Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
UDANGAN MAUT
Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1994
Sampul : Ken Bangun
Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy
Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Undangan Maut
SATU
Gunung Merbabu selayang pandang hanya
berupa dataran tinggi menjulang ke langit. Di sen-
ja hari bagian lerengnya nampak sunyi. Sebelum
mencapai lereng gunung, di bagian lembahnya
terdapat sebuah telaga, dan dari pinggiran telaga
itulah jalan satu-satunya untuk mencapai lereng
ataupun puncak Merbabu. Hampir bisa dipasti-
kan orang tidak berani datang ke tempat ini. Se-
lain tempatnya sangat rawan. Daerah ini merupa-
kan tempat kediaman manusia aneh Gajah
Munding alias Gajah Gemuk dan Gajah Kerem-
peng. Pada masa itu tokoh-tokoh persilatan baik
dari utara, selatan, timur dan barat begitu mena-
ruh hormat dan takut kepada dua tokoh bersau-
dara ini karena ketinggian ilmu silatnya. Terhi-
tung tokoh angkatan tua namun memiliki pera-
wakan awet muda itu hanya sekali turun gu-
nung. Yaitu ketika terjadinya geger di Gunung
Bromo pada saat menjelang kelahiran seorang
bayi ajaib alias Suro Blondo. Tapi itupun terjadi
sekitar delapan belas tahun yang lalu. Setelah ke-
gagalannya mendapatkan bayi ajaib tersebut, ma-
sih ditempat yang sama mereka membawa seo-
rang bayi perempuan yang akhirnya mereka ang-
kat menjadi murid dan mereka beri nama Dewi
Bulan. Kini gadis itu sudah dewasa dan telah tu-
run gunung pula setelah mereka gembleng den-
gan berbagai ilmu olah kanuragan.
Jika dulu Gunung Merbabu selalu diwarnai
dengan suara-suara teriakan seorang gadis yang
sedang melatih ilmu silatnya. Maka kini Gunung
Merbabu berubah sunyi seperti kuburan.
Melihat ke lembah, tepatnya di pinggir tela-
ga. Tampak seorang laki-laki tua duduk menca-
kung. Laki-laki ini memakai baju dari anyaman
daun lontar. Begitu juga dengan topi capingnya.
Dandanannya kedodoran, kedua mata kecil seper-
ti mata ikan lele. Jika ia menarik kailnya ke per-
mukaan air. Maka tercium bau busuk yang me-
nusuk. Karena umpan kail itu tidak lain merupa-
kan potongan-potongan tangan manusia yang
sengaja dibusukkan.
Satu dua makhluk panjang melata dari da-
lam air menggelepar dan mengeluarkan suara
mendesis-desis. Jelas yang memakan mata kail-
nya bukanlah ikan ataupun belut, melainkan
ular-ular berbisa yang sangat mematikan.
Ular-ular yang tertangkap mata kailnya itu,
langsung ia masukkan ke dalam kepis. Sebuah
tempat yang terbuat dari anyaman kulit rotan
berpenutup.
Sementara gerakan mata kailnya semakin
bertambah cepat. Setiap mata kail disentakkan,
maka yang terlihat hanyalah ular-ular berbisa
yang menggelepar kesakitan. Hampir dua jam ia
berbuat seperti itu sampai kemudian ia menarik
nafas lega.
"Kepis ini sudah penuh. Aku Datuk Mam-
bang Pitoka hanya dapat memberikan hadiah seperti ini pada Penghulu Iblis alias Datuk Raka
Tendra. Duh seandainya aku masih muda, tentu
aku ikut tanding Pibu. Dengan begitu jika aku ke-
luar sebagai pemenangnya. Maka aku berhak
mendapatkan Maya Swari sebagai isteriku yang
sah." kata Buto Terenggi alias Datuk Mambang Pi-
toka ini sambil mengelus-elus jenggotnya yang
hanya beberapa helai itu. "Maya Swari adalah
lambang keagungan dari seluruh putri iblis yang
cantik. Sayang kini usiaku sudah tidak muda lagi.
Datuk Raka Tendra dengan kebiasaannya yang
aneh tentu telah menyebar undangan. Jika ia
mengundang seluruh kalangan persilatan baik
yang hitam dan yang putih. Tentu ia mempunyai
tujuan yang lain sesekali. Putrinya Maya Swari
juga mempunyai keinginan yang aneh. Ia hanya
mau bersuamikan pemuda yang dapat mengalah-
kannya. Padahal adalah sangat berbahaya jika ia
sampai mendapat suami dari golongan lurus. Ha
ha ha...! Mungkin perlu aku memberi tahu so-
batku itu." Datuk Mambang Pitoka penguasa rim-
ba kegelapan ini tiba-tiba saja menepuk kening-
nya. "Mengapa harus kuurus? Tokh sebagai se-
sama iblis kami punya urusan sendiri-sendiri."
Kakek tua bertampang angker ini bangkit
berdiri. Tidak lama ia membalikkan badan dan
baru saja hendak melangkah ketika ia mendengar
suara mendesir. Matanya yang kecil kemudian
mengerjap. Tapi ia tidak melihat siapa-siapa di
sekitarnya selain dirinya sendiri.
"Aku ini iblis. Kalau ada setan yang beru
saha menggodaku. Berarti geblek yang tidak me-
mandang muka pada golongannya sendiri." Datuk
Mambang Pitoka menggumam seorang sendiri.
"Kau berani memasuki daerah orang lain
dan berani mencuri ular berkhasiat milik kami.
Kembalikan ular Kayangan milik kami!"
Buto Terenggi terkesiap begitu mendengar
suara seseorang yang disampaikan melalui ilmu
menyusupkan suara tersebut. Cepat sekali ia
berpaling ke arah datangnya suara.
Pada saat itulah ia melihat dua orang laki-
laki hanya mengenakan koteka. Yang satu berba-
dan gemuk luar biasa sehingga mirip gajah bunt-
ing sedangkan yang satunya berbadan kurus ker-
ing macam jerangkong hidup. Anehnya walaupun
laki-laki gemuk itu mempunyai badan besar seka-
li. Tapi gerakannya cepat sedangkan langkahnya
ringan. Berbeda dengan yang berbadan kurus.
Langkah kakinya terasa begitu berat namun man-
tap. Mereka memakai senjata berbentuk gaitan.
Disambung dengan sebuah rantai memanjang ta-
pi hanya diselempangkan di bahu. Buto Terenggi
begitu melihat kehadiran dua tokoh ini agak ter-
kesiap. Namun kemudian tawanya terdengar.
"Majikan Gunung Merbabu. Ah... sudah
lama sekali kita tidak bertemu. Terimalah hormat
sesama sahabat!" Buto Terenggi merangkap ke-
dua tangannya ke depan dada kemudian mem-
bungkukkan kepala sebanyak tiga kali. Dua pen-
datang yang tidak lain adalah Gajah Gemuk alias
Gajah Munding dan Gajah Kerempeng ini saling
pandang sesamanya. Melihat dandanan laki-laki
asing di depan mereka rupanya Gajah kurus
langsung mengenali.
Buto Terenggi adalah tokoh aliran sesat
yang sangat jarang sekali muncul di rimba persi-
latan. Sekali saja laki-laki yang sangat ahli dalam
mempermainkan senjata toya ini muncul. Pastilah
ada sebuah peristiwa yang sangat besar bakal ter-
jadi.
"Kami lihat sejak tadi kisanak mencang-
kung di pinggir telaga tempat kami memelihara
ular Kayangan. Apakah yang anda perbuat?"
"Bukan ingin tapi aku telah mengambil
ular-ular Kayangan ini untuk seorang sahabat
hendak mencarikan jodoh buat anaknya. Apakah
saudara Gajah sudah mendapatkan undangan-
nya?" Gajah gemuk dan Gajah Kerempeng ber-
pandangan sejenak, kemudian sama menggeleng-
kan kepala.
"Belum!"
"Kalau begitu anggaplah kedatanganku ini
mewakili keluarga besar Diraja Penghulu Iblis Ra-
ka Tendra. Satu purnama mendatang datanglah
kalian ke gunung Pangrangko. Siapa tahu anda
merupakan orang yang beruntung mendapatkan
putri agung Maya Swari untuk menjadi pendamp-
ing di sini. Selamat tinggal...!"
"Hei tunggu...!" teriak Gajah Krempeng ke-
tika melihat Buto Terenggi bermaksud meninggal-
kan mereka. Tetapi laki-laki berpakaian kedodo-
ran ini sama sekali tidak menghiraukannya. Sehingga membuat Gajah Gemuk melompat ke de-
pan menghadang langkah Buto Terenggi. Bukan
main cepatnya gerakan laki-laki dengan berat
hampir dua ratus kali ini. Sehingga dalam waktu
sepersekian detik ia telah berada di depan Buto
Terenggi. Buto Terenggi terkejut, tapi kemudian
langsung tertawa membahak.
"Bukan main, sungguh aku tidak percaya
kehebatan sesepuh gunung Merbabu jika tidak
melihatnya sendiri hari ini!"
"Mau percaya atau tidak bukan urusan. Ki-
sanak telah melakukan pencurian barang yang
sangat langka dan berharga. Kau hanya boleh
meninggalkan lereng Merbabu ini setelah men-
gembalikan ular-ular Khayangan milik kami!"
"Wah... masalahnya akan jadi runyam jika
aku melayani gajah bunting dan gajah kurang
makan ini. Walaupun aku tidak merasa ragu
bahwa aku belum tentu kalah menghadapi mere-
ka. Apa yang harus aku lakukan?" batin Buto Te-
renggi.
"Masalah kecil janganlah diperbesar. Aku
mau membayar seratus ular Kayangan dengan se-
ratus uang emas. Bagaimana? Apakah kalian se-
tuju?"
"Kami tidak setuju. Ular Kayangan itu ber-
telur selama seratus tahun sekali. Siapapun yang
memakannya, akan menambah kekuatan tenaga
dalamnya menjadi sepuluh kali lipat. Dan kami
tidak pernah memperjual belikannya."
"Kalau tidak dijual dan dibeli. Jika begitu
aku memintanya dari kalian secara hormat hai
orang gagah!" ujar Datuk Mambang Pitoka.
"Tidak bisa. Kembalikan barang itu!" Gajah
Krempeng bersikeras.
Merasa tidak punya jalan lain lagi. Datuk
Mambang Pitoka langsung mengebutkan ujung
jubahnya, sehingga terlihat lima sinar merah ber-
bentuk bintang menderu ke arah kedua Gajah.
"Setan alas!" Dua-duanya menggerung, dua
tangan melambai ke arah senjata-senjata rahasia
yang menyerang secara cepat ini.
Wuuk! wuus!
Tring! Tring!
Enam buah senjata rahasia dibuat terpe-
lanting. Bahkan dua diantaranya berbalik menye-
rang tuannya sendiri. Buto Terenggi adalah tokoh
sesat berpengalaman bahkan ia mempunyai julu-
kan Datuk Mambang Pitoka, karena dianggap
memiliki kepandaian setingkat dengan para
mambang (Makhluk alam gaib). Dengan tenang
sekali ia acungkan jari telunjuknya ke arah lain.
Sehingga senjata rahasia yang berbalik menye-
rangnya itu melenceng dari sasaran dan menan-
cap di batang pohon di belakangnya.
Hanya lima detik pohon itu berubah layu
dan daun-daunnya langsung berguguran. Gajah
Gemuk dan Gajah Krempeng sempat tercengang
dibuatnya. Namun sebagai orang yang sudah me-
lihat kehebatan setiap datuk. Tentu mereka tidak
perlu merasa kagum.
"Datuk, kami akui kehebatan racun yang
terkandung dalam senjata rahasiamu itu. Tapi
kami bukan anak kecil yang dapat kau takut-
takuti. Jika kau tetap tidak mau mengembalikan
ular-ular Khayangan kami ke dalam telaga. Hari
ini kami bersumpah untuk mengikat permusuhan
kepadamu!"
"Urusan ini ada baiknya kalau kita bicara-
kan di gunung Pangrangko satu purnama menda-
tang!" Selesai dengan ucapannya. Tiba-tiba Da-
tuk Mambang Pitoka menyambitkan sesuatu ke
arah Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng. Karena
terkejut dan tidak menyangka datangnya seran-
gan gelap ini. Maka Gajah Krempeng langsung
menyambutnya dengan satu tendangan yang cu-
kup keras. Sehingga membuat benda berbentuk
bulat macam bahan peledak itu mengeluarkan
bunyi mendesis yang disertai dengan menebarnya
asap tebal. Seketika itu juga suasana di sekeliling
mereka berubah menjadi gelap berselimut kabut.
"Bangsat! Iblis itu benar-benar mengecoh
kita." teriak Gajah Gemuk sambil membanting-
banting kakinya. Sehingga membuat tanah yang
diinjaknya amblas sampai sebatas dengkul. Ke-
nyataan ini membuat Gajah Krempeng menggeru-
tu. "Seharusnya kita kejar setan itu kakang. Ular-
ular berkhasiat milik kita yang telah ditangkap-
nya tentu jumlahnya cukup banyak juga."
"Ya... kurasa tidak ada gunanya. Kalau
memang benar di gunung Pangrangko akan ada
pertemuan yang sangat besar. Mengapa kita tidak
ke sana saja? Kita bisa melihat apa yang akan terjadi disana sekalian mencari tahu bagaimana ka-
barnya murid kita Dewi Bulan sekarang? Apakah
ia telah berhasil menemukan pembunuh orang
tuanya atau belum."
"Tapi... bukankah kita sendiri punya pan-
tangan untuk membunuh? Apalagi sampai me-
ninggalkan gunung Merbabu ini?" Gajah Krem-
peng rupanya teringat akan sumpahnya.
"Sudahlah... lupakan masalah itu. Kita be-
rangkat sekarang...."
Nampaknya Gajah Krempeng memang me-
rasa tidak punya pilihan lain lagi. Ia terpaksa
mengikuti keinginan kakang kandungnya seba-
gaimana yang terjadi ketika mereka hendak ke
gunung Bromo delapan belas yang lalu.
DUA
Hujan petir, angin menderu-deru. Goa Da-
rah yang terletak di kaki bukit gunung Gede ini
untuk pertama kalinya setelah lima belas tahun
terkena siram air hujan. Jika orang mengetahui
kejadian ini tentu mereka terheran-heran. Sebab
Goa Darah mereka kenal mempunyai semacam
tabir gaib yang melindungi gua sepenuhnya ber-
warna merah darah ini dari hempasan air hujan
terpaan badai. Bahkan masyarakat Jawa bagian
barat merasa yakin sekali bahwa Goa Darah me-
nyimpan misteri gaib hingga saat ini.
Sementara itu dalam keadaan hujan angin
sedemikian rupa di mulut pintu Goa Darah terli-
hat sosok bayangan berpakaian putih berkulit hi-
tam macam arang sedang meneliti bagian dalam
gua yang berwarna kemerah-merahan itu. Petir
menyambar, sehingga sekilas cahaya kuat yang
membersit tadi menerangi wajah hitam legam be-
rambut jarang. Wajah itu tidak ubahnya seperti
tengkorak hidup. Matanya mencorong seperti ma-
ta setan. Betapa mengerikan penampilannya, me-
lebihi buruknya setan penghuni kubur. Ia baru
saja melangkahkan kaki kanannya menuju ke ba-
gian ruangan tengah gua tersebut. Ketika cahaya
merah dari dalam gua melabrak tubuhnya. Ca-
haya itu sedemikian dahsyat dan dingin membe-
kukan. Namun si pendatang rupanya telah bersi-
kap waspada. Sehingga ia melompat ke samping
kiri. Belum sempat ia menjejakkan kakinya. Dari
bagian samping menyambar cahaya yang sama.
Tidak pelak lagi tubuhnya langsung tergontai-
gontai terkena sambaran cahaya merah yang me-
nyerangnya secara aneh ini.
Ia mengeluh pendek. Namun kemudian
mulutnya memaki menumpahkan kata-kata yang
sangat kotor sekali. Dengan cepat ia bangkit ber-
diri kemudian merapat ke dinding gua. Sementara
matanya tidak pernah lepas dari sebuah benda
bersegi tiga yang terletak di tengah-tengah gua
itu. Permata tersebut sejak tadi terus memancar-
kan cahaya berwarna putih kemilau. Tapi setiap
cahaya yang melesat meninggalkan permata itu
selalu berwarna merah. Dan cahaya dari prisma
permata persegi tiga itulah yang rupanya telah
menyerang perempuan macam tengkorak hidup
berkulit hitam macam arang. Sungguh ini meru-
pakan sebuah kejadian yang sangat langka. Dan
perempuan berkulit hitam ini juga bukan perem-
puan sembarangan.
Dia adalah tokoh aliran sesat dari daerah
kulon. Ia sangat ditakuti oleh golongan putih, dis-
egani oleh golongan hitam karena memiliki jurus-
jurus tongkat hitam yang sangat diandalkannya.
Sudah begitu banyak tokoh-tokoh tingkat tinggi
yang tewas di ujung tongkatnya yang berkepala
harimau ini. Terlebih-lebih saat ia malang melin-
tang di rimba persilatan tiga belas tahun yang la-
lu.
Beberapa tahun belakangan ia dikabarkan
telah mengasingkan diri di daerah Labuhan. En-
tah mengapa hari ini ia sengaja muncul ke lereng
gunung Gede. Yang jelas hingga sampai detik ini
ia terus berusaha mendekati Prisma permata yang
terjepit di tengah-tengah batu mirip meja altar
tersebut. Sekali lagi ia berusaha menggapai batu
Permata dengan mempergunakan tongkatnya. Ke-
ringat dingin mengucur di sekujur wajahnya yang
menyerupai tengkorak, perlahan tongkat itu ber-
gerak. Baru saja menyentuh salah satu sisi Pris-
ma tiba-tiba kilat melesat dari Prisma itu dan
menghantam tongkat ditangan Setan Hitam.
"Uuh...!"
Tangan yang kurus kering itu bergetar ke-
ras, hawa dingin menusuk menyengat bagian jemarinya. Untung ia memiliki tenaga dalam yang
sudah mencapai tarap diatas sempurna. Sehingga
senjata yang sangat diandalkannya itu tidak sam-
pai terlepas dari tangannya.
"Gelo betul. Apa yang kudengar selama ini
ternyata bukan omong kosong belaka. Terlanjur
aku mendapat undangan merah. Aku harus
memperlihatkan sesuatu yang sangat luar biasa
di depan Diraja Penghulu Iblis. Dan Prisma gaib
kini telah berada di depan mata. Aku harus sege-
ra mengambilnya." Setelah berkata begitu, dengan
segenap kecerdikan yang dimilikinya ia mele-
paskan baju putihnya. Di balik baju ia tidak me-
makai apa-apa, sehingga terlihatlah buah da-
danya yang peot menggelantung seperti karung
basah.
Baju itu kemudian dilemparkannya ke arah
Kristal dengan pengerahan tenaga dalam yang
tinggi. Spontan cahaya merah menyambar. Baju
yang dilemparkan oleh Setan Hitam alias Nya-
nyuk Pingitan langsung disambar oleh cahaya
merah. Hingga membuat baju tersebut terbakar.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Setan Hi-
tam. Seraya langsung melompat dan berguling-
guling. Di lain kejap ia sudah menyambar Kristal
Permata tersebut.
Sedetik kemudian di tengah-tengah hujan
yang membadai terdengar suara menggemuruh
yang begitu dahsyat. Nyanyuk Pingitan tercekat.
Sementara ia terpaksa memasukkan Prisma Kris-
tal yang telah dicurinya ke dalam kantong kulit
yang telah dipersiapkannya.
"Oh... mengapa jadi begini? Apakah karena
kekuatan gua ini tergantung pada Prisma Kristal
yang baru saja kuambil?" Setan Hitam menggu-
mam dalam hati. Tokh ia sudah tidak sempat
berpikir lebih jauh lagi. Karena pada saat itu lan-
git-langit gua mulai runtuh. Batu-batu berjatu-
han. Sementara altar tempat bersemayamnya
Prisma Kristal tadi mulai menunjukkan keretakan
disana-sini.
Krraaaak....!
Setan Hitam laksana kilat melompat keluar
dari dalam gua. Pada saat yang sama pula ter-
dengar suara dahsyat menggelegar.
Bumm! Buum!
Gua runtuh. Setan Hitam tercengang keti-
ka melihat sinar merah menerangi reruntuhan
gua. Sinar merah itu seperti muncul dari dalam
bumi.
"Aku tidak mau mengambil resiko. Aku ha-
rus meninggalkan tempat ini segera!"
Belum selesai dengan ucapannya ia telah
melesat pergi sambil membawa Prisma Permata
Sakti curian.
Tidak sampai sepuluh menit setelah Nya-
nyuk Pingitan meninggalkan Gua Darah. Dari re-
runtuhan gua yang memancarkan cahaya merah
menyala bagaikan lava gunung ini muncul tangan
berwarna kemerah-merahan. Batu-batu yang be-
rasal dari reruntuhan gua berpelantingan.
"Hoaaarkh...! Hraaaakk...!"
Brol! Bool!
Muncullah sosok tubuh. Tingginya menca-
pai lima meter. Sekujur badannya yang berwarna
merah bagaikan darah ditumbuhi bulu-bulu le-
bat. Bukan main besarnya makhluk ini. Yang cu-
kup mengherankan, kepala manusia berbulu ini
berujud kepala harimau. Mempunyai dua pasang
taring yang panjang. Matanya mencorong bagai-
kan mata binatang malam.
"Gila... siapa orangnya yang berani mencuri
Kristal Sakti milikku. Siapa orangnya yang telah
membuat hancur istanaku. Kristal diambil. Dunia
benar-benar hendak kiamat. Seluruh Jawa ini bi-
sa tenggelam menjadi lumpur api." Serak dan be-
rat suara manusia merah ini. Matanya yang liar
itu memandang ke sekelilingnya. Dan hidungnya
mulai mengendus-endus. Tiba-tiba ia tertawa, ta-
pi dalam tawanya mengandung kesedihan. Gu-
nung Gede bergetar hebat karena pengaruh suara
tawanya itu. Sementara goa Darah kini telah be-
rubah menjadi lautan lumpur panas yang mengo-
barkan api menyala-nyala. Panas yang ditimbul-
kannya menyebar ke seluruh tempat-tempat yang
berdekatan dengan bekas Goa Darah tersebut.
Sehingga mengundang ketakutan siapa saja.
"Benar-benar keterlaluan. Benda penjaga
keseimbangan bumi telah diambil oleh orang pin-
tar tapi bodoh. Aku tidak melihat orangnya, tapi
melihat baunya. Aku harus mencarinya... ha-
rus...!"
Dengan langkah-langkah kakinya yang be
rat menggetarkan setiap jengkal tanah yang dipi-
jaknya. Ia melangkah menuju arah matahari ter-
bit. Hanya malam hari saja ia berjalan. Pada siang
hari ia tidur disembarang tempat yang tersem-
bunyi dari perhatian orang.
Siapakah Manusia Merah dengan tinggi li-
ma meter ini? Sekitar dua abad yang silam. Seo-
rang Kyai Sakti mandraguna yang tinggal di gu-
nung Jati sering melakukan perjalanan ke daerah
Banten. Dalam perjalanan yang berulang itu, ter-
kadang ia singgah di tempat-tempat tertentu se-
belum mencapai tempat tujuan. Karena beliau
masih begitu muda dan belum punya istri pula.
Di daerah Jampang kulon kebetulan ia kenal seo-
rang gadis bernama Restu Abadi. Gadis cantik ini
anak seorang bajingan besar bernama Malim
Kuswara. Cinta diantara mereka ternyata ber-
sambut. Setelah dua tahun mereka menjalin hu-
bungan. Akhirnya mereka menikah. Ketika Restu
Abadi hamil, maka terjadi banyak keanehan. Se-
tiap malam istri Kyai Tapa ini sering menggerung-
gerung seperti harimau. Suatu malam Kyai Tapa
bermimpi bahwa anak yang akan terlahir dari ra-
him istrinya ini akan terlahir dengan dua rupa.
Yaitu kepala harimau sedangkan badan seperti
manusia biasa cuma ditumbuhi bulu.
Dengan kesaktiannya yang sangat tinggi,
sang Kyai mulai menyelidiki keanehan kehamilan
yang terjadi pada isterinya. Akhirnya diketahui,
rupanya sebelum malam pertama. Ada raja Jin
yang datang kepada Restu Abadi, dan menggaulinya sebagaimana layaknya suami isteri. Dalam
hal ini, Kyai tidak dapat menyalahkan istrinya.
Karena Raja Jin itu telah menyaru sebagai diri
sang Kyai. Dengan tekunnya ia meminta pada
sang khalik agar dipertemukan dengan Raja Jin
yang dia anggap telah mencoreng harga dirinya.
Dalam pertempuran yang berlangsung se-
lama seratus hari tidak ada henti itu. Ternyata ti-
dak ada yang kalah dan tidak ada yang menang.
Mereka akhirnya sama-sama mengangkat ikrar
agar tidak bermusuhan lagi. Sebagai imbalannya.
Bila anak itu terlahir kelak ia harus ditempatkan
di dalam sebuah gua yang tidak pernah didatangi
manusia. Sedangkan istrinya harus rela dibuang
ke pulau Andalas.
Raja Jin ternyata setuju. Sungguhpun Res-
tu Abadi yang merasa tidak bersalah tidak menye-
tujuinya. Demikian juga halnya dengan Malim
Kuswara ayah kandung Restu Abadi. Pertempu-
ran antara anak menantu dengan mertua ini ti-
dak dapat dihindari lagi. Tapi karena begitu ting-
ginya ilmu kesaktian yang dimiliki oleh Kyai Tapa.
Malim Kuswara tewas di tangan menantunya. Be-
gitu anak mereka terlahir, maka pergilah Restu
Abadi meninggalkan Jampang Kulon dengan
membawa luka hati dan dendam membara. Ia ti-
dak lagi menghiraukan anaknya yang terlahir
dengan keadaan yang sangat mengguncangkan
hatinya itu.
Kyai Tapa sendiri setelah membawa anak
Jin itu ke Goa Darah langsung mengasingkan diri
ke Gunung jati. Tidak ada yang tahu, anak Jin
alias manusia Merah yang diberi nama Soma Sa-
sra ini selalu memberontak dan menimbulkan
guncangan di sekitar pulau Jawa. Khususnya di
daerah Jawa Barat. Raja Jin diam-diam meletak-
kan sebuah Kristal Permata di tengah-tengah al-
tar untuk meredam gerakan sang anak yang se-
tengah manusia dan setengah binatang ini. Tapi
siapa sangka hari ini setelah dua ratus tahun
mendekam di dasar perut bumi Prisma Permata
itu ada yang mengambilnya. Karena memang ti-
dak ada yang tahu bagaimana tabiat dan sepak
terjang Manusia Merah ini. Alangkah baiknya jika
kita ikuti sepak terjang Soma Sasra selanjutnya.
Benarkah dia hanya ingin mencari Kristal sakti
miliknya itu atau punya maksud lain setelah ia
terbebas dari penjara perut bumi selama ratusan
tahun.
Pada saat yang sama, sebuah perahu kecil
meluncur menyeberangi selat Sunda. Pemandan-
gan senja yang remang-remang dengan latar bela-
kang gunung Krakatau yang terus mengepulkan
asap, merupakan keindahan tersendiri bagi yang
melihatnya. Tapi bila melihat ke arah orang yang
sedang meluncur kencang dengan perahunya ini
sangat jauh bertolak belakang. Wajah laki-laki ini
hanya sebagian saja yang tertutup kulit. Sedang-
kan bagian lainnya tertutup daging busuk berna-
nah. Matanya juga hanya sebelah, sedangkan ma-
ta kirinya membentuk lubang yang sangat dalam.
Sesekali bibirnya yang rusak bopeng
bopeng dan hampir tanggal ini menyunggingkan
seulas senyum. Namun senyum itu malah sede-
mikian menyeramkan.
"Jauh sudah jalan kutempuh. Akhirnya
aku menjadi bosan. Ha ha ha...! Letih nian aku
mencari akhirnya aku diam sendiri. Ha ha ha...
Undangan merah undangan maut. Tanah Jawa
lama tidak kudatangi, masihkah kini para iblis
ingat pada Alang Sitepu. Mudah-mudahan Bung-
kuk Lima tetap di kenang. Aku akan datang...
ya... datang atas undang merah...!"
Alang Sitepu alias Bungkuk Lima berdiri di
atas perahunya yang terus meluncur kencang.
Tokoh hitam yang kondang karena ilmu sihirnya
ini kemudian tertawa-tawa.
"Gunung Sibayak telah jauh di belakang
sana. Gunung Pangrangko kini menjadi tujuan.
Ha ha ha... apa kabar orang Jawa?"
Wajah yang sangat mengerikan dengan ma-
ta yang cuma tinggal sebelah ini memandang ke
satu arah. Kini Labuhan telah terlihat olehnya. Ia
pun menyeringai, kemudian tertawa. Gemuruh
suara tawanya menggema diantara deburan om-
bak yang kian menggila.
TIGA
Gadis berbaju kuning gading memakai ikat
kepala warna putih ini tiba-tiba hentikan lang-
kah. Wajahnya yang cantik rupawan dengan tahi
lalat di dagu tampak tertutup oleh anak-anak
rambutnya. Ia sibakkan anak rambut yang terge-
rai diwajahnya. Setelah itu ia melangkah lagi. Pa-
da saat berjalan seperti itulah ia teringat dengan
orang-orang yang telah membunuh ayah dan
ibunya. Balung Raja, Braja Musti dan Baja Geni
semuanya sudah mati. Hanya Ki Rambe Edan sa-
ja yang luput dari kematian. Teringat akan mu-
suh-musuh besarnya yang sudah mampus. Ter-
bayang pula oleh si gadis seorang pemuda. Pemu-
da tampan berambut kemerah-merahan namun
bertampang tolol. Dialah Suro Blondo,
Entah mengapa akhir-akhir ini ia selalu te-
ringat pada pemuda itu. Bahkan setiap tidur ia
sering bermimpi bertemu dengan Suro Blondo. Ke
mana perginya pemuda yang dikaguminya ini ia
tidak tahu. Mungkin ia masih memburu musuh
besarnya yang hingga sampai detik ini Suro Blon-
do tidak tahu dimana rimbanya.
"Angin oh angin. Mengapa hatiku selalu
bergetar? Matahari-matahari, dimana dia geran-
gan?" Dewi Bulan gadis rupawan ini menggumam
dalam hati. Tiba-tiba saja wajahnya berubah me-
merah. Ia menjadi malu pada dirinya sendiri. Bu-
kankah ketika bersama Suro Blondo dulu tidak
pernah mengatakan bahwa ia mencintai dirinya?
Mengapa kini ia seperti orang yang kasmaran sa-
ja?
Dengan wajah masih tetap memerah, Dewi
Bulan tiba-tiba memutar langkah dan bermaksud
meninggalkan Cisarua. Tapi gerakannya segera
tertahan ketika ia mendengar suara nyanyian
seseorang. Oh, ternyata bukan nyanyian. Tapi
orang yang sedang melantunkan bait-bait syair.
Dengan seksama Dewi Bulan mulai mencari-cari,
kemudian terlihatlah olehnya seorang perempuan
cantik berumur sekitar tiga puluh tahun. Bajunya
berwarna kembang-kembang. Namun tipis, se-
hingga lekuk lengkung tubuhnya yang menggiur-
kan itu terlihat dengan jelas.
Bibir si perempuan yang kemerahan selalu
menyunggingkan senyum sedih. Di tanah Jawa
tidak seorang pun yang kenal dengan dirinya ter-
kecuali hanya tokoh-tokoh tertentu saja.
Karena sesungguhnya ia berasal dari tanah
seberang. Di tanah Andalas orang mengenalnya
sebagai Ratu Penyair Tujuh Bayangan. Ahli dalam
penyamaran sedangkan ilmu kepandaiannya san-
gat sulit diukur.
Dewi Bulan dengan seksama memperhati-
kan perempuan yang berdiri membelakanginya itu
untuk beberapa saat lamanya. Kemudian ia men-
dengar suaranya yang begitu merdu menggetar-
kan hati.
Tidak kering dilanda panas, tidak lekang di-
landa hujan. Jawa dan Sumatera hanya dipisah-
kan oleh sebuah selat. Dua golongan terjebak da-
lam tradisi, kemunafikan dan angkara murka. Un-
dangan merah yang disebar para setan telah ku-
dapatkan. Undangan maut untuk para iblis. Di
Gunung Pangrangko huru hara akan berlangsung.
Sayang pengantin yang diharap hanyalah iblis bu-
suk yang menipu mata. Orang-orang sakti datang
sendiri. Jodoh yang diharap ternyata hanya seo-
rang pemuda bertampang tolol. Maya Swari putri
cantik. Kecantikannya melebihi putri-putri raja.
Dasar celaka... hik... hik... hikk...!! Malang benar
gadis yang mencinta.
Dewi Bulan terkejut sekali mendengar ka-
ta-kata yang terlontar dari bibir si perempuan.
Entah mengapa jantungnya berdetak lebih ken-
cang lagi. Seingatnya pemuda bertampang tolol
hanyalah pendekar Blo'on seorang. Apakah
mungkin Suro Blondo yang dimaksudkan oleh pe-
rempuan itu. Atau ada pemuda tolol lainnya? Tapi
siapa yang dimaksudkannya dengan gadis yang
mencinta? Adakah dirinya? Kalau memang benar
berarti perempuan berbaju kembang-kembang itu
tahu segala. Sudah menjadi adat Dewi Bulan. Ia
serba ingin tahu, wataknya keras dan tidak mau
mengalah. Tapi bila ia sudah merasa jatuh cinta
kepada seseorang, maka ia akan mempertaruh-
kan nyawanya demi orang yang sangat dikasihi.
Kini rasa penasaran itu telah membuatnya
melompat ke depan menghampiri perempuan baju
kembang-kembang. Sungguhpun gerakan Dewi
Bulan begitu pelan bahkan kehadirannya tidak
menimbulkan suara sedikit pun. Namun perem-
puan itu cepat membalikkan badannya. Ketika
melihat kehadiran orang lain disitu, perempuan
baju kembang-kembang ini mengerutkan kening
nya. Tatapan matanya yang mempesona penuh
rasa curiga.
"Siapakah kau bocah cantik?" tanya pe-
rempuan baju kembang-kembang.
Dewi Bulan malah cemberut.
"Seharusnya akulah yang bertanya siapa,
Nisanak! Karena orang yang berpakaian seperti-
mu tidak lain hanyalah sebangsanya memedi atau
perempuan murahan. Sebagaimana syair-syair
yang Nisanak ucapkan barusan tadi!" Entah men-
gapa Dewi Bulan merasa tidak dapat mengendali-
kan kata-katanya. Apa yang diucapkannya me-
luncur begitu saja tanpa terpikirkan sebelumnya.
"Aku datang memenuhi undangan merah!
Datuk Nan Gadang Paluih abangku. Ngarai Sia-
nok tempat tinggalku. Wahai Dara, mengapa kau
menjadi marah. Kulihat matamu memancarkan
gejolak hasrat cinta. Katakanlah padaku Ratu pe-
nyair Tujuh Bayangan...!!"
Dewi Bulan tentu saja terkesiap mendengar
ucapan perempuan baju kembang-kembang ini.
Sama sekali ia tidak menyangka bahwa perem-
puan itu tidak lain adalah Ratu Penyair Tujuh
Bayangan. Jelas ia berasal dari Sumatera. Seba-
gaimana yang pernah dikatakan oleh gurunya du-
lu. Bahwa di negeri seberang itu ada beberapa to-
koh sakti yang benar-benar sangat ditakuti bah-
kan mempunyai kepandaian selaksa ilmu. Dian-
tara mereka adalah, Ratu Penyair Tujuh Bayan-
gan, Datuk Nan Gadang Paluih, setelah itu Datuk
Panglima Kumbang, dan juga Datuk Alang Sitepu.
Laki-laki yang disebutkan terakhir ini merupakan
seorang ahli sihir kenamaan yang sangat ditakuti
oleh golongan sesat dan golongan lurus. Masih
ada satu lagi tokoh yang tidak dapat dianggap
remeh. Dialah si Dewa Kudu dari Indera Giri Hilir.
Cuma tokoh yang satu ini konon hanya tinggal le-
genda saja. Bahkan kabarnya sudah meninggal
sekitar lima belas tahun yang lalu. Tapi kuburan-
nya tidak seorangpun yang dapat menyamban-
ginya.
Sekarang Dewi Bulan berhadapan dengan
salah satu tokoh dari tanah seberang. Namun me-
lihat penampilannya, rupanya gadis ini tidak per-
caya bahwa Ratu Penyair Tujuh Bayangan ini me-
rupakan tokoh kosen sebagaimana yang pernah
diceritakan oleh gurunya. Apalagi bila melihat pe-
rempuan ini masih sangat muda sekali.
Tapi untuk membuat persoalan bukanlah
kebiasaannya. Lagipula diantara mereka baru kali
ini bertemu. Rasanya tidak pantas jika ia menca-
ri-cari perkara hanya karena ingin mengetahui
kehebatan orang lain.
"Ternyata anda Ratu Penyair Tujuh Bayan-
gan. Datang memenuhi undangan merah? Siapa-
kah yang mengundangmu?"
"Hik hik hik! Tahukah kau dimana gunung
Pangrangko, anak baik?" tanya Ratu Penyair Tu-
juh Bayangan tanpa menghiraukan pertanyaan
Dewi Bulan. Sehingga membuat gadis berwatak
keras ini merasa diabaikan.
"Kalaupun aku tahu, tidak nantinya aku
tunjukkan padamu!" dengusnya kesal bukan
main.
"Ratu Penyair Tujuh Bayangan tidak bisa
ditolak, anak manis! Di puncak Pangrangko akan
terjadi peristiwa besar. Jawa ini bisa menjadi lau-
tan lumpur api seluruhnya jika prisma Permata
tidak dapat dikembalikan ke asalnya."
"Siapa percaya dengan bualan seorang pe-
nyair?"
Sikap yang sungguh meremehkan ini
membuat Ratu Penyair Tujuh Bayangan menjadi
dongkol.
"Aku tahu kau ingin mengujiku. Tapi baik-
lah jika kau tidak mau bekerja sama secara baik-
baik denganku. Aku akan mengajarimu untuk
bersikap baik pada orang tua sepertiku. Lima ju-
rus kuberikan padamu. Jika kau kalah maka kau
harus menuruti apa yang aku mau!"
Dewi Bulan tentu saja tertawa lebar. Ba-
gaimanapun ia seorang murid dua tokoh sakti.
Ilmu kepandaiannya sudah hampir mencapai ta-
rap sempurna. Bagaimana mungkin Ratu Penyair
Tujuh Bayangan dapat memastikan lamanya se-
buah pertarungan?
"Kau terlalu sombong, Ratu Penyair. Se-
baiknya selalulah kau ingat bahwa diatas langit
selalu masih ada langit lagi!"
"Hik-hik-hik! Jangan keburu marah. Uru-
sanku di puncak Pangrangko tidak bisa ditunda.
Sekarang lihat serangan...!"
Ratu Penyair Tujuh Bayangan tiba-tiba
menyambar ranting kayu yang tergeletak tidak
jauh di bawah kakinya. Ranting kayu kering yang
semula kaku itu kini berubah melemas bagaikan
rambut. Ketika ranting itu dikebutkan menuju de-
lapan penjuru jalan darah. Maka angin pun ber-
gelung-gelung melabrak Dewi Bulan.
Gadis ini terkesiap dibuatnya, ia segera da-
pat mengetahui hanya orang yang memiliki tena-
ga dalam diatas sempurna saja yang mampu me-
lakukannya. Sementara itu Dewi Bulan terpaksa
melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri
dari totokan lawannya. Tapi baru saja ia menje-
jakkan kakinya diatas tanah. Ranting kayu yang
kini telah berubah keras seperti asalnya telah me-
luruk deras ke arah urat besar pada bagian pe-
rutnya. Hanya dengan mengandalkan jurus
'Kupu-kupu Menari di Atas Bunga' saja ia masih
mampu menghindari serangan lawannya.
"Keluarkan senjata yang kau punya!" perin-
tah Ratu Penyair Tujuh Bayangan sambil berge-
rak lagi.
Dewi Bulan merasa nafasnya semakin me-
nyesak, sedangkan jantungnya seolah-olah ber-
henti berdenyut. Apalagi ketika Gatri Kencana ini
memutar ranting ditangannya melebihi kecepatan
titiran. Tidak ayal lagi Dewi Bulan terdorong
mundur. Kini sadarlah gadis berwatak keras itu
bahwa apa yang dikatakan oleh gurunya Gajah
Gemuk dan Gajah Kurus bukan hanya sekedar
omong kosong belaka.
Sebaliknya pada saat tengah berfikir dan
sambil menghindari serangan lawannya ini. Dewi
Bulan dikejutkan lagi oleh suara Ratu Penyair Tu-
juh Bayangan yang seakan datang dari delapan
penjuru arah.
"Melihat jurus-jurus silatmu. Rasanya ti-
dak salah jika kau sesungguhnya murid dua Ga-
jah di tanah Jawa!"
"Huh, bagaimana kau tahu?"
"Hik-hik-hik! Aku adalah penyair yang da-
pat membaca isi kepala orang. Gerakan tubuhmu
adalah duplikat gerakan Gajah Kurus dan Gajah
Gemuk. Apakah kau mau mungkir?"
Sebagai jawabannya Dewi Bulan langsung
mencabut pedang pendek yang terselip di ping-
gangnya.
Sing!
Wuut! Wuut!
Pedang itu berputar sedemikian cepat. Ter-
dengar suara menderu-deru. Di tangan Dewi Bu-
lan pedang andalan itu seakan berubah menjadi
banyak. Menusuk membabat bahkan menyodok
ke arah empat jalan darah. Rupanya ketika ia
Dewi telah mengerahkan jurus 'Tarian Sang Wa-
let'. Salah satu jurus ciptaan bersama kedua gu-
runya.
Untuk beberapa jurus Gatri Kencana tam-
pak terdesak mundur. Namun hanya beberapa
saat saja, begitu ia telah melihat jurus-jurus la-
wannya. Maka ia bergerak maju menerobos per-
tahanan Dewi dengan serangan ranting ditangan-
nya yang dapat melentur seperti oyot kayu dan
dapat berubah kaku seperti baja. Cepat bukan
main serangan itu. Hingga tahu-tahu salah satu
ujung ranting sudah berada di depan hidung De-
wi. Gadis ini tentu saja tidak menghendaki hi-
dungnya hancur. Ia menangkis sambil melompat
mundur.
Traang!
Dewi Bulan terkejut, tangannya terasa sa-
kit bagai ditusuk ribuan batang jarum. Tidak dis-
angka kesempatan yang singkat itu dipergunakan
oleh lawannya.
Tutts...!
Gadis bertahi lalat di dagu ini mengeluh
tanpa mampu menggerakan tubuhnya lagi. Sa-
darlah ia bahwa Ratu Penyair Tujuh Bayangan ini
telah menotoknya.
"Bagaimanapun kau kalah pengalaman dan
umur bila dibandingkan aku. Empat jurus kau te-
lah takluk, sekarang antar aku ke puncak Pan-
grangko!"
"Kau telah bertindak curang. Kalau guruku
tahu, kau pasti hanya tinggal nama saja!" maki
Dewi Bulan tanpa mampu menggerakan tubuh-
nya ketika Gatri Kencana memanggulnya.
"Gurumu datang gurumu kugebuk mam-
pus! Jangan pamer guru di depanku!" dengusnya.
Sekali berkelebat, maka Dewi Bulan merasakan
tubuhnya dibawa lari laksana terbang.
EMPAT
Di lereng gunung Pangrangko ada sebuah
puri bertingkat yang cukup tinggi. Di belakang
puri itu ada sebuah bangunan lainnya. Bangunan
besar dikelilingi tembok tinggi ini pada hari-hari
sebelumnya terasa sepi. Hanya para penghuninya
saja yang keluar masuk melaksanakan tugasnya
masing-masing. Diluar kedua bangunan ini ada
sebuah panggung yang tampaknya baru saja di-
persiapkan. Panggung yang cukup luas ini dihiasi
dengan bermacam-macam janur. Tidak jauh dari
panggung tersusun kursi-kursi terbuat dari ba-
han jati. Adapula sebuah podium lainnya. Dis-
amping podium terdapat dua buah kursi mempe-
lai yang dihiasi dengan beraneka bunga-bungaan.
Rupanya akan ada pesta besar-besaran
disini. Terbukti dengan mulai hadirnya para ta-
mu-tamu undangan. Setiap tamu selalu menun-
jukkan undangan yang diberikan untuk para un-
dangan sekitar satu purnama yang lalu. Jadi ti-
dak sembarang orang dapat menghadiri pesta ter-
sebut. Tanpa undangan merah yang dibuat oleh
tuan rumah. Maka orang itu tidak dapat mengi-
kuti acara pibu. Dan siapapun yang dapat menga-
lahkan putri Maya Swari dalam acara unjuk kebo-
lehan itu. Maka dialah yang akan menjadi sua-
minya.
Kini para undangan itu mulai memenuhi
bangku-bangku yang kosong. Sementara itu dida-
lam sebuah ruangan besar di dalam bangunan
yang terletak dibelakang puri tampak seorang la
ki-laki berpakaian seperti seorang raja dan ber-
tampang bengis sedang menerima kehadiran dua
orang tamu. Tamu pertama adalah laki-laki tua
pembawa kepis berpakaian anyaman daun lontar
sedangkan capingnya terbuat dari daun lontar
pula.
Sedangkan tamu yang kedua adalah seo-
rang nenek renta berkulit hitam bermuka bopeng.
Kulitnya tipis, sehingga dilihat sepintas lalu
hanya berupa jerangkong hidup. Tatapan mata
perempuan ini mencorong, rambutnya jarang dan
ada beberapa tusuk kundai dari perak yang lang-
sung menancap di batok kepalanya. Agaknya ke-
dua tamu ini merupakan sahabat terdekat tuan
rumah. Terbukti laki-laki bengis berpakaian
bangsawan ini menerima mereka secara khusus
pula.
"Sudah lama kita tidak bertemu Datuk
Mambang Pitoka dan Nyanyuk Pingitan. Setelah
dua puluh tahun, bagaimana kabar anda seka-
lian?" Tuan rumah yang tidak lain adalah Raka
Tendra berjuluk Penghulu Iblis ini memulai pem-
bicaraan dengan suaranya yang serak berat se-
perti dicekik setan. Buto Terenggi angkat wajah-
nya. Setan Hitam alias Nyanyuk Pingitan tertawa
mengikik,
"Sebagaimana yang Datuk lihat, kami da-
lam keadaan sehat dan semakin berisi." kata
Nyanyuk Pingitan kemudian. "Dua puluh tahun
yang lalu putrimu masih orok. Tidak disangka ki-
ni telah dewasa dan cantik. Selain itu tentu ia
mewarisi semua ilmu yang kau miliki Datuk?"
Buto Terenggi menimpali "Diraja Penghulu
Iblis pasti memberikan yang terbaik untuk pu-
trinya. Apalagi Maya Swari adalah anak tunggal.
Ha ha ha...!"
"Dengan kehadiran sahabat berdua. Aku
Diraja Penghulu Iblis dengan rendah hati tentu
berharap agar Anda membantu keamanan disini
kalau terjadi sesuatu yang tidak kita ingini dalam
acara Pibu nanti."
"Ah... Diraja terlalu berlebihan. Kami tentu
saja membantu tanpa diminta sekalipun. Tapi
menurutku, siapa orangnya yang berani mengu-
sik ketenteraman anda, terkecuali orang-orang
yang ingin cepat mampus?"
"Lagipula kepandaian kami manalah ada
apa-apanya bila dibandingkan Ahda Diraja Peng-
hulu Iblis. Untuk itu demi kehormatan persaha-
batan kita. Hanya dapat membawakan oleh-oleh
ular Kayangan untuk acara penentuan pilihan
suami bagi putri Anda." Datuk Mambang Pitoka
kemudian menurunkan anyaman rotan yang ber-
bentuk kepis di mana didalam kepis itu penuh
berisi ular-ular Kayangan yang terus mendesis-
desis.
"Hmm, ular Kayangan ini kudengar punya
khasiat yang sungguh sangat luar biasa. Ia dapat
melipat gandakan tenaga dalam seseorang dalam
waktu hanya beberapa jam saja. Selain itu darah-
nya membuat kita tetap awet muda. Sungguh ini
merupakan suatu pemberian yang tidak ternilai
harganya."
"Anda terlalu berlebihan, Sahabat. Aku
hanya dapat berpartisipasi. Menurutku sebelum
acara dimulai sore nanti. Bukankah lebih baik ji-
ka ular-ular itu diolah secepatnya. Dengan begitu
para tamu undangan dapat merasakan khasiat-
nya." kata Datuk Mambang Pitoka.
"Betul. Aku setuju." sahut Raka Tendra. Ia
kemudian bertepuk tangan. Seorang pengawal
masuk ke dalam ruangan dan mengambil kepis
berisi ular-ular itu.
Sementara Nyanyuk Pingitan kini telah
mengeluarkan sebuah tabung bambu yang sudah
tua dan kusam. Di dalam tabung bambu itu ter-
dapat ratusan ekor lebah beracun. Yang tentu sa-
ja sudah sangat terlatih dengan baik. Ia kemudian
menyerahkannya pada Diraja Penghulu Iblis. Se-
raya berkata: "Aku tidak dapat memberikan kado
barang-barang berkhasiat selain mainan yang ti-
dak ada guna ini. Terimalah Diraja...!"
Raka Tendra tercenung dengan alis berke-
rut dalam. "Ah... sahabat terlalu merendah. Ta-
won merah siapa yang tidak kenal. Bisanya san-
gat mematikan. Dikolong langit ini hanya Anda
saja yang memilikinya. Pemberian ini merupakan
satu kehormatan pula yang tidak mungkin terlu-
pakan."
Tokoh golongan sesat itu kemudian terta-
wa-tawa. Rupanya mereka selalu cocok dalam
berbagai hal.
Pada saat yang sama di jalan utama pada
penerima tamu undangan yang terdiri dari murid-
murid Raka Tendra sendiri semakin sibuk me-
layani para tamu yang datang. Sampai menjelang
tengah hari pemeriksaan berjalan dengan cukup
lancar. Tapi tidak lama kemudian ketika muncul
seorang pemuda berambut kemerahan berwajah
tampan namun berkesan tolol kekanak-kanakan.
Maka suasanapun berubah menjadi lain.
"Mana bendera undangan merah yang se-
harusnya kau bawa hari ini?" tanya petugas pene-
rima tamu pada pemuda berbaju biru ini dengan
mata melotot. Pendekar Blo'on nyengir kuda, lalu
garuk-garuk kepalanya. Akal cerdiknya segera
berjalan. Karena ia memang tidak pernah diun-
dang oleh siapapun. Tentu ia tidak dapat menun-
jukkan bendera merah yang dimaksudkan. Sebab
apa yang dilakukannya saat ini adalah mencari
musuh besar yang telah membunuh kedua orang
tuanya. Tapi ketika di tengah jalan ia melihat ba-
nyak orang yang menuju ke gunung Pangrangko
ini, mau tidak mau ia menjadi heran ada apakah
gerangan? Dan ia jadi ingin mengetahuinya.
"Undangan itu hilang ketika aku sedang
mandi di kali. Maafkan aku kawan."
"Jika kau tidak dapat menjaga keselamatan
undangan itu. Berarti kau tidak dapat menjaga
kehormatan penghulu kami. Bagaimana mungkin
manusia sepertimu dipandang muka oleh ketua
dan raja kami!" dengus sang penerima tamu. Se-
dangkan kawan si penerima tamu sedikitpun ti-
dak menghiraukan Suro Blondo. Ia malah sibuk
memeriksa identitas tamu-tamu yang lainnya.
Kesempatan lengah yang cuma sekejap ini
langsung dimanfaatkan oleh Suro Blondo. Dita-
riknya penerima tamu itu ke tempat yang aman.
Seraya kemudian berbisik.
"Tenanglah, aku sahabat baik putri Maya
Swari. Jika kau melarangku masuk ke ruangan
tamu. Tentu ia akan mencari-cari aku. Bagaima-
na kalau kita berdamai saja. Aku bisa meminta-
kan bagimu dua keping emas untuk kebaikanmu
itu." Penerima tamu tentu saja terkejut menden-
gar keterus terangan si pemuda. Padahal yang se-
sungguhnya Suro Blondo sendiri mendengar
Maya Swari dari orang-orang yang dijumpainya di
jalan.
"Benarkah kau kawannya?" tanya penerima
tamu ragu-ragu.
"Tentu saja. Apakah kau perlu kupanggil-
kan puteri. Tapi jika dia sampai marah. Harap re-
siko ditanggung sendiri."
Rupanya penerima tamu yang masih terhi-
tung murid Diraja Penghulu Iblis begitu takluk
pada anak gurunya. Sehingga tanpa banyak kata
lagi ia segera menyuruh pendekar Blo'on berlalu.
"Jangan kau cerita pada siapapun karena
kau tidak membawa bendera undangan. Diraja
Penghulu Iblis bisa menghukumku."
"Jangan takut, kalau ada apa-apa tentu
Maya Swari akan membelamu." pemuda ini me-
nyeringai. Sambil bersiul-siul ia melangkah pergi.
Ketika Pendekar Blo'on sampai di bagian
penerima tamu terakhir dilihatnya semua kursi
yang tersedia telah penuh terisi. Kalaupun ada
kursi yang kosong letaknya jauh dari panggung
laga dan juga panggung kehormatan. Karena ter-
dorong oleh rasa keingin tahuannya. Maka Pe-
muda ini terpaksa duduk di tempat terpisah de-
kat beberapa ekor kuda yang ditambatkan dan
juga dikelilingi ayam.
"Ha ha ha...! Duduk dengan kuda lebih
baik daripada dengan para iblis bertampang ma-
can. Eeh... ada pula yang gundul seperti tuyul
dan ada pula yang jelek seperti hantu. Ha ha ha...
masa bodoh. Menunggu acara dimulai aku jadi
mengantuk nih!" kata pemuda itu. Ia bersandar di
batang pohon di mana bangku yang didudukinya
berada. Tapi aneh ia tidak dapat memejamkan
matanya. Apalagi ketika melihat para tamu sema-
kin banyak saja jumlahnya.
Setengah jam kemudian Suro Blondo meli-
hat seorang gadis berpakaian pengantin berwajah
cantik luar biasa menuju singgasana pelaminan
yang terletak di samping podium. Pemuda ini
mementang matanya lebar-lebar. Ia memang ha-
rus mengakui bahwa gadis itu cantik luar biasa.
Tidak seperti tampang para tamu undangan, ka-
laupun ada yang perempuan tetap saja jelek me-
nakutkan.
"Luar binasa... eh, luar biasa. Gadis itukah
yang ingin menjadi pengantin? Tapi sungguh
aneh, pengantin pria masih belum ketahuan siapa
orangnya. Sekarang ia sudah memakai gaun pengantin. Apakah dengan pakaian itu ia akan berta-
rung dengan orang-orang gagah untuk menentu-
kan siapa yang dapat mengalahkannya?"
Suro Blondo garuk-garuk kepala. Ia terus
memandang ke arah gadis cantik bergaun pen-
gantin kini mulai duduk di pelaminan tunggal.
Melihat kecantikan gadis itu, tiba-tiba saja ia te-
ringat pada Dewi Bulan. Ia tidak tahu entah ke-
mana gadis itu sekarang. Sejak pertemuan terak-
hir mereka (Dalam Episode Hianat Empat Datuk).
Konon Dewi Bulan ingin menyambangi gurunya di
gunung Merbabu.
Lamunan pemuda ini seketika buyar saat
ia melihat seorang laki-laki berpakaian bangsa-
wan menuju ke podium yang terletak disebelah
pelaminan tunggal. Dibelakang laki-laki itu me-
nyertai pula seorang laki-laki dan perempuan
yang rupanya sengaja mengawalnya.
Acara di tempat yang terbuka itu kemudian
dimulai. Seluruh hadirin yang kebanyakan terdiri
dari tokoh-tokoh golongan sesat terdiam.
"Saudara-saudara!" Diraja Penghulu Iblis
membuka ucapannya. "Hari ini saya sengaja
mengundang saudara-saudara kemari. Pertama-
tama adalah untuk bertatap muka dan saling
mengenal secara lebih dekat lagi. Sedangkan yang
kedua adalah untuk menentukan siapa yang pal-
ing pantas untuk menjadi calon pendamping pu-
triku. Inilah peraturan yang ditetapkan oleh pu-
triku sendiri. Itu sebabnya saya meminta saudara
dari setiap perguruan membawa murid terbaik
nya. Siapa tahu ia mempunyai keberuntungan
berjodoh dengan murid sekaligus putri tunggalku.
Putriku tidak menghendaki harta benda, tapi ia
ingin punya suami yang memiliki kepandaian le-
bih tinggi dari kepandaian yang dimiliki-nya.
Sambil mengikuti acara tanding untuk menentu-
kan siapa yang pantas menjadi pendamping pu-
triku. Sebaiknya nikmati hidangan yang telah
kami sediakan!" Diraja Penghulu Iblis meninggal-
kan podium, seraya menghampiri putrinya yang
duduk lengkap dengan pakaian pengantin. Mere-
ka kemudian terlibat pembicaraan serius.
Maya Swari meninggalkan pelaminan. Se-
kejap ia menghilang di ruangan ganti setelah itu
muncul lagi lengkap dengan pakaian ringkas ber-
warna biru pula.
Ia melompat keatas panggung kayu dengan
gerakan yang sangat ringan sekali. Sementara itu
seorang pembawa acara mulai membacakan tata
cara dan aturan main di atas panggung. Para ha-
dirin berdecak kagum melihat kecantikan sang
dara. Bahkan diantara mereka ada yang bertepuk
tangan segala. Suasana yang hiruk pikuk itu ter-
henti begitu tata cara permainan dibacakan.
"Peserta dinyatakan kalah, bila jatuh sam-
pai ke luar arena. Sedangkan putri Maya Swari
dinyatakan kalah bila peserta dapat menotoknya.
Peserta diperkenankan memakai senjatanya mas-
ing-masing. Pertandingan ini digelar selama dua
hari. Siapapun punya kesempatan untuk menco-
ba. Terkecuali mereka yang telah berumur diatas
tiga puluh tahun. Sekian...!"
Pembawa acara melompat turun dari pang-
gung. Posisinya digantikan oleh seorang pemuda
berkepala gundul, mukanya bopeng-bopeng me-
nakutkan. Hidungnya bengkok seperti paruh bu-
rung kakaktua dan badannya tegap berisi. Sebe-
lum bicara ia membungkuk hormat pada hadirin
dan pada Maya Swari.
"Aku murid pertama perguruan Alam ku-
bur. Bagus Indrajit namaku. Semoga Anda berke-
nan main-main denganku barang sejurus dua ju-
rus!"
Maya Swari tersenyum, namun hatinya
mendongkol karena lawan yang dihadapinya
mempunyai tampang begitu buruk. Dalam hati ia
bertekad ingin secepatnya menjatuhkan laki-laki
itu.
"Silahkan saudara!"
Dengan tenangnya Maya Swari memperha-
tikan setiap gerakan Bagus Indrajit. Dimatanya
pemuda ini ternyata memang memiliki tenaga
yang cukup besar, gerakannya lincah dan setiap
serangan yang dilancarkannya terarah pada ba-
gian-bagian yang sangat berbahaya. Tidak salah
ketika itu si pemuda telah mempergunakan jurus
'Semilir Senja Dalam Sepi'. Ini merupakan jurus
tingkat kedua yang pernah diajarkan oleh gu-
runya Bageng Jaliteng. Rupanya ia sadar bahwa
Maya Swari merupakan anak seorang tokoh besar
rimba persilatan. Sehingga ia tidak mau mere-
mehkan lawannya. Sebaliknya Maya Swari sendiri
hanya dengan mengandalkan ilmu mengentengi
tubuh yang sudah mencapai tarap sempurna
tampak berkelebat menghindari setiap serangan
yang datang tidak ubahnya seperti burung walet
yang menghindari tetesan air hujan. Hanya dalam
waktu singkat lima jurus telah terlewati. Keringat
telah membasahi sekujur tubuh Bagus Indrajit.
Namun sampai sejauh itu ia belum berhasil men-
jatuhkan lawannya. Jangankan menjatuhkan,
menyentuh salah satu pakaian lawan saja ia tidak
mampu.
Suara-suara sumbang mulai terdengar.
Maya Swari semakin lama semakin cepat dalam
menghindar. Disatu kesempatan dengan diawali
teriakan melengking tinggi. Gadis cantik ini me-
nerjang ke depan. Tendangan kilat dilakukannya
disusul dengan pukulan beruntun. Tendangan itu
dapat dihindari oleh Bagus Indrajit. Bahkan pu-
kulan yang dilepaskan oleh Maya dapat dielak-
kannya. Tapi ketika Maya meneruskannya dengan
tendangan susulan. Pemuda ini jadi terdesak.
Wuuk!
Buuk! Buuk!
"Wuaakh...!" Bagus Indrajit terpelanting
dan jatuh ke bawah panggung tanpa mampu
mempertahankan diri. Seketika terdengarlah ge-
muruh suara hadirin mengeluk-elukan Maya
Swari.
Dalam pada itu dari bawah panggung me-
lesat seorang pemuda berompi cokelat. Wajahnya
cukup lumayan. Sebagaimana yang dilakukan la
wan terdahulu, kini pemuda berompi cokelat in-
ipun menjura hormat setelah itu tanpa basa basi
langsung menyerang dengan mempergunakan se-
pasang pedang pendek. Keadaan tentu semakin
bertambah seru, sedangkan Suro Blondo yang
menyaksikan pertandingan itu hanya geleng-
geleng kepala.
Sejenak mari kita tinggalkan pertarungan
diatas panggung itu. Kita lihat apa yang terjadi di
jalan utama menuju tempat keramaian itu.
LIMA
"Berhenti...!" salah seorang petugas pene-
rima undangan tiba-tiba membentak garang. La-
ki-laki gemuk luar biasa dan laki-laki kurus
nggak ketulungan terpaksa menghentikan lang-
kahnya. Dengan cepat dua orang penerima tamu
yang bertugas digerbang utama datang meng-
hampiri.
"Tunjukkan bendera undangan pada kami!"
kata salah seorang diantaranya. Gajah Gemuk
dan Gajah Kurus saling pandang. Lalu dua-dua
tersenyum.
"Undangan itu terpaksa kami buang kare-
na ada orang-orang tertentu yang menghendaki
nyawa kami. Bukankah begitu adik Gajah Ku-
rus?" Gajah Gemuk kemudian memberi isyarat
pada adiknya. Dengan gerakan cepat dan tidak
terduga-duga, tiba-tiba Gajah Kurus menotok
urat gerak di tubuh penerima tamu sehingga
membuat kedua pemuda itu menjadi kaku tidak
mampu bergerak-gerak lagi.
"Ha ha ha...!"Begini lebih baik bagi kalian!"
kata Gajah Gemuk. "Bagaimana Adikku?"
"Kalau sudah tidak ada aral melintang, se-
baiknya kita naik ke gunung Pangrangko seka-
rang juga." desah Gajah Kurus.
"Mari...!"
Kedua tokoh aliran lurus ini kemudian me-
lanjutkan perjalanannya. Karena jalan yang akan
mereka lewati selalu dijaga ketat oleh anak buah
Diraja Penghulu Iblis. Maka Gajah Gemuk dan
Gajah Kurus terpaksa bekerja keras merobohkan
orang-orang itu tanpa membunuhnya.
Ternyata mereka berhasil menyusup juga.
Karena mereka ini bukan termasuk orang-orang
yang diundang. Mau tak mau mereka terpaksa
menyaksikan adu ketangkasan itu dari sebuah
tempat bersembunyi tidak jauh dari panggung.
"Banyak juga orang-orang yang datang un-
tuk mengikuti acara pemilihan calon suami ini,
Kakang."
"Diraja Iblis memang mempunyai seorang
putri yang aneh. Kalau cuma untuk menentukan
siapa suaminya. Mengapa harus orang yang me-
miliki kepandaian silat tinggi dan dapat menga-
lahkannya. Tokh diatas ranjang nanti ia tetap
akan kalah dan selalu berada di bawah. Kurasa
faktor yang terpenting bukan itu adikku. Siapa
tahu ia punya niat untuk mengumpulkan seluruh
orang-orang persilatan agar sudi bergabung den-
gan mereka."
"Bagaimana Kakang bisa beranggapan se-
perti itu?" tanya Gajah Kurus sambil terus me-
mantau pertarungan yang sedang berlangsung di-
atas panggung antara Maya Swari dengan seorang
pemuda berbaju putih bersenjata kampak.
"Dalamnya laut dapat diduga, dalamnya
hati para iblis siapa yang tahu?"
Gajah Kurus menganggukkan kepala.
"Urusan kita kemari hanyalah untuk men-
gambil ular Kayangan yang telah dicuri oleh Buto
Terenggi. Apakah kita akan mencampuri urusan
Raka Tendra?"
"Tergantung. Kalau ini menyangkut urusan
rimba persilatan dan mengancam kaum golongan
putih. Masa' kita hanya menjadi penonton saja.
Coba sekarang perhatikan ke bawah pohon itu!"
"Ya... aku sudah melihatnya. Seorang pe-
muda berambut hitam kemerahan berbaju biru
itu kan?"
"Betul. Ia bukan bergabung sebagaimana
undangan lainnya, dia malah berkumpul dengan
kuda. Tampangnya tolol kekanak-kanakan, apa-
kah kau tidak tertarik untuk mengetahuinya apa
sesungguhnya yang ia cari di tempat ini...?"
"Tampangnya tolol begitu, apakah dia bu-
kan anggota para iblis?" Gajah Kurus tampak me-
ragu.
"Hmm, tatapan matanya begitu lain. Aku
yakin dia bukan undangan Diraja Penghulu Iblis.
Tapi sebaiknya kita lihat apa yang akan dilaku-
kannya." Gajah Kurus mengangguk setuju.
Sementara itu diatas panggung Pibu, kini
Maya Swari telah berhadapan dengan seorang
pemuda lain bertelanjang dadanya. Badannya ke-
kar berotot. Kulitnya hitam legam macam pantat
kuali. Ia menjura hormat sebelum memperkenal-
kan diri.
"Nisanak. Aku Pito Lukito ingin minta pe-
tunjukmu!"
"Katakan dari mana asal usulmu!"
"Aku dari tanah seberang, tidak punya
guru...!"
"Hmm, majulah!"
"Heaaa...!"
Diawali dengan suara bentakan keras
menggelegar, Pito Lukito yang sudah melihat ke-
handalan lawannya ini langsung melancarkan se-
rangan-serangan yang mematikan. Sungguhpun
pemuda ini mengaku tidak pernah berguru, tapi
serangan-serangan yang dilancarkannya cukup
dahsyat dan terarah. Maya Swari menyadari ke-
nyataan ini. Tanpa mengenal rasa lelah setelah
menjatuhkan sepuluh lawan terdahulu kini ia be-
rusaha merangsak dan menembus pertahanan
lawannya.
Perlu diketahui ketika mengalahkan sepu-
luh lawannya tadi. Tidak seorangpun yang mam-
pu menyentuh badannya. Kini dengan senjatanya
berbentuk sebuah celurit ia merangsa dengan ga-
nasnya. Angin serangan menderu-deru. Sungguhpun begitu dengan kecepatan sulit diikuti ka-
sat mata, Maya Swari masih sempat menghajar
perut Pito Lukito dengan satu tendangan keras.
Deek!
Wees!
Pito Lukito terjajar tapi tidak sampai keluar
dari kalangan pertempuran. Tepuk sorai hadirin
terdengar. Tapi hanya sesaat, karena mereka se-
gera melihat bahwa pita biru pengikat rambut
Maya Swari kena ditebas putus. Gadis itu sempat
ciut nyalinya. Buru-buru ia merapikan rambut-
nya yang tergerai.
"Bukan main!" Raka Tendra, Buto Terenggi
dan Nyanyuk Pingitan berseru memuji.
Dalam pada itu Maya Swari telah bergerak
lagi. Tubuhnya mencelat ke depan jemari tangan
terkembang mencengkeram batok kepala. Se-
dangkan kaki menendang kearah lambung.
Gerakan ini dikenal dengan jurus
'Memagut Bisa Mencabut Kepala'. Tidak semba-
rang orang dapat menghindar dari kematian jika
tidak berpengalaman benar dalam menghindar.
"Huup! Heaa...!"
Pito Lukito rupanya sadar benar akan hal
ini. Ia miringkan setengah badannya, celurit ia
goyang ke kiri dan menghantam ke kanan. Ru-
panya serangan dahsyat ini hanya tipuan saja.
Ketika Pito Lukito membalasnya dengan tipuan
pula. Ia malah tertipu mentah-mentah. Benar
lambungnya dapat diselamatkan. Tapi kepalanya
yang gondrong berhasil dicengkeram oleh Maya
Swari. Dengan kekuatannya yang tidak terduga-
duga diputarnya Pito Lukito dengan kaki terayun
di udara. Dalam keadaan berputar seperti itu ia
hadiahkan satu pukulan ke bagian tengkuk.
Dhakk...!
"Waaakh...!"
Mulut Pito Lukito menyembur darah. den-
gan keadaan setengah mampus tubuhnya dilem-
parkan keluar panggung. Pemuda ini jatuh tergul-
ing-guling dibawah panggung dalam keadaan se-
karat. Seruan memuji terdengar. Dalam pada itu
terdengar suara seseorang yang begitu lantang.
"Putri Diraja memang hebat. Sayang tidak
ada lawan yang tangguh. Semua cap lonceng dis-
ini jadi pecundang, huh sungguh memalukan!"
ucapan bernada mengejek ini tentu mengundang
perhatian setiap orang. Tidak terkecuali tuan ru-
mah Diraja Penghulu Iblis.
Mereka segera mencari-cari asal datangnya
suara. Maka terlihatlah oleh mereka seorang pe-
muda berbaju biru duduk ongkang-ongkang di-
bawah pohon sambil mengelus-elus pantat kuda.
Buto Terenggi berbisik pada Raka Tendra.
"Bocah tolol itulah yang tadi bicara!"
"Sebaiknya suruh dia maju ke panggung!"
balas Raka Tendra sambil menganggukkan kepa-
la.
Buto Terenggi maju menghampiri Suro
Blondo. Di tempat persembunyiannya Gajah Ge-
muk berbisik pada Gajah Kurus.
"Bocah itu lancang sekali mulutnya. Tidak
tahukah dia sedang berada di sarang macan yang
sedang berpesta?"
"Kita lihat apakah dia punya kepandaian?"
Gajah Kurus menimpali.
Sementara Buto Terenggi telah datang
menghampiri.
"Kau yang bicara tadi, bocah?"
Suro Blondo garuk-garuk kepala.
"Apakah kau merasa punya kemampuan
sehingga berani menghina orang lain...?"
"Aku tidak tahu. Kulihat putri itu hebat
bukan main. Tapi apa gunanya membuat pang-
gung lawakan yang tidak lucu, kalau orang yang
bermain diatasnya hanya orang-orang seperti ba-
dut!" kata pendekar Blo'on sambil tersenyum-
senyum.
Merah wajah Buto Terenggi seketika. Ra-
hangnya terkatup rapat. Ia pun kemudian meng-
geram marah.
"Jika kau merasa punya kebiasaan menga-
pa tidak cepat naik keatas panggung?" bentaknya
berang.
"Aku baru akan melakukannya!" ujar si
pemuda.
Karena merasa tidak sabar. Datuk Mam-
bang Pitoka langsung menyentakkan tangan pen-
dekar Blo'on. Tubuh si pemuda ini langsung me-
layang hingga membuatnya jatuh terduduk diatas
panggung. Semua orang berdecak kagum melihat
besarnya tenaga yang dimiliki oleh Buto Terenggi.
Tapi mereka segera maklum setelah mengetahui
siapa orangnya.
"Lihatlah, orang yang mencuri ular-ular ki-
ta ada disitu. Apakah kita gebuk sekarang?"
"Jangan adik Kurus. Kita harus melihat si-
tuasi, naluriku mengatakan akan terjadi huru ha-
ra disini." kata Gajah Gemuk di tempat persem-
bunyiannya.
Sementara itu Ratu Penyair Tujuh Bayan-
gan juga sudah berada di tempat keramaian.
Hanya ia yang datang bersama Dewi Bulan senga-
ja bersembunyi diatas pohon. Sungguhpun ia da-
tang dengan membawa undangan, tapi kecuri-
gaannya mulai timbul ketika melihat para petugas
penerima tamu tewas dalam keadaan tertotok.
Kecurigaan Ratu Penyair Tujuh Bayangan sema-
kin bertambah kuat melihat orang-orang yang te-
was itu pertama tentunya dalam keadaan terto-
tok, baru sejam kemudian dibunuh. Jelas antara
si penotok dengan si pembunuh merupakan orang
yang berlainan.
Kini diatas pohon itu Ratu Penyair dan De-
wi Bulan yang tertotok urat gerak dan suaranya
dapat menyaksikan ke tengah-tengah panggung
tanpa ada seorangpun yang melihat mereka. Dewi
Bulan yang tidak mampu bicara itu tentu saja
terkesiap melihat Suro Blondo terlempar ke atas
panggung. Sungguhpun ia melihat orang lain
yang melemparkannya. Artinya tetap sama saja,
jika pendekar Blo'on yang memenangkan pertan-
dingan ini ia berhak memperistri Maya Swari.
Tanpa terasa jantung Dewi Bulan berdetak ken
cang dan wajahnya pun bersemu merah.
Dibelakangnya Ratu Penyair Tujuh Bayan-
gan yang melihat kejadian ini hanya tersenyum-
senyum saja.
"Pemuda itu meskipun tampangnya tolol
kekanak-kanakan, ganteng bukan?" sindirnya
kemudian. Untung Dewi Bulan tidak dapat bicara,
kalau tidak ia pasti sudah menyemburnya dengan
caci maki.
Diatas panggung Suro Blondo dengan ter-
pincang-pincang sudah bangkit berdiri. Sesung-
guhnya ia tidak kekurangan sesuatu apa. Ketika
ia dilemparkan tadi ia bahkan telah mengerahkan
tenaga dalam untuk melindungi badannya dari
pengaruh benturan. Tapi karena kini ia berada di
tengah-tengah orang-orang berkepandaian tinggi
dan terdiri dari para tokoh sesat pula. Mau tidak
mau ia mengambil sikap seperti orang yang tidak
punya kepandaian sama sekali.
"Bicaramu selangit, seakan kau mempu-
nyai kesaktian segudang." dengus Maya Swari.
Rupanya setelah melihat ketampanan si pemuda
yang sangat lain dari lainnya, gadis ini merasa
tertarik juga.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mela-
wanmu, Nisanak!" kata si pemuda, lalu menyeka
keringat yang mengalir dikeningnya.
"Huh... siapa sudi memaafkan kau. Terlan-
jur kau naik kepanggung ini. Kau mau tidak mau,
suka tidak suka harus menerima gebukanku!" ka-
ta Maya Swari. Dan entah mengapa kini ia punya
perhatian khusus pada pemuda berambut hitam
kemerah-merahan ini.
ENAM
"Baiklah. Kuterima gebukanmu tapi jangan
kuat-kuat!" Pendekar Blo'on menyeringai. Ini
membuat Maya Swari menjadi mangkal. Cepat ia
menggeser langkahnya kesamping kiri. Kaki de-
pan ditekuk, sementara tangan terkembang di
depan dada. Jelas sekali Raka Tendra mengetahui
bahwa putrinya mengerahkan salah satu jurus
yang sangat berbahaya. Padahal pemuda itu
sungguhpun anaknya mempergunakan jurus bi-
asa belum tentu lawan dapat menghindarinya.
Raka Tendra segera dapat mengambil kesimpulan
bahwa anaknya memang bermaksud menghabisi
lawannya.
"Yeaa...!"
Maya Swari melompat ke depan. Tangan-
nya terkembang menghantam ke dada. Cepat bu-
kan main gerakan ini sehingga orangpun dapat
membayangkan dengan sekali pukul pemuda be-
rambut hitam kemerahan ini roboh dan paling ti-
dak terluka dalam cukup parah.
"Jangan kelewat kejam...!" desis Suro Blon-
do lalu pencongkan mulutnya. Setelah itu ia me-
lompat ke samping. Ia pergunakan jurus Kera pu-
tih Memilah Kutu. Gerakan menghindar yang di-
lakukannya terkesan asal jadi dan sembarangan.
Tubuhnya terhuyung ke depan, ketika hantaman
tangan lawan datang ia tarik ke kiri, lalu ter-
huyung pula ke kanan. Sedangkan kaki dengan
lincahnya melompat-lompat lalu....
Wuus!
Satu liukan indah dilakukannya. Sehingga
serangan beruntun Maya Swari mengenai sasaran
kosong. Para hadirin terlebih-lebih Raka Tendra
tertegun. Jurus serta serangan anaknya itu ter-
kenal cepat dan tidak pernah meleset. Tapi aneh,
jika kali ini lawan dengan gerakan yang kacau
dapat menghindari serangan itu.
Maya Swari kertakan rahangnya. Tangan
kiri diputarnya, lalu tangan kanan menghantam
ke bagian wajah lawan sedang kaki menendang ke
arah perut. Ini merupakan gerakan yang sulit di-
lakukan oleh orang lain secara sempurna. Seke-
jap ia melompat lalu lepaskan tendangan dan pu-
kulan secara beruntun. Sambil berjingkrak-
jingkrak Suro Blondo terpaksa melompat ke bela-
kang dan terus ke belakang. Orang memperkira-
kan sebentar lagi pemuda bertampang tolol keka-
nak-kanakan ini pasti jatuh dari panggung. Tapi
siapa sangka begitu sampai di ujung panggung ia
bersalto sebanyak tiga kali. Bahkan ia masih
sempat pula melakukan serangan balasan.
Bet!?
Tangannya melayang mencakar ubun-ubun
lawan. Maya Swari terpaksa berguling-guling se-
lamatkan kepala.
"Ha ha ha...!" Pendekar Blo'on tertawa nga
kak. "Hati-hati, Nisanak!"
"Jangan bangga! Heyaa...!" Maya Swari
sambil berteriak melompat berdiri tangannya
menghantam lutut si pemuda. Karena serangan
itu bertubi-tubi dan penuh variasi. Suro Blondo
kali ini terpaksa melompat lagi, tangan menghan-
tam kiri kanan dan depan. Ia berjongkok dan se-
perti seekor monyet berjingkrak-jingkrak ia me-
layani serangan lawannya.
Yang aneh dari serangan balasan yang di-
lakukan kali ini adalah setiap menyerang dari
mulutnya keluar suara raungan seperti suara hi-
ruk pikuk monyet di hutan. Suara ini membawa
pengaruh tidak ringan, karena gerakan silat serta
konsentrasi lawan jadi terpecah-pecah.
"Hiiik!" Maya Swari rupanya segera menya-
dari apa yang harus dilakukannya untuk menghi-
langkan pengaruh suara pendekar Blo'on. Sehing-
ga ia berteriak keras sekali. Pertarungan itu se-
makin lama berlangsung semakin seru. Semua
pihak berdecak kagum. Termasuk juga orang-
orang yang bersembunyi di balik pohon maupun
yang diatas pohon.
"Anak itu tampangnya tolol dan kekanak-
kanakan. Tapi siapa sangka ia mempunyai ilmu
silat yang sangat langka." komentar Buto Terenggi
seakan memuji.
"Aku seperti pernah mengenal jurus-jurus
aneh seperti itu. Tapi aku lupa kapan dan dima-
na." Raka Tendra menimpali.
"Tenaga dalamnya berada diatas tenaga da
lam Maya Swari" Nyanyuk Pingitan buka suara.
"Sayang kita tidak tahu dia berasal dari go-
longan mana!"
"Kita lihat dulu apakah ia mampu mengha-
dapi ilmu pedang putriku. Jika dia lolos dari ke-
matian. Nanti kita dapat bertanya darimana asal
pemuda itu."
Sementara itu Gajah Gemuk dan Gajah
Kurus juga sedang berembuk dan membicarakan
Pendekar Blo'on.
"Kurasa di kolong langit ini hanya Penghu-
lu Siluman Kera Putih Batara Surya saja yang
memiliki ilmu kera semacam ini. Tapi apakah kau
yakin dia muridnya Batara Surya?"
"Aku kurang tahu, Kakang. Menurut apa
yang kudengar Batara Surya tidak pernah me-
mungut seorang murid pun. Ia lebih suka ber-
kumpul dengan monyet-monyet siluman kaum-
nya."
"Tapi... ah, ini lebih gila lagi. Lihatlah jurus
yang dimainkannya itu. Lima puluh tahun yang
lalu aku seperti pernah melihat jurus yang sangat
kacau sebagaimana yang dimainkan oleh pemuda
itu. Tidak! Jurus ini lebih dahsyat dari jurus-
jurus kera putih." Bantahnya sendiri.
"Kacau balau? Bukankah jurus itu hanya
dimiliki oleh Malaikat Berambut Api?"
Gajah Gemuk manggut-manggut. "Benar...
aku baru ingat jurus yang sekarang dimainkan
oleh pemuda itu sama persis dengan jurus Kacau
Balau ciptaan Malaikat Berambut Api. Tapi apa
hubungannya? Apakah dia muridnya? Konon Ma-
laikat Berambut Api manusia sakti mandraguna
itu tinggal di Pulau Seribu Satu Malam dan tidak
punya seorang murid pun."
"Ya... dan gadis itu walaupun kini bersenja-
ta pedang mungkin tidak sampai lima jurus di-
muka segera menjadi pecundang!" kata Gajah
Gemuk menimpali.
Apa yang dikatakan oleh Gajah Kurus me-
mang bukan hanya sekedar bualan saja. Sung-
guhpun Maya Swari telah menggerakkan jurus
pedang yang paling sangat diandalkannya. Hingga
sejauh itu ia masih belum dapat menciderai la-
wannya. Jangankan melukainya, sedangkan me-
robek pakaian si pemuda saja ia tidak mampu.
Ketika Suro Blondo melancarkan serangan
balik dengan perpaduan dua jurus, yaitu jurus
Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau dan Jurus
Kacau Balau. Maka Maya Swari segera terdesak.
Gadis cantik ini semakin memperhebat gerakan
pedangnya dan juga melipat gandakan tenaga da-
lamnya. Sejauh itu ia masih belum mampu me-
nembus pertahanan lawannya. Bahkan setiap se-
rangan-serangan yang dilancarkannya selalu ter-
tahan. Permainan pedangnya terbatas dan selalu
membalik nyaris mengenai diri sendiri.
Diatas pohon Dewi Bulan yang turut me-
nyaksikan pertempuran itu diam-diam mulai ce-
mas. Ia bukan mengkhawatirkan keselamatan
pemuda itu, tapi jauh di lubuk hatinya jika Pen-
dekar Blo'on dapat memenangkan pertandingan
ini berarti dia akan menjadi suami Maya Swari.
Siapa yang tidak sedih melihat pemuda yang di-
cintainya secara diam-diam menjadi suami orang
lain. Secara kebetulan itupun tengah dipikirkan
oleh Suro Blondo. Kalau dia mau tentu sejak tadi
Maya Swari dapat dijatuhkannya. Tapi konsek-
wensinya ia harus menjadi suami Maya Swari.
Padahal inilah yang tidak dikehendakinya. Bukan
karena Maya Swari jelek rupa. Dibandingkan De-
wi Bulan, Kecantikan Maya Swari tidak ubahnya
bagai pinang di belah kampak. Artinya sama-
sama cantik dan menawan. Mengingat Maya Swa-
ri merupakan putri dari tokoh sesat, hal ini tidak
sejalan dengan jalan hidup yang ditempuhnya.
Lagipula ia masih harus mencari musuh besar
orang tuanya yang hingga kini belum ketahuan
dimana rimbanya.
Sekarang ia harus mencari jalan lain, pal-
ing tidak ia harus mengalah. Tapi jika itu dilaku-
kannya, ia pasti mati ditangan si gadis yang begi-
tu ganas. Dalam keadaan bingung begitu rupa,
serangan-serangan Maya Swari semakin bertam-
bah gencar kembali. Tokh sebagai orang berpen-
galaman Diraja Penghulu Iblis, Buto Terenggi dan
Nyanyuk Pingitan sudah dapat mengetahui bahwa
pemuda berambut hitam kemerahan itu kini sen-
gaja mengalah. Dalam arti sebenarnya ia sudah
memenangkan pertarungan sejak beberapa jurus
tadi. Apapun alasannya, pemuda itu sudah pan-
tas menjadi pendamping Maya Swari sebagaimana
isyarat gadis itu kepada ayahnya.
Celakalah bagi Suro Blondo karena usa-
hanya ini tidak mendatangkan hasil. Ketika Diraja
Penghulu Iblis bertepuk tangan dan angkat ben-
dera putih. Maka Maya Swari melompat mundur.
Tidak lama penguasa gunung Pangrangko ini me-
lompat ke atas panggung, memandang untuk be-
berapa saat lamanya, lalu tersenyum ditujukan
pada Maya Swari anaknya.
"Sesungguhnya kau telah kalah, Anakku.
Pemuda ini pantas menjadi pendampingmu. Ba-
gaimana apakah kau mau mungkir?" pertanyaan
ini membuat wajah Maya Swari yang putih susu
berubah memerah seperti tomat masak. Ia sendiri
harus mengakui bahwa Suro Blondo memang he-
bat, kalau dia mau mungkin sejak tadi ia sudah
menjadi pecundang. Dihatinya ia beranggapan
bahwa pemuda berambut hitam kemerahan itu
sengaja mengalah karena takut kepada orang tu-
anya. Kini setelah ayahnya naik ke atas panggung
maka semakin bertambah jelaslah persoalannya.
"Siapakah namamu, anak muda?" tanya
Raka Tendra dengan suara keras.
Suro Blondo menjadi bingung sebentar, la-
lu garuk-garuk kepala. Mungkinkah ia harus ber-
terus terang? Sedangkan ia berhadapan dengan
orang-orang yang tidak satu golongan.
"Jika keadaan sangat memaksamu untuk
berdusta karena kau merasa ragu menilai kebai-
kan orang lain. Berbohongpun tidak akan ada sa-
lahnya!" kata-kata yang pernah diucapkan oleh
gurunya seakan mengiang kembali di telinganya.
"Mengapa kau diam?"
Pertanyaan ini membuat si pemuda tersen-
tak kaget.
"Na.. namaku, namaku Pangeran Lin-
glung." jawab si pemuda sekenanya. Raka Tendra
kerutkan kening sedangkan Maya Swari sebagai-
mana tamu lainnya ikut tertawa. Dibalik tempat
persembunyiannya Gajah Gemuk bicara
"Bocah itu ternyata hanya orang gendeng
yang memiliki kepandaian tinggi."
"Tenanglah, kita lihat saja apa yang akan
terjadi!" Gajah Kurus Krempeng menimpali.
Pembicaraan diatas panggung terus ber-
langsung.
"Apakah kau tidak berdusta?"
"Tidak."
"Siapa gurumu?" tanya Raka Tendra den-
gan sorot mata penuh selidik.
Suro Blondo nyengir lagi. "Aku tidak per-
nah berguru. Aku hanya melihat gerak gambar di-
tebing batu lalu kutiru."
"Benarkah begitu?"
"Ya..."
"Apa pekerjaanmu?"
"Sejak jadi yatim piatu aku menggembala
kuda milik orang kaya di Banyuwangi. Karena
kuda-kuda itu beranak terus, aku kewalahan dan
lari hingga ke sini...." Jawaban Suro Blondo yang
tenang itu membuat Raka Tendra harus percaya,
walau dihatinya curiga. Sebaliknya para undan-
gan tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawa
ban yang sangat polos itu.
"Tahukah kau bahwa kau memenangkan
pertandingan ini?"
Suro Blondo menggeleng.
"Kau menang, berarti kau berhak menjadi
pendamping putriku. Kurasa Maya Swari setuju
bukankah begitu?" Raka Tendra menoleh pada
putrinya. Maya Swari menundukkan kepala malu-
malu, padahal memang setuju.
"Tapi... ee... bagaimana ini...!"
"Menolak pinangan iblis berarti mati. Tidak
sadarkah kau bahwa ini merupakan satu kehor-
matan bagimu!" ketus sekali suara Diraja Penghu-
lu Iblis.
Sementara di atas pohon Dewi Bulan yang
dalam keadaan tertotok dan terus didampingi oleh
Ratu Penyair Tujuh Bayangan segera palingkan
mukanya ke arah lain. Tapi satu permintaan Suro
Blondo yang diajukan kepada Raka Tendra paling
tidak membuat hatinya lega.
"Kehormatan itu dapat kuterima. tapi aku
punya satu syarat. Jika syaratku diterima tentu
bukan halangan bagiku untuk menjadi suami pu-
tri yang cantik ini."
"Apakah syaratmu?"
"Karena aku seorang Pangeran, walaupun
hanya Pangeran Linglung. Aku punya pembantu
paling setia. Kelak dia akan datang sendiri bila
melihat majikannya ada disini."
"Ha ha ha...! Jangankan hanya satu ka-
cung, sepuluh kacung pun jika kau punya tidak
mengapa kalau kau mau membawanya kemari."
"Terimakasih-terimakasih...!"
"Jadi kau telah setuju untuk menjadi man-
tuku?"
Pendekar Blo'on tersenyum-senyum, lalu
anggukan kepala. Melihat ini tentu Maya Swari gi-
rang bukan main. Sebaliknya Gajah Gemuk dan
Gajah Krempeng memaki-maki.
"Anak tolol! Kepandaian tinggi. tapi mau
menjadi menantu iblis. Dasar edan!"
"Tenanglah Adik Krempeng. Kurasa ia
punya tujuan tertentu. Kita lihat saja." kata Gajah
Gemuk.
Di atas panggung Raka Tendra mulai men-
gumumkan pertunangan Maya Swari dengan
Pendekar Blo'on yang mengaku sebagai Pangeran
Linglung. Sementara itu Buto Terenggi dan Nya-
nyuk pingitan sedang berbincang-bincang dengan
seorang tamu yang baru saja datang. Tamu itu
memiliki badan agak bungkuk, matanya cuma
sebelah, wajahnya mengerikan karena membusuk
disana sini. Melihat cara Buto Terenggi yang ber-
mata kecil seperti ikan lele itu menghormat. Jelas
tamu yang datang bukan tamu sembarangan. Dia
tidak lain Si Bungkuk Lima alias Datuk Alang Si-
tepu dari gunung Sibayak.
"Maaf, kami terlambat menyambut tamu
yang datang dari jauh. Silakan mengambil tempat
Raja Penyihir. Sebentar lagi pesta besar segera di-
adakan!" Nyanyuk Pingitan mempersilahkan ma-
nusia bungkuk bau bangkai ini mengambil tempat tidak jauh dari panggung.
"Hmm, Inikah orangnya yang akan menjadi
mantu Raka Tendra?" tanya Datuk Alang Sitepu
sambil tersenyum. Tapi senyumnya itu dimata
orang lain tidak ubahnya seperti seringai mena-
kutkan. Dan bibir itu sendiri seperti hendak tang-
gal ketika ia sedang bicara.
"Benar Datuk Alang." yang menjawab ada-
lah Buto Terenggi.
"Hanya seseorang badut mengapa harus di-
jadikan mantu...?" Datuk Alang yang sangat di-
kenal di pulau Jawa karena ilmu sihirnya yang
hebat-hebat, meludahkan air sirihnya ke tanah.
Rumput yang terkena air ludah laki-laki ini lang-
sung hangus menebar asap berbau busuk sekali.
"Lagi pula pemuda itu belum mampu menotok ca-
lon pengantin perempuan. Mengapa adu kepan-
daian dihentikan?" Datuk Alang Sitepu protes.
"Pemuda itu mungkin takut melakukan-
nya, Datuk. Mungkin pula ini caranya dalam
menghormati calon istrinya. Ia tidak mau mem-
permalukan calon isteri di depan orang banyak."
Pembicaraan antar tokoh ini terus berlang-
sung. Sementara Maya Swari dan Suro Blondo te-
lah digiring meninggalkan panggung untuk dirias
di kamar pengantin.
TUJUH
Pada saat yang sama Satu Penyair Tujuh
Bayangan sudah melepaskan totokan pada bagian
jalan suara Dewi Bulan. Begitu terbebas dari to-
tokan gadis ini langsung bicara.
"Sebenarnya aku sudah memenuhi keingi-
nanmu. Sekarang bebaskan aku! Pemuda itu per-
lu ditolong. Aku tidak suka ia kawin dengan anak
iblis!" semburnya.
Ratu Penyair Tujuh Bayangan tersenyum.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kulihat tata-
pan matamu dan kau menyukainya. Tapi
jangan khawatir aku pasti akan membantumu.
Kini niatku telah berubah setelah melihat Raja
Penyihir ada disini. Kurasa ada yang tidak beres
bakal terjadi!"
Dewi Bulan terkejut bukan main menden-
gar Ratu Penyair Tujuh Bayangan menyebut-
nyebut tentang ahli sihir.
"Nisanak, siapakah kau sesungguhnya.
Kau berdiri dipihak mana?"
"Di tengah-tengah. Iblis juga sahabatku,
walau tidak jarang aku juga berkawan dengan
orang-orang lurus. Tapi jangan takut. Aku paling
tidak bisa melihat kekejian." desah Ratu Penyair.
"Kudengar tadi pemuda itu menyebut ten-
tang kacung. Kalau kau bisa menyamar, sebaik-
nya menyamarlah sebagai kacung. Sementara aku
sendiri akan menyelidik apa yang tersembunyi di-
balik undangan merah ini!"
Tees! Tees!
Ratu Penyair Tujuh Bayangan membe-
baskan totokan Dewi Bulan. Sebelum berkelebat
pergi ia masih sempat berpesan.
"Hati-hati kau bertindak. Sekali langkahmu
tercium oleh mereka. Maka setiap jengkal tanah
disini akan mendapat pengawasan yang sangat
ketat dari anggota mereka!"
Dewi Bulan yang semula merasa curiga
atas kehadiran Ratu Penyair Tujuh Bayangan, ki-
ni hanya menganggukkan kepala. Secara diam-
diam ia meninggalkan pohon yang mereka jadikan
tempat bersembunyi sejak tadi.
Sementara itu sepasang mempelai telah
disandingkan. Dandanan Pendekar Blo'on sangat
lucu sekali. Tidak jauh dari kursi pengantin, para
hadirin kini sedang berpesta pora. Tidak lupa ular
Kayangan yang telah dimasak dengan cara khu-
sus disajikan. Bau arak wangi dan aneka roma
berbagai jenis makanan berbaur menjadi satu.
Kenyataan ini membuat Gajah Gemuk merasa
menjadi lapar seketika.
"Kita harus ikut mencicipi hidangan itu se-
kaligus menyelidik apakah ular-ular berkhasiat
milik kita telah menjadi hidangan ini!"
"Jangan...!" cegah Gajah Krempeng. "Aku
seperti mencium bau sesuatu yang sangat khas.
Kurasa inilah yang dinamakan Racun Pelumpuh
akal."
"Apa?" Gajah Gemuk belalakkan mata.
"Racun Pelumpuh Akal? Aku tahu kini. Bukankah
racun itu gunanya untuk menghilangkan akal se-
hat seseorang. Siapakah yang memakannya ia
akan menjadi patuh pada orang yang menguasainya. Tapi untuk apa Diraja Penghulu Iblis me-
lakukannya?"
"Kurasa ada rencana besar dibalik semua
ini. Jika orang-orang itu telah keracunan, tentu
mereka tidak ubahnya seperti orang bodoh. Mere-
ka akan menjadi penurut dan melakukan semua
perintah orang yang telah meracunnya. Dan ku-
rasa ini ada hubungannnya dengan ular Khayan-
gan milik kita yang dicuri oleh Buto Terenggi. Jika
ular-ular itu sekarang telah diolah dan dihidang-
kan, bukankah para undangan yang telah terkena
racun akan memiliki tenaga cukup besar untuk
membantu Diraja Penghulu Iblis. Tenaga mereka
yang berlipat ganda itu akan sangat berguna se-
kali. Tidak ada orang yang dapat menghentikan
mereka...!"
Gajah Krempeng bergidik seram.
"Aku hampir tidak percaya mereka punya
rencana besar. Rencana apa?" desis Gajah Ge-
muk.
"Itu gunanya jika kita mau menyelidik. Se-
belum kita pergi apakah kau melihat ada bayan-
gan berkelebat dari atas pohon tadi?"
"Aku tidak melihatnya, perhatianku selalu
tertuju pada pemuda itu."
"Sudahlah, sekarang sudah waktunya kita
bergerak!"
Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng kemu-
dian keluar dari tempat persembunyiannya. Ke-
mudian dengan mengendap-endap mereka mulai
mengitari bangunan besar itu dari belakang.
Tepat seperti yang dikatakan oleh Gajah
Krempeng. Para undangan yang terdiri dari tokoh-
tokoh aliran hitam ini setelah menyantap hidan-
gan tampak berubah lain. Tatapan mereka tam-
pak kosong, sementara keringat terus bercucuran
di kening dan tubuh mereka. Anehnya tidak seo-
rangpun diantara mereka yang berani bicara. Saat
itu hari sudah berubah senja. Matahari hanya
tinggal bayang-bayang merah yang menyeruak di
celah-celah dedaunan.
Suro Blondo yang duduk di samping Maya
Swari tentu saja merasa heran sekali melihat pe-
rubahan ini. Cuma ia tidak mau menanyakan pa-
da Maya Swari. Saat malam tiba, pengantin ma-
suk ke dalam kamar mereka. Sementara para un-
dangan sekarang malah bertindak menjadi pen-
gawal di luar bangunan yang cukup besar itu.
Kenyataan ini memang sangat mengherankan.
Bagaimana mungkin orang-orang yang mempu-
nyai kepandaian tinggi ini bisa takluk bahkan kini
seperti telah berubah menjadi para abdi yang pal-
ing setia pada Diraja Penghulu Iblis.
Hanya orang-orang yang mempunyai otak
cerdas saja yang tahu, bahwa Diraja Penghulu Ib-
lis telah mempergunakan cara yang paling halus
untuk membuat tokoh-tokoh golongan menjadi
tunduk padanya. Itulah kunci dari kehebatan
'Racun Pelumpuh Akal'. Melihat gelagat yang ti-
dak menguntungkan ini mulai bertindak dengan
sangat hati-hati. Sedikit banyak ia menjadi lega
juga ketika melihat seorang pengawal merangkap
murid Diraja Penghulu Iblis mengantar seorang
laki-laki berkumis tipis dengan tahi lalat di dagu
ke kamarnya. Walaupun sebenarnya Suro Blondo
merasa kaget atas kemunculan Dewi Bulan yang
tidak disangka-sangka ini. Tapi ia telah bertekad
untuk membicarakan masalah yang sedang diha-
dapinya. Ia lalu tertawa melihat sang kacung ini
yang sempat mendelik padanya.
"Ah.... Maya... inilah kacung yang kumak-
sudkan itu. Dia sangat setia dan jujur. Aku mau
saat ini ia mendampingi aku!"
"Aku tentu saja tidak keberatan, Kakang
Pangeran...!" Maya Swari memperhatikan kacung
yang berkumis tipis dan berpakaian kedodoran
ini. "Siapa namamu?"
"Margonda, Gusti Putri."
"Margonda nama yang cukup bagus. Tolong
sediakan hidangan buat kami malam ini, Margon-
da!" kata Maya Swari lembut. Dan sebenarnya wa-
laupun ia anak dedengkotnya para iblis Maya
Swari sebenarnya berhati lembut, polos dan pe-
nuh pengertian.
"Baik, segera hamba kerjakan." Margonda
alias Dewi Bulan berlalu meninggalkan ruangan
pengantin itu dengan dikawal oleh seorang pen-
gawal bersenjata tombak. Pengawalan ini sesung-
guhnya membuat Margonda tidak dapat bergerak
dengan leluasa. Apalagi sebelumnya ia telah men-
dapat kisikan dari Ratu Penyair Tujuh Bayangan
bahwa semua makanan disitu telah dibubuhi Ra-
cun Pelemah Akal. Apapun alasannya yang jelas
tuan rumah punya maksud-maksud yang tidak
baik. Ketika ia sampai di dapur tidak tahunya hi-
dangan itu untuk pengantin telah disediakan. Ja-
di Margonda hanya tinggal membawanya seka-
rang. Hidangan ini jelas tidak boleh dimakan oleh
Suro Blondo kalau ingin dirinya selamat. Tapi ba-
gaimana membuang nya dan menggantikannya
dengan hidangan lain. Sedangkan pengawal itu
terus mengawasi gerak geriknya.
Bagi Dewi Bulan alias Margonda sebenar-
nya tidak sulit untuk merobohkan seorang pen-
gawal. Tapi setiap sudut selalu dijaga oleh orang-
orang tertentu. Jika ia nekad membungkam pen-
gawal yang terus mengikutinya. Bukan mustahil
penyamarannya akan terbongkar. Dalam keadaan
bingung seperti itu tiba-tiba Dewi Bulan teringat
sesuatu. Ia menyelipkan sepotong ubi di tengah-
tengah nampan tanah. Di tengah-tengah poton-
gan ubi rebus itu ia susupkan dua butir pil ber-
warna putih. Dua obat mujarab pemberian gu-
runya ini bukan sembarang obat. Karena diambil
dari bisa ular merah dicampur ramuan lain.
Fungsinya akan melumpuhkan pengaruh racun
lainnya didalam tubuh seseorang setelah itu ra-
cun ular merah itu setelah bekerja tidak akan
membahayakan keselamatan jiwa yang mema-
kannya.
Tidak lama kemudian ia telah sampai kem-
bali di kamar pengantin. Maya Swari tentu saja
terheran-heran ketika melihat Suro Blondo me-
nyambar potongan ubi itu lalu memakannya dengan lahap.
"Aih... Kakang, mengapa makan ubi. Bu-
kankah hidangan lainnya cukup lezat?" tegurnya.
"Biasanya sebelum makan yang enak-enak
kacungku ini memang kuminta menyediakan se-
potong ubi. Kalau tidak manalah makanku la-
hap!"
Maya Swari yang sesungguhnya benar-
benar sangat mencintai Suro Blondo sejak pan-
dangan pertama langsung tersenyum. Dengan di-
bantu oleh Margonda ia meletakkan hidangan itu
diatas meja kecil. Sikap Maya Swari yang begitu
manja membuat Dewi Bulan selalu menundukkan
kepala.
Hidangan telah tersedia Margonda mening-
galkan ruangan pengantin. Ketika Suro Blondo
hendak mencicipi salah satu hidangan. Tiba-tiba
Maya Swari mencegahnya.
"Kakang sebaiknya makanan ini kita bu-
buhkan penyedap khusus." desah gadis itu. Tapi
diam-diam keningnya berkerut. Dalam aroma hi-
dangan dia seperti mencium bau Racun Pelemah
Akal. Siapa yang telah membubuhkannya? Sung-
guhpun ia kebal terhadap racun itu. Tapi bagai-
mana jika racun yang berbau harum sebagai
aroma masakan ini termakan oleh suaminya? Un-
tuk menghindari kecurigaan Suro Blondo ia ber-
pura-pura untuk membubuhkan penyedap khu-
sus. Padahal ia ingin membubuhkan penangkal
racun itu agar Suro Blondo terhindar dari bahaya.
Maya Swari menjadi curiga pada ayahnya. Jangan-jangan sang ayah sengaja meracuni Suro
Blondo. Tapi apa tujuannya?
Sementara itu Suro Blondo sudah menco-
mot salah satu masakan dan memakannya sebe-
lum Maya Swari membubuhkan penyedap seba-
gaimana yang dikatakannya tadi.
"Kakang mengapa dimakan?" tanya Maya
Swari dengan terkejut.
"Bukankah hidangan ini khusus disedia-
kan buatku?"
Mendengar ucapan Suro Blondo, gadis itu
jadi kehilangan kata-kata. Mereka pun makan
bersama-sama. Tentu saja setelah Maya Swari
membubuhkan menyedap berwarna merah di da-
lam botol. Selesai makan Maya Swari tidak lang-
sung tidur. Ia pamitan untuk bicara dengan
ayahnya sebentar. Ini kesempatan baik Dewi Bu-
lan untuk bicara dengan Suro Blondo.
"Aku benci melihat kau berdekatan dengan
gadis itu. Walaupun aku tahu kau hanya berpu-
ra-pura menjadi suaminya. Kesempatan itu tidak
akan kau dapatkan bila kau tidak makan obat di-
dalam ubi tadi. Tahukah kau bahwa hidangan ini
telah dibubuhi Racun Pelemah Akal?"
"Aku sudah tahu, tapi tidak tahu nama dan
jenis racunnya. Reaksi obat yang kau berikan su-
dah kurasakan sejak tadi. Bagaimana kau bisa
sampai kemari. Dan apa sesungguhnya rencana
Diraja Penghulu Iblis?"
"Yang tidak penting jangan ditanya dulu.
Yang jelas seseorang telah membawaku kemari
dan sekarang sedang menyelidik. Kurasa Diraja
Penghulu Iblis dan kawan-kawannya punya ren-
cana besar dan keji. Kuharap kau tidak tidur
dengan anak gadis itu malam ini!"
"Kau cemburu?" tanya si pemuda sambil
cengengesan.
Dewi Bulan merengut. "Jangan banyak
omong. Kau mempunyai kepandaian lebih tinggi
dariku. Sebaiknya kau mulai menyelidik sebagai-
mana yang dilakukan oleh kawanku!"
"Kalau begitu kau harus menyamar menja-
di aku sedangkan aku menggantikanmu!"
"Bagaimana dengan rambutku? Apakah
kau dapat menirunya?"
Dewi Bulan membuka penutup kepalanya.
Rambutnya yang tergerai dan berwarna hitam ki-
ni telah berwarna kemerah-merahan. Rupanya
sebelum masuk ke dalam ruangan pengantin ia
telah mewarnai rambutnya dengan sejenis daun
yang ditumbuk halus
Tanpa bicara lagi ia langsung merias wajah
Pendekar Blo'on. Cara kerjanya cekatan sekali.
Karena sesungguhnya Dewi Bulan sangat ahli da-
lam menyamar. Hanya sebentar Suro Blondo te-
lah berganti rupa seperti Morganda sang pelayan.
Sedangkan Dewi Bulan sendiri segera bertukar
pakaian dengan si pemuda. Karena pakaiannya
berlapis-lapis, tentu auratnya tidak terlihat. Tidak
sampai sepuluh menit Dewi Bulan telah berubah
seperti Suro Blondo pemuda ini berdecak kagum
atas keahlian yang dimiliki oleh Dewi Bulan.
"Bukan main. Kau hebat. sayang kini aku
harus menjadi seorang kacung!"
"Jangan cerewet!" kata Dewi Bulan ketus.
"Sekarang bukan saatnya bersenda gurau. Sekali
terbongkar, maka celakalah kita semua!"
Dewi Bulan yang telah menyaru sebagai
Suro Blondo ini segera menyuruh Pendekar Blo'on
yang telah bertukar menjadi Morganda sang ka-
cung keluar meninggalkan kamar. Ia sendiri ke-
mudian enak-enakan merebahkan tubuhnya yang
terasa penat diatas kasur empuk.
"Sialan. Balas dendam dia rupanya. Aku
hampir saja mendapatkan yang enak diatas enak.
Nggak tahunya sekarang harus menjadi kacung!"
Pemuda ini hampir saja menggaruk rambutnya.
Namun ketika ia teringat sedang berada dalam
penyamaran. Maka keinginannya itu diurungkan.
Tidak lama setelah melewati beberapa kamar yang
cukup banyak jumlahnya. Secara mengendap-
endap ia menembus kegelapan malam yang pekat.
Di sebuah ruangan pribadi, Maya Swari
rupanya pada saat yang bersamaan sedang ber-
debat dengan ayahnya. Gadis pengantin baru ini
memandang tajam pada sang ayah yang tampak
duduk tenang-tenang.
"Ayah... aku tidak menyangka ayah begini
tega!" Maya Swari terisak. "Pangeran Linglung
siapapun dia adalah pemuda pilihanku. Mengapa
ayah memberinya racun Penghilang Ingatan?"
"Tokh bukan kau yang ayah racuni. Ayah
hanya ingin membuat semua orang patuh dan
tunduk pada ayah, terkecuali tiga tokoh yang se-
dang menunggu di ruangan pertemuan."
"Apa tujuan Ayah yang sebenarnya?" tanya
Maya Swari heran.
"Ayah belum dapat mengatakannya,
meskipun pada anaknya sendiri. Yang jelas Ayah
curiga pada Pangeran Linglung."
"Apa yang Ayah curigai? Ia begitu lugu, po-
los dan bersahaja."
"Dunia ini penuh dengan tipu-tipu Anakku.
Kau tidak tahu karena kau belum matang benar.
Kalau ada apa-apa, sebaiknya bicarakan saja be-
sok. Ayah harus menjumpai mereka sebelum ke-
sempatan besar ini hilang!" Raka Tendra bangkit
berdiri. Tanpa menghiraukan kemarahan Maya
Swari ia meninggalkan sang anak termenung sen-
dirian.
Di dalam ruangan pertemuan pembicaraan
mulai berlangsung. Buto Terenggi, Nyanyuk Pingi-
tan dan Datuk Alang Sitepu dan Raka Tendra
berkumpul membentuk lingkaran.
"Jadi Prisma Permata itu telah dida-
patkan?" Yang bertanya adalah laki-laki hancur
sebelah bermata satu.
"Sudah. Aku yang telah mencurinya dari
Goa Darah!" jawab Nyanyuk Pingitan membang-
gakan diri. "Goa Darah yang sangat ditakuti itu
ternyata tidak ada apa-apanya. Kuakui memang
Prisma Permata yang konon mengandung kekua-
tan magis itu sempat merepotkan aku. Tapi ke-
nyataannya kau dapat mengatasinya."
"Kurasa gua itu sekarang sudah hancur.
Bukankah begitu, Nyanyuk Pingitan?" tanya Buto
Terenggi was-was.
"Ya... gua itu telah hancur karena kekua-
tan yang menjaganya sudah kuambil. Dengan
Prisma Permata di tangan kita, siapa lagi yang ti-
dak tunduk pada kita? Kita dapat mendirikan se-
buah kerajaan besar setelah kerajaan Majapahit
dan Sriwijaya. Hik hik hik!"
"Sungguhpun begitu masih ada bahaya lain
yang mengancam kita. Kita tidak boleh lengah!"
kata Raka Tendra.
"Apa itu?" Nyanyuk Pingitan dan Datuk
Alang Sitepu bertanya.
"Menurut yang kudengar. Konon Prisma
Kristal Permata itu sebenarnya adalah sebuah
kunci yang menentukan kebebasan setengah
anak manusia dan setengah anak jin. Dengan di-
bukanya Prisma Permata itu. Berarti Soma Sastra
si Manusia Merah terbebas dari hukuman Kyai
Tapa. Tidak seorangpun tahu bagaimana perangai
manusia setengah jin itu. Karena selama ini ia
memang tidak pernah muncul. Dan lagipula, jika
Goa Darah hancur. Pulau Jawa ini terancam
tenggelam dalam bahkan menjadi lautan lumpur
api. Ini adalah sebuah sumpah yang pernah ditu-
turkan oleh nenek moyangku dulu!"
"Tidak usah khawatir Diraja Penghulu Iblis.
Semua yang Anda dengar hanyalah dongeng. Jika
kerajaan telah kita bangun, siapa yang tidak tun-
duk pada kita?" desis Datuk Alang Sitepu. "Kau
punya Racun Pelemah Akal. percobaanmu terha-
dap para undangan saja telah terbukti. Jadi apa
lagi yang kau risaukan. Seratus datang seratus
tunduk dan patuh di bawah perintah. Kita semua
punya keahlian masing-masing. Jadi apa yang di-
takutkan?"
"Memang. Untuk lebih meyakinkan lagi.
Kurasa tidak ada salahnya sekarang ini Nyanyuk
Pingitan menunjukkan Prisma Kristal yang telah
Anda curi dari Goa Darah itu!"
"Jangan!" Datuk Alang Sitepu mencegah.
"Jika Prisma Permata itu sampai keluar dari kan-
tung kulit beruang milik Nyanyuk Pingitan. Keku-
atannya akan menyerang orang-orang disekeli-
lingnya. Terkecuali aku yang memegangnya."
Apa yang dikatakan oleh Datuk Alang itu
memang tidak dipungkiri oleh Nyanyuk Pingitan.
Sehingga tanpa merasa curiga lagi ia menyerah-
kannya pada raja Penyihir. Mata Datuk Alang
yang cuma sebelah itu terpejam, ia kemudian
membaca mantra hitam yang dimilikinya. Setelah
itu dengan tangan-tangan yang bergetar ia men-
geluarkan Prisma Kristal dari kantung kulit be-
ruang.
Begitu Prisma Kristal dikeluarkan. Maka
terpancarlah cahaya merah. Ini merupakan kea-
nehan tersendiri. Karena sebetulnya Prisma Per-
mata itu berwarna putih kemilau.
"Hanya sebentar aku dapat menahannya.
Apakah semua yang hadir disini telah puas melihatnya?"
"Cukuplah, Datuk!" kata Raka Tendra.
Datuk Alang Sitepu memasukkan kembali
Prisma Permata itu ke dalam kantungnya. Mereka
baru saja hendak melanjutkan pembicaraan keti-
ka secara tiba-tiba terdengar suara jerit kematian
diluar gedung itu.
DELAPAN
Tapi entah karena apa, atau mungkin pula
karena pengaruh kekuatan Prisma Kristal itu. Me-
reka yang berada di dalam ruangan pertemuan itu
sama sekali tidak bergerak. Malah terus melan-
jutkan pembicaraan. Dua bayangan yang ikut
mengintip pembicaraan mereka berkelebat menu-
ju arah yang berlawanan. Yang satu ke belakang
yang satunya lagi ke depan. Selain itu masih ada
lagi dua bayangan lainnya yang bergerak ke arah
bagian depan bangunan.
Apakah sesungguhnya yang telah terjadi?
Entah darimana datangnya sosok serba merah
dengan tinggi lima meter dan hanya memakai ko-
teka ini muncul begitu saja. Begitu datang ia
langsung membantai orang-orang yang bertugas
jaga malam. Kakinya menendang, tangan mence-
keram siapa saja yang terdekat dengannya.
Bila telah berada dalam genggamannya,
maka pengawal Diraja Penghulu Iblis ini langsung
dibantingnya. Korban mulai berjatuhan. Pasukan
pemanah yang berada di atas bangunan tidak
tinggal diam. Mereka melepaskan anak-anak pa-
nah kearah manusia merah ini. Tapi sungguh
sayang sekali. Manusia merah ini ternyata kebal
terhadap semua jenis senjata. Suro Blondo yang
telah menyamar sebagai Margonda melihat keja-
dian ini dengan mata melotot.
"Betul-betul edan. Apakah dia juga iblis da-
ri neraka? Tapi mengapa malah membunuh
orang-orang Diraja Penghulu Iblis?"
Di sudut lain Gajah Gemuk dan Gajah
Krempeng juga sama tercekat. Tapi sebagai tokoh
angkatan tua mereka langsung teringat sesuatu.
"Manusia merah itu bukankah anak raja
jin yang menitis di rahim istri Kyai Tapa?"
"Kau tidak salah Kakang. Ternyata kabar
yang pernah kita dengar dulu bukan dongengan
anak-anak. Pasti ada sesuatu yang terjadi sehing-
ga ia terbebas dari penjara Gua Darah."
"Bagaimana? Apakah kita tinggalkan tem-
pat ini?"
"Tidak bisa! Apakah Kakang tidak dengar
rencana gila para tokoh sesat itu? Kita harus
menghentikan mereka!"
"Bagaimana dengan manusia merah?"
"Kita tidak tahu dia berada dipihak mana.
Tapi aku yakin dia datang kemari untuk men-
gambil Kristal Permata itu."
"Apakah kita harus turun sekarang?"
"Jangan!" cegah Gajah Krempeng. Walau-
pun Kakang punya badan tidak kalah besar dengan manusia merah. Tapi tingginya Kakang kalah.
Lebih baik kita pancing agar Raka Tendra dan
kawan-kawannya keluar."
Belum sempat kedua manusia Gajah ini
bergerak. Tiba-tiba terdengar suara teriakan
menggelegar. Angkasa bagai terbelah. Kegelapan
malam berubah terang benderang karena dari
mulut manusia merah menyembur lidah api pada
saat ia bicara.
"Siapa yang merasa telah mencuri Perisma
Permata harap segera menyerahkan diri kepada-
ku! He... anak-anak setan apakah kalian tidak
mendengar seruanku?"
Jangankan orang yang bisa mendengar,
orang tuli sekalipun bila mendengar gelegar suara
manusia merah itu pasti akan terkejut.
Karena tidak seorangpun ada yang menja-
wab pertanyaannya. Manusia merah Soma Sastra
langsung mengamuk. Para undangan yang seka-
rang berada dalam posisi menjadi pengawal lang-
sung bergerak mengeroyok manusia merah dari
empat penjuru arah. Tentu saja serangan mereka
cukup berarti dan berbahaya sekali karena orang-
orang ini terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki
kepandaian tinggi dan tentu saja mempunyai
pengalaman dalam bertarung pula.
Anak Jin ini bukan sembarangan. Selain
mempunyai kekebalan tubuh yang sangat luar bi-
asa. Juga setiap bacokan lawan hanya menim-
bulkan pyaran bunga api.
"Serang terus jangan beri kesempatan bagi
si raksasa ini hidup!"
Teriakan-teriakan seperti itu terus terden-
gar di tengah-tengah suara denting senjata yang
tidak ada habis-habisnya.
Tapi apa yang mereka lakukan hanya sia-
sia saja karena tubuh Manusia Merah alotnya
bukan main. Di lain pihak Manusia Merah ini se-
lain menginjak-injak para pengeroyoknya juga
menendang dan melempar. Mereka yang dibant-
ing langsung mati tanpa mampu bangkit lagi. Ada
yang lehernya patah, tulang iganya remuk dan
ada juga yang isi perutnya hancur. Lebih celaka
lagi, manusia merah Soma Sastra ini hanya
memporak porandakan lawan-lawannya tapi juga
mulai membakar bangunan besar milik Diraja
Penghulu Iblis. Hanya dalam waktu singkat tem-
pat itu menjadi lautan api. Sebenarnya kemana-
kah perginya Diraja Penghulu Iblis dan kawan-
kawannya? Marilah kita lihat di ruangan perte-
muan.
Ketika terjadi keributan di luar. Rupanya
Nyanyuk Pingitan dipersilahkan untuk melihat-
nya. Sedangkan tiga tokoh perencana lainnya te-
tap melanjutkan pembicaraan didalam ruangan
pertemuan.
Sampai di depan pintu Nyanyuk Pingitan
melihat mayat-mayat bergelimpangan. Sementara
mereka yang masih bertahan hidup adalah para
undangan yang kini telah menghambakan diri se-
cara sukarela karena pengaruh Racun Pelemah
Akal. Sungguh khasiat Ular Kayangan benar
benar terbukti dengan berlipatnya tenaga yang
mereka miliki, sungguhpun mereka ini mendesak
sosok tinggi besar berwarna merah dengan tinggi
lima meter ini bagaikan banteng. Tetap saja me-
reka tidak berdaya untuk menjatuhkan Soma Sa-
stra.
Setelah mengetahui siapa manusia merah
itu. Maka Nyanyuk Pingitan perempuan kering
seperti mayat hidup ini langsung melaporkan ke-
jadian ini pada kawan-kawannya.
Disini Datuk Alang Sitepu punya peranan.
Mereka mengambil keputusan kilat untuk menye-
lamatkan Prisma Permata dan bangunan milik Di-
raja Penghulu Iblis dari kehancuran.
"Hanya dengan selubung tipuan pandang,
kurasa Soma Sastra untuk sementara dapat ter-
kecoh. Kita harus menciptakan bangunan tiruan
dan para pengawal tiruan pula. Sementara sing-
gasanamu yang asli berada dalam lingkup tabir
gelap yang kuciptakan."
"Apakah anak raja Jin itu tidak mengetahui
tipuanmu?" Diraja Penghulu Iblis ragu-ragu.
"Dia tidak akan tahu. Paling tidak untuk
sementara waktu. Kita berempat, mari kita ga-
bungkan seluruh kekuatan kita untuk mencipta-
kan sebuah kehendak!" kata Datuk Alang Sitepu
merasa yakin.
Laki-laki tua berwajah rusak ini kemudian
meletakkan Prisma Permata dibawah telapak tan-
gannya. Secara teratur telapak tangan Diraja
Penghulu Iblis, Nyanyuk Pingitan dan juga Buto
Terenggi saling tindih menindih. Ketika mereka
mengerahkan tenaga dalamnya sementara Raja
Penyihir membaca mantra-mantra. Maka terjadi-
lah perubahan yang begitu halus dan tidak terli-
hat oleh kasat mata. Gedung tiruan yang sama
persis, tercipta. Sedangkan gedung yang aslinya
terselubung kabut kegelapan. Gajah Gemuk dan
Gajah Krempeng tidak merasakan perubahan ini.
Dapat dibayangkan jika tokoh-tokoh ber-
kepandaian tinggi seperti mereka sempat terke-
coh. Tentu kekuatan sihir di bantu dengan kekua-
tan Prisma Permata itu sangat hebat sekali. Seba-
liknya manusia merah pun begitu juga. Hanya
Pendekar Blo'on saja yang sempat merasakan pe-
rubahan mendadak ini.
Mengapa hanya Suro Blondo saja yang da-
pat merasakan perubahan ini? Sebagaimana kita
ketahui, anak ajaib ini terlahir pada malam satu
Suro. Dalam hitungan hari dan bulan, malam sa-
tu Asyuro adalah malam tertinggi dari sekian ba-
nyaknya hari. Satu Asyuro malam keramat yang
penuh berkah dan keajaiban. Salah satu keajai-
ban itu ia tidak mempan sirep dan segala sesua-
tu yang berbau sihir. Tapi akibat matanya yang
tidak dapat ditipu itu, kini ia terheran-heran sen-
diri. Hatinya bertanya-tanya, siapakah yang telah
menciptakan bangunan tiruan itu. Mengapa
manusia merah yang sedang mengamuk membabi
buta itu tidak mengetahuinya? Pertanyaan-
pertanyaan ini tentu saja tidak terjawabkan jika
ia tidak mendengar suara seseorang seperti mengingatkannya.
"Pengantin baru! Aku tahu kau hanya me-
nyamar, sekarang kau berubah menjadi kacung
pula. Sedangkan pacarmu menjadi dirimu dan ti-
dur di kamar pengantin menggantikan dirimu.
Aku adalah orang yang berdiri dipihakmu. Untuk
itu kau harus dengar ucapanku yang tidak per-
nah kuulang ini."
Jelas orang yang bicara itu siapapun
adanya adalah orang yang memiliki tenaga dalam
tinggi dan mempunyai ilmu mengirimkan suara
pula. "Apa yang kau lihat barusan adalah per-
mainan sihir. Datuk Alang Sitepu penyihir kelas
satu. Belum lagi di bantu oleh Nyanyuk Pingitan,
Buto Terenggi dan juga Diraja Penghulu Iblis
orang tua Maya Swari. Sungguhpun Maya Swari
cinta padamu, dan kau tentunya tidak berminat
kawin dengannya. Kau dan tokoh-tokoh aliran lu-
rus harus bahu membahu menghancurkan Raja
penyihir bersama kawan-kawannya. Memang
agak sulit, apalagi Prisma Kristal Permata yang
menjadi kunci keseimbangan tanah Jawa ini telah
jatuh di tangan mereka. Kedudukan mereka akan
menjadi kuat. Kau harus dapat mempengaruhi
Manusia Merah itu agar dapat kau tarik di pi-
hakmu. Perlu kau tahu manusia merah itu mem-
punyai pendirian yang tidak menentu. Ia mudah
terpengaruh meski oleh musuh besarnya sekali-
pun."
"Apakah Prisma Permata itu miliknya?" po-
tong Suro Blondo tiba-tiba.
"Prisma permata itu sesungguhnya kunci
pintu tempat dipenjarakan di Goa Darah. Kau ti-
dak usah tanya siapa yang telah memenjarakan-
nya. Yang jelas kini Goa Darah tempat bernaung-
nya selama satu abad telah hancur. Lumpur pa-
nas di mana-mana. Tanah yang keras pun akan
menjadi leleh. Dan gara-garanya karena Prisma
itu juga."
"Tapi... apa dayaku. Yang ku tahu disini
aku hanya bersama Dewi Bulan. Kalau kulihat
Manusia Merah itu saja rasanya aku akan repot
menaklukannya belum lagi menghadapi Raja Pe-
nyihir, Datuk Mambang Pitoka, Nyanyuk Pingitan
dan juga Diraja Penghulu Iblis?"
"Jangan takut, gurunya Dewi Bulan juga
ada disini."
"Apa maksudmu?"
"Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng tidak
jauh dari sini. Aku sudah memberitahukan hal ini
pada mereka. Kalau manusia merah sudah dapat
kujatuhkan, tentu kalian tinggal menyeretnya di
tempat yang aman dan membujuknya?"
"Bagaimana dengan Dewi Bulan! Aku takut
penyamarannya terbongkar dan dia akan menda-
pat kesulitan!" ujar Pendekar Blo'on sambil ga-
ruk-garuk kepalanya.
"Ah... rupanya kau selalu mengkhawatir-
kan pacarmu, kau tidak perlu merisaukannya.
Lagipula aku akan selalu memantau keadaan di
sini. Yang terpenting kalian bertiga harus dapat
meyakinkan bahwa kau berada di pihak manusia
merah."
"Ah, Manusia Merah macam apakah dia?"
"Jangan garuk-garuk melulu macam mo-
nyet. Sudah kubilang ia anak Raja Jin yang ma-
lang. Nah... sekarang bersiap-siaplah kau untuk
menyeretnya ke tempat yang aman!"
Bisikan yang didengar oleh Pendekar Blo'on
tiba-tiba lenyap. Angin kencang disertai bau ha-
rum semerbak bergerak cepat ke arah manusia
merah yang sedang membantai anak buah Diraja
Penghulu Iblis. Rasa kantuk tiba-tiba menyerang
Suro Blondo.
"Edan... benar-benar edan! Angin wangi
malah membuatku mengantuk!" Karena merasa
yakin rasa kantuk itu diciptakan oleh seseorang
yang sempat mengirimkan pesan padanya tadi.
Maka Suro Blondo segera mengerahkan hawa
murninya untuk menghilangkan rasa kantuk
yang menyerangnya.
Kini tatapan matanya tertuju pada Manu-
sia Merah itu. Dengan jelas ia dapat melihat sisa-
sisa anak buah Diraja Penghulu Iblis bergelim-
pangan. Terakhir Manusia Merah yang tergelim-
pang dengan disertai suara berdebum. Suro Blon-
do langsung meninggalkan tempat persembu-
nyiannya. Satu dua lawan Manusia Merah yang
masih berusaha bertahan dihajarnya hingga
tunggang langgang. Begitu sampai ia tercengang.
"Ya ampun, Manusia Merah ini besarnya
tidak ketulungan. Bagaimana aku bisa mengang-
katnya?" pikir Pendekar Blo'on.
Si bocah Ajaib yang terlahir pada malam
satu Asyuro ini mengangkat tubuh Manusia Me-
rah.
"Hekh...!"
Sampai mata si konyol mendelik, sedikit-
pun tubuh Manusia Merah ini tidak bergeming.
Mulut si pemuda termonyong-monyong, ia menge-
lilingi tubuh raksasa tersebut sambil menggeleng-
kan kepala terus.
"Orang ini besarnya seperti tiga ekor gajah
yang lagi bunting. Kalau pun kukeluarkan tenaga
dalam seluruhnya sampai aku mencret mana
mungkin aku dapat mengangkatnya?"
Suro berjongkok dan termenung dengan
dagu menopang di kedua tangannya. Ia tidak ha-
bis pikir bagaimana caranya menyeret orang ini.
"Sekarang ia dalam keadaan pulas karena penga-
ruh pembius. Tentu tidurnya tidak akan lama.
Sebaiknya aku tarik tangannya!" pikir Suro.
Maka ia pun memegang lengan Manusia
Merah yang hampir sebesar pahanya. Tenaga da-
lam dikerahkan, niat segera dilaksanakan. Na-
mun hasilnya tetap seperti tadi.
"Gila betul!" Suro Blondo menggerutu, lalu
garuk-garuk kepalanya.
Pendekar Blo'on memutar lagi, lalu kali ini
bagian kaki yang ditariknya. Dasar Suro Pendekar
geblek, kalau tangannya saja tidak dapat diseret
apalagi kakinya.
"Goblok, tolol, bego dll. Bagaimana mung-
kin aku dapat mengangkat manusia macam ikan
paus ini?" gerutu Pendekar Blo'on. Ia mendekati
kepala Manusia Merah, menarik kuping dan hi-
dungnya namun tetap tidak membuat Manusia
Merah terjaga.
"Mana katanya guru Dewi Bulan akan
membantuku? Apakah orang tadi cuma membo-
hongiku?"
Selagi Pendekar Blo'on tercenung seperti
itulah, tiba-tiba saja terdengar suara, maka Pen-
dekar Blo'on malah tercengang pula.
"Anak perempuan orang. Dalam keadaan
seperti ini tidak cukup waktu bagi kita. Cepat
bantu kami menyeretnya ke tempat yang aman.
Cepatlah, sebelum pengaruh Sirep Ratu Penyair
Tujuh Bayangan punah!"
"Walah, aku sudah menyeretnya tadi, tapi
tubuhnya berat bukan main. Bagaimana kalau ki-
ta bangunkan saja!"
"Goblok betul! Kalau dia bangun nanti
mengamuk lagi. Apakah kau becus menghada-
pinya?"
"Tentu saja kita bersama-sama. Tapi aku
merasa yakin dia bakal menjadi sahabatku...!" ka-
ta Suro sambil nyengir.
"Hei... jangan cengengesan...!" teriak si ge-
muk macam raksasa.
"Ssst... kalau bicara jangan keras-keras,
nanti orang ini bangun!" desis si Kerempeng.
"Habis bocah ini goblok banget!" kata si
gemuk bersungut-sungut.
Suro walaupun cengengesan tapi tidak bi
cara apa-apa. Manusia dengan berat lebih dari
dua ratus kati itu cemberut.
"Benar-benar gila! Makan apa manusia
yang satu ini? Ia hampir sama besar dengan Ma-
nusia Merah, cuma kalah tinggi saja." batin Pen-
dekar Blo'on terkagum-kagum.
Dengan mengerahkan tenaga biasa mana
mereka kuat mengangkat Manusia Merah. Mereka
terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk
menggotong Manusia Merah itu untuk dipindah-
kan ke tempat yang aman.
SEMBILAN
Maya Swari masuk ke kamar pengantinnya
lagi. Di lihatnya Suro Blondo alias Pangeran Lin-
glung tidur di atas ranjang. Sampai sejauh itu
Maya Swari tidak tahu bahwa suaminya telah di
gantikan oleh Dewi Bulan alias pelayan Margon-
da.
"Kakang Pangeran Linglung, apakah kau
sudah tidur?" tanya si gadis bermanja-manja.
"Uaah... aku penat sekali. Habis makan,
habis minum langsung mengantuk...!" sahut Pan-
geran linglung si Dewi Bulan.
Maya merebahkan tubuhnya di samping
Pangeran Linglung palsu. Di pandanginya pemu-
da bertampang ketolol-tololan itu. Tiba-tiba ia
mengecup bibir Pangeran Linglung dengan sepe-
nuh gejolak hasrat cinta yang menggebu-gebu.
Pangeran Linglung ini tentu memerah wajahnya.
Tapi dalam hati geli juga.
"Gadis tolol, kalau kau tahu bahwa aku
punya dua mulut juga, punya dua bukit. Tentu
tidak begini jadinya?" gerutu Dewi Bulan.
"Kakang...?!" Maya Swari memeluk Pange-
ran Linglung. Untung tangannya melingkar di ba-
gian perut gadis yang tengah menyamar tersebut.
Coba kalau di bagian dada, Wah celaka...
"Ada apa?"
"Kakang, aku jadi teringat ketika kakang
mengatakan pernah jadi tukang mengurus kuda.
Mengapa mau-maunya kakang bekerja seperti
itu?" tanya Maya dan nafasnya yang harum me-
nyapu wajah Pangeran Linglung palsu
"Mencari pekerjaan itu sulit. Banyak ka-
langan berpendidikan tinggi saja menganggur
sampai sekarang. Aku hanya yatim piatu...!" kata
Pangeran Linglung ngawur. "Tidak sekolah terke-
cuali hanya tulis baca dan berhitung. Sedangkan
kau anak orang kaya, segala kebutuhanmu ter-
cukupi, tentu kau tidak pernah merasakan ba-
gaimana pahitnya penderitaan!"
"Aku kasihan melihat nasibmu Kakang, co-
ba kalau kita bertemu sejak kecil, tentu kehidu-
panmu tidak jelek-jelek amat!"
"Goblok, kalau kau tahu siapa aku. Kau
tentu akan mengamuk membabi buta bahkan
mungkin membunuhku!" maki Dewi Bulan dalam
hati.
"Ya, nasib orang sendiri-sendiri. Manusia
hidup punya cobaan yang berbeda-beda. Kalau
semua orang jadi kaya, tentu tidak ada yang
miskin, kalau semua jadi raja siapa rakyatnya?"
jawab Pangeran Linglung.
"Ahk, ternyata kau pandai juga Kakang!"
puji Maya.
Tiba-tiba ia menggeliatkan tubuhnya. Ge-
rakannya sangat menarik, dadanya yang kenyal
tampak menantang. Dewi tidak dapat mem-
bayangkan bagaimana jika si konyol itu yang be-
rada di samping Maya.
"Kakang, ah..,!" Mata Maya setengah terpe-
jam.
Sebagai gadis yang sudah dewasa dan cu-
kup matang. Tentu Dewi mengerti apa yang diin-
ginkan oleh Maya. Walau pun ia belum punya
pengalaman sama sekali. Nalurinyalah yang men-
gatakan begitu.
Untuk tidak menimbulkan kecurigaan
Maya, maka meskipun dengan rasa jijik Pangeran
Linglung mendekap-dekap dan membelai.
"Kakang, rupanya kau belum punya penga-
laman sama sekali dalam bercinta,
ya...?"
"Wah, belum tuh." kata pengantin laki-laki
tersipu.
"Bohong! Biasanya laki-laki suka menipu.
Terkadang mereka belum menikah, tapi pengala-
mannya dengan perempuan bermacam-macam.
Apakah Kakang mau mungkir?"
"Itu laki-laki lain. Laki-laki iseng hidung
belang-belang. Mereka memang suka jajan. Lalu
terkena penyakit kotor, nah nanti kalau keturu-
nan rusak, anak yang disalahkan, Tuhan yang
diomeli. Padahal buah setiap pohon selalu jatuh
tidak jauh dari batangnya."
"Aih, Kakang... ternyata walaupun tam-
pangmu bego Kakang sangat pintar sekali!" puji
Maya.
Tiba-tiba ia mencium bibir Pangeran Lin-
glung palsu. Mula-mula Dewi hanya diam saja.
Namun karena kemudian ia mengingat penyama-
rannya agar tidak terbongkar. Maka Dewi dengan
terpaksa membalas ciuman Maya. Nafas putri ib-
lis ini mulai tersengal-sengal. Lampu di dalam
ruangan dipadamkannya.
"Jangan dimatikan, aku tidak bisa tidur,
takut hantu!" protes Dewi Bulan si Pangeran Lin-
glung palsu.
"Kakang penakut!" Maya Swari menggerutu
namun penuh kemanjaan.
Ia memeluk Pangeran Linglung, bibirnya
yang kemerah-merahan mendesis dan merengek.
Dengan terpaksa Pangeran Linglung menyeli-
napkan tangannya di dada Maya. Gadis itu merin-
tih ketika jemari tangan sang Pangeran membelai
lembut dadanya. Tanpa malu-malu gadis Maya
melepaskan kancing-kancing kemejanya. Sehing-
ga dada Maya yang putih itu tersembul dari balik
pakaiannya. Ternyata Maya memang mengingin-
kan suasana sebagaimana yang terjadi pada pen-
gantin baru umumnya.
Dewi Bulan kelabakan, bagaimana mung-
kin hal itu dapat terjadi. Sedangkan antara di-
rinya dengan Maya sama saja. Tidak dapat di
bayangkan Dewi bagaimana seandainya Pangeran
Linglung yang berada di samping Maya. Tentu se-
tabah-tabahnya laki-laki akan bobol juga ben-
dungan Maya. Duh, Cemburunya Dewi Bulan.
Untunglah Pangeran Linglung ini punya
otak yang cerdik. Sehingga dengan caranya yang
tentu saja rahasia ia dapat memuaskan Maya
Swari. Malam pengantin pun terasa hangat meng-
gebu-gebu. Suasana di luar genting dan kamar
pengantin berubah sunyi. Waktu berlalu seba-
gaimana hari-hari sebelumnya.
Keesokan harinya ketika Maya terjaga tan-
pa busana. Dilihatnya Pangeran Linglung masih
mendengkur di sampingnya. Pakaiannya rapi se-
bagaimana pakaian orang yang baru saja pulang
dari pesta. Maya melihat dirinya sendiri. Sprei
yang berwarna putih itu masih tetap bersih. Tidak
ada noda-noda darah disitu. Maya pun tidak me-
rasakan sakit pada bagian bawah perutnya. Maya
tiba-tiba merasa ada sesuatu yang ganjil tidak se-
bagaimana mestinya. Padahal waktu menikah ia
masih suci, gadis ting ting. Lalu siapa yang salah?
Diam-diam Maya jadi curiga, kecurigaannya itu
tetap ia pendam. Ia harus menyelidik siapa se-
sungguhnya Pangeran Linglung? Setelah menge-
nakan pakaiannya kembali yang berantakan, ma-
ka Maya segera bergegas ke kamar mandi. Ia sen-
gaja tidak mau membangunkan suaminya.
Apa yang bakal terjadi? Terbongkarkah pe-
nyamaran Dewi Bulan? Bagaimana jika Manusia
Merah tersadar. Mampukah Suro dan guru Dewi
Bulan mempertahankan diri? Ketegangan sema-
kin memuncak, keserakahan, ambisi dan nafsu
jelek manusia menimbulkan angkara murka. Bagaimana nasib si konyol ini?
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar