..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 12 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PENDEKAR GILA

matjenuh

 

PENDEKAR 
GILA
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: Pendekar Gila 
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Matahari semakin bergeser ke ufuk Barat. An-
gin senja yang membawa udara dingin berhembus ke-
ras dan menggugurkan daun-daun kering. Sesekali 
terdengar suara pepohonan berderak ribut. Sepertinya 
hembusan angin itu hendak mencabut pepohonan 
yang akarnya terhunjam di dalam tanah.
Meskipun suasana alam di Puncak Gunung 
Tambak saat itu cukup mengerikan, namun dua sosok 
tubuh yang saling berhadapan dalam jarak tiga tom-
bak itu tidak mempedulikannya sama sekali. Mereka 
tetap tegak, dan saling pandang dengan sorot mata ta-
jam. Melihat dari sikap dan cara mereka bertatapan, 
jelas keduanya bukanlah dua sahabat Bahkan kedua-
nya tampak siap untuk saling menyerang.
Sosok pertama bertubuh sedang dan tegap. So-
rot matanya terlihat begitu dingin dan kosong. Sedang 
raut wajahnya yang tampan itu, nampak agak pucat 
tanpa perasaan. Namun, penampilannya sangat angker 
dan memancarkan perbawa aneh.
Sementara sosok kedua bertubuh jangkung dan 
agak bungkuk. Kumis dan jenggotnya berwarna putih 
keperakan, jelas kalau usianya telah lebih dari enam 
puluh tahun. Walaupun begitu, sikapnya terkesan le-
bih angker dari lelaki muda di depannya. Bahkan, ka-
lau melihat dari raut wajah dan sorot matanya, kakek 
bungkuk itu mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki 
sosok di hadapannya. Yaitu, kelembutan dan kesaba-
ran yang terpancar dari wajahnya. Dan, bersikap lebih 
tenang daripada lelaki muda di depannya.
"Anak muda..," ujar kakek bungkuk itu mem-
buka percakapan.

Lelaki muda itu berdiri tenang. Hanya sepasang 
matanya menatap tajam ke arah lelaki tua itu
"Siapakah kau sebenarnya? Dan, apa tujuanmu 
datang ke tempatku yang sunyi dan terpencil ini...?" 
tanyanya sambil meneliti sosok pemuda di depannya 
dengan kening agak berkerut
"Aku datang hendak mencabut nyawamu...," 
jawab pemuda tampan berwajah kepucatan Itu dengan 
suara berat dan dalam. Kemudian, kedua kakinya me-
langkah mendekat. Dan, jarak di antara mereka sema-
kin dekat
"Tunggu...!" seru kakek bungkuk Itu mengulur-
kan tangan kanannya mencegah langkah pemuda 
tampan itu.
Lelaki muda itu menghentikan langkahnya se-
jenak, tanpa berkata-kata.
"Sahabat muda, siapakah yang kau cari sebe-
narnya? Apakah kau yakin tidak salah alamat..?"
"Aku tidak peduli siapa pun kau...!" sahut pe-
muda tampan berwajah kepucatan itu dengan nada 
dingin menggetarkan.
Kakek bungkuk itu tersenyum. "Saat ini yang 
ada dalam pikiranku, mencabut nyawamu secepatnya," 
jelas pemuda itu dengan wajah dingin tanpa emosi.
"Hm..., sombong sekali kau, Anak Muda! Apa-
kah kau pikir mencabut nyawaku semudah mencabut 
rumput di bawah kakimu?" sergah kakek tua yang 
mengaku berjuluk Dewa Bungkuk.
"Ha ha ha... Sial sekali nasibmu. Dewa Bung-
kuk. Di masa tuamu ternyata kau tetap tidak bisa ter-
lepas dari kekerasan," tawa pemuda tampan berwajah 
pucat itu. Ada nada sesal dan kekecewaan dalam uca-
pan dan tawanya.
Kakek tua bertubuh jangkung dan agak bung

kuk Itu memang seorang tokoh persilatan golongan 
atas, yang telah lama mengundurkan diri. Sudah sepu-
luh tahun lebih, ia bertapa di Puncak Gunung Tamak 
sambil menanti maut menjemputnya. Siapa sangka ka-
lau maut yang disongsongnya datang dalam bentuk 
lain, yakni seorang pemuda, la tahu kalau kepandaian 
yang dimiliki pemuda berwajah kepucatan itu cukup 
tinggi dan berbahaya. Untuk menilai semua itu, Dewa 
Bungkuk tidak perlu melihat gerak lawan, tapi cukup 
melihat sorot mata lawan saja, kakek itu sudah dapat 
mengukur kekuatan lawannya. Satu hal yang tidak 
dimengerti olehnya. Kedatangan pemuda tampan ber-
wajah pucat itu, yang ingin mencabut nyawanya. Pa-
dahal, ia tidak pernah merasa berjumpa dengan pe-
muda tampan itu sebelumnya. Itulah yang membuat-
nya penasaran!
"Anak muda, sebutkanlah namamu dan orang 
tuamu. Mungkin, aku bisa mengetahui persoalan di 
antara kita," pinta Dewa Bungkuk dengan suara tegas 
dan berwibawa. Sepertinya kakek itu telah mengerah-
kan kekuatan batinnya untuk mengorek keterangan 
dari mulut pemuda tampan berwajah pucat itu.
Namun, Dewa Bungkuk tercekat ketika jawa-
ban yang diinginkannya, datang dalam bentuk lain. 
Pemuda tampan itu melesat seperti kilat dan langsung 
mengirimkan pukulan maut!
Wuuut.... Darrr...!
"Haiiit..!"
Dewa Bungkuk terkejut bukan main melihat se-
rangan lawannya yang tak terduga. Untunglah ia sem-
pat mengelakkan lontaran pukulan maut lawan, den-
gan berjumpalitan ke belakang beberapa kali. Sehing-
ga, ia berhasil menyelamatkan diri dari kematian
Kakek itu sempat bergumam ketika melihat ke

palan tangan pemuda itu menghantam batu sebesar 
perut kerbau. Dan batu itu pecah berhamburan men-
jadi kerikil-kerikil kecil.
"Gila...!" desis Dewa Bungkuk yang segera me-
nyiapkan jurus-jurus andalannya untuk memperta-
hankan nyawa.
"Haaat...!"
Rupanya Dewa Bungkuk tidak perlu menunggu 
lama. Begitu serangan pertamanya luput, pemuda 
tampan berwajah pucat itu kembali melesat dan men-
gejarnya!
Wuuut! Wuuut!
Angin keras yang berkesiutan berputaran men-
giringi serangan maut lawan. Dan, pukulan dahsyat itu 
selalu ditandai dengan suara mencicit tajam, setiap 
kali tangannya menyambar.
Sadar kekuatan tenaga dalam lawannya sangat 
tinggi. Dewa Bungkuk tidak mau bertindak tanggung-
tanggung lagi. Begitu serangan lawannya datang, lang-
sung disambutnya dengan jurus-jurus andalan yang 
dimilikinya dan pernah mengguncangkan dunia persi-
latan.
Meskipun ilmu itu sudah jarang dilatihnya, 
namun masih terlihat kedahsyatannya. Bahkan angin 
pukulan yang ditimbulkan, tidak kalah mengiriskan
dengan angin pukulan lawannya. Pertempuran di .atas 
Puncak Gunung Tambak itu semakin mendebarkan!
Puncak Gunung Tambak yang semula tenang 
dan damai itu, berubah menjadi arena pertarungan 
maut yang mengerikan. Tempat yang Indah itu menjadi 
porak-poranda akibat angin pukulan mereka. Kedua-
nya memang memiliki pukulan yang dahsyat dan Ja-
rang dimiliki tokoh-tokoh persilatan kebanyakan. Tak 
aneh kalau pertarungan mereka berdua masih terlihat

seimbang. Meskipun keduanya berusaha saling menja-
tuhkan lawan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Dewa Bungkuk semula tidak ingin mengguna-
kan jurus-jurus simpanannya dalam menghadapi pe-
muda tampan itu. Biar bagaimanapun sebagai tokoh 
tua, ia merasa segan menurunkan tangan maut kepa-
da lawannya. Apalagi usia lawan yang pantas menjadi 
cucunya itu, membuatnya merasa malu. Karena la ti-
dak ingin dunia persilatan mendengar ada seorang 
pemuda tewas akibat ilmu 'Telapak Tangan Mautnya
Tapi, pendirian Dewa Bungkuk berubah ketika 
melihat serangan-serangan lawannya makin bertam-
bah ganas dan berbahaya! Bahkan ketika pertarungan 
memasuki jurus keseratus. Dewa Bungkuk mulai ter-
desak oleh gempuran-gempuran lawannya yang datang 
bagaikan badai ombak lautan Itu. Beberapa kali kakek 
itu nyaris nyawanya melayang akibat desakan lawan 
yang ternyata memiliki kepandaian sangat tinggi Ku. 
"Haaat..!"
Pada suatu kesempatan, pemuda tampan ber-
wajah pucat itu mengeluarkan pekikan dahsyat dan
menggetarkan! Berbarengan dengan itu, tubuh pemu-
da berwajah pucat itu bergerak aneh dan hampir tak 
masuk di akal Dewa Bungkuk.
Bukan main kagetnya Dewa Bungkuk ketika 
melihat tubuh lawannya bagai timbul tenggelam itu. 
Terkadang tubuh lawannya lenyap begitu saja seperti 
ditelan bumi. Di lain saat, muncul kembali dalam jarak 
yang sangat dekat. Sehingga, mau tidak mau kakek itu 
menjadi kelabakan dibuatnya. Akibatnya...
Buggg...!
"Aaakk..!"
Dewa Bungkuk yang sempat terpaku melihat 
keanehan ilmu lawannya, tak dapat lagi menghindar

kan sebuah pukulan telapak tangan lawan yang 
menghantam di dada kirinya!
Tanpa ampun lagi, tubuh jangkung itu terlem-
par dua tombak jauhnya! Dan, kakek itu terus bergu-
lingan hingga satu tombak lebih!
"Huaaakh...!"
Segumpal darah kehitaman terlompat dari mu-
lut Dewa Bungkuk. Kakek itu terbatuk-batuk sambil 
menahan dadanya. Rasa nyeri yang menjalari dadanya 
tidak dipedulikan lagi, karena saat itu lawannya men-
girim kembali serangan yang disertai teriakan parau! 
Jelas, pemuda tampan itu hendak membuktikan uca-
pannya.
Meskipun hantaman telapak tangan lawan me-
nyebabkan luka dalam tubuhnya, namun Dewa Bung-
kuk tidak ingin pukulan lawan untuk kedua kali 
menghantamnya. Dengan sisa-sisa kekuatan, kakek 
tua itu melompat dan bergulingan menjauhi tempat 
itu!
Wuuus.... Blarrr...
Terdengar suara ledakan dahsyat ketika sepa-
sang tangan pemuda tampan itu menghantam tanah, 
tempat Dewa Bungkuk tergeletak! Dan akibat yang di-
timbulkannya benar-benar mengerikan sekali! Tanah 
tempat Dewa Bungkuk berdiri, berhamburan membuat 
suasana di sekitar arena pertarungan menjadi gelap 
seketika! Sebuah lubang sebesar kubangan kerbau 
tercipta, ketika suasana kembali terang.
"Gila...!" Dewa Bungkuk mendesis takjub ketika 
melihat akibat hantaman telapak tangan pemuda tam-
pan berwajah pucat itu. Kenyataan itu membuatnya 
sadar, kalau kematiannya memang sudah dekat.
Dewa Bungkuk semakin menyadari kedahsya-
tan ilmu dan tenaga sakti lawannya, la pun kembali

mempersiapkan ilmu-ilmunya. Meskipun belum dike-
tahui penyebab pemuda tampan itu ingin membunuh-
nya, namun Dewa Bungkuk tidak lagi memperduli-
kannya. Yang menjadi pikirannya hanyalah, bagaima-
na cara menundukkan pemuda tampan berwajah pu-
cat itu. Setelah bertarung lebih dari seratus jurus, ka-
kek itu sadar karena ia harus menggunakan 'Ilmu Te-
lapak Tangan Maut'nya, yang selama pertarungan dis-
impannya.
Dengan diiringi hembusan angin keras. Dewa 
Bungkuk merendahkan tubuhnya dengan posisi seten-
gah berjongkok. Sepasang tangannya dengan telapak 
terbuka, berputaran di kiri-kanan. Hawa panas pun 
mulai menyebar di sekitar arena pertarungan itu Inilah 
"Ilmu Telapak Tangan Maut' yang telah mengangkat 
namanya di gelanggang persilatan puluhan tahun itu.
Sementara pemuda tampan berwajah pucat itu, 
yang menjadi lawannya berdiri tegak dengan tatapan 
sinis. Jelas, kalau ia sama sekali tidak terpengaruh, 
dan merasa terkejut dengan ilmu andalan lawannya. 
Wajahnya tetap dingin dan tanpa perasaan Bahkan, ki-
latan sorot matanya tampak semakin tajam dan men-
gerikan.
"Hmh...."
Sambil memperdengarkan geraman lirih, pe-
muda tampan berwajah pucat itu menggeser kaki ka-
nannya dengan gerakan menyilang. Kemudian tubuh-
nya merendah dalam posisi kuda-kuda harimau yang 
siap menerkam mangsanya. Tangan kanan dan kirinya 
yang selalu berubah-ubah bentuk itu, terlihat bergetar. 
Dan, semua itu membayangkan kekuatan dahsyat 
yang tersimpan di dalamnya!
Dewa Bungkuk yang berpengalaman dalam ber-
tarung, lebih banyak bergerak ke kiri-kanan dengan

langkah-langkah pendek, dan kokoh. Sejauh itu, ia 
sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda penye-
rangan. Karena kakek itu sadar kalau membuka se-
rangan lebih dahulu, akan membuka pertahanan di-
rinya. Pikiran Itulah yang membuat Pertapa Gunung 
Tambak itu tidak mendahului menyerang lawannya.
Lain halnya dengan apa yang dilakukan lawan-
nya. Gerak-gerik Dewa Bungkuk yang melangkah ke 
kiri-kanan itu, sama sekali tidak dipedulikannya. Den-
gan diiringi sebuah raungan panjang yang menggetar-
kan, tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu, mele-
sat cepat dan menerjang lawannya!
"Heaaa...!"
Suara mencicit tajam terdengar saling bersusu-
lan menyertai setiap sambaran tangan pemuda tampan 
itu. Jari-jari tangannya yang terkadang mengepal dan 
membuka secara tak terduga itu, bergerak cepat bagai 
tangan-tangan maut yang turun dari langit. Sehingga, 
Dewa Bungkuk sendiri sempat kerepotan dibuatnya!
Namun, sebagai seorang tokoh tua yang banyak 
mengalami pertempuran-pertempuran maut, Dewa 
Bungkuk tetap bersikap tenang. Sambil bergerak 
menghindar, sesekali telapak tangannya terlontar 
membawa hawa panas dan menyengat permukaan ku-
lit la masih bisa bertahan dari gempuran-gempuran 
dahsyat lawannya.
Sayang, Dewa Bungkuk yang semula dapat 
bernapas lega karena lawan terlihat agak gentar den-
gan 'Ilmu Telapak Tangan Maut'nya kembali harus 
menelan kenyataan pahit. Lawannya seperti tidak me-
rasakan hawa panas yang keluar dari kedua telapak 
tangannya. Sehingga, ilmu andalan yang selama pulu-
han tahun sangat dibanggakannya Itu, tidak berarti 
sama sekali bagi pemuda berwajah pucat itu.

"Bocah iblisss...!" desis Dewa Bungkuk ketika 
lawannya semakin mendesaknya dengan serangan-
serangan dahsyat dan mengiriskan!
"Haaat...!"
Kenyataan itu membuat Dewa Bungkuk marah. 
Dengan sebuah teriakan keras, tubuhnya melesat me-
nyambut terjangan maut lawannya!
Bettt! Wuuut!
Sepasang telapak tangan yang menebarkan ha-
wa panas itu, bergerak cepat dengan tamparan keras, 
menuju pelipis dan dada lawannya!
Melihat serangan Dewa Bungkuk, pemuda ber-
wajah pucat itu sama sekali tidak menghindar. Sepa-
sang tangannya yang saat itu meluncur deras mengan-
cam kepala Dewa Bungkuk, tetap dilanjutkan. Se-
dangkan serangan kakek itu sama sekali tidak dipedu-
likannya.
Dewa Bungkuk yang berniat melanjutkan se-
rangannya, sempat terkejut melihat kenekatan lawan-
nya. Sadar kalau pemuda tampan berwajah pucat itu 
hendak mengadu nyawa, kakek itu pun bergegas me-
rubah serangannya. Sepasang tangan yang semula me-
luncur ke tubuh lawan itu, bergerak memutar menye-
rupai sebuah tangkisan, guna mematahkan serangan 
maut lawannya.
Untuk kesekian kalinya, Dewa Bungkuk kem-
bali dibuat kaget lawannya. Sepasang tangan yang se-
mula akan meremukkan kepalanya, tiba-tiba bergerak 
aneh, dan berputar dengan kecepatan mengiriskan. 
Sehingga, wajah kakek itu pucat seperti kapas!
"Ahhh...!"
Teriakan ngeri yang tertahan, meluncur dari 
mulut Dewa Bungkuk. Dan, sepasang cakar lawan te-
lah kembali meluncur dari kiri-kanan kepalanya. Se

rangan itu Jelas dimaksudkan untuk mematahkan ba-
tang lehernya. Dan....
Kraghhh...!
"Ekhhh...!"
Terdengar suara gemeretak bunyi tulang yang 
parah! Sepasang mata Dewa Bungkuk seperti akan ter-
lompat keluar, ketika sepasang cakar lawannya men-
cengkeram dari dua arah. Dan, darah segar pun men-
galir dari luka-luka akibat cengkeraman jari-jari tan-
gan yang keras bagaikan baja itu.
"Heaaah...!"
Sambil mengeluarkan bentakan keras, pemuda 
tampan berwajah pucat itu menghempaskan tubuh 
Dewa Bungkuk ke atas tanah. Tak ayal lagi rubuh ka-
kek itu jatuh terguling-guling
Seperti belum merasa puas dengan apa yang di-
lakukannya, pemuda berwajah pucat itu kembali me-
lompat, dan menyambar tubuh Dewa Bungkuk. Diang-
katnya tubuh yang tengah sekarat itu di atas kepala. 
Lalu, diputarnya bagaikan baling-baling. Dan, dibaren-
gi sebuah lengkingan panjang, tubuh Dewa Bungkuk 
dilemparkan ke arah sebuah batu besar.
Terdengar suara benturan keras ketika tubuh 
Dewa Bungkuk menghantam batu itu. Dan. darah se-
gar memercik ke segala arah. Tubuhnya berkelojotan 
sejenak, lalu tak bergerak lagi. Dewa Bungkuk tewas di 
tangan pemuda tampan berwajah pucat itu, yang tidak 
dikenalnya.
Setelah memastikan kalau Dewa Bungkuk be-
nar-benar tewas, pemuda berwajah dingin tanpa pera-
saan itu, sejenak berdiri termangu. Perlahan kakinya 
melangkah dan meninggalkan Puncak Gunung Tam-
bak yang masih diselimuti kabut.
"Ha ha ha.... Mulai hari ini, semua tokoh-tokoh

persilatan yang pernah memperebutkan Pusaka Gua 
Ular, akan menemui kematiannya yang menyedih-
kan...."
Terdengar suara parau dan berat mengiringi 
langkah kaki pemuda berwajah pucat itu. Aneh! Orang 
berusia muda, tapi memiliki suara serak dan parau se-
perti seorang kakek tua renta.
***
DUA


Sosok pemuda tampan itu melangkah ringan 
memasuki sebuah kedai makan di Desa Ampenan. Se-
pasang matanya yang tajam merayapi ruang dalam ke-
dai itu secara sepintas. Dengan sikap tenang dan ang-
ker, pemuda berwajah pucat itu, menyeret sebuah 
kursi, dan langsung duduk tanpa mempedulikan lagi 
keadaan di sekelilingnya.
Dengan sikap acuh, pemuda itu mengulapkan 
tangannya ke arah seorang pelayan. Lalu, ia memesan 
makanan dan segelas tuak. Sepeninggal pelayan itu, ia 
kembali duduk tenang dengan tatapan lurus ke depan.
Pemuda tampan berwajah pucat itu, baru me-
noleh ketika makanan yang dipesannya datang Tapi, 
baru saja hidangan itu hendak dinikmatinya, tiba-tiba 
terdengar jeritan seorang wanita yang berteriak-teriak 
ketakutan. Kening pemuda itu terlihat berkerut tak se-
nang. Sekali bergerak tubuhnya telah berdiri tegak di 
luar pintu kedai.
Terdengar suara geraman lirih yang keluar dari 
kerongkongan pemuda tampan Itu Dari sorot sinar ma-
tanya yang berkilat, jelas ia merasa marah dengan pemandangan yang disaksikannya itu.
Beberapa langkah di depan pemuda tampan 
Itu, terlihat seorang gadis desa yang mengenakan kain 
sebatas dada, tengah diseret paksa oleh dua orang le-
laki bertubuh tegap. Tak seorang pun di antara pen-
duduk desa itu bergerak menolongnya. Mereka hanya 
berdiri menonton tanpa berani berbuat apa-apa. Tentu 
saja kenyataan itu membuat hati pemuda berwajah 
pucat itu semakin geram.
Namun, sebelum tubuhnya bergerak, tiba-tiba 
terdengar sebuah bentakan nyaring yang menggetar-
kan. Kemudian disusul sekelebat sosok bayangan me-
rah. Dan, langsung berdiri tegak menghadang jalan 
kedua orang lelaki kasar yang menyeret gadis desa Itu.
"Lepaskan gadis yang tak berdaya itu. Kerbau 
Gundul...!" bentak seorang gadis cantik dengan nada 
mengancam. Tubuhnya yang ramping itu, berdiri tegak 
dengan kedua tangan diletakkan di pinggang. Sikapnya 
terlihat gagah dan menarik sekali. Sehingga, beberapa 
lelaki muda penduduk desa itu sempat berdecak ka-
gum.
Dua orang lelaki kasar yang memang berkepala 
botak itu, tentu saja menjadi marah sekali. Apalagi hi-
naan itu dilontarkan di hadapan orang banyak. Ka-
ruan saja wajah keduanya menjadi merah, dan sepa-
sang mata mereka terbelalak marah.
"Kasihan, rupanya kedua kerbau gundul itu 
ternyata tuli!" ejek gadis berpakaian merah menyala 
itu.
Kedua lelaki itu semakin marah. Sepasang ma-
tanya menatap tajam.
"Sekali lagi kuperingatkan! Lepaskan wanita 
itu, atau aku terpaksa menghukum kalian, Kerbau 
Gundul Tuli!" tegas gadis cantik bertubuh ramping itu.

Kedua orang lelaki gundul yang semula belum 
mempercayai pendengarannya, menggereng murka. 
Salah seorang di antaranya melangkah maju dengan 
wajah merah padam. Sedangkan seorang lagi, tetap 
mencekal lengan gadis desa yang tengah menangis itu.
"Siapa kau, Nisanak? Berani kau mencampuri 
urusan kami! Tahukah kau, wanita itu kami minta se-
cara baik-baik dari orang tuanya?" ujar lelaki yang 
tengah marah besar itu.
Gadis cantik itu berdiri tenang dan tak berkata 
sepatah pun.
Jadi, tidak ada alasan bagimu untuk mengha-
langi atau pun menghukum kami. Sebaiknya kau me-
nyingkirlah, sebelum aku berubah pikiran!" ancam le-
laki gundul yang wajahnya dipenuhi cambang bauk 
itu.
Mendengar keterangan lelaki gundul bercam-
bang bauk itu, sejenak gadis berpakaian merah Itu ter-
tegun bimbang. Dengan wajah bingung, ia mengalih-
kan tatapannya ke arah gadis desa yang berada dalam 
cengkeraman lelaki gundul berwajah kehitaman itu.
"Nyai..., benarkah apa yang dikatakan kerbau 
gundul yang menjijikkan ini? Kalau memang benar, 
mengapa kau menangis...?" tanya gadis berpakaian 
merah darah itu meminta keterangan.
"Mereka adalah tukang pukul rumah judi di de-
sa ini. Ayahku mempunyai hutang dan tidak dapat me-
lunasinya. Lalu, majikan rumah itu datang menagih 
hutang kepada ayah. Ketika melihatku, mereka secara 
paksa untuk meminta dijadikan jaminan. Menurut ke-
dua orang itu, hutang ayah akan lunas bila aku mau 
bekerja di rumah majikan mereka.
Gadis cantik berbaju merah itu tertegun. Se-
dangkan kedua lelaki berkepala botak itu menatap sinis ke arah gadis desa yang matanya basah.
"Aku tidak mau..., tapi kedua orang itu menye-
ret ku secara paksa...," jawab gadis desa itu dengan 
wajah bersimbah air mata. Dari sorot matanya, jelas la 
sangat mengharapkan bantuan gadis cantik berpa-
kaian merah darah itu.
"Hm..., mengapa kau tidak bersedia? Apakah 
kau tidak mau meringankan beban ayahmu? Berapa 
lama kau akan bekerja di rumah majikan kedua ker-
bau gundul itu...?" tanya gadis berpakaian merah itu, 
sambil melepaskan senyum ejekan kepada kedua 
orang tukang pukul rumah judi yang berkepala gundul 
itu.
"Hei, Kuntilanak! Jaga mulutmu! Atau kau 
memang sengaja mau mencari perkara...?" bentak lela-
ki gundul bercambang bauk yang tersinggung dengan
perkataan 'kerbau gundul', yang berkali-kali di-
ucapkan gadis cantik itu. Terdengar suara bergemere-
tak ketika lelaki itu mengepal tangannya kuat-kuat 
Sepertinya dengan berbuat demikian, ia ingin mena-
kut-nakuti gadis berpakaian merah darah itu.
"Diam kau. Kerbau Gundul! Siapa yang menyu-
ruhmu bicara?"
Hebat sekali gadis berpakaian merah itu. Ger-
takan lelaki gundul itu sama sekali tidak membuatnya 
gentar. Bahkan, dengan beraninya ia memaki dan 
membentak lelaki gundul itu. Karuan saja wajah lelaki 
itu semakin gelap.
"Nisanak. Rupanya kau memang ingin mencari 
keributan! Sejak tadi aku selalu mengalah, meski kau 
telah menghinaku di depan orang banyak. Tapi, kali ini 
kau sudah benar-benar keterlaluan! Jangan salahkan 
kami, bila kami bertindak kasar terhadapmu!" geram 
lelaki gundul bercambang bauk itu sambil menggertakkan giginya keras-keras.
"Hm..., kalau kau memang memiliki kebera-
nian, mengapa tidak langsung menyerang saja' Untuk 
apa kau banyak bacot dan hanya membuat mulutmu 
pegal saja. Ayo, majulah, kalau kau memang ingin me-
rasakan halusnya telapak tanganku," tantang gadis 
berpakaian merah darah itu tanpa rasa gentar sedikit 
pun.
Jelas, gadis itu bukan orang sembarangan. Ga-
dis mana yang berani menantang tukang pukul rumah 
judi Ku, kalau tidak memiliki kepandaian.
"Perempuan setan! Lidahmu tajam sekali! 
Hmh..., kau memang harus dihajar adat, agar lebih 
mengenal siapa Galiwa dan Galinta...," desis lelaki ber-
cambang bauk yang mengaku bernama Galiwa itu. 
Kemudian, tubuhnya langsung melompat dengan di-
iringi cengkeraman kedua tangannya yang berbentuk 
cakar.
Wuuut! Wuuut!
"Aiiih..., saying luput...," ejek gadis berpakaian 
merah darah itu, seusai menggeser dua kali langkah-
nya ke belakang Dan, cengkeraman lelaki gundul ber-
cambang bauk itu luput dan hanya mengenai angin 
kosong.
Namun, Galiwa tidak mau terpancing dengan 
segala ejekan gadis cantik itu. Ia bergegas membangun 
serangannya dengan sambaran-sambaran cakarnya 
yang jauh lebih berbahaya.
Sayang, serangan-serangan Galiwa yang gencar, 
tak satu pun mampu menyentuh tubuh gadis cantik 
itu. Karuan saja lelaki bercambang bauk itu semakin 
menjadi-jadi kemarahannya. Bahkan, sekujur tubuh-
nya gemetar karena hawa marah yang seolah-olah 
akan meledakkan dadanya.

Gadis cantik berpakaian merah darah itu, me-
mang cerdik dan tajam sekali lidahnya. Walaupun dis-
erang habis-habisan oleh Galiwa, namun sepasang ma-
tanya yang lincah itu sempat menyambar sosok pemu-
da tampan yang tengah berdiri di depan pintu kedai. 
Bagaikan mendapat pikiran yang baik, bibir gadis can-
tik nampak tersenyum manis. 
"Haiiit...!"
Gadis cantik itu tiba-tiba mengeluarkan teria-
kan nyaring. Saat itu juga, tubuhnya melesat dengan 
sebuah lompatan tinggi melampaui kepala lawannya. 
Gerakan itu segera dibarengi dengan sebuah tendan-
gan keras yang telak menghantam bagian belakang tu-
buh Galiwa.
Bukkk!
"Hukhhh...!"
Karuan saja tubuh lelaki kekar bercambang 
bauk itu terjerunuk ke depan. Seperti telah diperhi-
tungkan gadis cantik itu, tubuh Galiwa tepat mena-
brak sosok pemuda tampan yang tengah berdiri di de-
pan pintu kedai.
Tubuh Galiwa yang meluncur dengan kepala 
lebih dahulu itu, sempat membuat pemuda berwajah 
pucat itu berkerut keningnya. Cepat ia mengulur tan-
gan kanannya, dan menahan kepala botak yang hen-
dak menghantam rubuhnya itu. Sehingga, tubuh Gali-
wa tidak sampai terjatuh karena tertahan telapak tan-
gan pemuda tampan itu.
Perbuatan pemuda berwajah pucat itu telah 
menyelamatkannya, tapi Galiwa bertambah murka! 
Dengan kemarahan yang semakin menggelegak, lelaki 
gundul bercambang bauk itu segera melepaskan tan-
gan pemuda itu dari kepalanya. Secepat kilat tubuh-
nya berbalik, dan langsung mengirim serangan dengan


disertai makian kalang kabut
"Mampus kau, Keparat! Hinaan ini hanya bisa 
kau tebus dengan nyawamu!" maki Galiwa yang ru-
panya tidak senang dengan cara pemuda itu meno-
longnya.
Tapi, lagi-lagi Galiwa harus menelan kenyataan 
pahit Serangan-serangannya dengan mudah dielakkan 
pemuda tampan berwajah pucat itu.
"Setaaan...! lblisss...!"
Sambil tak hentinya melontarkan makian ka-
sar, Galiwa terus merangsek maju dengan kepalan dan 
tendangannya. Tapi, lelaki kasar itu harus menerima 
kenyataan kalau pemuda tampan berwajah pucat itu, 
yang semula dianggapnya sebagai orang yang penyaki-
tan itu. Ternyata memiliki kepandaian yang jauh lebih 
tinggi dari gadis berbaju merah darah itu. Dan, seper-
tinya gadis itu memang sengaja ingin mengadu domba 
antara Galiwa dengan pemuda tampan itu.
Plakkk! 
"Aaakh...!"
Serangan-serangan Galiwa yang dilontarkannya
dengan penuh kemarahan itu, ternyata malah beraki-
bat buruk terhadap dirinya. Sebuah hantaman telapak 
tangan pemuda tampan itu telah menyerempet bahu 
kanannya. Dan, tubuh lelaki tinggi besar itu pun me-
lintir bagaikan gasing yang berputar.
"Hik hik hik.... Nah, kau rasakanlah akibat ke-
teledoranmu itu, Galiwa! Rupanya hari ini nasibmu se-
dang sial. Sebaiknya kau minggatlah, sebelum kesialan 
itu berkelanjutan," terdengar suara ejekan yang da-
tangnya dari gadis cantik berpakaian merah darah itu.
Galinta lelaki gundul bermuka kehitaman yang 
saat itu masih mencekal lengan gadis desa, menjadi 
murka. Ketika melihat kawannya menjadi bulan

bulanan lawan, la terpaksa melepaskan tawanannya. 
Sekali melompat, ia langsung mengirim serangan su-
sul-menyusul ke arah gadis berpakaian merah yang ti-
dak jauh berada di dekatnya. 
"Hiaaah...!" 
Wuuut! Wuuut!
Namun, gadis berpakaian merah darah Itu ter-
nyata memiliki pendengaran cukup tajam. Meskipun 
serangan Galinta datang dari sebelah belakangnya, ga-
dis itu cepat melangkah dua tindak ke depan. Kemu-
dian, sambil memutar tubuhnya, ia langsung menen-
dang pelipis lawannya. 
Bettt!
Untunglah Galinta cukup waspada. Tendangan 
gadis berpakaian merah darah Itu sempat dielakkan-
nya dengan merendahkan rubuhnya, dan berputaran 
dengan menggunakan tenaga pinggang
Tapi sayang Galinta masih kalah perhitungan 
terhadap lawannya. Sebab, begitu tendangannya luput 
gadis cantik itu segera menarik pulang tendangannya 
dengan menekuk lutut. Kemudian, kaki ramping Itu 
kembali melontarkan tendangan ujung sepatunya yang 
mengancam perut Galinta. Hingga....
Buggg!
"Ekhhh...!"
Tendangan ujung sepatu gadis berpakaian me-
rah darah itu, telak mencium perut Galinta. Lelaki 
gundul berwajah kehitaman itu terjungkal ke belakang! 
Darah segar mengalir dari sudut bibirnya yang tebal 
dan hitam.
Galiwa yang melihat keadaan kawannya, cepat 
berlari memapah tubuh Galinta. Sejenak keduanya sal-
ing bertatapan seolah ingin meminta pendapat satu 
sama lain. Kemudian, Galiwa dan Galinta sama-sama


melepaskan pedang ke arah gadis berpakaian merah 
darah, dan pemuda tampan berwajah pucat yang ma-
sih berdiri di depan pintu kedai.
'Tunggulah! Kalian akan bayar mahal akibat 
perbuatan ini!" ancam Galiwa yang rupanya sadar ka-
lau kedua orang itu bukanlah lawan mereka. Seusai 
berkata, kedua lelaki gundul itu membalikkan tubuh-
nya dan segera meninggalkan tempat itu tanpa banyak 
cakap lagi.
***
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak...," 
ucap gadis berpakaian merah darah itu ketika meng-
hampiri pemuda tampan berwajah pucat itu. Meski 
mulutnya mengucapkan demikian, namun ia menyem-
bunyikan nada mengejek dalam ucapannya itu.
"Mengapa harus berterima kasih kepadaku? 
Bukankah kau sendiri yang sengaja melemparkan 
orang itu kepadaku? Hm..., pandai sekali kau me-
mancing orang untuk terlibat dengan persoalanmu, Ni-
sanak," sahut pemuda tampan berwajah pucat itu.
Pemuda itu segera melangkahkan kakinya me-
ninggalkan kedai makan. Tentu saja setelah la mem-
bayar terlebih dahulu makanan dan minuman yang 
baru sedikit dicicipinya. Namun, langkahnya terhenti 
ketika terdengar suara lambat di sisi kirinya.
"Wah, kau rupanya marah, ya? Aneh orang se-
muda kau memiliki sifat seperti seorang kakek-kakek. 
Kalau kau memang tidak suka, mengapa kemarahan
mu tidak kau tumpahkan kepadaku? Bukankah kau 
bilang aku yang menjadi penyebab semua ini," ujar ga-
dis cantik berpakaian merah darah itu yang merasa ti-
dak senang mendengar jawaban ketus dari pemuda

tampan itu.
"Nisanak, aku tidak menyalahkanmu sama se-
kali. Hanya saja aku harap kau lebih berhati-hati meli-
batkan diri pada sebuah persoalan yang belum kau ke-
tahui kebenarannya," sahut pemuda tampan berwajah 
pucat itu yang terpaksa menyahut karena gadis cantik 
itu menjajari langkahnya.
'Terima kasih atas nasihatmu, Kek. Aku berjanji 
lain kali akan lebih berhati-hati dalam menolong 
orang. Mmm.... kalau boleh ku tahu, siapakah nama 
besar Kakek yang mulia...," balas gadis cantik berpa-
kaian merah darah itu dengan lagak dibuat-buat
Baiklah, namaku Wirya Saka. Dan, aku adalah 
petualang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Nah, 
apakah kau sudah puas?" ujar pemuda tampan berwa-
jah pucat itu yang terpaksa memperkenalkan dirinya.
"Hm..., Wirya Saka. Sebuah nama yang gagah 
dan cocok dengan orangnya," puji gadis cantik itu tan-
pa rasa canggung sedikit pun.
Pemuda tampan itu pun menjadi risih. Meski-
pun wajah pucat itu tampak terhias senyum tipis. Na-
mun, ia sadar telah terpengaruh oleh kepintaran gadis 
itu dalam berbicara.
Menyadari kalau tidak diladeni gadis itu akan 
terus menghujaninya dengan berbagai pertanyaan ko-
nyol. pemuda tampan itu terpaksa membalikkan tu-
buh. Ditatapinya wajah cantik yang tengah memamer-
kan senyum manisnya itu.
"Mengapa kau memandangi ku seperti itu? 
Apakah kau ingin mengenalku, Kakek...?" kembali su-
ara merdu gadis cantik itu membuat si pemuda lam-
pan berwajah pucat gelagapan.
"Tidak salah apa yang dikatakan Galiwa tadi 
Kau memang memiliki lidah yang tajam, Nisanak."

Pemuda tampan berwajah pucat Itu hanya di-
am, dan memandang wajah gadis yang berdiri di hada-
pannya.
"Namaku Winarti. Dan, aku seorang petualang 
yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Apakah 
kau juga sudah merasa puas...?" balas gadis cantik 
berpakaian merah darah itu seperti tidak mau kalah.
"Nah, bolehkah aku pergi sekarang...?" tanya 
Wirya Saka yang mulai tertarik hatinya dengan sikap 
terbuka dan kocak dari gadis cantik bernama Winarti 
itu.
"Tidak. Kau tidak boleh pergi, sebelum menye-
lesaikan urusanmu di Desa Ampenan ini," jawab gadis 
berpakaian merah darah itu, yang segera membalikkan 
tubuhnya meninggalkan Wirya Saka.
Tanpa mempedulikan kebingungan pemuda 
tampan itu, Winarti melenggang menghampiri gadis 
desa yang telah diselamatkannya itu.
"Nyai, jauhkah rumahmu dari tempat ini...?" 
tanya Winarti kepada gadis desa itu.
"Rumahku tidak begitu jauh dari tempat ini Te-
rima kasih atas pertolonganmu, Nisanak yang gagah," 
ucap gadis desa itu penuh haru.
Winarti memandangi wajah gadis desa itu, yang 
basah oleh air mata.
"Aku khawatir mereka akan datang lagi dan 
mengambilku. Apa yang harus kulakukan apabila 
orang-orang rumah judi itu datang dan menyiksa 
orang tuaku?" isak gadis desa itu yang rupanya masih 
merasa cemas dengan keselamatan ayahnya.
"Hm..., kau kembalilah ke rumahmu. Tak usah 
cemas dengan mereka. Aku bersama pemuda itu akan 
mengobrak-abrik tempat mereka. Dengan begitu, desa 
ini tidak akan mengalami kejadian seperti yang baru


dialami keluargamu. Nah, kau pulanglah...."
Setelah berkata demikian, Winarti membalikkan 
tubuhnya dan melangkah menghampiri Wirya Saka 
yang menatap bingung, la benar-benar tidak mengerti 
apa yang diinginkan gadis cantik itu terhadap dirinya.
"Ayo, kita obrak-abrik rumah judi keparat 
ku...," ajak Winarti yang segera menarik tangan Wirya 
Saka.
Sementara Wirya Saka menurut saja tanpa 
membantah, la benar-benar seperti kerbau yang dico-
cok hidungnya. Keinginan gadis cantik itu diturutinya 
tanpa mempedulikan perasaannya.
***
"Itu dia, mereka...!"
Seruan itu keluar dari mulut seorang lelaki 
gundul bertubuh kekar dengan wajah dipenuhi cam-
bang bauk. Sambil berseru, tangannya menunjuk ke 
arah sosok pemuda tampan berwajah pucat dan gadis 
cantik berpakaian merah darah Lelaki gundul itu tak 
lain Galiwa, yang telah dipecundangi Wirya Saka dan 
Winarti.
Sedangkan sosok pemuda tampan berwajah 
pucat dan gadis cantik berpakaian merah darah itu 
memang benar Wirya Saka dan Winarti. Mereka berdua 
melangkah maju tanpa merasa gentar sedikit pun. Ma-
lah Winarti semakin mempercepat langkahnya mende-
kati Galiwa dan kawan-kawannya.
"Hik hik hik.... Kerbau Gundul, mengapa kau 
hanya membawa empat orang? Lalu, mana di antara 
mereka yang menjadi majikanmu?" tegur Winarti lang-
sung melontarkan pertanyaan tanpa merasa takut me-
lihat Galiwa dan kawan-kawannya Itu.

Galiwa yang memang dendam terhadap Winarti, 
segera mencabut sebilah golok besar. Namun, lang-
kahnya terhenti ketika salah seorang dari kawannya 
yang berpakaian serba hitam mencegahnya.
"Sabarlah, Galiwa. Biar aku yang memberi pela-
jaran kepada gadis binal itu," ujar lelaki berseragam 
hitam yang wajahnya terhias kumis tebal dan lebat. 
Kemudian lelaki itu segera melangkah maju beberapa 
tindak ke depan.
"Kaukah majikan rumah judi yang menjerat 
penduduk Desa Ampenan, agar menyerahkan anak 
gadisnya untuk kau jadikan gundikmu?" tanya Winarti 
sambil menuding wajah lelaki berkumis lebat itu.
"Kau keliru, Nisanak. Majikan kami tidak pan-
tas berhadapan dengan gadis binal sepertimu. Tapi, 
kalau kau bersedia menjadi istri mudanya, aku jamin 
kehidupanmu pasti menjadi lebih baik," sahut lelaki 
berkumis lebat itu dengan nada lembut. Namun uca-
pan itu membuat wajah Winarti merah padam. Karena 
kata-kata lelaki itu jelas mengandung niat kotor dan 
menghinanya.
Tapi ucapan Itu tidak berhasil memancing ke-
marahan Winarti. Gadis cantik itu terlalu cerdik untuk 
dipancing kemarahannya. Malah senyumnya semakin 
lebar dan manis, meski dadanya terlihat turun naik 
seperti tengah menahan emosi yang siap meledak.
"Apakah kau mendengar ucapan kucing dapur 
itu, Kakang Wirya?'1 tanya Winarti ketika berbalik dan 
menatap Wirya Saka.
"Ya, aku mendengarnya...," sahut Wirya Saka 
yang telah terpengaruh oleh gadis cantik itu. la pun
mau saja dijadikan pelindung oleh Winarti.
Winarti bukan tanpa perhitungan mengajak 
pemuda tampan berwajah pucat yang baru dikenalnya

itu. Karena ia tahu kepandaian Wirya Saka hanya den-
gan melihat sorot mata pemuda tampan berwajah pu-
cat itu.
Gurunya, Ki Galari sering menceritakan kepa-
danya tentang tokoh-tokoh sakti dunia persilatan yang 
memiliki tatapan mata tajam, dan menimbulkan rasa 
gentar di hati lawannya. Winarti yang melihat Wirya 
Saka, segera menduga kalau pemuda tampan itu pasti 
memiliki kepandaian yang tinggi. Paling tidak lebih 
tinggi dari kepandaiannya sendiri.
Tapi, bukan sorot mata itu yang membuat Wi-
narti mau bersahabat dan membawa Wirya Saka un-
tuk membasmi rumah judi, yang menurutnya telah 
menyengsarakan penduduk Desa Ampenan. Melain-
kan, sikap bingung dan wajah pucat pemuda tampan 
itulah yang membuatnya merasa tertarik, dan ingin 
mengenalnya lebih jauh.
Semenjak kecil memang Winarti telah yatim 
piatu dan hanya diasuh oleh gurunya di tempat sunyi. 
Tak mengherankan bila melihat Wirya Saka, Winarti 
seperti menemukan teman yang menurutnya dapat 
membimbingnya dalam mengarungi kehidupan di da-
lam dunia persilatan. Meskipun baru sekali bertemu, 
ia telah melihat kejujuran dari wajah dan sinar mata 
pemuda itu Hal itu pula yang membuatnya tidak ragu-
ragu mengajak Wirya Saka mendatangi rumah judi 
yang ingin dihancurkannya.
Wirya Saka sendiri, bukan tanpa alasan mengi-
kuti ajakan gadis cantik berpakaian merah darah itu. 
Hanya saja ia merasa aneh karena mau menuruti ke-
mauan Winarti. Meskipun dalam hatinya, ada pera-
saan hangat ketika gadis itu tanpa canggung meng-
genggam tangannya, dan membawanya untuk meng-
hancurkan rumah judi.

Tapi, pemuda itu sama sekali tidak mengerti 
mengapa la tidak mempunyai keinginan membantah. 
Satu hal yang membuatnya tidak membantah, karena 
ia merasa ada dorongan ingin berdekatan dengan Wi-
narti. Perasaan itu muncul begitu saja ketika Winarti 
membimbing tangannya. Hal itu pulalah yang mem-
buatnya menuruti ajakan gadis cantik itu.
***
TIGA


"Kalau begitu, apa lagi yang kau tunggu, Ka-
kang? Jelas ucapan kucing dapur itu bernada kotor 
dan kurang ajar, apa kau senang aku dihina seperti 
itu?" ujar Winarti sambil membanting-banting kaki ka-
nannya dengan wajah cemberut.
Mendengar ucapan itu, Wirya Saka bengong se-
perti orang tolol. Meski hari kecilnya tidak menerima 
hinaan lelaki berkumis tebal itu, namun Wirya Saka 
tidak bergerak sama sekali. Pemuda itu hanya terman-
gu, seolah ia tengah memikirkan mengapa ia harus be-
rada di tempat itu. Kesadarannya baru pulih setelah 
mendengar ucapan Winarti yang meminta perlindun-
gannya.
"Lalu..., aku harus bagaimana, Winarti...?" 
tanya Wirya Saka dengan wajah ketololan. Sepertinya 
pikiran Wirya Saka tidak bekerja, la bingung mengha-
dapi persoalan yang memang belum dimengerti sepe-
nuhnya.
"Aduh, kau Ini bagaimana sih? Jelas kucing 
dapur itu harus diajar adat, biar dia tidak berani lan-
cang menghinaku," sahut Winarti yang hampir memekik karena kesal melihat sikap pemuda tampan berwa-
jah pucat itu. Tapi, karena hatinya tengah dilanda ke-
marahan, la tidak memperhatikan tingkah Wirya Saka 
yang nampak aneh.
"He he he.... Rupanya kau hendak mengandal-
kan pemuda tolol berpenyakitan itu untuk menghada-
piku? Sayang kau salah pilih mengambil pelindung 
mu, Gadis Liar. Lebih baik kau suruh kawanmu itu 
pulang dan menetek pada ibunya," lelaki gagah ber-
kumis tebal itu tertawa mengejek ketika melihat Wi-
narti yang tengah membujuk pemuda berwajah pucat 
itu untuk membelanya. Dan, tawanya semakin keras 
ketika melihat pemuda tampan berwajah pucat itu 
menunjukkan sikap yang ketololan menggelikan.
Sedangkan Wirya Saka sendiri sudah melang-
kah mendekati enam orang tukang pukul rumah judi 
itu. Wajahnya yang pucat, semakin bertambah angker 
karena sorot matanya tampak begitu dingin den men-
gerikan. Menilik dari sikapnya, jelas pemuda itu telah 
siap bertempur.
Winarti sendiri yang memang merasa penasa-
ran ingin melihat tingkat kepandaian sahabat barunya 
itu, wajahnya menjadi berseri-seri semenjak pertama 
kali Ia melihat Wirya Saka di depan pintu kedai ma-
kan, Winarti memang sudah menduga kalau Wirya Sa-
ka bukanlah pemuda sembarangan. Dan, ia sengaja 
melemparkan tubuh Galiwa untuk memancing pemuda
itu menunjukkan kepandaiannya. Sayang, ia sempat 
kecewa karena Wirya Saka sama sekali tidak menun-
jukkan ilmu silatnya ketika menghadapi Galiwa. Wi-
narti tidak merasa puas melihatnya.
"Hm …, kali ini aku pasti berhasil memancing 
kepandaian pemuda yang seperti itu. Menilik dari si-
kap dan cara Galiwa berbicara kepada lelaki berkumis

tebal itu, jelas kalau lelaki berpakaian hitam yang mi-
rip kucing dapur itu memiliki kepandaian yang lebih 
tinggi daripada kedua kerbau gundul tadi. Dan, mau 
tidak mau Kakang Wirya Saka pasti akan mengelua-
rkan ilmunya untuk menghadapi orang itu...," gumam 
Winarti yang segera melangkah mundur beberapa tin-
dak. Gadis cantik itu memang sengaja mengadu domba 
Wirya Saka dengan lelaki berkumis tebal itu.
"Hm..., Anak Muda. Sebaiknya kau pulanglah. 
Jangan mau diperbudak gadis binal itu. Di antara kita 
tidak ada permusuhan pribadi. Jadi, tidak ada alasan 
bagi kita untuk bertarung," ujar lelaki berkumis tebal 
itu yang merasa gentar melihat perbawa yang terpan-
car dari sosok pemuda tampan berwajah pucat itu.
"Dengan melontarkan hinaan terhadap Winarti, 
cukup alasan bagiku untuk menghukum mu...," sam-
but Wirya Saka dengan suara dingin dan datar. Apa 
yang diucapkannya seolah-olah hanya hafal saja. 
Meski nada ucapannya mengancam, namun wajah pu-
catnya tetap tidak memperlihatkan perasaan apa pun.
"Sudahlah, Ki Badarata, tunggu apa lagi? Hajar 
saja pemuda penyakitan itu. Biarlah gadis binal yang 
sok pahlawan itu kami yang membereskannya," ter-
dengar salah seorang dari tiga kawannya berkata den-
gan nada sombong. Sedangkan Galiwa dan Galinta 
hanya memandang keempat kawannya sambil men-
gangguk-anggukkan kepala. Sepertinya kedua orang 
lelaki gundul itu yakin kalau keempat kawannya akan 
dapat menundukkan lawan-lawannya.
Lelaki bertubuh gemuk yang mengenakan rom-
pi putih itu, melangkah menghampiri Winarti yang 
tengah duduk di bawah pohon. Mulutnya masih men-
gumbar ucapan takabur Lelaki gemuk berwajah hitam 
totol itu sangat yakin bisa menangkap Winarti.

Namun, Winarati tidak gentar sama sekali. 
Meski la menghadapi tiga orang lawan, senyumnya te-
tap menghias wajah. Sepertinya gadis cantik yang si-
kapnya ugal-ugal itu memang tidak pernah mengenal 
arti takut Kalaupun la menyuruh Wirya Saka untuk 
menghadapi lelaki berkumis tebal yang telah melontar-
kan hinaan kepadanya, bukan berarti ia takut meng-
hadapinya. Tapi, ia memang sengaja hendak menguji 
kepandaian dan pembelaan Wirya Saka terhadapnya. 
Dan, rencananya ternyata berjalan mulus. Karena 
Wirya Saka telah terbujuk dan mau menuruti permin-
taan wanita cantik itu.
Dengan gerakan yang gesit dan ringan, Winarti
melesat bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang ramp-
ing dan terbungkus pakaian merah darah itu berjum-
palitan beberapa kali, sebelum menjejakkan kedua ka-
kinya di tempat yang cukup lapang. Wanita cantik 
yang cerdik itu telah siap menghadapi Ketiga orang la-
wannya.
"Hati-hati, Ki Banggala. Gadis binal itu memiliki 
kepandaian yang tidak rendah," bisik Galinta mempe-
ringatkan lelaki gemuk berompi putih itu. Karena Ia 
sendiri telah merasakan kehebatan Winarti. Tidak he-
ran kalau Galinta memberikan peringatan kepada lela-
ki gemuk yang dipanggil dengan nama Ki Banggala itu 
Mendengar peringatan Galinta, Ki Banggala menden-
gus. Melihat perubahan paras wajahnya, jelas lelaki 
gemuk itu merasa tersinggung dengan ucapan kawan-
nya.
"Heaaah...!"
Dibarengi dengan sebuah bentakan nyaring, 
tubuh Ki Banggala melenting dan berjumpalitan tiga 
kali di udara. Dan, langsung melontarkan serangan-
serangan maut ke arah Winarti yang memang telah


siap menyambutnya. Sebentar saja, keduanya telah 
terlibat dalam pertarungan sengit!
Galiwa dan Galinta pun tidak ingin membuang-
buang waktu lagi. Saat itu juga, keduanya langsung 
melompat memasuki kancah pertempuran. Begitu tiba, 
mereka langsung mencecar Winarti yang saat itu ten-
gah mendesak Ki Banggala. Masuknya kedua orang le-
laki gundul itu, membuatnya terpaksa melompat mun-
dur sejauh satu setengah tombak.
"Hik hik hik.... Kerbau-kerbau gundul kelapa-
ran, rupanya kalian masih ingin merasakan kerasnya 
kepalan ku? Bagus! Kalau begitu, aku akan memberi-
kan kalian masing-masing hadiah yang tidak akan ka-
lian lupakan seumur hidup...," ejek Winarti yang sege-
ra mencabut senjatanya yang selama ini tergantung di 
pinggang kirinya. 
Singngng!
Terdengar suara berdesing ketika pedang yang 
berkilat tertimpa cahaya matahari itu terpisah dari sa-
rungnya. Kemudian, berputar di depan tubuh gadis 
cantik itu dengan suara mendengung tajam.
Melihat lawan sudah mengeluarkan senjata 
tanpa ragu-ragu lagi Galiwa dan Galinta bergegas 
mencabut senjata-senjatanya. Hanya Ki Banggala yang 
tidak menggunakan senjata, la merasa terlalu pagi un-
tuk mengeluarkan senjatanya hanya untuk mengha-
dapi seorang gadis yang pantas menjadi anaknya itu.
"Haiiit..!"
Dengan diiringi sebuah seruan nyaring dan 
panjang, Winarti melesat sambil memutar senjatanya. 
Sehingga menimbulkan suara berdesingan tajam. Den-
gan gerakan yang Indah dan cepat, pedang di tangan-
nya berkelebatan mencari sasaran!
Ki Banggala, Galinta dan Galiwa tidak tinggal

diam. Ketiga tukang pukul rumah judi itu segera ber-
pencar, dan menerjang lawannya dari tiga penjuru. 
Winarti terpaksa mengerahkan semua kemampuannya 
untuk menghadapi serangan ketiga orang musuhnya. 
Mereka tampak melakukan serangan dengan kerjasa-
ma yang baik sekali. Tak terhindarkan lagi. Pertarun-
gan berjalan semakin seru dan sengit!
***
Di tempat lain, Wirya Saka sudah menunjuk-
kan kebolehannya dalam menghadapi tiga orang la-
wannya. Pemuda tampan berwajah pucat itu, bergerak 
cepat seperti bayangan hantu, yang terkadang lenyap 
di antara kilatan cahaya senjata lawannya. Dan secara 
tiba-tiba, muncul di hadapan salah seorang musuh-
nya, sambil melontarkan sebuah serangan tak terduga!
Ki Badarata dan dua orang kawannya benar-
benar terkejut ketika mengetahui tingkat kepandaian 
pemuda tampan Itu. Orang yang dikiranya penyakitan 
itu, ternyata mampu bergerak cepat. Sehingga, mereka 
sering kehilangan lawannya dan tiba-tiba muncul di 
hadapan mereka. Kenyataan itu tentu saja membuat 
mereka menjadi gentar dan ngeri. Karena mereka se-
perti tengah berhadapan dengan bayangan hantu, dan 
bukan manusia biasa.
"Gila! Pemuda itu turunan iblisss...!" umpat Ki 
Badarata yang senantiasa kehilangan sosok lawannya. 
Karena pedang yang semula membabat perut lawan, 
tapi hanya menyabet angin kosong. Sedangkan lawan-
nya lenyap entah ke mana. 
"Aaah...!"
Bagai disengat kalajengking, Ki Badarata terlon-
jak ketika merasakan sentuhan lembut pada tengkuk

nya. Tanpa berpikir panjang lagi, Lelaki berkumis lebat 
itu langsung menyabetkan senjatanya ke arah sumber 
sentuhan itu.
"Setan keparat...!" lagi-lagi Ki Badarata men-
gumpat dengan teriakan keras. Karena senjatanya ti-
dak mengenai sasaran! Sepasang mata lelaki gagah 
yang selama hidupnya tidak pernah mengenal kata ta-
kut Itu, berdiri bulu tengkuknya. Karena ia tidak dapat 
mengenali musuhnya. Jangankan sosok lawannya, 
bayangan pemuda itu saja tidak sempat dilihatnya. 
Sehingga, Ki Badarata sendiri meragukan ada orang 
yang menyentuh tengkuknya.
Belum lagi rasa ngeri di hatinya lenyap, tiba-
tiba terdengar jeritan susul-menyusul yang datang dari 
sebelah belakangnya. Hampir copot jantung lelaki ga-
gah itu ketika menyaksikan tubuh dua orang kawan-
nya tengah meluncur deras ke arahnya!
Tanpa pikir panjang lagi, Ki Badarata langsung 
saja melemparkan tubuhnya ke belakang, dan terus
berjumpalitan dan bersalto di udara. Tubuhnya baru 
meluncur turun ketika merasa telah cukup jauh dari 
tempatnya semula.
Dengan sepasang mata membelalak lebar, Ki 
Badarata mengedarkan pandangannya ke sekeliling. 
Kendati tempat itu telah dijelajahi kedua matanya, 
namun sosok pemuda tampan berwajah pucat itu, 
yang menjadi lawannya tetap tidak diketemukan. Kete-
gangan hati lelaki gagah itu semakin menjadi-jadi. Ka-
rena ia tidak tahu di mana lawannya berada.
Dengan langkah perlahan, dan sambil tetap 
mengerahkan indera pendengarannya, lelaki gagah itu 
menghampiri tubuh dua orang kawannya yang tergele-
tak tak bergerak lagi.
Ketegangan di hati Ki Badarata kian menjadi

jadi ketika melihat kedua kawannya tewas dengan leh-
er berlubang. Jelas, kalau mereka terkena tusukan jari 
tangan yang ampuh, dan mengandung kekuatan hebat 
Karuan saja kenyataan itu membuatnya semakin me-
rasa ngeri.
Ki Badarata yang tengah diliputi perasaan ngeri 
dan tegang Itu, tiba-tiba melompat ke depan ketika 
mendengar suara langkah kaki menghampirinya. Pe-
dang di tangannya berkelebat cepat, membentuk gu-
lungan sinar yang membentang! tubuhnya.
"Ajalmu sudah tiba, Orang Tua...," terdengar 
suara dingin dan datar keluar dari mulut Wirya Saka.
Wajahnya pucat, dingin dan tanpa perasaan.
"Iblisss...!" desis Ki Badarata yang menjadi ge-
metar sekujur tubuhnya ketika melihat sinar mata se-
dingin es dari pemuda tampan itu. Tanpa sadar, lelaki 
setengah baya itu melangkah mundur sambil menyi-
langkan senjatanya di depan dada.
Meskipun Ki Badarata bertekad melindungi di-
rinya mati-matian, terap saja ia tidak dapat menang-
kap sosok pemuda itu. Gerakan yang dipertunjukkan 
Wirya Saka sangat cepat sekali. Sehingga lelaki gagah 
itu tidak dapat menangkap gerakan lawannya.
Wuuut!
Praaak...!
Terdengar suara berderak keras ketika telapak 
tangan Wirya Saka menampar hancur batok kepala Ki 
Badarata! Tidak terdengar keluhan dari mulut lelaki 
gagah itu. Karena kepalanya hancur sebelum ia sem-
pat berteriak.
Tanpa ampun lagi, tubuh tukang pukul rumah 
judi kelas satu itu, terjungkal disertai perakan darah 
segar yang bercampur dengan cairan putih. Kemudian, 
ambruk di atas tanah. Setelah berkelojotan sesaat, tubuh tanpa kepala itu diam dan tak bergerak lagi. Ki 
Badarata tewas dalam keadaan sangat mengerikan!
Setelah menewaskan ketiga orang pengeroyok-
nya, Wirya Saka melirik ke arah pertarungan Winarti.
Sinar mara yang biasanya kosong dan dingin 
itu mengerjap. Sepertinya pemuda itu merasa khawatir 
akan keselamatan Winarti, gadis cantik yang baru di-
kenalnya itu.
Meskipun Winarti tidak terlihat terdesak, na-
mun untuk mengalahkan ketiga orang pengeroyoknya 
itu, bukan suatu pekerjaan yang gampang. Kenyataan 
itu membuat Wirya Saka tidak bisa berpangku tangan 
saja.
Dengan diiringi sebuah lengkingan panjang 
yang tinggi, tubuh pemuda tampan itu melesat bagai-
kan seekor burung besar. Kecepatan gerak pemuda 
tampan berwajah pucat itu luar biasa sekali! Hanya ki-
latan cahaya kebiruan yang terlihat meluncur ke ten-
gah arena pertarungan!
Kejadian selanjutnya, benar-benar tidak pernah 
dibayangkan oleh Winarti. Suara lengkingan yang 
nyaring dan menulikan telinga itu, sempat membuat 
pertarungan terhenti sesaat. Dan, selagi ketiga orang 
lawannya tertegun dengan wajah pucat, serta-merta 
tubuh mereka terlempar ke kiri dan seperti terlanggar 
angin topan.
Buggg! Desss! Prakhhh!
Terdengar teriakan-teriakan ngeri yang susul-
menyusul mengiringi robohnya ketiga orang penge-
royok Winarti! Gadis cantik yang urakan dan tidak 
pernah mengenal kata takut Itu, matanya terbelalak 
dan pucat wajahnya melihat keadaan ketiga orang 
pengeroyoknya.
Ki Banggala terlihat berkelojotan dengan tubuh
tanpa kepala! Karena kepala lelaki gemuk itu telah 
hancur terkena tamparan dahsyat yang dilontarkan 
Wirya Saka! Sedangkan dua orang lainnya, menggele-
par bagaikan ayam disembelih. Galiwa dan Galinta me-
rintih dengan tubuh bersimbah darah! Bagian dada 
keduanya tampak melesak ke dalam. Jelas, tulang da-
da mereka jebol karena dihantam telapak tangan pe-
muda tampan berwajah pucat itu.
Sedangkan Wirya Saka sendiri, berdiri tegak 
menatapi mayat ketiga orang itu dengan pandangan 
hampa. Tidak sedikit pun perubahan pada wajah pe-
muda tampan Itu. Dan hatinya tak bergetar sama se-
kali ketika melihat mayat ketiga orang tukang pukul 
rumah judi itu bergeletak.
"Kakang..., apa yang telah kau lakukan...?" 
Hanya pertanyaan itulah yang keluar dari sepasang bi-
bir mungil Winarti. Karena tidak tahu harus berkata 
apa. Sedangkan wajahnya masih terlihat pucat.
"Aku... aku tak tahu, Winarti. Aku... hanya me-
rasa geram, dan mereka ku pukul semua. Hanya itu 
yang kulakukan," sahut Wirya Saka seraya menatap 
Winarti dengan wajah ketololan. Jelas, ia tidak sadar 
sama sekali, atau tidak tahu kalau kejadiannya seperti 
itu.
"Sudahlah. Mungkin kau memang sedang ku-
rang sehat Lagi pula sudah seharusnya mereka dihu-
kum, meski hukuman ini terlalu mengerikan, dan ti-
dak pernah terlintas dalam benakku," ucap Winarti 
menghibur.
Wanita cerdik itu mulai dapat menebak apa 
yang tengah terjadi dalam jiwa sahabat barunya itu. 
Satu hal yang tidak pernah diduganya. Wirya Saka 
ternyata dapat bertindak sangat kejam. Meski pemuda 
itu sendiri tidak begitu menyadari

"Sekarang marilah kita cari rumah judi Juragan 
Jumali. Manusia busuk itulah yang seharusnya men-
dapat hukuman seperti ini," ujar Winarti yang segera 
mengajak Wirya Saka meninggalkan tempat itu.
Wirya Saka yang wajah dan tatapan matanya 
telah kembali seperti semula dingin dan beku, sama 
sekali tidak membantah. Pemuda tampan berwajah 
pucat Itu yang sepertinya menyimpan suatu beban be-
rat itu, menurut saja ketika Winarti membimbing len-
gannya.
***
EMPAT


Sosok tubuh itu berlari cepat seperti kijang. Se-
sekali kepalanya menoleh ke belakang. Seolah la mera-
sa khawatir ada yang mengejarnya. Langkah kakinya 
terhenti ketika ia tiba di sebuah gapura.
"Ada apa, Mirja...? Mengapa kau seperti orang 
ketakutan?" tanya salah seorang penjaga gapura itu, 
yang memiliki wajah persegi dengan gigi menjorok ke-
luar.
Lelaki kurus yang dipanggil Mirja itu tidak se-
gera menjawab. Deru napasnya yang memburu dan 
tak beraturan itu, membuat Mirja sulit menjawab, la 
hanya menunjuk-nunjuk ke arah belakangnya dengan 
wajah pucat.
"Apa ada yang ingin kau laporkan kepada Tuan 
Besar...?" tanya penjaga kedua berkepala setengah bo-
tak, la bertanya demikian karena tidak sabar melihat 
Mirja hanya menunjuk-nunjuk tanpa berkata.
Mirja menganggukkan kepalanya berkali-kali

ketika mendengar pertanyaan itu. Dan, tanpa me-
nunggu lebih lama lagi, lelaki kurus itu segera masuk 
begitu kedua penjaga gapura memberinya jalan.
Sepeninggal Mirja, kedua orang penjaga itu sal-
ing bertukar pandang dan saling meminta pendapat 
masing-masing. Wajah keduanya terlihat agak bin-
gung. Karena mereka tidak tahu secara pasti, apa se-
benarnya yang mau dikatakan Mirja.
"Hm..., firasatku mengatakan ada sesuatu yang 
akan terjadi di sini..." tebak penjaga berwajah persegi 
itu sambil melepaskan pandangannya jauh ke depan. 
Seolah-olah dengan berbuat demikian, ia dapat menge-
tahui apa yang telah terjadi dengan Mirja.
"Yahhh..., firasatku pun mengatakan demikian. 
Sebaiknya kita waspada. Siapa tahu saja dugaan kita 
tidak meleset...," desah penjaga kedua yang berkepala 
setengah botak itu dengan suara seperti orang terce-
tak.
Sikap Mirja yang gagap telah mendatangkan ke-
tegangan di hati kedua penjaga itu. Dan, seperti hen-
dak menenangkan ketegangan harinya, lelaki yang 
berkepala setengah botak Itu meraba gagang pedang 
yang tergantung di pinggangnya. Sedangkan temannya 
yang berwajah persegi sudah siap kemungkinan-
kemungkinan untuk membunuh.
Sementara itu, Mirja yang langsung menghadap 
pemilik rumah yang disebut sebagai 'tuan besar*, du-
duk bersimpuh dengan napas memburu. Lelaki kurus 
itu bersusah-payah menenangkan perasaannya den-
gan menarik napas berulang-ulang.
"Ada apa, Mirja? Sepertinya kau baru saja meli-
hat sesuatu yang menakutkan...?" tanya lelaki tinggi 
besar berpakaian sutera biru. Lelaki yang usianya le-
bih dari setengah baya itu duduk di sebuah kursi bergagang gading. Jelas, kalau ia pemilik rumah besar itu 
yang bernama Juragan Jumali.
"Anu... anu..., Tuan Besar..., anu...," Mirja ma-
sih saja terbata-bata memberikan jawabannya. Sehing-
ga Juragan Jumali mengerutkan keningnya dalam-
dalam.
"Katakan saja, ada apa sebenarnya...?" karena 
tidak sabar melihat sikap yang ditunjukkan pemban-
tunya itu, Juragan Jumali membentak marah. Bah-
kan, ia bangkit dari kursinya dengan kening yang se-
makin berkerut.
"Iiii... Ki Badarata. , Ki Banggala dan empat 
orang tukang pukul Juragan tewas... Hihhh..., menge-
rikan sekali kematian mereka...," jelas Mirja menun-
jukkan mimik wajah memancarkan rasa ngeri hatinya.
"Apa? Bagaimana mereka bisa tewas? Siapa 
yang telah berani mati mengacau rumah judiku? Cepat 
katakan...?" Juragan Jumali menggebrak meja bulat di 
samping kanannya. Meja pun pecah berantakan den-
gan suara berderak keras. Dari sorot matanya yang se-
perti hendak melompat keluar itu, jelas Juragan Juma-
li tengah dilanda kemurkaan yang hebat.
"Aku..., aku tidak tahu. Tuan Besar. Mereka..., 
ada dua orang. Satu laki-laki, dan satunya lagi perem-
puan. Tapi, yang membunuh tukang-tukang pukul
Juragan adalah lelaki muda teman wanita itu. 
Lelaki muda itu sangat jahat sekali. Tuan Besar, la da-
pat membunuh orang hanya dengan sekali pukul' 
Dan..., kepala Ki Banggala serta Ki Badarata pecah 
oleh pukulannya...," jawab Mina yang gemetar ketika 
melihat kemarahan tuan besarnya itu.
"Bagaimana kau bisa mengetahui semua ini? 
Apa kau melihatnya dengan mata kepala sendiri?"
"Benar, Tuan Besar. Aku melihatnya sendiri.

Saat itu aku bersembunyi di balik semak-semak. 
Meskipun jaraknya terpisah beberapa tombak, tapi 
aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Setelah 
kedua iblis itu pergi, aku baru berani keluar dari tem-
pat persembunyian untuk melapor kepada Tuan Be-
sar," jelas Mirja lagi yang kali ini suaranya terdengar 
lebih tenang dan jelas.
"Bedebah, Bangsat!" geram Juragan Jumali. 
Sebenarnya dia sendiri bukan tidak terkejut menden-
gar keterangan Mina. Karena orang yang dapat mem-
bunuh Ki Badarata dan Ki Banggala dengan sekali pu-
kul, sudah pasti tidak bisa dipandang ringan.
Namun, lelaki tinggi besar yang usianya sudah 
mendekati lima puluh enam tahun itu, tidak mau 
memperlihatkan rasa terkejut di depan pembantunya 
yang bernama Mirja itu. Sebisa mungkin ia tetap beru-
saha bersikap tenang dan wajar. Karena meskipun Ju-
ragan Jumali mempekerjakan tukang-tukang pukul, 
bukan berarti ia tidak mengetahui tentang ilmu silat 
Penilaian itu sama sekali tidak betul.
Jauh sebelum Juragan Jumali menetap di Desa 
Ampenan Itu, ia dikenal seorang tokoh sesat berke-
pandaian tinggi yang seringkali menebarkan kejahatan 
di mana-mana. Bahkan dunia persilatan memberikan 
julukan yang cukup mengerikan buat lelaki tinggi be-
sar itu. Iblis Kalajengking Merah.
Julukan itu diberikan kepada Juragan Jumali 
karena dalam setiap aksinya, lelaki tinggi besar itu se-
lalu meninggalkan jejak berupa lambang kalajengking 
merah. Lambang itu selalu ditinggalkannya pada daun 
pintu atau di mana saja, setelah ia menebarkan ben-
cana. Jejak itu sengaja ditinggalkannya. Karena Jura-
gan Jumali tidak ingin dianggap sebagai orang penge-
cut yang tidak mau mempertanggungjawabkan perbua

tannya.
Setelah usianya beranjak tua, tokoh sesat yang 
mengiriskan itu lenyap tanpa berita. Tidak ada seorang 
pun yang tahu, kalau tokoh sesat yang kejam seperti 
iblis itu menetap di Desa Ampenan. Semenjak itu, Iblis 
Kelajengking Merah tidak pernah terlihat keluar dari 
tempat kediamannya yang megah di desa itu. la mem-
buka usaha rumah-rumah perjudian di sekitar Desa 
Ampenan. Dari usahanya itulah Juragan Jumali dapat 
menikmati masa tuanya dengan tenang
Namun, ketenangan Juragan Jumali tidak bisa
dinikmati selamanya. Persoalan yang kali ini datang 
menimpanya, cukup membuat tokoh sesat itu pusing. 
Dan, ia tidak dapat menduga siapa kedua orang muda 
yang telah membunuh orang-orang kepercayaannya 
itu.
Langkah Juragan Jumali terhenti tepat di de-
pan wajah Mirja, yang tidak berani mengangkat kepa-
lanya. Lelaki kurus itu dilanda ketakutan yang hebat, 
tanpa sadar celananya telah menjadi basah.
"Ke mana perginya keparat-keparat itu, Mirja?" 
bentak Juragan Jumali dengan suara menggelegar. 
Kemarahannya yang menggelegak itu semakin menja-
di-jadi ketika ia mencium bau tak sedap yang berasal 
dari celana pembantunya itu
"Mungkin.... Mungkin mereka tengah mengo-
brak-abrik rumah judi kita. Tuan Besar...," meski ter-
dengar terputus-putus, jawaban itu keluar juga dari 
mulut Mirja.
"Bangsat! Kalau mereka berani berbuat demi-
kian, akan kucincang hancur tubuh mereka. Dan, 
akan kuberikan pada anjing hutan potongan tubuh 
mereka...," geram Juragan Jumali dengan gigi berge-
meletukan karena rasa geram yang amat sangat

"Ayo, ikut aku...!" perintah Juragan Jumali 
yang segera menyuruh seorang pelayan mengambil 
senjatanya. Setelah itu, dengan langkah lebar, lelaki 
tinggi besar itu bergegas meninggalkan tempat kedia-
mannya.
Tujuannya adalah rumah judi yang selama ini 
dikelolanya.
***
Juragan Jumali baru saja akan melompat ke 
atas punggung kudanya, terkejut ketika ia mendengar 
jerit kematian dari halaman depan rumahnya. Dari su-
ara teriakannya, tokoh sesat yang telah lama menjalani 
hidup tenang itu segera dapat menduga kalau suara 
itu pasti berasal dari dua orang penjaga gapuranya.
"Setan! Ada apa lagi ini...!" geram Juragan Ju-
mali dengan wajah semakin gelap. Karena belum lagi 
selesai persoalan yang satu, kini muncul persoalan
lain. Tentu hatinya menjadi panas oleh hawa marah.
Mirja yang tengah bersiap menaiki kuda tung-
gangannya pucat seketika. Di dalam benaknya tergam-
bar kematian Ki Badarata dan Ki Banggala. Rasa ce-
mas dan takut, membuat lelaki kurus itu menduga ka-
lau suara jerit kematian itu pasti disebabkan oleh 
pembunuh yang dilihatnya di dalam hutan kecil tadi. 
Teringat peristiwa itu, gemetar sekujur tubuh Mirja.
"Mungkin... kedua pembunuh itu telah sampai 
ke tempat ini. Tuan Besar...," sahut Mirja yang kembali 
celananya menjadi basah.
"Keparat! Kalau memang benar mereka telah ti-
ba di sini, itu lebih baik. Biar mereka tahu, Juragan 
Jumali tidak dapat disamakan dengan juragan-juragan 
lainnya!" geram Juragan Jumali yang segera melompat

turun dari atas kudanya. Sekali berkelebat saja, lelaki 
tinggi besar itu sudah berada hampir empat tombak 
dari tempatnya semula, la terus menghilang di balik 
dinding yang menuju ke pekarangan depan.
"Berhenti...! Siapa kau keparat?" Juragan Ju-
mali mengeluarkan bentakan keras ketika melihat se-
sosok tubuh tegap berpakaian biru berkelebat akan 
memasuki bagian tengah rumahnya. Sambil mengelua-
rkan bentakan, tubuhnya langsung berkelebat meng-
hadang.
Juragan Jumali yang semula siap melontarkan 
segala kemarahan di hatinya, sejenak tertegun ketika 
melihat wajah sosok tegap berpakaian biru itu. Tanpa 
sadar, lelaki tinggi besar yang beberapa waktu lalu 
pernah menggegerkan dunia persilatan itu, bergerak 
mundur dengan seringai ngeri di wajahnya.
Apa yang dihadapi Juragan Jumali saat itu, 
memang benar-benar mengejutkan sekali. Karena, so-
sok tubuh tegap berpakaian serba biru itu, nampak 
aneh dan tidak wajar. Raut wajahnya yang tampan, ta-
pi terlihat pucat. Dengan bilur-bilur berwarna merah 
darah di bagian keningnya. Sepasang matanya yang 
dingin dan tajam itu, memancarkan perbawa yang 
amat kuat Orang seperti Juragan Jumali pun sanggup 
dibuatnya tergetar.
"Hm..., kau pasti orang yang telah membunuh 
Ki Badarata dan Ki Banggala bukan? Sebutkan nama-
mu, sebelum tubuhmu kucincang hancur, dan kujadi-
kan santapan anjing hutan!" Juragan Jumali yang su-
dah dapat menguasai perasaannya mengeluarkan ben-
takan marah. Sementara sepasang matanya yang be-
sar, merayapi sekujur tubuh pemuda itu, kalau-kalau 
la pernah mengenal atau melihat sebelumnya.
Setelah meneliti secara cermat ia tidak mengenal pemuda tampan yang terlihat aneh itu. Juragan 
Jumali menggeser langkahnya dua tindak ke kanan. 
Terdengar gerengan yang keluar dari kerongkongan-
nya. Rupanya kakek itu menjadi gusar karena perta-
nyaannya tidak mendapat tanggapan sama sekali.
Namun, Juragan Jumali yang semula hendak 
mengeluarkan bentakan kembali, bergerak mundur 
empat langkah. Dan, segera ia menyilangkan kedua 
tangannya di depan dada.
Pemuda tampan itu mengeluarkan suara geren-
gan lirih yang membuat jantung Juragan Jumali berge-
tar. Kenyataan itu membuat pemilik rumah judi Ku 
sadar kalau yang dihadapinya, bukanlah seorang la-
wan yang dapat dianggap enteng. Kendati usianya ma-
sih muda, sosok tegap Itu memiliki tenaga sakti yang 
sangat tinggi
Juragan Jumali yang banyak memiliki penga-
laman semasa masih berkeliaran di rimba persilatan, 
tentu saja terkejut merasakan kekuatan tenaga sakti 
lawannya. Sepanjang pengalamannya, hanya tokoh-
tokoh tua yang mampu membuat la tergetar dengan 
penyerang melalui suara gerengan. Tapi, pemuda yang 
pantas menjadi anaknya itu, ternyata mampu mem-
buat dadanya bergetar hanya dengan sebuah gerengan 
lirih. Juragan Jumali semakin yakin kalau pemuda 
yang dihadapinya merupakan lawan tangguh
"Apa maumu, Anak Muda...?" tanya Juragan 
Jumali sambil memutar otaknya guna mencari cara 
untuk menundukkan lawannya. Sambil berkata demi-
kian, ia melangkah mundur dua tindak ke belakang 
seraya mengerahkan tenaga dalamnya, dan bersiap 
siap menghadapi segala kemungkinan.
Diam-diam hati Juragan Jumali merasa terke-
jut sekali. Meskipun yang menyatroninya seorang pemuda ingusan, namun ia merasa tegang Seolah ia me-
lihat ada sesuatu yang ditakutinya dalam diri pemuda 
tampan berwajah pucat itu. Ia mencoba menghibur diri 
dengan menekannya, lawannya hanya seorang pemuda 
yang tidak banyak memiliki pengalaman, namun kete-
gangan dan rasa aneh di dalam hatinya tak juga mau 
hilang.
"Heaaah...!"
Juragan Jumali yang telah siap menghadapi 
sebuah pertarungan, masih sempat terkejut oleh suara 
teriakan yang keluar dari kerongkongan pemuda tam-
pan berwajah pucat itu. Karena suara itu jelas dido-
rong oleh kekuatan dahsyat. Sehingga, suara itu lebih 
mirip sebuah raung orang yang tengah menderita sua-
tu tekanan berat dalam dirinya, bergetar dan merintih.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Juragan 
Jumali cepat mengerahkan kekuatannya untuk mela-
wan pengaruh teriakan itu. Wajah lelaki tinggi besar 
itu terlihat agak merah. Tentu saja tenaga yang dike-
rahkannya guna melawan pengaruh itu cukup banyak. 
"Setan...!"
Juragan Jumali menggeram marah. Saat itu ju-
ga kedua tangannya langsung berputaran, dan me-
nimbulkan angin keras yang menderu-deru.
"Heaaat...!"
Dibarengi sebuah teriakan mengguntur, tubuh 
Juragan Jumali langsung melesat dengan disertai se-
rangan kedua tangannya.
Wuuut! Wuuut!
Tangan-tangan yang besar dan berbulu lebat 
itu bergerak cepat saling bersusulan. Seolah-olah sal-
ing berebutan untuk dapat menyentuh tubuh lawan-
nya. Sambaran angin dingin terdengar berkesiutan. 
Pertanda tenaga dalam yang terkandung di dalamnya

sangat tinggi dan mematikan!
Namun, pemuda tampan berpakaian biru yang 
tidak lain dari Wirya Saka Itu, tidak gentar sama sekali 
oleh serbuan lawannya. Seperti setan, tubuh pemuda
itu mendadak lenyap dari hadapan lawannya Kemu-
dian, langsung melancarkan serangan-serangan ke tu-
buh Juragan Jumali dengan tidak kalah dahsyat'
Iblis Kalajengking Merah atau Juragan Jumali 
yang menyamar sebagai seorang juragan itu, ternyata 
masih dapat bergerak gesit dan membahayakan. Se-
pertinya lelaki tinggi besar yang pernah menjadi mo-
mok di dalam dunia persilatan beberapa waktu lalu, 
tidak pernah melupakan ilmu silatnya. Gerakannya te-
tap terlihat luwes, dan tampak sering dilatihnya Se-
hingga, pertarungan kedua orang sakti itu semakin se-
ru dan menarik.
"Heaaat..!"
Dengan penuh kemarahan. Juragan Jumali te-
rus berusaha merangsek lawannya dengan serangan-
serangan kilat yang mematikan! Kedua tangannya ter-
kadang membentuk cengkeraman, tapi sewaktu-waktu 
dapat berubah menjadi tusukan dengan jari-jari seke-
ras baja, dan mampu menghancurkan batu karang se-
besar perut kerbau. Dapat dibayangkan, betapa men-
gerikan serbuan-serbuan yang dilontarkan Iblis Kala-
jengking Merah itu.
Wirya Saka sendiri tidak terlalu sibuk dengan 
serangan-serangan lawannya. Gerakannya yang seperti 
bayangan hantu itu sanggup membuat Juragan Jumali 
kewalahan dibuatnya. Sebelum serangannya mengenai 
sasaran, pemuda itu lenyap dari pandangannya. Ka-
ruan saja kenyataan itu membuat Juragan Jumali ba-
gaikan kakek-kakek kebakaran jenggot
"Bedebah kau, Setan Keparat! Awas! Kucincang

tubuhmu!" sambil terus berteriak-teriak, Juragan Ju-
mali mengumbar serangannya seperti orang keseta-
nan. Gerakan pemuda tampan berwajah pucat itu jauh 
lebih cepat dari gerakannya, membuat Juragan Jumali 
menjadi kalang-kabut Karena serangannya selalu kan-
das sebelum mencapai sasaran.
Setelah hampir tujuh puluh jurus bertarung 
sengit Juragan Jumali terlihat mengendurkan seran-
gan-serangannya. Lontaran pukulan lawan yang sese-
kali mengancamnya, masih sanggup dielakkan lelaki 
tinggi besar itu dengan geseran-geseran kakinya. Na-
mun, serangan-serangannya mulai jarang dilontarkan, 
kali ini semakin berbahaya. Tenaga lontaran-lontaran 
pukulan Juragan Jumali terasa berat bagaikan ingin 
menggetarkan bumi. Tak Jarang pohon-pohon di seki-
tar tempat pertarungan berderak ribut ketika lelaki tua 
itu melontarkan pukulannya yang tampak lambat tapi 
mengandung kekuatan hebat!
Pemuda tampan berwajah pucat itu, mulai ber-
gerak lambat seperti ingin menyesuaikan dengan gera-
kan-gerakan lawannya. Terkadang tubuhnya melam-
bung ketika lawan melontarkan pukulan yang men-
gancamnya. Bagaikan selembar kapas yang dihembus 
angin, tubuh Wirya Saka terdorong ketika angin puku-
lannya menyambar tubuhnya.
Ketika pertarungan menginjak jurus ke seratus 
lebih, terdengar Wirya Saka mengeluarkan pekikan 
tinggi melengking dan mengejutkan! Saat itu juga, tu-
buhnya langsung melakukan gerakan-gerakan aneh 
yang mengagetkan Juragan Jumali.
"Aaah...!"
Juragan Jumali mengeluarkan seruan kaget ke-
tika melihat keanehan gerakan lawannya. Karena tu-
buh lawannya terkadang lenyap dari pandangannya.


Dan, di lain saat muncul begitu saja di depannya. Ka-
ruan saja gerakan musuhnya membuat Juragan Ju-
mali menjadi kelabakan.
"Langkah Malaikat Maut..?! Kau., kau dari Gua 
Ular...?!" terdengar suara bisikan lemah yang keluar 
dari mulut Juragan Jumali. Wajah orang tua itu pucat 
seketika. Dari bisikannya, jelas sudah ilmu yang dike-
rahkan Wirya Saka dikenal dan sangat ditakutinya 
Tanpa sadar. Juragan Jumali seperti lupa akan ke-
pandaiannya
"Haaat..!"
Bagai binatang liar yang terluka, Wirya Saka 
menerjang lawannya tanpa ampun! Sepasang tangan-
nya yang telah berbentuk cakar itu, langsung meluruk 
ke arah batok kepala Juragan Jumali yang hanya da-
pat memandang dengan mata terbelalak dan wajah 
pucat
"Aaa...!"
Terdengar raung kematian merobek angkasa. 
Berbareng dengan itu, darah segar bercampur cairan 
putih kental memercik ke segala arah! Sementara, tu-
buh Juragan Jumali yang batok kepalanya pecah itu 
terhuyung limbung. Kemudian tubuh itu digedor Wirya
Saka dengan telapak tangan, tampak ia belum puas 
dengan apa yang dilakukannya.
Berbarengan dengan robohnya tubuh Juragan 
Jumali, terdengar raungan panjang yang memilukan 
keluar dari kerongkongan Wirya Saka. Sedangkan ke-
dua tangannya terlihat meremas-remas kepalanya. Je-
las, kalau ia sangat tersiksa. Setelah memperdengar-
kan raung kesakitan, tubuh pemuda tampan yang pe-
nuh misteri itu berkelebat lenyap. Lolongan panjang 
terdengar mengiringi lesatan tubuhnya.
****
LIMA


Sosok tubuh jangkung berpakaian serba hitam
itu berlari cepat, dan menerobos keremangan hutan. 
Rambutnya yang panjang, hingga melewati bahu itu, 
berkibaran tertiup angin. Sesekali langkahnya diper-
lambat, ketika melewati semak belukar yang mengha-
langi jalan. Saat itu tongkat hitam di tangannya berge-
rak ke kiri dan kanan, menyibakkan semak belukar 
yang menghalanginya.
Tidak lama kemudian, sosok tubuh itu tiba di 
sebuah daerah perbukitan kecil, yang masih terletak di 
dalam wilayah hutan itu. Sejenak ia menghentikan la-
rinya dan berdiri termangu. Ditatapinya sebuah tiang 
batu setinggi bahu yang terpancar kokoh di bawah se-
buah pohon. Sepertinya pohon itu sengaja ditanam un-
tuk melindungi tiang batu.
Terdengar helaan napas berat yang keluar dari 
mulut sosok tubuh jangkung berpakaian hitam itu. 
Terlihat dari wajahnya, kalau ia tengah dilanda kere-
sahan.
"Hm..., kalau Siluman Hutan Kembang tidak 
mau memberikan perlindungan kepadaku, terpaksa 
aku akan menantangnya bertarung. Hanya dialah sa-
tu-satunya yang menjadi harapanku untuk bersem-
bunyi. Sedang kawan-kawanku yang lain telah meno-
lak kehadiranku. Gila! Iblis dari Gua Ular itu benar-
benar telah menghebohkan dunia persilatan...," desah 
lelaki jangkung berpakaian hitam itu kembali menghe-
la napas panjang.
Perlahan lelaki jangkung itu mengangkat wa

jahnya. yang cekung dan tulang-tulang pipi menonjol. 
Sepasang matanya menyipit menatap lurus ke depan. 
Sedang tangan kanannya mengelus permukaan tiang 
batu yang pada bagian depannya terdapat tulisan be-
sar dan kokoh.
"Mudah-mudahan saja Partai Siluman Baju 
Kembang belum mendengar berita yang mengheboh-
kan itu. Sehingga aku mempunyai harapan untuk da-
pat bersembunyi di wilayahnya...," usai bergumam, le-
laki itu kembali menggejot tubuhnya yang langsung 
melesat, dan lenyap di balik tikungan jalan.
Tidak lama kemudian, sosok jangkung berpa-
kaian serba hitam itu telah tiba di depan pintu gerbang 
sebuah bangunan besar. Ditatapinya bangunan itu se-
jenak dari jarak empat tombak. Kemudian. Lelaki 
jangkung itu segera melangkahkan kakinya menuju 
pintu gerbang.
Belum lagi sosok rubuh jangkung itu sempat 
mendekat ke arah gerbang, tiba-tiba terdengar suara
berdesing nyaring, yang datangnya dari empat penju-
ru. 
"Hm..."
Seperti telah diduganya, lelaki jangkung berwa-
jah cekung tidak terkejut sama sekali. Tanpa ingin 
mengetahui penyebab timbulnya suara berdesingan 
itu, ia segera memutar tongkat di tangan kanannya 
dengan membentuk lingkaran.
Wuuuk! Wuuuk!
Terdengar suara angin yang menderu ketika 
tongkat hitam di tangan lelaki itu, berputaran melin-
dungi tubuh pemiliknya. Dengan suara berkerontan-
gan, dan disusul dengan suara gemerincing senjata-
senjata rahasia jatuh ke tanah. Rupanya senjata raha-
sia itu berbentuk paku, sebesar ibu jari dengan pan

jang sejengkal. Dan, senjata itu pula yang menimbul-
kan suara berdesing nyaring
Kelanjutan senjata-senjata rahasia itu seperti 
telah diketahui arahnya, sehingga lelaki jangkung itu 
melambung ke udara dengan disertai putaran tubuh-
nya. Kemudian tubuh lelaki jangkung itu hinggap di 
atas ujung kayu pintu gerbang Dan pada saat bersa-
maan, beberapa sosok tubuh berkelebatan ke tempat 
lelaki jangkung itu semula berada. Dengan tindakan 
demikian, lelaki jangkung itu memang telah mengeta-
hui serangan sosok-sosok tubuh itu. Sehingga, ia se-
lamat dari serangan lawannya
"He he he..., kalian salah sangka. Siluman 
Tongkat Beracun tidak mudah untuk dikelabui...," ter-
dengar suara tawa mengejek yang berasal dari atas 
pintu gerbang Partai Siluman Baju Kembang. Suara itu 
tentu saja berasal dari sosok tubuh lelaki jangkung 
yang tengah berdiri angkuh di atas pintu gerbang itu.
"Siluman Tongkat Beracun...!" terdengar enam 
orang berpakaian kembang-kembang yang warnanya 
aneh itu, berseru heran dan terkejut. Jelas, mereka te-
lah mengenal baik siapa lelaki jangkung itu sesung-
guhnya.
Siluman Tongkat Beracun memang dikenal se-
bagai salah satu gembong dunia hitam, yang selalu 
melakukan perbuatan jahat dan keji. Belakangan na-
manya menghilang dan tidak terdengar lagi kabar beri-
tanya. Disebabkan beredarnya berita tentang seorang 
pembunuh gila. Dan, beberapa orang tokoh yang ter-
bunuh dikenal oleh Siluman Tongkat Beracun.
Setelah menimbang-nimbang, lelaki jangkung 
itu sadar kalau suatu hari nanti, pembunuh gila itu 
akan datang mencarinya. Karena semua tokoh persila-
tan yang terbunuh merupakan kawan baiknya dua pu

luh tahun yang lalu (Bagi pembaca yang belum men-
genal tokoh Siluman Tongkat Beracun, dapat diketahui 
lebih jelas pada episode "Mustika Naga Hijau").
Kecurigaan Siluman Tongkat Beracun semakin 
besar, ketika beberapa orang kenalannya yang juga to-
koh-tokoh sesat, ternyata tidak berani menerima ke-
hadirannya. Jelas, kawan-kawannya telah menduga 
kalau ia pasti akan dicari pembunuh gila itu.
Dalam usahanya mencari perlindungan, Silu-
man Tongkat Beracun tiba di daerah Utara. Di Hutan 
Kembang, ia mencari salah seorang sahabat lamanya 
untuk menyembunyikan diri. Itulah sebabnya kenapa 
Siluman Tongkat Beracun telah berada di wilayah Hu-
tan Kembang.
"Benar, akulah yang datang! Tolong beritahu-
kan Siluman Hutan Kembang kalau sahabat lamanya 
datang berkunjung...," seru Siluman Tongkat Beracun 
sambil meluruk turun dari atas pintu gerbang.
"Maafkan kalau kami telah bertindak lancang 
menyerangmu, Ki. Kalau saja engkau tidak berbaik ha-
ri, tentunya kami telah bergeletakan menjadi mayat...," 
ujar salah seorang dari enam lelaki berpakaian kem-
bang-kembang itu. Tubuhnya yang tinggi kokoh agak 
membungkuk. Sedangkan kawan-kawannya yang lain 
segera mengikuti.
"Hm..., kau terlalu merendahkan kepandaian-
mu sendiri, Kisanak. Sebenarnya aku tidak bersung-
guh-sungguh, mungkin akulah yang akan menjadi 
mayat oleh paku-paku kembang kalian yang memang 
sangat terkenal itu...," sahut Siluman Tongkat Bera-
cun. Meskipun terdengar memuji lawannya, namun 
dalam nada ucapannya tersirat kesombongan.
"Silakan, Ki...," ucap lelaki tinggi kokoh itu yang
sepertinya pemimpin dari keenam orang itu.

Setelah berkata demikian, ia membungkukkan 
tubuhnya sambil mempersilakan Siluman Tongkat Be-
racun memasuki halaman perguruan. Sedangkan pin-
tu gerbang perguruan itu telah terbuka setengah.
Tanpa ragu-ragu lagi, Siluman Tongkat Beracun 
segera melangkah lebar memasuki halaman perguruan 
itu. Tawanya terdengar berkepanjangan mengiringi 
langkah kakinya. Sedangkan enam orang lelaki berpa-
kaian seragam kembang-kembang itu tetap mengiringi 
di belakangnya.
***
"Ha ha ha.... Selamat datang, Sahabat. Lama 
sekali kita tidak berjumpa. Angin apakah yang telah 
membawamu ke tempatku yang sunyi dan terpencil 
ini...?" terdengar suara berat yang parau ketika Silu-
man Tongkat Beracun menaiki undakan anak tangga 
kedua, yang terdapat di ruangan depan bangunan 
utama perguruan itu.
Siluman Tongkat Beracun memperdengarkan 
suara tawanya yang berkepanjangan. Sedangkan lang-
kahnya terus saja terayun menuju ke ruang utama.
"Ha ha ha.... Selamat bertemu, Siluman Hutan 
Kembang. Kau nampak tidak berubah semenjak kita 
berjumpa terakhir kali. Kau masih gagah dan sehat
seperti seorang pemuda saja...," puji Siluman Tongkat 
Beracun yang segera menghempaskan tubuhnya di se-
buah kursi yang bergagang gading yang terletak di de-
pan tuan rumah.
"Hm..., tidak perlu menyembunyikan sesuatu 
dariku, Siluman Tongkat Beracun. Dari raut wajahmu, 
aku bisa menduga kalau kau tengah menghadapi per-
soalan yang berat. Kalau boleh ku tahu, apa sebenar

nya yang telah membuat hatimu resah...," tanya Silu-
man Hutan Kembang yang segera melontarkan perta-
nyaan kepada tamunya.
"Haiii..., kau benar-benar hebat, Sahabatku. 
Matamu sangat tajam dan otakmu cerdik sekali," puji 
Siluman Tongkat Beracun.
Sepasang mata Siluman Hutan Kembang me-
rayapi tubuh sahabat lamanya.
"Aku memang tengah menghadapi persoalan 
berat Sayangnya, aku tidak bisa menceritakannya ke-
padamu," ujar Siluman Tongkat Beracun sambil 
menghela napas berat yang berkepanjangan.
"Mengapa kau tidak menceritakannya kepada-
ku? Apakah kau sudah tidak mempercayai ku lagi?" 
Siluman Beracun Kembang melangkah bangkit dari 
kursinya dengan wajah keruh. Jelas, kalau ia merasa 
tidak senang mendengar jawaban sahabatnya itu
"Bukan aku tidak percaya kepadamu, Sahabat 
Tapi, persoalan yang kini kuhadapi sangat berat sekali.
Dan, aku tidak ingin kau sampai ikut terlibat di 
dalamnya," Jawab Siluman Tongkat Beracun yang me-
rasa tidak enak demi mendengar ucapan sahabat la-
manya itu
"Apa pun yang kau hadapi, ceritakanlah kepa-
daku. Demi persahabatan kita, aku berjanji akan 
membantumu, meskipun dengan taruhan nyawa. Nah, 
ceritakanlah...," desah Siluman Hutan Kembang lagi 
sambil menepuk-nepuk bahu sahabatnya.
"Baiklah. Karena kau terlalu mendesak, aku 
akan menceritakan persoalanku ini...," sambil menghe-
la napas berat. Siluman Tongkat Beracun melangkah 
perlahan.
"Sekitar dua atau tiga puluh tahun yang lalu, 
aku pernah mengabdikan diri pada seorang tokoh yang

berjuluk Malaikat Gunung Naga. Di sana, aku banyak 
mengenal orang lain, yang kini menjadi tokoh-tokoh 
terkenal di kalangan rimba persilatan. Kami semua 
memang tamak dan serakah."
Siluman Tongkat Beracun menghentikan ceri-
tanya sejenak. Mata lelaki jangkung itu nampak terpe-
jam seperti ingin mengumpulkan daya ingatannya ten-
tang peristiwa itu
Siluman Hutan Kembang diam dan memperha-
tikan cerita lelaki Jangkung di hadapannya.
"Suatu hari kami merencanakan mencuri se-
buah benda keramat yang bernama Mustika Naga Hi-
jau. Karena benda itu merupakan kunci untuk mem-
buka sebuah tempat di Gua Ular. Sedangkan letak gua 
itu sendiri, hanya ada dalam peta yang selalu mem-
bungkus mustika itu."
Siluman Hutan Kembang tetap tidak menun-
jukkan perasaannya. Lelaki gagah bertubuh gemuk 
dan berperut gendut itu, hanya memandangi wajah 
sahabatnya.
"Benda itu berhasil kami dapatkan. Sedangkan 
Malaikat Gunung Naga dan seluruh keluarganya, kami 
bantai habis tanpa rasa kasihan sedikit pun."
"Jadi benda itu kau pegang sekarang?" potong 
Siluman Hutan Kembang.
"Sayang di tengah perjalanan kami saling mem-
perebutkan benda itu. Salah seorang di antara kami 
yang berjuluk Dewa Kerdil berhasil mendapatkan ben-
da mukjizat itu. Tapi, ia menyembunyikan dirinya ber-
tahun-tahun. Karena kami semua mencarinya untuk 
merebut kembali benda itu dari tangannya. Dua tahun 
yang lalu, aku sempat mendengar kabarnya. Berita itu 
ternyata didengar pula oleh Sepasang Beruang Iblis. 
Tentu saja kami saling berlomba untuk merebut benda

itu (Baca "Mustika Naga Hijau").
Siluman Hutan Kembang hanya membisu.
"Belakangan ini, tiba-tiba tersiar kabar seorang 
pembunuh gila yang datang dari Gua Ular. Semua itu 
dapat diketahui dari cerita, salah seorang yang berha-
sil lolos dari amukan pemuda gila itu. la sempat meli-
hat 'Ilmu Langkah Malaikat' yang dipergunakan pemu-
da itu. Mereka yang terbunuh adalah orang-orang yang 
dulu pernah bekerja pada Malaikat Gunung Naga, ma-
ka aku pun mendapat firasat kalau pembunuh gila itu 
pastilah akan mencariku. Beberapa orang temanku di 
wilayah Barat sana, tidak mau menerimaku."
"Kenapa?" tanya lelaki gemuk dan berperut 
gendut yang berjuluk Siluman Hutan Kembang itu.
"Mereka takut akibat yang bakal mereka terima. 
Itulah sebabnya, aku ke tempatmu yang sunyi dan 
terpencil ini," jelas Siluman Tongkat Beracun mengak-
hiri ceritanya.
"Aneh. Kenapa kau takut terhadap seorang 
pembunuh yang hanya seorang pemuda ingusan itu? 
la memang dapat membunuh tokoh-tokoh lainnya, tapi 
siapa tahu ia menggunakan jebakan atau cara-cara 
yang licik. Sehingga, kawan-kawanmu itu dapat diban-
tainya," Siluman Hutan Kembang mencoba membang-
kitkan keberanian di hati sahabatnya dengan mere-
mehkan pembunuh gila itu.
"Hhh..., kau tidak tahu. Sahabatku. Pemuda itu 
memang masih ingusan. Tapi, ia memiliki 'Ilmu Lang-
kah Malaikat'. Sebuah ilmu dahsyat yang tidak mudah 
dipelajari. Selain itu, orang yang berhadapan dengan-
nya, seolah-olah tengah berhadapan dengan malaikat 
la sama sekali tidak mengetahui di mana lawan saat
itu. Nah, kau bisa bayangkan, apa yang terjadi kalau 
kau berhadapan dengannya?" bantah Siluman Tongkat

Beracun yang merasa kurang senang, karena sahabat-
nya telah meremehkan ilmunya.
"Yahhh..., aku memang pernah mendengar na-
ma tokoh sakti yang berjuluk Malaikat Gunung Naga 
itu. Kepandaiannya memang sangat tinggi. Hanya ada 
beberapa orang tokoh yang dapat disejajarkan dengan 
anak muda itu. Ah, sudahlah. Sebaiknya, kau kuantar 
ke tempat istirahat Kau boleh tinggal di tempat Ini 
sampai bosan...," ujar Siluman Hutan Kembang sambil 
mengajak sahabatnya ke kamar yang memang disedia-
kan untuk tamu-tamunya.
Siluman Tongkat Beracun sama sekali tidak be-
rusaha membantah. Lelaki jangkung itu menyeret 
langkahnya dan mengikuti sahabat lamanya itu
***
"Heaaah...!"
Sosok bertubuh tegap itu meraung keras, sam-
bil memijat kepalanya sendiri berulang-ulang Melihat 
dari raut wajahnya yang terlihat sangat tersiksa itu, je-
las kalau sosok tubuh tegap berpakaian serba biru Itu 
tengah merasakan sesuatu yang menyakitkan pada 
bagian kepalanya.
Tidak lama kemudian, sosok tubuh yang tidak 
lain Wirya Saka itu menegang. Perlahan-lahan kedua 
tangannya turun ke sisi pinggang. Tampak wajah pe-
muda itu pucat, dengan bilur-bilur merah di sepanjang 
keningnya.
Seperti orang yang hilang kesadarannya, tiba-
tiba pemuda itu melesat cepat bagaikan kilat Kecepa-
tan ilmu lari yang dimiliki pemuda itu luar biasa seka-
li, yang tampak hanya secercah sinar biru berkelebat 
melintasi pepohonan.
Cukup lama Wirya Saka berlari seperti orang gi-
la yang tidak mengenal lelah. Gerakannya baru diper-
lambat ketika ia melintasi sebuah daerah perbukitan 
kering. Kemudian, ia melangkah lambat tanpa seman-
gat
"Kakang Wirya...!"
Wirya Saka menoleh ketika mendengar suara 
yang memanggil namanya. Sekilas terlihat sorot ke-
gembiraan pada sepasang matanya. Namun, itu hanya 
sekejap karena sinar mata pemuda itu kembali kosong, 
dingin dan tanpa semangat hidup.
Sosok tubuh ramping berpakaian merah darah 
yang memanggil Wirya Saka, bergegas mendekati pe-
muda tampan itu Wajahnya yang cantik dengan sepa-
sang mata indah itu, nampak semakin memikat. Rasa 
bahagia dan gembira berjumpa dengan pemuda tam-
pan itu, tidak disembunyikannya sama sekali.
"Winarti...," desis bibir Wirya Saka dengan wa-
jah yang tetap tidak menunjukkan perasaan hatinya
Pemuda itu berdiri tegak, dan menyongsong kedatan-
gan wanita berpakaian merah darah yang ternyata Wi-
narti itu.
"Ke mana saja kau, Kakang? Mengapa kau tiba-
tiba mengamuk seperti orang kesetanan di rumah judi 
itu? Lalu lenyap begitu saja tanpa kabar? Satu hal 
yang membuatku tidak jadi marah kepadamu, yaitu, 
kau ternyata telah lebih dahulu menghabisi nyawa Ki 
Jumali, si Juragan Keparat itu," Winarti langsung saja 
bercerita panjang lebar. Bibirnya bergerak-gerak lucu 
ketika ia bercerita. Sehingga, mau tidak mau, Wirya 
Saka terpaku menatapnya.
"Aku..., aku tidak tahu, Winarti. Sekarang pun 
aku tidak tahu harus ke mana...," desah Wirya Saka 
dengan suara lirih. Kemudian membalikkan tubuhnya


dan melangkah gontai menyusuri tanah bebatuan.
"apa maksudmu, kakang. ada apa sebenarnya 
yang terjadi dengan dirimu?" tanya winarti yang segera 
menarik tangan wirya saka sehingga pemuda itu ter-
paksa menghentikan langkahnya.
"apa yang terjadi dengan diriku...? aaah..., aku 
tidak tahu, winarti. sepertinya aku telah gila. tanpa 
sebab, tiba-tiba saja kepalaku terasa sakit, bagai di-
himpit oleh sesuatu yang amat kuat. lalu, aku tiba-
tiba ingin membunuh siapa saja yang kutemui. bah-
kan yang lebih mengerikan, kadang aku tidur di atas
mayat seseorang yang baru saja tewas. kau tahu, wi-
narti? mayat itu ternyata akulah yang membunuhnya. 
karena di tanganku masih membekas noda-noda da-
rah yang basah...," ujar wirya saka yang segera menu-
tup wajahnya dengan hati terpukul perih. jelas, kalau 
pemuda tampan berwajah pucat itu sangat menderita.
"kasihan kau, kakang. semenjak pertama kali 
aku melihatmu, telah kuduga kalau kau tengah memi-
kul beban berat. dan, karena aku merasa suka kepa-
damu. aku sengaja mencari jalan untuk dapat menge-
nalmu lebih dekat. sayang, kau menghilang begitu sa-
ja, ketika kita tengah menghancurkan rumah judi di 
desa ampenan," gumam winarti.
wirya saka tetap menutup wajahnya dengan 
kedua telapak tangan, dan tanpa bicara sepatah kata 
pun.
"ke mana saja kau selama ini, kakang? apa 
yang telah kau alami...?" tanya winarti dengan wajah 
cemas. dan tanpa rasa canggung lagi, gadis cantik itu 
langsung memegang dan mengguncangkan bahu pe-
muda tampan berwajah pucat itu kuat-kuat
"aku tidak tahu..., winarti.... aku tidak tahu..., 
sahut wirya saka berulang-ulang sambil tetap menutup wajahnya dengan telapak tangan.
Winarti terpaksa diam, membiarkan Wirya Saka 
larut dalam kedukaannya, la hanya duduk menunggu
dengan sabar. Dan, ia berharap dengan pemuda yang 
tampan berwajah pucat itu mau mencari jawaban atas 
segala yang telah dilakukannya.
***
ENAM


"Syukurlah kau bisa mengatasi penyakit menu-
lar itu. Kenanga. Hhh..., kasihan sekali nasib pendu-
duk desa yang terpencil itu. Sayang, orang-orang pan-
dai itu tidak banyak menyadari kepentingan mereka. 
Kalau saja orang-orang pandai itu mau mengorbankan 
tenaganya di Desa Pugar, tentu wabah penyakit menu-
lar itu tidak akan menelan korban yang begitu ba-
nyak," ujar seorang pemuda tampan berjubah putih 
dengan nada penuh sesal.
Gadis berpakaian serba hijau yang berjalan di 
sebelah kiri pemuda berjubah putih itu memberikan 
tanggapan. Wajahnya yang cantik jelita seperti bidadari 
itu, tengadah sejenak dan menatapi cakrawala biru. 
Terdengar helaan napasnya yang berat dan berkepan-
jangan.
"Hhh..., pada masa sekarang ini, sulit sekali 
menemukan orang yang berwatak jujur, Kakang. Ke-
banyakan mereka, lebih mementingkan keperluan pri-
badi daripada orang lain. Kalau pun .mereka mau me-
nolong, tentunya dengan imbalan yang pantas. Mereka 
mana mungkin mau bersusah payah mendatangi desa 
terpencil itu, hanya untuk memberikan pertolongan

tanpa imbalannya?" sahut gadis jelita itu seraya me-
malingkan wajahnya dan menatap wajah pemuda tam-
pan. Senyumnya tampak terkembang, sehingga me-
nambah kejelitaan wajahnya.
"Yahhh..., untunglah saat wabah itu terjadi, ke-
betulan hadir seorang bidadari berhati emas. Dengan 
kepandaian ilmu pengobatan, bidadari itu berhasil 
menyelamatkan penduduk Desa Pugar dari ancaman 
maut Sempat ku saksikan, betapa para penduduk desa 
itu sangat berat melepaskan kepergian sang Bidadari 
yang telah menolong mereka. Bahkan, beberapa di an-
tara mereka sempat mencucurkan air mata. Benar-
benar sebuah pemandangan yang sangat mengharu-
kan...," desah pemuda tampan itu sambil melirik si ga-
dis jelita dengan tersenyum menggoda.
"Aaah, kau terlalu berlebihan, Kakang, Tapi, bi-
ar bagaimanapun, sebenarnya kaulah yang telah me-
nolong mereka secara tidak langsung. Karena kepan-
daian yang kumiliki ini datangnya dari, Kakang," elak 
gadis jelita itu dengan cerdik.
"Ha ha ha..., kau pandai sekali memutar balik 
omongan orang. Kenanga. Rupanya selama ku tinggal-
kan di Desa Pugar, banyak kemajuan yang kau da-
patkan. Benar-benar mengagumkan sekali...," puji pe-
muda tampan itu lagi sambil mengulurkan tangannya, 
dan langsung dipeluknya tubuh gadis jelita itu dengan 
penuh rasa cinta.
Gadis jelita berpakaian hijau yang bernama Ke-
nanga, sama sekali tidak mengelak pelukan pemuda 
tampan itu. Malah ia merebahkan kepalanya ke bahu 
pemuda itu, yang tidak lain Panji. Sambil merebahkan 
kepalanya, tangan kanannya melingkar memeluk ping-
gang kekasihnya.
Cukup lama sepasang kekasih itu terbuai da

lam rasa cinta dan rindu yang telah terpendam. Lang-
kah-langkah kaki keduanya menyusuri jalan setapak 
dengan lambat Tampak di kiri dan kanan terlihat pe-
pohonan yang rimbun.
Selagi keduanya terlelap dalam rasa kasih yang 
dalam, mendadak Panji menghentikan langkah. Tentu 
saja membuat Kenanga tersentak kaget. Gadis jelita itu 
langsung mengangkat kepalanya dari bahu Panji.
"Ada apa, Kakang..? Kau mendengar sesua-
tu...?" tanya Kenanga yang memang mengetahui keta-
jaman pendengaran kekasihnya. Kemudian gadis jelita 
itu mengerahkan indera pendengarannya. Meskipun ia 
telah mencobanya sekuat kemampuan, tapi tidak satu 
pun mencurigakan tertangkap oleh indera pendenga-
rannya.
"Aku seperti mendengar suara orang yang se-
dang bertempur. Mungkin jaraknya sangat jauh dari 
tempat ini. Aku belum bisa memastikan di mana suara 
itu berasal. Tapi, sepertinya pertarungan itu sangat 
hebat.," sahut Panji yang segera memejamkan matanya 
dan mengerahkan kekuatan indera pendengarannya, 
guna memastikan di mana pertempuran itu berlang-
sung.
Kenanga yang melihat kekasihnya tengah men-
cari asal suara itu, hanya berdiri menatap Panji. Kare-
na ia sendiri tidak bisa menangkap suara itu, maka ia 
hanya menanti dan mengharapkan kekasihnya dapat 
menemukan asal suara itu.
"Bagaimana, Kakang,..?" tanya Kenanga sambil 
mendekati Panji begitu matanya terbuka.
"Mari ikut aku...," Panji segera melesat dengan 
mengerahkan ilmu larinya. Pemuda itu sengaja tidak 
mengerahkan tenaga sepenuhnya. Karena ia tidak in-
gin kekasihnya tertinggal jauh.

Melihat tubuh kekasihnya sudah melesat. Ke-
nanga bergerak menyusul. Wajah gadis itu sempat ber-
seri, ketika mengetahui kalau kekasihnya sengaja 
memberi kesempatan untuk menyusul. Sehingga, gadis 
jelita itu dapat menjajari pemuda tampan itu. Namun, 
Kenanga harus mengerahkan seluruh ilmu kepandaian 
larinya agar dapat mengimbangi Panji.
Tidak lama kemudian, sepasang kekasih itu ti-
ba di sebuah daerah perbukitan tandus. Dari kejauhan 
Panji melihat dua sosok tubuh tengah bertarung sengit 
Namun, Panji yang pandangan matanya lebih tajam 
dan jeli dari tokoh-tokoh kebanyakan, dapat menilai 
dengan tepat. Panji tahu kalau kedua orang itu bukan
tengah bertempur. Lebih tepat, sosok tubuh yang lebih 
pendek dan berambut lebih panjang itu, tidak mempu-
nyai kesempatan untuk menyerang. Sosok yang diduga 
Panji sebagai seorang gadis itu, tampak tengah beru-
saha menyelamatkan dirinya dari serbuan sosok yang 
berpakaian biru.
Sadar kalau sosok tubuh ramping berpakaian 
merah darah itu tidak mungkin dapat bertahan lama, 
bergegas Panji melesat dengan kecepatan kilat, dan 
langsung memapaki cengkeraman sosok berpakaian 
biru itu, yang siap mencengkeram batok kepala lawan-
nya.
"Haiiit..!" 
Wukkk!
Begitu tiba, Panji langsung mengirimkan tam-
paran dengan telapak tangan kanannya. Serangkum 
hawa dingin yang menggigit tulang berhembus mengi-
ringi lontaran telapak tangan, yang di sekelilingnya 
terselimut kabut putih keperakan.
Pyarrr..!
"Aaah...!"

"Uhhh...!"
Benturan cengkeraman dengan telapak tangan 
dari kedua sosok tubuh itu, ternyata menimbulkan 
akibat yang sangat hebat sekali! Dibarengi seruan ka-
get dari mulut keduanya, tubuh mereka pun terdorong 
kebelakang, hingga satu setengah tombak! Keduanya 
segera mematahkan daya dorong itu dengan berjumpa-
litan dua kali, kemudian mendarat ringan di atas per-
mukaan tanah.
"Hal... tidak kusangka, hebat-juga tenaga yang 
dimiliki sosok berpakaian biru itu. Dia tidak hanya 
mampu menahan gempuran "Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan'ku Tapi, sanggup pula membuat tubuhku terdo-
rong.' Hebat...!" Panji memuji ketika merasakan hebat-
nya kekuatan sosok berpakaian serba biru itu.
Jarang tokoh yang mampu menandingi kekua-
tan tenaga Panji, sehingga buat pemuda itu kagum 
terhadap orang yang mampu membuat tubuhnya ter-
dorong. Padahal, tenaga yang dikerahkannya cukup 
tinggi. Dan, jarang orang yang mampu menahannya.
Kekagetan Panji yang dikenal sebagai Pendekar 
Naga Putih ternyata tidak selesai sampai di situ. Bah-
kan, yang lebih mengejutkannya ketika ia melihat se-
cara jelas, sosok berpakaian serba biru itu memiliki 
kekuatan .tenaga sakti yang sangat tinggi.
Wirya Saka...?.'" seru Panji yang hampir tidak 
percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang pemuda 
lugu yang mendapatkan warisan tanpa sengaja dari 
seorang kakek kecil kurus yang berjuluk Dewa Kerdil 
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang perkenalan Pan-
ji dengan Wirya Saka, baca episode "Mustika Naga Hi-
jau").
Kenanga yang telah mengetahui dari cerita Pan-
ji, sejenak menatap lelaki muda berwajah pucat yang

bernama Wirya Saka. Wajah jelitanya berkerut ketika 
melihat wajah pemuda tampan berwajah pucat yang 
tampak menderita itu.
"Kakang..., dia., dia itu sepertinya... " Kenanga 
tidak melanjutkan ucapannya. Panji lebih dahulu me-
motong ucapan gadis jelita itu.
"Ya. Sepertinya pemuda itu dalam keadaan ti-
dak wajar. Tapi, entah apa aku sama sekali tidak bisa 
menduganya secara pasti. Perlu diteliti secara lebih 
dekat untuk mengetahuinya...," sahut Panji sambil te-
tap menatap wajah Wirya Saka dengan penuh selidik.
"Kisanak, jangan lukai dia. Dia... dia tidak tahu 
dengan apa yang dilakukannya...," tiba-tiba saja, gadis 
berpakaian merah darah yang diselamatkan Panji 
mendekati kedua orang itu, dan memohon perlindun-
gan dengan suara bergetar.
"Hm..., jangan takut, Nisanak. Aku kenal den-
gan pemuda itu. Dan, ia pun mengenalku bila dalam 
keadaan wajar. Tahukah kau, apa yang menyebabkan-
nya berbuat seperti itu kepadamu...?" tanya Panji yang 
berusaha mencari keterangan dari gadis cantik berpa-
kaian serba merah itu.
"Aku..., aku tidak tahu secara pasti Karena ka-
mi belum lama berkenalan. Aku... merasa kasihan se-
kali kepadanya. Kadang-kadang ia terlihat murung, 
dan tanpa gairah hidup Tapi, bila penyakitnya kumat 
berubah menjadi iblis yang tidak kenal ampun. Seperti 
yang kau saksikan tadi, meski aku sahabatnya, na-
mun tetap diserangnya seperti musuh besar yang san-
gat dibencinya...," tutur wanita cantik berpakaian me-
rah darah yang tidak lain dari Winarti itu
"Hm..., Wirya Saka..., apakah kau masih men-
genaliku...?" tanya Panji sambil melangkah mendekati 
pemuda tampan berwajah pucat itu. Kening Panji ber

kerut ketika melihat bilur-bilur merah yang memben-
tuk garis melengkung di kening Wirya Saka.
"Hmrrr...!"
Panji menghentikan langkahnya ketika melihat 
wajah pemuda tampan berwajah pucat itu makin ber-
tambah buas. Bahkan Wirya Saka menggereng seperti 
seekor harimau yang terganggu kesenangannya Jelas, 
Wirya Saka tidak mengenali Panji sama sekali.
"Haaarkhhh...!"
Tiba-tiba, disertai raungan panjang yang meng-
getarkan perbukitan itu, Wirya Saka melesat dengan 
kecepatan kilat Dan, langsung melancarkan serangan-
serangan maut ke arah Panji.
Wuuut! Wuuut! Wuuut!
Sambaran angin dahsyat yang bercicitan, da-
tang susul-menyusul mengancam tubuh Pendekar Na-
ga Putih. Menilik dari gerakan dan sambaran angin 
pukulannya, jelas serangan Wirya Saka sangat berba-
haya dan mematikan!
"Mundur kalian...!" seru Panji kepada Kenanga 
dan gadis berpakaian merah darah itu, seraya Panji 
bergerak dan melompat ke samping kiri. Sengaja ia 
bertindak demikian untuk memancing Wirya Saka agar 
mengejarnya terus, dan menjauhi kedua gadis itu.
Pendekar Naga Putih tentu saja menjadi serba 
salah. Untuk menggunakan kepandaiannya, ia khawa-
tir Wirya Saka akan terluka. Sedang bila dibiarkan, la 
sendiri bisa celaka di tangan pemuda tampan berwajah 
pucat itu yang telah berubah menjadi iblis pembunuh 
itu.
Panji tidak sempat berpikir panjang. Karena 
Wirya Saka menggempurnya terus dengan serangan-
serangan dahsyat! Pendekar Naga Putih benar-benar 
dipaksa mengerahkan kecepatan geraknya kalau ia ti

dak ingin celaka.
"Hebat' Rupanya Wirya Saka telah menguasai 
ilmu pusaka yang tersimpan di Gua Ular itu Luar biasa 
sekali ilmu ini. Kalau saja aku tidak hati-hati, bukan 
tidak mungkin aku akan celaka di tangannya," desis 
Panji yang kagum terhadap ilmu yang dimiliki lawan-
nya.
Kekaguman Panji berubah menjadi kaget, keti-
ka ia menyaksikan kepandaian 'Ilmu Meringankan Tu-
buh' Wirya Saka. Ternyata kepandaiannya itu tidak di 
bawah tingkatannya. Terus saja Pendekar Naga Putih 
semakin kagum dibuatnya. 
"Yeaaat..!"
Ketika pertempuran memasuki jurus keempat 
puluh, tiba-tiba saja Wirya Saka mengeluarkan suara 
nyaring. Bersamaan dengan itu, tubuhnya berjumpali-
tan di udara, dan meluruk dengan disertai dorongan 
telapak tangannya.
Wusss...!
Serangkum angin dahsyat yang mengeluarkan 
hawa aneh, berhembus keras mengancam jiwa Pende-
kar Naga Putih!
Panji bukan tidak sadar akan bahaya maut 
yang mengancamnya, la segera melemparkan tubuh-
nya ke samping sejauh satu tombak lebih. Pendekar 
Naga Putih sengaja tidak memapaki dorongan dahsyat 
yang mematikan itu. Itu dilakukannya karena ia tidak 
ingin Wirya Saka mengalami cedera. Karena, ia tahu 
kalau tindakannya dilakukan tanpa kesadaran yang 
wajar.
Blarrr..."
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan dorongan 
sepasang telapak tangan Wirya Saka! Tiga batang po-
hon yang besarnya dua pelukan orang dewasa, langsung tumbang dan hancur berserpihan!
"Hebat..!" Panji yang merasa takjub dengan ke-
dahsyatan pukulan yang ditunjukkan Wirya Saka. Ke-
nyataan itu membuatnya semakin bertambah cemas!
"Kakang! Dia tidak bisa dibiarkan! Kalau kau 
terus mengalah, kau sendiri yang akan celaka di tan-
gannya...!" Kenanga merasa terkejut melihat kedahsya-
tan pukulan Wirya Saka, berseru memperingatkan ke-
kasihnya. Hati gadis jelita itu diliputi rasa cemas akan 
keselamatan Panji.
Panji sendiri sudah mulai berpikir lain. Kedah-
syatan tenaga sakti yang ditunjukkan Wirya Saka, 
mau tidak mau membuatnya semakin bertambah ce-
mas! Biar bagaimanapun, ia ingin menundukkan 
Wirya Saka dengan jalan yang diyakininya tidak akan 
membuat pemuda tampan berwajah pucat itu celaka.
"Hm...," Panji bergumam lirih dengan wajah 
yang tiba-tiba bersinar cerah. Pemuda sakti itu tam-
paknya telah menemukan jalan keluar yang dianggap-
nya sangat baik.
Setelah mendapatkan jalan untuk menunduk-
kan Wirya Saka tanpa membuatnya cedera, Panji 
menggeser kedua kakinya dan membentuk kuda-kuda 
menunggang kuda. Dengan sebuah gerengan lirih dan 
menggetarkan, Pendekar Naga Putih merendahkan ku-
da-kudanya. Sesaat kemudian, terlihat dua buah sinar 
membelah tubuhnya. Kedua sinar itu berasal dari 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', dan 'Tenaga Sakti Inti 
Panas Bumi'.
"Heaaah...!"
Hembusan angin dingin dan panas menyebar 
ketika Panji menggerakkan kedua tangannya secara 
menyilang. Meski gerakannya terlihat lambat, namun 
sambaran udara yang ditimbulkannya benar-benar

menggetarkan. Kenanga dan Winarti yang menyaksi-
kan Pendekar Naga Putih, bergerak mundur tanpa sa-
dar. Bahkan wajah Winarti tampak pucat dan dilanda 
kecemasan yang hebat.
Namun sebelum Panji membuka serangan, tiba-
tiba terdengar suara-suara aneh. Suara-suara seperti 
siulan dan rintihan itu, terdengar bergelombang den-
gan membawa pengaruh yang sangat kuat
Gelombang suara yang dikirim melalui kekua-
tan tenaga sakti tingkat tinggi, terus menggeletar me-
menuhi arena pertarungan.
Panji sendiri terkejut dengan serangan gelom-
bang suara aneh itu, dan keningnya berkerut dalam. 
Walaupun seluruh tubuhnya telah dilindungi dua te-
naga mukjizat itu, tapi Panji sempat merasakan kekua-
tan gelombang suara aneh itu.
Pendekar Naga Putih tahu kalau gelombang su-
ara aneh itu, bukan dimaksudkan untuk menyerang-
nya. Panji menjadi curiga. Tapi, ia tetap waspada ter-
hadap gerakan-gerakan pemuda berwajah pucat itu.
"Yieeehhh...!"
Mendadak saja, Wirya Saka yang mendengar 
suara aneh bergelombang itu, berteriak nyaring seperti 
lenguhan binatang terluka. Tampak pemuda berwajah 
pucat itu meremas-remas kepalanya dengan wajah mi-
rip orang kesakitan. Kemudian, tanpa mempedulikan 
Panji lagi, tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu 
segera melesat dengan gerakan aneh.
"Haiii..! Ilmu apa yang dipergunakan Wirya Sa-
ka itu...?" seru Panji yang merasa heran melihat tubuh 
Wirya Saka yang terkadang lenyap dari pandang ma-
tanya, tapi ketika tubuhnya muncul, bayangannya te-
lah jauh terpisah sekitar lima sampai enam tombak 
dari tempatnya semula. Tentu saja Panji yang belum

mengenal ilmu itu menjadi tertegun keheranan!
Panji terkagum-kagum melihat cara Wirya Saka 
melarikan diri. la tidak terpikir untuk mengejarnya. 
Hanya berdiri tegak dengan sepasang matanya mena-
tap bayangan pemuda tampan berwajah pucat yang 
pernah ditolongnya itu, lenyap di balik tikungan jalan 
yang terhalang oleh dinding bukit
"Hm.., jelas suara aneh bergelombang itu yang 
menyebabkan Wirya melarikan diri. Semua itu pasti 
ada hubungannya dengan ketidakwajaran sikap pe-
muda itu...," gumam Panji yang mulai dapat meme-
cahkan sedikit rahasia di balik keanehan sikap Wirya 
Saka.
***
"Mengapa kau tidak berusaha mengejarnya, 
Kakang?" tanya Kenanga yang merasa tidak puas me-
lihat kekasihnya diam termangu.
"Kurasa untuk sementara ini kita biarkan saja. 
Kenanga. Sebab, aku ingin mengetahui lebih dahulu 
apa yang menyebabkan Wirya Saka bertingkah laku 
aneh seperti itu. Aku merasa curiga, jangan-jangan 
ada orang di belakang layar yang menggunakan pemu-
da itu untuk mencapai maksud-maksud tertentu. Kita 
harus tetap waspada. Menurutku, orang yang mengua-
sai Wirya Saka itu, pasti bukan tokoh sembarangan. 
Semua itu dapat terlihat dari ilmu kepandaian yang 
dimiliki Wirya Saka...," jelas Panji yang tidak mele-
paskan pandangannya dari tempat Wirya Saka meng-
hilang.
"Lalu, ke mana lagi kita harus mencarinya? Se-
dangkan Wirya Saka jelas memerlukan pertolongan. 
Dan, kita tidak tahu ke mana tujuannya sekarang...?"

Winarti yang memang sangat mencemaskan Wirya Sa-
ka bertanya dengan wajah murung dan sedih.
"Hm..., Wirya Saka pastilah orang yang dijuluki 
Pendekar Gila. Dan, melihat ia pergi begitu saja setelah 
mendengar suara aneh. Aku menduga ia mendapat tu-
gas untuk membunuh musuh-musuh orang yang 
mengendalikannya. Kalian tidak usah cemas. Aku 
mempunyai cara, dan aku yakin dengan cara itu kita 
dapat ' menemukan Wirya Saka. Mari ikut aku...," ajak 
Panji yang segera melangkah perlahan.
Kenanga dan Winarti tidak berkata-kata lain.
Keduanya melangkah di belakang Pendekar Naga Putih 
dengan wajah penuh tanda tanya. Karena mereka me-
mang tidak tahu apa yang akan dilakukan Panji untuk 
menemukan jejak Wirya Saka.
***
TUJUH


Wirya Saka terus berlari meninggalkan Panji, 
tanpa menoleh lagi. Sambil berkelebatan seperti 
bayangan hantu, pemuda tampan berwajah pucat itu 
terus saja meremas-remas kepalanya. Karena ia mera-
sakan denyut-denyut yang menyakitkan seperti ribuan 
jarum menusuk batok kepalanya.
Setelah berlari setengah harian penuh, Wirya 
Saka yang dijuluki Pendekar Gila itu tiba di mulut Hu-
tan Kembang Seperti ada yang menuntunnya, pemuda 
tampan berwajah pucat itu bergegas memasuki hutan. 
Keremangan hutan tidak dipedulikan pemuda tampan 
berwajah pucat itu sama sekali. Dia tetap saja melang-
kah hingga tiba di sebuah tiang batu setinggi dadanya.

Untuk beberapa saat lamanya, Pendekar Gila 
itu berhenti dan berdiri mengawasi sekelilingnya. Sorot 
mata yang dingin dan mengerikan itu, memandang se-
jenak sebuah jalan kecil yang sering digunakan orang 
untuk lewat Tanpa berpikir panjang lagi, tubuh pemu-
da tampan berwajah pucat itu terus melesat dan me-
nerobos jalan kecil yang di kiri dan kanannya ditum-
buhi semak belukar.
Langkah kakinya baru terhenti, ketika tiba di 
sebuah pintu gerbang yang kokoh dan kuat. Namun, 
baru saja pemuda berpakaian biru itu akan melang-
kah, terdengar suara berdesing dari empat penjuru ke 
arah tubuhnya.
Pendekar Gila yang keadaannya sudah normal, 
menggeram gusar. Sepasang matanya berkilatan ta-
jam, memandang berkeliling. Kemudian, tubuhnya me-
lenting ke udara disertai dengan kibasan tangan yang 
membentuk cahaya bulat dan mengitari tubuhnya.
Wuuus!
Serangkum angin keras yang mengandung ha-
wa aneh, berhembus menghantam balik senjata-
senjata beracun yang dilemparkan oleh musuhnya. 
Kemudian tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu 
kembali melunak turun, dan berdiri tegak dengan si-
kap waspada.
Baru saja sepasang kaki pemuda tampan ber-
wajah pucat itu menyentuh permukaan tanah, terden-
gar suara teriakan nyaring yang susul-menyusul. Sua-
ra-suara teriakan yang ramai dan bising itu, dimak-
sudkan untuk mengacaukan pemusatan pikiran Wirya 
Saka. Namun, pemuda tampan berwajah pucat itu sa-
ma sekal tidak bergerak. Ia tetap tegak dan menanti 
datangnya serangan.
Tak lama kemudian, beberapa sosok tubuh

berkelebatan, dan langsung mengurung Pendekar Gila. 
Mereka tidak lain murid-murid Perguruan Siluman 
Hutan Kembang, yang memang bertugas menyambut 
setiap tamu yang datang tanpa diundang. Penyambu-
tan pertama berupa serangan gelap, yang dimaksud-
kan untuk menguji kepandaian tamu yang datang. Ti-
dak mengherankan ketika pemuda tampan berwajah 
pucat itu mendekati pintu gerbang, langsung disambut 
senjata-senjata rahasia.
"Hm..., siapa kau, Anak Muda? Apa tujuanmu 
menyatroni perguruan kami?" tegur salah seorang lela-
ki berpakaian kembang-kembang yang bertubuh tinggi 
besar. Sorot matanya tampak bengis dan menyiratkan 
ancaman.
Pendekar Gila yang saat itu tengah terpengaruh 
kekuatan aneh, hanya menatapi enam orang lelaki 
yang menguningnya. Sedikit pun tidak terlihat kalau 
pemuda berpakaian biru itu menjawab pertanyaan 
yang diajukan kepadanya.
"Hei! Apakah kau tuli?!" bentak seorang lelaki 
bertubuh gemuk yang berjenggot lebat Jelas kalau ia 
merasa marah melihat sikap Wirya Saka yang seperti 
tidak peduli itu. 
"Heaaah..!"
Bukannya menjawab yang diberikan pemuda 
berwajah pucat itu, malah sebaliknya ia menggeram 
gusar. Sepasang matanya mencorong tajam mengawasi 
lelaki yang membentak durinya. 
"Ehhh...?!"
Lelaki gemuk berjenggot lebat itu terkejut bu-
kan main, melihat sinar mata Pendekar Gila yang tera-
rah kepadanya. Tanpa sadar, lelaki itu melangkah 
mundur dengan wajah berubah agak pucat Tentu saja 
ia merasa gentar melihat sinar mata yang tajam, dan

menimbulkan perbawa maut itu.
"Keparat Rupanya kau memang minta diha-
jar...!" teriak lelaki tinggi besar yang sepertinya pimpi-
nan lima orang lelaki itu. Sambil membentak tubuhnya 
segera meluncur dengan disertai ayunan tangan ka-
nannya ke arah kepala Wirya Saka.
Melihat serangan itu, sepasang mata Pendekar 
Gila semakin berkilat menakutkan. Tanpa menggeser 
tubuhnya, pemuda tampan berwajah pucat itu mengu-
lur tangan kanannya memapak) tamparan lawan. 
Dan....
Kreppp!
Terkejut bukan main lelaki tinggi kekar itu, 
tanpa melihat kapan pemuda tampan berwajah pucat 
itu bergerak, tahu-tahu saja telapak tangannya telah 
dicengkeram Wirya Saka.
Krekkk!
"Aaakh...!"
Lelaki tinggi kekar yang belum menyadari aki-
bat yang akan menimpa dirinya itu. menjerit kesakitan 
ketika jari-jari tangannya ditekuk dan langsung patah!
Tindakan Pendekar Gila tidak hanya berhenti di 
situ. Setelah menekuk patah jemari tangan lawan, pe-
muda tampan berwajah pucat itu mengirim sebuah 
tendangan keras, yang mengancam dada lawannya! 
Desss! 
"Arrrgh...!"
Hebat sekali akibat ayunan kaki pemuda tam-
pan berwajah pucat itu. Tubuh kekar yang kokoh se-
perti batu karang itu, terjungkal dengan disertai darah 
segar muncrat dari mulutnya. Menilik dari suara ber-
derak yang terdengar mengiringi tendangan pemuda 
berpakaian biru itu, tentu tulang dada lawannya re-
muk!

Brakkk...!
Terdengar suara berderak ribut ketika tubuh 
pimpinan lima orang itu, membentur pagar kayu bulat 
yang berada di belakangnya. Kemudian tubuh itu me-
lorot jatuh, dan berkelojotan! Tidak lama kemudian, 
tubuh lelaki kekar itu diam dan tidak bergerak-gerak 
lagi.
"Gila! Dia tewas...?!" teriak salah seorang lelaki 
berpakaian kembang-kembang itu seusai memeriksa 
tubuh kawannya. Terkejut bukan kepalang ketika tak 
dirasakannya denyut nadi di tubuh pimpinannya itu.
"Bangsat! Kucincang hancur tubuhmu...!" ge-
ram lelaki gemuk berjenggot lebat yang segera menca-
but senjatanya, dan langsung menyerang Pendekar Gi-
la.
Sementara, empat orang lelaki lainnya tidak 
tinggal diam. Mereka segera mencabut senjatanya. 
Kemudian menyerbu pemuda berwajah pucat yang te-
lah menewaskan pimpinannya.
"Hmh...."
Melihat datangnya kilatan-kilatan senjata yang 
mengancam tubuhnya, Wirya Saka menggeram gusar. 
Tanpa menunggu lagi serangan lima orang lelaki itu, 
tubuhnya langsung berkelebat dengan kecepatan tinggi
"Heaaah...!"
Diiringi sebuah bentakan nyaring yang mengge-
tarkan, pemuda tampan berwajah pucat itu melontar-
kan telapak tangannya susul-menyusul! Terdengar su-
ara mencicit tajam mengiringi datangnya tamparan 
Wirya Saka! Dan....
Bukkk! Desss! Desss!
Hebat sekali serangan pemuda tampan itu! Tu-
buh dua orang pengeroyoknya yang terdepan, lang-
sung terjungkal akibat tamparan keras yang menghan

tam dada dan pelipis mereka. Keduanya langsung 
menggelepar dan tewas seketika! Kenyataan itu mem-
buat tiga orang rekannya terbelalak pucat!
"Iblisss...!" desis lelaki gemuk yang berjenggot
lebat yang tertegun menyaksikan peristiwa yang ber-
langsung sekejap mata itu. Kalau saja ia tidak melihat 
dengan mata kepala sendiri, peristiwa itu tidak akan 
dipercayainya.
Sedang Pendekar Gila seperti iblis haus darah, 
sama sekali tidak mempedulikan lawan-lawannya yang 
tengah kaget. Tubuh pemuda tampan berwajah pucat 
itu kembali meluruk dengan kecepatan menggetarkan!
"Haaat...!"
Wirya Saka kembali berteriak nyaring. Sepa-
sang tangannya berkelebatan seperti tangan-tangan 
maut yang siap mencabut nyawa ketiga orang lawan-
nya.
Jerit-jerit kematian terdengar susul-menyusul! 
Berbarengan dengan tiga tubuh lelaki berpakaian 
kembang-kembang itu, jatuh tersungkur dalam kea-
daan tak bernyawa! Darah segar berserakan dan mem-
basahi permukaan tanah.
Bagai seorang algojo yang baru saja menyele-
saikan tugasnya, Wirya Saka berdiri tegak mengawasi 
ketiga mayat yang pada pelipisnya terdapat lubang cu-
kup besar! Rupanya jari tangan pemuda tampan ber-
wajah pucat itu memakan korbannya.
Usai menghabisi nyawa keenam orang lawan-
nya, Pendekar Gila mengalihkan pandangannya, ke 
arah pintu gerbang. Perlahan tangan kanannya diang-
kat tinggi-tinggi. Setelah menariknya ke sisi pinggang, 
pintu gerbang itu didorongnya ke depan dengan geren-
gan kasar! 
"Hiiieee...!"

***
Duarrr...!
Apa yang terjadi kemudian, sungguh dahsyat 
sekali! Pintu gerbang yang terbuat dari kayu bulat itu, 
hancur berantakan dengan menimbulkan suara hiruk-
pikuk yang mengejutkan!
Beberapa orang lelaki berpakaian kembang-
kembang yang tengah berada di depan gedung utama 
perguruan itu, berlompatan dengan wajah pucat! Me-
reka langsung berserabutan ke arah pintu gerbang 
perguruan.
"Gila! Ada apa ini...!" seru seorang lelaki tinggi 
kurus dengan wajah bingung.
Sementara belasan orang murid yang lainnya, 
hanya dapat saling bertukar pandang dengan wajah 
ketololan.
Belum sempat belasan orang murid Siluman 
Hutan Kembang itu mengetahui jawabannya, tiba-tiba 
dari serpihan kayu pintu gerbang yang hancur itu, 
muncul sosok tubuh yang langsung berdiri tegak di 
hadapan mereka.
"Heaaakh...!"
Sosok tubuh berpakaian serba biru yang tidak 
lain dari Pendekar Gila itu, mengeluarkan suara geren-
gan seperti binatang luka. Tanpa banyak cakap lagi, 
kedua tangannya segera didorong ke depan dengan ke-
kuatan hebat!
Blarrr...!
Mengerikan sekali apa yang terjadi dengan be-
lasan orang murid Siluman Hutan Kembang itu. Tu-
buh mereka terpental bercerai berai dalam keadaan ti-
dak utuh! Darah segar membanjir di halaman depan 
perguruan itu, dan menyebarkan bau amis yang menyengat.

"Ada pembunuh gila mengamuk...!" seorang 
murid yang baru saja melangkah keluar dari dalam 
bangunan utama perguruan itu berteriak dan berlari 
masuk kembali la merasa ngeri melihat belasan mayat 
kawan-kawannya yang bergeletakan, dan saling tum-
pang tindih dalam keadaan yang mengenaskan.
Pendekar Gila tidak peduli sama sekali dengan 
korban-korban akibat amukannya itu. Ia melanjutkan 
kembali langkahnya menuju bangunan utama pergu-
ruan Siluman Hutan Kembang.
Langkah Wirya Saka terhenti ketika dari dalam 
bangunan utama perguruan itu, muncul seorang lelaki 
gemuk berperut gendut yang ditemani dua orang lelaki 
kekar berwajah kembar.
"Bangsat! Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila,
Anak Muda? Mengapa kau membuat keonaran di tem-
patku? Apakah di antara kita pernah ada perselisihan. 
.?" bentak lelaki gemuk yang tidak lain Siluman Hutan 
Kembang itu.
"Tepat sekali Akulah Pendekar Gila itu! Ha ha 
ha...," sahut pemuda berpakaian biru itu seraya terta-
wa.
Lelaki gemuk itu melangkah menuruni unda-
kan tangga kayu, sambil meneliti sosok berwajah pucat 
yang berjarak satu setengah tombak dari tempatnya.
Sementara Pendekar Gila sama sekali Sidak 
bergeser dari tempatnya. Pemuda tampan yang telah 
berubah menjadi iblis haus darah itu menatap tajam, 
tepat di kedua mata Siluman Hutan Kembang.
"Aku..., aku..., datang hendak menjemput nya-
wamu. Siluman Tongkat Beracun," terdengar jawaban 
terpatah-patah dan bernada kaku dari Wirya Saka. Se-
pasang matanya tetap tidak beralih, menatap lekat ma-
ta Siluman Hutan Kembang.

"Aku tidak menyembunyikan Siluman Tongkat 
Beracun di sini Sebaiknya kau pergilah, dan cari di 
tempat lain," sahut Siluman Hutan Kembang dengan 
suara yang terdengar agak sumbang. Tentu saja tokoh 
sesat yang itu merasa gentar dengan penampilan pe-
muda tampan berwajah pucat yang berjuluk Pendekar 
Gila.
"Ha ha ha...."
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang parau, 
namun memiliki pengaruh yang hebat sekali. Bersa-
maan dengan berkumandangnya suara tawa itu, mun-
cul sesosok tubuh kurus kering dengan pakaian awut-
awutan.
Siluman Hutan Kembang dan dua orang pen-
gawal yang menjadi murid utamanya itu, gemetar keti-
ka melawan pengaruh suara tawa yang dahsyat itu. 
Bahkan, wajah Siluman Hutan Kembang terlihat me-
mucat Sedangkan dua orang murid utamanya memun-
tahkan darah segar. Jelas, pengaruh tenaga dari suara 
itu membuat mereka terluka dalam.
"Hm..., kau tidak perlu berbohong, Cecurut Bu-
suk! Serahkan manusia bejad itu, sebelum tubuhmu 
kulumat dan perguruan ini ku bakar habis!" ancam le-
laki kurus kering yang penampilannya lebih mirip se-
perti gelandangan itu.
"Siapa kau...? Mengapa kau memusuhi pergu-
ruanku?" tanya Siluman Hutan Kembang dengan wa-
jah yang masih pucat.
"Aku adalah keturunan terakhir dari Malaikat 
Gunung Naga. Dan, aku akan mencabut nyawa manu-
sia licik seperti Siluman Tongkat Beracun itu. Kalau 
kau memang masih ingin hidup, sebaiknya menying-
kirlah, dan serahkan manusia licik itu kepadaku!" 
kembali lelaki kurus kering itu menyahuti dengan sua

ra parau.
Untuk beberapa saat lamanya. Siluman Hutan 
Kembang terdiam, la tidak berniat sama sekali melin-
dungi Siluman Tongkat Beracun, meskipun tokoh itu 
adalah sahabat lamanya. Sebagai seorang tokoh sesat, 
tentu saja ia lebih mengutamakan kepentingan priba-
dinya daripada menolong orang lain. Kalau ia belum 
sempat memberitahukan tempat Siluman Tongkat Be-
racun, itu bukan karena ia ingin melindungi sahabat-
nya. Tapi, la merasa geram atas perbuatan Wirya Saka 
yang telah membantai murid-muridnya.
Ketika melihat kemunculan lelaki kurus kering 
yang mengaku sebagai keturunan terakhir dari Malai-
kat Gunung Naga, Siluman Hutan Kembang mulai me-
nyadari bahaya yang akan mengancamnya.
"Orang yang kau cari, ada di sebuah gubuk 
yang terletak di belakang bangunan ini...," akhirnya Si-
luman Hutan Kembang terpaksa memberitahukan 
tempat Siluman Tongkat Beracun bersembunyi. Semua 
itu dilakukannya demi menyelamatkan diri dan pergu-
ruannya dari kehancuran.
Terdengar lelaki kurus kering itu tertawa terba-
hak-bahak. Setelah menoleh kepada Pendekar Gila, 
dan berbisik dengan suara aneh. Tubuh lelaki kurus 
kering itu segera berkelebat menuju bagian belakang 
gedung perguruan itu.
"Hmh...!"
Sepeninggal lelaki kurus kering itu, Wirya Saka 
terdengar menggeram lirih. Menilik dari sorot matanya, 
jelas kalau pemuda tampan berwajah pucat itu telah 
siap menebarkan maut
Dengan diiringi teriakan nyaring, Pendekar Gila 
memutar kedua tangannya dengan gerakan perlahan. 
Sepertinya ia telah siap melontarkan pukulan maut

nya.
Namun sebelum Wirya Saka melepaskan puku-
lan mautnya, tiba-tiba sesosok bayangan putih berke-
lebat, disertai suara teriakannya yang nyaring!
"Wirya Saka, tahan...!" seru sosok bayangan pu-
tih itu sambil menjejakkan kakinya tepat di tengah-
tengah arena.
Namun, saat itu Wirya Saka tidak dalam kea-
daan normal. Tentu saja ia tidak bisa lagi membedakan 
kawan dan lawan. Kendati Panji berdiri menghadang-
nya dengan sikap bersahabat, tapi pemuda berpakaian 
biru itu tidak menghentikan gerakannya.
Panji sadar kalau Wirya Saka tidak mungkin 
dapat dihentikan dengan bujukan, ia pun segera ber-
tindak cepat. Sesaat kemudian. Panji memejamkan 
matanya dan mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas 
Bumi'. Detik itu juga, cahaya kuning keemasan ber-
pendar menyelimuti sekujur tubuhnya. Sepertinya 
Pendekar Naga Putih telah memperhitungkan secara 
masak untuk menghadapi amukan Wirya Saka.
"Heaaah...!"
Tak lama kemudian, terdengar Panji mengelua-
rkan bentakan perlahan. Sungguh luar biasa sekali si-
nar kuning keemasan yang semula menyelimuti tu-
buhnya, secara perlahan mengecil dan berkumpul di 
kedua telapak tangannya. Laki, disertai sebuah benta-
kan nyaring, Panji mendorongkan sepasang telapak 
tangannya ke arah Wirya Saka.
Wuuus....'
Saat itu juga, dua gulungan sinar kuning kee-
masan terlontar dari telapak tangan Panji dan melun-
cur dengan kecepatan kilat menuju sasarannya.
Bleppp...!
Kejadian selanjutnya benar-benar sukar diterima akal sehat! Gulungan sinar kuning keemasan itu 
sama sekali tidak membuat tubuh Wirya Saka terluka. 
Apalagi sampai terpental. Sebaliknya, sinar kuning 
keemasan itu malah masuk ke dalam tubuh pemuda 
tampan berwajah pucat itu. Kini sekujur tubuh Wirya 
Saka mengeluarkan sinar berpendar kuning keemasan.
"Aaarghhh...!"
Saat berikutnya, Pendekar Gila meraung se-
tinggi langit seperti tengah menerima azab yang sangat 
menyakitkan. Bersamaan dengan raungan itu, sinar 
kuning keemasan yang menyelimuti sekujur tubuhnya 
lenyap secara perlahan, bagaikan meresap ke dalam 
tubuh pemuda tampan berwajah pucat itu.
Lenyapnya sinar kuning keemasan itu, ternyata 
berakibat bagi Wirya Saka. Tubuh pemuda berwajah
pucat itu tampak bergetar seperti orang yang terserang 
demam hebat. Dengan diiringi raungan panjang yang 
menggetarkan, tubuh pemuda tampan berwajah pucat 
itu terjungkal dan bergulingan di atas tanah. Dan, tu-
buh pemuda tampan berwajah pucat itu terdiam tak 
bergerak-gerak lagi. Rupanya Wirya Saka pingsan ka-
rena tidak sanggup menahan rasa sakit yang luar bi-
asa itu.
"Apakah dia akan sembuh seperti semula, Ka-
kang...?" sosok berpakaian merah darah yang tiba di 
tempat itu, dan sempat menyaksikan perbuatan Panji 
bertanya cemas.
"Berdoalah, Winarti. Kalau dugaanku memang 
benar bahwa pemuda itu menderita keracunan, maka 
ada harapan akan sembuh seperti sediakala, tanpa ha-
rus kehilangan kepandaiannya. Hanya saja tenaga sak-
tinya akan berkurang," Panji menghentikan sejenak 
penjelasannya dan menghela napasnya.
Sementara dengan rasa cemas Winarti tetap

mengamati wajah Panji, harinya tak sabar ingin men-
dengar kelanjutan cerita Pendekar Naga Putih.
"Bukan mustahil tenaga yang dimilikinya telah 
tercampur dengan racun jahat yang merusakkan jarin-
gan syaraf di otaknya. Seperti yang pernah kukatakan, 
sinar kuning keemasan itu dapat memunahkan segala 
macam jenis racun. Jadi, kuharap engkau tidak perlu
terlalu cemas...," jelas Panji melanjutkan ceritanya
dengan tersenyum, meski dalam hatinya agak berde-
bar.
"Benar, Winarti. Kita berdoa saja. Semoga Wirya 
Saka dapat sembuh seperti semula...," hibur Kenanga 
yang rupanya telah tiba, dan melihat juga kejadian 
yang menimpa Wirya Saka.
Sedangkan Siluman Hutan Kembang dan dua 
orang murid utamanya, hanya bisa memandang bin-
gung. Mereka benar-benar hampir tidak mempercayai 
apa yang disaksikannya itu.
***
DELAPAN


"Ha ha ha.... Kini tuntaslah sudah dalam ke-
luargaku! Semua manusia licik yang mengkhianati ka-
kekku, telah mendapat hukuman yang pantas!"
Tiba-tiba saja terdengar suara tawa terbahak-
bahak, yang menggetarkan sekitar tempat tubuh Wirya 
Saka tergeletak. Tampak Panji dan dua orang gadis 
cantik tengah menunggui tubuh pemuda tampan pu-
cat itu.
Mendengar suara tawa serak yang menyeram-
kan itu, sejenak mereka berpaling ke arah asal suara.

Tidak lama kemudian, muncul sosok tubuh ku-
rus kering. Segera ia menjejakkan kedua kakinya di 
tempat itu. Sejenak sosok tubuh itu kebingungan, ke-
tika melihat tubuh Wirya Saka tergeletak tak berdaya, 
dan ditunggui oleh dua orang wanita cantik dan seo-
rang pemuda tampan.
"Hei, apa yang telah terjadi dengan algojoku! 
Hah...?" tegur sosok kurus kering itu sambil menatap 
tubuh Wirya Saka dengan pandangan hampir tak per-
caya.
"Hm..., jadi kau yang mengendalikan Wirya Sa-
ka selama ini? Siapakah kau sebenarnya, Orang Tua? 
Mengapa kau begitu tega menyiksa pemuda yang tak 
berdosa ini dengan tujuan jahatmu itu?" tegur Panji 
sambil melangkah menghampiri lelaki bertubuh kurus 
kering itu, yang berusia empat puluh tahun.
"Hm..., aku bernama Ki Gada Bumi. Dan, aku 
sendiri keturunan terakhir dari Malaikat Gunung Na-
ga. Kau tentu Pendekar Naga Putih yang selama ini 
namamu telah tersiar di kalangan rimba persilatan. 
Hm.... Sayang, selama puluhan tahun aku tidak per-
nah melihat dunia luar. Jadi, maaf kalau aku tidak 
pernah mengenalmu. Biar bagaimanapun aku merasa 
beruntung berjumpa denganmu hari ini. Nah, sekarang 
aku tidak mempunyai keperluan lagi. Jadi, anak muda 
itu ku tinggalkan saja di sini.," setelah berkata demi-
kian, lelaki tinggi kurus itu segera beranjak mening-
galkan tempat itu.
"Hei, tunggu...!"
Panji yang masih mempunyai keperluan dengan 
lelaki kurus kering yang mengaku bernama Ki Gada 
Bumi itu, segera berseru mencegah. Kakinya melang-
kah cepat mendekati orang tua kumal itu.
"Hm..., ada perlu apa lagi, Pendekar Naga Pu

tih? Apakah karena kau seorang pendekar besar, lalu 
bisa berbuat sekehendak hatimu kepadaku?" ujar Ki 
Gada Bumi dengan wajah menyeringai seperti orang 
tak waras. Jelas, otak orang tua itu agak terganggu. 
Mungkin disebabkan selama puluhan tahun la hidup 
menyendiri dan tak pernah melihat dunia ramai.
"Orang tua, kalau saat ini aku melarangmu 
pergi, bukan karena aku merasa sebagai seorang pen-
dekar besar. Tapi, karena orang yang telah kau guna-
kan sebagai alat pembunuh ini adalah sahabatku. Su-
dah sepatutnya kalau aku ingin meminta penjelasan 
darimu , tentang keadaan yang menimpa Wirya Saka. 
Aku harap engkau sudi menerangkannya," pinta Panji 
dengan suara halus dan sopan. Tidak tampak sama 
sekali kalau pemuda itu merasa tersinggung dengan 
ucapan kasar Ki Gada Bumi.
"Ha ha ha..., jadi kau hendak menuntut balas 
kepadaku, Pendekar Naga Putih? Boleh.., boleh saja. 
Nah, siapa yang akan memulai lebih dahulu mati, kau 
ataukah aku?" ujar Ki Gada Bumi yang segera memba-
likkan tubuhnya dan menghadapi Panji dengan sikap 
siap tempur.
"Bukan itu maksudku, Ki Gada Bumi. Tapi, aku 
hanya ingin sedikit penjelasan mengenai Wirya Saka 
yang mengalami penderitaan seperti itu? Dan, menga-
pa kau begitu tega menyiksa orang yang tak berdosa 
hanya untuk membalas dendam? Bukankah kau sen-
diri mampu melakukannya?" sahut Panji yang tidak 
segera meladeni tantangan orang tua itu.
"Ha ha ha..., bilang saja kau takut. Pendekar 
Naga Putih! Baiklah, akan kuberikan penjelasan kepa-
damu," akhirnya Ki Gada Bumi mau juga memenuhi 
permintaan Panji.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih menatap

tajam wajah Ki Gada Bumi.
"Dengan satu syarat, kau harus menebusnya 
dengan nyawamu...!" lanjut orang tua itu lagi dengan 
sorot mata tajam dan liar.
"Hm..., ceritakanlah...," sahut Panji tanpa 
mempedulikan permintaan gila Ki Gada Bumi. Pemuda 
tampan itu tetap tenang, dan tanpa rasa tega sedikit 
pun.
"Dengarlah," ujar Ki Gada Bumi datar.
Panji berdiri tenang seraya matanya tetap me-
natap tajam wajah orang tua itu, yang mengaku ber-
nama Ki Gada Bumi.
"Mustika Naga Hijau yang ada di tangan pemu-
da Itu adalah milik kakekku. Kemudian mustika itu di-
curi oleh para pembantunya. Lalu, pusaka itu diberi-
kan kepada Wirya Saka. Jadi, pemuda itu terlibat pen-
curian juga," jelas orang tua itu.
'Tidak. Wirya Saka tidak mencurinya. Dia men-
dapatkan benda itu dari seorang kakek yang berjuluk 
Dewa Kerdil. Benda itu didapatnya karena ia seorang 
pemuda berbudi, dan telah menolong Dewa Kerdil. Ka-
rena benda pusaka itu, ia telah kehilangan kedua 
orang tua dan saudara-saudara seperguruannya. Jadi,
kalau kau mengatakan Wirya Saka adalah seorang 
pencuri. Jelas, salah besar," tegas Panji yang memang 
mengetahui secara jelas Wirya Saka mendapatkan pu-
saka itu (Baca episode "Mustika Naga Hijau").
'Terserah kalau begitu pendapatmu," ujar Ki 
Gada Bumi seperti tidak peduli dengan bantahan Pan-
ji.
Pendekar Naga Putih kaget mendengar jawaban 
Ki Gada Bumi. Tapi, ia tetap tenang tanpa berkata se-
parah kata pun.
"Pada waktu kakekku dikeroyok oleh manusia

manusia licik yang mencuri pusaka, aku terpaksa me-
larikan diri. Selama dua puluh tahun lebih, aku ber-
sembunyi di dalam Gua Ular, untuk menanti siapa 
yang akan mengambil semua harta dan ilmu-ilmu pu-
saka keluarga kami. Untuk menghukum manusia-
manusia jahat itu, aku sengaja menebarkan racun di 
dalam Gua Ular. Jadi, bagi siapa yang memasuki gua 
itu akan mengalami keracunan hebat. Setelah lama 
kutunggu, muncul pemuda itu. Begitu memasuki gua 
dan menghisap hawa beracun, dia langsung roboh tak 
sadarkan diri. Nah saat itulah ku tanamkan jarum-
jarum di sepanjang keningnya. Setelah la sadar, semua 
perintahku melalui bisikan jarak jauh, akan dikena-
kannya tanpa membantah," jelas Ki Gada Bumi yang 
menghentikan ceritanya dan mengalihkan tatapan ma-
tanya ke arah tubuh Wirya Saka yang tengah terbar-
ing.
'Tapi, mengapa kau biarkan pemuda itu mem-
pelajari ilmu-ilmu yang ada di dalam Gua Ular? Bu-
kankah kalau kau mau dapat membunuhnya, dan me-
rebut mustika itu tanpa kesulitan?" selidik Panji yang 
merasa belum puas dengan keterangan Ki Gada Bumi.
"Hm..., kalau aku mau tentu saja semua dapat 
kulakukan sesuai keinginanku. Tapi, selama aku telah 
menyusun rencana untuk menghukum manusia-
manusia licik itu, termasuk Wirya Saka. Jadi, la senga-
ja kubuat sebagai pembunuh gila, yang akan memba-
laskan dendam keluargaku. Nah, apakah kau sudah 
puas, Pendekar Naga Putih...?" tanya Ki Gada Bumi 
sambil menelengkan kepalanya dengan mimik wajah 
aneh. Seperti orang yang kurang waras.
"Hhh..., yah, aku merasa semua ini sudah cu-
kup jelas sekarang. Nah, kalau kau ingin pergi, silakan 
Ki Gada Bumi. Aku tidak akan mencegahmu lagi...,"

ucap Panji tersenyum bersahabat.
"Ha ha ha..., kau ternyata seorang yang ingkar. 
Pendekar Naga Putih. Seperti yang kukatakan tadi, 
syarat untuk menceritakannya adalah nyawamu! Nah, 
sekarang kau bersiaplah. Aku akan melaksanakan jan-
jiku tadi...," Ki Gada Bumi melangkah lambat meng-
hampiri Panji. Menilik dari sikapnya, jelas ucapan 
orang tua itu memang tidak main-main.
"Kau yang berjanji, Orang Tua. Sedangkan aku 
sama sekali tidak menjanjikan apa-apa," sahut Panji
dengan suara yang tetap tenang dan senyum sabar di 
wajahnya.
"Licik! Kau tidak bisa berbuat semaumu di ha-
dapanku, Pendekar Naga Putih. Siapa pun yang ber-
janji, aku tidak peduli! Suka atau tidak, aku harus 
mengambil nyawamu!" bentak Ki Gada' Bumi seraya 
bersiap untuk melaksanakan ucapannya.
Tanpa mempedulikan apakah Panji bersedia 
atau tidak, Ki Gada Gumi langsung melompat dengan 
disertai cengkeraman mautnya!
***
Wuuut! Wuuut!
Dua kali sambaran maut Ki Gada Bumi berhasil 
dihindari Panji dengan menarik mundur tubuhnya ke 
belakang. Lalu, ia terus melompat ke samping kiri, dan 
bersiap menghadapi serangan selanjutnya.
"Hm..., bagus! Aku lebih suka kalau kau mem-
pergunakan kepandaianmu untuk mempertahankan 
nyawamu! Ha ha ha...," geram Ki Gada Bumi sambil 
memperdengarkan suara tawanya yang serak.
"Maaf, Ki Harap kita sudahi saja pertempuran 
ini. Menurutku tidak ada gunanya sama sekali," ucap

Panji dengan wajah senyum sabar.
"Pengecut! Meskipun kau tidak bersedia, aku 
tetap akan menyerangmu sampai nyawamu tercabut, 
baru aku puas!" desis Ki Gada Bumi sambil mengge-
ram gusar.
Mendengar perkataan pengecut yang dilontar-
kan Ki Gada Bumi, senyum di bibir pemuda itu lenyap 
seketika. Kata pengecut merupakan pantangan bagi 
seorang pendekar. Panji pun tidak bisa menerima hi-
naan seperti itu.
"Kau terlalu memaksa. Orang Tua. Baiklah kau 
memang memaksa, apa boleh buat.," ujar Panji yang 
segera menyiapkan ilmu andalannya untuk mengha-
dapi Ki Gada Bumi. la sadar kalau yang dihadapinya 
seorang keturunan manusia sakti, tentu saja memiliki 
kepandaian yang sangat tinggi. Begitu siap, Panji lang-
sung mengeluarkan ilmu andalannya.
"Sambutlah! Heaaat..!"
Dengan diiringi sebuah teriakan nyaring yang 
menggetarkan, Ki Gada Bumi langsung menerjang 
Panji dengan pukulan-pukulan maut yang mematikan!
Serangan yang dilancarkan Ki Gada Bumi be-
nar-benar dahsyat! Sambaran-sambaran angin puku-
lan bercicitan. bagaikan sabetan senjata tajam. Panji 
terpaksa mengerahkan 'Ilmu Naga Sakti'nya.
Kenanga dan Winarti yang merasakan betapa
berbahayanya pertarungan kedua orang sakti itu, ce-
pat membawa tubuh Wirya Saka untuk menyingkir. 
Angin pukulan yang ditimbulkan lontaran-lontaran 
tangan Ki Gada Bumi benar-benar mengiriskan. Andai 
saja mereka tidak menyingkir, bukan tidak mungkin 
salah satu pukulan dari tokoh itu nyasar dan mene-
waskan mereka.
Siluman Hutan Kembang dan dua orang murid

utamanya, terbelalak matanya menyaksikan pertarun-
gan yang dahsyat itu. Tokoh sesat bertubuh gemuk itu 
menggeleng-gelengkan kepalanya sebagai tanda rasa 
takjub. Baru kali ini selama' hidupnya menyaksikan 
pertarungan yang benar-benar membuat dadanya ber-
debar!
"Luar biasa sekali pertarungan kedua orang 
sakti itu. Ah, rasanya aku akan mati tenang setelah 
menyaksikan pertempuran yang selama hidup tidak 
pernah terlihat dalam alam pikiranku. Benar-benar se-
buah tontonan yang sangat langka...," gumam Siluman 
Hutan Kembang berdecak tak henti-hentinya. Jelas, 
tokoh sesat itu sangat bersyukur dapat menyaksikan 
pertarungan yang tidak pernah terlintas dalam mimpi.
Sementara itu, pertarungan terus berlangsung 
sengit. Jurus demi jurus telah mereka keluarkan. Tan-
pa terasa pertarungan telah menginjak jurus kesera-
tus.
Panji semakin kagum dengan kehebatan la-
wannya. Ia terpaksa berjuang keras untuk menandingi 
kedahsyatan ilmu-ilmu Ki Gada Bumi. Bahkan, 'Ilmu 
Silat Naga Sakti' yang jarang menemui tandingan itu, 
harus dikerahkan sekuat tenaga untuk mengimbangi 
terjangan-terjangan maut lawannya.
"Haiit..!"
Ketika pertarungan telah menginjak jurus kese-
ratus tiga puluh, mendadak Ki Gada Bumi berseru 
nyaring sambil melompat ke belakang sejauh satu se-
tengah tombak. Begitu kedua kakinya mendarat di 
atas tanah, orang tua kurus kering itu langsung meli-
pat kedua tangannya di depan dada. Sedangkan kedua 
kakinya membentuk kuda-kuda aneh dengan kedua 
lutut saling berhimpitan.
Pendekar Naga Putih mengerutkan keningnya

ketika menyaksikan jurus yang akan dipergunakan 
musuhnya. Kali ini, la benar-benar terkejut ketika me-
lihat tubuh lawannya lenyap dari pandangan. Belum 
lagi Panji sadar, tiba-tiba tubuh lawan telah berada di 
hadapannya. Cepat Panji melempar tubuhnya ke bela-
kang, guna menghindari pukulan lawan yang datang 
seperti sambaran kilat itu!
Panji terus melempar tubuhnya dan bersalto 
lima kati di udara. Begitu kedua kakinya menginjak 
tanah, ia langsung merendahkan tubuhnya dengan se-
pasang tangan saling berhimpitan di depan wajahnya. 
Dan, berbarengan dengan terdengarnya suara bercici-
tan, kedua tangan pemuda itu terbuka lebar dalam 
bentuk cakar naga. Rupanya Pendekar Naga Putih 
hendak menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk Da-
lam Bumi*. Sebuah jurus pemungkas yang selama ini 
selalu berhasil menundukkan lawannya.
Sayang, musuh yang dihadapi Panji bukanlah 
seorang tokoh yang memiliki ilmu pasaran. Karena 
'Ilmu Langkah Malaikat' yang merupakan warisan dari 
Malaikat Gunung Naga, sangat dahsyat dan langka. 
Tentu saja jurus andalan pemuda itu benar-benar me-
nemui tandingannya.
Namun, pengalaman bertarung dengan tokoh-
tokoh sakti dunia hitam yang dimiliki Panji tidaklah 
percuma. Karena itu ia segera mengetahui kehebatan 
ilmu yang dimilikinya. Sadar kalau ilmu lawan sangat 
aneh dan tidak bisa diduga ke mana arah geraknya. 
Panji pun segera menyatukan kekuatan batinnya den-
gan tenaga sakti Pedang Naga Langit yang saat itu ma-
sih mengeram dalam tubuh Wirya Saka.
Menurut perhitungan Pendekar Naga Putih 
hanya tenaga sakti itulah yang dapat dipergunakan 
untuk mengecoh lawannya. Tidak lama kemudian, la

pisan kabut yang bersinar putih keperakan berkumpul 
di sisi kiri tubuhnya. Sedangkan di sisi kanan tubuh-
nya, muncul sinar kuning keemasan yang berpendar 
menyilaukan mata.
"Haiiih...!"
Melihat Ki Gada Bumi telah mulai membuka se-
rangan lagi, Panji berseru nyaring sambil melesat me-
mapaki serangan lawannya. Gerakan pemuda itu me-
liuk-liuk bagaikan seekor ular besar. Ki Gada Bumi 
menjadi terperanjat dibuatnya.
Wuuus...!"
Dorongan sepasang tangan Ki Gada Bumi lu-
put, karena tubuh Panji meliuk dengan manis meng-
hindari hantaman maut lawannya. Dan, pukulan 
orang tua kumal itu menghantam pepohonan di bela-
kang Pendekar Naga Putih. Karuan saja pohon-pohon 
besar itu ambruk dengan suara ribut!
Panji sendiri tidak tanggal diam. Begitu seran-
gan lawannya luput, pemuda itu segera mengibaskan 
tangan kanannya dengan kecepatan yang mengiriskan! 
Bersamaan dengan kibasan tangan Pendekar Naga Pu-
tih, meluncur segulung sinar keemasan yang berpen-
dar menyilaukan mata. Melihat cara pemuda itu meng-
gunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', jelas kepan-
daian yang dimilikinya mengalami kemajuan yang san-
gat pesat Karena mampu mengatur tenaga itu sesuai 
dengan kemauannya.
Akibatnya pun tidak kepalang tanggung! Gu-
lungan sinar kuning keemasan itu langsung memben-
tur tubuh Ki Gada Bumi, sehingga menimbulkan leda-
kan yang dahsyat dan menggetarkan bangunan utama 
perguruan Siluman Hutan Kembang!
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Ki Gada Bumi 
terlempar disertai percikan darah segar yang menyembur dari mulutnya. 
"Aaagh...!"
Ki Gada Bumi meraung tinggi seperti ingin me-
robek langit! Tubuhnya terbaring keras menghantam 
dua buah pohon sebesar dua kali tubuhnya, dan lang-
sung tumbang dengan suara hiruk-pikuk! Kemudian 
tubuh tua itu melorot jatuh ke tanah dengan napas sa-
tu-satu. Jelas, luka yang dialaminya sangat parah. Se-
hingga tokoh itu tidak mampu bangkit lagi.
"Kau... benar-benar hebat, Pendekar Naga Pu-
tih. Aku tidak menyesal tewas di tanganmu. Jangan 
kau merasa bersalah. Sebab, kalau kau tidak membu-
nuhku, akulah yang akan menghabisi nyawamu..," 
ujar Ki Gada Bumi dengan napas memburu. Sepasang 
matanya menatap kagum kepada Panji, yang telah 
membungkuk di sisi tubuh orang tua itu.
"Biar bagaimanapun, aku mohon maaf, Ki," 
ucap Panji tulus sambil mengulur tangannya. Digeng-
gamnya tangan orang tua itu erat-erat, karena tangan 
Ki Gada Bumi telah mencekalnya dengan hangat.
Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Panji mu-
lai merasakan tangan Ki Gada Bumi telah mengeras. 
Rupanya kakek itu tewas karena mengalami luka-luka 
yang sangat parah.
***
Selesai menguburkan mayat Ki Gada Bumi, 
Pendekar Naga Putih dan Kenanga pamit kepada Wirya 
Saka dan Winarti. Kedua pasangan itu berpisah kare-
na jalan yang mereka tempuh memang berlainan.
"Hhh..., besar sekali budi yang telah kau le-
paskan kepadaku, Pendekar Naga Putih. Entah dengan 
apa aku bisa membalasnya...," ucap Wirya Saka ketika

ke duanya hendak berpisah.
"Tidak ada yang perlu dibalas, Wirya. Dan, ti-
dak ada budi yang kulepaskan kepadamu. Janganlah
kau pikirkan untuk membalasnya," jawab Panji sambil 
memeluk dan menepuk bahu pemuda itu perlahan.
Tidak lama kemudian, kedua pasangan muda 
itu saling berpisah. Panji dan Kenanga melanjutkan 
perjalanan ke arah Selatan. Sedangkan Wirya Saka 
dan Winarti menuju ke arah Timur.
Tinggallah Siluman Hutan Kembang bersama 
sisa-sisa muridnya. Tokoh sesat itu sadar, kepandaian 
yang dimilikinya tidaklah berarti, jika dibandingkan 
dengan kepandaian Pendekar Naga Putih dan Ki Gada 
Bumi. Kenyataan itu membuatnya berpikir lebih jer-
nih, dan ia ingin menggunakan ilmunya di jalan yang 
benar. Semua itu diungkapkannya kepada Pendekar 
Naga Putih dan yang lainnya, sebelum berpisah.
Sementara itu, Kenanga yang melangkah sambil 
menggelayutkan lengannya di bahu Panji, berhenti se-
cara mendadak.
"Ada apa, Kenanga...?" tanya Panji yang merasa 
heran melihat kekasihnya mendadak berhenti.
"Kakang, apakah Wirya Saka benar-benar telah 
sembuh, dan tidak akan timbul lagi kegilaannya...?" 
tanya Kenanga yang masih mencemaskan keadaan 
Wirya Saka yang dijuluki Pendekar Gila. 
"Hm..., kau meragukan keampuhan tenaga jel-
maan Pusaka Naga Langit? Bukankah kau melihat 
sendiri, semua jarum-jarum yang tertanam di kening-
nya telah keluar. Lagi pula, pemuda itu sudah keliha-
tan benar-benar sehat. Apa kau tidak lihat wajahnya 
yang telah segar itu...?" jelas Panji sambil membelai 
rambut kekasihnya dengan lembut.
Kenanga tidak menjawab, ia kembali melang

kahkan kakinya sambil tangannya bergelayut di bahu Pendekar Naga Putih.



                           SELESAI









Share:

0 comments:

Posting Komentar