1
Dua bukit curam yang terletak di kawasan
Imogiri masih diselimuti kabut. Suasana di pagi itu
terasa amat dingin luar biasa. Diupuk sebelah timur
matahari belum lagi menampakkan tanda-tanda
akan munculkan diri. Dalam suasana terang tanah,
lima sosok tubuh laksana bayangan setan berkele-
bat memasuki celah sempit dua bukit di sebelah se-
latan.
Lima bayangan itu terus bergerak seolah sal-
ing bersirebut mendahului satu sama lain. Mereka
baru hentikan larinya setelah sampai di depan se-
buah mulut gua. Kemudian kelimanya menebar
mengambil posisi bersiaga. Kelima sosok yang terdiri
dari lima laki-laki berusia di atas empat puluh lima
tahun ini saling pandang satu sama lain. Setelah itu
seperti mendengar perintah mereka sama layangkan
pandang ke arah mulut gua. Lalu salah seorang di-
antaranya yaitu seorang kakek berpakaian hijau,
berkulit hijau dan berambut hijau keluarkan satu
seruan.
"Angin Pesut. Keluarlah! Kami datang ingin
meminta seluruh kitab berisi pelajaran ilmu sakti
yang pernah kau cari dulu!" kata si kakek. Suaranya
demikian keras menyakitkan telinga pertanda kakek
ini menyertakan pengerahan tenaga dalamnya selagi
berteriak. Beberapa saat berlalu. Suara si kakek le-
nyap, mereka yang hadir disitu menunggu. Setelah
detik demi detik berlalu menegangkan. Ternyata tak
terdengar jawaban dari dalam gua sebagaimana
yang mereka harapkan.
Kakek berpakaian merah bertubuh kurus ker-
ing bermata lebar dan bertelinga panjang lancip
yang berdiri di samping kakek bertubuh serba hijau
jadi tidak sabar. "Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayan-
gan. Kami tahu kau berada di dalam. Kami tahu kau
mendengar, kuperintahkan keluarlah kau untuk
mempertanggung jawabkan segala dosamu. Jika kau
tak mau mematuhi perintah kami dengan sangat
menyesal kami akan menguburmu hidup-hidup!" te-
riak kakek kurus ini lantang.
Kemudian terdengar suara lain ikut menimpa-
li. "Kalau dia tak mau keluar lebih balk kita seret sa-
ja." Yang baru bicara adalah seorang kakek berba-
dan gemuk pendek berperut besar seperti kodok
berwajah polos.
"Jangan bertindak mengikuti amarah. Bicara-
kanlah segala sesuatunya secara baik-baik. Siapa
tahu dia sudah insyaf seperti yang kita dengar sela-
ma ini!" kata kakek berpakaian hitam berambut lu-
rus yang kepalanya terus bergoyang tak mau diam.
Orang tua yang satu ini biasa dipanggil Tapa Gedek.
Mungkin karena dia dulunya seorang pertapa dan
kepalanya biasa golang goleng tak mau diam.
Ucapan kakek ini membuat si kakek kurus
bertelinga panjang yang menjadi seterunya delikkan
mata tidak senang. "Jangan hiraukan segala uca-
pannya, para sahabat. Dia orang gila yang tak dapat
dipegang ucapannya!" kata si kakek yang bernama
Ki Menoreh ini sinis.
Tapa Gedek gelengkan kepala, lalu menyerin-
gai. Dia sama sekali tidak menampakkan rasa ter-
singgung. Malah dengan tenang Tapa Gedek me-
nanggapi. "Ki Menoreh.... apakah kau lupa aku pernah mengatakan kau adalah orang pertama yang
bakal di jemput malaikat maut disini. Aku melihat
awan kelabu, di balik awan ada bayang-bayang ke-
matian yang mengintai, mengawasi gerak-gerik kita.
Rasa tidak sabar serta apa yang aku ucapkan tadi
mungkinkah ini berarti sebagai suatu pertanda kau
sudah tidak sabar untuk menyongsong datangnya
maut. Aneh memang.... begitu banyak orang yang
inginkan umur panjang. Sebaliknya kau malah ingin
cepat-cepat mati. Ha ha ha."
Wajah keriput Ki Menoreh nampak berubah
tegang. Sepasang matanya yang lebar mendelik be-
sar. "Tua bangka kurang ajar. Kalau bukan malai-
kat, kuharap bisa menjaga mulut jika tidak ingin ce-
laka. Ucapanmu itu membuat aku muak dan ingin
cepat membunuhmu. Tapi mengingat segala uru-
sanku dengan Angin Pesut belum terselesaikan, ke-
matian untukmu rasanya harus ku tunda!" dengus
Ki Menoreh sinis.
"Segala urusanmu tak akan pernah selesai.
Niatmu untuk membunuhku tidak bakal terlaksana.
Karena takdir sudah menentukan, kau bakal mene-
mui ajal di tempat ini!" Sambil tersenyum dan geleng
kepala Tapa Gedek menyahuti.
Makin bertambah gusarlah Ki Menoreh men-
dengar ucapan Tapa Gedek. Dengan tatap mata
mencorong penuh kebencian serta dada menggemu-
ruh menahan amarah, Ki Menoreh angkat tangan
kanannya yang segera diarahkan pada Tapa Gedek.
Begitu telapak tangan digerakkan menderulah angin
dingin laksana badai. Tapa Gedek tersenyum. Tan-
gannya bergerak ke bagian kancing baju. Sekejapan
bajunya terbuka lebar. Bersikap seolah seperti orang
kegerahan dia berkata. "Matahari belum terlihat, ta-
pi aku sudah kepanasan. Beruntung aku karena ada
orang yang begitu berbaik hati mengipasi diriku. Ha
ha ha!"
Melihat orang tak terpengaruh serangannya
Ki Menoreh kertakkan rahang sambil lipat gandakan
tenaga dalam. Sekejap saja hawa dingin berubah
menjadi sangat panas luar bisa. Semua orang yang
berada disitu jadi tercekat, terkecuali kakek berkulit
dan berambut hijau yang dikenal dengan nama Batu
Lemah Hijau. Datuk yang satu ini sebaliknya menja-
di jengkel melihat para sahabatnya malah berbaku
hantam dengan kawan sendiri. Sambil keluarkan
suara gerengan marah si kakek melompat ke tengah
kalangan, lalu dorongkan kedua tangannya, satu ke
arah Ki Menoreh dan satunya lagi ke arah Tapa Ge-
dek.
Ki Menoreh merasakan ada satu dorongan ke-
ras yang membuat tubuh kurusnya tersapu mental
tinggi, bergulingan di udara lalu jatuh menyerang-
sang di atas pohon. Sebaliknya Tapa Gedek jatuh
tertunduk dengan muka pucat dan dada berdenyut
seperti ditindih batu besar. Tapa Gedek segera
bangkit berdiri. Dia gelengkan kepala sambil usap
dadanya. Sebaliknya Ki Menoreh melompat turun
dari ketinggian pohon dengan muka pucat mulut
cemberut. Di antara mereka berdiri tegak Datuk Le-
mah Hijau. Wajah hijau orang tua itu makin ber-
tambah hijau. Sedangkan tatap matanya silih ber-
ganti memandang mendelik pada Tapa Gedek dan Ki
Menoreh. "Dua tua bangka tak mengenal aturan.
Aku ikut datang kemari bukan untuk menyaksikan
pertunjukan tolol yang kalian suguhkan. Kita berada
disini untuk suatu maksud, mengambil apa yang
menjadi milik kita yang kini dalam kekuasaan Angin
Pesut. Apapun persoalan pribadi yang menjadi gan-
jalan diantara kalian, kuharap kalian berdua menye-
lesaikannya di tempat lain. Jika kalian tidak mau
patuh dengan perintahku ini. Tidak perduli sahabat
aku pasti akan membunuh kalian berdua!" dengus
Datuk Lemah Hijau.
Tapa Gedek menyeringai. Ki Menoreh tun-
dukkan wajahnya, namun dalam hati dia memaki
habis kakek yang menjadi seterunya. Sedangkan
kakek berbadan seperti kodok cibirkan mulut pada
sobat karibnya Tapa Gedek. "Apa yang dikatakan
Datuk Lemah Hijau memang betul. Kita datang ke-
mari untuk menyelesaikan satu persoalan besar. Ji-
ka kau dan Ki Menoreh tidak dapat menggunakan
otak, baiknya kalian membunuh diri saja." kata De-
wa Kodok.
"Sudahlah, tak usah diperpanjang lagi masa-
lah itu. Aku ingin meminta pada paman semua agar
mau bersatu padu menghadapi Angin Pesut. Kalau
kita terus berselisih musuh bisa menertawakan ke-
bodohan kita!" kata si baju biru yang bukan lain
adalah Kertadilaga.
Begitu ucapan Kertadilaga berlalu, sejenak
suasana di tempat itu dicekam kesunyian. Datuk
Lemah Hijau, orang yang paling disegani diantara
mereka segera memutar badan dan sekarang meng-
hadap ke mulut gua. Setelah memandang lurus ke
mulut gua Datuk itu berseru. "Angin Pesut alias Iblis
Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Kau pasti melihat
kehadiran kami disini. Kau juga tahu apa yang kami
inginkan. Aku Datuk Lemah Hijau yang bicara mewakili empat sahabat yang lain. Kuharap kau keluar
untuk mempertanggung-jawabkan dosa kejahatan-
mu!" kata kakek itu dengan suara dingin tapi tegas.
Suara seruan Datuk Lemah Hijau menggema
ke seluruh penjuru arah. Tak berselang lama gema
suaranya lenyap dan suasana kembali di landa ke-
sunyian. Tapi ini berlangsung sekejap, tak sampai
satu tarikan nafas lamanya mendadak sontak angin
bertiup kencang. Angin yang berhembus dengan ke-
cepatan laksana Tapaan itu menyerang dan mempo-
rak porandakan apa saja yang terdapat di sekitar
gua. Puluhan batang pepohonan tercabut sampai ke
akar-akarnya, lalu roboh disertai suara mengemu-
ruh berisik. Selanjutnya bergulung-gulung, me-
layang diudara kemudian tersapu mental dan lenyap
terbawa angin.
Lima orang tua yang hadir di situ tercekat. Ki
Menoreh yang berbadan paling kurus diantara em-
pat orang lainnya sudah sejak tadi mencelat terbang
sambil keluarkan jeritan panik. Masih untung dalam
keadaan melayang dia masih sempat menyambar
akar gantung yang menjuntai di lamping bukit. Se-
hingga dia dapat bertahan disitu, walaupun tubuh-
nya terombang-ambing di hempas angin.
Sedangkan Kertadilaga begitu mendapat se-
rangan angin Tapaan segera tancapkan pedangnya
di tanah. Sambil berpegangan pada gagang pedang
dia jatuhkan diri hingga sama rata dengan tanah.
Dewa Kodok lain lagi, kakek berbadan pendek gen-
dut seperti ikan buntal itu segera melambungkan
perut dan juga lehernya yang dapat menggembung
besar seperti kodok.
Sedangkan dua kakinya terpacak di atas tanah. Jika dalam keadaan seperti itu Dewa Kodok ke-
luarkan suara seperti kawanan kodok yang bersuka
ria di tengah hujan. Lain lagi halnya dengan Tapa
Gedek. Kakek ini begitu tancapkan dua kakinya di
atas tanah, kepala digelengkan dengan keras. Se-
mentara mulutnya keluarkan siulan sambil me-
nyanyi. "Oh angin....kerasnya tiupanmu membuat
tubuhku panas dingin. Tapi sayang, hembusanmu
tak sanggup membawaku terbang tinggi. Oh angin,
belaianmu membuat aku masuk angin. Angin ber-
tiuplah lebih keras, agar kau dapat terbang me-
layang ke langit tinggi. Uuhk... dinginnya. Aku jadi
ingin kentut, ingin pipis."
"Kakek celaka. Satukan kekuatan kita! Kita
harus menghantam ke depan!" teriak suara di sam-
pingnya. Ketika Tapa Gedek menoleh, ternyata yang
berbicara tadi bukan lain adalah Datuk Lemah Hi-
jau. Saat itu Tapa Gedek melihat tubuh Datuk Le-
mah Hijau mulai nampak miring ke kiri akibat han-
taman angin Tapaan menggila yang melanda celah
dua bukit itu. Wajah sang Datuk nampak tegang,
sementara rambutnya yang panjang kehijauan ber-
kibar-kibar disertai suara deru mengerikan.
Meskipun semua orang yang berada di tempat
itu dalam keadaan panik mendapat serangan angin
Tapaan yang makin menggila itu, tapi Dewa Kodok
dan Tapa Gedek kemudian malah tertawa-tawa.
Dewa Kodok bahkan masih sempatnya berka-
ta. "Sayang yang datang cuma angin. Kalau datang-
nya angin disertai turunnya hujan bisa berpesta po-
ra aku!"
"Dewa Kodok, apakah bisamu cuma me-
lembungkan perut dan leher. Lebih baik kau yang
menabuh gendangnya aku yang menari. Baru sua-
sana jadi bertambah asyik!" kata Tapa Gedek.
Dewa Kodok tentu saja tahu yang dimak-
sudkan Tapa Gedek menabuh Gendang adalah
memperdengarkan suaranya sendiri yang memang
mirip orang menabuh gendang. Karena itu tanpa
banyak tanya dia mulai membuka mulut sedangkan
tangannya melakukan gerakan seperti menabuh.
"Ku! kuk! Kuuung! Kuung!"
"Ha ha ha. Ini baru asyiik. Biarkan aku mulai
menari!" teriak Tapa Gedek di sela-sela gemuruh an-
gin yang menderu.
Kemudian Tapa Gedek nampak mulai laku-
kan gerakan seperti orang menari. Tapi sebenarnya
si kakek maupun Dewa Kodok bukanlah menari
atau hanya sekedar keluarkan suara seperti gen-
dang karena pada saat itu gerakan Tapa Gedek yang
lemah gemulai menimbulkan gelombang hebat yang
tak kalah dahsyatnya dengan angin yang meniup
mereka. Sebaliknya suara Dewa Kodok yang tak be-
raturan membuat orang yang menyerang mereka
dengan kekuatan angin topan kehilangan kosentra-
sinya. Sampai akhirnya terjadi ledakan menggelegar
di udara dua kali berturut-turut.
Buum! Buum!
"Akh...!" terdengar satu suara berseru. Tapa
Gedek yang menyerang dengan gerakan seperti
orang menari jatuh terduduk. Dewa Kodok yang ke-
luarkan suara seperti orang menabuh gendang
nampak mendelik sambil dekap lehernya.
Datuk Lemah Hijau jadi tercengang. Dia sama
sekali tidak menyangka kalau segala kegilaan yang
dilakukan kedua kakek aneh itu sesungguhnya ada
lah suatu usaha untuk menghancurkan pusat ke-
kuatan badai Tapaan yang menyerangnya. Terbukti
setelah dua ledakan terdengar mendadak sontak
hembusan angin mendadak sirna.
"Dewa Kodok, kau kelolotan apa kok sampai
dekap leher segala?" tanya Tapa Gedek.
"Aku...aku, ah tidak. Gedangnya pecah, lalu
menyangkut di tenggorokanku!" menyahuti Dewa
Kodok, lalu tertawa mengekeh.
2
Pada saat itu begitu serangan angin topan le-
nyap. Kertadilaga cepat bangkit berdiri sambil cabut
pedangnya yang menancap di tanah lalu masukkan
pedang itu ke rangkanya. Sedangkan Ki Menoreh
sudah melompat turun dari akar rambat yang diper-
gunakan untuk bergelantungan menyelamatkan diri.
Kini mereka berkumpul lagi tak jauh dari de-
pan mulut gua. Datuk Lemah Hijau yang sudah ti-
dak sabar membuka mulut berucap. "Siapa saja
yang merasa dirinya bukan seorang pengecut harap
ikuti aku...!"
Empat orang lainnya saling pandang menden-
gar ucapan sang datuk. Kertadilaga melangkah ma-
ju. "Apa maksudmu Datuk?" Laki-laki itu ajukan
pertanyaan.
"Aku tak mau menunggu. Firasatku mengata-
kan Angin Pesut ada di dalam. Dia bahkan baru saja
menyerang kita dengan ilmu Gelombang Angin To-
pan. Karena dia tak mau keluar, maka kita yang ha-
rus masuk ke dalam!" tegas kakek berambut hijau.
Kertadilaga dan Ki Menoreh yang sudah me-
rasakan ganasnya serangan Angin Pesut kini se-
mangatnya bangkit kembali. Mereka anggukan kepa-
la siap mengikuti Datuk Lemah Hijau. Sebaliknya
Dewa Kodok dan Tapa Gedek tidak memberikan
tanggapan apa-apa. Mereka bahkan tetap berdiri te-
gak di tempatnya.
Selagi Datuk Lemah Hijau siap langkahkan
kakinya memasuki gua. Pada waktu bersamaan pula
dari arah bagian ruangan dalam gua berkelebat satu
bayangan hitam kemulut gua. Tak berselang lama di
depan mulut gua berdiri tegak seorang kakek ber-
tampang angker namun dengan tatapan mata lem-
but. Orang tua ini beralis merah, rambutnya juga
berwarna merah panjang menjela sampai ke bahu.
Di tangan kiri si kakek tergenggam sedikitnya
lima buah kitab kuno yang keseluruhan kitab itu be-
risi pelajaran ilmu silat dan juga pukulan sakti.
Hanya sekali melihat tentu saja mereka yang
berada di depan gua dapat mengenali siapa adanya
kakek itu. Dia bukan lain adalah Angin Pesut alias
Kala Bayu dan lebih di kenal dengan julukan Iblis
Tujuh Rupa Delapan Bayangan.
Lima pasang mata sama memandang ke arah
Angin Pesut. Datuk Lemah Hijau yang paling men-
dendam pada Angin Pesut karena adiknya Datuk
Lemah Hijau terbunuh ditangan kakek alis merah
ini segera beseru. "Angin Pesut manusia laknat,
pembunuh, pencuri berbagai kitab. Kami datang
kemari ingin minta tanggung jawabmu. Kembalikan
Nyawa adikku Datuk Lemah Abang!"
"Aku, Kertadilaga sengaja datang kemari ingin
meminta Kitab Hitam Pembangkit Mayat." kata laki
laki berpakaian biru ikut membuka mulut.
"Ha ha ha. Angin Pesut, terima kasih kau te-
lah menyambut kami dengan angin. Walau aku su-
dah kekenyangan akibat banyak makan angin. Tapi
tetap tidak melupakan untuk menuntut apa yang
menjadi hakku. Angin Pesut, sudi kiranya kau men-
gembalikan kitab butut milik guruku. Agar kau tidak
lupa dan salah mengembalikan. Kitab yang kumak-
sudkan itu adalah kitab ilmu Gelombang Naga. Cu-
kup sekian penjelasanku. Kurang lebihnya harap
dimaklum dan tak lupa aku mengucapkan terima
kasih." Kata Tapa Gedek dengan mimik dan gerakan
yang mengundang tawa.
Kakek beralis merah yang memang Angin Pe-
sut adanya diam-diam jadi kaget. Sekarang dia baru
tahu, kiranya kakek aneh yang suka geleng kepala
inilah yang tadi telah membuyarkan serangan badai
topan yang dia lepaskan dari dalam gua. Setelah
mengetahui siapa adanya kakek itu Angin Pesut ak-
hirnya menjadi maklum. Kiranya dia murid Manusia
Selaksa Angin.
Kini setelah menatap Tapa Gedek sekian la-
manya, Angin Pesut alihkan perhatiannya pada Ki
Menoreh. Kakek bertubuh ceking, bermata lebar dan
telinga lebar. Melihat orang memandang kepadanya
Ki Menoreh langsung mendamprat. "Iblis durjana,
kejahatanmu melampaui batas. Kau harus menye-
rahkan nyawa busukmu pada kami. Tapi sebelum
itu, kau juga harus menyerahkan kitab Guntur Bu-
mi kepadaku!"
Angin Pesut tersenyum. "Kakek dengan tubuh
menyedihkan. Mulutmu memang pintar bicara. Apa
yang kau minta akan kukembalikan. Jika kau ingin
kan nyawaku pasti kuserahkan. Kau boleh men-
gambilnya sendiri. Tapi... jika kau tak sanggup me-
lakukannya, maka nyawamu harus ditukar dengan
nyawaku. Bagaimana orang bertubuh kurus menye-
dihkan?" tanya Angin Pesut. Tidak sebagaimana be-
berapa tahun yang lalu, kini suara Angin Pesut begi-
tu pelan dan tidak menunjukkan sikap permusu-
han.
Ki Menoreh kertakkan rahang. Dengan mata
mendelik dia menjawab. "Kau sendiri tak bakal lolos
dari tangan kami. Bagaimana kau hendak menukar
nyawaku dengan nyawamu?" ejek Ki Menoreh.
Angin Pesut tersenyum arif. Masih dengan
tersenyum dan tunjukkan wajah prihatin dia berka-
ta.
"Terkadang banyak kemungkinan yang tidak
terduga bisa saja terjadi pada diri seseorang. Men-
gapa terlalu yakin dengan kemampuan yang kau mi-
liki?"
Masih dengan perasaan gusar penuh amarah
Ki Menoreh hendak menanggapi ucapan si kakek.
Namun pada waktu bersamaan Dewa Kodok sudah
melangkah maju mendekati mulut gua dimana An-
gin Pesut berdiri. Dengan gaya yang lucu dan setelah
menjura sambil songgengkan pantatnya Dewa Kodok
berucap. "Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Ku-
rasa inilah saat yang paling bahagia dalam hidupku.
Kebahagiaan itu karena aku pada akhirnya dapat
bertatap muka dengan orang paling keji di rimba
persilatan. Kau pembunuh paling keji, pencuri kitab
paling tengik dan licik, juru fitnah paling memati-
kan, juga pemerkosa paling biadab. Walaupun begi-
tu Angin Pesut, jangan kau lupa untuk mengembali
kan kitab Mega Mendung milik leluhur kami. Kitab
itu mungkin bagimu dan bagi orang lain kurang be-
rarti apa-apa. Namun bagi kami... sejak kitab kau
ambil hujan tidak lagi turun. Karena kami lupa ba-
gaimana caranya meminta hujan pada Gusti Allah.
Angin Pesut, kini di daerah kami di landa kekerin-
gan, banyak orang yang mati. Angin Pesut, patutnya
aku minta pertanggungan jawabmu. Tapi mengingat
begini banyak orang yang menghendaki nyawamu,
kau tidak mau repot. Kembalikan saja kitab Mega
Mendung itu. Setelah itu kau bebas berbuat seke-
hendak hatimu. Kau mau membunuh diri silahkan,
malah ingin tobat itu kuanggap lebih baik!" ujar De-
wa Kodok.
"Itu masih belum cukup. Aku tidak setuju
dengan ucapan Dewa Kodok. Ketentuan tetap berla-
ku. Pertama serahkan kitab, setelah itu dia juga ha-
rus serahkan nyawanya!" dengus Datuk Lemah Hi-
jau.
"Aku setuju!" kata Ki Menoreh.
"Aku juga." ujar Kertadilaga.
