RAHASIA SENDANG BANGKAI
Oleh Barata
Cetakan Pertama
Penerbit Wirautama, Jakarta
Dilarang Mengcopy, Memproduksi
Dalam Bentuk Apapun
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Barata
Serial Pendekar Cambuk Naga
Dalam Episode :
Rahasia Sendang Bangkai
128 Hal : 12 x 18 Cm
SATU
BUMI bagai bergemuruh bising. Suara
kasak-kusuk menjalar dari mulut ke
mulut. Orang-orang yang berada di kedai
tak henti-hentinya saling bisik, mereka
diliputi perasaan cemas dan tegang.
Hampir semua mulut bicara dalam gumam, di
sela gerutu, dan dirayapi kegemetaran.
Bumi bagaikan berisi berjuta-juta lebah
yang menggaung.
Katmi, anak pemilik kedai yang ada
di seberang Dalem Kadipaten Nilakencana
itu duduk termenung di pojokan. Wajahnya
kelihatan murang dan was-was. Ada salah
seorang lelaki mendekatinya. Lelaki itu
baru saja datang dari mengangkut sayuran
memakai gerobak sapi tunggal. Lelaki itu
belum mengetahui, mengapa semua orang
dalam ketegangan.
"Katmi...." sapanya. "Ada apa
sebenarnya kok semua orang kelihatan
gelisah begitu? Ada apa sih?"
"Apa kau belum dengar, Kang?" jawab
Katmi lirih.
"Tentang apa?"
"Tentang... tentang Dewi Cambuk
Naga." Lelaki yang menyampirkan bajunya
di pundak dan masih berkeringat itu
menggumam sejenak. "Yang ku tahu,
Pendekar Cambuk Naga akan menikah dengan
Pendekar Pusar Bumi. Kalau aku tidak
salah dengar... hari ini, ya? Hari ini
perkawinan itu akan berlangsung. Betul?"
"Ya. Tapi... Dalem Kadipaten
sekarang sedang geger."
"Lho, geger soal apa itu?"
"Pengantin diculik."
Lelaki itu terbelalak kaget.
"Pengantin diculik? Maksudmu, Pendekar
Cambuk Naga ada yang membawa kabur,
begitu?!"
"Bukan pengantin putrinya yang
diculik, tapi... justru Pendekar Pusar
Bumi yang diculik dan dibawa kabur."
"Edan...!" lelaki itu semakin
terkejut dan menegang.
“Benar. Memang edan. Bayangkan
saja, perkawinan akan berlangsung hari
ini, eh... tadi malam ada penculikan yang
amat edan. Umumnya pengantin putri
diculik oleh bekas kekasihnya, atau
siapa saja lah. Tapi, kali ini justru
pengantin pria yang diculik. Padahal
Pendekar Pusar Bumi itu bukan laki-laki
sembarangan. Ilmu dan kesaktiannya
sempat menjadikan tokoh-tokoh
persilatan gemetar. Siapa yang tidak
mengenal pedang Wisa Kobranya yang mampu
memotong benda apapun, termasuk besi?
Siapa yang tidak mengenal kegesitan
jurus-jurusnya dan keampuhan ilmu Wiwaha
Moksa-nya itu? Tapi mengapa pendekar
setangguh dia masih ada yang mampu
menculiknya? Siapa gerangan orang yang
berhasil memperdaya dan membawa lari
pendekar tangguh yang memang gagah dan
menawan itu?”
Ludiro sangat gelisah. Semalam ia
tak sempat mencegah Putri Ayu Sekar
Pamikat alias Pendekar Cambuk Naga, yang
melesat cepat meloncati pagar bumi Dalem
Kadipaten begitu ia mengetahui sesosok
bayangan membawa kabur calon suaminya
Ludiro ingin menyusul Sekar Pamikat,
namun Adipati Reksoguno menahannya.
"Jangan gegabah," kata Adipati
Reksoguno mengingatkan Ludiro. "Ingat,
orang yang mampu melumpuhkan Lanangseta
dan membawanya lari, jelas bukan orang
sembarangan, Ludiro. Aku yakin, ada
jebakan yang sudah diatur di luar Dalem
Kadipaten ini, yang bisa mencelakakan
para pengejar."
Tubuh sedikit bungkuk dengan
ketuaan seorang bangsawan terlihat
menyimpan keprihaT tinan yang pilu pada
diri Adipati Reksoguno. Ludiro hanya
berani membantah beberapa kali,
selebihnya ia tak berani lagi. Karena
Adipati Reksoguno mengatakan, "Jika kau
tidak memahami kata-kataku, silakan
pergi. Dan kau akan gagal menyelamatkan
Sekar Pamikat, maupun Pendekar Pusar
Bumi itu. Ingat, saranku bergeraklah
dengan keberhasilan, jangan bertin-dak
dengan kesia-siaan."
Semalaman Ludiro tidak bisa tidur.
Ia mondar-mandir di sekitar taman
Kadipaten, bahkan berulangkali
mengelilingi Dalem Kadipaten, meneliti
dan memeriksa apa saja yang ditemuinya.
Pikirannya tak jauh dari Nawang Puri.
"Pasti dia yang telah menculik
Lanangseta!" gumam Ludiro dalam
kegeraman yang meluap-luap.
Siang itu, seorang penghulu datang.
Dialah sesepuh Kadipaten Nilakencana
yang ditunjuk untuk meresmikan setiap
perkawinan warga Kadipaten Nilakencana
Tapi agaknya kali ini penghulu Badra
tidak mengetahui hilangnya pengantin
pria, sehingga ketika Adipati Reksoguno
menjelaskannya, ia sangat terkejut.
"Semalaman saya tidur dengan
nyenyak sekali sehingga tidak sempat
mendengar kabar tersebut. Maafkan saya
Kanjeng Adipati," ucapnya dengan suara
tua yang serak. Ia hanya mengenakan
jubab, abu-abu yang sangat sederhana,
duduk di lantai sambil memegangi tasbih
warna merah. Dari rona wajahnya ia
kelihatan menyesal dan ikut bersedih.
"Badra," kata Adipati Reksoguno
yang sudah sama tuanya dengan penghulu
Badra, "Kali ini aku mendapat penghinaan
dari pihak luar. Aku baru saja mengangkat
anak, Sekar Pamikat, lalu ingin
mengawinkannya, tapi gagal. Diganggu
oleh setan tak tahu sopan!"
Penghulu Badra hanya menunduk,
penuh hormat dan rasa segan. Adipati
Reksoguno menggeram menahan kemarahan.
"Apakah kau bisa membantuku,
Badra?"
"Sepantasnya tugas itu Kanjeng
limpahkan kepada saya, mengingat saya
adalah sesepuh Kadipaten yang pernah
menjabat sebagai penasehat Kanjeng
sendiri. Tetapi apalah daya saya yang
sudah tua renta ini. Mungkin tak ada
kesanggupan untuk menang bertanding
melawan penculik jahanam itu. Akan
tetapi, Kanjeng... izinkan saya
memeriksa seluruh Dalem Kadipaten ini,
barangkali ada sesuatu yang bisa saya
lakukan...."
"Pasti itu jawabanmu. Aku tahu,
Badra. Dan aku tak pernah melarangmu
untuk berbuat baik di Dalem Kadipaten
ini, bukan?"
Penghulu Badra didampingi Ludiro
memeriksa setiap sudut Dalem Kadipaten.
Matanya yang menyipit karena kelopak
matanya sudah keriput membuat Ludiro
sangsi, apakah penghulu Badra mampu
menangkap benda kecil yang patut
dicurigai.
"Di mana kamar pengantin pria?"
tanyanya kepada Ludiro.
"Mari, saya tunjukkan. Tapi...
kuncinya dibawa oleh pelayan kamar."
Ketika itu pelayan kamar lewat di
seberang sana, Ludiro segera
memanggilnya penghulu Badra menatap
pelayan kamar beberapa saat, kemudian
menggeleng samar-samar, seakan
mengatakan: "Bukan dia orang yang patut
dicurigai."
Pintu kamar pengantin pria dibuka.
Keadaan di dalam kamar masih rapi. Tidak
ada tanda-tanda bekas pertarungan, tidak
ada gelagat yang mencurigakan. Mata
sipit penghulu Badra memandang setiap
inci ruangan itu. Kasur masih rapi,
selimut sutra tebal masih terlipat, meja
marmer dan seperangkat tempat minum
masih utuh. Lantai bersih, tak ada
sebutir debu pun.
Ludiro berkata pelan, "Sudah saya
periksa berulangkali, tapi tak ada benda
apa pun yang patut dicurigai."
Penghulu Badra yang mengkok
mangut-manggut. Tangannya masih
mempermainkan kalung tasbih dari
biji-bijian berwarna merah. Mungkin itu
biji atau buah saga. Entahlah, Ludiro
tidak mengetah uinya.
Mendadak penghulu Badra menggumam,
dan manggut-manggut lebih jelas lagi.
"Aku tahu siapa penculiknya,"
katanya pelan, tapi sempat membuat
Ludiro berkerut dahi.
"Siapa?"
"Seorang perempuan yang berjuluk:
Peri Sendang Bangkai."
"Peri Sendang Bangkai?" gumam
Ludiro. "Dari mana Ki Badra tahu kalau
dia yang membawa lari Lanangseta?"
Penghulu Badra tersenyum tipis,
sangat ti-pis. Matanya masih menatap
kian kemari, memandang dinding-dinging
dan langit-langit atas. Ludiro ikut
memandang demikian, namun ia tidak
menemukan apa-apa dalam pandangannya.
"Tak ada benda yang kulihat
mencurigakan. Apakah Ki Badra
menemukannya?"
Penghulu Badra menggeleng.
"Lantas, dari mana Ki Badra bisa
memastikan bahwa Peri Sendang Bangkai
yang menculik pengantin pria?"
"Bau..." katanya pendek, pelan dan
seakan acuh tak acuh.
Ludiro mengerutkan dahi lebih
dalam. "Bau? Bau bagaimana maksud Ki
Badra?"
"Kamar ini berbau. Ada aroma khusus
yang menyengat hidungku, yaitu aroma
wangi bau kembang Nirmala. Hanya Peri
Sendang Bangkai yang mengenakan
wewangian kembang Nirmala. Yaaah...
masih membekas di kamar ini. Pasti dia
telah masuk ke mari dan mengerjakan
sesuatu lalu membawa lari pengantin
pria."
"Di mana tinggalnya? Maksudku,
kira-kira ke mana ia membawa Pendekar
Pusar Bumi itu?"
Penghulu Badra melangkah ke luar
dari kamar. Ia bicara bagai ditujukan
kepada dirinya sendiri.
"Di Sebelah Selatan Kadipaten ini,
ada pegunungan yang bernama Gunung
Carakan. Di seberang gunung itu ada tanah
tinggi yang dinamakan Bukit Badai. Nah,
di kaki Bukit Badai itulah terdapat
Sendang Bangkai. Penguasa Sendang itu
adalah seorang perempuan yang bernama
Areswara, bergelar Peri Sendang Bangkai.
Dia pula yang menjadi pimpinan
parangadis siluman Sendang Bangkai.
Ilmunya tidak bisa dianggap Ringan.
Hanya bisa dikalahkan dengan...
uukh...!"
Tiba-tiba penghulu Badra mengejang,
matanya mendelik. Ludiro kaget dan
kebingungan. Segera mata Ludiro
memandang liar ke sekeliling. Sekelebat
bayangan turun dari pohon di pertamanan,
meloncat dan menghilang ke luar pagar
Dalem Kadipaten.
"Ki Badra..?!" Ludiro mengutamakan
keselamatan penghulu Badra. Tetapi orang
tua itu hanya berdiri kaku. Matanya
mendelik dan mulutnya ternganga.
Lama-lama terjadilah suatu ketegangan
yang lebih memuncak. Ludiro mundur, dan
beberapa pegawai Kadipaten berhenti di
tempat. Mereka tak berani mendekati Ki
Badra yang kaku, tak bergerak. Tubuh tua
itu lama-lama membiru. Asap tipis bagai
meresap ke luar dari pori-pori kulitnya.
Birunya tubuh menjadi legam. Kini bahkan
berubah hitam. Hitam sekali. Lalu, tubuh
tua itu rubuh bagai kayu arang.
"Ki Badra..?!" pekik Ludiro dalam
kebingungan. Mereka yang menyaksikan hal
itu dari jarak beberapa langkah menjadi
merinding dan ketakutan. Ludiro sempat
berseru.
"Lapor kepada Kanjeng Adipati...!
Aku akan mengejar orang yang telah
menyerangnya tadi!"
"Jangan! Bahaya! Ini pukulan Inti
Petir.! Bisa dilancarkan dari jarak
beberapa ratus tombak jauhnya!"
Tapi Ludiro tidak peduli dengan
ocehan mereka. Ia melompat ke luar dari
pagar Dalem Kadipaten. Matanya jalang
dan liar memandang orang yang telah
melancarkan pukulan sadis ke tubuh
penghulu Badra tadi. Namun ia tak melihat
ke mana arah larinya. Hanya saja, i.da
beberapa semak yang bergoyang daunnya.
Pasti ke arah semak itulah orang tersebut
melesat pergi. Tak ada waktu lagi bagi
Ludiro untuk berpikir lebih jauh. Ia
segera melesat ke arah tersebut dengan
berseru, "Tunggu jawabanku, Iblis
laknaaat...!!"
Ludiro menerjang semak dedaunan,
duri dan ranting kering. Semakin cepat ia
berlari, semakin banyak tergores
tubuhnya oleh duri semak belukar. Oh,
sudah jauh dari Dalem Kadipaten. Tetapi
bayangan orang yang dikejarnya hanya
terlihat samar-samar jauhnya. Ludiro
terus berusaha mengejar orang itu.
Matanya masih bisa melihat bahwa orang
itu mengenakan kerudung kepala yang
langsung menjadi satu dengan jubahnya.
Warnanya hitam, mirip pakaian malaikat
pencabut nyawa.
"Bangsat itu pasti ada hubungannya
dengan penculikan semalam," pikir Ludiro
sambil berlari semakin cepat. "Jika tak
salah dugaanku, pasti dia anak buah
Areswara atau Peri Sendang Bangkai.
Pasti dia bertugas menutup mulut
penghulu Badra yang hendak membo-corkan
rahasia Sendang Bangkai. Kalau begitu...
kalau begitu berarti dia tahu bahwa peng-
hulu Badra mengerti betul tentang
Sendang Bangkai, dengan lain perkataan,
berarti penghulu Badra pernah ada
hubungan dengan orang-orang Sendang
Bangkai... Jadi, siapa sebenarnya
penghulu Badra itu?"
Orang yang dikejar masih terlihat
samar-samar. Namun mendadak Ludiro
berhenti seketika. Di depannya telah
berdiri dua orang perempuan berparas
cantik. Keduanya hanya mengenakan
penutup dada dari bahan semacam kain
bludru dan hiasan rantai-rantai emas.
Sementara celananya sendiri hanya berupa
celana dalam yang dirajut rapat dengan
rumbai-rumbai dari logam kuning emas.
Masing-masing perempuan itu bertubuh
lencir, sebaya, berambut sebatas
punggung yang diikatkan ke belakang.
Mereka memegang pedang di tangan
masing-masing. Sepasang rantai perak
yang menyilang dari penutup dada ke
celana melewati pusarnya sungguh membuat
mereka tampak sangat seksi dan
menggairahkan.
Ludiro masih terbengong melompong
saat kedua perempuan itu tersenyum sinis
dan melangkah mendekatinya. Buru-buru
Ludiro mengambil sikap, memasang
kuda-kuda dengan menarik kaki kanannya
ke belakang setelah itu perempuan
berkata:
"Jangan teruskan perjalananmu!"
Ludiro segera tanggap, bahwa kedua
perempuan itu adalah komplotan orang
yang telah membunuh penghulu Badra
dengan pukulan jarak jauh yang
mengerikan itu. Geram dan kemarahan
Ludiro semakin bertambah. Ia membentak
dengan lantang dan berani:
"Minggat kau, Siluman miskin...!!"
Kedua perempuan itu menertawakan
Ludiro. "Karena pakaian kita cuma
seperti ini, lantas dia mengatakan kita
Siluman miskin, hii... hi... hi...."
Temannya menyahut, "Dia tidak tahu
selera birahi...." Orang itu juga
tertawa mengikik geli. Ludiro merasa
terhina, mukanya menjadi merah.
Dengan gerakan yang gesit, Ludiro
langsung menyerang, meluncurkan kaki
kanannya dalam satu gerakan melayang ke
arah salah seorang perempuan tersebut.
Perempuan itu hanya berkelit ke samping,
dan tubuh Ludiro lolos, bagai menerjang
angin tanpa arti. Perempuan itu
menertawakan Ludiro.
"Jangan galak-galak, Bung!"
Nafas Ludiro terengah-engah karena
memendam kemarahan. Salah seorang yang
tadi tidak diserang berkata kepada
Ludiro, "Hei, orang galak dan ganas
seperti kamu justru mudah bertekuk lutut
di hadapan kami, mengerti?!"
Yang satunya menyahut, "Sebab itu,
kalau mau mengalahkan kami, rayulah
dengan lembut. Berilah kami seteguk
kehahgatan, maka kami yang akan bertekuk
lutut di hadapanmu”.
Yang tadi menyahut, "Dan juga yang
akan membunuh kamu dengan tanpa ampun
sedikit pun. Hi, hi, hiii...."
Ludiro pasang kewaspadaan dan siap
siaga, kendati ia pun berkata sinis,
"Kalian salah duga. Nafsuku bukan nafsu
menggumuli kalian, tapi nafsu membunuh
kalian. Tahu?!"
Perempuan yang tadi diserang maju
selangkah, ia memeluk pedangnya sendiri
dengan kedua kaki berdiri terentang.
Senyumnya bagai seringai iblis, dan
tatapan matanya itu bagai suatu kekuatan
gaib yang mampumelumerkan tulang. Ia
berkata dalam nada angkuh:
"Aku tidak melihat kau membawa
pedang. Lantas dengan apa kau akan
membunuh kami. Dengan pedang tumpulmu
yang kau sembunyikan di sela paha itu,
hii... hi... hi..."
Ludiro semakin terengah-engah,
menyipitkan mata, memandang benci.
Tetapi sebelum ia bicara, perempuan yang
satunya sudah ikut maju, berjajar dengan
temannya. Pedangnya yang panjang dipakai
sebagai tongkat, tertuju ke tanah
sementara gagangnya ia pakai sebagai
tumpuan tangan kanan. Ia berdiri dengan
salah satu kaki ditekuk, bagai sedang
bergaya memikat di depan Ludiro. Sambil
membuka kedua buah pahanya yang mulus,
perempuan itu berkata centil:
"Kalau pedang itu yang ingin kau
gunakan menusuk kami, ohoii... mana bisa
kami melawanmu? Alangkah tololnya
menghindari pedang tumpulmu, bukan?"
Kini sadarlah Ludiro, ia dipancing
untuk marah, namun juga dipancing untuk
tergiur. Tidak, Ludiro tidak mau jatuh
dalam rayuan maupun meledakkan amarah
dari pancingan itu. Ia harus bisa tenang
untuk mempelajari gerakan-gerakan yang
mungkin akan datang secara tiba-tiba.
Ludiro sengaja bersikap tenang dan
membiaskan senyum tawarnya, lalu berkata
dengan tolak pinggang.
"Rupanya kalian memang menyukai pe-
dang tumpulku, ya?"
"O, tentu. Tentu...!" jawab mereka
nyaris serempak dan sangat bersemangat.
"Baiklah. Tapi satu persatu
memakainya, niih...!"
Gerakan kilat yang hampir tak
terlihat mata telah terjadi. Tangan
Ludiro melemparkan senjata andalannya,
berupa Mata Pisau yang beracun. Benda
kecil itu melayang cepat ke arah salah
seorang perempuan. Perempuan yang
merenggangkan kedua kakinya itu
terbeliak kaget seraya memegangi
lehernya. Mata pisau atau senjata
rahasia Ludiro menancap seluruhnyake
tenggorokan perempuan tersebut. Sudah
tentu perempuan itu hendak memekik,
namun suaranya tertahan senjata rahasia
Ludiro sehingga hanya dapat
menggerok-gerok bagai kambing
disembelih. Tubuhnya limbung dan jatuh
ketanah, mengejang ngejang.
"Biadaaab...!!" teriak temannya.
Orang itu segera menyerang Ludiro dengan
kemarahan yang meluap. Pedang diayunkan
menebas leher Ludiro dengan suatu
gerakan yang lincah sekali.
"Kau harus menebusnya dengan
lehermu, jahanam...!"
Ludiro mengelak ke samping, namun
dalam keadaan tubuh miring itu ia sempat
melancarkan tendangannya. Tendangan
kaki kanannya itu membentur perut
perempuan tersebut.
Buk...! Yang ditendang menahan
nafas hingga terdengar suara:
"Ngeekh...!"
Tapi anehnya, karena tendangan itu
justru tubuh Ludiro jadi terpental dan
jatuh tak berposisi. Kesempatan itu
digunakan musuhnya untuk menusukkan
pedang dengan gerakan menukik dari atas,
"Yiaaaaatt...!"
"Jugg...!!" Terdengar suara pedang
menembus barang empuk.
Untung bukan tubuh Ludiro yang
menjadi sasaran pedang musuh, melainkan
sebatang pohon yang membusuk. Dalam
kesempatan itu, Ludiro segera
melancarkan jurus Tendangan Dewa Mimpi,
bergulung sambil menyerang dengan suatu
tendangan kaki kanan yang di luar dugaan
lawan. Tendangan itu mengenai belahan
kedua paha perempuan tersebut, sehingga
perempuan itu sempat terpekik antara
malu dan terkejut sakit. Tubuh perempuan
itu terpental ke belakang, namun tidak
jatuh, melainkan kembali berdiri sigap
dengan pedang siap diayunkan. Kali ini
Ludiro tidak menyerang lagi dengan
tendangan sehingga pedang lawannya tak
berhasil mengenai kakinya. Ludiro
bergegas berdiri, kemudian bersalto ke
belakang, sekedar menjaga jarak dengan
lawannya.
"Bagaimana...?" ucap Ludiro sambil
mengatur nafas.
Perempuan itu memandang penuh
kebencian. Ludiro berbalik ganti
mengejek perempuan itu:
"Pedang tumpulku belum berfungsi
kau sudah kelihatan capek, apalagi kalau
sampai kugunakan, he, he, he..."
Tanpa menunggu ejekan berikutnya,
perempuan itu berteriak nyaring dan
menyerang Ludiro dengan pedang terjulur
ke depan. Ludiro tidak mundur setapak
pun. Ia memiringkan badan, sehingga
pedang lawannya terasa mendesing di
samping telinganya. Pada kesempatan itu,
Ludiro memegang tangan perempuan itu
dengan kuat-kuat.
"Hupp...! Hiaayaa...!"
Satu hentakan suara bersamaan
dengan pukulan tangan kiri Ludiro ke
tulang rusuk musuhnya. Perempuan itu
menyeringai kesakitan. Ludiro belum mau
melepaskan pegangan tangannya. Masih
kuat ia menggenggam pergelangan tangan
yang memegang pedang. Lalu dengan
hentakan yang sangat kuat, Ludiro
membalikkan badan dan menyodok perut
lawannya dengan sikut tangan kiri.
"Aaahkk..!"
Perempuan itu terpekik. Ia segera
memindahkan pedangnya ke tangan kiri.
Dan ia mulai menusukkan pedangnya ke
tubuh Ludiro yang amat dekat itu. Tetapi
dengan gerakan bersalto ke belakang,
Ludiro dapat menghindari tusukan pedang
tersebut. Dua kali Ludiro bersalto ke
belakang, sehingga dalam jarak yang
cukup itu, ia merendahkan tubuh,
berlutut dengan salah satu kaki dan,
"wesss...!" Ia melemparkan senjata
rahasianya ke arah perempuan itu.
"Tring...!" Senjata Ludiro dapat
ditangkis dengan kibasan pedang
musuhnya. Sekali lagi Ludiro melemparkan
Mata Pisau beracun
"Wess...!"
"Tring...!" Perempuan itu
menangkisnya dengan pedang bersaman
dengan gerakan tubuh yang melengkung ke
samping dan salah satu kakinya ditekuk.
Sebelum Ludiro melancarkan senjata
rahasianya lagi, perempuan itu telah
lebih dulu melejit ke udara.
"Hiaaaat...!!"
Ia bersalto ke arah Ludiro dengan
pedang ditebaskan bertubi-tubi. Ludiro
menghindar, namun rambutnya sempat
terpotong beberapa bagian oleh pedang
itu. Ludiro tergeragap.
"Sekarang saatnya pembalasanku
tiba, manusia busuk...!"
Perempuan itu berdiri tegap,
pedangnya dikibaskan ke arah depannya
berkalikah kendati ia tahu jarak Ludiro
tak terjangkau. namun tiba-tiba, pedang
itu meluncur sendiri dengan cepat.
Berputar bagai tak dapat dilihat
gerakannya. Ludiro kelabakan,
menghindar ke kiri-kekanan, melompat ke
atas, berguling... dan pedang itu masih
mengejarnya. Gerakan Ludiro sudah
seperti celeng mabok, tak karuan meng-
hindari gerakan pedang yang memburunya.
Sampai akhirnya kepala Ludiro terbentur
batang pohon.
"Prak...!" Pedang itu meluncur ke
arahnya dengan cepat.
"Jubb...!" Pedang menancap pada
batang pohon yang keras. Ludiro lega,
namun lengannya berdarah karena tergores
pedang setan itu. Ia baru saja hendak
melemparkan senjata rahasianya,
tahu-tahu kaki perempuan itu menendang
dagunya sekuat tenaga. Ludiro memekik
dan terdongak, lalu rebah ke belakang.
"Rasakan bagianmu ini, monyet
jelek...!"
Sekali lagi perempuan itu menendang
dengan satu hentakan yang cukup kuat.
Tendangan itu bersarang di punggung
Ludiro, membuat Ludiro kesakitan,
punggungnya bagai patah.
Dalam keadaan kritis itu, ia sempat
berkonsentrasi dan segera berguling
sambil melancarkan Tendangan Dewa Mimpi.
Bergulingnya tubuh Ludiro membuat
perempuan itu sedikit kebingungan, namun
segera mendelik karena kaki Ludiro
menghentakan kemaluannya. Ia buru-buru
meloncat ke belakang.
Ludiro tak sempat memburu, karena
punggungnya terasa sakit sekali dan
dagunya bagai pecah karena tendangan
tadi. Ia berusaha berdiri dengan
merambat, berpegangan batang pohon. Pada
saat itu, pandangan matanya yang
berkunang-kunang sempat melihat
perempuan itu sempoyongan. Ia berusaha
mengangkat temannya yang telah mati
dengan leher ditembus senjata rahasia
Ludiro. Ia memanggul jenazah temannya
dan segera melarikan diri.
"Tunggu...!!" teriak Ludiro yang
tak mampu melengking.
Perempuan itu terus melesat, namun
sempat meninggalkan suara nyaring.
"Kita akan bertemu lagi, monyet! Aku
akan memburumu! Ingat kata-kata ini
hanya aku yang berhak membunuhmu!"
"Berhenti kalauu kau memang..."
Ludiro tak sanggup bicara lagi.
Kepalanya begitu pusing, dan luka di
lengannya itu menjadi terasa sangat
perih. Ia mencoba mehhat luka di le-
ngannya, ooh... ternyata luka itu cepat
sekali menjadi busuk. Bukan darah merah
segar lagi yang mengucur, melainkan
darah hitam, kental dan berbau busuk.
Ludiro bersandar pada batang pohon,
tak mampu berdiri. Nafasnya
terengah-engah, badannya terasa sakit.
Ia melirik ke batang pohon, ternyata di
sana masih ada sebilah pedang yang
menancap. Pedang itulah yang menggores
lengannya dan menjadi busuk, bahkan...
astaga! Sekarang bukan hanya bagian luka
saja yang membusuk, melainkan di
sekeliling luka pun menjadi busuk.
Mengoreng bagai borok yang amat ganas.
Ludiro sempat kebingungan dan
tegang. Jelas pedang itu mempunyai racun
yang amat ganas. Bukan hanya membuat luka
menjadi busuk dalam tempo singkat,
melainkan tulang-tulangnya pun terasa
patah semua. Ludiro nyaris tak dapat
bergerak Ia mencoba dan mencobanya lagi,
tapi kakinya benar-benar mati. Bahkan
jari-jari tangannya tak dapat
disentil-sentilkan, apalagi dipakai
memegang sesuatu. Hanya leher saja yang
masih bisa bergerak, dan itu pun lamban
serta dengan susah payah.
Ketika ia mehrik kembali luka di
lengannya, matanya tak mampu membelalak
lebar melihat borok itu semakin merayap,
membesar dan menjijikkan. Oh, apa yang
harus ia lakukan dalam keadaan seperti
ini. Ia sendirian. Tempat itu sepi. Ia
tak mampu menggerakkan bibirnya untuk
berseru meminta pertolongan. Sedangkan
borok itu...oh, makin lebar dan semakin
menjadi busuk. Sekar ang hampir memakan
separoh lengannya. Haruskah ia mati di
situ diserang borok busuk?
***
DUA
KEREMANGAN sore mulai membias.
Langit warna merah saga. Sejauh itu
Ludiro masih bersandar pada sebuah pohon
yang menjulang tinggi. Ia bagai menunggu
ajal tiba, karena borok itu semakin
membusuk di seluruh tangannya. Telapak
tangannya sendiri mulai lembek dan
sebentar lagi pasti akan membusuk
seperti lainnya.
Dalam kesendirian menunggu busuknya
semua anggota badan itu, Ludiro tak dapat
berbuat apa-apa kecuali meratap dalam
hati. Ia tahu, tempat yang begitu liar
ini tak akan dilalui oleh siapa pun,
kecuali dedemit-dedemit hutan. Ia merasa
tidak punya harapan lagi. Jangankan
harapan untuk hidup, harapan untuk bisa
berteriak pun tidak ada sama sekali.
Sekarang yang bisa ia gerakan hanya bola
matanya. Tulang leher mulai kaku seperti
anggota tubuh lainnya. Bola matanya itu
yang sesekali melirik pedang bergagang
kuningan yang menancap pada batang pohon
di seberangnya. Ia hanya bisa mengumpat
dalam hati
"gara-gara pedang itu, tubuhnya
menjadi tersiksa menunggu pembusukan
yang sempurna. Oh, racun apa gerangan
yang membersit dalam lapisan pedang itu
sebenarnya?" pikirnya sejak tadi.
Di luar dugaan, Ludiro merasakan ada
sesuatu yang menyentuh boroknya. Mulanya
ia menganggap hanya semilir angin, namun
setelah dirasakan berkali-kali, ia mulai
sadar memang ada sesuatu yang menyentuh
tangannya yang busuk itu. Ingin rasanya
ia berpaling melihat sesuatu yang
menyentuh bagian pangkal lengannya,
namun ia tak mampu. Lehernya masih kaku
dan gerak matanya tak dapat menjangkau
untuk memandang ujung pundaknya. Hanya
saja, Ludiro tahu, sesuatu yang
menyentuh itu adalah tetesan benda cair.
Tetesan itu berasal dari atas. Oh,
mungkin hujan atau embun.
Ludiro membiarkan benda itu menetes
terus, membiarkan lengannya yang busuk
menjadi basah sampai beberapa lama.
Bahkan Ludiro m-maksakan diri untuk
dapat terpejam tidur, walaupun hal itu
sangat sukar ia lakukan.
Tanpa disadari, ternyata lehernya
mulai dapat digerakkan sedikit demi
sedikit. Kekakuan berkurang, dan Ludiro
dapat memandang benda yang menetes di
ujung lengannya itu.
"Oh, darah...?" ia berkata dalam
hati. Ia menggumam lirih. Pelan sekali.
Untuk mendongak ia masih tak mampu. Sebab
itu ia membiarkan darah yang menetes dari
atas pohon itu membasahi boroknya terus.
Ludiro merasakan ada perubahan pada
lukanya yang membusuk. Setiap tetesan
darah membuat rasa perihnya berkurang.
Dan semakin banyak darah yang mengalir ke
bawah, membasahi lengannya, semakin
berkurang pula aroma bau busuk yang tadi
memualkan perut itu.
Sampai akhirnya, lengan yang
membusuk itu telah basah seluruhnya oleh
darah segar. Darah yang menetes dari atas
pohon tempatnya bersandar. Lalu, suatu
perubahan dirasakan kembali, kini leher
Ludiro bisa dipakai untuk mendongak Ia
memandang ke atas mencari sumber tetesan
darah yang cukup aneh itu.
Oh, ternyata ada seseorang di atas
sana. Orang itu tersangkut pada sebuah
dahan besar dalam keadaan terluka.
Ludiro mengernyitkan alis, menyipitkan
mata untuk memperjelas penglihatannya.
Kian lama kian nyata, orang itu adalah
seorang perempuan berkain sutra warna
merah muda. Dari perhiasan yang
dikenakan, jelas perempuan itu bukan
dari keluarga rakyat jelata. Wajahnya
tak dapat terlihat, karena tertutup
beberapa rimbun daun. Namun kakinya yang
lencir indah bagai batang bambu suling
itu terlihat mengenakan binggel, gelang
kaki berwarna emas. Tipis, tapi sungguh
indah dan terlihat nyata dalam keadaan
terpadu dengan warna kulitnya yang
kuning.
"Eh... bisa bergerak...?!" Ludiro
bicara sendiri, merasa aneh ketika tak
sadar ia mampu menarik kakinya. Kini
perhatiannya kembali pada dirinya
sendiri. Oh, ternyata ia sudah mulai bisa
bergerak. Rasa ngjlu pada tulangnya
hilang. Ia seperti memperoleh
kekuatannya yang sejak tadi tak ada pada
dirinya. Dan ia memandangi lengannya
yang membusuk, ooh...? ternyata lengan
itu kembali normal. Luka mengering dan
menutup kembali. Kebusukan sirna,kini
berganti lumuran darah yang menetes dari
atas pohon.
Sengaja Ludiro tidak membersihkan
darah itu. Ia bangkit dan mencoba untuk
berdiri. Ternyata bisa. Ia berdiri
tegak, lalu merenggangkan kaki, memasang
kuda-kuda, merendahkan badan sedikit,
meloncat-loncat pendek, oh... sungguh ia
merasa kembali seperti sedia kala. Ia
mengencangkan otot-otot tangan dan kaki,
menggerakkan dalam beberapa jurus, dan
nyatanya memang betul-betul mampu
bergerak dengan mantap.
"Siapa perempuan yang di atas pohon
itu?" katanya dalam hati. "Siapa pun dia,
namun secara tak langsung ia telah
menyelamatkan jiwaku. Darahnya yang
telah menetes pada lukaku dan membuat
suatu kesembuhan yang sukar dipercaya.
Hem, sudah sepatutnya aku mengucapkan
terima kasih kepadanya... tapi apakah
dia masih hidup?"
Tanpa menunggu pertimbangan lebih
pan-ang lagi, Ludiro memanjat pohon itu.
Sebenar-nya ia bisa saja menggunakan
ilmu peringan tubuh, tapi ia tak ingin
melakukan dengan cara begitu. Ia lebih
senang dapat menaiki pohon itu dengan
susah payah. Terpeleset jatuh pun tak
jadi soal, justru itu ia semakin senang,
sebab dengan demikian ia telah menolong
perempuan itu dengan proses yang cukup
sulit, paling tidak dengan suatu
pengorbanan waktu dan tenaga.
"Syukurlah... ia belum mati..."
ucap Ludiro lirih. Ia segera mengangkat
tubuh perempuan itu dengan sangat
hati-hati. Ia berusaha jangan sampai
tubuh itu terjatuh dari atas pohon yang
cukup tinggi. Kendati ia sendiri juga
besar kemungkinannya untuk tergelincir
jatuh, namun yang paling utama baginya
adalah menyelamatkan tubuh perempuan itu
agar jangan sampai terjatuh dari
ketinggian yang dapat membuat batok
kepala hancur seketika.
Berhasil diturunkan dari atas
pohon, perempuan itu segera dibaringkan
di rerumputan yang aman dan tak
mengandung duri. Sejenak Ludiro
mengagumi wajah cantik perempuan itu
yang memiliki sepasang bulu mata lentik
dan tahi lalat di samping bibirnya yang
mungil. Benar-benar bagai seorang
bidadari dalam tidurnya yang lelap.
Ludiro berdecak kagum. Dalam hati ia
berkata, "Hanya Putri Ayu Sekar Pamikat
yang mampu menyaingi kecantikan gadis
ini..." Ludiro gelisah memandanginya
terlalu lama. Ia tak tahan, sebab itu
segera ia membuang rasa kagumnya dan
khayalan keindahannya tentang putri
tersebut.
"Edan...!" pekik Ludiro dengan mata
terbelalak. Ia tak mampu berkedip saat
memeriksa luka perempuan itu yang tadi
meneteskan darah. Ia hampir tak percaya
pada penglihatannya sendiri, bahwa luka
di ketiak perempuan itu adalah luka
karena terkena senjata rahasia.
Bentuknya berupa mata pisau yang kecil,
tipis dan beracun.
"Ini senjataku...?!" ucapnya
sendiri dalam kebingungan. Wajah Ludiro
menjadi tegang, matanya memandang
sekeliling sebentar, kemudian
memperhatikan perempuan itu lagi
Benar-benar tak habis pikir bagi Ludiro,
bagaimana mungkin ada orang yang mampu
menyerang perempuan itu dengan
menggunakan senjata rahasia miliknya?
Mungkinkah penyerangnya sama persis
dengan penyerang gelap yang menewaskan
Raden Praja di Lembah Bukit Tanah Iblis,
tempo hari itu? (dalam kisah Racun Puri
Iblis). Jadi selama ini memang adakah
orang yang selalu menjadi penyerang
gelap dengan menggunakan senjata rahasia
serupa dengan miliknya?
Ludiro geleng-geleng kepala. Ia
memeriksa di sekitar luka itu. Oh,
memerah, bahkan legam. Ia hapal, itulah
racun yang akan menyerang jantung si
penderita akibat terkena senjata
rahasianya. Jadi, sejauh itukah orang
dapat meniru senjata rahasianya, sampai
ke kadar racunnya segala?
Kebingungan dan penyesalan
dibuangnya jauh-jauh. Yang penting ia
harus segera menyelamatkan perempuan
muda itu. Ia telah berhutang budi secara
tak langsung. Dan memang hanya dialah
yang tahu bagaimana mengatasi racun
senjata rahasianya itu. Mungkin memang
ada seseorang yang tahu, yaitu pemalsu
senjata rahasianya. Tetapi orang itu
tidak ada. Jadi saat sekarang hanya
dialah yang dapat menyelamatkan jiwa
perempuan cantik itu.
Ludiro segera menempelkan telapak
tangannya ke sekitar ketiak yang terluka
Kedua telapak tangan itu menekan bagian
tulang rusuk, dan pangkal lengan. Hal ini
dilakukan setelah ia memiringkan
perempuan tersebut. Lalu dengan suatu
konsentrasi yang tinggi, pemusatan hawa
murni dalam ilmu Seraptaji, telapak
tangan itu mulai bergetar. Semakin lama
tubuh perempuan itu semakin jelas
bergetar. Kemudian ada asap biru
mengepul ke luar dari lobang luka yang
masih menyimpan senjata Mata Pisau
Beracun itu. Asap biru kian mengepul,
lalu tiba-tiba logam tipis kecdl itu
meluncur sendiri ke luar dari dalam luka.
Darah hitam meleleh dan membasahi gaun
sutra berlengan panjang.
"Air..." Ludiro menggumam dengan
clingak-clinguk mencari kemungkinan ada
air di sekitarnya. Tapi, iatakmenemukan
sesuatu yang dapat dipakai untuk minum.
Tak ada genangan air, tak ada sungai, tak
ada apa pun kecuali kelebatan hutan
belukar.
"Aku harus mengambil air untuk dia.
Pasti tenggorokannya telah kering karena
racun tadi."
Berjalan kehling sekitar situ, tak
menemukan sumber air. Akhirnya Ludiro
nekad pergi mencari air di tempat lain.
Sebelumnya ia telah menulis pesan untuk
perempuan itu apabila sewaktu-waktu
siuman. Pesan ditulis pada batang pohon,
dikerat dengan menggunakan pisau
rahasianya. Tulisan itu berbunyi:
JANGAN PERGI. AKU AKAN DATANG DENGAN
AIR UNTUK MU.
Gerakan Ludiro yang terburu-buru
cukup gesit. Ia melompat bagai seekor
bajing di sela semak belukar. Memang
kulit lengannya tergores duri, tapi tak
pernah dihiraukannya. Yang terpikir
dalam benaknya ialah gadis itu. Ya, siapa
dia sebenarnya? Ada perlu apa berada di
hutan belukar seperti itu? Lantas,
bagaimana dengan Sekar Pamikat sendiri?
Di mana dia sekarang? Tahukah dia bahwa
yang menculik calon suaminya adalah Peri
Sendang Bangkai? Ah, cukup rumit juga
otak Ludiro saat itu. Tetapi akhirnya ia
berhasil menemukan sebuah telaga di
dalam hutan itu. Telaga berair keruh,
tapi masih lumayan ketimbang air
comberan, pikirnya. Dan ia segera
mengambil buah berenuk kering,
menggunakan buah berenuk untuk mengambil
air telaga itu.
Pada saat Ludiro hendak membawa
pergi air itu, tiba-tiba langkahnya
terhenti. Seorang lelaki brewok berikat
kepala batik menghadangnya dengan
garang. Lelaki itu bertubuh besar, mirip
seorang raksasa. Tingginya mencapai satu
setengah tombak kurang sedikit. Ia
mengenakan pakaian serba hitam. Kumisnya
tebal melintang dengan golok pendek di
pinggang. Sebatang akar bahar berukuran
sebesar jempol kaki membelit di lengan
kanannya. Dadanya yang berbulu itu
mengenakan kalung dari kain hitam
berbentuk segi empat. Ia memandang
Ludiro dengan mata semburat merah,
mengerikan. Suaranya begitu berat dan
besar ketika ia berkata dalam nada geram,
"Kau memasuki wilayahku, setan! Dan
kau telah mengambil barang milikku itu
tanpa permisi!"
Ludiro menghela nafas. Belum
apa-apa ia sudah merasa sesak napas
melihat perawakan lelaki brewok itu.
"Aku membutuhkan air untuk menolong
seseorang."
"Tapi kau tidak minta izin kepadaku
dulu, setan!" Lelaki brewok itu
mendekat. "ini wilayahku. Ini telagaku!
Kalau kau mengambil sesuatu dari wilayah
telaga ini, kau harus izin dulu
kepadaku."
Agaknya orang ini cukup kasar dan
ganas. Ludiro berpikir dengan cepat
untuk mengatasi kegarangan orang itu.
"Sebenarnya aku ingin meminta izin
kepadamu, sobat," Ludiro bicara sambil
tersenyum. "Tapi, aku tidak bisa
menemukan di mana kamu berada. Jadi,
yahh... kuambil saja."
"Kenapa tidak kau sebut saja namaku:
Gopo!"
"Aku... aku tidak tahu," Ludiro
mengangkat kedua pundaknya seraya
menyunggingkan senyum.
"Dasar maling!" bentak Gopo yang
sempat membuat Ludiro terlonjak kaget.
Suaranya bagai mempunyai tenaga hentakan
yang cukup kuat. "Karena kemalinganmu
itu, kau harus menerima hukuman ini,
setan!"
"Wuss...!" Gopo menendang dengan
sebelah kaki, bagai seseorang yang
tengah menendang bola. Ludiro tak sempat
menghindar karena tendangan itu sangat
cepat dan di luar dugaan. Ludiro
terjengkang ke belakang, nyaris jatuh
masuk ke telaga. Lalu dengan cepat Gopo
memburu dan melangkahkan kaki, kemudian
menghentak dengan mantap.
"Jleegg...!" Gopo bagai sedang
menginjak seekor semut. Telapak kakinya
yang besar jatuh tepat di samping telinga
Ludiro. Tanah bergetar karenanya. Ludiro
berguling ke kiri, dan berguling lagi
karena kaki Gopo memburu untuk menginjak
kepala Ludiro.
Entah berapa gulingan Ludiro
menyatu dengan tanah basah di tepian
telaga yang mirip sebidang kolam ikan
itu.
"Mampus kau, maling cikik! Hihh...!
Hiih...!" Gopo kelihatan tak memberi
kesempatan kepada Ludiro.
Dalam keadaan tegang itu, Ludiro
sempat memanfaatkan jurus Tendangan Dewa
Mimpinya. Berguling sambil melancarkan
tendangan ke arah alat vital musuhnya.
"Heaaat...! Hahh...!"
"Uhh...!" Gopo menyeringai
kesakitan dan mundur beberapa langkah.
Namun sebentar kemudian Gopo telah
kembali tegap, bahkan lebih garang lagi.
Sedangkan Ludiro buru-buru mengambil
sikap berdiri dengan kedua kaki renggang
sedikit ditekuk. Paling tidak itu sebuah
awal untuk meloncat dan menyerang.
Ludiro sempat gemetar melihat lawannya
sungguh tak berbeda dengan seorang
raksasa. Apalagi tubuh Ludiro pendek,
hanya sebatas ulu hati Gopo, hal itu
membuat Lidoro bertanya dalam hati:
"Mampukah ia mengalahkan manusia raksasa
ini?"
Sebuah pukulan dilancarkan oleh
Ludiro ke perut Gopo. Lelaki tinggi besar
itu tidak menangkis atau menghindar.
Pukulan itu dibiarkan membentur
perutnya.
"Buuk...!" Ludiro bagai memukul
bedug. Dan pada saat itu, tangan Gopo
meraih tangan Ludiro dengan cepat.
"Kena kau, maling!" geramnya dengan
mata melotot merah.
"Aaahk...!" Ludiro memekik
tertahan, pergelangan tangan kanannya
terasa sakit karena bagai dicepit dengan
besi baja yang amat kuat.
"Uuh... aah...!" Ludiro tak sempat
bilang apa-apa.
"Remuk tanganmu, Maling! Remuk
sekarang juga! Hihh...!" Genggaman Gopo
semakin kuat dan sangattmenyakitkan.
Dalam kesempatan itu, tangan kiri
Ludiro menegang, lalu kepalan tinjunya
melayang ke pinggang Gopo. Lelaki itu
tidak berkelit dan tidak merasa sakit
sedikit pun. Tetapi ketika lutut Ludiro
menyodok keras alat vitalnya, Gopo
menjerit. Tubuhnya terbungkuk ke depan
sementara pantatnya mundur ke belakang.
Kesempatan itu digunakan Ludiro untuk
menghantam kepala Gopo kuat-kuat.
"Rasakan permainanku yang ini,
heaaahh...!!"
"Plok...! Plook...!"
Gopo masih memegangi tangan Ludiro.
Kali ini ia justru menyerusuk ke leher
Ludiro, lalu tangan yang satunya
merangkul pinggang Ludiro.
"Haaahh...!!"
Gopo menyentakkan rangkulannya,
merapatkan tubuh Ludiro dengan perutnya
yang gendut dan keras itu. Ludiro menjadi
sukar bernafas, ia bagai digencet di
antara dua buah gunung.
"Ngeekk...!" suaranya begitu
menyedihkan. Mulut Ludiro cengap-cengap
dengan mata mendelik. Ia berusaha
meronta, namun hanya kelojotan saja yang
bisa dilakukan. Kedua kakinya terangkat
dan tangannya kaku.
"Pencuri... harus mati, hiihh...!!"
Gopo semakin mengencangkan pelukannya.
Kini bahkan dengan kedua tangannya ia
menghimpit tubuh Ludiro. Otot-otot
tangannya tersumbul dari dalam lapisan
kulitnya yang tebal. Begitu kuat jepitan
itu, sehingga Ludiro mau minta ampun saja
sukar sekali. Mulutnya menganga
kuat-kuat, menahan sakit dan mencari
pernapasan.
Sambil menggeram Gopo sempat
berkata, "Setiap pencuri di wilayahku
tak ada yang pernah hidup, tahu?!
Hehh...!"
Kalau saja lebih lama sedikit, maka
habislah riwayat Ludiro dalam jepitan
manusia raksasa itu. Untung ia segera
mendengar suara lecutan cambuk.
"Ctar...! ctar..!" Dan pelukan Gopo
merenggang seketika. Gopo terlepas,
jatuh lemas bagai cucian baju yang belum
dijemur. Gopo menjerit kesakitan sambil
berusaha meraba punggungnya. Ia berbalik
sambil oleng ke kiri dan kanan.
Pendekar Cambuk Naga berdiri dengan
sikap menantang tak jauh dari Gopo. Bukan
hanya mata Gopo saja yang membelalak
lebar, tapi mata Ludiro pun demikian
juga. Setelah berhasil menghirup nafas
dengan cepat, Ludiro pun berseru:
"Putri...?!"
Ucapan Ludiro tak berlanjut. Gopo
lebih dulu berseru dengan geram,
"Setan Betina...!! Berani kau
melukai tubuhku, hah?! Rasakan
pembalasanku ini, heaaaahh...!!"
Pendekar Cambuk Naga tak mau
membuang-buang waktu dan tenaga, ia
mengibaskan cambuknya yang terbuat dari
serat-serat sutra, namun mempunyai
kekuatan yang luar biasa, terlebih jika
dialiri tenaga dalamnya.
"Tarr...! Tarr...!"
Dua kali cambuk melecut, keduanya
mengenai kaki Gopo. Lelaki itu menjerit
keras, dan air telaga pun bergoyang
karena getaran suara. Gopo jatuh ke tanah
sambil kesakitan. Untung Sekar Pamikat
atau Pendekar Cambuk Naga tidak
bersungguh-sungguh dalam menyerang
Gopo, sehingga kedua kaki lelaki brewok
itu tidak putus terpotong seperti kaki
Darmala dulu (dalam kisah Racun Puri
Iblis). Lelaki itu hanya merasa tulang
kakinya seperti remuk dan menjadi
lumpuh. Untuk sementara ia memang tak
dapat berdiri. Dan Sekar Pamikat sengaja
mendekatinya dengan senyum kemenangan.
"Aku bisa membunuhmu sekarang juga.
Tapi untuk apa. Kudengar pembicaraan
kalian tadi, semua ini hanya kesalah
pahaman. Jadi, kumaafkan kau yang telah
berani menyakiti pengawalku...."
Kemudian Sekar Pamikat memandang
Ludiro yang masih berusaha meluruskan
tulang-tulangnya. Sekar Pamikat sempat
tertawa masam, dan Ludiro semakin
cemberut.
"Gara-gara Putri pergi, saya jadi
begini," gerutunya.
"Maaf, aku harus menyelamatkan
calon suamiku," Sekar Pamikat mulai
murung.
"Lalu, bagaimana? Di mana Pendekar
Pusar Bumi sekarang?"
Sekar Pamikat berjalan mencari
tempat duduk. Ada batu besar di suatu
tempat, tak jauh dari kepala Gopo. Di
batu itu ia duduk dalam rona
kesedihannya. Ludiro mendekat dan
mendesak ingin mengetahui nasib
Lanangseta atau Pendekar Pusar Bumi itu.
"Apakah Putri Ayu telah berhasil
merebut nya kembali dari tangan
penculik?"
Sekar Pamikat menggeleng. "Aku
gagal. Kehilangan jejak. Tak tahu ke mana
aku harus memburunya."
Ludiro menghempaskan nafas
sebentar. Katanya pelan,
"Saya tahu di mana Lanang berada."
Sekar Pamikat yang lesu menjadi
bersemangat. Telinganya bagai tercocok
tombak Ia memandang tajam kepada Ludiro
dengan perasaan tak sabar.
"Kemana? Cepat katakan! Katakan,
Paman....!"
Ludiro tersenyum tipis, "Akan saya
katakan setelah saya menolong seseorang
yang telah menyelamatkan nyawa saya..."
Kemudian Ludiro menceritakan
tentang penghulu Badra dan pengejarannya
terhadap pembunuh penghulu Badra. Bahkan
sampai bertarungannya dengan dua
perempuan keji yang mengakibatkan luka
pada lengannya itu pun diceritakan.
"Dan sekarang saya perlu air untuk
gadis yang secara tak langsung telah
menyelamatkan saya dari kebusukan itu."
Sekar Pamikat menggumam sejenak,
memasukkan cambuknya pada tempatnya yang
berada di punggung. Lalu ia berdiri, dan
berkata,
"Ambil air itu secukupnya, lalu kita
pergi ke sana. Ayo, gadis itu pasti sudah
menunggumu lama...."
"Hei, bagaimana dengan kakiku...?!"
seru Gopo sambil menahan sakit. Tapi ia
hanya mendapat jawaban dari Sekar:
"Lihat saja, bagaimana nanti. Itu
hanya peringatan bagi orang yang sok
berkuasa....!"
Ludiro dan Sekar Pamikat segera
melesat meninggalkan telaga berair
keruh. Mereka menuju ke tempat perempuan
yang ditolong Ludiro tadi.
Tetapi, alangkah terkejutnya mereka
setelah mengetahui tempat itu telah
kosong. Gadis yang terluka tidak ada, dan
pedang yang menancap di pohon... oh,
pedang itu masih ada. Hanya gadis itu
yang hilang. Ke mana dia? Mampukah ia
sadar sendiri tanpa air?
* * *
TIGA
BERULANGKALI Ludiro menggerutu tak
jelas. Matanya masih bergerak-gerak
nanar mencari di mana perempuan berbaju
sutra merah muda yang terkena senjata
rahasianya tadi? Sementara Ludiro
mencari perempuan cantik itu, Sekar
Pamikat meneliti pedang yang menancap
pada batang pohon. Sepintas tadi Ludiro
telah menceritakan tentang racun pada
pedang itu. Dan Sekar Pamikat merasa
kagum di dalam hatinya terhadap
keampuhan pedang itu.
"Bagaimana, Paman?" Sekar Pamikat
mengalihkan perhatiannya sendiri.
"Mungkin sejenis kuntilanak
perempuan tadi. Masa bisa hilang
sendiri. Ia tak mungkin dapat berjalan
sebelum meminum air. Tenggorokannya akan
tersekat bisa racun dari senjata saya
itu, Putri."
"Tapi betul, bukan kamu yang
melukainya, Paman?"
"Sumpah! Saya bertarung dengan dua
gadis lain. Saya rasa tidak ada
hubungannya dengan kedua gadis genit
itu. Tapi... entah siapa yang telah
menyerangnya dengan senjata rahasia
seperti senjata saya itu. Kurasa ada
orang yang memalsukan senjata yang
menjadi ciri khas saya, Putri."
Sekar Pamikat ikut melangkah,
menyusup di antara semak, mencari
tanda-tanda kepergian dan tak berhasil.
Ia sempat berseru kepada Ludiro yang
berada di tempat lain:
"Paman...! Ingat pembunuhan
terhadap Raden Praja? Itu juga
melibatkan senjata rahasiamu, dan
ternyata pembunuhnya adalah Nawang Puri,
bukan?" (dalam kisah Racun Puri Iblis).
Ludiro bergegas menghampiri Sekar
Pamikat dengan wajah sedikit tegang.
"Jangan-jangan... Nawang Puri juga yang
melukai perempuan berbaju sutra merah
muda itu, ya?"
Pendekar Gambuk Naga menggeleng.
Tapi bukan berarti Nawang Puri
memalsukan senjata milikmu. Menurut
pengakuan Lanangseta, Nawang Puri hanya
memanfaatkan senjatamu yang menancap
pada salah seorang musuh kita ketika kita
berada di Bukit Tanah Iblis itu Senjata
itu diambil kemudian dipakai membunuh
Raden Praja."
"Aaah... memang serba kacau!"
gerutu Ludiro dengan kesal. Ia kembali
mencari perempuan itu, perempuan yang
telah terluka ketiaknya dan tak sadarkan
diri, yang sekarang menghilang sebelum
Ludiro sempat membawakan air untuk
menghilangkan busa racun di tenggorokan
perempuan tersebut.
Ludiro berdiri di depan tulisan yang
dibuatnya sebagai pesan, tuhsan itu
masih terbaca jelas dalam ukiran batang
poHon. Ketika Sekar Pamikat ikut
mendekat lalu membacanya, Ludiro sempat
berkata bagai ditujukan pada dirinya
sendiri:
"Mungkin perempuan itu tidak bisa
membaca tulisan ini. Uhh... dasar
perempuan tolol!"
Tiba-tiba ada suara menyahut dari
atas pohon lain,
"Aku bisa membacanya...!"
Ludiro dan Sekar Pamikat terkejut
mendengar suara perempuan. Segera mereka
berpaling, mendongak ke atas pohon di
seberang mereka. Ternyata dari rimbunan
daun yang lebat merapat itu muncullah
seraut wajah can-tik, bertahi lalat di
ujung bibir bawah.
"Aneh..." gumam Ludiro. "Dia malah
sudah bisa memanjat pohon setinggi
itu?!"
Perempuan berbaju sutra warna merah
muda, dengan lengan baju yang panjang
longgar itu, segera meluncur turun dari
atas pohon. Ketika ia meluncur turun,
Ludiro merasa sedang menyaksikan seekor
kupu-kupu terbang melayang dengan
indahnya. Bajunya yang tipis longgar itu
bagai kibasan sayap kupu-kupu
menghampiri madu bunga melati. Dari
posisi turunnya yang begitu lembut
menyentuh tanah dan berdiri tegak, Sekar
Pamikat mengetahui bahwa perempuan muda
dan cantik itu jelas bukan sekedar
perempuan bangsawan biasa, namun tentu
saja mempunyai ilmu silat yang cukup
tinggi. Ilmu peringan tubuhnya cukup
sempurna. Hemm... siapa dia sebenarnya?"
kata Sekar Pamikat di dalam hati.
"Maaf, aku merepotkanmu," kata
perempuan itu kepada Ludiro. Lelaki
pendek bertubuh gempal itu masih
bungkam.
Setelah Sekar Pamikat menyodorkan
sikutnya ke pinggang Ludiro secara
diam-diam, Ludiro baru berkata dengan
gagap:
"Kau... bagaimana? Maksudku,
bagaimana kau bisa sadar dari pingsanmu
dan naik ke atas pohon, sedangkan...."
Perempuan muda itu tersenyum malu.
Gayanya cukup manja ketika ia berkata,
"Seekor ular telah menggigit lenganku."
Ia memperlihatkan lengannya yang berkuht
kuning mulus. Di situ memang ada bekas
gigitan ular. Lalu ia menyambung kata:
"Ular itu kecil dan bisanya tidak
terlalu membahayakan. Lalu aku sadarkan
diri karena gigitan itu. Kupikir-pikir,
rupanya racun ular itu berhasil
menawarkan racun senjata rahasiamu yang
melukai ketiakku...."
"Senjata rahasiaku?!"
"Iya!" seraya perempuan itu
melongok dengan dengan mata membelalak
genit-genit manja.
"Aku tidak merasa menyerangmu!"
bantah Ludiro.
"Memang!" Ia merajuk sebentar. Lalu
mendekat dan menuding Ludiro dengan
menempelkan jari telunjuknya ke dada
Ludiro yang terben gong melompong. "Kau
memang tidak menyerangku. Tapi senjatamu
yang kau lemparkan kepada gadis genit
lawanmu itu, telah ditangkisnya dengan
pedang. Salah satu senjata ada yang
meluncur ke arahku tanpa sempat
kuhindari, lalu..." Ia mencemberutkan
wajah. "Ia melukaiku. Sakit. Dan... dan
aku tak sadarkan diri."
Ludiro memandang Sekar Pamikat,
yang pandang hanya tersenyum geli sambil
menutup mulutnya. Ludiro kembali
memandang gadis itu yang bergaya manja
dan senang cemberut.
"Maaf, tapi itu di luar kesadaranku.
Dan tanpa kau sadari juga, kau telah
menyelamatkan nyawaku sehingga aku perlu
membawamu turun dari atas pohon untuk
mengobatimu."
"Apa? Menyelamatkan nyawamu?"
ketusnya. "Ah, aku tidak berbuat
apa-apa. Aku hanya menonton pertarungan
kalian. Lalu aku pingsan, jatuh dari
pohon dan dipagut seekor ular. Itu saja."
Ludiro menjelaskan secara singkat
bagaimana saat dia menderita luka akibat
goresan pedang yang sampai sekarang
masih menancap di batang pohon itu.
Perempuan manja itu terkejut saat
dikatakan bahwa darahnya telah
menyembuhkan racun yang akan membusukkan
badan Ludiro.
"Ah, aku tidak menyediakan darah
untuk nyawamu!" katanya dengan ketus.
"Aku tidak pernah menyelamatkan kamu,
dan kamupun tidak pernah menyelamatkan
aku!"
"Ini sungguh-sungguh .terjadi di
saat kau tidak sadarkan diri, Nona!"
"Mustahil!" bantahnya dengan
bergaya ketus. "Darahku darah Panglima
sedangkan darahmu darah rakyat jelata,
mana bisa darahku menyatu dengan
darahmu."
"Tapi nyatanya tetesan darahmu
telah membuat borok di badanku sembuh!"
bentak Ludiro.
"Kebetulan saja borokmu sudah bosan
di tubuhmu!" balasnya sambil
mempermainkan sehelai ilalang. "Atau,
karena darahku tercemar oleh racun
senjatamu, maka ketika menetes mengenai
borokmu, racun senjatamu itu yang
menawarkan racun borok dari lukamu."
Ludiro kembali memandang Sekar
Pamikat. Dewi Cambuk Naga tampak tenang,
senyum tipis membias samar-samar, dan
matanya tak lepas memperhatikan
gerak-gerik perempuan manja yang suka
bicara ketus itu.
"Apakah mungkin begitu, ya?" Ludiro
bingung sendiri. "Tapi bagaimanapun
juga, aku berterimakasih kepadamu,
Nona."
"Ah, nggak perlu!" jawabnya masih
ketus. "Kau tidak perlu berterimakasih
kepadaku dan akupun tidak perlu
berterimakasih padamu. Kita tak pernah
saling menolong, kan?!"
Mulut Ludiro ternganga, ingin
mengucapkan sesuatu, tapi bingung.
Akhirnya Sekar Pamikat menengahi dengan
berkata:
"Jangan bodoh, Paman. Ia ahli
bicara. Yang dia maksud, jangan lagi ada
istilah hutang budi atau balas budi.
Semuanya terjadi dengan sendirinya tanpa
ada yang merasa berhutang dan dihutangi.
Sudahlah, tak perlu diperpanjang."
Perempuan manja berlagak ketus itu
menyahut, "Hanya orang pandai yang bisa
memahami bahasaku."
Ia bersandar pada pohon dengan
sebelah tangannya. Ia memperhatikan
pedang beracun yang masih menancap di
pohon itu. Mungkin ia ingin mengatakan
sesuatu tentang pedang itu, namun Sekar
Pamikat telah lebih dulu berkata:
"Namaku Sekar Pamikat, dan orang
yang merasa tertolong oleh darahmu ini
bernama Ludiro. Ia pengawalku. Tapi,
sebenarnya dari tadi kami berdua masih
belum bisa mengerti, siapa namamu dan
bagaimana jika kami ingin memanggilmu?
Rasa-rasanya enak sekali jika kita
bersahabat, bukan?"
Perempuan cantik bertubuh langsung
namun tidak kurus itu berpaling
memandang Sekar Pamikat. Ia berkata
ketus.
"Persahabatan? Ya, indah memang
kedengarannya. Tapi sebetulnya tidak
seindah emas dalam intan. Persahabatan
itu kan Cuma suatu istilah Yang penting
bukan persahabatannya, namun sentuhan
dari hati ke hati yang punya segunung
pengertian dan saling mengasihi. Sebab
kadangkala persahabatan hanya terjadi
pada masa senang, pada masa gembira,
berlimpah susu, madu dan emas. Tetapi
dalam kegelapan yang amat menderitakan
satu pihak, persahabatan itu sudah tidak
terdengar lagi. Yang ada hanya kata
'masa-bodo' dan sejenisnya. Jadi, jangan
katakan kita akan bersahabat, tapi
katakanlah: kita akan saling melihat.
Aku melihat hidupmu dan kamu melihat
hidupku. Apa yang kau lakukan dalam
penglihatanmu itu terserah nuranimu,
demikian juga apa yang kulakukan dalam
penglihatanku terserah moralku."
Sekar Pamikat tersenyum kendati
dalam hatinya mengatakan, "Cerewet juga
kau!" Tapi sebenarnya Sekar Pamikat juga
mengagumi falsafah yang dianut perempuan
itu.
"Baiklah, kita saling melihat. Tapi
kami perlu mengetahui namamu. Paling
tidak sebagai pemacu daya ingat kami
tentang dirimu yang akan kami lihat
bersama."
Setelah diam sejenak, melirik
Ludiro sebentar, kemudian perempuan itu
berkata:
"Namaku...: Andini Putri Panglima
kerajaan Sebrang." Lalu ia tersenyum,
senyum manis yang mengandung ajakan
bersahabat. Sekar Pamikat menyambutnya
dan Ludiro ikut menjawab dengan senyum
tipis, kaku, karena masih terpukau dan
bingung dengan kepribadian Andini
"Boleh aku mengetahui tujuanmu di
hutan ini, Andini?" tanya Sekar Pamikat.
"Aku sedang dalam perjalanan
memburu kekasihku yang diculik perempuan
jalang."
Sekar Pamikat terperanjat sebentar,
menatap Andini lekat-lekat. Ada sembilu
yang mengiris hati, dan Sekar Pamikat
menahan rasa perih yang menyedihkan itu.
"Kau menyindir aku, Andini...."
"O, tidak," jawabnya cepat. "Aku
sungguh-sungguh kehilangan kekasihku.
Diculik orang. Gila, kan?! Dan aku
menemukan jejak di sini. Jejak penculik
kekasihku."
"Siapa? Maksudku jejak apa?" tukas
Ludiro.
"Pedang itu...!" Andini menunjuk
pedang yang masih menancap di batang
pohon. "Pedang itu sama persis dengan
sebilah pedang yang kutemukan di taman
keputrenku. Di sana kutemukan pedang
milik anggota komplotan penculik
kekasihku yang tertinggal dan ternyata
setelah sejak tadi kuperhatikan, cocok.
Sama persis dengan pedang itu. Jadi,
agaknya aku sudah mulai dekat dengan
kekasihku."
"Tidak," sanggah Ludiro. "Kita
masih jauh dari sarang mereka."
"Darimana kau tahu?!" Sekar Pamikat
menyerobot kata.
"Penculik Lanangseta bisa
kusimpulkan sama dengan penculik kekasih
Andini itu. Menurut keterangan yang saya
peroleh dari Penghulu Badra, penculiknya
adalah Peri Sendang Bangkai. Penghulu
Badra dibunuh juga oleh orang Sendang
Bangkai, dan aku mengejar, tapi temannya
menghadangku dua orang." Ludiro
berpaling kepada Andini, "Yang tadi
bertarung melawanku itu..." Andini
mengangguk-angguk dan Ludiro
melanjutkan percakapannya dengan Sekar
Pamikat.
"Jadi kalau kita ingin mengetahui
nasib para korban penculikan, sebaiknya
kita datang ke Sendang Bangkai. Aku tahu
tempat itu dari penghulu Badra."
"Kalau begitu, secepatnya kita
bergerak ke sana!" kata Sekar Pamikat tak
sabar diri.
"Tunggu," sergah Andini. "Jadi, kau
benar-benar senasib denganku, Sekar
Pamikat?"
"Ya. Calon suamiku diculik oleh
mereka dan aku harus merebutnya
kembali!"
"O...? Sebenarnya siapa kamu ini?"
“Pendekar Cambuk Naga, putri Patih
Sambangbumi dari Kepatihan Anjar Puspa,"
jawab Ludiro dengan cepat, mewakili
Sekar Pamikat Dan ternyata jawaban itu
membuat Andini terperanjat kaget.
"Jadi... kau? Kau yang dikenal
dengan Cambuk Naga itu?"
Sekar Pamikat tersenyum tenang.
Masih bernada penuh persahabatan, dan
bukan nada angkuh membanggakan diri. Dia
hanya berkata, "Kau mengenal nama itu
juga rupanya?"
"Tentu. Suara lecutan cambuk nagamu
sampai terdengar di kerajaan Sebrang."
Andini tertawa senang. "Kalau begitu,
ayo kita berangkat mencari kekasih kita
masing-masing...."
Langkah Pendekar Cambuk Naga begitu
tegap, tegar dan mengagumkan. Sebagai
seorang perempuan cantik, berambut
panjang yang sebagian digelung dengan
ikat kain emas, dengan baju model jubah
berwarna biru muda dari kain halus, ia
benar-benar menampakkan sosok
kemolekannya. Badannya yang padat,
berisi dengan buah dada yang menonjol
menggiurkan setiap lelaki, ia
menampakkan betul sosok pendekar putri
yang tangguh. Pedang Jalak Pati terselip
di pinggang berangkin hitam bludru, dan
cambuk bergagang hitam nangkring di
pundak, sungguh merupakan pemandangan
yang cukup mengagumkan bagi seorang
putri pendekar.
Sebenarnya kecantikan Sekar Pamikat
mempunyai nilai yang sama dengan Andini,
putri Panglima Sebrang itu. Hanya saja
Andini lebih kelihatan lembut sebagai
seorang putri cantik. Baju longgar
berwarna merah muda dengan celana
potongan pangsi berenda emas di
tepiannya, memang menampakkan dia
sebagai putri bangsawan, setidaknya
sebagai seorang putri ningrat. Kesan
keperkasaannya tidak nampak sama sekali,
sebab ia sama dengan Ludiro, tanpa
membawa senjata yang bisa terlihat mata
mari usia. Andini polos, tanpa pedang
maupun barang apapun. Tapi Sekar Pamikat
yakin, bahwa Andini mempunyai ilmu silat
yang cukup tinggi.
Ludiro, sebagai pengawal setia
Sekar Pamikat sejak dari kepatihan Anjar
Puspa, selalu berjalan di belakang
mereka. Kini rasanya ia mempunyai dua
orang yang harus dikawal. Ia tetap
mengenakan baju buntung dan celana
sebatas tulang keringnya. Memang tak
terlihat senjata pada dirinya, namun di
balik baju buntungnya yang tebal, di
sela-sela sabuk kulitnya yang lebar dan
tebal itu, terselip beratus-ratus pisau
kecil yang menjadi andalannya bila
bertempur. Dengan tubuh pendek dan kulit
hitam kekar, ia melangkah penuh waspada.
"Putri...!" tiba-tiba ia memanggil
Sekar Pamikat. Kedua perempuan sama
cantiknya itu berhenti, berpaling kepada
Ludiro.
"Saya mendengar suara orang
mengaduh," katanya.
Sejenak, Sekar Pamikat
menggelengkan kepala, mendengarkan
suara yang dimaksud Ludiro. Lalu ia
berkata:
"Ya. Aku juga mendengarnya. Rupanya
kita tidak jauh dari telaga berair- keruh
itu. Dan suara itu... jelas suara Gopo
yang masih kesakitan karena cambukan
pada kakinya"
Tanpa bicara apapun. lagi, Sekar
Pamikat merubah arah. Ia membelok,
menuju jalan ke telaga keruh. Kini Ludiro
berjalan persis di samping Andini.
Sesekali Ludiro melirik rambut Andini
yang panjang sebatas pinggang, namun
bagian kepalanya ditekuk ke atas, dan
diberi jepit dari logam kuningan. Emas.
Ya, memang indah, dan sangat menarik
kecantikan Andini itu. Tapi Ludiro
segera membuang khayalannya untuk yang
kedua kali. Kalau saja ia tumbuh sebagai
ksatria gagah, seperti Lanangseta, ia
akan berani melamar Andini. Sayang,
kondisinya tidak seperti khayalannya,
sebab itu ia membuang jauh-jauh khayalan
itu. Ia hanya berkata kepada Andini,
"Sudah berapa lama kekasihmu diculik?"
"Lebih dari setengah purnama...."
Diam-diam Ludiro berpikir,
"Setengah purnama? Apa maksudnya? Satu
purnama kalau tidak salah... 30 hari.
Jadi setengah purnama... 15 hari. Ooh...
sudah lima belas hari?"
"Gantengkah dia?" bisik Ludiro.
"Tentu lebih ganteng darimu," jawab
Andini.
"Seorang pangerankah dia?"
"Hanya seorang pendekar gagah
perkasa. Bertubuh tinggi, berotot tegap,
berwajah bersih, halus, hidungnya bangir
dan bibirnya bersih, tidak sehitam
bibirmu." Ludiro hanya tersenyum kecut.
Lalu Andini melanjutkan kata-katanya,
sambil berjalan di belakang Sekar Pa-
mikat dalam jarak dekat. Dan pembicaraan
itu pun didengar pula oleh Sekar Pamikat,
sehingga sesekali ia tersenyum diam-diam
jika mendengar Ludiro diejek oleh
kata-kata Andini.
"Kekasihku itu, mungkin orang
paling tampan di seluruh pelosok bumi."
"Kenapa kau bisa bilang begitu?"
"Karena aku belum pernah melihat
lelaki lain yang lebih tampan dari dia.
Dia sangat pandai memainkan jurus
pedangnya. Ia selalu mengenakan ikat
kepala dari kulit macan tutul untuk
mengikat rambutnya yang panjang, lembut
bagai benang-benang sutra Cina. Ia
selalu menyandang sebilah pedang
dan...."
Sekar Pamikat berhenti melangkah.
Ia mulai ada keganjilan yang
mencurigakan dari pembicaraan Andini. Ia
bergumam dalam hati: "Ikat kepala kulit
macan tutul...? Pedang di
punggungnya...? Kok seperti...
seperti...?"
"Ada apa berhenti?" tegur Andini.
Sekar Pamikat menggeragap. "Ah,
anu... tidak."
"Nah..." Andini menggoda dalam
senyum ceria. "Kau pasti terkesima
dengan kekasihku, bukan? Kau pasti dapat
menghayalkannya betapa gantengnya dia,
bukan?"
Andini terus menggoda dengan
kelincahan dan kemanjaannya. Sementara
itu Sekar Pamikat semakin grogi, dan
Ludiro sendiri sempat terbengong,
bertanya-tanya dalam hati tentang siapa
sebenarnya kekasih Andini itu?
"Apakah... apakah kekasihmu itu
berhidung bangir dan bermata tajam?"
tanya Sekar Pamikat
"Ya. Ya, betul sekali khayalanmu
itu. Dia bermata tajam tapi meneduhkan.
Sungguh mata itu begitu teduh bila
menatapku dan aku sangat damai jika
bersama tatapannya."
"Hemm... siapa..." Sekar Pamikat
ragu. Ludiro segera tanggap dengan
maksud putri asuhannya itu. Ia yang
bertanya kepada Andini:
"Siapa namanya? Boleh kami
mengetahuinya?"
Andini berkerut dahi. Heran.
"Kalian semakin curiga agaknya. Ada
apa?" "Kami hanya ingin... hanya ingin
tahu namanya saja..." kata Putri Ayu
Sekar Pamikat. Ludiro menambahkan untuk
menghilang kan kecurigaan Andini, "Ya.
Kami ingin tahu namanya, sebab...
ciri-ciri pemuda seperti yang kau
sebutkan itu, sepertinya pernah kami
kenal dan pernah menolong kami. Jika
benar dia adalah orang yang kami maksud,
berarti kami ada kesempatan untuk
membalas budi baiknya. Kami berhutang
budi kepada orang yang kau sebutkan
ciri-cirinya."
Andini bahkan berhenti melangkah
dan diam beberapa saat. Ia terbayang
wajah kekasihnya yang menyekap kerinduan
di hati. Ia terbayang saat berpelukan di
sisi taman dalam keremangan cahaya
purnama. Lalu, Ludiro membuyarkan
lamunan itu dan bertanya lagi,
"Siapa namanya?"
"Apakah ia berjuluk seorang
pendekar juga?" pancing Sekar Pamikat
yang mulai berdebar-debar sejak tadi.
”Ya. Dia punya julukan pendekar
karena kehebatannya bermain pedang."
"Pendekar siapa?" Ludiro ikut
penasaran.
Andini menatap Ludiro dan Sekar
Pamikat berganti-gantian. Sepertinya ia
menyimpan keraguan dan keheranan
terhadap pertanyaan itu. Tapi akhirnya
ia menjawab juga dengan suara lembutnya:
"Ia berjuluk Pendekar Maha
Pedang...."
Secara bersamaan Sekar Pamikat dan
Ludiro menghempaskan nafas. Dalam hati
Sekar Pamikat berbisik, "Bukan...! Bukan
dia!"
Tetapi Ludiro masih mendesak
pertanyaan ketika mereka melangkah lagi,
"Nama aslinya siapa?"
Sekar Pamikat tertarik menguping
lagi. Andini menjawab dengan polos:
"Ekayana... Ia anak seorang resi di
sebuah pegunungan."
Sepi. Mereka melangkah menuju
telaga. Kecamuk di dalam benak mereka
tertunda sebentar karena suara orang
merintih kesakitan masih terdengar,
bahkan kian dekat dan semakin jelas.
Kemudian ketika mereka sampai di balik
semak belukar, terlihatlah sebuah telaga
berair keruh. Dan di salah satu
tepiannya, tergeletak seorang lelaki
bertubuh besar, kekar dan brewokan.
Andini sempat terperanjat mehhat Gopo.
Ia berseru,
"Itu raksasa...!"
"Bukan," jawab Ludiro. "Dia manusia
biasa yang punya kelebihan bertubuh
besar. Itu saja!"
Sekar Pamikat mendekati Gopo lebih
dulu, setelah itu baru Andini dan Ludiro.
Gopo merintih, sampai mengeluarkan air
mata. Ia menahan-nahan kakinya yang sama
sekali tak dapat digerakkan karena
sakitnya. Dan begitu melihat kehadiran
Sekar Pamikat, Gopo segera meratap:
"Tolong...! Tolonglah kakiku, aku
sudah tak tahan lagi... oh, kasihanilah
aku. Aku tidak punya saudara dan
keluargaku habis terbantai. Aku
sendirian, hanya berdua dengan kakiku
ini. Haruskah aku kehilangan kakiku
ini....?"
Kata Sekar Pamikat, "Baik Tapi
ingat, jangan sekali-kali berlagak
semasa menjadi penguasa! Tidak semua
orang bisa kau rendahkan lewat
anggapanmu. Mengerti....?"
"Ya, ya... Mengerti... Aduuuh..."
Sekar Pamikat mengambil cambuknya.
Gopo terbelalak kaget ketika diketahui
ia akan dicambuk lagi. "Wahduh...
kira-kira sajalah... Masa kaki sudah
hancur mau kau cambuk lagi?! Sadis amat
kau.,.! Kejam...!" Gopo menangis
ketakutan.
Tapi Sekar Pamikat tidak peduli. Ia
tak tahu bahwa Gopo sangat ketakutan jika
melihat cambuk sejak saat itu. Trauma.
Dan ketika Sekar Pamikat melecutkan
cambuknya dua kali dalam hentakan
terhenti, Gopo menjerit. Sangat
ketakutan. Kakinya mengejang-ngejang
sambil kelojotan.
Gopo tak tahu, begitulah cara Sekar
Pamikat menyembuhkan kaki yang tercambuk
oleh cambuknya. Hanya dengan cambuk
itulah kaki tersebut dapat kembali
normal. Sebenarnya tidak sakit.
Berbunyi: "tarr...!" saja tidak. Tapi
karena Gopo sudah terlanjur trauma
dengan cambuk, maka sekalipun hanya
tersentuh cambuk ia menjadi ketakutan
dan menjerit-jerit.
Tetapi tiba-tiba ia berhenti
menangis meraung-raung. Ia terbengong
sambil masih mewek tanpa suara. Ia
menggerak-gerakkan kakinya yang semula
sangat sakit dan sukar digerakkan.
Ternyata rasa sakit itu. hilang
seketika. Kaki itu dapat
digerak-gerakkan kembali dengan normal,
sepertinya tidak pernah terjadi suatu
kecelakaan yang meremukkan tulang-tu
langnya. "Aneh. Aneh sekali," pikir
Gopo. Lalu ia mulai tersenyum. Ia mencoba
berdiri, oh... bisa. Lancar. Biasa-biasa
saja.
"Kakiku...? Kakiku sembuh...?
Oii... bisa loncat malah..." Gopo
kegirangan.
Sementara itu, Andini berbisik
kepada Ludiro, "Cukup aneh cara
penyembuhannya. Tapi kuakui memang hebat
si Cambuk Naga itu. Ia dapat menyalurkan
tenaga murni lewat lecutan cambuknya dan
membuat penyembuhan yang sangat ajaib."
Ludiro berbisik, "Setahuku dia
punya ilmu cukup tinggi. Entah kalau
menurut setahumu...."
Sekar Pamikat tidak banyak bicara,
ia berjalan meninggalkan Gopo seraya
berkata kepada Ludiro, "Paman.... kita
harus segera ke Sendang Bangkai
sebelum...."
"Tunggu, tunggu...!" Gopo memotong
dengan cepat. "Kalian hendak pergi ke
mana tadi? Ke Sendang Bangkai?! Oh,
apakah... apakah kalian orang-orang
Sendang Bangkai?"
Ludiro yang menjawab, "Kami punya
urusan dengan orang-orang Sendang
Bangkai. Mungkin juga urusan berdarah!"
"O, oh... kalian mau bikin
perhitungan dengan orang-orang Sendang
Bangkai?! Wah, kebetulan! Jangan
tinggalkan aku. Jangan tinggalkan Gopo!
Tolonglah, ajak serta aku!"
"Apa urusanmu?" tanya Sekar
Pamikat.
"Keluargaku habis terbantai oleh
mereka pada saat aku tidak ada di rumah.
Mereka yang membuat aku sebatang kara!
Aku harus menuntut balas kepada
mereka....!"
Setelah dipertimbangkan sejenak,
mereka setuju mengajak serta Gopo. Tak
ada masalah. yang ada hanya kegelisahan
di hati Sekar Pamikat: mengapa ciri-ciri
kekasih Andini sama persis dengan
kekasihnya yang juga diculik Peri
Sendang Bangkai?
* * *
EMPAT
SENJA sudah berangsur pudar. Kali
ini, sesosok bayangan mulai menembus
malam yang muda. Kemudian disusul tiga
sosok bayangan lainnya mengikuti dari
belakang. Empat sosok itu masih berusaha
merayapi hutan gunung Carakan. Mereka
adalah Putri Ayu Sekar Pamikat dengan
ketiga sahabatnya. Sudah tiga malam
mereka merambah bumi, menuju Sendang
Bangkai, dan pada malam ini Sekar Pamikat
memerintahkan orang-orangnya untuk
berhenti. Berhenti untuk ketiga kalinya.
Sebetulnya Sekar Pamikat masih ingin
melanjutkan perjalanan malam. Ia tak
sabar lagi, ingin segera sampai ke
Sendang Bangkai. Namun, Andini yang
manja berulangkali merengek.
"Kakiku capek... Pegal semua.
Uhh...!" Mulanya Sekar Pamikat tidak
menghiraukan rengekan gadis manja itu,
tapi setelah Andini berhenti dan
berkata:
"Jalanlah terus. Aku mau istirahat
di sini saja."
"Kau akan tertinggal, Andini," kata
Ludiro. "Biar. Aku capek sekali. Aku tak
mau memaksakan diri untuk menuruti
penderitaan."
"Termasuk tak mau merebut kekasihmu
lagi?" ujar Ludiro.
"Uuh...!" Andini hanya mendesah
kesal. Sekar Pamikat mengulum senyum.
Akhirnya ia sendiri berkata:
"Baiklah, kita beristirahat dulu di
sini." Lalu ia memerintahkan Gopo,
"Pasang kayu bakar untuk penghangat,
Gopo!"
"Baik," jawab Gopo yang tak
kelihatan capek, hanya kelihatan kesal
hatinya terhadap Andini. Ia mendesis di
depan Andini, "Uhh... bocah kolokan!"
Andini sendiri tak peduli atas celaan
Gopo. Ia hanya melirik sebentar dengan
sewot, lalu buang muka, menampakkan
kemanjaannya.
Nyala api unggun berbinar-binar.
Menghangatkan tubuh, menghalau udara
dingin pegunungan yang mencekam. Ludiro
berada dalam satu kelompok dengan Gopo
dan Andini, sementara Dewi Cambuk Naga
memisahkan diri. Memandang keremangan
petang sambil menyelidik suasana
sekitar. Lalu ia sengaja duduk bersandar
pada batang kayu yang tumbang. Ia
memandang Andini yang tengah
tertawa-tawa bersama Gopo dan Ludiro
sambil menghabiskan panggang ayam hutan.
"Cantik. Memang cantik dia," pikir
Sekar Pamikat menatap Andini dari
kejauhan. Benak dan hati saling
berkecamuk Kata-kata Andini terngiang
dalam telinganya saat gadis bertahi
lalat di ujung bibir bawahnya itu
menceritakan ciri-ciri kekasihnya.
Sekar Pamikat sempat menyimpan
kegelisahan beberapa hari ini. Hatinya
selalu merasa was-was, dan
bertanya-tanya:
"Mungkinkah hanya sebuah persamaan
saja? Rambut panjang yang halus bagai
serat sutra, itu adalah rambut
Lanangseta. Pedang dipunggung dengan
ikat kepala dari kulit macan tutul, itu
milik Lanangseta. Tinggi, tegap dan
wajah halus bersih, itu juga milik
Lanangseta. Apakah dia juga yang menjadi
kekasih Andini? Ah, tapi mengapa namanya
lain? Namanya Ekayana, gelarnya Pendekar
Maha Pedang. Bukan bernama Lanangseta
dengan gelar Pendekar Pusar Bumi." Sekar
Pamikat mendesah. Lalu hatinya bergumam
lagi, "Ah, apa sih artinya nama bagi
seorang lelaki? Bisa saja ia memalsu
seribu nama dalam sehari kalau toh itu
memungkinkan ia dapat menggaet sejuta
perempuan. Ya, apa jadinya jika ternyata
kekasih Andini adalah Lanangseta juga?
Apa yang harus kulakukan untuk mereka?
Membunuh Andini, atau membunuh
Lanangseta? Atau... membunuh diri
sendiri? Oh, tidak! Itu tidak mungkin.
Juga tidak mungkin sama Lanangseta
diculik pada malam pengantin, sedangkan
Ekayana diculik lima belas hari lebih
dulu. Tak mungkin sama. Tapi... tapi bisa
saja Lanangseta lolos dari penculik dan
lari ke Kadipaten Nilakencana, lalu
bertemu denganku dan... dan... ah!"
Sekar Pamikat bagai mengibaskan
lamunannya sendiri. Rasa perih di hati
akibat lamunannya terasa menjalar di
seluruh daging, bahkan sempat membuat
tulangnya ngilu. Ia tak mau membayangkan
hal itu. Ia takut menghadapinya. Sebab ia
tak akan mampu menerima kenyataan, bahwa
kekasihnya mendua hati. Ia sungguh tak
mampu, dan tak mau.
Lanangseta memang tampan. Gagah.
Bukan hal yang mustahil jika banyak gadis
mengincarnya. Bukan hal yang aneh jika
banyak perempuan yang ingin memilikinya.
Lanangseta memang menggairahkan.
Senyumnya yang lembut mempunyai daya
tarik tersendiri, bahkan mampu membuat
perempuan tergugah birahinya jika
melihatnya terlalu detil. Tetapi
bagaimana dengan kekasih Andini? Apakah
dia juga demikian? Apakah dia juga
diculik oleh orang yang ingin
memihkinya? Jangan-jangan lain korban
lain penculiknya.
Tiba-tiba sebatang pisau bergagang
kayu cendana melayang. Melesat tepat
dari arah rimbunan pohon, dan tertuju
pada dada Sekar Pamikat. Reflek Sekar
Pamikat cukup kuat. Ia melentik bagai
belalang ke samping kanan dengan cepat
mencabut pedang Jalak Patinya.
"Sreet....!"
Pisau bergagang kayu cendana
menancap di batang pohon, tempat Sekar
Pamikat tadi berada. Mata Sekar Pamikat
membelalak dan bergerak liar mencari
menyerang gelapnya.
"Ada apa...?!" Ludiro bergegas
bangkit mengetahui Sekar Pamikat
mencabut pedang. Ia segera mendekati
putri asuhannya. Ia pun bersiap,
memasang kewaspadaan ketika Sekar Pa-
mikat mengatakan:
"Seseorang telah menyerangku,"
seraya Sekar Pamikat menunjukkan pisau
yang menancap di batang pohon.
Ludiro bergegas masuk ke rimbunan
belukar. Andini dan Gopo ikut tegang.
Mata mereka membelalak, mengawasi
sekeliling. Mereka berpencar dan saling
berhati-hati.
Lain sekali lagi sebuah pisau
bergagang kayu cendana melesat dari
kegelapan.
"Awas...!" seru Sekar Pamikat. Kali
ini pisau itu meluncur ke arah Gopo.
Tubuh besar yang mirip raksasa itu memang
sedikit lam ban bergerak. Namun untung
hanya merobek baju hitamnya dan pisau itu
pun tembus ke semak-semak
"Gila!" bentak Gopo dengan keras.
Daun-daun bergoyang. Mereka semakin
tegang kecuali Gopo. Mereka mengira di
balik getaran daun-daun itu akan muncul
sesosok tubuh manusia lain, namun
ternyata tidak. Daun itu bergoyang
karena tergetar oleh suara Gopo yang
keras dan mempunyai suatu hembusan
tersendiri.
"Kita pindah saja, yuk...?" rengek
Andini seperti anak kecil. Gopo sangat
dongkol mendengar rengekan itu. "Di sini
tidak aman. Ayolah, kita pindah ke tempat
yang aman!"
Dengan geram Gopo berkata, "Tutup
mulutmu, Setan cengeng! Pasang
kewaspadaan supaya matamu tidak ditancap
pisau sialan itu!"
Andini merajuk, sewot. "Kamu kasar
sekali, Gopo..."
"Persetan...!"hardik Gopo.
Bertepatan dengan itu, sebatang
tombak melesat dari arah kegelapan lain.
Melesat cepat, nyaris tak terlihat mata.
Tertuju kepada Andini yang tengah
cemberut kepada Gopo. Andini di luar
dugaan duduk dalam keadaan cemberut.
Pada saat ia duduk itulah tombak melayang
ke atas kepalanya, dan menancap batang
pohon lainnya.
"Oh...! Ada tombak!"
Jengkel sekali hati Gopo melihat
kemanjaan Andini, bukannya memandang ke
arah sekeliling, berjaga-jaga, tapi
malahan mendekati tombak itu dan
mengamatinya beberapa saat. Sekar
Pamikat sempat berseru.
"Andini... berlindunglah...!"
Tapi Andini bagai tidak mau
mendengar anjuran Sekar Pamikat. Ludiro
ingin menarik Andini dari tempatnya
berdiri, tapi tiba-tiba sebuah pisau
melesat lagi menghampiri Ludiro.
Hembusan angin terasa bagai meniup
tengkuk kepala Ludiro. Secepat kilat
Ludiro loncat ke depan lalu bersalto
miring, serong ke kanan. Ia berdiri tegap
kembali persis di tepian bara api yang
masih menyala-nyala itu. Sedangkan pisau
itu melesat terus hampir mengenai Sekar
Pamikat. Untung dengan cekatan Sekar
Pamikat mengibaskan pedangnya.
"Trang...!" Pisau itu dibuang dengan
tangkisan pedang yang cukup cepat.
Gopo menarik tangan Andini yang
masih mengamati tombak yang menancap di
pohon, seakan ia masih heran dengan
tombak itu. Gopo berkata kasar,
"Setan...! Kau cari mampus ya?"
"Ada tombak...!" Andini menuding.
"Iya. Aku tahu itu tombak. Aku tidak
bilang kalau itu pisang raja! Tapi ini
berbahaya. Jangan berdiri saja di sini,
berlindunglah! Tolol! Bodoh! Goblok!
Bodoh..!"
Pada saat itu desing besi meluncur
cepat ke arah mereka. Ludiro sempat
berteriak, "Awass...!" Gopo segera
berguling ke tanah.
Sebatang tombak itu melesat ke arah
Andini. Dengan gerakan yang tak diduga,
Andini menghentakkan kaki sehingga
meloncat ke atas. Tombak menancap pada
pohon, tepat di bawah kaki Andini. Dan
dengan gayanya yang menjengkelkan hati
Gopo, kaki Andini menapak pada batang
tombak itu. Ia berdiri di atas batang
tombak dan berseru kepada Gopo.
"Gopo...! Tolong, turunkan aku...!"
"Brengsek!" teriak Gopo, dan Andini
terjatuh akibat getaran suara Gopo. Ia
meringis, pantatnya sakit.
Sekar Pamikat dan Ludiro tahu, itu
hanya permainan Andini saja. Tetapi Gopo
tidak mengetahui, bahwa Andini
sebenarnya bukan sekedar gadis manja
tanpa isi. Buktinya, jika Andini tanpa
isi, tak mungkin ia dapat menghindari
lemparan tombak yang begitu cepat, dan
bahkan bisa berdiri di atas batang tombak
yang menancap di pohon itu. Agaknya Gopo
belum menyadari hal itu.
Gopo hanya segera berseru kepada
Ludiro, "Kita telah dikepung!"
Sekar Pamikat mengangguk sambil
berjaga-jaga. Terangnya api unggun
membuat silau pemandangan. Mereka tak
dapat menembus pandaiigan di balik semak
belukar. Namun insting mereka
mengatakan, bahwa ada banyak pasang mata
yang sedang mengawasi mereka.
"Tutup telinga kalian...!" seru
Gopo.
"Apa? Tutup telinga?" Andini
bernada membantah. "Memangnya gunung ini
akan meletus?"
"Tutup telinga, tolol?"
"Tuh... kamu kasar lagi sih..."
Andini bersungut-sungut.
Gemas sekali hati Gopo. Ia ingin
menggamparnya. Tapi tiba-tiba, dari
rimbunan semak berbagai arah, muncul
tubuh-tubuh kekar dan kasar. Wajah-wajah
bengis menampakkan diri, mengurung
mereka. Sekar Pamikat merapat pada
Ludiro, demikian juga Gopo dan Andini.
Gadis manja ini sempat berkata polos,
"Iih... banyak orang di sini...."
"Diam!" geram Gopo.
Kelompok tak dikenal itu semakin
banyak Jumlahnya mencapai puluhan orang.
Mereka bergerak membuat suatu lingkaran
mengepung Sekar Pamikat dan kawan-kawan.
Lingkaran semakin dipersempit dan kian
rapat. Rasa-rasanya tak ada celah untuk
dapat lolos. Jangankan manusia, lobang
jarum pun susah lolos dari lingkaran itu.
Salah seorang dari kelompok bengis
itu maju, agaknya dialah pimpinan
mereka. Tanpa baju, berikat kepala kulit
ular, bercelana dari kain tebal tenunan,
mengenakan kalung berlontin tengkorak
bayi. Rambutnya panjang tak teratur. Ia
memegang tongkat setinggi tubuhnya. Di
ujung tongkatnya itu berhias tengkorak
manusia dewasa.
Laki-laki yang sedikit gemuk dan
buncit perutnya itu terkekeh-kekeh
memandang Andini. "Nona manis...."
ucapnya menggoda. Tapi Andini menjawab
polos:
"Apa?" Gopo mencolek agar Andini
diam. Tapi malahan sebaliknya. Andini
bertanya, "Kalian siapa, kok mengepung
kami?"
"Aku Sumo Barong, Nona cantik...."
"Barong apa?" tanya Andini. Lalu
lelaki itu tertawa terbahak- bahak
kepada teman-temannya.
"Gadis ini cantik, lucu, tapi
menggairahkan."
Andini akan bicara lagi, tapi
tangannya dicengkeram oleh Gopo dengan
gemas, sehingga ia terpekik tertahan.
Sumo Barong berkata kepada Andini, "Aku
pimpinan begal Gunung Carakan! Kalian
telah memasuki wilayah kami, berarti
kalian siap kami rampok."
Andini masih menyahut dengan gaya
manjanya, "Kami tidak punya barang
berharga apa-apa? Kamu mau merampok
apa?"
Sumo Barong terkekeh. "Memang kamu
tidak membawa barang yang
berharga,.namun tubuhmu... dan tubuh
teman perempuanmu yang satu itu..." Sumo
Barong ketawa sejenak. "Itu sudah bisa
dijadikan barang rampokan kami, tahu?"
"Tubuhku sudah ada yang punya. Aku
punya kekasih. Aku tak mau tubuhku kau
sentuh. Aku jijik sama kamu, Barong!"
"Jijik...?. Jijik..? Ha, ha,
haa..." teman-teman Sumo Barong ikut
tertawa. "Jijik itu kelihatannya, Nona
manis. Tapi jangan hanya dilihat,
rasakan dulu, baru kau akan ketagihan."
Kemudian mereka tertawa lagi.
"Ah, kamu bohong!" ujar Andini
polos. Sumo Barong nekad mendekat.
Ludiro ingin bertindak, tapi tangan
Sekar Pamikat memberi isyarat agar
Ludiro diam dulu.
"Jangan sentuh tubuhku..." ujar
Andini. Tapi Sumo Barong nekad menyentuh
pipi Andini. Sayang, belum sampai tangan
Sumo Barong menempel di pipi, rambut
Andini yang panjang dan saat itu
terkumpul ke depan segera disabetkan ke
tangan Sumo Barong seraya Andini ber-
kata,
"Nakal...!"
Di luar dugaan yang lainnya, Sumo
Barong menjerit sekuat tenaga. Tangannya
yang terkena sabetan rambut Andini itu
menjadi biru, kaku dan membengkak dalam
tempo singkat. Sumo Barong
jingkrak-jingkrak karena kesakitan.
Teman-temannya bersiaga, sementara itu
Gopo terbengong melihat kejadian itu.
Hatinya sedikit gemetar melihat
kenyataan, bahwa rambut panjang Andini
ternyata mempunyai kekuatan yang cukup
dahsyat. Hanya disabetkan dengan ringan,
tangan Sumo Barong bisa menjadi separah
itu, seakan habis ditimpa pohon besar.
Andini sempat tersenyum kepada Gopo.
Gopo melengos, merasa terejek. Sedangkan
Sekar Pamikat dan Ludiro tetap
berjaga-jaga menunggu datangnya
serangan.
"Kamu nakal, Barong! Itulah
akibatnya kalau anak nakal!" kata Andini
polos sekali. Gopo hanya mendengus
kesal.
"Jangan diam saja!" bentak Barong
kepada anak buahnya. "Serang mereka,
bunuh! Tapi perempuannya jangan!"
Sebelum anak buang Sumo Barong
bergerak, Gopo sempat berseru kepada
kawan-kawannya.
"Tutup telinga kalian!"
Tapi Sekar Pamikat dan yang lainnya
tidak menghiraukan kata-kata Gopo.
Mungkin karena anak buah Sumo Barong
telah lebih dulu menyerang, sehingga
mereka sibuk mempertahankan diri. Ludiro
meloncat-loncat menghindari kibasan
golok dan tombak. Demikian juga Sekar
Pamikat, sibuk menangkis serangan lawan
dengan pedang Jalak Patinya. Denting
bunyi senjata beradu terdengar tak
begitu seru, karena hanya Sekar Pamikat
saja yang menggunakan senjata untuk
menangkis serangan musuh. Sedangkan yang
lainnya, meloncat, menghindar, dan
begitu seterusnya. Sementara itu, Andini
kelihatan tak begitu serius menghadapi
mereka. Ia berlari ke sana ke mari,
menghindari tangkapan lawannya. Gopo
sibuk mengadu lengannya dengan
tombak-tombak besi, sehingga lama-lama
tangkisan lengannya terasa sakit juga.
"Ini akan melelahkan kita, Putri
Sekar..." kata Gopo dalam kesempatan
berdekatan dengan Sekar Pamikat. "Tak
mungkin kita harus membunuh sekian
banyak."
"Heaaat...!" Sekar Pamikat
menangkis kilasan pedang yang nyaris
membabat kepala Gopo. Ia berkata kepada
Gopo sambil menghadapi serangan lawan,
"Apa gagasanmu, Gopo...?"
"Kabur! Kita harus lari menghindari
mereka!" bisik Gopo.
"Pertahanan mereka cukup rapat...!"
"Tutup semua telinga, kataku! Ikuti
sajalah...!" Gopo merunduk, lalu
melancarkan tendangan ke kaki lawan.
Goloknya yang terselip di pinggang
sengaja dibiarkan mendekam di sarungnya.
Ia belum perlu menggunakan. Sia-sia
saja, pikirnya. Musuh begitu banyak dan
akan melelehkan.
"Aku akan membuat jalan untuk lari,
tutup semua telinga!" sekali lagi Gopo
bicara pada saat ia berdampingan dengan
Ludiro dan Sekar Pamikat. Saat itu,
Andini berlari lincah bagai kelinci yang
sukar ditangkap.
"Sekarang...!" kata Gopo. Dengan
cepat Ludiro dan Sekar Pamikat menutup
telinga mereka menggunakan tangan.
Mereka tak tahu apa yang akan dilakukan
Gopo, tapi yang jelas, pada saat itu Gopo
berteriak keras sekali:
"Hooooaaaaaaa...!!!"
Teriakan itu cukup panjang dan
keras. Da-undaun bergoyang kencang bagai
ada hembusan angin puyuh. Sumo Barong dan
kawanannya menjadi kejang, mereka
memekik kesakitan. Mereka mencoba
menutup telinga, tapi tak berhasil. Dari
telinga mereka masing-masing keluar
darah segar. Lalu beberapa orang ada yang
sudah menggelepar, berjatuhan. Tombak
dan pedang banyak yang patah. Dahan pohon
pun retak, bahkan ada yang sempat
menjatuhi kepala anak buah Sumo Barong.
Bumi tempat mereka berpijak menjadi
goncang bagai ada gempa mendadak.
Sementara itu, nyala api kian mengecil.
Dan di suatu tempat, Andini yang tak
sempat menutup telinga hanya diam.
Berhenti bergerak, berdiri menunduk,
bagai sedang memusatkan konsentrasi
untuk menanggulangi suara Gopo yang
punya kekuatan dahsyat itu.
Sumo Barong roboh menggelepar dan
men jerit-jerit. Gopo memperpanjang
suaranya. Anak buah Sumo Barong semakin
berjatuhan. Pada saat itu, Gopo berseru
kepada kawan-kawannya.
"Lekas, lari...!"
Memang, ada jalan untuk lari.
Barisan anak buah Sumo Barong tidak
serapat tadi. Mereka berjatuhan sambil
menggelepar menahan sakit pada telinga
mereka. Bahkan ada yang sekarat
sebentar, lalu mati. Saat itulah Sekar
Pamikat melesat masuk ke semak
kegelapan. Diikuti oleh Ludiro dan Gopo.
Mendadak Gopo teringat sesuatu, ia
kembali lagi dan dengan kasar menyeret
Andini untuk kabur.
"Cepat lari...! Tinggalkan tempat
ini...!"
"Aku capek. Kakiku lelah
berlari-larian...!" Andini memanjakan
diri. Gopo jengkel, namun segera
menggendong Andini dan ia pun melesat
lari menyusul Sekar Pamikat dan Ludiro.
Andini yang berada di pundak Gopo masih
rewel.
"Pelan-pelan, Gopo! Pinggangku
sakit nih...!"
Gopo tidak peduli, ia berlari dengan
langkah lebar. Hentakan kakinya
menggetarkan tiap jengkal tanah yang
diinjaknya. Dalam waktu singkat ia
berhasil menyusul Ludiro dan Sekar
Pamikat.
Malam yang gelap, hutan yang lebat,
membuat mereka saling bertabrakan.
Ludiro nyaris terinjak Gopo sewaktu ia
tersandung agar pohon. Sekar Pamikat
selalu berada di depan.
Untuk memberi tanda kawan-kawannya
ia selalu berkata, "Cepat... cepat...!
Belok ke kiri...! Terus...!" Sementara
itu Andini seperti naik kuda binal yang
susah diatur. Perutnya terasa mual, dia
minta diturunkan. Tapi ketika diturunkan
oleh Gopo, ia malah minta beristirahat.
"Setan bawel...!" Geram Gopo yang
kemudian tanpa peduli omelan Andini ia
mengangkat tubuh ramping itu. Ia berlari
menyusul Sekar Pamikat. Andini merasa
dirontokkan isi perutnya oleh langkah-
langkah Gopo.
"Sekar, berhenti dulu..." Kata
Gopo, dan Ludiro pun berhenti lebih dulu,
lalu Sekar mengikuti.
"Ada apa?"
"Kalau tak salah, di samping kiri
kita ini ada goa. Aku mendengar gema
langkah kita..." ujar Gopo seraya ia
mendekat arah yang dimaksud.
Gelap sekali. Mereka tak dapat
melihat ada lobang dalam jarak tertentu.
Tetapi terdengar suara Gopo dari tempat
yang gelap berkata, "Benar, ini ada
sebuah Goa."
Mereka mendekat. Andini minta
dituntun Ludiro.
"Sayang mulut goa ini terlalu
kecil," kata Sekar Pamikat setelah
merabahya beberapa saat. "Ada batu
penghalang yang. menutup goa ini....
Mendadak mereka mendengar derap
kaki para pengejar. Obor-obor bergerak
di kejauhan mendekati arah mereka.
Rupanya anak buah Sumo Barong yang belum
sempat mati, menjadi penasaran dan
mengadakan pengejaran.
"Mereka mengejar kita, Putri," kata
Ludiro tegang.
"Ada obor... Aku akan pinjam obor
mereka," kata Andini.
Dengan kasar Gopo meraih baju Andini
dan menariknya.
"Jangan bodoh kelewat batas,
Andini! Kembali!"
"Ihh...! Robek bajuku, tolol!"
teriak Andini. Ada suara di kejauhan,
"Itu dia...! Suaranya di sana!"
"Dengar, mereka mendengar suaramu,"
bentak Ludiro kepada Andini. Andini
hendak membantah, tapi Sekar Pamikat
segera menutup mulut Andini. Sekar
berkata kepada Gopo dengan suara pelan:
"Geser batu penutupnya. Kita masuk
goa, dan tutup kembali. Kau sanggup,
Gopo?"
"Tentu, Putri Sekar...!" jawab
Gopo. Kemudian ia segera mengerahkan
tenaganya, mendorong batu itu. Dan
ternyata batu itu pun bergerak lamban.
Mulut Goa terbuka sedikit.
"Cukup untuk masuk satu persatu,"
ujar Sekar Pamikat. Kemudian Sekar masuk
lebih dulu. Disusul Ludiro, dan Andini.
Tapi Andini keluar lagi.
"Ada apa?" bentak Gopo.
"Seram. Dalamnya juga gelap..."
"Masuk!" seraya Gopo mendorong
tubuh Andini ke dalam. Ludiro menarik
Andini. Sementara itu, Gopo masih
tertinggal di luar, tubuhnya sukar masuk
karena besarnya. Ia mendorong batu
penutup sekali lagi, saat itu anak buah
Sumo Barong semakin dekat.
* * *
LIMA
KETEGANGAN mulai mereda sejak Gopo
menutup kembali pintu goa tersebut. Batu
besar itu telah rapat dengan pintu goa,
sehingga setidaknya mereka merasa aman
untuk sementara waktu.
"Di sini juga gelap," suara Andini
yang manja bergenia. Tapi tak satu pun
dari mereka berempat yang menanggapi
kata-kata Andini.
"Paman, jangan jauh-jauh dari
kita," bisik Sekar Pamikat yang juga
terdengar menggema. Mereka saling tak
menatap muka. Gelap lebih dari pekat.
Gopo sendiri tak tahu kalau Andini sudah
bergeser menjadi di depannya, sehingga
ketika ia hendak melangkah, Andini
menjerit:
"Aaoww...!"
"Sssttt...!" Ludiro mendesis.
"Gopo menginjak kakiku!"
"Brengsek," gerutu Gopo. "Hanya
tersentuh jempol kakiku saja bilang
menginjak!"
"Tapi sakit, tolol!" geram Andini.
"Berhentilah menjadi anak ingusan,
Andini," kata Sekar Pamikat dengan
tenang. "Ada yang perlu kita kerjakan
lebih daripada sekedar cekcok dan
ribut-ribut."
Andini diam. Mungkin cemberut atau
bersungut-sungut, tak jelas. Tak ada
yang dapat saling memandang wajah. Namun
mendadak Gopo bicara dengan penuh
semangat, "Putri Sekar... aku yakin, goa
ini cukup dalam dan lebar."
"Darimana kau tahu?" gumam Ludiro.
"Gema. Gemanya dapat menjadi ukuran
lebar dan dalamnya goa ini."
Andini menyahut dengan ketus,
"Semua goa juga menggema. Kau pikir kami
ini orang bodoh."
"Kami memang bukan orang bodoh,
selain kamu!" balas Gopo dengan ketus
pula.
Lalu terdengar suara Sekar Pamikat
yang ternyata sudah berada dalam jarak
lebih jauh dari mereka. "Paman Ludiro!"
"Sekar..." Gopo yang menjawab
dengan cemas, sebab ia tahu suara Sekar
menjauh, berarti Sekar telah merayap
masuk ke daerah dalam goa.
Kemarilah kalian. Pelan-pelan,"
kata Sekar Pamikat. "Aku menemukan
seberkas sinar di sana...."
Kemudian mereka saling tergesa-gesa
menuju ke arah Sekar Pamikat. Ludiro
terjatuh, suara tubuhnya berdebam
menimbulkan gema. Sekar Pamikat bersuara
cemas, "Siapa itu yang jatuh?" Tetapi
Andini yang menyahut:
"Aku. Habis tak ada yang
menuntunku."
"Gopo, tuntun Andini," perintah
Sekar Pamikat.
Gopo menggerutu dan sengaja tak mau
menuntun Andini. "Setan bawel! Yang
jatuh Ludiro, dia yang mengaku!"
Kemudian mereka sampai di tempat
Sekar Pamikat berdiri. Agaknya mereka
berdiri di suatu tikungan jalan goa.
"Lihat," Sekar berbisik. "Di sana
ada seberkas cahaya sinar. Pasti ada
jalan ke sana."
"O, ya. Benar," kata Gopo. "Kurasa
di sana ada orang. Tapi, siapakah
sebenarnya penghuni goa ini?"
Andini menggumam pendek, kemudian
melangkah mendahului mereka. Sekar
Pamikat segera menggaet baju Andini dan
berkata, "Jangan gegabah. Matilah nanti
setelah bertemu dengan kekasihmu yang
tampan itu!"
"Aku akan mencari tempat terang. Aku
ingin melihat betisku apakah lecet atau
tidak. Tadi kurasakan ada benda tajam
menggores betisku."
"Lepaskan dia, Putri Sekar," ujar
Gopo. "Biarlah kalau memang ia ingin mati
lebih dulu, silakan saja."
Ludiro bagai menggumam.
“Bertindaklah penuh perhitungan.
Siapa tahu di dalam goa ini banyak
jebakan."
"Jebakan?" Andini bernada was-was,
lalu ia melangkah mundur sampai
menyentuh tubuh Gopo. Dengan kasar Gopo
sengaja mendorong kepala Andini dengan
satu hentakan:
"Bandel!"
"Kurang ajar kau...!" Andini sewot.
Ia menampar Gopo. Tapi ia tidak tahu
kalau Gopo telah bergeser ke samping,
sehingga tamparan tangannya mengenai
wajah Ludiro.
"Plok...!"
"Aduh," pekik Ludiro. "Kok yang
ditampar aku?!"
"Oh, kau Ludiro? Maaf kukira
Gopo..." terdengar pula Gopo terkekeh
tertahan menertawakan kesalahan Andini.
Agaknya mereka tak tahu kalau Sekar
Pemikat sudah berhasil maju ke depan,
menjauhi mereka. Suaranya terdengar di
sebelah sana, "Aman. Kemarilah...!"
Setapak demi setapak mereka
melangkah. Terus menyelusup ke dalam
goa. Sekar Pamikat paling depan, sebab
dialah yang mempunyai keyakinan lebih
waspada ketimbang yang lain. Dia berani
menghadang bahaya jika datang dari
depan.
"Perutku lapar lagi," gerutu
Andini. Dan tak satu pun yang memberi
komentar atas kata-kata itu.
Semakin jauh mereka menyerusuk ke
dalam goa, semakin dekat mereka dengan
cahaya. Sejauh itu, memang tak ada
halangan apa-apa. Jebakan pun tak ada.
Qopo menyimpulkan, goa itu memang masih
perawan, belum pernah ada yang
menjamahnya. Tentu saja ia berkesimpulan
begitu, sebab ia tidak menemukan sesuatu
yang ganjil dan membahayakan. Dinding
goa yang lembab, dan lantai yang dingin,
membuat pikiran Gopo jadi berjalan serta
berkeyakinan, bahwa Goa tersebut pasti
mempunyai lobang lain di suatu tempat.
Cahaya sinar semakin dekat, sampai
akhirnya mereka berhenti dalam jarak
beberapa langkah lagi sebelum memasuki
lorong bercahaya.
"Sepi," bisik Sekar kepada Ludiro.
"Ya. Tapi siapa yang menyalakan obor
di dalam goa ini? Siapa yang ada di dalam
cahaya terang itu?"
"Setan, mungkin," bisik Andini.
"Ssstt..." Sekar Pamikat mendesis.
"Diamlah di sini dulu, biar aku yang
menyelidiki ke sana."
Sekar Pamikat melangkah dengan
hati-hati, berusaha mengurangi bunyi
langkahnya. Semakin dekat semakin jelas
apa yang bersinar di lorong itu. Ternyata
lorong tersebut dipenuhi dengan tumbuhan
lumut. Dinding lorong yang lembab penuh
dengan tanaman lumut yang mengeluarkan
cahaya. Karena waktu itu belum ada dan
belum dikenal istilah fosfor, maka me-
reka menamakan tanaman itu sebagai
‘lumut bercahaya'.
Mereka datang mendekat setelah
Sekar Pamikat memberi perintah. Mereka
memandang penuh kekaguman, Tak satupun
yang berbicara selama beberapa saat.
Mata mereka melebar, memandangi tiap
lumut bercahaya dengan kagum. Mereka
dapat mehhat kalau lorong itu cukup
panjang. Memang sedikit sempit dari
mulut goa, namun jelas mempunyai alur
yang dalam.
Andini ingin memegang lumut itu,
tapi tangan Gopo menepaknya seraya
berkata, "Jangan sembrono. Siapa tahu
tanaman ini beracun!"
"Tapi tidak perlu sekasar itu! Sakit
kan?!" Andini cemberut manja sambil
mengusap-usap tangannya.
Lorong yang terang menampakkan
dinding yang basah dan lantai yang
lembab. Sekar Pamikat melangkah setapak
demi setapak dengan hati- hati dan penuh
kewaspadaan, demikian juga Ludiro. Hanya
saja Gopo dan Andini agak kurang
berwaspada, sehingga pada suatu saat,
mereka terpeleset dan jatuh
terpelanting. Keduanya sama-sama
terpekik, dan Ludiro menggerutu tak
jelas.
"Selamat... selamat..." kata
Andini." Untung tubuhmu yang sebesar
gajah tidak menindihku."
Gopo menggeram, menahan dongkol
dikatakan sebesar gajah. Kalau tak
memandang Sekar Pamikat, mungkin gadis
itu sudah ditamparnya sejak tadi.
"Apakah kita harus melangkah
terus?" kata Ludiro entah ditujukan
kepada siapa saja Dan kali ini, Gopo yang
menyahut.
"Kurasa begitu. Aku yakin ada jalan
keluar di ujung lorong ini. Entah tembus
ke mana. Tapi pasti ada jalan menuju
luar."
"Kita kembali saja ke mulut goa yang
tadi. Keluar lewat sana," usul Andini.
"Kalau ingin terkena sengatan Sumo
Barong, silakan!" jawab Gopo dengan
ketus, dan lagi-lagi Andini cemberut
kesal. Namun mereka tetap melangkah
dengan hati-hati mengikuti tapak kaki
Sekar Pamikat. Mereka berusaha untuk
tidak menyentuh tanaman lumut bercahaya
itu. Mereka takut terkena racun yang
mungkin lebih ganas serta lebih jahat
dari racun yang pernah membusukkan
daging tubuh Ludiro itu.
Entah berapa lama mereka melangkah
menyusuri lorong berdinding lumut
terang. Tanah yang mereka pijak sudah tak
sebasah tadi. Memang masih lembab, namun
tak membuat basah pada kaki. Sementara
udara yang ada di sana adalah udara
dingin. Dingin yang mencekam tulang
belulang mereka. Andini sejak tadi
memeluk dirinya sendiri, tangannya
terlipat di depan dada. Ia sempat
berkata,
"Kalau tahu akan begini, aku pasti
membawa jubah penghangat tubuhku." Dan
kata-kata itupun tak ada yang
menyambutnya.
Agaknya perjalanan mereka sudah
cukup jauh. Mata Andini telah sayu,
terkantuk-kantuk. Tapi lorong bercahaya
itu masih panjang. Entah berapa lama lagi
mereka akan menemukan jalan keluar dari
goa tersebut.
"Kita beristirahat dulu, sambil
memikirkan jalan keluar dari goa ini,"
usul Ludiro kepada Sekar Pamikat.
Sekar Pamikat menggumam. "Jalan
keluar jelas ada di ujung lorong. Tapi
seberapa jauh ujung lorong ini, kita
tidak tahu. Dan kita sendiri telah masuk
ke dalam goa terlalu jauh dari mulutnya
yang tadi."
Sekar Pamikat berhenti, kemudian
melepas pedang dan sarungnya. Ia duduk di
tanah yang sedikit lembab. Lalu yang
lainnya mengikuti. Tanpa perduli keadaan
kotor dan dingin, mereka beristirahat
melepas lelah. Pada saat itu Andini mulai
terkantuk-kantuk. Akhirnya dengan tak
perduli apa-apa lagi, ia berbaring di
tanah dan menggunakan betis Gopo sebagai
bantalan. Ia tertidur dengan pulas.
Sementara itu, Gopo pun mencari tempat
untuk bersandar, yaitu suatu dinding
lorong yang tidak ditumbuhi lumut.
"Putri Ayu... silakan tidur
beberapa saat. Biar saya yang
berjaga-jaga," kata Ludiro dengan penuh
kesetiaan.
"Tak usah, Paman. Cukup dengan duduk
begini saja aku sudah bisa melepaskan
lelah," kata Sekar Pamikat. Tapi
nyatanya, ia tertidur juga dalam keadaan
duduk tegak. Dan Ludiro membiarkan Dewi
Cambuk Naga lelap tertidur. Ia berusaha
menahan diri dari kantuk, dan tetap
berwaspada menjaga kemungkinan
kemungkinan yang tak diinginkan.
Cukup lama juga mereka tertidur.
Cukup lama juga Gopo mendengkur. Bahkan
setelah beberapa saat Gopo mendengkur,
ada beberapa lumut yang berjatuhan
karena getaran dengkur Gopo.
Ketika Sekar Pamikat terbangun, ia
menemukan Ludiro sedang memakan lumut
tersebut. Sekar Pamikat terkejut dan
sangat cemas.
"Paman? Kau telah memakan tanaman
itu?!"
"Ya, Putri Ayu. Saya tak tahan
kantuk, lalu saya coba-coba memakan
lumut-lumut ini. Ternyata tidak beracun.
Dan... yang jelas rasa kantuk saya
menjadi hilang sehingga saya dapat
berjaga-jaga selama ini."
Sekar Pamikat memandang bengong
pada lumut-lumut bercahaya yang sedang
dimakan Ludiro.
"Putri mau memakannya?"
Sekar Pamikat menggeleng dengan
masih tampak tegang. "Siapa tahu racun
tanaman itu bekerja di kemudian hari."
Kini Ludiro yang menjadi tegang. Ia
buru-buru membuang beberapa genggam
lumut bercahaya yang masih di tangannya.
Ia menjadi menyesal. "Benar. Siapa tahu
racun itu bekerja di kemudian hari dan...
dan sangat berbahaya...?" pikirnya.
Tapi... benarkah begitu? Ludiro
masih terbengong pada saat Andini
terbangun dan menggeliat sambil menguap.
Tak lama kemudian Gopo ikut terbangun dan
menguap. Hembusan nafasnya sempat
merontokkan beberapa lumut sehingga
Andini ketakutan tersentuh lumut
tersebut.
Badan mereka terasa segar. Semangat
mereka seakan kembali membara. Ketika
Sekar memerintahkan untuk bergerak lagi,
mereka bangkit serentak dan berjalan
menyusuri lorong itu. Tetapi dalam
perjalanan kali ini, Ludiro kelihatan
banyak termenung. Kegelisahan mewarnai
wajahnya, dan hal itu diketahui oleh
Andini.
"Kenapa gelisah. Ludiro?"
"O, tidak..." Ludiro menggeragap.
"Tidak apa-apa. Aku hanya..."
"Melamun?" sahut Andini.
"Hemm... ya. Melamunkan orang-orang
yang akan kita hadapi di Sendang Bangkai
nanti."
"Ah, lupakan saja dulu," ujar
Andini. "Kita tadi toh sudah mengadakan
pemanasan dengan Sumo Barong dan anak
buahnya. Dari situ seharusnya kita bisa
mempelajari, berapa besar kekuatan kita
berempat dan taktik apa yang harus kita
gunakan untuk menyerang orang-orang
Sendang Bangkai."
"Apa mereka berbahaya sekali?" Gopo
ikut angkat bicara.
"Menurut keterangan yang kuperoleh
dari Penghulu Badra, memang berbahaya
sekali. Buktinya, dua anak buah Peri
Sendang Bangkai yang bertarung melawanku
itu, cukup berilmu tinggi. Gerakannya
gesit, dan pedangnya mengandung racun
yang membahayakan. Tentunya,
orang-orang Sendang Bangkai juga mem-
punyai pedang semacam itu."
Sambil melangkah terus, Gopo
menggumam. Sekar Pamikat berjalan dengan
kebisuan, namun sebenarnya ia menyimak
pembicaraan Ludiro tadi. Ada sedikit
kekhawatiran pada Sekar Pamikat tentang
Ludiro yang telah memakan lumut
bercahaya tadi, tapi ia buru-buru
mengatakan, "Ah, tak apa," di dalam
hatinya. Ia ingin memusatkan perhatian
hanya pada Lanangseta.
Mereka berhenti melangkah, karena
sekarang lorong itu terbelah menjadi dua
arah: ke kiri dan ke kanan. Yang ke kiri
dindingnya tidak berlumut dan gelap.
Yang ke kanan, dindingnya masih berlumut
dan terang. Mereka sedikit bi-ngung
untuk menentukan langkah ke mana mereka
harus berjalan: ke kiri, atau ke kanan?
"Ke kiri saja," usul Gopo.
"Gelap, ah..." Andini bermanja
lagi.
"Lihat, ada cahaya sebesar titik di
ujung lorong yang gelap itu. Siapa tahu
itu mulut goa, tempat kita bisa keluar
dari goa ini," tutur Gopo dengan pelan,
sedikit ragu.
"Ya, kita ke kiri saja!" kata Sekar
Pamikat sambil meneruskan langkah, yang
lain mengikutinya dengan hati-hati,
sebab lorong itu gelap, seperti semula.
Makin lama mereka melangkah makin
lebarlah titik bercahaya itu. Ternyata
memang benar, itu adalah mulut goa.
Ternyata di luar goa hari sudah siang.
Oh, berarti cukup lama mereka berada di
dalam goa tadi.
Udara terasa segar setelah mereka
berempat berada di luar goa. Tapi.di mana
mereka? Tak ada yang tahu. Yang mereka
tahu, mereka berada di lereng bukit.
Banyak semak belukar yang menghalangi
langkah mereka. Mulut goa itu kecil, dan
tak akan terlihat dari beberapa langkah,
sebab rimbun tanaman liar nyaris
menutupnya.
Matahari tepat di ubun-ubun
manusia. Panasnya begitu menyengat
kulit. Mereka menuruni lereng sejak
tadi. Beberapa kali Gopo terpeleset
jatuh, juga Andini. Namun mereka tak
henti-hentinya berusaha mencari jalan
untuk dapat menuruni lereng
bukit..Sehingga pada suatu saat, ketika
matahari mulai condong, mereka telah
mencapai kaki bukit dan tanah datar.
"Lihat, ada genangan air...!" kata
Ludiro sambil menunjuk ke suatu arah.
"Ya. Kita harus ke sana, aku ingin
minum," ujar Andini dengan bersemangat.
Lalu dia berlari lebih dulu. Yang lain
terpaksa mengikutinya. Namun tiba-tiba,
tiga orang perempuan menghadang langkah
Andini. Bukan hanya Andini yang terkejut
dan berhenti, melainkan ketika temannya
juga ikut berhenti dan mulai menjaga
kewaspadaan. Ketiga perempuan itu
mengenakan penutup dada serta celana
dalam. Itu saja. Masing-masing memegang
pedang yang sama bentuknya dengan pedang
yang pernah melukai Ludiro sehingga
nyaris busuk sekujur tubuhnya itu.
"Mereka orang-orang Sendang
Bangkai!" seru Ludiro biar didengar
Andini.
Salah seorang dari ketiga perempuan
Sendang Bangkai itu menyahut, "Benar.
Oh, rupanya kalian mengenali ciri kami,
ya? Bagus! Dan tentunya kalian tahu,
siapa yang memasuki wilayah kami harus
tunduk kepada kami. Yang perempuan boleh
menjadi anggota Sendang Bangkai dengan
satu syarat, mau mengabdi sepenuh hati.
Jika tidak, boleh mati. Sedangkan yang
lelaki, harus tunduk juga kepada kami
untuk menjadi kaum pejantan kami. Jika
tidak, harus disiksa sampai mau.
Kematian itu jalan akhir!"
Andini melangkah mundur
perlahan-lahan. Tubuhnya menyentuh
Gopo, dan ia berpaling kepada lelaki
tinggi besar itu. Ia berkata dengan nada
manja, "Mereka jahat, Gopo...!"
"Kalau kau takut, minggirlah, biar
aku yang menghadapi."
Tapi Ludiro segera mencegah,
"Jangan! Pedang mereka cukup berbahaya,
Gopo. Kulitmu bisa busuk dalam waktu
singkat dengan hanya tergores sedikit
saja."
"Biarkan aku dan paman Ludiro yang
menghadapi mereka," bisik Sekar Pamikat.
Gopo tak bisa berbuat apa-apa,
karena Sekar Pamikat dan Ludiro segera
maju menghadang ketiga perempuan genit
itu. Andini menggeret Gopo sambil
berkata, “Beri kesempatan kepada Ludiro
dan Sekar Pamikat. Mereka memang
berbahaya." Kemudian Gopo dan Andini
berlindung di bawah pohon, sementara
Sekar Pamikat dan Ludiro berdiri
tegar dihadapan ketiga perempuan
berpedang itu.
"Kurasa kita tak perlu
membuang-buang waktu dan tenaga. Bawalah
kami segera menghadap Peri Sendang
Bangkai!" kata Sekar Pamikat dengan
tegas.
"Oh, kau ingin menghadap pimpinan
kami, ya? Hemm... ada urusan apa kalau
boleh aku tahu?" tanya salah seorang dari
mereka.
"Dia telah menculik calon suamiku
Pendekar Pusar Bumi!"
"Calon suamimu? Ih, pendekar
ganteng yang muda perkasa itu mau menjadi
suamimu. Uhh... omong kosong!"
Andini menyahut, "Iya. Kekasihku,
Pendekar Maha Pedang, juga diculiknya!
Mana, pulangkan kekasihku!"
Gopo menarik tangan Andini.
"Diamlah, biar diurus Putri Sekar dan
Ludiro...!"
"Kalau itu yang menjadi tujuan
kalian, berarti kalian mencari
mampus...!" kata salah seorang, lalu ia
menyerang Ludiro dan Sekar Pamikat.
Tubuhnya melayang dengan ringan,
menyodorkan pedangnya ke depan. Psida
saat itu Sekar Pamikat melompat ke kiri,
dan Ludiro melompat ke kanan. Namun
Ludiro sempat melancarkan tendangannya
dengan cepat, dan mengenai punggung
orang itu. Orang yang terkena tendangan
Ludiro hanya oleng sedikit, dan ia
kembali sigap. Sementara itu, kedua
temannya memekikkan semangat perang
sambil masing-masing mengibaskan
pedangnya ke arah Sekar Pamikat dan
Ludiro.
Sekar Pamikat menangkis serangan
musuhnya, tangannya beradu dengan lengan
lawan. Begitu kuat dan keras sehingga
lawan merasa kesemutan lengannya. Sekar
memiringkan badan, lalu kakinya
menjangkau leher lawan dengan suatu
tendangan kuat.
"Digg...!" Ia terhuyung. Namun
pedangnya berkelebat cepat, nyaris
merobek pinggang Sekar Pamikat. Sekar
segera mencabut pedang Jalak Pati.
"Sreet...!" Lalu kedua pedang itu
beradu,
"Traang...! Trang...!" Sekar
Pamikat melompat ke belakang, karena
serangan lawan begitu cepat dan
bertuhi-tubi.
Demikian juga dengan Ludiro yang
hanya bertangan kosong ia
melompat-lompat dan menggunakan jurus
Tendangan Dewa. Sekali jurus itu
dilancarkan, kedua musuhnya yang
menyerang serempak terjungkal, sebab
sekali Ludiro merentangkan kedua kakinya
sambil melayangj keduanya mengenai
kepala dan punggung lawan
Salah satu lawan Ludiro melesat
tinggi, bersalto di udara. Pada saat itu,
lawan yang bertarung dengan Sekar
Pamikat juga melesat tinggi, bersalto di
udara. Rupanya mereka berpindah tempat.
Lawan Sekar Pamikat ganti menyerang
Ludiro dan lawan Ludiro ganti menyerang
Sekar Pamikat. Hal itu sempat membuat
Sekar maupun Ludiro terkesima bingung.
Lalu tiba-tiba pedang mereka terayun
cepat.
Sekar Pamikat menundukkan kepala
sambil menusukkan pedang Jalak Pati ke
arah perut lawannya.
"Breet...!" Perut itu bukan
tertusuk, melainkan tergores pedang
Jalak Pati. Lawan sempat memekik menahan
sakit. Darah merembas dari perut yang
mulus dan hanya mengenakan celana dalam
berlapis benang emas itu. Agaknya musuh
Sekar Pamikat masih bertahan.
Ludiro agak keteter dengan serangan
ganda dari kedua musuhnya. Ia
melemparkansenjata rahasianya satu
kali, tapi pedang musuh mampu
menghalaunya.
"Tring...!" Senjata pisau kecil itu
melesat entah ke mana. Kedua perempuan
yang menyerang Ludiro itu sama-sama
mempunyai ilmu pedang yang cukup hebat.
Gerakannya cepat dan gesit. Beberapa
kali Ludiro hendak terpotong lengannya,
namun berhasil dielakkan dengan gerakan
berguling ke rerumputan. Pada saat
berguling itulah, jurus Tendangan Dewa
Mimpinya dilancarkan Tendangan itu
begitu tepat mengenai bagian kemaluan
salah seorang lawannya, sehingga orang
itu menyeringai kesakitan. Jurus
Tendangan Dewa Mimpi dilancarkan lagi
oleh Ludiro sambil berguling ia
menendang ke atas, namun kali ini
lawannya lebih tahu. Ia menghindar ke
samping dan membabat kaki Ludiro dengan
pedangnya.
"Beet...!"
Andini sempat berteriak.ketika kaki
kanan Ludiro dibabat pedang musuhnya.
Namun Andini dan Gopo menjadi tertegun
dan tercengang melihat kaki Ludiro masih
utuh, tanpa luka sedikit pun. Ludiro
sendiri kebingungan melihat kenyataan
itu. Ia terpana memandang kakinya yang
tak terluka sedikit pun itu. Pada saat ia
terpana begitu, salah satu lawannya
melambungkan badan dan menebas kepala
Ludiro dengan keras.
"Bett...!" Ludiro masih berdiri
tegak.
"Bett...! Bett...!"
Ludiro jadi kebingungan. Ia tidak
mengeluarkan darah. Kepalanya masih utuh
tanpa luka. Bahkan kali ini musuh yang
satunya lagi nyata-nyata merobek perut
Ludiro dengan pedangnya.
"Seeet...!" Tapi, perut itu tetap
utuh, sedikit goresan pun tak ada Ludiro
masih terbengong memperhatikan
perutnya. Aneh, pikir-nya. Kenapa ia
bisa menjadi kebal? Bahkan kini ia diam
saja saat kedua musuhnya membabat
tubuhnya berulangkali dengan
membabi-buta. Tapi, tak ada luka!
Malahan salah satu pedang lawan ada yang
patah karenanya.
Andini dan Gopo masih tercengang.
Namun mereka segera dikejutkan oleh
gerakan kedua musuh Ludiro yang
tiba-tiba berpindah menyerang Andini dan
Gopo. Mereka melayang bersamaan sambil
berteriak dan mengacungkan pedang ke
arah Andini. Dengan cepat Andini
mengambil daun-daun pada tumbuhan semak
belukar di sampingnya. Daun-daun itu
ditebarkan ke arah musuh, lalu tiba-tiba
musuh kedua-duanya menjerit kesakitan.
Daun-daun yang berisi tenaga dalam itu
telah menembus mereka ke beberapa
tempat, sehingga mereka pun rubuh,
mengejang. Lalu mati. Andini tersenyum
ke pada Gopo yang kaget.
"Hebat...! Ajaib sekali...!" kata
Gopo seraya memungut salah satu daun
kecil yang tadi ditebarkan. Ia merobek
daun itu, dan memang bisa robek. Tapi
mengapa kedua perempuan itu tadi hanya
sekali gebrak oleh lemparan Andini bisa
roboh. Malah pakai mati segala! Aneh.
Pikir Gopo yang masih terbengong-bengong
memandang mayat itu.
"Kok bisa mati, ya?" ujar Andini
dengan lagak polosnya. Ia tersenyum
lagi, "Berarti aku hebat, bukan?" Gopo
tak menjawab sepatah kata pun. Sementara
itu ia mengalihkan pandangan kepada
Ludiro yang masih kebingungan memeriksa
tubuhnya
"Ada yang luka, Ludiro?" Gopo
menghampirinya.
"Tidak tuh..." jawab Ludiro
terheran-heran. "Kok bisa kebal, ya?
Aneh. Sejak kapan aku mempunyai ilmu
kebal senjata tajam?"
"Mana aku tahu," jawab Gopo. "Kau
yang punya tubuh kebal senjata, mengapa
kau tanyakan padaku?"
Ludiro masih seperti orang bloon.
Sementara itu, di lain tempat suara
pedang beradu masih terdengar: Sekar
Pamikat masih asyik melayani musuhnya
yang sebenarnya dapat dikalahkan dalam
waktu singkat. Namun agaknya Sekar
Pamikat tak mau membunuh musuhnya itu.
Dengan satu gerakan tangan dan jurus
tertentu yang amat tinggi kecepatannya,
pedang Jalak Pati berhasil memotong
tangan lawannya. Orang itu menjerit,
meraung-raung. Tangannya menjadi
buntung. Pedangnya terlepas bersama
pergelangan tangannya. Jeritan itu amat
menyayat, sehingga Sekar Pamikat
berhenti menyerang.
"Ampun...! Ampunilah aku...!" orang
itu meratap kesakitan. Sekar Pamikat
segera menyarungkan pedangnya. Gopo
turun tangan. Ia menginjak perut
perempuan itu seraya berkata.
"Ke mana jalan menuju tempat
pimpinanmu berada, ha?"
"Aku... aku tak tahu..." orang itu
sukar bicara karena perutnya tertekan
kaki Gopo yang besar.
"Gopo... jangan, kasihan dia tidak
bisa bernapas!" seru Andini dengan lugu.
Sekar mencegah Andini yang hendak
menarik Gopo.
"Biar dia memaksa orang itu
menunjukkan tempat kekasih kita
disekap," ujar Sekar Pamikat, barulah
Andini mengangguk
"Cepat katakan, atau kuinjak
perutmu sampai jebol?!" bentak Gopo.
Agaknya makin lama orang itu tidak tahan
dengan siksaan Gopo. Ia menjawab dengan
suara pelan:
"Di... di dasarsendang...! Di sana
istana Peri Sendang Bangkai...
aaakkh...!" Dan orang itu pun meregang,
lalu mati. Gopo menginjaknya sangat
kuat.
***
ENAM
Genangan air yang terlihat dari kaki
bukit, ternyata adalah sebuah sendang,
sejenis telaga, yang berukuran kecil.
Berbentuk ling-karan tak beraturan,
bergaris tengah kira-kira 200 meter.
Airnya cukup bening, menyegarkan. Ada
banyak pohon yang merindang di
sekeliling sendang itu, tapi berjarak
beberapa meter dari tepian sendang.
Melihat kebeningan air sendang,
tenggorokan Gopo terasa merongrong,
haus. Demikian juga halnya dengan
Andini, dan Sekar Pamikat. Hanya Ludiro
yang tidak merasa tertarik untuk meminum
air sendang itu. Ia tidak haus sama
sekali.
"Aku ingin meminumnya. Aku
haus...!" Andini sangat girang. Namun
ketika ia hendak merunduk mengambil air,
Gopo menarik baju Andini seraya berseru:
"Jangan sembrono!"
"Aku haus!" bentak Andini.
Tapi aku masih bisa berpikir!"
Andini bersungut-sungut. "Aku sudah
bosan berpikir. Otakku sudah sering
kupakai berpikir, kalau otakmu kan
jarang untuk berpikir, karenanya kau
belum bosan berpikir."
"Jadi kau menganggap selama ini aku
tidak pernah memakai otak? Iya?! Iya?!"
geram Gopo dengan mata melotot. Andini
melirik dengan pandangan takut. Waktu
Gopo melotot sambil mendekatinya, Andini
bergeser mendekati Sekar Pamikat, lalu
berlindung di balik Sekar Pamikat. Gopo
berhenti, namun masih menggeram:
"Celeng!"
"Kamu juga celeng!" balas Andini
dari balik pundak Sekar Pamikat.
"Setan!"
"Kamu juga setan!" balas Andini.
Gopo semakin geram.
Ludiro menyahut, "Sudahlah,
sama-sama setan celeng masih saja
bertengkar. Uhh... payah kalian itu."
Sekar tertawa tertahan. Ludiro cemberut
dan bersungut-sungut.
Matahari semakin bergeser ke arah
barat. Mereka masih berada di pinggir
sendang. Ludiro mengambil air sendang
dengan tangannya, lalu mencium air itu,
dan membuangnya lagi sambil menyeringai.
"Bau bangkai," katanya kepada yang
lain. Mereka sempat tersendat kaget.
Gopo membuktikan sendiri, mencium air
itu seakan ingin diminumnya. Lalu ia pun
menyeringai, wajahnya yang brewok dan
kasar semakin jelek saja kelihatannya.
Ia berkata kepada Sekar Pamikat:
"Iya. Bau bangkai!"
"Berarti inilah yang dimaksud
Sendang Bangkai," gumam Sekar Pamikat
bicara pada diri sendiri. Gopo sempat
muntah, perutnya merasa mual setelah
mencium bau air itu. Andini berbisik
kepada Sekar.
"Jangan-jangan dia hamil!"
"Ssst...!"
"Iya. Kata ibuku, perempuan kalau
mau hamil pasti pakai muntah-muntah
dulu."
"Tapi Gopo kan bukan perempuan,"
bisik Sekar Pamikat.
"Ah, apa itu pasti? Aku belum pernah
memeriksanya."
Sekar Pamikat sempat mencolek pipi
Andini yang manja seraya menahan senyum
dikulum. "Sudah, jangan pikirkan, Gopo
perempuan atau lelaki, itu urusan dia.
Yang perlu kita pikirkan adalah
bagaimana caranya masuk ke dasar sendang
ini."
"Biar saya saja yang masuk menyelam
ke dasar," ujar Ludiro. Sekar Pamikat
memandangnya sambil menimbang-nimbang.
Andini diam, memandangi permukaan air
sendang.
"Bahaya, Paman. Kurasa di dalam
sendang mereka sedang menunggu kita."
"Tapi...." tiba-tiba Ludiro
teringat sesuatu. "Tapi saya tadi
menjadi orang kebal, Putri Ayu. Saya tadi
tidak mempan dibacok pedang mereka.
Malah ada yang patah salah satu
pedangnya."
Gopo menyahut dengan lemas akibat
habis muntah banyak:
"Benar. Ludiro kebal senjata. Aneh
dan ajaib. Aku sendiri hampir tidak
mempercayai kalau dia tak dapat digores
sedikit pun dengan pedang beracun mereka
itu." Dan tiba-tiba, dengan sangat
berani Gopo mencabut goloknya, lalu
membacokkan ke punggung Ludiro. Ludiro
hanya terkejut dan siap melawan Gopo.
Tapi Gopo segera terkekeh, memasukkan
goloknya ke sarungnya kembali. "Hanya
mencoba kekebalannya," katanya.
Ludiro menggumam kesal, lalu
bersungut-sungut. Sekar Pamikat
memeriksa punggung Ludiro, dan ternyata
memang tak ada luka sedikit pun. Bekas
membilur pun tidak. Sekar Pamikat heran,
lalu tertawa sendiri.
"Sakti juga kau, Paman! Dapat ilmu
dari mana?"
"Saya sendiri bingung, Putri.
Padahal beberapa hari yang lalu saya
hampir membusuk karena tergores pedang
orang sendang ini."
Sekar Pamikat menggumam panjang,
berpikir beberapa saat, lalu berbisik
kepada Ludiro:
"Barangkali akibat kau makan lumut
bercahaya di dalam goa tadi."
Ludiro berkerut dahi, Gopo pun ikut
berkerut dahi karena mendengar apa kata
Sekar Pamikat.
"Lumut itu?"
Sekar Pamikat mengangguk. "Itu
kemungkinan saja. Sebab, tanaman itu kan
cukup aneh dan ganjil. Dan kau telah
memakannya. Kita salah duga, mengira
beracun, ternyata malah sebaliknya."
"Brengsek! Kenapa tadi kau tidak
bilang padaku?!" kata Gopo yang agaknya
menyesal tidak ikut memakan lumut itu.
"Hei, Andini...?!" Ludiro terkejut,
semua memandang Andini. Gadis manja itu
dengan tenang minum air sendang
menggunakan cawukan tangannya. Beberapa
kali ia meminumnya dengan perasaan lega.
Gopo segera menggeret tangan Andini dari
membentak:
"Tolol! Rakus! Air itu mengandung
racun bangkai! Baunya saja bisa bikin
perut mual, masa kau meminumnya."
"Aku haus! Orang haus itu obatnya
minum. Kalau orang lapar itu obatnya
makan. Kalau orang bodoh itu... kamu!"
Gopo menggeram jengkel dikatakan
bodoh.
"Jangan nekad, Andini. Jaga
keselamatan dirimu sendiri. Kita tidak
bisa mengandalkan siapapun selain
mengandalkan diri sendiri. Itu yang
utama. Karena keselamatan kita, terletak
pada bagaimana kita bisa mengendalikan
diri sendiri. Setelah itu, baru
ketergantungan kepada orang lain." Sekar
menasehati Andini. Tapi kali ini Andini
membantah.
"Aku tak tahan haus, Sekar. Aku
melihat hanya air itu yang ada di sini.
Maka aku meminumnya."
Gopo menyahut, "Tapi air itu bau
bangkai, dan pasti...."
"Siapa bilang bau bangkai?!" sahut
Andini.
Ketiga temannya tercengang
seketika. Terutama Gopo, ia buru-buru
mengambil air sendang itu, lalu
menciumnya. Dan matanya jadi membelalak
lebar memandang Andini. Sekar Pamikat
dan Ludiro menatap Gopo dengan tegang.
Ludiro bertanya dalam keraguan,
"Bagaimana...?"
"Edan!" geram Gopo. Andini
tersenyum genit. Gopo melanjutkan
kata-katanya, "Air ini telah berubah
menjadi harum, sewangi pandan!"
Sekar Pamikat dan Ludiro memandang
tajam pada Andini. Gopo mencoba
mencicipi air itu, lalu mendongak,
memandang Sekar Pamikat. Ia berseru,
"Rasanya seperti manis...! Manis-manis
segar. Mirip air perasan buah
bangkuang...! Gila!"
Gopo mendekati Andini dengan mata
masih membelalak, Andini berlindung di
balik punggung Sekar Pamikat. Gopo
menggeram bagai sedang marah:
"Kau gila! Kau telah merubah air itu
dengan kesaktianmu, ya? Kau tunjukkan
sekali lagi padaku bahwa kau punya ilmu
tinggi? Kau menghinaku, ha?"
"Biar kau tahu berterimakasih
padaku," jawab Andani sambil cemberut
manja.
“Ya. Terimakasih!" kata Gopo tegas
dengan mata masih melotot dan kepala
membungkuk karena tingginya.
"Terima kasih kok melotot begitu!"
"Memangnya tak boleh?''
"Aku takut!" rengek Andini.
Gopo berpaling, meninggalkan Andini
dan Sekar yang dari tadi memandangnya
dengan senyum dikulum. Sambil menjauh
Gopo menggerutu, " Jangankan kau, aku
sendiri sering takut pada diriku jika
kulihat bayangan wajahku ada di air."
Ludiro yang sejak tadi diam saja
sambil mengikuti perdebatan Gopo dengan
Andini, kali ini segera mengalihkan
perhatian. Ia berseru kepada Sekar
Pamikat:
"Saya akan menyelam lebih dulu dan
menjajaki kekuatan mereka, Putri Ayu."
Sekar Pamikat berpikir sejenak,
lalu mengangguk dan berkata, "Silakan,
Paman. Tapi hati-hati... mereka pasti
lebih jago bertarung di kedalaman air."
Tiba-tiba terdengar Andini berseru,
"Jangan! Tak perlu begitu!"
Ludiro berkerut dahi lagi memandang
Andini. "Jadi...?"
"Kali ini, giliran aku bertindak.
Beri aku waktu beberapa saat...."
Gopo menyahut sambil mendekati
Andini, "Hei, mau unjuk kesaktian lagi
ya? Mau pamer ilmu, ya?!"
"Gopo..." hanya itu yang keluar dari
mulut Sekar Pamikat, lalu Gopo berpaling
memandang Sekar Pamikat. Tiba-tiba
kegarangannya lumer begitu memandang
mata Sekar Pamikat, yang menurutnya
begitu bening dan indah itu. Lalu Gopo
melangkah mundur perlahan-lahan,
membiarkan Andini berdiri di tepi
sendang berisi air jernih itu. Gopo
sempat berbisik kepada Sekar Pamikat
dengan hati-hati:
"Aku penguasa telaga keruh. Aku tahu
persis bagaimana cara bertarung di dalam
air. Izinkan aku untuk...."
"Beri kesempatan kepada dia,"
potong Sekar Pamikat. Dan Gopo hanya
menghempaskan nafas, bernada kecewa.
"Edan!" seru Ludiro mengagetkan
Gopo dan Sekar Pamikat. Mata mereka pun
membelalak lagi. Andini kembali pamer
ilmu. Air sendang itu menyusut sedikit
demi sedikit. Andini masih diam di tepian
sendang. Matanya tak berkedip menatap
air sendang yang kian menyusut bagai
tersedot dari bawah, atau menguap ke
udara.
"Bocah sinting...!" gerutu Gopo
dengan mata tidak berkedip.
"Menggemaskan, menjengkelkan, tapi
mengagumkan! Baru sekarang kulihat ada
gadis sesinting dia!"
Mereka mulai mendekat ke tepi
sendang setelah Sekar Pamikat berjalan
lebih dulu. Mereka berjajar ke samping
kiri Andini, yang masih seperti bocah
lugu, berdiri melihat kemilau air
sendang. Dan air itu sekarang semakin
dalam, menyusut terus tiada hentinya.
Kemudian terdengarlah suara gemuruh.
Mereka menggelengkan kepala, menyimak
suara apa kiranya yang bergemuruh itu.
Lalu mereka serempak sepakat, itu suara
riuhnya manusia. Manusia dalam suatu
kelompok yang saling kebingungan dan
saling kelabakan. Mereka semakin jelas
mendengar suara riuh, itu ternyata
datang dari dasar sendang.
Mata mereka masih membelalak,
antara kagum, heran dan terkesima.
Mereka melihat tepian sendang menjadi
kering. Benar-benar kering kerontang,
bagai lereng sebuah jurang. Dan air
sendang itu pun surut semua. Tuntas.
Tanpa tertinggal setetes pun air yang
ada.
Bukan hanya Gopo dan Ludiro, tetapi
Sekar Pamikat sendiri hampir tidak
mempercayai penglihatannya. Terlalu
khayal, menurut Gopo. Tapi mau tak mau ia
harus menerima kenyataan itu. Mereka
melihat air sendang yang tuntas, kering.
Dan di dasar sendang mereka melihat
bangunan semacam istana berlapis kaca.
Lapisan kaca itu berbentuk parabola.
Bagai sebuah bola kaca yang dipotong
menjadi dua bagian, lalu diletakkan
menelungkup, menaungi istana di
dalamnya. Sementara itu, di sekeliling
bola kaca itu banyak manusia yang hilir
mudik kebingungan. Mereka pada umumnya
perempuan muda berpakaian menutup dada
dan celana dalam. Tubuh mereka
langsing-langsing, sexy-sexy, dan
benar-benar menggairahkan lelaki,
terlebih lelaki hidung belang.
"Masyarakat dan peradaban di dasar
sendang..." gumam Sekar Pamikat. Ia
masih tertegun memandang sesuatu yang di
luar khayalannya.
"Suatu kehidupan di dasar sendang,
sungguh merupakan pengalaman baru bagi
hidup mereka berempat. Antara dasar
sendang dengan permukaan sendang tempat
mereka berdiri, tidak terlalu dalam.
Mereka dapat pergi ke dasar sedang
seperti halnya mereka menuruni sebuah
lereng jurang. Batu dan tanah keras
saling bertonjolan, dapat dipakai
sebagai tangga menuju bawah. Hanya saja,
agaknya pasukan Sendang Bangkai sendang
menghadang kedatangan mereka di bawah
sana. Ada yang mencoba memanjat tebing
dengan pedang di tangan, ada yang sibuk
mempersiapkan peralatan perang, ada yang
sibuk mengatur per-tahanan agar tak
seorang pun dapat masuk ke bola kaca itu.
"Apa yang harus. kita lakukan
sekarang?" tanya Ludiro. "Menyerang,
atau menunggu mereka naik ke atas?"
"Untuk sementara kita bisa menunggu
mereka di sini. Nanti setelah...."
"Hei, itu Andini! Sinting!" seru
Gopo sambil menuding ke arah Andini yang
ternyata telah berada di pertengahan
tebing. Ia meloncat dengan gesit
berulang kali bagai seekor kupu-kupu
terbang. Gerakannya begitu cepat dan
mengagumkan. Bahkan dalam satu gerakan,
ia dapat merobohkan seorang pembawa
pedang yang menyongsongnya. Agaknya saat
ini tiba giliran Andini untuk bertindak
dengan serius. Ia tak tanggung-tanggung
bergerak dan menyerang. Sesekali
terdengar seruannya memanggil nama
kekasihnya:
"Ekayanaaa..!"
Sekar Pamikat mencabut pedang Jalak
Pati.
"Sreet...!"
"Seraaang...!!" teriaknya sambil
meloncat dan bersalto ke bawah. Ludiro
bergerak serupa, meloncat dan bersalto,
tetapi Gopo hanya berlari dengan
langkahnya yang menggetarkan seluruh
permukaan tebing. Sesekali Gopo hampir
terjatuh, karena kemiringan tebing.
Namun segera ia menjaga keseimbangan
tubuh dan melangkah kembali dengan
langkahnya yang lebar-lebar.
Dua orang menghadang Sekar Pamikat.
Mereka berseragam sama dan mengguhnakan
pedang yang sama Kedua pedang bersamaan
menghantam wajah Sekar Pamikat, namun
dengan gerakan gesit, Sekar Pamikat
melintangkan pedangnya kemuka, dan kedua
pedang lawan beradu dengan pedang Jalak
Pati.
"Trang...!"
Ludiro mengandalkan kekebalan
tubuhnya yang diperoleh secara tak
sengaja itu. Ia membiarkan pedang lawan
membabat lehernya berulangkali. Tapi
pada satu kesempatan ia menggunakan
jurus Tendangan Dewa yang amat mematikan
itu. Ludiro tak mau membuang-buang waktu
dalam menghadapi para keroco-keroco
Sendang Bangkai. Ia bergerak cepat,
gesit dan menggunakan jurus-jurus
andalannya yang dapat langsung
mematikan, di antaranya Pukulan Malaikat
Mabok, yang sekali menghantam kepala
dapat membuat kepala itu hancur tak
berbentuk lagi. Hal itu membuat jerit dan
teriakan histeris berkumandang ke
mana-mana. Para keroco Sendang Bangkai
bergeleparan akibat pukulan dan
tendangan Ludiro. Sesekali ia membuang
senjata rahasianya ke arah orang yang
akan membokong Sekar Pamikat.
Di tempat lain, Gopo menendang kian
kemari dan menginjak musuh-musuhnya
tanpa ampun lagi. Ia tahu, ia harus
menghindari goresan pedang lawan. Sebab
itu ia bertarung dengan meloncat-loncat
bagai orang menginjak puntung rokok.
Sedangkan Sekar Pamikat masih
bertahan dengan Jalak Patinya. Memenggal
lawan berulangkali kendati ia terpaksa
harus menghadapi lima orang sekaligus.
Gerakannya yang lincah dalam
berjumpalitan di udara membuat lawan
kewalahan. Sekali ia menebaskan
pedangnya, dua kepala dapat
menggelinding sekaligus. Tak ada ampun
agaknya bagi mereka. Dengan gerakan
merendah Sekar Pamikat mampu menyabetkan
pedang ke arah perut-perut lawannya,
sehingga mereka terjungkal untuk
meregang nyawa, dan mati tak terurus
lagi.
Lain halnya dengan Andini yang bagai
menari di awang-awang. Gerakannya begitu
luwes, indah. Lambaian tangannya yang
berlengan baju panjang itu seperti
kibasan sayap kupu-kupu yang mematikan.
Jangankan terkena pukulan Andini, yang
terkena kibasan kain bajunya saja dapat
menjerit dan sekarat akibat robek
lehernya, robek dadanya, pinggangnya,
atau apanya saja yang tersentuh kibasan
kain Andini. Sehingga dalam tempo
singkat, ia dapat menjatuhkan banyak
lawan. Dan dalam tempo singkat pula ia
mampu menerobos barisan musuh untuk
mendekati istana yang berlapis kaca itu.
Mayat orang-orang Sendang Bangkai
yang terdiri dari perempuan- perempuan
seksi itu bergelimpangan di sepanjang
tebing. Darah merubah warna tebing yang
kecoklat-coklatan menjadi merah
membara. Tak satu pun yang tersisa dari
pasukan di luar istana berlapis kaca.
Kini, mereka berempat berkumpul di depan
pintu masuk dinding berkaca itu.
"Gopo...!" kata Sekar Pamikat.
"Buka pintu dengan paksa!"
Ada beberapa orang yang memandang
tegang, menanti dengan gelisah di dalam
dinding kaca. Mereka seperti ikan dalam
akuarium. Dan mereka semakin tegang
mehhat Gopo mendobrak pintu utama dengan
kekuatannya yang maha hebat itu. Sayang
dinding kaca hanya bergoyang seluruhnya.
Bergetar sedikit, dan pintunya tak dapat
pecah. Berulangkali Gopo mencoba, tapi
tak pernah berhasil.
Andini diam saja. Duduk seenaknya di
suatu permukaan batu yang halus. Matanya
mempelajari keadaan di dalam dinding
kaca. Sementara itu, Sekar Pamikat
menyuruh Gopo menyingkir. Gopo mulanya
tidak mau, masih ingin mencoba. Tetapi
ketika Cambuk Naga dicabut dari punggung
Sekar Pamikat, Gopo mulai m-ndur dengan
perasaan ngeri. Sekar Pamikat segera
memusatkan pikiran dan tenaga, ia
menggunakan jurus simpanannya yang
bernama: Naga Pembelah Langit.
Cambuk naga diayunkan dengan cepat,
ujungnya menghantam pintu utama. Suara
guntur menggetarkan sukma. Suara itu
melebih 10 kali guntur menggelegar. Dan
sekali cambuk, pintu utama itu retak,
lalu pecah berkeping-keping. Segera
Ludiro masuk lebih dulu. Menghadang
menyerang bersenjata tombak trisula
Tombak ditancapkan di dada Ludiro, dan
tanpa sedikit tangkisan, tombak itu
patah sendiri. Tendangan Dewa meluncur
cepat ke rahang orang tersebut,
mengakibatkan orang itu menjerit
tertahan. Rahang pecah dan mulut
berdarah.
Sekar Pamikat tidak lagi
menggunakan pedang Jalak Pati. Cambuk
Naga mulai beraksi, melecut ke sana
kemari bagai lidah naga menjilat mangsa.
Kepala yang terkena cambuk itu pecah, dan
leher maupun tangan yang terkena lecutan
cambuk pun menjadi buntung seketika.
Perempuan-perempuan berseragam
rompi merah menyerang terus, keluar dari
dalam istana. Salah seorang ada yang
sempoyongan terkena angin kibasan cambuk
naga Orang yang sempoyongan segera
dipegang kepalanya oleh Gopo, lalu
dipuntirnya kepala itu sehingga
terdengar bunyi tulang berderak.
"Ini balasan buat arwah anak
istriku, Setan!" Gopo bergerak lebih
sacks. Kakinya yang besar menendang
tameng lawan, hingga perempuan itu
terjatuh, lalu ia meloncat dan kedua
kakinya menghentak jatuh di perut orang
itu. Jebol!
Andini menyelusup masuk ke dalam
istana, setelah terlebih dulu menewaskan
lawan-lawannya dengan gerakan tangan
bagai kupu-kupu sedang menari. Ia sempat
mengambil sebuah tameng yang terjatuh.
Tameng itu dilemparkan ke arah beberapa
lawannya, dan dengan tameng itu ia
berhasil memotong tubuh lawannya dengan
sangat mengerikan. Tameng itu dialiri
tenaga dalam yang cukup sempurna,
sehingga dapat berputar-putar sendiri
mencari lawannya.
"Ekayanaaa...!" teriak Andini.
Suaranya menggema Dari sebuah koridor
muncul serombongan orang perempuan
bersenjata tombak dan pedang. Mereka
melemparkan senjata itu ke arah Andini.
Cukup kelabakan juga Andini meloncat dan
berjumpalitan menghindari
senjata-senjata itu. Salah satu tombak
terpegang oleh tangannya, lalu dengan
gerakan melingkar bagai seorang penari
balet tombak itu dikem-balikan. Dua
tubuh tertusuk, tembus seketika. Andini
bergerak ke arah lain, mencari tempat
kekasihnya ditawan, sementara tombak
yang tadi dilemparkan mencari sasaran
sendiri dan berhasil menembus perut
beberapa musuhnya, bagai sebuah jarum
jahit sedang beraksi.
"Ekayana...?! Di mana kau...?!"
teriak Andini dengan semakin garang.
Beberapa kamar dan pintu dijebolnya Jika
ada orang di dalamnya, langsung diserang
dengan serpihan pasir tembok yang
dialiri tenaga dalam dan mematikan.
Sampai akhirnya ia tiba di sebuah
ruangan yang menyerupai balairung. Lega,
luas, berlantai licin bening. Ia berdiri
di tengah ruangan tersebut. Tiba-tiba
ada sejumlah tombak menjatuhi kepalanya
dari atas. Jumlah tombak itu lebih dari
lima puluh batang. Namun Andini mampu
menahannya dengan pandangan mata,
sebelum tobak-tombak menyentuh kepala.
Sekelompok tombak berhenti di udara
Saat itu seorang berpakaian rompi besi
menyerang dari belakang Andini. Dengan
gesit Andini melompat ke depan.
Penyerang itu sampai di tengah ruangan,
tempat Andini tadi berlari. Dan pada saat
itu sekelompok tombak itu jatuh dengan
cepat, menghunjam kepala dan tubuh pe-
nyerang tersebut. Orang itu sempat
memekik tertahan, lalu tak pernah
terdengar dengus nafasnya lagi.
Ludiro muncul di ruangan tersebut.
Nafasnya terengah-engah, tubuhnya basah
oleh keringat dan percikan darah
lawannya. "Kau tidak apa-apa Andini?"
"Sehat-sehat saja," jawab Andini
bagai acuh tak acuh.
Kemudian Sekar Pamikat pun tiba di
ruangan tersebut. Ia masih menggenggam
cambuk naganya dengan mata nanar yang
penuh kemarahan. Lantai bergoyang,
bergetar. Bagai ada gempa menghampiri
mereka. Pada saat itu, muncullah Gopo
dengan tangan berlumur darah lawan.
Matanya semakin ganas, dan tubuhnya yang
besar bagai raksasa itu juga berlumur
keringat dan percikan darah lawannya
"Sepi," ucap Gopo. "Aku telah
memeriksa seluruh ruangan, tak ada
manusia yang hidup. Yang mati banyak!"
"Pasti ada ruangan rahasia untuk
menyimpan tawanan mereka," kata Sekar
Pamikat. Baru saja ia selesai bicara,
tiba-tiba lantai ruangan itu bergerak
turun. Mereka terkejut. Gopo hampir saja
melompat, tapi Sekar Pamikat segera
berseru, "Biarkan saja Mereka membawa
kita ke sarangnya!"
Lantai bergerak makin ke bawah,
seperti ada yang menyedotnya Mereka
berempat sengaja membiarkan diri mereka
dibawa ke bawah. Sampai akhirnya mereka
tiba di suatu ruangan luas, penuh dengan
perabot terbuat dari emas permata.
Agaknya mereka telah ditunggu- tunggu,
dan tim penyambutan itu terdiri dari
perempuan-perempuan bertubuh kekar dan
berotot. Ada seorang perempuan yang
duduk di kursi kencana, mengenakan
mahkota dari batu permata. Perempuan itu
yang pertama kali menyapa Sekar Pamikat
dengan ucapan,
"Selamat datang di Sendang Bangkai,
orang-orang laknat!"
"Kau yang laknat, Setan!" Gopo
emosi, menerjang ke arah perempuan itu"
tapi tubuhnya yang tinggi besar bagai
raksasa itu terpental kembali dan
berdentam di lantai.
Gopo bangkit menyeringai kesakitan.
Pinggangnya bagai mau patah rasanya
Andini berbisik dengan serius, "Kita
telah terkurung. Di depan kita ada pagar
pelipis yang tak dapat terhhat oleh mata
kepala kita. Pagar itu terbuat dari
tenaga dalam yang cukup hebat dan
dahsyat. Mungkin kita tak akan mampu
menembusnya ke sana"
Tawa perempuan yang duduk di kursi
singgasana itu terdengar nyaring. Dari
belakang kursi muncul seorang perempuan
bertubuh kurus, layu dan terdapat codet
bekas luka di sekitar matanya Sekar
Pamikat dan Ludiro terperanjat. Mereka
sama-sama berseru tak sengaja:
"Nawang Puri...?!"
Tegang wajah mereka, namun
tersenyum sinis wajah Nawang Puri. Ia
memberi hormat kepada perempuan
bermahkota seraya berkata, "Apakah
mereka harus kami musnahkah sekarang
juga, Peri Cantik Sendang Bangkai?!"
Perempuan yang duduk di kursi
kencana itu tersenyum, mengusap rambut
Nawang Puri dengan lembut. "Jangan
sekarang, Manis... mereka masih perlu
menyaksikan suatu pemandangan yang
menggairahkan. Dan mungkin akan membuat
kemarahan mereka mereda lalu mencintai
kita...."
"Perempuan itu yang membawa kabur
Nawang Puri, ketika di perbatasan
Kadipaten Nilakencana dulu," bisik Sekar
Pamikat kepada Ludiro. (dalam kisah
Racun Puri Iblis).
Ludiro hanya menggumam. Sedangkan
Andini diam saja dengan mata
berkedip-kedip bagai orang bego. Gopo
tak sanggup bergerak lebih nekad, namun
otaknya berputar, bagaimana caranya
supaya bisa menembus pagar tenaga dalam
itu.
Selain dikelilingi prajurit
perempuan berbadan kekar dan hanya
mengenakan celana dalam dan rompi, tanpa
penutup dada, mereka juga dipagari
tenaga dalam yang dahsyat. Di depan
mereka terdapat dinding berkain gordin
dari sutra putih bersih. Waktu Peri
Sendang Bangkai memberi isyarat kepada
salah seorang anak buahnya, orang itu
segera bergerak menyeret gordin putih ke
tepian. Maka terlihatlah oleh mereka,
bahwa yang ditutup gorden itu bukan
berupa dinding, namun berupa kamar
panjang berlantai kasur empuk.
Mata mereka terbelalak lebar-lebar.
Di kamar panjang itu terdapat
manusia-manusia tanpa busana, lelaki dan
perempuan. Mereka berjumlah lebih kurang
10 lelaki, dan perempuannya lebih dari 15
orang. Gemetar lutut Sekar Pamikat
melihat mereka melakukan perzinahan
dengan bebas dan sepertinya tanpa rasa
canggung walau ditonton banyak orang.
Mereka, yang berada di kamar panjang
itu, bagai mendapat perintah setelah
gorden terbuka. Mereka segera melakukan
hubungan badan dengan gairah yang
menyala-nyala. Sekar Pamikat dan Andini
sama gemetarnya menyaksikan hal itu.
Mereka berpaling ke belakang, ternyata
di bagian belakang mereka juga terdapat
pemandangan serupa, hanya saja jumlah
lelakinya lebih sedikit dibanding jumlah
perempuannya. Debar-debar di dalam dada
Sekar Pamikat sama persis dengan
debar-debar dalam dada Andini. Terlebih
Andini, kelihatan lebih pucat daripada
Sekar Pamikat.
Nafas-nafas mereka berpacu, yang di
ranjang dengan yang tertawan sama
cepatnya. Sementara itu, Peri Cantik
Sendang bening tertawa terkikik-kikik
bersama Nawang Puri dan para pengawal
lainnya. Bahkan ada pengawal yang
mendesah-desah sendiri diremat
khayalannya.
"Biadab! Hentikan perbuatan itu!"
bentak Sekar Pamikat. Peri Cantik dan
Nawang Puri semakin tertawa melihat
kemarahan Sekar Pamikat.
Ludiro dan Gopo saling berpacu
keringat. Basah kuyup tubuh mereka oleh
keringat. Mereka tak ingin melihat.
Mereka menunduk, sama seperti Andini,
namun berkali-kali selalu ada saja yang
memekik, bikin kejutan, dan membuat
mereka terperangah memandang kembali.
Ternyata hanya suatu permainan dari
orang-orang ranjang yang maniak.
"Terkutuk kau, Peri Bangkai!"
teriak Sekar Pamikat.
Peri Cantik Sendang Bangkai
menghentikan tawanya, kini berganti
seringai yang menjijikkan. Ia berseru
kepada tawanannya:
"Tak seorang pun mau dan bisa
menghentikan hal itu! Mereka sedang
melakukan pengabdian setia yang luhur,
yaitu pembuahan! Mereka memikirkan masa
depan, di mana soal keturunan menjadi
sarana utama bagi kelanjutan hidup
generasi kita. Apa salahnya jika kalian
bergabung dengan kami, membentuk suatu
generasi atau keturunan yang dapat
bertahan hidup di bumi ini."
"Persetan dengan kata-katamu,
Iblis!" bentak Sekar Pamikat. "Hentikan
hal itu, atau kuobrak-abrik tempat ini
menjadi reruntuhan tempat maksiat?!
Nawang Puri tertawa menjijikkan.
"Sekar, Sekar.... Apa yang bisa kau
andalkan di tempat ini, hah? Apa? Ilmumu
hanya sekuku hitam dibandingkan Peri
Cantik."
Sekar Pamikat melecutkan cambuk
naganya, mencoba menembus pagar tenaga
dalam yang melingkari mereka. Namun ia
terpental dan nyaris membentur permukaan
lantai. Andini menggerakkan tangannya
bagai sedang menari, kemudian sebuah
tenaga dalam yang dimilikinya
dilancarkan ke arah Nawang Puri, tetapi
Andini pun bahkan terlempar tinggi dan
jatuh di pundak Gopo.
"Brengsek!" gerutu Gopo sambil
menghalau kaki Andini yang jatuh di
pundaknya: Andini tak mampu melawan
pagar dahsyat yang tak terlihat mata itu.
Sementara itu, Peri Cantik
berpakaian hanya celana dalam tipis
terbuat dari lempengan emas itu berkata
kepada Nawang Puri:
"Sekarang perlu kita tunjukkan
bibit unggul kita, Puri. Panggil dia dan
kerjakanlah dengan baik...."
"Sendiko, Gusti Peri Cantik....!"
Nawang Puri membungkuk, kemudian
bertepuk tangan dua kali. Dan seorang
perempuan penjaga sebuah pintu membuka
pintu berukir dan berlapis lempengan
emas itu.
Dari pintu tersebut keluarlah
seorang pemuda gagah, berambut panjang,
berikat kepala dari kulit macan tutul,
berbadan tegap dan berwajah tampan,
mempesona. Pemuda itu datang menghampiri
Nawang Puri dengan tanpa mengenakan
pakaian selembar pun. Ia berwajah sayu,
sorot matanya bagai mengantuk, namun
ketegaran badannya masih terlihat jelas
dan menggairahkan.
Pada saat itu juga, Sekar Pamikat
dan Andini sama-sama menjerit dan
berseru:
"Lanangseta...?!"
"Ekayana...!"
Sekar Pamikat tergagap sejenak. Ia
memandang Andini.
"Dia Lanangseta...!"
"Bukan! Dia kekasihku, Ekayana...!"
"Ooh...?!" Sekar Pamikat
kebingungan. Matanya membelalak dan
berair, sama seperti mata Andini.
Sementara itu Ludiro dan Gopo sama-sama
terbengong melompong, bagai patung yang
hanya bisa berkedip-kedip saja.
Peri Cantik Sendang Bangkai tertawa
g-rang. Ia berkata, "Pendekar sesakti
apapun, tak akan bisa berkutik jika
peredaran darah yang menuju pusarnya
berhenti. Tali pusar adalah bagian dari
kehidupan manusia, dan jika ia ditotok,
maka ia mudah dipengaruhi karena tak
dapat berbuat apa-apa!"
"Hentikan...! Hentikan dia...!"
"Jangan sentuh dia Dia kekasihku!"
seru Andini bersahut-sahutan. Sekar
Pamikat melancarkan jurus Naga Pembelah
Langit. Namun cambuk itu bagai tak
berfungsi lagi. Ia terpental sendiri.
Demikian juga Andini, berulangkah ia
mengerahkan tenaga dalam simpanannya,
namun ia selalu terpental dan terpental
lagi. Sementara itu, pemuda gagah yang
tampan itu telah mulai meremas dada
Nawang Puri. Nawang Puri sendiri hanya
tersenyum-senyum saat pakaiannya
dilucuti satu persatu sambil menerima
dengus ciuman pemuda itu.
"Jangaaan...! Jangan
lakukaaan...!" teriak Sekar Pamikat •
Andini juga berseru, "Itu
kekasihku! Jangan suruh dia berbuat
cabul dengan perempuan lain!"
"Paman! Berbuatlah sesuatu!" bentak
sekar Pamikat kepada Ludiro. Ludiro
menggeragap dan kebingungan. Ia hanya
mondar-mandir tak tahu apa yang harus
dilakukan. Ia bagai kehilangan akal
sehatnya
Permainan cinta Nawang Puri dengan
pemuda tampan itu semakin panas. Mereka
bergumul di lantai, tidak di ranjang
kamar panjang. Mendadak Peri Sendang
Bangkai berseru:
"Tahan, Puri...! Tahan sebentar.
Agaknya penonton kita ini akan semakin
bertekuk lutut jika aku turut serta dalam
permainan itu." Kemudian ia berseru
kepada salah seorang pengawal yang
berjaga di pintu tempat pemuda tadi
keluar.
"Bibit unggul untukku,
keluarkan...!"
Pengawal membuka pintu, dan seorang
pemuda muncul dengan jalan seperti
robot. Pemuda itu berambut panjang,
mengenakan ikat kepala dari kulit macan
tutul, tapi tubuhnya tanpa selembar
benang pun. Ia bertubuh tegap, gempal,
menggairahkan perempuan yang
memandangnya. Ia berwajah bersih, halus,
dan bibirnya bagai setetes madu di padang
gersang, sangat menggairahkan. Dan pada
saat itu pula, Sekar Pamikat dan Andini
sama-sama terpekik kaget. Mata mereka
terbelalak lebar dengan mulut ternganga.
Andini yang lebih dulu berseru:
"Nah, dia..! Dia kekasihku.
Ekayanaaa...!"
"Bukan! Itulah calon suamiku,
Lanangseta! Lanaaang...!"
Pemuda yang baru muncul itu
mendekati Peri Cantik, dan mulai meraba
bagian-bagian yang sensitif. Peri Cantik
mengikik kegelian, sedangkan Nawang Puri
pun melanjutkan permainannya. Saat itu,
Sekar dan Andini sama-sama bingung untuk
membedakan yang mana kekasih mereka
sebenarnya. Kedua pemuda itu sama
tampannya, sama gagahnya dan memiliki
ikat kepala yang sama pula Sekar dan
Andini benar-benar bingung.
Sekar Pamikat segera menampar
Ludiro yang bagai orang linglung itu.
"Plaak...!!"
"Paman! Ingat lumut yang kau
makan...!"
Ludiro bagai tergugah dari mimpi
yang membingungkan. Matanya terbelalak
dan giginya menggeletuk. Sementara itu,
Andini membentak Gopo yang duduk dengan
lemas,
"Gopo...!"
Dengan cepat Gopo yang
terengah-engah berkata, "Jangan! Jangan
suruh aku bertindak! Sudah 7 tahun lebih
aku tak bertemu dengan istriku dan...
dan... menjadi gila!" Gopo menangis
sendiri. Andini tak mau menghiraukan
Gopo lagi.
Tetapi pada saat itu, Ludiro
menerobos keluar dari lingkaran tenaga
dalam yang tak tampak mata itu. Ternyata
tubuhnya tidak mental seperti yang
lainnya. Ia berhasil menerobos lingkaran
tenaga dalam, tepat pada saat itu kedua
pemuda tersebut hendak menindih tubuh
Nawang Puri dan Peri Sendang Bangkai.
Dengan gesit Ludiro meloncat,
melancarkan tendangan dua kali, yang
satu mengenai lengan pemuda di atas
Nawang Puri, yang satu lagi mengenai
kepala pemuda di atas Peri Sendang
Bangkai.
Gerakan Ludiro berhasil membuat
kedua pemuda itu terpental bagai kapas
tertiup angin. Sementara itu, Peri
Cantik Sendang bangkai dan Nawang Puri
terkesima melihat Ludiro berhasil
menembus lingkaran tenaga dalam yang
mengurungnya. Ludiro menyempatkan
melempar senjata rahasianya ke arah
Nawang Puri.
"Juubb...!" Mata pisau beracun
menancap di pangkal bahu Nawang Puri.
Nawang Puri rubuh ke belakang, menindih
Peri Cantik yang sudah tak berbusana sama
sekali itu. Para pengawal menyerbu
Ludiro, namun Ludiro belum inau melayani
mereka. Pedang membabat lehernya,
punggungnya dan seluruh tubuhnya
berulangkali, tapi tak satu pun yang
menggores kulit. Ludiro melihat kedua
pemuda itu berdiri seperti mayat hidup.
Jaraknya ada satu langkah antara pemuda
yang satu dengan pemuda yang lain. Dengan
cepat Ludiro berguling ke arah mereka.
Posisinya jatuh tepat di antara kedua
pemuda itu. Tangannya segera mengembang
keduanya, dan dengan masing-masing kedua
jarinya Ludiro menotok puser kedua pe-
muda itu bersamaan. Begitu keras totokan
kedua tangan Ludiro sehingga pemuda itu
terpekik keduanya, dan segera menyerang
Ludiro. Mereka telah sadar, tapi mengira
mendapat serangan dari Ludiro. Sebab itu
Sekar Pamikat berseru,
"Lanaaang...! Aku tertawan!"
Salah seorang dari pemuda itu
berpaling. "Sekar...?!"
"Itu Lanang. Lanangseta calon
suamiku...!'" teriak Sekar Pamikat
kegirangan kepada Andini.
"Ekayanaaa...! Aku di sini,
ditawan!"
Pemuda yang satu berpaling dan
berseru, Andiniii...!"
Sekarang jelas sudah siapa kekasih
mereka. Tapi mereka tak dapat keluar dari
kurungan pagar tenaga dalam. Hanya
Ludiro yang berhasil keluar, karena
tubuhnya ternyata tak mempan senjata
apapun, sekalipun berupa tenaga dalam
yang dahsyat. Kali ini Ludiro sedang
memburu Peri Sendang Bangkai yang mulai
ketakutan. Tetapi banyak
pengawalnyayang rapat memagari sehingga
sukar ditembus Ludiro. Pada saat itu, tak
ada jalan lain bagi Ludiro untuk tidak
menggunakan senjata rahasianya. Tak ada
pilihan lain, kecuali berdesing
berulangkali sebuah senjata dari balik
ikat pinggangnya.
"Aaakhh...!" Beberapa pekikan
histeris terdengar keras. Pengawal-
pengawal itu rubuh terkena senjata
rahasia Ludiro. Tapi Peri Sendang
Bangkai segera menyingkir. Ia naik ke
atas sebuah tempat seperti silinder
kayu, mirip panggung berbentuk
lingkaran. Ludiro melancarkan
serangannya dengan melemparkan senjata
lagi, namun senjata itu molos begitu
saja. Kelihatannya mengenai leher Peri
Sendang Bangkai, namun sesungguhnya
hanya lolos ber gitu saja seperti
menembus udara tanpa isi.
Pada saat itu, Lanangseta dan
Ekayana bergerak me lawan para pengawal
bersenjata pedang.. Keduanya sama-sama
telanjang dan berguling menghindari
serangan, melayang melancarkan pukulan
mautnya. Saat itu, yang beraksi di atas
ranjang masih terus beraksi bagai tanpa
mengenal lelah. Mereka yang tengah
bergumul memburu kenikmatan sepertinya
telah terkena suatu pengaruh mutlak yang
membuat mereka tak peduli lagi dengan
keadaan kacau di sekitarnya.
"Dengar...! Dengar semua...!" seru
Peri Sendang Bangkai yang kini seperti
dalam bayangan saja. "Kalian tak akan
berhasil mengalahkan aku! Senjata kalian
akan sia-sia, hanya akan menembus
segumpal kabut. Tak ada yang bisa
membunuhku, kecuali Penghulu Badra,
bekas suamiku itu. Tapi dia sekarang toh
sudah mati. hanya dia yang tahu
rahasiaku. Dan kalian... tak akan
memperoleh keterangan darinya. Sebab
itu, jangan menyerang, bergabunglah
denganku...!"
Ekayana berseru kepada Andini,
"Satukan hawa murni kalian, arahkan ke
satu arah dan lingkaran yang mengurung
kalian akan sirna..."
"Breet...!" Sebuah pedang pengawal
berhasil melukai punggung Ekayana.
Sementara itu, Ludiro terus menyerang
Peri Sendang Bangkai, namun benar apa
katanya, ia bagai menyerang udara
kosong. Sosok Peri Sendang Bangkai hanya
seperti bayangan belaka. Saat itu,
Andini mengerahkan tenaga dalamnya yang
dikatakan sebagai jurus Kupu Penabur
Racun. Sekar Pamikat mengerahkan jurus
Kupu Penabur Racun. Sekar Pamikat
mengerahkan jurus Naga Pembelah Langit
dengan lecutan cambuknya dan Gopo
berteriak kuat-kuat, mengerahkan ilmu
Guntur Tertawa. Ketika tenaga inti me-
reka disatukan, dan akibatnya timbullah
suatu ledakan yang maha dahsyat. Mereka
berhamburan keluar dari lingkaran tenaga
dalam yang mengurung mereka sejak tadi.
Pada saat itu, wajah Peri Sendang Bangkai
yang bagai dalam bayangan itu kelihatan
terkejut cemas. Kemudian Sekar Pamikat
melepas cambuknya, memberi isyarat
kepada Pendekar Pusar Bumi, dan keduanya
mengeraskan tangan dalam posisi setengah
berdiri. Mereka berteriak bersamaan:
"Wiwaha Moksa...!!"
Tepat pada waktu itu Andini juga
melancarkan pukulan tenaga intinya: Kupu
Penabur Racun. Sehingga timbullah
ledakan yang lebih dahsyat dari yang
pertama. Tiga sinar hijau muda dan merah
membara meluncur ke arah Peri Sendang
Bangkai. Ledakan itu membuat tempat
berdiri Peri Sendang Bangkai hancur
seketika, sedangkan bayangan Peri tanpa
busana itu lenyap begitu saja. Yang ada
hanya tawa yang mengikik panjang dan
kata-kata,
"Tunggu pembalasan untuk kalian...!
Sekar Pamikat mengambil cambuk
naganya lagi, dan mencambuk ke mana-mana
bagai orang kesetanan. Tempat itu jadi
hancur tak karuan. Gopo sibuk menginjak
dan memuntir leher para pengawal yang
terdiri dari perempuan semua. Dengan
gemas, Gopo mematah-matahkan tulang
mereka sambil berseru, "Istriku...
anakku...! Lihat, kupatahkan mereka!
Kupatahkan...! Kurangajar...!
Bangsat...!"
"Ekayana...? Kau terluka parah?!"
Andini segera mengangkat kepala
kekasihnya yang terkulai. Pada saat itu,
Ludiro muncul sambil membawa pakaian dan
senjata kedua pemuda itu.
"Pilih masing-masing pakaian. Cepat
kita tinggalkan tempat ini dan ledakkan
semuanya!" teriak Ludiro.
"Ekayana...?!" Lanangseta bagai
terkesima dalam duka melihat Ekayana
terluka punggungnya. Andini mulai
menangis, karena ia melihat punggung itu
mulai memborok.
"Hei, di sini ada jalan tembus,
sebuah lorong! Mari keluar lewat sini!"
seru Ludiro dari suatu tempat.
Orang-orang yang beraksi di atas
ranjang masih tidak peduli dengan
keadaan sekehling. Mereka seolah tak
sadar apa yang sedang terjadi.
Tetapi Gopo segera mengangkat tubuh
Ekayana yang mulai melemas dan memborok
bagian punggungnya.
"Lekas tinggalkan tempat ini,
Lanang..." ajak Sekar Pamikat setelah
memeluk calon suaminya sejenak.
Lanangseta gelisah.
"Adikku...? Ekayana terluka.
Bagaimana dia?"
"Oh, dia adikmu? Adik kembarmu,
maksudnya?" Sekar Pamikat menatap
Lanangseta.
“Ya. Dia, Ekayana... adik kembarku
yang bergelar Pendekar Maha Pedang...."
"Oooh... pantas... Pantas Andini
menceritakan ciri yang sama kukira...."
"Sekar Putri...!" teriak Gopo yang
sudah menggendong Ekayana di mulut pintu
keluar. "Lekas keluar. Berembuk nanti
saja! Yang penting selamatkan dulu orang
ini...!"
"Gopo, hati-hati membawanya. Dia
sakit," seru Andini dalam kemanjaan.
"Peduli amat dengan omonganmu,
Sapi!" bentak Gopo.
Sekar Pamikat berlari bersama
Pendekar Pusar Bumi. Ruangan itu menjadi
sepi, tinggal orang-orang yang beraksi
di ranjang dengan seenaknya itu. Gopo
menggerutu sejenak, "Manusia-manusia
terkutuk..!" Lalu, dia berseru
sendirian, "Untuk pembalasan sakit hati
istri dan anakku, terimalah aji Guntur
Pemusnah ini..." Gopo menghentakkan
suaranya dengan keras, "Hoaaaa...!!"
"Glegaaar...!" Ruangan itu meledak.
Api berkobar ke mana-mana, Gopo segera
berlari menyusuri ruangan yang mirip
lorong sambil menggendong Ekayana. Di
depannya, Sekar Pamikat dan Lanangseta
berlari cepat. Kemudian Ludiro di
belakang mereka, dan Andini
sebentar-sebentar berhenti, berpaling
ke belakang dan berkata, "Hati-hati ya,
Gopo... itu barang berharga bagiku...!"
"Setan cerewet! Lekas lari, api
mengejar di belakang kita!" bentak Gopo
dengan jengkel.
Api terus mengejar membakar seluruh
bangunan itu. Mereka semakin mempercepat
langkah. Lorong itu tak habis-habisnya,
seperti tak berujung. Semakin dalam,
semakin tidak rata, melebar sedikit, dan
mulai lembab.
"Ini sebuah goa...!" teriak Ludiro
sambil berlari.
"Ya. Tapi akankah tembus ke goa
lumut bercahaya itu?" kata gopo. "Jika
benar, aku akan memakan semua lumut yang
ada di sana...!"
"Jangan pikirkan soal lumut,
pikirkan soal luka Ekayana itu!" bentak
Andini. "Bagaimana dengan lukanya? Dia
dapat busuk jika tidak segera
diobati...!"
"Andini...!" seru Sekar Pamikat di
depan sana. "Kami akan berusaha. Mungkin
Paman Ludiro bisa, tapi cari tempat yang
baik! Jangan membentak-bentak Gopo...!"
Pendekar Pusar Bumi berbisik kepada
Pendekar Cambuk Naga, "Siapa dia, Gopo
itu? Kekasihmu yang baru?"
"Ah, apa pantas kau cemburu kepada
Gopo? Apa mungkin aku bermain serong
dengan Gopo, atau dengan lelaki lain?"
Sekar sempat memberi cubitan kecil
di sela larinya.
"Habis, siapa dia?"
"Nanti akan kuceritakan. Jangan
sambil lari begini, aku takut rinduku
akan terjatuh dan tercecer di sepanjang
lorong goa ini."
"Apa kau rindu?"
"Apa kau tidak?"
Lanangseta, alias Pendekar Pusar
Bumi hanya tertawa Pendek. Namun ia
menggumam lirih,
"Aku khawatir dengan keselamatan
Ekayana. Ia parah. Mungkinkah ia dapat
tertolong dari luka-lukanya yang
kelihatannya cepat membusuk itu?"
Ya, akan tertolongkah Ekayana?
Dan bagaimana percintaan mereka
selanjutnya?
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar