin Darah?"
"Memang benar." Sahut pemuda itu.
"Jika kau ingin memilikinya, aku tahu di-
mana benda itu berada!" ujar Iblis Awan Hitam.
"Menurut yang kudengar benda itu berada
di tangan Gentong Ketawa!"
"Ha ha ha. Orang bisa saja bicara begitu.
Tapi akulah yang paling tahu di tangan siapa ben-
da itu berada!" ujar Iblis Awan Hitam.
"Jika engkau mengetahuinya, apakah kau
dapat mengambilkannya untukku?" tanya Pange-
ran Sobali.
"Ha ha ha. Mengapa tidak? Tapi tentu saja
ada syaratnya." Jawab si kakek sambil mengum-
bar tawa.
Mendengar jawaban kakek itu Pangeran So-
bali langsung terdiam. Sungguh apa yang baru di-
katakan Iblis Awan Hitam cukup mengejutkan di-
rinya. Dasar pangeran nekad, masih saja dia ber-
tanya. "Iblis Awan Hitam katakan apa syarat-
syaratmu?"
"Syaratku cukup mudah. Kau boleh men-
dapatkan benda sakti itu asal kau mau menyerah-
kan tahta kerajaan kepadaku!" sahut kakek itu.
Bukan main kagetnya Pangeran Sobali
mendengar permintaan si kakek berkening bolong.
Seandainya saja Awan Hitam meminta imbalan da-
lam bentuk lain, bukan kerajaan, tentu bagi Pan-
geran Sobali tidak sulit memberikannya. Tapi sya-
rat yang diajukan oleh si kakek begitu berat, bagi
pemuda itu apa artinya memiliki Sengkala Angin
Darah jika dia harus kehilangan tahta?
Karena itu dengan tegas dia berkata. "Iblis
Awan Hitam. Jika itu syarat yang kau ajukan. Ba-
giku sangat berat untuk memenuhinya. Tahta Ke-
diri adalah warisan keluargaku secara turun temu-
run. Mustahil aku bisa menukarnya dengan benda
yang lain."
"Pikirkanlah sekali lagi, pangeran. Barang-
kali kau berubah fikiran!" ujar si kakek.
Pangeran Sobali menggeleng tegas.
"Aku tidak pernah berubah fikiran jika me-
nyangkut persoalan yang satu itu!" tegas si pemu-
da.
Iblis Awan Hitam tersenyum sinis.
"Artinya apa yang kulakukan kepadamu
hanya merupakan suatu pekerjaan yang sia-sia?"
tanya Iblis Awan Hitam disertai seringai mengejek.
"Apa maksudmu?" tanya sang pangeran
bingung.
Kakek itu melangkah maju dua tindak. Se-
hingga jarak di antara mereka kini hanya tinggal
sejauh satu tombak lagi. Tak lama setelah memperhatikan Pangeran Sobali dengan tatapan dingin
dan angker, Iblis Awan Hitam berkata. "Pangeran...
ketahuilah, manusia sepertiku tidak pernah mela-
kukan pekerjaan sia-sia. Selama hidupku, orang
seperti aku selalu mengharapkan sebuah imbalan
bila menolong orang."
"Jad... jadi...?"
"Ha ha ha. Tidak ada jalan selamat bagimu
Pangeran Sobali. Kau tidak mau menyerahkan tah-
ta kerajaan sebagai imbalan bagimu untuk men-
dapatkan Sengkala Angin Darah. Maka kini seba-
gai gantinya dengan sangat terpaksa kau harus
menyerahkan nyawamu!" dengus si kakek.
Mendengar kata-kata yang diucapkan Iblis
Awan Hitam berubahlah air muka sang pangeran.
Dia tahu mustahil dapat mengalahkan kakek itu.
Jika Pengemis Nyawa saja dapat dipecundanginya,
apalagi dirinya. Tapi bagi Pangeran Sobali lebih
baik melakukan perlawanan sampai titik darah
yang terakhir daripada berdiam diri menerima na-
sib konyol. Karena itu diapun bangkit berdiri.
Tak kalah dinginnya Pangeran Sobali beru-
cap. "Mungkin kau bisa membunuhku, Awan Hi-
tam. Namun kau juga harus ingat. Sekali kau
membunuhku maka selamanya kau akan menjadi
buronan kerajaan. Kau tak bakal bisa hidup den-
gan tenang!"
"Ha ha ha! Apa kau mengira aku takut den-
gan orang kerajaan? Kau boleh mengerahkan selu-
ruh ahli silat istana. Tapi Iblis Awan Hitam tak
bakal lari!"
"Kakek jahanam ini ternyata tidak kena di
gertak. Aku cuma bisa menggantung harapan pada
senjata andalanku Cundrik Tujuh Petaka!" geram
sang pangeran.
"Iblis keparat. Jika kau tidak takut pada ke-
rajaan, apakah kau mengira aku takut menghada-
pi dirimu?" dengus laki-laki itu.
"Ha ha ha. Akupun selalu berharap begitu.
Karena jika kau merasa takut padaku itupun per-
cuma saja karena aku tetap akan membunuhmu!"
Selesai berkata begitu Iblis Awan Hitam langsung
berkelebat ke arah Pangeran Sobali. Laki-laki itu
jadi terkejut karena mendadak saja sosok lawan-
nya lenyap. Di lain saat dia merasakan ada samba-
ran angin menghantam dari arah depan melabrak
bagian wajah. Cepat sekali sang pangeran meng-
hindar. Tapi baru saja dia bergerak lawan tahu-
tahu telah menghantam dada dan perutnya dua
kali berturut-turut.
Hantaman yang sangat keras membuat
sang pangeran menjerit dan jatuh terpelanting.
Bagian dada dan perut yang terkena hantaman se-
perti remuk. Selain itu dari sudut bibirnya mene-
teskan darah kental. Pangeran Sobali mengerang
secepatnya dia bangkit berdiri. Belum sempat laki-
laki ini berdiri tegak kembali serangan Iblis Awan
Hitam melabraknya. Kali ini sang pangeran yang
telah mengetahui kehebatan tenaga sakti yang di-
miliki lawan tidak mau bersikap ayal. Cepat tan-
gan menyambar Cundrik Tujuh Petaka yang terse-
lip di balik pakaiannya. Begitu lawan telah berada
dalam jangkauannya Cundrik Tujuh Petaka dihan-
tamkannya menyambuti serangan lawan. Sinar hitam disertai menebarnya hawa dingin menggidik-
kan menderu. Iblis Awan Hitam yang tidak pernah
menyangka Pangeran Sobali memiliki senjata an-
dalan sempat keluarkan seruan kaget. Dia batal-
kan serangannya dan segera melompat ke samp-
ing. Tapi tidak urung ujung senjata lawan me-
nyambar dadanya. Si kakek terluka. Dari bagian
luka mengucurkan darah. Anehnya jika tadi sam-
baran angin senjata menimbulkan hawa dingin
luar biasa, maka sebaliknya luka akibat terkena
senjata itu terasa panas seperti terbakar. Setelah
memperhatikan baju yang robek serta luka yang
terdapat di balik robekan baju. Iblis Awan Hitam
mendengus. Dia meludahi luka itu. Luka yang ter-
kena semburan ludah mengepulkan asap tipis se-
perti mendidih. Namun hanya beberapa saat saja
luka itu lenyap tidak meninggalkan bekas. Pange-
ran Sobali tercengang dengan mulut ternganga.
Senjata di tangannya bukan senjata sembarangan.
Senjata itu mengandung tuah di samping mengan-
dung racun ganas. Biasanya orang yang terkena
senjata itu, jangankan terluka seperti yang dialami
si kakek. Sedangkan tergores sedikit saja jiwanya
pasti tidak akan ketolongan. Tapi lawan yang satu
ini aneh, jangankan ambruk seperti yang diha-
rapkannya. Malah luka sambaran senjata dapat
disembuhkannya dengan hanya meludahinya saja.
Sungguh ini suatu kenyataan yang sulit dipercaya.
"Pangeran tolol. Kau mengira dengan senja-
tamu itu dapat mengalahkan aku? Ha ha ha. Kau
akan segera tahu aku bukanlah manusia semba-
rangan. Sekarang bersiap-siaplah kau untuk mati!" teriak si kakek. Habis berkata begitu Iblis Awan
Hitam silangkan kedua tangannya di depan dada.
