..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 07 Januari 2025

API DI BUKIT MANOREH SERI 1 - 10

matjenuh khairil

 

Buku 1 

SEKALI_SEKALI terdengar petir bersabung di udara. Setiap kali suaranya menggelegar 

memenuhi lereng Gunung Merapi. Hujan diluar seakan-akan tercurah dari langit. 

Agung Sedayu masih duduk menggigil diatas amben bambu. Wajahnya menjadi kian pucat. 

Udara sangat dingin dan suasana sangat mencemaskan. 

“ Aku akan berangkat “ tiba2 terdengar suara kakaknya,Untara dengan nada rendah. 

Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang pucat. Dengan suara gemetar ia berkata“ Jangan, 

jangan kakang berangkat sekarang” 

“Tak ada waktu“ sahut kakaknya “sisa2 laskar Arya Penangsang yang tidak mau melihat 

kenyataan menjadi gila dan liar. Aku harus menghubungi paman Widura di Sangkal Putung. 

Kalau tidak, korban akan berjatuhan. Anak2 Paman Widura akan mati tanpa arti. Serangan itu 

akan datang demikian tiba- tiba”. 

“ Tidakkah ada orang lain yang dapat menyampaikan berita itu? Potong adiknya. 

“ Tak ada orang lain “ sahut kakaknya. 

“ Tetapi…. “ bibir Sedayu gemetar. 

“ Aku harus pergi “ Untara segera bangkit. Tetapi tangan adiknya cepat2 menggapai kainnya. 

“ Jangan,jangan “ adiknya berteriak “aku takut” 

Untara menarik nafas panjang. Katanya “ kau hanya akan berada di rumah ini sendirian malam 

nanti. Besok kau pergi ke Banyu Asri. Kau akan tinggal disana sampai aku pulang”. 

“ Aku takut,justru malam ini “ sahut adiknya “ bagaimana kalau laskar yang liar itu datang 

kemari “ 

“ Mereka tak akan datang kemari “ jawab kakaknya “ aku tahu pasti. Mereka akan menyergap 

Paman Widura. Karena itu aku harus pergi” 

“ Tidak – tidak “ mata Sedayu mulai basah. Dan akhirnya dari matanya itu melelehkan air mata. 

Sekali lagi Untara menarik nafas panjang-panjang. tanpa sesadarnya ia terlempar kembali, 

duduk disamping adiknya. Hatinya menjadi bingung. Ia tidak dapat berpangku tangan terhadap 

laskar Widura yang sedang terancam bahaya. Tetapi adiknya benar2 penakut. Anak yang telah 

mendekati usia 18 tahun itu sama sekali menggantungkan dirinya kepada orang lain. 

Sepeninggal ayahnya beberapa tahun yang lampau dan ibunya yang baru beberapa bulan, 

maka anak itu hamper tidak pernah berpisah darinya. Apalagi didalam kekalutan keadaan 

seperti saat itu. Sehingga dengan demikian Untara merasa se-akan2 memelihara anak bayi. 

“ Sedayu” katanya kemudian “umurmu telah hampir 18 tahun. Dalam usia itu Adipati Pajang 

yang dahulu bernama mas Karebet, telah menggemparkan Demak, dan sekarang dalam usia 

yang muda pula, Sutawijaya berhasil melawang Penangsang yang perkasa “ 

“Aku bukan mereka“ jawab Sedayu 

Untara mengeleng-gelengkan kepalanya, katanya “setidak-tidaknya kau harus malu kepada 

dirimu sendiri” 

“Tetapi aku takut” Sedayu tidak menghiraukan kata-kata kakaknya. 

Kembali Untara termenung. Adalah salahnya sendiri, apabila pada masa kanak-kanaknya 

adiknya itu terlalu dilindunginya. Kenakalan kawan-kawannya pasti akan dihadapinya. Karena 

itulah maka Sedayu terlalu tergantung padanya. Dan sampai masa dewasanya, ia tidak mampu 

berdiri diatas kakinya sendiri. Meskipun adiknya itu selangkah dua langkah diajarnya juga cara-

cara membela diri dan didalam latihan-latihan dapat juga menunjukkan kelincahan dan 

ketangkasan, namun kelincahan dan ketangkasannya itu terbatas dibelakang dinding-dinding 

rumahnya. Hatinya terlalu kecil untuk berhadapan dengan dunia. Terasa betapa kerdil jiwanya. 

Apalagi setelah didengar oleh Agung Sedayu, betapa laskar Penangsang yang sedang

berputus asa itu berkeliaran dilereng gunung Merapi. 

Untara kini benar-benar kebingungan. Ia menjadi gelisah, sedang waktu merambat terus 

kepusat malam. Dan hujan masih saja memukul atap-atap rumah dan dedaunan. 

Tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya, gumamnya “Bagaimana kalau kau ikut”. Namun terasa 

hatinya sendiri beragu. Kalau ada bahaya diperjalanan dan adiknya itu kena cidera, maka 

seluruh sanak keluarganya, terutama paman dan bibinya di Banyu Asri akan menyalahkannya. 

Agung sedayu memandang wajah kakaknya yang suram. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya, 

pada malam yang gelap dan hujan yang pekat, memaksa diri pergi ke Sangkal Putung. Ketika 

Sedayu sedang mencoba untuk berpikir, terdengar kakaknya berkata “Bagaimana Sedayu? 

Kau tinggal dirumah, atau kau ikut serta?” 

“Kedua-duanya tidak menyenangkan” jawab Agung Sedayu. 

“Kau harus memilih salah satu dari keduanya” jawab kakaknya, yang akhirnya tidak 

menemukan jalan lain. Sebab yang melingkar-lingkar didalam dadanya adalah “laskar paman 

Widura harus diselamatnyan”, dan itu adalah kewajibannya. 

Agung Sedayu menjadi bingung. Keduanya sama sekali tak menarik baginya. Tetapi ia tidak 

dapat merubah keputusan kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia 

memilih untuk ikut serta meskipun dengan dada yang berdebar-debar. 

“Bagaimana kalau kita berjumpa dengan laskar itu diperjalanan” bertanya Agung Sedayu. 

“Kemungkinan yang sama dengan kedatangan mereka kerumah ini” sahut kakaknya. 

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ketika kakaknya berdiri dan meraih kerisnya dari glodog 

disamping pembaringannya, Agung Sedayupun berdiri pula. Dibetulkannya letak pakaiannya 

dan kemudian diteguknya air sere dari mangkuk bamboo dengan bibir yang gemetar. Namun 

hatinya tidak mau tenang juga. 

“Bawa kerismu” perintah kakaknya. 

Agung Sedayu menjadi semakin gelisah, tetapi dengan tangan yang menggigil disisipkannya 

kerisnya dipinggang kiri. 

Diikutinya langkah kaki kakaknya melompati tludak pintu menuju ke kandang kuda dibelakang 

rumah. Namun ketika mereka telah berada diatas punggung-punggung kuda, kembali Agung 

Sedayu berdesah “Apakah pekerjaan ini tidak dapat ditunda?” 

Kakaknya menggeleng “tidak” jawabnya “besok pagi-pagi laskar yang liar itu akan menghantam 

paman Widura” 

Agung Sedayu memandang malam yang pekat dengan dada yang berdentang-dentang. 

Pakaiannya telah basah kuyup oleh hujan yang semakin deras. 

“Berdoalah” bisik kakaknya “Tuhan bersama kita” 

Agung Sedayu menggangguk kecil. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak. Disebutnya nama 

Allah Maha Pemurah dan Maha Pengasih. 

Kemudian bergeraklah kuda-kuda itu menyusup kedalam kekelaman malam. 

Sesaat kemudian mereka meninggalkan padukuhan Jati Anom menuju kearah timur. 

Dibelakang mereka berdiri tegak gunung Merapi yang berselimut kepekatan malam dan 

kepadatan butir-butir air hujan yang berjatuhan dari langit. Ketika guruh menggelegar diudara 

dan kilat menyambar diatas kepala mereka sekilas tampaklah jalan yang menjalur dibawah kai-

kaki kuda mereka. Becek dan merah, diwarnai oleh tanah liat yang telah bertahun-tahun sedikit 

demi sedikit meluncur dari lereng-lereng bukit. 

Untuk beberapa saat mereka berdiam diri terpaku diatas punggung kuda masing-masing. 

Hanya setiap kali Agung Sedayu selalu menoleh kepada kakaknya, seakan-akan takut 

ditinggalkannya. Tetapi kakaknya itu selalu menundukkan kepalanya. Sebenarnyalah ia sedang 

berpikir. Apakah yang kira-kira akan terjadi diperjalanan dan apakah yang akan terjadi besok 

apabila laskar yang liar itu benar-benar akan menyerang. Kedudukan Widura tidak begitu 

menguntungkan dan jumlah orangnyapun tidak begitu banyak, sebab Sangkal Putung bukanlah 

daerah yang langsung menghadapi pertempuran. Tetapi sisa-sisa laskar Arya Penangsang 

yangtidak mau melihat kekalahan Adipati Jipang itu berusaha untuk menimbulkan keributan 

dimana-mana. Mereka berkeliaran, bahkan melingkari Pajang dan kemudian menyerang 

daerah-daerah yang jauh dibelakang garis perang. Mereka datang setiap saat, dan kemudian


menghilang seperti hantu. Hutan-hutan jati dan bahkan hutan-hutan belukar menjadi tempat 

persembunyian mereka. 

Demikianlah petang tadi, sampang Untara menerima berita tentang laskar yang telah 

kehilangan tujuan perjuangannya itu. Merkea berhasrat untuk menyerang Sangkal Putung 

Timur. Dan agaknya Widura sama sekali tidak menduga. Namun lumbung-lumbung yang padat 

di Sangkal Putung, pasti akan dapat memberi perbekalan yang baik bagi laskar yang liar itu. 

Dan memang itulah tujuan mereka. 

Angan-angan Untara terputus ketika mendengar adiknya berbisik “Kakang, kau melihat 

bayangan dihadapan kita?” 

Untara mengerutkan keningnya “Ya” jawabnya. 

“Orang?” berbisik Agung Sedayu. 

Untara menggeleng “Jangan mengada-adaSedayu. Bukankah itu batang pohon jati yang roboh 

karena angina tiga hari yang lampau?” 

Sedayu mempertajam pandangannya. Namun bayangan itu seperti seseorang yang bertubuh 

raksasa menghalang dipinggir jalan. Tiba-tiba bulu-bulunya meremang dan hatinya menjadi 

tegang. Ia merapatkan kudanya kesisi kuda kakaknya. 

“Hem” kakaknya menggerang “Kau bukan anak-anak lagi Sedayu. Seharusnya kau berani 

menempuh perjalanan ini seorang diri” 

Sedayu diam saja. Tetapi hatinya masih tegang. 

Ketika kilat menyambar dilangit, dan nyalanya memenuhi lereng gunung Merapi itu, Sedayu 

menarik nafas panjang, Bayangan itu benar-benar pokok pohon jati yang patah diputar angin. 

Tetapi baru saja Sedayu bernafas lega, tiba-tiba kembali dadanya berdebar-debar. Tidak jauh 

dihadapan mereka terbentang padang rumput dan beberapa ratus langkah lagi, tampak tegak 

sebatang pohon beringin raksasa. Daerah yang biasa disebut Lemah Cengkar. 

“Kita lewat jalan ini?” terdengar suaranya lirih diantara gemerisik hujan. 

“Kenapa?” Tanya kakaknya. 

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kakaknya sudah tahu jawabnya “Kau takut macan putih 

yang menjagai beringin itu?” 

Agung Sedayu mengangguk. 

“Tidak” kakaknya meneruskan “Kita tidak lewat Lemah Cengkar. Kita ambil jalan memintas. Kita 

belok ke kanan” 

“Lewat jalan dipinggir hutan belukar?” Sedayu menjadi semakin cemas. 

“Ya” jawab kakaknya. 

“Macanan?” desak adiknya. 

“Ya” 

Sedayu semakin gelisah. Katanya “Bagaimana kalau kita tiba-tiba berjumpa dengan seekor 

harimau. Bukankah daerah Macanan itu terkenal dengan harimau belangnya?” 

“Harimau belang itu tidak seganas Macan Putih di Lemah Cengkar” Untara menakut-nakuti 

adiknya, meskipun ia sama sekali tidak takut terhadap macan putih maupun harimau belang. 

Namun lewat Macanan jalan bertambah dekat. 

Aung Sedayu terbungkam. Namun tubuhnya terasa menggigil. Menggigil karena hatinya yang 

keciut dan menggigil karena dingin. Tetapi kuda mereka berjalan terus. Bahkan ketika Untara 

mempercepat lari kudanya, Sedayupun segera melecut kudanya pula. Ia tidak mau berjarak 

lebih tebal tubuh kudanya dari kuda kakaknya. 

Perjalanan mereka menjadi kian sulit. Tanah yang liat dijalan-jalan sempit itu tampak merah 

kehitam-hitaman. Dihadapan merke terbentang hutan belukar. Pandangan mata Untara yang 

tajam jauh mendahului kaki-kaki kudanya. 

Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat alisnya. Ketika kilat menyambar ia melihat sesuatu 

dihadapannya. Kali ini ia melihat bayangan. Bukan pokok kayu jati yang roboh. Dan bayangan 

itu dilihatnya menghilang diujung jalan. 

Untara menjadi berdebar-debar. Ia menoleh kapada adiknya, namun agaknya Sedayu belum



melihatnya. 

Untara sendiri tidak pernah menjadi takut apapun yang berada didepannya. Tetapi kali ini ia 

membawa adiknya. Seandainya bayangan itu seekor harimau, maka akan mudahlah untuk 

mengatasinya. Harimau tidak selalu menyerang seseorang. Kalau harimau itu tidak berdiri 

ditengah jalan, maka seandainya harimau itu lapar, kuda-kuda mereka akan dapat berlari lebih 

kencang dari harimau itu. Meskipun seandainya harimau itu mengadang mereka, Untarapun 

tidak takut, sebab telah dua kali ia terpaksa berkelai dengan harimau, dan harimau-harimau itu 

selalu berhasil dibunuhnya. Dibunuh dnegan keris yang terselip dipinggangnya itu. 

Tetapi bayangan yang bergerak dan menghilang kedalam hutan adalah bayangan yang tegak 

diatas kakinya. Ia melihat dengan ketajaman matanya.Dan ia pasti bahwa bayangan itu adalah 

bayangan seseorang. 

Untara menarik nafas untuk merdedakan debar jantungnya. Sekali lagi ia memandangi adiknya, 

bahkan tanpa disengaja ia memperlambat kudanya. 

Sedayupun cepat-cepat menarik kekang kudanya. Dengan nafas yang bekejaran ia bertanya 

“Ada apa kakang?” 

“Tidak ada apa-apa” sahut kakanya “Jalanan dihadapan kita sangat licin” 

“Oh” namun jantungnya menjadi semakin cepat berdentang. 

Akhirnya Untara menghentikan kudanya. Dilontarkannya pandangan matanya kehutan 

dihadapannya “Apakah yang tersembunyi dibalik kekelaman itu?” 

Hati Agung Sedayu semakin cemas, desisinya :Adakah sesuatu dihadapan kita?” 

Untara berbimbang. Tidak seharunya ia menyembunyikan bahaya yang mungkin berada dibalik 

kehitaman hutan itu. Merkea harus berhati-hati. Tetapi kalau adiknya menjadi ketakutan, 

keadaan akan lebih jelek lagi. 

“Kita lampaui daerah yang licin ini dengan berjalan kaki” jawab kakaknya. Ia tidak menunggiu 

lebih lama lagi. Dituntunnya kudanya berjalan perlahan-lahan dengan penuh kewaspadaan. Ia 

tidak tahu siapakah yang berada diujung hutan itu. Kalai mereka menyerang dengan tiba-tiba, 

maka duduk diatas punggung kida akan menjadi lebih berbahaya. Seorang kawannya pernah 

mengalami nasib yang tidak menyenangkan, ketika ia mengalami serangan dengan cara 

pengecut. Dilintangkan oleh para penyerang itu, seutas tali untuk menjatuhkan kudanya. 

Kemudian dalam keadaan yang sulit kawannya itu tudak mampu mempertahankan diri. Dan kini 

iat tidak mau mengalami nasib serupa itu.Hati Sedayu menjadi bertambah kecut. Ia merasa 

sesuatu yang tidak pada tempatnya. Karena itu ia bertanya lagi sambil merapatkan diri 

disamping kakaknya “Adakah sesuatu yang berbahaya?” 

Kakaknya tidak mau berbohong lagi. Jawabnya “Bersiaplah. Mungkin kita berjumpa dengan 

bahaya, tetapi mungkin pula kita mendapat teman” 

Denyut nadi Sedayu seakan-akan berhenti. Dengan tergagap ia berkata “Kakang, apakah tidak 

sebaiknya kita kembali?” 

“Nasib paman Widura tergantung kepada kita” sahut kakaknya. 

“Tetapi nasib kita sendiri?” desak adiknya. 

Untara tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang wajr. Tetapi ada 

sesuatu yang tidak dirasakan oleh adiknya itu. Ia merasa wajib untuk menyelamatkan laskar 

Widura, pamannya yang telah bertahun-tahun bersama-sama dalam satu ikatan perjuangan. 

Dan yang terakhir, mereka berdua berdiri dipihak Pajang dalam pertentangannya dengan 

Jipang. Karena itu ada beberapa dorongan yang kuat yang memaksanya untuk berjalan terus. 

Karena Untara tidak menjawab, Sedayu mendesaknya “Kakang, kenapa kita tidak kembali. 

Bukankah nasib kita sendiri lebih berharga dari nasib siapapun juga?” 

“Belum pasti kita akan menjumpai bahawa Sedayu. Bahkan mungkin kita akan mendapat teman 

seperjalanan. Syukurlah kalau yang berada diujung hutan itu anak-anak paman Widura sendiri”. 

Namun apa yang dikatakannya sama sekali tidak diyakininya. Sangkal Putung masih agak jauh. 

“Adakan seseorang diujung hutan itu?” Sedayu semakin cemas. 

“Ya” jawab Untara berat. 

“Kakang lihat?” desak Sedayu.


“Ya” Untara menjadi semakin cemas. Kalau adiknya menjadi ketakutan, sulitlah keadaannya. 

Apa yang diduganya itu benar-benar terjadi. Tiba-tiba Sedayu semakin merapatkan dirinya 

sambil merengek “Kakang, marilah kita kembali” 

“Jangan Sedayu” jawab kakaknya membesarkan hati adiknya “Kita lihat siapakah yang berada 

diujung hutan itu” 

“Mereka pasti laskar Arya Penangsang” sahut adiknya. 

“Kenapa kita mesti takut kepada mereka?” bertanya kakaknya. 

“Mereka adalah orang-orang sakti” jawab adiknya. 

“Kita juga laki-laki seperti mereka, Sedayu” bombing kakaknya “Apabila mereka orang-orang 

sakti, mereka tidak akan dikalahkan oleh laskar Pajang” 

“Kita bukan laskar Pajang” bantah adiknya. 

“Aku salah seorang dari prajurit Pajang” potong kakaknya. Untara bukanlah seorang yang biasa 

menyombongkan dirinya. Tetapi ia mengharap adiknya mempunyai kepercayaan kepadanya 

dan tidak akan menyulitkan keadaanya seandainya ia benar-benar harus menghadapi bahaya. 

“Tetapi aku bukan” rengek adiknya pula. Bahkan kini Sedayu telah mulai menarik-narik bajunya. 

Untara menjadi gelisah. Tetapi ia tidak menjawab. Jarak mereka telah semakin dekat dan 

Untara tidak memutar langkahnya. Ketika adiknya akan berkata lagi, Untara berdesis “diamlah 

supaya orang – orang dimuka kita tidak tahu bahwa kau penakut. Dengan demikian mereka 

akan semakin berani. Dan mereka akan mempermainkan kita seperti kelinci.” 

Sedayu terbungkam. Betapa ia menjadi sangat takut untuk menyatakan ketakutannya. Karena 

itu dengan lutut yang gemetar iapun berjalan terus. 

Tiba – tiba Untara menggeram. Untunglah mereka tidak akan dapat melihat bamboo wulung 

yang kehitam – hitaman itu. Apalagi di dalam kepekatan hujan malam yang kelam. Namun 

ketajaman mata Untara dapat membedakannya dengan warna air yang keputih – putihan 

memantulkan cahaya cakrawala yang sangat lemah. Dan apabila kaki – kaki kuda mereka 

menyentuhnya, akibatnya akan mengerikan sekali. 

Beberapa langkah dari bamboo yang melintang itu Untara berhenti. Tak ada seorangpun yang 

tampak. Namun ia yakin di dalam hutan, dibalik pohon – pohon yang rapat itu, pasti 

bersembunyi seseorang atau lebih. 

Ketika Sedayu melihat bambu yang melintang itu, maka darahnya seakan – akan membeku. Ia 

pernah melihat cerita kakaknya tentang seseorang yang malang melanggar seutas tali yang 

terentang di jalan. Tetapi hatinya telah benar – benar dicekam oleh ketakutan sehingga sama 

sekali ia tidak berani berkata sepatahpun. Bahkan terasa lututnya semakin gemetar, dan 

seakan – akan ia telah tidak mampu lagi untuk berdiri tegak diatas kedua kakinya itu. 

Sekali, Untara menarik nafas. Ia tak mau mendekat lagi. Sebab dengan demikian, ia akan 

berada didalam kedudukan yang kurang baik. Orang – orang yang berada di belakang 

rimbunnya daun – daun akan dapat melihatnya dengan jelas, sedang ia sendiri tak akan dapat 

melihat mereka. Karena itu, sengaja Untara menanti salah seorang dari mereka atau beberapa 

orang sekaligus datang kepadanya. 

Untuk sesaat keadaan menjadi sunyi tegang. Nafas Sedayu terdengar berebut dahulu keluar 

dari hidungnya. Ia tidak berani berkata apapun, namun tangannya erat berpegangan baju 

kakaknya. Perlahan – lahan tangan Untara meraba tangan adiknya, dan dicobanya untuk 

melepaskan pegangan itu. Sebab setiap saat ia perlu bergerak cepat. Tetapi Sedayu 

berpegangan semakin erat bahkan sekali-sekali menariknya. 

Untara menarik nafas. 

Tiba-tiba Sedayu terkejut ketika kakaknya berkata lantang “ Biarkan mereka Sedayu. Kita tidak 

akan berbuat apa-apa. Namun kalau mereka mengganggu kita, kau baru boleh bertindak 

sesuka hatimu. Syukurlah kalau mereka sahabat-sahabat kita yang baik” 

Sedayu tidak tahu maksud kata-kata itu. Bahkan debar jantungnya seperti akan memecah 

dadanya. Ia ingin mengatakan sesuatu namun mulutnya seperti telah tersumbat. 

Tetapi yang diharapkan Untara terjadilah. Orang-orang yang bersembunyi dibalik pohon-pohin


yang rimbun itu mendadak menjadi tidak sabar. Sehingga dengan demikian terdengar salah 

seorang diantara mereka berteriak “Siapa kalian?” 

Pertanyaan itu bagi Sedayu terdengar seperti petir yang meledak ditelinganya. Kini tidak saja 

lututnya yang gemetar, tetapi seluruh tubuhnya menggigil dan dadanya bergetar,sedang 

darahnya seolah-olah berhenti menyumbat kerongkongan, sehingga nafasnya menjadi sesak. 

Ia tidak dapat bertahan berpegangan baju kakaknya lagi ketika tangan kakaknya menyentuh 

tangannya. Kini Untara dapat maju selangkah,bisiknya “peganglah kendali kuda-kuda kita” 

Tetapi Sedayu tidak menangkap kendali kuda Untara bahkan dengan tidak disadarinya, kembali 

ia berpegangan baju kakaknya. 

Perlahan-lahan kakaknya menarik tangan adiknya adiknya sambil berkata lirih “Sedayu,kalau 

kau tak mau memegang kendali kuda, jangan berpegangan bajuku, berpeganganlah tangkai 

kerismu.” 

Tetapi hati Sedayu yang tinggal semenir itu tak dapat lagi menangkap arti kata-kata kakaknya. 

Ketika kakaknya bergeser selangkah lagi, tangan Sedayu terkulai lemas. Dan ia berdiri diantara 

dua ekor kuda seperti tiang yang lapuk. Sebuah sentuhan yang tak berarti akan dapat 

merobohkannya. 

Dalam pada itu kembali terdengar suara dari ujung hutan berteriak diantara butir-butir hujan 

yang sudah mulai mereda. 

“He, siapa kalian?” 

Untara mencoba menembus kepekatan malam, namun ia tak berhasil. Karena itu maka 

dijawabnya berhati-hati “kami anak-anak dari sendang gabus. Siapakah kalian?” 

“Ya” sahut Untara 

“Anak siapa?” terdengar sebuah pertanyaan. 

Untara beragu. Adakah mereka mengenal setiap orang di Sendang Gabus. Untara sendiri tidak 

banyak mengenal orang-orang dari Sendang Gabus, meskipun pedukuhannya Jati Anom tidak 

jauh dari Sendang Gabus itu. Untuk menyebut namanya tak mungkin baginya. Seandainya 

orang-orang yang bersembunyi itu sisa-sisa laskar Penangsang, maka nama Untara pasti 

mereka kenal. Dengan demikian tak mungkin baginya untuk melampaui tempat itu tanpa 

pertumpahan darah. Karena itu ia mencoba menyembunyikan namanya sejauh mungkin. Ia 

masih mencoba untuk menghindarkan diri dari bentrokan kekerasan, sebab tugasnya adalah 

tugas yang sangat penting. Kalau ia gagal mencapai Sangkal Putung maka Widura akan 

mengalami bencana. Karena itu maka ia menjawab untung-untungan “ Anak Sadipa” 

“Sadipa” sahut suara diujung hutan 

“Ya” 

“Sadipa yang mana, yang tinggi sakit-sakitan atau yang pendek kudisan?” bertanya suara itu 

pula” 

Kembali pengenalannya atas orang yang bernama Sadipa “Sadipa yang lain. Tinggi 

besar,berkumis panjang. Tetapi yang satu tangannya cacat.” 

“Bagus” sahut suara itu “kau benar-benar anak Sendang Gabus, kau benar-benar kenal dengan 

Sadipa. Tetapi kenapa kau berbohong ?” 

Untara menjadi berdebar-debar. Ia telah menyebutkan sebuah nama yang dikenalnya. Ia telah 

menyebutkan ciri-cirinya. Tetapi orang dibelakang kegelapan itu tahu ia berbohong. 

Tiba-tiba Untara melihat banyangan yang bergerak-gerak muncul dari balik pepohonan. Cepat 

ia melangkah surut, selangkah saja dimuka adiknya. Nalurinya telah membawanya untuk 

melindungi adiknya yang menggigil ketakutan. 

Orang yang muncul dari hutan itu berjalan perlahan-lahan mendekatinya. Terdengarlah ia 

tertawa lirih, namun suaranya menghentak-hentak dada. 

Agung Sedayu menjadi kian ketakutan. Namun kakaknya tegak dimukanya seperti betu karang. 

“Siapakah sebenarnya?” bertanya orang itu. 

Untara mencoba mengawasi wajahnya. Lamat-lamat ia melihat garis-garis yang keras. 

Tubuhnya tidak begitu tinggi, namun ketat dan kekar. Orang itu masih beberapa langkah maju. 

“Ha” katanya kemudian, setelah ia berhenti kira-kira tiga empat langkah dari Untara “dua anak


yang berani”. Siapakah namamu?” 

“Aku anak Sadipa” Untara mengulangi. 

Kembali orang itu tertawa “jangan berbohong” katanya “Anak Sadipa yang tinggi 

besar,berkumis panjang dan satu tangannya cacat, tidak segagah kalian. Aku kenal mereka. 

Aku orang Sendang Gabus.” 

Untara terkejut mendengar keterangan itu. Apakah orang yang berdiri dihadapannya itu orang 

Sendang Gabus? 

“Kalau kau orang Sendang Gabus, siapa namamu?” sahut Untara. 

“Tebak siapa aku?” ornag itu berkata sambil tertawa. 

Kembali Untara diam. Ia mencoba mengingat-ingat semua orang Sendang Gabus yang pernah 

dilihatnya. Dan tiba-tiba ia teringat orang ini. Pande besi di Sendang Gabus. 

“Aku ingat” tiba-tiba Untara menyahut “kau pande besi Sendang Gabus.” 

Orang itu mengangkat alisnya,katanya “ kau kenal aku?” 

Ya, kau adalah salah seorang prajurit Jipang sambung Untara. Namun dengan demikian Untara 

menjadi semakin berdebar-debar. Pande besi itu kenal kepadanya dahulu. Mudah-mudahan 

orng itu telah melupakannya. 

Tetapi ternyata Untara tidak beruntung. Orang itu selangkah maju, dan dicobanya untuk 

mengenal wajah Untara baik-baik. Diamatinya anak muda itu dengan seksama. Maka tiba-tiba 

katanya disertai derail tawanya “ Ha. Jangan bohong lagi. Kalian anak Jati Anom.” Orang itu 

berhenti sejenak untuk mengingat-ingat. Maka sambungnya menyentak “setan. Bukankah kau 

yang bernama Untara. He?” 

Untara tidak dapat lagi menyembunyikan namanya. Orang itu ternyata masih mengenalnya. 

Namun meskipun demikian ia menjawab “Ya, aku Untara. Bukankah kita bertetangga?” 

“Persetan. Kau pengikut Karebet yang gila itu?” bentak pande besi itu. 

“Hem” Untara menarik nafas. “apakah bedanya?” kau berada di pihak Jipang dengan 

keyakinanmu, aku berada di pihak Pajang dengan keyakinanku.” 

“Huh” sahut orang itu “kau sangka Karebet berhak merajai pulau Jawa. Ia tidak lebih dari anak 

penunggu burung disawah.” 

“Yang penting bagiku,apakah yang telah di lakukandan akan dilakukan bagi tanah kita ini.” 

Sahut Untara. 

“Aku bukan tukang bicara seperti kau” bentak orang itu. “Wahyu keratin tidak dapat hadir pada 

sembarang orang. Tidak akan dapat hadir dalam diri penggembala seperti anak tingkir itu.” 

“Tetapi Penangsang telah mati. Apa katamu?” bantah Untara 

“Persetan. Namun Cita-citanya tetap hidup” jawab pande besi itu. 

Untara tersenyum. Katanya “Tahukah kau tentang yang kau katakan itu? Cita-cita? Bukankah 

kau menghilang dari Sendang Gabus karena kau tidak dapat membayar utangmu pada 

Demang sendang Gabus?” 

“Persetan. Persetan. Setiap pengikut Adiwijaya harus matu. Kau pula harus mati” gertak pande 

besi itu. 

“Kau akan membunuh aku?” bertanya Untara. 

Orang itu berpikir sejenak. Ia kenal akan nama Untara yang gemilang di laskar Pajang. Ia sadar 

bahwa ia sendiri tak mampu melawannya. Karena itu ia menjawab “Ya,aku akan membunuhmu. 

Maksudku golonganku. Golongan Arya Jipang.” 

“Hem” Untara menarik nafas “kenapa golongan? Paman pande besi” sambung Untara “Paman 

bias mengakhiri cara hidup yang tidak berketentuan itu. Orang –orang Pajang bukan 

pendendam.” 

“Persetan. “tiba-tiba orang itu bersuit nyaring, dan sesaat kemudian muncullah tiga orang dari 

dalam belukar, 

Terdengar Untara menggeram “empat orang” desisnya. Sekali ia menoleh pada adiknya. 

Adiknya masih menggigil ketakutan.Tampaklah mulutnya bergerak-gerak. Namun suaranya 

sama sekali tak terdengar. Untara menyesal, kenapa adiknya itu dibawa serta Kalau ia singgah


sebentar di Banyu Asri, adiknya dapat dititipkannya disana. Namun apakah pamannya sedang 

dirumah juga belum pasti. 

Tiga orang yang datang kemudian itupun kini telah berada disamping si pande besi. Yang 

seorang bertubuh tingg9i kekurus-kurusan, yang seornag lagi tinggi gagah sedang yang 

seorang lagi masih sangat muda, lebih tua sedikit dari adiknya. 

“Untara” berkata si pande besi “sayang kami tidak biasa menawan seseorang. Karena itu sama 

sekali tidak bermaksud menangkap kalian.” 

Untara menyadari arti kata-kata itu. Pande besi itu akan berkata “kalian berdua akan kami 

bunuh” 

Karena itu ia tidak dapat melihat kemungkinan lain daripada bertempur melawan keempatnya. 

Tetapi bagaimana dengan adiknya? 

Tiba-tiba Untara berkata lantang “Sedayu,menepilah. Biarlah aku saja yang menghadapi 

mereka. Kau tidakperlu ikut serta. Orang-orang ini sama sekali tak cukup bernilai untuk 

melawanmu.” 

Si Pande besi menggeram “ Jangan terlalu sombong.” 

Untara sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi dia ingin menutupi kelemahan 

adiknya, sehingga orang-orang itu tidak akan berani mengganggunya. Untunglah bahwa 

keempat orang itu tidak terlalu memperhatikan adik Untara itu, sehingga mereka tidak 

mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang terjadi dengan anak muda itu. Menggigil 

ketakuatan denagn dada sesak. 

Pande besi Sendang Gabus bersama ketiga kawannya itu tiba-tiba memencar. Ditangan 

mereka masing-masing tergenggam senjata. Pande besi itu memegang sebuah tongkat besi, si 

jangkung kurus memegang golok pendek,yang gagah bersenjata belati di kedua tangannya, 

sedang si anak muda memegang pedang. 

“Anak iini bernama Untara” teriak si pande besi “karena itu berhati-hatilah.” 

“Untara” desis si anak muda. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Namun didalam dadanya 

terbersit suatu perasaan yang aneh. Ia pernah terlibat bersama-sama dengan kawan-kawannya 

dalam suatu pertempuran melawan prajurit-prajurit Pajang yang dipimpin oleh Untara. Betapa 

kagumnya ia melihat Untara yang perkasa itu. Kini ia berhadapan langsung dengan orang itu. 

Tiba-tiba hatinya bergetar. Meskipun demikian ia harus bertempur. Dengan ketiga kawannya ia 

pasti dapat membunuh orang yang disegani itu. 

Untara sadar bahwa lawan-lawannya benar-benar akan membunuhnya bersama-sama dengan 

adiknya. Karena itu, ia harus melawan mereka. Apabila terpaksa, maka bukan salahnyalah 

kalau ada diantara mereka yang terpaksa mati. Namun tidak mustahil pula, bahwa 

kemungkinan yang tidak menyenangkan itu ada padanya. 

Karena itu segera Untara bersiap. Ia harus menarik seluruh perhatian dari keempat lawannya, 

sehingga tak ada diantaranya yang mengganggu Agung Sedayu. 

Maka dengan gerak yang cepat,secepat tatit menyambar dilangit,Untara meloncat menyerbu 

diantara mereka. Dengan berputar diatas sebuah kakinya, ia menyerang dua orang sekaligus. 

Serangannya tidak begitu berbahaya, namun benar-benar mengejutkan. Karena itu maka si 

jangkung dengan sangat terkejut meloncat mundur,dan si tinggi gagah, terpaksa meloncat 

kesamping. Meskipun mereka tidak dapat dikenai oleh serangan Untara, namun serangan itu 

benar-benar tidak mereka duga. Belum lagi debar jantung mereka berhenti, mereka melihat 

Untara melayang dnegan garangnya. Kali ini Untara tidak hanya mengejutkan mereka. 

Tangannya yang cekatan dengan cepatnya meraih tongkat besi si Pande Besi, dan dengan 

suatu tarikan yang cepat, tongkat itu sudah berpindah ditangannya. 

“Setan,demit,tetekan” pande besi dari Sendang Gabus itu mengumpat tidak habis-habisnya. 

Sedang kawannya melihat serangan itu seperti melihat seekor elang menyambar anak ayam 

yang sama sekali tak berdaya. Tetapi pande besi itu segera sadar. Segera ia meloncat pada si 

tinggi besar “berikan aku sebuah pisaumu” teriaknya. Si pande besi tidak menunggu jawaban. 

Segera direbutnya sebuah pisau kawannya itu. 

Sementara itu,kawan-kawannya yang lain telah menyadari kedudukan mereka. Segera mereka 

menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda-beda.Untara menarik nafas. Ia bersyukur di 

dalam hatinya, bahwa keempatnya telah dapat ditarik dalam satu lingkaran pertempuran.


Karena itu Untara tidak menyianyiakan waktu. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu, 

supaya ia sempat mencapai Sangkal Putung sebelum subuh. 

Pertempuran itupun segera menjadi semakin sengit,Pande besi dati Sendang Gabus itupun 

ternyata memiliki kekuatan tenaga yang luar biasa. Gerakannya pasti akan menimbulkan 

getaran yang mengerikan. Ornga yang tinggi kurus itu memiliki keistimewaan pula. Tangannya 

yang panjang setiap kali terjulur mengulurkan angina maut. Sedang diujung tangannya itu 

tampak sebuah golok berkilat-kilat. Orang yang tinggi besar itupun mempercayakan dirinya 

pada kekuatan tangannya. Pisau belatinya menyambar-nyambar dari segala arah. Bahkan 

sekali-sekali sengaja dibenturkannya dengan tongkat besi di tangan Untara. Namun Untara 

bukan anak-anak yang sedang berlatih anggar. Setiap benturan dengan senjatanya, telah 

memaksa lawannya untuk berpikir kembali. Bahkan ornag yang tinggi besar itupun kemudian 

tidak berani lagi mencoba-coba membenturkan senjatanya yang sebenarnya terlampau pendek. 

Sedang si anak muda ternyata tangkas dan cekatan sekali. Sekali-sekali ia meloncat 

menyerang, namun apabila keadaannya sulit, cepat-cepat ia menarik dirinya, meloncat surut. 

Namun seandainya ia bertempur seorang diri, maka umurnya tidak akan lebih panjang dari 

seekor sulung yang terjun ke dalam api. 

Demikianlah Untara bekerja mati-matian. Malam yang kelam telah menolongnya. Ia tidak perlu 

takut- takut senjatanya akan mengenai kawan-kawannya. Ia dapat menyerang setiap bayangan 

yang ada di setiap garis serangannya. Teteapi lawannya tidak dapat berbuat demikian. Mereka 

harus lebih berhati-hati. Sebab Untara itu benar-benar lincah seperti anak kijang. Sekali-sekali 

ia melontar diantara mereka berempat, namun tiba-tiba ia telah berada diluar lingkaran. Bahkan 

sekali-sekali lawannya menjadi bingung, seolah-olah Untara dapat melenyapkan diri diantara 

percikan-percikan hujan yang hamper reda. 

Agung Sedayu melihat perkelahian itu dengan denyut jantung yang tak teratur. Sekali-sekali 

berdentang seperti guntur didalam dadanya, namun sekali-sekali terasa berhenti bergerak. 

Kakinya gemetar sehingga kedua lututnya beradu. Meskipun demikian ia malihat juga anak 

muda sebayanya bertempur melawan kakaknya. Timbullah keheranan di daloam dadanya. 

Kenapa anak semuda itu berani berkelahi melawan kakaknya? Kakaknya bagi Agung Sedayu 

adalah orang yang sangat dikagumi. Orang yang dalam pandangan Sedayu tak ada duanya di 

dunia ini. Meskipun demikian, ia menjadi cemas. Apakah kakaknya dapat melawan empat 

orang sekaligus. Ia belum pernah melihat perkelahian yang sebenarnya. Perkalahian untuk 

mempertaruhkan nyawa. Yang pernah rilihatnya, adalah bagaimana kakaknya berlatih. Bahkan 

kadang-kadang ia ikut serta. Ia tahu bagaimana harus menghindar, menyerang dan 

mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Namun keberaniannya tak ada untuk 

melakukannya. 

Untara masih bertempur dengan garangnya. Bahkan lawan-lawannya semakin lama semakin 

menyadari keperkasaannya. Namun tiba-tiba Untara menjadi cemas. Pande Besi itu sekali-

sekali melemparkan pandangannya pada Agung Sedayu. Ia melihat bagaimana anak muda itu 

berdiri. Ia melihat tangan Sedayu tergantung lemah. Bahkan sekali-sekali anak itu menutup 

wajahnya. Sekali-sekali memalingkan mukanya. Pande Besi yang licik itu berpikir di dalam 

hatinya “anak yang satu ini aneh benar” 

Memang Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan suatu minat atas perkelahian itu, 

bahkan terpancarlah kengerian dan ketakutan dari wajahnya. Namun meskipun demikian pande 

besi itu terpaksa menduga-duga “ada dua kemungkinan” pikir pande besi “anak ini terlalu 

percaya kepada kesaktiannya, sehingga ia kecewa melihat cara kawannya bertempur. Tetapi 

kemungkinan yang lain, anak ini seorang pengecut” 

Dalam keragu-raguan itu diingatnya kata-kata Untara “Orang-ornga ini sama sekali tak cukup 

bernilai untuk melawanmu.” 

Tetapi tiba-tiba pande besi itu tertawa. Suaranya benar-benar nyaring. Ia sudah mendapatkan 

suatu kepastian, bahwa anak itu anak yang kerdil. Kerana itu ia segera menemukan cara untuk 

memecah perhatian Untara. Maka terdengarlah ia berkata diantara derail tawanya “He Untara 

yang perkasa. Sudah berapa lama kita bertempur. Kenapa kawanmu itu hanya menonton saja 

seperti sabungan ayam.” 

Dada Untara semakin berdebar-debar. Ia melihat kecurigaan lawannya. Sikap adiknya benar-

benar tidak meyakinkan. Meskipun demikian ia menjawab “Buat apa ia susah-susah 

menghadapi kalian? Aku sendiri cukup mampu untuk melakukan


Pande Besi itu tertawa terus. Nadanya semakin tinggi dan memuakkan, sehingga Untara benar-

benar menjadi muak. Cepat ia meloncat dan mengayunkan tongkatnya menyerang. Suara 

tertawa pande besi itu terputus. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi tegang. Hampir saja 

kepalanya retak oleh sambaran senjatanya sendiri. Namun untunglah ia sempat merendahkan 

tubuhnya sementara dengan lincahnya si anak muda menyerang lambung Untara dengan 

pedangnya. Untara terpaksa menggeliat untuk menghindari ujung pedang lawannya. Dengan 

sebuah putaran ia meloncat tiba-tiba tongkat besinya telah terayun kedada si tinggi 

besar.serangan ini terlalu tiba-tiba. Hampir saja orang yang tinggi besar itu terpaksa mengakhiri 

perkelahian. Untunglah bahwa kedua kawannya yang lain sempat menolongnya. Orang yang 

tunggu kurus sempat memukul tongkat Untara dengan goloknya. Namun kekuatannya sama 

sekali tak memadai, sehingga ketika goloknya tersentuh tongkat Untara, terasa senjatanya 

terpental. Tangannya terasa nyeri dan tiba-tiba ia melihat goloknya seperti terbang terlempar 

beberapa daripadanya. 

Pande Besi, yang mengepalai gerombolan itu segera melihat bahaya yang bakal datang. 

Mereka berempat dengan senjata ditangan masing-masing tidak mampu menghadapi Untara 

seorang diri. Apalagi kini salah seorang dari mereka tidak bersenjata lagi. 

Karena itu, maka segera ia mengambil keputusan untuk melakukan rencana liciknya. Dengan 

tiba-tiba ia meloncat surut, dan dengan berteriak nyaring ia berkata “Bunuhlah Untara itu 

dengan senjata-senjata kalian aku akan mencoba kesaktian anak muda yang seorang lagi.” 

Untara terkejut mendengar teriakan itu. Maka perhatiannya benar-benar menjadi terpecah. Ia 

melihat sebuah serangan pedang mendatar ke arah perutnya, sementara itu orang yang tinggi 

besar menusuknya dari punggung. 

Namun Untara adalah seornag prajurut Pajang yang terpercaya. Karena itu dengan cekatan ia 

menggeser tubuhnya sambil merendahkann dirinya, pedang si anak muda hanya lewat 

secengkal dari tubuhnya, sedang pisau orang yang tinggi besar itu mematuk agak jauh. Namun 

karena itu, Untara memerlukan beberapa saat untuk membebaskan diri dari serangan-serangan 

berikutnya. Sementara itu si pande besi telah berlari kea rah Agung Sedayu. 

Agung Sedayu melihat seseorang menyerangnya. Karena itu maka darahnya serasa benar-

benar berhenti mengalir. Dengan gerak nalurinya, yang dituntun oleh latihan bersama kakaknya, 

tangannya bergerak meraba hulu kerisnya. Namun tangan itu gemetar da kehilangan 

kekuatannya. Maka kerisnya tidak juga lolos dari wrangkanya. Bahkan yang terdengar 

suaranya terbata-bata “Kakang, kakang Untara.” 

Pande Besi yang licik itu tertawa nyaring. Suaranya kini benar-benar menjadi buas seperti 

hantu yang haus darah. Ia telah yakin bahwa anak muda yang seorang itu akan dapat 

dijadikannya korban pertama tanpa kesulitan. Maka katanya sambil berlari “Tahanlah Untara. 

Biarlah ia melihat anak muda yang satu ini mengalami nasib yang malang.” 

Sesaat Untara menjadi bingung. Ia sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk mengejar si 

Pande Besi. Ia telah tertinggal beberapa langkah. Kalau saja adiknya mampu berbuat sesuatu 

maka ia akan mendapat kesempatan untuk menolongnya. Tetapi adiknya telah menjadi kaku 

ketakutan. 

Tiba-tiba Untara membungkukkan badannya. Diraihnya sebuah batu sebesar telur. Dengan 

sekuat tenaganya ia melempar kudanya yang berdiri disamping adiknya. Kuda itu manjadi 

terkejut. Sambil meringkik tinggi kuda itu meloncat dan berlari kencang tanpa arah. Untunglah 

bahwa kuda yang seekor lagi terkejut pula, dan seperti yang lain kuda itupun melontar seperti 

panah. 

Kedua ekor kuda itu benar-benar memberi kesempatan kepada Untara. Sebab dengan itu si 

pande besi terpaksa tertahan beberapa saat. Ia tak mau melanggar kuda-kuda yang menjadi 

liar itu. Dan sesaat itu telah cukup bagi Untara. Untara tidak menghiraukan lagi ketiga lawannya 

yang lain. Dengan serta merta, seperti si Pande Besi, Untara meloncat berlari kencang-kencang. 

Dengan penuh kemarahan yang mengguncang-guncang dadanya, langsung ia menyerang 

dengan tongkat besinya. Tongkat besi itu terayun deras sekali. Untara telah menggunakannay 

dengan penuh tenaga. Si Pande Besi itu tidak menyangka bahwa Untara dapat secepat itu 

menyusulnya. Segera ia memutar tubuhnya, namun ia sudah tidak mungkin untuk menghindar. 

Untara meloncat dengan garangnya, dan yang dilihatnya tongkat besi itu telah terayun diatas 

kepalanya. Karena itu si pande besi hamper saja dapat menangkisnya dengan pisau belatinya.


Tetapi pisau itu terlalu pendek untuk menahan ayunan tongkatnya sendiri. Namun tongkat itu 

kini diayunkan oleh tangan yang jauh lebih kuat dari tangannya. Tangan seornag tamtama yang 

sedang dibakar oleh kemarahan. 

Karena itu meskipun si pande besi mancoba untuk menghindar benturan langsung dengan 

memukul tongkat Untara kesamping, namun usahanya itu tidak banyak menolongnya. Tongkat 

Untara masih mengenai pelipisnya. Maka terdengarlah pande besi yang malang itu berteriak 

tinggi. Kemudian ia terlempar dan jatuh berguling. Sesaat kemudian nafasnyapun terputuslah. 

Untara menarik nafas. Ia berlega hati bukan karena ia dapat membunuh lawannya, tetapi 

karena ia telah berhasil menyelamatkan adiknya. Namun untuk sesaat Untara kehilangan 

kewaspadaan anak muda yang bersenjata pedang itu benar-benar lincah. Tiba-tiba saja 

serangannya mengarah kepunggung. Karena itu segera Untara berkisar selangkah kesamping. 

Namun saat yang mengejutkan itu dapat dipergunakan oleh orang yang bertubuh tinggi besar 

dan bersenjata pisau.dengan penuh nafsu dendam orang itu menusuk leher Untara. Tusukan 

itupun sedemikian tiba-tiba pada saat Untara sedang menghindari sambaran pedang si anak 

muda. Karena itu Untara tidak dapat berbuat banyak. Pada saat Untara mencoba merendahkan 

tubuhnya dan berputar setengah lingkar, pisau itupun berubah arah. Untara masih dapat 

melihat pisau itu melingkar, namun tak ada waktu lagi baginya. Yang dapat dilakukan hanyalah 

mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang, tetapi pada saat itu terasa ujung pisau itu 

mencegat pundak kirinya. 

Terdengar Untara menggeram. Kemarahannya kini telah benar-benar membakar seluruh 

darahnya. Dengan gigi gemeretak Untara memandang orang yang bertubuh tinggi besar itu 

untuk sesaat. Kemudian seperti gelombang yang menghantam tebing Untara meloncat maju. 

Tongkat besi ditangannya berputar seperti baling-baling, yang kemudian dengan dasyatnya 

menyerang lawannya. Apalagi ketika terasa betapa pedih luka dipundaknya itu. Darah yang 

merah segar mengalir semakin lama semakin deras. Karena itu Untara harus menyelesaikan 

pertempuran sebelum ia kehabisan darah, atau dirinya akan ditelan oleh maut beserta adiknya 

sekaligus. Orang yang tinggi besar itu terkejut melihat serangan Untara yang membadai. Cepat 

ia meloncat surut. Ia sudah tidak akan dapat mempertahankan dirinya dengan pisaunya itu. 

Dalam keadaan yang sulit itu, kawannya yang tinggi kekurus-kurusan tampil kedepan. Goloknya 

yang besar bergerak-gerak dengan cepatnya. Sebuah tusukan yang dasyat mengarah 

kelambung lawannya. Namun Untara yang marah sempat mengelak. Bahkan kini Untara sudah 

tidak lagi mengekang diri. Ia sempat berjongkok menghindari golok lawannya. Dan sekaligus 

tongkatnya bergerak mendatar. 

Terdengarlah sekali lagi jerit kesakitan, ketika terdengar sebuah benturan. Benturan antara 

tongkat besi ditangan Untara dengan tulang-tulang kaki orang yang kurus itu. Sesaat kemudian 

terdengar tubuhnya terbanting. Pada saat itu orang yang bertubuh tinggi besar melihat suatu 

kemungkinan untuk membunuh Untara. Ia tidak akan dapat menyerangnya pada jarak jangkau 

tangannya karena kecepatan bergerak lawannya. Karena itu, selagi Untara masih belum dapat 

berdiri tegak orang itu dengan sepenuh tenaga melemparkan pisaunya kearah tubuh lawannya. 

Untunglah Untara melihat pisau itu.karana itu ia mengurungkan geraknya. Bahkan sekali lagi 

merendahkan tubuhnya sambil berputar, sehingga pisau itu tidak menghunjam ke dalam 

tubuhnya. 

Sebenarnyalah bahwa nasib manusia ditentukan oleh kekuasaan diluar kemampuan jangkau 

manusia. Pisau yang berlari seperti panah itu meluncur dengan cepatnya melampaui Untara. 

Namun tanpa disangka-sangka terdengarlah sebuah jerit tertahan. Orang yang terbaring karena 

tulang kakinya retak itu tiba-tiba terguling sekali, kemudian ia mencoba mengangkat wajahnya 

dengan pandangan aneh. Tetapi sesaat kemudian kepalanya jatuh terkulai. Mati. Sebuah pisau 

telah tertancam langsung menyayat jantung. 

Yang melihat peristiwa itu untuk sesaat terpaku diam. Untara dan kedua lawannya. Dada 

mereka masing-masing terguncang oleh peristiwa yang tak mereka sangka-sangka. Apalagi 

orang yang bertubuh tinggi besar itu. Tanpa disengajanya, ia telah membunuh kawannya 

sendiri. 

Kini Untara untuk seterusnya tinggal menghadapi dua lawan. Namun darah telah terlalu banyak 

mengalir dari lukanya. Karena itu tubuhnyapun semakin menjadi lemas. Sebab dengan 

demikian berarti maut akan menerkamnya. Karena itu segera ia bersiap untuk melanjutkan


pertempuran itu. 

Kedua lawannyapun telah bersiap pula. Anak muda yang bersenjata pedang itu setapak demi 

setapak maju mendekat, sedang orang yang bertubuh tinggi besar yang kini tidak bersenjata 

lagi itu masih mencoba untuk mencobanya dengan tangannya. 

Kedua lawan Untara itupun agaknya melihat kemungkinan yang dihadapinya. Mereka lamat-

lamat melihat darah meleleh dar luka di pundak Untara. Karena itu mereka asal saja dapat 

memperpanjang perlawanan mereka Untara pasti akan dapat mereka binasakan. Alangkah 

mereka dapat berbangga kepada kawan-kawan mereka bahwa mereka telah berhasil 

membunuh salah satu perwira Pajang yang bernama Untara. Nama yang disegani oleh lawan 

dan dikagumi oleh kawan. 

Sesaat kemudian kembali anak muda itu menyerang dengan tangkasnya. Kemampuannya 

memainkan pedang cukup menarik perhatian Untara. Tetapi Untara tidak banyak mempunyai 

waktu. Kalau ia terlambat maka ia akan ditelan oleh maut. Karena itu selagi masih cukup 

mempunyai tenaga, maka ia harus berjuang untuk menyelamatkan nyawanya, nyawa adiknya 

dan berpuluh-puluh orang lain di Sangkal Putung. Karena itu,tidak ada pilihan lain bagi 

Untara,kalau ia tidak membunuh lawan-lawannya, maka taruhannya adalah berpuluh-puluh 

nyawa di Sangkal Putung termasuk nyawanya sendiri. 

Tetapi anak muda, lawannya itu benar-benar lincah. Dengan sengaja ia memancing Untara 

untuk bergerak terlalu banyak, sehingga dengan demikian darah yang mengalir dari luka 

menjadi semakin banyak pula. Namun Untara bukan anak-anak lagi, karena itu meskipun ia 

memuji didalam hatinya atas kecerdasan lawannya, namun ia mengumpat-umpat pula. 

Namun Untara selalu menahan dirinya untuk tidak hanyut dalam arus kemarahannya. Ia 

menyerang dengan dasyat, namun ia tidak membiarkan tenaganya diperas sia-sia. 

Meskipun tenaga Untara telah banyak berkurang, namun kekuatan lawannyapun tinggal separo 

dari semula. Dengan demikian maka segera tampak, bahwa Unatara akan segera dapat 

mengatasi kedua lawannya. Kedua ornag itu semakin lama semakin terdesak, dan akhirnya 

sampailah mereka pada batas kemampuan mereka. Selagi Untara masih kuat mengayunkan 

senjatanya, maka sekali lagi terdengar sebuah pekik kesakitan. Orang yang tinggi besar itupun 

rebah ditanah untuk tidak bangun lagi. 

Yang tinggal kini adalah anak muda yang lincah itu. Meskipun anak muda itu melihat 

kelemahan lawannya, namun ia masih mampu untuk menilai diri sendiri. Karena itu, tiba-tiba ia 

meloncat surut dan dengan lantang ia berteriak “kali in kau menang Untara, tetapi lain kali kau 

akan menyesal. Apalagi kawanmu, pengecut itu, seumur hidupnya tidak akan tenteram selam 

aku masih hidup di dunia ini.” 

Untara tidak mau mendengar kata-kata itu. Cepat ia meloncat menyerang. Tetapi ia sudah tidak 

setangkas semula. Tulang-tulangnya seperti menjadi lemas dan tak berdaya. Karena itu ia 

menjadi cemas, jangan-jangan anak muda itu akan berlari-larian dan menunggunya sampai ia 

terkulai jatuh. Dengan demikian, maka ia tak akan berdaya lagi menghadapi kemungkinan 

apapun. 

Tetapi tidaklah demikian. Anak muda itu bahkan tiba-tiba meloncat menjauh, dan berlari 

meninggalkan tempat itu. Ia sudah tidak melihat lagi ketika Untara terhuyung-huyung berjalan 

mendekati adiknya. 

“Sedayu” desisnya. 

Sedayu masih menggil ketakutan. Tetapi ia melihat Untara dengan susah payah datang 

kepadanya. Karena itu iapun segera berlari mendekat “Kakang, kenapa kau?” terdengar 

suaranya gemetar. 

Nafas Untara semakin lama semakin cepat mengalir. Badannya gemetar seperti orang 

kedinginan. Dengan mata yang sayu dipandanginya wajah adiknya yang pucat. Dan sekali-

sekali tangannya meraba luka pundaknya. Luka itu cukup dalam, namun sebenarnya tidak 

begitu berbahaya seandainya darahnya tidak terlalu banyak mengalir. 

“Tolong” desis Untara “balut lukaku” 

Sedayu melihat luka yang menganga di pundak kiri kakaknya. Ia menjadi ngeri melihat luka itu. 

Tetapi dipaksanya dirinya untuk membalut luka itu dengan sobekan kain kakaknya. 

“Sedayu” Untara berdesis sambil menahan nyeri “darahku sudah terlalu banyak mengalir. Kau


dapat menolong aku berjalan” 

“Tentu” jawab adiknya. Namun matanya beredar mencari kuda mereka. Tetapi kuda itu sudah 

tak tampak lagi. 

Tetapi Untara masih berkata lagi “Jangan membuang waktu. Kuda-kuda itu sudah tidak ada 

disekitar tempat ini.” 

Sedayu tidak menjawab. Dicobanya memapah Untara berjalan di jalan-jalan yang becek 

berlumpur. Sekali-sekali terdengar Untara menggeram. Tidak saja karena perasaan pedih yang 

selalu menyengat-nyengat pundaknya, namun juga berbagai perasaan telah bergelut di dalam 

dadanya. Untara tidak saja mencemaskan dirinya, namun ia cemas juga akan nasib adiknya. 