Kakek beralis merah terdiam, sepasang ma-
tanya meredup. Lalu dia angkat tangan kirinya yang
memegang tumpukan kitab. Setelah memandang se-
jenak pada kitab-kitab yang ada ditangannya dia
berkata. "Lima kitab yang kalian minta ada di tan-
ganku. Aku siap menyerahkannya pada kalian. Tapi
kuminta setelah itu tinggalkanlah tempat ini. Aku
tak ingin terjadi pertumpahan darah, aku juga tidak
mau melihat salah seorang diantara kalian berlima
terluka apa lagi sampai terbunuh. Jika dulu aku
pernah membuat kesalahan besar, jika dulu aku te-
lah merugikan kalian para orang gagah yang hadir
disini, aku mohon diampuni minta dimaafkan." Kata
Angin Pesut dengan suara bergetar dan teteskan air
mata. Lima kitab di tangannya dilemparkan ke de-
pan, hingga membuat lima orang yang berada di de-
pannya saling bersikerut mengambil kitab miliknya
masing-masing. Tak lama setelah mendapatkan apa
yang mereka inginkan. Datuk Lemah Hijau, Kertadi-
laga bergerak ke arah Angin Pesut. Mendahului ge-
rakan kedua orang ini adalah Ki Menoreh. Malah
kakek ini telah mengeluarkan senjata andalannya
berupa cambuk dengan ujung dicanteli peniti besar.
Kehebatan senjata di tangan kakek ini tak perlu di-
ragukan. Belasan orang persilatan golongan sesat
pernah menjadi korban keganasan si kakek. Kini
berdiri bertolak pinggang dengan senjata di tangan,
Ki Menoreh berteriak keras.
"Angin Pesut... dosamu selangit tembus. Jika
kau memang telah bertobat, sekarang mintalah pada
setan neraka agar kau dapat hidup berdampingan
dengan mereka. Kau layak mendapatkannya!"
"Kakek kurus, dengan apa kau hendak mem-
bunuhku? Dengan cambuk cemeti yang ada ditan-
ganmu itu? Ketahuilah, bukan aku me-
nyombongkan diri atau bersikap takabur. Seratus
jenis senjata yang sama, jika kau pergunakan seka-
ligus belum tentu dapat menghancurkan tubuhku,
apalagi membuat aku mati. Aku rela menanggung
akibat dosa masa lalu, akupun tak takut mati jika
kematian itu dapat menebus dosa kesalahanku.
Bahkan aku patut mengucapkan rasa terima kasih
pada kalian. Namun kusarankan padamu, jika kau
punya senjata yang lain dengan daya bunuh yang
mematikan sebaiknya pergunakan senjata itu. Aku
tak akan melawan kalian, tapi jika kau gagal mem-
bunuhku. Satu kenyataan yang harus kalian keta-
hui, aku memiliki ilmu yang kunamakan ilmu Ratap
Langit. Ilmu itu menyatu dalam tubuhku. Dia beker-
ja dengan sendirinya di luar kemauanku, terlebih-
lebih bila diriku merasa tersakiti. Aku sendiri sam-
pai saat ini tak kuasa mengendalikan ilmu liar itu.
Jadi pergunakanlah senjata yang paling tidak me-
nyakitkan agar kalian semua selamat!" jelas Angin
Pesut dengan mata bersimbah air mata.
Ki Menoreh tersenyum sinis dan menganggap
ucapan Angin Pesut sebagai sesuatu untuk mena-
kut-nakuti dirinya.
Sebaliknya Kertadilaga, setelah selipkan kitab
Hitam Pembangkit Mayat nampak melirik ke arah
Datuk Lemah Hijau sambil berbisik. "Apa yang dika-
takannya itu memang benar adanya. Aku telah
mendengar kabar tentang ilmu aneh itu."
"Kau tenanglah!" sahut Datuk Lemah Hijau.
Di belakang mereka Dewa Kodok berkata pa-
da Tapa Gedek. "Jika apa yang dikatakannya benar.
Kita tak bakal sanggup membunuhnya. Bagaimana
pendapatmu tentang pengakuannya tadi?"
"Aku merasa takjub pada iblis yang satu ini.
Dia mengakui kesalahannya, dia juga telah insyaf.
Tidak patut aku turun tangan. Dan yang lebih me-
nakjubkan lagi, dia mau memberi petunjuk tentang
apa yang harus dilakukan terhadapnya."
"Sayang Ki Menoreh nampaknya sudah kesu-
rupan setan. Hingga dia menganggap saran Angin
Pesut sebagai gertakan belaka." ujar Dewa Kodok
pula.
2
Dewa Kodok kedipkan matanya. Dengan sua-
ra pelan sekali dia berkata. "Ki Menoreh matanya
lamur tidak melihat tinggi rendah ilmu kesaktian
yang dimiliki orang." katanya lagi.
"Sudahlah, mulutmu jangan berisik. Jika Ki
Menoreh dengar ucapanmu dia bisa marah besar."
kata Tapa Gedek.
Sementara itu di depan sana Angin Pesut te-
lah melipat kedua tangan di depan dada. Sekali lagi
dia menatap Ki Menoreh, kemudian pandangannya
beralih pada Datuk Lemah Hijau dan Kertadilaga.
Dengan penuh kesabaran dia berkata. "Siapa dianta-
ra kalian yang merasa tidak sabar boleh maju seka-
ligus. Kalian boleh menyerang bagian tubuhku yang
mana saja. Aku tidak akan melakukan perlawanan
sama sekali!"
"Kami orang-orang dari golongan lurus bukan
manusia pengecut. Pergunakan seluruh ilmu yang
kau miliki untuk menghadapi kami!" kata Kertadila-
ga merasa tidak enak.
"Sejak dua tahun yang lalu aku telah ber-
sumpah untuk tidak mengotori tanganku dengan
darah!" sahut Angin Pesut.
"Kalau begitu, jangan salahkan kami. Seka-
rang hadapilah Ki Menoreh!" ujar Datuk Lemah Hi-
jau. Dia kemudian memberi isyarat pada Ki Menoreh
untuk melaksanakan niatnya berupa anggukan ke-
pala.
"Angin Pesut, bersiap-siaplah untuk mam-
pus!!" teriak Ki Menoreh. Si kakek yang sudah salurkan seluruh tenaga saktinya ke bagian senjata
segera lecutkan cambuk kearah Angin Pesut. Lecu-
tan cambuk yang disertai pengerahan tenaga dalam
itu menimbulkan suara bergemuruh hebat. Karena
Angin Pesut sama sekali tidak berusaha menghin-
dar, maka dengan telak ujung cambuk yang dicante-
li cemiti sebesar lengan itu menghantam tubuh An-
gin Pesut.
Ctar! Tar! Tar!
Hantaman cambuk mencabik-cabik pakaian
hitam si kakek. Dua ujung cemeti yang runcing
membeset bahu dan dada orang tua ini. Darah men-
gucur dari luka yang menganga. Tapi secara aneh
dan sulit dipercaya luka itu kemudian bertaut kem-
bali.
Apa yang terjadi tentu sama membuat semua
orang yang berada di situ jadi tercengang dengan
mulut ternganga. Sebaliknya Ki Menoreh rupanya
semakin bertambah penasaran. Jika tadi dia menye-
rang dari atas ke bawah kini arah serangannya jadi
berbalik dari bawah ke atas.
Ctar!
Cambuk kembali menderu, meliuk-liuk di
udara disertai ledakan-ledakan dahsyat pertanda se-
rangan Ki Menoreh bukan serangan biasa. Laksana
kilat cambuk di tangan Ki Menoreh menghantam
paha Angin Pesut. Ujung cemeti mencabik kulit dan
daging paha kakek itu. Dia menjerit, namun tetap
tidak melakukan apapun untuk dirinya. Ki Menoreh
sentakkan cambuk. Cambuk menggeletar, Angin Pe-
sut seperti dilontarkan terpental di udara. Ki Meno-
reh tidak membiarkan lawan begitu saja. Dia pun
kemudian lesatkan tubuhnya mengejar Angin Pesut.
Di udara selagi tubuh Angin Pesut jungkir balik dia
hujani kakek malang ini dengan hantaman cambuk
juga pukulan sakti yang dia miliki.
Beberapa saat lamanya Angin Pesut menjadi
bulan-bulanan orang. Ketika dia jatuh ke tempat
semula. Bukan hanya pakaian saja yang tercabik-
cabik tak karuan. Tapi juga sekujur tubuhnya diba-
luri luka mengerikan. Angin Pesut megap-megap. Ki
Menoreh melihat lawan masih tegar, terlebih-lebih
ketika melihat luka disekujur tubuh Angin Pesut le-
nyap tanpa bekas jadi kaget tapi juga penasaran.
Cambuk digulung, lalu di gantung kembali di ping-
gang kiri. Kini dia mengeluarkan sebuah senjata
aneh. Senjata itu berupa pedang, namun ujungnya
mirip mata tombak. Sekali senjata berwarna hitam
itu amblas ke tubuh lawan, begitu disentakkan
kembali dapat dipastikan isi bagian dalam tubuh la-
wannya berserabutan keluar. Berdiri berkacak ping-
gang sambil lintangkan pedang di depan dada Ki
Menoreh berteriak keras.
"Angin Pesut, lihat senjataku. Jika kau tidak
melawan selamanya kau akan menjadi orang paling
celaka. Pedang ini mengandung racun keji. Sengaja
kubaluri keong beracun. Lawanlah, hadapi aku!" te-
riak Ki Menoreh.
Angin Pesut tersenyum. "Demi menghormati
pesan orang yang kupandang mempunyai watak dan
jiwa ksatria. Apapun yang kau lakukan tak mungkin
kulayani. Tapi hendaknya kau tanya dirimu sendiri.
Sanggupkah senjatamu itu membunuh diriku?!"
"Manusia takabur. Kau segera merasakan-
nya!" teriak Ki Menoreh. Lalu laksana kilat pedang
ditangan di putarnya. Sinar hitam bergelembung
disertai suara deru angin dingin luar biasa, pertanda
senjata Ki Menoreh benar-benar mengandung racun
jahat. Tapa Gedek sesungguhnya tidak setuju meli-
hat Ki Menoreh pergunakan senjata beracun. Na-
mun dia tidak mau mencegah karena khawatir para
sahabatnya yang lain menduga dia berada di fihak
musuh.
Dewa Kodok duduk termangu, lehernya yang
dapat melembung besar kembang kempis, pertanda
hatinya diliputi kegelisahan.
Pada saat itu Ki Menoreh telah babatkan pe-
dangnya keleher lawan. Babatan kemudian dite-
ruskan ke dada juga dua tusukkan di bagian perut.
Asap tebal mengepul begitu senjata menyentuh ba-
gian tubuh Angin Pesut. Kemudian terdengar suara
berdenting tiga kali.
Ki Menoreh surut dua langkah, ketika dia
memandang ke arah pedangnya sendiri si kakek ke-
luarkan seruan kaget. Pedang andalan yang diper-
gunakan untuk membunuh lawan ternyata patah
menjadi tiga bagian. Patahan pedang berpelantingan
entah kemana. Ketika Ki Menoreh memandang ke
arah Angin Pesut kaget pula dia. Kakek itu sama se-
kali tidak terluka, bahkan tergores pun tidak.
Melihat kenyataan ini Datuk Lemah Hijau
yang mempunyai dendam kesumat pada Angin Pesut
segera memberi aba-aba pada Kertadilaga.
"Kita cincang dia beramai-ramai!"
Kertadilaga begitu mendapat aba-aba segera
cabut pedangnya. Dengan pedang itu kini dia ikut
mengeroyok Angin Pesut.
"Celaka, seperti Ki Menoreh. Rupanya Datuk
Lemah Hijau dan Kertadilaga ikutan kesurupan!" desis Tapa Gedek.
"Cara seperti ini yang paling tidak kusukai.
Sudah jelas Angin Pesut telah menunjukkan itikad
baik. Tapi mengapa mereka jadi gelap mata mengi-
kuti hawa nafsu!" ujar Dewa Kodok.
"Biarkan saja. Biarkan mereka bertindak
mengikuti nafsunya. Aku tak mau ikut-ikutan!" seru
Tapa Gedek dengan muka masam sedangkan kepala
terus menggeleng.
Pada saat itu Angin Pesut benar-benar dihu-
jani serangan dari segala jurusan. Pedang ditangan
Kertadilaga belasan kali menghantam sekujur tu-
buhnya. Sementara Datuk Lemah Hijau melepaskan
pukulan ganasnya. Sedangkan Ki Menoreh selain
menggunakan pedang yang lain juga menghujani
Angin Pesut dengan pukulan maut pula.
Akibatnya suasana di depan mulut gua itu
diwarnai dentuman-dentuman menggelegar. Tubuh
Angin Pesut tercampak kian kemari. Tak jarang so-
soknya amblas ke dalam tanah akibat hebatnya pu-
kulan yang mendera dirinya. Malah terkadang kakek
beralis merah ini terpental tinggi ke udara. Selagi
sosoknya melayang di udara, tiga pengeroyok segera
mengejar. Dengan menggunakan ilmu meringankan
tubuh serta daya mengapung di udara yang mereka
miliki, sepuas hati mereka menendang atau meng-
hantam tubuh Angin Pesut.
Kakek itu nampak menderita sekali. Rasa sa-
kit di tubuhnya sudah tak tertahankan. Dari mulut,
telinga, hidung, mata dan juga dari bagian bawah
perutnya telah meneteskan darah.
Ketika si kakek jatuh terhempas sosoknya
sudah tak karuan rupa. Sungguh memprihatinkan
keadaan kakek itu. Tapa Gedek sendiri jadi tidak te-
ga melihatnya. Malah Dewa Kodok palingkan muka
ke arah lain, kasihan melihat Angin Pesut. Tapi sa-
ma seperti Tapa Gedek dia juga tak berani menghen-
tikan perbuatan para sahabatnya sendiri.
Dalam kesempatan itu terdengar sayup-sayup
suara Angin Pesut. "Aku sudah hampir tak sanggup
menahan rasa sakit. Aku tak dapat pula mengenda-
likan ilmu Ratap Langit. Kalian bunuh aku cepat,
atau menyingkir dari sini!" teriak si kakek.
Peringatan ini jika tiga pengeroyoknya mau
mengerti sebenarnya merupakan suatu tanda Angin
Pesut punya maksud itikad baik agar mereka tidak
celaka menjadi sasaran ilmu liar yang dimiliki si ka-
kek.
Tapi agaknya mereka memang sudah tak da-
pat lagi menggunakan otaknya. Terbukti, Ki Meno-
reh kemudian menghantam lawan dengan pukulan
Membalik Bumi Menguras Laut.
Sinar biru menderu ke arah Angin Pesut dis-
ertai hawa panas luar biasa. Selagi pukulan Ki Me-
noreh melesat ganas ke arah lawan. Datuk Lemah
Hijau juga ikut melepaskan pukulannya sambil ber-
teriak. "Ilmu Pelebur Mayat!" kata Datuk Lemah Hi-
jau menyebut nama pukulannya.
Begitu sang datuk lontarkan tangannya ke
depan mendadak sontak terdengar suara mengge-
muruh dahsyat luar biasa dari dalam tanah. Lalu
dari bagian bawah dimana Angin Pesut berdiri men-
cuat disertai hembusan angin panas membakar. An-
gin api yang menyembur ganas itu membuat kakek
alis merah seperti dilontarkan ke langit. Sebelumnya
tusukan pedang yang dilontarkan Kertadilaga menancap di bagian punggung Angin Pesut sedangkan
pukulan Ki Menoreh juga menghantam wajahnya. Di
tambah lagi mendapat serangan dari Datuk Lemah
Hijau, kini genaplah sudah penderitaan Angin Pesut.
Kakek bekas datuk sesat rimba persilatan ini me-
raung keras. Sekujur tubuhnya tidak ubah seperti
ditusuk ratusan batang tombak membara.
Ketika dia meluncur ke bawah kembali, dia
disambut dengan pukulan susulan.
Satu ledakan menggelegar membuat sosok
yang tengah meluncur turun itu tergoncang. Pedang
yang menancap di punggung terlepas dengan sendi-
rinya. Angin Pesut jatuh dengan kepala menghantam
tanah terlebih dahulu.
Begitu Angin Pesut terhempas, tubuhnya di-
am tidak berkutik lagi. Ki Menoreh, Datuk Lemah
Hijau maupun Kertadilaga begitu melihat lawan ti-
dak bergerak, akhirnya sama mengumbar tawa.
Dengan bangga malah Ki Menoreh berkata.
"Siapa bilang dia tidak bisa dibunuh. Buktinya dia
mampus ditangan kami. Ha ha ha!"
"Tubuhnya terdiri dari tulang dan daging.
Mustahil dia tak mempan senjata. Buktinya pedang-
ku dapat menembus punggungnya!" kata Kertadilaga
pula.
Selagi mereka meluapkan kegembiraannya.
Sebelum sempat Tapa Gedek maupun Dewa Kodok
memberi tanggapan. Pada detik itu pula terdengar
suara erangan. Serentak mereka menoleh. Kejut di
hati Ki Menoreh, Datuk Lemah Hijau dan Kertadila-
ga bukan kepalang. Mereka melihat Angin Pesut
bangkit berdiri, terkecuali pakaiannya yang hancur
dia tak kekurangan sesuatu apa. Malah kini dari sekujur tubuhnya tampak asap tipis mengepul.
"Kalian gagal membunuh, akupun tak kuasa
mengendalikan ilmu Ratap Langit!" bersamaan den-
gan ucapannya itu tubuh Angin Pesut memancarkan
cahaya biru. Cahaya berhawa panas kemudian me-
nyerang tak terkendali ke arah tiga orang yang me-
nyerangnya tadi. Segala sesuatunya berlangsung
sangat cepat luar biasa. Hingga baik Datuk Lemah
Hijau yang memiliki ilmu kesaktian lebih tinggi dari
dua lainnya, maupun Ki Menoreh dan Kertadilaga
tidak sempat lagi menghindar.
Sedangkan Tapa Gedek dan Dewa Kodok begi-
tu melihat bahaya maut langsung jatuhkan diri sa-
ma rata dengan tanah hingga mereka tak terkena
sambaran angin panas menghanguskan.
Tiga jeritan terdengar berturut-turut. Tiga so-
sok tubuh terpelanting, lalu roboh dengan tubuh
hangus dan jiwa melayang. Tapa Gedek bangkit ber-
diri diikuti oleh Dewa Kodok. Sementara di depan
mulut gua yang sudah tidak utuh lagi berdiri tegak
Angin Pesut dengan tatapan mata redup tanpa den-
dam.
"Kalian berdua menjadi saksi atas kematian
mereka. Aku sama sekali tidak punya niat atau
keinginan untuk membunuh. Tapi kalau kalian ber-
dua merasa tidak dapat menerima atas kematian
mereka, aku telah siap menerima segala apa yang
hendak kalian lakukan terhadapku!" kata si kakek.
"Angin Pesut, kami bukanlah manusia pen-
dendam. Sejak pertama hadir disini aku secara pri-
badi tidak punya maksud untuk membalas dendam.
Kukatakan semua ini padamu bukan karena aku
takut mengingat ilmumu begitu tinggi. Kau telah
bersedia mengembalikan kitab milikku, kuanggap
itu sebagai suatu kesabaran. Dan semua dugaanku
ini diperkuat lagi dengan yang kau tunjukkan den-
gan tidak melakukan perlawanan sama sekali. Angin
Pesut, syukurlah kalau kau sudah tobat. Betapapun
banyak kesalahan serta dosa yang telah kau laku-
kan, itu adalah urusanmu dengan Gusti Allah. Jadi
bukan wewenangku untuk mengadili dirimu....!" ka-
ta Tapa Gedek sambil geleng kepala.
"Terima kasih atas pengertianmu itu, Tapa
Gedek. Kelak aku akan mengingatmu sebagai seo-
rang sahabat yang kutuakan dan sangat kuhormati."
kata kakek beralis merah sambil rangkapkan tangan
lalu menjura hormat.
"Iblis Tujuh Rupa Delapan Bayangan. Bicara
dengan Tapa Gedek boleh-boleh saja. Tapi hendak-
nya jangan abaikan diriku karena aku juga ingin bi-
cara." kata Dewa Kodok sambil unjukkan wajah
cemberut.
"Apakah yang hendak kau katakan, Dewa Ko-
dok? Kepadamu aku mohon maaf. Semula kitab
Mega Mendung kukira berisi pelajaran ilmu hebat.
Tidak tahunya hanya berisi mantra-mantra cara
mendatangkan hujan. Sekali lagi mohon dimaafkan,
karena gara-gara kitab itu sendiri di tempatmu sama
sekali tak pernah turun hujan."
"Kau memang keterlaluan. Selama kemarau
panjang yang menderita bukan saja penduduk, tapi
aku terpaksa mengencingi kolam mandi agar aku
dapat berendam setiap hari." ujar Dewa Kodok sam-
bil bersungut-sungut.
Mendengar ucapan kakek macam ikan buntal
itu tentu saja Tapa Gedek tak dapat lagi menahan
tawanya.
Masih sambil tertawa-tawa kakek satu ini
menyeletuk. "Kepalang tanggung mengapa tidak kau
minum saja air kencingmu sendiri Dewa Kodok."
Mendengar itu Dewa Kodok tersenyum. Seca-
ra bergurau dia menjawab. "Khusus untuk minum
kami menggunakan air kencing puteri."
"Dewa Kodok sialan." damprat Tapa Gedek.
Yang didamprat cuma menyeringai. Si kakek
gemuk pendek perut besar kemudian berkata. "An-
gin Pesut, kami mohon pamit dulu. Terus terang aku
dan sahabat Tapa Gedek akan membawa tiga jena-
zah teman kami untuk kami kuburkan disebuah
makam di tepi Kaliurang."
"Aku tidak melarang juga tidak menghalangi.
Untuk memudahkan perjalanan tak jauh dari telaga
itu aku mempunyai beberapa ekor kuda berikut se-
buah kereta. Sudah agak tua memang, tapi kuizin-
kan kalian memakainya. Biarkan kubantu kalian
membawa salah satu dari mayat itu."
"Tak usah, kami bisa membawanya sendiri."
ujar Tapa Gedek. Lalu laksana kilat Tapa Gedek
berkelebat hampiri mayat Datuk Lemah Hijau dan
Kertadilaga. Sambil memanggul mayat kedua orang
itu dia berkata pada Dewa Kodok. "Ikan Buntal, kau
bawa mayat cacing kurus keras kepala itu."
"Tidak mengapa, aku malah lebih senang. Ki
Menoreh tubuhnya kecil tentu saja lebih enteng!"
ujar Dewa Kodok. Dia menghampiri mayat Ki Meno-
reh. Begitu mendukung mayat si kakek terkejutlah
dia.
"Sial mengapa mayat tua bangka ini berat
amat.?!" rutuk Dewa Kodok.
"Mayatnya menjadi berat karena sombongnya.
Ayo kita pergi!" kata Tapa Gedek.
Sambil mengomel tak karuan Dewa Kodok
mengikuti Tapa Gedek menuju kuda milik Angin Pe-
sut.
Orang tua itu pandangi dua tamunya sampai
mereka menghilang dari pandangan mata.
"Akupun harus pergi. Aku tak mungkin ber-
tahan di tempat ini selamanya. Aku akan mencari
anakku. Mudah-mudahan aku bisa menemukannya
sebelum ajal menjemputku!" desah Angin Pesut den-
gan suara lirih dan mata berkaca-kaca. Tak lama dia
masuk ke dalam gua, setelah itu keluar kembali. Di
punggungnya tergantung kantong perbekalan. Sete-
lah itu Angin Pesut berkelebat pergi.
4
Kakek gendut berpakaian hitam berkening le-
bar itu berdiri tegak di ujung jalan kota Bantul. Se-
pasang matanya memandang lurus ke arah jalan
menuju kota. Dalam hati dia berkata. "Panas begini
terik, aku haus dan lapar. Perjalananku guna men-
cari anak Angin Pesut masih belum juga menemu-
kan titik terang. Kasihan sekali orang tua itu, dela-
pan belas tahun lebih terpisah dengan putrinya.
Seandainya dia belum bertobat perlu apa aku repot
membantu. Sekarang diriku yang dibuat susah. Apa-
lagi mencari orang yang namanya saja tidak tahu.
Cuma ada satu tanda berupa tahi lalat di bagian
punggung. Berarti aku harus memeriksa punggung
setiap gadis. Gadis mana yang mau tunjukkan
punggungnya kepadaku? Gila betul. Mengapa aku
begitu bodoh mau menyanggupi permintaan orang.
Padahal sejak peristiwa gila yang menimpa diriku
sampai sekarang aku belum lagi bertemu dengan
Gege. Entah bagaimana dia sekarang. Apakah masih
tetap konyol seperti dulu, atau makin bertambah
sinting?"
Si gendut yang bukan lain adalah Gentong
Ketawa terdiam. Otaknya berfikir keras. Dia tengah
mempertimbangkan apakah akan terus mencari pu-
teri Angin Pesut atau mencari murid sendiri.
Akhirnya si kakek memutuskan untuk men-
cari puteri Angin Pesut. "Biarlah urusan mencari
Gege ku tunda dulu. Bukankah mendahulukan ke-
pentingan orang lain termasuk salah satu yang dian-
jurkan Tuhan. Lagipula bocah sinting itu sudah de-
wasa, ilmunya tidak rendah. Aku tidak terlalu
menghawatirkan keselamatannya. Sekarang aku ha-
rus ke Bantul dulu, makan minum sampai kenyang
baru setelah itu kulanjutkan perjalanan." berkata
begitu si kakek gendut kemudian berkelebat tinggal-
kan tempat itu.
Tak berapa lama si gendut telah duduk di se-
buah kedai makan yang penuh sesak dipadati pe-
langgan. Dengan sikap acuh kakek ini memesan
makanan kesukaannya berikut dua kendi tuak ke-
ras. Sebentar kemudian apa yang dipesannya telah
terhidang di atas meja kayu. Si gendut yang memili-
ki bobot lebih dari dua ratus kati ini langsung me-
nyambar salah satu kendi tua, lalu meneguknya
hingga tuntas. Apa yang dilakukan kakek ini men-
gundang decak kagum bagi belasan orang yang be-
rada di dalam kedai. Cara minum si kakek memang
terasa tidak wajar. Sangat jarang sekali ada orang
yang sanggup menghabiskan sekendi besar tuak ke-
ras sekaligus. Pemabuk berat sekalipun paling
mampu menghabiskan satu kendi kecil, itu pun ti-
dak langsung sekali teguk.
Hanya beberapa laki-laki yang duduk di meja
paling depan saja yang memandang kejadian itu se-
bagai hal yang biasa. Mereka meneruskan makan
minumnya dengan tenang sambil sesekali diseling
dengan senda gurau yang berbau mesum.
Suasana di dalam baru benar-benar berubah
agak memanas ketika di siang yang terik itu muncul
seorang gadis berparas cantik berpakaian merah
muncul di pintu kedai. Tanpa bicara apa-apa gadis
ini menghampiri pemilik kedai. Dia kemudian
memesan makanan berikut air putih. Tak lama sete-
lah itu dia menghampiri sebuah meja kosong di su-
dut kedai tak jauh dari si gendut berada.
Kakek gendut Gentong Ketawa melirik tamu
cantik yang satu ini sekilas. Memandang pada gadis
itu dia jadi ingat dengan pesan Angin Pesut.
"Seandainya aku tahu nama anak Angin Pe-
sut, mungkin aku bisa bertanya siapa pula nama
gadis ini. Sungguh sayang, nama dan bagaimana
bentuk wajahnya Angin Pesut sendiri tak tahu. An-
gin Pesut, sesuai namanya dia mempunyai urusan
berbelit-belit seperti kentut." Mengomel si gendut da-
lam hati. Dia lalu meneruskan menyuap makanan.
Selagi si kakek sibuk dengan makannya. Tiga laki-
laki berpakaian hitam berwajah angker dengan se-
buah pedang tergantung di punggung telah berdiri di
depan meja si gadis. Salah satu diantaranya bahkan
naikkan sebelah kaki di atas meja. Sedangkan dua
lainnya berdiri berkacak pinggang. Salah seorang
dari tiga laki-laki berusia setengah baya ini dengan
nada angkuh berkata. "Gadis cantik, makanmu la-
hap sekali. Jika kau mau kami punya makanan
enak di meja sana. Silahkan bergabung dengan ka-
mi!"
Si gadis berpakaian serba merah yang bukan
lain adalah Indah Sari Purnama berhenti menyuap.
Dia memandang pada orang yang baru bicara. Se-
sungging senyum tersembul dibibirnya.
Sambil membasahi bibirnya hingga membuat
ketiga laki-laki itu belingsatan dengan tenang gadis
itu menjawab. "Kau baik sekali. Siapakah dirimu?"
tanya Indah Sari.
"Aku, Suta dan adikku Sura yang satunya lagi
Teja Kurap. Tambahan Kurap karena memang sejak
kecil tubuhnya selalu dijangkiti penyakit kurap. Tak
percaya lihat saja sendiri!"
Dengan tenang sang dara memandang ke
arah laki-laki yang berdiri disampingnya. Memang
benar, sekujur tubuh laki-laki itu dipenuhi kurap.
"Kurapan juga tidak mengapa. Kalian kua-
nggap sebagai teman sendiri!" kata Indah Sari.
"Dara cantik kami senang mendengar penga-
kuanmu. Tapi kau belum memperkenalkan nama.
Siapakah namamu?" tanya Teja kurap disertai kedi-
pan mata.
"Aku Indah Sari Purnama." kata gadis itu
memperkenalkan namanya.
"Hemm, secantik dan sebagus orangnya." Tiga
bersaudara itu memuji serentak.
"Terima kasih. Tapi... eh, bukankah tadi ka-
lian hendak menjamuku dengan makanan lezat."
"Tentu.... tentu. Mari ke meja kami...!" kata
Suta. Dengan penuh suka cita tiga bersaudara itu
dengan diikuti oleh Indah Sari Purnama kembali ke
meja mereka. Namun betapa terkejutnya mereka be-
gitu mendapati meja mereka kosong, makanan yang
terhidang diatas meja bahkan lenyap entah kemana.
Menyangka pelayan kedai yang telah membereskan-
nya. Maka Suta berbalik menghampiri mereka. Tapi
begitu mendekat dia makin tambah terkejut ketika
melihat para pelayan itu dalam keadaan kaku terto-
tok. Di kening mereka di tempeli daun lontar dengan
tulisan tertera di atasnya. Tulisan itu berbunyi.
'Suta Muka Pantat Makananmu ternyata tidak
enak. Mungkin duitnya hasil boleh mencuri'.
Begitu bunyi tulisan yang tertempel di kening
pelayan pertama. Membaca tulisan itu saja sudah
membuat telinga Suta jadi merah. Dengan penuh
kegeraman dia membaca tulisan yang sengaja di-
tempelkan pada bagian mulut pelayan ke dua.
"Tiga Monyet perayu enyahlah kalian ke nera-
ka'.
Semakin bertambah geram Suta dibuatnya.
dada kembang kempis. Patut diakui mukanya me-
mang licin seperti pantat. Hidung, mulut pipi dan
kening sama rata. Sedangkan adiknya yang bernama
Sura wajahnya dilihat sekilas memang seperti muka
monyet. Dengan tubuh bergetar menahan marah
Suta membaca daun lontar ke tiga yang menempel
di bagian leher pelayan ketiga.
"Kalau sudah kenyang makan sebaiknya
membunuh diri."
"Hahaa...! Siapa orangnya begitu berani mati
menghina utusan Empu Barada Sukma!" hardik laki-laki itu. Laksana kilat tinjunya melabrak tiga pe-
layan itu. Terdengar suara tulang berderak tiga kali
berturut-turut disertai dengan suara jeritan. Tiga
sosok tubuh terpelanting, melabrak gerobok tempat
menyimpan makanan lalu jatuh bergulingan. Satu
kepalanya masuk ke dalam ember pencuci piring,
satunya lagi hidungnya mencium tempat untuk
menggiling cabai sedangkan satunya lagi setelah me-
lewati pintu tersungkur dalam comberan.
Pemilik warung terbirit-birit selamatkan diri.
Belasan pengunjung yang terdiri dari penduduk se-
kitar berserabutan keluar puntang-panting menye-
lamatkan diri.
Satu-satunya yang tinggal di dalam kedai
adalah si gendut. Dia sendiri sebenarnya jadi terke-
jut ketika Suta mengaku sebagai utusan Empu Ba-
rada Sukma. Mendengar orang menyebut nama itu
perasaannya jadi tidak enak. Tapi karena dasar sint-
ing, kakek periang ini ditengah keheningan suasana
bicara sendiri. "Makanan begini banyak. Mau dima-
kan perut sudah kenyang tak dimakan jadi mubajir.
Huuk...huuk. Kenyang betul" kata si kakek sambil
tepuk perutnya dan julurkan kaki lalu sandarkan
punggungnya pada sandaran kursi.
Tiga bersaudara itu serentak menoleh me-
mandang ke arah si kakek. Mereka jadi tercekat be-
gitu melihat hidangan mereka telah berpindah tem-
pat ke meja si kakek. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Ketika Suta adiknya sedang bicara dengan
sang dara. Kesempatan itu dipergunakan si gendut
memindah makanan yang ada di meja milik Suta
bersaudara. Dengan menggunakan sedikit tenaga
dalam cukup mudah bagi gendut memindah maka
nan itu, tanpa harus bersusah payah mendatangi.
Rupanya perbuatan usil si kakek diketahui oleh tiga
pelayan. Ketika mereka hendak mencegahnya maka
si gendut melancarkan totokan jarak jauh hingga
membuat si ketiga pelayan itu kaku tertotok. Dari
balik pakaiannya si kakek keluarkan tiga lembar
daun lontar, lalu menggurat ketiga daun itu dengan
tulisan sekehendak hatinya. Daun dilemparkan dan
masing-masing menempel di kening, mulut serta
leher ketiga pelayan itu. Sama sekali si kakek tak
menyangka perbuatan isengnya membuat tiga pe-
layan warung jadi sengsara.
Kini si gendut memukul tangannya sendiri.
"Sialan. Coba kalau tidak usil tadi tidak begini
kejadiannya" gerutu si gendut.
Dalam kesempatan itu tiga bersaudara tadi
serentak berlompatan mendekati si kakek. Begitu
mereka berdiri di depan meja orang tua itu. Salah
seorang diantaranya yang berpenyakit kurap sambil
garuk-garuk tubuhnya yang gatal berkata.
"Jika kau hanya mencuri makanan kami.
Tentu kami masih bisa menganggapmu sebagai kere
pasar yang kelaparan. Ulahmu membuat kakangku
jadi sangat marah, apa sebenarnya yang kau per-
buat dengan daun lontar tadi?"
"Ha ha ha. Aku cuma mengatakan yang sebe-
narnya. Pertama, Suta muka pantat, makananmu
ternyata tidak enak, mungkin uangnya hasil mencu-
ri. Yang ke dua Tiga monyet perayu, enyahlah kalian
ke neraka. Sedangkan yang ketiga. Kalau sudah ke-
nyang makan sebaiknya membunuh diri! Ha ha ha!"
"Gendut keparat, kau memang minta mam-
pus!" teriak Teja Kurap. Laksana kilat dia layangkan
tinjunya ke wajah si kakek. Dia merasa yakin sekali
hantam maka remuklah wajah si kakek gendut.
Wuuuus!
Tapi kemudian betapa kaget Teja Kurap begi-
tu melihat kenyataan orang yang diserangnya men-
dadak lenyap melesat terbang entah kemana.
5
Tiga bersaudara termasuk gadis jelita itu se-
rentak layangkan pandang ke segenap penjuru
ruangan. Tapi kakek gendut sama sekali memang
lenyap pergi entah kemana.
Sambil kepal-kepalkan tinjunya Suta mengge-
ram.
"Jahanam pengecut itu jika tidak cepat kabur
aku pasti sudah mempesiangi tubuhnya.!"
"Aku menyesal tidak sempat memotong kedua
tangannya!" kata Sura menimpali.
"Lupakanlah masalah jamuan makan enak.
Aku tidak bisa menunggu. Aku harus pergi seka-
rang!" ujar Indah Sari Purnama tiba-tiba, membuat
tiga bersaudara itu jadi melengak kaget, lalu sama
memandang ke arah si gadis dengan perasaan tidak
mengerti.
"Mengapa secepat itu. Sebaiknya kau terus
bersama kami. Terlalu berbahaya bagi seorang gadis
pergi sendiri. "sergah Teja Kurap.
"Aku sudah terbiasa, lagi pula saat ini aku
sedang melakukan suatu urusan yang sangat pent-
ing!"
Tiga bersaudara itu menyeringai, satu sama
lain saling berbisik. Entah apa yang mereka bicara-
kan. Yang jelas laki-laki yang bernama Suta kemu-
dian melompat ke depan menghadang langkah Indah
Sari Purnama.
"Kau tidak bisa pergi kemanapun, Indah Sari.
Karena kau adalah milik kami!" tegas Suta.
Sang dara tersenyum, sejak semula dia sudah
menduga di balik kebaikan yang mereka perlihatkan
itu ternyata memang menyimpan niat-niat keji.
"Kudengar kalian tadi sedang melakukan sua-
tu amanat dari seseorang bernama Empu Barada
Sukma. Tugas itu agaknya sama penting dengan tu-
gas yang aku lakukan. Kini aku menjadi heran sen-
diri, setelah melihatku mengapa rencana kalian be-
rubah?"
"Gadis cantik jangan banyak bicara. Tugas
kami nantinya tetap akan kami kerjakan. Tapi masa-
lah kesenangan terhadap perempuan itu adalah per-
soalan lain. Kau ikutlah dengan kami. Kita bisa ber-
senang-senang menikmati keindahan hidup yang tak
pernah kau bayangkan selama ini!" ujar Suta.
Jika Suta berkata begitu, sebaliknya Sura ti-
dak sabar lagi. Dengan cepat disambarnya tangan
Indah Sari Purnama. Detik berikutnya lengan si ga-
dis sudah kena dicekal oleh Sura. Baru saja tangan
kiri laki-laki itu bermaksud lancarkan totokan ke
bagian leher sang dara. Mendadak sontak Sura men-
jerit lalu lepaskan cekalannya pada lengan gadis itu
sedangkan matanya mendelik besar, dia lalu jatuh
terhempas berkelojotan sedangkan tangannya nam-
pak membiru. Warna biru dengan cepat sekali men-
jalar ke sekujur tubuhnya, menyerang pembuluh
darah dan menghancurkan bagian jantung.
Melihat kejadian yang tak pernah mereka
sangka itu, Suta maupun Teja Kurap untuk bebera-
pa jenak lamanya hanya terpana. Tapi begitu rasa
kaget di hati mereka lenyap Suta langsung berseru.
"Adikku... bangsat itu ternyata beracun!" Seko-
nyong-konyong Suta hendak menubruk mayat adik-
nya. Tapi Teja Kurap menarik tangannya mencegah.
"Jangan disentuh. Tubuhnya keracunan!"
"Kurang ajar! Rupanya tubuh gadis itu men-
gandung racun?!" seru Suta sambil memandang
dengan mata melotot ke arah Indah Sari. Si gadis
tertawa mengekeh.
"Siapa diantara kalian yang ingin cepat mati.
Sebaiknya peluklah aku!" kata Indah Sari. Gadis itu
lalu kembangkan kedua tangannya sambil julurkan
lidah basahi bibir.
"Gadis keparat! Kau bunuh adikku dan se-
mua ini telah merubah niat dan keinginan semula.
Bersiaplah kau untuk mati." teriak Suta. Laksana
kilat dia meloloskan pedang. Senjata itu kemudian
menderu menghantam tiga bagian mematikan di tu-
buh sang dara. Melihat ganasnya serangan yang di-
lancarkan Suta, Teja Kurap sambil menggaruk ba-
dannya merasa yakin gadis itu pasti tak dapat me-
nyelamatkan diri. Dugaan laki-laki itu ternyata me-
leset. Hanya dengan menggerakkan kaki dan liukkan
tubuhnya serangan pedang luput. Kemudian tangan
Indah Sari menyambar dari atas ke bawah.
Tep!
Badan pedang kini berada dalam cengkera-
man si gadis. Tak menyangka lawan dapat berbuat
seperti itu, Suta tarik pedangnya sekuat tenaga. Pa-
da saat itulah satu kejadian yang luar biasa terjadi.
Pedang ditangan Teja mendadak berubah membiru.
Beruntung dia sempat melihat kenyataan yang ter-
jadi. Dengan cepat dia melepaskan pedangnya sam-
bil melompat mundur ke belakang. Kini dia menca-
but pedang pendeknya. Dengan pedang itu dia kem-
bali mengurung sang dara. Hanya dalam waktu
singkat sinar putih bergulung-gulung mengurung ja-
lan gerak si gadis. Walaupun begitu semua ini tidak
membuatnya menjadi gugup. Menggunakan pedang
rampasan Indah Sari menangkis setiap serangan
yang datang, lalu balas menyerang hingga membuat
Suta terdesak hebat.
Melihat apa yang terjadi jelaslah. Indah Sari
bukan lawan Suta, sehingga Teja Kurap tidak lagi
dapat diam berpangku tangan. Laki-laki ini kemu-
dian meloloskan pedang, lalu melesat ke depan ber-
gabung dengan Suta saudara tuanya. Perkelahian
semakin bertambah seru. Meja, kursi dan perabotan
lain yang berada di dalam kedai jadi porak poranda.
Sedangkan si gadis yang mendapat dua serangan
hebat sekaligus dengan mengandalkan ilmu merin-
gankan tubuh serta kecepatan gerak berkelebat lak-
sana bayang-bayang. Lima jurus berlalu, namun
dua bersaudara ini tetap tak sanggup melukai la-
wannya. Malah ketika Indah Sari balas melakukan
serangan. Sekejap saja keduanya terdesak hebat.
Indah Sari tak mau membuang waktu, pedang di-
tangan diayunkannya ke kanan, lalu bergerak dari
bawah ke atas mencari sasaran di bagian perut dan
dada Suta.
Trang! Trang!
Benturan keras terjadi. Pedang di tangan Suta
terpental, Suta terkesiap kaget kemudian cepat selamatkan diri dengan melompat ke samping. Tak
terduga pedang di tangan sang dara berbalik arah
dari samping kiri melesat ke kanan.
Tak terelakkan lagi senjata itupun menghan-
tam perut Suta. Laki-laki itu menjerit kesakitan. Isi
perutnya berburaian keluar. Darah menyembur.
Terhuyung sebentar pada akhirnya Suta jatuh terpe-
lanting. Melihat kenyataan ini Teja Kurap menjerit.
"Kakang.....!"
"Tak usah kau sesali. Kau ingin meyusulnya
aku bersedia menolong!" dengus Indah Sari.
"Gaadis terkutuk! Kubunuh kau...!" teriak Te-
ja Kurap. Tiba-tiba dia balikkan badan. Sambil kelu-
arkan suara menggembor penuh amarah dia melesat
ke arah sang dara. Serangan pedang yang dilancar-
kannya kini berubah menjadi luar biasa, membabat
menusuk silih berganti. Walau gadis yang diserang-
nya sempat unjukkan wajah kaget. Hal ini pun ter-
jadi hanya sekejap saja. Pada kesempatan yang lain
gadis ini meniup ke depan sambil menghindari se-
rangan yang datang. Dari mulut Indah Sari Purnama
menyembur asap tipis berwarna kebiru-biruan per-
tanda asap itu mengandung racun ganas memati-
kan.
Melihat serangan berupa hembusan asap be-
racun Teja Kurap terpaksa melompat mundur, tarik
balik serangan. Namun dia lalu jatuhkan diri bergu-
lingan merangkak ke arah lawan sedangkan pedang
membabat ke bagian kaki Indah Sari.
Gadis itu keluarkan tawa dingin angker. Enak
saja dia melompat ke udara sampai kepalanya me-
nyandak langit-langit kedai. Selagi tubuhnya masih
mengambang di udara dia lepaskan pukulannya kearah Teja Kurap. Sinar biru berkiblat, hawa dingin
menghampar membuat Teja Kurap tercekat lalu se-
cepatnya melompat bangkit kemudian mundur jauh.
Letupan kecil akibat serangan Indah Sari
membuat lantai kedai berlubang besar, hangus dan
mengepulkan asap. Teja Kurap menyaksikan keja-
dian ini bergidik ngeri. Tapi dia tak dapat memikir-
kan semua itu lebih lama, karena pada saat itu pu-
kulan susulan yang dilepaskan Indah Sari melabrak
dirinya.
Teja Kurap putar senjata ditangannya. Sinar
putih menggidikkan yang memancar dari pedang la-
ki-laki itu menyelimuti dirinya. Tak dapat dielakkan
lagi benturan keras pun terjadi.
Traang!
Teja Kurap keluarkan seruan kaget begitu
mendapati pertahanannya hancur dihantam puku-
lan lawan. Tanpa fikir panjang dengan tubuh kucur-
kan keringat dingin dia melesat ke atas. Sebagian
pukulan Indah Sari yang seharusnya mengenai ba-
gian bahu menyambar meja di belakangnya. Meja
hangus mengeluarkan suara berkeretakan. Tanpa
menghiraukan semua apa yang terjadi Teja Kurap
tusukkan pedangnya ke dada si gadis. Di saat itulah
Indah Sari Purnama rundukkan kepala. Lalu tanpa
pernah terduga kakinya melesat menghantam perut
laki-laki itu.
Dess!
Tendangan yang amat keras membuat Teja
Kurap meraung kesakitan. Sosoknya jatuh terpental.
Tapi dia segera bangkit kembali. Disaat dia berusaha
berdiri tegak itulah Teja Kurap merasakan perutnya
yang kena ditendang lawan kini terasa sakit laksana
ditembusi belasan batang tombak. Ketika Teja Kurap
memeriksa perutnya. Mendeliklah mata laki-laki itu.
Tendangan si gadis bukan saja hanya membuat pa-
kaiannya hangus menjadi bubuk, lebih dari itu ba-
gian perutnya hangus gosong membiru. Warna biru
hanya dalam waktu singkat terus menjalar keseku-
jur tubuh. Sambil mendekap luka dengan tangan ki-
ri Teja Kurap menunjuk-nunjuk ke arah Indah Sari.
Sebelum dia mampu bicara sepatah katapun. Teja
Kurap jatuh tersungkur dan tidak bangun lagi.
Indah Sari tersenyum sinis. Bibirnya berge-
rak.
"Benar seperti apa yang dikatakan oleh guru,
laki-laki ternyata sangat jahat sekali!" kata gadis itu,
lalu melangkah ke luar tinggalkan kedai.
6
Indah Sari Purnama melangkah tenang mele-
wati halaman depan kedai yang sunyi, lalu berbelok
ke jalan menuju ke arah timur. Sementara itu si
gendut yang sejak meninggalkan tiga bersaudara ta-
di duduk di bagian atas atap kedai tidak habis-
habisnya mengusap hidungnya yang pesek. Apa
yang dilakukan gadis itu tadi memang sesuatu yang
sangat luar biasa sekaligus mengerikan.
Sambil memperhatikan kepergian sang dara
kakek gendut itu berkata.
"Aku sama sekali tak menyangka tubuhnya
mengandung racun ganas. Di balik kecantikannya
dia bisa menjadi seorang pembunuh keji. Siapa dia?
Kudengar tadi namanya Indah Sari Purnama. Murid
siapakah dia? Belum pernah aku dengar ada tokoh
dirimba persilatan ini yang memiliki racun sehebat
itu. Indah Sari Purnama....!" Kakek Gentong Ketawa
menyebut nama itu berulang-ulang.
"Sial, Angin Pesut di saat anaknya di culik
orang belum sempat memberinya nama. Lalu gadis
tadi anaknya siapa? Wajahnya hampir mirip dengan
Angin Pesut. Mungkin aku harus mengejar, lalu
memeriksa punggungnya. Siapa tahu di punggung
gadis itu ada tahi lalatnya. Seandainya benar, apa-
kah mungkin dia kenal dengan Angin Pesut?
Beberapa saat lamanya si gendut terombang
ambing dalam kebimbangan. Sampai kemudian dia
memutuskan untuk mengikuti gadis tadi.
Kakek ini lalu bangkit berdiri. Dengan gera-
kan ringan dia berkelebat tinggalkan atap kedai lalu
menyusul Indah Sari Purnama.
Sementara itu sang dara sudah jauh mening-
galkan Bantul. Setelah melewati sebuah tikungan ja-
lan dia menyelinap dibalik rerumpun semak belukar.
Sesaat dia menunggu. Sejak tadi dia merasa ada se-
seorang seperti sedang mengikuti dirinya. Orang itu
telah menguntitnya. Cara mengikutinya juga terbi-
lang aneh, dari jarak yang tidak begitu jauh, namun
tak mau unjukkan diri.
Tak lama di tempat lenyapnya si gadis mun-
cul satu sosok tubuh. Sosok berpakaian serba kun-
ing, dengan wajah dan tangan dipenuhi sisik, se-
dangkan jari tangannya hanya terdiri dari ibu jari,
serta telunjuk yang menyatu dengan tiga jari lain-
nya.
"Bangsat! Dia lagi rupanya. "gerutu Indah Sari
begitu mengenali siapa orang yang menguntitnya.
Sang dara melirik ke bagian pinggang pemuda
itu. "Pedang itu... hem, ternyata Pedang Tumbal Pe-
rawan masih ditangannya. Aku harus dapat meram-
pas kembali pedang iblis itu. Tapi bagaimana ca-
ranya? Kehebatan ilmunya tidak membuatku mera-
sa gentar. Tapi jika dia sampai menggunakan pe-
dang Tumbal Perawan untuk melawanku, salah-
salah aku bisa celaka. Pedang itu bila telah keluar
dari rangka tangannya akan bergerak sendiri menge-
jar sasaran. Orang tolol sekalipun jika sudah meme-
gang senjata iblis itu pasti berubah menjadi lawan
yang sangat berbahaya." kata Indah Sari.
Sementara di tengah jalan pemuda berpa-
kaian kuning nampak jelalatan kitarkan pandangan
matanya ke segenap penjuru arah. Setelah tak meli-
hat orang yang dia cari akhirnya dia jadi bicara sen-
diri. "Tidak mungkin. Yang kulihat tadi jelas dia, bu-
kan orang lain. Tapi mengapa tiba-tiba saja bisa
menghilang?!"
Di balik semak belukar Indah Sari berucap
heran.
"Bukankah dia punya saudara yaitu Setan
Dua. Kemana saudaranya yang satu itu. Apakah
mungkin ada seseorang yang telah membunuhnya,
tapi siapa?"
"Gadis baju merah!" Tiba-tiba Indah Sari
mendengar pemuda itu berteriak. "Aku tahu kau be-
rada di sekitar sini. Kuharap kau mau menunjukkan
diri. Bukankah kau ingin pedang ini kembali ke tan-
ganmu? Kita masih bisa bicarakan. Pedang ini akan
kukembalikan padamu, tapi kau harus menyenangi
diriku semalaman suntuk. Ha ha ha!"
Indah Sari sunggingkan seringai. "Itu yang dia
inginkan. Agaknya dia ingin mampus konyol seperti
tiga bersaudara di dalam kedai tadi." batin si gadis.
Tanpa pikir panjang Indah Sari kemudian lepaskan
dua kancing bajunya di bagian atas. Hingga dadanya
yang putih mulus tersembul menantang.
Wuut!
Gadis itu lakukan satu gerakan. Di lain kejap
dia telah berdiri di atas semak belukar. Melihat cara
berdiri gadis ini yang terkesan seenaknya jelas me-
rupakan pertanda Indah Sari menggunakan ilmu
mengentengi tubuh yang sudah mencapai puncak-
nya. Ini dibuktikan reranting semak yang dijadikan-
nya tempat berpijak tidak goyah apalagi patah.
Pemuda berpakaian serba kuning tersenyum.
Tapi kemudian matanya terbelalak lebar ketika me-
lihat bagaimana belahan dada si gadis dalam kea-
daan terbuka.
"Beberapa hari aku mencarinya, tidak disang-
ka dia sengaja mengundangku untuk....!"
Kembali si baju kuning yang bukan lain ada-
lah Setan Satu sunggingkan senyum.
"Katanya kau mau menyerahkan pedang itu
padaku. Sekarang berikan....!" kata si gadis sambil
basahi bibirnya.
"Ha ha ha. Tentu saja pedang akan kuserah-
kan, asal kau menyerahkan dirimu kepadaku!"
"Kau menghendaki aku, datanglah kemari.
Peluk... peluklah aku...!" Ucap Indah Sari dengan
mata setengah terpejam sedangkan kedua tangan-
nya terpentang lebar.
Setan Satu merasakan dadanya bergemuruh,
jantung berdetak keras sedangkan darahnya meng-
gelegak sampai ke ubun-ubun terbakar rangsangan
hebat. Pemuda itu melangkah maju dan siap me-
lompat ke atas semak belukar dimana Indah Sari
berdiri menunggu. Tapi kemudian Setan Satu nam-
pak ragu-ragu. Dia ingat kejadian di pinggir sungai.
Terbayang pula apa yang terjadi pada orang yang
bernama Jaran Kalabakan. Laki-laki berpakaian me-
rah yang dibunuhnya. Untuk lebih jelas (baca Epi-
sode Petaka Iblis).
"Gadis ini memiliki racun hebat. Tubuhnya
mengandung racun, jika aku memeluknya tentu na-
sibku akan sama dengan tiga bersaudara yang me-
nemui ajal di dalam kedai." fikir Setan Satu.
"Manusia setan, mengapa tidak kau lakukan.
Padahal aku telah menunggumu. Kau tidak suka
melihatku, atau kau ingin aku menanggalkan selu-
ruh pakaianku? Hi hi hi."
"Gadis siluman. Apa yang telah kuucapkan
kutarik kembali. Aku bukan manusia tolol. Tubuh-
mu mengandung racun, aku tidak ingin celaka aki-
bat memperturutkan keinginan nafsu tolol."
"Kalau begitu kau serahkan saja pedang
Tumbal Perawan kepadaku. Setelah itu dengan se-
nang hati aku lupakan kesalahanmu."
"Kesalahan? Kesalahan apa?" tanya Setan Sa-
tu heran.
"Hi hi hi. Apakah kau lupa, kau pernah men-
gintip ku ketika aku mandi di sungai. Selain itu kau
telah melarikan pedang milikku yang kini ada di
tanganmu!" tegas si gadis.
Setan Satu berdiri berkacak pinggang. Dia
pura-pura keluarkan seruan kaget. Tapi sebenarnya
tidak, karena sesungguhnya Setan Satu tentu saja
ingat dengan kejadian mengasyikkan di pinggir sungai itu.
Setengah bergumam dia berkata. "Sayang
adikku terbunuh oleh tua bangka keparat bernama
nenek Palasik itu. Jika tidak tentu melihat kehadi-
ranmu dia akan senang sekali."
"Aku tidak perduli tentang adikmu yang su-
dah mampus. Sekarang juga kembalikan pedang itu
kepadaku!" bentak Indah Sari sambil kancingkan
bajunya dibagian atas. Setan Satu dengan tegas ge-
lengkan kepala,
"Tidak mungkin gadis cantik. Pedang Tumbal
Perawan masih kubutuhkan. Aku memerlukannya
untuk meringkus seorang tua bangka buronan ber-
nama Gentong Ketawa?"
"Gentong Ketawa. Siapa dia?"
Tak jauh dari tepi jalan, tepatnya di atas ca-
bang pohon si gendut yang namanya di sebut oleh
Setan Satu diam-diam terkejut. Dalam hati dia ber-
kata.
"Pemuda baju kuning muka bersisik macam
ular kadut itu siapakah? Mengapa dia mencariku
dan mengatakan aku ini buronan? Aku tak pernah
mendekam dalam penjara kerajaan, tak pernah pula
meloloskan diri dari rumah neraka. Bagaimana dia
pandai-pandainya mengatakan aku seorang buro-
nan? Kabar edan apa lagi ini?" maki si kakek.
Sementara itu Setan Satu menjawab perta-
nyaan Indah Sari. "Orang yang kukatakan itu punya
kesalahan besar sekaligus dosa yang tak mungkin
terbayar pada seorang sesepuh dunia persilatan dari
timur. Sesepuh yang sangat kami hormati itu ber-
nama Empu Barada Sukma!"
Di atas cabang pohon si kakek tercekat, wajahnya sempat berubah pucat. Dahi mengerenyit,
mulut berucap pelan sekali. "Empu Barada Sukma?
Rupanya bangsat tua itu belum mati. Manusia sega-
la keji, menggunakan kedok kebaikan untuk menu-
tupi kejahatannya. Ilmunya tinggi, aku sendiri be-
lum tentu sanggup menghadapinya. Lalu mengapa
dia tak datang sendiri mencariku, mengapa meng-
gunakan tangan orang lain? Apakah pemuda yang
dipanggil Setan Satu itu muridnya. Lalu berapa se-
tan yang dikirimkannya untuk menangkapku. Tiga
bersaudara yang mampus dalam kedai tadi juga ada
menyebut nama Empu Barada Sukma. Tapi melihat
ilmu permainan pedangnya jelas ketiga laki-laki itu
bukan murid Empu Barada. Sebaiknya aku me-
nunggu apa yang dilakukan pemuda itu pada Indah
Sari!" batin si kakek.
Pada saat itu Indah Sari yang memang tidak
mengenal dua nama yang disebutkan oleh Setan Sa-
tu tentu tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Malah
dia kemudian dengan tegas berkata. "Apapun ala-
sanmu aku tidak perduli. Apakah kau ini ditugaskan
setan gundul untuk menangkap hantu, atau ditu-
gaskan iblis, kau harus serahkan pedang itu pada-
ku!"
"Jika aku tak mau?" tanya Setan Satu sambil
bertolak pinggang.
"Jika kau menolak. Tidak ada jalan selamat
bagimu terkecuali mati!" sentak Indah Sari.
Setan Satu tertawa bergelak. Semakin lama
tawanya semakin bertambah keras membuat pen-
gang telinga.
7
Tawa dingin Setan Satu mendadak lenyap.
Dengan tatapan sinis pemuda ini kemudian berkata.
"Lagak bicaramu keren amat, Indah Sari. Kau kira
mencabut nyawaku semudah mencabut batang ke-
lapa. Jika kau punya ilmu setinggi gunung belum
tentu kau sanggup membunuhku! Dari pada kau
mati muda bukankah lebih baik kau menjadi istriku
saja? Ha ha ha!"
"Baik, kalau itu permintaanmu sekarang ber-
siaplah kau menangkap diriku!" berkata begitu In-
dah Sari melesat ke depan, lalu pura-pura jatuhkan
diri dalam pelukan Setan Satu. Begitu tubuhnya me-
luncur menubruk pemuda itu, dua jari telunjuknya
berkelebat menghantam bahu Setan Satu.
Pemuda baju kuning ini semula memang
menduga lawan memang ingin jatuhkan diri dalam
pelukannya. Dia sempat merasa yakin dua tangan-
nya yang bersisik tebal tentu dapat menahan racun
yang terdapat di sekujur tubuh si gadis. Tapi kenya-
taan yang terjadi kemudian benar-benar membuat
Setan Satu jadi tercekat. Sikap yang dilakukan In-
dah Sari bukan satu sikap memasrahkan diri. Tapi-
melihat dua jari telunjuk siap menembus bahu Se-
tan Satu ini merupakan suatu tanda lawan ingin
membunuhnya. Tak pelak lagi Setan Satu jatuhkan
diri, bergulingan menjauh. Kemudian bangkit sambil
kibaskan ujung lengan bajunya.
Angin menderu dahsyat, belasan benda putih
laksana panah berbentuk pipih berlesatan dari
ujung lengan baju Setan Satu. Belasan senjata rahasia itu kemudian menghantam Indah Sari, tapi
hanya dengan melambaikan tangan kirinya saja sen-
jata rahasia milik lawan dapat disapu mental, berba-
lik menghantam pemiliknya sendiri.
Setan Satu sempat tercengang, tapi serangan
senjata rahasia yang sempat membalik itu tidak
membuatnya menjadi panik. Malah dia tertawa ber-
gelak, pipi menggembung mulut berubah lancip. Se-
lanjutnya Setan Satu meniup ke depan. Tiupan per-
tama membuat senjata rahasianya hangus terbakar.
Tiupan kedua melabrak tubuh Indah Sari hingga
gadis itu jadi terhuyung, sedangkan tiupan ketiga
membuat tubuh gadis itu laksana di hantam topan
tersapu mental setinggi sepuluh tombak, lalu tergul-
ing-guling di udara dan jatuh menyerangsang di pu-
cuk pohon.
Sang dara bergelayutan di pucuk pohon, te-
naga dalam dikerahkan. Dia lalu mengerahkan ilmu
pemberat tubuh. Pohon dimana gadis ini terjatuh
nampak melengkung, sampai bagian pucuknya
hampir menyentuh tanah. Setan Satu tanpa menge-
tahui kecerdikan si gadis begitu melihat lawan jejak-
kan kaki sambil menggelayuti pucuk pohon segera
melompat. Kali ini tangannya bergerak siap meng-
hantam remuk kepala gadis itu. Tapi apa yang ke-
mudian terjadi? Begitu salah satu kaki Setan Satu
melewati batang pohon, Indah Sari dengan gerakan
laksana kilat lepaskan pucuk pohon yang dijadikan-
nya tempat bergelayut.
Karena pohon sebesar paha orang dewasa itu
sangat lentur, begitu di lepas tentu saja melesat
kembali ke udara.
Plak!
Bagian ujung pohon menghantam selangkan-
gan Setan Satu. Akibatnya sungguh mengerikan.
Tubuh Setan Satu seperti dilontarkan terlempar pu-
luhan batang tombak ke angkasa. Pemuda itu men-
jerit kesakitan. Dalam keadaan jungkir balik tak ka-
ruan, sambil menjerit dia dekap selangkangannya.
Di tempatnya mendekam si gendut Gentong
Ketawa menyengir, garuk hidungnya yang pesek
sambil menyetuk. "Ini baru hebat. Aku yakin buah
jambu milik si muka bersisik itu remuk, bisa jadi
malah hancur. Untung bukan buah jambuku yang
kena. Kalau milikku yang jadi sasaran aku bisa me-
rana seumur hidup. He he he." Tanpa sadar si gen-
dut raba selangkangannya sendiri. "Ah, masih ada.
Tetap utuh dan segar semuanya." Lalu si kakek
kembali pentang matanya memperhatikan jalannya
perkelahian.
Pada kesempatan itu Setan Satu sudah jatuh
dengan kepala menjungkir di atas tanah. Rupanya
rasa sakit yang mendera bagian bawah perut masih
begitu hebat. Terbukti dia masih terus menggerung
sambil bergulingan di atas tanah.
Melihat kejadian ini sambil tertawa mengikik
Indah Sari tidak menyia-nyiakan kesempatan. Den-
gan cepat dia melesat ke arah lawan. Tangan kiri
berkelebat menyambar pedang yang tergantung di-
pinggang Setan Satu, sedangkan tangan kanan di-
pergunakan untuk menghantam kepala Setan Satu.
Sambaran angin dingin yang menerpa kepala
dan pinggangnya membuat Setan Satu bergulingan
menjauh. Dengan bertumpu pada punggungnya.
Tubuh Setan Satu berputar, dua tangan berputar
mengikuti gerakan badan sedangkan kaki melesat ke
arah wajah lawannya.
Tak pernah menyangka lawan dapat melaku-
kan serangan seperti itu tentu saja Indah Sari yang
gagal sambar pedang dan hancurkan kepala lawan
tak sempat lagi mengelak.
Dia hanya sempat jauhkan wajahnya dari
hantaman kaki lawan. Tapi akibat yang harus dia te-
rima lebih parah lagi karena kaki Setan Satu dengan
telak menghantam dada sang dara sebelah kiri.
Si gadis jatuh terjengkang, dadanya laksana
meledak. Sementara Setan Satu sudah bangkit ber-
diri dengan mulut menyeringai menahan sakit
Lagi-lagi melihat kejadian itu kakak gendut
nyeletuk. "Tadi buah jambu muka binyawak yang
dibuat konyol, sekarang giliran bukit bagus itu hen-
dak dibuat runtuh. Pertarungan menarik. Belum ke-
tahuan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang-
nya!" kata si kakek sambil cengar-cengir dan tepuk-
tepuk keningnya segala.
"Kau tak bakal lolos dari kematian!" seru Se-
tan Satu. Berkata begitu laksana kilat kakinya ber-
kelebat menendang. Saat itu jarak diantara mereka
terpentang lebih dari lima tombak. Tapi sambaran
angin tendangan membuat Indah Sari terguling-
guling. Tubuh gadis itu baru terhenti setelah meng-
hempas sebatang pohon besar di belakangnya. Po-
hon roboh menghantam pohon di belakangnya. Po-
hon yang kena hantaman pohon di depannya juga
ikut roboh. Sedikitnya tujuh pohon besar roboh ber-
tumbangan secara susul menyusul.
"Hebat. Gadis itu mungkin turunan gajah.
Semua pohon jadi roboh begitu terhantam dirinya.
Sebentar lagi akan ada lapangan luas, tinggal mencari bibit. Aku siap menanam apa saja di sini!" kata
si kakek sambil angguk-anggukkan kepala.
"Setan penasaran. Kau lihatlah ke sini! Kelua-
rkan senjatamu. Aku akan tunjukkan padamu satu
jalan. Jalan di mana kau dapat melebur dirimu da-
lam kobaran api yang membakar!" kata Indah Sari
yang kini telah silangkan kedua tangannya di depan
dada.
Setan Satu balas membentak. "Gadis bera-
cun. Aku akan meremukkan sekujur tubuhmu.
Dengan Pedang Tumbal Perawan akan kubuat tu-
buhmu menjadi daging cincang."
"Walah suasana kini berubah seperti sebuah
pasar. Segala daging cincang dibawa-bawa. Mengapa
tidak disebut tukang jagalnya sekalian!" kata si ka-
kek sambil cengengesan.
Setan Satu benar-benar dibakar amarah. Dia
kemudian melepaskan pedang yang bersarang pada
potongan lengan mayat seorang gadis yang pernah
dijadikan tumbal pemuda itu. Seperti telah dicerita-
kan dalam episode Iblis Penebus Dosa. Pedang Tum-
bal Perawan di buat oleh Ki Ageng Pamanakan. Seo-
rang kakek sakti ahli pembuat senjata dari perak
yang berdiam di Kotagede. Sebelumnya senjata sakti
itu dilumuri racun jahat bahkan oleh peciptanya
sempat direndam dalam Kendi Selaksa Racun. Ke-
hebatan senjata itu bertambah dahsyat lagi dengan
dikorbankannya seorang gadis. Sehingga pedang itu
kini menjadi senjata pembunuh handal yang bila te-
lah keluar dari rangka yang berasal dari potongan
tangan mayat gadis perawan tak dapat dikendalikan
lagi. Kelebihan senjata lain senjata ini bila sampai
menancap di tubuh lawan, maka akan menyedot
habis darah korbannya. Hingga orang yang menjadi
korban akan mati dalam keadaan tubuh kering lalu
hangus baru kemudian luluh lantak sampai ketu-
lang belulangnya.
Si Gendut Gentong Ketawa sendiri sebelum-
nya tidak pernah melihat senjata seperti itu. Dia ju-
ga sempat kerutkan keningnya begitu melihat rang-
ka pedang yang terdiri dari potongan lengan manu-
sia.
Tapi dia menyadari, di samping sangat bera-
cun, senjata itu pastilah mengandung kekuatan ib-
lis. Sehingga dia berkata sendiri. "Kehebatan pedang
itu terletak pada daya bunuh sekaligus daya serang
yang tidak ada duanya. Dari sini aku melihat senjata
di tangan Setan Satu nampak bergetar dan seakan
meronta dari genggaman tangan Setan Satu! Ingin
kulihat apakah gadis beracun itu sanggup bertahan
sampai sepuluh jurus?"
Apapun yang menjadi pertimbangan si gen-
dut, yang jelas saat itu Setan Satu telah melabrak ke
arah lawan dengan kecepatan luar biasa. Pedang di
tangannya menyambar ganas mengambil sasaran di
bagian pinggang, perut dada serta kepala Indah Sari
Purnama.
Gadis itu berteriak keras. Tiba-tiba tubuhnya
melesat ke udara hindari serangan pedang yang da-
tangnya laksana badai disertai suara bergemuruh
menggidikkan.
Ngung! Ngung!
Wuuus!
Meskipun pedang maut dapat bergerak men-
gejar lawan seolah memiliki nyawa dan mata, na-
mun kecepatan si gadis dalam menghindari serangan lawan sungguh luar biasa. Malah dia dengan
kegesitan serta kelincahan yang dia miliki sempat je-
jakkan kakinya di bahu lawan. Ini merupakan suatu
penghinaan dan pertanda jika Indah Sari mau tentu
sejak tadi dia sudah dapat mencelakai lawan.
Mendapat perlakuan itu rupanya masih be-
lum juga membuka mata si pemuda. Dia kemudian
mengejar lawan yang terus melesat ke udara sampai
pada batas ketinggian tertentu Indah Sari balikkan
tubuhnya dengan kepala menghadap ke bawah, dua
tangan bergerak menyambut serangan senjata lawan
yang seharusnya menghantam kakinya.
Begitu tangan gadis itu terjulur, pedang tiba-
tiba berbelok menghindari tangan sang dara, kemu-
dian secara tak terduga pula menusuk bagian lam-
bung gadis itu.
Indah Sari Purnama tidak mau mati konyol.
Sambil memaki dia tarik balik tangannya yang ber-
maksud mencekal badan pedang. Dia sudah mem-
perhitungkan dirinya tak mungkin keracunan kare-
na di dalam tubuhnya sendiri mengandung racun
ganas dengan kekuatan tiga kali lipat dari racun
yang terkandung pada senjata lawan.