Dia lalu mengalirkan tenaga dalam dari bagian pe-
rut ke bagian kepala.
Tak berselang lama dari sekujur tubuh si
kakek yang bergetar hebat nampak mengepulkan
asap tipis. Dari bagian keningnya yang berlubang
besar tembus sampai ke batok kepala di bagian be-
lakang juga mengepulkan asap. Kening yang ber-
lubang itu kemudian berubah memerah laksana
bara api. Setelah itu secara tak terduga dari bagian
lubang di kening menderu hawa panas luar biasa.
Hawa panas laksana muntahan lahar gunung itu
selanjutnya bergulung-gulung menghantam Pange-
ran Sobali.
Sang Pangeran terkejut. Tapi begitu mera-
sakan ada hawa panas menyambar tubuhnya dia
langsung memutar senjata andalannya yaitu Cun-
drik Tujuh Petaka. Senjata yang bentuknya mirip
keris namun mempunyai gagang terbuat dari tem-
baga itu mengeluarkan suara mendengung mengi-
riskan.
Bumm! Buum!
Dua ledakan keras mengguncang tempat itu
ketika senjata sang pangeran berbenturan dengan
serangan Iblis Awan Hitam. Akibatnya sungguh
luar biasa. Pangeran Sobali menjerit dan terpaksa
lepaskan cekalannya pada hulu senjata. Ketika
Pangeran Sobali melirik ke arah senjatanya yang
sebagian menancap di tanah diapun berseru kaget.
Senjata itu kini telah berubah menjadi bara sam-
pai ke bagian hulunya.
Apabila pangeran memandang ke telapak
tangannya sendiri. Maka telapak tangan itu mele-
puh hangus mengepulkan asap menebar bau dag-
ing terbakar.
"Jahanam! Kakek keparat itu tidak bisa di-
buat main." Rutuk Pangeran Sobali dalam hati. Be-
lum lagi hilang rasa heran sang pangeran melihat
semua kenyataan ini. Tiba-tiba saja Iblis Awan Hi-
tam berteriak keras. Kembali ia melepaskan ge-
lombang hawa panas yang bersumber dari lubang
yang terdapat di keningnya.
Wuus! Wuuus!
Merasakan ada sambaran hawa panas
kembali menyambar tubuhnya, sang pangeran ti-
dak punya pilihan lain terkecuali menghindar.
Buum! Buuum!
Serangan yang dilancarkan Awan Hitam
hanya mengenai tempat kosong. Menimbulkan su-
ara ledakan berdentum memekakkan telinga.
Selamat dari serangan pertama, Pangeran
Sobali cepat berdiri. Tapi baru saja bangsawan ke-
rajaan ini berdiri tegak. Tiga gelombang hawa pa-
nas yang melesat bersama deru angin yang sangat
cepat luar biasa menghantam dirinya.
Tak sempat menghindar, Pangeran Sobali
jatuh terpelanting terkena sambaran hawa panas
yang dilepaskan lawannya.
Laki-laki itu meraung setinggi langit. Pa-
kaian dan tubuhnya hangus gosong. Pangeran So-
bali tewas seketika begitu terkena gelombang hawa
panas yang keluar dari kening Iblis Awan Hitam.
Si kakek tersenyum dingin. "Engkau mengi
ra tahta kerajaan bisa diukur dengan nyawa. Jika
hidup tidak pandai memilih. Beginilah akibatnya.
Ha ha ha." Kata si kakek sambil tertawa.
Orang tua ini kemudian dongakkan kepa-
lanya ke langit. Daun telinganya bergerak-gerak.
Rupanya pendengarannya menangkap sesuatu.
Dia yang tadinya siap meninggalkan tempat itu
untuk menjambangi sahabatnya di Puncak Sebelas
Tangga Kematian kini urungkan niatnya. Tak ter-
duga si kakek balikkan badan. Mata memandang
ke arah mana suara mencurigakan tadi terdengar.
Kemudian dia berseru. "Orang yang bersembunyi
di balik semak belukar. Harap sudi memperli-
hatkan diri!" teriak si kakek.
Suara Iblis Awan Hitam lenyap. Sunyi! Ti-
dak ada jawaban apa-apa. Kakek angker berkening
bolong adalah manusia yang paling tidak suka
menunggu segala sesuatunya lebih lama. Karena
itu sekali lagi dia berteriak. "Para pengintai tengik.
Harap tunjukkan diri jika tidak ingin celaka di
tanganku!"
Dari balik semak belukar salah satu pengin-
tai mencium ketiaknya sendiri kiri kanan. Setelah
terdengar suara. "Ternyata bukan aku yang di-
maksudkannya karena badanku sampai ke bagian
ketiak ternyata tidak tengik! Tapi untuk tidak mau
dianggap sebagai seorang pengecut aku akan ke-
luar." Berkata begitu satu bayangan melesat ke-
luar dari tempat persembunyiannya. Di lain waktu
di depan Iblis Awan Hitam berdiri tegak seorang
pemuda gondrong bercelana biru bertelanjang dada.
Yang membuat kakek itu agak kaget, dia
merasa seperti pernah melihat si gondrong ini. Iblis
Awan Hitampun berusaha keras untuk mengingat-
ingat. Ketika ia teringat akan sesuatu, Iblis Awan
Hitampun manggut-manggut. "Beberapa hari yang
lalu ketika aku melintas di satu daerah tidak jauh
dari Kediri. Aku menyerang pemuda ini dengan si-
nar panas. Tubuhnya terlempar. Ternyata dia tidak
mati. Mengapa tidak kulihat orang gendut yang
bersamanya saat itu?" batin si kakek.
"Kakek tengik. Aku telah keluar memenuhi
permintaanmu. Aku juga telah melihat korban ha-
sil kejahatanmu. Seorang pangeran tolol yang
menginginkan sebuah benda sakti." Kata si gon-
drong yang bukan lain adalah Pendekar Sakti 71
Gento Guyon.
Iblis Awan Hitam mendengus sinis.
Dia melangkah maju dengan sikap mengan-
cam. "Kau tidak datang sendiri bocah gondrong.
Jika kawan-kawanmu tidak mau keluar, aku ter-
paksa menghancurkan mereka!" ancam si kakek.
"Tunggu!" terdengar satu seruan. Lalu dari
balik semak belukar berturut-turut berkelebat ke-
luar bayangan biru dan kuning.
Tidak begitu lama di samping Gento berdiri
tegak seorang kakek berdaster biru dan seorang
gadis berkepala botak.
Iblis Awan Hitam menatap ke arah si kakek
dan si gadis untuk beberapa saat lamanya. Setelah
itu dia ajukan pertanyaan. "Kalian berdua siapa?"
Kakek berdaster biru yang bukan lain ada-
lah Ki Comot Jalulata dengan cepat menjawab.
"Aku dan gadis ini sahabatnya pemuda gondrong
itu. Namaku Ki Comot Jalulata, sedangkan gadis
yang botak itu bernama Taktu!"
"Gadis berkepala botak itu boleh jadi aku ti-
dak pernah mengenalnya. Tapi orang seperti diri-
mu kurasa penglihatanku tidak bisa ditipu. Bu-
kankah kau orangnya yang bergelar Raja Penyihir
Goa Es?" tanya Iblis Awan Hitam.
Mendengar ucapan kakek berkening bolong
itu tentu saja Ki Comot Jalulata sempat dibuat
terkejut. Biarpun begitu dengan tenang dia berka-
ta. "Tak pernah kumenyangka ternyata namaku
dikenal di delapan penjuru persilatan. Kakek jelek.
Apa yang terjadi dengan pangeran itu kami bertiga
sudah sama mendengar. Sekarang kami ingin ber-
tanya apakah kau benar-benar tahu di tangan sia-
pa benda sakti itu berada?" tanya Ki Comot Jalula-
ta.
"Kek, kau terlalu nekad!" desis Gento yang
sempat merasa terkejut mendengar ucapan Ki
Comot. Tapi orang tua itu bersikap tenang saja.
Malah dia sengaja mengedipkan matanya sebagai
isyarat agar sang pendekar tidak usah merisau-
kannya.
Lain lagi halnya dengan Iblis Awan Hitam.
Pertanyaan Ki Comot Jalulata sempat membuat si
kakek menjadi gusar sekali. Dengan mata mende-
lik dia berkata. "Perlu apa kau bertanya tentang
segala benda sakti itu?"
"Iblis Awan Hitam. Benda sakti Sengkala
Angin Darah kurasa tidak akan menimbulkan ma-
lapetaka bila berada di tanganku." Ujar Ki Comot.
Iblis Awan Hitam sunggingkan seringai si-
nis. "Mulutmu terlalu manis orang tua berpakaian
seperti orang gila. Padahal hal yang sesungguhnya
kau ingin mengangkangi benda itu bukan? Ha ha
ha! Sungguhpun aku tahu di tangan siapa benda
sakti itu berada, mustahil kuberitahukan pada-
mu." Dengus kakek berkening bolong sinis.
"Jangan salah sangka. Aku sama sekali ti-
dak kemaruk dengan segala macam benda sakti.
Kalaupun aku meminta benda itu atau menanya-
kan keberadaan benda itu kepadamu. Semata-
mata karena aku tidak ingin melihat lebih banyak
korban lagi yang berjatuhan!" ujar si kakek.
"Kakek sinting gila. Pertanyaanmu itu
hanya bakal menambah jumlah korban. Aku akan
mengirim arwahmu dan arwah kedua kawanmu ke
neraka." Kata Iblis Awan Hitam.
Gento yang sejak tadi mendengarkan sambil
memperhatikan Iblis Awan Hitam kini melangkah
maju. Setelah itu dia berkata. "Kakek berkening
bolong. Boleh jadi mungkin kau wakil malaikat,
biarpun cuma malaikat kesasar. Tapi sebelum kau
mengambil nyawa kami, apakah aku boleh ajukan
pertanyaan kepadamu?"
"Apa pertanyaanmu?" dengus Iblis Awan Hi-
tam sengit.
Masih disertai dengan senyum Gento mem-
buka mulut. "Kalau tidak salah beberapa hari yang
lalu ketika aku sedang istirahat bersama guruku
gendut juga sahabatku Anggagini. Kau melewati
kami. Kau lewat, melintas persis di atas kami ber-
sama awan hitam yang sangat panas luar biasa.
Kau menjahili aku. Membuat diriku terlempar jauh
dan terpisah dengan guruku. Apakah yang kuka-
takan ini benar?"
"Ha ha ha! Tidak keliru. Memang akulah
orangnya yang membuat istirahat kalian jadi tidak
nyaman. Sekarang kita bertemu lagi. Pertemuan
yang tidak sengaja dan membuat kita tidak bakal
bertemu lagi selamanya!"
"Mengapa begitu? Apakah kau muak meli-
hat tampang gadis temanku yang berkepala botak
ini? Atau bosan melihat tampang sahabatku kakek
berdaster biru?" tanya Gento.
"Ha ha ha. Aku bukan saja muak, tapi benci
melihat tampang kalian semua! Karena itu kalian
bertiga harus kusingkirkan!" dengus Iblis Awan Hi-
tam sinis.
"Itu berarti kau hendak memberangkatkan
kami bertiga ke akherat. Aku tentu saja tidak ke-
beratan. Tapi sebelum kami berangkat, apakah
kau tidak suka memberi tahu kami dimana Seng-
kala Angin Darah sesungguhnya, saat ini berada?"
tanya Gento.
"Hem, kalian orang yang mau mati. Kurasa
tidak ada salahnya jika kuberitahu bahwa Sengka-
la Angin Darah saat ini kemungkinan besar berada
di satu tempat bernama Puncak Sebelas Tangga
Kematian!"
Jawaban Iblis Awan Hitam membuat Ki
Comot Jalulata terkejut. Hingga tanpa sadar dia
berseru. "Puncak Sebelas Tangga Kematian. Bukit
batu merah dimana manusia jahanam bergelar Ib-
lis Dalam Matahari berdiam. Tidak bakal ada
orang yang sanggup mencapai tempat itu. Kalau
pun bisa dia pasti bakal menemui ajal di tangan
Iblis Dalam Matahari. Hemm... Awan Hitam. Apa-
kah segala penjelasanmu itu dapat dipercaya?"
tanya Ki Comot sambil memandang pada Iblis
Awan Hitam dengan tatapan penuh selidik.
Iblis Awan Hitam tertawa tergelak-gelak. Se-
telah itu dengan sinis dia berkata. "Aku tidak per-
caya ucapan setiap orang. Lalu apa perlunya aku
meminta padamu agar mempercayai ucapanku?
Ha ha ha!"
"Apakah ini berarti kau telah bosan hidup,
Iblis Awan Hitam? Atau kau tidak takut kehilan-
gan barang-barang milikmu?" tanya Ki Comot din-
gin. Walaupun Iblis Awan Hitam sempat tercekat
mendengar ucapan Ki Comot. Tapi kakek itu sama
sekali tidak menunjukkan rasa kagetnya. Dengan
bertolak pinggang dia bahkan berkata. "Sungguh-
pun kau seorang penyihir. Kau tak bakal sanggup
menghadapi aku seorang diri. Karena itu kusaran-
kan kalian bertiga hendaknya maju sekaligus!"
"Sombong sekali bicaramu, membuat aku
muak dan ingin menjajal sampai dimana keheba-
tan yang kau miliki!" berkata begitu dengan satu
gerakan yang sangat luar biasa cepatnya Taktu
alias Botak Ke Satu langsung melakukan satu ge-
brakan dengan melepaskan satu pukulan dan dua
tendangan beruntun. Melihat ini Gento yang sudah
mengetahui kehebatan yang dimiliki si kakek sege-
ra berseru.
"Taktu dia bukan tandinganmu!"
Teriakan itu sama sekali tidak didengar oleh
Taktu. Iblis Awan Hitam tersenyum sinis. Dengan
menggunakan lengan jubahnya, dia menghalau se-
rangan Taktu. Sekali tangannya dilambaikan. Dari
balik lengan jubah berderu segulung angin berha-
wa panas luar biasa melabrak Taktu.
Taktu melipat gandakan tenaga dalam yang
dia miliki. Dia terus merangsak ke depan. Sedang-
kan kaki tangannya menghantam bagian perut
orang tua itu.
Buuk!
Buuum!
Tendangan yang dilancarkan gadis itu
hanya membuat Iblis Awan Hitam terhuyung bebe-
rapa tindak. Tapi sambaran ujung lengan jubah
membuat gadis itu tersapu mental, terpelanting
beberapa tombak lalu jatuh bergedebukan seperti
ilalang disapu badai.
Taktu mencoba bangkit berdiri. Tapi pan-
dangannya jadi berkunang-kunang. Sedangkan
Gento sendiri begitu melihat kawannya jatuh dia
segera menerjang ke depan. Serangkaian serangan
dengan menggunakan jurus Congcorang dan Bela-
lang Mabuk dilancarkannya.
Iblis Awan Hitam terkejut bukan main meli-
hat serangan ganas yang datangnya tidak dapat
diduga ini. Diapun melompat mundur. Dengan
menggunakan kecepatan gerak yang sangat luar
biasa kakek ini mencoba menangkis serangan sang
pendekar. Tapi lagi-lagi dia dibuat kaget karena se-
tiap tangkisan maupun serangan balasan yang di-
lakukannya selalu mengenai tempat kosong.
Malah dua kali tendangan yang dilancarkan
pemuda itu mengenai perut dan dagunya.
Sambil mengusap perut dan dagunya Iblis
Awan Hitam secara tak terduga melesat ke udara.
Selagi tubuhnya mengambang dalam ketinggian
dia meluncur deras ke bawah. Kemudian laksana
kilat tubuhnya berputar, sedangkan kaki melesat
dan menendang sang pendekar. Tendangan yang
sangat keras dan terarah di bagian dada dapat di-
elakkan oleh Gento. Tapi tendangan susulan yang
mengarah ke bagian dagu pemuda ini jelas sangat
sulit untuk dihindari.
Plaak!
Tendangan itu membuat Gento jatuh berpu-
tar lalu jatuh bergedebukan tak jauh dari mayat
Pangeran Sobali. Iblis Awan Hitam tertawa mem-
bahak. Namun tawa si kakek mendadak lenyap
begitu melihat sesuatu yang sulit dipercaya terjadi
di depannya.
Tak percaya melihat apa yang terjadi di de-
pannya Iblis Awan Hitam mengusap kedua ma-
tanya berulang-ulang. Tapi sosok Ki Comot Jalula-
ta yang kini telah berubah menjadi dirinya tidak
juga lenyap.
"Jahanam tengik. Kakek keparat itu kini
benar-benar telah menggunakan ilmu sihirnya!"
batin kakek itu. Laksana kilat Iblis Awan Hitam
hantamkan tangan kanannya ke dada Ki Comot.
Melihat kakek ini menghantam ke arah dada, tak
mau ketinggalan Ki Comot Jalulata sambil tertawa
tergelak-gelak juga melepaskan pukulan yang
mengarah ke bagian dada.
Iblis Awan Hitam tentu tidak mau bentrok
pukulan dengan lawan. Karena itu dia menarik ba-
lik pukulannya, kemudian sebagai gantinya dia le-
paskan tendangan ke bagian perut lawan.
Ki Comot Jalulata ternyata bukan manusia
bodoh. Begitu melihat lawan menghantam di ba-
gian perut. Ki Comot terus julurkan tangannya.
Tangan si kakek mendadak sontak merubah me-
manjang. Tangan kiri bergerak menjambret ke ba-
gian selangkangan sedangkan tangan kanan me-
nangkis serangan lawan yang mengarah ke bagian
perut.
"Aih... keparat!" maki Iblis Awan Hitam
sambil menarik balik tendangan yang dilepaskan-
nya, lalu melompat mundur lindungi selangkan-
gannya. Tangkisan maupun tendangan yang dila-
kukan Ki Comot Jalulata tidak mengenai sasaran
seperti yang dia harapkan. Malah kini sambil men-
gerung marah Iblis Awan Hitam melesat ke udara.
Dalam kecepatan gerak yang sangat luar biasa ka-
kek itu meluruk deras ke arah Ki Comot. Orang
tua ini terkesiap, dia melompat mundur, tapi gera-
kannya itu kalah cepat dengan gerakan lawan.
Desss!
Tak dapat dihindari lagi satu tendangan ke-
ras luar biasa menghantam bahu Ki Comot. Mem-
buat tubuh orang tua ini jatuh terpelintir. Begitu
jatuh sosoknya yang tadi berubah menjadi Iblis
Awan Hitam kini kembali dalam ujud yang sebe-
narnya yaitu sosok dirinya sendiri.
"Ki Comot!" seru Gento yang membantu.
"Apa gunanya kau merubah dirimu menjadi dia.
Orang jelek seperti Iblis Awan Hitam tidak perlu
kau tiru. Masih lebih cakep lagi kau menjadi diri-
mu sendiri. Kau tidak usah cemas. Aku akan
membantu dirimu!"
"Jangan! Tak usah kau bantu!" sergah Ki
Comot Jalulata yang sudah bangkit lagi dengan
tubuh termiring-miring. "Jangan kau berani men-
campuri urusan ini. Aku ingin tahu, aku ingin
menjajal kehebatan Iblis Awan Hitam. Dia boleh
saja memiliki kepandaian tinggi. Mungkin saja dia
bisa membunuhku. Tapi aku bersumpah akan
mencopoti perabotan yang dia miliki dengan keku-
atan ilmu sihirku!" ujar si kakek.
Mendengar ucapan Ki Comot terkejutlah Ib-
lis Awan Hitam dibuatnya. Jika lawan benar-benar
membuktikan ancamannya. Alamat celakalah di-
rinya. Dia tentu pernah mendengar keisengan Ki
Comot selama ini. Konon Ki Comot mempunyai ke-
gemaran mencopoti perabotan milik lawannya. Ib-
lis Awan Hitam tidak mau hal itu terjadi pada di-
rinya. Karena itu si kakek tidak mau bersikap ayal.
Dia pun akhirnya menggunakan ilmu andalan
yang dia miliki. Yaitu selubung awan hitam yang
memancarkan hawa panas luar biasa.
"Iblis Awan Hitam. Serahkan semua barang
yang kau miliki. Atau kau mungkin berubah fiki-
ran mau mengantar kami ke Puncak Sebelas
Tangga Kematian!" teriak Ki Comot Jalulata.
"Aku lebih suka mengantarmu ke neraka!"
dengus Iblis Awan Hitam menyahuti. Sementara
itu Gento dan Taktu terus mengawasi tidak jauh
dari tempat terjadinya perkelahian.
Ki Comot Jalulata tertawa mengekeh men
dengar jawaban lawan. Tidak mau menunggu lebih
lama. Sambil katubkan mulutnya si kakek kepal-
kan kedua tangannya. Tangan itu kemudian dipu-
tar sebat hingga mengepulkan kabut tipis berwar-
na putih seperti uap es.
Tetapi lawannya sendiri pada saat yang sa-
ma sudah berputar sebat laksana titiran. Begitu
sosok si kakek berputar seperti gasing, terdengar-
lah suara menderu disertai hawa panas luar biasa.
Hawa panas dan hembusan angin kencang
yang keluar dari sekujur tubuh Iblis Awan Hitam
membuat Ki Comot Jalulata nyaris terpelanting.
Tubuhnya bahkan seperti mau dipanggang. Tapi
kemudian Ki Comot Jalulata acungkan kedua tan-
gannya ke arah Iblis Awan Hitam yang pada saat
itu telah melesat di udara dan menghujani dirinya
dengan serangan angin apinya yang membakar.
"Celaka! Ilmu serangan yang dipergunakan
kakek itu beberapa waktu yang lalu hampir saja
membuat diriku celaka. Jika Ki Comot tidak ber-
tindak cepat. Dia sendiri bisa celaka!" ujar Gento.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya
Taktu yang juga merasa cemas melihat Ki Comot
mendapat hujan serangan hawa panas bertubi-
tubi.
"Kau tunggulah di sini. Kalau Ki Comot be-
nar-benar tidak sanggup menghadapi Iblis Awan
Hitam. Aku akan segera mengambil tindakan!" ka-
ta Gento.
Sementara itu serangan-serangan gencar
yang dilancarkan Iblis Awan Hitam nampaknya
benar-benar membuat Ki Comot benar-benar terdesak. Orang tua ini begitu mendapat serangan
bertubi-tubi tentu saja tidak dapat memperguna-
kan ilmu sihirnya karena penerapan ilmu sihir
membutuhkan konsentrasi penuh. Malah dalam
gebrakan selanjutnya bagian bahu Ki Comot kena
dihantam serangan berhawa panas yang dilancar-
kan lawan. Pakaian dan kulit kakek ini terbakar.
Setelah bersusah payah memadamkan api
yang membakar bahunya. Sambil menggeram pe-
nuh kemarahan dia jejakkan kakinya di atas ta-
nah. Setelah itu laksana kilat si kakek melesat di
udara. Iblis Awan Hitam tercengang melihat apa
yang dilakukan lawan. Sungguhpun si kakek ma-
sih sempat semburkan api dari lubang yang men-
ganga di bagian kening.
Wuus! Wuus!
Serangan api yang disemburkan Iblis Awan
Hitam masih dapat dihindari oleh Ki Comot Jalula-
ta. Tapi begitu dia lolos dari serangan api lawan
secara tak terduga salah satu tangan si kakek tiba-
tiba terjulur dan menghantam dada kiri Ki Comot.
Kakek itu sempat terpental, tapi hantaman itu ti-
dak membuatnya jatuh terpelanting. Malah kini
dengan sikap seolah tidak menghiraukan rasa sa-
kit yang mendera dadanya, Ki Comot Jalulata len-
tingkan tubuhnya lebih tinggi ke udara. Sedang-
kan jari telunjuk tangan kanan meluncur ke lu-
bang di kening depan, sedangkan telunjuk kiri me-
lesat ke bagian belakang kepala Iblis Awan Hitam.
Melihat lawan siap menyumbat lubang di
kening dan bagian belakang kepalanya, Iblis Awan
Hitam jadi terkesiap. "Jahanam... bagaimana dia
bisa mengetahui bagian titik kelemahanku!" batin
Iblis Awan Hitam kaget.
Dia miringkan kepalanya. Tapi gerakan
yang dilakukannya ini kalah cepat dengan kedua
jemari tangan Ki Comot Jalulata.
Bleb! Cep!
"Uarkh...!"
Iblis Awan Hitam menjerit keras begitu lu-
bang yang terdapat di kening dan belakang kepa-
lanya disumbat orang. Kakek inipun meronta-
ronta. Kepalanya laksana mau meledak.
"Lepaskan...!" teriak si kakek. Dua tangan-
nya menghantam dada dan perut Ki Comot.
Wuuut!
Hantaman pertama dapat dihindari oleh
orang tua itu. Tapi hantaman kedua dengan telak
mendera bagian perut.
Buuuk!
"Huak!" tak pelak lagi si kakek jatuh terpe-
lanting. Kedua jemari telunjuk yang menancap di
dalam lubang terlepas. Ki Comot Jalulata jatuh
terduduk. Sedangkan Iblis Awan Hitam yang me-
rasa kehilangan udara yang mengalir ke bagian
otak nampak terhuyung-huyung. Selagi tubuhnya
belum sampai terjatuh. Si kakek yang sangat
menderita akibat lubang di kepalanya disumbat
orang langsung berbalik. Lalu berkelebat tinggal-
kan tempat itu. Melihat ini Gento Guyon tentu saja
tidak mau membiarkan lawan lolos begitu saja. Di-
apun melepaskan satu pukulan jarak jauh ke arah
Iblis Awan Hitam.
Wuut!
Buum!
Percuma saja pukulan itu dilepaskannya
karena lawan hanya dalam waktu sekejap saja te-
lah lenyap dari pandangan mata.
"Tak usah dikejar!" seru Ki Comot Jalulata
ketika melihat Taktu bermaksud melakukan pen-
gejaran.
"Tapi dia bisa menjadi batu penghalang di
kemudian hari!" ujar Taktu.
Si kakek gelengkan kepala.
Sambil mengatur jalan nafasnya yang agak
memburu dia berkata. "Jika apa yang dikatakan-
nya tentang benda itu memang benar adanya. Ba-
gaimanapun dia pasti akan pergi ke Puncak Sebe-
las Tangga Kematian. Kita bisa menyusulnya ke
sana!" ujar Ki Comot Jalulata.
"Apakah kau tahu dimana letak tempat itu
Ki?" tanya Gento.
"Ha ha ha. Tempat itu tidak jauh dari Kerto-
suro. Dari tempat ini untuk mencapai Puncak Se-
belas Tangga Kematian membutuhkan waktu dua
hari perjalanan!"
"Cukup jauh juga. Mudah-mudahan kita bi-
sa mendapatkan kuda dalam perjalanan nanti. Ta-
pi Ki, bagaimana kau bisa mengetahui kelemahan
Iblis Awan Hitam?" tanya sang pendekar lagi.
Si kakek tersenyum. Dengan tenang dia
menjawab. "Untuk mengetahui kelemahan ilmu
simpanan seseorang memang tidak mudah. Apa
yang kulihat kening Iblis Awan Hitam merupakan
sumber pembangkit kekuatannya. Semula aku
menjadi heran mengapa kepala kakek itu berlubang di bagian belakang dan juga depan. Kemu-
dian aku berfikir. Setiap ilmu yang bersumber pa-
da api pasti membutuhkan udara. Jika Iblis Awan
Hitam yang bolong cuma di bagian depan, tak
mungkin keningnya dapat mencetuskan api. Lalu
aku berfikir lagi, jika kusumbat kedua lubang di
kepalanya. Selain dia tak bakal menggunakan il-
munya pasti juga bagian otaknya kekurangan uda-
ra. Dugaanku ternyata tidak meleset!" ujar Ki
Comot. Dia lalu melanjutkan. "Sayangnya aku ti-
dak punya kesempatan ilmu sihirku untuk men-
gerjainya."
Gento tersenyum. "Sudahlah, Ki. Kau tidak
perlu bersedih. Di lain waktu kau pasti punya ke-
sempatan mengambil apa saja yang dia miliki. Se-
karang selagi matahari belum tenggelam ada baik-
nya kalau kita lanjutkan perjalan ini!" kata Gento.
"Ha ha ha. Aku setuju saja. Semakin cepat
sampai di tempat itu akan semakin bertambah
baik!" ujar Ki Comot Jalulata.
Akhirnya tanpa menunggu lebih lama lagi
ketiga orang itu segera berkelebat pergi menuju ke
bukit merah.
9
Kakek berpakaian serba putih berambut
putih dan berjenggot putih panjang menjela itu ti-
ba-tiba hentikan langkah. Sejenak dia memandang
ke belakang. Setelah itu mulutnya yang tertutup
kumis lebat menyeringai. Sekali dia gerakkan kakinya, laksana kilat sosok si kakek melesat ke satu
cabang pohon, lalu dalam sekejap saja sosoknya
lenyap di antara kelebatan daun dan pepohonan
rindang.
Dari balik kelebatan daun pohon kakek
berpakaian serba putih memandang ke jurusan
mana tadi dia datang. Dan kakek itu agaknya tak
perlu terlalu lama menunggu. Sebentar saja di
tempat mana tadi dia berdiri muncul seorang ka-
kek berpakaian sutera warna kuning. Di kening
kakek itu berhiaskan tato gambar tengkorak dalam
bentuk sulaman.
Selain itu di tangan si kakek juga tergeng-
gam sebuah tongkat buntung berwarna hitam.
Setelah memperhatikan penampilan kakek
berpakaian penuh tambalan-tambalan itu kakek
yang mendekam di atas pohon menarik nafas lega.
"Dia rupanya? Kufikir dia orang yang kuca-
ri-cari selama ini!" batin kakek berpakaian putih
itu dalam hati.
Sebaliknya kakek berpakaian sutera kuning
dengan mata jelalatan kini memandang segenap
penjuru sudut. Kemudian dia berkata seorang diri.
"Aneh aku tadi sempat melihatnya. Mengapa dia
begitu cepat menghilang? Apakah mungkin il-
munya semakin bertambah hebat? Apakah me-
mang benar yang dikatakan orang bahwa benda
itu kini telah menjadi miliknya?"
"Ha ha ha! Pengemis Nyawa... apa yang kau
cari di tempat ini? Apakah engkau mencari diri-
ku?" Kakek di atas pohon tiba-tiba membuka mu-
lut berucap. Kakek bertongkat buntung melengak
kaget. Cepat dia dongakkan kepala memandang ke
atas pohon. Setelah itu dengan kecepatan laksana
kilat dan gerakan tidak terduga dia menghantam-
kan tangan kirinya ke atas.
Wuuut!
Segulung angin menderu, lalu menghantam
putus cabang pohon yang dipergunakan untuk
bersembunyi oleh kakek berpakaian serba putih.
Terdengar suara berderak putusnya cabang pohon.
Begitu cabang runtuh satu bayangan berkelebat
dan jejakkan kakinya di depan kakek berpakaian
kuning.
Cabang pohon yang runtuh menimbulkan
suara angin bergemuruh. Kedua kakek itu saling
berpandangan untuk beberapa jenak lamanya. Se-
telah itu keduanya sama mengumbar tawa.
"Pengemis Nyawa! Sudah lama kita tidak
bertemu. Apa yang kau cari di tempat ini?'" tanya
kakek berpakaian putih.
"Empu Barada Sukma. Semula aku menca-
rimu di Lembah Sesat. Karena kau tidak ada di
sana maka aku menyusulmu kemari." Ujar Pen-
gemis Nyawa.
"Lembah Sesat bagiku untuk waktu yang
akan datang mungkin hanya tinggal kenangan sa-
ja. Sekarang memang sudah waktunya bagiku un-
tuk mewujudkan segala apa yang menjadi cita-
citaku!"
"Empu Barada, apa yang dapat kau andal-
kan untuk mewujudkan cita-citamu yang dulu
itu?" tanya Pengemis Nyawa.
"Bekal yang kumiliki tidak kurang. Salah
satu diantaranya adalah benda sakti yang selama
ini menjadi incaran kaum rimba persilatan."
Mendengar ucapan Empu Barada Sukma
tentu saja Pengemis Nyawa tidak dapat menutupi
rasa kagetnya.
"Jadi... jadi Sengkala Angin Darah saat ini
telah berada di tanganmu?" desis Pengemis Nyawa.
"Ssst...! Jangan keras-keras kau bicara. Aku
khawatir ada orang yang mencuri dengar pembica-
raan kita!" ujar Empu Barada Sukma dengan sua-
ra lirih.
"Kau tak usah cemas. Ketika aku mencari
dirimu tadi aku sudah meneliti daerah ini. Tidak
ada siapa-siapa di sini selain kita. Cuma kuminta
kau agar lebih berhati-hati. Karena begitu banyak
orang yang menginginkan Sengkala Angin Darah.
Salah satu diantaranya adalah Penyair Halilintar.
Selain dia, Pangeran Sobali dari Kediri juga meng-
hendaki benda yang ada di tanganmu. Hanya un-
tuk orang yang kusebutkan terakhir itu kau tidak
usah merisaukannya. Dia telah banyak kehilangan
prajurit. Sayang seseorang telah menyelamatkan-
nya. Jika tidak mungkin aku sudah membunuh-
nya!" ujar Pengemis Nyawa.
Empu Barada Sukma, kakek keji yang tidak
pernah gentar menghadapi siapapun tiba-tiba
dongakkan kepala. Kemudian dia tertawa tergelak-
gelak. Beberapa saat kemudian setelah tawanya
lenyap Empu Barada Sukma berkata. "Mengapa
aku harus takut pada orang-orang yang kau se-
butkan itu? Penyair Halilintar kuketahui sebagai
orang yang sangat berbahaya. Apalagi konon kudengar dia mempunyai binatang piaraan bernama
mahluk Semera Darah."
"Apa yang kau katakan itu benar. Penyair
Halilintar bukan manusia sembarangan. Aku sen-
diri sempat bentrok dengannya. Beruntung aku
cepat berlalu ketika mahluk Semera Darah muncul
di gunung Kawi. Jika tidak aku pasti sudah bina-
sa!"
"Cukup, Pengemis Nyawa. Jangan pernah
lagi kau memuji orang lain secara berlebihan di
depanku. Aku tidak suka!" hardik Empu Barada
Sukma ketus.
Pengemis Nyawa jadi terdiam mendengar
bentakan sahabatnya. Kini dia hanya memandang
pada sang sahabat dengan tatapan penuh selidik.
Dengan sikap acuh tak acuh Empu Barada
Sukma berkata lagi. "Kau tahu, kalaupun ada
orang yang ingin kubunuh sampai seribu kali.
Orang itu adalah Gentong Ketawa."
"Gentong Ketawa. Manusia gendut dari gu-
nung Merbabu itu? Agaknya kau masih punya
ganjalan pada orang yang satu itu?"
"Benar. Sebelum aku membalaskan segala
dendam dan sakit hatiku padanya, agaknya hidup
ini bagiku tidak bakal mendapat ketenteraman."
"Lalu apa yang telah kau lakukan?"
Dengan mata menerawang memancarkan
dendam Empu Barada Sukma berkata. "Beberapa
bulan yang lalu aku telah mengirim utusan untuk
mencari dan membunuh gendut yang satu itu. Ta-
pi utusanku tidak pernah kembali!" ujar si kakek
sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang.
"Mungkin utusanmu dapat dibunuhnya!'
ujar Pengemis Nyawa mengemukakan pendapat-
nya.
"Mungkin juga begitu. Kemudian belum la-
ma ini setelah Sengkala Angin Darah berhasil ku-
dapatkan. Aku sengaja menyebar berita di luaran
sana bahwa Sengkala Angin Darah ada di tangan
Gentong Ketawa. Lalu kudengar gendut terkutuk
itu menjadi buronan banyak fihak. Tapi setelah itu
aku tidak mendengar berita apa-apa lagi. Mungkin
umpan yang kutabur tidak mengenai sasaran se-
cara tepat. Aku tidak tahu, yang jelas belum lama
ini aku juga mengirim kaum cacat dari lembah se-
sat untuk mencari tahu dimana Gentong Ketawa
berada. Aku juga sudah menegaskan kepada me-
reka agar jika bertemu dengan Gentong Ketawa
mereka segera membunuhnya."
"Lalu orang-orangmu tidak pernah kemba-
li?" potong Pengemis Nyawa.
Dengan wajah muram Empu Barada Sukma
anggukkan kepala.
"Entah ilmu apa yang dimiliki oleh tua
bangka keparat itu. Yang pasti orang-orangku se-
perti tidak berdaya menghadapinya!" geram si ka-
kek.
"Agaknya kau harus turun tangan sendiri
untuk menuntaskan segala hutang piutang dan
dendam kesumatmu."
"Aku fikir begitu. Tapi aku tidak tahu dima-
na dia sekarang berada."
"Jika kau mau, aku bersedia membantumu
menemukan gendut yang satu itu. Secara pribadi
aku memang tidak punya silang sengketa dengan-
nya. Tapi aku berprinsip, apapun yang menjadi
persoalan sahabatku. Susah senangnya juga men-
jadi persoalanku juga."
"Kau benar. Tapi kemana kita harus menca-
ri?" tanya Empu Barada Sukma.
"Satu-satunya tempat yang mungkin dida-
tangi setiap orang hanya Puncak Sebelas Tangga
Kematian. Sekarang ini kudengar banyak tokoh-
tokoh dunia persilatan yang pergi ke sana."
"Buat apa mereka ke sana?" tanya Empu
Barada Sukma tidak mengerti.
"Tentu saja mereka menginginkan benda
sakti itu. Entah siapa yang menyebarkan kabar
baru itu. Yang jelas kini mereka lebih tertarik pergi
ke Puncak Sebelas Tangga Kematian!"
Empu Barada Sukma menyeringai sinis.
"Ha ha ha. Orang-orang dunia persilatan
itu. Mengapa kini tiba-tiba saja menjadi orang
pandir lagi tolol. Mereka tidak tahu bahwa Sengka-
la Angin Darah yang sesungguhnya berada di tan-
ganku!"
"Hak hak hak! Jika benar benda sakti itu
memang ada di tanganmu sungguh sangat kebetu-
lan sekali. Aku jadi tidak usah bersusah payah
menyambung nyawa dengan pergi ke Puncak Sebe-
las Tangga Kematian!" satu suara disertai gelak
tawa tiba-tiba mengumandang di udara.
Baik Empu Barada maupun Pengemis Nya-
wa tentu saja melengak kaget. Cepat sekali mereka
memandang ke arah mana suara tadi datang. Be-
lum lagi lenyap rasa kaget di hati mereka mendadak sontak satu sosok bayangan ungu berkelebat
ke arah mereka. Di lain saat seorang kakek tua
berbadan bongkok berpakaian serba ungu berdiri
tegak di depan mereka.
Penampilan kakek yang satu ini sungguh
kacau. Daun telinga kanan lenyap entah kemana.
Sedangkan daun telinga kiri berada dalam geng-
gamannya. Hidungnya berlubang gerowok menge-
rikan. Bukit hidung lenyap entah kemana. Melihat
kemunculan kakek itu Empu Barada Sukma lang-
sung semburkan ludah merasa jijik. Setelah itu dia
membentak. "Manusia salah kaprah! Siapa diri-
mu?"
"Aku Setan Santet Delapan Penjuru!" jawab
kakek berpakaian ungu yang memang Setan San-
tet Delapan Penjuru adanya. Seperti yang telah di-
ceritakan pada episode sebelumnya. Kakek ini ke-
hilangan kedua daun telinga dan bukit hidungnya
karena perbuatan jahil Ki Comot Jalulata.
Sebaliknya begitu mendengar jawaban ka-
kek itu baik Pengemis Nyawa maupun Empu Ba-
rada Sukma jadi tertawa tergelak-gelak.
Begitu tawa mereka lenyap. Pengemis Nya-
wa berkata. "Selama hidup, belum pernah aku me-
lihat orang tolol yang gilanya sehebat dirimu. Yang
aku tahu dan yang pernah kudengar Setan Santet
Delapan Penjuru penampilan dan ciri-cirinya tidak
seperti dirimu. Tapi kau... hidung lenyap tak ka-
ruan. Daun telinga bertanggalan. Datang menge-
mis minta Sengkala Angin Darah dan mengaku se-
bagai Setan Santet? Ha ha ha!" kata Pengemis
Nyawa disertai senyum mencibir.
10
Wajah Setan Santet Delapan Penjuru sem-
pat berubah merah padam. Belum lagi dia sempat
berbicara Empu Barada Sukma sudah menyela.
"Orang gila tak karuan juntrung. Lebih baik kau
menyingkir dari hadapanku, sebelum aku benar-
benar berubah fikiran!"
"Tak seorangpun yang bisa memerintahku
sesuka hatinya sendiri. Cepat serahkan Sengkala
Angin Darah kepadaku. Baru setelah itu aku akan
pergi dari sini!" dengus Setan Santet tetap ngotot.
Jawaban kakek itu tentu membuat gusar
kedua orang lawannya. Dengan geram Empu Ba-
rada Sukma berkata. "Kakek gila. Siapapun dirimu
aku tidak perduli. Tapi jika kau tetap keras kepala
tidak mau menuruti perintah, jangan salahkan
kami jika aku dan temanku ini terpaksa membu-
nuhmu!" ancam Empu Barada.
Setan Santet Delapan Penjuru tersenyum.
"Ilmu yang kau miliki boleh saja tinggi, Empu Ba-
rada. Tapi jangan kira kau dapat menakut-nakuti
diriku!" jawab Setan Santet.
Empu Barada Sukma diam-diam menjadi
kaget. "Kakek keparat ini. Apakah benar-benar Se-
tan Santet Delapan Penjuru? Kalau betul, kemana
lenyapnya daun telinga dan hidungnya? Apakah
mungkin telah terjadi sesuatu yang hebat pada di-
rinya? Selain hidung dan telinga, penampilan ka-
kek ini memang sangat mirip dengan Setan Santet.
Tapi perduli apa? Jika dia datang dengan maksud
merampas barang milikku. Aku harus menyingkir-
kannya!" ujar Empu Barada Sukma.
Kakek berjanggut putih itu tiba-tiba saja
dongakkan kepala, lalu tertawa tergelak-gelak.
Puas dia tertawa selanjutnya dia berkata di-
tujukan pada sahabatnya Pengemis Nyawa. "Saha-
batku! Jika dia datang kepada kita untuk menge-
mis benda yang ada padaku. Sekarang tindakan
apa yang patut kita lakukan terhadapnya?"
Sambil bertolak pinggang kawannya menja-
wab. "Jika dia datang ingin mengemis benda sakti
yang ada padamu. Kurasa tidak ada salahnya jika
kita mengemis nyawanya terlebih dulu. Empu Ba-
rada Sukma... kau adalah sahabatku. Sudah sepa-
tutnya sebagai sahabat aku membantumu. Du-
duklah kau dimana saja kau suka. Biarkan aku
yang mengambil nyawa tua bangka tak berwujud
ini!" kata Pengemis Nyawa.
Empu Barada Sukma yang sudah tahu ke-
hebatan yang dimiliki Pengemis Nyawa tertawa
mengekeh. Dengan sikap seenaknya dia kemudian
duduk di batang pohon tumbang. Memandang se-
jurus ke arah Setan Santet Delapan Penjuru, lalu
gelengkan kepala.
"Pengemis Nyawa. Buatlah kematiannya
seenak mungkin. Bukannya apa, aku tidak tega
melihat wajahnya yang mengenaskan itu!" kata
Empu Barada Sukma berseru.
"Tak usah khawatir. Serahkan semua itu
padaku!" jawab Pengemis Nyawa
Melihat sikap orang yang terlalu meremeh-
kan dirinya, Setan Santet Delapan Penjuru menggeram marah. Tangan kanannya tiba-tiba dilam-
baikan ke arah Pengemis Nyawa. Meskipun gera-
kan yang dilakukannya hanya berubah lambaian
saja. Tapi akibatnya sungguh sangat luar biasa se-
kali. Pengemis Nyawa tiba-tiba merasa ada hem-
busan angin yang datang menyergap. Berputar-
putar lalu mencekik leher dan melilit dadanya.
Si kakek merasa sulit bernafas. Baru saja
Pengemis Nyawa meronta dan berusaha membe-
baskan diri dari pengaruh serangan lawan yang te-
rasa aneh luar biasa. Di depan sana, Setan Santet
Delapan Penjuru tiba-tiba gerakkan tangannya
dengan satu bantingan keras.
Hebatnya lagi, tubuh Pengemis Nyawa tiba-
tiba terangkat tinggi. Lalu meluncur deras ke ba-
wah dan...
Brukk!
Pengemis Nyawa jatuh terbanting. Masih
beruntung dia dapat jatuhkan diri dengan kedua
kaki terlebih dulu menyentuh tanah.
Melihat kenyataan ini Empu Barada Sukma
yang duduk di atas batang pohon jadi tercengang.
"Kakek keparat itu! Dia menyerang tidak secara
langsung ke arah sasaran. Tetapi akibatnya sung-
guh berbahaya bagi Pengemis Nyawa. Sekarang
kau baru percaya kalau orang yang dihadapi sa-
habatku itu memang benar-benar Setan Santet
Delapan Penjuru! Jelas telah terjadi suatu kejadian
besar pada tukang santet ini sebelumnya. Aku ha-
rus bersikap waspada. Setan Santet memang ber-
bahaya. Tapi lebih berbahaya lagi jika dia sampai
menggunakan Jin Sesat yang menjadi piaraannya."
Batin Empu Barada Sukma.
Sementara itu begitu jatuh terbanting Pen-
gemis Nyawa tidak segera bangkit berdiri. Sebalik-
nya dia langsung bergulingan ke arah lawan. Begi-
tu lawan telah berada dalam jangkauannya. Lak-
sana kilat tongkat sakti yang telah buntung pada
bagian ujungnya segera dibabatkan ke arah bagian
kaki Setan Santet.
Angin keras berhawa panas luar biasa sege-
ra berkelebat menyambar ke arah kaki Setan San-
tet. Orang tua itu merasa kedua kakinya seperti di-
tebas pedang panas membara. Namun dengan ce-
pat dia melompat ke udara. Babatan pertama lu-
put dari sasaran. Namun babatan kedua yang di-
lancarkan Pengemis Nyawa sempat menghantam
kaki kiri Setan Santet. Membuat robek ujung cela-
nanya dan melukai bagian kaki.
Setan Santet keluarkan suara menggerung
hebat. Dalam keadaan berjumpalitan di udara, ti-
ba-tiba dia lakukan gerakan mencengkeram ke ba-
gian kepala. Walaupun cengkeraman itu sebenar-
nya tidak sampai mengenai kepala Pengemis Nya-
wa. Tapi si kakek tiba-tiba merasakan rambutnya
kena dibetot lawannya. Ini dapat dimaklumi kare-
na Setan Santet dalam setiap melakukan serangan
menggunakan kekuatan gaibnya. Sehingga walau-
pun anggota badannya tidak pernah menyentuh
tubuh lawan. Tapi akibatnya sama hebat dengan
gerakan tangan yang sesungguhnya.
Melihat kenyataan seperti ini, Empu Barada
Sukma yang lebih berpengalaman dari temannya
langsung berteriak. "Pengemis Nyawa. Dia menggunakan ilmu iblisnya. Karena itu kerahkanlah se-
luruh tenaga dalam yang kau miliki!"
Mendengar teriakan Empu Barada Sukma.
Pengemis Nyawa tiba-tiba dengan gerakan yang ti-
dak terduga langsung babatkan tongkat saktinya
ke bagian atas kepala.
Tak!
Pukulan yang dilakukan Pengemis Nyawa
sesungguhnya tidak sampai mengenai tangan la-
wan. Tapi tongkat itu seolah membentur pergelan-
gan tangan lawannya.
Setan Santet Delapan Penjuru meraung he-
bat sambil memegangi lengan tangan kanannya.
Tapi dengan cepat dia jejakkan kakinya di atas ta-
nah. Setelah itu tanpa menghiraukan rasa sakit
yang dideritanya Setan Santet hantamkan kedua
tangannya ke arah dada dan kepala Pengemis
Nyawa. Melihat serangan ini, Pengemis Nyawa ti-
dak mau terlibat perkelahian dalam jarak jauh.
Laksana kilat Pengemis Nyawa melompat ke de-
pan. Dengan tangan kiri dia menyambut serangan
lawan, sedangkan tongkat di tangan kanan dihan-
tamkannya ke bagian kepala.
Jika sampai tongkat itu menghantam kepa-
la Setan Santet, dapat dipastikan kepala lawan
hancur berantakan. Setan Santet agaknya menya-
dari akan hal itu. Karenanya dia melompat mun-
dur sejauh tiga tombak. Mulut kakek ini berke-
mak-kemik.
Setelah itu tiba-tiba saja dia berseru.
"Naik...!"
"Wuaakh...!"
Dan tubuh Pengemis Nyawa tiba-tiba tanpa
dicegah lagi langsung melesat ke udara seiring
dengan ucapan lawannya.
"Bantingkan dirimu!" teriak Setan Santet la-
gi. Tak dapat dicegah tubuh Pengemis Nyawa me-
luncur deras ke bawah. Melihat kenyataan ini Em-
pu Barada Sukma tentu tidak tinggal diam.
"Tua bangka keparat itu. Berani dia menger-
jai kawanku. Akan tahu rasa dia!" maki sang em-
pu.
Laksana kilat dia berkelebat mendekati
Pengemis Nyawa. Dua tangan ditadahkan sehingga
Pengemis Nyawa terjatuh dalam pelukannya.
"Menyingkirlah kau! Aku paling tidak suka
melihat kawanku dipermainkan orang!" geram si
kakek. Lalu diam-diam dia kerahkan tenaga da-
lamnya ke sekujur tubuh.
Belum lagi Empu Barada Sukma beranjak
dari tempatnya berdiri. Pada waktu itu pula Setan
Santet telah melancarkan serangkaian serangan
hebat yang menimbulkan deru angin panas dan
dingin silih berganti. Empu Barada Sukma yang
mendapat gelombang serangan demikian hebatnya
diam tidak bergeming. Tapi begitu lawan telah be-
rada dalam jangkauannya. Tiba-tiba orang tua itu
gerakkan perutnya.
Wuus! Wuuus!
Dari bagian perut si kakek angin dan hawa
panas membakar menderu dahsyat. Gelombang
angin yang sangat membakar itu menghantam se-
kujur tubuh Setan Santet Delapan Penjuru. Setan
Santet tentu saja tidak ingin dirinya celaka dihantam gelombang angin dan sinar merah yang me-
mancar dari benda di balik pakaian lawan yang be-
lum jelas apa adanya. Karena itu dia melompat ke
samping selamatkan diri.
Tapi apa yang dilakukan Setan Santet nam-
paknya sia-sia saja. Karena begitu dia menghindar
dari balik pakaian di bagian perut sang empu
kembali sinar merah disertai gelombang angin pa-
nas mencuat dan melabrak Setan Santet.
Si kakek menggerung, mencoba kerahkan
ilmu hitam yang dia miliki untuk menangkis se-
rangan aneh yang menyeruak dari perut Empu Ba-
rada Sukma. Tapi apa yang dilakukannya itu
nampaknya tidak dapat berfungsi sebagaimana
yang dia harapkan.
Tak ayal lagi, tubuh Setan Santet mencelat
mental terhantam gelombang angin berhawa panas
membakar yang keluar dari balik baju Empu Ba-
rada Sukma. Melihat kenyataan yang terjadi Pen-
gemis Nyawa tentu saja jadi tercengang. Tapi dia
tidak yakin kekuatan itu keluar dari diri Empu Ba-
rada Sukma. Mustahil sang empu memiliki kesak-
tian sehebat itu.
Sementara itu di depan sana, dalam kea-
daan tubuh setengah hangus Setan Santet Dela-
pan Penjuru mencoba bangkit dan duduk bersila.
Tapi hal ini tidak mudah dilakukannya karena se-
kujur tubuhnya nyaris hangus dan sulit digerak-
kan. Dengan bersusah payah, Setan Santet akhir-
nya dapat melakukan apa yang dia inginkan.
Setelah dapat duduk bersila. Bibirnya yang
kaku berkemak-kemik. Lalu lubang telinga kiri di
gosok-gosoknya.
Tak lama kemudian dari lubang telinga
mengepul asap tipis berwarna biru. Asap itu ber-
gulung-gulung di atas kepala membentuk satu so-
sok tinggi berwajah angker menyeramkan.
"Empu Barada, dia menggunakan Jin Sesat.
Hati-hatilah!" seru Pengemis Nyawa.
Empu Barada Sukma menyeringai dingin.
Kembali dia kerahkan tenaga ke bagian perut. Ha-
wa panas kembali memancar dari benda yang ter-
simpan di situ. Sementara pada waktu bersamaan
Setan Santet berseru pada mahluk raksasa yang
keluar dari liang telinganya.
"Jin Sesat! Bunuh kakek berpakaian putih
dan rampas benda sakti yang ada padanya!"
Mahluk besar angker yang keluar dari lu-
bang telinganya keluarkan suara menggerung. Se-
telah itu dengan cepat mahluk hitam itu berbalik
lalu melayang ke arah sang Empu.
Akan tetapi baru saja setengah jalan Jin Se-
sat bergerak, melayang. Mendadak sontak gera-
kannya jadi tertahan begitu dari perut Empu Ba-
rada Sukma mencuat sinar merah dan biru diser-
tai gelombang angin hebat. Sinar maut dan pusa-
ran angin itu langsung melabrak sosok Jin Sesat
hingga membuat mahluk itu hancur berkeping-
keping.
Melihat mahluk piaraannya hancur terhan-
tam gelombang hawa panas yang dahsyat luar bi-
asa. Setan Santet meraung hebat. Bersusah payah
dia bangkit berdiri.
"Kakek Jahanam! Kau bunuh mahluk pia
raanku. Sekarang aku akan membunuhmu!" Ber-
kata begitu sosoknya tiba-tiba melesat ke depan.
Tapi secara tak terduga dari arah samping ada an-
gin menyambar ke arahnya. Terkejut Setan Santet
berpaling. Justru pada saat itu, sebuah benda hi-
tam melayang menghantam bagian kepalanya den-
gan telak sekali.
Praak!
Terdengar suara tengkorak kepala berderak
hancur. Setan Santet Delapan Penjuru menjerit se-
tinggi langit. Tubuhnya terpelanting, darah me-
nyembur dari bagian kepalanya yang pecah.
Tak lama kemudian kakek itu pun terkapar
dan tidak dapat bergerak-gerak lagi.
Di samping Setan Santet, Pengemis Nyawa
menyeringai sambil usap-usap tongkat hitamnya
yang berlumuran darah. Sementara itu sepasang
matanya terus memandang ke arah perut Empu
Barada Sukma yang seperti menggembol sesuatu.
"Terima kasih karena kau telah membantu"
Ujar sang empu.
"Benda yang memancarkan cahaya merah
tadi. Apakah itu benda sakti Sengkala Angin Da-
rah?" tanya Pengemis Nyawa.
"Kau benar. Benda ini memang sangat luar
biasa. Dengan adanya Sengkala Angin Darah aku
yakin tak ada seorangpun yang dapat menghadapi
aku." Ujar sang Empu disertai senyum.
"Apakah kau yakin benda itu memang ben-
da yang asli?" tanya Pengemis Nyawa.
Empu Barada Sukma unjukkan wajah kaget
juga heran.
"Eeh... apa maksudmu?" tanya Empu Bara-
da.
Pengemis Nyawa menarik nafas, sambil ge-
lengkan kepala.
"Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya curiga sa-
ja" Sahut si kakek. Dalam hati dia berkata. "Menu-
rut yang kudengar. Sengkala Angin Darah adalah
sebuah benda sakti yang dapat menghancurkan
apa saja. Bahkan konon benda itu sulit disentuh
manusia. Tapi aneh, sahabatku itu malah meng-
gembolnya. Lebih heran lagi tubuhnya tidak cide-
ra. Tidak hangus, atau hancur berkeping-keping.
Ada yang tidak beres! Ada yang tidak wajar!" batin
si kakek curiga. Tapi dia tidak mengatakan kecuri-
gaannya ini pada Empu Barada Sukma.
Malah ketika Empu Barada pergi, Pengemis
Nyawa hanya mengikut saja tanpa berani bicara apa-apa.
-Tamat-







0 komentar:
Posting Komentar