..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 06 Januari 2025

PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE RAHASIA SENDANG BANGKAI

matjenuh khairil

 

RAHASIA SENDANG BANGKAI

Oleh Barata

Cetakan Pertama

Penerbit Wirautama, Jakarta

Dilarang Mengcopy, Memproduksi

Dalam Bentuk Apapun

Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit

Barata

Serial Pendekar Cambuk Naga

Dalam Episode :

Rahasia Sendang Bangkai 

128 Hal : 12 x 18 Cm


SATU


BUMI bagai bergemuruh bising. Suara 

kasak-kusuk menjalar dari mulut ke 

mulut. Orang-orang yang berada di kedai 

tak henti-hentinya saling bisik, mereka 

diliputi perasaan cemas dan tegang. 

Hampir semua mulut bicara dalam gumam, di 

sela gerutu, dan dirayapi kegemetaran. 

Bumi bagaikan berisi berjuta-juta lebah 

yang menggaung.

Katmi, anak pemilik kedai yang ada 

di seberang Dalem Kadipaten Nilakencana 

itu duduk termenung di pojokan. Wajahnya 

kelihatan murang dan was-was. Ada salah 

seorang lelaki mendekatinya. Lelaki itu 

baru saja datang dari mengangkut sayuran 

memakai gerobak sapi tunggal. Lelaki itu 

belum mengetahui, mengapa semua orang 

dalam ketegangan.

"Katmi...." sapanya. "Ada apa 

sebenarnya kok semua orang kelihatan 

gelisah begitu? Ada apa sih?"

"Apa kau belum dengar, Kang?" jawab 

Katmi lirih.

"Tentang apa?"

"Tentang... tentang Dewi Cambuk 

Naga." Lelaki yang menyampirkan bajunya 

di pundak dan masih berkeringat itu


menggumam sejenak. "Yang ku tahu, 

Pendekar Cambuk Naga akan menikah dengan 

Pendekar Pusar Bumi. Kalau aku tidak 

salah dengar... hari ini, ya? Hari ini 

perkawinan itu akan berlangsung. Betul?"

"Ya. Tapi... Dalem Kadipaten 

sekarang sedang geger."

"Lho, geger soal apa itu?"

"Pengantin diculik."

Lelaki itu terbelalak kaget. 

"Pengantin diculik? Maksudmu, Pendekar 

Cambuk Naga ada yang membawa kabur, 

begitu?!"

"Bukan pengantin putrinya yang 

diculik, tapi... justru Pendekar Pusar 

Bumi yang diculik dan dibawa kabur."

"Edan...!" lelaki itu semakin 

terkejut dan menegang.

“Benar. Memang edan. Bayangkan 

saja, perkawinan akan berlangsung hari 

ini, eh... tadi malam ada penculikan yang 

amat edan. Umumnya pengantin putri 

diculik oleh bekas kekasihnya, atau 

siapa saja lah. Tapi, kali ini justru 

pengantin pria yang diculik. Padahal 

Pendekar Pusar Bumi itu bukan laki-laki 

sembarangan. Ilmu dan kesaktiannya 

sempat menjadikan tokoh-tokoh 

persilatan gemetar. Siapa yang tidak 

mengenal pedang Wisa Kobranya yang mampu


memotong benda apapun, termasuk besi? 

Siapa yang tidak mengenal kegesitan 

jurus-jurusnya dan keampuhan ilmu Wiwaha 

Moksa-nya itu? Tapi mengapa pendekar 

setangguh dia masih ada yang mampu 

menculiknya? Siapa gerangan orang yang 

berhasil memperdaya dan membawa lari 

pendekar tangguh yang memang gagah dan 

menawan itu?”

Ludiro sangat gelisah. Semalam ia 

tak sempat mencegah Putri Ayu Sekar 

Pamikat alias Pendekar Cambuk Naga, yang 

melesat cepat meloncati pagar bumi Dalem 

Kadipaten begitu ia mengetahui sesosok 

bayangan membawa kabur calon suaminya 

Ludiro ingin menyusul Sekar Pamikat, 

namun Adipati Reksoguno menahannya.

"Jangan gegabah," kata Adipati 

Reksoguno mengingatkan Ludiro. "Ingat, 

orang yang mampu melumpuhkan Lanangseta 

dan membawanya lari, jelas bukan orang 

sembarangan, Ludiro. Aku yakin, ada 

jebakan yang sudah diatur di luar Dalem 

Kadipaten ini, yang bisa mencelakakan 

para pengejar."

Tubuh sedikit bungkuk dengan 

ketuaan seorang bangsawan terlihat 

menyimpan keprihaT tinan yang pilu pada 

diri Adipati Reksoguno. Ludiro hanya

berani membantah beberapa kali,


selebihnya ia tak berani lagi. Karena 

Adipati Reksoguno mengatakan, "Jika kau 

tidak memahami kata-kataku, silakan 

pergi. Dan kau akan gagal menyelamatkan 

Sekar Pamikat, maupun Pendekar Pusar 

Bumi itu. Ingat, saranku bergeraklah 

dengan keberhasilan, jangan bertin-dak 

dengan kesia-siaan."

Semalaman Ludiro tidak bisa tidur. 

Ia mondar-mandir di sekitar taman 

Kadipaten, bahkan berulangkali 

mengelilingi Dalem Kadipaten, meneliti 

dan memeriksa apa saja yang ditemuinya. 

Pikirannya tak jauh dari Nawang Puri.

"Pasti dia yang telah menculik 

Lanangseta!" gumam Ludiro dalam 

kegeraman yang meluap-luap.

Siang itu, seorang penghulu datang. 

Dialah sesepuh Kadipaten Nilakencana 

yang ditunjuk untuk meresmikan setiap 

perkawinan warga Kadipaten Nilakencana 

Tapi agaknya kali ini penghulu Badra 

tidak mengetahui hilangnya pengantin 

pria, sehingga ketika Adipati Reksoguno 

menjelaskannya, ia sangat terkejut.

"Semalaman saya tidur dengan 

nyenyak sekali sehingga tidak sempat 

mendengar kabar tersebut. Maafkan saya 

Kanjeng Adipati," ucapnya dengan suara 

tua yang serak. Ia hanya mengenakan


jubab, abu-abu yang sangat sederhana, 

duduk di lantai sambil memegangi tasbih 

warna merah. Dari rona wajahnya ia 

kelihatan menyesal dan ikut bersedih.

"Badra," kata Adipati Reksoguno 

yang sudah sama tuanya dengan penghulu 

Badra, "Kali ini aku mendapat penghinaan 

dari pihak luar. Aku baru saja mengangkat 

anak, Sekar Pamikat, lalu ingin 

mengawinkannya, tapi gagal. Diganggu 

oleh setan tak tahu sopan!"

Penghulu Badra hanya menunduk, 

penuh hormat dan rasa segan. Adipati 

Reksoguno menggeram menahan kemarahan.

"Apakah kau bisa membantuku, 

Badra?"

"Sepantasnya tugas itu Kanjeng 

limpahkan kepada saya, mengingat saya 

adalah sesepuh Kadipaten yang pernah 

menjabat sebagai penasehat Kanjeng 

sendiri. Tetapi apalah daya saya yang 

sudah tua renta ini. Mungkin tak ada 

kesanggupan untuk menang bertanding 

melawan penculik jahanam itu. Akan 

tetapi, Kanjeng... izinkan saya 

memeriksa seluruh Dalem Kadipaten ini, 

barangkali ada sesuatu yang bisa saya 

lakukan...."

"Pasti itu jawabanmu. Aku tahu, 

Badra. Dan aku tak pernah melarangmu


untuk berbuat baik di Dalem Kadipaten 

ini, bukan?"

Penghulu Badra didampingi Ludiro 

memeriksa setiap sudut Dalem Kadipaten. 

Matanya yang menyipit karena kelopak 

matanya sudah keriput membuat Ludiro 

sangsi, apakah penghulu Badra mampu 

menangkap benda kecil yang patut 

dicurigai.

"Di mana kamar pengantin pria?" 

tanyanya kepada Ludiro.

"Mari, saya tunjukkan. Tapi... 

kuncinya dibawa oleh pelayan kamar."

Ketika itu pelayan kamar lewat di 

seberang sana, Ludiro segera 

memanggilnya penghulu Badra menatap 

pelayan kamar beberapa saat, kemudian 

menggeleng samar-samar, seakan 

mengatakan: "Bukan dia orang yang patut 

dicurigai."

Pintu kamar pengantin pria dibuka. 

Keadaan di dalam kamar masih rapi. Tidak 

ada tanda-tanda bekas pertarungan, tidak 

ada gelagat yang mencurigakan. Mata 

sipit penghulu Badra memandang setiap 

inci ruangan itu. Kasur masih rapi, 

selimut sutra tebal masih terlipat, meja 

marmer dan seperangkat tempat minum 

masih utuh. Lantai bersih, tak ada 

sebutir debu pun.


Ludiro berkata pelan, "Sudah saya 

periksa berulangkali, tapi tak ada benda 

apa pun yang patut dicurigai."

Penghulu Badra yang mengkok 

mangut-manggut. Tangannya masih 

mempermainkan kalung tasbih dari 

biji-bijian berwarna merah. Mungkin itu 

biji atau buah saga. Entahlah, Ludiro 

tidak mengetah uinya.

Mendadak penghulu Badra menggumam, 

dan manggut-manggut lebih jelas lagi.

"Aku tahu siapa penculiknya," 

katanya pelan, tapi sempat membuat 

Ludiro berkerut dahi.

"Siapa?"

"Seorang perempuan yang berjuluk: 

Peri Sendang Bangkai."

"Peri Sendang Bangkai?" gumam 

Ludiro. "Dari mana Ki Badra tahu kalau 

dia yang membawa lari Lanangseta?"

Penghulu Badra tersenyum tipis, 

sangat ti-pis. Matanya masih menatap 

kian kemari, memandang dinding-dinging 

dan langit-langit atas. Ludiro ikut 

memandang demikian, namun ia tidak 

menemukan apa-apa dalam pandangannya.

"Tak ada benda yang kulihat 

mencurigakan. Apakah Ki Badra 

menemukannya?"

Penghulu Badra menggeleng.


"Lantas, dari mana Ki Badra bisa 

memastikan bahwa Peri Sendang Bangkai 

yang menculik pengantin pria?"

"Bau..." katanya pendek, pelan dan 

seakan acuh tak acuh.

Ludiro mengerutkan dahi lebih 

dalam. "Bau? Bau bagaimana maksud Ki 

Badra?"

"Kamar ini berbau. Ada aroma khusus 

yang menyengat hidungku, yaitu aroma 

wangi bau kembang Nirmala. Hanya Peri 

Sendang Bangkai yang mengenakan 

wewangian kembang Nirmala. Yaaah... 

masih membekas di kamar ini. Pasti dia

telah masuk ke mari dan mengerjakan 

sesuatu lalu membawa lari pengantin 

pria."

"Di mana tinggalnya? Maksudku, 

kira-kira ke mana ia membawa Pendekar 

Pusar Bumi itu?"

Penghulu Badra melangkah ke luar 

dari kamar. Ia bicara bagai ditujukan 

kepada dirinya sendiri.

"Di Sebelah Selatan Kadipaten ini, 

ada pegunungan yang bernama Gunung 

Carakan. Di seberang gunung itu ada tanah 

tinggi yang dinamakan Bukit Badai. Nah, 

di kaki Bukit Badai itulah terdapat 

Sendang Bangkai. Penguasa Sendang itu 

adalah seorang perempuan yang bernama


Areswara, bergelar Peri Sendang Bangkai. 

Dia pula yang menjadi pimpinan 

parangadis siluman Sendang Bangkai. 

Ilmunya tidak bisa dianggap Ringan. 

Hanya bisa dikalahkan dengan... 

uukh...!"

Tiba-tiba penghulu Badra mengejang, 

matanya mendelik. Ludiro kaget dan 

kebingungan. Segera mata Ludiro 

memandang liar ke sekeliling. Sekelebat 

bayangan turun dari pohon di pertamanan, 

meloncat dan menghilang ke luar pagar 

Dalem Kadipaten.

"Ki Badra..?!" Ludiro mengutamakan 

keselamatan penghulu Badra. Tetapi orang 

tua itu hanya berdiri kaku. Matanya 

mendelik dan mulutnya ternganga. 

Lama-lama terjadilah suatu ketegangan 

yang lebih memuncak. Ludiro mundur, dan 

beberapa pegawai Kadipaten berhenti di 

tempat. Mereka tak berani mendekati Ki 

Badra yang kaku, tak bergerak. Tubuh tua 

itu lama-lama membiru. Asap tipis bagai 

meresap ke luar dari pori-pori kulitnya. 

Birunya tubuh menjadi legam. Kini bahkan

berubah hitam. Hitam sekali. Lalu, tubuh 

tua itu rubuh bagai kayu arang.

"Ki Badra..?!" pekik Ludiro dalam 

kebingungan. Mereka yang menyaksikan hal 

itu dari jarak beberapa langkah menjadi


merinding dan ketakutan. Ludiro sempat 

berseru.

"Lapor kepada Kanjeng Adipati...! 

Aku akan mengejar orang yang telah 

menyerangnya tadi!"

"Jangan! Bahaya! Ini pukulan Inti 

Petir.! Bisa dilancarkan dari jarak 

beberapa ratus tombak jauhnya!"

Tapi Ludiro tidak peduli dengan 

ocehan mereka. Ia melompat ke luar dari 

pagar Dalem Kadipaten. Matanya jalang 

dan liar memandang orang yang telah 

melancarkan pukulan sadis ke tubuh 

penghulu Badra tadi. Namun ia tak melihat 

ke mana arah larinya. Hanya saja, i.da 

beberapa semak yang bergoyang daunnya. 

Pasti ke arah semak itulah orang tersebut 

melesat pergi. Tak ada waktu lagi bagi 

Ludiro untuk berpikir lebih jauh. Ia 

segera melesat ke arah tersebut dengan 

berseru, "Tunggu jawabanku, Iblis 

laknaaat...!!"

Ludiro menerjang semak dedaunan, 

duri dan ranting kering. Semakin cepat ia 

berlari, semakin banyak tergores 

tubuhnya oleh duri semak belukar. Oh, 

sudah jauh dari Dalem Kadipaten. Tetapi 

bayangan orang yang dikejarnya hanya 

terlihat samar-samar jauhnya. Ludiro 

terus berusaha mengejar orang itu.


Matanya masih bisa melihat bahwa orang 

itu mengenakan kerudung kepala yang 

langsung menjadi satu dengan jubahnya. 

Warnanya hitam, mirip pakaian malaikat 

pencabut nyawa.

"Bangsat itu pasti ada hubungannya 

dengan penculikan semalam," pikir Ludiro 

sambil berlari semakin cepat. "Jika tak 

salah dugaanku, pasti dia anak buah 

Areswara atau Peri Sendang Bangkai. 

Pasti dia bertugas menutup mulut 

penghulu Badra yang hendak membo-corkan 

rahasia Sendang Bangkai. Kalau begitu... 

kalau begitu berarti dia tahu bahwa peng-

hulu Badra mengerti betul tentang 

Sendang Bangkai, dengan lain perkataan, 

berarti penghulu Badra pernah ada 

hubungan dengan orang-orang Sendang 

Bangkai... Jadi, siapa sebenarnya 

penghulu Badra itu?"

Orang yang dikejar masih terlihat 

samar-samar. Namun mendadak Ludiro 

berhenti seketika. Di depannya telah 

berdiri dua orang perempuan berparas 

cantik. Keduanya hanya mengenakan 

penutup dada dari bahan semacam kain 

bludru dan hiasan rantai-rantai emas. 

Sementara celananya sendiri hanya berupa 

celana dalam yang dirajut rapat dengan 

rumbai-rumbai dari logam kuning emas.


Masing-masing perempuan itu bertubuh 

lencir, sebaya, berambut sebatas 

punggung yang diikatkan ke belakang. 

Mereka memegang pedang di tangan 

masing-masing. Sepasang rantai perak 

yang menyilang dari penutup dada ke 

celana melewati pusarnya sungguh membuat 

mereka tampak sangat seksi dan 

menggairahkan.

Ludiro masih terbengong melompong 

saat kedua perempuan itu tersenyum sinis 

dan melangkah mendekatinya. Buru-buru 

Ludiro mengambil sikap, memasang 

kuda-kuda dengan menarik kaki kanannya 

ke belakang setelah itu perempuan 

berkata:

"Jangan teruskan perjalananmu!"

Ludiro segera tanggap, bahwa kedua 

perempuan itu adalah komplotan orang 

yang telah membunuh penghulu Badra 

dengan pukulan jarak jauh yang 

mengerikan itu. Geram dan kemarahan 

Ludiro semakin bertambah. Ia membentak 

dengan lantang dan berani:

"Minggat kau, Siluman miskin...!!"

Kedua perempuan itu menertawakan 

Ludiro. "Karena pakaian kita cuma 

seperti ini, lantas dia mengatakan kita 

Siluman miskin, hii... hi... hi...."


Temannya menyahut, "Dia tidak tahu 

selera birahi...." Orang itu juga 

tertawa mengikik geli. Ludiro merasa 

terhina, mukanya menjadi merah.

Dengan gerakan yang gesit, Ludiro 

langsung menyerang, meluncurkan kaki 

kanannya dalam satu gerakan melayang ke 

arah salah seorang perempuan tersebut. 

Perempuan itu hanya berkelit ke samping, 

dan tubuh Ludiro lolos, bagai menerjang 

angin tanpa arti. Perempuan itu 

menertawakan Ludiro.

"Jangan galak-galak, Bung!"

Nafas Ludiro terengah-engah karena 

memendam kemarahan. Salah seorang yang 

tadi tidak diserang berkata kepada 

Ludiro, "Hei, orang galak dan ganas 

seperti kamu justru mudah bertekuk lutut 

di hadapan kami, mengerti?!"

Yang satunya menyahut, "Sebab itu, 

kalau mau mengalahkan kami, rayulah 

dengan lembut. Berilah kami seteguk 

kehahgatan, maka kami yang akan bertekuk 

lutut di hadapanmu”.

Yang tadi menyahut, "Dan juga yang 

akan membunuh kamu dengan tanpa ampun 

sedikit pun. Hi, hi, hiii...."

Ludiro pasang kewaspadaan dan siap 

siaga, kendati ia pun berkata sinis, 

"Kalian salah duga. Nafsuku bukan nafsu


menggumuli kalian, tapi nafsu membunuh 

kalian. Tahu?!"

Perempuan yang tadi diserang maju 

selangkah, ia memeluk pedangnya sendiri 

dengan kedua kaki berdiri terentang. 

Senyumnya bagai seringai iblis, dan 

tatapan matanya itu bagai suatu kekuatan

gaib yang mampumelumerkan tulang. Ia 

berkata dalam nada angkuh:

"Aku tidak melihat kau membawa 

pedang. Lantas dengan apa kau akan 

membunuh kami. Dengan pedang tumpulmu 

yang kau sembunyikan di sela paha itu, 

hii... hi... hi..."

Ludiro semakin terengah-engah, 

menyipitkan mata, memandang benci. 

Tetapi sebelum ia bicara, perempuan yang 

satunya sudah ikut maju, berjajar dengan 

temannya. Pedangnya yang panjang dipakai 

sebagai tongkat, tertuju ke tanah 

sementara gagangnya ia pakai sebagai 

tumpuan tangan kanan. Ia berdiri dengan 

salah satu kaki ditekuk, bagai sedang 

bergaya memikat di depan Ludiro. Sambil 

membuka kedua buah pahanya yang mulus, 

perempuan itu berkata centil:

"Kalau pedang itu yang ingin kau 

gunakan menusuk kami, ohoii... mana bisa 

kami melawanmu? Alangkah tololnya 

menghindari pedang tumpulmu, bukan?"


Kini sadarlah Ludiro, ia dipancing 

untuk marah, namun juga dipancing untuk 

tergiur. Tidak, Ludiro tidak mau jatuh 

dalam rayuan maupun meledakkan amarah 

dari pancingan itu. Ia harus bisa tenang 

untuk mempelajari gerakan-gerakan yang 

mungkin akan datang secara tiba-tiba.

Ludiro sengaja bersikap tenang dan 

membiaskan senyum tawarnya, lalu berkata 

dengan tolak pinggang.

"Rupanya kalian memang menyukai pe-

dang tumpulku, ya?"

"O, tentu. Tentu...!" jawab mereka 

nyaris serempak dan sangat bersemangat.

"Baiklah. Tapi satu persatu 

memakainya, niih...!"

Gerakan kilat yang hampir tak 

terlihat mata telah terjadi. Tangan 

Ludiro melemparkan senjata andalannya, 

berupa Mata Pisau yang beracun. Benda 

kecil itu melayang cepat ke arah salah 

seorang perempuan. Perempuan yang 

merenggangkan kedua kakinya itu 

terbeliak kaget seraya memegangi 

lehernya. Mata pisau atau senjata 

rahasia Ludiro menancap seluruhnyake 

tenggorokan perempuan tersebut. Sudah 

tentu perempuan itu hendak memekik, 

namun suaranya tertahan senjata rahasia 

Ludiro sehingga hanya dapat


menggerok-gerok bagai kambing 

disembelih. Tubuhnya limbung dan jatuh 

ketanah, mengejang ngejang.

"Biadaaab...!!" teriak temannya. 

Orang itu segera menyerang Ludiro dengan 

kemarahan yang meluap. Pedang diayunkan 

menebas leher Ludiro dengan suatu 

gerakan yang lincah sekali.

"Kau harus menebusnya dengan 

lehermu, jahanam...!"

Ludiro mengelak ke samping, namun 

dalam keadaan tubuh miring itu ia sempat 

melancarkan tendangannya. Tendangan 

kaki kanannya itu membentur perut 

perempuan tersebut. 

Buk...! Yang ditendang menahan 

nafas hingga terdengar suara:

"Ngeekh...!"

Tapi anehnya, karena tendangan itu 

justru tubuh Ludiro jadi terpental dan 

jatuh tak berposisi. Kesempatan itu 

digunakan musuhnya untuk menusukkan 

pedang dengan gerakan menukik dari atas, 

"Yiaaaaatt...!"

"Jugg...!!" Terdengar suara pedang 

menembus barang empuk.

Untung bukan tubuh Ludiro yang 

menjadi sasaran pedang musuh, melainkan 

sebatang pohon yang membusuk. Dalam 

kesempatan itu, Ludiro segera


melancarkan jurus Tendangan Dewa Mimpi, 

bergulung sambil menyerang dengan suatu 

tendangan kaki kanan yang di luar dugaan 

lawan. Tendangan itu mengenai belahan 

kedua paha perempuan tersebut, sehingga 

perempuan itu sempat terpekik antara 

malu dan terkejut sakit. Tubuh perempuan 

itu terpental ke belakang, namun tidak 

jatuh, melainkan kembali berdiri sigap 

dengan pedang siap diayunkan. Kali ini 

Ludiro tidak menyerang lagi dengan 

tendangan sehingga pedang lawannya tak 

berhasil mengenai kakinya. Ludiro 

bergegas berdiri, kemudian bersalto ke 

belakang, sekedar menjaga jarak dengan 

lawannya.

"Bagaimana...?" ucap Ludiro sambil 

mengatur nafas.

Perempuan itu memandang penuh 

kebencian. Ludiro berbalik ganti 

mengejek perempuan itu:

"Pedang tumpulku belum berfungsi 

kau sudah kelihatan capek, apalagi kalau 

sampai kugunakan, he, he, he..."

Tanpa menunggu ejekan berikutnya, 

perempuan itu berteriak nyaring dan 

menyerang Ludiro dengan pedang terjulur 

ke depan. Ludiro tidak mundur setapak 

pun. Ia memiringkan badan, sehingga 

pedang lawannya terasa mendesing di


samping telinganya. Pada kesempatan itu, 

Ludiro memegang tangan perempuan itu 

dengan kuat-kuat.

"Hupp...! Hiaayaa...!"

Satu hentakan suara bersamaan 

dengan pukulan tangan kiri Ludiro ke 

tulang rusuk musuhnya. Perempuan itu 

menyeringai kesakitan. Ludiro belum mau 

melepaskan pegangan tangannya. Masih 

kuat ia menggenggam pergelangan tangan 

yang memegang pedang. Lalu dengan 

hentakan yang sangat kuat, Ludiro 

membalikkan badan dan menyodok perut 

lawannya dengan sikut tangan kiri. 

"Aaahkk..!"

Perempuan itu terpekik. Ia segera 

memindahkan pedangnya ke tangan kiri. 

Dan ia mulai menusukkan pedangnya ke 

tubuh Ludiro yang amat dekat itu. Tetapi 

dengan gerakan bersalto ke belakang,

Ludiro dapat menghindari tusukan pedang 

tersebut. Dua kali Ludiro bersalto ke 

belakang, sehingga dalam jarak yang 

cukup itu, ia merendahkan tubuh, 

berlutut dengan salah satu kaki dan, 

"wesss...!" Ia melemparkan senjata 

rahasianya ke arah perempuan itu.

"Tring...!" Senjata Ludiro dapat 

ditangkis dengan kibasan pedang


musuhnya. Sekali lagi Ludiro melemparkan 

Mata Pisau beracun

"Wess...!"

"Tring...!" Perempuan itu 

menangkisnya dengan pedang bersaman 

dengan gerakan tubuh yang melengkung ke 

samping dan salah satu kakinya ditekuk. 

Sebelum Ludiro melancarkan senjata 

rahasianya lagi, perempuan itu telah 

lebih dulu melejit ke udara.

"Hiaaaat...!!"

Ia bersalto ke arah Ludiro dengan 

pedang ditebaskan bertubi-tubi. Ludiro 

menghindar, namun rambutnya sempat 

terpotong beberapa bagian oleh pedang 

itu. Ludiro tergeragap.

"Sekarang saatnya pembalasanku 

tiba, manusia busuk...!"

Perempuan itu berdiri tegap, 

pedangnya dikibaskan ke arah depannya 

berkalikah kendati ia tahu jarak Ludiro 

tak terjangkau. namun tiba-tiba, pedang 

itu meluncur sendiri dengan cepat. 

Berputar bagai tak dapat dilihat 

gerakannya. Ludiro kelabakan, 

menghindar ke kiri-kekanan, melompat ke 

atas, berguling... dan pedang itu masih 

mengejarnya. Gerakan Ludiro sudah 

seperti celeng mabok, tak karuan meng-

hindari gerakan pedang yang memburunya.



Sampai akhirnya kepala Ludiro terbentur 

batang pohon. 

"Prak...!" Pedang itu meluncur ke 

arahnya dengan cepat.

"Jubb...!" Pedang menancap pada 

batang pohon yang keras. Ludiro lega, 

namun lengannya berdarah karena tergores 

pedang setan itu. Ia baru saja hendak 

melemparkan senjata rahasianya, 

tahu-tahu kaki perempuan itu menendang 

dagunya sekuat tenaga. Ludiro memekik 

dan terdongak, lalu rebah ke belakang.

"Rasakan bagianmu ini, monyet 

jelek...!"

Sekali lagi perempuan itu menendang 

dengan satu hentakan yang cukup kuat. 

Tendangan itu bersarang di punggung 

Ludiro, membuat Ludiro kesakitan, 

punggungnya bagai patah.

Dalam keadaan kritis itu, ia sempat 

berkonsentrasi dan segera berguling 

sambil melancarkan Tendangan Dewa Mimpi. 

Bergulingnya tubuh Ludiro membuat 

perempuan itu sedikit kebingungan, namun 

segera mendelik karena kaki Ludiro 

menghentakan kemaluannya. Ia buru-buru 

meloncat ke belakang.

Ludiro tak sempat memburu, karena 

punggungnya terasa sakit sekali dan 

dagunya bagai pecah karena tendangan


tadi. Ia berusaha berdiri dengan 

merambat, berpegangan batang pohon. Pada 

saat itu, pandangan matanya yang 

berkunang-kunang sempat melihat 

perempuan itu sempoyongan. Ia berusaha 

mengangkat temannya yang telah mati 

dengan leher ditembus senjata rahasia 

Ludiro. Ia memanggul jenazah temannya 

dan segera melarikan diri.

"Tunggu...!!" teriak Ludiro yang 

tak mampu melengking.

Perempuan itu terus melesat, namun 

sempat meninggalkan suara nyaring.

"Kita akan bertemu lagi, monyet! Aku 

akan memburumu! Ingat kata-kata ini 

hanya aku yang berhak membunuhmu!"

"Berhenti kalauu kau memang..." 

Ludiro tak sanggup bicara lagi. 

Kepalanya begitu pusing, dan luka di 

lengannya itu menjadi terasa sangat 

perih. Ia mencoba mehhat luka di le-

ngannya, ooh... ternyata luka itu cepat 

sekali menjadi busuk. Bukan darah merah 

segar lagi yang mengucur, melainkan 

darah hitam, kental dan berbau busuk.

Ludiro bersandar pada batang pohon, 

tak mampu berdiri. Nafasnya 

terengah-engah, badannya terasa sakit. 

Ia melirik ke batang pohon, ternyata di 

sana masih ada sebilah pedang yang


menancap. Pedang itulah yang menggores 

lengannya dan menjadi busuk, bahkan... 

astaga! Sekarang bukan hanya bagian luka 

saja yang membusuk, melainkan di 

sekeliling luka pun menjadi busuk. 

Mengoreng bagai borok yang amat ganas.

Ludiro sempat kebingungan dan 

tegang. Jelas pedang itu mempunyai racun 

yang amat ganas. Bukan hanya membuat luka 

menjadi busuk dalam tempo singkat, 

melainkan tulang-tulangnya pun terasa 

patah semua. Ludiro nyaris tak dapat 

bergerak Ia mencoba dan mencobanya lagi, 

tapi kakinya benar-benar mati. Bahkan 

jari-jari tangannya tak dapat 

disentil-sentilkan, apalagi dipakai 

memegang sesuatu. Hanya leher saja yang 

masih bisa bergerak, dan itu pun lamban 

serta dengan susah payah.

Ketika ia mehrik kembali luka di 

lengannya, matanya tak mampu membelalak 

lebar melihat borok itu semakin merayap, 

membesar dan menjijikkan. Oh, apa yang 

harus ia lakukan dalam keadaan seperti 

ini. Ia sendirian. Tempat itu sepi. Ia 

tak mampu menggerakkan bibirnya untuk 

berseru meminta pertolongan. Sedangkan 

borok itu...oh, makin lebar dan semakin 

menjadi busuk. Sekar ang hampir memakan


separoh lengannya. Haruskah ia mati di 

situ diserang borok busuk?

***

DUA



KEREMANGAN sore mulai membias. 

Langit warna merah saga. Sejauh itu

Ludiro masih bersandar pada sebuah pohon 

yang menjulang tinggi. Ia bagai menunggu 

ajal tiba, karena borok itu semakin 

membusuk di seluruh tangannya. Telapak 

tangannya sendiri mulai lembek dan 

sebentar lagi pasti akan membusuk 

seperti lainnya.

Dalam kesendirian menunggu busuknya 

semua anggota badan itu, Ludiro tak dapat 

berbuat apa-apa kecuali meratap dalam 

hati. Ia tahu, tempat yang begitu liar 

ini tak akan dilalui oleh siapa pun, 

kecuali dedemit-dedemit hutan. Ia merasa 

tidak punya harapan lagi. Jangankan 

harapan untuk hidup, harapan untuk bisa 

berteriak pun tidak ada sama sekali. 

Sekarang yang bisa ia gerakan hanya bola 

matanya. Tulang leher mulai kaku seperti 

anggota tubuh lainnya. Bola matanya itu 

yang sesekali melirik pedang bergagang


kuningan yang menancap pada batang pohon 

di seberangnya. Ia hanya bisa mengumpat 

dalam hati

"gara-gara pedang itu, tubuhnya 

menjadi tersiksa menunggu pembusukan 

yang sempurna. Oh, racun apa gerangan 

yang membersit dalam lapisan pedang itu 

sebenarnya?" pikirnya sejak tadi.

Di luar dugaan, Ludiro merasakan ada 

sesuatu yang menyentuh boroknya. Mulanya 

ia menganggap hanya semilir angin, namun 

setelah dirasakan berkali-kali, ia mulai 

sadar memang ada sesuatu yang menyentuh 

tangannya yang busuk itu. Ingin rasanya 

ia berpaling melihat sesuatu yang 

menyentuh bagian pangkal lengannya, 

namun ia tak mampu. Lehernya masih kaku 

dan gerak matanya tak dapat menjangkau 

untuk memandang ujung pundaknya. Hanya 

saja, Ludiro tahu, sesuatu yang 

menyentuh itu adalah tetesan benda cair. 

Tetesan itu berasal dari atas. Oh, 

mungkin hujan atau embun.

Ludiro membiarkan benda itu menetes 

terus, membiarkan lengannya yang busuk 

menjadi basah sampai beberapa lama. 

Bahkan Ludiro m-maksakan diri untuk 

dapat terpejam tidur, walaupun hal itu 

sangat sukar ia lakukan.


Tanpa disadari, ternyata lehernya 

mulai dapat digerakkan sedikit demi 

sedikit. Kekakuan berkurang, dan Ludiro 

dapat memandang benda yang menetes di 

ujung lengannya itu.

"Oh, darah...?" ia berkata dalam 

hati. Ia menggumam lirih. Pelan sekali. 

Untuk mendongak ia masih tak mampu. Sebab 

itu ia membiarkan darah yang menetes dari 

atas pohon itu membasahi boroknya terus. 

Ludiro merasakan ada perubahan pada 

lukanya yang membusuk. Setiap tetesan 

darah membuat rasa perihnya berkurang. 

Dan semakin banyak darah yang mengalir ke 

bawah, membasahi lengannya, semakin 

berkurang pula aroma bau busuk yang tadi 

memualkan perut itu.

Sampai akhirnya, lengan yang 

membusuk itu telah basah seluruhnya oleh 

darah segar. Darah yang menetes dari atas 

pohon tempatnya bersandar. Lalu, suatu 

perubahan dirasakan kembali, kini leher 

Ludiro bisa dipakai untuk mendongak Ia 

memandang ke atas mencari sumber tetesan 

darah yang cukup aneh itu.

Oh, ternyata ada seseorang di atas 

sana. Orang itu tersangkut pada sebuah 

dahan besar dalam keadaan terluka. 

Ludiro mengernyitkan alis, menyipitkan 

mata untuk memperjelas penglihatannya.

Kian lama kian nyata, orang itu adalah 

seorang perempuan berkain sutra warna 

merah muda. Dari perhiasan yang 

dikenakan, jelas perempuan itu bukan 

dari keluarga rakyat jelata. Wajahnya 

tak dapat terlihat, karena tertutup 

beberapa rimbun daun. Namun kakinya yang 

lencir indah bagai batang bambu suling 

itu terlihat mengenakan binggel, gelang 

kaki berwarna emas. Tipis, tapi sungguh 

indah dan terlihat nyata dalam keadaan 

terpadu dengan warna kulitnya yang 

kuning.

"Eh... bisa bergerak...?!" Ludiro 

bicara sendiri, merasa aneh ketika tak 

sadar ia mampu menarik kakinya. Kini 

perhatiannya kembali pada dirinya 

sendiri. Oh, ternyata ia sudah mulai bisa 

bergerak. Rasa ngjlu pada tulangnya 

hilang. Ia seperti memperoleh 

kekuatannya yang sejak tadi tak ada pada 

dirinya. Dan ia memandangi lengannya 

yang membusuk, ooh...? ternyata lengan 

itu kembali normal. Luka mengering dan 

menutup kembali. Kebusukan sirna,kini 

berganti lumuran darah yang menetes dari 

atas pohon.

Sengaja Ludiro tidak membersihkan 

darah itu. Ia bangkit dan mencoba untuk 

berdiri. Ternyata bisa. Ia berdiri



tegak, lalu merenggangkan kaki, memasang 

kuda-kuda, merendahkan badan sedikit, 

meloncat-loncat pendek, oh... sungguh ia 

merasa kembali seperti sedia kala. Ia 

mengencangkan otot-otot tangan dan kaki, 

menggerakkan dalam beberapa jurus, dan 

nyatanya memang betul-betul mampu 

bergerak dengan mantap.

"Siapa perempuan yang di atas pohon 

itu?" katanya dalam hati. "Siapa pun dia, 

namun secara tak langsung ia telah 

menyelamatkan jiwaku. Darahnya yang 

telah menetes pada lukaku dan membuat 

suatu kesembuhan yang sukar dipercaya. 

Hem, sudah sepatutnya aku mengucapkan 

terima kasih kepadanya... tapi apakah 

dia masih hidup?"

Tanpa menunggu pertimbangan lebih 

pan-ang lagi, Ludiro memanjat pohon itu. 

Sebenar-nya ia bisa saja menggunakan 

ilmu peringan tubuh, tapi ia tak ingin 

melakukan dengan cara begitu. Ia lebih 

senang dapat menaiki pohon itu dengan 

susah payah. Terpeleset jatuh pun tak 

jadi soal, justru itu ia semakin senang, 

sebab dengan demikian ia telah menolong 

perempuan itu dengan proses yang cukup 

sulit, paling tidak dengan suatu 

pengorbanan waktu dan tenaga.


"Syukurlah... ia belum mati..." 

ucap Ludiro lirih. Ia segera mengangkat 

tubuh perempuan itu dengan sangat 

hati-hati. Ia berusaha jangan sampai 

tubuh itu terjatuh dari atas pohon yang 

cukup tinggi. Kendati ia sendiri juga 

besar kemungkinannya untuk tergelincir 

jatuh, namun yang paling utama baginya

adalah menyelamatkan tubuh perempuan itu 

agar jangan sampai terjatuh dari 

ketinggian yang dapat membuat batok 

kepala hancur seketika.

Berhasil diturunkan dari atas 

pohon, perempuan itu segera dibaringkan 

di rerumputan yang aman dan tak 

mengandung duri. Sejenak Ludiro 

mengagumi wajah cantik perempuan itu 

yang memiliki sepasang bulu mata lentik 

dan tahi lalat di samping bibirnya yang 

mungil. Benar-benar bagai seorang 

bidadari dalam tidurnya yang lelap. 

Ludiro berdecak kagum. Dalam hati ia 

berkata, "Hanya Putri Ayu Sekar Pamikat 

yang mampu menyaingi kecantikan gadis 

ini..." Ludiro gelisah memandanginya 

terlalu lama. Ia tak tahan, sebab itu 

segera ia membuang rasa kagumnya dan 

khayalan keindahannya tentang putri 

tersebut.


"Edan...!" pekik Ludiro dengan mata 

terbelalak. Ia tak mampu berkedip saat 

memeriksa luka perempuan itu yang tadi 

meneteskan darah. Ia hampir tak percaya 

pada penglihatannya sendiri, bahwa luka

di ketiak perempuan itu adalah luka 

karena terkena senjata rahasia. 

Bentuknya berupa mata pisau yang kecil, 

tipis dan beracun.

"Ini senjataku...?!" ucapnya 

sendiri dalam kebingungan. Wajah Ludiro 

menjadi tegang, matanya memandang 

sekeliling sebentar, kemudian 

memperhatikan perempuan itu lagi 

Benar-benar tak habis pikir bagi Ludiro, 

bagaimana mungkin ada orang yang mampu 

menyerang perempuan itu dengan 

menggunakan senjata rahasia miliknya? 

Mungkinkah penyerangnya sama persis 

dengan penyerang gelap yang menewaskan 

Raden Praja di Lembah Bukit Tanah Iblis, 

tempo hari itu? (dalam kisah Racun Puri 

Iblis). Jadi selama ini memang adakah 

orang yang selalu menjadi penyerang 

gelap dengan menggunakan senjata rahasia 

serupa dengan miliknya?

Ludiro geleng-geleng kepala. Ia 

memeriksa di sekitar luka itu. Oh, 

memerah, bahkan legam. Ia hapal, itulah 

racun yang akan menyerang jantung si


penderita akibat terkena senjata 

rahasianya. Jadi, sejauh itukah orang 

dapat meniru senjata rahasianya, sampai 

ke kadar racunnya segala?

Kebingungan dan penyesalan 

dibuangnya jauh-jauh. Yang penting ia 

harus segera menyelamatkan perempuan 

muda itu. Ia telah berhutang budi secara 

tak langsung. Dan memang hanya dialah 

yang tahu bagaimana mengatasi racun 

senjata rahasianya itu. Mungkin memang 

ada seseorang yang tahu, yaitu pemalsu 

senjata rahasianya. Tetapi orang itu 

tidak ada. Jadi saat sekarang hanya 

dialah yang dapat menyelamatkan jiwa

perempuan cantik itu.

Ludiro segera menempelkan telapak 

tangannya ke sekitar ketiak yang terluka 

Kedua telapak tangan itu menekan bagian 

tulang rusuk, dan pangkal lengan. Hal ini 

dilakukan setelah ia memiringkan 

perempuan tersebut. Lalu dengan suatu 

konsentrasi yang tinggi, pemusatan hawa 

murni dalam ilmu Seraptaji, telapak 

tangan itu mulai bergetar. Semakin lama 

tubuh perempuan itu semakin jelas 

bergetar. Kemudian ada asap biru 

mengepul ke luar dari lobang luka yang 

masih menyimpan senjata Mata Pisau 

Beracun itu. Asap biru kian mengepul,


lalu tiba-tiba logam tipis kecdl itu 

meluncur sendiri ke luar dari dalam luka. 

Darah hitam meleleh dan membasahi gaun 

sutra berlengan panjang.

"Air..." Ludiro menggumam dengan 

clingak-clinguk mencari kemungkinan ada 

air di sekitarnya. Tapi, iatakmenemukan 

sesuatu yang dapat dipakai untuk minum. 

Tak ada genangan air, tak ada sungai, tak 

ada apa pun kecuali kelebatan hutan 

belukar.

"Aku harus mengambil air untuk dia. 

Pasti tenggorokannya telah kering karena 

racun tadi."

Berjalan kehling sekitar situ, tak 

menemukan sumber air. Akhirnya Ludiro 

nekad pergi mencari air di tempat lain. 

Sebelumnya ia telah menulis pesan untuk 

perempuan itu apabila sewaktu-waktu 

siuman. Pesan ditulis pada batang pohon,

dikerat dengan menggunakan pisau 

rahasianya. Tulisan itu berbunyi: 

JANGAN PERGI. AKU AKAN DATANG DENGAN 

AIR UNTUK MU.

Gerakan Ludiro yang terburu-buru 

cukup gesit. Ia melompat bagai seekor 

bajing di sela semak belukar. Memang 

kulit lengannya tergores duri, tapi tak



pernah dihiraukannya. Yang terpikir 

dalam benaknya ialah gadis itu. Ya, siapa 

dia sebenarnya? Ada perlu apa berada di 

hutan belukar seperti itu? Lantas, 

bagaimana dengan Sekar Pamikat sendiri? 

Di mana dia sekarang? Tahukah dia bahwa 

yang menculik calon suaminya adalah Peri 

Sendang Bangkai? Ah, cukup rumit juga 

otak Ludiro saat itu. Tetapi akhirnya ia 

berhasil menemukan sebuah telaga di 

dalam hutan itu. Telaga berair keruh, 

tapi masih lumayan ketimbang air 

comberan, pikirnya. Dan ia segera 

mengambil buah berenuk kering, 

menggunakan buah berenuk untuk mengambil 

air telaga itu.

Pada saat Ludiro hendak membawa 

pergi air itu, tiba-tiba langkahnya 

terhenti. Seorang lelaki brewok berikat 

kepala batik menghadangnya dengan 

garang. Lelaki itu bertubuh besar, mirip

seorang raksasa. Tingginya mencapai satu 

setengah tombak kurang sedikit. Ia 

mengenakan pakaian serba hitam. Kumisnya 

tebal melintang dengan golok pendek di 

pinggang. Sebatang akar bahar berukuran 

sebesar jempol kaki membelit di lengan 

kanannya. Dadanya yang berbulu itu 

mengenakan kalung dari kain hitam 

berbentuk segi empat. Ia memandang


Ludiro dengan mata semburat merah, 

mengerikan. Suaranya begitu berat dan 

besar ketika ia berkata dalam nada geram, 

"Kau memasuki wilayahku, setan! Dan

kau telah mengambil barang milikku itu 

tanpa permisi!"

Ludiro menghela nafas. Belum 

apa-apa ia sudah merasa sesak napas 

melihat perawakan lelaki brewok itu.

"Aku membutuhkan air untuk menolong 

seseorang."

"Tapi kau tidak minta izin kepadaku 

dulu, setan!" Lelaki brewok itu 

mendekat. "ini wilayahku. Ini telagaku! 

Kalau kau mengambil sesuatu dari wilayah 

telaga ini, kau harus izin dulu 

kepadaku."

Agaknya orang ini cukup kasar dan 

ganas. Ludiro berpikir dengan cepat 

untuk mengatasi kegarangan orang itu.

"Sebenarnya aku ingin meminta izin 

kepadamu, sobat," Ludiro bicara sambil 

tersenyum. "Tapi, aku tidak bisa 

menemukan di mana kamu berada. Jadi, 

yahh... kuambil saja."

"Kenapa tidak kau sebut saja namaku: 

Gopo!"

"Aku... aku tidak tahu," Ludiro 

mengangkat kedua pundaknya seraya 

menyunggingkan senyum.


"Dasar maling!" bentak Gopo yang 

sempat membuat Ludiro terlonjak kaget. 

Suaranya bagai mempunyai tenaga hentakan 

yang cukup kuat. "Karena kemalinganmu 

itu, kau harus menerima hukuman ini, 

setan!"

"Wuss...!" Gopo menendang dengan 

sebelah kaki, bagai seseorang yang 

tengah menendang bola. Ludiro tak sempat 

menghindar karena tendangan itu sangat 

cepat dan di luar dugaan. Ludiro 

terjengkang ke belakang, nyaris jatuh 

masuk ke telaga. Lalu dengan cepat Gopo 

memburu dan melangkahkan kaki, kemudian 

menghentak dengan mantap.

"Jleegg...!" Gopo bagai sedang 

menginjak seekor semut. Telapak kakinya 

yang besar jatuh tepat di samping telinga 

Ludiro. Tanah bergetar karenanya. Ludiro 

berguling ke kiri, dan berguling lagi 

karena kaki Gopo memburu untuk menginjak 

kepala Ludiro.

Entah berapa gulingan Ludiro 

menyatu dengan tanah basah di tepian 

telaga yang mirip sebidang kolam ikan 

itu.

"Mampus kau, maling cikik! Hihh...! 

Hiih...!" Gopo kelihatan tak memberi 

kesempatan kepada Ludiro.


Dalam keadaan tegang itu, Ludiro 

sempat memanfaatkan jurus Tendangan Dewa 

Mimpinya. Berguling sambil melancarkan 

tendangan ke arah alat vital musuhnya.

"Heaaat...! Hahh...!"

"Uhh...!" Gopo menyeringai 

kesakitan dan mundur beberapa langkah.

Namun sebentar kemudian Gopo telah 

kembali tegap, bahkan lebih garang lagi. 

Sedangkan Ludiro buru-buru mengambil 

sikap berdiri dengan kedua kaki renggang 

sedikit ditekuk. Paling tidak itu sebuah 

awal untuk meloncat dan menyerang. 

Ludiro sempat gemetar melihat lawannya 

sungguh tak berbeda dengan seorang 

raksasa. Apalagi tubuh Ludiro pendek, 

hanya sebatas ulu hati Gopo, hal itu 

membuat Lidoro bertanya dalam hati: 

"Mampukah ia mengalahkan manusia raksasa 

ini?"

Sebuah pukulan dilancarkan oleh 

Ludiro ke perut Gopo. Lelaki tinggi besar 

itu tidak menangkis atau menghindar. 

Pukulan itu dibiarkan membentur 

perutnya. 

"Buuk...!" Ludiro bagai memukul 

bedug. Dan pada saat itu, tangan Gopo 

meraih tangan Ludiro dengan cepat.

"Kena kau, maling!" geramnya dengan 

mata melotot merah.


"Aaahk...!" Ludiro memekik 

tertahan, pergelangan tangan kanannya 

terasa sakit karena bagai dicepit dengan 

besi baja yang amat kuat.

"Uuh... aah...!" Ludiro tak sempat 

bilang apa-apa.

"Remuk tanganmu, Maling! Remuk 

sekarang juga! Hihh...!" Genggaman Gopo 

semakin kuat dan sangattmenyakitkan.

Dalam kesempatan itu, tangan kiri 

Ludiro menegang, lalu kepalan tinjunya 

melayang ke pinggang Gopo. Lelaki itu 

tidak berkelit dan tidak merasa sakit 

sedikit pun. Tetapi ketika lutut Ludiro 

menyodok keras alat vitalnya, Gopo 

menjerit. Tubuhnya terbungkuk ke depan

sementara pantatnya mundur ke belakang. 

Kesempatan itu digunakan Ludiro untuk 

menghantam kepala Gopo kuat-kuat.

"Rasakan permainanku yang ini, 

heaaahh...!!"

"Plok...! Plook...!"

Gopo masih memegangi tangan Ludiro. 

Kali ini ia justru menyerusuk ke leher 

Ludiro, lalu tangan yang satunya 

merangkul pinggang Ludiro.

"Haaahh...!!"

Gopo menyentakkan rangkulannya, 

merapatkan tubuh Ludiro dengan perutnya 

yang gendut dan keras itu. Ludiro menjadi


sukar bernafas, ia bagai digencet di 

antara dua buah gunung. 

"Ngeekk...!" suaranya begitu 

menyedihkan. Mulut Ludiro cengap-cengap 

dengan mata mendelik. Ia berusaha 

meronta, namun hanya kelojotan saja yang 

bisa dilakukan. Kedua kakinya terangkat 

dan tangannya kaku.

"Pencuri... harus mati, hiihh...!!" 

Gopo semakin mengencangkan pelukannya. 

Kini bahkan dengan kedua tangannya ia 

menghimpit tubuh Ludiro. Otot-otot 

tangannya tersumbul dari dalam lapisan 

kulitnya yang tebal. Begitu kuat jepitan 

itu, sehingga Ludiro mau minta ampun saja 

sukar sekali. Mulutnya menganga 

kuat-kuat, menahan sakit dan mencari 

pernapasan.

Sambil menggeram Gopo sempat 

berkata, "Setiap pencuri di wilayahku 

tak ada yang pernah hidup, tahu?! 

Hehh...!"

Kalau saja lebih lama sedikit, maka 

habislah riwayat Ludiro dalam jepitan 

manusia raksasa itu. Untung ia segera 

mendengar suara lecutan cambuk. 

"Ctar...! ctar..!" Dan pelukan Gopo 

merenggang seketika. Gopo terlepas, 

jatuh lemas bagai cucian baju yang belum 

dijemur. Gopo menjerit kesakitan sambil


berusaha meraba punggungnya. Ia berbalik 

sambil oleng ke kiri dan kanan.

Pendekar Cambuk Naga berdiri dengan 

sikap menantang tak jauh dari Gopo. Bukan 

hanya mata Gopo saja yang membelalak 

lebar, tapi mata Ludiro pun demikian 

juga. Setelah berhasil menghirup nafas 

dengan cepat, Ludiro pun berseru:

"Putri...?!"

Ucapan Ludiro tak berlanjut. Gopo 

lebih dulu berseru dengan geram, 

"Setan Betina...!! Berani kau 

melukai tubuhku, hah?! Rasakan 

pembalasanku ini, heaaaahh...!!"

Pendekar Cambuk Naga tak mau 

membuang-buang waktu dan tenaga, ia 

mengibaskan cambuknya yang terbuat dari 

serat-serat sutra, namun mempunyai 

kekuatan yang luar biasa, terlebih jika 

dialiri tenaga dalamnya.

"Tarr...! Tarr...!"

Dua kali cambuk melecut, keduanya 

mengenai kaki Gopo. Lelaki itu menjerit 

keras, dan air telaga pun bergoyang 

karena getaran suara. Gopo jatuh ke tanah

sambil kesakitan. Untung Sekar Pamikat 

atau Pendekar Cambuk Naga tidak 

bersungguh-sungguh dalam menyerang 

Gopo, sehingga kedua kaki lelaki brewok 

itu tidak putus terpotong seperti kaki


Darmala dulu (dalam kisah Racun Puri 

Iblis). Lelaki itu hanya merasa tulang 

kakinya seperti remuk dan menjadi 

lumpuh. Untuk sementara ia memang tak 

dapat berdiri. Dan Sekar Pamikat sengaja 

mendekatinya dengan senyum kemenangan.

"Aku bisa membunuhmu sekarang juga. 

Tapi untuk apa. Kudengar pembicaraan 

kalian tadi, semua ini hanya kesalah

pahaman. Jadi, kumaafkan kau yang telah 

berani menyakiti pengawalku...."

Kemudian Sekar Pamikat memandang 

Ludiro yang masih berusaha meluruskan 

tulang-tulangnya. Sekar Pamikat sempat 

tertawa masam, dan Ludiro semakin

cemberut.

"Gara-gara Putri pergi, saya jadi 

begini," gerutunya.

"Maaf, aku harus menyelamatkan 

calon suamiku," Sekar Pamikat mulai 

murung.

"Lalu, bagaimana? Di mana Pendekar 

Pusar Bumi sekarang?"

Sekar Pamikat berjalan mencari 

tempat duduk. Ada batu besar di suatu 

tempat, tak jauh dari kepala Gopo. Di 

batu itu ia duduk dalam rona 

kesedihannya. Ludiro mendekat dan 

mendesak ingin mengetahui nasib 

Lanangseta atau Pendekar Pusar Bumi itu.


"Apakah Putri Ayu telah berhasil 

merebut nya kembali dari tangan 

penculik?"

Sekar Pamikat menggeleng. "Aku 

gagal. Kehilangan jejak. Tak tahu ke mana 

aku harus memburunya."

Ludiro menghempaskan nafas 

sebentar. Katanya pelan, 

"Saya tahu di mana Lanang berada."

Sekar Pamikat yang lesu menjadi 

bersemangat. Telinganya bagai tercocok 

tombak Ia memandang tajam kepada Ludiro 

dengan perasaan tak sabar.

"Kemana? Cepat katakan! Katakan, 

Paman....!"

Ludiro tersenyum tipis, "Akan saya 

katakan setelah saya menolong seseorang 

yang telah menyelamatkan nyawa saya..." 

Kemudian Ludiro menceritakan 

tentang penghulu Badra dan pengejarannya 

terhadap pembunuh penghulu Badra. Bahkan 

sampai bertarungannya dengan dua 

perempuan keji yang mengakibatkan luka 

pada lengannya itu pun diceritakan.

"Dan sekarang saya perlu air untuk 

gadis yang secara tak langsung telah 

menyelamatkan saya dari kebusukan itu."

Sekar Pamikat menggumam sejenak, 

memasukkan cambuknya pada tempatnya yang


berada di punggung. Lalu ia berdiri, dan 

berkata, 

"Ambil air itu secukupnya, lalu kita 

pergi ke sana. Ayo, gadis itu pasti sudah

menunggumu lama...."

"Hei, bagaimana dengan kakiku...?!" 

seru Gopo sambil menahan sakit. Tapi ia 

hanya mendapat jawaban dari Sekar:

"Lihat saja, bagaimana nanti. Itu 

hanya peringatan bagi orang yang sok 

berkuasa....!"

Ludiro dan Sekar Pamikat segera 

melesat meninggalkan telaga berair 

keruh. Mereka menuju ke tempat perempuan 

yang ditolong Ludiro tadi. 

Tetapi, alangkah terkejutnya mereka 

setelah mengetahui tempat itu telah 

kosong. Gadis yang terluka tidak ada, dan 

pedang yang menancap di pohon... oh, 

pedang itu masih ada. Hanya gadis itu 

yang hilang. Ke mana dia? Mampukah ia 

sadar sendiri tanpa air?

* * *


TIGA


BERULANGKALI Ludiro menggerutu tak

jelas. Matanya masih bergerak-gerak 

nanar mencari di mana perempuan berbaju 

sutra merah muda yang terkena senjata 

rahasianya tadi? Sementara Ludiro 

mencari perempuan cantik itu, Sekar 

Pamikat meneliti pedang yang menancap 

pada batang pohon. Sepintas tadi Ludiro 

telah menceritakan tentang racun pada 

pedang itu. Dan Sekar Pamikat merasa 

kagum di dalam hatinya terhadap 

keampuhan pedang itu.

"Bagaimana, Paman?" Sekar Pamikat 

mengalihkan perhatiannya sendiri.

"Mungkin sejenis kuntilanak 

perempuan tadi. Masa bisa hilang 

sendiri. Ia tak mungkin dapat berjalan 

sebelum meminum air. Tenggorokannya akan 

tersekat bisa racun dari senjata saya 

itu, Putri."

"Tapi betul, bukan kamu yang 

melukainya, Paman?"

"Sumpah! Saya bertarung dengan dua 

gadis lain. Saya rasa tidak ada 

hubungannya dengan kedua gadis genit 

itu. Tapi... entah siapa yang telah 

menyerangnya dengan senjata rahasia


seperti senjata saya itu. Kurasa ada 

orang yang memalsukan senjata yang 

menjadi ciri khas saya, Putri."

Sekar Pamikat ikut melangkah, 

menyusup di antara semak, mencari 

tanda-tanda kepergian dan tak berhasil. 

Ia sempat berseru kepada Ludiro yang 

berada di tempat lain:

"Paman...! Ingat pembunuhan 

terhadap Raden Praja? Itu juga 

melibatkan senjata rahasiamu, dan 

ternyata pembunuhnya adalah Nawang Puri, 

bukan?" (dalam kisah Racun Puri Iblis).

Ludiro bergegas menghampiri Sekar 

Pamikat dengan wajah sedikit tegang. 

"Jangan-jangan... Nawang Puri juga yang 

melukai perempuan berbaju sutra merah 

muda itu, ya?"

Pendekar Gambuk Naga menggeleng. 

Tapi bukan berarti Nawang Puri 

memalsukan senjata milikmu. Menurut 

pengakuan Lanangseta, Nawang Puri hanya 

memanfaatkan senjatamu yang menancap 

pada salah seorang musuh kita ketika kita 

berada di Bukit Tanah Iblis itu Senjata 

itu diambil kemudian dipakai membunuh 

Raden Praja."

"Aaah... memang serba kacau!" 

gerutu Ludiro dengan kesal. Ia kembali 

mencari perempuan itu, perempuan yang


telah terluka ketiaknya dan tak sadarkan 

diri, yang sekarang menghilang sebelum 

Ludiro sempat membawakan air untuk 

menghilangkan busa racun di tenggorokan 

perempuan tersebut.

Ludiro berdiri di depan tulisan yang 

dibuatnya sebagai pesan, tuhsan itu 

masih terbaca jelas dalam ukiran batang 

poHon. Ketika Sekar Pamikat ikut 

mendekat lalu membacanya, Ludiro sempat 

berkata bagai ditujukan pada dirinya 

sendiri:

"Mungkin perempuan itu tidak bisa 

membaca tulisan ini. Uhh... dasar 

perempuan tolol!"

Tiba-tiba ada suara menyahut dari 

atas pohon lain,

"Aku bisa membacanya...!"

Ludiro dan Sekar Pamikat terkejut 

mendengar suara perempuan. Segera mereka 

berpaling, mendongak ke atas pohon di 

seberang mereka. Ternyata dari rimbunan 

daun yang lebat merapat itu muncullah 

seraut wajah can-tik, bertahi lalat di 

ujung bibir bawah.

"Aneh..." gumam Ludiro. "Dia malah 

sudah bisa memanjat pohon setinggi 

itu?!"

Perempuan berbaju sutra warna merah 

muda, dengan lengan baju yang panjang


longgar itu, segera meluncur turun dari 

atas pohon. Ketika ia meluncur turun, 

Ludiro merasa sedang menyaksikan seekor 

kupu-kupu terbang melayang dengan 

indahnya. Bajunya yang tipis longgar itu 

bagai kibasan sayap kupu-kupu 

menghampiri madu bunga melati. Dari 

posisi turunnya yang begitu lembut 

menyentuh tanah dan berdiri tegak, Sekar 

Pamikat mengetahui bahwa perempuan muda 

dan cantik itu jelas bukan sekedar 

perempuan bangsawan biasa, namun tentu 

saja mempunyai ilmu silat yang cukup 

tinggi. Ilmu peringan tubuhnya cukup 

sempurna. Hemm... siapa dia sebenarnya?" 

kata Sekar Pamikat di dalam hati.

"Maaf, aku merepotkanmu," kata 

perempuan itu kepada Ludiro. Lelaki 

pendek bertubuh gempal itu masih 

bungkam.

Setelah Sekar Pamikat menyodorkan 

sikutnya ke pinggang Ludiro secara 

diam-diam, Ludiro baru berkata dengan 

gagap:

"Kau... bagaimana? Maksudku, 

bagaimana kau bisa sadar dari pingsanmu 

dan naik ke atas pohon, sedangkan...."

Perempuan muda itu tersenyum malu. 

Gayanya cukup manja ketika ia berkata, 

"Seekor ular telah menggigit lenganku."


Ia memperlihatkan lengannya yang berkuht 

kuning mulus. Di situ memang ada bekas 

gigitan ular. Lalu ia menyambung kata:

"Ular itu kecil dan bisanya tidak 

terlalu membahayakan. Lalu aku sadarkan 

diri karena gigitan itu. Kupikir-pikir, 

rupanya racun ular itu berhasil

menawarkan racun senjata rahasiamu yang 

melukai ketiakku...."

"Senjata rahasiaku?!"

"Iya!" seraya perempuan itu 

melongok dengan dengan mata membelalak 

genit-genit manja.

"Aku tidak merasa menyerangmu!" 

bantah Ludiro.

"Memang!" Ia merajuk sebentar. Lalu 

mendekat dan menuding Ludiro dengan 

menempelkan jari telunjuknya ke dada 

Ludiro yang terben gong melompong. "Kau 

memang tidak menyerangku. Tapi senjatamu 

yang kau lemparkan kepada gadis genit 

lawanmu itu, telah ditangkisnya dengan 

pedang. Salah satu senjata ada yang 

meluncur ke arahku tanpa sempat 

kuhindari, lalu..." Ia mencemberutkan 

wajah. "Ia melukaiku. Sakit. Dan... dan 

aku tak sadarkan diri."

Ludiro memandang Sekar Pamikat, 

yang pandang hanya tersenyum geli sambil 

menutup mulutnya. Ludiro kembali


memandang gadis itu yang bergaya manja 

dan senang cemberut.

"Maaf, tapi itu di luar kesadaranku. 

Dan tanpa kau sadari juga, kau telah 

menyelamatkan nyawaku sehingga aku perlu 

membawamu turun dari atas pohon untuk 

mengobatimu."

"Apa? Menyelamatkan nyawamu?" 

ketusnya. "Ah, aku tidak berbuat 

apa-apa. Aku hanya menonton pertarungan 

kalian. Lalu aku pingsan, jatuh dari 

pohon dan dipagut seekor ular. Itu saja."

Ludiro menjelaskan secara singkat 

bagaimana saat dia menderita luka akibat 

goresan pedang yang sampai sekarang 

masih menancap di batang pohon itu. 

Perempuan manja itu terkejut saat 

dikatakan bahwa darahnya telah 

menyembuhkan racun yang akan membusukkan 

badan Ludiro.

"Ah, aku tidak menyediakan darah 

untuk nyawamu!" katanya dengan ketus. 

"Aku tidak pernah menyelamatkan kamu, 

dan kamupun tidak pernah menyelamatkan 

aku!"

"Ini sungguh-sungguh .terjadi di 

saat kau tidak sadarkan diri, Nona!"

"Mustahil!" bantahnya dengan 

bergaya ketus. "Darahku darah Panglima 

sedangkan darahmu darah rakyat jelata,


mana bisa darahku menyatu dengan 

darahmu."

"Tapi nyatanya tetesan darahmu 

telah membuat borok di badanku sembuh!" 

bentak Ludiro.

"Kebetulan saja borokmu sudah bosan 

di tubuhmu!" balasnya sambil 

mempermainkan sehelai ilalang. "Atau, 

karena darahku tercemar oleh racun 

senjatamu, maka ketika menetes mengenai 

borokmu, racun senjatamu itu yang 

menawarkan racun borok dari lukamu."

Ludiro kembali memandang Sekar 

Pamikat. Dewi Cambuk Naga tampak tenang, 

senyum tipis membias samar-samar, dan 

matanya tak lepas memperhatikan 

gerak-gerik perempuan manja yang suka 

bicara ketus itu.

"Apakah mungkin begitu, ya?" Ludiro 

bingung sendiri. "Tapi bagaimanapun 

juga, aku berterimakasih kepadamu, 

Nona."

"Ah, nggak perlu!" jawabnya masih 

ketus. "Kau tidak perlu berterimakasih 

kepadaku dan akupun tidak perlu 

berterimakasih padamu. Kita tak pernah 

saling menolong, kan?!"

Mulut Ludiro ternganga, ingin 

mengucapkan sesuatu, tapi bingung.


Akhirnya Sekar Pamikat menengahi dengan 

berkata:

"Jangan bodoh, Paman. Ia ahli 

bicara. Yang dia maksud, jangan lagi ada 

istilah hutang budi atau balas budi. 

Semuanya terjadi dengan sendirinya tanpa 

ada yang merasa berhutang dan dihutangi. 

Sudahlah, tak perlu diperpanjang."

Perempuan manja berlagak ketus itu 

menyahut, "Hanya orang pandai yang bisa 

memahami bahasaku."

Ia bersandar pada pohon dengan 

sebelah tangannya. Ia memperhatikan 

pedang beracun yang masih menancap di 

pohon itu. Mungkin ia ingin mengatakan 

sesuatu tentang pedang itu, namun Sekar 

Pamikat telah lebih dulu berkata:

"Namaku Sekar Pamikat, dan orang 

yang merasa tertolong oleh darahmu ini 

bernama Ludiro. Ia pengawalku. Tapi, 

sebenarnya dari tadi kami berdua masih 

belum bisa mengerti, siapa namamu dan 

bagaimana jika kami ingin memanggilmu? 

Rasa-rasanya enak sekali jika kita 

bersahabat, bukan?"

Perempuan cantik bertubuh langsung 

namun tidak kurus itu berpaling 

memandang Sekar Pamikat. Ia berkata 

ketus.


"Persahabatan? Ya, indah memang 

kedengarannya. Tapi sebetulnya tidak 

seindah emas dalam intan. Persahabatan 

itu kan Cuma suatu istilah Yang penting 

bukan persahabatannya, namun sentuhan 

dari hati ke hati yang punya segunung 

pengertian dan saling mengasihi. Sebab 

kadangkala persahabatan hanya terjadi 

pada masa senang, pada masa gembira, 

berlimpah susu, madu dan emas. Tetapi 

dalam kegelapan yang amat menderitakan 

satu pihak, persahabatan itu sudah tidak 

terdengar lagi. Yang ada hanya kata 

'masa-bodo' dan sejenisnya. Jadi, jangan 

katakan kita akan bersahabat, tapi 

katakanlah: kita akan saling melihat. 

Aku melihat hidupmu dan kamu melihat 

hidupku. Apa yang kau lakukan dalam 

penglihatanmu itu terserah nuranimu, 

demikian juga apa yang kulakukan dalam 

penglihatanku terserah moralku."

Sekar Pamikat tersenyum kendati 

dalam hatinya mengatakan, "Cerewet juga 

kau!" Tapi sebenarnya Sekar Pamikat juga 

mengagumi falsafah yang dianut perempuan 

itu.

"Baiklah, kita saling melihat. Tapi 

kami perlu mengetahui namamu. Paling 

tidak sebagai pemacu daya ingat kami


tentang dirimu yang akan kami lihat 

bersama."

Setelah diam sejenak, melirik 

Ludiro sebentar, kemudian perempuan itu 

berkata:

"Namaku...: Andini Putri Panglima 

kerajaan Sebrang." Lalu ia tersenyum, 

senyum manis yang mengandung ajakan 

bersahabat. Sekar Pamikat menyambutnya 

dan Ludiro ikut menjawab dengan senyum 

tipis, kaku, karena masih terpukau dan 

bingung dengan kepribadian Andini

"Boleh aku mengetahui tujuanmu di 

hutan ini, Andini?" tanya Sekar Pamikat.

"Aku sedang dalam perjalanan 

memburu kekasihku yang diculik perempuan 

jalang."

Sekar Pamikat terperanjat sebentar, 

menatap Andini lekat-lekat. Ada sembilu 

yang mengiris hati, dan Sekar Pamikat 

menahan rasa perih yang menyedihkan itu.

"Kau menyindir aku, Andini...."

"O, tidak," jawabnya cepat. "Aku 

sungguh-sungguh kehilangan kekasihku. 

Diculik orang. Gila, kan?! Dan aku 

menemukan jejak di sini. Jejak penculik 

kekasihku."

"Siapa? Maksudku jejak apa?" tukas 

Ludiro.


"Pedang itu...!" Andini menunjuk 

pedang yang masih menancap di batang 

pohon. "Pedang itu sama persis dengan 

sebilah pedang yang kutemukan di taman 

keputrenku. Di sana kutemukan pedang 

milik anggota komplotan penculik 

kekasihku yang tertinggal dan ternyata 

setelah sejak tadi kuperhatikan, cocok. 

Sama persis dengan pedang itu. Jadi, 

agaknya aku sudah mulai dekat dengan 

kekasihku."

"Tidak," sanggah Ludiro. "Kita 

masih jauh dari sarang mereka."

"Darimana kau tahu?!" Sekar Pamikat 

menyerobot kata.

"Penculik Lanangseta bisa 

kusimpulkan sama dengan penculik kekasih 

Andini itu. Menurut keterangan yang saya 

peroleh dari Penghulu Badra, penculiknya 

adalah Peri Sendang Bangkai. Penghulu 

Badra dibunuh juga oleh orang Sendang 

Bangkai, dan aku mengejar, tapi temannya 

menghadangku dua orang." Ludiro 

berpaling kepada Andini, "Yang tadi 

bertarung melawanku itu..." Andini 

mengangguk-angguk dan Ludiro 

melanjutkan percakapannya dengan Sekar 

Pamikat.

"Jadi kalau kita ingin mengetahui 

nasib para korban penculikan, sebaiknya


kita datang ke Sendang Bangkai. Aku tahu 

tempat itu dari penghulu Badra."

"Kalau begitu, secepatnya kita 

bergerak ke sana!" kata Sekar Pamikat tak 

sabar diri.

"Tunggu," sergah Andini. "Jadi, kau 

benar-benar senasib denganku, Sekar 

Pamikat?"

"Ya. Calon suamiku diculik oleh 

mereka dan aku harus merebutnya 

kembali!"

"O...? Sebenarnya siapa kamu ini?"

“Pendekar Cambuk Naga, putri Patih 

Sambangbumi dari Kepatihan Anjar Puspa," 

jawab Ludiro dengan cepat, mewakili 

Sekar Pamikat Dan ternyata jawaban itu 

membuat Andini terperanjat kaget.

"Jadi... kau? Kau yang dikenal 

dengan Cambuk Naga itu?"

Sekar Pamikat tersenyum tenang. 

Masih bernada penuh persahabatan, dan 

bukan nada angkuh membanggakan diri. Dia 

hanya berkata, "Kau mengenal nama itu 

juga rupanya?"

"Tentu. Suara lecutan cambuk nagamu 

sampai terdengar di kerajaan Sebrang." 

Andini tertawa senang. "Kalau begitu, 

ayo kita berangkat mencari kekasih kita 

masing-masing...."


Langkah Pendekar Cambuk Naga begitu 

tegap, tegar dan mengagumkan. Sebagai 

seorang perempuan cantik, berambut 

panjang yang sebagian digelung dengan 

ikat kain emas, dengan baju model jubah 

berwarna biru muda dari kain halus, ia 

benar-benar menampakkan sosok 

kemolekannya. Badannya yang padat, 

berisi dengan buah dada yang menonjol 

menggiurkan setiap lelaki, ia 

menampakkan betul sosok pendekar putri 

yang tangguh. Pedang Jalak Pati terselip 

di pinggang berangkin hitam bludru, dan 

cambuk bergagang hitam nangkring di 

pundak, sungguh merupakan pemandangan 

yang cukup mengagumkan bagi seorang 

putri pendekar.

Sebenarnya kecantikan Sekar Pamikat 

mempunyai nilai yang sama dengan Andini, 

putri Panglima Sebrang itu. Hanya saja 

Andini lebih kelihatan lembut sebagai 

seorang putri cantik. Baju longgar 

berwarna merah muda dengan celana 

potongan pangsi berenda emas di 

tepiannya, memang menampakkan dia 

sebagai putri bangsawan, setidaknya 

sebagai seorang putri ningrat. Kesan 

keperkasaannya tidak nampak sama sekali, 

sebab ia sama dengan Ludiro, tanpa 

membawa senjata yang bisa terlihat mata


mari usia. Andini polos, tanpa pedang 

maupun barang apapun. Tapi Sekar Pamikat 

yakin, bahwa Andini mempunyai ilmu silat 

yang cukup tinggi.

Ludiro, sebagai pengawal setia 

Sekar Pamikat sejak dari kepatihan Anjar 

Puspa, selalu berjalan di belakang 

mereka. Kini rasanya ia mempunyai dua 

orang yang harus dikawal. Ia tetap 

mengenakan baju buntung dan celana 

sebatas tulang keringnya. Memang tak 

terlihat senjata pada dirinya, namun di 

balik baju buntungnya yang tebal, di 

sela-sela sabuk kulitnya yang lebar dan 

tebal itu, terselip beratus-ratus pisau 

kecil yang menjadi andalannya bila 

bertempur. Dengan tubuh pendek dan kulit 

hitam kekar, ia melangkah penuh waspada.

"Putri...!" tiba-tiba ia memanggil 

Sekar Pamikat. Kedua perempuan sama 

cantiknya itu berhenti, berpaling kepada 

Ludiro.

"Saya mendengar suara orang 

mengaduh," katanya.

Sejenak, Sekar Pamikat 

menggelengkan kepala, mendengarkan 

suara yang dimaksud Ludiro. Lalu ia 

berkata:

"Ya. Aku juga mendengarnya. Rupanya

kita tidak jauh dari telaga berair- keruh


itu. Dan suara itu... jelas suara Gopo 

yang masih kesakitan karena cambukan 

pada kakinya"

Tanpa bicara apapun. lagi, Sekar 

Pamikat merubah arah. Ia membelok, 

menuju jalan ke telaga keruh. Kini Ludiro 

berjalan persis di samping Andini. 

Sesekali Ludiro melirik rambut Andini 

yang panjang sebatas pinggang, namun 

bagian kepalanya ditekuk ke atas, dan 

diberi jepit dari logam kuningan. Emas. 

Ya, memang indah, dan sangat menarik 

kecantikan Andini itu. Tapi Ludiro 

segera membuang khayalannya untuk yang 

kedua kali. Kalau saja ia tumbuh sebagai 

ksatria gagah, seperti Lanangseta, ia 

akan berani melamar Andini. Sayang, 

kondisinya tidak seperti khayalannya, 

sebab itu ia membuang jauh-jauh khayalan 

itu. Ia hanya berkata kepada Andini, 

"Sudah berapa lama kekasihmu diculik?"

"Lebih dari setengah purnama...."

Diam-diam Ludiro berpikir, 

"Setengah purnama? Apa maksudnya? Satu 

purnama kalau tidak salah... 30 hari. 

Jadi setengah purnama... 15 hari. Ooh... 

sudah lima belas hari?"

"Gantengkah dia?" bisik Ludiro.

"Tentu lebih ganteng darimu," jawab 

Andini.


"Seorang pangerankah dia?"

"Hanya seorang pendekar gagah 

perkasa. Bertubuh tinggi, berotot tegap, 

berwajah bersih, halus, hidungnya bangir 

dan bibirnya bersih, tidak sehitam 

bibirmu." Ludiro hanya tersenyum kecut. 

Lalu Andini melanjutkan kata-katanya, 

sambil berjalan di belakang Sekar Pa-

mikat dalam jarak dekat. Dan pembicaraan 

itu pun didengar pula oleh Sekar Pamikat, 

sehingga sesekali ia tersenyum diam-diam 

jika mendengar Ludiro diejek oleh 

kata-kata Andini.

"Kekasihku itu, mungkin orang 

paling tampan di seluruh pelosok bumi."

"Kenapa kau bisa bilang begitu?"

"Karena aku belum pernah melihat 

lelaki lain yang lebih tampan dari dia. 

Dia sangat pandai memainkan jurus 

pedangnya. Ia selalu mengenakan ikat 

kepala dari kulit macan tutul untuk 

mengikat rambutnya yang panjang, lembut 

bagai benang-benang sutra Cina. Ia 

selalu menyandang sebilah pedang 

dan...."

Sekar Pamikat berhenti melangkah. 

Ia mulai ada keganjilan yang 

mencurigakan dari pembicaraan Andini. Ia

bergumam dalam hati: "Ikat kepala kulit

macan tutul...? Pedang di


punggungnya...? Kok seperti... 

seperti...?"

"Ada apa berhenti?" tegur Andini.

Sekar Pamikat menggeragap. "Ah, 

anu... tidak."

"Nah..." Andini menggoda dalam 

senyum ceria. "Kau pasti terkesima 

dengan kekasihku, bukan? Kau pasti dapat 

menghayalkannya betapa gantengnya dia, 

bukan?"

Andini terus menggoda dengan 

kelincahan dan kemanjaannya. Sementara 

itu Sekar Pamikat semakin grogi, dan 

Ludiro sendiri sempat terbengong, 

bertanya-tanya dalam hati tentang siapa 

sebenarnya kekasih Andini itu?

"Apakah... apakah kekasihmu itu 

berhidung bangir dan bermata tajam?" 

tanya Sekar Pamikat

"Ya. Ya, betul sekali khayalanmu 

itu. Dia bermata tajam tapi meneduhkan. 

Sungguh mata itu begitu teduh bila 

menatapku dan aku sangat damai jika 

bersama tatapannya."

"Hemm... siapa..." Sekar Pamikat 

ragu. Ludiro segera tanggap dengan 

maksud putri asuhannya itu. Ia yang 

bertanya kepada Andini:

"Siapa namanya? Boleh kami 

mengetahuinya?"


Andini berkerut dahi. Heran. 

"Kalian semakin curiga agaknya. Ada 

apa?" "Kami hanya ingin... hanya ingin 

tahu namanya saja..." kata Putri Ayu 

Sekar Pamikat. Ludiro menambahkan untuk 

menghilang kan kecurigaan Andini, "Ya. 

Kami ingin tahu namanya, sebab... 

ciri-ciri pemuda seperti yang kau 

sebutkan itu, sepertinya pernah kami 

kenal dan pernah menolong kami. Jika 

benar dia adalah orang yang kami maksud, 

berarti kami ada kesempatan untuk 

membalas budi baiknya. Kami berhutang 

budi kepada orang yang kau sebutkan 

ciri-cirinya."

Andini bahkan berhenti melangkah 

dan diam beberapa saat. Ia terbayang 

wajah kekasihnya yang menyekap kerinduan 

di hati. Ia terbayang saat berpelukan di 

sisi taman dalam keremangan cahaya 

purnama. Lalu, Ludiro membuyarkan 

lamunan itu dan bertanya lagi, 

"Siapa namanya?"

"Apakah ia berjuluk seorang 

pendekar juga?" pancing Sekar Pamikat 

yang mulai berdebar-debar sejak tadi.

”Ya. Dia punya julukan pendekar 

karena kehebatannya bermain pedang."

"Pendekar siapa?" Ludiro ikut 

penasaran.


Andini menatap Ludiro dan Sekar 

Pamikat berganti-gantian. Sepertinya ia

menyimpan keraguan dan keheranan 

terhadap pertanyaan itu. Tapi akhirnya 

ia menjawab juga dengan suara lembutnya:

"Ia berjuluk Pendekar Maha 

Pedang...."

Secara bersamaan Sekar Pamikat dan 

Ludiro menghempaskan nafas. Dalam hati 

Sekar Pamikat berbisik, "Bukan...! Bukan 

dia!"

Tetapi Ludiro masih mendesak 

pertanyaan ketika mereka melangkah lagi, 

"Nama aslinya siapa?"

Sekar Pamikat tertarik menguping 

lagi. Andini menjawab dengan polos:

"Ekayana... Ia anak seorang resi di 

sebuah pegunungan."

Sepi. Mereka melangkah menuju 

telaga. Kecamuk di dalam benak mereka 

tertunda sebentar karena suara orang 

merintih kesakitan masih terdengar, 

bahkan kian dekat dan semakin jelas. 

Kemudian ketika mereka sampai di balik 

semak belukar, terlihatlah sebuah telaga 

berair keruh. Dan di salah satu 

tepiannya, tergeletak seorang lelaki 

bertubuh besar, kekar dan brewokan. 

Andini sempat terperanjat mehhat Gopo. 

Ia berseru,



"Itu raksasa...!"

"Bukan," jawab Ludiro. "Dia manusia 

biasa yang punya kelebihan bertubuh 

besar. Itu saja!"

Sekar Pamikat mendekati Gopo lebih 

dulu, setelah itu baru Andini dan Ludiro. 

Gopo merintih, sampai mengeluarkan air 

mata. Ia menahan-nahan kakinya yang sama 

sekali tak dapat digerakkan karena 

sakitnya. Dan begitu melihat kehadiran 

Sekar Pamikat, Gopo segera meratap:

"Tolong...! Tolonglah kakiku, aku 

sudah tak tahan lagi... oh, kasihanilah 

aku. Aku tidak punya saudara dan 

keluargaku habis terbantai. Aku 

sendirian, hanya berdua dengan kakiku 

ini. Haruskah aku kehilangan kakiku 

ini....?"

Kata Sekar Pamikat, "Baik Tapi 

ingat, jangan sekali-kali berlagak 

semasa menjadi penguasa! Tidak semua 

orang bisa kau rendahkan lewat 

anggapanmu. Mengerti....?"

"Ya, ya... Mengerti... Aduuuh..."

Sekar Pamikat mengambil cambuknya. 

Gopo terbelalak kaget ketika diketahui 

ia akan dicambuk lagi. "Wahduh... 

kira-kira sajalah... Masa kaki sudah 

hancur mau kau cambuk lagi?! Sadis amat


kau.,.! Kejam...!" Gopo menangis 

ketakutan.

Tapi Sekar Pamikat tidak peduli. Ia 

tak tahu bahwa Gopo sangat ketakutan jika 

melihat cambuk sejak saat itu. Trauma. 

Dan ketika Sekar Pamikat melecutkan 

cambuknya dua kali dalam hentakan 

terhenti, Gopo menjerit. Sangat

ketakutan. Kakinya mengejang-ngejang 

sambil kelojotan.

Gopo tak tahu, begitulah cara Sekar 

Pamikat menyembuhkan kaki yang tercambuk 

oleh cambuknya. Hanya dengan cambuk 

itulah kaki tersebut dapat kembali 

normal. Sebenarnya tidak sakit. 

Berbunyi: "tarr...!" saja tidak. Tapi 

karena Gopo sudah terlanjur trauma 

dengan cambuk, maka sekalipun hanya 

tersentuh cambuk ia menjadi ketakutan 

dan menjerit-jerit.

Tetapi tiba-tiba ia berhenti 

menangis meraung-raung. Ia terbengong 

sambil masih mewek tanpa suara. Ia 

menggerak-gerakkan kakinya yang semula 

sangat sakit dan sukar digerakkan. 

Ternyata rasa sakit itu. hilang 

seketika. Kaki itu dapat 

digerak-gerakkan kembali dengan normal, 

sepertinya tidak pernah terjadi suatu 

kecelakaan yang meremukkan tulang-tu


langnya. "Aneh. Aneh sekali," pikir 

Gopo. Lalu ia mulai tersenyum. Ia mencoba 

berdiri, oh... bisa. Lancar. Biasa-biasa 

saja.

"Kakiku...? Kakiku sembuh...? 

Oii... bisa loncat malah..." Gopo 

kegirangan.

Sementara itu, Andini berbisik 

kepada Ludiro, "Cukup aneh cara 

penyembuhannya. Tapi kuakui memang hebat 

si Cambuk Naga itu. Ia dapat menyalurkan 

tenaga murni lewat lecutan cambuknya dan 

membuat penyembuhan yang sangat ajaib."

Ludiro berbisik, "Setahuku dia 

punya ilmu cukup tinggi. Entah kalau 

menurut setahumu...."

Sekar Pamikat tidak banyak bicara, 

ia berjalan meninggalkan Gopo seraya 

berkata kepada Ludiro, "Paman.... kita 

harus segera ke Sendang Bangkai 

sebelum...." 

"Tunggu, tunggu...!" Gopo memotong 

dengan cepat. "Kalian hendak pergi ke 

mana tadi? Ke Sendang Bangkai?! Oh, 

apakah... apakah kalian orang-orang 

Sendang Bangkai?"

Ludiro yang menjawab, "Kami punya 

urusan dengan orang-orang Sendang 

Bangkai. Mungkin juga urusan berdarah!"


"O, oh... kalian mau bikin 

perhitungan dengan orang-orang Sendang 

Bangkai?! Wah, kebetulan! Jangan 

tinggalkan aku. Jangan tinggalkan Gopo! 

Tolonglah, ajak serta aku!"

"Apa urusanmu?" tanya Sekar 

Pamikat.

"Keluargaku habis terbantai oleh

mereka pada saat aku tidak ada di rumah. 

Mereka yang membuat aku sebatang kara! 

Aku harus menuntut balas kepada 

mereka....!"

Setelah dipertimbangkan sejenak, 

mereka setuju mengajak serta Gopo. Tak 

ada masalah. yang ada hanya kegelisahan 

di hati Sekar Pamikat: mengapa ciri-ciri 

kekasih Andini sama persis dengan 

kekasihnya yang juga diculik Peri 

Sendang Bangkai?

* * *

EMPAT



SENJA sudah berangsur pudar. Kali 

ini, sesosok bayangan mulai menembus 

malam yang muda. Kemudian disusul tiga 

sosok bayangan lainnya mengikuti dari 

belakang. Empat sosok itu masih berusaha


merayapi hutan gunung Carakan. Mereka 

adalah Putri Ayu Sekar Pamikat dengan 

ketiga sahabatnya. Sudah tiga malam 

mereka merambah bumi, menuju Sendang 

Bangkai, dan pada malam ini Sekar Pamikat 

memerintahkan orang-orangnya untuk 

berhenti. Berhenti untuk ketiga kalinya. 

Sebetulnya Sekar Pamikat masih ingin 

melanjutkan perjalanan malam. Ia tak 

sabar lagi, ingin segera sampai ke 

Sendang Bangkai. Namun, Andini yang 

manja berulangkali merengek.

"Kakiku capek... Pegal semua. 

Uhh...!" Mulanya Sekar Pamikat tidak 

menghiraukan rengekan gadis manja itu, 

tapi setelah Andini berhenti dan 

berkata:

"Jalanlah terus. Aku mau istirahat 

di sini saja."

"Kau akan tertinggal, Andini," kata 

Ludiro. "Biar. Aku capek sekali. Aku tak 

mau memaksakan diri untuk menuruti 

penderitaan."

"Termasuk tak mau merebut kekasihmu 

lagi?" ujar Ludiro.

"Uuh...!" Andini hanya mendesah 

kesal. Sekar Pamikat mengulum senyum. 

Akhirnya ia sendiri berkata:

"Baiklah, kita beristirahat dulu di 

sini." Lalu ia memerintahkan Gopo,


"Pasang kayu bakar untuk penghangat, 

Gopo!"

"Baik," jawab Gopo yang tak 

kelihatan capek, hanya kelihatan kesal 

hatinya terhadap Andini. Ia mendesis di 

depan Andini, "Uhh... bocah kolokan!" 

Andini sendiri tak peduli atas celaan 

Gopo. Ia hanya melirik sebentar dengan 

sewot, lalu buang muka, menampakkan 

kemanjaannya.

Nyala api unggun berbinar-binar. 

Menghangatkan tubuh, menghalau udara 

dingin pegunungan yang mencekam. Ludiro 

berada dalam satu kelompok dengan Gopo 

dan Andini, sementara Dewi Cambuk Naga 

memisahkan diri. Memandang keremangan 

petang sambil menyelidik suasana 

sekitar. Lalu ia sengaja duduk bersandar 

pada batang kayu yang tumbang. Ia 

memandang Andini yang tengah 

tertawa-tawa bersama Gopo dan Ludiro 

sambil menghabiskan panggang ayam hutan.

"Cantik. Memang cantik dia," pikir 

Sekar Pamikat menatap Andini dari 

kejauhan. Benak dan hati saling 

berkecamuk Kata-kata Andini terngiang 

dalam telinganya saat gadis bertahi 

lalat di ujung bibir bawahnya itu 

menceritakan ciri-ciri kekasihnya. 

Sekar Pamikat sempat menyimpan


kegelisahan beberapa hari ini. Hatinya 

selalu merasa was-was, dan 

bertanya-tanya:

"Mungkinkah hanya sebuah persamaan 

saja? Rambut panjang yang halus bagai 

serat sutra, itu adalah rambut 

Lanangseta. Pedang dipunggung dengan 

ikat kepala dari kulit macan tutul, itu 

milik Lanangseta. Tinggi, tegap dan 

wajah halus bersih, itu juga milik 

Lanangseta. Apakah dia juga yang menjadi 

kekasih Andini? Ah, tapi mengapa namanya 

lain? Namanya Ekayana, gelarnya Pendekar 

Maha Pedang. Bukan bernama Lanangseta 

dengan gelar Pendekar Pusar Bumi." Sekar 

Pamikat mendesah. Lalu hatinya bergumam 

lagi, "Ah, apa sih artinya nama bagi 

seorang lelaki? Bisa saja ia memalsu 

seribu nama dalam sehari kalau toh itu 

memungkinkan ia dapat menggaet sejuta 

perempuan. Ya, apa jadinya jika ternyata 

kekasih Andini adalah Lanangseta juga? 

Apa yang harus kulakukan untuk mereka? 

Membunuh Andini, atau membunuh 

Lanangseta? Atau... membunuh diri 

sendiri? Oh, tidak! Itu tidak mungkin. 

Juga tidak mungkin sama Lanangseta 

diculik pada malam pengantin, sedangkan 

Ekayana diculik lima belas hari lebih 

dulu. Tak mungkin sama. Tapi... tapi bisa


saja Lanangseta lolos dari penculik dan 

lari ke Kadipaten Nilakencana, lalu 

bertemu denganku dan... dan... ah!" 

Sekar Pamikat bagai mengibaskan 

lamunannya sendiri. Rasa perih di hati 

akibat lamunannya terasa menjalar di 

seluruh daging, bahkan sempat membuat 

tulangnya ngilu. Ia tak mau membayangkan 

hal itu. Ia takut menghadapinya. Sebab ia 

tak akan mampu menerima kenyataan, bahwa

kekasihnya mendua hati. Ia sungguh tak 

mampu, dan tak mau.

Lanangseta memang tampan. Gagah. 

Bukan hal yang mustahil jika banyak gadis 

mengincarnya. Bukan hal yang aneh jika 

banyak perempuan yang ingin memilikinya. 

Lanangseta memang menggairahkan. 

Senyumnya yang lembut mempunyai daya 

tarik tersendiri, bahkan mampu membuat 

perempuan tergugah birahinya jika 

melihatnya terlalu detil. Tetapi 

bagaimana dengan kekasih Andini? Apakah 

dia juga demikian? Apakah dia juga 

diculik oleh orang yang ingin 

memihkinya? Jangan-jangan lain korban 

lain penculiknya.

Tiba-tiba sebatang pisau bergagang 

kayu cendana melayang. Melesat tepat 

dari arah rimbunan pohon, dan tertuju 

pada dada Sekar Pamikat. Reflek Sekar


Pamikat cukup kuat. Ia melentik bagai 

belalang ke samping kanan dengan cepat 

mencabut pedang Jalak Patinya. 

"Sreet....!"

Pisau bergagang kayu cendana 

menancap di batang pohon, tempat Sekar 

Pamikat tadi berada. Mata Sekar Pamikat 

membelalak dan bergerak liar mencari 

menyerang gelapnya.

"Ada apa...?!" Ludiro bergegas 

bangkit mengetahui Sekar Pamikat 

mencabut pedang. Ia segera mendekati 

putri asuhannya. Ia pun bersiap, 

memasang kewaspadaan ketika Sekar Pa-

mikat mengatakan:

"Seseorang telah menyerangku," 

seraya Sekar Pamikat menunjukkan pisau 

yang menancap di batang pohon.

Ludiro bergegas masuk ke rimbunan 

belukar. Andini dan Gopo ikut tegang. 

Mata mereka membelalak, mengawasi 

sekeliling. Mereka berpencar dan saling 

berhati-hati.

Lain sekali lagi sebuah pisau 

bergagang kayu cendana melesat dari 

kegelapan.

"Awas...!" seru Sekar Pamikat. Kali 

ini pisau itu meluncur ke arah Gopo. 

Tubuh besar yang mirip raksasa itu memang 

sedikit lam ban bergerak. Namun untung


hanya merobek baju hitamnya dan pisau itu 

pun tembus ke semak-semak

"Gila!" bentak Gopo dengan keras. 

Daun-daun bergoyang. Mereka semakin 

tegang kecuali Gopo. Mereka mengira di 

balik getaran daun-daun itu akan muncul 

sesosok tubuh manusia lain, namun 

ternyata tidak. Daun itu bergoyang 

karena tergetar oleh suara Gopo yang 

keras dan mempunyai suatu hembusan 

tersendiri.

"Kita pindah saja, yuk...?" rengek 

Andini seperti anak kecil. Gopo sangat 

dongkol mendengar rengekan itu. "Di sini 

tidak aman. Ayolah, kita pindah ke tempat 

yang aman!"

Dengan geram Gopo berkata, "Tutup 

mulutmu, Setan cengeng! Pasang 

kewaspadaan supaya matamu tidak ditancap 

pisau sialan itu!"

Andini merajuk, sewot. "Kamu kasar 

sekali, Gopo..."

"Persetan...!"hardik Gopo.

Bertepatan dengan itu, sebatang 

tombak melesat dari arah kegelapan lain. 

Melesat cepat, nyaris tak terlihat mata. 

Tertuju kepada Andini yang tengah 

cemberut kepada Gopo. Andini di luar 

dugaan duduk dalam keadaan cemberut. 

Pada saat ia duduk itulah tombak melayang


ke atas kepalanya, dan menancap batang 

pohon lainnya.

"Oh...! Ada tombak!"

Jengkel sekali hati Gopo melihat 

kemanjaan Andini, bukannya memandang ke 

arah sekeliling, berjaga-jaga, tapi 

malahan mendekati tombak itu dan 

mengamatinya beberapa saat. Sekar 

Pamikat sempat berseru.

"Andini... berlindunglah...!"

Tapi Andini bagai tidak mau 

mendengar anjuran Sekar Pamikat. Ludiro 

ingin menarik Andini dari tempatnya 

berdiri, tapi tiba-tiba sebuah pisau 

melesat lagi menghampiri Ludiro. 

Hembusan angin terasa bagai meniup 

tengkuk kepala Ludiro. Secepat kilat 

Ludiro loncat ke depan lalu bersalto 

miring, serong ke kanan. Ia berdiri tegap 

kembali persis di tepian bara api yang 

masih menyala-nyala itu. Sedangkan pisau 

itu melesat terus hampir mengenai Sekar 

Pamikat. Untung dengan cekatan Sekar 

Pamikat mengibaskan pedangnya. 

"Trang...!" Pisau itu dibuang dengan 

tangkisan pedang yang cukup cepat.

Gopo menarik tangan Andini yang 

masih mengamati tombak yang menancap di 

pohon, seakan ia masih heran dengan 

tombak itu. Gopo berkata kasar,


"Setan...! Kau cari mampus ya?"

"Ada tombak...!" Andini menuding.

"Iya. Aku tahu itu tombak. Aku tidak 

bilang kalau itu pisang raja! Tapi ini 

berbahaya. Jangan berdiri saja di sini, 

berlindunglah! Tolol! Bodoh! Goblok! 

Bodoh..!"

Pada saat itu desing besi meluncur 

cepat ke arah mereka. Ludiro sempat 

berteriak, "Awass...!" Gopo segera 

berguling ke tanah.

Sebatang tombak itu melesat ke arah 

Andini. Dengan gerakan yang tak diduga, 

Andini menghentakkan kaki sehingga 

meloncat ke atas. Tombak menancap pada 

pohon, tepat di bawah kaki Andini. Dan 

dengan gayanya yang menjengkelkan hati 

Gopo, kaki Andini menapak pada batang 

tombak itu. Ia berdiri di atas batang 

tombak dan berseru kepada Gopo.

"Gopo...! Tolong, turunkan aku...!"

"Brengsek!" teriak Gopo, dan Andini 

terjatuh akibat getaran suara Gopo. Ia 

meringis, pantatnya sakit.

Sekar Pamikat dan Ludiro tahu, itu 

hanya permainan Andini saja. Tetapi Gopo 

tidak mengetahui, bahwa Andini 

sebenarnya bukan sekedar gadis manja 

tanpa isi. Buktinya, jika Andini tanpa 

isi, tak mungkin ia dapat menghindari


lemparan tombak yang begitu cepat, dan 

bahkan bisa berdiri di atas batang tombak 

yang menancap di pohon itu. Agaknya Gopo 

belum menyadari hal itu.

Gopo hanya segera berseru kepada 

Ludiro, "Kita telah dikepung!"

Sekar Pamikat mengangguk sambil 

berjaga-jaga. Terangnya api unggun 

membuat silau pemandangan. Mereka tak 

dapat menembus pandaiigan di balik semak 

belukar. Namun insting mereka 

mengatakan, bahwa ada banyak pasang mata 

yang sedang mengawasi mereka.

"Tutup telinga kalian...!" seru 

Gopo.

"Apa? Tutup telinga?" Andini 

bernada membantah. "Memangnya gunung ini 

akan meletus?"

"Tutup telinga, tolol?"

"Tuh... kamu kasar lagi sih..." 

Andini bersungut-sungut.

Gemas sekali hati Gopo. Ia ingin 

menggamparnya. Tapi tiba-tiba, dari 

rimbunan semak berbagai arah, muncul 

tubuh-tubuh kekar dan kasar. Wajah-wajah 

bengis menampakkan diri, mengurung 

mereka. Sekar Pamikat merapat pada 

Ludiro, demikian juga Gopo dan Andini. 

Gadis manja ini sempat berkata polos, 

"Iih... banyak orang di sini...."


"Diam!" geram Gopo.

Kelompok tak dikenal itu semakin 

banyak Jumlahnya mencapai puluhan orang. 

Mereka bergerak membuat suatu lingkaran 

mengepung Sekar Pamikat dan kawan-kawan. 

Lingkaran semakin dipersempit dan kian 

rapat. Rasa-rasanya tak ada celah untuk 

dapat lolos. Jangankan manusia, lobang 

jarum pun susah lolos dari lingkaran itu.

Salah seorang dari kelompok bengis 

itu maju, agaknya dialah pimpinan 

mereka. Tanpa baju, berikat kepala kulit 

ular, bercelana dari kain tebal tenunan, 

mengenakan kalung berlontin tengkorak 

bayi. Rambutnya panjang tak teratur. Ia 

memegang tongkat setinggi tubuhnya. Di 

ujung tongkatnya itu berhias tengkorak 

manusia dewasa.

Laki-laki yang sedikit gemuk dan 

buncit perutnya itu terkekeh-kekeh 

memandang Andini. "Nona manis...." 

ucapnya menggoda. Tapi Andini menjawab 

polos:

"Apa?" Gopo mencolek agar Andini 

diam. Tapi malahan sebaliknya. Andini 

bertanya, "Kalian siapa, kok mengepung 

kami?"

"Aku Sumo Barong, Nona cantik...."


"Barong apa?" tanya Andini. Lalu 

lelaki itu tertawa terbahak- bahak 

kepada teman-temannya. 

"Gadis ini cantik, lucu, tapi 

menggairahkan."

Andini akan bicara lagi, tapi 

tangannya dicengkeram oleh Gopo dengan 

gemas, sehingga ia terpekik tertahan. 

Sumo Barong berkata kepada Andini, "Aku 

pimpinan begal Gunung Carakan! Kalian 

telah memasuki wilayah kami, berarti 

kalian siap kami rampok."

Andini masih menyahut dengan gaya 

manjanya, "Kami tidak punya barang 

berharga apa-apa? Kamu mau merampok 

apa?"

Sumo Barong terkekeh. "Memang kamu 

tidak membawa barang yang 

berharga,.namun tubuhmu... dan tubuh 

teman perempuanmu yang satu itu..." Sumo 

Barong ketawa sejenak. "Itu sudah bisa 

dijadikan barang rampokan kami, tahu?"

"Tubuhku sudah ada yang punya. Aku 

punya kekasih. Aku tak mau tubuhku kau 

sentuh. Aku jijik sama kamu, Barong!"

"Jijik...?. Jijik..? Ha, ha, 

haa..." teman-teman Sumo Barong ikut 

tertawa. "Jijik itu kelihatannya, Nona 

manis. Tapi jangan hanya dilihat,


rasakan dulu, baru kau akan ketagihan." 

Kemudian mereka tertawa lagi.

"Ah, kamu bohong!" ujar Andini 

polos. Sumo Barong nekad mendekat. 

Ludiro ingin bertindak, tapi tangan 

Sekar Pamikat memberi isyarat agar 

Ludiro diam dulu.

"Jangan sentuh tubuhku..." ujar 

Andini. Tapi Sumo Barong nekad menyentuh 

pipi Andini. Sayang, belum sampai tangan 

Sumo Barong menempel di pipi, rambut 

Andini yang panjang dan saat itu 

terkumpul ke depan segera disabetkan ke 

tangan Sumo Barong seraya Andini ber-

kata, 

"Nakal...!"

Di luar dugaan yang lainnya, Sumo 

Barong menjerit sekuat tenaga. Tangannya 

yang terkena sabetan rambut Andini itu 

menjadi biru, kaku dan membengkak dalam 

tempo singkat. Sumo Barong 

jingkrak-jingkrak karena kesakitan. 

Teman-temannya bersiaga, sementara itu 

Gopo terbengong melihat kejadian itu. 

Hatinya sedikit gemetar melihat 

kenyataan, bahwa rambut panjang Andini 

ternyata mempunyai kekuatan yang cukup 

dahsyat. Hanya disabetkan dengan ringan, 

tangan Sumo Barong bisa menjadi separah 

itu, seakan habis ditimpa pohon besar.


Andini sempat tersenyum kepada Gopo. 

Gopo melengos, merasa terejek. Sedangkan 

Sekar Pamikat dan Ludiro tetap 

berjaga-jaga menunggu datangnya 

serangan.

"Kamu nakal, Barong! Itulah 

akibatnya kalau anak nakal!" kata Andini 

polos sekali. Gopo hanya mendengus 

kesal.

"Jangan diam saja!" bentak Barong 

kepada anak buahnya. "Serang mereka, 

bunuh! Tapi perempuannya jangan!"

Sebelum anak buang Sumo Barong 

bergerak, Gopo sempat berseru kepada 

kawan-kawannya.

"Tutup telinga kalian!"

Tapi Sekar Pamikat dan yang lainnya 

tidak menghiraukan kata-kata Gopo. 

Mungkin karena anak buah Sumo Barong 

telah lebih dulu menyerang, sehingga 

mereka sibuk mempertahankan diri. Ludiro 

meloncat-loncat menghindari kibasan 

golok dan tombak. Demikian juga Sekar 

Pamikat, sibuk menangkis serangan lawan 

dengan pedang Jalak Patinya. Denting 

bunyi senjata beradu terdengar tak 

begitu seru, karena hanya Sekar Pamikat 

saja yang menggunakan senjata untuk 

menangkis serangan musuh. Sedangkan yang 

lainnya, meloncat, menghindar, dan


begitu seterusnya. Sementara itu, Andini 

kelihatan tak begitu serius menghadapi 

mereka. Ia berlari ke sana ke mari, 

menghindari tangkapan lawannya. Gopo 

sibuk mengadu lengannya dengan 

tombak-tombak besi, sehingga lama-lama 

tangkisan lengannya terasa sakit juga.

"Ini akan melelahkan kita, Putri 

Sekar..." kata Gopo dalam kesempatan 

berdekatan dengan Sekar Pamikat. "Tak 

mungkin kita harus membunuh sekian 

banyak."

"Heaaat...!" Sekar Pamikat 

menangkis kilasan pedang yang nyaris 

membabat kepala Gopo. Ia berkata kepada 

Gopo sambil menghadapi serangan lawan, 

"Apa gagasanmu, Gopo...?"

"Kabur! Kita harus lari menghindari 

mereka!" bisik Gopo.

"Pertahanan mereka cukup rapat...!"

"Tutup semua telinga, kataku! Ikuti 

sajalah...!" Gopo merunduk, lalu 

melancarkan tendangan ke kaki lawan. 

Goloknya yang terselip di pinggang 

sengaja dibiarkan mendekam di sarungnya. 

Ia belum perlu menggunakan. Sia-sia 

saja, pikirnya. Musuh begitu banyak dan 

akan melelehkan.

"Aku akan membuat jalan untuk lari, 

tutup semua telinga!" sekali lagi Gopo


bicara pada saat ia berdampingan dengan 

Ludiro dan Sekar Pamikat. Saat itu, 

Andini berlari lincah bagai kelinci yang 

sukar ditangkap.

"Sekarang...!" kata Gopo. Dengan 

cepat Ludiro dan Sekar Pamikat menutup 

telinga mereka menggunakan tangan. 

Mereka tak tahu apa yang akan dilakukan 

Gopo, tapi yang jelas, pada saat itu Gopo 

berteriak keras sekali:

"Hooooaaaaaaa...!!!"

Teriakan itu cukup panjang dan 

keras. Da-undaun bergoyang kencang bagai 

ada hembusan angin puyuh. Sumo Barong dan 

kawanannya menjadi kejang, mereka 

memekik kesakitan. Mereka mencoba 

menutup telinga, tapi tak berhasil. Dari 

telinga mereka masing-masing keluar 

darah segar. Lalu beberapa orang ada yang 

sudah menggelepar, berjatuhan. Tombak 

dan pedang banyak yang patah. Dahan pohon 

pun retak, bahkan ada yang sempat 

menjatuhi kepala anak buah Sumo Barong. 

Bumi tempat mereka berpijak menjadi 

goncang bagai ada gempa mendadak. 

Sementara itu, nyala api kian mengecil. 

Dan di suatu tempat, Andini yang tak 

sempat menutup telinga hanya diam. 

Berhenti bergerak, berdiri menunduk, 

bagai sedang memusatkan konsentrasi


untuk menanggulangi suara Gopo yang 

punya kekuatan dahsyat itu.

Sumo Barong roboh menggelepar dan 

men jerit-jerit. Gopo memperpanjang 

suaranya. Anak buah Sumo Barong semakin 

berjatuhan. Pada saat itu, Gopo berseru 

kepada kawan-kawannya.

"Lekas, lari...!"

Memang, ada jalan untuk lari. 

Barisan anak buah Sumo Barong tidak 

serapat tadi. Mereka berjatuhan sambil 

menggelepar menahan sakit pada telinga 

mereka. Bahkan ada yang sekarat 

sebentar, lalu mati. Saat itulah Sekar 

Pamikat melesat masuk ke semak 

kegelapan. Diikuti oleh Ludiro dan Gopo. 

Mendadak Gopo teringat sesuatu, ia 

kembali lagi dan dengan kasar menyeret 

Andini untuk kabur.

"Cepat lari...! Tinggalkan tempat 

ini...!"

"Aku capek. Kakiku lelah 

berlari-larian...!" Andini memanjakan 

diri. Gopo jengkel, namun segera 

menggendong Andini dan ia pun melesat 

lari menyusul Sekar Pamikat dan Ludiro. 

Andini yang berada di pundak Gopo masih 

rewel.

"Pelan-pelan, Gopo! Pinggangku 

sakit nih...!"


Gopo tidak peduli, ia berlari dengan 

langkah lebar. Hentakan kakinya 

menggetarkan tiap jengkal tanah yang 

diinjaknya. Dalam waktu singkat ia 

berhasil menyusul Ludiro dan Sekar 

Pamikat.

Malam yang gelap, hutan yang lebat, 

membuat mereka saling bertabrakan. 

Ludiro nyaris terinjak Gopo sewaktu ia 

tersandung agar pohon. Sekar Pamikat 

selalu berada di depan.

Untuk memberi tanda kawan-kawannya 

ia selalu berkata, "Cepat... cepat...! 

Belok ke kiri...! Terus...!" Sementara 

itu Andini seperti naik kuda binal yang 

susah diatur. Perutnya terasa mual, dia 

minta diturunkan. Tapi ketika diturunkan 

oleh Gopo, ia malah minta beristirahat.

"Setan bawel...!" Geram Gopo yang 

kemudian tanpa peduli omelan Andini ia 

mengangkat tubuh ramping itu. Ia berlari 

menyusul Sekar Pamikat. Andini merasa 

dirontokkan isi perutnya oleh langkah-

langkah Gopo.

"Sekar, berhenti dulu..." Kata 

Gopo, dan Ludiro pun berhenti lebih dulu, 

lalu Sekar mengikuti.

"Ada apa?"

"Kalau tak salah, di samping kiri 

kita ini ada goa. Aku mendengar gema


langkah kita..." ujar Gopo seraya ia 

mendekat arah yang dimaksud.

Gelap sekali. Mereka tak dapat 

melihat ada lobang dalam jarak tertentu. 

Tetapi terdengar suara Gopo dari tempat 

yang gelap berkata, "Benar, ini ada 

sebuah Goa."

Mereka mendekat. Andini minta 

dituntun Ludiro.

"Sayang mulut goa ini terlalu 

kecil," kata Sekar Pamikat setelah 

merabahya beberapa saat. "Ada batu 

penghalang yang. menutup goa ini....

Mendadak mereka mendengar derap 

kaki para pengejar. Obor-obor bergerak 

di kejauhan mendekati arah mereka.

Rupanya anak buah Sumo Barong yang belum 

sempat mati, menjadi penasaran dan 

mengadakan pengejaran.

"Mereka mengejar kita, Putri," kata 

Ludiro tegang.

"Ada obor... Aku akan pinjam obor 

mereka," kata Andini.

Dengan kasar Gopo meraih baju Andini 

dan menariknya.

"Jangan bodoh kelewat batas, 

Andini! Kembali!"

"Ihh...! Robek bajuku, tolol!" 

teriak Andini. Ada suara di kejauhan, 

"Itu dia...! Suaranya di sana!"

"Dengar, mereka mendengar suaramu," 

bentak Ludiro kepada Andini. Andini 

hendak membantah, tapi Sekar Pamikat 

segera menutup mulut Andini. Sekar 

berkata kepada Gopo dengan suara pelan:

"Geser batu penutupnya. Kita masuk 

goa, dan tutup kembali. Kau sanggup, 

Gopo?"

"Tentu, Putri Sekar...!" jawab 

Gopo. Kemudian ia segera mengerahkan 

tenaganya, mendorong batu itu. Dan 

ternyata batu itu pun bergerak lamban. 

Mulut Goa terbuka sedikit.

"Cukup untuk masuk satu persatu," 

ujar Sekar Pamikat. Kemudian Sekar masuk 

lebih dulu. Disusul Ludiro, dan Andini. 

Tapi Andini keluar lagi. 

"Ada apa?" bentak Gopo.

"Seram. Dalamnya juga gelap..."

"Masuk!" seraya Gopo mendorong 

tubuh Andini ke dalam. Ludiro menarik 

Andini. Sementara itu, Gopo masih 

tertinggal di luar, tubuhnya sukar masuk 

karena besarnya. Ia mendorong batu 

penutup sekali lagi, saat itu anak buah 

Sumo Barong semakin dekat.

* * *


LIMA


KETEGANGAN mulai mereda sejak Gopo 

menutup kembali pintu goa tersebut. Batu 

besar itu telah rapat dengan pintu goa, 

sehingga setidaknya mereka merasa aman 

untuk sementara waktu.

"Di sini juga gelap," suara Andini 

yang manja bergenia. Tapi tak satu pun 

dari mereka berempat yang menanggapi 

kata-kata Andini.

"Paman, jangan jauh-jauh dari 

kita," bisik Sekar Pamikat yang juga 

terdengar menggema. Mereka saling tak 

menatap muka. Gelap lebih dari pekat. 

Gopo sendiri tak tahu kalau Andini sudah

bergeser menjadi di depannya, sehingga 

ketika ia hendak melangkah, Andini 

menjerit:

"Aaoww...!"

"Sssttt...!" Ludiro mendesis.

"Gopo menginjak kakiku!"

"Brengsek," gerutu Gopo. "Hanya 

tersentuh jempol kakiku saja bilang 

menginjak!"

"Tapi sakit, tolol!" geram Andini.

"Berhentilah menjadi anak ingusan, 

Andini," kata Sekar Pamikat dengan 

tenang. "Ada yang perlu kita kerjakan


lebih daripada sekedar cekcok dan 

ribut-ribut."

Andini diam. Mungkin cemberut atau 

bersungut-sungut, tak jelas. Tak ada 

yang dapat saling memandang wajah. Namun 

mendadak Gopo bicara dengan penuh 

semangat, "Putri Sekar... aku yakin, goa 

ini cukup dalam dan lebar."

"Darimana kau tahu?" gumam Ludiro.

"Gema. Gemanya dapat menjadi ukuran 

lebar dan dalamnya goa ini."

Andini menyahut dengan ketus, 

"Semua goa juga menggema. Kau pikir kami 

ini orang bodoh." 

"Kami memang bukan orang bodoh, 

selain kamu!" balas Gopo dengan ketus 

pula.

Lalu terdengar suara Sekar Pamikat 

yang ternyata sudah berada dalam jarak 

lebih jauh dari mereka. "Paman Ludiro!"

"Sekar..." Gopo yang menjawab 

dengan cemas, sebab ia tahu suara Sekar 

menjauh, berarti Sekar telah merayap 

masuk ke daerah dalam goa.

Kemarilah kalian. Pelan-pelan," 

kata Sekar Pamikat. "Aku menemukan 

seberkas sinar di sana...."

Kemudian mereka saling tergesa-gesa 

menuju ke arah Sekar Pamikat. Ludiro 

terjatuh, suara tubuhnya berdebam


menimbulkan gema. Sekar Pamikat bersuara 

cemas, "Siapa itu yang jatuh?" Tetapi 

Andini yang menyahut:

"Aku. Habis tak ada yang 

menuntunku."

"Gopo, tuntun Andini," perintah 

Sekar Pamikat.

Gopo menggerutu dan sengaja tak mau 

menuntun Andini. "Setan bawel! Yang 

jatuh Ludiro, dia yang mengaku!"

Kemudian mereka sampai di tempat 

Sekar Pamikat berdiri. Agaknya mereka 

berdiri di suatu tikungan jalan goa.

"Lihat," Sekar berbisik. "Di sana

ada seberkas cahaya sinar. Pasti ada 

jalan ke sana."

"O, ya. Benar," kata Gopo. "Kurasa 

di sana ada orang. Tapi, siapakah 

sebenarnya penghuni goa ini?"

Andini menggumam pendek, kemudian 

melangkah mendahului mereka. Sekar 

Pamikat segera menggaet baju Andini dan 

berkata, "Jangan gegabah. Matilah nanti 

setelah bertemu dengan kekasihmu yang 

tampan itu!"

"Aku akan mencari tempat terang. Aku 

ingin melihat betisku apakah lecet atau 

tidak. Tadi kurasakan ada benda tajam 

menggores betisku."


"Lepaskan dia, Putri Sekar," ujar 

Gopo. "Biarlah kalau memang ia ingin mati 

lebih dulu, silakan saja."

Ludiro bagai menggumam. 

“Bertindaklah penuh perhitungan. 

Siapa tahu di dalam goa ini banyak 

jebakan."

"Jebakan?" Andini bernada was-was, 

lalu ia melangkah mundur sampai 

menyentuh tubuh Gopo. Dengan kasar Gopo 

sengaja mendorong kepala Andini dengan 

satu hentakan:

"Bandel!"

"Kurang ajar kau...!" Andini sewot. 

Ia menampar Gopo. Tapi ia tidak tahu 

kalau Gopo telah bergeser ke samping, 

sehingga tamparan tangannya mengenai 

wajah Ludiro. 

"Plok...!"

"Aduh," pekik Ludiro. "Kok yang 

ditampar aku?!"

"Oh, kau Ludiro? Maaf kukira 

Gopo..." terdengar pula Gopo terkekeh 

tertahan menertawakan kesalahan Andini.

Agaknya mereka tak tahu kalau Sekar 

Pemikat sudah berhasil maju ke depan, 

menjauhi mereka. Suaranya terdengar di 

sebelah sana, "Aman. Kemarilah...!"

Setapak demi setapak mereka 

melangkah. Terus menyelusup ke dalam


goa. Sekar Pamikat paling depan, sebab 

dialah yang mempunyai keyakinan lebih 

waspada ketimbang yang lain. Dia berani 

menghadang bahaya jika datang dari 

depan.

"Perutku lapar lagi," gerutu 

Andini. Dan tak satu pun yang memberi 

komentar atas kata-kata itu.

Semakin jauh mereka menyerusuk ke 

dalam goa, semakin dekat mereka dengan 

cahaya. Sejauh itu, memang tak ada 

halangan apa-apa. Jebakan pun tak ada. 

Qopo menyimpulkan, goa itu memang masih 

perawan, belum pernah ada yang 

menjamahnya. Tentu saja ia berkesimpulan 

begitu, sebab ia tidak menemukan sesuatu 

yang ganjil dan membahayakan. Dinding 

goa yang lembab, dan lantai yang dingin, 

membuat pikiran Gopo jadi berjalan serta 

berkeyakinan, bahwa Goa tersebut pasti 

mempunyai lobang lain di suatu tempat.

Cahaya sinar semakin dekat, sampai 

akhirnya mereka berhenti dalam jarak 

beberapa langkah lagi sebelum memasuki 

lorong bercahaya.

"Sepi," bisik Sekar kepada Ludiro.

"Ya. Tapi siapa yang menyalakan obor 

di dalam goa ini? Siapa yang ada di dalam 

cahaya terang itu?"

"Setan, mungkin," bisik Andini.


"Ssstt..." Sekar Pamikat mendesis. 

"Diamlah di sini dulu, biar aku yang 

menyelidiki ke sana."

Sekar Pamikat melangkah dengan 

hati-hati, berusaha mengurangi bunyi 

langkahnya. Semakin dekat semakin jelas 

apa yang bersinar di lorong itu. Ternyata 

lorong tersebut dipenuhi dengan tumbuhan 

lumut. Dinding lorong yang lembab penuh 

dengan tanaman lumut yang mengeluarkan 

cahaya. Karena waktu itu belum ada dan 

belum dikenal istilah fosfor, maka me-

reka menamakan tanaman itu sebagai 

‘lumut bercahaya'.

Mereka datang mendekat setelah 

Sekar Pamikat memberi perintah. Mereka 

memandang penuh kekaguman, Tak satupun 

yang berbicara selama beberapa saat. 

Mata mereka melebar, memandangi tiap 

lumut bercahaya dengan kagum. Mereka 

dapat mehhat kalau lorong itu cukup 

panjang. Memang sedikit sempit dari 

mulut goa, namun jelas mempunyai alur 

yang dalam.

Andini ingin memegang lumut itu, 

tapi tangan Gopo menepaknya seraya 

berkata, "Jangan sembrono. Siapa tahu 

tanaman ini beracun!"


"Tapi tidak perlu sekasar itu! Sakit 

kan?!" Andini cemberut manja sambil 

mengusap-usap tangannya.

Lorong yang terang menampakkan 

dinding yang basah dan lantai yang 

lembab. Sekar Pamikat melangkah setapak 

demi setapak dengan hati- hati dan penuh 

kewaspadaan, demikian juga Ludiro. Hanya 

saja Gopo dan Andini agak kurang 

berwaspada, sehingga pada suatu saat, 

mereka terpeleset dan jatuh 

terpelanting. Keduanya sama-sama 

terpekik, dan Ludiro menggerutu tak 

jelas.

"Selamat... selamat..." kata 

Andini." Untung tubuhmu yang sebesar 

gajah tidak menindihku."

Gopo menggeram, menahan dongkol 

dikatakan sebesar gajah. Kalau tak 

memandang Sekar Pamikat, mungkin gadis 

itu sudah ditamparnya sejak tadi.

"Apakah kita harus melangkah 

terus?" kata Ludiro entah ditujukan 

kepada siapa saja Dan kali ini, Gopo yang 

menyahut.

"Kurasa begitu. Aku yakin ada jalan 

keluar di ujung lorong ini. Entah tembus 

ke mana. Tapi pasti ada jalan menuju

luar."


"Kita kembali saja ke mulut goa yang 

tadi. Keluar lewat sana," usul Andini.

"Kalau ingin terkena sengatan Sumo 

Barong, silakan!" jawab Gopo dengan 

ketus, dan lagi-lagi Andini cemberut 

kesal. Namun mereka tetap melangkah 

dengan hati-hati mengikuti tapak kaki 

Sekar Pamikat. Mereka berusaha untuk 

tidak menyentuh tanaman lumut bercahaya 

itu. Mereka takut terkena racun yang 

mungkin lebih ganas serta lebih jahat 

dari racun yang pernah membusukkan 

daging tubuh Ludiro itu.

Entah berapa lama mereka melangkah 

menyusuri lorong berdinding lumut 

terang. Tanah yang mereka pijak sudah tak 

sebasah tadi. Memang masih lembab, namun 

tak membuat basah pada kaki. Sementara 

udara yang ada di sana adalah udara 

dingin. Dingin yang mencekam tulang 

belulang mereka. Andini sejak tadi 

memeluk dirinya sendiri, tangannya 

terlipat di depan dada. Ia sempat 

berkata, 

"Kalau tahu akan begini, aku pasti 

membawa jubah penghangat tubuhku." Dan 

kata-kata itupun tak ada yang 

menyambutnya.

Agaknya perjalanan mereka sudah 

cukup jauh. Mata Andini telah sayu,


terkantuk-kantuk. Tapi lorong bercahaya 

itu masih panjang. Entah berapa lama lagi 

mereka akan menemukan jalan keluar dari 

goa tersebut.

"Kita beristirahat dulu, sambil 

memikirkan jalan keluar dari goa ini," 

usul Ludiro kepada Sekar Pamikat.

Sekar Pamikat menggumam. "Jalan 

keluar jelas ada di ujung lorong. Tapi 

seberapa jauh ujung lorong ini, kita 

tidak tahu. Dan kita sendiri telah masuk 

ke dalam goa terlalu jauh dari mulutnya 

yang tadi."

Sekar Pamikat berhenti, kemudian 

melepas pedang dan sarungnya. Ia duduk di 

tanah yang sedikit lembab. Lalu yang 

lainnya mengikuti. Tanpa perduli keadaan 

kotor dan dingin, mereka beristirahat 

melepas lelah. Pada saat itu Andini mulai 

terkantuk-kantuk. Akhirnya dengan tak 

perduli apa-apa lagi, ia berbaring di 

tanah dan menggunakan betis Gopo sebagai 

bantalan. Ia tertidur dengan pulas. 

Sementara itu, Gopo pun mencari tempat 

untuk bersandar, yaitu suatu dinding 

lorong yang tidak ditumbuhi lumut.

"Putri Ayu... silakan tidur 

beberapa saat. Biar saya yang 

berjaga-jaga," kata Ludiro dengan penuh 

kesetiaan.


"Tak usah, Paman. Cukup dengan duduk 

begini saja aku sudah bisa melepaskan 

lelah," kata Sekar Pamikat. Tapi 

nyatanya, ia tertidur juga dalam keadaan 

duduk tegak. Dan Ludiro membiarkan Dewi 

Cambuk Naga lelap tertidur. Ia berusaha 

menahan diri dari kantuk, dan tetap 

berwaspada menjaga kemungkinan 

kemungkinan yang tak diinginkan.

Cukup lama juga mereka tertidur. 

Cukup lama juga Gopo mendengkur. Bahkan 

setelah beberapa saat Gopo mendengkur, 

ada beberapa lumut yang berjatuhan 

karena getaran dengkur Gopo.

Ketika Sekar Pamikat terbangun, ia 

menemukan Ludiro sedang memakan lumut 

tersebut. Sekar Pamikat terkejut dan 

sangat cemas.

"Paman? Kau telah memakan tanaman 

itu?!"

"Ya, Putri Ayu. Saya tak tahan 

kantuk, lalu saya coba-coba memakan 

lumut-lumut ini. Ternyata tidak beracun. 

Dan... yang jelas rasa kantuk saya 

menjadi hilang sehingga saya dapat 

berjaga-jaga selama ini."

Sekar Pamikat memandang bengong 

pada lumut-lumut bercahaya yang sedang 

dimakan Ludiro.

"Putri mau memakannya?"


Sekar Pamikat menggeleng dengan 

masih tampak tegang. "Siapa tahu racun 

tanaman itu bekerja di kemudian hari."

Kini Ludiro yang menjadi tegang. Ia 

buru-buru membuang beberapa genggam 

lumut bercahaya yang masih di tangannya. 

Ia menjadi menyesal. "Benar. Siapa tahu 

racun itu bekerja di kemudian hari dan... 

dan sangat berbahaya...?" pikirnya.

Tapi... benarkah begitu? Ludiro 

masih terbengong pada saat Andini 

terbangun dan menggeliat sambil menguap. 

Tak lama kemudian Gopo ikut terbangun dan 

menguap. Hembusan nafasnya sempat 

merontokkan beberapa lumut sehingga 

Andini ketakutan tersentuh lumut 

tersebut.

Badan mereka terasa segar. Semangat 

mereka seakan kembali membara. Ketika 

Sekar memerintahkan untuk bergerak lagi, 

mereka bangkit serentak dan berjalan 

menyusuri lorong itu. Tetapi dalam 

perjalanan kali ini, Ludiro kelihatan 

banyak termenung. Kegelisahan mewarnai 

wajahnya, dan hal itu diketahui oleh 

Andini.

"Kenapa gelisah. Ludiro?"

"O, tidak..." Ludiro menggeragap. 

"Tidak apa-apa. Aku hanya..."

"Melamun?" sahut Andini.


"Hemm... ya. Melamunkan orang-orang 

yang akan kita hadapi di Sendang Bangkai 

nanti."

"Ah, lupakan saja dulu," ujar 

Andini. "Kita tadi toh sudah mengadakan 

pemanasan dengan Sumo Barong dan anak 

buahnya. Dari situ seharusnya kita bisa 

mempelajari, berapa besar kekuatan kita 

berempat dan taktik apa yang harus kita 

gunakan untuk menyerang orang-orang 

Sendang Bangkai."

"Apa mereka berbahaya sekali?" Gopo 

ikut angkat bicara.

"Menurut keterangan yang kuperoleh 

dari Penghulu Badra, memang berbahaya 

sekali. Buktinya, dua anak buah Peri 

Sendang Bangkai yang bertarung melawanku 

itu, cukup berilmu tinggi. Gerakannya 

gesit, dan pedangnya mengandung racun 

yang membahayakan. Tentunya, 

orang-orang Sendang Bangkai juga mem-

punyai pedang semacam itu."

Sambil melangkah terus, Gopo 

menggumam. Sekar Pamikat berjalan dengan 

kebisuan, namun sebenarnya ia menyimak 

pembicaraan Ludiro tadi. Ada sedikit 

kekhawatiran pada Sekar Pamikat tentang 

Ludiro yang telah memakan lumut 

bercahaya tadi, tapi ia buru-buru 

mengatakan, "Ah, tak apa," di dalam


hatinya. Ia ingin memusatkan perhatian 

hanya pada Lanangseta.

Mereka berhenti melangkah, karena 

sekarang lorong itu terbelah menjadi dua 

arah: ke kiri dan ke kanan. Yang ke kiri 

dindingnya tidak berlumut dan gelap. 

Yang ke kanan, dindingnya masih berlumut 

dan terang. Mereka sedikit bi-ngung 

untuk menentukan langkah ke mana mereka 

harus berjalan: ke kiri, atau ke kanan?

"Ke kiri saja," usul Gopo.

"Gelap, ah..." Andini bermanja 

lagi.

"Lihat, ada cahaya sebesar titik di 

ujung lorong yang gelap itu. Siapa tahu 

itu mulut goa, tempat kita bisa keluar 

dari goa ini," tutur Gopo dengan pelan, 

sedikit ragu.

"Ya, kita ke kiri saja!" kata Sekar 

Pamikat sambil meneruskan langkah, yang 

lain mengikutinya dengan hati-hati, 

sebab lorong itu gelap, seperti semula.

Makin lama mereka melangkah makin 

lebarlah titik bercahaya itu. Ternyata 

memang benar, itu adalah mulut goa. 

Ternyata di luar goa hari sudah siang. 

Oh, berarti cukup lama mereka berada di 

dalam goa tadi.

Udara terasa segar setelah mereka 

berempat berada di luar goa. Tapi.di mana


mereka? Tak ada yang tahu. Yang mereka 

tahu, mereka berada di lereng bukit. 

Banyak semak belukar yang menghalangi 

langkah mereka. Mulut goa itu kecil, dan 

tak akan terlihat dari beberapa langkah, 

sebab rimbun tanaman liar nyaris 

menutupnya.

Matahari tepat di ubun-ubun 

manusia. Panasnya begitu menyengat 

kulit. Mereka menuruni lereng sejak 

tadi. Beberapa kali Gopo terpeleset 

jatuh, juga Andini. Namun mereka tak 

henti-hentinya berusaha mencari jalan 

untuk dapat menuruni lereng 

bukit..Sehingga pada suatu saat, ketika 

matahari mulai condong, mereka telah 

mencapai kaki bukit dan tanah datar.

"Lihat, ada genangan air...!" kata 

Ludiro sambil menunjuk ke suatu arah.

"Ya. Kita harus ke sana, aku ingin 

minum," ujar Andini dengan bersemangat. 

Lalu dia berlari lebih dulu. Yang lain 

terpaksa mengikutinya. Namun tiba-tiba, 

tiga orang perempuan menghadang langkah 

Andini. Bukan hanya Andini yang terkejut 

dan berhenti, melainkan ketika temannya 

juga ikut berhenti dan mulai menjaga

kewaspadaan. Ketiga perempuan itu 

mengenakan penutup dada serta celana 

dalam. Itu saja. Masing-masing memegang



pedang yang sama bentuknya dengan pedang 

yang pernah melukai Ludiro sehingga 

nyaris busuk sekujur tubuhnya itu.

"Mereka orang-orang Sendang 

Bangkai!" seru Ludiro biar didengar 

Andini.

Salah seorang dari ketiga perempuan 

Sendang Bangkai itu menyahut, "Benar. 

Oh, rupanya kalian mengenali ciri kami, 

ya? Bagus! Dan tentunya kalian tahu, 

siapa yang memasuki wilayah kami harus 

tunduk kepada kami. Yang perempuan boleh 

menjadi anggota Sendang Bangkai dengan 

satu syarat, mau mengabdi sepenuh hati. 

Jika tidak, boleh mati. Sedangkan yang 

lelaki, harus tunduk juga kepada kami 

untuk menjadi kaum pejantan kami. Jika 

tidak, harus disiksa sampai mau. 

Kematian itu jalan akhir!"

Andini melangkah mundur 

perlahan-lahan. Tubuhnya menyentuh 

Gopo, dan ia berpaling kepada lelaki 

tinggi besar itu. Ia berkata dengan nada 

manja, "Mereka jahat, Gopo...!"

"Kalau kau takut, minggirlah, biar 

aku yang menghadapi."

Tapi Ludiro segera mencegah, 

"Jangan! Pedang mereka cukup berbahaya, 

Gopo. Kulitmu bisa busuk dalam waktu


singkat dengan hanya tergores sedikit 

saja."

"Biarkan aku dan paman Ludiro yang 

menghadapi mereka," bisik Sekar Pamikat.

Gopo tak bisa berbuat apa-apa, 

karena Sekar Pamikat dan Ludiro segera 

maju menghadang ketiga perempuan genit 

itu. Andini menggeret Gopo sambil 

berkata, “Beri kesempatan kepada Ludiro 

dan Sekar Pamikat. Mereka memang 

berbahaya." Kemudian Gopo dan Andini 

berlindung di bawah pohon, sementara

Sekar Pamikat dan Ludiro berdiri 

tegar dihadapan ketiga perempuan 

berpedang itu.

"Kurasa kita tak perlu 

membuang-buang waktu dan tenaga. Bawalah 

kami segera menghadap Peri Sendang 

Bangkai!" kata Sekar Pamikat dengan 

tegas.

"Oh, kau ingin menghadap pimpinan 

kami, ya? Hemm... ada urusan apa kalau 

boleh aku tahu?" tanya salah seorang dari 

mereka.

"Dia telah menculik calon suamiku

Pendekar Pusar Bumi!"

"Calon suamimu? Ih, pendekar 

ganteng yang muda perkasa itu mau menjadi 

suamimu. Uhh... omong kosong!"


Andini menyahut, "Iya. Kekasihku, 

Pendekar Maha Pedang, juga diculiknya! 

Mana, pulangkan kekasihku!"

Gopo menarik tangan Andini. 

"Diamlah, biar diurus Putri Sekar dan 

Ludiro...!"

"Kalau itu yang menjadi tujuan 

kalian, berarti kalian mencari 

mampus...!" kata salah seorang, lalu ia 

menyerang Ludiro dan Sekar Pamikat. 

Tubuhnya melayang dengan ringan, 

menyodorkan pedangnya ke depan. Psida 

saat itu Sekar Pamikat melompat ke kiri, 

dan Ludiro melompat ke kanan. Namun 

Ludiro sempat melancarkan tendangannya 

dengan cepat, dan mengenai punggung 

orang itu. Orang yang terkena tendangan 

Ludiro hanya oleng sedikit, dan ia 

kembali sigap. Sementara itu, kedua 

temannya memekikkan semangat perang 

sambil masing-masing mengibaskan 

pedangnya ke arah Sekar Pamikat dan 

Ludiro.

Sekar Pamikat menangkis serangan 

musuhnya, tangannya beradu dengan lengan 

lawan. Begitu kuat dan keras sehingga 

lawan merasa kesemutan lengannya. Sekar 

memiringkan badan, lalu kakinya 

menjangkau leher lawan dengan suatu 

tendangan kuat.



"Digg...!" Ia terhuyung. Namun 

pedangnya berkelebat cepat, nyaris 

merobek pinggang Sekar Pamikat. Sekar 

segera mencabut pedang Jalak Pati. 

"Sreet...!" Lalu kedua pedang itu 

beradu, 

"Traang...! Trang...!" Sekar 

Pamikat melompat ke belakang, karena 

serangan lawan begitu cepat dan 

bertuhi-tubi.

Demikian juga dengan Ludiro yang 

hanya bertangan kosong ia 

melompat-lompat dan menggunakan jurus 

Tendangan Dewa. Sekali jurus itu 

dilancarkan, kedua musuhnya yang 

menyerang serempak terjungkal, sebab 

sekali Ludiro merentangkan kedua kakinya 

sambil melayangj keduanya mengenai 

kepala dan punggung lawan

Salah satu lawan Ludiro melesat 

tinggi, bersalto di udara. Pada saat itu, 

lawan yang bertarung dengan Sekar 

Pamikat juga melesat tinggi, bersalto di 

udara. Rupanya mereka berpindah tempat. 

Lawan Sekar Pamikat ganti menyerang 

Ludiro dan lawan Ludiro ganti menyerang 

Sekar Pamikat. Hal itu sempat membuat 

Sekar maupun Ludiro terkesima bingung. 

Lalu tiba-tiba pedang mereka terayun 

cepat.


Sekar Pamikat menundukkan kepala 

sambil menusukkan pedang Jalak Pati ke 

arah perut lawannya. 

"Breet...!" Perut itu bukan 

tertusuk, melainkan tergores pedang 

Jalak Pati. Lawan sempat memekik menahan 

sakit. Darah merembas dari perut yang 

mulus dan hanya mengenakan celana dalam 

berlapis benang emas itu. Agaknya musuh 

Sekar Pamikat masih bertahan.

Ludiro agak keteter dengan serangan 

ganda dari kedua musuhnya. Ia 

melemparkansenjata rahasianya satu 

kali, tapi pedang musuh mampu 

menghalaunya. 

"Tring...!" Senjata pisau kecil itu 

melesat entah ke mana. Kedua perempuan 

yang menyerang Ludiro itu sama-sama 

mempunyai ilmu pedang yang cukup hebat. 

Gerakannya cepat dan gesit. Beberapa 

kali Ludiro hendak terpotong lengannya, 

namun berhasil dielakkan dengan gerakan 

berguling ke rerumputan. Pada saat 

berguling itulah, jurus Tendangan Dewa 

Mimpinya dilancarkan Tendangan itu 

begitu tepat mengenai bagian kemaluan 

salah seorang lawannya, sehingga orang 

itu menyeringai kesakitan. Jurus 

Tendangan Dewa Mimpi dilancarkan lagi 

oleh Ludiro sambil berguling ia


menendang ke atas, namun kali ini 

lawannya lebih tahu. Ia menghindar ke 

samping dan membabat kaki Ludiro dengan 

pedangnya. 

"Beet...!"

Andini sempat berteriak.ketika kaki 

kanan Ludiro dibabat pedang musuhnya. 

Namun Andini dan Gopo menjadi tertegun 

dan tercengang melihat kaki Ludiro masih 

utuh, tanpa luka sedikit pun. Ludiro 

sendiri kebingungan melihat kenyataan 

itu. Ia terpana memandang kakinya yang 

tak terluka sedikit pun itu. Pada saat ia 

terpana begitu, salah satu lawannya 

melambungkan badan dan menebas kepala 

Ludiro dengan keras. 

"Bett...!" Ludiro masih berdiri 

tegak. 

"Bett...! Bett...!"

Ludiro jadi kebingungan. Ia tidak 

mengeluarkan darah. Kepalanya masih utuh 

tanpa luka. Bahkan kali ini musuh yang 

satunya lagi nyata-nyata merobek perut 

Ludiro dengan pedangnya. 

"Seeet...!" Tapi, perut itu tetap 

utuh, sedikit goresan pun tak ada Ludiro 

masih terbengong memperhatikan 

perutnya. Aneh, pikir-nya. Kenapa ia 

bisa menjadi kebal? Bahkan kini ia diam 

saja saat kedua musuhnya membabat


tubuhnya berulangkali dengan 

membabi-buta. Tapi, tak ada luka! 

Malahan salah satu pedang lawan ada yang 

patah karenanya.

Andini dan Gopo masih tercengang. 

Namun mereka segera dikejutkan oleh 

gerakan kedua musuh Ludiro yang 

tiba-tiba berpindah menyerang Andini dan 

Gopo. Mereka melayang bersamaan sambil 

berteriak dan mengacungkan pedang ke 

arah Andini. Dengan cepat Andini 

mengambil daun-daun pada tumbuhan semak 

belukar di sampingnya. Daun-daun itu 

ditebarkan ke arah musuh, lalu tiba-tiba 

musuh kedua-duanya menjerit kesakitan. 

Daun-daun yang berisi tenaga dalam itu

telah menembus mereka ke beberapa 

tempat, sehingga mereka pun rubuh, 

mengejang. Lalu mati. Andini tersenyum 

ke pada Gopo yang kaget.

"Hebat...! Ajaib sekali...!" kata 

Gopo seraya memungut salah satu daun 

kecil yang tadi ditebarkan. Ia merobek 

daun itu, dan memang bisa robek. Tapi 

mengapa kedua perempuan itu tadi hanya 

sekali gebrak oleh lemparan Andini bisa 

roboh. Malah pakai mati segala! Aneh. 

Pikir Gopo yang masih terbengong-bengong 

memandang mayat itu.


"Kok bisa mati, ya?" ujar Andini 

dengan lagak polosnya. Ia tersenyum 

lagi, "Berarti aku hebat, bukan?" Gopo 

tak menjawab sepatah kata pun. Sementara 

itu ia mengalihkan pandangan kepada 

Ludiro yang masih kebingungan memeriksa 

tubuhnya

"Ada yang luka, Ludiro?" Gopo 

menghampirinya.

"Tidak tuh..." jawab Ludiro 

terheran-heran. "Kok bisa kebal, ya? 

Aneh. Sejak kapan aku mempunyai ilmu 

kebal senjata tajam?"

"Mana aku tahu," jawab Gopo. "Kau 

yang punya tubuh kebal senjata, mengapa 

kau tanyakan padaku?"

Ludiro masih seperti orang bloon. 

Sementara itu, di lain tempat suara 

pedang beradu masih terdengar: Sekar 

Pamikat masih asyik melayani musuhnya 

yang sebenarnya dapat dikalahkan dalam 

waktu singkat. Namun agaknya Sekar 

Pamikat tak mau membunuh musuhnya itu. 

Dengan satu gerakan tangan dan jurus 

tertentu yang amat tinggi kecepatannya, 

pedang Jalak Pati berhasil memotong 

tangan lawannya. Orang itu menjerit, 

meraung-raung. Tangannya menjadi 

buntung. Pedangnya terlepas bersama 

pergelangan tangannya. Jeritan itu amat


menyayat, sehingga Sekar Pamikat 

berhenti menyerang.

"Ampun...! Ampunilah aku...!" orang

itu meratap kesakitan. Sekar Pamikat 

segera menyarungkan pedangnya. Gopo 

turun tangan. Ia menginjak perut 

perempuan itu seraya berkata.

"Ke mana jalan menuju tempat 

pimpinanmu berada, ha?"

"Aku... aku tak tahu..." orang itu 

sukar bicara karena perutnya tertekan 

kaki Gopo yang besar.

"Gopo... jangan, kasihan dia tidak 

bisa bernapas!" seru Andini dengan lugu. 

Sekar mencegah Andini yang hendak 

menarik Gopo.

"Biar dia memaksa orang itu 

menunjukkan tempat kekasih kita 

disekap," ujar Sekar Pamikat, barulah 

Andini mengangguk

"Cepat katakan, atau kuinjak 

perutmu sampai jebol?!" bentak Gopo. 

Agaknya makin lama orang itu tidak tahan 

dengan siksaan Gopo. Ia menjawab dengan 

suara pelan:

"Di... di dasarsendang...! Di sana 

istana Peri Sendang Bangkai... 

aaakkh...!" Dan orang itu pun meregang, 

lalu mati. Gopo menginjaknya sangat 

kuat.

***

ENAM



Genangan air yang terlihat dari kaki 

bukit, ternyata adalah sebuah sendang, 

sejenis telaga, yang berukuran kecil. 

Berbentuk ling-karan tak beraturan, 

bergaris tengah kira-kira 200 meter. 

Airnya cukup bening, menyegarkan. Ada 

banyak pohon yang merindang di 

sekeliling sendang itu, tapi berjarak 

beberapa meter dari tepian sendang.

Melihat kebeningan air sendang, 

tenggorokan Gopo terasa merongrong, 

haus. Demikian juga halnya dengan 

Andini, dan Sekar Pamikat. Hanya Ludiro 

yang tidak merasa tertarik untuk meminum 

air sendang itu. Ia tidak haus sama 

sekali.

"Aku ingin meminumnya. Aku 

haus...!" Andini sangat girang. Namun 

ketika ia hendak merunduk mengambil air, 

Gopo menarik baju Andini seraya berseru:

"Jangan sembrono!"

"Aku haus!" bentak Andini.

Tapi aku masih bisa berpikir!"

Andini bersungut-sungut. "Aku sudah 

bosan berpikir. Otakku sudah sering



kupakai berpikir, kalau otakmu kan 

jarang untuk berpikir, karenanya kau 

belum bosan berpikir."

"Jadi kau menganggap selama ini aku 

tidak pernah memakai otak? Iya?! Iya?!" 

geram Gopo dengan mata melotot. Andini 

melirik dengan pandangan takut. Waktu 

Gopo melotot sambil mendekatinya, Andini 

bergeser mendekati Sekar Pamikat, lalu 

berlindung di balik Sekar Pamikat. Gopo 

berhenti, namun masih menggeram:

"Celeng!"

"Kamu juga celeng!" balas Andini 

dari balik pundak Sekar Pamikat. 

"Setan!"

"Kamu juga setan!" balas Andini. 

Gopo semakin geram.

Ludiro menyahut, "Sudahlah, 

sama-sama setan celeng masih saja 

bertengkar. Uhh... payah kalian itu." 

Sekar tertawa tertahan. Ludiro cemberut 

dan bersungut-sungut.

Matahari semakin bergeser ke arah 

barat. Mereka masih berada di pinggir 

sendang. Ludiro mengambil air sendang 

dengan tangannya, lalu mencium air itu, 

dan membuangnya lagi sambil menyeringai.

"Bau bangkai," katanya kepada yang 

lain. Mereka sempat tersendat kaget. 

Gopo membuktikan sendiri, mencium air


itu seakan ingin diminumnya. Lalu ia pun 

menyeringai, wajahnya yang brewok dan 

kasar semakin jelek saja kelihatannya. 

Ia berkata kepada Sekar Pamikat:

"Iya. Bau bangkai!"

"Berarti inilah yang dimaksud 

Sendang Bangkai," gumam Sekar Pamikat 

bicara pada diri sendiri. Gopo sempat 

muntah, perutnya merasa mual setelah 

mencium bau air itu. Andini berbisik 

kepada Sekar.

"Jangan-jangan dia hamil!"

"Ssst...!"

"Iya. Kata ibuku, perempuan kalau 

mau hamil pasti pakai muntah-muntah 

dulu."

"Tapi Gopo kan bukan perempuan," 

bisik Sekar Pamikat.

"Ah, apa itu pasti? Aku belum pernah 

memeriksanya."

Sekar Pamikat sempat mencolek pipi 

Andini yang manja seraya menahan senyum 

dikulum. "Sudah, jangan pikirkan, Gopo

perempuan atau lelaki, itu urusan dia. 

Yang perlu kita pikirkan adalah 

bagaimana caranya masuk ke dasar sendang 

ini."

"Biar saya saja yang masuk menyelam 

ke dasar," ujar Ludiro. Sekar Pamikat 

memandangnya sambil menimbang-nimbang.


Andini diam, memandangi permukaan air 

sendang.

"Bahaya, Paman. Kurasa di dalam 

sendang mereka sedang menunggu kita."

"Tapi...." tiba-tiba Ludiro 

teringat sesuatu. "Tapi saya tadi 

menjadi orang kebal, Putri Ayu. Saya tadi 

tidak mempan dibacok pedang mereka. 

Malah ada yang patah salah satu 

pedangnya."

Gopo menyahut dengan lemas akibat 

habis muntah banyak:

"Benar. Ludiro kebal senjata. Aneh 

dan ajaib. Aku sendiri hampir tidak 

mempercayai kalau dia tak dapat digores 

sedikit pun dengan pedang beracun mereka 

itu." Dan tiba-tiba, dengan sangat 

berani Gopo mencabut goloknya, lalu 

membacokkan ke punggung Ludiro. Ludiro 

hanya terkejut dan siap melawan Gopo. 

Tapi Gopo segera terkekeh, memasukkan 

goloknya ke sarungnya kembali. "Hanya 

mencoba kekebalannya," katanya.

Ludiro menggumam kesal, lalu 

bersungut-sungut. Sekar Pamikat 

memeriksa punggung Ludiro, dan ternyata 

memang tak ada luka sedikit pun. Bekas 

membilur pun tidak. Sekar Pamikat heran, 

lalu tertawa sendiri.


"Sakti juga kau, Paman! Dapat ilmu 

dari mana?"

"Saya sendiri bingung, Putri. 

Padahal beberapa hari yang lalu saya 

hampir membusuk karena tergores pedang 

orang sendang ini."

Sekar Pamikat menggumam panjang, 

berpikir beberapa saat, lalu berbisik 

kepada Ludiro:

"Barangkali akibat kau makan lumut 

bercahaya di dalam goa tadi."

Ludiro berkerut dahi, Gopo pun ikut 

berkerut dahi karena mendengar apa kata 

Sekar Pamikat.

"Lumut itu?"

Sekar Pamikat mengangguk. "Itu 

kemungkinan saja. Sebab, tanaman itu kan 

cukup aneh dan ganjil. Dan kau telah 

memakannya. Kita salah duga, mengira 

beracun, ternyata malah sebaliknya."

"Brengsek! Kenapa tadi kau tidak 

bilang padaku?!" kata Gopo yang agaknya 

menyesal tidak ikut memakan lumut itu.

"Hei, Andini...?!" Ludiro terkejut, 

semua memandang Andini. Gadis manja itu 

dengan tenang minum air sendang 

menggunakan cawukan tangannya. Beberapa 

kali ia meminumnya dengan perasaan lega. 

Gopo segera menggeret tangan Andini dari 

membentak:


"Tolol! Rakus! Air itu mengandung 

racun bangkai! Baunya saja bisa bikin 

perut mual, masa kau meminumnya."

"Aku haus! Orang haus itu obatnya 

minum. Kalau orang lapar itu obatnya 

makan. Kalau orang bodoh itu... kamu!"

Gopo menggeram jengkel dikatakan 

bodoh.

"Jangan nekad, Andini. Jaga 

keselamatan dirimu sendiri. Kita tidak 

bisa mengandalkan siapapun selain 

mengandalkan diri sendiri. Itu yang 

utama. Karena keselamatan kita, terletak 

pada bagaimana kita bisa mengendalikan 

diri sendiri. Setelah itu, baru 

ketergantungan kepada orang lain." Sekar 

menasehati Andini. Tapi kali ini Andini 

membantah.

"Aku tak tahan haus, Sekar. Aku 

melihat hanya air itu yang ada di sini. 

Maka aku meminumnya."

Gopo menyahut, "Tapi air itu bau 

bangkai, dan pasti...."

"Siapa bilang bau bangkai?!" sahut 

Andini.

Ketiga temannya tercengang 

seketika. Terutama Gopo, ia buru-buru 

mengambil air sendang itu, lalu 

menciumnya. Dan matanya jadi membelalak 

lebar memandang Andini. Sekar Pamikat


dan Ludiro menatap Gopo dengan tegang. 

Ludiro bertanya dalam keraguan, 

"Bagaimana...?"

"Edan!" geram Gopo. Andini 

tersenyum genit. Gopo melanjutkan 

kata-katanya, "Air ini telah berubah 

menjadi harum, sewangi pandan!"

Sekar Pamikat dan Ludiro memandang 

tajam pada Andini. Gopo mencoba 

mencicipi air itu, lalu mendongak, 

memandang Sekar Pamikat. Ia berseru, 

"Rasanya seperti manis...! Manis-manis 

segar. Mirip air perasan buah 

bangkuang...! Gila!"

Gopo mendekati Andini dengan mata 

masih membelalak, Andini berlindung di 

balik punggung Sekar Pamikat. Gopo 

menggeram bagai sedang marah:

"Kau gila! Kau telah merubah air itu 

dengan kesaktianmu, ya? Kau tunjukkan 

sekali lagi padaku bahwa kau punya ilmu 

tinggi? Kau menghinaku, ha?"

"Biar kau tahu berterimakasih 

padaku," jawab Andani sambil cemberut 

manja.

“Ya. Terimakasih!" kata Gopo tegas 

dengan mata masih melotot dan kepala 

membungkuk karena tingginya. 

"Terima kasih kok melotot begitu!"

"Memangnya tak boleh?''


"Aku takut!" rengek Andini.

Gopo berpaling, meninggalkan Andini 

dan Sekar yang dari tadi memandangnya 

dengan senyum dikulum. Sambil menjauh 

Gopo menggerutu, " Jangankan kau, aku 

sendiri sering takut pada diriku jika 

kulihat bayangan wajahku ada di air."

Ludiro yang sejak tadi diam saja 

sambil mengikuti perdebatan Gopo dengan 

Andini, kali ini segera mengalihkan 

perhatian. Ia berseru kepada Sekar 

Pamikat:

"Saya akan menyelam lebih dulu dan 

menjajaki kekuatan mereka, Putri Ayu."

Sekar Pamikat berpikir sejenak, 

lalu mengangguk dan berkata, "Silakan, 

Paman. Tapi hati-hati... mereka pasti 

lebih jago bertarung di kedalaman air."

Tiba-tiba terdengar Andini berseru, 

"Jangan! Tak perlu begitu!"

Ludiro berkerut dahi lagi memandang 

Andini. "Jadi...?"

"Kali ini, giliran aku bertindak. 

Beri aku waktu beberapa saat...."

Gopo menyahut sambil mendekati 

Andini, "Hei, mau unjuk kesaktian lagi 

ya? Mau pamer ilmu, ya?!"

"Gopo..." hanya itu yang keluar dari 

mulut Sekar Pamikat, lalu Gopo berpaling 

memandang Sekar Pamikat. Tiba-tiba


kegarangannya lumer begitu memandang 

mata Sekar Pamikat, yang menurutnya 

begitu bening dan indah itu. Lalu Gopo

melangkah mundur perlahan-lahan, 

membiarkan Andini berdiri di tepi 

sendang berisi air jernih itu. Gopo 

sempat berbisik kepada Sekar Pamikat 

dengan hati-hati:

"Aku penguasa telaga keruh. Aku tahu 

persis bagaimana cara bertarung di dalam 

air. Izinkan aku untuk...."

"Beri kesempatan kepada dia," 

potong Sekar Pamikat. Dan Gopo hanya 

menghempaskan nafas, bernada kecewa.

"Edan!" seru Ludiro mengagetkan 

Gopo dan Sekar Pamikat. Mata mereka pun 

membelalak lagi. Andini kembali pamer 

ilmu. Air sendang itu menyusut sedikit 

demi sedikit. Andini masih diam di tepian 

sendang. Matanya tak berkedip menatap 

air sendang yang kian menyusut bagai 

tersedot dari bawah, atau menguap ke 

udara.

"Bocah sinting...!" gerutu Gopo 

dengan mata tidak berkedip. 

"Menggemaskan, menjengkelkan, tapi 

mengagumkan! Baru sekarang kulihat ada 

gadis sesinting dia!"

Mereka mulai mendekat ke tepi 

sendang setelah Sekar Pamikat berjalan


lebih dulu. Mereka berjajar ke samping 

kiri Andini, yang masih seperti bocah 

lugu, berdiri melihat kemilau air 

sendang. Dan air itu sekarang semakin 

dalam, menyusut terus tiada hentinya. 

Kemudian terdengarlah suara gemuruh. 

Mereka menggelengkan kepala, menyimak 

suara apa kiranya yang bergemuruh itu. 

Lalu mereka serempak sepakat, itu suara 

riuhnya manusia. Manusia dalam suatu 

kelompok yang saling kebingungan dan 

saling kelabakan. Mereka semakin jelas 

mendengar suara riuh, itu ternyata 

datang dari dasar sendang.

Mata mereka masih membelalak, 

antara kagum, heran dan terkesima. 

Mereka melihat tepian sendang menjadi 

kering. Benar-benar kering kerontang, 

bagai lereng sebuah jurang. Dan air 

sendang itu pun surut semua. Tuntas. 

Tanpa tertinggal setetes pun air yang 

ada.

Bukan hanya Gopo dan Ludiro, tetapi 

Sekar Pamikat sendiri hampir tidak 

mempercayai penglihatannya. Terlalu

khayal, menurut Gopo. Tapi mau tak mau ia 

harus menerima kenyataan itu. Mereka 

melihat air sendang yang tuntas, kering. 

Dan di dasar sendang mereka melihat 

bangunan semacam istana berlapis kaca.


Lapisan kaca itu berbentuk parabola. 

Bagai sebuah bola kaca yang dipotong 

menjadi dua bagian, lalu diletakkan 

menelungkup, menaungi istana di

dalamnya. Sementara itu, di sekeliling 

bola kaca itu banyak manusia yang hilir 

mudik kebingungan. Mereka pada umumnya 

perempuan muda berpakaian menutup dada 

dan celana dalam. Tubuh mereka 

langsing-langsing, sexy-sexy, dan 

benar-benar menggairahkan lelaki, 

terlebih lelaki hidung belang.

"Masyarakat dan peradaban di dasar 

sendang..." gumam Sekar Pamikat. Ia 

masih tertegun memandang sesuatu yang di 

luar khayalannya.

"Suatu kehidupan di dasar sendang, 

sungguh merupakan pengalaman baru bagi 

hidup mereka berempat. Antara dasar 

sendang dengan permukaan sendang tempat 

mereka berdiri, tidak terlalu dalam. 

Mereka dapat pergi ke dasar sedang 

seperti halnya mereka menuruni sebuah 

lereng jurang. Batu dan tanah keras 

saling bertonjolan, dapat dipakai 

sebagai tangga menuju bawah. Hanya saja, 

agaknya pasukan Sendang Bangkai sendang 

menghadang kedatangan mereka di bawah 

sana. Ada yang mencoba memanjat tebing 

dengan pedang di tangan, ada yang sibuk


mempersiapkan peralatan perang, ada yang 

sibuk mengatur per-tahanan agar tak 

seorang pun dapat masuk ke bola kaca itu.

"Apa yang harus. kita lakukan 

sekarang?" tanya Ludiro. "Menyerang, 

atau menunggu mereka naik ke atas?"

"Untuk sementara kita bisa menunggu 

mereka di sini. Nanti setelah...."

"Hei, itu Andini! Sinting!" seru 

Gopo sambil menuding ke arah Andini yang 

ternyata telah berada di pertengahan 

tebing. Ia meloncat dengan gesit 

berulang kali bagai seekor kupu-kupu 

terbang. Gerakannya begitu cepat dan 

mengagumkan. Bahkan dalam satu gerakan, 

ia dapat merobohkan seorang pembawa 

pedang yang menyongsongnya. Agaknya saat 

ini tiba giliran Andini untuk bertindak 

dengan serius. Ia tak tanggung-tanggung 

bergerak dan menyerang. Sesekali 

terdengar seruannya memanggil nama 

kekasihnya: 

"Ekayanaaa..!"

Sekar Pamikat mencabut pedang Jalak 

Pati. 

"Sreet...!"

"Seraaang...!!" teriaknya sambil 

meloncat dan bersalto ke bawah. Ludiro 

bergerak serupa, meloncat dan bersalto, 

tetapi Gopo hanya berlari dengan


langkahnya yang menggetarkan seluruh 

permukaan tebing. Sesekali Gopo hampir 

terjatuh, karena kemiringan tebing. 

Namun segera ia menjaga keseimbangan 

tubuh dan melangkah kembali dengan 

langkahnya yang lebar-lebar.

Dua orang menghadang Sekar Pamikat. 

Mereka berseragam sama dan mengguhnakan 

pedang yang sama Kedua pedang bersamaan 

menghantam wajah Sekar Pamikat, namun 

dengan gerakan gesit, Sekar Pamikat 

melintangkan pedangnya kemuka, dan kedua 

pedang lawan beradu dengan pedang Jalak 

Pati. 

"Trang...!"

Ludiro mengandalkan kekebalan 

tubuhnya yang diperoleh secara tak 

sengaja itu. Ia membiarkan pedang lawan 

membabat lehernya berulangkali. Tapi 

pada satu kesempatan ia menggunakan 

jurus Tendangan Dewa yang amat mematikan 

itu. Ludiro tak mau membuang-buang waktu 

dalam menghadapi para keroco-keroco 

Sendang Bangkai. Ia bergerak cepat, 

gesit dan menggunakan jurus-jurus 

andalannya yang dapat langsung 

mematikan, di antaranya Pukulan Malaikat 

Mabok, yang sekali menghantam kepala 

dapat membuat kepala itu hancur tak 

berbentuk lagi. Hal itu membuat jerit dan


teriakan histeris berkumandang ke 

mana-mana. Para keroco Sendang Bangkai 

bergeleparan akibat pukulan dan 

tendangan Ludiro. Sesekali ia membuang 

senjata rahasianya ke arah orang yang 

akan membokong Sekar Pamikat.

Di tempat lain, Gopo menendang kian 

kemari dan menginjak musuh-musuhnya 

tanpa ampun lagi. Ia tahu, ia harus 

menghindari goresan pedang lawan. Sebab 

itu ia bertarung dengan meloncat-loncat 

bagai orang menginjak puntung rokok.

Sedangkan Sekar Pamikat masih 

bertahan dengan Jalak Patinya. Memenggal 

lawan berulangkali kendati ia terpaksa 

harus menghadapi lima orang sekaligus. 

Gerakannya yang lincah dalam 

berjumpalitan di udara membuat lawan 

kewalahan. Sekali ia menebaskan 

pedangnya, dua kepala dapat 

menggelinding sekaligus. Tak ada ampun 

agaknya bagi mereka. Dengan gerakan 

merendah Sekar Pamikat mampu menyabetkan 

pedang ke arah perut-perut lawannya, 

sehingga mereka terjungkal untuk 

meregang nyawa, dan mati tak terurus 

lagi.

Lain halnya dengan Andini yang bagai 

menari di awang-awang. Gerakannya begitu 

luwes, indah. Lambaian tangannya yang


berlengan baju panjang itu seperti 

kibasan sayap kupu-kupu yang mematikan. 

Jangankan terkena pukulan Andini, yang 

terkena kibasan kain bajunya saja dapat 

menjerit dan sekarat akibat robek 

lehernya, robek dadanya, pinggangnya, 

atau apanya saja yang tersentuh kibasan 

kain Andini. Sehingga dalam tempo 

singkat, ia dapat menjatuhkan banyak 

lawan. Dan dalam tempo singkat pula ia 

mampu menerobos barisan musuh untuk 

mendekati istana yang berlapis kaca itu.

Mayat orang-orang Sendang Bangkai 

yang terdiri dari perempuan- perempuan 

seksi itu bergelimpangan di sepanjang 

tebing. Darah merubah warna tebing yang 

kecoklat-coklatan menjadi merah 

membara. Tak satu pun yang tersisa dari 

pasukan di luar istana berlapis kaca. 

Kini, mereka berempat berkumpul di depan 

pintu masuk dinding berkaca itu.

"Gopo...!" kata Sekar Pamikat. 

"Buka pintu dengan paksa!"

Ada beberapa orang yang memandang 

tegang, menanti dengan gelisah di dalam 

dinding kaca. Mereka seperti ikan dalam 

akuarium. Dan mereka semakin tegang 

mehhat Gopo mendobrak pintu utama dengan 

kekuatannya yang maha hebat itu. Sayang 

dinding kaca hanya bergoyang seluruhnya.


Bergetar sedikit, dan pintunya tak dapat 

pecah. Berulangkali Gopo mencoba, tapi

tak pernah berhasil.

Andini diam saja. Duduk seenaknya di 

suatu permukaan batu yang halus. Matanya 

mempelajari keadaan di dalam dinding 

kaca. Sementara itu, Sekar Pamikat 

menyuruh Gopo menyingkir. Gopo mulanya 

tidak mau, masih ingin mencoba. Tetapi 

ketika Cambuk Naga dicabut dari punggung 

Sekar Pamikat, Gopo mulai m-ndur dengan 

perasaan ngeri. Sekar Pamikat segera 

memusatkan pikiran dan tenaga, ia 

menggunakan jurus simpanannya yang 

bernama: Naga Pembelah Langit.

Cambuk naga diayunkan dengan cepat, 

ujungnya menghantam pintu utama. Suara 

guntur menggetarkan sukma. Suara itu 

melebih 10 kali guntur menggelegar. Dan 

sekali cambuk, pintu utama itu retak, 

lalu pecah berkeping-keping. Segera 

Ludiro masuk lebih dulu. Menghadang 

menyerang bersenjata tombak trisula 

Tombak ditancapkan di dada Ludiro, dan 

tanpa sedikit tangkisan, tombak itu 

patah sendiri. Tendangan Dewa meluncur 

cepat ke rahang orang tersebut, 

mengakibatkan orang itu menjerit 

tertahan. Rahang pecah dan mulut 

berdarah.


Sekar Pamikat tidak lagi 

menggunakan pedang Jalak Pati. Cambuk 

Naga mulai beraksi, melecut ke sana 

kemari bagai lidah naga menjilat mangsa. 

Kepala yang terkena cambuk itu pecah, dan 

leher maupun tangan yang terkena lecutan 

cambuk pun menjadi buntung seketika.

Perempuan-perempuan berseragam 

rompi merah menyerang terus, keluar dari 

dalam istana. Salah seorang ada yang 

sempoyongan terkena angin kibasan cambuk 

naga Orang yang sempoyongan segera 

dipegang kepalanya oleh Gopo, lalu 

dipuntirnya kepala itu sehingga 

terdengar bunyi tulang berderak.

"Ini balasan buat arwah anak 

istriku, Setan!" Gopo bergerak lebih 

sacks. Kakinya yang besar menendang 

tameng lawan, hingga perempuan itu 

terjatuh, lalu ia meloncat dan kedua 

kakinya menghentak jatuh di perut orang 

itu. Jebol!

Andini menyelusup masuk ke dalam 

istana, setelah terlebih dulu menewaskan 

lawan-lawannya dengan gerakan tangan 

bagai kupu-kupu sedang menari. Ia sempat 

mengambil sebuah tameng yang terjatuh. 

Tameng itu dilemparkan ke arah beberapa 

lawannya, dan dengan tameng itu ia 

berhasil memotong tubuh lawannya dengan


sangat mengerikan. Tameng itu dialiri 

tenaga dalam yang cukup sempurna, 

sehingga dapat berputar-putar sendiri 

mencari lawannya.

"Ekayanaaa...!" teriak Andini. 

Suaranya menggema Dari sebuah koridor 

muncul serombongan orang perempuan 

bersenjata tombak dan pedang. Mereka 

melemparkan senjata itu ke arah Andini. 

Cukup kelabakan juga Andini meloncat dan 

berjumpalitan menghindari 

senjata-senjata itu. Salah satu tombak 

terpegang oleh tangannya, lalu dengan 

gerakan melingkar bagai seorang penari 

balet tombak itu dikem-balikan. Dua 

tubuh tertusuk, tembus seketika. Andini 

bergerak ke arah lain, mencari tempat 

kekasihnya ditawan, sementara tombak 

yang tadi dilemparkan mencari sasaran 

sendiri dan berhasil menembus perut 

beberapa musuhnya, bagai sebuah jarum 

jahit sedang beraksi.

"Ekayana...?! Di mana kau...?!" 

teriak Andini dengan semakin garang. 

Beberapa kamar dan pintu dijebolnya Jika 

ada orang di dalamnya, langsung diserang 

dengan serpihan pasir tembok yang 

dialiri tenaga dalam dan mematikan.

Sampai akhirnya ia tiba di sebuah 

ruangan yang menyerupai balairung. Lega,


luas, berlantai licin bening. Ia berdiri 

di tengah ruangan tersebut. Tiba-tiba 

ada sejumlah tombak menjatuhi kepalanya 

dari atas. Jumlah tombak itu lebih dari 

lima puluh batang. Namun Andini mampu 

menahannya dengan pandangan mata, 

sebelum tobak-tombak menyentuh kepala.

Sekelompok tombak berhenti di udara 

Saat itu seorang berpakaian rompi besi 

menyerang dari belakang Andini. Dengan 

gesit Andini melompat ke depan. 

Penyerang itu sampai di tengah ruangan, 

tempat Andini tadi berlari. Dan pada saat 

itu sekelompok tombak itu jatuh dengan 

cepat, menghunjam kepala dan tubuh pe-

nyerang tersebut. Orang itu sempat 

memekik tertahan, lalu tak pernah 

terdengar dengus nafasnya lagi.

Ludiro muncul di ruangan tersebut. 

Nafasnya terengah-engah, tubuhnya basah 

oleh keringat dan percikan darah 

lawannya. "Kau tidak apa-apa Andini?"

"Sehat-sehat saja," jawab Andini 

bagai acuh tak acuh.

Kemudian Sekar Pamikat pun tiba di 

ruangan tersebut. Ia masih menggenggam 

cambuk naganya dengan mata nanar yang 

penuh kemarahan. Lantai bergoyang, 

bergetar. Bagai ada gempa menghampiri 

mereka. Pada saat itu, muncullah Gopo


dengan tangan berlumur darah lawan. 

Matanya semakin ganas, dan tubuhnya yang 

besar bagai raksasa itu juga berlumur 

keringat dan percikan darah lawannya

"Sepi," ucap Gopo. "Aku telah 

memeriksa seluruh ruangan, tak ada 

manusia yang hidup. Yang mati banyak!"

"Pasti ada ruangan rahasia untuk 

menyimpan tawanan mereka," kata Sekar 

Pamikat. Baru saja ia selesai bicara, 

tiba-tiba lantai ruangan itu bergerak 

turun. Mereka terkejut. Gopo hampir saja 

melompat, tapi Sekar Pamikat segera 

berseru, "Biarkan saja Mereka membawa 

kita ke sarangnya!"

Lantai bergerak makin ke bawah, 

seperti ada yang menyedotnya Mereka 

berempat sengaja membiarkan diri mereka 

dibawa ke bawah. Sampai akhirnya mereka 

tiba di suatu ruangan luas, penuh dengan 

perabot terbuat dari emas permata. 

Agaknya mereka telah ditunggu- tunggu, 

dan tim penyambutan itu terdiri dari 

perempuan-perempuan bertubuh kekar dan 

berotot. Ada seorang perempuan yang 

duduk di kursi kencana, mengenakan 

mahkota dari batu permata. Perempuan itu 

yang pertama kali menyapa Sekar Pamikat 

dengan ucapan,


"Selamat datang di Sendang Bangkai, 

orang-orang laknat!"

"Kau yang laknat, Setan!" Gopo 

emosi, menerjang ke arah perempuan itu" 

tapi tubuhnya yang tinggi besar bagai 

raksasa itu terpental kembali dan 

berdentam di lantai.

Gopo bangkit menyeringai kesakitan. 

Pinggangnya bagai mau patah rasanya 

Andini berbisik dengan serius, "Kita 

telah terkurung. Di depan kita ada pagar 

pelipis yang tak dapat terhhat oleh mata 

kepala kita. Pagar itu terbuat dari 

tenaga dalam yang cukup hebat dan 

dahsyat. Mungkin kita tak akan mampu 

menembusnya ke sana"

Tawa perempuan yang duduk di kursi 

singgasana itu terdengar nyaring. Dari 

belakang kursi muncul seorang perempuan 

bertubuh kurus, layu dan terdapat codet 

bekas luka di sekitar matanya Sekar 

Pamikat dan Ludiro terperanjat. Mereka 

sama-sama berseru tak sengaja:

"Nawang Puri...?!"

Tegang wajah mereka, namun 

tersenyum sinis wajah Nawang Puri. Ia 

memberi hormat kepada perempuan 

bermahkota seraya berkata, "Apakah 

mereka harus kami musnahkah sekarang 

juga, Peri Cantik Sendang Bangkai?!"


Perempuan yang duduk di kursi 

kencana itu tersenyum, mengusap rambut 

Nawang Puri dengan lembut. "Jangan 

sekarang, Manis... mereka masih perlu 

menyaksikan suatu pemandangan yang 

menggairahkan. Dan mungkin akan membuat 

kemarahan mereka mereda lalu mencintai 

kita...."

"Perempuan itu yang membawa kabur 

Nawang Puri, ketika di perbatasan 

Kadipaten Nilakencana dulu," bisik Sekar 

Pamikat kepada Ludiro. (dalam kisah 

Racun Puri Iblis).

Ludiro hanya menggumam. Sedangkan 

Andini diam saja dengan mata 

berkedip-kedip bagai orang bego. Gopo 

tak sanggup bergerak lebih nekad, namun

otaknya berputar, bagaimana caranya 

supaya bisa menembus pagar tenaga dalam 

itu.

Selain dikelilingi prajurit 

perempuan berbadan kekar dan hanya 

mengenakan celana dalam dan rompi, tanpa 

penutup dada, mereka juga dipagari 

tenaga dalam yang dahsyat. Di depan 

mereka terdapat dinding berkain gordin 

dari sutra putih bersih. Waktu Peri 

Sendang Bangkai memberi isyarat kepada 

salah seorang anak buahnya, orang itu 

segera bergerak menyeret gordin putih ke


tepian. Maka terlihatlah oleh mereka, 

bahwa yang ditutup gorden itu bukan 

berupa dinding, namun berupa kamar 

panjang berlantai kasur empuk.

Mata mereka terbelalak lebar-lebar. 

Di kamar panjang itu terdapat 

manusia-manusia tanpa busana, lelaki dan 

perempuan. Mereka berjumlah lebih kurang 

10 lelaki, dan perempuannya lebih dari 15 

orang. Gemetar lutut Sekar Pamikat 

melihat mereka melakukan perzinahan 

dengan bebas dan sepertinya tanpa rasa 

canggung walau ditonton banyak orang.

Mereka, yang berada di kamar panjang 

itu, bagai mendapat perintah setelah 

gorden terbuka. Mereka segera melakukan 

hubungan badan dengan gairah yang 

menyala-nyala. Sekar Pamikat dan Andini 

sama gemetarnya menyaksikan hal itu. 

Mereka berpaling ke belakang, ternyata 

di bagian belakang mereka juga terdapat 

pemandangan serupa, hanya saja jumlah 

lelakinya lebih sedikit dibanding jumlah 

perempuannya. Debar-debar di dalam dada 

Sekar Pamikat sama persis dengan 

debar-debar dalam dada Andini. Terlebih 

Andini, kelihatan lebih pucat daripada 

Sekar Pamikat.

Nafas-nafas mereka berpacu, yang di 

ranjang dengan yang tertawan sama


cepatnya. Sementara itu, Peri Cantik 

Sendang bening tertawa terkikik-kikik 

bersama Nawang Puri dan para pengawal 

lainnya. Bahkan ada pengawal yang 

mendesah-desah sendiri diremat 

khayalannya.

"Biadab! Hentikan perbuatan itu!" 

bentak Sekar Pamikat. Peri Cantik dan 

Nawang Puri semakin tertawa melihat 

kemarahan Sekar Pamikat.

Ludiro dan Gopo saling berpacu 

keringat. Basah kuyup tubuh mereka oleh 

keringat. Mereka tak ingin melihat. 

Mereka menunduk, sama seperti Andini, 

namun berkali-kali selalu ada saja yang 

memekik, bikin kejutan, dan membuat 

mereka terperangah memandang kembali. 

Ternyata hanya suatu permainan dari 

orang-orang ranjang yang maniak.

"Terkutuk kau, Peri Bangkai!" 

teriak Sekar Pamikat.

Peri Cantik Sendang Bangkai 

menghentikan tawanya, kini berganti 

seringai yang menjijikkan. Ia berseru 

kepada tawanannya:

"Tak seorang pun mau dan bisa 

menghentikan hal itu! Mereka sedang 

melakukan pengabdian setia yang luhur, 

yaitu pembuahan! Mereka memikirkan masa 

depan, di mana soal keturunan menjadi


sarana utama bagi kelanjutan hidup 

generasi kita. Apa salahnya jika kalian 

bergabung dengan kami, membentuk suatu 

generasi atau keturunan yang dapat 

bertahan hidup di bumi ini."

"Persetan dengan kata-katamu, 

Iblis!" bentak Sekar Pamikat. "Hentikan 

hal itu, atau kuobrak-abrik tempat ini 

menjadi reruntuhan tempat maksiat?!

Nawang Puri tertawa menjijikkan. 

"Sekar, Sekar.... Apa yang bisa kau 

andalkan di tempat ini, hah? Apa? Ilmumu 

hanya sekuku hitam dibandingkan Peri 

Cantik."

Sekar Pamikat melecutkan cambuk 

naganya, mencoba menembus pagar tenaga 

dalam yang melingkari mereka. Namun ia 

terpental dan nyaris membentur permukaan 

lantai. Andini menggerakkan tangannya 

bagai sedang menari, kemudian sebuah 

tenaga dalam yang dimilikinya 

dilancarkan ke arah Nawang Puri, tetapi 

Andini pun bahkan terlempar tinggi dan 

jatuh di pundak Gopo.

"Brengsek!" gerutu Gopo sambil 

menghalau kaki Andini yang jatuh di 

pundaknya: Andini tak mampu melawan 

pagar dahsyat yang tak terlihat mata itu.

Sementara itu, Peri Cantik 

berpakaian hanya celana dalam tipis



terbuat dari lempengan emas itu berkata 

kepada Nawang Puri:

"Sekarang perlu kita tunjukkan 

bibit unggul kita, Puri. Panggil dia dan 

kerjakanlah dengan baik...."

"Sendiko, Gusti Peri Cantik....!" 

Nawang Puri membungkuk, kemudian 

bertepuk tangan dua kali. Dan seorang 

perempuan penjaga sebuah pintu membuka 

pintu berukir dan berlapis lempengan 

emas itu.

Dari pintu tersebut keluarlah 

seorang pemuda gagah, berambut panjang, 

berikat kepala dari kulit macan tutul, 

berbadan tegap dan berwajah tampan, 

mempesona. Pemuda itu datang menghampiri 

Nawang Puri dengan tanpa mengenakan 

pakaian selembar pun. Ia berwajah sayu, 

sorot matanya bagai mengantuk, namun 

ketegaran badannya masih terlihat jelas 

dan menggairahkan.

Pada saat itu juga, Sekar Pamikat 

dan Andini sama-sama menjerit dan 

berseru:

"Lanangseta...?!"

"Ekayana...!"

Sekar Pamikat tergagap sejenak. Ia 

memandang Andini.

"Dia Lanangseta...!"

"Bukan! Dia kekasihku, Ekayana...!"


"Ooh...?!" Sekar Pamikat 

kebingungan. Matanya membelalak dan 

berair, sama seperti mata Andini. 

Sementara itu Ludiro dan Gopo sama-sama 

terbengong melompong, bagai patung yang 

hanya bisa berkedip-kedip saja.

Peri Cantik Sendang Bangkai tertawa 

g-rang. Ia berkata, "Pendekar sesakti 

apapun, tak akan bisa berkutik jika 

peredaran darah yang menuju pusarnya 

berhenti. Tali pusar adalah bagian dari 

kehidupan manusia, dan jika ia ditotok, 

maka ia mudah dipengaruhi karena tak 

dapat berbuat apa-apa!"

"Hentikan...! Hentikan dia...!"

"Jangan sentuh dia Dia kekasihku!" 

seru Andini bersahut-sahutan. Sekar 

Pamikat melancarkan jurus Naga Pembelah 

Langit. Namun cambuk itu bagai tak 

berfungsi lagi. Ia terpental sendiri. 

Demikian juga Andini, berulangkah ia 

mengerahkan tenaga dalam simpanannya, 

namun ia selalu terpental dan terpental 

lagi. Sementara itu, pemuda gagah yang 

tampan itu telah mulai meremas dada 

Nawang Puri. Nawang Puri sendiri hanya 

tersenyum-senyum saat pakaiannya 

dilucuti satu persatu sambil menerima 

dengus ciuman pemuda itu.


"Jangaaan...! Jangan 

lakukaaan...!" teriak Sekar Pamikat •

Andini juga berseru, "Itu 

kekasihku! Jangan suruh dia berbuat 

cabul dengan perempuan lain!"

"Paman! Berbuatlah sesuatu!" bentak 

sekar Pamikat kepada Ludiro. Ludiro 

menggeragap dan kebingungan. Ia hanya 

mondar-mandir tak tahu apa yang harus 

dilakukan. Ia bagai kehilangan akal 

sehatnya

Permainan cinta Nawang Puri dengan 

pemuda tampan itu semakin panas. Mereka 

bergumul di lantai, tidak di ranjang 

kamar panjang. Mendadak Peri Sendang 

Bangkai berseru:

"Tahan, Puri...! Tahan sebentar. 

Agaknya penonton kita ini akan semakin 

bertekuk lutut jika aku turut serta dalam 

permainan itu." Kemudian ia berseru 

kepada salah seorang pengawal yang 

berjaga di pintu tempat pemuda tadi 

keluar.

"Bibit unggul untukku, 

keluarkan...!"

Pengawal membuka pintu, dan seorang 

pemuda muncul dengan jalan seperti 

robot. Pemuda itu berambut panjang, 

mengenakan ikat kepala dari kulit macan 

tutul, tapi tubuhnya tanpa selembar


benang pun. Ia bertubuh tegap, gempal, 

menggairahkan perempuan yang 

memandangnya. Ia berwajah bersih, halus, 

dan bibirnya bagai setetes madu di padang 

gersang, sangat menggairahkan. Dan pada 

saat itu pula, Sekar Pamikat dan Andini 

sama-sama terpekik kaget. Mata mereka 

terbelalak lebar dengan mulut ternganga. 

Andini yang lebih dulu berseru:

"Nah, dia..! Dia kekasihku. 

Ekayanaaa...!"

"Bukan! Itulah calon suamiku, 

Lanangseta! Lanaaang...!"

Pemuda yang baru muncul itu 

mendekati Peri Cantik, dan mulai meraba 

bagian-bagian yang sensitif. Peri Cantik 

mengikik kegelian, sedangkan Nawang Puri 

pun melanjutkan permainannya. Saat itu, 

Sekar dan Andini sama-sama bingung untuk 

membedakan yang mana kekasih mereka 

sebenarnya. Kedua pemuda itu sama 

tampannya, sama gagahnya dan memiliki 

ikat kepala yang sama pula Sekar dan 

Andini benar-benar bingung.

Sekar Pamikat segera menampar 

Ludiro yang bagai orang linglung itu. 

"Plaak...!!"

"Paman! Ingat lumut yang kau 

makan...!"


Ludiro bagai tergugah dari mimpi 

yang membingungkan. Matanya terbelalak 

dan giginya menggeletuk. Sementara itu, 

Andini membentak Gopo yang duduk dengan 

lemas, 

"Gopo...!"

Dengan cepat Gopo yang 

terengah-engah berkata, "Jangan! Jangan 

suruh aku bertindak! Sudah 7 tahun lebih 

aku tak bertemu dengan istriku dan... 

dan... menjadi gila!" Gopo menangis 

sendiri. Andini tak mau menghiraukan 

Gopo lagi.

Tetapi pada saat itu, Ludiro 

menerobos keluar dari lingkaran tenaga 

dalam yang tak tampak mata itu. Ternyata 

tubuhnya tidak mental seperti yang 

lainnya. Ia berhasil menerobos lingkaran 

tenaga dalam, tepat pada saat itu kedua 

pemuda tersebut hendak menindih tubuh 

Nawang Puri dan Peri Sendang Bangkai. 

Dengan gesit Ludiro meloncat, 

melancarkan tendangan dua kali, yang 

satu mengenai lengan pemuda di atas 

Nawang Puri, yang satu lagi mengenai 

kepala pemuda di atas Peri Sendang 

Bangkai.

Gerakan Ludiro berhasil membuat 

kedua pemuda itu terpental bagai kapas 

tertiup angin. Sementara itu, Peri


Cantik Sendang bangkai dan Nawang Puri 

terkesima melihat Ludiro berhasil 

menembus lingkaran tenaga dalam yang 

mengurungnya. Ludiro menyempatkan 

melempar senjata rahasianya ke arah 

Nawang Puri.

"Juubb...!" Mata pisau beracun 

menancap di pangkal bahu Nawang Puri. 

Nawang Puri rubuh ke belakang, menindih 

Peri Cantik yang sudah tak berbusana sama 

sekali itu. Para pengawal menyerbu 

Ludiro, namun Ludiro belum inau melayani 

mereka. Pedang membabat lehernya, 

punggungnya dan seluruh tubuhnya 

berulangkali, tapi tak satu pun yang 

menggores kulit. Ludiro melihat kedua 

pemuda itu berdiri seperti mayat hidup. 

Jaraknya ada satu langkah antara pemuda 

yang satu dengan pemuda yang lain. Dengan 

cepat Ludiro berguling ke arah mereka. 

Posisinya jatuh tepat di antara kedua 

pemuda itu. Tangannya segera mengembang 

keduanya, dan dengan masing-masing kedua 

jarinya Ludiro menotok puser kedua pe-

muda itu bersamaan. Begitu keras totokan 

kedua tangan Ludiro sehingga pemuda itu 

terpekik keduanya, dan segera menyerang 

Ludiro. Mereka telah sadar, tapi mengira 

mendapat serangan dari Ludiro. Sebab itu 

Sekar Pamikat berseru,


"Lanaaang...! Aku tertawan!"

Salah seorang dari pemuda itu 

berpaling. "Sekar...?!"

"Itu Lanang. Lanangseta calon 

suamiku...!'" teriak Sekar Pamikat 

kegirangan kepada Andini.

"Ekayanaaa...! Aku di sini, 

ditawan!"

Pemuda yang satu berpaling dan 

berseru, Andiniii...!"

Sekarang jelas sudah siapa kekasih 

mereka. Tapi mereka tak dapat keluar dari 

kurungan pagar tenaga dalam. Hanya 

Ludiro yang berhasil keluar, karena 

tubuhnya ternyata tak mempan senjata 

apapun, sekalipun berupa tenaga dalam 

yang dahsyat. Kali ini Ludiro sedang 

memburu Peri Sendang Bangkai yang mulai 

ketakutan. Tetapi banyak 

pengawalnyayang rapat memagari sehingga 

sukar ditembus Ludiro. Pada saat itu, tak 

ada jalan lain bagi Ludiro untuk tidak 

menggunakan senjata rahasianya. Tak ada 

pilihan lain, kecuali berdesing 

berulangkali sebuah senjata dari balik 

ikat pinggangnya.

"Aaakhh...!" Beberapa pekikan 

histeris terdengar keras. Pengawal-

pengawal itu rubuh terkena senjata 

rahasia Ludiro. Tapi Peri Sendang


Bangkai segera menyingkir. Ia naik ke 

atas sebuah tempat seperti silinder 

kayu, mirip panggung berbentuk 

lingkaran. Ludiro melancarkan 

serangannya dengan melemparkan senjata 

lagi, namun senjata itu molos begitu 

saja. Kelihatannya mengenai leher Peri 

Sendang Bangkai, namun sesungguhnya 

hanya lolos ber gitu saja seperti 

menembus udara tanpa isi.

Pada saat itu, Lanangseta dan 

Ekayana bergerak me lawan para pengawal 

bersenjata pedang.. Keduanya sama-sama 

telanjang dan berguling menghindari 

serangan, melayang melancarkan pukulan 

mautnya. Saat itu, yang beraksi di atas 

ranjang masih terus beraksi bagai tanpa 

mengenal lelah. Mereka yang tengah 

bergumul memburu kenikmatan sepertinya 

telah terkena suatu pengaruh mutlak yang 

membuat mereka tak peduli lagi dengan 

keadaan kacau di sekitarnya.

"Dengar...! Dengar semua...!" seru 

Peri Sendang Bangkai yang kini seperti 

dalam bayangan saja. "Kalian tak akan 

berhasil mengalahkan aku! Senjata kalian 

akan sia-sia, hanya akan menembus 

segumpal kabut. Tak ada yang bisa 

membunuhku, kecuali Penghulu Badra, 

bekas suamiku itu. Tapi dia sekarang toh


sudah mati. hanya dia yang tahu 

rahasiaku. Dan kalian... tak akan 

memperoleh keterangan darinya. Sebab 

itu, jangan menyerang, bergabunglah 

denganku...!"

Ekayana berseru kepada Andini, 

"Satukan hawa murni kalian, arahkan ke 

satu arah dan lingkaran yang mengurung 

kalian akan sirna..."

"Breet...!" Sebuah pedang pengawal 

berhasil melukai punggung Ekayana. 

Sementara itu, Ludiro terus menyerang 

Peri Sendang Bangkai, namun benar apa 

katanya, ia bagai menyerang udara 

kosong. Sosok Peri Sendang Bangkai hanya 

seperti bayangan belaka. Saat itu, 

Andini mengerahkan tenaga dalamnya yang 

dikatakan sebagai jurus Kupu Penabur 

Racun. Sekar Pamikat mengerahkan jurus 

Kupu Penabur Racun. Sekar Pamikat 

mengerahkan jurus Naga Pembelah Langit 

dengan lecutan cambuknya dan Gopo 

berteriak kuat-kuat, mengerahkan ilmu 

Guntur Tertawa. Ketika tenaga inti me-

reka disatukan, dan akibatnya timbullah 

suatu ledakan yang maha dahsyat. Mereka 

berhamburan keluar dari lingkaran tenaga 

dalam yang mengurung mereka sejak tadi. 

Pada saat itu, wajah Peri Sendang Bangkai 

yang bagai dalam bayangan itu kelihatan


terkejut cemas. Kemudian Sekar Pamikat 

melepas cambuknya, memberi isyarat 

kepada Pendekar Pusar Bumi, dan keduanya 

mengeraskan tangan dalam posisi setengah 

berdiri. Mereka berteriak bersamaan: 

"Wiwaha Moksa...!!"

Tepat pada waktu itu Andini juga 

melancarkan pukulan tenaga intinya: Kupu 

Penabur Racun. Sehingga timbullah 

ledakan yang lebih dahsyat dari yang 

pertama. Tiga sinar hijau muda dan merah 

membara meluncur ke arah Peri Sendang 

Bangkai. Ledakan itu membuat tempat 

berdiri Peri Sendang Bangkai hancur 

seketika, sedangkan bayangan Peri tanpa 

busana itu lenyap begitu saja. Yang ada 

hanya tawa yang mengikik panjang dan 

kata-kata, 

"Tunggu pembalasan untuk kalian...!

Sekar Pamikat mengambil cambuk 

naganya lagi, dan mencambuk ke mana-mana 

bagai orang kesetanan. Tempat itu jadi 

hancur tak karuan. Gopo sibuk menginjak 

dan memuntir leher para pengawal yang 

terdiri dari perempuan semua. Dengan 

gemas, Gopo mematah-matahkan tulang 

mereka sambil berseru, "Istriku... 

anakku...! Lihat, kupatahkan mereka! 

Kupatahkan...! Kurangajar...! 

Bangsat...!"


"Ekayana...? Kau terluka parah?!" 

Andini segera mengangkat kepala 

kekasihnya yang terkulai. Pada saat itu, 

Ludiro muncul sambil membawa pakaian dan 

senjata kedua pemuda itu.

"Pilih masing-masing pakaian. Cepat 

kita tinggalkan tempat ini dan ledakkan 

semuanya!" teriak Ludiro.

"Ekayana...?!" Lanangseta bagai 

terkesima dalam duka melihat Ekayana 

terluka punggungnya. Andini mulai 

menangis, karena ia melihat punggung itu 

mulai memborok.

"Hei, di sini ada jalan tembus, 

sebuah lorong! Mari keluar lewat sini!" 

seru Ludiro dari suatu tempat.

Orang-orang yang beraksi di atas 

ranjang masih tidak peduli dengan 

keadaan sekehling. Mereka seolah tak 

sadar apa yang sedang terjadi.

Tetapi Gopo segera mengangkat tubuh 

Ekayana yang mulai melemas dan memborok 

bagian punggungnya.

"Lekas tinggalkan tempat ini, 

Lanang..." ajak Sekar Pamikat setelah 

memeluk calon suaminya sejenak. 

Lanangseta gelisah.

"Adikku...? Ekayana terluka. 

Bagaimana dia?"


"Oh, dia adikmu? Adik kembarmu, 

maksudnya?" Sekar Pamikat menatap 

Lanangseta.

“Ya. Dia, Ekayana... adik kembarku 

yang bergelar Pendekar Maha Pedang...."

"Oooh... pantas... Pantas Andini 

menceritakan ciri yang sama kukira...."

"Sekar Putri...!" teriak Gopo yang 

sudah menggendong Ekayana di mulut pintu 

keluar. "Lekas keluar. Berembuk nanti 

saja! Yang penting selamatkan dulu orang 

ini...!"

"Gopo, hati-hati membawanya. Dia 

sakit," seru Andini dalam kemanjaan.

"Peduli amat dengan omonganmu, 

Sapi!" bentak Gopo.

Sekar Pamikat berlari bersama 

Pendekar Pusar Bumi. Ruangan itu menjadi 

sepi, tinggal orang-orang yang beraksi 

di ranjang dengan seenaknya itu. Gopo 

menggerutu sejenak, "Manusia-manusia 

terkutuk..!" Lalu, dia berseru 

sendirian, "Untuk pembalasan sakit hati 

istri dan anakku, terimalah aji Guntur 

Pemusnah ini..." Gopo menghentakkan 

suaranya dengan keras, "Hoaaaa...!!"

"Glegaaar...!" Ruangan itu meledak. 

Api berkobar ke mana-mana, Gopo segera 

berlari menyusuri ruangan yang mirip 

lorong sambil menggendong Ekayana. Di


depannya, Sekar Pamikat dan Lanangseta 

berlari cepat. Kemudian Ludiro di 

belakang mereka, dan Andini 

sebentar-sebentar berhenti, berpaling 

ke belakang dan berkata, "Hati-hati ya, 

Gopo... itu barang berharga bagiku...!"

"Setan cerewet! Lekas lari, api 

mengejar di belakang kita!" bentak Gopo 

dengan jengkel.

Api terus mengejar membakar seluruh 

bangunan itu. Mereka semakin mempercepat 

langkah. Lorong itu tak habis-habisnya, 

seperti tak berujung. Semakin dalam, 

semakin tidak rata, melebar sedikit, dan 

mulai lembab.

"Ini sebuah goa...!" teriak Ludiro 

sambil berlari.

"Ya. Tapi akankah tembus ke goa 

lumut bercahaya itu?" kata gopo. "Jika 

benar, aku akan memakan semua lumut yang 

ada di sana...!"

"Jangan pikirkan soal lumut, 

pikirkan soal luka Ekayana itu!" bentak 

Andini. "Bagaimana dengan lukanya? Dia 

dapat busuk jika tidak segera 

diobati...!"

"Andini...!" seru Sekar Pamikat di 

depan sana. "Kami akan berusaha. Mungkin 

Paman Ludiro bisa, tapi cari tempat yang 

baik! Jangan membentak-bentak Gopo...!"


Pendekar Pusar Bumi berbisik kepada 

Pendekar Cambuk Naga, "Siapa dia, Gopo 

itu? Kekasihmu yang baru?"

"Ah, apa pantas kau cemburu kepada 

Gopo? Apa mungkin aku bermain serong 

dengan Gopo, atau dengan lelaki lain?"

Sekar sempat memberi cubitan kecil 

di sela larinya.

"Habis, siapa dia?"

"Nanti akan kuceritakan. Jangan 

sambil lari begini, aku takut rinduku 

akan terjatuh dan tercecer di sepanjang 

lorong goa ini."

"Apa kau rindu?"

"Apa kau tidak?"

Lanangseta, alias Pendekar Pusar 

Bumi hanya tertawa Pendek. Namun ia 

menggumam lirih, 

"Aku khawatir dengan keselamatan 

Ekayana. Ia parah. Mungkinkah ia dapat 

tertolong dari luka-lukanya yang 

kelihatannya cepat membusuk itu?"

Ya, akan tertolongkah Ekayana?

Dan bagaimana percintaan mereka 

selanjutnya?



                         TAMAT





Share:

0 comments:

Posting Komentar