..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 08 Januari 2025

SI TOLOL EPISODE SERIGALA SERIGALA BERBULU DOMBA

matjenuh khairil

 

SERIGALA BERBULU DOMBA

Oleh Djair Warni

© Penerbit Rosita, Jakarta

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk apa-

pun tanpa ijin tertulis dari penerbit


SATU


Entah berapa lama sang Raden bersungut-

sungut sendirian di atas kursi goyang itu. Keringatnya 

tampak semakin deras membasahi sekujur tubuhnya.

Dan Wangsa yang sedang uring-uringan, bagai 

bayi kehilangan dot itu tiba-tiba terhentak dari lamu-

nannya. Ia segera bangkit dari kursi itu dan langsung 

berdiri di dekat jendela sambil mengetuk-ngetuk bing-

kai jendela dengan ujung jarinya seakan-akan sedang 

mengalunkan sebuah lagu.

Wajah Den Wangsa yang sebelumnya cemberut, 

kini berubah menjadi cerah. Rupanya sang ilham telah 

masuk ke otaknya.

Hmmm... Tak salah lagi. Pasti ada orang lain 

yang mendahuluinya. Aku yakin, bukan Si Picek itu 

yang mengerjakan, tetapi ada orang lain yang lebih du-

lu mengosongkan peti itu. Gumamnya sambil mang-

gut-manggut.

Otak yang cukup brilian itu dengan cepat dipu-

tar bagai sebuah komputer. Ia terus mengingat-ingat 

kejadian-kejadian sebelumnya untuk memperoleh ja-

waban yang tepat dari kegagalan yang telah diala-

minya.

"Ya...! Ini memang salahku sendiri. Mengapa 

otak itu kubiarkan terus melekat pada tubuh si anak 

bego' itu. Kalau tidak, tentu tak ada seorang pun yang 

bisa mendahuluinya. Eh...! Hmmm... tapi jangan-

jangan si Tolol sendiri yang mengerjakannya. Ya... bisa 

juga si Tolol yang berbuat sehingga si Picek kalah ce-

pat. Apakah si Tolol mampu berbuat semacam itu?

Adakah orang lain di belakangnya? Ah... tidak! 

Mungkin saja si Tolol hanya berlagak blo'on untuk


menyembunyikan kecerdasannya, padahal telah jauh-

jauh hari ia membuat rencana untuk memiliki harta 

itu. Kini harta itu telah berada di tangannya!" gumam 

Wangsa yang terus menduga-duga di dalam hati,

"Hmmmh. Rupanya dia pun belum kenal siapa 

Wangsa!" Dalam soal ngakal-mengakali persiapan ku 

lebih dari segudang. Tunggu saja. Sebentar lagi aku 

akan membuktikannya, gumamnya lagi sambil terse-

nyum. Jalan pikiran Den Wangsa tiba-tiba terhenti 

dengan timbulnya suara gaduh dari ruang belakang.

Suara-suara itu ternyata datangnya dari ruang 

dapur. Di ruang itu tampak Den Tompel, putra sulung 

Den Surya sedang marah-marah. Hampir semua pera-

botan dapur yang terdiri dari barang pecah belah be-

rantakan ke sana-ke mari terutama piring dan mang-

kuk-mangkuk.

Encum telah berusaha mencegahnya, tapi apa 

daya, kemampuan gadis kecil ini terbatas sekali, ak-

hirnya ia hanya bisa duduk tersipu sambil menangis 

menyaksikan apa yang dilakukan oleh majikannya.

Tetapi ketika melihat sang juragan itu men-

gambil sebuah kampak yang biasa digunakan untuk 

membelah kayu, Encum spontan berteriak dengan ke-

ras hingga suaranya terdengar hingga ke ruang depan.

"Ya... Allah! Jangan dipecahkan semua perabo-

tan dapur ini, Gan...!" teriak Encum untuk mencegah 

atau menghindari kerusakan yang lebih parah lagi.

"Diam kau!" bentak sang majikan dengan keras.

"Ada apa sebenarnya Agan ini? Kenapa semua 

perabotan dapur yang menjadi sasaran?!" sela Encum 

yang mencoba memberanikan diri sambil menarik ga-

gang kapak itu dari tangan majikannya.

"He, anak perempuan bau kencur! Tak usah 

kau campuri urusanku! Ini urusan majikanmu! Men



gerti kau?!" balas Tompel dengan nada mengancam.

"Tapi Gan, kenapa perabotan itu yang menjadi 

sasaran? Sekarang Agan pun akan menghancurkan 

meja ini. Kenapa Gan, kenapaaaaaa...?" tanya Encum 

yang berusaha mencoba merebut benda yang masih 

digenggam oleh Den Tompel.

Den Tompel yang datang dalam keadaan ma-

buk itu, sulit untuk mendapat nasehat maupun saran. 

Segala kehendaknya harus terlaksana dan tak ada 

yang boleh mencegahnya. Ini terbukti pada diri gadis 

kecil ini, tanpa merasa kasihan lagi sang majikan lang-

sung melemparkannya. Untung saja Encum tidak ja-

tuh ke dalam air yang masih mendidih atau ke peca-

han keramik-keramik yang berserakan di lantai.

"Ku ingatkan sekali lagi padamu. Tutup mulut 

dan jangan banyak omong lagi. Kalau kudengar kau 

masih buka mulut, tahu sendiri akibatnya. Ku tempe-

leng kau habis-habisan. Mengerti?" ancam Den Tompel 

sambil menjambak rambut pembantunya.

Sebelum melaksanakan niatnya Tompel segera 

mengambil pundi yang berisi tuak, kemudian ia mi-

num tuak tersebut hingga benar-benar kering. Semen-

tara itu kampak besar masih tetap berada di tangan-

nya. Encum kini tak berani lagi berbuat apa-apa, se-

bab ia takut sekali dengan ancaman sang juragan yang 

semua orang umumnya tahu, bahwa Den Tompel 

mempunyai watak yang keras dan setiap tindakannya 

selalu tanpa pikir panjang lagi.

Ketika Den Tompel sedang menghabisi sisa mi-

numan yang ada di dalam botol itu, tiba-tiba datang 

Den Wangsa menemuinya. Ia langsung menepuk bahu 

kemenakannya sambil tersenyum.

"Tak usah khawatir, Tompel...! Paman masih 

menyimpannya. Di kamar paman masih ada satu pun


di lagi, kau mau bukan?!" sapa sang paman yang tetap 

masih mengelus-elus bahu kemenakannya seakan-

akan terkesan penuh kasih sayang.

"Oh...!" lenguh Tompel sambil bersendawa.

"Paman memang sengaja menyimpannya un-

tukmu. Mari kita ambil."

Sang paman yang sudah mempunyai rencana 

ini, langsung mengajak Den Tompel ke kamarnya.

"Ada apa rupanya yang menyebabkan kau men-

jadi kalut begini, Nak?" tanya Den Wangsa dalam per-

jalanan menuju ke kamarnya.

"Aku kalah lagi, Paman!" jawab Tompel tak 

acuh.

"Ooo... cuma itu? Kalau cuma begitu sih tak 

usah khawatir." balas sang Paman.

"Maksud Paman?!" tanya Den Tompel dengan 

mata mendelik memandangi Wangsa yang masih ter-

tawa lebar.

"Kenapa musti repot-repot? Paman kan masih 

ada. Dan selalu bersedia memberikan bantuan untuk-

mu, di mana dan kapan saja kau perlukan," kata 

Wangsa dengan senyum yang tambah dibuat-buat.

"Benarkah itu, Paman?!" ucap Tompel dengan 

mata yang tambah mendelik lagi dan semakin penuh 

perhatiannya kepada sang Paman itu.

"Apakah selama ini paman suka berbohong pa-

damu? Hmmm... sudahlah. Mari kita masuk dulu, kita 

minum dan sambil ngobrol-ngobrol di dalam!" ujarnya 

lagi setelah membuka pintu kamarnya yang sebelum-

nya terkunci rapat.

Dengan keramahan yang dibuat-buat Den 

Wangsa mengajak Den Tompel masuk ke kamarnya. 

Setelah Den Tompel duduk ia pun langsung menyedia-

kan minuman yang ia janjikan sebelumnya.



"Ayolah minum, Nak...!" ujar Den Wangsa sam-

bil menyodorkan minuman keras tersebut.

"Terima kasih, Paman!" ucap Den Tompel sete-

lah menerima minuman dari pamannya. Kemudian ba-

gaikan orang yang kehausan Den Tompel langsung 

menenggak minuman tersebut tanpa putus-putus dan 

dalam waktu singkat keringlah isi pundi yang baru di-

letakkan oleh Den Wangsa.

"Nih...! Terimalah! Terserah kau, kapan saja 

gantinya. Seandainya kau belum ada dan masih mem-

butuhkan lagi. Jangan segan-segan, Pamanmu selalu 

siap membantu," ucap Den Wangsa sambil meletakkan 

beberapa uang logam di atas meja tak jauh dari pundi 

yang telah habis isinya.

"Terima kasih, Paman," sambut Den Tompel ke-

girangan dan dengan cepat ia bangkit dari kursi. Sete-

lah meraup uang yang ada di meja. Tompel permisi ke-

pada pamannya untuk pergi.

"Mau ke mana kau, Tompel?" tanya Den Wang-

sa dengan penuh perhatian.

"Aku mau nebus kekalahan ku!" jawab Tompel 

singkat.

"Tunggu...! Duduklah dulu!" pinta pamannya.

"Ada apa lagi, Paman?" tanya Tompel yang tam-

paknya sudah bernafsu sekali untuk kembali berjudi.

"Ketahuilah, Nak...! Kelakuanmu itu belum se-

berapa apabila kau bandingkan dengan harta milikmu 

yang kini kau belum peroleh. Boleh dibilang tak ada 

seujung kuku. He... he... heh!" bisik Den Wangsa mulai 

memanas-manasi keponakannya.

Den Tompel yang rencananya akan berangkat 

dari tempat itu, terpaksa mengurungkan niatnya, ka-

rena apa yang didengarnya barusan sangat menarik 

perhatiannya.



Sang paman pun cukup cerdik dalam menyu-

supkan hasutannya kepada Den Tompel, ia sengaja 

menyampaikannya sedikit demi sedikit agar si kepona-

kan itu menjadi penasaran.

"Sebenarnya, apa yang paman maksudkan?" 

tanya Den Tompel yang tanpa disadari ia telah terpaku 

beberapa saat.

"Ah... tidak... tidak apa-apa! Sebenarnya ini 

sangat rahasia, aku takut menyampaikannya," jelas 

sang paman kembali seakan-akan menguji, apakah 

Tompel mulai terpengaruh atau tidak.

Ternyata Den Tompel tampaknya sangat serius 

sekali dengan cerita itu, ia mohon kepada pamannya 

untuk menjelaskan maksud dari ucapan pamannya 

tadi.

"Cepatlah katakan, Paman. Apa sebenarnya 

yang telah terjadi di rumah ini. Tadi Paman menyebut-

nyebut masalah harta. Harta itu kepunyaan siapa dan 

di mana adanya...?" ujar Den Tompel dengan sungguh-

sungguh.

"Sudah kukatakan tadi, bahwa ini adalah san-

gat rahasia. Tapi apabila kau berjanji tidak akan men-

ceritakannya kepada siapa-siapa dan tak membuka 

dari mana sumbernya, tentu aku akan menjelaskan-

nya kepadamu. Sebab ini adalah harta warisan yaitu 

tentang ketidakadilan dalam pembagian harta warisan 

oleh ayahmu kepada kalian, terutama kau anak yang 

paling tua," jelasnya dengan lembut namun sebenar-

nya adalah racun yang berbahaya apabila telah mera-

suk ke dalam jiwa orang yang dipengaruhinya.

"Baik, Paman...! Sungguh aku berjanji tak akan 

menceritakan kepada siapapun juga, termasuk ketiga 

saudara-saudaraku!" jawab Tompel yang semakin se-

rius.


"Nah, kalau begitu baiklah. Sekarang kau den-

garkan! Sebenarnya dalam pembagian harta ada keti-

dakadilan!" ucap Den Wangsa.

"Oh...! Mengapa bisa begitu?!" sahut Den Tom-

pel yang terus melotot seakan enggan berkedip, dalam 

menyimak pembicaraan tersebut.

"Yah... inilah yang sebenarnya yang aku akan 

sampaikan kepadamu. Sebab biar sampai kapan pun 

kau tak akan mengetahuinya, kalau aku tak menje-

laskannya. Ada sejumlah harta yang sangat besar ni-

lainya, yaitu berupa emas permata sengaja tak ditu-

liskan oleh Juru Tulis Tirta atas pesan ayahmu."

"Benarkah itu?!" sela Tompel kembali sambil 

menggaruk-garuk kepalanya, namun pandangannya 

tetap mengarah kepada pamannya.

"Terserah bagaimana tanggapanmu. Aku hanya 

sekedar menyampaikan saja, sebab aku merasa sangat 

prihatin atas perlakuan Mas Suryakanta terhadap ka-

lian bertiga."

"Ya... ya! Teruskan, Paman, teruskan!" seru 

Tompel yang kelihatan sudah tidak sabar lagi.

"Harta yang begitu besar nilainya, kini sudah 

diberikan kepada si Tolol seorang!" bisik Wangsa ke te-

linga Tompel.

"Gila!" suara Tompel tiba-tiba meledak sambil 

memukul meja yang ada di dekatnya dengan keras se-

kali, sehingga apa yang ada di atas meja itu jatuh be-

rantakan. "Bagaimana ini bisa terjadi, Paman?!" teriak 

Tompel kembali.

"Sebenarnya aku ingin mengatasi masalah ini. 

Tapi kau harus mengerti, aku tak punya hak apa-apa 

dalam mencampuri urusan warisan kalian," ucap 

Wangsa sepertinya seorang yang penuh bijaksana, pa-

dahal dialah biang keroknya.


Den Tompel yang masih terpengaruh minuman 

keras ditambah lagi dengan datangnya hasutan sema-

cam itu, tampak semakin beringas. Duduknya pun tak 

bisa tenang, bagai ada jarum di atas kursi yang ia du-

duki. Sebentar-sebentar ia bangun, kemudian duduk 

kembali, begitulah seterusnya. Yang terakhir ini ia 

berdiri tegap dengan kaki yang sebelah kanan dinaik-

kan ke atas kursi dan golok yang Sejak tadi sudah di-

keluarkan dari sarung, masih tetap digenggamnya.

"Cepat katakan, Paman. Apa yang harus aku 

lakukan sekarang. Aku tidak terima perlakuan sema-

cam ini! Huh! Tak kusangka anak bego' macam dia le-

bih dihargai ayah dari pada kami bertiga! Terlalu!" 

ucap Tompel dengan mata yang mulai memerah.

"Tenanglah Tompel, tenanglah dulu! Masih ada 

jalan keluar kalau kalian mau. Mudah sekali cara 

mengatasinya," ucap Wangsa yang berusaha terus 

memancing kemarahan Tompel hingga sampai pada ti-

tik puncaknya.

"Lalu, bagaimana caranya, Paman?" tanya 

Tompel dengan antusias.

"Kenapa susah-susah. Temui saja si Tolol," sa-

hut Wangsa sambil menghisap pipa yang baru saja 

disulutnya.

"Lalu. Apa yang musti kuperbuat setelah itu?" 

tanya Tompel lagi dengan nada gemas sekali.

"Mintalah harta itu, kemudian kalian bagi men-

jadi empat bagian. Masalah pengaturannya terserah 

kaulah, apakah kalian mau bagi sama rata atau kau 

yang merasa lebih tua harus mendapatkan lebih ba-

nyak," ujar Wangsa yang terus menerus membakar pe-

rasaan Tompel.

"Bagaimana kalau dia tak mengaku?" tanya 

Tompel sambil menggebrak meja untuk kesekian kalinya.

"Kau ini benar-benar tolol sekali. Masa' menga-

tasi persoalan macam begitu harus minta diajari juga. 

Atasilah dengan caramu sendiri. Mana ada sih maling 

yang mau mengaku?"

Lidah beracun dari si Wangsa ini sangat jitu 

sekali. Kata demi kata yang begitu manis dan keluar 

dari mulut busuknya telah benar-benar meresap ke 

tubuh Tompel dari mulai ujung kaki sampai ke ubun-

ubun. Kekalahan judi dan minuman sudah tak terin-

gat lagi di dalam benaknya. Kini yang tersirat hanyalah 

harta yang mempunyai nilai besar. Itulah sebabnya ia 

berkali-kali mengerutkan alisnya yang disertai desahan 

nafas yang memburu.

Melihat keadaan tersebut si Goreng Patut 

Wangsa, cukup kecut juga hatinya. Jangan-jangan bu-

kan hanya meja dan kursi yang patah, tetapi tulang-

tulangnya pun bakal remuk kalau sampai Tompel 

mengamuk di kamarnya. Untuk mencegah hal tersebut 

ia buru-buru membujuk anak yang sudah kalap itu.

"Sudahlah! Cepat kau selesaikan masalah ini. 

Jangan sampai pihak Kota praja mengesahkan pemba-

gian waris yang kini sedang digarap oleh Juru Tulis 

Tirta," ucap Wangsa sambil memandang keadaan di 

luar melalui jendela kamarnya.

"Huuh! Di mana dia sekarang, Paman?" tanya 

Tompel kepada Wangsa yang masih tetap dengan posi-

sinya, membelakangi Tompel.

"Entahlah! Cari sendiri! Selama ini memang dia 

jarang di rumah. Kelihatan sekali kelicikannya, bu-

kan?!" jawab Wangsa tanpa menoleh sedikitpun juga, 

"Rupanya dia berusaha menghindari diri dari kalian 

bertiga. Tapi kau pun harus waspada pula. Tak mung-

kin ia bekerja sendiri, pasti ada orang lain di belakangnya."

"Siapa orang itu, Paman?" tanya Tompel sema-

kin penasaran.

"Siapa lagi kalau bukan dia! Memang selama ini 

ia tampaknya lemah tak berdaya, kita suruh apa saja 

dia mau mengerjakannya, diberi atau tidak upahnya 

dia menerima saja. Ternyata orang yang kita kasihani 

itu punya tujuan tertentu di dalam rumah ini. Pantas 

saja ia sangat dekat sekali dengan si Tolol, aku baru 

tahu sekarang."

