..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 08 Januari 2025

SI TOLOL EPISODE WARISAN BERDARAH

matjenuh khairil


WARISAN BERDARAH

Oleh Djair Warni

© Penerbit Rosita, Jakarta

Setting Oleh : Trias Typesetting

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi 

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit


SATU


Sebenarnya postur tubuh anak itu hampir sama 

dengan anak-anak yang berusia remaja. Tapi 

berhubung wajah, lagak dan gayanya tidak jauh 

berbeda dengan anak-anak kecil yang masih ingusan 

telah membuat dirinya diremehkan, termasuk 

saudara-saudaranya sendiri.

Si Tolol, demikianlah nama anak itu, kerjanya 

hanya main ke sana ke mari dan tidur di mana saja 

tanpa memilih tempat, bahkan di dekat kandang ayam 

pun jadi apabila ia sudah menyandarkan kepalanya.

Sebenarnya si Tolol saat itu sedang dicari oleh 

orang tuanya. Pesuruh yang bekerja di rumahnya 

sudah pusing tujuh keliling mencarinya. Ternyata si 

Tolol masih asyik mengejar capung sampai ke tepi 

hutan. Kepalanya yang botak dan hanya pada bagian 

depannya saja yang terdapat rambut berbentuk seperti 

jambul tampak dipenuhi keringat yang telah 

bercampur debu, begitu pula di atas bibirnya, sangat 

tampak dengan jelas bekas ingus yang mengering dan 

sebelumnya telah digosok ke kiri dan kanan sehingga 

berbentuk kumis jawara.

Rupanya memang ia sangat jauh dari cermin, 

sehingga tidak pernah memperdulikan keadaan dirinya 

atau memang karena ketololannya, sulit untuk 

ditebak. Yang pasti dari mulutnya terus bernyanyi 

walaupun suara yang keluar itu sumbang sekali ia tak 

perduli dan sekali-kali terdengar pula siulan sebagai 

selingan.

“Bletak... E... Beletak beletung. Si Tolol sekarang 

mau menangkap capung... he... he... he!” ucap si Tolol 

bagaikan dalam acara gerak dan lagu.


Setelah berlari ke sana-sini, tiba-tiba ia 

menghentikan langkah dengan cepat. Rupanya di situ 

telah hinggap beberapa ekor capung pada ranting 

kering. Dengan serius capung-capung itu 

diperhatikannya, setelah menggosok hidungnya 

beberapa kali ia pun maju mendekat dan langsung 

tangannya beraksi sepertinya hati-hati sekali. Tapi 

dasar tolol memang tetap saja tolol. Tangan kanan 

ingin menangkap capung, tangan kirinya memegang 

ranting di dekat capung hinggap. Karena merasa 

tergoyang capung-capung itu pun bubar, beterbangan. 

Sekarang Si Tolol lah yang merasa sedih karena 

buruannya pergi tanpa permisi.

Kesedihan itu ternyata hanya sebentar. Muka Si 

Tolol tiba-tiba berubah total dan menjadi pucat sekali. 

Perubahan ini terjadi karena ada suara keras dan 

orang merintih yang terdengar jelas di telinganya. 

Sumber suara itu berada di sekitar tempat ia berada.

“Kurang ajar! Rasakan ini, hah!!”

“Ampuuuun, Juragan...! Ampuuun!”

Suara itu terdengar kembali. Si Tolol yang baru 

saja jatuh terpelanting karena kaget, mulai bangkit 

dan mencari sumber suara tadi. Dengan gayanya yang 

khas, ia merangkak dan menyelusup ke dalam semak-

semak. Begitu ia temukan matanya pun terbelalak, 

sebab di depan matanya tampak ada sebuah adegan 

yang cukup memilukan.

“Kalau kamu tidak mau bayar utangmu pada 

Ayahku. Ayo... sekarang bayar rentennya dulu!” bentak 

seorang pemuda dengan pakaian cukup keren sambil 

menginjak petani tua yang tampak terengah-engah 

akibat kena pukulan sebelumnya.

“Ampun, Den... ampun! Sekarang dari mana saya 

punya uang, Aden kan tahu sekarang lagi paceklik...!”


jawab petani tua itu memohon belas kasih.

“Diam! Rupanya kau mau ini, hah...?!” bentak 

pemuda itu kembali sambil mengeluarkan golok yang 

terselip di pinggangnya.

“A... ampun. Den...! Jangan...! Kasihanilah 

saya... Terus terang, Den, saya tak sanggup membayar 

renten yang sebesar Aden sebut tadi. Bukankah 

Juragan Besar bilang nggak usah pakai renten,” balas 

petani itu kembali.

“Huh...! Silaing teh sialan!!” sela pemuda yang 

dipanggil Raden sambil mendorong petani tua yang 

akan berusaha bangun dengan kakinya.

“Benar..., Den. Abdi nuhunkeun ampun kana 

Raden..., abdi nuhunkeun tempoh wae’...!” pinta orang 

tua itu dengan wajah memelas.

Entah setan mana yang merasuki jiwanya. Sang 

Raden tak memperdulikan keadaan petani tua yang 

telah dibuatnya. Ia segera menarik tangan dua orang 

yang berada di sampingnya. Mereka itu adalah 

pembantu-pembantu setianya.

“Bagaimana, Den...?” tanya petani itu sekali lagi.

“Tempoh sia’...! Kau kira urusan utang itu soal 

main-main?” bentaknya semakin garang.

“Habis saya harus bagaimana. Den...?”

“Beslag semua hak miliknya. Huma, sawah, 

rompok(rumah), dan ternaknya.” perintah Raden itu 

kepada salah seorang pembantunya.

“Sumuhun... Den!” Jawab Tirta tanpa menoleh 

sedikit pun, karena sedang sibuk mencatat semua 

yang baru diucapkan oleh sang raden.

Bukan main terkejutnya dan hampir putus 

rasanya jantung petani tua itu setelah mendengar 

ucapan dari sang Raden. Berkali-kali ia mohon 

kebijaksanaan agar harta benda yang sangat besar


artinya bagi kelangsungan hidup seluruh keluarganya 

itu dikembalikan, tapi sia-sia belaka. Malah bukan 

hartanya yang kembali tetapi siksaan yang kembali 

datang kepadanya. Pembantunya yang berbadan 

gemuk dan tinggi itulah yang kali ini mengayunkan 

tendangan ke arah petani tersebut.

“Aduuuuh, Gusti!” keluh petani tua yang tampak 

semakin lemah tak berdaya.

Walaupun Si Tolol tetap memantau dan tetap 

pada posisinya, namun wajahnya berubah menjadi 

memble. Ia menangis melihat kekejaman terhadap 

petani yang tak berdaya itu. Apalagi perbuatan 

tersebut dilakukan oleh salah seorang saudaranya.

“Uuu... uu... uh, kejam! Kakak sungguh kejam! 

Uu... uuh! Tega sekali kakak berbuat begitu..., uu... 

uuuh!” gumamnya sambil terus memandangi petani 

miskin yang lemas terseok di atas tanah yang kering 

berdebu dan tanpa terasa pula air matanya kini telah 

menyatu dengan air yang keluar dari hidung sehingga 

pipinya menjadi basah akibat gosokkan tangan ke 

sana ke mari.

“Silaing teh tong ceurik! Teu aya gunana. Hak 

milik Silaing, ayeuna milik urang kabeh! Nyaho...?!” 

hardik si Raden sambil melangkah dan mengajak para 

pembantunya untuk meninggalkan tempat tersebut.

“Balik hayuuuh!” ucap pembantu yang bertubuh 

gemuk itu sambil menepuk bahu teman yang di 

sebelahnya.

Waktu melangkah dari tempat tersebut, laki-laki 

itu masih sempat pula menunjukkan tampang 

angkernya kepada petani itu yang disertai pula dengan 

senyum sinis. Padahal semua kelakuan dan 

tingkahnya sudah tak diperdulikan lagi oleh petani 

yang malang itu. Di dalam benak petani yang terpikir



hanyalah, apa yang harus ia perbuat setelah 

keadaannya seperti ini. Sawah yang hanya sepetak 

serta ternak dan lainnya untuk kebutuhan hidup 

bersama anak istri kini sudah tak ada lagi.

Entah berapa lama ia terpekur di situ dan entah 

apa yang dipandangi selama itu. Yang jelas sorotan 

matanya yang begitu tajam tanpa berkedip, masih 

tetap terarah kepada sawah yang terbentang di 

hadapannya.

“Oh... Gusti Nu Maha Agung...! Bagaimana 

dengan anak istriku? Di mana kami bisa meneduh? 

Apa yang mesti kukerjakan...?” keluh petani itu sambil 

mengusap air mata dengan pakaiannya yang kotor 

karena telah bercampur keringat dan debu.

Ia merupakan korban yang kesekian kalinya dari 

tindakan Raden-Raden yang tak berperi kemanusiaan 

itu. Tindakan mereka kini semakin sewenang-wenang, 

karena tak satu pun masyarakat di sekitarnya yang 

berani mencegah apalagi melawan kebrutalan mereka.

Sementara sang petani malang masih tetap 

duduk memikirkan nasibnya yang begitu pedih. Di lain 

tempat, tepatnya di warung minuman, tampak para 

penjudi sedang asyiknya menggenggam kartunya 

masing-masing. Laki-laki yang beberapa jam lalu 

menyita seluruh hak petani miskin, telah berada di 

situ. Wajahnya tampak kesal sekali saat itu. Hasil 

lelangan barang-barang sitaannya telah banyak yang 

berpindah tangan ke penjudi lainnya. Mungkin sisa 

uang yang ada di dalam kantongnya pun sebentar lagi 

akan berpindah tangan juga.

“Den Tompel berani taruh berapa?” tanya teman 

main yang duduk di sebelah kanannya.

“Sepuluh ringgit!” jawabnya ketus tanpa menoleh 

sedikit pun kepada si penanya.


“Ayo lemparkan uangnya!” balas orang itu 

kembali.

“Nih!” sahut Den Tompel sambil melempar uang 

kepingan ke tengah permainan.

“Masih berani kalau kuminta tambah sepuluh 

ringgit lagi?” sela orang itu dengan senyum dan 

langsung menggeser uang yang ada di dekat kakinya 

ke tengah.

“Hmmmh... gila! Kau mau mengujiku rupanya, 

hah! Baik! Nih, uangnya...! Ayo kalau tak ada yang 

berani lagi, cepatlah buka kartumu!” sambut Den 

Tompel.

“Tunggu! Siapa bilang aku tak berani! Kalian 

berdua yang tak mungkin berani melawanku. Nih tiga 

puluh ringgit. Kutunggu sampai hitungan kelima kalau 

kalian tak berikan tambahannya, terpaksa kutarik 

uang ini semua! He-he-heh!” sela laki-laki gendut yang 

duduk di hadapan Den Tompel.

Suasana itu semakin lama semakin panas, 

terutama yang sedang bernasib sial seperti Den Tompel 

itu. Nafsu marah yang tertahan telah membuat 

mukanya merah dan cepat tersinggung, untunglah 

teman-teman main itu sudah mengetahui wataknya, 

sehingga jarang sekali terjadi keributan di meja judi. 

Saat itu si Tolol pun berada di warung tempat para 

penjudi bermain, tapi ia berada bukan di dalam 

melainkan di depan warung. Ia sama sekali tidak 

memperdulikan keadaan sekelilingnya yang penting 

ada sandaran dan tempatnya agak teduh, langsung 

saja molor alias tidur. Sudah lama juga Si Tolol tidur di 

situ dan sekaranglah saat-saat puncaknya. Ia 

kelihatan lelap sekali. Biarpun beberapa ekor lalat 

menari di sekitar mulut dan hidungnya, bahkan ada di 

antaranya yang kurang ajar berjalan di sekitar mulut


sambil menjilat-jilat air liur yang hampir mengering di 

dagu dan pipi.

Seorang anak laki-laki melihat keadaan itu 

segera memanggil temannya.

“Lihat tuh. Den Tolol! Kalau tidur di mana pun 

jadi. tidak boleh ada tempat sandaran kepala, 

langsung saja molor!” ucap anak itu.

“Ssst...! Biarkan saja. Jangan diganggu,” sahut 

temannya.

“Mungkin dia sedang mimpi dikerumuni bidadari 

sorga.”

“Iya...! Bidadarinya ada sepuluh.”

“Hi... hi... hih!”

“Ssst! Ayo cepat lari.”

“Kenapa?”

“Lihat tuh ada yang datang mencarinya...!”

“Oh...! Ada Pak Kohar. Ayo kita lari!!”

Kedua anak itu cepat-cepat angkat kaki setelah 

mengetahui ada seorang laki-laki tua berlari tergopoh-

gopoh menuju ke warung tersebut.

“Den... Den Tolol...! Masya Allah...!” teriak orang 

tua yang bernama Kohar itu dengan terkejutnya, 

“Kenapa kau tidur di sini. Den...? Ayo bangun. Den...! 

Bangun! Ayahanda memanggilmu,” teriaknya kembali 

setelah berada di dekat Si Tolol.

“Klekerrrrr... kerr... kelekerrr...!” Hanya itu yang 

suara yang keluar dari mulutnya tanpa bergerak 

sedikit pun walaupun teriakan Pak Kohar cukup keras 

di dekat telinganya.

Mungkin karena kesalnya, maka Pak Kohar 

segera menggoncang-goncangkan badan tuan 

mudanya yang bego ini. Karena kerasnya goyangan, 

maka Si Tolol pun terbangun juga.

“Oaaaaahhmmmm...!!” Si Tolol mulai membuka



matanya sambil menguap lebar. Setelah mengucek-

ngucek matanya beberapa kali, ia pun terkejut melihat 

pesuruh di rumahnya berada di dekatnya.

“Ada apa Pak Kohar?” tanya Si Tolol kepada Pak 

Kohar.

“Aden diminta cepat pulang. Juragan besar 

memanggilmu,” jawab Pak Kohar sambil membantu 

membersihkan pakaian Si Tolol yang berdebu.

“Ada apa sih. Kan Tolol lagi main....” balas Si 

Tolol kembali dengan nada manja.

“Ini pesan dari Agan, Den. Pesannya wanti-wanti 

sekali supaya Aden cepat pulang.”

“Memangnya kenapa sih?”

“Juragan Besar sakitnya kumat lagi.”

Setelah mendengar penjelasan dari Pak Kohar 

maka Si Tolol pun bangkit dari duduknya. Sebelum itu 

sempat juga ia menggeliat beberapa kali dan meminta 

kepada Pak Kohar untuk membersihkan bagian 

belakang celananya dari debu-debu yang menempel. 

Namanya disuruh oleh majikan. Pak Kohar pun tak 

dapat membantah kecuali menuruti apa yang 

diinginkannya, walaupun di dalam hatinya kesal juga.

Pak Kohar mengantar Si Tolol pulang ke rumah 

dan tak berani melepaskannya seorang diri. Ia 

khawatir akan ngelantur lagi ke mana-mana. Setelah 

sampai di muka pintu, barulah Pak Kohar pergi 

menjemput saudara Si Tolol yang lainnya.

Pak Kohar tahu betul tempat majikan yang satu 

ini berada. Tanpa banyak tanya lagi ia langsung 

kembali ke warung di mana Si Tolol tadi tertidur. 

Setelah tiba di warung itu ia pun segera masuk ke 

dalam, tempat para penjudi berkumpul. Sang majikan 

pada saat itu masih bersila di atas bale bersama 

teman-teman main lainnya dengan kartu di tangan


masing-masing.

“Den...!” ucap Pak Kohar kepada majikannya.

“He... ada apa kamu ke mari?” tanya sang 

majikan dengan ketus.

“Aden dipanggil sama Juragan Besar.”

“Katakan nanti saja. Magrib aku sudah tiba di 

rumah!”

“Beliau pesan wanti-wanti supaya Aden pulang 

sekarang juga...!”

“Ada apa sih?”

“Juragan Besar sakitnya kumat. Untuk itu 

diminta supaya anak-anaknya kumpul.”

“Kumpul ngapain?”

“Entahlah, Den. Mungkin ada sesuatu yang ingin 

beliau katakan. Saya sendiri pun tak tahu.”

Pandai juga orang tua ini membujuk. Den 

Tompel yang begitu keras dan kasar akhirnya mau 

juga menuruti permintaannya. Padahal hatinya kesal 

bukan main. Bagaimana tidak. Uang yang begitu 

banyak di kantong sebagian besar ludes dan yang 

tersisa di kantong baju hanya tinggal beberapa keping 

saja.

“Huh. Sialan!” umpat Si Raden Tompel sambil 

menyelipkan golok ke pinggangnya. “Kalau saja kau 

tak datang dan menyuruhku pulang. Tentu sudah bisa 

kutebus semua kekalahanku. Mengerti?” gerutunya 

kembali sambil menoleh ke arah Pak Kohar.

“Mengerti, Den...! Tapi keadaan Ayah Aden 

sangat gawat. Ayolah cepat kita ke sana, sebentar 

saja...!” sambut Pak Kohar menanggapi ucapan 

majikannya.

“Kenapa kumat-kumat melulu, sih...?”

“Yah maklum, Den, kan umur orang tua Aden 

sudah lanjut, lagi pula penyakitnya....”

“Huh. Dasar kakek-kakek! Memang mestinya 

sudah masuk ke liang kubur!”

“Husss... jangan berkata begitu, Den. Tidak baik. 

Apalagi dengan orang tua Aden sendiri.”

“Huh. Sudahlah! Memang kau pandai bicara. Ayo 

kita pulang.”

***

DUA


Lebih kurang dua ratus meter dari tempat 

perjudian itu, terdapat pula perjudian dengan versi 

yang lain, yaitu mengadu ayam. Ada kira-kira sepuluh 

orang di tempat tersebut, mereka tengah asyik 

menyaksikan jalannya pertarungan seru. Ada pula di 

antara mereka yang tegang menyaksikan jalannya 

pertarungan itu.

“Ayo sikat terus, Bereum. Sikat terus jangan beri 

ampun!” teriak orang itu dari dekat arena.

“Bagus itu baru namanya ayam jago! Ayo sikat 

terus! Hantam..., ya, hantam lagi!” sambut teman yang 

turut menjagoi ayam itu.

“Diam kau! Jangan berisik!” bentak pemilik ayam 

yang kelihatan telah terdesak, “Kalau kalian tak mau 

diam, kusobek mulut kalian!” hardiknya lagi.

Dua ayam jago masih terus bertarung. Keduanya 

saling baku hantam tanpa mengenal lelah walaupun 

pada bagian kepalanya masing-masing telah banyak 

keluar darah. Sementara itu para pemiliknya terus 

berteriak-teriak memberi semangat kepada ayamnya, 

padahal sang ayamnya sendiri tak mengerti apa yang


mereka ucapkan.

Setelah pertarungan berjalan sekian lama. 

Terdengarlah keok keras dari salah seekor ayam. Ayam 

yang kalah itu langsung berlari cepat meninggalkan 

gelanggang, ini pertanda permainan telah berakhir. 

Sorak gembira para pemenang pun terdengar. Mereka 

berjingkrak-jingkrak kegirangan, sedangkan anak

muda yang ayamnya kalah, tampak kesal sekali.

“Ayo, Den... mana uang taruhannya...!” ucap 

salah seorang pemenang menghampiri anak muda itu.

“Apa?! Mau minta uang taruhan?” tanya si 

pemenang. “Kalian main curang!” teriaknya kembali.

“Oo... tidak mungkin. Den!” bantah orang itu.

“Kalau kalian tidak pakai akal busuk tak 

mungkin ayamku kalah. Taji ayam ini telah kalian olesi 

dengan tahi kuda! Huh!!” teriak Sang Raden sambil 

menendang ayam yang menang itu dengan keras 

sekali, sehingga membuat ayam itu menggelepar 

macam habis dipotong, “Ini protesku! Ada yang tidak 

senang silakan...!” tantangnya kemudian.

“Hei, apa-apaan kau ini. Kau apakan ayamku 

itu?!” teriak orang itu dengan nafas tersengal-sengal.

“Ini sekedar contoh!”

“Contoh?”

“Ya. Kalian pun bisa seperti itu!”

“Heh! Kalau ngomong jangan seenaknya saja. 

Kalau nggak mau bayar, bilang terus terang, jangan 

banyak polah.”

“Kalian mau apa, hah?!”

“Fuiiih! Mentang-mentang orang kaya, mau 

bertindak seenaknya. Kau tak akan bisa meninggalkan 

tempat ini sebelum meminta maaf kepada kami.” Kini 

sang Raden telah terkurung. Empat orang laki-laki 

menatapnya dengan penuh kebencian dan di


tangannya masing-masing tampak memegang benda-

benda tajam termasuk pisau dan golok.

“Bagus kalau ini memang maumu!” ucap sang 

Raden sambil menatap keadaan sekeliling dan 

langsung mengkonsentrasikan diri ke arah tubuh 

lawan agar dapat mengetahui gerakan yang akan 

dilakukannya.

“Ya. Inilah cara kami buat orang-orang sombong 

macam kau!” sahut laki-laki yang bertubuh gemuk dan 

berwajah seram sambil memutar-mutarkan golok di 

hadapan sang Raden.

“Apakah kalian sudah pikir-pikir dulu apa yang 

akan terjadi?” balas sang Raden separuh mengejek.

“Pikir-pikir apa?! Melawan tikus busuk seperti 

kau tak perlu pikir-pikir!” bentak orang itu kembali.

“Jadi kau tak sayang binimu disambar orang, 

jika berangkat ke akherat?” sindir Raden sambil 

memperkuat posisinya. 

“Diam kau bangsat! Ciaaaaat!”

Melesatlah salah seorang dari mereka ke 

hadapan sang raden yang nama sebenarnya Raden 

Kasep saudara dari Si Tolol juga. Tajam sekali golok 

orang itu, begitu serangannya dihindari pohon yang 

berada di dekat Den Kasep jadi sasaran dan langsung 

putus dalam sekali tebasan. Dalam posisi yang sangat 

menguntungkan ini tak dibiarkan lewat begitu saja 

Melihat orang itu terhuyung karena serangan kerasnya 

tak mengenai sasaran, Den Kasep langsung 

menyambar dengan tendangan beruntun. Teriakan 

kesakitan dari orang itu pun terdengar keras sekali.

Berbarengan dengan ambruknya orang itu, dua 

orang sekaligus datang menyerang ke arah Den Kasep. 

Serangan mendadak ini cukup membuat ia kewalahan. 

Yang satu dapat ia elakkan namun sontakkan keras


dari yang satunya lagi masuk tepat ke bagian dada. 

Sambil menahan rasa sakit. Den Kasep masih sempat 

juga mengelakkan serangan yang datang bertubi-tubi, 

walaupun ia harus jatuh bangun. Saat ini memang 

hanya pengelakan yang dapat ia lakukan. Pukulan 

jurus andalan yang ia miliki seakan tak berguna sama 

sekali, selama pernafasan belum normal kembali.

Sedikit demi sedikit pengaturan nafas mulai bisa 

dikuasai, Den Kasep tampaknya mulai lincah lagi. Dan 

sekarang mulai berbalik, Den Kasep sendiri yang 

membuka serangan lebih dulu. Laki-laki yang 

bertubuh gemuklah merupakan sasaran utamanya. 

Dalam penyerangan tersebut Den Kasep benar-benar 

macam orang kesetanan. Kaki dan tangan silih 

berganti ia lakukan sehingga membuat sang lawan 

kewalahan. Memang dalam keadaan seperti itu, tidak 

memerlukan lagi segi keindahan gerakan yang penting 

berusaha sekuat tenaga untuk dapat menjatuhkan 

lawan. Begitu pula yang tersirat di dalam benak sang 

Raden ini.

Dalam waktu yang cukup singkat, dua orang 

lawan telah berhasil ia patahkan. Kini masih ada dua 

lagi yang harus ia hadapi. Dengan langkah dan 

gerakan yang cukup hati-hati Den Kasep kembali 

mengambil posisi.

“Ciyaaat!” Teriakan keras sang lawan terdengar. 

Tapi Den Kasep sudah lebih dulu siaga, sehingga 

dengan sigap tangan kanannya menjemput 

pergelangan lawan yang dilanjutkan dengan masuknya 

dengkul kaki ke belakang sikut lawan. Melihat 

lawannya meringis kesakitan Den Kasep langsung 

menyarangkan pukulannya tepat ke dada lawan 

sehingga membuat lawan tersebut terjerembab ke 

tanah.


Kini tinggal seorang lagi yang musti dihadapi. 

Inilah lawan yang telah membuatnya kewalahan tadi, 

karena pukulan orang ini dirasakan sangat kuat 

sekali. Yang cukup melegakan hati Den Kasep adalah, 

orang ini sudah tampak kelelahannya selain itu 

senjatanya pun sudah terlepas dari tangan.

Satu dua pukulan yang diarahkan masih dapat 

terelakkan, begitu pula dengan balasan yang diberikan 

kepada sang lawan. Saling pukul dan saling tendang 

pun terjadi dengan seru sekali. Jurus demi jurus telah 

mereka mainkan namun belum satu pun di antara 

mereka ada yang kelihatan terdesak. Rupanya kali ini 

Den Kasep benar-benar mendapat perlawanan yang 

berimbang, walau telah banyak upaya yang ia lakukan 

namun tetap tak menggoyahkan sang lawan. 

Dalam keadaan terdesak akibat terkena pukulan 

pada bagian dadanya, Den Kasep menjatuhkan diri ke 

tanah. Sambil bergulir ia langsung menyambar 

potongan kayu yang ada di situ dan secepat kilat ia 

memukul tulang kering lawan dengan kayu tersebut. 

Serangan mendadak ini cukup untuk melumpuhkan 

lawan. Ini terbukti karena lawannya tampak 

mengerang kesakitan. Den Kasep yang kelihatan 

semakin kalap dan berangasan, tendangan dan 

pukulan silih berganti mendarat telak di tubuh lawan 

sehingga orang itu tak berkutik sama sekali dibuatnya.

Rupanya tak sampai di situ saja, rasa amarahnya 

sang Raden ini tampak semakin gila. Golok yang ada di 

dekat lawan yang pingsan itu segera diambilnya dan 

langsung diayunkan tinggi-tinggi ke atas.

“Sekarang giliranmu! Senjata ini sebentar lagi 

akan memakan tuannya sendiri!” teriaknya keras-

keras, dan setelah giginya bergerumutuk beberapa kali 

ia pun berteriak lagi, “Ciaaaat...!” Tapi ayunan



goloknya tak sempat bergerak sama sekali karena 

genggaman tiba-tiba melekat di pergelangan 

tangannya.

“Tahan, Den! Sabar..., sabar...!” teriak lelaki tua 

itu sambil memegang tangan Den Kasep kuat-kuat.

“Hei?! Pak Kohar?!” ucap Den Kasep sambil 

menoleh ke arah lelaki tua yang memegang tangannya.

“Iya, Den...! Ayo lepaskanlah golok ini. Jangan 

kau lakukan. Kasihanilah mereka...!”

“Huuuuh!” geram Den Kasep sambil membuang 

golok itu ke tanah. “Mau apa kau datang ke sini?” 

tanya Den Kasep kepada pesuruhnya yang baru saja 

berhasil mengurungkan niatnya.

“Den Kasep..., saya disuruh memanggil Aden.”

“Siapa yang suruh?”

“Juragan Besar, Den....”

“Memangnya ada apa?”

“Juragan Besar sakit keras. Jadi Aden disuruh 

pulang sekarang juga.”

“Hmmmmh!”

“Ayolah, Den...!”

Pak Kohar yang merasa khawatir terjadi apa-apa 

lagi langsung menarik tangan majikannya agar segera 

meninggalkan tempat tersebut.

“Ingat! Jika kalian merasa kurang puas terhadap 

perlakuanku. Lain kali aku bersedia meladeni lagi. Aku 

akan bikin kalian benar-benar kojor semua, 

mengerti?!” bentak Den Kasep sambil melangkah 

meninggalkan tempat itu.

Setelah beberapa saat Den Kasep dan Pak Kohar 

pergi, keempat orang itu pun mulai bangkit kembali. 

Mereka sangat berterima kasih kepada Pak Kohar, 

sebab dengan kedatangannya ke tempat tersebut, 

mereka telah lepas dari bahaya maut. Satu di antara


mereka tampak keadaannya parah sekali. Teman 

temannya tampak sibuk memberikan pertolongan agar 

orang itu dapat berdiri.

“Cepat ambil air sedikit. Kak Miing...! Nih, pakai 

saja kain ini. Jangan lupa peras dulu.” perintah salah 

seorang di antara mereka.

“Baik,” ucap laki-laki yang berperawakan kurus 

itu sambil berlari membawa kain untuk dibasahi. 

“Bagaimana keadaannya?” tanya yang seorang 

lagi.

“Tenanglah, sudah mulai membaik. Tinggal 

membersihkan mukanya saja. Ia sudah mulai sadar...!” 

jawab kawannya sambil mengelus-elus dada orang 

yang baru saja siuman dari pingsannya. Sambil 

terbatuk-batuk orang itu berusaha bangun dan berdiri. 

Kedua temannya segera membantu mengangkat.

“Bagaimana, Kang?”

“Uuuh..., nafasku masih agak sesak.”

“Nah. Itu Kang Miing sudah kembali. Mari 

kubersihkan badanmu dulu, ya... Kang?”

“Ya...! Tapi kalian setelah ini musti bantu aku. 

Kakiku masih sulit digerakkan. Jadi tak mungkin aku 

dapat pulang sendiri dalam keadaan seperti ini.”

“Tenanglah, Kang. Pasti kami bantu.”

“Hei..., kau dengarkah omongan mereka tadi?”

“Omongan apa. Kang Miing?”

“Itu tentang Juragan Surya... yang katanya, 

sekarang semakin gawat sakitnya...!”

“Fuiiih! Mampus aja sekalian!” 

“Husss! Jangan begitu dong.”

“Memangnya kenapa?”

“Juragan Surya kan orangnya baik.”

“Benar! Yang berhati iblis itu adalah adiknya, Si 

Juragan Wangsa. Dari pengaruhnyalah sehingga


membuat anak-anaknya menjadi pongah.”

“Betul juga. Seingatku Juragan Surya sangat 

murah hati. Ia memberi pinjaman kepada orang atas 

dasar kasihan dan tak pernah memeras, apalagi 

dengan renten-renten yang begitu berat seperti yang 

dilakukan ketiga Raden malang kadak itu.”

“Pokoknya aku belum puas kalau aku belum bisa 

membalas kepadanya!”

“Sudahlah..., ayo cepat antarkan aku pulang. 

Kaki ini semakin sakit rasanya.”

“Baik, Kang!”

Tempat yang baru saja menjadi gelanggang 

pertarungan ayam yang kemudian dilanjutkan dengan 

pertarungan pemiliknya, sekarang sudah mulai sepi 

kembali. Yang nampak di situ hanyalah sampah-

sampah yang beterbangan ke sana ke mari di samping 

ada bercak-bercak darah yang sudah mengering dari 

sisa pertarungan dalam versi kedua tadi.

Sementara itu di lain tempat ada keasyikan lagi. 

Ini adalah keasyikan yang memang lain dari biasanya. 

Putra Juragan Surya yang terkenal ganteng dan sangat 

perlente ini, tampak sedang asyik sekali mengumbar 

rayuan gombal kepada salah seorang kembang desa.

“Bagaimana Geulis...?”

“Ah... Akang--!”

“Kenapa...? Tidak percaya sama Akang? Apakah 

Akang termasuk orang yang kau sebut tadi...?”

“Tidak... Kang, tapi....”

“Tapi kenapa Denok...! Ayo katakanlah, Geulis.-.”

“Betulkah Den Lungguh cinta padaku?”

“Apakah kau masih kurang percaya?”

“Ah... bohong!”

“Percayalah, Geulis...”

“Mana mungkin Raden mau padaku. Masa Raden


mau dengan orang miskin seperti aku ini.”

“Tak usah bimbang, Manis... kau harus buang 

jauh-jauh prasangka burukmu. Sekarang katakan saja 

apa yang kau minta, Giwang, kalung, berlian, atau 

permata lainnya...! Tak usah malu-malu katakan saja. 

Pasti akan kuberikan untukmu, Geulis...!”

Sambil membelai lembut, sang Raden terus tak 

henti-hentinya merayu si gadis yang cantik itu. 

Ternyata rayuan mautnya cukup melenakan hati 

seorang gadis yang masih polos ini. Ia tampak menjadi 

begitu jinak dan sangat manja sekali kelihatannya. 

Den Lungguh memang sangat pandai dalam soal rayu-

merayu. Jadi tak heranlah kalau banyak orang bilang 

ia punya ilmu pelet atau guna-guna untuk memikat 

wanita yang diingininya.

Dulu dan sekarang rupanya sama saja. Ternyata 

tokoh Play Boy di jaman itu pun ada. Den Lungguh 

adalah termasuk Play Boy yang memiliki kredibilitas 

tinggi di seluruh Babakan Sumedang kala itu.

“Udara di sini kurang enak..., ayolah kita ke 

dalam saja. bukankah kedua orang tuamu sedang ke 

huma?” bisik Den Lungguh kembali yang kelihatan 

sudah tak sabar lagi.

Si Kembang desa yang sudah tersirap rayuan 

maut itu menerima tawaran yang diberikan 

kepadanya. Dengan sikap manja ia langsung menarik 

tangan sang Raden. Bukan main gembiranya hati Den 

Lungguh melihat apa yang diinginkannya langsung 

dituruti tanpa harus memaksa. Dengan sikap lembut 

Den Lungguh pun membawa sang gadis masuk ke 

dalam kamar.

Memang pada saat itu suasana di luar sepi 

sekali, rupanya ini sudah diperhitungkan oleh sang 

Raden dalam melaksanakan niatnya. Cuma yang tak



bisa masuk dalam perhitungannya adalah lelaki tua 

yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah tersebut.

“Punteeeeen....” ucap laki-laki tua itu memberi 

salam.

Den Lungguh sebenarnya mengenali suara yang 

tak asing lagi baginya itu, namun berhubung ia tengah 

asyik dengan sang kembang desa berdua di kamar, 

ucapan salam dari Pak Kohar seakan tak terdengar 

sama sekali.

Setelah berkali-kali memberi salam tak juga 

mendapat jawaban. Pak Kohar pun menjadi tak sabar. 

Ia langsung masuk ke dalam. “Punteeen,” ucapnya 

untuk kesekian kali.

“Punten. Abdi Kohar... aya Den Lungguh di dieu 

geuningan?” tanya Pak Kohar semakin dekat dengan 

kamar di mana sang majikan berada.

Belum sempat Pak Kohar berucap lagi, tiba-tiba 

terdengar suara dari dalam kamar.

“Mau apa kau ke mari, hah?”

“Abdi Kohar, Den....”

“Aku tahu! Mau apa ke sini! Hah?!”

“Ayahanda memanggilmu. Den....”

“Bilang saja tidak ada. Goblok!”

“Penting, Den. Sebab Juragan Besar sedang 

sakit.”

“Aku tahu ayah sedang sakit. Tapi kenapa pakai 

disusul segala! Memangnya tak ada yang lain, atau 

kau sengaja ingin mengganggu ketenanganku?!”

“Bukan, Den. Ini adalah pesan Juragan Besar 

sendiri. Agan ingin ketemu dengan putra-putranya 

sekarang juga. Juragan sakitnya gawat. Den...!”

“Huuuuh. Sakit-sakitan melulu! Sebentar-

sebentar sakit. Kalau ingin mati, ya, mati saja. Jangan 

bikin repot orang yang sehat,” gumam Den Lungguh


yang baru saja selesai mengenakan pakaiannya.

“Mau ke mana, Den...?” tanya sang kembang 

desa yang masih terbaring di tempat tidur.

“Aku mau menemui Ayahku dulu....” sahut Den 

Lungguh sambil merapikan rambutnya di depan 

cermin.

“Jangan tinggalkan aku, Den..., aku takut...!”

“Jangan kuatir, Geulis...! Aku hanya sebentar.”

“Den....”

Percuma saja si gadis mengejar hingga ke depan 

rumah dan memanggilnya. Den Lungguh telah berjalan 

jauh dari tempat itu tanpa memperdulikan akibat dari 

perbuatannya. Itu sebuah pertanda bahwa 

penantiannya sia-sia. Bunga yang sedang mekar dan 

harum semerbak kini tampak mulai layu sebentar lagi 

mungkin akan jatuh dari tangkainya. Entah sudah 

berapa banyak korban semacam ini yang akan terjadi 

dari raden ‘Bajul-Buntung itu’.

Ratap dan tangis tak dapat mengubah keadaan 

seperti semula. Kedua orang tua hanyalah mengelus 

dada tak dapat berbuat apa-apa, sebab orang yang 

dihadapi bukan tandingannya.

***

TIGA



Suasana lenggang di malam itu sangat terasa 

sekali, terutama di rumah besar milik Raden Ageng 

Suryakanta Prawirasapta Dipraja, orang yang terkaya 

dan berpengaruh di daerah Babakan Sumedang. Di 

salah satu ruangan rumah itu tampak beberapa orang



tengah berdiri memperhatikan sesosok tubuh yang 

membujur di atas pembaringan. Seorang laki-laki tua 

yang sedang sakit itu tak lain adalah Raden Ageng 

Suryakanta sendiri.

Beberapa saat kemudian datang seorang lali-laki 

bertubuh gemuk dengan pakaian yang sangat perlente 

memasuki ruangan itu. Ia adalah Raden Wangsa 

Pratipea Saputra, adik sepupu dari Raden Suryakanta 

yang kini mendapat tugas untuk menangani segala 

kegiatan dan aktifitas selama Raden Suryakanta tidak 

aktif dalam tugasnya sehari-hari.

“Wangsa...! Sudahkah mereka berkumpul 

semua?” tanya Raden Surya Setelah mengetahui adik 

sepupunya berada di sampingnya.

“Sudah... Kang,” sahut Raden Wangsa singkat.

“Suruhlah mereka mendekat ke sini,” pinta 

Raden Surya.

Raden Wangsa pun meminta kepada semua 

kemenakannya untuk mendekat. Walaupun hanya 

dengan isyarat, keempat putra Raden Surya itu cukup 

mengerti apa yang dimaksud oleh pamannya, mereka 

langsung mendekati ayahnya yang sedang sakit itu.

“Kang... mereka kini telah berada di dekat Akang 

semua. Apakah yang hendak Kakang katakan pada 

mereka?” tanya Den Wangsa sambil menggosok 

keringat yang ada di dahi Den Surya, “Bicaralah, 

Kang,” pinta Den Wangsa dengan lembut. 

“Dengarlah anak-anakku...!” ucap Den Surya 

setelah melihat keempat anaknya satu persatu, 

“Tompel..., Kasep..., Lungguh..., dan Palasara.... 

Keadaanku sudah begini. Mungkin tak lama lagi Allah 

akan memanggilku kembali. Hari ini aku telah 

memanggil Juru Tulis Tirta untuk membuat surat 

wasiat di atas segel dan aku akan membagikan


hartaku sebagai warisan kepada kalian semua dengan 

sama rata,” ucap Den Surya kembali dengan nafas 

yang agak tersendat-sendat.

Semua putra Den Surya tidak ada yang 

menyahut. Mereka semua diam sambil menundukkan 

kepala untuk mendengarkan ucapan ayahnya dalam 

hal pembagian warisan yang akan jatuh ke tangan 

mereka masing-masing.

“Tirta.... coba kau dekat ke mari.”

“Iya... Den...!”

“Sudah kau siapkan segala sesuatunya untuk 

mencatat apa yang akan kuucapkan?”

“Parantos, Juragan..., su... sumuhun!”

Satu demi satu ucapan Den Surya dicatat 

dengan seksama. Setelah selesai Juru Tulis itu pun 

menyalinnya dengan rapi di atas segel. Den Surya 

menandatangani surat yang dibuat oleh Tirta sebagai 

wakil pamong praja di zaman itu setelah Tirta 

membacakannya kembali semua isinya dengan jelas.

Selesai pembagian waris, Den Wangsa bersama 

yang lainnya segera pergi meninggalkan ruangan itu. 

Kini yang ada hanyalah Den Surya bersama Palasara 

alias Si Tolol yang tampak masih tetap di sisi ayahnya 

sambil menangis dan meratap.

“Apa yang kau sedihkan, Nak...?” tanya ayahnya 

sambil mengelus-elus kepala putranya yang separuh

botak itu,” Sudahlah, semua ini pasti akan terjadi. 

Semua kekuasaan ada di tangan Tuhan...” sapanya 

lagi.

“Hu... uuu... u... ugh..., nanti Tolol sama siapa. 

Ayah...? Ibu kan sudah lama tidak ada,” sela Si Tolol 

sambil diselingi dengan tangis.

“Bukankah masih ada kakak-kakakmu?”

“Tidak... tidak!”


“Mereka tentu bisa menggantikan kedudukanku, 

Nak....”

“Semua tidak ada yang sayang sama Tolol! Kang 

Tompel tidak sayang, Kang Lungguh juga tidak sayang 

sama Tolol. Kang Kasep juga tidak sayang sama Tolol.”

“Siapa yang bilang... mereka semua 

menyayangimu, kok.”

“Tidak...! Kalau Tolol ikut-ikutan main selalu 

tidak boleh sama Kakang. Katanya Tolol ileran, 

ingusan, dan tolol! Kang Tompel, Kang Lungguh, Kang 

Kasep tidak mau punya adik yang bego... malu 

katanya!”

“Benarkah begitu?”

“Ya! Kalau-kalau Tolol memaksa, kuping Tolol 

dijewer dan kepala Tolol dijitakin... Uuuuu... uuuu... 

uuu! Ayah jangan mati, ya, Yah...? Nggak. Pokoknya 

Ayah nggak boleh mati!”

“Cep..., cep! Sudahlah jangan menangis terus. 

Diamlah, Nak...!”

“Tolol heran... kenapa mereka bodoh sekali ya, 

Yah. Padahal, biar ileran dan ingusan, Tolol kan pakai 

oto buat tatakan iler. Jadi nggak kotor kan?”

“Iya..., kau betul. Nak...!” ucap Juragan Surya, 

mengiyakan ucapan anak bungsunya. “Hmmmh... 

sudah kuduga sejak semula. Suatu saat kakak-

kakakmu akan menyia-nyiakan kau, Nak. Ini 

dikarenakan kau dilahirkan dengan kelainan seperti 

ini. Tapi percayalah, Ayah dan Ibumu sangat sayang 

padamu. Bahkan ibumu sengaja menyimpan harta 

miliknya sendiri yang disediakan untuk bekal hidupmu 

kelak. Apa yang dilakukan ibumu bukan karena ia 

pilih kasih. Sama sekali tidak. Ini karena Ibumu 

melihat adanya kelainan pada dirimu. Ia sangat 

khawatir kalau kau tidak mampu mencari nafkah


sendiri di kemudian hari, karena ketololanmu itu.”

Tanpa setahu ayahnya yang sedang asyik 

berbicara. Si Tolol sudah lebih dulu tidur. Dengan 

sendirinya apa yang diucapkan Ayahnya tidak 

terdengar sama sekali, “Krrrr.. krrrr... klekerrrr.. 

grukk.. glk.. krrr....” Demikian suara perlahan yang 

terdengar dari mulut Si Tolol.

Juragan Surya tetap bercerita kepada putra 

bungsunya, dengan perasaan bahwa anaknya itu 

memperhatikannya dengan tekun. Padahal yang 

memperhatikannya dengan tekun adalah orang yang 

berada di balik dinding. Sejak semula ia 

memperhatikan ucapan yang keluar dari mulut Sang 

Juragan dengan cara yang luar biasa. Ia melekat di 

dinding bagaikan seekor cecak tepat di dekat jendela 

kamar Den Surya, walaupun dengan kepala di bawah 

dan kaki di atas, orang itu dengan tenang tanpa 

mengubah posisi sedikit pun terus menyimak segala 

ucapan Den Surya.

Rupanya bukan hanya seorang yang menguping 

pembicaraan itu. Di dalam rumah itu pun ada pula 

orang yang menangkap rahasia keluarga. Dia tak lain 

adalah Den Wangsa, adik sepupunya Den Surya.

“Dengarkan baik-baik. Nak...! Harta yang 

ditinggalkan oleh Ibumu itu berupa perhiasan yang 

harganya sangat tinggi dan dapat membiayaimu 

seumur hidup. Walaupun kau tak bisa mencari nafkah 

sendiri atau nganggur, kau tetap bisa makan. Untuk 

menghindari hal-hal yang tidak diharapkan, maka 

harta itu sengaja kami simpan di tepi hutan, dipendam 

dekat jeram di lereng Gunung Burangrang yang 

terdekat dari sini. Sebagai petunjuk, Ibumu telah 

membuatkan sulaman benang pada otomu. Apabila 

diperhatikan dengan baik, sulaman itu jelas tergambar


sebuah peta yang dapat menentukan lokasi harta itu 

berada. Tapi sayang... sampai detik ini, ayah belum 

mendapatkan orang yang dapat dipercayai. Inilah yang 

menjadi pemikiran di dalam benak ayah. Ada orang 

yang jujur seperti Pak Kohar, tak mungkin dapat 

ditugaskan untuk menggali harta itu, apalagi dengan 

kondisinya yang semakin tua. Tentu sangat berbahaya 

sekali dengan dirinya.”

Kalimat-kalimat yang terakhir ini benar-benar 

diperhatikan dengan cermat oleh kedua orang itu, 

terutama Den Wangsa, telinganya sampai dilekatkan 

benar-benar di dinding agar tak ada kata-kata yang 

terlewatkan di dalam pendengarannya.

“Satu harapan ayah, sebelum menutup mata, 

ayah telah dapat menemukan orang yang dapat 

dipercayai dan bisa melindungimu dari manusia-

manusia yang tamak dan haus harta. Tidak sedikit 

manusia semacam itu di sekitar sini. Mereka bersedia 

melakukan apa saja demi harta.”

Den Surya terus mengelus-elus putranya 

sehingga Si Tolol terbuai dalam mimpi.

Saat itu Si Tolol sedang mimpi bertemu dengan 

seorang pengemis ketika ia sedang duduk sendirian di 

bawah pohon besar dan rindang. 

“Anak siapa kau. Nak?” tanya pengemis itu.

“Anak Juragan besar Suryakanta!” jawab Si Tolol 

singkat.

“Otomu bagus sekali...!” ucap pengemis lagi.

“Tentu dong!” sela Si Tolol.

“Siapa yang menyulam otomu?”

“Ibuku...!”

“Bagus sekali. Aku senang melihatnya.”

“Tentu dong, siapa dulu yang menyulam... 

Ibuku...!”


“Bagaimana kalau otomu itu ada yang meminta?”

“Terang aku tak kasih!”

“Kalau ada yang mau tukar?”

“Aku tak mau!”

“Kalau ditukar dengan oto yang biru dan bagus 

sulamannya?”

“Tetap aku tidak kasih, karena oto itu bukan 

sulaman Ibuku sendiri. Aku sayang sama Ibu.”

“Bagus! Bagus! Ternyata kau seorang anak yang 

mempunyai pendirian teguh. Tapi kau harus hati-hati. 

Suatu saat otomu itu ada peminatnya. Ia mau 

menukarkannya dengan yang baru. Ingat pesanku. 

Sekali lagi hati-hatilah, Nak...!” pesan pengemis itu 

sambil melangkah terbungkuk-bungkuk meninggalkan 

Si Tolol sendirian.

Si Tolol bangkit dari duduknya dan mengamati 

langkah pengemis itu sampai jauh dari pandangan 

mata.

Sementara Si Tolol sedang terbuai dengan 

mimpinya. Juragan Surya masih terus berbicara 

padanya.

“Sulaman benang itu sengaja dibuat Ibu dengan 

benang putih agar tak kentara. Kalau dibuat dengan 

benang warna lain tentu sangat mencolok sekali 

gambarnya,” jelas Den Surya tanpa menoleh sedikit 

pun ke arah Si Tolol, namun tangannya tak bosan-

bosan mengelus bagian kepala Si Tolol yang licin itu.

Si Manusia cecak tampak merasa puas dengan 

informasi yang diperolehnya. Dengan senyum yang 

tersungging di bibir ia memperhatikan keadaan di 

sekeliling.

***


EMPAT


Untuk kesekian kalinya Si Manusia cecak 

memasang telinganya dengan tajam dan kali ini 

diarahkan ke semak-semak. Rupanya indera orang ini 

memang cukup tajam sekali, bagaikan kilat tubuhnya 

melesat menghindari serangan mendadak. Apabila ia 

kurang cepat bergerak tentu tubuhnya akan menjadi 

mangsa senjata lawan. Ini terbukti dengan 

menancapnya beberapa uang logam tembaga di 

dinding tempat ia mengintai tadi.

“Hiyaaaaaaat...!” Kembali tubuhnya melentik ke 

udara untuk menghindari serangan berikutnya. Uang 

logam yang dilempar lawan kembali menancap ke 

sana-sini. Dengan tubuh yang melentik bagaikan ikan 

gurameh disertai dengan gema teriakan keras dari 

mulutnya Si Manusia cecak langsung mendekati 

sumber serangan tersebut.

Tepat di puncak pohon besar yang tumbuh di 

samping rumah Juragan Surya terjadi baku hantam 

antara Si Manusia cecak dengan lawannya. Apabila 

dihitung dengan waktu dalam pertandingan tinju, 

baku hantam itu hampir mencapai tiga ronde tanpa 

istirahat. Setelah terjadi pertarungan yang cukup 

hebat, salah satu dari mereka melesat ke luar dari 

arena. Melihat lawannya pergi begitu saja. Si Manusia 

cecak pun tak tinggal diam. Ia langsung mengejar 

sambil berteriak, “Jangan lari kau pengecut!”

Laki-laki yang dikejarnya itu tak memperdulikan 

adanya umpatan atau makian dari belakang. Tanpa 

mengurangi kecepatan ia terus berlari menghindari 

perkelahian. Setelah melompat dari pohon ke pohon 

yang kemudian berlari di atas atap rumah Juragan


Surya, ia pun langsung melesat keluar meninggalkan 

tempat itu melalui pagar tembok bagian belakang.

Si Manusia cecak tak membiarkan lawannya 

pergi begitu saja. Ia pun segera menyusulnya 

walaupun tertinggal agak jauh di belakang. Kejar 

mengejar pun terjadi di alam terbuka dan telah jauh 

dari tempat semula. Kini tak ada lagi perkampungan 

yang dilewati kecuali tebing, bukit, dan jeram.

Walaupun bukit dan tebing itu cukup licin dan 

tinggi, namun tidak mengurangi tekad mereka untuk 

berhenti berlari. Laki-laki yang dikejar terus berlari 

menuju ke arah jeram yang ada di tempat itu. Tepat di 

dekat jeram Si Manusia cecak menghentikan 

langkahnya, karena orang yang dikejar berhenti berlari 

dan telah membalikkan badan sambil memasang 

kuda-kuda pertanda siap menghadapi serangan.

“He... he... he...!” tawa laki-laki itu sambil 

memainkan beberapa jurus guna memancing 

kemarahan lawan, “Aku lari bukan karena takut sama 

cacing kurus seperti kau. Aku sengaja membawa kau 

ke sini, karena di sinilah tempat yang cocok untuk 

mengadu kekuatan. Kuakui, kau memang lebih unggul 

bila bertanding di atas,” desis laki-laki yang dalam 

keremangan itu terlihat wajahnya sangat angker sekali. 

“He... he, kau kira aku akan lamban kalau 

bergerak di atas air, hah?” balas Si Manusia cecak 

yang wajahnya kini telah tampak pula. Laki-laki ini 

tampak hanya mata sebelah kanannya saja yang 

melihat, sedangkan mata sebelah kiri tampak rapat 

sekali. “Fuiiiih! Majulah kalau kau memang jantan!” 

teriaknya kembali.

“Hei... Picek! Apakah kau tak khawatir kalau 

matamu yang tinggal sebelah itu pecah di ujung 

pisauku, hah?” ejek laki-laki itu sambil tak putus


putus mendemontrasikan gerakan-gerakan jurus 

dengan lincah.

Rupanya Si Manusia cecak hilang juga 

kesabarannya. Tanpa pikir panjang lagi ia segera 

melakukan penyerangan ke arah lawan, “Ciaaaaaat...!” 

teriaknya dengan keras sambil melompat.

Tendangan keras yang diarahkan ke lawan itu 

tak berhasil mengenai sasaran. Rupanya sang lawan 

sudah lebih dulu siaga, sehingga keadaan masih tetap 

kosong-kosong. Serangan kini berbalik ke arahnya. 

Sang lawan kini tampak semakin gencar membalas 

serangan dengan tendangan beruntun dan disertai 

satu dua pukulan tangan. Si Manusia cecak cukup 

kewalahan menghadapi serangan yang begitu gencar 

ini, karena walaupun ia dapat menghindar tetapi tetap 

saja ada pukulan yang masuk ke badan. Pada menit-

menit berikutnya sebuah tendangan keras masuk ke 

rusuk kiri Si Manusia cecak ini. Tendangan tersebut 

cukup membuatnya menjerit keras sekali. Melihat 

keadaan yang sangat menguntungkan. Si Tampang 

Angker pun tidak membuang kesempatan. Ia segera 

mengejar lawan yang dalam keadaan terhuyung-

huyung menahan sakit sambil menggenggam golok di 

tangan, “Sudah kukatakan kau tak akan mampu 

menandingiku bertarung di air, heh... he... heh! 

Ciaaaaaat...!” teriaknya dengan keras. Belum sempat 

golok itu diayunkan tiba-tiba tanpa diduga Si Manusia 

cecak berbalik sambil melemparkan pisau tepat 

bersarang di leher Si Tampang Angker.

“Aaaaakh...!” suara si Tampang Angker lemah 

dan langsung terkulai jatuh ke tanah.

Dengan tenang Si Manusia cecak mendekati

lawan yang telah tak berdaya. Setelah mengambil 

pisau yang menancap di leher lawan ia pun langsung


mendorong tubuh lawan itu ke dalam sungai.

“Brussss!” terdengar bagaikan sebuah karung 

pasir dilemparkan ke air, ketika tubuh laki-laki itu 

jatuh dilemparkan dari ketinggian satu meter lebih.

“Fuiiiih! Baru memiliki ilmu seujung kuku saja, 

sudah berani-beranian melawan orang yang memiliki 

ilmu segudang. Kau rasakan akibatnya sekarang,” 

desisnya setelah merapikan kembali pakaian dan ikat 

kepalanya. “Biarpun mataku cuma satu, belum tentu 

aku kalah jeli dengan kau yang normal, bangsat!” 

dampratnya, seakan-akan ia belum puas juga mencaci 

maki lawan, padahal sang lawan sudah tak bernyawa 

lagi.

Dengan senyum bangga ia pun melangkah 

meninggalkan tempat tersebut, namun belum berapa 

jauh ia melangkah tiba-tiba serangan datang secara 

bertubi-tubi.

“Hiaaat...! Ciaaaat...! Hup!” teriak Si Manusia 

cecak sambil menghindari serangan yang datang ke 

arahnya. “Fuiiiiih...! Gila. Rupanya masih ada orang 

yang lain di sini...?!” gumamnya lagi sambil melompat 

ke sana ke mari menghindari mata sumpitan yang 

semakin banyak sekali jumlahnya. 

Mata sumpit beracun itu terus diarahkan 

kemana ia pergi. Setelah sungsang-sumbel dan susah 

payah menangkis serangan yang semakin bertubi-tubi, 

akhirnya tubuhnya pun terjengkang jatuh ke dalam 

sungai.

“Aaaaah...!” teriak si Manusia cecak dengan 

keras.

Berbarengan dengan jatuhnya tubuh Si Manusia 

cecak ke air, tiba-tiba muncul sesosok tubuh lucu dari 

atas pohon.

“He... heh... heh! Tak ada yang bisa lolos dari


Sumpit Iblisku ini!” teriak laki-laki bulat pendek yang 

baru merosot dari pohon itu, dan dengan langkah yang 

kocak ia mendekati musuhnya yang terapung di air, 

“He... heh... heh... heh!” tawa lucunya tak henti-

hentinya terdengar.

Bentuk manusia ini memang aneh sekali. 

Kepalanya besar, matanya belo..., tubuhnya pun bulat 

pendek, dan perutnya buncit sekali.

“Sudah puluhan jagoan di bumi Nusantara ini 

kupetik dengan Sumpit Iblisku..., he... he... heh. 

Sekarang giliran Si Kecoa Tanah ini...! Pokoknya tak

ada yang bisa lolos dari sumpitku, setiap yang kena, 

satu menit langsung kejang dan mati. He... he... heh! 

Eh. Ngomong-ngomong tadi gua dengar Jago-jago tolol 

ini merebutkan harta warisan. Coba kugeledah. Siapa 

tahu mereka menyimpan petunjuknya!”

Manusia aneh ini segera turun ke tepi sungai. 

Tubuh laki-laki yang mengambang itu didekatinya 

untuk diperiksa. Tubuh laki-laki bertampang angker 

itu telah diperiksa dan ternyata tak ada apa-apanya. 

Kemudian ia beralih ke tubuh yang satunya lagi.

“Pasti petunjuk itu ada di dalam pakaian Si Picek 

ini. Hmmmmh... Kalau sudah kutemukan. Pasti dalam 

sekejap aku bisa menjadi kaya raya...! He... he... 

heh...!” ucap Si Manusia Aneh sambil membungkuk 

dengan susah payah membalikkan tubuh korban yang 

telah disumpitnya.

Sungguh di luar dugaan. Orang yang disangka 

telah mati itu ternyata masih hidup dan bagaikan kilat 

ia bergerak dengan senjata tajam yang siap di tangan.

Serangan yang begitu mendadak tak sempat lagi 

dielakkan. Malah pisau yang digenggamnya itu telah 

berhasil menyobek bagian leher Si Manusia Aneh dan 

membuatnya mengerang kesakitan.


Si Manusia cecak terus memanfaatkan 

kesempatan tersebut. Berkali-kali senjatanya 

ditujukan ke arah lawan dan berkali-kali pula senjata 

itu mencapai sasaran. Si Manusia Aneh kali ini benar-

benar tak berdaya, tak ada lagi gerak lucu dan tawa 

lebar yang keluar dari mulutnya kecuali mengerang 

keras akibat luka yang dideritanya.

Satu tendangan maut baru saja dilancarkan 

sebagai serangan terakhir dari Manusia cecak, yang 

langsung membuat manusia aneh itu ambruk tak 

berkutik lagi.

“He... he... heh...! Seandainya kau telah 

mengenalku, tak mungkin kau berani menantangku...! 

Aku Si Manusia cecak atau lebih kesohor disebut 

orang Si Tangan Kilat mempunyai seribu satu macam 

akal untuk melumpuhkan lawan. Ayo..., sekarang 

pergilah kau! Temani tuh Si Kecoa Busuk yang sedang 

asyik berendam di kali.”

Setelah mendorong tubuh manusia aneh dengan 

kakinya ke dalam air. Si Manusia cecak alias Tangan 

Kilat itu pun bersiap-siap untuk meninggalkan tempat 

tersebut. Tapi baru saja ia hendak melangkahkan kaki, 

tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara yang datang dari 

arah air terjun.

“Hei tunggu dulu, sobat...! Mau ke mana kau 

terburu-buru? Masih ada aku, kok...?” ucap seorang 

laki-laki yang tampak dengan tenang meluncur dari

atas air terjun yang begitu curam. Laki-laki itu benar-

benar telah memiliki ilmu keseimbangan tubuh yang 

sempurna. Bayangkan, dari atas air terjun yang begitu 

curam ia dapat meluncur dengan kaki bersila. Si 

Tangan Kilat terkesima beberapa saat ketika melihat 

kejadian yang menakjubkan dan baru pertama kali ia 

alami.


“Kau boleh membusungkan dada terhadap 

jagoan tengik yang lain, tapi jangan coba-coba 

membusungkan dada di hadapanku, he... he... heh...!” 

ucap orang itu kembali, setelah ia berada di hadapan 

Si Tangan Kilat.

“Siapa kau?” tanya Si Tangan Kilat singkat.

“Apa perlu kiranya aku memperkenalkan diri?!” 

balas orang itu separuh mengejek. Wajah laki-laki yang 

baru turun dari atas air terjun tersebut tampak mulai 

jelas setelah mendekat. Tubuhnya kurus berkerut 

bagai orang lanjut usia, demikian juga wajahnya. 

Kepalanya botak dan banyak benjolan bagai bisul 

tumbuh di kepala. Dengan senjata tongkat panjang 

yang di ujungnya dilengkapi lempengan besi tajam, 

mirip sebuah mata cangkul kecil, ia berputar-putar 

memainkan suatu gerakan silat yang lincah dengan 

menggunakan sebuah pecok atau cangkul kecil.

Si Tangan Kilat mengamati semua gerakan yang 

dimainkan orang itu sambil bersiaga penuh menjaga 

kemungkinan yang bakal terjadi terhadap dirinya.

“Apa kau sudah memikirkan masak-masak 

untuk menantangku. Kakek Peot?” sindir Si Tangan 

Kilat dengan senyum sinis.

“He...! Jangan coba-coba membadut di 

hadapanku. Gembel Pece...!” bentak laki-laki itu 

sambil melotot.

“Sudahlah, Kek...! Lebih baik kau pulang saja. 

Tak pantas rasanya aku bertanding dengan tengkorak 

hidup macam kau! He... he... heh!” ejek Si Tangan Kilat 

kembali. 

Bukan main marahnya laki-laki tersebut 

mendengar ejekan dari Si Tangan Kilat, “Rupanya kau 

belum tahu orang yang kini berada di hadapanmu, 

hah?! Inilah Si Pecok Sejuta yang belum ada


tandingannya di dunia persilatan. Hiyaaaaaat...!”

Laki-laki yang mengaku dirinya Pecok Sejuta 

langsung menyerang ke arah Si Tangan Kilat dengan 

senjata andalannya.

“Aku percaya..., kau memang belum ada yang 

menandinginya, sebab orang-orang tak ada yang tega 

bertanding denganmu. Atau kemungkinan lain 

mereka-mereka jijik dengan tubuhmu yang penuh 

dengan kurap dan kudis itu. He... he... heh...!” ujar Si 

Tangan Kilat setelah berhasil mengelakkan dan 

membalas serangan lawan tersebut.

“Fuuiiiiih! Tutup mulutmu, bangsat...!”

“Ho... ho... ho.... hooooo! Lucu sekali melihat 

tengkorak hidup marah. Ayolah Kek, seranglah aku 

kalau masih berani. Aku siap menerimanya, ho... ho... 

hooooo,” ejek Si Tangan Kilat yang tak putus-

putusnya.

Si Tangan Kilat kini telah berhasil memancing 

kemarahan lawan. Ini memang merupakan senjata 

andalan di samping kemampuan yang ada di dalam 

dirinya. Sehingga serangan-serangan lawan secara 

emosi dan membabi buta itu dengan mudah 

dihalaunya.

Dalam pertarungan ini Si Tangan Kilat benar-

benar memanfaatkan sisa tenaga yang ada. Ia tampak 

hanya bertahan agar pihak lawan menguras seluruh 

tenaganya sebab ia menyadari tenaga yang dimilikinya 

telah terkuras habis setelah bertarung dengan dua 

pesilat tadi.

Orang yang menamakan dirinya Si Pecok Sejuta 

tampak semakin ganas laksana seekor singa lapar. 

Berkali-kali ia menerkam dengan senjata 

kebanggaannya tapi serangan itu berhasil dielakkan 

oleh pihak lawan.


“Sudah kukatakan lebih baik kau kembali saja 

ke rumah. Tak perlu susah payah begini. Yang sangat 

mengherankan lagi, mengapa orang pikun macam kau 

masih juga mau menyerakahi harta warisan... he.. 

heh!”

“Mampus kau, bangsat! Memang mulutmu musti 

disumpal dengan ini! Hiyaaaaa!!”

“Heeeiiiiit...! Ciaaaaat!”

Si Tangan Kilat terus berusaha menghindari 

serangan yang datang bertubi-tubi tanpa mengadakan 

pembalasan sedikit pun. Ini rupanya suatu taktik 

perkelahiannya.

***

LIMA



Sementara pertarungan yang masih berlangsung 

dengan serunya, di lain tempat tampak seorang laki-

laki gemuk berjalan sendirian di tengah keheningan 

malam. Ia kelihatan begitu tergesa-gesa seakan akan 

memburu sesuatu dan langkahnya semakin lama 

tampak semakin dipercepat.

Setelah menelusuri jalan yang sedikit becek dan 

berlubang, akhirnya ia pun tiba di muka rumah yang 

cukup besar. Tanpa mengurangi kecepatan 

langkahnya. Laki-laki itu langsung masuk ke dalam 

rumah tersebut.

“Tirta...! Tirta...!” teriaknya sambil menggedor 

pintu dengan keras,” Tirta...! Cepat buka pintunya...!” 

teriaknya kembali.

Beberapa saat kemudian pintu itu pun dibuka


oleh sang pemiliknya.

“Oh..., Den Wangsa, ada apa. Den? Agaknya ada 

sesuatu yang penting, sehingga malam-malam begini 

datang ke mari,” ucap Pak Tirta sambil mengucek-

ngucek mata.

“Benar! Aku ingin bicara padamu!” ucap Den 

Wangsa sambil menoleh ke kiri dan kanan, takut kalau 

kedatangannya diketahui oleh pihak lain. “Boleh aku 

masuk?” tanya Den Wangsa kepada Pak Tirta.

“Oh... silakan, Den!” jawab Pak Tirta dengan 

sopan.” Cuma maaf nih. Den. Rumahnya masih 

berantakan...!” sahutnya kembali.

“Tak apa-apa. Aku cuma mau bicara sebentar.”

“Tentang apa. Den?”

“Tentang Segel yang kau buat itu “

“Oo...!”

“Bagaimana? Sudah selesai?!”

“Tentu saja belum, Den...! Baru saja tadi. 

Mungkin kurasa besok sore baru bisa dikerjakan 

sekaligus pengesahannya di Kotapraja.”

“Bagus. Bagus! Berarti kita masih dapat 

mengubahnya.”

“Apa yang diubah. Den?”

“Begini. Tulisannya kau ubah semua.”

“Saya kurang paham. Den...?”

“Tulis di situ, bahwa semua harta warisan 

Kakakku diberikan padaku!”

“Wah... sulit itu, Den...!”

“Ala... berlagak bodoh kau ini. Turuti saja 

permintaanku. Kau pun nanti akan mendapat bagian 

yang lumayan. Dengan bagian itu kau tak perlu susah 

payah lagi jadi pegawai pemerintah Kumpeni Belanda 

segala. Tinggal uncang-uncang kaki saja di rumah, 

he... he... heh!”


“Tapi ini amanat. Den. Amanat seseorang tak 

boleh diubah-ubah. Saya takut. Berdosa besar itu. 

Den.”

“Ha... ha... hah! Kau rupanya tidak mau hidup 

senang. Tirta. Tinggal mengubah sedikit kalimat saja 

kau akan menjadi orang kaya mendadak, apakah ini 

bukan merupakan kesempatan yang baik. Berapa sih 

hasil yang kau dapatkan dalam sebulan. Buat makan 

beberapa hari saja sudah morat-marit.”

“Tidak, Den... Saya tidak bisa melakukannya.” 

“Kau harus ingat, Tirta. Dosa akan cepat 

terlupakan apabila kau telah melihat tumpukan uang 

yang kuberikan sebagai upah lelahmu. Jangan kau 

sia-siakan kesempatan baik yang kuberikan ini. Belum 

tentu lain kali kau temui kesempatan semacam ini.”

“Sungguh... Den, tidak bisa...!”

“Sudahlah, Tirta, turutlah apa kataku. Kujamin 

semuanya akan beres...!”

“Den Wangsa... janganlah terus menerus 

membujuk saya untuk melakukan pemalsuan ini. 

Amanat dan pesan Den Surya benar-benar saya 

hormati. Jadi saya tak mungkin dapat melakukan apa 

yang Aden perintahkan tadi.”

Mendengar jawaban itu Den Wangsa bangkit dari 

kursinya. Ia mendekati Pak Tirta dengan senyum sinis.

“Apa sih yang kau takutkan, hah?!” tanya Den 

Wangsa kembali dengan wajah yang mulai memerah.

“Aku takut dosa. Den,” jawab Pak Tirta dengan 

wajah yang mulai berkeringat setelah melihat adanya

gelagat yang kurang baik dari tamunya.

“Itu cuma sekedar alasan! Bagaimana kalau 

ujung keris ini kusodokkan ke lehermu?” tanya Den 

Wangsa kembali sambil melekatkan keris tepat di leher 

Pak Tirta.


“J... ja... jangan. Den...!”

“Sekarang tinggal pilih, mana yang kau suka. 

Kau jalankan perintahku atau kau cepat-cepat menjadi 

penghuni kuburan dan menjadi santapan cacing-

cacing tanah? Ayo jawab!”

“A... ampun... Den... jangan...!”

“Hei, Tirta aku minta jawabanmu sekarang. Atau 

kau pingin yang lebih cepat mampus dengan yang ini. 

Timah panas ini akan lebih cepat menghancurkan 

tempurung kepalamu. Aku tak segan-segan akan 

menarik pelatuk ini apabila telah mencapai hitungan 

ketiga!”

Wangsa mengganti keris dengan sebuah pistol 

untuk mengancam sang Juru Tulis itu.

Keringat Tirta kini tampak semakin deras keluar 

membasahi tubuhnya. Apalagi setelah Den Wangsa 

menempelkan sebuah benda yang sangat ditakuti 

orang, termasuk juga Tirta.

“Aku ini bukan orang sembarang. Kau harus 

ingat itu. Tirta. Tidak sembarangan orang yang bisa

memiliki pistol ini kecuali orang-orang yang 

mempunyai hubungan langsung dengan pembesar-

pembesar Kumpeni Belanda. Nah. Kembali ke 

persoalan kita tadi. Aku tak mempunyai banyak 

waktu. Kalau kau tak ingin kutarik pelatuk ini, 

cepatlah kau ambil surat-surat yang kau tulis tadi.”

“Ba... ba... baiklah, Den.”

“Cepaaaaat!”

“I., i., iya, iya, Den.”

Pak Tirta bagai kerbau dicucuk hidungnya. Tak 

mampu berbuat apa-apa lagi kecuali menuruti 

perintah sang tamu yang tamak dan serakah itu.

Tak lama kemudian ia kembali dari kamarnya 

sambil membawa surat-surat yang diminta Den


Wangsa. Dengan tangan gemetar ia menyerahkan 

surat itu kepada Den Wangsa.

“Ini suratnya, Den...!” ucap Pak Tirta dengan 

wajah pucat sekali.

“Bagus! Sekarang kau tulis kembali surat itu 

sesuai dengan permintaanku tadi,” perintah Den 

Wangsa dengan keras. 

“Ba... baik. Den,” sahut Pak Tirta sambil melirik 

ke tangan Den Wangsa yang masih menggenggam keris 

dan pistol di kedua tangannya.

“Setelah kau tulis kembali, aslinya berikan 

kepadaku, untuk kusimpan. Besok sore surat itu 

harus sudah disahkan oleh Kotapraja. Kalau tidak... 

hmmmh. Timah panas ini akan bersarang di 

kepalamu.”

“I... iya..., Den!”

Di saat Pak Tirta sedang menjalankan perintah 

Den Wangsa. Suasana di lereng Gunung Burangrang 

atau tepatnya di dekat air terjun yang curam itu, 

tampak sudah sepi kembali. Rupanya pertarungan 

sudah berakhir. Tapi korban-korban dari pertarungan 

tersebut masih tampak tersisa, dua laki-laki yang 

mengambang di air masih tetap terselip di antara batu-

batu sungai.

Ada lagi sebuah pemandangan yang mengerikan. 

sebuah kepala tanpa badan ditancapkan di sebuah 

batang pohon kering dekat sungai. Kepala itu tak lain 

adalah kepala orang yang menyebut dirinya Si Pecok 

Sejuta. Rupanya ia baru saja dikalahkan oleh Si 

Tangan Kilat beberapa saat yang lalu. Ini tampak 

sekali dari tetesan darah yang masih terus keluar dari 

leher korban.

***


ENAM


Hembusan angin makin terasa dinginnya di 

malam itu. Apalagi rintik hujan sudah mulai 

mengiringi ke mana angin itu bertiup. Cuaca buruk itu 

terus berlangsung hingga pagi harinya.

Di saat ayam berkokok saling bersahutan. Di 

ruang belakang rumah Den Surya tampak Den Wangsa 

yang biasanya bangun tengah hari, di pagi itu sudah 

sibuk mempersiapkan sesuatu.

Encum, pembantu rumah Den Surya, agak 

terkejut melihat kesibukan Sang Juragan di dapur. 

Tapi ia pun tak berani bertanya apa-apa. Ia pun 

langsung mengerjakan pekerjaan rutinnya tanpa 

memperdulikan Sang Juragan yang tampaknya agak 

aneh baginya.

“Dengan racun inilah Surya akan lebih cepat 

berangkat ke akhirat. Tahap pertama sudah 

kulaksanakan dengan baik. Nanti sore Si Tirta sudah 

siap membuat surat wasiat. Sekarang tahap kedua 

pun harus berhasil dengan sempurna. Apalagi si Surya 

sudah pergi ke liang kubur, baru kuselesaikan 

masalah anak-anaknya. Kurasa menyelesaikan tikus-

tikus kecil itu tak perlu repot-repot. Sekali kibas pun 

semuanya akan beres,” gumam Den Wangsa sambil 

membuat minuman beracun itu.

Setelah siap membuat ramuan itu Den Wangsa 

pun melangkah ke sumur menemui Encum yang lagi 

sibuk mencuci piring

“Hei.. Cum. Ke sini kamu!” perintah Den Wangsa 

kepada pembantu rumah tangga itu, seorang gadis 

kecil yang masih seumur anak Pak Kohar.

“Iya, Gan...!” sahut Encum sambil menggosok



tangannya yang basah dengan lap yang tergantung di 

dinding.

“Sudah kau siapkan sarapan pagi untuk Juragan 

Surya?” tanya Den Wangsa. 

“Belum, Gan...! Habis, Juragan Surya masih 

tidur sih, Gan...!” jawab Encum dengan polos.

“Bagus...! Nanti setelah Juragan bangun, tolong 

antarkan jamu yang baru saja kudapatkan dari tempat 

yang jauh ini,” pinta Den Wangsa kepada Encum.

“Baik, Gan...!” balas Encum sambil 

memindahkan jamu yang diberikan oleh Den Wangsa 

ke atas baki. Di atas baki itu pun telah tersedia segelas 

teh manis dan semangkuk bubur, untuk sarapan pagi 

Den Surya.

Tak lama setelah Encum mendengar suara batuk 

Den Surya, ia segera mengantarkan sarapan pagi 

untuk majikannya itu berikut titipan majikan yang 

satunya yaitu Den Wangsa.

Di dalam kamar Den Surya tampak anak sang 

majikan dengan enaknya tidur bersandar di dinding 

tanpa alas sama sekali, padahal bukan main dinginnya 

ubin tersebut apabila diinjak tanpa alas kaki.

“Duuuh, Den Tolol. Kalau tidur asal jadi saja!” 

gumam Encum sambil melangkah menuju ke tempat 

pembaringan majikannya. “Kalau sudah sarapan, 

minumlah jamunya Gan. Mudah-mudahan Agan cepat 

sembuh dan tidak sakit-sakit lagi,” ucapnya ketika 

meletakkan baki yang dipegangnya ke atas meja dekat 

tempat tidur Den Surya.

Encum kembali ke dapur setelah memberikan 

sarapan pagi. Tapi apa yang terjadi? Baru saja ia akan 

membenahi piring yang baru dicucinya, tiba-tiba 

terdengar jeritan keras dari Si Tolol sehingga membuat 

piring yang dipegangnya terlepas dan pecah


berserakan di lantai.

Tanpa pikir panjang lagi, ia segera berlari 

menuju ke kamar majikannya. “Apa yang terjadi, 

Den...?” teriak Encum setelah tiba di muka pintu.

“Waaaaaaa.... Ayaaaaaah...!! Jangan tinggalkan 

Tolol, Ayaaah! Tolol tak mau ditinggal Ayah...! 

Waaaaaa... aaa...! Tolol sama siapa kalau Ayah tidak 

ada..! Huu... uuu...!” Tangis Tolol dengan keras sambil 

memeluk ayahnya yang telah tak bernyawa lagi.

Kematian Den Surya sungguh tragis sekali, 

tubuhnya tampak membiru, matanya terbelalak ke 

atas, dan mulutnya berbusa. Rupanya racun yang 

dibuat adik sepupunya sangat cepat sekali reaksinya. 

Gelas bekas ramuan yang dibuat Den Wangsa pun 

tampak masih berada di dekat tangan Den Surya hal 

ini yang membuat Encum berteriak tanpa kendali. 

“Jamu itukah yang membuat Agan mati?! Ooooh...! 

Tolooooong...!” teriak Encum sambil berlari keluar dan 

menjatuhkan dirinya di emper rumah. “Toloooong..., 

Agan tolooooong...!” teriaknya tanpa henti.

“Heh! Bocah Goblok! Kenapa kau berteriak-teriak 

seperti itu. Kesurupan kau, ya?! Tidak tahukah kalau 

Juragan Besarmu sedang sakit keras?! Diam! Kalau 

tidak ku-rotan kau nanti!” hardik Den Wangsa yang 

tiba-tiba muncul dari balik pintu.

“Gan, tolong Agan Besar di dalam, Gan... tolong. 

Gan...! Oh... Agan besar baru saja minum...” jelas 

Encum terputus-putus.

“Diam!” sela Den Wangsa dengan marah. “Ayo 

kau kembali ke dapur sana!” bentaknya kembali 

sambil mengancam.

Memang maut sudah tak dapat dihindarkan lagi. 

Den Surya kini telah pergi untuk selama-lamanya. Di 

antara sekian banyak pelayat yang datang tampak


pula Pak Tirta. Sorot mata kebencian kepada Den 

Wangsa kelihatan tampak sekali di wajahnya. Apalagi 

ketika melihat kesedihan Den Wangsa dalam 

menyalami tamu-tamu yang datang. Sungguh, air 

mata buaya!

Saat itu Pak Kohar dan anak gadisnya tampak 

sedih sekali. Ia benar-benar merasa kehilangan 

seorang majikan yang bijaksana.

Sepeninggalan ayahnya. Tolol tampak semakin 

tolol saja. Ia bagai ayam yang kehilangan induknya. 

Selalu mengingat terus Ayah dan Ibunya yang telah 

tiada itu. Sedangkan ketiga kakaknya, sibuk dengan 

kesenangannya masing-masing. Seperti Si Kasep, 

misalnya, ayam aduan yang dimilikinya tampak 

semakin banyak. Kerjanya setiap hari mengurus dan 

mengadu ayam, tak memikirkan keadaan adiknya yang 

kecil ini. Jangankan mengurus, menyapanya pun 

tidak. Sungguh kasihan sekali nasib anak itu.

Pada suatu hari ketika Kasep hendak berangkat 

untuk menyabung ayam. Si Tolol datang menemuinya.

“Kang Acep mau ke mana? Tolol ikut dong...!” 

ucap Tolol dengan gaya khasnya.

“Tidak! Anak kecil tak boleh ikut!” jawab 

kakaknya dengan ketus.

“Bodo...! Pokoknya Tolol mau ikut!” sela Si Tolol 

dengan muka yang kelihatan mau menangis.

“Ayo cepat masuk!” bentak Si Kasep dengan mata 

melotot.

“Nggak... nggak mau! Tolol ikut! Tolol ikut! 

Huuu...!”

“He! Apa-apaan kau ini, hah?! Cepat lepaskan!”

“Nggak, Tolol nggak mau lepas... pokoknya Tolol 

mau ikut... huuuuu!” rengeknya sambil erat-erat 

memegang baju kakaknya.



“Awas! Kalau kau tak mau melepaskan kakiku 

ini. Aku jitak kau!” Si Tolol berpindah memeluk erat-

erat kaki kakaknya.

“Kak...! Tolol nggak mau ditinggalkan sendirian 

di rumah. Tolol mau ikut...! Waaaaaaa... huaaa...! Tolol 

sekarang udah nggak ileran lagi..., ileran juga enggak! 

Tolol udah bisa seka sendiri.”

“Hmmmmh! Benar-benar keterlaluan! Lihat 

tanganku ini. Kujitak kau! Hih, rasakan!”

Tangan kakaknya dengan cepat melayang dan 

mendarat di kepala Si Tolol ‘Pletak!’ suara dari kepala 

yang plontos itu pun terdengar nyaring. 

“Waaaaaaa...!” jerit Si Tolol langsung terdengar 

dengan nyaring pula, “Kang Acep jahat...! Jahaaaat! 

Kang Acep jahat! Huuuwaaaaa... uwaaaaaa...!” jeritnya 

kembali dengan suara yang makin melengking.

Den Wangsa melihat Si Tolol menjerit-jerit bagai 

anak yang disengat tawon, segera menghampirinya.

“Tolol... kenapa kau menangis?” ucapnya lembut, 

karena ada maunya.

“Kepala Tolol dijitak sama Kang Acep..., Paman!” 

sahut Si Tolol polos.

“Cep... sudahlah diam. Jangan menangis. Nanti 

Paman kasih duit buat jajan,” balas Pamannya sambil 

merogoh saku.

“Abisnya sakit deh, dijitak...!” sela Tolol sambil 

memegang kepalanya.

“Ssst, diam ya...! Lihat nih. Paman kasih 

seringgit. Nanti malam, Paman ajak nonton wayang 

golek! Rame deh?”

“Betul nih, Paman?! Tolol ikut ya?” sahut Tolol 

dengan wajah yang kembali cerah dan berseri seperti 

lupa dengan sakit di kepalanya.

“Betul. Tapi kalau mau ikut Paman, Tolol musti


mandi dulu dan pakai baju yang bagus dan bersih...!”

“Ini juga bagus.... Paman!”

“Iya... bajumu memang sudah bagus. Tapi otomu 

itu sudah jelek, musti diganti dengan yang baru...! 

Bagaimana kalau Paman tukar dengan yang ini..!”

“Oh... iya...! Bagus sekali, Paman...!”

“Ini sengaja Paman bawakan untukmu... karena 

Paman lihat. Otomu itu sudah dekil sekali. Selain itu 

otomu yang bekas ingus dan iler itu baunya bukan 

main. Ayo, bukalah otomu itu. Nak...! Paman sengaja 

bawakan untukmu bermacam-macam warna... ada 

yang merah, ada yang kuning, biru dan hijau.”

Sementara Den Wangsa berbicara, tiba-tiba 

pikiran Si Tolol menerawang sejenak. Ia teringat pesan 

dari seseorang, “Ingatlah! Jangan mau jika ada orang 

yang hendak menukarkan yang kau pakai ini!” suara 

itu seakan jelas terlintas kembali di dalam pikirannya.

“Hei, kenapa kau bengong. Ayo cepatlah buka!” 

ucap Den Wangsa kembali yang spontan membuat Si 

Tolol terhentak dari lamunannya.” Nanti kusuruh 

Kohar mencuci otomu yang sudah bau macam air 

comberan itu...!”

“Nggak ah, Paman!”

“Lho. Kenapa tidak mau? Oto yang kubeli ini kan 

oto yang bagus, harganya pun mahal. Lihatlah 

gambarnya, bagus-bagus, bukan?!”

“Biar, Paman. Tolol pakai yang ini saja. jelek juga 

nggak apa-apa! Biarin, deh!”

“Ayo ganti! Kalau kau tak mau ganti, nanti 

kuminta lagi duit yang kukasih tadi! Ayo...! Mau ganti 

atau mau duitnya kuminta kembali dan tak jadi 

kuajak nonton wayang golek nanti malam...!”

“Tidak mau...! lepaskan. Paman..., geli nih...! 

Aduh..., aduh! Iya deh Tolol kembalikan duit Paman,


asal Tolol boleh pakai terus oto jelek ini.”

Akhirnya Den Wangsa melepaskan juga 

tangannya yang sebelumnya berusaha ingin membuka 

oto yang dipakai anak itu.

“Tuh duitnya. Tolol mau nonton wayang golek 

sendiri saja. Tolol mau minta duit sama Kang Tompel 

saja!” ucap Si Tolol sambil berjalan dan melempar 

uang logam tinggi-tinggi ke arah Den Wangsa, tanpa 

menoleh sedikit pun. 

Bukan main kesalnya sang Raden ini melihat 

tingkah yang diperbuat Si Tolol terhadap dirinya.

“Huh! Bagong cilik ini betul-betul tolol apa pinter, 

sih?! Kenapa aku ikut-ikutan jadi tolol. Kutunggu saja 

sampai Si Bego ini mandi. Tentu otonya kan gampang 

kucuri!” gumam Den Wangsa sambil menggaruk-garuk 

kepala tidak gatal.

Tolol yang telah jauh meninggalkan Pamannya, 

kini telah berada di sekitar halaman rumah Pak Kohar. 

Di sekitar tempat itu memang ada tempat yang teduh 

dan sering dipakai oleh Si Tolol sebagai tempat 

istirahatnya. Tapi kali ini tidak, sebab baru saja ia 

akan melonjorkan kakinya tiba-tiba ia melihat salah 

seorang kakaknya lewat di situ.

“Kang..., Kang Tompel! Tunggu! Tunggu Kang...!” 

teriak Si Tolol sambil berlari menyusul kakaknya yang 

berjalan cepat sekali.

“Ada apa panggil-panggil?” bentak kakaknya.

“Minta duit, Kang!” sahut Si Tolol.

“Duit. Lagi-lagi duit! Duit monyong lu!” bentak 

Tompel sambil melotot. 

“Tolol mau nonton. Kang. Minta duit buat jajan!” 

pinta Tolol kembali.

“Tidak! Aku lagi kalah main! Tidak ada duit-

duitan!”


“Seringgit aja. Kang..., buat beli getuk.”

“Seperak pun nggak ada!”

“Uhuuuu... uuuu..., minta dong Kang Tompel.”

“Nggak! Sudah pergi sana jangan rewel! Nanti 

kupelintir lehermu kalau masih rewel!”

“Kang Tompel pelit.... Kang Tompel pelit. Minta 

duit seringgit aja nggak dikasih...! Peliiiiiit! Uuuu... 

uhuuuu...!”

“Doakan..., kalau aku menang, kau akan 

kubagi!”

Setelah itu Den Tompel pun berangkat lagi. Si 

Tolol ditinggal seorang diri.

Pak Kohar yang kebetulan baru pulang dari 

ladang, setelah melihat Si Tolol ada di situ, segera 

menghampirinya.

“Kenapa kau menangis di sini, Den?” sapa Pak 

Kohar dengan lembut.

“Tolol mau jajan nggak punya duit. Minta sama 

Kang Tompel nggak dikasih. Huuuu... uuu... 

uuuuuuuu!” sahut Si Tolol dengan tangis yang makin 

menjadi-jadi.

“Sudahlah, Den..., diamlah!” balas Pak Kohar 

sambil mengelus-elus kepala Si Tolol.

“Tolol mau jajan.... Tolol mau jajaaaan...! 

Uuuu...!”

“Nih Bapak punya uang sedikit, ambillah!”

“Uuuu... uuu...!”

“Sudahlah...! Bukankah Aden ingin membeli 

getuk?! Belilah! Uang itu cukup buat beli dua getuk 

manis!”

“Terima kasih. Pak Kohar!”

“Ya...! Cep..., jangan menangis lagi, ya!”

“Kalau Kang Lungguh sih nggak pelit ya. Pak. 

Cuma sayang nggak pernah pulang-pulang. Kemana


sih Pak?! Kata anak-anak Kang Lungguh suka nginap 

di rumah orang. Betul apa nggak sih? Emang rumah 

orang itu bagus apa enggak sih?”

“Sudahlah, Den. Pergilah main...! Tapi hati-hati, 

ya..., jangan ngelantur.”

Bukan main senangnya hati Tolol setelah 

mendapatkan uang jajan tersebut. Ia langsung berlari 

sambil bernyanyi dan dalam beberapa detik saja sudah 

menghilang dari tempat itu. 

Menyaksikan keadaan tersebut bukan main 

sedihnya hati Pak Kohar. Tanpa terasa air matanya 

berlinang membasahi pipi.

“Aduh... Gusti! Betapa malangnya nasibmu, Den. 

Tak ubahnya seperti layangan putus. Saudara-

saudaramu semua tak ada yang perduli sama sekali. 

Mereka ketiga-tiganya punya jalan sendiri-sendiri dan 

jalan yang mereka tempuh, terkutuk semua! Begitu 

pula dengan Pamanmu sendiri. Si Serigala berbulu 

domba itu tampak semakin tamak saja. Sesungguhnya 

kau butuh perlindungan. Tapi sayang kau berlindung 

di tempat manusia-manusia iblis yang buas dan 

serakah yang tak segan-segan akan memangsamu 

demi tercapai kehendaknya. Percayalah aku tetap 

berusaha memperhatikanmu, walaupun diriku tak 

berarti apa-apa.” ucap Pak Kohar di dalam hati sambil 

mengelus-elus dada sendiri.

Setelah beberapa saat berdiri, ia pun segera 

mengambil Cangkulnya kembali dan langsung berjalan 

menuju ke rumahnya. Di depan rumah tersebut 

tampak pula Encum yang sejak tadi 

memperhatikannya. Encum pun kelihatan sedih sekali. 

Si Tolol yang sudah mengantongi uang 

pemberian dari Pak Kohar, kini telah berada di 

pinggiran pasar. Rupanya ia sedang berusaha

menghibur dirinya sendiri.

***

TUJUH



Di sudut Pasar Babakan, tampak seorang 

pengamen sedang asyik memainkan kecapinya di 

bawah pohon yang agak besar. Lagu yang dibawakan 

pada saat itu adalah sebuah lagu Sunda berjudul 

Bubuy Bulan. Mendengar lagu itu. Si Tolol langsung 

mendekatinya.

“Hmmm... enak sekali lagu ini,” gumam Si Tolol.

Si Tolol segera jongkok di depan pengamen itu. 

Saat ia perhatikan wajahnya, bukan main terkejutnya. 

Ia seakan-akan pernah bertemu dengan orang ini, tapi 

kapan dan di mana ia bertemunya sulit sekali diingat 

di dalam pikirannya. 

“Mau minta lagu, Den?” tanya pengamen itu.

“Oh..., ya... ya! Coba minta lagu Bubuy Bulannya 

sekali lagi. Nih uangnya!” balas Si Tolol agak terkejut.

“Baik, Den..., terima kasih!”

“Sebentar, Pak..., aku mau cari tempat yang enak 

untuk melonjor,” pinta Si Tolol sambil membersihkan 

tempat di samping pengamen, “Nah, mainkanlah!” 

perintahnya kembali setelah ia duduk bersandar di 

bawah pohon.

Pengamen itu pun langsung bernyanyi, “Bubuy... 

bulan, bubuy bulan sangray bentang. Panon poe’... 

panon poe’... disasate’ Unggal bulan..., unggal bulan 

abdi’ teang. Unggal poe’... unggal poe’ oge’ hade’...”

Belum lagi lagu tersebut habis. Si Tolol sudah


terapung-apung di alam mimpi.

“Parantos... Den. lagunya sudah selesai. Eh..., 

tidur?!”

Dari mulai terik sinar matahari terasa menyengat 

hingga matahari itu tergelincir ke Barat Si Tolol belum 

juga bangun. Untunglah ada dua anak yang lewat di 

situ dan kasihan kepadanya. 

“Eh..., itu Den Tolol ketiduran di situ,” ucap 

salah seorang di antara mereka.

“Bangunin ah, kasihan...!” sahut temannya.

“Den... Den Tolol. Bangun, Den, sudah sore...!”

“Wah pules sekali kayanya!”

“Den... Den Tolol...! Bangun...!”

Setelah berkali-kali dibangunkan akhirnya Si 

Tolol terbangun juga.

“Oahhhhhmmm.., nyem.. nyem.. nyem..! Oh, 

ngantuuuuk! Eh, ke mana tukang ngamen tadi?”

“Tukang ngamen yang mana, Den?”

“Yang tadi di sini.”

“Wah udah lama perginya, Den.”

“Katanya mau nyanyikan aku lagu Bubuy 

Bulan..., kok pergi sih...!”

“Mungkin Aden tadi ketiduran.”

“Ah... nggak. Aku cuma ngejerejep sebentar, 

kok.”

“Itu kan perasaan Aden.”

“Sungguh, aku nggak tidur.”

“Aden pulas di sini hampir setengah hari. 

Percayalah...! Sekarang lebih baik Aden pulang, 

sebentar lagi pasti Pak Kohar disuruh mencari Aden.”

“Ya... ya, aku memang mau pulang. Mau mandi!”

“Baiklah kalau begitu, kamu duluan ya. Den...!”

Untung sekali nasib Si Tolol saat itu. Ia 

mendapatkan anak yang mengenal keadaannya lebih


dekat. Biasanya ia selalu mendapatkan anak-anak 

yang sering mengganggu dan mengejeknya.

Setelah menggeliat beberapa kali, Si Tolol pun 

bangkit lalu berdiri. Uang dan nonton wayang golek 

sudah lepas dari ingatannya, kini tujuannya adalah 

ingin cepat kembali ke rumahnya untuk mandi.

Setibanya di rumah, sebagaimana biasa Encum 

menyambutnya dengan ramah. Ini adalah pesan dari 

Pak Kohar agar ia harus memperhatikan anak itu 

dengan baik.

“Aden mau mandi? Tunggu ya. Den, Encum mau 

tuangkan airnya dulu di tahang,” sambut Encum.

“Ho... oh! Tolol mau mandi!”

Orang yang disebut oleh Pak Kohar sebagai 

manusia serigala dan tamak, begitu melihat Si Tolol 

datang, segera mengintai. 

Senyumnya mulai tersungging di bibir ketika 

melihat Si Tolol hendak mandi.

“Ini baru kesempatan yang bagus dan inilah 

saatnya aku bisa mendapatkan oto wasiat! Ayo 

sayang..., cepatlah mandi. Bukalah pakaianmu. 

Nak...!” ucapnya dengan perlahan sekali dan tak 

mungkin dapat terdengar oleh Si Tolol maupun Si 

Encum.

Den Wangsa yang begitu perlente dan keren kali 

ini mau bersusah payah menyelinap ke dapur dekat 

kayu bakar yang berdebu dan kotor. Apalagi waktu 

mendekati pakaian Si Tolol, ia mendekam bagaikan 

seekor kucing yang hendak menerkam tikus, kalau 

seandainya ia memakai baju putih tentu baju tersebut 

sudah berubah warna menjadi hitam, untunglah ia 

memakai baju hitam celana hitam, jadi hanya bagian 

muka dan telapak tangan saja yang kelihatan berubah 

dari bersih menjadi coreng-moreng.


Memang, ia benar-benar sudah tak memikirkan 

keadaan dirinya pada waktu itu. Yang penting oto itu 

harus berada di tangan, karena di dalam oto tersebut 

terdapat petunjuk untuk mengetahui tempat simpanan 

harta warisan seperti apa yang diucapkan oleh 

almarhum Raden Surya sebelum ia wafat.

Setelah dengan susah payah akhirnya Raden 

Wangsa dapat mengambil oto tersebut tanpa diketahui 

oleh Si Tolol maupun Encum

“Ini dia saatnya! Sebentar lagi aku akan menjadi 

orang yang paling kaya seantara Babakan Sumedang 

Tapi... uuf... ffuuuhhh... bek..! Busyeeet dah, baunya 

bukan maiiin...! Kalau kucemplungkan di kali tentu 

semua ikan mabok nih,” ucap Den Wangsa setelah 

berada kembali, di kamarnya.

Den Wangsa segera menyiapkan peralatan tulis 

dan dengan cepat ia menyalin semua yang tergambar 

di dalam oto itu. Dalam menyalin kerajinan tangan 

yang begitu indah, terpaksa ia harus bertahan dengan 

bau yang menusuk hidung. Sulaman yang terdiri dari 

rangkaian kalimat yang disusun berbentuk bunga 

disalin sebagaimana aslinya. Untuk yang kurang jelas 

ia pun tak segan-segan mengorek-ngorek bekas ingus 

dan iler yang mengering dengan ujung kukunya.

“Supaya tidak lupa, perlu juga kutulis penjelasan 

di kain ini, kalau sudah selesai aku pun harus cepat-

cepat mengembalikannya, agar anak bego itu tidak 

ribut!” gumamnya setelah selesai menyalin seluruh 

kalimat yang isinya antara lain menyebutkan bahwa, 

harta itu terletak di ujung bayangan tebing saat bulan 

purnama dan seratus langkah dari puncak air terjun.

Sementara itu Si Tolol masih asyik berendam di 

air.

“Horeee...! Tolol sedang berlayar di laut! Horeeee!”


Tahang yang terbuat dari kayu itu rupanya 

sudah tak tahan lagi menahan tubuh Tolol yang 

gembrot. Di saat ia sedang bergoyang keras tiba-tiba 

“Brak!... Byaaaar!” terdengar bunyi yang cukup keras. 

Tahang kayu yang sudah tua itu pecah berantakan 

dan airnya banjir ke seluruh ruang dapur.

“Wah. Kapalnya pecah...! Encuuum...! 

Encuuuum! Tolol udah mandinya. Tuh, benahin 

tahangnya!” teriak Si Tolol kepada pembantunya.

“Iya... Den! Aden pakailah baju dulu. Biar nanti 

Encum yang rapikan,” sahut Encum dari balik pintu.

“Iya... ini juga lagi pake baju!” sahut Tolol 

kembali. 

Beberapa saat setelah Tolol memakai baju.

Encum pun masuk kembali ke dapur.

“Ya ampun...! Apa-apaan nih. Den?”

“Tolol kan abis main kapal-kapalan.”

“Tapi kenapa bisa pecah begini?”

“Nggak tau...! Pecah sendiri kok!”

“Hmmmh... Aden... Aden, keliwatan amat sih.”

“Besok kapal-kapalannya yang lebih gede ya, 

Cum?”

“Iya... iya deh!”

Dengan jengkel Encum merapikan papan-papan 

pecahan tahang tersebut dan langsung dipelnya lantai 

dapur yang belum lama dibanjiri Si Tolol. Sedangkan 

Si Tolol yang telah menumpahkannya sudah berlalu 

entah ke mana.

Keesokan harinya, setelah mengumpulkan uang 

pemberian dari Encum dan Pak Kohar yang bernilai 

masing-masing setalen. Si Tolol tampak keluar rumah 

dengan muka cerah.

Dengan lagak bak jutawan, ia berjalan sambil 

menyiulkan lagu Bubuy Bulan. Sungguh aneh bin

ajaib, oto yang dikenakan, tetap oto yang itu-itu juga, 

padahal sudah dekil dan kumel. Sepertinya ia bertekad 

akan sehidup semati dengan oto yang satu ini.

Untuk pakaian di balik oto, setiap hari memang 

selalu diganti. Tapi mode, jenis, dan coraknya selalu 

sama begitu pula dengan warnanya, tetap itu-itu saja, 

sehingga menimbulkan kesan seolah-olah tak pernah 

diganti.

Entah apa yang menyebabkan ia sangat senang 

dengan corak loreng yang terbuat dari jenis bahan kain 

kasur itu. Tak ada yang mengetahui. Pernah suatu 

ketika almarhum ayahnya membelikan warna yang 

lain dari bahan yang lebih bagus, Tolol tetap tak mau 

pakai, ia menolak mentah-mentah. Oleh karena itulah 

Tolol dibiarkan memakai pakaian yang sesuai dengan 

kehendaknya.

***

DELAPAN



Pagi ini Tolol tampak sangat bergembira sekali, 

sejak ia keluar dari rumah siulannya tak pernah 

berhenti, kedua tangannya tetap berada di belakang, 

bagai seorang Mandor sedang mengontrol pekerjaan 

anak buahnya. Tapi sayang, tanpa sepengetahuannya, 

ada orang lain yang menginginkan darinya. Sejak

mengetahui Si Tolol sedang bermain ia terus mengintai 

dari jarak jauh dengan sabar ia mengikuti ke mana Si 

Tolol pergi. Orang yang mengikuti Si Tolol itu tak lain 

adalah Si Tangan Kilat. Entah apa yang akan 

diperbuat terhadap anak itu oleh manusia yang telah


banyak membunuh ini.

“Bagus... bagus... Tong! Lewatilah jalan yang sepi 

itu..., bergembiralah terus, sebentar lagi aku akan 

menyusulmu. Sebab kalau tidak, tentu ada orang lain 

yang akan mendekatimu dan mempunyai tujuan yang 

sama denganku,” gumam si Tangan Kilat dengan 

tersenyum.

Setelah Si Tolol jauh dari pandangannya, ia pun 

segera melesat dan bersalto beberapa kali di udara. 

Setelah berada di atas pohon, ia pun segera melompat 

ke pohon lainnya persis bagai seekor tupai.

Dalam waktu singkat Si Tangan Kilat telah 

berhasil melewati lebih dari tujuh pohon, kini ia telah 

dapat melihat kembali dengan jelas tingkah Si Tolol 

yang aneh ini.

“Hmh...! Inilah saat yang kutunggu-tunggu! Oto 

itu sebentar lagi akan berada di tanganku. Percuma 

mempunyai julukkan Si Tangan Kilat kalau mengambil 

barang yang kelihatan di ujung hidung nggak mampu,” 

gumam Si Tangan Kilat sambil lompat. Setelah tiba di 

bawah, ia pun langsung mencabut pisau yang terselip 

di pinggangnya. “Walaupun apa yang bakal terjadi. Oto 

yang merupakan satu-satunya petunjuk untuk 

mendapatkan harta itu, harus kudapatkan hari ini! 

Kalau perlu, anak bego ini pun kukubur hidup-hidup 

di dalam lumpur!” ucapnya dalam hati.

Si Tangan Kilat langsung menyelinap kembali di 

balik pohon, setelah melihat Si Tolol mulai dekat 

dengannya. Rupanya ia sengaja berada jauh di depan, 

agar mudah mengambil posisi.

Begitu Si Tolol lewat, reaksi tangan laki-laki itu 

pun bergerak cepat. Pisau yang digenggamnya 

langsung bergoyang dangdut beberapa detik di 

belakang badan Si Tolol. Kemudian “Plas...!” Pisau


yang begitu berkilat dan sangat tajam menyontek oto 

yang dikenakan Si Tolol.

Dengan wajah berseri, Si Tangan Kilat dengan 

cepat melejit lagi. Ia kembali menyelinap di atas pohon, 

menunggu keadaan aman.

Sungguh luar biasa kehebatan laki-laki itu. 

Pantaslah ia menyebut dirinya Si Tangan Kilat. Dalam 

tempo yang sangat singkat ia telah berhasil mengambil 

oto yang dikenakan Si Tolol tanpa melukainya. Bahkan 

sang empunya diri tidak tahu ‘barang berharganya’ 

diambil orang. Yang sangat mengherankan, si anak ini 

masih tetap menyenandungkan lagu Bubuy Bulan 

tanpa terputus dengan kejadian barusan.

“He... he... heh...! Sebentar lagi aku akan menjadi 

orang kaya besar...! He... he... heh! Inilah buktinya. 

Oto si bego’ sudah berada di tanganku! Tak 

seorangpun akan berhasil menemukan tempat rahasia 

penyimpanan harta karun itu. Karena kuncinya sudah 

berada di dalam genggamanku” ucap Si Tangan Kilat 

yang berbicara sendiri setelah Si Tolol jauh pergi.

Setelah melihat situasi yang memungkinkan, Si 

Tangan Kilat kemudian berjalan dengan tenang 

memasuki pasar dan berhenti di sebuah kedai.

“Tolong buatkan kopi pahit. Neng!” ucapnya 

setelah ia berada di dalam kedai tersebut.

“Baik..., Kang!” sahut pemilik kedai dengan 

ramah.

Melihat Si Tangan Kilat duduk sambil 

mengangkat kaki, beberapa orang yang ada di situ pun 

minggir satu persatu secara perlahan dan tak lama 

kemudian hanya tinggal satu orang saja yang 

menemaninya, yakni si pemilik kedai sendiri.

“Kenapa kamu juga nggak ikut pergi?” tanya Si 

Tangan Kilat kepada pemilik kedai itu.



“Kalau saya pergi, nanti siapa yang menunggu 

warung ini Kang?” ucap si pemilik kedai yang balik 

bertanya.

“Bagus. Tak kusangka perempuan cantik macam 

kau ini mempunyai keberanian yang lebih tinggi dari 

semua laki-laki tadi,” balas Si Tangan Kilat yang tak 

henti-hentinya memandang tubuh pemilik kedai dari 

ujung kaki sampai ke ujung rambut.

“Kenapa sih, Kang? Kok mandangi saya sampai 

begitu?” tanya wanita itu kembali. Padahal sebenarnya 

jantungnya terasa mau copot dalam menghadapi tamu 

yang tak diharapkan datang ini.

Si Tangan Kilat tidak menjawab pertanyaan yang 

diajukan tadi. Ia langsung mendekat pemilik kedai dan 

langsung memegang kedua pundak wanita itu dari 

belakang.

“Baru kali ini aku melihat pemilik warung 

secantik kau, Geulis He... he... heh!” ucap Si Tangan 

Kilat yang kelihatannya belum puas menikmati 

keindahan tubuh wanita itu kalau tidak dari dekat.

“Ah, Kang..., jangan, Kang...!” pinta wanita itu.

“Jangan kuatir, Geulis. Tak mungkin ada orang 

yang berani nongol, kalau mereka tahu Si Tangan Kilat 

ada di sini. He... he... he...!” balasnya.

“Tapi saya punya laki, Kang. Sebentar lagi juga 

dia datang menjemput saya ke sini.” jelas wanita itu 

yang tampak semakin pucat sekali.

“Persetan dengan suamimu! Pokoknya aku mau 

nginap di sini. Suruh dia mondok di tempat lain!” 

bentaknya.

Wanita itu benar-benar tak berdaya dibuatnya. 

Tangan yang sangat kuat dan kekar itu terus 

membekap tubuh pemilik kedai dengan jari-jari tangan 

yang semakin tak tahu aturan.


“Heh! Lihat tuh, Kang. Ada apa di luar ribut-

ribut! Coba lihat, Kang..., kayaknya suara Den Tolol 

tuh yang nangis!” ucap wanita itu untuk mengalihkan 

perhatian kepada Si Tangan Kilat.

Mendengar sebutan Si Tolol, laki-laki itu 

langsung melepaskan wanita itu, “Hmmm. Sial! Gara-

gara ada cewek ini, hampir saja aku lupa dengan 

tugasku, jangan-jangan ada orang yang 

mendahuluinya,” ucapnya di dalam hati.

Bukan main girangnya wanita itu, rasa badan 

yang seakan-akan patah tak dihiraukan lagi. Ia 

langsung mundur beberapa langkah menjauhi laki-laki 

yang kini sedang meneguk sisa kopi.

“Nih duitnya. Neng...!” ucap laki-laki itu setelah 

menghabiskan kopinya.

“Ah..., biar saja, Kang. Nggak usah bayarlah!” 

sahut wanita itu.

“Jangan. Nanti kau rugi. Nih ambil!” balas Si 

Tangan Kilat sambil meletakkan lebih dari sepuluh 

keping uang ringgit di atas meja.

“Buat apa itu. Kang...?” tanya wanita itu dengan 

terkejut.

“Ambil buat kau semua!” balas Si Tangan Kilat 

sambil berjalan melangkah ke luar tanpa menoleh 

sedikit pun.

Apa yang dikatakan oleh pemilik kedai itu 

memang benar. Di tengah-tengah pasar tampak orang 

berkerumun menyaksikan Si Tolol sedang menggeloso 

di atas tanah sambil menangis keras di depan penjual 

getuk.

“Waaaaa..., otoku hilang..., otoku hilaaaaaang, 

waaaa...!” raung Si Tolol yang semakin lama semakin 

menjadi-jadi.

“Kenapa... Den, kenapa? Ayo cep, jangan


menangis...!” bujuk salah seorang yang berkerumun 

itu, “Kenapa dia. Bu?” tanyanya kembali sambil 

menoleh ke arah penjual getuk.

“Entahlah...! Tadi dia memesan getuk, tapi begitu 

ia hendak membayar, tiba-tiba kelihatan kebingungan 

sekali. Belum sempat ditanya dia sudah menangis,” 

jelas penjual getuk itu.

“Mungkin uangnya hilang,” ucap yang lain lagi.

“Mungkin juga!” balas penjual getuk.

“Bukan uang saja..., tapi otoku juga hilaaang. 

Aku tak mau..., otoku hilaaaaang...!” jerit Si Tolol yang 

semakin menjadi-jadi dan telah membuat orang-orang 

di sekeliling tempat itu kebingungan.

“Sudahlah, Den... kalau memang uang itu hilang, 

biarlah. Tak bayar pun tak apa-apa. Ambillah getukmu 

ini. Den...!” bujuk penjual getuk itu kembali.

Kita tinggalkan sejenak orang-orang yang 

kepusingan menghadapi Si Tolol yang macam orang 

kesurupan itu, sekarang kita lihat dulu suasana di 

rumahnya. Di rumah besar itu tampak Pak Kohar 

masih sibuk merapikan pekarangan rumah bersama 

dengan putrinya yang semata wayang itu. “Cum..., 

sudah kau siapkan air untuk mandi Den Tolol?” tanya 

Pak Kohar kepada anaknya.

“Sudah, Pak....” sahut Encum.

“Syukurlah, Bapak mau susul si Aden dulu.”

“Baik, Pak....”

Pak Kohar segera mencari Si Tolol ke tempat 

yang biasa dia buat mangkal. Tapi sayang setelah 

mencari di beberapa tempat tersebut belum juga 

berhasil ia menemui majikan kesayangannya, 

kekhawatiran mulai timbul setelah berjam-jam 

mencari tanpa hasil sama sekali.

“Hei, Tong...! Apakah kalian melihat Den Tolol?”


tanya pak Kohar kepada anak-anak yang sedang asyik 

bermain.

“Tidak, Wak,” jawab salah seorang di antara 

mereka.

“Benar tidak ada yang melihat?” tanya Pak Kohar 

sekali lagi.

“Tidak, Pak,” jawab anak yang lainnya.

“Apakah Den Tolol, yang gede-gede masih ileran 

dan ingusan?” sela salah seorang anak yang baru saja 

membenahi mainannya.

“Rupanya kau telah melihatnya, ya... Tong? Di 

mana? Coba tolong kasih tahu Uwak, Tong..!” pinta 

Pak Kohar kepada anak itu.

“Kalau yang Uwak maksud anak itu, tadi saya 

lihat jalan ke sana, sehabis menangis di pasar,” jelas 

anak yang bernama Kusin.

“Menangis?” tanya Pak Kohar terkejut.

“Ya, Wak!” jawabnya singkat.

“Memangnya kenapa?” tanya Pak Kohar kembali.

“Entahlah, Tapi menurut orang-orang, katanya 

dia kehilangan oto yang dipakainya!”

“Apa?! Otonya hilang...?”

“Benar, Wak! Mungkin ada orang yang iseng atau 

kurang senang melihat oto yang sudah dekil itu masih 

dipakai terus. Nah kalau sudah hilang begini kan 

terpaksa dia ganti dengan yang baru dan enak 

dipandang mata.”

“Ya... ya...! Mungkin juga. Memang itulah yang 

Uwak harapkan...! Tapi ngomong-ngomong masa iya 

kalian sebanyak ini nggak ada yang tahu ke mana 

tujuannya...?!”

“Sungguh, Wak, kami tidak tahu!”

“Pokoknya yang pasti dia pergi ke sono, tuh! Dari 

jalan ini teruuuuuus saja, nah... di ujung sana, dia

belok ke kiri!”

“Ya... ya... terima kasih, Tong!”

“Ya..., Wak!”

Pak Kohar segera pergi meninggalkan anak-anak 

itu, ia akan melanjutkan pencariannya sesuai dengan 

petunjuk anak-anak tadi walaupun hari sudah mulai 

gelap.

Apa yang dilakukan oleh pesuruh tua ini, 

semata-mata bukan karena tugas, tetapi karena kasih 

sayangnya kepada anak majikan yang selalu 

dikucilkan oleh pihak keluarga. Terutama setelah 

ayahnya tiada.

Berkat kesabaran dan ketekunan, akhirnya Pak 

Kohar. pun berhasil menemui anak itu. Si Tolol pada 

saat ditemukan, sedang tidur dengan nyenyaknya di 

sebuah dangau.

Udara malam terus berhembus dan semakin 

dingin rasanya. Namun Pak Kohar kini dapat tidur 

dengan perasaan lega di rumahnya.

Sejak hilangnya milik kesayangan Si Tolol, Pak 

Kohar tak begitu dipusingkan lagi membujuk majikan 

yang aneh ini. Si Tolol sekarang sudah mau mengganti 

otonya setiap hari asal warna dan bahannya sama 

dengan oto yang hilang.

***

SEMBILAN


Pada suatu malam, di saat bulan purnama 

muncul dengan indahnya, tampak sesosok tubuh laki-

laki berdiri di atas batu yang berada di tengah puncak


air terjun. Laki-laki itu tak lain adalah Si Tangan Kilat. 

Rupanya saat inilah yang ditunggu-tunggu untuk 

mengambil harta warisan itu.

“Seratus langkah dari tengah-tengah puncak air 

terjun ini,” gumamnya sendirian,” Kemudian menuju 

ke bayangan tebing... Oh, mungkin yang dimaksud 

dengan tebing itu adalah tebing yang di ujung sana. 

Sebab hanya ada satu tebing di daerah ini. Baik mulai 

dari atas batu ini kuhitung langkah. Satu... dua... 

tiga... empat... lima...” 

Si Tangan Kilat terus menghitung langkahnya 

hingga sampai hitungan keseratus sambil menelusuri 

bayangan tebing. Setelah sampai pada hitungan 

keseratus ia pun segera menancapkan linggis yang 

sebelumnya telah dipersiapkan.

“Mudah-mudahan aku tak salah perhitungan.”

Dengan tenaga semaksimal mungkin, ia langsung 

menggali lubang yang diperkirakan ada benda 

tersimpan di dalamnya. Tangan laki-laki ini sungguh 

cekatan sekali, dalam tempo beberapa menit saja, 

lubang itu sudah dalam dibuatnya.

“Hei... Bulan Purnama...! Kau sekarang telah 

menjadi saksiku. Bahwa di malam ini aku menjadi 

orang kaya... ha... ha... hah...! Hua... ha... ha... hah...! 

Eh?! Linggisku membentur benda keras...! Hah..., 

inilah rupanya harta karun itu. Aku harus hati-hati 

sekarang...! Ah..., lebih baik pakai tangan saja! Hup..., 

eh, huuuup!”

Semangat Tangan Kilat kini semakin tinggi 

setelah ditemukan sesuatu di dalam lubang itu. 

Wajahnya langsung berseri ketika yang didapatkan 

adalah sebuah peti. 

“Huuuphhh! Wadoooouuw, berat buaanget! Pasti 

harta di dalamnya banyak sekali...!”


Dengan susah payah akhirnya Tangan Kilat 

berhasil dapat mengangkat peti besar tersebut. 

Rupanya ia sudah tak sabar lagi untuk melihat isi dari 

peti itu. Dengan kekuatan yang dimilikinya ia langsung 

memegang gembok yang sudah berkarat yang melekat 

di peti tersebut.

Beberapa detik saja gembok itu tampak mulai 

berasap dan bagaikan melepaskan tutup botol dari 

gabus, ia dengan mudah membuka peti yang baru 

didapatkannya.

Bukan main terkejutnya ketika peti itu dibuka.

“Hah!? Apa-apaan ini!? Kurang ajar. Ternyata 

aku tertipu. Sial!! Cape-cape tak ada hasil!”

Tangan Kilat langsung mengangkat peti itu 

tinggi-tinggi untuk melemparkannya jauh-jauh, tapi 

tiba-tiba ia mengurungkan niatnya. Dengan hati-hati 

peti itu diletakkan kembali ke tanah dan langsung 

menguncinya kembali.

Kemampuan laki-laki ini memang sungguh luar 

biasa, setelah ia memasukkan kembali gembok itu, tak 

kelihatan ada tanda-tanda bekas dibuka.

“Kalau aku bisa ditipu begini. Orang lain pun

harus kutipu juga supaya nilainya satu-satu! Tentang 

harta warisan ini, biar bagaimana pun aku harus 

mendapatkannya. Aku harus cari orang yang telah 

mendahuluiku!”

Baru saja ia akan membungkus peti itu dengan 

kain sarung yang dipakainya. Tiba-tiba terdengar 

suara ranting pohon yang patah akibat benturan 

benda keras.

Ternyata benda-benda itu adalah berupa tombak 

yang baru saja dilemparkan orang dari tempat 

persembunyian.

Si Tangan Kilat yang pendengarannya cukup


terlatih ini segera melompat menghindari serangan 

yang datang ke arahnya. Begitu kakinya melesat, lima 

buah tombak jatuh menancap di tempat ia berdiri tadi.

Tapi serangan tersebut tidak cukup sampai di 

situ saja. Lagi-lagi serangan beruntun datang bertubi-

tubi ke arahnya sehingga ia harus melompat ke sana 

ke mari.

“Hei! Pengecut! Ke luar kalian kalau berani. 

Jangan beraninya membokong seperti ini! Ayo keluar!” 

teriak Si Tangan Kilat sambil menangkis senjata-

senjata yang dilemparkan pihak lawan ke arahnya.

“Cukup! Ayo keluar semua!” teriak seorang lelaki 

dengan keras dari tempat persembunyian.

Dengan terdengarnya komando tadi maka 

muncul sepuluh orang laki-laki berpakaian serba 

hitam. Mereka langsung mengurung Si Tangan Kilat 

tanpa mengeluarkan ucapan sepatah pun.

“Nah... macam beginilah yang aku inginkan...! 

Kalau macam begini, jangankan sepuluh, tiga puluh 

pun masih tetap kulayani. Ayo. Majulah...! Mau satu-

satu, atau sekaligus...!?” teriak Tangan Kilat separuh 

mengejek.

Kesepuluh orang itu pun langsung mengambil 

ancang-ancang untuk melakukan menyerangnya 

kembali. Tapi belum sempat mereka bergerak, tiba-tiba 

terdengar perintah dari atas batu yang agak tinggi.

“Tahan!!”

Tanpa banyak komentar lagi mereka dengan 

cepat kembali ke posisi semula. Tak berapa lama 

kemudian ‘Sang Komandan’ pun turun ke gelanggang 

dan langsung menghampiri Si Tangan kilat.

“Serahkan peti itu dan cepat tinggalkan tempat 

ini,” perintahnya dengan suara lantang kepada Si 

Tangan Kilat.


“Bagaimana kalau aku tidak mau?” sambut Si 

Tangan Kilat dengan senyum sinis.

“Terpaksa aku gunakan kekerasan,” balas lelaki 

gendut, yang ternyata Pamannya Si Tolol sendiri alias 

Den Wangsa.

“Silahkan....” sahut Si Tangan Kilat dengan 

santai.

“Jadi kau tak takut kalau timah panas ini 

memecahkan matamu yang tinggal satu itu, hah?!” 

bentak Den Wangsa sambil mengarahkan moncong 

pistolnya ke arah Tangan Kilat.

“Hei, Perut Buncit! Jangan coba-coba kau 

menakutiku dengan barang yang kau sendiri tak tahu 

cara menggunakannya. Lain halnya dengan senjataku 

ini. Sering kupakai dan sudah terbukti 

keampuhannya, mau coba?!” ejek Si Tangan Kilat 

kembali sambil menimang-nimang pisau yang baru 

dikeluarkan dari sarungnya.

Salah seorang anak buah Den Wangsa rupanya 

terpancing juga emosinya. Begitu melihat Si Tangan 

Kilat sedang memainkan pisaunya, ia langsung 

membokongnya.

Gelagat si penyerang itu mudah dirasakan 

gerakannya, karena di samping suaranya yang keras, 

gerakannya pun sepertinya tak sepenuh hati. Masih 

ada rasa was-was pada dirinya. Serangan macam ini 

bukan main mudahnya diatasi oleh orang yang 

mempunyai ilmu tinggi semacam Si Tangan Kilat ini. Ia 

cukup menggeser kuda-kudanya selangkah dan 

langsung tangannya menyambar dan akibatnya 

membuat orang itu tersungkur tak bergerak lagi.

“Sebenarnya aku tak mau memberi contoh 

tentang keampuhan senjataku, tapi berhubung anak 

buahmu ingin mencobanya, yah, apa boleh buat,” ejek


Tangan Kilat kembali sambil menggosok pisaunya yang 

penuh dengan darah.

Melihat kejadian ini Den Wangsa segera 

memerintahkan anak buah yang lainnya,” Kurung dia 

jangan sampai lolos! Upah kalian akan kutambah dua 

kali lipat, kalau kalian berhasil mendapatkan peti itu!” 

teriaknya sambil mondar-mandir macam orang 

kebingungan, “Ayo...! Ayo...! Rebut peti itu cepat! Kalau 

kubilang cepat ya cepat! Ayo bergerak cepaaaaat!” 

perintahnya lagi.

“Hei, perut buncit! Kenapa kau ini, hah?! Macam 

cacing kepanasan saja kelihatannya..? Percayalah..., 

anak buahmu itu tak ada yang mampu menandingi 

serigala macam aku ini. Lebih baik kau suruh mereka 

pulang. Mereka lebih cocok kau tempatkan di ladang, 

dari pada kita mikirin pepesan kosong...!” sahut 

Tangan Kilat yang tak henti-hentinya menyindir Den 

Wangsa.

“Pepesan kosong?! Apa maksudmu?” tanya Den 

Wangsa menanggapi ucapan Si Tangan Kilat.

“Oh... tidak, tidak! Lidahku hanya keseleo 

sedikit...! Sebenarnya yang kumaksud, kita sama-sama

manusia tamak yang ingin menyerakahi harta yang 

bukan milik kita. Cuma sayang, ada perbedaan di 

antara kita.”

“Apa perbedaannya?”

“Sebenarnya kau sendiri pun sudah mengetahui 

jawabannya, bahwa aku mengambil harta itu hanya 

sekedar untuk makan atau penyambung hidup! 

Sedangkan kau, tidak! Kau sudah berduit, punya 

usaha tetap, tapi masih saja kemaruk dengan harta 

itu. Memang dasar kau benar-benar tamak. Pantas 

perutmu itu semakin buncit, mungkin lama-kelamaan 

bakal meletus!”


“Tutup mulutmu, Kunyuk! Sekarang katakan apa 

maumu? Jangan bertele-tele!”

“Terserah kau saja. Apa pun aku layani! Tapi 

yang kuharapkan, kita bisa berdamai saja!”

“Berdamai?!”

“Ya! Sebab aku tidak membutuhkan emas 

permata seperti yang ada di dalam peti ini. Yang 

kuharapkan adalah uang tunai untuk makan. Itu saja! 

Jadi apabila kau menginginkan harta yang ada di 

dalam peti ini, tak perlu susah payah lagi menggali. 

Cukup kau memberiku uang sebagai imbalan dan aku 

pun rela memberikan peti yang telah kuperoleh dengan 

susah payah ini! Bagaimana? Kau setuju, bukan?!”

“Godverdom Zeg! Perduli apa dengan dirimu! 

Sebenggol pun tak akan rela kuberikan untuk tikus 

keparat macam kau!”

“Terserah... aku pun tak akan memaksamu! 

Minggirlah kalian. Aku mau pergi!”

“Tunggu!” 

“Apa lagi?”

“Kau boleh angkat kaki dari sini, tapi tinggalkan 

peti itu di tanah!”

“Fuiiih! Enak lu nggak enak gua dong!”

“Tutup mulutmu, Kunyuk! Hei, kenapa kalian 

semua bengong hah?! Ayo sikat tikus keparat ini biar 

mampus! Cepat..! Pokoknya kalau ada yang berhasil 

mendapatkan peti itu, utangmu kuanggap lunas dan 

kutambah dengan hadiah-hadiah yang besuuaaaar...! 

Ayo... ayo.. kesempatan ini kuberikan hanya kali ini 

kepada kalian. Besok-besok nggak ada lagi!”

Den Wangsa terus berkoar bagai orang mabuk 

minuman sambil petantang-petenteng tak keruan. 

Seluruh anak buahnya diharuskan menyerang Si 

Tangan Kilat tanpa kecuali.

“Teruuus... teruuuus...! Sikaaat, cingcang biar 

dia tahu rasa! Ayo jangan takut. Maju teruuuus! Awas, 

siapa yang mundur, akan kuhajar dengan timah panas 

ini,” teriak Den Wangsa sambil memberikan ancaman 

kepada anak buahnya, sambil mengacungkan 

pistolnya.

“Hei, Gendut! Peluru yang cuma semata wayang 

itu lebih baik kau tembakkan saja ke jidatmu yang 

dempak itu,” teriak Si Tangan Kilat sambil menangkis 

serangan yang datang secara bertubi-tubi.

Dalam menangkis serangan lawan. Si Tangan 

Kilat cukup menggunakan peti besi itu sebagai perisai, 

sehingga golok-golok lawan yang datang ke arahnya 

menjadi kandas.

***

SEPULUH



Den Wangsa melihat anak buahnya satu persatu 

dapat dilumpuhkan, tampak mulai kebingungan dan 

nyalinya mulai terasa ciut. Apalagi begitu salah 

seorang yang baru saja ambruk di depannya akibat 

sebuah tendangan telak yang dilancarkan Si Tangan 

Kilat kepada orang itu.

Anak buah Wangsa saat itu tampak kelihatan 

bernafsu sekali untuk merebut peti yang ada di tangan 

Si Tangan Kilat, tapi sayang, setiap serangan yang 

dilancarkan selalu dapat dielakkan, bahkan Si Tangan 

Kilat tak segan-segan melancarkan pukulan mautnya 

ke arah mereka.

“Minggir semua!”


Teriakan keras yang datang secara tiba-tiba 

membuat semua anak buah Den Wangsa terkejut dan 

langsung mundur.

Orang yang memberi aba-aba itu dengan cepat 

lompat ke tengah-tengah arena. Rupanya orang inilah 

yang ditunggu-tunggu Den Wangsa sejak tadi. 

“Nah. Sekarang kau baru mendapat lawan yang 

seimbang, Kunyuk! Dialah Si Mehong, pengawal 

setiaku yang sampai saat Ini belum ada tandingannya. 

Ayo cepat selesaikan tugasmu, Mehong! Pokoknya ada 

deh hadiah yang cukup buat ngasi keempat bini lu itu 

di samping upah yang sudah dijanjikan!” teriak Den 

Wangsa kegirangan.

Pengawal andalan Den Wangsa memang tampak 

beringas sekali. Tanpa banyak omong lagi, ia langsung 

menyerang Si Tangan Kilat dengan senjata andalannya 

berupa keris dalam ukuran besar. Melihat serangan 

dari orang yang bertubuh besar, hampir satu setengah 

kali ukuran badannya ini. Si Tangan Kilat pun sangat 

berhati-hati sekali. Setiap langkah benar-benar 

diperhitungkan secara matang.

“Gila! Keras sekali pukulan orang ini hampir saja 

pecah kepalaku dibuatnya!” ucap Si Tangan Kilat di 

dalam hati,” Aku harus mencari akal supaya dapat 

mengalahkan orang ini.”

Si Tangan Kilat kembali mendapat serangan 

keras dari Si Mehong dan serangan yang tak diduga-

duga ini tak sempat ditepis sama sekali. Maka tak 

ampun lagi baginya, tubuhnya langsung terpental ke 

belakang. 

Untuk menjaga kemungkinan serangan 

berikutnya datang lagi. Si Tangan Kilat dengan cepat 

menggulirkan badannya jauh-jauh. Kemudian ia 

berusaha bangkit lagi sambil memegangi perutnya


dengan kedua tangannya. Kelihatan pukulan yang 

diterimanya cukup keras sekali, sehingga ia lemah tak 

segesit waktu melawan kesepuluh orang itu.

Den Wangsa melihat jagoannya telah berada di 

atas angin langsung bertepuk tangan kegirangan.

“Ayo...! Sikat terus. Jangan beri dia kesempatan 

untuk bangun. Kalau perlu putuskan lehernya!” 

teriaknya sambil berjingkrak-jingkrak macam anak 

kecil.

Si Tangan Kilat tak memberi reaksi atas ucapan 

Den Wangsa yang begitu bersemangat. Ia tetap diam, 

malah kepalanya mulai tertunduk sepertinya tak 

sanggup lagi mengadakan perlawanan.

Entah ini merupakan siasat atau memang ia 

sudah tak berdaya sama sekali. Hal ini pun menjadi 

pemikiran Si Mehong yang agak ragu-ragu untuk 

menyerangnya kembali.

Setelah beberapa saat tertunduk, sang lawan 

pun langsung mendekati dengan niat untuk 

melaksanakan permintaan sang majikan.

“Cuma begini saja kemampuanmu, hah?! 

Sekarang terimalah ini. Kunyuk...!” ucap Si Mehong 

sambil mengambil ancang-ancang bagai orang yang 

ingin menebas pohon. Tapi tiba-tiba, “Hekkh!” 

suaranya seakan-akan tersumbat. Wajahnya yang 

sebelumnya garang langsung berubah menjadi pucat, 

senjata yang di tangannya pun terjatuh. Pada detik 

berikutnya darah segar pun keluar dari bagian perut 

yang sekaligus membuatnya ambruk ke tanah tak 

berkutik lagi.

“Hua... ha... ha... hah! Sudah kubilang... tak satu 

pun ada yang mampu menandingiku, ha... ha... ha...! 

He... he... heh!” tawa lebar Si Tangan Kilat kembali 

terdengar dengan keras sekali. Rupanya apa yang


dilakukan tadi hanyalah tipuan untuk mengelabui 

lawan.

Kini Den Wangsa kembali ciut nyalinya. Bibirnya 

tampak gemetar walaupun di tangannya masih 

menggenggam benda kebanggaannya yang sering 

digunakan untuk menggertak penduduk dalam 

menagih hutang.

“Nih kukembalikan kepadamu!” teriak Si Tangan 

Kilat sambil mengangkat dan kemudian melemparkan 

tubuh Si Mehong yang sudah tak bernyawa itu ke arah 

Den Wangsa.

Tubuh Den Wangsa yang begitu gemuk, seakan-

akan mau patah pinggangnya saat ketiban tubuh Si 

Mehong yang besar. Dengan nafas tersengal-sengal. 

Den Wangsa berusaha bangkit.

Melihat tuannya terjatuh dan susah untuk 

bangun, beberapa orang yang masih segar segera 

menolong sang majikan agar dapat berdiri kembali.

Den Wangsa celingukan setelah dapat berdiri 

kembali, sepertinya mencari sesuatu barang yang 

hilang.

Si Tangan Kilat yang berada tak jauh dari 

dekatnya segera menghampiri.

“Inikah barang yang kau cari?” ucap Si Tangan 

Kilat sambil menempelkan laras pistol itu ke kening 

Den Wangsa.

“Oh... Ja... jangan!” pinta Den Wangsa sambil 

mengangkat kedua tangannya yang sudah gemetaran 

itu. “Jangan main-main dengan benda itu... berbahaya 

sekali...” ucapnya lagi dengan sungguh-sungguh takut.

“Bagaimana? Masih bertahan atau....”

“Tidak... tidak! Kita berdamai saja!”

“Nah begitu dong... kenapa tidak sejak tadi saja. 

Kan tidak sampai memakan korban segala....”


“Berapa yang kau ingin kan?”

“Terserah, yang mana yang kau pilih. Mau 

berikut pistol kebanggaanmu ini, atau cuma petinya 

saja? Kalau petinya saja cukup kau berikan dengan 

seratus ringgit, tapi kalau lengkap dengan pistolnya, 

yah... tambah saja sepuluh ringgit. Jumlah uang yang 

tak berarti bagimu, bukan?!”

“Hah! Seratus ringgit?! Sudah gila rupanya kau 

ini, hah?!”

“Cukup sesuai dengan nilai barang-barang yang 

akan kau peroleh ini.”

“Nih, terimalah seratus ringgit! Cepat kau 

berikan barang-barang itu.”

“Apakah kau anggap aku ini dagang cabe 

bawang?! Kaulah yang harus cepat memberikan sisa 

uang itu sebelum aku mengubah pikiran. Jangan 

sampai nanti kuhitung juga lelahku menghadapi 

ceroco-ceroco itu dengan uang!”

“Sudah... sudah...! Nih terimalah! Bawa sana 

cepat!”

“Tentu, barang-barang ini pasti akan 

kuserahkan. Aku adalah orang yang selalu berpegang 

teguh pada janji. Terima kasih atas imbalan yang kau 

berikan dengan kerelaan hati ini. Sekarang terimalah 

peti dan pistol ini! Huuuu!”

Den Wangsa segera menerima peti yang baru saja 

dilemparkan oleh Si Tangan Kilat. Bukan main 

girangnya Den Wangsa setelah memeriksa peti yang 

kelihatan masih orisinil itu.

“Nah, kurasa sudah tak ada lagi yang perlu kita 

bicarakan, bukan?” 

“Ya... ya!”

“Baiklah! Kalau begitu aku akan berangkat 

sekarang!”


“Silahkan!”

Si Tangan Kilat langsung melompat ke atas 

tebing dan menghilang entah ke mana. Sedangkan Den 

Wangsa yang tak sadar bahwa dirinya telah ditipu 

mentah-mentah, tampak masih diliputi suasana 

gembira. Tak lama kemudian ia pun memerintahkan 

seluruh anak buahnya untuk kembali.

“Sini, Den... kalau berat biar aku yang bawa!”

“Tak usah. Biar saja! Hhh... hh....”

“Iya, Den. Biar saja Si Ujang yang bawa...! 

Kasihan kan Aden kelihatannya keberatan...! Atau sini 

deh gotongan denganku!”

“Hhh... hh... nggak, nggak apa-apa!”

Rasa curiga yang begitu besar ternyata telah 

menyusahkan diri Den wangsa sendiri. Ketika dia 

hendak menuruni tebing, tiba-tiba kakinya tergelincir 

dan membuatnya jatuh duduk bersama peti yang berat 

itu.

“Wadaaauw! Tolong... tolong angkat peti ini...!” 

teriak Den Wangsa kesakitan.

“Jang. Ayo kita gotongan!” sambut salah seorang 

anak buah Den Wangsa kepada temannya.

“Ayo cepat!” sahut temannya sambil mengangkat 

peti itu mengimbangi temannya.

Melihat peti yang tadi menimpa perutnya, kini 

sudah diangkat oleh kedua anak buahnya. Den 

Wangsa segera berusaha bangun. Tetapi beberapa kali 

ia coba belum juga berhasil karena kaki dan 

pinggangnya terasa sakit sekali.

“Hei...! Tungguuu..! Jangan tinggalkan akuuuuu! 

Aku tak bisa banguuuuun...!” teriaknya dengan keras 

sekali.

Mendengar teriakan tersebut, beberapa anak 

buahnya bukan main terkejutnya.


“Heh?! Lihat! Den Wangsa tertinggal!”

“Oh..., iya! Kupikir Si Aden berada di belakang 

kita... Ayo cepat kita bantu!”

“Ayo!”

Dengan susah payah kedua orang itu 

mengangkat majikannya. Setelah diupayakan tak juga 

berhasil, maka mereka pun mohon bantuan kepada 

yang lainnya.

“Hei, bantuin dong...! Kami tidak kuat, nih!” 

teriak anak buah Den Wangsa yang berbadan 

kerempeng itu.

Dua orang lainnya segera datang membantu 

mengangkat sang majikan yang tampak masih 

meringis menahan sakit.

“Sudahlah...! Lebih baik bopong saja supaya 

lebih cepat tiba di rumah.” usul Si Kerempeng.

“Ya... itu usul yang baik. Tapi bagaimana dengan 

Den Wangsa. Apakah Si Aden mau?” bisik temannya.

“Tanyalah...!” sahut Si Kerempeng kembali 

dengan suara perlahan.

“Baiklah...,” balas temannya sambil melangkah 

mendekati Den Wangsa yang baru saja didudukkan di 

atas batu dan belum dapat berdiri.

“Den... Bagaimana kalau Aden kami gotong saja 

sampai ke rumah?!” tanya sang anak buah kepada 

majikannya.

“Terserah! Yang penting cepat kalian cari jalan 

yang terbaik supaya aku tiba di rumah dengan cepat! 

Hei, ke mana peti itu?! Siapa yang bawa...?!” sahut Den 

Wangsa dan langsung balik bertanya kepada keempat 

anak buah yang berada di dekatnya.

“Sudah dibawa lebih dulu oleh si Unang dan 

Ujang, Den...!” sahut orang yang ada di sebelah 

kanannya.


“Kalau begitu, cepat gorong aku! Kita susul 

mereka!” perintah Den Wangsa.

Tanpa banyak komentar lagi, keempat orang itu 

pun segera mengangkat tubuh majikannya yang begitu 

berat dan dengan susah payah akhirnya mereka 

berhasil juga membawa Den Wangsa tiba di rumah.

Suasana malam telah berubah menjadi suasana 

pagi. Di pagi buta itu Den Wangsa telah membuka peti 

yang didapatkannya semalam.

Apa yang terjadi?

Tak dapat terlukiskan bagaimana rasa 

kecewanya, ketika diketahui bahwa isinya hanyalah 

batu-batu kerikil saja dan peti itu langsung dibanting 

sambil mengumpat yang tak habis-habisnya.

“Sial! Sial dangkalan!” ucapnya sendirian sambil 

geregetan. Tubuhnya yang gembrot dan bermandi 

keringat itu dijatuhkan di atas kursi goyang. 

“Huhhhhhh... aku telah dikentuti oleh Si Picek 

keparat...!” keluhnya lagi dengan nada yang semakin 

lemas akibat punahnya impian-impian muluk yang 

selama ini memperbudak benaknya.


                         TAMAT


Pembaca yang budiman,

Siapa yang telah mendahului menguras isi peti 

harta karun yang konon berisi emas permata yang tak 

ternilai harganya itu?

Mungkinkah Pak Kohar yang melakukannya?

Mungkinkah dilakukan oleh anak-anak Den 

Surya yang masing-masing mempunyai kebiasaan 

buruk seperti berjudi dan main perempuan?


Atau mungkin telah dilakukan oleh Si Tolol 

sendiri?

Jawabannya dapat anda ikuti dalam episode 

berikutnya yang berjudul: “Serigala-Serigala Berbulu Domba”


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar