WARISAN BERDARAH
Oleh Djair Warni
© Penerbit Rosita, Jakarta
Setting Oleh : Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
SATU
Sebenarnya postur tubuh anak itu hampir sama
dengan anak-anak yang berusia remaja. Tapi
berhubung wajah, lagak dan gayanya tidak jauh
berbeda dengan anak-anak kecil yang masih ingusan
telah membuat dirinya diremehkan, termasuk
saudara-saudaranya sendiri.
Si Tolol, demikianlah nama anak itu, kerjanya
hanya main ke sana ke mari dan tidur di mana saja
tanpa memilih tempat, bahkan di dekat kandang ayam
pun jadi apabila ia sudah menyandarkan kepalanya.
Sebenarnya si Tolol saat itu sedang dicari oleh
orang tuanya. Pesuruh yang bekerja di rumahnya
sudah pusing tujuh keliling mencarinya. Ternyata si
Tolol masih asyik mengejar capung sampai ke tepi
hutan. Kepalanya yang botak dan hanya pada bagian
depannya saja yang terdapat rambut berbentuk seperti
jambul tampak dipenuhi keringat yang telah
bercampur debu, begitu pula di atas bibirnya, sangat
tampak dengan jelas bekas ingus yang mengering dan
sebelumnya telah digosok ke kiri dan kanan sehingga
berbentuk kumis jawara.
Rupanya memang ia sangat jauh dari cermin,
sehingga tidak pernah memperdulikan keadaan dirinya
atau memang karena ketololannya, sulit untuk
ditebak. Yang pasti dari mulutnya terus bernyanyi
walaupun suara yang keluar itu sumbang sekali ia tak
perduli dan sekali-kali terdengar pula siulan sebagai
selingan.
“Bletak... E... Beletak beletung. Si Tolol sekarang
mau menangkap capung... he... he... he!” ucap si Tolol
bagaikan dalam acara gerak dan lagu.
Setelah berlari ke sana-sini, tiba-tiba ia
menghentikan langkah dengan cepat. Rupanya di situ
telah hinggap beberapa ekor capung pada ranting
kering. Dengan serius capung-capung itu
diperhatikannya, setelah menggosok hidungnya
beberapa kali ia pun maju mendekat dan langsung
tangannya beraksi sepertinya hati-hati sekali. Tapi
dasar tolol memang tetap saja tolol. Tangan kanan
ingin menangkap capung, tangan kirinya memegang
ranting di dekat capung hinggap. Karena merasa
tergoyang capung-capung itu pun bubar, beterbangan.
Sekarang Si Tolol lah yang merasa sedih karena
buruannya pergi tanpa permisi.
Kesedihan itu ternyata hanya sebentar. Muka Si
Tolol tiba-tiba berubah total dan menjadi pucat sekali.
Perubahan ini terjadi karena ada suara keras dan
orang merintih yang terdengar jelas di telinganya.
Sumber suara itu berada di sekitar tempat ia berada.
“Kurang ajar! Rasakan ini, hah!!”
“Ampuuuun, Juragan...! Ampuuun!”
Suara itu terdengar kembali. Si Tolol yang baru
saja jatuh terpelanting karena kaget, mulai bangkit
dan mencari sumber suara tadi. Dengan gayanya yang
khas, ia merangkak dan menyelusup ke dalam semak-
semak. Begitu ia temukan matanya pun terbelalak,
sebab di depan matanya tampak ada sebuah adegan
yang cukup memilukan.
“Kalau kamu tidak mau bayar utangmu pada
Ayahku. Ayo... sekarang bayar rentennya dulu!” bentak
seorang pemuda dengan pakaian cukup keren sambil
menginjak petani tua yang tampak terengah-engah
akibat kena pukulan sebelumnya.
“Ampun, Den... ampun! Sekarang dari mana saya
punya uang, Aden kan tahu sekarang lagi paceklik...!”
jawab petani tua itu memohon belas kasih.
“Diam! Rupanya kau mau ini, hah...?!” bentak
pemuda itu kembali sambil mengeluarkan golok yang
terselip di pinggangnya.
“A... ampun. Den...! Jangan...! Kasihanilah
saya... Terus terang, Den, saya tak sanggup membayar
renten yang sebesar Aden sebut tadi. Bukankah
Juragan Besar bilang nggak usah pakai renten,” balas
petani itu kembali.
“Huh...! Silaing teh sialan!!” sela pemuda yang
dipanggil Raden sambil mendorong petani tua yang
akan berusaha bangun dengan kakinya.
“Benar..., Den. Abdi nuhunkeun ampun kana
Raden..., abdi nuhunkeun tempoh wae’...!” pinta orang
tua itu dengan wajah memelas.
Entah setan mana yang merasuki jiwanya. Sang
Raden tak memperdulikan keadaan petani tua yang
telah dibuatnya. Ia segera menarik tangan dua orang
yang berada di sampingnya. Mereka itu adalah
pembantu-pembantu setianya.
“Bagaimana, Den...?” tanya petani itu sekali lagi.
“Tempoh sia’...! Kau kira urusan utang itu soal
main-main?” bentaknya semakin garang.
“Habis saya harus bagaimana. Den...?”
“Beslag semua hak miliknya. Huma, sawah,
rompok(rumah), dan ternaknya.” perintah Raden itu
kepada salah seorang pembantunya.
“Sumuhun... Den!” Jawab Tirta tanpa menoleh
sedikit pun, karena sedang sibuk mencatat semua
yang baru diucapkan oleh sang raden.
Bukan main terkejutnya dan hampir putus
rasanya jantung petani tua itu setelah mendengar
ucapan dari sang Raden. Berkali-kali ia mohon
kebijaksanaan agar harta benda yang sangat besar
artinya bagi kelangsungan hidup seluruh keluarganya
itu dikembalikan, tapi sia-sia belaka. Malah bukan
hartanya yang kembali tetapi siksaan yang kembali
datang kepadanya. Pembantunya yang berbadan
gemuk dan tinggi itulah yang kali ini mengayunkan
tendangan ke arah petani tersebut.
“Aduuuuh, Gusti!” keluh petani tua yang tampak
semakin lemah tak berdaya.
Walaupun Si Tolol tetap memantau dan tetap
pada posisinya, namun wajahnya berubah menjadi
memble. Ia menangis melihat kekejaman terhadap
petani yang tak berdaya itu. Apalagi perbuatan
tersebut dilakukan oleh salah seorang saudaranya.
“Uuu... uu... uh, kejam! Kakak sungguh kejam!
Uu... uuh! Tega sekali kakak berbuat begitu..., uu...
uuuh!” gumamnya sambil terus memandangi petani
miskin yang lemas terseok di atas tanah yang kering
berdebu dan tanpa terasa pula air matanya kini telah
menyatu dengan air yang keluar dari hidung sehingga
pipinya menjadi basah akibat gosokkan tangan ke
sana ke mari.
“Silaing teh tong ceurik! Teu aya gunana. Hak
milik Silaing, ayeuna milik urang kabeh! Nyaho...?!”
hardik si Raden sambil melangkah dan mengajak para
pembantunya untuk meninggalkan tempat tersebut.
“Balik hayuuuh!” ucap pembantu yang bertubuh
gemuk itu sambil menepuk bahu teman yang di
sebelahnya.
Waktu melangkah dari tempat tersebut, laki-laki
itu masih sempat pula menunjukkan tampang
angkernya kepada petani itu yang disertai pula dengan
senyum sinis. Padahal semua kelakuan dan
tingkahnya sudah tak diperdulikan lagi oleh petani
yang malang itu. Di dalam benak petani yang terpikir
hanyalah, apa yang harus ia perbuat setelah
keadaannya seperti ini. Sawah yang hanya sepetak
serta ternak dan lainnya untuk kebutuhan hidup
bersama anak istri kini sudah tak ada lagi.
Entah berapa lama ia terpekur di situ dan entah
apa yang dipandangi selama itu. Yang jelas sorotan
matanya yang begitu tajam tanpa berkedip, masih
tetap terarah kepada sawah yang terbentang di
hadapannya.
“Oh... Gusti Nu Maha Agung...! Bagaimana
dengan anak istriku? Di mana kami bisa meneduh?
Apa yang mesti kukerjakan...?” keluh petani itu sambil
mengusap air mata dengan pakaiannya yang kotor
karena telah bercampur keringat dan debu.
Ia merupakan korban yang kesekian kalinya dari
tindakan Raden-Raden yang tak berperi kemanusiaan
itu. Tindakan mereka kini semakin sewenang-wenang,
karena tak satu pun masyarakat di sekitarnya yang
berani mencegah apalagi melawan kebrutalan mereka.
Sementara sang petani malang masih tetap
duduk memikirkan nasibnya yang begitu pedih. Di lain
tempat, tepatnya di warung minuman, tampak para
penjudi sedang asyiknya menggenggam kartunya
masing-masing. Laki-laki yang beberapa jam lalu
menyita seluruh hak petani miskin, telah berada di
situ. Wajahnya tampak kesal sekali saat itu. Hasil
lelangan barang-barang sitaannya telah banyak yang
berpindah tangan ke penjudi lainnya. Mungkin sisa
uang yang ada di dalam kantongnya pun sebentar lagi
akan berpindah tangan juga.
“Den Tompel berani taruh berapa?” tanya teman
main yang duduk di sebelah kanannya.
“Sepuluh ringgit!” jawabnya ketus tanpa menoleh
sedikit pun kepada si penanya.
“Ayo lemparkan uangnya!” balas orang itu
kembali.
“Nih!” sahut Den Tompel sambil melempar uang
kepingan ke tengah permainan.
“Masih berani kalau kuminta tambah sepuluh
ringgit lagi?” sela orang itu dengan senyum dan
langsung menggeser uang yang ada di dekat kakinya
ke tengah.
“Hmmmh... gila! Kau mau mengujiku rupanya,
hah! Baik! Nih, uangnya...! Ayo kalau tak ada yang
berani lagi, cepatlah buka kartumu!” sambut Den
Tompel.
“Tunggu! Siapa bilang aku tak berani! Kalian
berdua yang tak mungkin berani melawanku. Nih tiga
puluh ringgit. Kutunggu sampai hitungan kelima kalau
kalian tak berikan tambahannya, terpaksa kutarik
uang ini semua! He-he-heh!” sela laki-laki gendut yang
duduk di hadapan Den Tompel.
Suasana itu semakin lama semakin panas,
terutama yang sedang bernasib sial seperti Den Tompel
itu. Nafsu marah yang tertahan telah membuat
mukanya merah dan cepat tersinggung, untunglah
teman-teman main itu sudah mengetahui wataknya,
sehingga jarang sekali terjadi keributan di meja judi.
Saat itu si Tolol pun berada di warung tempat para
penjudi bermain, tapi ia berada bukan di dalam
melainkan di depan warung. Ia sama sekali tidak
memperdulikan keadaan sekelilingnya yang penting
ada sandaran dan tempatnya agak teduh, langsung
saja molor alias tidur. Sudah lama juga Si Tolol tidur di
situ dan sekaranglah saat-saat puncaknya. Ia
kelihatan lelap sekali. Biarpun beberapa ekor lalat
menari di sekitar mulut dan hidungnya, bahkan ada di
antaranya yang kurang ajar berjalan di sekitar mulut
sambil menjilat-jilat air liur yang hampir mengering di
dagu dan pipi.
Seorang anak laki-laki melihat keadaan itu
segera memanggil temannya.
“Lihat tuh. Den Tolol! Kalau tidur di mana pun
jadi. tidak boleh ada tempat sandaran kepala,
langsung saja molor!” ucap anak itu.
“Ssst...! Biarkan saja. Jangan diganggu,” sahut
temannya.
“Mungkin dia sedang mimpi dikerumuni bidadari
sorga.”
“Iya...! Bidadarinya ada sepuluh.”
“Hi... hi... hih!”
“Ssst! Ayo cepat lari.”
“Kenapa?”
“Lihat tuh ada yang datang mencarinya...!”
“Oh...! Ada Pak Kohar. Ayo kita lari!!”
Kedua anak itu cepat-cepat angkat kaki setelah
mengetahui ada seorang laki-laki tua berlari tergopoh-
gopoh menuju ke warung tersebut.
“Den... Den Tolol...! Masya Allah...!” teriak orang
tua yang bernama Kohar itu dengan terkejutnya,
“Kenapa kau tidur di sini. Den...? Ayo bangun. Den...!
Bangun! Ayahanda memanggilmu,” teriaknya kembali
setelah berada di dekat Si Tolol.
“Klekerrrrr... kerr... kelekerrr...!” Hanya itu yang
suara yang keluar dari mulutnya tanpa bergerak
sedikit pun walaupun teriakan Pak Kohar cukup keras
di dekat telinganya.
Mungkin karena kesalnya, maka Pak Kohar
segera menggoncang-goncangkan badan tuan
mudanya yang bego ini. Karena kerasnya goyangan,
maka Si Tolol pun terbangun juga.
“Oaaaaahhmmmm...!!” Si Tolol mulai membuka
matanya sambil menguap lebar. Setelah mengucek-
ngucek matanya beberapa kali, ia pun terkejut melihat
pesuruh di rumahnya berada di dekatnya.
“Ada apa Pak Kohar?” tanya Si Tolol kepada Pak
Kohar.
“Aden diminta cepat pulang. Juragan besar
memanggilmu,” jawab Pak Kohar sambil membantu
membersihkan pakaian Si Tolol yang berdebu.
“Ada apa sih. Kan Tolol lagi main....” balas Si
Tolol kembali dengan nada manja.
“Ini pesan dari Agan, Den. Pesannya wanti-wanti
sekali supaya Aden cepat pulang.”
“Memangnya kenapa sih?”
“Juragan Besar sakitnya kumat lagi.”
Setelah mendengar penjelasan dari Pak Kohar
maka Si Tolol pun bangkit dari duduknya. Sebelum itu
sempat juga ia menggeliat beberapa kali dan meminta
kepada Pak Kohar untuk membersihkan bagian
belakang celananya dari debu-debu yang menempel.
Namanya disuruh oleh majikan. Pak Kohar pun tak
dapat membantah kecuali menuruti apa yang
diinginkannya, walaupun di dalam hatinya kesal juga.
Pak Kohar mengantar Si Tolol pulang ke rumah
dan tak berani melepaskannya seorang diri. Ia
khawatir akan ngelantur lagi ke mana-mana. Setelah
sampai di muka pintu, barulah Pak Kohar pergi
menjemput saudara Si Tolol yang lainnya.
Pak Kohar tahu betul tempat majikan yang satu
ini berada. Tanpa banyak tanya lagi ia langsung
kembali ke warung di mana Si Tolol tadi tertidur.
Setelah tiba di warung itu ia pun segera masuk ke
dalam, tempat para penjudi berkumpul. Sang majikan
pada saat itu masih bersila di atas bale bersama
teman-teman main lainnya dengan kartu di tangan
masing-masing.
“Den...!” ucap Pak Kohar kepada majikannya.
“He... ada apa kamu ke mari?” tanya sang
majikan dengan ketus.
“Aden dipanggil sama Juragan Besar.”
“Katakan nanti saja. Magrib aku sudah tiba di
rumah!”
“Beliau pesan wanti-wanti supaya Aden pulang
sekarang juga...!”
“Ada apa sih?”
“Juragan Besar sakitnya kumat. Untuk itu
diminta supaya anak-anaknya kumpul.”
“Kumpul ngapain?”
“Entahlah, Den. Mungkin ada sesuatu yang ingin
beliau katakan. Saya sendiri pun tak tahu.”
Pandai juga orang tua ini membujuk. Den
Tompel yang begitu keras dan kasar akhirnya mau
juga menuruti permintaannya. Padahal hatinya kesal
bukan main. Bagaimana tidak. Uang yang begitu
banyak di kantong sebagian besar ludes dan yang
tersisa di kantong baju hanya tinggal beberapa keping
saja.
“Huh. Sialan!” umpat Si Raden Tompel sambil
menyelipkan golok ke pinggangnya. “Kalau saja kau
tak datang dan menyuruhku pulang. Tentu sudah bisa
kutebus semua kekalahanku. Mengerti?” gerutunya
kembali sambil menoleh ke arah Pak Kohar.
“Mengerti, Den...! Tapi keadaan Ayah Aden
sangat gawat. Ayolah cepat kita ke sana, sebentar
saja...!” sambut Pak Kohar menanggapi ucapan
majikannya.
“Kenapa kumat-kumat melulu, sih...?”
“Yah maklum, Den, kan umur orang tua Aden
sudah lanjut, lagi pula penyakitnya....”
“Huh. Dasar kakek-kakek! Memang mestinya
sudah masuk ke liang kubur!”
“Husss... jangan berkata begitu, Den. Tidak baik.
Apalagi dengan orang tua Aden sendiri.”
“Huh. Sudahlah! Memang kau pandai bicara. Ayo
kita pulang.”
***
DUA
Lebih kurang dua ratus meter dari tempat
perjudian itu, terdapat pula perjudian dengan versi
yang lain, yaitu mengadu ayam. Ada kira-kira sepuluh
orang di tempat tersebut, mereka tengah asyik
menyaksikan jalannya pertarungan seru. Ada pula di
antara mereka yang tegang menyaksikan jalannya
pertarungan itu.
“Ayo sikat terus, Bereum. Sikat terus jangan beri
ampun!” teriak orang itu dari dekat arena.
“Bagus itu baru namanya ayam jago! Ayo sikat
terus! Hantam..., ya, hantam lagi!” sambut teman yang
turut menjagoi ayam itu.
“Diam kau! Jangan berisik!” bentak pemilik ayam
yang kelihatan telah terdesak, “Kalau kalian tak mau
diam, kusobek mulut kalian!” hardiknya lagi.
Dua ayam jago masih terus bertarung. Keduanya
saling baku hantam tanpa mengenal lelah walaupun
pada bagian kepalanya masing-masing telah banyak
keluar darah. Sementara itu para pemiliknya terus
berteriak-teriak memberi semangat kepada ayamnya,
padahal sang ayamnya sendiri tak mengerti apa yang
mereka ucapkan.
Setelah pertarungan berjalan sekian lama.
Terdengarlah keok keras dari salah seekor ayam. Ayam
yang kalah itu langsung berlari cepat meninggalkan
gelanggang, ini pertanda permainan telah berakhir.
Sorak gembira para pemenang pun terdengar. Mereka
berjingkrak-jingkrak kegirangan, sedangkan anak
muda yang ayamnya kalah, tampak kesal sekali.
“Ayo, Den... mana uang taruhannya...!” ucap
salah seorang pemenang menghampiri anak muda itu.
“Apa?! Mau minta uang taruhan?” tanya si
pemenang. “Kalian main curang!” teriaknya kembali.
“Oo... tidak mungkin. Den!” bantah orang itu.
“Kalau kalian tidak pakai akal busuk tak
mungkin ayamku kalah. Taji ayam ini telah kalian olesi
dengan tahi kuda! Huh!!” teriak Sang Raden sambil
menendang ayam yang menang itu dengan keras
sekali, sehingga membuat ayam itu menggelepar
macam habis dipotong, “Ini protesku! Ada yang tidak
senang silakan...!” tantangnya kemudian.
“Hei, apa-apaan kau ini. Kau apakan ayamku
itu?!” teriak orang itu dengan nafas tersengal-sengal.
“Ini sekedar contoh!”
“Contoh?”
“Ya. Kalian pun bisa seperti itu!”
“Heh! Kalau ngomong jangan seenaknya saja.
Kalau nggak mau bayar, bilang terus terang, jangan
banyak polah.”
“Kalian mau apa, hah?!”
“Fuiiih! Mentang-mentang orang kaya, mau
bertindak seenaknya. Kau tak akan bisa meninggalkan
tempat ini sebelum meminta maaf kepada kami.” Kini
sang Raden telah terkurung. Empat orang laki-laki
menatapnya dengan penuh kebencian dan di
tangannya masing-masing tampak memegang benda-
benda tajam termasuk pisau dan golok.
“Bagus kalau ini memang maumu!” ucap sang
Raden sambil menatap keadaan sekeliling dan
langsung mengkonsentrasikan diri ke arah tubuh
lawan agar dapat mengetahui gerakan yang akan
dilakukannya.
“Ya. Inilah cara kami buat orang-orang sombong
macam kau!” sahut laki-laki yang bertubuh gemuk dan
berwajah seram sambil memutar-mutarkan golok di
hadapan sang Raden.
“Apakah kalian sudah pikir-pikir dulu apa yang
akan terjadi?” balas sang Raden separuh mengejek.
“Pikir-pikir apa?! Melawan tikus busuk seperti
kau tak perlu pikir-pikir!” bentak orang itu kembali.
“Jadi kau tak sayang binimu disambar orang,
jika berangkat ke akherat?” sindir Raden sambil
memperkuat posisinya.
“Diam kau bangsat! Ciaaaaat!”
Melesatlah salah seorang dari mereka ke
hadapan sang raden yang nama sebenarnya Raden
Kasep saudara dari Si Tolol juga. Tajam sekali golok
orang itu, begitu serangannya dihindari pohon yang
berada di dekat Den Kasep jadi sasaran dan langsung
putus dalam sekali tebasan. Dalam posisi yang sangat
menguntungkan ini tak dibiarkan lewat begitu saja
Melihat orang itu terhuyung karena serangan kerasnya
tak mengenai sasaran, Den Kasep langsung
menyambar dengan tendangan beruntun. Teriakan
kesakitan dari orang itu pun terdengar keras sekali.
Berbarengan dengan ambruknya orang itu, dua
orang sekaligus datang menyerang ke arah Den Kasep.
Serangan mendadak ini cukup membuat ia kewalahan.
Yang satu dapat ia elakkan namun sontakkan keras
dari yang satunya lagi masuk tepat ke bagian dada.
Sambil menahan rasa sakit. Den Kasep masih sempat
juga mengelakkan serangan yang datang bertubi-tubi,
walaupun ia harus jatuh bangun. Saat ini memang
hanya pengelakan yang dapat ia lakukan. Pukulan
jurus andalan yang ia miliki seakan tak berguna sama
sekali, selama pernafasan belum normal kembali.
Sedikit demi sedikit pengaturan nafas mulai bisa
dikuasai, Den Kasep tampaknya mulai lincah lagi. Dan
sekarang mulai berbalik, Den Kasep sendiri yang
membuka serangan lebih dulu. Laki-laki yang
bertubuh gemuklah merupakan sasaran utamanya.
Dalam penyerangan tersebut Den Kasep benar-benar
macam orang kesetanan. Kaki dan tangan silih
berganti ia lakukan sehingga membuat sang lawan
kewalahan. Memang dalam keadaan seperti itu, tidak
memerlukan lagi segi keindahan gerakan yang penting
berusaha sekuat tenaga untuk dapat menjatuhkan
lawan. Begitu pula yang tersirat di dalam benak sang
Raden ini.
Dalam waktu yang cukup singkat, dua orang
lawan telah berhasil ia patahkan. Kini masih ada dua
lagi yang harus ia hadapi. Dengan langkah dan
gerakan yang cukup hati-hati Den Kasep kembali
mengambil posisi.
“Ciyaaat!” Teriakan keras sang lawan terdengar.
Tapi Den Kasep sudah lebih dulu siaga, sehingga
dengan sigap tangan kanannya menjemput
pergelangan lawan yang dilanjutkan dengan masuknya
dengkul kaki ke belakang sikut lawan. Melihat
lawannya meringis kesakitan Den Kasep langsung
menyarangkan pukulannya tepat ke dada lawan
sehingga membuat lawan tersebut terjerembab ke
tanah.
Kini tinggal seorang lagi yang musti dihadapi.
Inilah lawan yang telah membuatnya kewalahan tadi,
karena pukulan orang ini dirasakan sangat kuat
sekali. Yang cukup melegakan hati Den Kasep adalah,
orang ini sudah tampak kelelahannya selain itu
senjatanya pun sudah terlepas dari tangan.
Satu dua pukulan yang diarahkan masih dapat
terelakkan, begitu pula dengan balasan yang diberikan
kepada sang lawan. Saling pukul dan saling tendang
pun terjadi dengan seru sekali. Jurus demi jurus telah
mereka mainkan namun belum satu pun di antara
mereka ada yang kelihatan terdesak. Rupanya kali ini
Den Kasep benar-benar mendapat perlawanan yang
berimbang, walau telah banyak upaya yang ia lakukan
namun tetap tak menggoyahkan sang lawan.
Dalam keadaan terdesak akibat terkena pukulan
pada bagian dadanya, Den Kasep menjatuhkan diri ke
tanah. Sambil bergulir ia langsung menyambar
potongan kayu yang ada di situ dan secepat kilat ia
memukul tulang kering lawan dengan kayu tersebut.
Serangan mendadak ini cukup untuk melumpuhkan
lawan. Ini terbukti karena lawannya tampak
mengerang kesakitan. Den Kasep yang kelihatan
semakin kalap dan berangasan, tendangan dan
pukulan silih berganti mendarat telak di tubuh lawan
sehingga orang itu tak berkutik sama sekali dibuatnya.
Rupanya tak sampai di situ saja, rasa amarahnya
sang Raden ini tampak semakin gila. Golok yang ada di
dekat lawan yang pingsan itu segera diambilnya dan
langsung diayunkan tinggi-tinggi ke atas.
“Sekarang giliranmu! Senjata ini sebentar lagi
akan memakan tuannya sendiri!” teriaknya keras-
keras, dan setelah giginya bergerumutuk beberapa kali
ia pun berteriak lagi, “Ciaaaat...!” Tapi ayunan
goloknya tak sempat bergerak sama sekali karena
genggaman tiba-tiba melekat di pergelangan
tangannya.
“Tahan, Den! Sabar..., sabar...!” teriak lelaki tua
itu sambil memegang tangan Den Kasep kuat-kuat.
“Hei?! Pak Kohar?!” ucap Den Kasep sambil
menoleh ke arah lelaki tua yang memegang tangannya.
“Iya, Den...! Ayo lepaskanlah golok ini. Jangan
kau lakukan. Kasihanilah mereka...!”
“Huuuuh!” geram Den Kasep sambil membuang
golok itu ke tanah. “Mau apa kau datang ke sini?”
tanya Den Kasep kepada pesuruhnya yang baru saja
berhasil mengurungkan niatnya.
“Den Kasep..., saya disuruh memanggil Aden.”
“Siapa yang suruh?”
“Juragan Besar, Den....”
“Memangnya ada apa?”
“Juragan Besar sakit keras. Jadi Aden disuruh
pulang sekarang juga.”
“Hmmmmh!”
“Ayolah, Den...!”
Pak Kohar yang merasa khawatir terjadi apa-apa
lagi langsung menarik tangan majikannya agar segera
meninggalkan tempat tersebut.
“Ingat! Jika kalian merasa kurang puas terhadap
perlakuanku. Lain kali aku bersedia meladeni lagi. Aku
akan bikin kalian benar-benar kojor semua,
mengerti?!” bentak Den Kasep sambil melangkah
meninggalkan tempat itu.
Setelah beberapa saat Den Kasep dan Pak Kohar
pergi, keempat orang itu pun mulai bangkit kembali.
Mereka sangat berterima kasih kepada Pak Kohar,
sebab dengan kedatangannya ke tempat tersebut,
mereka telah lepas dari bahaya maut. Satu di antara
mereka tampak keadaannya parah sekali. Teman
temannya tampak sibuk memberikan pertolongan agar
orang itu dapat berdiri.
“Cepat ambil air sedikit. Kak Miing...! Nih, pakai
saja kain ini. Jangan lupa peras dulu.” perintah salah
seorang di antara mereka.
“Baik,” ucap laki-laki yang berperawakan kurus
itu sambil berlari membawa kain untuk dibasahi.
“Bagaimana keadaannya?” tanya yang seorang
lagi.
“Tenanglah, sudah mulai membaik. Tinggal
membersihkan mukanya saja. Ia sudah mulai sadar...!”
jawab kawannya sambil mengelus-elus dada orang
yang baru saja siuman dari pingsannya. Sambil
terbatuk-batuk orang itu berusaha bangun dan berdiri.
Kedua temannya segera membantu mengangkat.
“Bagaimana, Kang?”
“Uuuh..., nafasku masih agak sesak.”
“Nah. Itu Kang Miing sudah kembali. Mari
kubersihkan badanmu dulu, ya... Kang?”
“Ya...! Tapi kalian setelah ini musti bantu aku.
Kakiku masih sulit digerakkan. Jadi tak mungkin aku
dapat pulang sendiri dalam keadaan seperti ini.”
“Tenanglah, Kang. Pasti kami bantu.”
“Hei..., kau dengarkah omongan mereka tadi?”
“Omongan apa. Kang Miing?”
“Itu tentang Juragan Surya... yang katanya,
sekarang semakin gawat sakitnya...!”
“Fuiiih! Mampus aja sekalian!”
“Husss! Jangan begitu dong.”
“Memangnya kenapa?”
“Juragan Surya kan orangnya baik.”
“Benar! Yang berhati iblis itu adalah adiknya, Si
Juragan Wangsa. Dari pengaruhnyalah sehingga
membuat anak-anaknya menjadi pongah.”
“Betul juga. Seingatku Juragan Surya sangat
murah hati. Ia memberi pinjaman kepada orang atas
dasar kasihan dan tak pernah memeras, apalagi
dengan renten-renten yang begitu berat seperti yang
dilakukan ketiga Raden malang kadak itu.”
“Pokoknya aku belum puas kalau aku belum bisa
membalas kepadanya!”
“Sudahlah..., ayo cepat antarkan aku pulang.
Kaki ini semakin sakit rasanya.”
“Baik, Kang!”
Tempat yang baru saja menjadi gelanggang
pertarungan ayam yang kemudian dilanjutkan dengan
pertarungan pemiliknya, sekarang sudah mulai sepi
kembali. Yang nampak di situ hanyalah sampah-
sampah yang beterbangan ke sana ke mari di samping
ada bercak-bercak darah yang sudah mengering dari
sisa pertarungan dalam versi kedua tadi.
Sementara itu di lain tempat ada keasyikan lagi.
Ini adalah keasyikan yang memang lain dari biasanya.
Putra Juragan Surya yang terkenal ganteng dan sangat
perlente ini, tampak sedang asyik sekali mengumbar
rayuan gombal kepada salah seorang kembang desa.
“Bagaimana Geulis...?”
“Ah... Akang--!”
“Kenapa...? Tidak percaya sama Akang? Apakah
Akang termasuk orang yang kau sebut tadi...?”
“Tidak... Kang, tapi....”
“Tapi kenapa Denok...! Ayo katakanlah, Geulis.-.”
“Betulkah Den Lungguh cinta padaku?”
“Apakah kau masih kurang percaya?”
“Ah... bohong!”
“Percayalah, Geulis...”
“Mana mungkin Raden mau padaku. Masa Raden
mau dengan orang miskin seperti aku ini.”
“Tak usah bimbang, Manis... kau harus buang
jauh-jauh prasangka burukmu. Sekarang katakan saja
apa yang kau minta, Giwang, kalung, berlian, atau
permata lainnya...! Tak usah malu-malu katakan saja.
Pasti akan kuberikan untukmu, Geulis...!”
Sambil membelai lembut, sang Raden terus tak
henti-hentinya merayu si gadis yang cantik itu.
Ternyata rayuan mautnya cukup melenakan hati
seorang gadis yang masih polos ini. Ia tampak menjadi
begitu jinak dan sangat manja sekali kelihatannya.
Den Lungguh memang sangat pandai dalam soal rayu-
merayu. Jadi tak heranlah kalau banyak orang bilang
ia punya ilmu pelet atau guna-guna untuk memikat
wanita yang diingininya.
Dulu dan sekarang rupanya sama saja. Ternyata
tokoh Play Boy di jaman itu pun ada. Den Lungguh
adalah termasuk Play Boy yang memiliki kredibilitas
tinggi di seluruh Babakan Sumedang kala itu.
“Udara di sini kurang enak..., ayolah kita ke
dalam saja. bukankah kedua orang tuamu sedang ke
huma?” bisik Den Lungguh kembali yang kelihatan
sudah tak sabar lagi.
Si Kembang desa yang sudah tersirap rayuan
maut itu menerima tawaran yang diberikan
kepadanya. Dengan sikap manja ia langsung menarik
tangan sang Raden. Bukan main gembiranya hati Den
Lungguh melihat apa yang diinginkannya langsung
dituruti tanpa harus memaksa. Dengan sikap lembut
Den Lungguh pun membawa sang gadis masuk ke
dalam kamar.
Memang pada saat itu suasana di luar sepi
sekali, rupanya ini sudah diperhitungkan oleh sang
Raden dalam melaksanakan niatnya. Cuma yang tak
bisa masuk dalam perhitungannya adalah lelaki tua
yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah tersebut.
“Punteeeeen....” ucap laki-laki tua itu memberi
salam.
Den Lungguh sebenarnya mengenali suara yang
tak asing lagi baginya itu, namun berhubung ia tengah
asyik dengan sang kembang desa berdua di kamar,
ucapan salam dari Pak Kohar seakan tak terdengar
sama sekali.
Setelah berkali-kali memberi salam tak juga
mendapat jawaban. Pak Kohar pun menjadi tak sabar.
Ia langsung masuk ke dalam. “Punteeen,” ucapnya
untuk kesekian kali.
“Punten. Abdi Kohar... aya Den Lungguh di dieu
geuningan?” tanya Pak Kohar semakin dekat dengan
kamar di mana sang majikan berada.
Belum sempat Pak Kohar berucap lagi, tiba-tiba
terdengar suara dari dalam kamar.
“Mau apa kau ke mari, hah?”
“Abdi Kohar, Den....”
“Aku tahu! Mau apa ke sini! Hah?!”
“Ayahanda memanggilmu. Den....”
“Bilang saja tidak ada. Goblok!”
“Penting, Den. Sebab Juragan Besar sedang
sakit.”
“Aku tahu ayah sedang sakit. Tapi kenapa pakai
disusul segala! Memangnya tak ada yang lain, atau
kau sengaja ingin mengganggu ketenanganku?!”
“Bukan, Den. Ini adalah pesan Juragan Besar
sendiri. Agan ingin ketemu dengan putra-putranya
sekarang juga. Juragan sakitnya gawat. Den...!”
“Huuuuh. Sakit-sakitan melulu! Sebentar-
sebentar sakit. Kalau ingin mati, ya, mati saja. Jangan
bikin repot orang yang sehat,” gumam Den Lungguh
yang baru saja selesai mengenakan pakaiannya.
“Mau ke mana, Den...?” tanya sang kembang
desa yang masih terbaring di tempat tidur.
“Aku mau menemui Ayahku dulu....” sahut Den
Lungguh sambil merapikan rambutnya di depan
cermin.
“Jangan tinggalkan aku, Den..., aku takut...!”
“Jangan kuatir, Geulis...! Aku hanya sebentar.”
“Den....”
Percuma saja si gadis mengejar hingga ke depan
rumah dan memanggilnya. Den Lungguh telah berjalan
jauh dari tempat itu tanpa memperdulikan akibat dari
perbuatannya. Itu sebuah pertanda bahwa
penantiannya sia-sia. Bunga yang sedang mekar dan
harum semerbak kini tampak mulai layu sebentar lagi
mungkin akan jatuh dari tangkainya. Entah sudah
berapa banyak korban semacam ini yang akan terjadi
dari raden ‘Bajul-Buntung itu’.
Ratap dan tangis tak dapat mengubah keadaan
seperti semula. Kedua orang tua hanyalah mengelus
dada tak dapat berbuat apa-apa, sebab orang yang
dihadapi bukan tandingannya.
***
TIGA
Suasana lenggang di malam itu sangat terasa
sekali, terutama di rumah besar milik Raden Ageng
Suryakanta Prawirasapta Dipraja, orang yang terkaya
dan berpengaruh di daerah Babakan Sumedang. Di
salah satu ruangan rumah itu tampak beberapa orang
tengah berdiri memperhatikan sesosok tubuh yang
membujur di atas pembaringan. Seorang laki-laki tua
yang sedang sakit itu tak lain adalah Raden Ageng
Suryakanta sendiri.
Beberapa saat kemudian datang seorang lali-laki
bertubuh gemuk dengan pakaian yang sangat perlente
memasuki ruangan itu. Ia adalah Raden Wangsa
Pratipea Saputra, adik sepupu dari Raden Suryakanta
yang kini mendapat tugas untuk menangani segala
kegiatan dan aktifitas selama Raden Suryakanta tidak
aktif dalam tugasnya sehari-hari.
“Wangsa...! Sudahkah mereka berkumpul
semua?” tanya Raden Surya Setelah mengetahui adik
sepupunya berada di sampingnya.
“Sudah... Kang,” sahut Raden Wangsa singkat.
“Suruhlah mereka mendekat ke sini,” pinta
Raden Surya.
Raden Wangsa pun meminta kepada semua
kemenakannya untuk mendekat. Walaupun hanya
dengan isyarat, keempat putra Raden Surya itu cukup
mengerti apa yang dimaksud oleh pamannya, mereka
langsung mendekati ayahnya yang sedang sakit itu.
“Kang... mereka kini telah berada di dekat Akang
semua. Apakah yang hendak Kakang katakan pada
mereka?” tanya Den Wangsa sambil menggosok
keringat yang ada di dahi Den Surya, “Bicaralah,
Kang,” pinta Den Wangsa dengan lembut.
“Dengarlah anak-anakku...!” ucap Den Surya
setelah melihat keempat anaknya satu persatu,
“Tompel..., Kasep..., Lungguh..., dan Palasara....
Keadaanku sudah begini. Mungkin tak lama lagi Allah
akan memanggilku kembali. Hari ini aku telah
memanggil Juru Tulis Tirta untuk membuat surat
wasiat di atas segel dan aku akan membagikan
hartaku sebagai warisan kepada kalian semua dengan
sama rata,” ucap Den Surya kembali dengan nafas
yang agak tersendat-sendat.
Semua putra Den Surya tidak ada yang
menyahut. Mereka semua diam sambil menundukkan
kepala untuk mendengarkan ucapan ayahnya dalam
hal pembagian warisan yang akan jatuh ke tangan
mereka masing-masing.
“Tirta.... coba kau dekat ke mari.”
“Iya... Den...!”
“Sudah kau siapkan segala sesuatunya untuk
mencatat apa yang akan kuucapkan?”
“Parantos, Juragan..., su... sumuhun!”
Satu demi satu ucapan Den Surya dicatat
dengan seksama. Setelah selesai Juru Tulis itu pun
menyalinnya dengan rapi di atas segel. Den Surya
menandatangani surat yang dibuat oleh Tirta sebagai
wakil pamong praja di zaman itu setelah Tirta
membacakannya kembali semua isinya dengan jelas.
Selesai pembagian waris, Den Wangsa bersama
yang lainnya segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Kini yang ada hanyalah Den Surya bersama Palasara
alias Si Tolol yang tampak masih tetap di sisi ayahnya
sambil menangis dan meratap.
“Apa yang kau sedihkan, Nak...?” tanya ayahnya
sambil mengelus-elus kepala putranya yang separuh
botak itu,” Sudahlah, semua ini pasti akan terjadi.
Semua kekuasaan ada di tangan Tuhan...” sapanya
lagi.
“Hu... uuu... u... ugh..., nanti Tolol sama siapa.
Ayah...? Ibu kan sudah lama tidak ada,” sela Si Tolol
sambil diselingi dengan tangis.
“Bukankah masih ada kakak-kakakmu?”
“Tidak... tidak!”
“Mereka tentu bisa menggantikan kedudukanku,
Nak....”
“Semua tidak ada yang sayang sama Tolol! Kang
Tompel tidak sayang, Kang Lungguh juga tidak sayang
sama Tolol. Kang Kasep juga tidak sayang sama Tolol.”
“Siapa yang bilang... mereka semua
menyayangimu, kok.”
“Tidak...! Kalau Tolol ikut-ikutan main selalu
tidak boleh sama Kakang. Katanya Tolol ileran,
ingusan, dan tolol! Kang Tompel, Kang Lungguh, Kang
Kasep tidak mau punya adik yang bego... malu
katanya!”
“Benarkah begitu?”
“Ya! Kalau-kalau Tolol memaksa, kuping Tolol
dijewer dan kepala Tolol dijitakin... Uuuuu... uuuu...
uuu! Ayah jangan mati, ya, Yah...? Nggak. Pokoknya
Ayah nggak boleh mati!”
“Cep..., cep! Sudahlah jangan menangis terus.
Diamlah, Nak...!”
“Tolol heran... kenapa mereka bodoh sekali ya,
Yah. Padahal, biar ileran dan ingusan, Tolol kan pakai
oto buat tatakan iler. Jadi nggak kotor kan?”
“Iya..., kau betul. Nak...!” ucap Juragan Surya,
mengiyakan ucapan anak bungsunya. “Hmmmh...
sudah kuduga sejak semula. Suatu saat kakak-
kakakmu akan menyia-nyiakan kau, Nak. Ini
dikarenakan kau dilahirkan dengan kelainan seperti
ini. Tapi percayalah, Ayah dan Ibumu sangat sayang
padamu. Bahkan ibumu sengaja menyimpan harta
miliknya sendiri yang disediakan untuk bekal hidupmu
kelak. Apa yang dilakukan ibumu bukan karena ia
pilih kasih. Sama sekali tidak. Ini karena Ibumu
melihat adanya kelainan pada dirimu. Ia sangat
khawatir kalau kau tidak mampu mencari nafkah
sendiri di kemudian hari, karena ketololanmu itu.”
Tanpa setahu ayahnya yang sedang asyik
berbicara. Si Tolol sudah lebih dulu tidur. Dengan
sendirinya apa yang diucapkan Ayahnya tidak
terdengar sama sekali, “Krrrr.. krrrr... klekerrrr..
grukk.. glk.. krrr....” Demikian suara perlahan yang
terdengar dari mulut Si Tolol.
Juragan Surya tetap bercerita kepada putra
bungsunya, dengan perasaan bahwa anaknya itu
memperhatikannya dengan tekun. Padahal yang
memperhatikannya dengan tekun adalah orang yang
berada di balik dinding. Sejak semula ia
memperhatikan ucapan yang keluar dari mulut Sang
Juragan dengan cara yang luar biasa. Ia melekat di
dinding bagaikan seekor cecak tepat di dekat jendela
kamar Den Surya, walaupun dengan kepala di bawah
dan kaki di atas, orang itu dengan tenang tanpa
mengubah posisi sedikit pun terus menyimak segala
ucapan Den Surya.
Rupanya bukan hanya seorang yang menguping
pembicaraan itu. Di dalam rumah itu pun ada pula
orang yang menangkap rahasia keluarga. Dia tak lain
adalah Den Wangsa, adik sepupunya Den Surya.
“Dengarkan baik-baik. Nak...! Harta yang
ditinggalkan oleh Ibumu itu berupa perhiasan yang
harganya sangat tinggi dan dapat membiayaimu
seumur hidup. Walaupun kau tak bisa mencari nafkah
sendiri atau nganggur, kau tetap bisa makan. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diharapkan, maka
harta itu sengaja kami simpan di tepi hutan, dipendam
dekat jeram di lereng Gunung Burangrang yang
terdekat dari sini. Sebagai petunjuk, Ibumu telah
membuatkan sulaman benang pada otomu. Apabila
diperhatikan dengan baik, sulaman itu jelas tergambar
sebuah peta yang dapat menentukan lokasi harta itu
berada. Tapi sayang... sampai detik ini, ayah belum
mendapatkan orang yang dapat dipercayai. Inilah yang
menjadi pemikiran di dalam benak ayah. Ada orang
yang jujur seperti Pak Kohar, tak mungkin dapat
ditugaskan untuk menggali harta itu, apalagi dengan
kondisinya yang semakin tua. Tentu sangat berbahaya
sekali dengan dirinya.”
Kalimat-kalimat yang terakhir ini benar-benar
diperhatikan dengan cermat oleh kedua orang itu,
terutama Den Wangsa, telinganya sampai dilekatkan
benar-benar di dinding agar tak ada kata-kata yang
terlewatkan di dalam pendengarannya.
“Satu harapan ayah, sebelum menutup mata,
ayah telah dapat menemukan orang yang dapat
dipercayai dan bisa melindungimu dari manusia-
manusia yang tamak dan haus harta. Tidak sedikit
manusia semacam itu di sekitar sini. Mereka bersedia
melakukan apa saja demi harta.”
Den Surya terus mengelus-elus putranya
sehingga Si Tolol terbuai dalam mimpi.
Saat itu Si Tolol sedang mimpi bertemu dengan
seorang pengemis ketika ia sedang duduk sendirian di
bawah pohon besar dan rindang.
“Anak siapa kau. Nak?” tanya pengemis itu.
“Anak Juragan besar Suryakanta!” jawab Si Tolol
singkat.
“Otomu bagus sekali...!” ucap pengemis lagi.
“Tentu dong!” sela Si Tolol.
“Siapa yang menyulam otomu?”
“Ibuku...!”
“Bagus sekali. Aku senang melihatnya.”
“Tentu dong, siapa dulu yang menyulam...
Ibuku...!”
“Bagaimana kalau otomu itu ada yang meminta?”
“Terang aku tak kasih!”
“Kalau ada yang mau tukar?”
“Aku tak mau!”
“Kalau ditukar dengan oto yang biru dan bagus
sulamannya?”
“Tetap aku tidak kasih, karena oto itu bukan
sulaman Ibuku sendiri. Aku sayang sama Ibu.”
“Bagus! Bagus! Ternyata kau seorang anak yang
mempunyai pendirian teguh. Tapi kau harus hati-hati.
Suatu saat otomu itu ada peminatnya. Ia mau
menukarkannya dengan yang baru. Ingat pesanku.
Sekali lagi hati-hatilah, Nak...!” pesan pengemis itu
sambil melangkah terbungkuk-bungkuk meninggalkan
Si Tolol sendirian.
Si Tolol bangkit dari duduknya dan mengamati
langkah pengemis itu sampai jauh dari pandangan
mata.
Sementara Si Tolol sedang terbuai dengan
mimpinya. Juragan Surya masih terus berbicara
padanya.
“Sulaman benang itu sengaja dibuat Ibu dengan
benang putih agar tak kentara. Kalau dibuat dengan
benang warna lain tentu sangat mencolok sekali
gambarnya,” jelas Den Surya tanpa menoleh sedikit
pun ke arah Si Tolol, namun tangannya tak bosan-
bosan mengelus bagian kepala Si Tolol yang licin itu.
Si Manusia cecak tampak merasa puas dengan
informasi yang diperolehnya. Dengan senyum yang
tersungging di bibir ia memperhatikan keadaan di
sekeliling.
***
EMPAT
Untuk kesekian kalinya Si Manusia cecak
memasang telinganya dengan tajam dan kali ini
diarahkan ke semak-semak. Rupanya indera orang ini
memang cukup tajam sekali, bagaikan kilat tubuhnya
melesat menghindari serangan mendadak. Apabila ia
kurang cepat bergerak tentu tubuhnya akan menjadi
mangsa senjata lawan. Ini terbukti dengan
menancapnya beberapa uang logam tembaga di
dinding tempat ia mengintai tadi.
“Hiyaaaaaaat...!” Kembali tubuhnya melentik ke
udara untuk menghindari serangan berikutnya. Uang
logam yang dilempar lawan kembali menancap ke
sana-sini. Dengan tubuh yang melentik bagaikan ikan
gurameh disertai dengan gema teriakan keras dari
mulutnya Si Manusia cecak langsung mendekati
sumber serangan tersebut.
Tepat di puncak pohon besar yang tumbuh di
samping rumah Juragan Surya terjadi baku hantam
antara Si Manusia cecak dengan lawannya. Apabila
dihitung dengan waktu dalam pertandingan tinju,
baku hantam itu hampir mencapai tiga ronde tanpa
istirahat. Setelah terjadi pertarungan yang cukup
hebat, salah satu dari mereka melesat ke luar dari
arena. Melihat lawannya pergi begitu saja. Si Manusia
cecak pun tak tinggal diam. Ia langsung mengejar
sambil berteriak, “Jangan lari kau pengecut!”
Laki-laki yang dikejarnya itu tak memperdulikan
adanya umpatan atau makian dari belakang. Tanpa
mengurangi kecepatan ia terus berlari menghindari
perkelahian. Setelah melompat dari pohon ke pohon
yang kemudian berlari di atas atap rumah Juragan
Surya, ia pun langsung melesat keluar meninggalkan
tempat itu melalui pagar tembok bagian belakang.
Si Manusia cecak tak membiarkan lawannya
pergi begitu saja. Ia pun segera menyusulnya
walaupun tertinggal agak jauh di belakang. Kejar
mengejar pun terjadi di alam terbuka dan telah jauh
dari tempat semula. Kini tak ada lagi perkampungan
yang dilewati kecuali tebing, bukit, dan jeram.
Walaupun bukit dan tebing itu cukup licin dan
tinggi, namun tidak mengurangi tekad mereka untuk
berhenti berlari. Laki-laki yang dikejar terus berlari
menuju ke arah jeram yang ada di tempat itu. Tepat di
dekat jeram Si Manusia cecak menghentikan
langkahnya, karena orang yang dikejar berhenti berlari
dan telah membalikkan badan sambil memasang
kuda-kuda pertanda siap menghadapi serangan.
“He... he... he...!” tawa laki-laki itu sambil
memainkan beberapa jurus guna memancing
kemarahan lawan, “Aku lari bukan karena takut sama
cacing kurus seperti kau. Aku sengaja membawa kau
ke sini, karena di sinilah tempat yang cocok untuk
mengadu kekuatan. Kuakui, kau memang lebih unggul
bila bertanding di atas,” desis laki-laki yang dalam
keremangan itu terlihat wajahnya sangat angker sekali.
“He... he, kau kira aku akan lamban kalau
bergerak di atas air, hah?” balas Si Manusia cecak
yang wajahnya kini telah tampak pula. Laki-laki ini
tampak hanya mata sebelah kanannya saja yang
melihat, sedangkan mata sebelah kiri tampak rapat
sekali. “Fuiiiih! Majulah kalau kau memang jantan!”
teriaknya kembali.
“Hei... Picek! Apakah kau tak khawatir kalau
matamu yang tinggal sebelah itu pecah di ujung
pisauku, hah?” ejek laki-laki itu sambil tak putus
putus mendemontrasikan gerakan-gerakan jurus
dengan lincah.
Rupanya Si Manusia cecak hilang juga
kesabarannya. Tanpa pikir panjang lagi ia segera
melakukan penyerangan ke arah lawan, “Ciaaaaaat...!”
teriaknya dengan keras sambil melompat.
Tendangan keras yang diarahkan ke lawan itu
tak berhasil mengenai sasaran. Rupanya sang lawan
sudah lebih dulu siaga, sehingga keadaan masih tetap
kosong-kosong. Serangan kini berbalik ke arahnya.
Sang lawan kini tampak semakin gencar membalas
serangan dengan tendangan beruntun dan disertai
satu dua pukulan tangan. Si Manusia cecak cukup
kewalahan menghadapi serangan yang begitu gencar
ini, karena walaupun ia dapat menghindar tetapi tetap
saja ada pukulan yang masuk ke badan. Pada menit-
menit berikutnya sebuah tendangan keras masuk ke
rusuk kiri Si Manusia cecak ini. Tendangan tersebut
cukup membuatnya menjerit keras sekali. Melihat
keadaan yang sangat menguntungkan. Si Tampang
Angker pun tidak membuang kesempatan. Ia segera
mengejar lawan yang dalam keadaan terhuyung-
huyung menahan sakit sambil menggenggam golok di
tangan, “Sudah kukatakan kau tak akan mampu
menandingiku bertarung di air, heh... he... heh!
Ciaaaaaat...!” teriaknya dengan keras. Belum sempat
golok itu diayunkan tiba-tiba tanpa diduga Si Manusia
cecak berbalik sambil melemparkan pisau tepat
bersarang di leher Si Tampang Angker.
“Aaaaakh...!” suara si Tampang Angker lemah
dan langsung terkulai jatuh ke tanah.
Dengan tenang Si Manusia cecak mendekati
lawan yang telah tak berdaya. Setelah mengambil
pisau yang menancap di leher lawan ia pun langsung
mendorong tubuh lawan itu ke dalam sungai.
“Brussss!” terdengar bagaikan sebuah karung
pasir dilemparkan ke air, ketika tubuh laki-laki itu
jatuh dilemparkan dari ketinggian satu meter lebih.
“Fuiiiih! Baru memiliki ilmu seujung kuku saja,
sudah berani-beranian melawan orang yang memiliki
ilmu segudang. Kau rasakan akibatnya sekarang,”
desisnya setelah merapikan kembali pakaian dan ikat
kepalanya. “Biarpun mataku cuma satu, belum tentu
aku kalah jeli dengan kau yang normal, bangsat!”
dampratnya, seakan-akan ia belum puas juga mencaci
maki lawan, padahal sang lawan sudah tak bernyawa
lagi.
Dengan senyum bangga ia pun melangkah
meninggalkan tempat tersebut, namun belum berapa
jauh ia melangkah tiba-tiba serangan datang secara
bertubi-tubi.
“Hiaaat...! Ciaaaat...! Hup!” teriak Si Manusia
cecak sambil menghindari serangan yang datang ke
arahnya. “Fuiiiiih...! Gila. Rupanya masih ada orang
yang lain di sini...?!” gumamnya lagi sambil melompat
ke sana ke mari menghindari mata sumpitan yang
semakin banyak sekali jumlahnya.
Mata sumpit beracun itu terus diarahkan
kemana ia pergi. Setelah sungsang-sumbel dan susah
payah menangkis serangan yang semakin bertubi-tubi,
akhirnya tubuhnya pun terjengkang jatuh ke dalam
sungai.
“Aaaaah...!” teriak si Manusia cecak dengan
keras.
Berbarengan dengan jatuhnya tubuh Si Manusia
cecak ke air, tiba-tiba muncul sesosok tubuh lucu dari
atas pohon.
“He... heh... heh! Tak ada yang bisa lolos dari
Sumpit Iblisku ini!” teriak laki-laki bulat pendek yang
baru merosot dari pohon itu, dan dengan langkah yang
kocak ia mendekati musuhnya yang terapung di air,
“He... heh... heh... heh!” tawa lucunya tak henti-
hentinya terdengar.
Bentuk manusia ini memang aneh sekali.
Kepalanya besar, matanya belo..., tubuhnya pun bulat
pendek, dan perutnya buncit sekali.
“Sudah puluhan jagoan di bumi Nusantara ini
kupetik dengan Sumpit Iblisku..., he... he... heh.
Sekarang giliran Si Kecoa Tanah ini...! Pokoknya tak
ada yang bisa lolos dari sumpitku, setiap yang kena,
satu menit langsung kejang dan mati. He... he... heh!
Eh. Ngomong-ngomong tadi gua dengar Jago-jago tolol
ini merebutkan harta warisan. Coba kugeledah. Siapa
tahu mereka menyimpan petunjuknya!”
Manusia aneh ini segera turun ke tepi sungai.
Tubuh laki-laki yang mengambang itu didekatinya
untuk diperiksa. Tubuh laki-laki bertampang angker
itu telah diperiksa dan ternyata tak ada apa-apanya.
Kemudian ia beralih ke tubuh yang satunya lagi.
“Pasti petunjuk itu ada di dalam pakaian Si Picek
ini. Hmmmmh... Kalau sudah kutemukan. Pasti dalam
sekejap aku bisa menjadi kaya raya...! He... he...
heh...!” ucap Si Manusia Aneh sambil membungkuk
dengan susah payah membalikkan tubuh korban yang
telah disumpitnya.
Sungguh di luar dugaan. Orang yang disangka
telah mati itu ternyata masih hidup dan bagaikan kilat
ia bergerak dengan senjata tajam yang siap di tangan.
Serangan yang begitu mendadak tak sempat lagi
dielakkan. Malah pisau yang digenggamnya itu telah
berhasil menyobek bagian leher Si Manusia Aneh dan
membuatnya mengerang kesakitan.
Si Manusia cecak terus memanfaatkan
kesempatan tersebut. Berkali-kali senjatanya
ditujukan ke arah lawan dan berkali-kali pula senjata
itu mencapai sasaran. Si Manusia Aneh kali ini benar-
benar tak berdaya, tak ada lagi gerak lucu dan tawa
lebar yang keluar dari mulutnya kecuali mengerang
keras akibat luka yang dideritanya.
Satu tendangan maut baru saja dilancarkan
sebagai serangan terakhir dari Manusia cecak, yang
langsung membuat manusia aneh itu ambruk tak
berkutik lagi.
“He... he... heh...! Seandainya kau telah
mengenalku, tak mungkin kau berani menantangku...!
Aku Si Manusia cecak atau lebih kesohor disebut
orang Si Tangan Kilat mempunyai seribu satu macam
akal untuk melumpuhkan lawan. Ayo..., sekarang
pergilah kau! Temani tuh Si Kecoa Busuk yang sedang
asyik berendam di kali.”
Setelah mendorong tubuh manusia aneh dengan
kakinya ke dalam air. Si Manusia cecak alias Tangan
Kilat itu pun bersiap-siap untuk meninggalkan tempat
tersebut. Tapi baru saja ia hendak melangkahkan kaki,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara yang datang dari
arah air terjun.
“Hei tunggu dulu, sobat...! Mau ke mana kau
terburu-buru? Masih ada aku, kok...?” ucap seorang
laki-laki yang tampak dengan tenang meluncur dari
atas air terjun yang begitu curam. Laki-laki itu benar-
benar telah memiliki ilmu keseimbangan tubuh yang
sempurna. Bayangkan, dari atas air terjun yang begitu
curam ia dapat meluncur dengan kaki bersila. Si
Tangan Kilat terkesima beberapa saat ketika melihat
kejadian yang menakjubkan dan baru pertama kali ia
alami.
“Kau boleh membusungkan dada terhadap
jagoan tengik yang lain, tapi jangan coba-coba
membusungkan dada di hadapanku, he... he... heh...!”
ucap orang itu kembali, setelah ia berada di hadapan
Si Tangan Kilat.
“Siapa kau?” tanya Si Tangan Kilat singkat.
“Apa perlu kiranya aku memperkenalkan diri?!”
balas orang itu separuh mengejek. Wajah laki-laki yang
baru turun dari atas air terjun tersebut tampak mulai
jelas setelah mendekat. Tubuhnya kurus berkerut
bagai orang lanjut usia, demikian juga wajahnya.
Kepalanya botak dan banyak benjolan bagai bisul
tumbuh di kepala. Dengan senjata tongkat panjang
yang di ujungnya dilengkapi lempengan besi tajam,
mirip sebuah mata cangkul kecil, ia berputar-putar
memainkan suatu gerakan silat yang lincah dengan
menggunakan sebuah pecok atau cangkul kecil.
Si Tangan Kilat mengamati semua gerakan yang
dimainkan orang itu sambil bersiaga penuh menjaga
kemungkinan yang bakal terjadi terhadap dirinya.
“Apa kau sudah memikirkan masak-masak
untuk menantangku. Kakek Peot?” sindir Si Tangan
Kilat dengan senyum sinis.
“He...! Jangan coba-coba membadut di
hadapanku. Gembel Pece...!” bentak laki-laki itu
sambil melotot.
“Sudahlah, Kek...! Lebih baik kau pulang saja.
Tak pantas rasanya aku bertanding dengan tengkorak
hidup macam kau! He... he... heh!” ejek Si Tangan Kilat
kembali.
Bukan main marahnya laki-laki tersebut
mendengar ejekan dari Si Tangan Kilat, “Rupanya kau
belum tahu orang yang kini berada di hadapanmu,
hah?! Inilah Si Pecok Sejuta yang belum ada
tandingannya di dunia persilatan. Hiyaaaaaat...!”
Laki-laki yang mengaku dirinya Pecok Sejuta
langsung menyerang ke arah Si Tangan Kilat dengan
senjata andalannya.
“Aku percaya..., kau memang belum ada yang
menandinginya, sebab orang-orang tak ada yang tega
bertanding denganmu. Atau kemungkinan lain
mereka-mereka jijik dengan tubuhmu yang penuh
dengan kurap dan kudis itu. He... he... heh...!” ujar Si
Tangan Kilat setelah berhasil mengelakkan dan
membalas serangan lawan tersebut.
“Fuuiiiiih! Tutup mulutmu, bangsat...!”
“Ho... ho... ho.... hooooo! Lucu sekali melihat
tengkorak hidup marah. Ayolah Kek, seranglah aku
kalau masih berani. Aku siap menerimanya, ho... ho...
hooooo,” ejek Si Tangan Kilat yang tak putus-
putusnya.
Si Tangan Kilat kini telah berhasil memancing
kemarahan lawan. Ini memang merupakan senjata
andalan di samping kemampuan yang ada di dalam
dirinya. Sehingga serangan-serangan lawan secara
emosi dan membabi buta itu dengan mudah
dihalaunya.
Dalam pertarungan ini Si Tangan Kilat benar-
benar memanfaatkan sisa tenaga yang ada. Ia tampak
hanya bertahan agar pihak lawan menguras seluruh
tenaganya sebab ia menyadari tenaga yang dimilikinya
telah terkuras habis setelah bertarung dengan dua
pesilat tadi.
Orang yang menamakan dirinya Si Pecok Sejuta
tampak semakin ganas laksana seekor singa lapar.
Berkali-kali ia menerkam dengan senjata
kebanggaannya tapi serangan itu berhasil dielakkan
oleh pihak lawan.
“Sudah kukatakan lebih baik kau kembali saja
ke rumah. Tak perlu susah payah begini. Yang sangat
mengherankan lagi, mengapa orang pikun macam kau
masih juga mau menyerakahi harta warisan... he..
heh!”
“Mampus kau, bangsat! Memang mulutmu musti
disumpal dengan ini! Hiyaaaaa!!”
“Heeeiiiiit...! Ciaaaaat!”
Si Tangan Kilat terus berusaha menghindari
serangan yang datang bertubi-tubi tanpa mengadakan
pembalasan sedikit pun. Ini rupanya suatu taktik
perkelahiannya.
***
LIMA
Sementara pertarungan yang masih berlangsung
dengan serunya, di lain tempat tampak seorang laki-
laki gemuk berjalan sendirian di tengah keheningan
malam. Ia kelihatan begitu tergesa-gesa seakan akan
memburu sesuatu dan langkahnya semakin lama
tampak semakin dipercepat.
Setelah menelusuri jalan yang sedikit becek dan
berlubang, akhirnya ia pun tiba di muka rumah yang
cukup besar. Tanpa mengurangi kecepatan
langkahnya. Laki-laki itu langsung masuk ke dalam
rumah tersebut.
“Tirta...! Tirta...!” teriaknya sambil menggedor
pintu dengan keras,” Tirta...! Cepat buka pintunya...!”
teriaknya kembali.
Beberapa saat kemudian pintu itu pun dibuka
oleh sang pemiliknya.
“Oh..., Den Wangsa, ada apa. Den? Agaknya ada
sesuatu yang penting, sehingga malam-malam begini
datang ke mari,” ucap Pak Tirta sambil mengucek-
ngucek mata.
“Benar! Aku ingin bicara padamu!” ucap Den
Wangsa sambil menoleh ke kiri dan kanan, takut kalau
kedatangannya diketahui oleh pihak lain. “Boleh aku
masuk?” tanya Den Wangsa kepada Pak Tirta.
“Oh... silakan, Den!” jawab Pak Tirta dengan
sopan.” Cuma maaf nih. Den. Rumahnya masih
berantakan...!” sahutnya kembali.
“Tak apa-apa. Aku cuma mau bicara sebentar.”
“Tentang apa. Den?”
“Tentang Segel yang kau buat itu “
“Oo...!”
“Bagaimana? Sudah selesai?!”
“Tentu saja belum, Den...! Baru saja tadi.
Mungkin kurasa besok sore baru bisa dikerjakan
sekaligus pengesahannya di Kotapraja.”
“Bagus. Bagus! Berarti kita masih dapat
mengubahnya.”
“Apa yang diubah. Den?”
“Begini. Tulisannya kau ubah semua.”
“Saya kurang paham. Den...?”
“Tulis di situ, bahwa semua harta warisan
Kakakku diberikan padaku!”
“Wah... sulit itu, Den...!”
“Ala... berlagak bodoh kau ini. Turuti saja
permintaanku. Kau pun nanti akan mendapat bagian
yang lumayan. Dengan bagian itu kau tak perlu susah
payah lagi jadi pegawai pemerintah Kumpeni Belanda
segala. Tinggal uncang-uncang kaki saja di rumah,
he... he... heh!”
“Tapi ini amanat. Den. Amanat seseorang tak
boleh diubah-ubah. Saya takut. Berdosa besar itu.
Den.”
“Ha... ha... hah! Kau rupanya tidak mau hidup
senang. Tirta. Tinggal mengubah sedikit kalimat saja
kau akan menjadi orang kaya mendadak, apakah ini
bukan merupakan kesempatan yang baik. Berapa sih
hasil yang kau dapatkan dalam sebulan. Buat makan
beberapa hari saja sudah morat-marit.”
“Tidak, Den... Saya tidak bisa melakukannya.”
“Kau harus ingat, Tirta. Dosa akan cepat
terlupakan apabila kau telah melihat tumpukan uang
yang kuberikan sebagai upah lelahmu. Jangan kau
sia-siakan kesempatan baik yang kuberikan ini. Belum
tentu lain kali kau temui kesempatan semacam ini.”
“Sungguh... Den, tidak bisa...!”
“Sudahlah, Tirta, turutlah apa kataku. Kujamin
semuanya akan beres...!”
“Den Wangsa... janganlah terus menerus
membujuk saya untuk melakukan pemalsuan ini.
Amanat dan pesan Den Surya benar-benar saya
hormati. Jadi saya tak mungkin dapat melakukan apa
yang Aden perintahkan tadi.”
Mendengar jawaban itu Den Wangsa bangkit dari
kursinya. Ia mendekati Pak Tirta dengan senyum sinis.
“Apa sih yang kau takutkan, hah?!” tanya Den
Wangsa kembali dengan wajah yang mulai memerah.
“Aku takut dosa. Den,” jawab Pak Tirta dengan
wajah yang mulai berkeringat setelah melihat adanya
gelagat yang kurang baik dari tamunya.
“Itu cuma sekedar alasan! Bagaimana kalau
ujung keris ini kusodokkan ke lehermu?” tanya Den
Wangsa kembali sambil melekatkan keris tepat di leher
Pak Tirta.
“J... ja... jangan. Den...!”
“Sekarang tinggal pilih, mana yang kau suka.
Kau jalankan perintahku atau kau cepat-cepat menjadi
penghuni kuburan dan menjadi santapan cacing-
cacing tanah? Ayo jawab!”
“A... ampun... Den... jangan...!”
“Hei, Tirta aku minta jawabanmu sekarang. Atau
kau pingin yang lebih cepat mampus dengan yang ini.
Timah panas ini akan lebih cepat menghancurkan
tempurung kepalamu. Aku tak segan-segan akan
menarik pelatuk ini apabila telah mencapai hitungan
ketiga!”
Wangsa mengganti keris dengan sebuah pistol
untuk mengancam sang Juru Tulis itu.
Keringat Tirta kini tampak semakin deras keluar
membasahi tubuhnya. Apalagi setelah Den Wangsa
menempelkan sebuah benda yang sangat ditakuti
orang, termasuk juga Tirta.
“Aku ini bukan orang sembarang. Kau harus
ingat itu. Tirta. Tidak sembarangan orang yang bisa
memiliki pistol ini kecuali orang-orang yang
mempunyai hubungan langsung dengan pembesar-
pembesar Kumpeni Belanda. Nah. Kembali ke
persoalan kita tadi. Aku tak mempunyai banyak
waktu. Kalau kau tak ingin kutarik pelatuk ini,
cepatlah kau ambil surat-surat yang kau tulis tadi.”
“Ba... ba... baiklah, Den.”
“Cepaaaaat!”
“I., i., iya, iya, Den.”
Pak Tirta bagai kerbau dicucuk hidungnya. Tak
mampu berbuat apa-apa lagi kecuali menuruti
perintah sang tamu yang tamak dan serakah itu.
Tak lama kemudian ia kembali dari kamarnya
sambil membawa surat-surat yang diminta Den
Wangsa. Dengan tangan gemetar ia menyerahkan
surat itu kepada Den Wangsa.
“Ini suratnya, Den...!” ucap Pak Tirta dengan
wajah pucat sekali.
“Bagus! Sekarang kau tulis kembali surat itu
sesuai dengan permintaanku tadi,” perintah Den
Wangsa dengan keras.
“Ba... baik. Den,” sahut Pak Tirta sambil melirik
ke tangan Den Wangsa yang masih menggenggam keris
dan pistol di kedua tangannya.
“Setelah kau tulis kembali, aslinya berikan
kepadaku, untuk kusimpan. Besok sore surat itu
harus sudah disahkan oleh Kotapraja. Kalau tidak...
hmmmh. Timah panas ini akan bersarang di
kepalamu.”
“I... iya..., Den!”
Di saat Pak Tirta sedang menjalankan perintah
Den Wangsa. Suasana di lereng Gunung Burangrang
atau tepatnya di dekat air terjun yang curam itu,
tampak sudah sepi kembali. Rupanya pertarungan
sudah berakhir. Tapi korban-korban dari pertarungan
tersebut masih tampak tersisa, dua laki-laki yang
mengambang di air masih tetap terselip di antara batu-
batu sungai.
Ada lagi sebuah pemandangan yang mengerikan.
sebuah kepala tanpa badan ditancapkan di sebuah
batang pohon kering dekat sungai. Kepala itu tak lain
adalah kepala orang yang menyebut dirinya Si Pecok
Sejuta. Rupanya ia baru saja dikalahkan oleh Si
Tangan Kilat beberapa saat yang lalu. Ini tampak
sekali dari tetesan darah yang masih terus keluar dari
leher korban.
***
ENAM
Hembusan angin makin terasa dinginnya di
malam itu. Apalagi rintik hujan sudah mulai
mengiringi ke mana angin itu bertiup. Cuaca buruk itu
terus berlangsung hingga pagi harinya.
Di saat ayam berkokok saling bersahutan. Di
ruang belakang rumah Den Surya tampak Den Wangsa
yang biasanya bangun tengah hari, di pagi itu sudah
sibuk mempersiapkan sesuatu.
Encum, pembantu rumah Den Surya, agak
terkejut melihat kesibukan Sang Juragan di dapur.
Tapi ia pun tak berani bertanya apa-apa. Ia pun
langsung mengerjakan pekerjaan rutinnya tanpa
memperdulikan Sang Juragan yang tampaknya agak
aneh baginya.
“Dengan racun inilah Surya akan lebih cepat
berangkat ke akhirat. Tahap pertama sudah
kulaksanakan dengan baik. Nanti sore Si Tirta sudah
siap membuat surat wasiat. Sekarang tahap kedua
pun harus berhasil dengan sempurna. Apalagi si Surya
sudah pergi ke liang kubur, baru kuselesaikan
masalah anak-anaknya. Kurasa menyelesaikan tikus-
tikus kecil itu tak perlu repot-repot. Sekali kibas pun
semuanya akan beres,” gumam Den Wangsa sambil
membuat minuman beracun itu.
Setelah siap membuat ramuan itu Den Wangsa
pun melangkah ke sumur menemui Encum yang lagi
sibuk mencuci piring
“Hei.. Cum. Ke sini kamu!” perintah Den Wangsa
kepada pembantu rumah tangga itu, seorang gadis
kecil yang masih seumur anak Pak Kohar.
“Iya, Gan...!” sahut Encum sambil menggosok
tangannya yang basah dengan lap yang tergantung di
dinding.
“Sudah kau siapkan sarapan pagi untuk Juragan
Surya?” tanya Den Wangsa.
“Belum, Gan...! Habis, Juragan Surya masih
tidur sih, Gan...!” jawab Encum dengan polos.
“Bagus...! Nanti setelah Juragan bangun, tolong
antarkan jamu yang baru saja kudapatkan dari tempat
yang jauh ini,” pinta Den Wangsa kepada Encum.
“Baik, Gan...!” balas Encum sambil
memindahkan jamu yang diberikan oleh Den Wangsa
ke atas baki. Di atas baki itu pun telah tersedia segelas
teh manis dan semangkuk bubur, untuk sarapan pagi
Den Surya.
Tak lama setelah Encum mendengar suara batuk
Den Surya, ia segera mengantarkan sarapan pagi
untuk majikannya itu berikut titipan majikan yang
satunya yaitu Den Wangsa.
Di dalam kamar Den Surya tampak anak sang
majikan dengan enaknya tidur bersandar di dinding
tanpa alas sama sekali, padahal bukan main dinginnya
ubin tersebut apabila diinjak tanpa alas kaki.
“Duuuh, Den Tolol. Kalau tidur asal jadi saja!”
gumam Encum sambil melangkah menuju ke tempat
pembaringan majikannya. “Kalau sudah sarapan,
minumlah jamunya Gan. Mudah-mudahan Agan cepat
sembuh dan tidak sakit-sakit lagi,” ucapnya ketika
meletakkan baki yang dipegangnya ke atas meja dekat
tempat tidur Den Surya.
Encum kembali ke dapur setelah memberikan
sarapan pagi. Tapi apa yang terjadi? Baru saja ia akan
membenahi piring yang baru dicucinya, tiba-tiba
terdengar jeritan keras dari Si Tolol sehingga membuat
piring yang dipegangnya terlepas dan pecah
berserakan di lantai.
Tanpa pikir panjang lagi, ia segera berlari
menuju ke kamar majikannya. “Apa yang terjadi,
Den...?” teriak Encum setelah tiba di muka pintu.
“Waaaaaaa.... Ayaaaaaah...!! Jangan tinggalkan
Tolol, Ayaaah! Tolol tak mau ditinggal Ayah...!
Waaaaaa... aaa...! Tolol sama siapa kalau Ayah tidak
ada..! Huu... uuu...!” Tangis Tolol dengan keras sambil
memeluk ayahnya yang telah tak bernyawa lagi.
Kematian Den Surya sungguh tragis sekali,
tubuhnya tampak membiru, matanya terbelalak ke
atas, dan mulutnya berbusa. Rupanya racun yang
dibuat adik sepupunya sangat cepat sekali reaksinya.
Gelas bekas ramuan yang dibuat Den Wangsa pun
tampak masih berada di dekat tangan Den Surya hal
ini yang membuat Encum berteriak tanpa kendali.
“Jamu itukah yang membuat Agan mati?! Ooooh...!
Tolooooong...!” teriak Encum sambil berlari keluar dan
menjatuhkan dirinya di emper rumah. “Toloooong...,
Agan tolooooong...!” teriaknya tanpa henti.
“Heh! Bocah Goblok! Kenapa kau berteriak-teriak
seperti itu. Kesurupan kau, ya?! Tidak tahukah kalau
Juragan Besarmu sedang sakit keras?! Diam! Kalau
tidak ku-rotan kau nanti!” hardik Den Wangsa yang
tiba-tiba muncul dari balik pintu.
“Gan, tolong Agan Besar di dalam, Gan... tolong.
Gan...! Oh... Agan besar baru saja minum...” jelas
Encum terputus-putus.
“Diam!” sela Den Wangsa dengan marah. “Ayo
kau kembali ke dapur sana!” bentaknya kembali
sambil mengancam.
Memang maut sudah tak dapat dihindarkan lagi.
Den Surya kini telah pergi untuk selama-lamanya. Di
antara sekian banyak pelayat yang datang tampak
pula Pak Tirta. Sorot mata kebencian kepada Den
Wangsa kelihatan tampak sekali di wajahnya. Apalagi
ketika melihat kesedihan Den Wangsa dalam
menyalami tamu-tamu yang datang. Sungguh, air
mata buaya!
Saat itu Pak Kohar dan anak gadisnya tampak
sedih sekali. Ia benar-benar merasa kehilangan
seorang majikan yang bijaksana.
Sepeninggalan ayahnya. Tolol tampak semakin
tolol saja. Ia bagai ayam yang kehilangan induknya.
Selalu mengingat terus Ayah dan Ibunya yang telah
tiada itu. Sedangkan ketiga kakaknya, sibuk dengan
kesenangannya masing-masing. Seperti Si Kasep,
misalnya, ayam aduan yang dimilikinya tampak
semakin banyak. Kerjanya setiap hari mengurus dan
mengadu ayam, tak memikirkan keadaan adiknya yang
kecil ini. Jangankan mengurus, menyapanya pun
tidak. Sungguh kasihan sekali nasib anak itu.
Pada suatu hari ketika Kasep hendak berangkat
untuk menyabung ayam. Si Tolol datang menemuinya.
“Kang Acep mau ke mana? Tolol ikut dong...!”
ucap Tolol dengan gaya khasnya.
“Tidak! Anak kecil tak boleh ikut!” jawab
kakaknya dengan ketus.
“Bodo...! Pokoknya Tolol mau ikut!” sela Si Tolol
dengan muka yang kelihatan mau menangis.
“Ayo cepat masuk!” bentak Si Kasep dengan mata
melotot.
“Nggak... nggak mau! Tolol ikut! Tolol ikut!
Huuu...!”
“He! Apa-apaan kau ini, hah?! Cepat lepaskan!”
“Nggak, Tolol nggak mau lepas... pokoknya Tolol
mau ikut... huuuuu!” rengeknya sambil erat-erat
memegang baju kakaknya.
“Awas! Kalau kau tak mau melepaskan kakiku
ini. Aku jitak kau!” Si Tolol berpindah memeluk erat-
erat kaki kakaknya.
“Kak...! Tolol nggak mau ditinggalkan sendirian
di rumah. Tolol mau ikut...! Waaaaaaa... huaaa...! Tolol
sekarang udah nggak ileran lagi..., ileran juga enggak!
Tolol udah bisa seka sendiri.”
“Hmmmmh! Benar-benar keterlaluan! Lihat
tanganku ini. Kujitak kau! Hih, rasakan!”
Tangan kakaknya dengan cepat melayang dan
mendarat di kepala Si Tolol ‘Pletak!’ suara dari kepala
yang plontos itu pun terdengar nyaring.
“Waaaaaaa...!” jerit Si Tolol langsung terdengar
dengan nyaring pula, “Kang Acep jahat...! Jahaaaat!
Kang Acep jahat! Huuuwaaaaa... uwaaaaaa...!” jeritnya
kembali dengan suara yang makin melengking.
Den Wangsa melihat Si Tolol menjerit-jerit bagai
anak yang disengat tawon, segera menghampirinya.
“Tolol... kenapa kau menangis?” ucapnya lembut,
karena ada maunya.
“Kepala Tolol dijitak sama Kang Acep..., Paman!”
sahut Si Tolol polos.
“Cep... sudahlah diam. Jangan menangis. Nanti
Paman kasih duit buat jajan,” balas Pamannya sambil
merogoh saku.
“Abisnya sakit deh, dijitak...!” sela Tolol sambil
memegang kepalanya.
“Ssst, diam ya...! Lihat nih. Paman kasih
seringgit. Nanti malam, Paman ajak nonton wayang
golek! Rame deh?”
“Betul nih, Paman?! Tolol ikut ya?” sahut Tolol
dengan wajah yang kembali cerah dan berseri seperti
lupa dengan sakit di kepalanya.
“Betul. Tapi kalau mau ikut Paman, Tolol musti
mandi dulu dan pakai baju yang bagus dan bersih...!”
“Ini juga bagus.... Paman!”
“Iya... bajumu memang sudah bagus. Tapi otomu
itu sudah jelek, musti diganti dengan yang baru...!
Bagaimana kalau Paman tukar dengan yang ini..!”
“Oh... iya...! Bagus sekali, Paman...!”
“Ini sengaja Paman bawakan untukmu... karena
Paman lihat. Otomu itu sudah dekil sekali. Selain itu
otomu yang bekas ingus dan iler itu baunya bukan
main. Ayo, bukalah otomu itu. Nak...! Paman sengaja
bawakan untukmu bermacam-macam warna... ada
yang merah, ada yang kuning, biru dan hijau.”
Sementara Den Wangsa berbicara, tiba-tiba
pikiran Si Tolol menerawang sejenak. Ia teringat pesan
dari seseorang, “Ingatlah! Jangan mau jika ada orang
yang hendak menukarkan yang kau pakai ini!” suara
itu seakan jelas terlintas kembali di dalam pikirannya.
“Hei, kenapa kau bengong. Ayo cepatlah buka!”
ucap Den Wangsa kembali yang spontan membuat Si
Tolol terhentak dari lamunannya.” Nanti kusuruh
Kohar mencuci otomu yang sudah bau macam air
comberan itu...!”
“Nggak ah, Paman!”
“Lho. Kenapa tidak mau? Oto yang kubeli ini kan
oto yang bagus, harganya pun mahal. Lihatlah
gambarnya, bagus-bagus, bukan?!”
“Biar, Paman. Tolol pakai yang ini saja. jelek juga
nggak apa-apa! Biarin, deh!”
“Ayo ganti! Kalau kau tak mau ganti, nanti
kuminta lagi duit yang kukasih tadi! Ayo...! Mau ganti
atau mau duitnya kuminta kembali dan tak jadi
kuajak nonton wayang golek nanti malam...!”
“Tidak mau...! lepaskan. Paman..., geli nih...!
Aduh..., aduh! Iya deh Tolol kembalikan duit Paman,
asal Tolol boleh pakai terus oto jelek ini.”
Akhirnya Den Wangsa melepaskan juga
tangannya yang sebelumnya berusaha ingin membuka
oto yang dipakai anak itu.
“Tuh duitnya. Tolol mau nonton wayang golek
sendiri saja. Tolol mau minta duit sama Kang Tompel
saja!” ucap Si Tolol sambil berjalan dan melempar
uang logam tinggi-tinggi ke arah Den Wangsa, tanpa
menoleh sedikit pun.
Bukan main kesalnya sang Raden ini melihat
tingkah yang diperbuat Si Tolol terhadap dirinya.
“Huh! Bagong cilik ini betul-betul tolol apa pinter,
sih?! Kenapa aku ikut-ikutan jadi tolol. Kutunggu saja
sampai Si Bego ini mandi. Tentu otonya kan gampang
kucuri!” gumam Den Wangsa sambil menggaruk-garuk
kepala tidak gatal.
Tolol yang telah jauh meninggalkan Pamannya,
kini telah berada di sekitar halaman rumah Pak Kohar.
Di sekitar tempat itu memang ada tempat yang teduh
dan sering dipakai oleh Si Tolol sebagai tempat
istirahatnya. Tapi kali ini tidak, sebab baru saja ia
akan melonjorkan kakinya tiba-tiba ia melihat salah
seorang kakaknya lewat di situ.
“Kang..., Kang Tompel! Tunggu! Tunggu Kang...!”
teriak Si Tolol sambil berlari menyusul kakaknya yang
berjalan cepat sekali.
“Ada apa panggil-panggil?” bentak kakaknya.
“Minta duit, Kang!” sahut Si Tolol.
“Duit. Lagi-lagi duit! Duit monyong lu!” bentak
Tompel sambil melotot.
“Tolol mau nonton. Kang. Minta duit buat jajan!”
pinta Tolol kembali.
“Tidak! Aku lagi kalah main! Tidak ada duit-
duitan!”
“Seringgit aja. Kang..., buat beli getuk.”
“Seperak pun nggak ada!”
“Uhuuuu... uuuu..., minta dong Kang Tompel.”
“Nggak! Sudah pergi sana jangan rewel! Nanti
kupelintir lehermu kalau masih rewel!”
“Kang Tompel pelit.... Kang Tompel pelit. Minta
duit seringgit aja nggak dikasih...! Peliiiiiit! Uuuu...
uhuuuu...!”
“Doakan..., kalau aku menang, kau akan
kubagi!”
Setelah itu Den Tompel pun berangkat lagi. Si
Tolol ditinggal seorang diri.
Pak Kohar yang kebetulan baru pulang dari
ladang, setelah melihat Si Tolol ada di situ, segera
menghampirinya.
“Kenapa kau menangis di sini, Den?” sapa Pak
Kohar dengan lembut.
“Tolol mau jajan nggak punya duit. Minta sama
Kang Tompel nggak dikasih. Huuuu... uuu...
uuuuuuuu!” sahut Si Tolol dengan tangis yang makin
menjadi-jadi.
“Sudahlah, Den..., diamlah!” balas Pak Kohar
sambil mengelus-elus kepala Si Tolol.
“Tolol mau jajan.... Tolol mau jajaaaan...!
Uuuu...!”
“Nih Bapak punya uang sedikit, ambillah!”
“Uuuu... uuu...!”
“Sudahlah...! Bukankah Aden ingin membeli
getuk?! Belilah! Uang itu cukup buat beli dua getuk
manis!”
“Terima kasih. Pak Kohar!”
“Ya...! Cep..., jangan menangis lagi, ya!”
“Kalau Kang Lungguh sih nggak pelit ya. Pak.
Cuma sayang nggak pernah pulang-pulang. Kemana
sih Pak?! Kata anak-anak Kang Lungguh suka nginap
di rumah orang. Betul apa nggak sih? Emang rumah
orang itu bagus apa enggak sih?”
“Sudahlah, Den. Pergilah main...! Tapi hati-hati,
ya..., jangan ngelantur.”
Bukan main senangnya hati Tolol setelah
mendapatkan uang jajan tersebut. Ia langsung berlari
sambil bernyanyi dan dalam beberapa detik saja sudah
menghilang dari tempat itu.
Menyaksikan keadaan tersebut bukan main
sedihnya hati Pak Kohar. Tanpa terasa air matanya
berlinang membasahi pipi.
“Aduh... Gusti! Betapa malangnya nasibmu, Den.
Tak ubahnya seperti layangan putus. Saudara-
saudaramu semua tak ada yang perduli sama sekali.
Mereka ketiga-tiganya punya jalan sendiri-sendiri dan
jalan yang mereka tempuh, terkutuk semua! Begitu
pula dengan Pamanmu sendiri. Si Serigala berbulu
domba itu tampak semakin tamak saja. Sesungguhnya
kau butuh perlindungan. Tapi sayang kau berlindung
di tempat manusia-manusia iblis yang buas dan
serakah yang tak segan-segan akan memangsamu
demi tercapai kehendaknya. Percayalah aku tetap
berusaha memperhatikanmu, walaupun diriku tak
berarti apa-apa.” ucap Pak Kohar di dalam hati sambil
mengelus-elus dada sendiri.
Setelah beberapa saat berdiri, ia pun segera
mengambil Cangkulnya kembali dan langsung berjalan
menuju ke rumahnya. Di depan rumah tersebut
tampak pula Encum yang sejak tadi
memperhatikannya. Encum pun kelihatan sedih sekali.
Si Tolol yang sudah mengantongi uang
pemberian dari Pak Kohar, kini telah berada di
pinggiran pasar. Rupanya ia sedang berusaha
menghibur dirinya sendiri.
***
TUJUH
Di sudut Pasar Babakan, tampak seorang
pengamen sedang asyik memainkan kecapinya di
bawah pohon yang agak besar. Lagu yang dibawakan
pada saat itu adalah sebuah lagu Sunda berjudul
Bubuy Bulan. Mendengar lagu itu. Si Tolol langsung
mendekatinya.
“Hmmm... enak sekali lagu ini,” gumam Si Tolol.
Si Tolol segera jongkok di depan pengamen itu.
Saat ia perhatikan wajahnya, bukan main terkejutnya.
Ia seakan-akan pernah bertemu dengan orang ini, tapi
kapan dan di mana ia bertemunya sulit sekali diingat
di dalam pikirannya.
“Mau minta lagu, Den?” tanya pengamen itu.
“Oh..., ya... ya! Coba minta lagu Bubuy Bulannya
sekali lagi. Nih uangnya!” balas Si Tolol agak terkejut.
“Baik, Den..., terima kasih!”
“Sebentar, Pak..., aku mau cari tempat yang enak
untuk melonjor,” pinta Si Tolol sambil membersihkan
tempat di samping pengamen, “Nah, mainkanlah!”
perintahnya kembali setelah ia duduk bersandar di
bawah pohon.
Pengamen itu pun langsung bernyanyi, “Bubuy...
bulan, bubuy bulan sangray bentang. Panon poe’...
panon poe’... disasate’ Unggal bulan..., unggal bulan
abdi’ teang. Unggal poe’... unggal poe’ oge’ hade’...”
Belum lagi lagu tersebut habis. Si Tolol sudah
terapung-apung di alam mimpi.
“Parantos... Den. lagunya sudah selesai. Eh...,
tidur?!”
Dari mulai terik sinar matahari terasa menyengat
hingga matahari itu tergelincir ke Barat Si Tolol belum
juga bangun. Untunglah ada dua anak yang lewat di
situ dan kasihan kepadanya.
“Eh..., itu Den Tolol ketiduran di situ,” ucap
salah seorang di antara mereka.
“Bangunin ah, kasihan...!” sahut temannya.
“Den... Den Tolol. Bangun, Den, sudah sore...!”
“Wah pules sekali kayanya!”
“Den... Den Tolol...! Bangun...!”
Setelah berkali-kali dibangunkan akhirnya Si
Tolol terbangun juga.
“Oahhhhhmmm.., nyem.. nyem.. nyem..! Oh,
ngantuuuuk! Eh, ke mana tukang ngamen tadi?”
“Tukang ngamen yang mana, Den?”
“Yang tadi di sini.”
“Wah udah lama perginya, Den.”
“Katanya mau nyanyikan aku lagu Bubuy
Bulan..., kok pergi sih...!”
“Mungkin Aden tadi ketiduran.”
“Ah... nggak. Aku cuma ngejerejep sebentar,
kok.”
“Itu kan perasaan Aden.”
“Sungguh, aku nggak tidur.”
“Aden pulas di sini hampir setengah hari.
Percayalah...! Sekarang lebih baik Aden pulang,
sebentar lagi pasti Pak Kohar disuruh mencari Aden.”
“Ya... ya, aku memang mau pulang. Mau mandi!”
“Baiklah kalau begitu, kamu duluan ya. Den...!”
Untung sekali nasib Si Tolol saat itu. Ia
mendapatkan anak yang mengenal keadaannya lebih
dekat. Biasanya ia selalu mendapatkan anak-anak
yang sering mengganggu dan mengejeknya.
Setelah menggeliat beberapa kali, Si Tolol pun
bangkit lalu berdiri. Uang dan nonton wayang golek
sudah lepas dari ingatannya, kini tujuannya adalah
ingin cepat kembali ke rumahnya untuk mandi.
Setibanya di rumah, sebagaimana biasa Encum
menyambutnya dengan ramah. Ini adalah pesan dari
Pak Kohar agar ia harus memperhatikan anak itu
dengan baik.
“Aden mau mandi? Tunggu ya. Den, Encum mau
tuangkan airnya dulu di tahang,” sambut Encum.
“Ho... oh! Tolol mau mandi!”
Orang yang disebut oleh Pak Kohar sebagai
manusia serigala dan tamak, begitu melihat Si Tolol
datang, segera mengintai.
Senyumnya mulai tersungging di bibir ketika
melihat Si Tolol hendak mandi.
“Ini baru kesempatan yang bagus dan inilah
saatnya aku bisa mendapatkan oto wasiat! Ayo
sayang..., cepatlah mandi. Bukalah pakaianmu.
Nak...!” ucapnya dengan perlahan sekali dan tak
mungkin dapat terdengar oleh Si Tolol maupun Si
Encum.
Den Wangsa yang begitu perlente dan keren kali
ini mau bersusah payah menyelinap ke dapur dekat
kayu bakar yang berdebu dan kotor. Apalagi waktu
mendekati pakaian Si Tolol, ia mendekam bagaikan
seekor kucing yang hendak menerkam tikus, kalau
seandainya ia memakai baju putih tentu baju tersebut
sudah berubah warna menjadi hitam, untunglah ia
memakai baju hitam celana hitam, jadi hanya bagian
muka dan telapak tangan saja yang kelihatan berubah
dari bersih menjadi coreng-moreng.
Memang, ia benar-benar sudah tak memikirkan
keadaan dirinya pada waktu itu. Yang penting oto itu
harus berada di tangan, karena di dalam oto tersebut
terdapat petunjuk untuk mengetahui tempat simpanan
harta warisan seperti apa yang diucapkan oleh
almarhum Raden Surya sebelum ia wafat.
Setelah dengan susah payah akhirnya Raden
Wangsa dapat mengambil oto tersebut tanpa diketahui
oleh Si Tolol maupun Encum
“Ini dia saatnya! Sebentar lagi aku akan menjadi
orang yang paling kaya seantara Babakan Sumedang
Tapi... uuf... ffuuuhhh... bek..! Busyeeet dah, baunya
bukan maiiin...! Kalau kucemplungkan di kali tentu
semua ikan mabok nih,” ucap Den Wangsa setelah
berada kembali, di kamarnya.
Den Wangsa segera menyiapkan peralatan tulis
dan dengan cepat ia menyalin semua yang tergambar
di dalam oto itu. Dalam menyalin kerajinan tangan
yang begitu indah, terpaksa ia harus bertahan dengan
bau yang menusuk hidung. Sulaman yang terdiri dari
rangkaian kalimat yang disusun berbentuk bunga
disalin sebagaimana aslinya. Untuk yang kurang jelas
ia pun tak segan-segan mengorek-ngorek bekas ingus
dan iler yang mengering dengan ujung kukunya.
“Supaya tidak lupa, perlu juga kutulis penjelasan
di kain ini, kalau sudah selesai aku pun harus cepat-
cepat mengembalikannya, agar anak bego itu tidak
ribut!” gumamnya setelah selesai menyalin seluruh
kalimat yang isinya antara lain menyebutkan bahwa,
harta itu terletak di ujung bayangan tebing saat bulan
purnama dan seratus langkah dari puncak air terjun.
Sementara itu Si Tolol masih asyik berendam di
air.
“Horeee...! Tolol sedang berlayar di laut! Horeeee!”
Tahang yang terbuat dari kayu itu rupanya
sudah tak tahan lagi menahan tubuh Tolol yang
gembrot. Di saat ia sedang bergoyang keras tiba-tiba
“Brak!... Byaaaar!” terdengar bunyi yang cukup keras.
Tahang kayu yang sudah tua itu pecah berantakan
dan airnya banjir ke seluruh ruang dapur.
“Wah. Kapalnya pecah...! Encuuum...!
Encuuuum! Tolol udah mandinya. Tuh, benahin
tahangnya!” teriak Si Tolol kepada pembantunya.
“Iya... Den! Aden pakailah baju dulu. Biar nanti
Encum yang rapikan,” sahut Encum dari balik pintu.
“Iya... ini juga lagi pake baju!” sahut Tolol
kembali.
Beberapa saat setelah Tolol memakai baju.
Encum pun masuk kembali ke dapur.
“Ya ampun...! Apa-apaan nih. Den?”
“Tolol kan abis main kapal-kapalan.”
“Tapi kenapa bisa pecah begini?”
“Nggak tau...! Pecah sendiri kok!”
“Hmmmh... Aden... Aden, keliwatan amat sih.”
“Besok kapal-kapalannya yang lebih gede ya,
Cum?”
“Iya... iya deh!”
Dengan jengkel Encum merapikan papan-papan
pecahan tahang tersebut dan langsung dipelnya lantai
dapur yang belum lama dibanjiri Si Tolol. Sedangkan
Si Tolol yang telah menumpahkannya sudah berlalu
entah ke mana.
Keesokan harinya, setelah mengumpulkan uang
pemberian dari Encum dan Pak Kohar yang bernilai
masing-masing setalen. Si Tolol tampak keluar rumah
dengan muka cerah.
Dengan lagak bak jutawan, ia berjalan sambil
menyiulkan lagu Bubuy Bulan. Sungguh aneh bin
ajaib, oto yang dikenakan, tetap oto yang itu-itu juga,
padahal sudah dekil dan kumel. Sepertinya ia bertekad
akan sehidup semati dengan oto yang satu ini.
Untuk pakaian di balik oto, setiap hari memang
selalu diganti. Tapi mode, jenis, dan coraknya selalu
sama begitu pula dengan warnanya, tetap itu-itu saja,
sehingga menimbulkan kesan seolah-olah tak pernah
diganti.
Entah apa yang menyebabkan ia sangat senang
dengan corak loreng yang terbuat dari jenis bahan kain
kasur itu. Tak ada yang mengetahui. Pernah suatu
ketika almarhum ayahnya membelikan warna yang
lain dari bahan yang lebih bagus, Tolol tetap tak mau
pakai, ia menolak mentah-mentah. Oleh karena itulah
Tolol dibiarkan memakai pakaian yang sesuai dengan
kehendaknya.
***
DELAPAN
Pagi ini Tolol tampak sangat bergembira sekali,
sejak ia keluar dari rumah siulannya tak pernah
berhenti, kedua tangannya tetap berada di belakang,
bagai seorang Mandor sedang mengontrol pekerjaan
anak buahnya. Tapi sayang, tanpa sepengetahuannya,
ada orang lain yang menginginkan darinya. Sejak
mengetahui Si Tolol sedang bermain ia terus mengintai
dari jarak jauh dengan sabar ia mengikuti ke mana Si
Tolol pergi. Orang yang mengikuti Si Tolol itu tak lain
adalah Si Tangan Kilat. Entah apa yang akan
diperbuat terhadap anak itu oleh manusia yang telah
banyak membunuh ini.
“Bagus... bagus... Tong! Lewatilah jalan yang sepi
itu..., bergembiralah terus, sebentar lagi aku akan
menyusulmu. Sebab kalau tidak, tentu ada orang lain
yang akan mendekatimu dan mempunyai tujuan yang
sama denganku,” gumam si Tangan Kilat dengan
tersenyum.
Setelah Si Tolol jauh dari pandangannya, ia pun
segera melesat dan bersalto beberapa kali di udara.
Setelah berada di atas pohon, ia pun segera melompat
ke pohon lainnya persis bagai seekor tupai.
Dalam waktu singkat Si Tangan Kilat telah
berhasil melewati lebih dari tujuh pohon, kini ia telah
dapat melihat kembali dengan jelas tingkah Si Tolol
yang aneh ini.
“Hmh...! Inilah saat yang kutunggu-tunggu! Oto
itu sebentar lagi akan berada di tanganku. Percuma
mempunyai julukkan Si Tangan Kilat kalau mengambil
barang yang kelihatan di ujung hidung nggak mampu,”
gumam Si Tangan Kilat sambil lompat. Setelah tiba di
bawah, ia pun langsung mencabut pisau yang terselip
di pinggangnya. “Walaupun apa yang bakal terjadi. Oto
yang merupakan satu-satunya petunjuk untuk
mendapatkan harta itu, harus kudapatkan hari ini!
Kalau perlu, anak bego ini pun kukubur hidup-hidup
di dalam lumpur!” ucapnya dalam hati.
Si Tangan Kilat langsung menyelinap kembali di
balik pohon, setelah melihat Si Tolol mulai dekat
dengannya. Rupanya ia sengaja berada jauh di depan,
agar mudah mengambil posisi.
Begitu Si Tolol lewat, reaksi tangan laki-laki itu
pun bergerak cepat. Pisau yang digenggamnya
langsung bergoyang dangdut beberapa detik di
belakang badan Si Tolol. Kemudian “Plas...!” Pisau
yang begitu berkilat dan sangat tajam menyontek oto
yang dikenakan Si Tolol.
Dengan wajah berseri, Si Tangan Kilat dengan
cepat melejit lagi. Ia kembali menyelinap di atas pohon,
menunggu keadaan aman.
Sungguh luar biasa kehebatan laki-laki itu.
Pantaslah ia menyebut dirinya Si Tangan Kilat. Dalam
tempo yang sangat singkat ia telah berhasil mengambil
oto yang dikenakan Si Tolol tanpa melukainya. Bahkan
sang empunya diri tidak tahu ‘barang berharganya’
diambil orang. Yang sangat mengherankan, si anak ini
masih tetap menyenandungkan lagu Bubuy Bulan
tanpa terputus dengan kejadian barusan.
“He... he... heh...! Sebentar lagi aku akan menjadi
orang kaya besar...! He... he... heh! Inilah buktinya.
Oto si bego’ sudah berada di tanganku! Tak
seorangpun akan berhasil menemukan tempat rahasia
penyimpanan harta karun itu. Karena kuncinya sudah
berada di dalam genggamanku” ucap Si Tangan Kilat
yang berbicara sendiri setelah Si Tolol jauh pergi.
Setelah melihat situasi yang memungkinkan, Si
Tangan Kilat kemudian berjalan dengan tenang
memasuki pasar dan berhenti di sebuah kedai.
“Tolong buatkan kopi pahit. Neng!” ucapnya
setelah ia berada di dalam kedai tersebut.
“Baik..., Kang!” sahut pemilik kedai dengan
ramah.
Melihat Si Tangan Kilat duduk sambil
mengangkat kaki, beberapa orang yang ada di situ pun
minggir satu persatu secara perlahan dan tak lama
kemudian hanya tinggal satu orang saja yang
menemaninya, yakni si pemilik kedai sendiri.
“Kenapa kamu juga nggak ikut pergi?” tanya Si
Tangan Kilat kepada pemilik kedai itu.
“Kalau saya pergi, nanti siapa yang menunggu
warung ini Kang?” ucap si pemilik kedai yang balik
bertanya.
“Bagus. Tak kusangka perempuan cantik macam
kau ini mempunyai keberanian yang lebih tinggi dari
semua laki-laki tadi,” balas Si Tangan Kilat yang tak
henti-hentinya memandang tubuh pemilik kedai dari
ujung kaki sampai ke ujung rambut.
“Kenapa sih, Kang? Kok mandangi saya sampai
begitu?” tanya wanita itu kembali. Padahal sebenarnya
jantungnya terasa mau copot dalam menghadapi tamu
yang tak diharapkan datang ini.
Si Tangan Kilat tidak menjawab pertanyaan yang
diajukan tadi. Ia langsung mendekat pemilik kedai dan
langsung memegang kedua pundak wanita itu dari
belakang.
“Baru kali ini aku melihat pemilik warung
secantik kau, Geulis He... he... heh!” ucap Si Tangan
Kilat yang kelihatannya belum puas menikmati
keindahan tubuh wanita itu kalau tidak dari dekat.
“Ah, Kang..., jangan, Kang...!” pinta wanita itu.
“Jangan kuatir, Geulis. Tak mungkin ada orang
yang berani nongol, kalau mereka tahu Si Tangan Kilat
ada di sini. He... he... he...!” balasnya.
“Tapi saya punya laki, Kang. Sebentar lagi juga
dia datang menjemput saya ke sini.” jelas wanita itu
yang tampak semakin pucat sekali.
“Persetan dengan suamimu! Pokoknya aku mau
nginap di sini. Suruh dia mondok di tempat lain!”
bentaknya.
Wanita itu benar-benar tak berdaya dibuatnya.
Tangan yang sangat kuat dan kekar itu terus
membekap tubuh pemilik kedai dengan jari-jari tangan
yang semakin tak tahu aturan.
“Heh! Lihat tuh, Kang. Ada apa di luar ribut-
ribut! Coba lihat, Kang..., kayaknya suara Den Tolol
tuh yang nangis!” ucap wanita itu untuk mengalihkan
perhatian kepada Si Tangan Kilat.
Mendengar sebutan Si Tolol, laki-laki itu
langsung melepaskan wanita itu, “Hmmm. Sial! Gara-
gara ada cewek ini, hampir saja aku lupa dengan
tugasku, jangan-jangan ada orang yang
mendahuluinya,” ucapnya di dalam hati.
Bukan main girangnya wanita itu, rasa badan
yang seakan-akan patah tak dihiraukan lagi. Ia
langsung mundur beberapa langkah menjauhi laki-laki
yang kini sedang meneguk sisa kopi.
“Nih duitnya. Neng...!” ucap laki-laki itu setelah
menghabiskan kopinya.
“Ah..., biar saja, Kang. Nggak usah bayarlah!”
sahut wanita itu.
“Jangan. Nanti kau rugi. Nih ambil!” balas Si
Tangan Kilat sambil meletakkan lebih dari sepuluh
keping uang ringgit di atas meja.
“Buat apa itu. Kang...?” tanya wanita itu dengan
terkejut.
“Ambil buat kau semua!” balas Si Tangan Kilat
sambil berjalan melangkah ke luar tanpa menoleh
sedikit pun.
Apa yang dikatakan oleh pemilik kedai itu
memang benar. Di tengah-tengah pasar tampak orang
berkerumun menyaksikan Si Tolol sedang menggeloso
di atas tanah sambil menangis keras di depan penjual
getuk.
“Waaaaa..., otoku hilang..., otoku hilaaaaaang,
waaaa...!” raung Si Tolol yang semakin lama semakin
menjadi-jadi.
“Kenapa... Den, kenapa? Ayo cep, jangan
menangis...!” bujuk salah seorang yang berkerumun
itu, “Kenapa dia. Bu?” tanyanya kembali sambil
menoleh ke arah penjual getuk.
“Entahlah...! Tadi dia memesan getuk, tapi begitu
ia hendak membayar, tiba-tiba kelihatan kebingungan
sekali. Belum sempat ditanya dia sudah menangis,”
jelas penjual getuk itu.
“Mungkin uangnya hilang,” ucap yang lain lagi.
“Mungkin juga!” balas penjual getuk.
“Bukan uang saja..., tapi otoku juga hilaaang.
Aku tak mau..., otoku hilaaaaang...!” jerit Si Tolol yang
semakin menjadi-jadi dan telah membuat orang-orang
di sekeliling tempat itu kebingungan.
“Sudahlah, Den... kalau memang uang itu hilang,
biarlah. Tak bayar pun tak apa-apa. Ambillah getukmu
ini. Den...!” bujuk penjual getuk itu kembali.
Kita tinggalkan sejenak orang-orang yang
kepusingan menghadapi Si Tolol yang macam orang
kesurupan itu, sekarang kita lihat dulu suasana di
rumahnya. Di rumah besar itu tampak Pak Kohar
masih sibuk merapikan pekarangan rumah bersama
dengan putrinya yang semata wayang itu. “Cum...,
sudah kau siapkan air untuk mandi Den Tolol?” tanya
Pak Kohar kepada anaknya.
“Sudah, Pak....” sahut Encum.
“Syukurlah, Bapak mau susul si Aden dulu.”
“Baik, Pak....”
Pak Kohar segera mencari Si Tolol ke tempat
yang biasa dia buat mangkal. Tapi sayang setelah
mencari di beberapa tempat tersebut belum juga
berhasil ia menemui majikan kesayangannya,
kekhawatiran mulai timbul setelah berjam-jam
mencari tanpa hasil sama sekali.
“Hei, Tong...! Apakah kalian melihat Den Tolol?”
tanya pak Kohar kepada anak-anak yang sedang asyik
bermain.
“Tidak, Wak,” jawab salah seorang di antara
mereka.
“Benar tidak ada yang melihat?” tanya Pak Kohar
sekali lagi.
“Tidak, Pak,” jawab anak yang lainnya.
“Apakah Den Tolol, yang gede-gede masih ileran
dan ingusan?” sela salah seorang anak yang baru saja
membenahi mainannya.
“Rupanya kau telah melihatnya, ya... Tong? Di
mana? Coba tolong kasih tahu Uwak, Tong..!” pinta
Pak Kohar kepada anak itu.
“Kalau yang Uwak maksud anak itu, tadi saya
lihat jalan ke sana, sehabis menangis di pasar,” jelas
anak yang bernama Kusin.
“Menangis?” tanya Pak Kohar terkejut.
“Ya, Wak!” jawabnya singkat.
“Memangnya kenapa?” tanya Pak Kohar kembali.
“Entahlah, Tapi menurut orang-orang, katanya
dia kehilangan oto yang dipakainya!”
“Apa?! Otonya hilang...?”
“Benar, Wak! Mungkin ada orang yang iseng atau
kurang senang melihat oto yang sudah dekil itu masih
dipakai terus. Nah kalau sudah hilang begini kan
terpaksa dia ganti dengan yang baru dan enak
dipandang mata.”
“Ya... ya...! Mungkin juga. Memang itulah yang
Uwak harapkan...! Tapi ngomong-ngomong masa iya
kalian sebanyak ini nggak ada yang tahu ke mana
tujuannya...?!”
“Sungguh, Wak, kami tidak tahu!”
“Pokoknya yang pasti dia pergi ke sono, tuh! Dari
jalan ini teruuuuuus saja, nah... di ujung sana, dia
belok ke kiri!”
“Ya... ya... terima kasih, Tong!”
“Ya..., Wak!”
Pak Kohar segera pergi meninggalkan anak-anak
itu, ia akan melanjutkan pencariannya sesuai dengan
petunjuk anak-anak tadi walaupun hari sudah mulai
gelap.
Apa yang dilakukan oleh pesuruh tua ini,
semata-mata bukan karena tugas, tetapi karena kasih
sayangnya kepada anak majikan yang selalu
dikucilkan oleh pihak keluarga. Terutama setelah
ayahnya tiada.
Berkat kesabaran dan ketekunan, akhirnya Pak
Kohar. pun berhasil menemui anak itu. Si Tolol pada
saat ditemukan, sedang tidur dengan nyenyaknya di
sebuah dangau.
Udara malam terus berhembus dan semakin
dingin rasanya. Namun Pak Kohar kini dapat tidur
dengan perasaan lega di rumahnya.
Sejak hilangnya milik kesayangan Si Tolol, Pak
Kohar tak begitu dipusingkan lagi membujuk majikan
yang aneh ini. Si Tolol sekarang sudah mau mengganti
otonya setiap hari asal warna dan bahannya sama
dengan oto yang hilang.
***
SEMBILAN
Pada suatu malam, di saat bulan purnama
muncul dengan indahnya, tampak sesosok tubuh laki-
laki berdiri di atas batu yang berada di tengah puncak
air terjun. Laki-laki itu tak lain adalah Si Tangan Kilat.
Rupanya saat inilah yang ditunggu-tunggu untuk
mengambil harta warisan itu.
“Seratus langkah dari tengah-tengah puncak air
terjun ini,” gumamnya sendirian,” Kemudian menuju
ke bayangan tebing... Oh, mungkin yang dimaksud
dengan tebing itu adalah tebing yang di ujung sana.
Sebab hanya ada satu tebing di daerah ini. Baik mulai
dari atas batu ini kuhitung langkah. Satu... dua...
tiga... empat... lima...”
Si Tangan Kilat terus menghitung langkahnya
hingga sampai hitungan keseratus sambil menelusuri
bayangan tebing. Setelah sampai pada hitungan
keseratus ia pun segera menancapkan linggis yang
sebelumnya telah dipersiapkan.
“Mudah-mudahan aku tak salah perhitungan.”
Dengan tenaga semaksimal mungkin, ia langsung
menggali lubang yang diperkirakan ada benda
tersimpan di dalamnya. Tangan laki-laki ini sungguh
cekatan sekali, dalam tempo beberapa menit saja,
lubang itu sudah dalam dibuatnya.
“Hei... Bulan Purnama...! Kau sekarang telah
menjadi saksiku. Bahwa di malam ini aku menjadi
orang kaya... ha... ha... hah...! Hua... ha... ha... hah...!
Eh?! Linggisku membentur benda keras...! Hah...,
inilah rupanya harta karun itu. Aku harus hati-hati
sekarang...! Ah..., lebih baik pakai tangan saja! Hup...,
eh, huuuup!”
Semangat Tangan Kilat kini semakin tinggi
setelah ditemukan sesuatu di dalam lubang itu.
Wajahnya langsung berseri ketika yang didapatkan
adalah sebuah peti.
“Huuuphhh! Wadoooouuw, berat buaanget! Pasti
harta di dalamnya banyak sekali...!”
Dengan susah payah akhirnya Tangan Kilat
berhasil dapat mengangkat peti besar tersebut.
Rupanya ia sudah tak sabar lagi untuk melihat isi dari
peti itu. Dengan kekuatan yang dimilikinya ia langsung
memegang gembok yang sudah berkarat yang melekat
di peti tersebut.
Beberapa detik saja gembok itu tampak mulai
berasap dan bagaikan melepaskan tutup botol dari
gabus, ia dengan mudah membuka peti yang baru
didapatkannya.
Bukan main terkejutnya ketika peti itu dibuka.
“Hah!? Apa-apaan ini!? Kurang ajar. Ternyata
aku tertipu. Sial!! Cape-cape tak ada hasil!”
Tangan Kilat langsung mengangkat peti itu
tinggi-tinggi untuk melemparkannya jauh-jauh, tapi
tiba-tiba ia mengurungkan niatnya. Dengan hati-hati
peti itu diletakkan kembali ke tanah dan langsung
menguncinya kembali.
Kemampuan laki-laki ini memang sungguh luar
biasa, setelah ia memasukkan kembali gembok itu, tak
kelihatan ada tanda-tanda bekas dibuka.
“Kalau aku bisa ditipu begini. Orang lain pun
harus kutipu juga supaya nilainya satu-satu! Tentang
harta warisan ini, biar bagaimana pun aku harus
mendapatkannya. Aku harus cari orang yang telah
mendahuluiku!”
Baru saja ia akan membungkus peti itu dengan
kain sarung yang dipakainya. Tiba-tiba terdengar
suara ranting pohon yang patah akibat benturan
benda keras.
Ternyata benda-benda itu adalah berupa tombak
yang baru saja dilemparkan orang dari tempat
persembunyian.
Si Tangan Kilat yang pendengarannya cukup
terlatih ini segera melompat menghindari serangan
yang datang ke arahnya. Begitu kakinya melesat, lima
buah tombak jatuh menancap di tempat ia berdiri tadi.
Tapi serangan tersebut tidak cukup sampai di
situ saja. Lagi-lagi serangan beruntun datang bertubi-
tubi ke arahnya sehingga ia harus melompat ke sana
ke mari.
“Hei! Pengecut! Ke luar kalian kalau berani.
Jangan beraninya membokong seperti ini! Ayo keluar!”
teriak Si Tangan Kilat sambil menangkis senjata-
senjata yang dilemparkan pihak lawan ke arahnya.
“Cukup! Ayo keluar semua!” teriak seorang lelaki
dengan keras dari tempat persembunyian.
Dengan terdengarnya komando tadi maka
muncul sepuluh orang laki-laki berpakaian serba
hitam. Mereka langsung mengurung Si Tangan Kilat
tanpa mengeluarkan ucapan sepatah pun.
“Nah... macam beginilah yang aku inginkan...!
Kalau macam begini, jangankan sepuluh, tiga puluh
pun masih tetap kulayani. Ayo. Majulah...! Mau satu-
satu, atau sekaligus...!?” teriak Tangan Kilat separuh
mengejek.
Kesepuluh orang itu pun langsung mengambil
ancang-ancang untuk melakukan menyerangnya
kembali. Tapi belum sempat mereka bergerak, tiba-tiba
terdengar perintah dari atas batu yang agak tinggi.
“Tahan!!”
Tanpa banyak komentar lagi mereka dengan
cepat kembali ke posisi semula. Tak berapa lama
kemudian ‘Sang Komandan’ pun turun ke gelanggang
dan langsung menghampiri Si Tangan kilat.
“Serahkan peti itu dan cepat tinggalkan tempat
ini,” perintahnya dengan suara lantang kepada Si
Tangan Kilat.
“Bagaimana kalau aku tidak mau?” sambut Si
Tangan Kilat dengan senyum sinis.
“Terpaksa aku gunakan kekerasan,” balas lelaki
gendut, yang ternyata Pamannya Si Tolol sendiri alias
Den Wangsa.
“Silahkan....” sahut Si Tangan Kilat dengan
santai.
“Jadi kau tak takut kalau timah panas ini
memecahkan matamu yang tinggal satu itu, hah?!”
bentak Den Wangsa sambil mengarahkan moncong
pistolnya ke arah Tangan Kilat.
“Hei, Perut Buncit! Jangan coba-coba kau
menakutiku dengan barang yang kau sendiri tak tahu
cara menggunakannya. Lain halnya dengan senjataku
ini. Sering kupakai dan sudah terbukti
keampuhannya, mau coba?!” ejek Si Tangan Kilat
kembali sambil menimang-nimang pisau yang baru
dikeluarkan dari sarungnya.
Salah seorang anak buah Den Wangsa rupanya
terpancing juga emosinya. Begitu melihat Si Tangan
Kilat sedang memainkan pisaunya, ia langsung
membokongnya.
Gelagat si penyerang itu mudah dirasakan
gerakannya, karena di samping suaranya yang keras,
gerakannya pun sepertinya tak sepenuh hati. Masih
ada rasa was-was pada dirinya. Serangan macam ini
bukan main mudahnya diatasi oleh orang yang
mempunyai ilmu tinggi semacam Si Tangan Kilat ini. Ia
cukup menggeser kuda-kudanya selangkah dan
langsung tangannya menyambar dan akibatnya
membuat orang itu tersungkur tak bergerak lagi.
“Sebenarnya aku tak mau memberi contoh
tentang keampuhan senjataku, tapi berhubung anak
buahmu ingin mencobanya, yah, apa boleh buat,” ejek
Tangan Kilat kembali sambil menggosok pisaunya yang
penuh dengan darah.
Melihat kejadian ini Den Wangsa segera
memerintahkan anak buah yang lainnya,” Kurung dia
jangan sampai lolos! Upah kalian akan kutambah dua
kali lipat, kalau kalian berhasil mendapatkan peti itu!”
teriaknya sambil mondar-mandir macam orang
kebingungan, “Ayo...! Ayo...! Rebut peti itu cepat! Kalau
kubilang cepat ya cepat! Ayo bergerak cepaaaaat!”
perintahnya lagi.
“Hei, perut buncit! Kenapa kau ini, hah?! Macam
cacing kepanasan saja kelihatannya..? Percayalah...,
anak buahmu itu tak ada yang mampu menandingi
serigala macam aku ini. Lebih baik kau suruh mereka
pulang. Mereka lebih cocok kau tempatkan di ladang,
dari pada kita mikirin pepesan kosong...!” sahut
Tangan Kilat yang tak henti-hentinya menyindir Den
Wangsa.
“Pepesan kosong?! Apa maksudmu?” tanya Den
Wangsa menanggapi ucapan Si Tangan Kilat.
“Oh... tidak, tidak! Lidahku hanya keseleo
sedikit...! Sebenarnya yang kumaksud, kita sama-sama
manusia tamak yang ingin menyerakahi harta yang
bukan milik kita. Cuma sayang, ada perbedaan di
antara kita.”
“Apa perbedaannya?”
“Sebenarnya kau sendiri pun sudah mengetahui
jawabannya, bahwa aku mengambil harta itu hanya
sekedar untuk makan atau penyambung hidup!
Sedangkan kau, tidak! Kau sudah berduit, punya
usaha tetap, tapi masih saja kemaruk dengan harta
itu. Memang dasar kau benar-benar tamak. Pantas
perutmu itu semakin buncit, mungkin lama-kelamaan
bakal meletus!”
“Tutup mulutmu, Kunyuk! Sekarang katakan apa
maumu? Jangan bertele-tele!”
“Terserah kau saja. Apa pun aku layani! Tapi
yang kuharapkan, kita bisa berdamai saja!”
“Berdamai?!”
“Ya! Sebab aku tidak membutuhkan emas
permata seperti yang ada di dalam peti ini. Yang
kuharapkan adalah uang tunai untuk makan. Itu saja!
Jadi apabila kau menginginkan harta yang ada di
dalam peti ini, tak perlu susah payah lagi menggali.
Cukup kau memberiku uang sebagai imbalan dan aku
pun rela memberikan peti yang telah kuperoleh dengan
susah payah ini! Bagaimana? Kau setuju, bukan?!”
“Godverdom Zeg! Perduli apa dengan dirimu!
Sebenggol pun tak akan rela kuberikan untuk tikus
keparat macam kau!”
“Terserah... aku pun tak akan memaksamu!
Minggirlah kalian. Aku mau pergi!”
“Tunggu!”
“Apa lagi?”
“Kau boleh angkat kaki dari sini, tapi tinggalkan
peti itu di tanah!”
“Fuiiih! Enak lu nggak enak gua dong!”
“Tutup mulutmu, Kunyuk! Hei, kenapa kalian
semua bengong hah?! Ayo sikat tikus keparat ini biar
mampus! Cepat..! Pokoknya kalau ada yang berhasil
mendapatkan peti itu, utangmu kuanggap lunas dan
kutambah dengan hadiah-hadiah yang besuuaaaar...!
Ayo... ayo.. kesempatan ini kuberikan hanya kali ini
kepada kalian. Besok-besok nggak ada lagi!”
Den Wangsa terus berkoar bagai orang mabuk
minuman sambil petantang-petenteng tak keruan.
Seluruh anak buahnya diharuskan menyerang Si
Tangan Kilat tanpa kecuali.
“Teruuus... teruuuus...! Sikaaat, cingcang biar
dia tahu rasa! Ayo jangan takut. Maju teruuuus! Awas,
siapa yang mundur, akan kuhajar dengan timah panas
ini,” teriak Den Wangsa sambil memberikan ancaman
kepada anak buahnya, sambil mengacungkan
pistolnya.
“Hei, Gendut! Peluru yang cuma semata wayang
itu lebih baik kau tembakkan saja ke jidatmu yang
dempak itu,” teriak Si Tangan Kilat sambil menangkis
serangan yang datang secara bertubi-tubi.
Dalam menangkis serangan lawan. Si Tangan
Kilat cukup menggunakan peti besi itu sebagai perisai,
sehingga golok-golok lawan yang datang ke arahnya
menjadi kandas.
***
SEPULUH
Den Wangsa melihat anak buahnya satu persatu
dapat dilumpuhkan, tampak mulai kebingungan dan
nyalinya mulai terasa ciut. Apalagi begitu salah
seorang yang baru saja ambruk di depannya akibat
sebuah tendangan telak yang dilancarkan Si Tangan
Kilat kepada orang itu.
Anak buah Wangsa saat itu tampak kelihatan
bernafsu sekali untuk merebut peti yang ada di tangan
Si Tangan Kilat, tapi sayang, setiap serangan yang
dilancarkan selalu dapat dielakkan, bahkan Si Tangan
Kilat tak segan-segan melancarkan pukulan mautnya
ke arah mereka.
“Minggir semua!”
Teriakan keras yang datang secara tiba-tiba
membuat semua anak buah Den Wangsa terkejut dan
langsung mundur.
Orang yang memberi aba-aba itu dengan cepat
lompat ke tengah-tengah arena. Rupanya orang inilah
yang ditunggu-tunggu Den Wangsa sejak tadi.
“Nah. Sekarang kau baru mendapat lawan yang
seimbang, Kunyuk! Dialah Si Mehong, pengawal
setiaku yang sampai saat Ini belum ada tandingannya.
Ayo cepat selesaikan tugasmu, Mehong! Pokoknya ada
deh hadiah yang cukup buat ngasi keempat bini lu itu
di samping upah yang sudah dijanjikan!” teriak Den
Wangsa kegirangan.
Pengawal andalan Den Wangsa memang tampak
beringas sekali. Tanpa banyak omong lagi, ia langsung
menyerang Si Tangan Kilat dengan senjata andalannya
berupa keris dalam ukuran besar. Melihat serangan
dari orang yang bertubuh besar, hampir satu setengah
kali ukuran badannya ini. Si Tangan Kilat pun sangat
berhati-hati sekali. Setiap langkah benar-benar
diperhitungkan secara matang.
“Gila! Keras sekali pukulan orang ini hampir saja
pecah kepalaku dibuatnya!” ucap Si Tangan Kilat di
dalam hati,” Aku harus mencari akal supaya dapat
mengalahkan orang ini.”
Si Tangan Kilat kembali mendapat serangan
keras dari Si Mehong dan serangan yang tak diduga-
duga ini tak sempat ditepis sama sekali. Maka tak
ampun lagi baginya, tubuhnya langsung terpental ke
belakang.
Untuk menjaga kemungkinan serangan
berikutnya datang lagi. Si Tangan Kilat dengan cepat
menggulirkan badannya jauh-jauh. Kemudian ia
berusaha bangkit lagi sambil memegangi perutnya
dengan kedua tangannya. Kelihatan pukulan yang
diterimanya cukup keras sekali, sehingga ia lemah tak
segesit waktu melawan kesepuluh orang itu.
Den Wangsa melihat jagoannya telah berada di
atas angin langsung bertepuk tangan kegirangan.
“Ayo...! Sikat terus. Jangan beri dia kesempatan
untuk bangun. Kalau perlu putuskan lehernya!”
teriaknya sambil berjingkrak-jingkrak macam anak
kecil.
Si Tangan Kilat tak memberi reaksi atas ucapan
Den Wangsa yang begitu bersemangat. Ia tetap diam,
malah kepalanya mulai tertunduk sepertinya tak
sanggup lagi mengadakan perlawanan.
Entah ini merupakan siasat atau memang ia
sudah tak berdaya sama sekali. Hal ini pun menjadi
pemikiran Si Mehong yang agak ragu-ragu untuk
menyerangnya kembali.
Setelah beberapa saat tertunduk, sang lawan
pun langsung mendekati dengan niat untuk
melaksanakan permintaan sang majikan.
“Cuma begini saja kemampuanmu, hah?!
Sekarang terimalah ini. Kunyuk...!” ucap Si Mehong
sambil mengambil ancang-ancang bagai orang yang
ingin menebas pohon. Tapi tiba-tiba, “Hekkh!”
suaranya seakan-akan tersumbat. Wajahnya yang
sebelumnya garang langsung berubah menjadi pucat,
senjata yang di tangannya pun terjatuh. Pada detik
berikutnya darah segar pun keluar dari bagian perut
yang sekaligus membuatnya ambruk ke tanah tak
berkutik lagi.
“Hua... ha... ha... hah! Sudah kubilang... tak satu
pun ada yang mampu menandingiku, ha... ha... ha...!
He... he... heh!” tawa lebar Si Tangan Kilat kembali
terdengar dengan keras sekali. Rupanya apa yang
dilakukan tadi hanyalah tipuan untuk mengelabui
lawan.
Kini Den Wangsa kembali ciut nyalinya. Bibirnya
tampak gemetar walaupun di tangannya masih
menggenggam benda kebanggaannya yang sering
digunakan untuk menggertak penduduk dalam
menagih hutang.
“Nih kukembalikan kepadamu!” teriak Si Tangan
Kilat sambil mengangkat dan kemudian melemparkan
tubuh Si Mehong yang sudah tak bernyawa itu ke arah
Den Wangsa.
Tubuh Den Wangsa yang begitu gemuk, seakan-
akan mau patah pinggangnya saat ketiban tubuh Si
Mehong yang besar. Dengan nafas tersengal-sengal.
Den Wangsa berusaha bangkit.
Melihat tuannya terjatuh dan susah untuk
bangun, beberapa orang yang masih segar segera
menolong sang majikan agar dapat berdiri kembali.
Den Wangsa celingukan setelah dapat berdiri
kembali, sepertinya mencari sesuatu barang yang
hilang.
Si Tangan Kilat yang berada tak jauh dari
dekatnya segera menghampiri.
“Inikah barang yang kau cari?” ucap Si Tangan
Kilat sambil menempelkan laras pistol itu ke kening
Den Wangsa.
“Oh... Ja... jangan!” pinta Den Wangsa sambil
mengangkat kedua tangannya yang sudah gemetaran
itu. “Jangan main-main dengan benda itu... berbahaya
sekali...” ucapnya lagi dengan sungguh-sungguh takut.
“Bagaimana? Masih bertahan atau....”
“Tidak... tidak! Kita berdamai saja!”
“Nah begitu dong... kenapa tidak sejak tadi saja.
Kan tidak sampai memakan korban segala....”
“Berapa yang kau ingin kan?”
“Terserah, yang mana yang kau pilih. Mau
berikut pistol kebanggaanmu ini, atau cuma petinya
saja? Kalau petinya saja cukup kau berikan dengan
seratus ringgit, tapi kalau lengkap dengan pistolnya,
yah... tambah saja sepuluh ringgit. Jumlah uang yang
tak berarti bagimu, bukan?!”
“Hah! Seratus ringgit?! Sudah gila rupanya kau
ini, hah?!”
“Cukup sesuai dengan nilai barang-barang yang
akan kau peroleh ini.”
“Nih, terimalah seratus ringgit! Cepat kau
berikan barang-barang itu.”
“Apakah kau anggap aku ini dagang cabe
bawang?! Kaulah yang harus cepat memberikan sisa
uang itu sebelum aku mengubah pikiran. Jangan
sampai nanti kuhitung juga lelahku menghadapi
ceroco-ceroco itu dengan uang!”
“Sudah... sudah...! Nih terimalah! Bawa sana
cepat!”
“Tentu, barang-barang ini pasti akan
kuserahkan. Aku adalah orang yang selalu berpegang
teguh pada janji. Terima kasih atas imbalan yang kau
berikan dengan kerelaan hati ini. Sekarang terimalah
peti dan pistol ini! Huuuu!”
Den Wangsa segera menerima peti yang baru saja
dilemparkan oleh Si Tangan Kilat. Bukan main
girangnya Den Wangsa setelah memeriksa peti yang
kelihatan masih orisinil itu.
“Nah, kurasa sudah tak ada lagi yang perlu kita
bicarakan, bukan?”
“Ya... ya!”
“Baiklah! Kalau begitu aku akan berangkat
sekarang!”
“Silahkan!”
Si Tangan Kilat langsung melompat ke atas
tebing dan menghilang entah ke mana. Sedangkan Den
Wangsa yang tak sadar bahwa dirinya telah ditipu
mentah-mentah, tampak masih diliputi suasana
gembira. Tak lama kemudian ia pun memerintahkan
seluruh anak buahnya untuk kembali.
“Sini, Den... kalau berat biar aku yang bawa!”
“Tak usah. Biar saja! Hhh... hh....”
“Iya, Den. Biar saja Si Ujang yang bawa...!
Kasihan kan Aden kelihatannya keberatan...! Atau sini
deh gotongan denganku!”
“Hhh... hh... nggak, nggak apa-apa!”
Rasa curiga yang begitu besar ternyata telah
menyusahkan diri Den wangsa sendiri. Ketika dia
hendak menuruni tebing, tiba-tiba kakinya tergelincir
dan membuatnya jatuh duduk bersama peti yang berat
itu.
“Wadaaauw! Tolong... tolong angkat peti ini...!”
teriak Den Wangsa kesakitan.
“Jang. Ayo kita gotongan!” sambut salah seorang
anak buah Den Wangsa kepada temannya.
“Ayo cepat!” sahut temannya sambil mengangkat
peti itu mengimbangi temannya.
Melihat peti yang tadi menimpa perutnya, kini
sudah diangkat oleh kedua anak buahnya. Den
Wangsa segera berusaha bangun. Tetapi beberapa kali
ia coba belum juga berhasil karena kaki dan
pinggangnya terasa sakit sekali.
“Hei...! Tungguuu..! Jangan tinggalkan akuuuuu!
Aku tak bisa banguuuuun...!” teriaknya dengan keras
sekali.
Mendengar teriakan tersebut, beberapa anak
buahnya bukan main terkejutnya.
“Heh?! Lihat! Den Wangsa tertinggal!”
“Oh..., iya! Kupikir Si Aden berada di belakang
kita... Ayo cepat kita bantu!”
“Ayo!”
Dengan susah payah kedua orang itu
mengangkat majikannya. Setelah diupayakan tak juga
berhasil, maka mereka pun mohon bantuan kepada
yang lainnya.
“Hei, bantuin dong...! Kami tidak kuat, nih!”
teriak anak buah Den Wangsa yang berbadan
kerempeng itu.
Dua orang lainnya segera datang membantu
mengangkat sang majikan yang tampak masih
meringis menahan sakit.
“Sudahlah...! Lebih baik bopong saja supaya
lebih cepat tiba di rumah.” usul Si Kerempeng.
“Ya... itu usul yang baik. Tapi bagaimana dengan
Den Wangsa. Apakah Si Aden mau?” bisik temannya.
“Tanyalah...!” sahut Si Kerempeng kembali
dengan suara perlahan.
“Baiklah...,” balas temannya sambil melangkah
mendekati Den Wangsa yang baru saja didudukkan di
atas batu dan belum dapat berdiri.
“Den... Bagaimana kalau Aden kami gotong saja
sampai ke rumah?!” tanya sang anak buah kepada
majikannya.
“Terserah! Yang penting cepat kalian cari jalan
yang terbaik supaya aku tiba di rumah dengan cepat!
Hei, ke mana peti itu?! Siapa yang bawa...?!” sahut Den
Wangsa dan langsung balik bertanya kepada keempat
anak buah yang berada di dekatnya.
“Sudah dibawa lebih dulu oleh si Unang dan
Ujang, Den...!” sahut orang yang ada di sebelah
kanannya.
“Kalau begitu, cepat gorong aku! Kita susul
mereka!” perintah Den Wangsa.
Tanpa banyak komentar lagi, keempat orang itu
pun segera mengangkat tubuh majikannya yang begitu
berat dan dengan susah payah akhirnya mereka
berhasil juga membawa Den Wangsa tiba di rumah.
Suasana malam telah berubah menjadi suasana
pagi. Di pagi buta itu Den Wangsa telah membuka peti
yang didapatkannya semalam.
Apa yang terjadi?
Tak dapat terlukiskan bagaimana rasa
kecewanya, ketika diketahui bahwa isinya hanyalah
batu-batu kerikil saja dan peti itu langsung dibanting
sambil mengumpat yang tak habis-habisnya.
“Sial! Sial dangkalan!” ucapnya sendirian sambil
geregetan. Tubuhnya yang gembrot dan bermandi
keringat itu dijatuhkan di atas kursi goyang.
“Huhhhhhh... aku telah dikentuti oleh Si Picek
keparat...!” keluhnya lagi dengan nada yang semakin
lemas akibat punahnya impian-impian muluk yang
selama ini memperbudak benaknya.
TAMAT
Pembaca yang budiman,
Siapa yang telah mendahului menguras isi peti
harta karun yang konon berisi emas permata yang tak
ternilai harganya itu?
Mungkinkah Pak Kohar yang melakukannya?
Mungkinkah dilakukan oleh anak-anak Den
Surya yang masing-masing mempunyai kebiasaan
buruk seperti berjudi dan main perempuan?
Atau mungkin telah dilakukan oleh Si Tolol
sendiri?
Jawabannya dapat anda ikuti dalam episode
berikutnya yang berjudul: “Serigala-Serigala Berbulu Domba”
0 comments:
Posting Komentar