Lebih-lebih lagi tentang nasib Widura dengan laskarnya. Anak muda yang melarikan diri itu 

dapat membawa banyak akibat. Ia akan dapat kembali mencar mereka berdua disekitar tempat 

ini dengan kawan-kawan-kawan baru, atau anak itu dapat memperhitungkan arah 

perjalanannya, sehingga serangan ke Sangkal Putung akan dipercepat. 

Pikiran sedayupun tidak pula dapat berjalan lagi. Ia melangkah dengan hati yang kosong. 

Berbagai perasaan tang memukul-mukul dadanya telah menjadikan Sedayi kehilangan 

pengamatan diri. Ia tidak merasakan dan menyadari apa yang telah dilakukan. Ia berjalan 

kareena kakaknya menaruhnya berjalan sambil menggantung dipundaknya dengan tangan 

kanannya. 

Untara menjadi semakin cemas ketika diantara rasa sakitnya timbul suatu perasaan aneh. 

Matanya serasa akan selalu terkatub. Dan sesaat-saat kesadarannya seperti lenyap. Segera 

Untara tahu bahwa ia telah hampir kehabisan darah. Dengan demikian ia akan dapat pingsan 

setiap saat. Dalam kecemasannya Untara masih menyadari, bahwa ia tidak akan mungkin 

dapat mencapai Sangkal Putung dalam keadaannya itu,apabila ia tidak mendapat pertolongan. 

Sekali-sekali Untara menarik nafas. Disekitarnya terbentang hutan belukar meski tidak terlalu 

tebal. Namun tempat itu tak akan ditemui rumah seseorang. 

“Kalau saja aku dapat mencapai rumah Ki Tanu Metir” tiba-tiba ia berdesis 

Adiknya terkejut mendengar suara kakaknya “apa katamu?” ia bertanya. 

“Rumah Ki Tanu Metir” jawabnya. 

Sedayu pernah pula pergi kerumah Ki Tanu Metir bersama ayahnya dahulu di Dukuh Pakuwon. 

Tetapi rumah itu masih agak jauh. Dan tiba-yiba saja Sedayu menyadari keadaannya. Dengan 

penuh ketakutan ia memandang berkeliling. Belukar. Kalau saja tiba-tiba ada binatang buas 

yang muncul dihadapan mereka, maka celakalah mereka berdua. Sehingga dengan demikian 

Sedayu tidak teringat lagi kepada kata-kata kakaknya, bahkan katanya dengan gemetar “jalan 

dihadapan kita sangat gelapnya. Bagaimanakah nasib kita kalau kita bertemu dengan harimau 

misalnya?” 

“Hem” kakaknya menahan perasaannya, katanya tanpa menghiraukan adiknya “kita pergi ke 

tempat Ki Tanu Metir.” 

“Masih jauh” sehut adiknya. 

“Kalau lukaku tak diobati” jawab kakaknya “aku akan mati” 

Sedayu menjadi ngeri mendengar kata-kata kakaknya. Bagaimana kalau kakaknya benar-benar 

mati. Karena itu ia berdiam diri, meskipun hatinya dicekam oleh ketakutan. Takut kepada 

kegelapan dihadapannya, takut kepada nasibnya. Memang ia takut kepada segala-galanya. 

Tetapi ia lebih takut lagi kalau kakaknya mati. 

Karena itu ia tidak berani membantah lagi. Dipapahnya kakaknya berjalan menuju ke Dukuh 

Pasewon, meskipun kengerian selalu merayap-rayap dadanya. 

Untara semakin lama semakin lemah. Meskipun demikian ia selalu berusaha untuk 

mempertahankan kesadarannya. Sungguh tidak menyenangkan apabila ia harus mati karena 

darahnya kering. Baginya lebih baik mati dengan luka pedang menembus jantungnya. Tetapi ia 

tidak berputus asa. Ia percaya bahwa Allah Maha Pengasih. Karena itu ia selalu memanjatkan 

doa didalam hatinya, semoga Allah menyelamatkannya. 

Tiba-tiba langkah mereka terhenti. Mereka mendengar gemerisik daun di dalam belukar. Hati 

Sedayu yang kecut menjadi semakin kecil. Dengan suara gemetar ia berbisik “Kakang, kau 

dengar sesuatu?”


Untara mengangguk. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya telah demikian lemahnya. 

Karena itu maka yang dapat dilakukan hanya menyerahkan diri sepenuhnya kepada sumber 

hidupnya. 

Tetapi tiba-tiba Untara mengangkat wajahnya. Katanya lirih “Bukan langkah manusia dan bukan 

pula binatang buas yang sedang merunduk. Kau dengar ringkik kuda?” 

“Ya” sahut adiknya. 

Untara kemudian bersiul nyaring. Kudanya adalah kuda yang jinak. Seandainya kuda itu 

kudanya, maka akan dikenalnya suara siulan itu. 

“Ya Allah, serunya ketika dari dalam belukar muncul seekor kuda yang tegar kehitam-hitaman. 

“Itu kudaku” 

Wajah Sedayupun menjadi agak cerah,katanya “lalu, apakah kita akan berkuda?” 

“Ya” sahut kakaknya “kudamu tak ada,namun kita berdua akan berkuda bersama-sama” 

“Kembali?” 

“Tidak” jawab Untara “kerumah Ki Tanu Metir, supaya lukaku diobatinya.” 

Sedayu tidak membantah. Ia takut kalau kakaknya mati. Karena itu dibantunya Untara naik ke 

atas punggung kudanya, baru kemudian iapun naik pula. Untunglah bahwa kuda Untara adalah 

kuda yang kuat, karena itu, meskipun diatas punggungnya duduk dua anak muda, namun kuda 

itu masih dapat berlari kencang. 

Kini harapan didalam dada Untara tumbuh kembali. Ia akan dapat mencapai rumah Ki Tanu 

Metir lebih cepat. Mudah-mudahan Ki Tanu Metir ada dirumahnya. 

Demikianlah, setelah mereka menembus rimbunnya pategalan yan gsubur diujung hutan, 

sampailah mereka kepadukuhan kecilyang dinamai orang Dukuh Pakuwon. Dipedukuhan kecil 

itulah tinggal seorang dukun yang sudah setengah tua. Yang dengan pengalamannya ia 

mengenal berbagai jenis dedaunan yang dapat dipakainya untuk menyembuhkan luka dan 

bahkan dikenalnya beberapa jenis racun yangmenusuk ke dalam tubuh seseorang.ornag itulah 

yang bernama Ki Tanu Metir. Kepadanya Untara meletakkan harapannya, mudah-mudahan Ki 

Tanu Metir dapat menolongnya. 

Kuda-kuda anak muda itu berhenti dimuka sebuah pondok kecil. Pondok Ki Tanu Metir. Setelah 

menolong kakaknya turun dari kuda,maka dipapahnya kakaknya itu kepintu yang tekatup rapat. 

Namun demikian Untara berlega hati ketika dilihatnya cahaya lampu yang memancar 

menembus lubang-lubang dinding. 

Perlahan-lahan Untara mengetuk pintu rumah itu dengan penuh harapan. Ki Tanu Metir adalah 

sahabat almarhum ayahnya dahulu. Mudah-mudahan sisa-sisa persahabatan itu masih 

membekas dihati dukun tua itu. 

Ketika mereka telah beberapa kali mengetuk terdengarlah sapa dari dalam lirih “Siapa?” 

“Aku Ki Tanu” jawab Untara “Untara dari Jati Anom” 

“Untara” ulang Ki Tanu Metir “Untara, o, adakah engkau angger Untara putera Ki Sadewa?” 

“Ya Ki Tanu” jawab Untara dengan suara gemetar. 

Ki Tanu Metir segera mengenal suara itu. Suara seseorang yang sedang mengalami cedera. 

Karena itu dnegan tergesa-gesa orang tua itu berjalan ke arah pintu. Terdengar suara 

telumpahnya diseret diatas lantai tanah. 

Sesaat kemudian pintu bambu itu bergerit, dan muncullah dari celah-celahnya seorang tua 

bertubuh sedang. Rambutnya telah hamper seluruhnya menjadi putih. Alisnya yang tumbuh 

jarang-jarang diatas sepasang matanya telah memutih pula. Dahinya terbuka lebar, serta 

dibawahnya memancar sepasang mata yang tajam bening. 

Ketika ia melihat Untara dipapah adiknya, orang tua itu terkejut dan terloncatlah dari mulutnya 

“Kau terluka ngger?” 

“Marilah” Ki Tanu Metir mempersilahkan “duduklah” biarlah aku mencoba melihat luka itu.” 

Untara berlega hati. Ia tak perlu memintanya. Orang tua itu telah berusaha untuk menolongnya 

atas kemauan sendiri. 

Segera orang tua itu menuntun Untara dan dipersilahkan duduk diatas bale-bale bambu. 

Katanya kepada Sedayu “Tolong ngger peganglah cilupak ini, mataku telah menjadi kurang


baik” 

Sedayupun segera melangkah mengambil lampu minyak kelapa dan membawa kedekat 

kakaknya. Sementara itu Ki Tanu telah sibuk membuka pembalut luka dipundak Untara. 

Ketika Ki Tanu melihat luka yang menganga itu, ia menggelengkan kepalanya, gumannya “Hem, 

luar biasa” 

“Apa yang luar biasa?” desis Untara. 

“Tubuhmu sangat tahan ngger”. Sudah berapa darah yang tertumpah. Angger masih tetap 

sadar. Marilah, bersandarlah supaya angger tidak terlalu lelah.” 

Untara segera bersandar pada setumpuk bantal. Terasa tulang-tulangnya seperti dilolosi. 

Sebentar-sebentar matanya terkatub dan perasaannya seperti hilang-hilang datang. Karena itu 

segera Untara memusatkan segenap kekuatan betinnya untuk bertahan. Sementara Ki Tanu 

Metir memelihara luka itu, tiba-tiba terbersit kembali dalam pikiran Untara “Widura harus 

diselamatkan” 

Tetapi kemudian disadarinya keadaan diri. Dengan demikian Untara hanya dapat menarik nafas 

untuk mencoba menentramkan hatinya yang bergolak. 

Sambil mengusapi luka Untara dengan reramuan daun-daunan Ki Tanu bertanya “Agaknya 

angger berdua menjumpai bahaya diperjalanan.” 

“Ya” jawab Untara singkat 

“Penyamun?” bertanya Ki Tanu pula 

Untara menggeleng lemah “Bukan” jawabnya “sisa-sisa laskar adipati Jipang” 

“Hem, guman Ki Tanu “mereka berkeliaran ditempat ini.” 

“Disini?” Untara terkejut mendengarnya. 

“Ya,disekitar tempat ini” jawab Ki Tanu. 

Untara diam sejenak. Nafasnya menjadi kian sesak. Namun darahnya sidah tidak mengalir lagi 

dari lubang lukanya. 

“Salah satu diantara mereka adalah pande besi dari Sendang Gabus” berkata Untara lirih. 

“Ya, mereka itulah” sahut Ki Tanu segerombolan orang –orang yang putus asa. Adakah angger 

bertemu dengan pande besi itu?” 

“Ya” jawab Untara 

“Sendiri?” 

“Tidak. Mereka mencegat jalan diujung hutan. Berempat. 

“Angger berdua” potong Ki Tanu. 

“Ya” jawab Untara. Tetapi Sedayu segera menundukkan wajahnya. 

“Sungguh luar biasa. Angger berdua berhadapan dengan empat orang yang bengis. Pande besi 

itu terkenal didaerah ini” berkata Ki TAnu seterusnya “Bagaimana dengan mereka? Dan siapa 

sajakah mereka itu” 

Untara menarik nafas dalam-dalam. Lukanya sudah tidak terlalu pedih. Tetapi tenaganyalah 

yang terasa semakin susut. Karena itu ua menjawab singkat “Aku belum kenal mereka” 

“O” Kitanupun segera menyadari keadaan tamunya, maka segera ia menyelesaikan 

pekerjaannya. BAru kemidoan ia duduk disamping Agung Sedayu dan dibiarkannya Untara 

meristirahat bersandar setumpuk bantal. 

“Bagaimanakah lawanmu yang tiga orang angger?” bertanya Ki Tanu kepada Sedayu. 

Sedayu menjadi bingung. Sebenarknya ia malu mendengar pertanyaan itu, Tetapi akhirnya ia 

menjawab “Seorang tinggi kekuru-kurusan” 

“Sebenarnya ia orang lugu” potong Ki Tanu “Sayang ia terlalu mudah terpikat. Namanya 

Tumida” 

“Yang seorang tinggi besar” sambung Sedayu. 

“Aku belum mengenalnya” gumam Ki Tanu. 

“Yang seorang lagi masih muda” Sedayu meneruskan. 

“Sebaya angger?” bertanya Ki TAnu.


“Kira-kira” Sedayu mengangguk. 

“Alap-alap Jalatunda” desis Ki Tanu “Anak itu ikut serta?” 

“Ya” jawab Sedayu, namun dadanya bergetar. Nama Alap-alap Jalatunda pernah didengarnya. 

Mendengar nama itu Untara terperanjat pula. Desisnya “Jadi anak itukah yang disebut Alap-

alap Jalatunda. Pantas ia lincah dan cerdas” 

“Ya” sahut Ki Tanu “Nama itu timbul sesudah laskar Penangsang pecah. Pande besi dan Alap-

alap Jalatunda menjadi terkenal. Mereka bersarang di Karajan”. 

Di Karajan?” ulang Untara heran “Disamping Jati Anom?” 

“Ya” jawab Ki Tanu. 

Untara kemudian termenung. Kalau demikian mereka bukan bagian dari laskar yang akan 

memukul Sangkal Putung. Dengan demikian Untara menjadi sedikit berlega hati. Namun 

kecemasannya yang lain segera timbul. Kalau demikian maka mereka segera akan datang 

kembali dengan kawan-kawan baru mereka menjelajahi tempat ini untuk mencarinya. 

Ketia ia sedang berangan-angan terdengar Ki Tanu bertanya kepada Seday “Merka itukah yang 

melukai angger UNtara?” 

“Ya” jawab Sedayu. 

Ki Tanu mengangguk-angguk, kemudian seperti orang terbangun daru tidurnya ia bertanya 

“Lalu siapakah angger ini?” 

“Sedayu” jawab Sedayu, “adik kakang Untara” 

“Pantas, pantas” orang tua itu mengangguk-angguk “Kalian menjadi seakan-akan sepasang 

burung rajawali yang perkasa. Kalau tidak, tidak akan kalian dapat melawan Pande besi dan 

Alap-alap Jalatunda sekaligus. Apalagi bersama kedua kawan-kawannya yang lain. Lalu 

bagaimana dengan mereka? Adakah mereka mengejar kalian?” 

Sekali lagi Sedayu menundukkan wajahnya. Kemudian perasaan malu merayapi dadanya. 

Telinganya menjadi gatal mendengar orang tua itu menyebut mereka berdua seperti sepasang 

burung rajawali. Tetapi sejalan dengna itu Sedayu menjadi semakin kagum kepada kakaknya. 

Bukankah kakaknya sendiri dapat melawan mereka berempat, dan membunuh tiga diantaranya. 

Maka segera ia menjawab dengan bangga “Tiga diantaranya terbunuh, Anak muda yang 

bernama Alap-alap Jalatunda itu melarikan diri”. 

“Luar biasa, luar biasa” gumamnya. Diamat-amatinya Untara yang bersandar sambil 

memejamkan matanya. Perlahan-lahan orang tua itu mengusap keningnya sambil berdesis 

“Nama Untara benar-bbenar cemerlang. Kini akan tumbuh nama baru disampingnya, Sedayu” 

Agung Sedayu menggigit bibirnyya. Ia tidak berani memandangi wajah kakaknya yang menjadi 

kian pucat. Kalau saja ia mampu berbuat seoerti yang dikatakan orang tua itu, maka kakaknya 

pasti tidak akan terluka. Karena itu tiba-tiba tanpa disengajanya, Sedayu memandang kepada 

dirinya. Seorang penakut yang tidak ada bandingnya. Pada saat kakaknya berjuang untuk 

menegakkan Pajang, ia hanya dapat bersembunyi dirumah pamannya di Banyu Asri. Pada saat 

anak-anak muda memandi senjata, yang dilakukan tidak lebih daripada membantu bubunya 

menanak nasi dan membelah kayu. Tidak lebih daripada itu. 

Sedayu memejamkan matanya. Tetapi seakan-akan bayangan masa lampaunya menjadi 

semakin jelas. DIkenangknya kembali masa kanak-kanaknya. Ayah dan ibunya terlalu 

menanjakannya setelah dua orang kakaknya yang lain, adik-adik Untara, meninggal pada 

umurnya yang tidak lebih dari empat dan enam tahun. Karena mereka takut kehilangan Agung 

Sedayu pula, maka mereka memeliharanya agak berlebih-lebihan. Agung Sedayu menyadari 

semuanya itu. Tetapi semuanya sudah lampau. 

Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar kakaknya berkata “Sedayu, Aku tidak mampu untuk 

bangkit berdiri. Bagaimanakah dengan paman Widura?” 

Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu, karena itu ia berdiam diri. 

“Jangan pikirkan yang lain” potong Ki Tanu, “berisitirahatlah” 

Untara berdesis menahan perasaan-perasaan yang bergumal didalam dadanya, perasaan 

cemas dan bingung. Akhirnya terdengar ia berkata perlahan-lahan “Sedayu. Hanya negkaulah 

yang aku harapkan untuk menolong menyelamatkan paman Widura”


Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan tergagap ia bertanya “Apa yang harus aku 

lakukan?” 

“Kau pergi ke Sangkal Putung” desis Untara. 

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Benarkah kakaknya menyuruhnya ke Sangkal Putung? 

Sebelum ia bertanya terdengar Untara berkata pula “Agung Sedayu, aku tidak tahu lagi, 

bagaimana aku harus melindungimu. Disini dan diperjalanan ke Sangkal Putung akan sama 

saja bahayanya. Bahkan mungkin bahaya itu akan datang kemari lebih dahulu. Sebab orang-

orang Alap-alap Jalatunda pasti kan mencari aku. Kalau benar sarang mereka di Karajan, maka 

mereka pasti akan sampai ketempat .ini. Mereka pasti memerhitungkan bahwa kita akan datang 

kemari. Dan mencobanya mencari” 

“Tetapi Sangkal Putung tidak terlalu dekat” potong Sedayu terbata-bata. “Jalannya gelap dan 

licin. Dan bagaimanakah kalau aku bertemu dengan Alap-alap Jalatunda?” 

Anak itu akan kembali ke Karajan, Sedang kau akan pergi ke selatan. Kalau kau ingin 

menempuh jalan yang paling aman, meskipun agak jauh, pergilah menyusur Kali Sat, kemudian 

kau akan sampai Sangkal Putung dari arah barat”. 

Mulut Agung Sedayu terasa menjadi beku. Perjalanan ke Sangkal Putung benar-benar tidak 

menyenangkan. Ia menyesal kenapa ia ikut dengan kakaknya. Kalau ia berada dirumah, maka 

keadaannya pasti akan lebih bail. 

Ki Tanu menlihat Agung Sedayu dengan keheran-heranan.. Katanya ragu-ragu “Sebenarnya 

aku tidak tahu mengapa angger harus pergi ke Sangkal Putung. Namun aku melihat sesuatu 

yang tidak aku duga. Kalau perjalanan ke Sangkal Putung memang penting, kenapa angger 

Sedayu berkeberatan? Dan apa pula keberatannya kalau angger bertemu dengan dengan 

Alap-alap Jalatunda?” 

Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Bahkan Utarapun tak tahu, bagaimana menjawab 

pertanyaan Ki Tanu Metir itu. Karena itu sesaat kemudian suasana menjadi beku. Yang 

terdengar kemudian adalah suara Ki Tanu pula “Bukankah angger Sedayu berdua dengan 

angger Untara mampu menghadapi Alap-alap Jalatunda itu sekaligus dengan Pande besi 

Sendang Gabus? Bukankah pade besi itu bahkan terbunuh bersama-sama dengan dua 

kawannya lagi?” 

“Angger Sedayu, dalam gerombolan itu tak ada seorangpun yang melampaui kesaktiannya dari 

si pande besi yang tamak itu. Karena itu jangan takut dengan Alap-alap Jalatunda” 

Mulut Sedayu seakan-akan tersumbat. Nafasnya terdengar meloncat satu-satu, namun 

dadanya terasa sesak. 

Sedang Untara masih duduk bersandar tumpukan bantal. Matanya kadang-kadang terbuka, 

tetapi kadang-kadang terpejam. Dalam kekelaman pikiran itu Untara benar-benar menjadi 

bingung. Ia hampir-hampir tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan sisa-sisa 

kesadarannya yang masih ada, Untara membuat perhitungan-perhitungan. Akhirnya ia 

mendapat kesimpulan bahwa Agung Sedayu lebih aman diperjalanan ke Sangkal Putung 

daripada tinggal di dukuh Pakuwaon. Didorong pula oleh rasa tanggung jawab terhadap Widura, 

maka kemudian ia berkata perlahan-lahan namun penuh kepastian “Agung Sedayu, tinggalkan 

tempat ini sebelum Alap-alap Jalatunda datang mencabut nyawa kita. Pergilah ke Sangkal 

Putung dan temuilah paman Widura” 

Jantung Agung Sedayu terasa berdentangan. Dengan suara gemetar ia mencoba membantah 

perintah itu “Kalau aku bertemu dengan mereka, bukankah kepergianku tidak ada gunanya?” 

Tidak, kau tidak akan bertemu dengan mereka. Aku sudah pasti” jawab Untara “Tempuhlah 

jalan barat” 

“Bagaimana dengan tikungan Randu Alas?” Sedayu menjadi semakin cemas. 

“Omong kosong dengan gendoruwo mata satu” Untara hampir membentak “Pergilah” 

Bibir Agung Sedayu tampak bergerak-gerak namun tak sepatah katapun terloncat dari bibirnya, 

bahkan akhirnya matanyalah yang berkaca-kaca. 

Ki Tanu masih belum dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu tiba-tiba menjadi ketakutan. 

Tetapi sebelum ia bertanya lagi terdengar suara Sedayu mengiba-iba tanpa malu-malu “kakang,


aku takut” 

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti kini, siapakah sebenarnya 

Untara dan bagaimanakah dengan Sedayu. Karena itu iapun berdiam diri. 

Tiba-tiba ornag tua itu terkejut ketika Untara berkata dengan keras sambil meraba hulu kerisnya 

dengan tangannya yang lemah “Sedayu, pergilah! Kalau kau tidak mau pergi juga, biarlah kau 

memilih mati karena kau berbuat seperti seorang laki-laki atau mati karena kerisku sendiri” 

“Kakang” Sedayu hampir menjerit. Namun wajah Untara seolah-olah telah menjadi beku. 

Seakan-akan suara adiknya tidak didengarnya. Bahkan dengan mata terpejam Untara berkata 

pula “Bagiku Sedayu, daripada kau mati ketakutan selama Alap-alap Jalatunda itu nanti 

mencekikku, lebih baik kau mati dengan luka senjata didadamu” 

Tubuh Sedayu benar-benar menggigil. Jantungnya berdentangan seperti guruh yang 

menggelegar didalam rongga dadanya. Sementara itu Ki Tanu Metir berkata dengan terbata-

bata “Angger Untara, apa yang akan angger lakukan itu?” 

“Kalau Sedayu tidak mau pergi, akan aku bunuh dia” desisnya. 

“Angger” Ki Tanu Metir mencoba menenangkannya “jangan berkata begitu” 

Untara tidak menjawab, namun terdengar ia menggeram. 

Akhirnya berkatalah Ki Tanu Metir “Angger Sedayu, kakangmu telah menentukan apa yang 

akan dilakukan. Karena itu sebaiknya angger pergi. Bukankah puncak ketakutan angger itu 

adalah maut. Dan maut itu berada dalam gubug ini. Kalau angger pergi ke Sangkal Putung, 

belum pasti angger bertemu dengan maut itu. Seandainya demikian, maka maut diperjalanan 

itu akan jauh lebih baik daripada maut yang akan menerkam angger disini. Baik itu dilakukan 

oleh angger Untara, maupun dilakukan Alap-alap yang gila itu, yang pasti akan jauh 

mengerikan lagi” 

Kepala Sedayu tiba-tiba menjadi pening. Berdesak-desakanlah perasaan yang bergumul 

didalam dadanya. Maut terlalu mengerikan. Dan maut itu tiba-tiba saja kini hadir dihadapannya. 

Sehingga seperti seorang perempuan cengeng Sedayu membiarkan dirinya hanyut dalam 

perasaannya tanpa malu. Sedayu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dan terdengar 

suaranya gemetar “Adakah kakang berkata sebenarnya” 

“Akan kulakukan apa saja yang telah aku katakan, Sedayu” suara Untara lirih namun pasti 

“Tinggalkan tempat ini segera. Aku sudah muak melihat kau merengek-rengek seperti bayi” 

Dada Agung Sedayu hampir meledak mendengar kata-kata itu. Namun mulutnya bahkan 

menjadi terkunci. Seperti patung ia tidak bergerak, sampai kakaknya membentaknya “Pergi 

sekarang juga!” 

Perlahan-lahan Sedayu berdiri. Kakinya hampir-hampir tidak kuat lagi menahan berat tubuhnya. 

Tetapi ia takut. Takut kepada kakaknya. Takut kalau kakaknya akan membunuhnya. Dan 

ketakutannya itu begitu menekan dadanya, sehingga melampaui ketakutannya atas kegelapan 

malam diluar dan tikungan randu alas. Karena itu meskipun hayatnya serasa telah terbang 

meninggalkan tubuhnya, Sedayu berjalan juga menuju kepintu. Ketika Ki Tanu Metir 

mendahuluinya, dan membuka pintu untuknya, orang tua itu mendengar Sedayu menahan isak 

didadanya. Maka bisiknya menghibur “angger, serahkan jiwa dan ragamu kepada yang 

memilikinya. Kalau sudah saatnya akan diambilNya, maka berlakulah kehendakNya meskipun 

angger berperisai baja. Namun kalau angger akan disingkirkan dari bencana, maka berlakulah 

pula kehendakNya itu. Karena itu jangan takut”. 

Agung Sedayu menganggukkan kepalanya, namun ketakutan yang mencekamnya tidak juga 

mau meninggalkannya. 

Dimuka pintu sekali lagi ia menoleh kepada kakaknya. Tetapi kakaknya memejamkan matanya. 

Karena itu Sedayu melangkah terus. Diluar dilihatnya kuda kakaknya. Dengan gemetar ia 

melangkah kepunggung kuda itu. 

“Selamat jalan ngger” desis Ki Tanu Metir. Aging Sedayu tidak menjawab. Namun kepalanya 

terangguk. Dengan hati yang kosong ia menarik kekang kudanya, dan ketika kuda itu bergerak 

menyusup kedalam malam yang pekat, maka Sedayu merasa seakan-akan dirinya telah 

menyusup kedaerah maut. 

Akhirnya ketika Sedayu sadar, bahwa perjalanan itu harus dilakukannya, maka segera ia


memacu kudanya dengan mata yang hampir terpejam. Setiap kali ia membuka matanya, setiap 

kali dadanya berdesir. Dimalam yang gelap itu selalu dilihatnya seakan-akan bayangan-

bayangan hitam menghadangnya diperjalanan. Namun ia sudah tidak dapat lagi berpikir. 

Karena itu ia tidak mau lagi melihat apapun yang berada diperjalanan itu. 

Ketika Sedayu telah hilang dibalik kekelaman malam, Ki Tanu Metir menutup pintunya kembali. 

Kemudian perlahan-lahan ia mendekati Untara yang lesu. Dan terdengarlah ia bertanya 

“Kenapa hal itu angger lakukan?” 

Untara menarik nafas dalam-dalm. Terdengar ia bergumam “Mudah-mudahan Tuhan 

melindunginya” 

Ki Tanu Metir duduk perlahan-lahan disamping Untara. IA mengangguk-angguk kecil ketika 

terdengar gumam Untara pula “Kasihan Sedayu” 

“Tetapi bukankah angger menghendakinya?” bertanya orang tua itu. 

“Aku hanya ingin supaya Sedayu meninggalkan rumah ini dan sekaligus aku ingin paman 

Widura melindunginya, selain keselamatan laskar paman Widura sendiri. Paman Widura kenal 

anak itu” jawab Untara. 

Kembali Ki Tanu metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah ia sekarang bahwa Untara 

sama sekali tak bersungguh-sungguh dengan ancamannya. 

“Anak itu benar-benar keterlaluan” berkata Untara pula “Aku hanya menakut-nakutinya, supaya 

ia mau pergi. Ketakutan hanya dapat dikalahkan dengan ketakutan yang lebih besar. Dan aku 

sudah berhasil mengusirnya. Mudah-mudahan ia selamat” Untara berhenti sejenak, kemudian 

terdengar ia meneruskan dengan susah payah “Bukankah lebih baik Ki Tanu Metir 

menyingkirkan aku pula sebelum Alap-alap Jalatunda datang kemari?” 

“Tidak angger, tidak” sahut orang tua itu cepat-cepat “Angger memerlukan perawatanku disini” 

“Tetapi” jawab Untara “kalau hal itu membahayakan ki Tanu? Kalau mereka datang kemari, dan 

ditemuinya aku disini, maka tidak saja aku yang akan dibunuhnya, tetapi Ki Tanu akan 

diganggunya pula” 

“Jangan berpikir tentang aku” berkata Ki Tanu Metir “Luka angger agak parah, Aku sedang 

mencoba untuk mengobatinya” 

Untuk sesaat keduanya terdiam. Ketika Untara mendengar derap kuda dihalaman, hampir saja 

ia berteriak memanggil adiknya itu kembali, tetapi segera ia mempergunakan akan dan 

perhitungannya untuk melawan perasaannya. “Kalau Alap-alap Jalatunda itu tidak datang 

kemari, dan Sedayu menemui bencana dalam perjalanannya, akulah yang bertanggung jawab” 

katanya dalam hati. Dan Untara sadar, apabila terjadi demikian maka peristiwa itu pasti akan 

menyiksanya seumur hidup. Ia akan kehilangan adiknya dan sekaligus ia sama sekali tidak 

berhasil menyelamatkan Widura dan laskarnya. Tetapi kalau Alap-alap Jalatunda yang bengis 

itu benar-benar datang kerumah itu bersyukurlah ia, meskipun nyawanya sendiri pasti akan 

melayang. Namun ia telah berhasil untuk terakhir kalinya menyelamatkan adiknya. Tetapi 

kemungkinan yang lebih jelek lagi, Alap-alap Jalatunda itu berpapasan dengan adiknya, dan 

adiknya itu dibunuhnya setelah anak itu menunjukkan tempatnya, kemudian Alap-alap itu 

datang membunuhnya. “Aku telah berusaha” pikir Untara. Segalanya akan mungkin terjadi. 

Untara menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh kepercayaan kepada kekuasaan Tuhan, 

Untara berhasil menenangkan dirinya. Bahkan ia berdoa semoga kemungkinan yang paling 

baiklah yang terjadi. Agung Sedayu selamat sampai Sangkal Putung dan Alap-alap Jalatunda 

tidak datang kepondok itu. 

Tetapi Untara terkejut ketika didengarnya bentakan-bentakan kasar jauh ditikungan jalan. 

Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Ki Tanu Metir berdiri dengan gelisah. 

“Suara apakah itu Ki Tanu?” bertanya Untara lemah. 

Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Dicobanya untuk menangkap setiap kata-kata kasar dan 

keras yang memecah kesepian malam itu. 

Lamat-lamat terdengar suara itu “Dimana he, dimana rumah dukun itu?” 

Tak terdengar jawaban, namun terdengar seseorang mengaduh perlahan-lahan. Sesaat 

kemudian terdengar bentakan “Kalau kau tak mau mengatakan, maka kaulah yang akan kami 

bunuh”


“Ampun” sahut suara yang lain “aku hanya mendengar suara kuda berderap” 

“Gila, aku tidak bertanya apakah kau mendengar suara kuda itu. Tunjukkanlah rumah Tanu 

Metir. Orang itu akan mengatakan segala-galanya dan kau akan aku lepaskan” teriak yang lain. 

Kembali tak terdengar jawaban, dan kembali terdengar suara kasar dan beberapa buah 

pukulan. 

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Desisnya “Orang itu tidak mau menunjukkan rumah ini” 

“Kasihan” geram Untara. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi tubuhnya 

sudah terlalu payah. “Ki Tanu” katanya kemudian “Biarlah mereka menemukan aku. Maka 

nyawa orang itu dan mungkin nyawa Ki Tanu dapat diselamatkan” 

“Apakah arti nyawa-nyawa kami” jawab Ki Tanu Metir “angger adalah salah seorang yang 

sangat berguna, sedang kami adalah orang-orang yang tak berarti” 

Untara terharu mendengar jawaban itu. Ternyata bahwa jiwa kepahlawanan tidak saja berkobar 

didalam dada para prajurit yang dengan senjata ditangan mempertaruhkan nyawanya demi 

pengabdiannya kepada tanah kelahiran dan kebenaran yang diyakininya, tetapi didalam dada 

orang tua itupun ternyata menyala api kepahlawanan yang tidak kalah dahsyatnya. Melampaui 

keteguhan hati seorang prajurit dengan senjata ditangan menghadapi lawannya dalam 

kemungkinan yang sama, membunuh atau dibunuh. Tetapi orang tua itu, seorang dukun yang 

hidup diantara para petani yang sederhana, telah menantang maut dengan perisai dadanya, 

kulit dagingnya. 

Untara menggeleng lemah “Tidak” katanya, “sudah sewajarnya seorang prajurit mati karena 

ujung senjata, namun tidak seharusnya aku berperisai orang lain untuk keselamatanku. Karena 

itu biarlah mereka menemukan aku disini. Selagi sempat, biarlah Ki Tanu Metir menyelamatkan 

diri”. 

“Ini adalah rumahku” jawab Ki Tanu Metir “Kalau aku lari sekarang, maka kerumah ini pula aku 

akan kembali, dan orang-orang itu akan dapat menemukan aku disini. Tak ada gunanya” 

Sekali lagi Untara menarik nafas. Sebelum sempat ia menjawab berkatalah Ki Tanu Metir 

“Angger, kenapa kita tidak berusaha menyelamatkan diri kita berdua? Angger akan aku 

sembunyikan. Kalau-kalau orang-orang yang gila itu datang kemari, dan tidak menemukan 

angger maka akupun akan selamat pula” 

“Hem” Untara menggeram. Belum pernah ia berpikir untuk menyembunyikan diri pada saat 

musuhnya datang. Tetapi kali ini keadaannya jelek sekali. Bahkan tubuhnya semakin lama 

menjadi semakin lemah, meskipun darahnya tidak lagi mengalir. 

“Mungkinkah itu” terdengar suara Untara lirih, sedang ditikungan bentakan-bentakan kasar 

masih terdengar. 

“Marilah angger aku sembunyikan disentong kiri. Aku timbuni angger dengan ikatan bulir-bulir 

padi”. Ki Tanu Metir tidak menunggu Untara menjawab. Segera ia mencoba menolongnya 

berdiri. Untara takut kalau-kalau mereka berdua akan roboh, tetapi agaknya Ki Tanu yang tua 

itu masih cukup kuat untuk memapahnya. 

Disentong kiri, Ki Tanu Metir segera membongkar timbunan bulir-bulir padi. Perlahan-lahan 

Untara ditolongnya masuk kedalam sebuah bakul yang besar “Melingkarlah disitu ngger, dan 

berusahalah untuk dapat bernafas” berkata Ki Tanu Metir. 

Kembali Untara menggeram, Namun ia mengharap bahwa dengan demikian, ia dan sekaligus 

Ki Tanu Metir dapat diselamatkan. Lusa apabila luka dibahunya itu sudah sembuh, ia akan 

datang kembali untuk bertemu dengan Alap-alap Jalatunda. 

Dengan tergesa-gesa Ki Tanu segera menimbuni Untara dengan ikatan bulir-bulir padi. Seikat 

demi seikat dengan hati-hati. Didalam bakul yang besar itu Untara memejamkan matanya. 

Terasa nafasnya menjadi semakin sesak. Namun ia masih dapat bernafas. 

Demikian Ki Tanu selesai dengan pekerjaannya, terdengar pintu rumahnya diketuk keras-keras, 

dan terdengarlah suara kasar memanggilnya “mbah dukun, buka pintumu” 

Untara menjadi berdebar-debar. Ternyata Alap-alap Jalatunda atau orang-orangnya benar-

benar datang. Meskipun demikian ia masih dapat mengucap syukur karena adiknya telah pergi. 

Untuk sesaat Ki Tanu Metir berdiri dengan tegang. Ia tidak segera beranjak dari tempatnya


sehingga terdengar kembali pintu rumahnya dipukul keras-keras “He, buka pintu Ki Tanu” 

Ki Tanu tidak mungkin untuk mengelak lagi. Karena itu dengan terbata-bata ia berteriak dari 

sentong kiri “Ya, ya tunggu. Aku sudah bangun” 

Tersuruk-suruk Ki Tanu Metir bergegas pergi ke pintu, dengan menyeret telumpah dikakinya. 

Sementara itu kembali terdengar pintunya hampir berderak patah “Aku tidak sempat menunggu” 

terdengar suara dibelakang pintu. 

“Ya, ya” sahut orang tua itu “aku sedang berjalan” 

Sesaat kemudian Ki Tanu Metir telah membuka pintunya. Demikian pintu itu menganga, 

demikian beberapa orang dengan senjata ditangan berloncatan masuk. Dua orang yang lain 

memasuki rumah itu sambil mendorong-dorong seorang yang bertubuh kecil pendek. 

“Kaukah itu Kriya” terloncat dari mulut Ki Tanu Metir. Orang itu menyeringai ketakutan. 

Jawabnya “Ya kiai, aku diseretnya ketika aku sedang melihat air diparit. Aku sangka karena 

hujan yang lebat ini, parit-parit akan banjir. Waktu aku sedang menutup pematang, datanglah 

orang-orang ini” 

“Tak usah mengigau” bentak salah seorang dari mereka “Monyet itu tidak kembali ke Jati Anom. 

Mereka pasti kemari untuk mengobati lukanya” 

“Siapa?” berkata Ki Tanu Metir. 

Seorang anak muda diantara mereka perlahan-lahan melangkah mendekati Ki Tanu Metir 

“Hem” geramnya “Kita telah berkenalan kiai, namun baru hari ini aku sempat mengunjungi 

rumahmu” 

“Ya, ya angger, aku pernah mengenal nama angger. Bukankah angger Alap-alap Jalatunda?” 

“Siapakah yang memberi aku gelar demikian” bertanya anak muda itu. Namun terasa pada 

nada kata-katanya betapa ia bangga mendengar sebutan itu. 

“Aku tidak tahu” sahut Ki Tanu Metir “Mungkin karena kedahsyatan angger, maka dengan 

sendirinya nama itu tumbuh” 

Anak muda itu tertawa lirih. Kemudian katanya “Bagus. Kalau kau sudah mengenal aku maka 

jangan sekali-sekali mengganggu pekerjaanku” 

“Tidak ngger, tidak” sahut Ki Tanu cepat-cepat “aku pasti akan membantu angger” 

Disentong kiri, Untara masih dapat mendengar semua percakapan itu. Karena itu ia menjadi 

semakin berdebar-debar ketika didengarnya nama Alap-alap Jalatunda. Anak itu bukan lawan 

yang berat baginya. Tetapi dalam keadaannya kini, maka tak ada yang dapat dilakukan. 

Meskipun demikian, dibelainya juga hulu kerisnya. Tangan yang pertama menyentuhnya, pasti 

akan digoresnya dengan keris itu. Dan ia yakin, setiap goresan ditubuh lawannya, betapapun 

kecilnya, akibatnya adalah maut. Warangan yang keras dikerisnya itu benar-benar sangat 

berbahaya, apabila tidak segera dapat penawarnya. 

Sebentar kemudian Untara mendengar Alap-alap Jalatunda berkata “Ki Tanu, aku sedang 

mencari seseorang. Ia terluka ketika ia mencoba melawan aku. Adakah seseorang datang 

kemari untuk berobat?” 

Ki Tanu Metir berdiam diri sesaat. Ia sedang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu. 

Tetapi karena itu maka Alap-alap muda itu membentaknya “Jawab pertanyaanku” 

Ki Tanu Metir menggeleng, jawabnya “tidak ngger, tak seorangpun datang kemari” 

Alap-alap Jalatunda tertawa. Katanya “Kiai adalah seorang dukun yang terkenal. Orang yang 

terluka itu pasti pernah mendengarnya. Karena itu ia mesti datang kemari. Apakah untung 

rugimu kalau kau sebut dimana dia sekarang?” 

O, angger benar. Tak ada untung ruginya kalau aku menyebut tempatnya, kalau aku 

mengetahuinya. Tetapi siapakah orang itu?” bertanya Ki Tanu Metir. 

“Jangan berpura-pura. Orang itu bernama Untara. Sangat berbahaya bagi kami dan bagi kalian” 

jawab Alap-alap Jalatunda. 

“Hem. Untara” ulang Ki Tanu Metir. “Tak seorangpun datang kemari sehari ini” 

“Baru beberapa saat. Aku telah melukai pundaknya. Jangan bohong” bentak anak muda itu. 

“Aku tidak berbohong ngger” jawab Ki Tanu. 

Pandangan mata Alap-alap Jalatunda itu menjadi tajam, benar-benar seperti mata burung alap


alap. Selangkah ia maju mendekati Ki Tanu Metir sambil berkata “Kau sudah tua. Tidakkah kau 

ingin menikmati sisa-sisa hidupmu? Jawab pertanyaanku dimana Untara kau sembunyikan” 

Ki Tanu Metir menjadi gemetar. Namun ia menjawab juga “Tak ada ngger, benar-benar tak ada” 

“Dengar Ki Tanu” bentak anak muda itu “Aku bertemu dengan anak itu diujung hutan. Ia 

mencoba melarikan diri. Dalam perkelahian seorang lawan seorang, aku telah melukainya. 

Kemudian Untara yang mempunyai nama yang cemerlang itu bertempur berdua dengan 

kawannya. Karena mereka berdua itulah maka mereka sempat melarikan diri. Nah katakan 

kepadaku, dimana dia sekarang. Kawan-kawanku yang menyusuri jalan ke Jati Anom tidak 

menemuinya. Ia pasti datang kemari” 

“Tidak ngger” jawab Ki Tanu “sungguh tidak” 

“He monyet bungkik” teriak Alap-alap itu kepada Kriya “Jawab pertanyaanku” 

Kriya itupun didorongnya maju. Dan terdengarlah Alap-alap yang garang itu berteriak “Kau lihat 

orang berkuda masuk kedukuh Pakuwon” 

“Aku dengar derap kuda” sahut orang itu. 

Tiba-tiba sebuah pukulan bersarang diwajahnya, sehingga Kriya itupun terpelanting jatuh. 

“Ampun” mintanya. 

“Kau lihat dua orang diatas satu punggung kuda seperti katamu tadi ditikungan” teriak Alap-alap 

itu. 

Kriya terdiam. Matanya memandangi Ki Tanu Metir, dan dari mata itu memancar kengerian 

yang tersangkut dihatinya. 

Orang yang pendek kecil itu benar-benar berada dalam kesulitan. Ia tidak dapat mengingkari 

penglihatannya, yang sudah terdorong dikatakannya ditikungan ketika bertubi-tubi tangkai-

tangkai senjata mengenai punggungnya. Tetapi ia takut pula untuk menyebutnya sekali lagi 

dihadapan Ki Tanu Metir. Bukan karena Ki Tanu Metir mempunyai kekasaran dan kebengisan 

seperti orang-orang itu, namun karena Ki Tanu Metir adalah orang tua yang disegani 

dipadukuhan itu. Ki Tanu Metir adalah seorang yang sangat baik bagi mereka. Apabila anak 

istri orang-orang padukuhan itu sakit, maka Ki Tanu Metir pasti bersedia untuk menolongnya. 

Pagi, sore, siang atau malam. Karena itu Kriya tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang 

dilihatnya, Sebab dengan demikian, maka akan celakalah orang tua yang baik hati itu. 

Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir ketika Kriya melihat Alap-alap Jalatunda melangkah 

mendekatinya. Dengan mengerutkan tubuhnya yang kecil itu, serta menutupi ubun-ubun 

dikepalanya dengan kedua telapak tangannya ia memohon “Ampun” 

Alap-alap jalatunda tertawa. Seperti anak nakal yang tertawa-tawa melihat seekor anjing 

ketakutan, ia memandangi Kriya yang kecil dan pendek itu “Kenapa kau tak mau mengulangi 

kata-katamu. Kau takut kepada orang tua ini?” berkata anak muda itu sambil menunjuk Ki Tanu. 

Sekali lagi Kriya memandangi wajah Ki Tanu Metir, wajah yang biasanya selalu bening, namun 

kali inipun tampak, betapa perasaan cemas sangat mengganggunya. 

Tiba-tiba terdengarlah orang tua itu berkata perlahan-lahan “Kriya, berkatalah sebenarnya” 

Kriya tidak segera mengetahui maksud Ki Tanu Metir. Karena itu untuk sesaat ia beragu, 

sehingga terdengar Ki Tanu Metir berkata mengulangi “Katakanlah apa yang kau ketahui 

kepada angger alap-alap Jalatunda” 

Meskipun dengan ragu-ragu, kemudian Kriya membuka mulutnya ketika ia mendengar Alap-

alap Jalatunda itu tertawa dan selangkah mendekatinya sambil menggerak-gerakkan ujung 

pedangnya dimuka wajahnya “Ampun ngger, Sebenarnya aku melihat orang berkuda itu” 

“Hem, baru sekarang kau katakan ktu “geram Alap-alap Jalatunda. “Lalu?” 

“Ya, dua ekor kuda diatas punggung orang…..eh …..eh…., dua orang berkuda diatas satu 

punggung kuda” sahut Kriya kebingungan. 

Kemudian Alap-alap Jalatunda itu memutar tubuhnya menghadap Ki Tanu Metir sambil tertawa 

menyeringai. Katanya “Kau dengar dukun tua, lidah si bungkik itu terputar-putar?” 

“Aku dengar” jawab Ki Tanu Metir “Tetapi adakah seseorang yang masuk kepadukuhan ini pasti 

datang kerumahku? Bagaimanakah kalau orang itu sekedar lewat dan terus ke Glagah Legi 

atau ke Gedawung?


Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya, namun jawabnya “Hanya disini tinggal seorang 

dukun yang ternama” Dan tiba-tiba mata Alap-alap itu menjadi liar “Mana dia” bentaknya, 

sehingga Kriya terkejut dan menggigil karenanya. 

Untara yang mendengar bentakan-bentakan itupun menjadi gelisah. Apakah yang akan 

dilakukan terhadap orang setua Ki Tanu. Tetapi Untara terkejut ketika jawabnya Ki Tanu justru 

menjadi tenang “Angger, kalau angger tidak percaya, silakan mencarinya” 

Mata Alap-alap Jalatunda yang liar itu beredar berkeliling kesegenap sudut, kemudian sekali 

lagi ia berteriak “Bohong!” 

Tiba-tiba diantara mereka, diantara kawan-kawan Alap-alap Jalatunda itu terdengar seseorang 

tertawa. Suaranya menggelegar dan jauh berbeda dengan suara Alap-alap Jalatunda “He Alap-

alap kecil, agaknya kau terlalu baik hati. Jangan buang-buang waktu. Berpencarlah dan cari 

disemua sudut rumah ini” 

Ki Tanu Metir terkejut mendengar suara itu. Demikian juga Untara. Orang yang menyebut “Alap-

alap Jalatunda dengan sebutan Alap-alap kecil itupun pasti bukan orang kebanyakan. Karena 

itu dada Untara menjadi semakin berdebar-debar. 

Alap-alap Jalatunda sendiri mengerutkan keningnya. Kemudian sahutnya “Bagus”, dan kepada 

anak buahnya ia berkata “Carilah orang yang bernama Untara itu sampai ketemu. Suguhkan 

dia kepada tamu kita kakang Plasa Ireng” 

“Plasa Ireng” Untara menyebut nama itu didalam hati. Dan debar jantungnyapun menjadi 

bertambah cepat, sejalan dengan tubuhnya yang bertambah lemah. Plasa Ireng adalah orang 

yang benar-benar menakutkan. Ia adalah salah seorang prajurit Jipang yang dipercaya. Seperti 

Arya Jipang sendiri, Plasa Ireng adalah seorang pemarah, dan bahkan Plasa Ireng memiliki 

sifat-sifat yang jauh lebih bengis dari Arya Penangsang. “Orang itu ada disini pada saat aku tak 

mampu menemuinya” pikir Untara. Seandainya Untara tidak terluka, maka dengan penuh 

gairah Plasa Ireng itu akan disambutnya. Tetapi keadaan Untara sedemikian buruknya, 

sehingga untuk berdiripun agaknya terlalu payah baginya, hanya karena darahnya terlalu 

banyak mengalir. 

Sesaat kemudian orang-orang Alap-alap Jalatunda itu memencar kesegenap sudut rumah Ki 

Tanu Metir. Setiap lekuk-lekuk diperiksanya, bahkan sampai-sampai gledeg-gledeg bambupun 

dibukanya. Tetapi tak seorangpun mereka ketemukan. Sentong kanan, tengah dan kiripun 

mereka jenguk pula, bahkan dengan lampu ditangan mereka. Namun disentong-sentong itu 

mereka hanya melihat setumpuk bantal dan disentong kiri seonggok untaian padi didalam bakul 

yang besar. Namun Untara tak mereka temukan. 

Selagi mereka sibuk mencari-cari, kembali terdengar Plasa Ireng terawa nyaring diluar pintu. 

Katanya “Kuda itu telah kemari, tetapi aku melihat bekas kakinya meninggalkan tempat ini” 

Alap-alap Jalatundapun segera meloncat keluar. Segera iapun mengamat-amati bekas kaki-

kaki kuda itu dibawah cahaya oncor ditangan Plasa Ireng. Kemudian terdengar ia memanggil 

“Bawa Kriya kemari” 

Kriya yang pendek itupun segera didorong keluar. Kemudian diseret mendekati alap-alap 

Jalatunda yang masih terbungkuk-bungkuk mengamat-amati telapak-telapak kaki kuda. 

“Kriya bungkik..!” teriak Alap-alap muda itu “Kau lihat orang ini datang. Pasti kau lihat ia pergi” 

“Ya, aku lihat” jawab Kriya terbata-bata. 

“Kenapa kau tidak bilang sejak tadi? Kau sengaja mempermainkan kami?” bentak Alap-alap 

Jalatunda sambil melekatkan ujung pedangnya pada perut Kriya yang kecil itu. 

“Tidak, tidak..” sauara Kriya hampir merintih. 

“Atau kau termasuk gerombolan orang yang bernama Untara itu?” desak Alap-alap Jalatunda’ 

“Tidak…” sahut Kriya. 

“Jadi kenapa kau lindungi dia?” desak anak muda itu. Ia harus dapat berlaku kasar, sekasar 

Plasa Ireng. 

“Aku tidak tahu kalau kuda yang datang itu kemudian juga kuda yang aku lihat meninggalkan 

padukuhan ini” jawan Kriya mencoba menyelamatkan dirinya. 

“Kenapa? Adakah perbedaanya?” pertanyaan itu sedemikian cepatnya sehingga Kriya tidak 

sempat mempertimbangkan jawabannya. Karena itu tiba-tiba meluncur dari mulutnya “Yang


datang berdua, yang pergi hanya seorang” 

“Ha” jawaban itu benar-benar mengejutkan. Kriya sendiri terkejut mendengar jawaban itu. Ki 

Tanu Metir yang mendengar percakapan itu mengerutkan keningnya. Ia tak akan dapat 

mengelak lagi. Tetapi ia tidak kehilangan ketenangannya. Karena itu sikapnya benar-benar 

mengherankan. 

Tiba-tiba terdengar Alap-alap Jalatunda tertawa berderai dan Plasa Ireng itupun tertawa pula. 

Terdengar Plasa Ireng berkata “Yang seorang melarikan diri, tetapi kawannya yang luka 

ditinggalkannya disini” 

Untara mnenjadi gelisah. Bukan karena dirinya sendiri, namun dengan demikian maka Ki Tanu 

Metir pasti akan mengalami bencana. Alap-alap Jalatunda yang ingin mendapat pujian dari 

Plasa Ireng itu dapat berbuat hal-hal diluar dugaan. Dan apa yang dilakukan Plasa Ireng sendiri 

akan sangat mengerikan. Apalagi ketika Untara mendengar Plasa Ireng membentak “He dukun 

celaka, aku tidak telaten melihat cara Alap-alap kecil itu mencari lawannya. Untara adalah 

seorang yang sangat berbahaya. Aku ingin menemuinya disegala medan peperangan namun 

aku selalu gagal. Hanya namanya saja yang pernah aku dengar. Disegala garis perang Untara 

pasti berhasil menyapu lawan-lawannya. Nah, tunjukkan kepadaku sekarang dimana orang itu” 

Kemudian katanya kepada Alap-alap Jalatunda “Alap-alap kecil, serahkan Untara kepadaku, 

kau dapat menemukan yang seorang lagi” 

“Anak itu telah pergi” jawab Alap-alap Jalatunda. 

“Kau dapat memeras keterangan dari orang pendek itu kemana ia melarikan diri. Pakai kudaku. 

Kejar dia dan bawa dia kemari atau penggal lehernya dan tinggalkan disekitar Sangkal Putung” 

Perintah-perintah itu mengalir seperti pancuran. Dan perintah-perintah itu benar-benar 

mengejutkan. 

Dada Untarapun tiba-tiba bergolak dengan dahsyatnya. Untara sesaat ia lupa tentang lukanya. 

Yang didengarnya kemudian adalah suara Alap-alap Jalatunda “Untara adalah lawanku. 

Karena itu aku ingin menyelesaikan perkelahian itu” 

Plasa Ireng menarik nafas, tampak dahinya berkerut. Katanya “Kaukah yang melukainya?” 

“Sudah aku katakan” jawab Alap-alap Jalatunda. 

“Dalam perkelahian seorang lawan seorang?” desak Plasa Ireng. 

“Ya” sahut anak muda itu. 

Tiba-tiba Plasa Ireng tertawa, katanya “Jangan mengelabui orang tua. Aku tahu siapakah 

Untara dan siapakah Pratanda yang sekarang bergelar Alap-alap Jalatunda. Atau kau takut 

kepada yang seorang itu pula” 

Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi merah. Namun tidak berani berbuat sesuatu meskipun 

hatinya melonjak. Meskipun demikian ia menjawab “Jangan memperkecil arti Alap-alap 

Jalatunda didaerah ini. Kenapa aku takut kepada yang seorang lagi. Berdua dengan Untara aku 

telah berhasil mengalahkan mereka” 

“Jangan ulangi!” bentak Plasa Ireng. Sikapnya benar-benar garang. Apalagi kepada lawan-

lawannya. Kepada Alap-alap Jalatunda itupun ia berkata “Kalau sekali lagi kau sebut 

kemenanganmu itu, aku tampar mulutmu. Sekarang pakai kudaku, kejar yang seorang sampai 

ketemu” kemudian kepada Kriya Plasa Ireng berkata “kearah mana kuda yang itu?” 

Kriya yang kecil pendek itu telah kehilangan seluruh hatinya, karena itu maka jawabannyapun 

meluncur dengan lancarnya “keselatan” 

“Terus?” desak Plasa ireng. 

“Tidak. Disimpang tiga membelok kebarat” jawabnya. 

“Nah, kejar dia. Lewat Kali asat” perintahnya. 

Alap-alap Jalatunda masih berdiri ditempatnya, sehingga Plasa Ireng membentak “Pergi…!” 

Alap-alap Jalatunda yang garang itu tidak membantah. Bergegas-gegas ia pergi kejalan kecil 

dimuka halaman Ki Tanu Metir. Dan sesaat kemudian terdengarlah derap kuda berlari. 

Mendengar derap kuda itu, berdentanglah jantung Untara. Segera ia mencemaskan nasib 

adiknya. Tiba-tiba saja ia mencoba menyibakkan tumpukan padi diatasnya. Namun terasa 

pundaknya menjadi semakin sakit. Dan ketika ia meraba pundak itu, terasa darahnya kembali


mengalir. Karena itu dicobanya untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba berpikir, apakah yang 

sebaiknya dilakukan. Dalam pada itu terdengar Plasa Ireng membentak “He dukun tua, kangan 

menyamakan aku dengan Pratanda yang cengeng itu. Sekali aku bertanya, kau harus 

menunjukkan tempat Untara. Kalau tidak sebaiknya aku sobek mulutmu, dan aku bakar rumah 

ini. Nah, tunjukkan tempat Untara itu sekarang” 

Sekali lagi Untara menggeliat. Ia sama sekali tidak rela, apabila dukun yang naik itu mengalami 

bencana karena dirinya. Tetapi dengan demikian, keadaannya menjadi semakin buruk. Darah 

yang kembali mengalir dari lukanya itu, sangat mempengaruhinya. Sehingga Untara menjadi 

sangat cemas. Ketika matanya seakan-akan tidak dapat dibukanya lagi, sesaat kesadarannya 

seperti hilang. Dan tiba-tiba ia menjadi sangat pening. Lamat-lamat masih didengarnya Ki Tanu 

Metir menjawab tenang “Sayang ngger Plasa Ireng, aku tidak dapat menunjukkan tempat itu” 

“He..!” Plasa Ireng berteriak “Kau mencoba membantah. Jangan mengorbankan dirimu untuk 

monyet yang ganas itu” 

“Ia berada dirumahku” jawab Ki Tanu, “karena itu keselamatannya berada ditanganku” 

Jawaban itu benar-benar mengejutkan. Untarapun terkejut. Namun ia tidak mau mengorbankan 

orang tua itu. Tetapi ketika ia mencoba sekali lagi untuk bangkit, maka kepalanya menjadi 

semakin peningnya. Perlahan-lahan kesadarannya menjadi semakin tipis. Dan ketika ia 

mencoba berteriak untuk menunjukkan dirinya maka dunia seakan-akan kelam. Untara tidak 

sadarkan diri. 

Malam yang gelap masih merajai seluruh permukaan bumi. Satu-satu dilangit bintang berebut 

dahulu muncul dari balik awan yang mengalir dihanyutkan angin selatan. Udara yang dingin 

membelai daun-daunan dan pohon-pohonan yang masih basah. 

Diatas jalan berbatu-batu menuju Sangkal Putung, lewat Kali asat terdengarlah suara kaki kuda 

berderap .Kuda itu berlari dengan kencang, namun tidak dengan kecepatan penuh. 

Penunggangnya, Agung Sedayu, bukanlah seorang penunggang kuda yang berani. Karena itu, 

meskipun perasaan takut selalu mengejarnya, namun ia tidak berani memacu kudanya dengan 

kecepatan penuh. 

Ketika Agung Sedayu mencoba memandang jauh kedepan, jantungnya menjadi berdebar-

debar. Sekali lagi ia harus membelok kemudian ia kan sampai ke Bulak Dawa. Diujung bulak 

yang panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas raksasa, yang terkenal dengan sebutan 

tikungan randu alas. Dibawah randu alas jalan membelok kekiri lewat Kali asat dan sekali lagi ia 

harus membelok kekanan. Kemudian ia akan sampai kejalan lurus langsung menuju Sangkal 

Putung. 

Teringatlah ia akan ceritera tentang genderuwo bermata satu penunggu randu alas itu. 

Terasalah seluruh bulu-bulunya tegak. Tetapi terdorong oleh ketakutannya yang lain, 

ketakutannya kepada kakaknya yang akan membunuhnya, maka dipaksanya juga kudanya 

berlari. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak henti-hentinya meratap didalam hati. Perintah 

kakaknya dirasanya telah menghadapkannya pada suatu pilihan yang sama-sama mengerikan 

baginya. Seakan-akan kakaknya sengaja menjerumuskannya kedaerah maut. Berjalan ke 

Sangkal Putung atau tinggal dirumah Ki Tanu Metir, maut itu dapat hadir setiap saat untuk 

mencekiknya. 

Ketika sekali lagi Agung Sedayu memandang kedepan, kudanya telah sampai dikelok jalan, 

dan sesaat kemudian dihadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak dawa. 

Kini hujan telah benar-benar teduh. Bahkan diantara bintang-bintang dilangit, tampak bulan tua 

muncul dari balik awan. Cahayanya yang kemerah-merahan memencar terlempar keatas daun-

daun padi yang subur ditanah persawahan. Disana sini air yang bergenangan memantulkan 

sinar bulan yang redup itu. 

Sekali-sekali Agung Sedayu menengadahkan wajahnya. Mula-mula ia agak berlega hati, ketika 

malam tidak lagi sedemikian pekat. Namun tiba-tiba karena itu maka terasa segenap bulu-bulu 

ditubuhnya menjadi tegak. 

Jauh diarah timur, remang-remang dilihatnya hutan yang terbujur keselatan, seakan-akan 

raksasa sedang lelap tertidur. Sepi. Agung Sedayu segera memalingkan wajahnya. Kalau ia 

menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan ditepi hutan itu. Ia manarik nafas. 

Untunglah kakaknya berpesan untuk menempuh jalan barat, meskipun agak jauh sedikit. Lewat


jalan ini, jaranglah orang bertemu binatang buas yang kelaparan, dan mencari mangsanya 

sampai keluar daerah perburuan mereka. 

Tetapi tiba-tiba mata Sedayu terbentur pada sebuah pohon yang besar menghadang diujung 

jalan. Randu alas. Tanpa disadarinya Sedayu menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu 

memperlambat larinya. Pohon itu dimata Sedayu seolah-olah berbentuk seorang raksasa yang 

tegak memandangnya dengan penuh nafsu. Tidak. Malahan tiba-tiba rimbun daunnya berubah 

menjadi kepala hantu yang bulat keputih-putihan, genderuwo mata satu. Hampir Sedayu 

memekik ketakutan. Tetapi suaranya tak sempat meloncat keluar. Sekali lagi ia menarik kendali 

kudanya, lebih keras. Dan kini kuda itu berhenti. 

Jantung Sedayu berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang 

hidungnya. Tiba-tiba perasaan takutnya memuncak. Tetapi ketika terpikir olehnya untuk kembali 

ke dukuh Pakuwon, hatinya diterkam oleh ketakutan yang lain. Kakaknya siap membunuhnya. 

“O” terdengar Agung Sedayu mengeluh. Dirasanya seakan-akan dirinya adalah manusia paling 

sengsara diatas bumi ini. Kakaknya yang selama ini amat menyayanginya, menjaganya setiap 

saat, tiba-tiba kini membiarkannya dihadang maut. Bahkan memaksanya untuk terjun kedaerah 

yang mengerikan itu. Terasa mata Sedayu menjadi basah karenanya. Ia tidak dapat mengerti, 

mengapa ia harus pergi ke Sangkal Putung malam ini. Ternyata Untara lebih sayang kepada 

Widura daripada kepadanya. 

“Ibu, ayah” desisnya. Tetapi ia terkejut mendengar suaranya sendiri. Kalau ayah dan ibunya 

yang sudah meninggal itu tiba-tiba datang, maka iapun akan mati ketakutan. Karena perasaan 

itulah maka Sedayu menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak, namun tak bisa dilakukannya. 

Tanpa disadarinya, ketakutannya itu telah membawanya mendekati bencana yang jauh lebih 

besar dari yang dikhayalkan tentang genderuwo bermata satu. Jauh dibelakangnya berderap 

seekor kuda yang lain, Alap-alap Jalatunda. 

Pada saat Agung Sedayu dibakar oleh ketakutan, pada saat itu Alap-alap Jalatunda memacu 

kudanya habis-habisan. Mula-mula ia ragu-ragu terhadap pemuda yang dikejarnya. Apakah 

pemuda itu tidak akan mencelakakannya. Seandainya pemuda itu benar-benar seperti yang 

dikatakan Untara, maka kedatangannya adalah untuk mengantarkan nyawanya. Tetapi 

kemudian diingatnya, bagaimana sikap anak muda itu ketika pande besi sendang gabus 

menyerangnya. Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu tersenyum. Kalau Agung Sedayu benar-benar 

anak yang mumpuni, ia pasti mengambil jalan timur. Ternyata anak itu menurut Kriya telah 

mengambil jalan barat. 

“Menyenangkan” desisnya “Aku akan mendapat permainan yang baik, jauh lebih baik dari 

Untara yang luka itu” Maka Alap-alap Jalatunda itupun memacu kudanya lebih cepat “Mudah-

mudahan aku dapat menyusulnya” 

Kaki-kaki kuda Alap-alap Jalatunda itupun berderap pula diatas jalan berbatu menuju Kali Asat. 

Dibenaknya sama sekali tidak terhiraukan genderuwo mata satu di tikungan randu alas. 

Ceritera itu pernah didengarnya pula. Tetapi hati Alap-alap yang muda itu tidak sekecil hati 

Agung Sedayu. Karena itu Alap-alap yang garang itu tidak pernah gentar seandainya betul-

betul ada genderuwo mata satu menghadang didepannya, bahkan ia akan lebih gentar apabila 

ia bertemu dengan Untara. 

Karena itu Alap-alap Jalatunda berpacu dengan penuh gairah. Kalau ia dapat menangkap anak 

muda itu, memenggal kepalanya dan melemparkan kedua bagian tubuh yang terpisah itu maka 

ia akan dapat menggetarkan laskar Pajang yang bersarang di Sangkal Putung. 

Kembali Alap-alap Jalatunda tersenyum dan bersamaan dengan itu, kudanya dipacu semakin 

cepat. Kini ia bertekad untuk dapat menyusul anak muda itu. 

Di Bulak dawa Agung Sedayu masih terpekur diatas punggung kudanya yang tegak seperti 

patung. Dadanya yang penuh sesak oleh gelora perasaannya seakan-akan hendak meledak. 

Bahkan akhirnya Agung Sedayu tidak berhasil menguasai dirinya, sehingga beberapa kali 

terdengar ia mengeluh. Ditengah-tengah bulak yang panjang dan sepi itu, seolah-olah Agung 

Sedayu mendapat kesempatan untuk meledakkan segala himpitan didadanya. 

Agung Sedayu tidak tahu, sudah berapa lama ia berhenti ditengah-tengah jalan diantara 

sawah-sawah yang terbentang sedemikian luasnya, tetapi akhirnya ia terkejut ketika lamat-

lamat didengarnya derap kuda dibelakangnya. 

Perlahan-lahan Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Didengarnya suara itu baik-baik, “Derap


kuda”, desisnya. “Siapa?” 

Sedayu mencoba untuk menebak “Adakah kakang Untara” katanya seorang diri. Kemudian ia 

menggeleng “Lukanya agak parah” kata-katanya dijawabnya sendiri. 

“Adakah mereka itu gerombolan Alap-alap Jalatunda?” kembali ia berkata sendiri. Mendengar 

kata-katanya itu sendiri dada Sedayu berdentang. Namun karena pengalamannya yang picik 

maka perhitungannyapun picik pula. Katanya “Alap-alap Jalatunda tidak berkuda” 

Untuk sesaat Agung Sedayu menjadi agak tenang. Bahkan ia mengharap mendapat teman 

untuk melewati tikungan randu alas. Tetapi tiba-tiba tumbuhlah didalam benaknya 

“Bagaimanakah kalau Alap-alap Jalatunda itu menemukan kudaku?” 

Sekali lagi dada Agung Sedayu berguncang. Pikiran itu semakin lama menjadi semakin kuat. 

Malah kemudian Agung Sedayu menjadi pasti. Pikirnya “Derap kuda itu adalah derap kudaku 

sendiri, tetapi dengan Alap-alap Jalatunda dipunggungnya”. 

Demikianlah tiba-tiba kaki Agung Sedayu menjadi gemetar. Dalam kecemasannya, maka 

lenyaplah segala akalnya yang jernih. Yang ada didalam hatinya tinggallah “Bagaimana aku 

harus bersembunyi dibulak ini?” 

Derap kuda dibelakangnya itupun semakin lama menjadi semakin dekat. Ia tidak dapat menira-

irakan, masih seberapa jauhnya. Namun dimalam yang sepi itu, suara derap itu rasa-rasanya 

tinggal beberapa langkah dibelakangnya. 

Tiba-tiba mata Agung Sedayu tersangkut pada sebuah parit yang agak dalam. Tanpa berpikir 

lagi, maka dengan tergesa-gesa ia meloncat turun. Demikian tergesa-gesanya sehingga ia 

jatuh terjerebab ditanah yang becek. Tertatih-tatihia bangun, kemudian berlari-lari terjun 

kedalam parit, sehingga pakaian yang basah menjadi semakin kuyup. Tetapi Sedayu sama 

sekali tidak menghiraukannya lagi. Bahkan kemudian, dengan tidak mengingat persoalan-

persoalan yang dapat terjadi kemudian, anak yang ketakutan itu memungut sebuah batu dan 

dengan batu itu ia melempar kudanya. Kuda itu terkejut. Satu kali kuda itu meloncat, kemudian 

berputar-putar dan berlari kencang-kencang kearah tikungan randu alas. 

Pada saat itulah Alap-alap Jalatunda muncul dikelok jalan dibelakangnya. Hati anak muda yang 

sedang berpacu itupun berdesir ketika didalam keremangan cahaya bulan ia melihat seekor 

kuda yang berlari searah dengan kudanya. “Adakah kuda itu kuda kawan Untara?” Jarak kedua 

ekor kuda itu masih belum terlalu dekat. Dengan demikian Alap-alap Jalatunda masih belum 

dapat melihat bahwa dipunggung kuda itu tak ada seorangpun yang menaikinya. Karena itu, 

sesaat ia masih diganggu oleh keragu-raguannya. Jangan-jangan penunggang kuda itu benar-

benar sakti seperti yang dikatakan Untara. 

“Bukankah aku Alap-alap Jalatunda” desisnya. “Alap-alap Jalatunda tidak mengenal takut. 

Meskipun seandainya yang berkuda itu Untara sendiri”. Alap-alap yang muda itu tersenyum 

sendiri ketika dari sudut hatinya terdengar jawaban “Ya, karena kau tahu pasti bahwa Untara 

sedang terluka parah” 

Alap-alap Jalatunda itupun segera memacu kudanya secepat angin. Ia tidak mau melepaskan 

buruannya atau menunggu sampai ke Sangkal Putung. Orang itu harus segera ditangkapnya. 

Hidup atau mati. Karena itu tiba-tiba Alap-alap itu berteriak ngeri, mirip seperti suara burung 

alap-alap yang berteriak diudara. Kudanya itupun berlari semakin kencang seperti gila. 

Agung Sedayu seakan-akan membeku didalam air parit yang dingin. Ia melihat seekor kuda lari 

dimuka hidungnya. 

Dilihatnya pula anak muda sebayanya duduk merapat diatas punggung kuda itu seperti sedang 

berpacu. Dalam keremangan cahaya bulan Agung Sedayu dapat mengenal, bahwa 

penunggang kuda itu adalah anak muda yang tadi bertempur dengan kakaknya, Alap-alap 

Jalatunda. Maka dari itu giginya gemeretak, tetapi sama sekali bukan karena kemarahannya. 

Untuk beberapa saat Agung Sedayu tidak dapat menggerakkan meskipun hanya ujung jarinya. 

Hatinya berdebar-debar seakan-akan bunyi guruh meledak-ledak didalam rongga dadanya. 

Suara kuda Alap-alap Jalatunda itupun semakin lama semakin samar. Ketika Agung Sedayu 

menjengukkan kepalanya yang gemetar lamat-lamat dilihatnya sebuah noktah hitam semakin 

lama semakin menjadi kabur. Dan akhirnya hilang seakan-akan ditelan oleh gendoruwo 

bermata satu diujung jalan. Tetapi Sadayu kini sudah tidak ingat lagi kepada gendoruwo


bermata satu itu. Dan matanyapun kini dapat melihat pohon randu alas itu dengan jelas. 

Lingkaran yang keputih-putihan ditengah-tengah bayangan hitam itu tidak lain adalah bagian-

bagian yang tak berdaun. Sedayu menarik nafas. Namun ketakutan yang lain kini 

mencekamnya. Bagaimanakah seandainya Alap-alap Jalatunda itu nanti kembali. Dan 

perasaan takutnya itu semakin lama semakin menghunjam kepusat dadanya. Demikian 

takutnya sehingga akhirnya Agung Sedayu tidak dapat lagi berpikir. Tiba-tiba saja ia berdiri dan 

merangkak menaiki tepian parit. Seperti orang yang kehilangan kesadaran diri, Agung Sedayu 

berlari-lari kearah jalan kembali ke dukuh Pakuwon. Biarlah kakaknya membunuhnya, daripada 

mati karena tangan Alap-alap Jalatunda yang garang itu. Mula-mula ada juga niatnya untuk lari 

kemana saja. Tidak kearah Alap-alap Jalatunda dan tidak kembali ke kakaknya. Tetapi 

kemana? Dan apakah yang akan terjadi dengan dirinya besok lusa dan seterusnya. Karena itu 

maka niat itupun tak berani dilakukannya. Ketika Agung Sedayu hampir sampai kepangkal jalan 

bulak yang panjang itu, sebelum ia membelok tiba-tiba sekali lagi ia mendengar derap kuda. 

Karena itu langkahnyapun terhenti. Dicobanya untuk mengetahui dari arah mana kuda itu 

datang. Ketika ia menoleh, disepanjang bulak dawa itu tak dilihatnya sesuatu, sementara itu 

derap kuda itupun menjadi semakin dekat. Sekali lagi Agung Sedayu menjadi sedemikian 

bingungnya sehingga kembali ia berlari keparit ketepi jalan. Tetapi parit itu melengkung dan 

berbelok. Karena itu ia memerlukan waktu untuk mencapai kelokan parit itu. 

Ketika kuda itu muncul disiku jalan, Agung Sedayu baru mencapai tanggul parit, sehingga 

dengan tergesa-gesa ia meloncat terjun kedalamnya. Namun orang yang berkuda itu sempat 

melihatnya. Dan tiba-tiba saja penunggangnya menarik kekang kudanya, dan tepat dimuka 

Agung Sedayu terjun, kuda yang berlari kencang itupun berhenti. 

Agung Sedayu masih terbaring di dalam parit. Hanya wajahnya sajalah yang berada di 

permukaan air. Ketika ia mendengar bahwa derap kuda itu berhenti, maka ia manjadi semakin 

ketakutan da kembali merataplah ia di dalam hati. Meratapi nasibnya yang malang semalang-

malangnya. 

Didengarnya orang diatas punggung kuda itu menggeram. Dan kemudian didengarnya orang 

itu berkata “Siapa yang bersembunyi di dalam parit?” 

Mendengar suara itu dada Agung Sedayu bergoncang. Serasa nyawanya telah berada diujung 

ubun-ubunnya. 

“He, jawablah” terdengar suara itu pula. Berat dan lantang “Siapa itu? Kalau kau ingin berbuat 

baik, datanglah. Kalau kau tidak datang, bersiaplah. Kita akan bertempur.” 

Agung Sedayu benar-benar menjadi beku. Ia tidak dapat berbuat lagi sesuatu apapun. 

Tubuhnya menggigil namun mulutnya masih terkunci. 

“Nah” suara itu berkata pula “Kau tidak mau menampakkan dirimu. Siapapun kau aku tidak 

akan takut. Berkemaslah, kita mengadu kesaktian.” 

Sedayu masih mendengar orang itu meloncat turun. Kemudian tiba-tiba ia melihat sesosok 

tubuh menjenguknya dari atas tanggul. Melihat orang itu Sedayu benar-benar hampir pingsan. 

Seorang yang mengenakan sebuah topeng untuk menutupi wajahnya. Tubuhnya yang sedang 

berbalut dengan sebuah kain gringsing. Ketika orang itu melihat Agung Sedayu, maka 

berderailah tertawanya. 

“He” kenapa kau berbaring disitu? Apakah kau sedang mulai bertapa? Tapa kungkum? Ayo 

wudarlah tapamu sebentar. Kita berkenalan. Orang yang biasa tapa kungkum adalah orang 

yang sakti, tak akan betah sedemikian lama merendam diri dalam air dikala udara begini dingin. 

Ayo bangunlah” 

Agung Sedayu masih menggigil. Memang udara sedemikian dinginnya. Tetapi Sedayu tak 

merasakan udara yang dingin itu. Sehingga terdengar orang itu berkata lagi “Hem, benar-benar 

kau orang sakti. Kau dapat menutup segenap panca indramu sehingga kau tak terpengaruh 

oleh kedatanganku. Kalau demikian aku terpasaksa membangunkan kau” 

Tiba-tiba orang itupun meloncat turun. Dengan serta merta ia mencoba untuk mengangkat 

tubuh Agung Sedayu. Tetapi tubuh itu tak terangkat. Bahkan orang itu kemudian berkata 

“Belum pernah aku menjumpai orang seberat ini. Aku telah menjelajahi hampir setiap sudut 

kerajaan Demak dan kemudian Pajang, Jipang dan segala pecahan Demak”. Hem” orang itu 

menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi ia berkata pula “Bangunlah hai pertapa mumpung kau 

baru memulainya. Kalau tidak, jangan kau sebut aku curang kalau aku membunuhmu sebelum



kau wudar dari tapamu” 

Agung Sedayu belum pernah melihat orang seorang pertapa. Karena itu ia tidak tahu 

bagaimana seseorang mesu diri dengan bertapa. Maka ketika orang itu menyebutnya sedang 

bertapa, ia tidak mengerti meskipun terasa juga sebutan itu terlalu berlebih-lebihan. Namun 

ketika orang itu mengancamnya akan membunuhnya, maka dengan susah payah, ia mencoba 

untuk menguasai tubuhnya. Dengan susah payah ia mengangkat kepalanya, kemudian duduk 

bersandar kedua belah tangannya. 

Melihat Agung Sedayu bangkit, orang itu mundur selangkah. Dan sekali lagi ia tertawa nyaring 

“Ha” katanya “ternyata masih belum tega akan hidup matimu. Ayo berdirilah, kita bertempur” 

Agung Sedayu tanpa sesadarnya memandangi orang yang berdiri dihadapannya itu. Dan tiba-

tiba saja merayaplah suatu perasaan yang aneh didalam dadanya. Meskipun orang yang baru 

saja datang itu selalu menantangnya, namun nadanya sangat berbeda dengan kata-kata yang 

bernah diucapkan oleh si Pande besi Sendang Gabus atau oleh Alap-alap Jalatunda. 

“Berdirilah” tiba-tiba orang itu mengulangi kata-katanya. 

Sedayu masih belum berdiri. Ia masih duduk dan sebagian tubuhnya masih terendam air. 

Namun tak disangka-sangkanya orang itu datang menghampirinya dan menolongnya berdiri. 

Katanya “Ayo, tegaklah. Kau hampir beku terendam air” 

Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri, orang itu memandangnya dengan seksama. Lalu 

katanya “Kau gagah benar. Badanmu kekar sedang urat-uratmu kencang. Tubuh idaman bagi 

setiap lelaki. Nah, sudahkah kau bersedia untuk bertempur?” 

Dengan serta merta, tanpa dikehendakinya sendiri Agung Sedayu menggeleng lemah. 

“Tidak?” teriak orang bertopeng itu “Kau tidak mau berkelahi?” 

Sekali lagi Agung Sedayu menggeleng dengan sendirinya. 

“Hem” desis orang bertopeng itu “Kau belum mengenal aku. Panggillah aku Kiai Gringsing. 

Sebutan itu bukan namaku, tetapi aku senang dipanggil demikian” 

Perasaan yang aneh, yang merayap-rayap didalam dada Agung Sedayu menjadi semakin 

menebal. Orang itu mempunyai sikap yang sangat berbeda. Tiba-tiba ketakutannyapun 

berkurang. Kalau orang itu ingin berbuat jahat terhadapnya, maka dengan mudah hal itu dapat 

dilakukan. Namun tanda-tanda yang demikian masih belum dilihatnya. Nada suaranyapun tidak 

kasar dan tidak mengandung permusuhan. Sedikit demi sedikit Aung Sedayu mencoba 

menguasai otaknya kembali, meskipun ia masih belum dapat melepaskan perasaan takutnya. 

“Aku sangka kau termasuk orang sakti yang tidak menyukai permusuhan. Baik. Akupun tidak 

akakn memaksa. Dahulu akupun pernah mengenal orang serupa kau ini” berkata orang 

bertopeng itu. 

Tiba-tiba, ya tiba-tiba saja terloncat dari mulut Sedayu sebuah pertanyaan. Lirih dan gemetar. 

Tetapi orang bertopeng itu mendengarnya “Siapa?” katanya. 

Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya 

“Namanya Ki Sadewa” 

“He” Agung Sedayu terkejut “Kau sebut nama itu?” 

“Ya, kenapa? Kau kenal dia? Atau orang itu gurumu? Kalau demikian benar dugaanku. Kau 

orang sakti yang tak ingin bermusuhan dengan siapun juga” sahut kiai Gringsing. 

“Orang itu ayahku” berkata Agung Sedayu dengan penuh kebanggaan. 

“He” orang itu terkejut “Kau anak Ki Sadewa? Benarkah demikian?” 

“Ya” jawab Agung Sedayu pendek. 

“Pantas, pantas” gumamnya “Kau memiliki kekekaran tubuh seperti ayahmu, ketahanan tubuh 

seperti ayahmu pula, dan sifat-sifat yang sama pula”. Tetapi tiba-tiba orang bertopeng itu 

bertanya menyentak “Bohong. Kau akan menakut-nakuti aku. Aku takut seribu turunan dengan 

orang yang bernama Sadewa itu. Dan kau sekarang anaknya?” 

“Tidak” jawab Agung sedayu “orang itu benar-benar ayahku” 

“Kalau demikian akan aku buktikan” desis Kiai Gringsing. 

Darah Agung Sedayu berdesir. Bagaimanakah caranya membuktikan? Haruskah ia berkelahi


lebih dahulu. Agung Sedayu kemudian menyesal bahwa ia telah menyebut nama ayahnya. 

Kiai Gringsing itu kemudian berkata pula “Kau masih tetap pada pendirianmu, bahwa kau tak 

mau berkelahi?” 

Agung Sedayu ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia mengangguk. 

“Bukti yang pertama, seperti Ki Sadewa” berkata orang bertopeng itu. “Tetapi” ia meneruskan 

“kau dapat berpura-pura. Sedang sebenarnya nafsumu berkelahi melonjak-lonjak. Sekarang 

aku ingin membuktikan dengan cara lain. Ki Sadewa adalah seorang ahli bidik. Memanah, 

paser, bandil dan sebagainya. Adakah kau mewarisi kepandaian itu?” 

Tiba-tiba wajah Agung Sedayu menjadi cerah. Permainan yang sama sekali tidak memerlukan 

keberanian. Karena iru Agung Sedayu sering melakukannya. Bahkan ia benar-benar mewarisi 

keahlian ayahnya itu. “Baiklah” jawabnya. 

“Nah” berkata Kiai Gringsing “aku akan melambungkan batu ke udara. Kenailah dengan 

lemparan pula”. 

“Bagus” teriak Agung Sedayu gembira. Permainan itu memang sering dilakukan dengan 

ayahnya dahulu. Bahkan kakaknya, Untara tak menyamainya. 

Kiai Gringsing itu kemudian memungut sebuah batu, dan dilemparkannya tak begitu tinggi “Aku 

sudah mulai” teriaknya. 

Sedayupun segera memungut batu pula. Ketika batu yang dilemparkan oleh Kiai Gringsing itu 

telah mencapai puncaknya dan meluncur turun, Sedayu mulai melemparkan batunya. Sesaat 

kemudian terdengarlah suara kedua batu itu beradu. 

“Dahsyat” teriak Kiai Gringsing “Didalam cahaya bulan yang hanya samar-samar kau telah 

berhasil mengenainya, Kau benar-benar anak Ki Sadewa. Karena itu aku tak akan berani 

menanatangmu” 

“Kau percaya?” bertanya Agung Sedayu dengan bangga. 

“Ya, aku percaya” jawab orang itu. 

Agung Sedayu tersenyum. Dan tiba-tiba hatinya menjadi agak tenteram. Ia merasa bahwa 

didalam dirinya tersembunyi pula kemampuan yang tak dimiliki oleh orang lain. 

Tetapi selagi Agung Sedayu berbangga atas kemampuannya itu, lamat-lamat didengarnya 

derap seekor kuda. Hatinya yang mulai berkembang itu tiba-tiba kuncup kembali “Suara kuda” 

desisnya. 

“Ya” jawab Kiai Gringsing “dari arah tikungan randu alas” 

Dada Agung Sedayu berdentang. Apakah Alap-alap Jalatunda yang sedang mencarinya? 

Keringat dingin mulai mengaliri seluruh tubuhnya. Dan kembali anak muda itu menjadi gemetar. 

Tetapi agaknya Kiai Gringsing sama sekali tidak tertarik pada suara derap kaki-kaki kuda itu, 

maka katanya “Jangan hiraukan suara derap itu, siapapun yang akan lewat biarlah ia lewat” 

Namun Agung Sedayu tidak dapat berbuat demikian. Dalam pada itu terdengar kembali suara 

Kiai Gringsing “Anak muda, kecakapanmu benar-benar melampaui kecakapan anak-anak muda 

biasa. Sejak kapan kau berlatih membidik?” 

Agung Sedyu mendengar juga pertanyaan itu. Tetapi meskipun derap kaki-kaki kuda masih 

cukup jauh serasa seperti derap dijantungnya. Namun ia menjawab “Sejak kecil” Dan 

terlintaslah untuk sesaat kenangan masa kanak-kanak itu. Kakaknya lebih suka berburu 

kehutan daripada berlatih membidik dirumah. Sedangkan Agung Sedayu yang tak berani kut 

serta, menghabiskan waktunya dengan berlatih memanah, paser, bandil dan sebagainya. 

Tetapi kecakapannya itu tidak dipergunakannya, selain dalam perlombaan memanah untuk 

anak-anak. 

Tetapi kenangan itu kemudian terusir oleh gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin dekat. Dan 

karena itu maka tubuhnya semakin gemetar pula. 

“Anak muda” berkata Kiai Gringsing “agaknya kau tertarik sekali pada orang berkuda itu. 

Adakah itu sahabatmu? Kalau demikian biarlah aku pergi dahulu. Lain kali kita beremu” 

“Jangan, jangan pergi Kiai” tanpa diduga-duga Agung Sedayu berteriak. Dan tiba-tiba saja ia 

meloncat mendekati orang bertopeng itu. 

“Kenapa?” Kiai Gringsing bertanya.



“Orang yang berkuda itu mungkin Alap-alap Jalatunda” jawab Agung Sedayu. 

“Alap-alap Jalatunda? Darimana kau tahu?” bertanya orang bertopeng itu pula. 

“Ia sedang mengejar kami. Aku dan kakakku” jawab Sedayu. 

“Aku pernah mendengar namanya. Tetapi apakah keberatanmu?” desak Kiai Gringsing “Kalau 

Alap-alap Jalatunda itu berani mengejar putra Ki Sadewa, apakah ia sudah gila?” 

“Ya, ia mengejar aku dan kakakku yang terluka” jawab Agung sedayu. 

“Kau dan kakakmu? Siapakah namamu he anak muda dan siapa nama kakakmu?” sahut kiai 

Gringsing “Apakah Aka-alap Jalatunda itu bernyawa tujuh rangkap?” 

“Namaku Sedayu, Agung Sedayu dan kakakku bernama Untara “jawab Sedayu yang segera 

disusulnya dengan terbata-bata ”Kiai, tolonglah aku” minta anak muda itu. 

Kiai Gringsing memandangi Agung Sedayu dengan seksama. Kemudian orang bertopeng itu 

menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sesaat kemudian ia tertawa. Katanya “Kau benar-benar 

tidak mau melibatkan diri dalam perkelahian melawan siapa saja. Tetapi jangan kau umpankan 

orang lain. Kalau kau tak mau berkelahi, jangan berkelahi. Akupun tidak” 

“Tidak kiai. Aku minta kiai menolong aku” desak Agung Sedayu ketakutan. Meskipun mula-mula 

ia agak malu juga, namun kemudian terpaksa ia berkata “Aku tidak pernah berkelahi. Aku takut” 

Orang bertopeng itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya “Orang-orang sakti sering 

berbuat aneh-aneh. Ki Sadewa juga selalu menghindari perkelahian. Namun ia mempunyai 

cara yang baik. Caramu itu adalah keterlaluan. Carilah cara lain. Jangan pura-pura takut. Tak 

akan ada orang percaya, keturunan Ki Sadewa menjadi ketakutan karena Alap-alap Jalatunda. 

Sedang Ki Sadewa itupun tak pernah membiarkan kejahatan berlangsung terus. Kalau ia 

bertemu Alap-alap Jalatunda misalnya, orang itu pasti akan ditaklukkan dan diusahakan untuk 

meluruskan jalannya” 

Agung Sedayu sudah tidak mendengar kata-kata itu. Karena derap kuda itu semakin dekat, 

maka Sedayupun menjadi bingung. Ketika ia menatap bulak yang panjang dalam keremangan 

cahaya bulan telah dilihatnya, seekor kuda berpacu kearahnya. 

“Itulah dia kiai” berkata Sedayu “Tolonglah aku” 

“Bagaimana aku bisa menolongmu, kau mempunyai kemampuan lebih baik dari aku” jawab Kiai 

Gringsing “Atau kau ingin mengenali aku dengan melihat caraku berkelahi?” 

“Tidak, tidak” jawab Sedayu mendesak “aku takut” 

“Angger Sedayu” berkata orang bertopeng itu. Dan tiba-tiba suaranya menjadi bersungguh-

sungguh “Seandainya kau bertempur melawan Alap-alap Jalatunda itu, dan karena tak kau 

sengaja lawanmu terbunuh, kau tak usah menyesal. Sebab bukan kau sebab dari perkelahian 

itu. Apabila kau tak membunuhnya, atau memaksanya pergi, kau sendiri pasti akan 

dibunuhnya” 

Tetapi agung Sedayu malahan menjadi bertambah ngeri. Maka jawabnya “Aku tidak berani Kiai, 

aku takut” 

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya kembali. Ditariknya keningnya sehingga 

topengnya bergerak-gerak. “Baiklah” katanya “agaknya kau bercuriga kepadaku dan ingin 

mengenal aku lewat unsur-unsur gerakku, tetapi apakah kau mampu melawan Alap-alap itu?” 

Dan tiba-tiba saja orang yang bertopeng dan berselimut kain gringsing itu melonca, ringan 

sekali, keatas tanggul parit. Masih terdengar ia berkata “Jangan berendam lagi didalam air 

Sedayu, kau akan membeku” Namun kemudian orang itu bergumam lirih, yang hanya dapat 

didengarnya sendiri “Tak berhasil” 

Sementara itu kuda yang berlari kencang-kencang itupun menjadi semakin dekat. Diatas 

punggung kuda itu tampak seseorang yang hampir melekatkan tubuhnya pada tubuh kudanya. 

Dari kejauhan penunggang kuda itupun telah melihat seekor kuda berhenti ditengah jalan. 

Karena itu, timbullah pertanyaan didalam hatinya. “Siapakah gerangan orang berkuda itu?” 

Orang yang datang itu benar-benar Alap-alap Jalatunda. Anak itu mengumpat tak habis-

habisnya ketika ia berhasil menyusul kuda Agung Sedayu, namun tanpa penunggangnya. 

“Setan” dengusnya setelah ia mengetahui kuda itu tak berpenumpang “Dimana kau sembunyi 

kelinci licik” Dan karena itu maka segera ia memutar kudanya kembali. Menurut perhitungan 

Alap-alap Jalatunda, Sedayu pasti masih bersembunyi disekitar jalan yang dilampauinya. Tetapi


ketika ia melihat seekor kuda berdiri dijalan itu, maka Alap-alap Jalatunda itu menjadi berdebar-

debar. “Persetan, siapa saja orang itu. Kalau ia berusaha menyembunyikan buruanku, maka 

orang itulah yang akan aku penggal kepalanya dan aku lemparkan disekitar Sangkal Putung” 

Kuda Alap-alap Jalatunda itupun semakin lama menjadi semakin dekat, dan Agung Sedayupun 

menjadi semakin gemetar. Tetapi Kiai Gringsing berdiri saja dengan tenangnya menanti 

kedatangan Alap-alap muda yang garang itu. 

“Aku baru kenal namanya” berkata Kiai Gringsing “Kalau aku terbunuh oleh Alap-alap Jalatunda, 

kaulah yang bersalah” 

Agung Sedayu tidak menjawab, memang ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Kalau 

orang bertopeng itu kalah, maka sudah pasti dirinyapun akan mengalami bencana. Karena itu 

desisnya “Jangan Kiai, jangan kalah” 

Kiai Gringsing tertawa berderai. Benar-benar ia tertawa karena geli. “Tak seorangpun yang mau 

kalah dalam setiap perkelahian. Tetapi tak seorangpun yang pasti bahwa ia tidak akan 

dikalahkan, betapapun lemah lawannya. Bukankah nasib seseorang tak dapat ditentukan oleh 

orang itu sendiri, meskipun sudah menjadi kewajiban seseorang untuk berusaha” 

Agung Sedayu tak sempat menjawab karena Alap-alap Jalatunda telah sedemikian dekatnya. 

Anak muda diatas punggung kuda itu segera menarik kekang kudanya, dan kuda itu berhenti 

beberapa langkah saja dihadapan kuda Kiai Gringsing. Didalam cahaya bulan dilihatnya 

seorang bertopeng berdiri tegak diatas tanggul parit. Dan tiba-tiba dilihatnya didalam parit 

seorang lain berdiri gemetar “Ha” teriaknya kegirangan “Kaukah itu?” 

Agung Sedayu terbungkam. Namun dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir 

semakin cepat. 

Alap-alap Jalatunda tertegun. Dipandanginya orang bertopeng itu dari ujung kakinya sampai 

keujung ikat kepalanya “Apakah kau penari topeng?” 

Tetapi orang bertopeng itu menjawab “Tepat. Aku adalah tokoh Panji dalam setiap ceritera” 

“Huh” Alap-alap itu mencibirkan bibirnya “Jangan main-main, kau berhadapan dengan Alap-

alap Jalatunda” 

“Ya, aku sudah tahu” jawab Kiai Gringsing 

Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya “Dari mana kau tahu?” 

“Dari anak muda itu” sahut Kiai Gringsing sambil menunjuk Agung Sedayu. 

“Apamukah itu?” bertanya Alap-alap Jalatunda pula. 

“Bukan apa-apa. Aku baru saja bertempur melawan anak itu, dengan perjanjian, siapa yang 

kalah harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda. Ternyata aku kalah” jawab Kiai Gringsing 

“Karena itu aku harus bertempur melawan Alap-alap Jalatunda” 

Alap-alap Jalatunda membelalakkan matanya. Ditatapnya Kiai Gringsing dengan tajam penuh 

pertanyaan. Terdengarlah kemudian anak muda itu menggeram “Hem, kanapa kau pakai 

topeng? Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur kesaktianmu” 

“Namaku Kiai Gringsing” jawab orang bertopeng itu. 

“Aku belum mengenalmu, kenapa kau menghina aku?” bertanya Alap-alap Jalatunda. 

“Aku berkata sebenarnya” jawab Kiai Gringsing. 

“Kenapa yang kalah yang harus menghadapi Alap-alap Jalatunda? Adakah kalian yakin, bahwa 

kalian adalah orang-orang sakti yang tak terkalahkan?” desak Alap-alap yang sedang marah itu. 

“Tidak” sahut Kiai Gringsing “Aku sama sekali tak berniat untuk bertempur melawanmu, sebab 

aku baru pernah mendengar namamu. Tetapi ketika aku lewat, anak muda itu mendekam 

didalam parit. Dengan serta merta ia menghentikan aku. Tetapi ia menjadi kecewa setelah 

ternyata aku bukan yang ditunggunya. Sebab aku bukan Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu 

marah kepadaku, dianggapnya aku mengganggu pekerjaannya. Kami bertengkar, dan 

diambilnya keputusan, kalau aku kalah aku harus menyerahkan Alap-alap Jalatunda kepadanya. 

Hidup atau mati. Tetapi …..” 

“Cukup!” bentak Alalp-alap Jalatunda “jangan membual” Suaranya keras mengguruh, sehingga 

Agung Sedayu hampir terjatuh karena terkejut. Namun dalam ketakutannya, timbul pula 

perasaan yang aneh, ketika ia mendengar ceritera Kiai Gringsing tentang dirinya.


Kemudian terdengar Alap-alap Jalatunda itu meneruskan “Kau memakai topeng itu bukan 

karena kebetulan. Apakah maksudmu. Mungkin kau salah seorang yang pernah aku kenal dan 

mencoba menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak akan berarti. Hidup atau mati aku akan dapat 

merenggut topeng itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku siapakah kau ini dan apa maksudmu 

sebenarnya” 

Kiai Gringsing menggeleng “Tidak” jawabnya “Tak seorangpun dapat melepas topeng ini, sebab 

topengku telah melekat pada kulit wajahku” 

“Hem” Alap-alap itu menggeram penuh kemarahan. “Bagus. Kalau demikian akan aku kelupas 

kulit mukamu itu”. Meskipun demikian timbul pula pertanyaan didalam dadanya. Telah dua 

orang yang menyebut anak itu sebagai orang sakti yang tak perlu melayaninya sendiri. Dari 

mulut Untarapun ia pernah mendengar hal itu. Tau, adakah orang bertopeng ini Untatra yang 

sedang menjebaknya? Alap-alap itu menggeleng “Tak mungkin, Untara terluka” 

Terdengar kemudian jawaban Kiai Gringsing “Jangan. Jangan kau kelupas kulit mukaku. 

Wajahku pasti akan menakuti anak-anak kelak” 

“Jangan banyak bicara” potong Alap-alap Jalatunda yang menjadi kian marah “bersiaplah. Kau 

atau anak muda itu bagiku sama saka. Satu demi satu kalian akan aku bunuh. Atau kalian 

berdua sekaligus. Mari” Alap-alap itupun segera bersiap. Agaknya ia mau epat-cepat selesai 

sehingga tiba-tiba saja ditangannya tergenggam pedangnya jang putih berkilat-kilat. 

“O” berkata Kiai Gringsing “baiklah. Karena aku yang harus bertempur maka biarlah aku 

melayanimu dahulu. Tunggu sebentar, aku mengambil senjataku” Kiai Gringsing tidak 

menunggu jawaban Alap-alap Jalatunda. Dengan enaknya ia berjalan mendekati kudanya. 

Katanya kemudian “Apakah kau akan bertempur diatas punggung kuda?” 

Alap-alap Jalatunda menggeram. Jawabnya “Aku dapat berkelahi dimana saja. Pilihlah yang 

kau sukai” 

“Aku akan bertempur diatas tanah” sahut Kiai Gringsing. 

Alap-alap Jalatunda tidak berkata-kata lagi. Segera ia meloncat turun dari kudanya. 

Agung Sedayu melihat peristiwa-peristiwa itu seperti didalam mimpi. Ya, hampir semalam 

penuh ia diganggu oleh mimpi yang dahsyat. Sehingga rasa-rasanya, apa yang terjadi itupun 

sebagian dari mimpinya itu. Tetapi apabila ia sadar bahwa ujung pedang Alap-alap Jalatunda 

itu bukan sekadar menakut-nakutinya didalam mimpi, maka kembali bulu-bulunya meremang, 

dan tubuhnya yang kuyup itu dibasahi pula oleh keringat dinginnya. 

Apa yang diambil oleh Kiai Gringsing benar-benar mengejutkan Alap-alap Jalatunda. Senjata 

orang tua itu tidak lebih daripada sebatang cambuk kecil, cambuk kuda. Karena itu Alap-alap 

Jalatunda merasa terhina memaki-maki “Setan topengan. Kau sangka leluconmu itu baik. Kalau 

kau terbunuh pada sabetan pedangku yang pertama jangan menyesal. Dan jangan mengharap 

orang lain dapat menuntut atas setiap pembunuhan yang aku lakukan. Didaerah pertempuran 

tak pernah ada hukum yang dapat ditegakkan setegak-tegaknya”. 

“Kau benar” sahut Kiai Gringsing “Hukum didaerah perang seperti Pajang dan Jipang sekarang 

adalah hukum perang. Tetapi karena yang berperang itu adalah manusia-manusia, seharusnya 

mereka tidak kehilangan kemanusiaannya” 

“Persetan” bentak Alap-alap Jalatunda yang sudah tidak sbar lagi. Dengan satu loncatan yang 

panjang ia menyerang Kiai Gringsing dengan pedang terjulur. Sedang ujung pedangnya tepat 

mengarah kedada orang bertopeng itu. “Mampus kau” teriak Alap-alap Jalatunda. 

Tetapi sekali lagi Alap-alap Jalatunda terkejut. Kiai Gringsing itu hampir-hampir tak tampak 

bergerak, namun ujung pedang Alap-alap Jalatunda tidak menyentuhnya. 

“Gila” geram Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang garang itu menjadi semakin marah. 

Diputarnya pedangnya dan seperti angin prahara ia menyerang lawannya. 

Ternyata Kiai Gringsing itu benar-benar lincah. Alap-alap Jalatunda itupun lincah dan tangkas. 

Namun Kiai Gringsing dapat mengimbanginya, sehingga serangan Alap-alap yang garang itu 

selalu dapat dielakkan. 

Demikianlah kemudian mereka berdua terlibat dalam perkelahian yang sengit. Mereka berdua 

bergerak dengan cepatnya melingkar-lingkar. Pedang Alap-alap Jalatunda itu segera


mengurung lawannya, sehingga seakan-akan Kiai Gringsing tidak diberikan kesempatan untuk 

bergerak. Namun adalah sangat mengherankan. Alap-alap Jalatunda tak dapat mengerti, setiap 

sentuhan dengan senjata Kiai Gringsing yang aneh itu, terasa tangannya bergetar. Mula-mula 

ia menyangka bahwa cambuk kuda itu akan segera putus apabila tersentuh tajam pedangnya. 

Tetapi ternyata dugaan itu meleset. Cambuk itu benar-benar merupakan senjata yang 

membingungkan bagi Alap-alap yang masih muda itu. Meskipun demikian, Alap-alap Jalatunda 

tidak menjadi cemas. Bahkan ia menjadi semakin marah. Karena itu ia bertempur semakin 

garang. 

Demikianlah perkelahian itu berlangsung semakin cepat karena kemarahan Alap-alap 

Jalatunda. Diatas tanah yang becek itu kaki-kaki mereka meloncat-loncat dan air yang 

kemerah-merahanpun memercik seperti hendak menyingkirkan diri dari injakan kaki mereka 

yang sedang bertempur. 

Orang bertopeng itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya. Dilihatnya dari lubang topengnya, 

bulan tua memanjat sampai kepuncak langit. Karena itu tiba-tiba iapun menjadi gelisah. “Hampir 

fajar” bisiknya dalam hati. Sesaat kemudian menyambar anak muda yang masih berdiri kaku 

didalam parit dengan sudut pandangannya. “Perkelahian ini harus segera selesai supaya 

Agung Sedayu tidak terlambat” kembali Kiai Gringsing itu berkata didalam hatinya. Karenak itu, 

maka tiba-tiba gerakannyapun segera berubah. Kiai Gringsing intu kini tidak saja banyak 

meloncat-loncat seperti katak untuk menghindar dan hanya menyerang, tetapi ia telah 

mengambil keputusan untuk segera menyelesaikan pertempuran itu. 

Bersamaan dengan itu terdengarlah ia berteriak nyaring kepada Agung Sedayu “Sedayu, selagi 

kau sempat, bersiaplah untuk meneruskan perjalanan. Hari hampir pagi” 

Sedayu mendengar teriakan itu. Tetapi ia masih terpaku ditempatnya. Ia tidak dapat menguasai 

dirinya karena ia terpukau melihat perkelahian yang mengerikan itu. 

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Sementara itu ia masih harus melayani Alap-

alap Jalatunda. Sedang Alap-alap yang garang itupun terkejut melihat perubahan tata 

perkelahian lawannya. Kalau ia semula masih menyangka bahwa orang bertopeng itu dapat 

bertahan karena senjata anehnya, maka tiba-tiba ia merasa bahwa yang dihadapinya itu benar-

benar ornang yang setidak-tidaknya melampaui keperkasaannya. Karena itu maka timbullah 

berbagai pertanyaan didalam dirinya. Kiai Gringsing adalah nama yang belum pernah 

didengarnya, bahkan orang bertopeng yang berkeliaran didaerah inipun belum juga pernah ada 

yang menyebutnya. Kembali ia berpikir, adakah orang ini Untara yang sedang menjebaknya, 

namun menilik tata perkelahiannya, orang ini jauh berbeda dengan cara Untara 

mempertahankan dirinya. Untara bertempur dengan sungguh-sungguh dan selalu 

mempergunakan kesempatan-kesempatan untuk menekan lawannya sesuai dengan sikap 

keprajuritannya. Tetapi orang ini ternyata berkelahi seenak-enaknya. Bahkan sama sekali tidak 

sungguh-sungguh. Baru pada saat-saat terkhir ia merasa, orang bertopeng semakin cepat dan 

yang kemudian terasa benar oleh Alap-alap Jalatunda bahwa ia benar-benar tidak akan dapat 

melawannya. Namun kalau teringat olehnya pesan Plasa Ireng, hatinyapun menjadi berdebar-

debar. Apakah kata orang yang ganas itu, kalau diketahuinya bahwa ia tak mampu menangkap 

kawan Untara itu. Tetapi anak muda itu tak dapat mengingkari kenyataan. Beberapa kali terasa 

cambuk orang bertopeng itu menyengat tubuhnya. Panas dan pedih. Bahkan beberapa bagian 

kulitnya menjadi terluka karenanya. 

Karena itu Alap-alap Jalatunda menjadi bingung. Menghadapi orang bertopeng itu terasa, 

betapa dirinya tidak lebih dari alap-alap yang tak bersayap. Alangkah kecil dirinya. Pada saat ia 

bertempur berempat dengan Untara masih juga ia mengharap untuk dapat mengalahkan 

lawannya itu. Tetapi kini ia seorang diri berhadapan dengan seorang sakti yang aneh, Seorang 

yang bertempur dengan cambuk kuda. 

“Persetan dengan kakang Plasa Ireng” gumam Alap-alap Jalatunda “Biarlah pada suatu saat ia 

bertemu dengan orang bertopeng dan berselimut kain gringsing ini” 

Alap-alap Jalatundapun akhirnya merasa pasti, bahwa tak ada gunanya lagi untuk bertempur 

lebih lama. Sebab dengan demikian ia hanya akan menambah luka-luka dikulitnya. Tetapi 

meskipun demikian dendamnya kepada Agung Sedayu belum juga hilang. Apalagi ketika ia 

dapat mengambil kesimpulan dari peristiwa itu. Orang bertopeng itu agaknya telah melindungi 

Agung Sedayu. 

Alap-alap yang garang itu kemudian tidak mempunyai pilihan lain kecuali melarikan diri. Karena


itu dengan berteriak nyaring ia meloncat dengan garangnya, menyerang Kiai Gringsing dengan 

pedangnya. Tetapi tiba-tiba ia menarik serangannya dan dengan satu loncatan panjang ia 

berlari kearah kudanya. Ternyata anak itu benar-benar cakap bermain-main dengan kuda. 

Dengan tangkasnya ia melontarkan diri dan jatuh langsung diatas punggung kuda itu. 

Kudanyapun seakan-akan mengetahui apa yang terjadi dengan penunggangnya. Karena itu 

segera pula kuda itu meloncat dan berlari kencang-kencang seperti anak panah. 

Kiai Gringsing memandang Alap-alap Jalatunda yang melarikan diri itu. Tetapi ia sama sekali 

tak berusaha untuk mengejarnya. Sebab pekerjaan yang lain masih menunggunya. Agung 

Sedayu. 

Perlahan-lahan ia melangkah kembali ketepi parit. Dan dari tanggul ia berkata “Bukankah aku 

menang?” 

Ketika Agung Sedayu melihat Alap-alap Jalatunda itu melarikan diri, maka dadanya yang 

bergelora seakan-akan disiram oleh tetesan-tetesan embun malam yang sejuk dingin. Maka 

anak muda itupun menarik nafas sedalam-dalamnya. Maut yang menghampirinya kini telah 

terusir pergi. 

“Nah Agung Sedayu” berkata Kiai Gringsing “sekarang sebutlah namaku, setelah kau melihat 

tata perkelahianku”Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya jujur “Aku tak tahu Kiai” 

Kiai Gringsing tersenyum. Namun Agung Sedayu tidak melihat wajah orang itu. Senyum yang 

aneh. Sedang matanya memandang anak muda itu dengan penuh kecewa. Gumamnya 

didalam hati “Sayang” Tetapi orang itupun kemudian segera berkata “Sedayu, bukankah kau 

akan pergi ke Sangkal Putung?” 

“Ya” jawab anak muda itu “Dari mana Kiai mengetahuinya?” 

“Aku hanya mengira-irakan saja. Sebab pasti laskar Widura perlu mendapat bantuanmu. Kalau 

tidak, bahaya yang besar akan mengancam. Dengan kehadiranmu, aku kira bahaya itu akan 

dapat dielakkan” berkata orang bertopeng itu. 

“Kenapa kehadiranku akan dapat mengelakkan bencana itu?” bertanya Agung Sedayu. 

“Ah” desah orang bertopeng itu. Kemudian katanya “Bukankah dengan demikian Widura akan 

mengetahui bahaya yang akan mengancamnya? Dan dengan kehadiranmu, maka bahaya itu 

akan dapat dikurangi. Siapakah diantara mereka yang mampu melawan putera Ki Sadewa?” 

Agung Sedayu menundukkan wajahnya. Terasa sesuatu berdesir didadanya. Tetapi Kiai 

Gringsing itu berkata terus “Nah, pergilah. Mumpung masih ada waktu” 

Agung Sedayu sadar akan dirinya. Diingatnya kata-kata kakaknya. Alangkah marahnya Untara 

kelak, apabila ia tidak sampai ke Sangkal Putung tepat pada waktunya. Karena itu maka iapun 

menjawab “Baiklah Kiai, kita pergi ke Sangkal Putung sekarang” 

“Kenapa kita?” bertanya Kiai Gringsing “Kaulah yang akan pergi. Aku tidak” 

“Tidak” sahut Agung Sedayu cepat-cepat. “Kiaipun akan pergi kesana” 

“Aku tidak berkepentingan dengan mereka” sanggah Kiai Gringsing. 

Agung Sedayu berdiam. Tanpa sesadarnya anak muda itu memandangi pohon randu alas 

dikejauhan. Dan tiba-tiba bulu-bulunya tegak diseluruh wajah kulitnya. Tetapi ia malu untuk 

mengatakannya. Orang bertopeng itu pasti tidak akan percaya, dan pasti akan menyebutnya, 

putera Ki Sadewa. “Hem” Agung Sedayu mengeluh. 

Meskipun demikian ia berkata “Aku akan terlambat” 

“Mungkin” sahut Kiai Gringsing. “Nah, pakailah kudaku supaya kau sampai sebelum fajar 

menyingsing. Orang-orang yang lapar itu akan berusaha merebut perbekalan di Sangkal 

Putung tepat pada saat cahaya matahari yang pertama jatuh diatas pedukuhan itu” 

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Orang bertopeng itu tahu seluruhnya. Tepat seperti 

apa yang dikatakan Untara sebelum mereka berangkat. Tetapi selagi ia akan bertanya, orang 

bertopeng itu berkata “Naiklah. Dan pakai kudaku” 

Kiai Gringsing tidak menunggu Sedayu menjawab. Dan tiba-tiba saja orang bertopeng itu 

meloncat dan berlari ke utara. 

“Kiai, kiai…” panggil Agung Sedayu. Tetapi orang itu segera menghilang disiku jalan. 

Terdengarlah orang bertopeng itu bergumam, lirih dan hanya didengarnya sendiri “Kalau aku 

tidak memaksamu pergi dengan cara ini Sedayu, agaknya kau lebih senang berendam didalam


parit” 

Sebenarnyalah. Dengan demikian Agung Sedayu tidak berani tinggal ditempat itu lebih lama 

lagi. Karena itu segera ia memanjat tebing parit itu. Dilihatnya kuda Kiai Gringsing masih berdiri 

ditempatnya. Semula anak muda itu berbimbang hati. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain 

daripada pergi ke Sangkal Putung. Bahkan akhirnya iapun merasa berterima kasih kepada 

orang yang tak dikenalnya itu. Terima kasih karena nyawanya telah diselamatkan, dan terima 

kasih karena ia dapat mempergunakan kuda itu untuk mencapai Sangkal Putung. Meskipun 

Agung Sedayu tak juga dapat mengerti, atas segala macam sikap dan anggapan orang aneh itu 

terhadapnya. 

Dan kini, sebuah kewajiban menunggunya. Sangkal Putung. 

Perlahan-lahan Agung Sedayu mendekati kuda Kiai Gringsing. Ia belum pernah mengenal kuda 

itu. Dicobanya untuk membelai surinya. Kuda itu menggerak-gerakkan kepalanya. Ternyata 

kuda itu cukup jinak. 

“Nah” bisik Agung Sedayu, “Kawani aku ke Sangkal Putung”. 

Agung Sedayu segera naik kepunggung kuda itu. Dan dengan hati yang berdebar-debar kuda 

itu dipacunya ke Sangkal Putung. Dihadapannya terbentang sebuah jalan ditengah sawah yang 

panjang. Dan diujung jalan itu menunggunya tikungan randu alas. Namun Sedayu mencoba 

untuk melenyapkan perasaan takutnya. Dipaksanya juga kudanya melaju terus. 

Tikungan randu alas itu kini tinggal beberapa puluh tombak saja dihadapannya. Agung Sedayu 

segera memejamkan matanya. Dilekatkannya tubuhnya pada tubuh kudanya, dan dilecutnya 

kuda itu sehingga berlari kencang seperti kuda itu takut pula kepada genderuwo bermata satu. 

Agung Sedayu merasa, kudanya membelok dengan tajam dan sesaat kemudian kuda itu berlari 

menurun. Tikungan randu alas telah lewat. Agung Sedayu membuka matanya. “Hem” anak 

muda itu menarik nafas panjang. Diamatinya seluruh tubuhnya, dan dirabanya kedua matanya. 

Masih utuh. Genderuwo itu sama sekali tidak mengganggunya seperti kata orang. Genderuwo 

bermata satu itu selalu iri kepada mereka yang bermata lengkap. Tetapi Agung Sedayu tak 

berani menoleh betapapun keinginan mendesaknya. “Ah mungkin genderuwo itu takut karena 

aku putera Ki Sadewa” pikirnya. Tetapi tiba-tiba disadarinya, bahwa Alap-alap Jalatunda itupun 

tak diganggunya. 

Jalan dihadapan Agung Sedayu masih menurun. Kini dihadapannya dilihatnya paedukuhan 

yang kecil. Kali asat. Pedukuhan yang sepi itu tak banyak menarik perhatiannya. Dan ketika 

sekali lagi Agung Sedayu membelok kekanan sampailah ia kejalan lurus menuju Sangkal 

Putung. 

Agung Sedayu menjadi agak tenang. Jarak itu menjadi semakin dekat juga. Karena itu anak 

muda itu sempat berangan-angan. Diingatnya semua kata-kata orang bertopeng yang 

menyebut dirinya Kiai Gringsing itu. “Alangkah senangnya kalau apa yang dikatakan orang itu 

benar-benar ada padaku” pikir Agung Sedayu. “Kalau aku seorang sakti yang tak terkalahkan. 

Dan bahkan Kiai Gringsingpun tak dapat mengalahkan pula. Dengan bekal kesaktian itu aku 

akan mengembara. Akan aku datangi sarang-sarang gerombolan liar yang sering mengganggu 

ketentraman. Aku bunuh mereka satu demi satu.” “Ah, tidak” bantahnya sendiri. “Setiap orang 

akan ngeri menghadapi kematian. Kalau aku bunuh mereka, anak istrinya akan menderita. 

Mereka akan aku ampuni, apabila mereka kelak menjadi orang yang baik”. Namun disudut 

hatinya yang lain berkata “Tetapi mereka telah berbuat jauh lebih kejam daripada membunuh”. 

Dijawabnya sendiri “Biarlah mereka berbuat demikian. Kalau aku berbuat demikian pula, 

apakah bedanya? Alap-alap Jalatunda misalnya. Aku harus memaafkannya apabila ia benar-

benar telah menemukan jalan yang benar. Bukankah ayah dahulu pernah berceritera, tentang 

seorang saudagar kaya yang jatuh miskin. Karena itulah maka ia tidak dapat membayar 

hutangnya kepada raja. Namun raja itu bijaksana. Saudagar itu dibebaskan dari pembayaran 

hutang. Tetapi, saudagar itu sama sekali tidak mau membebaskan hutang seorang miskin 

kepadanya. Sedang hutang itu sama sekali tak berarti dibandingkan dengan hutangnya kepada 

raja. Ketika raja mendengar kedengkian saudagar itu, maka raja menjadi murka. Dipanggilnya 

saudagar itu. Dan raja mencabut kemurahan hatinya. Saudagar itu dipaksa untuk bekerja 

kepada raja sebagai ganti hutang yang tak dapat dibayarnya”. 

Agung Sedayu puas dengan angan-angannya. Ia puas dengan sikap yang disimpulkannya. 

Katanya didalam hati “Memang Tuhan tak akan memaafkan kesalahan kita, kalau kita tak juga


memaafkan kesalahan orang lain kepada kita” 

Tetapi kemudian Agung Sedayu menjadi kecewa ketika ia menyadari keadaannya. Tak pernah 

ia dapat memaafkan orang lain yang telah ditundukkannya sebab tak akan ada orang yang 

pernah ditundukkan, apalagi disadarkannya dari kesesatan. 

“Ya, seandainya” kembali ia bergumam. 

Tiba-tiba Agung Sedayu tersentak, dan tiba-tiba saja kakinya terasa gemetar ketika 

dedengarnya sebuah terikan melengking. Tetapi ia menarik nafas panjang, ketika diketahuinya 

suara itu ternyata hanyalah suara burung engkak yang pulang kekandangnya, setelah 

semalam-malaman mencari mangsanya. 

“Hampir pagi” desis Agung Sedayu kemudian. Karena itu dipacunya kudanya semakin cepat. 

Dimukanya tampak sebuah pedukuhan seakan-akan sebuah pulau yang mengapung didalam 

lautan yang hijau. Itulah Sangkal Putung. Beberapa cahaya lampu yang menembus celah-celah 

dinding telah dilihatnya, dan disudut jalan tampak sebuah gardu perondan. 

Agung Sedayu langsung berpacu kegardu itu. Ia tahu benar bahwa digardu itu berjaga-jaga 

beberapa orang pamannya, Widura. Karena itu iapun tidak takut lagi bertemu dengan Alap-alap 

Jalatunda. 

Ketika mereka mendengar suara kuda, maka orang-orang digardu itupun segera turun. Dari 

jauh mereka sudah melihat seekor kuda berpacu dengan kencangnya. Karena itu, orang-orang 

yang sedang berjaga-jaga itupun segera bersiap. Pasti ada sesuatu yang penting. 

Demikianlah maka mereka segera menghentikan kuda Agung Sedayu. Seorang yang bertubuh 

sedang berhitung mancung maju kedepan dan bertanya “Siapa kau?” 

“Agung Sedayu” jawab Agung Sedayu lantang “Aku akan bertemu paman Widura” 

“Apakah keperluanmu?” bertanya orang itu pula. 

“Penting sekali. Hanya paman Widuralah yang boleh mengetahuinya” jawab Sedayu. 

Beberapa orang saling berpandangan. Kemudian orang yang berhidung mancung itu berkata 

“Apakah kau tidak dapat menunggu sampai besok?” 

“Demi kepentingan paman Widura, keselamatanmu sekalian” sahut Sedayu dengan bangganya. 

“Antarkan anak muda ini” berkata orang itu kemudian. 

Agung Sedayu masih berada dipunggung kuda, ketika dua orang mendekatinya “Marilah” 

berkata salah seorang daripadanya. 

“Berjalanlah dimuka” sahut Agung Sedayu. 

Sesaat orang itu saling berpandangan. Kemudian mereka berdua menoleh kearah orang yang 

berhidung mancung, yang agaknya pemimpin mereka. Orang yang berhidung mancung itupun 

kemudian berkata “Anak muda, kami para penjaga tidak mengenal siapakah kau. Tetapi adalah 

menjadi kebiasaan, bahwa anak muda seharusnya turun dari kuda sejak anakmas sampai 

digardu ini” 

“Oh” sahut Agung Sedayu “Maafkan aku. Aku tergesa-gesa sehingga aku melupakan 

kebiasaan itu” dan dengan tergesa-gesa pula Agung Sedayu meloncat dari kudanya. 

“Nah” berkata pemimpin itu “Kami silahkan mengikuti orang-orangku yang akan mengantarkan 

anakmas dan biarlah kuda itu disini”. “Baik” jawab Sedayu “Terima kasih”. 

“Marilah” ajak salah seorang diantaranya. Dan orang itupun segera berjalan. Tetapi yang 

seorang lagi masih berdiri tegak. “Silahkan” katanya. 

Agung Sedayu menjadi agak bimbang. Namun akhirnya tahulah ia, bahwa ia harus berjalan 

dibelakang orang pertama, kemudian orang kedua itu berjalan dibelakangnya. 

“Anak buah paman Widura sangat berhati-hati” katanya didalam hati. Namun meskipun 

demikian, sekali-sekali ia menoleh juga kebelakang, seakan-akan orang yang berjalan 

dibelakangnya itu akan menerkamnya. 

Waktu yang diperlukan tidak terlalu lama. Setelah mereka menyusur jalan desa, diantara pagar-

pagar batu setinggi dada, maka sampailah mereka disebuah halaman yang luas. Pagar 

halaman itupun agak lebih tinggi dari pagar-pagar disekelilingnya. Didepan halaman itu tampak 

sebuah regol yang tertutup rapat.


Orang pertama, yang berjalan dimuka Agung Sedayu itupun segera mengetuk pintu regol itu. 

Untuk sesaat tidak terdengar jawaban. Bahkan yang terdengar ketokan pula didalam. Empat 

kali berturut-turut. 

Agung Sedayu sama sekali tidak tahu maksud dari ketokan itu. Ia menjadi heran ketika orang 

yang dimukanya itu sekali lagi mengetuk pintu itu. Dua kali tiga ganda. Dan tak lama kemudian 

pintu itupun terbuka. 

“Siapa?” terdengar sebuah pertanyaan. 

“Peronda digardu utara” jawab orang itu. “Kami membawa seorang tamu. Dan tamu itu ingin 

bertemu dengan Ki Widura”. 

“Sekarang?” bertanya orang didalam halaman. 

“Ya. Inilah orangnya. Bertanyalah sendiri” jawab orang itu. Kemudian kepada Sedayu ia berkata 

“Marilah anak muda” 

Sedayu maju selangkah. Tetapi hatinya mulai berdebar-debar. Meskipun demikian ia berkata 

dengan ketenangan yang dibuat-buat “Ya. Aku akan bertemu dengan paman Widura” 

“Adakah sesuatu hal yang penting sekali?” bertanya orang itu. 

“Ya” jawab Agung Sedayu “Penting sekali. Paman Widura harus segera mendengarnya 

sebelum fajar”. 

Penjaga gardu itu tanpa disengajanya menengadahkan wajahnya. Ditimur laut dilihatnya 

bintang panjer esuk memancar dengan terangnya. Meskipun demikian orang itu tidak mau 

kehilangan kewaspadaan-nya. Maka orang itupun bertanya “Siapakah kau?” 

“Agung Sedayu” jawab Sedayu. 

Orang itu mengerutkan keningnya. Nama itu belum pernah didengarnya. Sambil menggeleng-

gelengkan kepalanya orang itu berdesis “Nama itu asing bagi kami disini” 

Agung Sedayu menjadi gelisah. Karena itu katanya “Paman Widura telah mengenal aku. 

Bertanyalah kepadaya” 

“Baru saja Ki Widura beristirahat setelah nganglang hampir diseluruh kademangan Sangkal 

Putung, Biarlah ia beristirahat. Besok kau akan menemuinya” berkata orang itu tegas. 

Agung Sedayu menjadi bingung. Kalau berita itu tak didengar oleh Widura, maka kakaknya 

akan menyalahkannya. 

Selagi Agung Sedayu terdiam, dilihatnya seseorang berjalan keregol halaman itu. Dan 

terdengarlah orang itu berkata “Apa yang terjadi?” 

“Oh” orang yang berada dihalaman itu menoleh, dan kemudian membungkukkan kepalanya 

“Selamat malam bapak Demang. Inilah seorang anak muda ingin bertemu Ki Widura sekarang 

juga. Aku ingin menundanya sampai besok” 

Bapak Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya Agung 

Sedayu dengan seksama. Dan kemudian terdengar orang itu bertanya “Kabar apakah yang kau 

bawa?” 

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Benarkah seandainya berita itu dikatakannya tidak langsung 

kepada Widura? Apakah kakaknya kelak tidak akan marah kepadanya? Tiba-tiba ketika Agung 

Sedayu teringat kepada kakaknya, maka dengan serta merta ia berkata untuk membuktikan 

kebenarannya dan mudah-mudahan dengan demikian, dirinyapun akan dikenal oleh orang-

orang itu, katanya “Aku membawa berita dari kakang Untara” 

“Untara” Demang Sangkal Putung itu mengulang, dan hampir setiap mulut yang mendengar 

nama itupun mengulang pula meskipun hanya didalam hati. 

“Adakah angger ini utusan angger Untara?” bertanya Demang itu. 

“Ya” sahut Sedayu cepat-cepat dengan penuh harapan. “Aku adiknya” 

“Oh” desis Ki Demang. Dan tiba-tiba iapun segera membungkukkan kepalanya. Katanya 

“Maafkan kami. Kami belum mengenal anakmas. Namun nama kakak anakmas adalah jaminan 

bagi kami, bahwa kabar yang anakmas bawa pasti kabar yang penting” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Demikian 

berpengaruhnya nama kakaknya itu, sehingga pengaruh nama itu melimpah pula kepadanya.


“Marilah ngger” ajak Demang Sangkal Putung. “Biarlah adi Widura dibangunkan apabila kabar 

itu memang penting” 

Agung Sedayupun kemudian berjalan mengikuti Ki Demang Sangkal Putung itu. Mereka 

berjalan melintas halaman yang luas menuju kependapa. Meskipun demikian Sedayu merasa 

bahwa dua orang berjalan dibelakangnya. 

“Rumah ini adalah rumahku” berkata Demang itu lirih “Dan kademangan ini adalah 

kademangan yang subur. Karena itu Pajang menganggap penting untuk menempatkan adi 

Widura disini meskipun daerah ini jauh dari garis pertempuran. Apalagi setelah pasukan Jipang 

cerai berai” 

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab. “Sayang” demang itu 

meneruskan “Persoalan antara Jipang dan Pajang harus diselesaikan dengan pertumpahan 

darah. Sebenarnya adipati Jipang itupun tidak sejahat yang kita sangka. Namun sayang. 

Orang-orang disekitarnya adalah orang-orang yang tamak dan haus akan kekuasaan. Mereka 

membakar hati Arya Jipang yang memang agak mudah menyala, dengan hasutan-hasutan. 

Akhirnya Arya Jipang harus menebus ketergesa-gesaannya dengan jiwanya. Dan orang-

orangnya menjadi putus asa dan liar”. 

Demang itu berhenti sejenak, kemudian meneruskan “Sekarang kita lihat, dendam menyala 

dimana-mana. Dapatkah angger mengatakan, siapakah yang bersalah kalau seandainya dua 

orang bersaudara terpaksa bertempur dan saling membunuh karena mereka berada dipihak 

yang berlainan?” 

Agung Sedayu berdiam diri. Tak tahu ia bagaimana harus menanggapi kata-kata demang 

Sangkal Putung itu. Tetapi didalam hatinyapun timbul pertanyaan “Kenapa kita mesti 

bertengkar?” Apalagi bagi Agung Sedayu, pertengkaran adalah perbuatan yang mengerikan. 

BUKU 02 

Tetapi Agung Sedayu tetap membisu. Dan Demang itupun kemudian tidak berkata-kata lagi, 

setelah mereka naik kependapa. 

Demikian mereka naik kependapa, dada Agung Sedayupun berdesir tajam. Dilihatnya 

dipendapa itu, terbaring beberapa orang laki-laki yang sedang nyenyak tidur. Dibawah cahaya 

lampu minyak, tampaklah wajah-wajah mereka yang keras tajam. Sedang beberapa orang 

diantaranya tumbuh janggut, jambang dan kumis yang lebat diwajah-wajah mereka. Mereka 

terbaring berjajar-jajar diatas tikar selapis. Namun tampaklah betapa nyenyak mereka itu. 

Sedang disudut pendapa Agung Sedayu melihat beberapa tangkai tombak dan didinding-

dinding tersangkut pedang perisai dan keris. Pemandangan yang bagi Agung Sedayu benar-

benar tidak sedap. Laki-laki berwajah keras dan senjata-senjata. 

Dan tiba-tiba saja teringat pula olehnya, bahwa dipinggangnyapun terselip sebilah keris. Ia tidak 

tahu, apakah keris itu akan berguna baginya, atau malahan berbahaya baginya. Tetapi 

kakaknya memintanya untuk membawa keris itu. 

Dengan tidak berkata-kata lagi mereka menyeberangi pendapa, menuju 

kepringgitan.Dipringgitan itu dilihatnya sebuah warana yang memisahkan sebuah ruangan kecil. 

Diruangan kecil itulah Widura sedang tidur pula. 

“Disitulah adi Widura sedang beristirahat” berkata demang itu. Dan tiba-tiba saja dada Sedayu 

menjadi berdebar-debar. Apakah kata paman Widura itu, kalau dilihatnya ia datang disaat-saat 

yang begini. 

Demang itupun berbisik pula “Duduklah ngger. Biarlah aku sendiri yang membangunkannya” 

Namun Widura adalah seorang prajurit terlatih. Karena itu meskipun ia tertidur nyenyak, namun 

telinganya dapat bekerja dengan baiknya. Sehingga demang Sangkal Putung itu sebenarnya 

tidak perlu membangunkannya. Sejenak mereka berdua masuk, dan pintu pringgitan itu bergerit 

meskipun perlahan-lahan, Widura telah terbangun karenanya. Namun ia tidak segera bangkit. 

Ia ingin tahu, siapakah yang datang kepringgitan itu. Tetapi ketika didengarnya suara Ki 

Demang, maka hampir-hampir saja ia tidur kembali kalau tidak segera disadarinya, bahwa 

kecuali pak Demang ada orang lain. Bukan dari anak buahnyA


Ketika Ki Demang itu berjalan perlahan-lahan dan hati-hati supaya tidak megejutkan orang 

yang dibangunkannya, dan menjengukkan kepalanya dari sisi warana, Demang itu tersenyum 

asam “Hem” desisnya, “Ternyata aku tidak perlu membangunkan adi” 

Widura sudah duduk disisi ranjangnya ketika Demang Sangkal Putung itu menjenguknya 

“apakah ada seorang tamu yang ingin menemui aku?” bertanya Widura. 

“Ya adi” jawab Demang Sangkal Putung “Demikian pentingnya sehingga tak sabar lagi 

menunggu esok” 

“Siapa?” bertanya Widura. 

“Angger Agung Sedayu” jawab Demang. 

“Agung Sedayu?” Widura terkejut, dan segera ia bangun dari pembaringannya, sebuah bale-

bale bambu. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar. Ketika dilihatnya Agung Sedayu duduk 

terkantuk-kantuk hampir ia tidak percaya. Desisnya “Kau Sedayu”. 

Sedayu mengangguk. Jawabnya “Ya paman” . 

“Sendiri?” pertanyaan itulah yang bertama-tama dilontarkannya. 

“Ya paman” jawab Sedayu pula. 

Namun terpancarlah keheranan diwajah Widura. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa Agung 

Sedayu datang seorang diri. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Tak ada orang lain. 

Widurapun segera duduk dihadapan anak itu dengan penuh pertanyaan didalam dadanya. Dan 

Sedayupun tidak menunggu pamannya itu bertanya kepadanya. Katanya “Paman, aku disuruh 

kakang Untara untuk menemui paman sebelum fajar” 

“Untara?” bertanya Widura dengan kening yang terangkat. Sebab pasti ada sesuatu hal yang 

memaksa, sehingga Agung Sedayulah yang datang kepadanya. Apalagi Widura telah 

mengenal anak itu baik-baik, sebaik ia mengenal anaknya sendiri. “Dimana kakakmu?” 

“Nantilah aku ceriterakan paman” jawab Agung Sedayu, seakan-akan ia adalah seorang yang 

cakap dalam menanggapi setiap persoalan. “Ada yang lebih penting dari kakang Untara” 

“Oh” sahut pamannya “Apakah itu?” 

Maka Agung Sedayu menyampaikan berita yang pernah didengarnya dari mulut kakaknya dan 

orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing, meskipun ia sama sekali belum 

menceriterakan apa-apa tentang orang bertopeng itu. 

Widura mendengarkan berita itu dengan penuh minat. Diperhatikannya kata demi kata yang 

keluar dari mulut Sedayu. Dan tiba-tiba ia bertanya “Kenapa Untara sendiri tidak datang 

kemari? Apakah anak itu sudah harus kembali ke Pajang?” 

“Belum paman” sahut Sedayu “Kakang Untara masih akan tinggal dirumah. Tugasnya disekitar 

Jati Anom belum selesai” Dan dengan serba singkat diceriterakannya bagaimana mereka 

berdua dicegat oleh pande besi Sendang Gabus, Alap-alap Jalatunda dan dua orang kawannya, 

sehingga Untara terluka karenanya. 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sempat juga ia bertanya “Kau dan 

kakakmu bertempur berpasangan?” 

Agung Sedayu menggerutu didalam hatinya. Pamannya masih saja suka menggodanya. Tanpa 

disengaja ia menoleh, memandangi wajah Demang Sangkal Putung yang tegang itu. Ia tidak 

akan dapat berbohong kepada pamannya, namun ia malu mengakuinya dihadapan orang lain. 

Pamannya melihat kesulitan itu, maka segera ia bertanya “Adakah Untara akan segera 

menyusul?” 

“Aku tidak tahu paman” jawab Sedayu “Luka itu agaknya parah juga” 

“Baiklah” berkata Widura itu kemudian “Kami sangat berterima kasih kepadamu dan kepada 

Untara. Waktu kita tinggal sedikit. Lain kali kau dapat berceritera tentang perjalananmu itu lebih 

panjang lagi. Kami pasti akan sangat senang mendengarkannya. Tetapi sekarang aku 

menghadapi pekerjaan yang berat” Lalu kepada demang Sangkal Putung itu Widura berkata 

“Kakang Demang. Persoalannya pasti akan menyangkut kademangan ini pula. Lumbung padi 

dan palawija serta segala kekayaan kita harus kita selamatkan. Persediaan makanan itu sangat 

berarti bagi kita dan bagi sisa-sisa laskar Penangsang itu. Karena itu, apakah kakang Demang 

bersedia menyerahkan Jagabaya dan anak buahnya kepada kami untuk bersama-sama 

mempertahankan lumbung itu?”


“Tentu adi” jawab Demang itu “Sebab apabila lumbung itu lenyap, kamipun akan kelaparan, 

Isteri-isteri kami dan anak-anak kami. Dan dengan demikian kamipun tidak akan dapat 

membantu perbekalan untuk Pajang” 

“Terima kasih kakang” sahut Widura “Siapkan mereka. Jangan dipergunakan tanda-tanda. Kita 

harus bersiap dengan diam-diam supaya laskar Penangsang itu tidak mengetahui persiapan 

kita. Tempatkan mereka dihalaman banjar desa. Aku akan menyiapkan orang-orangku. Segera 

kita akan bersama-sama mengambil keputusan, apa yang akan kita jalankan” 

Sangkal Putung yang diam itu, kemudian seakan-akan terbangun dari tidurnya. Hilir mudiklah 

laki-laki bersenjata dijalan-jalan desa. Tak ada sebuah tengarapun yang terdengar. Dari jauh 

desa itu masih nampak dipeluk mimpi. Namun sebenarnya desa Sangkal Putung itu telah 

dicengkam oleh kegelisahan. 

Sesaat kemudian beberapa orang laki-laki yang tegap-tegap, para pemimpin kelompok telah 

berkumpul dipringgitan itu. Seorang laki-laki berkumis panjang, seorang yang lain, rambutnya 

yang panjang dibiarkan terurai dibawah ikat kepalanya. Namun beberapa orang yang lain 

tampak tenang-tenang dan berpakaian rapi. 

Melihat beberapa orang yang keras dan kasar itu, Agung Sedayu menjadi kecewa. 

Disangkanya laskar Pajang adalah orang-orang yang halus, tampan dan bersih seperti 

kakaknya. Tidak disangkanya bahwa didalam laskar Pajang itupun ada diantaranya orang-

orang yang mirip bentuknya seperti pande besi Sendang Gabus. 

Widura dengan tenang mengulangi keterangan-keterangan dan berita yang disampaikan 

Sedayu kepada mereka. Satu demi satu dan telah pula ditambahnya dengan kemungkinan-

kemungkinan yang dapat terjadi atas Sangkal Putung itu. 

Sesaat kemudian pringgitan itu menjadi sepi. Masing-masing sedang mencoba merenungkan 

dan membayangkan apa yang akan terjadi. Dan tiba-tiba kesepian itu dipecahkan oleh suara 

seorang yang sudah setengah umur duduk disudut ruang itu. Katanya “adakah Ki Lurah 

sependapat dengan aku, bahwa laskar Penangsang itu adalah laskar yang beberapa hari yang 

lampau berkeliaran di Karang Anom?” 

“Ya” Widura mengangguk “Aku sependapat” 

“Kalau demikian” orang itu meneruskan “Laskar itu dipimpin langsung oleh Macan Kepatihan 

Jipang”. 

Semua orang serentak menoleh kepada orang itu, dan kemudian memandang wajah Widura 

seperti minta penjelasan. 

Widurapun kemudian menjawab ”Aku kira demikian. Laskar itu dipimpin oleh Tohpati, yang juga 

disebut Macan Kepatihan, kemanakan Patih Mantahun” 

Terdengar beberapa orang menggeram, dan berkata salah seorang “Laskar di Karang Anom 

telah bergerak ketimur. Tidak kebarat” 

“Sekarang ternyata, gerakan itu adalah sebuah cara dari mereka untuk mengelabuhi kita. Dan 

kitapun agaknya hampir-hampir saja ditelan oleh Macan yang cerdik itu. Untunglah Untara ada 

di Jati Anom. Dan untunglah bahwa Sedayu sempat menyampaikan berita itu kepada kita” 

Semua matapun kemudian memandang Sedayu dengan penuh ucapan terima kasih. Mereka 

mendapat kesempatan membela diri sebelum mereka diterkam oleh Macan Kepatihan yang 

cerdik itu. 

“Kalau angger Untara sekarang ada disini” desis orang setengar umur disudut itu. 

“Kenapa?” bertanya yang lain. 

“Macan itu tidak akan berbahaya” jawab orang sengah umur itu. Beberapa orang mengangguk-

anggukkan kepalanya. Namun salah seorang dari mereka, seorang yang berwajah tampan dan 

bergelang akar dipergelangan kirinya tampak tersenyum. Senyum yang aneh. Agung Sedayu 

melihat senyum itu, dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang. 

Yang berkata kemudian adalah Widura “Kita tidak akan menunggu mereka. Kita sambut mereka 

diprapatan Pandean. Kita pagari desa ini dengan benteng pendem. Karena agaknya laskar 

mereka lebih besar, maka mereka kita sergap sebelum mereka menyadari kehadiran kita”. 

Orang-orang itupun mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba berkatalah orang setengah umur itu 

“Meskipun angger Untara tidak disini, bukankah telah dikirim adiknya untuk menjinakkan Macan


Kepatihan itu?” 

Dada Agung Sedayu seperti akan meledak mendengar kata-kata orang setengah umur itu. 

Bukankah dengan demikian berarti ia harus berhadapan dengan Macan Kepatihan itu? 

Meskipun Agung Sedayu belum pernah melihat orang yang bernama Tohpati dan bergelar 

Macan Kepatihan, namun mendengar namanya saja, Agung Sedayu sudah hampir pingsan. 

Apalagi kalau ia harus melawannya. 

Lututnya tiba-tiba menjadi gemetar, ketika beberapa orang mengangguk-angguk dan 

bergumam “Tak ada bedanya. Untara atau adiknya”. Dengan tidak disadarinya, Sedayu 

memandangi wajah pamannya, seperti seekor anak ayam yang minta perlindungan pada 

induknya. 

Widura melihat tatapan mata Sedayu yang penuh kecemasan itu. Karena itu ia tersenyum, dan 

dengan tenangnya ia berkata “Sedayu, kami akan berterima kasih sekali apabila kau memenuhi 

permintaan itu. Tetapi aku kira, kau telah cukup berjasa kepada kami dengan kehadiranmu ini” 

Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata “Agung Sedayu baru saja menempuh 

perjalanan yang berat. Berdua dengan Untara, anak ini terpaksa bertempur melawan pande 

besi Sendang Gabus dan Alap-alap Jalatunda sekaligus beserta dua orang kawannya. Karena 

itu, biarlah ia beristirahat” 

Orang setengah umur itu menjadi kecewa. Demikian pula agaknya beberapa orang lain. 

Terdengar seorang diantara mereka berkata “Lalu siapakah yang akan berhadapan dengan 

Macan yang garang itu?” 

Kata-kata itu adalah suatu pengakuan atas kesaktian Macan Kepatihan, sehingga mereka 

menjadi cemas karenanya. 

Yang menjawab pertanyaan itu adalah Widura “Karena aku yang bertanggung jawab atas 

kalian dan daerah ini, maka aku mencoba melawan Tohpati yang sakti itu” 

“Tetapi kalau kakang Widura terikat dalam pertempuran melawan Macan Kepatihan, siapakah 

yang akan memimpin kami?” bertanya yang lain. 

Widura terdiam. Tugasnya sedemikian berat, sehingga tidak segera dapat menjawab 

pertanyaan itu. 

Tiba-tiba anak muda yang berwajah tampan dan bergelang akar ditangannya itu berkata 

“Apakah aku diperkenankan melawan Macan Kepatihan itu?” 

Semua orang memandang kepadanya dengan penuh pertanyaan. Anak itu masih muda. Tidak 

saja muda umurnya, namun anak itupun belum lama menggabungkan dirinya pada laskar 

Pajang yang dipimpin oleh Widura itu. Namun memang dibeberapa pertempuran tampaklah ia 

melampaui ketrampilan kawan-kawannya sehingga dalam waktu yang singkat anak itu telah 

diangkat menjadi salah seorang pemimpin kelompok anak-anak muda dalam laskar Widura itu. 

Widurapun tidak segera menjawab. Ia memang melihat kelebihan anak muda itu. Dan 

dikenalnya anak muda yang bernama Sidanti itu sebagai salah seorang murid dari Ki Tambak 

Wedi dari lereng gunung Merapi. 

Karena Widura ridak segera menjawab, Sidanti itu mendesaknya, katanya “Kakang Widura, 

berilah aku ijin. Aku akan mencoba apakah nama yang menakutkan itu sebanding dengan 

kesaktiannya” 

Widura menatap mata anak muda itu. Dilihatnya tekad yang menyala. Widura yang telah 

berpengalaman itu melihat keberanian yang teguh terpancar pada wajah Sidanti. Maka 

meskipun dengan agak ragu-ragu ia berkata “Aku akan selalu memberikan kesempatan kepada 

kalian. Tetapi ketahuilah bahwa Tohpati itu benar-benar orang yang luar biasa. Ia dapat 

bertempur seperti hantu yang tak tersentuh tangan. Namun ia dapat menerkam, benar-benar 

segarang harimau belang” 

“Ya” jawab Sidanti “Aku pernah mendengar ceritera itu. Tubuh Tohpati dapat berubah menjadi 

asap dan bernyawa rangkap. Tetapi selama asap itu masih kasat mata, akan aku coba untuk 

menangkapnya” 

Widura mengangguk-angguk. Iapun pernah mendengar, bahwa Ki Tambak Wedi memiliki 

kesaktian yang luar biasa pula. Bahkan demikian saktinya, sehingga orang menyebutnya dapat 

menangkap angin. Apakah Sidanti juga mampu menangkap asap? 

Kemudian berkata Widura itu “Terserahlah kepadamu Sidanti. Aku akan memberimu


kesempatan” Meskipun demikian Widura tidak sampai hati melepaskannya sendiri, maka 

katanya kepada dua orang lain “Hudaya dan Citra Gati. Tugasmu adalah mengawasi keadaan 

Sidanti. Berilah kesempatan kepadanya untuk melawan Macan Kepatihan itu, namun apabila 

keadaan tak menguntungkan baginya, jangan biarkan Macan itu mengganas. Berusahalah 

bertempur tidak terlalu jauh daripadanya” 

Hudaya, laki-laki yang hampir diseluruh wajahnya ditumbuhi rambut, tertawa lirih. Matanya yang 

bulat tajam, memandang Sidanti seperti tak mau melepaskannya. Katanya “Baiklah. Tetapi 

anak muda, jangan bermain-main dengan harimau itu” 

“Baiklah kakang” jawab Sidanti. 

Citra Gati, orang setengah umur yang mengharap kehadiran Untara itupun tersenyum, katanya 

“Baiklah. Aku sudah lama tidak melihat perkelahian yang berarti. Mudah-mudahan angger 

Sidanti dapat menyelesaikan pekerjaannya” 

Sidanti tersenyum. Namun wajah yang tampan itu rasa-rasanya begitu menakutkan bagi Agung 

Sedayu. Mungkin terpengaruh oleh keberanian anak muda itu, atau mungkin karena Agung 

Sedayu sendiri tak memiliki keberanian untuk melakukanna. Bahkan menyebut nama Tohpati 

itupun ia tak berani. 

Ia terkejut ketika Sidanti itu tiba-tiba saja berkata kepadanya “Adi Sedayu, biarlah aku mencoba 

melakukan pekerjaan yang seharusnya dipercayakan kepadamu. Mudah-mudahan aku dapat 

melaksanakannya dengan baik. Bukankah begitu?” 

Agung Sedayu menjadi bingung, namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya tanpa sepatah 

katapun yang dapat diucapkan. 

Sidanti menarik keningnya. Ia kini tidak tersenyum. Sikap Agung Sedayu dianggapnya terlalu 

sombong. Katanya kemudian “Jangan tersinggung adi. Bukankah kau terlalu lelah setelah 

bertempur melawan pande besi Sendang Gabus dan Alap-alap yang cengeng itu. Nah, 

sekarang biarlah aku melawan Macan Kepatihan yang garang, yang sekaligus akan dapat 

menelan lebih dari sepuluh Alap-alap macam Pratanda itu” 

Kembali dada Sedayu berdesir. Sama sekali ia tidak merasa tersinggung dan sama sekali ia 

tidak bermaksud apa-apa. 

Dengan demikian Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Sehingga anak muda itu 

semakin tidak tahu apa yang harus dilakukan. 

Widura melihat keadaan itu. Maka katanya “Jangan berprasangka Sidanti. Sedayu adalah 

seorang anak pendiam. Memang tabiatnya berbuat demikian. Ia tidak tersinggung dan sama 

sekali tidak bermaksud menyombongkan diri”. 

Tetapi Sidanti masih belum puas. Jawabnya “Adakah Sidanti tidak cukup berharga untuk 

mendapat jawaban dengan kata-kata, tidak hanya sekedar menganggukkan kepala. Jangan 

dinilai Sidanti sama harganya dengan Alap-alap Jalatunda” 

Semua yang mendengar kata-kata itu menarik keningnya. Seorang yang berkumis lebat 

menyahut “Sudahlah Sidanti, tidak baik kita ribut-ribut hanya karena salah paham” 

“Aku tidak mulai” jawab Sidanti. 

Sedayu menjadi semakin gemetar. Sama sekali tak diduganya bahwa anak yang tampan dan 

tersenyum-senyum itu adalah seorang yang mudah sekali, ya, mudah sekali tersinggung 

perasaannya. Untunglah bahwa ruangan itu tidak terlalu terang, sehingga tak seorangpun yang 

sempat melihat wajah Sedayu yang pucat. 

Orang-orang yang hadir diruangan itu, yang sejak semula telah merasa berhutang budi kepada 

Agung Sedayu, menilai sikapnya sebagai sikap yang dewasa. Agung Sedayu sama sekali tidak 

melayani kemarahan Sidanti. Karena itu beberapa orang menjadi semakin kagum karenanya. 

Orang yang berkumis lebat dan bertubuh raksasa meneruskan kata-katanya “Kau salah paham 

Sidanti. Sudahlah hangan mengada-ada” 

Sedayu mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang diucapkan oleh orang yang bertubuh kasar 

kaku. Namun ucapannya menunjukkan kematangan dan kehalusan budinya. Tetapi orang yang 

setengah umur dan bernama Citra Gati bersikap lain. Desisnya meskipun hanya perlahan-lahan 

“Sidanti. Kau masih belum mengalahkan Macan Kepatihan itu. Jangan terlalu pagi mimpi 

menjadi pahlawan


Sidanti mengerling kepada Citra Gati. Kemudian hampir kepada semua yang hadir. Agaknya 

mereka berpihak kepada Agung Sedayu. Karena itu tiba-tiba Sidanti tersenyum. Senyum yang 

aneh. Karena dibalik senyum itu tersimpan bibit-bibit ketidak-senangannya kepada Agung 

Sedayu. 

Widura yang tidak mau membiarkan keadaan itu berlarut-larut segera berkata “Adakah kita 

akan menyergap laskar Kepatihan ataukah kita ingin ribut-ribut soal yang sama sekali tak 

berarti? Cepat tinggalkan tempat ini. Bersiaplah dengan anak buah kalian masing-masing. Kita 

segera berangkat. Kita harus mencapai simpang empat Pandean lebih dahulu”. 

Widura tidak menunggu lebih lama lagi. Ia mendapat kesan kurang menyenangkan dari 

pertemuan ini. Karena itu ia sengaja mendahului, berdiri dan melangkah keluar sambil berkata 

“Beristirahatlah dipembaringanku Sedayu” 

Orang-orang lainpun segera mengikutinya. Satu-satu mereka melangkah keluar ruangan. Yang 

terakhir adalah demang Sangkal Putung. Diperlukannya menghampiri Agung Sedayu sambil 

berbisik “Terima kasih ngger, kami penduduk Sangkal Putung tak akan pernah melupakan jasa 

angger kali ini. Mudah-mudahan kami dapat membebaskan diri dari cengkraman Macan 

Kepatihan itu. Kami tidak akan mengganggu ketentraman istrirahatmu anakmas. Namun 

apabila terpaksa, aku akan mengirimkan seorang yang akan memberitahukan kepadamu, 

apakah ada diantara kita yang mampu melawan Macan Kepatihan itu. Kalau tak seorangpun 

yang mampu melawannya, jangan angger biarkan kami. Kami masih mohon perlindunganmu”. 

Agung Sedayu tidak tahu, apakah yang akan dikatakan. Tetapi ia tidak akan berdiam diri, atau 

menjawabnya dengan anggukan kepala saja. Ia takut kalau-kalau Demang Sangkal Putung 

itupun akan salah mengerti dan menyangkanya anak muda yang benar-benar sombong. 

Karena itu, tanpa setahunya sendiri, ia menjawab terbata-bata “Ya, ya, Bapak Demang” 

Agaknya jawaban itu telah cukup membesarkan hati Demang Sangkal Putung itu. Dengan 

tersenyum ia mengangguk dalam-dalam. Katanya “Terima kasih anakmas” 

Maka pergilah demang itu dengan hati yang lapang. Dilampauinya halaman rumahnya dan 

ditemuinya Jagabaya Sangkal Putung. Diberinya orang itu beberapa keterangan dan besiaplah 

kemudian anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka siap dengan keteguhan hati, 

menyelamatkan desa mereka, lumbung-lumbung mereka dan mempertahankan dearah mereka 

dari sergapan laskar Macan Kepatihan. Sebab apabila mereka tidak berhasil, maka untuk masa 

yang panjang Sangkal Putung akan mengalami paceklik. Yang berdiri dipaling depan adalah 

anak muda yang bulat kokoh meskipun tidak begitu tinggi. Dengan mata yang berseri-seri ia 

menimang-nimang senjatanya. Sabuah pedang bertangkai gading. Anak itu adalah anak 

Demang Sangkal Putung. Swandaru. Namun agaknya anak muda itu tidak puas dengan 

namanya, maka ditambahnya sendiri menjadi Swandaru Geni. 

“Ayah” ia bertanya kepada ayahnya “adakah Macan Kepatihan itu sangat menakutkan?” 

“Ia adalah seorang yang sangat sakti nDaru” jawab ayahnya. 

Swandaru tertawa. Memang anak itu selalu tertawa, sedang didadanya selalu tersimpan 

keinginan dan cita-cita yang tanpa batas. Katanya “Apakah ukuran kesaktian seseorang? 

Apakah Macan Kepatihan itu kebal? Biarlah aku nanti mencoba melawannya” 

Demang Sangkal Putung menggelengkan kepalanya. Jawabnya “Dalam laskar adi Widura, 

seseorang telah menempati dirinya sebagai lawannya”. 

“Siapa?” bertanya anak muda itu. 

“Angger Sidanti” jawab ayahnya. 

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu suka kepada Sidanti. Tetapi ia tidak berani 

melawan anak itu. Sebab ia pernah ditampar pipinya. Ketika ia akan membalas, tiba-tiba saja 

tangannya telah terpilin kebelakang. Sidanti dapat bergerak secepat tatit. 

Tetapi Swandaru tidak puas dengan nasibnya itu. Ia sama sekali tidak senang atas perlakuan 

Sidanti kepadanya. 

“Sidanti lebih tua beberapa tahun dari aku” pikirnya “Nanti pada umurku setua Sidanti sekarang, 

aku harus sudah melampauinya” Dan Swandaru ternyata tidak tinggal diam. Dengan tekun ia 

selalu berusaha menambah ilmunya. Tetapi anak muda itu tidak pernah mengetahuinya bahwa 

Sidantipun dengan pesatnya maju. Dengan teratur anak muda itu selalu mendapat bimbingan 

dari gurunya, Ki Tambak Wedi, meskipun tidak setiap hari. Dimana ada Sidanti berada bersama


laskar Widura, maka gurunya selalu datang kepadanya. Sepekan atau sepuluh hari sekali. 

Sedang menurut pikiran Swandaru yang sederhana itu, apabila ia berlatih terus, maka 

ilmunyapun akan masak dengan sendirinya. Sedang bekal dari ilmunya itu diterimanya dari 

ayahnya, dari beberapa orang sedesanya yang semuanya itu tidak ada yang melampaui, 

bahkan menyamaipun tidak, dengan Sidanti sendiri. Meskipun demikian, Swandaru telah 

membawa bekal dalam tubuhnya yang gemuk itu. Anak muda itu tenaganya bukan main. Dan 

ia bangga pada kekuatannya itu. Setiap pagi ia berusaha menambah kekuatannya dengan 

mengangkat apa saja yang dijumpainya. Batu-batu besar, kayu-kayuan dan bahkan seekor 

anak kerbau. 

Dan kini anak Demang Sangkal Putung itu bersama beberapa kawan-kawannya telah siap 

untuk bersama-sama dengan laskar Widura menghadapi laskar Macan Kepatihan yang 

berusaha merebut perbekalan mereka. 

Pada saat ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya, laskar Widura bersama-sama 

anak-anak muda Sangkal Putung itupun mulai bergerak. Dengan cepat mereka berjalan ke 

Pandean. Seperti rencana semula, maka laskar itupun segera menyembunyikan diri dibelakang 

puntuk-puntuk, parit dan pepohonan. Dengan hati yang tegang mereka menunggu. 

Sidanti duduk bersandar sebatang pohon aren. Tangannya yang bergelang akar itu membelai 

senjatanya, sebatang tombak pendek, dengan ujung tajam dikedua sisinya. Manggala. Dan 

dinamainya senjatanya itu Kiai Muncar. Senjata pemberian gurunya, yang selama ini dibangga-

banggakan. Pada tangkai senjatanya itu terukir gambar dua ekor ular yang saling membelit. 

Sedang pada kedua buah kepalanya yang bertolak belakang, terjulurlah lidah ular itu. Dan lidah 

ular itulah kedua mata nenggala yang bernama Kiai Muncar itu. 

Anak muda itupun menunggu dengan hati yang tegang. Yang berada didalam kepalanya 

adalah Macan Kepatihan yang namanya ditakuti hampir diseluruh Jipang dan Pajang. Sekali-

sekali dipandanginya senjatanya, seakan-akan ia bertanya kepadanya “Apakah kau akan 

mampu melawan senjata Tohpati yang mengerikan itu?” 

Dari gurunya Sidanti pernah mendengar, bahwa Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu 

bersenjata sebuah tongkat baja putih. Diujung tongkat itu terdapat sebuah logam yang 

dinamainya besi kuning, berbentuk tengkorak. Karena itu maka Ki Tambak Wedi yang agaknya 

telah mempersiapkan muridnya untuk melawan Tohpati itu, dan membekalinya dengan senjata 

yang tak kalah dahsyatnya. 

Pada suatu kali Ki Tambak Wedi itu pernah berkata kepada muridnya “Sidanti, di Jipang, 

sepeninggal arya Penangsang dan Patih Mantahun, maka orang yang ditakuti adalah Tohpati. 

Karena itu, bila kau dapat menangkapnya hidup atau mati, maka namamupun akan segera 

ditempatkan tepat dibawah nama Sutawijaya. Sedang Sutawijaya itu bukanlah seorang yang 

perlu ditakuti pula. Apalagi putera adipati Pajang itu sendiri. Kelak apabila kau telah mendapat 

kesempatan yang baik dalam tataran keprajuritan di Pajang, maka bukanlah pekerjaan yang 

sulit bagimu untuk menyingkirkan Sutawijaya. Biarlah Pemanahan, Penjawi dan Juru Mertani 

kelak menjadi urusanku” 

Sidanti tersenyum. Terbayang didalam angan-angannya sebuah jalan lurus keistana Pajang 

meskipun jauh. 

Tiba-tiba Sidanti terkejut ketika ia mendengar gemerisik dibelakangnya. Ketika menoleh 

dilihatnya Swandaru berjalan terbungkuk-bungkuk kepadanya. 

“Apa kerjamu?” bertanya Sidanti berbisik. 

Swandaru duduk disampingnya, dan dijawabnya lirih “Mencarimu. Kau akan melawan Macan 

Kepatihan?” 

Sidanti mengangguk 

“Sendiri?” 

Kembali Sidanti mengangguk. 

“Aku ikut” minta Swandaru 

“Jangan gila” desisi Sidanti.


“Kenapa?” 

“Kita tidak sedang bermain kucing-kucingan, tetapi kita akan menentukan hidup mati bagi 

Sangkal Putung” 

“Aku tahu, karena itu Tohpati harus mati. Kita keroyok berdua” 

“Jangan mengigau. Kembali kekelompokmu” 

“Aku disini” bantah Swandaru. 

Sidanti menjadi tidak senang. Karena itu ia membentak perlahan-lahan “Kembali. Atau aku 

tampar mulutmu” 

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak mau ditampar untuk kedua kalinya. Karena itu 

iapun diam. 

Tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara burung kulik. Itulah pertanda bahwa 

laskar Macan Kepatihan telah dilihat oleh pengawas. 

“Kembali kekelompokmu” Sidanti mengulangi, dan Swandarupun segera merangkak ke 

kelompoknya. 

Widura telah berdiri dibalik sebatang pohon yang berdiri didekat perapatan. Dari kelokan jalan 

diujung bulak yang pendek ia melihat serombongan orang berjalan ke Sangkal Putung. 

Namun mereka tidak melewati jalan disimpang empat itu. Mereka segera meloncati parit, dan 

menyusur pematang, memotong langsung menuju Sangkal Putung. 

“Mereka menyusuri pematang” bisik Ki Demang. 

Widura tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah ia sedang berpikir. Tiba-tiba ia mendengar 

suara burung kulik untuk kedua kalinya. Karena itu katanya “Bukan induk pasukan. Itulah cara 

Macan Kepatihan memancing lawannya kearah yang keliru” 

Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya. Gumamnya “Macan yang cerdik” 

“Macan itu memang berotak terang” sahut Widura. “Rombongan itu akan menyerang dari arah 

utara. Mereka menyangka bahwa kita masih belum tahu akan kedatangannya. Apabila 

kemudian laskarku dan anak-anak muda Sangkal Putung menyongsongnya keutara, maka 

induk pasukannya akan datang, dan melanda Sangkal Putung dari jurusan ini” 

Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi timbullah persoalan didalam dadanya, karena itu ia 

bertanya “Kita menunggu induk pasukan?” 

“Ya “ jawab Widura.”Bagaimanakah dengan orang-orang yang memintas diatas pematang itu?” 

Widura berpikir sejenak “Sedang aku pikirkan” katanya. Dan sesaat kemudian ia memanggil 

selah seorang anak buahnya “Sonya” katanya. Ketika yang dipanggil telah berdiri disampingnya 

“Adakah kau masih jagoan lari?” 

Sonya memandang Widura dengan penuh pertanyaan. Tetapi ia menunggu sampai Widura 

memberinya penjelasan. “Pancinglah orang-orang itu” 

“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya orang itu. 

Widura mengerutkan alisnya. Kemudian katanya “Mudah-mudahan berhasil”. Widura itu 

berhenti sesaat. Kemudian dilanjutkannya “Muncullah dari dalam parit. Berteriaklah memanggil 

mereka seakan-akan mereka adalah orang Sangkal Putung. Apabila mereka telah berhenti, 

beritahukan kepada mereka, bahwa kau melihat laskar datang untuk menyerang Sangkal 

Putung. Aku harap mereka menjadi ragu-ragu. Nah sesudah itu kau akan mengatakan kepada 

mereka hal yang sebenarnya. Laskar penyerang itu telah membagi kekuatannya. Yang 

memintas itu adalah laskar pancingan, dan yang lain akan menyusul. Seterusnya kau harus 

berlari ke Sangkal Putung. Bunyikan tanda bahaya”. 

Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa tugasnya tidak seberat harus 

bertempur melawan mereka “Apa selanjutnya?” ia bertanya. 

“Serahkan kepada kami” jawab Widura. 

Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Widura masih memberinya beberapa petunjuk 

dan penjelasan. Ia hanya harus berlari ke Sangkal Putung. Selebihnya tidak. Meskipun 

demikian, apabila rencana itu meleset, maka ada juga bahayanya. 

“Sekarang?” bertanya orang itu.


“Ya, cepat, sebelum mereka terlampau jauh ketengah persawahan” sahut Widura. 

Sonya itupun kemudian merangkak, dan melompat kedalam parit. Setelah ia menyusur parit itu 

beberapa puluh tombak, maka diangkatnya kepalanya sambil berteriak nyaring “Hei, siapa itu. 

Adakah kalian orang-orang Sangkal Putung?” 

Didalam kesepian ujung malam suara itu melengking seperti membentur gunung Merapi. 

Orang-orang yang berjalan dipematang itupun mendengar suaranya. Serentak mereka berhenti 

dan memandang kearah suara itu. Pada saat itulah Sonya meloncat dari dalam parit sambil 

mengulangi pertanyaannya. 

Rombongan yang tak begitu besar itupun berhenti. Mereka tegak berjajar dipematang seperti 

wayang sedang disimping. Sesaat mereka saling berpandangan. Apalagi kemudian ketika 

mereka mendengar suara Sonya berteriak “Hei dengar, desa kalian akan mendapat serangan. 

Lihat sebentar lagi laskar itu akan datang” 

Orang-orang dalam rombongan itupun saling bertanya-tanya. Siapakah orang yang berteriak-

teriak itu. Adakah ia orang Sangkal Putung? Tetapi bagaimanapun juga, ternyata bahwa orang 

itu telah melihat induk pasukannya. 

Dalam keadaan yang tiba-tiba itu, pemimpin rombongan tidak segera dapat mengambil 

keputusan. Sesaat mereka masih tegak diatas pematang itu. Bahkan terdengar salah seorang 

diantara mereka bergumam sesama “Siapakah dia?” 

Kawannya menggeleng, jawabnya “Entahlah, tetapi ia melihat induk pasukan” 

“Berbahaya” sahut yang lain. 

“Ya” akhirnya pemimpin pasukan itupun berkata “Tangkap orang gila itu” 

Dua orang dari rombongan itu kemudian melangkah kembali. Mereka segera mendekati Sonya. 

Sedang yang lain masih diam mematung. 

Widura melihat pertunjukan itu dengan hati yang tegang. Setidak-tidaknya, waktu mereka 

terulur. Apabila induk pasukan itu muncul dan terlibat dalam pertempuran dengan laskarnya, 

maka rombongan itu pasti akan kembali. Namun apabila tidak, maka ia harus mengambil 

kebijaksanaan lain. Sebagian laskarnya harus dikirim kembali, dan melawan rombongan kecil 

pecahan laskar Macan Kepatihan itu. 

Ketika Sonya melihat dua orang datang kepadanya, maka katanya didalam hati “Tepat juga 

dugaan Ki Widura. Aku harus berlomba lari” Tetapi Sonya tidak menunggu orang itu menjadi 

terlalu dekat. Tiba-tiba ia berteriak “Hei, ternyata kalian bukan orang Sangkal Putung. Kalau 

begitu kalian adalah laskar Jipang yang akan mencoba memancing pertempuran disebelah 

utara Sangkal Putung. Sedang laskar yang datang kemudian adalah induk pasukan.” 

“Siapa kau?” tiba-tiba terdengar salah seorang dari rombongan orang-orang itu bertanya. 

Sonya tidak menjawab. Tetapi dipenuhinya perintah Widura yang terakhir. Segera ia meloncat 

dan berlari kembali ke Sangkal Putung. Dua orang yang akan menangkapnya itupun 

mengejarnya. Namun ketika Sonya berlari lewat perapatan dan kedua orang itu mengejarnya 

terus, tiba-tiba saja keduanya terbanting jatuh dan tidak bangun kembali. 

Pemimpin rombongan itu menjadi heran. Dari jarak yang agak jauh, mereka hanya melihat 

bayangan orang-orangnya itu berlari dan kemudian tiba-tiba saja lenyap seperti ditelan 

perapatan. 

Kawan-kawan merekapun melihat kedua orang itu hilang. Karena itu mereka menjadi heran. 

Sedang Sonya yang sedang berlari itu berlari terus. Sekali ia menoleh, dan pengejar-

pengejarnya tidak dilihatnya lagi. Meskipun demikian, karena ia tidak mendapat perintah lain, 

maka iapun berlari terus ke Sangkal Putung. 

Pada saat itu, cahaya yang merah telah membayang di timur. Bersamaan dengan munculnya 

sebuah rombongan lain dari balik tikungan. Demikian orang-orang itu tampak dimata Widura, 

demikian ia meraba hulu pedangnya. “Hem” geramnya “Itulah induk pasukan mereka” 

Demang Sangkal Putung itupun mengangguk-angguk. Dilihatnya serombongan orang berjalan 

tak teratur, seperti habis menonton tayub. Namun disadarinya, bahwa mereka adalah prajurit-

prajurit Jipang yang tak kalah nilainya dari prajurit-prajurit Pajang. Hanya karena kekalahan-

kekalahan yang berturut-turut dialami adipatinya, sehingga gugur, maka tekad mereka sudah


tidak sebulat sebelumnya. 

Pemimpin rombongan itu, seorang anak muda yang bertubuh tinggi berdada bidang dan kekar 

terkejut ketika dilihatnya pecahan laskarnya masih tegak dipematang. Dan dengan serta merta 

ia berteriak “Hei, kenapa kalian masih disana?” 

Pemimpin rombongan itupun menjadi bimbang. Sebelum ia menjawab terdengarlah tanda 

bahaya bergema dikademangan Sangkal Putung. Kentong titir. 

“Gila” umpat anak muda itu. “Cepat, capai Sangkal Putung lebih dahulu sebelum kami” 

“Mereka telah melihat kita. Kami dan kalian. Seseorang dari mereka mengetahui dengan pasti, 

bahwa induk pasukan akan menyusul” jawab pemimpin rombongan itu dari tengah sawah. 

Anak muda yang jangkung itu berpikir sejenak “Dari mana kau tahu?” 

“Baru saja ia berlari ke Sangkal Putung sambil berteriak-teriak tentang laskar pecahan ini dan 

induk pasukan” Sahut yang di pematang. 

“Gila. Kenapa tidak kalian tangkap?” 

“Kami sudah berusaha. Tetapi gagal” 

Rombongan itu tiba-tiba berhenti. Pemimpinnya, anak muda yang tidak lain adalah kemenakan 

patih Jipang Mantahun, yang bernama Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan itu mengerutkan 

keningnya. 

“Berhenti ditempat kalian!” teriak Tohpati. Kemudian dengan seksama ia melihat jalan yang 

terbentang dihadapannya. Jalan itu sepi, namun kesepian itu terasa tegang. Macan Kepatihan 

adalah seorang yang cerdas dan cermat disetiap garis peperangan. Karena itu tiba-tiba ia 

berkata nyaring kepada yang masih tegak dipematang “Jalan terus, kamipun akan mengikuti 

jalanmu itu” 

“Bukan main” desis Widura sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Anak itu cerdik seperti 

demit” 

Demang Sangkal Putung itupun menggeleng-geleng pula. Katanya “Apakah yang akan kita 

lakukan?” 

Widura sadar bahwa ia harus bertindak cepat. Karena itu ia berkata “Kita harus cepat mulai, 

sebelum jarak diantara laskar kita dan laskar Tohpati itu menjadi semakin jauh. Sebagian 

rencana kita sudah gagal, namun sebagian besar belum. Kita pasti akan dapat mencapai hasil 

seperti apabila mereka berjalan tepat dimuka hidung kita” 

Widura segera mencabut pedangnya. Kemudian dilemparkannya sebuah kerikil kepada 

seseorang disampingnya sebagai perintah. Kemudain terdengarlah bunyi burung tuhu berturut-

turut tiga kali. 

Semua anak buahnya menjadi tegang. Mereka sudah harus bersiap untuk menyergap. Namun 

jarak kedua pasukan itu, masih belum terlalu dekat. Tetapi mereka sadar, bahwa laskar Macan 

Kepatihan itu tidak akan lewat disimpang empat. 

Kepada Ki Demang, Widura berkata “Bapak Demang, bawalah anak-anak Sangkal Putung 

langsung memotong laskar mereka yang terpisah. Mereka pasti akan kembali dan berusaha 

membantu induk pasukannya. Pecahan itu pasti bukan orang-orang pilihan. Mereka hanya 

dipakai sekedar untuk mengelabuhi lawan-lawannya”. 

Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Widura melemparkan kerikil untuk kedua 

kalinya. Dan kembali terdengar bunyi burung tuhu berturut-turut tiga kali. 

Sindanti tersenyum. Iapun telah tegak dibelakang pohon aren itu. Ketika ia mendengar aba-aba 

untuk kedua kalinya, anak muda itu tidak menunggu lebih lama lagi. Perintah untuk menyerang 

itu disambutnya dengan sebuah loncatan dan dengan cepat ia menghambur lari langsung 

kearah Macan Kepatihan. 

Tohpati terkejut mendengar bunyi burung tuhu. Otaknya yang terang segera mengenal, bahwa 

yang didengarnya itu sama sekali bukan bunyi burung yang sebenarnya. Karena itu iapun 

segera berteriak nyaring “Siapkan senjata kalian!” 

Tetapi anak buahnya tidak menyangka bahwa mereka akan segera menerima sergapan. 

Mereka masih mengira bahwa kedatangannya baru diketahui oleh seorang pengawas saja. 

Namun tiba-tiba saja dihadapan mereka, muncul laskar Widura berloncatan dari balik-balik 

pohon dan parit-parit. Karena itu sebagian mereka menjadi gugup. Tetapi karena mereka


adalah prajurit-prajurit yang berpengalaman, segera mereka dapat menguasai diri mereka, dan 

dengan tangkasnya mereka mencabut senjata-senjata mereka. 

Macan Kepatihan itu menjadi sangat marah. Ternyata kehadirannya kali ini telah diketahui 

benar oleh lawannya. Karena itu maka segera ia berteriak nyaring, katanya “Bagus, kalian 

ternyata menyambut kedatangan kami. Ayo, majulah!” 

Kedua laskar itupun menjadi semakin dekat. Tetapi laskar Widura lebih mapan dari lawannya. 

Mereka sudah lama bersiap untuk bertempur, sedang laskar Tohpati itu harus mempersiapkan 

diri dengan tergesa-gesa. Tetapi Tohpati tidak menjadi bingung, bahkan terdengar ia memberi 

aba-aba kepada pecahan laskarnya “Jangan kembali, langsung kejantung Sangkal Putung. 

Bakar setiap rumah yang ada disana dan bunuh semua orang!” 

Widura sadar bahwa itu adalah suatu cara untuk memecah perhatian lawannya. Karena itu 

iapun berteriak pula “Swandaru, cagah mereka. Kekuatan itu sama sekali tidak berarti, yang lain 

tetap pada rencana!” 

Swandarupun segera meloncat dari persembunyiannya. Dengan tangkasnya ia memutar 

pedang bertangkai gading ditangannya. Terdengarlah anak itu berkata “Ayah, apa yang harus 

aku lakukan sekarang?” 

“Kau dengar perintah pamanmu Widura?” sahut ayahnya. 

“Adakah Macan Kepatihan itu disana?” bertanya anak itu pula. 

“Tak ada waktu untuk meributkannya” potong ayahnya, “Pergilah segera” 

Swandaru yang gemuk itupun kemudian berlari, seperti roda yang menggelinding ditanah-tanah 

yang becek. Sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ia berteriak-teriak seperti sedang 

menghalau burung pipit yang mencuri padi disawah. Kawan-kawannya yang melihat Swandaru 

itupun segera berlari menyusulnya. Seperti Swandaru, mereka berteriak-teriak pula 

memekakkan telinga. 

Meskipun demikian, namun anak-anak muda Sangkal Putung itu bukan anak-anak yang hanya 

pandai berteriak-teriak saja. Sejak keadaan antara Pajang dan Jipang kian memburuk, mereka 

telah menentukan sikap. Dibawah asuhan-asuhan pemimpin-pemimpin kademangan, mereka 

melatih diri dengan tekun. Apalagi ketika kemudian datang Widura berserta laskarnya. Anak-

anak itupun menjadi semakin bernafsu melatih diri. Karena itu, maka merekapun mempunyai 

cukup kemampuan untuk menggerak-gerakkan senjata-senjata mereka. 

Namun demikian, Widura tidak melepaskan anak-anak itu, dibawah pimpinan Swandaru, 

Jagabaya dan kemudian demang Sangkal Putung itu sendiri, melakukan perlawanan terhadap 

laskar Jipang yang terlatih itu, meskipun hanya sebagian kecil dan bukan orang-orang pilihan. 

Karena itu, maka beberapa orangnyapun diperintahkannya untuk membantu mereka, serta 

untuk menjaga agar tekad anak-anak itu tidak goyah karena kekalahan-kekalahan kecil. 

Tohpati, yang mendengar aba-aba Widura itupun menggertakkan giginya. Percayalah ia kini, 

bahwa Widura tidak akan mudah ditipunya. Rencananya yang sudah disusun masak-masak itu, 

ternyata dapat diruntuhkan oleh Widura. Bahkan usahanya yang terakhir, mempengaruhi tekad 

perlawanan musuhnya itupun dapat dipatahkan pula oleh pengaruh kata-kata Widura itu. 

Karena itu, maka kesempatan yang pendek itupun dipergunakannya baik-baik. Semula ia akan 

menarik suatu garis datar langsung menghadapi laskar lawannya. Tetapi laskar Widura itupun 

laskar yang cukup masak. Kelambatan Tohpati yang hanya sesaat, karena kebingungan 

beberapa orang pimpinan kelompoknya, telah merubah keseimbangan antara mereka. 

Beberapa orang anak buah Widura telah berhasil melampaui garis yang akan dibuat oleh 

Macan kepatihan itu, untuk kemudian merangsang dari lambung. 

Tetapi Tohpati tidak pula kalah cekatan. Segera ia menarik sebagian laskarnya kesatu sisi, dan 

dibuatnya sebuah garis pertahanan yang lengkung. Wulan Punanggal. 

Widura masih menyaksikan aba-aba Tohpati dan kelincahan laskarnya. “Luar biasa” desisnya 

“Apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh gurunya, Mantahun dimasa hidupnya?” 

Kemudian Widura itupun melihat, betapa lincahnya Sidanti menyusup diantara kesibukan laskar 

kedua belah pihak yang sudah mulai terlibat dalam pertempuran. 

Anak muda itu langsung menghampiri Tohpati yang masih tegak memandang berkeliling. 

Dengan cermat ia mengawasi keadaan medan, dipelajarinya kedudukan laskarnya dan 

kedudukan laskar lawannya. Dilihatnya pula pecahan laskarnya ditengah-tengah sawah yang


juga sudah melakukan perlawanan terhadap anak-anak muda Sangkal Putung yang melanda 

mereka itu seperti banjir. Dengan semangat yang menyala-nyala anak-anak muda itu bertempur. 

Ternyata, meskipun Swandaru harus berhadapan dengan prajurit-prajurit Jipang, namun 

kekuatannya benar-benar berpengaruh atas pertempuran itu. Ayunan pedangnya benar-benar 

mengerikan. Setiap usaha untuk menangkisnya, maka akibatnya adalah pedang lawannya itu 

terpental jatuh. 

Tohpati terkejut ketika ia melihat seseorang melompat kehadapannya sambil tersenyum. 

Kemudian terdengar orang itu berkata “Selamat pagi Tohpati. Bukankah kau yang bernama 

Tohpati dan bergelar Macan Kepatihan?” 

Tohpati mengerutkan keningnya. Jawabnya “Apa maumu?” 

“Aneh” sahut orang itu, yang tidak lain adalah Sidanti. “Kita berada didalam pertempuran” 

“Bagus” seru Tohpati. “Mana paman widura?” 

“Aku akan mewakilinya” jawab Sidanti. 

Tohpati masih tetap acuh tak acuh. Ia mencoba mencari Widura diantara laskar lawannya. 

Sebelum pecah perselisihan Jipang dan Pajang, Widura telah dikenalnya. Dan kini ia ingin 

mencoba, apakah Widura masih segarang seperti pada masa-masa lampaunya. 

“Siapa yang kau cari?” tiba-tiba terdengar suara Sidanti. 

“Pergilah!” bentak Tohpati. “Orang yang pertama-tama akan aku bunuh adalah paman widura. 

Aku tidak ada waktu berkelahi dengan kelinci-kelinci macam kau”. Semantara itu tangan kiri 

Tohpati itu melambai kecil. Dan meloncatlah seorang anak buahnya kesisinya. “Selesaikan 

anak ini” katanya. 

Orang itu tak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Hiruk pikuk pertempuran disekitar 

mereka tak banyak memberi mereka waktu. Karena itu, maka anak buah Tohpati itupun segera 

menyerang Sidanti dengan sebuah tusukan pedang. Tetapi tiba-tiba mata Tohpati itupun 

terbeliak. Yang dilihatnya, dengan suatu gerakan yang hampir tak tampak oleh mata, Sidanti 

telah memiringkan tubuhnya, dan dengan satu gerakan yang tak terduga-duga tangan kirinya 

telah berhasil menyobek perut lawannya dengan senjatanya. Terdengar orang itu berteriak 

nyaring, dan kemudian tubuhnya terbanting ditanah. 

“Hadiah yang tak menyenangkan” desis Sidanti. 

Wajah Macan Kepatihan itupun menjadi merah. Ditatapnya muka Sidanti. Tampaklah anak 

muda itu tersenyum. 

Sementara itu langitpun telah menjadi semakin cerah. Cahaya matahari pagi tampak seakan-

akan berloncat-loncatan diujung-ujung senjata. Dan karena itulah maka kemudian Tohpati 

melihat senjata yang tajam pada ujung pangkalnya ditangan Sidanti itu. Tohpati itupun terkejut. 

Terdengarlah ia menggeram parau “Tambak Wedi” 

Sidanti masih tersenyum. Jawabnya “Kau kenal nama itu?” 

“Ya” sahut Macan Kepatihan. “Aku kenal Ki Tambak Wedi, aku kira kau adalah salah seorang 

muridnya” 

Sidanti mengangguk, “Kau benar” katanya. 

“Bagus!” seru Tohpati, “Tambak Wedi telah mengkhianati pamanku. Orang itu adalah sahabat 

paman Mantahun. Namun ketika terjadi bentrokan antara Jipang dan Pajang ia mengingkari 

persahabatannya. Bahkan kini muridnya ditempatkannya dipihak Pajang” 

“Jangan merajuk” jawab Sidanti. “Guruku melihat, bahwa tak ada gunanya memihak Jipang, 

sebab Jipang pasti akan hancur” 

“Pamankupun berkata demikian” potong Tohpati cepat-cepat. “Orang semacam Tambak Wedi 

pasti tidak akan mempunyai kesetiaan pada suatu sikap. Kau pernah melihat batang ilalang? 

Nah, itulah dia. Bila angin bertiup keutara, maka tunduklah ia kearah angin itu, bila angin 

kemudian berputar keselatan, batang ilalang itupun berputar pula” 

“Cukup” teriak Sidanti. Betapa tersinggung mendengar kata-kata Tohpati. Karena itu iapun 

segera bersiap dengan nenggala yang dinamainya Kiai Muncar. 

“Senjata itu ada ditanganmu sekarang” berkata Tohpati pula, “Nah, aku ingin melihat, apakah 

kau dapat mempergunakannya”.


Sidanti tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya ia menyerang dengan senjata yang 

dahsyat itu. 

Tetapi yang diserang kini adalah Macan Kepatihan. Meskipun demikian Tohpati itupun terkejut 

pula melihat kecepatan gerak lawannya. Tetapi Tohpati adalah seorang prajurit yang 

berpengalaman dalam pertempuran bersama dan dalam perkelahian perseorangan. Karena itu 

serangan Sidanti itu sama sekali tidak mencemaskannya. 

Sesaat kemudian kedua orang itu telah terlibat dalam suatu pertempuran yang sengit. Sidanti 

benar-benar dapat memanfaatkan kedua tajam senjatanya diujung dan pangkalnya itu. 

Nanggala itu berputar seperti baling-baling, kemudian mematuk-matuk seperti seekor ular naga 

yang sedang marah. Sekali-sekali dengan satu ujung, namun tiba-tiba dengan sebuah putaran 

yang cepat, ujung yang lainnya menusuk pula dengan dahsyatnya. Benar-benar seperti 

sepasang ular naga yang garang. 

Tetapi senjata Tohpati tidak kalah mengerikan. Tongkat baja yang gemerlapan dibawah cahaya 

matahari pagi, seakan-akan dari tongkat itu berloncatan butiran-butiran mutiara dan 

menghambur disekitar tempat perkelahian itu. Dan diujung cahaya yang putih mengkilap itu 

tampaklah leretan-leretan kuning seperti seekor lebah raksasa yang berterbangan. Apabila 

lebah kuning itu berhasil hinggap ditubuh lawannya, maka akibatnya adalah maut. Itulah kepala 

tongkat Tohpati, yang dibuatnya dari besi kuning berbentuk tengkorak kecil. 

Tohpati dan Sidanti adalah dua anak muda yang sebaya. Kedua-duanya mempunyai bekal 

yang cukup dan mempunyai nafsu yang sama-sama berkobar didalam dada masing-masing. 

Disekitar merekapun pertempuran menjadi semakin seru. Widura dengan penuh kesungguhan 

memimpin anak buahnya hampir disemua tempat. Orang itu dapat menyusup disegala titik 

pertempuran. Karena itulah maka anak buahnya menjadi berbesar hati, sebab setiap kali 

dilihatnya pemimpin mereka yang perkasa itu ada disampingnya. 

Ditengah sawah, laskar pecahan yang memisahkan diri dari induk pasukannya itupun 

bertempur dengan sengitnya. Anak-anak muda Sangkal Putung benar-benar mengamuk sejadi-

jadinya. Mereka merasa bahwa hari depan mereka, bahkan hari depan kampung halamannya 

sedang terancam. Apabila mereka kali ini gagal mempertahankannya, maka untuk seterusnya 

mereka akan kehilangan masa depan mereka. Sebab akibat dari kehancuran kampung 

halamannya kali ini, akan panjang sekali. Kesedihan, kemelaratan, paceklik yang panjang 

karena lumbung-lumbung mereka akan habis dirampas dan banyak penderitaan-penderitaan 

yang lain. Ibu-ibu mereka, istri-istri mereka dan adik-adik mereka akan menjadi korban pula 

karenanya. Meskipun demikian, lawan-lawan mereka adalah prajurit-prajurit yang terlatih. Itulah 

sebabnya maka kadang-kadang mereka menjumpai perlawanan-perlawanan yang tak mereka 

duga-duga. Untunglah bahwa diantara mereka terdapat orang-orang yang berpengalaman pula. 

Jagabaya Sangkal Putung, yang meskipun sudah agak lanjut umurnya, namun ia adalah bekas 

prajurit Demak yang baik. Demang mereka yang penuh dengan tanggung jawab ada pula 

diantara mereka. Meskipun batapa berat hati Demang itu melihat darah yang harus tertumpah. 

Namun akhirnya disadarinya, bahwa pada suatu saat pedang ditangannya harus diayunkan, 

apabila kebenaran dan haknya telah terancam. Apalagi ada pula diantara mereka, beberapa 

orang anak buah Widura yang dapat memimpin mereka dalam keadaan-keadaan sulit. 

Tohpati yang terikat dalam pertempuran dengan Sidanti menggeram marah. Kesempatannya 

untuk memperhatikan keadaan medan sangat terbatas. Sesaat-sesaat ia melihat juga Widura 

berloncatan kian kemari hampir diseluruh daerah pertempuran, namun ia tidak dapat 

mengimbanginya. Karena itu, maka kemarahannya semakin memuncak. Sehingga kemudian 

dengan tenaga sepenuhnya ia bertempur untuk segera menghancurkan lawannya. Sidantipun 

kemudian memeras tenaganya dalam perlawanannya atas Macan Kepatihan itu. Namun 

kemudian terasa, betapa garangnya harimau yang namanya ditakuti oleh hampir setiap orang 

Jipang dan Pajang. Betapa Sidanti mendapat tempaan tak henti-hentinya oleh gurunya, namun 

kini ternyata, bahwa kesaktiannya belum dapat melampaui, bahkan menyamaipun tidak, atas 

Macan yang garang itu. Sedikit demi sedikit Sidanti merasa, bahwa lebah kuning itu semakin 

lama semakin dekat dengan kulitnya. Bahkan sekali-sekali telah terasa sentuhan angin yang 

tajam, yang dilontarkan oleh gerak besi kuning yang berbentuk tengkorak itu. 

“Setan” Sidanti menggeram. Ia mengumpat tak habis-habisnya didalam hati. Ternyata Macan 

Kepatihan itu benar-benar melampaui dugaannya. Orang itu benar-benar dapat bergerak 

demikian cepatnya, sehingga orang menyebutnya – Tohpati dapat berubah menjadi asap


Meskipun demikian, betapapun garangnya Macan Kepatihan itu, namun tidaklah terlalu mudah 

untuk mengalahkan Sidanti. Anak muda murid Ki Tambak Wedi itu adalah anak yang tidak 

lekas berputus asa. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya untuk tetap 

melawan Macan Kepatihan itu betapapun berbahayanya. 

Tetapi ia tidak akan dapat memungkiri kenyataan. Bahaya maut semakin lama semakin 

mendekat. Tongkat baja putih berkepala kuning itu kian lama kian cepat seperti nyamuk yang 

berputar-putar ditelinganya. Karena itu, maka kemudian Sidanti terpaksa beberapa kali 

melangkah surut, semakin lama semakin dalam dibelakang garis semula. 

Widura melihat kesulitan Sidanti. Tetapi ia tidak mencemaskannya. Sebab disamping anak 

muda itu bertempur Hudaya dan Citra Gati. Orang-orang tua yang dapat dipercaya untuk 

setidak-tidaknya meringankan tekanan Macan Kepatihan atas murid Ki Tambak Wedi itu. Ia 

sendiri masih tetap berputar-putar disepanjang garis pertempuran. Karena itulah maka 

kemudian tampak, bahwa laskar Widura berada dalam keadaan yang lebih baik dari 

lawannya.Hudayapun kemudian melihat kesulitan Sidanti. Adalah menjadi kewajibannya untuk 

ikut serta memikul kesulitan itu. Karena itu segera ia meloncat, melepaskan lawan-lawannya 

dan menyerahkannya kepada beberapa orang lain. 

Dengan garangnya orang yang hampir diseluruh wajahnya ditumbuhi rambut itu menerjunkan 

diri dalam lingkaran pertempuran antara Sidanti dan Tohpati. Dengan sebuah tombak pendek ia 

menyerang sambil berteriak “Sidah aku katakan Sidanti, Macan ini tidak dapat diajak bermain-

main” 

Melihat lawan yang baru itu Tohpati menggeram. Kemarahannya telah membakar segenap 

syarafnya. Dengan geramnya ia memjawab “Ayo majulah, kenapa Widura tidak kau bawa serta” 

Hudaya tertawa. Laki-laki itu sendiri tidak tahu kenapa ia tertawa. Namun didalam hatinya 

tumbuhlah kebimbangan atas usahanya membantu Sidanti. Dengan penuh kesadaraan ia 

berusaha mengusir setiap anggapan yang pernah didengarnya tentang Macan Kepatihan itu, 

namun ketika sekali tombaknya tersentuh tongkat baja putih itu, Hudaya berkata didalam 

hatinya “Pantaslah orang ini disebut Macan Kepatihan. Sentuhan senjatanya terasa seperti 

membekukan segenap urat darah” Walaupun demikian, Hudaya adalah seorang prajurit. 

Karena itu, bagaimanapun juga keadaanya, namun ia harus berjuang. 

Melihat Hudaya telah melibatkan diri dalam perkelahian itu,Citra Gati tersenyum. “Hem, 

desisnya alangkah sombongnya murid Ki Tambak Wedi. Namun akhirnya orang-orang tua juga 

harus ikut menghadang bahaya. Kalau, ya kalau, Untara ada diantara kita.” Tetapi Citra Gatipun 

tidak sampai hati membiarkan mereka berdua mengalami bencana. Karena itu ia segera 

menyelinap diantara anak-anak buah di dalam kelompoknya. Katanya “Kita yakin atas 

kemenangan kita, majulah.” 

Kemudian Citra Gati itupun berdiri didalam lingkaran pertempuran itu. Dengan tangkasnya ia 

berloncatan di sela-sela senjata lawannya. Dengan sebuah pedang ia mencoba untuk melawan 

Tohpati bersama-sama dengan Hudaya dan Sidanti. 

Tetapi anak buah Macan Kepatihan itupun tidak membiarkan pemimpin mereka mengalami 

cedera karena beberapa orang telah bertempur bersama-sama melawannya. Karena itu 

dengan serta merta dua orang lainpun segera melibatkan dirinya pula. Sehingga dengan 

demikian, keseimbangan perkelahian antara Sidanti dan Tohpati masih juga belum berubah. 

Sebab Hudaya dan Citra Gati mau tidak mau harus berusaha memusnahkan setiap serangan 

dari kedua orang Jipang itu. Karena itulah maka kesempatan untuk membantu tidak sedemikian 

banyak seperti yang duharapkan. Demikian agaknya orang-orang Jipang itupun telah bersiap 

pula apabila pemimpinnya mengalami peristiwa semacam itu. 

Keadaan Sidantipun semakin lama semakin menjadi sulit. Hudaya dan Citra Gati bahkan 

kemudian tak dapat diharapkannya lagi. Setiap orang Pajang yang mencoba melepaskan 

Hudaya dan Citra Gati dari lawan-lawan mereka selalu mendapat lawan-lawan yang baru. 

Tetapi sementara itu, laskar Pajang telah berhasil mendesak laskar lawannya dari ujung-

keujung pertempuran. Bahkan laskar Jipang yang bertempur melawan anak-anak muda 

Sangkal Putung itupun akhirnya terpaksa beberapa kali menarik diri surut. Swandaru sendiri 

yang menyadari tenaganya yang perkasa, menghantam setiap lawan yang berdiri disekitarnya. 

Apalagi anak muda itu tidak hanya melandaskan diri pada kekuatannya, namun ia tahu juga,


bahwa ia harus mempergunakan otaknya. 

Ketika Widura melihat Sidanti semakin terdesak, serta setelah dilihatnya, betapa Hudaya dan 

Citra Gati sama sekali tidak berhasil membantunya dengan leluasa, Widurapun menjadi cemas. 

Karena itu segera ia meloncat,menyusup diantara pertempuran itu mendekati Sidanti yang telah 

hampir kehabisan tenaga. Macan Kepatihan yang marah itu, telah mengerahkan segenap 

kemampuannya untuk segera membinasakan lawannya. Lawan yang bukan saja ditemuinya 

digaris pertempuran ini, namun dendam gurunya kepada guru anak itupun telah memaksanya 

untuk bertempur sekuat tenaga. 

Tetapi Widura datang tepat pada waktunya. Pada saat Sidanti terdorong beberapa langkah 

surut, serta tongkat baja itu telah terayun dengan derasnya, sehingga Sidanti tak mungkin lagi 

menghindar, selain menangkis dengan Nenggalanya, pada saat itulah Widura telah berada 

disampingnya. Desisnya sambil menyilangkan pedangnya dihadapan dadanya “Aku terpaksa 

agak lambat menyambutmu Angger.” 

“He” teriak Tohpati dengan marahnya. Meskipun demikian ayunan tongkatnya tidak juga 

ditariknya. Dilihatnya kemungkinan bahwa Nenggala yang dasyat itu kali ini tak akan mampu 

melawan tenaganya, karena kedudukan Sidanti yang sulit. Namun tiba-tiba dilihatnya bahwa 

pedang yang bersilang dimuka dada Widura itu terayun dengan cepatnya memukul tongkatnya 

dari samping, sehingga tongkat itu berubah arah. 

Sidanti terhindar dari maut yang menerkamnya. 

Namun meskipun demikian, tongkat baja putih itu masih menyentuh pundaknya. Dengan 

demikian, maka Sidanti terdorong beberapa langkah surut. Terdengarlah anak muda itu 

berdesis menahan pedih yang menyengat pundaknya itu. Terasa sentuhan itu seperti bara api 

yang dilekatkan pada kulitnya, ketika tangan kirinya meraba pundak itu, terasa darahnya 

meleleh dari luka. 

“Setan” desisnya dengan geram. Kemarahannya membakar seluruh urat nadinya. Namun 

tangan kanannya kemudian terasa seakan-akan terlepas dari persendiannya, sehingga tangan 

itu dengan lemahnya tergantung disisinya tanpa dapat digerakkannya. 

Sidanti menggeram. Terdengar giginya gemeretak menahan marah. Tetapi kini tanaganya telah 

susut lebih dari separo. Setelah ia memeras tenaganya habis-habisan, kini pundaknya terluka 

pula. Karena itu, maka Sidanti merasa, bahwa ia tak akan mampu menumpahkan 

kemarahannya kepada Macan Kepatihan itu. Mau tidak mau Sidanti harus menerima kenyataan 

yang berluka. Macan Kepatihan itu tidak dapat dikalahkannya, bahkan pundaknya telah 

dilukainya. Maka ketika ia melihat Widura telah siap untuk melawan Tohpati itu, Sidanti menjadi 

agak tenang. Sebab dengan demikian maut telah berkisar dari dirinya. 

Meskipun demikian, Sidanti masih mencari sasaran untuk menumpahkan kemarahannya. 

Dengan senjatanya ditangan kiri anak muda itu kemudian melawan siapa saja yang berani 

datang mendekatinya. Walaupun telah terluka, namun Sidanti itu masih tetap berbahaya bagi 

lawan-lawannya. 

Tohpati, yang kehilangan korbannya, menggeram penuh kemarahan. Katanya “Paman Widura, 

kau telah menggagalkan usahaku membunuh murid penghianat itu. Karena itu, kau memberi 

kesempatan, atau kau sendiri yang terbunuh” 

“Angger Macan Kepatihan” sahut Widura “adalah sudah sewajarnya bahwa sekali kita berhasil 

mengorbankan lawan kita, namun kali yang lain kita kehilangan kemungkinan itu. Kini kau 

kehilangan Sidanti, namun kau menemukan aku disini. Nah, jangan cari yang tidak ada” 

“Bagus” teriak Tohpati “Memang sejak semula aku ingin bertemu dengan paman Widura. Dan 

kini paman telah datang menyambut aku” 

Widura tidak menjawab. Tetapi ia sadar bahwa ia harus berjuang sekuat kemampuan yang ada 

padanya. Sebab Tohpati adalah seorang anak muda yang sakti. Meskipun demikian, Widura 

kini sedang mengemban kewajibannya sebagai seorang prajurit. Karena itu ia harus melawan, 

betapapun sakti musuhnya itu. 

Dalam pertempuran itu, Widura kini dapat menghadapi lawannya dengan tenang, setelah ia 

yakin, bahwa laskarnya berada dalam keadaan yang lebih baik dari laskar Tohpati. Sedikit demi 

sedikit laskar Widura itu dapat mendesak lawannya. Sehingga keadaan itu, mau tak mau pasti 

mempengaruhi jiwa Tohpati sendiri.


Widura dan Tohpati itu segera terlibat dalam pertempuran yang seru. Tampaklah tenaga 

Tohpati yang kuat seperti raksasa itu melampaui tenaga Widura, namun Widura adalah prajurit 

yang berpengalaman. 

Telah berpuluh bahkan beratus kali dihadapinya lawan-lawan yang tangguh, namun untuk 

kesekian kalinya ia masih tetap hidup. Karena itu maka walaupun Tohpati adalah seorang yang 

sakti, namun Widurapun memiliki beberapa kesaktian pula, sehingga dengan demikian 

pertempuran itu menjadi semakin seru. Tongkat baja putih Tohpati berputar melingkar-lingkar 

dan bayangan warna putih seakan-akan menyelubungi dirinya, bergulung-gulung seperti ombak 

yang dahsyat siap untuk menelan korbannya. Namun pedang Widurapun memiliki 

kekhususannya sendiri. Pedang Widura bukanlah pedang yang dapat dibanggakan 

ketajamannya. Tetapi pedang itu dapat dipakainya untuk menghantam patah besi gligen. 

Namun setiap sentuhan pada ujung pedang itu, maka pastilah kulit lawannya akan berlubang. 

Meskipun pedang itu tidak tajam dipunggungnya, tetapi ujungnya runcing melampaui ujung 

jarum.Disudut-sudut pertempuran yang lain, semakin lama semakin nyata bahwa laskar Pajang 

semakin berada dlam keadaan yang lebih baik. Berkali-kali mereka berhasil mendesak 

lawannya dan berkali-kali pula laskar Tohpati terpaksa menarik diri surut. Bahkan laskar Tohpati 

yang bertempur ditengah-tengah sawah itupun kemudian semakin bergeser mendekati induk 

pasukannya. Mereka kemudian menjadi ngeri melihat anak-anak muda Sangkal Putung 

bertempur seperti orang-orang kerasukan setan. Sedang diantara mereka terdapat pula orang-

orang yang memiliki pengetahuan tempur setidak-tidaknya menyamai laskar Jipang itu. 

Gabungan antara tekad yang menyala-nyala dan otak yang berpengalaman, menjadikan 

rombongan anak-anak muda Sangkal Putung itu benar-benar mengerikan. 

Namun keadaan Widura tidak sebaik keadaan pasukannya. Seperti juga Sidanti, akhirnya 

Widura terpaksa mengakui bahwa Macan Kepatihan itu benar-benar perkasa diatas segala 

orang yang pernah dilawannya. Tetapi Widura tak dapat mengingkari kewajibannya. Ia adalah 

orang yang terakhir yang harus menahan arus kemarahan Tohpati, apapun yang akan terjadi 

pada dirinya. Karena itu, sadar akan tugasnya, maka Widurapun segera mengerahkan segala 

kesaktiannya. Menurut perhitungannya, maka apabila ia berhasil memperpanjang waktu 

perlawanannya, maka laskarnya pasti sudah benar-benar dapat menguasai laskar Jipang, 

sehingga dengan demikian maka keadaan itu akan segera mempengaruhi Macan Kepatihan. 

Ternyata perhitungan Widura yang berpengalaman itupun terjadi. Setiap kali Tohpati 

dipengaruhi oleh pekik kesakitan dan kadang-kadang sebuah teriakan maut dari anak buahnya. 

Sedikit demi sedikit, satu demi satu anak buahnyapun rontoklah. Betapa sakit hati Macan yang 

ganas itu, ketika disadarinya, bahwa keadaan laskarnya benar-benar tidak menyenangkan. 

Tetapi karena itulah maka kemarahannya menjadi semakin memuncak. Widura itu harus segera 

dibinasakan. Kemudian ia harus membunuh Sidanti pula. Apabila kedua-duanya telah terbunuh, 

maka ia akan dapat membantu laskarnya memusnahkan orang-orang Pajang yang dibencinya 

itu. Lebih daripada itu, maka anak-anak muda Sangkal Putung bukanlah lawan yang perlu 

diperhitungkan. 

Karena itulah maka Tohpati itupun segera mengamuk sejadi-jadinya. 

Tetapi betapapun juga, Tohpati tak dapat membutakan matanya serta menulikan telinganya 

atas peristiwa-peristiwa yang menyedihkan yang terjadi diantara laskarnya. Ia tahu benar, 

bahwa Widura kini hanya tinggal bertahan memperpanjang waktu. Dan iapun telah berusaha 

melawan waktu itu, sehingga pekerjaannya harus segera selesai. Tetapi setiap kali ia 

mendengar, dan setiap kali ia melihat seorang dari anak buahnya terbanting ditanah dengan 

darah menyembur dari lukanya, maka hatinya berdesir pula. Sebagai seorang pemimpin yang 

baik, maka Tohpati tidak akan mengorbankan terlalu banyak anak buahnya untuk hasil yang 

belum pasti. Dalam waktu yang pendek Macan yang cerdik itu membuat perhitungan untung 

rugi dari pertempuran itu. Apabila ia berhasil membunuh Widura dan Sidanti, maka apakah 

jumlah laskarnya masih cukup banyak untuk melawan arus laskar Widura yang tangguh itu. 

Apakah orang-orang yang cekatan seperti Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lain lagi tidak 

segera mengambil alih pimpinan dan melawannya dalam sebuah kelompok yang besar 

bersama-sama. 

Akhirnya Tohpati tidak dapat mempertahankan tujuan penyerangannya kali ini. Ia harus melihat 

kenyataan itu. Karena itu, tiba-tiba Tohpati mengambil suatu keputusan untuk menarik diri. 

Namun setidak-tidaknya ia harus dapat mencegah Widura dan anak buahnya mengambil


keuntungan dari keadaan terakhir itu. Maka sekali lagi dengan segenap kemampuan yang ada, 

Tohpati melibat Widura dalam lingkaran bayangan putih. Bayangan putih itu benar-benar 

seperti asap yang mengerikan. Asap yang mengandung didalamnya nafas maut. 

Widurapun berusaha melawan dengan kemampuan terakhirnya. Tetapi semakin terasa asap 

putih itu semakin membingungkannya. Ujung tongkat baja putih yang berwarna kuning itu 

semakin lama terasa semakin dekat dari tubuhnya. Tetapi Widura adalah orang yang tabah. 

Karena itu ia masih tetap tenang apapun yang terjadi. 

Pada saat-saat terkhir, maka Tohpati itupun terkejut ketika dilihatnya seseorang mendekatinya. 

Sebuah pedang terayun dengan derasnya, memotong sinar putih yang bergulung-gulung 

disekitarnya. Betapa heran hati macan Kepatihan itu.Tetapi ia tidak memperhatikannya terlalu 

banyak. Ayunan tongkatnya itu diperkuat untuk menghantam pedang yang mencoba 

melawannya. Maka terjadilah sebuah benturan yang sengit. Pedang itu terpental beberapa 

langkah dari titik benturan, dan terlepas dari genggaman. Namun Macan kepatihan itupun 

terkejut bukan kepalang. Terasa bahwa tangan yang menggerakkan pedang itu mempunyai 

kekuatan yang luar biasa. Ketika ia menatap penyerangnya, maka Tohpati melihat seorang 

anak muda yang gemuk. Dengan gugupnya anak itu mencoba mengambil pedangnya yang 

bertangkai gading. Namun tangan itu terasa terlalu nyeri. Dengan demikian, maka ia hanya 

dapat melihat dengan penuh kecemasan ketika Macan Kepatihan itu sekali lagi memutar 

tongkatnya dan menyerangnya. 

Ketika Widura melihat anak muda itu hatinya berdesir. Dengan serta merta ia berteriak 

“Swandaru, jangan gila. Pergilah”. 

Tetapi Swandaru yang sedang mengagumi kekuatan tangan Tohpati itu tidak beranjak dari 

tempatnya. Untunglah bahwa Widura dapat bertindak cepat. Dengan garangnya ia meloncat 

maju, dan menyerang Tohpati dengan ujung pedangnya. Tohpati terpasa melawan pedang 

yang terjulur langsung kedadanya. Sehingga ia menarik serangannya atas Swandaru. Sesaat 

kemudian kembali Tohpati merusaha sekuat-kuat tenaganya untuk membinasakan Widura. 

Swandaru kini melihat pertempuran itu dengan mulut ternganga. Ternyata bahwa kekuatan saja, 

betapapun besarnya, tidak akan bermanfaat apabila tidak disertai rangkapan ilmu yang lain, 

ilmu gerak, ilmu ketangkasan dan ilmu menggerakkan senjata. Lebih dari itu adalah ilmu 

pemusatan pikiran dan kekuatan pada titik-titik tertentu. Tetapi ia tidak tahu , bahwa disamping 

ilmu-ilmu itu, maka Tohpati maupun Widura telah mempergunakan ilmu yang dapat 

mengungkat kekuatan-kekuatan yang tersembunyi didalam tubuh mereka masing-masing. 

Karena itu, meskipun Swandaru mempunyai kekuatan yang luar biasa, namun pada saat ia 

membenturkan pedangnya untuk melawan tongkat putih Tohpati yang sedang berputar itu, 

maka tenaganya itu seakan-akan tidak berarti. Lalu bagaimanakah kira-kira kekuatan Tohpati, 

seandainya orang itu dengan sengaja memukulkan tongkatnya dengan kekuatan sepenuhnya? 

Tetapi bagaimanapun juga, perbuatan Swandaru itu telah memperpanjang waktu perlawanan 

Widura. Dengan demikian korban dikedua belah pihakpun semakin bertambah-tambah. Apalagi 

dipihak laskar Tohpati. Karena itu maka Tohpatipun segera mengambil keputusan untuk 

menyelamatkan orang-orangnya. Ia sama sekali tidak melihat keuntungan apapun apabila ia 

memperpanjang perlawanannya. Rencana yang disusunnya benar-benar telah hancur 

berantakan. Maka yang kemudian dilakukan oleh Macan Kepatihan itu adalah meloncat surut, 

melepaskan diri dari ikatan pertempuran dengan Widura. Dengan nyaringnya ia berteriak 

“Tinggalkan pertempuran. Segera!” 

Laskar Jipang itupun adalah laskar yang terlatih. Merekapun tahu benar, bagaimana mereka 

harus meninggalkan pertempuran. Beberapa orang pemimpin kelompok segera tampil kedepan 

melindungi anak buah mereka yang berloncatan mundur. Tohpati itupun kemudian meloncat 

kian kemari, seperti burung elang yang berterbangan menyambar-nyambar. Dengan 

tangkasnya ia memotong laskar pajang yang berusaha mengejar anak buahnya yang melarikan 

diri. Dari antara laskar Jipang itu kemudian tampillah orang-orang yang bersenjata jarak jauh. 

Bandil, paser dan panah. Ternyata mereka telah benar-benar bersiap menghadapi setiap 

kemungkinan, sampai pada kemungkinan mengundurkan diri. Usaha Widura untuk mengikat 

kambali Tohpati dalam suatu titik perkelahian tidak berhasil. Setiap kali Macan Kepatihan itu 

selalu menghindar dan dengan tongkatnya ia terus-menerus berusaha menyelamatkan anak 

buahnya sejauh mungkin. 

Laskar Widura sudah pasti tidak akan membiarkan lawan-lawan mereka menyelamatkan diri.


Dengan gairah mereka mendesak terus. Namun laskar Tohpati itupun tidak berlari bercerai-

berai. Mereka mundur dengan teratur. Perlawanan mereka sama sekali tidak berkurang. 

Sehingga dengan demikian, pertempuran itu berlangsung terus, sambil bergeser dari satu garis 

ke garis berikutnya. 

Sekali lagi Widura menggeleng-gelengkan kepala. Tohpati adalah suatu contoh dari seorang 

pemimpin yang baik. “Kenapa anak muda itu masih belum menyadari keadaan” gumamnya. 

“Apabila demikian, Pajang akan segera berkembang dan sentausa” 

Laskar Tohpati itupun kemudian mencapai sebuah desa dibelakang garis perlawanan mereka. 

Demikian mereka melampaui pagar yang pertama, demikian mereka pecah berpencaran 

diantara pohon-pohon yang tumbuh disana-sini. Diantara pohon-pohon liar dihalaman yang 

kurang terpelihara dan diantara rumpun-rumpun bambu yang lebat. Sehingga laskar Widura 

itupun segera menemui kesulitan untuk mengejar mereka terus. Mereka harus berhati-hati, dan 

mencurigai setiap pohon-pohon besar yang berada disekitar mereka. Pohon itu akan dapat 

menjadi tempat-tempat persembunyian dan apabila mereka kurang wapada, maka maut akan 

menerkam mereka. Dengan demikian, maka kedua bagian laskar itu bertempur dari satu pohon 

ke pohon lain, dari satu rumpun ke rumpun yang lain. Namun keadaan laskar Tohpati menjadi 

bertambah baik. Mereka menyerang dan kemudian menghilang. Sedang laskar Widura yang 

mengejarnya, kadang-kadang terpaksa melingkar menghindari kemungkinan-kemungkinan 

serangan tiba-tiba dari balik-balik gerumbul. 

Widura segera melihat keadaan itu. Karena itu, maka alangkah berbahayanya apabila 

pengejaran itu dilakukan terus. Mungkin mereka akan dapat mencapai tepi desa yang lain, dan 

memaksa kedua laskar itu bertempur kembali ditempat yang terbuka, namun korban akan 

menjadi sangat besar. Karena itu segera Widura berteriak memerintah “Hentikan pengejaran”. 

Dan perintahnya itu kemudian beruntun diulangi oleh setiap pimpinan kelompok laskarnya. 

Demikianlah maka laskar Widura itu berhenti. Segera mereka menarik diri dan berkumpul 

kembali diluar desa itu. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka, mereka melihat bahwa 

matahari telah berada diatas kepala mereka. 

Widurapun kemudian mendengarkan laporan dari setiap pemimpin kelompoknya. Seiapakah 

yang cedera diantara mereka, yang terluka dan yang terpaksa gugur dalam mengemban tugas 

mereka. 

Hari itu adalah hari berkabung bagi Sangkal Putung. Tugas laskar Widura kemudian, beserta 

orang-orang Sangkal Putung adalah memelihara mereka yang terluka. Kawan maupun lawan. 

Sebab bagi perawatan perikemanusiaan, tak ada batas diantara kawan dan lawan. Apalagi 

diantara mereka, laskar Widura dan laskar Tohpati, beberapa orang dari mereka adalah kawan-

kawan yang pernah berjuang bersama-sama untuk menegakkan Demak di jaman-jaman 

sebelumnya. Namun kini, mereka terpaksa bertemu dalam sebuah permainan senjata yang 

berbahaya. 

Ketika iring-iringan laskar itu memasuki Sangkal Putung, tampaklah desa itu menjadi sepi. 

Ternyata perempuan dan kanak-kanak telah berkumpul di Kademangan. Sedang beberapa laki-

laki yang meskipun sudah melampaui umur mudanya, tampak berjaga-jaga dihalaman dengan 

senjata apa saja ditangan mereka. 

Ketika mereka mengetahui bahwa iringan laskar Widura dan anak-anak muda mereka datang, 

segera mereka membuka regol yang mereka kancing dengan palang kayu. 

Beberapa orang laki-laki dengan tergesa-gesa pergi menyongsong mereka dan membantu 

mereka menolong kawan-kawan yang terluka. 

“Adakah Sangkal Putung baik-baik?” bertanya Widura kepada salah seorang dari mereka. 

“Baik tuan” jawab yang ditanya, “Tak ada laskar mereka yang merembes kemari” 

“Bagus” sahut Widura. “Siapakah yang berada dikademangan?” 

“Setiap laki-laki yang tak ikut maju menyongsong lawan” jawab orang itu dengan bangga. 

“Sebagian dikademangan dan sebagian di lumbung desa” 

“Bagus” berkata Widura sambil mengangguk-angguk “Setiap laki-laki di Sangkal Putung akan 

menjadi pahlawan”. 

Orang itu tersenyum-senyum. Lalu ia bertanya pula “Bagaimanakah dengan laskar Macan 

Kepatihan


“Mereka telah meninggalkan kita” jawab Widura. “Setidak-tidaknya untuk sementara bahaya tak 

akan datang kembali” 

“Mampuslah mereka” geram orang itu. 

Widura tersenyum, namun ia tidak menjawab. 

Ketika laskarnya memasuki halaman kademangan, maka gemparlah halaman itu. Beberapa 

orang perempuan berlari-lari menyambut anak-anak mereka yang datang dengan kebanggaan 

didada mereka. Namun ada juga yang terpaksa memeras air mata, karena anak-anak mereka 

jatuh menjadi banten kampung halaman. 

“Alangkah biadabnya orang-orang Jipang” keluh mereka. Dan Widura yang mendengarnya, 

hanya dapat mengelus dada. Beberapa orang tetangga mereka berkerumun untuk menghibur 

mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak membayangkan, bahwa isteri-isteri dan ibu-ibu orang 

Jipang yang terbunuh itupun akan mengutuk dengan muaknya sambil menangis “Alangkah 

kejamnya orang-orang Pajang”. Memang sebenarnyalah peperangan tak dapat dipisahkan dari 

kekejaman, tangis dan penyesalan. 

Maka, dipendapa kademangan itu, diatas helai-helai tikar pandan, berbaring berderet-deret 

orang yang terluka. Sedang orang-orang lain sibuk dengan kawan-kawan mereka yang gugur. 

Sedayu, yang berada dikademangan itu pula, ketika didengarnya pamannya kembali dari 

peperangan, segera menyambutnya. Dengan wajah pucat dan gemetar, ia mengikuti pamannya 

masuk kepringgitan. Terbata-bata ia bertanya “Bagaimanakah dengan laskar Jipang itu 

paman?” 

Widura tersenyum. “Duduklah Sedayu” katanya mempersilakan. 

Sedayu kemudian duduk dengan gelisahnya. Sementara itu Widura berjalan kesudut ruangan, 

meraih gendi dari gelodog bambu, dan minumlah ia sepuas-puasnya. 

Ditangga pendapa kademangan, Hudaya duduk sambil membelai senjatanya. Sekali-sekali 

tangannya mengusap pelipisnya yang terluka. Meskipun demikian ia masih sempat tertawa dan 

berkata kepada Citra Gati yang duduk disampingnya “Untunglah, bukan kumisku yang 

terkelupas” 

“Lain kali kepalamu” sahut Citra Gati sambil memijat-mijat tangannya yang terkilir, ketika ia 

berguling-guling menghindari serangan tongkat putih Macan Kepatihan. Tiba-tiba teringatlah 

olehnya betapa tengkorak kuning diujung tongkat Tohpati itu menyambar keningnya. “Ngeri”, 

gumamnya. 

“Apa yang ngeri?” bertanya Hudaya dengan heran. 

“Tengkorak itu” jawab Citra Gati. 

Kembali Hudaya tertawa. “Ketika seseorang dari orang-orang Jipang itu menyerang aku, aku 

menjadi gembira. Bukankah aku telah dibebaskan dari bahaya tongkat baja putih itu?” 

“Ah, gila kau” desah Citra Gati. Dan kemudian keduanyapun terdiam. Kedua-duanya dicengkam 

oleh kengerian, apabila diingatnya senjata Tohpati yang bergulung-gulung seperti prahara. 

Sidanti tidak tampak duduk diantara mereka. Anak muda itu segera pergi ke dapur. Ditemuinya 

disana seorang gadis yang mula-mula sedang sibuk menyiapkan makan untuk mereka. Tetapi 

ketika dilihatnya Sidanti datang kepadanya sambil tersenyum-senyum maka dengan tergesa-

gesa diletakkannya pekerjaannya, dan berlari-lari menyongsong anak muda itu. 

“Kau terluka?” gadis itu bertanya dengan cemas. 

Sidanti mengangguk. “Tidak seberapa” jawabnya. Memang luka itu tidak begitu parah, 

meskipun tangan kanannya masih belum dapat digerakkan dengan leluasa. 

Sementara itu dari dalam gandok terdengar Swandaru berteriak memanggil “Mirah, Sekar 

Mirah” 

Sidanti tersenyum mendengar suara itu. Katanya “Kakakmu memanggil” 

Sekar Mirah menyerutkan keningnya “Biarlah. Kakang terlalu manja” 

Dan dari gandok itu terdengar kembali suara Swandaru “Mirah, he Mirah. Dimana kain 

parangku?” 

“Cari sendiri” sahut adiknya berteriak tidak kalah kerasnya. 

“Ayo carikan” bentak kakaknya. “Kalau tidak, aku tak mau mengisi jambangan kalau kau mandi”.


Sekar Mirah tidak menjawab, namun terdengar suara Sindanti “Jangan terlalu manja Swandaru”. 

Mendengar suara Sidanti, Swandaru terdiam. Namun ia menggerutu “Setan, Sidanti itu. Awas, 

kalau Mirah masih berkawan dengan anak muda itu. Suatu ketika aku hajar kedua-duanya” 

Tetapi ia tidak berani memanggil adiknya lagi. Ia tahu, bahwa adiknya lebih senang tinggal 

bersama Sindanti daripada datang kepadanya. Karena itu dengan marah diaduk-aduknya 

setumpuk kain digelodog pakaiannya. Dan akhirnya ditemukan juga kain parangnya. 

Ketika ia berlari-lari keluar gandok lewat dapur, sampai dimuka pintu langkahnya terhenti. 

Dilihatnya Sekar Mirah sedang membersihkan luka Sidanti dengan asyiknya, dibawah rimbun 

daun kemuning. “Gila” geramnya perlahan-lahan. Namun ia tidak berani mengganggu. Segera 

ia kembali masuk kedapur dan berlari kependapa sambil menyambar sepotong paha ayam. 

Dipringgitan, Widura kini sudah duduk dimuka Agung Sedayu. Dengan cermat diceritakan apa 

yang terjadi digaris pertempuran. Akhirnya Widura itu berkata “Sebenarnya kami harus 

berterima kasih kepadamu dan Untara, sebab dengan demikian kami telah kalian bebaskan dari 

kehancuran mutlak” 

Keduanya kemudian berdiam diri. Namun dihati Sedayu masih belum tenang benar. Karena itu 

ia bertanya “Tetapi, dengan demikian, tidakkah ada kemungkinan Macan yang ditakuti itu 

datang kembali?” 

“Mungkin” sahut pamannya. Sebenarnya iapun kecewa terhadap hasil yang dicapainya. Namun 

kemampuan laskarnya sangat terbatas, dan hasil itulah yang sebesar-besanya dapat dicapai. 

“Lalu, bagaimanakah kalau mereka datang kembali dengan tiba-tiba?” desak Sedayu. 

“Bukankah disini ada Sedayu” sahut Widura sambil tertawa.“Ah” Sedayu mengeluh. 

Widura iba juga melihat Sedayu menunduk. Karena itu ia segera bertanya “Adakah kau sempat 

beristirahat?” 

Sedayu menggeleng “Tidak” jawabnya. Ia tidak perlu malu-malu kepada pamannya, sebab 

pamannya telah mengenalnya dengan baik. “Aku menjadi gelisah” Sedayu meneruskan “Ketika 

aku mendengar tanda bahaya, maka aku tak dapat duduk dengan tenang, apalagi berbaring” 

Widurapun kemudian terdiam ketika mereka mendengar langkah masuk. Dan sesaat kemudian 

duduklah diatara mereka Ki Demang Sangkal Putung. Wajahnya menjadi merah dan debu yang 

melekat diwajah itu belum sempat diusapnya. Bajunya masih baju yang dipakainya bertempur. 

Basah oleh keringat. Tanpa disangka-sangka orang itu, tetua kademangan Sangkal Putung, 

mengulurkan tangannya dengan hidmat kepada Agung Sedayu sambil berkata dalam, “Angger, 

kau telah membebaskan daerah kami, kampung halaman dan lumbung-lumbung kami. Apakah 

yang dapat kami lakukan untuk membalas jasa anakmas ini”. 

Sedayu menjadi bingung. Namun diulurkannya juga tangannya untuk menyambut tangan 

Demang Sangkal Putung. Terasa tangan Demang itu gemetar, dan tangannya sendiripun 

gemetar pula. Tetapi ta tidak dapat menjawab sepatah katapun. Bahkan ia menjadi semakin 

bingung ketika Demang itu berkata “Ternyata anggerpun tidak sampai hati membiarkan laki-laki 

yang berada dikademangan ini menjadi gelisah. Ternyata angger tidak mau beristirahat 

betapapun lelahnya. Bahkan angger telah hilir mudik dipendapa dan dihalaman, sehingga 

dengan demikian setiap orang yang berada dikademangan ini, baik perempuan dan anak-anak 

yang mengungsikan diri, maupun mereka yang berjaga-jaga menjadi tenang karenanya, sebab 

ada diantara mereka yang sudah mendengar, siapakah angger ini”. 

Sedayu tidak tahu, bagaimana ia harus menanggapi kata-kata Demang Sangkal Putung itu, 

sehingga dengan demikian, hampir seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringat dingin, 

melampaui keringat yang membasahi baju Ki Demang Sangkal Putung. 

Widura melihat Agung Sedayu dengan menahan senyum. Dilihatnya, betapa keadaan Agung 

Sedayu yang gelisah. Tetapi Demang Sangkal Putung itu mempunyai tanggapannya sendiri, 

katanya didalam hati “Angger Agung Sedayu benar-benar orang yang rendah hati. Meskipun 

jasanya bagi kami tak ternilai harganya, namun apabila hal itu kami sebut-sebut dihadapannya, 

agaknya tak berkenan dihatinya” 

Tetapi Widura itupun kemudian menjadi cemas. Apabila orang-orangnya dan orang-orang 

Sangkal Putung terlanjur mempunyai anggapan yang keliru terhadap Agung Sedayu, maka 

akibatnya akan dapat menyulitkan Agung Sedayu sendiri. Meskipun demikian, Widura tidak


dapat mencegah mereka. Ia sama sekali tidak mengatahui, cara yang sebaik-baiknya untuk 

menempatkan Agung Sedayu pada tempat yang sewajarnya. Bahkan Widurapun kemudian 

menjadi gelisah ketika teringat olehnya, bagaimana sikap Sidanti kepada anak itu. 

Sebentar kemudian, sampailah saatnya laskar yang lelah itu menerima makan mereka. Tidak 

saja mereka yang berempur disimpang empat Pandean, tetapi semuanya yang berada 

dikademangan itu mendapat bagiannya. 

Widurapun kemudian melihat-lihat keadaan laskarnya, melihat mereka yang dengan lahapnya 

menelan segumpal demi segumpal nasi kedalam mulutnya, namun ia melihat juga beberapa 

orang yang terpaksa disuapi karena lukanya yang parah. 

“Makanlah” bisik Widura kepada mereka yang terluka, “Makanlah banyak-banyak supaya 

lukamu lekas sembuh” 

Orang-orang yang terluka itu menjadi agak terhibur juga hatinya. Namun betapa mereka 

mencoba makan sebanyak-banyaknya, namun leher mereka serasa kering dan tersumbat. 

Meskipun menurut perhitungan Widura, laskar Tohpati itu tidak akan segera datang kembali, 

namun ia tidak mau kehilangan kewaspadaan. Ditempatkannya beberapa orang pengawas 

dluar kademangan Sangkal Putung, dan dinasehatkannya kepada setiap anak buahnya, 

supaya tidak melepaskan senjata mereka, meskipun mereka sedang beristirahat dan tidur 

dimalam hari. 

Demikianlah, malam hari itu, Agung Sedayu mendapat kehormatan untuk tidur dipringgitan 

bersama Widura, meskipun bagi Sedayu tidak disediakan sebuah amben. Namun Sedayu 

dapat tidur dengan tenteram diatas tikar pandan didekat pamannya. Malam itu Sedayu benar-

benar dapat melepaskan segenap ketegangan urat syarafnya serta benar-benar dapat 

beristirahat dengan puas. Meskipun kadang-kadang terbangun juga oleh mimpi yang 

mengejutkan. Tetapi ia kemudian tertidur kembali setelah ia melihat pamannya masih saja 

duduk disampingnya, sambil menggosok-gosok wrangka kerisnya dengan kelopak bunga 

keluwih. 

Memang malam itu Widura tidak segera dapat tidur. Ada-ada saja yang selalu mengganggu 

pikirannya. Laskar Tohpati, Agung Sedayu dan Untara. 

Tiba-tiba Widura itupun bergumam “Ah, alangkah baiknya kalau Untara itu segera berada 

ditempat ini. Disini ia dapat membantu kami apabila Tohpati itu datang kembali, dan sekaligus 

Sedayu tak menggangguku lagi” 

Widura itupun kemudian mengangguk-angguk. Ia sudah berketetapan hati, besok Sedayu akan 

dibawanya menjemput kakaknya yang luka. Mungkin di Sangkal Putung ia akan mendapat 

perawatan yang lebih baik. Dan ditempat ini, keamanannyapun akan lebih baik pula. Karena 

dalam keadaan terluka, adalah sangat berbahaya apabila dengan tiba-tiba beberapa orang 

lawannya datang mencarinya. 

Widura mengangguk-angguk seorang diri seperti api clupak yang menempel pada tiang 

pringgitan itu ditiup angin malam. Tetapi ketika ditatapnya wajah Agung Sedayu, ia menarik 

nafas. Alangkah jauh bedanya. Agung Sedayu dan Untara. Kedua-duanya adalah anak Ki 

Sadewa, dan kedua-duanya pula lahir dari ibu yang sama, kakak perempuannya, istri Ki 

Sadewa itu. “Aneh” gumamnya. Dan tanpa dikehendakinya sendiri Widura itupun hanyut 

kedalam masa lampaunya. Selagi ia masih tinggal bersama-sama kakak perempuannya itu. 

Untara adalah anak yang sulung. Ia lahir dan besar didalam alam yang bebas dan penuh gairah. 

Ia bermain-main bersama kawan-kawannya, berlomba dan kadang-kadang berkelahi diantara 

sesama kawan-kawannya. Binten, sodoran dan sebagainya. Disamping itu, anak itu dengan 

tekun mempelajari ilmu tata bela diri dari ayahnya. Bahkan kadang-kadang dibawanya Untara 

berjalan jauh. Melihat daerah-daerah yang belum pernah dikunjunginya. Kerumah sahabat-

sahabatnya. Tidak saja didaerah Demak, namun ia pernah juga berkunjung ke daerah-daerah 

yang jauh. Banten, Cirebon, Gresik dan Banyuwangi. Dari ujung sampai keujung yang lain dari 

pulau ini. Sudah banyak yang dilihatnya, dan sudah banyak pula yang didengarnya. Sudah 

tentu diperjalanan banyak pula pengalaman-pengalaman yang ditemuinya. Berkelahi dengan 

penyamun-penyamun, dengan penjahat-penjahat dan bahkan berkelahi hanya karena salah 

paham. Ayahnya adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya. Malahan kadang-kadang 

ayahnya memaksanya untuk melawan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka, sedang 

ayahnya sendiri hanya menontonnya seperti menonton adu ayam. Dan kadang-kadang


ayahnya itupun terpaksa memberikan pertolongan kepada orang-orang yang sangat 

memerlukannya. Karena itu, sejak kecil Untara telah banyak bermain-main dengan senjata. 

Sehingga akhirnya, setelah puas dengan pengembaraan, perkelahian dan pengalaman atas 

ilmu kesaktiannya, maka Ki Sadewa kemudian seakan-akan menarik diri dari pergaulan. Ia lebih 

senang merendam dirinya dirumah, bermain-main dengan anaknya yang bungsu dan bekerja 

dikebunnya. Mananam sayur-sayuran dan bunga-bungaan. 

Sedang Sedayu mengalami masa yang jauh berbeda dengan kakaknya. Ia lahir setelah ibunya 

mengalami pukulan yang berat bagi seorang ibu. Dua anaknya laki-laki yang lain, berturut-turut 

telah meninggal dunia. Betapa sedih dan cemasnya apabila hal itu akan berulang kembali. 

Apalagi didesak pula oleh keinginannya mempunyai seorang anak perempuan. Namun yang 

lahir terakhir itupun laki-laki pula. Agung Sedayu. 

Pada saat itu pula, Ki Sadewa telah menempuh cara hidup yang lain. Ia sama sekali 

menghindari setiap pertentangan yang timbul. Didalam pengembaraannya, kemudian 

ditemukannya suatu kesimpulan, bahwa tak akan dapat ditemuinya ketentraman hidup diantara 

gemerlapnya pedang dan pekik kesakitan. Diusahakannya pula mengembalikan hidupnya 

kedalam hakekatnya. Manusia lahir karena pancaran kasih Tuhan, bahkan Tuhan telah 

memberikan beberapa bagian dari sifat-sifatnya kepada manusia pula. Namun manusia 

akhirnya jatuh kedalam dosa. Dan karena itulah maka manusia dijauhkan daripadaNya. Namun 

karena Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Pengampun dan Maha Penyayang, maka apabila 

manusia bertobat, akan diampunkan dosa-dosa itu. Bertobat lahir batin, hasrat dan perbuatan. 

Maka yang dilakukan Ki Sadewa itu kemudian adalah membekali anak-anaknya dengan cinta 

itu. Kalau terpaksa mereka bertempur, maka haruslah dilandasi atas dari itu. Dasar kebaktian 

kepada sumber hidupnya dan pengabdian kepada sesama serta pengabdian kepada diri sendiri. 

Tetapi Sedayu tidak pernah mengalami masa penempaan seperti kakaknya. Ibunya tidak 

pernah melepaskannya dari sisinya. Apabila sekali-sekali Untara mengajak adiknya bermain, 

dan ditemuinya sedikit lecet dilututnya, maka Untara harus menerima akibatnya. Sedayu itu 

dipelihara oleh ibunya dengan kasih yang berlebih-lebihan. Betapa ia takut kehilangan anak 

untuk ketiga kalinya, dan betapa ia ingin mencium seorang anak perempuan. Hanya kadang-

kadang saja ibunya melepas Agung Sedayu bermain-main dengan ayahnya. Namun itupun 

mainan yang tidak berbahaya. Memanah, bandil, paser dan berburu. Tetapi tidak lebih dari 

berburu burung. Kalau Untara dapat berbangga karena ia berhasil menangkap hidup atau mati 

seekor kijang, maka Sedayu akan berbangga apabila ia telah dapat memanah seekor burung 

yang paling lincah. Sikatan. Tetapi daerah perburuan Sedayu tidak lebih dari batas pagar 

halamannya. Memang Agung Sedayu memiliki kecakapan-kecakapan yang khusus pula. Ia 

tidak saja dapat membunuh burung dengan panah, bahkan dengan lemparan-lemparan batu ia 

berhasil menangkap beberapa ekor burung. Dan ayahnya yang memiliki pengamatan yang 

tajam atas kekhususan anak-anaknya itupun telah mencoba mengembangkannya. 

Meskipun Untara, yang memandang hidup ini sebagai kancah perjuangan dalam kebaktian dan 

pengabdian, kadang-kadang dengan diam-diam mengajak adiknya untuk mempelajari ilmu-ilmu 

yang pernah ditekuninya. Dan Sedayu bukan anak yang berotak tumpul. Sedikit demi sedikit 

dikuasainya pula beberapa persoalan tata bela diri. Namun sangat terbatas. Meskipun demikian 

berkembang pula. Tetapi daerah hidupnya tak terlalu luas. Sehingga karena itulah Aung 

Sedayu memandang daerah sekitarnya sebagai daerah yang sangat berbahaya, dan 

memandang segala segi kehidupan dengan penuh kecemasan dan ketakutan. Sehingga anak 

itu benar-benar tidak mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri. 

Angan-angan Widura tentang masa lampau itupun terhenti ketika dilihatnya Agung Sedayu 

menggeliat. Ketika anak itu membuka matanya, dan dilihantnya Widura masih duduk 

disampingnya, maka terdengar ia bertanya “Mengapa paman belum tidur?” 

Widura menggeleng “Belum Sedayu” 

“Apakah masih ada bahaya yang mungkin datang malam ini?” 

Sekali lagi Widura menggeleng “Tidak, tidak ada” jawabnya. “Aku tidak biasa tidur sebelum 

lewat tengah malam” 

Sedayu tidak bertanya lagi, sebab matanya seakan-akan telah melekat. Karena itu ia segera 

tertidur kembali. 

Ketika Widura mendengar ayam jantan berkokok dipertengahan malam, segera ia bangkit.



Perlahan-lahan ia melangkah keluar dan dilihatnya sekali lagi anak buahnya yang sedang 

beristirahat. Ditengoknya pula para penjaga diregol depan. 

“Bukankah kalian tidak kantuk?” Widura bertanya kepada salah seorang dari mereka. 

“Tidak” jawab orang itu. 

“Bagus” sahut Widura, kemudian kepada yang lain ia berkata “Tugasmu tinggal sesaat lagi. 

Rombongan tengah malam kedua telah siap”. 

“Kami sudah siap menunggu” jawab mereka. 

Widura tersenyum, lalu ditinggalkannya orang-orang diregol halaman itu. Dipendapa dilihatnya 

beberapa orang masih sibuk melayani kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan ada 

diantaranya yang menggeram menahan sakit. Widura datang pula kepada mereka. Meraba 

dahi mereka dan berkata “Tenangkan hatimu. Kau akan lekas sembuh” 

Kemudian ia berjalan diantara anak buahnya yang tertidur dengan nyenyaknya karena lelah. 

Disudut dilihatnya Sidanti dengan gelisah berbaring. Agaknya lukanya terasa pedih. Tetapi 

Widura tidak menyapanya. Ia takut kalau suaranya akan mengejutkan orang-orang yang 

sedang tidur. 

Ketika ia melangkah masuk kepringgitan, dalam keremangan malam ia melihat Ki Demang 

Sangkal Putung berjalan melintasi halaman. Agaknya orang itupun belum tidur juga. Baru saat 

kemudian Widura meletakkan tubuhnya untuk beristirahat dipembaringannya. 

Malam itu serasa berjalan dengan cepatnya. Lelah, kantuk dan penat telah menenggelamkan 

laskar Widura itu kedalam pelukan tidur yang nyenyak. Dan malam itu tak diganggu oleh 

bermacam-macam ketegangan dan keributan. Sangkal Putung telah tidur dengan nyenyaknya. 

Keesokan harinya, Widura telah bersiap membawa Agung Sedayu untuk menjemput kakaknya. 

Makin cepat semakin baik. Sebab bahaya bagi Untara akan dapat datang setiap saat. 

Demikianlah Widura pagi itu segera mempersiapkan diri. Dibawanya beberapa orang anak 

buahnya serta dengan mereka. Sebab diperjalanan selalu terbuka kemungkinan mereka akan 

bertemu dengan orang-orang Jipang. Mungkin Alap-alap Jalatunda dan kawan-kawannya, 

mungkin orang-orang lain dari lungkungan laskar Tohpati. 

Setelah memberikan beberapa pesan kepada anak buahnya serta meletakkan pimpinan 

ditangan Citra Gati, maka Widura bersama Agung Sedayu beserta orang-orang yang lainpun 

segera meninggalkan Sangkal Putung. Diberinya Citra Gati ancar-ancar kemana ia akan pergi, 

sehingga apabila keadaan sedemikian memaksa maka Citra Gati harus segera mengirim orang 

untuk menjemputnya. 

Kali ini Widura dan rombongannya berjalan kearah barat. Lewat Kali Asat. Lewat daerah itu, 

maka kemungkinan yang pahit dapat dikurangi menjadi sekecil-kecilnya. 

Disepanjang perjalanan mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali. Kuda mereka melaju 

seperti sedang berlomba. Debu yang putih mengepul bergumpal-gumpal. Agung Sedayu 

melihat jalan-jalan dibawah kaki kudanya dengan jantung yang berdebar-debar. Becek dan 

berbatu-batu. Apakah jadinya seandainya pada saat ia memacu kudanya malam lusa, terjadi 

sesuatu yang tak diharapkan. Seandainya kudanya tergelincir dan terbanting jatuh? Untunglah 

bahwa ia sampai ke Sangkal Putung dengan selamat, meskipun pada saat itu, ia seakan-akan 

berpacu sambil memejamkan matanya. 

Beberapa saat kemudian mereka telah sampai dipadukuhan kecil yang tidak begitu ramai. 

Apalagi dalam keadaan yang penuh dengan kericuhan itu. Meskipun matahari telah tinggi, 

namun padukuhan itu masih sepi. Satu dua orang perempuan tampak berjalan menyeberangi 

lorong yang membelah desa mereka. Namun kemudian sepi kembali. Apalagi ketika mereka 

mendengar derap kuda memecah kesepian pagi. Maka pintu-pintu yang telah terbuka setebal 

tubuh itupun menjadi terkatub kembali. Orang-orang yang tinggal dipinggir-pinggir jalan, 

berusaha mengintip, siapakah yang sedang lewat itu. Namun tak seorangpun dari mereka yang 

mengenalnya. 

Widura melihat desa-desa yang terpencil itu dengan sedih. Laskarnya tidak cukup banyak untuk 

disebarkan dipadukuhan-padukuhan yang terpencar-pencar. Sedang rakyat didesa-desa itupun 

tak akan dapat memberikan perlawanan apapun seandainya orang-orang dalam satu 

gerombolan yang kecil sekalipun datang kepada mereka, dan memaksa mereka memberikan 

segala barang miliknya


Daerah itu dilalui dengan kesan yang khusus dihati Widura. Sebaliknya Agung Sedayu segera 

melihat tikungan dihadapan mereka. Tikungan randu alas. Tetapi kini ia tidak setakut pada 

malam lusa. Kali ini Sedayu berani mengamati pohon itu dengan jelas, meskipun terasa 

tengkuknya meremang 

Kuda mereka masih berpacu terus. Lewat tikungan randu alas, sampailah mereka dibulak yang 

panjang. Dan teringatlah ia bahwa kuda yang dipakainya itu adalah milik seseorang yang 

menamakan diri Kiai Gringsing. Karena itu dengan serta merta Agung Sedayu berkata “Diujung 

bulak inilah aku bertemu dengan Kiai Gringsing” 

“Kiai Gringsing” Widura mengulang. 

“Ya” sahut Sedayu. Setelah ia menoleh, dan dilihatnya kawan-kawannya agak jauh dibelakang, 

maka diceriterakannya serba sedikit tentang orang bertopeng, berkerudung kain gringsing dan 

menyebut dirinya Kiai Gringsing pula. 

“Aku belum pernah mendengar nama itu” gumam Widura. “Apalagi bertemu dengan orangnya” 

“Orang itu bertempur melawan Alap-alap Jalatunda seperti sedang bermain-main. Senjatanya 

adalah sebuah cambuk kuda” 

Widura mengangkat alisnya. Seseorang yang bersenjata cambuk kudapun belum pernah 

didengarnya. “Orang aneh” desisnya. “Sudah pasti nama itu bukan nama sebenarnya, dan 

senjata itu hanyalah semacam syarat saja. Orang yang demikian pasti akan dapat melawan 

musuhnya tanpa senjata apapun” 

Sedayu tidak menjawab. Dan kembali mereka terdiam. Kini mereka telah melampaui tikungan 

diujung bulak, sedang kuda mereka masih berpacu terus. 

Ketika Agung Sedayu melihat desa dihadapannya, hatinya berdebar-debar. Kalau desa itu telah 

mereka lewati, maka segera mereka akan sampai kepersawahan. Dari mulut lorong desa itu, 

sudah akan akan dapat mereka lihat dukuh Pakuwaon. Sebuah padukuhan kecil yang tak 

banyak disebut-sebut orang. Dukuh itu akan tak berarti sama sekali seandainya didalamnya 

tidak tinggal seorang tua bernama Ki Tanu Metir. 

Dengan demikian, maka hasrat Agung Sedayu untuk sampai ke padukuhan itu menjadi 

semakin menyala-nyala. Ia ingin segera melihat kakaknya, dan ia ingin segera membanggakan 

diri, tugasnya yang berat telah dapat dilaksanakannya. Dan paman Widura akan dapat menjadi 

saksi. 

Karena itu kudanya dipacu semakin cepat, sehingga Agung Sedayu beberapa langkah 

mendahului Widura. 

Akhirnya desa dihadapan mereka itupun telah dilampaui. Dan dengan dada yang berdebar-

debar mereka memasuki dukuh Pakuwon yang sepi. 

Agung Sedayu segera menuju kerumah yang pernah dilihatnya. Lewat lorong yang sempit, 

kemudian sampailah mereka disebuah halaman yang sejuk. Halaman rumah Ki Tanu Metir. 

Namun alangkah terkejutnya Agung Sedayu, ketika kesan yang mula-mula didapatnya pada 

halaman itu adalah, halaman itu kotor dan tak terurus. “Apakah halaman rumah ini memang 

sedemikian kotornya”. Daun-daun kuning yang bertebaran dan bahkan tanaman yang patah 

terinjak-injak. Apalagi ketika dilihatnya rumah Ki Tanu Metir. Pintunya menganga lebar-lebar, 

namun sepi. 

Maka Agung Sedayupun menjadi cemas. Segera ia meloncat turun dan dengan lantang 

memanggil “Ki Tanu. Ki Tanu Metir” Namun panggilan itu tak ada jawaban. Sekali, dua kali 

tetapi rumah itu tetap sepi. Ketika ia hampir saja meloncat masuk, terdengar Widura 

mencegahnya “Sedayu, jangan masuk” 

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu. 

“Kau belum tahu pasti, apa dan siapakah yang ada didalamnya” 

“Oh” dan tiba-tiba Agung Sedayupun meloncat dan berlari menjauh. 

Hatinya menjadi berdebar-debar, namun ia menjawab “Rumah ini adalah rumah Ki Tanu Metir, 

paman. Dan kakang Untara ada didalamnya” 

Namun Widura tidak menjawab. Ditebarkannya pandangannya berkeliling. Mencurigakan. 

“Kau lihat telapak-telapak kaki kuda?” bertanya Widura. 

“Ya” sahut Sedayu. “Malam lusa aku datang berkuda bersama-sama kakang Untara”


Widura mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian “Juga kebelakang rumah?” 

Agung Sedayu menggeleng. Dan diikutinya pandangan mata Widura. Dilihatnya telapak-telapak 

kaki kuda dari belakang rumah Ki Tanu. “Oh” desisnya. “Pasti ada orang lain yang datang 

kerumah ini sesudah aku” 

Widura kemudian berpaling kepada kawan-kawannya. Katanya “Lihatlah kebelakang” 

Dua orang dari merekapun segera turun dari kuda mereka, dan berjalan berhati-hati 

kebelakang rumah. Tak ada sesuatu yang mereka lihat. Dibelakang rumah itu, terdapat sebuah 

kandang kuda. Tetapi kandang kuda itu telah kosong. Dan apa yang dilihatnya itupun 

dilaporkannya kepada Widura. 

Widura mengangguk-angguk “Telapak kaki-kaki kuda itu adalah kaki-kaki kuda Ki Tanu Metir 

sendiri” gumamnya. “Tetapi kenapa tanaman-tanaman ini menjadi rusak”. Kemudian kepada 

Agung Sedayu Widura bertanya “Apakah kudamu menginjak-injak tanaman pada saat kau 

datang?” 

“Aku sangka tidak paman. Meskipun saat itu malam, namun aku tak merasakan bahwa kaki-

kaki 

kuda itu menginjak-injak tanaman” jawab Sedayu. 

Widura mengangguk-angguk. Iapun tak melihat bekas-bekas kaki kuda diantara tanaman yang 

rusak itu. Karena itu Widurapun menjadi sibuk berpikir. Perlahan-lahan ia turun dari kudanya 

dan dengan hati-hati berjalan mendekati pintu rumah Ki Tanu Metir. “Kita lihat rumah itu” 

katanya. Kepada kawan-kawannya Widura berkata “Awasi keadaan”. 

Dengan penuh kewaspadaan Widura menuju kepintu yang terbuka itu. Dengan telitinya ia 

memandang kedalam. Sepi, dan telinganyapun tidak mendengar sesuatu. “Ki Tanu” ia 

memanggil perlahan-lahan namun tak ada jawaban. Sehingga tiba-tiba Widura itu meloncat 

masuk dengan cepatnya, dan kemudian dengan seksama menebarkan pandangannya 

berkeliling. Tetapi tak dilihatnya apapun didalam rumah itu. 

“Hem” geramnya “kosong”. 

Sedayu yang selalu mengikutinyapun segera meloncat masuk pula. Yang pertama-tama 

dilihatnya adalah bantal-bantal yang berserakan diamben tengah. “Itulah” katanya. 

“Apa” Widura terkejut. 

“Bantal” jawabnya. 

“Ah” Widura menarik nafas. “Kenapa bantal?” 

“Disitulah kemarin lusa kakang Untara berbaring. Tetapi bantal itu kini telah bercerai-berai” 

jawab Sedayu dengan cemas. 

Widura mengangguk-angguk. Hatinya menjadi semakin gelisah. Apakah yang telah terjadi 

dengan Untara? Karena itu Widurapun segera memeriksa rumah itu dengan hati-hati. Sentong 

kanan dan sentong tengah. Tatapi juga tak ditemuinya sesuatu didalam sentong-sentong itu. 

Disentong kiri Widura melihat setumpuk padi berhamburan tak keruan. Ketika ia menengok 

kedalam sebuah bakul yang besar, yang biasanya untuk menyimpan padi, hatinya berdesir. Ia 

melihat noda-noda merah didalamnya. Darah yang kering. Dengan cepat Widura 

memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Agaknya Untara telah 

disembunyikan didalam bakul itu dan ditimbuni dengan padi. Tetapi padi itu telah berhambur-

hamburan dan bakul itu telah kosong. Karena itu ia menjadi semakin cemas. Namun Widura 

sama sekali tak mengatakannya kepada Sedayu, takut anak muda itu menjadi bingung dan 

mengganggu pekerjaannya. 

Ketika Widura sudah pasti bahwa didalam rumah itu tak ditemuinya sesuatu, maka iapun 

segera melangkah keluar dan diikuti oleh Agung Sedayu. Sekali lagi Widura melihat halaman 

rumah Ki Tanu Metir. Namun tak ada sesuatu yang dapat memberitahukan kepadanya, apakah 

yang kira-kira sudah terjadi. 

Ketika Widura sedang sibuk berteka teki, maka dilihatnya seseorang berjalan dilorong desa itu. 

Tetapi orang itupun segera memutar diri, ketika ia melihat beberapa orang dihalaman rumah Ki 

Tanu Metir. Tetapi Widura tak membiarkan orang itu pergi. Ia ingin mengajukan beberapa 

pertanyaan kepadanya. Mungkin orang itu tetangga dekat Ki Tanu Metir, sehingga ia dapat 

memberinya beberapa pertanyaan. Karena itu dengan bertepuk tangan Widura mencoba


memanggilnya. Tetapi orang itu sama sekali tidak mau kembali, bahkan menolehpun tidak. 

“Bawa orang itu kemari” perintah Widura kepada orang-orangna. 

Ketika orang yang berjalan menjauh itu mengetahui dua orang menyusulnya, maka iapun 

segera berlari. Tetapi kedua orang Widura itu berlari lebih cepat, sehingga orang itupun segera 

dapat disusulnya. “Kenapa kau berlari ki sanak?” bertanya salah seorang daripadanya. 

Orang itu menggigil ketakutan. Wajahnya menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Dengan penuh 

ketakutan ia menjawab “Aku….. aku tidak berlari tuan” 

“Jangan takut” berkata orang-orang Widura itu. “Kami tidak akan berbuat sesuatu. Kami hanya 

ingin bertanya sedikit kepadamu. Ikutlah” 

Orang itu tidak dapat menyangkal dan menolak. Dengan lutut gemetar ia berjalan diapit oleh 

kedua orang Widura. Sedemikian takutnya, sehingga sekali-sekali ia berjalan merunduk-runduk. 

Didalam benaknya telah terbayang, betapa punggungnya menjadi patah dan giginya akan 

rampal habis, seperti gigi Kriya yang kecil. Orang itu pernah mendengar, bahwa Kriyapun 

pernah mendapat pertanyaan dari orang yang tak dikenalnya. Akibatnya orang itu tak dapat 

bangun dari pembaringannya. 

Karena itu, maka demikian orang itu sampai dihadapan Widura dan melihat pedang Widura 

yang besar tergantung dipinggangnya, segera ia menjatuhkan diri, berlutut sambil merengek 

“Ampun tuan, aku tidak akan mengganggu pekerjaan tuan” 

Widura memandang wajah orang itu dengan heran. Bahkan kemudian ia bertanya “Kenapa ki 

sanak menjadi ketakutan?” 

“Aku tidak akan berbuat sesuatu, tuan” ulang orang itu, seakan-akan ia tidak mendengar 

pertanyaan Widura. 

Widura memandang orang itu dengan seksama. Seorang setengah umur, namun rambutnya 

telah memutih. “Aneh” katanya dalam hati. Dan tiba-tiba saja, Widura memandang daerah 

disekitarnya. Sepi. Menang jalan-jalan desa yang kecil ini tidak akan terlalu ramai dilewati orang. 

Namun sejak ia memasuki desa ini, baru seorang itulah yang dilihatnya. Dengan demikian 

Widura segera menghubungkan, halaman yang kotor, tanaman yang patah-patah, kaki-kaki 

kuda dan kesepian yang mencekam padukuhan ini. Sedang orang yang pertama-tama 

ditemuinya, bersikap aneh terhadapnya. Karena itu maka dengan perlahan-lahan dan hati-hati 

Widura bertanya “Ki Sanak. Kenapa kau menjadi ketakutan. Kami tidak akan berbuat apa-apa. 

Yang kami inginkan hanyalah beberapa keterangan tentang rumah ini” 

“Oh, ampun tuan. Ampun. Aku tidak tahu apa-apa tentang rumah ini dan desa ini” mintanya 

dengan iba. 

Widura menjadi semakin heran “Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” katanya. 

Namun orang setengah umur itu menjadi semakin ketakutan. Kriya, kemarin lusa juga 

mendapat pertanyaan-pertanyaan tentang Ki Tanu Metr, tentang tamu-tamunya. Kemudian oleh 

orang-orang yang bersenjata pedang seperti orang yang berdiri dihapannya itu, giginya telah 

dirontokkan dan bahkan punggungnya serasa akan patah. Karena itu orang setengah umur itu 

tak henti-hentinya merengek-rengek minta ampun dan belas kasihan.Widura akhirnya menjadi 

jengkel. Dengan lantangnya ia membentak “Diam!. Jawab pertanyaanku!” 

Orang itupun terdiam. Tetapi tubuhnya menggigil. Kini ia tidak berlutut lagi. Kakinya seakan-

akan menjadi terlalu lemah untuk menahan berat badannya. Karena itu ia terduduk ditanah 

dengan hati yang dicengkam kekawatiran. 

“Siapa namamu?” bertanya Widura. 

“Wangsa, tuan. Wangsa Sepi” jawab orang itu dengan gemetar. 

Nama yang aneh. Widura sempat bertanya “Kenapa Sepi?” 

Orang itu menjadi heran. Ia sendiri tidak pernah berpikir kenapa namanya Wangsa Sepi. 

Karena itu, pertanyaan Widura itu sangat membingungkannya. Maka jawabnya sekenanya “Aku 

tidak senang ramai-ramai tuan. Aku senang pada sepi” 

Widura mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya pula “Dimana rumahmu?” 

“Disebelah tuan. Berantara kebon suwung itu” jawabnya.


“Dekat” guman Widura. Karena itu ia bertanya kembali “Ki Sanak, jawablah pertanyaanku 

dengan baik, supaya aku bersikap baik juga kepadamu”. 

“Ya tuan” jawab orang yang ketakutan itu. 

Widurapun bertanya pula. Hati-hati dan perlahan-lahan supaya orang itu tidak menjadi semakin 

takut kepadanya. Katanya “Kau kenal penghuni rumah ini?” 

“Kenal tuan” jawab orang itu. 

“Namanya?” bertanya Widura. 

“Ki Tanu Metir” 

“Bagus” sahut Widura. “Nah, katakanlah ki sanak, dimanakah orang itu sekarang? Kesawah 

barangkali? Atau kesungai?” 

Orang itu menggeleng, jawabnya “Aku tidak tahu tuan” 

Widura mengangkat alisnya. Kemudian diulangnya pertanyaannya perlahan-lahan “Ki Sanak, 

kau akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku bukan? Nah, apakah kau mengetahui atau 

mendengar, kemana Ki Tanu Metir pergi?” 

Sekali lagi orang itu menggeleng, dan sekali terdengar ia menjawab “Aku tidak tahu tuan” 

Widura menjadi gelisah. Tetapi ia masih bersabar. Dengan kedua tangannya orang itu 

ditariknya berdiri. Katanya “Berdirilah ki sanak. Berdirilah. Biarlah kita dapat bercakap-cakap 

dengan baik”. 

Dengan susah payah orang itupun berusaha berdiri dan tegak diatas kedua kakinya. Namun 

lututnya masih juga gemetar. Apalagi ketika ia sadar, bahwa disekitarnya berdiri beberapa 

orang laki-laki yang berwajah keras dengan pedang dipinggang masing-masing. Meskipun 

demikian orang itu masih mendengar Widura berkata dengan sareh “Ki sanak. Aku melihat 

ketidakwajaran didesa ini. Aku juga melihat beberapa tanda-tanda yang tak menyenangkan. 

Karena itu aku datang untuk mencoba mengetahui apa yang telah terjadi untuk seterusnya 

mengambil tindakan pencegahan buat saat-saat mendatang”. 

Orang itu menjadi heran mendengarnya, kemudian ia memberanikan diri untuk bertanya 

“Siapakah tuan-tuan ini?” 

“Kami adalah laskar Pajang” jawab Widura. 

“Oh” desis orang itu. “Apakah kalian bukan kawan-kawan Alap-alap yang muda itu?” 

Widura menarik nafas. Orang itu telah menyebut nama Alalp-alap Jalatunda. Sedayupun 

terkejut pula mendengar nama itu disebutkan. Karena itu ia memotong “Apakah Alap-alap 

Jalatunda datang kemari?” 

Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Ditatapnya Widura dan Sedayu dan orang-orang lain 

berganti-ganti. 

“Jawablah” minta Widura. 

Orang itu mengangguk “Ya” katanya. “Kriya telah melihatnya bersama-sama dengan beberapa 

orang. Diantaranya bernama Plasa” 

“Plasa Ireng” sahut Widura terkejut. 

“Ya. Agaknya demikian. Aku hanya mendengar dari Kriya ketika aku menengoknya tadi pagi” 

jawab orang itu. 

Widura menarik nafas. Kemudian ia bergumam perlahan-lahan yang hanya dapat didengarnya 

sendiri “Setan Ireng itu sampai juga disini”. Maka katanya seterusnya “Apakah yang sudah 

mereka lakukan disini?” 

Wangsa Sepi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun setelah ia mengetahui bahwa orang-orang itu 

sama sekali bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatunda, hatinya menjadi agak tenang. Maka 

jawabnya kemudian “Tuan. Alap-alap Jalatunda datang bersama-sama beberapa orang 

kawannya. Mereka mencari dua orang berkuda yang datang kerumah Ki Tanu Metir”. 

Widura menjadi berdebar-debar dan dada Sedayu berguncang. Sehingga cepat-cepat ia 

bertanya “Adakah mereka diketemukan?” 

“Kami tidak tahu pasti tuan. Menurut Kriya, orang-orang itu telah memaksa Ki Tanu Metir untuk 

menunjukkan dimana salah seorang dari kedua orang itu, yang ternyata terluka, 

disembunyikan” jawabnya.


Widura mengerutkan alisnya. Sesaat ia berpikir, kemudian katanya “Dimanakah rumah Kriya 

itu?” 

“Disudut jalan itu tuan” jawab Wangsa Sepi. 

“Antarkan kami kesana. Apakah Kriya sudah dapat diajak berbicara?” 

“Sudah tuan” sahut Wangsa Sepi. 

Maka pergilah mereka, diantar oleh Wangsa Sepi kerumah Kriya. Rumah kecil beratap ilalang 

disiku jalan. Ketika mereka memasuki halaman rumah itu, yang dipagari dengan pagar bata 

setinggi dada, mereka melihat seorang perempuan berlari-lari masuk kedalamnya. 

“Siapakah orang itu?” bertanya Widura. 

“Istrinya tuan” jawab Wangsa Sepi. “Perempuan itu pasti ketakutan. Ia pasti menyangka bahwa 

orang-orang yang memukul suaminya kemarin datang kembali.” 

Widura mengangguk-angguk. Kemudian disuruhnya Wangsa Sepi mendahului, supaya mereka 

tidak menjadi semakin ketakutan. “Masukkah Ki Sanak” berkata Widura “Katakan kepadanya, 

bahwa aku bukan orang-orang yang pernah datang kemari”. 

Wangsa Sepi mengangguk. Kemudian iapun berjalan dahulu, masuk kerumah Kriya yang 

bungkik. Orang itu masih berbaring diamben. Sedang istrinya yang ketakutan berlutut 

disampingnya sambil menangis. Perempuan itu terkejut sampai berjingkat, ketika tiba-tiba 

melihat seseorang begitu saja sudah berdiri disampingnya. 

“Aku Nyai” berkata Wangsa Sepi. 

“Oh” istri Kriya itu menarik nafas, kemudian ia bertanya “Kakang, siapakah orang-orang yang 

memasuki halaman ini. Adakah mereka orang-orang yang memukuli kakang Kriya kemarin?” 

Wangsa Sepi memandangnya dengan iba. Seperti seorang pelindung yang baik ia berkata 

“Jangan takut Nyai”, kemudian kepada Kriya kecil yang terbaring diamben ia berkata “Jangan 

takut adi. Orang itu bukan kawan-kawan Alap-alap Jalatunda. Mereka ingin bertemu dengan adi, 

justru untuk mencari Alap-alap Jalatunda” 

Mata Kriya yang kecil itupun terbelalak, “Benarkah demikian?” 

“Ya” jawab Wangsa Sepi. “Karena itu jangan takut”. 

Namun mata Kriya masih memancarkan keragu-raguan hatinya. Ia sudah sedemikian ngerinya 

mengingat peristiwa dua malam yang lewat. Beberapa orang telah memukulnya berganti-ganti, 

mengancam dan menyengat-nyengat dengan ujung-ujung senjata. Tetapi apabila benar orang-

orang yang datang ini justru mencari Alap-alap Jalatunda, maka ia dapat titip kepada orang-

orang itu. Kalau ketemu, ia akan minta mereka supaya punggung merekapun dipatahkan 

seperti punggungnya. 

Maka katanya kemudian “Silakan mereka masuk”. 

Widura dan Sedayupun kemudian masuk kegubug kecil itu. Mereka melihat penderitaan yang 

dialami oleh Kriya. Beberapa luka-luka kecil dihampir seluruh tubuhnya. Wajahnya yang biru 

pengab dan sakit yang amat sangat dipunggungnya, sehingga orang itu tidak dapat bangkit dari 

pembaringannya. 

“Jangan bangun” berkata Widura, “Supaya sakitmu tidak bertambah parah”. 

Kata-kata yang pertama itu telah menyejukkan hati Kriya. Ia kini pasti, orang itu bukan kawan-

kawan Alap-alap Jalatuda. Dengan menyeringai menahan sakit ia berkata “Silakan tuan-tuan. 

Aku tidak dapat menyambut tuan-tuan dengan baik”. 

“Jangan diributkan” sahut Widura. “Aku hanya ingin beberapa keterangan. Dapatkah kau 

menceritakan, apa yang telah kau ketahui tentang Ki Tanu Metir dan Alap-alap Jalatunda?” 

Kriya yang kecil itu menggerak-gerakkan kepalanya. Kemudian ia bercerita tentang orang-orang 

yang datang mencari dua orang berkuda. Tentang Plasa Ireng dan kemudian tentang Alap-alap 

Jalatunda yang pergi menyusul yang seorang lagi. Akhirnya ia berkata “Mereka telah mencoba 

memaksa Ki Tanu Metir untuk menunjukkan orang-orang berkuda itu. Namun Ki Tanu Metir 

tidak bersedia. Akhirnya orang-orang itupun menjadi marah. Tetapi aku tidak tahu, apa yang 

terjadi seterusnya, karena tiba-tiba dadaku terasa sesak, dan aku menjadi pingsan”. 

Widura mendengarkan semuanya itu dengan dada yang berdebar-debar. Sedang Agung 

Sedayu menjadi sangat cemas. Dengan nafas yang terengah-engah ia bertanya “Jadi


kemanakah Ki Tanu Metir kemudian?” 

“Tak seorangpun yang tahu” jawab Kriya. “Namun kami menduga, bahwa Ki Tanu Metir dan 

orang yang disangka disembunyikan itu telah dibawa oleh mereka, gerombolan Plasa Ireng” 

Sedayu menjadi semakin cemas. Ditatapnya wajah pamannya yang tegang. Widura mencoba 

untuk menghubungkan keterangan-keterangan itu dengan apa yang dilihatnya. “Hem” ia 

menarik nafas. Mungkin sangkaan itu benar. Untara diketemukan didalam bakul dengan 

meninggalkan bekas-bekas darah itu. Tetapi kemanakah mereka dibawa? 

Ruangan itu untuk sejenak menjadi sepi. Namun dada merekalah yang menjadi riuh. Apalagi 

dada Agung Sedayu. Dengan penuh kecemasan ia menunggu, apakah yang akan dilakukan 

oleh pamannya. 

“Ki Sanak “ bertanya Widura kemudian “Apakah kau pernah mendengar, dimanakah orang-

orang Alap-alap Jalatunda itu tinggal?” 

Kriya menggeleng lemah. Jawabnya “Namanya itu menunjukkan tempat. Namun aku tidak 

pasti” 

Widura irupun kemudian terdiam. Tampaklah ia merenung, memandang jauh melewati lubang 

pintu. Diluar, sinar matahari dengan cerahnya bermain-main diatas daun-daun dihalaman. 

Widura telah mengetahui dengan pasti bahwa Alap-alap Jalatunda itu tidak berada di Jalatunda 

atau sekitarnya, sebab daerah itu telah lama dibersihkan dari gerombolan-gerombolan kecil 

yang kehilangan pegangan itu. Tetapi Widura sadar, bahwa orang-orang seperti Kriya kecil dan 

Wangsa Sepi itu tak akan banyak memberinya petunjuk. Ketika Widura itu berpaling, maka 

dilihatnya wajah Sedayu yang pucat dan tegang. 

“Bagaimana dengan kakang Untara paman?” terdengar ia bertanya dengan gemetar. 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba memeras otaknya. Tanaman-tanaman 

yang rusak dihalaman Ki Tanu Metir, bukan sekedar terinjak-injak kaki, bahkan kaki-kaki kuda 

sekalipun. Bekas-bekas itu adalah bekas perkelahian. Sayang Kriya saat itu menjadi pingsan, 

sehingga ia tidak dapat mengatakan siapakah yang bertempur malam itu. Ki Tanu Metir 

barangkali? Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Apakah gerombolan Plasa Ireng telah 

berbuat sedemikian kasarnya terhadap orang tua itu untuk memeras keterangannya sehingga 

halaman itu menjadi rusak? Plasa Ireng tak akan memerlukan hampir separo halaman untuk 

keperluan itu. Namun Widura juga tidak dapat mengambil kesimpulan bahwa Untara telah 

mampu mempertahankan dirinya dan bertempur melawan Plasa Ireng. Kalau terpaksa terjadi 

perkelahian diantara mereka, sedang Untara dalam keadaan parah, maka harapan untuk dapat 

bertemu kembali dengan Untara adalah sangat kecil. Demikian juga agaknya, apabila Plasa 

Ireng itu berhasil menemukan Untara didalam persembunyiannya. Karena itu maka Widurapun 

menjadi gelisah dan cemas. 

Widura tidak segera membuat kesimpulan yang mendebarkan jantungnya, meskipun itulah 

kemungkinan yang terbesar terjadi atas Untara. “Mudah-mudahan Untara tidak mati muda” 

Widura berkata didalam hatinya. “Namun kalau terpaksa terjadi demikian, maka anak itu telah 

gugur dalam pelukan kewajibannya bersama dengan seorang dukun tua. Bahkan Kriya yang 

tak mengerti ujung pangkal dari perselisihan antara Pajang dan Jipang itupun harus menderita 

karenanya” 

Sedayu yang menunggu jawaban pamannya itu masih saja berdiam diri. Mengangguk-angguk 

dan menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Karena itu ia mendesak 

“Bagaimanakah dengan kakang Untara itu paman?” 

“Aku belum dapat mengambil kesimpulan apa-apa Sedayu” jawab pamannya. 

Sedayu menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak bertanya lagi. 

Sejenak kemudian Widura itupun berkata “Ki Sanak, aku tidak perlu terlalu lama disini. 

Barangkali aku kelak mendengar keterangan tentang Ki Tanu Metir. Baiklah kini aku mencoba 

mencari bekas-bekasnya disekitar padukuhan ini”.


Agung Sedayu menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau pamannya akan mencari kakaknya, 

apakah itu tudak akan terlalu berbahaya. 

Karena dengan tergesa-gesa ia berkata, “Apakah daerah sekitar pedukuhan ini tidak berbahaya 

paman?” 

Widura berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Berbahaya atau tidak, tetapi adalah menjadi 

kewajibanku untuk mencari keterangan tentang Untara”. 

“Tetapi, bagaimanakah kalau tiba-tiba paman disergap oleh Alap-alap jalatunda?”, bertanya 

Sedayu. 

“Sedayu. Alap-alap jalatunda itu tidak seberbahaya Macan Kepatihan. Mudah-mudahan aku 

dapat mengatasinya apabila kita bertemu” jawab Widura membesarkan hati anak itu. 

“Tetapi ia tidak sendiri. Mungkin dengan yang paman sebut Plasa Ireng atau yang lain-lain” 

desak Sedayu. 

“Bukankah aku tidak sendiri?” 

“Paman hanya membawa beberapa orang. Mungkin Alap-alap Jalatunda itu berenam, sepuluh 

atau bahkan satu pasukan” 

“Diantara kita ada kau, Sedayu” 

“Ah” Sedayu mengeluh. 

Widurapun mengeluh didalam hati. Anak itu sama sekali tidak membantunya, bahkan ia dapat 

merupakan tanggungan yang terlalu berat. Karena itu pula, maka Untara yang perkasa 

terpaksa terluka dipundaknya. “Untara pasti sedang melindungi anak ini” pikir Widura. “Kalau 

tidak, apakah empat orang yang dipimpin oleh Pande Besi Sendang Gabus itu melukainya?” 

Tetapi Widura tidak akan dapat melepaskan Agung Sedayu. Ia adalah kemenakannya. Dan 

betapapun anak ini pernah berjasa bagi Sangkal Putung yang dibebankan kepadanya. 

Meskipun demikian Widura mempertimbangkan pula pendapatnya. Tanpa disengajanya, sekali 

lagi ia melihat akibat kekasaran Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda. Kriya yang lemah itu kini 

masih berbaring dipembaringannya. Namun tiba-tiba pula ia menjadi heran. Luka itu terlalu 

berat. Namun penderitaan orang itu agaknya telah jauh berkurang. Karena itu tiba-tiba ia 

bertanya “Ki Sanak, apakah luka-lukamu tak pernah diobati?” 

“Pernah tuan” jawab Kriya sambil menyeringai. 

“Bukankah biasanya Ki Tanu Metirlah yang memberi obat kepada orang-orang sakit? Dan 

sekarang orang itu telah tidak ada dirumahnya” bertanya Widura. 

“Ya” jawab Kriya. “Tetapi semalam datang pula orang yang mencari Ki Tanu Metir. Orang yang 

sudah sangat tua. Katanya ia adalah sahabat Ki Tanu Metir. Seorang dukun pula. Dan 

diberinya aku obat” 

Oh” Widura mengangguk-angguk. “Siapakah namanya?”


Kriya menggeleng. Jawabnya “Ketika aku bertanya namanya, orang itu menjadi bingung. 

Akhirnya ia menjawab sambil menunjukkan kain yang dipakainya. Kiai Gringsing” 

Widura terkejut mendengar jawaban itu. Apalagi Agung Sedayu. Dengan serta merta ia 

bertanya “Adakah Kiai Gringsing itu bertopeng?” 

Sekali lagi Kriya menggeleng “Tidak” jawabnya. “Namun wajahnya aneh juga. Berkeriput dan 

dipakainya pilus didahinya. Aku takut kalau bertemu dengan orang itu dimalam hari seorang 

diri”. 

Widura mengerutkan keningnya. Keterangan itu sangat menarik perhatiannya. Karena itu maka 

ia bertanya pula “Apakah yang dilakukan oleh orang itu kemudian?” 

“Tidak apa-apa” jawab Kriya “Setelah diketahuinya bahwa rumah sahabatnya kosong, dan 

diberinya aku obat, maka iapun segera pergi. Katanya, ia takut kalau-kalau orang yang mencari 

Ki Tanu Metir lusa kembali dan menangkapnya pula” 

“Tanu Metir ditangkap dalam hubungannya dengan orang yang disembunyikan” sahut Widura. 

“Mungkin” jawab Kriya. “Tetapi orang tua itu berkata bahwa laskar kedua pihak yang sedang 

memerlukan dukun-dukun untuk mengobati kawan-kawan mereka yang terluka. Mungkin Ki 

Tanu Metir telah mereka bawa untuk keperluan itu” 

Widura menarik keningnya. Keterangan itu masuk akan juga. Tetapi cerita tentang Kiai 

Gringsing itu mungkin ada juga gunanya, maka Widura itupun berkata “Apakah kau melihat 

tanda-tanda yang aneh pada orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing?” 

“Tidak” sahut Kriya. “Selain bahwa orang itu telah terlalu tua. Agak bongkok” 

“Adakah kau tanyakan rumahnya?” 

“Ya. Tetapi tak diberitahukannya. Katanya, apabila Ki Tanu Metir sudah pulang, maka ia sudah 

tahu, siapakah dirinya” 

Widura menarik nafas. Tak ada yang dapat diketahui tentang Kiai Gringsing. Namun ia 

mendapat suatu kesimpulan, bahwa Kiai Gringsing benar-benar orang yang tak mau dikenal. 

Agung Sedayu pernah bertemu dengan orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Belum 

terlalu tua dan bertopeng atau lebih tepat hanya sebuah tutup muka dengan tiga buah lubang, 

diarah mata dan hidungnya. Bahkan dengan seenaknya, bersenjata cambuk kuda orang itu 

dapat mengalahkan Alap-alap Jalatunda. Sedang orang yang menamakan Kiai Gringsing pula, 

datang kepada Kriya. Orang itu telah terlalu tua, bongkok. Tetapi satu hal yang dapat ditarik 

persamaan dari keduanya, wajah keduanya bukanlah wajah aslinya. Yang datang kepada Kriya 

itupun berwajah aneh dan menakutkan, bahkan memakai pilis didahinya. Bukankah itu juga 

suatu usaha untuk menyembunyikan diri? 

Tetapi Widura tidak mau tenggelam dalam persoalan orang yang tak dikenalnya. Baginya, 

Untara lebih penting dari orang yang menamakan diri Kiai Gringsing itu. Karena itu maka sekali 

lagi ia minta diri “Terima kasih atas semua keteranganmu, ki sanak” berkata Widura kepada 

Kriya, kemudian kepada Wangsa Sepi “Ki sanak, ingat-ingatlah apa yang terjadi kemudian. 

Mungkin aku akan datang kembali beberapa hari yang akan datang. Mungkin ada hal-hal yang 

dapat memberi penjelasan atas hilangnya Ki Tanu Metir”


“Baiklah tuan” jawab Wangsa Sepi sambil mengangguk. 

Widura, Agung Sedayu dan kawan-kawannya yang menunggu diluar segera meninggalkan 

rumah Kriya Bungkik. Mereka kembali kehalaman rumah Ki Tanu Metir. Dengan hati-hati 

Widura meneliti bekas-bekas kaki kuda dihalaman itu. Kemudian katanya “Kita coba mengikuti 

bekas-bekas kaki kuda Ki Tanu Metir. Mungkin kuda itu dipakai oleh orang-orang yang 

mengambilnya” 

Kembali Agung Sedayu menjadi gelisah. Katanya berbisik “Bagaimanakah kalau kita akan 

sampai kesarang Alap-alap Jalatunda itu?” 

“Suatu kebetulan” sahut Widura. “Segera kita akan tahu, bagaimanakah nasib Untara dan Ki 

Tanu Metir” 

“Tetapi bagaimanakah dengan nasib kita sendiri?” 

Widura menarik nafas, katanya “Lalu apakah yang sebaiknya kita lakukan? Apakah kita biarkan 

saja Untara hilang?” 

“Tidak” jawab Sedayu. “Kita harus mencari kakang Untara. Tetapi apakah kita tidak kembali ke 

Sangkal Putung dahulu, dan paman membawa laskar lebih banyak lagi?” 

“Kita akan banyak kehilangan waktu Sedayu” jawab pamannya. “Sedang laskarkupun sangat 

terbatas. Kalau sebagian dari mereka meninggalkan tempatnya, bagaimanakah jadinya 

Sangkal Putung itu, apabila Tohpati datang kembali siang ini?” 

Seayupun terdiam. Namun hatinya tidak tentram. Di Sangkal Putung ia takut apabila Tohpati 

datang kembali. Mengikuti pamannya ia cemas apabila mereka bertemu dengan Alap-alap 

Jalatunda. Namun ia tidak dapat menentukan pilihan. Karena itu ia harus ikut saja kemana 

pamannya pergi. 

Widura kemudian seakan-akan tidak memperhatikan Agung Sedayu lagi. Dengan penuh minat 

ia melihat telapak-telapak kaki kuda dihalaman itu. Kemudian dipanggilnya kawan-kawannya 

mendekat, dan terdengar ia berkata “Kita ikuti telapak kaki-kaki kuda ini” 

Kawan-kawannyapun memperhatikan telapak itu dengan seksama. Mereka harus berusaha 

membedakan dengan telapak kaki yang lain. Apabila mungkin, maka mereka akan dapat 

mengikuti kemana kuda itu pergi. “Mudah-mudahan kita menemukan tempatnya” gumam 

Widura. Sedang Agung Sedayu menjadi berdebar-debar mendengarnya. 

Sejenak kemudian, merekapun telah siap diatas punggung kuda masing-masing. Perlahan-

lahan mereka berjalan menyusur jalan desa yang sempit sambil memperhatikan jalan dibawah 

kaki-kaki kuda mereka, supaya mereka tidak kehilangan jejak. 

“Tiga ekor kuda” geram Widura. 

“Ya” sahut kawannya. Selain itu mereka masih melihat telapak-telapak kaki yang lain. Namun 

telapak-telapak kaki itu mengarah kearah yang berlawanan. Diantaranya telapak-telapak kaki 

kuda mereka sendiri pada saat mereka memasuki desa itu. 

“Dua diantaranya adalah telapak kaki kuda Sedayu dan Alap-alap Jalatunda yang menyusulnya 

ke Sangkal Putung” gumam Widura. “Apabila ada salah satu daripadanya memisahkan diri dari


jalan ini, maka kuda itulah yang telah dipergunakan Plasa Ireng atau salah seorang 

daripadanya. Dan kita akan mengikuti arahnya” 

Kawan-kawannya itupun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun didalam hati 

mereka terbersit pula rasa kawatir. Apabila mereka benar-benar sampai disarang Alap-alap itu, 

maka pekerjaannya tidak akan kalah beratnya dengan menyongsong kehadiran laskar Tohpati 

di Sangkal Putung. Mungkin mereka akan menghadapi lawan yang berlipat. Namun hati mereka 

menjadi tenteram ketika mereka melihat kedua orang yang berkuda didepan mereka. Widura 

dan adik Untara. “Mereka berdua tak akan terkalahkan” gumam mereka didalam hati. 

Karena itu mereka menjadi tenteram. Meskipun demikian sekali-sekali mereka meraba hulu-

hulu pedang mereka, seakan-akan mereka sedang bersepakat dengan senjata-senjata mereka, 

bahwa mereka akan menempuh suatu perjuangan yang berat. 

Disepanjang jalan hampir mereka tidak bercakap-cakap. Mereka sedang sibuk memperhatikan 

bekas-bekas kaki kuda dibawah mereka. Hanya Agung Sedayulah yang kadang-kadang 

menarik nafas panjang untuk mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Sebenarnya 

ingin juga ia segera mengetahui nasib kakaknya, namun ia cemas apabila dibayangkannya 

orang-orang yang kasar dan keras menghadang ditengah-tengah jalan dengan senjata-senjata 

dilambung. Meskipun demikian ia tidak berkata sepatah katapun. Ketika ia menoleh, dilihatnya 

orang-orang yang berkuda dibelakangnya, sama sekali tidak menunjukkan kecemasan mereka. 

Bahkan ketika mereka melihat Agung Sedayu menoleh kepada mereka, hampir bersamaan 

mereka tersenyum dan menganggukkan kepala mereka. Agung Sedayupun mengangguk. 

Tetapi ia tidak tahu, kenapa orang-orang itu mengangguk kepadanya, dan ia juga tidak tahu, 

kenapa ia mengangguk pula. 

Semakin jauh mereka dari pedukuhan Pakuwon, hati Widura menjadi semakin heran. Telapak 

kaki kuda itu tidak terpisah. Ketiganya menuju Sangkal Putung. “Aneh” desis Widura. “Apakah 

salah seorang dari anak buah Plasa Ireng itu pergi juga ke Sangkal Putung selain Alap-alap 

Jalatunda?” Namun Widura tidak dapat menjawab pertanyaan itu. 

Demikianlah mereka tetap mengikuti jejak-jejak itu. Tetapi mereka tak menemukan titik 

perpisahan dari jejak-jejak itu. Bahkan akhirnya mereka sampai juga di Bulak Dawa. Dan jejak-

jejak itu masih mengikuti jalan terus ke Sangkal Putung. 

Widura juga sedang mempertimbangkan setiap kemungkinan itu menggeleng-gelengkan 

kepalanya. “Apakah kita tidak keliru?” gumamnya. 

“Apa yang keliru paman?” bertanya Agung Sedayu. 

Sekali lagi Widura memandangi jejak-jejak kaki kuda yang sudah tidak begitu jelas lagi. 

“Apakah ada jejak-jejak lain yang sudah terhapus?” gumamnya. 

Agung Sedayu tidak menjawab. Dan ketika kawan-kawan mereka itu telah dekat benar dengan 

Widura, Widurapun bertanya kepada mereka “Adakah kalian melihat salah satu diantaranya 

memisahkan diri?” 

Orang-orang itu menggeleng. “Tidak” jawab salah seorang dari mereka. “Kami telah mencoba 

mengawasi dengan seksama setiap simpangan. Entahlah kalau jejak-jejak itu telah tidak dapat 

dilihat lagi” 

Widura mengangguk-angguk. Namun jalan yang sepi itu, agaknya belum banyak dilalui orang. 

Apalagi kuda atau gerobag. Maka katanya “Kita ikuti jejak itu untuk seterusnya. Kalau kita tidak



menemukan sesuatu, kita kembali ke Sangkal Putung. Lain kali aku akan mencarinya”. 

Ketiga orang itupun mengangguk, dan Sedayupun menjadi agak berlega hati. Namun meskipun 

demikian, ia selalu cemas akan nasib kakaknya. Satu-satunya saudaranya, yang selama ini, 

bahkan sejak kecil selalu menjaganya dan melindunginya dengan baik. 

Pada saat-saat dirinya mengalami kesulitan yang paling kecil sekalipun maka kakaknya selalu 

datang menolongnya. Bahkan kakaknya itu telah banyak sekali mengorbankan kepentingannya 

sendiri untuknya. 

Kini kakaknya itu mengalami bencana. Apakah yang dapat dilakukannya? Jiwa Agung Sedayu 

itupun menjadi bergolak. Ingin juga ia datang berkuda menerobos masuk kedalam sarang 

orang-orang yang mungkin menculik kakaknya dengan pedang terhunus ditangan. Ingin ia 

menolong dan menyelamatkannya. Tetapi kemudian Agung Sedayu hanya dapat menggigit 

bibirnya. Tak ada keberanian untuk melakukannya. Dan disadarinya bahwa apa yang dapat 

dilakukan hanyalah berangan-angan. 

Mereka masih saja berkuda mengikuti jalan ke Sangkal Putung. Meskipun tidak sendiri, namun 

bulu-bulu Agung Sedayu meremang juga ketika mereka lewat dibawah randu alas yang besar 

ditikungan. Setiap kali ia melihat pohon randu alas itu setiap kali ia teringat cerita tentang 

genderuwo bermata satu. 

Tetapi Widura sama sekali tidak mempedulikan cerita itu. Ia masih sibuk mencoba mengurai 

keanehan yang dihadapinya. Telapak-telapak itu benar-benar menuju ke Sangkal Putung. 

Tetapi sampai sekian jauh belum juga menemukan jawaban. Apalagi ketika mereka kemudian 

sampai pada daerah yang berbatu-batu. Telapak-telapak kaki kuda itu seakan-akan lenyap 

dijilat hantu. Karena itu, Widura menjadi semakin cemas. Tetapi tak ada hal-hal yang dapat 

memberinya petunjuk. 

Maka dengan kecemasan yang mencengkam dadanya, akhirnya Widura terpaksa membawa 

rombongannya kembali ke Sangkal Putung. Meskipun demikian Widura itu menggeram “Suatu 

ketika aku harus menemukan jawaban atas hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir” 

Agung Sedayu hanya dapat menundukkan wajahnya. Tetapi matanya menjadi panas, dan 

dijantungnya seperti akan pecah. Tetapi tidak lebih daripada itu. Agung Sedayu tidak dapat 

berbuat apapun selain meratap dengan sedihnya. 

Ketika mereka sampai dihalaman kademangan, beberapa orang datang menyongsong mereka. 

Citra Gati, Hudaya, Sidanti, Swandaru dan beberapa orang lain. Sebelum Widura masuk 

kepringgitan, berbagai-bagai pertanyaan harus dijawabnya. Dan orang-orang itupun menjadi 

kecewa pula. Mereka mengharap Untara ada diantara mereka, namun ternyata orang itu telah 

lenyap. 

Hanya Sidantilah yang sama sekali tidak menaruh minat akan hilangnya Untara. “Biarlah anak 

itu hilang. Dan biarlah orang-orang di Sangkal Putung menyadari, bahwa bukan Untaralah 

orang yang paling sakti diantara kita. Tohpati itu tidak terpaut banyak denganku. Apabila guru 

datang kemari, aku akan mendapat petunjuk bagaimana harus mengalahkannya” katanya 

didalam hati. 

Tetapi ketika terlihat pula olehnya Sedayu, Sidanti mengangkat alisnya. Dan hatinya berkata 

pula “Apakah anak ini benar-benar dapat, setidak-tidaknya mendekati kesaktian Untara?” 

Sindanti menarik bibirnya kesisi. Kemudian ia berjalan disamping pendapa dan sama sekali tak 

mengacuhkan lagi, apakah yang terjadi di dukuh Pakuwon.


Disamping pendapa Sidanti berhenti. Dilihatnya Sekar Mirah berjalan kearahnya. “Siapa yang 

datang?” gadis itu bertanya. 

“Kakang Widura” jawab Sidanti. 

“Dengan anak muda yang bernama Agung Sedayu, adik Untara?” bertanya Sekar Mirah pula. 

Sidanti menarik alisnya. Katanya “Ya, tetapi apakah kau mempunyai kepentingan dengan anak 

itu?” 

“Tidak. Tetapi aku ingin melihatnya. Menurut ayah, anak itulah yang telah menyelamatkan 

Sangkal Putung”. 

“Omong kosong” sahut Sidanti. “Apa yang telah dilakukannya? Ia hanya datang atas nama 

kakaknya, mengabarkan bahwa laskar Tohpati akan datang. Selebihnya tidak. Akulah yang 

terluka oleh senjata Tohpati itu. Aku tidak yakin, kalau Agung Sedayu dapat menyelamatkan 

hidupnya seandainya ia harus menghadapi Macan Kepatihan itu” 

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi matanya dengan nanar menyapu pendapa rumahnya. 

Namun yang dicarinya telah tidak tampak lagi. Widura dan Agung Sedayu telah masuk ke 

pringgitan. Dipringgitan, demang Sangkal Putung telah duduk menunggunya. 

“Marilah adi” Ki Demang mempersilakan. 

Kemudian merekapun duduk melingkar diatas tikar pandan yang putih. Widura sekali lagi 

megulangi, apa yang dilihatnya di dukuh Pakuwon. Sambil menggelengkan kepalanya ia 

berkata “Aku tidak berhasil menemukannya” 

Demang Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sayang” desisnya. 

Ruangan itu sejenak menjadi sepi. Masing-masing tenggelam didalam angan-angannya. 

Kadang-kadang Sedayu masih mendengar, pamannya menggeram menahan perasaan kecewa 

yang merayapi dadanya. Kecewa atas hilangnya Untara dan Ki Tanu Metir, dan kecewa akan 

kemenakannya yang seorang lagi. Agung Sedayu. Banyak persoalan yang akan dihadapinya. 

Tohpati yang pasti tak akan melepaskan Sangkal Putung, Untara dan Ki Tanu Metir yang harus 

diketemukan hidup atau mati, dan Agung Sedayu dilingkungan anak buahnya. Widura yang 

telah banyak menghayati berbagai pengalaman, melihat, betapa Sidanti dengan tidak disangka-

sangka menempatkan sebuah persoalan dengan kemenakannya itu. Tanggapannya yang 

kurang menyenangkan dan harga dirinya yang berlebih-lebihan. 

Sedang apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu tidak lebih daripada meratap dan berangan-

angan. Ia sama sekali tidak berusaha untuk melindungi dirinya sendiri. 

Sekar Mirah, ketika tidak berhasil melihat orang yang dicarinya, kemudian berlari kebelakanng. 

Ketika ia masuk kedapur dilihatnya seorang pembantunya siap mengantarkan mangkuk-

mangkuk minuman ke pringgitan. Maka dengan serta merta gadis itu merebutnya sambil 

berkata “Biarlah aku yang mengantarkan.” 

Pembantunya tidak dapat menolaknya. Sehingga kemudian Sekar Mirah sendirilah yang 

mengantarkan minuman itu. Dan dengan demikian gadis itu berhasil melihat anak muda yang 

bernama Agung Sedayu dengan jelas.


Agung Sedayu yang selalu menundukkan wajahnya, tak menyadarinya, bahwa seseorang telah 

mengawasinya dengan cermat. Sekar Mirah yang kemudian meninggalkan pringgitan, masih 

selalu menatap wajah anak muda itu dari balik pintu. 

“Nama yang baik” desis Sekat Mirah. Dan tiba-tiba gadis itu terkejut ketika seseorang menepuk 

pundaknya. 

“Ah” desisnya “Kau mengejutkan aku Kakang Sidanti.” 

“Apakah yang kau intip?” bertanya Sidanti. 

“Ayah” jawab Sekar Mirah tergagap 

“Kenapa dengan Ki Demang?” desak anak muda itu. 

“Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu, kenapa ia mengeluh” sahut Sekar Mirah, yang kemudian 

ganti bertanya “Apa kerjamu disini?” 

“Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu, kenapa kau mengintip” jawab Sidanti sambil tersenyum. 

“Ah” desis Sekar Mirah “Keluarlah. Kau mengganggu aku disini.” 

Sidanti menggeleng. Jawabnya “Marilah kita keluar bersama-sama.” 

Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi ia melangkah pergi ke halaman belakang. 

Sedang Sidanti mengikutinya dibelakang. 

“Apakah kau sudah melihat anak itu?” bertanya Sidanti kemudian. 

“Ya” jawab Sekar Mirah “Baru sekarang aku melihatnya dengan jelas. Anak itu datang lewat 

tengah malam. Dan kemarin hampir sehari penuh aku membantu didapur. Baru kemarin sore 

aku mendengar nama itu. Nama yang bagus.” Sekar Mirah berhenti sejenak ketika ia melihat 

dahi Sidanti mengkerut, kemudian ia meneruskan “Seperti namamu.” 

Sidanti tersenyum. Namun senyumnya terasa hambar. Meskipun demikian ia berdiam diri, 

sehingga Sekar Mirah berkata terus “Tadi pagi aku melihatnya. Ketika hampir setiap orang 

menyebut namanya karena keberanian dan ketangkasannya, baru aku ingin melihat wajahnya. 

Dan wajahnyapun baik sebaik namanya.” 

Sekali lagi sidanti mengerutkan keningnya. Sahutnya “Huh, wajah itu tak akan langgeng. Lihat, 

hampir setiap wajah laki-laki disini pasti ditandai goresan-goresan luka. Hudaya dikening dan 

pipinya. Citra Gati dibelakang telinga kiri dan hidungnya. Sonya dipelipis kanan dan dahinya. 

Patra dibahunya. Belum lagi yang tertutup oleh pakaian-pakaian mereka. Bahkan Sendawa 

telah kehilangan sebelah matanya”. 

Hampir segenap bulu Sekar Mirah berdiri “Ngeri” katanya. “Dan apakah pasti bahwa setiap 

waah akan terluka. Wajahmu juga?” 

“Itulah sebabnya aku berusaha untuk dapat melindungi tubuhnya dengan kesaktian. Meskipun


demikian pundakku telah terluka. Untunglah tidak seberapa. Lalu, apalah kau sangka bahwa 

Sedayu itu mampu melindungi wajahnya yang tampan itu? Lihat, kalau sekali lagi Tohpati 

datang, pasti anak itu akan melawannya. Aku berani bertaruh, bahwa ia akan menjadi cacat” 

Sekar Mirah mendengar kata-kata Sidanti dengan hati yang cemas. Benarlah seperti apa yang 

dilihatnya, hampir setiap laki-laki dipendapa rumahnya menderita cacat ditubuhnya, meskipun 

hanya goresan-goresan dikulitnya. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya “Apakah kalau orang 

yang menyebut dirinya Tohpati itu datang kembali, Agung Sedayu harus melawannya?” 

“Itu adalah kehendaknya sendiri. Ia ingin menunjukkan kepada kita disini, bahwa kita disini 

adalah orang-orang yang tidak berarti baginya. Ternyata, kemarin ketika aku minta untuk 

menghadapi Macan Kepatihan itu, maka Sedayu menjadi sakit hati”. 

Kini Sekar Mirah tidak bertanya-tanya lagi. Bahkan ia berkata “Kembalilah kepada kawan-

kawanmu. Aku akan membantu orang-orang yang bekerja didapur”. 

“Sekehendakmulah” sahut Sidanti. “Dan sekehendakkulah, apabila aku ingin tinggal disini” 

“Ini rumahku” bantah Sekar Mirah sambil bertolak pinggang. Sidanti tertawa. Katanya “Baiklah. 

Aku harap bahwa aku akan tinggal dirumah ini pula” 

“Huh” jawan Sekar Mirah sambil mencibirkan bibirnya. “Apakah hakmu” 

“Tidak ada” sahut Sidanti. 

Sekar Mirah tidak berkata-kata lagi. Cepat-cepat ia pergi meninggalkan Sidanti dan menuju 

kedapur. Sidanti mengawasi gadis itu sampai hilang dibalik pintu. Tetapi tiba-tiba saja anak 

muda itu menarik keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia bergumam “Sedayu harus 

disingkirkan dari rumah ini. Lebih cepat lebih baik. Tetapi aku tak punya alasan untuk 

melakukannya. Mudah-mudahan Tohpati segera datang kembali. Aku ingin melihat, apakah aku 

berada dibawahnya atau setidak-tidaknya menyamainya”. Sidanti menarik nafas, dan terdengar 

bergumam terus “Sayang ia kemenakan kakang Widura. Tetapi kakang Widura itu sendiri tidak 

lebih daripada aku”. 

Sidanti itupun kemudian berlahan-lahan melangkah pergi. Ia berjalan melingkari gandok wetan, 

kemudian sampailah ia disisi pendapa. Dilihatnya beberapa orang kawannya sedang berbaring 

dengan nyamannya dibawah pohon sawo. Tetapi ia tidak pergi kesana. Anak muda itu 

langsung naik kependapa, berjalan kesudut dan diraihnya senjatanya yang terbungkus kain 

putih dan tersangkut didinding. Kemudian sambil duduk disudut pendapa itu, Sidanti 

menggosok tangkai senjatanya dengan angkup keluwih. Hati-hati seperti seorang pemuda 

membelai rambut kekasihnya. 

Demikianlah maka sejak hari itu Agung Sedayu mencoba bergaul dengan anak buah Widura. 

Beberapa orang bersikap sedemikian homat kepadanya, sehingga Agung Sedayu menjadi 

sangat canggung karenanya. Hanya Sidanti sajalah yang bersikap acuh tak acuh kepada anak 

muda itu. Sekali-sekali ia bertanya juga, namun kemudian lebih baik ia membelai neggalanya, 

Kiai Muncar, daripada bergaul dengan Agung Sedayu. Apalagi sikap canggung Agung Sedayu 

benar-benar tak menyenangkannya. Sikap itu dirasakan oleh Sidanti sebagai sikap yang 

sombong. 

Sore itu ketika Agung Sedayu pergi keperigi dibalakang rumah, dijumpainya Sekar Mirah 

sedang menjinjing kelenting. Gadis itu terkejut dan berdebar-debar. Dengan hormatnya ia


menyapa “Selamat sore tuan”. 

Agung Sedayu mengangguk pula sambil menjawab singkat “Selamat sore”. Tetapi kemudian ia 

berjalan terus. 

Sekar Mirah mengawasinya pada punggungnya. Sekali ia menarik nafas, sambil bergumam 

“Benar juga kata orang, anak muda itu sangat pendiam”. 

Meskipun demikian Sekar Mirah yang baru saja melihat Sedayu itu, mempunyai kesan yang 

aneh. Gadis itu, sebelumnya senang bergaul dengan Sidanti, karena tidak ada orang lain yang 

lebih sesuai dengan dirinya dalam pergaulannya selain anak itu. Namun tak pernah ia 

merasakan sesuatu yang mendebarkan jantungnya. Setiap hari ia bertemu, bercakap bahkan 

bergurau dengan Sidanti. Bahkan pernah juga Sekar Mirah bertanya-tanya kepada dirinya, 

apakah Sidanti itu benar-benar menarik hatinya. Namun ia tak pernah menemukan jawaban. 

“Kenapa aku ributkan anak muda itu” katanya didalam hati. “Biarlah ia berbuat sesuka hatinya. 

Pendiam, pemurung atau apa saja”. Dan Sekar Mirah kemudian mencoba melupakan kesan itu 

sedapat-dapatnya. 

Pada malam itu, setelah kademangan Sangkal Putung menjadi sepi, maka Widura yang belum 

juga tertidur, membangunkan Agung Sedayu perlahan-lahan. Ada sesuatu yang akan 

disampaikan kepada kemenakannya. Sesuatu yang tak boleh diketahui oleh orang lain. Sikap 

anak buahnya kepada Agung Sedayu, sejak permulaan telah keliru. Dengan demikian 

kedudukan Agung Sedayu benar-benar dalam kesulitan. Mereka menganggap Agung Sedayu, 

adik Untara itu, setidak-tidaknya akan dapat menentramkan hati mereka, apabila Tohpati 

datang kembali. Karena itu, apabila benar demikian, apakah jadinya Agung Sedayu itu? 

Sebelum ia bertemu dengan Macan Kepatihan ia pasti sudah mati ketakutan. 

Ketika Agung Sedayu membuka matanya, maka dilihatnya pamannya duduk disampingnya. 

Sambil menggosok matanya, Agung Sedayu bangkit duduk dimuka pamannya. 

“Sedayu” bisik Widura, “Marilah ikut aku”. 

“Kemana paman?” bertanya Sedayu terkejut. 

“Marilah. Setiap malam aku berkeliling kademangan, melihat gardu-gardu peronda”. 

“Apakah paman ingin aku ikut berkeliling?” Sedayu menjelaskan. 

Widura mengangguk, “Ya, kita berdua”. 

“Berdua?” Sedayu semakin terkejut. 

“Jangan takut Sedayu. Kita berada dalam lingkaran kita sendiri. Penjagaan di kademangan ini 

sedemikian ketatnya, sehingga seorang asingpun tak akan dapat memasuki”. 

“Kalau demikian, apa gunanya paman berkeliling?” 

“Melihat, apakah tugas-tugas itu dilakukan dengan baik. Kalau tidak, jangankan seorang, 

bahkan seluruh laskar Tohpati akan dapat masuk tanpa kita ketahui”.


Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Apakah sebabnya pamannya membawanya serta. 

Pekerjaan itu sama sekali tidak menarik hatinya. Dalam malam yanag sedemikian gelapnya, 

berjalan menyusuri jalan-jalan desa, jalan-jalan yang sempit dan sunyi. Apalagi setiap saat 

mereka akan dapat berjumpa dengan bahaya. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menolak 

ajakan itu. Dengan hati yang berat, ia menggeliat, kemudian berdiri dan membenahi 

pakaiannya. 

“Bawalah kerismu, Sedayu” kata pamannya. 

Agung Sedayu terkejut. Teringatlah ia kepada kakaknya. Pada saat mereka meninggalkan Jati 

Anom, kakaknya itu berkata juga kepadanya, seperti pamannya itu. 

Dan tiba-tiba saja Sedayu bertanya “Kenapa aku harus bersenjata? Apakah kita akan 

bertempur?” 

Pamannya tersenyum, namun hatinya mengeluh melihat kecemasan diwajah kemenakannya. 

Jawabnya “Kita adalah laki-laki. Didaerah yang gawat seperti Sangkal Putung setiap laki-laki 

harus bersenjata”. 

Agung Sedayu tidak menjawab, hanya debar jantungnya menjadi semakin cepat. Dengan ragu-

ragu diraihnya kerisnya dari pembaringan pamannya dan kemudian diselipkannya diikat 

pinggangnya. Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak tahu pasti, apakah ia akan dapat 

menggunakannya. 

Mereka berduapun segera melangkah keluar. Dipendapa mereka melihat beberapa orang 

berbaring tidur dengan nyenyaknya. Sidanti, yang tidur disudut, sudah tidak gelisah lagi. 

Agaknya lukanya telah berangsur baik. Widura melihat anak muda itu sambil mengerutkan 

keningnya. Tenaga Sidanti benar-benar diperlukannya. Namun sifat-sifatnya agak kurang 

menyenangkan. Tinggi hati, bahkan agak sombong dan kurang patuh pada perintah-

perintahnya. Mungkin anak itu merasa, bahwa di Sangkal Putung itu tak seorangpun yang 

dapat menyamai kesakitannya. Bahkan Widura sendiri agaknya tidak melebihinya. 

Mereka berdua kemudian melintas dihalaman. Ketika mereka sampai diregol, beberapa orang 

penjaga menganggukkan kepalanya sambil bertanya “Apakah kakang Widura akan pergi 

berkeliling?” 

“Ya” sahut Widura 

“Siapakah diantara kami yang akan kakang bawa?” bertanya mereka pula. 

Widura menggeleng, sahutnya “Tidak ada. Kami akan pergi berdua” 

Agung Sedayu menjadi heran. Kenapa pamannya tidak membawa serta beberapa orang 

teman? Apakah itu tidak terlalu berbahaya? Tetapi ia tidak bertanya. Betapapun Sedayu masih 

juga merasa malu seandainya orang-orang lain mengetahui betapa kecil jiwanya. 

Ketika Widura dan Agung Sedayu telah hilang tenggelam dalam malam yang gelap, terdengar 

salah seorang penjaga regol itu bergumam “Kakang Widura telah membawa kemenakannya. Itu 

berarti, bahwa ia telah pergi bersama lima enam orang dari antara kita. Bahkan lebih” 

Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan salah seorang dari mereka 

berkata “Anak muda itu sangat pendiam”


“Demikianlah agaknya” sahut yang lain. “Orang yang yakin akan dirinya, biasanya tidak banyak 

ribut dan banyak bicara” 

Orang diregol itupun kemudian berdiam diri, namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan. 

Widura dan Agung Sedayu berjalan menyusuri jalan-jalan desa yang disaput oleh hitamnya 

malam. Ketika Agung Sedayu menengadahkan wajahnya, dilihatnya awan yang gelap 

mentakbiri langit. Sesaat-sesaat tampak lidah api seakan-akan menjilat ujung-ujung pepohonan 

dikejauhan. 

Widura dan Agung Sedayu singgah dari satu gardu kegardu yang lain. Mereka melihat betapa 

anak buah Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung bersiaga, sebab mereka menyadari, 

bangkit atau tenggelam, kademangan Sangkal Putung itu berada ditangan mereka. 

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menenangkan dirinya. Setiap kali ia selalu cemas, apakah 

tidak mungkin seorang, dua orang atau lebih, mengendap diparit-parit atau dibelakang 

gerumbul-gerumbul, dan dengan tiba-tiba menyergap mereka. Namun ia tidak berani bertanya 

kepada pamannya. 

Sampai diujung desa, Widura masih berjalan terus. Mereka kini lewat dijalan diantara 

bentangan sawah yang luas. Meskipun jarak jangkau pandangan mata mereka tidak dapat 

menembus malam yang kelam, namun mereka melihat juga batang-batang padi yang rimbun. 

Hati Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin cemas, sejalan dengan jarak mereka yang 

semakin jauh dari induk desa Sangkal Putung. Karena itu akhirnya ia tidak dapat menahan 

kekhawatirannya, sehingga ia terpaksa bertanya “Kemanakah kita ini paman?” 

“Jangan takut Sedayu. Desa didepan, masih dirondai oleh kawan sendiri “ jawab pamannya. 

Agung Sedayu terdiam, namun detak jantungnya menjadi semakin deras. Desir angin yang 

menggerakkan batang-batang padi terdengar seperti suara hantu yang merintih-rintih. 

Agung Sedayu terkejut ketika pamannya berkata “Kita belok kekanan Sedayu, lewat pematang” 

Sebelum Agung Sedayu menjawab, Widura telah meloncati parit. Karena itu tak ada yang dapat 

dilakukan oleh anak muda itu selain mengikutinya dibelakang. 

Sesaat kemudian mereka berdua sampai pada suatu bentangan tanah lapang yang sempit. 

Sebuah puntuk kecil yang ditimbuhi oleh batang-batang ilalang dan sebuah pohon kelapa sawit. 

Bulu-bulu tengkuk Agung Sedayu mulai meremang. Daerah ini tampak sepi. Terlalu sepi dan 

menakutkan. 

“Sedayu” berkata Widura perlahan-lahan. “Puntuk inilah yang dinamai orang Gunung Gowok” 

Seluruh wajah kulit Agung Sedayu terasa seakan-akan berkeriput. Nama itu mengingatkannya 

kepada sebuah ceritera tentang Kiai Gowok. 

Kiai Gowok menurut pendengarannya adalah semacam hantu yang berparas tampan. 

Meskipun ia tidak suka mengganggu orang namun kadang-kadang memerlukan sekali-sekali 

menemui gadis-gadis cantik. Karena itu tiba-tiba ia melangkah mendekati pamannya.


Pamannya melihat, batapa Agung Sedayu menjadi takut mendengar nama puntuk itu, maka 

katanya “Jangan hiraukan ceritera tetek bengek tentang puntuk itu” 

Agung Sedayu tidak menjawab. Sedang pamannya berkata terus “Sedayu, bersiaplah. Kita 

mengadakan latihan untukmu” 

Agung Sedayu menjadi heran. Latihan apakah yang dimaksud oleh pamannya. Apakah ia harus 

melatih diri, untuk tidak takut dengan cerita-cerita tentang hantu. Dan didengarnya pamannya 

meneruskan “Sedayu, kau harus menyadari keadaanmu. Hampir setiap orang di Sangkal 

Putung menganggapmu sebagai seorang pahlawan. Mereka menyangka bahwa kau memiliki 

kesaktian dan ilmu tata bela diri setidak-tidaknya mendekati kakakmu Untara. Aku tidak tahu, 

apakah yang akan terjadi seandainya pada suatu kali kau terpaksa terlibat dalam suatu 

perkelahian dengan siapapun. Apalagi kalau Tohpati itu datang kembali. Sedang orang-orang di 

Sangkal Putung menyangka kau pasti akan mampu melawannya. Karena itu, belajarlah berbuat, 

berpikir dan bersikap seperti seorang laki-laki”. 

Terasa denyut nadi Agung Sedayu menjadi semakin cepat. Kata-kata pamannya itu benar-

benar mendebarkan jantungnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah yang harus dikatakannya. Ketika 

ia tidak segera menjawab, pamannya berkata terus “Apa yang akan aku lakukan, adalah 

mencoba menambah kepercayaanmu kepada dirimu. Marilah kita berlatih. Untuk seterusnya 

setiap malam kita berlatih disini. Supaya apabila suatu ketika, kau harus berbuat seperti laki-laki 

sewajarnya, ada bekalmu meskipun sedikit. Seterusnya, kalah atau menang, tidak menjadi soal. 

Kalau kita mati dalam pertempuran nama kita akan tetap dikenang. Tatapi kalau kita lain 

daripadanya, maka nama kita akan senilai dengan daun-daun kering yang diterbangkan angin” 

Debar didada Agung Sedayu menjadi semakin keras. Kembali ia mengeluh. Ia merasa, bahwa 

kedatangannya di Sangkal Putung, benar-benar seakan-akan terjerumus kedaerah yang sama 

sekali tak menyenangkan. “Kalau kakang Untara malam itu tidak menjerumuskan aku keneraka 

ini” gumamnya didalam hati “Kenapa kakang Untara meributkan laskar paman Widura disini? 

Apakah kalau aku tidak datang kemari, Sangkal Putung ini benar-benar akan dihancurkan oleh 

Macan Kepatihan?” 

Tetapi Agung Sedayu tidak sempat berangan-angan lebih panjang lagi. Dilihatnya pamannya 

menyingsingkan lengan bajunya, menarik ujung kainnya dan disisipkannya kebelakang. 

“Bersiaplah Sedayu. Aku tahu bahwa kakakmu pernah memberimu dasar-dasar latihan. 

Sekarang kita lihat, sampai dimana kau pernah memilikinya” 

Dengan segannya, Agung Sedayu pun mempersiapkan diri. Sebenarnya ia pernah menerima 

beberapa pengetahuan tata bela diri dari kakaknya. Dan kini, mau tak mau ia harus 

mempergunakannya. Pamannya agaknya akan mempergunakan cara yang langsung dalam 

latihan ini. Dan ternyata dugaan itu benar. Pamannya tidak menuntunnya, mempelajari unsur 

demi unsur, namun Widura itu langsung melihat Agung Sedayu dalam latihan bertempur. 

“Awas Sedayu” berkata pamannya. Dalam pada itu Widura pun telah meloncat sambil 

menyerang dada. 

Agung Sedayu terkejut. Cepat ia mengendapkan diri. Tangan Widura itupun melayang 

beberapa jengkal diatas kepalanya. 

“Paman!”teriak Sedayu” Jangan terlalu keras” 

Langkah Widura terhenti. Dengan heran ia bertanya “Apa yang terlalu keras?”


“Paman menyerang bersungguh-sungguh” sahut Agung Sedayu 

Pamannya menarik nafas, jawabnya “Tidak. Tetapi aku harus berbuat seakan-akan sungguh-

sungguh. Sebab dalam perkelahian kau tak adan dapat dengan rendah hati mohon agar lawan-

lawanmu tidak bersungguh-sungguh” 

Sekali lagi debar dijantung Sedayu menjadi bertambah cepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain 

daripada menuruti perinta pamannya itu. Karena itu kembali ia bersiap. Melakukan latihan 

adalah jauh lebih baik dari bertempur yang sebenarnya. Ketika pamannya menyerang sekali 

lagi, Agung Sedayu pun mengelak pula, dengan satu loncatan ia membebaskan dirinya. Tetapi 

Widura tidak berhenti. Dengan cepat ia berputar, dan serangannya beruntun menyambar 

Agung Sedayu. 

Gerakan itu tidak begitu sulit untuk dielakkan. Kakaknya pernah juga berbuat seperti pamannya 

itu. Satu kali Agung Sedayu melangkah kesamping, kemudian dengan menarik satu kakinya 

terbebas dari serangan tangan pamannya yang mengarah pundaknya. Ketika kemudian Widura 

memutar kakinya mendatar setinggi lambung, Sedayupun mencondongkan tubuhnya 

kebelakang sehingga kaki pamannya itu lewat beberapa jengkal dari tubuhnya. 

Tetapi Widura tidak berhenti menyerang. Bahkan serangan-serangannya menjadi semakin 

cepat. Namun Agung Sedayu masih juga mampu mengelak. Selangkah demi selangkah ia 

melangkah surut untuk menghindarkan serangan-serangan pamannya. Sehingga akhirnya 

terdengar pamannya berkata “Apakah kau hanya belajar menghindar saja? Coba bagaimana 

kakakmu mengajarmu menyerang” 

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Gerak pamannya tidak jauh berbeda dari kakaknya . 

Keduanya bersumber dari ilmu ayahnya. Karena itu Sedayu tidak begitu sulit melayani 

pamannya. Kini pamannya minta, agar sekali-sekali ia menyerangnya juga. Dan permintaan 

itupun dipenuhinya. Karena itu latihan itu menjadi semakin cepat. Agung Sedayu benar-benar 

mengherankan pamannya. Ternyata gerakan-gerakan yang dilakukan bukanlah gerakan-

gerakan yang sederhana seperti anak-anak muda yang sedang menerima dasar-dasar ilmu 

bela diri. Tetapi Agung Sedayu telah memilikinya agak lengkap, meskipun karena kurang 

penggunaannya, maka sekali-sekali tampak juga anak muda itu kurang dapat memanfaatkan 

beberap unsur yang bagus sekali. 

“Hem” desah pamannya didalam hati. “Anak ini bukan anak yang bodoh. Sayang, 

lingkungannya pada masa kanak-kanak telah membentuknya menjadi seorang pengecut”. 

Tetapi angan-angan itu patah, ketika Widura mendengar suara tertawa disamping mereka. 

Suara yang bernada tinggi melengking, meskipun tidak terlalu keras. 

Agung Sedayu terkejut bukan kepalang. Yang mulai melintas dikepalanya adalah Macan 

Kepatihan. Karena itu, ketika ia melihat pamannya memutar tubuhnya dengan kesiagaan penuh, 

segera ia meloncat berlindung dibelakangnya. 

Ketika mereka berdua memandang kearah suara itu, mereka melihat samar-samar seseorang 

bersandar pohon kelapa sawit diatas puntuk kecil yang mempunyai nama besar, Gunung 

Gowok. 

Widura masih tegak seperti patung. Dipandanginya orang yang bersandar pohon kelapa sawit 

itu dengan wajah yang tegang. Meskipun demikian Widura melangkah beberapa langkah maju 

sambil bertanya “Siapakah kau?” 

Agung Sedayu yang juga dengan berdebar-debar ikut pula maju beberapa langkah berbisik


dengan suara gemetar “Apakah itu Macan Kepatihan?” 

Widura tidak mendengar pertanyaan itu. Karena itu ia tidak menjawab. Namun sekejappun ia 

tidak meninggalkan kewaspadaan. 

Orang yang bersandar itu masih juga bersandar. Widura yang melangkah mendekatinya itu 

sama sekali tak diperhatikannya. Suara tertawanya yang bernada tinggi itu bahkan terdengar 

kembali. 

“Siapakah kau” Widura mengulangi pertanyaannya. 

Suara tertawa itupun kemudian menjadi semakin lirih. Dan terdengarlah orang itu berkata 

“Latihan yang bagus” 

Widura menjadi semakin bercuriga. Dengan hati-hati ia melangkah maju pula. Tangannya telah 

melekat dihulu pedangnya. Katanya “Jangan menggangu kami. Katakanlah siapakah kau 

supaya aku dapat mengambil sikap” 

Orang itupun kemudian berdiri tegak. Beberapa langkah ia maju mendekati Widura. Sehingga 

akhirnya mereka dapat saling melihat wajah masing-masing. 

Ketika Widura melihat wajah orang itu, mula-mula ia terkejut. Wajah itu tampak seputih mayat. 

Namun kemudian Widura menyadarinya, orang itu telah menutup wajah aslinya dengan sebuah 

topeng yang berwarna kekuning-kuningan. 

BUKU 03 

“Nah, katakan, siapa engkau?” ulang Widura. 

Orang itu seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada Agung 

Sedayu. “Sedayu, apakah yang sedang engkau kerjakan? Apakah kau sedang melatih orang 

ini?” 

Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu. Ternyata orang itu telah mengenal Agung 

Sedayu. Namun karena itu, segera Widura pun mengenalnya, orang itulah agaknya yang 

menamakan dirinya Kiai Gringsing. Karena itu kembali ia bertanya “Apakah kau yang 

menamakan dirimu Kiai Gringsing?” 

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Darimanakah kau tahu 

bahwa aku bernama Kiai Gringsing? Apakah gurumu itu telah memberitahukannya kepadamu?” 

Sekali lagi dada Widura berdesir. Orang itu menganggapnya murid Agung Sedayu. 

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun segera mengenal bahwa orang itulah yang dahulu pernah 

menemuinya di Bulak Dawa. Suaranya dan caranya berkerudung kain gringsing, meskipun 

topengnya bukan topeng yang dipakainya itu. Karena itu tanpa disadarinya, ia menjadi gembira. 

Ternyata Agung Sedayu tidak takut lagi kepada Kiai Gringsing. Sejak pertemuannya yang 

pertama orang itu tidak bermaksud jahat kepadanya. Maka Sedayupun segera melangkah maju 

sambil berkata “Benarkah kau Kiai Gringsing yang diBulak Dawa itu?” 

Kiai Gringsing mengangguk, jawabnya “Tentu, tak ada dua tiga Kiai Gringsing” 

Tiba-tiba Sedayu itupun teringat kepada orang yang pernah menamakan diri Kiai Gringsing pula 

di dukuh Pakuwon. Maka katanya “Tidak. Yang sudah aku ketahui, ada dua Kiai Gringsing. 

Yang lain adalah seorang yang sudah sangat tua dan bongkok” 

Kiai Gringsing menggeleng, katanya “Jangan bergurau. Teruskan saja pekerjaanmu. Aku tidak 

akan mengganggu. Muridmu itu perlu segera mendapat tuntunan yang lebih berat. Agaknya ia 

murid yang cukup baik”


“Ah” desah Agung Sedayu. “Jangan berkata begitu. Itu adalah pamanku. Dan justru pamanku 

itu sedang mengajari aku, supaya aku mempunyai bekal dihari-hari mendatang” 

Kiai Gringsing itupun tertawa berkepanjangan. Katanya “Kau benar-benar seperti almarhum 

ayahmu. Tetapi kau jangan terlalu merendahkan dirimu. Sekali-sekali kau perlu juga 

menunjukkan bahwa kau adalah putra Ki Sadewa” 

“Itu adalah pamanku” Agung Sedayu mengulangi. Tetapi ketika ia akan meneruskan kata-

katanya, terdengar Kiai Gringsing memotong “Aku sudah tahu. Orang itu adalah pamanmu. 

Bukankah ia bernama Widura? Dan bukankah ia adik ibumu? Apa salahnya kalau kau ajari 

orang itu satu dua unsur-unsur gerak keturunan dari Ki Sadewa? Menurut pengamatanku, 

Widura itupun pernah juga belajar selangkah dua langkah. Karena itu adalah menjadi 

kewajibanmu untuk menyempurnakan” 

Mendengar kata-kata itu, telinga Agung Sedayu menjadi merah. Ia takut kalau pamannya 

tersinggung karenanya. Maka katanya “Kiai, hidup matiku disini tergantung kepada paman. 

Jangan mempersulit keadaanku” 

Sekali lagi Kiai Gringsing tertawa, terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya seakan-akan 

berguncang-guncang. 

Widura masih tegak seperti patung. Ia mendengar semua percakapan itu. Meskipun ia terkejut 

dan heran, karena namanyapun telah diketahui pula, bahkan hubungan keluarganya, tetapi ia 

masih berdiam diri. Meskipun demikian, namun otaknya sedang bekerja dengan riuhnya. 

Dicobanya sekali lagi mengingat-ingat apa yang pernah dilihatnya di dukuh Pakuwon. Ketiga 

kuda yang diikutinya berjalan dari rumah Ki Tanu Metir kejurusan yang sama. Tiba-tiba Widura 

menemukan sesuatu. Karena itu dengan tiba-tiba pula ia berkata “Baiklah Kiai Gringsing, aku 

tidak keberatan, apa saja yang kau katakan tentang kami berdua. Meskipun demikian, aku ingin 

bertanya kepadamu, dimanakah Untara dam Ki Tanu Metir? Agaknya kau benar-benar orang 

yang berpengetahuan luas. Kau kenal kemenakanku Agung Sedayu, kau sebut-sebut nama 

kakak iparku, dan akhirnya kau kenal namaku. Dengan demikian, adalah suatu kemungkinan 

pula, bahwa kau mengetahui dimana kemenakanku yang seorang itu” 

Orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu mengerutkan lehernya. Kemudian terdengar 

ia tertawa pendek. Jawabnya “Tentu. Tentu aku tahu semuanya. Untara kini menjadi salah 

seorang tamtama Pajang sedang yang kau maksud dengan Ki Tanu Metir itu adalah seorang 

tukang obat dari dukuh Pakuwon?” 

“Jangan berpura-pura” potong Widura , “Kau tahu bahwa bukan itulah jawabnya”. 

“He” Kiai Gringsing terkejut. “Aku adalah seseorang yang tahu semuanya. Apakah jawabku 

salah?” 

“Jangan menyangka aku seorang kanak-kanak seperti Agung Sedayu “ Sahut Widura . Tetapi 

Kiai Gringsing itu malahan tertawa berkepanjangan. Katanya “Hem, tentu. Baru beberapa hari 

kau menjadi murid Agung Sedayu? Kau tentu tak akan dapat dipersamakannya” 

Semakin lama Widura menjadi semakin jengkel karenanya. Namun dicobanya mengendalikan 

dirinya, dan dicobanya bertanya pula “Kiai, katakanlah kepada kami, dimana Untara sekarang?” 

“Kalau jawabku salah, maka aku tak tahu, dimana ia sekarang” 

“Jangan bohong” potong Widura, ”Pada malam Untara hilang kau berada dirumah Ki Tanu 

Metir” 

“He” Kiai Gringsing terkejut, dan Agung Sedayupun terkejut. Dari mana pamannya tahu, bahwa 

pada malam itu Kiai Gringsing berada dirumah Ki Tanu Metir. Dan ternyata Kiai Gringsing pun 

bertanya “Siapa yang berkata demikian?” 

“Aku” jawab Widura. 

“Kau menyangka yang bukan-bukan. Atau barangkali kau berangan-angan terlalu jauh” 

“Tidak. Bukankah kau telah memberi Agung Sedayu seekor kuda?” 

“Ya” 

“Dari mana kau dapat kuda itu?” 

“Kudaku sendiri. Kenapa? Apakah kudamu hilang?” 

“Dengar Kiai. Aku telah mencoba mengikuti jejak kuda yang datang dan yang pergi. Tiga ekor 

kuda telah meninggalkan halaman rumah Ki Tanu Metir. Dan ketiga-tiganya menuju Sangkal


Putung. Disepanjang jalan tak ada telapak kuda yang meninggalkan jalan itu pula. Tiga Kiai. 

Hitunglah, yang pertama kuda Agung Sedayu, yang lari itu. Yang kedua kuda Alap-alap 

Jalatunda dan yang ketiga adalah kuda yang kemudian dipakai oleh Sedayu pula. Kudamu, 

yang keluar dari kandang kuda Ki Tanu Metir.” 

Kiai Gringsing masih tertawa. Jawabnya “Kau senang mengotak-atik Widura. Tetapi ternyata 

pengamatanmu kurang baik. Apakah kau telah mengamati tepi jalan sepanjang yang kau 

lampaui. Bagaimanakah kalau aku masuk ketika jalan itu dengan melompati pagar, atau muncul 

dari regol-regol halaman sepanjang jalan?” 

Widura menarik nafas “Memang mungkin” sahutnya “Tetapi itu tidak akan kau lakukan. Nah 

sekarang Kiai, aku minta tunjukkan anak itu.” 

“Jangan ribut Widura. Berlatihlah supaya kau benar-benar menjadi seorang pemimpin yang 

sakti. Biarlah aku melihat dan tidak mengganggu. Jangan ributkan Untara itu. Aku tidak tahu.” 

Berkata Kiai Gringsing. 

Widura adalah seorang perwira tamtama. Karena itu maka adalah menjadi kebiasaannya untuk 

menyelesaikan setiap persoalan dengan cepat. Karena itu, ia menjadi marah mendengar 

perkataan Kiai Gringsing yang melingkar-lingkar itu. Katanya “Kiai, jangan bergurau seperti 

anak-anak. Dimana Untara itu? Kalau tidak aku akan menangkapmu dan melihat, siapakah kau 

sebenarnya”. 

“He” kembali Kiai Gringsing terkejut. Sedayupun menjadi terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat 

pamannya itu maju selangkah dengan wajah yang tegang. 

“Kenapa kau akan menangkap aku?” bertanya Kiai Gringsing. “Apakah hakmu?” 

“Aku berhak melakukan segala tindakan, untuk keselamatan Pajang.” 

“Apakah hubunganku dengan keselamatan Pajang?” 

“Kau tahu dimana Untara, salah seorang perwira tamtama Pajang yang kini tenaganya sangat 

diperlukan.” 

Kiai Gringsing mengangguk-anggukan kepalanya, Kemudian pada Sedayu ia berkata “Sedayu, 

apakah kau dapat mencegah muridmu itu?” 

Agung Sedayu manjadi bingung. Namun ia sebenarnya menjadi sangat takut kalau pamannya 

benar-benar akan menangkap Kiai Gringsing. Tetapi ia tidak dapat berkata apa-apa. Yang 

terdengar kemudian adalah geram Widura “Minggirlah Sedayu, Biarlah orang ini aku tangkap. 

Mungkin ada banyak keterangan-keterangan yang dapat dikatakannya, dan dengan demikian 

wajahnya akan segera kita kenal.” 

“Sedayu” berkata Kiai Gringsing dengan nada kecemasan “Apakah kau dapat mencegah 

muridmu itu?” 

Tetapi Widura tidak memperdulikannya lagi. Cepat ia melompat untuk menangkap lengan Kiai 

Gringsing. Tetapi Kiai Gringsing itupun melangkah surut, sehingga Widura tidak berhasil 

menangkapnya. Tetapi Widura tidak membiarkannya lari, karena itu segera Kiai Gringsing 

dikejarnya. Kiai Gringsing itupun berlari berputar-putar diantara batang-batang ilalang. 

Berloncatan dari batu-batu bahkan melingkar-lingkar pohon kelapa sawit. “Kenapa kau kejar-

kejar aku?” 

Widura benar-benar menjadi marah. Karena itu ia berteriak “Kiai Gringsing, aku dengar kau 

pernah bertempur dengan Alap-alap Jalatunda. Kenapa kau sekarang berlari-lari seperti keledai 

yang bodoh.” 

“Jangan tangkap aku” katanya. 

“Kiai, nama seorang bertopeng dan berkain Gringsing mulai terkenal di daerah ini, nah 

pertahankan nama itu. Aku tidak akan mengejarmu lagi, tetapi aku akan menyerangmu.” 

“Paman” potong Agung Sedayu yang menjadi semakin cemas. 

Tetapi pamannya tak mendengarnya. Kini ia tidak mengejar lagi, dengan satu loncatan panjang 

Widura langsung menyerang Kiai Gringsing. Kiai Gringsing itupun kini tidak berlari-lari lagi. 

Ketika Widura langsung menyerangnya, segera ia mengelakkan diri sambil berkata “Aku tidak 

pernah merasa mempunyai persoalan dengan kau Widura. Tetapi kenapa kau menyerang 

aku?” 

Widura tidak menjawab, tetapi ia menyerang kembali dengan garangnya.


Kiai Gringsing masih saja mengelak dan menghindar. Kemudian terdengar ia berkata pula 

“Widura, kalau kau marah, maka aku tak akan mengganggumu, baiklah aku minta maaf. Aku 

akan pergi. Tetapi jangan menangkap aku.” 

Widura masih tidak mau mendengarnya. Ia benar-benar ingin menangkap orang bertopeng itu. 

Sebab menurut perhitungannya, Kiai Gringsing benar-benar mengetahui dimana Untara dan Ki 

Tanu Metir. Apabila tidak, setidak-tidaknya maka ia akan dapat mengenali siapakah 

sebenarnya orang yang bertopeng itu. 

Agung Sedayu, yang melihat pamannya benar-benar menyerang Kiai Gringsing, menjadi 

semakin cemas. Diam-diam ia berdoa didalam hatinya, mudah-mudahan pamannya tidak dapat 

menangkap orang bertopeng itu. Ia sendiri tidak mengetahuinya, kenapa tiba-tiba saja 

mencemaskan nasib orang yang tidak dikenalnya itu. 

Widura yang marah itu menjadi semakin marah. Karena itu, ia kini benar-benar berusaha 

dengan sekuat tenaganya. Setiap kali Kiai Gringsing menghindar, maka menyusullah serangan-

serangannya berturut-turut. Bahkan kemudian gerakan Widura itu menjadi semakin berat 

melingkar serta seperti angin pusaran ia melibat Kiai Gringsing. 

Akhirnya Kiai Gringsingpun menjadi semakin sulit. Ia tidak dapat menghindar dan menghindar 

terus. Ketika serangan Widura manjadi semakin cepat maka keadaannya manjadi semakin 

berat. Karena itu sekali lagi ia berkata “ Widura, apakah kau betul-betul akan menangkap aku?” 

“Sudah aku katakan” jawab Widura. 

“Sekali lagi aku minta, urungkan niatmu” minta Kiai Gringsing. 

Tetapi Widura sama sekali tidak mau mendengar permintaan itu. Bahkan ia mendesak terus 

dalam tataran ilmunya yang semakin tinggi. 

“Hem” terdengar kemudian Kiai Gringsing menggeram “Baiklah. Kau ingin mengertahui 

siapakah Kiai Gringsing itu seperti Agung Sedayu juga, ingin mengetahui unsur-unsur gerak 

yang akan aku pergunakan, sehingga ia memaksaku untuk bertempur melawan Alap-alap 

Jalatunda.” 

Widura tidak menjawab. Serangan-serangannya bahkan semakin membadai. Namun kini 

agaknya Kiai Gringsing tidak hanya menghindar terus. Tiba-tiba ia meloncat tinggi dan dengan 

suatu gerakan yang cepat sekali, orang itu berputar diudara. Ketika ia menggeliat, maka 

disentuhnya punggung Widura. Sentuhan itu terasa seakan-akan sebuah dorongan yang 

sangat kuat, sehingga Widura terhuyung-huyung beberapa langkah maju. Untunglah bahwa 

Widura adalah seorang perwira yang telah mengalami berpuluh-puluh pertempuran. Sehingga 

dengan tangkasnya ia berhasil menghindarkan diri dari kemungkinan terjerumus mencium 

batang-batang ilalang liar yang bertebaran dilapangan yang sempit itu. 

Namun meskipun demikian, betapa Widura menjadi sangat terkejut. Ia tidak menyangka bahwa 

orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu mampu bergerak sedemikian cepatnya. Lebih 

dari itu, terasa, bahwa kekuatan Kiai Gringsing itu benar-benar menakjubkan. Tetapi meskipun 

demikian, Widura, seorang prajurit dalam tugas-tugas keprajuritannya, tidak segera bercemas 

hati. Ia memang merasakan keanehan lawannya, namun ia tidak mengurungkan niatnya. 

Bahkan Widura itu kini telah mengerahkan segala kemampuannya. Dengan cepatnya ia 

menyerang dan menyerang terus beruntun. Tetapi serangan-serangannya, apalagi 

menjatuhkan lawannya, menyentuhpun tidak. Kiai Gringsing benar-benar mampu bergerak 

secepat geraknya, bahkan ternyata kemudian bahwa kecepatan bergerak orang yang 

bertopeng itu dapat melampauinya. Ketika kemudian Kiai Gringsing itu mempertahankan dirinya 

dan sekali-sekali menyerang juga, terasa, bahwa orang yang bertopeng itu benar-benar aneh. 

Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin cepat. Widura kini telah 

benar-benar mempergunakan ilmunya yang paling tinggi yang dimilikinya. Karena itu, maka 

geraknyapun menjadi semakin garang dan cepat. Kedua tangannya bergerak-gerak menyerang 

kesegenap tubuh lawannya. Sedang kedua kakinya yang kokoh itu sekali dipergunakannya 

untuk meloncat-loncat namun tiba-tiba tumitnya manyambar lambung. 

Namun betapa ia berjuang, tetapi ia menyadarinya, bahwa apabila demikian untuk seterusnya, 

pekerjaannya tidak akan selesai. Karena itu, maka meskipun ia tidak berhasrat membunuh 

lawannya, namun ia ingin mempengaruhinya dan kemudian melemahkan perlawanannya. 

Ketika mereka menjadi semakin cepat bergerak tiba-tiba Widura melangkah surut, dan tiba-tiba 

pula ditangannya telah tergenggam pedangnya. Pedang yang besar dan tak begitu tajam,


namun runcing ujungnya malampui ujung jarum. 

Kiai Gringsing terkejut melihat pedang itu, karena itu iapun meloncat mundur. Bahkan Agung 

Sedayu yang mengikuti perkelahian itu dengan ketegangan didalamnya terkejut pula. Apakah 

pamannya benar-benar akan bertempur mati-matian? 

Yang terdengar kemudian adalah suara Kiai Gringsing “Widura, apakah kau akan membunuh 

aku?” 

“Tidak” sahut Widura. “Sudah aku katakan, aku ingin menangkapmu” 

“Kenapa dengan pedang?” 

“Aku tidak dapat menangkapmu tanpa senjata. Kau mampu bergerak selincah sikatan. Karena 

itu, sebaiknya kau tidak usah melawan, supaya aku tidak melukaimu” 

“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas. “Jangan main-main dengan senjata Widura, senjata 

adalah lambang dari kematian. Kematian lawan atau kematian diri sendiri. Karena itu, 

sarungkan senjatamu. Kita bermain-main kembali. Apakah kau sudah lelah?” 

Widura mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa kelebihan lawannya. Apalagi ketika 

disadarinya, bahwa nafas Kiai Gringsing itu masih segar, sesegar pada saat dilihatnya untuk 

pertama kalinya. 

“Gila” umpat Widura didalam hatinya. “Apakah orang ini mempunyai nafas rangkap, atau 

memiliki sarang angin didalam dadanya, sehingga nafasnya tak akan mengganggu” 

Namun meskipun demikian, ia sudah bertekad, menangkap orang itu, orang yang banyak 

menyimpan teka-teki didalam dirinya. Karena itu Widura tidak menyarungkan pedangnya. 

Bahkan ia melangkah maju sambil mengacungkan pedangnya kedada Kiai Gringsing. Katanya 

“Kiai, jangan memaksa aku mempergunakan pedangku. Ikutlah aku, dan tanggalkan topengmu 

itu supaya aku dapat mengenal wajahmu” 

Kiai Gringsing masih tegak ditempatnya, seakan-akan kakinya jauh menghunjam kepusat bumi. 

Dipandangnya Widura dengan seksama, seakan-akan ingin dilihatnya isi dadanya. 

Tetapi sesaat kemudian ia berpaling kepada Agung Sedayu. Katanya sambil tertawa “Sedayu, 

apakah orang ini sudah kauajari memegang senjata?” 

Dada Agung Sedayu berdesir, dan jantung Widura pun berguncang. Ia tidak menyangka bahwa 

Kiai Gringsing itu memandangnya seperti kanak-kanak yang sedang merajuk. Karena itu 

Widura itupun menggeram “Kiai, aku sependapat dengan kau bahwa senjata adalah lambang 

dari kematian. Karena itu, jangan mempersulit keadaan. Aku ingin menangkapmu hidup-hidup 

sebab aku inginkan beberapa keterangan darimu. Tetapi kalau kau mati karena pokalmu yang 

aneh-aneh itu, jangan menyesal” 

Hem” Kiai Gringsing menarik nafas “Kau benar-benar marah Widura?” 

Pertanyaan itu benar-benar membingungkan. Dan akhirnya Widura pun menjadi bingung 

memandang kedirinya sendiri. Apakah ia sedang marah atau karena sekedar didorong oleh 

keinginan-keinginan yang meluap-luap untuk segera memecahkan teka-teki tentang hilangnya 

Untara. Tetapi ketika ia melihat topeng Kiai Gringsing yang pucat seperti mayat itu, tiba-tiba 

saja ia menggeleng “Tidak” jawabnya. “Aku tidak sedang marah. Tetapi aku sedang 

mengemban kewajiban. Sekarang aku sedang berusaha untuk menangkapmu, karena itu 

adalah salah satu dari kewajibanku pula” 

“Baik” sahut Kiai Gringsing “Aku senang bahwa kau tidak sedang marah. Adalah berbahaya 

sekali senjata ditangan orang yang sedang marah. Kalau kau mau bertempur, marilah. Tetapi 

kita bertempur tanpa kemarahan dihati. Kata orang, kemarahan akan mempersempit otak kita. 

Dan senjata ditangan kita akan menjadi kabur kegunaannya” 

Widura mengerutkan keningnya. Katanya “Hem. Kau takut kalau karena kemarahanku, aku 

membunuhmu” 

Kiai Gringsing tertawa. Dan jawabnya mengherankan Widura “Mungkin. Aku memang takut mati. 

Mati tanpa arti. Tetapi kalau kau yang mati, maka kau mati dalam pelukan kewajiban. Nah, 

apakah tidak lebih baik, kau saja yang mati supaya kau disebut pahlawan” 

“Jangan mengigau, bersiaplah!” bentak Widura. 

“Aku sudah siap. Aku dapat bertempur sambil tersenyum. Apakah orang yang sedang 

bertempur pasti harus berwajah tegang seperti tambang? Bukan kita bertempur tanpa


kemarahan dihati?” 

Widura tidak menunggu kata-kata Kiai Gringsing itu berakhir., tiba-tiba saja menggerakkan 

pedangnya mengarah kedada lawannya. Namun sekali lagi ia terkejut. Kiai Gringsing itu sama 

sekali tidak bergerak, sehingga pedang itu benar-benar akan menghunjam kedadanya. Tetapi 

justru karena itu, Widura segera menarik serangannya dan berteriak “Hei Kiai. Apakah kau 

sedang membunuh diri?” 

Kiai Gringsing menggeleng, “Tidak” jawabnya. “Aku hanya ingin tahu, apakah kau akan 

membunuh orang yang tidak bersenjata?” 

“Oh” Widura tersadar dari ketergesa-gesaannya. Ia adalah seorang perwira tamtama yang 

biasa bertempur dalam kelompok yang besar, yang tidak pernah bertanya apakah lawannya 

bersenjata atau tidak. Tetapi dalam perkelahian seorang lawan seorang adalah wajar apabila 

keadaannya harus berimbang. Dengan demikian, masing-masing tidak meninggalkan 

kejantanan dan kejujuran. 

“Ambillah senjatamu” teriak Widura jengkel. 

“Bagus” jawab Kiai Gringsing. Kedua tangannyapun segera bergerak, mengambil sesuatu dari 

balik kain gringsingnya. Cambuk kuda. 

“Gila” geram Widura. “Adakah itu senjatamu?” 

“Kenapa? Ini adalah senjataku. Dengan senjata ini pula aku bertempur dengan Alap-alap 

Jalatunda. Ayo, mulailah” 

Widura menjadi semakin tidak mengerti menghadapi orang aneh ini. Meskipun demikian ia 

bersiap pula. Tetapi kini nafsunya untuk bertempur telah jauh berkurang. Bahkan tiba-tiba ia 

mengumpat tak habis-habisnya didalam hatinya. 

“Widura” berkata Kiai Gringsing pula “Aku akan mempergunakan senjataku pada ujung dan 

pangkalnya. Aku memegangnya ditengah-tengah. Awas, lawanlah dengan pedangmu” 

Sekarang Kiai Gringsinglah yang mendahului menyerang. Widura terkejut. Ia mengelak 

kesamping dan dengan gerak naluriah, pedangnyapun berputar dan membalas serangan itu 

dengan serangan pula. Kini keduanya bertempur pula dengan cepatnya. Kiai Gringsing itu 

mempergunakan senjata anehnya dengan cara yang aneh pula. Tiba-tiba orang bertopeng itu 

berteriak nyaring “Nah, kau dapat aku kenai Widura” 

Terasa sesuatu menyengat pundaknya. Meskipun yang mengenai itu ternyata hanya ujung 

cambuk kuda, namun sakitnya bukan kepalang. Sehingga Widura itu melontar surut. 

“Nah, bayangkan, bagaimanakah kira-kira kalau senjataku ini berujung runcing seruncing 

senjatamu atau seruncing Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi” 

Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi adalah senjata 

Sidanti. “Ah” gumamnya “Ia hanya ingin mencari persamaan” pikirnya. “Tetapi” katanya pula 

didalam hatinya, “Kenapa ia sengaja memegang senjatanya dengan cara yang aneh itu?” 

Tetapi Widura tidak sempat berpikir terlalu panjang, sebab Kiai Gringsing itu telah 

menyerangnya pula sambil berteriak “Sedayu, awasi muridmu, supaya kau tahu kesalahannya” 

Sedayu yang sudah bingung menjadi bertambah bingung. Tetapi ia memperhatikan pula 

pertempuran itu. Kiai Gringsing dengan cambuk kuda ditangan, dan pamannya dengan sebuah 

pedang yang menakutkan. 

Pertempuran itu semakin lama mejadi semakin seru. Cambuk Kiai Gringsing bergerak dengan 

cepatnya, menyambar dari segala arah. Ujung dan pangkalnya sekali-sekali mematuk tubuh 

Widura tanpa dapat dihindari. Semakin lama menjadi semakin sering. Meskipun Widura 

berusaha sepenuh tenaga. 

Karena itu, maka getar didalam dada Widurapun semakin lama menjadi semakin cepat. Ia kini 

tidak mau terbelengu oleh perasaan yang tak dimengertinya. Ia tidak memperdulikan lagi 

apakah ia sedang marah, atau ia hanya sekedar terdorong oleh keinginannya untuk 

mengetahui dimana Untara berada. Dengan demikian maka nafsunya untuk bertempur mati-

matian kini kembali merayapi dadanya. Sehingga oleh karenanya, maka pedangnyapun 

bergerak semakin cepat, secepat baling-baling ditiup angin musim kesanga. 

Sedayu melihat pertempuran itu dengan jantung yang berdentang-dentang. Mula-mula 

mencemaskan nasib orang bertopeng itu. Namun dalam pengamatannya kemudian, Kiai


Gringsing itu ternyata mampu mempertahankan dirinya, bahkan beberapa kali ia berhasil 

mendesak Widura sehingga pamannya itu meloncat surut. Bahkan kemudian pertempuran itu 

terasa sangat menarik hatinya. Dengan penuh gairah ia memperhatikan setiap gerak dari 

mereka berdua. Ia mengagumi ketangkasan pamannya, namun ia heran melihat kelincahan 

Kiai Gringsing. Cambuk kuda yang tampaknya sama sekali tak berarti itu ternyata merupakan 

senjata yang berbahaya. 

Setapak demi setapak perkelahian itu berkisar dari satu titik ketitik yang lain. Namun 

Sedayupun ikut berkisa-kisar pula. Sekali ia terpaksa menahan napas apabila pedang Widura 

menyambar dengan dahsyatnya, sedahsyat elang menyambar mangsanya. Namun 

wajahnyapun menjadi tegang, apabila ia melihat pamannya menyeringai kesakitan apabila 

cemeti kuda orang bertopeng itu menyentuh tubuhnya. 

“Hem” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Kalau saja aku mampu berbuat seperti 

mereka itu” gumamnya didalam hati. 

Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat pamannya melontar mundur. Sekali, 

dua kali dan Kiai Gringsing itu mendorongnya terus. Bahkan kemudian dengan tidak disangka-

sangka, kaki orang bertopeng itu berhasil menyambar pergelangan tangan Widura sehingga 

pedangnya tergetar. Hampir saja pedang itu meluncur dari tangannya. 

Gigi Widura gemeretak. Kini ia benar-benar marah. Karena itu tandangnyapun menjadi semakin 

garang. Gerak pedangnyapun menjadi semakin cepat, sehingga yang tampak kemudian 

seakan-akan kabut putih yang bergulung-guliung melanda orang bertopeng itu. 

Kini Widuralah yang mendesak maju. Kiai Gringsing terpaksa meloncat surut. Bahkan akhirnya 

orang bertopeng itu tiba-tiba tersandar pada pohon kelapa sawit dibelakangnya. 

Widura tidak membuang waktu lebih lama lagi. Pedangnya cepat meluncur kearah Kiai 

Gringsing. Widura yang merasa dirinya dipermainkan itu, menusuk lawannya dengan sekuat 

tenaganya, meskipun pedangnya tidak mengarah dada. Namun apabila Kiai Gringsing tidak 

mampu menghindari kali ini, maka pundaknya pasti akan tersobek. 

Melihat peristiwa itu, Agung Sedayu terkejut sehingga iapun meloncat beberapa langkah maju. 

Namun ia tak akan dapat berbuat apapun. Yang dilihatnya pedang pamannya yang runcing itu 

mematuk dengan garangnya.Tetapi mata Agung Sedayu itupun terbeliak. Dengan mulut yang 

ternganga ia melihat, betapa Kiai Gringsing itu kemudian berdiri tegak sambil tertawa 

berkepanjangan. Katanya “Ah, tenagamu memang luar biasa Widura. Tetapi kau sekarang pasti 

akan menemui kesulitan untuk mencabut pedangmu itu” 

“Setan” terdengar Widura mengumpat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha mencabut 

pedangnya yang tertancap pada pohon kelapa sawit itu. Ternyata Kiai Gringsing mampu 

mengelakkan diri dengan cepatnya, sehingga pedang Widura yang mematuknya itu langsung 

mengenai pohon yang disandarinya. 

“Jangan main-main kiai” geram Widura dengan wajah yang membara “Aku dapat bertempur 

tanpa pedang” 

“Jangan” jawab Kiai Gringsing “Cabutlah pedangmu. Aku menunggu” 

Widura masih berusaha sekuat tenaga mencabut pedangnya. Namun ia masih mengumpat 

didalam hatinya. Ternyata pedang yang runcing itu telah membenam dalam sekali. Tenaganya 

benar-benar telah dicurahkan untuk menusukkan pedang itu. Karena itu, maka sekarang, 

betapa sukarnya untuk mencabutnya. 

Beberapa kali Widura menggeram. Tetapi kemudian Kiai Gringsing itu berkata “Minggirlah, coba 

apakah aku mampu mencabutnya” 

Widura sendiri tidak menyadari, kenapa tiba-tiba ia melangkah kesamping dan memberi 

kesempatan kepada orang bertopeng itu untuk mencabut pedangnya. Betapa Widura menjadi 

heran, apalagi Agung Sedayu. Dengan sebuah teriakan kecil, Kiai Gringsing berhasil 

menyentakkan pedang itu dari batang kelapa sawit, meskipun ia sendiri terhuyung-huyung 

beberapa langkah mundur. Bahkann hampir saja ia tergelincir jatuh. 

“Hem” orang bertopeng itu menarik nafas “Pedang yang aneh. Besar, tumpul namun runcing 

seruncing jarum. Kenapa kau membuat pedang seaneh ini?” 

Widura tidak menjawab. Tetap ia menggeram. Terdengar giginya gemeretak. Namun ia masih


tegak ditempatnya. 

“Widura, kita akhiri pertempuran ini. Aku kembalikan pedangmu. Nah, berlatihlah terus” 

Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai Gringsing itu berkata “Sedayu, kau harus bekerja lebih 

berat supaya muridmu ini menjadi lekas masak. Ketahuilah, bahwa Sidantipun selalu mendapat 

tempaan dari gurunya. Ki Tambak Wedi setiap saat mengunjunginya. Bukankah muridmu itu 

pimpinan laskar Pajang disini? Apabila Sidanti kelak melampauinya, maka wibawanya akan 

berkurang” 

Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Demikian juga Sedayu. Apakah Sidanti benar-benar 

berlatih terus? Tetapi Kiai Gringsing tidak memberi mereka kesempatan untuk bertanya. 

Bahkan sekali lagi ia berkata “Setiap hari aku akan melihat kalian berlatih disini. Aku tidak akan 

mengganggu. Nah Widura, ini pedangmu” 

Sebelum Widura menjawab, meluncurlah pedang Widura dari tangan Kiai Gringsing. Dengan 

gerak naluriah Widura meloncat untuk menangkap pedangnya itu. Kemudian mereka berdua, 

Widura dan Agung Sedayu melihat, orang bertopeng itu berjalan seenaknya meninggalkan 

mereka. Lewat puntuk kecil itu, dan kemudian hilang dibalik batang-batang ilalang yang tumbuh 

dengan liarnya. 

Widura sesaat berdiri saja mematung. Pertemuannya dengan Kiai Gringsing itu benar-benar 

berkesan dihatinya “Orang aneh” gumamnya. 

Widura terkejut ketika ia mendengar Agung Sedayu mengulangi kata-katanya “Orang aneh. Ya, 

memang orang itu orang yang aneh” 

Widura menarik nafas panjang. Katanya “Orang itu tampaknya selalu tidak bersungguh-

sungguh. Tetapi aku menyesal bahwa aku bersikap terlalu kasar kepadanya. Ah, mula-mula 

aku merasa ia menghinaku” Widura berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan “Namun 

agaknya ada sesuatu maksud tersimpan dibalik sikapnya yang seakan-akan tidak bersungguh-

sungguh itu” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan didengarnya pamannya berkata 

“Bukankah Kiai Gringsing mengatakan bahwa Sidantipun selalu mendapat tempaan dari 

gurunya yang dahsyat itu?” 

“Ya” Agung Sedayu mengangguk. 

Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka masih memandang kearah Kiai Gringsing 

lenyap dibalik batang-batang ilalang. 

“Sedayu” berkata Widura kemudian. “Kita akhiri latihan ini. Marilah kita kembali. Ternyata bukan 

kau yang mendapat kesempatan untuk berlatih, tetapi aku sendiri. Meskipun demikian setiap 

malam kita datang ketempat ini” 

Agung Sedayu mengangguk. Dan diikutinya pamannya meninggalkan tanah lapang yang 

sempit itu. Mereka berjalan berurutan diatas pematang, kemudian setelah melangkahi parit 

mereka berjalan menyusur jalan desa menuju kademangan Sangkal Putung. 

Hampir disepanjang jalan mereka tidak bercakap-cakap. Masing-masing sedang dihanyutkan 

oleh angan-angannya. Widura masih dirisaukan oleh kata-kata Kiai Gringsing “Sidanti berlatih 

terus” 

“Mudah-mudahan anak itu mempunyai itikad yang baik” katanya didalam hati. “Semoga ia 

berlatih untuk menghadapi Macan Kepatihan”. Namun Widura itu beragu. Sikap anak muda itu 

memang kurang menyenangkannya. Apalagi sikapnya terhadap Agung Sedayu. 

Tanpa disengajanya, Widura berpaling kepada kemenakannya yang berjalan menunduk 

disampingnya “Sayang” gumamnya didalam hati. “Anak itu benar-benar penakut. Kalau anak-

anak Sangkal Putung tahu, apalagi Sidanti, maka Sedayu akan menjadi orang yang paling 

memuakkan dikademangan ini. “Tetapi aneh” berkata Widura seterusnya didalam hati “Kenapa 

agaknya Kiai Gringsing menaruh perhatian atasnya. Anak itu telah dilindunginya dari Alap-alap 

Jalatunda dan kini ia hadir pula dilapangan sempit itu” 

Sedangkan Agung Sedayu sibuk dengan dirinya sendiri. Timbullah didalam angan-angannya 

keinginan yang besar untuk setidak-tidaknya dapat berbuat seperti pamannya, seperti kakaknya 

apalagi seperti Kiai Gringsing yang mampu bergerak selincah burung sikatan. “Aku akan 

berlatih terus. Setiap malam” janjinya didalam hati. 

Awan dilangit semakin lama menjadi semakin kelam. Satu-satu guruh dilangit meledak seperti


hendak meruntuhkan gunung. 

Widura dan Agung Sedayu mempercepat langkah mereka. Mereka lebih senang tidur 

dipringgitan kademangan Sangkal Putung daripada basah kuyup dijalanan. 

Diregol halaman kademangan, Widura melihat Ki Demang tidur diatas anyaman daun kelapa, 

sedang disampingnya mendengkur anak laki-lakinya, Swandaru. 

Widura tersenyum melihat mereka. Meskipun umur demang Sangkal Putung itu sudah melewati 

setengah abad, namun ia merasakan benar bahwa adalah menjadi tanggung jawabnya, hidup 

atau mati dari kademangannya. Ia tidak saja menerima jabatannya dalam saat-saat 

menyenangkan, bukan sekedar suatu keinginan untuk menerima pelungguh sawah dan 

kehormatan sebagai seorang demang, namun ia menyadari, bahwa disamping hak yang 

diterimanya itu, maka iapun harus mengemban kewajiban yang diperoleh sebagai 

keseimbangan dari hak-hak itu. Bahkan lebih dari itu, kampung halamannya adalah tanah yang 

harus dipertahankan. Sebagai demang atau bukan. 

Beberapa orang penjaga yang duduk diregol halaman disamping Ki Demang itupun berdiri 

ketika mereka melihat Widura memasuki pintu regol “Selamat malam tuan” sapa salah seorang 

penjaga. 

Widura menganggukkan kepalanya. Ketika ia akan menjawab, dilihatnya Ki Demang 

menggeliat sambil bergumam “Apakah adi Widura baru datang?” 

“Ya kakang” jawab Widura. 

“Silakan, aku lebih senang tidur disini. Udara terlalu panas” berkata ki demang itu pula. 

“Langit kelam kakang” sahut Widura. “Agaknya sebentar lagi hujan akan turun” 

“Agaknya demikian” jawab Ki Demang “Nah, beristirahatlah” 

Widura itupun kemudian berjalan bersama-sama dengan Agung Sedayu naik kependapa. 

Ketika mereka melihat pembaringan Sidanti, mereka terkejut. Pembaringan itu kosong. Dan 

senjata didinding diatas pembaringannya itupun tidak ada pula. Sedang disampingnya masih 

berjajar beberapa orang tidur dengan nyenyaknya. Tetapi Widura tidak menanyakannya kepada 

siapapun. Bersama Agung Sedayu mereka langsung kepringgitan. 

“Kau lelah Sedayu” berkata pamannya kemudian “Tidurlah” 

Sebenarnya Agung Sedayu itu lelah sekali. Tidak saja tubuhnya, tetapi juga angan-angannya. 

Karena itu, segera ia membaringkan dirinya, diatas tikar pandan disamping pembaringan 

pamannya. 

Tetapi pamannya tidak segera tidur. Setelah diteguknya beberapa teguk air dari gendi 

digelodog bambu, iapun duduk sambil mengamati tubuhnya. Tampaklah beberapa goresan-

goresan merah biru dan noda-noda yang kehitaman hampir disegenap bagian tubuhnya. Ujung 

dan pangkal cambuk Kiai Gringsing benar-benar mengagumkan. 

Widura itu kemudian terkejut, ketika ia mendengar langkah menaiki pendapa. Perlahan-lahan 

dan kemudian kemudian hilang . Ketika ia memperhatikan keadaan dan memusatkan 

pendengarannya, ia mendengar beberapa suara gemerisik. Hanya sebentar, kemudian diam 

kembali. 

Widura mengangkat alisnya. Tetapi ia diam saja. Ia masih menunggu beberapa saat. Baru 

kemudian ia berdiri perlahan-lahan dan dengan hati-hati melangkah keluar pringgitan. Ketika ia 

sampai dipendapa dilihatnya Sidanti telah berbaring ditempatnya, seakan-akan tidak terjadi 

apapun. 

“Sidanti” panggil Widura perlahan-lahan. 

Sidanti menggeliat. Kemudian dengan segan ia menjawab “Ya kakang” 

“Adakah kau yang baru saja naik kependapa?” bertanya Widura pula. Sesaat Sidanti terdiam. Ia 

ragu-ragu untuk menjawab. Namun ketika Widura memandangnya dengan seksama, seakan-

akan ingin melihat debar dijantungnya, maka Sidanti itupun menjawab “Ya kakang” 

“Dari manakah kau?” bertanya Widura seterusnya. 

“Dari belakang kakang. Kenapa?” sahut Sidanti. 

“Tidak apa-apa. Sejak tadi aku mencarimu” 

Sidanti kemudian bangkit dan duduk dengan malasnya “Adalah sesuatu yang sangat perlu?”


“Tidak sedemikian penting. Tetapi kemarilah” 

“Aku sudah kantuk sekali. Tidakkah dapat ditunda sampai besok?” 

“Tentu. Tetapi aku mengharapmu sekarang” 

Widura tidak menunggu Sidanti menjawab. Dengah langkah yang tetap ia berjalan memasuki 

pringgitan kembali. 

Sidanti mengumpat dihatinya “Apa pula yang akan dikatakannya” 

Ketika Sidanti sudah duduk dihadapannya, Widura berkata “Sidanti. Persoalan ini memang 

tidak begitu penting. Tetapi aku perlu menyampaikannya kepadamu” Widura diam sejenak. 

Diamat-amatinya baju Sidanti. Basah oleh peluh yang seakan-akan terperas dari tubuhnya. 

Tiba-tiba ia bertanya “Darimana kau Sidanti?” 

Sidanti menjadi agak gugup. Namun sesaat ia telah tenang kembali. Jawabnya “Dari belakang” 

“Bajumu basah oleh keringat” sahut Widura. 

Kembali Sidanti menjadi agak gugup. Jawabnya kemudian “Aku mencoba melatih diri supaya 

aku kelak dapat mengimbangi Macan Kepatihan” 

“Sendiri?” desak Widura. 

“Ya” 

“Sidanti. Aku berbangga akan ketekunanmu. Namun kau harus memberitahukannya kepada 

kawan-kawanmu. Apalagi mereka yang sedang bertugas, supaya tak terjadi salah mengerti. 

Dalam keadaan serupa ini, setiap orang akan dapat dicurigai. Sampai saat ini aku belum 

pernah dapat laporan, bahwa kau sering mempergunakan waktumu untuk berlatih diri” 

“Apa salahnya?” potong Sidanti “Apakah kakang Widura ingin kami semua ini menjadi orang-

orang yang tidak pernah menemukan tingkat yang lebih baik dari tingkat yang kita miliki 

sekarang?” 

“Tidak Sidanti. Aku tidak bermaksud demikian. Bahkan aku senang kau melakukannya. Tetapi 

kenapa dengan diam-diam. Apakah kau tak ingin misalnya, beberapa orang ikut serta, dan 

apakah dengan demikian, ketahanan dan pertahanan kita akan tambah kuat” 

“Tentu” jawab Sidanti “Bukankah telah kita lakukan setiap hari? Dan apa salahnya kalau aku 

mempergunakan waktu khusus untuk aku sendiri?” 

“Aku tidak keberatan. Tetapi kau sering meninggalkan kademangan ini tanpa seorangpun juga 

mengetahuinya” Widura mencoba untuk mengetahui, apakah yang dikatakan Kiai Gringsing 

tentang Sidanti benar-benar terjadi. 

Sidanti untuk sesaat tidak menjawab. Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya. Tetapi 

ketika pandangan mata mereka bertemu, Sidanti itupun menundukkan wajahnya. Namun 

dadanya masih juga berdebar-debar. 

Widura tidak segera mendesaknya. Ia menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Sidanti. 

Hanya tarikan nafas mereka terdengar berkejar-kejaran. Baru beberapa saat kemudian Sidanti 

menjawab “Aku pergi atas tanggung jawabku sendiri kakang. Aku kadang-kadang memerlukan 

tempat yang baik yang tidak aku temui dihalaman kademangan ini. Juga karena aku tidak ingin 

diganggu oleh siapapun juga” 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia yakin akan kebenaran cerita Kiai Gringsing. 

Namun ia masih mengharap semoga Sidanti benar-benar akan mengamalkan ilmunya untuk 

kemenangan bersama. Meskipun demikian Widura itupun berkata “Sidanti, aku berbangga. 

Benar-benar berbangga seperti yang aku katakan. Tetapi aku ingin memberimu peringatan. 

Jangan terlalu berani meninggalkan kademangan ini seorang diri. Macan Kepatihan bukan 

anak-anak yang ketakutan karena kekalahan-kekalahan kecil. Setiap saat ia dapat datang 

kembali. Mungkin seorang diri, dan menyergapmu tanpa seorangpun yang dapat melihat apa 

yang akan terjadi” 

“Sudah aku katakan” jawab Sidanti “Kalau aku terbunuh olehnya selama aku melatih diri, 

adalah tanggung jawabku sendiri. Tak seorangpun perlu menangisi mayatku” 

“Jangan berkata demikian” sahut Widura. Kata-katanya tenang dan berat. Kata-kata seorang 

tua kepada anaknya yang nakal. “Kalau kau hilang dari antara kami, maka kami semua akan 

merasa kehilangan. Kita tidak tahu, sampai kapan kita dalam keadaan yang tidak menentu ini. 

Karena itu, kau adalah lawan Tohpati yang dapat kita banggakan. Ilmumu masih akan


berkembang sejalan dengan ilmu Tohpati. Namun kau memiliki kemenangan daripadanya. 

Gurumu masih ada” 

Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia tidak senang atas peringatan itu. Dirasakannya seakan-akan 

kebebasannya terganggu. “Apapun yang aku lakukan adalah hakku” katanya didalam hatinya. 

“Apakah gurumu tak pernah mengunjungimu?” tiba-tiba Widura bertanya. Dan pertanyaan itu 

benar-benar membingungkan Sidanti. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Sebenarnya ia 

sendiri tidak pernah merasa keberatan seandainya semua orang tahu, bahwa gurunya sering 

datang mengunjunginya. Namun gurunyalah yang melarangnya. Selalu teringat olehnya 

gurunya itu berkata “Sidanti, kemenangan terakhir haruslah kemenanganmu. Bukan 

kemenangan orang lain. Juga bukan kemenangan kelompokmu, apalagi pimpinanmu” 

Karena ingatannya itu, maka Sidanti kemudian menggeleng “Tidak. Guru tidak pernah datang” 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia pasti, bahwa guru Sidanti itu dengan 

diam-diam selalu datang dan menempa muridnya dengan tekunnya. Sedang didalam kepala 

Sidanti itu terngiang kata-kata gurunya pula “Karena itu Sidanti, aku tak mau seorangpun tahu, 

bahwa kau sedang menempa dirimu. Aku tak mau seorangpun dapat meneguk ilmu Tambak 

Wedi meskipun hanya setetes. Sebab, pada suatu saat kau harus menjadi orang pertama di 

Pajang sesudah Hadiwijaya sendiri” 

Kembali suasana di pringgitan itu tenggelam dalam kesepian. Sidanti kemudian menundukkan 

wajahnya pula. Tubuhnya benar-benar merasa lelah setelah ia memeras tenaganya, menerima 

ilmu-ilmu penyempurnaan dari gurunya. 

“Kau lelah sekali Sidanti” berkata Widura. 

“Ya” sahut Sidanti pendek. 

“Tidurlah” 

Sidanti tidak menunggu perintah itu diulang untuk kedua kalinya. Segera ia berdiri dan berjalan 

keluar. Dimuka pintu ia berpaling. Ketika dilihatnya Widura masih mengawasinya, segera ia 

melemparkan pandangan matanya kearah lain. 

Kini Widura duduk kembali seorang diri diatas pembaringannya. Angan-angannya terbang kian 

kemari. Banyak persoalan yang dihadapinya. Dan banyak persoalan yang perlu dipecahkannya. 

Namun sebagai manusia Widura berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan 

memberinya jalan terang. 

Widura pun ternyata lelah pula. Sejenak kemudian iapun berbaring dan tertidur pula dengan 

lelapnya. 

Ketika cahaya fajar telah membayang dipunggung bukit, maka Agung Sedayupun telah bangun 

dari tidurnya. Dikejauhan masih didengarnya satu-satu ayang jantan berkokok menyambut pagi. 

Sekali Agung Sedayu menggeliat, kemudian perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan keluar. 

Terasa betapa nyamannya udara menjelang dini hari. Dipendapa beberapa orang pun telah 

bangun. Seorang dua orang telah turun kehalaman, sedang yang lain lagi bersembahyang 

subuh. Agung Sedayu pun segera pergi kepadasan. 

Baru setelah ia selesai sembahyang subuh, dilihatnya pamannya bangkit. Dengan tersenyum ia 

menyapa “Ah, kau bangun lebih dahulu Sedayu” 

“Ya paman” sahutnya “Aku tidur lebih dahulu pula” 

Pamannya tersenyum. Dan Agung Sedayu pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Ia ingin 

menikmati cerahnya fajar. Satu-satu dilangit masih tersangkut bintang-bintang yang dengan 

segannya memandang halaman kademangan Sangkal Putung yang baru saja terbangun dari 

lelapnya malam. 

Sangkal Putung itu ternyata benar-benar telah terbangun. Dijalan-jalan telah mulai tampak satu 

dua orang yang lewat tergesa-gesa. Mereka akan mencoba menjual dagangan mereka disudut 

desa. Sebab mereka masih belum berani berjalan terlampau jauh. Disudut desa itu telah 

menjadi agak ramai sejak beberapa saat yang lampau. Jual beli dan tukar-menukar banyak 

pula terjadi. 

Tiba-tiba timbullah keinginan Agung Sedayu untuk berjalan-jalan menyusur jalan dimuka 

kademangan itu. Dimuka regol beberapa orang penjaga mengangguk kepadanya. 

“Akan kemana ngger?” bertanya salah seorang daripadanya.


“Berjalan-jalan paman” jawab Agung Sedayu 

Orang itu mengangguk. Sahutnya “Silakan. Barangkali udara pagi di Sangkal Putung dapat 

menyejukkan hati angger” 

Agung Sedayu tersenyum. Dan diayunkannya kakinya melangkah menurut jalan itu. Sekali-

sekali ia berpaling untuk mengetahui jarak yang telah ditempuhnya. Agung Sedayu tidak ingin 

berjalan seorang diri terlalu jauh dari kademangan, meskipun disiang hari yang cerah sekalipun. 

Tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika didengarnya sapa halus disampingnya. Katanya “Akan 

pergi kemanakah tuan sepagi ini?” 

Ketika Agung Sedayu menoleh dilihatnya seorang gadis yang kemarin ditemuinya 

dikademangan muncul dari sebuah jalan sidatan. Karena itu maka sambil mengannguk ia 

menjawab pendek “Berjalan-jalan” 

Gadis itu, yang tak lain adalah Sekar Mirah, mengerutkan keningnya. Jawaban yang terlalu 

pendek. Meskipun demikian ia memberanikan dirinya untuk bertanya “Apakah tuan akan pergi 

kewarung disudut desa?” 

Agung Sedayu menggeleng “Tidak” jawabnya. 

Sekar Mirah menggigit bibirnya. Tetapi justru karena itu, maka kesannya atas Agung Sedayu 

menjadi semakin dalam. Anak muda pendiam yang sombong. Tetapi Sekar Mirah berkata pula 

“Kalau tidak, akan kemanakah tuan?” 

Agung Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu, akan kemanakah ia sebenarnya. Maka jawabnya 

sekenanya “Aku hanya berjalan-jalan saja” 

“Oh” sahut Sekar Mirah. “Kalau begitu, apakah tuan ingin melihat warung itu. Barangkali tuan 

ingin membeli sesuatu. Buah-buahan, kain atau apa? Warung itu menjadi ramai sejak daerah 

ini tidak aman. Sebab mereka tidak berani pergi terlalu jauh. Bahkan orang-orang dari desa 

yang lainpun datang kemari. Sebab disini ada laskar paman Widura, sehingga mereka merasa 

mendapatkan perlindungan daripadanya. 

Agung Sedayu menjadi bertambah bingung. Ia sama sekali tidak memiliki uang seduitpun. 

Tetapi sebelum ia menolak gadis itu telah berkata pula “Marilah tuan. Tuan akan mendapat 

kesan yang lengkap dari daerah ini” 

Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain dari mengikutinya. Sekar Mirah berjalan kembali 

kewarung disudut desa. Ia senang bahwa Agung Sedayu mengikutinya. 

“Kedatangan tuan pasti akan menggembirakan para pedagang diwarung itu” berkata Sekar 

Mirah kemudian. 

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu. 

“Bukankah tuan telah menyelamatkan Sangkal Putung?” jawab Sekar Mirah. 

Terasa dada Sedayu berdesir. Meskipun demikian, iapun tiba-tiba merasakan suatu 

kebanggaan atas pujian itu. Pujian yang diucapkan oleh seorang gadis yang ramah. 

Sekar Mirah adalah gadis yang lincah. Banyak persoalan yang ingin diketahuinya, dan banyak 

persoalan yang dipikirkannya. Meskipun ia seorang gadis, namun ingin juga ia mengerti banyak 

hal tentang keadaan didaerahnya. Sebagai seorang anak demang, Sekar Mirah selalu melihat 

dan mendengar ayahnya mempersoalkan daerah dan orang-orang didaerah Sangkal Putung. 

Karena itu, maka lambat laun hatinyapun tertarik pada persoalan-persoalan daerah dan orang-

orang didaerahnya. 

Karena itu pula maka disepanjang jalan itupun, Sekar Mirah selalu berusaha untuk mengerti 

akan beberapa persoalan. Maka dengan hati-hati ia bertanya “Tuan, apakah tuan adik dari 

seorang yang bernama Untara?” 

Agung Sedayu mengangguk. “Ya” jawabnya. 

“Ah. Semua orang di Sangkal Putung mengagumi tuan. Bukankah tuan telah menyelamatkan 

kademangan ini. Semua orang yang bertemu dengan tuan, pasti akan menundukkan kepalanya 

dalam-dalam dengan penuh rasa hormat dan terima kasih” 

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati “Ya, seandainya demikian. 

Tetapi aku akan berlatih terus. Aku ingin untuk benar-benar menjadi orang yang berhak 

mendapat penghormatan yang demikian.”


“Tuan” Sekar Mirah itu berkata lagi “Untuk mencapai tingkat yang seperti tuan, berapa lama 

waktu yang tuan perlukan?” 

Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang tak diduga-duganya. 

Apalagi dari seorang gadis. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab. Sehingga Sekar Mirah 

itu berkata pula “Kakang Swandarupun selalu berusaha untuk melatih diri. Namun apa yang 

dicapainya itu sama sekali tak berarti. Orang-orang di Sangkal Putung sampai saat ini, yang 

paling dibanggakan oleh paman Widura adalah Sidanti” 

Dada Agung Sedayu berdesir mendengar nama itu. Dilihatnya didalam rongga matanya Sidanti 

yang tinggi hati itu memandanginya dengan tajam dan penuh prasangka. Tiba-tiba bulu-bulu 

Agung Sedayu meremang. Namun ia tidak menjawab. Sebab, tiba-tiba saja timbullah disudut 

hatinya suatu keinginan yang tak dimengertinya sendiri. Terhadap gadis itu, ia ingin 

mempertahankan nama yang telah dicapainya. “Kenapa demikian”, timbul pula pertanyaan 

didalam dirinya. Tetapi ia menjawab “Aku melatih diri sejak kanak-kanak” 

“Oh” Sekar Mirah menjadi bertambah kagum. “Pantaslah tuan dapat melakukan semua itu. Aku 

mendengar seseorang mengatakan bahwa tuan berhasil mengalahkan Alap-alap Jalatunda.” 

Agung Sedayu berdebar-debar. Namun ia menjawab “Alap-alap Jalatunda tidak segarang 

Tohpati” Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia menyebut nama itu. Meskipun demikian, ia 

berusaha untuk tetap tersenyum. 

Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Agung Sedayu itu telah 

dapat diajaknya bicara. Maka katanya seterusnya “Berapa lamakah tuan akan tinggal di 

Sangkal Putung?” 

“Aku tidak tahu” jawab Sedayu “Kalau kakang Untara sudah ditemukan, aku akan segera 

kembali ke Jati Anom, dan kakang Untara akan kembali ke Pajang” 

Sekar Mirah kecewa mendengar jawaban itu. Dan ia mengharap, semoga Untara tidak segera 

dapat diketemukan. 

Demikianlah mereka berjalan sambil bercakap-cakap. Sekar Mirah menjadi gembira dan Agung 

Sedayu pun berbangga karenanya. Tanpa disadarinya Agung Sedayu telah banyak bercerita 

tentang kademangan-kademangan yang pernah dicapainya dalam perjalanannya dari Jati 

Anom. Diceritakannya tentang si Pande Besi dan tiga kawannya yang terbunuh, dan Alap-alap 

Jalatunda yang mencegatnya di Bulak Dawa. Namun setiap kata diucapkan, terasa sebuah 

goresan yang pahit didalam dadanya. Ingin ia mengatakan apa yang sebenarnya, namun ia 

tidak mempunyai keberanian, dan bahkan akhirnya ia sengaja menyombongkan dirinya untuk 

menyembunyikan kekerdilannya. Seakan-akan ia benar-benar pahlawan Sangkal Putung. 

Ketika mereka sampai diwarung ujung desa, maka apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu 

benar-benar terjadi. Para pedagang dan orang yang berada diwarung itu mengaguminya. 

Mereka tiba-tiba saja seperti orang yang terpesona. Berdesakan mereka mengitari Agung 

Sedayu untuk sekedar dapat menyambut tangannya. Satu demi satu orang-orang diwarung itu 

memberikan salamnya, dan satu demi satu tangan-tangan mereka itu disambut oleh Agung 

Sedayu disertai dengan sebuah anggukan kepala dan sebuah senyuman. Namun tak 

seorangpun diantara mereka yang mengetahuinya, bahwa didalam dada anak muda itu 

bergolaklah kecemasan dan kekhawatiran yang dahsyat. 

Sekar Mirah yang memperkenalkan Agung Sedayu itupun ikut berbangga pula. Kepada kawan-

kawannya ia bercerita seperti burung sedang berkicau tentang anak muda yang bernama 

Agung Sedayu itu, seolah-olah ia melihat sendiri peristiwa-peristiwa yang dialami olehnya. 

Namun beberapa gadis yang iri hati kepadanya bergumam didalam hatinya “Ah Mirah. Dahulu 

kau selalu berdua dengan Sidanti. Sekarang, ketika datang anak muda yang lebih tampan dan 

sakti, kau tinggalkan anak muda yang bernama Sidanti itu” 

Tetapi tak seorangpun yang berani mengucapkannya. Sebab Sekar Mirah adalah anak 

Demang Sangkal Putung. 

Ketika mereka sudah puas melihat kekaguman orang-orang Sangkal Putung itu, maka Sekar 

Mirah dan Sedayupun segera kembali ke kademangan. Juga disepanjang jalan pulang, Sekar 

Mirah masih saja berkicau tak henti-hentinya. Namun kini Agung Sedayu sendang 

mendengarnya.


Sampai di kademangan Agung Sedayu segera pergi menemui pamannya dipringgitan, dimana 

Agung Sedayu sehari-hari menyekap diri. Jarang sekali ia pergi berkumpul dengan orang-orang 

lain. Hanya kadang-kadang saja ia bercakap-cakap dengan mereka dipendapa. Sedang Sekar 

Mirah dengan tergesa-gesa pergi kedapur. Ia takut terlambat dengan belanjaannya untuk 

mempersiapkan makan pagi. 

Tetapi langkah Sekar Mirah itu terhenti ketika Sidanti menggamitnya “Mirah” katanya. 

Sekar Mirah berpaling. Dengan tergesa-gesa ia bertanya “Kenapa?” 

“Dari mana kau?” 

“Warung” jawab Sekar Mirah pendek. 

Sidanti memandangnya dengan tajam. Kemudian katanya “Dengan Agung Sedayu?” 

Sekar Mirah memandang Sidanti tidak kalah tajamnya. Jawabnya “Ya. Apa salahnya?” 

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum. Katanya “Mirah, jangan 

marah, meskipun aku senang melihat kau bersungut-sungut. Aku hanya ingin memberi 

peringatan. Jangan terlalu sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui 

keadaannya” 

Sekar Mirah kemudian menarik nafas. Wajahnya kini sudah tidak tegang pula. Jawabnya “Aku 

hanya bertemu dengan Sedayu dijalan, dan aku antarkan ia kewarung diujung desa” 

Sidantipun kemudian melangkah pergi. Meskipun demikian ia masih curiga berkata “Ingat-

ingatlah Mirah. Jangan terlalu rapat bergaul dengan siapapun juga. Aku kurang senang 

melihatnya” 

Kembali wajah Sekar Mirah menjadi tegang “Apakah hakmu?” 

Tetapi Sidanti tidak menjawab. Berpalingpun tidak. Ia berjalan saja kebelakang rumah dan 

lenyap dibalik pepohonan yang rapat. 

Sekar Mirah masih berdiri ditempatnya. Ia menjadi kesal pada anak muda itu. Tetapi kemudian 

timbul juga ibanya kepada Sidanti. Pergaulan mereka telah berlangsung lama, dan anak muda 

itupun tak pernah menyakiti hatinya. 

Dengan wajah tunduk Sekar Mirah masuk kedapur. Dilihatnya beberapa orang telah sibuk 

menyiapkan makan pagi. 

“Kami tunggu kau, Mirah” kata ibunya. 

“Oh” Mirah sadar akan dirinya. Yang dibawanya itu adalah bumbu-bumbu masak. Karena itu 

segera diserahkannya kepada ibunya. 

“Nasi sudah masak. Tetapi belum ada lauk dan sayurnya. Terlambat” desah ibunya. 

“Kadang-kadang saja” sahut Sekar Mirah. “Bukankah tidak setiap hari aku terlambat?” 

“Aku jemu mendengar mereka menggerutu” berkata orang yang gemuk, yang duduk dimuka api. 

“Ah bibi. Jangan kau dengarkan. Bukankah sudah menjadi kebiasaan mereka menggerutu. 

Apapun tidak menyenangkan mereka” 

“Tetapi mulut orang yang jangkung dan berkumis tipis itu sangat tajam. Aku pernah dikata-

katainya karena termakan cabe rawit olehnya. Dikiranya aku sengaja memasang untuknya. Oh, 

orang itu benar-benar tidak melihat punggungnya. Apa yang dibanggakannya untuk berlagak 

dihadapanku” 

Tetapi Sekar Mirah menjadi tertawa karenanya. Jawabnya “Bibi, siapakah yang membelikan 

lurik abang itu?” 

“Oh, oh” orang yang gemuk itu tersipu-sipu. Namun akhirnya ia menjawab “Aku tidak pernah 

minta kepadanya. Ia sendiri datang kepadaku dan memberikan kain lurik ini” 

Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ia masih tertawa. Tetapi tawanya itu patah ketika ia 

mendengar orang membentaknya “Kau baru datang Mirah?” 

Ketika Sekar Mirah berpaling, dilihatnya Swandaru bertolak pinggang dipintu dapur. “He, kau 

baru datang?” desak kakaknya. 

Sekar Mirah tidak menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya. 

“Kenapa terlambat?” kakaknya membentak. 

Tetapi Sekar Mirah tidak juga menjawab, sehingga kemudian Swandaru itupun pergi dengan


sendirinya. 

Dapur kademangan itu kemudian tenggelam dalam kesibukan. Semua bekerja dengan cepat 

dan tergesa-gesa. Tetapi Sekar Mirah kali ini tidak selincah biasanya. Kadang-kadang ia duduk 

termenung memandangi api yang menjilat-jilat diperapian. Sedang ditangannya masih 

tergenggam pisau dapur dan daging yang sedang dipotongnya. 

Ia baru sadar ketika beberapa orang menegurnya. 

Tetapi sesaat kemudian kembali ia termenung. Hatinya sedang dirisaukan oleh angan-

angannya tentang anak-anak muda yang dikenalnya. Ternyata pertemuannya dengan Agung 

Sedayu itupun berkesan pula dihatinya. Namun selalu diingatnya, senyum Sidanti beberapa 

saat berselang. “Mirah” katanya “Jangan terlampau sering bergaul dengan anak muda yang 

belum kau ketahui keadaannya itu” 

Akhirnya Sekar Mirah sampai pada suatu kesimpulan bahwa Sidanti menjadi cemburu 

karenanya. 

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati “Bukankah aku mengagumi 

Agung Sedayu seperti juga orang-orang lain mengaguminya?” Tetapi terdengar pula dari sudut 

hatinya “Ah, kau dulu juga mengagumi Sidanti, karena Sidanti adalah orang yang paling 

mengagumkan di Sangkal Putung. Apa katamu kalau kelak datang Untara yang lebih sakti dari 

adiknya. Apakah kau akan mengaguminya pula berlebih-lebihan dan melupakan orang-orang 

lain?” 

“Oh” Sekar Mirah memejamkan matanya. Dan tiba-tiba dilemparkannya pisaunya dan dengan 

tergesa-gesa ia pergi kebiliknya. 

“Mirah” panggil ibunya yang terkejut melihat kelakuan anaknya itu. “Kenapa kau?” 

“Kepalaku pening” jawabnya sambil berlari. 

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Diikutinya anaknya kebiliknya. Dan dirabanya keningnya. 

Katanya “Tidak panas Mirah” 

Sekar Mirah berbaring dipembaringannya sambil menengadahkan wajahnya. ketika ibunya 

meraba keningnya, maka katanya “Hanya pening sedikit bu. Mungkin semalam aku kurang 

tidur” 

Ibunya tidak bertanya lagi. Ditinggalkannya Sekar Mirah sendiri didalam biliknya. Pesannya 

“Beristirahatlah Mirah. Mungkin kau terlalu lelah” 

Sekar Mirah mengangguk. Namun ketika ibunya telah meninggalkannya, kembali angan-

angannya bergolak. Bermacam-macam persoalan hilir mudik dikepalanya. Sehingga akhirnya ia 

menjadi benar-benar pening. Karena itu, maka sehari-harian Sekar Mirah tinggal didalam 

biliknya. Tak seorangpun tahu, apa yang sedang mengganggu usia remajanya. Mula-mula ia 

mencoba untuk tidur, namun tidak dapat. Dengan gelisahnya ia berbaring. Sekali miring kekiri, 

sekali kekanan. Kadang-kadang ia bangkit, duduk sambil bertopang dagu, tetapi sesaat 

kemudian direbahkannya dirinya kembali. Sekar Mirah keluar dari biliknya hanya apabila datang 

saatnya makan. Namun ibunya menyangka tidak lebih daripada Sekar Mirah sedang pening. 

Matahari dilangit merayap dengan lambatnya. Seakan-akan telah jemu akan pekerjaan yang 

selalu dilakukan itu setiap hari. Ketika matahari itu kemudian tenggelam dibalik bukit-bukit, 

maka warna-wana yang kelam seakan-akan turun dari langit, menyelubungi wajah bumi. 

Demikian lah kembali Sangkal Putung terbenam dalam lelap malam. Ketika sunyi malam 

menjadi semakin sunyi, maka Widura dan Agung Sedayupun berangkat pula berkeliling 

kademangan. Dan kemudian mereka berdua itupun pergi kepuntuk kecil yang bernama gunung 

Gowok. 

Kini Agung Sedayu semakin gairah menghadapi latihan-latihannya. Bahkan Widura menjadi 

heran. Anak itu sudah menyimpan kemampuan yang tidak diduganya. Sehingga tiba-tiba saja 

terloncat pertanyaannya “Sedayu, darimana kau dapatkan ilmumu itu?” 

“Kakang Untara” jawab Agung Sedayu. 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. ”Hem” gumamnya. “Kenapa kau masih takut juga 

kepada Alap-alap Jalatunda? Kalau kau berani melawannya, aku kira kau sendiri mampu 

mengalahkannya. Setidak-tidaknya kau akan dapat mempertahankan dirimu sendiri sehingga 

Untara tidak usah terluka karenanya


Sedayu menundukkan wajahnya. Memang terasa juga dihatinya, setiap kali ai melihat 

perkelahian, timbul juga kata-kata dihatinya “Ah. Tidak aneh. Aku juga dapat melakukannya”. 

Tetapi ia sediri belum pernah berbuat seperti yang dilihatnya itu dalam peristiwa-peristiwa yang 

sebenarnya. Agung Sedayu hanya berani menghadapi lawannya dalam latihan-latihan Untara 

dan kini Widura. 

“Besok kau bawa senjata panjang seperti pedangku ini” berkata Widura. “Apakah kau pernah 

juga berlatih dengan pedang?” 

Sedayu mengangguk. “Pernah” jawabnya. “Ayah pernah memberi aku beberapa petunjuk, dan 

kakang Untarapun pernah memberi aku latihan-latihan dengan pedang, perisai dan tombak” 

“Aneh. Aneh” gumam Widura. 

“Apa yang aneh paman?” bertanya Sedayu. 

“Kau” jawab pamannya. “Hampir aku kehilangan akal karena kedatanganmu Sedayu. Aku 

berterima kasih karena kau telah memberitahukan kepada kami, bahaya yang akan menerkam 

kami. Namun seterusnya kau menjadi beban yang hampir tak tertanggungkan” 

Wajah Agung Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia merasakan pula, betapa sulit keadaan 

pamannya karena kehadirannya. Tetapi bukankah kakaknya yang telah menjerumuskannya 

keneraka ini? 

“Sedayu” berkata pamannya pula. “Baiklah aku berterus terang. Kehadiranmu ternyata sangat 

menyulitkan keadaanku. Kini ternyata bahwa kau memiliki kemampuan yang tidak kecil. Namun 

kau simpan didalam dirimu, karena terbalut oleh kekerdilan jiwamu. Cobalah, pecahkan dinding 

yang membatasi dirimu itu. Kau kini berada dalam dunia ketakutan. Kalau sekali kau berani 

melampaui batas itu, batas antara ketakutan yang membelengumu dan kebebasan bertindak 

yang dilambari oleh keberanian, maka kau merupakan anak muda yang benar-benar 

mengagumkan. Sampai saat ini ternyata kau sudah memiliki kemampuan-kemampuan yang 

tinggi, apabila kemampuan-kemampuan itu kau ungkapkan, dibumbui oleh pengalaman-

pengalaman, maka kau tak akan kalah melawan Alap-alap Jalatunda. Kelak kau akan tetap 

menjadi pahlawan dimata rakyat Sangkal Putung. Kau tidak akan cemas lagi berhadapan 

dengan bahaya apapun”. 

Kata-kata itu bukanlah yang pertama kali didengarnya. Kakaknya pernah juga berkata demikian. 

Dan hatinya sendiripun berkata demikian pula. Namun bagaimana? Apabila bahaya itu benar-

benar datang, maka hatinya berkerut sekecil biji sawi. “Hem” Sedayu menarik nafas. Katanya 

didalam hati “Kenapa manusia didunia ini harus berkelahi satu sama lain?” Namun ia tidak 

dapat mengingkari kenyataan, bahwa masih ada manusia-manusia yang ingin selalu 

memaksakan kehendaknya kepada orang lain, manusia-manusia yang ingkar kepada 

sumbernya yang memberi manusia kebebasan untuk melakukan pilihan. Selama manusia tidak 

menghormati kebebasan yang berasal dari sumber hidupnya, maka selama itu masih akan ada 

bentrokan-bentrokan diantara sesama. Kebebasan yang setia pada sumbernya, yang pada 

hakekatnya merupakan kesimpang-siuran hidup manusia seorang-seorang, namun penuh 

dengan keserasian dalam ujud keseluruhannya. Yang satu sama lain tidak saling berbenturan 

dan bertentangan. Apabila setiap orang menyadari keadaannya serta patuh pada hakekatnya, 

sumber hidupnya yaitu kekuasan Tuhan Yang Maha Tinggi, maka manusia akan menemukan 

kedamaian. Lahir dan batin. 

Tetapi ternyata manusia telah memiliki arti sendiri bagi kebebasannya. Kebebasan yang mutlak, 

yang tak dapat dikekang oleh dirinya sendiri sekalipun. Yang bahkan kebebasan itu telah 

dipakainya untuk mengaburkan arti dalam hidupnya. Dengan demikian maka hilanglah 

keserasian hidup antara manusia. Dan timbullah pertentangan dimana-mana, peperangan dan 

pembunuhan. Perkosaan terhadap peradaban manusia itu sendiri. 

Demikianlah Agung Sedayu harus melihat kenyataan itu. Apakah ia harus menelan keharusan 

yang dipaksakan orang lain atasnya? Keharusan yang bertentangan dengan haknya? Tetapi 

betapa ia menyadari keadaannya, namun dinding yang membatasi dunianya itu tak mampu 

dipecahkannya. Dinding yang selalu menyekapnya dalam ketakutan dan kekhawatiran. 

Meskipun demikian, niat untuk melakukannya kini telah semakin besar mengetuk dadanya. 

Karena itu, iapun berlatih semakin keras. Dikerahkannya segenap tenaganya dan kemampuan-

kemampuan yang tersimpan didalam dirinya. Sehingga dengan demikian Widura menjadi 

bergembira karenanya. Ia melihat anak muda itu seakan-akan lain dari Agung Sedayu yang


dikenalnya sehari-hari. Lincah, tangkas dan kuat, bahkan kadang-kadang berhasil 

membingungkannya karena kecepatannya. 

Tetapi apabila teringat oleh pamannya itu, betapa kecil hati kemenakannya, maka iapun 

menjadi kecewa karenanya. Meskipun demikian, maka Widura itu bekerja sekeras-kerasnya. 

Diusahakannya untuk dapat mengungkat setiap kemampuan yang ada pada kemenakannya itu. 

“Suatu ketika” katanya didalam hati “Apabila ia dihadapkan pada suatu keadaan memaksa, 

mudah-mudahan ia telah mampu untuk menyelamatkan diri” 

Demikianlah, latihan itu berjalan dengan cepatnya. Semakin lama semakin cepat. Widura 

berusaha untuk memeras tenaga kemenakannya, sedang Agung Sedayupun berusaha untuk 

mengimbanginya. 

Widura sendiri, yang ternyata memiliki ilmu yang cukup tinggi, terpaksa bekerja keras untuk 

dapat mengatasi kemenakannya itu. Sekali-sekali Agung Sedayu dapat bergerak secepat 

bayangan. Namun sekali-sekali mencoba juga untuk bertahan beradu kekuatan. Ternyata 

kekuatan Agung Sedayu pun mengherankan pula. Ketika serangan Widura membentur dinding 

pertahanan kemenakannya itu, ia terkejut. Terasa ia bergetar surut, meskipun Agung Sedayu 

terdorong beberapa langkah pula. 

“Luar biasa” desis pamannya. “Kekuatanmupun luar biasa” 

Agung Sedayu tersenyum. Ia senang mendengar pujian itu. Jawabnya “Bukankah bibi dahulu 

selalu memberiku pekerjaan itu?” 

“He” pamannya mengerutkan keningnya. “Pekerjaan yang mana?” ia bertanya. 

“Membelah kayu” jawab Sedayu. 

“Ah” desah Widura. “Bukan itu. Pasti ada yang lain” 

“Setiap pagi kakang Untara mengajari aku bermain-main berjalan diatas tangan dengan kaki 

diatas. Kemudian bermain-main dengan pasir ditepian” 

“Permainan apakah itu?” 

“Hanya memukul-mukul saja. Pasir dan kadang-kadang batang-batang pohon dengan jari” 

“Oh” Widura terkejut. Untara telah memberikan latihan-latihan itu. Meskipun Sedayu tidak 

menyadarinya, namun latihan-latihan itu merupakan latihan yang sangat berguna baginya. Bagi 

tubuhnya dan bagi ilmu-ilmu yang dimilikinya. Namun sekali lagi Widura mengeluh “Jiwanya. 

Jiwanya yang terlalu kerdil. Sayang, ibunya terlalu takut melepaskannya. Sehingga Sedayu 

tidak lebih dari seorang yang hanya mengenal dinding-dinding batas halamannya. Kemanjaan 

dan perawatan yang berlebih-lebihan. Untunglah, diam-diam Untara telah memeberinya bekal” 

Tetapi latihan mereka terpaksa berhenti ketika tiba-tiba pula hadir orang bertopeng yang 

menamakan dirinya Kiai Gringsing. Yang mula-mula terdengar adalah suara tertawanya. Tinggi 

dan nyaring. Namun Widura dan Agung Sedayu sudah tidak terkejut lagi. Mereka sudah 

menduga bahwa orang itu akan selalu datang melihat mereka. Bahkan kemudian Widura 

menyapanya “Selamat malam Kiai” 

“Oh” jawabnya “Selamat malam. Apakah kau masih akan menangkap aku Widura?” 

“Tidak Kiai” jawab Widura. Ia berusaha pula untuk menyesuaikan diri dengan orang aneh itu. 

Karena itu katanya “Sebenarnya aku belum melepaskan maksudku itu. Namun aku masih 

belum dapat mengalahkan Kiai. Karena itu aku berlatih terus. Guruku, Agung Sedayu, telah 

mencoba mempercepat latihan-latihanku” 

Orang bertopeng itupun tertawa. Tetapi nadanya tidak setinggi semula. Katanya kemudian 

“Bagus. Agung Sedayu harus menempamu lebih keras lagi. Nah, sekarang cobalah. Tangkap 

aku. Mungkin latihanmu sehari ini telah menambah ilmumu” 

“Bagus” sahut Widura. “Jangan berlari-lari. Aku akan mencoba sekali lagi” 

Dengan serta-merta Widura menarik pedangnya, dan dengan garangnya ia langsung 

menyerang. 

“He” teriak Kiai Gringsing. “Aku belum siap” 

Namun Widura tidak memperdulikannya. Ia tahu benar, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang 

sakti yang tak memerlukan senjata untuk melawannya. Karena itu, maka ia sama sekali tak 

menarik serangannya. Ternyata Kiai Gringsing itupun tak mau dadanya berlubang. Tepat pada


saat pedang Widura hampir menyentuhnya, ia memiringkan tubuhnya. “Luar biasa” katanya 

nyaring “Seranganmu bertambah cepat” 

Widura tidak menjawab. Ketika serangannya gagal, maka cepat ia memutar tubuhnya, dan 

mengalirlah serangan demi serangan melanda Kiai Gringsing. 

Widura bukanlah seorang anak-anak lagi. Pengalaman dan pengetahuannya telah cukup. 

Karena itu, ia menyadari benar-benar keadaannya. Ia pasti bahwa Kiai Gringsing itu telah 

memperhitungkanmya pula kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atasnya. Sebagai 

seorang pemimpin dalam satu rombongan prajurit, meskipun masih banyak yang gelap baginya, 

namun firasatnya berkata “Kiai Gringsing ini benar-benar seorang yang bermaksud baik 

terhadapnya, terhadap Sedayu dan mungkin pula terhadap Untara dan Ki Tanu Metir” 

Karena itu Widura sampai pada suatu kesimpulan bahwa, Kiai Gringsing sengaja meningkatkan 

ilmunya, sebab Sidantipun berbuat demikian. Dengan demikian maka Widura pun melakukan 

perkelahian itu dengan tekad “Aku sedang berlatih. Dan seorang yang sakti telah berkenan 

menuntunku” 

Demikianlah mereka tenggelam dalam pertempuran. Cepat dan mengagumkan. Apalagi bagi 

Agung Sedayu. Dengan mulut ternganga ia menyaksikannya. Dan bahkan ia berhasil 

mengingat-ingat unsur-unsur gerak yang menarik hatinya. 

Ternyata Kiai Gringsing itu tidak saja bertempur, namun ia banyak berbicara pula. Disebutnya 

kesalahan-kesalahan yang dilakukan Widura dan ditunjukkannya apa yang seharusnya 

dilakukan. Meskipun kadang-kadang dengan nada yang aneh. 

Dan apa yang terjadi di gunung Gowok itu tidaklah hanya sekali dua kali. Namun berkali-kali. 

Setiap malam. Dan hampir setiap malam pula Kiai Gringsing hadir diantara mereka. Bahkan 

apabila orang itu tidak tampak, maka Widura dan Agung Sedayu menjadi kecewa karenanya. 

Tetapi tidak seorangpun yang tahu, apa yang terjadi setiap malam digunung Gowok itu. Yang 

dilakukan oleh anak-anak Widura di Sangkal Putung setiap haripun adalah latihan dan latihan. 

Akhirnya mereka menjadi jemu pada latihan-latihan itu. Namun tak ada lain yang dapat mereka 

lakukan. Mereka belum dapat meninggalkan Sangkal Putung pada keadaan yang masih tak 

menentu itu. 

Tetapi Agung Sedayu tidak mengalami kejemuan karenanya. Lambat laun perkenalannya 

dengan Sekar Mirah menjadi semakin rapat. Meskipun mereka jarang-jarang bertemu, namun 

setiap pertemuan diantara mereka, ternyata berkesan pula dihati masing-masing. Bahkan 

setiap Agung Sedayu melihat Sekar Mirah bergolak didadanya. 

Tetapi Agung Sedayu masih terlalu muda untuk mengenal perasaannya sendiri. Ia senang 

bergaul dengan Sekar Mirah dan menjadi bersedih apabila dilihatnya orang lain berada didekat 

gadis itu. Apalagi Sidanti. Namun Sidantipun selalu berusaha untuk tetap mendapat perhatian 

dari gadis itu. Karena itu, pergaulan Sekar Mirah dan Sedayu sangat mengganggu 

perasaannya. 

“Apakah Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang kesaktiannya melampaui orang 

lain?” pikir Sidanti. “Sayang, aku belum pernah melihatnya. Tetapi, sekali-sekali perlu juga aku 

mencobanya. Terhadap Untara sekalipun, aku tak pernah merasa kagum. Alap-alap Jalatunda 

bukan ukuran. Sedang kemenangan-kemenangan yang pernah dicapainya dalam setiap 

pertempuranpun tergantung pada banyak persoalan. Tetapi seorang lawan seorang, aku tak 

akan gentar” 

Demikianlah kemarahan Sidanti itu selalu merayap-rayap didalam dadanya. Sekali-sekali ia 

masih dapat menahan arus perasaannya itu, tetapi kadang-kadang hampir-hampir ia tak 

mampu lagi. Kadang-kadang dadanya terasa akan meledak apabila ia melihat Sekar Mirah 

duduk dihalaman bersama dengan Agung Sedayu. 

Lambat laun, Agung Sedayu merasakan pula sikap yang aneh dari Sidanti. Karena itu, maka 

timbullah kecemasan didalam hatinya. Ia sama sekali tidak akan berani membayangkan, 

bagaimana seandainya anak muda yang mampu melawan Tohpati itu nanti marah kepadanya. 

Maka betapapun perasaannya bergejolak, namun dibatasinya dirinya sendiri, untuk tidak selalu 

menyakiti hati Sidanti. Tetapi Sekar Mirah tidak melihat kecemasan yang mencengkam 

perasaan Agung Sedayu. Karena itu apabila Agung Sedayu tidak menampakkan dirinya, maka 

Sekar Mirahlah yang pergi mencarinya.


Yang tidak kalah peningnya adalah Widura sendiri. Ia melihat persoalan yang dapat meledak 

setiap saat. Ia melihat betapa Sidanti sama sekali tidak menyukai Agung Sedayu. Dan ia 

melihat Agung Sedayu pasti akan ketakutan apabila suatu saat Sidanti tidak dapat 

mengendalikan dirinya lagi. Dengan demikian, maka Widurapun telah berusaha untuk 

mencagah peristiwa-peristiwa yang hanya akan menambah bebannya. 

“Sedayu” berkata pamannya kepada kemenakannya itu “Kau harus dapat memperhitungkan 

segenap perbuatanmu disini. Setiap langkah akan membawa akibat. Melangkahlah kalau kau 

berani menangung setiap akibat yang terjadi. Kalau tidak, jangan membuat persoalan-

persoalan baru yang bagiku tidak kalah sulitnya dengan laskar Tohpati yang masih saja 

berkeliaran disana-sini” 

Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya. Kadang-kadang timbul juga niatnya 

untuk menjadi seorang yang berhati jantan, apapun yag akan terjadi. Bukankah ia mampu pula 

menggenggam pedang? Namun kekerdilan jiwanya telah menjeratnya dalam sifat-sifatnya yang 

penakut. Sehingga yang dapat dilakukannya adalah, semakin menyekap dirinya dipringgitan. 

Tetapi suatu ketika ia memerlukan juga untuk keluar dari pringgitan itu. Kebelakang, kepadasan, 

untuk mengambil air wudlu. Dan kesempatan-kesempatan yang demikian itulah yang 

dipergunakan Sekar Mirah untuk menemuinya. 

“Tuan” panggil gadis itu ketika Agung Sedayu berjalan menyusur dinding-dinding dibelakang 

rumah “Dari manakah tuan?” 

“Dari sumur Mirah” 

“Ah” jawab gadis itu “Tuan tak usah bersusah payah menimba air. Bukankah laskar paman 

Widura itu cukup banyak. Seharusnya tuan tinggal mandi saja seperti paman tuan itu” 

“Tidak baik Mirah. Aku disini sama sekali bukan seorang pemimpin. Bukan sebagai laskar 

paman Widura itupun bukan. Aku disini seorang diri” 

Sekar Mirah tertawa. Jawabnya “Tuan seorang diri dan paman tuan beserta laskarnya, 

manakah yang lebih bernilai bagi kami, penduduk Sangkal Putung?” 

Sedayu tersenyum. Ia selalu mendengar Sekar Mirah memujinya. Dan ia senang mendengar 

pujian itu. Namun kali ini adalah sangat berlebih-lebihan. Maka jawabnya “Jangan memperkecil 

arti paman Widura dan laskarnya. Mereka telah berhasil mengusir laskar Tohpati.” 

“Apakah tuan tidak dapat berbuat demikian?” 

“Sendiri tentu tidak” jawab Sedayu. Namun dihatinya terdengar kata-katanya sambil 

meneruskan “Apalagi seorang diri. Sepasukanpun tidak mungkin” namun kata-kata itu 

disekapnya jauh-jauh disudut dadanya. 

Sekar Mirah masih saja tertawa. Bahkan kemudian kata-katanya mengalir seperti banjir. Tak 

habis-habisnya. Tak putus-putusnya. 

“Tidakkah tuan sekali-sekali ingin berjalan-jalan kewarung kembali?” bertanya Sekar Mirah. 

Agung Sedayu menggeleng. “Lain kali Mirah” 

“Oh. Tetapi tidakkah tuan ingin melihat belumbang ayah? Gurame yang dipelihara oleh kakang 

Swandaru kini telah sebesar bantal. Barangkali tuan ingin menangkapnya?” 

Agung Sedayu menggeleng kembali. “Lain kali saja Mirah” 

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Memang iapun merasakan bahwa sikap Agung 

Sedayu pada saat-saat terakhir menjadi semakin jauh daripadanya. Karena itu Sekar Mirah 

menjadi cemas, apakah sikapnya terlalu menjemukan? 

Tetapi pertemuan itu dikejutkan oleh sebuah langkah tergesa-gesa mendekati mereka. Ketika 

mereka menoleh betapa dada Agung Sedayu berguncang. Tanpa diketahuinya sendiri, terasa 

lututnya menjadi gemetar. Ternyata yang datang adalah Sidanti. 

Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi cemas. Disapanya anak muda itu sambil 

tersenyum “Marilah kakang Sidanti” 

Namun wajah Sidanti itu menjadi semakin tegang. Beberapa langkah dari Agung Sedayu ia 

berhenti. Ditatapnya wajah anak muda itu dengan tajamnya. Kemudian kepada Sekar Mirah ia 

berkata “Mirah, sudah berapa kali aku memperingatkanmu. Jangan bergaul terlalu rapat


dengan anak muda itu. Aku sama sekali tidak senang melihatnya” 

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kini ia berdiri tegang menghadap Sidanti. Katanya 

lantang “Sudah berapa kali, aku menjawab apakah hakmu?” 

Sidanti tidak senang mendengar jawaban itu. Maka matanya yang bulat itu seakan-akan 

memancarkan bara kemarahan. Kepada Agung Sedayu ia berkata “apakah kepadamu aku 

harus memberi peringatan?” 

Kata-katanya itu tergores didada Agung Sedayu seperti goresan pisau yang setajam pisau 

penukur. Namun gelora didadanya yang gemuruh tidak juga mau berhenti, apalagi ketika 

dilihatnya mata Sidanti yang menyala itu. Hatinya menjadi semakin kecut. Namun dicobanya 

juga berjuang sekuat tenaga melawan ketakutannya. Dicobanya untuk bersikap tenang walau 

dadanya hampir pecah oleh kecemasan dan kekhawatiran. “Jangan lekas marah kakang 

Sidanti” suara Agung Sedayu terdengar bergetar. Namun ia berhasil mengucapkannya. 

“Hem” Sidanti menarik nafas untuk mencoba mengendalikan perasaannya. “Ingat, aku tidak 

senang melihat pergaulan kalian” 

Sedayu tidak segera menjawab. ia masih berjuang untuk tetap menyadari keadaannya. Tetapi 

Sekar Mirahlah yang menjawab lantang “Kau tidak berhak berkata demikian kakang. Aku bebas 

berbuat apapun dihalaman rumahku sendiri. Apa keberatanmu?” 

Sidanti menggigit bibirnya. Nyala dimatanya menjadi semakin menyala. Dan ketakutan 

Sedayupun menjadi semakin mencengkram hatinya. Dengan ketenangan yang dibuat-buatnya 

ia berkata “Sudahlah Mirah, biarlah ia mengatakan apa yang akan dikatakannya” 

Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu dengan heran. Agung Sedayu sama sekali tidak 

menunjukkan kemarahannya, meskipun Sidanti itu bersikap demikian. Karena itu katanya 

“Jangan tuan. Jangan biarkan Sidanti berbuat sesuka hatinya. Rumah ini rumahku. Halaman ini 

halamanku” 

Sidanti kini terdengar menggeram. Kemarahannya telah sampai diubun-ubunnya. Namun ia 

masih berusaha untuk tidak menyakiti hati gadis itu berlebih-lebihan. Maka karena itulah 

kemarahannya ditumpahkannya ke Agung Sedayu. Katanya “Sedayu. Aku dengar kau adalah 

seorang anak muda yang sakti. Karena itu marilah kita bersikap jantan” 

Hati Agung Sedayu benar-benar telah berkeriput sekecil hati anak ayam melihat elang. Tetapi 

dihadapan Sekar Mirah ia masih mencoba menjaga nilai-nilainya, nilai-nilai yang pernah 

dikatakannya kepada gadis itu, meskipun sama sekali hanya sebuah dongengan belaka. 

Karena itu masih dengan ketenangan yang dibuat-buat ia menjawab “Sidanti. Apakah 

keuntungan kita berbuat demikian?” 

“Jangan bicara tentang untung dan rugi” teriak Sidanti. 

Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu apalagi yang akan dilakukan. Sedang Sekar Mirah pun 

menjadi semakin heran melihat sikap Agung Sedayu. Kenapa Sidanti itu tidak saja dipukulnya 

sampai setengah mati? 

Suasana kemudian tenggelam dalam ketegangan. Sidanti berdiri dengan kaki renggang, siap 

untuk mlancarkan serangan atau bertahan terhadap setiap kemungkinan. Namun Agung 

Sedayu masih saja berdiri dalam sikapnya. Tenang. Ketenangan yang gelisah. 

Karena itu Sekar Mirah menjadi semakin tidak mengerti. Betapapun orang bersabar hati, namun 

bagi Sekar Mirah sikap Sidanti itu sudah berlebih-lebihan. 

Apalagi ketika kemudian Sedayu berkata terputus-putus “Kakang Sidanti. Jangan kita memberi 

contoh kurang baik terhadap laskar paman Widura. Pertentangan kita sama sekali tidak 

menguntungkan siapapun juga, selain laskar Tohpati” 

Sidanti kembali menggigit bibirnya. Ia merasakan kebenaran kata-katannya Sedayu. Karena itu 

maka ia berdiam diri untuk beberapa saat. Dan kembali suasana yang tegang itu menjadi diam. 

Kemudian kediaman itu dipecahkan oleh sebuah suara nyaring disudut rumah “Siapa yang 

ribut?” 

Dan muncullah seorang anak muda yang gemuk pendek. Swandaru. Ia berhenti ketika 

dilihatnya Sidanti dalam kesiapan, Sedayu yang seakan-akan masih tenang-tenang saja dan 

adiknya Sekar Mira








Share:

0 comments:

Posting Komentar