..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 06 Januari 2025

PENDEKAR BLO'ON EPISODE UNDANGAN MAUT

matjenuh khairil

 

Cerita ini adalah fiktif

Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.

UDANGAN MAUT

Oleh : D. AFFANDY

Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta

Cetakan Pertama : 1994

Sampul : Ken Bangun

Setting Oleh : Sinar Repro

Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara

Dilarang mengutip, mereproduksi 

dalam bentuk apapun tanpa ijin 

tertulis dari penerbit.

D. Affandy

Serial Pendekar Blo'on

Dalam episode Undangan Maut


SATU


Gunung Merbabu selayang pandang hanya 

berupa dataran tinggi menjulang ke langit. Di sen-

ja hari bagian lerengnya nampak sunyi. Sebelum 

mencapai lereng gunung, di bagian lembahnya 

terdapat sebuah telaga, dan dari pinggiran telaga 

itulah jalan satu-satunya untuk mencapai lereng 

ataupun puncak Merbabu. Hampir bisa dipasti-

kan orang tidak berani datang ke tempat ini. Se-

lain tempatnya sangat rawan. Daerah ini merupa-

kan tempat kediaman manusia aneh Gajah 

Munding alias Gajah Gemuk dan Gajah Kerem-

peng. Pada masa itu tokoh-tokoh persilatan baik 

dari utara, selatan, timur dan barat begitu mena-

ruh hormat dan takut kepada dua tokoh bersau-

dara ini karena ketinggian ilmu silatnya. Terhi-

tung tokoh angkatan tua namun memiliki pera-

wakan awet muda itu hanya sekali turun gu-

nung. Yaitu ketika terjadinya geger di Gunung 

Bromo pada saat menjelang kelahiran seorang 

bayi ajaib alias Suro Blondo. Tapi itupun terjadi 

sekitar delapan belas tahun yang lalu. Setelah ke-

gagalannya mendapatkan bayi ajaib tersebut, ma-

sih ditempat yang sama mereka membawa seo-

rang bayi perempuan yang akhirnya mereka ang-

kat menjadi murid dan mereka beri nama Dewi 

Bulan. Kini gadis itu sudah dewasa dan telah tu-

run gunung pula setelah mereka gembleng den-

gan berbagai ilmu olah kanuragan.


Jika dulu Gunung Merbabu selalu diwarnai 

dengan suara-suara teriakan seorang gadis yang 

sedang melatih ilmu silatnya. Maka kini Gunung 

Merbabu berubah sunyi seperti kuburan.

Melihat ke lembah, tepatnya di pinggir tela-

ga. Tampak seorang laki-laki tua duduk menca-

kung. Laki-laki ini memakai baju dari anyaman 

daun lontar. Begitu juga dengan topi capingnya. 

Dandanannya kedodoran, kedua mata kecil seper-

ti mata ikan lele. Jika ia menarik kailnya ke per-

mukaan air. Maka tercium bau busuk yang me-

nusuk. Karena umpan kail itu tidak lain merupa-

kan potongan-potongan tangan manusia yang 

sengaja dibusukkan.

Satu dua makhluk panjang melata dari da-

lam air menggelepar dan mengeluarkan suara 

mendesis-desis. Jelas yang memakan mata kail-

nya bukanlah ikan ataupun belut, melainkan 

ular-ular berbisa yang sangat mematikan.

Ular-ular yang tertangkap mata kailnya itu, 

langsung ia masukkan ke dalam kepis. Sebuah 

tempat yang terbuat dari anyaman kulit rotan 

berpenutup.

Sementara gerakan mata kailnya semakin 

bertambah cepat. Setiap mata kail disentakkan, 

maka yang terlihat hanyalah ular-ular berbisa 

yang menggelepar kesakitan. Hampir dua jam ia 

berbuat seperti itu sampai kemudian ia menarik 

nafas lega.

"Kepis ini sudah penuh. Aku Datuk Mam-

bang Pitoka hanya dapat memberikan hadiah seperti ini pada Penghulu Iblis alias Datuk Raka 

Tendra. Duh seandainya aku masih muda, tentu 

aku ikut tanding Pibu. Dengan begitu jika aku ke-

luar sebagai pemenangnya. Maka aku berhak 

mendapatkan Maya Swari sebagai isteriku yang 

sah." kata Buto Terenggi alias Datuk Mambang Pi-

toka ini sambil mengelus-elus jenggotnya yang 

hanya beberapa helai itu. "Maya Swari adalah 

lambang keagungan dari seluruh putri iblis yang 

cantik. Sayang kini usiaku sudah tidak muda lagi. 

Datuk Raka Tendra dengan kebiasaannya yang 

aneh tentu telah menyebar undangan. Jika ia 

mengundang seluruh kalangan persilatan baik 

yang hitam dan yang putih. Tentu ia mempunyai 

tujuan yang lain sesekali. Putrinya Maya Swari 

juga mempunyai keinginan yang aneh. Ia hanya 

mau bersuamikan pemuda yang dapat mengalah-

kannya. Padahal adalah sangat berbahaya jika ia 

sampai mendapat suami dari golongan lurus. Ha 

ha ha...! Mungkin perlu aku memberi tahu so-

batku itu." Datuk Mambang Pitoka penguasa rim-

ba kegelapan ini tiba-tiba saja menepuk kening-

nya. "Mengapa harus kuurus? Tokh sebagai se-

sama iblis kami punya urusan sendiri-sendiri."

Kakek tua bertampang angker ini bangkit 

berdiri. Tidak lama ia membalikkan badan dan 

baru saja hendak melangkah ketika ia mendengar 

suara mendesir. Matanya yang kecil kemudian 

mengerjap. Tapi ia tidak melihat siapa-siapa di 

sekitarnya selain dirinya sendiri.

"Aku ini iblis. Kalau ada setan yang beru


saha menggodaku. Berarti geblek yang tidak me-

mandang muka pada golongannya sendiri." Datuk 

Mambang Pitoka menggumam seorang sendiri.

"Kau berani memasuki daerah orang lain 

dan berani mencuri ular berkhasiat milik kami. 

Kembalikan ular Kayangan milik kami!" 

Buto Terenggi terkesiap begitu mendengar 

suara seseorang yang disampaikan melalui ilmu 

menyusupkan suara tersebut. Cepat sekali ia 

berpaling ke arah datangnya suara.

Pada saat itulah ia melihat dua orang laki-

laki hanya mengenakan koteka. Yang satu berba-

dan gemuk luar biasa sehingga mirip gajah bunt-

ing sedangkan yang satunya berbadan kurus ker-

ing macam jerangkong hidup. Anehnya walaupun 

laki-laki gemuk itu mempunyai badan besar seka-

li. Tapi gerakannya cepat sedangkan langkahnya 

ringan. Berbeda dengan yang berbadan kurus. 

Langkah kakinya terasa begitu berat namun man-

tap. Mereka memakai senjata berbentuk gaitan. 

Disambung dengan sebuah rantai memanjang ta-

pi hanya diselempangkan di bahu. Buto Terenggi 

begitu melihat kehadiran dua tokoh ini agak ter-

kesiap. Namun kemudian tawanya terdengar.

"Majikan Gunung Merbabu. Ah... sudah 

lama sekali kita tidak bertemu. Terimalah hormat 

sesama sahabat!" Buto Terenggi merangkap ke-

dua tangannya ke depan dada kemudian mem-

bungkukkan kepala sebanyak tiga kali. Dua pen-

datang yang tidak lain adalah Gajah Gemuk alias 

Gajah Munding dan Gajah Kerempeng ini saling


pandang sesamanya. Melihat dandanan laki-laki 

asing di depan mereka rupanya Gajah kurus 

langsung mengenali.

Buto Terenggi adalah tokoh aliran sesat 

yang sangat jarang sekali muncul di rimba persi-

latan. Sekali saja laki-laki yang sangat ahli dalam 

mempermainkan senjata toya ini muncul. Pastilah 

ada sebuah peristiwa yang sangat besar bakal ter-

jadi.

"Kami lihat sejak tadi kisanak mencang-

kung di pinggir telaga tempat kami memelihara 

ular Kayangan. Apakah yang anda perbuat?"

"Bukan ingin tapi aku telah mengambil 

ular-ular Kayangan ini untuk seorang sahabat 

hendak mencarikan jodoh buat anaknya. Apakah 

saudara Gajah sudah mendapatkan undangan-

nya?" Gajah gemuk dan Gajah Kerempeng ber-

pandangan sejenak, kemudian sama menggeleng-

kan kepala.

"Belum!"

"Kalau begitu anggaplah kedatanganku ini 

mewakili keluarga besar Diraja Penghulu Iblis Ra-

ka Tendra. Satu purnama mendatang datanglah 

kalian ke gunung Pangrangko. Siapa tahu anda 

merupakan orang yang beruntung mendapatkan 

putri agung Maya Swari untuk menjadi pendamp-

ing di sini. Selamat tinggal...!"

"Hei tunggu...!" teriak Gajah Krempeng ke-

tika melihat Buto Terenggi bermaksud meninggal-

kan mereka. Tetapi laki-laki berpakaian kedodo-

ran ini sama sekali tidak menghiraukannya. Sehingga membuat Gajah Gemuk melompat ke de-

pan menghadang langkah Buto Terenggi. Bukan 

main cepatnya gerakan laki-laki dengan berat 

hampir dua ratus kali ini. Sehingga dalam waktu 

sepersekian detik ia telah berada di depan Buto 

Terenggi. Buto Terenggi terkejut, tapi kemudian 

langsung tertawa membahak.

"Bukan main, sungguh aku tidak percaya 

kehebatan sesepuh gunung Merbabu jika tidak 

melihatnya sendiri hari ini!"

"Mau percaya atau tidak bukan urusan. Ki-

sanak telah melakukan pencurian barang yang 

sangat langka dan berharga. Kau hanya boleh 

meninggalkan lereng Merbabu ini setelah men-

gembalikan ular-ular Khayangan milik kami!"

"Wah... masalahnya akan jadi runyam jika 

aku melayani gajah bunting dan gajah kurang 

makan ini. Walaupun aku tidak merasa ragu 

bahwa aku belum tentu kalah menghadapi mere-

ka. Apa yang harus aku lakukan?" batin Buto Te-

renggi.

"Masalah kecil janganlah diperbesar. Aku 

mau membayar seratus ular Kayangan dengan se-

ratus uang emas. Bagaimana? Apakah kalian se-

tuju?"

"Kami tidak setuju. Ular Kayangan itu ber-

telur selama seratus tahun sekali. Siapapun yang 

memakannya, akan menambah kekuatan tenaga 

dalamnya menjadi sepuluh kali lipat. Dan kami 

tidak pernah memperjual belikannya."

"Kalau tidak dijual dan dibeli. Jika begitu


aku memintanya dari kalian secara hormat hai 

orang gagah!" ujar Datuk Mambang Pitoka.

"Tidak bisa. Kembalikan barang itu!" Gajah 

Krempeng bersikeras.

Merasa tidak punya jalan lain lagi. Datuk 

Mambang Pitoka langsung mengebutkan ujung 

jubahnya, sehingga terlihat lima sinar merah ber-

bentuk bintang menderu ke arah kedua Gajah.

"Setan alas!" Dua-duanya menggerung, dua 

tangan melambai ke arah senjata-senjata rahasia 

yang menyerang secara cepat ini.

Wuuk! wuus!

Tring! Tring!

Enam buah senjata rahasia dibuat terpe-

lanting. Bahkan dua diantaranya berbalik menye-

rang tuannya sendiri. Buto Terenggi adalah tokoh 

sesat berpengalaman bahkan ia mempunyai julu-

kan Datuk Mambang Pitoka, karena dianggap 

memiliki kepandaian setingkat dengan para 

mambang (Makhluk alam gaib). Dengan tenang 

sekali ia acungkan jari telunjuknya ke arah lain. 

Sehingga senjata rahasia yang berbalik menye-

rangnya itu melenceng dari sasaran dan menan-

cap di batang pohon di belakangnya.

Hanya lima detik pohon itu berubah layu 

dan daun-daunnya langsung berguguran. Gajah 

Gemuk dan Gajah Krempeng sempat tercengang 

dibuatnya. Namun sebagai orang yang sudah me-

lihat kehebatan setiap datuk. Tentu mereka tidak 

perlu merasa kagum.

"Datuk, kami akui kehebatan racun yang


terkandung dalam senjata rahasiamu itu. Tapi 

kami bukan anak kecil yang dapat kau takut-

takuti. Jika kau tetap tidak mau mengembalikan 

ular-ular Khayangan kami ke dalam telaga. Hari 

ini kami bersumpah untuk mengikat permusuhan 

kepadamu!"

"Urusan ini ada baiknya kalau kita bicara-

kan di gunung Pangrangko satu purnama menda-

tang!" Selesai dengan ucapannya. Tiba-tiba Da-

tuk Mambang Pitoka menyambitkan sesuatu ke 

arah Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng. Karena 

terkejut dan tidak menyangka datangnya seran-

gan gelap ini. Maka Gajah Krempeng langsung 

menyambutnya dengan satu tendangan yang cu-

kup keras. Sehingga membuat benda berbentuk 

bulat macam bahan peledak itu mengeluarkan 

bunyi mendesis yang disertai dengan menebarnya 

asap tebal. Seketika itu juga suasana di sekeliling 

mereka berubah menjadi gelap berselimut kabut.

"Bangsat! Iblis itu benar-benar mengecoh 

kita." teriak Gajah Gemuk sambil membanting-

banting kakinya. Sehingga membuat tanah yang 

diinjaknya amblas sampai sebatas dengkul. Ke-

nyataan ini membuat Gajah Krempeng menggeru-

tu. "Seharusnya kita kejar setan itu kakang. Ular-

ular berkhasiat milik kita yang telah ditangkap-

nya tentu jumlahnya cukup banyak juga."

"Ya... kurasa tidak ada gunanya. Kalau 

memang benar di gunung Pangrangko akan ada 

pertemuan yang sangat besar. Mengapa kita tidak 

ke sana saja? Kita bisa melihat apa yang akan terjadi disana sekalian mencari tahu bagaimana ka-

barnya murid kita Dewi Bulan sekarang? Apakah 

ia telah berhasil menemukan pembunuh orang 

tuanya atau belum."

"Tapi... bukankah kita sendiri punya pan-

tangan untuk membunuh? Apalagi sampai me-

ninggalkan gunung Merbabu ini?" Gajah Krem-

peng rupanya teringat akan sumpahnya.

"Sudahlah... lupakan masalah itu. Kita be-

rangkat sekarang...."

Nampaknya Gajah Krempeng memang me-

rasa tidak punya pilihan lain lagi. Ia terpaksa 

mengikuti keinginan kakang kandungnya seba-

gaimana yang terjadi ketika mereka hendak ke 

gunung Bromo delapan belas yang lalu.


DUA



Hujan petir, angin menderu-deru. Goa Da-

rah yang terletak di kaki bukit gunung Gede ini 

untuk pertama kalinya setelah lima belas tahun 

terkena siram air hujan. Jika orang mengetahui 

kejadian ini tentu mereka terheran-heran. Sebab 

Goa Darah mereka kenal mempunyai semacam 

tabir gaib yang melindungi gua sepenuhnya ber-

warna merah darah ini dari hempasan air hujan 

terpaan badai. Bahkan masyarakat Jawa bagian 

barat merasa yakin sekali bahwa Goa Darah me-

nyimpan misteri gaib hingga saat ini.

Sementara itu dalam keadaan hujan angin


sedemikian rupa di mulut pintu Goa Darah terli-

hat sosok bayangan berpakaian putih berkulit hi-

tam macam arang sedang meneliti bagian dalam 

gua yang berwarna kemerah-merahan itu. Petir 

menyambar, sehingga sekilas cahaya kuat yang 

membersit tadi menerangi wajah hitam legam be-

rambut jarang. Wajah itu tidak ubahnya seperti 

tengkorak hidup. Matanya mencorong seperti ma-

ta setan. Betapa mengerikan penampilannya, me-

lebihi buruknya setan penghuni kubur. Ia baru 

saja melangkahkan kaki kanannya menuju ke ba-

gian ruangan tengah gua tersebut. Ketika cahaya 

merah dari dalam gua melabrak tubuhnya. Ca-

haya itu sedemikian dahsyat dan dingin membe-

kukan. Namun si pendatang rupanya telah bersi-

kap waspada. Sehingga ia melompat ke samping 

kiri. Belum sempat ia menjejakkan kakinya. Dari 

bagian samping menyambar cahaya yang sama. 

Tidak pelak lagi tubuhnya langsung tergontai-

gontai terkena sambaran cahaya merah yang me-

nyerangnya secara aneh ini.

Ia mengeluh pendek. Namun kemudian 

mulutnya memaki menumpahkan kata-kata yang 

sangat kotor sekali. Dengan cepat ia bangkit ber-

diri kemudian merapat ke dinding gua. Sementara 

matanya tidak pernah lepas dari sebuah benda 

bersegi tiga yang terletak di tengah-tengah gua 

itu. Permata tersebut sejak tadi terus memancar-

kan cahaya berwarna putih kemilau. Tapi setiap 

cahaya yang melesat meninggalkan permata itu 

selalu berwarna merah. Dan cahaya dari prisma


permata persegi tiga itulah yang rupanya telah 

menyerang perempuan macam tengkorak hidup 

berkulit hitam macam arang. Sungguh ini meru-

pakan sebuah kejadian yang sangat langka. Dan 

perempuan berkulit hitam ini juga bukan perem-

puan sembarangan.

Dia adalah tokoh aliran sesat dari daerah 

kulon. Ia sangat ditakuti oleh golongan putih, dis-

egani oleh golongan hitam karena memiliki jurus-

jurus tongkat hitam yang sangat diandalkannya. 

Sudah begitu banyak tokoh-tokoh tingkat tinggi 

yang tewas di ujung tongkatnya yang berkepala 

harimau ini. Terlebih-lebih saat ia malang melin-

tang di rimba persilatan tiga belas tahun yang la-

lu.

Beberapa tahun belakangan ia dikabarkan 

telah mengasingkan diri di daerah Labuhan. En-

tah mengapa hari ini ia sengaja muncul ke lereng 

gunung Gede. Yang jelas hingga sampai detik ini 

ia terus berusaha mendekati Prisma permata yang 

terjepit di tengah-tengah batu mirip meja altar 

tersebut. Sekali lagi ia berusaha menggapai batu 

Permata dengan mempergunakan tongkatnya. Ke-

ringat dingin mengucur di sekujur wajahnya yang 

menyerupai tengkorak, perlahan tongkat itu ber-

gerak. Baru saja menyentuh salah satu sisi Pris-

ma tiba-tiba kilat melesat dari Prisma itu dan 

menghantam tongkat ditangan Setan Hitam.

"Uuh...!"

Tangan yang kurus kering itu bergetar ke-

ras, hawa dingin menusuk menyengat bagian jemarinya. Untung ia memiliki tenaga dalam yang 

sudah mencapai tarap diatas sempurna. Sehingga 

senjata yang sangat diandalkannya itu tidak sam-

pai terlepas dari tangannya.

"Gelo betul. Apa yang kudengar selama ini 

ternyata bukan omong kosong belaka. Terlanjur 

aku mendapat undangan merah. Aku harus 

memperlihatkan sesuatu yang sangat luar biasa 

di depan Diraja Penghulu Iblis. Dan Prisma gaib 

kini telah berada di depan mata. Aku harus sege-

ra mengambilnya." Setelah berkata begitu, dengan 

segenap kecerdikan yang dimilikinya ia mele-

paskan baju putihnya. Di balik baju ia tidak me-

makai apa-apa, sehingga terlihatlah buah da-

danya yang peot menggelantung seperti karung 

basah.

Baju itu kemudian dilemparkannya ke arah 

Kristal dengan pengerahan tenaga dalam yang 

tinggi. Spontan cahaya merah menyambar. Baju 

yang dilemparkan oleh Setan Hitam alias Nya-

nyuk Pingitan langsung disambar oleh cahaya 

merah. Hingga membuat baju tersebut terbakar. 

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Setan Hi-

tam. Seraya langsung melompat dan berguling-

guling. Di lain kejap ia sudah menyambar Kristal 

Permata tersebut.

Sedetik kemudian di tengah-tengah hujan 

yang membadai terdengar suara menggemuruh

yang begitu dahsyat. Nyanyuk Pingitan tercekat. 

Sementara ia terpaksa memasukkan Prisma Kris-

tal yang telah dicurinya ke dalam kantong kulit


yang telah dipersiapkannya.

"Oh... mengapa jadi begini? Apakah karena 

kekuatan gua ini tergantung pada Prisma Kristal 

yang baru saja kuambil?" Setan Hitam menggu-

mam dalam hati. Tokh ia sudah tidak sempat 

berpikir lebih jauh lagi. Karena pada saat itu lan-

git-langit gua mulai runtuh. Batu-batu berjatu-

han. Sementara altar tempat bersemayamnya 

Prisma Kristal tadi mulai menunjukkan keretakan 

disana-sini.

Krraaaak....!

Setan Hitam laksana kilat melompat keluar 

dari dalam gua. Pada saat yang sama pula ter-

dengar suara dahsyat menggelegar.

Bumm! Buum!

Gua runtuh. Setan Hitam tercengang keti-

ka melihat sinar merah menerangi reruntuhan 

gua. Sinar merah itu seperti muncul dari dalam 

bumi.

"Aku tidak mau mengambil resiko. Aku ha-

rus meninggalkan tempat ini segera!"

Belum selesai dengan ucapannya ia telah 

melesat pergi sambil membawa Prisma Permata 

Sakti curian.

Tidak sampai sepuluh menit setelah Nya-

nyuk Pingitan meninggalkan Gua Darah. Dari re-

runtuhan gua yang memancarkan cahaya merah 

menyala bagaikan lava gunung ini muncul tangan 

berwarna kemerah-merahan. Batu-batu yang be-

rasal dari reruntuhan gua berpelantingan.

"Hoaaarkh...! Hraaaakk...!"


Brol! Bool!

Muncullah sosok tubuh. Tingginya menca-

pai lima meter. Sekujur badannya yang berwarna 

merah bagaikan darah ditumbuhi bulu-bulu le-

bat. Bukan main besarnya makhluk ini. Yang cu-

kup mengherankan, kepala manusia berbulu ini 

berujud kepala harimau. Mempunyai dua pasang 

taring yang panjang. Matanya mencorong bagai-

kan mata binatang malam.

"Gila... siapa orangnya yang berani mencuri 

Kristal Sakti milikku. Siapa orangnya yang telah 

membuat hancur istanaku. Kristal diambil. Dunia 

benar-benar hendak kiamat. Seluruh Jawa ini bi-

sa tenggelam menjadi lumpur api." Serak dan be-

rat suara manusia merah ini. Matanya yang liar 

itu memandang ke sekelilingnya. Dan hidungnya 

mulai mengendus-endus. Tiba-tiba ia tertawa, ta-

pi dalam tawanya mengandung kesedihan. Gu-

nung Gede bergetar hebat karena pengaruh suara 

tawanya itu. Sementara goa Darah kini telah be-

rubah menjadi lautan lumpur panas yang mengo-

barkan api menyala-nyala. Panas yang ditimbul-

kannya menyebar ke seluruh tempat-tempat yang 

berdekatan dengan bekas Goa Darah tersebut. 

Sehingga mengundang ketakutan siapa saja.

"Benar-benar keterlaluan. Benda penjaga 

keseimbangan bumi telah diambil oleh orang pin-

tar tapi bodoh. Aku tidak melihat orangnya, tapi 

melihat baunya. Aku harus mencarinya... ha-

rus...!"

Dengan langkah-langkah kakinya yang be


rat menggetarkan setiap jengkal tanah yang dipi-

jaknya. Ia melangkah menuju arah matahari ter-

bit. Hanya malam hari saja ia berjalan. Pada siang 

hari ia tidur disembarang tempat yang tersem-

bunyi dari perhatian orang.

Siapakah Manusia Merah dengan tinggi li-

ma meter ini? Sekitar dua abad yang silam. Seo-

rang Kyai Sakti mandraguna yang tinggal di gu-

nung Jati sering melakukan perjalanan ke daerah 

Banten. Dalam perjalanan yang berulang itu, ter-

kadang ia singgah di tempat-tempat tertentu se-

belum mencapai tempat tujuan. Karena beliau 

masih begitu muda dan belum punya istri pula. 

Di daerah Jampang kulon kebetulan ia kenal seo-

rang gadis bernama Restu Abadi. Gadis cantik ini 

anak seorang bajingan besar bernama Malim 

Kuswara. Cinta diantara mereka ternyata ber-

sambut. Setelah dua tahun mereka menjalin hu-

bungan. Akhirnya mereka menikah. Ketika Restu 

Abadi hamil, maka terjadi banyak keanehan. Se-

tiap malam istri Kyai Tapa ini sering menggerung-

gerung seperti harimau. Suatu malam Kyai Tapa 

bermimpi bahwa anak yang akan terlahir dari ra-

him istrinya ini akan terlahir dengan dua rupa. 

Yaitu kepala harimau sedangkan badan seperti 

manusia biasa cuma ditumbuhi bulu.

Dengan kesaktiannya yang sangat tinggi, 

sang Kyai mulai menyelidiki keanehan kehamilan 

yang terjadi pada isterinya. Akhirnya diketahui, 

rupanya sebelum malam pertama. Ada raja Jin 

yang datang kepada Restu Abadi, dan menggaulinya sebagaimana layaknya suami isteri. Dalam 

hal ini, Kyai tidak dapat menyalahkan istrinya. 

Karena Raja Jin itu telah menyaru sebagai diri 

sang Kyai. Dengan tekunnya ia meminta pada 

sang khalik agar dipertemukan dengan Raja Jin 

yang dia anggap telah mencoreng harga dirinya.

Dalam pertempuran yang berlangsung se-

lama seratus hari tidak ada henti itu. Ternyata ti-

dak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. 

Mereka akhirnya sama-sama mengangkat ikrar 

agar tidak bermusuhan lagi. Sebagai imbalannya. 

Bila anak itu terlahir kelak ia harus ditempatkan 

di dalam sebuah gua yang tidak pernah didatangi 

manusia. Sedangkan istrinya harus rela dibuang 

ke pulau Andalas.

Raja Jin ternyata setuju. Sungguhpun Res-

tu Abadi yang merasa tidak bersalah tidak menye-

tujuinya. Demikian juga halnya dengan Malim 

Kuswara ayah kandung Restu Abadi. Pertempu-

ran antara anak menantu dengan mertua ini ti-

dak dapat dihindari lagi. Tapi karena begitu ting-

ginya ilmu kesaktian yang dimiliki oleh Kyai Tapa. 

Malim Kuswara tewas di tangan menantunya. Be-

gitu anak mereka terlahir, maka pergilah Restu 

Abadi meninggalkan Jampang Kulon dengan 

membawa luka hati dan dendam membara. Ia ti-

dak lagi menghiraukan anaknya yang terlahir 

dengan keadaan yang sangat mengguncangkan 

hatinya itu.

Kyai Tapa sendiri setelah membawa anak 

Jin itu ke Goa Darah langsung mengasingkan diri



ke Gunung jati. Tidak ada yang tahu, anak Jin 

alias manusia Merah yang diberi nama Soma Sa-

sra ini selalu memberontak dan menimbulkan 

guncangan di sekitar pulau Jawa. Khususnya di 

daerah Jawa Barat. Raja Jin diam-diam meletak-

kan sebuah Kristal Permata di tengah-tengah al-

tar untuk meredam gerakan sang anak yang se-

tengah manusia dan setengah binatang ini. Tapi 

siapa sangka hari ini setelah dua ratus tahun 

mendekam di dasar perut bumi Prisma Permata 

itu ada yang mengambilnya. Karena memang ti-

dak ada yang tahu bagaimana tabiat dan sepak 

terjang Manusia Merah ini. Alangkah baiknya jika 

kita ikuti sepak terjang Soma Sasra selanjutnya. 

Benarkah dia hanya ingin mencari Kristal sakti 

miliknya itu atau punya maksud lain setelah ia 

terbebas dari penjara perut bumi selama ratusan 

tahun.

Pada saat yang sama, sebuah perahu kecil 

meluncur menyeberangi selat Sunda. Pemandan-

gan senja yang remang-remang dengan latar bela-

kang gunung Krakatau yang terus mengepulkan 

asap, merupakan keindahan tersendiri bagi yang 

melihatnya. Tapi bila melihat ke arah orang yang 

sedang meluncur kencang dengan perahunya ini 

sangat jauh bertolak belakang. Wajah laki-laki ini 

hanya sebagian saja yang tertutup kulit. Sedang-

kan bagian lainnya tertutup daging busuk berna-

nah. Matanya juga hanya sebelah, sedangkan ma-

ta kirinya membentuk lubang yang sangat dalam.

Sesekali bibirnya yang rusak bopeng


bopeng dan hampir tanggal ini menyunggingkan 

seulas senyum. Namun senyum itu malah sede-

mikian menyeramkan.

"Jauh sudah jalan kutempuh. Akhirnya 

aku menjadi bosan. Ha ha ha...! Letih nian aku 

mencari akhirnya aku diam sendiri. Ha ha ha... 

Undangan merah undangan maut. Tanah Jawa 

lama tidak kudatangi, masihkah kini para iblis 

ingat pada Alang Sitepu. Mudah-mudahan Bung-

kuk Lima tetap di kenang. Aku akan datang... 

ya... datang atas undang merah...!"

Alang Sitepu alias Bungkuk Lima berdiri di 

atas perahunya yang terus meluncur kencang. 

Tokoh hitam yang kondang karena ilmu sihirnya 

ini kemudian tertawa-tawa.

"Gunung Sibayak telah jauh di belakang 

sana. Gunung Pangrangko kini menjadi tujuan. 

Ha ha ha... apa kabar orang Jawa?"

Wajah yang sangat mengerikan dengan ma-

ta yang cuma tinggal sebelah ini memandang ke 

satu arah. Kini Labuhan telah terlihat olehnya. Ia 

pun menyeringai, kemudian tertawa. Gemuruh 

suara tawanya menggema diantara deburan om-

bak yang kian menggila.


TIGA



Gadis berbaju kuning gading memakai ikat 

kepala warna putih ini tiba-tiba hentikan lang-

kah. Wajahnya yang cantik rupawan dengan tahi

lalat di dagu tampak tertutup oleh anak-anak 

rambutnya. Ia sibakkan anak rambut yang terge-

rai diwajahnya. Setelah itu ia melangkah lagi. Pa-

da saat berjalan seperti itulah ia teringat dengan 

orang-orang yang telah membunuh ayah dan 

ibunya. Balung Raja, Braja Musti dan Baja Geni 

semuanya sudah mati. Hanya Ki Rambe Edan sa-

ja yang luput dari kematian. Teringat akan mu-

suh-musuh besarnya yang sudah mampus. Ter-

bayang pula oleh si gadis seorang pemuda. Pemu-

da tampan berambut kemerah-merahan namun 

bertampang tolol. Dialah Suro Blondo,

Entah mengapa akhir-akhir ini ia selalu te-

ringat pada pemuda itu. Bahkan setiap tidur ia 

sering bermimpi bertemu dengan Suro Blondo. Ke 

mana perginya pemuda yang dikaguminya ini ia 

tidak tahu. Mungkin ia masih memburu musuh 

besarnya yang hingga sampai detik ini Suro Blon-

do tidak tahu dimana rimbanya.

"Angin oh angin. Mengapa hatiku selalu 

bergetar? Matahari-matahari, dimana dia geran-

gan?" Dewi Bulan gadis rupawan ini menggumam 

dalam hati. Tiba-tiba saja wajahnya berubah me-

merah. Ia menjadi malu pada dirinya sendiri. Bu-

kankah ketika bersama Suro Blondo dulu tidak 

pernah mengatakan bahwa ia mencintai dirinya? 

Mengapa kini ia seperti orang yang kasmaran sa-

ja?

Dengan wajah masih tetap memerah, Dewi 

Bulan tiba-tiba memutar langkah dan bermaksud 

meninggalkan Cisarua. Tapi gerakannya segera


tertahan ketika ia mendengar suara nyanyian 

seseorang. Oh, ternyata bukan nyanyian. Tapi 

orang yang sedang melantunkan bait-bait syair. 

Dengan seksama Dewi Bulan mulai mencari-cari, 

kemudian terlihatlah olehnya seorang perempuan 

cantik berumur sekitar tiga puluh tahun. Bajunya 

berwarna kembang-kembang. Namun tipis, se-

hingga lekuk lengkung tubuhnya yang menggiur-

kan itu terlihat dengan jelas.

Bibir si perempuan yang kemerahan selalu 

menyunggingkan senyum sedih. Di tanah Jawa 

tidak seorang pun yang kenal dengan dirinya ter-

kecuali hanya tokoh-tokoh tertentu saja.

Karena sesungguhnya ia berasal dari tanah 

seberang. Di tanah Andalas orang mengenalnya 

sebagai Ratu Penyair Tujuh Bayangan. Ahli dalam 

penyamaran sedangkan ilmu kepandaiannya san-

gat sulit diukur.

Dewi Bulan dengan seksama memperhati-

kan perempuan yang berdiri membelakanginya itu 

untuk beberapa saat lamanya. Kemudian ia men-

dengar suaranya yang begitu merdu menggetar-

kan hati.

Tidak kering dilanda panas, tidak lekang di-

landa hujan. Jawa dan Sumatera hanya dipisah-

kan oleh sebuah selat. Dua golongan terjebak da-

lam tradisi, kemunafikan dan angkara murka. Un-

dangan merah yang disebar para setan telah ku-

dapatkan. Undangan maut untuk para iblis. Di 

Gunung Pangrangko huru hara akan berlangsung.



Sayang pengantin yang diharap hanyalah iblis bu-

suk yang menipu mata. Orang-orang sakti datang 

sendiri. Jodoh yang diharap ternyata hanya seo-

rang pemuda bertampang tolol. Maya Swari putri 

cantik. Kecantikannya melebihi putri-putri raja. 

Dasar celaka... hik... hik... hikk...!! Malang benar 

gadis yang mencinta.

Dewi Bulan terkejut sekali mendengar ka-

ta-kata yang terlontar dari bibir si perempuan. 

Entah mengapa jantungnya berdetak lebih ken-

cang lagi. Seingatnya pemuda bertampang tolol 

hanyalah pendekar Blo'on seorang. Apakah 

mungkin Suro Blondo yang dimaksudkan oleh pe-

rempuan itu. Atau ada pemuda tolol lainnya? Tapi 

siapa yang dimaksudkannya dengan gadis yang 

mencinta? Adakah dirinya? Kalau memang benar 

berarti perempuan berbaju kembang-kembang itu 

tahu segala. Sudah menjadi adat Dewi Bulan. Ia 

serba ingin tahu, wataknya keras dan tidak mau 

mengalah. Tapi bila ia sudah merasa jatuh cinta 

kepada seseorang, maka ia akan mempertaruh-

kan nyawanya demi orang yang sangat dikasihi.

Kini rasa penasaran itu telah membuatnya 

melompat ke depan menghampiri perempuan baju 

kembang-kembang. Sungguhpun gerakan Dewi 

Bulan begitu pelan bahkan kehadirannya tidak 

menimbulkan suara sedikit pun. Namun perem-

puan itu cepat membalikkan badannya. Ketika 

melihat kehadiran orang lain disitu, perempuan 

baju kembang-kembang ini mengerutkan kening


nya. Tatapan matanya yang mempesona penuh 

rasa curiga.

"Siapakah kau bocah cantik?" tanya pe-

rempuan baju kembang-kembang.

Dewi Bulan malah cemberut.

"Seharusnya akulah yang bertanya siapa, 

Nisanak! Karena orang yang berpakaian seperti-

mu tidak lain hanyalah sebangsanya memedi atau 

perempuan murahan. Sebagaimana syair-syair 

yang Nisanak ucapkan barusan tadi!" Entah men-

gapa Dewi Bulan merasa tidak dapat mengendali-

kan kata-katanya. Apa yang diucapkannya me-

luncur begitu saja tanpa terpikirkan sebelumnya.

"Aku datang memenuhi undangan merah! 

Datuk Nan Gadang Paluih abangku. Ngarai Sia-

nok tempat tinggalku. Wahai Dara, mengapa kau 

menjadi marah. Kulihat matamu memancarkan 

gejolak hasrat cinta. Katakanlah padaku Ratu pe-

nyair Tujuh Bayangan...!!"

Dewi Bulan tentu saja terkesiap mendengar 

ucapan perempuan baju kembang-kembang ini. 

Sama sekali ia tidak menyangka bahwa perem-

puan itu tidak lain adalah Ratu Penyair Tujuh 

Bayangan. Jelas ia berasal dari Sumatera. Seba-

gaimana yang pernah dikatakan oleh gurunya du-

lu. Bahwa di negeri seberang itu ada beberapa to-

koh sakti yang benar-benar sangat ditakuti bah-

kan mempunyai kepandaian selaksa ilmu. Dian-

tara mereka adalah, Ratu Penyair Tujuh Bayan-

gan, Datuk Nan Gadang Paluih, setelah itu Datuk 

Panglima Kumbang, dan juga Datuk Alang Sitepu.


Laki-laki yang disebutkan terakhir ini merupakan 

seorang ahli sihir kenamaan yang sangat ditakuti 

oleh golongan sesat dan golongan lurus. Masih 

ada satu lagi tokoh yang tidak dapat dianggap 

remeh. Dialah si Dewa Kudu dari Indera Giri Hilir. 

Cuma tokoh yang satu ini konon hanya tinggal le-

genda saja. Bahkan kabarnya sudah meninggal 

sekitar lima belas tahun yang lalu. Tapi kuburan-

nya tidak seorangpun yang dapat menyamban-

ginya.

Sekarang Dewi Bulan berhadapan dengan 

salah satu tokoh dari tanah seberang. Namun me-

lihat penampilannya, rupanya gadis ini tidak per-

caya bahwa Ratu Penyair Tujuh Bayangan ini me-

rupakan tokoh kosen sebagaimana yang pernah 

diceritakan oleh gurunya. Apalagi bila melihat pe-

rempuan ini masih sangat muda sekali.

Tapi untuk membuat persoalan bukanlah 

kebiasaannya. Lagipula diantara mereka baru kali 

ini bertemu. Rasanya tidak pantas jika ia menca-

ri-cari perkara hanya karena ingin mengetahui 

kehebatan orang lain.

"Ternyata anda Ratu Penyair Tujuh Bayan-

gan. Datang memenuhi undangan merah? Siapa-

kah yang mengundangmu?"

"Hik hik hik! Tahukah kau dimana gunung 

Pangrangko, anak baik?" tanya Ratu Penyair Tu-

juh Bayangan tanpa menghiraukan pertanyaan 

Dewi Bulan. Sehingga membuat gadis berwatak 

keras ini merasa diabaikan.

"Kalaupun aku tahu, tidak nantinya aku


tunjukkan padamu!" dengusnya kesal bukan 

main.

"Ratu Penyair Tujuh Bayangan tidak bisa 

ditolak, anak manis! Di puncak Pangrangko akan 

terjadi peristiwa besar. Jawa ini bisa menjadi lau-

tan lumpur api seluruhnya jika prisma Permata 

tidak dapat dikembalikan ke asalnya."

"Siapa percaya dengan bualan seorang pe-

nyair?"

Sikap yang sungguh meremehkan ini 

membuat Ratu Penyair Tujuh Bayangan menjadi 

dongkol.

"Aku tahu kau ingin mengujiku. Tapi baik-

lah jika kau tidak mau bekerja sama secara baik-

baik denganku. Aku akan mengajarimu untuk 

bersikap baik pada orang tua sepertiku. Lima ju-

rus kuberikan padamu. Jika kau kalah maka kau 

harus menuruti apa yang aku mau!"

Dewi Bulan tentu saja tertawa lebar. Ba-

gaimanapun ia seorang murid dua tokoh sakti. 

Ilmu kepandaiannya sudah hampir mencapai ta-

rap sempurna. Bagaimana mungkin Ratu Penyair 

Tujuh Bayangan dapat memastikan lamanya se-

buah pertarungan?

"Kau terlalu sombong, Ratu Penyair. Se-

baiknya selalulah kau ingat bahwa diatas langit 

selalu masih ada langit lagi!"

"Hik-hik-hik! Jangan keburu marah. Uru-

sanku di puncak Pangrangko tidak bisa ditunda. 

Sekarang lihat serangan...!"

Ratu Penyair Tujuh Bayangan tiba-tiba


menyambar ranting kayu yang tergeletak tidak 

jauh di bawah kakinya. Ranting kayu kering yang 

semula kaku itu kini berubah melemas bagaikan 

rambut. Ketika ranting itu dikebutkan menuju de-

lapan penjuru jalan darah. Maka angin pun ber-

gelung-gelung melabrak Dewi Bulan.

Gadis ini terkesiap dibuatnya, ia segera da-

pat mengetahui hanya orang yang memiliki tena-

ga dalam diatas sempurna saja yang mampu me-

lakukannya. Sementara itu Dewi Bulan terpaksa 

melompat ke belakang untuk menyelamatkan diri 

dari totokan lawannya. Tapi baru saja ia menje-

jakkan kakinya diatas tanah. Ranting kayu yang 

kini telah berubah keras seperti asalnya telah me-

luruk deras ke arah urat besar pada bagian pe-

rutnya. Hanya dengan mengandalkan jurus 

'Kupu-kupu Menari di Atas Bunga' saja ia masih 

mampu menghindari serangan lawannya.

"Keluarkan senjata yang kau punya!" perin-

tah Ratu Penyair Tujuh Bayangan sambil berge-

rak lagi.

Dewi Bulan merasa nafasnya semakin me-

nyesak, sedangkan jantungnya seolah-olah ber-

henti berdenyut. Apalagi ketika Gatri Kencana ini 

memutar ranting ditangannya melebihi kecepatan 

titiran. Tidak ayal lagi Dewi Bulan terdorong 

mundur. Kini sadarlah gadis berwatak keras itu 

bahwa apa yang dikatakan oleh gurunya Gajah 

Gemuk dan Gajah Kurus bukan hanya sekedar 

omong kosong belaka.

Sebaliknya pada saat tengah berfikir dan


sambil menghindari serangan lawannya ini. Dewi 

Bulan dikejutkan lagi oleh suara Ratu Penyair Tu-

juh Bayangan yang seakan datang dari delapan 

penjuru arah.

"Melihat jurus-jurus silatmu. Rasanya ti-

dak salah jika kau sesungguhnya murid dua Ga-

jah di tanah Jawa!"

"Huh, bagaimana kau tahu?"

"Hik-hik-hik! Aku adalah penyair yang da-

pat membaca isi kepala orang. Gerakan tubuhmu 

adalah duplikat gerakan Gajah Kurus dan Gajah 

Gemuk. Apakah kau mau mungkir?"

Sebagai jawabannya Dewi Bulan langsung 

mencabut pedang pendek yang terselip di ping-

gangnya.

Sing!

Wuut! Wuut!

Pedang itu berputar sedemikian cepat. Ter-

dengar suara menderu-deru. Di tangan Dewi Bu-

lan pedang andalan itu seakan berubah menjadi

banyak. Menusuk membabat bahkan menyodok 

ke arah empat jalan darah. Rupanya ketika ia 

Dewi telah mengerahkan jurus 'Tarian Sang Wa-

let'. Salah satu jurus ciptaan bersama kedua gu-

runya.

Untuk beberapa jurus Gatri Kencana tam-

pak terdesak mundur. Namun hanya beberapa 

saat saja, begitu ia telah melihat jurus-jurus la-

wannya. Maka ia bergerak maju menerobos per-

tahanan Dewi dengan serangan ranting ditangan-

nya yang dapat melentur seperti oyot kayu dan



dapat berubah kaku seperti baja. Cepat bukan 

main serangan itu. Hingga tahu-tahu salah satu 

ujung ranting sudah berada di depan hidung De-

wi. Gadis ini tentu saja tidak menghendaki hi-

dungnya hancur. Ia menangkis sambil melompat 

mundur.

Traang!

Dewi Bulan terkejut, tangannya terasa sa-

kit bagai ditusuk ribuan batang jarum. Tidak dis-

angka kesempatan yang singkat itu dipergunakan 

oleh lawannya.

Tutts...!

Gadis bertahi lalat di dagu ini mengeluh 

tanpa mampu menggerakan tubuhnya lagi. Sa-

darlah ia bahwa Ratu Penyair Tujuh Bayangan ini 

telah menotoknya.

"Bagaimanapun kau kalah pengalaman dan 

umur bila dibandingkan aku. Empat jurus kau te-

lah takluk, sekarang antar aku ke puncak Pan-

grangko!"

"Kau telah bertindak curang. Kalau guruku 

tahu, kau pasti hanya tinggal nama saja!" maki 

Dewi Bulan tanpa mampu menggerakan tubuh-

nya ketika Gatri Kencana memanggulnya.

"Gurumu datang gurumu kugebuk mam-

pus! Jangan pamer guru di depanku!" dengusnya. 

Sekali berkelebat, maka Dewi Bulan merasakan 

tubuhnya dibawa lari laksana terbang.



EMPAT


Di lereng gunung Pangrangko ada sebuah 

puri bertingkat yang cukup tinggi. Di belakang 

puri itu ada sebuah bangunan lainnya. Bangunan 

besar dikelilingi tembok tinggi ini pada hari-hari 

sebelumnya terasa sepi. Hanya para penghuninya 

saja yang keluar masuk melaksanakan tugasnya 

masing-masing. Diluar kedua bangunan ini ada 

sebuah panggung yang tampaknya baru saja di-

persiapkan. Panggung yang cukup luas ini dihiasi 

dengan bermacam-macam janur. Tidak jauh dari 

panggung tersusun kursi-kursi terbuat dari ba-

han jati. Adapula sebuah podium lainnya. Dis-

amping podium terdapat dua buah kursi mempe-

lai yang dihiasi dengan beraneka bunga-bungaan.

Rupanya akan ada pesta besar-besaran 

disini. Terbukti dengan mulai hadirnya para ta-

mu-tamu undangan. Setiap tamu selalu menun-

jukkan undangan yang diberikan untuk para un-

dangan sekitar satu purnama yang lalu. Jadi ti-

dak sembarang orang dapat menghadiri pesta ter-

sebut. Tanpa undangan merah yang dibuat oleh 

tuan rumah. Maka orang itu tidak dapat mengi-

kuti acara pibu. Dan siapapun yang dapat menga-

lahkan putri Maya Swari dalam acara unjuk kebo-

lehan itu. Maka dialah yang akan menjadi sua-

minya.

Kini para undangan itu mulai memenuhi 

bangku-bangku yang kosong. Sementara itu dida-

lam sebuah ruangan besar di dalam bangunan 

yang terletak dibelakang puri tampak seorang la



ki-laki berpakaian seperti seorang raja dan ber-

tampang bengis sedang menerima kehadiran dua 

orang tamu. Tamu pertama adalah laki-laki tua 

pembawa kepis berpakaian anyaman daun lontar 

sedangkan capingnya terbuat dari daun lontar 

pula.

Sedangkan tamu yang kedua adalah seo-

rang nenek renta berkulit hitam bermuka bopeng. 

Kulitnya tipis, sehingga dilihat sepintas lalu 

hanya berupa jerangkong hidup. Tatapan mata 

perempuan ini mencorong, rambutnya jarang dan 

ada beberapa tusuk kundai dari perak yang lang-

sung menancap di batok kepalanya. Agaknya ke-

dua tamu ini merupakan sahabat terdekat tuan 

rumah. Terbukti laki-laki bengis berpakaian 

bangsawan ini menerima mereka secara khusus 

pula.

"Sudah lama kita tidak bertemu Datuk 

Mambang Pitoka dan Nyanyuk Pingitan. Setelah 

dua puluh tahun, bagaimana kabar anda seka-

lian?" Tuan rumah yang tidak lain adalah Raka 

Tendra berjuluk Penghulu Iblis ini memulai pem-

bicaraan dengan suaranya yang serak berat se-

perti dicekik setan. Buto Terenggi angkat wajah-

nya. Setan Hitam alias Nyanyuk Pingitan tertawa 

mengikik,

"Sebagaimana yang Datuk lihat, kami da-

lam keadaan sehat dan semakin berisi." kata 

Nyanyuk Pingitan kemudian. "Dua puluh tahun 

yang lalu putrimu masih orok. Tidak disangka ki-

ni telah dewasa dan cantik. Selain itu tentu ia


mewarisi semua ilmu yang kau miliki Datuk?" 

Buto Terenggi menimpali "Diraja Penghulu 

Iblis pasti memberikan yang terbaik untuk pu-

trinya. Apalagi Maya Swari adalah anak tunggal. 

Ha ha ha...!"

"Dengan kehadiran sahabat berdua. Aku 

Diraja Penghulu Iblis dengan rendah hati tentu 

berharap agar Anda membantu keamanan disini 

kalau terjadi sesuatu yang tidak kita ingini dalam 

acara Pibu nanti."

"Ah... Diraja terlalu berlebihan. Kami tentu 

saja membantu tanpa diminta sekalipun. Tapi 

menurutku, siapa orangnya yang berani mengu-

sik ketenteraman anda, terkecuali orang-orang 

yang ingin cepat mampus?"

"Lagipula kepandaian kami manalah ada 

apa-apanya bila dibandingkan Ahda Diraja Peng-

hulu Iblis. Untuk itu demi kehormatan persaha-

batan kita. Hanya dapat membawakan oleh-oleh 

ular Kayangan untuk acara penentuan pilihan 

suami bagi putri Anda." Datuk Mambang Pitoka 

kemudian menurunkan anyaman rotan yang ber-

bentuk kepis di mana didalam kepis itu penuh 

berisi ular-ular Kayangan yang terus mendesis-

desis.

"Hmm, ular Kayangan ini kudengar punya 

khasiat yang sungguh sangat luar biasa. Ia dapat 

melipat gandakan tenaga dalam seseorang dalam 

waktu hanya beberapa jam saja. Selain itu darah-

nya membuat kita tetap awet muda. Sungguh ini 

merupakan suatu pemberian yang tidak ternilai


harganya."

"Anda terlalu berlebihan, Sahabat. Aku 

hanya dapat berpartisipasi. Menurutku sebelum 

acara dimulai sore nanti. Bukankah lebih baik ji-

ka ular-ular itu diolah secepatnya. Dengan begitu 

para tamu undangan dapat merasakan khasiat-

nya." kata Datuk Mambang Pitoka.

"Betul. Aku setuju." sahut Raka Tendra. Ia 

kemudian bertepuk tangan. Seorang pengawal 

masuk ke dalam ruangan dan mengambil kepis 

berisi ular-ular itu.

Sementara Nyanyuk Pingitan kini telah 

mengeluarkan sebuah tabung bambu yang sudah 

tua dan kusam. Di dalam tabung bambu itu ter-

dapat ratusan ekor lebah beracun. Yang tentu sa-

ja sudah sangat terlatih dengan baik. Ia kemudian 

menyerahkannya pada Diraja Penghulu Iblis. Se-

raya berkata: "Aku tidak dapat memberikan kado 

barang-barang berkhasiat selain mainan yang ti-

dak ada guna ini. Terimalah Diraja...!"

Raka Tendra tercenung dengan alis berke-

rut dalam. "Ah... sahabat terlalu merendah. Ta-

won merah siapa yang tidak kenal. Bisanya san-

gat mematikan. Dikolong langit ini hanya Anda 

saja yang memilikinya. Pemberian ini merupakan 

satu kehormatan pula yang tidak mungkin terlu-

pakan."

Tokoh golongan sesat itu kemudian terta-

wa-tawa. Rupanya mereka selalu cocok dalam 

berbagai hal.

Pada saat yang sama di jalan utama pada



penerima tamu undangan yang terdiri dari murid-

murid Raka Tendra sendiri semakin sibuk me-

layani para tamu yang datang. Sampai menjelang 

tengah hari pemeriksaan berjalan dengan cukup 

lancar. Tapi tidak lama kemudian ketika muncul 

seorang pemuda berambut kemerahan berwajah 

tampan namun berkesan tolol kekanak-kanakan. 

Maka suasanapun berubah menjadi lain.

"Mana bendera undangan merah yang se-

harusnya kau bawa hari ini?" tanya petugas pene-

rima tamu pada pemuda berbaju biru ini dengan 

mata melotot. Pendekar Blo'on nyengir kuda, lalu 

garuk-garuk kepalanya. Akal cerdiknya segera 

berjalan. Karena ia memang tidak pernah diun-

dang oleh siapapun. Tentu ia tidak dapat menun-

jukkan bendera merah yang dimaksudkan. Sebab 

apa yang dilakukannya saat ini adalah mencari 

musuh besar yang telah membunuh kedua orang 

tuanya. Tapi ketika di tengah jalan ia melihat ba-

nyak orang yang menuju ke gunung Pangrangko 

ini, mau tidak mau ia menjadi heran ada apakah 

gerangan? Dan ia jadi ingin mengetahuinya.

"Undangan itu hilang ketika aku sedang 

mandi di kali. Maafkan aku kawan."

"Jika kau tidak dapat menjaga keselamatan 

undangan itu. Berarti kau tidak dapat menjaga 

kehormatan penghulu kami. Bagaimana mungkin 

manusia sepertimu dipandang muka oleh ketua 

dan raja kami!" dengus sang penerima tamu. Se-

dangkan kawan si penerima tamu sedikitpun ti-

dak menghiraukan Suro Blondo. Ia malah sibuk


memeriksa identitas tamu-tamu yang lainnya.

Kesempatan lengah yang cuma sekejap ini 

langsung dimanfaatkan oleh Suro Blondo. Dita-

riknya penerima tamu itu ke tempat yang aman. 

Seraya kemudian berbisik.

"Tenanglah, aku sahabat baik putri Maya 

Swari. Jika kau melarangku masuk ke ruangan 

tamu. Tentu ia akan mencari-cari aku. Bagaima-

na kalau kita berdamai saja. Aku bisa meminta-

kan bagimu dua keping emas untuk kebaikanmu 

itu." Penerima tamu tentu saja terkejut menden-

gar keterus terangan si pemuda. Padahal yang se-

sungguhnya Suro Blondo sendiri mendengar 

Maya Swari dari orang-orang yang dijumpainya di 

jalan.

"Benarkah kau kawannya?" tanya penerima 

tamu ragu-ragu.

"Tentu saja. Apakah kau perlu kupanggil-

kan puteri. Tapi jika dia sampai marah. Harap re-

siko ditanggung sendiri."

Rupanya penerima tamu yang masih terhi-

tung murid Diraja Penghulu Iblis begitu takluk 

pada anak gurunya. Sehingga tanpa banyak kata 

lagi ia segera menyuruh pendekar Blo'on berlalu.

"Jangan kau cerita pada siapapun karena 

kau tidak membawa bendera undangan. Diraja 

Penghulu Iblis bisa menghukumku."

"Jangan takut, kalau ada apa-apa tentu 

Maya Swari akan membelamu." pemuda ini me-

nyeringai. Sambil bersiul-siul ia melangkah pergi.

Ketika Pendekar Blo'on sampai di bagian


penerima tamu terakhir dilihatnya semua kursi 

yang tersedia telah penuh terisi. Kalaupun ada 

kursi yang kosong letaknya jauh dari panggung 

laga dan juga panggung kehormatan. Karena ter-

dorong oleh rasa keingin tahuannya. Maka Pe-

muda ini terpaksa duduk di tempat terpisah de-

kat beberapa ekor kuda yang ditambatkan dan 

juga dikelilingi ayam.

"Ha ha ha...! Duduk dengan kuda lebih 

baik daripada dengan para iblis bertampang ma-

can. Eeh... ada pula yang gundul seperti tuyul 

dan ada pula yang jelek seperti hantu. Ha ha ha... 

masa bodoh. Menunggu acara dimulai aku jadi 

mengantuk nih!" kata pemuda itu. Ia bersandar di 

batang pohon di mana bangku yang didudukinya 

berada. Tapi aneh ia tidak dapat memejamkan 

matanya. Apalagi ketika melihat para tamu sema-

kin banyak saja jumlahnya.

Setengah jam kemudian Suro Blondo meli-

hat seorang gadis berpakaian pengantin berwajah 

cantik luar biasa menuju singgasana pelaminan 

yang terletak di samping podium. Pemuda ini 

mementang matanya lebar-lebar. Ia memang ha-

rus mengakui bahwa gadis itu cantik luar biasa. 

Tidak seperti tampang para tamu undangan, ka-

laupun ada yang perempuan tetap saja jelek me-

nakutkan.

"Luar binasa... eh, luar biasa. Gadis itukah 

yang ingin menjadi pengantin? Tapi sungguh 

aneh, pengantin pria masih belum ketahuan siapa 

orangnya. Sekarang ia sudah memakai gaun pengantin. Apakah dengan pakaian itu ia akan berta-

rung dengan orang-orang gagah untuk menentu-

kan siapa yang dapat mengalahkannya?"

Suro Blondo garuk-garuk kepala. Ia terus 

memandang ke arah gadis cantik bergaun pen-

gantin kini mulai duduk di pelaminan tunggal. 

Melihat kecantikan gadis itu, tiba-tiba saja ia te-

ringat pada Dewi Bulan. Ia tidak tahu entah ke-

mana gadis itu sekarang. Sejak pertemuan terak-

hir mereka (Dalam Episode Hianat Empat Datuk). 

Konon Dewi Bulan ingin menyambangi gurunya di 

gunung Merbabu.

Lamunan pemuda ini seketika buyar saat 

ia melihat seorang laki-laki berpakaian bangsa-

wan menuju ke podium yang terletak disebelah 

pelaminan tunggal. Dibelakang laki-laki itu me-

nyertai pula seorang laki-laki dan perempuan 

yang rupanya sengaja mengawalnya.

Acara di tempat yang terbuka itu kemudian 

dimulai. Seluruh hadirin yang kebanyakan terdiri 

dari tokoh-tokoh golongan sesat terdiam.

"Saudara-saudara!" Diraja Penghulu Iblis 

membuka ucapannya. "Hari ini saya sengaja 

mengundang saudara-saudara kemari. Pertama-

tama adalah untuk bertatap muka dan saling 

mengenal secara lebih dekat lagi. Sedangkan yang 

kedua adalah untuk menentukan siapa yang pal-

ing pantas untuk menjadi calon pendamping pu-

triku. Inilah peraturan yang ditetapkan oleh pu-

triku sendiri. Itu sebabnya saya meminta saudara 

dari setiap perguruan membawa murid terbaik


nya. Siapa tahu ia mempunyai keberuntungan 

berjodoh dengan murid sekaligus putri tunggalku. 

Putriku tidak menghendaki harta benda, tapi ia 

ingin punya suami yang memiliki kepandaian le-

bih tinggi dari kepandaian yang dimiliki-nya. 

Sambil mengikuti acara tanding untuk menentu-

kan siapa yang pantas menjadi pendamping pu-

triku. Sebaiknya nikmati hidangan yang telah 

kami sediakan!" Diraja Penghulu Iblis meninggal-

kan podium, seraya menghampiri putrinya yang 

duduk lengkap dengan pakaian pengantin. Mere-

ka kemudian terlibat pembicaraan serius.

Maya Swari meninggalkan pelaminan. Se-

kejap ia menghilang di ruangan ganti setelah itu 

muncul lagi lengkap dengan pakaian ringkas ber-

warna biru pula.

Ia melompat keatas panggung kayu dengan 

gerakan yang sangat ringan sekali. Sementara itu 

seorang pembawa acara mulai membacakan tata 

cara dan aturan main di atas panggung. Para ha-

dirin berdecak kagum melihat kecantikan sang 

dara. Bahkan diantara mereka ada yang bertepuk 

tangan segala. Suasana yang hiruk pikuk itu ter-

henti begitu tata cara permainan dibacakan.

"Peserta dinyatakan kalah, bila jatuh sam-

pai ke luar arena. Sedangkan putri Maya Swari 

dinyatakan kalah bila peserta dapat menotoknya. 

Peserta diperkenankan memakai senjatanya mas-

ing-masing. Pertandingan ini digelar selama dua 

hari. Siapapun punya kesempatan untuk menco-

ba. Terkecuali mereka yang telah berumur diatas


tiga puluh tahun. Sekian...!"

Pembawa acara melompat turun dari pang-

gung. Posisinya digantikan oleh seorang pemuda 

berkepala gundul, mukanya bopeng-bopeng me-

nakutkan. Hidungnya bengkok seperti paruh bu-

rung kakaktua dan badannya tegap berisi. Sebe-

lum bicara ia membungkuk hormat pada hadirin 

dan pada Maya Swari.

"Aku murid pertama perguruan Alam ku-

bur. Bagus Indrajit namaku. Semoga Anda berke-

nan main-main denganku barang sejurus dua ju-

rus!"

Maya Swari tersenyum, namun hatinya 

mendongkol karena lawan yang dihadapinya 

mempunyai tampang begitu buruk. Dalam hati ia 

bertekad ingin secepatnya menjatuhkan laki-laki 

itu.

"Silahkan saudara!"

Dengan tenangnya Maya Swari memperha-

tikan setiap gerakan Bagus Indrajit. Dimatanya 

pemuda ini ternyata memang memiliki tenaga 

yang cukup besar, gerakannya lincah dan setiap 

serangan yang dilancarkannya terarah pada ba-

gian-bagian yang sangat berbahaya. Tidak salah 

ketika itu si pemuda telah mempergunakan jurus 

'Semilir Senja Dalam Sepi'. Ini merupakan jurus 

tingkat kedua yang pernah diajarkan oleh gu-

runya Bageng Jaliteng. Rupanya ia sadar bahwa

Maya Swari merupakan anak seorang tokoh besar 

rimba persilatan. Sehingga ia tidak mau mere-

mehkan lawannya. Sebaliknya Maya Swari sendiri


hanya dengan mengandalkan ilmu mengentengi 

tubuh yang sudah mencapai tarap sempurna 

tampak berkelebat menghindari setiap serangan 

yang datang tidak ubahnya seperti burung walet 

yang menghindari tetesan air hujan. Hanya dalam 

waktu singkat lima jurus telah terlewati. Keringat 

telah membasahi sekujur tubuh Bagus Indrajit. 

Namun sampai sejauh itu ia belum berhasil men-

jatuhkan lawannya. Jangankan menjatuhkan, 

menyentuh salah satu pakaian lawan saja ia tidak 

mampu.

Suara-suara sumbang mulai terdengar. 

Maya Swari semakin lama semakin cepat dalam 

menghindar. Disatu kesempatan dengan diawali 

teriakan melengking tinggi. Gadis cantik ini me-

nerjang ke depan. Tendangan kilat dilakukannya 

disusul dengan pukulan beruntun. Tendangan itu 

dapat dihindari oleh Bagus Indrajit. Bahkan pu-

kulan yang dilepaskan oleh Maya dapat dielak-

kannya. Tapi ketika Maya meneruskannya dengan 

tendangan susulan. Pemuda ini jadi terdesak. 

Wuuk!

Buuk! Buuk!

"Wuaakh...!" Bagus Indrajit terpelanting 

dan jatuh ke bawah panggung tanpa mampu 

mempertahankan diri. Seketika terdengarlah ge-

muruh suara hadirin mengeluk-elukan Maya 

Swari.

Dalam pada itu dari bawah panggung me-

lesat seorang pemuda berompi cokelat. Wajahnya 

cukup lumayan. Sebagaimana yang dilakukan la


wan terdahulu, kini pemuda berompi cokelat in-

ipun menjura hormat setelah itu tanpa basa basi 

langsung menyerang dengan mempergunakan se-

pasang pedang pendek. Keadaan tentu semakin 

bertambah seru, sedangkan Suro Blondo yang 

menyaksikan pertandingan itu hanya geleng-

geleng kepala.

Sejenak mari kita tinggalkan pertarungan 

diatas panggung itu. Kita lihat apa yang terjadi di 

jalan utama menuju tempat keramaian itu.


LIMA



"Berhenti...!" salah seorang petugas pene-

rima undangan tiba-tiba membentak garang. La-

ki-laki gemuk luar biasa dan laki-laki kurus 

nggak ketulungan terpaksa menghentikan lang-

kahnya. Dengan cepat dua orang penerima tamu 

yang bertugas digerbang utama datang meng-

hampiri.

"Tunjukkan bendera undangan pada kami!" 

kata salah seorang diantaranya. Gajah Gemuk 

dan Gajah Kurus saling pandang. Lalu dua-dua 

tersenyum.

"Undangan itu terpaksa kami buang kare-

na ada orang-orang tertentu yang menghendaki 

nyawa kami. Bukankah begitu adik Gajah Ku-

rus?" Gajah Gemuk kemudian memberi isyarat 

pada adiknya. Dengan gerakan cepat dan tidak 

terduga-duga, tiba-tiba Gajah Kurus menotok



urat gerak di tubuh penerima tamu sehingga 

membuat kedua pemuda itu menjadi kaku tidak 

mampu bergerak-gerak lagi.

"Ha ha ha...!"Begini lebih baik bagi kalian!" 

kata Gajah Gemuk. "Bagaimana Adikku?"

"Kalau sudah tidak ada aral melintang, se-

baiknya kita naik ke gunung Pangrangko seka-

rang juga." desah Gajah Kurus.

"Mari...!"

Kedua tokoh aliran lurus ini kemudian me-

lanjutkan perjalanannya. Karena jalan yang akan 

mereka lewati selalu dijaga ketat oleh anak buah 

Diraja Penghulu Iblis. Maka Gajah Gemuk dan 

Gajah Kurus terpaksa bekerja keras merobohkan 

orang-orang itu tanpa membunuhnya.

Ternyata mereka berhasil menyusup juga. 

Karena mereka ini bukan termasuk orang-orang 

yang diundang. Mau tak mau mereka terpaksa 

menyaksikan adu ketangkasan itu dari sebuah 

tempat bersembunyi tidak jauh dari panggung.

"Banyak juga orang-orang yang datang un-

tuk mengikuti acara pemilihan calon suami ini, 

Kakang."

"Diraja Iblis memang mempunyai seorang 

putri yang aneh. Kalau cuma untuk menentukan 

siapa suaminya. Mengapa harus orang yang me-

miliki kepandaian silat tinggi dan dapat menga-

lahkannya. Tokh diatas ranjang nanti ia tetap 

akan kalah dan selalu berada di bawah. Kurasa 

faktor yang terpenting bukan itu adikku. Siapa 

tahu ia punya niat untuk mengumpulkan seluruh


orang-orang persilatan agar sudi bergabung den-

gan mereka."

"Bagaimana Kakang bisa beranggapan se-

perti itu?" tanya Gajah Kurus sambil terus me-

mantau pertarungan yang sedang berlangsung di-

atas panggung antara Maya Swari dengan seorang 

pemuda berbaju putih bersenjata kampak.

"Dalamnya laut dapat diduga, dalamnya 

hati para iblis siapa yang tahu?"

Gajah Kurus menganggukkan kepala. 

"Urusan kita kemari hanyalah untuk men-

gambil ular Kayangan yang telah dicuri oleh Buto 

Terenggi. Apakah kita akan mencampuri urusan 

Raka Tendra?"

"Tergantung. Kalau ini menyangkut urusan 

rimba persilatan dan mengancam kaum golongan 

putih. Masa' kita hanya menjadi penonton saja. 

Coba sekarang perhatikan ke bawah pohon itu!"

"Ya... aku sudah melihatnya. Seorang pe-

muda berambut hitam kemerahan berbaju biru 

itu kan?"

"Betul. Ia bukan bergabung sebagaimana 

undangan lainnya, dia malah berkumpul dengan 

kuda. Tampangnya tolol kekanak-kanakan, apa-

kah kau tidak tertarik untuk mengetahuinya apa 

sesungguhnya yang ia cari di tempat ini...?"

"Tampangnya tolol begitu, apakah dia bu-

kan anggota para iblis?" Gajah Kurus tampak me-

ragu.

"Hmm, tatapan matanya begitu lain. Aku 

yakin dia bukan undangan Diraja Penghulu Iblis.



Tapi sebaiknya kita lihat apa yang akan dilaku-

kannya." Gajah Kurus mengangguk setuju.

Sementara itu diatas panggung Pibu, kini 

Maya Swari telah berhadapan dengan seorang 

pemuda lain bertelanjang dadanya. Badannya ke-

kar berotot. Kulitnya hitam legam macam pantat 

kuali. Ia menjura hormat sebelum memperkenal-

kan diri.

"Nisanak. Aku Pito Lukito ingin minta pe-

tunjukmu!"

"Katakan dari mana asal usulmu!"

"Aku dari tanah seberang, tidak punya 

guru...!"

"Hmm, majulah!"

"Heaaa...!"

Diawali dengan suara bentakan keras 

menggelegar, Pito Lukito yang sudah melihat ke-

handalan lawannya ini langsung melancarkan se-

rangan-serangan yang mematikan. Sungguhpun 

pemuda ini mengaku tidak pernah berguru, tapi 

serangan-serangan yang dilancarkannya cukup 

dahsyat dan terarah. Maya Swari menyadari ke-

nyataan ini. Tanpa mengenal rasa lelah setelah 

menjatuhkan sepuluh lawan terdahulu kini ia be-

rusaha merangsak dan menembus pertahanan 

lawannya.

Perlu diketahui ketika mengalahkan sepu-

luh lawannya tadi. Tidak seorangpun yang mam-

pu menyentuh badannya. Kini dengan senjatanya 

berbentuk sebuah celurit ia merangsa dengan ga-

nasnya. Angin serangan menderu-deru. Sungguhpun begitu dengan kecepatan sulit diikuti ka-

sat mata, Maya Swari masih sempat menghajar 

perut Pito Lukito dengan satu tendangan keras. 

Deek!

Wees! 

Pito Lukito terjajar tapi tidak sampai keluar 

dari kalangan pertempuran. Tepuk sorai hadirin 

terdengar. Tapi hanya sesaat, karena mereka se-

gera melihat bahwa pita biru pengikat rambut 

Maya Swari kena ditebas putus. Gadis itu sempat 

ciut nyalinya. Buru-buru ia merapikan rambut-

nya yang tergerai.

"Bukan main!" Raka Tendra, Buto Terenggi 

dan Nyanyuk Pingitan berseru memuji.

Dalam pada itu Maya Swari telah bergerak 

lagi. Tubuhnya mencelat ke depan jemari tangan 

terkembang mencengkeram batok kepala. Se-

dangkan kaki menendang kearah lambung.

Gerakan ini dikenal dengan jurus 

'Memagut Bisa Mencabut Kepala'. Tidak semba-

rang orang dapat menghindar dari kematian jika 

tidak berpengalaman benar dalam menghindar.

"Huup! Heaa...!"

Pito Lukito rupanya sadar benar akan hal 

ini. Ia miringkan setengah badannya, celurit ia 

goyang ke kiri dan menghantam ke kanan. Ru-

panya serangan dahsyat ini hanya tipuan saja. 

Ketika Pito Lukito membalasnya dengan tipuan 

pula. Ia malah tertipu mentah-mentah. Benar 

lambungnya dapat diselamatkan. Tapi kepalanya 

yang gondrong berhasil dicengkeram oleh Maya


Swari. Dengan kekuatannya yang tidak terduga-

duga diputarnya Pito Lukito dengan kaki terayun 

di udara. Dalam keadaan berputar seperti itu ia 

hadiahkan satu pukulan ke bagian tengkuk.

Dhakk...!

"Waaakh...!"

Mulut Pito Lukito menyembur darah. den-

gan keadaan setengah mampus tubuhnya dilem-

parkan keluar panggung. Pemuda ini jatuh tergul-

ing-guling dibawah panggung dalam keadaan se-

karat. Seruan memuji terdengar. Dalam pada itu 

terdengar suara seseorang yang begitu lantang.

"Putri Diraja memang hebat. Sayang tidak 

ada lawan yang tangguh. Semua cap lonceng dis-

ini jadi pecundang, huh sungguh memalukan!" 

ucapan bernada mengejek ini tentu mengundang 

perhatian setiap orang. Tidak terkecuali tuan ru-

mah Diraja Penghulu Iblis.

Mereka segera mencari-cari asal datangnya 

suara. Maka terlihatlah oleh mereka seorang pe-

muda berbaju biru duduk ongkang-ongkang di-

bawah pohon sambil mengelus-elus pantat kuda.

Buto Terenggi berbisik pada Raka Tendra. 

"Bocah tolol itulah yang tadi bicara!" 

"Sebaiknya suruh dia maju ke panggung!" 

balas Raka Tendra sambil menganggukkan kepa-

la.

Buto Terenggi maju menghampiri Suro 

Blondo. Di tempat persembunyiannya Gajah Ge-

muk berbisik pada Gajah Kurus.

"Bocah itu lancang sekali mulutnya. Tidak


tahukah dia sedang berada di sarang macan yang 

sedang berpesta?"

"Kita lihat apakah dia punya kepandaian?" 

Gajah Kurus menimpali.

Sementara Buto Terenggi telah datang 

menghampiri.

"Kau yang bicara tadi, bocah?"

Suro Blondo garuk-garuk kepala.

"Apakah kau merasa punya kemampuan 

sehingga berani menghina orang lain...?"

"Aku tidak tahu. Kulihat putri itu hebat 

bukan main. Tapi apa gunanya membuat pang-

gung lawakan yang tidak lucu, kalau orang yang 

bermain diatasnya hanya orang-orang seperti ba-

dut!" kata pendekar Blo'on sambil tersenyum-

senyum.

Merah wajah Buto Terenggi seketika. Ra-

hangnya terkatup rapat. Ia pun kemudian meng-

geram marah.

"Jika kau merasa punya kebiasaan menga-

pa tidak cepat naik keatas panggung?" bentaknya 

berang.

"Aku baru akan melakukannya!" ujar si 

pemuda.

Karena merasa tidak sabar. Datuk Mam-

bang Pitoka langsung menyentakkan tangan pen-

dekar Blo'on. Tubuh si pemuda ini langsung me-

layang hingga membuatnya jatuh terduduk diatas 

panggung. Semua orang berdecak kagum melihat 

besarnya tenaga yang dimiliki oleh Buto Terenggi. 

Tapi mereka segera maklum setelah mengetahui


siapa orangnya.

"Lihatlah, orang yang mencuri ular-ular ki-

ta ada disitu. Apakah kita gebuk sekarang?"

"Jangan adik Kurus. Kita harus melihat si-

tuasi, naluriku mengatakan akan terjadi huru ha-

ra disini." kata Gajah Gemuk di tempat persem-

bunyiannya.

Sementara itu Ratu Penyair Tujuh Bayan-

gan juga sudah berada di tempat keramaian. 

Hanya ia yang datang bersama Dewi Bulan senga-

ja bersembunyi diatas pohon. Sungguhpun ia da-

tang dengan membawa undangan, tapi kecuri-

gaannya mulai timbul ketika melihat para petugas 

penerima tamu tewas dalam keadaan tertotok. 

Kecurigaan Ratu Penyair Tujuh Bayangan sema-

kin bertambah kuat melihat orang-orang yang te-

was itu pertama tentunya dalam keadaan terto-

tok, baru sejam kemudian dibunuh. Jelas antara 

si penotok dengan si pembunuh merupakan orang 

yang berlainan.

Kini diatas pohon itu Ratu Penyair dan De-

wi Bulan yang tertotok urat gerak dan suaranya 

dapat menyaksikan ke tengah-tengah panggung 

tanpa ada seorangpun yang melihat mereka. Dewi 

Bulan yang tidak mampu bicara itu tentu saja 

terkesiap melihat Suro Blondo terlempar ke atas 

panggung. Sungguhpun ia melihat orang lain 

yang melemparkannya. Artinya tetap sama saja, 

jika pendekar Blo'on yang memenangkan pertan-

dingan ini ia berhak memperistri Maya Swari. 

Tanpa terasa jantung Dewi Bulan berdetak ken


cang dan wajahnya pun bersemu merah.

Dibelakangnya Ratu Penyair Tujuh Bayan-

gan yang melihat kejadian ini hanya tersenyum-

senyum saja.

"Pemuda itu meskipun tampangnya tolol 

kekanak-kanakan, ganteng bukan?" sindirnya 

kemudian. Untung Dewi Bulan tidak dapat bicara, 

kalau tidak ia pasti sudah menyemburnya dengan 

caci maki.

Diatas panggung Suro Blondo dengan ter-

pincang-pincang sudah bangkit berdiri. Sesung-

guhnya ia tidak kekurangan sesuatu apa. Ketika 

ia dilemparkan tadi ia bahkan telah mengerahkan 

tenaga dalam untuk melindungi badannya dari 

pengaruh benturan. Tapi karena kini ia berada di 

tengah-tengah orang-orang berkepandaian tinggi 

dan terdiri dari para tokoh sesat pula. Mau tidak 

mau ia mengambil sikap seperti orang yang tidak 

punya kepandaian sama sekali.

"Bicaramu selangit, seakan kau mempu-

nyai kesaktian segudang." dengus Maya Swari. 

Rupanya setelah melihat ketampanan si pemuda 

yang sangat lain dari lainnya, gadis ini merasa 

tertarik juga.

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mela-

wanmu, Nisanak!" kata si pemuda, lalu menyeka 

keringat yang mengalir dikeningnya.

"Huh... siapa sudi memaafkan kau. Terlan-

jur kau naik kepanggung ini. Kau mau tidak mau, 

suka tidak suka harus menerima gebukanku!" ka-

ta Maya Swari. Dan entah mengapa kini ia punya


perhatian khusus pada pemuda berambut hitam 

kemerah-merahan ini.


ENAM



"Baiklah. Kuterima gebukanmu tapi jangan 

kuat-kuat!" Pendekar Blo'on menyeringai. Ini

membuat Maya Swari menjadi mangkal. Cepat ia 

menggeser langkahnya kesamping kiri. Kaki de-

pan ditekuk, sementara tangan terkembang di 

depan dada. Jelas sekali Raka Tendra mengetahui 

bahwa putrinya mengerahkan salah satu jurus 

yang sangat berbahaya. Padahal pemuda itu 

sungguhpun anaknya mempergunakan jurus bi-

asa belum tentu lawan dapat menghindarinya. 

Raka Tendra segera dapat mengambil kesimpulan 

bahwa anaknya memang bermaksud menghabisi 

lawannya.

"Yeaa...!"

Maya Swari melompat ke depan. Tangan-

nya terkembang menghantam ke dada. Cepat bu-

kan main gerakan ini sehingga orangpun dapat 

membayangkan dengan sekali pukul pemuda be-

rambut hitam kemerahan ini roboh dan paling ti-

dak terluka dalam cukup parah.

"Jangan kelewat kejam...!" desis Suro Blon-

do lalu pencongkan mulutnya. Setelah itu ia me-

lompat ke samping. Ia pergunakan jurus Kera pu-

tih Memilah Kutu. Gerakan menghindar yang di-

lakukannya terkesan asal jadi dan sembarangan.


Tubuhnya terhuyung ke depan, ketika hantaman 

tangan lawan datang ia tarik ke kiri, lalu ter-

huyung pula ke kanan. Sedangkan kaki dengan 

lincahnya melompat-lompat lalu....

Wuus!

Satu liukan indah dilakukannya. Sehingga 

serangan beruntun Maya Swari mengenai sasaran 

kosong. Para hadirin terlebih-lebih Raka Tendra 

tertegun. Jurus serta serangan anaknya itu ter-

kenal cepat dan tidak pernah meleset. Tapi aneh, 

jika kali ini lawan dengan gerakan yang kacau 

dapat menghindari serangan itu.

Maya Swari kertakan rahangnya. Tangan 

kiri diputarnya, lalu tangan kanan menghantam 

ke bagian wajah lawan sedang kaki menendang ke 

arah perut. Ini merupakan gerakan yang sulit di-

lakukan oleh orang lain secara sempurna. Seke-

jap ia melompat lalu lepaskan tendangan dan pu-

kulan secara beruntun. Sambil berjingkrak-

jingkrak Suro Blondo terpaksa melompat ke bela-

kang dan terus ke belakang. Orang memperkira-

kan sebentar lagi pemuda bertampang tolol keka-

nak-kanakan ini pasti jatuh dari panggung. Tapi 

siapa sangka begitu sampai di ujung panggung ia 

bersalto sebanyak tiga kali. Bahkan ia masih 

sempat pula melakukan serangan balasan.

Bet!?

Tangannya melayang mencakar ubun-ubun 

lawan. Maya Swari terpaksa berguling-guling se-

lamatkan kepala.

"Ha ha ha...!" Pendekar Blo'on tertawa nga


kak. "Hati-hati, Nisanak!"

"Jangan bangga! Heyaa...!" Maya Swari 

sambil berteriak melompat berdiri tangannya 

menghantam lutut si pemuda. Karena serangan 

itu bertubi-tubi dan penuh variasi. Suro Blondo 

kali ini terpaksa melompat lagi, tangan menghan-

tam kiri kanan dan depan. Ia berjongkok dan se-

perti seekor monyet berjingkrak-jingkrak ia me-

layani serangan lawannya.

Yang aneh dari serangan balasan yang di-

lakukan kali ini adalah setiap menyerang dari 

mulutnya keluar suara raungan seperti suara hi-

ruk pikuk monyet di hutan. Suara ini membawa 

pengaruh tidak ringan, karena gerakan silat serta 

konsentrasi lawan jadi terpecah-pecah.

"Hiiik!" Maya Swari rupanya segera menya-

dari apa yang harus dilakukannya untuk menghi-

langkan pengaruh suara pendekar Blo'on. Sehing-

ga ia berteriak keras sekali. Pertarungan itu se-

makin lama berlangsung semakin seru. Semua 

pihak berdecak kagum. Termasuk juga orang-

orang yang bersembunyi di balik pohon maupun 

yang diatas pohon.

"Anak itu tampangnya tolol dan kekanak-

kanakan. Tapi siapa sangka ia mempunyai ilmu 

silat yang sangat langka." komentar Buto Terenggi 

seakan memuji.

"Aku seperti pernah mengenal jurus-jurus 

aneh seperti itu. Tapi aku lupa kapan dan dima-

na." Raka Tendra menimpali.

"Tenaga dalamnya berada diatas tenaga da


lam Maya Swari" Nyanyuk Pingitan buka suara. 

"Sayang kita tidak tahu dia berasal dari go-

longan mana!"

"Kita lihat dulu apakah ia mampu mengha-

dapi ilmu pedang putriku. Jika dia lolos dari ke-

matian. Nanti kita dapat bertanya darimana asal 

pemuda itu."

Sementara itu Gajah Gemuk dan Gajah 

Kurus juga sedang berembuk dan membicarakan 

Pendekar Blo'on.

"Kurasa di kolong langit ini hanya Penghu-

lu Siluman Kera Putih Batara Surya saja yang 

memiliki ilmu kera semacam ini. Tapi apakah kau 

yakin dia muridnya Batara Surya?"

"Aku kurang tahu, Kakang. Menurut apa 

yang kudengar Batara Surya tidak pernah me-

mungut seorang murid pun. Ia lebih suka ber-

kumpul dengan monyet-monyet siluman kaum-

nya."

"Tapi... ah, ini lebih gila lagi. Lihatlah jurus 

yang dimainkannya itu. Lima puluh tahun yang 

lalu aku seperti pernah melihat jurus yang sangat 

kacau sebagaimana yang dimainkan oleh pemuda 

itu. Tidak! Jurus ini lebih dahsyat dari jurus-

jurus kera putih." Bantahnya sendiri.

"Kacau balau? Bukankah jurus itu hanya 

dimiliki oleh Malaikat Berambut Api?"

Gajah Gemuk manggut-manggut. "Benar... 

aku baru ingat jurus yang sekarang dimainkan 

oleh pemuda itu sama persis dengan jurus Kacau 

Balau ciptaan Malaikat Berambut Api. Tapi apa


hubungannya? Apakah dia muridnya? Konon Ma-

laikat Berambut Api manusia sakti mandraguna 

itu tinggal di Pulau Seribu Satu Malam dan tidak 

punya seorang murid pun."

"Ya... dan gadis itu walaupun kini bersenja-

ta pedang mungkin tidak sampai lima jurus di-

muka segera menjadi pecundang!" kata Gajah 

Gemuk menimpali.

Apa yang dikatakan oleh Gajah Kurus me-

mang bukan hanya sekedar bualan saja. Sung-

guhpun Maya Swari telah menggerakkan jurus 

pedang yang paling sangat diandalkannya. Hingga 

sejauh itu ia masih belum dapat menciderai la-

wannya. Jangankan melukainya, sedangkan me-

robek pakaian si pemuda saja ia tidak mampu.

Ketika Suro Blondo melancarkan serangan 

balik dengan perpaduan dua jurus, yaitu jurus 

Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau dan Jurus 

Kacau Balau. Maka Maya Swari segera terdesak. 

Gadis cantik ini semakin memperhebat gerakan 

pedangnya dan juga melipat gandakan tenaga da-

lamnya. Sejauh itu ia masih belum mampu me-

nembus pertahanan lawannya. Bahkan setiap se-

rangan-serangan yang dilancarkannya selalu ter-

tahan. Permainan pedangnya terbatas dan selalu 

membalik nyaris mengenai diri sendiri.

Diatas pohon Dewi Bulan yang turut me-

nyaksikan pertempuran itu diam-diam mulai ce-

mas. Ia bukan mengkhawatirkan keselamatan 

pemuda itu, tapi jauh di lubuk hatinya jika Pen-

dekar Blo'on dapat memenangkan pertandingan


ini berarti dia akan menjadi suami Maya Swari. 

Siapa yang tidak sedih melihat pemuda yang di-

cintainya secara diam-diam menjadi suami orang 

lain. Secara kebetulan itupun tengah dipikirkan 

oleh Suro Blondo. Kalau dia mau tentu sejak tadi 

Maya Swari dapat dijatuhkannya. Tapi konsek-

wensinya ia harus menjadi suami Maya Swari. 

Padahal inilah yang tidak dikehendakinya. Bukan 

karena Maya Swari jelek rupa. Dibandingkan De-

wi Bulan, Kecantikan Maya Swari tidak ubahnya 

bagai pinang di belah kampak. Artinya sama-

sama cantik dan menawan. Mengingat Maya Swa-

ri merupakan putri dari tokoh sesat, hal ini tidak 

sejalan dengan jalan hidup yang ditempuhnya. 

Lagipula ia masih harus mencari musuh besar 

orang tuanya yang hingga kini belum ketahuan 

dimana rimbanya.

Sekarang ia harus mencari jalan lain, pal-

ing tidak ia harus mengalah. Tapi jika itu dilaku-

kannya, ia pasti mati ditangan si gadis yang begi-

tu ganas. Dalam keadaan bingung begitu rupa, 

serangan-serangan Maya Swari semakin bertam-

bah gencar kembali. Tokh sebagai orang berpen-

galaman Diraja Penghulu Iblis, Buto Terenggi dan 

Nyanyuk Pingitan sudah dapat mengetahui bahwa 

pemuda berambut hitam kemerahan itu kini sen-

gaja mengalah. Dalam arti sebenarnya ia sudah 

memenangkan pertarungan sejak beberapa jurus 

tadi. Apapun alasannya, pemuda itu sudah pan-

tas menjadi pendamping Maya Swari sebagaimana 

isyarat gadis itu kepada ayahnya.


Celakalah bagi Suro Blondo karena usa-

hanya ini tidak mendatangkan hasil. Ketika Diraja 

Penghulu Iblis bertepuk tangan dan angkat ben-

dera putih. Maka Maya Swari melompat mundur. 

Tidak lama penguasa gunung Pangrangko ini me-

lompat ke atas panggung, memandang untuk be-

berapa saat lamanya, lalu tersenyum ditujukan 

pada Maya Swari anaknya.

"Sesungguhnya kau telah kalah, Anakku. 

Pemuda ini pantas menjadi pendampingmu. Ba-

gaimana apakah kau mau mungkir?" pertanyaan 

ini membuat wajah Maya Swari yang putih susu 

berubah memerah seperti tomat masak. Ia sendiri 

harus mengakui bahwa Suro Blondo memang he-

bat, kalau dia mau mungkin sejak tadi ia sudah 

menjadi pecundang. Dihatinya ia beranggapan 

bahwa pemuda berambut hitam kemerahan itu 

sengaja mengalah karena takut kepada orang tu-

anya. Kini setelah ayahnya naik ke atas panggung 

maka semakin bertambah jelaslah persoalannya.

"Siapakah namamu, anak muda?" tanya 

Raka Tendra dengan suara keras.

Suro Blondo menjadi bingung sebentar, la-

lu garuk-garuk kepala. Mungkinkah ia harus ber-

terus terang? Sedangkan ia berhadapan dengan 

orang-orang yang tidak satu golongan.

"Jika keadaan sangat memaksamu untuk 

berdusta karena kau merasa ragu menilai kebai-

kan orang lain. Berbohongpun tidak akan ada sa-

lahnya!" kata-kata yang pernah diucapkan oleh 

gurunya seakan mengiang kembali di telinganya.


"Mengapa kau diam?"

Pertanyaan ini membuat si pemuda tersen-

tak kaget.

"Na.. namaku, namaku Pangeran Lin-

glung." jawab si pemuda sekenanya. Raka Tendra 

kerutkan kening sedangkan Maya Swari sebagai-

mana tamu lainnya ikut tertawa. Dibalik tempat 

persembunyiannya Gajah Gemuk bicara 

"Bocah itu ternyata hanya orang gendeng 

yang memiliki kepandaian tinggi."

"Tenanglah, kita lihat saja apa yang akan 

terjadi!" Gajah Kurus Krempeng menimpali.

Pembicaraan diatas panggung terus ber-

langsung.

"Apakah kau tidak berdusta?"

"Tidak."

"Siapa gurumu?" tanya Raka Tendra den-

gan sorot mata penuh selidik.

Suro Blondo nyengir lagi. "Aku tidak per-

nah berguru. Aku hanya melihat gerak gambar di-

tebing batu lalu kutiru."

"Benarkah begitu?"

"Ya..."

"Apa pekerjaanmu?"

"Sejak jadi yatim piatu aku menggembala 

kuda milik orang kaya di Banyuwangi. Karena 

kuda-kuda itu beranak terus, aku kewalahan dan 

lari hingga ke sini...." Jawaban Suro Blondo yang 

tenang itu membuat Raka Tendra harus percaya, 

walau dihatinya curiga. Sebaliknya para undan-

gan tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawa


ban yang sangat polos itu.

"Tahukah kau bahwa kau memenangkan 

pertandingan ini?"

Suro Blondo menggeleng.

"Kau menang, berarti kau berhak menjadi 

pendamping putriku. Kurasa Maya Swari setuju 

bukankah begitu?" Raka Tendra menoleh pada 

putrinya. Maya Swari menundukkan kepala malu-

malu, padahal memang setuju.

"Tapi... ee... bagaimana ini...!"

"Menolak pinangan iblis berarti mati. Tidak 

sadarkah kau bahwa ini merupakan satu kehor-

matan bagimu!" ketus sekali suara Diraja Penghu-

lu Iblis.

Sementara di atas pohon Dewi Bulan yang 

dalam keadaan tertotok dan terus didampingi oleh 

Ratu Penyair Tujuh Bayangan segera palingkan 

mukanya ke arah lain. Tapi satu permintaan Suro 

Blondo yang diajukan kepada Raka Tendra paling 

tidak membuat hatinya lega.

"Kehormatan itu dapat kuterima. tapi aku 

punya satu syarat. Jika syaratku diterima tentu 

bukan halangan bagiku untuk menjadi suami pu-

tri yang cantik ini."

"Apakah syaratmu?"

"Karena aku seorang Pangeran, walaupun 

hanya Pangeran Linglung. Aku punya pembantu 

paling setia. Kelak dia akan datang sendiri bila 

melihat majikannya ada disini."

"Ha ha ha...! Jangankan hanya satu ka-

cung, sepuluh kacung pun jika kau punya tidak


mengapa kalau kau mau membawanya kemari."

"Terimakasih-terimakasih...!"

"Jadi kau telah setuju untuk menjadi man-

tuku?"

Pendekar Blo'on tersenyum-senyum, lalu 

anggukan kepala. Melihat ini tentu Maya Swari gi-

rang bukan main. Sebaliknya Gajah Gemuk dan 

Gajah Krempeng memaki-maki.

"Anak tolol! Kepandaian tinggi. tapi mau 

menjadi menantu iblis. Dasar edan!"

"Tenanglah Adik Krempeng. Kurasa ia 

punya tujuan tertentu. Kita lihat saja." kata Gajah 

Gemuk.

Di atas panggung Raka Tendra mulai men-

gumumkan pertunangan Maya Swari dengan 

Pendekar Blo'on yang mengaku sebagai Pangeran 

Linglung. Sementara itu Buto Terenggi dan Nya-

nyuk pingitan sedang berbincang-bincang dengan 

seorang tamu yang baru saja datang. Tamu itu 

memiliki badan agak bungkuk, matanya cuma 

sebelah, wajahnya mengerikan karena membusuk 

disana sini. Melihat cara Buto Terenggi yang ber-

mata kecil seperti ikan lele itu menghormat. Jelas 

tamu yang datang bukan tamu sembarangan. Dia 

tidak lain Si Bungkuk Lima alias Datuk Alang Si-

tepu dari gunung Sibayak.

"Maaf, kami terlambat menyambut tamu 

yang datang dari jauh. Silakan mengambil tempat 

Raja Penyihir. Sebentar lagi pesta besar segera di-

adakan!" Nyanyuk Pingitan mempersilahkan ma-

nusia bungkuk bau bangkai ini mengambil tempat tidak jauh dari panggung.

"Hmm, Inikah orangnya yang akan menjadi 

mantu Raka Tendra?" tanya Datuk Alang Sitepu 

sambil tersenyum. Tapi senyumnya itu dimata 

orang lain tidak ubahnya seperti seringai mena-

kutkan. Dan bibir itu sendiri seperti hendak tang-

gal ketika ia sedang bicara.

"Benar Datuk Alang." yang menjawab ada-

lah Buto Terenggi.

"Hanya seseorang badut mengapa harus di-

jadikan mantu...?" Datuk Alang yang sangat di-

kenal di pulau Jawa karena ilmu sihirnya yang 

hebat-hebat, meludahkan air sirihnya ke tanah. 

Rumput yang terkena air ludah laki-laki ini lang-

sung hangus menebar asap berbau busuk sekali. 

"Lagi pula pemuda itu belum mampu menotok ca-

lon pengantin perempuan. Mengapa adu kepan-

daian dihentikan?" Datuk Alang Sitepu protes.

"Pemuda itu mungkin takut melakukan-

nya, Datuk. Mungkin pula ini caranya dalam 

menghormati calon istrinya. Ia tidak mau mem-

permalukan calon isteri di depan orang banyak."

Pembicaraan antar tokoh ini terus berlang-

sung. Sementara Maya Swari dan Suro Blondo te-

lah digiring meninggalkan panggung untuk dirias 

di kamar pengantin.

TUJUH



Pada saat yang sama Satu Penyair Tujuh

Bayangan sudah melepaskan totokan pada bagian 

jalan suara Dewi Bulan. Begitu terbebas dari to-

tokan gadis ini langsung bicara.

"Sebenarnya aku sudah memenuhi keingi-

nanmu. Sekarang bebaskan aku! Pemuda itu per-

lu ditolong. Aku tidak suka ia kawin dengan anak 

iblis!" semburnya.

Ratu Penyair Tujuh Bayangan tersenyum. 

"Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kulihat tata-

pan matamu dan kau menyukainya. Tapi 

jangan khawatir aku pasti akan membantumu. 

Kini niatku telah berubah setelah melihat Raja 

Penyihir ada disini. Kurasa ada yang tidak beres 

bakal terjadi!" 

Dewi Bulan terkejut bukan main menden-

gar Ratu Penyair Tujuh Bayangan menyebut-

nyebut tentang ahli sihir.

"Nisanak, siapakah kau sesungguhnya. 

Kau berdiri dipihak mana?"

"Di tengah-tengah. Iblis juga sahabatku, 

walau tidak jarang aku juga berkawan dengan 

orang-orang lurus. Tapi jangan takut. Aku paling 

tidak bisa melihat kekejian." desah Ratu Penyair.

"Kudengar tadi pemuda itu menyebut ten-

tang kacung. Kalau kau bisa menyamar, sebaik-

nya menyamarlah sebagai kacung. Sementara aku 

sendiri akan menyelidik apa yang tersembunyi di-

balik undangan merah ini!"

Tees! Tees!

Ratu Penyair Tujuh Bayangan membe-

baskan totokan Dewi Bulan. Sebelum berkelebat


pergi ia masih sempat berpesan.

"Hati-hati kau bertindak. Sekali langkahmu 

tercium oleh mereka. Maka setiap jengkal tanah 

disini akan mendapat pengawasan yang sangat 

ketat dari anggota mereka!"

Dewi Bulan yang semula merasa curiga 

atas kehadiran Ratu Penyair Tujuh Bayangan, ki-

ni hanya menganggukkan kepala. Secara diam-

diam ia meninggalkan pohon yang mereka jadikan 

tempat bersembunyi sejak tadi.

Sementara itu sepasang mempelai telah 

disandingkan. Dandanan Pendekar Blo'on sangat 

lucu sekali. Tidak jauh dari kursi pengantin, para 

hadirin kini sedang berpesta pora. Tidak lupa ular 

Kayangan yang telah dimasak dengan cara khu-

sus disajikan. Bau arak wangi dan aneka roma 

berbagai jenis makanan berbaur menjadi satu. 

Kenyataan ini membuat Gajah Gemuk merasa 

menjadi lapar seketika.

"Kita harus ikut mencicipi hidangan itu se-

kaligus menyelidik apakah ular-ular berkhasiat 

milik kita telah menjadi hidangan ini!"

"Jangan...!" cegah Gajah Krempeng. "Aku 

seperti mencium bau sesuatu yang sangat khas. 

Kurasa inilah yang dinamakan Racun Pelumpuh 

akal."

"Apa?" Gajah Gemuk belalakkan mata. 

"Racun Pelumpuh Akal? Aku tahu kini. Bukankah 

racun itu gunanya untuk menghilangkan akal se-

hat seseorang. Siapakah yang memakannya ia 

akan menjadi patuh pada orang yang menguasainya. Tapi untuk apa Diraja Penghulu Iblis me-

lakukannya?"

"Kurasa ada rencana besar dibalik semua 

ini. Jika orang-orang itu telah keracunan, tentu 

mereka tidak ubahnya seperti orang bodoh. Mere-

ka akan menjadi penurut dan melakukan semua 

perintah orang yang telah meracunnya. Dan ku-

rasa ini ada hubungannnya dengan ular Khayan-

gan milik kita yang dicuri oleh Buto Terenggi. Jika 

ular-ular itu sekarang telah diolah dan dihidang-

kan, bukankah para undangan yang telah terkena 

racun akan memiliki tenaga cukup besar untuk 

membantu Diraja Penghulu Iblis. Tenaga mereka 

yang berlipat ganda itu akan sangat berguna se-

kali. Tidak ada orang yang dapat menghentikan 

mereka...!"

Gajah Krempeng bergidik seram.

"Aku hampir tidak percaya mereka punya 

rencana besar. Rencana apa?" desis Gajah Ge-

muk.

"Itu gunanya jika kita mau menyelidik. Se-

belum kita pergi apakah kau melihat ada bayan-

gan berkelebat dari atas pohon tadi?"

"Aku tidak melihatnya, perhatianku selalu 

tertuju pada pemuda itu."

"Sudahlah, sekarang sudah waktunya kita 

bergerak!"

Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng kemu-

dian keluar dari tempat persembunyiannya. Ke-

mudian dengan mengendap-endap mereka mulai 

mengitari bangunan besar itu dari belakang.


Tepat seperti yang dikatakan oleh Gajah 

Krempeng. Para undangan yang terdiri dari tokoh-

tokoh aliran hitam ini setelah menyantap hidan-

gan tampak berubah lain. Tatapan mereka tam-

pak kosong, sementara keringat terus bercucuran 

di kening dan tubuh mereka. Anehnya tidak seo-

rangpun diantara mereka yang berani bicara. Saat 

itu hari sudah berubah senja. Matahari hanya 

tinggal bayang-bayang merah yang menyeruak di 

celah-celah dedaunan.

Suro Blondo yang duduk di samping Maya 

Swari tentu saja merasa heran sekali melihat pe-

rubahan ini. Cuma ia tidak mau menanyakan pa-

da Maya Swari. Saat malam tiba, pengantin ma-

suk ke dalam kamar mereka. Sementara para un-

dangan sekarang malah bertindak menjadi pen-

gawal di luar bangunan yang cukup besar itu. 

Kenyataan ini memang sangat mengherankan. 

Bagaimana mungkin orang-orang yang mempu-

nyai kepandaian tinggi ini bisa takluk bahkan kini 

seperti telah berubah menjadi para abdi yang pal-

ing setia pada Diraja Penghulu Iblis.

Hanya orang-orang yang mempunyai otak 

cerdas saja yang tahu, bahwa Diraja Penghulu Ib-

lis telah mempergunakan cara yang paling halus 

untuk membuat tokoh-tokoh golongan menjadi 

tunduk padanya. Itulah kunci dari kehebatan 

'Racun Pelumpuh Akal'. Melihat gelagat yang ti-

dak menguntungkan ini mulai bertindak dengan

sangat hati-hati. Sedikit banyak ia menjadi lega 

juga ketika melihat seorang pengawal merangkap



murid Diraja Penghulu Iblis mengantar seorang 

laki-laki berkumis tipis dengan tahi lalat di dagu 

ke kamarnya. Walaupun sebenarnya Suro Blondo 

merasa kaget atas kemunculan Dewi Bulan yang 

tidak disangka-sangka ini. Tapi ia telah bertekad 

untuk membicarakan masalah yang sedang diha-

dapinya. Ia lalu tertawa melihat sang kacung ini 

yang sempat mendelik padanya.

"Ah.... Maya... inilah kacung yang kumak-

sudkan itu. Dia sangat setia dan jujur. Aku mau 

saat ini ia mendampingi aku!"

"Aku tentu saja tidak keberatan, Kakang 

Pangeran...!" Maya Swari memperhatikan kacung 

yang berkumis tipis dan berpakaian kedodoran 

ini. "Siapa namamu?"

"Margonda, Gusti Putri."

"Margonda nama yang cukup bagus. Tolong 

sediakan hidangan buat kami malam ini, Margon-

da!" kata Maya Swari lembut. Dan sebenarnya wa-

laupun ia anak dedengkotnya para iblis Maya 

Swari sebenarnya berhati lembut, polos dan pe-

nuh pengertian.

"Baik, segera hamba kerjakan." Margonda 

alias Dewi Bulan berlalu meninggalkan ruangan 

pengantin itu dengan dikawal oleh seorang pen-

gawal bersenjata tombak. Pengawalan ini sesung-

guhnya membuat Margonda tidak dapat bergerak 

dengan leluasa. Apalagi sebelumnya ia telah men-

dapat kisikan dari Ratu Penyair Tujuh Bayangan 

bahwa semua makanan disitu telah dibubuhi Ra-

cun Pelemah Akal. Apapun alasannya yang jelas


tuan rumah punya maksud-maksud yang tidak 

baik. Ketika ia sampai di dapur tidak tahunya hi-

dangan itu untuk pengantin telah disediakan. Ja-

di Margonda hanya tinggal membawanya seka-

rang. Hidangan ini jelas tidak boleh dimakan oleh 

Suro Blondo kalau ingin dirinya selamat. Tapi ba-

gaimana membuang nya dan menggantikannya 

dengan hidangan lain. Sedangkan pengawal itu 

terus mengawasi gerak geriknya.

Bagi Dewi Bulan alias Margonda sebenar-

nya tidak sulit untuk merobohkan seorang pen-

gawal. Tapi setiap sudut selalu dijaga oleh orang-

orang tertentu. Jika ia nekad membungkam pen-

gawal yang terus mengikutinya. Bukan mustahil 

penyamarannya akan terbongkar. Dalam keadaan 

bingung seperti itu tiba-tiba Dewi Bulan teringat 

sesuatu. Ia menyelipkan sepotong ubi di tengah-

tengah nampan tanah. Di tengah-tengah poton-

gan ubi rebus itu ia susupkan dua butir pil ber-

warna putih. Dua obat mujarab pemberian gu-

runya ini bukan sembarang obat. Karena diambil 

dari bisa ular merah dicampur ramuan lain. 

Fungsinya akan melumpuhkan pengaruh racun 

lainnya didalam tubuh seseorang setelah itu ra-

cun ular merah itu setelah bekerja tidak akan 

membahayakan keselamatan jiwa yang mema-

kannya.

Tidak lama kemudian ia telah sampai kem-

bali di kamar pengantin. Maya Swari tentu saja 

terheran-heran ketika melihat Suro Blondo me-

nyambar potongan ubi itu lalu memakannya dengan lahap.

"Aih... Kakang, mengapa makan ubi. Bu-

kankah hidangan lainnya cukup lezat?" tegurnya.

"Biasanya sebelum makan yang enak-enak 

kacungku ini memang kuminta menyediakan se-

potong ubi. Kalau tidak manalah makanku la-

hap!" 

Maya Swari yang sesungguhnya benar-

benar sangat mencintai Suro Blondo sejak pan-

dangan pertama langsung tersenyum. Dengan di-

bantu oleh Margonda ia meletakkan hidangan itu 

diatas meja kecil. Sikap Maya Swari yang begitu 

manja membuat Dewi Bulan selalu menundukkan 

kepala.

Hidangan telah tersedia Margonda mening-

galkan ruangan pengantin. Ketika Suro Blondo 

hendak mencicipi salah satu hidangan. Tiba-tiba 

Maya Swari mencegahnya.

"Kakang sebaiknya makanan ini kita bu-

buhkan penyedap khusus." desah gadis itu. Tapi 

diam-diam keningnya berkerut. Dalam aroma hi-

dangan dia seperti mencium bau Racun Pelemah 

Akal. Siapa yang telah membubuhkannya? Sung-

guhpun ia kebal terhadap racun itu. Tapi bagai-

mana jika racun yang berbau harum sebagai 

aroma masakan ini termakan oleh suaminya? Un-

tuk menghindari kecurigaan Suro Blondo ia ber-

pura-pura untuk membubuhkan penyedap khu-

sus. Padahal ia ingin membubuhkan penangkal 

racun itu agar Suro Blondo terhindar dari bahaya. 

Maya Swari menjadi curiga pada ayahnya. Jangan-jangan sang ayah sengaja meracuni Suro 

Blondo. Tapi apa tujuannya?

Sementara itu Suro Blondo sudah menco-

mot salah satu masakan dan memakannya sebe-

lum Maya Swari membubuhkan penyedap seba-

gaimana yang dikatakannya tadi.

"Kakang mengapa dimakan?" tanya Maya 

Swari dengan terkejut.

"Bukankah hidangan ini khusus disedia-

kan buatku?"

Mendengar ucapan Suro Blondo, gadis itu 

jadi kehilangan kata-kata. Mereka pun makan 

bersama-sama. Tentu saja setelah Maya Swari 

membubuhkan menyedap berwarna merah di da-

lam botol. Selesai makan Maya Swari tidak lang-

sung tidur. Ia pamitan untuk bicara dengan 

ayahnya sebentar. Ini kesempatan baik Dewi Bu-

lan untuk bicara dengan Suro Blondo.

"Aku benci melihat kau berdekatan dengan 

gadis itu. Walaupun aku tahu kau hanya berpu-

ra-pura menjadi suaminya. Kesempatan itu tidak 

akan kau dapatkan bila kau tidak makan obat di-

dalam ubi tadi. Tahukah kau bahwa hidangan ini 

telah dibubuhi Racun Pelemah Akal?"

"Aku sudah tahu, tapi tidak tahu nama dan 

jenis racunnya. Reaksi obat yang kau berikan su-

dah kurasakan sejak tadi. Bagaimana kau bisa 

sampai kemari. Dan apa sesungguhnya rencana 

Diraja Penghulu Iblis?"

"Yang tidak penting jangan ditanya dulu. 

Yang jelas seseorang telah membawaku kemari

dan sekarang sedang menyelidik. Kurasa Diraja 

Penghulu Iblis dan kawan-kawannya punya ren-

cana besar dan keji. Kuharap kau tidak tidur 

dengan anak gadis itu malam ini!"

"Kau cemburu?" tanya si pemuda sambil 

cengengesan.

Dewi Bulan merengut. "Jangan banyak 

omong. Kau mempunyai kepandaian lebih tinggi 

dariku. Sebaiknya kau mulai menyelidik sebagai-

mana yang dilakukan oleh kawanku!"

"Kalau begitu kau harus menyamar menja-

di aku sedangkan aku menggantikanmu!"

"Bagaimana dengan rambutku? Apakah 

kau dapat menirunya?"

Dewi Bulan membuka penutup kepalanya. 

Rambutnya yang tergerai dan berwarna hitam ki-

ni telah berwarna kemerah-merahan. Rupanya 

sebelum masuk ke dalam ruangan pengantin ia 

telah mewarnai rambutnya dengan sejenis daun 

yang ditumbuk halus

Tanpa bicara lagi ia langsung merias wajah 

Pendekar Blo'on. Cara kerjanya cekatan sekali. 

Karena sesungguhnya Dewi Bulan sangat ahli da-

lam menyamar. Hanya sebentar Suro Blondo te-

lah berganti rupa seperti Morganda sang pelayan. 

Sedangkan Dewi Bulan sendiri segera bertukar 

pakaian dengan si pemuda. Karena pakaiannya 

berlapis-lapis, tentu auratnya tidak terlihat. Tidak 

sampai sepuluh menit Dewi Bulan telah berubah 

seperti Suro Blondo pemuda ini berdecak kagum 

atas keahlian yang dimiliki oleh Dewi Bulan.


"Bukan main. Kau hebat. sayang kini aku 

harus menjadi seorang kacung!"

"Jangan cerewet!" kata Dewi Bulan ketus. 

"Sekarang bukan saatnya bersenda gurau. Sekali 

terbongkar, maka celakalah kita semua!"

Dewi Bulan yang telah menyaru sebagai 

Suro Blondo ini segera menyuruh Pendekar Blo'on 

yang telah bertukar menjadi Morganda sang ka-

cung keluar meninggalkan kamar. Ia sendiri ke-

mudian enak-enakan merebahkan tubuhnya yang 

terasa penat diatas kasur empuk.

"Sialan. Balas dendam dia rupanya. Aku 

hampir saja mendapatkan yang enak diatas enak. 

Nggak tahunya sekarang harus menjadi kacung!" 

Pemuda ini hampir saja menggaruk rambutnya. 

Namun ketika ia teringat sedang berada dalam 

penyamaran. Maka keinginannya itu diurungkan. 

Tidak lama setelah melewati beberapa kamar yang 

cukup banyak jumlahnya. Secara mengendap-

endap ia menembus kegelapan malam yang pekat.

Di sebuah ruangan pribadi, Maya Swari 

rupanya pada saat yang bersamaan sedang ber-

debat dengan ayahnya. Gadis pengantin baru ini 

memandang tajam pada sang ayah yang tampak 

duduk tenang-tenang.

"Ayah... aku tidak menyangka ayah begini 

tega!" Maya Swari terisak. "Pangeran Linglung 

siapapun dia adalah pemuda pilihanku. Mengapa 

ayah memberinya racun Penghilang Ingatan?"

"Tokh bukan kau yang ayah racuni. Ayah 

hanya ingin membuat semua orang patuh dan


tunduk pada ayah, terkecuali tiga tokoh yang se-

dang menunggu di ruangan pertemuan."

"Apa tujuan Ayah yang sebenarnya?" tanya 

Maya Swari heran.

"Ayah belum dapat mengatakannya, 

meskipun pada anaknya sendiri. Yang jelas Ayah 

curiga pada Pangeran Linglung."

"Apa yang Ayah curigai? Ia begitu lugu, po-

los dan bersahaja."

"Dunia ini penuh dengan tipu-tipu Anakku. 

Kau tidak tahu karena kau belum matang benar. 

Kalau ada apa-apa, sebaiknya bicarakan saja be-

sok. Ayah harus menjumpai mereka sebelum ke-

sempatan besar ini hilang!" Raka Tendra bangkit 

berdiri. Tanpa menghiraukan kemarahan Maya 

Swari ia meninggalkan sang anak termenung sen-

dirian.

Di dalam ruangan pertemuan pembicaraan 

mulai berlangsung. Buto Terenggi, Nyanyuk Pingi-

tan dan Datuk Alang Sitepu dan Raka Tendra 

berkumpul membentuk lingkaran.

"Jadi Prisma Permata itu telah dida-

patkan?" Yang bertanya adalah laki-laki hancur 

sebelah bermata satu.

"Sudah. Aku yang telah mencurinya dari 

Goa Darah!" jawab Nyanyuk Pingitan membang-

gakan diri. "Goa Darah yang sangat ditakuti itu 

ternyata tidak ada apa-apanya. Kuakui memang 

Prisma Permata yang konon mengandung kekua-

tan magis itu sempat merepotkan aku. Tapi ke-

nyataannya kau dapat mengatasinya."


"Kurasa gua itu sekarang sudah hancur. 

Bukankah begitu, Nyanyuk Pingitan?" tanya Buto 

Terenggi was-was.

"Ya... gua itu telah hancur karena kekua-

tan yang menjaganya sudah kuambil. Dengan 

Prisma Permata di tangan kita, siapa lagi yang ti-

dak tunduk pada kita? Kita dapat mendirikan se-

buah kerajaan besar setelah kerajaan Majapahit 

dan Sriwijaya. Hik hik hik!"

"Sungguhpun begitu masih ada bahaya lain 

yang mengancam kita. Kita tidak boleh lengah!" 

kata Raka Tendra.

"Apa itu?" Nyanyuk Pingitan dan Datuk 

Alang Sitepu bertanya.

"Menurut yang kudengar. Konon Prisma 

Kristal Permata itu sebenarnya adalah sebuah 

kunci yang menentukan kebebasan setengah 

anak manusia dan setengah anak jin. Dengan di-

bukanya Prisma Permata itu. Berarti Soma Sastra 

si Manusia Merah terbebas dari hukuman Kyai 

Tapa. Tidak seorangpun tahu bagaimana perangai 

manusia setengah jin itu. Karena selama ini ia 

memang tidak pernah muncul. Dan lagipula, jika 

Goa Darah hancur. Pulau Jawa ini terancam 

tenggelam dalam bahkan menjadi lautan lumpur 

api. Ini adalah sebuah sumpah yang pernah ditu-

turkan oleh nenek moyangku dulu!"

"Tidak usah khawatir Diraja Penghulu Iblis. 

Semua yang Anda dengar hanyalah dongeng. Jika 

kerajaan telah kita bangun, siapa yang tidak tun-

duk pada kita?" desis Datuk Alang Sitepu. "Kau

punya Racun Pelemah Akal. percobaanmu terha-

dap para undangan saja telah terbukti. Jadi apa 

lagi yang kau risaukan. Seratus datang seratus 

tunduk dan patuh di bawah perintah. Kita semua 

punya keahlian masing-masing. Jadi apa yang di-

takutkan?"

"Memang. Untuk lebih meyakinkan lagi. 

Kurasa tidak ada salahnya sekarang ini Nyanyuk 

Pingitan menunjukkan Prisma Kristal yang telah 

Anda curi dari Goa Darah itu!"

"Jangan!" Datuk Alang Sitepu mencegah. 

"Jika Prisma Permata itu sampai keluar dari kan-

tung kulit beruang milik Nyanyuk Pingitan. Keku-

atannya akan menyerang orang-orang disekeli-

lingnya. Terkecuali aku yang memegangnya."

Apa yang dikatakan oleh Datuk Alang itu 

memang tidak dipungkiri oleh Nyanyuk Pingitan. 

Sehingga tanpa merasa curiga lagi ia menyerah-

kannya pada raja Penyihir. Mata Datuk Alang 

yang cuma sebelah itu terpejam, ia kemudian 

membaca mantra hitam yang dimilikinya. Setelah 

itu dengan tangan-tangan yang bergetar ia men-

geluarkan Prisma Kristal dari kantung kulit be-

ruang.

Begitu Prisma Kristal dikeluarkan. Maka 

terpancarlah cahaya merah. Ini merupakan kea-

nehan tersendiri. Karena sebetulnya Prisma Per-

mata itu berwarna putih kemilau.

"Hanya sebentar aku dapat menahannya. 

Apakah semua yang hadir disini telah puas melihatnya?"


"Cukuplah, Datuk!" kata Raka Tendra.

Datuk Alang Sitepu memasukkan kembali 

Prisma Permata itu ke dalam kantungnya. Mereka 

baru saja hendak melanjutkan pembicaraan keti-

ka secara tiba-tiba terdengar suara jerit kematian 

diluar gedung itu.


DELAPAN



Tapi entah karena apa, atau mungkin pula 

karena pengaruh kekuatan Prisma Kristal itu. Me-

reka yang berada di dalam ruangan pertemuan itu 

sama sekali tidak bergerak. Malah terus melan-

jutkan pembicaraan. Dua bayangan yang ikut 

mengintip pembicaraan mereka berkelebat menu-

ju arah yang berlawanan. Yang satu ke belakang 

yang satunya lagi ke depan. Selain itu masih ada 

lagi dua bayangan lainnya yang bergerak ke arah 

bagian depan bangunan.

Apakah sesungguhnya yang telah terjadi? 

Entah darimana datangnya sosok serba merah 

dengan tinggi lima meter dan hanya memakai ko-

teka ini muncul begitu saja. Begitu datang ia 

langsung membantai orang-orang yang bertugas 

jaga malam. Kakinya menendang, tangan mence-

keram siapa saja yang terdekat dengannya.

Bila telah berada dalam genggamannya, 

maka pengawal Diraja Penghulu Iblis ini langsung 

dibantingnya. Korban mulai berjatuhan. Pasukan


pemanah yang berada di atas bangunan tidak 

tinggal diam. Mereka melepaskan anak-anak pa-

nah kearah manusia merah ini. Tapi sungguh 

sayang sekali. Manusia merah ini ternyata kebal 

terhadap semua jenis senjata. Suro Blondo yang 

telah menyamar sebagai Margonda melihat keja-

dian ini dengan mata melotot.

"Betul-betul edan. Apakah dia juga iblis da-

ri neraka? Tapi mengapa malah membunuh 

orang-orang Diraja Penghulu Iblis?" 

Di sudut lain Gajah Gemuk dan Gajah 

Krempeng juga sama tercekat. Tapi sebagai tokoh 

angkatan tua mereka langsung teringat sesuatu.

"Manusia merah itu bukankah anak raja 

jin yang menitis di rahim istri Kyai Tapa?"

"Kau tidak salah Kakang. Ternyata kabar 

yang pernah kita dengar dulu bukan dongengan 

anak-anak. Pasti ada sesuatu yang terjadi sehing-

ga ia terbebas dari penjara Gua Darah."

"Bagaimana? Apakah kita tinggalkan tem-

pat ini?"

"Tidak bisa! Apakah Kakang tidak dengar 

rencana gila para tokoh sesat itu? Kita harus 

menghentikan mereka!"

"Bagaimana dengan manusia merah?"

"Kita tidak tahu dia berada dipihak mana. 

Tapi aku yakin dia datang kemari untuk men-

gambil Kristal Permata itu."

"Apakah kita harus turun sekarang?"

"Jangan!" cegah Gajah Krempeng. Walau-

pun Kakang punya badan tidak kalah besar dengan manusia merah. Tapi tingginya Kakang kalah. 

Lebih baik kita pancing agar Raka Tendra dan 

kawan-kawannya keluar." 

Belum sempat kedua manusia Gajah ini 

bergerak. Tiba-tiba terdengar suara teriakan 

menggelegar. Angkasa bagai terbelah. Kegelapan 

malam berubah terang benderang karena dari

mulut manusia merah menyembur lidah api pada 

saat ia bicara.

"Siapa yang merasa telah mencuri Perisma 

Permata harap segera menyerahkan diri kepada-

ku! He... anak-anak setan apakah kalian tidak 

mendengar seruanku?"

Jangankan orang yang bisa mendengar, 

orang tuli sekalipun bila mendengar gelegar suara 

manusia merah itu pasti akan terkejut.

Karena tidak seorangpun ada yang menja-

wab pertanyaannya. Manusia merah Soma Sastra 

langsung mengamuk. Para undangan yang seka-

rang berada dalam posisi menjadi pengawal lang-

sung bergerak mengeroyok manusia merah dari 

empat penjuru arah. Tentu saja serangan mereka 

cukup berarti dan berbahaya sekali karena orang-

orang ini terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki 

kepandaian tinggi dan tentu saja mempunyai 

pengalaman dalam bertarung pula.

Anak Jin ini bukan sembarangan. Selain 

mempunyai kekebalan tubuh yang sangat luar bi-

asa. Juga setiap bacokan lawan hanya menim-

bulkan pyaran bunga api.

"Serang terus jangan beri kesempatan bagi


si raksasa ini hidup!"

Teriakan-teriakan seperti itu terus terden-

gar di tengah-tengah suara denting senjata yang 

tidak ada habis-habisnya.

Tapi apa yang mereka lakukan hanya sia-

sia saja karena tubuh Manusia Merah alotnya 

bukan main. Di lain pihak Manusia Merah ini se-

lain menginjak-injak para pengeroyoknya juga

menendang dan melempar. Mereka yang dibant-

ing langsung mati tanpa mampu bangkit lagi. Ada 

yang lehernya patah, tulang iganya remuk dan 

ada juga yang isi perutnya hancur. Lebih celaka 

lagi, manusia merah Soma Sastra ini hanya 

memporak porandakan lawan-lawannya tapi juga 

mulai membakar bangunan besar milik Diraja 

Penghulu Iblis. Hanya dalam waktu singkat tem-

pat itu menjadi lautan api. Sebenarnya kemana-

kah perginya Diraja Penghulu Iblis dan kawan-

kawannya? Marilah kita lihat di ruangan perte-

muan.

Ketika terjadi keributan di luar. Rupanya 

Nyanyuk Pingitan dipersilahkan untuk melihat-

nya. Sedangkan tiga tokoh perencana lainnya te-

tap melanjutkan pembicaraan didalam ruangan 

pertemuan.

Sampai di depan pintu Nyanyuk Pingitan 

melihat mayat-mayat bergelimpangan. Sementara 

mereka yang masih bertahan hidup adalah para 

undangan yang kini telah menghambakan diri se-

cara sukarela karena pengaruh Racun Pelemah 

Akal. Sungguh khasiat Ular Kayangan benar

benar terbukti dengan berlipatnya tenaga yang 

mereka miliki, sungguhpun mereka ini mendesak 

sosok tinggi besar berwarna merah dengan tinggi 

lima meter ini bagaikan banteng. Tetap saja me-

reka tidak berdaya untuk menjatuhkan Soma Sa-

stra.

Setelah mengetahui siapa manusia merah 

itu. Maka Nyanyuk Pingitan perempuan kering 

seperti mayat hidup ini langsung melaporkan ke-

jadian ini pada kawan-kawannya.

Disini Datuk Alang Sitepu punya peranan. 

Mereka mengambil keputusan kilat untuk menye-

lamatkan Prisma Permata dan bangunan milik Di-

raja Penghulu Iblis dari kehancuran.

"Hanya dengan selubung tipuan pandang, 

kurasa Soma Sastra untuk sementara dapat ter-

kecoh. Kita harus menciptakan bangunan tiruan 

dan para pengawal tiruan pula. Sementara sing-

gasanamu yang asli berada dalam lingkup tabir 

gelap yang kuciptakan."

"Apakah anak raja Jin itu tidak mengetahui 

tipuanmu?" Diraja Penghulu Iblis ragu-ragu.

"Dia tidak akan tahu. Paling tidak untuk 

sementara waktu. Kita berempat, mari kita ga-

bungkan seluruh kekuatan kita untuk mencipta-

kan sebuah kehendak!" kata Datuk Alang Sitepu 

merasa yakin.

Laki-laki tua berwajah rusak ini kemudian 

meletakkan Prisma Permata dibawah telapak tan-

gannya. Secara teratur telapak tangan Diraja 

Penghulu Iblis, Nyanyuk Pingitan dan juga Buto


Terenggi saling tindih menindih. Ketika mereka 

mengerahkan tenaga dalamnya sementara Raja 

Penyihir membaca mantra-mantra. Maka terjadi-

lah perubahan yang begitu halus dan tidak terli-

hat oleh kasat mata. Gedung tiruan yang sama 

persis, tercipta. Sedangkan gedung yang aslinya 

terselubung kabut kegelapan. Gajah Gemuk dan 

Gajah Krempeng tidak merasakan perubahan ini.

Dapat dibayangkan jika tokoh-tokoh ber-

kepandaian tinggi seperti mereka sempat terke-

coh. Tentu kekuatan sihir di bantu dengan kekua-

tan Prisma Permata itu sangat hebat sekali. Seba-

liknya manusia merah pun begitu juga. Hanya 

Pendekar Blo'on saja yang sempat merasakan pe-

rubahan mendadak ini. 

Mengapa hanya Suro Blondo saja yang da-

pat merasakan perubahan ini? Sebagaimana kita 

ketahui, anak ajaib ini terlahir pada malam satu 

Suro. Dalam hitungan hari dan bulan, malam sa-

tu Asyuro adalah malam tertinggi dari sekian ba-

nyaknya hari. Satu Asyuro malam keramat yang 

penuh berkah dan keajaiban. Salah satu keajai-

ban itu ia tidak mempan sirep dan segala sesua-

tu yang berbau sihir. Tapi akibat matanya yang 

tidak dapat ditipu itu, kini ia terheran-heran sen-

diri. Hatinya bertanya-tanya, siapakah yang telah 

menciptakan bangunan tiruan itu. Mengapa 

manusia merah yang sedang mengamuk membabi 

buta itu tidak mengetahuinya? Pertanyaan-

pertanyaan ini tentu saja tidak terjawabkan jika 

ia tidak mendengar suara seseorang seperti mengingatkannya.

"Pengantin baru! Aku tahu kau hanya me-

nyamar, sekarang kau berubah menjadi kacung 

pula. Sedangkan pacarmu menjadi dirimu dan ti-

dur di kamar pengantin menggantikan dirimu. 

Aku adalah orang yang berdiri dipihakmu. Untuk 

itu kau harus dengar ucapanku yang tidak per-

nah kuulang ini." 

Jelas orang yang bicara itu siapapun 

adanya adalah orang yang memiliki tenaga dalam 

tinggi dan mempunyai ilmu mengirimkan suara 

pula. "Apa yang kau lihat barusan adalah per-

mainan sihir. Datuk Alang Sitepu penyihir kelas 

satu. Belum lagi di bantu oleh Nyanyuk Pingitan, 

Buto Terenggi dan juga Diraja Penghulu Iblis 

orang tua Maya Swari. Sungguhpun Maya Swari 

cinta padamu, dan kau tentunya tidak berminat 

kawin dengannya. Kau dan tokoh-tokoh aliran lu-

rus harus bahu membahu menghancurkan Raja 

penyihir bersama kawan-kawannya. Memang 

agak sulit, apalagi Prisma Kristal Permata yang 

menjadi kunci keseimbangan tanah Jawa ini telah 

jatuh di tangan mereka. Kedudukan mereka akan 

menjadi kuat. Kau harus dapat mempengaruhi 

Manusia Merah itu agar dapat kau tarik di pi-

hakmu. Perlu kau tahu manusia merah itu mem-

punyai pendirian yang tidak menentu. Ia mudah 

terpengaruh meski oleh musuh besarnya sekali-

pun."

"Apakah Prisma Permata itu miliknya?" po-

tong Suro Blondo tiba-tiba.


"Prisma permata itu sesungguhnya kunci 

pintu tempat dipenjarakan di Goa Darah. Kau ti-

dak usah tanya siapa yang telah memenjarakan-

nya. Yang jelas kini Goa Darah tempat bernaung-

nya selama satu abad telah hancur. Lumpur pa-

nas di mana-mana. Tanah yang keras pun akan 

menjadi leleh. Dan gara-garanya karena Prisma 

itu juga."

"Tapi... apa dayaku. Yang ku tahu disini 

aku hanya bersama Dewi Bulan. Kalau kulihat 

Manusia Merah itu saja rasanya aku akan repot 

menaklukannya belum lagi menghadapi Raja Pe-

nyihir, Datuk Mambang Pitoka, Nyanyuk Pingitan 

dan juga Diraja Penghulu Iblis?"

"Jangan takut, gurunya Dewi Bulan juga 

ada disini."

"Apa maksudmu?"

"Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng tidak 

jauh dari sini. Aku sudah memberitahukan hal ini 

pada mereka. Kalau manusia merah sudah dapat 

kujatuhkan, tentu kalian tinggal menyeretnya di 

tempat yang aman dan membujuknya?"

"Bagaimana dengan Dewi Bulan! Aku takut 

penyamarannya terbongkar dan dia akan menda-

pat kesulitan!" ujar Pendekar Blo'on sambil ga-

ruk-garuk kepalanya.

"Ah... rupanya kau selalu mengkhawatir-

kan pacarmu, kau tidak perlu merisaukannya. 

Lagipula aku akan selalu memantau keadaan di 

sini. Yang terpenting kalian bertiga harus dapat 

meyakinkan bahwa kau berada di pihak manusia


merah."

"Ah, Manusia Merah macam apakah dia?"

"Jangan garuk-garuk melulu macam mo-

nyet. Sudah kubilang ia anak Raja Jin yang ma-

lang. Nah... sekarang bersiap-siaplah kau untuk 

menyeretnya ke tempat yang aman!"

Bisikan yang didengar oleh Pendekar Blo'on 

tiba-tiba lenyap. Angin kencang disertai bau ha-

rum semerbak bergerak cepat ke arah manusia 

merah yang sedang membantai anak buah Diraja 

Penghulu Iblis. Rasa kantuk tiba-tiba menyerang 

Suro Blondo. 

"Edan... benar-benar edan! Angin wangi 

malah membuatku mengantuk!" Karena merasa 

yakin rasa kantuk itu diciptakan oleh seseorang 

yang sempat mengirimkan pesan padanya tadi. 

Maka Suro Blondo segera mengerahkan hawa 

murninya untuk menghilangkan rasa kantuk 

yang menyerangnya.

Kini tatapan matanya tertuju pada Manu-

sia Merah itu. Dengan jelas ia dapat melihat sisa-

sisa anak buah Diraja Penghulu Iblis bergelim-

pangan. Terakhir Manusia Merah yang tergelim-

pang dengan disertai suara berdebum. Suro Blon-

do langsung meninggalkan tempat persembu-

nyiannya. Satu dua lawan Manusia Merah yang 

masih berusaha bertahan dihajarnya hingga 

tunggang langgang. Begitu sampai ia tercengang.

"Ya ampun, Manusia Merah ini besarnya 

tidak ketulungan. Bagaimana aku bisa mengang-

katnya?" pikir Pendekar Blo'on.


Si bocah Ajaib yang terlahir pada malam 

satu Asyuro ini mengangkat tubuh Manusia Me-

rah.

"Hekh...!"

Sampai mata si konyol mendelik, sedikit-

pun tubuh Manusia Merah ini tidak bergeming. 

Mulut si pemuda termonyong-monyong, ia menge-

lilingi tubuh raksasa tersebut sambil menggeleng-

kan kepala terus.

"Orang ini besarnya seperti tiga ekor gajah 

yang lagi bunting. Kalau pun kukeluarkan tenaga 

dalam seluruhnya sampai aku mencret mana 

mungkin aku dapat mengangkatnya?"

Suro berjongkok dan termenung dengan 

dagu menopang di kedua tangannya. Ia tidak ha-

bis pikir bagaimana caranya menyeret orang ini. 

"Sekarang ia dalam keadaan pulas karena penga-

ruh pembius. Tentu tidurnya tidak akan lama. 

Sebaiknya aku tarik tangannya!" pikir Suro.

Maka ia pun memegang lengan Manusia 

Merah yang hampir sebesar pahanya. Tenaga da-

lam dikerahkan, niat segera dilaksanakan. Na-

mun hasilnya tetap seperti tadi.

"Gila betul!" Suro Blondo menggerutu, lalu 

garuk-garuk kepalanya.

Pendekar Blo'on memutar lagi, lalu kali ini 

bagian kaki yang ditariknya. Dasar Suro Pendekar 

geblek, kalau tangannya saja tidak dapat diseret 

apalagi kakinya.

"Goblok, tolol, bego dll. Bagaimana mung-

kin aku dapat mengangkat manusia macam ikan


paus ini?" gerutu Pendekar Blo'on. Ia mendekati 

kepala Manusia Merah, menarik kuping dan hi-

dungnya namun tetap tidak membuat Manusia 

Merah terjaga.

"Mana katanya guru Dewi Bulan akan 

membantuku? Apakah orang tadi cuma membo-

hongiku?"

Selagi Pendekar Blo'on tercenung seperti 

itulah, tiba-tiba saja terdengar suara, maka Pen-

dekar Blo'on malah tercengang pula.

"Anak perempuan orang. Dalam keadaan 

seperti ini tidak cukup waktu bagi kita. Cepat

bantu kami menyeretnya ke tempat yang aman. 

Cepatlah, sebelum pengaruh Sirep Ratu Penyair 

Tujuh Bayangan punah!"

"Walah, aku sudah menyeretnya tadi, tapi 

tubuhnya berat bukan main. Bagaimana kalau ki-

ta bangunkan saja!"

"Goblok betul! Kalau dia bangun nanti 

mengamuk lagi. Apakah kau becus menghada-

pinya?"

"Tentu saja kita bersama-sama. Tapi aku 

merasa yakin dia bakal menjadi sahabatku...!" ka-

ta Suro sambil nyengir.

"Hei... jangan cengengesan...!" teriak si ge-

muk macam raksasa.

"Ssst... kalau bicara jangan keras-keras, 

nanti orang ini bangun!" desis si Kerempeng.

"Habis bocah ini goblok banget!" kata si 

gemuk bersungut-sungut.

Suro walaupun cengengesan tapi tidak bi


cara apa-apa. Manusia dengan berat lebih dari 

dua ratus kati itu cemberut.

"Benar-benar gila! Makan apa manusia 

yang satu ini? Ia hampir sama besar dengan Ma-

nusia Merah, cuma kalah tinggi saja." batin Pen-

dekar Blo'on terkagum-kagum.

Dengan mengerahkan tenaga biasa mana 

mereka kuat mengangkat Manusia Merah. Mereka 

terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk 

menggotong Manusia Merah itu untuk dipindah-

kan ke tempat yang aman.


SEMBILAN



Maya Swari masuk ke kamar pengantinnya 

lagi. Di lihatnya Suro Blondo alias Pangeran Lin-

glung tidur di atas ranjang. Sampai sejauh itu 

Maya Swari tidak tahu bahwa suaminya telah di 

gantikan oleh Dewi Bulan alias pelayan Margon-

da.

"Kakang Pangeran Linglung, apakah kau 

sudah tidur?" tanya si gadis bermanja-manja.

"Uaah... aku penat sekali. Habis makan, 

habis minum langsung mengantuk...!" sahut Pan-

geran linglung si Dewi Bulan.

Maya merebahkan tubuhnya di samping 

Pangeran Linglung palsu. Di pandanginya pemu-

da bertampang ketolol-tololan itu. Tiba-tiba ia 

mengecup bibir Pangeran Linglung dengan sepe-

nuh gejolak hasrat cinta yang menggebu-gebu.


Pangeran Linglung ini tentu memerah wajahnya. 

Tapi dalam hati geli juga.

"Gadis tolol, kalau kau tahu bahwa aku 

punya dua mulut juga, punya dua bukit. Tentu 

tidak begini jadinya?" gerutu Dewi Bulan.

"Kakang...?!" Maya Swari memeluk Pange-

ran Linglung. Untung tangannya melingkar di ba-

gian perut gadis yang tengah menyamar tersebut. 

Coba kalau di bagian dada, Wah celaka...

"Ada apa?"

"Kakang, aku jadi teringat ketika kakang 

mengatakan pernah jadi tukang mengurus kuda. 

Mengapa mau-maunya kakang bekerja seperti 

itu?" tanya Maya dan nafasnya yang harum me-

nyapu wajah Pangeran Linglung palsu

"Mencari pekerjaan itu sulit. Banyak ka-

langan berpendidikan tinggi saja menganggur 

sampai sekarang. Aku hanya yatim piatu...!" kata 

Pangeran Linglung ngawur. "Tidak sekolah terke-

cuali hanya tulis baca dan berhitung. Sedangkan 

kau anak orang kaya, segala kebutuhanmu ter-

cukupi, tentu kau tidak pernah merasakan ba-

gaimana pahitnya penderitaan!"

"Aku kasihan melihat nasibmu Kakang, co-

ba kalau kita bertemu sejak kecil, tentu kehidu-

panmu tidak jelek-jelek amat!"

"Goblok, kalau kau tahu siapa aku. Kau 

tentu akan mengamuk membabi buta bahkan 

mungkin membunuhku!" maki Dewi Bulan dalam 

hati.

"Ya, nasib orang sendiri-sendiri. Manusia


hidup punya cobaan yang berbeda-beda. Kalau 

semua orang jadi kaya, tentu tidak ada yang 

miskin, kalau semua jadi raja siapa rakyatnya?" 

jawab Pangeran Linglung.

"Ahk, ternyata kau pandai juga Kakang!" 

puji Maya.

Tiba-tiba ia menggeliatkan tubuhnya. Ge-

rakannya sangat menarik, dadanya yang kenyal 

tampak menantang. Dewi tidak dapat mem-

bayangkan bagaimana jika si konyol itu yang be-

rada di samping Maya.

"Kakang, ah..,!" Mata Maya setengah terpe-

jam.

Sebagai gadis yang sudah dewasa dan cu-

kup matang. Tentu Dewi mengerti apa yang diin-

ginkan oleh Maya. Walau pun ia belum punya 

pengalaman sama sekali. Nalurinyalah yang men-

gatakan begitu.

Untuk tidak menimbulkan kecurigaan 

Maya, maka meskipun dengan rasa jijik Pangeran 

Linglung mendekap-dekap dan membelai.

"Kakang, rupanya kau belum punya penga-

laman sama sekali dalam bercinta,

ya...?"

"Wah, belum tuh." kata pengantin laki-laki 

tersipu.

"Bohong! Biasanya laki-laki suka menipu. 

Terkadang mereka belum menikah, tapi pengala-

mannya dengan perempuan bermacam-macam. 

Apakah Kakang mau mungkir?"

"Itu laki-laki lain. Laki-laki iseng hidung


belang-belang. Mereka memang suka jajan. Lalu 

terkena penyakit kotor, nah nanti kalau keturu-

nan rusak, anak yang disalahkan, Tuhan yang 

diomeli. Padahal buah setiap pohon selalu jatuh 

tidak jauh dari batangnya."

"Aih, Kakang... ternyata walaupun tam-

pangmu bego Kakang sangat pintar sekali!" puji 

Maya.

Tiba-tiba ia mencium bibir Pangeran Lin-

glung palsu. Mula-mula Dewi hanya diam saja. 

Namun karena kemudian ia mengingat penyama-

rannya agar tidak terbongkar. Maka Dewi dengan 

terpaksa membalas ciuman Maya. Nafas putri ib-

lis ini mulai tersengal-sengal. Lampu di dalam 

ruangan dipadamkannya.

"Jangan dimatikan, aku tidak bisa tidur, 

takut hantu!" protes Dewi Bulan si Pangeran Lin-

glung palsu.

"Kakang penakut!" Maya Swari menggerutu 

namun penuh kemanjaan.

Ia memeluk Pangeran Linglung, bibirnya 

yang kemerah-merahan mendesis dan merengek. 

Dengan terpaksa Pangeran Linglung menyeli-

napkan tangannya di dada Maya. Gadis itu merin-

tih ketika jemari tangan sang Pangeran membelai 

lembut dadanya. Tanpa malu-malu gadis Maya 

melepaskan kancing-kancing kemejanya. Sehing-

ga dada Maya yang putih itu tersembul dari balik 

pakaiannya. Ternyata Maya memang mengingin-

kan suasana sebagaimana yang terjadi pada pen-

gantin baru umumnya.


Dewi Bulan kelabakan, bagaimana mung-

kin hal itu dapat terjadi. Sedangkan antara di-

rinya dengan Maya sama saja. Tidak dapat di 

bayangkan Dewi bagaimana seandainya Pangeran 

Linglung yang berada di samping Maya. Tentu se-

tabah-tabahnya laki-laki akan bobol juga ben-

dungan Maya. Duh, Cemburunya Dewi Bulan.

Untunglah Pangeran Linglung ini punya 

otak yang cerdik. Sehingga dengan caranya yang 

tentu saja rahasia ia dapat memuaskan Maya 

Swari. Malam pengantin pun terasa hangat meng-

gebu-gebu. Suasana di luar genting dan kamar 

pengantin berubah sunyi. Waktu berlalu seba-

gaimana hari-hari sebelumnya.

Keesokan harinya ketika Maya terjaga tan-

pa busana. Dilihatnya Pangeran Linglung masih 

mendengkur di sampingnya. Pakaiannya rapi se-

bagaimana pakaian orang yang baru saja pulang 

dari pesta. Maya melihat dirinya sendiri. Sprei 

yang berwarna putih itu masih tetap bersih. Tidak 

ada noda-noda darah disitu. Maya pun tidak me-

rasakan sakit pada bagian bawah perutnya. Maya 

tiba-tiba merasa ada sesuatu yang ganjil tidak se-

bagaimana mestinya. Padahal waktu menikah ia 

masih suci, gadis ting ting. Lalu siapa yang salah? 

Diam-diam Maya jadi curiga, kecurigaannya itu 

tetap ia pendam. Ia harus menyelidik siapa se-

sungguhnya Pangeran Linglung? Setelah menge-

nakan pakaiannya kembali yang berantakan, ma-

ka Maya segera bergegas ke kamar mandi. Ia sen-

gaja tidak mau membangunkan suaminya.


Apa yang bakal terjadi? Terbongkarkah pe-

nyamaran Dewi Bulan? Bagaimana jika Manusia 

Merah tersadar. Mampukah Suro dan guru Dewi 

Bulan mempertahankan diri? Ketegangan sema-

kin memuncak, keserakahan, ambisi dan nafsu 

jelek manusia menimbulkan angkara murka. Bagaimana nasib si konyol ini? 



                          TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar