..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 08 Januari 2025

API DI BUKIT MANORE SERI 3


“Ya. Iapun bekas prajurit yang baik. Meskipun umurnya telah agak lanjut, namun tekadnya 

masih menyala seperti anak-anak muda” 

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Widurapun kemudian memanggil semua orang-orang penting di Sangkal Putung. Orang-

orangnya sendiri, maupun orang-orang Sangkal Putung. Dengan singkat Widura menjelaskan 

kepada mereka, apakah yang sedang mereka hadapi sekarang. “Mungkin orang-orang Tohpati 

itu lebih banyak dari orang-orangnya terdahulu” berkata Widura kemudian. “Karena itu setiap 

tenaga harus kita manfaatkan” 

Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun ikut bertanggung jawab 

atas apa saja yang terjadi diwilayahnya. karena itu, maka katanya “Semua anak-anak, akan 

dikerahkan dan semua laki-laki yang masih mungkin mengangkat senjata. Ada beberapa orang 

bekas prajurit yang meskipun sudah ubanan, tetapi menyatakan kesediaan mereka untuk ikut 

serta dalam pertempuran ini. Enam atau tujuh orang. Bahkan mungkin lebih dari itu” 

“Bagus” sambut Widura. “Beberapa orangku akan berada dalam barisan anak-anak muda 

Sangkal Putung” 

Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus” katanya “Anak-anak 

Sangkal Putung akan menjadi bergembira karenanya” 

Tetapi hampir semuanya kemudian tak bersuara ketika Widura berkata “Tetapi perhatian 

terbesar harus kita berikan kepada pemimpin laskar Jipang itu, Macan Kepatihan. Disini kita 

akan menentukan, siapakah yang pantas untuk melawannya tanpa menimbulkan kemungkinan 

yang terlalu buruk bagi kita” 

Sesaat pringgitan itu menjadi sepi. Tak seorangpun yang menyahut. Mereka saling 

berpandangan dan sebagian dari mereka memandangi Untara dan Sidanti berganti-ganti. 

Tetapi ada pula diantara mereka yang berpikir “Ternyata yang pantas melawan Tohpati itu 

adalah Agung Sedayu” 

Kesepian itu kemudian dipecahkan oleh suara Sidanti perlahan-lahan “Kakang Widura, 

siapakah yang menurut kakang paling pantas melawan Macan Kepatihan itu? 

Widura terdiam sejenak. Ia menunggu Untara menjawab pertanyaan itu. Dan sebenarnyalah 

kemudian Untara berkata “biarlah kita melihat keseluruhan dari musuh kita. Diantaranya mereka 

akan datang juga Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan beberapa orang yang lain. Karena itu, 

maka tugas kita akan menjadi berat. Aku sama sekali tidak menganggap bahwa akulah yang 

paling pantas melawan Tohpati. Tetapi aku akan bertanggung jawab terhadap atasanku. 

Biarlah aku mencoba melawannya, dan sudah tentu Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan yang 

lain-lain itupun perlu mendapat perhatian.” 

Sidanti tersenyum. Jawabnya “aku sudah menyangka” katanya “kemudian kami, yang lain-lain 

adalah anak-anak yang tidak perlu ikut campur dalam pertempuran itu.” 

“Bukan begitu” sahut Untara “aku,paman Widura tak akan dapat berbuat sendiri-sendiri. 

Kekuatan laskar Sangkal Putung adalah karena kita semua. Satu-satu dari diri kita masing-

masing.” 

Sidanti itu masih tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sudah memperhitungkan sejak 

semula, bahwa Untara pasti akan menempatkan dirinya melawan Macan Kepatihan. Sedang 

ditangan Untara itu tergenggam kekuasaan. Sehingga dengan demikian, tak akan ada 

kesempatan baginya untuk menyainginya. Namun meskipun demikian, Sidanti mengharap, 

mudah-mudahan kepala Untara dipecahkan olah Macan yang garang itu dengan tongkat baja 

putihnya. 

Untara melihat senyum yang aneh itu. Tetapi ia sama sekali tidak berkata apapun. Dalam 

keadaan yang demikian, maka kekuatan mereka sepenuhnya sangat diperlukannya. Karena itu, 

maka ia pura-pura sama sekali tidak melihat senyum Sidanti itu. Namun Hudaya, Citra Gati dan 

bahkan Agung Sedayu tidak dapat melepaskan perasaannya yang ganjil. Dari senyum itu 

mereka melihat, bahwa sesuatu tersembunyi dibelakangnya. 

“Kalau Untara itu telah mati oleh Tohpati” berkata Sidanti “Maka keadaan Sangkal Putung akan 

kembali seperti semula. Apalagi kalau aku mampu membunuh Macan Kepatihan itu. Mudah-

mudahan apa yang aku peroleh sekarang ini dari guruku, setidak-tidaknya akan dapat 

mengimbanginya. Sebab Tohpati itu sudah tidak sempat lagi mendalami ilmunya”


Akhirnya setelah Widura memberikan beberapa pesan kepada pemimpin-pemimpin kelompok 

itu, maka pertemuan itu segera dibubarkan. Mereka masing-masing kembali kepada 

kelompoknya, memberikan kepada mereka beberapa petunjuk dan sesaat kemudian mereka itu 

telah mempersiapkan diri masing-masing untuk menghadapi suatu pertempuran yang berat. 

Anak-anak muda Sangkal Putungpun kemudian berlari-larian hilir mudik. Mereka segera 

memanggil kelompok masing-masing dan seperti juga anak buah Widura, merekapun segera 

mempersiapkan diri mereka masing-masing. 

Ketika kemudian matahari tenggelam dibalik punggung bukit, laskar Sangkal Putung itupun 

telah siap dilapangan. Beberapa orang bekas prajurit ada diantara mereka. Meskipun orang-

orang itu telah menjelang setengah abad, namun tubuh-tubuh mereka masih tegap, dan 

senjata-senjata mereka, yang selama ini disimpannya. Namun kini senjata-senjata itu 

diambilnya kembali. Terkenanglah mereka pada masa muda mereka. Bertempur untuk suatu 

keyakinan yang digenggamnya. Kini merekapun akan bertempur kembali untuk suatu 

pengabdian atas kampung halaman mereka. 

Swandaru berdiri dengan gagahnya. Pedangnya yang besar tergantung dipinggangnya. Sekali-

sekali ia menatap langit yang biru bersih, yang dibayangi oleh warna-warna merah. Matahari itu 

seakan-akan betapa malasnya. Gelap yang turun perlahan-lahan terasa sangat menjemukan. 

Mereka itu, anak-anak muda Sangkal Putung sedang menunggu datangnya tengah malam. 

Orang-orang yang sudah setengah tua, mendapat tugas mereka sendiri. meskipun mereka 

membawa senjata pula, namun mereka harus berada didalam desa mereka. Kalau orang-orang 

Macan Kepatihan itu berhasil menembus pertahanan laskar Pajang dan anak-anak muda 

Sangkal Putung, maka merekapun akan ikut serta bertempur. Disamping itu, kalau Tohpati itu 

kemudian menjadi putus asa, dan mempergunakan panah-panah api untuk menimbulkan 

kebakaran, maka adalah pekerjaan mereka untuk mengatasinya. Sedang perempuan-

perempuan muda tidak kalah sibuknya. Mereka mendapat pekerjaan yang pantas untuk mereka. 

Mempersiapkan makanan bagi mereka yang akan berangkat berperang. Meskipun demikian, 

diantara anak-anak gadis itupun ada pula yang menyelipkan keris dan patrem diantara ikat 

pinggang mereka seakan-akan merekapun siap pula, apabila perlu, untuk ikut serta bertempur 

bersama anak-anak mudanya. 

Tetapi disamping semuanya itu, perempuan- perempuan yang bersembunyi dibalik-balik pintu 

rumahnya mendekap anak-anak mereka yang masih terlalu kecil dengan eratnya. Mereka 

mencoba untuk menghibur anak-anak mereka. 

Ketika malam turun, maka Sangkal Putung benar-benar dikuasai oleh kegelapan. Hampir tak 

ada rumah yang menyalakan lampunya, dan bahkan hampir tiada rumah yang berpenghuni. 

Hampir setiap laki-laki telah keluar dengan senjata ditangan, dan hampir setiap perempuan 

pergi mengungsikan diri ke kademangan, berkumpul bersama mereka untuk menanggungkan 

segala macam keadaan bersama-sama. Apapun yang mereka alami, apabila dipikulnya 

bersama-sama, maka terasa akan menjadi bertambah ringan. 

Meskipun hampir semua kekuatan laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung ditarik 

kearah barat, namun Widura tidak mengosongkan setiap gardu di sudut-sudut lain. Namun isi 

dari gardu-gardu itulah yang kemudian sebagian diserahkan kepada laki-laki Sangkal Putung 

yang tidak ikut serta dalam pertempuran langsung dengan anak-anak Macan Kepatihan, 

meskipun satu dua diantara mereka telah diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang 

sebaik-baiknya, untuk setiap kali apabila bahaya mengancam mereka,segera mereka dapat 

memberitahukannya kepada laskar cadangan yang ditinggalkan di kademangan, bersama 

dengan beberapa orang Sangkal Putung sendiri, disekitar lumbung-lumbung dan di banjar desa. 

Kini para peronda telah tahu benar, apa arti panah sanderan yang setiap saat akan meluncur 

disekitar tempat-tempat mereka. Untara telah berpesan kepada anak buahnya, bahwa apabila 

ada tanda-tanda Tohpati menggerakkan laskarnya, supaay mereka segera mengirimkan anak 

panah sanderan dua kali ganda berturut-turut. Dan apabila keadaan amat mendesak karena 

suatu perubahan, sedang mereka para petugas yang telah dikirim oleh Untara, tidak sempat 

memberitahukan langsung, supaya dikirimnya panah sanderan tiga kali berturut-turut. 

Beberapa saat kemudian maka laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung telah siap 

seluruhnya dilapangan dimuka banjar desa, segera untuk berangkat. Beberapa orang laki-laki 

telah siap menempati tempat-tempat yang ditentukan, dan tanda-tanda telah mereka kenal 

dengan baiknya


Namun tiba-tiba mereka menjadi tegang ketika mereka mendengar derap kuda yang berlari 

kencang memecah kesepian. Widura dan Untara segera melangkah maju menyongsong orang 

berkuda itu, sedang dibelakangnya Agung Sedayu berdiri dengan berdebar-debar. Kali ini untuk 

pertama kalinya ia mendapat kesempatan untuk ikut serta bertempur dengan lawan yang 

sebenarnya. Sebilah pedang tergantung dipinggangnya. Namun tanpa setahu kakaknya, 

disakunya terdapat beberapa butir batu sebesar telur ayam. Ia sendiri tidak tahu pasti apakah 

batu-batu itu akan bermanfaat. Namun begitu saja timbul keinginannya untuk mencoba apakah 

ia benar-benar dapat membidik dalam arti yang sebenarnya. Membidik tidak saja dalam 

permainan-permainan yang menggembirakan tetapi membidik dalam pertempuran yang 

berbahaya. 

Sesaat kemudian tampaklah seekor kuda berlari dengan kencangnya. Demikian kuda itu 

berhenti, maka meloncatlah seorang prajurit dihadapan Widura. 

Widura dengan tergesa-gesa bertanya kepadanya “Ada yang penting dipenjagaanmu?” 

Orang itu mengangguk, katanya “kami menerima panah sanderan tiga kali berturut-turut.” 

Widura mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Untara maka tampaklah Untara 

sedang berpikir. “ Ada sesuatu yang menyimpang dari rencana semula.” desisnya. 

Widura mengangguk. 

Setelah Untara itu diam sejenak, maka katanya “siapkan seluruh laskar yang ada. Kita siap 

berangkat kemana saja. Beberapa orang berkuda supay bersiap pula. Apabila ada perubahan 

arah, orang-orang itu dapat memberitahukannya kesegenap sudut penjagaan.” 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian terdengar ia bersuit dua kali. Seorang 

yang bertubuh kecil berlari-lari datang kepadanya. 

“Sonja” berkata Widura “siapkan orang-orangmu. Setiap saat kami memerlukan mereka.” 

“Baik” sahut Sonja. Kemudian iapun berlari-lari kembali ketempat kawan-kawannya 

sekelompoknya menunggu didekat kuda-kuda ditambatkan. Mereka adalah kelompok yang 

harus menyampaikan setiap berita kepada segenap tempat yang diperlukan. 

Sebelum Widura memberikan perintah-perintah berikutnya, kembali mereka mendengar suara 

kaki kuda berderap. Sekali lagi Widura, Untara dan orang-orang disekitarnya menjadi tegang. 

Seperti orang yang pertama orang itupun tergesa-gesa berkata kepada Widura “kami telah 

menerima panah sanderan dua kali berturut-turut.” 

“He” Widura mengerutkan keningnya “mereka mempercepat gerakan mereka.” 

“itulah kecerdikan Macan Kepatihan itu” sahut Untara “setiap rencana dirahasiakan didalam 

otaknya. Baru pada saat terakhir dilakukannya rencana itu, sehingga orang-orang mereka 

sendiri tidak dapat mengetahui sebelumnya. Karena itulah maka Trigata itupun tidak dapat 

mengetahuinya dengan tepat apa yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan. Karena orang-

orangnya yang dapat melakukan hubungan dengan orang-orang dalam laskat Tohpati itupun 

tidak dapat mengatakan dengan tepat pula. 

Sekali lagi Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “ Kita juga sudaj 

siap untuk berangkat. Bukankah kita segera berangkat pula.” 

“Marilah” sahut Untara. Sementara tetap kebarat.” 

Sekali lagi Widura bersuit dua kali. Dan sekali lagi Sonja berlari-lari kepadanya. 

“Satu diantara kalian pergi ke Kademangan. Yang lain ke setiap gardu peronda. Tohpati telah 

mulai bergerak. Ingat jangan menimbulkan kegelisahan diantara mereka. Kemudian kalian 

kembali ketempat ini dan separo dari kalian harus berada digardu pertama sebelah barat.” 

“Baik” Sonja mengangguk,kemudian kembali ia meloncat berlari kekelompoknya. Sesaat 

kemudian maka mereka telah menghambur kesegenap penjuru. 

Kedua penjaga yang datang berkuda berturut-turut telah kembali ketempat mereka pula 

mendahului laskar Widura. Sedang para penghubung telah menghubungi gardu-gardu yang lain. 

Mereka sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda, seperti dahulu, supaya Tohpati tidak 

menyadari bahwa kehadirannya telah dinantikan. 

Para prajurit serta laki-laki dari Sangkal Putung yang merupakan kekuatan cadangan segera 

bersiap pula. Dengan senjata ditangan mereka, mereka mengawasi setiap tempat yang mereka 

anggap penting. Beberapa orang berjalan hilir-mudik, dari sudut yang satu ke sudut yang lain


dengan pedang terhunus. Setiap jalan yang masuk ke induk desa Sangkal Putung telah tertutup 

rapat olah penjagaan yang ketat. Gardu-gardu peronda telah dilengkapi dengan senjata-senjata 

jarak jauh, panah, bandil dan alat-alat tanda bahaya. 

Sementara itu laskar Widura telah mulai merayap kepintu sebelah barat, lewat tiga jalan. Yang 

separi menyusur jalan besar, sednag yang separo lagi dibagi menjadi dua pula. Sebagian lewat 

sebelah utara dan sebagian lewat sebelah selatan. Demikian pula anak-anak muda Sangkal 

Putung itupun dibagi menjadi tiga. Sepertiga lewat jalan besar, sepertiga lewat utara dan 

sepertiga lewat selatan. 

Laskar itu kini telah keluar dari induk desa Sangkal Putung. Setelah melewati sebuah bulaj kecil 

mereka akan sampai kesebuah desa kecil yang hampir-hampir telah dikosongkan. Semua 

orang-orangnya telah pergi mengungsi keinduk desa Sangkal Putung. 

Ketika Widura yang berjalan disamping Untara menengadahkan wajahnya, tampaklah langut 

yang bersih ditaburi oleh bintang-binang yang gemerlapan. Selembar-selembar awan mengalir 

dihanyutkan oleh angin yang lambut. 

Sejenak kemudian laskar itupun telah sampai didesa kecil itu. Induk pasukan tepat berada 

ditengah, sedang kedua sayapnya masing-masing berada diujung desa-desa itu sebelah utara 

dan selatan. 

Para penjaga masih tetap berada ditempat mereka. Namun mereka tidak lagi berada didalam 

gardu. Mereka lebih senang berada dibali pepohonan. Ketika mereka melihat induk pasukan itu 

datang, maka seakan-akan mereka bersorak didalam hati mereka. Sebab dengan demikian, 

apabila laskar Tohpati itu datang setiap saat, mereka tidak harus melakukan perlawanan 

darurat. 

Laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung itu tidak maju terus. Mereka tinggal 

didalam desa itu, supaya lawan mereka tidak segera melihat kehadiran mereka. 

Ketika Widura telah mengenal keadaan sejenak ditempat itu, maka segera diperintahkannya 

kepada para penjaga “Nyalakan pelita didalam gardumu. Dan nyalakan beberapa lampu di 

rumah-rumah yang terdekat.” 

“Kenapa justru dinyalakan,Ki Lurah?” bertanya penjaga itu. 

Biarlah laskar Tohpati menyangka, bahwa keadaan didalam desa ini seperti dalam keadaan 

biasa. Kalau kau padamkan lampunya dan semua lampu-lampu, maka itu pasti akan 

mencurigakan Macan Kepatihan yang cerdik itu.” 

Penjaga itu mengangguk-angguk. “Alangkah bodohnya aku” katanya dalam hati. 

Karena itu maka segera ia bergegas-gegas pergi kerumah-rumah yang telah kosong, untuk 

menyalakan lampu-lampunya. Sedang ting digardunyapun segera dinyalakannya pula. 

“Bagus” desis Widura kemudian “desa ini akan memiliki wajah seperti wajahnya disetiap hari. 

Tohpati yang berpengalaman luas itu pasti pernah melihat pedesaan ini dimalam hari sebelum 

ia memilih arah. Dan dengan demikian ia pasti akan mengenal keadaan ini baik-baik.” 

Dalam pada itu, maka beberapa pengawaspun telah dikirim kedepan. Ketengah-tengah sawah 

yang menurut perhitungan mereka akan dilalui oleh laskar Tohpati. 

Malam yang masih terlalu muda itu telah menjadi semakin gelap. Dan didalam gelap itulah 

berkeliaran laskar dari kedua belah pihak dengan alat-alat penyebar maut ditangan mereka 

masing-masing. 

Sebenarnyalah Tohpati telah berada dihadapan hidung laskar Pajang itu. Namun mereka 

menunggu untuk menyakinkan, apakah yang sebenarnya terjadi dihadapan mereka. Laskar 

Tohpati yang bergerak jauh sebelum waktu yang ditentuka semula itu, dengan cepatnya 

mendekati Sangkal Putung. Namun laskar itu terhenti ketika Tohpati melihat suasana pedesaan 

dihadapannya. 

“Desa itu terlampau sepi” desisnya. 

Disampingnya berdiri seorang yang berwajah keras itu, yang bernama Plasa Ireng, tertawa. 

Gumamnya “setidak-tidaknya mereka telah mendengar bahwa pedesaan mereka terancam 

bahaya.” 

Tohpati berdesis, kemudian gumamnya “Sanakeling. Bawalah laskarmu melingkar ke selatan.” 

“Baik” sahut orang yang bernama sanakeling. Bekas pimpinan laskar Jipang daerah utara.


Namun untuk kepentingan kali ini agaknya mereka telah ditarik dalam satu kesatuan. Namun 

sebelum Sanakeling itu bergerak, terdengar Alap-alap Jalatunda yang berdiri dibelakang 

mereka berkata “Aku melihat pelita-pelita itu dinyalakan.” 

Tohpati tertawa. Dengan nada yang tinggi ia berkata “Paman Widura benar-benar cerdik. Ia 

ingin menjadikan desa itu seolah-olah tidak mengalami perubahan apa-apa. Namun agaknya 

anak buahnyalah yang terlalu bodoh. Sanakeling. Berjalanlah melingkari desa itu, langsung ke 

Sangkal Putung. Sayang Paman Widura agak terlambat menyalakan lampu-lampu itu. Kalau 

tidak maka kembali kami akan terjebak.” 

Sanakeling kemudian dengan cepat membaw alaskarnya ke selatan melingkari desa itu 

langsung menuju Sangkal Putung. 

Tetapi Widura dan Untarapun bukan anak kemarin petang. Itulah sebabnya mereka telah 

memasang beberapa orang jauh dihadapan laskar mereka. 

Dalam keheningan malam yang dingin itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sanderan yang 

meraung-raung diudara. Sekali, dua kali dan kemudian satu kali lagi. 

Untara mengangka alisnya “ada sesuatu yang terjadi dalam barisan Tohpati itu.” Desis Untara. 

Wajah Widura berubah menjadi tegang. Dengan gelisah ia menunggu orang-orangnya yang 

diperintahkannya untuk mengawasi setiap kemungkinan yang ada dihadapan mereka. 

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seorang pengawas dengan nafas terengah-engah. 

Tubuhnya dan seluruh pakaiannya kotor oleh lumpur. Dengantergesa-gesa ia berkata “ aku 

melihat laskar berjalan melingkar diarah selatan langsung menuju induk desa Sangkal Putung. 

Mereka pasti masuk dari arah selatan pula. Tetapi barisan itu tidak begitu besar.” 

“Hem” geram Widura “Macan Kepatihan itu selalu membuat berbagai macam permainan.” 

“Mereka telah mencapai simpang empat di bulak sebelah” orang itu berkata seterusnya. 

“He?” Widura terkejut “begitu cepatnya?” 

“Ya” 

Tiba-tiba demang Sangkal Putung itu memotong “serangan yang sangat berbahaya. Apakah 

aku bolah menarik laskar Sangkal Putung kembali menyongsong mereka?” 

“Jangan” sahut Widura. “kita belum tahu, siapakah yang memimpin laskar Jipang itu. Mungkin 

justru itu adalah induk pasukan mereka.” 

Demang Sangkal Putung itupun terdiam. Baru sesaat kemudian Widura berkata ‘keadaan itu 

sangat gawat. Biarlah aku bawa laskar sayap kiri kembali ke kademangan. Seterusnya aku 

serahkan pimpinan ini kepadamu Untara. Kalau keadaan tidak terlalu gawat aku akan kembali 

kemari.” 

Untara mengangguk “baiklah” jawabnya. 

Widura itupun dengan cepat berlari kesayap kiri. Kemudian segera laskar kiri itu ditarik mundur, 

kembali ke kademangan Sangkal Putung. 

Dengan tergesa-gesa mereka berjalan memintas. Mereka tidak lagi lewat diatas jalan diantara 

daerah persawahan. Namun mereka langsung memotong arah. Melompati tanaman-tanaman 

yang menghijau. Bahkan sekali-sekali tanam-tanaman itupun terpaksa terinjak-injak kaki 

mereka. Namun tanaman itu besok bisa disulami. Tetapi kehancuran kademangan mereka 

akan memerlukan banyak sekali pengorbanan. Harta, benda, tenaga dan waktu. Itulah 

sebabnya maka mereka tidak lagi sempat berpikir tentang tanaman-tanaman itu. 

Sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh bunyi tanda bahaya dari gardu selatan. Ternyata para 

peronda sempat melihat kedatangan mereka, sehingga mereka terpaksa membunyikan tanda 

itu, sementara beberapa orang yang lain, telah mencoba menghambat gerakan itu dengan 

senjata-senjata jarak jauh. 

Tetapi mereka terkejut ketika mereka mendengar suara tertawa dari barisan yang datang itu. 

“He” kenapa kalian berteriak-teriak minta tolong?” 

Pimpinan gardu itu sama sekali tidak memperhatikannya. Dengan cekatan mereka terus-

menerus menghujani anak-anak panah dari balik gardu mereka seberang menyeberang. Dua 

orang lagi telah meloncat kebalik semak-semak dibelakang pagar. Anak panah merekapun 

meluncur tak henti-hentinya.


Ternyata usaha itu menolong pula. gerakan laskar Sanakeling itu terpaksa berhenti sebentar. 

Mereka seang melihat, apakah yang sedang dihadapi. Tetapi sesaat kemudian Sanakeling itu 

tertawa pula, katanya sambil menghitung “ tiga orang dibelakang gardu, dua orang dibalik pagar 

dan satu orang memukul kentongan. Apakah kalian berenam sudah jemu hidup? Dua diantara 

kalian benar-benar mampu memanah. Namun yang tiga itu sama sekali tak akan berarti apa-

apa. Jangan membidik terlalu tinggi. Tarik tali busurmu agak kuat, supaya lari panahmu agak 

cepat dan keras.” 

Yang mendengar suara Sanakeling itu benar-benar manjadi sangat cemas. Orang itu dapat 

menebak dengan tepat berapa orang yang sedang berjaga-jaga digardu itu. Mungkin pemimpin 

barisan itu dapat melihat arah lepasnya anak-anak panah. Tetapi ternyata orang itu dapat 

menebak pula, siapakah diantara mereka yang benar-benar mampu melepaskan senjata-

senjata itu. 

Karena itu maka orang itu pasti seorang yang telah kenyang makan garam pertempuran. 

Sebenarnyalah para pemuda di gardu itu berjumlah enam orang. Dua diantaranya adalah 

anggota laskar Widura. Sedang yang empat adalah orang-orang Sangkal Putung. Karena itu, 

maka perlawanan merekapun berbeda dari mereka yang telah mengalami pertempuran berkali-

kali. Meskipun demikian, panah-panah itu benar-benar menjengkelkang Sanakeling. karena itu, 

maka tiba-tiba ia berteriak “He, dua atau tiga orang, pergilah mendahului kami. Ambillah orang-

orang yang mencoba merintangi perjalanan kami” 

Pemimpin gardu itu terkejut. Sanakeling hanya memerintahkan dua atau tiga orang. Apakah 

menurut perhitungannya, orang-orang yang berada digardu itu benar-benar tidak akan mampu 

berkelahi melawan tiga orang saja? Kedua prajurit Pajang itu menggeram. Merekapun prajurit 

yang telah masak. karena itu maka jawabnya “Kami berenam disini seperti dugaanmu. Jangan 

mengirimkan dua atau tiga orang. Marilah, datanglah bersama-sama, supaya kalian dapat 

menilai pertahanan Sangkal Putung” 

Sanakeling mengerutkan keningnya. Alangkah besarnya kata-kata penjaga gardu itu. Namun 

kemudian Sanakeling itu menjawab “Baiklah. Agaknya kau ingin bunuh diri” Sanakeling itu diam 

sejenak. Namun tiba-tiba ia berteriak “Menyebar. Masuki Sangkal Putung. Langsung ke 

kademangan dan kuasai daerah-daerah perbekalan” 

Serentak laskarnya bergerak. Kini mereka sama sekali tak menghiraukan lagi anak panah yang 

menghujani mereka dari balik gardu dan semak-semak. 

Ketika kemudian terdengar seorang anggota laskar Sanakeling itu mengaduh, karena 

pundaknya terkena anak panah, Sanakeling menggeram “Setan, bunuh mereka berenam” 

Para penjaga gardu mendengar pula perintah itu. Karena itu maka terasa dadanya berdesir. 

Betapapun juga, maka mereka benar-benar tidak sedang membunuh diri. Dengan demikian 

maka mereka harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang akan terjadi.Pemimpin 

peronda itupun kemudian menusup dibalik semak-semak pula bersama ketiga orang yang 

berada disekitar gardu. Ketika tanda bahaya dari gardu itu telah disahut oleh gardu-gardu yang 

lain dengan tanda kekhususannya, bahwa sumber tanda itu adalah dari gardunya, maka 

pemukul tanda bahaya itupun melepaskan kentongannya dan bersama-sama dengan kawan-

kawannya menyusup dibalik semak-semak pula. dengan beringsut sedikit demi sedikit, mereka 

terus mengadakan perlawanan dengan anak-anak panah mereka. 

Namun laskar lawan mereka, menjadi semakin dekat pula. bahkan beberapa orang tleah berlari 

melingkar dan meloncati pagar-pagar batu yang melingkari desa itu. 

Orang-orang yang berada didalam semak-semak itu merasa, bahwa mereka tidak akan dapat 

melawan mereka. karena itu maka merekapun semakin dalam membenamkan diri kedalam 

padesan sambil mencari perlindungan didalam gelapnya malam. 

Tiba-tiba, keenam orang itu menengadahkan wajah-wajah mereka. Dari kejauhan mereka 

mendengar derap orang berlari-lari. “Laskar cadangan” pikir mereka. karena itu maka pemimpin 

gardu itupun segera memberikan tanda sandi kepada mereka. “Gardu selatan. Langsung dari 

arah angin. Laskar lawan mendekati pada jarak limapuluh depa” 

Sebenarnyalah mereka adalah laskar cadangan yang berada dikademangan. Namun kekuatan 

merekapun tidak seberapa. Meskipun demikian, keenam orang peronda itu menjadi berbesar 

hati. Sebab dengan demikian, maka perlawanan mereka akan menjadi lebih berarti. Dari


kejauhan terdengar pemimpin laskar cadangan itu menjawab “Kami segera datang” 

Yang menyahut kemudian adalah suara Sanakeling. “Hem. Kalian memanggil kawan-kawan 

kalian. Baiklah. Agaknya kalian ingin mendapat kawan lebih bayak lagi dalam perjalanan kalian 

ke akhirat” 

Namun beberapa orang Sanakeling itupun telah sedemikian dekatnya. Sehingga tiba-tiba saja 

mereka telah terlibat dalam perkelahian. Kedua laskar Widura itu segera melepaskan busur 

mereka, dan dengan serta-merta mereka telah mencabut pedang-pedang mereka. Ketika 

beberapa orang melompat menerkamnya, maka segera terjadi perkelahian yang sengit. 

Keempat kawannya itupun tidak membiarkan kedua orang itu bertempur sendiri. ketika mereka 

sudah tidak dapat membidikkan anak panah mereka, maka merekapun segera melemparkan 

busur mereka, dan dengan golok ditangan mereka menyerbu pula dalam perkelahian iu. 

Namun mereka benar-benar belum banyak berpengalaman dalam pertempuran malam. karena 

itu, maka mereka tidak dapat melakukan perlawanan dengan sebaik-baiknya. Setapak demi 

setapak mereka terdesak mundur. Apalagi lawan-lawan mereka kemudian datang berloncatan. 

Tetapi dalam pada itu, laskar cedangan itupun telah datang pula. segera mereka melibatkan diri 

dalam perkelahian itu. Meskipun jumlah mereka belum memadai jumlah laskar Sanakeling, 

namun didalam malam yang gelap itu, amatlah sukar untuk membedakan, siapa kawan siapa 

lawan. Meskipun laskar masing-masing agaknya telah memiliki tanda-tanda sandi mereka 

masing-masing, namun dalam keributan pertempuran itu, maka banyak diatara mereka yang 

menjadi ragu-ragu. Laskar Jipang dan laskar Pajang yang telah jauh lebih berpengalaman dari 

anak-anak muda Sangkal Putung itupun masih juga belum dapat menempatkan diri mereka 

dengan baik. Sebab sebenarnya mereka tidak terlalu biasa mengadakan pertempuran dimalam 

hari dalam jumlah yang cukup besar. 

Sanakeling melihat kesulitan itu. Maka teriaknya kemudian “Nyalakan obor. Jumlah kita lebih 

banyak. Apalagi lawan-lawan kita adalah cucurut-cucurut dari Sangkal Putung” 

Pemimpin laskar cadangan itupun tak mau anak buahnya berkecil hati karena teriakan-teriakan 

lawannya. Maka dengan lantang pula mereka menjawab “He anak-anak muda Sangkal Putung 

yang ikut dalam pertempuran ini. Lihatlah apa yang kami lakukan. anggaplah pertempuran ini 

sebagai latihan. Sebaba ternyata yang dikirim oleh Tohpati kemari tidak lebih dari laskar yang 

mereka tempukan disepanjang pengungsian mereka” 

“Gila” sahut Sanakeling. “Inilah Sanakeling. Siapa yang berteriak-teriak itu” 

Pemimpin laskar cadangan itu tergetar hatinya. Sanakeling. Nama itu pernah didengarnya 

sebagai pemimpin laskar Jipang disebelah utara. Namun ia tidak mau mengecilkan hati anak 

buahnya yang sedang bertempur itu. Maka katana didalam gelap “Ha. Bukankah terkaanku 

benar. Sanakeling yang lari dari tekanan laskar Pajang disebelah utara, yang dipimpin langsung 

oleh Ki Panjawi” 

“Gila. Siapakah kau. Ayo tampakkan dirimu” 

Namun pemimpin laskar cadangan itu tidak mendekati Sanakeling. Sebab ia tahu, bahwa orang 

itu benar-benar bukan lawannya. Meskipun demikian ia menjawab “Disini. Datanglah kemari” 

Sanakeling menjadi marah bukan buatan. Ia meloncat dengan garangnya kearah suara itu. 

Namun perkelahian menjadi semakin ribut. Dan sekali lagi ia berteriak “Tenaga kita berlebihan. 

Sebagian dari kalian nyalakan obor” 

Sesaat kemudian beberapa obor telah menyala. karena itu daerah pertempuran itu menjadi 

agak terang. Dibeberapa bagian segera tampak wajah-wajah mereka samar-samar didalam 

bayang-bayang yang selalu bergerak-gerak. Pemimpin laskar Pajang menjadi cemas 

karenanya. Dengan demikian keringkihan laskarnya segera akan nampak. Namun demikian, 

laskar Pajang bersama laki-laki dari Sangkal Putung sendiri itu telah siap mengorbankan apa 

saja yang ada pada mereka. 

Karena itu maka betapapun besarnya bahaya yang mengancam, namun mereka sama sekali 

tidak gentar. Bahkan dengan demikian, mereka segera menyerbu musuh-musuh mereka, 

mengamuk sejadi-jadinya. Mereka telah siap berkorban untuk kampung halaman mereka yang 

mereka cintai. Sawah ladang mereka yang telah memberi kepada mereka makan dan minum, 

serta lumbung-lumbung mereka, persediaan buat hari-hari mendatang, persediaan buat anak-

anak mereka dimusim paceklik. Dengan demikian, maka pertempuran diujung desa Sangkal 

Putung itu segera berkobar dengan dahsyatnya. Sanakeling yang melihat keberanian laskar


Sangkal Putung itu menggeram marah. Dengan wajah yang merah padam segera iapun terjun 

kekancah pertempuran itu. 

Namun segera mereka dikejutkan oleh sorak-sorai yang membahana, seolah-olah mengalir 

disepanjang jalan disisi desa itu. Sesaat kemudian mereka melihat obor yang beterbangan 

menuju kekancah pertempuran itu. Kemudian diantara sorak yang menggelegar itu terdengar 

suara lantang “He, siapakah yang memimpin sempalan laskar Tohpati?” 

Suara itu belum terjawab. Namun obor-obor yang seolah-olah beterbangan berebut dahulu itu 

menjadi semakin dekat. Dari antara mereka terdengar kembali suara “Angin barat. Sayap 

selatan. Ayo, siapa yang berada dipihak lawan?” 

Mendengar suara itu laskar Pajang yang sedang bertempur itupun tiba-tiba bersorak pula. 

mereka mengenal tanda sandi itu, dan merekapun mengenal suara itu, suara Widura. Karena 

itu maka segera mereka menyahut “Laskar mereka dipimpin oleh Sanakeling” 

“Setan”geram Sanakeling “Siapa yang datang?” 

Sebenarnyalah yang datang itu adalah Widura beserta sebagian laskarnya. Dengan tergesa-

gesa mereka berloncatan diatas parit-parit dan pematang supaya mereka segera sampai ke 

Sangkal Putung. Ketika mereka melihat nyala obor yang menerangi daerah sekitar gardu 

selatan itu hati mereka menjadi berdebar-debar. Rupanya laskar lawan benar-benar telah 

sampai ke Sangkal Putung. Tanda bahaya yang menggema diseluruh kademangan, telah 

mendorong mereka untuk berjalan lebih cepat. Karena itu kemudian mereka tidak saja berjalan 

cepat-cepat, namun mereka telah berlari-larian berebut dahulu. 

Demikian mereka memasuki Sangkal Putung. Maka segera Widura memerintahkan kepada 

laskarnya untuk mempengaruhi pertempuran itu dengan caranya. Laskar yang dibawanya itu 

segera bersorak dengan riuhnya. 

Ternyata usaha Widura itupun mempunyai pengaruh pula. laskar cadangan yang lebih dahulu 

telah terlibat dalam pertempuran itu menjadi berbesar hati, sehingga karena itu maka 

perlawanannya menjadi semakin seru. Meskipun saat-saat itu tidak terlalu panjang, namun 

saat-saat itu adalah saat-saat yang menentukan. Tekanan yang berat dari laskar Sanakeling, 

hanpir-hampir menjebolkan laskar cadangan itu. Apabila demikian, maka arus mereka benar-

benar akan melanda kademangan. Sehingga kademangan dan seluruh Sangkal Putung pasti 

akan menjadi geger. 

Beberapa orang dari laskar Sanakeling itu telah siap untuk langsung menerobos masuk ke 

Sangkal Putung. Namun karena sorak sorai yang riuh itu, serta nyala api obor yang meluncur 

dengan cepatnya kedaerah pertempuran, terpaksa mereka mengurungkan niat itu. Mereka 

menunggu sementara apa yang akan terjadi. 

Sanakeling yang melihat perubhan didalam tata pertempuran itu segera mengatur anak 

buahnya. Mereka yang telah bersiap untuk langsung masuk kejantun Sangkal Putung segera 

ditariknya kembali. Mula-mula Sanakeling itu berharap, bahwa dengan sebagian saja dari 

laskarnya, maka laskar cadangan itu akan dapat dimusnahkan, sedang yang lain-lain akan 

dapat merambas jalan masuk kepusat kademangan itu sebelum laskar Tohpati datang. Namun 

tiba-tiba rencananya itu terpaksa diurungkan. Dengan marahnya terdengar Sanakeling itu 

menggeram “He, ternyata cecurut-cecurut itu bertambah pula. jangan diberi kesempatan untuk 

memandang fajar esok” 

Terdengar kemudian suara tertawa “Aku pernah mendengar suara itu” berkata suara itu 

diantara tertawanya. 

“Setan” Sanakeling itu mengumpat “Siapakah yang memimpin laskar Pajang itu?” 

“apakah kau Sanakeling?” sahut Widura yang belum menampakkan dirinya. 

Sanakeling menggeram keras sekali. Sementara itu, laskar Widura telah terjun pula kedalam 

pertempuran yang menjadi semakin riuh. 

“Inilah Sanakeling” teriak Sanakeling. 

Sesaat Widura melihat pertempuran itu. Ia melihat beberapa orang laskarnya menebar. 

Mengambil arah yang tepat, langsung menghadapi laskar Sanakeling. Beberapa orang 

diantaranya memegang obor ditangan kiri dan pedang ditangan kanan. Sedang beberapa orang 

yang lain berusaha melindunginya. karena itu maka pertempuran itupun bertambah ribut pula. 

obor-obor berhamburan kian kemari pada kedua belah pihak. Sedang kawan-kawan mereka

sibuk mempertaruhkan nyawa mereka. 

Gemerincing pedang diantara pekik sorak gemuruh membelah sepi malam. Sekali-sekali 

terdengar sebuah jerit yang membumbung tinggi. 

Tajam pedang berkilat-kilat dalam sinar obor yang kemerah-merahan. Tetapi warna merah itu 

telah bertambah merah karena darah yang tertumpah. 

“Perang brubuh” desah Widura “keduanya tidak lagi pasang gelar. Tetapi tiba-tiba Widura 

terkejut. Diantara riuhnya pedang, tampaklah seseorang yang meloncat-loncat dengan 

lincahnya. Sekali-sekali pedannya terjulur dan kemudian terayun deras sekali. Widura itu 

mengangguk-anggukkan kepalanya. “itulah Sanakeling” desisnya. “Pedang ditangan kanan dan 

bindi ditangan kiri.” 

Widura tidak dapat membiarkannya menyambar-nyambar diantara laskarnya. Karena itu, maka 

dengan tangkasnya ia meloncat langsung menghadapi pemimpin laskar Jipang dari utara itu. 

“He” Sanakeling itu terkejut ketika ia melihat Widura hadir dalam pertempuran itu. 

Widura kini telah tegak dihadapannya dengan sebuah pedang yang khusus. Pedang yang tidak 

terlalu tajam, namun ujungnya runcing seruncing ujung jarum. 

“Aku memang mengharap dapat bertemu dalam pertempuran ini.” Berkata Sanakeling. 

“Sekarang kau telah berhadapan dengan Widura. Menyesal bahwa pertempuran kita kali ini 

tidak terlalu leluasa.” Sahut Widura. 

Sanakeling menggeram. Widura telah lama dikenalnya, dan ia telah mengenal pula 

kemampuan yang tersimpan didalam dirinya. Mereka dulu adalah kawan yang baik meskipun 

tidak terlalu akrab. Namun keadaan yang memisahkan Pajang dan Jipang sesudah Sultan 

Trenggana wafat, telah memutuskan hubungan mereka pula. 

Dan Sanakelingpun tahu, siapa yan memimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Dari Tohpati 

dia mendengar, bahwa Widura beberapa waktu dahulu, setelah ia memimpin sendiri laskar 

Pajang di Sangkal Putung. Mungkin karena tanggung jawab yang sepenuhnya berada 

dipundaknya. Mungkin karena ketekunannya berlatih. Dan dari Tohpati ia mendengar bahwa 

dalam barisan Widura itu pula terdapat seorang anak muda yang bernama Sidanti, murid Ki 

Tambak Wedi. 

Sanakeling menyadari bahwa ia harus berhadapan dengan salah satu diantara keduanya. 

Kalau ia harus melawan Sidanti maka Plasa Irenglah yang harus melawan Widura atau 

sebaliknya. 

Sedangkan Tohpati akan dapat dengan leluasa membuat rencana mengatur laskarnya untuk 

langsung menembus jantung Sangkal Putung. Mungkin Plasa Ireng masih belum memadai 

kekuatan Widura atau Sidanti,namun Alap-alap Jalatunda akan dapat menyelesaikannya. 

Betapapun, tetapi anak muda yang menamakan dirinya Alap-alap Jalatunda memiliki beberapa 

kelebihan dari orang-orang lain didalam laskar Tohpati yang diperkuat itu. 

Dan kini, ternyata yang tampil dihadapannya adalah Widura. Karena itu maka katanya “Apakah 

aku berhadapan dengan induk pasukan?” 

Widura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berpaling dan berkata kepada seseorang yang 

berdiri tegak disampingnya dengan sebuah tombak pendek ditangan. Orang itu adalah seorang 

penghubung yang memang sedang menunggu perintah. Karena itu ia tidak turut bertempur. 

“Sampaikan kepada laskar yang tinggal, bahwa aku tetap berada di Sangkal Putung. Sebab 

aku bertemu kawan lamaku Sanakeling.” 

Orang itu mengangguk, namun ketika ia sedang bergerak maka Sanakeling itu berteriak 

‘tungggu” 

Orang itu berhenti, namun Widura memberi isyarat untuk berjalan terus. “He” teriak Sanakeling 

“berhenti” 

Tetapi orang itu tidak berhenti. Karena itu Sanakeling berteriak pada anak buahnya “hentikan 

orang itu” 

Seseorang meloncat maju memburunya. Namun orang itu telah tenggelam dibalik lindungan 

beberapa orang kawannya, sehingga Sanakeling seterusnya hanya mengumpat-umpat. 

“He,Widura “ bertanya Sanakeling itu pula “apakah aku berhadapan dengan induk pasukan?”


Widura berpikir sejenak “kemudian katanya “ya, kau berhadapan dengan induk pasukan.” 

Sanakeling mengerutkan keningnya, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Katanya “jadi 

inikah induk pasukan Sangkal Putung yang kau bangga-banggakan?” 

“Aku tak pernah membangga-banggakannya. Sekarang kau melihatnya sendiri.” 

“Hem” Sanakeling menggeram pula. Sekali lagi ia memandang pertempuran itu. Ia kini benar-

benar terkejut. Dalam pertempuran itu terjadi banyak sekali perubahan hanya dalam waktu 

yang sangat pendek. Ternyata kehadiran laskar Widura benar-benar telah merubah 

keseimbangan pertempuran itu. 

“Gila” Sanakeling mengumpat dengan kasarnya “ketahuilah Widura, dibelakangku masih ada 

bagian dari laskar yang jauh lebih kuat dari laskar ini. Kalau aku sudah berhadapan dengan 

induk pasukan maka pasukanmu yang lain sesaat kemudian pasti sudah akan musnah. Dan 

kemudian akan datang saatnya induk pasukanmu ini musnah pula. 

Widura tersenyum. Jawabnya “Ya, aku tahu. Sisa-sisa laskar Jipang agaknya benar-benar telah 

dipusatkan disekitar Sangkal Putung. Kalau sempalan laskarnya disini dipimpin Sanakeling, 

maka dibagian yang lain masih ada Tohpati sendiri, Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan siapa 

lagi?” 

“Gila, kau sadari kedudukanmu Widura, kalau begitu kau telah benar-benar siap mati. Nah 

lihatlah, Sangkal Putung untuk yang terakhir kalinya. 

Widura bergeser setapak. Disekitarnya pertempuran masih berkecamuk. Namun mereka 

seolah-olah sama sekali tak menghiraukan kedua pemimpin yang asyik bercakap-cakap itu. 

Tetapi kini mereka sudah tidak bercakap-cakap lagi. Mereka masing-masing telah mengangkat 

pedang, dan terdengar Sanakeling itu berkata “kau harus mati dulu Widura. Laskarmu akan 

buyar dengan sendirinya.” 

“Aku atau kau” sahut Widura. 

Sanakeling tidak menjawab. Digerakkannya pedangnya sambil berkata “apakah dadamu sudah 

berperisai baja.” 

Widura menyilangkan pedangnya dimuka dadanya sambil ,menjawab “Inilah perisaiku.” 

Sanakeling sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada menyelesaikan dahulu orang ini, 

pemimpin laskar Sangkal Putung itu. Dengan demikian maka laskar Sangkal Putung itu akan 

menjadi tercerai berai dengan sendirinya. Apalagi kalau laskar Tohpati kemudian datang 

melanda desa yang sedang ketakutan itu maka semuanya akan segera selesai. Meskipun ia 

menjadi cemas juga melihat perkembangan pertempuran itu. 

Karena itu maka segera ditundukkannya pedangnya. Dengan gerakan pendek dijulurkannya 

pedang itu kedada Widura. 

Gerak Sanakeling itu menjadi isyarat dari suatu perkelahian yang akan menjadi dasyat sekali. 

Sebab Widura kemudian mundur selangkah sambil menangkis dengan pedangnya. Sentuhan 

dari kedua pedang itu untuk yang pertama kalinya, disusul dengan sentuhan-sentuhan yang 

berikutnya. Semakin lama menjadi semakin dasyat. Dan berkobarlahh pertempuran antara 

Widura dan Sanakeling itu. Kedua-duanya adalah pemimpin yang telah cukup banyak makan 

asam garamnya peperangan. Masing-masing telah banyak memiliki perbendaharaan 

pengalaman didalam dirinya. Karena itu maka perkelahian itu segera menjadi perkelahian yang 

sengit. Sanakeling pernah mendengar keteguhan perlawanan Widura dari Tohpati sehingga ia 

dapat membandingkannya dengan apa yang pernah dilihatnya atas orang itu dahulu. Sedang 

Widura pernah mendengar tentangsn dari berbagai pihak. Ketrampilannya, kecepatannya dan 

ketangguhannya. 

Kini mereka berhadapan dalam satu pertempuran. Dan ternyata apa yang telah mereka dengar 

itu sebenarnyalah demikian. Sanakeling terpaksa mengagumi ketangguhan lawannya, sedang 

Widura terpaksa berhati-hati karena ketrampilan Sanakeling itu benar-benar mengherankan. 

Dalam pada itu, penghubung yang mendapat perintah Widura memberitahukan keadaan 

Sangkal Putung itu kepada Untara, segera melakukan tugasnya. Dengan berlari-lari kecil ia 

menghampiri kudanya yang ditambatkannya didalam gelap tidak jauh dari pertempuran itu, 

ditunggui oleh beberapa orang kawannya. Dengan tangkasnya ia meloncat keatas punggung 

kudanya, dan seperti angin kuda itu dipacunya ketempat kedudukan Untara, diujung Barat dari 

sebuah desa kecil dari kademangan Sangkal Putung.


Untara menerima berita itu denga mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “baik. 

Aku terima beritamu.” 

Sesaat kemudian Untara segera mengurai keadaan yang dihadapinya. Kini ia benar-benar 

memimpin induk pasukan yang diserahkan oleh Widura itu kepadanya. 

Ketika ia melihat Sidanti diantara mereka, maka anak muda itu segera dipanggilnya “Sidanti, 

sampai saat ini belum ada laporan bahwa induk pasukan Tohpati akan merubah arah. Kalau ia 

menempuh jurusan ini, maka kita segera akan berhadapan. sekarang, kau aku serahi untuk 

memimpin laskar sayap kanan. Atas nama kakang Widura, yang dikuasakan kepadku, ambillah 

pimpinan itu. Kalau Tohpati telah terlibat dalam pertempuran dengan induk pasukan ini, maka 

ambillah arah lambung dan usahakan serangan itu dengan sangat tiba-tiba” 

Tetapi Untara itu terkejut ketika Sidanti menjawab sama sekali diluar dugaannya “Aku adalah 

anak buah kakang Widura. berilah perintah kepada kakang Widura. dan biarlah kakang Widura 

yang memberi perintah kepadaku” 

Untara mengerutkan keningnya. Meskipun demikian ditahannya hatinya, katanya “Aku disini 

mendapat kekuasaan dari kakang Widura” 

Sidanti itu tersenyum. “Aneh, pangkat serta jabatanmu lebih tinggi dari kakang Widura. Apakah 

wajar kalau kau mewakilinya?” 

Untara menarik nafas dalam-dalam. Pandangan matanya melontar jauh menembus gelapnya 

malam, telah siap menerkamnya, Macan Kepatihan beserta laskarnya yang benar-benar telah 

mengerahkan segenap kekuatan yang ada pada mereka. 

Karena itu, betapa darahnya bergolak, namun Untara mencoba sekuat-kuat tenagana untuk 

melawannya. Bahkan katanya kemudian “Sidanti, kau benar-benar perasa. Dalam keadaan 

seperti sekarang ini, marilah kita lupakan segala persoalan diantara kita masing-masing. 

Marilah kita lupakan seandainya ada perselisihan diantara pribadi kita masing-masing. Marilah 

kita pusatkan kemampuan yang ada pada kita untuk menghadapi lawan kita. Macan Kepatihan 

beserta laskarnya” 

Sidanti mendengar kata-kata Untara itu. Terasa juga sesuatu menyentuh dadanya, sehingga 

karena itu katanya “Baiklah. Untuk kali ini aku penuhi perintah yang tidak lewat saluran yang 

sewajarnya itu, demi keselamatan Sangkal Putung” 

“Terima kasih Sidanti” sahut Untara 

Sidanti itupun segera pergi kesayap kanan. Atas nama pimpinan laskar Sangkal Putung ia 

memegang pimpinan sayap kanan. Apabila induk pasukan telah terlibat dalam pertempuran, 

maka ia harus segera menyerang dari arah lambung. 

Beberapa orang yang berada disayap kanan itu menjadi kecewa atas kehadirannya. Tetapi 

mereka dalam keadaan yang genting, sehingga Karena itu mereka tidak berbuat apa-apa. 

mereka menyadari bahwa Sidanti adalah kekuatan yang tangguh untuk melawan setiap 

pimpinan yang namanya menakutkan dari pihak lawan. Para anggota itupun telah mendengar 

bahwa didalam pasukan lawan itu terdapat pula nama-nama Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda, 

Sanakeling dan yang lain-lain. 

Diseberang kegelapan malam, Tohpati sedang sibuk menilai keadaan pula. ketika didengarnya 

tanda bahaya meraung-raung diseluruh Sangkal Putung, maka Macan Kepatihan itu tertawa. 

katanya kepada Plasa Ireng “Mudah-mudahan laskar Pajang ditarik sebaian besar kearah 

suara itu” 

Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda yang muda itu tertawa pula. sambil mengangguk-

anggukkan kepalanya mereka berkata “Tanda bahaya itu pasti akan menarik sebagian besar 

dari mereka. Karena itu marilah kita menerobos langsung kepusat kademangan Sangkal 

Putung. Sebagian dari kita, masih akan sempat menyelamatkan laskar Sanakeling, apabila ia 

keroban lawan. 

Macan Kepatihan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Bagus. Marilah kita bergerak” 

Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda segera pergi ke kekelompoknya masing-masing. Dan 

sesaat kemudian Tohpati itupun segera memerintahkan laskar induk itu untuk maju. 

Ternyata laskar induk itu tidak saja berjalan dalam gerombolan yang liar. Mereka berada dalam 

sebuah garis yang luas, hampir dalam gelar Garuda Ngalayang meskipun tidak sempurna.


Sengaja Tohpati memisahkan sayap-sayapnya dengan jarak yang cukup untuk memberi 

kesempatan kepada sayap-sayapnya itu melakukan kebijaksanaan menurut keadaan. Apabila 

ternyata laskar lawan tidak begitu berat, maka sayap-sayap pasukannya dapat berjalanterus 

menuju kejantung Sangkal Putung. Menduduki tempat-tempat yang penting, terutama lumbung-

lumbung padi serta tempat-tempat perbekalan yang lain. Kemudian kademangan dan banjar 

desa. Tetapi kalau lawan yang dihadapi cukup kuat, maka mereka harus menempuhnya dari 

lambung. 

Pengawas yang dipasang oleh Widura segera melihat kedatangan laskar lawan itu dalam 

tebaran yang luas. Karena itu segera ia merangkak-rangkak dan berusaha secepatnya 

menyampaikan berita itu kepada induk pasukannya. 

Untara yang menerima berita itu segera mengatur laskarnya. Dipecahnya sebagian dari induk 

pasukan itu, untuk dengan tergesa-gesa menempati sayap kiri. 

“Citra Gati memimpin sayap ini?” berkata Untara. 

Citra Gati termangu-mangu sejenak. Dipandangnya Agung Sedayu dengan sudut matanya. 

Namun ia tidak bertanya sesuatu. Meskipun demikian Untara memaklumi. Katanya “Citra Gati, 

pimpinlah sayap ini. Biarlah Agung Sedayu besertamu. Ia bukan salah seorang dari laskar 

paman Widura, sehingga ia tidak dapat memegang pimpinan apapun. Tetapi ia akan dapat 

memberimu bantuan.” 

Agung Sedayu menarik nafas. Meskipun kini ia tidak gemetar lagi, namun bagaimanapun juga, 

ia masih selalu ingin bersama-sama dengan kakaknya. Tetapi ia tidak dapat membantah. 

Karena itu maka katanya “Baik, kakang.” 

“Cepat, berangkatlah.” 

Citra Gati dan Agung Sedayu itupun segera membawa sebagian laskar Pajang dan beberapa 

anak-anak muda Sangkal Putung beserta mereka. Diantara mereka adalah Swandaru yang 

seolah-olah ingin berada didekat Agung Sedayu. 

Kini Untara tinggal menantikan kedatangan laskar Tohpati. Namun Untara tidak ingin bertempur 

didalam desa yang gelap pekat. Karena itu, maka dibawanya laskarnya menyongsong induk 

laskar Tohpati yang semakin lama semakin dekat. 

Setelah Untara itu menempuh jarak beberapa puluh langkah dari pedesaan maka laskarnya 

segera dihentikan. Diperintahkannya untuk menempatkan diri masing-masing sedemikian, 

sehingga tidak segera dapat dilihat oleh lawan-lawan mereka yang sedang mendekati. Apalagi 

dalam malam yang gelap segelap malam itu. Hanya cahaya bintang yang berkedipan dilangit 

sajalah yang dapat memberi kemungkinan untuk dapat memandang pada jarak yang dekat. 

Tetapi ternyata laskar Tohpati itu tidak maju langsung dalam gelarnya. Ternyata beberapa 

orang diperintahkan oleh Macan Kepatihan itu merambas jalan. Mereka berkewajiban untuk 

mengetahui, apakah jalan yang mereka tempuh itu tidak berbahaya. Sebab Tohpati memang 

sudah menyangka, bahwa laskar Widura tidak akan menunggunya saja dipadesan yang berada 

dimukanya itu. 

Meskipun demikian, namun laskar yang dipimpin oleh Untara itupun memiliki pengalaman yang 

cukup. Karena itu, ketika mereka telah mengendap dibalik pematang, maka dibiarkannya tiga 

orang laskar Tohpati yang mendahului barisannya untuk berjalan dengan tenang. Dibiarkannya 

orang itu melampaui barisan Untara yang diam-diam menunggu kehadiran lawannya. 

Karena itulah maka, laskar Tohpatipun berjalan dengan tenangnya setenang ketiga orang yang 

mendahuluinya itu. Mereka tidak menduga bahwa laskar Widura yang dipimpin Untara beserta 

anak-anak muda Sangkal Putung itu telah menunggu mereka dibalik lindungan bayangan 

pematang yang hitam kelam.Maka ketika laskar Tohpati itu sudah semakin dekat, tiba-tiba 

terdengar suara Untara memecah sepi malam, mengatasi suara angin yang berdesah diantara 

daun-daun padi yang masih sangat muda. Diantara heningnya malam terdengar suara itu 

“Sergap…….!” 

Seperti kuda yang lepas dari ikatan, maka laskar Untara itupun berloncatan dari balik-balik 

pematang, langsung menyergap lawan-lawan mereka yang terhenti karena terkejut. Ternyata 

mereka masih memerlukan waktu sekejap untuk melenyapkan desir yang menggoncangkan 

dada mereka. Dengan serta-merta mereka menjulurkan senjata-senjata mereka untuk 

menyongsong laskar Pajang yang melibat mereka seperti badai



“Setan” geram Tohpati. Dengan lantang ia berkata “Sayap kanan dan kiri, lihat perkembangan 

keadaan” 

Sayap-sayap kanan dan kiri itupun tidak segera meneruskan perjalanan mereka menyusup 

langsung kejantung Sangkal Putung. Mereka menunggu sesaat untuk melihat perkembangan 

keadaan induk pasukannya. 

Tiga orang yang mendahului gelar laskar Macan Kepatihan itu ternyata terkejut bukan kepalang. 

Cepat mereka berloncatan kembali dan langsung melibatkan diri dalam pertempuran melawan 

orang-orang Pajang. Keadaan itu benar-benar tak disangkanya. Ternyata orang-orang Pajang 

telah berhasil dengan baik, menjebaknya dan menyergap pasukannya. 

Pertempuran itupun segera berkobar dengan sengitnya. Tetapi pertempuran ini tidak 

berlangsung ditengah-tengah desa yang rimbun dalam gelap pepat. Diudara terbuka, maka 

mereka masih mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk mengamati kawan dan lawan. 

Meskipun demikian pertempuran itu tidak berlangsung terlalu cepat. Masing-masing masih juga 

ragu-ragu untuk mengayunkan pedang-pedang mereka dengan lepas. Karena itu, baik laskar 

Macan Kepatihan maupun laskar Widura dibawah pimpinan Untara itupun menganggap perlu 

bahwa beberapa orang diantara mereka menyalakan obor-obor. 

Ternyata laskar yang dihadapi oleh Tohpati itu cukup berat, sehingga terdengar suara Macan 

Kepatihan itu lantang “Sayap-sayap kanan dan kiri, ikutlah menghancurkan lawan disini. Baru 

kemudian kami bersama-sama memasuki Sangkal Putung” 

Untara mendengar pula aba-aba itu. Tetapi ia tidak memberi aba-aba imbangan. Dibiarkannya 

sayap-sayapnya menyergap kemudian setelah pertempuran menjadi riuh. 

Sayap-sayap kanan dan kiri dari laskar Tohpati itupun kemudian segera menyergap lawannya 

dari arah lambung. Sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi bertambah sengit. 

Ketika sekali lagi Untara mengawasi pertempuran itu, maka hatinya menjadi tenang. Jumlah 

laskarnya kini telah seimbang dengan laskar Tohpati. Namun meskipun demikian, kemudian 

disadarinya, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung yang ikut serta dengan mereka, masih 

belum memiliki kekuatan yang sama dengan laskar Pajang sendiri. Karena itu maka Untara 

kemudian memerintahkan kepada dua orang penghubung untuk segera menggerakkan sayap-

sayap laskar mereka. 

Macan Kepatihan itu tersenyum melihat keseimbangan pertempuran. Menurut perhitungannya, 

maka ia akan dapat mengatasi lawannya itu. Namun ia tidak tahu, bagaimanakah keadaan 

laskar Sanakeling. Kalau induk pasukan Pajang telah ditarik untuk melawan laskar Sanakeling, 

maka keadaan Sanakeling pasti akan gawat. Karena itu maka Macan Kepatihan segera 

mengerahkan segenap kekuatan yang ada padana untuk menebus kekalahan kecil yang 

dialaminya pada benturan pertama. 

Tetapi semakin lama Macan Kepatihan itu menjadi semakin yakin, bahwa laskarnya akan dapat 

menjebolkan pertahanan pasukan Pajang dan akan dapat langsung memasuki induk desa 

Sangkal Putung. 

Namun tiba-tiba ia terkejut. Dilihatnya sekumpulan pasukan muncul diarah selatan, langsung 

menyerbu kedalam perkelahian itu. Sesaat ia berdiri tegak seperti patung, kemudian terdengar 

suaranya lantang “Sayap kiri, siap melawan sayap lawan” 

Yang berdiri disayap kiri terkejut mendengar teriakan itu. Seorang anak muda dengan mata 

yang tajam setajam mata alap-alap menengadahkan wajahnya. dilihatnya sekelompok laskar 

langsung menyerbu kearah mereka yang sedang menghantam lawan dari arah lambung iu. 

Dengan tergesa-gesa anak muda itu menarik beberapa orangnya, yang dengan tergesa-gesa 

pula melepaskan lawan-lawan mereka. 

Dengan marahnya anak muda yang memimpin sayap kanan laskar Macan Kepatihan itu 

menggeram. Kemudian dengan senjata ditangan ia mendahului anak buahnya menloncat 

menyongsong laskar yang datang itu. 

Yang berdiri dipaling depan dari laskar Pajang adalah Citra Gati. Ketika ia melihat lawan 

menyongsongna, segera ditundukkannya pedangnya. Dan tanpa berkata sepatah katapun 

maka kedua orang itu telah terlibat dalam satu perkelahian, sedang anak buah merekapun 

segera menghambur, dan dengan sengitnya kemudian campuh beradu senjata. 

Agung Sedayu yang berada didalam sayap itu melihat Citra Gati bertempur dengan sekuat 

tenaganya. Lawannya adalah seorang anak muda yang lincah, namun serangannya kuat dan


garang. Tiba-tiba dada Agung Sedayu bedesir “Alap-alap Jalatunda” desisnya. Namun ia tidak 

berbuat sesuatu atas perkelahian diantara kedua pemimpin sayap itu. Ketika kedua belah pihak 

telah tenggelam dalam suatu pertempuran, Agung Sedayupun ikut bertempur pula. 

pertempuran ini adalah pertempuran yang pertama kali dialami. Meskipun dengan pedangnya 

ia mampu melawan setiap serangan yang datang kepadanya, namun terasa sesuatu bergolak 

didalam dadanya. Ketika sekali pedangnya terayun, memukul pedang lawannya dengan 

kekuatannya yang tercurah sepenuhnya, maka pedang lawannya itu terpental jatuh. Kini 

kesempatan terbuka baginya. Lamat-lamat ia melihat wajah orang itu dalam cahaya obor 

dikejauhan menyeringai pedih. Dilihatnya betapa wajah itu menjadi ketakutan melihat 

pedangnya. Ketika tangan Agung Sedayu terjulur, dan ujung pedangnya hampir menembus 

dada lawannya, tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Ketakutan yang terbayang diwajah lawannya 

yang telah tidak bersenjata itu membangkitkan iba dihatinya. Ia belum pernah membunuh orang. 

Dan ia sendiri pernah mengalami, betapa sakit perasaan yang dikejar-kejar oleh ketakutan. 

Karena itu maka tiba-tiba tangannya yang sudah terjulur itu digerakkan kesamping, sehingga 

pedangnya tidak menembus dada lawannya yang telah berputus asa. 

Lawannya terkejut bukan main. Matanya telah menjadi gelap dan harapannya telah putus. 

Sekilas terbayang istrinya yang masih muda menunggunya, serta anaknya yang baru berumur 

tiga bulan. Anak yang masih belum pernah ditimangnya, sebab selama ini ia selalu 

mengembara dari satu tempat kelain tempat bersama-sama dengan Alap-alap Jalatunda atau 

pemimpin-pemimpin Jipang yang lain. 

Tetapi tiba-tiba terasa kaki lawannya itu mendesak dadanya, dan terdengar suaranya lirih “Pergi. 

Kalau kau masih berdiri disitu, aku bunuh kau” 

Orang itu benar-benar tidak mengerti. Namun secepat kilat ia meloncat kesamping, menyusup 

diantara teman-temannya dan dengan nafas terengah-engah ia berdiri dibelakang pertempuran 

itu. Sesaat ia mencoba untuk mengenangkan apa yang baru saja terjadi. “Mustahil, mustahil” 

katanya dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun ternyata ia masih hidup. 

Ketika ia menggeleng-gelengkan kepalanya, maka yang dilihatnya masih saja perkelahian yang 

seru. Ia tidak sedang mimpi. Karena itu segera ia meloncat kembali, mengambil pedang 

seorang kawannya yang terluka “Mari, berikan senjata itu kepadaku” 

Kawannya yang terluka itu merangkak kesamping. Diberikannya pedangnya kepada kawannya 

sambil berdesah “Bunuhlah. Bunuhlah siapa saja yang kau temui. Aku sudah dilukainya. Dan 

lukaku parah” 

Orang itu menerima pedang itu dengan tangan gemetar. Kawannya dilukai dadanya, sedang 

dirinya sendiri, yang telah pasrah pada nasib, tiba-tiba mendapat kesempatan untuk hidup. Dan 

apakah sekarang ia harus membunuh? 

Tetapi ia tidak mendapat kesempatan ntuk berpikir lebih panjang. Sekali lagi ia meliat seorang 

kawannya jatuh terlentang dengan luka didadanya. Karena itu segera ia meloncat kembali 

memasuki arena pertempuran yang menjadi kian sengit. 

Agung Sedayu masih juga bertempur dengan gagahnya. Namun ketika ia melihat beberapa 

orang kawan dan lawannya terluka, maka kepalanya menjadi serasa pening. Kini lututnya 

sudah tidak gemetar karena ketakutan. Apalagi setelah ternyata ia dapat melepaskan diri dari 

berbagai bahanya. Namun ia masih belum sampai hati untuk membunuh orang, meskipun 

dalam pertempuran. 

Tetapi sementara itu pertempuran berjalan terus. Citra Gati dengan gigihnya bertempur 

melawan Alap-alap Jalatunda. Alap-alap yang masih muda itu bertempur dengan tangkasnya. 

Pedangnya menyambar-nyambar seperti beratus-ratus pedang. 

Tetapi Citra Gatipun cukup berpengalaman. Pedangnyapun berputar seperti baling-baling. 

Dengan sepenuh tenaga dicobanya untuk melawan Alap-alap Jalatunda. Namun Alap-alap 

Jalatunda itu mempunya I beberapa kelebihan daripadanya. Kelincahan dan kecepatannya. 

Sekali ia menyambar dari samping, namun dengan cepatnya pedangnya telah terjulur kearah 

lambung. 

Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah dari pertempuran itu kadang-kadang dapat 

menyaksikannya dengan cermat. Ia melihat, bahwa Alap-alap Jalatunda itu benar-benar 

tangkas. Tetapi meskipun demikian, kini Agung Sedayu itu tidak menjadi gentar seperti pada 

saat ia melihat Alap-alap Jalatunda bertempur melawan kakaknya. Bahkan tiba-tiba


terungkatlah kebenciannya kepad Alap-alap Jalatunda itu. Sebab ia adalah salah seorang dari 

mereka yang menyebabkan kakaknya terluka pada waktu itu. 

Karena itu untuk melepaskan kebimbangannya melawan setiap orang yang belum pernah 

dikenalnya dalam laskar lawannya, maka tiba-tiba Agung Sedayu itupun meloncat mendekati 

Citra Gati. Ia sama sekali tidak cemas lagi melihat pedang Alap-alap Jalatunda itu. Meskipun 

demikian, ia menjadi berdebar-debar juga. Kalau ia terpaksa terlibat dalam pertempuran yang 

seimbang, apakah ia harus membunuh lawannya? Namun demikian, ada juga keinginannya 

untuk melepaskan gelora yang tersekap didalam dadanya. Gelora kemarahannya kepada 

Sidanti yang belum ditumpahkannya. 

Alap-alap Jalatunda yang sedang bertempur melawan Citra Gati itu melihat seseorang 

mendekati perkelahian itu. Karena itu segera ia berteriak “Ha, siapa lagi yang ingin bertempur 

melawan Alap-alap Jalatunda?” 

Dalam pada itu seorang prajurit Jipang tiba-tiba menyerang Agung Sedayu. Namun dengan 

tangkasnya Agung Sedayu menghindari serangan itu, bahkan dengan kerasnya ia memukul 

pedang lawannya, kearah yang sama, sehingga justru Karena itu, maka pedang itupun 

meloncat dan terlepas dari tangannya. 

Alap-alap Jalatunda sempat menyaksikan ketangkasan itu. Karena itu maka segera 

perhatiannya tertarik kepada lawan yang mendekatinya. Sambil bertempur melawan Citra Gati 

ia berkata “He, alangkah tangkasnya anak itu. Siapakah kau? Apakah kau ingin melawan Alap-

alap Jalatunda?” 

Agung Sedayu tidak segera menjawab. namun diamatinya perkelahian antara alap-alap itu 

melawan Citra Gati. Baru sesaat kemudian ia berkata “Aku Agung Sedayu, adik Untara yang 

cegat berempat disekitar Macanan” 

“He, kaukah itu? Pengecut yang selama ini aku cari-cari” 

“Kita bertemu disini. Apakah aku benar-benar pengecut?” 

Citra Gati menjadi heran. Apakah mereka sudah berkenalan? Tetapi kemudian diingatnya cerita 

Agung Sedayu tentang perjalanannya malam-malam ia pertama kali datang di Sangkal Putung. 

Karena itu maka katanya sambil menggerakkan pedangnya, menangkis serangan Alap-alap 

Jalatunda “Apakah kau bertemu dengan kawan lama?” 

“Ya” sahut Agung Sedayu. 

“Kalau kau yang bertempur melawan aku sekarang, maka aku akan dapat melepaskan sakit 

hatiku. Bukankah kakakmu yang namanya Untara itu membunuh tiga orang kawan-kawanku?” 

teriak Alap-alap Jalatunda. 

Agung Sedayu menarik nafas. Kemudian katanya “Kau masih marah?” 

“Setan” desis Alap-alap Jalatunda. “Kalau kau tidak melarikan diri waktu itu, maka kau telah aku 

cincang dibawah randu alas ditikungan” 

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. “Ya” katanya dalam hati. “Kalau pada saait itu Kiai 

Gringsing tidak menolongku, mungkin aku benar-benar telah dicincangnya” 

Kemudian jawabnya “Tetapi sekarang kita bertemu lagi” 

“Jangan lari. Setelah aku menyelesaikan yang seorang ini, akan datang giliranmu” 

Citra Gati tersinggung mendengar kata-kata itu. Karena itu ia memperketat serangannya sambil 

berteriak “Apa kau sangka aku ini dapat kau kalahkan?” 

Alap-alap Jalatunda terkejut. Serangan Citra Gati benar-benar berbahaya. Sedang seorang 

yang lain telah menyerang Agung Sedayu pula. namun sekali lagi dengan mudahnya Agung 

Sedayu dapat menghindarinya. Bertempur beberapa saat, kemudian dengan sejuat tenaga 

melawan serangan orang itu dengan serangan pula, sehingga kedua senjata mereka beradu. 

Ketika pedang lawannya itu masih bergetar ditangannya, mak dengan cepatnya Agung Sedayu 

memukul pedang itu sehingga terlepas pula dari genggamannya. Namun sekali lagi ia ragu-

ragu untuk membunuhnya. Maka dibiarkannya lawannya itu berlari menyusup diantara riuhnya 

pertempuran. 

Kini, setelah beberapa kali Agung Sedayu meyakinkan kemampuannya, maka dengan 

tangkasnya ia meloncat mendekati Citra Gati sambil berkata “Lepaskan anak muda itu paman. 

Biarlah ia melawan aku dahulu”


Citra Gati mengangkat dahinya. Sebenarnya ia ingin menyobek mulut Alap-alap Jalatunda yang 

telah menghinanya itu. Tetapi ia tidak mampu. Karena itu maka jawabnya “Silakan. Kalau 

kawan lama sudah bertemu, maka aku akan menyingkir” 

“Kau mau bunuh diri?” teriak Alap-alap Jalatunda “Beberapa waktu yang lalu kau melarikan 

dirimu, sekarang kau bersombong diri, melawan aku” 

“Pada waktu itupun aku tidak lari” sahut Agung Sedayu yang mencoba menutupi 

kekecewaannya atas masa lampau itu “Waktu itu aku sedang menyelamatkan kakang Untara” 

Alap-alap Jalatunda mencibirkan bibirnya. Anak muda itu dapat mengingatknya dengan baik 

ketika Agung Sedayu berdiri dengan gemetar melihat Untara bertempur seorang diri. 

Tetapi Alap-alap Jalatunda itu benar-benar menjadi heran, bahwa kini Agung Sedayu benar-

benar berani melawannya atas kehendak sendiri. bahkan sengaja mendatanginya dan 

menyatakan dirinya untuk bertempur melawannya. 

Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus. Citra Gati yang kemudian melepaskan 

lawannya, segera mendapat serangan dari orang-orang Alap-alap Jalatunda yang menyangka 

bahwa Agung Sedayu dan Citra Gati akan mengeroyok pimpinan sayapnya. Tetapi Citra Gati 

segera berkisar dari tempatnya, dan menyambut serangan itu dalam jarak yang cukup dari 

Alap-alap Jalatunda. 

Kini Alap-alap Jalatunda berdiri bebas tanpa lawan seperti Agung Sedayu. Anak buahnya 

segera mengerti bahwa mereka beruda akan berhadapan sebagai lawan. Demikian juga 

dengan anak buah Citra Gati. Karena itu maka mereka tidak akan mengganggu kedua orang 

yang sudah siap untuk bertempur itu. Bahkan mereka sedang sibuk melayani lawan masing-

masing. 

Alap-alap Jalatunda itu sekali melayangkan pandangannya kearena yang tidak begitu luas itu. 

Perkelahian masih berlangsung dengan sengitnya. Terasa bahwa jumlah lawannya agak sedikit 

lebih banyak. Tetapi beberapa orang diatara mereka adalah anak-anak muda yang belum 

begitu tangkas mempergunakan senjata-senjata mereka, sehingga mereka terpaksa bertempur 

berpasangan. Tetapi anak buah Widura sendiri, telah bertempur mati-matian. Dan sebenarnya 

tandang mereka ngedap-edabi. Dengan demikian maka anak-anak muda Sangkal Putung yang 

berbekal tekad yang menyala didalam dada mereka itupun menjadi garang pula. diantara 

mereka, Swandaru tampak mempunyai beberapa kelebihan. Bahkan kini ia tidak kalah tangkas 

dengan setiap orang didalam pasukan kecil itu. Pedangnya yang besar berputar menyambar-

nyambar seperti baling-baling. Dan setiap benturan, langsung terasa oleh lawannya bahwa 

kekuatannya benar-benar bukan main. Karena itulah maka Swandaru itu benar-benar 

mengamuk seperti banteng yang terluka. 

Alap-alap Jalatunda itu kemudian memandang Agung Sedayu yang telah siap beridir 

dimukanya. Dengan wajah yang tegan Alap-alap Jalatunda itu membentak “He, apakah kau 

sekarang sudah mendapat seorang guru yang pilih tanding? Yang mampu meremas prahara? 

Agung Sedayu masih juga berdebar-debar. Meskipun demikian ia merasa bahwa ia tidak takut 

lagi menghadapinya. Karena itu maka katanya “Alap-alap Jalatunda, aku telah mendapat guru 

yang sangat bauk. Aku berguru pada keadaan dan waktu. Akhirnya aku beranimenghadipmu 

kini” 

Alap-alap Jalatunda tertawa. katanya “Nah, berperisailah dengan segala macam mantra, doa, 

aji dan ilmu. Namun sebentar lagi dadamu akan tembus oleh ujung pedangku” 

“Tidak. Aku hanya berperisai dengan keyakinan akan kebenaran perjuanganku. Mudah-

mudahan Tuhan membenarkan pula” 

“Huh, setiap orang meyakini kebenaran perjuangannya. Akupun yakin, Karena itu jangan 

membual tentang kebenaran” 

“Kau benar” sahut Agung Sedayu “Tetapi marilah kita cari kebenaran yang jujur. Kebenaran 

yang dibenarkan oleh Tuhan kita. Bukankah kau juga mengakui kebenaran yang mutlak itu?” 

“Pandangan kita tak akan bertemu” 

“Mungkin tidak. Tetapi apa yang kau lakukan selama ini, perampokan, pencegatan, perkosaan 

atas kebebasan dan kemanusiaan adalah sama sekali tidak mencerminkan kebenaran 

perjuanganmu” 

“Jangan menggurui aku. Kita sudah memegang pedang ditangan masing-masing


“Bagus. Aku sudah siap” 

Alap-alap Jalatunda tidak berbicara lagi. Segera ia meloncat sambil menjulurkan pedangnya. 

Namun Agung Sedayupun telah siap pula. ia telah banyak mengalami penempaan selama ini. 

Dari kakaknya dimasa kanak-kanaknya, dari ayahnya dan akhirnya dari pamannya. Namun ia 

sendiri telah menemukan banyak persoalan yang dapat dipecahkannya lewat lukisan-

lukisannya yang telah disempurnakan oleh kakaknya, sehingga dengan demikian, maka Alap-

alap Jalatunda benar-benar menjadi heran. Agung Sedayu adalah anak muda yang perkasa. 

Demikianlah mereka terlibat dalam perkelahian yang sengit. Alap-alap Jalatunda yang ber 

tanggung-jawab atas anak buahnya, segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk 

secepat-cepatnya berusaha menyelesaikan pertempuran itu. Sedang Agung Sedayu kemudian 

melawannya dengan gigih. 

Namun dalam pada itu, tiba-tiba timbullah berbagai pertanyaan didalam diri Agung Sedayu. Ia 

belum pernah mengalami pertempuran yang sebenarnya. Karena itu, ia menjadi heran. Apakah 

Alap-alap Jalatunda itu tidak bertempur dengan segenap kemampuannya? Apakah anak muda 

itu sengaja memancingnya atau membiarkannya menjadi lelah? 

Sampai sedemikian lama, Agung Sedayu sama sekali tidak merasakan sesuatu kesulitan untuk 

melawan Alap-alap Jalatunda yang ditakutinya. Ia dapat melawan dengan baik, bahkan 

kadang-kadang ia mampu melibat lawannya dalam keadaan yang sangat sulit. Karena itu maka 

Agung Sedayu justru menjadi bingung. Ia akhirnya menyangka bahwa Alap-alap Jalatunda 

belum bertempur dengan sepenuh kemampuannya. Dengan demikian, maka Agung 

Sedayupun berusaha menyimpan sebagian dari tenaganya untuk menghadapi setiap saat 

apabila Alap-alap Jalatunda itu mengerahkan ilmunya. 

Tetapi sebenarnya bahwa Alap-alap Jalatunda telah berjuang mati-matian untuk 

membinasakan lawannya. Namun betapa ia menjadi heran. Lawannya itu menjadi seperti hantu 

yang sangat membingungkannya. Sekali-sekali ia dapat menghadapinya dengan mantap, 

namun tiba-tiba bayangannya telah melontar mengitarinya seperti bayangan hantu yang tidak 

berjejak diatas tanah. Karena itu, maka keringat dingin telah mengalir disegenap wajah kulitnya. 

Meskipun demikian Alap-alap Jalatunda itu masih bertempur dengan garangnya. 

Hal inilah yang tidak diketahui oleh Agung Sedayu. Ia masih menyangka bahwa Alap-alap 

Jalatunda belum bertempur sebenarnya. 

Dengan demikian, maka Agung Sedayu itupun masih menunggu. Disimpannya sebagian dari 

tenaganya. Apabila saatnya datang, maka segera ia siap untuk bertempur mati-matian. 

Bagaimanapun juga, Agung Sedayu itu masih juga terpengaruh kenangan masa-masa 

lampaunya. Ia masih menganggap bahwa Alap-alap Jalatunda adalah seorang anak muda 

yang perkasa. Karena itu maka ketika ia mengalami pertempuran melawan alap-alap itu, ia 

menjadi ragu-ragu. Sebab dalam perkelahian itu ternyata, bahwa Alap-alap Jalatunda sama 

sekali tidak segarang yang disangkanya, sehingga dengan demikian ia tetap mengira, bahwa 

Alap-alap Jalatunda masih menyimpan sesuatu yang akan dipakainya untuk mengakhiri 

pertempuran. 

Demikianlah maka mereka berdua masih berempur dengan serunya, didalam riuhnya 

pertempuran antara laskar Widura dan anak-anak Sangkal Putung disatu pihak dan laskar 

Tohpati dilain pihak. 

Sementara itu, induk pasukan merekapun bertempur dengan serunya pula. mereka telah 

berjuang sekuat-kuat tenaga mereka. Sejak munculnya laskar yang dipimpin oleh Citra Gati itu 

maka Macan Kepatihan yang cerdik segera dapat menduga, bahwa akan datang pula serangan 

dari sayap lain. Karena itu segera ia berteriak “Siapkan sayap kiri” 

Dan sebenarnyalah laskar Pajang yang dipimpin oleh Sidanti itupun segera melanda lawannya 

seperti arus banjir yang berusaha memecahkan tebing. Bergulung-gulung gelombang demi 

gelombang. 

Sidanti telah mengatur anak buahnya dalam sap-sap yang tipis. Sebagian anak buahnya 

langsung berusaha masuk kedalam barisan lawan. Sedang lawan-lawan mereka yang berdiri 

dibaris terdepan, harus berhadapan dengan lapis-lapis yang berikutnya. Dengan demikian, 

maka mereka menjadi ragu-ragu. Karena itu itu maka pertempuran yang ribut itu berlangsung 

dalam suasana yang tidak menentu. Apalagi malam yang pekat telah melindungi wajah-wajah 

mereka sehingga sukar untuk membedakan siapakah lawan dan yang manakah kawan. Tetapi


dengan demikian Sidanti telah berhasil mengurangi kemungkinan yang tidak diharapkan bagi 

mereka yang masih belum lanyah mempermainkan senjata, sebab dalam keadaan demikian, 

mereka bertempur berpasang-pasang, bahkan kadang-kadang dalam jumlah tiga atau empat 

bersama-sama. 

Dalam keadaan demikian itulah maka kedua belah pihak memandang perlu untuk menyalakan 

obor-obor lebih banyak lagi sehingga oleh sinar obor-obor itu mereka dapat sedikit 

membedakan, antara lawan dan kawan. 

Namun Plasa Ireng tidak membiarkan pertempuran itu menjadi kisruh tidak menentu. Karena itu 

maka segera ia berteriak “Jangan berkisar dari satu titik. Merengganglah, dan carilah jarak 

diantara kawan sendiri” 

Arena pertempuran yang mula-mula justru menjadi kian sempit itu, maka perlahan-lahan 

menebar kembali. Laskar Jipang bukan pula laskar kemarin petang. Karena itu segera mereka 

dapat menempatkan diri mereka dengan baik. 

Sidanti yang memimpin laskar Pajang itupun segera dapat melihat siapakah yang memegang 

perintah dalam laskar lawannya. Karena itu maka tanpa berkata apapun segera ia meloncat 

menyerbunya. 

Plasa Ireng terkejut melihat anak muda itu. Sekali ia meloncat kesamping kemudian dengan 

menggeram ia berkata “Siapakah kau?” 

“Sidanti” sahut Sidanti. Namun sementara itu, senjatanya yang berujung tajam dikedua sisinya 

berputar dengan cepatnya. Sekali-sekali mematuk dan sekali-sekali menyambar hampir 

menyentuh wajah Plasa Ireng. 

Plasa Ireng itu menjadi marah bukan buatan. Dengan menangkis setiap serangan Sidanti ia 

menggeram “apakah kau sudah jemu hidup?” 

Sidanti menyerang semakin garang. Meskipun demikian ia menjawab “Kita berada dimedan 

pertempuran. Jangan ribut” 

Plasa Ireng itupun kemudian berteriak nyaring. Dengan garangnya ia melawan serangan-

serangan Sidanti. Iapun bukan anak-anak yang baru sekali menyaksikan darah tertumpah. 

Plasa Ireng adalah prajurit sejak mudanya. Seakan-akan ia memang dilahirkan untuk 

memanggul senjata. 

Demikianlah perkelahian itu cepat menanjak menjadi dahsyat sekali. Sidanti bergerak dengan 

lincahnya, sedang Plasa Ireng bertempur dengan tangguhnya. Keduanya memiliki beberapa 

kelebihan dari orang-orang kebanyakan. 

Namun ketika Plasa Ireng sempat memperhatikan senjata lawannya, maka iapun menjadi 

berdebar-debar. Ciri yang ada ditangan Sidanti itu adalah ciri perguruan Tambak Wedi. 

“Hem” desisnya sambil bertempur “Apakah kau murid Ki Tambak Wedi?” 

Sidanti menjadi berbangga hati mendengar pertanyan itu “Ya” jawabnya singkat. 

Sekali lagi Plasa Ireng menggeram “Jangan berbangga. Aku mendengar nama Ki Tambak Wedi 

dari Macan Kepatihan. Karena itu aku akan mencoba, apakah berita tentang Tambak Wedi itu 

benar-benar mendebarkan hati” 

Sidanti menjadi tersinggung karenanya. Maka senjatanya menjadi semakin dahsyat berputar-

putar mengitari tubuh lawannya. Bagaimana Plasa Irengpun telah mencapai puncak 

kemarahannya. Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi bertambah seru. 

Sebenarnyalah Sidanti memiliki beberapa keanehan. Ia mampu meloncat-loncat seperti kijang, 

namun kadang-kadang ia menyambar seperti elang. Dengan penuh tekad, ia ingin 

menunjukkan kelebihannya dari setiap orang dari kedua belah pikak. Ia ingin membunuh 

lawannya itu, dan karena itu ia ingin membanggakan dirinya kepada setiap orang di Sangkal 

Putung. 

Tetapi Plasa Ireng itupun ingin berbuat serupa. Ia ingin segera membinasakan murid Ki Tambak 

Wedi itu. Dengan demikian iapun akan dapat membanggakan dirinya pula. 

Plasa Ireng pernah mendengar dari Macan Kepatihan bahwa murid Ki Tambak Wedi ternyata 

telah berhasil menyelamatkan dirinya ketika ia bertempur melawan Macan Kepatihan itu sendiri 

“Tetapi ia akan mati kali ini” berkata Plasa Ireng didalam hatinya. Dengan demikian maka 

pertempuran diantara mereka menjadi semakin seru. Masing-masing berhasrat untuk


membunuh lawannya. Tanpa ampun, tanpa pertimbangan lain. 

Ketika keuda sayapnya telah mendapatkan lawan masing-masing, maka kini Tohpati menjadi 

tenang. Kini ia tinggal mengatur induk pasukannya. Ketika dengan seksama ia memperhatikan 

pertempuran itu, maka ia menarik nafas dalam-dalam. Ia menyesal bahwa kunci pertempuran 

itu telah dibuka oleh laskar Pajang. Sesaat yang pendek itu ternyata benar-benar berpengaruh 

atas laskarnya.“Hem” ia menggeram. “Sekali lagi dapat disegap oleh Widura. Jaringan 

pengawasannya benar-benar luar biasa. Tetapi sejak pertempuran ini dimulai, aku belum 

memlihatnya. Aku belum melihat seorangpun yang memberi aba-aba pada laskar ini” 

Sasaat ia masih berdiri tegak dibelakang garis pertempuran. Namun kemudian ia tidak akan 

berdiri saja seperti patung. Keitka ia melihat bahwa jumlah laskar lawannya agak lebih banyak 

maka ia mengerutkan keningnya “Tidak akan berpengaruh apa-apa” desah Tohpati itu. Namun 

ia heran juga, kenapa mereka tidak terpancing oleh tanda bahaya yang bergema diseluruh 

Sangkal Putung itu sehingga jumlah mereka masih cukup banyak. Apakah jumlah laskar Widura 

itu telah ditambah? 

Namun mata Macan Kepatihan itu benar-benar tajam. Sekali-sekali ia melihat satu duda orang 

diantara laskar Widura yang mempunyai cara dan sikap yang agak berbeda dari kawan-kawan 

mereka. Karena itu maka segera Tohpati dapat mengambil kesimpulan bahwa laskar Widura ini 

telah bergabung dengan anak-anak Sangkal Putung sendiri. 

“Biarlah aku memberikan tekanan kepada laskar lawan itu. Mungkin dengan demikian Widura 

akan menghampiri aku” berkata Tohpati itu didalam hatinya. 

Karena itu maka segera ia meloncat menyusup diantara anak buahnya, sehingga sesaat 

kemudian senjatanya telah berputaran diarena itu. Tongkatnya yang putih mengkilap dengan 

ujung yang kekuning-kuningan segera memberitahukan kepada lawan-lawannya bahwa Tohpati 

sendiri telah hadir digaris peperangan. Karena itu, sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, 

maka seorang dua orang telah terpelanting jatuh. Setiap ia bergerak, maka tak ada seorangpun 

yang berani menyongsongnya seorang diri. Kalau terpaksa mereka harus melawan Macan 

Kepatihan itu, maka mereka berusaha untuk melawan berpasangan, tiga empat orang 

sekaligus. Tetapi lawan-lawan mereka yang lainpun segera menyerang mereka juga, sehingga 

setiap titik yang dihampiri oleh Tohpati itu, maka seseorang dari laskar lawannya pasti akan 

jatuh. 

Tetapi Tohpati itu tidak terlalu lama dapat berbuat demikian. Tiba-tiba dari laskar Pajang, 

muncullah seseorang dengan sebuah pedang ditangan. Ketika tongkat Tohpati itu terayun 

dengan derasnya kearah salah seorang prajurit Pajang yang telah menjadi berputus asa 

karenanya, maka tiba-tiba pedang itu telah menyentuhnya. Tidak terlalu keras, namun dari arah 

yang tepat sehingga tongkat Tohpati itu tergeser dari arahnya. 

Tohpati menggeram keras sekali. Ketika ia melihat orang yang menyentuh senjatanya itu 

didalam remang-remang cahaya obor ia terkejut. Hampir berteriak ia berkata “He, adakah kau 

adi Untara?” 

Orang yang memegang pedang itu menyahut “Ya” 

Sekali lagi Tohpati menggeram. Kini ia menemukan lawan yang sebenarnya. Karena itu maka 

ia tidak mau membuang waktu. Betempur melawan Widura, Sidanti atau siapapun, Tohpati 

tidak akan memerlukan waktu yang terlalu banyak. Namun kini Untara berdiri dihadapannya, 

maka dengan demikian ada kemungkinan ia harus bertempur lebih lama lagi, mungkin 

setengah malam, mungkin lebih. 

Untara kini telah benar-benar siap untuk melawannya. Pedangnya terjulur setinggi dada. 

“Kakang Tohpati” katanya “Aku mendapat tugas untuk menyambut kedatanganmu” 

Tohpati menggertakkan giginya. Dengan sekali loncat, tongkatnya telah mulai menyerang 

Untara. Namun Untara telah benar-benar siap. Meskipun Untara tidak mempunyai senjata 

khusus seperti Tohpati itu, namun Untara mampu mempergunakan setiap senjata untuk 

melawan Tohpati. Karena itu ketika tongkat Tohpati itu terayun kearah kepalanya, dengan 

tangkasnya ia merendahkan dirinya, sedang tangannya segeramenggerakkan pedangnya, 

mematuk lambung lawannya. Namun Tohpatipun mampu bergerak secepat kilat, sehingga 

dengan memiringkan tubuhnya, serangan pedang Untara telah dapat dihindari. 

Kin Tohpati itu kembali mempersiapkan sebuah serangan. Tongkatnya telah mulai berputaran


seperti baling-baling. Bahkan kemudian seakan-akan menjadi sebuah gumpalan cahaya yang 

putih. Sedang kepala tongkatnya itu menjadi seakan-akan seleret cahaya kuning yang 

beterbangan diantara gumpalan yang berkilat-kilat itu. 

Dalam pada itu terdengar Tohpati itu menggeram “Kenapa kau berada disini adi?” 

Untara tersenyum. pada saat itu tongkat Tohpati menyambarnya kembali. karena itu, ia 

terpaksa bergeser surut, namun kemudian ia meloncat maju dengan tangkasnya. Kini ia 

menyerang dengan sebuha sabetan menyilang. Tohpati terkejut. Cepat ia menarik diri setengah 

langkah, dan mencondongkan badannya kebelakang. Ketika pedang Untara itu lewat, maka 

tongkatnyalah kini langsung menyambar tangan Untara itu. Namun Untarapun cukup cekatan. 

Dengan lincahnya ia memutar dirinya dan menarik tangannya, sehingga tongkat lawannya 

terayun tanpa menyentuhnya. 

Meksipun mereka telah bertempur semakin cepat, namun Untara masih sempat berkata “Huh. 

Hampir aku tidak sempat menjawab untuk selama-lamanya. Nah kakang, aku datang kemari 

khusus untuk menerima kedatangan kakang” 

“Gila” Tohpati mengumpat “Apakah paman Widura sudah ditarik ke Pajang?” 

“Kakang mencari paman Widura?” 

“Aku hampir membunuhnya” sahut Tohpati. Dalam oada itu serangannya telah meluncur 

kembali. 

Tetapi Untara sama sekali tidak lengah. Setiap saat ia selalu siap menghadapi serangan 

lawannya. Bahkan dengan garangnya Untara itupun segera menyerang kembali. 

Untara dan Macan Kepatihan itupun kemudian terlibat dalam perkelahian yang semakin lama 

menjadi semakin seru. Mereka masing-masing adalah pemimpin yang mendapat kepercayaan. 

Pada masa Jipang masih tegak, maka disamping Mantahun sendiri, pepatih Jipang, maka 

Tohpatilah prajurit yang paling dipercaya. Sedang Untara walaupun masih agak lebih muda dari 

Tohpati, namun ia telah menunjukkan kelebihan dari prajurit-prajurit yang lain, sehingga 

panglima Wiratamtama memberinya kepercayaan didaerah-daerah yang gawat, disekitar lereng 

gunung Merapi. 

Tohpati itu bertempur semakin lama menjadi semakin garang. Tongkatnya menyambar-

nyambar seperti elang, sedang kakinya meloncat-loncat dengan cepatnya, seperti seorang 

yang sedang menari diatas bara api. Tetapi Untara mampu melawannya dengan gigih. Seperti 

seekor banteng ia siap menghadapi kemungkinan apapun juga. Tenang tetapi yakin. 

Anak buah masing-masingpun terpengaruh pula oleh pertempuran kedua pemimpin itu. 

Merekapun kemudian melepaskan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Karena itu, 

maka diarena pertempura itu semakin lama menjadi semakin riuh. Suara senjata beradu, 

diselingi pekik mereka yang lengah sehingga ujung senjata lawannya hinggap ditubuhnya. 

Malam yang gelap itu menjadi semakin gelap. Perlahan-lahan bintang-bintang dilangit merabat 

melewati garis edarnya. Angin malam yang dingin berhembus perlahan-lahan mengusap tubuh 

mereka yang sedang basah oleh keringat. 

Dipinggir selatan induk desa Sangkal Putung, Widura sedang berjuang dengan gigihnya. 

Sanakeling yang melawannya telah memeras segenap kemampuan yang ada padanya. 

Ternyata apa yang pernah didengarnya tentang Widura, adalah bukan sekedar cerita belaka. 

Kini ia berhadapan langsung dengan orang yang bernama Widura itu. Tidak saja ia mempunyai 

kecepatan dan ketrampilan bertempur, namun caranya mengatur anak buahnya benar-benar 

mengagumkan. karena itu, maka Sanakeling harus bertempur mati-matian sehingga dengan 

demikian ia akan dapat mempengaruhi keadaan keseimbangan laskar mereka. “Kalau aku 

mampu membunuh Widura, maka laskar mereka akan dapat aku cerai-beraikan” pikir 

Sanakeling itu. Namun ternyata Widura tidak mudah didesaknya. Bahkan semakin lama 

menjadi semakin terasa bahwa Widura menjadi semakin mapan. 

karena itu, maka timbullah berbagai persoalan didalam dirinya. Sudah cukup lama Sanakeling 

berusaha mempertahankan kedudukannya. Namun laskar yang lain, masih belum dilihatnya 

memasuki Sangkal Putung. Apalagi kemudian terasa bahwa laskar Sangkal Putung itu benar-

benar sulit untuk dikuasai. Anak-anak muda Sangkal Putung sendiri bertempur dengan gigihnya, 

disamping laskar Widura yang telah masak menghadapi segala macam keadaan pertempuran. 

karena itu, maka Sanakeling itu sama sekali tidak dapat memberikan tekanan-tekanan seperti 

yang diharapkan, apalagi merambas jalan kekademangan,


Tetapi Sanakeling bukannya prajurit yang berpikiran pendek. Ia bukan seorang yang lekas 

menjadi berputus asa. Ia masih tetap dalam pendiriannya, kalau ia dapat membunuh Widura 

maka pekerjaannya akan dapat dilakukan dengan baik. 

Dalam keadaan yang demikian itulah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Laskar Widura 

dan laskar Sangkal Putung ternyata melebihi jumlah laskar lawan. Namun ternyata bahwa 

laskar Sanakeling memiliki pengalaman dan kelincahan lebih baik dari laskar Sangkal Putung 

sendiri. Untunglah bahwa laskar Widura mampu mengimbanginya, meskipun jumlahnya tidak 

dapat memadai. 

Dibagian lain, Agung Sedayu masih juga bertempur melawan Alap-alap Jalatunda. Laskar Citra 

Gati disayap itupun ternyata mampu mengimbangi lawannya. Beberapa orang laskar Sangkal 

Putung ang tidak saja terdiri dari anak-anak muda, tetapi beberapa orang tua, namun justru 

bekas prajurit-prajurit dimasa mudanya, ternyata memberinya banyak bantuan. Meskipun 

tenaga orang-orang tua itu sudah tidak sekuat anak-anak muda, namun pengalamannya benar-

benar dapat memberi beberapa keuntunga. Mereka masih dapat membingungkan lawan-lawan 

dengan gerak-gerak yang aneh. Kadang-kadang mereka menghilang didalam keriuhan 

pertempuran, namun dengan tiba-tiba mereka muncul kembali dengan sebuah serangan yang 

mengejutkan. Bahkan kadang-kadang mereka bertempur berpasangan dengan anak-anak 

muda sambil memberi beberapa petunjuk kepada mereka. 

Citra Gati yang melihat cara mereka bertemput, sempat juga tersenyum. mereka adalah bekas 

prajurit Demak yang tangguh dimasa muda mereka. 

Tetapi Agung Sedayu sendiri, masih saja merasa kebingungan. Ia ragu-ragu untuk segera 

mengakhiri pertempuran. Kalau ia segera mengerahkan segenap kemampuannya, apakah 

Alap-alap Jalatunda itu tidak menjadi beruntung karenanya? Apakah Alap-alap Jalatunda 

sengaja membuatnya tidak sabar, dan menunggu sampai ia menjadi lemah? 

karena itu, maka akhirnya ia memutuskan untuk melayani saja lawannya. Dibiarkannya 

lawannya mengambil sikap lebih dahulu, baru kemudian ia akan menyelesaikannya. 

“Biarlah” katanya dalam hati “Akan aku layani Alap-alap Jalatunda ini. Sehari, dua hari atau 

seminggu sekalipun. Kalau ia masih mampu menggerakkan senjatanya, masa aku tidak dapat 

melawannya dengan senjataku” 

Dengan demikian Agung Sedayu itu bertempur saja sekedar untuk melindungi dirinya dari 

sentuhan senjata lawannya. 

Tetapi disayap yang lain, keadaan Sidanti agak lebih sulit. Laskar Plasa Ireng benar-benar 

memiliki kemampuan yang baik. Dengan dahsyatnya mereka berhasil menekan laskar yang 

dipimpin oleh Sidanti, sehingga pertempuran itu telah bergeser beberapa langkah surut. Sidanti 

terpaksa mengambil kebijaksanaan untuk menarik laskarnya mendekati induk pasukan. 

Diharapkannya bahwa induk pasukan akan dapat memberinya bantuan. 

Untarapun kemudian melihat kesulitan Sidanti. Beberapa kali ia mencoba untuk menilai induk 

pasukan itu. Namun keadaan induk pasukan itu sendiri tidak sedemikian baiknya. Ternyata 

laskar Tohpatipun mampu mengimbangi laskar Untara. Bahkan terasa bahwa anak-anak muda 

Sangkal Putung telah mulai susut tenaganya. Mereka belum biasa memeras tenaganya untuk 

waktu yang lama, apalagi dalam kesibukan yang membingungkan. Karena itu, maka Untara 

menjadi prihatin. Walaupun demikian, ia berusaha untuk memberi isyarat kepada Hudaya. 

Isyarat sandi yang sudah mereka bicarakan sebelumnya. 

Hudaya melihat gerak tangan kiri Untara. karena itu, maka ia mengerutkan keningnya. Didalam 

hati ia bergumam “Biarlah Sidanti itu mampus. Kenapa Untara itu memerintahkan aku untuk 

membantunya?” 

Sebenarnya bahwa isyarat sandi Untara itu adalah “Hudaya dan beberapa orang, pergi 

membantu sayap kanan” Bantuan itu memang hampir tak berarti. Tetapi sedikit banyak cukup 

berpengaruh sekedar untuk mengurangi kesibukan Sidanti. 

Sidanti melihat Hudaya dan beberapa orang memisahkan diri dari induk pasukannya dan pergi 

kesayap yang dipimpinnya. Tetapi ia menjadi sangat kecewa. Bantuan itu sama sekali tidak 

berarti. Bahkan tersembullah suatu prasangka didalam hati Sidanti yang mudah menjadi panas 

itu. “Hem. Untara sengaja membiarkanku dalam kesulitan. Setan. Telah menjadi sumpahku, 

bahwa Untara itu harus disingkirkan” 

Dan ternyata bahwa bantuan Hudaya itu hampir tak berarti. Namun Hudaya sendiri telah

berusaha sebaik-baiknya. Bahkan hampir seperti orang yang kehilangan kesadaran diri. 

Mengamuk sejadi-jadinya. 

Namun hal itu telah mendorong Sidanti untuk berbuat lebih banyak. Kemarahannya kepada 

Plasa Ireng, dirangkapi oleh kemarahannya kepada Untara menjadikannya berjuang sekuat-

kuat tenaganya. Tetapi betapapun juga, kehadiran Hudaya didalam sayapnya, telah 

mengurangi kesibukan pikirannya. Ia menjadi agak tenang untuk menghadapi Plasa Ireng tanpa 

banyak berpikir tentang laskarnya. Meskipun bantuan yang didapatnya tidak banyak memberi 

kekuatan pada laskarnya, namun ternyata banyak membantu ketenangannya. Ia kini mencoba 

memusatkan perhatiannya kepada lawannya. Plasa Ireng. Ia mencoba untuk sesaat melupakan 

orang-orang lain didalam sayapnya yang dalam keadaan sulit itu. 

Dalam keadaan yang demikian itu, maka Sidanti benar-benar menjadi seorang anak muda yang 

pilih tanding. Kalau beberapa saat yang lampau ia berhasil menyelamatkan dirinya setelah 

bertempur beberapa lama melawan Tohpati, maka kini ia berusaha memeras segenap 

kemampuan yang ada padanya untuk membinasakan lawannya. Selain itu, ternyata Sidantipun 

seorang yang keras hati. Sekali ia bertekad untuk membunuh lawannya, maka tak ada alasan 

apapun yang dapat mencegahnya. Kali inipun ia bertekad membunuh Plasa Ireng, seperti Plasa 

Ireng berusaha membunuhnya. Tak ada pikiran lain didalam benaknya. Membunuh. Hanya itu. 

Membunuh. 

Dengan demikian maka Sidanti itupun kemudian memeras segenap kemampuan yang ada 

padanya. Senjatanya bergerak berputaran sehingga kemudian seakan-akan telah berubah 

menjadi asap yang hitam kebiru-biruan. Senjata yang hanya sebatang, namun berujung 

sepasang timbal-balik itu, seakan-akan berubah menjadi senjata serupa yang berpuluh-puluh 

jumlahnya. Menyerang tubuh Plasa Ireng dari segenap arah. 

Meskipun Plasa Ireng bukan seorang prajurit yang baru saja belajar memegang senjata, namun 

tiba-tiba ia menjadi bingung menghadapi permainan Sidanti. Permainan murid Ki Tambak Wedi 

itu benar-benar memeningkan kepalanya. Meskipun demikian, Plasa Irengpun tidak segera 

menjadi cemas. Plasa Ireng adalah seorang prajurit yang tabah. Berpuluh bahkan beratus kali 

ia mengalami kesulitan didalam peperangan dan perkelahian perseorangan. Namun berpuluh 

bahkan beratus kali ia dapat menghindarkan kesulitan itu. karena itu, maka dengan sekuat-kuat 

tenaga yang ada padanya, maka ia berusaha untuk mematahkan gumpalan sinar hitam kebiru-

biruan yang melandanya. 

Tetapi gumpalan sinar hitam kebiru-biruan itu benar-benar seperti asap yang tak dapat disentuh 

oleh senjatanya. Sidanti yang menjadi semakin bernafsu itu, telah menyerangnya tanpa 

pertimbangan kecuali membinasakan. 

Sekali-sekali Plasa Ireng itupun meloncat muundur. Ia menjadi berbesar hati ketika ia melihat 

laskarnya berhasil menekan laskar Sidanti. Tetapi ia tidak dapat menutup kenyataan bahwa 

desing senjata Sidanti itu seakan-akan sebuah siulan maut yang selalu mengejarnya. 

karena itu, maka ia sama sekali tidak menjadi cemas. Kalau perlu ia dapat menarik satu dua 

orang untuk mengganggu Sidanti. 

Hudaya yang bertempur didekat Sidanti melihat kelebihan Sidanti dari lawannya. Meskipun 

kebenciannya kepada anak itu sampai keujung rambutnya, tetapi, dalam menghadapi 

musuhnya, Hudaya berbesar hati juga melihat kemenangan Sidanti. karena itu, maka ia 

berusaha untuk selalu berada didekatnya. Ia sudah dapat memperhitungkan apa yang kira-kira 

akan terjadi. Sebagai seorang prajurit yang telah bertahun-tahun hidup didalam arena 

pertempuran, maka ia dapat menduga, bahwa apabila terpaksa Plasa Ireng pasti tidak akan 

segan-segan memanggil satu dua orang untuk membantunya. 

Demikianlah pertempuran disayap kanan itu menjadi semakin ribut. Laskar Sidanti menjadi 

semakin lama menjadi semakin sulit pula. Plasa Irengpun semakin lama menjadi semakin sulit 

pula. sekali-sekali ia meloncat berkisar disekitar garis pertempuran berlindung dibelakang 

beberapa orang laskar yang sedang berjuang. Namun akhirnya Sidanti berhasil menekannya 

semakin dalam. Sidantipun mampu memperhitungkan keadaa, bahwa daya tahan laskarnya 

masih lebih baik dari daya tahan Plasa Ireng. Sehingga meskipun ia melupakan laskarnya 

sejenak, tetapi ia akan mencapai hasil yang pasti lebih baik. 

Sehingga karena itu, maka Sidanti kemudian memusatkan segenap kemampuannya untuk 

membinasakan lawannya


Plasa Irengpin benar-benar merasakan, betapa serangan-serangan Sidanti semakin 

menekannya. Senjatanya yang aneh benar-benar telah berputar-putar ditelinganya. Betapapun 

Plasa Ireng mencoba mempertahankan dirinya, namun Sidanti itu mendesaknya semakin kuat. 

Akhirnya Plasa Ireng itu menganggap bahwa tak akan ada gunanya ia bertahan seorang diri. 

Dalam peperangan, tak akan ada celanya, apabila ia harus bertempur berpasanan. karena itu, 

tiba-tiba terdengar ia bersuit nyaring. 

Sidanti mendengar suara suitan itu. Terasa dadanya bergetar. Iapun tahu pasti, bahwa Plasa 

Ireng memanggil seorang atau dua orang untuk membantunya. 

Dan sebenarnyalah, seseorang yang bertubuh tinggi, namun tidak cukup besar dibandingkan 

dengan tingginya, meloncat sg lincahnya, menyerbu ketempat pertempuran antara Plasa Ireng 

dan Sidanti. Ditangannya tergenggam sebilah tombak pendek. Dengan cepatnya ujung tombak 

itu bergetar, dan dengan tangkasnya ia memotong serangan-serangan Sidanti. 

Sidanti surut selangkah. Terdengar ia menggeram parau “Setan. Apakah kau sudah kehabisan 

akal?” 

Plasa Ireng tertawa “Didalam pertempuran, maka setiap orang dipihak lawan adalah musuhnya. 

Panggillah orang-orangmu untuk ikut serta dalam pertempuran berpasangan ini” 

Sidanti menjadi semakin marah. Plasa Ireng ternyata mampu memperhitungkan kekuatan 

laskarnya. karena itu, maka sekali lagi Sidanti dipengaruhi oleh keadaan laskarnya. 

Namun tiba-tiba tanpa diduga-duga, Hudaya yang dengan cepatnya memperhitungkan 

kemungkinan itu, meloncat dengan cepatnya. Pedangnya terjulur lurus, langsung kelambung 

orang yang tinggi itu. Orang itu terkejut, sekali ia melangkah kesamping dan kemudian dengan 

memutar tombaknya ua mencoba menghindarkan serangan Hudaya berikutnya. 

Tidak saja orang yang tinggi itu yang terkejut. Plasa Irengpun terkejut pula. ia sama sekali tidak 

melihat tanda-tanda Sidanti memanggil seseorang untuk melibatkan diri dalam pertempuran 

diantara mereka. Tetapi Hudaya bukan seorang yang hanya mampu berbuat karena diperintah. 

Iapun mampu mengambil sikap dalam setiap pertempuran. Demikianlah pada saat-saat yang 

penting itu Hudaya mampu membuat perhitungan-perhitungan yang cermat. Ia menjadi marah 

pula, ketika ia melihat saat-saat terkhir dari lawan Sidanti itu diganggu oleh orang lain. 

Dalam keadaan yang demikian itulah Sidanti yang berotak cerdas itu mempergunakan keadaan 

sebaik-baiknya. Pada saat orang yang tinggi itu masih dalam usaha menyelamatkan dirinya, 

maka Sidanti meloncat dengan garangnya. Memutar senjatanya dan mendesak Plasa Ireng 

sejadi-jadinya. 

Plasa Ireng benar-benar terkejut dan karena itu sesaat ia kehilangan keseimbangan. 

Keseimbangan gerak dan keseimbangan pikiran. Dengan demikian maka justru ia lupa untuk 

memberi isyarat kepada orang lain lagi untuk membantunya. Perhatiannya tercurah 

sepenuhnya dalam usahanya untuk mempertahankan dirinya. Tetapi ketika kembali terasa 

nyawanya seakan-akan telah melekat diujung senjata Sidanti, maka barulah ia teringat kembali 

kepada orang-orang yang berdiri mengitarinya. 

Tetapi Plasa Ireng itu telah terlambat. Getar senjata Sidanti telah benar-benar memusingkan 

kepalanya. Maka demikian terdengar ia bersuit dua kali untuk memanggil orangnya yang lain, 

maka demikian pundaknya tergores oleh senjata Sidanti. Plasa Ireng terkejut bukan buatan. 

Sekali ia melontar mundur, namun Sidanti itu sempat mengejarnya, dengan satu loncatan pula. 

Dan sebelum seseorang berhasil datang membantunya, terdengarlah Plasa Ireng memekik 

pendek. Sekali lagi senjata ciri perguruan Tambak Wedi yang dahsyat itu merobek dadanya. 

Kini Plasa Ireng benar-benar telah kehilangan keseimbangannya. Matanya kemudian seakan-

akan mejadi gelap, dan sinar-sinar obor disekitarnya itu serasa menjadi padang bersama-sama. 

Yang terasa kemudian sekali lagi seubha tusukan menghunjam dadanya, langsung menembus 

jantungnya. Plasa Ireng itu mengaduh sekali, kemudian ketika Sidanti menarik senjatanya yang 

berlumuran darah, Plasa Ireng itu terseret selangkah maju untuk kemudian jatuh terjerebab 

dibawah kaki anak muda itu. 

Ketika seseorang datang mendekatinya, orang itu terkejut. Yang dilihatnya adalah Sidanti 

berdiri tegak diatas tubuh Plasa Ireng. Karena itu betapa marahnya orang itu. Dengan serta-

merta ia menyerang Sidanti tepat didadanya. 

Tetapi serangan itu tidak banyak berarti buat Sidanti. Sekali Sidanti mengelak dan ketika


senjata orang itu terjulur disamping tubuh Sidanti, maka tangan Sidanti bergerak dengan 

cepatnya. Sebuah goresan yang panjang telah melukai lambung orang itu. Ketika orang itu 

berteriak ngeri, maka sekali lagi Sidanti menusuk perutnya. Orang itupun terbanting jatuh 

disamping tubuh Plasa Ireng. 

Tetapi agaknya kemaran Sidanti masih belum tercurahkan seluruhnya. Ketika sekali lagi ia 

melihat tubuh Plasa Ireng, maka terungkatlah geram dihatinya. Karena itu dengan serta-merta 

ia menggerakkan senjatanya, menyobek punggun lawannya yang sudah tidak bernafas itu. 

Sekali, dua kali dan dipuaskannya hatinya. 

Hudaya yang semula tersenyum melihat kemenangan Sidanti, tiba-tiba mengerutkan keningnya. 

Sambil melayani lawannya ia melihat betapa Sidanti berbuat melampaui batas. Hudaya sama 

sekali tidak menyangka, bahwa didalam hati Sidanti itu tersimpan kekerasan, kekejaman dan 

kekasaran. Ditubuh anak muda itu ternyata mengalir darah yang buram, sehingga dengan 

tangannya, anak muda itu sampai hati berbuat demikian atas lawannya yang sudah tidak dapat 

melawannya. 

“Anak setan” geram Hudaya itu “Alangkah kotornya tangan anak muda itu” 

Sidanti itu benar-benar seperti orang yang sedan kesurupan. Dengan mata yang merah liar dan 

gigi gemeretak, disobeknya tubuh lawannya yang terbaring diam 

“Adi Sidanti” desis Hudaya yang tidak tahan lagi melihat perbuatan Sidanti “Sudahlah. Jangan 

kau turuti hatimu yang gelap” 

“Tutup mulutmu” Sidanti itu membentak. 

Dan Hudaya menutup mulutnya. Dalam keadaan itu, ia lebih baik tidak membuat persoalan, 

sebab kemungkinan menjadi salah paham sangat besar. Pada saat Sidanti sedang kehilangan 

segenap pertimbangannya. karena itu, maka h lebih baik memusatkan perhatiannya pada 

lawannya. Diputarnya senjatanya dan dengan dahsyatnya ia menyerang seperti taufan. 

Tetapi bukan saja Hudaya yang heran melihat perbuatan Sidanti. Hampir setiap orang, baik dari 

laskar Pajang maupun dari laskar Jipang, hatinya tergetar melihat perbuatan itu. Perbuatan 

yang melampaui batas-batas yang dibenarkan dalam tata pergaulan keprajuritan. Apalagi anak-

anak muda Sangkal Putung. Mereka menjadi ngeri. Bagi mereka, lebih baik memalingkan 

wajah-wajah mereka, dan memusatkan segenap perhatian mereka untuk menyelamatkan diri 

mereka dari kemungkinan yang sama dengan Plasa Ireng. 

Perbuatan Sidanti itu ternyata berpengaruh bagi lawannya. Mereka menjadi ngeri dan cemas. 

Selain kematian pemimpin mereka, maka apa yang mereka lihat itu benar-benar telah 

mengerutkan hati mereka. 

Setelah puas dengan perbuatannya, Sidanti tegak berdiri diatas mayat lawannya, satu kakinya 

menginjak punggung, dan satu kakinya diatas kepala. Dengan lantang ia berkata kepada laskar 

Jipang yang masih bertempur dengan gigihnya “He, laskar Jipang yang keras kepala. Lihatlah, 

pemimpinmu telah terbunuh mati oleh tangan Sidanti. Ayo, siapa yang berani mengangkat diri 

menjadi senapati. Inilah Sidanti, murid Tambak Wedi” 

Suara Sidanti itu menggelegar, menyusup diantara dentang senjata dan jerit kesakitan, 

menggema berputar-putar didalam malam yang kelam, seakan-akan getar suara dari neraka, 

memanggil-manggil setiap nama yang ikut serta dalam pertempuran itu. 

Malam menjadi semakin dalam. Bintang-bintang yang gemerlapan dilangit bergeser setapak-

setapak kebarat dalam hembusan angin malam yang dingin. Selembar-selembar awan yang 

putiih mengalir keutara seperti gumpalan-gumpalan kapuk raksasa yang sedang hanyut. 

Pertempuran diperbatasan kademangan Sangkal Putung masih berlangsung dengan sengitnya. 

Disayap kanan, laskar Jipang seakan-akan telah kehilangan semangat untuk bertempur, 

setelah mereka menyaksikan pemimpin mereka jatuh. Kekasaran Sidanti, meskipun 

menumbuhkan kengerian didalam dada laskar Jipang, namun didalam dada itu juga menyala 

dendam yang tiada taranya. Dendam yang seakan-akan tidak akan kunjung padam. Betapa 

perbuatan Sidanti itu tergores didinding jantung mereka. Sebelum nyawa mereka melayang, 

maka peristiwa itu tidak akan mereka lupakan. 

Beberapa orang yang tidak dapat menahan hatinya melihat pemimpinnya mendapat perlakuan 

yang sedemikian menyakitkan hati, segera menyerbu bersama-sama. Namun Sidanti benar-

benar memiliki tenaga dan ketrampilan yang luar biasa. Meskipun beberapa orang datang


bersama-sama, namun anak muda itu masih saja mampu untk mengalahkan mereka. 

Tetapi, ketika lawan Sidanti menjadi semakin banyak, maka Hudaya juga berasa bertanggung-

jawab pula atas kemenangan yang harus mereka perjuangkan, betapapun hatinya menjadi 

pedih melihat perbuatan Sidanti, namun ia datang juga untuk membantunya. 

Kemenangan-kemenangan yang didapatnya itu telah mendorong Sidanti lebih jauh kedalam 

ketamakan dan kesombongannya. Kematian Plasa Ireng merupakan racun yang tajam yang 

menusuk langsung keotaknya. Dengan membunuh Plasa Ireng maka Sidanti merasa bahwa ia 

wajar untuk menerima kehormatan yang jauh dari semestinya. Bahkan kematian Plasa Ireng itu 

telah menumbuhkan suatu impian yang mengerikan.Laskar Jipang yang kehilangan 

pemimpinnya itupun kemudian menjadi semakin kacau. Seorang yang bertubuh tinggi kurus, 

yang bertempur melawan Hudaya mencoba untuk mengambil alih pimpinan. Dipanggilnya 

beberapa orang untuk menggantikan perlawanannya terhadap Hudaya, dan ia sendiri meloncat 

kesana kemari, memekik tinggi memberikan aba-aba kepada sisa-sisa laskarnya. Namun 

usahanya itu tidak banyak memberikan perubahan apa-apa. bahkan dengan demikian maka ia 

memberi kesempatan kepada Hudaya untuk menghindari seitap lawannya, dan membantu 

Sidanti yang harus bertempur melawan beberapa orang sekaligus. 

Serangan orang-orang lain yang berusaha untuk mencegahnya, terpaksa berhadapan dengan 

laskar Pajang yang lain pula. 

Demikianlah maka laskar Jipang disayap itu menjadi semakin lemah. Kini orang yang tinggi 

kurus itulah yang mengambil alih kebijaksanaan, mendekati induk pasukannya. 

Didalam induk pasukan itu Tohpati bertempur dengan dahsyatnya melawan Untara. Murid 

kepatihan Jipang yang mendapat julukan Macan Kepatihan itu menggeram tidak habis-

habisnya. Untara ternyata mampu menandingi dalam segala hal. Ketrampilannya, 

kecepatannya, bahkan kekuatannya. karena itu, maka Tohpati itu semakin lama menjadi 

semakin marah. Namun Untara tetap tak dapat diatasinya. 

Sedang Untarapun terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Tetapi 

bekal yang didapatnya dari ayahnya Ki Saewa, ternyata cukup banyak untuk menghadapi murid 

Mantahun ini. 

Ketika mereka itu masih dicengkam oleh ketegangan, karena pertempuran yang dahsyat 

diantara mereka, datanglah seoran enghubung yang dengan hati-hati memberitahukan 

kekalahan yang terjadi disayap kiri laskar Jipang itu. Dengan tanda sandi, penghubung itu 

mengabarkan bahwa Plasa Ireng terbunuh dipeperangan. 

Alangkah terkejutnya Tohpati itu. Sekali ia meloncat jauh kebelakang sambil berteriak nyaring 

“Siapa disayap laskar Pajang itu?” 

Orang itu berhenti sejenak untuk berpikir. Iam endengar pimimpin laskar Pajang itu sesumbar 

menyebut namanya sendiri. ketika kemudian teringat olehnya nama itu, maka jawabnya 

“Namanya Sidanti” 

“Sidanti?” ulang Tohpati 

Yang menjawab adalah Untara “Orang itu berkata benar” 

Tohpati menggertakkan giginya. Ingin pada saat itu ia meremas tulang murid Tambak Wedi itu. 

“Hem, kenapa aku tidak berusaha membunuhnya beberapa waktu dahulu? Aku terlambat 

sesaat sehingga paman Widura mampu membebaskannya” katanya dalam hati. 

Kini Sidanti itu telah sempat membunuh seorang kepercayaannya, Plasa Ireng. karena itu, 

maka kemarahan Tohpati itupun telah meluap sampai keubun-ubunnya. Namun ia tidak 

mendapat kesempatan sama sekali untuk menumpahkan kemarahannya kepada Sidanti, sebab 

dihadapannya masih berdiri Untara. Dan Untara ini masih belum dapat dikalahkannya. karena 

itu, maka segera ia menggeram “Pertahankan diri pada keadaan kalian kini. Usahakan untuk 

menahan Sidanti dengan dua tiga kekuatan. Sebentar lagi aku akan datang 

membunuhnya”.Orang itu kemudian menghilang didalam hiruk-pikuk perkelahian, kembali 

kesayap kiri. Disampaikannya pesan tu kepada orang yang tinggi kurus, yang mengambil aluh 

pimpinan dari tangan Plasa Ireng. Mendengar pesan itu maka orang itupun berteriak 

“Pertahankan keadaan kalian. Macan Kepatihan sendiri segera akan datang, membalaskan 

dendam kakang Plasa Ireng“


“Plasa Ireng” desis Sidanti. Jadi orang yang dibunuhnya itu adalah orang yang namanya 

ditakuti pula hampir seperti Macan Kepatihan sendiri. dan karena itulah maka Sidanti itu 

menjadi semakin membanggakan dirinya. 

Berita itu telah membangkitkan kembali semangat bertempur prajurit-prajurit Jipang itu. 

Sebagian dari mereka segera menyerbu dengan dahsyatnya, sedang sebaigan yang lain 

berusaha untuk tetap mengurung Sidanti dalam satu lingkaran yang pepat. 

Tetapi Hudaya tidak membiarkannya terpisah dari laskarnya. karena itu, maka iapun segera 

berusaha memecahkan kepungan itu, dan bertempur bersama-sama dengan Sidanti. Namun 

meskipun Sidanti melihat usaha-usaha yang dilakukan oleh Hudaya itu, tetapi ia tetap merasa, 

bahwa dirinya sumber kemenangan dari laskar Pajang. Ia yakin bahwa kekalahan sayap ini 

akan memperngaruhi pertempuran keseluruhannya. 

Tohpati yang marah itupun kini benar-benar memeras tenaganya. Untara harus segera 

dibinasakan. Namun membinasakan Untara adalah pekerjaan yang sulit. Tohpati itu terpakasa 

melihat kenyataan yang dihadapinya, bahwa Untara adalah seorang anak muda yang perkasa. 

karena itu, maka perkelahian antara Macan Kepatihan dan Untara itupun menjadi semakin 

sengit. Masing-masing telah sampai kepuncak kemampuan mereka. Namun kini Untara dapat 

memusatkan segenap perhatiannya pada lawannya yang menakutkan ini, sebab dari pertanda 

yang ditangkapnya, maka agaknya keadaan sayap kiri lawannya menjadi parah. Dan Untara itu 

dapat memperhitungkan pula, bahwa Sidanti berhasil membinasakan pimpinan sayap itu. 

Namun Tohpati yang marah itu sedang membuat perhitungan pula atas keadaannya. karena itu, 

maka kini ia membiarkan Untara menyerangnya dan Tohpati menempatkan dirinya dalam suatu 

pertahanan yang rapat. Ia mencoba menilai sayap-sayap lainnya dan laskar yang dibawa oleh 

Sanakeling. 

“Disamping Untara dan Sidanti masih ada paman Widura” katanya dalam hati. Namun Tohpati 

itu masih memiliki satu kelebihan menurut dugaannya. Alap-alap Jalatunda. “Meskipun 

demikian anak itu mampu mempengaruhi keseimbangan keadaan” 

Menurut perhitungan Macan Kepatihan yang berotak cair itu, maka Widuralah yang telah 

mundur kembali ketika didengarnya tanda bahaya, dan menyerahkan pimpinan kepada Untara. 

karena itu, maka Tohpati mengharap bahwa Widura itu akan menemukan lawannya yang 

seimbang, Sanakeling. Sedang Alap-alap Jalatunda akan merupakan seorang yang akan dapat 

menggilas laskar Pajang diarenanya. Kalau orang-orang disayap kiri mampu bertahan terhadap 

Sidanti, mak orang-orangya disayap kanan pasti akan dapat menguasai lawannya dibawah 

pimpinan Alap-alap Jalatunda. 

Perhitungan Macan Kepatihan itu hanya sebagian saja yang tepat. Namun ia tidak tahu, bahwa 

disayap kiri lawannya, terdapat seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu. Yang 

meskipun masih sangat hijaunya, namun ia memiliki persiapan yang jauh dari cukup. 

Persiapan-persiapan yang selama ini tersimpan saja didalam dirinya. Kini sedikit demi sedikit 

kekuatan yang membeku itu mulai dicairkannya. 

Demikianlah maka akhirnya Tohpati mengambil kesimpulan, bahwa keadaan laskarnya tidak 

terlalu parah. Tetapi kemenangan-kemenangan kecil yang semula mulai tampak dipihaknya, 

kini telah runtuh satu demi satu. Dengan penuh tanggung-jawab Tohpati telah mengirim 

beberapa orang untuk membantu sayap yang lemah disebelah kiri. Orang-orang itu diharap 

dapat membantu menutup kebebasan gerak Sidanti. Beru kemudian ia memusatkan 

perhatiannya atas lawannya. Untara. 

Untara yang bertempur dengan dahsyatnya itupun menyadari, bahwa ia harus memeras 

segenap kemampuannya. Dan kini hal itu telah dilakukannya. Sehingga betapapun Tohpati 

berusaha untuk menguasainya, namun usaha itu akan sia-sia saja. 

Bahkan ketika Untara telah sampai kepuncak segala macam ilmu yang tersimpan didalam 

dirinya, terasa bahwa Macan Kepatihan bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan. Dalam 

remang-remang cahaya obor, Untara yang menerima turunan ilmu ayahnya itu, ternyata sempat 

membingungkan Macan Kepatihan. Tongkat putih yang menakutkan berujung kuning itu, sama 

sekali tidak lebih mengerikan dari gerak pedang Untara. Pedang itu mampu berputar dan 

mematuk dari segenap arah, menembus gumpalan cahaya putih dan garis-garis kuning yang 

membentengi Tohpati. Sekali-sekali terdengar kedua macam senjata itu beradu, dan 

meloncatlah bunga-bunga api keudara.


Senjata Tohpati itu memang sebenarnya merupakan senjata yang luar biasa. Hampir dalam 

setiap benturan dengan pedang Untara, pasti meninggalkan bekas luka pada pedang itu. 

Beberapa bagian tajamnya telah terpecah-pecah sehingga pedang itu benar-benar mirip 

sebuah gergaji. Untunglah pedang yang dipinjamnya dari Widura itu bukan pula sembarang 

pedang. Sehingga betapapun kerasnya benturan yang terjadi diantara kedua senjata yang 

digerakkan oleh tenaga-tenaga raksasa itu, namun pedang itu tidak juga dapat dipatahkan. 

Meskipun demikian, menyadari perbedaan sifat kedua senjata itu, Untara kemudian tidak mau 

membenturkan senjatanya langsung dalam arah yang bertentangan. Untara selalu berusaha 

untuk memukul senjata lawannya agak kesamping. Namun Untara itupun terpaksa 

memperhitungkan apabila perkelahian itu berlangsung terlalu lama, maka senjatanya akan 

menjadi semakin lemah. 

Tetapi kelincahan, ketangkasan dan ketrampilan Untara yang telah memeras segala macam 

ilmu yang dimilikinya itu, ternyata benar-benar membingungkan Tohpati. Tohpati yang ditakuti 

disetiap pertempuran dan bahkan setiap prajurit musuhnya tidak berani menyebut namanya, 

namun ternyata kini ia menemukan lawan yang tanggon. Nama Untarapun merupakan nama 

yang mengerikan bagi laskar Jipang hampir disetiap garis peperangan. Disamping 

kecerdasannya mengatur laskarnya, Untarapun memiliki beberapa kelebihan dari beberapa 

senapati yang lain. Dan ternyata Untarapun mempunyai beberapa kelebihan dari Tohpati. 

Keadaan Tohpati semakin lama menjadi semakin sulit. Apalagi ketika disadarinya, bahwa 

laskarnya disayap kiri benar-benar hampir pecah bercerai berai. karena itu, maka Macan 

Kepatihan yang garang itu menjadi cemas. Cemas akan nasib laskarnya yang sudah tidak 

begitu besar lagi jumlahnya, yang dengan susah payah dikumpulkan dari segala medan khusus 

untuk merebut daerah perbekalan ini. Namun sekali lagi Macan Kepatihan itu terpaksa 

mengumpat tak habis-habisnya. Ia merasa kini, bahwa gerakannya pasti sudah tercium oleh 

hidung Untara itu sebelumnya, sehingga Sangkal Putung benar-benar sudah siap menghadapi 

kedatangannya. 

Dua kali ia dikecewakan oleh laskar Pajang di Sangkal Putung “Namun akan datang saatnya 

aku menebus setiap kekalahan” geramnya. 

Tetapi Untara itu seakan-akan menjadi semakin lama menjadi semakin lincah. Pedangnya 

berputaran mengitari segenap tubuhnya dari segala arah. Bahkan kemudian, sekali-sekali 

terasa ujung pedang itu menyentuhnya. 

“Setan” geramnya. Dan diputarnya tongkatnya semakin cepat. Tetapi Untarapun bergerak 

semakin cepat pula. anak muda, yang mendapat kepercayaan langsung dari panglima 

Wiratamtama itu benar-benar tidak mengecewakan. Dan ia benar-benar dapat menanggulangi 

kedahsyatan Tohpati. 

Alangkah terkejutnya Macan Kepatihan itu, ketika dalam sebuah benturan yang dahsyat, 

tongkatnya tergetar kesamping. Hanya sesaat yang sangat pendek, ia melihat pedang Untara 

terjulur lurus kedadanya. Tohpati berusaha untuk memukul pedang itu kembali dengan 

tongkatnya, namun pedang itu berputar, dan dengan cepatnya pedang itu menyentuh 

lengannya. Ketika Untara menarik pedang itu, maka tajamnya yang menyerupai gergaji itu 

meninggalkan bekas luka ditangan Tohpati. Luka yang menganga seperti luka bekas gergaji. 

Terdengar Tohpati menggeram pendek. Dengan cepatnya ia meloncat kesamping, dan sesaat 

ia berusaha menjauhi Untara. Ketika ia memandang lengannya, dilihatnya darah mengalir dari 

lukanya yang menganga, seolah-olah dagingnya telah disayat dengan sebuah gergaji yang 

tumpul. 

“Gila kau Untara” desis Tohpati. Matanya yang meyala menjadi semakin merah karena 

kemarahannya yang memuncak. Mulutnya itu meskipun terkatub rapat, namun terdengar 

giginya gemeretak. Dengan sebuah teriakan tinggi Macan Kepatihan itu meloncat dengan 

garangnya, langsung menyerang Untara dengan tongkatnya. Sebuah ayunan yang deras sekali 

menyambar kepala Untara. Namun Untara tidak tertidur karena kemenangan kecil itu. Dengan 

demikian segera ia merendahkan dirinya dan tongkat Tohpati itu terbang lewat diatas 

kepalanya. 

Pertempuran yang sangat seru segera berkobar kembali. Tohpati yang membara karena 

kemarahannya, melawan Untara yang dengan sekuat tenaga ingin segera menyelesaikan 

pekerjaannya yang sudah mulai tampak akan berhasil. Sehingga dengan demikian kembali 

mereka bertempur dalam puncak ilmu masing-masing


Namun kali inipun segera terasam bahwa Untara memang luar biasa. Meskipun ia masih lebih 

muda dari Tohpati, namun Tohpati itu tidak dapat menutup kenyataan, bahwa Untara mampu 

menandinginya dari selaga segi. 

Kini Tohpati terpaksa membuat pertimbangan-pertinbangan baru. Ia tidak boleh tenggelam 

dalam arus perasaan melulu. Ia harus mampu meninjau pertempuran itu dalam segala segi, 

segala kemungkinan dan segala akibat yang dapat timbul karenanya. 

Keringkihan disayap kiri benar-benar sangat mengganggunya. Sedang Alap-alap Jalatunda 

yang diharap akan dapat menimbulkan pengaruh yang baru bagi perimbangan kedua pihak, 

ternyata masih belum mampu berbuat apa-apa. Karena itu maka Tohpati terpaksa sampai pada 

suatu keputusan untuk menghindarkan laskarnya dari kehancuran. 

Dalam kekalutan itu, sekali lagi Tohpati mencoba melihat pertempuran itu. Namun malam 

sangat pekatnya. Ia hanya melihat titik pertempuran disayap kirinya telah bergeser jauh 

kebelakang, dan sayap kanannya masih saja belum mencapai kemajuan. Sedang diinduk 

pasukannya, meskipun laskarnya mendapat beberapa kesempatan yang baik, namun ia sendiri 

telah terluka. 

Untara yang telah masak itu melihat setiap kemungkinan yang akan dilakukan oleh Tohpati. 

Ketika ia melihat sikapnya, serta usahanya untuk melihat seluruh laskarnya, maka Untara dapat 

meraba maksudnya. karena itu, maka tekanannya diperketa, sehingga hampir-hampir Tohpati 

itu tidak sempat berbuat lain daripada mempertahankan dri dari ujung pedang Untara yang 

seakan-akan terbang memgelilingi kepalanya. 

Sementara itu, laskar Tohpati disayap kiri telah benar-benar hampir lumpuh, sehingga mereka 

tidak mampu lagi untuk bertahan sendiri. mereka itu kemudian segera menggabungkan diri 

dengan induk pasukan mereka. 

Keadaan kedua pasukan diinduk pasukan itu kini menjadi semakin ribut. Pertempuran diantara 

mereka menjadi seakan-akan tidak teratur lagi. Tetapi meskipun demikian, kedua laskar itu 

masih tetap bertempur dengan gigihnya. Hanya anak-anak muda Sangkal Putung kini benar-

benar telah menjadi pening. Meskipun beberapa orang laskar Widura terus menerus berusaha 

untuk menuntun mereka dan bahkan selalu mendampingi mereka, namun keadaan mereka itu 

agak berbeda dengan laskar Pajang maupun laskar Jipang. Sehingga dengan demikian maka 

keseimbangan kedua laskar itu semakin lama menjadi semakin berat sebelah pula. Tetapi 

dipihak Pajang mempunyai kelebihan yang ikut serta menemtukan keseimbangan itu. Sidanti 

yang lepas tidak mempunyai lawan yang seimbang itu, mengamuk seperti serigala lapar. 

Namun beberapa orang Jipang yang berani telah mengepungnya. Mereka berusaha untuk 

selalu membatasi gerak Sidanti itu. Tetapi setiap saat Hudaya selalu berhasil memecahkan 

kurungan itu, dan melepaskan Sidanti untuk bertempur seperti elang yang merajai udara. 

Tohpati adalah seorang pemimpin yang bertanggung-jawab. Ia tidak mau membiarkan korban 

berjatuhan tanpa arti. Setelah memperhitungkan keadaan masak-masak, maka yakinlah ia, 

bahwa ia tidak akan dapat menembus benteng yang dipertahankan oleh Untara itu. Bahkan 

tangannya yang telah terluka itu, semakin lama menjadi semakin lemah. Dan darah yang 

mengalir menjadi semakin banyak pula. 

Betapa Macan Kepatihan itu menjadi marah, dan betapa ia menjadi sangat buas, namun ia 

tidak dapat menuruti perasaannya tanpa menghiraukan kenyataan. 

Sesaat kemudian terdengarlah Macan Kepatihan itu bersuit panjang. Suitannya itu segera 

disambut oleh beberapa pemimpin kelompok didalam pasukannya. Dan sesaat kemudian 

menyalalah berpuluh-puluh anak panah berapi. 

Untara terkejut melihat hal itu. Tetapi sebelum ia sepat berbuat apa-apa, maka panah-panah 

api itu seperti hujan berjatuhan didaerah laskarnya. 

“Gila” Untara mengumpat. Ia tidak menyangka bahwa hal itu akan dilakukan oleh laskar Tohpati. 

Meskipun ia tahu betul bahwa Macan Kepatihan membuat anak panah api, tetapi disangkanya 

anak panah itu hanya untuk dipergunakan untuk membakar rumah atau apapun di Sangkal 

Putung sehingga menimbulkan kekacauan dan mempengaruhi ketahanan orang-orang Sangkal 

Putung. 

Usaha Tohpati itu sebagian berhasil. Beberapa anak-anak muda Sangkal Putung menjadi 

kacau dan hampir kehilangan akal. Namun tiba-tiba terdengar Untara berteriak “Berlindung 

didaerah lawa


Anak-anak muda Sangkal Putung mula-mula tak mengerti maksud aba-aba itu. Namun orang-

orang Widura mendahului mereka, menyerang dan langsung menyusup kedaerah perlawanan 

musuh. Tetapi suitan itu ternyata mempunyai arti yang lain pula. demikian laskar Pajang 

berusaha masuk dalam garis pertahanan itu, maka laskar Jipangpun surut kebelakang. Bahkan 

semakin lama menjadi semakin cepat. Dan kemudian ternyatalah bahwa laskar Jipang sedang 

menarik diri. 

Untara melihat kenyataan itu. Ia berusaha untuk tidak melepaskan lawannya. Mereka harus 

dapat melumpuhkan pasukan Macan Kepatihan, sehingga untuk seterusnya tidak mendapat 

kesempatan berbuat serupa. Menyerang Sangkal Putung dengan kekuatan yang berbahaya. 

Demikian pula terjadi disayap kanan laskat Tohpati itu. Agung Sedayu yang menunggu 

kekuatan terakhir yang akan diungkapkan oleh Alap-alap Jalatunda menjadi bertanya-tanya 

didalam hati. Apakah Alap-alap Jalatunda itu sudah sampai pada puncak kekuatannya? Kalau 

demikian, apakah yang didengar tentang Alap-alap Jalatunda hanya sekedar dongengan untuk 

menakutkan orang-orang yang mendengarnya. Atau kemampuan dirinya telah cukup mengatasi 

alap-alap itu dengan mudah? 

Dalam kebingungan itulah Agung Sedayu melihat laskar lawannya surut dengan cepat. Betapa 

ia berusaha mengejar lawannya, namun Alap-alap Jalatunda itu kemudian menenggelamkan 

diri dalam hiruk pikuk laskarnya. Mereka mundur sambil melawan serta melepaskan anak 

panah. 

“Bukan main” desah Agung Sedayu. “Mereka mempergunakan anak panah” Agung Sedayu itu 

menyesal bahwa ia tidak membawa anak panah dan busur. Tetapi tiba-tiba ia terngat, bahwa 

dalam sakunya ada beberapa butir batu. Timbullah keinginannya untuk bermain-main dengan 

batu itu. Sekali ia melepaskan sebuah batu, maka terdengarlah seorang lawannya yang sedang 

membidikkan anak panah memekik tinggi, dan dalam remang-remang Agung Sedayu melihat 

orang itu jatuh terjerebab. Sesaat ia melihat orang itu menggeliat dan menahan sakit. 

Agung Sedayu terkejut melihat akibat perbuatannya. Orang itu tampaknya menjadi sangat 

menderita. karena itu, maka tiba-tiba ia berlari-lari mendekatinya. 

“Kenapa kau?” terndengar Agung Sedayu bertanya. 

Orang itu masih menggeliat dan menyeringai kesakitan. Dipegangnya perutnya sambil 

mengaduh tak habis-habisnya. Sementara itu kawan-kawannya telah semakin jauh, mundur 

dari pertempuran. 

Agung Sedayu mencoba menangkap lawannya yang kesakitan itu dan dicobanya untuk 

menenangkannya “Jangan berguling-guling” 

Tetapi alangkah terkejutnya Agung Sedayu itu, karena sesaat kemudian orang itupun menjadi 

diam membeku. 

“Oh” desah Sedayu “Apakah kau mati he?” 

Dan sebenarnya orang itupun telah mati. karena itu, maka Agung Sedayu menyesal bukan 

main. Tetapi ia tidak akan dapat menghidupkannya lagi. 

Swandaru juga melihat Agung Sedayu sibuk dengan orang itu mendekatinya sambil bertanya 

“Kenapa dengan orang itu?” 

“Aku tidak sengaja membunuhnya. Tetapi orang ini mati” 

“Kenapa kalau mati? Bukankah orang itu orang Jipang?” 

Agung Sedayu kini telah tegak berdiri. Digigitnya bibirnya. Dan terasa sesuatu berdesir 

didadanya. “Ya” katanya dalam hati. “Apakah kita sudah sampai sedemikian jauh menyimpang 

dari peradaban manusia? Meskipun orang itu orang Jipang, Pajang atau orang yang ditemuinya 

dipinggir jalan sekalipun namun selama ia masih bernama manusia, apakah kita biarkan saja 

mereka mati selagi masih ada kesempatan untuk menolongnya?” 

Tetapi ketika Agung Sedayu melayangkan pandangan matanya, maka dilihatnya diberbagai 

tempat, tubuh-tubuh yang terbaring membeku. Tetapi ada juga diantaranya terdengar merintih 

menahan sakit. Agung Sedayu belum pernah melihat medan pertempuran. Kali ini adalah kali 

yang pertama. Karena itu ia menjadi ngeri. Meskipun kini ia tidak tahut lagi untuk bertempur, 

tetapi apa yang dilihatnya benar-benar mendirikan bulu romanya.


Namun sesaat kemudian Agung Sedayu itu mendengar Swandaru berkata “Marilah. Musuh kita 

masih berada dipelupuk mata kita” 

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sesaat kemudian dilihatnya Swandaru meloncat 

dan berlari kearah laskar Jipang mengundurkan dirinya. Agung Sedayupun kemudian 

mengikutinya pula, namun hatinya benar-benar digelisahkan oleh pengalamannya yang 

pertama itu. 

Meskipun demikian, ada sesuatu yang didapatkannya dimedan peperangan itu. Disadarinya 

kemudian bahwa Alap-alap Jalatunda pada saat-saat bertempur, sama sekali bukan sekedar 

menunggunya lelah sambil menyimpan kekuatan terakhirnya. Tetapi Alap-alap Jalatunda itu 

benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuannya. Maka hatinya menjadi semakin 

besar. Agung Sedayu itu semakin melihat kemampuan yang tersimpan didalam dirinya. 

Ternyata Alap-alap Jalatunda yang pernah menghantuinya itu tidak lebih daripada yang 

disaksikannya itu, yang ternyata masih berada dibawah kepandaiannya bermain pedang. 

“Aneh” desahnya didalam hati. “Apakah yang selama ini memagari keberanianku untuk berbuat 

seperti ini?” 

Agung Sedayu itu menjadi semakin percaya kepada diri sendiri. Tetapi ia masih belum dapat 

melihat tubuh-tubuh yang bergelimpangan dibekas medan pertempuran itu. 

Laskar Jipang itupun kemudian mengundurkan dirinya dengan cepat sambil melawan terus, 

sehingga dengan demikian maka laskar Pajangpun tidak dapat berbuat banyak. Mereka hanya 

dapat mendesak laskar musuhnya itu. Dalam keadaan yang demikian, maka laskar dikedua 

belah pihak hampir bercampur baur dalam satu lingkaran pertempuran. Namun kemudian 

laskar Jipang itu menyebar dan dengan cepat berusaha menyusup kedalam sebuah desa yang 

pertama-tama mereka temui. 

Diujung selatan induk desa Sangkal Putung, Sanakeling melihat diarah barat, panah api 

menari-nari diudara. karena itu, maka ia menjadi terkejut. Ia tidak menyangka bahwa laskar 

induknya terpaksa mengundurkan diri. “Kalau demikian” katanya dalam hati “Maka laskar yang 

aku hadapi dan dipimpin oleh Widura sendiri ini bukan laskar induk. Jadi siapakah yang 

memimpin laskar induk lawan ini?” 

Tetapi Sanakeling tidak mendapat jawabannya. Dan ia tidak sempat untuk menanyakannya. 

Kini ia harus mematuhi perintah itu meskipun sebenarnya keadaan laskarnya sendiri sama 

sekali tidak mengkhawatirkan. Tetapi kalau laskar induk lawannya yang telah ditinggalkan oleh 

laskar Jipang itu mengepungnya, maka laskarnya pasti akan tumpas. karena itu, maka tidak 

ada pilihan lain daripada mengundurkan diri pula. 

Demikianlah maka seluruh pasukan Tohpati itu kini telah ditarik mundur. Widurapun tidak 

berusaha mengejar lawannya terlampau jauh. Sanakeling berhasil juga mengundurkan dirinya 

dengan teratur, sehingga dari pihaknya tidak terlalu banyak korban yang jatuh. 

Induk pasukan yang dipimpin oleh Untara itu mengejar lawannya sampai kedesa pertama yang 

dapat dicapai oleh laskar lawannya. Demikian mereka memasuki desa itu, maka seakan-akan 

mereka telah lenyap ditelan kegelapan. Obor-obor mereka segera menjadi padam, dan orang-

orang merekapun segera menyelinap dan hilang dibalik daun-daunan yang rimbun serta 

rumpun-rumpun bambu yang lebat. 

Laskar Pajang sejenak menjadi ragu-ragu. Mereka sama sekali tidak mendengar seorangpun 

memberikan aba-aba kepada mereka. Apakah mereka harus mengejar lawan itu terus atau 

mereka harus berhenti dibatas desa itu. Sebab alangkah berbahayanya melakukan pengejaran 

didalam gelap yang pekat itu. 

Yang terdengar kemudian adalah suara Sidanti “He, apakah yang harus kami lakukan?” 

Tak ada suara yang menyahut. Karena itu sekali lagi Sidanti berteriak “Apakah laskar Pajang ini 

laskar yang liar, yang dapat berbuat sekehendak diri kita masing-masing? Ayo, bagi yang 

memegang pimpinan, berikan perintah” 

Kembali suara itu bergulung-gulung dan hilang ditelan kabut malam. 

Semua yang mendengar suara Sidanti itu menjadi tegang. Mereka menunggu jawaban dari 

pimpinan mereka. Namun jawaban yang ditunggunya itu tidak juga kunjung datang. 

Hudaya, Sidanti dan beberapa orang lagi menjadi gelisah. Citra Gati dan Agung Sedayu dari


sayap yang lainpun telah bergabung dalam induk pasukan itu pula. 

Dalam ketegangan itu terdengar suara Agung Sedayu gelisah “Kakang Untara, kakang Untara” 

Tetapi Untara tidak menyahut. Karena itu seluruh laskar Pajangpun menjadi gelisah. Dalam 

hiruk pikuk pengejaran mereka tidak melihat kemana Untara pergi. Beberapa orang dari mereka 

masih melihat Untara berhasil melukai Tohpati. Dan kemudian berusaha mengejarnya. Tetapi 

tiba-tiba Untara itu seakan-akan menjadi hilang lenyap ditelan oleh malam yang kelam. 

Suasana segera meningkat menjadi semakin tegang. Ternyata Untara telah hilang. Dengan 

demikian, maka laskar Pajang iu benar-benar menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang 

mereka lakukan. 

Dalam ketegangan itu terdengar suara Citra Gati “Siapakah yang melihat ki Untara untuk yang 

terakhir kalinya?” 

“Aku” jawab salah seorang “Pemimpin kita itu telah melukai Macan Kepatihan. Tetapi dalam 

hiruk pikuk pengejaran aku tidak melihatnya” 

“Dimana?” bertanya Citra Gati pula. 

“Digaris pertempuran tadi” 

“Mari kita cari” 

Beberapa orang segera bergerak kembali kegaris pertempuran beberapa langkah dibelakang 

mereka. Tetapi terdengar Sidanti berkata “Kenapa kita cari ia disana. Bukankah ia telah berhasil 

melukai Macan Kepatihan dan mengejarnya. Marilah kita cari kedepan, kedalam desa ini” 

Citra Gati berpikir sejenak. Untara pasti tidak akan berbuat demikian. Berbuat sendiri dan 

meninggalkan laskarnya dalam keragu-raguan. Pemimpin yang bodohpun akan tahu, bahwa 

keragu-raguan dalam barisannya adalah sangat berbahaya. Maka sesaat kemudian ia 

menyahut “Kita cari digaris pertempuran”“Tidak” sahut Sidanti “Jangan membuang waktu” 

BUKU 07 

Ketegangan menjadi semakin memuncak karenanya. Masing-masing agaknya mempunyai 

perhitungan sendiri-sendiri. Sidantipun kemudian sudah bergerak diikuti oleh beberapa orang 

yang kebingungan, siap memasuki padesan dihadapannya. 

Tetapi terdengar Citra Gati berteriak “Jangan berbuat hal-hal yang dapat membahayakan diri 

kita sendiri, dalam usaha yang sia-sia. kalau kita pasti Untara ada didepan kita, maka biarlah 

kita pertaruhkan nyawa kita untuk mencarinya. Tetapi kemungkinan itu tipis sekali” 

“Kau jangan menghinanya” sahut Sidanti keras-keras. “Apakah kau sangka Untara terluka? 

Untara adalah seorang yang luar biasa. Aku sendiri pernah berkelahi melawannya. karena itu, 

maka tak akan ia terluka dan terbaring diantara orang-orang yang luka. Aku hormati dia aku 

kagumi dia” 

Kata-kata itu masuk akal pula. karena itu beberapa orang menjadi mempercayai perhitungan itu. 

Tetapi Citra Gati tetap pada pendiriannya. Seandainya Untara tealh terlanjur memasuki desa itu, 

maka pasti ia akan segera kembali dan memberikan aba-aba kepada mereka yang 

mengikutinya. 

Dalam ketegangan yang dipenuhi oleh keragu-raguan itu tiba-tiba terdengar kembali Sidanti 

berkata “Taati perintahku. Aku mengambil alih pimpinan. Aku adalah orang yang paling baik 

diantara kalian” 

“Tidak!” Citra Gati tiba-tiba berteriak tak kalah kerasnya “Aku ambil alih pimpinan. Aku adalah 

orang yang memiliki kedudukan tertua diantara kalian. Ket kakang Widura meninggalkan 

Sangkal Putung, aku dan Hudayalah yang diserahi pimpinan” 

“Persetan dengan tata cara itu. Sekarang aku mengkat diri menjadi pemimpin kalian. Apa 

maumu? Apakah aku harus membunuhmu?” 

“Jangan berlagak jantan sendiri Sidanti. Aku tahu kau memiliki beberapa kelebihan dari kami. 

Tetapi kami bukan kelinci-kelinci yang patuh karena kami kau takut-takuti. Dengan 

meninggalkan tata cara yang ditetapkan dalam keprajuritan Pajang, maka kau adalah seorang


pemberontak. Dan bagiku, bagi kami, laskar yag patuh pada tugas kami, maka nyawa kami 

akan kami pertaruhkan untuk menumpas setiap pemberontakan” 

“Gila” teriak Sidanti “Ayo, siapakah yang menenang Sidanti, majulah” 

Citra Gati bukan seorang penakut. Betapapun ia menyadari keringkihannya untuk melawan 

Sidanti, tetapi ia adalah soerang prajurit yang bertanggung-jawab. karena itu, maka ia tidak 

gentar menghadapi apapun. Tetapi sayang, bahwa Citra Gati itupun telah terbakar oleh 

perasaannya, sehingga ia lupa pada pokok persoalannya. Hilangnya Untara. Apalagi ketika 

Citra Gati menyadari, bahwa sebagian besar laskarnya condong kepadanya, sehingga dengan 

demikian hampir-hampir ia menjatuhkan perintah untuk bersama-sama menangkap Sidanti 

yang telah melanggar tata cara keprajuritan. 

Tetapi dalam pada itu terdengar suara Agung Sedayu memecah ketegangan dan kepekatan 

malam. Katanya “Persetan dengan pimpinan atas laskar ini. Aku bukan prajurit Pajang, bukan 

pula laskat Sangkal Putung. Aku disini dalam kedirianku sendiri, dalam tugas yang aku 

bebankan sendiri dipundakku, sehingga aku ikut bertempur bersama-sama kalian. Tetapi aku 

tidak diperintah oleh pemimpin yang manapun. Bertempurlah diantara kalian. Aku akan mencari 

kakang Untara. Aku sependapat dengan kakang Citra Gati, kakang Untara masih berada 

dibelakang kita. Dan siapakah diantara kalian yang masih memiliki kesetiaan kepadanya ikutlah 

aku. Yang merasa diri kalian prajurit-prajurit yang baik, tunggulah sampai salah seorang 

berhasil membunuh orang-orang lain, dan mengangkat dirinya menjadi pemimpin laskar Pajang. 

Sedang tak seorangpun diantara kalian yang berusaha memberitahukan hal ini kepada paman 

Widura, pemimpin yang sebenarnya atas kalian. Dan siapa yang mencoba menghalangi Agung 

Sedayu, maka pedangku akan berbicara” 

Kata-kata Agung Sedayu itu seakan-akan merupakan suatu pemecahan yang dapat mereka 

lakukan. tiba-tiba salah seorang dari mereka, seorang penghubung berlari kearah padesan 

idbelakang mereka. Disanalah kudanya ditambatkan. 

“He, kemana kau?” teriak Sidanti yang menjadi marah. 

“Aku akan melaporkannya kepada Ki Widura” 

Sidanti tidak mencegahnya. Sikap itu agaknya telah mendapat dukungan dari setiap orang 

dalam pasukan itu. 

Sedang Agung Sedayu kemudian tidak memperdulikan apa-apa lagi. Ia berjalan saja langsung 

kegaris peperangan untuk mencari kakaknya. Dalam hirukpikuk perkelahian itu, adalah sangat 

mungkin bagi seseorang untuk mendapat serangan tanpa diketahuinya, apalagi Untara yang 

saat itu sedang menumpahkan perhatiannya kepada Tohpati. 

Citra Gati, Hudaya dan sebagian besar dari mereka kemudian berjalan mengikuti Agung 

Sedayu. Mereka berjalan sambil memperhatikan keadaan disekeliling mereka. Dengan 

beberapa buah obor ditangan mereka mencoba mengamati setiap tubuh yang terbaring. 

Dengan demikian maka sekaligus mereka dapat menemukan beberapa orang yang terluka, 

namun kiwanya masih mungkin diselamatkan. 

“Rawat mereka” berkata Agung Sedayu. Ia tidak tahu lagi apakah ia berhak berkata demikian 

atau tidak. Namun menurut pendapatnya, semua orang berkepentingan dalam masalah 

kemanusiaan. Berhak atau tidak berhak. 

Dalam kesibukan itu, maka mereka mendengar derap beberapa ekor kuda yang datang dari 

Sangkal Putung. Ketika mereka mengangkat wajah-wajah mereka, maka mereka melihat 

kedatangan Widura beserta beberapa orang pengawalnya. 

“Apa yang sedang kalian lakukan?” bertanya Widura masih dari atas kudanya. 

“Kami mencari kakang Untara” sahut Agung Sedayu. 

Widura mengerutkan keningnya. Sukar dimengerti olehnya bahwa Untara terluka, dan terbaring 

diantara mereka yang jatuh didalam pertempuran itu. 

“Apakah menurut perhitunganmu, hal itu mungkin terjadi Sedayu?” bertanya Widura. 

Sebelum Agung Sedayu menjawab, terdengar suara Sidanti lantang “Aku sudah mengatakan 

kepada mereka, bahwa Untara tidak mungkin terluka. Beberapa orang melihat bahwa Untara 

yang melukai Tohpati bukan Untara yand dilukai” 

Wajah mengerutkan keningnya. Dipandangnya Agung Sedayu yang masih termangu-mangu.


Namun kemudian jawabnya “Kalau kakanf Untara tidak terluka, maka ia pasti sudah kembali. 

Apakah menurut dugaan paman, kakang Untara tidak terluka tetapi justru tertangkap oleh 

Tohpati?” 

“Tidak mungkin” sahut Widura serta-merta. 

“Nah kalau begitu kemana? Terluka tidak, tertangkap tidak. Apakah kakang Untara mengejar 

musuh itu seorang diri tanpa memberikan perintah kepada kami disini?” 

Widura menggeleng-gelengkan kepala. Jawabnya “Juga tidak” 

“Lalu bagaimana?” bertanya Agung Sedayu yang menjadi sangat gelisah karena kehilangan 

kakaknya. Semula, ketika ia masih digenggam oleh perasaan takut setiap saat, maka kakaknya 

adalah satu-satunya tempat untuk melindungkan dirinya. Namun kini, meskipun ia merasa 

bahwa akhirnya dirinya sendirilah yang paling baik untuk menyelamatkan dirinya itu, maka yang 

tinggal adalah suatu ikatan kasih sayang seorang adik terhadap seorang kakak yang telah 

melindunginya bertahun-tahun. Seorang kakak yang telah banyak berkorban untuknya. 

Seorang kakak yang telah berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk membentuknya menjadi 

seorang laki-laki yang sebenarnya, meskipun kakaknya itu telah hampir menjadi berputus asa 

atas kemajuan yang dicapainya. Namun kini ia telah menemukan dirinya. Dan karena itu maka 

terasa didalam dirinya suatu kewajiban untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan kakaknya itu. 

Apapun yang akan dihadapinya. 

Widura itupun kemudian meloncat pula dari kudanya. Setelah ia melayangkan pandangan 

matanya sejenak berkeliling bekas medan peperangan itu, ia bergumam “Aku sependapat 

dengan kau Sedayu” Kemudian kepada seluruh laskarnya Widura itu mengeluarkan perintah 

“Semua mencari diantara orang-orang yang terluka” 

Beberapa orang kemudian tersebar disepanjang garis pertempuran. Mereka berusaha untuk 

melihat satu persatu dibawah cahaya obor yang suram. Hanya Sidanti sajalah yag berjalan 

mondar-mandir dengan malasnya. Bahkan terdengar ia bergumam “Tak ada gunanya” 

Agung Sedayu sama sekali tidak memperhatikannya. Dengan tekun ia mencari kakaknya 

bersama-sama dengan Citra Gati dan Hudaya. Sedangkan Widura sendiri bersama dengan 

beberapa orang lainpun telah ikut mencari pula diantara mereka. 

Tiba-tiba dalam kesepian malam itu terdengar seseorang berteriak lantang sambil melambai-

lambaikan obornya “Inilah. Inilah yang kita cari” 

Agung Sedayu benar-benar terkejut mendengar teriakan itu. Seperti kuda yang terlepas dari 

ikatan, ia meloncat hampir melanggar beberapa orang lain yang berdiri disampingnya. 

diloncatinya saja setiap tubuh yang terbaring ditanah. Bahkan beberapa kali kakinya telah 

terperosok kedalam lubang-lubang dipematang. 

Demikian pula dengan beberapa orang yang lain. Widurapun terkejut bukan main. Seperti 

Agung Sedayu segera ia meloncat berlari kearah suara itu. 

Ketika mereka sampai, dan ketika mereka melihat orang yang terbaring diam dengan darah 

yang memerahi tubuhnya, ternyatalah bahwa orang itu sebenarnya Untara. Tubuhnya telah 

menjadi sangat lemahnya, karena darah yang banyak sekali mengalir dari lukanya, bahkan 

beberapa orang telah menyangkanya mati. 

Agung Sedayu dengan gemetar berlutut disamping kakaknyasambil memanggil-manggil 

“Kakang, kakng Untara. Kakang” 

Tetapi Untara tidak menjawab. bibirnya menjadi seputih kapas, dan tubuhnya telah menjadi 

sangat dinginnya. 

Perlahan-lahan Widura menempelkan telinganya didada Untara. Kemudian dengan penuh 

harapan ia berkata “Masih aku dengar jantungnya berdetak. Karena itu, carilah lukanya. 

Usahakan untuk menyumbatnya, supaya darahnya tidak terlalu banyak mengalir” 

Tubuh Untara yang lemah itupun segera diangkat. Dan serentak mereka terkejut bukan 

kepalang. Pasti bukan Tohpati yang melukainya. Sebuah belati tertancap dipunggung Untara 

itu.”Hem” terdengar Widura menggeram. Dengan hati-hati pisau itu ditariknya. Dan kemudian 

katanya tergesa-gesa “Kain. Balutlah lukanya” 

Beberapa orang menjadi bingung. Mereka tidak membawa secarik kainpun untuk membalut 

luka itu. Namun kemudian Agung Sedayu membuka ikat kepalanya, dan dengan ikat kepala itu 

ia mencoba menyumbat luka Untara.


Untara itupun kemudian dikerumuni oleh hampir semua orang didalam pasukan itu. Sidantipun 

kemudian datang pula, menerobos lingkaran itu sambil berkata “Apakah benar kakang Untara 

terluka?” 

Agung Sedayu mengangkat wajahnya. ditatapknya wajah Sidanti. Wajah yang keras dan tajam. 

Namun ia tidak menjawab pertanyaan itu. Yang menjawab adalah Widura “Ya, Untara ternyata 

terluka” 

“Benar-benar tidak menyangka” katanya sambil melangkah maju. Kini anak muda itu berdiri 

selangkah dibelakang Widura. Ditatapnya tubuh Untara yang lemah terbaring ditanah, sedang 

beberapa orang masih berusaha membalut luka itu. 

Sidanti itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata “Seseorang melihat 

kakang Untara berhasil melukai Tohpati. Tetapi kenapa tiba-tiba ia terluka?” 

Tak seorangpun yang menjawab kata-kata itu. Widura juga tidak. Sedang Agung Sedayu tealh 

sibuk kembali dengan luka Untara itu. 

Semua orang yang berdiri melingkar itu menahan nafas mereka. Seolah-olah ikut merasakan, 

betapa pedihnya luka itu. Luka yang menghunjam masuk kedalam punggung Untara. 

Suasana kemudian menjadi sepi. Angin malam yang dingin menghembus perlahan-lahan, 

mengguncang batang-batang padi yang bergerak-gerak terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka 

yang sedang bertempur. Sedang dikejauhan terdengar bunyi binatang-binatang malam 

bersahut-sahutan. Dilangit yang biru bersih, terpancang berjuta bintang gemintang yang 

berkilat-kilat. Sekali-sekali tampak kelelawar beterbangan merajai langit dimalam hari. 

Dalam keheningan malam itu tiba-tiba terdengar Sidanti berdesah “Terlambat. Tidak ada 

gunanya lagi. Untara telah mati” 

Semua yang mendengar desah itu terkejut. Lebih-lebih Agung Sedayu. karena itu, maka tiba-

tiba ia berkata lantang “Jangan memerkecut hati kami. Kami sedang berusaha” 

“Aku memandang segala persoalan menurut pertimbangan nalar” sahut Sidanti “Keadaan itu 

sudah sangat gawat. Apapun yang kalian usahakan akan sia-sia saja” 

“Tidak” potong Widura “Kemungkinan masih ada” 

Terdengar Sidanti tertawa pendek “Untara bukan malaikat. Tusukan itu tepat dan dalam. Untara, 

seperti juga orang lain yang mengalami peristiwa serupa, pasti akan mati” 

“Tutup mulutmu!” tiba-tiba Agung Sedayu yang tidak dapat menahan hati lagi membentak 

lantang “kalau kau tidak merasa perlu untuk menolongnya, jangan membuat kami berputus asa” 

Sidanti mengerutkan keningnya mendengar bentakan itu. Dengan tidak kalah lantangnya ia 

menjawab “Jangan bersikap seperti kaulah pemimpin laskar ini. Yang mendapat kepercayaan 

dari panglima Tamtama adalah Untara, bukan kau. Karena itu jangan membentak-bentak” 

“Aku tidak peduli apakah dan siapakah yang memimpin laskar ini. Tetapi aku tidak mau 

mendengar kau berkata seolah-olah sudah sewajarnya kakang Untara harus mati. Kau lihat 

kami sedang berusaha untuk menolongnya” 

“Itu urusanmu” sahut Sidanti “Aku hanya mengatakan bahwa menurut pendapatku, Untara tidak 

akan dapat ditolong lagi” 

“Jangan kau katakan dihadapanku” 

“Apa hakmu melarang aku berkata menurut pertimbanganku sendiri” 

Agung Sedayu bukanlah seorang yang cepat menjadi marah karena pengaruh sifat-sifatnya. Ia 

adalah seorang yang lemah hati yang memandang semua persoalan dari segi yang paling 

damai. Tetapi meskipun demikian kali ini ia merasa benar-benar tersinggung. Kakaknya adalah 

orang yang paling dihormati sepeninggal orang tuanya. Kakaknya adalah orang yang paling 

baik dimuka bumi ini, yang telah banyak berbuat untuknya, untuk kepentingannya. karena itu, 

maka tanggapan Sidanti atas kakaknya itu benar-benar telah membakar telinganya sehingga 

Agung Sedayu itu seakan-akan kehilangan segenap sifat-sifatnya. Tiba-tiba ia menjadi keras 

dan dengan serta-merta ia berdiri sambil berkata “Sidanti, kau ingin perselisihan, maka 

sekarang adalah waktunya. Aku selalu mencoba menghindari setiap benturan diantara kita 

sejauh mungkin. Namun kau selalu membuat persoalan. Sekarang, kalau kau menantang aku, 

aku terima tantanganmu. Dengan atau tanpa senjata” 

Tak seorangpun yang menyangka bahwa Agung Sedayu akan mengucapkan kata-kata itu.


Kata-kata yang terlalu keras dan langsung. Kata-kata yang menggeletar karena getaran 

didalam dadanya. Getaran yang telah memenuhi rongga hatinya yang betapapun luasnya. 

Sehingga akhirnya meluap juga, menggetarkan udara malam yang dingin. 

Sidantipun sama sekali tidak menyangka, bahwa Agung Sedayu tiba-tiba saja berbuat demikian. 

Sesaat ia berdiri termangu-mangu.dilihatnya didalam sinar obor yang kemerah-merahan mata 

Agung Sedayu yang menyala-nyala. Namun Sidanti adalah seorang yang keras hati. Ketika ia 

menyadari keadaan, tiba-tiba ia mengangkat dadanya. Dengan lantang ia menjawab kata-kata 

Agung Sedayu “Bagus. Aku tantang kau saat ini” 

Agung Sedayu tidak menunggu apapun lagi. Setapak ia maju. Dan ketika ia melihat ditangan 

Sidanti masih tergenggam senjatanya yang aneh, maka dengan tanpa menghiraukan apapun 

lagi, dengan tangkasnya ditariknya pedangnya dari wrangkanya. 

Tetapi tepat pada saatnya Widura telah berdiri diantara mereka. Dengan tenang ia berkata “Aku 

memerintahkan kalian menghindari bentrokan yang dapat terjadi. Aku perintahkan pada Sidanti 

selaku seorang prajurit dibawah pimpinanku, dan aku perintahkan kepada Agung Sedayu selagi 

masih keponakanku” 

Kembali suasana menjadi sunyi senyap. Sidanti dan Agung Sedayu merasakan perbawa kata-

kata Widura. karena itu, maka merekapun menundukkan wajah masing-masing. 

Sesaat kemudian terdengar pula Widura itu berkata “Sekarang bawa Untara kembali ke 

Sangkal Putung. Cepat supaya kita dapat memberikan pertolongan yang lebih baik. Darah telah 

terlampau banyak tertumpah disini. Apakah masih ada yang akan memeras lagi darahnya? 

Apalagi tanpa arti?” 

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi segera ia melangkah mendekati tubuh kakaknya dan 

ikut serta mengangkatnya. Namun terasa bahwa sesuatu bergolak didalam dadanya. 

Sedang Sidanti masih tegak ditempatnya. Diawasinya Agung Sedayu melangkah pergi, 

menyarungkan pedangnya dan kemudian bersama-sama dengan beberapa orang mengangkat 

tubuh Untara. 

Widurapun kemudian meninggalkan Sidanti itu pula. dibelakang mereka yang mengangkat 

tubuh Untara, Widura berjalan sambil menggigit bibirnya. Seribu satu macam persoalan 

membentur dinding hatinya. Untara yang baru saja sembuh dari lukanya, kini telah terluka 

kembali. Bahkan agak lebih parah. Kalau anak muda itu tidak segera mendapat pengobatan 

yang baik, maka jiwanya ada dalam bahaya. 

Ketika laskar Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung pergi meninggalkan tempat itu, 

maka Sidanti masih saja berdiri seperti patung. Dilihatnya Widura berjalan sambil menundukkan 

kepalanya dan dilihatnya laskar itu seakan-akan berduka. 

Tiba-tiba timbullah iri dihatinya “Apakah kalau aku terluka maka semua orang akan berduka 

seperti itu?” katanya dalam hati. 

Ketika kemudian terdengar suara ayam jantan berkokok, Sidanti itu terkejut. Terasa kemudian 

betapa silirnya angin yang mengusap tubuhnya. Ketika ia mengangkat wajahnya dilihatnya 

bintang-bintang masih bercahaya dilangit diatas kepalanya. Dilihatnya bintang Bima Sakti 

melintang dari kutub ke kutub, dilingkaran serbuk bintang yang keputih-putihan seperti awan 

yang bercahaya. 

Dimukanya berpuluh-puluh obor berjalan semakin lama menjadi semakin jauh. Ketika ia 

kemudian melangkah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah desir yang lembut. Cepat ia berpaling 

sambil menyiagakan senjatanya. Tetapi kemudian ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia 

melihat orang yang mendatanginya. Gurunya, Ki Tambak Wedi. 

“Apakah lau terkejut Sidanti?” 

Sidanti menarik nafas. Jawabnya “Ya guru. Aku baru saja bertempur disini. karena itu, maka 

aku masih diliputi oleh suasana itu” 

Gurunya itu tertawa pendek “Aku melihat pertempuran ini. Aku melihat pula kalian mencari 

pemimpin kalian yang bernama Untara itu” 

Sidanti tersenyum pula “Hem. Pokal orang-orang gila itu” desisnya. 

Ki Tambak Wedi itupun kemudian mengawasi obor-obor yang semakin menjauh. Nyala apinya 

kemudian seakan-akan hanya merupakan bintik-bintik merah yang bergerak-gerak diatas layar


yang hitam. 

Dalam pada itu, Agung Sedayu dengan penuh keprihatinan membawa tubuh kakaknya 

bersama-sama beberapa orang lain. Terasa pula padanya, alangkah besar bahaya yang 

selama ini mengancam jiwa kakaknya dalam pengabdiannya. Luka kakaknya yang pertama 

seakan-akan baru kemarin dibebatnya didaerah sekitar Macanan. Kini kakaknya sudah terluka 

kembali. 

Namun demikian, kakaknya bukanlah korban satu-satunya. Didaerah bekas pertempuran itu 

masih banyak tubuh-tubuh lain yang bergelimpangan. Kawan atau lawan. Beberapa diantara 

mereka sudah tidak bernyawa lagi. Namun sebagian lagi masih hidup, merintih-rintih menahan 

sakit. Karena itu, tiba-tiba Agung Sedayu itu berpaling kepada pamannya sambil berkata 

“Paman, apakah orang-orang lain yang terluka digaris peperangan itu tidak mendapat 

perawatan seperti kakang Untara ini?” 

Pamannya mengangguk. Jawabnya “Ya. Beberapa orang lain bertugas mengurusi mereka. 

Baik yang sudah meninggal. Maupun yang masih mungkin mendapat pertolongan” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika terpandang kembali wajah 

kakaknya yang pucat, hatinya berdesir keras. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan 

orang-orang yang membawa Untara itu berjalan semakin cepat. Untara harus segera mendapat 

pengobatan sewajarnya. 

Kabar tentang Untara segera tersebar keseluruh Sangkal Putung. Beberapa orang semula 

menjadi kecewa mendengar berita itu. Salah seorang diantara mereka berkata “Kalau begitu, 

Untara benar-benar bukan orang yang pantas kita harapkan disini. Seperti kabar-kabar yang 

kita dengar, ternyata Untara sama sekali tidak mampu mempertahankan dan menyelamatkan 

dirinya sendiri” 

“Kau salah” jawab yang lain. “Untara sebenarnya tidak sisip dari berita yang kita dengar disini. 

Ternyata Untara memang tidak dapat dikalahkan oleh Macan Kepatihan. Seseorang melihat 

Untara berhasil merobek lengan Tohpati. Bahkan kemudian mendesaknya terus. Seandainya 

Tohpati tidak segera mengundurkan dirinya, maka kemungkinan yang hampir pasti, Tohpati 

akan dapat dibinasakan oleh Untara. Namun, ketika kita sedang mengejar laskar lawan yang 

mengundurkan diri, seseorang menyerangnya dengan curang, menusukkan pisau itu terhunjam 

dipunggungnya” 

Orang pertama menyesal atas penilaiannya terhadap Untara. Karena itu cepat-cepat ia 

membetulkan kesalahan “Aoh, aku keliru. Ternyata Untara benar-benar mengagumkan. Namun 

jika seandainya seseorang berhasil melukainya, meskipun dari belakang, maka orang yang 

melakukan itu pasti seseorang yagn pilih tanding pula” 

“Mungkin” jawab orang kedua “Didalam laskar lawan terdapat Alap-alap Jalatunda, Plasa Ireng 

dan lain-lain” 

“Plasa Ireng sudah mati” 

Orang kedua itu mengerutkan keningnya. “Ya, ia mati dalam keadaan yang mengerikan. Hem. 

Sidanti benar-benar berdarah dingin. Dengan tangannya ia merobek-robek tubuh lawannya 

yang sudah tidak berdaya” 

“Sungguh berlawanan dengan Agung Sedayu” sahut yang lain. “Menurut Swandaru Geni, 

Agung Sedayu menyesal ketika ia membunuh seseorang meskipun didalam peperangan” 

Kemudian keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya beberapa kawan-kawan 

mereka sedang berbaring-baring saja dimuka regol kademangan karena kelelahan. Beberapa 

orang duduk-duduk dihalaman, sedang yang lain masih berada di banjar desa. 

Orang-orang yang terlukapun kemudian dibawa kebajar desa itu untuk mendapat pertolongan 

sekedarnya. Tetapi Untara itdak dibawa kebajar desa. Untara itu oleh Widura disuruhnya 

membawa kekademangan saja. Sebab Untara adalah orang penting bagi Pajang. Mau tidak 

mau Ki Ageng Pemanahan pasti akan menjadi heran atas keadaannya. 

Untara itupun kemudian dibaringkan didalam pringgitan kademangan. Agung Sedayu, Widura, 

Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru dan beberapa orang lagi berdiri memagarinya. Mereka 

menyaksikan dengan penuh haru, tubuh Untara yang terbaring diam. Meskipun demikian, 

mereka masih mempunyai harapan bahwa Untara akan dapat sadar kembali, karena mereka 

masih melihat dada Untara bergerak-gerak dalam pernafasan yang sulit.


Demangpun menjadi gelisah pula. ia telah menyuruh beberapa orang untuk mencari daun-

daun yang menurut pendengarannya dapat menolong sementara, menghentikan aliran darah. 

“Untunglah” gumam Widura “Lukanya agak terlalu tinggi, sehingga tidak langsung menyentuh 

jantungnya” 

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, keadaan Untara cukup 

berbahaya. 

Dalam pada itu, hampir setiap orang berbicara tentang Untara, tentang lukanya dipunggung. 

Mereka bersepakat bahwa Untara mendapat serangan dari belakang dengan cara yang curang. 

“Didalam perang brubuh hal itu memang mungkin sekali terjadi” bisik salah seorang yang 

bertugas digardu pertama. 

Yang diajak berbicara mengangguk. Katanya “Tetapi aneh. Tohpati dan Untara bertempur tepat 

digaris pertempuran. Apakah kemudian Untara mendesaknya hingga masuk kedalam 

lingkungan laskar Jipang, dan dalam pada itu ia mendapat serangan dari belakang?” 

“Aku tidak melihatnya demikian. Kita bersama mendesak mereka. Dan mereka mundur dalam 

satu garis yang teratur, meskipun disana sini timbul pula kekacauan yang memungkinkan hal-

hal semacam itu terjadi” 

“Tetapi yang melukai Untara pasti bukan Macan Kepatihan” 

“Pasti bukan” jawab yang lain. 

Mereka kemudian terdiam. Tetapi mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang perlahan-

lahan mendatanginya. Orang-orang itu segera bersiaga. Dengan menggenggam hulu 

pedangnya yang masih disangkutkan didalam sarungnya ia menyapa “Siapa itu?” 

Orang yang disapa itu mengangkat wajahnya. Sambil berjalan terus ia menjawab “Aku ngger, 

aku” 

“Aku siapa?” bertanya penjaga itu pula. 

Orang yang disapanya itu berjalan semakin dekat. Dengan langkah satu-satu iam menjadi 

semakin jelas. Seorang tua dengan sebuah tongkat kecil ditangannya. 

“Siapa itu” penjaga itu mengulangi. 

“Aku ngger, aku” jawabnya. Suaranyapun telah memberitahukan kepada para penjaga bahwa 

orang itu adalah seorang tua. 

“Siapa namamu?” 

Orang itu sudah dekat benar. Dengan nafas terengah-engah ia berkata “Huh. Aku hampir mati 

ketakutan melihat pertempuran itu” 

“Kau melihat pertempuran itu kek? Bertanya salah seorang penjaga. 

“Ya, aku melihat” jawabnya. 

“Kenapa melihat, kalau kau hampir mati ketakutan?” 

“Aku tidak sengaja melihat. Aku berjalan lewat daerah itu. Dan didaerah itu terjadi pertempuran” 

“Mau kemana kau sebenarnya kakek?” 

“Pulang ke dukuh Pakuwon”“Dukuh Pakuwon” bertanya para penjaga keheranan “Dari mana?” 

Orang itu terdiam. Nafasnya masih saja terengah-engah. Baru kemudian ia menjawab “Aku 

baru saja pulang dari pesisir” 

“Dari pesisir?” 

“Ya. Aku baru saka mencari kulit kerang hijau. Kulit kerang ini sangat baik untuk mengobati 

luka-luka” 

“Kau dapatkan kulit kerang itu?” 

“Ya” 

“Dapatkah dipakai untuk mengobati luka senjata tajam?” 

“Tentu. Tentu” 

“Banyak kawan-kawan kami terluka. Apakah kau mau mengobati mereka?” 

“Tentu. Tentu”


Penjaga itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak dapat percaya begitu saja kepada orang yang 

belum dikenalnya. karena itu, maka katanya kemudian “Pemimpin kami terluka. Marilah, aku 

antarkan kau kekademangan. Biarlah para pemimpin yang menentukan, apakah obatmu dapat 

menolongnya” 

“Siapakah yang terluka?” 

“Untara” 

“Untara?” kakek itu mengulang. 

Orang tua itupun kemudian dibawa oleh beberapa orang penjaga kekademangan. Ketika 

mereka sampai dipendapa, maka mereka melihat beberapa orang masih sibuk dipringgitan 

sehingga para penjaga itu menjadi ragu-ragu. Tetapi karena keinginan mereka untuk 

mengantarkan orang tua itu, maka diberanikan dirinya mengetuk pintu yang masih terbuka itu. 

Widura berpaling kearah mereka. Dilihatnya seorang penjaga berdiri tegak dimuka pintu. “Ada 

apa?” katanya. 

Maka diceritakannya tentang orang tua yang telah mendapatkan kerang hijau yang dapat untuk 

menyembuhkan luka-luka. 

Widura yang sedang digelisahkan oleh luka Untara itu tidak berpikir panjang. Segera ia berkata 

“Bawa orang itu masuk kemari” 

Orang tua itupun segera dipersilakan masuk kepringgitan. Namun demikian ia melangkah pintu, 

terdengarlah Agung Sedayu menyapanya lantang “Ki Tanu Metir!” 

Orang tua itu memandang berkeliling. Akhirnya dilihatnya Agung Sedayu diantara mereka. 

karena itu, maka tampaklah ia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya “Kau disini juga 

ngger?” 

“Ya Ki Tanu. Aku menunggui kakakku yang terlkua” tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat pula 

kepada peristiwa yang dialaminya di Macanan. Maka katanya pula “Ki Tanu. Kakakku yang 

terluka ini ada kakakku itu pula. Kakang Untara” 

“He?” orang tua itu terkejut “Apakah angger Untara belum sembuh?” 

Semua orang yang berada di pringgitan memandang orang tua yang bernama Ki Tanu Metir itu 

dengan seksama. Mereka menjadi heran, bahwa ternyata orang itu agaknya telah mengenal 

Untara dan Agung Sedayu dengan baik. 

Agung Sedayupun kemudian menjelaskan “Kakang Untara baru saja terluka dalam 

pertempuran diperbatasan Sangkal Putung. Bukan luka yang dahulu” 

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Hem. Itu adalah akibat 

dari kedudukannya. Baru saja angger Untara sembuh, kini ia telah terluka kembali” 

“Ya Kiai” sahut Widura “Setiap prajurit menyadari hal itu. Kamipun disini menyadari, dan 

Untarapun menyadari” 

“Angger benar” jawab Ki Tanu Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian 

katnaya “Siapakah angger ini?” 

Widura ragu-ragu sesaat. Yang menjawab adalah Agung Sedayu “Paman Widura. pemimpin 

laskar Pajang di Sangkal Putung” 

“Oh” desah orang tua itu, yang kemudian berkata pula kepada Widura “Angger, apakah aku 

diperbolehkan mencoba mengobati luka angger Untara?” 

“Silakan Kiai. Kami akan berterima kasih kepada Kiai. Menurut cerita yang pernah aku dengar, 

Kiai pernah juga merawat Untara beberapa waktu yang lewat” 

“Ya ya” sahut Ki Tanu Metir sambil melangkah maju. 

Kemudian dengan sangat hati-hati ia mengamati dan meraba-raba luka Untara itu. 

Semua orang menegang nafas. Mereka berharap-harap cemas, mudah-mudahan orang tua itu 

dapat memberinya obat. 

Tampaklah Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata 

“Angger, tolonglah aku membuka bajunya” 

Dengan tergesa-gesa Agung Sedayupun segera menolong Ki Tanu Metir, dengan sangat hati-

hati membuka baju Untara.


bungkusannya, Ki Tanu Metir mengeluarkan beberapa jenis obat-obatan, yang kemudian 

dilumurkan disekitar luka Untara. 

“Marilah kita berdoa didalam hati kita. Sebab kita hanya wenang berusaha, dan Tuhanlah yang 

akhirnya menentukan. Mudah-mudahan angger Untara segera sembuh” 

“Apakah luka itu tidak terlalu berat Kiai?” bertanya Agung Sedayu dengan cemas. 

Ki Tanu Metir menggeleng “Tidak terlalu berbahaya” 

Semua orang menarik nafas panjang mendengar keterangan Ki Tanu Metir, meskipun banyak 

diantara mereka yang meragukannya. Kalau luka itu tidak berat, maka orang seperti Untara itu 

tidak akan mengalami pingsan sedemikian kerasnya. 

“Angger” berkata Ki Tanu Metir kepada Widura “Biarlah angger Untara beristirahat. Dan biarlah 

udara dipringgitan ini menjadi sejuk. Karena itu, apabila tidak berkeberatan, biarlah yang kurang 

berkepentingan meninggalkan ruangan ini” 

Widura menjadi ragu-ragu untuk sesaat, diamatinya wajah orang tua itu. Namun kemudian ia 

berkata “Baiklah . biarlah ruangan ini menjadi jernih” 

Beberapa orang lain segera meninggalkan ruangan itu. Mereka mengerti juga, bahwa dengan 

demikian udara didalam ruang pringgitan itu menjadi tidak terlalu panas. 

Didalam ruang itu kini tinggal Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Agung Sedayu dan 

Swandaru. dari balik dinding Sekar Mirah mencoba mengintip mereka. Tetapi ia tidak berani 

masuk kedalam pringgitan itu, sebab agaknya ayahnya dan beberapa orang yang lain lagi 

berwajah tegang. Dari beberapa orang ia mendengar bahwa Untara terluka. 

Sekar Mirah menjadi gembira ketika ayahnya memanggilnya. Setelah ia berlari menjauh, maka 

dari kejauhan itu ia menjawab “Ya ayah” 

“Kemarilah” 

Dengan berlari-lari kecil Sekar Mirah itu masuk ke pringgitan dari pintu belakang. Gadis itu 

tertegun dipintu ketika ia memandang wajah Agung Sedayu yang suram. Tetapi kesuramannya 

itu tampaknya menambah Agung Sedayu menjadi dewasa. 

“Ambillah jeruk” berkata ayahnya. 

“Jeruk apa ayah?” 

“Jeruk pecel” sahut ayahnya. 

“Ya ayah” jawab gadis itu sambil berlari. 

Widura sekejap memandang wajah kemenakannya. Ia melihat sesuatu pada wajah itu.na ia 

tidak berkata apapun. 

Setelah ruangan itu menjadi sepi, maka terdengarlah Agung Sedayu bertanya “Ki Tanu, apakah 

benar luka itu tidak begitu parah?” 

“Luka itu tidak parah ngger, tetapi aku kira tidak membahayakan jiwanya apabila aku berhasil 

mengembalikan pernafasannya dengan wajar. Yang lebih berbahaya bagi angger Untara bukan 

luka itu, tetapi lihatlah” Ki Tanu Metir itu kemudian menunjukkan sebuah noda kebiru-biruan 

dilambung kanan Untara. Semua yang menyaksikan noda itu terkejut karenanya. Dengan serta-

merta Agung Sedayu bertanya “Noda apakah itu Kiai?” 

“Sebuah pukulan yang tepat diarah ulu hati. Untunglah bahwa pukulan itu dilakukan agak 

tergesa-gesa, sehingga agaknya belum mempergunakan tenaga sepenuhnya” 

Semua orang yang berada ditempat itu merenungi noda itu dengan seksama. Mereka melihat 

disekitar noda yang kebiru-biruan itu menjadi agak bengkak dan berwarna kemerah-merahan. 

“Ada dua kemungkinan Kiai” berkata Widura “Pukulan itu tidak dilakukan dengan sepenuh 

tenaga karena tergesa-gesa atau memang penyerangnya kurang mempunyai tenaga untuk 

membuat Untara itu menjadi semakin parah” 

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Ya. Mungkin. Namun menilik 

kemudian yang dapat dilakukan atas angger Untara, maka orang itu pasti bukan orang 

kebanyakan” 

Kembali ruangan itu menjadi diam. Masing-masing mencoba untuk mencari etiap kemungkinan 

yang dapat terjadi atas Untara itu, namun tak seorangpun yang mampu untuk mencoba 

menebak, siapakah yang telah melakukannya.


Pringgitan itu kini menjadi sepi. Ki Tanu Metir masih saja merenungi tubuh Untara. Diraba-

rabanya dan dipijit-pijitnya. 

Sekar Mirahpun kemudian masuk kembali kepringgitan itu dengan beberapa buah jeruk nipis. 

Diserahkannya jeruk itu kepada ayahnya, dan kemudian oleh ayahnya, jeruk itu diberikannya 

kepada Ki Tanu Metir. 

“Terima kasih” sahut dukun tua itu. 

Setelah dipotong-potong maka jeruk nipis itupun diperasnya dan dicampurkannya pada ramuan 

obat-obatan. Dengan ramuan itu Ki Tanu Metir mencoba mengurut-urut jalan pernafasan Untara. 

Dari lambung dada dan punggungnya. 

Sesaat kemudian terdengarlah Untara itu berdesah, lalu terdengar pula sebuah tarikan nafas 

yang panjang. 

“Bagaimana Kiai?” terdengar Widura bertanya. 

Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. ia masih menekan bagian bawah dada Untara dan 

mengurutnya perlahan-lahan. 

Sekali lagi Untara menarik nafas panjang, kemudian terdengar ia mengeluh pendek. 

Agung Sedayu, Widura, dan Ki Demang Sangkal Putung mendesak maju. Sedang Swandaru 

Geni berdiri kaku dibelakang ayahnya. 

Mereka kemudian menarik nafas lega ketika Ki Tanu Metir itu berkata “Pernafasan angger 

Untara sudah berangsur baik. Mudah-mudahan segera ia menjadi sadar kembali. Gabungan 

dari dua luka ditubuhnya, benar-benar menjadikannya menderita. Luka tusukan dipunggungnya 

telah sangat melepahkannya, dan noda biru itu telah mengganggu pernafasannya. 

Ternyata gerak dada Untara kini telah jauh berbeda. Kini Untara telah tampak bernafas dengan 

mudah. Sekali-sekali ia telah bergerak dan menggeliat perlahan-lahan sekali. Apalagi dengan 

obat-obat yang dilumurkan oleh Ki Tanu Metir pada lukanya, sama sekali telah menyumbat 

pendarahan. 

Kemudian Ki Tanu Metir yang menarik nafas dalam-dalam. Lirih ia bergumam “Mudah-

mudahan” 

Setelah pernagasan Untara itu menjadi baik kembali, serta beberapa kali ia telah dapat 

menggerakkan tangannya, maka Ki Tanu Metir itupun berkata “Biarlah angger Untara tidur. Ia 

kini sudah tidak pingsan lagi. Namun karena tubuhnya yang sangat lemah, maka ia belum 

dapat menyadari dirinya sesadar-sadarnya” 

“Jadi, luka-luka itu tidak membahayakan jiwanya Kiai?” desak Agung Sedayu 

Ki Tanu Metir menggeleng “Marilah kita berdoa. Mudah-mudahan dugaanku benar. Angger 

Untara akan sembuh kembali” 

Ruang pringgitan itu menjadi sepi kembali. Mereka kini tidak lagi berdiri melingkari Untara, 

namun mereka kini tidak lagi berdiri melingkari Untara, namun mereka kini duduk disamping 

tubuh Untara yang masih terbaring diam. 

Sekar Mirah yang tidak pergi keluar sejak ia menyerahkan jeruk pecel kini ikut duduk disitu pula. 

Tetapi ia menjadi kecewa ketika ayahnya berkata “Mirah, manakah minuman kami?” 

Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi ia segera berdiri dan sambil bersungut-sungut ia keluar dari 

pringgitan pergi kedapur. 

Sejenak kemudian, mereka yang duduk dipringgitan itu serentak berpaling, ketika mereka 

mendengar gerit pintu terbuka. Dimuka pintu itu mereka melihat, Sidanti berdiri tegak. Ketika 

dilihatnya Widura maka anak muda itu menganggukkan kepalanya. 

“Kakang Widura” katanya “Apakah aku boleh masuk?” 

“Apakah kau mempunyai suatu keperluan Sidanti?”bertanya Widura. 

Sidanti mengangguk sambil menjawab “Ya kakang” 

“Kemarilah” sahut Widura. 

Sidanti itupun kemudian masuk kepringgitan dan duduk disamping Widura. ditangannya ia 

memegang sebuah bungkusan kecil. 

“Kakang” katanya “aku telah mencoba menghubungi guruku. Aku katakan kepada guru, bahwa 

kakang Untara terluka. Aku coba mengatakan besar, dalam dan letak luka itu” Sidanti berhenti


sesaat. Dicobanya mengawasi wajah-wajah mereka yang duduk disekitarnya. Ketika tak 

seorangpun menjawab maka Sidanti itu meneruskan “Namun sayang, menurut guruku, luka 

demikian adalah luka yang sangat berbahaya. Luka yang tak akan mungkin diobati. Meskipun 

demikian, maka kita wajib berusaha. Dan gurukupun akan mencoba menolongnya apabila 

mungkin. Namun segala sesuatu bukanlah kita yang menentukan. Dan inilah obat yang aku 

terima dari guruku itu. Biarlah aku mencoba mengusapkannya pada luka itu” 

Widura mendengar kata-kata Sidanti itu dengan heran, dan bahkan sesaat ia berdiam diri. 

Timbullah perasaan aneh terhadap Sidanti. Ternyata anak itu tidak sejahat yang disangkanya. 

Dalam keadaan yang sulit, ia berusaha pula untuk berbuat sesuatu meskipun hasilnya belum 

pasti akan tampak. karena itu, maka sesaat kemudian menjawab “Terima kasih Sidanti” 

Agung Sedayupun menjadi heran pula. tiba-tiba matanya menjadi suram. Ia menyesal bahwa ia 

telah memusuhi anak muda itu. Ternyata kini ia telah berbuat sesuatu untuk keselamatan 

kakaknya. 

Ki Demang dan Swandaru Genipun menjadi bersenang hati atas sikap itu. Dengan demikian, 

maka pertentangan diantara mereka menjadi semakin tipis. Dan karenanya akan terjalinlah 

persatuan yang bulat diantara semua kekuatan di Sangkal Putung. 

Tetapi yang masih saja berdiam diri adalah Ki Tanu Metir. Ia masih belum tahu, obat apakah 

yang dibawa oleh Sidanti itu. karena itu, maka katanya “Angger, apakah aku boleh melihat obat 

itu?” 

Sidanti memandang kepada Ki Tanu Metir, dengan penuh curiga, sehingga kemudian ia 

bertanya kepada Widura “Siapakah orang ini kakang?” 

Widura berpaling kepada Ki Tanu Metir, kemudian jawabya “Orang inilah yang telah melakukan 

pertolongan pertama kepada Untara. Namanya Ki Tanu Metir. Ki Tanu adalah seorang dkun 

yang berpengalaman” 

Sidanti mengerutkan keningnya. Tampaklah dari sorot matanya, bahwa ia tidak senang melihat 

kehadiran Ki Tanu Metir. Maka katanya “Apakah Ki Tanu Metir dapat pula mengobati? Atau 

barangkali seorang dukun yang dapat menebak hati orang, atau menenung orang dari jauh dan 

menaruh guna-guna?” 

“Oh tidak, tidak ngger” sahut Ki Tanu Metir “Aku bukan dukun semacam itu. Aku sama sekali 

tidak dapat menebak hai orang, merauh guna-guna apalagi menenung. Yang aku ketahui 

hanyalah sekedar beberapa jenis obat-obatan yang dapat dipakai untuk mengobati luka. Itupun 

hanya aku dengar dari nenek dan kakek. Hanya itu. Dan sekarang aku mencoba mengobati 

luka Untara dengan cara yang pernah aku pelajari dari orang-orang tua itu” 

“Hem” Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Kalau begitu, obat ini 

adalah obat yang pasti akan lebih baik dari obat Ki Tanu Metir. Sebab obat ini diberikan oleh 

guruku, Ki Tambak Wedi” 

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Sidanti dan Agung Sedayu 

berganti-ganti. Kemudian ia menyahut “Mungkin Ki Tambak Wedi itu seorang dukun yang 

pandai. Tetapi apakah iai dapat mengobati tanpa melihat luka itu?” 

“Tentu” jawab Sidanti “Ki Tambak Wedi dapat mengobati apa saja meskipun luka itu tidak 

dilihatnya. Sebab ia pasti tahu bahwa luka senjata pada dasarnya sama saja. Menghentikan 

aliran darah dan kemudian memampatkan luka itu untk memulihkan jaringan daging yang telah 

pecah dan sobek” 

“Ya, ya, begitu pulalah yang pernah aku dengar dari orang-orang tua” berkata Ki Tanu Metir 

“Namun setiap luka ditempat yang berbeda-beda membawa cirinya sendiri-sendiri. Dan luka 

angger Untara itupun sudah pampat dan tidak mengalirkan darah lagi” 

Sidanti mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin tidak senang melihat Ki Tanu Metir berada 

diruangan itu. Ketika ia berpaling kepada Untara, maka katanya “Apakah tubuh itu akan kita 

biarkan terbaring diam untuk kemudian mati? Kita harus berusaha, meskipun seandainya usaha 

itu gagal. Namun kita akan mengkhianatinya apabila kita biarkan saja Untara itu mati tanpa 

ikhtiar apapun” 

Widura menjadi ragu-ragu sejenak. Dibiarkannya mereka berdua berbicara. Sementara itu ia 

mencari kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Namun ia tidak akan dapat menolak 

kebaikan hati Ki Tambak Wedi. akhirnya Widura itupun berkata “Sidanti, darah yang mengalir



dari luka itu telah berhenti. Untara kini telah tidur nyenyak. Biarlah obat itu kau berikan 

kepadaku. Nanti apabila ia telah bangun, biarlah aku mengobati lukanya, atau biarlah Ki Tanu 

Metir yang melumurkannya” 

“Kenapa kita menunda sampai nanti, kakang Untara pasti akan lebih menderita. Kalau 

kemudian terlambat, maka akan sia-sia segala usaha” 

“Tetapi pasti tidak dapat sekarang” potong Ki Tanu Metir. “Obat itu mungkin sekali akan 

mengadakan tenggang-menenggang dengan obat yang lebih dahulu telah aku lumurkan. 

Karena itu biarlah obat itu menunjukkan akibatnya dahulu. Kalau ternyata tidak bermanfaat, 

baiklah kita ganti dengan obat yang lain” 

“Banyak waktu yang terbuang” jawab Sidanti, kemudian kepada Widura ia berkata “Kakang, aku 

minta ijin untuk mencoba mengobati luka itu” 

“Nanti dulu Sidanti” berkata Widura sambil berdiri “Jangan memaksa. Aku sangat berterima 

kasih kepadamu dan kepada Ki Tambak Wedi yang telah sudi memberikan obat itu. Namun 

sayang bahwa luka itu telah terlanjur diobati, dan darahnya telah tuntas. Karena itu, marilah 

berikan kepadaku, barangkali nanti kita perlukan” 

Sidanti itupun menjadi sangat kecewa. Sehingga ia menggeram. Meskipun demikian ia masih 

ingin memaksa, katanya “Kakang, buat apa kita percaya kepada dukun itu. Biarlah aku 

mengobati luka itu kalau dukun itu marah, biarlah aku patahkan lehernya” 

“Ampun ngger, jangan patahkan leherku. Aku masih sangat memerlukannya” Tiba-tiba Ki Tanu 

Metir itu menyahut “Tetapi demi kesembuhan angger Untara, jangan kau sentuh tubuhnya” 

Agung Sedayu menjadi bingung mendengarkan pembicaraan itu. Tetapi tiba-tiba ia menjadi 

sangat tidak senang mendengar Sidanti mengancam Ki Tanu Metir. Meskipun ia dapat 

menghargai usaha Sidanti, namun ia tidak dapat melupakan, bahwa Ki Tanu Metir pernah 

menolong Untara itu dahulu, meskipun ia tidak tahu apa yang telah erjadi setelah ia 

meninggalkan rumah Ki Tanu Metir itu, namun Untara itu ternyata tertolong jiwanya. Sedang 

obat yang dibawa Sidanti itu masih harus diuji pula. karena itu, maka tiba-tiba ia berkata 

“Kakang Sidanti, berikanlah obat itu kepada paman Widura. biarlah besok ata nanti, paman 

Widura melumurkannya” 

Sidanti itu memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian terdengarlah 

suaranya parau “Agung Sedayu. Ternyata kau tidak mempunyai rasa kasih sayang terhadap 

kakakmu itu. Apakah kau akan menunggu sampai Untara mati, baru akan kau obati lukanya” 

“Kalau kakang Untara gugur, maka sudah tentu akulah yang paling bersedih. Tetapi ia kini 

sudah berangsur baik. Karena itu jangan diganggu” 

Sidanti itu berpaling kepada Widura. dengan wajah yang tegang ia berkata “Bagaimana 

kakang?” 

“Berikan obat itu kepadaku, Sidanti” 

Sidanti itu menjadi tegang. Namun kemudian ia tidak akan dapat memaksakan kehendaknya. 

Karena itu diberikannya bungkusan daun waru ditangannya itu kepada Widura. “Inilah kakang. 

Namun kalau Untara itu tidak tertolong, maka kalianlah yang telah membunuhnya. Meskipun 

demikian, aku mengharap obat itu akan dicoba pula” 

“Baiklah, kami akan mencoba obat ini besok kalau ternyata kami perlukan” 

Sidanti tidak berkata-kata lagi. Setelah bungkusan ditangannya itu diterima oleh Widura, maka 

segera ia meninggalkan ruangan itu. Sekali ia berpaling kearah Ki Tanu Metir, dan sekali 

kepada Agung Sedayu. 

Ki Tanu Metir menangkap pertanyaan yang menyorot dari mata Widura. ia ingin penjelasan 

tentang obat itu. karena itu, maka Ki Tanu Metir itupun berkata “angger Widura, apakah aku 

boleh melihat obat itu?” 

Widura kemudian duduk kembali ditempatnya. Diberikannya bungkusan daun waru ditangannya 

itu kepada Ki Tanu Metir. Katanya “Cobalah lihat Kiai, apakah obat ini bermanfaat pula?” 

Dengan hati-hati Ki Tanu Metir membuka bungkusan itu. Ketika ia melihat obat yang terbungkus 

didalamnya tampak ia terkejut. Namun kemudian wajahnya menjadi tenang kembali. 

“Bagaimana Kiai?” bertanya Widura ingin tahu. 

Ki Tanu Metir mengangkat alisnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata “Aku



tidak dapat memberikan obat ini kepada angger Untara, sebab aku tidak melihat manfaatnya” 

Widura memandang Ki Tanu Metir dengan penuh pertanyaan. Ki Tambak Wedi adalah seorang 

yang cukup sakti. Namun apakah kata-kata Ki Tanu Metir sebenarnya? 

Ki Tanu Metir melihat kebimbangan diwajah Widura. karena itu ia mencoba menjelaskan “Aku 

mempergunakan obat yang berlawanan dengan obat ini. Aku kira akibatnya akan merugikan 

angger Untara itu. Karena itu, biarlah kita tunggu saja sampai besok pagi. Mudah-mudahan 

obat yang aku berikan akan berguna” 

Ruangan itu kemudian menjadi sepi kembali. Dikejauhan terdengar ayam jantan berkokok 

bersahut-sahutan. 

“Hampir fajar” gumam Ki Tanu Metir. 

Agung Sedayu mengangguk. Perlahan-lahan ia bangkit dan mendekati tubuh Untara terbaring. 

Tiba-tiba Agung Sedayu itu membungkukkan badannya sambil berkata lirih “Ki Tanu, kakang 

Untara telah bangun” 

Ki Tanu Metir itupun segera berdiri dan mendekati Untara pula. demikian pula Ki Demang 

Sangkal Putung dan Swandaru Geni. Mereka bersama-sama berdiri mengelilingi pembaringan 

Untara. 

Untara itu kini telah dapat menggerakkan kepalanya. Sekali ia menarik nafas panjang, dan 

kemudian perlahan-lahan ia membuka matanya. Namun sesaat kemudian mata itu terpejam 

kembali. 

“Masih sangat lemah” desis Ki Tanu Metir “Tetapi pernafasannya telah menjadi wajar kembali” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan tegang ia menunggu perkemba-

ngan keadaan Untara. Sehingga karenanya maka ia tetap saja berdiri disamping kakaknya 

ketika orang-orang lain telah duduk kembali ketempatnya. 

Sesaat kemudian Sekar Mirah datang sambil membawa minuman hangat. Setelah 

diserahkannya mangkuk-mangkuk itu maka ia duduk disamping kakaknya. Tetapi segera 

ayahnya berkata “Kau harus menyiapkan makan pagi Sekar Mirah” 

Sekar Mirah itu mengerutkan keningnya. Sambil memberengut ia menjawab “Ayah. Aku ingin 

istirahat. Meskipun aku tidak bertempur, tetapi semalam suntuk aku berjalan mondar-mandir 

didapur, menyiapkan segala macam makan dan minuman. Apakah aku tidak boleh duduk 

sebentar saja?” 

“Duduklah, bahkan tidurlah. Tetapi tidak disini” 

Sekar Mirahpun kemudian berdiri dan berjalan kebelakang. Wajahnya menjadi gelap dan sekali 

ia berpaling sambil mencibirkan bibirnya kepada Swandaru Geni. 

“Kenapa aku” bentak Swandaru. 

“Apa” sahut Sekar Mirah “Aku kan tidak apa-apa” 

“Kau mencibir aku” jawab Swandaru. 

“Salahmu kau melihat bibirku” 

Swandaru masih akan menjawab, tetapi ayahnya telah menggamitnya. Karena itu ia berdiam 

diri. Tetapi dengan tangannya ia mengacungkan tinjunya kearah Sekar Mirah. Sekali lagi Sekar 

Mirah mencibirkan bibirnya kepadanya. Namun kemudian ia tenggelam kebalik pintu. Tetapi 

sebelum ia hilan dibelakang daun pintu itu, maka iapun sempat memandang Agung Sedayu 

dengan sudut matanya, sehingga Agung Sedayu tertunduk karenanya. 

Tetapi perhatian Agung Sedayu kini bulat-bulat tertuju kepada kakaknya, keran itu ia hampir tak 

memperdulikan apa saja yang terjadi. 

Ia mendengar juga sekali Sekar Mirah berteriak dibelakang rumahnya “Gila” berkata Sekar 

Mirah itu “Pergi sendiri” 

Swandaru mengangkat kepalanya. Hampir saja ia berdiri kalau ayahnya tidak menahannya 

“Bukan kau Swandaru” 

Widura menggigit bibirnya. Pasti Sidanti telah mengganggunya. Anak itu benar-benar anak 

yang keras kepala. Namun Widura telah tidak segera berbuat apa-apa, sebab suara Sekar 

Mirah itupun telah hilang, dan bahkan dekat dibalik dinding gadis itu menggerutu “Anak setan. 

Kenapa ia tidak mati dibunuh Macan Kepatihan?”


Dalam pada itu sekali lagi Agung Sedayu melihat Untara menggerakkan kepalanya. Kemudian 

perlahan-lahan ia membuka matanya. Ketika ia melihat Agung Sedayu berdiri disampingnya 

terdengar ia berdesis “Sedayu” 

“Ya kakang” jawab Agung Sedayu serta-merta. 

Namun Untara itu terdiam. Kembali matanya terkatub. Namun wajahnya kini sudah tdak seputih 

mayat. Perlahan-lahan warna-warna merah mulai menjalari wajah itu. Dan perlahan-lahan 

kepercayaan Agung Sedayupun tumbuh pula. 

Ki Tanu Metir, setelah meneguk minuman hangat itu, berdiri pula mendekati Untara. Dirabanya 

dada anak muda itu, kemudian diurut-urutnya lambungnya pl. 

Sekali lagi Untara membuka matanya. Ketika ia melihat Ki Tanu Metir beridiri disampingnya 

pula, maka tampaklah bibirnya bergerak. 

“Kiai disini?” 

“Ya ngger, aku melihat bertempuran itu. Dan aku sengaja datang karena aku mendengar 

angger terluka” 

Untara menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya “Ya, aku terluka”. Kemudian desisnya “Sedayu. 

Kemarilah. Kau ingin tahu siapa yang melukai aku?” 

Bukan main terkejutnya Sedayu mendengar kata-kata kakaknya itu. Karena itu dengan serta –

merta ia melangkah lebih mendekati kakaknya sambil berdesis “Ya kakang, katakanlah siapa 

yang telah melukai kakang?” 

Tidak saja Agung Sedayu yang tertarik pada kata-kata itu. Namun semuanya tertarik pula. 

karena itu, maka semua yang hadir disitu bergeser mendekat. 

Namun Untara ternyata masih terlalu lemah. Tiba-tiba matanya terpejam kembali. 

“Kakang” panggil Agung Sedayu. 

“Jangan ngger” berkata Ki Tanu Metir “Jangan dipaksa” 

“Hem” Agung Sedayu menggeram. Ia ingin segera tahu siapa yang telah melakukan perbuatan 

itu. Tohpati atau Alap-alap Jalatunda? Tetapi ia harus bersabar lagi menunggu Untara itu 

menjadi lebih kuat. 

Diluar, kabut yang tebal mulai turun. Namun ayam jantan yang berkokok semakin lama menjadi 

semakin ramai bersahutan. Meskipun demikian, lewat pintu mereka masih melihat kehitaman 

yang kelam diantara kabut yang keputih-putihan. Tetapi mereka menyadari bahwa sebentar lagi, 

fajar telah menjenguk digaris kaki langit. 

Kini mereka tidak dapat berdiri saja diseputar Untara. Widura dan Ki Tanu Metir minta diri 

sesaat kepada Agung Sedayu untuk sesuci, untuk kemudian mereka bergantian menunggu 

Untara yang terluka itu. 

“Silakan paman” berkata Agung Sedayu. 

Ki Demang Sangkal Putung dan Swandarupun kemudian meninggalkan ruangan itu, sehingga 

kini tinggallah Agung Sedayu seorang diri. 

Telah lama Widura menunggu kesempatan itu. Berjalan berdua dengan Ki Tanu Metir. Dan 

kesempatan itu kini datang. karena itu, maka berkata Widura itu sambil berjalan kepadasan “Ki 

Tanu Metir, apakah Ki Tanu telah pernah datang ketempat ini sebelumnya?”Ki Tanu Metir 

menggeleng “Belum ngger” 

Widura tersenyum. katanya “Baru kali ini?” 

“Ya” sahut orang tua itu 

“Ke daerah-daerah sekitar tempat ini?” 

“Juga belum” 

“Ki Tanu Metir benar-benar belum mengenal aku?” 

Ki Tanu Metir berhenti. Diamatinya Widura dengan seksama, namun ia menggeleng “Belum 

ngger. Baru kali ini aku mengenal angger Widura” 

Sekali lagi Widura tersenyum “Mungkin Kiai benar” 

Ki Tanu Metir terkejut. Bagaimana sesaat kemudian ia tersenyum sambil berjalan ter


Sepeninggal Widura, Agung Sedayu masih juga menunggu kakaknya dengan tekun. Sekali-

sekali dilihatnya Untara menarik nafas panjang. Namun Untara itu masih belum juga membuka 

matanya kembali. 

Agung Sedayu hampir-hampir menjadi tidak sabar menunggu. Ia ingin segera tahu, siapakah 

yang melukai kakaknya itu. Tetapi ia tidak berani memaksa kakaknya untuk berbicara. 

Sesaat kemudian ketika Untara itu membuka matanya kembali, segera Agung Sedayu 

membungkukkan badannya sambil berbisik “Kakang, apakah akan mengatakan kepadaku, 

siapakah yang telah melukai kakang?” 

Untara menarik nafas panjang. Tampak ia menyeringai, kemudian mencoba menggerakkan 

tangannya “Tanganku masih lemah sekali” desisnya. 

“Jangan bergerak-gerak dulu kakang” Agung Sedayu mencoba mencegahnya. 

Untara mengangguk kecil. “Dimana paman Widura?” 

“baru sesuci kakang” sahut Agung Sedayu. 

“Aku ingin mengatakan kepadanya, siapakah yang telah melukai aku” 

“Katakanlah kakang, selagi kakang sempat, nanti kakang dapat tidur dengan nyenyak” 

“Dimana pamanmu?” 

“Biarlah nanti aku sampaikan” 

Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan susah payah ia berkata “Agung Sedayu. 

Sebenarnya aku telah berusaha untuk melupakan setiap persoalan yang ada diantara kita 

masing-masing yang berada ditempat ini untuk kepentingan yang lebih besar. Tetapi ternyata 

aku menghadapi bahaya yang hampir saja merenggut nyawaku. Kalau kali ini aku, maka 

mungkin lain kali paman Widura dan kau. Karena itu maka sebelum terjadi, kau harus 

mencegahnya. Aku percaya bahwa kau akan dapat melakukannya bersama paman Widura” 

“Ya kakang”sahut Agung Sedayu tidak sabar “Aku siap berbuat” 

“Jangan orang itu mendapat kesempatan meninggalkan tempat ini. Dengan demikian ia akan 

menjadi lebih berbahaya bagimu dan bagi Sangkal Putung” 

“Ya kakang, tetapi siapakah itu?” 

“Dimanakah pamanmu Widura?” 

“Sebentar lagi ia datang. Aku akan mengatakannya” 

“Ya. Memang harus dilakukan secepatnya. Kalau ia tahu aku belum mati dan masih dapat 

mengatakannya, maka ada kemungkinan ia segera akan kembali” 

“Ya, ya” sahut Agung Sedayu tidak sabar. 

“Anak itu adalah Sidanti” 

“He?” alangkah terperanjat Agung Sedayu “Sidanti” ulangnya “Bagaimana mungkin? Bukankah 

ia berada disayap yang lain?” 

“Sayap itu telah bergabung dengan induk pasukan ketika kami mengejar lawan. Dan ternyata 

Sidanti telah melakukan rencananya sendiri. Ditinggalkannya anak buahnya untuk berbuat 

menurut rencananya. Aku terkejut ketika tiba-tiba ia menggamit aku. Tetapi aku tidak mendapat 

kesempatan. Aku berpaling pada saat pisaunya menembus punggungku. Tetapi aku tidak 

segera pingsan. Pukulannyalah yang menyebabkan aku tidak tahu apa lagi yang terjadi. Tetapi 

Tuhan Maha Besar. Aku ternyata diselamatkan olehNya dengan lantaran Ki Tanu Metir” 

Terdengar gigi Agung Sedayu gemeretak. Namun ketika ia masih ingin mengajukan pertanyaan 

lagi, dilihatnya nafas kakaknya menjadi agak cepat. 

“Kakang” panggil Agung Sedayu. 

Untara memejamkan matanya. Dicobanya untuk menenangkan hatinya. Disadarinya bahwa ia 

masih belum dapat terlalu banyak berbicara. Karena itu katanya “Aku akan beristirahat. 

Katakanlah hal ini kepada paman Widura” 

Agung Sedayu tidak menjawab. tetapi dadanya seakan-akan hampir meledak. Dilihatnya 

kakaknya menarik nafas dalam-dalam, dan sekali Untara itu berdesis “Aku masih terlalu lemah. 

Kini kepalaku terasa agak pening. Aku akan mencoba tidur lagi”


“Tidurlah kakang” jawab Agung Sedayu “Tenangkanlah hatimu. Biarkan aku selesaikan 

persoalan Sidanti” 

“Jangan seorang diri” desis Untara. 

Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. hatinya sudah tidak dapat ditahannya lagi. Meskipun 

selama ini Sidanti baginya seakan-akan hantu yang selalu mengejarnya kemana ia pergi, 

namun hantu itu kini sama sekali tidak menakutkan lagi baginya. 

Karena itu, maka demikian kakaknya memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur, cepat-

cepat Agung Sedayu beringsut surut, dan dengan tergesa-gesa ia meloncat keluar pringgitan. 

Sedemikian tergesa-gesa sehingga ia lupa menyandang pedangnya yang telah diletakkannya 

disamping pembaringan kakaknya itu. 

Dipendapa dengan nanar Agung Sedayu mencari Sidanti. Namun disudut pendapa itu tak 

dilihatnya seseorang. Karena itu dengan berlari-lari ia turun kehalaman dan langsung dicarinya 

dibelakang rumah. 

Namun dibelakang rumah itupun tak ditemuinya Sidanti. Ia tadi mendengar Sekar Mirah 

mengumpat-umpat disitu. Karena itu ketika ia melihat gadis itu menjengukkan kepalanya dipintu, 

dengan serta-merta ia bertanya “Mirah, kemanakah Sidanti?” 

“Kenapa kau mencari Sidanti?” bertanya Sekar Mirah “kenapa tidak mencari aku?” 

“Aku tergesa-gesa Mirah” 

“apakah tuan sangka aku menyembunyikan Sidanti?” 

“Tidak. Tetapi bukankah kau tadi bercakap-cakap dengan Sidanti disini? Barangkali kau tahu 

kemana ia pergi?” 

Sekar Mirah menggeleng sambil tersenyum. bahkan kemudian ia melangkah keluar “Biarlah 

Sidanti pergi menurut kehendaknya sendiri. apakah kita berkepentingan atasnya?” 

“Aku berkepentingan” 

“Aku tidak” 

“Mirah” Agung Sedayu menjadi jengkel karenanya “Aku sekarang sedang dihadapkan pada 

suatu keharusan untuk menemukannya. Dimana ia sekarang?” 

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Agung Sedayu bersungguh-sungguh. 

karena itu, maka itak tidak mau bergurau lagi. Jawabnya “Mungkin kesungai, mungkin ke 

prapatan” 

Agung Sedayu berpikir sejenak. Apakah kepentingan Sidanti keprapatan> yang paling mungkin 

baginya adalah pergi kekali disebelah ujung halaman kademangan itu. Sebuah kali yang tidak 

sedemikian besar, yang airnya seakan-akan hampir kering dimusim kemarau. 

Agung Sedayu itupun tidak berkata-kata lagi. Dengan tergesa-gesa ia berjalan menuju kekali, 

tempat beberapa orang laskar Pajang sering mandi dan mencuci pakaiannya. Namun saat itu 

masih terlalu pagi. Belum ada seorangpun yang pergi kesana, selain Agung Sedayu yang 

sedang mencari Sidanti itu. 

Ki Tanu Metir dan Widura, setelah sesuci segera bersembahyang. Ketika mereka menengok 

Untara, dilihatnya anak muda yang sedang terluka itu tidur. karena itu, maka Ki Tanu Metir tidak 

mendekatinya. 

Sehabis sembahyang, mereka berdua duduk kembali, diatas tikar pandan dan kembali 

meneguk air yang masih hangat-hangat kuku. 

“Dimanakah Sedayu?” desis Widura. 

“Ya, dimana angger Sedayu?” sahut Ki Tanu Metir. 

Mula-mula mereka menyangka bahwa anak muda itu sedang sesuci dibelakang. Tetapi setelah 

ditunggu beberapa lama, maka Agung Sedayu tidak juga datang. Meskipun demikian, mereka 

sama sekali tidak menaruh syaj bahwa Agung Sedayu sedang pergi mencari Sidanti. karena itu, 

maka Widura itu masih saja duduk dengan tenangnya bersama dengan Ki Tanu Metir. 

Sekali Ki Tanu Metir itu berdiri. Didekatinya Untara yang kembali jatuh tertidur karena lemahnya. 

Dirabanya dada anak itu sambil bergumam “Pernafasannya menjadi bertambah baik. Mudah-

mudahan ia dapat segera memiliki kesadarannya sepenunya kembali. Dalam keadaannya 

sekarang, maka angger Untara kadang-kadang masih menjadi pening dan berkunang-kunang”


“Mudah-mudahan” sahut Widura. 

“Mulai besok, angger Untara harus banyak minum obat reramuan sehingga badannya akan 

menjadi segera kuat kembali. Obat-obatan yang dapat mengganti darahnya yang sudah terlalu 

banyak mengalir seperti yang pernah dialaminya dahulu” 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia teringat kepada obat yang diberikan 

oleh Sidanti. karena itu, maka katanya “Bagaimanakah dengan obat yang diberikan oleh 

Sidanti?” 

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri. Tampaklah ia menjadi ragu-ragu 

karenanya. 

“Bagaimana?” desak Widura pula. 

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sesaat tampak wajahnya menjadi 

tegang. Dan akhirnya menjawab “Maaf ngger. Apakah aku boleh berkata sebenarnya?” 

“Ya, tentu” sahut Widura heran. 

Perlahan-lahan diraihnya obat dari Sidanti yang diletakkannya disamping kaku pembaringan 

Untara. Sekali lagi obat itu dibukanya, dan ditunjukkannya kepada Widura. 

“Obat ini sangat berbahaya ngger” 

“Kenapa?” bertanya Widura heran. 

Sekali Ki Tanu Metir memandang kedaun pintu yang terbuka, namun kemudian kepalanya itu 

ditundukkannya. 

Widura menjadi hran melihat sikap Ki Tanu Metir itu. karena itu, maka ia mendesaknya “Kenapa 

obat itu sangat berbahaya Kiai?” 

Ki Tanu Metir berpaling kearah Untara yang masih tertidur. Sambil mengangguk-anggukkan 

kepalanya, ia bergumam “Untunglah bahwa obat ini belum menyentuh lukanya. Kalau angger 

pernah melihat, ini adalah salah satu jenis warangan yang akan dapat mempengaruhi 

peredaran darah” 

“He?” Widura terkejut mendengar keterangan itu. 

“Warangan ini” berkata Ki Tanu Metir “Akan dapat membekukan darah, sehingga cairan darah 

angger Untara akan bergumpal-gumpal dan menyumbat jalur-jalur nadinya” 

“Jadi….” Kata-kata Widura terputus dikerongkongannya. 

Namun Ki Tanu Metir sudah dapat menangkap maksudnya. karena itu, maka ia menyahut “Ya. 

Ternyata angger Untara benar-benar akan dibunuhnya” 

Terasa keringat dingin mengalir ditubuhnya. Tiba-tiba teringatlah Widura itu kepada peristiwa 

yang pernah dialaminya sendiri. Sidanti dan Ki Tambak Wedi pernah akan membunuhnya pula. 

sehingga karena itu dengan serta-merta ia berkata “Kalau begitu, maka luka Untara itupun pasti 

dibuat oleh Sidanti” 

Ki Tanu Metir terdiam sesaat. Kemudian jawabnya “Mungkin ngger. Adalah mungkin sekali” 

Tubuh Widura itu menjadi gemetar karenanya. Perbuatan itu benar-benar tidak dapat 

dimaafkan lagi. Sidanti benar-benar tidak dapat dilunakkan hatinya. Nafsunya untuk segera 

menanjak ke tingkatan-tingaktan yang lebih tinggi telah mendorongnya untuk berbuat hal-hal 

yang kadang-kadang tidak dapat dimengerti. Dengan demikian maka anak muda itu telah 

kehilangan segala tata cara dalam peradaban manusia. Bahkan Sidanti itu, telah sedemikan 

sampai hati untuk melenyapkan kawan sendiri. membunuhnya untuk segera dapat menempati 

kedudukannya. 

Widura itupun menjadi marah bukan buatan. karena itu, maka segera ia berdiri. Diambilnya 

pedangnya dan disangkutkan dipinggangnya. 

“Akan kemanakah angger Widura ini?” bertanya Ki Tanu Metir. 

“Aku harus menemui Sidanti. Anak itu harus berada dalam pengawasan yang lebih baik. Kali ini 

Untara, besok aku dan lusa Agung Sedayu” 

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun iapun berdiri juga. Widura yang telah 

siap untuk berbuat apapun juga itu memerlukan menjenguk sesaat. Dilihatnya anak itu 

membuka matanya. Ketika dilihatnya Widura, maka desisnya “Dugaan Ki Tanu Metir dan 

paman adalah benar. Aku mendengar apa yang kalian percakapkan. Aku telah mengatakan


kepada Agung Sedayu” 

“He” kembali Widura terkejut “Dimana Sedayu sekarang?” 

“Aku suruh ia mengatakannya kepada paman Widura” 

Widura menggigit bibirnya. Ada sesuatu yang tersimpan dihati Agung Sedayu terhadap Sidanti, 

seperti minyak yang tersekat didalam bumbung. Kini ternyata ada api yang menyambarnya, 

sehingga minyak itu pasti akan menyala dan bumbungnya akan meledak. 

karena itu, maka Widura pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata “Baiklah aku 

temui anak itu” 

Untara tidak mengerutkan keningnya. Dipejamkannya kembali matanya untuk mencoba 

beristirahat sebanyak-banyaknya. Ki Tanu Metirlah kemudian yang menungguinya sambil 

duduk ditasa tikar disamping pembaringannya. 

Widura yang menahan kemarahan didalam dadanya itu, berjalan perlahan-lahan keluar 

pringgitan. Diluar malam telah berangsur hilang, sehingga bayangan pepohonan dihalaman 

semakin lama menjadi semakin jelas karenanya. Namun ia tidak melihat Agung Sedayu dan 

Sidanti dihalaman itu. karena itu, maka segera ia menjadi cemas. 

Beberapa orang yang melihat Widura menyandang pedangnya, bertanya-tanya didalam hati. 

Widura itu dikademangan hampir tidak pernah membawa pedangnya dalam keadaan biasa. 

Namun kini pedang itu tergantung dilambungnya. 

“Mungkin Ki Lurah itu belum sempat melepas pedangnya” berkata salah seorang. 

“Aku sudah melihatnya sesuci. Dan pedang itu tudak tergantung dipinggangnya” sahut yang 

lain. 

“Entahlah” gumam orang yang pertama. 

Sementara itu Agung Sedayu yang berlari-lari kekali diujung halaman dengan gelora 

kemarahan yang menyala didadanya, tiba-tiba terkejut, ketika pada keremangan pagi ia melihat 

dua sosok tubuh berjalan kearahnya. Namun tiba-tiba sesosok diantaranya segera lenyap dan 

yang tinggal kemudian adalah Sidanti. Agung Sedayu itu tidak sempat berpikir dan bertanya, 

siapakah orang yang satu itu yang kemudian bersembunyi. Namun yang ada didalam dadanya 

adalah kemarahan yang menyala-nyala. 

Dengan serta-merta, maka Agung Sedayu itu berteriak “Kau tlah berusaha membunuh Untara. 

Sekarang aku datang untuk menuntut balas atas luka-luka yang dideritanya” 

Sidanti terkejut. Jawabnya “Siapa bilang?” 

“Untara sendiri” 

“Omong kosong. Untara belum sadar” 

“Jangan ingkar. Aku sudah tidak mempunyai pilihan lain sekarang” 

Sidanti itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia tertawa “Bagus” katanya “Aku yang 

berusaha membunuh Untara, sekarang aku harus membunuh Agung Sedayu” 

Agung Sedayu tidak menjawab. segera ia meloncat maju dan menyerang Sidanti sejadi-jadinya. 

Sidanti benar-benar terkejut menerima serangan yang tiba-tiba itu. karena itu, maka ia tidak 

segera dapat mengelak. Dengan cepatnya ia berusaha untuk memunahkan serangan Agung 

Sedayu itu dengan menyilangkan kedua tangannya menyambut tangan Agung Sedayu. 

Pada saat itu, Agung Sedayu benar-benar telah mempergunakan segenap kekuatannya 

dilambari dengan kemarahan yang membara didalam dirinya. karena itu, maka kekuatannyapun 

seakan-akan bertambah-tambah juga. Sehingga kemudian terjadi suatu benturan yang dahsyat 

antara keduanya, 

Benturan kekuatan antara Agung Sedayu yang melontarkan kemarahan yang meledak dengan 

kekuatan Sidanti yang tegak seperti batu karang. Demikianlah maka kedua kekuatan itu telah 

melemparkan keduanya, sehingga masing-masing terpental dan jatuh terbanting diatas tanah, 

Namun me mereka terguling, maka segera mereka meloncat berdiri dan siap kembali untuk 

mempertahankan diri masing-masing. 

Agung Sedayu yang sama sekali tidak dapat mengekang dirinya karena kemarahannya, segera 

menyerang kembali. Serangannya langsung mengarah ketitik-titik yang berbahaya pada tubuh 

Sidanti. Kalau selama ini Sidanti dan Agung Sedayu selalu urung bertempur dalam setiap


persoalan, maka dendam yang tersimpan dihati masing-masing itu kini seakan-akan 

tertumpahkan. Sidanti yang selama ini merasa, tersisihkan karena kehadiran Agung Sedayu. 

Baik oleh Widura, orang-orang Sangkal Putung, lebih-lebih Sekar Mirah, namun usahanya 

untuk memancing perselisihan selalu gagal, maka kini aia terlibat dalam suatu perkelahian 

dengan Agung Sedayu. karena itu, maka kesempatan ini harus dipergunakan. Ia harus 

bertempur sampai rampung. Mati atau mematikan. Apalagi Agung Sedayu ternyata telah 

mengetahui bahwa dirinyalah sebenarnya yang telah berusaha membunuh Untara. Dan Sidanti 

tidak dapat mengingkari kalau itu dikatakan oleh Untara sendiri. Meskipun demikian Sidanti itu 

menyesal, kenapa ia tidak dapat menusuk anak muda yang mendapat kepercayaan langsung 

dari Ki Gede Pemanahan itu sekaligus, sehingga Untara itu masih sempat berkata tentang 

keadaannya. karena itu, maka Agung Sedayu itupun harus mati. Kalau Agung Sedayu sudah 

mati disini, maka ia akan dapat membunuh Untara nanti pada suatu kesempatan. Mudah-

mudahan obatnya diusapkan pada luka itu. Kalau demikian maka Untara itupun pasti akan mati. 

Tetapi kalau tidak? Kalau rencana itu gagal? Sidanti itu menggeram. Apa yang dilakukan kali ini 

adalah suatu sikap terakhir. Kalau ia gagal, maka kisahnya sebagai prajurit Pajang akan 

berakhir. Kalau ia berhasil membunuh Agung Sedayu dan Untara, apakah tidak ada orang-

orang lain yang akan menuntunya? “Hem” sekali lagi Sidanti menggeram. Kegagalannya 

terletak pada kegagalannya membunuh Untara, sehingga persoalan itu menjadi berlarut-larut. 

Tetapi meskipun demikian, ia tidak dapat mengingkari. Ia sudah langsung berbuat dengan 

tangannya meskipun ua berusaha untuk menghilangkan bekasnya. Ia menusuk Untara tidak 

dengan senjatanya, tetapi dengan pisau yang lain. Kini tangannya telah berbekas darah. karena 

itu, maka apapun yang akan dihadapinya ia tidak akan ingkar. 

Sedangkan Agung Sedayupun telah menyimpan dendam yang membara didalam dirinya. Sejak 

ia hadir di Sangkal Putung, maka ia telah merasakan, bahwa seorang ini sama sekali tidak 

senang melihat kehadirannya. Anak muda inilah yang seakan-akan telah menyebabkan 

pamannya selalu marah kepadanya, sehingga seolah-olah Ia menjadi seorang tawanan yang 

dikurung didalam pringgitan. Anak muda ini pulalah yang telah berusaha membunuh kakaknya. 

Sampai saat itu kakaknya adalah orang yang paling baik yang dikenalnya. Orang yang selalu 

melindunginya dalam setiap kesempatan. Orang yang tidak pernah menyakiti hatinya. Orang 

yang telah menggantikan ibu bapaknya. Kini orang yang bernama Sidanti itu akan membunuh 

kakaknya itu. karena itu, maka segenap kemarahan dam dendam tertumpah kepadanya. 

Kepada Sidanti. 

Demikianlah maka pertempuran itu menjadi seru sekali. Masing-masing telah menumpahkan 

segenap tenaganya dalam luapan kemarahan dan dendam. Masing-masing sudah tidak dapat 

lagi melihat kemungkinan lain daripada membunuh atau dibunuh. Agung Sedayu yang banyak 

sekali mempunyai pertimbangan dikepalanya hampir dalam setiap persoalan, kini 

pertimbangan-pertimbangan itu seakan-akan telah membeku. 

Tetapi ternyata bahwa Sidanti memiliki pengalaman yang lebih luas dari Agung Sedayu. 

Meskipun persiapan-persiapan didalam diri Agung Sedayu telah cukup banyak untk 

menghadapi murid Ki Tambak Wedi itu, namun ada beberapa kelebihan dari Sidanti atas Agung 

Sedayu. karena itu, maka tampaklah bahwa Sidanti mempunyai kesempatan-kesempatan yang 

lebih baik dari Agung Sedayu. Namun meskipun demikian, Agung Sedayupun memiliki keadaan 

yang tidak dimiliki oleh Sidanti. Agung Sedayu yang seakan-akan menyimpan dan menahan 

gelora yang menyala didadanya karena keadaannya, maka tiba-tiba kini ia menemukan saluran 

yang dapat memuntahkan tekanan itu. Sebagai seorang penakut, maka Agung Sedayu selalu 

berangan-angan untk menjadi seorang yang pilih tanding. Seorang yang tak terkalahkan. 

Namun setiap gejolak didalam jiwanya selalu disekapnya didalam hati. Kemudian setelah ia 

berhasil menembus dinding yang menyelubunginya, tiba-tiba ia dihadapkan pada persoalan 

yang langsung menyentuh perasaannya yang paling dalam, sehingga dengan demikian maka 

Agung Sedayu itu seakan-akan benar-benar sebuah bumbung minyak yang terbakar. Meledak 

dengan dahsyatnya. 

karena itu, maka tandangnyapun menjadi tidak menentu. Ia telah kehilangan kemungkinan 

untuk mempertimbangkan setiap geraknya. Hanya satu yang ada didalam hatinya, 

membinasakan Sidanti. 

Sidanti melihat tandang Agung Sedayu itu benar-benar terkejut. Agung Sedayu dalam 

tangkapan Sidanti adalah seorang yang halus dan lunak. Ia menyangka, bahwa dalam 

perkelahianpun Agung Sedayu akan mencerminkan sifat-sifatnya itu. Tetapi tiba-tiba ia


berhadapan dengan gerak yang ganas dan kasar. Bahkan kadang-kadang sama sekali diluar 

dugaannya. Agung Sedayu menyerang seperti seekor serigala yang lapar. Tidak hanya seekor, 

namun tiba-tiba karena luapan perasaannya, Agung Sedayu telah menumpahkan segenap 

ilmunya, sehingga seakan-akan Sidanti itu menghadapi berpuluh-puluh serigala yang kelaparan 

sedang berusaha bersantap dengan dagingnya. 

karena itu, maka perkelahian itu menjadi semakin sengit. Sidanti berusaha untuk melawan 

Agung Sedayu dengan segenap kemampuannya pula. dengan lincahnya ia menghindari setiap 

serangan Agung Sedayu. Namun serangan itu mengalir seperti banjir. Meskipun demikian 

kelincahan Sidanti, sekali-sekali berhasil menerobos pertahanan Agung Sedayu yang kuat, 

sekali-sekali berhasil mengenai tubuhnya, sehingga sekali-sekali Agung Sedayu terpaksa 

terlempar surut dan bahkan jatuh berguling. Tetapi kambali anak muda itu bangkit, dan kembali 

serangannya datang membadai. 

Namun Sidanti pada dasarnya adalah seorang anak muda yang berjiwa kasar. Ia adalah 

seorang yang berbuat tanpa kesan membunuh lawannya dan bahkan merobek mayat lawannya 

sekali. karena itu, maka segera ia menyesuaikandiri dengan Agung Sedayu. Sehingga sesaat 

kemudian Sidanti itupun bertempur dengan cara yang tidak kalah ganas dan kasar dari Agung 

Sedayu. 

Dengan demikian maka perkelahian itu benar-benar menjadi perkelahian yang keras. Seakan-

akan perkelahian diantara binatang-binatang buas yang sedang kelaparan berebut makanan. 

Setiap serangan hampir tak pernah dielakkan. Namun setiap serangan ditempuhnya dengan 

pengerahan tenaga. 

Namun dalam perkelahian yang demikian itupun, Sidanti mempunyai kesempatan yang lebih 

banyak dari Agung Sedayu. Pengalamannya yang jauh lebih banyak dan hatinya yang lebih 

keras, telah memungkinkannya untuk berbuat lebih jauh dari apa yang dapat dilakukan pleh 

Agung Sedayu. 

Tetapi Sidanti itupun menjadi heran. Betapa ia berhasil mengenai lawannya, bahkan dengan 

segenap tenaganya, dan betapa ia melihat Agung Sedayu terlempar jatuh, tetapi seakan-akan 

tubuh Agung Sedayu itu sedemikian liatnya. Demikian ia terbanting, demikian ia bangun 

kembali. Pukulan-pukulan yang mengenainya benar-benar tak pernah membekas, seakan-akan 

tubuhnya dapat dibebaskan dari rasa sakit. 

Sebenarnya Agung Sedayu sudah war inguten, ia seolah-olah kehilangan segenap 

perasaannya. Bahkan rasa sakitpun seakan-akan tak dimilikinya. Tekanan gelora yang 

membakar dadanya telah menjadikannya nggegirisi. 

Sidanti benar-benar menjadi bimbang. Apakah Agung Sedayu memiliki ilmu kekebalan? 

“Omong kosong” katanya dalam hati. Dan geraknyapun semakin dipercepatnya. 

Sisa gelap malampun semakin lama menjadi semakin tipis. Dan sejalan dengan itu hati 

Sidantipun menjadi semakin cemas. Ia ingin segera menyelesaikan perkelahian itu. Namun 

betapa mungkin. Agung Sedayu seakan-akan tak dapat disakitinya. Seandainya seseorang 

melihatnya bertempur, dan orang itu mengetahui sebab dari pertempuran itu, maka mau tak 

mau ia harus berhadapan dengan seluruh laskar Pajang di Sangkal Putung. Meskipun pada 

saat itu gurunya berada disampingnya, namun alangkah baiknya kalau ia menyelesaikan 

persoalan itu sendiri. tanpa gurunya. Dan persoalan itu akan selesai kalau ia dapat membunuh 

Agung Sedayu. Mudah-mudahan baru Agung Sedayu sajalah yang mendengar dari Untara 

bahwa ialah yang telah melukainya. Nanti, akan dicarinya kesempatan untuk menyempurnakan 

pembunuhannya atas Untara. Seandanya ia sempat menutup jalan pernafasan anak yang luka 

itu, maka segera pekerjaannya akan selesai tanpa bekas. 

Dengan demikian maka Sidanti semakin memperketat tekanannya, sehingga titik pertempuran 

itu telah bergeser dari tempatnya. Tanpa setahu mereka, maka mereka kini sudah merambat 

mendekati kandang kuda Demang Sangkal Putung. 

Sidanti terkejut ketika ia mendengar kuda didalam kandang itu terpekik karena terkejut. Sesaat 

kemudian kuda-kuda yang lainpun menjadi gelisah pua sehingga kandang itu menjadi ribut 

karenanya. 

“Gila” geram Sidanti 

Suara kuda itu pasti akan memanggil beberapa orang untuk datang kepada mereka. karena itu,


maka sebelum Agung Sedayu sempat berkata, maka ia harus dibunuh atau dilumpuhkan. 

Sidanti menjadi semakin gelisah ketika dalam keremangan fajar, benar dilihatnyan beberapa 

orang berdatangan. Dan Agung Sedayu itu masih bertempur dengan garangnya. 

Kini Sidanti benar-benar mengerahkan segenap kemampuannya. Ia berkelahi seperti seekor 

harimau yang ganas. Dengan segenap kemampuan dan tenaganya, ia berusaha segera 

mengakhiri pertempuran. Namun tubuh Agung Sedayu itu seakan-akan terbuat dari tanah liat. 

Tetapi ketika langit menjadi semakin terang, tampaklah bahwa dari tubuh anak muda itu telah 

mengalir darah dari luka-luka ditubuhnya. Pakaiannya telah rontang-ranting dan wajahnya 

menjadi merah biru. Bukan saja Agung Sedayu, Sidantipun telah mengalami tekanan-tekanan 

yang berat karena serangan-serangan Agung Sedayu yang sedang mengamuk itu. 

Tetapi pertempuran itu harus segera berakhir. Dalam keadaan itu akhirnya Sidanti mengambil 

keputusan yang pasti. Agung Sedayu harus dilumpuhkan dengan cara apapun juga. karena itu, 

maka dengan serta-merta Sidanti itu meloncat, meraih sepotong kayu yang tersandar didinding 

kandang itu. Dengan kayu itu ia bertempur melawan Agung Sedayu. 

Betapapun kuatnya Agung Sedayu, namun dalam kegelapan pikiran itu, ia sama sekali telah 

kehilangan hampir segenap perhitungannya. Itulah sebabnya ia tidak dapat melihat dengan hati 

yang dingin, apa yang telah dilakukan oleh Sidanti. Tangan Sidanti benar-benar seperti tangan 

hantu yang sangat berbahaya. Meskipun kali ini ia tidak memegang senjata perguruannya, 

namun sepotong kayu itupun benar-benar dapat dipergunakan sebagai senjata yang sangat 

berbahaya. Dalam perkelahian tanpa senjata, anak muda itu telah menunjukkan beberapa 

kelebihan dari lawannya. Apalagi kini ia menggenggam sepotong kayu. Maka tanpa 

mempertimbangkan akibat-akibat yang dapat terjadi, Sidanti telah mempergunakan senjatanya 

untuk melawan dan berusaha membinasakan Agung Sedayu. 

Sebuah pukulan yang keras telah mendorong Agung Sedayu kesamping. Berbareng dengan 

teriakan beberapa orang tiba-tiba melihat perkelahian itu. Bagaimana Sidanti tidak puas dengan 

pukulan pertama itu. Sebelum Agung Sedayu sempat menguasai dirinya, maka Sidanti telah 

mengulangi serangannya. Agung Sedayu masih sempat melihat kayu yang terayun itu, karena 

itu, maka ia masih berusaha untuk menghindarkan dirinya dengan membungkukkan badannya. 

Kayu itu menyambar beberapa jari diatas kepalanya. Namun karena geraknya yang tiba-tiba, 

Agung Sedayu kurang dapat menguasai keseimbangan dirinya, sehingga ia jatuh terguling. 

Kesmpatan itu tidak disia-siakan oleh Sidanti. Agung Sedayu harus menjadi terdiam saat itu, 

supaya ia tidak dapat mengatakan sebab dari perkelahian ini. Dengan garangnya Sidanti 

mengangkat sepotong kayu itu untuk diayunkan kekepala Agung Sedayu yang belum sempat 

bangun kembali. 

Beberapa orang yang melihat perkelahian itu segera berlari-lari mendekati. Mereka melihat 

Agung Sedayu itu terjatuh, dan mereka melihat Sidanti mengayunkan sepotong kayu kekepala 

Agung Sedayu. Namun jarak mereka masih terlalu jauh. Sehingga mereka masih belum sempat 

untuk mencagah Sidanti. Mereka hanya sempat berteriak keras. 

Pada saat itu Widurapun telah sampai ketempat itu pula. iapun melihat sepotong kayu yang 

terayun itu. Namun jaraknyapun masih beberapa langkah lagi. karena itu, maka Widura itupun 

hanya dapat berteriak sambil melompat sejauh-jauh mungkin. Tetapi jarak yang harus 

dicapainya masih ada dua tiga loncatan lagi. 

Sidanti sama sekali tidak mau mendengarkan teriakan-teriakan itu lagi. Ia lebih senang 

mempertanggung-jawabkan perbuatannya itu daripada apabila Agung Sedayu mengatakan 

sebab yang sebenarnya. Daripada Agung Sedayu bercerita tentang apa yang pernah 

didengarnya dari Untara. karena itu, maka sama sekali ia tidak mau mengurungkan niatnya. 

Hatinya telah bulat sebulat-bulatnya. Dengan demikian maka kayu itupun telah diangkatnya 

untuk diayunkannya kuat-kuat. Ia tidak perduli lagi seandainya kepala Agung Sedayu itu 

menjadi pecah karenanya. 

Tetapi justru karena itu, maka perhatian Sidanti seluruhnya tercurah pada sepotong kayu 

ditangannya dan kepala Sedayu. Anak muda itu hampir tidak memperhatikan lagi apa yang 

terjadi disekitarnya. Juga ia sama sekali tidak tahu, bahwa seseorang telah berdiri dekat 

dibelakangnya. Disamping kandang kuda itu. 

Ketika kayu ditangannya itu telah sampai kepuncak ayunan dan siap untuk meluncur kekepala 

Agung Sedayu, Sidanti itu terkejut ketika ia mendengar sebuah suitan nyaring. Ia tahu benar, itu


adalah suara gurunya. Namun ia tidak segera mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi. 

karena itu, maka ia menjadi bingung untuk sekejap. Dan waktu yang sekejap itu telah merubah 

segala-galanya. Tiba-tiba ia melihat sesuatu melayang dari balik gerumbul-gerumbul disekitar 

tempat itu. Namun sesaat yang pendek. Ia sadar ketika tiba-tiba terdengar sepotong besi yang 

meluncur itu menghantam sebilah pedang yang terjulur kepunggungnya. 

Suara itu berdentang sedemikian kerasnya, sehingga menggetarkan halaman belakang 

kademangan Sangkal Putung. Namun semuanya telah terlambat, pedang itu telah menyentuh 

punggung Sidanti, meskipun kemudian terlontar jatuh. Namun tajamnya telaha menyobek 

punggung itu. Sidanti mengeluh pendek. Segera ia memutar tubuhnya. Dilihatnya 

dibelakangnya berdiri Swandaru Geni dengan mata yang menyala, namun ternyata mulutnya 

menyeringai menahan sakit ditangannya. Pedangnya terlempar beberapa langkah daripadanya. 

Sidanti itupun menjadi semakin marah bukan buatan. Namun terasa luka dipunggungnya itu 

sedemikian nyerinya. Terasa seakan-akan dari luka itu dihisapnya segenap kekuatannya, 

sehingga dalam waktu yang singkat itu, hampir-hampir ia menjadi lemas dan tak berdaya. 

Namun ia tidak mau jatuh dan mati ditempat itu. Dengan segenap kemampuan yang ada 

dicobanya untuk tetap tegak berdiri sambil memandang setiap wajah yang berada disekitarnya. 

Dilihatnya Widura yang kini telah tegak dihadapannya dengan pedang tergantung 

dilambungnya, disampingnya Swandaru Geni yang gemetar, namun dengan wajah yang 

menyala. Kemudian Agung Sedayu yang telah tegak kembali, dan kemudian beberapa orang 

lain. Sidanti itu menggeram penuh kemarahan dan dendam.ia belum berhasil membunuh 

Agung Sedayu, dan tiba-tiba Swandaru ikut campur dalam persoalan ini. 

Sidanti menjadi semakin marah, ketika dilihatnya beberapa orang berdatangan. Ki Demang 

Sangkal Putung, bahkan Sekar Mirah dan orang-orang lain. 

Dalam saat yang pendek itu, maka Sidanti segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa hari ini 

adalah harinya yang terakhir bagi jabatan keprajuritannya. Hari ini adalah hari penentuan 

bahwa Sidanti bukan lagi berada dalam lingkungan laskar Pajang. Ia telah gagal mempercepat 

jalan dan memperpendek jarak dari tingkat ketingkat yang lebih tinggi. Bahkan sampati 

ketingkat yang paling atas. Dan kini ia harus mempertanggung-jawabkannya. Namun Sidanti itu 

menjadi berbesar hati, ketika diingatnya gurunya berada ditempat itu pula. 

Dan gurunya ternyata tidak membiarkan Sidanti itu menjadi gelisah sendiri. dengan garangnya 

ia meloncat dai tempat persembunyiannya, dan dengan marahnya ia menggeram sambil 

berkata “Hem, kini kita harus berterus terang. Siapa yang harus berhadapan sebagai lawan dan 

siapakah yang akan dapat kita jadikan kawan. Namun adalah pasti, bahwa Sidanti telah kalian 

anggap berbuat suatu kesalahan. Nah, cepat katakan kepadaku Widura, apa yang akan kau 

lakukan? bukankah kau pemimpin dari laskar Pajang ini? Aku menuntut, yang melukai Sidanti 

dengan curang, harus mendapat hukuman. Setidak-tidaknya ia harus mengalami luka seperti 

yang dialami Sidanti” 

Swandaru menjadi berdebar-debar. Apakah ia mau menerima hukuman itu? Yang terdengar 

adalah jawaban Sedayu “Sidanti curang pula. kami berkelahi tanpa senjata, tetapi Sidanti 

memungut sepotong kayu” 

“Itu bukan senjata. Kau memiliki kesempatan yang sama kalau kau mampu. Tetapi Sidanti tidak 

menyerang dari belakang” 

Ketika Agung Sedayu akan menjawab, Ki Tambak Wedi itu membentak “Tutup mulutmu. Aku 

berkata kepada Widura. jangan mencoba bermain-main dengan Ki Tambak Wedi” 

Orang-orang yang berdiri disekitar tempat itu, yang belum reda getar jantungnya atas kehadiran 

orang yang sedemikian tiba-tiba itu, kembali terguncang ketika mereka mendengar orang itu 

menyebut dirinya Ki Tambak Wedi. 

Sesaat Widura menjadi bimbang. Namun kemudian kembali darah kepemimpinannya mengalir 

kedadanya. Maka jawabnya “Aku tidak akan memberikan hukuman apapun sebelum aku tahu 

benar, dimana letak kesalahan dari peristiwa ini. Dan apakah sumber yang menyebabkan ini 

terjadi” 

“Persetan” teriak Ki Tambak Wedi. “Kau jangan mengigau Widura. atau aku sendiri yang harus 

menghukumnya?” 

Widura mengerutkan keningnya. Yang berdiri dihadapannya adalah Ki Tambak Wedi. maka 

segala sesuatu harus dipertimbangkannya masak-masak. Karena itu untuk sesaat ia hanya


dapat berdiam diri. Dicobanya untuk mengurai setiap peristiwa yang telah dan bakal terjadi. 

Karena Widura tidak segera menjawab, maka Ki Tambak Wedi itupun membentaknya “Widura, 

buka mulutmu” 

Widura sama sekali tidak senang mendengar Ki Tambak Wedi membentaknya. Ketika ia 

berpaling kearah Sidanti, dilihatnya anak muda itu berdiri gemetar, sedang dari punggungnya 

menetes darah yang segar. Sekali-sekali tampak ia menyeringai, namun ia masih mencoba 

untuk berdiri tegak. 

Dalam pada itu, Widura sedang menilai setiap orang yang berada disekitarnya. Dirinya sendiri, 

Agung Sedayu, sementara itu, beberapa orang laskarnya dan Ki Demang Sangkal Putung. 

Kalau perlu ia dapat memanggil orang-orang lain, yang pasti akan segera datang juga. Apakah 

dengan kekuatan itu ia akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi? Widura menjadi bimbang. 

Mungkin hal itu dapat dilakukannya, namun apakah tidak banyak korban yang jatuh karenanya? 

Mungkin dirinya sendiri, mungkin Agung Sedayu, mungkin Ki Demang Sangkal Putung dan 

mungkin mereka bersama-sama. 

Dalam kebimbangan itu sekali lagi Ki Tambak Wedi berteriak “Widura, jawab pertanyaanku. 

Kalau kau mau menyerahkan anak yang melukai punggung Sidanti dan Agung Sedayu, maka 

aku tidak akan berbuat apa-apa” 

Kini Widura mengangkat kepalanya. Sudah pasti permintaan itu tidak akan dapat dipenuhinya. 

karena itu, maka jawabnya “Ki Tambak Wedi, aku adalah orang yang bertanggung jawab 

terhadap semua yang terjadi di Sangkal Putung. Karena itu aku tidak akan mungkin 

menyerahkan orang-orangku kepada siapapun juga, apapun kesalahannya. Aku sendiri yang 

harus melakukan hukuman atau segala macam tuntutan atas mereka seandainya mereka 

ternyata bersalah. Karena itu, tinggalkan Sidanti disini dan aku akan melihat apakah yang telah 

terjadi, dan aku akan tentukan siapakah yang bersalah. Aku adalah pemimpin tertinggi dari 

semua jabatan yang berada ditempat ini, sehingga aku tidak mau ada orang lain yang 

mencampuri urusanku” 

Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa dadanya serasa terbakar mendengar kata-

kata Widura itu. Matanya tiba-tiba menjadi merah menyala, dan rambutnya yang telah memutih 

dibeberapa bagian itu, seakan-akan tegak dibawah ikat kepalanya. Tanpa sesadarnya 

tangannya menggenggam sabil bergumam “Setan. Apakah kaliah sudah bosan hidup?” 

Sekali lagi Widura melayangkan pandangan matanya. Beberapa orang berdatangan pula 

berkerumun disekitar tempat itu. Widura menarik nafas ketika ia melihat sebagian besar dari 

mereka telah membawa senjata-senjata mereka Kalau terjadi sesuatu maka mereka pasti akan 

melawan Ki Tambak Wedi itu dengan gigih. Meskipun mereka tahu, Ki Tambak Wedi adalah 

seorang yang ditakuti oleh hampir segenap orang disekitar gunung Merapi. Namun dalam 

melakukan kewajibannya, maka tak akan ada diantara mereka yang mengenal takut. Apalagi 

mereka dalam satu kelompok. Yang mereka hadapi kini hanya seorang saja, meskipun orang 

itu Ki Tambak Wedi. 

Namun meskipun demikian, sebagian besar dari mereka berada didalam kebimbangan. Widura 

sendiri menjadi bimbang karenanya. Bukan karena ia takut mati, tetapi apakah ia akan 

mengorbankan orang-orangnya yang terpercaya untuk menangkap Ki Tambak Wedi? sedang 

besok atau lusa Macan Kepatihan masih mungkin menyerang mereka kembali dengan 

kekuatan yang masih cukup besar? Ternyata didalam pasukan Macan Kepatihan itu 

bersembunyi tokoh-tokoh seperti Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan orang-orang lain yang 

pernah menjadi kebanggaan Jipang. Baru Plasa Irenglah yang dapat dibinasakan oleh Sidanti 

itu. Apakah dalam keadaan yang demikian, ia harus mengurangi kekuatan pokoknya untuk 

menghadapi bahaya yang datang dari jurusan lain? Widura itu menarik nafas. Ia menyesal, 

benar-benar menyesal, bahwa didalam tubuhnya ada anak-anak muda seperti Sidanti itu. 

Tetapi semuanya itu telah terjadi. Dan kini ia dihadapkan pada puncak dari kesulitan itu. 

Widura itu terkejut ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi membentak pula “Widura, jangan 

mimpi. Kau tidak dapat berbuat lain daripada memilih diantara dua. Menyerahkan anak muda 

yang melukai Sidanti dan Agung Sedayu, atau aku membunuh kalian bersama-sama. Jawab” 

Sekali lagi Widura menengadahkan dadanya. Ia tidak dapat ingkar akan kewajibannya. Karena 

itu jawabnya “Ki Tambak Wedi. kami adalah prajurit-prajurit. Kami tidak dapat menuruti 

kehendak dari seseorang yang bertentangan dengan tata keprajuritan. Siapapun orangnya,


meskipun orang itu bernama Ki Tambak Wedi. namun kami terpaksa mempertahankan sendi 

tata keprajuritan yang menjadi pegangan kami. Kalau kami harus memilih, Ki Tambak Wedi, 

maka pilihan kami adalah melawan sampai kemungkinan yang terakhir. Bahkan kami telah 

bertekad untuk menangkap Ki Tambak Wedi dan Sidanti bersama-sama” 

“Gila” teriak Ki Tambak Wedi. kemarahannya menjadi semakin memuncak. Namun tiba-tiba ia 

terpaksa mempertimbangkan keadaannya. Widura ternyata benar-benar telah siap dengan 

segenap anak buahnya. Mereka yang mendengar kata-kata Widura itupun tiba-tiba telah 

meraba hulu pedang mereka. Dalam kemerahan sinar matahari pagi, Ki Tambak Wedi melihat 

orang-orang yang berkerumun disekitarnya dengan wajah-wajah yang tegang. Wajah-wajah 

jantan yang keras dan kasar. Wajah-wajah yang untuk kesekian kalinya dihadapkan kepada 

kemungkinan yang paling akhir dari hidupnya untuk kewajibannya. Maut. 

Ki Tambak Wedi tidak dapat menutup segala penglihatannya. Pengalamannya yang panjang, 

segera dapat memberikan pertimbangan kepadanya. Betapapun kesaktian yang tersimpan 

didalam dirinya, namun untuk melawan sekian banyak orang sekaligus, adalah pekerjaan yang 

sangat berat dan berbahaya. Mungkin ia akan membunuh separo dari mereka itu. Namun 

setelah itu ia akan kehabisan tenaga, dan yang separo lagi akan dapat menangkapnya, 

mengikatnya dan membawanya ke Pajang. “Hem” geramnya didalam hati “Apakah Ki Tambak 

Wedi terpaksa diikat tangan dan kakinya digiring ke Pajang?” 

Sesaat halaman belakang kademangan Sangkal Putung itu menjadi sepi. Baik Ki Tambak Wedi 

maupun Widura terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan yang memragukan diri mereka. 

Keduanya agaknya segan untuk berbuat sesuatu atas yang lain. 

Karena itu, maka suasana menjadi sedemikian tegangnya, ketika tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu 

berkata kepada Sidanti “Sidanti, ikuti aku. Sangkal Putung sama sekali tak akan memberimu 

sesuatu” 

Sidanti yang luka itupun menyadari sepenuhnya kata-kata gurunya. Sangkal Putung benar-

benar tak akan memberinya sesuatu. Dan ia sependapat dengan gurunya, meninggalkan 

Sangkal Putung. Tetapi masish ada yang menjadikannya bimbang. Senjatanya berada 

dipendapa kademangan. 

Dengan ragu-ragu ia berkata “Guru, bagaimana dengan senjataku?” 

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya “Apakah keberatanmu 

dengan senjata itu. Senjata itu dapat dibikin. Besok aku bikinkan senjata semacam itu untukmu” 

Sidanti tidak menunggu apa-apa lagi. Segera ia beringsut kesamping gurunya. 

Tetapi Widura melangkah selangkah maju. Kembali kebimbangan melandanya. Apakah ia akan 

bertindak terhadap Ki Tambak Wedi dan Sidanti? Tetapi apakah ia akan memberikan 

pengorbanan yang sangat besar untuk mereka berdua? 

Ki Tambak Wedi yang melihat Widura itu bergerak, segera menggeram “Widura, aku akan pergi. 

Kalau kau membuat kegaduhan diantara anak buahmu, baiklah. Mari kita mati bersama-sama. 

Kau tidak akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi. aku akan membuat timbangan diantara 

kekuatan kita. Mungkin kau akan dapat membunuh aku, tetapi tiga perempat dari kalian pasti 

akan mati bersama aku. Jangan mimpi mengikat tangan Tambak Wedi” 

Dada Widura itupun berdesir. Ia percaya akan kata-kata itu. Tiga perempat daripadanya, atau 

sedikit-sedikitya separo pasti akan mati. karena itu, maka ia tetap tegak ditempatnya ketika Ki 

Tambak Wedi dan Sidanti beringsut mundur dari tempatnya. 

Agung Sedayu menjadi gemetar melihat keadaan itu. Dengan wajah yang merah membara ia 

menatap wajah pamannya. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Namun tatapan matanya cukup 

mengatakan hasratnya untuk menangkap Sidanti. 

Agung Sedayu terkejut ketika pamannya menggeleng. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. 

ia tidak akan dapat menangkap Ki Tambak Wedi itu seorang diri. Meskipun demikian, tanpa 

sesadarnya iapun beringsut dari tempatnya. 

Ia terkejut ketika tiba-tiba dalam gerakan yang sangat cepat ditangan Ki Tambak Wedi itu telah 

tergenggam dua buah gelang. Masing-masing sebuah. Gelang dari sepotong besi yang 

dilengkungkannya. Dengan gelang itu pula, ia mampu menangkis serangan pedang dan alat 

pemukul lainnya. 

Demikianlah, maka akhirnya Widura terpaksa melepaskan Ki Tambak Wedi itu pergi. Dengan


penuh pertimbangan Widura masih lebih mengutamakan Macan Kepatihan dengan seluruh 

laskarnya daripada Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Widura mengharap bahwa Ki Tambak Wedi 

untuk sementara tidak akan berbuat sesuatu. Sedang Macan Kepatihan dengan laskarnya yang 

masih cukup kuat itu pasti akan menyerang Sangkal Putung kembali. Mungkin Ki Gede 

Pemanahan sendiri atau gurunya akan dapat dengan mudah melenyapkan Ki Tambak Wedi 

yang hanya seorang diri itu. 

Namun dengan hilangnya Ki Tambak Wedi, maka bahaya yang sebenarnya akan selalu 

menghantui Agung Sedayu, Swandaru yang telah melukai Sidanti, dan Widura sendiri. 

Demikianlah, ketika Ki Tambak Wedi itu hilang dari lingkungan mereka, segera Agung Sedayu 

bertanya “Paman, kenapa mereka itu kita lepaskan?” 

Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya “Dengan menangkap Ki Tambak Wedi, 

maka aku pasti akan melepaskan lebih separo dari laskar kita. Seperti yang dikatakannya 

sendiri, ia sama sekali tidak akan dapat kita tangkap hidup-hidup. Ki Tambak Wedi itu pasti 

akan menyerah apabila ia telah mati dengan membawa korban yang tidak sedikit dari antara 

kita” 

Agung Sedayu menundukkan wajahnya. tetapi ia dapat mengerti pikiran pamannya. Pamannya 

adalah seorang yang ditempatkan di Sangkal Putung untuk menghadapi Macan Kepatihan 

sehingga karena itu, maka segenap perhatian, perhitungan dan kekuatan dipusatkannya dalam 

menghadapi lawannya itu. Persoalan lain yang tidak menyangkut itu, adalah bukan tanggung-

jawabnya yang utama, sehingga juga dalam menghadapi Ki Tambak Wedi, maka Widura itupun 

memeprhitungkan kemungkinan-kemungkinan itu. 

Sesaat kemudian orang-orang yang berkerumun itupun menjadi sadar bahwa bahaya yang 

dihadapinya telah menghilang. Dengan lega mereka menarik nafas panjang. Dan satu demi 

satu merekapun segera pergi meninggalkan tempat itu setelah Widura berkata kepada mereka 

“Kambalilah ketempat masing-masing. Tetapi jangan lupakan kewaspadaan. Peristiwa ini akan 

dapat berbuntu panjang”. Kemudian kepada ki Demang Widura berkata “Kakang Demang, 

apakah pintu butulan itu boleh kami tutup saja?” 

“Silakan, silakan” sahut Ki Demang. 

Pintu butulan dinding belakang itupun segera ditutup. Pintu itu hanya boleh dibuka setiap ada 

kepentingan yang perlu. Mereka yang pergi kesungai kecil itu harus mengambil jalan lain, jalan 

disamping dinding kademangan. Tetapi Widura sadar, bahwa apa yang dilakukan itu hampir tak 

ada gunanya. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak memerlukan pintu itu. Ia dapat meloncat atau 

memanjat atau apapun yang ingin dilakukan. Namun, dengan demikian maka kemungkinan-

kemungkinan yang kecil dapat dihindarinya. 

Widura sendiri itupun kemudian kembali masuk kepringgitan bersama Agung Sedayu. 

Dilihatnya Ki Tanu Metir masih duduk ditempatnya. Ketika ia melihat Widura dan Agung Sedayu 

yang biru pengab, segera ia bertanya dengan nada cemas “Kenapa wajahmu ngger?” 

Dengan singkat Agung Sedayu mengatakan apa yang terjadi. Tanpa syak tanpa curiga. 

Dikatakan semuanya yang telah dialaminya. 

Ki Tanu Metir mendengarkan setiap kata-kata Agung Sedayu itu dengan seksama. Sesaat Ki 

Tanu Metir itu mengangkat wajahnya yang memancarkan kecemasan dan kebimbangan. Tanpa 

sesadarnya ia berkata “Jadi, Ki Tambak Wedi itu kini membawa Sidanti serta meninggalkan 

Sangkal Putung?” 

“Ya” jawab Agung Sedayu. 

Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. 

Sehingga pringgitan itupun menjadi sepi. 

Diluar panas matahari mulai membakar dedaunan yang letih. Disana sini, dibawah batang-

batang pohon yang rindang, beberapa orang duduk dengan malasnya. Ada diantaranya yang 

berbaring-baring diatas helaian anyaman daun-daun nyiur tua. 

Dalam keheningan itu, terdengarlah tiba-tiba suara Untara yang lemah “Jadi Sidanti itu tidak 

kalian tangkap?” 

Widura terkejut mendengar suara Untara. Maka segera ia berdiri dan berjalan mendekati, diikuti 

oleh Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu. 

Dengan ragu-ragu Widura menjawab “Tidak Untara. Terpaksa aku tidak dapat menangkap anak


muda itu, karena gurunya tiba-tiba datang melindunginya” 

“Ki Tambak Wedi?” bertanya Untara 

Widura mengangguk “Ya” sahutnya. “Mungkin aku dapat menangkap Ki Tambak Wedi itu 

sendiri, namun berapa orang yang harus aku korbankan?” 

Untara menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia menyeringai menahan sakit, namun sesaat 

kemudian wajahnya menjadi tenang kembali. 

“Bagaimana dengan lukamu?” bertanya Widura 

“Sudah jauh berkurang. Tidak terlalu pedih. Namun tubuhku masih lemah sekali” 

“Ya. Beristirahatlah sebaik-baiknya” berkata Widura 

Tetapi Untara itu bertanya kembali “Apakah Agung Sedayu berkelahi dengan Sidanti?” 

“Ya” jawab Widura “Wajahnya menjadi biru-biru dan Sidanti terluka oleh Swandaru” 

Sekali lagi Untara menarik nafas dalam-dalam. Persoalan Sangkal Putung benar-benar akan 

menjadi pelik. Sidanti itu pasti akan menyimpan dendam didalam hatinya. Kepada dirinya, 

kepada Agung Sedayu dan kini kepada Swandaru, dan kepada pamannya itu sendiri. Sekilas ia 

membuka matanya dan memandang wajah Ki Tanu Metir. Namun tiba-tiba Ki Tanu Metir 

menggeleng lemah. “Mudah-mudahan mereka segera dapat ditangkap” desah Untara 

Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Apakah ia harus menangkap Ki Tambak Wedi? 

meskipun demikian Widura itu tidak bertanya sesuatu. Ketika dilihatnya Untara memejamkan 

matanya kembali, maka Widura itu kembali duduk bersama Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir. 

Sementara itu Ki Demang dan Swandaru datang pula diantara mereka. 

Hari itu adalah hari yang tegang bagi Sangkal Putung. Hampir setiap orang tidak terpisah dari 

senjata mereka. Mungkin Macan Kepatihan, mungkin Ki Tambak Wedi. namun mereka telah 

bertekad untuk melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. 

Gardu penjagaanpun masih juga diperkuat. Beberapa pengawas berkuda hilir mudik disekitar 

daerah kademangan Sangkal Putung. Namun Sangkal Putung sendiri menjadi sangat sunyinya. 

Hampir setiap rumah telah menutup pintunya, dan hampir setiap anak-anak tidak berani keluar 

dari rumah mereka. Bahkan ada diantaranya yang masih belum berani pulang kerumah sendiri. 

mereka masih saja tinggal dikademangan atau banjar desa. 

Ki Tanu Metirpun kemudian tidak hanya megobati Untara, tetapi iapun pergi juga kebanjar desa. 

Dan dicobanya pula untuk meringankan setiap penderitaan dari mereka yang terluka. 

Bukan saja hari itu Sangkal Putung diliputi oleh ketegangan. Beberapa orang pengawas yang 

dipasang oleh Untara masih saja memberikan laporan bahwa Macan Kepatihan masih 

menyusun kekuatannya disekitar tempat itu. Karena itu, maka Untara itu berkesimpulan bahwa 

laskar Pajanglah yang harus mengambil prakarsa memebersihkan mereka. Mereka tidak boleh 

menunggu saja di Sangkal Putung. Menunggu apabila Macan Kepatihan datang menyerang 

mereka kembali. Tetapi laskar Pajang suatu ketika harus mencari mereka. Menghancurkan 

mereka disarang-sarang mereka. Karena dengan demikian, maka pekerjaan laskar Pajang di 

Sangkal Putung akan lekas selesai. 

Tetapi Widura tidak dapat dengan tergesa-gesa melakukan pekerjaan itu. Menurut 

perhitungannya, kekuatan Macan Kepatihan masih vukup banyak untuk mengimbangi kekuatan 

laskarnya. Dan didalam pasukan mereka terdapat seorang Macan Kepatihan yang berbahaya, 

dan beberapa orang penting yang lain. 

Untarapun menyadari keadaan itu, sehingga kemudian diambilnya ketetapan bahwa gerakan itu 

akan segera dilakukan apabila Untara telah sembuh benar dari sakitnya itu. 

Namun ketegangan itu semakin lama menjadi semakin tipis. Ternyata Macan Kepatihan tidak 

segera mengadakan penyerangan kembali. Agaknya mereka masih juga memperhitungkan 

setiap kemungkinan. Dan hilangnya Plasa Irengpun pasti mempengaruhi keadaan mereka. 

Bukan saja keadaan Tohpati beserta pasukannya yang tidak lagi tampak diseputar Sangkal 

Putung, namun perlahan-lahan mereka melupakan pula Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Demikian 

pula Agung Sedayu dan Swandaru. mereka semakin lama menjadi semakin kehilangan 

perhatian atas orang yang menakutkan itu. 

Tetapi Widura tidak mau melengahkan diri dan seluruh laskarnya. Setiap hari ia masih saja


mengawasi sendiri keadaan anak buahnya. Bahkan setiap malampun ia masih berjalan dari 

satu gardu kegardu yang lain. Dan diperingatkannya stiap penjaga gardu itu, bahwa bahaya 

yang sebenarnya masih saja berada disekitar Sangkal Putung. 

Namun ternyata Widura sendiri telah melupakan setiap kemungkinan yang paling berbahaya 

bagi dirinya dan Agung Sedayu. Ternyata, mereka berdua sama sekali tidak memperhitungkan 

kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas diri mereka. 

Demikianlah, ketika mereka sedang nganglang kademangan, tiba-tiba mereka terhenti sebelum 

mereka sampai keujung jalan yang mengelilingi daerah gunung Gowok. Mereka terhenti ketika 

mereka melihat sesosok tubuh berjongkok ditepi jalan itu. 

Widura bukanlah seorang anak kecil yang bodoh. Ketika ia melihat orang itu, segera ia menjadi 

curiga. Karena itu, maka digamitnya Agung Sedayu, dan keduanyapun berhenti. 

“Kau lihat orang itu?” bertanya Widura berbisik. 

“Ya” sahut Agung Sedayu perlahan-lahan. 

“Siapa menurut dugaanmu?” 

Agung Sedayu menggeleng “Entahlah” 

Widura mengangkat alisnya. Kemudian katanya “Hanya ada dua kemungkinan. Ki Tambak 

Wedi atau Tohpati” 

“Tohpati tidak akan seorang diri berada ditempat ini” sahut Agung Sedayu. 

“Mungkin saja” jawab Widura. “Beberapa orang lain berada ditempat lain pula. atau orang yang 

diumpankannya untuk memancing kita” 

Agung Sedayu menarik nafas. Meskipun demikian mereka menjadi berdebar-debar juga. Baru 

saat itu mereka menyadari, bahwa bahaya yang demikian itu memang dapat terjadi. Tetapi 

kesadaran itu datangnya agak terlambat, sebab bahaya itu sendiri telah berada dipelupuk mata 

mereka. Beberapa saat terakhir, seakan-akan mereka telah melupakan kemungkinan ini. 

Namun kelengahan itu telah membawa mereka kedalam satu bahaya. 

Kini mereka tidak akan dapat mundur lagi, siapapun yang akan mereka hadapi. Karena itu, 

maka Widura itupun kemudian berkata “Marilah kita lihat, siapa orang itu.” 

“Kita tidak usah mendekat” berkata Widura. 

“Lalu bagaimana ?” bertanya Agung Sedayu 

“Biarlah ia yang mendekat.” 

“Apakah ia mau?” 

“Marilah kita lihat” jawab Widura. Widura kemudian tidak menunggu jawaban Agung Sedayu 

lagi. Perlahan-lahan ia berjalan menepi dan duduk dengan enaknya ditepi jalan. Namun 

demikian, pedangnya telah disiapkannya, seandainya ada sesuatu yang tiba2 harus 

dihadapinya. 

Agung Sedayu kini telah memahami maksud pamannya. Karena itu, maka iapun berjalan 

menepi pula, dan berjongkok berhadapan dengan pamannya itu. 

“Kalau orang itu ingin bertemu dengan kita, ia pasti akan datang kemari” berkata pamannya. 

“Ya” sahut Agung Sedayu. 

“Kalau ia akan bertahan ditempatkannya, maka biarlah kita tunggu disini sampai besok siang.” 

Agung Sedayu tersenyum. Meskipun demikian debar jantungnya menjadi semakin cepat. 

Seandainya orang itu benar-benar Ki Tambak Wedi, maka apakah mereka berdua akan mati 

sebelum mereka menyelesaikan pekerjaan mereka yang sebenarnya. Menumpas sisa-sisa 

laskar Jipang. 

Agung Sedayu kini sudah bukan seorang penakut lagi. Tetapi ia mempunyai beberapa 

perhitungan, yang dikatakannya kepada pamannya. “Paman, adalah tidak menguntungkan 

sekali seandainya orang itu benar-benar Ki Tambak Wedi. Apakah dengan demikian kita tidak 

akan kehilangan kesempatan untuk melawan Tohpati dengan laskarnya?” 

Widura mengangguk-angguk. “Kau benar Sedayu” katanya “tetapi kita sudah tidak mempunyai 

kesempatan lagi. Kita hanya tinggal memilih satu kemungkinan. Mempertahankan diri. Apalagi? 

Kalau kita kembali sekalipun maka orang itu pasti akan mengejar kita, dan kita harus bertempur 

pula


“Tidak dapatkah kita memberikan tanda bahaya?” 

“Kita tidak membawa alat untuk itu. Yang ada pada kita hanyalah sehelai pedang.” 

Agung Sedayu terdiam. Jawaban pamannya tak akan dapat diungkiri. Seandainya mereka 

berjalan kembali, maka orang itu pasti akan mengejarnya, atau bahkan menyerang dari 

arahnya dengan senjata-senjata jarak jauh. Paser atau bandil atau apapun yang akan dapat 

dilemparkannya. 

Tiba-tiba Agung Sedayu itu teringat akan sesuatu. Ia mempunyai beberapa kelebihan dengan 

daya bidiknya. Mungkin akan mengurangi tekanan-tekanan yang akan dilakukan oleh orang 

yang berjongkok dipinggir jalan itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu itupun 

mengumpulkan beberapa butir batu yang berada disekitarnya. 

“Untuk apa?” bertanya Widura. 

Agung Sedayu tersenyum meskipun masam. “Kalau kita yakin bahwa orang itu lawan kita 

siapapun ia, maka aku akan menyerangnya sebelum orang itu mendekat.” 

Widura menjadi tersenyum pula. Jawabnya “Tak ada gunanya.” 

Agung Sedayu menggigit bibirnya. Meskipun demikian, ia tetap pada pendiriannya. 

Tetapi sesaat mereka duduk dipinggir jalan. Orang yang berjongkok itupun tidak bergerak. 

Orang itu masih juga berada ditempat itu juga. Karena itu, maka Widura dan Agung Sedayu 

adalah menjadi semakin lama semakin gelisah 

“Orang itu memang membiarkan kita menjadi gelisah” bisik Widura “tetapi biarlah. Kita akan 

tetap berada ditempat ini.” 

“Ya” sahut Agung Sedayu pendek. 

Sebenarnyalah bahwa kegelisahan mereka sudah hampir tak tertahankan lagi. Orang itu sama 

sekali tidak bergerak dan seakan-akan sebuah patung yang mati. 

Sikap itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Widura dan Agung Sedayu. Ketika kegelisahan 

Agung Sedayu telah memuncak, maka ia berkata “Paman, biarlah aku mencoba melamparnya 

dengan batu, apakah ia masih akan berdiam diri? Aku kira aku akan dapat mengenainya.” 

“Jangan” jawab Widura “kita jangan menjadi gelisah. Kita harus tetap tenang. Orang itu sengaja 

membuat kita gelisah. 

Agung Sedayu terdiam. Namun dadanya benar-benar akan menjadi pecah karena kegelisahan 

yang menghentak-hentak. Meskipun berkali-kali pamannya mengatakan bahwa orang itu 

sengaja membiarkan mereka elisah, namun Agung Sedayu itu benar-benar hampir pingsan 

dibuatnya. 

Sedemikian gelisahnya Agung Sedayu sehingga sekali ia berdiri, kemudian kembali berjongkok 

dihadapan pamannya. Sesaat kemudian dengan lesunya ia membantingkan diri duduk disini 

Widura. 

Sebenarnya Widura itu sendiripun menjadi sangat gelisah. Namun ia masih berhasil 

mengendalikan dirinya. Ia masih tetap dalam sikapnya. Siap untuk menarik pedangnya apabila 

terjadi sesuatu. 

Di kademangan Sangkal Putung. Ki Tanu Metir duduk sambil mengantuk. Sekali-sekali Untara 

yang telah menjadi berangsur baik, bertanya-tanya kepadanya. Namun dengan segannya 

orang tua itu menjawab sekenanya. 

“Apakah Ki Tanu Metir sudah mengantuk?” bertanya Untara 

“Hem” sahut Ki Tanu Metir sambil menguap “aku tidak biasa mengantuk pada saat-saat eperti 

ini. Kalau tengah malam sudah lampau, biasanya barula haku mengantuk. Tetapi kali ini 

mataku rasa-rasanya tak mau dibuka lagi” 

“Kenapa?” bertanya Untara 

“Mungkin aku makan terlalu kenyang” jawab Ki Tanu Metir 

Untara tertawa. biasana Ki Tanu Metir itu, pada saat-saat yang demikian ini, pergi berjalan-jalan 

keluar. Baru segelah lewat tengah malam orang tua itu kembali ke pringgitan. karena itu, maka 

Untara bertanya pula “Ki Tanu, apakah Kiai tidak ingin berjalan-jalan?” 

Sekali lagi Ki Tanu Metir itu menguap. Jawabnya “Setiap hari aku pergi berjalan-jalan. Tetapi 

kali ini rasa-rasanya agak segan. Mungkin karena aku sudah terlalu lelah”



“Ya” jawab Untara singkat. Ia tahu benar, bahwa Ki Tanu Metir sibuk mengobati orang-orang 

yang terluka dan dirawat dibajar kademangan. karena itu, maka Untara itupun kemudian 

berdiam diri. Tetapi tiba-tiba ia mendengar Ki Tanu Metir berkata “angger Widura dan angger 

Sedayu agaknya mempunyai keperluan yang khusus, sehingga sampai saat ini masih belum 

kembali” 

“Apakah ini telah melampaui tengah malam?” bertanya Untara 

“Hampir tengah malam” sahut Ki Tanu Metir “Biasanya pada saat-saat begini mereka telah 

kembali” 

Untara tidak menjawab. mungkin sekali mereka berdua berhenti disalah satu gardu perondan. 

Berkelakar dengan para petugas, atau menunggu mereka merebus ubi kayu. Tetapi agaknya Ki 

Tanu Metir berpendapat lain. Katanya “Hem, aku menjadi semakin mengantuk” 

“Tidurlah Kiai” berkata Untara “Lebih baik ki Tanu beristirahat. Tenaga Kiai masih sangat 

diperlukan disini” 

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata “Setiap malam aku keluar 

berjalan-jalan. Aku kira lebih baik aku berjalan-jalan pula malam ini supaya kantukku hilang. 

Orang yang tidur sebelum tengah malam, rejekinya akan berkurang” 

Untara tertawa. Jawabnya “Jangan terlalu jauh Kiai” 

Ki Tanu Metir tertawa pula “Kenapa?” ia bertanya. 

Kembali Untara tertawa. ia tahu benar, bahwa ia tidak perlu memperingatkan orang tua itu. 

Karena itu, maka jawabnya “Nanti Kiai jadi lapar lagi” 

Ki Tanu Metir itupun tertawa. Ki Demang Sangkal Putung yang baru datang, dan mendengar 

percakapan itupun tertawa pula. sambungnya “Jangan takut Kiai, didapur masih tersedia ubi 

rebus” 

“Terima kasih” sahut Ki Tanu Metir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terima kasih. 

Mudah-mudahan aku tidak memerlukannya” 

Ki Tanu Metir itupun kemudian berdiri dan perlahan-lahan berjalan keuar prtinggitan. Belum lagi 

ia melangkahi pintu, maka terdengar Ki Demang berkata “Apakah aku perlu mengantarkan 

Kiai?” 

“Tidak, tidak” jawab Ki Tanu Metir cepat-cepat “Jangan repot karena aku. Biarlah aku berjalan-

jalan sendiri. mungkin ke banjar desa, melihat mereka yang terluka, atau mungkin ke gardu-

gardu peronda” 

“Jangan ke gardu peronda. Dijalan Kiai dapat bertemu dengan bahaya” 

“Oh ya, baiklah” berkata Ki Tanu Metir 

Kemudian Ki Tanu Metir itupun pergi meninggalkan Ki Demang yang kini duduk mengawani 

Untara. Dalam kegelapan malam, Ki Tanu Metir itu meraba-raba tongkatnya menuju kegerbang 

halaman. 

“Selamat malam Kiai” bertanya orang yang sedang bertugas “Apakah Kiai akan berjalan-jalan?” 

“Ya” jawab Ki Tanu Metir 

Orang yang sedang bertugas itu telah mengetahui kebiasaan Ki Tanu Metir itu. Setiap malam 

berjalan-jalan keluar halaman menikmati sejuknya udara. Karena itu, maka kepergian Ki Tanu 

Metir itu sama sekali tidak menarik perhatian mereka. Seorang yang sedang duduk menguap 

disamping regol berkata “Hem, dingin Kiai. Apakah Kiai tidak lebih senang tidur saja?” 

“Uh” sahut Ki Tanu Metir “Sejak muda aku tidak pernah tidur sebelum lewat tengah malam” 

Dan Ki Tanu Metir itupun berjalan tertatih-tatih menyusup kedalam gelapnya malam. Namun 

setelah cukup jauh tiba-tiba Ki Tanu Metir itu berpaling. Sekali ia menarik nafas panajang. 

Kemudian disangkutkannya kain panjangnya. Dan tiba-tiba orang tua itu berjalan tergesa-gesa. 

Gumamnya “Hem, kenapa hari ini aku lebih senang terkantuk-kantuk di kademangan? Justru 

hari ini angger Widura dan angger Agung Sedayu pulang terlambat. Mudah-mudahan tak ada 

seusatu yang mengganggunya” 

Meskipun demikian orang tua itu berjalan dengan cepatnya menyusup kegelapan. Kini Ki Tanu 

Metir itu sama sekali tidak mempergunakan tongkatnya lagi. Ketika dilihatnya dihadapannya 

sebuah gardu perondan, maka segera dengan tangkasnya ia menyelinap dan hilang dibalik


pagar. Kini orang tua itu menyusup diantara rimbunnya dedaunan dan dengan cepatnya 

berjalan melingkari gardu perondan itu. 

Dalam pada itu Agung Sedayu yang duduk dipinggir jalan dengan gelisahnya, benar-benar tak 

dapat menguasai dirinya lagi. karena itu, maka katanya “Paman, aku dapat menjadi gila 

karenanya. Marilah kita datang kepadanya, kita tanyakan apakah keperluannya” 

“Itulah yang diharapkannya. Kita kehilangan kesabaran dan pengamatan diri” 

Agung Sedayu menggeram. Ia dapat mengerti kata-kata pamannya, namun ia tidak dapat 

melawan perasaan gelisahnya, sehingga karenanya maka tubuhnya segera dilumuri oleh 

keringat dingin yang mengalir dari segenap permukaan kulitnya. 

Meskipun demikian, Agung Sedayu bertanya juga kepada pamannya “Paman, apakah bedanya, 

seandainya kita harus benar-benar bertempur, menunggu atau datang kepadanya?” 

“Kalau orang itu Ki Tambak Wedi, Sedayu, maka keadaan kita memang hampir sama saja. 

Tetapi kalau orang itu Tohpati, maka kita akan mendapat beberapa keuntungan. Kalau kita 

maju lagi, mungkin kita akan dijebak oleh orang-orangnya. Sedangkan kalau kita berada disini, 

maka kita mempunyai garis ancang-ancang yang cukup luas” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat juga mengerti keterangan itu. 

Bahkan seandainya orang itu Ki Tambak Wedipun maka mereka akan lebih banyak waktu untuk 

memersiapkan diri mereka. Tetapi kenapa mereka harus menunggu terlalu lama? 

“Agung Sedayu” berkata Widura “Sebenarnya pertempuran antara kita melawan orang itu 

sudah kita mulai. Dalam taraf ini kita sedang mengadu ketabahan jati kita masing-masing. 

Apakah kita dapat mengendalikan diri atau tidak. Siapa yang lebih dahulu kehilangan 

kesabaran maka ialah yang lebih dahulu akan kehilangan ketenangan. Seandainya kekuatan 

kita dengan orang itu seimbang, maka siapa yang kehilangan ketenangannya pasti akan kalah” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tidak dapat menyabarkan dirinya 

sendiri lebih lama lagi. Bahkan akhirnya ia berkata “Paman, meskipun kita tidak mulai lebih 

dahulu, sebenarnya kita telah kehilangan ketenangan itu. Semakin lama kita menahan diri, 

maka ketenangan kita akan menjadi semakin tipis. Karena itu selagi kita masih menyadari 

keadaan, maka marilah kita lihat siapakah yang berada dihadapan kita itu” 

Widura menarik nafas. Iapun sebenarnya telah hampir kehabisan kesabarannya pula. 

Untunglah bahwa ia masih bersabar sesaat. Namun ternyata waktu yang sesaat itu telah benar-

benar menguntungkannya. Bukan karena orang yang berjongkok itu menjadi bingung dan 

kehilangan ketenangan, tetapi sebenarnya bahwa mereka masih mendapat perlindungan dari 

Kekuasaan yang melampaui segenap Kekuasaan. 

Akhirnya ternyata Agung Sedayu itu menjadi benar-benar tidak dapat mengendalikan dirinya. 

Kini ia tidak minta ijin lagi kepada pamannya. Dengan serta-merta ia berdiri dan dengan sekuat 

tenaganya ia melemparkan sebuah batu mengarah kepada orang yang berjongkok dipinggir 

jalan itu. 

Tetapi alangkah kecewanya, dan bahkan kemarahan didalam dadanya menjadi semakin 

menyala, ketika orang itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Apalagi bergerak, 

sikapnyapun sama sekali tidak berubah. Jongkok. 

“Hem” Agung Sedayu menggeram. 

“Sudahlah Sedayu” cegah pamannya. 

“Aku tidak sabar lagi. Aku akan datang kepadanya dan akan melihat wajahnya. siapakah orang 

yang bermain hantu-hantuan itu” 

“Jangan” pamannya segera memotong kata-katanya. 

“Biarlah” sahut Agung Sedayu. 

“Jangan” ulang pamannya. 

Agung Sedayu menjadi kecewa. Tetapi ia tidak berani melanggar kata-kata pamannya. karena 

itu, maka ia menjadi semakin bingung. 

Tetapi ternyata ketabahan hati Widura telah menjengkelkan orang yang berjongkok itu. Orang 

itu memang membiarkan Widura dan Agung Sedayu menjadi gelisah dan bingung. Tetapi yang 

dilihatnya hanya Agung Sedayu sajalah yang benar-benar seperti cacing kepanasan. Sedang 

Widura masih saja duduk ditempatnya tanpa bergerak. Orang itu ingin melihat keduanya

menjadi bingung dan dengan demikian, ia akan mendapat permainan yang lucu dan 

menyenangkan. Tetapi harapannya itu hanya separo berhasil. Ia hanya melihat Agung Sedayu 

yang berjingkat-jingkat, berdiri, berjongkok, duduk dan segala macam perbuatan-perbuatan 

yang aneh. 

Karena itu, maka akhirnya ia menganggap bahwa ia tidak perlu menunggu permainan yang 

lucu itu lebih lama lagi. Disadarinya bahwa cara berpikir pemimpin laskar Pajang itu benar-

benar sudah dewasa. Karena itu, maka ia harus membuat permainan yang lain. Mula-mula ia 

sama sekali tidak menghiraukan lemparan-lemparan batu Agung Sedayu. Dengan sepotong 

besi batu-batu itu dipukulnya kesamping. Sedemikian cepatnya, sehingga Agung Sedayu sama 

sekali tidak melihat gerak itu. 

Kini ia akan membuat permainan yang lain. Ia ingin melihat Agung Sedayu mati ketakutan atas 

setidak-tidaknya karena dibakar oleh kemarahannya. Mati dengan cara itu adalah mengerikan 

sekali. Karena itu, maka orang itupun tersenyum. 

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Widura benar-benar menjadi sangat terkejut. Sesaat 

mereka bercakap-cakap sehingga mereka tidak melihat orang yang berjongkok itu. Namun 

sesaat itu benar-benar telah mendebarkan jantung mereka. Orang yang berjongkok itu telah 

lenyap. 

“Gila” tiba-tiba Agung Sedayu itupun berteriak “Kemana orang itu?” 

“Jangan berteriak” potong Widura. tetapi Widura itupun menjadi bersiaga. Iapun segera berdiri 

dan menarik pedang dari wrangkanya. Beberapa langkah ia berjalan ketengah jalan dan 

berbisik “Orang itu akan menyerang kita dari arah yang tidak kita ketahui” 

“Kemana orang itu?” bertanya Agung Sedayu. 

“Aku sangka ia berguling masuk keparit dipinggir jalan itu. Dari sana ia dapat pergi kemana saja 

yang disukainya. Karena itu kita harus bersiap menghadapi lawan dari segala arah. Ia dapat 

selalu memperhatikan kita, sedang kita tidak dapat melihat orang itu” 

“Marilah kita cari” 

“Sangat berbahaya” sahut pamannya “Aku kini pasti. Orang itu bukan Macan Kepatihan, tetapi 

Ki Tambak Wedi. Macan Kepatihan tidak akan berbuat sedemikian. Ternyata Ki Tambak Wedi 

mencoba membunuh kita dengan cara yang paling jahat yang dapat dilakukannya” 

Agung Sedayu menggeram. Tiba-tiba tangannyapun telah menggenggam pedangnya. Dengan 

suara yang berat ia berkata “Akhirnya akan sama saja paman. Kenapa kita tidak datang 

menyerangnya” 

“Sudah aku katakan” sahut pamannya “Aku, sebelum ini tidak yakin kalau orang itu Ki Tambak 

Wedi” 

Agung Sedayu tidak menjawab. tiba-tiba ia berputar sambil berteriak “Ayo, kemarilah. Kita 

bertempur beradu pedang” 

“Jangan berteriak Sedayu” desis pamannya. 

“Punggungku dilemparnya dengan batu” sahut Agung Sedayu. 

Pamannya mengerutkan keningnya. Ki Tambak Wedi benar-benar ingin mempermainkan 

mereka. karena itu, maka betapa kemarahan melonjak dikepalanya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu 

belum dilihatnya. 

Agung Sedayu benar-benar menjadi sangat marah dan bingung, sehingga benar-benar seperti 

orang yang kehilangan kesadaran diri. Sekali-sekali terasa punggungnya dikenai oleh 

lemparan-lemparan batu dari arah yang tak diketahuinya. 

“Agung Sedayu” berkata Widura “Jangan menjadi bingung dan kehilangan pengamatan. 

Tenanglah. Kita sudah bersedia menghadapi segala kemungkinan” 

Kembali Agung Sedayu menggeram. Tetapi ia mencoba menenangkan dirinya. Sekali dua kali 

dibiarkannya beberapa butir batu mengenainya, namun ternyata semakin lama menjadi 

semakin keras. Betapapun ia mencoba berdiam diri, tetapi kembali kemarahannya itu meledak. 

Sehingga terdengar ia berteriak “Ayo yang bersembunyi dibalik alang-alang atau dibalik 

gerumbul-gerumbul itu. Kemarilah, kita bertempur sebagai laki-laki. Jangan bersembunyi dan 

menyerang sambil bersembunyi” 

Tetapi masih belum terdengar jawaban, sehingga Agung Sedayu seolah-olah benar-benar


menjadi gila. 

Widurapun telah kehabisan akal. Bagaimana ia akan melawan orang yang tidak dilihatnya. 

Orang itu pasti bersembunyi sambil berpindah-pindah. Dengan demikian, ia akan dapat 

menyerangnya menurut arah yang dikehendaki. Namun akhirnya Widura harus mengambil 

sikap yang dapat memecahkan kebingungan itu. Ia harus berani menghadapi akibat yang 

paling parah sekalipun. Karena itu, maka katanya berbisik “Sedayu. Kita tidak akan dapat tetap 

tinggal ditempat ini. Kitapun harus mengambil sikap. Mari kita bersembunyi pula dengan 

kemungkinan yang paling pahit, apabila kita menyuruk kegerumbul yang ditempati olehnya. 

Tetapi kalau tidak kita tidak akan menjadi bulan-bulanan lagi. Dan kita mempunyai kesempatan 

yang sama dengan orang itu” 

“Marilah paman” sahut Agung Sedayu yang juga telah kehilangan akal. Ia sudah tidak dapat 

berpikir lagi. Sehingga apa saja yang harus dilakukannya, dilaksanakannya tanpa pertimbangan. 

Tetapi tiba-tiba didengarnya suara tertawa didalam semak-semak diseberang parit. Suara itu 

tidak terlalu keras, tetapi benar-benar menyakitkan hati. Disela-sela suara tertawa itu terdengar 

ia berkata “Agung Sedayu. Aku senang sekali melihat kau kebingungan seperti kera yang 

ekornya terbakar. Kalian tak usah bersembunyi kemanapun sebab akibatnya akan sama saja. 

Aku akan selalu dapat melihat kalian. Karena itu lebih baik kalian berada ditempat yang terbuka 

supaya besok ada yang dapat menemukan mayat kalian” 

Bukan main marah Widura dan Agung Sedayu mendengar suara itu. Namun suara itu seakan-

akan memancar dari tempat yang tak dapat diketahui. Suara itu seakan-akan melingkar-lingkar 

dan bergetaran dari segenap arah. 

Sesaat kemudian suara itu berkata kembali “Agung Sedayu dan Widura. aku sudah 

berkeputusan untuk membunuh kalian dengan bantuan kalian sendiri. Kemarahan dan 

kebingungan, kesakitan dan kelelahan adalah cara pembunuhan yang paling dahsyat. 

Meskipun kalian tidak menjadi ketakutan, tetapi bagiku tidak ada bedanya. Kalian menderita 

sebelum ajal datang” 

“Setan” sahut Widura “Itu bukan perbuatan seorang jantan” 

Kembali suara tertawa itu menggetar. “Jangan mengumpat-umpat” katanya. “Kau hanya akan 

menambah dosa saja. Sebaiknya kalian berbaring saja disitu, tenangkan hatimu dan berdo’alah 

supaya nyawamu tidak tersesat masuk neraka” 

“Diam, diam!” teriak Agung Sedayu “Aku sobek mulutmu dengan pedangku ini” 

“Bagus, bagus” sahut suara itu “Sobeklah kalau kau ingin. Mulut ini memang tidak terlalu lebar” 

Mereka berdua, Widura dan Agung Sedayu semakin lama menjadi benar-benar hampir gila 

dibakar oleh perasaan sendri. Dan suara itupun masih selalu mengganggunya dari arah yang 

tidak ketahuan. Mudah-mudahan Widura masih dapat menyadari, bahwa orang itu pasti 

berpindah-pindah tempat. Namun disadarinya pula bahwa orang itu adalah seorang yang sakti. 

Tetapi semakin lama kesadarannya menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya suara itu seakan-

akan melingkar-lingkar dilangit yang kelam. 

Namun dalam kebingungan yang hampir menelan Widura dan Agung Sedayu itu tiba-tiba 

terdengar suara yang lain dari suara yang pertama. Suara yang kedua terdengar lunak dan 

lembut, meskipun tidak pula mereka ketahui arahnya. Katanya “Widura dan Agung Sedayu. 

Jangan bingung. Biarkan saja suara itu mengganggu kalian. Anggaplah suara itu suara angin 

yang lembut, menyentuh daun-daun yang kering. Memang suaranya gemerisik menyakitkan 

telinga. Namun suara itu sama sekali tidak berbahaya. Turutilah kehendak yang tersembul 

didalam hati kalian, untuk mengurangi ketegangan dihati kalian. Kalau kalian ingin bersembunyi, 

bersembunyilah. Kalau kaian ingin kembali ke kademangan, kembalilah. Kalau kalian ingin 

berteriak, berteriaklah. Suara itu benar-benar tidak berbahaya” 

Widura dan Agung Sedayu menggeram. Namun mereka menjadi bertambah bingung. Sehingga 

karena itu, maka mereka menjadi terpaku diam ditempatnya. Dalam pada itu syara yang kedua 

itu berkata pula “Jangan menjadi bingung. Tegasnya, jangan hiraukan suara itu” 

Widura dan Agung Sedayu itupun mencoba mengingat-ingat suara yang kedua itu. Suara itu 

pernah didengarnya. Lembut, lunak meskipun bernada tinggi. Tiba-tiba Widura itupun 

bergumam “Kiai Gringsing” 

Agung Sedayu segera menengadahkan wajahnya. perlahan-lahan mulutnya berdesis “Ya, Kiai


Gringsing” 

Sesaat kemudian suasana menjadi sunyi. Baik Ki Tambak Wedi maupun Kiai Gringsing tidak 

berkata-kata lagi. Widura dan Agung Sedayupun berdiri kaku bertolak punggung dengan 

pedang telanjang ditangan masing-masing. Namun mereka sama sekali tidak dapat berbuat 

apa-apa. 

Dalam pada itu angin malam yang lembut membelai kening mereka, menggerak-gerakkan 

ujung ikat kepala mereka yang berjuntai dibelakang telinga. Tetapi betapa sejuknya angin 

menyentuh tubuh mereka, namun hati mereka serasa tersentuh bara. Panas dalam kesunyian 

malam yang dingin. 

Tetapi kesunyian itu benar-benar sangat menjemukan. Kesunyian itu terasa menjadi 

sedemikian tegangnya, sehingga karenanya Widura dan Agung Sedayu itu seolah-olah telah 

menahan nafas mereka. 

Tiba-tiba Agung Sedayu dan Widura itu terkejut bukan kepalang. Dibalik gerumbul-gerumbul itu 

terdengar suara gemerisik. Bukan saja langkah seseorang, tetapi suara itu sedemikian ributnya. 

“Suara apakah itu?” desis Agung Sedayu. 

Widura memutar tubuhnya mengarah kepada suara itu. Namun suara itu telah jauh bergeser 

dari tempatnya semula. Sehingga Widura itupun ikut berputar pula. 

“Suara apakah itu paman>” ulang Agung Sedayu sambil menahan nafasnya. 

Widura menggeleng lemah. Iapun menjadi kebingungan karenanya. Sedang suara itu masih 

saja terdengar diantara rimbunnya gerumbul-gerumbul disekitarnya. Namun seperti suara Ki 

Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, maka suara gemerisik itupun melingkar-lingkar tak tentu 

arahnya. 

Namun akhirnya Widura menyadari keadaan itu. Dengan serta-merta ia berkata “Agung Sedayu. 

Mereka pasti sedang bertempur” 

“Siapa?” 

“Ki Tambak Wedi dengan Kiai Gringsing” 

“He?” Agung Sedayu itupun terkejut. “Dimana?” 

“Rupa-rupanya Ki Tambak Wedi tidak senang mendengar suara Kiai Gringsing, sehingga orang 

itu langsung menyerangnya. Dan kini keduanya sedang bertempur didalam gelap itu. Mereka 

bergeser dari satu tempat kelain tempat. Aku tidak tahu pasti, apakah Ki Tambak Wedi ataukah 

Kiai Gringsing yang sengaja memberikan kesan kepada kita, bahwa pertempuran itu seakan-

akan terjadi dilangit yang kelam” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Keterangan pamannya itu benar-benar 

dapat dimengertinya.dan akhirnya iapun merasakan, kesibukan perkelahian pada suara yang 

didengarnya. Tetapi perkelahian antara dua orang yang telah memiliki ilmu yang jauh lebih 

tinggi dari mereka. Meskipun demikian Agung Sedayu itu menjadi cemas. Ki Tambak Wedi 

adalah seorang yang telah mempunyai nama yang cukup menggetarkan diseluruh lereng 

gunung Merapi itu, sedang nama Kiai Gringsing sama sekali belum dikenal oleh siapapun. 

Sedemikian besar keragu-raguan Agung Sedayu, sehingga terdengar ia berbisik kepada 

pamannya “Paman, apakah Kiai Gringsing cukup memiliki kemampuan untuk melawan Ki 

Tambak Wedi?” 

Widura menarik alisnya. Tetapi pedangnya masih selalu siap didalam genggamannya. 

Jawabnya “Aku tidak meragukannya. Orang itu memiliki beberapa kelebihan. Kekuatan 

tenaganya telah membuktikannya” 

“Apakah paman pernah melihat?” 

“Aku belum pernah melihat ia bertempur, namun aku pernah melihat Kiai Gringsing 

mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi. orang itu mampu meluruskan kembali lingkaran-

lingkaran besi yang dibuat oleh Ki Tambak Wedi dengan tangannya” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian masih saja 

perasaannya diliputi oleh keragu-raguan dan kecemasan. Disekitarnya masih terdengar suara 

gemerisik dan bahkan menjadi jelas. Namun kadang-kadang suara itu menjadi semakin jauh 

dan berkisar dengan cepatnya.


“Marilah kita melihat paman” ajak Agung Sedayu. 

“Kemana?” bertanya pamannya. 

Agung Sedayupun menjadi bingung. Ia tidak tahu arah yang harus didatangi. Suara itu benar-

benar melingkar-lingkar seolah-olah memenuhi segenap penjuru. 

Ketika Agung Sedayu dan Widura terdiam, maka suara itu menjadi semakin jelas. Kadang-

kadang suara itu sedemikian dekatnya, namun kadang-kadang menjadi agak jauh, tetapi suara 

itu menunjukkan betapa ributnya pertempuran yang sedang berlangsung. 

Tiba-tiba mereka terkejut, ketika mereka melihat bayangan yang melontar dari dalam kegelapan, 

disusul oleh sebuah bayangan yang lain. Demikianlah maka kedua bayangan itu kini bertempur 

ditempat yang terbuka. Masing-masing dengan caranya dan masing-masing dengan ilmunya 

yang khusus. Sehingga dalam malam yang gelap itu, Widura dan Agung Sedayu melihat 

pameran kekuatan yang mengagumkan. 

Ki Tambak Wedi benar-benar tampat sedemikian garangnya. Tangannya bergerak-gerak 

dengan pasti dan cepat. Tangan yang hanya sepasang itu seakan-akan merupakan sepasang 

senjata yang sangat dahsyatnya. Seperti sepasang tombak pendek yang mematuk-matuk dari 

segenap arah. 

Tetapi lawannya adalah seorang yang sangat lincah. Seperti asap yang berputaran dalam 

pusaran angin yang kencang. Sepasang kakinya seakan-akan tidak berjejak diatas tanah. 

Sehingga dengan cepatnya ia dapat berpindah-pindah tempat. Betapapun kekuatan lawan yang 

menghantamnya, namun serangan itu seakan-akan tidak dapat menyentuhnya. 

Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin sengit. Widura dan Agung Sedayu berdiri saja 

mematung. Dadanya terasa berdentangan dan darahnya mengalir semakin cepat. Pedang-

pedang ditangan mereka seolah-olah sama sekali tidak akan berarti seandainya mereka harus 

bertempur melawan salah seorang dari mereka. 

“Seandainya kami yang harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi,” desis Agung Sedayu 

didalam hatinya “Entahlah apa kira-kira yang akan terjadi” 

Sesungguhnyalah bahwa kekuatannya sama sekali tak akan berarti dibandingkan dengan 

kekuatan dan kesaktian orang yang menakutkan itu. 

Malam yang dingin itu semakin lama menjadi semakin dingin. Angin yang basah perlahan-lahan 

mengalir dari selatan. Namun hati Widura dan Agung Sedayu terasa betapa panasnya. Mereka 

melihat perkelahian yang dahsyat antara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Namun kadang-

kadang keduanya menjadi hilang didalam kegelapan malam, untuk kemudian muncul kembali 

ditempat yang lain. Ternyata mereka berdua telah mempergunakan tempat yang amat luas 

untuk bertempur. Mereka melontar-lontar sangat cepatnya dan loncatan-loncatan panjang yang 

mengherankan. Seolah-olah kedua-duanya memiliki sayap dipunggung mereka, sehingga 

mereka dapat beterbangan berputar-putar. 

Pertempuran itu benar-benar seperti pertempuran antara dua ekor burung-burung raksasa 

dilangit yang luas berebut kekuasaan. Seakan-akan mereka sedang bertaruh, siapa yang 

menang diantara mereka maka ialah yang dapat merajai langit. 

Tetapi Widura dan Agung Sedayu menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak dapat menilai, 

siapakah diantara mereka berdua yang lebih kuat. Keduanya sama-sama memiliki keunggulan 

dan kelebihan yang sulit dimengerti. Desak-mendesak, silih berganti. Sehingga kemudian 

keduanya menjadi seperti gumpalan-gumpalan asap yang berbenturan tidak menentu. 

Namun kemudian Widura dan Agung Sedayu terkejut ketika mereka melihat benda yang 

berkilat-kilat ditangan Ki Tambak Wedi pada kedua belahnya. Dalam genggaman tangannya, 

tiba-tiba telah melingkar gelang-gelang besi baja. Sepasang senjata yang pernah mereka lihat 

dihalaman belakang kademangan serta ciri yang sudah pernah mereka kenal pula. dengan 

senjata itu, maka tangan-tangan Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin berbahaya. Serangan-

serangan Kiai Gringsing kemudian selalu tidak pernah dihindarinya, namun dicobanya untuk 

menempuh serangan itu dengan gelang-gelang baja yang melingkari genggaman tangannya. 

Bahkan seandainya lawannya mempergunakan pedang sekalipun, namun pedang itu akan 

ditahannya dengan lingkaran-lingkaran itu. 

Dengan senjata itulah maka Ki Tambak Wedi menjadi semakin dahsyat. Tangannya 

menyambar-nyambar kesegenap tubuh lawannya. Pukulan-pukulannya adalah pukulan-pukulan


maut, seandainya tersentuhpun, maka tulang-tulang Kiai Gringsing agaknya akan berserak 

retak. 

karena itu, maka kini Widura dan Agung Sedayu dapat melihat, bahwa Kiai Gringsinglah yang 

selalu mencoba menghindar serangan-serangan lawannya. Berkali-kali ia melontar mundur dan 

menjauh. Tetapi lawannya selalu mengejarnya dengan ganasnya. Sambaran-sambaran 

tangannya berdesingan seperti lalat yang terbang mengitari tubuh Kiai Gringsing. Sedang 

cahaya besi baja ditangannya yang bergerak-gerak itu, tampaknya seolah-olah kilat yang 

menyambar-nyambar. 

Widura dan Agung Sedayu menjadi cemas pula karenanya. Meskipun dengan demikian mereka 

dapat menduga bahwa kemampuan Kiai Gringsing ternyata masih berada setidak-tidaknya 

menyamai Ki Tambak Wedi. Ternyata dengan senjata yang kemudian terpaksa digunakan oleh 

Ki Tambak Wedi. namun apabila dengan senjata itu Kiai Gringsing dapat dikalahkan, lalu 

apakah jadinya mereka berdua? 

Tetapi mereka berdua bukannya pengecut. Juga Agung Sedayu kini sama sekali tidak ingin 

melarikan dri dari bahaya. Meskipun kadang-kadang terasa juga sesuatu yang berdesir didalam 

dadanya, seperti yang pernah dirasakannya dahulu, namun kini ia berkata kepada dirinya “kte 

itu mempunyai kesaktian yang tiada taranya. Seandainya aku melarikan diri, maka itu pasti 

hanya akan bersifat sementara. Ia akan dapat mengejarku dan menangkapku seperti kalau aku 

tetap berada ditempat ini. karena itu, maka biarlah aku disini bersama-sama dengan paman 

Widura dan Kiai Gringsing. Meskipun kekuatanku sama sekali tidak berarti, tetapi lebih baik 

menghadapinya bersama-sama daripada aku nanti harus dikejarnya seorang diri” 

karena itu, maka Agung Sedayu masih tetap berdiri ditempatnya. Sekali-sekali ia berkisar 

mengikuti putaran pertempuran Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. 

Ki Tambak Wedi yang kemudian merasa bahwa lawannya selalu terdesak, berkata dengan 

lantang sambil mengayukan kedua tangannya berputaran menyerang lawannya “He, orang 

yang bodoh. Siapakah kau dan apamukah Agung Sedayu dan Widura ini?” 

Jawabannya benar-benar menyakitkan hati Ki Tambak Wedi yang menyangka bahwa lawannya 

telah menjadi cemas akan nasibnya. Namun dengan jawaban itu, terasa seakan-akan lawannya 

itu masih saja menganggap perkelahian itu seperti sebuah permainan, katanya “Bukan apa-apa. 

kami hanya bersama-sama menghuni daerah ini, daerah yang diributkan oleh kehadiran Ki 

Tambak Wedi” 

“Jangan mengigau” bentak Ki Tambak Wedi “apakah kau benar-benar telah jemu hidup?” 

“Oh, kau salah sangka. Aku berkelahi karena aku ingin hidup tenteram didaerah ini” 

“Hiduplah tenteram. Kenapa kau ganggu kami yang sedang terlibat dalam persoalan kami 

sendiri. apakah hubungannya hidupmu dengan persoalan ini?” 

“Ada” sahut Kiai Gringsing “Angger Widura sedang memanggul tugasnya mempertahankan 

daerah perbekalan ini dari segapan Macan Kepatihan. Kalau kau binasakan orang itu, maka 

laskarnyapun akan berhamburan tanpa ikatan. Dan daerah ini akan menjadi kacau balau. 

Sangkal Putung akan berubah menjadi pusat perbekalan laskar Macan Kepatihan. Sehingga 

dengan demikian hidupkupun akan terancam” 

“Gila. Jangan menganggap aku anak kambing yang bodoh. Kalau kau mampu bertempur 

melawan Ki Tambak Wedi, kenapa kau tidak mampu bertempur melawan Macan Kepatihan?” 

“Seperti kau, kanapa kau tidak mau membunuh Macan Kepatihan? Kenapa mesti muridmu 

yang bernama Sidanti?” 

“Gila, kau benar-benar gila. Seharusnya aku sudah membunuhmu. Nah sekarang kesempatan 

itu datang, orang yang tidak mau dikenal seperti kau inipun harus mati. Dan aku akan dapat 

mengerti, apakah sebabnya kau menyebut dirimu dan memulai dirimu seperti itu. Bukankah kau 

yang aku jumpai dilapangan dekat banjar desa pada saat Sidanti berlomba memanah?” 

Sementara itu perkelahian diantara mereka berdua, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing 

menjadi bertambah cepat. Meskipun beberapa kali Kiai Gringsing terpaksa melontar surut, 

namun perlawanannya masih tetap sengit. Dalam kesibukan perkelahian itu Kiai Gringsing 

menjawab “Ya, akulah yang bertemu dengan kau dilapangan itu, kau masih ingat?” 

“Tampangmu tak mudah dilupakan” jawab Ki Tambak Wedi “Dan didaerah ini jarang-jaranglah 

orang yang mampu bertempur melawan Ki Tambak Wedi sampai dua tiga loncatan. Tetapi kau



mampu bertahan beberapa lama” 

Kiai Gringsing menggeram. Katanya “Jadi kau pasti bahwa akhirnya pertahanankupun akan 

runtuh?” 

“Tentu, meskipun kulitmu berlapis baja sekalipun” 

“Kau, yang mempergunakan lapisan baja ditanganmu” 

“Persetan. Ambillah senjatamu. Kita menentukan siapa diantara angkatan tua yang akan dapat 

merajai lereng gunung Merapi” 

“Aku tidak ingin” jawab Kiai Gringsing “Tetapi aku juga tak ingin dirajai” 

Ki Tambak Wedi tidak berkata-kata lagi. Serangannya menjadi bertambah seru. Sepasang 

gelang dikedua tangannya bergerak dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan daripadanya, pasti 

akibatnya akan sangat dahsyat. 

Namun kemudian masih juga ternyata bahwa Kiai Gringsing terpaksa selalu menghindari 

serangan Ki Tambak Wedi yang semakin garang. Beberapa kali Kiai Gringsing harus melontar 

surut, sedang Ki Tambak Wedi tidak akan melepaskan segenap kesempatan yang terbuka 

baginya. 

Tetapi kemudian Kiai Gringsing tidak mau menjadi sasaran untuk meluapkan kemarahan Ki 

Tambak Wedi saja. Ketika kemudian ternyata bahwa ia tidak dapat bertahan terlalu lama 

menghadapi sepasang gelang itu, maka kemudian dari balik bajunya Kiai Gringsing menarik 

pula senjatanya yang tak kalah anehnya. Sebuah cambuk.Ya, cambuk yang tidak terlalu besar, 

dan berujung agak panjang. Tetapi benda itu keseluruhan tidak lebih panjang dari setengah 

depa sampai keujung juntainya. 

Ki Tambak Wedi terkejut melihat senjata itu. Ia lebih tatag menghadapi pedang, tombak dan 

tongkat baja seperti milik Macan Kepatihan. Tetapi menghadapi senjata yang aneh ini, maka 

hatinya menjadi berdebar-debar. Cambuk yang kecil itu pasti akan sulit untuk dilawan dengan 

gelang besinya. Senjata itu lemas dan juntainya akan dapat menyengat tubuhnya dari segenap 

arah. Dan Ki Tambak Wedi sadarm bahwa cambuk itu pasti dari bahan yang dapat dipercaya 

oleh seorang yang setingkat Kiai Gringsing. 

Sebenarnyalah, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh cambuk kecil itu. Cambuk itu 

memekik sedemikian kerasnya seperti sebuah ledakan yang dahsyat dalam nada yang tinggi. 

Sehingga tiba-tiba telinga mereka yang mendengarnya menjadi sakit. 

Dengan serta-merta Widura dan Agung Sedayu telah menutup sebelah telinga mereka dengan 

tangan-tangan kiri mereka. 

Kang terdengar kemudian adalah geram Ki Tambak Wedi. “Dahsyat. Kau mau mempengaruhi 

kau dengan letupan yang memekakkan telinga itu?” 

“Kalau kau mau” sehut Kiai Gringsing sekenanya. 

“Gila. Kau berhadapan dengan maut. Jangan menyesal kalau kau tidak sempat melihat bintang 

pagi terbenam” 

Kiai Gringsing tidak menjawab. kini ia menyerang Ki Tambak Wedi dengan dahsyatnya dengan 

ujung-ujung cambuknya. 

Karena itu maka perkelahian diantara mereka menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah 

mempergunakan senjata-senjata yang terpercaya. Karena itulah maka perkelahian itu segera 

meningkat sampai pada saat-saat yang menentukan. 

Widura dan Agung Sedayupun menjadi bertambah tegang pula. Meskipun mereka berada 

diluar lingkungan perkelahian itu namun terasa pula oleh mereka, bahwa kedua orang yang 

sedang bertempur itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Mereka masing-

masing sedang berusah untuk menumbangkan lawannya dalam taraf ilmu yang tertinggi yang 

mereka miliki. 

Kini Widura dan Agung Sedayu tidak lagi melihat Kiai Gringsing selalu terdesak mundur. 

Bahkan kini mereka dapat merasakan, bahwa cambuk kecilnya benar-benar berbahaya. Sekali-

sekali terdengar cambuk itu meledak dan terasa sebuah sengatan yang pedih pada tubuh 

lawannya. Kedua gelang besi ditangan Ki Tambak Wedi benar-benar tidak dapat 

dipergunakannya untuk menangkis serangan senjata yang aneh itu. 

Demikianlah maka kini keadaan menjadi berubah. Bayangan Ki Tambak Wedi yang bergerak


gerak dengan lincahnya itu seolah-olah terdesak mundur. Bayangan yang lain perlahan-lahan 

telah mengurungnya. Tidak saja tangan Kiai Gringsing yang bergerak-terak dengan cepatnya, 

namun ujung cambuknyapun menjadi seakan-akan gumpalan-gumpalan asap yang 

menyebarkan maut. 

Ternyata kemudian, bahwa saat yang menentukan telah datang. Ki Tambak Wedi menggeram 

tak henti-hentinya. Lawannya benar-benar menakjubkannya. Betapa ia menjadi marah dan 

memeras segenap kekuatannya, namun adalah diluar dugaannya bahwa suatu ketika dilereng 

Merapi akan datang seseorang yang akan dapat mengalahkannya. Karena itu mula-mula ia 

tidak mau melihat kenyataan itu. Dengan sekuat tenaga ia mencoba mempertahankan diri dan 

namanya. Bahkan hampir-hampir ia sampai pada suatu kesimpulan hidup dan mati. Namun 

tiba-tiba disadarinya kehadiran Widura dan Agung Sedayu. Diingatnya pula muridnya Sidanti 

yang belum sembuh benar dari lukanya. Dan diingatnya pula cita-cita masa depan muridnya itu. 

Karena itulah maka akhirnya Ki Tambak Wedi yang namanya ditakuti disekitar gunung Merapi 

itu terpaksa mengakui keadaannya kini. 

Kiai Gringsing yang tidak dikenal itu telah mengalahkannya. Karena itu dengan penuh 

kemarahan, Ki Tambak Wedi menggeram “He orang gila. Kau mungkin menyangka bahwa Ki 

Tambak Wedi tidak akan mampu melawanmu. Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain 

sehingga aku menghindari perkelahian seterusnya, hanya kali ini” 

Kiai Gringsing tidak menjawab. ia ingin bahwa Ki Tambak Wedi tidak mendapat kesempatan 

untuk melarikan diri. Namun kelebihannya tidak terpaut banyak dari Ki Tambak Wedi, sehingga 

karena itu maka usahanya tidak berhasil. Ki Tambak Wedi sempat menghindarkan dirinya dan 

tenggelam kedalam gerumbul-gerumbul didalam gelap. Namun demikian terdengar Ki Tambak 

Wedi berkata “He orang yang gila. Kau ternyata telah mendorong Agung Sedayu dan Swandaru 

kedalam keadaan yang menyedihkan. Dengan perbuatanmu ini, maka keinginanku untuk 

membunuh mereka berdua menjadi semakin besar. Sidanti untuk seterusnya tidak akan 

kembali ke Sangkal Putung. Tak akan ada yang diharapkannya disini. Karena itu, maka baginya, 

Widura sudah tidak penting lagi. Tetapi dendamnya kepada Agung Sedayu dan Swandaru tidak 

akan dapat dilupakan. Aku atau Sidanti sendiri pada suatu ketika pasti akan melakukannya. 

Membunuh Agung Sedayu dan Swandaru. menggantung mayat mereka dimuka banjar desa 

Sangkal Putung” 

“Jangan berangan-angan” potong Kiai Gringsing sambil mengejarnya “Selama aku masih ada, 

maka selama itu aku akan menghalangi maksud yang terkutuk itu. Marilah kita sejak ini 

menganggap diri kita sendiri berpacu. Aku berjanji untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan 

Swandaru dari ketakutannya terhadap Sidanti. Sedang kalau kau ikut campur, maka aku akan 

ikut campur pula. kalau suatu ketika aku menjadi lengah dan kedua anak itu mengalami 

bencana karena pokalmu, maka aku berjanji, bahwa aku sendiri akan membunuh Sidanti dan 

kau bersama-sama” 

“Setan” teriak Ki Tambak Wedi dari kejauhan. Namun nada suarnya menggetarkan kemarahan 

yang tiada taranya. Belum pernah ia mengalami penghinaan yang sedemikian kasarnya. 

Ancaman yang langsung diberikan kepadanya dan muridnya. 

Namun isa harus mengakui, bahwa hal itu benar-benar mungkin dilakukan oleh orang yang 

belum dikenalnya dan menamakan dirinya Kiai Gringsing itu. Justru orang itu belum dikenalnya 

dengan baik, maka kemungkinan yang akan dilakukan oleh orang itu menjadi bertambah besar. 

Namun sambil melarikan diri Ki Tambak Wedi yang bukan seorang yang tumpul otaknya itu 

sempat berpikir “Aku akan segera mengetahui siapakah orang itu. Siapa yang kemudian 

memimpin dan menggurui Agung Sedayu dan Swandaru, maka orang itulah sebenarnya yang 

bernama Kiai Gringsing” 

Widura dan Agung Sedayu yang terpaku ditempatnya masih saja tegak seperti tonggak. Namun 

tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika Widura itu berkata “Agung Sedayu, mari kembali ke 

kademangan. Cepat” 

Agung Sedayu tidak sempat menjawab. tiba-tiba dilihatnya pamannya meloncat dan berlari 

kencang-kencang mendahului, setelah menyarungkan pedangnya. karena itu, maka Agung 

Sedayu yang tidak tahu maksudnyapun ikut berlari pula. sepanjang jalan ia tidak habis berpikir 

tentang pamannya. Ketika Ki Tambak Wedi masih belum dapat dikalahkan, pamannya sama 

sekali tidak bergerak dari tempatnya. Kini ketika bahaya telah meninggalkan mereka, tiba-tiba 

pamannya itu berlari-lari pulang. tetapi ia tidak sempat untuk menanyakannya. Sehingga karena


maka Agung Sedayu itupun hanya dapat mengikutinya tanpa tahu maksudnya. 

Widura yang berlari itu meloncati parit-parit dan pematang-pematang. Ia tidak lewat jalan yang 

biasanya dilaluinya. Ditempuhnya jalan yang memintas. Kali ini Widura tidak lagi singgah 

digardu-gardu perondan seperti biasanya. Baru ketika ia memasuki desa Sangkal Putung, 

maka Widura itu tidak berlari-lari lagi. Bagaimana langkahnyapun masih tetap panjang-panjang. 

Agung Sedayu yang kemudian menyusulnya bertanya sambil terengah-engah “Kenapa paman 

berlari-lari?” 

“Tidak apa-apa” jawabnya. 

Agung Sedayu terdiam. Namun sudah tentu ia tidak percaya. Meskipun demikian, ia sudah 

tidak bertanya lagi. Dengan langkah yang panjang-panjang pula ia berjalan disamping 

pamannya. 

Widura itu benar-benar menjadi seakan-akan tidak bersabar. Semakin dekat ia dengan 

kademangan, langkahnya menjadi semakin cepat. Tetapi ketika ia hampir sampai regol, maka 

dihentikannya langkahnya, diaturnya nafasnya. Dan seakan-akan tidak terjadi apa-apa Widura 

itu berjalan tenang-tenang. 

Agung Sedayu dapat mengerti apa yang dilakukan pamannya terakhir. Widura tidak mau 

membuat kesan yang aneh terhadap anak buahnya.KI Widura malam itu datang menurut 

kebiasaan meskipun agak terlambat. 

Seorang penjaga diregol halaman menganggukkan kepalanya sambil menyapa “Agak terlambat 

Ki Lurah pulang” 

“Ya” sahut Widura. Ia mencoba menjawab tenang-tenang meskipun terasa nafasnya 

mendesaknya “aku berhenti di beberapa gardu perondan” 

Seorang yang lain, yang berdiri pula disisi pintu menyahut “Adalah sesuatu yang perlu 

diperhatikan?” 

“Tidak” jawab Widura sambil melangkahi regol. Namun kemudian ia berkata “adalah seseorang 

yang baru saja memasuki regol ini?” 

Penjaga-penjaga diregol itu mengangkat alisnya. Sambil menggeleng-gelengkan kepala 

penjaga itu menjawab “Tidak. Sepengetahuanku tidak” 

“Sama sekali tidak?” desak Widura. 

Penjaga itu berpikir sejenak. Sambil menggeleng ia menjawab “Tidak Ki Lurah” 

Widura menggigit bibirnya. Kemudian katanya berbisik kepada Agung Sedayu “Kalau begitu 

kita lebih dahulu sampai” 

“Siapa?” bertanya Agung Sedayu. 

“Sst” desis Widura. 

Namun tiba-tiba Widura itu menjadi kecewa ketika seorang penjaga berkata “Ki Tanu Metir, 

maksud Ki Lurah?” 

“He?” bertanya Widura. 

“Yang baru saja masuk regol adalah Ki Tanu Metir yang keluar untuk berjalan-jalan seperti yang 

dilakukannya setiap hari” 

“Setiap hari?” bertanya Widura. 

“Ya” jawab penjaga regol itu. “Setiap orang yang bertugas diregol ini melihat, bahwa orang tua 

itu selalu pergi berjalan-jalan dimalam hari” 

Widura menarik nafas dalam-dalam. Otaknya bergerak menghubungkan keterangan-

keterangan yang didengarnya itu. Tetapi kemudian ia tersenyum “Marilah Agung Sedayu” 

ajaknya. 

Agung Sedayu benar-benar tidak tahu maksud pamannya. Tetapi ketika pamannya itu berjalan 

naik kependapa, maka ia ikut juga dibelakangnya. 

Widura berjalan perlahan-lahan masuk kepringgitan. Dilihatnya Ki Tanu Metir duduk dengan 

tenangnya menggulung sehelai daun pisang pembungkus makanan, disamping Ki Demang dan 

Swandaru. 

“Ha, kau baru pulang?” bertanya orang tua itu ketika dilihatnya Widura dan Agung Sedayu


melangkah masuk 

“Ya Kiai” jawab Widura. 

“Kau pulang lebih malam dari biasanya. Aku juga baru saja datang. Berjalan-jalan dimalam hari 

benar-benar dapat memberi kesegaran padaku” 

Ya Kiai. Memang udara sangat segar. Tetapi agaknya terlampau dingin” berkata Widura. 

“Ya. Memang malam ini terlampau dingin” sahut Ki Tanu Metir 

“Apakah Kiai juga merasakan dinginnya malam?” bertanya Widura. 

“Ya, tentu. Aku menjadi menggigil karenanya” 

“Aku juga” sambung Widura “Tetapi memang sudah menjadi kebiasaanku, aku selalu 

berkeringat apabila aku kedinginan” 

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Apakah kau berkeringat?” 

“Ya, seperti Kiai juga” 

Ki Tanu Metir mencoba mengamat-amati pakaiannya. Terasa punggung bajunya memang 

basah oleh keringat yang mengalir tak habis-habisnya. Karena itu, maka iapun tersenyum 

sambil berkata “Aku juga berkeringat. Tetapi aku baru saja kepanasan minum air jahe hangat. 

Inilah. Mari minumlah mangkuk itu. Bukankah ini memang disediakan untukmu?” kemudian 

kepada Swandaru ia bertanya “Begitu bukan angger Swandaru?” 

“Ya, ya. Silakan paman Widura dan tuan …..” 

BUKU 08 

“Jangan panggil dengan sebutan yang terlalu jauh. Panggillah dengan sebutan yang lebih dekat. 

Kakang. Juga kepada Untara lebih baik kau memanggilnya demikian” potong Widura. 

“Ya” sahut Agung Sedayu “Aku lebih senang” 

“Baiklah” sahut Swandaru “Marilah, minumlah” 

Widura dan Agung Sedayupun minum pula air jahe yang hangat. Dengan demikian maka 

keringat mereka semakin banyak mengalir membasahi tubuh mereka. 

Dalam pada itu Ki Tanu Metir itupun bertanya pula “Dari manakah angger berdua malam ini. 

Apakah seperti biasanya nganglang setiap gardu perondan?” 

“Ya” sahut Widura “Dan ke gunung Gowok. Aku sedang berlatih bermain pedang. Guruku, 

Agung Sedayu telah mencobakan ilmu yang paling akhir” 

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Sedang Ki Demang Sangkal Putung menjadi terheran-

heran. Apalagi Swandaru sehingga dengan serta-merta berdesah “Ah” 

Mereka menjadi semakin tidak mengerti ketika Widura berkata “Tetapi seorang yang 

menamakan diri Kiai Gringsing selalu saja mengganggu kami, sehingga usaha kami itupun tidak 

dapat kami lakukan seperti yang kami kehendaki” 

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebelum berkata sesuatu, maka Widura 

telah berkata pula “Akhirnya kami tidak meneruskan latihan kami. Tetapi kami berpacu dengan 

orang yang tidak kami kenal itu kekademangan”


Ki Tanu Metir menarik alisnya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata “Siapakah yang lebih 

dahulu sampai?” 

“Ki Tanu Metir” jawab Widura. 

“He” sahut Ki Tanu Metir “Kau berpacu dengan Kiai Gringsing, namun kenapa aku yang lebih 

dahulu sampai?” 

Widura menggeleng, jawabnya “Entahlah. Aku tidak tahu” 

Ki Tanu Metir itu menundukkan wajahnya. Widura dan Agung Sedayu duduk dengan 

gelisahnya, sedang Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru masih saja memandang mereka 

dengan penuh pertanyaan yang memancar dari wajah-wajah mereka. 

Agung Sedayu yang semula juga ikut menjadi bingung perlahan-lahan dapat menangkap, 

apakah yang dilakukan pamannya itu. Bahkan kemudian tiba-tiba ia bertanya “Bagaimanakah 

dengan kakang Untara?” 

Pertanyaan itu mengejutkan Ki Tanu Metir, sehingga dengan serta-merta ia menjawab “Sudah 

semakin baik. Angger Untara sudah dapat bangun dan berjalan-jalan. Sebentar lagi luka iu 

akan sembuh, meskipun masih diperlukan waktu untuk memulihkan kekuatannya” 

“Tetapi malam ini aku tidak harus berkuda ke Sangkal Putung sendiri. dan Kiai tidak usah 

menyusulku dan setelah Kiai kalah bertempur melawan aku, maka Kiai harus bertempur 

melawan Alap-alap Jalatunda” 

Ki Tanu Metir tidak dapat menyembunyikan senyumnya lagi. Perlahan-lahan ia berdiri dan 

berjalan mendekati Untara. Ternyata Untara itu juga tidak sedang tidur. Bahkan ketika ia 

melihat Ki Tanu Metir itu mendekati maka desisnya “Bagaimana Kiai?” 

“Kemana aku harus bersembunyi lagi ngger?” bertanya Ki Tanu Metir kepada Untara. 

“Kiai tidak perlu bersembunyi lagi” 

Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Kemudian gumamnya “Tamatlah cerita tentang seorang 

dukun tua dan tamatlah cerita tentang orang yang berkerudung kain gringsing” 

“Cerita itu sudah lama tamat” sahut Widura. 

Ki Tanu Metir berpaling. Ditatapnya wajah Widura yang aneh. Tetapi sesaat kemudian orang 

tua itu tertawa geli. Katanya “Terlalu banyak yang ingin kau ketahui ngger. Tetapi baiklah, aku 

tidak perlu bersembunyi lagi. Dugaanmu benar” 

Widura tertawa. Agung Sedayupun tertawa. tetapi Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru 

sama sekali tidak tahu, apakah yang lucu. 

Karena itu, maka Swandaru itupun segera bertanya “Apakah yang aneh paman Widura?” 

Widura menggeleng sambil tersenyum “Tidak apa-apa. hanya suatu permainan saja” 

“Permainan apa?” 

“Ki Tanu Metir mencoba bersembunyi ketika melihat kami lewat. Disangkanya kami tidak 

melihatnya” 

Swandaru mengerutkan keningnya. Jawaban Widura itu semakin membingungkannya. 

Sehingga kemudian ia mendesaknya “Tetapi, bagaimanakah cerita tentang paman Widura dan 

orang yang disebut gurunya yang bernama Agung Sedayu itu?” 

Oh” sahut Widura “Aku hanya bermain-main. Ki Tanu Metir pernah bertanya kepadaku, 

siapakah guruku, karena aku tidak mau menunjukkannya, maka aku jawab saja sekenanya, 

Agung Sedayu” 

Swandaru mengumpat-umpat didalam hatinya. Ia tahu betul, bahwa bukan itulah jawaban dari 

pertanyaannya. Meskipun demikian ia sudah tidak bertanya lagi. Namun, bagaimanapun juga, 

ia tidak dapat menjajagi, bahwa senda gurau itu telah mengungkapkan suatu peristiwa yang 

selama ini menjadi teka-teki bagi Widura. meskipun Ki Tanu Metir belum mengatakan 

kepadanya, namun Widura telah dapat merabanya. Bagaimanakah yang pernah terjadi atas 

Untara. Bagaimanakah sebabnya, maka orang-orang disekitar rumah Ki Tanu Metir menyangka 

bahwa orang tua itu bersama Untara telah hilang dibawa gerombolan Plasa Ireng. Kini 

semuanya sudah menjadi agak jelas bagi Widura. sudah tentu Plasa Ireng beserta Alap-alap 

Jalatunda tidak akan dapat berbuat sesuatu terhadapnya. 

Ki Demang Sangkal Putungpun sebenarnya mempunyai keinginan untuk mengetahui, apakah


sebenarnya yang sedang dipercakapkan oleh Ki Tanu Metir dan Widura, tetapi ia segera 

mengendalikan dirinya. Persoalan-persoalan diluar dirinya, dan mungkin menyangkut 

kepentingan kelaskaran Pajang, lebih baik baginya untuk tidak turut mempersoalkannya apabila 

tidak diminta. 

Sesaat kemudian kembali mereka duduk melingkar diatas tikar pandan dipringgitan. Untara 

masih tetap berbaring dipembaringannya. Meskipun lukanya telah jauh berkurang, namun ia 

masih belum kuat benar untuk terlalu lama duduk. 

Diantara mereka sudah terhidang berbagai makanan. Meskipun sudah terlalu dingin, namun 

dapat juga untuk menggerakkan rahang-rahang mereka. 

Sambil makan Ki Tanu Metir berkata seakan-akan sambil lalu saja “Bagaimanakah kabarnya 

angger Sidanti itu sekarang?” 

Widura mengerutkan keningnya. Dan dilihatnya wajah Swandaru menjadi tegang. 

“Tak ada kabarnya” jawab Widura “Tetapi sudah pasti ia tidak akan kembali ke Sangkal Putung” 

“Tetapi ia pasti mendendam” potong Swandaru tiba-tiba “Aku telah melukainya” 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah bahwa Sidanti itu mendendam. 

Tidak saja kepada Swandaru tetapi juga kepada Agung Sedayu. Sedang mereka, Widura dan 

Agung Sedayupun, mendengar dengan jelas, apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, bahwa 

dendam Sidanti yang terbesar justru kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Agung Sedayu 

yang dianggap menggesernya dari sudut hati Sekar Mirah, dan Swandaru yang telah 

melukainya bahkan hampir membunuhnya. Tetapi Agung Sedayu itu menjadi tenteram ketika 

ternyata bahwa Kiai Gringsing yang sekarang duduk dihadapannya sebagai seorang dukun tua 

itu, akan melindunginya. 

Tetapi Swandaru tidak mendengar janji yang pernah diucapkan oleh orang yang menamakan 

dirinya Kiai Gringsing. Sehingga dengan demikian maka dadanya menjadi berdebar-debar 

apabila diingatnya nama itu. Sidanti. Selagi mereka masih berada dihalaman yang sama, 

Sidanti telah pernah menamparnya dua kali. Apalagi kini, maka Sidanti itu tidak akan sekedar 

menamparnya saja. Tetapi pasti membunuhnya. 

Ayahnyapun merasakan kecemasan itu. Karena itu selagi mereka mempercakapkan Sidanti, 

maka sama sekali Ki Demang Sangkal Putung itupun ingin mencari perlindungan bagi anaknya. 

Maka katanya “Aku menjadi cemas juga akan angger Sidanti itu. Hubungannya dengan 

Swandaru terlalu jelek. Sehingga keadaan Swandaru kinipun selalu terancam pula olehnya. 

Apalagi pada saat terakhir, Swandaru itu telah berusaha untuk membunuhnya, sehingga 

dengan demikian maka dendam angger Sidanti itupun menjadi semakin dalam pula” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis “Swandaru 

berusaha menyelamatkan aku” 

Widura melihat kecemasan yang membayang diwajah ayah-beranak itu. Baik Ki Demang 

Sangkal Putung maupun Swandaru agaknya tidak akan dapat merasa tenteram. Karena itu, 

maka Widura itupun menjadi iba pula kepada mereka. Sehingga tanpa sengaja ia berkata 

“Jangan cemas kakang Demang, selagi Ki Tanu Metir masih disini” 

Ki Demang terkejut mendengar kata-kata Widura itu. Bahkan Ki Tanu Metir itu sendiripun 

terkejut. Tetapi kembali Ki Demang Sangkal Putung itu menjadi kecewa. Ia menyangka bahwa 

Widura masih saja bergurau. Karena itu ia berdesah “Ah, nasib Swandaru benar-benar 

mencemaskan” 

Widura menyadari kata-katanya. Bahkan ia menyesal, bahwa Ki Demang merasa ia hanya 

bergurau saja. Maka katanya kemudian untuk meyakinkan Ki Demang Sangkal Putung itu “Aku 

berkata sebenarnya kakang Demang. Sekaligus aku minta pula keringanan hati Ki Tanu Metir 

untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama” 

Ki Demang Sangkal Putung sama sekali tidak segara dapat mengerti kata-kata itu. Sekali-sekali 

ditatapnya wajah Widura, dan sekali-sekali diamat-amatinya dukun tua itu. Sehingga akhirnya ia 

bertanya “Maksud adi, apakah apabila angger Agung Sedayu atau Swandaru dicederai oleh 

angger Sidanti, maka Ki Tanu Metir akan mengobatinya hingga sembuh?” 

Ternyata Ki Demang Sangkal Putung itu benar-benar tidak mengerti maksud Widura. dan 

sebenarnya bahwa Widura mengatakan sesuatu sebelum lawan berbicaranya siap untuk 

menerimanya. Widura mengatakan suatu hal diluar pengetahuan Ki Demang Sangkal Putung.


Tetapi, agak sulitlah bagi Widura untuk berkata terus terang tentang Ki Tanu Metir, meskipun ia 

sadar, bahwa itu harus dikatakannya. 

Setelah menimbang beberapa lama, maka kemudian Widura itupun menjawab “Ki Demang, 

biarlah Ki Tanu Metir berusaha untuk memberikan beberapa pengetahuan kepada Agung 

Sedayu dan Swandaru, sehingga mereka berdua tidak dapat dikalahkan oleh Sidanti” 

Ki Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya. Katanya dengan ragu-ragu “Angger 

Agung Sedayu barangkali dapat berbuat demikian. Sebab malahan angger Sedayu sudah 

melampaui ketinggian ilmu Sidanti. Tetapi anakku itu?” 

“Itulah yang aku maksud, kakang” sahut Widura “Biarlah Ki Tanu Metir menuntun Swandaru 

dan Agung Sedayu. Karena Agung Sedayu telah memiliki bekal yang cukup, maka biarlah 

untuk Sementara Swandaru akan mendapat perhatian lebih banyak daripada Agung Sedayu. 

Sebab ternyata bahwa dendam itu disebabkan oleh Swandaru sedang berusaha 

menyelamatkan Agung Sedayu. Sehingga karena itulah maka akupun minta dengan sangat Ki 

Tanu Metir untuk memenuhi permintaan itu” 

Ki Demang Sangkal Putung benar-benar menjadi pening mendengar keterangan Widura yang 

justru menjadikannya semakin bingung. Swandarupun tidak kalah bingungnya. Sehingga 

bahkan ia menjadi jengkel. Dengan bersungut-sungut ia berkata “Paman Widura, bahaya itu 

sebenarnya sedang mengancam kami. Aku dan kakang Agung Sedayu. Apakah dalam 

keadaan itu aku harus belajar mengobati luka-luka supaya aku sempat mengobati lukaku 

seandainya Sidanti mencelakakan aku?” 

Widura benar-benar menjadi sulit untuk mengatakan maksudnya. Sedang Ki Tanu Metir sendiri 

sama sekali tidak membantunya. Karena itu, maka katanya kemudian kepada Ki Tanu Metir “Ki 

Tanu Metir, tolonglah, jelaskanlah maksudku kepada kakang Demang dan Swandaru. dan 

katakanlah kepada kami, apakah Ki Tanu bersedia memenuhi permintaan kami. Mengambil 

Agung Sedayu dan Swandaru sebagai murid Kiai dan memberi mereka bekal keselamatannya 

dari ancaman Sidanti” 

Ki Tanu Metir mengangkat wajahnya. ditatapnya setiap orang yang duduk disekitarnya satu 

demi satu. Kemudian perlahan-lahan ia berkata “Jadi bagaimana angger Widura?” 

“Terserahlah kepada Kiai” jawab Widura. 

Ki Tanu Metir mengangguk-angguk. Kemudian kepada Widura ia berkata “Angger, permintaan 

angger aku terima dengan senang hati. Mudah-mudahan aku mampu berbuat demikian, seperti 

yang telah aku ucapkan Ki Tambak Wedi sendiri. sekarang apakah angger Agung Sedayu dan 

angger Swandaru bersedia menerima tawaran itu?” 

Agung Sedayulah yang dengan serta-merta menjawabnya “Aku sangat berterima kasih atas 

kesempatan itu Kiai” 

Tetapi Swandaru belum juga menyadari keadaannya. Ia masih merasa seakan-akan 

percakapan itu seperti senda-gurau saja. Namun meskipun demikian ia tidak berkata apa-apa, 

hanya sinar matanya sajalah yang memancarkan kebimbangan dan kebingungannya. 

Ki Tanu Metir menangkap kebimbangan dihati Swandaru itu. karena itu, maka katanya “Angger, 

aku tahu angger menjadi ragu-ragu. Mungkin angger tidak mendapat keyakinan, bahwa dengan 

belajar kepadaku, angger mungkin akan menyelamatkan diri sendiri dari bahaya yang akan 

ditimbulkan oleh Sidanti. karena itu, maka aku akan mencoba menyakinkan angger untuk 

kepentingan keselamatan angger sendiri” Ki Tanu Metir itu berhenti sesaat. Sekali lagi 

ditatapnya wajah-wajah yang ada disekitarnya. Terasa alangkah berat hatinya untuk 

mengatakan sesuatu yang terkandung didalam dadanya. Sebenarnya Ki Tanu Metir bukanlah 

seorang yang suka menunjukkan kelebihan-kelebihannya kepada orang lain. Sebenarnyalah 

bahwa apakah Swandaru percaya atau tidak, bukanlah kepentingannya. Juga seandainya 

Swandaru itu kelak akan mengalami nasib yang malang karena pokal Sidanti, itupun sama 

sekali bukan kepentingannya. Namun ia sadari bahwa seharusnyalah anak itu diusahakan 

untuk dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun Ki Tanu Metir itupun mengetahuinya, 

bahwa pertentangan antara Swandaru dan Sidanti tidak saja timbul karena persoalan Agung 

Sedayu itu. Tetapi sejak masa-masa lampau sebelumnya, pertentangan itu memang telah ada. 

Namun sebab yang langsung sekali adalah usaha Swandaru membunuh Sidanti pada saat-saat 

Sidanti hampir saja berhasil melumpuhkan Agung Sedayu. Karena itu, oleh sesuatu tekanan 

didalam hatinya yang belum pernah dikatakannya kepada orang lain, maka Ki Tanu Metir


merasa berkewajiban untuk menolong Swandaru itu, seperti ia menolong Agung Sedayu sendiri, 

karena persoalan yang bersangkut-paut. 

Dengan demikian, maka setelah berhenti sejenak, Ki Tanu Metir itu berkata “Angger Swandaru, 

sebelum angger mulai dengan mematuhi petunjuk-petunjuk yang akan aku berikan, adalah 

wajah sekali kalau angger harus menjadi yakin, bahwa orang yang dipatuhi itu akan dapat 

memberinya sesuatu. Karena itu, maka biarlah aku mencoba meyakinkan angger. Aku bukan 

sengaja untuk menunjukkan keanehan dan mungkin juga menyombongkan diri, tetapi aku tidak 

melihat cara yang lain untuk itu” 

Swandaru memandang Ki Tanu Metir tanpa berkedip. Ki Demang Sangkal Putungpun menjadi 

semakin bingung. Tetapi ia benar-benar ingin melihat, apakah yang akan dilakukan oleh Ki 

Tanu Metir itu. 

Ki Tanu Metir itupun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu dan berkata “Angger, apakah 

peristiwa yang angger saksikan tadi mampu meyakinkan angger Swandaru?” 

Agung Sedayu tahu benar maksud Ki Tanu Metir. Karena itu segera diceritakannya apa yang 

baru saja dilihatnya. Tetapi seperti juga Ki Tanu Metir, Agung Sedayu ragu-ragu, apakah 

ceritanya cukup meyakinkan tanpa melihatnya sendiri. 

Meskipun demikian, maka Agung Sedayu telah mencoba menceritakan apa yang telah terjadi. 

Pertempuran antara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Dan ternyata bahwa Kiai Gringsing itu 

adalah Ki Tanu Metir itu sendiri. 

Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan cerita itu sambil mengangguk-

anggukkan kepalanya. Mereka dapat mengerti beberapa bagian dari cerita itu. Namun 

tampaklah pada wajah Swandaru, bahwa ia masih juga ragu-ragu mendengar cerita Agung 

Sedayu. 

Mereka bukan tidak percaya pada Agung Sedayu, namun mereka sangatlah sukar utuk 

membayangkannya, bahwa hal itu dapat terjadi atas seorang dukun tua seperti Ki Tanu Metir 

itu. 

Ki Tanu Metirpun dapat menangkap keragu-raguan itu. Tetapi apakah yang dilakukannya untuk 

meyakinkan mereka itu. 

Dalam kebimbangan itu tiba-tiba terdengar Untara berkata “Aku juga mempunyai sebuah cerita. 

Apakah kau mau mendengarkan Swandaru?” 

“Tentu” sahut Swandaru kosong. 

“Baiklah” berkata Untara pula. perlahan-lahan ia bangkit dan dengan perlahan-lahan pula ia 

berjalan dan duduk disamping Ki Tanu Metir. 

“Lukaku sudah tidak berbahaya lagi” katanya. 

Swandaru dan kesempatan memandanginya dengan tegang. Cerita apakah yang akan 

dikatakan oleh Untara itu. 

“Ki Demang Sangkal Putung dan kau Swandaru” berkata Untara itu kemudian “Cerita ini adalah 

cerita tentang diriku sendiri. Cerita tentang seorang prajurit yang gagal memenuhi kewajibannya. 

Mungkin sebagian kalian telah mendengar dari Agung Sedayu, namun aku yakin bahwa pada 

saat itu paman Widura dan Agung Sedayu telah berusaha mencari aku” Untara berhenti 

sejenak. Dilihatnya tidak saja Swandaru dan ayahnya yang mendengarkannya dengan 

sungguh-sungguh. Tetapi juga Agung Sedayu dan Widura sendiri. 

“Aku kira, pada waktu itu hampir semua orang menyangka aku telah hilang. Bahkan mungkin 

orang menyangka bahwa aku telah diculik oleh gerombolan Plasa Ireng, sebab sepeninggal 

Agung Sedayu kemari, pada waktu itu datanglah Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda. Namun 

ternyata aku selamat. Didalam rumah itu hanya ada aku berdua dengan Ki Tanu Metir. Seorang 

dukun tua. Aku sedang terluka, agak parah hampir seperti lukaku sekarang. Nah, siapakah 

menurut dugaan kalian yang telah menyelamatkan aku dari tangan Plasa Ireng itu?” 

Widura dan Agung Sedayu menjadi semakin jelas akan persoalan itu. Sudah tentu Plasa Ireng 

tidak akan mampu mengambil Untara pada saat itu, sebab didalam rumah itu ada Ki Tanu Metir, 

yang kemudian menamakan dirinya Kiai Gringsing. 

Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putungpun segera dapat menjawab pertanyaan Untara itu. 

Sudah pasti Ki Tanu Metir. Namun kembali mereka tidak dapat membayangkan, apakah yang


sudah dilakukan oleh dukun tua itu untuk menyelamatkan Untara. Bagaimanakah rupanya kira-

kira kalau orang tua itu bertempur, apakah ia harus melawan Ki Tambak Wedi ataukah ia harus 

berkelahi melawan Plasa Ireng dengan beberapa orang kawannya. 

Swandaru dan Ki Demang itu benar-benar berada dalam kebimbangan dan keragu-raguan. 

Sehingga kemudian terdengar Untara berkata seterusnya “Nah, ternyata Ki Tanu Metirlah yang 

berhasil menyelamatkan aku. Setelah Ki Tanu Metir itu berhasil mengusir Plasa Ireng dan 

orangnya, maka segera akupun disembunyikannya diatas kandang kuda, sementara itu Ki Tanu 

Metir pergi menyusul Agung Sedayu. Baru setelah Ki Tanu Metir kembali, maka aku dibawanya 

pergi, mengungsi ketempat yang tak banyak dikenal orang. Dan memang tidak banyak orang 

yang akan menyangka bahwa aku disembunyikan oleh dukun tua itu. Namun sebenarnyalah 

demikian” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dadanya sudah berdebar-debar 

seandainya kakaknya mengatakan bahwa ia telah menjadi ketakutan dan hampir menjadi 

pingsan ketika kakaknya itu memaksanya pergi ke Sangkal Putung. Sehingga sampai saat 

terakhir, tidak seorangpun dari Sangkal Putung yang mengetahui, bahwa Agung Sedayu baru 

saja melampaui suatu masa yang tak pernah disangkanya akan terjadi. 

Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putungpun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun 

keragu-raguan yang bersarang didalam dada mereka, masih belum dapat mereka lenyapkan. 

Ki Tanu Metir yang melihat perasaan itupun kemudian berkata “Angger Swandaru. Aku akan 

mencoba menunjukkan beberapa permainan yang dapat meyakinkan angger. Bukan semata-

mata aku ingin dipercaya, namun semata-mata untuk memberikan dasar-dasar kepercayaan 

kepada angger Swandaru, bahwa usahanya akan tidak terlalu sia-sia. mungkin memang tidak 

akan dapat berhasil seperti yang diharapkan, misalnya, dalam waktu yang pendek akan segera 

dapat mengimbangi Sidanti, namun setidak-tidaknya ada usaha kearah itu. Mudah-mudahan 

lambat-laun akan berhasil pula, meskipun dari sedikit” 

Swandaru tiba-tiba menjadi gembira. Kalau ia akan dapat melihat apapun yang dilakukan oleh 

Ki Tanu Metir, maka ia akan dapat meyakininya apa yang dilihat itu. Dan apabila demikian, 

maka ia berjanji didalam hatinya, bahwa ia tidak akan merasa seorang murid yang tekun. 

Mudah-mudahan ia tidak akan merasa selalu terancam hidupnya oleh Sidanti sepanjang 

umurnya. 

Karena itu ketika Ki Tanu Metir mengajak mereka itu kehalaman, maka dengan serta-merta 

Swandaru itupun berdiri dan berkata “Benar-benar diluar kemampuanku untuk memikirkan apa 

yang telah terjadi itu, dan mungkin apa yang terjadi dalam permainan ini. Tetapi aku berjanji, 

bahwa aku akan menjadi seorang murid yang tekun, demi keselamatanku sendiri dan demi 

kelangsungan ketentraman didaerah ini” 

“Bagus” seis Ki Tanu Metir “Angger adalah putra seorang Demang yang akan dapat nglintir 

kekuasaan itu. Mudah-mudahan angger akan dapat membawa bekal secukupnya” 

“Terima kasih Kiai” jawab Swandaru. 

Ki Tanu Metir itupun kemudian berjalan mendahului mereka. Tetapi dimuka pintu ia berhenti. 

Sambil berpaling ia berkata “Kita ke gunung Gowok” 

Swandaru tidak peduli, apakah permainan itu dilakukan dirumah, dihalaman, atau di gunung 

Gowok. Karena itu ia menjawab “Marilah. Aku akan kut kemana Kiai akan pergi” 

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ia berjalan kehalaman. Ki 

Demang Sangkal Putung yang ingin juga melihat hal-hal yang baginya tak dapat dimengertinya 

itu ikut pula bersama Widura dan Agung Sedayu. Hanya Untara sajalah yang tinggal 

dipringgitan dan kembali ia membaringkan dirinya. 

Para penjaga regol yang melihat mereka keluar menjadi heran dan bertanya-tanya didalam hati. 

Kemanakah mereka itu pergi? Widura dan Agung Sedayu baru saja pulang dari nganglang. 

Sekarang mereka pergi lagi bersama Ki Demang, Swandaru dan Ki Tanu Metir. Apakah ada 

seseorang yang perlu segera mendapat pertolongan dukun tua itu? 

Tetapi mereka ridak bertanya terlalu banyak. Mereka hanya menyapa dan sekedar bertanya 

sepantasnya. Namun Widura yang menjawabnya hanya sekedar menjawab sepantasnya 

“Berjalan-jalan” katanya. 

Mereka itupun kemudian berjalan tergesa-gesa ke gunung Gowok. Disepanjang jalan itu,



mereka hampir tidak bercakap-cakap sepatahpun. Masing-masing sedang sibuk dengan angan-

angannya. 

Ki Tanu Metir itupun sibuk pula dengan pikirannya sendiri. adalah aneh sekali, bahwa ia 

seakan-akan memaksa seseorang untuk menjadi muridnya tidak atas permintaan anak itu 

sendiri. hal yang benar-benar menggelikan. Bahkan terpaksa ia membuktikan kepada anak itu 

sesuatu yang meyakinkannya, untuk bersedia menjadi muridnya. Tetapi ia tidak dapat menolak 

permintaan Widura. dan ia tidak dapat membiarkan anak itu hidup dalam ketakutan atas 

bayangan orang lain yang mendendamnya. Ia harus menolongnya, meskipun dengan demikian 

terjadi kejanggalan itu. 

Pada saat permulaan dari penurunan ilmu itu, Ki Tanu Metir telah melihat sesuatu yang menarik 

perhatiannya pada Swandaru. Anak itu memiliki sikap tinggi hati lebih dari Agung Sedayu. 

Mungkin terpengaruh oleh kebiasaan hidupnya sebagai seorang anak Demang, sehingga 

seakan-akan iapun memiliki pula kekuasaan yang dimiliki oleh ayahnya, Swandaru tidak segera 

menerima tawaran untuk menjadi muridnya. Namun ia meragukannya. Ia tidak ingin melihat hal-

hal yang tidak dimengertinya itu lambat laun, namun dalam kebimbangan ia menunggu, 

meskipun telah didenganya beberapa keterangna mengenai dirinya. 

Tetapi dengan demikian, maka Swandaru memnpunyai sifat yang lebih terbuka pula. ia lebih 

senang melihat dan membuktikan langsung daripada menyimpan teka-teki didalam hatinya. 

“Namun anak muda itu harus tahu” berkata Ki Tanu Metir didalam hatinya “Bahwa bukan 

kehendakku untuk mendapatkan murid-murid yang aku kehendaki, namun apa yang aku 

lakukan adalah untuk kepentingannya semata-mata, sehingga dengan demikian ia seharusnya 

tidak berbuat sekehendaknya seakan-akan tidak memerlukannya, tetapi harus benar-benar 

bertanggung-jawab bagi masa depannya sendiri” 

Tetapi Ki Tanu Metir belum dapat mengatakan itu sekarang kepada Swandaru. Mungkin Agung 

Sedayu akan segera dapat mengertinya, namun Swandaru pasti belum. Anak itu harus melihat 

sesuatu lebih dahulu, sesuatu yang dapat menarik perhatiannya dan kepercayaannya. Tetapi 

apa? 

Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Ia harus berbuat untuk menunjukkan kelebihannya dari 

orang lain. Benar-benar suatu hal yang asing baginya. “Mudah-mudahan aku tidak sekedar 

terdorong untuk menyombongkan diri” orang tua itu tersenyum didalam hati. 

Tanpa terasa merekapun kemudian sampai pula disebuah tanah lapang kecil didekat puntuk 

kecil yang bernama gunung Gowok. Widura dan Agung Sedayu sudah kenal betul dengan 

gunung itu. Kepada batang kelapa sawit diatasnya, dan kepada tanah lapang yang kecil itu. 

Jauh lebih baik dari Ki Demang Sangkal Putung itu sendiri. 

Swandaru menjadi gembira. Dilihatnya bintang-bintang yang bergantungan dilangit yang biru. 

Dilihatnya awan yang tipis bergerak lembut keutara. 

Sesaat Ki Tanu Metir berdiri termangu-mangu. Terasa sangatlah berat baginya untuk memulai 

sebuah permainan yang aneh-aneh. Mungkin ia akan dapat berbuat demikian dalam keadaan 

yang serta-merta, tetapi ketika hal itu dirancangnya lebih dahulu, maka malahan terasa menjadi 

sulit. 

Setelah sesaat mereka tegak membeku, maka Ki Tanu Metir menyadari, bahwa ia harus segera 

mulai. karena itu, maka dengan agak canggung diambilnya sepotong besi yang diselipkannya 

diikat pinggangnya. Dengan ragu-ragu ia berkata kepada Swandaru “Lihatlah ngger, mungkin 

kau kenal potongan-potongan besi semacam ini. Dengan potongan-potongan besi semacam ini 

Ki Tambak Wedi menvoba menakut-nakuti lawannya. Dengan tangannya Ki Tambak Wedi 

membengkokkan besi-besi semacam ini sehingga hampir berbentuk lingkaran, sehingga mirip 

dengan bentuk senjata yang disukainya disamping nenggalanya seperti kepunyaan Sidanti 

yang tertinggal di Sangkal Putung” 

Swandaru tidak menjawab. ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia menunggu 

apa yang akan dilakukan oleh Ki Tanu Metir atas potongan besi itu. 

Orang-orang yang berdiri tegak itupun kemudian melihat, Ki Tanu Metir menggenggam besi itu 

erat-erat, kemudian dengan kekuatan tangannya sepotong besi itu dilengkungkannya hampir 

berbentuk sebuah lingkaran. Widura dan Agung Sedayu menahan nafasnya. Terlebih-lebih 

Widura. ia pernah melihat Ki Tambak Wedi menakut-nakutinya dengan permainannya


semacam itu. 

Tetapi mereka terkejut ketika Swandaru itu berkata “Kiai, apakah aku tidak dapat 

melakukannya?” 

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mau mengecewakan Swandaru. Besi 

yang lengkung itu diluruskannya kembali dan diberikannya kepada Swandaru “apakah angger 

ingin mencoba?” 

Swandaru menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab “Biarlah aku mencobanya 

Kiai” 

Swandaru kemudian menerima potongan besi itu. Sesaat ia diam. Dipandanginya Ki Tanu Metir 

dan potongan besi itu berganti-ganti. 

“Silakan ngger, silakan mencoba” 

Swandaru itu masih berbimbang hati. Tetapi kemudian dicobanya melakukan seperti apa yang 

baru saja diperbuat oleh Ki Tanu Metir. 

Ketika ia mencoba melengkungkan besi itu, Swandaru benar-benar terkejut. Disangkanya 

pekerjaan itu amat mudahnya. Karena itu, maka dikerahkannya segenap kekuatan yang ada 

padanya. Dengan menggertakkan giginya, kedua tangannya menekan potongan besi itu. 

Ternyata kekuatan Swandarupun benar-benar menakjubkan. Besi itu seakan-akan menggeliat, 

dan kemudian perlahan-lahan membengkok. Tetapi hanya sedikit sekali. 

Nafas Swandaru menjadi terengah-engah. Ternyata kekuatannya yang dibangga-

banggakannya selama ini hanya mampu membengkokkan besi itu sedikit saja. Itupun telah 

dikerahkan tenaganya sebesar-besar mungkin. Sedang Ki Tanu Metir nampaknya dapat 

berbuat demikian mudahnya, bahkan kedua ujung dan pangkalnya menjadi hampir bertemu. 

“Bagaimana ngger?” bertanya Ki Tanu Metir kemudian. Swandaru menyerahkan potongan besi 

itu kembali sambil berkata “Aku tidak mampu Kiai” 

Ki Tanu Metir tersenyum. Dilihatnya mata Swandaru selalu memandanginya. Dari pandangan 

mata itu Ki Tanu Metir melihat kepercayaan yang mulai tumbuh didalam hati Swandaru. Namun 

kepercayaan itu belum cukup meyakinkannya, bahwa Ki Tanu Metir benar-benar memiliki 

kelebihan seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Sebenarnyalah bahwa Swandarupun 

belum pernah melihat kelebihan Ki Tambak Wedi dari orang lain. Tetapi Swandaru telah 

mempercayainya. Ia percaya karena ia melihat kelebihan Sidanti, murid Ki Tambak Wedi itu, 

selain setiap orang menyebutnya sebagai seorang yang paling ditakuti disekitar gunung Merapi. 

Swandaru percaya karena hampir setiap mulut telah mengucapkannya. Sedang Ki Tanu Metir 

adalah seorang yang sama sekali tak dikenal sebelumnya. 

Ki Tanu Metir menyadari keadaan itu. Ketenaran seseorang berpengaruh juga bagi 

kepercayaan orang lain terhadapnya. Meskipun ketenaran belum tentu menunjukkan ukuran 

sebenarnya dari seseorang. Namun Ki Tanu Metir tidak mengingkari pendapat itu. Karena itu, 

maka ia masih harus mendapatkan kepercayaan lebih banyak lagi dari calon muridnya itu. 

Namun setiap ia akan mulai, maka keragu-raguannya tumbuh kembali didadanya. Permainan 

yang manakah yang sepantasnya dipertunjukan. Apakah ia mengajak saja Agung Sedayu atau 

Widura bertempur atau berdua bersama-sama. Tetapi Ki Tanu Metir akan tetap merasakan 

kebimbangan Swandaru seandainya Swandaru merasa bahwa Widura dan Agung Sedayu telah 

bersama-sama bersetuju. Kalau demikian, maka sebaiknya Swandaru itu sendiri yang 

melakukannya. 

Tetapi sudah tentu, bahwa permainan itu tidak harus merupakan perkelahian. karena itu, maka 

berkatalah Ki Tanu Metir kepada Swandaru “Kau telah melihat pameran dengan kekuatan 

ngger. Tetapi tidak selalu bahwa kelebihan kekuatan pada seseorang akan dapat 

menyelamatkannya dari orang lain yang lebih lemah daripadanya. Kesempatan kelincahan 

seseorang juga akan turut menentukannya. Nah, sekarang marilah kita melihat, apakah kita 

cukup memiliki kelincahan” 

Sebelum menjawab, maka Ki Tanu Metir itu kemudian mencari beberapa buah batu. Batu 

itupun kemudian diletakkannya dalam sebuah lingkaran yang tidak terlalu besar. Kemudian 

katanya kepada Swandaru “Nah, marilah kita bermain kejar-kejaran. Apakah angger Swandaru 

mampu menyentuh aku didalam lingkaran ini? Kalau aku meloncat terlalu jauh keluar lingkaran 

atau apabila angger Swandaru berhasil menyentuh tubuhku, maka aku telah angger kalahkan


Swandaru mengerutkan keningnya. Permaian ini adalah permainan anak-anak saja nampaknya. 

Karena itu maka ia menjadi ragu-ragu. Sehingga Ki Tanu Metir itu mendesaknya “Marilah ngger. 

Kejarlah aku” 

Swandaru menarik nafas. Meskipun demikian dicobanya juga untuk menyentuh Ki Tanu Metir 

didalam lingkaran itu. Mula-mula ia merasa bahwa Ki Tanu Metir terlalu menganggap dirinya 

sebagai anak-anak. Karena itu maka dilakukannya permintaan Ki Tanu Metir itu dengan segan-

segan. Ia berjalan saja mendekati orang tua itu, dan dengan loncatan-loncatan dicobanya 

menyentuh tubuhnya. Tetapi semakin lama Swandaru itupun menjadi semakin jengkel. Telah 

berkali-kali ia mencobanya, tetapi setiap kali orang tua itu selalu menghindarinya. Karena itu 

semakin lama Swandaru menjadi semakin bernafsu. Lingkaran itu tidak terlalu lebar. Ia tinggal 

mengejar dan menyentuh tanpa takut-takut untuk mendapat serangan atau apapun dari orang 

tua itu. Tetapi ia tidak pernah berhasil. Semakin cepat ia bergerak, maka orang tua itu menjadi 

semakin cepat pula. sekali-sekali merunduk, namun disaat yang lain meloncat tinggi-tinggi. 

Bahkan ketika Swandaru telah benar-benar kehilangan kesabarannya, dan dengan sepenuh 

tenaganya ia mengejarnya, maka Ki Tanu Metir itu benar-benar telah membingungkannya. 

Sekali-sekali ia bahkan kehilangan orang tua itu. Baru ketika orang tua itu memanggilnya, 

disadarinya, bahwa orang tua itu telah berada dibelakangnya. 

Ternyatalah kemudian bahwa bukan Swandaru yang berhasil menyentuh Ki Tanu Metir. Tetapi 

berkali-kali Ki Tanu Metirlah yang menggamitnya sambil menghitung “Satu, dua, tiga……” dan 

setiap sentuhan maka Ki Tanu Metir menambah hitungannya. Ketika hitungan Ki Tanu Metir 

telah sampai bilangan keduapuluh lima, maka ia berkata “Kalau kita bertaruh ngger, setiap 

sentuhan sebutir kelapa, maka duapuluh lima butir angger harus membayar” 

Akhirnya Swandaru itupun berhenti. Nafasnya benar-benar terengah-engah. Ia berdiri sambil 

bertelekan dengan kedua tangannya pada pinggangnya. Dan dengan parau ia berkata “Tidak 

dapat. Tidak dapat Kiai” 

Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Sederhana sekali. Tetapi 

dengan permainan yang sederhana itu, Ki Tanu Metir benar-benar telah menunjukkan kekuatan 

dan kelincahan yang luar biasa. 

Ki Demang Sangkal Putung yang telah memiliki pengalaman yang jauh lebih panjang dari 

Swandaru segera melihat, bahwa Ki Tanu Metir adalah seorang yang sakti namun penuh 

kesederhanaan. Ia tidak menunjukkan kelebihannya dengan cara-cara yang mengejutkan dan 

mengerikan, namun dengan cara yang sangat sederhana. Dan dengan demikian, maka Ki 

Demang itupun segera memahami, bahwa sifat-sifat itulah sebenarnya sifat Ki Tanu Metir. 

Bukan orang yang sesongaran dan terlalu membanggakan kelebihannya. 

Namun berbeda dengan Swandaru sendiri, Swandaru adalah anak muda yang sedang 

berkembang. Angan-angannya membumbung tinggi keatas awan dilangit yang biru. Tak pernah 

ia puas melihat keadaan sekitarnya. Ia ingin segalanya yang serba besar, dahsyat dan 

mengejutkan. Karena itulah maka ia sama sekali belum puas dengan apa yang dilihatnya itu. 

Meskipun ternyata bahwa ia tidak mampu menyentuh ujung baju Ki Tanu Metir, namun tidak 

demikianlah kesaktian seseorang menurut angan-angannya. Seorang yang sakti harus mampu 

berbuat sesuatu yang dahsyat dan mengerikan. Memukul seekor lembu dengan tangannya 

sehingga pecah kepalanya. Ia sama sekali tidak puas dengan main-main kejar-kejaran, 

meskipun dengan demikian ia dapat melihat kelincahan dan kecepatan bergerak Ki Tanu Metir. 

Ki Tanu Metir yang melihat Swandaru itu berdiri dengan nafas terengah-engah segera bertanya 

“Bagaimana angger Swandaru. apakah angger dapat memahami apa yang angger lihat?” 

“Tetapi dalam keadaan bahaya Kiai” jawab Swandaru “Kita tidak hanya sekedar berlari-lari dan 

menghindarkan diri. Namun kita harus dapat melumpuhkan lawan. Apakah dengan berlari-lari 

dan menghindar kita akan mampu menjatuhkan musuh-musuh kita?” 

Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya “Yang paling baik bagi kita 

ngger, adalah menyelamatkan diri kita. Apakah kita harus selalu menjatuhkan lawan kita dalam 

setiap pertempuran?” 

Swandaru menjadi semakin tidak mengerti. Lalu apakah artinya pertempuran kalau kita hanya 

sekedar menghindarkan diri dengan berlari-lari saja? Karena itu maka ia bertanya “Jadi, apakah 

dengan berlari-lari menghindar persoalan akan selesai? Tidak Kiai. Misalnya Sidanti itu. Kalau 

suatu ketika aku bertemu dengan Sidanti, dan ia menyerangku, apakah aku hanya akan


mampu melarikan diri, atau katakanlah menyelamatkan diriku sendiri. Apakah dengan demikian 

persoalanku dengan Sidanti selesai? Bagaimanakah kalau aku bertemu disaat yang lain?” 

“Jadi bagaimana?” bertanya Ki Tanu Metir. 

“Kalau aku bertempur” sahut Swandaru dengan nada yang berat “Maka aku harus dapat 

menghindari serangan lawan dan harus pula dapat membinasakan lawan” 

Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas. Katanya “Jadi angger harus dapat membinasakan 

lawan dalam artian membunuhnya atau bagaimana?” 

“Ya, demikianlah seharusnya” 

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia melihat perbedaan yang tajam 

antara Swandaru dan Agung Sedayu. Meskipun keduanya anak muda, dan bahkan mungin 

sebaya, namun keduanya memandang persoalan-persoalan yang harus dihadapinya dengan 

cara berpikir berbeda. Swandaru, seorang anak yang bertubuh kokoh kuat dengan bekal yang 

keras dan tegang dalam masa-masa pancaroba. Ketika anak itu meningkat dewasa, maka ia 

dihadapkan pada kekisruhan yang melanda kademangannya. Dalam pada itu ia hanya 

mendapat tuntunan lahiriah semata-mata. Berlatih untuk bertempur. Membinasakan lawan 

kalau tidak ingin dibinasakan. Sehingga semboyan yang ada padanya adalah, dibinasakan atau 

membinasakan. Tidak ada orang yang memberinya petunjuk, bahwa membinasakan lawan 

tidak selalu harus membunuhnya. Seorang yang dapat membinasakan lawan dalam tekad dan 

tujuannya yang salah, dan menjadikannya orang yang baik sehingga menyadari kesalahannya, 

untuk seterusnya menghentikan perbuatan-perbuatan itu, dapat juga dianggap sebagai usaha 

yang berhasil, meskipun tanpa membunuhnya. 

Tetapi ia tidak dapat memberitahukan hal itu sekarang. Dan sudah pasti, bahwa Swandaru 

tidak akan segera dapat mengerti. Pengertian tentang hal semacam itu, sudah tentu diperlukan 

waktu. Dan Ki Tanu Metir itu menyadari, bahwa waktu yang diperlukan untuk Swandaru akan 

jauh lebih banyak dari waktu yang diperlukan untuk Agung Sedayu. Swandaru pasti 

menganggap hal yang demikian sebagai suatu kelemahan atau bahkan mungkin sifat-sifat 

cengeng. 

Namun banyaklah contoh-contoh yang akan dapat diberikannya. Seorang penjahat dan liar 

pada suatu ketika akan dapat menjadi seorang alim yang berbudi. Yang bertobat dengan tulus 

dan menjadi seorang hamba Tuhan yang baik. Kesadaran yang demikian akan dapat terjadi 

dalam banyak persoalan. Dalam persoalan yang bersifat pribadi maupun persoalan yang lebih 

luas, sebagaimana yang dihadapi oleh Widura. Para pengikut Arya Penangsang sampai saat itu, 

masih belum mengakui keadaan yang dihadapinya. Sehingga karena itu maka mereka 

terperosok kedalam perbuatan-perbuatan tercela. Bukan sebagai seorang prajurit yang 

memanggul cita-cita kenegaraan yang tinggi, tetapi kesempatan sebagai gerombolan-

gerombolan yang menakut-nakuti rakyat. 

Apa yang terjadi dihadapan Swandaru itulah yang mendorongnya dalam masa pancaroba itu, 

berangan-angan tentang kejantanan, kekerasan dan kemenangan-kemenangan yang tampak 

oleh mata. Ki Tanu Metirpun menyadari, bahwa tekad yang demikian tidak boleh dipatahkan, 

tetapi harus mendapat penyaluran yang wajar. Perlahan-lahan. Karena itulah maka Ki Tanu 

Metir itupun kemudian tidak mempunyai pilihan yang lain untuk memenuhi harapan Swandaru, 

meskipun tidak berlebih-lebihan. Ia harus dapat memberikan suatu contoh yang tepat menurut 

selera anak muda dari Sangkal Putung itu. Tetapi apakah yang dapat dipertunjukkan 

dihadapannya. Dihadapan Swandaru dan orang-orang lain. Apakah ia harus mematahkan 

pedang dengan jari-jarinya atau memukul kelapa sawit itu hingga roboh dengan telapak 

tangannya? 

Tetapi bagaimanapun juga Ki Tanu Metir harus melakukannya. Kali ini Ki Tanu Metir tidak mau 

berbuat menurut seleranya. Ia harus dapat memenuhi selera Swandaru. Karena itu, maka lebih 

baik baginya untuk bertanya saja, katanya “Angger Swandaru, kalau angger tidak puas dengan 

permainan kejar-kejaran itu maka permainan apakah yang angger senangi?” 

Swandarupun tertegun diam. Ia sendiri menjadi bingung. Sejak lama ia mengangan-angankan 

untuk menjadi seorang jantan yang tidak dapat dikalahkan. Tetapi yang bagaimana? Ketika ia 

mendengar pertanyaan itu, maka iapun menjadi bimbang. Ia tahu apa yang dimaksudkannya, 

tetapi ia tidak dapat mengatakan. 

Karena itu, maka Swandaru itupun berkata dengan jujur “Kiai, aku sebenarnya hanya ingin


menjadi laki-laki yang sakti. Mungkin seperti Ki Tambak Wedi, atau setidak-tidaknya seperti 

kakang Untara, atau yang lain-lain yang dapat memenangkan pertempuran-pertempuran dan 

perkelahian-perkelahian” 

Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kehormatan yang diidam-idamkan oleh 

Swandaru ternyata adalah kemenangan jasmaniah. Kemenangan-kemenangan dalam 

perkelahian-perkelahian dan pertempuran. Ia sama sekali tidak mengangankan kemenangan 

lain yang dapat dicapainya tanpa perkelahian dan pertempuran. Tetapi Ki Tanu Metir 

menghargai kejujurannya. Swandaru itu berkata apa saja yang dipikirkannya. Karena itu, maka 

Ki Tanu Metir masih mempunyai harapan, bahwa kelak Swandaru itu akan dapat dituntunnya 

sedikit demi sedikit. 

Kali ini, Ki Tanu Metir benar-benar harus menunjukkan ketangkasannya berkelahi. Tidak ada 

pilihan lain. Tetapi bagaimana? 

Tiba-tiba orang yang tampaknya demikian lemahnya, berjalan tersuruk-suruk dan dahi yang 

berkerut-kerut itu meloncat dengan garangnya. Dengan lantangnya ia berkata “He angger 

Widura, cabutlah pedangmu. Berdua dengan Agung Sedayu. Tidak, ayolah bertiga dengan 

Swandaru. cepat sebelum aku melukai kalian dengan senjataku ini” 

Hampir tak terlihat oleh mata mereka, Ki Tanu Metir tiba-tiba telah menggenggam sebuah 

cambuk kecil yang berjuntai beberapa cengkang. Bukan cambuk yang dipakainya bertempur 

melawan Ki Tambak Wedi. tetapi cambuk ini agak lebih kecil. 

Tetapi gerak Ki Tanu Metir itu benar-benar mengejutkan. Tiba-tiba saja ia sudah menyerang 

dengan senjatanya. Letusan cambuk itu meledak-ledak ditelinga Swandaru seperti letusan-

letusan bambu sebesar paha yang termakan api. Swandaru benar-benar terkejut melihat 

gerakan dan serangan yang tiba-tiba itu. Tanpa disadarinya segera ia mencabut pedangnya. 

Dan dengan serta-merta iapun bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang. 

Widura dan Agung Sedayupun segera menarik pedangnya. Meskipun agak segan-segan juga, 

namun mereka terpaksa menuruti kehendak itu. Sebab dengan demikian, maka mereka telah 

membantu meyakinkan Swandaru terhadap kelebihan Ki Tanu Metir. 

Tetapi kembali Swandaru terkejut bukan kepalang, sebelum ia sempat berbuat apa-apa, maka 

terasa seakan-akan sebuah sambaran menyentuh pedangnya. Ternyata ujung cambuk Ki Tanu 

Metir telah membelit pedangnya. Sebuah sentakan telah merenggut pedang itu dari tangannya. 

Sesaat Swandaru tegak seperti patung. Dilihatnya pedangnya terlempar dan jatuh beberapa 

langkah daripadanya. Demikian kagumnya ia melihat kecepatan itu, sehingga untuk sesaat ia 

tidak bergerak seperti tonggak. 

“Kenapa pedangmu kau lepaskan” bertanya Ki Tanu Metir 

Swandaru tidak menjawab. namun ia segera menyadari keadaannya. Dilihatnya kini Widura dan 

Agung Sedayu telah menyerang Ki Tanu Metir itu dengan pedang masing-masing. Namun 

serangan keduanya seakan-akan sama sekali tidak berarti bagi Ki Tanu Metir. Dengan 

berloncatan serangan kedua orang itu dengan mudahnya dihindari. 

“Mereka tidak bersungguh-sungguh” pikir Swandaru. “Aku akan membuktikan bahwa Swandaru 

bukan tikus yang kagum melihat kucing menari-nari” 

“Beri kesempatan aku mengambil senjataku” teriak Swandaru. 

“Ambillah” sahut Ki Tanu Metir sambil melayani Agung Sedayu dan Widura. 

Ki Tanu Metir itupun kemudian berkata pula “Marilah Ki Demang kita bermain-main” 

Ki Demang belum lagi selesai mengelus dadanya. Tidak disangkanya bahwa dukun tua itu 

benar-benar mampu bergerak selincah burung sikatan menghadapi ujung-ujung pedang. Tetapi 

ia tersadar ketika Swandaru berbisik “Mereka hanya pura-pura. Mari ayah, kita buktikan, 

apakah benar-benar Ki Tanu Metir bukan hanya seorang dukun saja” 

Mula-mula Ki Demang Sangkal Putung merasa segan pula. tetapi ketika ia melihat Widura 

menggerakkan pedangnya seperti baling-baling dan melibat Ki Tanu Metir sejadi-jadinya, maka 

perlahan-lahan Ki Demang itupun menarik pedangnya pula. 

Kini mereka bertiga menghadapi Ki Tanu Metir dengan pedang ditangan. Swandarupun 

kemudian dengan tergesa-gesa memungut pedangnya pula. dengan hati-hati ia segera 

mendekati lingkaran pertempuran itu untuk mencoba menunjukkan bahwa iapun memiliki


kekuatan yang dapat dibanggakan. Kalau sekali lagi ujung cemeti itu membelit pedangnya, 

maka pedang itu akan dipertahankan dengan kekuatannya. Meskipun Ki Tanu Metir itu memiliki 

kekuatan yang berlebihan, apakah ia dapat segera merebut pedangnya, sedangkan orang-

orang lain akan menyerangnya? Setidak-tidaknya ayahnya, apabila Widura dan Agung Sedayu 

hanya berpura-pura saja. 

Tetapi sekali lagi Swandaru itu terkejut bukan kepalang. Baru saja ia mengacungkan ujung 

pedang itu, tiba-tiba sekali lagi pedangnya meloncat dari tangannya. Dan sekali lagi ia 

mendengar Ki Tanu Metir itu berkata “Jangan lepaskan Swandaru” 

Swandaru menggeram. Berlari-lari ia memungut pedangnya. Kali ini ia tidak bernafsu untuk 

menyerang. Digenggamnya pedangnya erat-erat. Tetapi kali ini ia benar-benar menjadi bingung. 

Ketika terasa ujung cambuk Ki Tanu Metir menarik pedangnya, maka pedang itu 

dipertahankannya. Namun sebuah tarikan yang kuat telah membantingnya terjerebab. 

Tertatih-tatih Swandaru segera berusaha bangun. Sekali lagi menggeram. Swandaru merasa 

bahwa tarikan ujung cambuk itu terlalu tiba-tiba dan menyentak, sedangkan ia menggenggam 

pedangnya terlampau erat, sehingga ia tertarik kedepan dan kehilangan keseimbangan. 

Ketika ia tegak berdiri, dilihatnya Ki Tanu Metir masih sibuk melayani Widura, Agung Sedayu 

dan Ki Demang Sangkal Putung. Bukan main panas hati Swandaru Geni itu. Ternyata bahwa 

tiga kali ia kehilangan senjatanya, dan bahkan yang terakhir kalinya ia terpaksa jatuh terjerebab 

mencium tanah. 

Dengan lengan bajunya, Swandaru membersihkan debu yang melekat diwajahnya. Bajunyapun 

menjadi kotor pula karenanya. Namun semuanya itu tak dihiraukannya. Kali ini ia benar-benar 

akan mempertahankan dirinya dari tarikan cambuk itu. Betapapun kuatnya Ki Tanu Metir, 

namun apabila ia benar-benar bertahan, maka ia pasti bahwa ujung cambuk yang kecil itu akan 

terputus oleh tajam pedangnya, meskipun terbuat dari janget tenatelon sekalipun. 

karena itu, maka kini Swandaru memungut pedangnya sekali lagi. Digenggamnya pedang itu 

erat-erat. Dengan hati-hati ia berjalan ketitik pertempuran, dan diacungkannya pedangnya 

kearah Ki Tanu Metir. Dengan sepenuh tenaga ia memegang hulu pedangnya. Sedang kedua 

kakinya yang melangkah setengah langkah ditekuk pada lututnya sedikit. Kini Swandaru berdiri 

rendah. Pedangnya teracung kearah Ki Tanu Metir. Namun Swandaru itu sama sekali tidak 

bergerak. Kakinya seakan-akan menghunjam jauh kedalam tanah, sehingga anak muda itu kini 

seakan-akan sebuah pokok dari sebatang pohon yang berakar jauh kepusat bumi. 

“Kali ini aku akan bertahan sekuat-kuat tenagaku” kata Swandaru didalam hatinya. Sehingga 

dengan demikian maka Swandaru itu memusatkan segenap kekuatannya pada genggaman 

pedangnya serta kedua belah kakinya. 

Beberapa saat ia melihat pertempuran itu masih berlangsung. Sebenarnya bahwa Ki Tanu Metir 

sangat lincah dan cekatan diluar dugaan. Orang tua yang tampaknya tidak memiliki daya gerak 

sama sekali itu ternyata seorang yang dapat bergerak secepat kilat menjilat langit dan memiliki 

tenaga sekuat tenaga raksasa. Meskipun demikian, Swandaru masih tetap bertekad untuk 

bertahan dari kemungkinan yang keempat. Pedangnya terjatuh atau dirinya terjerebab. 

Tetapi kembali Swandaru itu terkejut. Kali ini Ki Tanu Metir itu tidak menyerangnya, mencabut 

pedang dari tangannya atau menariknya jatuh. Tiba-tiba Swandaru itu menjadi bingung ketika 

Ki Tanu Metir itu bertanya kepadanya “Swandaru, dengan berdiri mematung seperti itu, kau 

tidak akan dapat mengalahkan lawanmu. Betapa lemahnya lawanmu itu, maka ia akan dengan 

leluasa mencoba menyerangmu dari arah yang dipilihnya. Sedang engkau sendiri hanya tegak 

saja seperti sebuah tonggak. Kenapa?” 

Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya. Sesaat Swandaru tidak dapat menjawab. bahkan 

wajahnya menjadi merah. Dadanya bergelora dan berbagai perasaan berkecamuk didalam 

hatinya. Tetapi kemudian ia menyadari kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Ia tidak dapat 

bertempur dengan caranya itu. Berdiri diam tanpa bergerak. 

karena itu, maka tiba-tiba Swandaru itu segera meloncat, menyerbu kedalam pertempuran itu. 

Digerakkan pedangnya dengan garangnya, terayun-ayun menggetarkan. Tetapi sekali lagi 

pedangnya terlempar jatuh beberapa langkah daripadanya. 

Kali ini Swandaru benar-benar terpaku ditempatnya. Kenapa hal itu dapat terjadi? Namun 

dengan demikian, benar-benar ia mendapatkan suatu keyakinan akan kecepatan bergerak Ki 

Tanu Metir itu. Dalam perkelahian itu, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan sama sekali


untuk mencoba melawan Ki Tanu Metir. Ia sama sekali tidak mendapatkan waktu sekejappun 

untuk ikut serta dalam pertempuran itu. Sehingga dengan demikian, maka tiba-tiba Swandaru 

berkata “Aku tidak akan mengambil pedangku kembali.” 

Ki Tanu Metir tersenyum dalam hati. Tetapi terdengar ia bertanya “Kenapa ngger?” 

“Hem” Swandaru menarik nafas panjang-panjang. Jawabnya “Tak ada gunanya” 

“Jadi bagaimana?” bertanya Ki Tanu Metir. 

“Ya bagaimana? Aku sama sekali tidak sempat berbuat apa-apa.” 

Ki Tanu Metir itupun kemudian meloncat beberapa langkah kebelakang sambil berkata 

“Sudahlah. Kita akhiri pertempuran ini. Angger Swandaru telah menjadi jemu.” 

Perkelahian itupun segera berakhir. Widura dan Agung Sedayu tidak dapat menahan geli 

hatinya melihat Swandaru berdiri bertolak pinggang. Wajahnya berkerut-kerut dan bibirnya 

bergerak-gerak meskipun ia tidak berkata apapun juga. 

“Bagaimana? Bertanya Ki Demang Sangkal Putung pada anaknya. 

Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya bersungguh-sungguh “Aku tidak ikut 

apa-apa. Sama sekali tidak.” 

“Kenapa?” bertanya Widura sambil tertawa. 

Sekali lagi Swandaru menggelengkan kepalanya. Pipinya yang gembung itu bergerak-gerak 

lucu sekali. Namun kini ia telah mendapatkan suatu keyakinan di dalam hatinya, bahwa Ki Tanu 

Metir benar-benar orang yang luar biasa. Tetapi meskipun demikian, selera Swandaru agak 

berbeda dengan apa yang dilihatnya. Ia adalah seorang yang memiliki kekuatan jasmaniah 

yang besar sekali. Tubuhnya yang besar dan hampir bulat itu, baginya terlalu sulit untuk 

bergerak cepat. Karena itu, maka ingin sekali ia melihat Ki Tanu Metir melakukan suatu 

perbuatan yang dapat menggetarkan dadanya. Namun ia tidak berani mengatakannya. 

Disimpannya saja keinginan dalam hatinya. “Mungkin suatu ketika aku akan melihatnya, atau 

barangkali Ki Tanu Metir hanya mampu berbuat seperti itu. Membanggakan kecepatan gerak 

tanpa dasar kekuatan?“ Namun kemudian katanya didalam hatinya “Tetapi Ki Tanu Metir 

mampu melengkungkansepotong besi.” 

Swandaru itu menggeleng kepalanya kembali. Diakuinya kekuatan Ki Tanu Metir. Tetapi hatinya 

bertanya pula “Aku kurang puas. Aku kurang puas. Kenapa Ki Tanu Metir tidak mau 

menggempur padas itu sampai pecah.” 

Tetapi Swandaru tidak mengatakan ketidakpuasannya. Ketidakpuasan itu disimpannya saja 

didalam hatinya. 

Berbeda dengan Ki Demang Sangkal Putung. Demang itu menjadi benar-benar kagum melihat 

Ki Tanu Metir itu. Orang itu ternyata memiliki ketangkasan yang benar-benar tidak dibayangkan 

sebelumnya. Kekaguman Ki Demang Sangkal Putung tidak saja karena Ki Tanu Metir mampu 

bergerak dengan kecepatan yang tidak dimengertinya, sehingga Swandaru sama sekali tidak 

mendapat kesempatan untuk bermain pedang, tetapi orang tua itu kagum juga akan cara Ki 

Tanu Metir untuk menunjukkan kelebihannya. Terasa bahwa usaha Ki Tanu Metir untuk 

memperlihatkan kepada orang lain, tidak terlalu berlebih-lebihan. Tanpa sikap sombong dan 

tidak menunjukkan kesadaran diri akan kelebihan-kelebihannya. Sikap yang dalam 

keseluruhannya benar-benar jarang ditemuinya. Sederhana, berilmu tinggi dan keseimbangan 

perasaan dan pikiran. 

Orang-orang yang berada dilapangan kecil itu terkejut ketika mereka mendengar kokok ayam 

jantan yang bersahut-sahutan. Bintang-bintang yang berjejal-jejal dilangit, satu demi satu telah 

menghilang. Sedang ditimur membayang warna semburat merah mengusap langit yang biru 

kehitaman. 

“Hampir fajar” desis Ki Tanu Metir. 

“Apakah permainanmu ini sudah cukup? Bertanya Widura kepada Swandaru. 

Swandaru mengangguk kepalanya. Jawabnya “Sementara sudah cukup paman.” 

“Sementara?” ulang ayahnya. 

Swandaru tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya. Namun hatinya menyahut “Ya. 

Sementara. Aku ingin melihat kedasyatan tenaga Ki Tanu Metir. Menggugurkan gunung atau 

mengeringkan lautan. Dasyat. Tidak sekedar kelincahan dan kekuatan yang diam seperti


melengkungkan sepotong besi. Tetapi kekuatan yang hiduo. Yang menggetarkan dada ini.” 

Namun kata-kata itu sama sekali tidak terloncat dari bibirnya. 

“Nah, apakah kita dapat kembali sekarang?” bertanya Ki Tanu Metir. 

Semuanya mengiakan. Mereka segera akan melakukan kewajiban ibadah mereka. 

Ketika fajar merekah, maka burung-burung liar terdengar berkicauan seakan-akan berebut 

keras meneriakkan selamat pagi. Cahaya matahari yang cerah melontar mengusap ujung-ujung 

pepohonan yang hijau segar. Dilangit awan yang putih berhamburan mengalir ke utara didorong 

oleh angin ngarai. 

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu tegak berdiri disamping kandang 

kuda dibelakang rumah Kademangan. Ditatapnya cahaya matahari yang bermain-main diatas 

tanah yang kering seperti berloncat-loncatan berkejaran. 

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Hampir saja kepalanya dipecahkan oleh Sidanti 

dihalaman ini, disamping kandang kuda itu. Namun kini ia akan mendapat kesempatan yang 

lebih banyak untuk mematangkan diri sendiri. Ki Tanu Metir yang dikaguminya itu telah berjanji 

untuk menjadikannya seorang murid. 

“Mudah-mudahan aku dapat menjadi seorang murid yang baik” gumamnya. 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sendirinya. Ia mencoba memahami 

kata-kata Ki Tanu Metir kepada Swandaru semalam. Dan ia dapat mengertinya. 

Agung Sedayu itu kemudian berpaling ketika ia mendengar gerit senggot diatas sumur. 

Dilihatnya seorang gadis mengambil air dari sumur itu. Dada Agung Sedayu terasa berdesir. 

Gadis yang sudah sering kali dilihatnya itu tiba-tiba menjadi bertambah segar dalam siraman 

cahaya matahari pagi yang bermain-main ditubuhnya. Tubuh yang bulat segar. Tubuh yang 

kuat seperti tubuh kawan-kawannya gadis pedesaan yang tidak saja duduk bersolek didalam 

biliknya tetapi juga bekerja keras membantu ayah bundanya. 

Perlahan-lahan Agung Sedayu berjalan menghampirinya. Ketika gadis itu berpaling, maka 

Agung Sedayu tersenyum kepadanya “biarlah aku membantumu” 

“Jangan Tuan” sahut Sekar Mirah “Biarlah aku mengambil air sendiri.” 

Panggilan itu terasa asing baginya kini. Tiba-tiba ia sama sekali tidak senang mendengar 

sebutan itu. Karena itu, maka katanya “Mirah. Jangan panggil aku demikian. Biarlah kita yang 

menghuni rumah ini bersikap akrab. Seperti Swandaru kini tidak lagi diperkenankan bersikap 

terlalu hormat”. 

Sekar Mirah menundukkan wajahnya. Dilihatnya bayangannya didalam sumur. Bayangan 

seorang gadis remaja yang segar gembira. Tetapi bayangan itu kemudian pudar dan lenyap 

ketika upihnya menyentuh permukaan air itu. 

“Bagaimana aku harus menyebut tuan?” bertanya Sekar Mirah tanpa berpaling. 

“Bertanyalah pada Swandaru.” sahut Agung Sedayu “Bagaimana ia menyebut aku sekarang.” 

“Ah” Sekar Mirah itu tersenyum. Diangkatnya takir upihnya keatas. Dan dituangkannya air dari 

takir upih sebesar bejana itu kedalam kelentingnya. 

“Marilah, aku ambilkan air untukmu” berkata Agung Sedayu. 

“Jangan tuan” jawab Sekar Mirah 

“Jangan panggil demikian” 

“Bagaimana?” 

“Bertanyalah pada kakakmu” 

“Baik, aku akan merubah panggilan itu nanti kalau aku telah bertemu dengan kakang Swandaru. 

Bukankah sekarang aku belum tahu bagaimana aku harus memanggil tuan?” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya bertanya “Kenapa 

bukan orang lain yang mengambil air ini?. Bukan pembatu-pembatumu?” 

“Tak ada bedanya” sahut Sekar Mirah 

Agung Sedayu terdiam. Ditatapnya sekali lagi Sekar Mirah yang sedang menimba air itu seperti 

baru sekali dilihatnya


Sekar Mirah yang merasa selalu diperhatikan oleh Agung Sedayu menjadi segan. Sehingga 

katanya kemudian “Tuan, apakah yang aneh padaku?” 

“Oh” wajah Agung Sedayu menjadi kemerah-merahan. Cepat-cepat ia berpaling sambil berkata 

“Tak ada. Tak ada yang aneh padamu. Tetapi aku ingin membantumu mengambil air” 

“Tak usah” sahut Sekar Mirah 

Agung Sedayu tidak lagi memaksanya. Dibiarkannya Sekar Mirah menimba air. Mengisi 

kelentingnya dan kemudian menjinjingnya pada lambungnya. 

“Berat?” bertanya Agung Sedayu 

Sekar Mirah menggeleng lemah “Tidak” jawabnya “Aku sudah biasa mengambil air” 

Agung Sedayu tidak berkata-kata lagi. Dilihatnya saja Sekar Mirah itu berjalan sambil menjinjing 

kelenting itu. Terasa hatinya menjadi tergetar melihat langkah gadis itu. Cepat, lincah dan 

penuh gerak dan gairah atas pekerjaannya. 

“Gadis yang keras hati” desah Agung Sedayu. 

Sebenarnya Sekar Mirah mempunyai hati yang menyala-nyala menyongsong hari depannya. 

Dilihatnya setiap orang dari anggota prajurit Pajang dengan seksama. Dinilainya seorang demi 

seorang, dan dikaguminya mereka yang penuh kejantanannya berjuang melawan musuh-

musuhnya. 

Itulah sebabnya mula-mula Sekar Mirah hampir tak pernah berpisah dengan Sidanti. 

Didorongnya pemuda itu untuk bertempur, berkelahi dan melawan musuh. Didesaknya pemuda 

itu untuk menemukan tempat yang sebaik-baiknya dalam kesatuannya. Dilecutnya Sidanti untuk 

meraih masa-masa yang gemilang pada masa-masa yang akan datang. 

Dan Sidanti mendengarkannya dengan penuh minat. Sidanti menerimanya dengan penuh 

harapan. Bukan saja apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah, namun demikianlah kata hatinya 

sendiri. ia adalah seorang anak muda yang memandang masa depan sebagai miliknya. 

Miliknya sendiri. Sebagai api yang disiram minyak ia bertemu dengan Sekar Mirah. Hasrat yang 

tersimpan dihatinya menjadi semakin menyala. Apalagi gurunya adalah seorang yang bernama 

Ki Tambak Wedi. Seorang yang bercita-cita setinggi awan dilangit. Namun dirinya sendiri tidak 

pernah dapat menggapainya, sehingga dengan demikian maka dinobatkannya dirinya sendiri 

menjadi seorang yang disegani dan ditakuti didaerah lereng gunung Merapi. Pertemuan 

diantara merekalah yang sebenarnya telah membakar Sangkal Putung. Bukan saja usaha 

Macan Kepatihan yang nyata-nyata berhadapan beradu dada, namun Sidanti ternyata 

merupakan bahaya yang membayang dibalik punggung. 

Tetapi ternyata Sekar Mirah itupun menjadi kecewa terhadap Sidanti. Ternyata bukan Sidanti 

yang ingin didorongnya maju, tetapi dirinya sendiri. Ketika ia melihat nafsu Sidanti yang 

menyala-nyala, justru ia menjadi kecewa. Sidanti berjuang untuk dirinya sendiri, bukan untuk 

Sekar Mirah. Sekar Mirah bagi Sidanti adalah seorang yang baik hati, yang mendorongnya 

untuk semakin gigih berjuang. Tidak untuk Pajang, tetapi untuk dirinya, Sidanti. Dan ternyata 

Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cantik. 

Ketika kemudian hadir Agung Sedayu, maka hati Sekar Mirah segera berkisar. Ia mengharap 

untuk menemukan seorang pahlawan yang baru. Pahlawan yang dapat mendengarkan suara 

hatinya. Pahlawan yang dapat mengerti gelora dadanya. Pahlawan yang akan berjuang 

untuknya, yang akan mempersembahkan setiap kemenangan kepadanya. 

Tetapi Sekar Mirah belum menemukannya pada Agung Sedayu. Ternyata sampai kini Agung 

Sedayu benar-benar seorang yang berjuang dengan tulus. 

“Ia adalah kemenakan paman Widura” berkata Sekar Mirah didalam hatinya “Sehingga karena 

itu maka ia tidak akan berani berbuat diluar kehendak pamannya itu” 

Karena itu, maka Sekar Mirah menjadi ragu-ragu. Ketika ia melihat perang tanding dilapangan, 

antara Sidanti dan Agung Sedayu dalam ketangkasan memanah dan seterusnya, hatinya 

benar-benar berguncang-guncang. Sekali-sekali ia kagum melihat ketangkasan Sidanti, serta 

nyala dan hasrat untuk menggenggam masa depan ditangannya. Ia melihat anak muda itu 

dengan penuh tekad menentang setiap tantangan. Sedang Agung Sedayu seolah-olah 

dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Tetapi kemudian perasaan Sekar Mirah itu 

terlempar pada suatu harapan yang diilihatnya dalam kemampuan Agung Sedayu. 

Ketrampilannya melepas anak panahnya, serta ketepatan bidiknya telah menariknya kedalam


satu pertimbangan yang kacau. 

Kemenangan Agung Sedayu pada saat itu telah benar-benar meyakinkan Sekar Mirah, bahwa 

hari depan Sidanti pasti akan benar-benar tertutup. Dalam pada itu, maka hilanglah segenap 

keragu-raguannya. Ia tidak dapat lagi bergantung pada anak itu, kepada Sidanti. Bahkan 

meskipun seandainya Sidanti menemukan masa-masa yang maju dan gemilang, maka masa-

masa yang demikian adalah masa-masanya sendiri. Masa-masa yang dimilikinya sendiri. Bukan 

masa-masa yang akan diperuntukkannya. Bahkan dirinyapun bagi Sidanti, pasti hanya akan 

dipergunakan untuk kepentingan anak muda itu. Sebagai pendorong dan penuntun menjelang 

hari-hari yang akan lebih terang, bagi Sidanti. 

Tetapi kini Sidanti sudah tidak ada di Sangkal Putung lagi. Sidanti telah hilang dari halaman 

rumahnya. Ia mendengar beberapa orang berkata kepadanya, seandainya perkelahian diantara 

Agung Sedayu dan Sidanti itu dilakukan dengan jujur, maka sudah pasti Sidanti tidak akan 

memenangkannya. Tetapi tiba-tiba Sidanti telah berbuat curang. Tetapi karena itulah maka 

Swandarupun menjadi terlibat pula kedalamnya. 

Sekar Mirah yang kemudian bekerja didapur itupun tidak dapat segera menggeser perasaannya. 

Agung Sedayu tampaknya telah berubah. Ia kini tampak segar dan gembira. Dihari-hari yang 

lewat, Agung Sedayu hampir tak pernah keluar dari pringgitan. Baru sejak akhir-akhir ini 

seringkali ia tampak berjalan-jalan dihalaman. Namun wajahnya masih saja selalu dibayangi 

oleh kemuraman dan keragu-raguan. Tetapi kini sudah tidak lagi. Wajah itu menjadi cerah. Dan 

Sekar Mirah tidak dapat mengingkari dirinya lagi. Ia telah tertarik pada wajah itu. Wajah yang 

tampak lebih halus dan lunak dari wajah Sidanti. Tetapi apakah api yang menyala didada 

Sedayu itu sedahsyat api yang menyala didada Sidanti? 

Hari itu Sangkal Putung tidak mendapat perubahan apa-apa. seperti hari-hari yang lain, para 

petugas sibuk dengan kewajibannya. Gardu-gardu masih berisi penjaga-penjaga yang 

mengawasi keadaan. Dan warung diujung desa masih juga ramai dikunjungi para pembeli dan 

penjual yang tidak berani pergi ketempat yang lebih jauh. 

Untara kini telah menjadi lebih baik. Ia telah dapat turun kehalaman dan melihat laskar Pajang 

melakukan tugasnya. Satu-satu Untara menanyakan kepada mereka, nama mereka dan rumah 

tempat tinggal mereka. Keluarga mereka dan segala sesuatu yang berhubungan dengan 

mereka itu sebagai seorang prajurit dan sebagai manusia. 

Ketika Untara itu bertanya kepada seorang yang berwajah keras dan berjanggut tebal, maka 

didengarnya jawaban “Aku beranak sebelas tuan” 

“Sebelas” Untara terkejut “Dimana sekarang mereka tinggal?” 

“Pengging” 

“Kau berasal dari Pengging?” 

“Ya” jawab orang itu. 

Untara meninggalkannya. Sebelas orang. Dan sebelas orang itu semua beserta ibunya 

menunggunya dirumah. Menunggu orang yang berjanggut tebal itu pulang. 

“Hem” Untara menggeram. Katanya dalam hati “Persoalan Macan Kepatihan harus cepat 

selesai. Kalau tidak, maka persoalan ini akan berlarut-larut. Waktu yang akan dipakai untuk 

merampungkan persoalan ini tidak terbatas pada bilangan minggu, bulan dan bahkan tahun” 

Tetapi Untara harus menunggu punggungnya sembuh benar-benar. Kalau kekuatannya telah 

pulih kembali, maka ia akan memimpin langsung laskar ini bersama Widura. Mereka tidak boleh 

hanya menunggu saja, namun mereka harus bergerak, menusuk dijantung pertahanan dan 

tempat persembunyian mereka. 

Adapun Agung Sedayu dan Swandaru sejak hari itu adalah murid Ki Tanu Metir. Mereka sudah 

tidak lagi dibingungkan oleh orang yang berkerudung kain gringsing. Namun Ki Tanu Metir 

sendiri itupun masih membawa teka-teki pula bagi mereka. Apakah sebenarnya ia seorang 

dukun tua saja? Seorang dukun yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan Agung 

Sedayu atau Untara atau Widura atau Swandaru? namun Agung Sedayu dan Swandaru sama 

sekali tidak mempersulit diri mereka. Mereka ingin mendapat ilmu dari orang tua itu. Dan ia 

akan memanfaatkan ilmu itu kelak. 

Sejak hari itu, maka Swandaru dan Agung Sedayu telah mulai dengan hari pertama mereka 

berguru. Ki Tanu Metir membawa mereka kesungai yang agak jauh dari Sangkal Putung.


Disanalah mereka mendapat beberapa petunjuk dari Ki Tanu Metir. Petunjuk-petunjuk untuk 

memulai dengan pelajaran-pelajaran jasmaniah. Mereka harus mendengarkan petunjuj-

petunjuk itu dan mencoba mengertinya. 

Agung Sedayu mendengarkan setiap kata-kata Ki Tanu Metir dengan seksama. Dicobanya 

untuk mengerti dan dicobanya untuk mencernakannya. Namun Swandaru merasa waktu itu 

terbuang-buang. Baginya lebih baik Ki Tanu Metir langsung mengajarnya dengan unsur-unsur 

gerak daripada harus mendengarkannya berbicara saja tentang beberapa hal yang penting 

untuk masa depannya. 

Tetapi Ki Tanu Metir itu berbicara terus, dan ia masih harus mendengarkannya. 

“Anak-anakku” berkata Ki Tanu Metir “Apa yang akan kalian dapat, hendaknya akan dapat 

bermanfaat bagi masa-masa mendatang. Bukan saja bagi kalian berdua, tetapi juga bagi 

beberapa lingkungan kalian. Ilmu yang akan kalian pelajari adalah sekedar alat. Alat itu tidak 

selalu harus dipergunakan dalam setiap kesempatan dan keadaan. Tetapi alat hanya akan 

dipergunakan pada kemungkinan yang paling tepat” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya sedang Swandaru memandangi percikan-

percikan air yang mengalir dibawah batu-batu tempat duduk mereka. 

“Hari ini adalah hari yang pertama bagi kalian” berkata Ki Tanu Metir itu “Dan dihari pertama 

kalian harus yakini, bahwa alat yang akan kalian terima bukanlah alat yang terbaik. Katakanlah 

bahwa alat ini adalah alat yang paling jelek. Alat yang hanya akan dipergunakan apabila sudah 

tidak ada alat lain, yang dapat kalian pakai. Namun jangan pula mencari sebab, sehingga kalian 

terdorong pada kemungkinan untuk mempergunakan alat ini. Ingat-ingatlah, alat ini adalah alat 

yang paling jelek yang kau miliki. Alat yang paling baik adalah alat yang telah ada didalam 

dirimu. Kasih sayang diantara sesama dan pegangan-pegangan yang kalian dapat dari ibadah 

kalian kepada Tuhan. Ingatlah ini. Janganlah dengan alat ini kalian mengorbankan apa yang 

sudah kalian miliki itu” 

Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dan Swandaru masih saja 

memandangi percikan air dibawah tempat duduk mereka. 

“Apakah kalian mengerti kata-kataku?” bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian. 

“Ya Kiai” sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan. 

“Bagus” berkata Ki Tanu Metir kemudian “Ingat, jangan sesorangan. Jangan salah langkah. 

Bahkan tak ada seorangpun didunia ini yang paling menang. Suatu ketika seseorang pasti akan 

dikalahkan oleh yang lain, dan yang lain itu akan dikalahkan pula orang yang lain lagi. Lebih 

baik kalian tak pernah mempergunakan ilmu ini sepanjang hidupmu, daripada setiap kali kau 

terpaksa melakukannya. Namun kalian dengan ini mengemban tugas-tugas kemanusiaan yang 

wajib kalian tegakkan. Sudah tentu tanpa mengorbankan segi kemanusiaan yang lain” 

Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dan kali inipun Swandaru 

mengangguk-angguk pula. 

“Nah, kita kembali kekademangan” berkata Ki Tanu Metir 

Swandaru terkejut. Jadi hanya inilah pelajaran pertama yang akan diterimanya? Ia tidak sabar 

lagi. Sidanti dapat datang nanti sore atau besok atau lusa. Apakah ia telah dapat mencapai ilmu 

yang diharapkannya? 

Ki Tanu Metirpun meihat perubahan wajah Swandaru. Dilihatnya Swandaru itu memandanginya 

dengan penuh keheranan. Karena itu maka Ki Tanu Metir itupun bertanya “Kenapa ngger?” 

Swandaru mengangkat alisnya. Kemudian jawabnya “Jadi hanya inikah yang Kiai berikan hari 

ini?” 

“Ya” 

“Kenapa hanya duduk-duduk begini kita harus pergi jauh-jauh dari rumah?” 

Ki Tanu Metir memandang Swandaru dengan heran. Anak itu sama sekali belum dapat 

menyesuaikan dirinya sebagai seorang murid terhadap gurunya. Namun Ki Tanu Metir tidak 

menjadi kecewa karenanya. Sedikit demi sedikit ia harus menuntun muridnya yang aneh itu. 

“Swandaru” berkata Ki Tanu Metir “Lebih baik kita mengambil tempat yang jauh daripada kita


dilihat orang. Bagiku tidak akan menguntungkan bila sebelum kita mulai apa-apa orang-orang 

sudah meributkan perbuatan kita. Mungkin hanya seorang dua orang sajalah yang 

mengetahuinya, namun sampai sehari maka hal itu pasti sudah akan sumebar kesegenap 

sudut kademangan. Dan setiap orang akan menilaimu setiap hati. Hari ini kau dapat berbuat 

apa, dan besok kau akan dapat berbuat apa lagi” 

“Baik Kiai” jawab Swandaru “Aku sependapat. Tetapi marilah segera kita mulai. Apabila besok 

atau lusa aku bertemu dengan Sidanti, maka aku tidak lagi memerlukan pertolongan orang lain 

untuk melawannya” 

Ki Tanu Metir terkejut mendengar kata-kata itu. Namun kemudian iapun tersenyum. Jawabnya 

“Angger, ketahuilah, bahwa untuk membentuk seseorang menjadi seorang Sidanti, itu 

diperlukan waktu bukan sehari dua hari. Tetapi setahun dua tahun. Bahkan lebih. Tergantung 

juga kepada orang-orang itu sendiri. Kalau ia mampu, maka ia akan menjadi lebih cepat 

terbentuk. Tetapi tidak dalam sehari dua hari. Apalagi kau harus menyusul orang lain yang jauh 

lebih dulu daripadamu. Bukankah dengan demikian kau memerlukan waktu yang lama?” 

Alangkah kecewanya Swandaru mendengar kata-kata Ki Tanu Metir itu. Ia memang pernah 

mendengar, bahwa berguru kepada seseorang diperlukan waktu yang lama. Tetapi kalau setiap 

kesempatan dipergunakan sebaik-baiknya maka waktu itu pasti akan dapat diperpendek. 

Seperti saat ini misalnya, mereka hanya duduk-duduk saja diterik matahari, sesudah itu pulang 

kembali kekademangan. Bukankah dengan demikian mereka hanya membuang-buang waktu 

saja. Besoknya mereka akan kehilangan waktu pula. Lusa dan seterusnya. 

Tetapi Swandaru itu tidak berkata-kata lagi. Ketika Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu telah 

berdiri, iapun segera berdiri pula. 

Namun Ki Tanu Metirlah yang masih berkata lagi, katanya “Swandaru, kau tidak perlu tergesa-

gesa, asal untuk seterusnya kau bekerja dengan tekun, maka mudah-mudahan kau akan 

segera dapat menyusul Sidanti itu” 

“Ya Kiai” sahut Swandaru kesal. Ia telah membayangkan sejak semalam dirinya menjadi 

seorang yang perkasa melampaui Sidanti, bahkan melampaui keperkasaan Tohpati. Tetapi ia 

masih harus menunda keinginan itu. Bahkan sama sekali ia belum mendapat apa-apa dihari 

pertama, kecuali nasehat-nasehat saja. 

Ia tersadar ketika Ki Tanu Metir itu berkata pula “Marilah kita pulang” 

“Marilah Kiai” sahut Swandaru kosong. 

Tetapi sekali lagi Swandaru heran. Ki Tanu Metir itu malahan pergi ketengah sungai sambil 

mengajak mereka “Mari ikuti aku” 

Swandaru dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Kalau orang tua itu mengajaknya 

pulang, mengapa ia malahan pergi ketengah, dan tidak berjalan menyusur tanggul seperti 

semula. 

Tetapi Agung Sedayu segera mengerti maksud orang tua itu. Iapun kemudian mengikutinya 

meloncat dari batu kebatu menyusul Ki Tanu Metir. 

“Bukankah sungai ini nanti akan sampai dipinggir desa Sangkal Putung dan sidatannya akan 

lewat sebelah halaman rumahmu Swandaru?” bertanya Ki Tanu Metir. 

“Ya” jawab Swandaru yang berdiri ditepian. 

“Karena itu, marilah kita mengambil jalan memintas, lewat sungai ini maka kita akan lebih cepat 

sampai” 

“Ah” desah Swandaru “Aku lebih senang menyusur tanggul ini” 

Ki Tanu Metir tertawa. Agung Sedayupun tersenyum pula. agaknya Swandaru benar-benar 

tidak tahu maksud gurunya, sehingga karena itu, maka Agung Sedayu berkata “Swandaru, mari 

kita bermain kejar-kejaran diatas batu-batu ini” 

Swandaru menggeleng malas. Ia semakin kesal karenanya. Waktunya telah banyak terbuang. 

Apakah mereka masih harus bermain seperti anak-anak. 

Tetapi kembali Agung Sedayu mengajaknya sambil tertawa “Swandaru, lihatlah betapa Ki Tanu 

Metir meloncat dari batu kebatu. Marilah” 

Kembali Swandaru menggeleng. Katanya dalam hati “Akh, apa lagi kerja orang tua itu. 

Bukankah lebih baik memberitahukan kepada kita, apa yang harus kita lakukan? Unsur-unsur


gerak, satu atau dua, untuk diulang-ulang” 

Tetapi dengan demikian Agung Sedayupun menjadi kesal pula. Swandaru benar-benar tidak 

segera tahu maksud orang lain tanpa diberitahukannya sejelas-jelasnya. Seperti juga sifatnya 

sendiri yang selalu terbuka dan terus terang. Karena itu, maka Agung Sedayu itupun terpaksa 

berkata “Swandaru, kau ikut berlatih atau tidak?” 

Swandaru terkejut. “Berlatih?” ulangnya “Berlatih apa?” 

“Inilah latihan pertama yang harus kita lakukan” 

“Oh” Swandaru itu tertegun sesaat. Kemudian dilihatnya Ki Tanu Metir meneruskan 

perjalanannya. Meloncat dari satu batu kebatu yang lain dengan lincahnya tanpa menyentuh air 

sedikitpun juga. Bahkan sekali-sekali diloncatinya batu-batu yang kecil dan goyah. Namun batu-

batu itu seakan-akan bergerakpun tidak. 

Sesaat Swandaru terpaku ditempatnya. Dilihatnya Ki Tanu Metir meloncat-loncat seperti orang 

sedang menari. Dibelakangnya menyusul Agung Sedayu. Dengan hati-hati anak muda itu 

meloncat pula dari batu kebatu. Namun tampaklah betapa ia masih harus memperhitungkan 

setiap langkahnya. Dicobanya mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Ki Tanu Metir. Namun 

sekali-sekali ia masih harus berhenti menjaga kesetimbangan tubuhnya. 

Tiba-tiba Swandaru itupun tertawa. digaruk-garuknya kepalanya sambil bergumam “Alangkah 

bodohnya aku. Aku tidak segera tahu maksud orang tua itu” 

Maka dengan serta-merta Swandaru itupun berteriak “Tunggu, aku ikut serta” 

Ki Tanu Metir itupun segera berhenti. Demikian juga Agung Sedayu. Mereka bersama-sama 

berpaling dan dilihatnya Swandaru Geni meloncat keatas sebuah batu yang besar. Tubuhnya 

yang bulat itu meluncur dari tebing sungai dan mencoba berdiri diatas batu itu. Sesaat ia masih 

harus mengatur keseimbangannya, namun kemudian ia tertawa sambil berkata “Tunggulah, aku 

akan segera sampai ketempatmu kakang Sedayu” 

Swandaru itupun segera mulai dengan loncatan-loncatannya. Dari satu batu kebatu yang lain. 

Dicobanya juga meloncati batu-batu yang telah tersentuh kaki Ki Tanu Metir. Namun sekali-

sekali batu-batu itu terguncang dan Swandaru terpaksa berpegangan pada batu-batu yang lain. 

Bahkan satu kali ia tergelincir dan jatuh masuk kedalam air. 

“Gila” gumamnya seorang diri. Pakaiannya menjadi basah kuyup. Dengan wajah bersungut-

sungut ia muncul dari dalam air seperti seekor tikus kehujanan. 

Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir tidak dapat menahan tawa mereka. Ketika Swandaru 

kemudian bangkit dan berdiri diatas sebuah batu maka Ki Tanu Metir berkata “Bukan apa-apa. 

kau hanya jatuh kedalam air” 

“Ya, tidak apa-apa” sahut Swandaru kesal. 

Tetapi tiba-tiba ia mengumpat ketika Ki Tanu Metir berkata “Ulangi. Ulangi sekali lagi” 

“Kenapa aku harus mengulangi. Apakah Ki Tanu Metir ingin melihat aku sekali lagi jatuh 

kedalam air?” 

“Tidak” jawab Ki Tanu Metir “Latihan ini adalah latihan dasar. Sekedar menghangatkan tubuh. 

Karena itu, maka angger harus dapat melakukannya.” 

Swandaru bersungguh-sungguh. Dilangkahinya kembali beberapa batu yang sudah 

dilampauinya. Dan sekali lagi meloncat kejurusan Agung Sedayu. Namun kali inipun Swandaru 

masih belum dapat berdiri dengan tegak pada batu yang telah menggelincirkannya. Namun kali 

ini ia tidak jatuh bulat-bulat kedalam air. Setelah beberapa saat ia bertahan atas 

keseimbangannya, maka terpaksa ia harus terjun kembali. Namun ia dapat tegak diatas kakinya, 

meskipun didalam air juga. 

“Bukan main” Swandaru itu mengeluh. Apalagi ketika Ki Tanu Metir minta ia mengulanginya 

satu kali lagi. 

Swandaru terpaksa mengulangi sekali lagi. Kali ini ia benar-benar memperhitungkan setiap 

langkahnya. Dengan hati-hati ia meloncat dari satu batu kebatu berikutnya. Dan ketika ia 

meloncat kebatu yang itu-itu juga, maka ia menahan nafasnya. Dijaganya keseimbangan 

tubuhnya benar-benar dan ditapakkannya kakinya pada ujung jari-jarinya, dalam pemusatan 

perhatian yang bulat. 

Swandaru menarik nafas panjang ketika untuk yang ketiga kalinya ia berhasil. Tubuhnya


seakan-akan menjadi bertambah ringan, dan keseimbangannya serasa menjadi lebih baik. Ia 

tidak tahu apakah sebabnya hal itu dapat terjadi “Mungkin karena aku telah melakukannya tiga 

kali berturut-turut” katanya dalam hati. 

Tetapi ia tidak dapat terlalu lama tegak berdiri menikmati kemenangannya yang pertama itu. 

Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Ki Tanu Metir berkata “Marilah, teruskan perjalanan 

ini sampai keujung desa Sangkal Putung” 

Agung Sedayupun kemudian berputar dan melanjutkan loncatan-loncatannya. Namun ketika 

suatu kali, dilompatinya sebuah batu yang sedikit goyah, maka batu itupun bergerak sedikit 

kesamping, dan kini Agung Sedayulah yang terbanting dipermukaan air. Swandaru terkejut, 

namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak “Nah, rasakanlah. Aku sudah lebih dahulu mandi. 

Kakangpun harus mandi pula” 

Ki Tanu Metirpun berhenti pula. dilihatnya Agung Sedayu bangkit dari dalam air sambil tertawa. 

Kainnya, bajunya, ikat kepalanya menjadi basah kuyup. Perlahan-lahan ia berdiri dan 

dikibaskannya pakaiannya yang dilekati pasir sungai. 

“Hem” desis Swandaru “Memang segar kakang, mandi dengan segenap pakaiannya” 

Agung Sedayu tersenyum. Katanya “Kau nanti juga harus melampaui batu ini Swandaru” 

“He” Swandaru mengerutkan keningnya. Dilihatnya batu yang telah menjatuhkan Agung 

Sedayu itu. Batu yang seakan-akan bergoyang-goyang digerakkan arus sungai yang tidak 

seberapa deras. 

“Ah” katanya dalam hati “Bagaimana mungkin” 

Sesaat kemudian dilihatnya Agung Sedayu telah siap untuk mengulangi langkahnya tanpa 

mendapat perintah dari Ki Tanu Metir. Ia tahu benar, bahwa setiap kesalahan harus 

dibetulkannya.Dipusatkannya segenap perhatiannya. Dengan wajah yang tegang ditatapnya 

batu itu. Kemudian ditahankannya nafasnya dan dengan sepenuh hasrat ia meloncati kembali 

batu-batu itu sehingga akhirnya sampailah ia kepada batu yang agak goyah itu. Namun kali ini 

ia berbuat cepat sekali. Bahkan kakinya seakan-akan tidak berpijak pada batu itu. Batu itu 

hanya disentuhnya saja. Sedang kakinya yang lain segera meloncat kebatu yang lain pula. 

Batu itupun bergerak pula sedikit. Namun Agung Sedayu telah meloncat lebih lanjut, sehingga 

kali ini Agung Sedayu selamat sampai kebatu berikutnya. Agung Sedayu itupun kemudian 

berhenti. Kini ia melihat Swandaru yang semakin lama menjadi semakin dekat. Ketika ia sampai 

kebatu yang goyah itu, maka ia bergumam didalam hati “Aku sudah bersedia, dan aku tidak 

akan jatuh lagi kedalam sungai” 

Tetapi ternyata ia salah sangka. Batu itu adalah batu yang goyah. Sehingga karenanya, maka 

ketika ia meloncat keatasnya, sekali lagi ia terguncang dan kehilangan keseimbangan. 

Meskipun ia berusaha untuk meloncat kebatu yang lain, namun ternyata ia tidak berhasil. 

Tetapi Swandaru kali ini tidak mau jatuh sendiri kedalam air. Agung Sedayu yang 

menunggunya sambil tertawa tiba-tiba terkejut. Dengan tidak disangka-sangka tangan 

Swandaru meraih pundaknya, dan jatuhlah mereka berdua kedalam air bersama-sama. 

Ketika mereka muncul lagi dari permukaan air, maka mereka tidak dapat menahan gelak tawa 

mereka yang seperti meledak dari dada. 

Ki Tanu Metir yang melihat mereka bergumul didalam air itupun tertawa pula terkekeh-kekeh, 

sampai tubuhnya terguncang-guncang. Demikian asyiknya ia tertawa dan melihat murid-

muridnya yang basah kuyup, sehingga Ki Tanu Metir itu tidak melihat bahwa beberapa orang 

melihatnya dengan pandangan yang tajam. Mereka sama sekali tak mengetahuinya, apa yang 

dilakukan oleh kedua anak-anak muda itu. 

Tiba-tiba batu tempat Ki Tanu Metir berdiri berguncang, dan hampir saja Ki Tanu Metir 

kehilangan keseimbangan. Secepat kilat ia sempat berpaling dan memandangi orang orang 

ditepi sungai itu. Tetapi sekejap kemudian tiba-tiba Ki Tanu Metirpun terhuyung-huyung dan 

jatuh pula ke dalam air. 

Agung Sedayu dan Swandaru terkejut. Ki Tanu Metir itupun terpelanting jatuh. Tetapi segera 

mereka terlihat beberapa orang ditepi sungai itu tertawa terbahak-bahak. Seseorang 

diantaranya masih memegang sebutir batu, sedang orang yang lain berkata “lemparanmu tepat 

kakang


Mata Agung Sedayu dan Swandaru terbelalak melihat orang-orang itu, seorang diantaranya 

adalah orang yang bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang. Ditangannya tergenggam 

sebatang tongkat besi baja putih dengan kepala kekuning-kuningan berbentuk sebuah 

tengkorak. 

Hampir saja Swandaru berdesis. Tetapi untunglah ia dapat menahan diri. Namun hatinya 

berteriak “Macan Kepatihan” 

Agung Sedayupun berdiri tegak tak bergerak. Tetapi tiba-tiba mereka berdua terkejut ketika 

mendengar Ki Tanu Metir berkata “E,tole tolonglah. Tolonglah aku berdiri.” 

Sesaat mereka heran melihat Ki Tanu Metir tertatih-tatih berusaha untuk berdiri. Namun sekali-

sekali ia tergelincir kembali. Tubuhnya benar-benar menggigil dan dengan terbata-bata ia 

berteriak-teriak sambil melambaikan tangannya. 

Agung Sedayu cepat menangkap maksud Ki Tanu Metir. Orang tua itu telah menjadi seorang 

tua yang tak berdaya. Karena itu segera ia berlari dan menolong kym tang sedang menggigil. 

Diangkatnya orang tua itu berdiri dan didudukkannya diatas sebuah batu yang besar. 

Sedangkan Swandaru melihat perbuatan Sedayu itu dengan herannya. Kenapa orang tua itu 

harus ditolongnya berdiri dan harus dipapah keatas sebuah batu yang besar? Bukankah orang 

tua itu pula yang besar? Bukankah orang tua itu pula yang telah memaksanya meloncat-loncat 

dan memberi mereka beberapa contoh untuk melakukannya? Namun Swandaru tidak bertanya 

apapun juga. Iapun perlahan-lahan berjalan mendekati Ki Tanu Metir. Ia semakin heran ketika 

dilihatnya orang tua itu menyeringai kesakitan. Ia sendiri telah tiga kali jatuh terpelanting, 

namun ia tidak merasa apa-apa. Orang tua itu baru sekali jatuh. Tetapi ia telah tampak 

sedemikian payahnya. 

Tetapi ia menarik nafas ketika ia mendengar orang tua itu berbisik “Jangan terjadi bentrokan 

dengan orang-orang itu sekarang” 

“Oh” desahnya. Sekali dilayangkannya pandangan matanya ketebing dan kemudian 

dipandanginya orang tua yang duduk kedinginan diatas batu itu. 

Tetapi Swandaru kini telah mengerti maksud Ki Tanu Metir itu. Dan mereka berdua, Agung 

Sedayu dan Swandarupun kemudian mengerti pula, bahwa sebenarnya Ki Tanu Metir pasti 

akan mampu mempertahankan keseimbangannya seandainya yang hadir dipinggir kali itu Ki 

Tambak Wedi, tetapi orang tua itu pasti mempunyai pertimbangan lain sehingga ia tidak mau 

terlibat dalam bentrokan dengan Tohpati dan beberapa kawannya saat ini. 

“He!” tiba-tiba mereka mendengar seseorang diantara orang-orang yang berdiri ditebing itu 

berteriak “Siapakah kalian?” 

Ki Tanu Metir memandangi mereka dengan wajah ketakutan. Kemudian jawabnya gemetar 

“Kami orang-orang Benda tuan” 

“Apa kerja kalian disini?” 

“Kami sedang menyelusur air sawah tuan. Dan kami berhenti sejenak untuk mandi” 

Orang-orang itu tertawa. Kata salah seorang dari mereka itu “Apakah kalian biasa mandi 

dengan seluruh pakaian kalian?” 

“Tidak tuan. Salah seorang anak itu tergelincir, namun rupa-rupanya ia tidak mau melihat 

kawannya masih tetap kering” 

Kembali mereka tertawa. dan kembali terdengar salah seorang berteriak “Apakah benar-benar 

kalian hanya menyusuri air?” 

“Ya tuan” sahut Ki Tanu Metir “Tetapi siapakah tuan-tuan ini?” 

“Kami dari Sangkal Putung” sahut orang yang bertongkat baja putih itu. 

Swandaru menjadi berdebar-debar. Ia pernah bertemu muka dengan Macan Kepatihan itu, 

selagi Tohpati itu bertempur melawan Sidanti dan Widura. tetapi pertemuan itu hanya sekejap 

dan Tohpati waktu itu sedang disibukkan oleh perkelahian itu. Sehingga agaknya Tohpati itu 

kurang mengenalnya. 

Ki Tanu Metir kemudian bertanya pula “Apakah yang akan tuan lakukan disini?” 

“Hem. Aku ingin mendapat beras, apakah orang-orang Benda mempunyai persediaan cukup?” 

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menggeleng. Jawabnya perlahan-lahan “Ah, 

tuan telah memeras semua persediaan kami. Beberapa orang Pajang yang berada di Sangkal


Putung itu? Setiap minggu kami harus menyerahkan berbakul-bakul beras, sehingga kami 

sendiri akan menjadi kelaparan karenanya” 

Tohpati itu tertawa. Kemudian katanya “Bukankah dengan demikian kalian membantu 

perjuangan kami melawan orang-orang Jipang?” 

“Bagi kami tuan, sudah tentu lebih penting makan kami sehari-hari” 

Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Dipandangnya ketiga orang yang berada dibawah 

tebing itu berganti-ganti. Kemudian katanya “He, apakah anak-anak muda itu tidak mau ikut 

bergabung dengan kami untuk melawan laskar Macan Kepatihan?” 

Ki Tanu Metir menggeleng “Mereka adalah cucu-cucuku. Biarlah mereka menikmati 

ketentraman hidup dirumah. Apakah keuntungan kami apabila anak-anak muda itu turut 

bertempur?” 

“Anak-anak muda seluruh kademangan Sangkal Putung bangkit serentak. Mereka telah 

menyumbangkan tenaga mereka untuk kemenangan Pajang. Apakah cucu-cucumu itu tidak 

ikut serta he?” 

“Sudah aku katakan buat apa mereka ikut bertempur? Dan apakah sebenarnya keuntungan 

orang-orang Pajang dan orang-orang Jipang yang kini saling bertentangan?” 

“Kami sedang mempertahankan pendirian kami masing-masing. Kami tidak senang melihat 

pengikut-pengikut Arya Penangsang berkeliaran” 

“Mungkin pimpinan tuan tidak senang melihat Arya Penangsang. Tetapi apakah perlunya 

pertengkaran itu berlarut-larut terus? Sejak Arya Penangsang terbunuh, maka persoalan kalian 

sebenarnya telah selesai” 

“Siapa yang bilang he, pak tua?” 

Ki Tanu Metir tertawa. Kemudian katanya “Lima enam hari yang lalu, kawan-kawan tuan datang 

kepondokku. Seorang bertubuh sedang, masih sangat muda dan tampan. Dikawani oleh 

seorang yang sudah menginjak setengah umur. Namun wajahnya menunjukkan kewibawaan 

yang tinggi. Namanya Untara dan Widura” 

Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya “Apakah yang mereka 

lakukan dipondokmu?” 

“Apakah tuan-tuan kenal mereka?” 

“Tentu” sahut Macan Kepatihan “Untara adalah senopati laskar Pajang didaerah ini. Dikaki-kaki 

gunung Merapi. Sedang paman Widura adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung” 

“Oh, jadi mereka adalah pemimpin-pemimpin tuan?” 

Macan Kepatihan menggigit bibirnya. Adalah tidak senang mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia 

terpaksa menjawab “Ya, apa yang mereka lakukan?” 

“Pertama, mereka mencari beras seperti tuan, mereka telah membawa sepuluh bakul beras. 

Apakah tuan tidak mendapat bagian dari yang sepuluh bakul itu sehingga tuan terpaksa 

mencari sendiri?” 

Tohpati terdiam sesaat. Tetapi kemudian jawabnya “Kau benar-benar orang tua yang bodoh. 

Berapa ratus orang Pajang yang berada di Sangkal Putung. Sepuluh bakul beras hanya cukup 

untuk tiga hari, paling lama lima hari. Nah, apakah yang akan kami makan besok, lusa dan 

seterusnya?” 

“Dari desa-desa lain tuan akan dapat mengambil beras pula. Tetapi itu tidak penting. Yang 

penting pemimpin-pemimpin tuan itu berkata kepadaku bahwa sebenarnya mereka telah jemu 

bertempur” 

“Tidak” sahut Macan Kepatihan. 

“Apa yang tidak, tuan? Apakah tuan tidak bertanya bahwa pemimpin-pemimpn tuan pernah 

berkata demikian? Atau apakah tuan tidak percaya bahwa orang-orang Jipang juga jenuh 

bertempur? Atau tuan tidak percaya bahwa setiap orang sudah jemu melihat pertempuran? 

“Aku tidak percaya bahwa pemimpin-pemimpin Pajang berkata demikian. Aku juga tidak 

percaya bahwa orang-orang Jipang telah jemu bertempur pula. Dan aku juga tidak percaya 

bahwa setiap orang sudah jemu melihat pertempuran. 

“Jadi jelasnya tuan tidak percaya kepadaku?”


“Bukan. Mungkin orang Pajang berkata kepadamu. Tetapi mereka tidak berkata yang 

sebenarnya.” 

“Mereka berbohong? Apakah gunanya?” 

“Orang-orang Jipangpun tidak pernah merasa jemu bertempur. Mereka sedang 

memperjuangkan sebuah cita-cita. Dan cita-cita itu akan mereka bawa mati.” 

“Cita-cita? Bertanya Ki Tanu Metir “apakah sebenarnya cita-cita itu bagi orang Jipang? Apakah 

mereka akan menghidupkan kembali dan meletakkan Arya Jipang yang sudah gugur itu apabila 

mereka sudah berhasil? Tuan. Apakah tuan tidak sependapat dengan pemimpin-pemimpin 

tuan? Bahwa sebenarnya diantara mereka dan orang-orang Jipang itu tidak terdapat soal-soal 

yang tidak perlu melibatkan mereka dalam pertentangan yang berlarut-larut? Pemimpin-

pemimpin tuan itu berkata, bahwa orang-orang Jipang yang sekarang masih mengangkat 

senjata, sebenarnya hanyalah orang-orang yang keras hati dalam kesetiakawanan mereka. 

Kalau mereka setia pada cita-cita mereka semula, maka cita-cita itu tidak akan dapat terlaksana. 

Apapun yang akan mereka lakukan. Seandainya orang-orang Pajang akhirnya dapat mereka 

tumpas, namun trah Sekar Seda Lepen, dasar dari perjuangan Arya Penangsang telah punah. 

Tak ada orang yang dapat menempatkan diri sebagai penerus cita-cita itu. Tak ada orang yang 

dapat menamakan diri trah Sekar Seda Lepen.” 

“Tetapi itu adalah perjuangan menuntut keadilan. Siapakah yang membunuh Sekar Seda 

Lepen? Kalau Sekar Seda Lepen tidak terbunuh, apakah Arya Penangsang tidak akan naik 

keatas tahta?” 

“Ya,ya. Pemimpin tuan juga mengatakan dasar tuntutan orang-orang Jipang itu, sekarang tuan 

juga mengatakan. 

“Oh” Tohpati mengusap kumisnya. Hampir-hampir ia lupa, bahwa ia mengaku sebagai orang 

Sangkal Putung. 

Tetapi tak seorangpun tahu pasti, apa yang terjadi dengan Sekar Seda Lepen. “Terdengar Ki 

Tanu Metir meneruskan “dan semua itu telah lampau. Kalau kita tenggelam dalam urut-urutan 

dendam, kapan kita akan berhenti berkelahi sesama kita?” 

Tohpati terdiam. Sesaat sambil mengurut-urut kumisnya yang tebal melintang. Didalam hatinya 

timbullah berbagai pertanyaan tentang orang tua yang mengaku berasal dari padukuhan benda 

itu. Macan Kepatihan sama sekali tidak dapat mengerti, kenapa orang-orang dari benda dapat 

berkata-kata seperti yang diucapkan oleh orang tua itu. 

“Mungkin orang-orang Widura, atau Widura sendiri pernah berkata demikian seperti yang 

dikatakannya tadi.” Berkata Tohpati dalam hatinya. Kemudian suara didalam hatinya itu berkata 

pula “Apakah benar-benar Widura dan Untara sudah jemu bertempur?” Tohpati kemudian 

menggelengkan kepalanya ketika didalam hatinya terbetik suatu pertanyaan “Apakah orang-

orang Jipang tidak jemu bertempur? Kapankah pertempuran itu akan berakhir?” 

“Tidak” kata-kata orang itu dibantahnya sendiri didalam hatinya pula “Aku tidak akan pernah 

jemu bertempur. Syukurlah kalau orang-orang Pajang telah menjadi jemu. Itu adalah pertanda 

pertama bahwa mereka telah sampai ketepi jurang kehancuran mereka.” 

Tetapi Tohpati itu terkejut ketika Ki Tanu Metir berkata pula “Nah, Tuan. Kalau tuan tidak 

sedang mengejar-ngejar orang Jipang, maka tuan akan dapat hidup didalam lingkungan 

keluarga tuan. Didalam lingkungan anak istri tuan kalau tuan sudah punya. Kalau tidak, maka 

ibu tuan dan ayah tuan tidak akan selalu menunggu tuan diambang pintu halaman” 

“Kami bukan laki-laki cengeng” sahut Tohpati “Setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. 

Kaupun harus mengorbankan berasmu untuk perjuangan ini. Nanti siang aku akan segera 

datang ke Benda untuk mengambil beras itu” 

“Jangan tuan, jangan hari ini. Tuan pasti akan kecewa, sebab perempuan-perempuan kami 

belum menumbuk padi. Besok atau lusa baru tuan dapat datang mengambilnya” 

“Aku perlu hari ini. Katakan kepada penduduk Benda, bahwa laskar Pajang tidak dapat 

menunda kebutuhannya. Siapa yang tidak tunduk kepada setiap perintah laskar Pajang, maka 

ia akan dihabisi jiwanya. Kau dengar?” 

“Huh, tuan menakut-nakuti kami. Laskar Jipangpun tidak mengancam sekasar itu, tuan. Apakah 

tuan sedang bersenda gurau?” 

Tohpati tersenyum didalam hati. Kalau ia dapat memisahkan laskar Pajang dari kekuatan rakyat


yang mendukungnya, maka kekuatan Pajang pasti akan berkurang. Setidak-tidaknya di 

Sangkal Putung. Karena itu, maka jawabnya “Persetan dengan laskar Jipang. Apakah mereka 

juga sering mengambil beras ke padukuhan Benda?” 

“Ya tuan, kadang-kadang. Tetapi mereka tidak pernah mengancam seperti tuan” 

“Jipang ternyata sedang berusaha mendekatkan dirinya kepada orang-orang padesan untuk 

mendapat dukungan. Tetapi Pajanglah yang berkuasa atas kalian, sehingga kalian tidak bebas 

membantah perintahnya” 

Mata Agung Sedayu dan Swandaru yang sejak tadi duduk mematung, tiba-tiba memancarkan 

kemarahannya yang selama ini ditahan didalam hatinya. Mereka tidak dapat mendengar 

fitnahan yang sedemikian tajamnya atas laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung. Tetapi 

sebelum mereka berbuat sesuatu, maka dengan isyarat tangan yang disembunyikan dibalik 

batu, Ki Tanu Metir telah mencegah mereka berbuat sesuatu. 

Dalam pada itu, maka terdengar Ki Tanu Metir itu berkata pula “Nah, itulah tuan. Kalau kalian, 

tuan-tuan tidak saling bertentangan, maka tuan-tuan tidak perlu berebut pengaruh atas rakyat 

padesan. Tuan-tuan dapat berbuat banyak untuk orang-orang kecil seperti kami ini” 

“Tidak mungkin. Mereka bertentangan kepentingan. Kami orang-orang Pajang akan 

mempertahankan kemenangan kami, meskipun kami tahu, bahwa tuntutan Arya Penangsang 

itu adil” 

Mendengar kebohongan itu, hampir-hampir Swandaru dan Agung Sedayu tidak dapat 

menguasai diri. Tetapi sekali lagi Ki Tanu Metir memberinya isyarat. 

“Ya, katakanlah bahwa tuntutan Arya Penangsang itu adil. Tetapi garis keturunan yang 

sekarang memegang kekuasaan atas Demak telah patah. Putra-putra Sultan Trenggana telah 

hampir punah pula. Pangeran Prawata telah dibunuh oleh Arya Penangsang. Sunan Hadiri dari 

Kalinyamat. Kemudian yang terakhir tetapi gagal adalah Adipati Jipang. Katakanlah bahwa Arya 

Penangsang sedang berjuang menuntu warisan. Lalu, apakah Adipati Hadiwijaya di Pajang 

harus dengan rela hati menyerahkan lehernya untuk dipancung? Sedang Hadiwijaya itu sama 

sekali tidak tahu menahu tentang terbunuhnya Sekar Seda Lepen. Bukankah Adipati Pajangpun 

merasa, bahwa kini sedang memperjuangkan keadilan? 

Nah tuan, selama keadilan itu dilihat dari sudut yang berbeda-beda, maka keadilan itu sendiri 

tidak akan dapat serupa bentuknya. Karena itu maka yang paling baik adalah apa yang 

dikatakan pemimpin tuan. Menjemukan. Pertentangan yang berlarut-larut adalah menjemukan 

sekali. Pertentangan itu tidak akan dapat memberikan apa-apa kepada kami. Kepada orang-

orang kecil. Bahkan hanya akan menguras lumbung-lumbung kami. Beras-beras kami dan 

hidup kami akan menjadi semakin kering. Tetapi kalau tuan tidak saling bertentangan 

menimbang dendam dihati, maka kami akan dapat bekerja dengan baik, dengan tenang, 

dengan tentram. Dan tuan-tuan yang bijaksana akan dapat menuntun kami, tidak dalam olah 

senjata, tidak dalam bermain pedang dan tombak, tetapi dalam olah tetanen dan kebutuhan 

kami sehari-hari” 

Macan Kepatihan terdiam pula sesaat. Kata-kata itu benar-benar menyentuh sudut hatinya. 

Tetapi tiba-tiba terdengar orang yang berdiri disampingnya, Sanakeling, tertawa terbahak-

bahak. Katanya “He pak tua. Darimana kau dengar uraian yang melingkar-lingkar itu?” 

Ki Tanu Metir memandang orang yang berdiri disamping Macan Kepatihan itu. Kemudian 

jawabnya “Sebagian aku dengar dari pemimpin-pemimpin tuan sendiri. Dari orang yang 

bernama Widura dan yang lain bernama Untara” 

Sekali lagi Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Kalau Widura dan Untara berpendirian 

demikian, maka apakah sebenarnya yang telah mendorong mereka, orang-orang Pajang dan 

orang-orang Jipang saling berbunuhan? Namun kembali Sanakeling berkata “Mungkin 

pemimpin-pemimpin kami sedang berputus asa karena mereka tidak segera berhasil 

menguasai keadaan disini, begitu?” 

Swandaru dan Agung Sedayu menjadi benar-benar muak mendengar percakapan itu. Mereka 

menjadi heran, kenapa Ki Tanu Metir masih juga telaten berbicara dengan Macan Kepatihan. 

Apalagi orang yang berdiri disampingnya itu. 

Yang paling sukar untuk mengendalikan dirinya adalah Swandaru. Hampir-hampir ia berteriak 

memaki-maki. Untunglah bahwa Agung Sedayu yang agaknya lebih tenang menggamitnya. 

Agung Sedayu yang sejak masa anak-anaknya kelalu menghindari bentrokan-bentrokan,


ternyata berpengaruh juga sampai saat ini. Meskipun alasannya telah berbeda. Dahulu Agung 

Sedayu menghindari setiap bentrokan dengan siapapun juga karena ia takut mengalami. Tetapi 

sekarang, ia menghindari bentrokan karena pertimbangan lain. Kali ini gurunya tidak 

mengijinkannya. Kebiasaannya untuk menghindari setiap pertentangan pada masa kecilnya 

ternyata membantu memperliat hatinya, menambah kesabarannya. Karena ini, apalagi 

disamping gurunya, ia sama sekali tidak takut bertempur dengan beberapa orang yang berada 

diatas tebing. Namun gurunya mengisyaratkan kepadanya untuk tetap tenang dan menghindari 

betrokan. Meskipun Agung Sedayu tidak tahu benar alasan gurunya, namun ia mematuhinya. 

Ki Tanu Metir yang mendengar kata-kata orang yang berdiri disamping Macan Kepatihan 

menjadi seakan-akan terkejut. Kemudian sambil mengangkat kepalanya ia bertanya “Apakah 

pemimpin-pemimpin kalian benar-benar berputus asa?” 

“Tentu” sahut Sanakeling “Kalau tidak, maka ia pasti tidak akan mengigau seperti itu. Perang 

adalah kewajiban seorang prajurit. Jadi apabila ada seorang prajurit yang tidak mau berperang, 

maka ia adalah seorang prajurit yang tak bernilai” 

“Oh, jadi apabila keadaan Pajang dan Jipang telah menjadi baik kembali, maka apakah Adipati 

Pajang akan memecat semua prajuritnya?” 

“Ah, orang tua yang bodoh. Tentu tidak. Negara yang tidak mempunyai prajurit maka negara itu 

akan tidak berarti. Setiap saat lawan mereka akan dengan senang hati merampok segala 

miliknya” 

“Oh, jadi apabila peperangan yang satu sudah selesai, maka setiap negara perlu membuat 

persoalan dengan negara lain?” 

He, kenapa?” 

“Prajurit dan perang adalah satu, menurut tuan yang disamping itu” 

Macan Kepatihan tertawa. Sanakeling akhirnya tertawa juga. “Alangkah bodohnya pertanyaan 

itu” gumam Sanakeling. Tetapi Macan Kepatihan menggelengkan kepalanya. Gumamnya 

“Tidak. Pertanyaan itu bukan pertanyaan yang bodoh. Ia telah mengambil kesimpulan yang 

tepat dari kata-katamu sendiri” 

“Tetapi maksudku bukan begitu kakang. Maksudku, setiap prajurit harus bersedia berperang, 

tidak boleh jemu” 

“Jelaskan kepada orang tua itu, jangan kepadaku” potong Macan Kepatihan. 

“Oh” Sanakeling mengerutkan keningnya. Dipandangnya orang tua yang duduk diatas batu 

dibawah. Kakinya berjuntai terendam didalam arus sungai yang tidak sedemikian keras. Tiba-

tiba wajah Sanakeling menjadi tegang. Dan dengan bersungguh-sungguh ia berkata “Marilah 

kita tinggalkan orang tua gila itu” 

Sanakeling tidak menunggu jawaban Macan Kepatihan. Segera ia memutar tubuhnya dan 

berjalan menjauhi tebing sungai itu bersama beberapa orang yang lain. Namun ketika Macan 

Kepatihan akan beranjak pergi, maka Ki Tanu Metir itu memanggilnya “Tuan” katanya 

“Tunggulah sebentar” 

Macan Kepatihan berhenti. Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir yang kedinginan. Katanya “Ada apa 

kakek?” 

“Tuan, apakah nanti tuan akan datang kepadukuhan kami? 

“Tentu. Prajurit Pajang tidak dapat menunggu lebih dari saat yang telah ditentukannya sendiri. 

orang yang mencoba menghambat perintahnya, maka ia akan dibinasakan” 

“Tuan” berkata Ki Tanu Metir “Berapa tahun peperangan ini akan berakhir?” 

“Kenapa?” 

“Aku ingin menghitung umurku dengan kemungkinan-kemungkinan yang bakal erjadi, tuan. 

Kalau peperangan ini masih akan berlangsung lama maka aku akan melihat padukuhanku 

benar-benar menjadi kering, dan anak cucuku pasti akan mati kelaparan. Sebab beras-beras 

kami akan selalu mengalir keluar padukuhan kami. Sekali harus kami serahkan kepada tuan. 

Kepada laskar Pajang. Sekali yang lain kepada laskar Jipang” 

“Kenapa kau beri juga beras kepada orang-orang Jipang?” 

“Mereka datang dengan senjata ditangan tuan. Apakah yang dapat kami lakukan? Baik orang 

Pajang maupun orang Jipang. Dan sebenarnyalah pemimpin-pemimpin tuan menjadi jemu


berperang. Apakah tuah tidak? Seorang prajurit Pajang pernah berkata kepadaku, bahwa ketika 

ia berangkat kemedan perang, anaknya baru berumur tiga hari. Anak yang lahir dari istrinya 

tercinta, setelah mereka hampir sepuluh tahun kawin. Prajurit itu berkata ‘Kalau aku pulang 

nanti, anakku pasti sudah besar. Tetapi ia pasti takut melihat wajahku yang setiap hari menjadi 

semakin buas karena bau darah’. Tuan, benarkah demikian? Apakah prajurit yang selalu 

berada dipeperangan menjadi buas, eh, maksudku keras?” 

Tohpati melangkah kembali ketebing sungai itu. Ia tertarik mendengar kata-kata Ki Tanu Metir. 

Pertanyaan yang didengarnya itu benar-benar telah menyentuh hatinya. Dan tanpa setahunya 

ia menganggukkan kepalanya “Ya. Mungkin prajurit itu benar. Setiap hari seorang prajurit 

dihadapkan pada saat-saat yang tegang dan melihat kekerasan” 

“Apakah tuan tidak berpendapat bahwa ketegangan dan kekerasan itu sebaiknya berakhir?” 

Tohpati tiba-tiba mengerutkan keningnya. Dan dengan serta-merta ia melangkah surut. Ia tidak 

mau mendengarkan pertanyaan-pertanyaan orang tua itu mebih banyak lagi. Pertanyaan-

pertanyaan yang mengetuk dinding hatinya. Dinding hati seorang manusia yang kebetulan 

menjadi seorang prajurit. Seorang manusia yang kebetulan memiliki senjata ditangannya dan 

sedang memperjuangkan kehendak dan cita-cita dengan senjata itu. Bahkan mencoba 

memaksakan kehendak itu kepada orang lain dengan tajam senjatanya, baik atau tidak baik 

menurut penilaian orang lain. 

Tohpati kini tidak mau mendengarkan lagi Ki Tanu Metir memanggilnya. Cepat ia berputar dan 

melangkah pergi meninggalkan orang tua yang duduk berjuntai diatas batu. Beberapa langkah 

daripadanya berdiri Sanakeling bertolak pinggang. Disampingnya dua orang kawannya sedang 

mengais-ngais tanah dengan ujung pedangnnya. 

“Kenapa orang tua gila itu masih saja dilayani” gumam Sanakeling. 

Macan Kepatihan tidak menjawab. Ia berpaling sejenak, namun ia berjalan terus sambil 

menundukkan wajahnya. 

Sanakelingpun kemudian berjalan pula dibelakangnya bersama kedua orang yang berdiri 

disampingnya. dikejauhan tiga orang berjalan mendekati mereka dan berjalan dalam 

rombongan itu pula. Dan mereka masih mendapat kawan seorang lagi. Seorang anak muda 

yang bermata tajam, setajam mata burung alap-alap. Mereka adalah orang-orang yang harus 

mengawasi keadaan selama Tohpati berhenti ditepi sungai. Untunglah bahwa Alap-alap 

Jalatunda tidak turut menjenguk kedalam sungai itu. Apabila demikian, maka ia pasti tidak akan 

melupakan Agung Sedayu. 

Sepeninggal Macan Kepatihan, Swandaru tidak sabar lagi, sehingga dengan serta-merta ia 

bertanya “Kiai, Tohpati itu ternyata telah datang kehadapan Kiai. Kenapa orang itu tidak saja 

Kiai tangkap? Tidakkah dengan demikian maka pertempuran yang Kiai katakan menjemukan itu 

akan segera berakhir?” 

“Tidak mungkin ngger. Apakah kita bertiga akan mampu menangkapnya?” 

“Kenapa tidak? Bukankah mereka hanya berempat atau lima orang? Kiai sendiri pasti akan 

mampu melakukannya” 

“Mungkin aku mampu mengalahkan lima orang itu. Tetapi bagaimana dengan kalian? Lihatlah, 

apakah mereka benar-benar hanya berlima?” 

“Bukankah aku masih dapat menghitung demikian baik?” sahut Swandaru dengan nada tinggi. 

“Belum tentu. Coba, tengoklah sekarang” 

Swandaru menjadi ingin membuktikan kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Karena itu segera ia 

meloncat berlari ketebing. Dengan tergesa-gesa ia mendaki tebing, dan dengan hati-hati ia 

mencoba mengintip Macan Kepatihan yang sudah berjalan agak jauh. Ketika dilihatnya 

rombongan itu, Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Tanu Metir benar. Mereka 

tidak hanya berlima atau berenam. Tetapi sekarang rombongan itu menjadi tidak kurang dari 

sepuluh orang. Bahkan disudut-sudut desa dikejauhan masih mungkin pula berdiri orang-

orangnya yang sedang mengawasi keadaan disekitarnya. 

Perlahan-lahan Swandaru meluncur turun. Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia 

berkata “Ya, Kiai benar. Mereka sudah bersepuluh sekarang. Mungkin masih akan tambah lagi”


“Nah, karena itu, maka sebaiknya kalian tidak tergesa-gesa menentukan sikap apabila kalian 

menghadapi sesuatu. Cobalah membuat perhitungan-perhitungan yang cermat, baru kalian 

menentukan sikap. Tetapi itu tidak berarti bahwa kalian harus membuang-buang waktu untuk itu. 

Kalian perlu berpikir cepat dan tepat” 

Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Tetapi dalam pada 

itu Agung Sedayu bertanya pula “Tetapi Kiai, bukankah yang mereka katakan itu bohong 

belaka? Apakah benar bahwa orang-orang Pajang dan Sangkal Putung selalu berbuat 

sedemikian kasarnya terhadap penduduk?” 

“Tentu tidak ngger” 

“Tetapi orang-orang itu mengatakannya. Mereka berpura-pura menjadi orang Pajang. Dan 

berbuat hal-hal yang jelek atas penduduk” 

Ki Tanu Metir tersenyum. “Namun dengan demikian bukankah kita dapat mengetahuinya, salah 

sebuah cara yang mereka tempuh? Mereka ternyata tidak saja berperang dengan pedang dan 

tombak, namun mereka mempergunakan cara-cara yang licik untuk mengurangi kekuatan 

prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan memisahkan mereka dari penduduk 

disekitarnya. Dan pengetahuan kita atas cara itu adalah sangat penting. Angger Untara dan 

angger Widura harus segera mengetahuinya pula” 

Kembali Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sekali lagi 

mereka menyadari kekurangan mereka. Ternyata orang tua itu telah berbuat menurut 

pertimbangan yang semasak-masaknya. 

Dalam pada itu maka Ki Tanu Metir itu berkata pula “Nah ngger, untuk menghindari 

kemungkinan-kemungkinan yang kurang baik, maka marilah kita meninggalkan tempat ini 

segera. Aku tidak dapat memastikan apakah mereka akan kembali atau tidak. Namun apabila 

mereka kemudian berbicara diantara mereka, dan diketemukannya persoalan-persoalan yang 

mereka anggap kurang wajar, maka mereka pasti akan segera kembali. Karena itu, maka 

marilah kita segera menyingkir” 

Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk dan hampir bersamaan mereka menjawab “Marilah 

Kiai” 

Ki Tanu Metir itupun kemudian berdiri. Dan segera kembali ia meloncat dari satu batu kebatu 

yang lain. Namun kali ini ia berkata “Kalian tidak perlu menginjak batu bekas kakiku. Pilihlah 

sendiri batu-batu mana yang mungkin kalian loncati. Namun kalian dapat melihat, bagaimana 

caraku meloncat. Cara inipun nanti akan sangat berguna bagi kalian dalam langkah-langkah 

unsur-unsur gerak yang akan kalian pelajari” 

Swandaru menarik nafas panjang. Ia tidak perlu lagi jatuh terguling kedalam air. Kini ia dapat 

memilih batu-batu yang tidak sesulit langkah Ki Tanu Metir. Namun meskipun demikian sekali-

sekali ia masih juga harus terjun kedalam air, meskipun tidak terpelanting jatuh. 

Ternyata Agung Sedayu lebih lincah dari Swandaru. Kecakapannya dan bekalnya masih agak 

lebih banyak dari saudara seperguruannya yang gemuk bulat itu. Bahkan dalam olah 

senjatapun Agung Sedayu terpaut cukup jauh dari Swandaru. Dan inilah kesulitan Ki Tanu Metir. 

Namun ia adalah orang yang berpengalaman, sehingga kesulitan itupun pasti akan dapat 

diatasinya. 

Ketika mereka mendekati padukuhan Sangkal Putung, dan ketika mereka sudah sampai 

disekitar tanah persawahan yang sedang digarap, maka merekapun segera berhenti. Mereka 

kemudian berjalan sebagaimana biasa menyelusur tepian memasuki padukuhan Sangkal 

Putung. 

Tetapi ketika seseorang melihat mereka, maka tiba-tiba orang itu tertawa terkekeh-kekeh. 

Mereka segera mengenal Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi bahwa mereka basah kuyup 

adalah sangat menggelikan. “Anakmas Swandaru, kenapa kau menjadi basah kuyup?” 

Swandaru tersenyum lucu sekali. Dengan singkat ia menjawab “Mandi” 

“Apakah kalian mandi dengan seluruh pakaian kalian? Dengan ikat kepala kaian dan kamus 

timang segala?” 

“Ya” 

“Tanpa membuka baju dan kain panjang?”


”Aku tejatuh, tahu” potong Swandaru. 

“Bertiga?” 

“Ya, bertiga. Kami berjatuhan kedalam sungai” 

Orang itu tertawa berkepanjangan. Namun Swandaru tidak memperdulikannya lagi. Mereka 

bersama berjalan tergesa-gesa lewat pinggir kali, kemudian menyusuri parit sidatan yang akan 

sampai dibelakang rumah Swandaru Geni. 

Ketika mereka naik pinggiran susukan itu, maka Swandaru itupun mengumpat-umpat. Regol 

belakang ternyata ditutup rapat-rapat. Dengan jengkelnya Swandaru memukul-mukul pintu 

regol itu. Namun tidak seorangpun yang mendengarnya. 

“Gila orang-orang Sangkal Putung” desahnya. 

“Marilah kita lewat jalan samping” ajak Agung Sedayu. 

“Tidak mau” jawab Swandaru “Pakaian kita basah kuyup. Mereka, seisi halaman pasti akan 

mentertawakan kita” 

“Lalu bagaimana?” 

Swandaru berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba ia berjalan mendekati sebatang pohon randu diluar 

regol halamannya. Lewat pohon itu ia memanjat keatas. Kemudian dengan susah payah ia 

mencoba menggapai dinding halaman. namun ternyata ia tidak berhasil. 

“Bagaimana?” bertanya Agung Sedayu. 

Swandaru menggeleng “Sulit” desahnya. 

“Turunlah, biar aku mencobanya” berkata Agung Sedayu. 

“Huh. Sejak kecil aku sudah pandai memanjat. Kali ini aku tidak dapat meloncati jarak ini. 

Apakah kau pikir kau lebih pandai daripadaku?” 

“Aku hanya akan mencoba” jawab Agung Sedayu. 

Swandaru itupun kemudian meloncat turun. Kini Agung Sedayulah yang mencobanya. Namun 

iapun tidak juga berhasil. Ki Tanu Metir yang melihat mereka berdua sibuk dengan pohon randu 

itu tersenyum. Kemudian katanya “Turunlah ngger. Biarlah aku mencoba pula” 

Agung Sedayupun turun pula dari pohon itu. Namun mereka berdua, Agung Sedayu dan 

Swandaru menjadi heran pula didalam hatinya, apakah Ki Tanu Metir juga cekatan memanjat 

Namun ternyata orang tua itupun masih sangat lincahnya. Dengan cepat ia melonjak naik, 

seperti seekor tupai. Jauh lebih cepat dari Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi Ki Tanu Metir 

itu tidak berhenti ketika ia telah mencapai ketinggian yang sejajar dengan dinding halaman. Ia 

masih naik lagi beberapa depa. Kemudian dengan lincahnya orang tua itu berjejak pada batang 

randu itu dan melenting hinggap diatas dinding halaman yang cukup tinggi itu. 

Sekali lagi Swandaru harus melihat bahwa kelincahan orang tua itu benar-benar mengagumkan. 

Bahwa tidak saja kekuatan tubuhlah yang menentukan segala-galanya. Namun kecekatan dan 

kelincahan akan banyak dapat membantu dalam segala persoalan jasmaniah. 

Ki Tanu Metir itupun kemudian meloncat dan menghilang dibelakang dinding, sedang sesaat 

kemudian regol dinding itupun terbuka “Masuklah” berkata orang tua itu. 

Swandaru dan Agung Sedayu segera melangkah masuk. Meskipun mereka tidak berkata 

apapun, namun didalam kepala Swandaru semakin tajamlah pengakuannya atas seorang yang 

menamakan diri Ki Tanu Metir itu. Bahwa apa yang telah diperlihatkan kepadanya barulah 

sebagian kecil dari segenap ilmunya. Dan karena itulah maka ia menjadi semakin mantap 

berguru kepadanya. 

Jauh dari padukuhan Sangkal Putung, Tohpati berjalan sambil menundukkan wajahnya. 

rombongannya semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga akhirnya sampai pada 

duapuluh orang. Tidak banyak diantara mereka yang bercakap-cakap. Sekali dua kali terdengar 

ada yang berbisik-bisik diantara mereka. Namun kemudian kembali mereka berdiam diri. 

Dalam perjalanan itu, hati Tohpati selalu diganggu seja oleh pertanyaan-pertanyaan yang 

didengarnya dari Ki Tanu Metir “Ya” gumamnya didalam hati “Berapa tahun pertempuran ini 

akan berakhir?” 

Tohpati itupun kemudian berpaling. Dilihatnya beberapa wajah anak buahnya yang kosong. 

Kosong seperti otak mereka yang kosong pula.


“Apakah kepentingan mereka bertempur?” desis Tohpati didalam hatinya “Apakah mereka tahu 

juga, bahwa kami sedang melepaskan dendam kami atasa gugurnya Adipati Jipang?” 

Tohpati itupun terkejut sendiri mendengar kata-kata hatinya “Dendam. Ya. Ternyata mereka kini 

tinggal mencoba untuk melepaskan dendam semata-mata. Seperti kata-kata orang tua 

ditengah-tengah sungai itu. Sebab mereka sudah pasti tidak akan dapat mencapai apa yang 

sejak semula mereka perjuangkan mati-matian. Kembalinya tahta pada garis keturunan Sekar 

Seda Lepen yang terbunuh sebelum sempat duduk diatas singgasana. 

Macan Kepatihan itu berdesah didalam hatinya. Apakah sudah sewajarnya kalau ia membawa 

orang-orang yang tidak tahu-menahu itu kedalam suatu peperangan yang tak akan kunjung 

habis. Sedang ia tahu pasti bahwa akhir dari perjuangan ini bukanlah suatu yang dapat 

dibangga-banggakan. Bagi dirinya sendiri, sudah pasti tidak ada jalan kembali. Namun bagi 

orang-orangnya yang tidak banyak mengetahui tentang Arya Penangsang dan tuntutan-

tuntutannya? 

Tiba-tiba Macan Kepatihan itu mengumpat “Setan. Orang tua itu bukan orang yang tolol” 

Sanakeling terkejut. Selangkah ia menyusul maju dan bertanya “Kenapa?” 

Macan Kepatihan menggeram dengan marahnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti dan dengan 

kepala tengadah ia mengulangi kata-katanya “Orang tua ditengah sungai itu benar-benar bukan 

orang bodoh”Sanakeling mengangkat alisnya. Kata-kata Tohpati itu mengherankannya. Apakah 

yang sebenarnya menarik pada orang tua itu? Tohpati telah memberi kesan kepada orang tua 

itu seolah-olah orang Pajanglah yang selalu datang kepadesannya dan merampas beras. 

Bukankah itu sudah memberikan suatu keuntungan. Kalau orang tua itu menyebarluaskan kata-

kata Tohpati, maka mereka, penduduk Benda pasti akan membenci laskar Pajang dan setidak-

tidaknya akan mengurangi bantuan mereka kepada orang-orang Pajang. Sehingga orang-orang 

Benda tidak lagi akan memberikan banyak keterangan tentang gerakan-gerakan Tohpati yang 

dapat mereka lihat dan mereka ketahui. 

Tetapi Sanakeling itu menjadi semakin terkejut ketika Tohpati berkata “Ternyata kitalah yang 

bodoh. Bukan orang tua itu” 

“Siapakah orang tua itu menurut dugaanmu?” bertanya Sanakeling. 

Macan Kepatihan menggeleng “Aku tidak tahu. Tetapi orang itu memberikan suatu kesan yang 

aneh didalam hatiku. Ia bukan tidak sengaja mengajukan berbagai pertanyaan dan pasti 

bukanlah kebetulan kalau mereka berada ditempat itu disiang hari begini” 

Sanakeling tidak bertanya lagi. Namun ia benar-benar heran ketika ia melihat mata Tohpati 

kemudian menjadi suram. 

“Apakah kita akan kembali lagi kesungi itu untuk meyakinkan diri?” 

Tohpati menggeleng “Tidak ada gunanya. Mereka pasti telah pergi. Mereka pasti bukan orang-

orang Benda. Dan anak-anak muda itu pasti bukan cucunya. Aku terpengaruh melihat mereka 

basah kuyup, sehingga aku kehilangan kewaspadaan dalam mengamati mereka. Sekarang aku 

baru membayangkan kembali kedua anak muda itu. Matanya bersinar tajam. Mulutnya terkatub 

rapat. Namun mereka duduk dengan suatu kepastian didalam hati mereka. Mereka duduk 

terlalu tenang dan mereka sama sekali tidak keheranan melihat kita. Yang bertubuh kecil 

agaknya seorang anak muda yang tenang dan menyimpan sesuatu didalam tubuhnya, sedang 

yang gemuk rasa-rasanya aku pernah melihatnya” 

“Dimana?” 

Macan Kepatihan berpikir sejenak. Dicobanya untuk mengingat-ingat kapan ia melihat anak 

muda itu. Tetapi anak muda itu basah kuyup seluruh pakaiannya, sehingga memberikan kesan, 

seakan-akan anak itu benar-benar seorang anak padesan yang bodoh. Namun setelah Tohpati 

dengan segenap daya ingatnya mencoba mengenalnya, maka tiba-tiba Macan Kepatihan itu 

berteriak “Gila!. Kita tidak saja bodoh, tetapi kita sudah benar-benar gila, Sanakeling. Apakah 

kaut tidak mempunyai mata lagi he?” 

Sanakeling menjadi bertambah heran “Apa yang telah kau lihat?” 

“Anak itu. Anak yang gemuk itu. Bukankah anak itu pernah turut dalam lomba memanah 

dilapangan dekat banjar desa Sangkal Putung? Bukankah anak itu yang menjadi pemenang 

diantara anak-anak muda Sangkal Putung?” 

Sanakeling mengerutkan keningnya sambil menggigit bibirnya. Akhirnya iapun tersentak sambil


berkata “Ya, ya. Aku melihat pula waktu itu. Aku memang melihat anak yang gemuk seperti 

anak muda yang basah kuyup seperti tikus sawah itu tadi” 

“Hem” Tohpati menggeram, namun kemudian ia berkata “Biarlah mereka kembali dengan suatu 

pengertian, bahwa Tohpati tidak saja mampu bertempur dengan senjata. Tetapi Tohpati juga 

berbuat hal-hal yang lain, yang dapat mempersempit gerakan orang Pajang” 

“Tetapi mereka kini mengetahui cara itu. Anak itu pasti akan menyampaikannya kepada Widura 

atau Untara yang sekarang sudah berada di Sangkal Putung pula” 

“Ya. Tetapi Untara akan melihat pula bahwa luka-luka Tohpati yang ditimbulkannya kini telah 

sembuh benar-benar. Tohpati telah menjadi segar kembali. Dan sebentar lagi Tohpati akan 

mampu menggulung Sangkal Putung” 

Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Marilah kita kembali. Kita lihat, 

apakah mereka masih berada ditempat itu” 

Tohpati menggeleng, katanya “Mereka bukan orang-orang bodoh seperti kita. Mereka pasti 

tahu siapa kita. Karena itu mereka pasti sudah pergi” 

Sanakeling tidak menjawab. dilihatnya betapa Tohpati menjadi sangat kecewa karenanya. 

Tetapi Sanakeling tidak melihat bahwa hati Macan Kepatihan yang tak pernah dapat 

digoncangkan itu kini sedang ragu-ragu. Diragukannya kata-katanya sendiri “Apakah ia benar-

benar mampu menggulung Sangkal Putung?” 

Dan kembali beberapa pertanyaan telah menggoncangkannya pula. Pertanyaan yang 

menggores dinding hatinya “Apakah sebenarnya yang akan aku dapatkan dengan menduduki 

Sangkal Putung? Makan. Itu saja?” 

Pertanyaan itu tak pernah mengganggunya sebelum ia bertemu dengan orang tua di tengah-

tengah sungai itu. Pertanyaan itu bahkan tidak pernah ada. Namun kini pertanyaan itu sangat 

mengganggu ketenangannya. Bahkan kemudian pertanyaan-pertanyaan yang lain bermunculan 

pula didalam benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat menyulitkannya. Apakah ia untuk 

seterusnya akan dapat menduduki Sangkal Putung apabila berhasil direbutnya? “Tidak” 

pertanyaan itu dijawabnya sendiri. “Widura dan Untara akan mengerahkan pasukan yang kuat 

untuk merebut Sangkal Putung. Merampas kembali kademangan itu. Meskipun aku telah 

mendapatkan beberapa pikul padi dan kekayaan-kekayaan yang lain tetapi beberapa bulan 

kemudian, maka kami akan kelaparan lagi. Dan pasukan Untara akan diperkuat pula. Sedang 

apabila kami tetap bertahan dikademangan itu, apakah yang akan kami lakukan kemudian? 

Menjadi Adipati? Mewarisi cita-cita Arya Penangsang?” 

“Menjemukan” desisnya tiba-tiba. Sanakeling terkejut mendengar kata-kata itu sehingga 

dengan serta-merta ia bertanya “Apa yang menjemukan?” 

Tetapi Macan Kepatihan sendiri bukan main terkejutnya mendengar kata-kata itu. Kata-katanya 

sendiri. 

Sehingga karena itu maka Macan Kepatihan itu menjadi gelisah. Apalagi ketika Sanakeling 

mendesaknya “Apakah yang menjemukan he?” 

Tohpati menjawab sekenanya “Widura dan Untara. Mereka benar-benar menjemukan. Karena 

itu mereka harus segera dilenyapkan. Ayo, kita kembali. Malam ini Sangkal Putung kita bakar 

sampai habis. Persetan dengan segala lumbung-lumbungnya dan persetan dengan segala 

macam isinya” 

Sanakeling mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Macan Kepatihan menjadi merah 

membara. Namun demikian ia menjawab “Bagaimana mungkin. Sebagian orang-orang kita 

tidak ada ditempat. Mereka sedang mencoba mengambil perbekalan keutara” 

“Aku tidak peduli” 

“Masih harus dipertimbangkan” sahut Sanakeling. “Aku tidak mau membunuh diri” 

“Terserah kepadamu. Aku akan pergi malam ini” 

“Jangan kehilangan perhitungan” 

Tohpati tersadar dari kebingungannya. Ketika dilihatnya Sanakeling penuh kebimbangan, maka 

berkatalah Macan Kepatihan itu kemudian “Kau tidak sependapat?” 

“Berbahaya sekali” 

“Kapan orang-orang yang pergi itu akan datang kembali?”


“Tiga empat hari. Mereka akan membawa sisa-sisa laskar kita yang betembaran disisi utara 

Pajang. Kekuatan itu akan dipusatkan disini. Bukankah begitu kehendakmu? Nanti apabila kau 

telah berhasil disini, maka kau akan membawa seluruh barisan keutara dan melepaskan 

beberapa kepentingan diselatan. Kalau keadaan diutara menjadi lebih baik, kau akan 

bertempur dan memulai perjuangan seterusnya dengan landasan daerah utara. Bukankah 

begitu?” 

Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan bimbangnya ia berkata “Ya. Aku pernah 

berkata demikian” 

“Nah, karena itu, apakah kau akan menunggu orang-orang yang pergi itu?” 

“Ya, aku akan menunggu dalam waktu yang pendek. Setelah itu, aku tidak akan dapat 

menunda lagi. Sejak kini seluruh pasukan harus disiapkan” 

“Bagus. Kita harus menebus kekalahan yang pernah terjadi, bukan untuk mengulangi 

kesalahan itu” 

“Ya, kau benar. Mari kita kembali” 

Tohpati tidak menunggu jawaban Sanakeling. Dengan tergesa-gesa ia melangkah kembali 

kesarangnya. Sanakeling berjalan dibelakangnya bersama-sama dengan Alap-alap Jalatunda. 

Dengan berbisik-bisik alap-alap muda itu bertanya “Kenapa dengan Macan Kepatihan itu?” 

Sanakeling menggeleng. Entahlah. Mungkin orang tua ditengah-tengah kali yang dijumpainya 

tadi membiusnya. Ia tampak bingung dan hampir-hampir kehilangan keseimbangan” 

“Tetapi bukankah ia masih mendengarkan nasehat kakang?” 

“Untunglah demikian. Kalau tidak, maka ia akan membunuh dirinya” 

Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Ia berjalan saja disamping Sanakeling. Didalam hatinya ia 

bergumam “Untunglah, Tohpati mendengarkan nasehatnya. Kalau tidak, maka laskarnya akan 

menjadi semakin tercerai berai” 

Tetapi orang-orang itu ternyata tidak tahu kalau Untara terluka. Sehingga dengan demikian 

maka mereka tidak mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkan Sangkal Putung 

meskipun Widura masih ada. Seandainya Tohpati tahu, maka ia akan mempergunakan saat itu 

sebaik. Dan bahkan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda pasti akan menyetujuinya. Mereka 

pasti tidak akan memperhitungkan hadirnya seorang dukun tua yang pasti akan 

menggemparkan mereka, seandainya ia mau berbuat sesuatu didalam pertempuran yang 

terjadi 

Karena itulah maka kini Macan Kepatihan benar-benar telah kehilangan pengertian dan 

gambaran tentang kekuatan yang sebenarnya ada di Sangkal Putung. Anak-anak muda yan 

semakin hari tekadnya semakin menyala dan berlatih dengan tak mengenal lelah. Orang-orang 

tuapun tidak juga mau ketinggalan. Meskipun Sidanti meninggalkan Sangkal Putung, namun 

Agung Sedayu telah siap menggantikannya dalam setiap persoalan. Anak muda itu ternyata 

tidak kalah dari Sidanti dalam segenap hal. Apabila ia telah memiliki pengalaman seperti Sidanti, 

maka Agung Sedayu benar-benar tidak akan mengecewakan. 

Demikianlah ketika Macan Kepatihan menyiapkan kembali sebuah serbuan yang akan 

dilancarkan atas Sangkal Putung, maka Sangkal Putungpun sedang giat menempa dirinya. 

Sementara itu Swandaru dan Agung Sedayu telah dengan tekun menuruti nasehat-nasehat Ki 

Tanu Metir. Mereka kini tidak lagi berlatih disungai. Tetapi mempergunakan ruang-ruang 

tertutup dibelakang kademangan, atau ditempat lain yang telah disediakan oleh Ki Demang 

Sangkal Putung. Apabila malam datang, maka pergilah mereka berjalan-jalan bersama dengan 

Widura dan kadang-kadang Untara ke gunung Gowok. Ditempat itulah Swandaru dan Agung 

Sedayu bekerja keras untuk membentuk dirinya. Namun sebagian perhatian Ki Tanu Metir dititi-

beratkan pada Swandaru. Anak yang gemuk itu harus mencapai tingkatan yang tidak begitu 

jauh dari Agung Sedayu. Barulah mereka dapat bersama-sama menerima pimpinan dan 

bimbingan yang serupa. 

Semakin hati luka Untarapun menjadi semakin ringan. Bahkan kini luka itu telah tidak 

mengganggunya lagi. Karena obat-obat reramuan yang dibuat oleh Ki Tanu Metir dan 

diminumnya setiap hari, maka kesehatannyapun telah benar-benar pulih. Kekuatan tenaganya, 

ketangkasannya, sehingga Untara telah benar-benar siap untuk melakukan tugasnya kembali.


Dihari-hari terakhir, Untara telah mendengar pula dari orang-orangnya bahwa kegiatan Tohpati 

telah ditingkatkan. Tohpati telah melakukan kegiatan yang melampaui kebiasaan. Tetapi 

setelah lewat tiga hari dari peristiwa dipinggir kali itu, Tohpati ternyata belum melakukan 

sergapannya. Namun dengan demikian, berarti kepada Tohpati telah menjadi dingin kembali, 

dan persiapannya akan menjadi lebih masak. 

Sebenarnyalah Tohpati kemudian menjadi lebih tenang. Ia tidak lagi berbuat tergesa-gesa. 

Bahkan dua kali ia telah menunda rencananya untuk menyerang Sangkal Putung. 

Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan orang-orangnya semula menganggap bahwa Macan 

Kepatihan merasa persiapannya masih belum cukup masak. Namun setelah Macan Kepatihan 

menunda rencananya sampai dua kali, maka mereka terpaksa menduga-duga. Apakah yang 

sebenarnya telah terjadi pada pemimpin laskar Jipang yang gigih itu. 

Tetapi tak seorangpun yang tahu, apakah yang telah bergolak didalam dada Tohpati. Seorang 

senapati yang tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil setiap keputusan. Seorang pemimpin 

yang mempunyai perbawa yang kuat, dan seorang pemimpin yang berjiwa kepemimpinan. 

Tetapi pada saat-saat terkhir, Tohpati tampaknya selalu ragu-ragu atas segala keputusannya. 

Bahkan kadang-kadang tampak ia menjadi bingung tak bernafsu. 

Keadaan itu benar-benar mencemaskan beberapa orang pembantunya. Terutama Sanakeling 

dan Alap-alap Jalatunda. Namun sampai sedemikian jauh, belum ada diantara mereka yang 

berani menanyakannya. 

Meskipun laskar Jipang kemudian telah siap melakukan segala macam perintahnya, meskipun 

seluruh sisa-sisa pasukan Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan sisa-sisa laskar Plasa Ireng 

beserta laskar yang tercerai berai telah berkumpul dihutan-hutan disebelah barat Sangkal 

Putung, namun Tohpati tidak segera mulai dengan serangannya. Bahkan tampaklah ia menjadi 

murung dan ragu-ragu. Namun dalam saat-saat terakhir, Macan Kepatihan itu selalu berjalan 

berkeliling, dari seorang laskarnya keorang berikutnya. Mereka bercakap-cakap dan berbincang 

dalam berbagai persoalan. Mereka berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tidak 

bersangkut-paut dengan kelaskarannya. 

Beberapa orang anggota laskarnya menjadi heran dan terkejut. Pemimpinnya yang ditakuti dan 

disegani itu tiba-tiba telah datang kepadanya, menepuk pundaknya sambil bertanya dalam 

banyak persoalan. 

Seorang yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis jarang-jarang hampir tak dapat menjawab 

ketika tiba-tiba saja Tohpati telah berdiri disampingnya sambil bertanya “He, apa kerjamu?” 

Orang itu memandang pemimpinnya seperti baru sekali dilihatnya, sehingga Tohpati itu 

mengulangi “Apa kerjamu?” 

Terbata-bata orang itu menjawab “Duduk tuan, aku hanya duduk saja” 

Tohpati tersenyum. Dipandanginya wajah yang kurus pucat itu. Tiba-tiba ia bertanya pula 

“Berapa umurmu?” 

Delapan belas tahun, tuan” 

“He?” Tohpatilah yang kemudian terkejut. Anak itu berumur delapan belas tahun. Namun 

wajahnya tampak jauh lebih tua dari umurnya itu. Sehingga hampir tidak percaya ia mengulangi 

pertanyaannya “Umurmu berapa?” 

Laskar yang kurus itu benar-benar menjadi heran. Namun ia menjawab “Delapan belas tahun 

tua. Benar-benar delapan belas tahun” 

Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan wajah yang suram ia berkata “Kau masih 

sangat muda. Apakah kau masih mempunyai ayah dan ibu?” 

Anak itu menggeleng. Tiba-tiba wajah anak itupun menjadi suram pula sesuram wajah 

pemimpinnya. Dengan suara parau ia menjawab “Ayah telah mati terbunuh beberapa bulan 

yang lampau” 

“Kenapa? Bertanya Tohpati “Siapakah yang membunuhnya?” 

“Ayah terbunuh ketika laskar Pajang memasuki padukuanku. Ayah mencoba ikut bertahan. 

Namun ujung tombak orang Pajang telah menyobek dadanya” 

“Oh” Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan nada yang rendah ia bertanya 

“Sekarang apakah kau ingin menuntut kematian ayahmu itu?”










 

Share:

0 comments:

Posting Komentar