Gagal mencapai niatnya gadis ini kemudian
luncurkan diri, hingga diapun jejakkan kakinya di-
atas tanah. Tanpa menunggu selagi Setan Satu me-
lakukan hal yang sama dia lepaskan pukulan maut-
nya.
Sinar biru disertai menebarnya kabut tipis
menderu dahsyat ke udara. Setan Satu tercekat,
laksana kilat dia putar senjata di tangan. Terdengar
suara letupan tiga kali berturut-turut begitu pedang
membentur pukulan beracun yang dilepaskan oleh
sang dara. Tapi akibat tangkisan yang dilakukannya
membuat posisi jatuh Setan Satu jadi miring. Sang
dara tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Laksana
elang menyambar tangannya bergerak ke arah kaki
lawan.
Tep! Tep!
Begitu kaki Setan Satu kena dicekal oleh In-
dah Sari. Si gadis segera memutar tangannya, hing-
ga ketika tangan si gadis berputar, maka tubuh Se-
tan Satu ikut pula berputar laksana kitiran. Pemuda
itu menjerit panik, pedang dibacokkannya ke arah
lawan. Tapi akibat terlalu cepat daya putar yang di-
lakukan Indah Sari membuat babatan yang dilan-
carkan Setan Satu tidak mengenai sasarannya. Puas
membuat pusing kepala Setan Satu. Tiba-tiba sang
dara lepaskan tangannya yang mencengkeram kaki
lawan. Tak ayal lagi tubuh Setan Satu meluncur de-
ras ke arah sebuah batu besar. Sambil pejamkan
matanya yang berkunang-kunang, pemuda itu beru-
saha melakukan gerakan begitu rupa agar dia dapat
jatuh sesuai dengan yang dia inginkan. Tapi sayang,
daya luncur tubuhnya demikian deras hingga di-
apun jatuh dengan punggung terhempas menghan-
tam batu.
Terdengar suara tulang belakang berderak pa-
tah disertai jerit kesakitan. Pedang di tangan Setan
Satu terpental tak dapat dipertahankan. Pedang me-
layang di udara, kemudian jatuh menukik mencari
sasaran di bagian ubun-ubun Indah Sari.
"Benar-benar senjata iblis!" rutuk sang dara,
seraya melompat mundur sejauh tiga tombak. Pe-
dangpun kemudian menancap di tempat mana dia
berdiri tadi.
Indah Sari tidak menunggu lebih lama. Dia
segera memungut potongan tangan yang dijadikan
rangka pedang. Setelah itu dia cabut pedang yang
tertancap di tanah, kemudian cepat menyarungkan-
nya sebelum pedang iblis memperlihatkan reak-
sinya.
Indah Sari Purnama gantungkan pedang di
pinggang kanan. Setelah itu dengan hati-hati dia
hampiri Setan Satu yang menderita cidera berat di
bagian punggung. Sejarak dua langkah dari pemuda
itu tergeletak sang dara hentikan langkah. Dia pan-
dangi Setan Satu sejenak, baru kemudian bibir ba-
gusnya terbuka. "Jika kau tak melakukan pekerjaan
yang tidak-tidak mungkin kau dapat melakukan tu-
gasmu. Mungkin juga orang yang kau cari telah kau
temukan. Sekarang aku sengaja tidak ingin membu-
nuhmu, agar kau dapat merasakan penderitaan
yang berkepanjangan. Aku juga berharap semoga
orang yang kau cari menjumpaimu kau pasti tak bi-
sa berbuat apa-apa. Bisa jadi begitu kau utarakan
niatmu orang yang bernama Gentong Ketawa itu
langsung membunuhmu! Hi hi hi!"
Setan Satu menggeram. Sambil meludah dia
berteriak lantang. "Aku sudah kalah. Kalau kau mau
membunuhku cepat lakukan!"
"Cuh, buat apa aku berletih diri membunuh
setan tidak berdaya. Aku juga sekarang tengah men-
gemban suatu tugas yang tidak ringan. Selamat
tinggal sampai jumpa di akherat!" kata si gadis. Dis-
ertai tawa tergelak gelak dia tinggalkan Setan Satu.
Pemuda berkulit aneh itu berteriak memang-
gil. Tapi sampai suaranya serak orang yang dipanggil
tidak pernah kembali.
Di atas pohon Gentong Ketawa yang sengaja
tidak melakukan sesuatu apapun sejak tadi kini
kembali berkata.
"Gadis itu tak jelas murid siapa? Tapi dia
mengatakan hendak melakukan suatu tugas yang
tidak ringan. Perasaanku jadi tidak enak, mengapa
tiba-tiba aku jadi teringat pada Angin Pesut. Ahk...
sebaiknya kutanyai pemuda muka ular kadut itu
dulu. Setelah itu baru kukejar gadis tadi" fikir si kakek.
8
Nenek bertubuh luar biasa berambut hitam
lebat awut-awutan dan berpakaian biru lusuh men-
dadak hentikan langkahnya. Dua telinga bergerak-
gerak. Kemudian dia mendengus ketika mendengar
suara langkah kaki datang dari arah berlawanan.
Tangannya diangkat sambil menoleh ke bela-
kang. Pemuda gondrong bertelanjang dada dan ka-
kek berpakaian serba putih yang mengikuti si nenek
ketika melihat isyarat itu ikut pula hentikan lang-
kah.
"Mengapa bekas kakak iparku berhenti?"
tanya si kakek berhidung pesek berwajah polos yang
berada di belakang si gondrong.
Si gondrong tidak langsung menjawab. Dia
dongakkan wajahnya ke langit cuping hidungnya
kembang kempis. Kemudian si gondrong tersenyum.
"Aku tahu, nenek itu hentikan langkah kare-
na mendadak mencium bau pesing. Bukankah sejak
meninggalkan rawa tadi kau belum lagi sempat me-
nukar celanamu, Ki." kata si gondrong sambil menahan tawa.
"Aku tidak punya celana yang lain." menang-
gapi si kakek sambil bersungut-sungut.
"Hem, mungkin inilah yang namanya selem-
bar kering di badan."
"Ssstt, bekas kakak ipar melirik kemari, Gen-
to. Kurasa dia bukan mencium bau pesing. Aku
mendengar suara langkah orang menuju ke sini!"
ujar kakek baju putih yang tiada lain adalah kakek
Sateaki adik seperguruan Angin Pesut.
"Kalian bersembunyi!" kata si nenek yang
otaknya mengalami gangguan itu sambil menunjuk-
nunjuk ke arah gundukan batu besar di samping
kanan mereka.
Tiga sosok tubuh berkelebat ke arah batu,
kemudian lenyap dari pandangan. Tak berapa lama
pepohonan besar yang terdapat di depan gundukan
batu tersibak. Kemudian muncul satu sosok tubuh
dengan tinggi hampir sama dengan pucuk pohon.
Sosok yang baru muncul itu ternyata adalah seorang
gadis cantik berbadan tinggi semampai berambut
panjang. Gadis raksasa itu tidak datang sendiri. Dia
bersama seorang kakek berpakaian dan berambut
putih. Kakek berjanggut panjang ini tidak berjalan
melainkan di dukung oleh gadis raksasa.
Melihat kehadiran gadis itu, baik Gento mau-
pun Sateaki sama tekap mulut masing-masing. Se-
lanjutnya Pendekar Sakti Tujuh Satu Gento Guyon
maupun Sateaki dengan muka pucat dan kucurkan
keringat dingin mereka berbisik.
"Celaka. Gadis yang kita intip tempo hari kini
muncul di depan kita. Dia pasti masih memendam
amarah pada kita. Tapi... siapa kakek yang berada
dalam dekapannya itu?" tanya Sateaki.
Gento terdiam, dia memandang ke arah gadis
raksasa berpakaian serba kuning itu. Mata si pemu-
da berkedap kedip mencoba mengenali. Walau pun
saat itu dia dilanda perasaan kaget setengah mati,
demi melihat siapa kakek yang berada di dalam
pondongan gadis raksasa Gento jadi menggerutu.
"Sialan... kakek berjanggut kambing itu ada-
lah Tabib Setan sahabatku. Ah, bagaimana dia bisa
akrab dengan anak raksasa ini? Beruntung benar
kakek konyol itu. Dia duduk dekat dada. Pasti sese-
kali dia sempat mengintip dan memandang keinda-
han bukit. Tidurnya kujamin jadi nyenyak bersandar
pada dada gadis raksasa tidak ubahnya tidur dika-
sur empuk."
"Bisa saja kau bicara seenakmu. Jika teman-
mu melihat kehadiranmu disini, urusan bisa jadi
runyam." Gento melengak kaget. "Eh, apa maksud-
mu Ki?"
"Apa kau lupa kalau telah membohongi kakak
iparku. Bukankah kau mengatakan padanya bahwa
dirimu ini adalah adiknya yang pernah hilang raib
ditelan derasnya air Bengawan.!"
Seakan tersadar Gento tepuk keningnya sen-
diri. "Gawat! Jika nenek ini tahu aku membohon-
ginya dia bisa marah besar." kata Gento cemas.
"Bukan saja marah. Dia bisa membunuhmu.
Ingat, nenek ini otaknya tidak waras gara-gara kehi-
langan anak."
"Belalang kecil. Inikah gadis yang hendak kau
sembuhkan? Dia cantik sekali, pantasnya dia men-
jadi istrimu. Belalang Kecil, kau sangat pintar sekali
dalam memilih pasangan hidup." memuji si nenek
tanpa alihkan perhatiannya dari si gadis raksasa.
"Be... betul kakak. Dialah sahabatku."
"Lalu siapa kakek bangkotan yang digendong-
nya itu. Anaknya atau apa?"
"Kakek itu sahabatku. Dia biasa kupanggil
Tabib Setan." sahut Gento gugup.
Si nenek yang mengenal Gento sebagai adik-
nya yang tenggelam terseret air Bengawan Solo ter-
tawa mengikik. "Ah, adik suaramu bergetar, apakah
ini kau cemburu karena gadismu memeluk bandot
tua? Kau tak usah takut. Serahkan kakek tak tahu
diri itu padaku. Dengan mudah aku pasti dapat
membunuhnya! Hik hik hiik."
"Ja.. jangan."
"Mengapa kau melarang.?" tanya si nenek he-
ran.
Dengan sikap serius Gento menjawab. "Dia
sudah tua, sering pula sakit-sakitan. Tidak kau bu-
nuh sekalipun karena sudah tua lama-lama pasti
mati sendiri."
"Tapi aku tidak suka bandot berjanggut itu
menyandarinya kepalanya di...di.... hik hik hik.
Enak betul dia.....!" si nenek terganggu ingatan tidak
teruskan ucapannya, sebaliknya malah tertawa
mengikik.
"Biarkan saja kakak? Dia biasa menyandar-
kan kepala di mana saja. Dulu juga dia sandarkan
kepalanya di gunung, lalu gunungnya meletus. Aki-
batnya kepala dan janggut jadi memutih!"
Pada waktu itu si gadis raksasa begitu men-
dengar suara orang berbisik-bisik nampak layang-
kan pandang ke segenap penjuru sudut. Kemudian
dia melihat di balik batu mendekam tiga sosok tubuh. Dua diantaranya dia kenal sebagai orang yang
pernah berbuat usil mengintai dirinya selagi berada
di dalam sungai.
"Tabib cebol, aku dapatkan orang iseng itu."
kata si gadis raksasa yang bernama Anggagini.
Tabib Setan sendiri sejak tadi memang sudah
melihat Gento bersama seorang nenek berpakaian
biru lusuh berambut riap-riapan juga seorang kakek
berpakaian putih yang tidak dikenalnya. Tapi karena
dasar sang tabib orang tua yang suka iseng. Dengan
sengaja dia malah rebahkan kepala ke dada si gadis
yang besar. Mata dikedipkan ke arah Gento sedang-
kan tangan dilambaikan.
"Jangan kau sakiti dia, Gini." jawab sang ta-
bib lirih.
"Pemuda sahabatmu itu laki-laki mata keran-
jang. Setelah mengintaiku kini dia malah bergabung
dengan kakek cebol baju putih. Padahal kakek itu
juga ikut berbuat iseng." dengus Anggagini. Gadis
dengan tinggi hampir menyamai pucuk pepohonan
ini melangkah maju. Dia kemudian berkata dengan
suara keras. "Gondrong cebol sialan. Sekarang kau
hendak lari kemana bersama kakek itu hah...?"
"Bocah edan. Akui saja perbuatanmu, lalu
minta maaf. Segala urusan pasti beres!" kata Tabib
Setan yang berada dalam dukungan si gadis raksasa
menimpali.
Kalau ada orang yang merasa kaget menden-
gar ucapan Tabib Setan dan gadis raksasa itu tentu-
lah si nenek baju biru Srimbi. Sejenak lamanya si
nenek sakti ingatan ini nampak bingung. Dia me-
mandang ke arah Gento dan Sateaki silih berganti.
Sebagaimana telah diceritakan dalam Episode "Racun Darah" untuk mendapatkan racun penawar Pe-
rubah Bentuk, Gento terpaksa membohongi si nenek
dengan mengaku untuk menolong sahabatnya. Bu-
kan hanya itu saja, Gento juga terpaksa berbohong
dengan mengaku bahwa dirinya adalah si Belalang
Kecil adik nenek sakit ingatan itu. Agaknya rasa he-
ran di hati si nenek saat itu karena dia melihat anta-
ra Gento dan gadis raksasa Anggagini nampaknya
seperti asing satu sama lain. Tidak terlihat adanya
kesan sebagaimana seorang bersahabat pada
umumnya.
Mendadak sontak tanpa pernah terduga si
nenek menyambar dan mencengkeram rambut gon-
drong Pendekar Sakti Tujuh Satu. Setengah mengge-
ram si nenek ajukan pertanyaan.
"Belalang Kecil. Mengapa gadis itu memanggil
mu Gondrong Cebol sialan?" berkata begitu si nenek
sakit ingatkan delikkan mata.
"Kakak... dia, dia memang begitu. Otaknya
agak terganggu. Mungkin karena akibat pengaruh
Racun Perubah Bentuk. Kalau saja kau melihat
ayah ibunya keadaannya lebih parah lagi. Ayah ga-
dis itu suka memelintir kumis sambil menari. Me-
makai pakaian saja suka terbalik. Celana dijadikan
baju-baju dijadikan celana. Sedangkan ibunya ma-
lah suka tertawa-tawa sendiri." kata Gento berbo-
hong. Walaupun takut, namun masih sempatnya dia
tertawa dalam hati.
Sedangkan Sateaki sendiri dalam hati beru-
cap. "Kau rasakan Pendekar Sakti Tujuh Satu. Ber-
bohong untuk kebaikan memang tidak ada yang me-
larang. Tapi jika kau berdusta pada nenek-nenek
terganggu ingatan persoalannya akan jadi lain. Aku
sih jelas tidak ikutan!"
Di depan Gento, mata si nenek nampak ber-
kedap-kedip. Nampaknya dia mempercayai ucapan
Gento. Walaupun begitu cekalannya pada rambut
murid si gendut Gentong Ketawa ini bukan mengen-
dur. Sebaliknya makin bertambah erat hingga mem-
buat si pemuda meringis kesakitan.
Perasaan lega pemuda itu tak berlangsung
lama, karena kemudian si nenek ajukan pertanyaan
lagi. "Lalu kakek jenggot kambing itu mengapa me-
manggilmu bocah edan?"
"Walah mati aku." rutuk Gento dalam hati.
Tapi dasar pemuda itu memang selalu banyak akal.
Meskipun bingung dia tetap berlaku tenang. Setelah
berfikir sejenak diapun berkata. "Antara aku dengan
dia sama saja. Aku sendiri sering memanggilnya Ta-
bib Setan. Padahal dia tabib baik, bukan setan pula.
Jangan persoalkan masalah itu kakak. Kita kemari
bukan untuk berdebat. Ingat, kita bersaudara. Eng-
kau kakakku, aku adikmu si Belalang Kecil."
"Hem, untuk sementara aku percaya uca-
panmu. Tapi jika nanti terbukti kau bukan sanak
bukan kadangku, kau pasti akan kubunuh!" dengus
si nenek lalu lepaskan cengkeramannya pada ram-
but Gento.
"Mampuslah kau, Pendekar Sakti Tujuh Sa-
tu!" kata Sateaki dalam hati.
"Pemuda gondrong cebol, apakah kau sudah
siap menerima hukuman?!" kembali terdengar suara
bentakan Anggagini.
"Hukuman apa?" kakek Sateaki demi tak in-
gin rahasia mereka terbongkar cepat menyahuti.
"Apakah kau tak ingin obat Penawar Racun
Perubah Bentuk? Bersusah payah kami mencarikan
obat penawar itu untuk keluargamu, sekarang apa-
kah kau masih ingin meributkan persoalan yang se-
pele?" tanya Sateaki.
Ucapan si kakek paling tidak dapat menutupi
kebohongan Gento pada nenek Srimbi.
Gadis raksasa itu terdiam. Kening berkerut.
Lalu dia memandang Tabib Setan. Pada kakek
itu dia berkata. "Tabib apakah ucapan kakek baju
putih itu bisa dipercaya?"
"Mana aku dapat memastikan. Kalau bocah
edan itu yang bicara aku jamin dia tidak berdusta.
Aku mengenal dirinya sama seperti mengenal tela-
pak tanganku sendiri." sahut Tabib Setan.
"Kau tanyakan pada pemuda cebol itu. Apa-
kah ucapan temannya memang benar!"
Tabib Setan lakukan apa yang diminta oleh
Anggagini. Sang Tabib lalu berteriak. "Bocah edan,
apakah yang dikatakan kakek itu benar?"
"Dia tidak berdusta Tabib Setan sial!" sahut
Gento tak kalah kerasnya.
9
Raksasa Anggagini pandangi tiga orang di ba-
lik batu beberapa saat lamanya. Setelah itu dia ja-
tuhkan Tabib Setan dari dukungannya. Si tabib la-
kukan gerakan jungkir balik beberapa kali setelah
itu jejakkan kakinya tak jauh dari batu besar. Pen-
dekar Sakti 71 Gento Guyon, Sateaki dan nenek
Srimbi berturut-turut keluar dari balik batu yang di-
jadikan tempat bersembunyi.
Gento kedipkan matanya pada sang tabib. La-
lu dia mengisiki. "Bagaimana rasanya digendong ga-
dis itu? Empuk ya? Hei tabib... kau jangan memang-
gil namaku."
"Hah...apa maksudmu?"
"Untuk mendapatkan obat penawar racun Pe-
rubah Bentuk aku terpaksa berbohong pada nenek
sinting itu dengan mengaku sebagai adiknya. Nenek
itu ingatannya agak terganggu akibat kehilangan
anak dan terlalu lama larut dalam guncangan batin
yang berat!"
"Pemuda cebol bernama Gento Guyon!" Se-
rahkan obat penawar racun Perubah Bentuk pada-
ku!" kata si gadis raksasa tiba-tiba.
"Ah, celaka, bagaimana dia bisa mengetahui
namaku?" kata Gento tercekat.
"Aku yang memberitahu." sahut Tabib Setan.
"Tabib Setan. Kau bisa membuat celaka kami
semua!"
Sementara itu nenek Srimbi begitu menden-
gar Anggagini menyebut nama Gento Guyon jadi ce-
lingukan. "Gento Guyon... siapa orang yang dimak-
sudkan gadis itu?" tanyanya sambil layangkan pan-
dang ke arah Gento dan Sateaki silih berganti. Ka-
kek yang wajahnya mirip dengan guru Gento ini ce-
pat tundukkan kepala sambil menahan nafas. Seba-
liknya Gento jadi kebingungan. Masih beruntung
Tabib Setan cepat menangkap adanya gelagat yang
tidak baik ini. Sehingga dia berkata.
"Gento Guyon itu adalah nama lain adikmu.
Dulu ketika aku bertemu dengannya dia mengata-
kan nama Belalang Kecil adalah sebuah nama yang
kurang bagus. Akhirnya aku yang memberinya nama Gento Guyon." menerangkan si kakek. Dalam
hati dia memaki. "Sial betul. Aku terpaksa ikutan
berbohong. Padahal yang memberi nama Gento ada-
lah gurunya sendiri Gentong Ketawa."
"Aku mencium ada sesuatu yang tidak beres.
Aku melihat adanya satu kebohongan. Ingat, jika
ternyata nanti kuketahui kalian memang berbohong.
Tidak satupun diantara kalian yang kubiarkan hi-
dup. Dan untuk membuktikan benar tidaknya du-
gaanku ini, satu-satunya cara adalah dengan meli-
hat kubur Angin Pesut."
Pucatlah wajah Sateaki. Sebaliknya Tabib Se-
tan nampak lebih tenang. Terkecuali Gento. Pemuda
ini nampak gelisah. Dia sama sekali tidak menyang-
ka kebohongan yang terpaksa dia lakukan ketika be-
rada di tempat kediaman si nenek di pulau terapung
yang terletak di tengah rawa kini malah berakibat
buruk bagi dirinya.
Membayangkan betapa orang yang diha-
dapinya adalah orang yang mengalami guncangan
batin dan sakit ingatan, Gento merasa tengkuknya
menjadi dingin laksana es.
"Aku tidak takutkan dia. Tapi aku harus me-
nyadari dia orang yang terganggu ingatannya. Lagi-
pula kurasa sampai sekarang dia masih memiliki
pukulan Racun Perubah Bentuk. Jika dia sampai
menghantamkan dengan pukulan itu, tubuhku bisa
membesar seperti gadis raksasa itu. Kalau sudah
begitu keuntunganku cuma satu. Aku bisa kawin
dengan gadis cantik ini. Ruginya aku tak mungkin
bisa memadu kasih dengan gadis biasa." fikir sang
pendekar. Sekilas terbayang wajah Bidadari Biru.
Gadis cantik yang tubuhnya sebening kristal. Lalu
dia juga ingat pada Mutiara Pelangi alias Puteri Ku-
pu-Kupu Putih. Kemudian muncul pula sosok Nyi
Sekar Langit yang periang dan begitu bersemangat.
"Tidak... aku tak mau menjadi raksasa. Nenek
ini tak boleh memukulku." Gento gelengkan kepala
berulang kali.
"Kepalamu menggeleng, apakah ini berarti
kau tak mau mengantarku melihat kubur Angin Pe-
sut?" hardik si nenek.
Gento berjingkrak kaget, dia menelan ludah
basahi tenggorokannya yang mendadak terasa ker-
ing. Baru kemudian membuka mulut berucap.
"Kakak... aku mau saja. Tapi sahabatku Sa-
teaki harus ikut denganku. Dia yang menjadi petun-
juk jalan!"
Tak menyangka Gento masih juga melibatkan
dirinya, si kakek berjingkrak kaget. "Pendekar edan
ini mengapa masih saja menyeret diriku dalam pe-
rangkap kesengsaraan. Semua ini gara-gara salah-
nya sendiri. Kakang Angin Pesut yang masih segar
bugar dikatakannya sudah meninggal. Bagaimana
nanti jika bekas kakak ipar mengetahui kalau yang
sebenarnya bekas suaminya masih hidup? Dia bisa
marah besar, dia mungkin akan membunuhku." ka-
ta Sateaki cemas.
"Baiklah, sahabatmu itu boleh ikut."
"Bukankah dia juga adik iparmu?" goda si
pemuda.
Nenek itu delikkan matanya.
"Hanya bekas. Seperti halnya Angin Pesut, dia
juga kuanggap sudah mati!" sahut si nenek sinis.
Gento berpaling pada Sateaki, baru kemudian
berkata. "Ki, kau sudah mendengar. Kau dinyatakan
sudah mati. Jadi sekarang yang gentayangan cuma
bangkainya saja. Ha ha ha!"
Sateaki tidak menjawab, hanya mulutnya
bersungut-sungut tidak senang.
"Hayo, sekarang tunggu apa lagi. Kita harus
berangkat ke makam bekas suami keparat Angin Pe-
sut." berkata begitu si nenek balikkan badan siap
berkelebat pergi.
Namun Gento cepat berkata. "Kakak... apakah
kau lupa. Kau sudah berjanji mau memberikan obat
penawar Racun Perubah Bentuk itu pada sahabatku
gadis raksasa." sergah Gento.
"Ah, kau betul. Aku sampai lupa. Obat pena-
war tetap kuberikan. Tapi seperti yang kukatakan
hanya tinggal dua butir. Ini berarti hanya dua yang
dapat kutolong. Sedangkan yang lainnya harus rela
menerima nasib, menjalani sisa hidup sebagai rak-
sasa."
"Kakak, apakah kau tidak mau membuatnya
lagi?" tanya Gento.
"Buat apa? Untuk menolong orang? Yang
membuat mereka celaka bukan aku. Tapi Angin Pe-
sut, silahkan saja minta dibuatkan obat penawarnya
pada dia."
"Kakak ipar, kakang Angin Pesut tidak bisa
membuat obat penawarnya. Lagipula seperti yang
dikatakan sahabatku itu, Angin Pesut mati." ujar Sa-
teaki.
"Siapa kakak iparmu. Jangan lagi kau me-
nyebut aku kakak ipar. Aku bisa membunuhmu,
kakek buduk. Hik hik hik." damprat si nenek lalu
tertawa terkikik-kikik. Masih sambil tertawa dia me-
lanjutkan ucapannya. "Ini obat yang kalian minta."
Nenek Srimbi keluarkan sebuah tabung kecil terbuat
dari bambu, tabung dibuka. Isinya dikeluarkan. Lalu
diserahkannya pada Gento.
"Terima kasih kakak." kata Gento setelah me-
nerima dua butir pil berwarna pekat pemberian si
nenek. Kemudian Pendekar Sakti 71 Gento Guyon
menghadap langsung ke arah Anggagini. Pada gadis
raksasa itu, setelah menjura hormat dia berkata.
"Harap kau sudi kiranya memaafkan aku. Kejadian
di pinggir sungai itu semata-mata hanya ingin me-
mastikan kau memang membutuhkan pertolongan.
Sehingga aku dan kakek itu kemudian berusaha
mencarikan obat untukmu!"
Selanjutnya Gento julurkan tangan serahkan
obat penawar racun di tangannya pada Anggagini.
Sejenak si gadis nampak ragu untuk menerimanya.
Dia pandangi wajah tampan sang pendekar. Ma-
tanya yang bening bercahaya berkedip. Hatinya ber-
kata. "Ternyata setelah memandangnya dari jarak
dekat dia cukup tampan juga. Aku yakin ilmunya ti-
dak rendah. Tapi mengapa tingkah lakunya seperti
orang kurang waras? Lalu siapa nenek yang dipang-
gilnya kakak itu? Mungkinkah dia yang bernama
Srimbi. Orang yang sering disebut ayah sebagai sa-
tu-satunya orang yang dapat melenyapkan racun
Perubah Bentuk. Kalau benar dugaanku, berarti
pemuda ini telah mempertaruhkan nyawa menyebe-
rangi Rawa Buaya untuk menemui nenek itu!" fikir
sang dara.
"Anggagini, terimalah obat pemberian saha-
batku!" kata Tabib Setan yang melihat gadis raksasa
itu cuma melongo memandangi Gento seolah penuh
rasa kagum.
Anggagini tersipu, wajah cantiknya yang putih
mulus berubah kemerahan. Dia ulurkan tangannya.
Gento memberikan obat penawar Racun Perubah
Bentuk pada si gadis.
"Terima kasih! Mengingat kau telah bersusah
payah menemui nenek ini. Aku maafkan kesala-
hanmu." kata si gadis.
"Aku pun begitu. Dan kuharap...!'
"Belalang Kecil. Aku tak punya waktu me-
nunggu lebih lama. Sekarang juga kau dan kakek
itu harus ikut denganku. Kalian harus tunjukkan
dimana kubur Angin Pesut!"
"Tapi kakak...!" Gento mencoba mengulur
waktu, karena dia sesungguhnya ingin ajukan bebe-
rapa pertanyaan penting pada Tabib Setan. Salah
satu diantaranya adalah, bagaimana pemuda raksa-
sa itu melepas diri si kakek. Malah kemudian mem-
beri izin pada sang tabib untuk pergi dengan adik-
nya yang cantik.
"Tak ada tapi-tapian. Hayo ikut...!" teriak si
nenek.
Mendadak sontak Gento merasakan ada an-
gin dingin yang menyambarnya. Dilain saat tahu-
tahu dirinya juga diri Sateaki sudah dibawa berlari
dengan kecepatan laksana terbang.
Gadis cantik itu hendak melakukan pengeja-
ran. Tapi niatnya urung karena Tabib Setan lang-
sung mencegah. "Tak usah dikejar. Untuk sementara
selesaikan saja urusan keluargamu sendiri."
"Apa maksudmu, kakek cebol?" tanya Angga-
gini.
Si kakek tersenyum, mengelus jenggotnya ba-
ru kemudian menjawab. "Aku tahu bagaimana pera
saanmu. Dulu aku pernah muda. Kau pasti tertarik
pada pendekar edan tadi. Tapi dengan besar badan
seperti sekarang ini mana mungkin kau bisa men-
dekatinya."
Anggagini jadi tersipu mendengar ucapan
sang tabib. Dengan suara pelan dia berkata. "Orang
tua mulutmu terlalu usil. Lalu sekarang apa yang
harus kulakukan?" tanya si gadis. Ucapan Tabib Se-
tan tadi sama sekali tidak membuatnya marah. Ma-
lah dia nampak tersenyum gembira.
"Itu persoalan gampang. Dua butir obat ada di
tanganmu. Jika kau ingin kembali ke bentuk manu-
sia yang normal, maka kau harus telan salah satu
obat penawar racun itu."
"Jika kutelan satu, berarti ayah ibuku tidak
kebagian. Padahal aku ingin melihat mereka beru-
bah kembali seperti manusia biasa."
"Kau bisa memberikan sisanya pada mereka."
usul sang tabib.
"Lalu kakangku Anggagana bagaimana?"
Mendengar ucapan sang dara membuat Tabib Setan
jadi bingung. "Hem, obat penawar racun itu hanya
bisa menyembuhkan dua orang. Jika kau sayang
ayah ibumu, berarti kau tetap dalam keadaan seper-
ti ini selamanya. Nenek sakit ingatan itu jelas tak
mau lagi membuat obat yang sama. Lalu jika kau
dan kakangmu Anggagana yang menelan obat itu,
maka kedua orang tuamu tetap menjadi raksasa se-
lamanya."
"Bukankah sangat membingungkan?"
"Benar, aku juga dibuat bingung." sahut si
kakek manggut-manggut.
Anggagini terdiam, berfikir sebentar. Baru
saanmu. Dulu aku pernah muda. Kau pasti tertarik
pada pendekar edan tadi. Tapi dengan besar badan
seperti sekarang ini mana mungkin kau bisa men-
dekatinya."
Anggagini jadi tersipu mendengar ucapan
sang tabib. Dengan suara pelan dia berkata. "Orang
tua mulutmu terlalu usil. Lalu sekarang apa yang
harus kulakukan?" tanya si gadis. Ucapan Tabib Se-
tan tadi sama sekali tidak membuatnya marah. Ma-
lah dia nampak tersenyum gembira.
"Itu persoalan gampang. Dua butir obat ada di
tanganmu. Jika kau ingin kembali ke bentuk manu-
sia yang normal, maka kau harus telan salah satu
obat penawar racun itu."
"Jika kutelan satu, berarti ayah ibuku tidak
kebagian. Padahal aku ingin melihat mereka beru-
bah kembali seperti manusia biasa."
"Kau bisa memberikan sisanya pada mereka."
usul sang tabib.
"Lalu kakangku Anggagana bagaimana?"
Mendengar ucapan sang dara membuat Tabib Setan
jadi bingung. "Hem, obat penawar racun itu hanya
bisa menyembuhkan dua orang. Jika kau sayang
ayah ibumu, berarti kau tetap dalam keadaan seper-
ti ini selamanya. Nenek sakit ingatan itu jelas tak
mau lagi membuat obat yang sama. Lalu jika kau
dan kakangmu Anggagana yang menelan obat itu,
maka kedua orang tuamu tetap menjadi raksasa se-
lamanya."
"Bukankah sangat membingungkan?"
"Benar, aku juga dibuat bingung." sahut si
kakek manggut-manggut.
Anggagini terdiam, berfikir sebentar. Baru
kemudian berkata. "Sebaiknya kita kembali ke bukit.
Kita temui dulu orang tua dan kakangku. Mereka
yang memutuskan siapa yang patut memakan obat
penawar racun ini." Si kakek keluarkan suara seper-
ti tercekik.
"Kembali ke bukit?!"
"Benar. Mengapa?"
"Aku tak mau, mereka bisa menghukumku!"
jawab si kakek ketakutan.
Anggagini tertawa merdu. "Mengapa harus ta-
kut. Kalau mereka sampai marah aku yang akan
menjelaskan pada mereka!" ujar si gadis raksasa.
Setelah sekian lama terombang-ambing dalam kera-
guan, akhirnya Tabib Setan mengangguk setuju.
Anggagini balikkan badan, lalu melangkah menuju
ke arah bukit dengan diikuti Tabib Setan yang ter-
paksa berlari-lari di belakangnya.
10
Iringan kereta tua yang ditarik dua ekor kuda
itu kini memasuki kawasan hutan di perbatasan Ka-
lasan. Sais kereta yang tiada lain adalah Tapa Gedek
terus mencambuk kudanya hampir tiada henti. Ka-
rena kedua kuda penarik kereta sudah cukup tua di
samping sudah kelelahan pula, tentu saja cambukan
yang dilakukan bertubi-tubi yang dilakukan Tapa
Gedek tidak membuat kuda berlari kencang seba-
gaimana yang dikehendaki si kakek. Malah tak jauh
dari kerapatan pohon di tepi hutan Kalasan dua ku-
da penarik kereta mendadak berhenti.
Si kakek gelengkan kepala. Matahari saat itu
sudah condong di ufuk barat. Tapi suasana di pinggir hutan dengan cepat sekali berubah gelap. Sua-
sana hutan yang sunyi, serta kerapatan pepohonan
yang menjulang tinggi menimbulkan kesan angker,
membuat si kakek merasa tidak enak sekaligus geli-
sah.
Tapa Gedek menoleh ke belakang. Di dalam
kereta kuda dia melihat Dewa Kodok tidur bergelung
membaur dengan tiga sosok mayat sahabat mereka.
"Datuk Lemah Hijau, Kertadilaga dan Ki Me-
noreh sudah menjadi mayat. Mereka sudah almar-
hum. Kalau menurut kata hatiku rasanya aku malas
mengantar mayat-mayat itu sampai di pemakaman
di tepi Kaliurang. Kitab gelombang Naga telah kuda-
patkan kembali. Mestinya aku segera kembali ke
gunung Lawu untuk mengembalikan kitab ini pada
guru Ki Saran. Tapi... mungkin Dewa Kodok tak
akan setuju dengan pendapatku ini." batin si kakek
sambil gelengkan kepala. Setelah memperhatikan
dua kuda penarik kereta beberapa jenak lamanya,
kakek ini berkata. "Setidaknya kuda itu memerlukan
waktu istirahat satu malam. Berarti perjalanan baru
dapat dilanjutkan besok pagi. Padahal pinggiran hu-
tan ini bukan pilihan tepat untuk istirahat. Apalagi
konon sering kudengar hutan Kalasan adalah tem-
pat angker. Banyak arwah penasaran berdiam di
tempat ini." berkata begitu si kakek merasa menda-
dak tengkuknya meremang berdiri. Dia makin geli-
sah kalau tidak dapat dikata takut. Aneh memang
orang seperti dirinya yang selama ini dikenal seperti
seorang tokoh pemberani, kini tiba-tiba merasakan
takut yang luar biasa.
"Dewa Kodok...!" Tapa Gedek memanggil sa-
habatnya yang tidur di dalam kereta membaur den
gan tiga mayat hangus mengerikan dan sudah mulai
menebar bau tak sedap pula.
Tak ada sahutan dari dalam kereta. Yang ter-
dengar cuma suara dengkur Dewa Kodok. Mungkin
tidurnya terlalu nyenyak, bisa jadi Dewa Kodok me-
mang keletihan setelah tiga hari melakukan perjala-
nan berkuda.
"Dewa Kodok. Nampaknya kita tidak bisa me-
lanjutkan perjalanan. Dua kuda penarik kereta su-
dah kelelahan. Dewa Kodok... bangun...!" seru si ka-
kek dengan suara keras.
Dari dalam kereta terdengar suara gigi berge-
meletukan, lalu ada suara mengerang. Selanjutnya
terdengar pula suara orang menyahuti. "Kalau perja-
lanan tak dapat diteruskan jangan dipaksa. Kau isti-
rahat saja, sobat Tapa Gedek."
"Enak saja kau bicara. Sekarang ini kita be-
rada di pinggir hutan. Bagaimana mungkin aku bisa
istirahat?" kata Tapa Gedek ketus.
"Memejamkan mata apa susahnya. Kalau ma-
ta sudah mengantuk tidak perduli berada di pinggir
hutan atau di dalam comberan rasanya tetap sama
saja seperti di surga!" sahut Dewa Kodok.
Tapa Gedek merasa geram sekali mendengar
jawaban Dewa Kodok yang seenaknya. Apalagi seha-
bis menjawab dia tidur lagi.
Tapa Gedek menarik nafas, lalu terdengar si
tua mengeluh. "Apa untungnya punya sahabat se-
perti dia. Sepanjang perjalanan kalau tidak me-
nyanyi kerjanya tidur melulu. Mestinya kutinggalkan
saja Dewa Kodok dan mayat-mayat itu. Selanjutnya
aku bisa melanjutkan perjalanan ke gunung Lawu
untuk menjumpai guruku!" fikir si kakek.
Walau dia sudah memutuskan begitu, namun
dia masih tetap duduk di tempatnya. Dia kemudian
memandang ke arah kegelapan hutan. Entah men-
gapa perasaannya makin tidak enak.
Selagi kakek ini terombang ambing dalam ke-
raguan. Pada saat itu dia merasakan ada angin din-
gin menyambar ke arahnya. Hembusan angin itu da-
tang dari arah bagian belakang kereta kuda.
Terkejut, Tapa Gedek cepat putar kepala dan
memandang sejurus ke belakang kereta. Dia tak me-
lihat apa-apa, tapi secara aneh tengkuknya kembali
merinding.
Kereta kemudian bergoyang perlahan. Dua
kuda penarik kereta keluarkan ringkikan gelisah.
Bersamaan dengan itu pula sayup-sayup di kejau-
han terdengar suara lolong serigala. Si kakek makin
tak tenang, dia mencoba mempertajam pendenga-
rannya sedangkan dua mata di pentang lebar. Suara
lolong serigala mendadak lenyap. Suasana sunyi se-
ketika. Kesunyian yang begitu mencekam, membuat
si kakek merasa tak betah berada di tempat itu lebih
lama.
"Dewa Kodok. Bangunlah, aku perlu bicara
denganmu. Kalau kau tak mau bangun aku segera
tinggalkan tempat ini. Silahkan kau melewatkan ma-
lam bersama mayat-mayat para sahabat kita!" kata
si kakek.
Beberapa saat si kakek menunggu. Suaranya
yang perlahan kemudian lenyap. Angin dingin ber-
hembus membuat dedaunan saling bergesekan me-
nimbulkan suara aneh di telinga Tapa Gedek bagai
alunan senandung setan di neraka.
"Mengapa perasaanku jadi begini? Aku merasa seperti sedang diawasi oleh sang maut. Akh...
Dewa Kodok sungguh keterlaluan. Dia sengaja hen-
dak mempermainkan aku rupanya. Suara dengkur-
nya tidak lagi kudengar. Lalu apa yang dilakukan-
nya di dalam kereta itu?" fikir si kakek.
Di tengah kesunyian yang amat mencekam
mendadak Tapa Gedek dikejutkan oleh suara lolong
serigala. Yang membuat orang tua ini cepat memu-
tar tubuhnya hingga menghadap ke arah kereta, su-
ara raungan serigala yang didengarnya tadi bukan
dari dalam hutan. Tapi terasa begitu dekat seolah
berasal dari dalam keretanya sendiri.
Menyangka sahabatnya Dewa Kodok yang
punya ulah dengan perasaan jengkel Tapa Gedek
berteriak. "Dewa Kodok. Kau jangan menakut-na-
kuti aku. Aku telah memutuskan untuk meninggal-
kan mayat dan kereta kuda ini disini. Jika kau mau
membawa mayat mereka ke Kaliurang aku berterima
kasih. Terus-terang aku hendak pergi ke gunung
Lawu untuk menemui guruku sekaligus menyerah-
kan kitab Ilmu Gelombang Naga ini pada beliau!"
Sebagai jawaban, kereta kuda bergoyang. Lalu
pintu belakang kereta itu terbuka. Pintunya yang
sudah tua mengeluarkan suara berkeretakan. Ke-
mudian dari dalam kereta melesat satu sosok tubuh
disertai menyemburnya cairan merah. Sosok itu me-
lewati bagian atap kereta lalu jatuh bergedebukan
tepat di atas pangkuan Tapa Gedek.
Rasa kaget melihat pintu belakang kereta
yang terbuka saja belum lagi lenyap. Kini si kakek
dikejutkan lagi dengan jatuhnya satu sosok tubuh
gemuk pendek berperut besar ke atas pangkuannya.
Dengan mata terbelalak dan mulut keluarkan pekikan tertahan Tapa Gedek memandang ke pangkuan.
Kakek berpakaian hitam ini begitu mengenali orang
yang jatuh di atas pangkuannya langsung menjerit.
"Dewa Kodok...huah...huaaah...huaaah...Apa
yang terjadi dengan dirimu sobatku. Siapa yang te-
lah membunuhmu dengan cara begini keji!" tanya si
kakek, setengah meraung dan meratap. Dia pandan-
gi Dewa Kodok yang telah menjadi mayat. Mata ka-
kek berperut seperti kodok itu mendelik besar, mu-
lut ternganga, lidah terjulur. Darah mengalir dari
sudut mata, hidung, mulut juga telinga. Ketika ka-
kek itu memeriksa bagian dada dan perut sahabat-
nya. Orang tua ini merasa semangatnya melayang,
wajah pucat kucurkan keringat dingin.
Bagian dada serta perut Dewa Kodok tidak la-
gi utuh. Dadanya robek besar. Paru-paru mencuat
keluar, jantung lenyap entah kemana sedangkan pe-
rutnya terkoyak, isi perut berbusaian keluar ber-
campur darah yang masih menetes. Tak tahan si
kakek melihat kekejian yang terjadi pada Dewa Ko-
dok mendadak dia menjerit, menjerit lagi dan lagi.
Sampai akhirnya dia terhenyak lemas. Lututnya
goyah, sosok Dewa Kodok jatuh menggelinding dan
terhempas di bawah kereta kuda.
Beberapa saat lamanya Tapa Gedek tak
mampu bergerak juga tak kuasa bicara. Tapi begitu
ingat dengan luka-luka mengerikan itu si kakek ti-
ba-tiba melompat dari atas tempat duduk kusir. La-
lu dengan mata nyalang dia perhatikan kereta kuda
yang pintu belakangnya telah menutup kembali.
Dengan suara lantang kakek ini berteriak.
"Pembunuh keparat. Apa salah dosa sahabatku De-
wa Kodok. Mengapa kau membunuhnya secara keji.
Keluarlah kau dari dalam kereta. Katakan siapa di-
rimu dan apa pula maumu?"
Sebelumnya si kakek sempat mendengar sua-
ra lolong serigala dari dalam kereta kuda. Kini dia
beranggapan tentu orang yang membunuh Dewa
Kodok pastilah serigala. Cabikan pada dada dan pe-
rut Dewa Kodok jelas akibat hunjaman kuku-kuku
yang tajam runcing makhluk yang keluarkan suara
lolongan tadi. Dan kakek itu rasanya tak perlu me-
nunggu lebih lama, karena beberapa saat kemudian
dari dalam kereta terlihat ada kabut biru meresap
keluar dari setiap celah sudut kereta. Kabut itu ber-
gulung-gulung di udara, kemudian lenyap setelah
sampai pada ketinggian tertentu. Bersamaan dengan
lenyapnya sang kabut dari dalam kereta terdengar
suara lolong panjang.
Lalu Tapa Gedek mengendus adanya bau bu-
suknya bangkai.
"Asap keluar dari dalam kereta, mungkinkah
tiga mayat di kereta itu bangkit. Hidup kembali?!"
membatin Tapa Gedek. Kepala digelengkan, dia
mencoba membantah pikirannya sendiri. "Orang
yang sudah mati mana mungkin dapat hidup kem-
bali. Namun ketika dia ingat dengan Kitab Hitam
Pembangkit Mayat milik Kertadilaga. Bukan musta-
hil apa yang diragukannya dapat terjadi.
Selagi si kakek berdebat dengan jalan fikiran-
nya sendiri, suara lolongan kembali terdengar. Lalu
dari dalam kereta mendadak terdengar suara benta-
kan. "Kudengar kau tadi mengatakan apa salah dosa
sahabatmu Dewa Kodok, bukankah begitu. Kau
dengar baik-baik, Tapa Gedek... yang salah bukan
hanya Dewa Kodok. Sebaliknya kau juga ikut melakukan satu kesalahan besar yang tak mungkin da-
pat kumaafkan. Hik hik hik. Ha ha ha!"
Tapa Gedek sempat tercekat, namun setelah
menenangkan hati dan menebalkan segenap seman-
gat yang sempat tercerai berai akibat teror kematian
Dewa Kodok akhirnya dia berkata. "Kau siapa? Jika
aku melakukan kesalahan, kesalahan apa yang te-
lah kuperbuat?" tanya Tapa Gedek.
Satu lolongan kembali terdengar sebelum ak-
hirnya terdengar jawaban. "Kesalahannya adalah
dengan membiarkan Angin Pesut tetap hidup. Kau
tidak turun tangan ikut serta menyerangnya ketika
tiga sahabatmu bertekat menghabisi Iblis Tujuh Ru-
pa Delapan Bayangan."
"Kau siapa? Apa hubunganmu dengan Angin
Pesut?" tanya Tapa Gedek.
"Apa hubunganku dengan keparat itu kau tak
usah tahu. Untuk tidak membuatmu mati pena-
saran ketahuilah aku adalah Si Tembang Kematian,
aku juga dikenal sebagai Bayangan Maut!" mene-
rangkan suara dari dalam kereta.
Tercekatlah Tapa Gedek mendengar ucapan
orang. Bayangan Maut adalah momok paling mena-
kutkan yang pernah menggegerkan dunia persilatan
belum lama berselang. Beberapa purnama terakhir
Tapa Gedek sering mendengar keganasan Bayangan
Maut yang melakukan pembantaian terhadap kor-
ban-korbannya tanpa memandang bulu. Pembunu-
han yang dilakukannya tanpa sebab-sebab yang je-
las. Biasanya korban yang tewas darahnya lenyap,
tubuh kering penuh cabikan luka. Tapi sejauh ini
Tapa Gedek tak melihat apa hubungan Bayangan
Maut dengan Angin Pesut. Mendengar ucapannya
tadi jelas dia sangat membenci Angin Pesut.
11
Untuk sekian lamanya suasana di tepi hutan
Kalasan diselimuti kesunyian. Tapa Gedek meng-
hembuskan nafas sekedar mengusir ketegangan
yang merayapi perasaannya. Tapi kemudian dia ber-
kata. "Bayangan Maut, kedatanganku ke selatan Ko-
tagede bukan untuk melenyapkan jiwa orang lain
karena aku bukan malaikat maut. Aku datang kesa-
na untuk mengambil kitab ilmu Gelombang Naga
yang telah dicuri oleh Angin Pesut belasan tahun
yang silam. Karena kakek itu bersedia mengembali-
kan kitab yang kuminta bahkan kulihat dia juga
menunjukkan tanda-tanda telah bertobat, perlu apa
aku membunuh orang seperti itu?" ucap si kakek.
Dari dalam kereta kuda terdengar suara lo-
longan disertai gerengan marah. Lalu bayangan
Maut memaki. "Tua bangka pengecut. Yang kulihat
saat itu bukan rasa belas kasihan pada Angin Pesut.
Justeru yang kulihat ketika itu adalah suatu bentuk
kepengecutan. Kau sama sekali tidak punya nyali
menghadapi laki-laki itu. Disaat kawan-kawanmu
menghadapi bahaya besar, kau dan Dewa Kodok
malah berdiri menonton. Malah kau kemudian ber-
sikap seolah memberi maaf Angin Pesut. Jahanam...
untuk segala ketidak perdulianmu itu aku akan
membuatmu mati penasaran!"
"Boleh saja kau bicara begitu. Tapi sebelum-
nya rasakan dulu pukulanku!" teriak Tapa Gedek.
Kakek itu selanjutnya acungkan jemari tangannya
ke depan tepat di bagian kereta kuda. Begitu tangan
tertuju lurus ke arah kereta kuda itu. Mendadak
sontak kereta berderak, lalu hancur berkeping-
keping disertai suara ledakan berdentum.
Tiga mayat terpelanting dikobari api. Puing-
puing menyala bertaburan di udara. Lalu terdengar
seruan kaget. "Pukulan Tanpa Ujud?!"
"Ha ha ha! Jika sudah tahu sebaiknya cepat
menyingkir dan tinggalkan tempat ini!" hardik Tapa
Gedek.
"Tapa Gedek, jangan cepat berpuas diri. Eng-
kau mengira pukulanmu sanggup menyentuhku. Li-
hatlah kemari, aku di sini berdiri tak jauh dari bela-
kangmu!" kata Bayangan Maut.
Tapa Gedek laksana kilat segera balikkan ba-
dan, lalu memandang ke jurusan mana suara tadi
didengarnya. Kakek itu tersurut mundur dua lang-
kah begitu melihat tiga langkah di depannya berdiri
tegak sosok seorang perempuan tua bertubuh bung-
kuk berpakaian serba hitam diselimuti kabut putih
berdiri tegak dengan wajah dingin serta tatap ma-
tanya yang sangat angker. Tak percaya dengan pen-
glihatannya sendiri Tapa Gedek menyeka matanya
berulang-ulang. Mata Tapa Gedek mendelik besar.
Sosok wajah angker itu kini sama sekali telah beru-
bah. Yang dilihat kakek itu bukan lagi seraut wajah
seorang perempuan, tapi sebentuk wajah serigala.
"Bagaimana mungkin. Mustahil sekali. Yang
kulihat tadi jelas sosok seorang nenek rentah berwa-
jah angker berkulit hitam. Tapi mengapa kini tiba-
tiba berubah menjadi serigala?"
Tapa Gedek gelengkan kepala, matanya men-
gerjap lalu kembali memandang ke depannya. Kembali kakek itu dibuat tercengang. Sosok serigala
yang baru dilihatnya sebentar tadi sekarang telah
kembali menjadi sosok seorang nenek tua sebagai-
mana yang pertama tadi dilihatnya! Begitulah sosok
yang diselimuti kabut itu terus berubah silih bergan-
ti tiada putus-putusnya.
"Kau... kau bukan manusia, tapi makhluk se-
rigala jejadian?!" desis Tapa Gedek. Saat itu dia siap
menghantam sosok di depannya dengan pukulan
Delapan Tinju Mabuk.
Makhluk berujud setengah manusia setengah
serigala itu keluarkan suara lolongan yang kemu-
dian disusul dengan tawa bergema. Sambil berdiri
berkacak pinggang begitu tawanya lenyap dia berka-
ta.
"Apapun dan siapapun diriku ini tidak menja-
di soalan. Yang jelas saat ini juga aku akan meng-
habisi manusia pengecut sepertimu!"
"Hem, begitu. Sebelum kau membunuhku,
aku yang akan menghabisimu lebih dulu!" kata si
kakek.
Lalu sambil berkata begitu dia menghantam
Bayangan Maut dengan pukulan Delapan Tinju Ma-
buk yang telah disiapkannya sejak tadi. Terhuyung
kakek ini segera hantamkan kedua tangan yang ter-
kepal delapan kali berturut-turut. Hantaman perta-
ma mengincar sasaran di kedua kaki lawan, hanta-
man ke dua mengarah pada bagian perut dan han-
taman ketiga melesat ke bagian kepala. Untuk dike-
tahui, biasanya benda atau makhluk apapun yang
terkena pukulan ini pasti akan hancur berkeping-
keping.
Sementara itu si nenek yang selalu berganti
ganti rupa nampak tertawa mengekeh begitu melihat
Delapan Tinju Mabuk yang disertai menyambarnya
sinar putih menghantam tiga bagian tubuhnya seka-
ligus.
"Hanya Delapan Tinju Mabuk siapa yang ta-
kut!" dengus si nenek. Lalu seakan tidak menghi-
raukan keselamatan dirinya Bayangan Maut berdiri
berkacak pinggang. Dibiarkannya Tiga bagian tu-
buhnya menjadi sasaran lawan. Sedangkan si kakek
sendiri terkejut tak menyangka lawan mengenali
nama pukulan yang dilancarkannya.
Delapan Tinju Mabuk tak pelak lagi menghan-
tam tiga bagian tubuh Bayangan Maut. Delapan le-
dakan keras terjadi berturut-turut membuat sosok si
nenek bergetar hebat. Lalu ujudnya lenyap diselimu-
ti kabut tebal yang secara aneh bermunculan dari
sekujur tubuhnya.
Tapa Gedek pentang matanya lebar-lebar,
mencoba menembus kepekatan kabut tapi gagal. Dia
pun akhirnya tingkatkan kewaspadaannya sambil
menjaga segala kemungkinan yang tidak terduga.
Kabut tebal kemudian lenyap. Secara perla-
han pemandangan menjadi terang kembali. Di depan
sana Bayangan Maut masih tegak di tempatnya tan-
pa kekurangan sesuatu apa.
Kaget di hati si kakek bukan kepalang.
Sepasang matanya mendelik besar mulut
ternganga memandang lawan dengan tatapan penuh
rasa tak percaya. Bayangan Maut melolong panjang
disertai tawa panjang dingin menggidikkan. "Masih
adakah pukulan lainnya yang kau miliki, Tapa Ge-
dek. Keluarkanlah seluruhnya selagi masih ada ke-
sempatan!" seru si nenek yang wajahnya terus saja
berubah-ubah tak berkeputusan.
"Kuyakini kau pasti bukan manusia. Tapi iblis
jejadian!" dengus Tapa Gedek. Saat itu dia melihat
sosok Bayangan Maut mulai gerakkan kakinya me-
langkah tindak demi tindak mendekati si kakek.
Tapa Gedek tidak tinggal diam. Dia hantam-
kan tangan kirinya yang berisi pukulan Delapan Tin-
ju Mabuk juga hantamkan tangan kanannya dengan
menggunakan pukulan Tanpa Ujud.
Begitu dua tangan digerakkan ke depan men-
dadak sontak terdengar suara deru angin dingin.
Dari tangan kiri terlihat lima bayangan tinju men-
gandung hawa panas disertai berkiblatnya sinar pu-
tih menyilaukan mata.
Buum!
Slassh...!
Hantaman dua pukulan berbeda yang mende-
ra sekujur tubuh Bayangan Maut membuat tubuh
nenek itu luluh lantak. Walaupun begitu secara
aneh langsung melesat di udara kemudian berdiri
tegak di atas sebuah cabang pohon. Memandang pa-
da Tapa Gedek yang kembali dibuat tercengang,
Bayangan Maut umbar tawa bergelak.
"Tapa Gedek. Kini saatnya bagimu untuk me-
nerima seranganku. Sepuluh kuku jari tangan ini
akan mencabik tubuhmu. Mulutku yang bertaring
ini siap pula menyedot dan menghisap habis darah-
mu. Tapa Gedek bersiaplah untuk mati!" berkata be-
gitu seolah memiliki sayap Bayangan Maut dengan
dua tangan terpentang lebar meluncur deras ke arah
si kakek. Bukan main cepat gerakan Bayangan
Maut. Hanya dalam waktu tak sampai sekedipan
mata saja sepuluh jari tangannya yang berkuku tajam berwarna hitam pekat menyambar leher dan wa-
jah Tapa Gedek.
Kakek tua itu terkejut setengah mati. Namun
dengan gerakan aneh dan mustahil dapat dilakukan
oleh seorang jago silat biasa dia sudah liukkan tu-
buhnya ke belakang sambil berjumpalitan sela-
matkan diri dan Tapa Gedek masih sempatnya le-
paskan tendangan keras ke perut lawan.
Dess!
Tendangan itu tidak berakibat apapun bagi
Bayangan Maut. Dia tetap berdiri tegak tak bergem-
ing. Sebaliknya Tapa Gedek yang sudah berhasil se-
lamatkan diri diam-diam dibuat heran. Tendangan
yang dilakukannya tadi jelas mengenai perut lawan.
Tapi ada satu hal yang dirasakannya aneh. Meski-
pun tendangan tadi mengenai perut, tapi si kakek
tidak ubahnya seperti menghantam angin.
"Mungkinkah dia bukan manusia sungguhan.
Tubuhnya sangat lembut seperti kapas. Tendangan-
ku tidak berakibat apa-apa, begitu juga dengan pu-
kulan yang kulakukan. Sekarang apa dayaku...?!"
Tapa Gedek membatin dalam hati.
"Ha ha ha. Tapa Gedek, jika maut sudah da-
tang menjemput. Kemana badan hendak bersem-
bunyi lindungi nyawa? Begitu banyak orang yang
takut pada datangnya ajal, tapi jika akhir batas ke-
hidupan telah sampai tak seorangpun yang mampu
menundanya walau barang sedetik. Kakek tua, aku
yang meminta. Serahkan nyawamu sekarang juga!"
berkata begitu dengan kecepatan laksana angin ber-
hembus Bayangan Maut menyerbu ke depan. Karena
ujudnya merupakan sosok yang tidak wajar, hanya
dalam waktu sekejap dia telah sampai pada sasaran
yang dituju. Tapa Gedek yang sadar dengan keheba-
tan yang dimiliki lawan tidak tinggal diam. Diapun
melepaskan pukulan Tiga Topan Menggulung Bumi.
Akibatnya sungguh luar biasa. Deru angin
laksana topan melesat dari telapak tangan si kakek.
Membuat Bayangan Maut tersapu mental, dua kuda
penarik kereta terpelanting ke udara melesat dan ja-
tuh entah kemana. Tidak hanya sampai disitu saja,
pohon-pohon besar yang dilanda pukulan Tapa Ge-
dek berpelantingan tercabut sampai ke akar-akarnya
lalu melayang di udara kemudian jatuh di kejauhan
suara menggemuruh berkerosakan.
Sadar lawan sulit ditandingi, begitu melihat
Bayangan Maut jatuh berguling-guling, Tapa Gedek
segera balikkan tubuhnya. Kemudian tanpa menoleh
lagi dia langsung berkelebat tinggalkan lawannya.
Ketika Bayangan Maut bangkit berdiri dengan
tubuh tergontai-gantai dia tak melihat lawan masih
berada di tempatnya. Tapa Gedek yang sebelumnya
tak pernah dia duga memiliki ilmu setinggi itu sudah
lenyap seperti ditelan bumi.
"Kurang ajar. Tua bangka itu tak seharusnya
lolos dari tanganku. Baru kali ini Bayangan Maut
merasa kecolongan, gagal membunuh lawannya." ge-
rutu si nenek.
Masih kurang yakin lawannya benar-benar
sanggup meloloskan diri, Bayangan Maut mengo-
brak-abrik tempat di sekitarnya. Tapa Gedek yang
dia cari, si kakek yang dia inginkan nyawanya ter-
nyata tak ditemukan.
"Tua bangka itu memang berilmu tinggi.
Sayang urusanku tak bisa ditunda, aku harus ikut
menyaksikan pertempuran hidup matinya orang
yang memiliki ikatan darah. Kejadian yang telah ku-
susun puluhan tahun itu tidak boleh gagal. Aku in-
gin melihat kematian Angin Pesut. Aku ingin dia ma-
ti di tangan darah dagingnya sendiri!" kata Bayan-
gan Maut. Lalu tak lama kemudian sosok yang sela-
lu berubah-ubah ini dongakkan wajahnya ke langit.
Langit mulai gelap, si nenek keluarkan suara tawa
dan lolongan silih berganti. Setelah itu secara perla-
han sosoknya pun diselimuti kabut, kemudian ka-
but membubung tinggi lalu lenyap di udara. Bersa-
ma lenyapnya kabut itu, maka sosok si nenek hilang
raib tak berbekas.
Angin dingin berhembus dan kegelapan me-
nyelimuti alam sekitar. Seiring dengan bergantinya
suasana maka serangga malam mulai bermunculan
menyanyikan senandung pilu menyedihkan.
12
Si gendut Gentong Ketawa ini melompat turun
dari ketinggian pohon yang tadi dijadikan tempat
bersembunyi. Setelah gadis beracun bernama Indah
Sari Purnama pergi meninggalkan Setan Satu, si
gendut segera menghampiri Setan Satu yang dalam
keadaan terkapar, tulang pinggang remuk dan nafas
megap-megap.
Begitu mendengar suara langkah kaki, Setan
Satu sekaligus merupakan murid Si Pengemis Nya-
wa dengan tubuh lemah Setan Satu berusaha pa-
lingkan kepala memandang ke arah orang yang da-
tang.
Karena pemandangan matanya agak mengabur di samping kepalanya mendenyut sakit, Setan
Satu tak dapat melihat orang yang datang secara je-
las. Barulah setelah orang itu bergerak mendekati
dan berdiri tegak dekat kepalanya dia melihat satu
sosok gendut besar luar biasa. Sosok seorang kakek
berhidung pesek berpipi tembem. Bibirnya selalu
tersenyum riang ceria.
Setan Satu kerutkan keningnya, otak berusa-
ha keras untuk mengingat sekaligus mengenali siapa
adanya kakek ini. Setelah agak lama, barulah inga-
tan dan jalan pikirannya seolah terbuka.
Diapun tercekat dan jadi merutuk dalam hati.
"Kakek ini, bukankah dia Gentong Ketawa
yang oleh Empu Barada Sukma aku diperintahkan
untuk meringkusnya hidup atau mati?! Sialan! Men-
gapa dia muncul di saat diriku berada dalam kea-
daan seperti ini?" kata Setan Satu. Kemudian dia
berkata lagi. "Mudah-mudahan dia tidak tahu siapa
adanya diriku ini. Dia bisa menghabisiku jika sam-
pai tahu aku adalah orang yang diutus Empu Bara-
da untuk menangkapnya!"
Setan Satu pejamkan matanya. Dia menge-
rang tak berkeputusan. Si kakek yang tadinya me-
nyaksikan apa yang terjadi di tempat itu tersenyum
sambil elus-elus janggutnya yang cuma beberapa
lembar. Kemudian dengan ramah dan setengah ber-
gurau dia ajukan pertanyaan. "Anak muda apa se-
benarnya yang telah terjadi dengan dirimu. Aku me-
lihat kau sangat menderita sekali! Kalau saja ada
yang dapat kulakukan untuk meringankan beban
penderitaanmu...!" Setan Satu buka matanya. Dia
pandangi Gentong Ketawa. "Seandainya saja aku
dapat minta tolong kepadanya. Begitu sembuh dengan mudah aku pasti dapat meringkusnya." fikir
pemuda itu. "Orang tua, seseorang telah mencede-
raiku begini rupa. Tulang punggungku berpatahan.
Kalau boleh aku meminta, tolonglah aku." kata si
pemuda.
Si kakek bersungut-sungut, pura-pura meme-
riksa lalu berkata dengan nada prihatin. "Ah kasi-
han sekali. Engkau ini pemuda aneh, wajahmu ber-
sisik tangan juga bersisik sampai sebatas siku. Se-
belum aku menolong dapatkah kau mengatakan pa-
daku, dirimu ini turunan manusia atau ular?"
"Herh...herr...!" Setan Satu keluarkan suara
erangan. Dengan nafas megap-megap dia menjawab.
"Kakek gendut, aku... aku turunan manusia. Ibuku
manusia, ayahku ular. Aku... aku sudah tak sang-
gup lagi."
"Melihat keadaanmu rasanya aku tak sang-
gup menolongmu. Kau mengatakan tulang pung-
gungmu patah. Sayang aku bukan dukun patah tu-
lang. Bagaimana jika kusambung tulangmu yang pa-
tah dengan bambu?" tanya si kakek.
Setan Satu tentu saja jadi melengak menden-
gar ucapan Gentong Ketawa.
"Kek... kakek apa maksudmu?" tanya si pe-
muda. Dia nampak gugup juga panik.
Si gendut umbar tawanya sampai perutnya
yang besar bergoyang-goyang. Tak lama kemudian
begitu tawanya terhenti dia berkata." Maksudku? Ah
masa' kau tidak tahu. Bukankah kau mengaku ber-
gelar Setan Satu? Bukankah kau tengah mencari
seorang buronan bernama Gentong Ketawa?" sindir
si kakek. Pucatlah wajah Setan Satu. "Kk... kau...
apakah kau yang bernama Gentong Ketawa?" tanya
Setan Satu dengan suara tercekat.
"Ha ha ha. Benar... akulah Gentong Ketawa.
Kakek tolol yang kau sebut-sebut sebagai buronan."
"Ah...!" Setan Satu keluarkan keluhan terta-
han.
"Mengapa? Kau kaget? Kudengar kau menga-
takan dirimu ini adalah utusan Empu Barada Suk-
ma. Apakah betul?"
"Kakek gendut, memang aku utusan Empu
itu." kata si pemuda berterus-terang.
"Bagus. Jika begitu aku ingin ajukan perta-
nyaan, apakah kau tahu silang sengketa apa yang
terjadi antara diriku dengan Empu itu?" tanya si ka-
kek.
"Menurut Empu Barada, kau adalah manusia
paling keji yang pernah membuat sengsara pendu-
duk sekadipaten." kata Setan Satu.
Mendengar kata-kata yang diucapkan pemu-
da itu, meledaklah tawa si kakek.
"Benar rupanya kata orang, lidah tidak bertu-
lang. Dengan mudahnya orang memutar balik fakta
dan kenyataan. Empu Barada Sukma, jika umurku
panjang akan kucari dirimu, lalu kupotong lidahmu.
Kau jelas-jelas berusaha menutupi kesalahanmu
sendiri." ujar si kakek sambil menahan kegeraman-
nya.
"Setan Satu. Ketika silang sengketa itu terjadi
mungkin kau masih berupa air. Kau tak tahu keja-
dian yang sesungguhnya. Sebenarnya aku ingin me-
lampiaskan kekesalan hatiku padamu. Tapi mengin-
gat cidera berat yang kau alami, aku masih mau
memberi maaf. Silakan kau kembali, temui Empu
keparat itu, katakan padanya jika dia ingin membunuhku silakan suruh dia datang sendiri menemui-
ku!"
"Orang tua, tak mungkin...!" ujar Setan Satu.
"Mengapa tak mungkin??" tanya si kakek.
"Bukankah aku telah memberimu kesempa-
tan hidup?"
"Aku tidak mungkin kembali berhampa tan-
gan!" kata pemuda itu.
"Kurang ajar keparat. Membawa diri sendiri
kau belum tentu sanggup, konon kau berniat mem-
bawa diriku. Dengan apa diriku hendak kau bawa?
Dengan berkuda atau dengan kau dukung di pung-
gungmu yang patah?!"
"Kakek gendut kau...?" Setan Satu belalakan
matanya.
"Ya, aku menyerahkan diri padamu agar ha-
timu menjadi puas. Sekarang kau bangkitlah, bawa
aku kehadapan Empu Barada Sukma!" seru si Gen-
tong Ketawa.
Setan Satu sangat gembira sekali. Seakan lu-
pa dengan cidera yang dialaminya dia mencoba
bangkit. Namun tiba-tiba dia teringat sesuatu. Da-
lam keadaan menderita sakit begitu rupa mana
mungkin baginya dapat membawa si gendut.
"Kurasa lebih baik kuhabisi saja dia di tempat
ini agar aku tak repot membawanya kehadapan Em-
pu Barada Sukma!" berfikir begitu Setan Satu diam-
diam mengambil senjata rahasianya berupa seekor
ular berwarna kuning. Ular sebesar kelingking ini
kemudian disambitkannya ke arah si gendut. Meli-
hat ini si kakek tentu saja terkejut bukan main.
Dengan cepat dia kibaskan tangannya ke arah ular
yang setiap gigitannya mengandung racun mematikan itu.
Angin keras yang melesat dari telapak tangan
si kakek membuat senjata rahasia yang disam-
bitkan Setan Satu berbalik.
Setan Satu tercekat begitu melihat senjata
rahasianya melesat kembali ke arahnya dengan ke-
cepatan berlipat ganda. Tanpa sempat mengelak lagi
ular kuning itu menghantam dada, tembus ke jan-
tung. Setan Satu melolong panjang, tubuhnya
menggelepar. Dalam waktu singkat seluruh badan-
nya berubah membiru dan dia tewas detik itu juga.
"Kurang ajar, dikasih hidup malah hendak
merampas nyawa orang!" dengus si gendut.
"Sebaiknya kususul saja gadis tadi!" kata si
kakek lagi.
13
Angin Pesut alias Iblis Tujuh Rupa Delapan
Bayangan berlari kencang laksana dikejar-kejar se-
tan. Semula dia yang berniat mencari anak satu-
satunya begitu sampai di Wates tiba-tiba berhenti di
sebuah pemakaman yang sudah tidak terurus. Ka-
kek beralis dan berambut merah itu memandang ke
satu pohon beringin putih yang terdapat di sudut
sebelah kiri makam. Kemudian berjalan gontai
menghampiri kubur yang terdapat di bawah pohon
beringin itu.
Sampai di bawah pohon beringin si kakek
hentikan langkah. Perhatiannya tertuju pada batu
nisan dimana di atas batu itu tertera nama orang
yang terkubur di makam itu.
Paladirja!
Nama itu sempat terbaca oleh Angin Pesut.
Membuat si kakek ingat pada kejadian sepuluh ta-
hun yang lalu. Paladirja adalah kakek sakti pencipta
ilmu Menyusup Bumi. Sepuluh tahun yang lalu An-
gin Pesut pernah menemui orang tua itu dengan niat
agar Paladirja bersedia mengajarkan ilmu Menyusup
Bumi kepadanya. Tapi orang tua itu memberikan sa-
tu syarat. Syarat yang tidak mungkin dipenuhi oleh
si kakek, sampai akhirnya terjadi pertarungan sengit
yang berakhir dengan kematian Paladirja.
Kini si kakek berdiri mematung, kepala ter-
tunduk, sedangkan matanya nampak berkaca-kaca.
Nampak jelas dia tengah berusaha menahan gun-
cangan batin serta rasa kesal yang tiada tara.
"Paladirja, maafkan segala khilap dan salah-
ku. Sama sekali aku tidak bermaksud membunuh-
mu. Kau terlalu memaksaku, namun sayang aku tak
dapat memenuhi segala keinginanmu!" ujar si kakek
dengan suara bergetar.
"Agaknya kini aku harus menanggung segala
akibat yang mestinya tidak perlu terjadi. Mungkin
segala rasa penyesalan itu datangnya sudah sangat
terlambat. Sahabat... kurasa akulah orang yang pal-
ing celaka di dunia ini. Dalam sisa hidupku aku ti-
dak rasakan ketenteraman lagi. Aku seperti dikejar-
kejar dosa!"
Beberapa saat kemudian si kakek terdiam.
Dia memandang ke arah nisan dengan tatap mata
menerawang kosong.
Lalu Angin Pesut maju satu langkah, tangan
terjulur bermaksud menyentuh kepala makam. Tapi
mendadak sontak tanpa pernah terduga tanah dis-
ekitar pemakaman itu bergetar keras diselingi dengan suara berderak-derak aneh seakan ada sesuatu
yang bergerak-gerak di bawah sana.
Si kakek tarik balik tangannya yang hendak
menyentuh kepala nisan. Dengan perasaan heran
dia pandangi tanah pemakaman yang terdapat di
sekitarnya. Ternyata guncangan semakin menghe-
bat, membuat Angin Pesut semakin kaget.
Mengira para penghuni kubur bangkit dari
kematiannya, dengan cepat kakek ini melesat ting-
galkan makam yang disambanginya. Kemudian di
lain saat dia telah jejakkan kakinya di luar tanah
pemakaman. Akan tetapi baru saja kakinya menyen-
tuh tanah. Sejarak satu tombak di depannya men-
dadak tanah rengkah terbelah. Dari balik tanah
yang terkuak menganga melesat dua bayangan ber-
turut-turut. Bayangan pertama berpakaian serba hi-
tam, sedangkan bayangan kedua berpakaian serba
putih. Angin Pesut dalam, kagetnya tersurut mun-
dur dua langkah. Cepat sekali dia memandang ke
depan. Kakek ini lebih kaget lagi ketika melihat di
depannya sana berdiri tegak dua sosok tubuh. Yang
satu adalah seorang gadis cantik berpakaian serba
putih, rambut panjang terurai. Sedangkan satunya
lagi adalah sosok seorang nenek angker. Bagian wa-
jahnya nampak rusak dipenuhi bekas luka, gigi ber-
taring, lidah terjulur. Hidung Sumplung, telinga le-
nyap entah kemana, dadanya berlubang. Kaki runc-
ing berbentuk kaki kuda sedangkan bagian ujung-
nya runcing seperti mata tombak.
"Nenek Palasik?!" desis Angin Pesut begitu
mengenali wajah dan penampilan orang. Terkecuali
gadis yang tidak dikenal oleh Angin Pesut. Nenek itu
tertawa dingin menyeramkan.
"Kk... kau rupanya telah menguasai ilmu Me-
nyusup Bumi?" kata kakek itu lagi. Nenek angker ini
kembali perdengarkan suara tawa bergelak. Dia ke-
mudian memandang pada Angin Pesut dengan tatap
matanya yang belok lebar. "Angin Pesut... makam
siapa yang kau jambangi. Makam Paladirja?" si ne-
nek ajukan pertanyaan.
Di sampingnya gadis berpakaian serba putih
yang bukan lain adalah Mutiara Pelangi murid ne-
nek itu sendiri dengan suara perlahan bertanya.
"Guru siapakah kakek aneh itu?"
Tanpa memandang pada sang murid nenek
Palasik menjawab. "Dialah Angin Pesut, Iblis Tujuh
Rupa Delapan Bayangan yang kesohor itu. Dia pula
yang telah membunuh uwa gurumu Paladirja."
"Memang benar aku sedang menyambangi
kubur Paladirja sahabatku." terdengar suara perla-
han Angin Pesut.
Nenek Palasik umbar tawanya.
"Setelah kau bunuh dia secara keji, masihkah
kau mengaku dia sahabatmu. Tua bangka tak tahu
diri, bukankah sepuluh tahun yang lalu kau datang
padanya, mengemis ilmu Menyusup Bumi. Lalu ke-
tika kakangku tak memberikannya kau langsung
membunuhnya?!"
Angin Pesut tersenyum tipis. "Tidak begitu ce-
ritanya, Palasik. Benar aku minta diajarkan ilmu
Menyusup Bumi. Betul kuakui aku membujuknya.
Tapi ketika dia mengajukan satu syarat, aku kebera-
tan. Kemudian kubatalkan niatku untuk memiliki
ilmu itu karena aku tak sanggup memenuhi persya-
ratan yang diajukannya." jawab si kakek.
Mata belok nenek Palasik mendelik besar.
"Satu syarat...? Syarat apa...?" hardik perempuan itu
sengit.
"Dia meminta jika aku ingin mendapatkan il-
mu itu, aku diharuskan menikahimu! Terus-terang
aku menolak, karena aku merasa tak sanggup men-
jalaninya. Tapi dia rupanya tersinggung. Penolakan-
ku dianggapnya sebagai suatu penghinaan. Kemu-
dian dia menyerangku. Begitulah kenyataan yang
sebenarnya!"
Si nenek terdiam, mulutnya seolah terkunci.
Pelipisnya bergerak-gerak, pipi menggembung se-
dangkan tubuhnya bergetar menahan amarah. Den-
gan suara keras dia berteriak. "Manusia penipu, tu-
kang fitnah keji. Aku tahu kakangku bermaksud
membuat aku bahagia, tapi apakah kau mengira
aku suka denganmu? Manusia jahanam. Aku me-
nyadari cacat diriku sepenuhnya, aku juga tidak
pernahi bermimpi hidup bersama dengan dirimu!"
"Palasik. Aku bicara apa adanya."
"Persetan dengan omong kosongmu!" teriak si
nenek gusar.
"Palasik, maafkanlah diriku. Pada saat itu
aku terpaksa melawannya kalau tidak aku yang ter-
bunuh!" ujar si kakek pelan.
"Minta maaflah pada setan di neraka."
"Aku mohon pengertianmu. Beri aku kesem-
patan untuk menebus dosa kesalahan yang pernah
kulakukan!"
"Pengertian? Pengertian apa. Apakah jika aku
memberimu maaf, lalu saudaraku dapat hidup kem-
bali?" tanya si nenek dengan mata mendelik.
"Belum pernah aku mendengar ada orang ma-
ti bisa hidup kembali." kata si kakek pasrah.
"Itu berarti kau berhutang padaku."
"Hutang? Apa maksudmu?" tanya si kakek.
"Kau berhutang nyawa padaku dan hanya da-
pat ditebus dengan nyawamu pula!" kata nenek Pa-
lasik.
Mendengar ucapan orang tua itu, Angin Pesut
tertawa tergelak-gelak. Beberapa saat kemudian ta-
wa Angin Pesut lenyap. Kemudian dia berkata.
"Kau menginginkan nyawaku? Akh... kebetu-
lan sekali. Sudah lama aku ingin mati. Tapi sayang
malaikat maut rupanya masih belum bersedia men-
jemputku. Sekarang lakukanlah. Tapi ingat, karena
aku merasa tidak bersalah. Maka aku hanya mem-
berimu kesempatan sepuluh jurus. Jika setelah se-
puluh jurus kau tak mampu membunuhku, aku
pasti akan melakukan perlawanan!" tegas si kakek.
Nenek Palasik semburkan ludah diatas tanah.
"Aku tak memerlukan waktu selama itu kalau
cuma ingin membunuhmu. Cukup lima jurus jiwa-
mu pun melayang!" kata perempuan itu sinis.
"Baiklah, permintaanmu kululuskan. Tapi sa-
tu hal yang harus kau ingat, kakangmu tewas bukan
karena kesalahanku. Dia terlalu memaksa dan per-
kelahian yang terjadi diantara kami berlangsung
dengan sangat adil!" jelas Angin Pesut.
"Mungkin aku dapat menerima pengakuanmu
jika nanti kau sudah terbunuh di tanganku!" kata si
nenek.
Perempuan angker itu lalu berpaling pada
muridnya. Kepada sang dara dia berpesan.
"Pelangi, jangan kau campuri urusan kami.
Apapun yang terjadi nanti pada diriku tak usah kau
sesali. Kau menyingkirlah! Cari tempat yang aman!"
Meskipun merasa berat hati Pelangi terpaksa
turuti perintah gurunya. Dia menyingkir di bawah
pohon besar, tegak disana sambil mengawasi.
Dalam kegelisahannya memikirkan keselama-
tan sang guru, dalam hati sang dara berkata. "Angin
Pesut, konon manusia keji paling terkutuk di dunia
persilatan. Tapi mengapa kulihat dia seperti berasal
dari kalangan baik-baik. Tutur katanya begitu so-
pan, tidak ada amarah terlihat di wajahnya, walau
guru memakinya dengan kata-kata menyakitkan!"
batin sang dara.
Sementara itu nenek Palasik tanpa mem-
buang waktu lagi diiringi satu teriakan melengking
tinggi langsung menerjang ke arah lawannya. Seperti
yang mereka sama sepakati tadi, dalam waktu sepu-
luh jurus Angin Pesut sama sekali tidak melakukan
perlawanan. Hal ini tentu membahayakan keselama-
tan dirinya. Karena seperti diketahui, nenek Palasik
adalah salah satu tokoh beraliran hitam dan putih
berpendirian mendua yang memiliki kesaktian san-
gat tinggi. Bahkan sepuluh tahun dia menggembleng
diri lahir batin demi untuk membalaskan kematian
saudaranya. Karena dia sadar, Angin Pesut adalah
manusia yang memiliki segala ilmu segala kepan-
daian.
Tak pelak lagi dalam gebrakan pertama yang
tanpa perlawanan ini nenek Palasik berhasil menye-
rangkan sepuluh kuku jemarinya yang hitam pan-
jang beracun.
Wajah si kakek hancur seketika, darah men-
gucur dari sepuluh luka yang mendera bagian wa-
jahnya. Masih beruntung Angin Pesut kebal terha-
dap serangan beracun sampai pada tingkatan tertentu. Dan racun yang terkandung pada sepuluh
kuku si nenek belum sampai pada tingkat yang
membahayakan keselamatan jiwanya.
Kakek itu terhuyung. Sepuluh luka di wajah
secara aneh bertautan kembali begitu Angin Pesut
menyeka wajahnya. Nenek Palasik tentu saja menja-
di kaget. Tapi kemudian dia menggebrak lagi, kali ini
dengan kecepatan luar biasa yang diserangnya ada-
lah bagian perut, sedangkan yang dipergunakannya
adalah jurus 'Sepuluh Tombak Kaki Kuda Menghan-
tam Karang'. Akibat yang ditimbulkannya sungguh
luar biasa sekali. Sepasang kakinya mendadak son-
tak berubah menjadi sepuluh bayangan. Menghan-
tam sekujur tubuh si kakek depan belakang dengan
kecepatan sulit diikuti kasat mata. Bersamaan den-
gan serangan Maha ganas yang dilancarkan nenek
itu, maka terdengar pula suara seperti daging tubuh
dicabik-cabik mata tombak.
Ketika lawan melompat mundur untuk meli-
hat apa yang telah dilakukannya. Angin Pesut nam-
pak jatuh terduduk. Sekujur tubuhnya dipenuhi lu-
bang menganga. Darah bersimbah membasahi pa-
kaiannya. Kakek itu mengernyit kesakitan.
Pelangi palingkan muka memandang ke juru-
san lain tak tega melihat keadaan dan penderitaan si
nenek yang menyedihkan itu.
Seperti luka di wajah, begitu Angin Pesut me-
nyeka luka-luka menganga di sekujur tubuhnya, lu-
ka itu seketika bertautan kembali. Terhuyung-
huyung Angin Pesut berdiri tegak.
Dia memandang ke depan. "Tujuh jurus kau
telah menyerangku. Masih ada tiga jurus lagi yang
harus kau selesaikan. Jika lewat dari sepuluh jurus
maka aku pasti melawanmu!" kata si kakek dengan
suara perlahan penuh kesabaran.
"Keparat tengik. Kau mengandalkan ilmu se-
tan untuk menghadapiku!" maki si nenek. Dalam
hati dia merasa malu sendiri, karena tadi dia sempat
sesumbar mau menghabisi Angin Pesut dalam lima
jurus.
"Ilmuku memang kebanyakan ilmu sesat, Pa-
lasik. Kau harus maklum karena aku mendapatkan
kitabnya pun dari hasil mencuri!"
Nenek itu tidak menjawab. Dia katubkan mu-
lutnya. Otaknya diputar hingga dia menemukan ca-
ra. Mungkin Angin Pesut cuma dapat dibunuh bila
lukanya tidak dapat bertaut kembali. Dengan begitu
dia akan kehilangan banyak darah. Ini sama artinya
dia harus membuntungi kedua tangannya.
"Tua bangka... lihatlah kemari!" seru lawan-
nya. Begitu Angin Pesut memandang ke depan, ta-
hu-tahu si nenek sudah berkelebat lenyap seolah
tubuhnya berubah menjadi bayangan. Beberapa kali
laksana setan gentayangan perempuan itu mengitari
tubuh lawan. Setelah itu dua kakinya menyambar
bahu kanan dan bahu kiri si kakek.
Cras! Craas!
Pluk!
Laksana diterabas pedang kedua tangan si
kakek terbabat putus oleh kaki kuda berujung tom-
bak si nenek. Darah menyembur, Angin Pesut melo-
long kesakitan. Dua potongan tangan jatuh bergede-
bukan di bawah kaki si kakek malang. Sungguh
mengerikan sekaligus menyedihkan keadaan kakek
ini. Nenek Palasik tertawa puas melihat apa yang di-
lakukannya. Namun perempuan itu mendadak kaget, wajahnya berubah menjadi pucat. Dengan mata
melotot tak percaya dia pandangi potongan tangan
lawan yang kini telah melesat ke atas bahu dan me-
nyatu dengan bahunya.
"Sepuluh jurus percuma telah terlewati. Ma-
sih ada kesempatan bagimu untuk meninggalkan
tempat ini. Jika kau tetap menyerangku, maka da-
lam jurus selanjutnya aku terpaksa melawanmu!"
kata Angin Pesut.
"Jahanam! Lawanlah aku. Ingin kulihat dalam
perlawananmu kau sanggup mempertahankan diri!"
Si nenek lalu sunggingkan seringai mengejek. Dia
keluarkan bentakan keras, tubuhnya kembali berke-
lebat lenyap. Masih dengan serangan tangan berupa
pukulan ganas yang dapat menghanguskan apa saja
nenek Palasik menyerang lawannya.
Yang diserang berkelebat ke udara, sosoknya
terus melesat membubung tinggi. Empat serangan
ganas lawan tidak mengenai sasaran. Serangan kaki
menghantam batu nisan, batu itu hancur berkeping-
keping. Sedangkan pukulan yang dilepaskan perem-
puan itu menghantam pohon di seberang makam.
Pohon hancur berderak lalu tumbang, bekas yang
terkena pukulan dikobari api. Si nenek mendengus,
hatinya penasaran. Dia pun jejakkan kaki hingga
kini tubuhnya melesat cepat ke udara mengejar ke
arah lawan. Pelangi yang menyaksikan semua itu
dibuat tercekat. Seumur hidup dia belum pernah
menyaksikan pertarungan hidup mati yang demikian
hebat. Dan yang lebih membuat sang dara tambah
tercengang. Baik gurunya maupun Angin Pesut yang
kini terlibat pertarungan dalam ketinggian itu tak
terlihat sama sekali. Mereka berubah menjadi
bayangan.
Bentakan dan pukulan yang bertemu mengge-
legar di udara, membuat pengang telinga. Pelangi
terpaksa tutupi kedua telinganya. Sementara itu di-
atas ketinggian, baik Angin Pesut dan lawannya sa-
ma melepaskan serangan mautnya. Beberapa kali
tendangan yang dilakukan nenek Palasik berhasil
dimentahkan oleh si kakek. Tapi tak urung telapak
tangan si kakek yang dipergunakan untuk menang-
kis robek besar mengucurkan darah tersambar tom-
bak di ujung kaki nenek Palasik. Tanpa menghirau-
kan luka yang bertaut kembali. Kakek itu menghan-
tam lawan dengan pukulan Iblis Berkejaran Di Da-
lam Kuil. Tapi pada saat yang sama begitu kedua
tangan kakek itu didorong ke depan, lawan mem-
barenginya dengan pukulan 'Prahara Melanda Bu-
mi'.
Diekh...!
Duuk!
Bentrokan tenaga sakti yang sangat tinggi
mengepulkan asap hitam disertai pijaran bunga api.
Dua sosok tubuh sama terlempar ke belakang. Lalu
mereka sama bergulingan di udara, kemudian me-
luncur ke bawah. Nenek Palasik jatuh bergedebu-
kan. Sedangkan Angin Pesut dengan gagahnya dapat
jejakkan kakinya di atas tanah.
Nenek Palasik menggerung, tangannya yang
berbenturan dengan tangan lawan bengkak meng-
gembung seperti ada tulangnya yang remuk di ba-
gian dalam. Sedangkan dari sudut bibir nenek ini
meneteskan darah kental. Perempuan itu seka darah
di mulutnya, sambil keluarkan suara menggembor
dia meninju tanah di hadapannya. Seketika sosok
nenek itu amblas lenyap di dalam bumi.
"Ilmu Menyusup Bumi...!" desis Angin Pesut
menyebut ilmu yang dipergunakan oleh lawannya.
Diapun bersikap waspada. Sementara pada saat itu
tanah di bawah sepertinya ada angin terdengar ber-
gemuruh. Begitu si kakek memandang ke bawah,
tanah terbelah. Merekah. Kemudian ada tangan me-
nyambar kakinya. Si kakek kerahkan tenaga dalam
untuk menarik kakinya. Tapi satu sentakan yang
luar biasa hebat malah membuat Angin Pesut am-
blas ke dalam tanah, lalu lenyap dari pandangan
mata.
Di dalam tanah terdengar suara bergedebu-
kan seperti orang menggebuki anjing yang hendak
dipotong. Terdengar pula lolongan tangis si kakek.
Lalu permukaan tanah nampak bergejolak hebat.
Rupanya Angin Pesut yang sempat diseret lawan ke
dalam tanah meronta-ronta. Selanjutnya ada leda-
kan-ledakan mengerikan disertai kobaran api yang
muncul dari dalam tanah. Setelah itu tanah ter-
bongkar. Angin Pesut melesat keluar dengan pa-
kaian dan tubuh tercabik-cabik tak karuan.
Apa sebenarnya yang terjadi. Kiranya ketika
nenek Palasik dengan ilmu Menyusup Bumi berhasil
menyeret lawan ke dalam tanah. Dengan leluasa dia
menghajar Angin Pesut. Sepuluh kukunya mencabik
dada, wajah dan perut lawan hingga ke kaki. Angin
Pesut tentu dibuat tak berdaya karena dia tidak
memiliki ilmu sejenis. Hanya dalam waktu singkat
dia menjadi bulan-bulanan lawan. Si kakek yang ter-
luka parah merasakan penderitaan sakit yang luar
biasa. Pada saat dia tersakiti seperti itu, maka seca-
ra alamiah, ilmu liarnya yang bernama ilmu Ratap
Langit bekerja dengan sendirinya menghantam si
nenek hingga perempuan itu mencelat entah kema-
na, kemudian sebagian reaksi ilmu itu bermunculan
ke permukaan tanah berupa letupan lidah api yang
membakar. Dengan bantuan ilmunya itu pula Angin
Pesut dapat menyelamatkan diri dari dalam tanah.
Kini si kakek tegak berdiri dengan pakaian
tak karuan rupa, si kakek bahkan nyaris bugil. Na-
mun luka-luka di tubuhnya sebagaimana yang ser-
ing terjadi telah bertautan kembali. Dia hanya men-
galami guncangan yang hebat pada bagian dalam
dada. Di tempat lain di samping si gadis tanah juga
terbelah. Kemudian muncul satu kepala serta wajah
si nenek yang sudah babak belur penuh luka. Salah
satu tangannya menggapai, dilambaikan pada Pe-
langi yang kebingungan mencarinya karena tadi
sang guru tidak kunjung muncul.
"Guru... kau...!" hanya suara itu yang keluar
dari bibir bagus sang dara.
"Muridku. Kita tinggalkan tempat ini. Guru-
mu ini sudah babak belur, butuh waktu untuk me-
mulihkan diri. Angin Pesut bukan manusia lagi,
mungkin dia sudah jadi kakeknya gondoruwo. Aku
tak sanggup menandinginya. Cepat pergunakan ilmu
Menyusup Bumi, ikuti aku." perintah si nenek den-
gan nafas kembang kempis.
Pelangi melongo. "Mengapa dengan cara me-
nyusup, guru. Bukankah kita dapat berjalan seperti
biasa di atas tanah?" tanya sang dara heran.
"Murid kurang ajar. Kita datangnya boleh be-
gitu, sambil membusungkan dada seperti jangan tak
tertandingi. Sekarang gurumu ini sudah keok, su-
dah kalah. Aku bahkan merasa kehilangan muka,
malu dilihat tua bangka itu. Padahal muka yang ada
sudah tak karuan, lalu kini tambah tak karuan
ujud. Ayo cepat kita minggat dari tempat ini. Datang
seperti dewa, dan kini harus pergi seperti pencuri.
Lewat jalan bawah...!"
"Ah, guru kau ternyata sangat menderita se-
kali." kata Pelangi merasa iba dan cepat lakukan apa
yang diperintahkan gurunya.
"Aku menderita lahir batin, muridku. Aku ju-
ga kalah luar dalam dan atas bawah. Hiik...!" sahut
si nenek disertai suara seperti tercekik. Lalu terden-
gar suara gemuruh yang makin lama makin men-
jauh, akhirnya lenyap dari pendengaran.
Angin Pesut tidak mengejar. Dia cuma berdiri
tegak memperhatikan gerakan di permukaan tanah.
Lalu sambil dekap dadanya yang berdenyut si kakek
balikkan badan, melangkah perlahan dengan wajah
murung dan pikiran kusut.
TAMAT
SEGERA TERBIT
GELOMBANG NAGA







0 komentar:
Posting Komentar