..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 08 Januari 2025

SI TOLOL EPISODE PEREBUTAN PATUNG RATU KALINGGA

matjenuh khairil


PEREBUTAN PATUNG DEWI KALINGGA

Oleh Djair Warni

Alih Versi : Danny Situmeang

Cetakan Pertama, 1991

Penerbit Rosita, Jakarta

Setting Oleh : Tryas Typesetting

Hak Cipta Pada Penerbit

Dilarang Mengutip atau Mengcopy

Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Djair Warni

Serial Si Tolol

Dalam Episode :

Perebutan Patung Dewi Kalingga


SATU


TEMPAT itu terasa sangat asing. Padang 

tandus tanpa rumput apalagi pohon. Tetapi 

bukan padang pasir, melainkan dataran 

tanah liat keras. Di beberapa tempat ada 

kayu-kayu tua dipancangkan, mirip 

pepohonan yang mati kekeringan. Dan 

agaknya yang ada di tempat itu hanya 

benda-benda mati. Tak ada tanda-tanda 

kehidupan. Sejauh-jauh mata memandang ke 

segala penjuru tak terlihat adanya ujung 

padang tandus itu. Mungkin karena batasnya 

beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu 

kilometer, atau lantaran tertutup oleh 

debu serta mega-mega.

Apa nama gurun itu dan di sebelah mana

adanya serta bagaimana pula terjadinya, 

tak seorang pun tahu. Dan bagaimana pula

bisa terjadi, si Tolol tiba-tiba saja 

berada di tempat itu. Jangankan orang lain, 

si Tolol sendiri tidak tahu. Entahlah ada 

yang melemparkannya beberapa saat lalu 

ketika ia sedang dalam keadaan tak sadarkan 

diri.

Si Tolol berusaha keras memutar otak 

untuk mengingat-ingat di mana sebenarnya 

ia berada dan sedang apa sebelum 

dilemparkan ke tempat yang sangat asing


baginya. Tetapi ia tak bisa ingat apa-apa 

bahkan semakin ia berusaha 

mengingat-ingat, pikirannya terasa 

semakin kalut.

Hampir saja si Tolol menangis karena 

ketakutan atau mengira dirinya telah 

berada di dunia lain. Tetapi ia belum mau 

putus asa. Sebab siapa tahu nanti ia bisa 

dapat mencari jalan keluar. Maka ia pun 

berjalan lurus ke depan dengan harapan bisa

segera mengetahui rahasia padang tandus 

itu sekaligus dapat menyelamatkan diri. 

Kalau ia masih berada di sana dalam jangka 

waktu yang lama, ia tentu akan mati 

kelaparan.

"Entah tempat apa gerangan ini," kata 

hati si Tolol sambil terus melangkah. Ham-

pir setengah harian ia berjalan lurus ke 

depan, namun tak terlihat adanya 

tanda-tanda bahwa ia akan bisa keluar dari 

padang tandus yang sangat luas itu.

Si Tolol semakin iemas, langkah 

kakinya mulai gontai. Hal itu membuat 

lelaki itu mulai putus asa, karena agaknya 

jika tidak ada pertolongan, ia akan menemui 

ajalnya di Sana. Alangkah ngerinya, ia mati 

tanpa diketahui orang lain!

Sekonyong-konyong lelaki berkepala

botak licin itu merasa tubuhnya ringan 

sekali, bahkan makin lama terasa berat


badannya mulai hilang. Kakinya 

kadang-kadang terangkat, seolah-olah di 

tempat itu tidak ada lagi daya tarik bumi. 

Tak terkatakan betapa kagetnya si Tolol. Ia 

berusaha menekan tubuhnya agar tetap bisa 

berjalan seperti biasa, namun segala 

usahanya sia-sia belaka.

Dan tiba-tiba si Tolol menjerit 

panjang, karena tubuhnya melayang 

seolah-olah ditarik makhluk yang tak 

kelihatan terbang sampai ke angkasa. Si 

Tolol hampir tak bisa bernafas saking 

cepatnya tubuhnya meluncur, makin ke atas 

dan makin ke atas. Ketinggiannya sekarang 

pastiiah sudah berada di luar pemikiran 

orang-orang desanya di Sumedang.

Tatkala nafas si Tolol hampir putus, 

tubuhnya tidak melesat lagi ke atas, 

melainkan mulai melayang-layang bagaikan 

burung nuri terbang di angkasa.

Dari situlah si Tolol melihat ke bawah 

dan menyaksikan bahwa bumi ini sebenarnya 

bulat bentuknya, seperti bola! Itu 

merupakan suatu pemandangan yang luar 

biasa bagi si Tolol. Karena selamat ini 

yang ia tahu dan ia yakini, bumi ini datar 

adanya, tapi di manakah gerangan ujungnya, 

ia sendiri tak pernah tahu bahkan 

memikirkannya pun tidak.


Dunia ini ternyata bulat seperti bola, 

kata hati si Tolol berulang-ulang, kalau 

saja... si Tolol tidak sempat lagi 

meneruskan pikir-nnya, karena mendadak 

tubuhnya terhempas jatuh. Makin lama makin 

dekat ke dunia ini, sehingga akhirnya 

bentuk bulat seperti bola itu perlahan 

menghilang.

"Tolong...!" si Tolol menjerit

panjang. Sekujur tubuhnya basah oleh 

keringat dingin yang membanjir karena rasa 

takut yang sangat mengerikan. Tiada lagi 

harapan baginya untuk bisa selama jika 

tubuhnya terhempas ke bumi. Mungkin 

tubuhnya akan hancur lebur atau tinggal 

keping-keping daging serta tulang belulang 

yang sangat halus. Sekali lagi si Toloi 

menjerit. Tetapi sebelum suara jeritannya 

terhenti, tubuhnya telah terhempas ke 

tanah.

"Mati aku," kata si Tolol pasrah. 

Tetapi tubuhnya tidak apa-apa, tidak 

hancur lebur seperti yang diperkirakannya 

tadi. Bahkan ia pun tidak merasa sakit. 

Hanya kedua matanya saja yang terasa silau.

Perlahan-lahan, pemuda itu membuka 

matanya. Ternyata ia duduk bersandar pada 

batang pohon rindang, sementara sekitar 

sepuluh anak kecil mengerumuninya sambil 

tertawa tergelak-gelak. Sadarlah si Tolol



bahwa ia hanya bermimpi. Rupanya karena 

kelelahan tadi, ia tertidur pulas di bawah 

pohon rindang dan bermimpi sesuatu yang 

menurutnya sangat aneh sekaligus 

mengerikan.

"Ha-ha-ha, orang botak ini 

teriak-teriak minta tolong tadi. Ia 

seperti orang sinting," ujar salah seorang 

di antara anak kecil yang mengerumuni si 

Tolol.

"Hei, hati-hati! Dia itu rajanya 

tuyul," sambung yang lainnya dengan nada 

mencemoohkan si Tolol.

"Hai, jangan ditarik-tarik!" teriak si 

Tolol.

"Welah, iki arit kanggo opo to, kang? 

Arit elek koyo ngene kok digowo-gowo?" ejek 

yang satunya lagi sambil menarik-narik 

arit yang terselip di pinggang si Tolol.

"Lucu, kalau lagi marah dia mirip 

badut. Coba lihat matanya, melotot seperti 

mata jengkol," kata si Gimin.

Si Tolol tidak tersinggung, karena 

pikirannya tertarik pada buah manggis yang 

dipegang si Gimin. Buah itu sepertinya 

berkaitan dengan mimpinya barusan. Dan itu 

bisa dijadikan sebagai contoh membuktikan 

sebuah ide yang timbul dalam benaknya 

setelah bermimpi.


"Hei, apa yang kau pegang itu? Lihat 

sebentar. Itu buah manggis, bukan? Pinjam 

sebentar, aku ingin menunjukkan sesuatu 

kepada kalian."

"Jangan mau, Gimin! Dia pasti ingin 

menipu karena sangat kelaparan."

"Berani sumpah, aku cuma mau pinjam 

sebentar. Aku ingin menunjukkan sesuatu 

kepada kalian. Percayalah, aku tidak 

bermaksud menipu."

"Benar, ya? Awas kalau kau coba-coba 

menggarotnya. Kami akan mengeroyokmu 

hingga mampus!"

Setelah si Tolol memegang buah manggis 

itu, ia berkata: 

"Nah, sekarang kalian dengarkanlah. 

Bumi yang kita tinggali ini bentuknya 

bundar seperti buah manggis ini."

"Bohong!"

"Huh, dasar kepala botak. Isi kepalamu 

rupanya tai kerbo. Kau macam-macam saja 

ngomong. Bapakku saja sudah bilang, dunia 

ini datar kayak tampah."

"Ah, sudahlah," teriak anak lainnya, 

"Dia itu cuma ingin menipu saja. Dia 

pura-pura bicara yang aneh-aneh agar bisa 

memiliki buah manggis itu. Hei, botak! 

Sekarang kembalikan manggis si Gimin!"

"Tunggu! Sabar sebentar! Ini ada 

sebatang lidi. Aku akan menunjukkan


sesuatu pada kalian. Kalau manggis ini 

diumpamakan sebagai dunia. kita bisa 

menusuknya hingga tembus. Maaf, ya! 

Ditusuk dulu manggisnya biar lebih jelas."

Si Tolol menusuk manggis itu dengan 

sebatang lidi sehingga dari ujung yang satu 

ke ujuhg lainnya.

"Hei, manggisku nanti tak bisa dimakan 

lagi!" teriak Gimin dengan wajah merah 

padam.

"Jangan marah dulu! Percayalah, kalau 

kalian sudah mengetahui rahasia bumi ini, 

kalian pasti tidak akan menyesal karena 

manggis ini kutusuk dengan lidi. Umpamakan 

kita sekarang berada di ujung yang satu 

ini, sedang di ujung lainnya pasti ada 

orang lain. Kalau misalnya kita menggali 

tanah dari sini terus saja ke dalam bumi, 

kita pasti sampai ke tanah seberang. Di 

seberang saja banyak sekali benda-benda 

yang belum pernah kalian lihat selama ini."

"Ah, si botak pembohong busuk!"

"Dengarkan bajk-baik. Aku tidak 

memaksa kalian percaya. Tetapi kalau 

kalian sudah lihat semua yang ada di negeri 

seberang sana, kalian pasti kagum. Lain 

sekali dengan apa yang pernah kalian lihat 

di sini."

"Tukang bohong!" teriak anak-anak itu 

sambil menjitak kepala si Tolol yang botak.


Dua orang di antaranya malah menarik-narik 

daun telinganya, sehingga pemuda itu 

kesakitan.

"Tunggu! Tunggu! Kalau kalian tidak 

percaya, akan kubuktikan sekarang. Aku 

akan menggali bumi hingga tembus ke 

seberang."

"Dasar orang tolol. Kembalikan 

manggisku!" teriak Gimin, lalu merampas 

manggis itu kembali dari jangan si Tolol.

"Kalau kalian tidak percaya, aku akan 

pergi sendiri," kata si Tolol sambil 

melangkah ke sebuah dataran di kaki gunung 

Muria, cukup jauh dari pasar Jepara.

Kebanyakan dari anak-anak itu 

menertawakan si Tolol, lalu pulang ke 

rumahnya masing-masing. Tetapi empat anak 

lainnya rupanya tertarik juga dan ingin 

mengetahui apa yang hendak dilakukan si 

Tolol mereka membuntuti si Tolol sambil 

berbisik- bisik.

***

DUA



Gunung Muria termasuk gunung yang 

tidak terlalu tinggi di bandingkan gunung 

lainnya di daerah Jawa bagian Tengah. Namun


di bagian puncak dan tengah, hutannya cukup 

lebat. Di lereng gunung itu terdapat 

dataran-dataran kecil yang umumnya 

digunakan penduduk untuk menggembalakan 

hewan ternak. Di gunung itu banyak tumbuh 

pohon jati, yang sering digunakan penduduk 

sebagai bahan ukur-ukiran. Itulah yang 

kemudian membuat kota Jepara sangat 

terkenal dengan hasil kerajinan ukirannya.

Si Tolol sudah sampai di salah satu 

dataran kecil di lereng gunung Muria. 

Tempat itu sangat sepi, karena sudah sangat 

jauh dari kota Jepara. Si Tolol berhenti di 

dekat sebuah pohon besar yang rindang.

"Di sini!" teriaknya sambil menunjuk 

tanah di hadapannya. "Aku akan menggali ta-

nah dari sini hingga nanti tembus ke negeri 

seberang!"

Tanpa perduli akan kehadiran keempat 

anak itu, si Tolol mulai menggali tanah de-

ngan menggunakan aritnya. Merupakan suatu 

kebetulan saja, tanah di sekitar tempat itu 

sangat gembur sehingga mudah digali. Di 

samping itu, si Tolol memiliki tenaga yang 

sangat kuat. Dalam waktu yang relatif 

singkat, ia sudah dapat menggali tanah 

sedalam tinggi tubuhnya.

"Kau percaya, Curis?" tanya anak-anak 

yang sejak tadi mengawasi pekerjaan si 

Tolol.


"Ah, tidak mungkin. Tapi kerjanya 

cepat sekali, ya?"

Menjelang matahari condong ke arah 

Barat, lubang itu sudah mencapai dua meter 

lebih. Si Tolol masuk ke dalamnya dan 

melemparkan tanah yang digalinya ke atas.

Tampaknya sungguh merupakan suatu 

pekerjaan yang sangat bodoh dan tak ada 

gunanya. Menggali tanah dengan cara se-

perti itu hampir sama artinya dengan bunuh 

diri. Seharusnya ada orang lain yang 

membantu si Tolol dari atas dengan cara 

menarik keranjang tanah galian dengan 

tali.

Akhirnya keempat anak-anak yang sejak 

tadi berada di lereng gunung itu merasa 

bosan juga. Mereka akhirnya sepakat pulang 

membiarkan si Tolol bekerja sendirian di 

dalam lubang yang digalinya itu.

"Biarlah besok pagi saja kita balik 

lagi ke sini," kata si Gimin.

Si Tolol meneruskan pekerjaannya, 

menggali dan terus menggali tanah. 

Perlahan-lahan, lubang itu pun makin 

dalam. Agaknya lelaki yang dijuluki si 

Tolol itu tidak akan mau berhenti. Buktinya 

sekujur tubuhnya sudah dibanjiri keringat, 

tetapi ia terus mengerahkan sisa-sisa 

tenaganya.


Bagi orang lain, pekerjaan si Tolol itu 

pastilah dianggap pekerjaan gila. Menggali 

tanah dengan maksud membuat lubang 

menembus bumi dari satu sisi ke sisi di 

seberangnya.

Akan tetapi bukan si Tolol lagi namanya 

kalau sikap dan perbuatannya hanya yang 

wajar-wajar saja. Sejak dulu, ia memang 

sering jadi ocehan orang karena 

ketololannya. Umurnya sekarang sudah 

mencapai lima belas tahun lebih. Tetapi 

sifatnya kadang-kadang sama seperti anak 

yang baru berumur lima tahun.

Kepalanya botak licin dan tampak lebih 

besar dari ukuran biasa. Tubuhnya gemuk 

gempal, sehingga jika sedang berdiri mirip 

dengan badut. Bibirnya tebal dan agak 

hitam, sedangkan di kepala bagian depannya 

tumbuh sedikit rambut. Maka komplitlah 

sudah si Tolol bagaikan patung yang diukir 

sedemikian rupa untuk mencerminkan 

kebodohan, kelucuan dan permainan. Dan 

jika dilihat bentuk pakaiannya yang 

bergaris-garis putih dan hitam dengan 

lengan panjang serupa dengan celana 

sebatas lutut, ia mirip menjadi boneka. 

Perutnya kelihatan agak buncit, sedangkan 

kakinya lebih pendek dari biasanya,

sehingga ia agak cebol kelihatannya.


Namun di balik semua itu, tersimpan se-

buah kelebihan luar biasa yang tidak 

diketahui orang banyak. Jiwa atau rohani 

manusia merupakan rangkaian unsur-unsur 

yang di dalamnya terkandung naluri,

indera, akal, emosi, ambisi, ilusi dan 

halusinasi. Keenam unsur itu merupakan 

rangkaian yang sangat erat dan saling 

berkaitan satu sama lainnya.

Kalau salah satu di antaranya hilang 

atau tidak berfungsi, maka orang 

bersangkutan akan tumbuh menjadi manusia 

yang tidak normal.

Tampaknya demikianlah adanya dengan si 

Tolol. Ia kehilangan unsur ketiga yakni 

rasio atau akal pikiran. Otaknya tidak bisa 

berfikir secara normal. Itulah sebabnya ia 

sering berbuat hal-hal yang dianggap sa-

ngat bodoh oleh masyarakat banyak.

Akan tetapi Sang Maha Pencipta 

menunjukkan keadilannya kepada manusia. 

Jika di dalam hal rasio si Tolol sangat 

lemah, faktor-faktor lain dalam jiwanya 

justru mempunyai kemampuan yang maha 

dahsyat.

Kalau manusia biasa setiap kali 

bermimpi atau melamun selalu memproduksi 

ilusi, maka impian dan lamunan si Tolol 

berwujud gambaran naluri. Impian dan 

lamunannya bisa menembus ruang dan waktu


berabad-abad ke belakang dan berabad-abad 

ke depan.

Seperti tadi ketika ia bermimpi 

terbang ke angkasa dan melihat bumi ini 

bundar adanya seperti bola. Padahal si 

Tolol hidup pada abad ke XIX, di mana 

penduduk di kampungnya belum pernah tahu 

mengenai bentuk bumi yang sebenarnya.

Selain itu, si Tolol sebetulnya 

memiliki kekuatan luar biasa, karena 

latihan-latihan silat melalui 

mimpi-mimpinya. Tetapi karena ia anak yang 

tolol, maka ia sama sekali tidak mengetahui 

bahwa dirinya memiliki kesaktian yang luar 

biasa.

Si Tolol sebenarnya adalah anak 

Sumedang di belahan Pulau Jawa bagian 

Barat. Tetapi pada waktu lalu, anak itu 

dalam perjalanannya yang tak tentu arah 

sampai ke daerah Jepara. Di situlah ia 

hidup luntang lantung bagaikan anak 

gelandangan.

Sekarang ia masih berada di dalam 

lubang yang digalinya. Tak ada tanda-tanda 

bahwa anak itu akan menghentikan 

pekerjaannya, sebab sambil bekerja 

benaknya se-alu membayangkan lubang tembus 

dari ujung bumi ke ujung bumi di 

seberangnya.


Tiba-tiba tanpa disengaja arit si 

Tolol membentur benda keras dan 

menimbulkan percikan bunga api. Anak itu 

menjadi terkejut setelah menyadari bahwa 

benda itu adalah sebuah peti. Ia mencoba 

untuk mengangkat peti besi itu, ternyata 

berat sekali. Terpaksa ia menggali tanah di 

sekitar peti agar bisa diangkat.

Setelah cukup lama memeras tenaga, si 

Tolol akhirnya dapat mengangkat peti 

berukaran sekitar empat puluh kali tiga 

puluh centimeter.

"Peti apa ini? Mirip peti harta milik 

ibuku dulu. Coba kubuka peti ini," kata si 

Tolol bicara sendirian.

Masih dengan menggunakan aritnya, si 

Tolol bersusah payah membuka peti itu. 

Sekeliling peti itu sudah karatan dan 

berlumpur, tetapi di dalamnya masih bersih 

dan utuh. Begitu terbuka, tampaklah oleh si 

Tolol cahaya memancar menyilaukan mata 

dari dalam peti itu.

Cahaya itu ternyata memancar dari 

sebuah patung area yang terbuat dari emas 

murni bertahtakan intan permata. Patung 

itu adalah patung seorang wanita yang 

sangat cantik jelita. Berdiri dengan 

posisi tegak sambil mendekapkan kedua 

tangan ke dada. Panjangnya sekitar tiga 

puluh sentimeter, dan di bagian kakinya


dibuat bundaran datar sehingga patung emas 

itu bisa berdiri atau lebih tepatnya 

dipajang.

Itulah patung Ratu Shima, peninggalan 

kerajaan Kalingga berabad-abad tahun 

silam. Patung itu sudah lama sekali menjadi

bahan pembicaraan kalangan dunia 

persilatan maupun masyarakat umum. Hampir 

semua orang ingin memilikinya. Bukan 

karena lapisan emas serta permata intan 

patung itu. Namun lebih dari itu, di dalam 

rongga tubuh patung itu tersimpan tulisan 

rahasia di atas daun lontar. Itulah yang 

dianggap orang sangat berharga, sehingga 

apapun dipertaruhkan untuk memiliki patung 

Ratu Shima.

Menurut buku Jawi kuno, karangan 

pujangga zaman dahulu kala, Ratu Shima yang 

arif bijaksana serta cantik jelita itu 

pernah menitahkan seorang empu terkenal 

untuk membuat patung emas yang mirip sekali 

dengannya. Patung emas bertahtakan intan 

itu dibuat dalam ukuran kecil namun sangat 

mirip Ratu Shima. Rambunya dikuncir dan 

ditutupi dengan tahta keratuan, sedangkan 

pakaiannya terbuat dari sutera emas.

Kecantikan Ratu Shima tersohor bukan 

hanya semasa hidupnya saja, tetapi juga 

beratus-ratus tahun kemudian setelah ia 

meninggal dunia. Kecantikannya menjadi



perlambang abadi dan dikagumi orang dari 

masa kemasa.

Di dalam buku Jawi kuno itu selanjutnya 

dikatakan, Ratu Shima menitahkan agar di 

dalam tubuh patung itu dibuat rongga tempat 

menyimpan surat wasiat tentang rahasia 

kelanggengan tahta dan rahasia kecantikan.

Rahasia itulah yang selalu ingin 

diketahui orang. Karena berdasarkan surat 

wasiat itu, seorang pemimpin akan bisa 

tetap bertahta dalam tahtanya, bahkan 

sebagian masyarakat menganggap orang biasa 

pun dapat menduduki tahta terhormat jika 

mengetahui rahasia Ratu Shima. Sedangkan 

dari segi kecantikan, yang sudah tua dan 

keriput sekalipun dapat menjadi cantik 

jelita.

Banyak sekali yang tergiur, terutama 

orang-orang yang teramat ambisius dalam 

hidupnya sehingga tidak mau menerima 

kenyataan apa adanya. Patung itu kemudian 

lenyap entah ke mana. Tetapi tak lama 

kemudian timbul desas-desus bahwa patung 

ditanam di lereng gunung Muria. Para 

pendekar, bukan hanya dari daratan Pulau 

Jawa tetapi juga dari daratan Tiongkok dan 

teluk Parsi yang telah mendengar riwayat 

patung itu, sudah mulai berkeliaran di 

sekitar lereng gunung Muria. Berusaha 

keras untuk menemukan atau merebut patung


yang sangat berharga itu. Secara kebetulan 

pula, si Tolol yang hendak melubangi bumi 

ini menemukan patung Ratu Shima yang telah 

dicari-cari para jagoan dari seantero 

jagad raya. Anak itu sekarang memegang 

patung Ratu Shima dengan mata melotot 

saking kagum dan tertariknya.

"Hah? Ini arca yang sangat bagus!" 

katanya sambil tertawa kegirangan. Dalam 

benaknya segera bayangan bahwa dalam waktu 

yang tidak terlalu lama lagi, ia akan

memiliki barang mainan yang sangat bagus, 

yang bisa dibangga-banggakan kepada 

anak-anak.

Anak itu sama sekali tidak mengetahui 

bahwa patung itu adalah patung Ratu Shima. 

Dan tentu saja ia juga tidak memikirkan 

bahwa di dalam rongga patung itu tersimpan 

surat wasiat yang sangat berharga.

Tanpa disadari oleh si Tolol, di 

pinggir lubang yang digalinya, sekarang 

telah berdiri seorang tokoh silat yang juga 

sudah cu-up lama mencari-cari Ratu Shima. 

Dialah Prawiro, pendekar yang memiliki 

ilmu tinggi dan cukup kesohor di daerah 

lereng gunung Muria.

Lelaki itu masih muda, usianya paling 

sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya tampan 

dan tidak dihiasi kumis. Kepalanya 

ditutupi blangkon berupa kain sutera


halus. Melihat penampilan lelaki itu, 

agaknya ia masih memiliki darah ningrat. 

Tetapi bentuk tubuhnya yang tegap dan 

otot-otot yang kekar menandakan ia seorang 

lelaki yang rajin berlatih ilmu silat dan 

memiliki tenaga yang sangat kuat.

Di pinggang sebelah kanan Prawiro 

diselipkan senjata keris yang 

sewaktu-waktu dengan gerakan yang sangat 

cepat dapat dicabut jika berhadapan dengan 

musuh. Lelaki itu tersenyum-senyum sambil 

menatap dengan sinar mata mencorong ke 

dalam lubang yang digali si Tolol.

"He-he-he... pucuk di cinta ulam tiba. 

Aku tak perlu memeras keringat untuk 

menggali tanah ini, karena sekarang dengan 

mudah aku akan mendapatkan patung itu," 

kata Prawiro sambil terkekeh- kekeh.

Pendekar itu kemudian mengambil seutas 

tali yang dililitkan di pinggangnya. 

Sambil mengerahkan tenaga dalam, Prawiro 

melemparkan tali itu ke dalam lubang dan 

langsung membelit patung Ratu Shima yang 

sedang dipedang si Tolol, melesat ke atas 

dan langsung berpindah ke tangan Prawiro.

"Patung inilah yang kucari-cari. Seka-

rang aku telah memilikinya!" kata Prawiro 

dengan hati penuh luapan rasa gembira.

Namun walaupun wajahnya tampan dan 

kelihatannya bersih dari perbuatan


tercela, Prawiro ternyata memiliki hati 

yang sangat kejam. Tanpa merasa kasihan 

sedikitpun juga, ia menimbun lubang itu 

kembali sehingga si Tolol menjerit-jerit 

kesakitan.

"Kau sendiri yang menggali kuburanmu, 

kawan!" katanya sambil mengerahkan seluruh 

tenaganya untuk menimbun tanah ke dalam 

lubang dan tanpa ampun lagi, si Tolol 

terbenam di dalam lubang. Suara jeritannya 

tidak terdengar lagi.

Bukan itu saja, permukaan lubang yang 

sudah tertutup itu diinjak-injak Prawiro 

supaya padat. Tampaknya lelaki itu telah 

bertekad untuk menghabisi nyawa siapa saja 

yang mencoba menghalanginya memiliki 

patung Ratu Shima.

"Selamat tinggal, kawan!" kata 

Prawiro, lalu melesat dengannya gerakan 

yang sangat cepat meninggalkan tempat itu. 

Tubuhnya berkelebat dan kadang-kadang yang 

tampak hanyalah bayangan saja, menandakan

betapa cepatnya gerak lari pendekar itu.

"Berhenti!" tiba-tiba terdengar 

bentakan nyaring.

Prawiro tersentak kaget dan tanpa 

sadar menghentikan langkahnya. Di 

hadapannya sekarang telah berdiri 

seseorang yang rupanya telah membuntutinya 

sejak tadi.


"Bangsat! Aku tak bisa menangkap 

gerakanmu!" bentak Prawiro geram bercampur 

cemas. Karena sebagai pendekar yang 

memiliki ilmu tinggi, setiap gerakan orang 

yang cukup dekat dengan pastilah akan 

di-ketahuinya. Kecuali jika orang itu 

memiliki kesaktian tinggi dan ilmu 

meringankan tubuh hebat, gerakannya sulit 

tertangkap oleh pendengaran.

"Oh, tentu. Tak seorang pun bisa 

menangkap gerakanku!"

Prawiro memperhatikan wanita di ha-

dapannya. Baru sekarang ia menyadari bahwa 

wanita itu aneh luar biasa! Wanita itu 

cantik dan memiliki lekak-lekuk tubuh yang 

sangat indah dan menggairahkan. Dan itu 

terlihat dengan nyata sekali, sebab wanita 

yang masih muda itu sama sekali tidak 

mengenakan pakaian selembar benang pun tak 

ada melekat di tubuhnya.

Sekujur tubuh wanita itu dirajah 

(tatto), mulai dari batas leher sampai ke 

ujung tangan dan ujung kaki, dengan warna 

yang sangat kontras, merah, hijau, hitam, 

putih dan entah warna apa lagi. Gambar 

tatto itu dibuat seperti motif kain atau 

mirip pula dengan ukiran-ukiran kayu, 

bergaris-garis dan pada ujungya dibuat 

melingkar yang makin ke ujung makin kecil.


Sepasang buah dadanya juga tak luput 

dari tatto, dibuat dengan gambar 

garis-garis berupa bulatan sampai ke 

bagian putingnya, demikian juga pada 

bagian pantatnya. Pada baian 

selangkangannya terutama pada bagian alat 

kemaluannya gambar tatto dibuat lebih 

hitam dan garis-garisnya hampir tidak ada. 

Dengan demikian, jika malam hari, wanita 

itu kelihatan seperti mengenakan celana 

dalam.

Jika wanita itu menggerak-gerakkan 

badannya, tampak sepasang buah dadanya 

yang montok itu bergerak turun naik. 

Tidaklah berlebihan jika dikatakan 

pandangan mata Prawiro jadi silau, atau 

bahkan ia seolah-olah tak percaya pada 

penglihatannya sendiri. Seorang wanita 

muda dan cantik dengan sekujur tubuh penuh 

tatto berdiri dihadapannya. Dalam mimpi 

pun Prawiro belum pernah membayangkan 

dirinya akan melihat wanita seperti itu.

Sejenak mata Prawiro melirik buah dada 

wanita itu, kemudian pandangan matanya 

turun dan berhenti di selangkangannya. 

Perasaan Prawiro pun langsung tak menentu. 

Dadanya berdebar-debar lantaran gejolak 

yang menghentak-hentak di dalam dirinya 

sebagai seorang lelaki.


Dan agaknya wanita bertatto itu memang 

sudah terbiasa dengan keadaan tubuhnya 

yang bugil. Ia tak tampak sedikit pun 

merasa risih atau malu. Bahkan ia sengaja 

membuka kedua pahanya lebar-lebar dan 

membusungkan dadanya dengan sikap 

menantang.

Prawiro sebenarnya seorang pendekar 

yang memiliki ilmu silat tinggi dan sudah 

terbiasa pula menghadapi tipu daya musuh. 

Tetapi kali ini keadaan atau pemandangan di 

hadapannya benar-benar telah membuatnya 

lupa diri. Tubuh yang telanjang bulat itu 

membuatnya merasa terpesona, seperti 

terkena jampi-jampi. Kewaspadaannya pun 

seketika telah lenyap.

Ketika wanita itu melangkah 

perlahan-lahan menghampirinya, Prawiro 

tetap terpukau. Tangan kirinya memegang 

patung Ratu Shima sedangkan tangan 

kanannya menggenggam senjata Keris yang 

tadi di hunus setelah mendengar bentakan 

orang menyuruhnya berhenti. Tetapi Prawiro 

seperti sudah melupakannya. Wanita itu 

makin dekat dengan langkah berlenggak 

lenggok, sehingga rambutnya yang panjang 

seperti menari-nari ditiup sepoi angin.

Perlahan-lahan, wanita bertatto itu 

mengangkat kaki kirinya sehingga tanpa 

sadar Prawiro melirik ke selangkangan


wanita yang berada persis di depan 

hidungnya. Saat itulah keris Prawiro 

terlempar ditendang wanita bertatto. 

Kemudian menyusul kaki kanannya menendang 

patung Ratu Shima dari tangan kanan Prawiro 

hingga terpental jauh.

Wanita bertatto meloncat menangkap 

keris itu, namun tidak berhasil menangkap 

patung Ratu Shima karena terlempar terlaiu 

jauh ke semak-semak. Dan rupanya di arena 

itu masih ada orang lain yang sejak tadi 

mengintip dari balik semak-semak. 

Kebetulan sekali patung Ratu Shima 

terlempar ke arahnya dan langsung 

ditangkap dengan perasaan sangat girang.

Tanpa berfikir panjang lagi, lelaki 

itu segera melarikan diri. Pada detik yang 

bersamaan pula, wanita bertatto itu 

menghunjamkan keris ke bagian jantung 

Prawiro hingga amblas sampai ke hulunya. 

Sambil menjerit panjang, tubuh lelaki itu 

ambruk bermandikan darah segar. Sehingga 

menggelepar-gelepar sejenak, ia pun 

menghembuskan nafas terakhir.

Si Wanita tatto segera melangkah ke se-

mak-semak tempat patung itu tadi terlem-

par. Namun alangkah terkejutnya ia 

manakala menyadari bahwa patung itu telah 

lenyap.


"Kurang ajar! Pasti ada orang lain yang 

menguntitku sejak tadi. Sialan!" Wanita 

bertatto itu memaki-maki dalam hati dan 

bersumpah akan mencari orang yang membawa 

kabur patung itu sampai dapat, kemudian 

membunuhnya.

Siapakah sebenarnya wanita bertatto 

itu? Dulunya ia biasa dipanggil Setyatun, 

seorang gadis cantik yang sering jadi bahan 

pembicaraan kaum pemuda, bahkan termasuk 

duda dan lelaki yang sudah beristri, karena 

kecantikan dan keindahan tubuhnya.

Akan tetapi tak seorang pun 

mengenalnya karena kemunculannya begitu 

tiba-tiba. Selama ini penduduk maupun 

kalangan pendekar belum pernah mendengar 

apalagi melihat seorang jago silat wanita 

cantik yang dalam keadaan bugil, di mana 

sekujur tubuhnya penuh tatto dengan warna 

kontras.

Mungkin Prawiro adalah orang yang 

pertama melihatnya. Tetapi hanya beberapa 

saat setelah memandangi sekujur tubuh yang 

tak ditutupi selembar benang itu, ia tewas 

di ujung senjata kerisnya sendiri, karena 

sewaktu terpesona si Wanita Tatto alias 

Setyatun menghunjamkan keris itu ke bagian 

jantungnya.

Melihat gerak-gerik Wanita Bertatto 

itu, dapatlah diterka bahwa ia sudah cukup


lama dan sudah terbiasa dengan keadaan tu-

buhnya yang telanjang bulat. Mungkin ia 

sudah menganggap tatto itu adalah bajunya 

sendiri, sehingga seperti ketika ketemu 

Prawiro ia sama sekali tidak merasa risih 

atau malu. Seorang wanita, kalau 

pikirannya memang masih waras, tentulah 

akan malu dilihat orang telanjang. Bahkan 

biarpun tak ada yang melihat, misalnya di 

dalam kamar, gerak-geriknya pastilah agak 

kaku.

Atau apakah wanita bertatto itu memang 

sudah gila? Rasanya tidak mungkin. 

Kata-kata maupun sikapnya, serta keadaan 

dirinya sama sekali tidak menunjukkan 

pikirannya tidak waras lagi. Selain itu, 

ada satu hal yang sangat menarik dalam diri 

Setyatun, yakni ilmu silatnya yang sangat 

tinggi. Dengan ilmunya yang tinggi, 

agaknya akan jarang pendekar yang bisa 

menandinginya. Apalagi karena keadaannya 

telanjang, setiap lelaki yang hendak 

bertarung dengannya, kalau tidak terpesona 

sedikitnya pastilah terpengaruh.

Hal itu tentulah akan mempermudah si 

wanita tatto menundukkan lawan-lawannya. 

Seperti ketika Prawiro melihatnya. Lelaki 

itu begitu terpukau, seolah-olah tak 

percaya akan penglihatannya sendiri. 

Padahal seandainya ia tidak terpengaruh


oleh keadaan tubuh yang telanjang itu, ia 

pasti tidak semudah itu dirobohkan.

Dan agaknya, si wanita tatto 

menyadarinya, sehingga dengan jelas 

terlihat bahwa dalam setiap pertarungan ia 

selalu mempengaruhi lawannya dengan 

tubuhnya. Bagi wanita, keindahan tubuhnya 

memang bisa jadi senjata yang sangat ampuh 

untuk melumpuhkan kaum lelaki.

Melihat sepak terjang Setyatun sewaktu 

menghabisi nyawa Prawiro, boleh dikatakan 

bahwa kejadian itu merupakan awal 

munculnya seorang tokoh di dunia 

persilatan yang kelak akan menjadi bahan 

pembicaraan para pendekar. Siapakah 

sebenarnya wanita itu dan apa latar 

belakang sehingga ia merajah sekujur

tubuhnya, akan terungkap dalam perjalanan 

waktu di masa mendatang.

***

TIGA


Sewaktu Wanita tatto berfikir keras 

tentang patung Ratu Shima yang hilang 

misterius, si pencurinya sekarang sudah 

semakin jauh meninggalkan tempat itu. 

Lelaki itu berloncatan di sela-sela


pepohonan dengan gerakan yang sangat 

ringan dan cepat.

Lelaki itu sudah setengah baya, 

mungkin sudah berumur empat puluh lima 

tahun. Wajahnya buruk, dengan hidung pesek 

dan lebar. Si samping itu, gigi-giginya 

mencuat ke depan sehingga selalu terlihat 

dan membuatnya tampak selalu menyeringai. 

Ada kesan licik dan kejam terpancar dari 

wajahnya yang jelek itu.

Akan tetapi pakaiannya terbuat dari 

sutera halus yang sangat mahal harganya. Di 

sekitar kota Jepara orang yang bisa 

memiliki kain sutera halus semahal itu 

masih bisa dihitung dengan jari. Pastilah 

dia orang kaya.

Ya, lelaki itu memang kaya raya! Nama 

sebenarnya adalah Sugimin. Tetapi setelah 

ia menjadi juragan kaya raya, namanya 

diganti menjadi Raden Bei Kiduling Pasar. 

ia memiliki warung beras dan keperluan 

rumah tangga yang bisa melayani kebutuhan 

semua penduduk desanya dalam waktu 

berbulan-bulan. Belum lagi hewan ternaknya 

yang jumlahnya ribuan ekor serta sawah 

ladang yang juga ribuan hektar.

Raden Bei Kiduling Pasar sangat 

disegani dan dihormati di desa. Karena 

se-lain sangat kaya, ia juga mempunyai 

puluh-an tukang pukul yang tak segan-segan


me-nyiksa penduduk jika berani macam-macam 

kepada majikannya.

Lelaki itu telah jauh dari lereng bukit 

Muria. Ia tidak tahu bahwa di lereng itu 

ter-jadi sesuatu yang luar biasa. Tanah 

bekas galian tempat si Tolol terkubur 

hidup-hidup oleh Prawiro, mulai 

bergerak-gerak. Makin lama, tanah itu 

makin kuat gerakannya, seolah-olah ada 

makhluk yang hendak ke luar dari dalamnya.

Tak lama kemudian, tanah timbunan itu 

pun retak. Sebuah benda bulat tersembul. 

Itulah dia kepala si Tolol. Setelah 

kepalanya keluar, tubuhnya pun dapat 

keluar dari timbunan tanah.

Luar biasa! Mungkin tak ada yang 

mengira termasuk Prawiro sendiri bahwa si 

Tolol masih hidup, bahkan dapat keluar dari 

kuburannya, tanpa pertolongan siapa pun.

Sebenarnya kalau orang mengetahui 

kehebatan tersembunyi di dalam diri si 

Tolol, pastilah tidak akan terlalu heran 

melihatnya bisa menyelamatkan diri. 

Sewaktu itu dalam keadaan sekarat di dalam 

tanah, secara otomatis tenaga dahsyat yang 

tersimpan di dalam tubuhnya 

menggerak-gerakkan tubuhnya untuk 

berontak. Demikian dahsyatnya tenaga yang 

tersimpan dalam tubuh si Tolol, sehingga


tanah itu dapat bergerak. Dan si Tolol pun 

selamat!

"Huh, banyak orang jahat. Sama saja se-

perti di Sumedang, banyak orang jahat," ka-

ta si Tolol bicara sendiri.

Dan ketika ia menyadari bahwa keempat 

anak yang tadi ikut bersamanya tidak ada 

lagi di dataran lereng gunung itu, ia 

menjadi terkejut. "Jangan-jangan 

anak-anak itu juga sudah dikubur orang 

jahat, atau dibawa oleh kolongwewe," pikir 

si Tolol cemas.

Maka ia pun berteriak sekeras kerasnya 

memanggil anak-anak itu: "Hoi, anak-anak, 

ke mari! Kita batalkan saja pergi ke negeri 

seberang. Ada orang jahat!"

Tetapi berapa kali pun ia berteriak 

sekuat-kuat tenaga tetap tidak ada 

sahutan. Akhirnya si Tolol pun menjadi 

putus asa, dan berharap keempat anak itu 

tidak apa-apa.

"Mungkin mereka disusul orangtuanya 

dan disuruh pulang," kata hati si Tolol. 

"Aku juga dulu sering disusul oleh Pak 

Kohar jika sering terlambat pulang 

bermain. Tapi sekarang dia telah 

meninggal, yang ada cuma aritnya saja. 

Akh...."

Ingat akan Pak Kohar dan pamannya 

Maulana yang sangat baik, hati si Tolol


jadi sedih. Hanya kedua orang itu yang 

menurut si Tolol baik hati padanya. 

Sedangkan yang lainnya tidak sayang 

padanya. Tetapi justru kedua orang itu pula 

yang duluan meninggal. Si Tolol pun merasa 

dirinya hidup sebatang kara. Tak ada yang 

menyayanginya lagi. Tak ada yang 

merawatnya. Maka anak itu pun menangis

sejadi-jadinya sambil berguling gulingan 

diatas tanah.

Pada saat yang bersamaan, Raden Bei 

Kiduling Pasar telah berada di halaman 

rumah terpencil di desanya. Rumah itu cukup 

besar dan megah. Tiang-tiangnya terbuat 

dari ukiran-ukiran kayu serta logam 

berlapis perak. Lantainya terbuat dari 

tegel mengkilap. Di ruang tengah ada kursi 

yang terbuat dari perak yang mirip dengan 

kursi raja atau ratu.

Di kursi itulah seorang nenek sedang 

duduk sambil memegang tongkatnya yang 

bengkok. Rambut wanita itu sudah memutih

dan dikuncir ke atas. Wajahnya sudah 

keriputan dengan raut yang lonjong karena 

bagian dagunya terlihat lebih panjang dari 

yang lazim terlihat. Tubuhnya kurus, namun 

sinar matanya masih memancarkan sesuatu 

yang kuat luar biasa. Di leher wanita tua 

itu tergantung sebuah kalung berupa 

untaian permata-permata intan.


Wanita tua itu tak lain tak bukan 

adalah Nyi Peri, wanita tua namun memiliki 

kesaktian yang luar biasa. Wanita itu sudah 

lama hidup menyendiri di rumahnya yang 

seperti istana itu. Selama ini boleh 

dikatakan hampir tak ada yang berani masuk 

ke rumah itu, bahkan sekedar bermain di 

halaman rumahnya saja orang sudah takut. 

Entah bagaimana kehidupan Nyi Peri 

sehari-hari dan apa saja yang 

dikerjakannya, hampir tak ada yang tahu.

Raden Bei tergopoh-gopoh masuk ke 

ruang tengah, kemudian bersujud di hadapan 

Nyi Peri. Setelah mengangguk beberapa 

kali, lelaki itu mengacungkan patung Ratu 

Shima ke arah Nyi Peri, kemudian berkata 

dengan suara lantang:

"Saya sudah datang, Nyai. Inilah arca 

yang Nyai idam-idamkan. Ternyata memang 

patung emas yang indah sekali. Sekarang aku 

akan mempersembahkannya kepada Nyai, 

asalkan Nyai segera membuatkan ramuan 

mujarab untukku."

"Aku tak pernah bicara bohong, Bei. Ka-

lau betul itu adalah patung Ratu Shima dari 

kerajaan Hindu Kalingga, pada pertengahan 

abad ketujuh, berikanlah padaku. Obat yang 

kau minta itu sudah kusediakan," kata Nyi 

Peri dengan suaranya yang parau.


"Oh, pasti asli, Nyai. Boleh 

periksa,kutanggung asli. Dan Nyai harus 

tahu, untuk mendapatkan patung itu, aku 

harus berjuang mati-matian menghadapi 

beberapa pendekar sakti yang juga 

menginginkannya. Bahkan hampir saja 

nyawaku melayang sewaktu 

mempertahankannya." kata Raden Bei membual 

sekedar untuk lebih menarik simpatik Nyi 

Peri.

"Aku percaya," kata Nyi Peri setelah 

memeriksa patung itu sebentar, "Sekarang 

aku akan memberikan ramuan obat yang kau 

minta. Ini, didalam pundi-pundi ini. 

Namaku akan menjadi jaminan dan 

taruhannya. Jangkan si Ronah, putri sultan 

sekalipun pasti kepelet oleh obat ini."

"Terimakasih, Nyai. Terimakasih!" 

kata Raden Bei sambil mengangguk anggukkan 

badan beberapa kali. Setelah itu, dengan 

mata berbinar-binar, lelaki kaya raya itu 

segera meninggalkan rumah Nyi Peri.

"He-he-he, jangankan si Ronah, putri 

sulta pun bisa kepelet. Opo hiya? Kalau pu-

tri sultan bisa jadi bojoku, wah aku tambah 

kawentar...." kata Raden Bei sambil 

tertawa-tawa.

Rupanya Raden Bei sedang kasmaran 

terhadap seorang gadis di desanya. Ia ingin 

mempersunting gadis yang namanya


Ronahyatun itu. Tetapi selama ini, Raden 

Bei belum berani mengajukan lamaran, 

karena ia tahu gadis cantik jelita itu 

tidak senang padanya. Mungkin karena Raden 

Bei orangnya jelek dan sudah cukup tua 

pula, di samping sudah mempunyai beberapa 

orang istri, atau ada alasan lainnya 

sehingga membuat Raden Bei selama ini 

sangat penasaran.

Berbagai cara telah ditempuhnya untuk 

bisa mempersunting gadis itu. Tetapi semua 

usahanya selalu sia-sia. Akhirnya Raden 

Bei yang terkenal memiliki sifat sangat 

ambisius itu meminta pertolongan kepada 

Nyi Peri.

Nyi Peri menyanggupi permintaan Raden 

Bei, tetapi dengan syarat Raden Bei harus 

mendapatkan patung Ratu Shima kemudian 

memberikannya kepada nenek tua itu sebagai 

tebusan obat ramuan penakluk para gadis 

cantik.

Sungguh mujur nasib Raden Bei hari ini, 

karena sewaktu pergi ke lereng gunung 

Muria, ia melihat dua orang sedang 

bertarung memperebutkan patung Ratu Shima. 

Dalam pertarungan yang sengit itu, patung 

Ratu Shima terpental tepat ke arah Raden 

Bei. Seperti rezeki nomplok saja!

Sekarang Nyi Peri menimang-nimang 

patung Ratu Shima. Wajah nenek tua itu


berseri-seri. Ia tertawa-tawa kegirangan 

sehingga giginya yang tinggal beberapa 

buah saja kelihatan.

"Dalam waktu dekat, aku yang sudah 

keriputan akan kembali cantik dan muda 

kembali dengan resep yang ada dalam patung 

ini" kata Nyi Peri kegirangan. 

Perlahan-lahan, nenek tua itu meletakkan 

patung itu di atas meja. la lalu membuka 

buku Jawi kuno yang berisikan riwayat 

patung Ratu Shima.

Tanpa ia sadari, seorang lelaki asing 

mengintipnya dari atap rumah. Lelaki itu 

kemudian membuka atap genteng tanpa 

menimbulkan suara mencurigakan. Lalu 

sambil mengerahkan tenaga dalamnya, pria 

asing itu menarik patung Ratu Shima. 

Sungguh merupakan kesaktian yang luar 

biasa. Dari jarak sekitar enam meter, 

lelaki itu dapat menarik patung emas itu 

hanya dengan mengandalkan tenaga dalamnya, 

dan sama sekali tidak menggunakan alat apa 

pun. Dalam sekejap, patung itu telah berada 

di tangan lelaki yang mengintip di atas 

genteng.

"Bangsat! Siapa yang berani lancang 

pada Nyi Peri, hah?" teriak Nyi Peri ketika 

me-nyadari patung itu telah lenyap dari 

atas meja. Sebagai orang yang memiliki 

kesaktian tinggi, nenek tua itu segera



mengetahui bahwa seseorang telah 

mencurinya dari atas atap. Maka Nyi Peri 

segera mengerahkan tenaganya, meloncat 

bagaikan terbang ke atas atap rumahnya.

"Setan alas! Tunjukkan batang hidungmu 

kalau kau memang bukan pengecut!" 

teriakkan Nyi Peri sambil menatap liar ke 

sekelilingnya.

"Ha-ha-ha, jangan mulut besar, nenek 

peot!" Tiba-tiba terdengar suara ejekan 

seorang laki-laki. Dalam sekelebatan 

terlihatlah oleh Nyi Peri sebuah bayangan 

aneh melayang-layang di antara pepohonan.

Betapa terkejutnya Nyi Peri melihat 

pemandangan yang terpampang di depan 

matanya. Seorang laki-laki melesat 

bagaikan terbang di atas selembar 

permadani merah tak ubahnya seperti cerita 

dalam dongen 1001 malam.

Tetapi sebetulnya, di dunia persilatan 

hal seperti itu bukanlah hal yang mustahil. 

Karena bukan permadani itu yang bisa 

terbang, melainkan orangnya sendiri yang 

memiliki ilmu meringankan tubuh yang 

demikian sempurnanya. Setelah melemparkan 

permadani itu, pendekar asing itu meloncat 

ke atasnya dan mengerahkan ilmu sehingga 

bisa melesat cepat sekali. Tetapi tentu 

saja hanya dalam batas waktu tertentu saja.


"Hai, nenek peot! Susullah aku kalau 

kau memang mampu!" teriak lelaki itu lagii.

"Bangsat! Jangan kau kira ilmu seperti 

itu ada gunanya bagiku," teriak Nyi Peri. 

Nenek tua itu pun mengerahkan tenaga 

dalamnya, meloncat dari pohon yang satu ke 

pohon lainnya. Ilmu meringankan tubuh Nyi 

Peri agaknya tidak kalah dengan pendekar 

asing itu. Kakinya hanya menginjak 

daun-daunan sebagai pijakan untuk meloncat 

ke pohon lainnya.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, 

Nyi Peri dapat menyusul lawannya. Ia 

meloncat sambil menyalurkan tenaga dalam 

pada tongkat bengkoknya, kemudian menusuk 

permadani lawan ketika keduanya masih 

melayang-layang di udara.

Demikian kuatnya tenaga dalam yang 

tersalur dari tongkat itu, sehingga mampu 

mencoblos permadani lawan, Namun dengan 

sigap lawannya menghindari dengan cara 

meloncat dan berjumpalitan ke udara. Maka 

luputlah serangan Nyi Peri. Namun tanpa 

diduga-duga, dengan kecepatan luar biasa, 

tongkat bengkok Nyi Peri menghantam tangan 

kiri lawan, sehingga patung Ratu Shima 

terlempar dan jatuh melayang-layang, tepat 

menimpa kepala si Tolol yang saat itu 

sedang tidur pulas di bawah pohon tak jauh 

dari arena pertarungan itu.


"Aduh kepalaku!" teriak anak itu 

kesakitan. Namun ketika melihat patung 

itu, rasa sakit di kepalanya yang benjol 

tertimpa tadi segera dilupakannya. Ia 

sangat gembira karena tanpa diduga-duga 

telah menemukan patung yang sangat 

disenanginya itu.

Akan tetapi mendengar suara 

ribut-ribut di atas pohon, anak itu menjadi 

cemas lagi. "Pasti ada orang jahat lagi 

yang ingin merebut patung ini," pikir si 

Tolol lalu segera melarikan diri dari hutan 

itu. Tubuhnya berkelebatan cepat sekali 

dari sela-sela pepohonan, sedangkan patung 

itu disembunyikannya di balik bajunya dan 

didekapnya, takut kelihatan orang lain.

Sementara itu, Nyi Peri dan lawannya 

sama-sama meloncat turun dan mendarat di 

atas tanah dengan sangat ringannya.

"Percuma kita memperebutkan patung 

itu, karena sudah hilang," kata lelaki itu 

sambil menatap Nyi Peri dengan nafas 

ngos-ngosan.

"Itu semua gara-gara kau. Seharusnya 

kau membayarnya dengan nyawamu sendiri. 

Tetapi kali ini aku memaafkanmu. Siapakah 

kau sebenarnya, orang asing?"

"Namaku Husein, dari negeri Irak di 

kawasan Teluk Parsi. Dan kau nenek tua, 

siapakah kau?"


"Huh, orang jelek seperti kau mana 

pantas mengetahui namaku? Masih untung 

nyawamu tidak kukirim ke neraka!" kata Nyi 

Peri lalu segera meloncat dari tempat itu: 

Lelaki yang mengaku datang dari negeri Irak 

itu menghela nafas dalam-dalam. Wajahnya 

muram pertanda bahwa ia sangat kecewa 

karena tidak berhasil memperoleh patung 

Ratu Shima.

"Aku bersumpah akan memperolehnya 

kembali! Kalau tidak, percuma aku datang 

dari negeri seberang ke tempat ini," ujar 

lelaki itu sambil melangkah meninggalkan 

lereng gunung Muria.

Pendekar Husein sebenarnya sudah cukup 

lama berada di negeri Pulau Jawa. Lelaki 

itu di negerinya dikenal memiliki ilmu yang 

sangat tinggi. Selain itu, ia juga dikenal 

sebagai ahli sihir yang sangat hebat. 

Senjatanya adalah permadani berukuran 

sekitar dua kali satu meter. Jika ia 

menyalurkan tenaga dalamnya yang sangat 

dahsyat, permadani itu bisa berubah jadi 

keras dan menjadi senjata yang sangat 

berbahaya.

Dan seperti yang terlihat oleh Nyi Peri 

barusan, Husein bisa menggunakan permadani 

itu sebagai pijakan untuk melesat cepat 

sekali. Jika tubuhnya hendak turun ke tanah 

karena gaya tarik bumi, ia biasanya


menginjak dedaunan pohon-pohon dan kembali 

meloncat dengan posisi permadani tetap se-

bagai pijakan. Demikianlah dilakukan 

pendekar dari Irak itu hingga dapat 

melayang-layang tanpa menginjak bumi 

berpuluh-puluh kilometer jauhnya.

Untuk bisa melakukannya, seorang 

pendekar harus memiliki ilmu meringankan 

tubuh yang sangat sempurna dan melalui 

latihan-latihan yang sangat tekun dan 

borkesinambungan. Dapatlah diketahui 

bahwa pendekar asing itu memiliki ilmu 

kesaktian yang tak bisa diremehkan para 

jagoan yang sedang memperebutkan patung 

Ratu Shima.

Pendekar Husein sangat berambisi 

memiliki patung emas itu. Ia sama seperti 

pendekar lainnya, mau mengorbankan apa 

saja demi ambisinya memiliki patung Ratu

Shima bukan karena perhiasan emas dan 

permata intannya. Tetapi ingin mengetahui 

rahasia surat wasiat yang tersimpan di da-

lam rongga patung itu.

Setelah memiliki patung itu, Husein 

bermaksud menjualnya kepada Raja Ranjit 

Singh dari India yang saat itu sedang 

bertempur melawan penjajah Inggris. 

Rupanya kemashuran patung Ratu Shima juga 

sampai ke negeri India. Rupanya raja India 

juga percaya bahwa rahasia surat wasiat


Ratu Shima juga dapat membantunya mengusir 

penjajah dari negerinya. Kesempatan itulah 

yang hendak dimanfaatkan Husein. Karena 

kalau ia dapat menyerahkan patung Ratu 

Shima kepada Ranjit Singh, maka ia akan 

memperoleh imbalan yang sangat besar yang 

bukan saja dapat membuatnya kaya raya, 

tetapi dapat dinikmati anak cucunya kelak.

Sementara itu, si Tolol terus berlari 

dengan kecepatan yang tidak lumrah 

dimiliki manusia biasa. Karena sangat 

ketakutan, maka tenaga dahsyat di dalam 

tubuhnya bekerja secara otomatis, sehingga 

tubuhnya dapat melesat bagaikan anak 

panah.

"Berhenti!" Tiba-tiba terdengar suara 

bentakan.

Si Tolol terkejut bukan main. Anak itu 

berhenti dan mempererat dekapannya, karena 

takut patung yang disembunyikannya akan 

dirampas orang asing itu lagi.

"Ampun, Om. Ampun...." kata si Tolol 

ketakutan.

Lelaki yang menghadangnya itu menatap 

si Tolol dengan sinar mata mencorong tajam, 

Ia masih muda, berusia sekitar tiga puluh 

tahun. Rambutnya dikuncir ke bel-kang dan 

di bagian depan kepalanya, rambutnya sudah 

kelimis. Dagunya penuh brewok dengan 

tulang pipi yang terlihat agak menonjol.


Sedangkan matanya tampak agak sipit. Baju 

yang dikenakan mirip jubah, panjang sampai 

ke lututnya. Sedangkan keanehan lainnya, 

ia tidak seperti penduduk atau pendekar 

dari Jepara, karena tidak mengenakan 

celana panjang. Tetapi kedua kakinya 

dibungkus sepatu jenis bot tinggi yang 

diikat hampir sampai ke batas lututnya. 

Bentuk ujung bajunya pun lain, jauh lebih 

lebar, dari yang biasa terlihat.

Melihat penampilannya, dapatlah 

dipastikan bahwa lelaki itu bukanlah 

penduduk asli dari Pulau Jawa, melainkan 

datangnya dari negeri seberang.

Ya, pendekar itu adalah ahli samurai 

dari negeri Jepang, yang merupakan utusan 

shogun Tokugawa yang berkedudukan di Yedo. 

Ia sengaja diutus untuk merebut patung Ratu 

Shima agar dapat mengetahui rahasia surat 

wasiatnya demi kelanggengan kekuasaan 

bangsa Tokugawa.

Sepasang pedang samurai tergantung di 

pinggang kirinya. Melihat itu, si Tolol 

makin ketakutan, lalu duduk berlutut di 

hadapan Gahito, pendekar samurai dari 

negeri matahari terbit itu.

"Hei, apa yang kau sembunyikan itu?" 

bentak Gahito dengan suara mengguntur. Ia 

menghunus samurainya, maka tampaklah ujung


senjata yang mengkilap pertanda senjata 

itu sangat tajam.

."Ampun... ampun, tuan! Jangan bunuh 

aku!" kata si Tolol memelas. Keringat 

dingin membasahi sekujur tubuhnya yang 

gemetaran karena rasa takut yang amat 

sangat. Sambil memohon ampun, anak itu 

mengangguk-angguk sehingga wajahnya 

membentur tanah.

Melihat itu, Gahito menjadi tersenyum 

geli, sambil mengelus-elus dagunya yang 

runcing.

"Hem... kukira kau seorang pendekar 

pribumi yang tangguh. Tapi ternyata hanya 

seorang anak tolol sesuai dengan bentuk 

tubuhmu."

"Ya, tuan. Nama saya memang si Tolol," 

kata si Tolol makin ketakutan.

Pendekar samurai itu mengurungkan 

niatnya untuk menebas si Tolol. Ia 

menyarungkan samurainya. Tetapi si Tolol 

tetap ketakutan dan karena rasa takutnya, 

yang tak terhingga, anak itu kencing dan 

berak di celana tanpa sadar. Bau busuk 

segera menyebar ke sekitar tempat itu 

hingga menyengat hidung Gahito.

"Bagero! Kurang ajar! Bau kotoran. 

Rupanya kau hendak menghinaku, ya!" bentak 

pendekar samurai itu sambil menghunus 

senjatanya kembali. Agaknya ia sangat


kesal dan bermaksud akan menghabisi nyawa 

si Tolol.

Tetapi ketika ia hendak menebas tubuh 

. si Tolol, tiba-tiba ia mendengar suara 

langkah kaki berlari ke arah tempat itu. 

Gahito jadi terkejut dan mengurungkan 

niatnya. Dengan mengerahkan tenaganya yang 

dahsyat, lelaki itu meloncat ke dahan pohon 

di atasnya. Ia ingin mengetahui siapa orang 

yang datang itu dan hendak apa.

Hanya beberapa saat setelah Gahito 

berada di atas pohon, sampailah Nyi Peri ke 

hadapan si Tolol.

"Hei, sedang apakah kau, bocah? Apakah 

kau melihat seseorang lewat dari tempat 

itu?" tanya Nyi Peri terheran-heran 

melihat si Tolol duduk berjongkok 

ketakutan di atas tanah.

Akan tetapi, nenek tua itu menjadi 

terkejut sekaligus kesal mencium bau 

kotoran dari celana si Tolol.

"Sial! Ndasmu denggol! Uph... kenapa 

tak bilang kau lagi nelek? Huh, dasar bocah 

tolol!" kata Nyi Peri sambil menutupi 

hidung dengan telapak tangan kanannya.

"Ampun, aku jangan dipukul!" kata si 

Tolol sambil melirik ke arah tongkat 

bengkok di tangan kiri Nyi Peri.

"Bocah edan! Ambune koyo batang tikus. 

Cuah!" maki Nyi Peri lalu melangkah


meninggalkan tempat itu. Lalu ia meloncat 

dan tubuhnya berkelebat hingga dalam 

sekejap lenyap di balik pepohonan.

Belum habis si Tolol menarik nafas 

lega, tiba-tiba Husien telah berdiri di 

hadapannya. Si Tolol kembali ketakutan dan 

langsung duduk bersujud di hadapan 

pendekar Irak itu.

"Ja... jangan bunuh aku, tuan. 

Jangan...." kata si Tolol ketakutan.

"Hei, kacung! Apakah kau melihat 

seorang lewat dari tempat ini tadi?"

"Jangan bunuh aku, tuan!"

"Heh,bangsat! Aku bertanya apakah kau 

melihat seseorang lewat dari sini tadi?"

"Ada, tuan...."

"Laki-laki atau perempuan?"

"Perempuan, tuan. Nenek tua, bawa 

tongkat pemukul orang."

"O, bukan itu yang kumaksud. Selain dia 

tidak adakah orang lain lewat di sini?"

"Ada, seorang Om yang pakai kuncir di 

kepalanya. Senjatanya panjang dan tajam 

sekali, tuan!"

"Senjatanya panjang? Ke arah mana dia 

pergi? Ayo, jawab! Kau tak perlu takut. Aku 

tidak akan menyakitimu, asalkan kau 

memberi keterangan yang benar."


"Ke atas pohon, tuan. Dia ada di atas 

pohon." kata si Tolol sambil mendongak ke 

atas.

Bersamaan dengan itu, Gahito meloncat 

turun dari atas pohon, dan langsung mener-

jang Husein dengan serangan mautnya. Kedua 

kakinya mengarah ke bagian leher dan perut 

Husein. Demikian kuatnya tenaga tendangan 

itu, sehingga sebelum serangan itu 

mengenai sasaran sudah terasa angin 

dahsyat menyambar ke arah lawan.

Husein terkejut dan segera meloncat 

mundur. Tepat ketika lawan mendaratkan 

kakinya di tanah, jagoan dari negeri Irak 

itu segera menerjang. Permadaninya menyam-

bar dahsyat ke arah dada lawan. Untunglah 

pendekar samurai itu selalu awas, sehingga 

walaupun diserang sangat mendadak dan 

cepat, masih dapat mengelak. Ia meloncat 

mundur dan bersalto beberapa kali di udara.

"Kurang ajar! Rupanya ada juga orang 

asing di sini." kata Husein sambil menatap 

Gahito dengan mata mendelik.

"Kita sama, kawan. Aku yakin kau datang 

dari negeri seberang, dari salah satu 

kerajaan di Teluk Parsi. Aku juga datang 

dari negeri lain, tepatnya dari negeri 

Matahari Terbit."

"Apa maksudmu datang ke daerah ini?"


"Jangan belagak bodoh, sobat. Jika kau 

bertanya apa maksud saya datang ke sini, 

maka jawabnya adalah sama seperti alasanmu 

datang ke daerah ini. Kau tentu sangat 

menginginkan patung itu, bukan?"

"Kurang ajar! Rupanya kau pun harus 

kusingkirkan dari muka bumi ini. Jangan 

harap kau bisa memilikinya selama aku masih 

berada di sini."

"Bangsat! Rupanya kau belum kenal 

siapa aku. Kucabut nyawamu biar tahu rasa 

kau."

"Kita sama-sama pendatang di negeri 

ini. Kenapa kita harus banyak omong? 

Cabutlah senjatamu, aku juga sudah 

mencabut senjataku. Mari kita selesaikan 

persoalan ini, sampai salah seorang di 

antara kita roboh bermandikan darah. 

Jangan kira aku mau menginjakkan kaki di 

negeri ini kalau menghadapi orang seperti 

kau aku takut," kata Gahito sambil mencabut 

sebilah samurai yang tergantung di 

pinggangnya.

"Aku sudah cukup lama mendengar 

kehebatan para samurai dari negerimu. 

Sayang sekali selama ini belum pernah ada 

yang sanggup menghadapiku. Pendekar di 

negerimu hanya pintar mengasah senjata, 

tapi tak mahir menggunakannya. Lebih baik



kau minta maaf padaku, aku akan 

memaafkanmu."

"Tutup mulutmu, bangsat? Awas 

serangan...!" Pendekar samurai itu 

menerjang Husein dengan dahsyat. Samurai 

ditangannya diputar cepat sekali sehingga 

menimbulkan sinar bergulung-gulung. Dan 

ketika tubuh sudah dekat ke arah lawan, 

samurai itu diayunkan dengan posisi 

menukik dari atas mengarah ke dada lawan.

Husein segera berkelit ke kiri dan 

ketika samurai lawan belum ditarik, jagoan 

dari Irak itu sudah mengayunkan 

permadaninya, hingga menyambar ke arah 

dada Gahito. Demikian cepatnya sambaran 

senjata lawan, hingga ujungnya masih 

mengenai kulit tubuh Gahito walaupun 

pendekar samurai itu sudah membantingkan 

tubuh.

Secepat kilat ia berdiri sambil 

mengelus kulit perutnya yang terasa perih.

"Ha-ha-ha, tak kusangka ada shogun 

yang demikian tololnya mengutus pendekar 

samurai yang kepandaiannya seperti ini un-

tuk merebut patung Ratu Shima." kata Husein 

dengan sombongnya.

"Bangsat! Demi dewa Matahati aku tidak 

akan menyerah di hadapanmu. Kau pasti 

menyesal telah mengucapkan kata-kata


hinaan seperti itu. Dan sebagai tebusannya 

adalah nyawamu sendiri!"

Gahitu mencabut samurainya yang satu 

lagi, hingga kedua tangannya telah 

meme-gang senjata. Lalu ia memasang 

kuda-kuda, dengan posisi kaki kiri di depan 

sedangkan kaki kanannya ditekuk. Sepasang 

matanya menatap lurus ke arah lawan tanpa 

berkedip. Agaknya pendekar samurai itu 

sedang mempersiapkan jurus-jurus mautnya.

Melihat perubahan lawan, Husien 

diam-diam agak terkejut juga. Kalau tadi ia 

memang benar-benar anggap remeh kepada la-

wan, ia kini mulai berhati-hati, karena 

tampaknya pendekar samurai itu sedang mem-

persiapkan serangan yang sangat 

berba-haya.

Katika Gahito menyerang dengan kedua 

senjata menyerang dari arah berlawanan, 

Husein segera memutar permadaninya hingga 

membentuk semacam benteng pertahanan yang 

sangat sulit ditembus senjata lawan,

Senjata kedua pendekar yang sedang 

bertarung itu berubah seperti banyak 

sekali karena cepatnya gerakan mereka. 

Tubuh Husein maupun Gahito pun kelihatan 

hanya berupa bayang-bayangan saja, 

berkelebatan di antara sela-sela ujung 

senjata lawan. Orang biasa jika 

menyaksikan pertarungan itu pasti tidak


akan bisa membedakan mana Husein dan mana 

Gahito.

Pertarungan itu sudah berlangsung sam-

pai enam puluh jurus. Namun tampaknya belum 

ada tanda-tanda pertarungan itu akan 

segera berakhir dalam waktu singkat. Namun 

mulailah terlihat bahwa dalam hal 

kecepatan gerak Husein sedikit kalah 

dibandingkan dengan Gahito. Sebaliknya 

pendekar samurai itu sedikit kalah dalam 

hal tenaga dalam. Itu sebabnya setiap kali 

adu tenaga, Gahito selalu keteter. Namun 

gerakannya yang lebih cepat memberikan

keuntungan lain. Apalagi karena ia sangat 

mahir memainkan kedua senjatanya, 

menyambar-nyambar dari segala penjuru dan 

mengincar bagian-bagian yang sangat 

berbahaya di tubuh lawan.

Rupanya keadaan itu membuat Husein 

sangat penasaran. Ia tidak sabar lagi, 

terutama karena ia lihat lawannya itu 

memiliki gerakan yang sangat lincah. Jalan 

satu-satunya baginya adalah mengadu 

tenaga. Di saat lawan terdorong mundur, ia 

akan melanjutkan serangan maut dengan 

permadaninya.

Husein sengaja menunggu lawan lebih 

dulu menyerang. Samurai di tangan kiri Ga-

hito yang menyambar bagian punggungya 

sengaja ia biarkan, sedangkan tangan


kanannya memutar permadani membeiit 

Samurai di tangan kanan lawan. Tepat ketika 

ujung samurai Gahito hampir menyentuh 

kulit tubuhnya, Husein bergeser sedikit 

dan pada saat yang hampir bersamaan, 

permadaninya membeiit samurai lawan yang 

satu lagi.

Permadani itu kemudian ditarik sekuat 

tenaga hingga tubuh Gahito terdorong ke 

depan. Saat itulah tangan kiri Husien 

menyambar dahsyat ke arah dada lawan.

"Augh...!" Kedua pendekar itu 

sama-sama menjerit kesakitan. Pukulan 

tangan kiri Husien mendarat cukup telak di 

dada Gahito, sedangkan ujung senjata 

pendekar samurai itu pun berhasil merobek 

kulit bahu Husein.

Keduanya sama-sama meloncat mundur 

dengan wajah berubah jadi pucat. Hampir 

saja dalam pertarungan maut itu keduanya 

kehilangan nyawa.

"Rupanya kau boleh juga, pendekar 

samurai. Terus terang selama ini belum 

pernah ada lawanku yang selamat dari 

serangan mautku. Kau boleh juga, sobat," 

kata Husein.

"Sama juga, kawan. Selama ini belum 

pernah ada yang berhasil mengelakkan 

serangan samuraiku," balas Gahito tak mau 

kalah.


"Benar! Dan untuk itu, kau perlu 

bersyukur karena masih bisa menghirup 

nafas kehidupan. Hanya beberapa saat lagi, 

serangan berikutnya akan membuatmu tidak 

berdaya. Sekarang sebutkanlah namamu dan 

jika kau mati di tanganku, dengan senang 

hati aku akan mengirim mayatmu ke daerah 

asalmu."

"Keluarkanlah semua ilmu yang kau 

miliki, leleki sombong. Aku tidak takut!"

Husein mundur beberapa langkah. 

Permadani yang tak pernah lepas darinya

yang merupakan senjata andalannya, 

dililitkan ke pinggangnya. Setelah itu, ia 

mengangkat kedua tangannya dan wajahnya 

pun ditengadahkan ke langit. Mulutnya 

komat-kamit, sehingga kumisnya yang lebat 

dan panjang itu bergerak-gerak, aneh dan 

terasa menciptakan sesuatu kekuatan gaib 

yang sangat berpengaruh.

"Hei, pendekar samurai. Lihat mataku! 

Ya, mataku. Kau akan menemukan sesuatu yang 

sangat menarik di mataku. Ya, benar! Kau 

akan tunduk padaku...."

Gahito menatap mata Husein. Dadanya 

berdebar tak karuan. Mata itu terasa 

memancarkan kekuatan dahsyat yang 

membuatnya terpesona dan menekan jiwanya 

untuk tidak memberikan perlawanan.


"Pendekar samurai, lihat kedua 

tanganmu. Kenapa kau memegang dua ekor ular 

yang sangat berbisa? Lihat ular di tanganmu 

sangat ganas dan siap mematuk kedua biji 

matamu!"

Seperti tidak sadar, Gahito melirik 

senjatanya. Alangkah terkejutnya ia karena 

yang tergenggam di tangannya bukanlah lagi 

samurai, melainkan dua ekor ular yang 

sangat berbahaya. Sadarlah pendekar 

samurai itu bahwa lawannya telah 

menggunakan ilmu sihir yang pengaruhnya 

sangat kuat dan jahat.

"Pendekar samurai, ular itu telah 

menyerangmu. Lihat, dia menyerang matamu. 

Lihat, pendekar samurai. Lihat ular itu. 

Kau akan mati dipatuknya."

Kedua ekor ular di tangan Gahito 

meronta-ronta dengan kekuatan yang luar 

biasa. Gahito semakin terjekut, karena 

ular itu seperti yang dikatakan Husein 

mulai berusaha mematuk kedua biji matanya. 

Pendekar samurai itu berusaha mengerahkan 

tenaga untuk menekan kedua ular itu agar 

tidak mematuk dirinya. Namun binatang itu 

sepertinya memiliki kekuatan luar biasa, 

sehingga Gahito harus berjuang mati-matian 

untuk menyelamatkan diri.

Dalam keadaan panik, Gahito masih 

sempat memutar otak. Hanya dua ekor ular,


kok bisa membuatku kelabakan? Sungguh

merupakan ilmu yang sangat jahat. Gahito 

menyadari bahwa itu adalah permainan sihir 

yang dapat mencelakakan dirinya jika tidak 

dapat diatasi. Ia sebenarnya tidak 

menguasai ilmu sihir seperti itu, tetapi 

dari gurunya ia pernah mendengar cara-cara 

membuyarkan pengaruh jahat itu. Maka 

Gahito segera menghimpun segenap tenaga 

dalamnya, kemudian berteriak nyaring. 

Suara teriakannya itu melengking dan 

mengandung kekuatan dahsyat sehingga 

terasa menggetarkan tanah di sekitarnya.

Pengaruh sihir Husein pun buyar. Kedua 

ekor ular yang ada di tangan kembali 

seperti sediakala, dua batang senjata 

samurai.

"Bedebah! Ilmu sihirmu hampir saja 

mencelakakan aku," kata Gahito dengan 

suara bergetar, karena masih terpengaruh 

oleh kejadian yang cukup mengerikan itu 

serta gejolak amarah karena merasa 

dipermainkan.

"Hebat kau, sobat! Benar-benar hebat! 

Aku salut padamu!" kata Husein dengan 

sungguh-sungguh.

"Kau jangan mengejekku, bangsat! Mari 

kita teruskan pertarungan ini sampai salah 

seorang di antara kita menemui ajalnya!"


"Sudahlah, sobat! Sebenarnya apa yang 

kita perebutkan? Lihat bocah tolol itu 

telah menghilang."

Gahito melirik ke tempat si Tolol tadi 

duduk berjongkok ketakutan. Memang benar, 

bocah tolol itu tidak ada lagi. Dan tadi 

bocah itu sepertinya menyembunyikan se-

suatu di balik bajunya. Mungkin saja yang 

disembunyikan itu adalah patung Ratu 

Shima.

"Aneh! Agaknya ia seorang pendekar 

yang memiliki ilmu tinggi. Tapi tadi 

tampaknya ia sangat ketakutan dan aku yakin 

ia itu pasti bocah tolol." kata Gahito yang 

rupanya setuju jika pertarungan itu tidak 

dilanjutkan lagi.

"Sobat, kita sama-sama pendatang di 

negeri ini. Tidak mustahil jika ada 

pendekar yang aneh seperti itu, pura-pura 

bodoh dan ketakutan padahal ilmunya 

tinggi."

"Ya, tampaknya memang begitu. Tadi 

ketika aku mencegatnya, ia berlari sangat 

kencang. Kalau begitu, kita sudah 

ditipunya mentah-mentah."

"Ayo, kita kejar. Lihat ceceran 

kotoran ini. Berarti ia lari ke arah 

pantai. Kita kejar sampai dapat!" teriak 

Husein sambil menunjuk kotoran berceceran 

yang mengarah ke pantai.


Kedua pendekar itu segera meloncat dan 

melesat dengan gerakan yang sangat cepat 

kearah pantai. Keduanya saling mendahului 

dan mengerahkan segenap kemampuan 

kecepatan larinya. Agaknya pertarungan 

mereka barusan masih meninggalkan rasa 

penasaran di hati kedua pendekar asing itu.

Baik Husein maupu Gahito masih 

penasaran dan diam-diam ingin menunjukkan 

kelebihannya.

***

EMPAT


Matahari mulai condong ke Barat. 

Cahaya jingga mentari di sore itu menyapu 

pantai. Dedaunan bergoyang-goyang 

bagaikan menari-nari dan tampak 

berkilau-kilau ditimpa sinar matahari. Di 

seberang sana kabut mulai turun, sehingga 

gugusan bukit-bukit kelihatan hanya 

bayang-bayangannya saja.

Angin yang berhembus hanya sepoi-sepoi 

saja dan gelombang besar tidak ada, se-

hingga laut di sore itu kelihatan bagaikan 

hamparan permadani biru. Seperti hamparan 

laut itu hanya menunjukkan bahwa ia tidak 

selamanya ganas dengan ombaknya yang siap


menghanyutkan perahu dan nelayan. Dan 

bahwasanya laut itu ganas semata-mata 

hanya karena tiupan angin kencang. Kalau 

tidak diganggu, laut tidak akan 

mengganggu! Laut menyimpan keindahan dan 

nafas sini yang sangat dalam, jika makin 

dihayati akan semakin terasa keindahannya. 

Dari situlah sering lahir inspirasi para 

pujangga untuk menulis karya sastra yang 

sangat indah.

Dan laut tak ubahnya perlambang 

perjalanan kehidupan manusia. Manusia 

mengarungi perjalanan hidupnya, 

kadang-kadang penuh cobaan dan rintangan. 

Ibarat seorang pengembara mengarunginya 

dengan biduk, dipermainkan ombak ganas. 

Tetapi seperti sekarang, orang dapat 

mengarunginya dengan tenang sambil 

menikmati indahnya hamparan laut dan 

pemandangan di pantai.

Sebuah perahu kecil tampak mengarungi 

laut itu dan perlahan-lahan mulai me-rapat 

ke dekat pantai. Perahu itu termasuk kecil, 

hanya berukuran sekitar tujuh kali dua 

meter. Di bagian haluan perahu tampak 

ukiran ular naga yang dicat dengan 

kombinasi warna merah, hijau dan hitam.

Melihat bentuk perahu kayu itu, 

dapatlah diyakini bahwa itu bukan hasil 

karya ahli-ahli ukir orang Jepara. Perahu


itu datang dari negeri asing dan hen-dak 

mendarat di Pantai Jepara. Sepasang remaja 

yang menumpangi perahu itu juga lain dari 

penduduk pribumi.

Si pemuda masih muda, baru berusia 

sekitar dua puluh lima tahun. Wajahnya 

putih bersih dan sangat tampan. Alis 

matanya yang tebal melengkung bagaikan 

golok panjang sungguh serasi dengan kedua 

bola matanya yang bersinar tajam dan 

berbinar-binar. Rambutnya dikuncir ke atas 

dan diikat dengan pita putih yang bagian 

ujungnya dibiarkan terurai panjang, 

sehingga berkibar-kibar jika ditiup angin. 

Melihat perawakan tubuhnya yang tegap dan 

pedang yang terselip di pinggangnya, 

pastilah dia seorang pendekar yang 

memiliki ilmu silat tinggi.

Gadis yang mendampingi pemuda tampan 

itu juga sangat cantik jelita. Rambutnya 

dikepang dua dengan pita merah. Wajahnya 

juga putih bersih dengan bentuk bulat 

telur. Wajahnya mirip sekali dengan pemuda 

di sampingnya. Agaknya mereka adalah kakak 

beradik yang baru datang dengan maksud 

hendak menunaikan tugas yang sangat 

penting.

Ya, sepasang remaja itu memang kakak 

beradik. Si pemuda yang tampan itu bernama 

Kwan Hong Lie, sedangkan dara cantik itu


bernama Kwan Giok Nio. Keduanya berasal 

dari daratan Tiongkok dari she (marga) 

Kwan. Dari nada pembicaraan kakak beradik 

itu dapat diduga bahwa keduanya sengaja

datang ke daratan Jepara untuk menunaikan 

tugas yang sangat penting dan penuh bahaya.

Mereka pun datang dengan tujuan yang 

sama seperti pendekar asing lainnya, yakni 

mencari patung Ratu Shima. Dengan surat 

wasiat yang tersembunyi di dalam rongga 

patung emas itu, mereka bermaksud 

memulihkan kekuasaan dinasti di bawah 

pimpinan Hung Hsin Tjuan dari pergerakan 

Tai Ping Tien Kuo melawan bangsa Manchu.

Rupanya riwayat patung Ratu Shima yang 

hidup di abad ketujuh pada masa berdirinya 

kerajaan Kalingga sampai juga ke daratan 

Tiongkok. Kabar itu sampai melalui para 

saudagar dan para pengembara yang pernah 

singgah di Pantai Jepara,

Sebelumnya, beberapa pendekar Tiong-

kok sudah pernah diutus ke Jepara untuk 

merebut patung emas tersebut. Namun entah 

karena apa utusan itu tidak berhasil, 

bahkan kembali pun tidak sehingga akhirnya 

hilang tak tentu rimbanya. Hal itu membuat 

para pendekar di sana merasa bahwa tugas 

seperti itu sangat berat. Apalagi menurut 

kabar, patung itu sudah lama jadi rebutan 

para pendekar dari berbagai penjuru yang


ilmunya sangat tinggi, di samping jagoan 

pribumi yang juga tidak kalah hebatnya.

Jadi kalau ilmunya tanggung-tanggung, 

kakak beradik itu tentulah tidak akan 

berani datang ke Jepara. Keduanya memang 

memiliki ilmu silat tinggi, terutama ilmu 

pedang yang sangat cepat dan kuat.

Kwan Hong Lie dan adiknya Kwan Giok Nio 

sebenarnya adalah anak petani desa di 

pinggir pantai sungai Huang Ho. Namun pada 

suatu hari, kedua. orang tua mereka tewas 

dalam penyerbuan pasukan bangsa Manchu. 

Kakak-beradik itu kemudian diasuh seorang 

pertapa di dalam sebuah gua di lereng 

gunung Cing Lin San. Di situlah selama 

hampir lima belas tahun keduanya menuntut 

ilmu silat yang sangat tinggi.

Setelah turun gunung, sepasang 

pendekar remaja itu menjadi kesohor karena 

sepak terjang mereka yang sangat hebat dan 

sikap kesatria yang tak mau berbuat jahat 

bahkan sebaliknya selalu membela kaum 

lemah dari perbuatan-perbuatan kejam.

Sewaktu diminta untuk mengarungi 

lautan luas ke Jepara untuk mencari patung 

Ratu Shima, keduanya segera setuju. 

Disamping karena ingin berbakti kepada 

bangsanya sendiri, keduanya juga ingin 

mencari pengalaman di negeri asing.


"Betulkah ini Pantai Jepara?" tanya 

Kwan Giok Nio memecah kesunyian.

"Ya,benar! Saya sudah mempelajari peta 

ini. Lihatlah, itu pasti gunung Muria," 

sahut Kwan Hong Lie dan kembali 

memperhatikan peta yang terpampang di 

hadapannya.

"Kalau begitu kita sudah sampai."

"Ya. Menurut buku maupun penjelasan 

yang telah kita dengar, di pulau ini dahulu 

berdiri sebuah kerajaan Hindu yang 

pertama. Sebuah kerajaan yang subur makmur 

diperintah seorang ratu yang sangat cantik 

dan arif bijaksana. Pengikut jejak Fa Hien 

juga menceritakan bahwa kotapraja kerajaan 

Kalingga diperkuat dengan pagar kayu. 

Istananya dibangun bertingkat dengan atap 

daun palma."

"Sungguh indah pemandangan di sini. 

Mari, kita turun saja," kata Giok Nio 

sambil memandang keadaan di sekelilingnya 

penuh kagum.

Kedua pendekar muda itu kemudian turun 

dari perahu. Hong Lie menarik perahu lebih 

ke pinggir, lalu menambatkannya ke 

sebatang pohon.

"Tapi sebaiknya kita istirahat saja 

dulu. Kita perlu membahas rencana kita 

lagi. Ingat, adikku, kita tidak boleh 

gagal!"


"Ya, aku yakin kita pasti berhasil!"

Keduanya duduk di bawah pohon rindang, 

sambil bercakap-cakap. Giok Nio membuka 

bungkusan perbekalan mereka karena 

keduanya sudah merasa lapar. Sambil makan, 

Hong Lie kembali bercerita lebih banyak 

mengenai pulau yang mereka datangi.

"Selain yang kuceritakan tadi, tahta 

raja dibuat dari gading. Pada saat itu 

kerajaan Kalingga memang berada pada zaman 

keemasannya."

"Lalu dari mana kita memulai pencarian 

terhadap patung Ratu Shima itu?"

"Kau tak perlu khawatir. Kita 

mempunyai buku petunjuk yangpasti. Menurut 

tulisan peninggalan pengikut Fa Hien ini,

patung itu dipendam di lereng gunung Mu-ia, 

kira-kira seribu langkah dari tepi pantai 

ini."

"Kalau begitu sebaiknya kita segera 

bergerak mencarinya. Siapa tahu ada orang 

lain yang mendahului kita," kata Giok Nio 

yang agaknya memiliki sifat kurang sabaran 

dibandingkan kakaknya.

"Giok Nio, kita sekarang berada di ne-

geri yang baru pertama kali ini kita 

datangi. Selain harus sabar, kita juga 

perlu hati- hati. Kita tak boleh bergerak 

begitu saja. Saat ini kondisi tubuh kita 

cukup lemah setelah berhari-hari berlayar.


Kita perlu istirahat untuk memulihkan 

tenaga agar bisa siap sedia menghadapi 

segala kemungkinan."

Giok Nio menatap wajah kakaknya 

sejenak, lalu ia memalingkan muka ke arah 

lereng gunung di sebelah kiri mereka. 

Gunung itu hijau dengan pepohonan yang 

tinggi dan besar. Tidak terdapat suara 

bising, selain desah riak laut dan dedaunan 

dihembus angin. Lama gadis itu menatap ke 

arah lereng gunung. Matanya yang jernih dan 

mencorong tajam bagaikan mata burung hong 

itu jarang berkedip.

Lereng gunung Muria itu sangat luas dan 

hutannya pun lebat. Di situlah katanya Ratu 

Shima dipendam. Tetapi apakah kabar itu 

benar atau hanya isapan jempol belaka belum 

bisa dipastikan. Jika pun berita itu benar 

adanya, tidak tertutup kemungkinan orang 

lain sudah lebih dulu menemukannya. Akh... 

Giok Nio menghela nafas panjang beberapa 

kali. Wajahnya yang cantik berubah agak 

muram, karena khawatir usaha mereka tidak 

berhasil.

Kalau mereka misalnya tidak berhasil 

mendapatkan patung itu, ia dan kakanya 

tentu akan menjadi malu pulang ke negerinya 

tanpa membawa apa-apa. Apa kata orang 

nanti? Mereka berdua tentu akan 

diremehkan, tanpa mau perduli halangan apa


saja yang dihadapi kedua kakak beradik itu 

selama berada di Jepara.

Agaknya Hong Lie menyadari perubahan 

sikap adiknya itu. Pemuda itu dapat 

menyelami perasaan adiknya. Ia sendiri pun 

sebenarnya merasa cemas juga kalau tugas 

mereka tidak berhasil. Tetapi sebagai 

pendekar yang sikapnya sudah lebih dewasa, 

ia dapat mengesampingkan perasaan cemas. 

Kenapa mesti khawatir? Bukankah mereka 

belum mencoba? Berhasil atau tidaknya, itu 

urusan nanti. Yang penting mereka berusaha 

sekuat mampu mereka. Toh dalam hidup ini 

tidak semua usaha itu berhasi?. Ada kalanya 

gagal.

Itu sudah menjadi kenyataan seperti 

halnya adanya panas dan dingin. Ada 

keberhasilan ada pula kegagalan. Ada suka 

ada pula duka. Datang silih berganti dalam 

kehidupan seseorang. Oleh karena itu kita 

harus bisa menerima kenyataan itu secara 

wajar dan apa adanya. Keberhasilan jangan 

menjadikan timbulnya kesombongan. 

Sebaliknya kegagalan jangan membuat kita 

putus asa.

"Giok Nio, tampaknya pikiranmu agak 

kalut sekarang? Apakah yang kau pikirkan? 

Agaknya kau khawatir kalau-kalau kita 

tidak berhasil mendapatkan patung itu,"


kata Hong Lie setelah terdiam beberapa 

saat.

"Ah, tidak. Aku tidak apa-apa, kakak 

Hong Lie," sahut gadis itu sambil berusaha 

tersenyum. Tetapi karena hatinya masih be-

lum juga tenang, wajahnya tetap saja terli-

hat muram.

"Sudahlah, Giok Nio. Kita tak perlu 

terlalu memikirkannya. Lihat, matahari 

hampir tenggelam di ufuk Barat. Sebentar 

lagi malam akan tiba. Sebaiknya kita 

mencari tempat beristirahat untuk tidur, 

supaya besok pagi kita dapat memulai 

pencaharian kita dengan tubuh segar."

"Ya, kakak Hong Lie. Tapi pulau ini sa-

ngat indah, ya? Keindahan alam di sini 

seolah-olah membelai-belai jiwaku. 

Sepertinya memanggilku untuk tinggal di 

sini untuk selamanya."

"Ah, agaknya kau terlalu lelah, 

adikku. Ayolah! Kita cari tempat 

istirahat. Saya lihat di sini banyak sekali 

pohon besar. Kita bisa tidur di dahannya. 

Mudah-mudahan saja malam ini hujan tidak 

turun."

Kedua pendekar muda itu kemudian 

berjalan masuk pinggir hutan. Mereka 

mencari pohon yang paling baik untuk tempat 

istirahat. Setelah menemukannya, kedua


meloncat dari bawah sampai ke dahan pohon 

itu.

Gerakan pendekar Tiongkok itu sangat 

ringan dan cepat, membuktikan bahwa ilmu 

meringankan tubuh mereka sudah mencapai 

kesempurnaan.

Di dahan pohon yangcukup besar. Hong 

Lie dan Giok Nio kemudian duduk bersila 

dengan posisi punggung tegak lurus. Kedua 

tangan dilipat ke dada. Perlahan-lahan 

kedua pendekar itu memejamkan mata dan 

menarik nafas panjang, kemudian 

menghembuskannya secara perlahan-lahan 

pula. Itulah permulaan siulin (semedi) 

mereka untuk menenangkan perasaan serta 

memulihkan tenaga setelah berhari-hari 

mengarungi samudra yang sangat luas.

Pada waktu yang bersamaan, si Tolol se-

dang berjalan sendirian di lereng gunung 

Muria sebelah Selatan. Anak itu masih 

menyembunyikan patung Ratu Shima di balik 

bajunya. Sebentar-sebentar anak itu 

melirik ke belakang, ke kiri dan kekanan, 

takut kalau-kalau ada yang mengejar dan 

hendak merampas patung itu.

Akan tetapi setelah cukup lama 

berhari-hari, kemudian berjalan agak 

santai dan tidak ada lagi yang mengejar, 

anak itu merasa aman dan mulai percaya


bahwa tidak akan ada lagi yang akan 

mengganggunya.

"Aku sudah sangat jauh dari tempat 

orang jahat itu tadi. Di sini tentu tidak 

akan ada orang jahat lagi. Biarlah 

orang-orang jahat itu mampus. Kerjanya 

hanya menggangguku saja," kata hati si 

Tolol kesal juga mengingat orang-orang 

jahat yang selalu berusaha merebut patung 

itu.

Tanpa disadari si Tolol, ada seorang 

pendekar asing yang sudah sejak tadi secara 

diam-diam menguntitnya. Pendekar itu 

sebenarnya tidak begitu tertarik kepada si 

Tolol. Sebab apakah yang bisa diharapkan 

dari anak yang tampak bloon itu? Tetapi 

karena si Tolol tampaknya sedang 

menyembunyikan sesuatu dan sangat takut 

ketahuan orang lain, lelaki itu menjadi 

tertarik dan diam-diam menguntit si Tolol.

Ketika si Tolol hendak berlari 

kembali, lelaki itu meloncat dan langsung 

menghadang di hadapan anak itu. Si Tolol 

sangat terkejut, dan karena sangat 

ketakutan langsung berlutut 

menyembah-nyembah dengan wajah pucat pasi.

"Ampun, tuan! Jangan bunuh aku. Aku 

takut mati, tuan...." kata anak itu.

"Hai, anak bego! Lihat ke sini!" bentak 

lelaki itu dengan suara mengguntur.


Dengan sangat ketakutan, si Tolol 

mengangkat wajah. Maka tampaklah oleh anak 

itu seorang lelaki setengah baya berdiri 

berkacak pinggang sambil menatapnya dengan 

mata melotot merah.

Laki-Iaki itu berperawakan tinggi dan 

tegap. Rambutnya diikat dengan sepotong 

kain. Dagunya agak lebar, dengan kumis 

tebal panjang dan melengkung sampai 

ketulang pipinya. Di pinggangnya terselip 

sebilah golok panjang. Maka makin tak 

karuanlah perasaan si Tolol bahkan nyaris 

terkencing-kencing kembali di celana.

"Hei, lu jadi anak jangan kayak kodok 

gitu. Lu tahu nggak siapa gue nih? Biar lu 

tahu, gua nih Mat Caplang. Jagoan Betawi 

nomor satu, nih die orangnya! Lu kalau 

berani macem-macem, gue embat sampai 

mampus. Apaan tuh yang lu sembunyiin?"

"Am... ampun, Oom. Jangan marahi aku, 

jangan pukul."

"Pokoknya gue pengen lihat dulu, lu 

lagi sembunyiin ape di balik bero lu!" 

Dengan kasar. Mat Caplang menepiskan 

tangan si Tolol kemudian menarik baju anak 

itu. Alangkah terkejutnya pendekar itu 

ketika melihat sebuah patung emas 

disembunyikan di balik baju anak itu.

"Buangsat, lu! Dasar tikus botak lu! 

Rupanya lu orang yang umpetin itu patung.


Susah-susah gue selama ini mencarinya. 

Ha-ha- ha! Ape kate gua kemarin. Gue pasti 

berhasil! Tuh orang di kampung gua pasti 

kaget ngeliat gue ntar pulang bawa patung

Ratu Shima," kata Mat Caplang sambil 

tertawa-tawa kegirangan.

Lelaki itu pun rupanya sudah cukup la-

ma mencari-cari patung Ratu Shima. Kalau 

pendekar itu tidak memiliki ilmu kesaktian 

tinggi, tentulah ia tidak akan berani 

menginjakkan kakinya di daerah Jepara. 

Sebab para pendekar di Betawi pun sudah 

tahu bahwa patung Ratu Shima telah menjadi 

perebutan para jagoan, termasuk dari 

negeri seberang. Mat Caplang, demikian 

nama pendekar Betawi itu hendak merebut 

patung Ratu Shima atas perintah seorang 

tuan tanah yang kaya raya yang ingin 

memiliki rahasia kelanggengan tahta, ia 

dan anak cucunya kelak dengan adanya surat 

wasiat itu diharapkan mampu menguasai 

tanah-tanah di daerah Betawi.

Mat Caplang sudah cukup lama dikenal 

sebagai pendekar yang sangat sakti di 

kampung halamannya. Namanya tersohor ke 

delapan penjuru angin di daerah Betawi. 

Banyak penduduk yang meyakini lelaki 

berkumis tebal dan melingkar itu merupakan 

pendekar paling sakti di daerahnya.


Ketika tuan tanah di kampungnya

memintanya merebut patung Ratu Shima 

dengan imbalan yang sangat banyak, Mat 

Caplang tanpa pikir panjang lagi langsung 

menerima tawaran itu. Apalagi tuan tanah 

itu cukup pintar memancing dengan 

mengatakan sebagai pendekar yang kesohor 

masa hanya beraninya di kampung halamannya 

saja. Dan rupanya Mat Caplang gampang juga 

tersinggung harga dirinya. Merasa dirinya 

ditantang untuk menunjukkan kebolehannya, 

hatinya menjadi panas dan berjanji akan 

mempertahuhkan nama baiknya untuk merebut 

patung itu.

Ketika melihat patung itu berada di ta-

ngan seorang bocah tolol, tak terkatakan 

betapa girangnya hati Mat Caplang. Tanpa 

ber-usah payah bertempur dengan pendekar 

lain, ia ternyata sudah bisa memiliki 

patung itu.

"He-he-he... aku akan jadi kaya raya 

sekarang...." katanya sambil mengulurkan

tangan hendak merampas patung itu.

"Berhenti…!!!”

Mendadak terdengar suara bentakan yang 

dikeluarkan sambil mengerahkan tenaga 

dalam yang sangat kuat. Mat Caplang 

menghentikan gerakannya. Ia berpaling dan 

tampaklah olehnya seorang lelaki asing


berdiri di tempat itu sambil berkacak 

pinggang.

Lelaki yang baru datang itu adalah Hu-

sein sendiri. Tadi kebetulan saja ia 

berlari tak jauh dari tempat itu untuk 

mengejar si tolol. Pendekar dari negeri 

Irak itu tertarik sekaligus curiga 

mendengar seseorang membentak-bentak. 

Husein segera meloncat lebih dekat, dan 

melihat Mat Caplang hendak merampas patung 

Ratu Shima. Takut patung yang sangat 

diidam-idamkannya itu jatuh ke tangan 

pendekar lain, Husein segera meloncat dari 

balik semak- semak.

"Hei, siape lu?" bentak Mat Caplang 

sambil menggenggam hulu goloknya. Husein 

tidak segera menjawab. Ia tertawa 

terpingkal-pingkal seolah-olah sangat 

anggap remeh pada Mat Caplang. Jenggot dan 

kain sorban di kepalanya sampai 

bergoyang-goyang. Namun diam-diam 

pendekar berhidung mancung itu telah 

mempersiapkan permadaninya untuk 

menyerang Mat Caplang secara tiba-tiba. Ia 

sudah bertekad untuk merobohkan jagoan 

Betawi itu secepat mungkin agar ia bisa 

melarikan diri. Bagaimanapun juga, 

pendekar lainnya tidak mustahil tiba di 

tempat itu dalam waktu yang tidak terlalu


lama lagi. Kalau itu terjadi, akan tipislah 

harapannya merebut patung emas itu.

"Hei, lu orang asing jangan 

macem-macem di hadapan gue. Jenggot lu yang 

kayak jenggot kambing itu ntar gue cabut. 

Lu orang asing jangan coba-coba nantangin 

gue. Nih die orangnya Mat Caplang yang 

kesohor ke segela penjuru. Lu sebaiknya 

angkat kaki dari sini, atau jidat lu gue 

tebas pake golok gue."

"Maaf, sobat. Kita sudah sama-sama 

berada di tempat ini. Kau tentu hendak 

merampas patung dari balik anak tolol itu. 

Tapi jangan kira aku mau tinggal diam. 

Selama aku masih ada di sini, jangan harap 

ada orang lain yang bisa memilikinya."

"Busyet! Rupanye ade juga yang berani 

nantangin gue. Sekarang bilangin siape 

nama lu, biar ntar gue kagak nyesel bunuh 

lu orang sableng!"

"Aku adalah Husein, datang dari negeri 

Irak. Sekarang aku peringatkan agar kau se-

gera meninggalkan tempat ini. Kalau masih 

keras kepala, jangan salahkan jika aku 

terpaksa menurunkan tangan kejam."

"Buangsat! Nih, rasain serangan gue!" 

sehabis berkata begitu, Mat Caplang segera 

menerjang Husein. Ia mengangkat goloknya 

tinggi-tinggi siap membabat tubuh lawan,


sedangkan tangan kirinya dikepal menyambar 

ke arah dada Husein.

Melihat serangan itu sangat berbahaya, 

Husein segera memutar permadaninya untuk 

melindunginya dari serangan lawan. Ia 

berkelit mengelakkan pukulan lawan, 

sementara permadaninya diayunkan 

menangkis golok Mat Caplang.

Segeralah terjadi pertarungan 

dahsyat. Golok Mat Caplang berkelebat 

membentuk gulungan sinar putih dan hitam, 

mengincar tubuh lawan dari segala penjuru. 

Sedangkan permadani Husein rupanya tidak 

hanya ampuh sebagai pertahanan, tetapi 

juga berbahaya untuk lawan. Permadani yang 

lemas itu kadang-kadang berubah jadi keras 

menghantam bagian-bagian vital di tubuh 

Mat Caplang.

Sifat seseorang memang mempengaruhi 

gerakannya sewaktu bertarung. Demikian 

halnya dengan Mat Caplang tampak sangat 

beringas dan bernafsu sekali menjatuhkan 

lawan secepat mungkin. Mungkin hal itu ka-

rena selama ini ia jarang menghadapi lawan 

tangguh. Dan di kampungnya pun, pendekar 

Betawi itu sudah dianggap orang sebagai 

jagoan paling hebat.

Sekarang ia pun ingin menunjukkan 

bahwa menghadapi siapa pun ia tetap paling 

hebat. Masa menghadapi orang asing yang


tampak agak alim dan hanya memegang senjata 

permadani itu ia tidak kuat. Bagaimanapun 

juga, ia harus memenangkan pertarungan 

itu, makin cepat makin baik. Dan ilmu 

pendekar Betawi ini memang luar biasa. 

Gerakannya cepat dan kuat. Jika ia 

melakukan pukulan jarak jauh dan dapat 

dielakkan lawan, maka tanah di sekitar tem-

pat itu menjadi terkuak terkena hantaman 

pukulannya.

Husein sendiri hampir tidak punya 

kesempatan lagi melakukan serangan 

balasan. Makin lama ia makin terdesak, 

bahkan baju di bagian punggung dan 

lengannya sudah sobek terkena sabetan 

golok lawan. Itu terjadi karena dalam 

keadaan terdesak ia mencoba membalas 

menyerang dengan gerak yang penuh tipu 

daya. Namun rupanya Mat Caplang tidak hanya 

omohgannya saja yang besar. Selain dapat 

mengelak, ia malah mampu menyerang dengan 

jurus yang lebih licik lagi hingga nyaris 

mencelakakan pendekar Irak itu.

Husein pun mulai berpikir bahwa dalam 

pertarungan itu ia sewaktu-waktu bisa 

menghadapi kemungkinan yang paling buruk. 

Permainannya pun lebih terpusat pada 

pertahanan diri dan menunggu kesempatan 

yang baik, siapa tahu musuhnya itu lengah 

karena merasa berada di atas angin.


Kesempatan yang ditunggu-tunggu Hu-

sien akhirnya tiba juga. Mat Caplang 

menerjangnya dengan dahsyat, tetapi 

pertahanannya sedikit agak terbuka. Husein 

menunduk mengelakkan senjata lawan yang 

meluncur cepat sekali ke arah lehernya, dan 

pada yang hampir bersamaan, permadani di 

tangannya menyambar dari samping.

Mat Caplang tidak sempat lagi menarik 

goloknya. Untuk mundur pun ia tak mungkin 

lagi. Karena itu ia segera mengerahkan

tenaga dalamnya untuk melindungi perutnya 

dari sambarang senjata lawan. Dan tepat 

ketika permadani Husein menghantam 

perutnya, tangan kiri Mat Caplang pun 

berhasil pula memukul secara telak dada 

musuhnya itu.

"Augh...!" kedua pendekar itu sama-

-sama menjerit kesakitan. Tubuh mereka 

sama-sama terdorong mundur beberapa 

lang-kah karena kuatnya hantaman lawan.

***

LIMA


Mat Caplang merasa lambungnya panas 

bagaikan diaduk-aduk. Untunglah tadi ia 

melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam


sehingga pukulan lawan tidak sampai 

mem-buatnya menderita Juka dalam yang 

parah. Husein sendiri juga mengalami luka 

dalam yang cukup serius. Ia memuntahkan 

sedikit darah kehitam-hitaman dengan wajah 

yang berubah jadi pucat. Masih untung 

baginya pukulan tangan kiri Mat Caplang 

yang menghantam dadanya tidak dengan 

pengerahan tenaga dalam sepenuhnya, karena 

dilakukan dalam posisi yang jotrang 

menguntungkan. Kalau tidak demikian 

keadaan pastilah semakin parah lagi.

Melihat keadaan lawannya itu, Mat 

Caplang tertawa kegirangan, walaupun 

lambungnya masih terasa sakit.

"Gue kagak nyangka lu orang asing 

ilmunya hanya segitu. Ngapain lu nginjekin 

kaki di sini kalau ilmu lu cume gitu aje? 

Katanya mau ngerebut patung Ratu Shima. 

Kalau ilmu lu hanya gitu- gitu saja mana 

bisa? Mendingan lu pulang belajar ilmu 

silat lagi," kata Mat Caplang dengan nada 

mengejek.

"Kau memang hebat, kawan!" kata Husein 

geram. Tetapi karena pada dasarnya ia 

memang memiliki sikap yang polos, ia 

terpaksa merasa mengakui keunggulan lawan. 

"Tapi jangan kira aku sudah kalah."


"Heh, jadi lu masih punya nyali 

ngelawan gue? Gue mampusin juga lu, 

sialan!"

"Sahabat, orang-orang di negeri saya 

punya prinsip, selama bisa bergerak 

berarti tidak ada alasan untuk menyerah. 

Dan kalah menang adalah hal biasa dalam 

pertarungan. Ada kalanya yang menang itu 

jadi kalah dan yang kalah itu jadi menang. 

Seperti golok yang juga bisa jadi ular. 

Lihat, sebentar lagi senjata di tanganmu 

itu akan berubah jadi ular dan akan mematuk 

matamu!" dalam ilmu silat, ia tidak akan 

mampu mengatasi lawan. Karena itu, 

diam-diam ia mulai menggunakan ilmu 

sihirnya. Bibirnya komat kamit dan matanya 

memancarkan sinar yang sangat aneh, yang 

mengandung kekuatan untuk memaksa bathin 

lawan untuk takluk.

Mat Caplang terkejut juga menyaksikan 

sinar mata Husein. Dan ia makin terkejut 

lagi manakala merasakan golok di tangannya 

bergerak bagaikan meronta-ronta. Pendekar 

Betawi itu melirik senjata di tangannya. 

Benar saja, golok itu telah berubah jadi 

ular yang mulai meronta-ronta hendak me-

matuk kedua biji matanya.

"Busyet lu, monyet. Lu pakai ilmu 

siluman," kata Mat Caplang terkejut.


"Itu bukan ilmu siluman, kawan. Itu ke-

nyataan. Lihatlah, ular itu akan segera me-

matuk matamu. Ya, matamu akan dipatuknya. 

Diamlah, kawan. Biarkan matamu di-patuk 

ular itu!"

"Jangkrik, lu! jangan lu kirain ilmu 

siluman kayak gini mempan ama gua. Lihat, 

ilmu lu kagak ada gunanya!" Mat Caplang 

segera mengerahkan tenaga batinnya untuk 

membuyarkan ilmu sihir lawan.

Pendekar Betawi itu memejamkan mata 

sambil menghela nafas dalam-dalam. 

Laki-laki itu sebenarnya tidak bisa 

menggunakan ilmu sihir. Namun sebagai 

pendekar yang telah berpuluh-puluh tahun 

berkelana dalam dunia persilatan, ia tahu 

mengatasi ilmu jahat seperti itu. 

Menghadapi ilmu seperti itu, seseorang 

tidak boleh panik, karena pengaruhnya akan 

semakin kuat dan bisa mencelakakan 

korbannya. Karena itu, Mat Caplang segera 

menenangkan perasaan dan ketika ia

berteriak dengan suara mengguntur, 

pengaruh ilmu sihir itu pun buyar. Ular di 

tangannya kembali seperti sedia kala, 

menjadi golok.

Melihat ilmu sihirnya telah buyar, Hu-

sein menjadi terkejut. Ia kembali 

menghadapi kenyataan bahwa ilmunya itu 

tidak bisa mencelalakan lawan, seperti


ketika ia bertarung dengan Gahito. Ada rasa 

cemas dan kesal terpancar di wajah lelaki 

itu. Cemas karena tampaknya ia tidak akan 

bisa lagi memenangkan pertarungan itu, dan 

kesal karena ilmu sihirnya tidak bisa 

mempengaruhi lawan.

Mat Caplang sendiri bertambah marah 

karena merasa dirinya sempat dipermainkan 

lawan. Ia menggenggam goloknya lebih erat 

dan mempersiapkan serangan berikutnya. 

Melihat sorot matanya yang merah, agaknya 

ia sudah bertekad akan menghabisi nyawa 

lawannya. Namun ketika Mat Caplang hendak 

menyerang, mendadak Husein berseru:

"Hei, tunggu, dulu kawan! Lihat, bocah 

botak itu telah lenyap. Ia tidak ada lagi 

di sini. Dia pasti sudah melarikan patung 

itu."

"Busyet! Kenapa gue kagak ngeliat 

tadi?" ujar Mat Caplang celingukan 

mencari-cari si Tolol yang ternyata telah 

menghilang. Ketika kedua pendekar itu 

bertarung mengerahkan segala ilmunya, anak 

itu menjadi girang. Ini kesempatan baik, 

pikirnya lalu segera berlari meninggalkan 

arena pertarungan itu. Tubuhnya berkelebat 

bagaikan anak panah, sehingga dalam waktu 

singkat sudah jauh dari lereng gunung itu.


"Sobat, tak ada gunanya kita 

melanjutkan pertarungan ini. Anak itu 

sudah kabur," kata Husein.

"Bilangin aja lu takut ngeliat golok 

gue. Coba lu kagak nongol disini, gue pasti 

sudah bisa bawa pulang itu patung. Dasar 

setan emang lu orang. Kerjanya nyampurin 

urusan orang."

"Saya kira bukan hanya kita saja yang 

menginginkan patung itu, kawan. Banyak, 

banyak sekali. Sebaiknya kita mengejar 

anak itu sampai ketemu. Siapa tahu orang 

lain mendahului kita."

"Jadi lu kagak berani lagi ngelawan 

gue?"

"Maaf, kawan. Aku harus pergi. Sampai 

jumpa!" Sehabis berkata begitu, Husein me-

loncat pergi dan dalam waktu singkat tu-

buhnya telah lenyap di balik pepohonan.

"Awas lu! Kalau ketemu ama gue lagi, 

jangan harap bisa hidup. Kali ini gue masih 

maafin lu, tikus busuk!" teriak Mat Caplang 

geram. Ia pun segera meloncat pergi me-

ninggalkan tempat itu. Sepanjang jalan 

yang dilaluinya, pendekar Betawi itu tak 

henti-hentinya mgngomel karena gagal 

memiliki patung Ratu Shima. Gara- gara 

orang asing itu, katanya dalam hati.

Akan tetapi, kemudian pendekar Betawi 

itu menjadi ragu-ragu. Apa memang betul


patung yang ada di tangan bocah botak itu 

adalah patung Ratu Shima? Bagaimana bisa 

patung yang sangat berharga dan 

diperebutkan para pendekar itu jatuh ke 

tangan bocah tolol? Orang yang bisa 

merebutnya tentulah bukan orang 

sembarangan. Sedangkan anak itu tampaknya 

hanya bocah yang tak tahu apa-apa. Melihat 

Mat Caplang saja sudah gemetaran dengan 

wajah pucat pasi.

"Jangan-jangan aku salah lihat, atau 

patung itu hanya kebetulan saja mirip 

dengan patung Ratu Shima." kata hati Mat 

Caplang sambil terus berlari.

Hari sudah mulai gelap. Matahari sudah 

kembali ke peraduannya. Suasana di sekitar 

gunung Muria semakin sepi. Tak terdengar 

lagi suara burung-burung berkicau. Yang 

terdengar hanya suara jangkrik 

bersahut-sahutan, sehingga udara di 

sekitar gunung itu terasa dipenuhi 

nyanyian jangkrik. Terasa gaduh, tapi 

sekaligus menciptakan suasana yang sunyi.

Mat Caplang terus berlari menuju desa 

terdekat untuk mencari rumah penginapan. 

Wajah lelaki berkumis melengkung itu masih 

tetap keruh. Matanya merah memancarkan 

rasa penasaran yang sangat sulit 

dihapuskan dari dalam hati.


"Gue harus berhasil. Jangan dibilang 

nama gua Mat Caplang kalau gue kagak mampu

ngerebut itu patung," kata Mat Caplang 

bicara pada dirinya sendiri.

Memang demikianlah adanya kalau hati 

sudah diliputi rasa penasaran. Pikiran 

tidak tenang dan selalu kesal pada diri 

sendiri. Dan kalau hati sudah dikuasai 

nafsu untuk memiliki, segala cara pun akan 

ditempuh agar maksud hatinya tercapai. 

Tidak perduli jika harus mengorbankan 

kepentingan atau bahkan nyawa orang lain. 

Tidak peduli apakah perbuatannya itu benar 

atau salah.

Agaknya itulah yang terjadi pada diri 

para pendekar di daerah Jepara saat ini. 

Mereka saling memperebutkan patung Ratu 

Shima yang di dalamnya tersimpan surat 

wasiat berisi rahasia keabadian tahta 

serta rahasia kecantikan.

Orang-orang percaya, dengan surat 

wasiat itu mereka akan mampu 

mempertahankan kedudukannya menjadi 

langgeng. Juga dapat dijadikan resep 

kecantikan yang tiada duanya di muka bumi 

ini, sehingga yang sudah tua dan keriputan 

pun bisa menjadi cantik muda kembali. 

Kehebatan yang dijanjikan surat wasiat 

itu, seolah-olah telah menutup mata batin 

para pendekar. Padahal kalau dipikir-pikir


rahasia itu belum tentu sesuai dengan apa 

yang dibayangkan para pendekar.

Demikian banyaknya pendekar yang 

memperebutkannya, dan nantinya yang bisa 

memilikinya hanyalah satu pihak saja. Yang 

lainnya hanya bisa gigit jari. Perjuangan 

dan pengorbanan mereka selama ini akan 

sia-sia, bahkan dalam perebutan itu, 

mungkin beberapa orang di antaranya akan 

menemui ajal. Alangkah sia-sianya jerih 

payah mereka nanti. Agaknya inilah yang 

kurang disadari tokoh-tokoh dari dunia 

persilatan itu.

Mereka lebih cenderung berbicara dari 

segi harga diri dan ambisi daripada 

pemikiran yang realistis. Bukan maksudnya 

untuk menghalangi orang berusaha dan 

berjuang. Tetapi apakah tidak terlalu 

berlebihan jika sepasang pendekar muda 

dari Tiongkok Kwan Hong Lie dan Kwan Giok 

Nio misalnya datang sedemikian jauhnya 

hanya untuk memperebutkan patung Ratu 

Shima? Apalagi maksud mereka adalah untuk 

mencari rahasia kelanggengan tahta agar 

dapat memenangkan pertempuran melawan 

bangsa Manchu. Seyogyanya mereka berbenah 

diri, mengatur strategi dan rencana yang 

matang daripada sekedar mengharapkan surat 

wasiat.


Demikian juga halnya nenek tua Nyi Peri 

yang sangat berambisi memiliki rahasia 

surat wasiat Ratu Shima dengan maksud agar 

dirinya yang sudah tua dan keriputan 

menjadi cantik lagi. Sepertinya ia hendak 

menentang takdir bahwa ketuaan lumrah 

adanya dan harus dihadapi siapa pun tanpa 

terkecuali.

Akan tetapi seperti yang dikatakan di 

atas, kalau hati sudah dikuasai nafsu dan 

ambisi yang berlebihan, mata bathin sering 

menjadi tertutup. Berbagai tokoh dari 

dunia persilatan telah terjun ke kancah 

perebutan patung Ratu Shima, baik yang 

berasal dari Pulau Jawa maupun dari negeri 

seberang lautan. Bagaimana akhir dari 

perebutan itu memang masih panjang dan 

akhirnya waktu juga yang akan bicara.

Waktu terus berputar, perlahan namun 

pasti. Malam telah berlalu. Sinar mentari 

yang lembut menyapu pepohonan di gunung 

Muria. Burung-burung berkicau merdu sambil 

terbang dari dahan yang satu ke dahan 

lainnya.

Para petani mulai berangkat ke sawah 

dan ladang masing-masing, sedangkan para 

pengrajin mulai menekuni ukiran-ukiran 

kayu jatinya. Anak-anak tampak bermain 

dengan sangat riang gembira sambil


berteriak-teriak. Semuanya berjalan 

seperti biasa-nya tidak banyak perubahan.

Akan tetapi, di Pantai Jepara sekarang 

telah hadir sepasang pendekar muda yang 

datang dari daratan Tiongkok. Keduanya se-

karang sudah selesai sarapan pagi dan 

bersiap-siap memulai perjalan mereka untuk 

mencari patung Ratu Shima

"Sekarang adalah saat air pasang untuk 

pesisir Utara Pulau Jawa. Ini sesuai dengan 

tulisan peninggalan pengikut Fa Hsien, 

seribu langkah dari tepi pantai pada saat 

air pasang ke arah utara puncak gunung Mu-

ria," kata Hong Lie sambil memperhatikan 

air laut yang sedang menghempas-hempas di 

pantai.

"Ya, kita beruntung. Kedatangan kita 

tepat dengan air pasang. Mudah-mudahan sa-

ja nanti kita tetap beruntung." sahut Giok 

Nio penuh harap.

"Saya juga sangat berharap begitu. 

Walaupun begitu, kita tentunya sudah siap 

menghadapi segala kemungkinan. Sekarang, 

mari kita berangkat. Kau bantu aku 

menghitung langkah menuju arah puncak 

gunung itu. Ingat Giok Nio, kau jangan sam-

pai salah menghitung. Hitungan yang salah 

berarti menemukan tempat yang salah."

"Baiklah," kata Giok Nio.


Kedua kakak beradik itu kemudian mulai 

melangkah dan menghitung dari pantai, 

batas antara air laut dengan pasir. 

"Satu... dua... tiga... empat...." Sambil 

mengikuti langkah kakaknya, Giok Nio terus 

menghitung. Mereka melangkah lurus ke 

puncak gunung Muria hingga akhirnya sampai 

ke dataran yang cukup luas, di dekat 

sebatang pohon besar dan rindang.

Di tempat itulah dulu si Tolol menggali 

tanah dengan maksud melubangi bumi agar 

tembus dari ujung yang satu di seberangnya, 

karena melalui mimpinya ia melihat bumi itu 

bulat bentuknya bagaikan bola. Saat itulah 

si Tolol menemukan patung Ratu Shima, namun 

kemudian dirampas Prawiro, yang kemudian 

menguburnya hidup-hidup di dalam lubang 

galiannya sendiri.

"Seribu... nah, di sini!" kata Giok Nio 

setelah hitungannya sampai kehilangan 

seribu.

Kedua pendekar Tiongkok itu 

menghentikan langkah, lalu mengamati 

keadaan disekelilingnya. Maka tampaklah 

oleh keduanya bekas lubang galian tempat si 

Tolol menemukan patung emas itu.

"Hei, lihat! Seperti bekas lubang 

galian," kata Giok Nio setengah berteriak. 

Ia bersama kakaknya menghampiri bekas 

galian itu dan menelitinya lebih seksama.


Tak salah lagi, tanah itu adalah bekas 

galian.

"Kalau begitu kita sudah terlambat, 

Giok Nio. Patung itu pasti sudah diambil 

orang yang kemudian menutupi lubang ini," 

kata Hong Lie cemas.

"Tapi..." ujar adiknya ragu-ragu.

"Tapi apa?" tanya Hong Lie sembari me-

natap wajah adiknya dalam-dalam.

"Coba perhatikan, kakak Hong Lie. 

Galian ini masih baru. Mungkin baru 

seminggu atau dua minggu. Jadi kemungkinan 

besar itu masih berada di sekitar daerah 

ini."

"Kau benar, Giok Nio. Galian ini memang 

masih baru. Seharusnya kita datang lebih 

cepat."

"Lalu apa yang harus kita lakukan 

sekarang?”.

"Saya sudah yakin patung itu sekarang 

sudah ada di tangan orang. Kita harus 

menyelidiki siapa sebenarnya yang 

menemukan patung itu. Setelah itu, kita 

atur rencana untuk merebutnya kembali."

"Baiklah kalau begitu. Mari kita 

berangkat."

Akan tetapi baru beberapa langkah 

meninggalkan tempat itu, tiba-tiba 

terdengar suara tawa seorang lelaki, 

bergema dari segala penjuru. Suara tawa itu


mengandung tenaga dalam yang sangat hebat 

sehingga dada kedua pendekar Tiongkok itu 

berdebar. Sadarlah kedua pendekar itu 

bahwa orang yang mengeluarkan suara tawa 

itu bukanlah orang sembarangan. Keduanya 

kemudian sama-sama merapatkan punggung 

menghadap ke arah berlawanan.

"Hei, siapa kau? Keluarlah!" teriak 

Hong Lie.

Akan tetapi orang tersebut belum juga 

menampakkan batang hidungnya. Ia terus 

tertawa sambil menambah kekuatan tenaga 

dalam suaranya. Hong Lie menjadi kesal. Ia 

memusatkan perhatian, berteriak sambil me-

ngerahkan tenaga khikang mengimbangi suara 

tawa orang asing itu.

Di kalangan pendekar Tiongkok, 

berteriak atau tertawa sambil mengerahkan 

tenaga dalam juga dianggap hal biasa. 

Kebanyakan dari pendekar negeri itu bisa 

berbuat demikian. Tenaga dalam yang 

disalurkan melalui suara itu disebut 

khikang, makin kuat makin berat pula bagi 

lawan untuk mengatasinya.

Mendadak suara tawa itu terhenti. Ham-

pir bersamaan dengan itu dari balik 

pepohonan meloncat seorang pendekar asing, 

yang tak lain dan tak bukan adalah Gahito 

sendiri. Pendekar samurai itu menatap Hong


Lie dan Giok Nio dengan sinar mata 

mengejek.

Seperti diceritakan di bagian depan, 

pendekar samurai itu sempat bertarung 

mati-matian dengan Husein. Dalam perta-

rungan itu, Gahito nyaris mengalami 

kecelakaan akibat pengaruh sihir pendekar 

Irak itu. Akan tetapi kedua pendekar asing 

itu sama- sama mengakhiri pertarungan 

seperti menyadari bahwa si Tolol yang 

diyakini sedang menyembunyikan patung Ratu 

Shima telah lenyap.

Gahito dan Husein kemudian sama-sama 

mengejar si Tolol ke arah pantai. Di tengah 

jalan, keduanya mengambil jalan 

masing-masing di mana Husein menuju Barat, 

sedangkan Gahito ke sebelah Timur. Dalam 

kesendiriannya, Gahito bermaksud balik la-

gi ke lereng gunung, karena menurut 

perki-raannya, kemungkinan besar si Tolol 

masih akan kembali ke sana. Bocah tolol itu 

tak mungkin sudah berada jauh dari lereng 

gunung.

Dengan perkiraan seperti itu, pendekar 

samurai akhirnya kembali lagi kearah 

berlawanan. Sewaktu sedang berjalan 

sendirian, ia mendengar suara langkah 

orang disertai hitungan. Gahito segera 

bersembunyi dan mengintip dari balik 

semak-semak. Ternyata dua remaja yang



diyakininya baru datang dari negeri 

Tiongkok. Gahito tertawa geli melihat 

kedua pendekar muda usia itu kelabakan 

melihat bekas galian tanah di sekitar 

tempat itu.

"Siapa kau orang asing?" tanya Giok Nio 

geram sehingga wajahnya yang cantik jelita 

itu menjadi merah padam.

"Orang asing katamu, nona cantik? 

Sayakah orang asing atau kalian?" balas 

Gahito dengan nada sinis.

"Maafkan adik saya, sahabat yang gagah 

perkasa," kata Hong Lie dengan sikap yang 

lebih tenang, "Kami berdua memang datang 

dari seberang, dari daratan Tiongkok. Saya 

kira engkau pun datang dari jauh, mungkin 

dari negeri Jepang."

"Ternyata matamu cukup jeli juga, anak 

muda. Kedatangan kalian ke sini tentunya 

bukan sekedar berpelesiran, bukan?"

"Maafkan kami, kawan, Tentang maksud 

kedatangan kami ke sini adalah urusan kami 

sendiri. Sama seperti urusanmu ke sini, 

tentunya kami tak perlu mencampurinya."

"Jangan layani orang sombong itu," 

kata Giok Nio kesal, lalu sambil menuding 

Gahito dengan telunjuk tangan kirinya, 

gadis manis itu berkata:


"Hei, apa urusanmu sama kami? Kalau kau 

merasa hebat majulah, hadapi aku. Jangan 

kira aku takut melihat samuraimu itu!"

"Ha-ha-ha... gadis cantik yang sangat 

galak. Tapi kau tambah cantik saja kalau 

sedang marah."

Hong Lie menarik lengan adiknya sambil 

mengisyaratkan agar adiknya itu bersikap 

tenang. Lalu Hong Lie kembali berkata 

kepada Gahito: 

"Sahabat, seperti yang saya katakan 

tadi maksud kedatangan kami ke sini adalah 

urusan kami sendiri. Sebaiknya engkau 

tidak terlalu usil. Kami akan segera 

melanjutkan perjalanan."

"Bagus! Tapi perlu kalian ketahui, 

kedatangan kalian memang sudah terlambat. 

Jangan mimpi bisa mendapatkan patung Ratu 

Shima."

"Bangsat! Jadi berarti kaulah yang 

mendahului kami!" bentak Giok Nio sambil 

menghunus pedangnya.

"Tampaknya kalian berdua sangat senang 

bermain-main denganku. Baiklah kalau 

begitu, sekarang, majulah berbarengan 

menghadapiku, agar permainan kita agak 

berimbang!" ejek Gahito.

Ditantang seperti itu, Giok Nio makin 

marah. Sambil berteriak nyaring, gadis itu 

meloncat tinggi ke arah Gahito. Sewaktu tu


buhnya masih melayang di udara, ia 

mengayunkan pedangnya ke arah leher lawan.

Dengan gerakan yang tak kalah cepat-

nya, pendekar samurai mencabut senjatanya 

untuk menangkis serangan lawan. Terdengar 

suara berdentang dua senjata beradu dengan 

keras. Saat berikutnya, kedua pendekar itu 

terlibat pertarungan yang dahsyat.

Melihat gerakan Gahito yang sangat ce-

pat dan kuat, Hong Lie merasa khawatir ju-

ga akan keselamatan adiknya. Apalagi ka-

rena ia menyadari Giok Nio masih kurang 

berpengalaman dan mudah marah, sehingga 

jika menghadapi lawan seperti Gahito tidak 

mustahil akan mengalami kecelakaan. Maka 

pemuda itu pun segera mencabut pedangnya, 

lalu ikut menyerang lawan dengan dahsyat.

Terjadilah pertarungan hebat, dua 

lawan satu. Hong Lie dan adiknya bergerak 

cepat dan lincah sekali. Serangan mereka 

datang secara bergelombang dari segala 

arah. Dari pertarungan itu terlihatlah 

bahwa Hong Lie dan Giok Nio merupakan sepa-

sang pendekar yang sangat kompak dan 

serasi. Sambil menyerang, keduanya saling 

melindungi sehingga sangat sulit bagi 

lawan mengalahkan mereka. Jika seorang 

menyerang, yang lainnya bertahan. Dan jika 

keadaan memungkinkan, keduanya sama-sama 

menyerang pula.


Dari cara pertarungan mereka, terlihat 

pula bahwa Giok Nio memiliki hati yang te-

lengas. Setiap kali menyerang, ujung 

pedangnya selalu mengarah ke bagian-bagian 

vital di tubuh lawan. Lain halnya dengan 

Hong Lie, lebih cenderung bermaksud 

melumpuhkan Gahito tanpa membuatnya 

menderita luka berat. Bagaimanapun juga, 

pemuda itu tetap menyadari bahwa antara 

mereka dan Gahito tidak ada persoalan 

apa-apa.

Rasanya mustahil pendekar samurai itu 

yang menggali tanah dan kemudian 

menyembunyikan patung Ratu Shima. Kalau 

misalnya Gahito sudah menguasai patung 

itu, buat apa ia menunjukkan diri. Ia tentu 

akan melarikan diri atau pulang ke 

negerinya secepat mungkin. Atau sedikitnya 

pastilah bersembunyi menunggu waktu yang 

baik untuk pulang membawa patung ke tempat

asalnya.

Giok Nio sendiri tidak memikirkannya, 

karena hatinya sudah keburu panas. Ia hanya 

memikirkan bagaimana cara terbaik 

merobohkan pendekar samurai itu secepat 

mungkin.

Menghadapi serangan serangan pendekar 

muda itu, Gahito menjadi kerepotan juga. Ia 

sudah mencabut kedua belah samurainya dan 

memutarnya untuk menangkis serangan lawan.


Untunglah ia memiliki tenaga yang sedikit 

lebih kuat, sehingga masih mampu bertahan.

Hong Lie dan Giok Nio bagaikan sepasang 

burung rajawali mengeroyok seekor banteng. 

Kedua pendekar itu menyerang dengan sangat 

lincahnya, sedangkan Gahito yang kuat 

bertahan sambil sesekali melakukan 

serangan balasan.

Memasuki jurus yang kelima puluh, 

Gahito meloncat tinggi ke udara, kemudian 

meluncur dengan posisi kepala ke bawah. Ke-

dua ujung senjatanya menyambar bagaikan 

kilat ke arah dada kedua lawannya. Melihat 

serangan itu sangat cepat dan berbahaya, 

Hong Lie dan Giok Nio segera membanting 

diri kemudian bergulingan di atas tanah. 

Kemudian secepat kilat bangkit sambil 

berputar tubuh. Kedua pendekar Tiongkok 

itu lalu membabat tubuh Gahito yang sedang 

meluncur ke bawah. Posisi pendekar samurai 

benar-benar gawat dan sekilas pandang akan 

sulitlah baginya menyelamatkan diri.

"Mampus kau, bangsat!" bentak Giok 

Nio.

Akan tetapi dengan gerakan yang sukar 

diikuti pandangan mata, Gahito mengangkat 

kedua samurainya menangkis sabetan pedang 

lawan yang menyambar dari arah berlawanan. 

Masih dengan gerakan yang sangat cepat, 

Gahito menancapkan kedua samurainya di


tanah dan menggunakan sebagai tumpuan 

untuk bersalto jauh ke depan.

"Bangsat! Jangan kira kau bisa lolos 

dari tanganku!" bentak Giok Nio yang 

diam-diam merasa terkejut juga melihat 

kelihaian lawan menghindari serangan maut 

mereka.

Secara berbarengan, kedua. pendekar 

muda itu kembali menerjang Gahito dengan 

serangan yang lebih dahsyat lagi. Hong Lie 

dan Giok Nio sedikit pun tidak memberikan 

lawan kesempatan untuk balas menyerang. 

Semangat dan kegigihan kedua pendakar 

Tiongkok ini memang patut dikagumi. 

Walaupun tenaga mereka sudah mulai 

terkuras, serangan mereka malah bertambah 

gencar. Dan suatu saat, ujung pedang Hong 

Lie dan Giok Nio berhasil merobek kulit 

bahu Gahito.

Saat itu Gahito sudah sangat terdesak, 

sedangkan pedang kedua lawan menyambar ke 

dadanya dari arah berlawanan. Pendekar 

samurai itu tak sempat lagi menarik 

senjatanya karena sudah keburu diayunkan 

tadi ke depan. Maka jalan satu-satunya 

adalah membantingkan diri ke belakang. 

Gerakannya memang cepat, namun ujung 

senjata lawan masih tepat melukainya.


"Mampus kau, bangsat! Hari ini kau akan 

mampus di tanganku!" teriak Giok Nio dengan 

suara nyaring.

Gadis cantik itu mengangkat pedangnya 

dan bermaksud menebas lawannya hingga 

mampus. Namun mendadak terdengar suara 

tawa berkepanjangan, seorang laki-laki 

yang belum menampakkan dirinya di arena 

pertarungan itu.

Giok Nio menghentikan gerakannya. Ia 

berpandangan dengan kakaknya, seolah-olah 

sedang menunggu isyarat Hong Lie apa yang 

harus mereka lakukan sekarang.

"Keluar kau!" teriak Hong Lie.

Seorang lelaki bersorban dan telinga 

kanannya dihiasi anting-anting besar telah 

berdiri tak jauh dari arena pertarungan. 

Lelaki itu tidak membawa senjata, 

melainkan selembar permadani me rah. 

Itulah Husein, si pendekar dari negeri Irak 

itu.

Rupanya pendekar ini pun berpikiran 

sama dengan Gahito. Ketika keduanya 

berpisah sewaktu hendak mengejar si Tolol, 

pendekar Irak itu bermaksud balik lagi ke 

lereng gunung. Sebab menurut perkiraannya, 

bocah botak itu pasti masih berada di 

sekitar lereng gunung. Biarlah pendekar 

samurai itu nanti sendirian ke pantai, 

sedangkan ia sendiri bisa bebas sendiri


mencari si Tolol. Jika ia ketemu lagi 

dengan si Tolol, dengan mudah ia merampas 

patung emas itu tanpa terganggu oleh 

kehadiran Gahito.