Istilah sekali mendayung dua buah pulau ter-

lampui, mulai digunakan Wangsa, tapi istilah yang di-

buat untuk tujuan baik, baginya digunakan untuk tu-

juan memperlancar tujuan jahatnya.

"Kau sudah dapat menerka, siapa orang itu, 

bukan?" tanya Wangsa kepada Tompel.

Tompel yang saat itu masih mengingat-ingat 

orang yang dimaksud oleh pamannya diam sejenak.

"Ya! Aku sudah tahu!" ucap Tompel setelah da-

pat mengetahui orang yang dimaksud pamannya.

"Siapa?" tanya pamannya kembali.

"Siapa lagi kalau bukan si Tua Bangka itu!" ja-

wab Tompel yang tak bosan-bosan menggebrak meja. 

Untuk kali ini bukan dengan tangan, tetapi dengan go-

lok yang dibacokkan ke meja Den Wangsa hingga tem-

bus ke bawah.

"Ya... ya, carilah mereka. Dan yang lebih utama 

kau harus cari si Tolol itu!" sambut Den Wangsa sam-

bil meringis dengan mata yang terus melirik ke meja 

ukiran kesayangannya yang rusak akibat bacokan ta-

di.

"Paman! Di Babakan Sumedang ini semua su-

dah tahu, bahwa aku tak bisa dibikin sembarangan. 

Kurang ajar betul mereka itu. Hmmmmh...! Biar. Kalau



ketemu akan kutebas batang lehernya."

"Ya...ya. Aku tahu itu! Cepatlah kau urus harta

mu itu!" pinta Wangsa dengan harapan agar kemena-

kannya yang berangasan itu cepat-cepat angkat kaki.

Setelah Den Tompel beranjak dari tempat terse-

but, hati Den Wangsa terasa 'plong' sekali. Sekarang ia 

dapat tenang berdiri sambil tersenyum penuh keme-

nangan dan ia pun sudah membayangkan apa yang 

bakal terjadi di antara mereka. Suasana kamar yang 

acak-acakan tak dihiraukan dan dibiarkan begitu saja, 

karena ada suatu hal yang penting lagi baginya, yaitu 

menyusun skenario baru untuk korban lainnya.

Rupanya si Goreng Patut sudah mendapat ide 

lagi, sebab wajahnya nampak berubah cerah. Setelah 

merapikan rambut dan blangkon, Wangsa kemudian 

merebahkan diri di kursi goyang.

Semut di seberang laut dapat terlihat, gajah di 

depan mata tak dilihatnya, ini terjadi pada diri si Ma-

nusia Tamak alias Wangsa. Yang ia pikirkan hanya ha-

sutan supaya Tompel dan saudara-saudara lainnya 

saling tuding sehingga timbul pertengkaran yang ber-

bahaya, sedang kursi goyang yang didudukinya itu pa-

da akhirnya terdapat bekas bacokan golok waktu Den 

Tompel marah. Ini tak disadarinya. Kemudian begitu ia 

menggoyangkan kursi tersebut, tanpa ampun lagi, 

"Bruaaaaaak!" Suara kursi yang ambrol itu dengan ke-

ras sekali.

"Huuuk...! Hh... hh... Toloooooooong! To-

loooooooooong!" teriak Wangsa yang terjepit di antara 

patahan kayu.

Setelah berkali-kali berteriak tak ada yang me-

nanggapinya, akhirnya si Wangsa sadar juga bahwa di 

dalam rumah tersebut memang kosong, yang ada cuma dia seorang.



Dengan susah payah Wangsa berusaha bang-

kit, sama halnya seperti Den Tompel yang terperosok 

di tepi kali dalam usaha mencari si Tolol. Pada saat itu 

Den Tompel pun baru saja bangun setelah jatuh waktu 

melewati batu-batu yang licin di dekat pancuran.

Cukup lama si Tompel mencari adiknya, namun 

belum juga berhasil dijumpai. Beberapa tempat yang 

biasanya si Tolol gunakan untuk bermain dan beristi-

rahat sudah di cari, begitu pula dekat warung tempat 

Tompel mangkal, tetap nggak ketemu juga.

"Sial! Ke mana perginya tuh anak, biasanya ada 

di sekitar ini! Biar...! Kalau ketemu akan kuhajar ha-

bis-habisan anak kurang ajar itu! Tak kusangka anak 

sebego' itu bisa menipuku. Huh! Benar-benar terlalu!" 

gumam Tompel tak habis-habisnya.

Setelah berjam-jam mencari si Tolol tak juga 

berhasil, akhirnya Den Tompel menghentikan lang-

kahnya di suatu tempat yang teduh dengan tujuan un-

tuk beristirahat. Ia membaringkan badannya di bawah 

pohon yang sebelumnya telah ia beri alas dengan bebe-

rapa pelepah pisang.

Rasa penasaran masih tampak di kerut wajah-

nya, sepertinya kebencian terhadap si Tolol benar-

benar mendalam sekali. Ini semua akibat ulah si 

Wangsa yang tamak dan serakah itu. Dalam mengejar 

tujuannya tak segan-segan ia mengorbankan kemena-

kannya sendiri. Tompel yang terkenal pemarah dan 

nekad, telah menjadi sasaran empuk baginya. Hasutan 

beracun yang keluar dari mulut Wangsa yang busuk 

itu benar-benar telah merasuk ke dalam jiwa putra su-

lung Raden Suryakanta ini. Oleh sebab itulah ia ber-

nafsu sekali untuk mencari adiknya yang bungsu dan 

entahlah apa yang terjadi apabila ia telah menda-

patkannya.


Di saat Tompel sedang melepaskan lelah, tak 

ada salahnya apabila kita menengok sejenak apa yang 

sedang dilakukan Raden Wangsa yang gila harta itu. 

Rupanya ia sedang asyik santai di pembaringan sambil 

memandang ke langit-langit dan sekali-sekali tampak 

ia tersenyum simpul sendirian. Rupanya ia sedang 

membayangkan sesuatu yang telah terjadi terhadap 

Tompel dan adiknya.

"Mmmh! Inilah yang kuinginkan. Kalau si Tolol 

sudah tamat riwayatnya, termasuk pesuruh tua bang-

ka itu. Bakal kubuat lagi persoalan baru, supaya pe-

mabuk itu berurusan dengan si Kasep tukang adu 

ayam. Kalau tidak demikian, mana mungkin ku dapat 

mengalahkan mereka. Disamping mereka masih muda 

dan kekar, ilmunya pun cukup lumayan. Apabila si 

Tompel yang memiliki beberapa anak buah, mana 

mungkin bisa kuhadapi. Yang paling kuharapkan di 

antara Tompel dan Kasep ini dapat saling bertikai. In-

ilah yang paling seru!" ucap Wangsa yang berbicara 

sendirian, kemudian ia pun merogoh saku bajunya un-

tuk mengambil jam kantongnya, "Hmmmh. Sebentar 

lagi Si Kasep pulang. Aku harus menyambut kedatan-

gannya mulai dari sekarang." ucapnya lagi.

Rupanya Wangsa sudah menyusun acara baru 

untuk menghasut Den Kasep. Entah apa lagi hasutan 

yang akan diberikan olehnya untuk putra Den Surya-

kanta yang kedua ini. Kalau sampai hal.ini terjadi, be-

rantakanlah keluarga almarhum Raden Ageng Surya-

kanta.

***


DUA


Kini kita beralih sejenak untuk melihat si Tolol. 

Anak yang sedang dalam pengejaran kakaknya ini, se-

benarnya berada tak jauh dari tempat Den Tompel be-

rada. Sejak pagi hari Tolol telah berada di tempat itu 

untuk memancing ikan, ia duduk dengan tekun di atas

batu sambil mengamati pancingnya yang tak pernah 

disenggol ikan. Sudah berkali-kali ditukar umpannya, 

namun tetap saja ikan tak ada yang mau memakan-

nya. Saking kesalnya sisa getuk bekas ia makan di ta-

ruhnya di ujung kail, mungkin itulah cara yang terbaik 

menurutnya. Inilah yang sekarang sedang ditunggu 

hasilnya.

"Wah...! Benar-benar berengsek, nih! Tidak ada 

yang mau makan sama sekali. Padahal sudah kuberi 

makanan yang baru, tapi tetap saja tak ada yang mau 

makan. Apa di dalam air sedang ada undangan ma-

kan-makan sehingga mereka kenyang semuanya...?!" 

gumam si Tolol dengan kesal, "Ah. Kalau begitu aku 

mau pulang aja, ah. Biarin pancingnya kutinggal di si-

ni, siapa tahu kalau kuangkat besok, sudah ada ikan 

yang menyangkut!" gumamnya lagi.

Setelah menggeliat beberapa kali, si Tolol ban-

gun dari duduknya, kelihatannya ia akan meninggal-

kan tempat itu.

"Besok aku ke sini lagi! Pokoknya pancing ku

besok harus dapat ikan yang gede...! Tapi... eh, seka-

rang pun... oh... ada yang makan! Horeeeee...! Pancing 

ku dimakan!" teriak Tolol kegirangan, kemudian ia 

langsung menarik pancingnya perlahan-lahan, setelah 

dirasakan pas maka digentaknya keras-keras," Ho-

reeee... dapaaaaaat .!" teriaknya semakin keras lagi.


Saking girangnya, si Tolol langsung menubruk 

hasil tangkapannya. Apa yang terjadi? Begitu ia tu-

bruk, langsung ia berteriak dengan sekuat tenaga. Te-

riakan kali ini, bukan karena gembira tetapi karena 

kesakitan akibat japitan kepiting. Rupanya bukan ikan 

yang ia dapatkan melainkan hanya seekor anak kepit-

ing.

"Wadoooouuuw...! Tolooooooooong, to-

looooooong!" jerit si Tolol dengan keras sambil mengi-

bas-ngibas tangannya.

Walaupun kepiting tersebut sudah lama jatuh 

ke tanah, tapi si Tolol masih tetap saja berjingkrak-

jingkrak ketakutan. Ia masih menganggap kepiting ter-

sebut masih menggigit tangannya.

Si Tompel yang sejak tadi berada di dekat si To-

lol, baru mengetahui bahwa adiknya berada di balik 

semak-semak dan rimbunan pepohonan itu dan begitu 

mendengar suara si Tolol menjerit, ia langsung melom-

pat menghampiri adik kandung yang sejak tadi dica-

rinya.

Melihat kedatangan kakaknya, si Tolol bukan 

main girangnya, sebab kedatangan Tompel ke situ pas-

ti untuk menolongnya. Oleh karena itulah sifat man-

janya timbul dan tangisnya semakin menjadi-jadi.

"Waaaaa...!! Uuuwaaaaaaa...! Kang Tompel...! 

Tolongin Kang, tolongin Tolol, Kang...!! Aduuuuuh sa-

kitnya bukan main, kang... Kenapa Akang diam saja, 

ayo dooong tolongiiiiin...! Biarin deh Tolol nggak kasih 

jajan, yang penting tolongin Tolol. Tolol di japit kepiting 

nakal nih!" teriak si Tolol yang terus meratap tanpa 

henti-hentinya.

"Hmmmmh...!" gumam kakaknya dengan mata 

yang beringas.

Kedatangan Tompel yang disangka untuk menolongnya, ternyata jauh di luar dugaannya. Tompel 

langsung menjambret baju adiknya dan kemudian 

mengangkatnya tinggi-tinggi!

"Katakan cepat. Di mana kau sembuyikan peti 

harta itu?!"

"Peti apa, Kang?!"

"Jangan berpura-pura! Ayo berikan padaku!"

"Sungguh, Kang. Tolol nggak tahu! Aduuuh sa-

kit, nih. Lepaskan Kang. Aduuuuh...!"

"Lepaskan monyong lu! Kau dengar tidak, hah?! 

Di mana kau sembunyikan harta itu! Ayo ja-

waaaaaab...!"

"Tolol enggak tahuuuu...!! Wa... aaa...!"

"Jangan berlagak tolol kau, hah?!"

Tompel yang sudah terpengaruh tuak atau mi-

numan keras dan disertai hasutan dari pamannya se-

makin beringas kelihatannya. Begitu berkali-kali ber-

tanya tetap tak mendapat jawaban, ia langsung me-

lemparkan tubuh adiknya ke batu-batu cadas. Malang 

benar nasib si Tolol saat itu, dari kepalanya yang botak 

itu tampak mengeluarkan darah akibat terbentur batu.

"Uuu...! Kang Tompel jahat! Kang Tompel jahat! 

Lihat nih, kepala Tolol sakiiiiiit. Tuh... berdarah... lagi!"

"Ayo jawaaaaab!"

"Jawab apaan dooooong! Uuuu... uuu... uu!"

"E... eh. Masih tak mau menjawab juga?! Biar. 

Ku gusur kau sampai mampus!"

"Aduuuuh.. ampuuuuuun! Kang... sakit, Kang!" 

teriak si Tolol memelas.

"Selama kau tidak mau menjawab, akan kuse-

ret terus sampai mampus!"

"Ampuuuun...! Sungguh, Kang. Tolol tidak ta-

hu! Tolol tak pernah melihatnya! Aduuuuuuh sakiiiiit!"

"Bohong!" bentak Tompel dengan sengitnya.


Luka si Tolol semakin banyak, begitu pun da-

rah yang keluar dari tubuhnya karena banyak terben-

tur batu. Namun sang kakak yang sedang kerasukan 

iblis tetap saja menyeretnya tanpa betas kasihan ter-

hadap saudara kandung sendiri. Jerit tangis dan rata-

pan yang sangat memilukan, sedikit pun tak membuat 

hatinya bergeming.

Entah seberapa jauh si Tolol diseret oleh kakak 

kandungnya sendiri, tak dapat diperkirakan secara 

pasti, namun yang jelas si Tompel telah menyeretnya 

sampai ke daerah perladangan yang sangat jauh dari 

kali.

Secara kebetulan pada saat itu Pak Kohar se-

dang berada di kebun untuk mengambil rumput untuk 

ternak. Bukan main terkejutnya pesuruh tua ini ketika 

melihat perlakuan sang majikan terhadap saudara 

kandungnya sendiri.

"Ya... Allah...! Dosa apakah yang membuat Den 

Tolol disiksa sampai begitu, Den...! Hentikan Den. Ka-

sihanilah saudaramu. Dia kan adik kandungmu sendi-

ri. Seharusnya kaulah satu-satunya anak tertua yang 

harus membimbingnya!" teriak Pak Kohar sambil ber-

lari ke arah Tompel.

Sementara itu raungan dan tangis Tolol yang 

kesakitan masih tetap terdengar dan sangat memilu-

kan. Melihat keadaan itu Pak Kohar berusaha merebut 

si Tolol dari tangan kakaknya yang kemasukan iblis. 

Tapi si Tompel yang kesetanan ini tak perduli lagi sia-

pa yang datang, sehingga pesuruh tua yang telah men-

gabdi selama puluhan tahun turut menjadi korban ke-

biadabannya. Golok yang dipegang si Tompel dengan 

cepat berayun dan langsung merobek perut orang tua 

yang sangat kurus dan lanjut usia ini.

Tubuh yang tua renta itu pun ambruk sebelum


berhasil melaksanakan niatnya.

"Cuiiih! Tua bangka sok tahu! Makanya jangan 

sok mencampuri urusan orang lain. Rasakan akibat-

nya!" umpat si Tompel sambil menggulirkan tubuh Pak 

Kohar dengan kakinya.

Si Tolol menjerit keras sekali ketika melihat 

pembantu kesayangannya menjadi korban keganasan 

kakaknya. Tapi apa daya, ia sendiri di dalam keadaan 

tak berdaya.

Nafsu iblis masih juga belum pindah dari tu-

buhnya. Kini Tompel kembali menyeret tubuh adiknya 

ke sebuah kolam yang cukup dalam airnya. Setelah 

sampai di tempat tersebut tubuh si Tolol dilemparkan 

tanpa belas kasihan.

"Di sinilah kuburanmu, anak mas yang tak ta-

hu diuntung! Sebentar lagi kau akan menyusul si tua 

itu ke akherat!" ucap si Tompel sambil mencabut kem-

bali goloknya.

"Ampun Kang...! Ampuuuuun...! Tolol minta 

ampuuuun! Aduuuuh. Pedih sekali...! Ayaaaah... 

Ibuuuuu... tolooooooooooong...! Auff... auf... uuf...!" te-

riak si Tolol dengan suara yang mulai melemah, akibat 

terlalu banyaknya siksaan yang ia terima.

"Aku tak akan membiarkan mu hidup, selama 

kau belum juga mengatakan di mana harta itu kau 

simpan. Ayo katakan di mana peti harta itu...! Ce-

paaaaaat!" teriak Tompel sambil mengancam si Tolol 

dengan golok yang ditempelkan di leher anak itu.

"Tidak tahu! Tidak tahu! Tolol tidak punya har-

ta. Sungguh biar mati, Kang. Biar disambar gledek To-

lol berani sumpah! Tolol tidak bohong!"

"Bandel benar kau ini, hah? lebih baik mampus 

saja! Hiiikh! Mampus kau! Hhh! H... hhh!"

Tindakan yang lebih kejam dilakukan lagi oleh


Tompel kepada adiknya. Dengan cengkraman sangat 

kuat, ia menekan tubuh Tolol ke dalam air. Tubuh 

anak itu pun menggelepar beberapa saat dalam mela-

wan maut. Setelah tak berdaya barulah dia lepaskan 

dan membiarkan adiknya mengambang begitu saja. 

Kemudian Tompel melangkah meninggalkan tempat 

itu, nafasnya tampak tersengal-sengal dan keringat de-

ras mengucur dari dahinya. Inilah rupanya yang diha-

rapkan Wangsa, Si Manusia Rakus itu.

Den Tompel kembali ke tempat di mana ia be-

ristirahat tadi. Di situ ia duduk termenung meman-

dangi derasnya air yang sedang mengalir di sungai itu.

Baru beberapa saat ia berada di situ, tiba-tiba 

datang seorang laki-laki menghampirinya. Laki-laki itu 

tak lain adalah Den Kasep, saudara kandungnya juga.

"Bangun kau keparat!" bentak Kasep sambil 

menendang Tompel dengan keras.

Dalam keadaan tidak siap, tentu saja membuat 

Den Tompel terjungkir ke dalam air.

"Bangsat! Apa-apaan kau ini, Hah?!" teriak Den 

Tompel yang langsung melesat kembali ke tepi sungai.

"Jangan coba-coba kau mengangkangi harta 

itu. Selama aku masih ada! Paman bilang, kau hendak 

menyerahkan harta milik Ibu yang berada di dalam pe-

ti itu, bukan?! Dia juga mengatakan bahwa kau akan 

membunuh adikmu satu persatu. Ini sudah terbukti. 

Sekarang kau telah membunuh Tolol, adik kita. Tetapi 

kau tak akan bisa melakukannya terhadapku, bang-

sat!" teriak Den Kasep yang tampak beringas sekali.

Rupanya Den Kasep pun sudah termakan ha-

sutan yang diberikan oleh pamannya. Mulut busuk be-

racun itu sungguh luar biasa, kini satu lagi seorang 

putra Den Surya yang menjadi korbannya.

"Sebelum kau bunuh kami yang masih tersisa,


lebih baik kau yang harus kubikin mampus. Lihatlah 

golok ini! Golokmu yang kau tinggalkan tak jauh dari 

tempat penyiksaan si Tolol. Sekarang kau dapat rasa-

kan bagaimana golok ini memangsa tuannya sendiri!"

Den Kasep dengan cepat menyerang kakaknya 

dengan golok yang didapatkan dari pinggir kolam. Se-

rangan yang begitu keras berusaha dihindari walau-

pun tangan kirinya harus menerima goresan senjata 

tajam tersebut.

"Bangsat!" teriak Tompel sambil memegang len-

gan kirinya yang tampak mulai mengeluarkan darah, 

"Kau ingin menyusul si Tolol rupanya, hah?!" bentak-

nya lagi sambil mengeluarkan sebuah pisau raut dari 

balik bajunya.

"Kaulah yang akan menyusulnya. Mana mung-

kin manusia pemabukan seperti kau dapat melawan 

orang macamku! Si Tolol dan Pak Kohar memang mu-

dah kau bunuh, karena keduanya tak mungkin mela-

wan walau diapakan juga."

"Diam kau bangsat! Baru memiliki ilmu silat 

yang tanggung saja sudah mulai berlagak macam pen-

dekar. Padahal membunuh seekor kadal pun tak 

mampu!"

"Ya! Tapi untuk membunuh manusia serakah

macam kau, sangat mudah kulakukan, mengerti!?"

Kedua kakak beradik itu kembali bertarung 

mati-matian. Seluruh kemampuannya kali ini mereka 

keluarkan agar bisa memenangkan pertarungan. Ber-

kali-kali Den Kasep terkena hantaman dari kakaknya, 

sehingga tidak sedikit luka yang terdapat di sekujur 

badan. Begitu pula Den Tompel, banyak pula sabetan 

golok dari adiknya yang mendarat di badannya.

Pertarungan kedua saudara ini semakin lama 

semakin lamban, mungkin disebabkan oleh banyaknya


luka yang terdapat di tubuh masing-masing, atau 

mungkin juga karena mereka telah bertanding dengan 

waktu yang begitu lama. Biarpun begitu, keduanya te-

tap berupaya untuk memenangkan pertandingan, se-

hingga di suatu saat, sebuah pisau milik si Tompel 

menghunjam tepat di ulu hati adiknya.

Gerakan reflek Den Kasep sangat fatal bagi 

Tompel yang kurang cepat menghindar. Dengan meng-

himpun sisa tenaganya yang ada. Den Kasep langsung 

menghunjamkan pula golok yang tergenggam kedua 

belah tangannya itu tepat di belakang tubuh Den Tom-

pel. Maka ambruklah kedua saudara itu ke dalam air.

Den Kasep benar-benar ambruk tak berkutik 

lagi, sedangkan Den Tompel masih sempat merayap ke 

tepi, kemudian berjalan terhuyung-huyung ia berusa-

ha pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang itu, 

berkali-kali ia jatuh bangun, namun ia tetap berusaha 

pulang agar bisa bertemu dengan pamannya, si Goreng 

Patut itu.

"Pamaaaan...! Pamaaaaan...!" ucap Den Tompel 

lemah sambil mendorong pintu halaman rumahnya, di 

dalam keadaan antara sadar dan tidak, ia terus mema-

suki rumah tersebut sambil memanggil-manggil pa-

mannya, "Pamaaaaan...! Berikan harta itu semua pa-

daku. Hhh... hhh... hhh... hhh! Sekarang aku akan 

menjadi orang kaya, ya, Paman... sebab semua harta 

milik Tolol dan Kasep sudah jatuh ke tanganku. Ayo 

cepat. Paman...! Berikan juga bagian Lungguh buatku. 

Jangan khawatir. Aku akan segera membereskan bo-

cah itu secepatnya...!"

Den Tompel yang semakin tak berdaya terus 

merayap menuju ke kamar pamannya. Bayangan harta 

yang berlimpah di kelopak matanya telah membuat di-

rinya bertahan. Padahal pandangannya sudah semakin



tak jelas, kadang-kadang kabur sama sekali.

"Paman...! Di mana kau...! Ke marilah lekaaaas! 

Sekarang akulah yang paling berkuasa di rumah ini! 

Semua sudah kubereskan. Kau dengar itu. Paman?" 

ucapnya lagi dengan suara terputus-putus.

"Ya! Aku telah mendengarnya!" sahut sang pa-

man yang baru saja keluar dari balik pintu.

"Bagus. Kau memang manusia yang paling tolol 

dan gampang dipengaruhi, apalagi dengan harta, se-

hingga kau sanggup membunuh adik-adikmu sendiri. 

Ha... ha... ha...! Kaulah sebenarnya yang paling tolol 

bila di banding dengan adikmu yang tolol itu. Hah... 

hah... hah... hah! Apakah kau kira dengan hasil jerih 

payahmu kau akan berhasil mendapatkan harta yang 

kau ingini? Puiih! Lihat ini, goblok!" ujar Wangsa sam-

bil melambaikan selembar kertas. "Kau tentu bisa 

membacanya! Ini adalah surat segel yang syah dari Ko-

tapraja. Di sini tertulis bahwa semua harta kekayaan 

ayahmu telah diberikan kepadaku!"

"Tidak...! Tidak bisa! Semua adalah milikku! 

Rupanya kau pun ingin kucincang seperti mereka. 

Hah?!"

"He... he... heh! Ingat, Tompel! Kau ini sedang 

sekarat. Berdiri saja pun tak bisa!

Tapi sebelum kau mampus, perlu juga ku sam-

paikan bahwa kau tak lebih dari seorang budak dan 

sebagai alat untuk mencapai tujuanku. He... he... heh!"

Wangsa yang masih terus berbicara dengan 

pandangan mengarah ke jendela tak sadar bahwa tu-

buh Tompel telah lunglai tersungkur akibat banyaknya 

darah yang keluar. Nyawanya melayang.

"Sial! Kalau ku tahu, tak mungkin aku bicara 

terus!" ucap Den Wangsa ketika memalingkan muka ke 

arah Tompel, "Huh! Sial! Bikin repot saja!" ucapnya lagi


sambil melangkah ke luar untuk memanggil para pem-

bantu setianya.

Tak berapa lama kemudian enam orang anak 

buahnya muncul bersama Den Wangsa memasuki ru-

mah tersebut. Setelah mereka berada di dalam. Den 

Wangsa pun segera membagikan tugas.

"Hanya itu tugas kalian. Yang penting sekarang 

urus mayat Den Tompel ini baik-baik, kemudian cari 

korban lainnya supaya dapat dimakamkan berdekatan 

dengan orang tuanya."

"Bagaimana kalau urusan mencari Den Lung-

guh, diserahkan padaku?" tanya salah seorang anak 

buahnya.

"Ada apa rupanya...? Kau kelihatan berminat 

sekali?!"

"Sebab aku ingin membalas kematian saha-

batku, Den Tompel! Baru kali ini ada orang yang tega 

membunuh kakak kandungnya.

Baru kali ini aku menyaksikan pembunuhan 

yang dilakukan oleh adik kandungnya sendiri."

"Sudahlah... yang penting laksanakan tugas ka-

lian masing-masing. Itu urusanku!"

"Tapi... di mana kira-kira tempat kejadian itu, 

sebab tak mungkin kita dapat mencari di malam begi-

ni, kalau tempatnya jauh sekali."

"Kurasa tak jauh dari tempat Pak Kohar, pesu-

ruh tua yang kalian temukan."

"Ya... ya...! Aku mengerti sekarang!"

"Laksanakanlah! Makin cepat kalian selesaikan. 

Makin cepat pula kita mengadakan pesta. Lihatlah 

pundi-pundi tuak itu. Semuanya sudah ku siapkan

untuk kalian semua."

"Baiklah, Gan. Kami berangkat dulu! Ayo kita 

bawa angkat Den Tompel ini ke kamarnya. Biar nanti


ku panggilkan orang yang biasa mengurus jenazah."

Keenam orang itu dengan hati-hati mengangkat 

tubuh Den Tompel, karena mereka semua sangat de-

kat dengannya, terutama di meja judi. Setelah mayat 

itu dibaringkan di kamar, maka mereka langsung ke-

luar untuk melaksanakan tugas berikutnya.

Dalam hal ini Den Wangsa pun telah menjejali 

hasutan-hasutan yang telah membakar nafsu amarah 

pada diri mereka masing-masing. Sebab kematian Den 

Tompel menurut versi sang juragan gendut tersebut 

adalah hasil perbuatan dari Den Lungguh, termasuk 

kematian Pak Kohar, Den Kasep dan si Tolol. Jadi di 

samping melaksanakan tugas, mereka pun mempu-

nyai rasa dendam terhadap Den Lungguh. Untunglah 

beberapa hari ini Den Lungguh sendiri jarang pulang, 

sang Play-Boy Kampung itu masih asyik melaksanakan 

operasinya di kampung-kampung yang belum banyak 

mengenal dirinya lebih dekat.

Sang Raden yang sering mengobral rayuan 

gombal ini, sejak kematian ayahnya.

jarang sekali pulang ke rumah. Ia menginap di 

mana saja, seperti pada saat itu, ia sedang berada di 

pelosok kampung yang jauh sekali letaknya dari tem-

pat tinggalnya. Tentu sudah dapat diterka. setiap ia 

mau tinggal di situ pasti ada yang diharapkan.

***

TIGA


Suasana pagi di daerah sekitar Babakan Sume-

dang terasa dingin sekali. Tetapi para penduduk kam-

pung yang telah terbiasa dengan udara seperti itu te


tap menjalankan kegiatan sehari-hari. Di saat mataha-

ri terbit di ufuk Timur, para petani telah berada di sa-

wah. Mereka bekerja dengan giat demi kebutuhan hi-

dup anak dan istri. Begitu pula para pedagang sejak 

pagi buta mereka telah berkumpul di pasar, padahal 

perjalanan yang mereka tempuh memakan waktu ber-

jam-jam dengan berjalan kaki.

Hal yang sama dilaksanakan pula oleh sang 

Raden yang perlente ini. Den Lungguh di pagi itu su-

dah mempersiapkan diri untuk meninggalkan rumah 

kenalan barunya. Setelah menyisir rambut dan mera-

pikan belangkon, ia pun mengenakan pakaian kebesa-

rannya.

"Mau ke mana, Raden...?" tanya seorang dara 

yang masih terbaring di atas ranjangnya dengan sua-

sana yang awut-awutan.

"Pagi ini aku ada urusan penting sekali, Geu-

lis...!" ucap Den Lungguh yang tetap masih berdiri di 

hadapan cermin.

"Kenapa harus pagi-pagi sekali?" tanya dara itu 

kembali.

"Aku tak mau rugi untuk kedua kalinya. Kalau 

sampai aku terlambat berarti aku harus menderita ke-

rugian yang besar." sahut Den Lungguh sambil meno-

leh ke arah wanita muda yang masih tetap berbaring 

dan berselimut kain untuk menutupi tubuhnya. Yang 

bugil.

"Urusan dagang, Den?" tanya dara itu semakin 

penasaran.

"Apa lagi, kalau bukan urusan dagang. Untuk 

apa aku jauh-jauh datang ke sini kalau bukan untuk 

berniaga," sahut Den Lungguh yang kini telah duduk 

di tepi pembaringan sambil memegangi jemari sang da-

ra itu dengan lembut, "Percayalah, Geulis, setelah urusanku selesai, aku akan datang ke sini lagi untuk 

menjemput mu."

"Benarkah itu, Den...?" sela wanita muda itu 

gembira dan langsung memeluk Den Lungguh.

"Ya...! Percayalah!" sahut Den Lungguh sambil 

bangkit dari duduknya setelah melepaskan kedua tan-

gan wanita itu.

"Ku do'akan semoga kau cepat-cepat berhasil, 

Den...!"

Den Lungguh segera meninggalkan rumah itu 

dengan wajah yang sangat cerah. Sementara itu si wa-

nita yang jadi korban rayuan gombalnya memandang 

kepergiannya dengan penuh harap. Sedangkan orang 

yang diharapkannya akan pergi entah ke mana, mung-

kin mencari korban yang lainnya.

Di pagi yang tampak semakin cerah itu, suasa-

na kampung yang tak jauh dari tempat Den Lungguh 

menginap, tak berbeda dengan suasana di kampung-

kampung lainnya.

Selain banyaknya orang-orang yang turun ke 

sawah dan ladang, para ibu-ibu rumah tangga dan pa-

ra remaja puteri pun turut juga menyibukkan diri den-

gan melaksanakan tugasnya sehari-hari.

Di tepi sungai yang begitu jernih airnya walau-

pun alirannya deras dan berbatu, tampak banyak para 

ibu rumah tangga dan gadis-gadis remaja yang tengah 

sibuk mencuci pakaian di tepinya. Mereka ada yang se-

jak pagi-pagi sekali telah melaksanakan pekerjaannya 

di situ, ada pula yang datang setelah matahari bersinar 

terang seperti halnya Iyoh, si kembang desa ini.

"Wah. Kesiangan rupanya kau, Yoh?" tanya 

Surti kepada Iyoh yang baru turun ke kali.

"Iya, nih!" sahut Iyoh dengan senyumnya yang 

manis.


"Rupanya Kang Ujang sampai malam bertamu 

di rumahmu, ya?" sindir Surti sambil bercanda.

"Hiiih...! Ngapain dia datang?!" balas Iyoh yang 

spontan berubah dari senyum ke cemberut. Tapi yang 

namanya bibir bak delima merekah, biar pun cemberut 

tetap enak dipandang.

"He, Yoh? Ada apa kau rupanya dengan Kang 

Ujang?" tanya temannya itu agak penasaran.

"Ah, tidak, aku tidak ada apa-apa kok...!" jawab 

Iyoh tak acuh.

"Yang bener, nih...?" tanya Surti memancing.

"Sungguh, deh. Sekarang dia mau datang, mau 

enggak, terserah!"

"Tuh... kan! Berarti kau sudah menaruh hati 

sama yang lain, ya?" pancing Surti kembali.

"Iya dong...!" balas Iyoh sambil menoleh dengan 

wajah kembali cerah.

"Lalu bagaimana dengan Ujang mu?" tanya te-

mannya yang selalu ingin tahu.

"Aku kan sama dia belum ada ikatan apa-apa, 

orang tuaku pun belum tahu!" jelas Iyoh mulai mem-

banggakan kenalan barunya.

"Kalau yang sekarang?" desak Surti.

"Dia benar-benar seorang ksatria. Dia langsung 

datang kepada orang tuaku. Baru kali ini aku bertemu 

seorang pemuda macam dia. Orangnya gagah dan ber-

wibawa, lagi." ucap Iyoh dengan rasa bangga.

"Siapa nama pacarmu yang baru itu.

Yoh?" tanya Surti yang tak habis-habisnya.

"Raden Lungguh," jawab Iyoh singkat.

"Wah... hebat sekali kau ini, Yoh...!" puji te-

mannya sambil membereskan cuciannya. "Tapi kau 

pun harus hati-hati, Yoh...! Di jaman seperti ini ba-

nyak sekali serigala-serigala berbulu domba, dari luar


nya saja kelihatan baik, tak tahunya..."

"Ah, sudahlah. Kau ini menakut-nakuti aku sa-

ja!" sela Iyoh sambil mencripratkan air ke muka Surti.

Surti pun yang menjadi basah akibat cipratan 

air dari Iyoh langsung membalasnya. Akhirnya kedua 

remaja itu saling bercanda di air dengan penuh tawa 

ria.

Surti sudah naik lebih dahulu dan kini sedang 

menyalin seluruh pakaiannya yang basah dengan pa-

kaian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sedangkan 

Iyoh masih tetap berada di air. Ia rupanya belum sele-

sai membersihkan tubuhnya di balik batu yang besar 

itu.

"Yoh...! Aku pulang duluan, ya...?!" teriak Surti 

dari tepi sungai.

"Ya...! Aku belakangan saja!" balas Iyoh dari ba-

lik batu.

Tak lama setelah Surti pergi. Iyoh pun naik 

kembali ke tepi sungai untuk segera menyalin pa-

kaiannya. Sambil bersenandung merdu, Iyoh menyalin 

seluruh pakaiannya yang basah dengan yang kering, 

sebab ia merasa bahwa di tempat tersebut tak ada 

orang lain selain dirinya. Padahal, sejak tadi sepasang 

mata tanpa berkedip sedang mengintainya.

Sepasang mata, yang sudah pasti mata lelaki, 

walaupun sudah lama di situ tetap tidak mengadakan 

reaksi, bahkan ia menunggu hingga Iyoh tuntas men-

genakan busananya.

Iyoh sama sekali tak mengetahui bahwa ada 

orang yang memperhatikannya langsung mengambil 

bakul yang berisi cucian untuk membawanya pulang. 

Barulah di saat itu si lelaki muncul.

"Iyoh...! Jangan pergi dulu, sayang...!" sapa le-

laki itu dengan lembut.


"Ngapain kau di sini, rupanya kau sejak tadi 

bersembunyi, ya, di sini?!" bentak Iyoh dengan nada 

marah.

"Tidak... Iyoh. Aku baru saja datang," sahut le-

laki itu, walaupun sebenarnya ingin mengatakan ya, 

tapi malu.

Jawaban yang diberikan pria itu seakan-akan 

tak ditanggapinya, Iyoh tetap berjalan tanpa memper-

dulikan ucapan tersebut.

"Iyoh... tunggu dulu, aku mau bicara," ucap 

pria itu kembali sambil mempercepat langkahnya ka-

rena tertinggal jauh. "Iyoh, selama ini kau selalu beru-

saha menjauhi ku, mengapa?!" tanya anak muda itu 

kembali sambil berusaha menghentikan langkah gadis 

tersebut.

"Sudahlah Ujang... mengapa kau ribut-ribut di 

jalan. Apakah kau tak malu kalau dilihat orang?" sela 

Iyoh tanpa menoleh sama sekali.

"Aku ini bertanya, Yoh... mengapa kau tak mau 

menjawabnya? Apa salah dan dosaku sehingga kau tak 

acuh begini...? Ingatlah pada janji kita tempo hari di 

bawah pohon sawo itu? Kita telah sepakat akan meni-

kah sehabis panen nanti dan kau pun telah rela untuk 

hidup bersama nanti, walaupun kita hidup melarat...! 

Masih segar dalam ingatanmu, bukan?"

Iyoh tetap bungkam seribu basa, tak ada kata 

yang keluar dari mulutnya, walaupun pemuda yang 

bernama Ujang itu terus berbicara. Rupanya benar apa 

yang diucapkan gadis ini kepada temannya ketika me-

reka sedang mencuci pakaian, ia benar-benar telah ja-

tuh hati kepada pria lain dan akan meninggalkan pria 

yang selama ini dicintainya. Sungguh kasihan sekali 

nasibnya, orang yang mencintainya dengan setulus ha-

ti, ditolak mentah-mentah. Padahal ia sendiri belum


mengenal pribadi laki-laki yang baru dikenalnya itu, 

apalagi yang disebut tadi adalah Raden Lungguh yang 

terkenal dengan pacar barunya, tentu fatal akibatnya 

untuk si kembang desa ini.

"Ujang... berilah aku jalan. Aku mau pulang!" 

perintah Iyoh kepada Ujang yang mash tetap berdiri di 

hadapannya bagaikan patung.

"Jadi kau sudah tak ingat lagi, ketika kau ber-

sandar di bahu ku, ku belai-belai rambutmu yang hi-

tam mayang dan kau pun pada waktu itu mengenakan

baju yang kau pakai saat ini. Jawablah... apakah kau 

menyesal dengan janjimu? Jawablah sayang... menga-

pa kau tiba-tiba berubah menjadi sedingin ini?" ucap 

Ujang sambil berlinang air mata.

"Sudahlah Ujang, aku sudah terlalu siang, 

nih...! Nanti aku bisa dimarahi oleh orang tuaku! Ayo... 

berilah aku jalan."

"Ya! Baiklah...! Rupanya aku harus bersabar 

menanti jawabanmu, asal kau tidak bermaksud mem-

buang ku, sayang...!" ucap Ujang sambil melangkah 

untuk memberikan gadis pujaannya lewat.

Tapi sang gadis pujaannya yang kini telah dis-

elimuti oleh rayuan gombal dari pacar barunya, lang-

sung melangkah cepat meninggalkan Ujang sendirian. 

Ujang pun tak dapat berbuat apa-apa kecuali diam 

terpaku di tempat tersebut.

Sementara itu di rumah Iyoh sudah menunggu 

seorang pria ganteng dan berwajah tampan serta ber-

pakaian sangat necis untuk ukuran di sekitar desa itu. 

Dia tak lain adalah Raden Lungguh, pria yang disebut-

sebut oleh Iyoh tadi.

Den Lungguh dengan tenang menunggu Iyoh 

kembali dari sungai, dan kedatangannya pun sudah 

dirancang dengan matang, sebab di saat itu sudah


pasti kedua orang tuanya sedang turun di sawah.

"Oh... sudah lama menunggu, Den?" sapa Iyoh 

ketika pria pujaannya telah berada di rumahnya.

"Ah... tidak, baru saja! Mana Ayah dan Ibumu? 

Kok kelihatan sepi-sepi saja." tanya Den Lungguh ber-

pura-pura.

"Biasa, Den, mereka sedang ke sawah. Kalau 

tak sering lihat bisa padinya habis semua dimakan ti-

kus. Den...!" jawab Iyoh dengan senyum penuh kelem-

butan.

"Sawah sendiri?" tanya Den Lungguh kembali.

"Bukan, Den..." jawab Iyoh polos. "Hmm... su-

dahlah. Nanti kalau aku telah selesai urusan kita, aku 

akan belikan orang tuamu sawah yang bagus letaknya, 

supaya tidak kekurangan air. Jadi kedua orang tuamu 

tidak mengurus sawah orang lagi, tetapi mengurus sa-

wahnya sendiri," ujar Den Lungguh sambil mengelus-

elus rambut Iyoh. Belaian lembut dari sang raden itu 

telah membuat Iyoh terlena dan tanpa terasa ia telah 

berada di dalam pelukan Den Lungguh.

"Kita akan segera menikah, geulis! Kau tentu 

akan kuberikan mas kawin yang cukup berharga. Se-

bagian besar harta warisan dari orang tuaku sudah 

kudapatkan, tapi masih ada satu bagian lagi yang 

musti kuurus. Bagian itulah yang akan kugunakan 

untuk membahagiakan kedua orang tuamu. Sebab se-

telah kita nikah nanti kau akan ku boyong ke rumah-

ku di Babakan dan kita akan hidup bahagia di sana." 

rayu Den Lungguh dengan penuh kemesraan.

"Oh... sungguhkah itu, Den? Ah, rasanya seper-

ti mimpi aku saat ini. Aku sangat bahagia sekali! Ka-

pankah Aden akan melamar ku?" ujar Iyoh yang makin 

terlena dengan rayuan maut dari sang raden.

"Segera, Geulis...! Kalau urusanku sudah selesai! Apakah kedua orang tuamu tidak menolak kalau 

aku datang bersama saudara-saudaraku untuk memi-

nang mu? Sebelum itu adakah syarat-syarat yang ha-

rus ku penuhi?" balas Den Lungguh yang tampaknya 

seperti bersungguh-sungguh.

"Tidak, Den... kedua orang tuaku tak mempu-

nyai persyaratan apa-apa, yang penting dapat terlak-

sana dengan baik, walaupun hanya sederhana," sam-

but Iyoh yang semakin merapatkan kepalanya di dada 

Lungguh.

"Itulah yang kuharapkan. Aku sangat kagum 

sekali dengan ketulusan hati mereka. Kalau begitu ma-

rilah kita merayakannya, Geulis, kita beristirahat seje-

nak sambil menunggu kedatangan mereka," ucap Den 

Lungguh sejenak sambil merebahkan badan-nya di 

kursi panjang, setelah melepaskan pelukannya.

"Jangan di situ, Den. Tentu itu kotor sekali. 

Tunggulah sebentar, aku mau rapikan dulu kamarku. 

Tapi jangan dicela' ya... sebab kamarku jelek, tidak se-

perti kamar di rumah raden."

Den Lungguh tak menjawab sama sekali, ia 

hanya tersenyum sambil memandang lekuk tubuh Iyoh 

yang berjalan sambil lenggak-lenggok menuju ke ka-

marnya. Tak berapa lama setelah Iyoh masuk, Lung-

guh segera menyusulnya.

"Sudahlah, buat apa repot-repot. Bukankah 

hanya untuk kita berdua. Ayolah... aku ingin menik-

mati suasana tenang tanpa ada yang mengusik, su-

paya kemesraan ini mempunyai kenangan yang abadi," 

ujar Lungguh sambil memegang bahu Iyoh yang se-

dang mabuk kepayang.

Sementara itu si Ujang yang masih penasaran 

dengan cintanya yang ditolak secara dramatis, kini be-

rada di sekitar rumah Iyoh. Ia ingin sekali mengetahui


secara pasti. Untuk itulah ia mencoba memberanikan 

diri datang ke rumahnya, agar dapat bertemu dengan 

kedua orang tuanya.

"Kelihatannya masih sepi. Jangan-jangan Iyoh 

menyusul orang tuanya ke sawah," gumam Ujang sete-

lah tiba di depan rumah tersebut. "Biarlah, kalau begi-

tu aku tunggu di sini saja, tak mungkin mereka ke sa-

wah hingga larut malam."

Pemuda yang nekad ini berjalan menuju pos 

ronda, setelah tiba di situ, Ujang segera merebahkan 

badannya di bangku panjang, tapi mata Ujang tetap 

memandang rumah Iyoh yang kelihatannya sepi itu.

"Aneh sekali tuh anak. Kenapa cuciannya tidak 

dijemur dulu dan dibiarkan begitu saja. Ah, kurasa 

alangkah baiknya kalau ku tolong jemurkan, mum-

pung nggak ada yang lihat."

Ujang tak jadi beristirahat. Ia kembali berjalan 

menuju ke samping rumah Iyoh. Setelah berada di si-

tu, ia mengambil cucian yang basah dari dalam bakul 

satu-persatu untuk dijemur. Baru sebagian cucian 

yang berhasil dijemur, tiba-tiba telinga Ujang menang-

kap desah suara yang cukup membuat bulunya berki-

dik. "Hmmmh...! Jangan-jangan..." ucapnya dalam hati 

tanpa diteruskan kalimatnya, karena ia langsung me-

lepaskan cucian basah yang dipegangnya dan lang-

sung berlari lewat pintu dapur yang kebetulan tak ter-

kunci. Di dapur Ujang menjambret golok yang ada di 

atas tumpukan kayu bakar dan tanpa pikir panjang 

lagi ia masuk ke dalam.

Setelah mendobrak pintu kamar, Ujang terke-

jutnya bukan main, karena ia telah menyaksikan se-

suatu yang paling menyakitkan. Tanpa harus menung-

gu waktu lagi, ia langsung menyerang Den Lungguh 

yang pada waktu itu berusaha meraih pakaiannya


yang sudah ditanggalkan. Tapi penyerang yang diba-

rengi kekalutan pikiran serta emosi, dengan mudah di-

tangkis oleh pihak lawan. Beberapa kali sabetan golok 

Ujang lolos tidak mengenai sasaran. Den Lungguh 

yang sejak penyerang datang ke arahnya tadi hanya 

menghindari diri, kini mulai beraksi, begitu serangan 

berikutnya datang, Lungguh secara reflek menangkis 

dengan cepat dan tangannya tepat berada di pergelan-

gan tangan lawan. Pada detik berikutnya, terdengar te-

riakan keras yang keluar dari mulut Ujang, karena tak 

kuat menahan sakit akibat pukulan keras yang men-

genai pergelangan tangannya.

Ujang yang kelihatan kalap dan bagai orang 

kemasukan setan ini, tak memperhitungkan lagi ke-

mampuan lawan yang ia hadapi. Keadaan ini sebenar-

nya sangat merugikan dirinya, apalagi senjata yang be-

rada di tangannya telah terpental entah ke mana. Se-

mentara itu. Den Lungguh yang sudah membaca ke-

mampuan Ujang, kini tampak semakin serius dan ke-

lihatan sudah bersiap-siap mengadakan serangan ba-

lik. Sementara itu Iyoh menjerit-jerit dengan cemas 

sambil mengemasi tubuhnya yang sudah telanjang bu-

lat.

"Hei. Anak Muda! Ini peringatan terakhir buat-

mu sebelum kau menyesal! Lebih baik kau pulang dan 

jangan injak lagi tempat ini! Tapi apabila kau masih te-

tap membangkang, kupatahkan batang lehermu, men-

gerti?! Ayo! Menyingkirlah cepat, sebelum habis kesa-

baran-kesabaranku!" ancam Den Lungguh kepada 

Ujang.

"Fuiiih! Aku tidak akan menyerah! Iblis keparat 

macam kau harus enyah dari muka bumi ini! Kalau 

kau dibiarkan hidup, entah berapa banyak lagi korban 

yang akan kau ambil demi memuaskan nafsu setan


mu! Sekarang kau boleh pergi, dengan syarat kau ha-

rus melangkahi dulu mayatku!" tantang si Ujang yang 

sudah semakin memuncak amarahnya.

"Kang Ujang... hentikan, Kang! Hentikan! Ini 

aku, Kang, aku Iyoh mu," teriak Iyoh setelah melihat 

keadaan yang tampaknya semakin gawat. Tubuh Ujang 

dipeluknya rapat-rapat supaya tak terjadi pertumpa-

han darah di antara mereka namun si Ujang masih te-

tap meronta-ronta dan kelihatannya sangat bernafsu 

sekali untuk menghabisi lawan yang ada di hadapan-

nya. "Kang Ujang...! Ingat dong Kang...! Jangan kau te-

ruskan lagi Kang!" pinta gadis itu kepada tunangan-

nya.

"Lepaskan dia! Lepaskan bocah kurang ajar itu. 

Dia harus kuberi pelajaran supaya kapok dan tak mau

mengoceh lagi kepada sembarang orang!" bentak Den 

Lungguh sambil melangkah dan menarik tangan Iyoh 

sehingga terdorong jauh ke belakang. "Ayo! Sekarang 

apa maumu?" bentak Lungguh kembali.

"Kau harus mampus!" bentak Ujang tak mau 

kalah.

"Ha... ha... ha! Jangan mimpi di siang bolong, 

anak muda!" Tidakkah kau mengukur dulu kemam-

puan untuk melawan orang macam aku. Hah?! Sepu-

luh lagi macam kau masih mampu kuhadapi, apa lagi 

hanya kau seorang diri. Ha... ha... ha...!"ejek Den 

Lungguh yang terus melangkah semakin dekat dengan 

Ujang dan tanpa diduga sebuah pukulan keras dari 

Ujang mendarat ke mukanya. Pukulan keras itu cukup 

membuat mata Den Lungguh agak berkunang-kunang, 

mulutnya pun sedikit mengeluarkan darah.

Ujang mengambil kesempatan dengan membe-

rikan serangan untuk kedua kalinya, tapi sayang, Den 

Lungguh masih sempat mengelak, walaupun keadaan


nya agak sempoyongan. Setelah serangannya berkali-

kali gagal. Ujang langsung mengubah taktik serangan-

nya. Ia kali ini banyak mengandalkan kaki, tendan-

gan-tendangannya yang begitu gencar terus menghajar 

Den Lungguh sehingga sang raden ini terpaksa mun-

dur beberapa langkah ke belakang.

Kesempatan untuk membalas serangan akhir-

nya terlaksana juga. Ini adalah akibat kurang cermat-

nya Ujang dalam mengontrol gerakan lawan, ketika ia 

sedang melakukan tendangan untuk tujuan menyam-

bar paha bagian dalam agar lawannya jatuh. Tiba-tiba, 

tangan Den Lungguh dengan cepat menangkap ka-

kinya dan langsung melemparkan tubuh Ujang sehing-

ga membentur pilar rumah. Di sinilah Den Lungguh 

mulai mengadakan serangan balik yang bertubi-tubi. 

Ujang tampak kewalahan sekali dan ia kelihatannya 

hanya mampu bertahan, tak ubahnya seperti seorang 

petinju yang mendapat pukulan telak dan terpojok di 

sudut ring, begitulah dengan keadaan Ujang, ia hanya 

terdiam menyandar di pilar rumah tersebut.

Untuk kedua kalinya Iyoh memberanikan diri 

memisahkan kedua laki-laki yang sedang bertarung. Ia 

langsung memeluk tubuh Ujang yang sudah kelihatan 

babak belur, namun masih tetap bersemangat untuk 

menyerang kembali.

"Hentikan, Den...! Hentikan!" pinta Iyoh sambil 

menangis.

"Hmmh! Anak bau kencur macam begini sudah 

mau menantang, sekarang kau rasakan sendiri aki-

batnya." bentak Den Lungguh sambil mengibas-ngibas 

pakaiannya yang berdebu. "Biarkan kalau dia masih 

mau unjuk gigi! Lepaskanlah. Nanti akan kuhabisi 

nyawanya sekalian!" ancam Den Lungguh dengan serius.


"Jangan... Den. Ku mohon jangan... kasihanilah 

dia, kasihanilah juga aku ini. Den...!" pinta Iyoh kem-

bali sambil membersihkan darah yang semakin banyak 

keluar dari mulut tunangannya.

Ujang hanya memiliki semangat yang tinggi, se-

benarnya kondisinya sudah lemah dan tak berdaya, 

sebab berkali-kali ia mengeluarkan darah segar dari 

mulutnya. Rupanya ia banyak sekali menerima puku-

lan pada bagian dada, sedangkan pukulan tangan Den 

Lungguh memang sangat keras karena sering berlatih.

"Baiklah kalau begitu aku mohon pamit kepada 

kalian berdua. Tak usah khawatir, luka itu bisa cepat 

sembuh kalau cepat kalian obati, sedangkan di tubuh-

nya hanya me mar saja! Kau masih mencintainya, bu-

kan? Nah, biarlah aku yang mengalah, aku akan men-

gundurkan diri!" ucap Den Lungguh dengan tenang 

dan tak mempunyai perasaan bersalah sama sekali.

Tapi bagi Iyoh, sepertinya serasa disambar petir 

mendengar ucapan yang keluar dari mulut Den Lung-

guh tadi, banyak sebenarnya yang ingin ia ucapkan 

tapi sulit untuk dikeluarkan.

"A... aku sudah bukan gadis yang suci lagi se-

karang. Den. Kau telah menodai ku! Haruskah aku 

kembali padanya?" ucapnya dengan terbata-bata dan 

bola mata berlinang.

Den Lungguh hanya tersenyum sinis menden-

gar ucapan tersebut, sebab dengan adanya peristiwa 

tersebut, ia telah mempunyai alasan yang kuat untuk 

meninggalkan Kembang Desa yang baru saja dipetik-

nya.

"Suci atau tidak, bukanlah persoalan buat cinta 

suci kalian. Tak usah khawatir. Tunangan mu pasti 

mau menerimamu. Aku yakin sekali, karena ia benar-

benar mencintaimu. Ia telah buktikan kesetiaannya


padamu walaupun harus babak belur seperti itu." jelas 

Lungguh tanpa memperdulikan tangis Iyoh yang ma-

kin menjadi-jadi, "Sebenarnya aku sangat iri pada ka-

lian. Yah... tak apalah! Mudah-mudahan saja kalian 

dapat rukun dan bahagia." "Tapi... Den?"

"Sudahlah! Tak ada tapi-tapian! Nih. Terimalah 

uang untuk biaya perawatan. Sisanya boleh kalian gu-

nakan untuk biaya pernikahan. Kurasa uang tersebut 

lebih dari cukup, apabila kalian pakai dengan sebaik-

baiknya," lanjut Den Lungguh sambil melemparkan 

sekantong uang logam ke pangkuan Iyoh yang masih 

duduk bersimpuh sambil menangis di samping Ujang.

Kemudian tanpa menoleh sedikit pun, Den 

Lungguh melangkah meninggalkan Iyoh yang masih 

menangis menyesali nasibnya.

"Kiranya iblis itulah yang merusak iman mu...!" 

ucap Ujang dengan terbata-bata dan berusaha bangkit.

"Maafkanlah, aku Kang Ujang... maafkanlah 

aku...! Aku telah tertipu! Oh... Tuhan, ampunilah 

aku...!" ratap Iyoh.

Pelukan Iyoh semakin lama semakin lemah, tu-

buhnya mulai terasa dingin disertai keringat yang te-

rus bercucuran membasahi seluruh badan. Mukanya 

pun tampak semakin pucat. Akhirnya ia pun jatuh 

terkulai tak sadarkan diri. Melihat gadis pujaannya 

tergeletak, Ujang berusaha bangkit dan memberikan 

pertolongan semampunya.

"lyoooh...! Bangunlah Geulis...! Ini akang, 

sayang...! Iyoh...!" bisik Ujang sambil mengusap kerin-

gat di wajah dan leher kekasihnya.

Kita tinggalkan dulu tragedi yang dialami oleh 

si kembang desa dari kampung Dadap ini. Kini kita be-

ralih dulu pandangan kita ke sebuah tempat lain.

***

EMPAT


Daerah yang kita tuju adalah pinggiran kam-

pung, antara kampung Waru dan kampung Dadap 

yang letaknya lebih kurang lima kilo meter dari tempat 

peristiwa tadi. Di daerah perbatasan kampung terdapat 

sebuah warung kecil yang banyak didatangi pengun-

jung pada sore hingga malam hari, tapi kalau siang, 

keadaannya sepi-sepi saja. Namun pada saat itu di wa-

rung tersebut tampak seorang laki-laki sedang duduk 

sambil menikmati kopi yang telah dibuatkan untuk-

nya.

"Baru ada tamu satu orang yang datang cuma 

mau minum kopi," bisik wanita pelayan kepada te-

mannya di dapur.

"Habis mustinya bagaimana?" tanya temannya 

itu dengan suara berbisik pula.

"Biasanya, paling tidak... isi yang di pundi itu 

yang diminta. Seperti seorang raden yang kemarin 

siang mampir ke sini, tiga pundi tuak dihabiskan se-

lama dia duduk di sini, apa nggak gila... tuh?" sam-

butnya kembali.

"Itu untuk yang doyan... Neng! Kalau buat yang 

nggak doyan, seperti yang duduk di depan sekarang. 

Jangankan sepundi, sesendokpun dia tak mau!" ban-

tah temannya.

"Ah... belum tentu!" sahutnya.

"Apanya yang belum tentu? Lihat aja tampang-

nya. Angker sekali kelihatannya!" bantah temannya 

sambil menengok ke depan.

"Ah... menurutku orang ini bukan angker, tapi


gagah. Lihat tuh, badannya tinggi dan kekar, berwiba-

wa lagi." puji wanita itu.

"Kau memuji? Naksir ya sama dia...?" sindir 

temannya.

"Naksir sih nggak, tapi kalau dia mau, aku juga 

nggak nolak, hi... hi... hih!" sambut wanita itu kembali 

sambil tertawa.

"Tapi benar juga katamu, Ning. Aku juga nggak 

nolak kalau dia mau samaku. Lihat tuh berewok di se-

kitar bibir, dagu, hingga pipi... haluuuuus sekali. Tak 

dapat kubayangkan seandainya aku berada di dalam 

dekapannya. Mungkin seminggu tak kulepaskan." ba-

las temannya dengan gaya pemain sandiwara.

"Gila! Memangnya lu nggak mikirin dapur. Mo-

nyoooooong!" balasnya lagi sambil mencubit pipi te-

mannya perlahan, kemudian mereka pun tertawa ber-

sama dan kembali meneruskan pekerjaannya masing-

masing.

"Sum! Aku mau membawakan pisang goreng 

buatnya. Tolong kau lihat-lihat pisang yang baru ku

masukan ke dalam penggorengan itu. Awas, jangan 

sampai hangus!" pesan Nining kepada temannya.

"Biar, aku sajalah yang mengantarkan, Ning!" 

balas Sumi.

"Ah... kau belakangan saja. Sekarang aku yang 

duluan," bisik Nining, "Mau kan sayang...?" ucapnya 

lagi sambil mengelus-elus rambut temannya.

"Iyaaaa... deh!" balas temannya dengan senyum 

dan melihat ke arah Nining.

Nining segera melangkah ke depan untuk 

membawakan pisang yang baru digorengnya untuk 

disajikan kepada tamunya.

"Ini, Den...! Pisang gorengnya mumpung masih 

hangat!" ucap Nining kepada tamunya yang baru saja



menghabiskan sisa kopi yang ada di hadapannya.

"Terima kasih... Dik!" sahut laki-laki itu sambil 

tersenyum, "Maaf ya, Dik... sebaiknya panggil aku den-

gan sebutan akang saja. Malu rasanya aku kalau di-

panggil dengan sebutan semacam itu." balas laki-laki 

itu dengan ramah dan penuh senyum. Kemudian ia 

pun terlibat dalam pembicaraan dengan penuh kea-

kraban.

Lama juga Nining menemani laki-laki yang kini 

telah diketahui namanya, yaitu Suta. Namun pembica-

raan yang biasanya penuh canda dan tawa, kali ini 

jauh berbeda. Wanita itu tampak termenung sambil 

menggigit bibirnya seperti menahan kekecewaan.

"Nah... kalau begitu akang permisi dulu, ya Dik. 

Sudahlah, tak usah menyesali yang telah berlalu, yang 

penting kita usahakan untuk memperbaikinya. Siapa 

lagi yang akan mengubah kalau bukan diri kita sendi-

ri." pesan Suta sambil bangkit dari kursi.

Nining menanggapi ucapan itu sambil tertun-

duk. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya kecuali 

menganggukkan kepala dengan wajah yang tetap ter-

tutup dengan kedua telapak tangannya, sehingga ia 

tak mengetahui bahwa tamunya telah pergi.

Bukan main terkejutnya Sumi ketika melihat 

temannya duduk terpaku sendirian di ruang depan. 

"Hei, apa yang kau lakukan di sini, Ning?" tanya Sumi 

sambil menepuk bahu Nining yang spontan membuat 

temannya itu terperanjat.

"Oh...! Sudah lamakah kang Suta pergi?" ucap 

Nining yang balik bertanya.

"Kang Suta yang mana?" balas Sumi. "Tamu ki-

ta yang tadi...!" sahut Nining. "Aku sendiri baru ma-

suk, mana mungkin aku tahu," ujar Sumi sambil me-

narik kursi dan duduk di dekat Nining, "Hei?! Uang


siapa nih, banyak sekali?' tanya Sumi agak keras dan 

langsung meraup uang yang ada di samping tangan ki-

ri Nining.

"Mungkin pembayaran dari tamu tadi!" jawab 

Nining agak acuh.

"Tapi banyak sekali?!" sela temannya. "Ah... be-

rapa sih, coba sini kulihat. Aku pun tak tahu ia mele-

takkan uang di sampingku!" sahut Nining.

"Nih lihat, hitunglah sendiri!" balas Sumi sam-

bil menyodorkan uang tersebut. Nining segera men-

gambil uang tersebut lalu menghitungnya.

"Wah. Gila! Apa-apaan nih!" teriak Nining sete-

lah menghitung uang yang diberikan oleh laki-laki tadi.

"Hebat kamu ini, pakai ilmu apa sih? Masa' 

harga segelas kopi dan pisang goreng, sama nilainya 

dengan harga warung ini?" puji Sumi sambil mencium 

kening temannya beberapa kali. Tapi kegembiraan 

Sumi hanya sekejap saja, karena ia melihat temannya 

itu tidak gembira, malah mengeluarkan air mata, "Ada 

apa, Ning?" tanya Sumi selanjutnya.

"Aku tak bisa menerimanya. Aku harus men-

gembalikan uang ini kepadanya. Kang Suta terlalu 

baik padaku. Baru kali ini aku kedatangan tamu yang 

ramah dan mempunyai sopan santun macam dia. 

Kang Suta tahu benar, apa yang kita lakukan selama 

ini, sebenarnya tidak sesuai dengan hati kecil kita," je-

las Nining dengan sedih.

"Tapi bukankah semua yang diberikan ini atas 

kerelaannya?" tanya Sumi yang turut terharu pula.

"Ya...! Justru itulah...!" ujar Nining tersedu-

sedu.

"Lebih baik tak usah lagi kau cari orang itu. 

Percayalah, tak mungkin kau dapat menemuinya. Le-

bih baik kita manfaatkan uang ini sesuai dengan pe


tunjuknya. Pasti dia akan senang." kata Sumi menghi-

burnya.

"Ya, kurasa usulmu itu cukup baik. Mudah-

mudahan pemilik warung ini mau melepaskan kita."

"Kenapa musti tergantung padanya? Kita kan 

ingin mengubah nasib, supaya kita mempunyai harga 

diri. Sebenarnya hati kita pun seperti teriris apabila 

mereka memperlakukan kita dengan seenaknya. Tapi 

apa daya kita tak mempunyai kemampuan apa-apa. 

Inilah saatnya yang terbaik buat kita."

Kita putuskan pembicaraan mereka sampai di 

sini, sekarang kita telusuri ke mana perginya sang ta-

mu tadi. Rupanya laki-laki itu belum jauh langkahnya, 

karena dia masih berdiri tegak di bawah sebuah pohon 

mangga.

"Hmmmh. Empat buah mangga!" gumam Suta 

sambil menggeser letak kain sarungnya.

Tak lama kemudian tangannya bergerak den-

gan cepat dan laksana peluru yang keluar dari laras-

nya empat buah pisau telah dilemparkan dengan cepat 

ke arah tangkai buah yang baru dilihatnya, dalam be-

berapa detiknya berjatuhanlah keempat buah mangga 

tersebut.

Suta setelah memasukkan kembali pisau-

pisaunya ke dalam sarungnya dan memperhatikan 

buah yang baru jatuh itu. "Hmh. Aku harus membu-

nuhnya seperti merontokkan buah-buah ini!" gumam-

nya kembali.

Buah mangga yang rontok itu tak lama kemu-

dian diberikan kepada salah seorang anak kecil yang 

kebetulan lewat di jalan itu bersama ibunya. Orang tu-

anya sangat berterima kasih atas pemberian tersebut. 

Suta menanggapi ucapan tersebut dengan senyum ra-

mah. Setelah anak kecil dan ibunya pergi, kemudian


Suta pun melanjutkan perjalanannya kembali.

Hari ini aku harus melaksanakan tugasku den-

gan baik. Aku telah siap berkorban demi mencegah 

timbulnya korban yang lebih banyak lagi dari iblis pe-

rusak moral. Manusia Iblis itu kudengar sedang berada 

di kampung Waru. Aku harus tiba di sana sebelum 

matahari terbenam, supaya dapat ku peroleh keteran-

gan yang lebih jelas lagi," ucap Suta di dalam hati 

sambil terus mengikuti langkah kakinya yang semakin 

cepat bergerak.

Dalam setengah perjalanan, tiba-tiba telinga 

Suta mendengar sesuatu. Ketika ia menoleh ternyata 

suara itu datangnya dari dua orang anak muda yang 

sedang berjalan di belakangnya dengan langkah cepat 

dan terburu-buru sekali.

"Maaf, Adik-adik... berhentilah sebentar. Keliha-

tannya kalian begitu tergesa-gesa sekali. Kalau boleh 

ku tahu, apa yang terjadi pada kalian dan ke mana tu-

juan kalian sekarang? Sekali lagi aku mohon maaf, 

apabila kalian merasa terganggu atas pertanyaan ini," 

ucap Suta kepada kedua anak muda yang mau mele-

watinya.

Kedua anak muda yang baru meningkat dewasa 

ini lama tak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh 

Suta tadi. Mereka hanya terdiam dan memandangi tu-

buh Suta dari mulai ujung rambut hingga kaki. Sete-

lah itu satu dari mereka melangkah ke depan mende-

kati Suta, "Maaf Kang, kami tidak punya waktu untuk 

ngobrol, karena kami sedang mengejar seseorang," 

ucap salah seorang anak muda itu dengan mata agak 

berkaca-kaca.

"Baiklah kalau begitu, mudah-mudahan kalian 

berhasil! Selamat jalan, anak-anak muda, sampai jum-

pa kembali! Karena aku tahu, siapa sebenarnya yang


kalian sedang cari, kalian telah kehilangan sesuatu 

yang kalian sayangi, sama seperti aku." balas Suta 

sambil mengangkat tangannya untuk memberi salam 

yang kemudian disambut oleh kedua anak muda itu.

Kedua anak muda itu kembali meneruskan per-

jalanan.

"Sst! Apa yang dia bilang tadi?" tanya salah seo-

rang di antara mereka dengan nafas terengah-engah.

"Dia mengetahui tujuan kita!" jawab seorang la-

gi tanpa menoleh.

"Apakah bukan cuma sekedar alasan untuk 

mengorek kita? Jangan-jangan dia adalah seorang 

pengawal yang memata-matai kita?"

"Ah... tak mungkin! Si Iblis itu selalu sendirian 

dalam melaksanakan pekerjaan maksiatnya. Tapi ia 

sangat licin seperti belut. Kalau orang yang tadi berte-

mu kita, tampaknya ia orang baik. Aku yakin sekali 

dengan apa yang dikatakannya." "Dari mana kau ta-

hu?" "Dari pembicaraan dan perilakunya! Memang ka-

lau sepintas, ia kelihatannya sangat angker dan ka-

sar...! Tapi ada satu hal yang tak bisa ia sembunyikan. 

Kelihatannya ia menaruh dendam yang membara ter-

hadap seseorang."

"Ah, kamu ini macam ahli nujum saja!"

Setelah pembicaraan singkat selesai mereka 

kembali terdiam, tak ada yang bersuara selain desah 

nafas yang kian memburu akibat jauhnya perjalanan 

yang mereka tempuh. Belum jelas, siapa yang mereka 

kejar dan di mana orang itu adanya, yang pasti mereka 

telah berada di tengah perkampungan Waru, sama 

halnya dengan daerah yang sedang dituju oleh Suta, 

laki-laki yang berwajah angker tersebut.

"Kita telah berada di kampung Waru. Arah ma-

na lagi yang harus kita lewati?" tanya pemuda itu kepada temannya.

"Entahlah, aku sendiri juga bingung," jawab 

pemuda yang satu lagi sambil memegangi dadanya ka-

rena kelelahan.

"Kita harus putuskan sekarang, jangan sampai 

kita kemalaman di sini. Lihatlah hari sudah mulai ge-

lap."

"Kita cari saja warung yang terdekat, agar dapat 

beristirahat."

"Tidak Kita tak boleh beristirahat di tempat 

orang banyak. Aku khawatir akan timbul persoalan ba-

ru di sana. Lebih baik kita cari tempat yang sepi untuk 

beristirahat."

"Terserahlah! Yang penting kita harus tetap pa-

da tujuan semula, walaupun harus dengan resiko 

nyawa."

"Ya. Itu sudah pasti, karena kita sama-sama di-

rusak oleh srigala jahanam itu."

Kedua anak muda itu mengambil tempat ber-

malam yang agak sunyi dan sulit terlihat dari luar, wa-

laupun letaknya tetap di pinggir jalan. Sambil beristi-

rahat, mereka terus mengamati keadaan sekelilingnya. 

Sementara itu udara di sekelilingnya mulai terasa.

Suara-suara bisik di antara mereka telah ter-

dengar lagi, mungkin mereka telah tertidur dengan le-

lap sekali setelah hampir seharian penuh berjalan di 

bawah terik matahari.

***

LIMA


Kepekatan malam mulai berubah dengan mun-

culnya sang bulan dengan perlahan seiring dengan 

merangkaknya waktu. Dari keremangan sinarnya yang 

terhalang oleh awan, masih tampak terlihat suasana 

malam dl kampung Waru yang semakin lama semakin 

sunyi karena para penghuninya telah memanfaatkan 

waktu istirahat, setelah seharian penuh membanting 

tulang demi kebutuhan hidup anak dan istri.

Di dalam keremangan malam yang sunyi itu, 

tampak sesosok tubuh laki-laki keluar dari tempat 

persembunyian dan berjalan sambil membungkukkan 

badan menuju ke sebuah rumah yang tak jauh dari si-

tu. Se telah tiba di dalam pekarangan, ia pun mengen-

dap-endap menghampiri jendela bagian tengah rumah 

tersebut. Setelah itu langsung melekatkan telinganya 

sambil tersenyum sendirian, "Hmm... dia masih sabar 

menunggu, tampaknya!" gumamnya sambil membalik-

kan badannya untuk mengawasi keadaan sekeliling-

nya.

"Pah... Ipah... buka dung, Geulis...!" bisiknya ke 

sela sela sambungan papan pada dinding itu yang di-

barengi pula dengan ketukan dengan ujung jarinya.

Dari dalam jendela yang tidak kelihatan sinar 

lampu, kemungkinan besar, memang sudah mereka 

atur supaya gelap. Tak lama kemudian daun jendela 

itu perlahan-lahan terbuka.

"Bagaimana, Geulis... apakah ayah dan ibumu 

sudah tidur?" bisik laki-laki itu.

"Sudah, Den." jawab gadis yang berada di da-

lam dengan singkat, "Ayo cepat masuk. Nanti kalau 

ada yang lewat, Aden bisa berbahaya," ujarnya kembali


dengan suara yang sangat perlahan sekali.

"Baik Geulis...!" bisik lelaki muda itu dengan 

ucapan yang perlahan pula. Laki-laki ini tak salah lagi, 

yakni sang 'Play Boy' kampungan alias Lungguh yang 

sudah beken itu.

Kemudian dengan cepat sang Raden memanjat 

dan masuk ke dalam kamar yang gelap. Setelah ia be-

rada di dalam, jendela itu tampak ditutupnya rapat-

rapat dan yang terdengar hanyalah bisik mereka ber-

dua.

"Oh... betapa cemasnya aku menunggu, Den...!" 

ucap Ipah.

"Tak usah khawatir Geulis. Ipah kan kabogoh 

akang, jadi akang tak akan membiarkan Ipah sendi-

rian. Inilah buktinya...! Akang datang untuk menema-

nimu," ucap sang perayu yang mulai bersandiwara.

"Entahlah, Kang. Sejak sore tadi aku gelisah 

sekali," balas Ipah sambil merebahkan kepalanya ke 

dada Lungguh.

"Gelisah kenapa?" kembali Lungguh bertanya.

"Wajah Akang selalu terbayang di mataku," ja-

wabnya sangat polos. Lungguh mengecup mesra ken-

ing gadis itu.

"Aku pun demikian sayang...! Tak sabar ra-

sanya menunggu kesempatan seperti ini." sahut Lung-

guh yang juga dalam soal bersandiwara semacam ini.

"Jadikah besok Akang menemui orang tuaku?" 

tanya Ipah yang ingin mengetahui kejelasan hubungan 

mereka.

"Tentu. Mungkin sore akang ke sini. Untuk itu-

lah Akang datang malam-malam untuk meminta ke-

pastian Ipah jangan sampai timbul perselisihan di be-

lakang nanti," sela Lungguh sambil membelai rambut 

Ipah yang semakin terlena di dalam pelukannya. "Sudahlah sayang... urusan besok, kita bicarakan lagi 

nanti. Yang penting sekarang kita nikmati malam yang 

indah ini."

Keadaan di luar tetap sunyi sepi. Tiupan angin 

yang sebelumnya berhembus lembut, kini mulai terasa 

semakin keras sehingga membuat ranting-ranting po-

hon menggeliat dihempasnya, begitu pula dengan de-

daunan, tampak semakin meronta-ronta. Keadaan se-

perti itu terus berlangsung tanpa henti hingga menje-

lang datangnya pagi. Embun pagi mulai turun bersama 

hilangnya kesucian seorang gadis.

"Ipah... bangunlah, Geulis...! Sebentar lagi fajar 

akan menyingsing." sapa Lungguh kepada Ipah yang 

masih tidur dengan lelap di sampingnya. Belahan da-

danya yang kencang itu hangat terasa dalam sentuhan 

tangan Lungguh.

"Akang mau ke mana." tanya Ipah setelah ter-

bangun dari tidurnya. Sambil membenahi tubuhnya 

sendiri yang tak tertutup selembar benang pun.

"Bukankah aku harus mempersiapkan sesuatu 

untuk acara pernikahan kita?" jawab Lungguh sambil 

membelai rambut Ipah yang ikal mayang. Dikecupnya 

bibir gadis itu dengan lembutnya.

"Jadi Akang mau pulang ke Babakan?" balas 

Ipah kembali.

"Ya!" sahut Lungguh singkat. "Bukankah kedua 

orang tua Akang sudah tiada?" tanya Ipah sambil me-

rapikan pakaian yang sedang dikenakan oleh sang ra-

den.

"Benar... tapi aku masih mempunyai dua orang 

kakak. Aku akan memohon restu pada mereka, karena 

mereka kini menjadi pengganti orang tuaku." balas 

Lungguh dengan tenang.

Ipah masih tetap merapikan pakaian Lungguh


hingga selesai dan sang raden ini bagai bocah yang 

masih ingusan, diam saja ketika rambutnya disisirkan. 

Setelah semuanya selesai Ipah langsung memeluk 

Lungguh dari belakang, saat Lungguh sedang merapi-

kan kedudukan blangkonnya di hadapan cermin.

"Oh...! Alangkah gembiranya aku Kang! Aku 

sangat mengharapkan hari bahagia itu... oh!" bisik 

Ipah sambil memeluk tubuh Lungguh erat-erat.

"Tenanglah sayang...! Untuk itulah aku pulang 

ke Babakan. Hari ini juga akan kubawa saudara-

saudaraku untuk menemui orang tuamu," balas Lung-

guh yang kini sudah siap untuk berangkat. "Nah... se-

karang aku berangkat dulu, Geulis."

Lungguh langsung keluar meninggalkan rumah 

tersebut. Melalui jendela, tempat di mana ia masuk 

pada malam hari tadi. Ipah mengantar kepergiannya 

dengan penuh harapan dan kegembiraan di pagi buta 

itu. Dalam pikirannya telah terbayang Den Lungguh 

bersama kedua saudara serta para kerabatnya, datang 

meminang kepada orang tuanya dan menentukan hari 

pernikahan seperti ucapan sang raden waktu hendak 

berangkat. Padahal semua itu adalah angan-angan ko-

song belaka, tak mungkin Lungguh menginjakkan ka-

kinya kembali ke rumah itu, menoleh dengan sebelah 

mata pun tak bakal ia lakukan.

"Puiiih! Dasar gadis dungu! Kau akan gigit jari 

seumur hidup, kalau masih mengharapkan Serigala Ib-

lis macam dia! Tapi kau tak usah khawatir, Srigala Ib-

lis itu sebentar lagi akan kuhabisi riwayatnya," gumam 

sesosok bayangan laki-laki yang memperhatikan keja-

dian itu sejak tadi malam.

Tak lama kemudian bayangan itu menyelinap 

kembali ke dalam semak-semak untuk memberitahu-

kan temannya. Setelah itu mereka muncul kembali


dan mengikuti ke mana Den Lungguh pergi. "Ssst! Kita 

serang Srigala Iblis di ujung jalan itu. Di mana kita le-

luasa bergerak dan jauh dari sana-sini!" bisik salah sa-

tu dari mereka.

"Kalau begitu mari kita berjalan lebih dahulu!" 

balas temannya.

"Ayo!" sambutnya kembali.

Kemudian mereka dua orang pemuda itu pun 

mempercepat langkahnya agar dapat mendahului 

orang yang sedang mereka buru. Sementara itu Den 

Lungguh sendiri tak mengetahui sama sekali. Ia masih 

tetap berjalan dengan tenang.

Ketika Den Lungguh tiba di ujung jalan untuk 

menuju jalan yang agak besar, tiba-tiba terdengar sua-

ra teriakan keras yang dibarengi dengan lompatan seo-

rang anak muda ke arahnya. Baru saja Den Lungguh 

akan berusaha untuk mempersiapkan diri menjaga 

kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi terha-

dap dirinya, datang lagi sebuah serangan dari arah be-

lakang. Serangan yang datang secara mendadak dan 

tak diduga sama sekali ini telah membuat Den Lung-

guh jatuh tersungkur. Penyerang yang berada di depan 

tak memberi kesempatan lagi bagi Lungguh, ia pun 

memberikan tendangan keras ke bagian muka sang 

raden yang hendak bangun dan. untuk kedua kalinya 

Den Lungguh jatuh.

"Bangun kau!" bentak salah seorang dari mere-

ka.

"Siapakah kalian...?" tanya Den Lungguh sam-

bil mengusap mulutnya yang sedikit mengeluarkan da-

rah.

"Tak perlu kau tahu kami!" bentak orang yang 

berada di sebelahnya.

"Mengapa kalian menyerangku?" tanya Den


Lungguh kembali.

"Karena kau Srigala Iblis!" sahut anak muda 

itu.

"Hei?! Jangan ngomong seenaknya di hadapan-

ku, hah?! Rupanya kalian belum tahu siapa aku ini?" 

teriak Den Lungguh sambil bangkit dan menghimpun 

seluruh tenaganya kembali.

"Kalau aku tak kenal, buat apa aku susah 

payah mencarimu jauh-jauh sampai ke sini! Puiiiih!"

"Maaf, aku tak mengerti maksud kalian! Me-

nyingkirlah kalian. Masih banyak urusan yang musti 

kuselesaikan."

"Sudah ada gadis lain rupanya, yang akan men-

jadi korbanmu berikutnya."

"Bangsat! Kalian benar-benar ingin memancing 

kemarahanku, ya! Kuperingatkan sekali lagi. Cepat 

menyingkir atau kupatahkan batang leher kalian!"

"Tidak semudah itu, Bangsat terkutuk! Kau tak 

perlu berlagak pikun. Kami datang untuk menebus 

noda gadis-gadis korban kemesuman mu dengan nya-

wa srigala mu. Kalau kau dibiarkan hidup terns, entah 

berapa puluh korban lagi yang akan menjadi mangsa

mu.

Den Lungguh kelihatannya agak terkejut sete-

lah mendengar ucapan salah seorang anak muda lagi, 

berarti dengan demikian kedoknya mulai terbuka. Sa-

tu-satunya cara yang terlintas di dalam pikirannya 

adalah menghentikan berita tersebut jangan sampai 

tersebar luas.

"Gila! Kalau ku tahu bakal begini, sudah pasti 

ku tunda dulu kunjungan ku ke rumah si Ipah. Tapi 

dari pada terbuka rahasiaku, lebih baik ku bungkam-

kan mulut mereka." ucap Lungguh di dalam hati den-

gan pandangan terus mengamati gerak-gerik kedua


anak muda yang kelihatan sudah bersiap-siap akan 

mengadakan penyerangan kembali.

"Apakah kalian telah pikirkan masak-masak, 

akibat dari tindakan kalian ini?!" tanya Den Lungguh 

yang sengaja mengulur-ngulur waktu guna memulih-

kan tenaga akibat serangan tadi.

"Ya! Kami telah siap, apa pun yang terjadi pada 

diri kami demi membela nama baik keluarga yang telah 

kau rusak!" jawab salah satu anak muda yang kini te-

lah mencabut golok dari sarungnya.

"Sebenarnya aku tak tega menghadapi kalian! 

Bagaimana kalau ini sebagai ganti rugi untuk kalian, 

setelah itu tinggalkan tempat ini?" balas Den Lungguh

sambil melemparkan sekantong uang logam di hada-

pan mereka.

Melihat tingkah Lungguh tersebut, kedua anak 

muda itu semakin bertambah geram, "Menghina sekali 

kau ini, hah?! Kau pikir harga diri kami hanya sebegitu 

nilainya. Sekarang terimalah ini. Ciaaaaaat!" teriak 

anak muda yang tampak sudah mulai kalap itu. Se-

rangan yang dilakukan kali ini tak tepat pada sasaran, 

sebab Den Lungguh dengan cepat dapat mengelak, be-

gitu pula serangan yang dilakukan oleh temannya.

Beberapa kali serangan dari kedua anak muda 

itu dapat ditangkis dengan baik oleh Den Lungguh, 

namun ada pula serangan yang dapat dielakkan tetapi 

ia harus menerima goresan ujung golok di lengannya. 

Serangan-serangan yang semakin membabi buta dari 

kedua anak muda itu cukup membuat Lungguh kewa-

lahan. Tenaga muda mereka benar-benar masih fit, se-

hingga mereka mampu melakukan perkelahian dalam 

waktu panjang, sedangkan Den Lungguh untuk mela-

kukan semacam itu pasti tidak mungkin. Ia hanya 

mengandalkan teknik perkelahian yang disertai tipuan


permainan, tapi sayangnya kesempatan untuk menca-

pai ke arah itu belum ia peroleh.

"Gila! Habis tenagaku kalau begini terus!" pikir 

Den Lungguh sambil melompat untuk menghindari 

serbuan golok yang datang sekaligus ke arahnya.

"Mau kabur ke mana kau, Buaya Laknat?" te-

riak salah seorang penyerang sambil mengejar Den 

Lungguh dan belum sempat kaki Den Lungguh me-

nyentuh tanah, sebuah tendangan keras dari anak 

muda itu telak mendarat di mata kakinya.

"Uuuuuukh!" teriak Den Lungguh sambil 

menggulirkan badannya bagaikan bola yang habis di-

tendang. Kali ini pakaian perlentenya tak dihiraukan 

lagi, ia terus bergulir di tanah yang berembun. Kea-

daan jalan tanah yang agak turun telah mempermudah 

Lungguh dalam menggulirkan badannya dengan cepat.

"Sambutlah kematianmu sekarang, Srigala Ib-

lis!"

Begitu melihat lawan datang menerkam laksana 

singa lapar, Lungguh tanpa pikir panjang lagi langsung 

meraup abu di tanah dan melemparkan abu tersebut 

ke bagian mata lawan sambil menghindar ke kiri. La-

wan yang dalam keadaan kelabakan akibat terkena

lemparan abu segera disambut dengan beberapa puku-

lan mautnya sehingga anak muda tersebut jatuh terje-

rembab ke tanah. Tak ada kesempatan yang diberikan 

oleh sang raden kepada anak muda ini. Ia langsung 

menghunjamkan keris yang baru dicabutnya tepat di 

perut pemuda itu.

Anak muda tersebut mengerang beberapa saat 

dan tak berapa lama kemudian tubuhnya pun kejang 

tak berkutik lagi. Pemuda lainnya yang sebelumnya 

menganggap Lungguh tak berdaya dan dapat disele-

saikan dengan mudah oleh temannya, sangat terkejut



melihat kejadian itu. Ia langsung menerjang Lungguh 

dari belakang. Tapi sayang serangannya kandas. Ru-

panya Den Lungguh sudah dapat mengetahui sebe-

lumnya.

"Bocah masih ingusan begini sudah berani me-

lawanku! Fuih! Sekarang kau terima akibatnya! 

Hiyaaaat! Ciaaaaat! Haaaait...!"

teriak Den Lungguh yang disertai dengan puku-

lan yang sangat gencar ke arah anak muda ini.

"Hup...! Hiaat! Ciaaaat!" teriak anak muda itu 

pula dalam menangkis serangan Lungguh sambil sese-

kali mengadakan serangan balasan.

Puluhan kali antara golok dan keris saling be-

radu dan puluhan kali pula kaki dan tangan saling 

menghantam secara bergantian. Ternyata anak muda 

yang satu ini cukup mampu mengimbangi permainan 

Den Lungguh, walaupun kalau dihitung pukulan yang 

diterima dengan yang sarangkan ke pihak lawan masih 

berbanding tiga lawan satu.

Den Lungguh yang telah banyak pengalaman 

dalam hal semacam ini, walau dengan susah pa yah 

dan menguras seluruh tenaga yang dimilikinya, akhir-

nya mampu juga mengatasinya. Ini terjadi saat ia me-

lepaskan pukulan kombinasinya yang sangat sulit se-

kali dibaca lawan. Pukulan yang diberikan itu telah 

masuk ke titik-titik kelemahan tubuh sehingga lawan-

nya tak mampu lagi menangkis serangan dengan sem-

purna. Kesempatan itu benar-benar telah di man-

faatkan Lungguh, keris yang berada di dalam gengga-

mannya langsung diarahkan ke perut lawan.

"Rasakan ini!" teriak Lungguh dengan geram.

"Aaaaaakh!" suara anak muda itu sambil men-

gerang dan ambruk ke tanah tak berkutik lagi.

Melihat lawannya ambruk. Dengan cepat Lungguh meninggalkan tempat tersebut. Ia berlari menuju 

ke arah sungai, setibanya di tepi sungai, Lungguh 

langsung menjatuhkan badan dan beberapa kali mem-

benamkan kepalanya di air yang jernih itu.

Mungkin ini baru terjadi atau untuk pertama 

kalinya dialami oleh sang raden, kali ini ia tak mem-

perdulikan tempat dan keadaan lagi. Dengan tanpa ra-

gu-ragu ia langsung merebahkan dirinya di tepi sungai 

itu.

"Oh... tulang-tulangku terasa mau patah! Kecil-

kecil hebat juga kedua anak itu. Mungkin kalau aku 

tak segera menghindar ke tempat yang banyak abunya, 

bisa hancur tubuhku dibuatnya," gumam Lungguh 

dengan mata menatap ke langit.

Setelah dirasakan badannya mulai segar kem-

bali, Lungguh pun bangun dan berjalan ke tempat 

yang agak kering. Tepat di bawah pohon yang besar ia 

berhenti.

"Aku harus pulang sekarang. Pakaianku tak 

ubahnya seperti seorang pengemis...!" ucap Lungguh 

sendirian sambil bersandar di batang pohon yang be-

sar itu.

Baru beberapa detik saja ia berada di situ, tiba-

tiba ia mencium sesuatu yang mencurigakan. Ia yakin 

suara gerakan halus itu akan menuju ke arahnya.

Belum sempat ia berpikir jauh, serangan maut 

datang ke arahnya. Serangan secara beruntun itu, ru-

panya sengaja tak diarahkan langsung ke tubuhnya. 

Pisau-pisau yang dilemparkan hanya menancap pada 

pinggiran tubuhnya, sehingga tampak sekeliling tubuh 

Lungguh dipagari oleh pisau-pisau yang menancap di 

pohon. Baru saja Lungguh hendak bergerak, datang 

lagi sebuah pisau menancap sedikit di atas bagian ke-

pala dan di dekat ketiaknya, baik yang di sebelah kiri


maupun di sebelah kanan. Kini tubuh Lungguh sema-

kin ketat terjepit di batang pohon.

"Hei, siapa kau?! Mengapa kau lakukan ini se-

mua?! Ayo keluarlah!" teriak Lungguh yang tak berani 

menggerakkan tubuhnya lagi.

"Ha... ha... ha...! Inilah saatnya ajalmu, Manu-

sia Jahanam! Dunia ini sudah muak melihat tampang 

dan batang hidungmu!" ucap penyerang itu sambil ke-

luar dari tempat persembunyiannya.

"Oh! Kau!" teriak Lungguh terkejut setelah me-

lihat wajah orang tersebut. Ternyata orang tersebut 

adalah Suta teman sepermainannya dari masa kanak-

kanak hingga masa remaja.

"Kau masih mengenaliku?" tanya Suta dengan 

tenang.

"Ya!" jawab Lungguh singkat.

"Syukurlah kalau kau masih ingat pada teman 

lamamu!" balas Suta, "Sebenarnya aku sudah lama se-

kali mengejarmu, tapi sayang orang yang kukejar san-

gat licin bagaikan belut!" jelas Suta selanjutnya.

"Kenapa kau mengejarku?" tanya Lungguh in-

gin penjelasan yang lebih mendalam.

"Jangan berlagak pikun kau, Bangsat! Dasar 

Manusia Laknat tak tahu balas budi. Kau tentu masih 

ingat, berapa kali aku telah menyelamatkan nyawamu 

dari kemarahan orang-orang kampung akibat ulah 

mu? Berapa kali kau merengek di hadapanku untuk 

minta bantuan ini-itu?! Apakah selama ini, pernah aku 

meminta imbalan darimu? Tidak sama sekali! Aku pun 

tak pernah mengharapkan apa-apa darimu! Yang ku-

harapkan hanyalah agar persahabatan tetap terjalin 

dengan baik di antara kita...! Hanya itu! Tapi apa yang 

kuterima sekarang?! Fuih! Kau benar-benar manusia 

busuk! Begitu teganya kau nodai tunanganku yang se


bentar lagi akan menjadi istriku! Tahukah kau...! Aki-

bat perbuatanmu, ia telah bunuh diri! Sungguh kejam 

sekali, kau Lungguh! Kejaaaam!" teriak Suta yang 

tampak semakin beringas. "Sungguh... A... aku tak ta-

hu kalau..." "Diam! Aku belum habis bicara!" bentak 

Suta sambil melemparkan pisau ke dekat telinga 

Lungguh, sehingga sang raden ini semakin sulit berge-

rak.

Dengan lemparan pisau tersebut mulut Lung-

guh menjadi terkunci, tak berani ia membuka suara 

lagi.

"Ketahuilah Lungguh. Aku sejak itu telah ber-

sumpah pada diriku sendiri. Aku harus menebus sakit 

hati ini. Kau harus mati di tanganku! Sebenarnya su-

dah lama hal ini harus kulakukan, namun pada waktu 

itu ayahmu masih ada, beliau sedang sakit. Aku san-

gat menghormati beliau. Sekarang ayahmu sudah tia-

da...! Jadi aku telah dapat melaksanakan sumpahku, 

apalagi orang yang ku tuju sekarang sudah berada di 

hadapanku. Terimalah kematianmu yang sekaligus 

merupakan berakhirnya petualanganmu yang keji itu."

Rupanya selama temannya bicara Lungguh te-

lah mencari peluang yang memungkinkan untuk dapat 

lolos dari jepitan pisau tersebut. Hal ini memang di 

luar dugaan Suta. Begitu melihat tubuh Lungguh me-

letik, bukan main terkejutnya Suta.

"Kau belum tentu mampu membunuh ku, ka-

wan!" teriak Lungguh sambil menyerang Suta.

Serangan keris yang ditunjukkan ke arah Suta 

tak berhasil menuju sasaran. Suta dengan cermat da-

pat mengelakkan. Kemudian Suta berusaha mencapai 

pohon untuk mengambil kembali pisau-pisaunya. Sete-

lah melalui beberapa kali salto akhirnya dapat juga ia 

berada di dekat pohon tersebut. Pisau yang menancap


di pohon langsung dicabut dan dilemparkan ke arah 

lawan.

Lungguh dengan sekuat tenaga menangkis se-

rangan yang beruntun itu. Ia melompat ke sana-ke 

mari menghindari diri dari pisau-pisau yang dilempar-

kan kawannya yang kini menjadi lawan.

"Ha... ha... ha...! Terus saja berjoget, Lung-

guh...! Pisau-pisau itu memang tak ku arahkan tepat 

di badanmu. Kalau kau ingin tahu pisau yang ku

arahkan dengan tepat, macam inilah...!" teriak Suta 

sambil melempar dua buah pisau dengan kedua tan-

gannya secara berbareng.

Apa yang diucapkan Suta memang terbukti. Pi-

sau-pisau itu telah berhasil mencapai sasaran dan 

langsung menancap dada bagian kiri dan kanan Lung-

guh.

Lungguh berteriak sekuat tenaga karena sakit 

yang dirasakan tidak terkira. Ia ambruk seketika den-

gan pakaian berlumur darah.

"Su... su... Sutaaaa... kkkau tega ssekali... pa-

daku..." ucap Lungguh dengan suara serak dan terpu-

tus-putus.

"Maafkan aku, Lungguh. Ini semua akibat per-

buatanmu yang telah melampaui batas! Aku... 

heeeekk... kkh!" ucapan Suta tak dapat diteruskan lagi 

karena tanpa diduga sama sekali, tangan Lungguh ti-

ba-tiba melemparkan keris yang masih berada di tan-

gannya dan masuk tepat di bagian jantung Suta.

Suta mengerang menahan rasa sakit yang tak 

terhingga. Sambil gemetar tangan kirinya meraba ikat 

pinggangnya untuk mencari sesuatu. Ternyata ada se-

buah pisau lagi yang tertinggal di bagian belakang, se-

telah menyambar pisau tersebut, Suta pun langsung 

melemparnya. Lungguh yang baru saja hendak bangkit


langsung ambruk lagi karena di punggungnya telah 

tertancap pisau Suta yang terakhir. Suta tak mampu 

lagi berdiri. Tubuhnya ambruk ke tanah tak berkutik 

lagi. Sedangkan Lungguh masih berusaha untuk 

bangkit walaupun mukanya tampak semakin pucat 

akibat semakin banyaknya darah yang keluar. Ru-

panya ia masih punya ambisi untuk hidup.

***

ENAM


Tak jauh dari tempat itu, tampak serombongan 

tukang-tukang pukul dari daerah lain memperhatikan 

perkelahian tersebut. Di antara mereka ada pula yang 

berkepala botak dan berkumis tebal. Ia berdiri paling 

depan dan berkali-kali ia mencegah ketika orang-orang 

yang di belakangnya ingin mengadakan penyerangan.

"Tunggu! Biarkan mereka selesai dulu!" ucap si 

Botak yang berpakaian gaya tokoh Jin dalam film Seri-

bu Satu Malam.

Rupanya si Botak inilah yang menjadi pimpi-

nan, karena semua yang diperintahnya tak ada yang 

berani membantah.

Tak lama kemudian si Botak pun melangkah 

maju sambil memutar-mutarkan tombaknya. Setelah 

tiba di dekat Den Lungguh yang masih mengap-

mengap dan berupaya untuk berdiri merambat di ba-

tang pohon, si Botak menghentikan langkahnya. Ia ter-

senyum melihat keadaan Lungguh yang sudah dalam 

keadaan parah.

"He... he... he...! Ternyata aku tak perlu kerja 

keras untuk mendapatkan kepala si Kunyuk ini! He...


he... he...!" ucap si Botak yang tak henti-hentinya me-

milin-milin kumisnya yang melintang itu. "Tapi... bera-

pa lama lagi gua musti nunggu dia kaku...?! Hmmmh, 

lebih baik dengan cara ini saja, hup!" ucapnya lagi 

dengan keras sambil melemparkan tubuh yang berada 

di tangannya dengan tepat.

Tubuh yang telah tak berdaya itu kini mengge-

lepar dibuatnya dan dalam beberapa detik saja Lung-

guh sudah tak bernyawa lagi. Laki-laki botak yang ber-

tampang beringas itu maju beberapa langkah mende-

kati mayat Lungguh. Setelah ia memeriksa keadaannya 

maka ia pun memerintahkan anak buahnya untuk 

mengambil mayat tersebut sebagai bukti hasil kerja 

mereka.

"Hei, yang kuminta bukan cuma orangnya 

doang. Tapi berikut gerobaknya. Goblooooook!" bentak 

si Botak kepada salah seorang anak buahnya.

"Untuk apa gerobak, Kang?" tanya yang lain-

nya.

"Kamu ini pingin hadiah yang besar, apa eng-

gak, sih?! Mana ada orang yang mau bayar, kalau kita 

tidak menunjukkan bukti dari hasil pekerjaan kita. 

Dungu kau!" bentak si Botak kembali.

"Aah, si Akang ini. Sudah kerja kita enggak re-

pot, masih juga marah-marah aja!" sahut anak buah 

yang bertubuh pendek gemuk dan mukanya jerawatan.

"Hei, muka geradakan! Ayo kerja, jangan ba-

nyak omong. Pokoknya kalau kita mendapat upah 

yang besar dari Juragan Wangsa, baru kau boleh ber-

senang-senang. Cinta mu yang nggak kesampaian alias 

selalu ditolak perawan, tidak akan terjadi lagi, he... 

he... he...!" sahut si Botak sambil mengusap-ngusap 

kepala orang itu.

"Nyindirr... niii... yeee!" balas si Pendek sambil


nyengir.

Kini kembali si Botak mengawasi pekerjaan 

anak buahnya yang masih tampak sibuk mencabuti 

benda-benda yang masih melekat di tubuh Lungguh 

yang kini telah dingin dan kaku. Setelah itu tubuh itu 

dibungkus dengan kain yang telah disediakan di dalam 

gerobak.

"Ayo cepat masukkan ke dalam gerobak!" perin-

tah si Botak kembali.

"Kalau yang satunya ini bagaimana, Kang?" 

tanya salah seorang anak buahnya.

"Itu bukan urusan kita. Biarkan saja, nanti 

siang pun sudah diurus oleh masyarakat di sekitar si-

ni!" jelas si Botak.

"Jadi dibiarkan saja..?" sela yang lainnya.

"Bawel lu!" bentak si Botak dengan mata melo-

tot, "Ayo berangkat!" perintahnya kembali.

Mendengar perintah tersebut, maka anak buah 

yang berjumlah enam orang itu pun tak banyak tanya 

lagi. Mereka segera berangkat. Si Botak mengikuti dari 

belakang dengan penuh tawa riang.

Setibanya di rumah sang majikan, si Botak 

langsung lompat dan lari menuju ke pintu lebih dulu. 

Berkali-kali menggedor pintu rumah majikannya, tapi 

belum juga ada yang buka.

"Gaaaan...! Banguuun, udah siaaaaang!" teriak 

si Botak dengan suara menggelegar sambil menggedor 

pintu rumah dengan keras sekali.

Dari kerasnya suara teriakan tersebut, akhir-

nya sang majikan terbangun juga. Dia tampak keluar 

dari kamarnya dengan kain sarung yang masih dike-

rudungkan. Kemudian membukakan pintu.

"Masuk! Ayo masuklah! Sebentar aku mau ber-

pakaian dulu...." ucap Den Wangsa sambil mengucek


ngucek matanya. "Oaahm! Oaaaahhhhmmmm...!" ber-

kali-kali ia menguap ketika hendak masuk ke kamar-

nya.

"Dasar Gendut! Dia yang nyuruh, tapi enak-

enakan tidur pules di rumah!" ucap si Pendek.

"Husss! Jangan bawel!" bentak si Botak sambil 

memukul pundak si Pendek dengan gagang goloknya.

"Habis kesel sih, Kang!" sahut orang itu kemba-

li.

"Awes, kalau masih bantah terus ku masukan 

kau ke dalam gerobak dengan badan terbelah dua!" 

ancam Botak dengan suara pelan tepat di dekat telinga 

orang itu.

"Hiiiyy... merinding deh bulu kudukku menden-

garnya...!" ucap si Pendek kembali.

Entah membaca mantera apa si Wangsa di da-

lam kamarnya, kelihatannya lama sekali dia menyalin 

pakaian. Hal ini telah membuat anak buah si Botak 

menggerutu.

"Bagaimana hasil kerja kalian?" tanya Wangsa 

setelah mengganti pakaiannya dengan mentereng wa-

lau belum mandi.

"Siapa dulu dong...? Pokoknya kalau tugas dis-

erahkan padaku, pasti beres...!" balas Botak, "Kalau 

perlu bukti, lihat sendiri di depan. Mayat itu sekarang 

berada di dalam gerobak!" ujarnya lagi sambil menun-

juk ke luar.

"Mana... mana... ayo, aku pingin lihat!" sela 

Wangsa dengan gembira dan langsung menuju ke luar.

Si Botak segera mengantar Wangsa untuk me-

nunjukkan mayat yang baru dibawanya.

"Bagus... bagus...! Ha... ha... ha...! Tak percuma 

aku membayar kalian dengan mahal. Kalian memang 

orang-orangku yang baik. Hmmh... bagaimana dalam


menghadapi nya, apakah banyak kesulitan?" tanya 

Wangsa kepada si Botak.

"Tidak. Ternyata apa yang kau katakan salah 

semua...! Kau bilang dia banyak mempunyai ilmu ini 

dan itu... eh nyatanya secuil pun tak mampu menan-

dingi ilmuku," sahut si Botak sambil menepuk-nepuk 

dadanya sendiri.

"Ha... ha... ha...! Aku kan bilang begitu karena 

ku bandingkan dengan apa yang ku miliki!" sangkal 

Wangsa yang pintar bersilat lidah.

"Oooo.... begitu?" sahut si Botak dengan penuh 

bangga.

"Tapi bukan berarti aku tak mampu mengha-

dapi mereka-mereka yang jago dalam dunia persila-

tan...! Tidak sama sekali. Mereka tidak mempunyai ba-

rang seperti ini, sedang aku memilikinya! Apakah kau 

juga mampu menangkisnya?" balas Wangsa sambil 

mengacungkan pistol ke muka si Botak.

"Wah... wah... jangan Den! Berbahaya... itu. 

Den!" sela si Botak dengan geragapan.

"He... he, benar kan?!" sahut Wangsa sambil 

tertawa.

"Siapa pun tak mampu menangkisnya, Den!" 

balas si Botak sekedar menyenangkan hati juragan 

buncit itu.

"Sudahlah...! Sekarang aku akan tugaskan kau 

kembali. Karena masih ada tugas lagi yang harus dis-

elesaikan! Sekarang suruh anak buahmu mengurus 

pemakaman Lungguh. Kemudian kita bicara di sini se-

bentar. Cepatlah, Dungkul!" perintah Wangsa kepada 

si Botak yang ternyata bernama Dungkul.

Setelah semua anak buahnya dikerahkan un-

tuk mengurus mayat Lungguh, maka Dungkul pun 

kembali lagi menghadap juragannya.



Wangsa segera memberikan petunjuk kepada 

Dungkul tentang tugas barunya yang harus ia laksa-

nakan sendiri.

"Kalau cuma segitu mah, beres Den!" sahut 

Dungkul setelah menerima instruksi dari sang maji-

kan.

"Nah sekarang kau boleh pergi. Tinggalkan aku 

seorang diri di sini!" ucap Wangsa setelah memberikan 

petunjuk kepada sang algojo.

"Baik Den!" jawab Dungkul singkat. Maka 

Dungkul pun melangkahkan kakinya meninggalkan 

ruang tengah yang besar, tempat Wangsa sering men-

gadakan musyarah untuk mengatur rencana.

Kini tinggallah Wangsa yang berada di ruang 

itu. Ia tampak ceria sekali. Mungkin segala keinginan-

nya sudah sembilan puluh sembilan persen diperoleh 

dan yang satu persen inilah yang masih harus dilak-

sanakan oleh algojonya.

"Hmmm... dengan kematian Lungguh berarti 

aku telah menguasai seluruh harta warisan yang ada 

di rumah ini. Tak ada lagi yang dapat menghalanginya. 

Apalagi kalau si Tirta itu sudah berhasil dicopot leher-

nya. Aku bakal bebas tanpa ada gangguan sedikit pun. 

Soal harta yang terpendam biar kusingkirkan dulu da-

lam ingatanku, yang penting harta warisan di rumah 

ini berikut isinya, termasuk sawah dan ladang, sudah 

mutlak berada di tanganku."

Setelah sekian lama mondar-mandir di ruang 

itu, Wangsa kemudian menarik sebuah laci kecil yang 

berisi uang logam dalam jumlah banyak sekali.

"Aku harus sisihkan uang buat Tirta si Juru 

Tulis dungu itu!" gumam Wangsa sambil memasukkan 

uang logam ringgitan ke dalam sebuah kantong kecil 

yang sudah dia sediakan.


Setelah itu Den Wangsa memanggil salah seo-

rang anak buahnya untuk memanggil Juru Tulis Tirta.

"Cepat kau temui dia. Sore nanti kutunggu ke-

datangannya!" perintah Wangsa kepada orang itu.

"Baik Den," jawab anak buahnya.

"Kenapa kau masih diam?" tanya Wangsa kem-

bali.

"Ongkosnya belum. Den...!" jawab orang itu 

sambil nyengir.

"Masa' setiap ke sana harus pakai ongkos, 

sih?!" balas Wangsa sambil melotot.

"Kan jauh. Den...! Pokoknya kalau ke Sana ti-

dak bawa uang, pasti akan kelaparan di jalan."

"Ah... sudahlah. Nih terima! Cepat kau berang-

kat ke sana."

Setelah mendapat ongkos dari sang majikan 

maka orang itu langsung melangkah dengan gesit me-

ninggalkan majikannya. "Hmm... kalo nasibku lagi mu-

jur, uang segini pun bisa berubah jadi sepuluh kali li-

pat...! Ah, soal ke rumah si Tirta belakangan aja. Yang 

penting aku mau main judi dulu. Menang atau kalah 

nggak soal!" gumamnya sendirian. Sementara itu lang-

kahnya tampak semakin dipercepat. Begitu tiba di se-

buah kedai kopi orang itu langsung masuk ke dalam, 

rupanya di dalam kedai itu telah disediakan tempat 

untuk berjudi.

***

TUJUH



Waktu terus melaju dengan cepat, tanpa terasa 

malam telah kembali menyelimuti belahan bumi, termasuk pula daerah Babakan tempat kediaman Den 

Wangsa.

Saat itu Den Wangsa bagai seorang Pamong 

Praja saja gayanya. Ruangan tengah telah ditata den-

gan rapi. Meja tulis besar diletakkan di sudut ruangan. 

Kursi di belakang meja itu rupanya sudah lama dipe-

san Wangsa kepada seorang tukang, tampaknya me-

gah sekali.

Kini Den Wangsa sedang menunggu kedatan-

gan Juru Tulis Tirta. Sejak sore dia duduk di sana 

hingga jauh malam, namun orang yang ditunggu be-

lum juga muncul.

"Gila! Kenapa si Tirta ini?" gerutu Wangsa sam-

bil menggaruk-garuk kepalanya.

Berkali-kali Den Wangsa menguap, entah kare-

na ngantuk atau karena kesal. Yang pasti ia bangkit 

sambil menggedor meja. Tapi tiba-tiba Wangsa memba-

talkan niatnya untuk meninggalkan tempat karena 

terdengarnya suara orang memberi salam sambil men-

getuk pintu.

"Masuuuuuk!" teriak Wangsa dengan nada kes-

al.

"Selamat malam. Den...!" ucap tamu yang baru 

datang itu.

"Dari mana saja kau. Kenapa baru datang?!" 

bentak Wangsa.

"Dari rumah. Den...!" jawab Tirta singkat.

"Iya... aku tahu kau dari rumah. Tapi kenapa 

malam-malam begini baru datang... hah?!"

"Suruhan Aden saja datangnya sudah malam. 

Masa' saya musti datang sore...! Aden ini yang bukan-

bukan saja!"

"Jadi baru tadi disampaikan?! Bukan tadi pagi?!"


"Iya... Den!" jawab Tirta dengan terbungkuk-

bungkuk.

"Gila!" bentak juragan buncit itu. 

"Memangnya kenapa, Den?" 

"Ah. Tidak... tidak apa-apa! Sudahlah! Aku me-

nyuruhmu datang untuk memberikan ini! Nah, ini ba-

gianmu! Terimalah imbalan dari jasa baikmu. Kurasa 

cukup untuk makan sampai tua, tanpa kau harus ca-

pek-capek lagi membanting tulang."

Wangsa segera menuangkan isi kantong yang 

sebelumnya telah diisi uang di atas meja dekat Tirta 

duduk. Mata Tirta melotot melihat uang yang begitu 

banyak.

"Ambillah untukmu semua!" perintah Wangsa.

Tirta mendengar ucapan tersebut langsung me-

raupnya dengan cepat dan memasukkan kembali ke 

dalam kantong asalnya.

"Terima kasih Den... Nuhuuuun...!" ucap Tirta 

sambil membungkuk-bungkuk kegirangan.

"Bagaimana sekarang? Apakah kau masih ingat 

akan dosa? Bisakah kau menjawabnya?!"

Mendengar pertanyaan yang bernada sindiran 

itu Tirta diam saja. Pikirannya saat ini, bagaimana ca-

ranya untuk cepat-cepat mohon diri dari tempat itu. 

Kemudian cepat-cepat ia pulang ke rumah untuk me-

nemui anak istrinya. Sebab baru pertama kali ia men-

dapatkan atau memegang uang sebanyak itu.

"Nah! Sekarang kau boleh pergi." ucap Wangsa 

setelah melihat Tirta selesai mengikat kembali uang 

yang baru diberikan itu.

Ucapan yang memang sangat ditunggu-tunggu 

itu, kontan membuat Tirta bangkit dari kursinya. 

"Punten... Den!" ucap Tirta memberi salam dan lang-

sung melangkah ke luar dengan cepat.


Sejak keluar dari rumah itu, Tirta tampak ber-

gembira sekali. Siulannya yang begitu merdu terus ter-

dengar tanpa henti. Hatinya serasa di awang-awang 

dan Tirta kelihatannya gagah sekali. Tapi sayang... ke-

gembiraannya hanya sebentar saja, karena di dalam 

perjalanan pulang, tiba-tiba ada seorang laki-laki ber-

kepala botak menghadangnya.

"Hah...?!" teriak Tirta dengan mata terbelalak 

dan tubuh gemetar ketika melihat munculnya sosok 

tubuh laki-laki yang menghadangnya.

"Mau ke mana Kang Tirta? He... he... heh!" te-

riak lelaki yang ternyata si Dungkul itu.

"A... aku... m... mau pulang. S... si... siapa 

kau?" balas Tirta dengan suara gagap karena takut se-

kali melihat tampang orang yang menghadangnya.

"Kenapa masih gugup, Kang...? Aku kan tak 

apa-apa. Aku hanya ingin tanya, boleh kan?! He... he... 

he...!" sahut Dungkul sambil tertawa.

"Ini... u... uang setoran,.. A... a... anu, uang se-

toran pajak!" jawab Tirta kembali.

"Bohong!" bentak Dungkul spontan.

"Su... sungguh, aku tidak bohong!" ucap Tirta 

mengelak.

"Memangnya aku tidak tahu! Kau jangan coba-

coba membohongi ku, Kunyuk!" bentak Dungkul kem-

bali, "Bawa sini!" perintahnya dengan mata melotot se-

hingga jantung Tirta terasa mau copot dibuatnya.

Tirta tampak sudah pucat sekali, seluruh tu-

buhnya basah dengan keringat dingin, tapi walaupun 

begitu, ia masih berusaha untuk mempertahankan 

uang yang baru ia terima dari Wangsa.

"Jangan coba-coba membantah Tirta...! Kurasa 

hidup sebagai Juru Tulis sudah lumayan, kenapa 

musti terima yang tidak-tidak...! Berikan saja uang itu


padaku...! Ayo...!"

"Tidak... tidak... jangan!" 

"Kenapa? Berikan dari pada celaka!" 

"I... ini, u... uuang... pep... pajak yang harus 

disetor dari Juragan Wangsa...! Ku mohon jaa... jangan 

diambil...! Sungguh ku mohon jangan diambil!"

Suara Tirta yang serak memelas tak membuat 

Dungkul merasa iba. Si Botak malah menjadi tambah 

beringas kelihatannya. Tangannya yang begitu besar 

dengan cepat menyambar kantong uang yang berada di 

tangan Tirta. Dalam sekejap kantong itu telah berpin-

dah tangan.

"Ha... ha... ha...! He... he... heh...! Terima kasih 

Tirta...! Terima kasih! Sekarang kau boleh meneruskan 

perjalananmu kembali...!" ucap Dungkul sambil me-

mutar-mutar kantung uang di hadapan Tirta.

"Jangan... jangan. Kembalikan padaku cepat. 

Kembalikan! Kembalikan...!" jerit Tirta sambil berusaha 

mengambil uangnya kembali dari tangan Dungkul.

Berkali-kali Tirta bermaksud merebut, tetapi 

tubuh Dungkul yang tinggi besar itu sulit dicapai. Apa-

lagi kantong itu terus ia mainkan ke kiri ke kanan, ke 

atas ke bawah, ke depan ke belakang. Tirta tak ubah-

nya seperti seekor anak kucing yang sedang diajak 

bercanda.

Dungkul yang sejak semula sudah mempunyai 

niat busuk terhadap Juru Tulis ini, setelah melihat si 

orang tua kepayahan langsung menangkapnya. Tubuh 

Tirta yang kurus dan kecil terus meronta-ronta karena 

lehernya terjepit di ketiak Dungkul. Walaupun ia beru-

saha sekuat tenaga untuk melepaskan diri, tetapi tak 

berhasil, karena Dungkul semakin kuat menjepitnya 

dan semakin mengerahkan tenaga raksasanya.

"He... he... he...! Percuma saja kau berontak


Kucing Kurus. Tak ada gunanya. He... he... heh!" teriak 

Dungkul sambil tertawa terkekeh-kekeh.

"Hekkkkh... hekkkkkh." 

"Ayo... teruus...!" 

"Aaaakkkh!"

"Masih mau coba lagi?"

Untuk kali ini tak ada lagi suara yang keluar 

dari mulut Tirta. Tubuhnya tampak lemas tak berdaya. 

Di samping itu si Dungkul masih tetap memainkan je-

pitan mautnya.

"Ayo...! Habiskan tenagamu, orang tua...! Jan-

gan tanggung-tanggung!" ucap Dungkul yang selalu 

diselingi dengan tertawanya yang khas. Setelah menge-

tahui bahwa orang tua yang di ketiaknya sudah tak 

berkutik lagi barulah ia melepaskan jepitannya.

"Hmmmh. Sudah mampus...!" gumam Dungkul 

ketika memeriksa tubuh Tirta dengan teliti.

Dungkul terdiam sejenak, tak berapa lama ke-

mudian ia melangkah meninggalkan tempat itu, seper-

tinya ingin mencari sesuatu. Sedangkan tubuh Tirta 

sementara dibiarkan tergeletak begitu saja.

"Sial. Nggak ada karung di sekitar sini! Kalau 

begitu ku lempar di kali saja!" ujar si Dungkul setelah 

kembali ke tempat tersebut.

Tubuh Tirta yang kurus itu cukup diangkat 

dengan sebelah tangan oleh Dungkul.

Sambil tertawa terkekeh-kekeh Dungkul me-

langkah menuju ke tepian kali yang cukup deras air-

nya. Setelah itu tubuh orang tua itu pun dilemparkan-

nya ke dalam air.

Kita tinggalkan dulu masalah si Botak ini, kini 

kita intip dulu apa yang dilakukan juragannya.

Pada saat itu sang juragan sedang asyik di 

pembaringan sambil menikmati minuman tuak kesenangannya. Wajahnya sampai saat itu pun tampak 

masih ceria.

"Hmmm... semua sudah kusingkirkan, mudah-

mudahan orang yang mengetahui rahasiaku pun bisa 

disingkirkan oleh si Botak Dungkul. Kalau orang te-

rakhir sudah bisa ku atasi tentu aku sangat bergembi-

ra sekali. Berarti tak ada lagi rintangan bagiku." ucap 

Wangsa sendirian.

Gelas demi gelas minuman keras itu ditenggak-

nya tanpa berhenti, matanya mulai memerah dan ke-

lakuannya pun mulai berubah. Tertawanya semakin 

banyak dan lagaknya macam orang sinting saja, kare-

na pikirannya dapat menerawang ke mana yang ia su-

ka. Kali ini ia tengah membayangkan seorang wanita 

yang pernah dicintainya.

"Sari... sayang ku...! Mengapa kau selalu meno-

lak cintaku...! Tega sekali kau ini...! Uu... uhuuu...!" 

ucap Wangsa dengan sendu.

Rupanya si Wangsa kali ini sudah mabuk berat. 

Bayangkan saja, sebuah guling yang ada di samping-

nya, tak habis-habisnya dibelai bagaikan seorang jeja-

ka sedang bercinta dengan gadis pujaannya.

"Sari... sayang...! Mengapa kau selalu beralasan 

yang bukan-bukan? Walaupun aku ini adik iparmu, te-

tapi kan suamimu kini sudah mati, sayang...! Dia su-

dah ku racuni...! Surya sudah mati! Kini tak ada lagi 

penghalang sayang... anak-anakmu pun sudah tak ada 

semua. Kau sekarang tak boleh beralasan lagi...! Kau 

harus membalas cintaku! Haruuuus... Huu... uuu...!"

Semakin lama Wangsa semakin gawat. Ia me-

nangis dan tertawa sendiri macam orang gila. Guling 

yang berada di dalam pelukannya tetap tak dilepaskan, 

ada kalanya dibelai, ada kalanya digendong, tapi ka-

dang-kadang dipukul berkali-kali.


"Kau harus mau padaku. Sari! Harus mau ka-

lau tidak mau akan menyesal nanti. Sekarang aku te-

lah menjadi orang kaya. Aku sudah menjadi juragan, 

mengerti?! Ayo, jawab..! Jangan diam saja...! Jaaa-

waaaaab! Jangan kau bikin hatiku menjadi semakin 

parah. Hmmmh! Sial...! Ternyata kau tetap memban-

del. Rasakan akibatnya, hmmmmh!

Wangsa dengan sekuat tenaga mencekik guling 

tersebut kemudian melemparkan sampai ke dekat pin-

tu, setelah itu ia kembali mengambil pundi tuak yang 

masih tersisa di atas meja dan langsung meminumnya 

tanpa dipindahkan ke dalam gelas lagi.

Sementara itu di ruang tamu, Dungkul telah 

menunggu Wangsa sejak tadi. Ia sampai tertidur di 

bangku dalam menunggu sang majikannya keluar.

"Gila...! Ngapain sih dia di dalam!" gumam 

Dungkul saking kesalnya. "Jangan-jangan dia ketidu-

ran...! Hmmmh... mana aku sudah janji pada anak bu-

ahku semua! Bagaimana nanti kalau mereka pada da-

tang?"

Dungkul segera bangkit dari kursinya dan 

langsung menuju ke kamar Wangsa.

"Hei Juragan, bangun... Gan!" teriak Dungkul 

sambil menggedor pintu kamar itu.

Setelah berkali-kali digedor tak ada jawaban, 

laki-laki botak yang terkenal kurang sabar ini langsung 

menendang pintu tersebut hingga terkuak lebar.

"Wah... rupanya dia sudah menggeloso tak in-

gat diri! Gawat deh kalo begini!" teriak Dungkul lagi 

sambil mengangkat tubuh Wangsa.

Badan Wangsa yang begitu berat dengan mu-

dah diangkat oleh si Botak ini. Begitu keluar dari ka-

mar, Wangsa langsung dibawa ke belakang untuk dis-

iram dengan air, "Satu-satunya jalan cuma ini yang


bakal bisa menyadarinya!" pikir Dungkul dalam hati.

Akhirnya Wangsa terbangun juga setelah bebe-

rapa kali mukanya kena siraman air.

"Maaf Gan! Cuma ini obatnya buat orang ma-

buk! He... he... he...!" ucap Dungkul yang terus meng-

guyur Wangsa, sampai ia kelabakan.

"Auuuf...! Auuuuf...! Auuffff! Cukup...! Cu-

kuuuuup! Awas kau. Nanti kuhajar biar mampus...! 

Auuuf!" teriak Wangsa kelagepan.

Dungkul segera menghentikan guyurannya se-

telah melihat sang majikan itu benar-benar telah sa-

dar. Sebenarnya Wangsa dongkol sekali melihat kela-

kuan anak buah nya yang kurang ajar ini, tapi apa bo-

leh buat, orang macam begini memang lagi ia perlu-

kan, di samping itu memang dapat diandalkan.

"Kemudian kau ke depan. Aku mau salin pa-

kaian dulu!" perintah Wangsa dengan kesal.

"He... he... heh...! Baik Gan...!" jawab Dungkul 

sambil cengengesan.

Tanpa memperdulikan si Dungkul yang masih 

nyengir-nyengir bajing, Wangsa dengan pakaian yang 

basah kuyup langsung nyelonong ke kamarnya. Mu-

kanya kelihatan asam sekali. Mungkin ia kesal akibat 

guyuran air tersebut.

"Dungkuuuuul!" teriak Wangsa dari dalam ka-

marnya.

"Yaaaa... Gan!" sahut Dungkul. "Ke sini kau!" 

teriak Wangsa kembali. "Sebentar...!" balas Dungkul. 

Dungkul yang sedang asyik menyikat lahap makanan 

di dapur, buru-buru menghabiskan nasinya yang ma-

sih tersisa di piring. Teriakan Wangsa yang berulang 

kali terdengar seakan-akan tak dihiraukan lagi, karena 

paha ayam goreng yang masih tersisa di piring perlu 

dihabiskan, daripada mubazir.


"Hei...!? Apa-apaan kau ini, hah?!" bentak 

Wangsa dengan keras.

"Mumpung ada, Gan!" jawab Dungkul dengan 

tenang dan tak menoleh sedikit pun walaupun maji-

kannya telah berada di belakangnya.

"Itu semua hidangan untukku, Dungkuuuuul!" 

bentak Wangsa dengan kesal sekali, "Kenapa kau bikin 

ludes semuaaaa?" geramnya.

"Ini semua tak seberapa, kalau dibanding den-

gan ini!" sahut Dungkul sambil melemparkan sekan-

tong uang ke atas meja makan. Setelah itu ia kembali 

menghabiskan makannya dengan lahap.

Wangsa tak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali 

menunggu sampai si Bergajul itu selesai makan.

"Eeeeeeghh!... eeeeeghhh!" tahak Dungkul den-

gan keras setelah menghabiskan sisa minuman di ge-

lasnya. Kemudian ia bangkit dari kursi dan melangkah 

mendekat Wangsa yang masih diam bagai patung.

"Yang itu masih utuh, Gan! Periksalah kalau 

kau tak percaya!" ujar Dungkul sambil mengusap-

ngusap perutnya yang telah kenyang.

"Benarkah itu?!" tanya Wangsa ingin penjela-

san.

"Ya!" jawab Dungkul singkat. "Bagaimana den-

gan si Juru Tulis Dungu itu?

"Sudah kulepaskan!" 

"Apa...?!"

"Sudah kulepaskan! Buat apa kubawa ke sini? 

Bukankah Juragan tidak memerintahkan aku untuk 

membawanya ke mari...?"

"Dungkuuuul! Kau ini bisa kerja apa tidak sih. 

Aduuuuh... Sakit kepalaku dibuatnya.

Tak tahu lagi apa yang harus dikatakan untuk 

anak buahnya yang badung ini, sehingga meja yang


penuh dengan piring sisa makan si Botak pun ikut jadi 

sasaran. Berkali-kali meja itu dipukulnya.

"Dungkul! Aku memerintahkan kau bukan 

hanya merebut uang ini. Tapi kau juga harus membu-

nuh si Tirta itu, mengertiiiii...!" teriak Wangsa sambil 

melotot kepada Dungkul.

"Ya, aku mengerti!" sahut Dungkul tenang.

"Tetapi, mengapa kau lepaskan dia?!" tanya 

Wangsa.

"Untuk apa capek-capek kubawa mayatnya ke 

sini. Jadi kulepaskan saja ke kali!" sanggah Dungkul 

sambil tertawa.

"Hah!? Jadi kau sudah laksanakan semua itu?!"

"Dari tadi pun aku mau bilang. Cuma tak ada 

kesempatan untuk menjelaskan. He.. he... he... heh"

"Ha... ha... ha... hah! Memang kau anak bua-

hku yang baik. Nih, uang ini ambil saja buatmu. Aku 

tak memerlukannya. Mana anak-anak yang lain...?" 

teriak Wangsa kegirangan.

"Ada, Gan...! Mereka menunggu di luar!" balas 

Dungkul.

"Panggil semua anak buahmu, Dungkul. Malam 

ini kita bikin pesta besar-besaran! Tuh, lihat. Di kolong 

tempat tidurku sudah kusediakan puluhan pundi tuak 

istimewa buat kita minum bersama." ujar Wangsa yang 

langsung berlari ke kamarnya dan mengeluarkan pun-

di-pundi tuak dari kolong tempat tidurnya untuk di-

perlihatkan pada Dungkul.

Dungkul dan anak buahnya bergembira di ma-

lam itu, mereka berpesta pora hingga larut malam tan-

pa memperdulikan keadaan dirinya. Padahal sebenar-

nya mereka telah diperalat oleh si Wangsa yang saat 

itu sedang asyik sendirian terlentang di atas pemba-

ringan sambil menggoyang-goyangkan kakinya karena terlalu girang.



                          T A M A T



















B




Share:

0 comments:

Posting Komentar