..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 06 Januari 2025

PENDEKAR CAMBUK NAGA EPISODE RACUN PURI IBLIS

matjenuh khairil

 


RACUN PURI IBLIS

0leh Barata ©

Penerbit Wirautama, Jakarta

Cetakan Pertama, 1991

Dilarang mengutip, memproduksi

Dalam bentuk apapun

Tanpa ijin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Cambuk Naga 

Dalam episode : Racun Puri Iblis 

128 Hal.; 12 x 18 Cm.


SATU


CAHAYA petir berkelebat terang di 

angkasa, bagai hendak merobek langit. 

Disusul suara guntur bergemuruh, dan 

Bukit Tanah Iblis bagai bergetar. 

Hembusan angin kencang bagai menda-

tangkan selaksa jarum dingin yang 

menembus tulang. Begitu mencekamnya 

dingin, namun tak mampu membuat 

seorang gadis beranjak dari puncak 

Bukit Tanah Iblis.

"Sebentar lagi kita akan 

kehilangan matahari, Putri Ayu. Apakah 

tidak sebaiknya kita kembali ke 

pondok?"

Seorang lelaki pendek bertubuh 

kekar mengajak bicara gadis asuhannya. 

Lelaki yang hanya mengenakan baju 

buntung seperti rompi itu tak lain 

adalah Ludiro. Sedangkan gadis berba-

dan kurus yang sejak tadi berdiri 

tegak menatap cakrawala itu sesung-

guhnya adalah Putri Ayu Sekar Pamikat. 

Hanya saja, ada sesuatu hal yang 

membuatnya resah dan merasa janggal 

dengan mengaku sebagai Putri Ayu Sekar 

Pamikat. Ia sering menahan nafas di 

dalam dada jika seseorang mau 

memanggilnya Sekar Pamikat.

Awan mendung menggulung-gulung, 

menaungi Bukit Tanah Iblis, yang 

terletak sebelah barat hutan jati,


sebelum hutan itu menjadi pusat 

kerajaan Majapahit. Dari atas Bukit 

Tanah Iblis itu, dapat terlihat jalan 

berbatu yang bagai menyusuri kaki 

bukit. Sesekali mata Sekar Pamikat 

tertuju di jalanan itu, bagai ada 

sesuatu yang ditunggu-tunggu. Ludiro 

sendiri juga ikut memperhatikan jala-

nan berbatu cadas, sesekali menggumam, 

sering kali menggerutu.

"Saya rasa mereka tidak akan 

lewat daerah ini, Putri."

"Kalau kau bosan, pulanglah ke 

pondok lebih dulu. Biar aku sendiri 

yang akan menghadapi mereka, Paman 

Ludiro."

Suara Sekar Pamikat begitu lem-

but, namun sesungguhnya cukup mengge-

tarkan hati Ludiro. Ia tahu, itu suara 

geram.

Ludiro tidak beranjak pergi, 

melainkan justru mendekat ke tebing 

dan duduk di sebuah batu besar. Pung-

gung Putri Ayu Sekar Pamikat tepat ada 

di depannya. Pada punggung berkulit

mulus itu terlihat sebatang gagang 

cambuk berkepala naga. Cambuk berwarna 

hitam melingkar dalam tempat khusus 

yang diatur sedemikian rupa, sehingga 

jika ditarik gagangnya, maka cambuk 

itu akan meluncur deras ke suatu arah. 

Dan Putri Ayu Sekar Pamikat paling 

jago menggunakan senjata cambuk itu, 

daripada menggunakan sebilah pedang


yang terselip di pinggang kirinya. 

Cambuk itu sangat tersohor di dunia 

persilatan, sehingga dari cambuk itu-

lah maka Putri Ayu Sekar Pamikat 

mengumandangkan gelarnya sebagai 

Pendekar Cambuk Naga.

Mendung kian pekat. Ludiro geli-

sah, sebab ia paling benci dengan air 

hujan.

"Bagaimana jika mereka menunda 

keberangkatan? Apakah kita akan lang-

sung datang ke Kadipaten Jangga?" 

tanya Ludiro sekedar menghalau 

kegelisahannya.

"Kalau memang begitu kenyataan-

nya, apa boleh buat, Paman Ludiro," 

jawab Sekar Pamikat tanpa berpaling ke 

arah Ludiro. Ia tak tahu kalau Ludiro 

saat itu mengangguk-anggukkan kepala 

tanda setuju dan mengerti betul apa 

yang menjadi rencana Sekar Pamikat.

"Lalu, apakah Raden Praja, putra 

Adipati Jangga itu harus kita bunuh 

sekalian? Bukankah ia tidak tahu 

permasalahan yang sebenarnya?"

Kali ini, Sekar Pamikat berpaling 

memandang Ludiro.

"Aku tidak pernah menyuruh Paman 

untuk membunuh Raden Praja. Aku hanya 

bermaksud menjelaskan kepadanya siapa 

sebenarnya Nawang Puri itu. Aku hanya 

ingin menyarankan agar Raden Praja 

membatalkan perkawinannya dengan 

Nawang Puri. Jika Raden Praja menolak


saranku, baru aku akan membunuhnya, 

Paman."

"Dan itu berarti kita akan 

berhadapan dengan orang Kadipaten 

Jangga, Putri Ayu."

"Apakah kau gentar, Paman 

Ludiro?" bisik Sekar Pamikat.

Ludiro gelisah, bingung memberi 

jawaban. Ia hanya menggeleng dan 

membuang pandangan matanya ke arah 

lain. Pada saat itulah tiba-tiba ia 

berteriak: "Awasss...!"

Sebatang anak panah melesat 

menuju arah mereka. Ludiro mengguling-

kan tubuhnya ke arah samping, dan 

kepalanya sempat terbentur batu 

sehingga lecet dan memar. Matanya 

mulai tegang, membelalak memandang 

Sekar Pamikat yang masih berdiri 

dengan tenang. Lebih terheran-heran 

lagi bagi Ludiro, ia melihat anak 

panah itu berada dalam genggaman Sekar 

Pamikat.

"Putri...! Awas...!" Ludiro 

memekik melihat sebatang anak panah 

melesat Lagi dan kali ini menuju 

punggung Sekar Pamikat.

Sekar Pamikat masih berdiri 

memandang Ludiro. Namun tangan kirinya 

dengan gesit menyambut luncuran anak 

panah yang nyaris menembus punggung-

nya. Anak panah itu berhasil ditangkap 

kendati ia tidak melihat ke arah 

datangnya benda kecil itu.


Ia membalikkan tubuh, memandang 

kearah datangnya anak panah itu. Tepat 

pada saat ia berbalik, ia disambut 

oleh tiga anak panah yang meluncur 

sekaligus. Lalu tiga menyusul lagi, 

dan tiga lagi menyusul beruntun.

"Hiaaatt...!" Sekar Pamikat me-

loncat kesamping sambil bersalto 

melingkar. Pada kesempatan itu, sebi-

lah pedang berkelebat dari pinggang 

Sekar Pamikat, lalu terdengarlah 

bunyi: "krak, krak, krak..," secara 

beruntun. Ketika Sekar Pamikat berdiri 

kembali dengan tegak di atas sebuah 

batu besar yang datar, ia melihat anak 

panah itu telah patah semua. Teriris 

rapi bagai sebuah timun terpotong.

"Mereka ada di bawah!" seru Sekar 

Pamikat. Lalu tanpa menunggu komando 

lebih lanjut, Ludiro melayang berjum-

palitan menuruni lereng bukit.

Setibanya di bawah ia disambut 

oleh sebatang tombak yang nyaris 

menancap di ubun-ubunnya. Ia berkelit 

seraya membuang pisau kecil dari balik 

ikat pinggangnya. "Wess...!" Pisau itu 

menerjang rerumputan tinggi, menembus 

terus ke satu arah dan menancap di 

dada seorang lelaki yang bersembunyi 

di sana. "Aaaakh...!" Lelaki itu 

memekik, lalu rubuh. Ludiro hendak 

memeriksa di balik rerumputan itu, 

namun tiba-tiba sebuah serangan 

meluncur dari samping kirinya. Ten


dangan itu begitu kuatnya sehingga 

ketika rahang Ludiro terkena, ia 

terpelanting ke kanan dan jatuh 

tersungkur.

Dua orang berpakaian kembar itu 

menerjang dengan tombak mereka. Nyaris 

mengenai tubuh Ludiro jika ia tidak 

segera berguling-guling ke tempat 

lain. Tombak mereka menancap di tanah. 

Ludiro bergegas bangkit dan melayang-

kan jurus tendangan ganda yang 

diberinya nama: jurus Tendangan Dewa.

"Bangsat kalian...!" pekik Ludiro 

setelah kedua lawannya terhuyung-

huyung ke belakang sambil memekik 

kesakitan. Pada saat itu, Ludiro hen-

dak menyerang lagi, tapi sebilah 

pedang menebas arah kepalanya sehingga 

Ludiro merunduk lalu berguling ke arah 

kaki lawan. Dengan suatu hentakan 

keras, kaki Ludiro menendang alat 

vital salah seorang dari kedua lawan-

nya itu. Orang tersebut menjerit kuat-

kuat, pedang di tangannya terlepas. 

Ludiro tak mau menunggu lawan yang 

satunya membabat habis tubuhnya, ia 

segera berdiri dan menghentakkan 

kakinya di leher orang yang kesakitan 

pada alat vitalnya. Ludiro tetap 

menekan leher orang tersebut dengan 

sebelah kaki ketika musuh yang satu 

lagi menyerangnya dengan sebilah 

pedang yang serupa dengan pedang milik 

temannya. Ludiro nyaris robek dadanya


oleh pedang itu. Hanya sebuah goresan 

tipis yang membekas di dada Ludiro. 

Untung ia segera mengandalkan jurus 

Pukulan Hati Dewa, sehingga orang 

tersebut terpental ke belakang, 

kepalanya membentur pohon.

Kaki Ludiro yang menekan leher 

musuhnya dilepaskan, sebab orang itu 

telah berhenti menggelepar-gelepar dan 

mati tanpa basa-basi lagi. Ludiro 

segera menghampiri musuhnya yang 

sedang keliyengan itu. 

"Setan mana kau sebenarnya?! Apa 

perlunya mengganggu kami, ha?.'" 

bentak Ludiro.

Orang itu tidak menjawab, namun 

bahkan melambung ke udara seraya 

mengayunkan pedangnya berkali-kali. 

Kecepatan ayunan pedang begitu 

mengagetkan Ludiro sehingga ia buru-

buru berguling ke tanah. Ketika ia 

bangkit lagi, ia sudah menemukan 

kekuatan dan kesadarannya. Namun orang 

bertubuh kekar tadi telah melarikan 

diri. Langkah larinya begitu cepat dan 

mengagumkan hati Ludiro. 

Walau begitu, ia tetap berusaha 

untuk mengejarnya melalui arah lain. 

Ia yakin dapat mencegat orang 

tersebut. Dan betul juga dugaannya, ia 

berhasil memotong jalan sehingga lebih 

cepat berada di jalan depan orang itu. 

Namun ia terpaksa menggerutu tak 

jelas, sebab ia melihat Sekar Pamikat


sudah berdiri menghadang orang 

tersebut. Ludiro sendiri melihat 

betapa beraninya orang itu, menyerang 

Sekar Pamikat dengan sebilah pedang. 

Tapi agaknya Sekar Pamikat tidak 

memberi kesempatan kepada orang ter-

sebut untuk menyerang kedua kalinya.

"Sreet...!"

Sekar Pamikat mencabut pedangnya. 

Sekelebat. Cepat. Musuhnya tak sempat 

terkejut ketika tahu-tahu dadanya 

robek dan jantung nya pun terbelah 

menjadi dua bagian oleh ujung pedang 

Sekar Pamikat. Maka orang itu pun 

rubuh tanpa sungkan-sungkan lagi. Mati 

tanpa berkelojot.

Sekar Pamikat dengan tenang 

menyarungkan pedangnya yang bernama 

Pedang Jalakpati. Tubuhnya yang kurus 

dengan pakaian bergaya dodotan sebatas 

dada, dibiarkan dihembus angin pembawa 

embun hujan. Ludiro mendekatinya 

dengan langkah-langkah kecewa.

"Maaf, Paman... terpaksa aku 

percepat masalah ini."

"Itu sama saja menganggap saya 

tidak mampu mengalahkan orang itu, 

Putri," Ludiro berbicara bagai orang 

menggerutu. Ia masih memandangi mayat 

musuhnya.

"Bukan soal tidak mampu, tapi 

lebih cepat lebih baik. Sebab sebentar 

lagi daerah ini akan dilalui rombongan 

Raden Praja yang akan berembuk soal


perkawinannya dengan Nawang Puri"

"Dari mana Putri tahu kalau se-

bentar lagi mereka akan lewat?" Ludiro 

berkerut dahi.

"Paman tidak mengenali ketiga 

orang itu?"

Ludiro memperhatikan mayat yang 

masih terkapar tak jauh dari kaki 

Sekar Pamikat.

"Apakah orang ini ada hubungannya 

dengan Raden Praja?"

"Ya," jawab Sekar Pamikat sambil 

melangkah. "Mereka adalah prajurit 

Kadipaten Jangga. Mereka prajurit 

pengintai. Merekalah yang berjalan 

paling depan dari rombongan Kadipaten, 

tugasnya menyelidiki tempat yang akan 

dilalui kerabat dan keluarga Kadipa-

ten. Dan kurasa mereka telah 

mendengarkan pembicaraan kita di atas 

tadi, Paman. Sebab itulah mereka ingin 

membunuh kita."

Ludiro manggut-manggut, mengelus 

cambangnya yang tipis. Ia menggumam 

lirih, "Hemm... rupanya mereka penga-

wal depan dari rombongan Kadipaten..."

Guruh menggelegar di angkasa, 

namun hujan belum juga turun. Sekar 

Pamikat duduk di sebuah batu, di balik 

cadas besar yang layak sebagai tempat 

persembunyian. Ludiro yang bertugas 

mengawal keselamatan Sekar Pamikat, 

kali ini sengaja berlindung di sebuah 

batu cadas, di seberang jalan. Suara


langkah kaki kuda berderap-derap di 

kejauhan. Roda kereta bergeretak 

samar-samar. Itu pertanda rombongan 

dari Kadipaten Jangga sedang menuju ke 

arah Lembah Bukit Tanah Iblis. Sekar 

Pamikat dan Ludiro semakin bersiaga 

dari tempatnya masing-masing.

Derap kaki kuda semakin jelas. 

Debu beterbangan berbaur dengan 

kelembaban embun hujan. Sekar Pamikat 

memberi isyarat kepada Ludiro, dan 

beberapa detik kemudian Ludiro keluar 

dari tempat persembunyiannya, ia 

berdiri menghadang derap-derap kaki 

kuda.

Dua penunggang kuda paling depan 

segera menarik tali kekang kuda. Dalam 

jarak kurang lebih 50 meter rombongan 

itu berhenti. Ranggowo dan Darmala 

turun dari punggung kuda, namun mereka 

tidak mendekat. Ranggowo berbicara 

kepada ketiga penunggang kuda yang 

berada di belakangnya.

"Katakan kepada Raden, ada 

penghalang yang mau cari mampus. Biar 

kuhadapi dulu bersama Darmala!"

"Hati-hati, Kakang Ranggowo," 

ujar penunggang kuda yang bertugas 

menghubungi kereta berkuda empat itu.

Ludiro mendekat, menampakkan 

sikapnya yang tidak bermusuhan. Suara-

nya cukup tegas kendati disertai 

dengan senyum sedikit hambar.

"Maaf, saya terpaksa mengganggu


perjalanan Tuan-tuan."

Tanpa bicara sepatah kata pun, 

Darmala yang berkumis lebat itu 

langsung melancarkan pukulan ke arah 

Ludiro.

"Heaaat...!!"

"Wuss... wus..."

Ludiro menghindari pukulan itu 

dengan sedikit menggeragap. Ia tak 

sempat berpikir akan datang serangan 

secara tiba-tiba. Darmala dan Ranggowo 

mengepung Ludiro dengan jurus-jurus 

yang siap dilancarkan.

"Tunggu, Tuan-tuan...! Tahan 

emosi Anda!" Ludiro mengingatkan. 

Namun ia sendiri bersiap mengambil 

jurus untuk menanggulangi serangan 

dari kedua orang Kadipaten Jangga itu. 

Agaknya Darmala lebih bernafsu untuk 

membunuh ketimbang Ranggowo yang botak 

dan bercambang lebat itu.

"Apa perlumu menghadang perjala-

nan kami, hah?!" bentak Ranggowo 

dengan matanya yang nanar.

"Saya ingin bertemu dengan Raden 

Praja. Ada pesan yang harus saya 

sampaikan kepada beliau."

"Ciih...! Puih...!" Darmala 

meludah kasar.

Setelah menggeram dan memandang 

penuh selidik kepada Ludiro, Ranggowo 

pun bertanya lagi, "Apakah kamu 

termasuk rakyat Kadipaten Jangga?"

"Bukan. Saya tinggal di luar


wilayah Kadipaten."

"Hemm... jadi kau harus 

melangkahi mayat kami berdua jika 

ingin bertemu Raden Praja," geram 

Ranggowo.

Ludiro mengendurkan urat-uratnya 

yang sudah menegang. Ia jadi lebih 

tenang dari semula. Sementara itu, 

delapan orang penunggang kuda lainnya 

telah mengelilingi mereka, membuat 

suatu lingkaran yang siap mematikan 

Ludiro.

"Saya punya maksud baik," kata 

Ludiro dengan tenang. "Alangkah 

sayangnya jika maksud baik ini harus 

disertai dengan darah korban tak 

berdosa."

"Dalam setiap kebaikan memerlukan 

pengorbanan. Itu wajar," Ranggowo 

mencoba berkilah. 

"Memang. Tapi tidak semua niat 

baik harus membutuhkan korban nyawa. 

Sayangilah nyawa Tuan-tuan. Jangan mau 

mati karena kepicikan dan kesalah 

pahaman."

"Orang ini terlalu banyak bacot, 

Kakang Ranggowo!" geram Darmala. 

"Serang dia!"

Perintah Darmala sudah merupakan 

suatu rumusan bagi prajurit Kadipaten. 

Tiga orang penunggang kuda yang berada 

di posisi belakang Ludiro segera 

menghunjam tombak mereka secara 

bersamaan. Hal itu terjadi tepat pada



saat Darmala memekikkan semangat untuk 

menyerang. Hampir saja perhatian 

Ludiro terpusat pada gerakan Darmala 

itu. Untung kewaspadaan Ludiro begitu 

tinggi, sehingga dengan sekali 

lompatan ketiga tombak itu dapat 

dihindari. Begitu kakinya menyentuh 

tanah, Ludiro disambut oleh suatu 

pukulan hebat bertenaga inti. Darmala 

itulah orangnya yang menyerang, dan 

membuat Ludiro terguling-guling. 

Belum sempat ia bangkit, kaki 

Ranggowo nyaris menginjak batang 

lehernya. Dengan cekatan Ludiro 

menangkap kaki kokoh itu, kemudian ia 

berputar cepat sambil mengayunkan 

kakinya ke atas. Tendangan Dewa Mimpi 

dilancarkan bagai sebuah sapuan angin. 

Tendangan itu masuk ke perut Ranggowo 

sehingga lelaki botak bercambang lebat 

itu terpental ke belakang beberapa 

meter. Ia jatuh menerjang tubuh 

Darmala yang hendak melancarkan 

serangannya.

Ludiro bergegas berdiri. Ekor 

matanya sempat menangkap dua orang 

penunggang kuda sedang membidikkan 

anak panah ke arahnya. Dengan gerakan 

yang tak terlihat oleh mata manusia, 

Ludiro melemparkan dua bilah pisau 

kecil yang menjadi senjatanya selama 

ini. Kedua pisau itu menancap di mata 

musuhnya, yang satu lagi tepat di 

tenggorokan pemanah sebelahnya. Kedua


pemanah itu menjerit histeris dan 

rubuh dari punggung kuda.

Darmala dan Ranggowo mengambil 

posisi, lalu siap melancarkan jurus 

andalan mereka, yaitu jurus Tapak 

Darah Harimau Kembar.

"Hiaaaattt...!!"

Ludiro sigap. Ia meletik bagai 

belalang dan berguling di udara, 

melancarkan jurus Tendangan Dewanya 

dengan pekik yang tak kalah keras dari 

suara Darmala dan Ranggowo.

Kedua pengawal depan Kadipaten 

itu terpental, pecah kedua arah. Mulut 

Darmala menyemburkan darah kental. 

Sedangkan Ranggowo mengucurkan darah 

dari telinganya yang kiri.

"Seraaang...!!" teriak salah 

seorang penunggang kuda. Seketika itu 

kuda mereka bergerak mendekat! Ludiro. 

Tombak dan pedang teracung, siap 

mencabik-cabik tubuh Ludiro yang 

tengah berdiri tegak menantang maut.

"Hentikaaan...!!"

Sebuah teriakan berhasil membuat 

prajurit-prajurit Kadipaten membatal-

kan serangannya. Mereka menjauh, 

lingkaran menjadi lebih lebar lagi. 

Darmala dan Ranggowo berdiri dengan 

masih sempoyongan. Semua mata tertuju 

pada kereta bangsawan berkuda empat. 

Mereka begitu patuh terhadap suara 

tadi. Ludiro pun ikut memandang kereta 

tersebut.


Dari kereta berpintu rapat, yang 

terbuat dari kayu berukir dilapisi 

perak, turunlah seorang lelaki yang 

mengenakan pakaian kebangsawanan. Tin-

ggi, tegap dan mencerminkan wibawa 

yang cukup menggetarkan hati.

Dari balik tempat persembunyian-

nya, Sekar Pamikat menggumam dan 

berdecak sendiri. Matanya tak berkedip 

memandang lelaki bangsawan yang turun 

dari keretanya itu.

"Oh, itu rupanya yang bernama 

Raden Praja. Hemm... pantas Nawang 

Puri tidak menolak cintanya, dia... 

oh, laki-laki itu memang tampan dan 

sangat mempesona. Alangkah sayangnya 

jika ia harus beristri perempuan 

seperti Nawang Puri. Alangkah bodohnya 

Raden Praja jika ia benar-benar 

bertekuk lutut dihadapan Nawang Puri."

Raden Praja mendekati Ludiro 

dengan langkah-langkah pelan. Matanya 

memandang lembut tak berkedip, penuh 

selidik. Ludiro yakin betul, orang 

yang di hadapannya itu sungguh seorang 

anak Adipati. Sebab itu ia membungkuk, 

sekedar memberi hormat selayaknya.

"Apa perlumu menghentikan perja-

lananku, Ki sanak?"

"Ada pesan yang harus saya 

sampaikan kepada Raden," jawab Ludiro 

dengan sopan.

"Pesan dari siapa?"

"Dari..." jawaban Ludiro ter


potong oleh suara:

"Dari aku!"

Semua mata berpaling, memandang 

sosok perempuan kurus berwajah layu. 

Hidungnya tak begitu mancung dan bulu 

matanya sangat tipis. Ada sebuah codet 

di dekat matanya yang kiri. Meski 

codet bekas luka yang kecil, namun 

sangat mempengaruhi wajahnya. Ia tak 

memiliki daya tarik sama sekali. Hanya 

rasa keingintahuan mereka yang membuat 

ia dipandang oleh sekian banyak mata 

lelaki.

Dialah Putri Ayu Sekar Pamikat. 

Ia berjalan lebih mendekat, bahkan 

masuk dalam lingkaran pasukan berkuda, 

dan berhadap-hadapan langsung dengan 

Raden Praja.

Putra Adipati itu menggumam dan 

memandang sinis pada Sekar Pamikat. Di 

ujung gumamnya ia bertanya:

"Apa yang kau inginkan, dan siapa 

kau sebenarnya?"

Sekar Pamikat tahu, ia tidak 

menarik di mata pria. Ia merasa 

dipandang jijik oleh Raden Praja. 

Namun kesedihan hatinya itu ditekannya 

kuat-kuat. Ia berusaha untuk berbicara 

sejelas-jelasnya. 

"Saya mohon... Raden mau memba-

talkan perkawinannya dengan Nawang 

Puri."

Suara Sekar Pamikat membuat Raden 

Praja terperanjat dan berpaling


memandangnya.

Kata Raden Praja, "Kau bicara apa 

sebenarnya? Siapa yang mau menikah 

dengan perempuan yang kau sebutkan 

itu?"

Sekar Pamikat saling berpandangan 

dengan Ludiro. Lalu Ludiro memberani-

kan diri bertanya, "Bukankah Raden 

ingin memperistri Nawang Puri?"

"Siapa bilang?!" Raden Praja 

berkerut dahi semakin tajam. Sambung-

nya lagi, "Saya akan mengawini seorang 

putri cantik, tapi bukan Nawang Puri. 

Melainkan... Sekar Pamikat!"

Sekar Pamikat dan Ludiro sama-

sama terperanjat. Mereka tampak 

kebingungan, sebab itu Raden Praja 

menjelaskan lagi.

"Calon istriku bernama Putri Ayu 

Sekar Pamikat. Bukan Nawang...? Nawang 

Puri, seperti yang kalian duga."

Sekar Pamikat masih terpana. 

Kesedihan mulai tergambar jelas di 

wajahnya. Ludiro menelan ludah 

beberapa kali, mencari ketenangan.

"Kamu siapa?" Raden Praja 

bertanya sinis.

"Saya... sayalah Sekar Pamikat, 

sebenarnya," jawab Sekar Pamikat 

dengan ragu. Dan Raden Praja tertawa 

dingin. Kemudian para prajurit Kadi-

paten itu ikut menertawakan dirinya 

juga. Geram dan dendam membakar hati 

Sekar Pamikat.


"Dasar pengacau! Bunuh saja 

mereka, Raden!" teriak Darmala yang 

ada di belakang Sekar Pamikat. "Sudah 

wajahnya memuakkan, berlagak tahu 

lagi! Huhhh...!"

"Kau mengigau," ujar Raden Praja 

yang mulai menjauh. "Sekar Pamikat 

berwajah cantik, lemah lembut dan 

sangat menggairahkan. Ia mempunyai 

ilmu silat yang cukup tinggi. Dan ia 

pula yang bergelar Pendekar Cambuk 

Naga. Ia yang menolong keluargaku dari 

ancaman perampok gunung Sewu."

Terdengar suara Darmala membakar 

hati, "Orang ini memang hanya mengacau 

saja! Bunuh dia!"

Sejumlah tombak menghunjam ke 

arah Sekar Pamikat dan Ludiro. Dengan 

gesit Ludiro menghindar, sedangkan 

Sekar Pamikat menyambut tombak-tombak 

itu dengan kibasan cambuk naga. 

Tombak-tombak itu patah menjadi 

serpihan kayu dan besi. Raden Praja 

sempat tertegun memandang kilatan 

cambuk yang mengeluarkan warna biru.

"Seraaang...!" seru Darmala.

Sejumlah prajurit turun dari kuda 

dan menghambur menyerang Sekar Pamikat 

dan Ludiro. Namun Sekar Pamikat 

melompat keluar dari kepungan dan 

menghantamkan cambuknya dengan jurus 

Naga Penjilat Nyawa.

"Tar... tar... tar..."

Prajurit Kadipaten itu menjerit


ketika tenaga yang keluar dari ujung 

cambuk menghantam mereka. Yang 

kepalanya pecah, tak sempat menjerit, 

namun yang dadanya bolong sempat 

memekik kesakitan lalu meregang, dan 

mati tak berkutik lagi. Sementara itu 

Darmala dan Ranggowo maju bersamaan, 

mengkombinasikan jurus Cakar Harimau 

dipadukan dengan jurus Elang Berbisa. 

Namun sebelum keduanya menyentuh tubuh 

Sekar Pamikat, cambuk naga telah 

menyambutnya lebih dulu.

"Tar... Tar..."

Darmala melengking tinggi karena 

sebelah kakinya terpotong sebatas

lutut, sementara itu Ranggowo pun 

melengkingkan suara kesakitannya 

karena tangan kirinya buntung seke-

tika.

Pada saat itu ada seorang 

prajurit yang hendak membokong Sekar 

Pamikat dari belakang. Namun Ludiro 

lebih dulu melemparkan senjata kecil-

nya mata pisau yang tajam dan beracun. 

Senjata itu tepat menancap di pelipis 

Si Pembokong. Menjeritlah orang itu 

dan berguling-gulinglah ia menahan 

kesakitan yang membuat jiwanya tak 

dapat tertolong lagi. Sekar Pamikat 

tak sempat memperhatikan orang itu, 

karena sebuah cambuk rantai berduri 

sedang menghantamnya dari tangan 

Darmala. Lelaki itu mencoba menyerang 

dalam posisi duduk dan menahan rasa


sakit pada kakinya yang terpotong. 

Tetapi Sekar Pamikat sempat menghin-

dari serangan cambuk rantai berduri 

itu. Cambuk naganya meluncur dan 

membelit pada rantai berduri, Dengan 

sekali sabet, tali rantai itu putus 

menjadi beberapa bagian.

"Hentikan...! Hentikan semua 

ini!!" teriak Raden Praja.

Prajurit Kadipaten tak ada yang 

menyerang. Mereka tinggal empat orang; 

dua prajurit, Darmala dan Ranggowo. 

Darah membasahi di beberapa tempat. 

Raden Praja memandang mayat-mayat 

Prajuritnya dengan rasa prihatin.

"Benarkah kau yang bernama Putri 

Ayu Sekar Pamikat? Yang bergelar Dewi 

Cambuk Naga itu?" tanya Praja.

Sekar Pamikat belum sempat men-

jawab, tiba-tiba Raden Praja menjerit 

kesakitan dengan mata terbelalak. 

Sebuah pisau kecil telah menancap di 

punggungnya, dan ia pun rubuh. Hal ini 

sangat mengejutkan Ludiro dan Sekar 

Pamikat, juga yang lainnya. Raden 

Praja menggelepar sebentar, kemudian

menghembuskan nafas terakhir. Suasana 

semakin tegang, Ludiro sempat 

berteriak, "Siapa yang telah membunuh-

nya?!" 

* * *


DUA


SEJENGKAL penyesalan masih menye-

kat di hati Sekar Pamikat. Hal itu 

membuatnya tidak berselera menyantap 

makanan yang telah dihidangkan oleh 

pemilik kedai. Belakangan ini Ludiro 

memang lebih sering menemukan Sekar 

Pamikat sedang melamun, daripada 

berlatih seperti biasanya. Bahkan di 

kedai itu pun, Ludiro dapat mengetahui 

bahwa Sekar Pamikat sedang dalam 

keadaan menerawang pikirannya.

"Berapa lama lagi saya harus 

menunggu Putri Ayu selesai makan?" 

tanya Ludiro memancing pembicaraan.

Sekar Pamikat hanya menghela 

nafas. Ia tidak berpaling memandang 

Ludiro, melainkan hanya memandang 

lurus pada permukaan meja. Ludiro 

meraih guci tuak, dan menenggaknya 

beberapa kali. Ia telah kenyang, dan 

badannya kembali segar bergairah 

setelah seharian penuh ia tidak 

menemukan makanan yang mengenyangkan 

perut.

"Kita jadi mencari penginapan, 

Putri?" pancing Ludiro lagi. Sekar 

Pamikat hanya mengangguk.

Sebenarnya Ludiro tahu apa yang 

sedang dipikirkan oleh momongannya 

itu. Sudah berulangkali Ludiro 

menyarankan agar Putri Ayu Sekar


Pamikat melupakan soal Raden Praja. 

Tapi agaknya gadis itu belum dapat 

mengikuti sarannya. Ini sangat memba-

hayakan jiwa Sekar Pamikat, menurut 

Ludiro. Sebab itu, ia harus tak bosan-

bosannya mengalihkan perhatian atau 

memberinya saran agar Pendekar Cambuk 

Naga itu melupakan peristiwa di lembah 

bukit Tanah Iblis itu.

"Menurut saya, penyesalan itu 

adalah suatu kesia-siaan belaka, 

Putri. Hanya orang bodoh yang lemah 

jiwanya yang mau melakukan penyesalan 

sampai berlarut-larut begini."

Barangkali tak tahan menghadapi 

ketekunan Ludiro dalam mengajaknya 

bicara, akhirnya Sekar Pamikat pun 

menyahutnya:

"Aku bukan menyesal, melainkan 

penasaran."

"Penasaran dengan... dengan 

ketampanan Raden Praja?"

Sekar Pamikat mendesis pertanda 

menyepelekan pendapat itu.

Ludiro menenggak tuaknya lagi. 

Waktu itu, Sekar Pamikat berbicara 

pelan, sepertinya ditujukan pada diri 

sendiri, "Mengapa waktu itu aku tidak 

memberi penjelasan yang sebenarnya 

kepada Raden Praja, atau kepada para 

pengawalnya itu? Mengapa waktu 

itu...terburu nafsu mengejar sesosok 

bayangan di atas bukit, yang 

diperkirakan sebagai pembunuh gelap


Raden Praja?"

"Kita memang terburu nafsu, 

memang," kata Ludiro. "Tetapi kematian 

Raden Praja itu bukan lantaran 

kekejaman kita, toh? Kita tidak 

menyerang ataupun..."

"Tapi senjata yang dipakai 

membunuhnya itu, Paman!" sahut Sekar 

Pamikat dengan geram. "Mengapa senjata 

itu serupa betul dengan senjata 

andalanmu: Mata Pisau Beracun?!"

Ludiro tertegun. Sekar Pamikat 

bagai menggumam, "Aku yakin, orang-

orang Kadipaten Jangga yang berhasil 

membawa pulang mayat Raden Praja itu 

akan beranggapan bahwa kematiannya itu 

sangat berkaitan dengan kita. Mereka

akan menyelidiki mata pisau beracun 

yang ada pada punggung Raden Praja. 

Mereka akan bersepakat mengatakan 

bahwa senjata itu sama persis dengan 

senjata yang menancap pada tubuh 

korban lainnya, yang memang kau bunuh 

dengan senjata andalanmu itu."

"Sejauh itukah mereka akan 

berpendapat?"

"Tentu," jawab Sekar Pamikat 

cepat. "Kita pergi dengan maksud 

mengejar sosok bayangan yang kita 

perkirakan sebagai pembunuh Raden 

Praja. Kita pergi sampai lama 

melakukan pengejaran tanpa hasil. Dan 

ketika kembali, orang-orang Kadipaten 

Jangga yang selamat maupun yang tewas


oleh tangan kita telah tiada. Hilang. 

Dan tentu mereka melapor kepada 

Adipati Jangga, bahwa kitalah pembunuh 

Raden Praja."

Sekar Pamikat mendesah panjang, 

bernada kesal. Ia berkata lirih, 

"Hahh...?! Menjengkelkan sekali 

masalah ini. Kita telah dianggap 

menantang orang-orang Kadipaten 

Jangga. Padahal kita sebelumnya tidak 

mempunyai sangkut paut apapun dengan 

Kadipaten itu."

"Sebenarnya..."

Ludiro tak-jadi melanjutkan kata-

katanya, karena tiba-tiba mereka 

mendengar sebuah siulan panjang yang 

aneh.. Siulan itu semakin lama semakin 

melengking. Bangku, meja dan lain-

lainnya mulai bergetar bagai digoncang 

gempa kecil. Jelas siulan itu 

mempunyai kekuatan tenaga dalam yang 

cukup tinggi. Dan Sekar Pamikat 

mengetahui, siapa pemilik siulan itu.

Seorang lelaki tua berambut 

panjang dan berwarna putih muncul dari 

sisi lain. Ia duduk di bangku bagian 

depan kedai, dekat dengan pintu masuk. 

Ia tertawa terkekeh kepada orang yang 

ada di sebelahnya. Dari pakaiannya 

yang sangat sederhana dan kantong 

kulit yang digembolnya, pemilik kedai 

sudah tahu siapa laki-laki tua itu. 

Pemilik kedai segera menyambut dengan 

ramah dan sopan:


"Selamat siang Pendekar Burung 

Bangkai..."

"Hei, Sakrosan...?! He, he, he...

kukira anakmu yang akan menyambutku," 

ujar Pendekar Burung Bangkai yang 

tersohor dengan ilmu siulnya di rimba 

persilatan. "Mana dia anakmu: 

Pambayun? Sudah besarkah dia?"

"Dia sedang bermain dengan teman-

temannya, Pendekar Burung Bangkai. Dia 

dalam keadaan sehat. Sejak dia sembuh, 

bisa berjalan karena bantuan Anda, ia 

jadi nakal. Jarang membantu kami dan 

lebih sering bermain dengan teman-

temannya di sungai,"

Pendekar Burung Bangkai itu 

terkekeh lagi. "Biarkanlah ia. Yang 

dibutuhkan adalah kebebasan dan kasih 

sayang. Aku tahu, hatinya masih 

terkesan oleh kesembuhan kakinya. 

Selagi ia bisa berjalan, tentu ia 

ingin berlari. Itulah salah satu sifat 

manusia yang dirintisnya sejak kecil."

Pemilik kedai tertawa kecil. 

"Anda pasti membutuhkan arak 

Jariwangi, bukan?"

"He, he, he... kamu benar-benar 

manusia cerdas di dalam kebodohahmu, 

Sakrosan. Arak Jatiwangi memang 

bermutu tinggi, mudah memabokkan, tapi 

kau tetap saja menyuguhkannya untukku, 

sebab kamu tahu kalau aku selalu

membutuhkannya." Pendekar Burung 

Bangkai terkekeh lagi. Namun kali ini


Sakrosan pun ikut terkekeh walau 

sambil pergi menyiapkan arak kesukaan 

lelaki tua berambut uban itu.

Ludiro dan Sekar Pamikat memper-

hatikan secara sembunyi-sembunyi. 

Mereka hanya berbisik-bisik sambil 

berusaha menghindari tatapan mata 

Pendekar Burung Bangkai.

Ludiro berkata lirih, "Eyang 

Gati..."

"Ya. Aku tahu. Tapi aku tak 

berani menemuinya."

"Mengapa, Putri?"

"Ia akan marah kepadaku, karena 

pasti ia telah dibayar oleh Adipati 

Jangga untuk menangkap aku. Dan ia 

juga tidak akan percaya kalau aku ini 

sebenarnya Sekar Pamikat."

Meskipun Sudah cukup umur, namun 

suara Eyang Gati alias Pendekar Burung 

Bangkai itu masih cukup lantang. Ia 

berseru kepada Sakrosan, pemilik 

kedai:

"San, sebentar lagi aku akan 

mendapat rezeki yang cukup untuk 

melebarkan kedaimu ini."

"O, ya...? Rezeki dari mana itu?" 

Sakrosan juga berseru dari tempatnya.

"Hadiah dari Kanjeng Adipati 

Jangga. Lima ratus keping uang emas 

akan kuterima, jika aku berhasil 

menemukan pembunuh Putra sulungnya."

"Astaga...!" Sakrosan terbelalak, 

juga para pengunjung kedai yang


lainnya. Hampir setiap orang yang 

mendengar suara Pendekar Burung Bang-

kai itu menjadi tegang dan memusatkan 

pandangan matanya ke arah lelaki tua 

itu.

"Jadi, putra Sulung Kanjeng 

Adipati Jangga ada yang membunuhnya?"

"Ya. Dibunuh dengan curang," ujar 

Eyang Gati. "Sebuah mata pisau beracun 

dilemparkan dari tempat persembunyian. 

Dan pelakunya adalah kawanan rampok 

kelas teri yang dipimpin oleh seorang 

perempuan murahan. Perempuan itu telah 

mengaku bernama Sekar Pamikat. Padahal 

aku tahu betul siapa gadis yang 

bernama Sekar Pamikat itu. Ia putri 

bekas seorang Patih di Kepatihan Anjar 

Puspa. Aku kenal baik dengannya, dan 

aku tahu prilakunya yang tak mungkin 

dapat bertindak sekeji itu..."

Pendekar Burung Bangkai meneguk 

tuaknya dan mendesah keras, menandakan 

dia amat puas dengan tuak Jatiwangi.

"Aku yakin, San..." sambungnya 

lagi, "Perempuan yang mengaku Sekar 

Pamikat itu hanya perempuan murahan 

yang haus harta dan kepuasan seorang 

lelaki. Nanti, San... kalau aku sudah 

berhasil memboyong kepala perempuan 

jalang itu ke hadapan Adipati Jangga, 

dan hadiahnya sudah kuterima, kedaimu 

ini akan kusumbangi modal untuk 

memperlebar dan menambah daganganmu, 

San..." Ia meneguk tuak lagi ketika


Sakrosan tertawa girang. Setelah 

meneguk tuak, ia berkata lagi, 

"Katanya... perempuan itu bersedia adu 

tanding dengan Adipati Jangga. He, he, 

he... Bagaimana dia akan berani adu 

tanding dengan Sang Adipati, jika 

melawanku saja ia harus mengalami 

sekarat selama tujuh hari tujuh malam. 

Betul kan, San?!"

"Betul...! Betul sekali pendapat 

Anda itu...!"

Sekar Pamikat berbisik, "Apakah 

paman Ludiro pernah menantang adu 

tanding dengan Kanjeng Adipati?"

Ludiro yang bertubuh kecil namun 

kelihatan kekar itu hanya menggeleng. 

Mulutnya masih terbengong dan 

keresahan terlihat jelas di wajahnya.

"Aku sendiri tidak pernah 

mengatakan demikian."

"Itu cuma fitnah, Putri Ayu. 

Fitnah itu memang lebih kejam dari 

pada tidak difitnah..."

"Ssstt... siapa orang yang 

berdiri di ambang pintu itu?" bisik 

Sekar Pamikat sambil matanya memandang 

ke arah orang yang dimaksud.

Orang itu masih bisa dikatakan 

muda. Ia menyandang sebilah pedang di 

punggungnya. Badannya terlihat kekar, 

rambutnya panjang, diikat dengan kulit 

macan tutul. Ia mengenakan baju rompi 

dari kulit beruang, demikian juga 

dengan celananya. Namun ikat ping


gangnya itu terbuat dari kulit buaya. 

Cukup tebal dan lebar.

Sepanjang ingatan Sekar Pamikat, 

ia belum pernah bertemu dengan pemuda 

itu. Juga menurut Ludiro, pemuda itu 

masih asing di dunia persilatan. Jadi 

kesimpulan mereka, dia adalah pen-

datang asing dari perguruan yang jauh 

entah di sudut bumi sebelah mana. 

Pemuda itu bertanya kepada lelaki 

yang duduk di seberang Pendekar Burung 

Bangkai:

"Maaf, Paman... boleh saya 

bertanya, ini daerah mana?"

Yang ditanya meneliti sebentar, 

kemudian baru menjawab dengan ragu, 

"Ini Kabupaten Abangan. Anda orang 

mana? Pendatang dari mana?"

"Saya dari Pesanggrahan Cendana 

Manik..."

"Silakan duduk, Tuan..." Sakrosan 

melayani.

"Hemm... terima kasih, Pak. Saya 

hanya ingin bertanya di mana arah 

Kadipaten Jangga itu?"

Hampir semua mata tertuju kepada-

nya, kecuali Pendekar Burung Bangkai 

dan Sekar Pamikat yang berlagak tidak 

tertarik dengan kemunculan pemuda itu.

"Anda ingin datang ke Kadipaten 

Jangga?"

"Benar, Pak. Saya ada undangan 

khusus dari Raden Praja untuk..." 

tiba-tiba suaranya terhenti oleh


celetukan Pendekar Burung Bangkai:

"Raden Praja telah tewas!" 

Pendekar tua berkulit hitam itu meman-

dang sinis kepada pemuda tersebut. 

"Kau tak perlu datang ke Kadipaten 

Jangga."

Pemuda itu tertegun beberapa 

saat, lalu berkata, "Benarkah Raden 

Praja telah tewas?"

"Ya, benar!" jawab Pendekar 

Burung Bangkai dengan tegas. "Mau apa 

kamu?"

"Kalau begitu, tolong berikan 

arah letak Kadipaten itu. Saya harus 

segera ke sana untuk..."

"Untuk mengetahui pembunuhnya? 

Mencoba menangkap pembunuhnya?" sahut 

Pendekar Burung Bangkai. Ia tersenyum 

sinis, "Itu tidak perlu. Sayalah yang 

mendapat tugas menangkap pembunuh 

Raden Praja! Sayalah yang berhak 

mendapatkan hadiahnya itu."

"Saya tidak mengejar hadiah. Saya 

hanya ingin..."

"Jangan banyak mulut! Pulang ke 

tempat asalmu sana!" Pendekar Burung 

Bangkai kelihatan berang. Sekar Pami-

kat hanya geleng-geleng kepala sambil 

menyembunyikan wajah di tempat 

duduknya yang memojok itu. Ia berbisik 

kepada Ludiro:

"Sifatnya masih juga belum 

berubah: mata duitan!"

Ludiro hanya menggumam pendek,


namun hatinya masih diliputi perasaan 

cemas. Ia pun tak berani memandang ke 

arah depan, takut ada yang 

mengenalinya dan diketahui Pendekar 

Burung Bangkai.

Sementara itu, pemuda tersebut 

berkata dengan nada menahan 

kejengkelan:

"Apa kuasamu mengusirku begitu, 

Pak Tua?"

"Eit...! Jangan sebut-sebut aku 

pak tua, ya? Julukanku Pendekar Burung 

Bangkai! Tahu...?!"

"Baru sekarang saya tahu seorang 

pendekar yang takut kehilangan uang 

hadiah," Pemuda itu tersenyum sinis.

Pendekar Burung Bangkai semakin 

geram. Ia berdiri dan bertolak 

pinggang di hadapan pemuda tersebut.

"Lancang sekali mulutmu...!" 

Kemudian tanpa diduga-duga Pendekar 

Burung Bangkai melancarkan pukulannya 

ke arah perut pemuda tersebut. Pukulan 

mengena telak di ulu hati pemuda

tersebut. Tapi yang dipukul hanya 

tersenyum menjengkelkan. Bergeming 

sedikit pun tidak.

"Sabar, Pak Tua. Jangan mengumbar 

kemarahan di masa lanjut usia, dapat 

mengakibatkan pendek umur!" kata 

pemuda berotot dan tegap itu. Rupanya

Pendekar Burung Bangkai merasa lebih 

dihina dengan kata-kata itu. Sebuah 

pukulan yang dinamakan jurus Jalak


Pemecah Karang dilancarkan.

"Hiaaat...!"

"Buk... buk... buk..."

Pemuda gagah itu terdorong keluar 

sedikit limbung. Dalam hati Pendekar 

Burung Bangkai merasa heran baru kali

ini jurus Jalak Pemecah Karang-nya

tidak mampu merubuhkan lawan. Biasanya 

jurus itu tak akan sempat membuat 

lawan berdiri sedikit pun. Aneh, 

rupanya kali ini ia mendapatkan lawan 

yang cukup tangguh.

Dengan rasa penasaran Pendekar 

Burung Bangkai memburu keluar kedai. 

Di sana, pemuda tangguh itu telah 

menanti dengan suatu sikap siap 

melayani Pendekar Burung Bangkai.

"Kau memaksaku untuk melawan, Pak 

Tua."

"Anggap saja ini suatu syarat 

untuk dapat menuju Kadipaten Jangga! 

Bersiaplah untuk mampus, Anak 

lancang!"

Kemudian Pendekar Tua itu 

melayang tinggi, meluncurkan kakinya 

yang masih kekar ke arah wajah pemuda 

tersebut. Kali ini serangan Pendekar 

Burung Bangkai tidak sekedar salam 

perkenalan belaka, namun benar-benar 

diperhitungkan. Sebab ia tahu, pemuda 

bersabuk kulit buaya itu mempunyai 

ilmu kanuragan yang cukup tinggi. 

Kendati sampai saat ini pemuda 

tersebut hanya menghindar dan


bertahan, tapi Pendekar Burung Bangkai 

yakin, bahwa pada suatu kesempatan 

pemuda itu akan melancarkan sera-

ngannya yang mungkin amat mengejutkan.

Sekali pun masih terbatas 

perkelahian tangan kosong, namun 

banyak orang yang sudah mulai tegang 

dan was-was. Mereka menyaksikan dari 

kejauhan, termasuk Sakrosan, pemilik 

kedai. Sedangkan Sekar Pamikat dan 

Ludiro masih berada di tempat duduknya 

semula. Keduanya masih diliputi 

kegelisahan. Hanya saja, Ludiro lebih 

nyata menanggung kegelisahannya, 

sedangkan Sekar Pamikat masih bisa 

berusaha menenangkan diri, menekan 

kegelisahan yang ada.

"Melihat penampilannya, pemuda 

itu bukan orang sembarangan, ya 

Paman?"

"Ya. Tapi... biarlah dia 

berurusan dengan Eyang Gati. Kita bisa 

manfaatkan untuk segera pergi dari 

sini sebelum Eyang Gati mengetahui 

kehadiran kita, Putri Ayu."

Sekar Pamikat mengangguk-angguk. 

"Gagasan yang bagus. Tapi sebenarnya 

aku mengkhawatirkan keselamatan Eyang 

Gati. Kali ini Eyang Gati salah 

perhitungan, pemuda itu punya ilmu 

silat yang tidak bisa diremehkan, 

Paman. Bisa jadi Eyang Gati akan..."

"Sudahlah, Eyang Gati juga belum 

tentu mau mengerti siapa Putri


sebenarnya. Ia tetap akan menangkap 

kita, dan itu berarti pertarungan tak 

dapat dielakkan lagi." Ludiro semakin 

memperlihatkan kecemasannya. Kemudian 

mereka bergegas pergi meninggalkan 

kedai setelah membayar makanannya. 

Ludiro dan Sekar Pamikat bermaksud 

pergi lewat jalan belakang. Tetapi 

mendadak mereka pun berhenti 

melangkah.

Sebuah siulan menirukan suara 

burung terdengar melengking tinggi. 

Semua orang tak tahan mendengarnya. 

Siulan itu mengandung kekuatan tenaga 

dalam yang cukup dahsyat dan mampu 

membunuh setiap pendengarnya. Sekar 

Pamikat dan Ludiro sama-sama terkejut.

"Gawat, ia mengeluarkan jurus 

siulan Jalak Pematok Jantung...!!" 

ucap Sekar Pamikat dengan tegang. 

"Sampai sejauh itukah Eyang Gati 

harus bertindak karena soal sepele 

tadi?!"

Sekar Pamikat bergegas mengham-

piri kerumunan orang yang menutup 

telinga masing-masing dengan menyeri-

ngai kesakitan. Dari sana, tampak 

Pendekar Burung Bangkai berdiri tenang 

sambil bersiul. Pemuda lawannya juga 

turut berdiam diri. Ia berdiri, 

memejamkan mata, memusatkan konsen-

trasi untuk melawan siulan maut itu. 

Sekar Pamikat merasa heran sekali dan 

kagum terhadap pemuda itu.


"Orang lain menutup telinga kuat-

kuat, dia hanya memejamkan mata dengan 

tenang," bisik Ludiro yang ikut merasa 

kagum dan secara tak langsung mengakui 

kehebatan ilmu pemuda itu.

Sekar Pamikat tak dapat bersabar 

diri, ia segera mencabut Cambuk Naga 

dari punggungnya. Cambuk itu melesat 

ke udara, bagai memutar-mutar dengan 

menimbulkan suara letusan kecil 

berulang-ulang.

"Tar... tar... tar... tar...."

Suara itu bertujuan untuk

mengimbangi lengking siulan Pendekar 

Burung Bangkai. Dengan diimbangi suara 

Cambuk Naga, pengaruh kekuatan tenaga 

dalam yang meluncur lewat suara siulan 

itu mulai berkurang. Pemuda gagah 

terbelalak matanya memandang kibasan 

cambuk yang nyaris tak terlihat oleh 

mata awam. Sedangkan Pendekar Burung 

Bangkai segera menghentikan siulannya 

dan berpaling memandang Sekar Pamikat.

"Setan betina! Kau sengaja 

mencampuri urusanku, hah?!"

Pendekar Burung Bangkai geram 

sekali dan segera menghampiri Sekar 

Pamikat. Sekar Pamikat menghentikan 

permainan Cambuk Naganya. Sementara 

itu Ludiro tampil ke depan, menghadang 

kehadiran Pendekar Burung Bangkai.

Orang tua berkulit hitam dan 

berambut uban itu menghentikan 

langkahnya. Ia bagai terkejut melihat


Ludiro berdiri di depannya.

"Ludiro...?! Kau ada di sini?!"

"Benar, Eyang Gati."

Pendekar Burung Bangkai tertegun 

sejenak. Tak banyak orang yang tahu 

nama aslinya, hanya keluarga Kepatihan 

Anjar Puspalah yang mengetahuinya. Dan 

kini, Ludiro dapat menyebutkan nama 

itu, berarti ia benar-benar Ludiro 

bekas pengawal setia Putri Ayu Sekar 

Pamikat.

"Ludiro...? Kau bersekongkol 

dengan setan betina yang berdiri di 

belakangmu itu?!"

"Tidak, Eyang. Dia bukan setan 

betina. Eyang salah sangka."

"Hemm...!" gumam Pendekar Burung 

Bangkai. "Lalu, apa maksudmu berdiri 

di depanku? Minggirlah, aku akan 

menghajar perempuan yang suka 

mencampuri urusan orang lain itu."

"Sabar, Eyang. Kami perlu bicara 

disuatu tempat yang cukup sepi. Maukah 

Eyang mengikuti kami?"

Pendekar Burung Bangkai menim-

bang-nimbang. Sementara itu, Sekar 

Pamikat lebih dulu pergi meninggalkan 

Ludiro dan Eyang Gati. Namun tak lama, 

tanpa menunggu jawaban dari Eyang 

Gati, Ludiro pun ikut pergi menyusul 

Sekar Pamikat. Dan akhirnya, dengan 

rasa penasaran Pendekar Burung Bangkai 

pun pergi menyusul kedua orang 

tersebut.


"Berhenti!" seru seorang yang 

tiba-tiba. muncul didepan Sekar 

Pamikat. Lelaki itu mengenakan busana 

kebangsawanan, umurnya belum seberapa 

tua. Di belakang lelaki itu ada tiga 

orang prajurit Kadipaten dan seorang 

lelaki brewok bertangan buntung. Sekar 

Pamikat tahu, lelaki bertangan buntung 

itu adalah Ranggowo. Dengan begitu, 

Sekar Pamikat pun tahu, mereka pasti 

utusan dari Kadipaten Jangga. Sekar 

Pamikat ingin angkat bicara, namun 

Ranggowo lebih dulu membuka mulutnya 

dengan berkata:

"Perempuan inilah yang membunuh 

Raden Praja, adik Anda Raden Panewu."

"Ya. Aku sudah bisa menebaknya 

lewat wajahnya yang mirip setan rakus. 

Dia pasti pembunuh adikku!"

Sekar Pamikat menjadi tegang, 

sukar dijelaskan.

* * *


TIGA



RADEN Panewu mengambil posisi, 

kuda-kuda jurus Brajamusti. Sekar 

Pamikat bermaksud mengalah dan ingin 

menjelaskan hal yang sebenarnya. Tapi 

Panewu sudah terlanjur maju dan 

menyerang tanpa tanggung-tanggung 

lagi. Pukulan jarak jauhnya tak sempat


dihindari oleh Sekar Pamikat. 

Akibatnya gadis itu pun terjengkang ke 

belakang. Bahu kirinya terasa panas 

dan membiru.

"Orang ini cukup membahayakan," 

pikir Sekar Pamikat. Tak ada waktu 

untuk berembuk dan mengadakan 

musyawarah. Naluri Raden Panewu sudah 

merupakan naluri untuk membunuh. 

Karenanya, Sekar Pamikat pun berteriak 

nyaring sambil, tubuhnya melejit 

tinggi. Ia bersalto di udara beberapa 

kali. Ketika ia mendarat kembali, kaki 

kanannya sempat mengenai dagu Raden 

Panewu.

"Hiaaat...!"

Sekali lagi pukulan Badai Angkasa 

telah mengenai tengkuk kepala Raden 

Panewu. "Aachk...!"

Raden Panewu terhuyung-huyung. 

Secepatnya ia berbalik dan melancarkan 

serangan jarak jauhnya yang disertai 

dengan aliran hawa murninya. Sekar 

Pamikat berkelit, melesat kembali ke 

udara, Dalam masa itu, ia pun 

melancarkan pukulan tenaga dalamnya 

dari jarak 5 meter. Pukulan itu 

membuat Raden Panewu menjerit 

kesakitan. Dagunya terdongak ke atas 

dengan keras, kemudian darah kental 

mulai meleleh dari mulutnya.

Secepatnya Penewu menjaga 

keseimbangan tubuh. Berkonsentrasi 

memulihkan tenaga dalam dirinya.


"Setan jalang...! Hadapilah aku!" 

teriak Ranggowo ketika ia tahu Sekar 

Pamikat hendak menyerang Panewu.

"Tunggu!" seru Sekar Pamikat. 

"Jangan menambah korban untuk 

kesalahpahaman ini. Jangan sia-siakan 

nyawa buat masalah yang belum jelas 

maknanya!"

"Hanya orang dungu yang belum 

jelas makna pembunuhan Raden Praja, 

heeaaaatt...!!"

Dengan menggunakan satu tangan 

Ranggowo menyerang Sekar Pamikat. 

Hampir saja Sekar Pamikat terpanggang 

trisula yang ada di tangan Ranggowo. 

Untung ia segera bersalto ke belakang,

sehingga trisula itu hanya merobek 

udara kosong. Sekar Pamikat segera 

mencabut pedang dari pinggangnya untuk 

menandingi trisula Ranggowo. Trang... 

trang... trang... nyaring mengiris 

hati bunyi benturan pedang dengan 

trisula Itu. Agaknya Ranggowo bukan 

sekedar memenuhi tugas membunuh pelaku 

pembunuhan terhadap diri Raden Praja, 

namun juga ada unsur dendam atas 

sebelah tangannya yang buntung akibat 

sasaran Cambuk Naga. Ranggowo 

kelihatan sangat bernafsu. Ia memutar-

mutar senjata trisulanya, menyerang 

dengan tendangan-tendangan mautnya, 

dan sejauh ini, Sekar Pamikat selalu 

lolos dari serangan Ranggowo. 

Sebaliknya, kali ini Ranggowo sendiri


yang jatuh terpental akibat menghin-

dari pedang Sekar Pamikat. Karena pada 

saat ia menghindari kibasan pedang 

itu, Sekar Pamikat mengirimkan pukulan 

jarak jauhnya yang diberi nama Badai 

Pembelah Bumi.

Ranggowo sempat mendelik dan 

memuntahkan darah segar dari mulutnya. 

Tiba-tiba terdengar suara keras dari 

arah belakang Sekar Pamikat:

"Seraaang...!!"

Komando Raden Panewu membuat 

ketiga prajurit Kadipaten melancarkan 

serangan serentak kearah Sekar Pami-

kat. Ketiganya mengandalkan senjata 

tombak bermata dua yang begitu ganas 

menghunjam tubuh Sekar Pamikat.

"Jangan biarkan dia lolos!" seru 

Raden Panewu. Ketiga prajurit itu 

bertambah semangat. Mereka semakin 

gila dan punya nafsu membunuh lebih 

ganas lagi. Pekik dan teriakan saling 

bersahutan. Denting suara pedang 

beradu dengan senjata mereka nyaris 

tak ada masa senggangnya.

Ranggowo bangkit pada saat Sekar 

Pamikat berada dalam posisi yang 

tepat. Ia melemparkan trisulanya 

kearah punggung Sekar Pamikat.

"Wusss..." 

Trisula meluncur cepat. Namun 

sebelum menyentuh punggung Sekar 

Pamikat, trisula itu tertahan oleh 

sebuah lempengan besi tipis, mirip


piring kecil seukuran telapak tangan. 

"Tring...!"

Ranggowo dan Raden Panewu 

terbelalak kaget, kemudian keduanya 

memandang ke arah datangnya senjata 

aneh itu. Di sana, mereka memandang 

seorang lelaki bertubuh pendek, 

berkulit hitam namun kelihatan kekar.

Ludiro.

Sekar Pamikat mengetahui keha-

diran Ludiro yang masih berdiri bagai 

menyaksikan pertarungan itu. Sekar 

Pamikat tak peduli apa yang dilakukan 

Ludiro, yang jelas ketiga Prajurit 

Kadipaten itu agaknya lebih tangguh 

dari yang sudah-sudah. Ia terpaksa 

semakin gesit menghindari serangan 

dari tiga arah. Pedang dipermainkan 

bagai sebuah kipas penghalau lalat.

Sementara itu, Pendekar Burung 

Bangkai pun tiba di tempat tersebut. 

Ia bersungut-sungut menyaksikan 

pertarungan tersebut. Mulanya ia tidak 

ingin ikut campur, sebab ia melihat 

Ludiro sedang menghindari serangan 

Ranggowo. Pendekar Burung Bangkai 

sedikit merasa bingung, mengapa Ludiro 

sampai berurusan dengan orang-orang 

Kadipaten.

Tetapi demi mendengar seruan 

Raden Panewu, "Burung Bangkai...! 

Mengapa kau diam saja! Bunuh perempuan 

itu. Dia yang telah menewaskan adikku: 

Praja!" Maka serta merta Pendekar



Burung Bangkai memutar-mutar kantong 

kulitnya di udara. Agaknya tali 

kantong kulit itu dapat terjulur 

menjadi panjang. Dalam satu hentakkan 

sarung kulit yang berputar dan menjadi 

sekeras besi itu menghantam pinggang 

Sekar Pamikat.

"Aaakhh...!" Sekar Pamikat 

mengaduh dan tersungkur jatuh terkena 

kantong kulit itu. Pendekar Burung 

Bangkai tertawa terkekeh-kekeh. Merasa 

senang dapat menjatuhkan musuhnya.

"Ingat, aku yang menjatuhkan! 

Jika ia mati, akulah yang membunuh-

nya!" seru Pendekar Burung Bangkai.

Entah ada yang mendengarkan 

seruan itu atau tidak, tapi yang jelas 

saat ini Sekar Pamikat merasa keteter 

menghadapi serbuan ketiga tombak 

prajurit Kadipaten itu. Ia berguling-

guling sambil mempermainkan pedangnya 

untuk menangkis tombak-tombak 

tersebut. Lalu pada suatu kesempatan, 

ia berhasil meloncat tinggi, bersalto 

di udara dan mengibaskan pedangnya 

seketika itu. Dua orang prajurit 

berteriak nyaring. Mereka roboh dengan 

kepala terluka par ah, untuk kemudian 

tak sempat berkutik lagi.

Di lain sisi, Ludiro nyaris 

keteter oleh serangan beruntun dari 

Ranggowo. Mereka sama-sama menggunakan 

tangan kosong, namun agaknya Ranggowo 

lebih menguasai ilmu tenaga dalam,


dalam berbagai gerakan. Bahkan dari 

kakinya pun Ranggowo mampu menendang 

Ludiro disertai hembusan angin yang 

membuat mata menjadi perih. Dalam 

suatu pukulan Tapak Darah Harimau 

Kembar, telinga Ludiro sempat berdarah 

dan kepalanya menjadi pening.

Ranggowo tak menyia-nyiakan waktu 

sedikit pun. Ludiro terhuyung-huyung, 

dan Ranggowo segera menyempatkan 

peluang itu untuk melancarkan 

pukulannya secara bertubi-tubi ke dada 

Ludiro.

"Hiaaatt...! Heeeaaat...!"

"Aaaakhhh..." Ludiro terpental 

jatuh dengan nafas tersengal-sengal. 

Wajahnya pucat. Mulutnya memuntahkan 

darah segar. Namun tepat pada saat 

Ranggowo berteriak:

"Mampus kau, Bangsaaat...!!" dan 

ia sentakkan kaki ke atas, lalu 

melayangkan tendangan menuju dada 

Ludiro. Pada detik itu pula, Ranggowo 

terpaksa berteriak kuat-kuat. Dari 

arah belakangnya terdengar suara: 

"tarrr...!"

Cambuk Naga mulai beraksi. 

Meluncur cepat, menyabet pinggang 

Ranggowo dengan mengeluarkan nyala 

sinar birunya. Pinggang itu robek 

seketika, dan Ranggowo jatuh. Isi 

perutnya terburai, ia mengerang sambil 

kelojotan. Untuk beberapa saat ia 

masih kelojotan bagai ayam dipotong.


Lalu... diam untuk selamanya.

Raden Panewu semakin terbelalak 

matanya. Wajahnya yang sempat pucat 

menjadi memerah dibakar amarah. Ia 

segera mencabut keris yang sejak tadi 

terselip di pinggang belakang.

"Setan betina...! Terimalah 

pusaka Layon Ragaku ini...!" Kegeraman 

Raden Panewu begitu kuat. Matanya yang 

mendelik bagai memancarkan nafsu mem-

bunuh yang berapi-api. Ia menggenggam 

keris pusaka Layonraga dengan gemetar. 

Ketika ia berusaha merobek dada Sekar 

Pamikat, gadis itu berkelit. Keris 

pusaka Layonraga tak jadi merobek 

kulit, namun kekuatan anginnya sempat 

membuat dada Sekar Pamikat jadi 

membiru. Biru kemerah-merahan. Garis 

itu membentang panjang dari belahan 

dada hingga ke ujung pundak. Ada rasa 

perih yang menjalar di kulit, namun 

tak begitu parah.

Cambuk Naga tak mau tinggal diam. 

Ia melecut ke arah Raden Panewu. 

Menimbulkan suara ledakan yang amat 

menggetarkan tubuh. Agaknya Panewu pun 

telah siap menghadapi keampuhan Cambuk 

Naga. Ia hanya terguncang sebentar, 

kemudian menyerang lagi dengan 

garangnya. Sementara itu, seorang 

prajurit Kadipaten yang telah lemas 

dan berkeringat segera melemparkan 

tombaknya ke arah Sekar Pamikat. Namun 

pada saat ia hendak melemparkan


tombak, tiba-tiba sebuah logam 

berwujud mata pisau meluncur dari arah 

Ludiro. Mata pisau beracun itu 

menancap di paha prajurit tersebut. Ia 

memekik kesakitan. Lemparan tombaknya 

menjadi salah arah. Hampir saja tombak 

itu meluncur mengenai Pendekar Burung 

Bangkai yang sejak tadi terpana 

menyaksikan pertarungan tersebut. 

Untung lelaki beruban itu segera 

melejit ke atas dan jatuh kembali ke 

tanah dengan posisi sigap.

"Edan...! Sinting!" teriaknya 

dalam makian. Ia bersungut-sungut dan 

memandang prajurit itu. Namun rasa-

rasanya ia tak perlu banyak berbuat, 

karena prajurit itu kini dalam keadaan 

mengerang menahan sakit pada pahanya.

Sementara itu, Ludiro bagai 

lumpuh akibat serangan Ranggowo tadi. 

Ia hanya bisa duduk menggelosot dan 

matanya mengawasi Sekar Pamikat yang 

kali ini sedang melancarkan 

serangannya ke arah Raden Panewu.

Dewi Cambuk Naga berteriak 

lengking sambil melecutkan cambuknya. 

Pada saat itu tangan Panewu bergetar. 

Keris pusakanya jatuh. Ia mengaduh 

sambil memegangi tangannya. Cambuk 

naga memang tak sempat membelit di 

tangan, tetapi rasa ngilu begitu kuat, 

bagai hendak mematahkan pergelangan 

tangannya.

Sebuah tendangan meluncur dari


Sekar Pamikat. Panewu terjengkang 

karena rahangnya terkena telak ten-

dangan Sekar Pamikat. Sambil berguling 

ke tanah ia meraih keris pusaka 

Layonraga.

"Set...!" 

Panewu siap dengan senjata 

pusakanya kembali. Tapi demi melihat 

satu-satunya prajurit Kadipaten yang 

masih hidup dan hanya terluka itu 

melompat ke punggung kuda, Panewu 

menjadi grogi. Gerakan matanya yang 

nanar dan garang itu menjadi sangat 

tak teratur. Prajurit itu sudah 

melarikan diri dengan menunggang kuda 

secepat angin. Panewu sangat tegang. 

Ia sendirian. Ia berseru:

"Burung Bangkai...! Bantu aku 

menangkap perempuan jalang ini! 

Lekas!"

Pendekar Burung Bangkai tergera-

gap sejenak setelah namanya dipanggil. 

Agaknya ia tadi keasyikan menyaksikan 

pertarungan seru itu. Namun setelah ia 

menyadari seruan Raden Panewu, ia 

tidak langsung bergerak, melainkan 

justru semakin kikuk dan ragu-ragu.

"Cepat! Cepat tangkap atau bunuh 

perempuan ini! Ingat, hadiah itu akan 

kau peroleh, Burung Bangkai!" bujuk 

Panewu dalam teriakannya, sambil ia 

berusaha menghindari lecutan cambuk 

naga.

"Heeeaaaa..!!" teriak Pendekar


Burung Bangkai seraya maju menyerang 

Sekar Pamikat dengan jurus Capung 

Loncat.

Sekar Pamikat lolos kontrol, 

pinggangnya terhantam oleh pukulan 

Pendekar Burung Bangkai. Gadis itu 

sempat meringis kesakitan. Kemudian ia 

limbung sejenak, karena Pendekar 

Burung Bangkai menghantamkan kantong

kulitnya tepat di rusuk Sekar Pamikat.

"Rasakan jurus Ayunan Gagakku 

itu, he... he... he...."

Sekar Pamikat menjadi serba 

salah. Ia ingin menghantam tangan 

Pendekar Burung Bangkai, dengan cambuk 

naga, tapi ia ingat bahwa lelaki tua 

itu sangat baik kepadanya. Hanya saja 

saat ini lelaki berkulit hitam itu 

tidak tahu, siapa yang menjadi 

musuhnya saat itu. Sekar Pamikat 

menjadi kebingungan. Terutama terhadap 

jurus Capung Loncat itu, Sekar Pamikat 

merasa keteter jika harus menghindar 

dan menghindar lagi. Ah, memang sulit 

menentukan sikap pada saat itu.

Dilawan, bukan musuh. Dibiarkan, ia 

bisa mati.

Ludiro bergegas melemparkan 

senjata rahasianya, berupa mata pisau 

kecil yang beracun. Ia lemparkan ke 

arah Raden Panewu yang hendak 

melarikan diri dengan menunggang kuda. 

Tetapi kali ini senjata andalan Ludiro 

bisa disingkirkan oleh kibasan keris


pusaka Layonraga. Senjata itu melesat 

jauh kibasan keris pusaka Layonraga. 

Senjata itu melesat jauh, dan menancap 

pada sebatang pohon. Kesempatan itu 

digunakan Raden Panewu untuk menghalau 

kudanya, melarikan diri dari perta-

rungan tersebut. Ia merasa belum 

saatnya ia harus mengimbangi kesaktian 

musuhnya. Ia merasa akan mati konyol 

jika tetap bertahan di situ. Harus ada 

akal untuk melenyapkan perempuan iblis 

yang amat dibenci itu.

Pendekar Burung Bangkai mengge-

rakkan tangannya ke samping. Kedua 

tangan itu mengembang kokoh, salah 

satu kakinya terangkat ke samping.

"Jalak Pemecah Karang!" serunya 

dengan girang hati. Ia yakin akan 

dapat membunuh Sekar Pamikat pada saat 

itu, sebab kali ini Sekar Pamikat 

sedang menahan sakit akibat terkena 

pukulan Kutilang Jantan.

Sekar Pamikat mengetahui, betapa 

bahayanya jika jurus Kutilang Jantan 

dikombinasi dengan jurus Jalak Pemecah 

Karang. Sedangkan untuk menghindar 

dalam saat yang amat sempit itu ia tak 

akan mampu. Paling tidak payudaranya 

akan pecah terkena kombinasi jurus. 

tersebut. Maka Sekar Pamikat hanya 

mempunyai satu harapan yang tidak 

mengandung resiko bagi lawannya. Ia 

berseru dengan mata memandang tajam 

pada mata Pendekar Burung Bangkai.



"Eyang Gati..,!!"

Lelaki berkulit hitam, keriput, 

namun masih kokoh itu tiba-tiba 

berhenti seketika dari gerakan. Salah 

satu kakinya masih terangkat ke 

samping, kedua tangannya masih 

mengembang bagai ingin terbang. Ia 

berkerut dahi pada saat Sekar Pamikat 

memanggilnya: "Eyang Gati."

"Kau tahu namaku?"

"Eyang Gati, redakan dulu 

amarahmu. Kita bicara secara nalar."

"Siapa kau sebenarnya, Gombal?!" 

tanya Eyang Gati sambil kedua 

tangannya masih mengembang dan salah 

satu kakinya terangkat ke samping.

Sekar Pamikat menjelaskan secara 

singkat, "Aku Sekar Pamikat. Aku putri 

Ki Juwanata, Patih di Kepatihan Anjar 

Puspa...."

"Kau? Kau Sekar Pamikat? Ah, 

omong kosong!"

"Eyang tidak melihat cambuk naga 

di tanganku ini?!

"Aku belum rabun. Aku melihatnya 

dengan jelas. Itu senjata andalan 

Putri Ayu Sekar Pamikat yang bergelar: 

Pendekar Cambuk Naga. Tapi... kau curi 

dari mana cambuk itu, ha?"

"Ini barang milikku, Eyang. Ini 

pusakaku. Akulah Sekar Pamikat. Aku 

Pendekar Cambuk Naga yang sebenarnya."

Eyang Gati tertawa terkekeh, 

tangan dan kaki masih dalam posisi


sama seperti tadi. "Bohong! Aku kenal 

betul dengan wajah Pendekar Cambuk 

Naga. Tidak sejelek kamu!"

"Ceritanya cukup panjang, Eyang. 

Kita perlu bicara dengan tanpa dibe-

bani kemarahan dan nafsu membunuh."

"O, ya? Coba ceritakanlah 

sekarang juga..."

"Tapi, tolong turunkan kaki Eyang 

lebih dulu. Lepaskan kedua tangan 

Eyang supaya kita bicara tanpa 

ketegangan."

"Astaga...!" mata Pendekar Burung 

Bangkai terbelalak sekejap. "Aku lupa 

kalau masih dalam posisi seperti 

ini...."

Kemudian ia bergerak cepat, kedua 

tangannya berkelebat ke atas bagai 

hendak menopang langit. Dan pada saat 

itu terjadilah sebuah ledakan yang 

menyemburkan asap hitam tebal di 

angkasa. Itulah curahan dari kombinasi 

jurus Jalak Pemecah Karang dengan 

jurus Kutilang Jantan. Sekar Pamikat 

tak dapat membayangkan andai ia 

terkena serangan itu, oh... sedikit 

sekali harapan baginya untuk hidup 

lebih dari sehari. Ia tahu betul 

keampuhan kedua jurus itu.

"Nah, jelaskan dengan singkat dan 

tepat siapa dirimu sebenarnya. Kalau 

aku percaya, kau tidak akan mati di 

tanganku. Tapi kalau aku tidak

percaya, aku akan segera membunuhmu,


tanpa pertarungan sedikit pun. 

Mengerti?"

Sekar Pamikat menghela nafas 

dalam-da-lam. Sejak tadi ia masih 

dalam posisi setengah merebah di 

tanah, dan kali ini ia telah berdiri 

dengan tegap.

"Aku memang Sekar Pamikat, Eyang. 

Roh dan jiwaku adalah milik Sekar 

Pamikat. Tetap ragaku ini adalah milik 

Nawang Puri. Perempuan itu telah 

berhasil mencuri ragaku pada saat aku 

dalam keadaan pingsan karena suatu 

pertempuran."

Beberapa saat lamanya Eyang Gati 

terbungkam, bibirnya mencucu dan 

manggut-manggut. Sekar Pamikat 

berharap tegang, menunggu reaksi Eyang 

Gati. Karena terlalu lama tanpa ada 

komentar, maka Sekar Pamikat pun 

berkata:

"Aku bisa menjelaskan siapa diri 

Eyang Gati sebenarnya. Bahkan aku 

sanggup menceritakan bagaimana 

hubungan Eyang Gati dengan perempuan 

yang bernama Arum Kusuma. Aku tahu ada 

hubungan antara...."

"Sudah... sudah... sudah...!" 

Eyang Gati kelihatan menggeragap dan 

ketakutan waktu mendengar nama Arum 

Kusuma. Matanya melirik ke kanan, ke 

kiri, clingak-clinguk sebentar, 

kemudian mendekatkan wajah dan 

berbisik, "Tolong, jangan terlalu


keras-keras menyinggung nama Arum 

Kusuma, ya? Dan... sebaiknya lupakan 

saja nama itu. Aku percaya sama kamu. 

Begitu sajalah...!" Sekar Pamikat 

hanya menahan geli.

"Aku ingin mendengar ceritamu 

selengkapnya, tapi... lihat pengawalmu 

itu: Ludiro. Agaknya ia perlu 

pertolongan kita secepatnya. Aku tahu, 

ia terkena pukulan Tapak Darah Harimau 

Kembar dari Ranggowo."

"Astaga... Aku hampir lupa dengan 

keadaannya..." Sekar Pamikat langsung

melompat tiga kali lompatan, dan ia 

telah berada di samping Ludiro.

"Paman...?! Paman Ludiro...?!"

Ludiro lemas. Di sela kepucatan 

wajah dan birunya bibir, tampak darah 

membasah dari telinga dan mulut. 

Keadaannya cukup mengerikan. Sekar 

Pamikat sempat mencemaskan keselamatan 

Ludiro.

"Eyang... Aku perlu tempat khusus 

untuk menyelamatkan jiwa paman Ludiro 

ini," kata Sekar Pamikat dengan 

memperlihatkan kecemasannya.

"Dia cukup parah," ujar Eyang 

Gati. "Tak lama lagi ia akan mati. 

Hemm... kasihan kau Ludiro..."

"Eyang, di mana ada tempat yang 

bisa kupakai menolong paman Ludiro?" 

ulang Sekar Pamikat dengan jengkel.

"O, tempat?" Pendekar Burung 

Bangkai seakan baru menyadari


pertanyaan itu. "Hemm... ada. Aku 

punya tempat di Kabupaten Abangan ini. 

Sebuah kamar sederhana."

"Dimana? Di mana, Eyang?"

"Di penginapan."

"Oh, syukurlah. Kalau begitu 

izinkan aku membawanya ke penginapan 

Eyang Gati, ya?"

Jawab Pendekar Burung Bangkai, 

"Boleh-boleh saja. Tapi kau perlu 

tahu, bahwa aku menyewa kamar itu 

semalam harganya 5 keping. Kalau kau 

mau membayarku 2 keping untuk satu 

malamnya, silakan Ludiro kau bawa ke 

sana. Tapi kalau cuma gratis... wah, 

nanti dulu. Masalahnya..."

"Keterlaluan!" gerutu Sekar 

Pamikat dengan dengus kejengkelan. 

"Orang sakit masih dijadikan bahan 

perasan."

"Eit, jangan salah sangka dulu," 

ujar Eyang Gati. "Aku bukan semata-

mata mencari keuntungan pada diri 

orang sakit, tapi... ini sekedar 

timbal balik antara manusia yang satu 

dengan manusia yang lain. Harus ada. 

Jelas harus ada rasa timbal balik itu. 

Hanya dalam bentuk uang atau jasa, itu 

tergantung kebijaksanaan masing-masing 

manusianya."

"Baiklah..." tukas Sekar Pamikat 

sambil menggotong tubuh Ludiro.

"Baiklah bagaimana? Jelaskan 

dulu!" sergah Eyang Gati.


"Baiklah, akan kupertimbangkan 

setelah jiwa paman Ludiro ini 

tertolong."

Eyang Gati ingin mengatakan 

sesuatu, mulutnya telah menganga, 

namun tak jadi berkata apa pun karena 

Sekar Pamikat telah terlanjur berjalan 

cepat. Eyang Gati hanya dapat meng-

hempaskan nafas, lalu mengikuti Sekar 

Pamikat yang kebetulan berjalan ke 

arah yang benar menuju penginapannya 

itu. Entah gerutu apa yang dilontarkan 

dari mulut Pendekar Burung Bangkai, 

Sekar Pamikat tidak peduli lagi.

Di dalam penginapan yang sangat 

sederhana itu, tubuh Ludiro dibujurkan 

di atas dipan yang hanya satu-satunya 

ada di dalam kamar tersebut. Sekar 

Pamikat mencoba menyalurkan hawa murni 

ke tubuh Ludiro. Ia bersemedi sejenak, 

kemudian tangannya bergerak bagai 

meraba seluruh tubuh Ludiro. Hanya 

bagai orang meraba namun sebenarnya 

menyentuh sedikit pun tidak. Sementara 

itu, Eyang Gati masih bersungut-sungut 

dan merasa khawatir jiwa Sekar Pamikat 

tidak jadi membayarnya 2 keping untuk 

izin penyembuhan di dalam kamarnya 

itu.

Malam mulai menjelma, dan 

kesunyian pun kian merambah. Pendekar 

Burung Bangkai masih meneguk tuak yang 

sempat diambilnya kembali dari kedai 

Sakrosan. Sesekali ia melontarkan


gerutu tentang kegagalannya mendapat 

hadiah jika ia berhasil menangkap atau 

membunuh orang yang telah menewaskan 

Raden Praja. Sekar Pamikat yang 

mendengar gerutuan itu, lama-lama jadi 

tak enak juga. Dan ia menjelaskannya 

kepada Eyang Gati:

"Ada pembunuh gelap yang meman-

cing di air yang keruh, Eyang. Mereka 

atau pembunuh itu memanfaatkan saat 

pertikaian kami dengan rombongan dari 

kadipaten. Pembunuh itu sengaja 

mencari atau membuat senjata yang 

serupa betul dengan senjata andalan 

paman Ludiro. Dengan begitu, maka 

orang Kadipaten akan menuding kami lah 

sebagai pembunuhnya. Dan... agaknya ia 

berhasil," geram Sekar Pamikat.

Eyang Gati manggut-manggut. Ia 

mulai memahami persoalan yang 

sebenarnya. Lalu ia bertanya, "Tapi... 

apakah kematian Raden Praja mempunyai 

hubungan dengan persoalanmu sendiri 

bersama Nawang Puri?" Ketika itu, 

Sekar Pamikat terbungkam sejenak, 

mempertimbangkan kemungkinan itu. 

Barangkali saja memang Nawang Puri 

itulah yang menewaskan Raden Praja 

dengan suatu maksud tersendiri.

* * *


EMPAT


SEKAR PAMIKAT merasa perlu 

menuturkan peristiwa yang terjadi 

hampir satu tahun yang lalu. Ia 

berharap Eyang Gati dapat memberinya 

jalan keluar bagi persoalan yang cukup 

rumit baginya. Memang sejak kepergian 

Eyang Gati dari Dalem Kepatihan 4 

tahun yang lalu, mereka tak pernah 

saling mengetahui perkembangan masing-

masing, sehingga Eyang Gati pun 

terkejut ketika Sekar Pamikat 

mengatakan, bahwa Dalem Kepatihan 

telah menjadi abu.

"Jahanam busuk!" geram Eyang 

Gati. "Mengapa hal itu sampai 

terjadi?"

"Hal itu bermula dari perseli-

sihan antara Singasari dengan 

Jayakatwang, raja Kediri. Prabu 

Kertanegara gugur, dan Singasari 

menjadi lemah. Lalu Dalem Kepatihan 

pun menjadi akibat dari serangan 

prajurit Jayakatwang. Mereka mengira 

Kepatihan Anjar Puspa punya hubungan 

politik dengan Singasari, sehingga 

kekuatan Kediri pun menghantam kami. 

Kekuatan itu tidak sebanding, Eyang. 

Lalu, Kepatihan Anjar Puspa dibumi 

hanguskan oleh mereka."

Wajah sendu terbias lewat sorot 

mata Sekar Pamikat. Ia berhenti


sejenak dalam penuturannya, menelan 

ludah beberapa kali guna menenangkan 

kepedihan di hatinya. Agaknya Sekar 

Pamikat enggan menitikkan air mata 

untuk suatu malapetaka yang amat pahit 

itu. Ia ingin tampil sebagai sosok 

Pendekar Cambuk Naga yang kokoh dan 

tak mengenal tangis. Memang sulit. 

Tapi ia selalu berusaha mati-matian

untuk hal itu. Kemudian, segumpal 

ketenangan mulai menetralisir 

guncangan jiwanya. Nafas terhirup 

dalam-dalam, dan ia kembali mengangkat 

wajahnya, menatap Pendekar Burung 

Bangkai.

Lelaki tua itu mengangguk, sabar, 

seraya berkata lirih:

"Teruskan..."

"Saat itu, saya dan Nawang Puri 

sedang menghadiri pemakaman Eyang guru 

Purbaseto dan Nyai guru Sukmalaras..."

"Tunggu..." sergah Pendekar 

Burung Bangkai. "Kalau tidak salah 

Purbaseto dan Sukmalaras adalah suami 

istri, bukan? Mereka pasangan abadi 

yang tak pernah bertengkar selama 

perkawinan mereka."

"Benar, Eyang. Dan mereka pun 

meninggal dalam kebersamaan yang 

memilukan. Eyang Guru Purbaseto 

meninggal akibat usia lanjutnya, 

sedangkan Nyai guru Sukmalaras 

berusaha menyalurkan prana dalam tubuh

Eyang guru Purbaseto. Tapi mereka


hanya dapat bertahan tujuh hari, lalu 

keduanya meninggal dalam keadaan 

berdampingan di peraduannya."

Terdengar keluhan lirih dari 

Pendekar Burung Bangkai. Keluhan itu 

bak menyimpan segumpal duka yang dalam 

di hati lelaki tua berkulit hitam 

keriput itu. Sekar Pamikat memberi 

peluang waktu yang cukup bagi Eyang 

Gati untuk merenungkan kematian Eyang 

gurunya. Setelah itu ia berkata 

kembali:

"Aku dan Nawang Puri menjalani 

masa berkabung di lereng gunung 

Panembahan selama tujuh hari 

lamanya...."

"Nanti dulu..." sekali lagi Eyang 

Gati memotong kata. "Jadi kau dengan 

Nawang Puri itu satu guru?"

"Bisa dikatakan begitu, bisa juga 

tidak, Eyang. Sebab, murid Eyang guru 

Purboseto hanya ada satu, yaitu aku 

sendiri. Dan murid Nyai guru 

Sukmalaras juga hanya satu, yaitu 

Nawang Puri. Karena itulah di antara 

kami ada satu perbedaan dalam ilmu 

yang diajarkan kepada guru-guru kami. 

Entah kalau sekarang Nawang Puri 

berhasil menemukan kitab Prana Sukma 

yang berisi ilmu-ilmu kadigdayan yang 

tak boleh diajarkan kepada siapapun, 

mungkin aku berada di bawah kepandaian

Nawang Puri."

"Ooo... ya, ya... aku paham


sekarang. Nah, terus...?"

"Singkatnya cerita, masa berka-

bung kami sudah usai, kemudian kami 

pulang ke rumah. Nawang Puri ikut aku, 

sebab ia sebenarnya terlibat percin-

taan dengan Tamtama, adik sepupu 

denganku, yaitu anak dari...."

"Dadung Manca, pamanmu yang buta 

itu?" tukas Eyang Gati.

"Benar. Dan... begitulah, Eyang. 

Sewaktu kami tiba di Kepatihan Anjar 

Puspa, kami hanya menemukan reruntu-

hannya yang telah menjadi abu." Suara 

Sekar Pamikat kian lemah.

"Apakah tak ada satu pun yang 

selamat?"

Putri Ayu Sekar Pamikat mengge-

leng lemah. "Kami menemukan mayat 

mereka bergelimpangan baik yang 

terbakar hangus maupun yang membusuk 

tak terurus."

"Lalu bagaimana dengan Ludiro? 

Bukankah dia orang kepercayaan 

ayahanda mu?" Eyang Gati semakin ingin 

tahu.

"Paman Ludiro bertugas mendam-

pingi saya dalam pemakaman Eyang guru. 

Jadi dia berada bersama saya dan 

Nawang Puri selama itu. Kemudian... 

melihat keadaan yang amat memilukan 

hati dan membakar am arah, maka Nawang 

Puri membujuk aku untuk menyerang 

Kediri. Jelas itu suatu tindakan yang 

konyol dan tanpa perhitungan. Tetapi


Nawang Puri berhasil membakar 

semangatku, sehingga tanpa pikir 

panjang lagi kami menuntut balas

kepada Jayakatwang. Tapi... seperti 

yang sudah kukatakan tadi, itu adalah 

tindakan yang konyol. Sia-sia. Seperti 

ketimun menyerang durian. Tindakan 

itulah yang membuat aku jatuh sakit, 

nyaris mati di tangan Senopati

Kediri."

"Tapi nyatanya kamu tidak mati, 

bukan?" Eyang Gati memancing 

pertanyaan bersifat santai.

"Memang, Eyang. Paman Ludiro 

berhasil melarikan tubuh saya yang 

dalam keadaan sekarat pada waktu itu. 

Agaknya kondisi saya yang seperti itu 

sudah menjadi bahan incaran bagi 

Nawang Puri. Ia menyimpan niat jahat 

selama ini. Niat Jahat itu tak sempat 

saya ketahui sebelumnya. Lalu... pada 

saat paman Ludiro menghubungi Resi 

Garba, gurunya, yang tinggal di goa 

Ciptakawekas, pada saat itulah Nawang 

Puri melaksanakan niat busuknya."

Pendekar Burung Bangkai manggut-

manggut. Setelah menghela nafas 

sekali, Sekar Pamikat melanjutkan 

kisahnya:

"Dalam keadaan luka parah dan tak 

sadarkan diri, Nawang Wulan mematikan 

raga sendiri. Lalu dengan ilmu 

peninggalan Eyang gurunya, yaitu Nyai 

guru Sukmalaras, Nawang Puri


menjalankan salin raga dengan 

diriku...."

"Salin raga? Uh, aneh dan hebat 

sekali dia. Ilmu apa yang dipakainya?" 

Eyang Gati terheran-heran.

"Ia memang memiliki ilmu Giling 

Sukma, di mana ia mampu memasukkan 

atau memindahkan sukmaku ke raganya, 

dan sukmanya sendiri masuk ke ragaku. 

Dan setelah itu... Nawang Puri pergi, 

melarikan diri entah ke mana. Ia 

membawa lari raga saya, dan membiarkan 

jasad kasarnya menampung rohku, roh 

Sekar Pamikat yang sebenarnya. 

Sehingga... seperti yang Eyang lihat 

saat ini, aku memang roh Sekar 

Pamikat, tapi Ragaku adalah raga 

Nawang Puri..." Sekar Pamikat 

menunduk, menahan gejolak dendam dan 

kesedihan.

"Ketika aku sadar dari pingsan 

yang panjang, aku menemukan paman 

Ludiro dan Resi Garba telah berdiri di 

sampingku. Tapi agaknya Resi Garba 

dapat mengetahui apa yang telah 

terjadi pada diriku. Sebab itu, paman 

Ludiro percaya bahwa aku adalah Sekar 

Pamikat asli yang bergelar Pendekar 

Cambuk Naga..." sambung Sekar Pemikat 

dengan suara mulai bersemangat.

Eyang Gati menggumam. Manggut-

manggut. Menggumam lagi. Manggut-

manggut lagi. Rupanya ada sesuatu yang 

mengganjal di hatinya, sehingga ia


lontarkan pertanyaan yang bersikap 

menyelidik, "Lantas, apa sebenarnya 

maksudmu mencegah perkawinan Raden 

Praja dengan Nawang Puri?"

"Jelas aku tidak akan mengizinkan 

ragaku dinodai oleh lelaki mana pun, 

Eyang. Jika Nawang Puri yang memakai 

ragaku dan memakai namaku juga itu 

menikah dengan Raden Praja, mau tidak

mau, apabila rohku dapat kembali ke 

ragaku yang sebenarnya, maka aku akan 

memperoleh kebusukan. Aku sudah tak 

perawan lagi, Dan... dan itu adalah 

salah satu kebanggaan mahkota hidupku, 

Eyang. Aku tak ingin mahkotaku hancur 

dan dirusak oleh orang lain. Jadi aku 

harus menjaga dengan caraku sendiri 

agar aku tetap menjadi gadis yang 

suci. Bukan hanya sukmaku saja yang 

masih perawan, tapi aku berharap agar 

ragaku sendiri tetap suci, sampai 

saatnya nanti aku jatuh cinta pada 

suamiku, dan kami menikah dengan 

kemurnian cinta sejati."

Eyang Gati manggut-manggut. 

Menggumam. Manggut-manggut lagi. 

Menggumam... tak jadi. Sebab Sekar 

Pamikat telah berkata dengan semangat 

yang membara:

"Aku harus mendapatkan kembali 

ragaku, namaku dan kesucianku. Harus!"

Terdengar Pendekar Burung Bangkai 

mendesis, "Suatu pekerjaan yang cukup 

sulit. Apalagi dalam keterlibatan


kasus kematian Raden Praja. Hemmm... 

jelas ini bukan pekerjaan yang mudah. 

Lebih sulit daripada mencari kutu 

busuk!"

"Apakah Eyang Gati mengira 

usahaku ini akan gagal?"

Lelaki beruban rata itu 

tersenyum, memperdengarkan kata yang 

tak terdengar oleh telinga Sekar 

Pamikat, namun dapat jelas diterima 

hati nuraninya.

"Jadi Eyang sangsi dengan usaha 

saya?" desak Sekar.

"Aku tidak berkata begitu. 

Betapapun sulitnya suatu usaha 

manusia, semuanya tergantung tekad dan 

kesungguhannya dalam berupaya. Jika 

kau disuruh mencari air Prawitasari, 

yang sebenarnya air tersebut tidak 

ada, maka karena tekad dan 

kesungguhanmu dalam mencari, maka 

akhirnya akan kau dapatkan juga air 

yang semula tak pernah ada itu."

"Kesimpulannya apa itu, Eyang?"

"Keyakinan atau kepercayaan 

seseorang menentukan gagal dan 

berhasilnya suatu upaya. Jika kau

tidak yakin akan dapat mengangkat batu 

kerikil, maka batu sekecil itu pun tak 

akan mampu kau angkat."

Malam semakin jauh melantur. 

Terdengar Ludiro menggeram lirih, 

mengerang dan akhirnya menggeliat dari 

pembaringannya. Sekar Pamikat ter


senyum lega.

"Paman Ludiro telah selamat, 

Eyang."

"Keyakinanmu yang membuatnya 

selamat," gumam Pendekar Burung Bang-

kai dengan sorot matanya yang mulai 

redup karena diserang kantuk.

Sekar Pamikat tidak peduli status 

Ludiro dalam hidupnya. Meski Ludiro 

hanya sebagai pengawal, namun 

kesetiaannya sudah layak mendapat 

penghargaan dari Sekar Pamikat. Bahkan 

mungkin, apabila Kepatihan Anjar Puspa 

masih utuh, dan ayahandanya Sambang-

bumi, akan mengangkat Ludiro sebagai 

bekel, atau lurah, atau penuwu, bisa 

jadi malah sebagai manggala yuda 

Kepatihan Anjar Puspa. Jelas hal itu 

dianugrahkan atas dasar jasa dan 

dharma bhaktinya kepada tugas dan 

atasannya. Namun dalam keadaan seperti 

ini, penghargaan yang dapat diberikan 

kepada Ludiro hanyalah perawatan yang 

baik. Sekar Pamikat merawat Ludiro 

dari hari ke hari, sehingga pada

saatnya tiba, Ludiro sudah mencapai 

kondisi kesehatan yang normal kembali.

Sampai tiba pada suatu saat, 

ketika mereka telah meninggalkan 

penginapan dan berpisah dengan Eyang 

Gati, Ludiro datang dengan tergopoh-

gopoh. Sekar Pamikat mulai tertarik 

dengan awal berita yang disampaikan 

Ludiro:


"Saya membawa kabar yang 

menggembirakan, Putri Ayu."

"Langsung saja katakan!" 

"Nawang Puri...!" ucap Ludiro.

"Nawang Puri? Sungguh? Kau tidak 

salah lihat?"

"Tidak, Putri Ayu. Hampir saja 

tadi saya salah langkah, karena saya 

kira dia adalah Putri Ayu Sekar 

Pamikat. Dandanan, lagak lagunya, 

bahkan cambuk di punggungnya, sama 

persis dengan Putri Ayu."

Debar-debar jantung Sekar Pamikat 

bertambah cepat. Ia terbungkam 

beberapa saat, matanya menerawang 

jauh. Kembali terngiang di telinganya 

kata-kata Eyang Gati yang terakhir, 

sebelum mereka berpisah karena tujuan 

yang berbeda.

"Dewi Cambuk Naga...." kata 

Pendekar Burung Bangkai. "Aku harus 

mencari kembali Gelang Pangasih 

warisan leluhurku. Aku harus memburu-

nya ke arah mana pun. Dan kali ini, 

aku telah mendapat keterangan bahwa 

Gelang Pangasih ada di tangan seorang 

Pendeta Sarak, yang menjadi ketua 

partai di perguruan Lumbung Darah. Aku 

sudah tahu letak tempatnya, dan aku 

harus ke Sana. Jadi pesanku, berjalan-

lah kau ke arah tenggelamnya sang 

surya. Di sana ada sebuah wilayah yang 

bernama Kadipaten Nilakencana. Cobalah 

datang ke sana. Sebab kudengar, dulu


Raden Praja sedang dalam perjalanan ke 

Kadipaten Nilakencana untuk menemui 

calon istrinya. Memang dari Kadipaten 

Jangga, jika ingin menuju Kadipaten 

Nilakencana, harus melalui Kabupaten 

Abangan ini. Tapi kurasa itu bukan 

berarti calon istri Raden Praja berada

di Kabupaten Abangan ini,..." 

Dan sekarang Sekar Pamikat memang 

sudah berada di perbatasan Kadipaten 

Nilakencana. Bukan hal yang mustahil 

bila Ludiro menyatakan telah bertemu 

dengan Nawang Puri yang masih 

mengenakan raga Sekar Pamikat. Tapi 

dapatkah ia dan Ludiro bebas bertindak 

di Kadipaten Nilakencana? Sebab 

setahunya, Kadipaten ini adalah sebuah 

Kadipaten yang senantiasa menjaga 

kerukunan dan kedamaian rakyatnya. 

Apakah dengan memaksa Nawang Puri agar 

mau menyerahkan kembali raga Sekar 

Pamikat, tidak akan dianggap suatu 

tindakan yang mengacaukan kedamaian di 

Kadipaten itu?

"Putri Ayu...." tegur Ludiro 

setelah mereka saling termenung dan 

membisu beberapa saat lamanya. "Saya 

rasa ini kesempatan baik untuk menemui 

Nawang Puri. Dengan mendekat kan diri 

kepada orang Kadipaten, mungkin kita 

bisa meminta bantuannya untuk 

menangkap Nawang Puri tanpa 

kegaduhan."

"Mendekatkan diri, itu tidak


mudah. Kecurigaan dapat memancing kita 

ke dalam lobang jebakan yang ada, 

Paman."

Ludiro tersenyum. Saya baru ingat 

kalau Kadipaten ini adalah dalam 

kekuasaan Adipati Reksoguno. Kalau 

tidak salah ingatan saya, Reksoguno 

itu masih ada hubungan saudara dengan 

Resi Garba, guru saya itu. Dengan 

memperkenalkan diri sebagai murid Resi 

Garba, barangkali saya dapat menjalin 

hubungan dengan beliau, dan rencana 

kita dapat dilaksanakan. Bahkan bila 

mungkin kita akan mendapat bantuan 

dari pihak Adipati Reksoguno."

Sekar Pamikat manggut-manggut. 

Sebenarnya hatinya sudah tak sabar 

lagi, ingin segera bertemu dengan 

Nawang Puri dan merebut kembali 

raganya. Tetapi tiba-tiba terselip 

sesuatu yang mengganjal di hati.

"Rencana memang bagus. Tapi 

apakah Adipati Reksoguno itu masih 

menaruh hormat kepada Resi Garba?!

"Saya yakin, pasti Reksoguno 

masih memandang Resi Garba sebagai 

kakak misannya. Ah, sebaiknya kita 

mencobanya. Jika gagal, pasti ada cara 

lain yang saat ini memang belum kita 

temukan, Putri Ayu."

Ludiro selalu memberi semangat 

dan gairah kepada Sekar Pamikat. 

Akhirnya gadis itu pun nekad masuk ke 

wilayah Kadipaten Nilakencana. Untuk


mencapai Dalem Kadipaten, mereka harus 

melalui beberapa desa dan pademangan. 

Geram dan dendam di hati Sekar Pamikat 

hanya membuat keresahan yang menyolok. 

Ludiro selalu mengingatkan agar Sekar 

Pamikat harus bisa menahan emosi dan 

memperkaya kesabaran.

"Biasanya kesabaran itulah yang 

akan menghasilkan buah yang manis, 

Putri Ayu."

Sekar Pamikat hanya menggumam. Ia 

tetap melangkah dengan tegap dan 

tegas. Matanya bergerak-gerak lincah, 

memasang kewaspadaan di sekelilingnya. 

Ketika mereka hendak memasuki 

pusat keramaian Kadipaten, mendadak 

langkah Sekar Pamikat terhenti, 

tangannya menarik tangan Ludiro seraya 

ia berbisik," Paman... berlindunglah."

Dengan keadaan bingung, Ludiro 

berlindung di balik pohon, menyatu 

dengan Sekar Pamikat.

"Ada apa, Putri?" Ludiro balas 

berbisik.

"Lihat penunggang kuda yang 

menuju regol Kadipaten itu? Bukankah 

dia Raden Panewu, kakak Raden Praja 

itu?"

"Ya, Panewu..." ucap Ludiro dalam 

desah keheranan.

Lelaki bertubuh sedang dan 

mengenakan baju kebangsawanan warna 

putih berhias benang emas di setiap 

tepiannya itu, sempat berhenti sejenak


di regol Kadipaten. Matanya memandang 

penuh curiga ke sekeliling. Setelah 

merasa aman, ia pun masuk ke pintu 

gerbang Kadipaten Nilakencana yang 

dijaga oleh dua orang prajurit 

bersenjata tombak dan perisai perak.

"Rupanya ia memang sering datang

kemari, Putri. Lihat saja, sewaktu dia 

masuk, kedua pengawal pintu regol 

hanya membungkuk, menghormat, kemudian 

membukakan pintu tanpa melalui 

beberapa pertanyaan seperti umumnya 

orang mau masuk Dalem Kadipaten."

Sekar Pamikat hanya menggumam. 

Setelah kuda yang ditunggangi Raden 

Panewu menghilang, dan pintu regol 

ditutup kembali, Sekar Pamikat 

menghempaskan nafas panjang. Ada rona 

keheranan yang berbaur dengan perasaan 

resah.

"Sudahlah," Ludiro menghibur. 

"Mungkin itu hanya suatu kunjungan 

biasa."

"Kunjungan tanpa pengawalan? Dari 

Kadipaten Jangga ia berani datang 

sendirian kemari tanpa pengawalan?" 

Sekar Pamikat berkerut dahi. "Aneh. 

Caranya masuk pun sangat mencuri-

gakan."

Di seberang Dalem Kadipaten, ada 

sebuah kedai bagi para penarik 

gerobak. Memang sedikit agak jauh dari 

pintu regol, tapi dari kedai itu orang 

dapat melihat jelas keadaan di pintu


regol tersebut. Tak ada tempat lain 

yang strategis bagi Ludiro dan Sekar 

Pamikat selain ikut duduk di kedai 

itu, membaur dengan para penarik 

gerobak sayuran dan padi, sambil 

menyusun rencana dan mempelajari 

situasi yang ada.

"Saya jadi penasaran," ujar 

Ludiro. "Ada apa sebenarnya di balik 

tembok Dalem Kadipaten itu?"

"Hei, lihat...!" Sekar Pamikat 

nyaris terpekik kaget. Tangannya 

menuding ke arah pintu regol Dalam 

Kadipaten. Rupanya bukan hanya 

sepasang mata sayu bercodet saja yang 

membelalak lebar, melainkan sepasang 

mata Ludiro yang belo itu pun ikut 

membelalak lebar.

"Itu dia!" seru Ludiro bertahan, 

takut menjadi pusat perhatian orang-

orang di sekitar situ. "Itu Nawang 

Puri!"

Seorang perempuan berbaju warna 

ungu, tipis dan amat menarik, sedang 

berjalan menuju pintu gerbang Dalem 

Kadipaten. Perempuan itu amat cantik. 

Tubuhnya langsing, namun bukan ceking. 

Padat, berisi, dan sangat menggairah-

kan setiap lelaki yang memandangnya. 

Terbukti dari celoteh para pembeli 

kedai memuji-muji kecantikan gadis 

itu.

Seseorang berpakaian hitam yang 

duduk di seberang meja berkata kepada


temannya:

"Cantik sekali gadis Itu. Serupa 

betul dengan bidadari dalam impianku."

Yang lain menyahut, "Edan! Kenapa 

sejak lahir baru sekarang kuketahui 

ada gadis secantik dia. Putri 

Anggraini, anak kanjeng Adipati itu, 

tak ada sekuku hitamnya kecantikan 

yang ia miliki dibanding gadis itu. 

Wah, wah,wah...."

Salah seorang berkata, "Dia bukan 

orang Kadipaten Nilakencana. Dia cuma 

seorang tamu."

"Tamu?"

Pemilik kedai menyahut, 'Ya, tamu 

istimewa Kanjeng Adipati. Dia itulah 

yang bernama Putri Ayu Sekar Pamikat. 

Ia bergelar Cambuk Naga. Lihatlah 

cambuk bergagang perak yang terselip 

di pinggangnya, membuktikan bahwa dia 

benar-benar seorang dewi, yang selain 

cantik, menggairahkan, juga berilmu 

tinggi."

"Tapi mengapa ada dua pengawal 

yang menyertainya? Kalau sakti, punya 

ilmu kanuragan yang tinggi, tentunya 

ia tak perlu pengawalan," bantah yang 

lain.

"Hei, Sobri... Kamu kira kedua 

pengawal itu benar-benar bertugas 

mengawal Putri Ayu Sekar Pamikat?" 

kata pemilik kedai yang perempuan. 

"Kedua orang itu hanya sekedar pesuruh 

yang sewaktu-waktu siap melayani Sang


Pendekar Cambuk Naga!"

"Ooo... kalau begitu ia sudah 

nyaris menjadi seorang putri Adipati, 

ya?"

"Lha, memang kok. Memang Pendekar 

Cambuk Naga itu saudara angkat Putri 

Anggraini, dan sudah disyahkan menjadi 

anggota keluarga Adipati Reksoguno.."

"Berarti punya hak penuh sebagai 

wakil keluarga Kadipaten Nilakencana, 

ya? Wah, benar-benar ia menduduki 

jabatan yang enak dan menyenangkan 

hati...."

Ludiro membisu. Matanya melirik 

putri momongannya. Ada selaput merah 

membungkus wajah sayu Sekar Pamikat. 

Ada genangan air bening di sudut mata 

bercodet dan berbulu mata tipis itu. 

Ada suara gemeretaknya gigi geraham. 

Ada hembusan-hembusan nafas tak 

teratur, dan semua itu jelas serang-

kaian emosi yang ditahan kuat-kuat 

oleh Sekar Pamikat.

"Putri Ayu..." bisik Ludiro hati-

hati sekali.

Suara sumbang dan datar terdengar 

dari mulut Sekar Pamikat, "Jahanam itu 

telah berhasil bermegah sanjungan dan 

pujian. Orang-orang itu... oh, mereka 

tak tahu kalau itu, yang mereka 

pandang itu adalah jasadku, Paman."

"Sssttt... jangan keras-keras," 

bisik Ludiro cemas.

"Sudan saatnya kita harus bertin


dak, Paman. Aku tak tahan menerima 

siksaan batin seperti ini. Aku tak 

tahan!" Suara Sekar Pamikat semakin 

ditekan, diendapnya agar tak menimbul-

kan kecurigaan bagi orang lain.

"Jangan, jangan...!" Ludiro yang 

bertubuh kekar dan mengenakan baju 

tanpa lengan itu sangat mengkhawa-

tirkan ledakan emosi yang bisa terjadi 

pada diri Sekar Pamikat.

"Menahan emosi adalah belajar 

memahami pribadi setiap manusia, Putri 

Ayu. Jangan gegabah."

"Tapi... tapi dapatkah aku 

bertahan seperti ini, sementara aku 

melihat ragaku yang banyak dikagumi 

orang itu berjalan masuk ke Dalem 

Kadipaten? Dapatkah aku menahan diri, 

sementara aku melihat bayangan 

pribadiku melintas di depan mataku, 

Paman?"

"Harus bisa. Memang sulit, tapi 

segala yang sulit akan menelorkan 

sesuatu yang membahagiakan, Putri. 

Percayalah, ini bukan saatnya untuk 

bertindak. Jangan mau gagal karena 

diperbudak oleh emosi. Tapi

bersabarlah untuk menggunakan 

perhitungan otak yang sehat."

Sekar Pamikat menggigit bibirnya 

sendiri. Memang sosok Nawang Puri yang 

mengenakan raganya itu telah masuk ke 

Dalem Kadipaten, tapi rasa-rasanya 

Sekar Pamikat bagai masih melihat


bekas bayangan sosok tubuhnya di depan 

regol. Tiba-tiba pemilik kedai berseru 

kepada orang-orang:

"Nah, yang itu kabarnya calon 

suami Pendekar Cambuk Naga..."

Ludiro serta Sekar Pamikat 

terbelalak tegang.

* * *


LIMA



GEMETAR rasanya tulang-tulang dan 

persendian Sekar Pamikat ketika 

matanya tertuju pada seorang pemuda 

yang sedang berbicara dengan kedua 

pengawal regol. Pemuda itu pernah 

dilihatnya beberapa waktu yang lalu. 

Badannya tinggi, tegap, mengenakan 

rompi dari kulit beruang, demikian 

juga celana pangsi ketat dari kulit 

beruang juga. Pemuda itu berambut 

panjang, rapi. Diikat dengan ikat 

kepala dari kulit macan tutul. 

Sedangkan ikat pinggangnya jelas 

terbuat dari kulit buaya, lebar dan 

tebal. Sekar Pamikat memperhatikan 

sebilah pedang yang bertengger di 

pundak pemuda itu. Pedang berkepala 

kobra yang terbuat dari semacam 

gading. Mungkin gading gajah Uar.

Sekar Pamikat juga ingat, pemuda 

itu pernah mengalami sedikit bentrokan


dengan Pendekar Burung Bangkai, atau 

yang dipanggilnya Eyang Gati. Semua 

gerakan, sikapnya, ketangguhannya 

menghadapi ilmu Eyang Gati, masih 

terbayang dalam ingatan Sekar Pamikat. 

Bahkan saat pertama matanya bertatapan 

sekilas oleh sorot mata pemuda itu,

Sekar Pamikat masih ingat betapa waktu 

itu sebenarnya hatinya berdebar tak 

tentu rasa. Namun ketika itu ia mampu 

segera menghilangkan kekacauan hatinya 

karena sikap Eyang Gati yang membuat 

suasana menjadi tegang. Dalam jarak 

yang bisa dibilang jauh untuk jarak 

pandang itu, Sekar Pamikat dapat

memperhatikan dengan jelas otot-otot 

dan kegempalan badan pemuda itu. 

Kekar. Kencang. Bagai menggoda suatu 

kehangatan yang menggelitik hatinya. 

Wajahnya bersih, tanpa kumis atau pun 

cambang. Entah memang dirawat 

sedemikian rupa, atau memang tak ada 

selembar kumis pun yang dapat tumbuh 

di wajah kesatriaannya, yang jelas 

dengan keadaan wajah bersih itu, ia 

tampak seperti seorang pangeran yang 

baru pulang dari berburu rusa di 

hutan.

Seorang perempuan muda, anak 

pemilik kedai, sempat memperhatikan ke 

arah pintu regol Dalem Kadipaten. Ia 

tak sadar kalau mulutnya sejak tadi 

melongo, memperlihatkan kekagumannya 

kepada pemuda berpedang kobra.


"Katmi...." tegur ibunya. "Apa-

apaan kamu memandang lelaki kok sampai 

terbengong-bengong begitu?"

Tawa beberapa orang terdengar. 

Gadis yang dipanggil Katmi itu 

tersipu-sipu. Namun Sekar Pamikat 

bagai kaku dan tak mampu berekspresi

lain kecuali sendu. Namun telinganya 

masih sempat mendengar suara Katmi 

yang bertanya kepada ibunya:

"Dia itu siapa sih, Mak?"

"Kata Mbok Jirah, abdi Dalem 

Kepatihan itu, dia.. dia calon suami 

Pendekar Cambuk Naga."

"Wah, cocok. Pendekar Cambuk Naga 

ayu, calon suaminya gantengnya bukan 

main. Cocok sekali ya, Mak? O, lalu... 

namanya siapa, Mak?"

Ayah Katmi menyahut, "Namanya 

ash" tidak ada yang tahu. Tapi dia 

punya gelar: Pendekar Pusar Bumi."

Tanpa disadari Sekar Pamikat 

menggumam lirih:

"Pendekar Pusar Bumi..."

"Putri...." sapa Ludiro. "Ada 

apa?" Ludiro memancing.

Sekar Pamikat menghela nafas. 

"Tidak apa-apa..." suaranya begitu 

parau, dan Ludiro tahu apa yang sedang 

bergejolak di hati Sekar Pamikat. 

Sangat pribadi. Karenanya ia tak perlu 

mendesak dengan pertanyaan lain. Namun 

secara tidak sengaja, telinga mereka 

sama-sama menunggu suara dari orang


orang itu yang diharapkan membicarakan 

tentang Pendekar Pusar Bumi. Ternyata 

harapannya terpenuhi. Ada seseorang 

yang bertanya kepada pemilik kedai.

"Dia orang mana, Pak?"

"Kabarnya sih. dari Pesanggrahan 

Cendana Manik. Itu kalau aku tidak 

salah dengar lho. Sebab sebelum dia 

masuk pertama kali ke Dalem Kadipaten, 

ia menyempatkan minum tuak dulu di 

sini sambil bertanya tentang ini-itu 

sama aku."

"Ooo... jadi dia memang sudah 

lama tinggal di wilayah kita?"

"Lama sih tidak. Mungkin sudah 

ada dua bulan, cuma tidak menetap di 

sini. Ia sering pergi entah ke mana, 

dan tahu-tahu muncul lagi."

Sebenarnya pemuda yang konon 

bergelar Pendekar Pusar Bumi itu telah 

lama masuk Dalem Kadipaten, namun 

mereka masih saja membicarakan. Tanpa 

disadari, sesekali hati Sekar Pamikat 

merasa berbunga-bunga, karena seakan 

dirinya itulah yang sedang dibicara-

kan. Jika ada yang mengatakan: 

"Alangkah bahagianya Pendekar Cambuk 

Naga bisa berdampingan dengan Pendekar 

Pusar Bumi yang tampan itu...."

Sekar merasa seakan orang itu 

sedang menyindirnya dalam canda. 

Malahan ia sempat tersenyum ketika 

Katmi, anak pemilik kedai itu 

berkelakar dengan salah seorang lelaki


yang sedang menikmati makanannya di 

situ:

"Hei, Kang... kalau kau seumpama 

menjadi Pendekar Pusar Bumi, apa yang 

akan kaulakukan pada malam pertama? 

Kau ingin mencium Pendekar Cambuk 

Naga?"

Orang itu menjawab, "Untuk apa 

kucium? Aku tahu pasti kalau Pendekar 

Cambuk Naga akan menciumku sendiri, 

seandainya aku Pendekar Pusar Bumi. 

Sayang... nyatanya aku toh cuma tukang 

ramban, cari rumput! Paling-paling 

yang cium aku kuda...!"

Gelak tawa itu membuat Sekar 

Pamikat menjadi tersipu sendiri. Ia 

benar-benar seakan mereka sedang 

membicarakan percintaannya dengan 

Pendekar Puser Bumi. Wajah Sekar 

Pemikat saat itu menjadi merah dadu. 

Ia menunduk. Tersenyum-senyum sehingga 

Ludiro memandangnya dalam keheranan. 

Tak sengaja Ludiro bertanya sendiri:

"Ada apa kok jadi tersenyum-

senyum begitu?" Sekar Pamikat buru-

buru menarik nafas panjang. Ia kembali 

dalam kesadarannya dan mengetahui

bahwa orang-orang itu tidak sedang 

membicarakan dirinya. Pendekar Cambuk 

Naga yang mereka maksud, adalah 

Pendekar Cambuk Naga yang saat ini 

berada di dalam Dalem Kadipaten. Bukan 

yang berada di kedai itu. Yang berada 

di kedai, sama sekali tak dikenal oleh


mereka, dan sama sekali tak mendapat 

perhatian karena tidak memiliki 

kecantikan seperti Pendekar Cambuk 

Naga yang ada di dalam Dalem Kadipaten 

itu. Hati Sekar Pamikat bagai menerima 

irisan-irisan yang memedihkan begitu 

ia menyadari hal itu.

Secara lahiriah, ia memang 

tertarik melihat ketampanan, kegagahan 

dan ketegaran Pendekar Pusar Bumi. 

Tapi toh ia belum tahu isi hatinya. Ia

belum mengenai watak dan pribadi 

pemuda itu. Karenanya, Sekar Pamikat 

buru-buru membuang perasaan simpati-

nya, mengacau balaukan hati yang 

sedang berbunga-bunga. Ia tak mau 

tersiksa sendiri.

"Paman, sebaiknya..."

Kata-kata itu terputus. Sekar 

Pamikat memandang sekeliling. Oh, 

kedai itu telah sepi. Ludiro tidak ada 

di sampingnya. Hanya tinggal dua orang 

yang tengah menikmati makanannya. 

Dan... astaga, ia terlalu panjang 

melamun. Ia tak sempat menyadari kalau 

hari telah merayap menjadi petang. 

Ouw... luar biasa. Barangkali Ludiro 

maupun orang lain telah menegurnya 

berulangkali, namun agaknya ia telah 

terseret ke dalam lamunan yang dalam. 

Lamunan tentang Pendekar Pusar Bumi? 

Lamunan tentang kecantikan diri yang 

sebenarnya? Lamunan tentang bunga 

asmara yang berusaha ditekan dan


dimatikan di dalam hati?

Ah, entahlah. Ia sendiri tak tahu 

mengapa ia menjadi linglung seperti 

itu. Waktu ia menanyakan kepada Katmi.

"Apakah kau melihat temanku yang 

tadi makan bersama aku?"

Katmi hanya menjawab, "Dia pergi. 

Dia sudah berpesan kepadamu agar 

jangan kemana-mana sebelum ia 

kembali."

"O, dia bicara kepadaku?"

"Juga kepadaku, aku disuruh 

menjagamu. Tapi... itu tak mungkin 

kulakukan. Tugasku banyak. Sebentar 

lagi akan banyak orang yang datang 

untuk bersantap malam di sini."

Jawaban-jawaban itu, perkataan-

perkataan itu, sungguh bersifat 

menyepelekan diri Sekar Pamikat. 

Mungkin karena wajahnya tak secantik 

Katmi, dan sosok tubuhnya tak 

menggairahkan seperti Katmi, sehingga 

seorang perempuan pun enggan 

bersahabat dengannya. Memang, dengan 

gigi depan yang sedikit menjorok ke 

luar itu, ia benar-benar tak enak 

dipandang. Tapi, mengapa mereka harus 

bersikap demikian jika wajah yang 

dipakai ukuran?

Tidak. Sekar Pamikat tidak mau 

berpikir hal itu. Terlalu ringan dan 

sia-sia. Ada persoalan lain yang lebih 

penting, lebih membutuhkan pikirannya.

"Nawang Puri!"


Ketika Sekar Pamikat mencoba 

berdiri di halaman depan kedai itu, ia 

melihat seseorang keluar dari pintu 

regol Kadipaten. Orang itu, menurutnya 

adalah dirinya sendiri. Tapi 

sebenarnya ia adalah Nawang Puri.

Sekar Pamikat sempat gugup 

sebentar karena ia kebingungan, antara 

mencari dan menunggu Ludiro di kedai, 

atau berjalan mengikuti kepergian 

Nawang Puri. Apalagi kini dibelakang 

Nawang Puri berjalan seorang pemuda 

berambut panjang, rapi dan bersih. 

Dialah Pendekar Pusar Bumi. Oh, begitu 

gundahnya hati Sekar Pamikat saat ini.

Mereka hanya berdua. Memang 

benar-benar hanya berdua. Mereka 

melangkah perlahan, bagai sedang 

menyusuri cahaya purnama yang malam 

itu begitu in dan, memancarkan warn a 

perak mendamaikan hati. Begitu 

romantis mereka melangkah seiring. 

Entah apa yang mereka bisikkan dari 

hati ke hati, namun hati Sekar Pamikat 

kian terpecah menjadi dua bagian. 

Salah satu hatinya merasa masygul, 

berdebar-debar, karena ia bagai sedang 

melihat dirinya berjalan rapat dengan 

pemuda segagah itu. Namun sebagian 

hatinya terbersit dendam kepada Nawang 

Puri. Gara-gara kelicikan Nawang Puri, 

saat itu ia hanya dapat menjadi 

penonton setia terhadap kemesraan yang 

ada di depan matanya itu.



"Setan! Memang setan keparat dia! 

Malam ini juga aku harus menunjukkan 

siapa sebenarnya dirinya dan siapa 

sebenarnya Pendekar Cambuk Naga!" 

geram Sekar Pamikat sambil melangkah 

di keremangan cahaya purnama, mengi-

kuti ke mana arah kepergian sepasang 

remaja dalam kemesraan itu.

Malam terus merayap. Ada hembusan 

udara yang membawa angin dingin. 

Rambut Nawang Puri yang tersanggul 

rapi itu bagai bertiras. Tepiannya 

beriap-riap bagai tarian serabut 

benang sutra. Sementara itu, baju 

longgar bergaya jubah warna ungu 

menari-nari karena hempasan angin. 

Baju itu tampak lebih lembut dan 

menakjubkan ketika terkena cahaya 

bulan purnama. Langkahnya maju setapak 

demi setapak, seakan sengaja menggoda 

hati Sekar Pamikat, yang berada dalam 

raga Nawang Puri sebenarnya.

"Kalau sukmaku telah menjadi satu 

dengan ragaku, barangkali perasaanku 

saat itu sama dengan apa yang kurasa 

saat ini!" kata Sekar Pamikat 

sendirian. Suaranya sedikit bergetar 

karena menahan kepedihan.

Dalam jarak tertentu, Sekar 

Pamikat ikut melangkah, mengawasi 

sepasang muda-mudi itu. Dalam jarak 

pandangnya, ia dapat melihat betapa 

indahnya ikat kepala Pendekar Pusar 

Bumi di sela taburan cahaya rembulan.


Ikat kepala dari bahan kulit macan 

tutul, kelihatan seperti sehelai kain 

emas bertaburkan manik-manik hitam 

yang indah. Pedang bergagang gading 

bentuk kobra itu, terasa begitu 

menggugah gairah. Pedang yang tersan-

dang di pundaknya itu bagai mempunyai 

daya magnetisme tersendiri bagi Sekar 

Pamikat. Ia tak dapat membohongi 

dirinya sendiri, bahwa pemuda dan 

pedang itu telah memancing khayalannya 

untuk saling berdekap erat. Sayang... 

hanya segelintir khayalan.

Debur ombak pantai terdengar. O, 

rupanya Pendekar Pusar Bumi membawa 

gadisnya ke pantai yang sepi dan 

memang sangat romantis. Sekar Pamikat 

masih mengikutinya terus dalam jarak 

yang diatur sedemikian rupa sehingga 

sukar diketahui oleh mangsanya. Debar-

debar jantungnya sesekali bagai ingin 

meledak, manakala ia memperhatikan 

tangan Nawang Puri diremas oleh jemari 

tangan Pendekar Pusar Bumi. Tanpa 

sadar tangan Sekar Pamikat bergerak-

gerak meremas udara hampa. Ia 

merasakan bagai sedang bergandengan 

tangan dengan Pendekar muda itu. Oh, 

alangkah melenakan jika ia dapat 

merasakannya langsung.

"Aku harus bergerak. Bergerak 

sekarang," pikir Sekar Pamikat. "Tapi, 

oh... jangan. Jangan sekarang. Biar 

dulu ingin kutahu sehangat apa


kemesraan itu berlangsung...."

Sekar Pamikat menggelinjang 

kegelian ketika Pendekar Pusar Bumi 

menggelitik pinggang Nawang Puri. Ia 

bagai merasa sedang bercanda dengan 

pemuda itu. Ia nyaris terpekik 

kegelian. Buru-buru ia segera menutup 

mulutnya dan mengendap dalam semak 

tanaman perdu.

Ombak pantai semakin jelas. 

Pendekar Pusar Bumi berdiri dengan 

kaki terentang tegak. Kedua tangannya 

bersedekap. Sementara cahaya bulan 

memancar dari arah depannya. Sekar 

Pamikat yang berada dalam persembu-

nyian semak, mengeluh dan berdecak 

kagum berulangkali. Cuma dalam hati. 

Ia memandang tubuh yang tegar dan 

tegap itu membentuk dalam bayangan 

yang menampakkan kejantanannya. Pemuda 

itu bagai sedang menantikan kapal 

musuh dan siap menghancurkannya.

Sekar Pamikat semakin merayap 

mendekat. Ketika itu Nawang Puri 

sedang memeluk pundak Pendekar Pusar 

Bumi, bahkan kini bergelayutan dengan 

manja. Tawa dan kata terdengar samar-

samar, angin berhembus membawa kikik 

tawa mereka. Dan ketika tangan kekar 

nan tegap itu merangkul pundak Nawang 

Puri, tak sadar mulut Sekar Pamikat 

melontarkan keluh yang romantis.

"Ooh..." dan ia pun menggelin-

jang, bagai ingin merapatkan badan ke


tubuh kekar yang menghangat itu. Tak 

tahan rasanya hati untuk mengeluh dan 

mengeluh terus. Sekar Pamikat merayap 

lebih mendekat, namun masih dalam 

rimbunan semak dan rimbunan pohon 

nipah. Matanya menatap tajam tak 

berkedip, memandang kemesraan Nawang 

Puri dengan Pendekar Pusar Bumi.

Suara-suara mereka mulai terde-

ngar sayup, namun Sekar Pamikat segera 

menggunakan aji Gineng memusatkan 

pikiran pada segala macam suara, lalu 

memilih suara mana yang perlu daya 

tangkap khusus. Sebab itu, Sekar 

Pamikat dapat mendengar Pendekar Pusar 

Bumi berkata:

"Rasa-rasanya aku tak sabar untuk 

menunggu terlalu lama, Dewi."

Terdengar pula Nawang Puri yang 

dipanggil Dewi itu menjawab lirih, 

"Ya, aku pun juga tak tahan, Kakang."

"Dewi..." Pemuda itu mendesah 

punya makna tersendiri. Diam-diam hati 

Sekar Pamikat semakin berdebar-debar 

dan penuh desah juga.

"Sayang kita harus menunggu ayah 

sembuh. Jika tidak, mungkin malam ini 

juga kita telah resmi menjadi suami-

istri dan dapat... dapat...."

"Dapat apa?" goda Nawang Puri 

dengan tawa kecilnya.

"Kau bisa menebaknya, bukan?" 

"Aku sudah tahu jawabannya. Dan... dan 

aku sudah siap menjawab tanpa kata,


Kakang."

Angin berhembus tak begitu 

kencang, cukup dipakai buat pelena 

suasana mesra itu. Sekar Pamikat 

menggigit bibirnya sendiri pada saat 

Pendekar Pusar Bumi memeluk tubuh 

Nawang Puri, yang sebenarnya tubuh 

Sekar Pamikat sendiri. Bahkan ketika 

Pendekar Pusar Bumi memeluk lalu 

menciumnya pelan-pelan, Sekar Pamikat 

merintih pelan. Pelan sekali. Bahkan 

ia sempat mengerang dalam nada 

rengekan. Ia tak tahan. Sangat tak 

tahan. Ia ingin segera muncul dan 

menampakkan diri, lalu adu kadigdayan 

dengan Nawang Puri. Tapi, hati 

kecilnya mengatakan, jangan! Masih ada 

sesuatu yang harus ditunggu. Entah apa 

dan kapan.

"Kau tidak kecewa karena gagal 

bersuami Raden Praja?" tanya Pendekar 

Pusar Bumi. Tampak dari semak-semak, 

Nawang Puri menggeleng. Lalu perempuan 

itu berkata:

"Dia sudah tiada, yang sudah 

tiada tak perlu dibuat menjadi ada. 

Itu hanya menjadikan diri kita mayat 

tertunda."

Pendekar Pusar Bumi tersenyum 

dalam tawa kecilnya. Cahaya bulan 

menerangi tawa kecil dan senyuman itu. 

Lalu mulut Sekar Pamikat semakin 

terperangah. Ia, pemuda itu, semakin

memikat saja dengan tawa tipisnya itu.


Apalagi saat ini ia mengusap lembut 

pipi Nawang Puri, merapikan anak 

rambut yang meriap di kening Nawang 

Puri, oh... Sekar Pamikat terpaksa 

memejamkan mata untuk meresapinya.

"Kakang Seta..." bisik Nawang 

Puri dalam desah yang telah memabokkan 

itu. "Kurasa tak ada salahnya jika 

kita berbulan madu lebih dulu sekarang 

ini. Aku..aku takut kehilangan kau, 

Kakang Seta."

Terperanjat hati Sekar Pamikat. 

Ia buru-buru melepaskan diri dari 

penghayatannya. Ia mendengar pemuda 

yang dipanggil kakang Seta itu tertawa 

kecil, bercampur desah nafas yang 

memburu.

"Apakah kau rela memberikannya 

malam ini?"

"Ya. Aku rela. Aku rela, Kakang. 

Inilah bukti bahwa cintaku bukan mekar 

di tepian bibir saja, namun di 

ujungsukmapun cinta itu masih mewangi, 

Kakang."

Tidak! Sekar Pamikat berteriak 

dalam hati. Ia tidak mau ternoda. Ia 

ingin mendapatkan jasadnya kembali 

dalam keadaan masih suci. Masih 

perawan! Sama persis seperti ketika 

raga itu dipakai sukma Nawang Puri.

Namun agaknya sepasang kasih itu 

semakin hangat dan semakin merayap. 

Sekar Pamikat dalam kebimbangan. 

haruskah ia menampakkan diri saat ini?


Tapi bagaimana dengan gejolak kewani-

taannya yang telah tertawan kemesraan 

Pendekar Pusar Bumi dengan Nawang Puri 

itu?

"Kakang..." desah Nawang Puri 

semakin tipis. Gaun jubah berwarna 

ungu nan halus dan lembut itu sudah 

tidak lagi hanya dipermainkan oleh 

angin saja, tetapi jari-jemari tangan 

Nawang Puri sendiri sudah lebih berani 

mempermainkannya, bagai memberi 

kesempatan kepada Seta untuk 

menghangatkan hembusan angin pantai 

itu. Debur ombak pun semakin deras, 

seakan merupakan irama yang terselip 

di sela ketegangan Sekar Pamikat.

"Ini harus dihentikan!" ucap 

Sekar Pamit dalam hati. Tetapi sebelum 

ia berdiri dari jongkoknya yang telah 

lama itu, tiba-tiba ia merasakan ada 

benda dingin yang menempel di tengkuk 

kepalanya. Menempelnya benda dingin 

yang mendirikan bulu kuduknya itu 

diiringi dengan suara bisikan lembut, 

yang terlontar dengan sangat hati-hati 

sekali.

"Jangan bertindak bodoh. Ikuti 

aku, lekas!"

Suara itu, jelas suara Panewu. 

Sekar Pamikat hafal dengan suara yang 

sedikit serak, bagai orang kebanyakan

madat, Benda dingin. yang menempel di 

tengkuk kepalanya jelas sebilah keris. 

Baunya yang khas sempat ter-hirup


hidung, dan keruncingannya sempat 

membuat perih di kulit Sekar Pamikat.

Di luar dugaan Panewu, Sekar 

Pamikat menggulingkan tubuhnya ke kiri 

bagai seekor kucing tersengat api 

Bersamaan dengan itu kakinya yang 

kecil dan keras menghantam pergelangan 

tangan Raden Panewu. Keris hampir saja 

terlepas. Untung hanya terhempas ke 

belakang dengan gagang masih kukuh 

terpegang tangan.

"Jahanaaamm...!" Raden Panewu 

berteriak keras. Ia berusaha 

mengayunkan kerisnya ke arah pinggang 

Sekar Pamikat, tapi perempuan kurus 

itu lebih dulu melentik ke udara bagai 

anak belalang keluar dari persem-

bunyian. Ia sempat melayang dan 

membuat gerakan salto di udara. Sarung 

pedangnya yang terbuat dari perak 

tembaga memantulkan cahaya bulan. 

Berkilat dan melesat, seperti seekor 

kunang-kunang menari di udara. Dengan 

sigap, tanpa goyah sedikit pun, Sekar 

Pamikat telah menampakkan kedua 

kakinya dengan sempurna di tanah 

berpasir lembut. Dan hal ini sangat 

mengejutkan Pendekar Pusar Bumi dan 

Nawang Puri. Terlebih Nawang Puri ia 

nyaris menjerit kaget sewaktu ia 

merasa melihat dirinya berada di 

depannya sendiri. Untung ia segera 

sadar bahwa saat ini ia masih 

mengenakan raga Sekar Pamikat,


sehingga tubuh yang dulu pernah 

dimiliki sukmanya itu kini justru 

dipandanginya dengan sinis. 

"Nawang Puri...?!" geram Sekar 

Pamikat. Pendekar Pusar Bumi sempat 

terperangah dan heran beberapa detik. 

"Nawang Puri, kembalikan ragaku itu!"

Sekar Pamikat sengaja bicara 

terang-terangan di depan Pendekar 

Pusar Bumi. Nyatanya pemuda itu 

semakin terheran-heran setelah Sekar

Pamikat berkata lagi:

"Belum puaskah rohmu memakai 

ragaku, Nawang Puri? Belum puaskah kau 

meninggalkan ragamu ini yang sekarang 

dipakai sukmaku? Belum puaskah kau, 

Setan!" bentak Sekar Pamikat. 

"Siapa dia?" tanya Pendekar Pusar 

Bumi. "Entah, rasanya aku belum pernah 

berkenalan dengannya, juga bertemu pun 

baru kali ini," Nawang Puri berlagak 

bego.

Panewu yang sejak tadi telah 

geram-geram sambil memegangi keris 

pusakanya, kali ini menjadi bersuara 

lantang.

"Hai, kamu... Perempuan jalang! 

Masihkah kau akan mengaku sebagai 

Cambuk Naga? Pendekar Cambuk Naga? 

Nah, sekarang kau berhadapan sendiri 

dengan tokoh sakti di kalangan 

persilatan di sini! Ayo, kalau berani 

mengaku, silakan!"

"Aku tidak bicara soal berani


mengaku atau tidak berani mengaku," 

kata Sekar Pamikat yang mulai 

menguasai ketenangan. "Aku hanya ingin 

berkata kepadamu, bahwa yang ia 

kenakan itu ragaku, Dan kenyataan 

dirinya, diri Nawang Puri ini, ada di 

depan Anda sendiri Tuan Pendekar yang 

agung...."

"Bohong! Kau memang pengacau!" 

bentak Nawang Puri. "Dari dulu kerjamu 

selalu mengacaukan hubungan cintaku 

dengan lelaki mana pun! Bah! Apa maumu 

sekarang, bah?"

"Kembalikan ragaku. Titik". Sekar 

Pamikat menjawab tegas.

"Perempuan mabok...! Terimalah 

jawabanku ini, hiaat...!" Nawang Puri 

menyerang dengan suatu jurus tendangan 

pembuka. Tubuhnya melayang dengan 

gesit dan luwes. Jubah ungunya bagai 

lautan berombak di tengah malam. 

Berkilauan dihempas angin, dan 

berayun-ayun begitu indah, Namun 

sayang tendangan pembuka itu tidak 

mengenai sasaran. Lengan gaun yang 

panjang berkelebat ke arah depan mata 

Sekar Pamikat. Dengan satu kali 

tangkisan cepat, pukulan itu meleset. 

Kini bahkan Nawang Puri meringis 

kesakitan, karena tulang hastanya 

bagai terasa mau patah ketika beradu 

dengan tulang lengan Sekar Pamikat.

"Enyah kau dari sini, Iblis!" 

bentak Nawang Puri yang benar-benar


marah sekali. Bau harum dari tubuh 

Nawang Puri sangat menyegarkan, 

sebenarnya. Sayang sekali Pendekar 

Pusar Bumi tak mau banyak bergerak. 

Hanya sepasang mata yang bening itulah 

yang mengikuti gerakan Sekar Pamikat 

sejak tadi. Kelenturan tubuh Sekar 

Pamikat, kepandaiannya membuang sera-

ngan dan pukulan Nawang Puri itu 

membuat Pendekar Pusar Bumi terlolong-

lolong melongo. Namun demikian ia 

masih kelihatan tenang dan menganggap 

ini hal yang sepele.

Panewu menerjang dengan menghu-

jamkan keris ke tubuh Sekar Pamikat. 

Tetapi usaha itu bagai sia-sia belaka. 

Gesit dan lincah Sekar Pamikat meliuk, 

melayang dan menerjang Nawang Puri 

yang dibantu oleh Raden Panewu.

Panewu mencoba melakukan serangan 

beruntun ke arah Sekar Pamikat. Tetapi 

sekali lagi Sekar Pamikat meloncat 

bagai kupu-kupu melebarkan sayap, 

kemudian menghantam kuat kepala 

Panewu. Lelaki bertubuh sedang itu 

berputar-putar keliyengan. Sementara 

itu Nawang Puri hendak menyerangnya. 

Tetapi dicegah oleh Pendekar Pusar 

Bumi.

"Tunggu! Jangan teruskan dulu!"

"Apa maksudmu, Kakang Seta?"

"Dewi... pulanglah bersama Kakang 

Panewu. Biar aku saja yang menghadapi 

perempuan ini. Pulanglah segera...!


Jantung Sekar Pamikat berdebar-

debar, ia harus berhadapan dengan 

pemuda itu, uuuh... celaka!

"Aku tidak ada urusan dengan 

kamu, Bung!"

"O, ya?" Pemuda itu tersenyum. 

"Tapi aku masih merasa kagum atas 

permainanmu ketika aku berhadapan 

dengan Pesiul Iblis yang bergelar 

Pendekar Burung Bangkai itu. Aku ingin 

berkenalan denganmu. Barangkali kau 

sudi mengajarku untuk bisa mengen-

dalikan gelombang suara siulan itu." 

Sekar Pamikat kebingungan. Semen-

tara itu ia melihat Nawang Puri sedang 

berbicara dengan Raden Panewu. Segera 

ia tidak menghiraukan pemuda itu, ia 

meloncat menerjang Panewu dengan satu 

jurus penghentak. "Hiaaat...!"

Panewu sigap. Ia melompat mundur 

bagai menghindari lemparan api rokok. 

Pada kesempatan itu, Nawang Puri 

mengibaskan sapuan tangannya ke arah 

pelipis Sekar Pamikat. Gaun jubah 

berwarna ungu dan mengabarkan bau 

harum itu bagai percikan air panas. 

Rupanya Nawang Puri tidak hanya 

sekedar mengibaskan tangannya, melain-

kan diiringi hembusan hawa panas dari 

dalam tubuhnya. Sayangnya, Sekar 

Pamikat sudah mempunyai daya refleks 

untuk melapisi tubuhnya dengan hawa 

dingin, sehingga penyaluran tenaga 

dalam Nawang Puri tidak membuatnya


menggelinjang atau sempoyongan sedikit 

pun.

Hal itu cukup mengherankan 

Pendekar Pusar Bumi. Sebenarnya ia 

masih ingin menonton pertarungan itu 

beberapa jurus lagi. Namun, dalam hati 

Pendekar Pusar Bumi tidak rela jika 

calon istrinya harus memeras tenaga 

untuk mengalahkan perempuan yang belum 

dikenalnya itu. Dengan satu gerakan 

yang tak terlihat oleh mata, kaki 

Pendekar Pusar Bumi menebarkan pasir 

ke arah kaki Sekar Pamikat.

Seketika itu pula Sekar Pamikat 

menjerit kesakitan Tulang-tulangnya 

menjadi linu, terutama tulang kakinya. 

Ia tak tahan untuk berdiri. Ia 

meringis kesakitan. Ia sempat 

mendengar Pendekar Pusar Bumi 

memerintahkan Nawang Puri untuk segera 

pulang. Dan perempuan itu pun pergi 

bersama Panewu. Kemarahan Sekar 

Pamikat meluap-luap. Ia ingin berjalan 

mengejarnya, namun kedua kakinya bagai 

sedang dijepit oleh suatu alat yang 

amat kuat. Ia nyaris tak tahan dicekam 

rasa sakit tersebut.

* * *

ENAM


DEBURAN ombak mengganas. Sesekali 

memercik ke tubuh Sekar Pamikat, bagai 

usapan selaksa jarum. Kakinya yang 

sakit bukan kepalang itu berusaha 

untuk digerak-gerakkan. Oh, semakin 

bertambah sakit saja rasanya. Sekar 

Pamikat meringis, menegang nafas, 

namun tetap tak berhasil mengatasi 

rasa ngilu pada tulang kakinya. Sekar 

Pamikat merasa heran mendapat serangan 

ilmu semacam itu. Ia telah mengerahkan 

tenaga intinya, menyalurkan tenaga 

murni pada kaki, tapi tetap tidak 

berhasil.

"Setan! Jahanam!" teriak Sekar 

Pamikat sendirian.

Orang yang dicaci, diam dengan 

tenang di depannya, kira-kira hanya 

berjarak 4 meter, darinya. Orang itu 

berdiri tegap, kedua kakinya terentang 

dengan jarak tiga jengkal. Kedua 

tangannya saling lipat di dada. Dan 

sepasang matanya yang bening namun 

tajam itu masih memandang lurus pada 

Sekar Pamikat. Dalam serangan 

kesakitan yang mengganas itu, Sekar 

Pamikat masih sempat menangkap 

senyuman tipis Pendekar Pusar Bumi. 

Seakan pendekar gagah perkasa itu 

sedang menertawakan kebodohan Sekar 

Pamikat.

Kemarahan dan dendam membakar

hati Sekar Pamikat. Kian lama kian tak


dapat terkendalikan. Akhirnya ia 

mencabut senjata andalannya: Cambuk 

Naga. Cambuk itu bergagang hitam, 

talinya bukan terbuat dari serat yang 

kuat, melainkan hanya dari rajutan 

benang sutera. Namun kekuatan lecutnya 

sangat menghebohkan dunia persilatan. 

Dan kali ini Sekar Pamikat melecutkan 

Cambuk Naga ke arah Pendekar Pusar 

Bumi dalam posisi tak dapat berdiri.

"Kau memang pantas dihancurkan, 

Jahanam!" 

"Tar... tar... tar...!"

Air laut bagai bergolak mendengar 

1ecutan Cambuk Naga. Ombaknya mengamuk 

bersamaan dengan deru angin yang bagai 

ingin membalikkan seisi lautan.

Pendekar Pusar Bumi meletik ke 

belakang dengan gerakan saltonya yang 

sempurna. Sambil menahan sakit pada 

kedua tulang kaki, Sekar Pamikat 

melancarkan serangan Cambuk Naga 

berulang-ulang, bagai tidak memberikan 

kesempatan pada lawannya untuk ber-

henti bergerak. Semakin jauh Pendekar 

Pusar Bumi menghindar, semakin keras 

suara lecutan Cambuk Naga dan getaran 

yang ditimbulkan begitu kuatnya, 

sehingga mampu menaburkan berjuta-

juta pasir pantai.

Suara pekikan Sekar Pamikat 

bersahut-sahutan dengan letusan ujung 

cambuknya. Semakin jauh Pendekar Pusar 

Bumi menghindar semakin hebat daya


lecut Cambuk Naga. Ia sempat kewalahan 

sejenak menghadapi kekuatan yang 

menghantam bagai tak memberi peluang 

sedikit pun untuk mengadakan balasan. 

Pasir yang beterbangan bertambah 

banyak, seperti telah terjadi pusaran 

topan yang hebat di depan mata Sekar 

Pamikat. Karena banyaknya pasir yang 

meluap-luap, maka pemandangan pun 

menjadi kabur. Pendekar Pusar Bumi tak

terlihat sedikit pun batang hidungnya. 

Untuk mengetahui keadaan pendekar 

muda itu, Sekar Pamikat menghentikan 

lecutan Cambuk Naga. Jutaan pasir 

beterbangan ke arah di mana angin 

berhembus. Kemudian hilang. Mata Sekar 

Pamikat menyipit, memandang keadaan di 

depan dan di sekelilingnya. Ternyata 

Pendekar Pusar Bumi sudah tak tampak 

lagi. Entah lari ke mana, yang jelas 

Sekar Pamikat bagai ditinggalkan 

begitu saja dalam keadaan lumpuh.

Suara debur ombak mereda, dan 

Sekar Pamikat memasang telinga, 

mempertajam pendengaran dengan aji 

Ginengnya. Ternyata ia tidak menangkap 

suara langkah kaki yang melarikan 

diri. Cahaya bulan yang berwarna perak 

itu pun tidak menampakkan adanya 

bayangan berkelebat. Sepi. Hanya Sekar 

Pamikat dan ombak yang ada di pantai 

itu. Sayang kedua kaki masih terasa 

bagai diremukkan tulang-tulangnya, 

sehingga Sekar Pamikat tak dapat


mencari ke mana arah larinya Pendekar 

Pusar Bumi.

Nafas dihempaskan lepas. Ia masih 

menyeringai menahan sakit. Keringat 

bercampur dengan butiran air laut yang 

membasahi sekujur tubuhnya yang kurus 

kering itu.

Tetapi tiba-tiba Sekar terhentak 

kaget. pasir di depan hidungnya 

bergerak-gerak, dan seketika itu 

muncullah tubuh Pendekar Pusar Bumi 

dari dalam tanah.

"Heaaaat..." Tubuh tegap berotot 

gempal itu meluncur ke atas, melayang 

sejenak dan, jatuh ke tanah dengan 

sikap berdiri yang tegap. Kokoh dan 

kekar.

Kalau saja Sekar Pamikat masih 

mampu menggerakkan kakinya, maka saat 

itu ia pasti akan lari atau terlonjak 

kaget. Namun karena kedua kaki itu 

menjadi lumpuh dan terasa sakit yang 

luar biasa, maka Sekar Pamikat hanya 

dapat berteriak dalam satu kejutan. 

Cambuk naga dihentakkan ke arah 

Pendekar Pusar Bumi yang membuat 

pendekar itu berjumpalitan ke udara 

kian ke mari.

"Bangsaaaattt...!!" kemarahan itu 

meluap, sama seperti meluapnya air 

laut yang menimbulkan deburan ombak 

mengganas. Pasir-pasir beterbangan 

mendengar letusan ujung Cambuk Naga. 

Pendekar Pusar Bumi masih sibuk


menghindari kekuatan hantam cambuk 

itu. Dan sebelum pasir beterbangan 

bagai disedot topan gila, Pendekar 

Pusar Bumi mencabut pedang kobranya

"Sreet...!"

Lalu terdengar suara halus yang 

kian lama kian tinggi. Suara denging 

yang timbul sejak pedang berujung 

kepala kobra itu dicabut dari 

sarungnya. Sekar Pamikat semakin 

menyeringai menahan sakit di kaki dan 

di telinga akibat denging yang keluar 

dari pedang itu. Namun amukan 

cambuknya masih terus melecut-lecut 

memburu sasaran. Bunyi denging yang 

bagai menembus gendang telinga itu 

beradu sendiri dengan letupan yang 

keluar dari hantaman Cambuk Naga.

Pendekar Pusar Bumi mengibas-

ngibaskan pedangnya sambil memekik 

berulang-ulang. Dan Sekar Pamikat pun 

melecutkan cambuknya seraya berteriak-

teriak tiada henti. Sudah tentu 

gerakan-gerakan mereka tidak sekedar 

gerakan kosong, namun penuh getaran 

tenaga dalam yang hanya dimiliki oleh 

orang berilmu tinggi. Hal itu membuat 

air laut mengamuk. Gelombang laut 

bergulung, melonjak-lonjak setinggi 

rumah. Dan tanah pesisir itu 

tergoncang, miring ke kiri kekanan,

seakan terjadi gempa setempat yang 

dapat menjadi hebat. Angin pun 

berhembus dengan kecepatan tinggi,


memutar-mutar kuat seakan hendak 

menelan seisi bumi.

Pada detik berikutnya, semuanya 

menjadi hening. Diam dan sepi. Nafas 

terengah dari kedua belah pihak. Dan 

Sekar Pamikat tercengang melihat ujung 

Cambuk Naga membelit pedang kobra yang 

dipegang erat-erat oleh Pendekar Pusar 

Bumi. Mereka sama-sama saling tatap 

dalam kebisuan. Sekar Pamikat mencoba 

menarik Cambuk Naga, namun tak 

berhasil. Dan baru sekarang ia melihat 

sebuah benda yang mampu menahan 

kedahsyatan Cambuk Naganya. Umumnya 

benda yang tersentuh Cambuk Naga akan

hancur, namun kali ini tidak. 

Kesaktian yang luar biasa.

Keduanya berpikir demikian. Sebab 

Pendekar Pusar Bumi juga sebenarnya 

merasa heran. Biasanya dengan angin 

kibasan pedangnya saja benda apa pun 

bisa hancur, namun kali ini seutas 

cambuk terbuat dari serat sutera tipis 

bahkan membelit di batang pedangnya, 

tak mau putus atau pun rantas sedikit 

pun. Diam-diam ia pun mengakui 

kehebatan cambuk tersebut. ".

"Sudah berakhir riwayatmu, Perem-

puan malang!" geram Pendekar Pusar 

Bumi.

"Kau pun akan hancur juga, 

laknat!" balas Sekar Pamikat 

menggeram.

Tanpa disengaja, tangan kiri


Sekar Pamikat merentang dan gemetar. 

Demikian juga tangan kiri Pendekar 

Pusar Bumi merentang dan gemetar. 

Keduanya bergerak lamban, searah dan 

seirama. Pemusatan tenaga pada telapak 

tangan masing-masing, sedangkan tangan 

sebelahnya memegang senjata masing-

masing pula. Pedang teracungkan ke 

atas, kokoh. Cambuk Naga terentang 

membelit pedang, kokoh.

Gerakan telapak tangan Sekar 

Pamikat semakin bergetar, kemudian ia 

menghentakkan tangan itu ke depan, 

tepat pada saat Pendekar Pusar Bumi 

juga menghentakkan tangannya ke depan. 

Mereka sama-sama berteriak tanpa 

disengaja:

"Wiwahaaaaa!!!!"

Mereka mengucap kata yang sama.

Kemudian sinar hijau bening meluncur 

dari telapak tangan Sekar Pamikat, 

juga dari telapak tangan Pendekar 

Pusar Bumi. Sinar hijau bening itu 

beradu di pertengahan jarak mereka. 

Menimbulkan sebuah ledakan yang 

dahsyat: "blaaarr...!"

Detik berikutnya bumi berguncang 

dan mereka sama-sama terpental ke 

belakang. Sekar Pamikat telentang 

nyaris mendekati seonggok karang 

pantai. badannya lemas dan nafasnya 

terengah-engah. Cambuk Naga masih 

tergenggam di tangan kanannya. Ia 

membiarkan dirinya terbaring lunglai.


Ia tak tahu bahwa Pendekar Pusar Bumi 

pun terbaring lemas dengan pedang 

masih tergenggam di tangan kanannya.

Hening dan sepi dibiarkan 

berlalu. Debur ombak menipis. Angin 

tidak lagi seperti puting beliung yang 

mengamuk. Guncangan tanah diam 

kembali. Sepi, dan memang dibiarkan 

bumi menjadi sunyi dalam sorot cahaya 

purnama. 

Entah sudah berapa kali angin 

bertiup berganti arah. Yang nyata 

adalah desah. Ya, desah yang terdengar 

mendekat di telinga Sekar Pamikat.

Desah seorang lelaki yang merayap 

dengan merangkak mendekatinya. Sekar 

Pamikat melupakan rasa sakit pada 

kedua tulang kakinya. Ia menyempatkan 

memandang wajah lelaki itu, yang 

begitu mempesona dalam sorotan cahaya 

rembulan. Ikat kepala dari kulit macan 

tutul bagai sebuah tan da pengenal 

yang sengaja ditunjukkan kepada Sekar 

Pamikat.

"Oh... kau.." desah Sekar Pamikat 

sangat pelan. Ia membiarkan Pendekar 

Pusar Bumi berbaring di sampingnya 

dalam keadaan loyo, seakan habis 

terkuras tenaganya. Mereka sama-sama 

membiarkan kebisuan sejenak, sama-sama 

menatap langit berbintang dan 

bercahaya bulan. Kemudian di sela 

nyanyian ombak yang samar-samar 

terdengar suara Pendekar Pusar Bumi


bertanya:

"Siapa kau sebenarnya...?"

Sekar Pamikat menyeringai menahan 

sakit di kakinya. Namun ia pun 

berkata, "Kau bertanya pada dirimu 

sendiri. Dan kau pula yang akan 

menjawabnya. Karena aku sukar memberi 

jawaban kepada lelaki yang tidak 

kukenal...."

Pendekar muda itu menghela nafas 

beberapa kali, sengaja membiarkan 

keheningan sejurus. Setelah itu 

barulah ia berkata lirih:

"Namaku... Lanangseta...."

Sekar Pamikat mendesah antara 

sakit dan lega. Ia mengucap lirih, 

"Apa hubungannya dengan Eyang guruku 

yang bernama Purbaseta?"

"Itu Eyang gurumu?!" Lanangseta 

terkejut, mengangkat kepalanya 

seketika dan memandang Sekar Pamikat 

dengan mata terbelalak. Sekar Pamikat 

tidak menjawab, ia hanya mengerang 

lirih seraya memegangi pahanya yang 

sakit.

"Pantas kau menguasai jurus 

Wiwaha Moksa...." kata Lanangseta 

dalam keluh.

"Eyang guru berpesan untuk tidak 

mengumbar kekuatan Wiwaha Moksa. Tapi, 

aku tadi benar-benar terpepet.."

"Aku juga..." sahut Lanangseta.

"Jadi kau telah mempelajarinya 

dari Eyang guruku juga?"


Lanangseta menggeleng. "Kakekku 

yang mengajarkan dan menurunkan ilmu 

Wiwaha Moksa. Aku anak Gagakseta. 

Ayahku mempunyai seorang kakak yang 

bernama Purbaseta, kawin dengan perem-

puan luhur yang bernama Sukmalaras. 

Kau pasti mengenalnya, bukan?"

"Ooh... pantas."

"Pantas kalau kita sama-sama 

memiliki ilmu itu, bukan?"

"Pantas kalau kau tega membiarkan 

kakiku remuk sampai saat ini," sindir 

Sekar Pamikat dengan perasaan dongkol.

Pendekar Pusar Bumi tertawa 

lirih. Kemudian ia bangkit, menyarung-

kan pedangnya dan duduk di samping 

kaki Sekar Pamikat. Ia bagai bicara 

pada diri sendiri, "Kalau tahu kita 

satu aliran, mungkin tak kan kugunakan 

jurus Tebar Besiku tadi...."

"Apakah kau tak sanggup memu-

lihkan keadaan kakiku?" 

"Kau, sendiri? Kurasa kau bisa 

menggunakan ilmu Sembur Sawan untuk 

mengobati kakimu ini...."

"Sudah kucoba, tapi tak berhasil. 

Tebar Besi adalah ilmu leluhurmu yang 

cukup dahsyat dan hanya diajarkan 

kepada darah keturunan leluhurmu. 

Kepadaku tidak. Uuhh..." Sekar Pamikat 

mengerang kesakitan. Hening sejurus, 

dan kemudian terdengar lagi suara 

Lanangseta bagai bicara dalam kera-

guan.


"Kalau begitu... mungkin hanya 

akulah yang bisa memulihkan kakimu. 

Tapi... tapi..."

"Tapi apa? Tapi kau menunggu 

saatmu puas menyiksaku?"

"Aku belum tahu siapa namamu 

sebenarnya, dan paman Purbaseta tidak 

pernah menceritakan dirimu. Ia hanya 

pernah menceritakan seorang muridnya 

yang bernama...."

"Sekar Pamikat!" sahut Sekar 

Pamikat Sendiri.

"O, kau mengenal dia, rupanya?" 

"Sangat mengenal, dan bahkan lebih 

dari kenal."

"Maksudmu?"

"Akulah... akulah Sekar Pamikat."

"Kau...?!" 

Lanangseta mengernyitkan kening 

dan membelalakkan matanya. "Kau Sekar 

Pamikat? Ah, kau becanda, ya?"

"Kau lihat permainan Cambuk 

Nagaku?"

Lanangseta mengangguk. "Luar 

biasa. Konon, kata Eyang guruku, hanya 

seutas Cambuk Naga yang tak dapat 

terpotong oleh pedangku Wisa Kobra 

ini. Dan... dan cambukmu tadi..." 

Lanangseta memperhatikan Cambuk Naga 

yang masih di tangan Sekar Pamikat. 

"Semua benda, bahkan gunung pun akan 

sanggup kupotong dengan pedang Wisa 

Kobra, tapi cambuk ini...."

"Karena akulah Pendekar Cambuk


Naga yang sebenarnya," tukas Sekar 

Pamikat dengan suara parau. "Akulah 

Sekar Pamikat yang asli."

"Yang asli? Lantas itu tadi...? 

Yang... yang...."

Sekar Pamikat buru-buru menyahut:

"Yang hendak kau kawini itu; 

Nawang Puri! Murid dari bibimu, 

Sukmalaras."

Lanangseta dalam wajah 

kebingungan. Sepertinya ingin 

mengatakan sesuatu, namun tak tahu 

harus berkata apa. Sekar Pamikat 

memanfaatkan masa cengangnya dengan 

berkata:

"Nawang Puri telah menguasai ilmu 

Giring Sukma, dan berhasil memindahkan 

rohku ke dalam raganya, dan rohnya 

sendiri masuk di dalam ragaku. Jadi 

yang kau dekap tadi, sesungguhnya 

ragaku sendiri. Yang kau... kau cium 

tadi, adalah pipiku sendiri. Sayang, 

aku tak merasakannya. Nawang, Puri 

yang merasakan, betapa hangatnya saat 

kau mencium-nya tadi..:." 

"Nawang Puri...?" Lanangseta 

bicara dalam keraguan.

"Pergilah temui dia. Ambil cambuk

di pinggang Nawang Puri dan potonglah. 

Jika memang dapat terpotong oleh 

pedang Wisa Kobramu, berarti itu bukan 

Cambuk Naga! Dan aku yakin, pasti akan 

terpotong oleh pedangmu."

"Murtad...!" geram Lanangseta.



"Harus kubunuh dia! Memalukan aliran 

kita!"

"Jangan...!" Sekar Pamikat mence-

gah dengan menarik tangan Lanangseta 

sewaktu pendekar muda itu hendak 

bangkit. "Jangan kau lukai dia," 

pintanya.

"Dia harus dihukum menurut ajaran 

keruhun Karangseta".

"Tapi... tapi yang ada padanya 

adalah ragaku. Kalau ia sampai 

terluka, terpotong, itu sama saja kau 

melukai atau memotong anggota tubuhku. 

Tidak. Dia tidak boleh terluka. Aku 

masih menyayangi ragaku itu."

"Kalau begitu akan kudesak ia 

untuk mengembalikan ragamu..." 

Lanangseta bergegas bangun, tapi 

sekali lagi tangannya ditahan Sekar 

Pamikat.

"Bagaimana dengan kakiku?" 

Lanangseta menghempaskan nafas, 

menahan rasa geli. Lalu ia menundukkan 

kepala, memperhatikan sepasang kaki 

yang kurus kering bagai tanpa darah. 

Kaki itu membiru. Legam. Lanangseta 

berkata lirih, "Seharusnya jurus ini 

tidak untuk disembuhkan. Setiap orang 

yang telah menerima seranganku, tak 

pernah ada yang dapat pulih kembali."

"Terima kasih, kau pasti akan 

memulihkannya, bukan?"

Lanangseta mendengus. "Maaf... 

jangan salah duga dengan cara


penyembuhanku ini."

Sekar Pamikat sama sekali tidak 

menduga kalau penyembuhan itu sangat 

unik. Lanangseta merentangkan kedua 

tangannya, mengejang kuat-kuat, meng-

hirup nafas banyak-banyak, kemudian 

bertahan beberapa saat, lalu melemas 

kembali. Itu tidak heran. Yang 

mengherankan adalah, gerakan berikut-

nya. Lanangseta menunduk, mendekatkan 

wajah ke kaki Sekar Pamikat, lalu 

menjilati kaki yang biru legam itu ke 

segala tempat.

"Lanang...?!" Sekar Pamikat 

sempat terperanjat kaget. Ia hampir 

saja menampar wajah Lanangseta, namun 

segera menyadari bahwa sebelumnya 

lelaki itu sudah meminta maaf untuk 

cara penyembuhannya.

Kedua kaki yang bagai remuk 

tulangnya itu menimbulkan bekas 

membiru sampai ke atas lutut. Dan 

Lanangseta terpaksa menjilat-nya 

semua. Sekar Pamikat resah, berdebar-

debar hatinya. Lidah Lanangseta 

menghangat, menjalar dari telapak kaki 

terus merayap naik ke atas, ke tulang 

kering, ke lutut, dan Sekar Pamikat 

mendesah. Bukan sakit, namun menahan 

geli dan rasa syur yang membuat 

hatinya gemetar. Ia bagai sedang 

dipancing gairah kewanitaannya. Ia 

jadi berkeringat dingin dan 

menggelinjang dalam desah.


Setelah beberapa saat Lanangseta 

mengobatinya, kaki itu terasa ringan. 

Rasa nyeri hilang, bahkan sudah. dapat 

digerak-gerakkan. Tetapi sebelumnya 

Sekar Pamikat terhempas lemas dengan 

keringat dingin bercucuran begitu 

Lanangseta selesai mengobati kakinya. 

Ia nyaris tak dapat bicara ketika 

Lanangseta berkata:

"Bagaimana, masih terasa 

sakit...?"

Sekar Pamikat hanya mampu 

menggeleng, nafasnya terengah-engah 

dan keringat dingin membasahi 

tubuhnya. Apa yang mau dikatakan dalam 

keadaan seperti itu? Tak ada kata lain 

kecuali, "kelak, jika aku sudah 

kembali di dalam tubuhku, lukailah 

lagi kakiku, dan sembuhkan lagi dengan 

caramu...."

Lanangseta tertawa, bagai tawa 

yang menggoda. Sekar Pamikat hanya 

dapat tersenyum malu, namun terselip 

suatu kebahagiaan yang membuat hatinya 

berbunga-bunga. Lanangseta menolong 

bangkit Sekar Pamikat dengan 

mengangkat kepala gadis itu. Kemudian 

wajah mereka berhadapan dalam jarak 

dekat. Namun Lanangseta hanya berkata, 

"Cepat, temui mereka sebelum temanmu, 

Ludiro mati teraniaya oleh murid 

murtad itu."

"Hah...?!" Sekar Pamikat 

terbelalak. "Paman Ludiro ditawan


mereka?"

"Ya, tadi sore ia tertangkap saat 

mencoba menerobos masuk Dalem 

Kadipaten. Mungkin ia akan menyelidiki 

keadaan di dalam Kadipaten. Kemudian 

ia tertangkap, dan Panewu merencanakan 

untuk menyiksanya sampai mati, Waktu 

itu, aku tak mau tahu urusan tersebut, 

dan kutinggalkan kemari bersama...." 

"Calon istrimu, bukan?" sahut 

Sekar Pamikat.

"Ahh jangan bermain sindiran 

begitu. Sekarang aku tahu segalanya, 

dan tunggulah pada saatnya nanti, kau 

pasti akan kembali memperoleh ragamu."

"Kau bersungguh sungguh, 

Lanangseta?"

"Kau harus membuktikan kata-

kataku. Ayo, sebelum segalanya 

terlambat...!"

Pantai yang hening, pantai yang 

hanya menyanyikan irama ombak dan 

riak-riak pantai, segera ditinggalkan 

dengan suatu semangat baru. Sekar 

Pamikat tak mau berjarak jauh dari 

Lanangseta. Langkah mereka cepat, 

namun bukan lari. Langkah Sekar 

Pamikat bagai seorang prajurit yang 

bergairah untuk bertempur. Hatinya 

masih berbunga-bunga manakala ia 

menyadari bahwa pemuda tegar yang 

berjalan di sampingnya itu sejak tadi 

masih menggenggam tangannya erat-erat. 

Oh, semilir angin pun bagai tak mampu


menembus genggaman tangan mereka.

Di sela perjalanan cepatnya, 

Sekar Pamikat sempat menyinggung 

kemunculan Lanangseta ketika ada di 

Kabupaten Abangan.

"Jadi untuk apa kau datang ke 

sana dan mencari arah Kadipaten 

Jangga? Apakah benar kau teman Raden 

Praja?".

"Tidak. Justru aku ingin datang 

ke Kadipaten Jangga untuk membunuh 

Raden Praja, tapi... ternyata ia telah 

tewas di tangan seorang pembunuh 

gelap."

"Membunuh? Ada urusan apa kau 

membunuh dia?"

"Sekedar mas kawin bagi Sekar 

Pamikat, maksudku... Nawang Puri. Atas 

persetujuan kakaknya, Panewu, ia boleh 

menikah denganku jika aku bisa 

membunuh Raden Praja."

Sekar Pamikat berhenti melangkah. 

"Jadi, Panewu itu adalah kakak Nawang 

Puri? Raden Bukankah Panewu mempunyai 

adik Raden Praja? Bukan Panewu anak 

dari Adipati Jangga?"

Lanangseta tersenyum tipis, 

kemudian melangkah pelan.

"Belakangan ini baru kuketahui, 

bahwa Panewu adalah anak angkat 

Adipati Jangga. Setelah Sang Adipati 

mengangkat anak Panewu, barulah 

istrinya bisa hamil dan melahirkan 

Raden Praja. Tetapi, Panewu agaknya



khawatir akan dirinya yang bisa 

disingkirkan dari keluarga Kadipaten 

Jangga. Dengan membunuh Raden Praja, 

maka mutlak seluruh warisan akan jatuh 

ke tangannya, dan dialah yang berhak 

menggantikan Adipati Jangga yang saat 

ini dalam keadaan sakit berat."

"Jadi... Panewu itulah yang 

membunuh Raden Praja?"

"Bukan."

"Lalu, siapa...?

"Nawang Puri sendiri."

Kening Sekar Pamikat berkerut 

tajam. "Nawang Puri sendiri yang 

membunuhnya? Dengan alasan apa?" 

"Dia tak mau melibatkan aku dalam 

kasus perebutan tahta kadipaten 

Jangga. Ia tak mau aku punya andil 

dalam alih kuasa yang, akan dipegang 

oleh kakaknya. Dengan ia bunuh sendiri 

Raden Praja, maka aku tak punya jasa 

apa-apa dan tak berhak menuntut 

imbalan warisan yang akan diperoleh 

Panewu. Sementara itu, ia sendiri 

berusaha keras untuk dapat menjadi 

bagian dari keluarga Kadipaten 

Nilakencana ini. Itu menurut 

penafsiran ku."

Sekar Pamikat manggut-manggut. 

"Semakin jelas kebusukannya. Kurasa ia 

memerlukan pasukan yang kuat Untuk 

merebut tahta Kadipaten Nilakencana, 

sehingga ia berusaha menguasai dirimu 

dengan menjalin perkawinan kalian."


"Menurut dugaanku juga begitu. 

Baru kusadari tadi, setelah ia berkata 

padaku, bahwa kelak akan ada seorang 

Adipati perempuan yang berkuasa di 

Kadipaten Nilakencana ini.

Tanpa kutanya siapa orangnya, aku 

sudah menduga bahwa dialah calon 

adipati perempuan itu. Dan..."

"Dan pasti putri Sang Adipati 

sendiri akan dibunuhnya. Sama persis 

dengan rencana Panewu terhadap Raden 

Praja."

"Ya. Aku sependapat dengan jalan 

pikiranmu. Dan aku yakin, bahwa hatimu 

saat ini juga setuju jika kita 

melenyapkan orang-orang rakus, yang 

tamak dan gila jabatan itu."

Sekar Pamikat menggenggam erat. 

Lebih erat lagi, dan Lanangseta pun 

membalasnya. Barangkali itulah 

persepakatan mesra yang penuh arti 

bagi hidup mereka.

Untuk menghindari keributan di 

dalam Kadipaten, Lanangseta mempunyai 

siasat sendiri. Lanangseta memancing 

Raden Panewu dan Nawang Puri untuk 

keluar dari Dalem Kadipaten.

"Kita bertiga harus menghadang 

orang-orang dap Kabupaten Abangan," 

ujar Lanangseta kepada Panewu dan 

Nawang Puri.

"Ada apa dengan orang-orang 

Kabupaten Abangan? Selama ini hubungan 

kami baik-baik saja."


"Memang. Tapi perempuan jalang 

yang telah bertanding denganku di 

pantai tadi, sedang menuju Kabupaten 

Abangan. Ia meminta bala bantuan dari 

sana. Konon, ia mempunyai pengaruh 

yang dapat membuat Bupati Abangan 

membelanya. Benar dari tidaknya 

omongan dia, aku tidak perduli. Yang 

kukhawatirkan kalau sampai terjadi 

keributan di dalam Kadipaten 

Nilakencana ini, kita sendiri akan 

menderita malu."

Panewu geram, giginya mengge-

letuk. "Mari kita hadang mereka. 

Tunjukkan kepada Kanjeng Adipati 

Nilakencana, bahwa kita mampu menjadi 

benteng kadipaten."

"Kita cukup bertiga. Tak perlu 

banyak orang!" usul Nawang Puri.

"Baik. Tapi kuminta kau jangan 

jauh-jauh dariku, Dewi," kata 

Lanangseta, seakan masih mencintai 

Nawang Puri. ,

Dalam naungan cahaya bulan perak, 

ketiga sosok berjalan tegap menuju 

suatu perbukitan yang menjadi batas 

penghubung Kadipaten Nilakencana 

dengan Kabupaten Abangan. Di lereng 

perbukitan itu, ternyata seorang 

perempuan bertubuh ceking, sayu, telah 

menunggu kehadiran mereka. Panewu dan 

Nawang Puri tercengang. Segera mereka 

berdua menyadari bahwa mereka telah 

masuk dalam jebakan.


"Kita terjebak, Kakang," ujar 

Nawang Puri kepada Panewu.

Sekar Pamikat tersenyum sinis, 

berdiri tegap di depan Panewu. "Siapa 

memasang jerat akan terperangkap 

sendiri."

Nawang Puri berpaling memandang 

Lanangseta yang ada di belakangnya. 

Dengan geram ia berkata, "Penghianat!" 

Kemudian meluncurlah sebuah pukulan 

keras ke arah Lanangseta. Pukulan itu 

dibiarkan mengenai dada. Lanangseta 

hanya tertawa pelan. Sementara itu, 

dengan garang Panewu melesat cepat 

menerjang Sekar Pamikat.

"Bersiaplah bertarung untuk yang 

terakhir kalinya...!" Serangan itu 

berhasil ditangkis dengan gerakan

tangan Sekar yang tangkas. Tubuhnya 

yang kecil kerempeng seakan sebuah 

tugu kokoh yang sulit ditumbangkan.

Panewu membuka jurus yang belum 

pernah dipakai melawan Sekar Pamikat. 

Gerakannya mirip tingkah laku seekor 

kera. Gerakannya begitu cepat, 

meloncat ke sana, ke mari, dengan 

pukulan-pukulan yang menyerupai cakar 

monyet. Mulutnya sendiri bergerak-

gerak, mengerang-erang mirip suara 

monyet. Berguling kesana, melompat ke 

sini, menendang sambil berjumpalitan, 

sedangkan Sekar Pamikat masih mampu 

mengatasi jurus tersebut. Sesekali ia 

memang terkena kibasan cakar monyet


dari Panewu, tapi tak sempat membuat 

kefatalan.

"Tak kusangka kau berani 

berkhianat padaku, Seta!" seru Nawang 

Puri seraya menerjang dengan pukulan 

berantainya. Oleh Lanangseta pukulan 

itu masih dibiarkan mengenai dada, 

punggung dan anggota tubuh lainnya. 

Panewu sendiri tak sempat mengontrol 

pertarungan Nawang Puri, tetapi ia 

tahu bahwa perlawanan Lanangseta belum 

kelihatan nyata. Ia masih perlu 

mengkonsentrasikan dalam pertarungan-

nya sendiri melawan Sekar Pamikat yang 

terasa alot dan susah ditembus.

Cahaya bulan bagai kian terang. 

Bayangan mereka berloncatan terpantul 

pada dinding batu cadas yang ada di 

kaki bukit. Terlihat gerakan Nawang 

Puri begitu cepat sehingga tahu-tahu 

ia telah berada di belakang 

Lanangseta, melancarkan pukulannya 

yang mengandung tenaga dalam. Hal itu 

membuat Lanangseta bergegas bangun, 

dan siap menghadapi serangan berikut-

nya. Agaknya Nawang Puri sudah kelewat 

jengkel kepada musuhnya, ia berputar. 

Semula tubuh itu berputar pelan, kian 

lama kian cepat dan kini bagai sebuah 

gangsing.

Ada hembusan angin yang keluar 

dari tubuh yang berputar secepat itu. 

Lanangseta segera melompat, bersalto 

di udara, menjauhi hembusan angin


tersebut. Sebab ia mulai merasakan 

adanya kejanggalan pada udara di 

sekelilingnya. Lanangseta segera 

teringat kepada cerita ayahnya, bahwa 

bibi Sukmalaras mempunyai jurus yang 

sukar ditembus musuh, yaitu jurus 

Angin Beracun. Rupanya Nawang Puri 

sudah mewarisi jurus Angin Beracun 

yang sangat membahayakan musuhnya itu. 

Segera Lanangseta juga menggunakan 

jurus pilihannya: yang bernama Lindung 

Bumi. Tubuhnya yang kekar itu amblas 

ke tanah, dan tak kelihatan lagi. 

Rupanya jurus ini pula yang dipakai 

melawan Sekar Pamikat sewaktu di 

pantai tadi.

Beberapa detik kemudian, tubuh 

Nawang Puri yang berputar-putar itu 

terlempar ke udara dengan teriakan 

yang sangat histeris. Pada saat itu, 

Lanangseta muncul dari dalam tanah 

dengan gerakan melempar sesuatu ke 

atas. Tubuh Nawang Puri bagai 

kehilangan keseimbangan, sehingga ia 

jatuh tersungkur ketanah, dagunya 

membentur batu. Dagu itu berdarah dan 

kecantikan wajahnya mulai berkurang.

Mengetahui keadaan Nawang Puri 

demikian, Sekar Pamikat menjadi cemas. 

Ia berseru, "Jangan lukai dia. tolol!" 

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh 

Panewu untuk melancarkan pukulan cakar 

monyetnya sehingga lengan Sekar 

Pamikat pun terluka, berdarah dan ia


terpaksa memekik kesakitan.

Sekar Pamikat melompat mundur 

sambil memasang kuda-kuda siap serang. 

Ketika Panewu berguling bagai monyet 

mengkais makanan di tanah, Sekar 

Pamikat meloncat cepat. Begitu kakinya 

menginjakkan tanah, ia melancarkan 

pukulannya dengan kedua tangan ke arah 

kepala Panewu. Lelaki itu berguling 

sambil menjerit mirip kera hutan. Pada 

saat ia bangkit lagi, di tangannya 

telah memegang keris pusaka yang 

mempunyai kekuatan cukup hebat. Panewu 

menyerang dengan kerisnya, Sekar 

Pamikat berkelit bagai belut lincah. 

Ia segera mencabut pedang Jalak Pati.

"Wuss...!" pedang nyaris menyam-

bar kepala Panewu. Namun pada saat 

itu, Panewu berhasil melompat cepat ke 

samping kiri, dan "juss...!" keris itu 

menusuk pinggang Sekar Pamikat. Sekar 

Pamikat menjerit dan oleng ke kiri. 

Darah mengucur dari luka di pinggang. 

Sekar Pamikat bermaksud menyerang 

dengan pedang Jalak Pati, namun Panewu 

melompat ke atas, dan dalam keadaan 

kepala di bawah ia berhasil 

menggoreskan kerisnya pada lengan 

Sekar Pamikat. Luka semakin bertambah 

dan Sekar Pamikat menjerit kesakitan. 

Saat itu pedang Jalak Pati terlepas. 

Sekar Pamikat berusaha memungutnya, 

namun pada saat ia merunduk, tangan 

Panewu yang mirip cakar monyet itu


dengan cepat menarik Cambuk Naga yang 

"terselip di punggung Sekar Pamikat. 

Kini, Cambuk Naga itu ada di tangan 

Panewu. Panewu tertawa keras, bagai 

suara kera liar berpesta pora.

Sekar Pamikat tergeragap. Ia 

berusaha merebut Cambuk Naga. Namun 

Panewu menjauh, melompat-lompat seper-

ti kera melarikan diri. Sekar Pamikat 

mengejarnya.

"Tarr...!"

Cambuk Naga meluncur, nyaris 

mengenai tubuh Sekar Pamikat Ia mulai 

gugup tanpa cambuk itu. Dan Panewu 

masih terus melecutkan cambuk sambil 

berlari. Buat Sekar Pamikat, tak ada 

cara lain untuk merebut kembali Cambuk

Naganya, kecuali dengan menggunakan 

ilmu peringan tubuh yang dapat 

melompat tinggi dan berkecepatan luar 

biasa. Panewu sempat tergagap sewaktu 

ia menemukan Sekar Pamikat tahu-tahu 

sudah berdiri di depannya. Ia hendak 

melancarkan pukulan Cambuk Naga, namun 

kedua telapak tangan Sekar Pamikat 

telah lebih dulu bergerak maju seraya 

ia berseru: "Wiwahaaaa...!!"

Ada sebuah ledakan yang mengge-

tarkan perbukitan. Nyala sinar hijau 

muda bagai membakar tubuh Panewu. 

Dengan cepat Sekar Pamikat melayang, 

merebut cambuknya pada saat nyala 

sinar hijau muda itu redup. Kini 

Cambuk Naga sudah berada di tangannya


kembali.

Panewu masih berdiri tegak. Ia 

hanya tersenyum, merasa dirinya tak 

mampu dirubuhkan oleh ilmu Wiwaha 

Moksa. Tetapi pada detik berikutnya, 

ia tercengang melihat jari jemarinya 

berjatuhan satu persatu. Kemudian ia 

juga merasakan bahwa denyut jantungnya 

berhenti, lengannya lepas sendiri, 

kakinya, telinganya dan semua akhirnya 

rontok menjadi suatu onggokan daging 

yang makin lama semakin menjadi 

semacam serpihan, lalu berubah menjadi 

abu. Sekar Pamikat sempat merinding 

sendiri melihat lawannya terkena 

serangan ilmu Wiwaha Moksa itu.

Namun perhatiannya segera beralih 

pada Pendekar Pusar Bumi yang sedang 

bertarung melawan Nawang Puri. Tetapi 

di sana pun agaknya sudah tak ada 

pertarungan lagi. Sekar Pamikat segera 

berlari mendekati Lanangseta, dan ia 

tercengang melihat tubuh Nawang Puri 

yang masih memakai raganya itu 

terkapar di tanah. Dagunya berdarah, 

namun tak ada luka lainnya.

"Kau telah mencelakakan tubuhku, 

Lanangseta!" geram Sekar Pamikat. 

Lanangseta tersenyum tenang.

"Aku hanya menotok jalan 

darahnya. Dan sekarang giliran kamu, 

huuop...!"

Secepat kilat Lanangseta menotok 

jalan darah sehingga Sekar Pamikat tak


dapat menghindari lagi. Ia pun jatuh 

terkapar tak berdaya lagi. Kini, 

Lanangseta tertawa sedikit keras dan 

memperhatikan kedua perempuan itu 

terkapar.

Malam kian larut dan mulai 

merembas ke dini hari. Samar-samar 

cahaya bulan masih menerangi alam 

sekitar. Cahaya warna perak itu masih 

sempat menerpa sesosok tubuh yang

duduk bersila di depan kedua tubuh 

perempuan yang berbaring. Beberapa 

saat kemudian tubuh pemuda itu 

bergerak pelan. Tangannya terangkat 

keduanya, kemudian tangan itu mengeras 

kuat-kuat, bergetar beberapa lama 

hingga keringat semakin deras 

mengucur.

Cahaya bulan menerpa dua sosok 

perempuan yang berbaring. Cahaya itu 

membuat jelas adanya kepulan asap 

putih yang keluar dari jasad kedua 

perempuan tersebut. Masing-masing 

tubuh mengeluarkan asap putih, lalu 

kedua asap itu saling bersilangan, dan 

masuk ke tubuh mereka kembali.

Ada suara kokok ayam di kejauhan. 

Jauh sekali. Pada saat itu, tubuh 

perempuan cantik bergerak, menggeliat 

bagai seseorang yang sedang tertidur 

lelap. Tapi tiba-tiba ia bangkit 

dengan satu hentakan, kemudian 

memegangi luka pada dagunya yang 

terasa perih. Namun ketika itu, ia


memandang Lanangseta dengan perasaan 

bimbang.

"Dewi... kau telah kembali dalam 

ragamu...."

Sekar Pamikat memandangi tubuhnya 

sendiri, tangannya, kakinya dan meraba 

wajahnya sendiri, kemudian ia berseru:

"Ini tubuhku...?! Oohh... aku 

telah kembali dalam ragaku sendiri! 

Aku telah kembali...!" ia melonjak 

kegirangan. Ia berlari dalam derasnya 

derai tawa keharuan. "Aku telah 

kembali dalam ragakuuu...!" teriaknya 

keras-keras.

Lanangseta bergegas menghampiri

nya. Sekar Pamikat tertawa lepas, 

kemudian berlari memeluk Lanangseta. 

Ia memeluk erat-erat bagai merasa tak 

ingin melepaskannya.

"Aku Pendekar Cambuk Naga....! 

Aku yang asli, Lanang!"

"Dan aku menyukai keaslian, 

Dewi..,." bisik Lanangseta.

"Oh, terimakasih atas bantuanmu, 

Lanang. Aku ingin segera memperhhatkan 

hal ini kepada paman Ludiro."

"Dia masih dalam tawanan, tapi 

kita akan bebaskan. Itu pekerjaan yang 

sangat mudah...."

"Mendadak, mereka dikejutkan oleh 

sekelebat bayangan hitam. Bayangan itu 

bergerak dengan cepat, kemudian pergi 

sambil membawa tubuh Nawang Puri yang 

belum sadar diri.


"Nawang Puri...? Dia diambil oleh 

orang itu...! Kejar!"

Lenangseta menarik tangan Sekar 

Pamikat. "Ada saatnya untuk mengejar 

dia, dan ada saatnya sendiri untuk 

memadu kasih. Kau dapat membedakannya, 

bukan?" Sekar Pamikat tersenyum, lalu 

memeluknya erat-erat kembali. Meresap 

ke sanubari.

Ludiro hampir tidak percaya kalau 

yang ada di hadapannya itu adalah 

Sekar Pamikat asli. Begitu ia keluar 

dari kamar tahanan Kadipaten, ia tak 

langsung menegur Sekar Pamikat. Ia 

bahkan memandang penuh curiga. 

Kemudian Pendekar Pusar Bumi 

menjelaskan kepada Ludiro peristiwa 

semalam. Dan, dengan rasa hormat yang 

penuh bahagia Ludiro membungkuk di 

depan Sekar Pamikat, alias Pendekar

Cambuk Naga, yang berparas cantik, 

tinggi semampai, dengan kepadatan 

tubuhnya yang begitu sexy, punya daya 

tarik yang amat menggairahkan setiap 

lelaki.

"Lalu kemana Nawang Puri pergi?" 

tanya Ludiro.

Sekar Pamikat hanya menjawab, 

"Kita tunggu saatnya untuk mencari, 

atau bahkan mungkin ia akan menemuiku 

sendiri. Kurasa kisah ragaku hanya 

cukup sampai di sini, Paman. Dan…

tolong siapkan segalanya untuk 

perkawinanku dengan Lanangseta,


Pendekar Pusar Bumi yang menggemaskan 

itu, ya?"

Ludiro tertawa di sela senyum 

Sekar Pamikat yang memang sangat 

memikat itu.



                            TAMAT

 


Share:

0 comments:

Posting Komentar