Tetapi rupanya, Gahito juga berpikiran 

sama, bahkan sudah duluan berada di lereng 

gunung dan kini sedang bertarung dengan dua 

pendekar yang tampaknya berasal dari 

daratan Tiongkok. Melihat Gahito terdesak, 

Husein menjadi girang. Timbullah niat 

busuk dalam hatinya untuk memperalat kedua 

pendekar muda itu menyingkirkan Gahito. 

Kalau Gahito mati, saingan Husein pun ten-

tu berkurang. Ia tidak terlalu khawatir 

terhadap kedua pendekar Tiongkok itu, 

karena mereka pastilah belum tahu bahwa 

patung Ratu Shima sedang berada di tangan 

si Tolol.

"Ha-ha-ha... pendekar samurai!" kata 

Husein sambil tertawa mengejek, "Setiap 

pendekar yang menyembunyikan patung Ratu 

Shima pasti dikejar orang biar sampai ke 

ujung langit sekalipun. Nyawamu sekarang 

terancam di ujung pedang kedua pendekar 

Tiongkok itu. Karena itu sebaiknya kau 

berikan patung Ratu Shima kepadaku. 

Biarlah nanti aku yang akan menghadapi ke-

dua orang muda itu."

Mendengar kata-kata Husein, 

terkejutlah Gahito karena ia menyadari



bahwa pendekar Irak itu sengaja berkata 

demikian dengan maksud agar Hong Lie dan 

Giok Nio percaya patung itu memang berada 

di tangannya. Padahal ia yakin, Husein pun 

tahu di tangan siapa sebenarnya patung Ratu 

Shima sekarang.

"Licik kau, bangsat! Rupanya kau 

sengaja memfitnahku karena takut 

menghadapiku!" bentak Gahito.

"Bukan aku takut, sobat! Menghadapi 

orang seperti kau kenapa harus takut? Malah 

kemarin, kalau aku tak murah hati, nyawamu 

pasti sudah melayang."

"Tutup mulutmu, bangsat! Sekarang mari

kita lanjutkan pertarungan kita sampai 

salah seorang, kau atau aku mampus!"

"Tidak perlu, sobat Bukankah saat ini 

kau sedang menghadapi dua pendekar muda 

yang sangat tangguh? Apakah kau takut 

menghadapi lawanmu itu?" ejek Husein yang 

rupanya sempat lupa bahwa Mat Caplang pun 

sudah tahu bahwa patung Ratu Shima ada di 

tangan si Tolol.

"Diam kau, bangsat! Jangan banyak 

bicara kau! Sekarang hadapi aku kalau kau 

memang bukan pengecut!"

"Kau jangan memancing aku marah, 

sobat. Teruskanlah pertarunganmu dengan 

kedua pendekar muda itu. Kau sudah hampir 

mampus tadi. Jika kau mampus musuhku tentu


akan berkurang satu. Nah, selamat 

bermain-main, sobat. Aku pergi dulu 

mencari benda yang sangat berharga itu."

"Kau jujur tapi tolol!" teriak Gahito.

Husein tidak menyahut lagi. Ia segera 

melemparkan permadaninya, lalu meloncat ke 

atasnya. Beberapa saat kemudian, tubuhnya 

sudah melesat bagaikan terbang.

"Selamat berpisah, kawan-kawan!" 

teriak pendekar itu bersama lenyapnya 

tubuhnya di balik pepohonan.

Mendengar pembicaraan kedua pendekar 

itu tadi, sadarlah Hong Lie bahwa patung 

itu pastilah tidak berada di tangan Gahito. 

Kalau misalnya ada di tangannya, pendekar 

bersorban itu tentulah tidak akan mau pergi 

begitu saja.

***

ENAM


Tapi agaknya kedua laki-laki itu sudah 

pernah bertemu dan bertarung sewaktu 

mencari patung Ratu Shima. Dan tampaknya, 

lelaki bersorban itu menganggap pendekar 

samurai adalah saingan utamanya, sehingga 

sengaja memanas-manasi hati Hong Lie dan 

Giok Nio agar segera menyingkirkannya.


Cuma agaknya, lelaki dari Irak itu memang 

jujur tapi tolol, seperti yang dikatakan 

Gahito tadi.

"Ssst... Giok Nio, Tampaknya patung 

itu tidak berada di tangan pendekar samurai 

ini. Kita tak perlu mengeroyoknya." bisik 

Hong Lie.

"Benar. Aku pun merasa demikian."

"Sebaiknya kita perlu dari sini. Mari

kita lanjutkan perjalanan. Nanti pria 

bersorban tadi mendahului kita lagi."

Hong Lie kemudian melangkah ke hadapan 

Gahito yang sejak tadi berdiri saja 

menunggu apa yang hendak dilakukan kedua 

pendekar dari Tiongkok itu.

"Maafkan kami, sobat. Agaknya kita te-

lah salah paham, padahal di antara kita ti-

dak ada persoalan apa-apa. Kami percaya 

engkau tidak takut menghadapi kami, 

demikian juga kami tidak takut berhadapan 

denganmu. Barangkali suatu saat nanti kita 

masih punya kesempatan untuk melanjutkan 

pertarungan kita ini."

Setelah berkata begitu, kedua pendekar 

Tiongkok itu membalikkan badan hendak 

meninggalkan lereng gunung itu. Tetapi ti-

ba-tiba Gahito berkata:

"Tunggu dulu!"

"Ada apa, sobat?"


"Aku Gahito pendekar samurai dari 

negeri Matahari Terbit merasa kagum 

terhadap kalian berdua. Masih begitu muda 

tapi Sudah memiliki ilmu yang sangat hebat. 

Kalau kalian berdua tidak keberatan aku 

ingin berkenalan dengan kalian."

"Terimakasih, pendekar samurai. 

Janganlah memuji kami telalu tinggi 

seperti itu. Aku adalah Kwan Hong Lie, 

sedangkan ini adikku Kwan Giok Nio."

"Terimakasih, anak muda. Sampai ketemu 

nanti. Sekarang kita berada di negeri jauh. 

Patung Ratu Shima diperebutkan banyak 

sekali pendekar."

"Terimakasih! Untuk itulah kami datang 

ke sini. Kalau tidak diperebutkan banyak 

orang, mungkin kami tidak akan singgah di 

pulau ini," kata Giok Nio yang agaknya ma-

sih kesal terhadap Gahito. Gadis itu 

menanggapi kata-kata pendekar samurai 

sebagai peringatan agar mereka hati-hati, 

seolah-olah Gahito itu seorang guru besar 

sedang menasehati murid-muridnya yang 

hendak turun gunung. Giok Nio dengan nada 

ketus langsung menjawab justru karena 

banyak diperebutkan pendekar makanya 

mereka datang ke Jepara. Dengan perkataan 

seperti itu, Giok Nio sepertinya hendak 

menekankan bahwa ia dan kakaknya sudah siap 

sedia menghadapinya, bahkan senang


berhadapan dengan pendekar yang ilmunya 

tinggi. Sikap yang cenderung menunjukkan 

kesombongan.

"Sudahlah, adik Giok Nio! Mari kita 

melanjutkan perjalanan!" kata Hong Lie 

sambil menarik tangan adiknya itu. Sambil 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh, kedua 

kakak beradik itu melesat dari tempat itu. 

Tubuh mereka berkelebatan dan dalam 

sekejap hilang di balik rerumputan dan 

pohon-pohon.

Gahito menghela nafas 

panjang-panjang. Wajah pendekar samurai 

itu tampak agak muram. Dalam usahanya 

mencari patung Ratu Shima, ia kembali 

menghadapi pendekar yang tidak kalah 

tangguhnya. Menghadapi Husein sendiri ia 

sudah keteteran, biarpun belum tentu. 

kalah jika pertarungan dilanjutkan. Dan 

tadi, diam-diam ia harus mengaku bahwa 

kedua pendekar muda itu lebih hebat lagi.

Kini makin sadarlah pendekar samurai 

itu, bahwa untuk memilikipatung Ratu Shima 

jauh lebih sulit dari apa yang pernah 

dibayangkannya dulu. Dalam waktu dekat, ia 

tidak mustahil pula akan berhadapan dengan 

pendekar yang lebih hebat lagi. Lawan berat 

yang dihadapinya selama ini baru 

pendekar-pendekar dari negeri seberang, 

orang pendatang seperti dirinya di wilayah


Jepara. Belum lagi pendekar pribumi yang 

tidak mustahil pula memiliki ilmu silat 

yang sangat tinggi.

***

TUJUH


Sementara itu, Hong Lie dan Giok Nio 

makin jauh dari lereng gunung Muria tempat 

mereka bertarung tadi dengan Gahito. 

Sambil berlari, dara jelita itu 

berkali-kali menyatakan penasaran karena 

sikap pendekar samurai yang dinilainya 

sangat sombong.

"Coba kalau tadi kita menghajarnya 

sampai minta ampun. Bicaranya seperti 

pendekar paling hebat saja di kolong langit 

ini. Nanti kalau ketemu lagi dengannya, aku 

pasti akan menghajar!" kata Giok Nio pena-

saran.

"Sudahlah, Giok Nio. Tenangkanlah 

perasaanmu. Ingat, itu baru musuh pertama 

bagi kita. Musuh berikutnya akan menyusul 

lagi. Ah, sebaiknya kita istirahat dulu. 

Aku sudah capek!"

"Baiklah, aku pun sudah kelelahan." 

Kedua pendekar muda itu lain duduk 

beristirahat di bawah pohon rindang.


Keduanya diam beberapa saat sambil menyeka 

keringat yang membasahi wajah mereka. 

Wajah Giok Nio yang bulat telur dan bersih 

itu tampak bersemu merah. Anak-anak 

rambutnya menempel di keningnya yang basah 

oleh peluh. Ia tampak lebih cantik dan 

menggairahkan dengan penampilan seperti 

itu.

"Giok Nio, bagaimana pun, kita harus 

mengakui bahwa pendekar samurai memiliki 

ilmu yang sangat tinggi. Kalau kita maju 

sendirian, kemungkinan kita tidak akan 

mampu menandinginya. Lelaki bersorban itu 

pun tampaknya bukan orang sembarangan, 

Ilmu meringankan tubuhnya sangat hebat."

"Ya, tadi saya sempat 

memperhatikannya. Dia bagaikan terbang 

saja dengan permadaninya. Tapi aku yakin, 

kita bisa mengatasinya. Bukankah katanya 

ia pernah bertarung dengan pendekar 

samurai itu? Tampaknya pertarungan mereka 

berimbang, hingga tadi pendekar samurai 

menantangnya adu kekuatan lagi."

"Kau benar, Giok Nio. Aku pun sudah 

memikirkannya. Tapi satu hal yang menjadi 

pemikiranku sekarang adalah mengenai 

banyaknya pendekar yang memperebutkan 

patung Ratu Shima. Pendekar samurai itu 

maupun laki-laki bersorban tadi baru 

merupakan orang yang pertama kita temukan.


Aku yakin masih banyak pendekar lain, yang 

mungkin ilmunya lebih tinggi lagi."

"Tidak apa. Di negeri kita pun kita 

sudah sering menghadapi lawan tangguh. 

Guru kita juga sering berkata bahwa di 

kalangan dunia persilatan banyak sekali 

pendekar tangguh. Bukankah kita 

mempelajari ilmu silat untuk menghadapi 

kenyataan seperti itu?"

"Benar katamu, dik. Untuk dapat 

memiliki suatu benda berharga kita memang 

harus bekerja keras dan banyak berkorban. 

Tapi agaknya patung Ratu Shima terlalu 

sulit direbut. Kita sama sekali belum tahu 

di tangan siapa patung itu sekarang berada. 

Yang kita tahu, patung itu sudah di tangan 

orang yang entah siapa yang menggali tanah 

itu."

"Menurutmu apakah yang harus kita 

lakukan selanjutnya?"

Hong Lie tidak segera menjawab. la me-

mungut sebatang ranting kering yang jatuh 

di dekat kakinya. Diamatinya sejenak 

ranting itu lalu dilemparkannya ke 

semak-semak di hadapannya. Barulah 

kemudian pemuda itu angkat bicara:

"Kita harus menyelidiki di tangan 

siapa sebenarnya patung itu sekarang 

berada. Siapa yang mendahului kita 

menggali tanah itu sebab melihat kerasnya


persaingan, tidak mustahil orang yang 

pertama kali menemukannya sudah terbunuh 

sewaktu berusaha mempertahankannya dari 

rebutan pendekar lain."

"Itu memang bisa saja terjadi. Sayang 

kita belum tahu seluk beluk daerah ini. 

Besok kita harus ke pasar membeli 

perbekalan, karena keperluan kita sudah 

hampir habis," ujar Giok Nio sambil 

menunjukkan buntalannya kepada Hong Lie.

"Baiklah kalau begitu. Tapi ingat, 

Giok Nio. Untuk selanjutnya kita harus 

hati-hati. Jangan lupa pesan guru kita, 

bahwa kita tak perlu takut menghadapi 

musuh, tapi harus selalu waspada. 

Mudah-mudahan saja kita akan berhasil 

menemukan patung itu."

Giok Nio manggut-manggut mendengar 

ucapan kakaknya. Ia merasa Hong Lie sedang 

memperingatkannya karena sering bersikap 

tidak sabar dan mudah marah. Guru mereka 

pun sering berkata demikian karena katanya 

gadis cantik itu kadang-kadang belum bisa 

menguasai perasaannya, sehingga dalam 

bertindak ia cenderung berdasarkan emosi 

saja, bukannya perhitungan matang dan 

pemikiran dewasa.

Lain halnya dengan Hong Lie, cara 

berpikirnya sudah lebih dewasa dan ia pun 

lebih cepat menyesuaikan diri dengan ke


adaan. Pemuda itu tidak hanya mendengar 

tapi juga sudah membuktikan sendiri bahwa 

dalam setiap tindakan, jika hati sudah 

dikuasi amarah, maksud hati lebih sering 

gagal daripada berhasil. Bahkan tidak 

jarang pula mengundang bahaya fatal.

Dalam pertarungan, amarah seperti ini 

juga kerap membuat seseorang menderita 

kerugian, sehingga yang seharusnya menang 

jadi kalah. Hal itu bisa dilihat dari ada-

nya kenyataan bahwa setiap orang yang 

bertarung jika sudah marah, serangannya 

akan tampak ganas dan beringas, tetapi 

pertahanan dirinya jadi lemah. Lawan yang

tenang dan sudah berpengalamari biasanya 

akan memanfaatkan kesempatan baik itu 

untuk melancarkan serangan balasan yang 

mengandung maut.

Itulah sebabnya sering terlihat, 

sebelum bertarung seorang pendekar 

terlebih dulu memancing amarah lawan agar 

dapat menggunakan kesempatan baik itu 

untuk menjatuhkan musuh. Di kalangan dunia 

persilatan, atau di kalangan pendekar 

negerinya Kwan Hong Lie dan Giok Nio 

disebut dunia Kangouw, lengah beberapa 

detik saja sudah cukup bagi seorang 

pendekar untuk menjatuhkan lawan.

Hal seperti inilah yang sering 

terlihat oleh Hong Lie pada diri adiknya.



Giok Nio masih sering terlihat kurang 

perduli akan resiko yang bakal dihadapi 

dengan sikapnya, seolah-olah ia berprinsip 

serang dulu resiko belakangan. Memang 

seorang pendekar, tidak boleh bersikap 

pengecut, tidak boleh menyerah sebelum 

bertarung. Tapi bagaimanapun juga, sebelum 

melakukan sesuatu adalah perlu untuk 

berfikir terlebih dahulu.

"Kenapa kau diam saja, kakak Hong Lie?" 

tanya Giok Nio memecah kesunyian,

"Aku, sedang memikirkan rencana kita 

selanjutnya," sahut pemuda itu sekenanya.

"Jangan terlalu dipikirkan.. 

Percayalah, kita pasti berhasil membawanya 

pulang ke negeri kita."

"Mudah-mudahan saja," kata Hong Lie. 

Dan kedua kakak beradik itu pun kembali 

membicarakan rencana mereka selanjutnya 

dalam usaha mereka merebut patung Ratu 

Shima.

Tanpa mereka sadari, pendekar lainnya 

pun sedang sibuk melakukan pencaharian 

terhadap patung yang menyimpan rahasia 

kelanggengan tahta dan rahasia kecantikan 

itu. Para pendekar yang memiliki ilmu silat 

tinggi itu hilir mudik di sekitar lereng 

gunung Muria, sehingga satu jengkal tanah 

pun sepertinya tidak ada yang Input dari 

perhatian mereka.


Nenek tua Nyi Peri yang dalam beberapa 

tahun terakhir ini sudah sangat jarang 

terjun ke dunia persilatan, kini telah 

keluar rumah. Padahal selama ini, sekedar 

keluar kehalaman rumah saja,Nyi Peri 

sangat jarang. Ini membuktikah bahwa nenek

tua yang sangat sakti itu demikian 

berambisi merebut patung Ratu Shima.

Pendekar Mat Caplang pun sudah 

meninggalkan sarangnya terjun ke daerah 

Jepara hanya untuk berusaha merebut patung 

emas itu. Demikian juga pendekar Matahari 

Terbit Gahito dan pendekar Irak, Husein. 

Pendekar pertama yang merebut patung itu 

dari tangan si Tolol, yakni Prawiro, telah 

tewas di tangan pendekar wanita misterius 

yang sekujur tubuhnya penuh tatto,

Di antara semua pendekar yang saling 

memperebutkan patung Ratu Shima, wanita 

bertatto ini agaknya adalah yang paling 

menarik. Ilmunya tinggi dan latar belakang 

kehidupannya pun masih terselubung.

Para jagoan yang datang dari berbagai 

penjuru itu sekarang sedang berkeliaran di 

sekitar gunung Muria. Mereka sama-sama 

memiliki ilmu yang sangat tinggi dan juga 

ambisi yang sangat besar. Mereka siap 

melakukan apa saja, pun termasuk membunuh 

setiap orang yang dianggap penghalang 

untuk memiliki patung Ratu Shima.


Tanpa disadari oleh para jago silat 

itu, si Tolol sekarang sedang mandi-mandi 

pada sebuah mata air di lereng gunung 

Muria. Anak itu bemyanyi-nyanyi kegirangan 

dengan suara yang terputus- putus, karena 

kadang-kadang ia membenamkan sekujur 

tubuhnya ke dalam air sejuk. Setelah itu, 

ia muncul lagi di permukaan untuk menarik 

nafas. Kesempatan itu digunakan untuk 

mendendangkan lagu apa saja yang ia ingat.

Sinar matahari tampak berkilau- kilau 

memantul di atas percikan air yang 

membasahi tubuh si Tolol. Baju dan celana 

anak itu diletakkan di atas batu, di 

pinggir mata air. 

Di bawah tumpukan baju dan celana yang 

sudah kumal itu disimpan patung emas Ratu 

Shima, yang kini sedang diincar para 

pendekar.

Dapatkah si Tolol mempertahankan

patung emas bertahtakan permata tersebut 

dari jangkauan para pendekar tangguh yang 

berambisi mendapatkannya?



                              TAMAT


episode berikutnya yang berjudul:

“Duka Lara Sang Dewi Tatoo”



 

Share:

0 comments:

Posting Komentar