“Apa yang terjadi Mirah?” bertanya anak itu.
“Kakang Sidanti memaksa aku untuk menuruti kehendaknya“ jawabnya. Sidanti terkejut
mendengar jawaban itu. Sedayupun terkejut pula. Dan terdengar gadis itu meneruskan
“Menurut kakang Sidanti, aku tidak boleh bergaul dengan setiap laki-laki kecuali kakang Sidanti
sendiri”
“Mirah” potong Sidanti. Tetapi Sekar Mirah berkata terus “Ia mengancamku. Nah, apakah
haknya?”
Swandaru memandang Sidanti dengan tajamnya. Telah lama tertanam bibit-bibit ketidak-
senangannya terhadap anak muda itu. Karena itu ia berkata acuh tak acuh “Jangan hiraukan
Mirah. Anggaplah kata-katanya seperti angin malam. Gemerisik dan lenyap bersama embun
pagi”
Sidanti adalah anak muda yang masih berdarah panas. Kata-katanya itu benar-benar
menyakitkan hatinya. Karena itu tiba-tiba saja ia meloncat dan menampar mulut Swandaru
seperti pernah dilakukannya. Swandaru terkejut, namun ia tidak mampu untuk menghindar.
Terasa sebuah sengatan yang dahsyat dipipinya sehingga ia tersentak mundur. Namun
Swandaru itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia terbanting
jatuh, bersamaan dengan pekik adiknya Sekar Mirah. “Kakang Swandaru!” teriaknya.
Swandaru berguling beberapa kali. Kemudian dengan susah payah ia duduk. Dirasakannya
kepalanya pening dan ketika ia mengusap mulutnya, tampaklah tangannya menjadi merah.
Darah.
Sekar Mirah memandang Sidanti seperti memandang hantu. Betapa gadis itu menjadi marah
sehingga mulutnya bergetar. Namun yang dapat diucapkannya hanyalah “Kau setan, Sidanti”
Pekik Sekar Mirah ternyata didengar oleh beberapa orang yang sedang terkantuk-kantuk
dipendapa. Beberapa orang berlari-larian kebelakang rumah. Mereka tertegun ketika melihat
Swandaru masih duduk ditanah dan dari mulutnya mengalir darah, diantara mereka berdiri
dengan dada yang bergolak pepmimpin laskar di Sangkal Putung itu. Widura. Dengan tajam
Widura memandang satu demi satu setiap orang yang berdiri dibelakang rumah itu. Sidanti,
Sedayu dan Swandaru. Katanya didalam hati “Celaka. Swandaru terlibat pula”
Sidanti masih berdiri seperti tonggak. Kaki-kainya yang kokoh seakan-akan jauh menghunjam
kedalam bumi. Dengan wajah yang tegang ia berdiri menunggu apapun yang akan terjadi.
Namun ia sudah terlanjur mengayunkan tangannya. Dengan demikian segala akibat yang akan
imbul pasti akan dihadapinya.
Dalam ketegangan itu terdengarlah Widura menggeram “Apakah yang terjadi disini Sidanti?”
Sidanti tidak segera menjawab. Sesaat matanya menyambar Agung Sedayu dan kemudian
Sekar Mirah.
Beberapa orang yang berdiri memagari merekapun segera dapat menebak, apa yang sudah
terjadi. Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyipitkan matanya, sedang Citra
Gati dengan penuh perhatian menatap wajah Sidanti.
Ketika beberapa saat Sidanti tidak menjawab, maka kembali Widura bertanya, kali ini kepada
Agung Sedayu “Apa yang terjadi Sedayu?”
Agung Sedayu menundukkan wajahnya, mulutnyapun seperti terkunci. Karena itu Agung
Sedayu juga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Yang terdengar kemudian adalah kata-
katanya Swandaru “Yang aku ketahui paman, mulutku berdarah dan kepalaku serasa hampir
terlepas”
Widura berpaling kearah Swandaru yang masih terduduk ditanah “Berdirilah Swandaru” berkata
Widura.
Dengan susah- payah anak muda itu berdiri. Beberapa orang berusaha untuk menolongnya
dan menghapus darah yang masih juga meleleh dari mulutnya. Ketika Swandaru telah berdiri
meskipun belum tegak benar, ia mencoba memandang setiap wajah yang ada disekitarnya.
Namun ayahnya tidak nampak. Meskipun demikian ia berkata terus “Tangan kakang Sidanti
benar-benar seberat timah”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ditatapnya mata Sidanti,
sehingga dengan nanar Sidanti terpaksa melemparkan pandangan matanya jauh-jau
“Kenapa kau sakiti dia Sidanti?”
“Anak itu mendahului kakang” sahut Sidanti
“Ah” Widura berdesah “Benarkah demikian?” katanya kepada Swandaru.
“Hem” Swandaru menarik nafas. “Ada dua orang saksi disini. Sekar Mirah dan Agung Sedayu”
Sidanti menelan ludahnya. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Dan didengarnya kembali
Widura bertanya “Sidanti, apakah sebenarnya yang terjadi?”
Sidanti kini tidak ingin bersembunyi dibalakang berbagai alasan yang berbelit-belit. Maka
jawabnya dengan dada tengadah “Yang terjadi adalah persoalan antara aku dan adi Agung
Sedayu. Persoalan antara anak-anak muda. Karena itu sama sekali tidak bersangkut paut
dengan kelaskaran Pajang di Sangkal Putung”
Jawaban itu benar-benar tak diduga oleh Widura dan oleh siapapun. Sidanti mencoba
meletakkan persoalan ini diluar campur tangan pihak-pihak lain. Karena itu maka Widurapun
menjadi berdebar-debar pula. Katanya “Aku adalah pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung.
Aku akan bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa yang terjadi disini. Apalagi diantara
anak buahku sendiri”
“Tetapi apabila persoalan itu menyangkut persoalan kelaskaran” bantah Sidanti. “Persoalanku
adalah persoalan seorang dengan seorang tanpa ada sangkut pautnya dengan kepemimpinan
kakang disini”
Dahi Widurapun menjadi berkerut karenanya. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ia adalah seorang pemimpin. Karena itu ia harus tetap memiliki wibawa atas
anak buahnya. Sehingga kemudian ia bertanya “Lalu apakah kehendakmu?”
“Biarlah kami menyelesaikan persoalan kami sebagai laki-laki” jawabnya.
Jawaban itu sangat mendebarkan hati. Apalagi Agung Sedayu. Dengan sudut matanya ia
memandang wajah pamannya. Namun kemudian wajahnya itupun ditundukkannya kembali.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata “Ada hakku untuk berbuat
atas kalian. Terutama atas Agung Sedayu. Dia tamuku disini, dan kedua ia adalah
keponakanku. Aku melarang dia membuat keonaran disini”
Terasa sesuatu berdesir didada Agung Sedayu. Ia sadar bahwa pamannya berusaha
membebaskannya dari pertentangan ini. Karena itu tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, namun
hanya sesaat, dan wajah itu menunduk kembali.
Beberapa orang menjadi kecewa karenanya. Terutama Sekar Mirah sendiri. Hudaya yang
berdiri disamping Citra Gati berbisik “Ah, kakang Widura terlalu memanjakan Sidanti yang
sombong itu, sehingga kemenakannya sendiri dikorbankannya. Aku ingin melihat sekali-sekali
Sidanti itu dihajar orang. Bukankah ini suatu kesempatan yang baik. Lihatlah betapa kecewa
angger Sedayu mendengar keputusan pamannya. Untunglah ia anak yang patuh, sehingga
keputusan itu betapapun beratnya, agaknya akan diterimanya juga”
Mulut Citra Gati berkomat-kamit. Dari matanya menancarlah perasaan muaknya melihat
kesombongan Sidanti, sehingga dengan pimpinannyapun ia telah berani membantah.
Sedang Swandaru dengan wajah yang masam memandang Widura dari ujung kaki keujung
kepalanya. Apakah mulutnya dibiarkan berdarah, dan Sidanti dibiarkannya begitu saja. Ia
memang berharap, Sedayu turun tangan karena peristiwa itu. Ia mengharap bahwa apabila
Sidanti marah, maka Agung Sedayupun akan marah pula. Namun tiba-tiba pamannya
mengambil keputusan yang tak diharapkan.
Sesaat kemudian mereka dicengkam oleh ketegangan. Bukan saja orang-orang disekitar
Sidanti menjadi kecewa, namun Sidanti sendiri tidak kalah kecewanya. Sebagai seorang anak
muda yang merasa dirinya mumpuni, Sidanti benar-benar ingin memperlihatkan
kemampuannya. Ia yakin, bahwa betapapun kuatnya Agung Sedayu namun ia pasti akan dapat
bertahan. Bahkan terhadap Untara sekalipun. Karena itu, betapa ia menyesal, namun ketika ia
akan menyatakan sesalnya, didengarnya Widura berkata “Aku perintahkan kalian kembali
kependapa”
Sidanti memandang Widura dengan mata yang gelisah. Katanya “Biarlah aku disini”
“Kau dengar perintahku” ulang Widura.
Sidanti masih berdiri ditempatnya. Beberapa orang yang sudah mulai bergerakpun tiba-tiba
berhenti dan memandang anak muda itu dengan hati yang tegang.
Ketika Sidanti tidak beranjak dari tempatnya, terdengar kembali Widura berkata “Sidanti, aku
perintahkan kau kembali kependapa”
“Aku disini” jawabnya.
Widura pun menjadi marah karenanya. Ia sadar bahwa Sidanti merasa bahwa kesaktiannya
telah bertambah-tambah karena kehadiran gurunya yang menempanya. Namun Widura adalah
pemimpin yang sadar akan kedudukannya. Karena itu, selangkah ia maju sambil berkata
lantang “Sidanti, untuk terkhir kalinya aku memberikan peringatanku. Kalau tidak, maka aku
akan melakukan kekuasaan yang ada padaku. Tinggalkan tempat ini, dan pergi kependapa”
Tubuh Sidantipun bergetar karena marah. Ia tahu benar bahwa Widura tidak lebih dari padanya,
sehingga apabila Widura itu menyerangnya, maka ia tidak yakin bahwa ia tidak akan
melawannya. “Setidak-tidaknya aku akan dapat menyamainya. Bahkan mungkin
melampauinya” katanya didalam hatinya. Namun ketika ia melihat beberapa wajah yang keras
dan kasar berdiri disekitarnya, Hudaya, Citra Gati, Sendawa laki-laki bertubuh raksasa bermata
satu, Sonya yang mempunyai ciri dipelipis dan dahinya, Patra bungkik dan beberapa orang lagi.
Meskipun Sidanti tidak gentar berhadapan dengan setiap orang yang berdiri disitu, namun
kalau mereka maju bersama-sama dengan Widura untuk menangkapnya, maka ia pasti akan
mengalami kesulitan. Karena itu ketika terpandang sekali lagi mata Widura yang menyala,
Sidantipun kemudian perlahan-lahan menggerakkan kakinya. Selangkah demi selangkah,
namun perlahan sekali, ia meninggalkan tempat itu pergi kependapa.
Keteganganpun kemudian mereda. Sekali lagi Widura memandang setiap wajah yang ada
disekitarnya. Kemudian terdengar kembali perintahnya “Kembali kependapa”
Setiap orang yang berada ditempat itupun kemudian berangsur-angsur pergi. Terdengarlah
gumam yang simpang siur diantara mereka. Sedang yang tinggal kemudian adalah Sedayu,
Sekar Mirah dan swandaru. Perlahan-lahan Widura meraba pipi swandaru, diamat-amatinya
noda yang merah kebiru-biruan dipipi itu “Tangan anak itu benar-benar luar biasa” katanya
didalam hati.
“Masuklah Swandaru” berkata Widura. “Katakanlah kepadaku nanti apabila ayah datang. Aku
akan minta maaf kepadanya”
Swandaru tersenyum meskipun masam “Kenapa paman minta maaf kepada ayah?”
“Aku menyesal bahwa salah seorang anak buahku, yang seharusnya melindungi rakyat
Sangkal Putung, bahkan telah menyakiti hati mereka. Bukankah kau pemimpin dari anak-anak
muda disini? Karena itu maka aku harus minta maaf kepada rakyat Sangkal Putung lewat
ayahmu” sahut Widura.
Swandaru mengangguk-angguk. Pipinya masih terasa sakit. Dan sakit itu tidak akan sembuh
hanya oleh permintaan maaf saja. Apalagi sakit hatinya. Namun meskipun demikian,
dihargainya juga sikap Widura yang jujur itu.
Swandaru dan Sekar Mirahpun kemudian masuk kerumahnya lewat pintu belakang dengan hati
kecewa. Bagaimanapun juga Swandaru tidak dapat melupakan hinaan yang telah dua kali
dialaminya. Karena itu tiba-tiba ia menggeram didalam hatinya “Awas Sidanti, suatu ketika aku
harus membunuhmu. Swandaru bukan cacing yang lata, tetapi Swandaru, Swandaru Geni,
adalah sorang anak jantan”
Sedayupun kemudian mengikuti pamannya kepringgitan. Dipringgitan ia duduk saja sambil
menekurkan kepalanya. ketika pamannya kemudian duduk dihadapannya, hatinya menjadi
berdebar-debar.
“Sedayu” berkata pamannya “Nah, peristiwa itu sekarang sudah terjadi. Apa katamu?”
Agung Sedayu hanya dapat menundukkan wajahnya. Apalagi ketika pamannya itu berkata pula
“Bukankah aku pernah memberimu peringatan?”
“Aku sudah mencoba melakukannya paman” sahut Sedayu perlahan-lahan. “Tetapi apabila aku
pergi kesumur atau kebelakang untuk keperluan lain, kadang-kadang aku masih berjumpa
dengan gadis itu”
“Aku tidak keberatan apapun yang kau lakukan Sedayu, asalkan kau dapat mempertanggung-
jawabkannya. Aku berbesar hati melihat ketekunanmu berlatih hampir setiap malam. Aku
berbesar hati melihat kemajuan-kemajuan yang kau capai. Namun hatimu yang kerdil itu masih
sekerdil itu pula. Apalagi berhadapan dengan Sidanti. Karena itu Sedayu, kali ini adalah kali
terakhir aku mencampuri persoalanmu. Seterusnya, kau sudah cukup besar untuk menjaga
dirimu sendiri”
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Hampir ia menangis mendengar kata-kata pamannya.
Ia kini telah benar-benar kehilangan pegangan. Kakaknya masih belum diketemukan, dan
pamannya seolah-olah tak mau lagi melindunginya. “Oh” Sedayu mengeluh didalam hati.
“Sedayu” berkata pamannya “Bagaimanakah kalau kau aku antar saja pulang ke Jati Anom?”
Agung Sedayu menggeleng. Ia tidak berani tinggal seorang diri disana “Atau ke Banyu Asri?”
kata pamannya pula.
Di Banyu Asri pun keadaannya sama sekali tidak menyenangkan. Orang-orang Jipang yang
berpencaran dapat saja menemukannya di Banyu Asri. Alap-alap Jalatunda yang berkeliaran itu,
misalnya, sebab Alap-alap Jalatunda itu kini sudah terlanjur mengenalnya, tidak seperti dahulu
lagi, sebelum ia pernah bertemu dengan Alap-alap Jalatunda yang mengerikan itu.
“Biarlah aku disini paman. Aku berjanji tidak akan keluar dari pringgitan sebelum malam”
“Oh” Widura mengeluh. “Terlalu, terlalu” gumamnya. Ia telah benar-benar menjadi jengkel. Dan
karena itu, maka mulutnya malahan terbungkam karenanya.
Dipendapa Sidanti masih duduk disudut diatas tikar pembaringannya. Hatinya menyala oleh
kemarahan yang memuncak. Tanpa disadarinya, dibelainya senjatanya yang mengerikan.
Beberapa orang yang melihatnya menjadi berdebar-debar karenanya, dan tanpa sadar pula,
mereka duduk-duduk disamping senjata masing-masing.
Tiba-tiba ketika Sidanti itu melihat Widura melangkah keluar, ia berdiri pula. diletakkannya
senjatanya, dan dengan tergesa-gesa ia menyusulnya.
“Kakang” panggil Sidanti. Widura terkejut, karena itu iapun segera berhenti.
Tampaklah dahi Widura itu berkerut, ketika dilihatnya Sidanti dengan tergesa-gesa pergi
mendapatkannya. Bukan saja Widura yang menjadi tegang, namun beberapa orang yang
melihatnyapun tanpa sesadar mereka, serentak berdiri tegak ditempat masing-masing.
Sidantipun melihat semuanya itu. Karena itu maka kini dapat diketahuinya, bagaimana sikap
orang-orang dalam lingkungannya kepadanya. Meskipun demikian Sidanti sama sekali tidak
berkecil hati.
Ketika Sidanti sudah berdiri beberapa langkah dihadapannya, Widura bertanya “Apakah ada
sesuatu yang penting?”
“Ya kakang” jawab Sidanti. “Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kakang Widura tanpa
didengar oleh seorangpun”
“Katakanlah” sahut Widura.
Sidanti beragu sebentar, sehingga tiba-tiba wajahnya beredar kesegala sudut halaman dan
pendapa rumah kademangan itu.
“Kalau kau tidak berteriak-teriak maka mereka tidak akan mendengar” berkata Widura.
Sidanti menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian tampaklah ia tersenyum. Namun senyum itu
terasa aneh bagi Widura.
“Kakang” berkata Sidanti perlahan-lahan sambil melangkah mendekati Widura. “Aku ingin
mengatakan sesuatu. Tetapi tidak disini.”
“Berkatalah sekarang” sahut Widura.
Sidanti menarik nafas. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Ditangga pendapa ia melihat
beberapa orang berdiri berjajar-jajar, dan beberapa orang diantaranya duduk dengan gelisah.
Diregolpun dilihatnya beberapa orang penjaga dengan tombak ditangan mereka.
“Baiklah kakang” berkata Sidanti “Aku hanya akan minta ijin kakang untuk menyelesaikan
persoalanku dengan Agung Sedayu secara jantan, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut dan
menjadi semakin dalam menghunjam didalam dadaku”
Widura terkejut mendengar permintaan itu. Ternyata Sindanti sama sekali tidak dapat menekan
perasaannya. Karena itu untuk sesaat Widura tidak segera dapat menjawab. Bahkan Sidanti
sempat berkata terus “Aku bersedia memenuhi syarat apapun yang akan diberikan kepada
kami berdua. Tanding tanpa atau dengan saksi, tanpa atau dengan senjata”
Wajah Widura tiba-tiba menjadi tegang. Terdengar ia menggeram, kemudian katanya “Tidak.
Aku tidak memberimu ijin. Juga Agung Sedayu tidak akan aku ijinkan”
Sidanti menjadi kecewa. Namun ia masih berkata terus “Kakang, agaknya kurang bijaksana.
Apakah kakang ingin dendam kami masing-masing membakar dada kami, sehingga kelak
apabila terdapat kesempatan, maka kami akan bertempur tanpa pengendalian diri? Kini kami
masih cukup sadar, bahwa perkelahian yang akan diadakan ini adalah perkelahian antara kita.
Hanya karena persoalan pribadi. Sehingga dengan demikian kita masih dapat membatasi diri
kita sendiri untuk tidak menghancurkan laskar kita dihadapan laskar Jipang”
Sekali lagi Widura menggeleng, katanya tegas “Tidak. Perkelahian diantara kita sama sekali tak
akan menguntungkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Ia adalah kemenakanku. Dan aku tidak
mau melihat salah seorang dalam aliran darahku yang berkelahi karena perempuan”
Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah membara. Kemarahannya kini menjalar kembali
didadanya. Kata-kata Widura itu benar-benar suatu tamparan baginya.
Dan tiba-tiba pula perasaan yang tersimpan didadanya itu kini terungkat seluruhnya. Betapa ia
memandang Widura tidak lebih daripadanya. Apalagi ia merasa benar-benar bahwa persoalan
yang kini dihadapinya sama sekali bukan persoalan kelaskaran, tetapi persoalan pribadi.
Karena itu kini Sidanti tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Meskipun demikian ia
masih berkata perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan “Kakang, apakah sebenarnya
kakang sedang melindungi anak itu?”
Dada Widura seakan-akan meledak mendengar pertanyaan itu. Ia sadar, bahwa Sidanti hanya
ingin menghina Agung Sedayu. Namun karena keadaannya memang demikian, maka Widura
hampir-hampir tak dapat menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian ia berkata “Jangan
mengigau Sidanti. Kalau suatu ketika terjadi perkelahian diantara kalin, maka kalian berdua
akan terpaksa mengalami hukuman”
Sidanti tersenyum. Senyum yang benar-benar menyakitkan hati. Katanya “Hem, kakang Widura.
Sebagai seorang bawahan aku menghormatimu. Namun sebagai seorang yang mempunyai
kebebasan diri dalam persoalanku sendiri aku tidak dapat menerimanya”
Sekali lagi dada Widura terguncang. Wajahnya menjadi merah pula karena marah. Meskipun
demikian ia masih mencoba untuk menenangkan dirinya.
Orang-orang yang melihat percakapan itu dari kejauhan menjadi heran. Mereka melihat wajah-
wajah yang tegang. Namun kadang-kadang mereka melihat Sidanti tersenyum-senyum seperti
tidak pernah terjadi sesuatu. Karena itu mereka menebak-nebak apakah yang mereka
bicarakan. Apakah Sidanti sedang minta maaf kepada Widura?
Namun mereka tidak mendengar ketika Widura berkata “Aku mempunyai kekuasaan disini
Sidanti”
Sidanti masih tersenyum. Katanya “Kakang Widura ternyata telah menyalahgunakan kekuasaan
itu untuk keuntungan pribadi”
Dada Widura benar-benar hampir pecah karenanya. Ia harus mempertahankan kewibawaannya
sebagai seorang pemimpin. Maka katanya “Tanpa kekuasaanpun aku dapat memaksamu
Sidanti”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba iapun berkata “Kakang, aku ingin berbicara tanpa
seorangpun yang melihat”
“Bagus” berkata Widura. Ia benar-benar telah menangkap tantangan itu. Karena itu ia harus
menerimanya apabila ia masih ingin dinamai seorang pemimpin. Maka katanya seterusnya
“Nanti malam kita bisa bertemu tanpa seorangpun yang melihat pertemuan itu”
Dada Sidantipun bergetar semakin cepat. Ia sudah menjerumuskan diri kedalam persoalan
yang lebih berat. Namun ia yakin, bahwa ia akan dapat mengatasi semua persoalan itu.
Maka kemudian Sidanti itupun mengangguk hormat, lalu pergi meninggalkan Widura yang
masih tegak dengan tegangnya. Dilihatnya anak muda yang terlalu yakin akan dirinya itu,
berjalan kependapa, kemudian naik dengan langkah yang tetap.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya keadaan disekitarnya. Dilihatnya
anak buahnya berdiri berjajar disamping pendapa, sedang diregol halaman dilihatnya beberapa
orang yang sedang bertugas tegak dengan tombak ditangan.
“Apapun yang terjadi” katanya didalam hati “Mereka harus menganggap aku sebagai seorang
laki-laki yang berani menghadapi setiap keadaan dibawah kekuasaanku. Kalau aku hindari
tantangan Sidanti, mereka akan kehilangan kepercayaan, dan aku akan kehilangan
kewibawaan”
“Tetapi” terdengar pula suara yang lain “Bagaimanakah kalau aku dapat dikalahkan?”
“Menang atau kalah bukan soal” jawabnya sendiri “Aku harus tetap pada keputusanku,
keputusan seorang pimpinan prajurit”
Sesaat kemudian Widura itupun melangkah kembali keregol halaman. Kemudian kepada para
penjaga ia bertanya “Adalah kalian melihat Ki Demang sudah datang?”
“Belum tuan” jawab salah seorang dari mereka. “Malahan Swandaru juga keluar halaman”
“Kemana?”
“Tak dikatakan kepada kami”
Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Ia ingin menyampaikan sendiri kabar tentang
persoalan antara Swandaru dan Sidanti, untuk kemudian minta maaf kepadanya. Kalau
Swandaru sendiri yang mengatakannya, maka Ki Demang akan dapat menjadi salah paham.
Apalagi kalau kemudian kawan-kawan Swandaru menjadi marah. Maka akibatnya akan
menyulitkannya.
Tetapi disamping itu tantangan Sidanti juga menggelisahkannya. Ia tidak takut menghadapi
apapun, namun sebagai seorang pemimpin ia mempunyai tanggung jawab yang luas.
Bahkan kemudian Widura itu mengumpat didalam hatinya. “Alangkah bodohnya Agung Sedayu.
Ia telah membuat Sangkal Putung menjadi berantakan setelah ia berhasil menyelamatkannya.
Kalau anak itu bukan saja seorang pengecut, maka kepalaku tidak menjadi pecah dibuatnya”
Ketika Widura melangkah kembali kependapa, terasa seseorang menggamitnya. Orang itu
adalah Citra Gati. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berbisik “Apakah yang dikatakan
Sidanti itu kakang?”
Widura memandangnya bersungguh-sungguh pula. Namun kemudian ia tersenyum “Tidak apa-
apa” jawabnya.
Citra Gati menggeleng. Katanya “Aku melihat sesuatu yang tidak wajar kakang. Jangan biarkan
kami menebak-nebak, supaya kami tidak semakin muak melihat anak Ki Tambak Wedi yang
sombong itu”
“Tenaganya kita perlukan disini” sahut Widura.
Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirasakannya, apa yang dikatakan Widura itu
benar. Namun apakah dengan demikian anak muda itu wenang untuk berbuat sesuka hatinya?
Karena itu ia bertanya “Tetapi kakang, aku melihat tingkah lakunya semakin lama semakin tidak
menyenangkan”
“Aku akan mencoba untuk mengatasinya” jawab Widura
“Mudah-mudahan kakang berhasil” gumam Citra Gati “Kalau perlu, kakang dapat minta bantuan
kami. Bukankah itu juga termasuk kewajiban kami?”
Widura mengerutkan keningnya. Katanya “Jangan. Dengan demikian dendam diantara kalian
akan semakin menyala. Kewajiban kita masih banyak. Tohpati masih ada dimuka hidung kita.
Alap-alap Jalatunda dan Plasa Ireng yang berkeliaran didaerah Pakuwon dan Karajan. Mungkin
masih banyak lagi orang-orang yang bersembunyi disana-sini. Suatu ketika mereka akan
berhimpun. Dan itu adalah pekerjaan yang berat”
Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Ia kagum kepada anak muda yang bernama Sidanti itu,
namun ia membencinya. Meskipun didalam hatinya ia mengakui, bahwa seorang lawan
seorang ia tak akan dapat mengalahkan Sidanti yang hampir dapat mencapai tataran Macan
Kepatihan, namun ia tidak senang melihat anak itu dibiarkan sesuka hatinya.
“Kakang” tiba-tiba terdengar Citra Gati berkata pula “Kenapa kakang tidak membiarkan angger
Agung Sedayu sekali-sekali mengajarnya untuk bersopan santun?”
Kembali dada Widura bergetar. Namun jawabnya “Aku benci melihat perkelahian karena
perempan
“Oh” Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak dapat berkata apapun lagi. Itu
adalah persoalan antara paman dan kemenakannya. Karena itu maka iapun kemudian kembali
kependapa dan duduk disamping Sonya dan Sendawa.
“Apa katanya kakang Gati?” bertanya Sendawa setelah Citra Gati duduk disampingnya.
“Entahlah. Terasa sesuatu dirahasiakan oleh kakang Widura” jawab Citra Gati.
Sendawa, yang matanya cacat sebelah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya
masih sibuk menggosok-gosok senjatanya, sebuah kelewang yang besar dan tebal, sesuai
dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar.
Kemudian mereka tenggelam dalam kesenyapan. Angan-angan mereka masing-masing
terbang bersama awan dilangit. Sekali-sekali burung elang terbang melingkar-lingkar diudara,
mencari mangsanya. Namun induk-induk ayang dengan bulu-bulunya yang tebal, segera
menyelimuti anak-anaknya yang ketakutan.
Widura pun kemudian kembali kepringgitan. Dilihatnya Agung Sedayu duduk terpekur. Dan tiba-
tiba saja timbullah perasaan jemu melihat anak itu. Namun ia adalah kemenakannya. Dan ia
datang untuk keselamatannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Widura adalah
mengumpat-umpat saja di dalam hati.
Mataharipun semakin lama semakin condong kebarat. Dan Widura tidak melupakan janjinya.
Malam nanti.
Dan akhirnya malam itu datang. Ketika pringgitan itu mulai dinyalakan lampu, Widura melihat
Demang Sangkal Putung masuk kedalamnya.
“Silakan kakang” sambut Widura.
Ki Demang dengan lelahnya duduk disamping Agung Sedayu yang duduk terpekur. Sejengkal
ia menggeser diri, dan terdengar ia berkata lirih “Marilah bapak Demang”
“Silakan, silakan ngger” jawab demang Sangkal Putung itu. “Ah, aku baru saja melihat-lihat
apakah sawah kita masih sempat ditanami”
“Oh “ sahut Widura sambil duduk pula “Bagaimana keadaannya?”
“Baik” jawab ki Demang.
“Aku mencari ki Demang sejak siang tadi” berkata Widura.
“Ya ya. Aku mendengar dari Swandaru. Aku mendengar pula apa yang telah terjadi. Aku
menyesal”
“Kami harus minta maaf kepada kakang” berkata Widura.
“Aku juga. Bukankah Sekar Mirah itu anakku? Anak itu memang seharusnya mendapat
peringatan”
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia sama sekali tidak berani ikut serta dalam
pembicaraan itu.
Kemudian terdengar Ki Demang meneruskan “Dan itu sudah aku lakukan. mudah-mudahan hal
yang tak diharapkan ini tidak terulang kembali”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untunglah demang Sangkal Putung itu sudah
cukup usianya untuk dapat memandang setiap persoalan dengan tenang. Karena itu, maka
keadaan Widura tidak menjadi bertambah parah lagi.
“Mudah-mudahan” berkata Widura kemudian. “Mudah-mudahan aku akan berhasil menguasai
anak buahku”
Ki Demang tersenyum. Namun kemudian ia berkata “Ah sudahlah, aku ingin bicara masalah
lain”
“Apakah itu?” bertanya Widura.
“Aku melihat kejemuan diantara anak-anak kita. Bukankah begitu?”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” jawabnya. “Terasa benar kejemuan itu. Dan
karena itu pulalah maka sering terjadi hal-hal yang sama sekali tak diharapkan. Anak-anak itu
kadang-kadang membuat hal-hal yang aneh yang kadang-kadang berbahaya”
“Tepat” sahut ki Demang. “Jangankan anak-anak adi Widura, anak-anak muda Sangkal Putung
yang hidup diatara keluarganyapun menjadi jemu oleh ketegangan ini. Nah, aku ada pendapat,
kalau adi menyetujui”
“Bagaimana?”
Anak-anak muda Sangkal Putung akan mengadakan perlombaan ketangkasan”
“Bagus” sahut Widura dengan serta-merta. “Ketegangan mereka akan tersalur. Biarlah anak-
anakku juga mengadakannya”
Ki Demang tersenyum. “Nah, kita tinggal membicarakan kapan dan perlombaan apa?”
“Baik kakang” jawab Widura. “Biarlah nanti anak-anak menentukan sendiri”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Rencana itu adalah rencana yang baik sekali
baginya. Tidak saja untuk menyalurkan ketegangan yang menghimpit mereka terus-menerus,
namun juga untuk memberikan petunjuk-petunjuk bagi anak-anak muda Sangkal Putung untuk
lebih maju dalam olah senjata. Dan lebih dari itu, permainan yang demikian akan dapat
memberi mereka kegembiraan.
“Baiklah” berkata ki Demang itu kemudian “Biarlah anak-anak membicarakannya. Kini aku ingin
beristirahat”
Ki Demang itupun kemudian berdiri dan berjalan keluar. Widura yang mengantarkannya sampai
kepintu, melihat anak-anaknya sudah berbaring ditempat masing-masing. Tetapi ketika
pandangan matanya hinggap disudut pendapa, tempat Sidanti, hatinya menjadi berdebar-debar.
Tempat itu ternyata kosong.
“Anak itu belum berada ditempatnya” gumamnya. Namun ia tidak berkata sepatah katapun.
Ketika ki Demang telah turun kehalaman, segera Widura masuk kembali kepringgitan.
Dibenahinya pakaiannya, dikeraskannya ikat pinggangnya dan kemudian disangkutkannya
pedangnya dilambungnya. Ia kini sudah benar-benar siap, apapun yang akan terjadi atasnya
malam nanti dalam kedudukannya sebagai pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung. Ia
masih akan berusaha menguasai Sidanti seorang diri. Janjinya untuk bertemu Sidanti tanpa
diketahui oleh siapapun benar-benar akan dipenuhi.
Demikianlah ketika Widura telah siap benar, berkatalah ia kepada Agung Sedayu “Kau tinggal
dirumah kali ini Sedayu. Aku akan pergi seorang diri”
Dada Agung Sedayu berdebar-debar. Justru baru siang tadi terjadi peristiwa yang mengusutkan
hatinya. Karena itu ia bertanya “Kenapa aku tidak ikut serta paman?”
“Tidak apa-apa. Kau tinggal dirumah” Widura tidak menunggu jawaban Agung Sedayu. Segera
ia melangkah keluar. Katanya dalam hati “Biarlah anak itu aku tunggu diregol halaman”
Demikian Widura meninggalkan pringgitan, demikian hati Agung Sedayu kembali keriput. Tiba-
tiba saja terasa dadanya menjadi sesak oleh kecemasan yang menghentak-hentak. “Apakah
paman sengaja membiarkan Sidanti membunuhku?” katanya didalam hati. Dan tiba-tiba saja
timbullah keinginan yang aneh “Ah, apabila demikian, biarlah lebih baik aku ikut saja kepada
Kiai Gringsing”. Namun kembali timbul ragunya “Jangan-jangan Kiai Gringsing benar-benar
menganggapnya seorang yang sakti. Dengan demikian pada suatu kali ia harus berhadapan
pula dengan seorang lawan apapun alasannya”
Tiba-tiba Sedayu hampir pingsan ketika didengarnya pintu berderit dan dilihatnya kepala Sidanti
terjulur masuk. Tetapi anak muda itu tidak meloncat masuk dan memukulnya. Dengan
tersenyum ia bertanya “Dimanakah kakang Widura?”
“Diluar” jawabnya singkat, tetapi terdengar suaranya bergetar.
Tiba-tiba pandangan mata Sidanti itu menjadi aneh. Ditatapnya tiap sudut ruangan. Dan
kembali ia bertanya “Kakang Widura tidak disini?”
Sedayu menggeleng, dan dadanya menjadi semakin bergetar. Sidanti masih saja menjulurkan
kepalanya sambil tersenyum. Kemudian tiba-tiba saja ia melangkah masuk. Ditatapnya wajah
Agung Sedayu dengan nyala dendam dimatanya. Kemudian terdengarlah Sidanti berkata
“Sayang, kakang Widura tidak mengijinkan kita menyelesaikan masalah kita sendiri”
Betapapun dada Sedayu bergetar, namun dengan sekuat tenaga masih dicobanya untuk tidak
berkesan diwajahnya. Dengan tergagap ia menjawab “Demikianlah”
“Tetapi bukankah kita bisa menempuh jalan lain?” berkata Sidanti pula “Kita tidak usah minta
ijin kepada kakang Widura”
Tetapi Sidanti terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara Widura diluar pintu “Sidanti, aku
menunggumu disini”
“Oh” sahut Sidanti “Aku sedang mencari kakang”
“Marilah Sidanti, biarkan Sedayu ditempatnya. Jangan mencoba melanggar perintahku”
Sidanti menarik alisnya. Tampaklah wajahnya menjadi tidak senang. Namun ia tidak menjawab.
Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar sambil menggeram “Baik kakang Widura”. Tetapi
kemarahannya kepada Widura semakan membakar dadanya.
“Aku akan memenuhi permintaanmu” berkata Widura kemudian.
Sidanti tersenyum “Terima kasih” sahutnya.
“Kita pergi sekarang” Widura meneruskan. “Aku masih akan melihat gardu-gardu peronda lebih
dahulu”
Sidanti tidak menjawab. Namun ia melangkah kesudut pendapa. Dari dinding diatas
pembaringannya diraihnya senjatanya yang menyeramkan itu. Kemudian katanya kepada
Widura “Marilah kakang”
Widura tidak menjawab. Langsung ia melangkah menuruni pendapa, sedang Sidanti berjalan
dibelakangnya. Diregol halaman Widura berhenti sejenak. Kepada salah seorang penjaga ia
berkata “Aku akan nganglang kademangan. Lakukan tugasmu baik-baik”
“Baik tuan” jawab penjaga itu. Namun matanya memancarkan keheranannya. Biasanya Widura
pergi hampir setiap malam dengan Agung Sedayu, namun kini ia pergi bersama Sidanti.
Mereka mencoba meraba-raba apakah sebabnya. Tetapi tak seorangpun diantara mereka yang
berani bertanya.
Sepeninggal Widura dan Sidanti, perlahan-lahan Hudaya berjalan keregol itu pula. Gumamnya
“Aneh”
“Apa yang aneh kakang?” bertanya salah seorang penjaga.
“Aku tidak bisa mengerti, apakah sebenarnya yang memukau kakang Widura. Anak muda yang
sombong itu seakan-akan tak pernah berbuat salah dihadapan kakang Widura. Kalau aku
menjadi kakang Widura, aku biarkan kemenakannya, angger Agung Sedayu sekali-sekali
menghajarnya. Namun agaknya angger Sedayulah yang dianggap bermasalah. Lihat, kini anak
yang sombong itulah yang dibawanya”
“Akupun tak mengerti” sahut Sendawa yang berada ditempat itu pula. “Siang tadi aku melihat
Sidanti bercakap-cakap dihalaman dengan kakang Widura. Aku tidak tahu, apakah Sidanti itu
sedang minta maaf kepada kakang Widura. Tetapi dengan tidak dibawanya Sedayu kali ini
benar-benar mengherankan. Tetapi aku mempunyai beberapa prasangka”
Semua orang berpaling kepadanya “apakah prasangka itu?” bertanya Hudaya
“Terlalu kabur” jawab Sendawa “Tetapi prasangka yang jelek”
Semua yang mendengar kata-katanya itu menjadi semakin terpaku. Dan terdengar orang yang
bertubuh raksasa itu meneruskan “Kakang Widura agaknya segan juga terhadap Sidanti”
“Janganlah berkata begitu” sahut salah seorang diataranya. “Bukankah ki Widura itu telah
berkata, menurut kakang Citra Gati, bahwa tenaga Sidanti itu sangat diperlukan disini? Ialah
satu-satunya orang disamping ki Widura, yang setidak-tidaknya dapat menahan arus
kemarahan Macan Kepatihan diantara kita”
Sendawa terdiam. Namun didalam hatinya, ia membenarkan pula pendapat itu. Tetapi sikap
Sidanti benar-benar telah memuakkan pula. Sedemikian muaknya sehingga tanpa
disengajanya ia bergumam “Anak muda itu benar-benar anak setan”
“Siapa?” bertanya Hudaya.
“Sidanti, siapa lagi?”
“Kenapa tidak kau tantang saja berkelahi?” bertanya salah seorang sambil tersenyum.
“Tak ada sebabnya” jawab Sendawa
“Gampang. Kalau sekali-sekali kau tangkap gadis anak Ki Demang itu, kau pasti akan berkelahi
dengan Sidanti”
“Belum tentu. Aku dapat juga berhadapan dengan ki Demang atau anaknya yang gemuk bulat
itu”
“Kau bersetuju dulu dengan mereka”
“Bagus” Sendawa berhenti sebentar “Tetapi aku tidak berani berkelahi melawan anak kecil itu”
Yang mendengar pengakuan itupun tersenyum geli. Sendawa sendiri tersenyum. namun
hatinya mengumpat tak habis-habisnya. Seandainya ia mampu, maka Sidanti pasti sudah
dihajarnya.
Regol halaman itu kemudian menjadi sepi. Hudaya kemudian melangkah kembali kependapa
diikuti oleh Sendawa sambil menyeret kelewangnya yang besar dan tebal seperti tubuhnya.
Hampir semua orang telah tertidur. Citra Gati tidur dengan gelisahnya. Sedang Patra dengan
nyenyaknya mendengkur disamping Sonya.
Widura dan Sidanti masih berjalan menyusur jalan-jalan desa, singgah dari satu gardu
kemudian gardu yang lain seperti setiap malam dilakukan oleh Widura. Namun kali ini
nampaknya ia sangat tergesa-gesa. Beberapa orang pun menjadi heran, hampir tidak pernah
mereka melihat Sidanti meronda bersama Widura. Tetapi seperti orang-orang diregol halaman,
mereka pun tidak bertanya pula. Digardu anak-anak muda Sangkal Putung Swandaru berdiri
bertolak pinggang sambil menguap dimuka pintu. Tetapi cepat-cepat mulutnya terkatub ketika ia
melihat Widura datang kegardu itu bersama-sama Sidanti. Tetapi Swandarupun tidak bertanya
sesuatu. Hanya matanya sajalah yang memancarkan dendam yang tersimpan dihatinya
terhadap anak muda yang perkasa, murid Kiai Tambak Wedi yang namanya menakutkan
segenap daerah-daerah disekitar gunung Merapi.
Baru setelah semuanya itu selesai, berkatalah Widura “Aku sudah selesai dengan pekerjaanku
Sidanti, sekarang kau mendapat giliran”
Mendengar kata-kata Widura itu, Sidanti pun menjadi berdebar-debar pula. Meskipun demikian
ia menyimpan juga kegembiraan didalam dadanya. Jawabnya “Baik kakang. Kemana kita akan
pergi?”
“Terserah kepadamu” jawab Widura.
“Kita pergi ke tegal” ajak Sidanti.
Widura tidak menjawab. Tetapi ketika mereka sampai disimpang tiga diluar desa induk Sangkal
Putung, Widura membelok kekanan, ke tegal. Sidanti yang berjalan disampingnya, mencoba
untuk menenangkan dirinya. Meskipun gurunya sendiri telah memberitahukannya, bahwa
Widura tidak lebih daripadanya, namun wibawa orang itu telah menjadikannya gelisah.
Beberapa saat mereka pun sampai kepategalan yang luas. Diantara tanaman-tanaman buah-
buahan, terdapatlah beberapa bagian tanah yang kosong. Meskipun Widura tidak bertanya
sesuatu, namun timbullah dugaan dalam hati, bahwa didaerah sekitar inilah Sidanti mendapat
tempaan dari gurunya. Bahkan mungkin kali inipun gurunya ada disekitar tempat ini. Meskipun
demikian Widura sama sekali tidak gentar. Sebagai seorang pemimpin ia akan tetap pada
pendiriannya. Apapun yang akan dihadapi.
Dibawah sebatang pohon jambu mete yang besar Sidanti berhenti. Katanya “Kita berhenti disini
kakang”
Widura pun berhenti pula. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Dalam keremangan
malam, yang dilihatnya hanyalah batang-batang pohon buah-buahan yang tegak disekitarnya.
Batang-batang yang seakan-akan berwana hitam kelam. Kemudian dengan suara yang berat
Widura berkata “Nah, apakah yang akan kau lakukan Sidanti?”
Dada Sidanti berdesir mendengar pertanyaan itu. Bagaimanapun juga Widura memiliki cukup
pengaruh atas dirinya. Namun dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari
pengaruh itu. Maka jawabnya “Aku ingin minta ijin itu kakang”
“Ijin untuk berkelahi dengan Sedayu?”
“Ya”
“Sudah aku jawab”
Sidanti menarik nafas. Jawabnya “Kakang tidak berhak melarang”
“Sidanti” berkata Widura. Sebagai seorang yang lebih tua maka segera iapun tahu maksud
Sidanti yang sebenarnya. Karena itu ia meneruskan “Kau tidak usah melingkar-lingkar. Katakan
bahwa kau tidak puas dengan keputusan itu. Namun jangan mimpi aku akan merubah
keputusan itu”
“Nah” sahut Sidanti “Sekarang aku tahu, bahwa Sedayu sebenarnya sama sekali bukan
seorang pahlawan. Bukan seorang jantan. Apabila demikian, ia pasti sudah berbuat sesuatu.
Tetapi ia lebih senang bersembunyi dibalik punggung kakang Widura. Bukankah demikian?”
Widura memandang wajah Sidanti dengan sinar mata yang menyala. Jawabnya “Terserah atas
penilaiannmu Sidanti”
“Apakah bukan sebenarnya demikian?”
Widura tidak menjawab. Tetapi ia masih menatap wajah Sidanti dengan tajamnya. Sehingga
kemudian terdengar Sidanti mengulangi “Bukankah sebenarnya demikian?”
Widura masih tetap berdiam diri. Dan pandangannyapun masih tetap menghunjam kedalam biji
mata Sidanti. Dengan demikian Sidanti menjadi semakin gelisah. Untuk menutupi
kegelisahannya tiba-tiba saja ia berkata lantang “Kakang Widura, kalau tak kau ijinkan Sedayu
bertempur, siapakah yang akan mewakilinya?”
Widura sudah menyangka bahwa akhirnya Sidanti akan sampai pada saatnya, menantangnya
berkelahi. Widura pun sadar bahwa Sidanti merasa bahwa ia tidak akan dapat dikalahkannya.
Karena itu maka terdengar Widura menjawab “Sidanti, katakan sajalah apa yang tersimpan
didalam dadamu. Kau tidak puas dengan keputusanku. Sedang kau merasa sebagai orang
yang tak terkalahkan di Sangkal Putung. Sekarang kau sedang mencoba memaksakan
kehendakmu. Nah, dengarlah. Aku tetap pada pendirianku” Widura berhenti sejenak kemudian
terdengar ia meneruskan “Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan yang ada didalam hatimu. Kau
juga ingin mengatakan kepadaku, bahwa kau tak akan dapat aku kalahkan, sehingga setiap
persoalan aku harus mengingat kepentinganmu. Bahkan tersimpan pula didalam otakmu,
keinginan untuk memegang pimpinan, setidak-tidaknya apabila aku berhalangan”
“Bohong” potong Sidanti tiba-tiba. Tetapi ia terdiam pula ketika Widura bertanya “Apakah aku
salah duga?”
Sidanti menjadi seakan-akan terbungkam. Kegelisahannya kini benar-benar sangat
mengganggunya. Meskipun kemarahannya telah memuncak namun ia masih berdiri terpaku
tanpa sepatah katapun yang dapat diucapkannya. Sehingga ia terkejut ketika Widura
mendesaknya “Jawab”
“Ya” kata itu meloncat begitu saja dari mulutnya. Namun sesaat kemudian barulah ia menyadari
keadaannya. Menyadari jawaban yang sudah terlanjur meloncat dari mulutnya. Karena itu
Sidanti sudah tidak akan menelannya kembali. Apalagi ketika ia mendengar Widura berkata
“Bagus. Kau memiliki kejujuran juga. Namun kau seharusnya sudah memperhitungkan
jawabannya. Aku tidak dapat dipaksa oleh siapapun juga. Juga olehmu. Nah, sekarang apa
katamu?”
Kembali Sidanti terdiam untuk sesaat. Namun kemudian dipaksanya juga dirinya untuk
mengambil sikap. Karena itu maka tiba-tiba ditengadahkannya dadanya sambil berkata
“Kakang Widura, kau harus merubah pendirianmu itu. Aku bukan anak-anak lagi. Tak ada orang
lain yang dapat berbuat seperti yang aku lakukan. Nah, siapakah yang sudah menahan
kemarahan Macan Kepatihan? Apakah yang kira-kira terjadi seandainya tidak ada Sidanti?”
“Aku akui kau berjasa kepada Sangkal Putung khususnya. Namun aku tidak dapat
membenarkan, kau berbuat sekehendakmu. Betapapun besarnya jasamu, namun kau adalah
satu diantara kita yang telah menjalin diri dalam kehidupan bersama untuk kepentingan
bersama”
Tiba-tiba mata Sidanti itupun menjadi liar. Kemarahannya kini benar-benar telah membakar
dadanya. Katanya “Aku akan memaksakan kehendakku”
“Aku sudah menyangka” jawab Widura, “Dan aku sudah siap”
Tetapi Sidanti masih saja berdiri ditempatnya. Hanya bola matanya sajalah yang seakan-akan
meloncat dari kelopaknya. Widura yang sudah siap itupun menunggu apa saja yang akan
dilakukan oleh anak muda yang sombong itu. Bahkan Widura masih juga berkata “Kalau aku
memberimu kesempatan kali ini Sidanti, maka kesempatan yang serupa akan berulang dan
berulang kembali. Sekali aku membiarkan perintahku dilanggar maka pelanggaran itupun akan
selalu terjadi”
Sidanti benar-benar telah dibakar oleh kemarahannya. Namun ia masih berdiri saja, seolah-olah
sebuah tonggak yang mati. Sehingga dengan demikian tegal itupun menjadi sepi. Kesepian
yang tegang.
Sesaat kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh bunyi bilalang diatas dahan-dahan kayu.
Dalam kesepian, terdengar suara bilalang itu demikian kerasnya sehingga Widura menjadi
terkejut karena suara itu, namun Widura terkejut, karena kedewasaannya berpikir sebagai
seorang prajurit. Demikian telinganya mendengar bunyi bilalang itu, demikian Widura menjadi
pasti, Ki Tambak Wedi ada disekitar tempat itu.
Demikian suara bilalang itu berhenti, terdengar Sidanti berkata “Apakah kakang Widura tetap
pada pendirianmu?”
Widura tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
“Bagus” berkata Sidanti lantang “Kita lihat, apakah Sidanti tidak berhak menyamai kakang
Widura di Sangkal Putung”
“Hak itu hanya dapat kau terima dari panglima tamtama Pajang, Ki Gede Pemanahan” sahut
Widura.
“Omong kosong!” bentak Sidanti
Sekali lagi Widura membiarkan anak itu membentak-bentak. Tetapi dalam pada itu kegelisahan
Sidanti pun tidak juga berkurang. Maka kemudian ia berkata “Sekarang bersiaplah kakang, aku
akan memaksakan kehendakku dengan nilai-nilai seorang jantan”
“Silakan. Meskipun penilaianmu atas kejantanan terlalu kerdil” sahut Widura.
Sidanti sudah tidak dapat berbicara apa-apa lagi. Dengan gemetar ia berjalan kesebatang
pohon perdu, menyangkutkan senjatanya, untuk kemudian dengan gemetar pula ia putar
tubuhnya menghadapi Widura tanpa senjata ditangan.
Widura heran melihat kelakuan Sidanti. Namun kedewasaannya segera menolongnya untuk
memecahkan teka-teki itu. Sidanti adalah seorang pelaku. Dibalakangnya berdiri Ki Tambak
Wedi. Apa yang dilakukan oleh Sidanti itu, agaknya telah diatur oleh gurunya. Dan kali ini
gurunya memerintahkannya untuk berkelahi tanpa senjata.
Widura kemudian melepaskan ikat pinggangnya. Dengan demikian pedangnyapun terlepas
pula. Seperti Sidanti, Widura pun menyangkutkan pedangnya pula didahan perdu.
Kini mereka berdua telah tegak berhadap-hadapan tanpa senjata. Sidanti agaknya sudah tidak
dapat bersabar lagi. Dengan serta-merta ia berkata “Aku akan mulai kakang”
Sebelum Widura menjawab Sidanti telah meloncat dengan garangnya. Kedua tangannya
terjulur lurus kedepan mengarah satu keleher Widura dengan ibu jarinya, sedang yang lain
menghantam dada dengan keempat ujung-ujung jarinya.
Namun Widura tidak sedang tidur. Karena itu, dengan tangkasnya ia berputar setengah
lingkaran sambil merendahkan dirinya. Sehingga serangan Sidanti itu terbang beberapa jengkal
dari tubuhnya. Bahkan demikian serangan Sidanti itu lewat, segera Widura membalasnya
dengan sebuah serangan pula. Sebuah serangan mendatar pada lambung Sidanti.
Tetapi Sidanti itu benar-benar tangkas. Meskipun tubuhnya masih melambung karena tekanan
serangannya, ia berhasil menggeliat dan menghindari serangan Widura.
“Hem” Widura menggeram. Katanya dalam hati “murid Kiai Tambak Wedi ini benar-benar
lincah”
Sebenarnyalah Sidanti dapat bergerak selincah burung walet yang menari-nari diudara pada
senja hari diatas pantai. Geraknya cepat dan cekatan. Sekali-sekali ia mampu menyambar
seperti burung elang, namun kadang-kadang ia menukik seperti merpati jantan.
Tetapi Widura sendiri mirip seekor burung rajawali yang tangguh. Dengan kedua tangannya
yang kokoh kuat, sekuat sayap-sayap rajawali, ia selalu berhasil melindungi tubuhnya dari
sergapan yang tiba-tiba. Bahkan sepasang kakinya itupun sangat mendebarkan jantung.
Dengan putaran-putaran yang berbahaya kaki Widura itu merupakan sebuah perlawanan
tersendiri disamping gerak tangannya yang cepat cekatan. Sehingga Widura itu seakan-akan
memiliki sepasang otak yang masing-masing dapat mengatur kaki dan tangan dalam gerak
pasangan yang tersendiri.
Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru. Sidanti yang lincah menjadi
semakin lincah, dan Widura yang kokoh itupun menjadi semakin tangguh.
Kini mereka seakan-akan telah luluh dalam satu lingkaran yang berputar-putar. Bayangan
mereka melontar-lontar seakan-akan tak terjendali lagi. Saling menyerang dan saling melibat
dalam gerakan-gerakan yang aneh dan membingungkan. Tetapi Sidanti dan Widura tidak
menjadi bingung karenanya. Mereka memiliki daya pengamatan yang cukup kuat. Meskipun
tangan Sidanti yang cepat itu bisa berubah menjadi berpasang-pasang dan menyerang dari
segenap penjuru, namun kaki Widura itupun seolah-olah menjadi berpuluh-puluh jumlahnya,
melontar-lontarkan tubuhnya dari satu titik ketitik yang lain. Sekali-sekali terjadi benturan antara
keduanya. Namun ternyata bahwa kekuatan mereka pun berimbang.
Sekali-sekali Widura terdorong surut, namun kali yang lain Sidanti terlempar beberapa langkah.
Kalau mereka dalam kesiagaan yang sama, maka setiap benturan akan memaksa keduanya
surut beberapa langkah mundur.
Ketika peluh telah membasahi tubuh-tubuh mereka, maka perkelahian itupun menjadi
bertambah sengit. Sekali-sekali Sidanti harus merasakan, betapa wajahnya menjadi panas oleh
sengatan tangan Widura yang berat dan mantap. Sekali ia terdorong surut, dan sebelum ia
berhasil memperbaiki keseimbangannya, tangan Widura telah menyusulnya. Kembali wajah
Sidanti terangkat. Namun ketika sekali lagi tangan Widura menyambar wajah itu, Sidanti
berhasil mengelakkannya.
Kali ini, Widura sendiri terseret oleh tenaga tangannya sehingga hampir-hampir saja ia tidak
mampu melepaskan diri dari serangan Sidanti yang tiba-tiba. Untunglah kemampuan Widura
cukup tinggi, sehingga ketika sebuah pukulan mengarah kepelipisnya, Widura sempat
merendahkan dirinya. Tetapi ternyata Sidantipun cukup lincah. Ketika disadarinya bahwa
serangan tak menyentuh tubuh Widura, cepat-cepat ia menggerakkan kakinya langsung
menyerang dada. Widura yang sedang merendahkan dirinya itu terkejut. Ia tidak sempat
mengelak, yang dapat dilakukannya adalah, memukul kaki Sidanti dengan kedua sisi telapak
tangannya.
Benturan kekuatan itupun telah mendorong mereka masing-masing beberapa langkah surut.
Dan sesaat kemudian mereka telah berloncatan kembali, saling menyerang dan saling bertahan.
Sidanti yang lebih muda dari lawannya memiliki nafsu dan tenaga yang lebih baik dari lawannya,
namun Widura memiliki ketenangan dan pengalaman melampaui Sidanti . Karena itu , maka
dengan pengalamannya itu, Widura selalu dapat menempatkan dirinya, sehingga meskipun
Sidanti lebih banyak menyerangnya, namun keadaan Widura tidak mencemaskan.
Yang menjadi cemas kemudian adalah Sidanti . Menurut gurunya, Widura itu pasti akan dapat
dikalahkan setelah ia mendapat tempaan yang khusus untuk kepentingan itu. Namun ternyata
setelah ia berkelahi beberapa lama, Widura itu masih dapat melawannya dengan baik, sebaik
pada saat mereka baru mulai. Meskipun Sidanti yakin, bahwa Widura itupun tak akan dapat
memenangkan perkelahian itu, tetapi ia menjadi gelisah, apabila ia tak pula dapat menang
daripadanya.
Bahkan Widura sendiri kadang-kadang menjadi kagum pada geraknya sendiri. Tiba-tiba saja ia
berhasil melepaskan serangan yang seolah-olah dengan sendirinya meluncur dari kedua
tangan dan kaki-kakinya. Sebagai seorang yang cukup mempunyai pengalaman dalam
pertempuran bersama dan seorang-seorang, maka Widura merasakan, bahwa ada sisipan ilmu
pada ilmunya yang telah dimilikinya dari kakak iparnya, Ki Sadewa. Namun ilmu itu terasa sama
sekali tidak mengganggunya, bahkan terasa keserasian dan nafas yang sama pula dengan
ilmunya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada seorang aneh yang selalu datang melihat latihan-
latihan Agung Sedayu di gunung Gowok. Orang yang memakai ciri kain gringsing dan juga
menamakan dirinya Kiai Gringsing.
“Hem” gumam Widura dalam hati. “Agaknya ilmu orang aneh itupun telah menyusup masuk
kedalam perbendaharaan ilmu yang telah aku miliki. Dan ternyata sikapnya yang aneh-aneh itu
menolong aku pula kali ini”
Dan teringatlah oeh Widura kata-katanya orang bertopeng itu “Sidantipun selalu melatih diri
bersama gurunya”
Tangkapannya atas kata-kata itu ternyata benar. Pada suatu saat ia harus bertempur melawan
anak muda yang sombong itu. Dan hal itu kini telah terja
Demikianlah dengan nafsu yang bergejolak didalam dadanya, Sidanti berusaha untuk dapat
mengalahkan Widura, dan memaksakan kehendak-kehendaknya atas pimpinannya itu. Tidak
saja dalam persoalannya dengan Agung Sedayu, tetapi jauh dari itu. Ia ingin memaksakan
kehendaknya dalam setiap persoalan.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak segera dapat menundukkann Widura. Betapapun ia telah
berjuang. Diperasnya segenap kemampuan yang telah diterimanya dari gurunya, namun
Widura itu masih saja dengan gigihnya melakukan perlawanan. Tetapi, baik Sidanti sendiri
maupun Ki Tambak Wedi, sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa hampir setiap malam,
seperti juga Sidanti yang mendapat tempaan terus-menerus, Widura pun selalu berkelahi
melawan orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Bahkan orang aneh itu berkelahi
tidak saja dengan tangan dan kakinya, tetapi dengan mulutnya juga. Orang itu ternyata sempat
melihat kekurangan Widura dan bahkan kesalahan-kesalahan kecil sekalipun.
Perkelahian yang sengit itu masih berlangsung lama. Mereka sudah hampir menumpahkan
segenap tenaga mereka. Karena itu maka tenaga masing-masing semakin lama menjadi
semakin susut. Bintang-bintang dilangit telah melampaui pertengahannya. Karena itulah maka
Sidanti menjadi semakin gelisah karenanya. Kalau ia gagal mengalahkan Widura, maka
nasibnya bukan menjadi bertambah baik, tetapi Widura pasti akan semakin bersikap keras
kepadanya.
Tiba-tiba Sidanti dan Widura kembali mendengar suara bilalang. Seperti suara yang semula
mereka dengar. Karena itu Widura pun menjadi semakin berwaspada. Ia yakin, bahwa suara itu
adalah suatu aba-aba yang harus dilakukan oleh Sidanti .
Ternyata dugaan Widura itupun benar. Demikian Sidanti mendengar suara bilalang itu, tiba-tiba
saja ia meloncat surut. Kemudian sambil berdiri tegak diatas kedua kakinya yang kokoh, ia
berkata lantang “Kakang, perkelahian kita tidak akan ada akhirnya”
Widura tidak segera menyerangnya. Iapun kemudian berdiri beberapa langkah dari Sidanti ,
katanya “Apakah yang kau inginkan kemudian?”
“Bukankah kita membawa senjata masing-masing?”
Widura menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah anak muda itu dengan seksama. Namun
dalam malam yang kelam itu tak dilihatnya kesan apapun pada wajah itu, selain kesan
kemarahan yang membakar jantung Sidanti. Dalam pada itu terdengar Widura berkata “Apakah
kau menyadari perkataanmu itu Sidanti?”
“Tentu” jawab Sidanti “Bukankah maksud kakang Widura mengatakan, bahwa dengan senjata-
senjata itu, dada kita masing-masing akan mungkin terbelah karenanya?”
“Ya”
“Aku menyadari kemungkinan itu. Namun bukan maksudku membunuh kakang Widura. Kalau
kakang bersedia memenuhi setiap permintaanku, baik dalam hubunganku dengan Sedayu,
maupun kedudukanku di Sangkal Putung dan seterusnya sebagai prajurit Pajang, maka aku tak
akan menyentuh senjataku dalam perkelahian ini”
Sekali lagi Widura menarik nafas dalam-dalam. Yang terloncat dari mulutnya adalah “Sidanti,
aku telah siap mempertahankan keputusanku”
“Bagus” teriak Sidanti sambil meloncat meraih pusakanya. Sesaat Widura masih tegak
ditempatnya. Tetapi ketika ia melihat Sidanti telah menggenggam senjatanya, maka perlahan-
lahan Widura itupun berjalan mengambil senjatanya. Pedang yang tidak begitu tajam, namun
ujungnya runcing melampaui ujung jarum.
“Kita akan bertempur sebagai laki-laki, kakang” berkata Sidanti .
“Tentu” sahut Widura.
“Kita tidak ingin saling membunuh, namun siapa yang mula-mula mengalirkan darah dari
lukanya, ialah yang kalah”
“Bagus” sahut Widura.
“Yang kalah harus tunduk pada setiap keputusan dari yang menang”
Tiba-tiba Widura menggeleng “Tidak” katanya segera. “Kekalahan kita masing-masing disini
tidak mempengaruhi kedudukan kita. Akulah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung”
Dada Sidanti serasa menggelegar karenanya. Tiba-tiba ia berteriak “Lalu apakah gunanya kita
bertempur disini?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya memenuhi permintaanmu. Sebab bagaimanapun, kau tidak akan
dapat mempersoalkan atas Sangkal Putung dan kekuasaan yang ada ditanganku. Aku akan
mengambil keputusan menurut keyakinanku, menurut kebenaran yang aku yakini. Tidak dapat
seorangpun yang akan mempengaruhi keputusan itu”
“Gila. Apakah kau sangka aku tidak dapat membunuhmu kakang” teriak Sidanti pula.
“Kalau aku mati, maka aku akan mati sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab.
Bukan sebagai kelinci yang sedang melarikan diri dari terkaman anjing hutan”
Tubuh Sidanti tiba-tiba bergetar karena kemarahannya. Matanya yang bulat itu sesaat menjadi
redup. Kemudian ditariknya keningnya kesisi, namun kemudian meledaklah kata-katanya
“Apakah kau ingin kita bertempur sampai mati?”
“Tidak” sahut Widura. “Aku tidak mempunyai keinginan untuk berkelahi dengan kekuatan dalam
lingkunganku sendiri. Apalagi sampai mati. Tetapi aku juga tidak ingin melihat kewibawaanku
dikurangi. Sebab aku bertanggung jawab kepada panglima Tamtama di Pajang. Tidak
kepadamu dan tidak kepada Agung Sedayu. Sedang panglima di Pajang itu menyalurkan
perintah adipati Pajang yang sedang menegakkan kewibawaan Demak. Nah, kewibawaanku
adalah sebagian dari kewibawaan adipati pajang itu”
“Persetan” potong Sidanti hampir hangus dibakar kemarahannya “Bersiaplah”
Widura kini benar-benar tak dapat menghindarkan diri dari perkelahian bersenjata. Tiba-tiba
saja Sidanti telah meloncat menyerang dengan garangnya. Senjatanya yang tajam diujung dan
pangkalnya itu berputar seperti baling-baling, kemudian melontar seperti jarum pemintalan.
Sekali-sekali menyambar dengan ujungnya namun kemudian mematuk dengan pangkalnya.
Widura menggigit bibirnya. Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat menghindari serangan itu.
Pedangnyapun kemudian bergerak-gerak datar, kadang-kadang menyilang dan tiba-tiba saja
terjulur lurus kedada lawannya.
Kali inipun Sidanti merasakan, bahwa olah pedang Widura itu cukup mampu untuk melawan
senjatanya. Namun ia masih akan mencoba menggunakan kelincahannya dan kecepatannya
untuk menembus dinding baja dari putaran pedang lawannya.
Perkelahian diantara keduanya kini menjadi bertambah mengerikan. Senjata Sidanti benar-
benar merupakan senjata yang berbahaya. Setiap sentuhan dari tajam diujung dan pangkal
senjata itu akan menyobek tubuh lawam. Tetapi pedang Widura itupun setiap saat dapat
membelah dada lawannya. Dengan kekuatan yang mengagumkan pedang itu menyambar-
nyambar seoerti alap-alap diudara.
Tetapi perkelahian inipun tak akan berujung pangkal. Karena kepandaian mereka
mempergunakan senjata masing-masing. Maka yang terjadi hanyalah benturan-benturan
diantara senjata mereka. Demikian besar kekuatan mereka berdua, maka dalam setiap
sentuhan diantara senjata-senjata itu, terperciklah bunga api yang seakan-akan berloncatan
dari kedua senjata itu.
Sidantipun telah berjuang memeras segenap ilmunya, dan Widura pun tak kalah sengitnya
mempergunakan segenap tenaganya. Demikian dahsyatnya perkelahian itu, sehingga seakan-
akan tenaga merekapun segera terhisap habis. Baik Sidanti maupun Widura telah
mempergunakan pula setiap tenaga cadangan didalam tubuh mereka. Kekuatan-kekuatan yang
dilambari dengan ketekunan latihan-latihan dimasa-masa lampau telah mereka kerahkan.
Namun keadan mereka maih tetap berimbang. Bahkan setelah tenaga mereka semakin
susutpun, mereka tak dapat melampaui satu dari yang lain.
Kini serangan-serangan mereka sudah tidak secermat pada saa mereka mulai. Kadang-kadang
mereka terseret beberapa langkah karena tarikan senjata mereka sendiri. Namun dalam saat
yang demikian, lawannyapun tidak segera sempat menyerang. Dengan lemahnya, mereka
terpaksa melangkah terhuyung-huyung maju.
Bahkan kadang-kadang, karena sentuhan batu-batu kecil pada kaki mereka, mereka telah
kehilangan keseimbangan.
Demikianlah pertempuran itu menjadi aneh. Ketika Sidanti mencoba menembus pertahanan
Widura dengan sebuah tusukan pada lambungnya, maka Widura pun berusaha untuk
menghindarinya. Ketika ia meloncat kesamping, tiba-tiba kakinya terperosok oleh lubang
lubang yang telah terjadi selama perkelahian itu. Widura yang kelelahan itupun tidak dapat
menahan diri, sehingga ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Sidanti ingin mempergunakan
kesempatan itu, tetapi ketika serangannya gagal, bahkan ia terseret beberapa langkah oleh
senjatanya. Dalam keadaan yang demikian, masing-masing ingin mencoba mempergunakan
kelemahan-kelemahan lawannya, namun mereka sendiri seakan-akan telah tidak mampu lagi
menggerakkan tangan dan kaki mereka. Sehingga dengan demikian, tidak ada keseimbangan
antara kehendak dan perhitungan mereka dalam tata perkelahian itu, dengan tenaga-tenaga
mereka yang seakan-akan telah terperas habis. Namun tak seorangpun diatara mereka yang
mendahului mengakhiri perkelahian yang aneh itu.
Malam semakin lama menjadi semakin dalam, dan bintang-bintangpun menjadi semakin
bergeser kebarat. Langit yang biru gelap tersaput leoh mega yang selembar-selembar mengalir
dihanyutkan oleh angin yang lembut.
Namun yang berkelahi masih berkelahi juga. Tetapi perkelahian itu kini sama sekali sudah tidak
berbahaya lagi bagi kedua belah pihak. Meskipun sekali-sekali Sidanti masih menusukkan
senjatanya, namun senjata itu tak akan sampai menyentuh tubh lawannya. Sedang apabila
Widura mencoba mengayunkan pedangnya dengan kedua tangannya, maka ia sendirilah yang
akan terpelanting jatuh.
Nafas mereka berdua kini satu-satu tersangkut didalam kerongkongan. Peluh mereka mengalir
seperti mereka sedang bertempur didalam hujan yang pekat. Bahkan apabila sekali-sekali
terjadi juga benturan diantara senjata-senjata mereka, maka mereka berdua itupun terdorong
surut dn kemudian terbanting jatuh ditanah. Dengan susah payah mereka berebut dahulu untuk
bangkit, dan apabila mungkin menyerang sebelum lawannya menguasai diri sepenuhnya.
Namun usaha itu tak akan pernah berhasil. Sebab lutut-lutut mereka seakan-akan sudah tidak
berpaut lagi.
Meskipun tenaganya sudah hampir habis terperas, namun Sidanti masih mengumpat-umpat
dalam hati. Bahkan ia menjadi heran, bahwa Widura mampu melawan dengan baiknya. Pada
saat mereka berdua bertempur melawan Tohpati berganti-ganti, Widura itu ternyata tidak lebih
baik daripadanya. Kini ia telah mendapat tempaan yang padat dari gurunya, dan bahkan
gurunya itupun berkata, bahwa ilmunya pasti akan lebih baik meskipun hanya selapis tipin dari
Widura. Namun ternyata kini, bahwa ilmunya benar-benar tidak melampaui ilmu Widura itu
sendiri. Apakah tempaan selama ini, dihampir setiap malam dengan ilmu-ilmu gurunya yang
hampir sempurna itu sama sekali tak berpengaruh atasnya?
Sedang Widura pun benar-benar kagum kepada anak muda murid Kiai Tambak Wedi itu.
Namun didalam lekuk-lekuk hatinya, terasa juga bahwa ia sedang mengagumi dirinya sendiri.
Ternyata bahwa merah biru diwajah-wajah kulitnya, hampir setiap malam apabila ia berkelahi
melawan Kiai Gringsing yang memegang cemetinya ditengah-tengah itu ada juga manfaatnya
baginya. Kini ia benar-benar menghadapi senjata Sidanti bukan sekedar cemeti kuda. Apabila
senjata yang mengerikan itu benar-benar dapat menyentuhnya, maka akibatnya tidak saja
sekedar merah biru diwajah-wajah kulitnya, tetapi luka-luka yang pedih akan menganga.
Karena itu pun Widura bersyukur dalam hati. Siapakah sebenarnya orang aneh yang
menamakan dri Kiai Gringsing itu?
Tetapi Widura tidak sempat berangan-angan. Kini mereka berdua berhadap-hadapan dengan
tubuh gemetar. Bukan karena marah yang membakar dada mereka, namun karena tenaga nr
telah terkuras habis.
Sidanti yang dengan susah payah masih mencoba tegak diatas kedua kakinya, menggeram
dengan suara parau yang gemetar. Katanya “Mampus kau kakang Widura”
Keadaan Widura pun tidak lebih naik dari keadaan Sidanti . namun otaknyalah yan glebih baik.
Meskipun nafasnya telah hampir putus ditenggorokan, namun ia berkata diantara engah
nafasnya ”Sidanti, apakah hasil yang kita dapatkan dari perkelahian ini?”
Terdengar Sidanti menggeram. Matanya msih menyalakan kemarahannya yang meluap-luap.
Bahkan ia menjadi semakin marah, ketika ia menyadari keadaannya. Ternyata Widura tak
dapat ditundukkannya. Apalagi ketika ia mendengar pertanyaan Widura itu. Namun sesaat
kemudian pertanyaan itu benar-benar membingungkannya. “Ya, apakah yang sudah
didapatnya dari perkelahian itu?”
Namun yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah makian yang kasar. “Setan. Bukankah
dengan demikian kau tahu bahwa kau bukan orang yang aneh di Sangkal Putung. Bahwa
Widura pun manusia juga yang tidak lebih dari Sidanti?”
“Tentu” sahut Widura. “Apakah aku pernah berkata bahwa aku keturunan malaikat?”
“Tetapi kau merasa, seakan-akan dirimu tak terkena salah. Semua orang harus tunduk atas
kehendakmu”
“Itu bukan karena aku Widura. Tetapi itu karena wewenang yang aku terima”
“Omong kosong” bentak Sidanti, “Sejak sekarang kau harus merubah sikap itu”
Widura menggeleng “Tidak” jawabnya tegas.
Dada Sidanti benar-benar akan meledak karenanya. Namun ketika ia ingin menyerang
lawannya kembali, ia terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba untuk menemukan
keseimbangannya kembali. “Gila” anak itu mengumpat lagi. Tetapi kali ini tak ditujukannya
kepada siapapun.
Sedang Widura masih tegak ditempatnya. Namun seandainya sebuah angin kencang
menyentuhnya maka Widura itupun pasti akan roboh. Karena itu, ia tidak ingin berbuat sesuatu.
Otaknya yang telah dipenuhi dengan berpuluh-puluh ribu macam persoalan ternyata masih
tetap baik, betapapun tenaganya telah terhisap oleh embun malam. Kini ia yakin bahwa Sidanti
itu sama sekali sudah tak berdaya seperti dirinya sendiri.
Dalam pada itu, tiba-tiba mereka berdua terkejut. Namun Sidanti hanya sesaat. Tetapi
Widuralah kemudian teruncang dadanya. Meskipun telah disangkanya lebih dahulu, namun
kehadiran yang tiba-tiba diantara mereka, benar-benar mengejutkan. Dan dengan wajah cerah
Sidanti berkata kepada orang yang baru datang itu “Selamat datang guru”
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya yang panjang runcing serta
sepasang matanya yang tajam, setajam mata burung hantu merupakan pertanda, bahwa Kiai
Tambak Wedi adalah seorang yang tidak dapat mengenal puas atas segenap usaha yang
pernah dicapainya.
Widura pun kemudian mengangguk pula. Seperti Sidanti, iapun mencoba memberi salam
kepada orang sakti itu “Selamat datang Kiai”
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya,
seperti akan ditelannya hidup-hidup. Kemudian sambil mengangguk kecil ia menjawab “Hem,
selamat Widura”
Widura pun mencoba untuk mengenal wajah orang yang namanya terkenal didaerah sebelah
timur gunung Merapi itu. Semakin jelas ia mengenal wajah itu, hatinya menjadi semakin
berdebar-debar. Diantara sepasang matanya yang tajam itu, tampaklah hidung Kiai Tambak
Wedi besar dan melengkung seperti paruh burung. Sayang, malam yang pekat itu tak memberi
kesempatan kepada Widura untuk melihat setiap garis yang tergores diwajah itu.
“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi itu kemudian. Suaranya besat dan seakan-akan bergetar
saja didalam dadanya “Ternyata kau mampu menyamai muridku”
Widura mangguk kecil. Jawabnya “Aku hanya mecoba melayani adi Sidanti bermain-main Kiai”
“Jangan sombong” sahut Kiai Tambak Wedi. “Meskipun kau berhasil mempertahankan namamu,
tapi jangan berkeras kepala. Aku tidak senang melihat sikapmu”
Widura tidak segera menjawab. Sekali lagi ia mencoba menatap wajah Kiai Tambak Wedi yang
sedemikian saktinya, sehingga orang mengatakan bahwa ia mampu menangkap angin.
“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi kemudian. “Aku heran, bahwa kau mampu bertempur
dalam tataranmu sekarang. Aku sangka kau tidak akan dapat menyamai muridku. Namun
agaknya ilmumupun bertambah. Aku sangka, setelah Sidanti menambah ilmunya akhir-akhir ini
kau akan menjadi ketinggalan karenanya”
Kali inipun Widura tidak menjawab. Ia masih tegak seperti patung. Patung yang kurang
seimbang, sehingga setiap sentuhan akan dapat merobohkannya.
“Tetapi” berkata Kiai Tambak Wedi itu pula, “Sangkaanku itu keliru” Kiai Tambak Wedi diam
untuk sesaat. Kemudian katanya “Meskipun demikian itu bukan berarti bahwa setiap tuntutan
Sidanti sudah dilepaskan”
Widura menjadi semakin berdebar-debar. Guru Sidanti itu kini ternyata telah secara langsung
turut dalam setiap persoalan di Sangkal Putung. Meskipun demikian dibiarkannya Kiai Tambak
Wedi itu berkata “Widura, sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalanmu sebagai
pimpinana laskar Pajan di Sangkal Putung. Apabila kau tidak berbuat banyak kesalahan. Aku
bermaksud membiarkan Sidanti melakukannya sendiri, tetapi ternyata karena Sidanti tak dapat
mengalahkanmu, maka kau pasti masih akan berkeras kepala. Kini biarlah aku meneruskan
permintaan Sidanti itu. Terus terang, tanpa berbelit-belit . Widura, kau harus menyingkirkan
Agung Sedayu. Kedua, setiap kau berhalangan maka Sidanti lah pemimpin laskar Pajang di
Sangkal Putung. Kemudian kau harus menyampaikan kemenangan Sidanti atas Tohpati.
Seterusnya kau harus mengusulkan kepada atasanmu, panglima wiratamtama. Untuk
kedudukan yang lebih baik bagi Sidanti, ingat, masa depan Sidanti harus berbeda dari masa
depanmu. Kau sudah puas dengan kedudukanmu sekarang. Tetapi Sidanti tidak. Sidanti
melihat jauh kemasa depan. Dengarlah Widura, bukankah dengan menyingkirkan Jipang, maka
adipati Pajang sekarang ini, adalah pewaris satu-satunya kerajaan Demak. Aku kira sultan
Cirebon, manantu Trenggana pula, tidak akan mempunyai tuntutan apa-apa. nah, apa pula
yang kelak akan terjadi dengan janji tanah Mentaok dan Pati bagi mereka yang dapat
membunuh adipati Jipang? Bukankah dengan demikian hari depan Pajang sendiri masih akan
berbelit-belit. Dalam keadaan yang demikian Sidanti harus tampil kedepan. Kau dengar? Kalau
kemudian Sidanti telah menemukan kedudukan yang pantas baginya, kau adalah salah
seorang dari panglimanya. Begitu?”
Widura masih berdiam diri. Namun tiba-tiba ia menjadi muak mendengar semua kata-katanya
Kiai Tambak Wedi. Tetapi ia harus menjaga dirinya. Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang
sakti. Bahkan ia terkejut ketika Kiai Tambak Wedi itu berkata “Kau adalah anak tangga yang
pertama bagi Sidanti , Widura. Bagaimana?”
Tiba-tiba Widura itupun menggeleng. Kini ia menjawab dengan ketegasan yang sama seperti
jawabannya kepada Sidanti. “Sayang Kiai, aku tidak dapat memberikan apa-apa kepada
Sidanti”
Kiai Tambak Wedi menarik alisnya. Kemudian ia tersenyum. Katanya “Jangan berkeras kepala
Widura. Ingat, nasibmu akan dapat menjadi kurang baik”
Sekali lagi Widura menggeleng. “Kiai, mungkin aku dapat menjanjikannya disini karena aku
takut kepada Kiai. Namun aku tidak akan dapat melaksanakannya kelak. Bukankah dengan
demikian aku sekedar menipu Kiai. Karena itu lebih baik berkata terus terang”
Sidanti yang mendengar percakapan itupun, wajahnya menjadi semakin membara. Bahkan
kemudian ia menggeram “Bukankah guru dapat memaksanya?”
“Tentu Sidanti” sahut Kiai Tambak Wedi. “Aku akan bisa memaksanya. Menangkapnya
sekarang dan mengikatnya dibatang jambu mete ini. Kemudian dengan kukuku ini aku dapat
menggores kulitnya sehingga terkelupas. Tetapi Widura tidak akan membiarkannya aku berbuat
demikian, bukankah begitu?”
Dada Widura pun menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun demikian ia menjawab “Benar
Kiai, aku mengharap Kiai tidak akan berbuat demikian. Tetapi permintaan Kiai itupun tak akan
dapat aku penuhi”
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Jangan begitu
Widura. Nasibmu, hidup matimu kini ada ditanganku”
“Terserahlah kepada Kiai”
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawaban itu benar-benar tidak menyenangkan.
Katanya “Widura, jangan membuat aku marah. Aku bisa membunuhmu sekarang”
“Terserah kepada Kiai. Aku harus tetap pada perintahku. Hidup atau mati adalah akibat yang
sudah aku ketahui sejak aku masuk menjadi seorang prajurit. Adalah sudah seharusnya aku
mati sambil menggenggam kewajiban. Bukan mengingkari”Kiai Tambak Wedi, seorang yang
sudah kenyang mengenyam pahit manisnya kehidupan itu, mengangguk-anggukkan kepalanya
mendengar jawaban Widura. Ia kagum pada kejantanannya. Kagum pada tanggung-jawabnya.
Meskipun demikian, ia sama sekali tidak senang mendengar jawaban itu. Dengan demikian
seakan-akan Widura itu sama sekali tidak takut kepadanya. Ia ingin agar setiap orang menjadi
gemetar dan menggigil ketakutan mendengar namanya.
BUKU 04
Apalagi apabila mereka berhadapan. Namun agaknya Widura sama sekali tidak bersikap
demikian. Karena itu, maka sekali lagi Ki Tambak Wedi itu berkata “Widura, orang-orang seperti
kau ini benar-benar merupakan mutiara-mutiara yang tersimpan dalam perbendaharaan
keprajuritan Pajang. Aku ingin agar mutiara-mutiara demikian itu tidak akan hilang tertimbun
oleh lumpur. Karena itu Widura, aku minta kau membantu Sidanti dalam usahanya
mendapatkan tempat yang baik dalam hidupnya yang penuh dengan cita-cita itu. Aku sendiri
pasti akan merupakan kekuatan yang mengalasinya”
Sekali lagi Widura menjadi muak. Bahkan ia menjadi muak melihat wajah yang panjang
bermata seperti mata burung hantu dan berhidung terlalu runcing itu. Meskipun demikian, tak
ada suatupun yang dapat dilakukannya. Dan ia masih mendengar Ki Tambak Wedi
meneruskan “Apabila kelak Sidanti akan sampai ditempat itu, maka kaupun akan ikut serta
mukti pula bersamanya”
Widura menggeleng tegas. Jawabnya “Biarlah aku ditempatku. Apapun yang akan aku alami”
Dada Ki Tambak Wedi itupun sudah mulai dirayapi oleh kemarahan yang semakin lama
semakin menyala. Agaknya Widura sudah tidak mungkin dapat dibujuknya. Karena itu katanya
“Widura, apakah kau benar-benar menunggu aku marah?”
Widura yang berdiri seperti pucang kanginan itu menjawab “Sudah aku katakan Kiai. Namun
aku tetap pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Bukan orang lain”
“Widura” sahut Ki Tambak Wedi yang mulai tidak dapat mengendalikan kemarahannya. “Kau
tetap pemimpin laskar di Sangkal Putung. Tetapi kau harus menurut perintah-perintah Sidanti
yang akan diberikan erus menerus kepadamu. Perintah-perintahmu hanyalah saluran dari
perintah-perintahnya. Tetapi dimata par prajurit itu, kau tetap seorang pemimpin yang
berwibawa. Bersedia?”
Sekali lagi Widura menggeleng tegas “Tidak” jawabnya.
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Aku sudah menduga bahwa
kau akan tetap pada pendirianmu. Nah, bagaimanakah kalau aku membunuhmu sekarang?”
Widura menyadari keadaannya. Ia tidak lebih dari seorang yang kecil dihadapan Ki Tambak
Wedi. Tetapi ia tidak mau mengorbankan kewibawaan, saluran kewajiban prajurit. Sedang
orang seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat melakukan apa saja yang dikatakannya.
Meskipun demikian Widura menjawab “Kiai pasti akan mampu melakukannya. Terserahlah
kepada Kiai. Tetapi Kiai harus menyadari keadaan Sidanti . Anak itu keluar bersama aku.
Apakah kata mereka kalau anak itu kembali seorang diri, dan besok mayatku diketemukan
disini?”
Mendengar jawaban itu Ki Tambak Wedi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Katanya diantara
derai tawanya “He Widura, ternyata kau tidak sejantan yang aku sangka. Ternyata kau mulai
ketakutan dan mencari jalan untuk menolong dirimu sendiri”
Mendengar suara tertawa dan kata-kata Ki Tambak Wedi itu, telinga Widura seperti terjilat api.
Sehingga ia lupa, dengan siapa ia berhadapan. hampir berteriak ia membentak “Cukup!”
Ki Tambak Wedi terkejut mendengar bentakan itu, sehingga dengan serta-merta derai
tertawanya itu terputus. Dengan tajamnya ia memandang wajah Widura yang masih berkata
terus “Apakah kau sangka bahwa setiap mahluk akan menyerahkan hidupnya demikian saja
tanpa usaha untuk menyelamatkan diri. Bukankah hak setiap hidup untuk mempertahankan
hidupnya?”
“Tetapi caramu adalah cara yang licik” sahut Ki Tambak Wedi.
“Tidak” bantah Widura. “Tetapi aku hanya ingin mengatakan, kalau kau bunuh aku, maka
pekerjaanmu itu tidak akan bermanfaat. Setiap orang dapat segera mengambil kesimpulan apa
yang sudah terjadi”
“Seandainya mereka mengetahui sekalipun, apa yang akan mereka lakukan terhadap Sidanti?
Apakah mereka berani melakukan tindakan apapun terhadap anak itu?”
“Tentu”
“Aku akan dapat membunuh mereka semua”
“Mereka adalah prajurit-prajurit. Kalau mereka tak dapat mengatasi seseorang, maka
atasannyalah yang akan melakukan. Bagaimana anggapan Kiai tentang seorang perwira
tamtama yang bernama Pemanahan? Juru Mertani atau adipati Pajang sendiri?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawabnya “Persetan dengan mereka. Tetapi aku
tidak sebodoh yang kau sangka. Aku sudah bersedia alat untuk membunuhmu. Semua orang
mengenal bahwa senjata Sidanti adalah senjata tajam. Sekarang aku akan membunuhmu
dengan senjata pemukul”
Dada Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Apalagi ketika tiba-tiba ia melihat, Ki Tambak
Wedi itu menarik sebuah tongkat besi dari pinggangnya dibawah kain panjangnya. Besi itu tidak
terlalu panjang. Hanya dua jengkal, sebesar ibu jari kaki. Diamat-amatinya senjata sambil
bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri “Hem, bukankah orang yang bersenjata
pemukul itu seorang senapati Jipang yang bernama Tohpati? Dan bukankah mulut Sidanti juga
dapat berkata demikian kepada kawan-kawannya? Lihatlah wajah Sidanti itu sendiri, dan
hampir diseluruh tubuhnya menjadi merah biru. Itu akan bagus sekali untuk melengkapi
ceritanya. Kau berdua berjumpa dengan Tohpati dan beberapa orangnya. Kalian bertempur
mati-matian, dan kau terbunuh dalam perkelahian itu”
Getar didalam dada Widura menjadi semakin cepat. Kini ia benar-benar berhadapan dengan
maut. Dan ia tidak akan dapat menemukan jalan untuk menyelamatkan diri. Meskipun demikian
sama sekali tak terlintas didalam otaknya untuk memenuhi permintaan Sidanti, menebus
nyawanya dengan menjual kewibawaan Pajang.
Demikianlah maka sesaat mereka berada dalam keadaan yang tegang. Widura, Sidanti dan Ki
Tambak Wedi seperti tonggak-tonggak yang kaku. Yang mula-mula menyobek kesepian adalah
Ki Tambak Wedi. katanya “Bagaimana Widura. Apakah kau masih ingin bertahan pada
pendirianmu? Memang keadaanmu masih cukup baik. Kalau kau mati, maka kau akan
dihormati sebagai pahlawan. Namun bukankah lebih baik apabila kita dapat melihat dan
merasakan dalam hidup kita ini kehormatan itu daripada sesudah kita mati?”
Widura tidak menjawab sepatah katapun. Ia sedang mempersiapkan dirinya menghadapi maut.
“Bagaimana Widura?” bentak Ki Tambak Wedi yang sudah mulai kehilangan kesabaran. “Kalau
kau mati, aku akan berusaha Sidanti lah yang akan mengganti kedudukanmu. Aku akan
pancing Tohpati, aku akan bunuh pula dia atas nama Sidanti”
Widura menggeram mendengar rencana gila-gilaan itu. Namun kali inipun ia ti menjawab.
baginya, sudah tidak ada gunanya lagi untuk berbicara apapun. Maka yang dapat dilakukan
adalah menunggu apa saja yang akan terjadi.
Ki Tambak Wedi ternyata benar-benar telah kehilangan kesabaran. Dengan sepotong besi itu ia
berjalan mendekati Widura sambil berkata “Aku tidak biasa mempergunakan senjata semacam
ini. Tetapi untuk kepentingan Sidanti, aku akan memecah batok kepalamu, sehingga orang
benar-benar menyangka kau mati karena pukulan tongkat baja putih milik Tohpati itu”
Sekali lagi Widura menggeram. Tanpa disengaja ia mengangkat pedangnya. Melihat gerak
pedang itu Ki Tambak Wedi tertawa terbahak-bahak. Katanya “Gila. Apakah kau akan melawan
aku? Dengan satu sentuhan dari anak kecil, kau pasti sudah akan roboh. Jangan gila. Kau
hanya tinggal mempersiapkan kepalamu saja. Manakah yang sebaiknya aku pukul supaya kau
segera mati. Dengan demikian aku sudah bermurah hati kepadamu”
Mulut Widura benar-benar telah terkunci. Sesaat ia ingat kepada kemenakannya, Sedayu.
Namun ia tidak menyalahkannya. Saat yang lain dikenangnya kemenakannya yang satu lagi,
Untara. Katanya dalam hati “mudah-mudahan anak itu masih hidup, dan mudah-mudahan
suatu ketika dijumpainya adiknya itu dan diselamatkannya dari kerakusan Sidanti yang gila ini”
Widura kini melihat Ki Tambak Wedi itu semakin lama semakin dekat. Suara tertawanya masih
saja terdengar berkepanjangan.
Tetapi tiba-tiba suara tertawa itupun terputus. Mereka semua terkejut bukan buatan. Apalagi
Widura dan Sidanti . Dalam sepi malam itu terdengar tiba-tiba sebuah ledakan dahsyat.
Sehingga getarannya telah menggerakkan daun-daun pepohonan dan menggugurkan daun-
daun kuning yang tidak mampu berpegangan dahan-dahannya lagi. Bahkan ledakan itu telah
menggetarkan dada mereka yang mendengarnya. Lebih-lebih Widura dan Sidanti .
Ki Tambak Wedi itu kini tegak seperti patung. Namun tampaklah ia memusatkan perhatiannya
memandang segenap arah. Matanya yang tajam setajam mata burung hantu itupun menjadi liar.
Dalam ketegangan itupun sekali lagi terdengar suara ledakan itu. Lebih keras dan getarannya
semakin dalam menusuk dada. Widura dan Sidanti terpaksa memejamkan mata mereka dan
memusatkan perlawanan mereka dengan kekuatan batin melawan getaran yang aneh itu.
Mata Ki Tambak Wedi itupun menjadi semakin liar. Bahkan tiba-tiba ia berteriak “Dahsyat.
Kekuatan orang itu pasti sama dengan kekuatan raksasa. Tetapi jangan seperti seorang
pengecut. Mari, datanglah kemari. Aku bersedia menyambutmu”
Namun tak ada jawaban. Yang terdengar sekali lagi suara ledakan itu. Lebih keras pula dari
yang terdahulu.
Ki Tambak Wedi itupun kemudian menjadi marah bukan kepalang. Seperti orang gila ia
berteriak-teriak “Ayo, kemarilah. Jangan bersembunyi. Inilah Tambak Wedi”
Tetapi kemudian tegal itu menjadi sepi. Suara ledakan itupun tak terdengar lagi. Mengerutkan
keningnya Ki Tambak Wedi itu masih tegak seperti patung. Ia masih mencoba mengetahui dari
manakah arah suara ledakan-ledakan itu. Namun suara itu tak terdengar lagi.
Dalam pada itu, tumbuhlah suatu persoalan didalam dirinya. Dalam diri Ki Tambak Wedi yang
perkasa itu. Ia tidak akan takut berhadapan dengan seitap orang bagaimanapun saktinya. Ki
Tambak Wedi itu merasa, bahwa dirinya pasti akan mampu menghadapi siapa saja dalam
pertempuran seorang lawan seorang. Biarpun orang itu Adiwijaya, yang terkenal memiliki aji
Lembu sekilan, Rog-rog Asem, Sapu Angin sejak masa kanak-kanaknya, sejak ia masih
bernama Mas Karebet. Setidak-tidaknya ia pasti akan dapat menyelamatkan dirinya dari
lawannya. Namun orang yang meledakkan lecutan-lecutan itupun bukan orang kebanyakan,
sehingga apabila ia mengejarnya, maka ada kemungkinan orang itu berhasil melarikan diri.
Yang kemudian mengganggunya adalah, apabila Widura itu dibunuhnya, maka ternyata akan
hadir sedikit-dikitnya seorang saksi. Orang yan menyuarakan lecutan-lecutan dahsyat itu.
Dengan demikian maka cerita Sidanti lambat atau cepat, pasti akan diketahui kebohongannya.
Karena itu, tiba-tiba Ki Tambak Wedi itupun mengumpat tak habis-habisnya. Katanya “Setan itu
ternyata berhasil menolong memperpanjang nyawamu Widura. Ia akan merupakan saksi yang
mengganggu jalan Sidanti . meskipun demikian, ingatlah, Sidanti tak akan pernah melepaskan
tuntutannya. Abiarlah kali ini lau tetap hidup. Aku beri waktu kau sepasar. Kalau dalam sepasar
kau tidak merubah pendirianmu, dalam setiap kesempatan aku akan dengan mudah
membunuhmu. Mungkin dengan cara-cara yang sangat mengerikan”
Widura masih berdiam diri. Apalagi kini, dadanya masih dipengaruhi oleh getaran-getaran
leacutan yang dahsyat itu. Karena itu ia sama sekali tidak menjawab kata-kata Ki Tambak Wedi.
“Pulanglah berdua. Jangan membuat persoalan supaya aku mempunyai pertimbangan-
pertimbangan lain”
Widura masih tetap tegak seperti tiang-tiang yang beku. Ia mendengar kata-kata Ki Tambak
Wedi itu, namun seakan-akan ia tidak mengerti maknanya. Setelah ia kehilangan harapan
untuk dapat menyelesaikan tugasnya, membersihkan sisa-sisa laskar Jipang, karena keinginan
Sidanti yang melonjak-lonjak, maka tiba-tiba dadanya digetarkan oleh suara lecutan yang
hampir menggugurkan isi dadanya, kini ia mendengar Ki Tambak Wedi itu mengurungkan
niatnya.
Untuk sesaat Sidanti pun menjadi seolah-olah kehilangan kesadarannya. Namun seperti orang
yang tersentak bangun dari tidurnya ia mendengar gurunya itu berkata, bahwa Widura akan
dibebaskannya. Karena itu, maka timbullah berbagai pertanyaan didalam dirinya. Keadaan itu
sudah terlanjur sedemikian buruknya. Apabila Widura itu masih tetap hidup, apakah
keadaannya tidak menjadi semakin sulit.
Maka dengan terbata-bata terdengarlah Sidanti itu bertanya “Guru, apakah guru akan
memaafkan kakang Widura?”
“Tidak” sahut gurunya. “Aku hanya memberinya waktu sepasar”
“Kenapa guru masih memberinya waktu?”
“ada bermacam-macam pertimbangan. Aku masih berusaha untuk mencari jalan yang baik
bagimu. Kecuali apabila dalam sepasar Widura masih tetap keras kepala. Selain yang sudah
akua katakan, setan yang memperdengarkan suara lecutan itupun dapat mengganggu jalanmu
Sidanti “
“Kenapa guru tidak menangkapnya saja, dan membunuhnya pula?”
“Kau dengar suara lecutannya?” bertanya gurunya. “Kau merasakan getaran didadamu? Nah,
itu pertanda bahwa orang itupun bukan orang kebanyakan. Mungkin ia dapat melepaskan diri
dari tanganku meskipun ia tidak berani langsung melawan aku dalam satu perkelahian”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih tampak diwajahnya, bahwa ia
menyesal akan keadaan itu. Seandainya Widura itu terbunuh dan orang mempercayainya,
bahwa yang membunuh Widura itu Tohpati, menilik dari bekasnya, maka tak seorangpun yang
berani menyatakan dirinya, mengganti kedudukan Widura. Semua orang di Sangkal Putung
menyadari, bahwa tak seorangpun yang dapat melampaui Sidanti. kecuali kalau Pajang
menunjuk orang lain yang dikirim langsung dari Pajang. Namun siapapun orang itu, nasibnya
tidak akan lebih baik dari Widura.
Kemudian terdengarlah kembali suara Ki Tambak Wedi, kali ini kepada Widura. “Nah Widura.
Aku masih akan membiarkan kau hidup sepasar lagi. Kembalilah kalian berdua. Sekali lagi aku
memperingatkan kau Widura. Jangan membuat persoalan atas Sidanti , supaya aku tidak
datang kepadamu bersama-sama dengan Tohpati, untuk memengal lehermu dan seluruh
laskarmu”
Kini Widura telah menyadari keadaannya seluruhnya. Ia mendengar semua kata-kata Ki
Tambak Wedi. ternyata orang itu sama sekali tidak mempunyai pendirian berpihak antara
Pajang dan Jipang. Ia dapat berada dimana saja yang dapat memberinya keuntunga. Dengan
demikian maka Ki Tambak Wedi maupun Sidanti adalah benar-benar orang yang sangat
berbahaya.
Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tambak Wedi pula “Nah Sidanti. Jangan cemas, aku
akan terus menerus mengawasi keadaan. Kau dengar pula itu, Widura?”
Sebelum Widura berkata sepatah katapun, dan sebelum Sidanti menjawab terdengarlah Ki
Tambak Wedi itu menggeram. Kemudian dengan serta-merta dilemparkan potongan besi yang
masih digenggamnya kearah kaki Widura. Kemudian dengan satu loncatan yang cepat, Ki
Tambak Wedi itu menghilang dibalik pepohonan. Ia masih akan mencoba mencari, siapakah
yang telah memperdengarkan suara lecutan yang dahsyat, yang telah mengganggu
pekerjaannya. Namun karena suara itu sudah tidak terdengar lagi, serta Ki Tambak Wedi
menyadari, bahwa belum pasti ia kan dapat menangkapnya, akhirnya Ki Tambak Wedi itupun
melepaskan maksudnya.
Sidanti dan Widura masih tegak ditempat masing-masing. Ketika tanpa sesadarnya Widura
memandang potongan besi yang tergeletak beberapa jengkal dimuka kakinya ia terkejut bukan
buatan. Besi itu kini melengkung sehingga kedua ujung-ujungnya hampir bertemu. Adalah
kekuatan yang luar biasa yang dapat melakukannya. Sepotong besi sebesar ibu jari kaki, yang
panjangnya tidak lebih dari dua jengkal itu dapat dilengkungkannya sedemikian, sehingga
hanpir menjadi sebuah lingkaran.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Ki Tambak Wedi benar-benar luar biasa. Namanya yang
menakutkan itu, tidak saja karena kesombongannya, namun ia benar-benar memiliki kekuatan
yang tidak ada taranya.
Sidanti yang melihat wajah Widura dalam keremangan malam, serta sikapnya yang gelisah,
dan kemudian dengan serta-merta memungut besi yang hampir menjadi lingkaran itu, tertawa
pendek. Desisnya “Apa kau heran kakang, bahwa Ki Tambak Wedi dapat melakukannya?
Melengkungkan besi sebesar itu dengan tangannya?”
“Tidak” jawab Widura. “Orang yang sakti seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat berbuat
lebih banyak dari permainan ini, meskipun permainan ini telah menggoncangkan dadaku”
Sekali lagi Sidanti tertawa. Dengan bibir yang ditarik kesisi ia berkata “Sejak saat ini kau jangan
terlalu sombong dan berkeras kepala supaya umurmu tidak hanya terbatas pada lima hari ini
saja”
Widura menggeleng. Sahutnya “Aku tidak senang orang lain mencampuri persoalan dalam tata
kelaskaran Pajang. Sudah aku katakan, hidup matiku akan aku pertaruhkan untuk kewibawaan
Pajang”
Sidanti mengangkat alisnya. Namun kemudian ia tertawa pula. Katanya “Marilah kita pulang.
Setelah kakang Widura beristirahatn mungkin kakang mempunyai pertimbangan lain”
“Pulanglah dahulu” sahu Widura “Aku masih mempunyai pekerjaan”
Sidanti menjadi heran. Apakah yang akan dilakukan oleh Widura itu. Tetapi Sidanti yang
sombong itu tak mau merajuk. Karena itu ia menjawab “Baiklah aku pulang dahulu”
Sidanti kemudian tidak menungu jawaban Widura. Segera ia melangkah meninggalkan tempat
itu, kembali ke kademangan Sangkal Putung. Kini ia merasa dapat berbuat sekehendaknya.
Sedang Widura pasti tak akan berani menghalanginya lagi.
“Widura itu hanya malu-malu saja mengakui kekuasaanku sekarang” katanya dalam hati.
“Namun aku yakin bahwa ia tidak akan berani mengganggu aku lagi”
Sidanti itu tersenyum sendiri. Akan datang gilirannya Sedayu ditundukkannya. Kalau ia tak
mampu melakukan sendiri, maka cara yang sama seperti yang dilakukan atas Widura itu akan
ditempuhnya “Anak itu akan jauh lebih mudah diselesaikan”. Katanya pula “Kalau ia terbunuh,
tak akan ada yang mempersoalkannya selain Widura. Dan aku yakin Widura pun kini akan
berdiam diri”
Sidanti itu kemudian berjalan dengan wajah yang terang, seakan-akan Sangkal Putung itu
benar-benar telah dikuasainya. Seluruhnya. Dan terbayanglah diwajahnya, seorang gadis yang
manis dan lincah, yang pernah mengaguminya pula, Sekar Mirah. Dengan modal pimpinan atas
Sangkal Putung dan kemudian apabila ia berhasil membinasakan Tohpati atas namanya, maka
pasti ia akan cepat menanjak. Seterusnya, ia harus pandai memanfaatkan setiap kesempatan.
Widura yang masih tegak ditempatnya, memandang Sidanti itu sampai hilang dalam gelapnya
malam. Ia tersadar ketika kemudian didengarnya ayam hutan berkokok dikejauhan. Ternyata
malam telah jauh melampaui pusatnya. Dan sebentar lagi akan terdengar kokok ayam jantan
yang terakhir kalinya menjelang fajar.
Perlahan-lahan Widura itupun menyarungkan pedangnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh
berbagai persoalan yang menekan. Ternyata tugasnya menjadi sangat berat dan berbahaya.
Tidak saja Tohpati dan sisa-sisa laskar Jipang yang lain yang memusingkan kepalanya, namun
Sidanti, bagian dari tubuh sendiri, itupun benar-benar hampir mencabut nyawanya. Berturut-
turut beterbanganlah angan-angannya atas pekerjaannya yang berat itu. Tohpati, Sidanti, Ki
Tambak Wedi, Agung Sedayu, dan tak dapat diabaikan pula, usaha untuk menemukan Untara.
Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam “Aku tidak dapat
menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban itu. Meskipun tubuhku akan menjadi lumat
karenanya.”
Perlahan-lahan Widura itupun melangkahkan kakinya. Tiba-tiba saja ia merasa muak untuk
berjalan bersama-sama dengan Sidanti . Karena itu dibiarkannya anak muda itu berjalan dahulu.
Dan kini iapun berjalan meninggalkan tegal yang sepi, sesepi taman pekuburan. Ketika sekali ia
menoleh, dilihatnya pohon jambu mete itu seperti hantu raksasa yang mengembangkan tangan-
tangannya yang banyak sekali jumlahnya untuk menyergapnya. Namun Widura bukan seorang
penakut. Karena itu ia sama sekali tidak menjadi ngeri melihatnya. Dan ia masih tetap berjalan
perlahan-lahan sambil menghirup udara malam yang segar.
Meskipun tubuhnya menjadi bertambah segar, namun hatinya tidak dapat menjadi sesegar
tubuhnya. Berbagai-bagai persoalan, satu demi satu membelit dihatinya. Dan ia tidak
mempunyai seorang kawanpun yang dapat diajaknya untuk membicarakan kelusitan-
kesulitannya. Ki Demang Sangkal Putung pun tidak. Sebab dengan demikian demang Sangkal
Putung itu akan mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda arah penelaahannya.
Hudaya, Citra Gati dan orang lainpun pasti akan menuruti perasaannya saja, tanpa
mempertimbangkan dengan pikiran, serta tanpa memandang kepentingan yang lebih besar dan
jauh. Karena itu pikiran Widura itupun menjadi suram. Namun betapapun juga, dicobanya untuk
mengatasi kesulitan itu dengan sebaik-baiknya.
Ketika Widura telah keluar dari daerah pategalan itu, tiba-tiba saja ia membelok kekiri. Ia
terkejut sendiri atas langkahnya “Hem” gumamnya “Akan kemanakah aku ini?” Tetapi ia
meneruskan langkahnya. Tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk pergi ke gunung Gowok. Ia
tidak menyadari sepenuhnya, apakah kepergiannya itu akan bermanfaat baginya. Namun,
karena pikiran yang suram itu, inginlah ia berbuat sesuatu. Kiai Gringsing yang hampir setiap
malam ditemuinya di gunung Gowok, kemudian ternyata mendapat tempat tersendiri didalam
hatinya. Orang yang berbuat dan berbicara seenaknya, seakan-akan hidup ini hanyalah sebuah
permainan yang menyenangkan saja.
“Apakah aku dapat berbicara dengan orang itu?” gumamnya. Tetapi kemudian iapun sadar,
bahwa ia pasti akan menjadi kecewa karenanya. Orang bertopeng itu pasti akan
mentertawakannya, ,dan menyuruhnya supaya membicarakan dengan orang yang disebutnya
gurunya, Sedayu. Karena itu pulalah Widura itu sering mengumpat didalam hati. Namun kali ini
ia benar-benar ingin menemuinya.
Tetapi Widura itu menjadi ragu-ragu. Apakah Kiai Gringsing masih berada disana? Hampir
setiap malam ia datang bersama Sedayu, tetapi sebelum tengah malam. Dan kali ini tengah
malam itu telah jauh lampau. Meskipun demikian Widura itu berjalan terus.
Diperjalanan itu, kadang-kadang pikirannya diganggu juga oleh suara lecutan yang dahsyat
yang telah menyelamatkannya. Bahkan kemudian timbul juga berbagai pertanyaan didalam
dirinya, siapakah orang yang telah berbuat itu? Apakah ada orang aneh lagi selain Kiai
Gringsing? Apakah mungkin Kiai Gringsing pula yang melakukannya?
Widura menjadi ragu-ragu. Ia mengagumi kesaktian Kiai Gringsing, namun apakah orang itu
mampu menggetarkan dadanya dengan suara lecutan itu, dan memaksa Ki Tambak Wedi
merubah rencananya?
Gunung Gowok itu kini sudah tidak jauh lagi berada dihadapannya. Dalam keremangan malam,
telah dilihatnya pohon kelapa sawit tegak diatas puntuk kecil itu. Namun sebelum ia meloncati
parit dan berjalan diatas pematang, tiba-tiba Widura itu terkejut bukan kepalang, sehingga ia
terlonjak karenanya. Dekat dibelakangnya, didengarnya sebuah letusan yang dahsyat, yang
hampir saja menggugurkan isi dadanya.
Secepat-cepatnya Widura berusaha untuk memutar tubuhnya. Dan dengan gerak naluriah
tangannya meraba hulu pedangnya. Namun tenaganya yang memang belum pulih itu, seakan-
akan tidak mampu untuk melakukan sesuatu. Apalagi getaran didalam dadanya masih terasa
memukul-mukul tak henti-hentinya.
Namun Widura tak melihat seorangpun. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia memusatkan
kekuatan batinnya melawan getaran-getaran yang masih saja melanda jantungnya. Sehingga
lambat laun ia berhasil pula menenangkan dirinya.
Tetapi ia masih belum melihat seorangpun disekitarnya. Karena itu Widura menjadi gelisah.
Tangan kanannya masih melekat dihulu oedangnya. Dan bahkan setelah getaran-getaran
didialam dadanya mereda, Widura itupun telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan
yang bakal terjadi, meskipun ia sadar, bahwa tenaganya masih belum separo pulih kembali.
Tetapi sekali lagi Widura terkejut. Bukan oleh suara lecutan yang dahsyat. Tetapi kali ini
terdengarlah suara tertawa. Suara yang bernada tinggi dan nyaring.
Dengan serta-merta Widura itupun berpaling. Hampir ia mengumpat ketika dilihatnya seseorang
duduk diatas pematang diantara batang-batang padi muda. Dan Widura itupun segera
mengenalnya. Orang itulah yang dicarinya, Kiai Gringsing.
“Ah” desis Widura. “Kiai benar-benar mengejutkan aku”
“Oh” sahut Kiai Gringsing “Maafkan aku. Aku kira kau senang mendengar lecutan-lecutan itu.
Coba Widura apakah kau bisa berbuat seperti aku?”
Sebelum Widura menjawab, Kiai Gringsing itu sudah berdiri dan diberikannya kepada Widura
sebuah cambuk lembu yang sederhana. Bertangkai bambu cendani dan ujungnyapun
dibuatnya dari anyaman bambu siladan pula.
Dada Widura bergetar karena itu. Ternyata orang yang membunyikan lecutan-lecutan itu adalah
Kiai Gringsing dengan cambuk bambu yang sangat sederhana pula. Karena itu, maka betapa
kagumnya pemimpin laskar Pajang itu. Bahkan dengan serta-merta terloncatlah pertanyaannya
“Jadi adakah Kiai tadi yang membunyikan cambuk itu berturut-turut tiga kali?”
Kiai Gringsing itu tertawa. Jawabnya “Aku sedang bermain-main”
“Tetapi perbuatan Kiai itu ternyata telah menolong jiwaku” sahut Widura.
“He” Kiai Gringsing terkejut. Katanya “Bagaimana itu terjadi. Apa hubungannya bunyi lecutan itu
dengan jiwamu?”
Widura telah mengenal Kiai Gringsing beberapa lama. Karena itu maka iapun telah dapat
mengerti seba sedikit tentang sifat orang bertopeng itu. Maka jawabnya “Suara lecutan itu telah
menakut-nakuti orang yang akan membunuhku”
“Kau akan dibunuh orang?” bertanya Kiai Gringsing itu
Widura kini benar-benar mengumpat didalam hati. Ia tahu benar bahwa Kiai Gringsing telah
berbuat dengan sadar untuk menolongnya. Namun terpaksa ia menjawab pula “Ya Kiai”
“Apakah persoalannya, sehingga seseorang berbuat demikian jahatnya?” orang bertopeng itu
bertanya
Widura menjadi ragu-ragu sejenak. Ingin ia mengutarakan semua persoalan-persoalan yang
menyumbat dadanya, namun setelah ia bertemu dengan orang aneh itu, ia menjadi ragu-ragu.
Karena itu ia ingin menjajaginya, apakah pintu terbuka baginya untuk menyatakan kesulitan-
kesulitannya. “Kiai” katanya “Aku ternyata mempunyai banyak persoalan-persoalan disini.
Persoalan didalam lingkungan sendiri dan persoalan yang aku hadapi atas sisa-sisa laskar
Jipang”
Widura benar-benar menjadi kecewa ketika tiba-tiba Kiai Gringsing itu tertawa. Katanya “Kau
benar bodoh Widura. Bukankah di Sangkal Putung ada gurumu. Nah katakan kepadanya
kesulitan-kesulitanmu itu. Jangan kau katakan kepadaku”
“Tetapi bukankah Kiai bertanya?” potong Widura.
“Marilah kita tidak mempersoalkan lagi tentang hal-hal yang mengerikan. Aku takut mendengar
perkara-perkara pembunuhan. Sekarang coba, apakah kau dapat membunyikan cambuk itu”
Sekali lagi Widura menarik nafas panjang. Panjang sekali. Ditatapnya wajah yang bersembunyi
dibalik topeng itu. Namun yang tampak baginya tidak lebih dari wajah mayat dari kayu yang
menyelubungi wajah Kiai Gringsing itu.
Widura mengangkat alisnya ketika iapun mendengar orang bertopeng itu menarik nafas dalam-
dalam. Namun hanya sesaat. Yang kemudian terdengar adalah kata-kata orang bertopeng itu
pula “Nah, cobalah”
Widura tidak dapat berbuat lain daripada mencoba membunyikan cambuk itu. Dengan satu
gerakan menyentak sendal pancing ia mencobanya. Dan terdengarlah sebuah lecutan yang
keras, namun hanya sekeras para penggembala membunyikan pecut-pecut mereka.
“Ternyata kau tidak sepandai aku” berkata Kiai Gringsing “Berikan cambuk itu” mintanya.
Dengan hati yang kosong Widura menyerahkan cambuk bambu itu. Dan tiba-tiba sekali lagi
menggeletar suara cambuk yang dahsyat. Dan sekali lagi getaran yang dahsyat pula
menghantam dada Widura. Untunglah ia segera berhasil memusatkan kekuatan batinnya,
sehingga dadanya tidak meledak karenanya. Dengan penuh ketekunan Widura kemudian
mencoba menenangkan hatinya. Mencoba meredakan getaran-getaran yang menghentak-
hentak jantungnya.
Ketika ia hampir berhasil terdengarlah suara Kiai Gringsing tertawa. Katanya “Jangan marah
Widura. Aku hanya bermain-main. Agaknya kau terkejut karenanya”.
Widura yang menjadi jengkel itu tiba-tiba teringat pada besi yang dibawanya. Besi yang hampir
menjadi sebuah lingkaran. Karena itu tiba-tiba ia berkata “Kiai, aku juga mempunyai permainan.
Apakah Kiai pernah bermain-main dengan lingkaran ini?”
Suara tertawa Kiai Gringsing itupun terputus. Diperhatikannya potongan besi ditangan Widura
itu dengan seksama.
Dilihatnya sepotong besi yang melengkung, sehingga kedua ujung dan pangkalnya hampir
bertemu.
“Permainan apakah ini?” bertanya Kiai Gringsing.
Widura kemudian memberikan potongan besi itu kepada Kiai Gringsing sambil berkata
“Permainan yang dibawa oleh Ki Tambak Wedi”
Kiai Gringsing menerima sepotong besi itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia bertanya “Permainan aneh. Bagaimanakah Ki Tambak Wedi itu bermain?
Dilemparkan atau diguling-gulingkan?”
Sekali lagi Widura mengumpat didalam hati. Namun Widura pun menyadari, bahwa ada
sesuatu yang tersembunyi dibalik sikap Kiai Gringsing yang dibuat-buat itu. Meskipun demikian,
ia menjawab “Tidakkah Kiai pernah bermain-main dengan benda-benda yang demikian? Aku
sangka orang-orang tua suka bermain-main dengan potongan-potongan besi demikian seperti
Ki Tambak Wedi. aku sendiri tidak tahu, apakah yang menyenangkan Ki Tambak Wedi namun
ia membuat lingkaran-lingkaran semacam itu”
Kiai Gringsing itupun menggeleng. Jawabnya “Aku tidak pernah bermain-main dengan benda-
benda semacam itu. Inilah”
Sekali lagi Widura menjadi kecewa. Ia ingin mengatakan kepada Kiai Gringsing bahwa
kekuatan Ki Tambak Wedi itu telah berhasil melengkungkan besi itu. Namun sebelum ia berkata
apaun, dilihatnya Kiai Gringsing melemparkan besi itu kearahnya sambil berkata “Terimalah”
Dengan gerak naluriah Widura melangkah kesamping. Potongan besi itu tepat mengarah
kemata kakinya. Karena itu ia harus menghindarinya. Namun ketika kemudian ditatapnya
potongan besi yang kini tergeletak disampingnya, kembali dadanya bergoncang dahsyat sekali.
Ia menjadi lebih terkejut lagi dari pada saat ia melihat besi melengkung itu dilemparkan dibawah
kakinya, oleh Ki Tambak Wedi. dengan dada yang bergolak, tanpa sesadarnya Widura
memungut potongan besi itu. Dan dengan tangan gemetar ia memeganginya. Namun potongan
besi itu kini telah lurus kembali. “Alangkah dahsyatnya!” katanya didalam hati. “Meluruskan
potongan besi ini dengan tangan jauh lebih sulit daripada melengkungkannya. Tetapi orang
bertopeng itu telah melakukannya”
Sebelum getaran didalam dadanya itu mereda, terdengarlah Kiai Gringsing itu berkata “Nah
Widura, kalau kau bertemu sekali lagi dengan Ki Tambak Wedi, tanyakanlah kepadanya.
Apakah yang menarik hatinya untuk bermain-main dengan besi-besi semacam itu. Apakah besi-
besi semacam itu pulalah yang dipakainya sebagai gelang ditangan atau kakinya? Aku sendiri
tidak senang bergelang dan berbinggel dikaki. Apakah bergelang akar atau besi sekalipun”
Kini Widura telah berhasil menenangkan dirinya dari ketakjubannya. Meskipun demikian,
kekagumannya kepada orang bertopeng itu menjadi bertambah-tambah. Katanya “Kiai, ternyata
Kiai lebih pandai bermain dengan potongan-potongan besi daripada Ki Tambak Wedi”
“He?” orang bertopeng itu terkejut “Apakah aku bermain-main dengan besi itu?”
“Kiai telah berhasil meluruskannya “sahut Widura. “Aku menjadi takjub ketika aku melihat Ki
Tambak Wedi dengan tangannya berhasil melengkungkan potongan besi itu. Aku kagum akan
kekuatan yang tersimpan didalam tangannya. Tetapi kini, ternyata Kiai dapat pula berbuat
demikian. bahkan lebih mentakjubkan lagi. Bukankah meluruskan besi itu lebih sulit dari
melengkungkannya?”
Terdengarlah kemudian Kiai Gringsing itu tertawa terkekeh-kekeh. Diantara derai tawanya itu
terdengar ia berkata “Kau memuji aku Widura. Aku menjadi senang sekali karenanya. Apakah
kau sudah kawin?”
Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya. Karena itu Widura menjadi bingung, sehingga Kiai
Gringsing itu mendesaknya “He Widura, apakah kau sudah kawin?”
“Sudah Kiai” jawab Widura.
“Sudah punya anak?”
“Sudah Kiai, seorang”
“Sayang” berkata orang bertopeng itu masih dalam derai tertawanya “Kalau belum, kau akan
aku ambil untuk menantu meskipun aku tidak punya anak perempuan”
Kembali Widura menarik nafas dalam-dalam sambil mengumpat didalam hati. Namun ia
berdiam diri. Dibiarkannya Kiai Gringsing berkata sekehendak hatinya. Namun ia masih
dicengkam oleh kekaguman pada orang itu. Orang yang dengan suara lecutan yang dahsyat
telah memperpanjang umurnya, dan dengan kedua tangannya, tanpa dilihatnya telah berhasil
meluruskan besi yang melengkung itu. “Kalau demikian” katanya dalam hati, “Apakah dugaan
Ki Tambak Wedi tidak keliru? Ki Tambak Wedi menanggap bahwa tidak ada orang sakti selain
dirinya didaerah ini. Bagaimanakah dengan orang bertopeng ini? Orang yang namanya sama
sekali tak dikenal selain olehku dan Agung Sedayu”
Tetapi Widura kemudian terkejut ketika dikejauhan terdengar suara ayam jantan berkokok
bersahut-sahutan. Ketika ia memandang ketimur, membayanglah warna-warna semburat
merah diatas garis cakrawala.
“Hampir fajar” desisnya.
Kiai Gringsing itupun menengadahkan wajahnya. kemudian katanya “Ya, hampir fajar. Aku
harus segera kembali sebelum terang tanah. Orang akan menyangka aku sebagai penari
topeng yang kesiangan”
“Kenapa Kiai pakai topeng?” tiba-tiba saja terluncur pertanyaan itu dari mulut Widura.
Kiai Gringsing tiba-tiba terpaku pula ditempatnya. Diawasinya wajah Widura dengan tajamnya.
Namun tanpa menjawab pertanyaan itu, Kiai Gringsing melangkah meninggalkan Widura
seorang diri.
Widura mengawasi langkah Kiai Gringsing dengan hati yang berdebar-debar. Tiba-tiba saja
keinginannya untuk mengetahui siapakah sebenarnya orang bertopeng itu melonjak-lonjak
didalam dadanya. Sehingga tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak “Kiai, berhentilah”
Kiai Gringsing itupun berhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya Widura meloncati parit dan berlari
kearahnya “Aku ingin tahu, siapakah Kiai sebenarnya”
“Jangan” jawab Kiai Gringsing. “Kelak akan sampai saatnya, kau tahu siapakah aku, sekarang
belum”
“Tidak” jawab Widura. “Aku ingin tahu sekarang”
“Jangan” berkata Kiai Gringsing seperti orang yang ketakutan. Ketika ia melihat Widura menjadi
semakin dekat, tiba-tiba Kiai Gringsing itupun berlari pula, sambil berkata “Jangan Widura.
Kenapa kau masih saja akan menangkap aku?”
Namun Widura tidak memperdulikannya. Bahkan ia semakin mempercepat larinya. Ia benar-
benar berusaha untuk dapat menangkap Kiai Gringsing.
Demikianlah maka mereka berdua berlari berkejar-kejaran. Kiai Gringsing itu berlari-lari
disepanjang pematang, melingkari gunung Gowok dan berputar-putar. Meskipun demikian,
Widura belum berhasil menangkapnya. Bahkan jarak mereka semakin lama menjadi semakin
jauh.
Akhirnya, Widura itupun tertegun sendiri. Kiai Gringsing itu seakan-akan lenyap begitu saja,
seperti asap dihembus angin. Widura yang terengah-engah itu berdiri tegak seperti patung
diatas pematang yang basah. Ketika kemudian disapukannya pandangan matanya berkeliling,
dilihatnya dikejauhan, Kiai Gringsing melambaikan cambuknya. Hanya lamat-lamat terdengar
suaranya “Besok kita bermain-main lagi digunung kecil itu Widura”
Widura menarik nafas. Tiba-tiba saja ia menjadi geli sendiri atas kelakuannya. Bahkan ia
menjadi malu pula. Gumamnya “Gila. Apakah aku telah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu
pula? Untunglah tak seorangpun yang melihatnya”
Widura yang kemudian menyadari keadaannya itu, kini melangkah diatas pematang menuju
jalan kembali kekademangan Sangkal Putung. Kadang-kadang ia tersenyum sendiri. Dan
berkali-kali iam merasa, bahwa hampir-hampir saja ia kejangkitan penyakit Kiai Gringsing yang
aneh itu.
Widura itupun kemudian mempercepat langkahnya. Ia tidak mau kesiangan sampai
dikademangan.
Warna-warna merah diujung timur semakin lama menjadi semakin tegas. Ketika Widura
menjadi semakin dekat dengan induk desa Sangkal Putung, semakin riuhlah suara kokok ayam
jantan yang seakan-akan menyambutnya. Namun Sangkal Putung tampaknya masih lelap
dibalik kabut malam yang seakan-akan awan yang keabu-abuan menyelimuti raksasa yang
kedinginan.
Widura itupun mempercepat langkahnya. Ia masih harus sembahyang subuh, sebelum
melakukan pekerjaannya yang lain. Karena itu, ia harus sampai dikademangan sebelum hari
menjadi terang.
Ketika Widura itu hampir sampai diregol halaman kademangan, ia menjadi terkejut. Dalam
keremangan embun menjelang fajar, dilihatnya beberapa orang bergerombol dimuka regol itu,
lebih banyak dari yang seharusnya.
Dan Widura menjadi berdebar-debar pula, ketika tiba-tiba ia mendengar salah seorang yang
melihatnya berteriak “Itulah Ki Widura telah datang”
Widura itupun berjalan semakin cepat pula. Dimuka regol itu dilihatnya Hudaya, Citra Gati,
Sonya, Sendawa dan beberapa orang lainnya. Hampir semua dari mereka itu, memegang
senjata mereka masing-masing.
“Apa yang terjadi?” bertanya Widura serta-merta.
Citra Gati ituppun kemudian melangkah maju. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menjawab
“Ternyata kami hanya berprasangka”
“Tentang apa” bertanya Widura pula.
Citra Gati berpaling kearah Hudaya. Seakan-akan ia minta pertimbangan sahabatnya itu.
Namun Hudaya segera memalingkan wajah kearah lain.
Tampaklah mulut Citra Gati berkumat kamit mengumpati Hudaya. Namun yang kemudian
dikatakannya adalah “Kami berprasangka atas Sidanti “
“Kenapa dengan Sidanti?” bertanya Widura pula
Sekali lagi Citra Gati berpaling kearah Hudaya, namun Hudaya masih memandang ke bintang-
bintang yang masih bergemerlapan dilangit. Karena itu ia menjawab sendiri “Kami mengetahui
bahwa kakang pergi bersama Sidanti, namun kemudian Sidanti itu kembali seorang diri. Ketika
ada diantara kami yang menanyakan kepadanya, ia menjawab namun sangat meragukan kami”
Widura itupun menarik nafas dalam-dalam. Dadanya benar-benar berguncang mendengar kata-
kata Citra Gati. Ia menjadi berbangga bahwa anak buahnya itu demikian setia kepadanya.
Namun ia melihat bahaya yang besar pula yang ada diantara mereka. Bahaya yang setiap saat
dapat meledak. Ternyata kawan-kawan Sidanti sudah demikian muaknya kepada anak muda
yang sombong itu, sehingga setiap kesempatan, benturan-benturan diantara mereka agaknya
sulit untuk dihindarkan. Namun betapapun juga Widura harus memperhitungkan kekuatan
dibelakang Sidanti. Ki Tambak Wedi. Kalau sampau terjadi sesuatu atas muridnya itu, maka
tidak mustahil Ki Tambak Wedi akan melakukan pembalasan dendam yang mengerikan.
Bahkan tidak mustahil bahwa Ki Tambak Wedi dapat meminjam tangan Tohpati untuk
melakukannya. Kalau Ki Tambak Wedi kehilangan Sidanti, maka Tohpati dapat diambilnya
menjadi gantinya. Dan keadaannya akan menjadi semakin kalut. Karena itu, selagi ia belum
menemukan cara penyelesaian yang sebaik-baiknya, maka ia harus menghindarkan setiap
bentrokan yang mungkin terjadi.
Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang kawan-kawannya itu masih berdiri diseputar Widura.
Sehingga dengan demikian Widura itu terpaksa membubarkannya “Nah, kembalilah kalian
ketempat kalian masing-masing. Kalian jangan terlalu berprasangka kepada seseorang.
Untunglah belum terjadi sesuatu atas kalian. Ternyata aku sekarang aku kembali utuh”. Namun
didalam hatinya Widura itu berkata “Hampir saja aku tidak kembali. Kalau terjadi demikian,
maka apakah kira-kira yang dapat timbul dikademangan ini? Apakah anak-anak ini percaya
bahwa aku terbunuh oleh Tohpati?
Tetapi Widura itu tidak berkata apa-apa lagi. Ia langsung berjalan menyibak orang-orang yang
berdiri dimuka regol itu masuk kepringgitan.
Demikian ia membuka pintu pringgitan, ia melihat Agung Sedayu masih duduk terpekur. Anak
muda itu terkejut ketika mendengar pintu bergerit, dan ketika berpaling, dan dilihatnya
pamannya kembali, tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu itu
menarik nafas dalam-dalam.
Widura itupun segera pergi kepembaringannya, melepaskan ikat pinggangnya dan meletakkan
pedangnya.
“Apakah kau sudah bersembahyang?” terdengar ia bertanya.
“Sudah paman” jawab Agung Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa berkata sepatahpun ia melangkah keluar
kembali, pergi ke perigi. Ketika sekali lagi ia menengadahkan wajahnya kelangit, terdengar ia
bergumam “Hampir fajar”
Baru setelah Widura itu selesai bersembahyang, maka iapun segera duduk pula bersama-sama
Sedayu. Widura itu menggigit bibirnya ketika dilihatnya Sekar Mirah membawa minuman hangat
untuk mereka. Bukanlah kebiasaannya uantuk menyuguhkan makan dan minum itu dahulu.
Tetapi sejak Agung Sedayu berada di kademangan itu, pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh
pembantu-pembantunya, kini telah diambil alih olehnya.
“Marilah paman” katanya “Mumpung masih hangat”
“Terima kasih Mirah” sahut Widura.
“Apakah kakang Sedayu tidak ingin berjalan-jalan?” terdengar gadis itu bertanya pula kepada
Agung Sedayu.
Agung Sedayu menggeleng lemah. Jawabnya singkat “Tidak, Mirah”
“Ah, hari cerah. Apakah kakang dapat mengantarkan aku kewarung sebentar?” ajak gadis itu.
Sekali lagi Sedayu menggeleng.meskipun sebenarnya ingin juga ia pergi, namun ia tidak berani
melakukannya. Karena itu jawabnya “Tidak Mirah. Aku sedang sibuk disini”
Sekar Mirah menjadi kecewa. Ditatapnya wadah Widura seakan-akan ia minta ijin untuk Sedayu.
Namun Widura itu menundukkan wajahnya, merenungi air jahe panas dihadapannya. Meskipun
demikian Sekar Mirah itu masih mencoba memaksanya, katanya “Aku harus berbelanja untuk
kalian, namun aku takut seandainya aku bertemu dengan Sidanti dijalan”
Widura kini mengangkat wajahnya. Dilihatnya Agung Sedayu menjadi bingung untuk menjawab
pertanyaan Sekar Mirah itu. Maka Widura itupun berkata “Mirah, jangan takut kepada Sidanti.
Anak itu bukanlah anak yang jahat. Namun kadang-kadang ia menjadi kecewa karena sikap
Sedayu. Nah, pergilah tanpa Sedayu. Aku menjadi jaminan, bahwa tak akan terjadi sesuatu.
Apabila kau pergi bersama Sedayu, maka anak muda itu akan bertambah kecewa, dan ia akan
dapat berbuat aneh-aneh di Sangkal Putung ini.”
Wajah Sekar Mirah itu menjadi merah. Betapa ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-
katanya Widura itu. Ternyata menurut penilaiannya, Widura berpihak kepada Sidanti. “Aneh”
katanya dalam hati. “Bukankah Sedayu itu kemenakannya sendiri?” Meskipun demikian ia tidak
berkata apapun lagi. Ketika sekali ia memandang wajah Sedayu, dilihatnya wajah itu menunduk
dalam-dalam. “Anak muda itu menjadi kecewa pula” pikir gadis itu.
Perlahan-lahan Sekar Mirah pergi meninggalkan pringgitan. Sekali-sekali ia berpaling. Namun
baik Widura maupun Agung Sedayu tidak lagi memandanginya. Meskipun demikian, Sekar
Mirah itu masih dapat menghibur dirinya “Sedayu tidak marah kepadaku” katanya dalam hati.
“Ia hanya takut kepada pamannya”
Pagi itu, Sekar Mirah pergi kewarung seorang diri. Sebenarnya iapun sama sekali tidak takut
seandainya Sidanti berbuat sesuatu atasnya. Apalagi hari telah berangsur terang, dan
disepanjang jalan telah menjadi riuh oleh orang-orang yang pergi datang kewarung diujung
desa.
Widura dan Agung Sedayu yang duduk dipringgitan itu terkejut ketika mereka mendengar gerit
pintu terbuka. Mereka menggeser duduk mereka, ketika dari pintu itu muncul Ki Demang
Sangkal Putung. Wajahnya yang sudah mulai ditumbuhi oleh garis-garis umur itu tampak
tersenyum. sambil duduk disamping Widura terdengar ia berkata “Hampir semalam suntuk adi
berkeliling malam ini”
Widura tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya “Ya kakang”
“Bukankah tidak ada sesuatu yang mencurigakan?” bertanya ki Demang itu pula.
Widura menggeleng “Tidak kakang”
Ki Demang Sangkal Putung itupun kini mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya
“Anak-anak sudah siap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan yang dapat menarik hati
mereka dan menghilangkan kejemuan. Apakah anak-anak adi Widura berminat pula?”
“Ya” sahut Widura “Aku senang dengan rencana itu”
“Kita dapat segera menyelenggarakannya” berkata Ki Demang itu pula.
Widura itupun tiba-tiba termenung. Apakah perlombaan-perlombaan itu akan dapat
menggembirakan anak buahnya dalam keadaan seperti kini. Ia pasti bahwa perlombaan
apapun Sidantilah yang akan memenangkannya. Namun akhirnya ia menjawab “Baiklah
kakang, meskipun kami semuanya sudah tahu, siapakah yang akan menjadi pemenangnya.
Namun akan menyenangkan pula bagi mereka yang akan menjadi pemenang kedua, ketiga
dan seterusnya”
Mendengar keputusan Widura itu, Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu
pasti akan menyenangkan anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan-perlombaan yang
demikian akan menghilangkan kejemuan, dan mereka merasa bahwa dengan perlombaan-
perlombaan itu, mereka mendapatkan beberapa kebanggaan.
“Kapan perlombaan itu akan kita adakan?” bertanya ki Demang.
Widura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terngiang ditelinganya kata-katanya Ki Tambak Wedi
bahwa waktu yang diberikan kepadanya hanyalah sepasar. Karena itu, maka apapun yang
akan dilakukan harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan ancaman itu.
Widura percaya bahwa orang semacam Ki Tambak Wedi itu pasti akan mampu melakukan apa
saja yang dikatakannya.
Karena itu maka katanya “Adakah anak-anak Sangkal Putung telah bersiap untuk melakukan
perlombaan ini?”
“Sudah lama mereka mempersiapkan diri“ jawab Ki Demang. “Mereka telah berlatih
menggunakan panah, tombak dan bermacam-macam alat untuk berlomba. Sodoran diatas
kuda dan bermacam-macam lagi”
“Bagus” sahut Widura. namun kemudian terlintas didalam angan-angannya setiap sikap dan
prasangka pada anak buahnya. Apakah perlombaan-perlombaan yang demikian tidak akan
menimbulkan persoalan baru? Pedang, tombak dan semacam itu akan sangat berbahaya bagi
anak buahnya yang sedang dibakar oleh ketidak puasan atas sikap satu dengan yang lain.
Karena itu, maka kemudian jawabnya ”Kakang. Kita memilih segi-segi yang paling tidak
berbahaya dalam perlombaan ini. Terutama bagi anak buahku sendiri. Mereka adalah prajurit-
prajurit yang telah mengalami pertempuran, sebenarnya pertempuran, beberapa puluh kali.
Karena itu perlombaan-perlombaan dengan pedang dan tombak tidak akan menyenangkan
mereka. Sekali pedang dan tombak mereka terayun, maka tujuan mereka adalah melepaskan
nyawa lawan-lawan mereka. Sehingga dengan demikian pedang-pedang rotan dan tombak
yang berujung bola hanya akan menimbulkan kekecewaan saja. Meskipun demikian, biarlah
mereka diberi kesempatan untuk bermain-main. Yang paling baik adalah lomba
mempergunakan panah. Sedang bagi anak-anak Sangkal Putung biarlah mereka mendapat
kesempatan untuk mempergunakan segala macam senjata”
Ki Demang Sangkal Putung itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak
langsung menangani anak-anak Widura, namun terasa pula olehnya, sikap-sikap yang amat
menyulitkan bagi Widura untuk mengatasinya. Karena itu maka jawabnya “Baiklah adi. Aku
sependapat. Jadi kapan kita adakan perlombaan ini?”
Sekali lagi Widura merenung. Harus sebelum waktu yang sepasar itu tiba. Maka jawabnya
“Secepatnya kakang”
“Besok?” bertanya Ki Demang.
“Apakah hal itu mungkin?” sahut Widura.
“Mungkin sekali bagi anak-anak Sangkal Putung” jawab Ki Demang. “Tetapi bagaimana dengan
anak buah adi?”
“Anak buahku bersiap setiap saat” sahut Widura, “Jangankan perlombaan, bertempurpun siap”
Ki Demang tersenyum mendengar jawaban Widura. katanya “Tentu. Hampir aku lupa, bahwa
mereka adalah prajurit-prajurit”
Widura pun kemudian tersenyum pula.
Ketika kemudian Ki Demang itu keluar dari pringgitan, Swandaru telah berdiri tegak bertolak
pinggang di pendapa. Terdengar ia tertawa riuh sambil berkata “He paman Hudaya, kenapa
paman tidur disitu?”
Hudaya yang terkantuk-kantuk bersandar pohon sawo terkejut mendengar sapa Swandaru.
Kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepala seakan-akan hendak mengusir kantuknya ia
menjawab “Hem, semalam aku hampir tidak tidur sekejappun”
“Kenapa? Apa paman sedang bertugas?”
Hudaya menggeleng “Tidak. Tetapi aku bermimpi buruk”
Swandaru tertawa pula “Mimpi apa?”
“Aku mimpi kau digigit anjing” jawab Hudaya.
Sekali lagi Swandaru tertawa terkekeh-kekeh. Tubuhnya yang bulat itu terguncang-guncang.
Beberapa orang yang mendengar suara tertawanya berpaling kearahnya. Ketika mereka
melihat Swandaru, maka mereka tidak memperdulikannya lagi. Anak itu selalu saja tertawa,
seakan-akan ia tidak mempunyai pekerjaan lain, selain tertawa. Tetapi sekali lagi orang-orang
itu berpaling ketika suara Swandaru itu tiba-tiba saja terputus. Dan orang-orang itulah yang
kemudian tertawa didalam hatinya. Menggelikan sekali. Swandaru itu tiba-tiba saja menjadi
tegang ketika melihat Sidanti lewat dimukanya. Namun Sidanti itu berpalingpun tidak.
“Apa kerjamu disini Swandaru?” terdengar Ki Demang bertanya.
Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan lantang ia menjawab seakan-akan sengaja supaya
Sidanti mendengarnya “Apapun yang aku lakukan, bukankah aku berada dirumahku sendiri?”
“Hus” bentak ayahnya. “Jangan ngelindur. Pergi ke kawan-kawanmu. Katakan, perlombaan
diadakan besok ditanah lapang dimuka bajar desa”
“He” Swandaru menjadi sangat gembira “Besok ayah?”
“Ya”
Swandaru itupun segera berlari menghambur. Langsung ia berlari kebanjar desa dimana
kawan-kawannya sering berkumpul.
Tetapi selain Swandaru, anak buah Widurapun mendengar kata-kata ki Demang itu. Mereka
sudah mendengar pula sebelumnya bahwa akan diadakan perlombaan bagi mereka. Meskipun
mereka senang juga menyelenggarakannya, namun mereka tidak segembira anak-anak muda
Sangkal Putung itu.
Sidantipun mendengar kabar itu. Disudut pendapa, ditempatnya, ia tersenyum. Katanya dalam
hati “Hem, siapa yang akan mencoba melawan Sidanti? Dengan rotanpun aku akan mampu
membunuh, setidak-tidaknya melumpuhkan orang-orang macam Hudaya, Citra Gati dan tikus-
tikus bodoh itu. Apalagi dengan tombak berujung bola. Atau barangkali anak muda yang
bernama Agung Sedayu itu?”
Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk. Seakan-akan di Sangkal Putung akan
diselenggarakan suatu peralatan yang maha besar. Anak-anak muda berjalan hilir mudik
simpang siur dengan tergesa-gesa.
Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lagi terpaksa ikut sibuk dengan anak-anak muda itu.
Mereka terpaksa memberi mereka beberapa petunjuk tentang penyelenggaraan perlombaan
besok dimuka banjar kademangan.
Diberinya anak-anak muda itu petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus membuat lingkaran-
lingkaran dengan kapur ditengah-tengah lapangan kecil itu. Bagaimana mereka membuat garis
batas bagi sodoran yang akan diselenggarakan pula.
Semuanya dibuat dengan tergesa-gesa. Namun justru karena itu anak-anak muda Sangkal
Putung menjadi sangat gembira. Sehari-harian mereka bekerja tampa mengenal lelah. Apalagi
mereka yang besok akan ikut bertanding. Tetapi justru karena itu pula beberapa anak buah
Widura yang ditugaskan membantu penyelenggaraan itu mengumpat tak habis-habisnya.
Mereka lebih senang bertempur daripada merentang-rentang tali dipanas yang terik, membuat
pagar dan garis-garis batas, membuat orang-orangan untuk lomba memanah. Dan masih terlalu
banyak yang harus mereka kerjakan.
Namun betapa sibuknya mereka, Sidanti sama sekali tidak mau turun dari pendapa. Apalagi
membantu mereka. Bahkan hampir sehari-harian ia berbaring. Kadang-kadang ia tersenyum-
senyum sendiri sambil bergumam “Alangkah bodohnya orang-orang itu. Mereka bekerja keras
mempersiapkan arena. Besok akulah yang akan mendapat tepuk sorak dari penonton”
Meskipun demikian, Sidanti menjadi agak kecewa pula. Setelah ia mendengar bahwa bagi
mereka hanya diadakan satu macam perlombaan saja. Memanah. Yang lain tidak.
“Biarlah” katanya dalam hati. “Akupun jemu pada permainan anak-anak itu. Tetapi memanah
adalah permainan yang mengasyikkan”
Demikianlah hari itu telah dilampaui oleh anak-anak Sangkal Putung dengan penuh kesibukan.
Bahkan sampai pada malam harinyapun mereka hampir tidak dapat tidur. Mereka sibuk dengan
berbagai persoalan didalam angan-angannya. Sedangkan mereka yang besok akan turun
kearena, masih mencoba untk menambah ketrampilannya.
Meskipun demikian, Widura tidak kehilangan kewaspadaan. Dibiarkannya anak-anak Sangkal
Putung sibuk dengan persoalannya. Namun Widura tetap menempatkan orang-orangnya
disegenap penjuru. Ia tidak mau dengan tiba-tiba ditelan begitu saja oleh laskar Tohpati.
Karena itu, setiap saat ia tetap pada kesiapsiagaan yang sebenarnya. Bukan sekedar bersiap
untuk mengadakan perlombaan-perlombaan semacam itu. Karena itu, maka malam itupun
Widura telah bersiap untk berkeliling kademangan. Kali ini ia tidak berjalan bersama Sidanti,
tetapi kembali ia pergi dengan Agung Sedayu.
Agung Sedayu tidak pernah mengetahui apa yang telah terjadi dengan pamannya. Dan ia tidak
tahu pula, mengapa semalam pamannya membawa Sidanti serta, dan kini ia harus ikut pula
kembali seperti malam-malam sebelumnya.
Seperti biasanya, setelah mereka berkeliling disemua gardu-gardu perondan, maka mereka
berdua pergi ketempat mereka berlatih, gunung Gowok. Disepanjang perjalanan itu, hampir tak
ada yang mereka percakapkan. Widura tidak memberitahukan apa saya yang pernah terjadi,
dan Sedayu tidak mau menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang bergelut didalam dadanya.
Namun kemudian, ketika mereka hampir sampai kepuntuk kecil itu, terdengar Widura berkata
“Sedayu, apakah kau tidak ingin ikut serta berlomba?”
Agung Sedayu tidak segera menjawab. terjadilah suatu kesibukan didalam dadanya. Ia merasa,
bahwa iapun mampu untuk melepaskan panah hampir dalam keadaan yang tak mungkin
dilakukan oleh orang lain. Namun, sekali lagi Sedayu terpaksa menggigit bibirnya. Ia belum
berhasil melampaui dinding yan memagari jiwanya. Alangkah kerdilnya. Ia takut, kalau ia tidak
dapat melakukan dengan pantas, sehingga orang-orang di Sangkal Putung akan kecewa
terhadapnya. Ia takut bahwa orang-orang itu akhirnya mengetahui tentang dirinya. Bahwa ia
tidak lebih dari seorang pengecut. Karena kebimbangan dan kecemasan yang bercampur baur
didalam dadanya, Sedayu masih tetap berdiam diri.
“Sedayu” akhirnya terdengar pamannya berkata “Aku telah mencegah dilakukannya
perlombaan-perlombaan segala macam jenis. Aku mencoba untuk menghindarkan setiap
persoalan yang akan mempertajam ketegangan dan prasangka diantara anak buahku. Selain
itu, aku telah menghindarkan kemungkinan, bahwa orang-orang Sangkal Putung dan anak
buahku mengharap suatu pertandingan yang dahsyat antara Sidanti dan adik Untara yang
mereka bangga-banggakan.” Widura terdiam sesaat. Ketika ia berpaling, dilihatnya Agung
Sedayu berjalan sambil menekurkan kepalanya. Kata-kata pamannya itu benar-benar telah
menampar jantungnya. Kalau benar-benar terjadi, bagaimanakah sikap yang akan diambilnya.
Apakah ia akan melawan Sidanti? Alangkah mengerikan. Sidanti adalah seorang anak muda
yang perkasa, yang telah mampu melawan Tohpati meskipun tidak sempurna. Karena itu,
meskipun dengan rotan sebesar ibu jari kaku, atau dengan tongkat berujung bola rotan, Sidanti
itu akan dapat membunuhnya. Dan ia akan mati terkapar ditengah arena, diiringi dengan
teriakan dan umpatan-umpatan penuh kekecewaan atas dirinya.
Tiba-tiba bulu kuduk Sedayu berdiri. Dan tiba-tiba pula ia menjawab “aku tidak ikut dalam
perlombaan apapun paman”
Widuralah yang kini terdiam. Kalau Agung Sedayu itu sama sekali tidak turut, maka akan
timbullah berbagai pertanyaan diantara anak buahnya. Karena itu ia berkata “Sedayu,
bukankah kau masih pandai melepaskan panah?”
Mendengar pertanyaan pamannya itu sekali lagi Agung Sedayu terdiam. Sehingga terdengar
Widura mendesaknya “Sedayu, bukankah kau masih pandai memanah? Mungkin kau dapat
ikut dalam perlombaan itu sehingga kau akan dapat memenangkannya”
Berbagai persoalan kini saling mendesak didalam dada Agung Sedayu. Apakah sebenarnya
yang ditakutinya dalam perlombaan memanah? Kalah atau menang, maka ia tak akan
menderita sakit karenanya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu itu menjadi ngeri membayangkan
akibat dari perlombaan itu. Kalau ia kalah, maka orang akan sangat kecewa kepadanya, namun
apabila ia memenangkan perlombaan itu dan mengalahkan Sidanti, maka jangan-jangan anak
muda yang perkasa itu mendendamnya.
Karena itu akhirnya Agung Sedayu menjawab “Aku tidak ikut paman”
“He” Widura menjadi semakin tidak mengerti. “Perlombaan memanahpun kau tidak berani?”
“Aku sedang berpikir tentang akibatnya. Kalau aku menang atas Sidanti, maka jangan-jangan
Sidanti menjadi semakin bersakit hati” jawab Sedayu.
“Hem” terdengar Widura menggeram. Hampir ia tidak dapat menahan kejengkelannya.
Seandainya ia tidak mengingat bahwa anak itu adalah anak kakaknya perempuan, maka
Sedayu pasti sudah dipukulnya dan dipaksanya untuk berbuat sesuatu. Atau malahan sudah
dipaksanya untuk bertempur melawan Sidanti. Atau anak itu telah lama diusirnya dari Sangkal
Putung. Tetapi apa boleh buat. Namun anak itu benar-benar telah memusingkan kepalanya,
meskipun kali ini alasannya bisa juga dimengerti.
Akhirnya mereka sampai juga digunung Gowok. Dengan penuh kejengkelan Widura membawa
Agung Sedayu dalam satu latihan. Karena itu maka apa yang dilakukan Widura, hampir
merupakan pertempuran yang sebenarnya.
Tetapi alangkah bodohnya Sedayu. Ia tidak dapat mengerti hati pamannya, sehingga ia tidak
menyangka bahwa pamannya kali ini ingin mencobanya, supaya sekali-sekali ia mengalami
suatu keadaan seperti yang harus dialami oleh setiap laki-laki. Sedayu hanya menganggap
bahwa pamannya telah menuntunnya dalam suatu tingkatan yang lebih maju dari yang biasa
dilakukannya. Maka karena ia takut bahwa pamannya akan marah kepadanya, seandainya
ilmunya tidak maju-maju juga, maka Agung Sedayu itupun kemudian mencoba melayani
pamannya dengan sepenuh tenaga pula.
Demikianlah maka Widura melepaskan kejengkelan hatinya pada latihan itu. Serangannya
datang bertubi-tubi. Ia ingin melihat apa yang dilakukan Agung Sedayu, apabila tubuhnya
benar-benar terkena oleh serangannya.
Tetapi sekali lagi Widura itu mengumpat tak habis-habisnya didalam hatinya. Demikian ia
memperketat serangannya, maka pertahanan Agung Sedayupun mejadi semakin rapat. Bahkan
untuk menyenangkan hati pamannya, sekali-sekali Sedayu berhasil menyerangnya pula
dengan serangan-serangan yang kadang-kadang membingungkannya. Dalam keadaan yang
demikian itu, maka Agung Sedayupun telah memeras hampir segenap kemampuannya.
Kemampuan yang pernah dipelajarinya dari kakaknya, dari ayahnya dan dari pamannya itu.
Sebenarnyalah Agung Sedayu bukanlah seorang anak yang kerdil dalam ilmunya, seperti
kekerdilan jiwanya. Semakin keras serangan-serangan yang dilancarkan oleh pamannya itu,
semakin heranlah dada Widura dibuatnya. Betapa serasinya Agung Sedayu memadukan unsur-
unsur gerak yang diwarisi dari Ki Sadewa lewat kakaknya, lewat ayahnya itu sendiri atau lewat
dirinya dengan unsur-unsur gerak yang pernah dilihatnya dan dihayatinya dalam latihan-latihan
melawan Kiai Gringsing di gunung Gowok itu.
“Aneh” berkata Widura didalam hatinya. “Kalau hati anak ini sebesar hati kakaknya, bukankah
ilmunya tidak terpaut banyak dari ilmu yang aku miliki?”
Namun Widura itu tidak berkata apapun. Dipercepatnya setiap geraknya dan bahkan kini
Widura telah sampai kepada puncak ilmunya. Namun Sedayu itu masih melawannya dengan
gigih. Bahkan kadang-kadang anak muda itu mampu melakukan hal-hal yang tak pernah
dimengertinya sebelumnya.
Selain dari geraknya yang cepat dan cekatan, ternyata tenaga Agung Sedayupun cukup kuat
pula. Apabila sekali-sekali terjadi benturan diantaranya, maka terasa juga tubuh pamannya itu
bergetar. Bahkan apabila serangan-serangan Widura itu berhasil mengenainya, maka Sedayu
itupun hanya berdesis, namun kemudian seakan-akan anak muda itu tak merasakan sesuatu.
Dan ia mampu untuk bergerak kembali dengan lincahnya, selincah burung seriti menangkap
mangsanya diudara.
Namun betapa Agung Sedayu berjuang mempertahankan dirinya, tetapi Widura memiliki
pengalaman yang jauh lebih besar daripadanya. Sehingga lambat laun, terasa juga tekanan-
tekanan Widura menjadi semakin mendesak. Tangan Widura itu semakin lama menjadi
semakin sering menyentuh tubuhnya. Meskipun tidak ditempat-tempat yang berbahaya, namun
sentuhan-sentuhan itu terasa sakit-sakit juga.
Widura melihat keadaan itu. Justru Karena itu ia memperkuat serangannya. Ia ingin tahu, batas
tertinggi dari ilmu kemenakannya.
Tiba-tiba latihan yang keras itupun terganggu. Dari atas puntuk kecil itu, Widura dan Agung
Sedayu mendengar suara tertawa dengan nada yang tinggi. Segera mereka mengenal suara itu,
suara Kiai Gringsing. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu tidak saja tertawa, tetapi ia kini
bertepuk tangan sambil memuji “Bagus Sedayu, ternyata muridmu itu menjadi bertambah
terampil juga akhirnya”
Gerak Widura itupun kemudian terganggu. Karena itu maka kemudian ia melontar mundur
sambil berkata “Sudahlah Sedayu, kita hentikan dahulu latihan ini”
Mendengar kata-kata pamannya itu, Agung Sedayu menjadi bergembira. Sebenarnya telah
agak lama ia menahan diri supaya ia tidak mengecewakan pamannya itu.
Dengan demikian latihan yang berlangsung dengan serunya itu terhenti. Dengan
menganggukkan kepalanya Widura berkata kepada Kiai Gringsing “Selamat malam Kiai”
“Kenapa latihan ini berhenti?” kata Kiai Gringsing tanpa menghiraukan sapa Widura.
Widura menarik nafas. Jawabnya “Latihan ini telah berlangsung lama. Kami telah sama-sama
lelah”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya “Syukurlah kalau kau selalu
tekun dengan latihan-latihan itu Widura. Mudah-mudahan pada suatu saat kau dapat
menandingi Topati”
“Mudah-mudahan Kiai” sahut Widura. Tetapi Widura itu kemudian terkejut bukan buatan ketika
Kiai Gringsing itu berkata “Ternyata Tohpati itu benar-benar seperti hantu. Baru saja aku
melihat ia berjalan mendekat tikungan disebelah”
“He” bertanya Widura tersentak “Adakah Kiai melihatnya ditikungan itu?”
Kiai Gringsing mengangguk “Ya” jawabnya. “Ia berjalan bersama dua orang pengawalnya”
“Jadi apakah mereka melihat kita berlatih disini?” bertanya Widura pula.
“Aku kita tidak” sahut Kiai Gringsing “Kalau demikian barangkali kalian telah menjadi mayat
dibawah gunung Gowok ini”
“Hem” Widura menarik nafas dalam-dalam. “Setan itu benar-benar berbahaya’
Dalam pada itu Widura menjadi gelisah karenanya. Kedatangan Tohpati benar-benar
berbahaya. Ia akan dapat mendatangi setiap gardu dan membunuh segenap isinya. Namun
apabila demikian, maka pasti telah didengarnya tanda bahaya. Tetapi agaknya Tohpati itu
hanya sekedar lewat, dan ingin mengetahui keadaan Sangkal Putung. Tiba-tiba ia menjadi
berdebar-debar karenanya. Mungkin Tohpati telah mendengar tentang perlombaan yang akan
diadakan besok “Gila” Widura mengumpat didalam hatinya. “Aku telah melakukan hal-hal yang
aku sangka baik sekali. Aku hanya memberi waktu persiapan penyelenggaraan satu hari saja,
supaya kabar ini tidak tersiar jauh. Namun agaknya hantu itu telah mendengarnya pula”.
Kembali berbagai persoalan telah menyesakkan dada Widura. persoalan antara laskarnya
dengan laskar Tohpati, persoalan antara orang-orangnya sendiri, persoalan Sidanti dan
gurunya Ki Tambak Wedi, hubungan yang menyedihkan antara Sidanti dan Sedayu. Dan
segala macam persoalan itu setiap kali memukul-mukul otaknya sehingga kepalanya itu akan
pecah karenanya. Dan kini Tohpati itu telah siap untuk menerkamnya.
Dalam kegelisahannya itu Widura hampir tak dapat menahan diri ketika ia mendengar Sedayu
berkata dengan gemetar “Paman, marilah kita kembali kekademangan”
“Kenapa?” bentak Widura.
Ketika ia berpaling, ia melihat betapa sikap Agung Sedayu menjadi sangat gelisah. Tetapi
Widura itu tahu benar, bahwa anak itu sama sekali tidak gelisah memikirkan Sangkal Putung
seperti dirinya, namun anak itu menjadi gelisah karena ketakutan. Widura itu menjadi marah
ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata dengan jujur “Paman, apakah yang akan terjadi
dengan kita kalau Macan Kepatihan itu nanti mengetahui kehadiran kita disini?”
“Persetan dengan Macan Kepatihan” sahut Widura. Namun kata-kata Widura itu terputus oleh
kata-kata Kiai Gringsing “Widura, jangan terlalu sombong. Gurumu itu tahu benar tingkatan
ilmumu. Kau belum waktunya melawan Tohpati seorang lawan seorang, kalau kau tidak mau
membunuh diri. Nasehatnya itu harus kau turut. Sikap berhati-hati itulah yang akan
membawamu kejalan keselamatan”
“Aku bukan pengecut” teriak Widura. “Aku akan berkeliling kademangan sekali lagi. Aku akan
memeringatkan setiap gardu peronda, bahwa bahaya berada diujung hidung mereka”
Dada Sedayu itu menjadi semakin bergetar. Pamannya akan mengadakan pengamatan sekali
lagi atas gardu-gardu peronda. Bukankah dengan demikian kemungkinannya untuk bertemu
dengan Tohpati itu semakin besar. Disudut-sudut desa, di prapatan-prapatan ditengah sawah,
atau ditikungan-tikungan yang sepi. Namun ia melihat bahwa pamannya menjadi marah
kepadanya. Karena itu betapa Agung Sedayu mengeluh didalam hatinya.
Yang kemudian terdengar adalah kata-kata Kiai Gringsing sambil tertawa “He kau benar-benar
berani Widura, seperti kau berani menentang maut melawan Ki Tambak Wedi”
Tiba-tiba pandangan mata Widura itupun terbanting diatas rerumputan liar dibawah kakinya.
Teringatlah ia kepada pertolongan yang pernah diberikan oleh Kiai Gringsing malam kemarin.
Kini orang yang menolongnya itu memeringatkannya, supaya ia tidak melawan Tohpati itu
seorang lawan seorang. Karena itu ia menyesal atas kekasarannya. Maka katanya ke sambil
menganggukkan kepalanya “Maafkan aku Kiai”
“He” sahut Kiai Gringsing. “Kenapa kepadaku. Seharusnya kau minta maaf kepada gurumu itu”
Sekali lagi Widura mengumpat didalam hatinya. Namun katanya “Ya ya. Aku akan minta maaf
kepadanya”
“Bagus” berkata Kiai Gringsing. “Kau harus selalu menuruti nasehat gurumu. Dirumah, gurumu
pasti akan memberimu beberapa petunjuk, mungkin tentang persiapan Tohpati itu. Mungkin
tentang hal yang lain. Namun adalah perlu kau dengar seandainya gurumu itu memerintahkan
kepadamu untuk mempersiapkan diri. Seluruh pasukan. Bukan seorang Widura yang sombong.
Serangan itu tidak terlalu lama akan terjadi. Tetapi Tohpati itu tak akan berbuat apa-apa malam
ini. Nah, selamat malam. Aku tidak sempat bermain-main malam ini. Besok aku akan nonton
perlombaan yang kau adakan”
Dada Widura berdesir mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Namun ia tidak mendapat
kesempatan lagi untuk menanyakan sesuatu. Karena Kiai Gringsing itu kemudian melangkah
pergi dengan langkah seenaknya meninggalkan Widura dan Agung Sedayu yang terpaku
ditempatnya.
Tetapi, tergoreslah didalam jantungnya, peristiwa-peristiwa yang pasti akan menggoncangkan
lagi kehidupan Sangkal Putung. Besok atau lusa Tohpati akan menyerangnya kembali. Apa
yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu tidak lebih dan tidak kurang dari suatu peringatan
kepadanya dan pemberitahuan tentang persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Tohpati.
Namun ia tidak perlu mencemaskan hari besok. Kata-kata orang bertopeng itu, bahwa besok ia
akan menonton perlombaan yang akan diadakannya, telah agak memberinya ketenangan,
meskipun ia tidak dapat menggantungkan nasibnya kepada orang itu. Mudah-mudahn ia masih
berhasil menghimpun kekuatan Sangkal Putung, yang setidak-tidaknya masih seperti pada saat
perlawanannya dahulu ketika Tohpati menyerangnya. Mudah-mudahn tenaga Sidanti masih
dapat dipergunakannya sebaik-baiknya. Tetapi bagaimana dengan besok lusa, tiga hari, empat
hari dan lebih-lebih lima hari lagi? Bagaimanakah nasib Sangkal Putung apabila Tohpati
menyerang tepat pada saat Ki Tambak Wedi memuntutnya? Widura menggeleng-gelengkan
kepalanya ketika terlintas didalam benaknya, harapan bahwa Kiai Gringsing akan menolongnya
kembali apabila Ki Tambak Wedi akan membunuhnya. “Tidak” katanya dalam hati. “Aku tidak
akan memperhitungkan setiap pertolongan yang belum pasti akan datang. Aku harus
memperhitungkan kekuatan sendiri” katanya pula. Bahkan kemudian timbullah didalam
benaknya suatu pikiran untuk mengirimkan utusan ke Pajang. Keadaan Sangkal Putung benar-
benar gawat. Biarlah salah seorang perwira yang terpercaya akan datang untuk melawan
Tohpati lebih-lebih Ki Tambak Wedi. “Hem” gumamnya “Apabila besok aku belum menemukan
cara lain, biarlah seseorang mengharap kedatangan Ki Gede Pemanahan sendiri
menyelesaikan persoalan Ki Tambak Wedi, atau bekas perwira nara manggala Demak, guru
loring pasar.”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Itulah keputusannya untuk sementara. Ketika ia
memandang wajah Sedayu, timbullah kembali kejengkelannya terhadap anak itu. Apabila anak
itu memiliki keberanian, mereka berdua pasti akan dapat membunuh Tohpati meskipun dengan
perjuangan yang berat. Sebab ilmu Tohpati itu sendiri tidak terpaut banyak diatas ilmunya.
Namun Sedayu itu hanya pandai mengeluh, gemetar dan ia pasti akan mati ketakutan sebelum
tangannya mampu menarik pedang dari sarungnya.
Karena itu Widura tidak berkata sepatahpun kepada kemenakannya itu. Langsung ia memutar
tubuhnya dan melangkah kembali kekademangan.
Sedayupun kemudian cepat-cepat mengikutinya. Namun kini terasa olehnya bahwa pamannya
itu benar-benar marah kepadanya. Karena itu maka Sedayupun benar-benar menjadi bersedih
hati. Ia tidak berani berkata apapun kepada pamannya selain berjalan saja dibelakangnya.
Disepanjang jalan itu Widura sempat juga memikirkan kemenakannya itu. Bagaimana caranya,
sehingga ia dapat menguasai berbagai unsur gerak dan dapat menyusunnya dalam satu
gabungan yang serasi. Anak itu tidak pernah berbuat sesuatu selain duduk terpekur dan
bermain-main dengan rontal dan pensil. Tak pernah dilihatnya Agung Sedayu berlatih didalam
pringgitan yang tak begitu luas itu. Dan tak pernah dilihatnya Agung Sedayu meninggalkan
pringgitan selain apabila ia pergi mandi dan sesuci diri. Namun ia tidak mau menanyakannya. Ia
hanya ingin mencari pemecahan dengan caranya sendiri atas teka teki itu.
Demikian mereka sampai dikademangan, Widura langsung melepaskan pakaiannya dan
merebahkan dirinya dipembaringannya. Tak sepatah katapun yang diucapkan kepada Agung
Sedayu sehingga Agung Sedayu itupun menjadi semakin bersedih. Sekali-sekali ia sempat juga
untuk menilai diri. Dan kadang-kadang timbul juga pikiran dikepalanya untuk besok mengikuti
pertandingan memanah. “Paman marah karena aku tak ikut serta” katanya dalam hati. “atau
karena hal-hal yang lain, atau karena keseluruhannya”. Namun ia kembali menjadi ngeri
membayangkan akibat dari perlombaan itu. “Ah” katanya dalam hati pula “Biarlah paman marah
kepadaku. Ia tidak akan berbuat apa-apa selain berdiam diri. Tetapi akan berbedalah sikap
Sidanti itu”
Sedayupun kemudian mencoba melupakan semua itu. Karena kelelahan akhirnya iapun tertidur
pula dengan nyenyaknya.
Sebenarnya Widura belum juga tertidur. Ia berdiam diri, dan memang ia munggu
kemenakannya tertidur. Ia ingin tahu apa saja yang ditulis oleh Sedayu dalam rontal-rontalnya.
Apakah ada hubungannya dengan kemajuan ilmunya yang pesat itu. Perlahan-lahan Widura itu
bangun, dan perlahan-lahan pula ia membuka beberapa pakaian Sedayu yang diberikannya
olehnya. Didalam lipatan-lipatan pakaian itu ditemuinya beberapa helai rontal yang pernah
diminta oleh anak itu daripadanya.
Demikian Widura membuka halaman pertama dari rontal itu, demikian dadanya bergetar “Inilah
sebabnya” gumamnya seorang diri. Kini ia tahu benar, mengapa Agung Sedayu dapat maju
dengan cepatnya. Otak anak itu ternyata cerdas pula dalam penelaahan ilmu tata bela diri.
Didalam tubuhnya ternyata tersimpan pula darah ayahnya yang menyalakan keteguhan dan
ketrampilan jasmaniah. Namun, sayang betapa sayangnya. Hati anak itu belum terbuka.
Dinding yang mencengkam dirinya dalam bilik ketakutan belum dapat dipecahkannya.
Jadi apa yang dilakukan oleh Sedayu selama ini, sama sekali tidak menulis cerita-cerita atau
tembang dan kidung. Tetapi ia telah melukiskan beberapa unsur gerak. Mencobanya
menggabungkan unsur yang satu dengan yang lain, dan mencoba melukiskan pula cara-cara
untuk mempertahankan diri dan mengelak dari serangan-serangan yang keras.
Didalam rontal-rotal itu Widura melihat beberapa gambar dengan garis-garis arah dari setiap
gerakan. Digambarnya beberapa macam unsur gerak, kemudian digambarnya dibelakang
gambar-gambar itu, sebuah gambar yang lain dengan garis-garis arah untuk menggabungkan
gambar-gambar yang terdahulu.
“Hem” Widura menarik nafas dalam-dalam “Ternyata anak ini melatih diri dengan angan-
angannya selain latihan-latihan yang kami adakan di gunung Gowok. Itulah sebabnya aku
sering melihat unsur-unsur gerak yang tak aku ketahui darimana dipelajarinya”
Dan Widura itu tak jemu-jemunya melihat gambar-gambar yang dibuat oleh Agung Sedayu.
Suatu cara memperdalam ilmu yang jarang ditemuinya. Namun ternyata Agung Sedayu pandai
juga menggambar. Gambar-gambar yang dibuatnya ternyata sedemikian jelas. Sikap, gerak
dan tujuan-tujuan dari setiap gerakan sekaligus cara-cara untuk menghindarkannya.
Tetapi suatu hal yang tak dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Yaitu melatih untuk percaya
pada kekuatan dan ilmunya. Betapapun Agung Sedayu mengalami kemajuan yang pesat,
namun ilmu itu seakan-akan pohon yang subur namun tak berbuah.
Tiba-tiba timbullah pikiran didalam benak Widura. katanya dalam hati “Ah, biarlah pada suatu
kali, anak ini mengalami pertentangan yang tak dapat dihindari dengan Sidanti. Aku ingin
melihat apa yang akan dilakukan. Tetapi apabila sekali Agung Sedayu sempat mengayunkan
tangan atau kakinya, maka untuk melawan Sidanti itupun Agung Sedayu akan dapat bertahan
beberapa lama sampai saatnya aku memisahkannya. Namun dengan demikian, setidak-
tidaknya perkelahian itu akan berkesan bahwa keduanya memiliki ilmu yang seimbang.
Ternyata gerak dan cara bertahan anak ini mengagumkan juga. Apabila demikian, seterusnya
Agung Sedayu akan menjadi seorang yang jantan dan berani”
Kemudian dengan hati-hati pula rontal-rontal itu dimasukkannya kembali ketempatnya. Dan
dengan hati-hati pula Widura itu berdiri dan berjalan kepembaringannya, dan sesaat kemudian
pemimpin laskar Pajang yang sedang kebingungan itu tertidur pula.
Malam yang tinggal sepotong itu berjalan dengan tenangnya. Tohpati yang benar-benar telah
menyusup kedalam dinding perondan laskar Pajang, sebenarnyalah tidak berbuat sesuatu
selain keinginannya untuk mengetahui keadaan. Namun Macan Kepatihan itupun mengumpat
di dalam hatinya seperti Widura mengumpatinya. Katanya kepada kedua pengawalnya “Paman
Widura benar-benar seperti setan. Dalam keadaan apapun peronda-perondanya tak pernah
berlengah hati. Apakah mereka tidak terpengaruh oleh perlombaan yang akan diadakan besok?
Sayang, aku baru mendengar rencana perlombaan itu senja tadi, sehingga aku tak sempat
menyiapkan anak buahku. Seandainya aku mendapat waktu dua tiga hari saja, maka pada
saat-saat perlombaan itu aku akan dapat menggulungnya lumat-lumat.
Kedua pengawalnya tak dapat menjawab lain daripada menganggukkan kepala mereka. Sebab
dengan mata kepala mereka sendiri melihat dari kejauhan kesiagaan laskar Pajang yang
sedang bertugas di gardu-gardu peronda. Mereka melihat beberapa orang dari mereka berjalan
hilir mudik dimuka gardu sambil memegang tombak atau pedang-pedang mereka yang sudah
telanjang.
“Tetapi” berkata Tohpati kemudian kepada pengawalnya “mudah-mudahan setelah perlombaan
itu berakhir, laskar Sangkal Putung masih tenggelam dalam suasana itu, sehingga meskipun
sedikit mereka melupakan tugas-tugas mereka sehari-hari. Mudah-mudahan mereka tidak
mencium gerakanku kali ini seperti beberapa waktu yang lalu sehingga aku menjumpai
kegagalan yang menyedihkan.
“Persiapan kita akan sangat mudah sekali diketahui orang, sehingga petugas-petugas sandi
Pajang segera menciumnya” berkata salah seorang pengawalnya.
“Kita akan meninggalkan cara-cara yang pernah kita lakukan “ jawab Tohpati “aku akan
membawa kalian dan orang-orang kita masuk ke dalam hutan. Semua kekuatan yang terpencar
harus kita tarik. Semuanya akan berkumpul di dalam hutan yang akan aku tentukan. Dari sana
kita akan bergerak. Mudah-mudahan tak seorangpun yang mengetahuinya, kecuali diantara kita
ada pengkhianat atau justru orang-orang dari petugas-petugas sandi Pajang yang berhasil
masuk kedalam lingkungan kita.”
“Kemungkinan itu kecil sekali” sahut pengawalnya.
“Kau benar” berkata Tohpati pula. “Alu mengenal anak buahku satu per satu dengan baiknya.
Nah, kalau demikian, aku akan berbuat seperti paman Widura. Secepat-cepatnya sebelum
laskarnya terpencar kesegenap penjuru”
“Kapan kita adakan sergapan itu?” bertanya pengawalnya.
“Secepatnya” sahut Tohpati.
Kemudian mereka tidak bercakap-cakap lagi. Dengan hati-hati mereka berjalan didaerah
perondan laskar Pajang. Bahkan kadang-kadang mereka berhasil menyusup halaman-halaman
yang gelap dan mendekati tempat-tempat yang penting serta gardu-gardu perondan. Dengan
otak yang cemerlang, Tohpati dapat mengingat-ingat daerah-daerah yang sepi, yang dapat
dilaluinya untuk langsung mencapai jantung Sangkal Putung, meskipun masih diragukan
apabila Tohpati berjalan bersama dengan orang-orangnya dalam jumlah yang besar. Namun
Tohpati itu selalu mengulang-ulang rencananya. Dan ini adalah kesalahan yang terbesar yang
dibuatnya.
Sejak ia menginjakkan kakinya didaerah Sangkal Putung, rencana itu telah diucapkannya. Dan
ia sama sekali tidak tahu, bahwa seseorang yang sakti, dengan diam-diam mengikutinya. Dan
orang itu telah berhasil mendengar sebagian dari rencananya. Orang itu adalah Kiai Gringsing.
Karena itulah maka Kiai Gringsing segera pergi kemudian gunung Gowok. Ia takut apabila
Widura dan Sedayu berada disana, dan kemudian Tohpati itupun berjalan kesana pula.
Untunglah mereka tidak saling berpapasan. Apabila demikian maka pertempuran tak dapat
dihindarkan. Sedangkan Kiai Gringsing tahu benar bahwa Widura pasti harus bekerja sendiri
melawan tiga orang yang jauh berada diatas kemampuannya.
Dan semuanya itu telah berlalu. Widura telah tertidur nyenyak dikademangan Sangkal Putung,
dan Tohpatipun telah meningggalkan daerah yang akan dijadikan buruannya.
Menjelang fajar, Sangkal Putung telah menjadi riuh. Anak-anak telah bangun. Kebih-lebih lagi,
mereka yang akan ikut serta dalam perlombaan-perlombaan. Mereka mengenakan pakaian
mereka yang sebaik-baiknya. Menghias senjata-senjata mereka, dengan warna-warna yang
beraneka. Bagi mereka yang akan mengikuti sodoran, tidak saja pakaian mereka sendiri yang
mereka hias dengan berbagai keoncer-keloncer kain beraneka warna, namun kuda-kuda
merekapun mereka hias sebaik-baiknya. Ujung-ujung tombak mereka yang terbuat dari bola-
bola kayu itupun mereka hiasi dengan pita-pita berwarna. Ada pula diantara mereka yang
membuat kalung-kalung dari rangkaian-rangkaian bunga. Melati, menur dan sebagainya.
Mereka kalungkan rangkaian bunga itu dilehernya, dileher kuda-kuda mereka dan pada
senjata-senjata mereka.
Demikianlah hari itu Sangkal Putung ditandai dengan kesipbukan yang luar biasa. Hampir
segenap penduduk Sangkal Putung tumplak blak, mengunjungi lapangan dimuka banjar desa.
Mereka ingin menyaksikan anak-anak mereka, adik-adik mereka atau suami-suami mereka
yang ikut serta dalam perlombaan-perlombaan itu. Ternyata hari itu merupakan hari yang
sangat menggembirakan. Namun apabila ada diantara mereka yang mendengar bahwa
semalam Macan Kepatihan telah mengunjungi kademangan itu, mungkin suasananya akan
jauh berbeda.
Tetapi ternyata Widura mengetahuinya. Karena itu, justru ia telah memperkuat setiap sudut
kademangan. Dilengkapinya gardu-gardu peronda itu dengan kuda-kuda yang kuat dan
diperintahkannya untuk mengadakan perondaan keliling dengan kuda-kuda itu. “Jangan
seorang atau dua orang” pesannya kepada anak buahnya. “Pergilah berempat. Pergunakan
kuda yang sebaik-baiknya dan bawalah tanda-tanda bahaya yang dapat kau bunyikan setiap
saat dan disetiap tempat”
Perintah itu agak mengherankan bagi anak buahnya. Namun mereka hanya menyangka bahwa
karena didaerah Sangkal Putung sedang ada keramaian, maka penjagaanpun harus
diperkuatnya.
Demikianlah maka lapangan dimuka banjar desa itupun menjadi penuh dengan manusia.
Beberapa anak-anak muda telah menaiki kuda masing-masing dan berjalan melingkar-lingkar
ditengah-tengah lapangan. Beberapa orang diantaranya telah mencoba memacu kudanya dari
satu sudut ke sudut yang lain dengan tombak-tombak mereka ditangan. Dan sekali-sekali telah
terdengar pula sorak sorai penonton, apabila mereka melihat seorang anak muda yang tampan
bermain dengan manisnya diatas punggung kudanya. Tepuk tangan penonton itupun seakan-
akan meledak ketika mereka melihat Swandaru masuk kelapangan dengan tombak ditangan,
bumbung panah dilambung kudanya dan sebuah busur yang besar menyilang dipunggungnya.
Demikian ia memasuki lapangan, disendalnya kendali kuda putihnya, dan kuda itupun segera
nyirig. Berjalan miring dengan manisnya. Memang Swandaru itu benar-benar dapat menguasai
kudanya. Sekali lagi ia menarik kekang kudanya sambil menyentuh perut kuda itu, dan kuda
itupun segera nyongklang, berlari keliling lapangan.
Laskar Widura yang akan mengikuti perlombaan itu telah hadir pula. Namun bagi mereka
perlombaan yang boleh diikuti hanyalah perlombaan memanah. Meskipun demikian, untuk
melepaskan kejemuan mereka, banyak juga diantara mereka yang mengikutinya.
Widurapun kemudian hadir pula dilapangan itu bersama-sama dengan Ki Demang Sangkal
Putung. Dibelakang mereka berjalan Sedayu dengan kepala tunduk. Ketika para penonton
melihat kehadiran mereka, kembali tepuk tangan dan sorak mbata rubuh bergetar dilapangan
itu. Namun perlahan-lahan mereka dirayapi oleh berbagai pertanyaan didalam hati mereka.
Mereka tidak melihat Widura dan Agung Sedayu membawa busur dan anak panah, sehingga
kemudian mereka menjadi kecewa. Terdengar salah seorang penonton berbisik “Apakah
pahlawan itu tidak akan turut serta dalam perlombaan ini?”
Kawannya itu sebenarnya menjadi kecewa juga. Namun untuk menghibur hatinya sendiri ia
menjawab “Tak sepantasnya ia ikut dalam perlombaan yang sekecil ini. Mungkin ia akan ikut
serta apabila perlombaan semacam ini diadakan dialun-alun Pajang”
Kawannya yang bertanya itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban yang memang
masuk diakalnya.
Sesaat kemudian, Widura dan Ki Demang Sangkal Putung beserta Agung Sedayu telah duduk
ditempat yang telah disediakan. Pada saat matahari mulai memanjat langit, maka Widura
segera membuka perlombaan itu. Dengan sebuah kapak diputusnya tali yang mengikat
pemukul bende disudut lapangan. Kemudian seseorang yang telah ditentukan memungut
pemukul bende itu, dan dengan bunyi yang berdengung-dengung bende itu bergema. Sekali,
dua kali dan kemudian tiga kali.
Dengan diiringi oleh tepuk tangan yang seakan-akan memecahkan selaput telinga, maka
perlombaan segera dimulai. Beberapa orang anak buah Widura berjalan ketengah lapangan,
memimpin perlombaan-perlombaan bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan yang
pertama adalah perlombaan ketangkasan bermain pedang. Namun bukan sebenarnya pedang
yang dipergunakan. Tetapi mereka mempergunakan rotan dan perisai anyaman bambu.
Permainan ini benar-benar mengasyikkan dan menegangkan. Beberapa anak-anak muda yang
gagah telah turut serta mengambil bagian. Berganti-ganti. Satu dua telah terpaksa keluar dari
lapangan dengan kepala tunduk. Punggung dan dada mereka dilukisi oleh jalur-jalur merah biru.
Namun bagi mereka yang menang, jalur-jalur itu sama sekali tidak terasa pedihnya.
Sejalan dengan terik matahari yang semakin menyengat-nyengat tubuh mereka, maka
permainan itupun menjadi semakin sengit. Bahkan kemudian mencapai puncaknya ketika
diarena itu tinggal dua orang yang berhadapan untuk menentukan, siapakah diantara anak-
anak muda Sangkal Putung yang akan menjadi pemenang pertama dalam perlombaan itu.
Mereka adalah Swandaru Geni dan seorang anak muda yang gagah, bertubuh tinggi besar,
bernama Wisuda.
Sejenak kedua anak muda itu, Swandaru dan Wisuda saling berhadapan, maka tepuk tangan
dan sorak sorai membahana diudara Sangkal Putung.
Tiga orang anak buah Widura, Hudaya, Citra Gati dan Sonya telah memimpin pertarungan yang
sengit itu. Dengan seksama mereka memperhatikan setiap gerak, setiap sabetan rotan dan
setiap sentuhan rotan itu ditubuh mereka. Pukulan-pukulan yang mendapat hitungan adalah
pukulan-pukulan yang mengenai tubuh dibagian atas perut tetapi dibagian bawah leher.
Demikian pertarungan itu berjalan dengan serunya. Wisuda bertubuh tinggi dan besar, sedang
Swandaru lebih pendek dan bulat. Meskipun demikian ternyata tenaga Swandaru jauh lebih
kuat dari tenaga lawannya. Apabila rotan-rotan mereka berbenturan, tampaklah bahwa tenaga
Swandaru selalu berhasil mendorong tenaga lawannya.
Ketika bende berbunyi, maka pertarungan itupun berhentilah. Suasana menjadi tegang ketika
para penonton menunggu Citra Gati mengumumkan pemenangnya. Dan demikian Citra Gati
maju selangkah, maka lapangan yang penuh dengan manusia itu seakan-akan sama sekali tak
berpenghuni. Setelah mencocokkan hitungan masing-masing maka berkatalah Citra Gati
“Ternyata yang akan menjadi pahlawan dalam permainan ini adalah anak muda yang bulat
pendek, bernama Swandaru”
Langit seakan-akan runtuh diatas mereka karena sorak para penonton. Namun Swandaru tidak
puas dengan sebutan itu. Katanya membetulkan namanya “Sebutlah selengkapnya paman,
Swandaru Geni”
Citra Gati tersenyum. ketika ia mengulang nama itu, tak seorangpun yang mendengarnya,
karena suara riuh dari pada penonton itu sendiri.
Sidanti yang melihat sambutan yang sedemikian hangatnya atas pahlawan anak-anak muda
Sangkal Putung itu mencibirkan bibirnya. Katanya dalam hati “Swandaru itu pasti akan menjadi
bertambah sombong. Aku ingin sekali lagi mengajarnya untuk merasakan bahwa apa yang
dicapainya itu belum semenir dibanding dengan ilmuku. Sayang tak ada kesepatan bagi anak
buah laskar Pajang untuk melakukannya”
Perlombaan yang berikut adalah sodoran. Dengan duduk dipunggung kuda mereka
mempertunjukkan ketrampilam mereka bermain tombak yang ujungnya dibuat dari bola-bola
kayu. Permainan ini tak kalah menariknya. Diantara sorak kekaguman ada pula yang terpaksa
menerima ejekan-ejekan para penonton, karena sebelum mereka sempat mempertunjukkan
keahlian mereka, ternyata mereka telah jatuh terpelanting dair kuda-kuda mereka.
Dalam perlombaan ini sekali lagi Swandaru merajai lapangan dimuka banjar desa itu. Kuda
putihnya seakan-akan tahu benar apa yang harus dilakukan untuk membantu tuannya. Dan
karena itulah maka sekali lagi para penonton menyorakinya sebagai pahlawan yang lengkap
dari anak-anak muda Sangkal Putung.
Ki Demang yang duduk disamping Widura itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
berbangga atas hasil yang dicapai anaknya. Usahanya melatih dan menempa anaknya tidaklah
sia-sia. Mudah-mudahan untuk seterusnya anaknya mendapat bimbingan dan latihan yang
lebih baik daripada apa yang pernah dicapainya.
Widurapun tampak tersenyum-senyum diantara sorak para penonton. Namun sekali-sekali ia
mengedarkan pandangannya kesegenap sudut. Diantara perhatiannya atas permainan-
permainan itu, diam-diam ia berusaha untuk melihat, apakah Kiai Gringsing berada diantara
para penonton yang sekian banyaknya. Tetapi Widura itu kemudian menjadi kecewa. Adalah
mustahil untuk menemukan seorang diantara sekian banyak orang, apalagi orang itu belum
dikenalnya. Sudah tentu Kiai Gringsing tidak akan mengenakan topengnya, dan sudah tentu
pula ia tidak akan memakai kain gringsingnya. Seandainya dapat dijumpainya seseorang
memakai kain gringsing, bukanlah jaminan bahwa orang itu adalah Kiai Gringsing, sebab kain
gringsing memang banyak digemari orang.
Permainan yang terakhir adalah permainan yang paling menggemparkan. Panahan. Dan
panahan ini diikuti pula oleh anak buah Widura. bahkan seorang anak muda yang sudah lama
dikagumi di Sangkal Putung turut pula mengambil bagian. Sidanti. Namun para penonton itu
menjadi kecewa ketika mereka benar-benar melihat, bahwa Agung Sedayu tidak ikut serta
dalam perlombaan. Apa yang mereka nantikan, dan juga sebenarnya dinantikan oleh anak
buah Widura sendiri, adalah pertandingan yang akan berlangsung seru antara Sidanti dan
Agung Sedayu. Namun mereka benar-benar menjadi kecewa. Bahkan ada diantara mereka
yang mulai dirayapi oleh berbagai pertanyaan tentang Agung Sedayu. Apakah sebenarnya
anak muda itu mampu berbuat sesuatu?
Swandaru dan Sekar Mirahpun menjadi kecewa pula karenanya. Dengan wajah bersunguut-
sungut Swandaru menyelinap diantara mereka dan menggamit Agung Sedayu pada lengannya.
Katanya berbisik “Apakah tuan tidak ikut serta?”
Dada Agung Sedayu berdesir. Namun kemudian dengan lemahnya ia menggeleng. Katanya
“Tidak Swandaru”
Widura mendengar pertanyaan itu. Namun sengaja berpalingpun tidak. Sebenarnya Widura
sendiri menjadi sangat kecewa bahwa Agung Sedayu tidak mau ikut serta dalam pertandingan
ini.
Sesaat kemudian berjajarlah mereka yang akan mengambil bagian dalam perlombaan ini. Tidak
terkecuali, anak buah Widura. diantaranya Sidanti yang dengan tersenyum-senyum memasuki
lapangan. Betapa kecewa anak muda itu, melampaui semuanya setelah ia mengetahui pula
bahwa Agung Sedayu tidak ada diantara para pengikut perlombaan.
Dihadapan mereka tergantung lesan yang harus mereka kenai. Sasaran itu dibuat dari sabut
kelapa yang dibalut dengan kain. Dan dibagi menjadi empat bagian. Kepala, sekecil telur angsa,
leher, yang agak cukup panjang, badan lebih besar dan panjang dari leher dan yang terakhir
bandul sebesar jeruk bali.
Sasaran yang berupa orang-orangan kecil itulah yang akan menentukan siapakah diantara para
pengikut yang paling pandai membidikkan panahnya.
Ketika bende berbunyi, maka perlombaan itupun dimulailah. Setiap pengikut memiliki lima buah
anak panah. Dan oleh kelima buah anak panah itu maka akan diambil nilai tertinggi diantara
mereka. Apabila anak panah mereka mengenai kepala, maka berarti mereka akan mendapat
lima buah nilai. Leher tiga nilai dan badan dua nilai. Sedangkan apabila pana mereka mengenai
bandul, maka apabila mereka telah mendapat nilai, maka nilai itu akan gugur tiga nilai.
Sesaat kemudian meluncurlah anak panah yang pertama diikuti oleh sorak para penonton.
Namun sayang, panah itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Disusul dengan anak panah
yang kedua, ketiga. Namun ketiga anak panah itu menyentuh sasaranpun tidak. Penonton
bersorak-sorak kembali ketiga anak panah yang keempat kemudian tepat mengeni leher
sasaran. Tiga nilai.
Maka penontonpun berteriak-teriak pula “Tiga, tiga”
Penonton mejadi tegang ketika meluncur anak panah yang kelima. Dan meledaklah sorak para
penonton. Bukan karena mereka menjadi kagum anak panah itu, mereka tertawa geli, karena
anak panah itu mengenai bandul.
“Habis, habis” teriak mereka. Dan tiga nilai yang didapatnya dari panah keempat itupun menjadi
habis karena dengan mengenai bandul itu, maka berarti tiga nilai digugurkan.
Orang yang pertama itu sambil menundukkan kepalanya terpaksa berjalan keluar lapangan.
Namun iapun menjadi geli juga. karena itu, sempat juga ia tersenyum-senyum sendiri.
Maka kemudian majulah orang kedua, ketiga, keempat. Namun tak seorangpun yang dapat
menggemparkan penonton karena bidikan-bidikannya yang tepat. Sekali dua kali ada juga
diantara mereka yang mengenai sasaran. Namun diantara lima anak panah itu, maka paling
banyak dua diantaranya yang dapat mengenai sasarannya.
Ketika kemudian sampai pada giliran Swandaru maju dengan anak panahnya, maka
penontonpun menjadi gempar pula. Swandaru telah dapat merampas hati penonton dengan
dua kemenangan berturut-turut didalam arena pertandingan itu. karena itu, maka diantara
penonton itupun mengharap pula, agar kali ini, Swandaru akan dapat setidak-tidaknya tidak
mengecewakan mereka.
Sebenarnyalah, maka anak panah yang pertama yang dilepaskan oleh Swandaru benar-benar
telah menggemparkan penonton. Meskipun tidak mengenai kepala, namun sekali bidik
Swandaru telah mengguncangkan sasaran dengan mengenai bagian badannya. Kegemparan
penonton menjadi semakin riuh, ketika panah Swandaru yang kedua dapat mengenai leher.
Ketika Swandaru menarik tali busurnya yang ketiga kalinya, maka terdengarlah suara riuh
disekitar arena “Naik sedikit Swandaru, naik sedikit”
Dan meledaklah sorak para penonton seakan-akan memecahkan selaput telinga ketika anak
panah Swandaru itu benar-benar mengenai kepala sasaran.
Swandaru itupun kemudian berhenti sesaat. Setelah menarik nafas dalam-dalam, maka sekali
lagi lapangan itu diguncangkan oleh tepuk sorak yang gemuruh. Sekali lagi anak panah
Swandaru mengenai kepala. Namun para penonton itu menjadi kecewa ketika anak panah
Swandaru yang kelima yang terbang dari busurnya dengan kecepatan penuh, hanya
menyentuh saja kepala sasaran, namun tidak hinggap padanya, sehingga dengan demikian,
anak panah itu dianggap tidak mengenai sasarannya.
Swandaru itu memandangi anak panah yang kelima dengan penuh penyesalan. Katanya sambil
bertolak pinggang “He, kenapa kau tidak mau berpaling sejari saja. Kalau kau berpaling sedikit
saja, maka anak panah itu akan hinggap dikepalamu”
Namun kemudian telah terdengar bende untuk pengikut berikutnya. Kini mulailah anak buah
Widura dengan perlombaan itu. Namun ada pula diantaranya yang tidak lebih tepat dari anak-
anak muda Sangkal Putung. Sendawa misalnya. Betapa pandai ia mengayun-ayunkan
kelewangnya, namun ternyata ia bukan pembidik yang tepat, ia dapat mengenai perut lawannya
dimedan-medan pertempuran. Namun perut orang jauh lebih besar dari seluruh tubuh orang-
orangan yang harus dikenainya sebagai sasaran.
Tetapi ternyata Hudaya ada pemanah yang baik. Sejak ia melepaskan anak panahnya yang
pertama, maka ia telah menggemparkan lapangan itu. Anak panahnya yang pertama ternyata
langsung mengenai kepala sasaran. Demikianlah anak panahnya yang kedua. Ketika ia merik
busurnya untuk yang ketiga kalinya dengan berdebar-debar penonton menanti. Dan sekali lagi
meledaklah sorak yang gemuruh. Panah ketiga itupun mengenai kepala sasaran pula.
Demikianlah para penonton menjadi semakin tegang. Sekali lagi para penonton berteriak-teriak
sekuat-kuatnya ketika anak panah yang keempatnya hinggap dikepala. Dengan demikian
ketegangan diarena itu menjadi semakin memuncak. Keempat anak panah yang telah
memenuhi kepala orang-orangan itupun dicabutlah untuk memberi tempat seandainya anak
panah yang kelima inipun akan mengenainya pula. Dan lapangan itu seakan-akan menjadi
benar-benar runtuh ketika penonton menyaksikan anak panah kelima yang lepas dari busur
Hudaya. Anak panah itupun tepat pula mengenai kepala orang-orangan itu. Sehingga dengan
demikian pemanah itupun telah menunjukkan kesempurnaan bidikannya. Bukanlah karena
kebetulan ia dapat mengenai kepala sasaran. Namun sebenarnyalah memang Hudaya adalah
pembidik yang baik.
Ketika kemudian terdengar bende berbunyi, masuklah Citra Gati ketengah-tengah lingkaran.
Dengan tersenyum-senyum ia memberi ucapan selamat kepada Hudaya, katanya “Hudaya,
ternyata kau tidak memberi aku tempat. Apa yang dapat kau kerjakan? Tak ada yang dapat
berbuat lebih baik daripadamu”
Hudaya itupun tersenyum pula. Namun ia tidak menjawab. ketika ia bergeser dari tempatnya, ia
terkejut ketika ia melihat mata Sidanti menyala-nyala.
Ternyata Sidanti tidak rela melihat kecakapan Hudaya membidikkan anak panahya. Sambutan
rakyat Sangkal Putung atas kemenangannya itupun tak menyenangkannya. Tetapi ternyata
Hudaya itu tak menghiraukannya. Ia langsung berjalan kembali ketempatnya. Berdiri dalam
jajaran para peserta untuk melihat bagaimana hasil bidikan kawan-kawannya yang lain.
Dan ternyata Citra Gati itupun tidak mengecewakan. Dengan tersenyum ia menarik busurnya
untuk yang pertama kalinya. Ketika anak panahnya terlepas, maka dengan tegangnya ia
mengikutinya dengan pandangan matanya. Ia tersenyum pula ketika didengarnya sorak
penonton. Anak panah itupun hinggap dikepala. Demikianlah anak panahnya yang kedua,
ketiga dan keempat. Lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Ketika ia memasang anak
panahnya yang kelima, Citra Gati berpaling kepada Hudaya. Dilihatnya Hudaya tertawa dan
berkata “Ayo panahmu tinggal satu. Nilaimu tak akan melampaui nilaiku. Tak mungkin kau
dapat membidik kepala orang-orangan itu hingga enam kali”
“Berilah aku anak panah satu lagi” sahut Citra Gati.
Hudaya tidak menjawab. Hanya telunjuknyalah yang menunjuk ke orang-orangan diujung
lapangan.
Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Panah-panahnya yang lain telah dicabut pula. Dan kini
ia membidikkan anak panahnya yang kelima.
Sekali lagi lapangan itu menjadi gempar. Tidak saja sorak yang membahana, namun beberapa
orang yang todal dapat mengendalikan perasaannya telah melemparkan bermacam-macam
benda keudara. Tutup kepala, tongkat-tongkat dan bahkan kain yang dipakainya. Anak panah
Citra Gati yang kelimapun tepat mengenai sasara. Kepala.
Hudayapun kemudian berlari-lari mendapatkan sahabatnya itu. Sambil memberi salam ia
berkata “Terlalu. Kau tak mau kalah satu nilaipun daripadaku”
Citra Gati tidak menjawab. perlahan-lahan ia bergeser dari lingkaran pembidik.
Kini sampailah giliran yang terakhir. Demikian anak muda itu berjalan ketengah-tengah
lingkaran, maka para penontonpun telah menyorakinya. Dengan tersenyum anak muda itu
melambaikan tangannya. Namun senyum itu tidak begitu cerah seperti senyumnya semalam,
pada saat ia mengenangkan kemenangan yang bakal dicapainya. Anak muda itu adalah Sidanti.
Ia sama sekali tidak mencemaskan dirinya. Ia yakin bahwa kelima anak panahnya akan tepat
mengenai sasaran. Namun betapapun demikian, maka Hudaya dan Citra Gati itupun dapat
berbuat seperti apa yang akan dilakukan. Sehingga hal itu pasti akan mengurangi kebesaran
namanya. Meskipun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hudaya dan Citra Gati telah
melakukannya.
Dan apa yang diyakini itu benar-benar terjadilah. Sidanti tidak memerlukan waktu terlalu lama
seperti Hudaya dan Citra Gati. Itulah kemenangannya yang dapat ditunjukkan kepada orang-
orang Sangkal Putung. Ia hanya memerlukan saat yang pendek. Memasang, menarik sanbil
mengangkat busur, kemudian seakan-akan tanpa membidik, maka anak panah itupun meluncur
menuju sasaran. Dan adalah mentakjubkan sekali. Anak panah itu seolah-olah mempunyai
mata, sehingga dengan langsung hinggap dikepala orang-orangan.
Orang-orang Sangkal Putung itu benar-benar tak dapat menahan diri lagi. Mereka berloncat-
loncatan dan seperti orang yang kehilangan akal kesadaran menari-nari sambil berteriak-teriak
keras-keras.
Dengan sebuah senyuman yang kecil Sidanti mengambil anak panahnya yang kedua. Anak
panah inipun menggemparkan para penonton pula. Sekali Sidanti mengerling kearah Sekar
Mirah yang duduk tidak jauh dari Ki Demang Sangkal Putung. Dilihatnya wajah gadis itu
menjadi tegang. Namun tiba-tiba ketika ia melihat anak panah Sidanti hinggap disasarannya,
dengan serta-merta iapun bertepuk tangan sekeras-kerasnya.
Namun ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, Sidanti menjadi agak kecewa. Anak muda
itu memandang anak panahnya dengan pandangan yang kosong. Ia bertepuk tnagan karena
orang-orang lain bertepuk tangan. Tetapi tak ada kesan kekaguman memancar diwajahnya.
“Persetan dengan anak itu” gerutunya didalam hati. “Namun adalah suatu kenyataan ia tidak
berani turun kearena”
Sidanti puas dengan kata-kata diangan-angannya. Kembali ia memandang sasarannya, dan
kembali anak panahnya mematuk kepala. Demikianlah maka kegemparan meledak sejadi-
jadinya dilapangan itu ketika panah Sidanti yang kelima hinggap tepat dikepala orang-orangan
itu pula.
Ketika sorak sorai orang-orang Sangkal Putung itu telah mereda, maka Widura tampak berdiri
dan melangkah maju kearena. Betapapun isi dadanya, namun ia memberikan ucapan selamat
pula kepada Hudaya, Citra Gati dan Sidanti. Kemudian dengan nyaring ia berkata “Kita masih
harus memilih satu diantara ketiga-tiganya. Kini lepaskanlah sasaran itu. Gantungkan dengan
tali yang agak panjang. Terbalik. Kepalanya dibawah. Dan apabila tanda berbunyi, ayunkan
orang-orangan itu. Nah, ketiga-tiganya mendapat kesempatan yang sama. Membidikkan anak
panahnya pada waktu yang bersamaan. Masing-masing dengan tiga buah anak panah, dalam
hitungan sampai angka kelima belas”
Hudaya dan Citra Gati tertawa masam. Terdengar Hudaya berbisik “Sekarang aku harus
mengaku kalah. Kalau ada satu saja anak panahku yang hinggap, ambillah nilainya”
“Kita tidak sedang membagi makan. Ambillah angkamu untukmu. Atau barangkali dapat kau
simpan untuk perlombaan yang akan datang” sahut Citra Gati.
Keduanya kemudian terdiam. Mereka melihat beberapa orang sedang menggantungkan
sasaran dengan tali yang cukup panjang. Kemudian mereka menerima tiga anak panah
masing-masing. Dan ketika bende berbunyi, mereka harus sudah siap berdiri pada satu baris
lurus menghadap orang-orangan yang telah siap untuk diayunkan.
Sesaat kemudian sasaran itupun telah dilepaskan. Terayun-ayun seperti buaian tertiup angin
yang kencang.
Hudaya, Citra Gati dan Sidanti berdiri dengan tegangnya. Sedang Sidanti tampak tersenyum-
senyum kecil. Kali ini ia yakin, bahwa ia akan memenangkan pertandingan ini.
Penonton benar-benar menjadi tegang ketika terdengar Widura mulai dengan hitungannya
“Satu, dua, tiga, ………..”
Panah yang pertama lepas adalah anak panah Sidanti. Anak panah itu benar-benar seperti
mempunyai mata. Meskipun sasarannya masih juga terayun-ayun, namun anak panah Sidanti
tepat mengenai kepala. Dan lapangan itupun menjadi semakin gemuruh pula.
“Uh” geram Hudaya, ketika ia melihat ayunan orang-orangan itu dan menjadi goyah karena
anak panah Sidanti. “Makin sulit” gerutunya. Citra Gati tidak menyahut. Ia membidik dengan
cermatnya, dan anak panahnya yang pertama terbang seperti dikejar setan. Dan sorak
dilapangan itupun membahana pula. Kali ini Citra Gatipun tepat mengenai kepala sasaran.
Belum lagi sorak itu berhenti, maka seolah-olah disusul pula dengan ledakan tepuk tangan
yang tak kalah kerasnya. Panah Hudayapun menyusul kedua anak panah yang mendahuluinya.
Kepala.
Citra Gati menyeringai. “Setan kau Hudaya” gumamnya.
Namun Hudaya hanya tersenyum saja. Tetapi segera senyumnya lenyap ketika terdengar para
penonton berteriak-teriak seperti orang mabuk. Panah kedua Sidanti tepat mengenai
sasarannya pula.
Kini sasaran itu terayun berputaran tidak menentu. karena itu, para pemanah itu menjadi
semakin sulit. Hudaya masih membidkkan anak panahnya. Namun anak panah Citra Gati lah
yang terbang lebih dulu. Yang terdengar adalah pekik penyesalan. Anak panah Citra Gati itu
hanya menyentuh kepala sasaran, namun karena kepala sasaran itu goyah, dan padanya telah
melekat beberapa anak panah, maka anak panah Citra Gati itu meloncat dan jatuh beberapa
langkah dari orang-orangan itu.
“Gila” teriak Citra Gati diluar sadarnya. Dan ia mengumpat kembali ketika ia mendengar sorak
gemuruh para penonton seperti akan meruntuhkan gunung Merapi. Anak panah Sidanti yang
ketiga telah hinggap dikepala orang-orangan itu pula.Hudaya menggeram. Ia belum
melepaskan anak panahnya yang kedua. Dengan memgigit bibirnya, anak panah itu berlari
kencang sekali. Namun sekali lagi penonton menyesal karenanya.
Anak panah itu mengenai anak panah yang lain pula, yang telah lebih dahulu hinggap pada
sasaran itu. Anak panah itupun tak dapat hinggap pula dan jatuh terpelanting beberapa langkah
jauhnya.
Pada saat itu Citra Gati telah mengangkat busurnya. Namun sasaran itu bergerak-gerak tak
keruan. Kini tak ada lagi harapan baginya untuk mengenai kepala, sebab kepala sasaran itu
seolah-olah telah penuh dengan anak panah yang bergoyang-goyang pula. hana pembidik-
pembidik yang luar biasa sajalah yang akan dapat mengenainya. Karena itu Citra Gati
membidikkan anak panahnya keleher sasaran. Namun tiba-tiba betapa ia menjadi kecewa.
Hudayapun kecewa bukan buatan. Belum lagi mereka sempat melepaskan anak panah mereka
yang ketiga terdengar Widura mengucapkan hitungan yang terakhir “Lima belas……” dan
terdengarlah bende berbunyi dengan nyaringnya.
Hitungan yang terakhir itupun disambut dengan pekik sorak dari para penonton. Mereka
berteriak-teriak menyebut nama Sidanti. Dan Sidanti itupun kemudian melangkah maju
ketengah-tengah lapangan sambil melambaikan tangannya.
Anak muda itu menjadi semakin bergembira ketika ia melihat Sekar Mirah seperti anak-anak
yang melonjak-lonjak sambil mengacungkan ibu jari kepadanya.
“Nah, lihatlah” kata Sidanti dalam hatinya “Apa yang dapat dilakukan oleh Sedayu itu. Ternyata
tidak lebih dari seorang perempuan cengeng yang hanya dapat bersembunyi dipunggung
pamannya”
Hudaya masih berdiri ditempatnya, dan Citra Gatipun masih berada disampingnya pula.
terdengar kemudian Hudaya berkata “Aku benar-benar tidak membutuhkan nilai itu. Ambillah.
Kau akan menjadi pemenang kedua”
Citra Gati tersenyum. ia tidak menjawab kata-kata Hudaya. Namun katanya “Lihatlah betapa
sombongnya anak muda itu”
“Biarkanlah ia berbuat demikian” sahut Hudaya. “Coba kau mau apa? bukankah kau dapat
dikalahkan dengan jujur?”
”Aku tidak mau apa-apa” jawab Citra Gati “Aku benar-benar kalah. Tetapi bagaimana dengan
Agung Sedayu?”
Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya “aku menjadi agak kecewa. Mungkin ia
mempunyai perhitungannya sendiri. Kalau ia menang maka tak ada kekaguman apapun
padanya. Adalah lumrah ia dapat memenangkan pertandingan sekecil ini. Tetapi kalau ia
dikalahkan Sidanti, maka namanya akan menjadi surut”
Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling, ternyata
sebagian dari para penonton telah meninggalkan lapangan itu. Tak ada hadiah yang akan
diberikan, namun Ki Demang Sangkal Putung akan menyiapkan pesta dengan memotong
beberapa ekor lembu bagi kemenangan anaknya dan kemenangan Sidanti.
Citra Gati itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Sidanti dan Sekar Mirah sedang
bercakap-cakap dengan asiknya. Ketika sekali ia memandang Agung Sedayu, dilihatnya anak
muda itu menundukkan wajahnya.
Sesaat kemudian Widura dengan resmi menutup pertandingan itu. Disebutnya para
pemenangnya yang disambut dengan sorak yang gemuruh. Swandaru bagi anak-anak muda
Sangkal Putung ternyata merupakan pemenang dalam segala lapangan. Sedangkan bagi anak
buah Widura sendiri, Sidantilah yang menjuarainya.
Namun dalam pada itu, kekecewaan dihatinya terhadap Agung Sedayu kini benar-benar telah
sampai kepuncaknya. Ia melihat kekecewaan pada beberapa orang lain. Dan ki Demang itupun
telah bertanya kepadanya, kenapa Agung Sedayu tidak bersedia turut serta meramaikannya.
karena itu, demikian ia selesai dengan kata penutupnya, ia sama sekali tidak berkata apapun
kepada Sedayu. Langsung ia pergi meninggalkan lapangan itu dengan kepala tunduk.
Beberapa anak buahnya segera mengikutinya dibelakang. Ki Demangpun berjalan pula
disampingnya. Katanya “Dimanakah angger Sedayu?”
“Masih dibelakang kakang “ sahut Widura kosong.
Ki Demang itupun berpaling. Dilihatnya Sidanti berjalan bersama Sekar Mirah dan dilihatnya
Sedayu masih berada ditempatnya bersama Swandaru.
Tetapi Ki Demang itu tidak bertanya lagi. Betapapun juga dirasakannya sesuatu berdesir
didadanya. Sebagai seorang ayah, Ki Demang prihatin atas pilihan anak gadisnya. Karena
sikap Sekar Mirah itu, maka pada suatu saat dapat terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Sebagai
seorang yang telah cukup usianya, ia tahu benar apa yang tersembunyi didalam hati Agung
Sedayu dan Sidanti. Tetapi ia belum dapat berbuat sesuatu. Dan memang sedang
dipikirkannya, bagaimana ia dapat mengendalikan gadis itu.
Agung Sedayu melihat arus manusia itu dengan berdebar-debar pula. lapangan itu seakan
akan sebuah telaga yang mengalir kesegenap penjuru, semakin lama menjadi semakin kering,
sehingga akhirnya tinggallah beberapa orang saja yang masih hilir mudik dilapangan itu.
“apakah tuan akan kembali?” bertanya Swandaru kepada Sedayu.
Sedayu mengangguk “Ya’jawabnya singkat. Tetapi ia masih duduk ditempatnya.
“Marilah” ajak Swandaru.
Agung Sedayu memandang berkeliling untuk sesaat. Kemudian iapun berdiri. Katanya
“Sebentar Swandaru, apakah kau tergesa-gesa?”
“Tidak” jawab Swandaru. “Tetapi apakah ada sesuatu yang penting dilapangan ini?”
Sekali lagi Swandaru memandang berkeliling. Orang-orang yang bertugas membersihkan
lapangan itupun telah hampir selesai dengan pekerjaannya. Dan sesaat kemudian lapangan
itupun benar-benar telah sepi.
Tiba-tiba terdengarlah Swandaru itu bertanya “Tuan, kenapa tuan tidak ikut dalam perlombaan
ini?”
Sedayu menggeleng lemah “Tidak Swandaru”
“Aku muak melihat kesombongan Sidanti. Dan aku muak pula melihat Sidanti,” berkata
Swandaru pula. “Biarlah nanti dirumah aku hajar perempuan itu”
“Jangan Swandaru” cegah Sedayu. “Tak ada gunanya. Biarlah ia berbuat apa saja yang
disukainya”
Swandaru terdiam. Namun ia menjadi heran. Sedayu masih belum beranjak dari tempatnya
“Apakah yang tuan tunggu?” ia bertanya.
Sekali lagi Sedayu memandang berkeliling. Lapangan oi telah benar-benar menjadi sepi. Hanya
satu dua orang saja yang masih sibuk melipat tikar dan beberapa perlengkapan.
“Swandaru” berkata Agung Sedayu lirih. Namun kemudian kata-katanya terputus, dan ia
menjadi ragu-ragu.
Swandaru memperhatikan wajah Agung Sedayu dengan seksama. Setelah beberapa lama
Agung Sedayu berdiam diri, maka bertanyalah Swandaru “Apakah yang akan tuan katakan?”
Sekali lagi pandangan mata Agung Sedayu beredar. Kemudian katanya “apakah aku dapat
meminjam panahmu itu?”
“Apakah yang akan tuan lakukan?” bertanya Swandaru.
“Aku ingin berlatih memanah, supaya lain kali aku dapat ikut serta dalamplb-perlombaan seperti
ini”
“Sekarang?”
“Ya”
“Apakah tuan belum pandai memanah?”
Agung Sedayu menggeleng. “Belum Swandaru”
Swandaru menarik nafas. Ia benar-benar kecewa mendengar pengakuan itu. karena itu ia
bertanya “Apakah tuan berkata sebenarnya?”
“Apakah kau sangka aku pandai memanah?” bertanya Agung Sedayu.
“Tuan adalah anak muda yang kami kagun=mi. ataukah mengkin tuan hanya pandai bertempur
dalam jarak yang pendek? Dengan pedang dan tombak?”
“Entahlah Swandaru. Cobalah lihat, bagaimanakah penilaianmu atas diriku”
Swandaru tidak menjawab. dengan tergesa-gesa ia melepaskan busur yang menyilang
dipunggungnya/ dan diambilnya anak panahnya dari bumbung dilambung kuda putihnya. “Inilah
tuan” katanya. “Namun berlatih memanah bukanlah dapat dilakukan sehari dua hari”
“Itulah sebabnya kau mulai dari sekarang”
Swandaru tidak menjawab. ia menjadi tegang ketika ia melihat Sedayu memegang busur dan
anak panahnya.
“Swandaru” berkata Sedayu “Aku akan mencoba mengenai sasaran yang masih bergantung itu.
Tolong, ayunkanlah seperti pada saat perlombaan tadi”
Swandaru menjadi heran. Kalau Agung Sedayu masih ingin belajar, mengapa sasaran itu harus
diayunkannya? Tetapi ia tidak menjawab. Ia berjalan saja kearah sasaran yang masih
tergantung terbalik itu. Ditariknya orang-orangan itu dan kemudian dilepaskannya seperti pada
saat perlombaan kedua antara Hudaya, Citra Gati dan Sidanti.
Tetapi Swandaru menjadi bertambah heran ketika ia melihat Agung Sedayu menggelengkan
kepalanya. Dengan tangan Agung Sedayu memberi isyarat, supaya Swandaru mempercepat
ayunan orang-orangan itu.
“Aneh”” pikir Swandaru “Apakah yang akan dilakukannya?”
Kini Swandaru itupun tidak bertanya. Ditariknya orang-orangan itu semakin jauh, dan kemudian
sasaran itu tidak saja dilepaskan namun didorongnya sehingga ayunannya menjadi bertambah
cepat.
Tetapi kemudian Swandaru itu melihat Agung Sedayu melambaikan tangannya memanggil.
Berlari-lari kecil Swandaru pergi mendekati Agung Sedayu, katanya setelah ia berdiri disamping
anak muda itu “Nah, sekarang apakah yang akan tuan lakukan?”
“Swandaru” berkata Agung Sedayu “Apakah yang harus aku kenai?”
“Terserahlah kepada tuan” jawab Swandaru. “namun dalam perlombaan-perlombaan,
kepalanyalah yang diangap mempunyai nilai tertinggi”
Sedayu tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia mengangkat busurnya, sedang Swandaru
memandanginya dengan wajah yang tegang.
“Aku akan mengenainya dari atas berturut-turut” berkata Agung Sedayu. “Mulai dari bandul,
kemudian badan, leher dan yang terakhir kepala”
Swandaru tidak menjawab. Meskipun untuk mengenai kepala sasaran itu cukup sulit, namun
mengenai semua bagian berturut-turut menurut rencana itupun bukan pekerjaan yang mudah.
Apalagi ia belum pernah melihat, apakah Sedayu itu benar-benar dpat membidikkan panahnya.
Tetapi kemudian Swandaru itupun terpaku melihat anak panah Sedayu. Anak panah yang
pertama itu laju dengan cepatnya, dan seperti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu, anak
panah itu mengenai bandulnya tepat ditengah-tengah.
“Tuan” berkata Swandaru dengan serta-merta. “Ternyata tuan tidak sedang belajar memanah.
Tuan dapatmengenai sasaran yang tuan bidik dengan tepat”
“Aku akan mencoba mengenai badannya” sahut Sedayu. Namun ia meneruskan kata-katanya
“Tetapi kau harus berjanji”
“Apakah yang harus aku janjikan?”
“Jangan berkata kepada siapapun tentang apa yang akan kau lihat”
Swandaru mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak mengerti sikap Agung Sedayu.
Apakah ia sedang merahasiakan sesuatu? Seandainya ia mempunyai cara yang khusus,
supaya cara itu tidak dapat ditiru oleh orang lain, apakah salahnya kalau ia mengatakan
hasilnya saja? Meskipun demikian, namun Swandaru itu mengguk kosong sambil menjawab
“Baiklah tuan”
“Kau berjanji?”
“Ya”
“Bagus” sahut Sedayu. Dalam pada itu ia telah mengangkat busurnya kembali. Dan panahnya
yang kedua itupun benar-benar mengenai bagian badan dari orang-orangan yang masih saja
terayun-ayun itu.
“Luar biasa” desis Swandaru. “Tuan benar-benar mengherankan. Tuan membidik bandul, anak
panah tuan hinggap dibandul. Tuan membidik badan dan anak panah tuan hinggap dibadan.
Sekarang tuan akan mengenai lehernya, bukan begitu?”
“Aku akan coba” jawab Sedayu. Namun demikian ia selesai mengucapkan kata-katanya,
demikian anak panahnya terbang menuju sasarannya, leher.
“Bukan main tuan” berkata Swandaru. “Sekarang bukankah tuan akan mengenai kepala orang-
orangan itu?”
Sedayu mengangguk.
“Seharusnya, tuan mengenainya tiga kali. Dengan demikian aku akan yakin, bahwa tuan lebih
pandai dari anak muda yang sombong itu”
“Jangan membanding-bandingkan Swandaru” sahut Sedayu. “Aku tidak sedang berlomba.
Perlombaan itu sudah selesai dan Sidantilah yang mendapatkan kedudukan tertinggi. Sedang
kini aku hanya bermain-main saja. Tak ada hubungan apapun dengan perlombaan yang baru
saja selesai.”
Sekali lagi Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apapun. Diamatinya anak
panah dibusur Sedayu dengan seksama. Sambil membungkuk-bungkuk ia memerhatikan setiap
gerak jari Agung Sedayu. Dan sesaat kemudian lepaslah anak panah yang keempat itu.
Sekali lagi Swandaru berteriak “Bukan main, bukan main. Tuan telah mengenainya pula”
Sedayu tertawa kecil. Ia senang pula melihat seseorang mengaguminya. Apabila demikian,
sebenarnya timbul pula keinginannya agar semua prang mengetahuinya pula, bahwa
sebenarnya iapun dapat berbuat saperti apa yang dilakukan oleh orang lain. Namun kembali ia
menjadi cemas, apabila dibayangkannya akibat dari kelebihannya itu. Ia cemas kalau ada
orang yang mendendamnya. Dan kini yang hadir di lapangan itu tinggal seorang saja.
Swandaru. Dan Swandaru telah berjanji kepadanya, untuk tidak mengatakan apapun dan
kepada siapapun tentang apa yang dilihatnya. Karena itu, sebagai imbangan dari ketakutannya,
maka meledaklah keinginannya untuk menunjukkan setiap kemampuan yang ada pada dirinya,
meskipun hanya terhadap seorang saja dan kepada dirinya sendiri.
Maka katanya “Swandaru, berapakah anak panahmu seluruhnya?”
“Sepuluh tuan” jawab Swandaru.
“Marilah, berilah aku dua lagi, supaya aku dapat mengenai kepala sasaran itu tiga kali”
Swandaru yang menjadi gembira melihat permainan Agung Sedayu itupun berlari-lari
kekudanya. Diambilnya seluruh anak panahnya dan diserahkannya kepada Agung Sedayu
“Inilah tuan”
Agung Sedayu menerima anak panah itu. Kemudian dengan cepatnya ia melepaskan dua anak
panah berturu-turut. Dan keduanya itupun hinggap dikepala sasaran pula.
Swandaru itupun bertepuk tangan sambil berteriak-teriak “Mengagumkan, mengagumkan”.
Namun kemudian ia terdiam ketika Agung Sedayu berdesis “Jangan ribut Swandaru, aku tidak
mau bermain-main lagi”
“Ternyata tuan melampaui setiap orang yang ikut dalam perlombaan itu. Kenapa tuan sendiri
tidak ikut serta?”
Sekali lagi Agung Sedayu membantah, katanya “Tidak, tak ada hubungannya dengan
perlombaan yang baru saja berakhir”
“Ya” sahut Swandaru. “Memang tak ada hubungannya. Tetapi tuan benar-benar telah
mengagumkan aku. Seandainya tuan melakukannya selagi masih banyak orang dilapangan ini,
maka lapangan ini pasti akan meledak karena sorak mereka yang gemuruh”
“Sudahlah. Lupakan perlombaan itu” potong Agung Sedayu. “Apakah kita masih akan bermain-
main?”
“Tentu” jawab Swandaru. “Apakah tuan masih mempunyai permainan yang lebih baik lagi?”
“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian. “Apakah yang lebih kecil dari kepala sasaran
itu?”
Swandaru mengerutkan keningnya.jnya “Tak ada tuan”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya sasaran yang bergerak-gerak
terayun kian kemari meskipun sudah semakin lambat. Dan kemudian terdengar ia bertanya
“Swandaru, bahan apakah yang dibuat untuk tali pengikat orang-orangan itu?”
Swandaru menjadi heran. Ia tidak tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu. Meskipun demikian
ia menjawab juga “Serat tuan, serat nanas yangdipilin menjadi tali yang kuat”
“Apakah bukan jangat?”
“Oh, bukan tuan. Jangat kulit terlalu kaku”
“Marilah kita buktikan”
Sekali lagi Swandaru menjadi keheran-heranan. Apakah hubungannya antara panah-panah
dan serat nanas itu? karena itu maka ia bertanya “Bagaimanakah tuan akan membuktikan?
Dan apakah gunanya
Agung Sedayu tidak menjawab. namun dipasangnya sebatang anak panah dibusurnya.
Perlahan-lahan busur itupun diangkatnya. Kini ia membidikkan anak panah itu.
Swandaru yang masih belum tahu maksud Agung Sedayu memperhatikannya dengan berbagai
pertanyaan memenuhi dadanya. Kali ini Agung Sedayu menarik tali busur sepenuhnya,
sehingga busur itu seakan-akan hampir menjadi patah. Dengan hati yang berdebar-debar
Swandaru memandangi busurnya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu melepaskan anak panah itu,
dan anak panah itu terbang secepat angin.
Betapa Swandaru menjadi terkejut menyaksikan hasil bidikan Agung Sedayu. Sehingga untuk
beberapa saat ia tegak seperti patung. Dengan mulut ternganga ia menyaksikan anak panah
yang lepas dari busutnya dengan laju yang tinggi itu telah memutus tali penggantung orang-
orangan yang terayun-ayun. Demikian cepatnya dan demikian kerasnya. Barulah ia tahu
maksud pertanyaan Agung Sedayu, tentang bahan pembuat tali itu.
Swandarupun pernah juga melihat tali penggantung sasaran itu terputus karena anak panah.
Namun justru karena sama sekali tak disengaja. Justru karena anak panah yang condong dari
arah bidikan. Tetapi kini Agung Sedayu telah dengan sengaja membidik tali itu. Tali yang jauh
lebih kecil dari sasaran itu sendiri. Dan Agung Sedayu ternyata tepat mengenainya.
Karena itu, ketika ia menyadari tentang apa yang dilihatnya maka dengan serta-merta ia
meloncat maju. Dengan gairahnya ia mengguncang-guncang bahu Agung Sedayu sambil
berkata terbata-bata “Tuan. Ternyata dugaanku benar. Tuan ternyata benar-benar melampaui
setiap orang yang pernah aku lihat. Bukankah dengan mengenai tali itu terbukti tuan tak
mungkin dikalahkan oleh siapapun juga. Tali itu jauh lebih kecil dari kepala sasaran itu. Dan tali
itu sedang bergerak-gerak. Ternyata tuan dapat mengenainya. Tidak saja tepat, namun tuan
sudah berhasil memutuskannya. Bukankah dengan demikian berarti bahwa tuan mengenainya
tepat ditengah-tengah?”
Agung Sedayu yang terguncang-guncang itupun melepaskan dirinya. Sambil tertawa ia berkata
“Jangan Swandaru. Nanti tubuhku rontok karena guncanganmu. Ternyata tenagamu luar biasa
pula, sehingga tulang-tulangku hampir remuk karenanya”
Swandaru menarik nafas. Dengan penuh kekaguman sekali lagi ia memandangi ujung tali yang
terputus oleh anak panah Agung Sedayu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia
bergumam ”Apakah tuan dapat menaruh biji-biji mata diujung-ujung anak panah itu?”
Agung Sedayu tidak menjawab. namun ia tertawa. Kini iapun menjadi bergembira pula seperti
Swandaru. Bahkan ia menjadi semakin berbangga. Timbullah keinginannya untuk menunjukkan
berbagai macam permainan, yang dapat menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya
dari orang lain sebagai pencurahan hatinya yang selalu terkekang oleh kekerdilan jiwanya.
“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian “Didalam pertempuran orang tidak saja terikat
kepada sasaran tertentu. Mungkin ia harus membidik lawan yang sedang berlari kencang
bahkan diatas punggung kuda. Mungkin ia harus membidik tubuh lawannya yang hanya
nampak sebagian kecil karena bersembunyi dibalik pepohonan. Nah, maukah kau membantu
aku bermain-main dengan anak panah?”
“Tentu tuan” jawab Swandaru.
“Tetapi kau harus tatag. Jangan cemas, apabila kau melihat anak panah yang mendatang”
“Apakah yang harus aku lakukan?”
“Bawalah orang-orangan itu sambil berpacu dipunggung kuda. Aku akan mencoba
mengenainya”
“Ah, bukankah itu berbahaya?”
Agung Sedayu berpikir sejenak. Kemudian jawabnya “Baiklah. Aku mempunyai cara lain.
Lepaskanlah kepala sasaran itu. Lemparkan keudara. Biarlah aku mengenainya dengan anak
panah”
“Bagus. Permainan yang mengasyikan” sahut Swandaru yang kemudian berlari-lari mengambil
sasaran yang telah terjatuh ditanah. Dilepasnya bagian kepalanya dan dengan isyarat ia
menunjukkan kepala orang-orangan itu kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu kemudian bersiap. Dengan isyarat pula ia memberi tanda kepada Swandaru
untuk melemparkan sasaran itu keudara.
Kedua anak muda itu benar-benar menjadi bergembira, seperti sepasang anak-anak yang
sedang bermain-main. Dalam kegembiraan itu maka Agung Sedayu telah melupakan
segalanya. Melupakan kecemasannya dan melupakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat
menyeretnya kedalam persoalan-persoalan yang tidak dikehendakinya.
Swandaru yang berdiri beberapa puluh langkah dari Agung Sedayu itupun kemudian
melemparkan sasarannya kearah Agung Sedayu. Ternyata betapa besarnya tenaga Swandaru.
Meskipun sasatan itu hempir tak memiliki berat, namun Swandaru berhasil melemparkan
melambung melampaui tempat Agung Sedayu berada.
Tetapi sasaran itu tidak sempat melampauinya. Ketika benda itu hampir sampai diatas
kepalanya, maka meluncurlah anak panah Agung Sedayu dengan kecepatan tinggi.
Apa yang dilihat oleh Swandaru benar-benar mentakjubkannya. Kini ia bertepuk sejadi-jadinya.
Ia melihat anak panah itu menyambar sasarannya dan bahkan sasaran itupun ikut serta
melambung keatas dibawa oleh arus anak panah Agung Sedayu, hampir tegak lurus keudara.
Tetapi tepuk tangan Swandaru itupun kemudian terhenti. Ia melihat Agung Sedayu melangkah
beberapa langkah maju. Dengan tegangnya ia menunggu, apalagi yang akan dilakukan oleh
Agung Sedayu itu, yang kini berdiri tepat dibawah sasarannya yang hampir mencapai puncak
ketinggian. Dan ternyatalah sesaat kemudian sasaran itupun seolah-olah terhenti diudara, dan
sesaat pula sasaran itu menukik turun dengan cepatnya.
Namun kembali Swandaru terkejut. Ia melihat Agung Sedayu menarik busurnya dan sebuah
anak panah terbang secepat tatit menyambar sasaran yang sedang meluncur turun itu. Sesaat
kemudian kedua benda itupun seolah-olah beradu. Anak panah Agung Sedayu yang
kesembilan telah berhasil mematuk sasarannya pula, sehingga benda itupun kemudian
berputar seperti baling-baling diudara. Dua batang anak panah yang saling bertentangan itu
seolah-olah sengaja dipasang sebagai jari-jari dari sebuah baling-baling. Swandaru kini tak
dapat menguasai diri lagi. Dengan cepatnya ia berlari mendekati Agung Sedayu sambil
berteriak-teriak “Gila, bagaimana tuan dapat melakukan itu?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia melingkar beberapa langkah surut. Sasaran yang
dikenainya melambung pula keatas, namun tidak setinggi semula. Karena itu, kini Agung
Sedayu siap melakukan permainannya yang terakhir. Panahnya tinggal sebatang, dan panah
itu akan dihabiskannya. Dengan cepatnya ia memasang anak panah itu dan sebelum
sasarannya jatuh menyentuh tanah, maka Agung Sedayu masih sempat menyambarnya
dengan anak panahnya yang kesepuluh.
Sasaran itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian terjatuh ditanah. Namun seakan-akan
sasaran itu terseret oleh kekuatan anak panah Sedayu beberapa langkah lagi.
Apa yang dilihat oleh Swandaru itu hampir-hampir tak masuk diakalnya. Tiga anak panah
hinggap pada satu sasaran yang sedang melambung diudara.
Seperti orang yang benar-benar kehilangan kesadaran Swandaru berteriak-teriak kegirangan.
Bahkan kemudian anak itu telah kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan serta-merta ia
berteriak “Tuan. Setiap orang Sangkal Putung harus tahu apa yang telah tuan lakukan. ternyata
Sidanti tidak sepantasnya untuk menamakan dirinya pemanah terbaik dari Sangkal Putung.
Sebab tuan dapat memanah jauh lebih baik daripadanya”
Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata Swandaru itu. Dengan cemasnya ia berkata
“Jangan Swandaru, bukankah kau telah berjanji?”
“Tuan terlalu merendahkan diri” sahut Swandaru. “Tetapi sekali lagi anak yang sombong itu
harus menyadari keadaannya, ia bukan manusia yang tak ada bendingnya. Bahkan Sidanti itu
pasti tak akan dapat melakukan seperti apa yang tuan lakukan itu”
“Jangan Swandaru” cegah Agung Sedayu.
Namun Swandaru solah-olah sudha tidak mendengar lagi kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan
cepatnya ia berlari kearah kuda putihnya. Dan sebelum Agung Sedayu sempat berbuat sesuatu,
Swandaru telah meloncat kepunggung kudanya itu dan seperti sedang berpacu dengan hantu
kuda itu lari kencang-kencang.
Agung Sedayu menjadi bingung. Untunglah bahwa dalam endongnya sudah tidak terselip lagi
sebatang anak panahpun. Seandainya, ya seandainya demikian, maka sudah pasti kuda
Swandaru itu tak akan dapat pulang kekandang
Tetapi yang terjadi, Agung Sedayu itu berdiri dengan kaki gemetar melihat kuda Swandaru itu
terbang meninggalkan lapangan. Sekilas berterbangan pulalah didalam benaknya, apakah kira-
kira yang akan dilakukan oleh Swandaru itu. Terbayanglah kemudian, Sidanti akan datang
dengan wajah yang merah membara karena kemarahannya.
Didalam hati Agung Sedayu itu, timbullah suatu penyesalan. Betapa dengan sombongnya ia
telah menunjukkan beberapa permainan yang akan dapat membawa kesulitan kepadanya.
Apalagi kini pamannya sedang marah pula kepadanya.Namun ia sudah tidak dapat berbuat
sesuatu. Swandaru itu kini telah hilang dibalik rimbunnya dedaunan.
Yang tinggal adalah sebuah kepulan debu yang putih, semakin lama semakin tipis dan akhirnya
lenyap ditiup angin yang sepoi-sepoi. karena itu, maka keringat yang dingin segera mengalir
membasahi segenap tubuh Agung Sedayu.
Swandaru itupun memacu kudanya menyusul Sidanti yang sedang berjalan perlahan-lahan
kembali kekademangan. Dengan asyiknya ia bercakap-cakap dengan beberapa orang yang
sedang mengaguminya. Bahkan Sekar Mirah yang kemudian berjalan disamping ayahnya
itupun berkali-kali berpaling dan sekali-sekali dipujinya anak muda itu dihadapan ayahnya.
Ki Demang Sangkal Putung hanya kadang-kadang saja menanggapi pujian-pujian itu. Namun
didalam hatinya, orang tua itu benar-benar mengeluh. Gadisnya harus benar-benar dikuasainya.
karena itu, maka Ki Demang Sangkal Putung itu, bahkan bertekad untuk bersikap lebih keras
lagi terhadap Sekar Mirah. Ia menyesal bahwa anak gadisnya satu-satunya itu terlalu
dimanjakannya. Baik oleh dirinya sendiri maupun oleh ibunya, sehingga Sekar Mirah itu
mempunyai sifat yang sukar dikendalikan. Ia berbuat seenaknya seperti yang dikehendakinya.
Perasaannya terlalu tampil kedepan, jauh kedepan dari pikiran wajarnya.
Widura berjalan saja tanpa menghiraukan apapun. Hanya kadang-kadang saja ia memandang
orang-orang yang lalu lalang disekitarnya. Ditatapnya wajah-wajah yang dengan gembira
pulang dari lapangan menyaksikan perlombaan-perlombaan yang sangat menarik hati.
Perlombaan-perlombaan yang jarang terjadi di kademangan yang subur itu.
Tetapi langkah Widura itupun kemudian terhenti, ketika ia melihat dua orang berkuda menuju
kearahnya. Dua orang yang dikenal baik oleh Widura, sebagai laskarnya yang patuh. Bahkan
kedatangan dua orang berkuda itupun sangat menarik perhatian orang-orang yang sedang
berjalan pulang dari lapangan itu. Sehingga ada diantaranya yang ikut berhenti pula, menanti
kalau-kalau ada sesuatu yang penting bagi Sangkal Putung. Tetapi kedua orang itu ternyata
sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencemaskan, dengan tersenyum-senyum ia
kemudian turun dari kudanya dan kemudian mengangguk hormat kepada Widura.
Widurapun mengangguk pula. dilihatnya juga kedua orang itu hanya tersenyum-senyum,
namun bagi Widura, senyum mereka adalah senyum yang tak begitu wajar. Meskipun demikian
Widura tahu benar maksud kedua orang itu. Mereka tidak mau merampas kegembiraan orang-
orang Sangkal Putung dengan sikap-sikap yang tegang dan tergesa-gesa.
Widurapun kemudian tidak bertanya langsung apa keperluan mereka. Tetapi ia yakin pasti ada
sesuatu. Kedua orang itu adalah or yang sedang bertugas berjaga-jaga diujung kademangan.
“Perlombaan sudah selesai” berkata Widura kepada mereka. “Marilah kita ke kademangan”
Kedua orang itupun mengangguk-anggukkan kepalanya, dan dengan menuntun kuda mereka,
mereka berjalan disamping Widura ke kademangan.
Sidantipun melihat kedua orang itu pula, demikian juga Hudaya dan Citra Gati. Bahkan Sonya
yang berjalan jauh-jauh dibelakang bersama Sendawa mempercepat langkah mereka. Tetapi
mereka menjadi kecewa ketika ternyata kedua orang itu tak berkata apa-apa.
Orang-orang Sangkal Putung yang berhenti karena kedatangan orang-orang berkuda itupun
kemudian meneruskan langkah mereka. Ternyata dalam tanggapan mereka, kedua orang
berkuda itupun agaknya hanya ingin menyaksikan perlombaan dilapangan, namun mereka
sudah terlambat.
Namun Widura yang segera ingin tahu apa yang sudah terjadi itu, ternyata tidak sabar
menunggu sampai mereka tiba dikademangan. karena itu maka perlahan-lahan hampir berbisik
ia berkata “Ada sesuatu?”
Salah seorang dari kedua orang berkuda itu mengangkat wajahnya. sesaat ia memandang
orang-orang berjalan disekitarnya namun kemudian dengan berbisik pula ia berkata “Tak begitu
penting, meskipun harus mendapat perhatian”
“Apakah itu?”
“Diantara beberapa orang yang lewat dimuka gardu penjagaan kami, kami melihat seorang
yang menarik perhatian kami”
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Siapa?”
“Seorang yang barangkali hadir juga menyaksikan perlombaan dilapangan. Meskipun
pakaiannya kumal dan kotor, namun tongkatnya telah meyakinkan kami”
“Tongkat baja putih?”
Orang itu mengangguk.
“Berkelapa kuning berbentuk tengkorak?”
Sekali lagi orang itu mengangguk.
Widura itupun menggeram “Macan yang gila itu sempat menyaksikan perlombaan itu pula”
“Aku sangka demikian. Namun kami tidak berani menangkapnya. Sebab kami tahu pasti
kekuatan yang tersimpan pada dirinya”
“Kalian telah berbuat benar” sahut Widura. “Juga kalian tak dapat menghitung, berapa orang
yang dibawanya”
Prajurit berkuda itu mengangguk. Katanya “Kami berenam didalam gardu kami. Seandainya
kami harus bertempur, belum pasti kami berenam sempat melaporkan kehadirannya. Yang
dapat kami lakukan hanyalah memukul tanda bahaya. Dan orang-orang itupun segera akan
lenyap. Sedang sebagian besar dari kami, pasti sudah mati”
“Benar” sahut Widura pula, kemudian katanya “Apakah mereka sudah meninggalkan Sangkal
Putung?”
“Kami menyangka demikian” jawab orang itu.
“Aku juga menyangka demikian” berkata Widura. “Orang itu hanya ingin tahu, apakah yang
terjadi disini, dan sekaligus ia dapat mengetahui pula, gambaran kekuatan laskar kita disini.
Untunglah bahwa perlombaan pedang dan sodoran hanya aku peruntukkan anak-anak muda
Sangkal Putung, sehingga Tohpati itu tidak dapat mengukur kekuatan prajurit Pajang di
Sangkal Putung”
Orang itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian mereka itupun saling berdiam
diri. Namun apa yang didengar oleh Widura dari penjaga-penjaganya itu, semakin
meyakinkannya, bahwa apa yang dikatakan Kiai Gringsing semalam benar-benar akan
dilakukan oleh Tohpati. Sekali lagi menyergap Sangkal Putung.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda yang berdentang-dentang dijalan
berbatu-batu dibelakang mereka. Semakin lama menjadi semakin keras, sehingga setiap orang
yang mendengarnya menjadi cemas karenanya. Bahkan kedua prajurit berkuda itupun menjadi
cemas pula.
karena itu, maka semua mata, berpuluh-puluh pasang, seakan-akan melekat ditikungan jalan
dibelakang mereka.
Sesaat kemudian muncullah kuda itu, seekor kuda putih dengan penunggangnya yang gemuk
bulat. Swandaru.
“Oh” hampir semua mulut berdesah, ketika mereka melihat anak muda itu. Sedang Swandaru
itupun menjadi terkejut pula ketika dilihatnya beberapa orang berhenti dijalan seakan-akan
sedang menunggunya. Sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya sambil menarik kekang
kudanya. “Apakah yang kalian tunggu?”
Kuda Swandaru itu berhenti beberapa langkah dari Sidanti. Namun Sidanti itu kemudian sama
sekali tak memperhatikannya. Dengan langkah yang tetap Sidanti meneruskan perjalanannya
kembali kekademangan.
Ki Demang Sangkal Putung, yang masih agak jauh dari padanya menjawab pertanyaan
anaknya “Kau mengejutkan kami, Swandaru”
“Ah” sahut Swandaru. “Betapa ayah mudah menjadi terkejut, sedang kakang Sidantipun sama
sekali tidak terkejut mendengar derap kudaku”
Langkah Sidantipun terhenti. Dengan wajah yang asam ia berpaling kearah Swandaru. Namun
hanya sebentar, dan kembali ia tidak memperhatikan anak muda itu lagi, seakan-akan
kehadirannya sama sekali tak berarti baginya.
Swandaru melihat kemasaman wajah itu. karena itu maka hatinyapun menjadi semakin panas.
Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk memanaskan hati Sidanti pula. maka katanya lantang
“Kakang Sidanti, berhentilah sebentar”
Sekali lagi Sidanti berpaling, kali ini ia memandang Swandaru dengan tajam, katanya “Jangan
ribut Swandaru”
“Aku tidak sedang ribut “Jawabnya. “Tetapi aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa
sebenarnya bukan kaulah pemanah terbaik di Sangkal Putung”
Kali ini Sidanti benar-benar berhenti. Ia tidak saja berpaling, namun dengan sigapnya ia
memutar tubuhnya. Ditatapnya wajah Swandaru dengan tajamnya. Dan bertanyalah anak muda
itu dengan suara yang bergetar “Apa katamu Swandaru?”
Ki Demang Sangkal Putung dan Widurapun tertarik pula pada kata-kata Swandaru itu. Namun
mereka menjadi cemas, dan berkatalah Ki Demang Sangkal Putung “Swandaru, hati-hatilah
dengan kata-katamu”
Swandaru tidak menghiraukan kata-kata ayahnya. Dengan masih tetap diatas punggung
kudanya ia berkata “Aku berkata sebenarnya, bahwa kakang Sidanti bukan pemanah terbaik
diantara kita”
Sidanti itupun menjadi heran mendengar kata-kata Swandaru yang tiba-tiba itu. karena itu
beberapa langkah ia maju mendekati Swandaru. katanya “Ulangi Swandaru. dan apa
alasannya?”
“Baik” jawab Swandaru. “Aku ulangi. Kau bukan pemanah terbaik di Sangkal Putung. Alasanku,
dilapangan masih ada seorang pemanah yang pasti melampaui kecakapanmu”
Dada Sidanti menjadi bergelora. Betapa hatinya menjadi panas. Seandainya pada saat itu tidak
ada Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah maka mulut
Swandaru itu pasti sudah ditamparnya untuk ketiga kalinya.
Tetapi kini ia masih mencoba menahan dirinya. Sedang beberapa orang lainpun melangkah
mendekati mereka. Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah dan
beberapa orang lainnya.
Sekali lagi Ki Demang Sangkal Putung mencoba mencegah anaknya yang kurang dapat
menempatkan diri itu, katanya “Swandaru, sudahlah, jangan membual. Apapun yang terjadi
dilapangan menurut katamu, namun perlombaan sudah selesai. Dan angger Sidantilah yang
kami anggap sebagai pemenangnya”
Swandaru tertawa. Jawabnya “Ternyata anggapan itu salah ayah”
“Tidak bisa” sahut ayahnya. “Kami semuanya menjadi saksi”
Swandaru masih tertawa. Dipandangnya kemudian wajah-wajah yang tegang disekitarnya.
Dilihatnya beberapa orang memandangnya dengan penuh pertanyaan pada sinar matanya.
kKarena itu, maka Swandaru itupun berkata pula “Baiklah. Katakanlah dalam perlombaan itu
kakang Sidanti ternyata menjadi pemenang. Namun aku katakan bahwa ia bukanlah pemanah
terbaik di Sangkal Putung”
Widura masih tetap berdiam diri. Dengan cepatnya ia memaklumi maksud Swandaru. ketika tak
dilihatnya Agung Sedayu diantara mereka, maka pasti Agung Sedayulah yang dimaksud oleh
Swandaru itu.dan dengan cepat pula Widura dapat mengira-irakan apakah yang telah dilakukan
oleh Agung Sedayu. Agaknya ia telah melakukan beberapa permainan bersama Swandaru.
Namun Widura menjadi heran, bahwa Swandaru telah menyusul Sidanti dna mengatakan apa
yang dilihatnya. Apakah maksud Swandaru itu telah disetujui Agung Sedayu?
Sidanti telah hampir tak dapat menahan dirinya lagi. Dengan lantang ia berteriak “Jangan
banyak bicara Swandaru. katakan siapa orangnya!”
Swandaru meredupkan matanya. Dipandangnya Sidanti baik-baik. Apakah yang akan terjadi
kalau ia menyebutkan nama orang yang telah mengagumkannya itu? Dan dengan las-lasan
disebutnya nama itu, katanya “Kau ingin tahu namanya? Namanya Agung Sedayu”
Sidanti mendengar nama itu, seperti suara guruh yang meledak diatas kepalanya. Sesaat
wajahnya menjadi tegang, namun sesaat kemudian tubuhnya menjadi gemetar. Tiba-tiba
semua orangpun menjadi tegang pula ketika mereka melihat Sidanti itu, tanpa sepatah katapun,
melangkah dengan tergesa-gesa menyibak semua orang yang berdiri disekitarnya. Dengan
dada yang bergelora ia berjalan kembali kepalangan sambil menjinjing busurnya. Namun
demikian masih juga ia bergumam “Bagus. Kita buktikan, siapakah diantara kita yang akan
menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung”
Beberapa orang yang kemudian tersadar akan keadaan itu, segera berjalan pula kembali
kelapangan. Mereka ingin menyaksikan apakah gerangan yang akan terjadi.
Widura memandang si dengan hati yang berdebar-debar pula. sesaat ia menjadi ragu-ragu.
Namun sesaat kemudian disadarinya, bahwa ia harus hadir pula dilapangan. Seandainya terjadi
sesuatu dengan Sidanti dan Agung Sedayu, maka iapun harus dengan cepat dapat
mengatasinya. Meskipun demikian, Widura itu tak dapat melupakan kehadiran Tohpati di
Sangkal Putung. karena itu sebelum ia pergi menyusul Sidanti, dipesannya dua orang berkuda
itu untuk segera kembali kegardunya, katanya “Kembalilah kegardumu. Beritahukan kemudian
gardu-gardu yang lain. Dan selalu siapkanlah tanda bahaya. Jangan terlambat”
Kedua orang itu mengangguk, jawabnya “Baik. Akan segera kami lakukan”
Demikian kedua orang berkuda itu pergi, maka berkatalah Widura kepada ki Demang yang
masih saja berdiri kebingungan “Marilah kita saksikan, apakah yang terjadi”
“Baik, baik” jawab Ki Demang. Dan kepada Swandaru ia berkata “Swandaru, kau selalu saja
bikin perkara. Bukankah dengan demikian kau telah memanaskan hati Sidanti? Apalagi kalau
ternyata kata-katamu benar. Lalu bagaimanakah dengan hasil perlombaan itu?”
“Kalau mereka ingin bertanding, apa salahnya ayah” jawab Swandaru. “Bukankah dengan
demikian kita akan mendapat penilaian yang jujur atas semua orang di Sangkal Putung?”
“Kalau ada yang ketinggalan dalam perlombaan, itu adalah karena keinginannya sendiri” jawab
Ki Demang. Namun ia tidak dapat berkata apapun seterusnya, ketika diingatnya bahwa Agung
Sedayu adalah kemenakan Widura.
Tetapi Widuralah yang meneruskan “Apa yang terjadi kemudian tidak akan mempengaruhi hasil
perlombaan. Adalah salah Agung Sedayu sendiri kenapa ia tidak ikut serta dalam perlombaan
itu. Betapapun pandainya ia membidikkan anak panah, namun apabila itu dilakukan setelah
perlombaan, maka tak ada sebuah nilaipun yang dapat diberikan padanya”
Swandaru kini jadi terdiam. Ia sama sekali tak berani menjawab kata-kata Widura. Namun
orang lainlah yang kemudian berkata “Biarlah kakang. Biarlah anak muda yang sombong itu
dapat menilai dirinya. Seandainya seseorang dapat melampauinya, meskipun kelebihan itu tak
dapat mempengaruhi hasil perlombaan, namun kita semua akan mengetahuinya, bahwa ada
orang lain yang sebenarnya lebih berhak atas kemenangan itu daripada Sidanti”
Widura berpaling kearah suara itu. Dilihatnya dibelakangnya Hudaya mengangguk-anggukkan
kepalanya, sambil berkata “Kau benar kakang Citra Gati”
Widura menarik nafas dalam-dalam. Meskipun demikian ia menjawab “Aku harus ada diantara
mereka. Pertandingan yang kemudian inipun tak boleh lebih dari pertandingan memanah”
Hudaya tersenyum masam. Sahutnya “Apa salahnya? Bukankah semuanya ini terjadi diluar
arena yang seharusnya? Kalau kali ini kakang masih mencegahnya, maka itu hanya aka
nberarti menunda-nunda penyelesaian”
Didalam hatinya Widurapun membenarkan kata-katanya Hudaya itu. Namun segera terlintas
didalam kepalanya, bayangan-bayangan yang mencemaskannya. Tohpati. Kalau orang-
orangnya sibuk dengan bentrokan-bentrokan antara sesama, apakah jadinya kalau Tohpati itu
tiba-tiba saja menerkam Sangkal Putung,? Kalau terjadi sesuatu, maka hal itu pasti akan
didengar oleh Macan Kepatihan itu. Sebab siapa tahu bahwa seorang dua orang dari laskar
Jipang masih ada diantara mereka dan menyaksikan perselisihan itu.
Hal inilah yang tak terpikirkan oleh Hudaya, Citra Gati dan orang-orang lain. Mereka hanya
menuruti perasaan mereka saja. Kebenciannya kepada kesombongan Sidanti agaknya telah
benar-benar memuncak. Dan mereka mengharap Agung Sedayu akan memberi beberapa
peringatan kepada Sidanti. Namun ada hal lain lagi yang tak mereka ketahui. Agung Sedayu
tidak lebih dari seorang penakut.
karena itu, kali inipun Widura menjadi pening karenanya. Meskipun demikian, maka Widura
berkata tegas “Tak akan ada perkelahian diantara kita”
Hudaya dan Citra Gati tidak berkata-kata lagi. Namun wajahnya membayangkan kekecewaan
hatinya. Sesaat mereka saling berpandangan. Hudaya itu, kemudian tersenyum hambar ketika
ia melihat Citra Gati mengangkat bahunya.
Ketika mereka melihat Widura melangkah kembali kelapangan, mereka itupun mengikutinya
pula. sedang Ki Demang Sangkal Putung dengan wajah yang masam berkata kepada anaknya
“Swandaru, segera kau akan melihat akibat pokalmu itu”
Swandaru menundukkan wajahnya. kini baru disadarinya, mengapa Agung Sedayu
mencegahnya untuk tidak menyampaikan cerita tentang dirinya itu kepada siapapun juga.
Barulah kini ia dapat menilai perbuatannya itu. Namun semuanya sudah terjadi. Dan
sebenarnya hatinyapun terbersit harapan seperti yang diucapkan oleh Hudaya dan Citra Gati itu.
Namun ia tidak membantah ayahnya lagi. Bahkan iapun kemudian turun dari kudanya dan
dituntunnya kuda itu berjalan dibelakang ayahnya. Sedang Sekar Mirah ternyata berjalan jauh
mendahului. Dengan tergesa-gesa ia berjalan dibelakang Sidanti diantara beberapa orang lain
yang ingin juga menyaksikan pertandingan yang kedua, yang pasti tidak kalah menggemparkan
dari pertandingan yang baru saja selesai.
Bahkan beberapa orang sudah mulai menilai-nilai kedua anak muda yang mereka anggap
sebagai pahlawan-pahlawan yang mengagumkan. Mereka berdua adalah anak muda yang
namanya menjadi buah bibir orang-orang Sangkal Putung. Sidanti ternyata terkenal sebagai
seorang yang gagah berani yang dengan kesaktiannya mampu bertahan melawan Macan
Kepatihan. Sedang Agung Sedayu bagi mereka merupakan seorang pahlawan penyelamat
padukuhan Sangkal Putung.
Keduanya kini akan berhadapan dalam satu pertandingan memanah. Alangkah mengasyikkan.
Sidanti sendiri yang berjalan paling depan dari iring-iringan yang semakin lama menjadi
semakin panjang itu, dadanya benar-benar bergelora karena hatinya yang panas. Sejak semula
ia berharap agar ia dapat bertanding dalam kesempatan apapun dengan Agung Sedayu.
Namun ia menjadi kecewa ketika Agung Sedayu tidak ikut serta dalam perlombaan itu. Namun
tiba-tiba dibelakangnya, Agung Sedayu telah membuatnya menjadi bersakit hati. Kini biarlah
dibuktikan siapa diantara mereka berdua yang berhak menamakan dirinya pemanah terbaik di
Sangkal Putung.
Kabar itu, kabar tentang Agung Sedayu, segera menjalar seperti api yang membakar
kademangan Sangkal Putung. Setiap mulut dan setiap telinga telah dirayapi oleh berita itu.
Beberapa orang berlari-lari pulang, untuk memanggil kakak-kakak mereka, adik-adik mereka
dan keluarga-keluarga mereka yang telah terlanjur sampai dirumah, untuk menyaksikan
pertandingan yang pasti akan menggembirakan hati mereka, melampaui pertandingan yang
baru saja selesai.
Beberapa saat kemudian Sidanti itupun menjadi semakin dekat dengan lapangan dimuka
banjar desa, sejalan dengan hatinya yang menjadi semakin bergelora oleh kemarahan. Maka
iapun semakin mempercepat langkahnya, seakan-akan ia ingin meloncat dengan satu loncatan
yang akan dapat mencapai sisa jarak yang sudah tidak terlalu jauh itu.
Dilapangan, Agung Sedayu berdiri dengan dada yang berdebar-debar. Berbagai perasaan
berkecamuk didalam dadanya. Cemas, kecewa, meyesal bercampur baur. Sehingga
lututnyapun menjadi gemetar. Ternyata Swandaru tidak menepati janjinya, sehingga akibatnya
benar-benar tak seperti yang diharapkan. karena itu, dalam kebingungan Agung Sedayu itu
berjalan hilir mudik tak menentu. Sekali-sekali ingin ia pergi meninggalkan lapangan. Tetapi
kemudian ia menjadi ragu-ragu. Sehingga akhirnya dadanya itupun serasa berdnentangan,
ketika ia mendengar suara orang-orang yang ribut semakin lama menjadi semakin dekat. Dan
ternyatalah kemudian apa yang ditakutkannya. Dari balik rimbunnya daun-daun, dari balik
dinding-dinding batu, muncullah orang-orang itu. Berbondong-bondong dan kemudian pecah
berlarian mengelilingi lapangan.
Darah Agung Sedayu itupun hampir berhenti mengalir ketika dilihatnya, diujung iring-iringan itu
berjalan seorang yang sanga menakutkan baginya. Sidanti.
Dan Sidanti itu langsung berjalan kearah Agung Sedayu. Dengan langkah yang tetap namun
tergesa-gesa, seakan-akan ia takut terlambat, meskipun hanya sekejap.
Tetapi hati Agung Sedayu itupun kemudian menjadi agak tenteram ketika kemudian dilihatnya,
pamannya datang pula kelapangan. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang lagi.
Dengan demikian ia hanya dapat berdoa mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas dirinya.
Sidanti itupun kemudian berhenti hanya beberapa langkah saja dimuka Agung Sedayu. Dengan
wajah tegang dipandanginya wajah Agung Sedayu.
Agung Sedayu masih saja berdiri ditempatnya. Betapapun dadanya berguncang, namun
dicobanya juga menguasau dirinya. Bahkan kemudian dilihatnya juga Sekar Mirah yang
memandangnya dengan penuh teka-teki. Akhirnya pamannya dan Ki Demang Sangkal
Putungpun berdiri dilingkaran itu pula. hanya Swandarulah yang berdiri agak jauh, namun
wajahnya masih sasa tampak memancarkan kebanggaannya atas Agung Sedayu. Sekali-sekali
disambarnya wajah Sidanti dengan tatapan matanya. Ditariknya bibirnya kesamping dan
kemudian ia tersenyum.
Betapa menyesal Agung Sedayu melihat anak muda itu. Namun kini semuanya telah terlanjur.
Dan dirinyalah kini yang menjadi pusat perhatian segenap penduduk Sangkal Putung yang
semakin lama menjadi semakin banyak.
Seperti guruh menggelegar dilangit, Agung Sedayu itu mendengar Sidanti berkata parau “Adi
Agung Sedayu. Aku telah mendengar apa yang baru saja kau lakukan”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Dengan sudut matanya memandang wajah Swandaru.
namun ia pengumpat didalam hati ketika dilihatnya Swandaru itu tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian Agung Sedayu itu menjawab “Aku tidak
berbuat apa-apa kakang Sidanti”
Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian anak muda itu tersenyum masam “Jangan
menghina aku. Kenapa kau tidak turut saja berlomba?”
“Aku tidak berhasrat” sahut Agung Sedayu.
“Tetapi kenapa kau membuat kericuhan setelah pertandingan selesai?”
“Apakah yang aku lakukan?”
Mata Sidanti menjadi semakin menyala. Dan hati Agung Sedayu menjadi semakin kecut
karenanya. Namun dicobanya juga untuk tetap menatap wajah Sidanti dengan wajah tengadah.
Tetapi lutunyalah yang terasa bergetaran. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak dapat
menghindarkan diri dari pertanggungan jawabnya atas semua perbuatannya. Kata-katanya dan
anggapan orang-orang Sangkal Putung bahwa ia adalah seorang pahlawan. Dan anggapan-
anggapan itu belum pernah dibantahnya. Apalagi ketika dilihatnya disampingnya Sekar Mirah
berdiri dengan wajah yang cerah. Kepada gadis itupun telah banyak diceritakannya tentang
perjalanannya ke Sangkal Putung bersama kakaknya dahulu. Dan diceritakannya betapa ia
berdua bertempur melawan Alap-alap Jalatunda dan pande besi dari Sendang Gabus. Betapa
dengan dahsyatnya ia berdua berhasil membunuh tiga orang diantaranya dan cerita-cerita lain
yang dibuatnya untuk menutupi kekerdilan jiwanya.
Kini ia dihadapkan pada satu pembuktian. Ia tidak dapat berbuat apapun, selain berbuat
sesuatu untuk menyelamatkan namanya. Tetapi, betapa ia memaksa dirinya, namun lututnya
yang gemetar dan hatinya yang berdebar-debar itu sangat menyulitkannya.
Dan kemudian terdengar Sidanti berkata pula dengan suara yang lantang “Kau telah menyuruh
Swandaru berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa pemenang dalam perlombaan itu bukan
pemanah terbaik di Sangkal Putung”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sekali lagi dipandanginya wajah Swandaru. dan Agung
Sedayu itupun menjadi semakin menyesali sikap Swandaru itu. Dengan tertawa Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun Agung Sedayu itu kemudian menggelengkan kepalanya. Jawabnya “Aku tidak
menyuruhnya. Dan aku tidak berbuat apa-apa”
Semua orang yang mendengar jawaban Agung Sedayu itu menjadi heran. Tanpa berjanji, maka
semua orang berpaling kearah anak muda yang gemuk itu, seolah-olah mereka bertanya
kepadanya, apakah yang dikatakannya itu benar-benar bukan sebuah dongengan.
Swandarupun merasakan pertanyaan-pertanyaan yang memancar dari wajah-wajah itu. Sesaat
ia menjadi bingung. Kenapa Agung Sedayu idak saja mengakuinya dan kalau perlu
membuktikan dihadapan orang-orang itu? Kenapa masih saja ia merendahkan dirinya
sedemikian? Namun tiba-tiba Swandaru itupun mundur beberapa langkah, keluar dari lingkaran
orang yang berjejal-jejal. Dengan nanar ia memandang berkeliling lapangan. Akhirnya ia berlari-
lari untuk memungut sesuatu yang tergolek dilapangan itu.
“Inilah” teriaknya “Aku akan dapat memberikan bukti kepada kalian. Lihatlah sasaran ini. Panah-
panahku masih tertancap disini. Sasaran ini aku lemparkan keudara, dan anak muda itu telah
mengenainya tiga kali diudara. Ya tiga kali diudara”
Semua mata memandangi bekas kepala orang-orangan itu. Mereka melihatnya tiga anak panah
masih melekat pada benda itu. Dan mereka mendengar pula kata-kata Swandaru itu. Tiga anak
panah mengenai satu sasaran yang terbang diudara. Mereka tidak tahu, bagaimana cara
Agung Sedayu mengenainya. Namun dengan serta-merta mereka bertepuk tangan gemuruh.
Tepuk tangan yang gemuruh itu benar-benar telah menyalakan bara didada Sidanti. Selangkah
ia maju, dan terdengarlah ia berkata lantang “Bohong, adakah kalian melihat, bagaimana
caranya ia mengenainya?”
Suara yang gemuruh itupun berangsur diam. Dan akhirnya sama sekali ketika mereka melihat
Widura melangkah maju memasuki lingkaran. Dengan tenangnya ia memandang Sidanti dan
Agung Sedayu berganti-ganti. Kemudian dipandangnya semua wajah yang berdiri mengitari
mereka itu.
Betapapun juga, Widura itupun berusaha untuk mengasai keadaan. Sebagai seorang pemimpin
maka ia harus berbuat sesuatu. karena itu maka katanya “Tak ada pengaruh apapun atas
perlombaan yang sudah berjalan. Kita sudah menetapkan pemenangnya. Namun permainan-
permainan yang lain masih akan dapat dilakukan. Tetapi bukan untuk merubah dan
mempengaruhi perlombaan itu.”
BUKU 05
Kembali terdengar tepuk tangan yang gemuruh. Orang-orang yang berdiri berkeliling itu tak
akan mau dikecewakan. Mereka benar-benar ingin menyaksikan pertandingan yang pasti akan
menyenangkan sekali.
Orang-orang itupun kemudian diam kembali ketika Widura berkata pula “Nah, aku sangka
Sidanti ingin mengulangi permainan panah seperti yang telah dilakukannya, bersama-sama
Agung Sedayu”
“Ya kakang” sahut Sidanti.
Kini Widura memandangi wajah Agung Sedayu. Dilihatnya beberapa titik keringat membasahi
keningnya. Namun kali ini Widura sengaja ingin memaksa Agung Sedayu agar berbuat sesuatu
yang dapat mendorong dirinya untuk lebih percaya kepada kemampuan diri. karena itu maka
katanya “Agung Sedayu, biarlah kau melakukannya. Tak ada persoalan apapun. Permainan ini
hanya sekedar kelanjutan dari keinginan orang-orang Sangkal Putung mengenalmu.
Sedangkan Sidanti ingin pula memperkenalkan dirinya lebih banyak lagi. Bukankah dengan
kawan bermain yang lebih baik, akan lebih banyak permainan-permainan yang dapat
dipertunjukkan? Bukan hanya sekedar menyamai atau melampaui sedikit kemampuan-
kemampuan Hudaya atau Citra Gati”
Hudaya dan Citra Gati yang berdiri dibelakang Widurapun tersenyum masam. Namun mereka
tidak marah. Bahkan mereka menjadi bersenang hati, bahwa Widura memberi kesempatan
kepada kemenakannya untuk melakukan pertandingan meskipun hanya memanah saja.
Kata-kata pamannya itu terasa sedikit dapat menyejukkan hati Agung Sedayu. Bukankah
dengan demikian, pamannya akan menjaminnya untuk seterusnya, apabila ada akibat dari
permainan ini? Seandaiknya ia melampaui Sidanti, sedang Sidanti itu kemudian marah
kepadanya, bukankah itu menjadi tanggung jawab pamannya? karena itu, terdorong pula oleh
keadaan yang telah menyudutkannya, maka Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain. Dengan
ragu-ragu ia menganggukkan kepalanya. Katanya lirih “Baiklah paman. Kalau paman
menghendaki”
Widura tersenyum. Baru kali ini sejak beberapa hari pamannya itu tersenyum kepadanya.
karena itu hati Agung Sedayu itupun menjadi bertambah besar pula.
“Nah, baiklah kita berikatn tempat kepada mereka berdua” berkata Widura.
Maka orang-orang yang melingkari mereka itupun kemudian berlari-larian menyibak. Sedang
Swandaru menjadi bergembira pula. segera iapun berlari-lari pula berkeliling lapangan untuk
memungut panah-panahnya yang berserakan disekitar orang-orangan yang telah dilepas
kepalanya.
Tetapi kemudian Widura menjadi sulit menentukan sasaran. Tidak menarik lagi apabila mereka
berdua harus mengenai orang-orangan itu, walaupun diayunkannya sekali. Mereka pasti akan
dengan mudah dapat mengenainya. Dalam pada itu tiba-tiba berkatalah Swandaru “Paman
Widura, pertandingan ini baru dapat dimulai, seandainya kakang Sidanti mampu berbuat seperti
yang dilakukan oleh anak muda itu. Mengenai sasaran tiga kali berturut-turut diudara”
Widura mengerutkan keningnya. Kata-katanya itu benar juga, tetapi belum seorangpun yang
melihat, Agung Sedayu melakukannya selain Swandaru.
karena itu Widura ingin berbuat adil. Kedua-duanya harus mulai dengan sasaran dan
kesempatan yang sama. Maka katanya “Swandaru, apakah sasaran orang-orangan itu masih
ada?”
”Masih paman” jawab Swandaru.
“Nah, ambillah bandulnya. Ikatlah bandul itu dengan tali yang agak panjang”
Swandaru belum tahu benar maksud Widura. meskipun demikian ia berjalan juga mengambil
vandul orang-orangan yang masih terletak diujung lapangan. Kemudian diambilnya sisa-sisa tali
yang masih terserak-serak disana-sini. Dengan tali itu maka bandul itupun diikatnya.
“Sudahkah bandul itu kau ikat dengan tali?” bertanya Sonya.
Swandaru mangangguk. Jawabnya “Bagaimanakah maksud paman Widura dengan bandul
ini?”
“Peganglah ujung talinya dan putarlah bandul itu diatas kepalamu”
Sahut Sonya.
“Ah” jawab Swandaru perlahan-lahan. “Jangan aku. Sidanti itu dapat membidikkan panahnya
kearah perutku”
Sonya tersenyum. Katanya “Mereka adalah pemanah-pemanah yang baik. Mereka pasti tidak
akan mengenaimu”
Swandaru menggeleng. “Peganglah” jawabnya “Kalau mereka membidik sasaran itu, maka
sasaran itulah yang akan dikenainya. Tetapi kalau Sidanti itu membidik perutnku?”
“Marilah” jawab Sonya “Berikanlah bandul itu, biarlah perutku yang dibidiknya”
Maka kini Sonyalah yang memegang sasaran itu. Dipegangnya ujung tali yang lain, dan
diputarnya bandul itu diatas kepalanya dalam lingkaran yang berjari-jari sepanjang tali yang
lebih dari sedepa panjangnya, mendatar.
Swandaru itupun kemudian berlari-lari menepi, bahkan kemudian didekatinya Agung Sedayu
yang telah memegang busurnya dan beberapa anak panah didalam endongnya.
“Masing-masing mendapat kesempatantiga kali” berkata Widura ketika mereka sudah hampir
mulai “Sampai hitungan kelima belas”
Sidantipun telah mempersiapkan busurna pula. dengan wajah tegang ia mengikuti bandul yang
berputar diatas kepala Sonya. Ketika Widura mulai dengan hitungan pertama, maka Sidantilah
yang lebih dahulu mengangkat busurnya. Sesaat kemudian terbanglah anak panahnya yang
pertama, dismbut dengan sorak sorai penonton disekitar lapangan. Anak panah itu tepat
mengenai sasarannya langsung ikut berputar pula dengan bandul itu. Dengan sudut matanya
Sidanti melihat tangan Agung Sedayu. Dan tangan itupun telah bergerak pua. Dan meluncurlah
anak panah Agung Sedayu. Kali inipun para penonton bersorak bergemuruh. Anak panah
Agung Sedayupun hinggap pula pada sasarannya.
Sidanti itupun menarik nafas panjang. Ia mengumpat didalam hatinya “Setan itu mampu juga
mengenainya”
Tetapi hitungan Widura sudah sampai yang keenam. karena itu maka Sidanti itupun sekali lagi
mengangkat busurnya, dan sekali lagi anak panahnya meloncat dari busurnya. Kali inipun anak
panah Sidanti itu tepat mengenai sasarannya, dan karena itu maka para penontonpun menjadi
semakin riuh, bersorak dan bertepuk tangan. Dan sorak sorai itu menjadi semakin membahana
ketika anak panah Agung Sedayu seakan-akan tanpa mereka lihat, demikian saja telah melekat
pada sasaran itu pula. agaknya ketika mereka dang asyik dengan anak panah Sidanti, Agung
Sedayupun telah melepaskan anak panahnya yang kedua.
Sekali lagi Sidanti mengumpat pula. Katanya dalam hati “Aku harus mengenai untuk yang
ketiga kalinya. Kalau anak itu mampu pula mengenai tiga kali, maka harus ditempuh cara yang
lain untuk menentukan siapakah diantara kita yang akan menjadi pemanah terbaik”
Tetapi Sidanti itu menjadi terkejut. Tiba-tiba meledaklah sorak para penonton seperti akan
meruntuhkan langit. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya sebuah anak panah lagi telah
ikut serta dalam putaran bandul diatas kepala Sonya. Agaknya dengan cepat Agung Sedayu
telah melepaskan anak panahnya yang ketiga.
“Gila” desisnya. Ketika itu ia mendengar Widura sudah mencapai hitungan yang kesebelas.
Dengan hati-hati Sidanti mengangkat busurnya. Kali ini ia harus benar-benar dapat
mengenainya dengan tepat. Kalau tidak, maka Sedayu sudah akan menyisihkannya pada
babak yang pertama. Namun ternyata Sidanti adalah pembidik yang baik. Panahnya yang
terbang secepat kilat itupun kemudian mengenai sasarannya pula, disambut oleh sorak yang
semakin bergelora. Lapangan dimuka banjar desa itu benar-benar seperti akan meledak.
Agung Sedayu masih berdiri ditempatnya sambil mengamat-amati sasaran yang kini sudah
tidak diputar lagi. Dengan kedua tangannya Sonya mengacung-acungkan bandul itu sambil
berteriak “Enam panah!”
Widura itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Kalian ternyata mempunyai
kecakapan yang sama. karena itu, biarlah kita adakan permainan yang lain. Namun aku belum
tahu, apakah sasaran yang lebih baik dapat kita gunakan”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, namun iapun belum tahu sasaran apakah yang
sebaiknya dipergunakan. Sedang Agung Sedayu lagi sibuk emdnegarkan orang menyebt-
nyebut namanya. Ia menjadi berbangga juga karenanya. Bahkan kemudian timbul juga
keinginannya untuk mendapat pujian yang lebih besar dari para penonton itu. Untuk sesaat ia
melupakan pula akibat-akibat yang bisa terjadi. Sebab ia telah membebankan seluruh tanggung
jawab kepada pamannya.
Terasa sesuatu menjalar didalam dada Agung Sedayu. Belum pernah ia sepanjang umurnya
mendapat pujian semeriah ini. Pada masa-masa kecilnya, ibunya selalu memujinya. Namun
bukan karena ia berbuat sesuatu. Ibunya memuji untuk menyenangkannya saja.
Apapun yang dlakukannya maka ibunya tidak pernah mencelanya. Sedang ayahnya sekali-
sekali sering memujinya pula apabila ia berhasil berbuat sesuatu menurut kehendak ayahnya.
Tetapi ayahnya lebih sering kecewa terhadapnya dari pada memujinya. Bahkan sering ia harus
menangis kalau yahnya menyuruhnya mengulang dan mengulang suatu perbuatan yang tak
dapat dilakukannya. Betapa sulitnya latihan-latihan yang diberikan ayahnya dahulu kepadanya.
Memanah, bandil dan bermacam-macam ketangkasan membidik. Namun ayahnya selalu
mengatakan kepadanya “Kau mampu Sedayu, kau pasti mampu melakukannya” Dan akhrinya
ternyata, setelah ayahnya memberinya contoh berkali-kali, akhirnya ia mampu juga
melakukannya. Berkali-kali ia diajak ayahnya berdiri dipematang dengan busur ditangan. Ia
harus mendapatkan tiga ekor burung dengan tiga batang anak panah. Burung yang tidak boleh
dikenainya diatas tanah atau dahan-dahan kayu. Burung itu seakan-akan harus dipetiknya dari
udara. Namun akhirnya ia berhasil juga. Kalau ia menangis karenanya, ayahnya berkata
kepadanya “Agung Sedayu, apakah kira-kira yang akan dapat kau lakukan? Kau tidak berani
memegang tangkai pedang, apakah kau juga tidak mampu memegang busur?”
Kalau ibunya mendengar pertanyaan itu, maka ibunya selalu menjawab “Apakah dalam hidup
ini tidak ada pekerjaan yang lebih baik dari berkelahi?”
Dan ayahnya menjawab “Tentu, tentu ada. Dan anak-anakku seharusnya tidak berkelahi.
Tetapi mereka harus menjadi laki-laki jantan yang mampu menempatkan dirinya dalam segala
keadaan. Ia harus menjadi seorang yang dapat melakukan pengabdian dalam segala bentuk.
Mereka harus menghindari segala bentuk kekerasan, namun merekapun harus dapat
melenyapkan kekerasan. Kekerasan yang bertentangan dengan rasa pengabdiannya. karena
itu merekapun harus dibekali pula dengan ilmu yang mungkin akan berguna bagi pengabdian
mereka. Melawan kejahatan, bukan untuk sebaliknya”
Apabila demikian, maka ibunya segera memeluknya sambil mengusap air mata. Bisiknya
“Biarlah pekerjaan itu dilakukan orang lain. Tetapi bukan anakku. Kekerasan akan dapat
berakibat buruk perkelahian dapat meneteskan darah. Aku tidak mau kehilangan lagi”
Ayahnya tidak membantah lagi. Bahkan ayahnya selalu berkata dengan lembut “Maafkan aku
nyai. Aku masih selalu ingat pada masa-masa mudaku”
Tetapi kalau ia kemudian keluar dari bilik ibunya, Untara, kakaknya berkata kepadanya “Ibu
sekarang berubah. Ibu dahulu ikut berbangga kalau ayah berhasil melenyapkan kejahatan.
Meliindungi orang-orang lemah dari penindasan. Ibulah yang sering menggosok pedang ayah
dengan minyak dan getah-getahan untuk menjadikan pedang ayah mengkilat seperti bersinar.
Dan ibu pulalah yang menggosok busur ayah dengan angkup kayu sehingga busur itu menjadi
gemerlapan”
Suasana yang demikian itulah yang kemudian membentuknya menjadi seorang yang kerdil.
Ibunya yang selalu memanjakannya dan menakut-nakutinya dengan segala macam cara.
Menyekapnya dalam pelukannya. Apabila ia bertanya “Ibu, bukankah ibu dahulu berbangga
atas kejantanan ayah?” Maka ibunya akan menjawab “Sebuha mimpi yang menakutkan anakku.
Itu terjadi pada masa-masa ayahmu masih muda. Ternyata kini ayahmupun menyadarinya.
Bahwa tak ada yang dapat dicapainya dengan pedang ditangan. Tak akan ditemui ketentraman
dan kedamaian dihati: dan ayahnyapun pernah pula mengatakannya demikian. Namun menurut
ayahnya, dunia masih tetap sepeti keadaannya. Parah, karena kejahatan, nafsu, kebencian,
dan segala macam bentuk kekerasan, karena itu maka segala itu harus mendapat imbangan.
Tetapi harus memiliki landasan yang berlawanan. Dan landasan itu adalah cinta kasih antar
sesama. Kalau sekali-sekali harus digenggamnya tangkai pedang, maka haruslah dilandasi
pula dengan cinta kasih. Untuk menegakkan sendi-sendi kehidupan manusia dan kemanusiaan
berdasarkan cinta kasih itu.
Dan terjadilah benturan-benturan perasaan didalam dada Agung Sedayu. Ia menjadi seorang
penakut karena ibunya, namun angan-angannya kadang-kadang membumbung tinggi dalam
sifat-sifat kejantanan dan kesatriaan.
Perasaan-perasaan itulah yang kini sedang saling mendesak. Seorang jantan tidak boleh
membiarkan dirinya dihina tanpa sebab. Seorang jantan harus mempertahankan namanya demi
kebenaran seperti mempertahankan nyawanya. Kalau nama itu lenyap, maka biarlah lenyap
pula nyawanya. Tetapi dilain pihak, betapa tiba-tiba lututnya menjadi gemetar apabila ia
dihadapkan pada persoalan-persoalan yang dapat menimbulkan pertentangan.
Agung Sedayu yang kini sedang berdiri diarena itu masih mendengar tepuk tangan yang
semakin lama menjadi semakin surut. Dilihatnya pula, pamannya sedang berbicara dengan
beberapa orang. Diantaranya Ki Demang Sangkal Putung dan Citra Gati. Agaknya mereka
sedang sibuk mencari kemungkinan untuk membua sasaran yang lebih sulit dari sasaran-
sasaran yang pernah dibuatnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Sidanti berdiri dengan
angkuhnya. Dengan acuh tak acuh anak muda itu melihat Widura yang sedang sibuk itu.
Sekali-sekali Sidanti itu memandang berkeliling lapangan dan melambaikan tangannya
menyambut lambaian tangan anak-anak muda yang mengaguminya.
Agung Sedayupun kemudian memandang sekeliling lapangan. Orang-orang berjejal-jejal itu
seperti sudah tidak sabar lagi menunggu. Beberapa orang yang sudah berteriak-teriak dan
dengan tidak sabar mereka melambai-lambaikan tangan mereka. Ketika dilihatna Sekar Mirah,
maka dada Agung Sedayu itupun berdesir. Gadis itu tersenyum kepadanya. Senyum yang aneh
“Ah” katanya dalam hati. “Baru tadi aku lihat ia tersenyum dan memuji-muji Sidanti”. Namun
gadis itu mempunyai kesan yang aneh didalam hatinya. Tiba-tiba timbullah keinginannya agar
Sekar Mirah itu selalu tersenyum kepadanya, tidak kepada Sidanti.
Sorak sorai ditepi lapangan, serta senyum Sekar Mirah itu agaknya berpengaruh juga dihati
Agung Sedayu. Ternyata didalam hatinya yang kerdil itu tumbuh juga keinginannya untuk
mempertahankan namanya.
“Sidanti itu pasti tidak akan mendendam” pikirnya “Ia seharusnya bersikap jujur. Kalah atau
menang. Akupun demikian juga. Namun aku mengharap untuk memenangkan pertandingan ini.
Seandainya, ya seandainya Sidanti itu marah kepadaku, biarlah paman Widura
menyelesaikannya”
karena itulah maka kemudian Sedayu berketetapan hati untuk berbuat sebaik-baiknya. Akan
ditandinginya apa saja yang akan dilakukan oleh Sidanti. “Tetapi seandainya aku mampu”
desanya didalam hati.
Widura masih sibuk berbicara dengan Ki Demang Sangkal Putung. Agaknya mereka belum
menemukan cara yang paling baik untuk mengadakan pertandingan berikutnya.
Sidanti yang berdiri disamping Agung Sedayu itupun menjadi tidak sabar. Ia ingin segera
mengakhiri pertandingan itu. Ia ingin segera mendengar orang-orang disekitar lapangan itu
bertepuk gemuruh untuknya. Dan ia ingin anak-anak muda Sangkal Putung melambaikan
tangannya kepadanya dan mengelu-elukannya, mengikutinya dibelakang sambil memujinya
sampai dikademangan. Dan lebih dari itu, ia ingin Sekar Mirah itupun berjalan disampingnya
sambil mengumpati Agung Sedayu yag ternyata tidak mampu melampaui kecakapannya.
Karena itu, maka anak muda yang sombong itu tiba-tiba bereriak “Kakang Widura. marilah kita
akhiri prtandingan ini supaya kita tidak berlarut-larut, membidik sasaran yang terlalu baik seperti
perlombaan anak-anak saja. Biarlah sekarang aku dapat menganjurkan cara yang baik”
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru, dan orang-orang yang sedang sibuk berpikir
itupun berpaling kepadanya. Dengan ragu-ragu Widura berkata “Apakah cara itu?”
Seklai Sidanti berpaling kepada Agung Sedayu, kemudian katanya “Namun terserah juga,
apakah adi Sedayu sanggup melakukannya. Kalau tidak, biarlah aku mempertunjukkan
permainan itu sendiri. Dengan demikian pemenang pertandingan ini segera dapat ditentukan”
“Ya” sahut Widura “Tetapi bagaimanakan cara itu?”
Sidanti tersenyum. jawabnya ”Agak sukar dimengerti. Tetapi aku pasti dapat melakukannya“.
Sidanti itu berhenti sebentar. Sengaja ia membiarkan orang-orang yan gmendengar kata-
katanya itu menjadi semakin bernafsu untuk mengetahuinya. Baru sesaat kemudian ia berkata
“Cara yang pasti akan menarik perhatian”
“Ya” sahut Citra Gati tidak sabar “Jangan melingkar-lingkar. Sebutkan cara itu”
“Jangan tergesa-gesa kakang Citra Gati. Kau pasti akan keheranan. Melihatpun kau tak akan
dapat mengerti, apalagi melakukannya”
Citra Gati tersinggung karenanya. Maka jawabnya lantang “Jangan sombong anak muda. Kau
masih belum mampu mengalahkan Macan Kepatihan dipertempuran, dan melampaui lawanmu
diarena pertandingan ini”
Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi dengan cepat Widura menengahinya “Nah baiklah.
Marilah kita mulai. Aku setuju dengan cara apapun yang kehendaki, asal masih dalam batas
kemungkinan dan tidak berbahaya. Kalau Sedayu tidak sanggup melakukannya, maka ia dapat
dianggap kalah”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali ia tersenyum dan sekali lagi ia
memandang wajah Agung Sedayu. Kini Agung Sedayulah yang menjadi acuh tak acuh. Apapun
cara itu, ia akan menerimanya. Kalau masih mungkin dilakukan oleh Sidanti maka iapun akan
mempunyai kemungkinan yang sama.
Citra Gati masih bersungut-sungut, bahkan katanya dalam hati “Widura terlalu memanjakannya,
sehingga kepentingan kemenakannya sendiri sama sekali tidak diperhatikannya”
Dalam pada itu terdengarlah Sidanti berkata “kakang Widura, perintahlah salah seorang
melepaskan anak panah menyilang lapangan ini melambung keudara. Nah, biarlah kami
mencoba mengenainya”
Widura tertegun mendengar pendapat itu. Apalagi Ki Demang Sangkal Putung. Bahkan sesaat
Citra Gatipun terbungkam, namun kemudian bergumam lirih “Aneh, benar-benar aneh”
Sidanti melihat orang-orang itu menjadi keheranan. Karena itu, maka ia menjadi semakin
menengadahkan dadanya. Dengan lantang ia berkata “Marilah, sebelum senja. Supaya aku
masih dapat melihat anak panah yang terbang diudara itu”
Widura tidak dapat berbuat lain dari menyetujuinya. Meskipun demikian sekilas ia menyambar
wajah Agung Sedayu dengan pandangan matanya. Namun dilihatnya anak muda itu masih
acuh tak acuh saja. Sehingga dengan demikian maka Widura itupun tidak berkata apapun
kepadanya.
Sidanti yang melihat Agung Sedayu sama sekali tidak terperanjat mendengar usulnya itu, maka
ialah yang menjadi heran. Apakah anak itu tidak mendengar, atau anak itupun akan acuh tak
acuh terhadap pertandingan berikutnya. Dan teka-teki itu ternyata telah mendebarkan jantung
Sidanti. Meskipun demikian, ia masih dapat berteriak nyaring didalam hatinya “Ayolah Agung
Sedayu, yang merasa menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung, tandingilah Sidanti.”
Widura itupun km mengumumkan cara yang akan ditempuh atas usul Sidanti. belum lagi
mereka mulai dengan pertandingan itu, maka lapangan itu telah menjadi gempar. Para
penonton yang keheran-heranan itu telah menyambut pengumuman Widura dengan tepuk
tangan dan sorak sorai yang bergelora.
Hudayalah yang mendapat tugas untuk melepaskan anak panah menyilang garis bidik Sidanti
dan Agung Sedayu. Ia sendiri tidak dapat mengerti, bagaimana cara anak-anak muda itu akan
membidikkan anak panahnya. Namun Hudaya itu bergumam pula didalam hatinya “Bukan siatu
hal yang tak mungkin. Sebab laju anak panah itu dapat diperhitungkan”
Tetapi kemudian Swandarupun menjadi gelisah. Ialah yang pertama-tama berteriak-teriak
sepanjang jalan, bahwa bukan Sidantilah pemanah terbaik di Sangkal Putung. Namun sekarang
ia mendengar sendiri usul Sidanti itu. Memanah sebatang anak panah yang melaju diudara,
tentu lebih sukar mengenai sasaran kepala orang-orangan itu. Karena itu ia masih belum dapat
menebak, apakah Agung Sedayu dapat juga berbuat sebaik Sidanti. Kalau kemudian Agung
Sedayu tak mampu menandingi Sidanti, maka iapun pasti akan mendapat banyak kesulitan.
Agung Sedayu pasti akan marah padanya dan Sidanti akan semakin mentertawakannya.
Karena itu, maka Swandaru itupun mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak ditempatnya.
Bisiknya perlahan-lahan “Bagaimanakah tuan, apakah tuan mungkin juga berbuat demikian?”
Agung Sedayu menggeleng lemah, jawabnya “Entahlah Swandaru”
Swandaru menjadi semakin gelisah. Dalam pada itu, Hudayapun telah siap pula. kini Widura
sendirilah yang memegang bende untuk memberi tanda kepada Hudaya, kapan ia harus
melepaskan anak panahnya.
Ketika kemudian Sidanti telah menganggukkan kepalanya, maka dibunyikahlah bende itu. Dan
Hudaya menarik tali busurnya pula. sambil tersenyum ia membidik anak panah yang terbang itu.
Orang-orang yang berjejal-jejal ditepi lapangan itu menjadi diam kaku seperti beratus-ratus
patting yang berjajar-jajar. Semuanya memandang kearah anak panah Sidanti. Dan sesaat
kemudian anak panah itu meloncat dari busurnya. Cepat, melampaui kecepatan anak panah
Hudaya. Semua matapun kemudian seakan-akan terpancang pada anak panah itu. Wajah-
wajah yang tegang dan hati yang tegang pula.
Yang terjadi kemudian, betapa lapangan itu menjadi menggelegar, seakan-akan seribu guntur
meledak dilangit. Tepuk tangan sorai sorai dan bahkan diantara mereka melonjak-lonjak dan
menari-nari. Anak-anak muda saling berteriak-teriak dan orang-orang tua mengangguk-
anggukkan kepala mereka. “Luar biasa. Luar biasa” desisnya.
Citra Gati menggigit bibirnya, sedang Hudaya menggaruk-garuk kepalanya. Widurapun sesaat
terpaku diam ditempatnya. Semua mata melihat, anak panah Sidanti itu seakan-akan
menyongsong anak panah Hudaya dalam garis silang. Dan pada suatu titik yang condong,
anak panah Sidanti berhasil mengenai ekor anak panah Hudaya, sehingga kedua anak panah
itupun kemudian terpelanting dan berubah arahnya masing-masing.
Ketika Sidanti berpaling kearah Sekar Mirah, dilihatnya gadis itu melonjak-lonjak sambil
mengacung-acungkan tangannya. “Dahsyat” teriaknya. Sidanti tersenyum sambil mengangguk-
anggukkan kepalanya. Kemudian dilambaikannya tangannya kepada orang-orang yang masih
saja berteriak-teriak tak jemu-jemunya. Betapa mereka menjadi kagum. Seakan-akan mereka
tak percaya, bahwa hal yang demikian dapat terjadi. Dua batang anak panah saling berkejaran
diudara.
Tetapi ternyata hal itu telah terjadi dihadapan mata kepala mereka. Dan karena itu, maka
merekapun menjadi takjub.
Gemuruh dilapangan itupun kemudian mereda, ketika mereka melihat Widura mengangkat
tangannya. Kemudian dengan tangannya pula Widura memberi isyarat kepada Hudaya untuk
bersiap-siap. Kini pertandingan itu sampai pada penentuan terakhir. Semua orang itupun kini
terpaku memandang Agung Sedayu. Namun semua orang itupun telah menjadi ragu-ragu pula.
Apakah Agung Sedayu juga dapat melakukannya?
Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayu telah menjadi gemetar karenanya. Ia sama
sekali tidak menyangka bahwa Sidanti itu mampu berbuat demikian menakjubkannya. Dalam
dada anak muda itupun kini menjalar kebimbangan yang semakin lama semakin tebal. Karena
itu, maka tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat dingin yang mengalir tak putus-putusnya.
“Apakah kau sudah siap Sedayu?” terdengar suara Widura perlahan-lahan. Terasa pula pada
nada suaranya, keragu-raguan terhadap kemenakannya itu.
Agung Sedayu itupun mengangguk perlahan. Jawabnya “Sudah paman”
Widura memandang kemenakannya itu dengan seksama. Seakan-akan ia menyesal juga atas
pertandingan yang dilakukan itu. Kalau Agung Sedayu gagal, maka jiwanya yang kerdil itu akan
menjadi semakin kerdil. Ia akan menjadi semakin merasa dirinya tak berharga. Sedang Sidanti
telah melakukan suatu permainan yang mengagumkan. Meskipun demikian, pertandingan itu
harus dilangsungkan. Kalah atau menang. Sedayu harus menghadapinya dengan jujur.
Maka, setelah semuanya siap, dengan ragu-ragu Widura memukul bendenya sebagai pertanda
bahwa Hudaya harus melepaskan satu anak panah lagi.
Perlahan-lahan Hudaya mengangkat busurnya. Semua mata seakan-akan melekat pada anak
panah itu. Dan sesaat kemudian, anak panah Hudaya yang kedua lepas dari busurnya,
melambung keudara seperti anak panahnya yang pertama.
Kini semua mata dengan cepatnya berpindah ketangan Agung Sedayu. Ternyata Agung
Sedayu tidak membidik perlahan-lahan seperti Sidanti. Ia tidak menunggu anak panah Hudaya
melampaui titik yang tegak lurus dihadapannya. Dengan tangkasnya ia menarik tali busurnya
kuat-kuat, seakan-akan busur itu ingin dipatahkannya. Kemudian, semua orang menjadi tegang
karenanya. Kini anak panah itu melontar dengan cepat, secepat petir menyambar dilangit. Para
penonton tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk melihat anak panah itu. Namun yang
terjadi kemudian telah memukau mereka. Bahkan karena itu, maka lapangan itu menjadi sunyi
senyap. Seandainya sebatang jarum terjatuh, maka suaranya pasti akan mengejutkan seperti
suara guruh. Yang terdengar kemudian adalah suatu derak diudara. Kemudian sepi kembali.
Sesepi padang yang tak berpenghuni.
Beratus-ratus pasang mata tak sempat berkedip, sedang beratus-ratus mulut menjadi
ternganga karenanya.
Seperti orang bermimpi mereka melihat anak panah Agung Sedayu secepat tati menyambar
anak panah Hudaya tepat ditengah-tengah. Demikian kerasnya anak panah Agung Sedayu
sehingga anak panah Hudaya menjadi retak ditengah-tengah, dan terlontar kesamping terbawa
oleh anak panah Agung Sedayu.
Demikian kedua anak panah itu jatuh ditanah, mak semua orang yang terpukau itu seakan-
akan terbangun dari mimpinya. Dengan serta-merta maka meledaklah sorak sorai mereka.
Seperti gemuruhnya gunung runtuh menimpa ombak lautan yang dahsyat. Menggelegar
beruntun susul menyusul. Tidak saja anak-anak, namun orang-orang dewasa, anak-anak muda
Sangkal Putungpun berloncat-loncatan dilapangan itu. Menari-nari dan melemparkan apa saja
keudara. Caping-caping mereka, ikat pinggang selebar telapak tangan, tongkat-tongkat dan
bahkan terompah-terompah mereka.
Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayu melihat pula penturan kedua anak panah itu.
Terasa dadanya menjadi bergetar seakan-akan benturan anak panah itu terjadi didalam rongga
dadanya. Ia melihat pula kedua anak panah itu jatuh ditanah. Dan dengan serta-merta, ia
berlari sekencang-kencangnya, memungut kedua batang anak panah itu.
Sambil berlari-lari kembali anak yang gemuk itu berteriak-teriak sekeras-kerasnya seperti
sedang mabuk tuak. Katanya “Lihat, lihat. Anak panah paman Hudaya dikenai ditengah-tengah
sehingga menjadi retak karenanya”
Widurapun menjadi terpaku ditempatnya. Terasa sesuatu berdesir didadanya. Bahkan
kemudian mulutnya seakan-akan menjadi terbungkam. Dari tempatnya berdiri, ditatapnya wajah
Agung Sedayu. Dan seakan-akan terpancar dari wajah itu, bayangan wajah ayahnya. Ki
Sadewa., ipar Widura itu. Wajah itupun tampaknya memancarkan kerendahan hati yang tulus.
karena itu maka timbullah iba hatinya, kalau selama ini anak itu dibiarkannya kecemasan
tentang nasibnya.dan tiba-tiba pula terpancarlah janji didalam hatinya “Kalau aku mampu,
biarlah aku mencoba menjadikannya seorang anak muda yang berhati jantan. Kecakapannya
bermain panah, ketrampilannya berolah pedang dan bahkan kekuatan-kekuatan jasmaniah
yang tersimpand didalam tubuhnya, pasti akan memungkinkan anak itu melampaui anak-anak
sebayanya, bahkan akan dapat melampaui diriku sendiri”
Jang benar-benar tak dapat menahan perasaannya adalah Sekar Mirah. Gadis itu benar-benar
lupa akan dirinya. Seperti kuda yang lepas dari ikatannya ia berlari kencang-kencang kearah
Agung Sedayu yang masih berdiri ditempatnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Terasa
seseorang menangkap tangannya dan menariknya.
“Apakah yang akan kau lakukan?”
Sekar Mirah berpaling. Dilihatnya ayahnya memandangnya dengan tajam. Dan Sekar Mirahpun
menundukkan wajahnya. jawabnya “Tidak apa-apa ayah”
“Ingat Mirah” berkata ayahnya “Kau adalah seorang gadis”
“Aku tidak akan berbuat apa-apa ayah” sahut Sekar Mirah sekali lagi.
Ki Demang Sangkal Putung melepaskan tangannya sambil berkata “Jangan menodai namamu
sendiri. Bersoraklah kalau kau mau bersorak. Berteriaklah kalau kau mau berteriak. Namun
ditempatmu. Tak perlu kau pergi mendekat. Baik Sidanti maupun Agung Sedayu”
Sekar Mirah menggigit bibirnya. Namun dengan demikian ia mulai menyadari dirinya, bahwa ia
kini berada ditengah-tengah ratusan orang yang menyaksikan pertunjukan itu. Karena itu, ia
harus lebih hati-hati membawa diri. Meskipun demikian ia berkata juga “Ayah, aku hanya ingin
mengucapkan selamat atas kemenangan Agung Sedayu.”
“Siapa bilang ia menang?” semuanya yang mendengar pertanyaan itu menjadi terkejut,
sehingga serentak mereka berpaling. Ternyata mereka melihat Sidanti dengan wajah yang
merah membara. Dengan tajamnya ia memandang Sekar Mirah yang masih berdiri disamping
ayahnya. Agaknya Sidanti telah mendengar Sekar Mirah memuji Agung Sedayu dengan
kemenangannya.
Ketika Sekar Mirah melihat wajah Sidanti itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Namun ia
merasa erhak berbuat apapun sekehendaknya. karena itu, maka ia tidak mau dibentak-bentak
oleh Sidanti.
Tetapi sebelum ia menjawab, terasa ayahnya menggamitnya sambil berbisik “Diamkan anak itu”
Sekar Mirah memandangi wajah ayahnya dengan kecewa. Tetapi ia tidak bernai melanggarnya.
Namun ternyata terdengar jawab dari arah lain “Bukankah sudah, ternyata bahwa bidikan
Agung Sedayu lebih baik dari bidikanmu”
Warna merah di wajah Sidanti menjadi semakin menyala. Apalagi ketika ia menyadari bahwa
suara itu suara Swandaru. demikian marahnya Sidanti sehingga untuk sesaat ia bahkan
menjadi terbungkam. Namun tubuh dan dadanya menjadi bergetar.
Agung Sedayu yang melihat wajah Sidanti itupun tiba-tiba menjadi cemas pula. apakah anak itu
akan menjadi marah? Bahkan bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga Widura menjadi cemas.
karena itu segera wajah melangkah maju. Diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi sambil
berteriak diantara sorak para penonton yang masih saja menggema, katanya “Pertandingan
sudah selesai. Kedua-duanya berhasil mengenai panah-panah yang masih berada diudara.
karena itu maka kedua-duanya memiliki kecakapan membidik yang sama. Dengan demikian
dalam pertandingan ini tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah”
Mendengar keputusan itu, sorak para penonton justru menjad idiam. Mereka merasa aneh atas
keputusan itu. Meskipun benar, kedua-duanya dapat mengenai sasarannya, namun terasa
bidikan Agung Sedayu lebih tepat dari bidikan Sidanti. karena itu menurut mereka Agung
Sedayu dapat dianggap memenangkan pertandingan ini. Bahkan hampir bersamaan Hudaya,
Citra Gati, Sendawa meloncat masuk kelapangan. Yang mula-mula berkata adalah Citra Gati
“Apakah menilaian ini cukup adil?”
Widura mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan itu adalah wajar dan
bahkan didalam dirinya sendiri, timbul pula pertanyaan semacam itu.
Namun demikian, tebaran pandangan Widura tidak saja terbatas ditengah-tengah lapangan dan
membiarkan perasaannya berbicara. Pandangannya telah jauh melampaui batas-batas yang
dapat dilihatnya ditempat yang sempit itu. Dilihatnya disuatu tempat Tohpati telah mulai
menyusun kekuatannya, dan ditempat lain Ki Tambak Wedi seakan-akan selalu mengintipnya.
karena itu, ia dengan pertimbangan yang masak ia menjawab “Kita tidak menentukan, bagian
manakah yang harus dikenaik oleh pemanah-pemanahnya. Kita hanya melepaskan anak panah
keudara. Nah, salah seorang dari para pemanah itu membidik ekornya, yang lain membidik
tepat ditengah-tengah. Dan keduanya mengenai tepat diarah yang dikehendakinya. Bukankah
dengan demikian kedua-duanya telah berhasil?”
Hudaya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menjawab “Kami menjadi saksi. Perasaan
kami, aku dan para penonton, mengatakan bahwa Agung Sedayu lebih baik dari Sidanti.”
Widura mengerutkan keningnya. Ia benar-benar berada ditempat yang sulit. Ia tidak mau
melepaskan Sidanti. Tetapi Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan beberapa orang itu adalah orang-
orang yang menpunyai pengaruh yang kuat diantara laskarnya. Sudah tentu ia tidak dapat
bekerja berdua saja dengan Sidanti, atau dengan satu dua orang yang lain.
Sementara itu, sementara Widura sedang sibuk berpikir untuk memecahkan persoalan yang
sulit itu, terdengar suara Sidanti parau “Kakang Widura, pertandingan dapat diulangi. Kita harus
sampai paada penentuan, siapakah yang menang dan yang kalah. Kita tidak boleh menjadi
orang-orang banci”
“Bagus” teriak Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan orang-orang lain “Ulangi” teriak mereka.
Widura benar-benar menjadi pening. Namun ia harus mempunyai sikap. Maka katanya “Tidak.
Pertandingan sudah selesai. Tak ada gunanya kita ulangi. Aku sudah tahu pasti. Hasilnya akan
sama saja. Keduanya akan mendapat nilai yang sama”
“Tidak” teriak Sidanti. “Aku menuntut perlakuan yang adil. Tidak ada yang menentukan arah
bidikan pada panah yang dilepaskan oleh kakang Hudaya. Tetapi meskipun aku mengenai
tempat yang aku kehendaki, namun orang-orang menganggap bidikan adi Sedayu lebih tepat.
Aku ingin menghilangkan kesan itu”
Widura menggeleng. “Sudah aku katakan. Aku akan menyelenggarakannya lain kali”
“Sekarang” teriak Sidanti pula.
Suasana segera meningkat menjadi semakin tegang. Beberapa langkah Sidanti maju
mendekati Widura dengan wajah yang merah menyala. Sedang dari arah lain, Citra Gati,
Hudaya, Sendawa, Sonya, dan beberapa orang lagipun maju pula. wajah mereka tidak kalah
tegangnya dengan wajah Widura sendiri.
Sesaat Agung Sedayu menjadi bingung melihat perkembangan keadaan. Ia melihat Sidanti
menjadi marah, dan dilihatnya pula Hudaya dan kawan-kawannyapun menjadi tegang.
Sehingga setiap kemungkinan akan dapat terjadi. karena itu maka tiba-tiba berkata “Paman,
seandainya pertandingan ini diadakan lagi, maka aku tidak akan dapat mengikutinya”
Kata-kata itu seolah-olah merupakan penggerak yang menggerakkan setiap kepala untuk
berpaling kearahnya. Sidantipun memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Dan
bahkan Citra Gati yang tidak dapat menahan perasaannya berteriak “Kanapa?”
Sedayu menjadi berdebar-debar. Jawabnya “Aku tidak dapat melakukan permainan yang lebih
baik. Seandainya kakang Sidanti mempunyai cara yang lain, maka pasti aku tudak dapat
mengikutinya. Aku sudah sampai pada puncak kecakapan yang ada padaku”
“Bohong” teriak Sidanti dan Hudaya hampir bersamaan, meskipun maksudnya berbeda-beda,
sehingga keduanya menjadi terkejut karenanya. Namun yang meneruskan kata-katanya
hanyalah Sidanti “Kau hanya akan mempertahankan keadaan serupa ini. Dimana orang-orang
mempunyai kesan bahwa kau adalah pemanah yang lebih baik daripadaku”
Agung Sedayu menjadi bingung. karena itu ia tidak menjawab. sehingga yang menjawab
kemudian adalah Widura “Sedayu berkata benar. Kalau Sidanti masih mungkin melakukan
permainan yang lebih baik lagi, maka Sedayu akan kalah”
“Tidak adil” teriak Citra Gati.
“Tidak adil” teriak Sidanti “Kesan orang-orang akan menjadi semakin menguntungkannya.
Seolah-olah ia sekedar mengalah untuk memberi kesempatan kepadaku. Tidak. Bukan
perlakuan jantan bagi Sidanti. Sidanti tidak sekedar ingin mendapat perlakuan yang cengeng
Sidanti adalah seorang anak muda yang jantan”
Kata-kata itu benar-benar berkesan bagi Widura. bahkan Hudaya, Citra Gati dan yang lain-
lainpun terdiam pula karenanya. Betapapun mereka harus mengakui kelebihan Sidanti daripada
mereka, meskipun apabila mereka dihadapkan pada suatu keadaan yang memaksa, mereka
tidak takut pula melawan Sidanti.
Lapangan itu tiba-tiba menjadi hening. Dengan hati yang semakin tegang, mereka, para
penonton itu melihat keadaan yang semakin tegang pula. Beberapa orang laki-laki telah
mendekat mereka. Dan membentuk sebuah gelang memagari mereka yang sedang bertengkar.
Yang berkata kemudian adalah Widura tegas “Tak akan ada pertandingan lagi”
“Ada” sahut Sidanti.
Sekali lagi Widura menjawab lebih keras “Tidak!”
Tetapi tiba-tiba hati Widura itu berdesir. Ditengah-tengah lingkaran orang-orang yang melihat
keributan itu, tiba-tiba terjatuh sebuah benda yang benar-benar mengejutkannya. Sepotong
besi yang lengkung hampir berbentuk lingkaran. “Setan” Widura mengumpat didalam hati. “Ki
Tambak Wedi itu ada pula disini”
Ketika ia memandang wajah Sidanti, dilihatnya anak muda itu tersenyum. senyum yang sangat
menyakitkan hati. Sementara itu beberapa orang menjadi heran juga. Namun tak seorangpun
diantara mereka yang melihat, siapakah yang telah melemparkan sepotong besi ditengah-
tengah mereka. Meskipun demikian, beberapa orang menjadi berdebar-debar. Meskipun
mereka idak tahu arti sepotong besi itu selain Widura, namun mereka merasakan sesuatu yang
tidak wajar.
Ternyata benda itu sangat berpengaruh bagi Widura. ia tidak tahu pasti maksud Ki Tambak
Wedi, namun ia dapat menduga bahwa Ki Tambak Wedi telah memperkuat pendapat muridnya.
Dengan demikian maka Widura itu berpikir dan berpikir sehingga kepalanya hampir meledak
karenanya. Ditinjaunya segenap segi-segi. Kalai ia mengadakan pertandingan sekali lagi maka
persoalannya tidak akan terpecahkan. Apalagi Sidanti merasa bahwa ada semacam perlakuan
yang tidak wajar terhadapnya. Menang atau kalah, Sidanti pasti akan kecewa. Kalau ia kalah,
maka darahnya pasti akan semakin menyala, tetapi kalau ia kalah, maka ia akan menyangka
bahwa Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi ternyata guru Sidanti itu telah ikut
campur pula. bagi Widura yang sebaik-baiknya adalah bubar. Pulang ke kademangan. Namun
Sidanti menolak dan gurunya memperkuat. Sehingga untuk menjaga ketenangan kademangan,
apakah ia harus memenuhi permintaan Sidanti yang juga merupakan permintaraan dari Hudaya,
Citra Gati dan yang lain-lain, meskipun dalam perhitungan yang berlawanan?
Widura menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia hanyut oleh kehendak orang-orang yang
sedang kehilangan kejernihan pikiran itu. Hampir ia kehilangan ketetapan hati sebagai seorang
pemimpin.
Dalam keadaan yang demikian itu, ketika dada Widura sedang bergetar karena benturan-
benturan pertimbangannya, maka sekali lagi orang-orang yang berdiri melingkar itu terkejut.
Kali ini mereka melihat sebuah cemeti kuda melenting dan jatuh hampir menimpa Widura.
Widurapun terkejut pula karenanya. Tetapi tiba-tiba jantungnya serasa berhenti. Dengan nanar
ia memandang berkeliling. Namun yang dilihatnya adalah wajah-wajah yang tegang dan penuh
kecemasan. Widura tidak berhasil melihat seseorang yang dicarinya. Ia tidak berhasil
menemukan orang yang dapat disangkanya Kiai Gringsing. Namun ia pasti, bahwa orang aneh
itu hadir pula ditengah-tengah lapangan. Cemeti kuda itu telah memberitahukan kepadanya,
bahwa orang itu ada didekatnya.
Dengan demikian, maka pertimbangan-pertimbangan Widura yang hampir condong dan roboh
sama sekali itu itu, seakan-akan menemukan kekuatannya yang baru. Ia tahu benar maksud
Kiai Gringsing itu. Dan ia percaya bahwa Kiai Gringsing tidak hanya sekedar mengganggunya
seperti biasanya. Dengan cemetinya itu Kiai Gringsing pasti ingin berkata kepadanya “Jangan
hiraukan orang yang bergelang besi itu, biarlah ia menjadi urusanku”
Dan kini sekali lagi Widura mengangkat wajahnya. ia melihat Sidanti keheran-heranan melihat
cemeti itu. Juga Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain. Namun ketika ia memandang Agung
Sedayu dilihatnya wajah Agung Sedayu tidak lagi sepucat tadi. Agaknya Agung Sedayupun
mengenal cemeti itu pula. dan tanpa disengaja, hatinya menjadi tenang. Kiai Gringsing yang
belum dikenalnya baik-baik itu, telah mencengkam kepercayaannya, sehingga seakan-akan
orang aneh itu dapat dipakainya sebagai sandaran apabila terjadi sesuatu.
Ketegangan itu kemudian dipecahkan oleh suara Widura tegas dan lantang “Tidak ada apa-apa
lagi. Itulah keputusanku!”
Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Betapa dadanya dibakar oleh kemarahan. Dengan demikian,
maka setiap orang di Sangkal Putung dan setiap orang yang melihat pertandingan itu, termasuk
kawan-kawannya sendiri, akan tetap berkesan bahwa Agung Sedayu telah mengalahkannya.
karena itu maka sekali lagi ia mencoba memaksakan kehendaknya, katanya “Kakang Widura,
aku minta pertandingan diadakan lagi”
Widura menggeleng, namun sebelum ia menjawab terdengarlah Citra Gati berkata “Apakah
keberatannya kakang. Marilah kita melihat keadaan dengan jujur. Siapa yang kalah biarlah ia
kalah dan siapa yang menang biarlah ia menang. Setan atau malaikat. Dengan demikian kita
melihat kenyataan dengan pasti”
Widura mengerutkan keningnya. Dengan tajam ia memandang Citra Gati. Jawabnya “Apakah
tujuan kita berada di Sangkal Putung ini? Apakah kita hanya sekedar ingin mengetahui
siapakah diantara kita yang paling sakti dan paling cakap? Bahkan apakah cukup apabila kita
menemukan siapakah diantara kita yang paling benar dan paling jujur? Sedang tujuan pokok
dari perjuangan kita tidak selesai. Ayo, katakan kepadaku, apakah dengan saling ribut diantara
kita, Tohpati dapat terselesaikan. Sisa-sisa laskar Jipang akan dapat kita batasi kegiatannya,
atau bahkan kita hancurkan. Sekarang katakan padaku, apakah tujuan pertandingan ulangan
ini jujur pula, sekedar untuk mendapatkan pemenangnya dengan kukur? Atau karena keinginan
kita sekalian untuk menunjuk kelemahan orang lain dan menghinakannya?”
Kata-kata itu benar-benar menusuk jantung Citra Gati. Sehingga orang itupun kemudian
menundukkan wajahnya. demikian juga Hudaya, Sendawa yang bertubuh raksasa dan Sonya
yang kecil serta beberapa orang lainnya. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Widura itu.
Sebenarnyalah bahwa pertandingan ulangan itupun tidak dilakukan dengan tujuan jujur. karena
itu, maka merekapun menjadi terdiam karenanya.
Tetapi ternyata kata-katawi itu tanpa disengaja telah menjadikan Sidanti makin marah. Ia
merasa bahwa didalam kata-kata itu tersembunyi pengertian-pengertian yang seakan-akan
memastikan bahwa Agung Sedayu akan dapat memenangkannya pula. pebih-lebih menurut
anggapan Citra Gati. karena itu, Sidanti tidak mau diam. Apalagi ketika diingatnya bahwa
gurunya ada pula dtempat itu. Katanya “Kenapa kakang Widura takut melihat kenyataan
seandaiknya adi Sedayu itu tak mampu menandingi kecakapanku?”
Sekali lagi dada Widura berdesir. Namun ia harus menahan diri. Ia tidak bileh hanyut dalam
arus perasaannya, supaya anak buahnya tidak menjadi berantakan karenanya. Tetapi sebelum
ia menjawab tiba-tiba meloncatlah seorang gadis yang telah kehilangan pengamatan diri.
Digoncang-goncangnya tubuh Agung Sedayu sambil berteriak “Kenapa tuan diam saja?
Kenapa tuan tidak menyanggupinya dan membuktikannya bahwa tuan dapat
memenangkannya?”
Bukan main terkejutnya Widura dan Agung Sedayu sendiri. Tetapi Hudaya, Citra Gati dan
Sendawa sama sekali tidak terkejut. Sejak tadi mereka melihat gadis itu menjadi gelisah.
Sekali-sekali ia maju, namun kemudian mundur kembali. Mereka melihat gadis itu meremas-
remas tangannya sendiri dan bahkan menghentak-hentakkan kakinya. Tetapi yang terkejut
sekali adalah Ki Demang Sangkal Putung. Dengan cepatnya ia meloncat dan menarik anaknya
itu ketepi. Dengan marahnya ia membentak “Mirah, apakah kau sudah menjadi gila?”
Sekar Mirah, gadis yang selalu hanyut menurut arus persaannya itupun terkejut pula. karena itu
ia menyesal, namun hal itu telah terlanjur dilakukannya. Ketika ia mencoba melihat wajah-wajah
disekitarnya, maka seakan-akan mereka itu memandangnya dengan heran, sehingga kemudian
Sekar Mirah itupun menundukkan wajahnya.
Tetapi apa yang dilakukan Sekar Mirah itu ternyata seakan-akan minyak yang ditumpahkan
kedalam api yang menyala didada Sidanti. Gadis itu benar-benar telah menggelaplan matanya.
Gadis yang selalu mengganggu perasaannya itu. karena itu tiba-tiba ia berteriak “Aku akan
melangsungkan pertandingan. Disetujui atau tidak disetujui. Tidak ada sasaran yang lebih baik
yang harus kita kenai. Ayo Sedayu bersiaplah. Sasaran itu adalah kita masing-masing!”
Kata-kata Sidanti itu seperti guruh yang menyambar setiap telinga yang mendengarnya. Kata-
kata itu jelas mereka mengerti maksudnya. Bukankah dengan demikian Sidanti telah
menjerumuskan dirinya dalam suatu perang tanding dengan senjata panah?
Belum lagi gema kata-kata itu lenyap, terdengar Sidanti itu berkata pula “Kita tentukan cara-
cara menurut kehendak kita sendiri. Jangan hiraukan orang lain kalau kau jantan. Kita berdiri
beradu pungung. Kita melangkah maju masing-masing sepuluh langkah. Kemudian siapakah
diantara kita yang paling cepat memutar tubuh kita, membidikkan anak panah dan mengenai
kepala lawan, itulah yang menang. Kita akan tahu dengan pasti, siapakah yang lebih baik
diantara kita. Sebab yang kalah dapat segera ditandai, mati”
Denyut nadi Sedayu terasa berhenti karenanya. Tantangan itu tak disangka-sangkanya. karena
itu betapa tiba-tiba terasa lututnya menjadi gemetar. Mati. Kata-kata itu sangat menakutkannya.
Ia tidak pernah berpikir untuk dibunuh atau membunuh. Apalagi dalam keadaan serupa itu.
Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayupun jadi tergetar karenanya. Disadarilah kini,
betapa jauh akibat yang sudah terjadi akibat kelancangannya. Kalau terjadi sesuatu atas
mereka, apakah ia Agung Sedayu ataupun Sidanti, maka itu benar-benar akan merugikan
Sangkal Putung. Sidanti telah berhasil menyelamatkan hidupnya pada saat ia melawan Tohpati,
dan Sedayupun selamat pula meskipun ia berpapasan dengan pande besi Sendang Gabus,
Alap-alap Jalatunda berempat. Dan sekarang, salah seorang dari mereka harus mati karena
tangan keluarga sendiri. Dengan demikian maka Swandaru itupun menyesal tak habis-habinya.
Tetapi ia sama sekali tidak tahu, bagaimana ia harus memperbaiki kesalahannya. Apalagi
sekali-sekali ia melihat ayahnya memandanginya dengan penuh penyesalan pula.
Widura masih tegak seperti patung. Kata-kata Sidanti itu, tak disangka-sangkanya. Juga
Hudaya, Citra Gati dan kawan-kawannyapun tidak menyangka. Namun Widura memakluminya,
bahwa Sekar Mirahlah sebab langsung dari keputusan Sidanti itu.
Ketika Widura itu memandang Agung Sedayu, ia melihat anak itu gemetar. Beberapa orang
lainpun melihat pula. namun mereka mempunyai sangkaan lain. Seperti Sidanti yang gemetar
karena marah, maka merekapun menyangka bahwa Agung Sedayu menjadi marah pula.
namun kemarahannya itu ditahannya, karena anak muda yang patuh itu takut benar kepada
pamannya. Dengan demikian maka semua mata kini memandang kepada Widura, seakan-akan
semua menunggu keputusan apakah yang akan diambilnya.
Tetapi kepala Widura itu benar-benar akan pecah karenanya. Ia kini tidak tahu, bagaimana ia
akan mengatasinya. Apakah ia sendiri harus mengambil keputusan yang dapat berakibat
dirinya sendiri yang harus berkelahi seperti beberapa waktu yang lalu. Dan ternyata pula
terdengar Sidanti berkata “Kali ini aku tidak mau dihalang-halangi. Siapapun yang mencoba
mencegahnya, orang itulah yang akan menjadi lawanku. Sekarang atau kapanpun”
Lapangan itu benar-benar dicengkam oleh ketegangan. Tak seorangpun yang berani berkata
sepatah katapun. Mereka melihat wajah-wajah yang kaku. Widura, Hudaya, Citra Gati, Agung
Sedayu. Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung. Sekar Mirah dan Sidanti sendiri. Bahkan
wajah Sidanti itu kini benar-benar telah menjadi merah biru.
Widura yang tahu benar perasaan Agung Sedayu, menjadi semakin bingung. Kalau saja anak
itu berani dan menghadapinya dengan tatag, maka ia yakin bahwa Sidanti tak akan dapat
mendahuluinya. Widura itu yakin benar, bahwa anak-anak Ki Sadewa telah mewarisi
keahliannya dalam berbagai senjata bidik. Tetapi hati Agung Sedayu adalah hati yang kerdil.
Meskipun demikian, apabila keadaan memaksa ia harus membesarkan hati anak itu. Ia harus
mencoba meyakinkah bahwa ia akan menang. Dan keputusan itu akhirnya menjadi bulat
didada Widura. Ia tidak melihat persoalan lain lagi. Namun ia hanya ingin merubah tata cara
pertandingan itu. Tidak sampai mati. Dan yang harus dikenai bukanlah tempat-tempat yang
berbahaya. Namun apakah Sidanti yang menjadi seolah-olah gila itu mau menerimanya dan
apakah meskipun sudah diperlunak itu Agung Sedayu berani menghadapinya.
Dada Widura menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar Sidanti berteriak “Minggir.
Pertandingan akan dimulai”
Ketika semua orang menyibak, maka Agung Sedayu menjadi semakin takut. Dipandangnya
wajah pamannya, dan hampir-hampir ia berteriak memanggilnya. Hampir ia kehilangan rasa
malunya untuk sedikit saja mepertahankan namanya yang selama ini menjadi semakin
dikagumi.
Lingkaran yang mengitari mereka yang sedang dibakar oleh ketegangan itu, semakin lama
menjadi semakin luas. Sementara itu Sidanti sudah bergerak setapak maju. Namun Widura
dengan wajah yang tegang kaku masih berdiri ditempatnya. Ketika ia memandang wajah
Sidanti, dilihatnya wajah itu telah benar-benar menjadi sedemikian liarnya. Dalam pada itu,
Widurapun menyadari, bahwa Sidanti benar-benar tak akan dapat diajak berbicara. Kehadiran
gurunya agaknya berpengaruh juga kepadanya. Sebab dengan demikian ia menyangka, bahwa
apa yang dikehendakinya pasti akan terpenuhi.
Tetapi Widura itupun memperhitungkan kehadiran Kiai Gringsing. Ia tidak tahu pasti, apakah
Kiai Gringsing akan dapat mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi apabila diperlukan. Namun
ia pernah melihat, tangan Kiai Gringsing itu mampu meluruskan kembali sepotong besi yang
melengkung karena tangan Ki Tambak Wedi, sehingga untuk sementara, maka ia dapat
mengabaikan kehadiran guru Sidanti. Biarlah Kiai Gringsing mengurusnya.
Ketika keadaan semakin meningkat, maka Widura tidak dapat tetap berdiam diri ditempatnya. Ia
harus berbuat sesuatu. Kalau mungkin mengurungkannya. Kalau tidak, apapun yang dapat
mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan.
karena itu, maka dengan lantang ia berkata “Bagus, pertandingan akan segera dimulai. Tetapi
kita belum menentukan peraturannya”
“Aku tidak memerlukannya” teriak Sidanti. Aku sudah menetapkan peraturan itu”
“Apakah hakmu?” bertanya Widura.
“Akulah yang berkepentingan” jawab Sidanti.
“Aku yang berkuasa disini” sahut Widura tidak kalah lantangnya “Aku akan membuat peraturan”
“Tidak” jawab Sidanti pula “Apapun yang akan kau lakukan, aku tetap pada pendirianku. Aku
akan membidik jantung Agung Sedayu dan membunuhnya. Meskipun Agung Sedayu tidak
melawan”
Dada Widura kini telah bergetar semakin cepat. Sedemikian peningnya kepalanya, sehingga ia
hampir muntah karenanya. Kini ternyata Sidanti tak dapat diajaknya berbicara. karena itu maka
ia harus berbuat sesuatu. Adalah tidak adil apabila dibiarkannya Agung Sedayu mati ketakutan.
“Apakah kau sudah tetap pada pendirianmu?” bertanya Widura kepada Sidanti.
“Jangan hiraukan aku” kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “Aku akan berdiri
dibelakangmu beradu punggung. Aku mengharap seseorang menghitung sampai hitungan yang
kesepuluh. Nah, kemudian kau atau aku yang akan mati”
Widura telah benar-benar kehilangan kesempatan. Maka tak ada yang dapat dilakukan kecuali
mencoba menyelamatkan Agung Sedayu. karena itu dengan langkah yang panjang ia berjalan
disamping Agung Sedayu. Widura itupun berhenti sesaat. Ditatapknya wajah kemenakannya itu
dengan penuh iba. Namun dari mulutnya meluncurlah kata-katanya perlahan sekali “Matilah
kau pengecut. Apapun yang akan kau lakukan, kau pasti akan mati dilapangan ini. Satu-
satunya jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan. Melawan. Mendahuluinya,
membidik dadanya, atau kepalanya atau bahu kanannya. Kalau kau tak sampai hati untuk
membunuh, maka yang dapat kau kenai adalah tangannya yang memegang busur itu.
Secepatnya, sebelum panahnya menembus otakmu. Kalau kau tak mampu melakukannya,
maka otakmulah yang akan dirobeknya dengan anak panahnya, dan jangan mencoba
menyebut nama Ki Sadewa. Itu hanya akan menodai nama kakak iparku. Hanya mulut yang
jantan sajalah yang pantas menyebut namanya”
Mendengar kata-kata pamannya, dada Agung Sedayu yang sudah gemetar menjadi semakin
gemetar. Namun tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh dikepalanya. Ia akan mati. Dan
sebenarnya ia takut sekali kepada mati itu. Sedang kini, tanpa diduganya ia dihadapkan pada
kekuasaan maut. Namun pamannya itu berkata “Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
dirimu adalah melawan”
Kata-kata itu melingkar-lingkar saja didalam benaknya. Betapa ia takut menghadapi lawannya,
namun betapa ia lebih takut lagi kepada maut. karena itu maka tiba-tiba ia dahadapkan pada
dua pilihan. Mati atau melawan.
Tubuh Agung Sedayu masih bergetar. Namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya. dipandangnya
wajah Sidanti yang menyala. Sesaat getar didadanya menjadi bertambah cepat. Namun
ketakutannya kepada maut itu telah semakin mendesaknya. Ia tidak mau mati, apalagi
ditengah-tengah lapangan dihadapan beratus-ratus orang, dan diantaranya adalah Sekar
Mirah.Terasa sesuatu bergolak didadanya. Dan karena itulah maka tubuhnya menjadi semakin
bergetar. Namun kini ia menemukan suatu sikap untuk menyelamatkan dirinya. Dan jalan satu-
satunya adalah melawan. Tak ada jalan lain. Kalau ia masih mungkin melarikan dirinya, maka ia
akan lari dan bersembunyi
Namun ia tahu pasti, demikian ia melangkah, maka anak panah Sidanti pasti akan hinggap
dipunggungnya. karena itu Agung Sedayu tidak berani melarikan diri.
Sedayupun terkejut ketika terdengar suara Sidanti menggelegar ditelinganya “Ayo Sedayu.
Siapkan busurmu”
Sedayu mengangkat wajahnya. dan tiba-tiba terdengar ia berkata dengan suaranya yang
bergetar “Swandaru, berilah aku anak panah”
Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Dan keteganganpun menjadi semakin
memuncak. Mereka segera akan menyaksikan suatu perang tanding antara dua anak muda
yang mereka angap memiliki kekuatan-kekuatan diluar kekuatan kebanyakan orang, sehingga
dengan demikian maka perang tanding ini pasti akan menjadi sangat dahsyatnya.
Widurapun terkejut mendengar jawaban Sedayu. Namun tiba-tiba dadanyapun bergelora. Ia
menjadi terharu melihat Agung Sedayu berusaha untuk mempertahankan hidupnya.
Tetapi meskipun demikian, perasaan khawatir merayap-rayap didalam dada Widura. meskipun
Agung Sedayu kemudian berusaha untuk menyelamatkan dirinya, namun betapapun juga,
hatinya yang kerdil pasti masih akan mengganggunya. Dengan demikian, Widura kembali
menjadi ragu-ragu apakah Agung Sedayu akan berhasil menyelamatkan dirinya. Tetapi
seandainya terjadi sesuatu, maka lebih baik apabila Agung Sedayu itu menghadapinya secara
jantan daripada mati seperti kelinci betina.
Swandarupun dengan tangan yang gemetar pula menyerahkan sebatang anak panah kepada
Agung Sedayu. Betapa ia menyesal. Namun semuanya telah terjadi, dan kini ia tinggal
menunggu akibat dari perbuatannya.
Sementara itu Sidantipun telah memegang sebatang anak panah pula. kini ia maju lagi
beberapa langkah. Kemudian ia berkata dengan lantang “Siapakah yang akan mengucapkan
hitungan sampai sepuluh?”
Lapangan itu menjadi hening seketika. Tak seorangpun yang menjawab. karena itu Sidanti
mengulangi lebih keras lagi “Ayo, siapakah yang akan mengucapkan hitungan?”
Kembali lapangan itu tenggelam dalam kesepian. Gema suara Sidanti itupun kemudian lenyap
pula. sehingga dengan demikian Sidanti menjadi semakin marah karenanya. Ia merasa seakan-
akan semua orang dilapangan itu sama sekali tidak menghargainya. Karena itu tiba-tiba ia
berkata “Ayo adi Sedayu. Suapaya aku tidak disangka curang, kaulah yang mengucapkan
hitungan itu”
Agung Sedayu tidak dapat menjawab kata-kata itu. Ia sedang sibuk berjuang melawan
perasaannya sendiri yang saling berbenturan. Namun Sidanti tidak menunggu Agung Sedayu
menjawab. ia langsung berjalan mendekati anak muda itu dan berdiri dibelakangnya beradu
punggung.
Sementara itu, sepasang mata yang tajam diatara para penonton, memperhatika
nperkembangan keadaan dengan seksama. Ia tersenyum ketika melihat Sedayu menerima
sebatang anak panah dari Swandaru. ia tersenyum pula ketika melihat Sedayu menempatkan
anak panah ditali busurnya. Namun meskipun demikian, orang yang bermata tajam itu dapat
menilai apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu
itu berhati jantan, maka kekalahannya tak usah dikhawatirkan. Namun didalam dada orang itu
bergolaklah perasaan seperti perasaan yang tersimpan didalam dada Widura. dan karena itu
pula ia menjadi cemas akan nasib anak muda itu.
Dalam pada itu, Sidanti sudah tidak sabar lagi. Ia sudah berdiri tegak dibelakang Agung Sedayu
beradu punggung. Namun Agung Sedayu masih belum mulai dengan hitungannya. Sehingga
Sidanti sekali lagi berteriak “Mulailah adi Sedayu. Kalau tidak akulah yang akan menghitung,
dan aku akan melangkah menurut irama hitungan itu. Aku tidak peduli apa yang akan kau
kalukan, namun sesudah hitungan kesepuluh aku akan melepaskan anak panahku ini”
Debar didada Agung Sedayu menjadi semakin cepat dan cepat saja. Sedang mulutnya masih
saja terbungkam. Ia sengaja tidak mau mulai dengan mengucapkan hitungan. Dibiarkannya
Sidanti menghitungnya. Ia ingin dapat memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya untuk
menindas perasaannya. Perasaan yang selalu mengganggunya. Bahkan kemudian dicobanya
untuk membulatkan tekadnya. “ Kalau aku ingin menghindari kematian, aku harus melawan.
Menghentikan sumber gerak dari terkaman kematian itu.”
Ssidanti kemudian benar-benar tidak sabar lagi. Apalagi ketika dilihatnya matahari telah
semakin rendah diatas cakrawala. Dengan agak silau Sidanti memandang punggung-punggung
bukit disebelah barat, sebagaimana ia menghadap. Kemudian katanya “Lihat, matahari hampir
terbenam.”
Tetapi Agung Sedayu masih berdiam diri, sehingga Sidanti yang telah kehabisan kesabaran itu
berteriak “Aku akan mulai dengan hitungan itu.”
Anak muda yang sedang dibakar oleh nyala kemarahan itu tidak menunggu lebih lama lagi.
Maka terdengarlah suaranya lantang “Satu” kemudian “Dua” dan sejalan dengan itu,
kakinyapun terayun maju, selangkah demi selangkah. Pada saat yang bersamaan Agung
Sedayupun bergerak pula, setapak demi setapak.
Tetapi tiba-tiba terdengar sebuah tawa yang lunak bergetar diantara para penonton yang
berjejalan itu. Meskipun demikian suara itu telah mengejutkan setiap orang yang berdiri
dilapangan. Apalagi ketika diantara derai tertawanya terdengar kata-katanya “Sidanti, ternyata
kau curang.”
Langkah dan hitungan Sidantipun terhenti pula. Mendengar kata-kata itu nyala didalam
dadanya serasa tersiram minyak. Dengan serta-merta ia berpaling sambil berteriak “tidak. Aku
tidak curang” namun Sidanti tidak segera dapat melihat orang itu. Orang yang telah
mentertawakannya.
Sementara itu terdengar orang itu berkata pula “Kenapa kau memilih arah itu? Bukankah
dengan demikian kau mengharap, bahwa apabila hitunganmu telah sampai hitungan ke
sepuluh, dan Agung Sedayu itupun berbalik maka sinar matahari yang silau ini akan
melindungimu”
“Gila” teriak Sidanti “Siapakah kau?” Sidanti benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu.
Memang, keadaan itupun mendapat perhatiannya pula, dan bahkan diperhitungkannya. Tetapi
ketika seseorang menebak dengan tepat, maka kemarahannya menjadi semakin menggelegak.
Bukan saja Sidanti namun Agung Sedayu,Widura, dan bahkan setiap orang menjadi sibuk
mencari orang yang berkata demikian itu. Setiap orang dengan menegakkan lehernya
memandang kesatu arah, ketempat orang yang telah menghentikan perang tanding yang
mendebarkan itu.
Dan akhirnya mereka melihat juga. Melihat orang yang berbicara itu sedang berjalan menyibak
orang-orang yang berdiri berjejalan dihadapannya.
Kata-kata orang yang belum diketahui itupun merupakan sebuah singgungan pada perasaan
Widura. Kenapa ia tidak melihat ketidakadilan itu? Baru kemudian ia menyadari, bahwa
alangkah berbahayanya seandainya pertandingan itu berlangsung. Demikian Agung Sedayu
memutar tubuhnya, maka segera ia akan segera menjadi silau karena matahari sudah
sedemikian rendahnya. Ternyata kemudian orang lainlah yang memberi peringatan akan hal itu.
Bukan dirinya pemimpin laskar Pajang yang bertanggung jawab di Sangkal Putung.
Karena itu Widurapun segera ingin tahu, siapakah orang itu. Dan orang itupun datanglah
kepadanya. Semakin lama menjadi semakin dekat menyusup diantara penonton yang sengaja
memberi jalan, sehingga akhirnya, muncullah orang itu ditengah-tengah lingkaran.
Demikian yang muncul dari antara para penonton, maka berdesirlah dada Widura. Betapa ia
terkejut melihat kehadirannya. Seorang anak muda yang sebaya dengan Sidanti. Bertubuh
kekar padat berwajah tenang dan terang. Dengan sebuah senyum yang segar anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum Widura sempat berkata sesuatu karena getar dadanya, terdengar Agung
Sedayu seakan-akan menjerit tinggi “Kakang. Kakang Untara. Kaukah itu?”
Untara, ia sebenarnyalah anak muda itu Untara, berpaling kepada adiknya. Kini ia tertawa.
Suara tertawanya masih selunak seperti suaranya yang pertama-tama diperdengarkan.
Kemudian terdengar ia berkata “aku datang untuk menyaksikan pertunjukkan yang
diselenggarakan oleh paman Widura”
Sekali lagi dada Widura berdesir. Dan yang didengarnya kemudian adalah suara ribut diantara
penonton. Ternyata mereka terkejut pula melihat kehadiran anak muda itu, apalagi setelah
Agung Sedayu menyebut namanya, Untara. Jadi itulah orangnya yang bernama Untara, kakak
Agung Sedayu. Dengan demikian, maka kembali para penonton itu berjejalan mendesak maju.
Mereka ingin melihat wajah anak muda yang namanya telah jauh lebih dahulu hadir daripada
orangnya.
Dada Widura kini telah menjadi tenang kembali. Dengan sebuah senyum yang tulus ia
mendekati kemenakannya. Diulurkannya tangannya sambil berkata lirih “Aku tidak dapat
mencegahnya”
Untara menyambut uluran tangan pamannya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata “aku senang melihat perang tanding ini. Namun aku ingin melihat perang tanding ini
berjalan dengan sempurna”
“Suatu kekhilafan, Untara” sahut Widura.
Sekali lagi Untara tertawa. Wajahnya yang terang itu kemudian memandang berkeliling. Setiap
wajah yang dipandangnya, maka tanpa sengaja, wajah itu mengangguk, dan dengan rendah
hati Untarapun menganggukkan kepalanya pula.
Sidanti yang melihat kehadiran Untara itu dadanya berdentang pula seperti melihat hantu yang
palin dibencinya. Wajahnya yang merah membara itu seakan-akan benar-benar telah menyala.
Kini ia melihat Untara itu berdiri dihadapannya. Sedang orang-orang disekitarnya telah
mendesak maju sekedar ingin melihat wajah Untara itu. Dengan demikian, maka Sidanti itupun
telah kehilangan segenap pertimbangannya.
Maka semua orang yang berada dilapangan itu tiba-tiba terkejut ketika mereka mendengar
Sidanti itu berteriak “Minggir. Pertandingan akan tetap berlangsung terus. Jangan hiraukan
orang yang tidak tahu menahu persoalannya”
Untara mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Widura, maka Widura itupun
memandangnya, seakan-akan minta pertimbangan kepadanya.
Untara mengangkat bahunya, katanya ”Kekuasaan didaerah ini berada ditangan paman Widura.
silahkan. Aku hanya ingin melihat apakah pertandingan ini akan berlangsung dengan jujur”
“Jangan menyindir” teriak Sidanti. “Aku tahu maksudmu. Meskipun semula aku tidak
memperdulikan matahari itu, namun seandainya hal-hal yang tak berarti itu harus
dipertimbangkan, baiklah kita menghadap arah utara dan selatan”.
Kembali terdengar Untara tertawa, sambil berkata “Jangan marah Sidanti.”
Terasa kata-kata itu menusuk jantung Sidanti seperti tusukan sembilu. Dengan
menggeretakkan gigi ia berkata lantang “Nah Sedayu. Kau dengar?”
Sedayu yang seakan-akan terpesona karena kehadiran kakaknya itu, tiba-tiba seperti
terbangun dari mimpinya. Ia terkejut ketika ia merasa Sidanti mendorongnya. Dan didengarnya
sekali lagi Sidanti berteriak “Bersiaplah”.
Seperti seorang anak yang mengharapkan sesuatu dari bapaknya Agung Sedayu memandang
wajah kakaknya. Dan tiba-tiba dilihatnya kakaknya itu mengangguk kepadanya. Hanya
mengangguk, namun anggukan kepala itu seperti telah mengalirkan suatu kekuatan baru
didalam hatinya. Kehadiran Untara yang tiba-tiba itu, benar-benar memperbesar hati Agung
Sedayu. karena itu, maka dengan gerak yang lebih tenang kini ia berdiri menghadap keutara,
sedang Sidanti berdiri dibelakangnya menghadap keselatan.
Dan ketika kemudian Sidanti hampir mengulangi hitungannya, terdengarlah Untara berkata
“Biarlah aku menolong kalian. Akulah yang akan menghitung sampai bilangan kesepuluh”
“Bagus” teriak Sidanti. “Mulailah”
Untara berjalan mendekati mereka yang telah berdiri beradu punggung itu. Terdengar ia
bergumam “Aku telah melihat pertandingan ini sejak permulaan. Dan aku mengagumi kalian
yang telah melakukan permainan yang aneh-aneh. Namun ternyata kalian hanya memanah
benda-benda mati. Sekarang kalian akan memanah benda-benda yang hidup, yang mungkin
mengelakkan diri dari kejaran anak panah kalian. Benar-benar pekerjaan yang tidak terlalu
mudah”
“Mulailah” potong Sidanti tidak sabar. Tetapi kata-kata Untara itu seakan-akan memberikan
petunjuk-petunjuk baru bagi Agung Sedayu. Memberikan petunjuk bahwa dalam perang tanding
yang demikian, maka mereka diperkenankan untuk mengelakkan serangan lawan.
Demikianlah maka akhirnya Untara itupun mulai dengan hitungannya.
Untara itu kini berdiri tegak. Sesaat ia memandang orang-orang yang melingkari mereka.
Kemudian dengan tenang ia berkata kepada para penonton “Mundurlah kalian. Jangan berdiri
diujung utara dan selatan. Kalau anak panah itu nanti tidak mengenai sasaran, maka kalianlah
yang akan terkena”
Penonton diujung utara dan selatan itupun mendesak mundur. Mereka menjadi takut, kalau
justru dada merekalah yang akan tembus oleh anak panah-anak panah itu. Namun setiap kata-
kata Untara itu, semakin meyakinkan Agung Sedayu, bahwa ia masih mungkin untuk
menyelamatkan dirinya dari maut. Ia masih mungkin mengelak, dan panah-panah itu masih
mungkin tidak mengenai sasaran.
Tetapi Sidanti menjadi semakin tidak sabar. Dengan marahnya ia berteriak sekali lagi “He
Untara. Apakah kau tidak sanggup menghitung?”
“Baiklah” sahut Untara. “Sekarang bersiaplah”
“Aku sudah siap sejak kau belum menampakkan dirimu” jawab Sidanti.
Untara tersenyum. kemudian selangkah ia maju. Dan kini mulailah ia menghitung
“Satu…dua…”
Suasana meningkat menjadi semakin tegang, semakin tegang, sejalan dengan bilangan-
bilangan yang disebutkan Untara. Untara sendiri sebenarnya menjadi cemas juga, seperti
Widura yang tegang kaku seperti patung batu. Namun baik Untara maupun Widura, bahkan
beberapa orang lain, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan beberapa orang lagi, ternyata berdoa
didalam hatinya, setidak-tidaknya Sedayu tidak menjadi binasa karenanya.
Kini bilangan-bilangan yan diucapkan Untara sudah semakin tinggi. “Enam…tujuh…” Dan
lapangan itu menjadi semakin hening. Tetapi dalam pada itu, tekad didalam dada Agung
Sedayu menjadi semakin bulat. Ia tidak mau mati.
Dan akhirnya sampailah hitungan itu pada akhirnya. Seperti bisul yang akan pecah disetiap
ubun-ubun penonton, terdegarlah Untara menyebut bilangan terakhir dengan suara gemetar
“Sepuluh ….”
Sidanti yan dibakar oleh kemarahan, hampir tidak sabar menunggu bilangan yang kesepuluh.
Dan ketidak sabarannya itu sama sekali tidak menguntungkannya. Demikian ia mendengar
Untara menyebut bilangan kesepuluh itu, dengan serta-merta ia memutar tubuhnya sekaligus
menarik busurnya. Hanya sesaat ia membidikkan panahnya, dan panah itu dengan cepatnya
meluncur kedada Agung Sedayu arah kekiri. Arah jantung.
Tetapi Agung Sedayupun telah memutar tubuhnya pula. ia tidak menyangka bahwa lawannya
bertindak secepat itu. Ia sama sekali belum pernah melihat, mengatahui dan apalagi mengalami
perang tanding semacam itu, sehingga karena itu ia masih ragu-ragu untuk melakukannya
meskipun tekadnya untuk menghindari maut telah bulat didalam hatinya. karena itu, ternyata
Sidanti berhasil mendahuluinya.
Dan sebenarnya Sidanti adalah pembidik yang bail. Panah itu dengan lajunya menuju
kesasarannya dengan tepat. Dada kiri Agung Sedayu.
Tetapi Agung Sedayu itupun sebenarnya bukan sebuah patung. Didalam tubuhnya tersimpan
berbagai macam ilmu yang tidak dapat diabaikan. Namun ilmi-ilmu itu seakan-akan tersimpan
dalam kotak yang tertutup.
Kini ia melihat sebuah anak panah meluncur dengan cepatnya, menuju kedadanya. karena itu,
dengan gerak naulriah maka Sedayu yang memiliki ketangkasan yang tinggi itupun segera
bergesar setapak sambil memiringkan tubuhnya.
Namun panah Sidanti terlampau cepat. Betapapun cepatnya gerak Agung Sedayu, namun ia
tidak mampu menghindari anak panah itu sepenuhnya. Sehingga dengan cepatnya panah itu
mematuk lengan kirinya. Tetapi untunglah bahwa anak panah itu tidak mengenai bagian yang
penting pada lengannya itu, sehingga anak panah itupun kemudian bergeser dan jatuh
disamping Agung Sedayu. Meskipun demikian, maka segera sepercik darah mengalir dari luka
itu. Semakin lama menjadi semakin deras.
Tampaklah Agung Sedayu menyeringai menahan sakit. Tetapi hanya sesaat. Ternyata darah
yang mengalir dari lukanya itu telah menghangatkan hatinya. Kini ia telah terluka, dan ternyata
demikianlah rasa sakit yang menggigit pundaknya. Rasa sakit itu kini tidak saja ditakutkannya,
namun sudah dirasakannya. Dan rasa sakit itu ternyata tidak seperti apa yang dibayangkannya.
Darah yang mengalir dari lukanya itu bukanlah pertanda akan kematiannya. Dan meskipun kini
darah itu telah mengalir, tetapi ia masih tetap berdiri tegak dan hampir luka itu dapat
diabaikannya. Tiba-tiba timbullah perasaan heran didalam dadanya. Apakah hanya perasaan ini
yang harus ditanggungnya. Alangkah ringannya. Bahkan berkatalah Agung Sedayu didalam
hatinya “Jadi ternyata aku tidak mati. Aku ternyata dapat juga membebaskan diri dari kematian
itu. Dan kini aku telah melakukannya. Perang tanding”
Terasalah sesuatu bergolak didalam dada Agung Sedayu. Terasa seakan-akan ia telah
melampaui suatu masa yang tidak pernah dibayangkannya. Terasa seakan-akan ia telah
menerobos suatu batas yang selama ini mengungkungnya. Dan sebenarnya dinding yang
memagari Agung Sedayu kini telah terpecahkan. Dan lenyaplah seluruh perasaan takutnya.
Kini Agung Sedayu itu tidak takut lagi kepada luka, kepada darah dan kepada maut sekalipun.
Sebab ternyata ia mampu menghindari maut, apabila Tuhan belum menghendakinya. “Ya”
katanya dalam hati, sebagai seorang yang percaya kepada Tuhan, akhirnya Sedayu itu
menemukan keyakinan “Aku tidak perlu takut mati. Sebab kematian adalah takdir Tuhan.
Ternyata kali ini aku telah bebas dari kematian itu, karena Tuhan belum menghendakinya”.
Bahkan kini Agung Sedayu mengangkat wajahnya. dipandanginya Sidanti yang berdiri gemetar
menahan marah, duapuluh langkah dihadapannya. Ditangannya kini masih tergenggam
sebatang anak panah. Sedang Sidanti telah melepaskan satu-satunya anak panahnya.
Ketegangan dilapangan itu segera sampai kepuncaknya. Ddg tajamnya Agung Sedayu
menandang lawannya. Sidanti, yang dalam pandangan mata Sedayu, kini tidak lebih daripada
dirinya sendiri. Sidanti itu tiba-tiba bukanlah seorang yang menakutkan lagi.
Agung Sedayu, meskipun pundaknya telah terluka, namun luka yang tidak begitu dalam itu
sama sekali tidak berpengaruh padanya. Kini ia dapat berbuat apa saja atas lawannya.
Betapapun tangkasnya lawannya itu, namun ia mempunyai banyak waktu untuk membidiknya,
menarik busurnya dalam-dalam dan melepaskan anak panah secepat tati. Dalam keadaan
yang demikian, alangkah sulitnya untuk menghindari, sebab setiap kali ia dapat melepaskan
anak panahnya dengan tiba-tiba.
Sidanti masih berdiri tegak seperti tonggak. Kini tubuhnya bergetar semakin keras.
Kemarahannya benar-benar telah memuncak sampai keubun-ubunnya. Meskipun demikian ia
tidak gentar menghadapi panah Agung Sedayu. Dengan kecepatannya bergerak ia yakin
bahwa ia mampu menghindari anak panah lawannya.
Tetapi Agung Sedayu itu masih belum membidik lawannya. Meskipun kini ia sudah dapat
melepaskan diri dari sebuah belenggu yang selama ini mengungkungnya dalam satu dunia
yang gelap, namun masih belum terlintas didalam angan-angannya untuk membunuh
seseorang. Itulah sebabnya maka ia masih berdiri dengan ragu.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara Sidanti serak “He Sedayu, apa yang kau tunggu?”
Agung Sedayu terkejut mendengar suara itu. Sekali lagi ia menatap wajah lawannya dengan
tajamnya. Wajah yang kras dan penuh dendam. Namun, betapa ia menjadi muak melihat wajah
Sidanti, tetapi perasaan itu belum dapat memaksanya untuk mencoba membunuh seseorang.
Dan kembali Agung Sedayu berdiri termangu-mangu.
Lapangan kecil itu kini benar-benar dikuasai oleh kesenyapan yang tegang. Matahari dilangit
menjadi semakin rendah. Warna-warna merah dengan segarnya membayang diujung-ujung
pepohonan dan menyangkut iditepi-tepi gumpalan mega dilagnit. Sekali-sekali tampak diudara
burung-burung cangak berbondong-bondong terbang pulang kesarangnya. Melintas dari arah
barat ketimur.
Dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar suara Untara dengan nada yang rendah “Agung
Sedayu. Pertandingan ini akan segera selesai apabila kau telah melepaskan anak panahmu itu”
Agung Sedayu menjadi semakin bimbang. Dicobanya untuk menenangkan perasaannya. Dan
dicobanya untuk memandang dada Sidanti. Tetapi, kembali ia tidak dapat memaksa dirinya
untuk membunuh seseorang meskipun orang itu telah bertekad untuk membunuhnya.
Yang terdengar kemudian kembali suara Untara “Agung Sedayu, adalah tidak bijaksana untuk
membunuh lawan yang sudah tidak berdaya”
Agung Sedayu berpaling kepada kakaknya, seakan-akan ia telah menemukan suatu
penyelesaian yang baik bagi perselisihannya. Ia dapat mengerti kata-kata kakaknya,
sebagaimana ia selalu mendengar cerita ayahnya dahulu, bahwa penyelesaian dari
persengketaan tidak harus ditandai dengan kematian.
Tetapi tanpa disangka-sangka, maka Agung Sedayu itu mendengar suara Sidanti menggelegar
“Agung Sedayu, aku bukan pengecut yang minta kau kasihani. Ayo kalau kau jantan. Cobalah
membunuh Sidanti”
Agung Sedayu mengangkat keningnya. Namun Untara itu berkata pula “Anak panah yang
sebatang itu hakmu Sedayu. Kemana saja kau bidikkan, maka perang tanding ini sudah selesai.
Dan semua persoalanpun selesai pula”
“Jangan turut campur Untara. Urusan ini sama sekali bukan urusanmu” bentak Sidanti sambil
menggertakkan giginya karena marah.
Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata Sidanti. Bahkan Widurapun kemudian
berkata “Kau benar Untara”
Agung Sedayu masih tegak dengan penuh kebimbangan. Ia kini telah berhasil menerobos
dinding yang menyekapnya dalam ketakutan. Namun ia masih belum dapat berbuat lebih jauh
daripada melihat kenyataan diri dan melihat kekuasaan yang menguasai hidupnya dan hidup
orang-orang lain. karena itu, ia menjadi semakin bimbang. Membunuh adalah perbuatan yang
melawan kehendak Tuhan.
Dalam kebimbangan itu tiba-tiba Agung Sedayu melihat serombongan brung cangak terbang
rendah melintas dilapangan. Dan tiba-tiba pula ia ingin melepaskan ketegangan yang
mencekam dadanya. Dengan serta-merta, ia mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian
satu-satunya anak panahnya itu meloncat dengan cepatnya, menyambar seekor cangak yang
terbang dengan tenang dan perlahan-lahan diatasnya.
Semua orang terkejut melihat perbuatan Agung Sedayu. Mereka hanya sesaat melihat Agung
Sedayu mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian mereka sudah melihat, seekor dari
burung-burung cangak itu terpelanting dan jatuh ditanah.
Agung Sedayu sendiri terkejut melihat hasil bidikannya. Cangak yang sama sekali tidak tahu
menahu persoalannya itu tiba-tiba jatuh menjadi korbannya. Namun, adalah lebih baik
melepaskan ketegangan didadanya dengan membunuh seekor burung daripada membunuh
Sidanti.
Tanpa diduga-duga sebelumnya, maka tiba-tiba semua orang yang berdiri dilapangan itupun
kemudian melepaskan ketegangan yang selama ini mencengkam dada mereka.
Dengan serta-merta meledaklah sorak-sorai yang gemuruh dengan dasyatnya, sedahsyat
gunung Merapi itu meledak. Mereka bersorak karena mereka melihat akhir dari perang tanding
itu tanpa jatuhnya korban. Mereka bersorak pula karena mereka melihat ketangkasan Agung
Sedayu. Beberapa orang dari mereka bergumam “Alangkah dahsyatnya anak muda itu”
Tetapi, bagi Sidanti, apa yang terjadi itu seakan-akan merupakan tamparan yang langsung
mengenai wajahnya. karena itu, maka darhnya menjadi seakan-akan mendidih. Ia sudah tidak
ingat lagi apakah yang sebaiknya dilakukan. Dengan gigi yang gemeretak ia meloncat maju
sambil berteriak “Perang tanding ini belum selesai. Aku tantang kau dengan cara yang lain”
Teriakan Sidanti itu benar-benar mengejutkan. Semua orang yang mendengar tertegun heran.
Bahkan Widura, Untara dan bahkan Agung Sedayu sendiri. mereka melihat Sidanti dengan
wajah yang menyala-nyala datang mendekati Sedayu. Dilemparkannya busurnya ketanah, lalu
berkata “Agung Sedayu. Ada seribu macam cara untuk melakukan perang tanding. Marilah kita
pilih salah satu diantaranya. Tidak mempergunakan jarak yang sejauh duapuluh langkah, tetapi
kita lakukan dalam jarak yang dekat”
Agung Sedayu menjadi bingung. Ia telah menghindari kemungkinan yang lebih buruk dari
perang tanding yang baru saja dilakukan. Ia dengan sengaja tidak membidik lawannya dengan
anak panahnya. Tetapi kini bahkan ia dihadapkan pada kemungkinan yang lebih jelek.
Namun dengan demikian, Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan orang-orang lain menjadi semakin
muak melihat kesombongan Sidanti. Hampir-hampir saja mereka tidak dapat mengendalikan
diri mereka pula. Tetapi yang maju kedepan adalah Widura “Cukup Sidanti. Jangan membuat
persoalan menjadi lebih parah”
Tetapi dengan kasarnya Sidanti menyahut “Apa pedulimu. Persoalan ini adalah persoalan
antara Sidanti dan Agung Sedayu”
“Tetapi aku kali ini tidak akan mengijinkan” berkata Widura pula.
“Aku tidak perlu ijinmu” bantah Sidanti.
Widura itupun kemudian menjadi marah pula. meskipun demikian ia tetap pada pendiriannya,
bahwa ia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi hancur karena menikam dada sendiri,
sementara Macan Kepatihan sudah soap untuk menerkam mereka. karena itu maka katanya
“Simpanlah tenaga kalian. Marilah kita adakan perlombaan yang lain. Kalau kalian tetap pada
pendirian kalian ingin melihat siapakah yang lebih unggul diantara kalian, nah perlihatkanlah
dalam perlawanan kalian atas Macan Kepatihan. Siapakah yang mampu membunuh Macan
Kepatihan, maka ialah yang menang”
“Aku tidak akan menunggu sampai kesempatan itu datang” jawab Sidanti. “Biarlah kita
melakukannya sekarang. Yang menanglah yang kelak harus membunuh Macan Kepatihan.
Kalau tidak biarlah ia dibunuh saja sama sekali”
“Aku tidak mengijinkan” berkata Widura tegas-tegas.
“Persetan” teriak Sidanti. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “Bersiaplah Agung
Sedayu. Marilah kita bertempur tanpa senjata. Kita akan sampai pada suatu kepastian,
siapakah yang akan mati diantara kita. Jangan berhenti sebelum keputusan itu jatuh”
Dada Agung Sedayu itupun bergelora. Setelah darah tertumpah dari luka dipundaknya itu, tiba-
tiba Agung Sedayu kini seolah-olah telah menemukan dirinya sendiri dalam nilai-nilai yang
sewajarnya. Karena itu tiba-tiba terdengar anak muda itu menggeram. Dengan tatagnya ia
berkata “Kalau itu yang kau kehendaki Sidanti, marilah aku layani”
Kembali suasana menjadi semakin tegang. Widura benar-benar terkejut mendengar jawaban
Agung Sedayu. Jawaban yang sama sekali tak disangka-sangka. Dan sebenarnya memang
Widura tidak tahu apa yang sudah bergolak didalam dada Agung Sedayu. Setelah ia
merasakan luka ditangannya, seakan-akan tumbuhlah kepercayaannya pada diri sendiri, bahwa
Sidanti bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan.
Untara tersenyum didalam hati mendengar jawabann Agung Sedayu. Katanya dalam hati
“Kalau anak itu selalu ikut saja bersama aku, maka tak akan ditemukannya kepercayaan pada
dirinya. Agaknya keadaannya selama ini telah memaksa dirinya untuk mencoba
menggantungkan nasibnya kepada diri sendiri”. namun meskipun demikian, Untara tidak
menghendaki perkelahian itu berlangsung. Ia dapat mengerti sepenuhnya, apa yang sedang
dijaga sebaik-baiknya oleh Widura. karena itu, maka Untara itupun berkata “Agung Sedayu.
Tidak seharusnya setiap tantangan kau terima. Kau dapat menolaknya untuk kepentingan yang
lebih besar dari kepentingan diri kita sendiri. Pertandingan hari ini sebenarnyalah telah selesai.
Laskar Pajang di Sangkal Putung hanya diperkenankan melakukan perlombaan memanah.
Lebih daripada itu tidak. Bahkan kalian telah melakukannya melampaui kebiasaan, dimana
kalian mempergunakan diri kalian untuk sasaran”
“Jangan ikut campur Untara” teriak Sidanti keras-keras. “Kedatanganmu kemari sama sekali
tidak kami harapkan. Pergilah dan kalau ingin menonton, nontonlah. Jangan ribut”
“Sidanti” jawab Untara “aku mencoba melihat jauh seperti yang dikatakan paman Widura.
Jangan mempertajam pertentangan diantara kita sendiri”
“Aku tidak perlu mendengar sesorahmu” bentak Sidanti. “Jangan gurui aku. Aku tahu apa yang
akan terjadi di Sangkal Putung. Kau sangka tanpa Agung Sedayu pekerjaan di Sangkal Putung
ini tidak akan selesai?”
Untara menarik alisnya. Sebelum ia menjawab, didengarnya Agung Sedayu berkata “Kakang,
berilah aku kesempatan”
Untara menjadi heran pula mendengar tekad adiknya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itu
berkata pula kepada Widura “Paman, biarlah aku mencobanya”
“Tidak Sedayu” jawab Widura dan Untara hampir bersamaan.
Rupanya Agung Sedayu itupun menjadi kecewa. Ledakan yang meronta-ronta didalam
dadanya setelah selama ini terkekang dalam suatu himpitan ketakutan, seakan-akan sedang
mencari salurannya. karena itu betapa tak terduga arus yang melanda dada Agung Sedayu itu.
Meskipun demikian, Agung Sedayu adalah seorang anak yang patuh kepada kakaknya sejak
masa kecilnya. Karena itu, maka ia tidak akan dapat memaksa seandainya kakaknya
mencegahnya
Tetapi Sidanti tidak menjadi reda karenanya. Seperti orang gila ia berteriak-teriak “Jangan
halangi aku. Siapa yang menghalangi aku itulah lawanku. Aku bunuh ia tanpa sebab”
Widura mengangkat wajahnya memandang wajah Sidanti yang telah benar-benar menjadi buas.
Sekali lagi ia ingin mencoba melunakkannya.
Dengan hati-hati Widura melangkah maju sambil berkata “Sidanti, sadarilah keadaanmu.
Keadaan kita bersama di Sangkal Putung ini. Jangan memandang keadaan dalam suatu
lingkungan yang sempit. Tetapi pandanglah seluruh persoalan yang kita hadapi”
Namun agaknya kata-kata Widura itu sia-sia saja. Sidanti telah menjadi seakan-akan wuru.
Yang ada didalam benaknya hanyalah kekerasan, perkelahian, dan membunun atau dibunuh.
karena itu ia menjawab “Jangan halangi aku”
Untarapun melihat, bahwa sama sekali tak ada kemungkinan untuk dapat mengekang Sidanti.
Karena itu maka ia akan berusaha untuk menyingkirkan adiknya. Apabila Agung Sedayu dapat
dijauhkannya, dan perkelahian iu dapat ditunda, maka nanti apabila kepala Sidanti telah
bertambah dingin, segala sesuatu akan dapat diselesaikannya dengan baik.
Karena itu, betapa kecewanya Agung Sedayu, namun ia tidak dapat berbuat apapun ketika
kakaknya menarik tangannya dan membawanya meninggalkan tempat itu.
Tetapi sebelum Agung Sedayu dan Untara berhasil menerobos lingkaran yang pepat itu
terdengar Sidanti berteriak “Jangan pergi pengecut. Tak ada gunanya. Aku akan mengejarmu
sampai keujung bukit Merapi itu sekalipun”
Namun Untara tak menghiraukannya. Didorongnya adiknya dan disibakkannya orang-orang
yang mengerumuninya. Meskipun demikian Sidanti yang gila itu meloncat maju sambil berteriak
lebih keras lagi “Berhenti pengecut”
Widuralah yang kemudian kehabisan kesabaran. Ia sudah menjadi sedemikian bingungnya
mencegah perkelahian itu. karena itu, tiba-tiba iapun berteriak nyaring “Sidanti, berhenti
ditempatmu. Aku adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku mempunyai
wewenang untuk melakukan segala kebijaksanaan disini. Aku perintahkan kau tetap
ditempatmu”
Kata-kata itu menggelegar ditelinga Sidanti. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya
menghadapi Widura. namun Widura benar-benar telah siap. Dan bahkan tiba-tiba Sidanti itupun
melihat Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan bahkan Swandaru meloncat maju. Tanpa berjanji
mereka seakan-akan telah mengpung Sidanti yang hampir menjadi gila itu.
Sidanti menggeram. Matanya yang buas menjadi semakin buas. Ditatapnya orang-orang yang
berdiri disekitarnya seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Dengan kemarahan yang
seakan-akan hendak meledakkan dadanya Sidanti berteriak “ayo, ayo. Majulah bersama-sama.
Inilah Sidanti, murid Ki Tambak Wedi”
Widura menatap wajah Sidanti yang menyala itu dengan mata menyala pula. tiba-tiba saja ia
berkata “Sidanti, apakah kau sedang menunggu bantuan gurumu? Jangan kau harapkan itu,
sebab disini hadir pula orang yang dahulu pernah mencegah gurumu membunuh aku itu. Kau
lihat cemeti kuda yang terjatuh disamping tanda yang dilemparkan gurumu itu?”
Kata-kata itu terasa berdentangan didada Sidanti. Namun tidak hanya Sidanti yang terkejut
karenanya. Semua orang menjadi terkejut pula. ternyata lingkaran besi dan cemeti kuda itu
adalah permulaan dari pertentangan-pertentangan yang akan menjadi semakin memuncak dari
dua orang sakti yang tak mereka ketahui dan belum pernah mereka lihat pula orangnya.
Sesaat Sidanti berdiam diri. Memang ia mengharap gurunya akan membantunya, melawan
kelinci-kelinci yang tak berarti itu dihadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi kemudian disadarinya,
bahwa ternyata dilapangan itu hadir pula, orang lain yang pernah mencegah langkah gurunya
ditegalan kemarin malam. karena itu maka Sidanti itu berbimbang untuk sesaat. Tetapi
kemarahannya telah benar-benar menguasai otaknya. Sehingga betapapun yang akan
dihadapinya, namun ia sama sekali tidak dapat memperhitungkannya.
Dengan demikian, maka Sidanti itu sama sekali tidak menjadi surut. Bahkan dengan lantangnya
ia menjawab “Apakah kau sangka Sidanti hanya dapat menggantungkan dirinya kepada orang
lain? Ki Tambak Wedi telah menempa Sidanti untuk menjadi seorang laki-laki jantan. Ayo.
Siapakah yang pertama-tama. Agung Sedayu atau kakaknya yang bernama Untara itu.”
Untara mencoba untuk tidak menghiraukannya. Tetapi Agung Sedayu tiba-tiba berhenti
ditempatnya. Tiba-tiba ia merasa, bahwa sebenarnya ia tidak mau pula dihinakan. Apalagi
setelah ia menemukan penilaian yang wajar atas dirinya, justru setelah sebatang anak panah
menyobek pundaknya.
“Menyingkirlah Sedayu “ desah Untara.
“Ia menghinaku kakang.” Jawab Sedayu.
Tetapi Untara berbisik “Sidanti adalah seorang anak muda yang tangguh. Sedangkan kau,
agaknya baru saja menyadari kelaki-lakianmu. Kau tidak akan dapat melawannya.”
Tetapi ledakan-ledakan yang dasyat didada Agung Sedayu itupun telah membakar hatinya pula.
karena itu ia menjawab “berilah aku kesempatan.”
Untara menjadi jengkel karenanya. Maka dibentaknya adiknya “Pergi. Biar paman Widura
mengurus Sidanti”
Tiba-tiba Untara terkejut ketika ia mendengar Sidanti berteriak “Untara. Jangan kau
sembunyikan adikmu. Atau kau sendiri yang hendak bersembunyi?”
Terasa sesuatu berdesir didalam dada Untara. Ia dapat mencegah orang lain untuk tidak
menghiraukan maki dan cerca, namun ketika kata-kata itu ditujukan kepada dirinya, terasa
dadanya itu bergetar. Meskipun demikian, Untara itu tidak berpaling. Yang didengarnya
kemudian adalah suara pamannya, Widura “Sidanti, kalau kau tetap dalam pendirianmu, maka
perintah untuk menangkapmu segera akan aku jatuhkan”
Ternyata Sidanti benar-benar telah kehilangan segenap pertimbangannya. Ia seolah-olah tidak
mendengar kata-kata Widura. bahkan kemudian ia berkata kepada Untara “Untara, kalau kau
sembunyikan adikmu maka kaulah lawanku”
Kini Untara terpaksa berhenti. Terasa dadanya bergetar semakin cepat. Namun ketika
dilihatnyan luka dipundak Sedayu, Untara menarik nafas. Sedayu, betapapun tinggi ilmunya,
namun ia sama sekali belum berpengalaman dalam satu perkelahian yang benar-benar
menentukan hidup dan mati. Apalagi kini pundaknya itu telah terluka, dan darah mengalir dari
luka itu. karena itu maka kekuatannyapun pasti berkurang.
Untara terkejut ketika Agung Sedayu mendesaknya “Kakang, apakah kakang akan membiarkan
Sidanti menghina kita?”
“Jangan Sedayu” sahut Untara “Sadarilah keadaanmu. Pundakmu telah terluka. Mungkin
pundak itu tidak terganggu pada saat kau menarik busur, tetapi dalam pertempuran jarak dekat,
maka luka itu akan sangat berpengaruh”
Agung Sedayu meraba lukanya. Terasa luka itu memang pedih. Tetapi serasa sama sekali tidak
berpengaruh baginya. Namun Untara itupun dapat memperitungkannya dengan tepat, maka
sambungnya “Kalau kau bergerak, maka darah akan semakin banyak mengalir dari luka itu.
Kau akan menjadi lemas, dan lehermu akan dipilin sampat patah oleh iblis itu”
Tetapi seperti bendungan yang baru saja pecah oleh banjir, maka Agung Sedayu benar-benar
sedang mencari saluran untuk menumpahkan ledakan-ledakan yang terjadi didadanya. Namun
ia tidak berani melawan kehendak kakaknya. karena itu hanya dadanya sajalah yang bergelora.
Sementara itu terdengar Sidanti berkata pula “Untara. Jangan kau sembunyikan anak itu. Atau
kau sendiri terpaksa aku bunuh dilapangan ini”
Sekali lagi dada Untara bergetar. Ketika ia berpaling, ia melihat Widura mengangkat tangannya.
Hampir saja Widura menjatuhkan perintah untuk menangkap Sidanti. Tetapi segera Untara
mencegahnya “Jangan paman”
Widura tertegun. Tangannya itupun terkulai kembali. Dengan tegangnya ia memandang wajah
Untara. Tetapi untara itu kemudian berkata “Paman, biarlah Agung Sedayu aku bawa kembali
kekademangan. Aku harap Sidanti dapat menenangkan hatinya sehingga kemudian ia
mendapat pertimbangan-pertimbangan yang wajar”
Tetapi kata-kata Untara itu justru semakin menyakitkan telinga Sidanti. Hatinya yang marah itu
menjadi semakin parah. Dengan serta-merta ia melontarkan dirinya, langsung menyerang
Untara yang sekali lagi tidak bersiaga.
Tetapi Untara bukanlah anak-anak yang menangis melihat barongan-ndadi. Ketika ia melihat
Sidanti itu dengan satu loncatan panjang menyerangnya, segera ia menarik satu kakinya
kesamping dan dengan merendahkan dirinya, Untara berhasil menghindari tangan Sidanti yang
menyambar kepalanya.
Agung Sedayu yang berdiri dimuka Untarapun terpaksa menghindar pula. tidak kalah
tangkasnya, iapun meloncat surut.
Sementara itu terdengar Widura berteriak nyaring “Sidanti. Apakah kau telah benar-benar
menjadi gila. Hai Citra Gati, bersiaplah”
Citra Gatipun segera meloncat maju diikuti oleh beberapa orang yang lain. Tetapi segera
Untara berteriak pula “Jangan maju bersama-sama”
“Aku berhak menangkapnya” sahut Widura.
“Jangan” berkata Untara.
“Aku adalah senapati Pajang di Sangkal Putung” desak Widura.
“Aku adalah pememgang kuasa dari panglima Wiratamtama, Ki Gede Pemanahan untuk
daerah disekitar gunung Merapi. Mengamati dan mengamankan segala kebijaksanaan
panglima, termasuk daerah Sangkal Putung” potong Untara.
“Oh” Widura itupun terdiam. Kini benar-benar disadarinya akan kedudukan kemenakannya itu.
karena itu, maka kemudian dibiarkannya kemenakannya itu membuat kebijaksanaan sendiri.
Sidantipun mendengar kata-kata Untara itu. Sesaat kata-kata itu berpengaruh juga didalam
benaknya. Namun sesaat kemudian ia sudah tidak memperdulikannya lagi. Pertimbangan-
pertimbangannya sudah tidak dapat mempengaruhi kemarahannya. Dihadapan sekian banyak
orang, Sidanti yang merasa dirinya pahlawan yang tak terkalahkan itu, harus menunjukkan
bahwa sebenarnyalah ia tak dapat dikalahkan. Karena itu, bahkan Sidanti itu berkata “Apa yang
akan kau lakukan Untara, pemegang kuasa penglima Wiratamtama untuk daerah ini?”
“Sidanti” berkata Untara. “Atas nama kekuasaan yang ada padaku, jangan berbuat hal-hal yang
dapat merugikan nama baik Wiratamtama”
“Ini adalah kesempatan bagiku” berkata Sidanti “Seharusnya akulah yang memegang jabatan
itu. Sebenarnya Sidanti lebih tangguh daripada Untara”
“Jangan mengigau Sidanti” potong Untara. Betapapun ia mencoba menyabarkan dirinya,
namun darahnyapun adalah darah seorang prajurit muda. Ketika ia melihat Agung Sedayu
melangkah maju, didorongnya adiknya itu kesamping sambil berkata pula “Sadari
kedudukanmu. Atau aku harus menempuh kebijaksanaan lain seperti paman Widura”
“Terserah padamu Untara” sahut Sidanti “Tetapi aku ingin menantangmu kini. Apakah kau
benar-benar berhak memakai pangkatmu itu. Atau ternyata akulah yang sebenarnya berhak”
Untara menggigit bibirnya. Sidanti benar-benar keras kepala. Pengaruh kehadiran gurunyalah
yang telah memaksanya untuk berbuat gila itu.
Sementara itu, matahari telah temggelam dibawah garis cakrawala. Lapangan itupun menjadi
semakin lama menjadi semakin gelap. Hanya bintang-bintang dilangit sajalah yang kemudian
gemerlapan, seolah-olah ikut serta berdesak-desakan menyaksikan apa yang akan terjadi
dilapangan itu.
Untara masih berdiri sambil menggigit bibirnya. Getar didalam dadanya terasa menjadi semakin
bergelora. Kalau ia bertindak atas nama jabatannya, serta mengerahkan anak buah Widura
untuk menangkap Sidanti, maka dendam yang membakar hati anak muda itu masih akan
menyala untuk selama-lamanya. Sidanti akan mungkin sekali kelak mencari kesempatan untuk
membalas dendam terhadap orang-orang Widura itu satu per satu. Dengan demikian maka
keadaan Sangkal Putung akan menjadi bertambah sulit.
Namun tiba-tiba Untara itupun melangkah maju. Dengan lantang ia berkata “Aku terima
tantangan Sidanti”
“Untara” terdengar Widura memotong kata-kata kemenakannya.
“Paman” sahut Untara. “Persoalan ini biarlah aku jadikan persoalan antara aku dan Sidanti.
Persoalan perseorangan yang sama sekali tidak menyangkut kedudukan kami masing-masing.
Persoalan perseorangan yang akan kami selesaikan secara perseorangan pula. Bukankah
begitu Sidanti?”
Sidanti benar-benar sudah tidak dapat membedakan antara persoalan perseorangan dan
peroalannya dalam ikatan kelaskaran. Tiba-tiba saja ia berteriak menjawab “Ya. Aku tidak
perduli persoalan apapun yang kau pilih. Namun biarlah kita bertakar darah, melihat siapa yang
lebih keras tulangnya dan siapakah yang lebih liat kulitnya”
Widura sudah tidak mungkin lagi untuk mencegah perkelahian itu. Kini Sidanti dan Untara telah
maju dan orang-orang disekitarnya dengan sendirinya, berdesakan mundur. Meskipun
lapangan itu menjadi semakin gelap, dan sebagian dari mereka sudah tidak dapat lagi melihat
apa yang terjadi ditengah-tengah lingkaran manusia itu, namun mereka masih belum mau
meninggalkan lapangan itu. Mereka masih hendak menunggu, apakah yang terjadi dengan
Untara dan Sidanti.
Ternyata Sidanti benar-benar tak dapat mengekang dirinya. Dengan penuh nafsu ia meloncat
menghadapi Untara. Sedang Untara itupun segera bersiaga pula. Untara itupun sadar sesadar-
sadarnya bahwa lawannya kali ini adalah murid Ki Tambak Wedi. seorang sakti yang namanya
telah dikenal oleh setiap orang hampir dari segala penjuru.
Sidanti itu ternyata tak mau banyak bicara lagi. Dengan suatu peringatan pendek ia menggeram
“Untara, aku mulai”
Sebelum Untara sempat menjawab, Sidanti telah meloncat menyerangnya. Sebuah pukulan
mendatar mengarah kepelipis lawannya. Namun Untara telah bersiaga sepenuhnya. Betapapun
cepatnya gerak Sidanti, namun Untara masih sempat dengan tangkasnya menghindari. Dengan
satu gerakan yang cepat, Untara menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak membiarkan tangan
Sidanti yang masih terjulur itu. Dengan cepatnya disambarnya tangan itu dengan sebuah
ketukan dipergelangan. Tetapi Sidanti cukup cekatan pula. dengan kecepatan yang sama
Sidanti berhasil menarik tangannya dan membebaskannya dari ketukan tangan Untara.
Untara menarik nafas dalam-dalam melihat kecepatan Sidanti. Nama Ki Tambak Wedi benar-
benar bukan sekedar cerita yang berlebih-lebihan. Kini ternyata Untara mengalami sendiri,
betapa cekatannya murid Ki Tambak Wedi.
Ternyata pula, sesaat kemudian Sidanti telah mulai menyerangnya kembali. Dengan garangnya
Sidanti melontarkan sebuah serangan dengan kakinya kearah lambung lawannya. Namun
sekali lagi Untara berhasil menarik satu kakinya, dan dengan memiringkan tubuhnya ia telah
terhindar dari serangan Sidanti. Tetapi Sidanti tidak mau membiarkan lawannya, dengan
sebuah putaran pada satu kakinya, Sidanti melepaskan serangan kaki berganda. Demikian
cepatnya, sehingga Untara terpaksa meloncat selangkah mundur.
Ketika Sidanti akan mencoba mengejarnya dengan serangan pula, maka Untaralah yang kini
mendahului lawannya. Dengan tangkasnya ia melontar menyambar dada Sidanti yang masih
mencoba menyergapnya. Sidanti terkejut melihat serang yang tiba-tiba itu. Dengan cepat ia
merendahkan dirinya dan bahkan kemudian ketika tangan Untara yang lain menyambar
kepalanya, Sidanti terpaksa melontar kesamping.
Demikianlah maka mereka sesaat kemudian tenggelam dalam satu pertempuran yang sengit.
Sidanti yang tangkas dan lincah melawan Untara yang tangguh-tanggon. Betapa ilmu Ki
Tambak Wedi terpaksa berbenturan dengan ilmu dari Jati Anom,
Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan bahkan Agung Sedayu
yang berdiri disekitar arena itu, melihat perkelahian itu dengan wajah yang tegang. Mereka
mengenal Sidanti sebagai seorang anak muda yang telah berhasil mempertahankan diri,
meskipun tidak sepenuhnya, terhadap serangan-serangan Tohpati. karena itu, maka mereka
menjadi berdebar-debar. Seandainya Untara tak berhasil mempertahankan dirinya, maka
Sidanti yang gila itu pasti dapat berbuat hal-hal diluar kemungkinan yang wajar. Namun
sebenarnya Widura tidak menjadi cemas atas nasib Untara. Ia ahu betul bahwa kemenakannya
yang besar itu, setidak-tidaknya pasti akan dapat menyamai Sidanti. Tetapi apakah selama ini
lukanya telah benar-benar sembuh, sehingga segenap kekuatannya telah pulih kembali. Namun
melihat kecepatannya bergerak Widura menduga untara telah mencapai keadaan dan
kemantapan ilmu seperti sediakala. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu pasti
akan berlangsung dahsyat sekali.
Sebenarnyalah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Sidanti yang dengan
penuh nafsu bertempur itu, segera mengerahkan segenap kemampuannya. Semakin cepat ia
dapat menjatuhkan lawannya, semakin tinggi pula nilai dirinya. Bahkan apabila kelak Agung
Sedayu tidak puas melihat kekalahan kakaknya, biarlah ia sendiri mencobanya.
karena itulah maka serangan-serangan Sidanti menjadi semakin seru seperti angin ribut yang
menghantam pepohonan. Berputar-putar dengan dahsyatnya. Namun Untara itupun tangguh
setangguh batu karang pantai. Tegak dengan kokohnya, seakan-akan berakar menghunjam
bumi. Tetapi apabila serangannya melanda lawannya, beruntun seperti batu-batu yang
berguguran dilereng Merapi.
Dengan demikian maka pertempuran dilapangan dimuka banjar desa itu semakin lama menjadi
semakin seru. Keduanya adalah anak-anak muda yang sedang berkembang. Mereka meiliki
bekal ilmu yang tak dimiliki oleh kebanyakan orang. Maka perkelahian diantara mereka benar-
benar menjadi sedemikian sengitnya seperti petir yang sedang bersabung diudara. Sambar
menyambar dalam kecepatan yang hampir tak dapat diikuti oleh mata.
Sehingga karena itu, maka mereka berdua kemudian, seakan-akan telah berubah menjadi
bayangan-bayangan yang terbang berputaran, bahkan kemudian mereka seakan-akan telah
berubah menjadi gumpalan asap hitam dimalam yang gelap.
Tetapi semakin lama menjadi semakin terang bagi Untara. Selah ia bertempur dengan segenap
tenaga pada taraf permulaan, akhirnya berhasil menemukan dan mengetahui letak kekuatan
dan kelemahan ;awannya. Meskipun Sidantipun mampu pula mengamati kelemahan lawannya,
namun ternyata Untara menang seulas dari Sidanti. Untara, yang memegang kekuasaan dari
Panglima Wiratamtama didaerah itu, ternyata buka nseorang yang hanya mempunyai nama
mengagumkan. Tetapi Untara benar-benar seorang yang dapat dipercaya. Lahir dan batinnya.
Dengan demikian, maka kemudian Untara dapat menempatkan dirinya pada keadaan yang
tepat.
Tetapi justru karena ia telah dapat melihat nilai dari dirinya sendiri dihadapan lawannya itu,
maka ia menjadi semakin tenang. Dengan demikian sambil bertempur ia kini sempat mencari
kemungkinan-kemungkinan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan persoalan yang
disebutnya dengan persoalan pribadi.
Namun ternyata Sidanti masih memeras tenaganya habis-habisan. Ia telah benar-benar
waringuten. Otaknya seakan-akan telah berhenti bekerja kecuali mencari kemungkinan-
kemungkinan untuk membinasakan lawannya dalam perkelahian itu. Mula-mula memang ia
merasakan tekanan Untara menjadi semakin bertambah tajam. Namun kemudian tekanan-
tekanan itu seolah-olah menjadi terurai kembali. Dan dalam penilaian Sidanti, keadan mereka
menjadi seimbang kembali.
Sebenarnyalah, kini Untara telah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan persengketaan
ini tampa menimbulkan dendam. Meskipun kemudian terasa olehnya, bahwa meskipun berat,
namun ia akan dapat menguasai lawannya, tetapi Untara tidak mau berbuat demikian. Sebab,
apabila ia menekan Sidanti, sehingga anak muda yang keras hati itu dilumpuhkan, maka
dendam akan tetap membara didadanya. Dendam itu akan dapat berbahaya bagi Sangkal
Putung. Apabila dendam itu meledak pada saat kedatangan laskar Jipang, maka akibatnya
akan mengerikan sekali.
Dengan demikian, terbesitlah kebijaksanaan didalam diri Senapati muda dari Jati Anom itu. Ai
kini tidak benar-benar ingin menundukkan Sidanti. Meskipun ia tetap memberi kesan, bahwa ia
bertempur mati-matian, namun sebenarnya Untara kin seakan-akan tinggal melayani segala
solah lawannya. Sekali-sekali ia menghindar, dan sekali-sekali ia menyerang pula. Tetapi
serangannya tidak benar-benar mengarah ketempat-tempat yang berbahaya.
Demikian cakapnya Untara membawakan dirinya, serta karena kelebihan ilmunya yang
kemudian meyakinkannya, maka Sidanti selama ini masih belum tahu apa yang dilakukan oleh
Untara. Itulah sebabnya ia masih berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dan memang demikianlah
yang dikehendaki oleh Untara. Sekali-sekali ia menekan lawannya, kemudian melepaskannya
dalam keadaan yang menguntungkan. Dengan demikian maka nafsu bertempur Sidanti itu
menjadi melonjak-lonjak tak terkendali. Sebab sekali-sekali ia menjadi cemas, namun tiba-tiba
ia melihat kesempatan terbuka. Sehingga mau tidak mau ia ingin mempergunakan kesempatan
itu sebaik-baiknya.
Tetapi bagi mereka yang tidak mengalami pertempuran itu, mempunyai kesempatan untuk
menilai apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi tidak semua orang dapat berbuat demikian.
Yang pertama-tama melihat permainan Untara itu adalah Widura, dan kemudian Agung Sedayu.
Mereka dengan dada yang berdebar-debar menanti, bagaimana akhir dari pertempuran itu.
Sebab dengan permainannya maka Untara tidak akan mau melumpuhkan lawannya.
Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang laskar Pajangpun melihat sesuatu yang aneh. Tetapi
mereka tidak dapat mengerti, apakah sebabnya maka pertempuran itu kadang-kadang menjadi
sangat berat sebelah, namun kemudian menjadi seimbang kembali.
Sedang orang-orang lain yang berdiri melingkari arena itu, sama sekali tidak tahu, bagaimana
mereka harus menilai perkelahian itu. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi pening, dan
ada pula yang bahkan tidak melihat sesuatu karena malam yang menjadi semakin kelam.
Dalam pada itu, semakin lama, maka usaha Untara untuk mencapai penyelesaian menurut
rencananya, tampaknya akan berhasil. Tenaga Sidanti yang terperas itu semakin lama menjadi
semakin susut. Sedang Untara, yangmemiliki bekal serta pengalaman yang lebih banyak, masih
tetap pada kesegarannya semula. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelebihannya itu. Ia ingin
Sidanti menyelesaikan pertempuran tanpa menjadi kecewa, malu atau dendam. Untara ingin
memberi kesan, bahwa perkelahian itu akan berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang kalah
tanpa ada yang menang.
Meskipun hati kecilnya, kadang-kadang ingin juga menunjukkan kelebihannya, sebagai seorang
yang mendapat kekuasaan yang luas, namun ia berpikir lebih jauh dari harga diri itu. Ia melihat
Sangkal Putung tidak saja malam ini. Tetapi besok, lusa, beberapa hari dan minggu yang akan
datang, bahkan Sangkal Putung untuk masa yang tak terbatas dalam lingkungan pemerintahan
Pajang.
Dan ternyata pula kemudian, tandang Sidanti itupun menjadi semakin susut. Kegarangannya
lambat laun menjadi berkurang dan lincahannyapun menjadi surut pula. demikian pula
yangdilakukan oleh Untara. Meskipun darahnya masih sesegar pada saat ia datang, namun
dikurangi segala ketangkasan dan ketangguhannya.
Tetapi, dalam pada itu, selain Widura dan Agung Sedayu, diantara penonton itu, seseorang
memandangi perkelahian itu dengan nafas tertahan-tahan. Betapa matanya menyalakan
kemarahan yang tiada taranya, dan betapa hatinya mengumpat tak habis-habisnya.
Orang itu melihat peristiwa dilapangan sejak permulaan sampai saat-saat terakhir. Namun
selalu saja ia menjadi kecewa dan marah. Apalagi sejak kehadiran Untara, maka berkali-kali ia
menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih saja selalu menahan dirinya.
Kini ia melihat permainan yang dilakukan oleh Untara itu. Betapa iapun menjadi tersinggung
karenanya. Ia melihat kesempatan-kesempatan untuk melumpuhkan Sidanti, namun
kesempatan itu tak dipergunakan oleh Untara. Tetapi sudah tentu Sidanti sendiri tidak dapat
melihat keadaan itu. Sidanti sendiri sedang memusatkan perhatiannya dalam perlawanannya,
sehingga kempatan dan jarak yang diperlukan tidak dimilikinya.
Orang itu adalah Ki Tambak Wedi.
Dengan menghentak-hentakkan kakinya, ia menahan segenap perasaan yang bergelora
didalam dadanya. Ia melihat betapa Agung Sedayu berhasil melampaui muridnya itu dalam
perlombaan memanah. Namun didalam hati kecilnya ia bergumam “Benar-benar anak setan.
Kecakapan Sadewa bermain panah tercermin pada anak itu”
Sedang kini anak Ki Sadewa yang besar, Untara, sedang bertempur pula melawan muridnya.
Dan ternyata anak Sedawa itu tak dapat dikalahkannya. Bahkan anak Sadewa itu telah
memberi beberapa peluang kepada Sidanti. Bukankah itu suatu penghinaan bagi perguruan
Tambak Wedi.
Dengan nafas yang tertahan-tahan, ia melihat Sidanti masih bertempur mati-matian. Namun ia
melihat juga bahwa sebenarnya Untara dengan segera dapat menghancurkan pertahanan
Sidanti.
“Hem” geramnya.
Ki Tambak Wedi itu kemudian memandang berkeliling diantara orang-orang yang melihat
perkelahian itu. Dadana tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia telah mencoba memaksa Widura
untuk memenuhi tuntutan muridnya dan menakut-nekutinya dengan tanda-tanda yang
diberikannya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu akhirnya mengumpat habis-habisan didalam hatinya,
ketika ia melihat sebuah cemeti yang melenting jatuh ditengah-tengah arena itu pula. Meskipun
ia belum tahu, betapa tinggi nilai orang itu, namun itu adalah suatu pertanda bahwa seseorang
telah bersedia untuk ikut serta melibatkan diri dalam pertentangan melawannya, apabila ia ikut
campur dalam persoalan anak-anak muda di Sangkal Putung itu. Tetapi sampai demikian jauh,
Ki Tambak Wedi belum mengetahui, siapakah orangnya yang telah berani meletakkan diri untuk
melawan Ki Tambak Wedi, yang berilmu hampir sempurna itu.
Tetapi kini, ia melihat Sidanti berada dalam kesulitan. karena itu, maka apakah ia akan berdiam
diri saja, membiarkan Sidanti menjadi bahan permainan Untara? Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu
mendesak maju. Menyusup diantara para penonton dan kemudian berusaha untuk dapat
melihat setiap peristiwa dengan semakin jelas.
Pertempuran diarena itu masih saja berlangsung dengan serunya, meskipun semakin lama
sudah menjadi semakin kendor. Namun serangan-serangan Sidanti masih cukup berbahaya
apabila Untara sedikit kurang berwaspada. Sedangkan Untara sendiri dengan sengaja telah
mengurangi tekanan-tekanannya atas Sidanti, sehingga kemudian Sidanti benar-benar
mendapat kesan seperti yang diharapkan oleh Untara. Sidanti menganggap kemudian, bahwa
perkelahian itu tidak akan dapat berakhir. Kedua-duanya pasti akan berhenti kelelahan.
Meskipun Sidanti itu mengumpat-umpat didalam hatinya, namun hal yang demikian itu pasti
akan lebih baik daripada apabila dirinya dilumpuhkan. Dengan keadaanya itu, maka Sidanti
masih akan dapat menepuk dada, bahwa Sidanti tidak dapat dikalahkan oleh seeorang yang
sekalipun mendapat kepercayaan dari pimpinan tertinggi Wiratamtama.
Maka Sidanti itupun teringat pula akan perkelahiannya dengan Widura. mereka akhirnya
terpaksa menghentikan perkelahian setelah mereka hampir-hampir tak mampu lagi berdiri. Kini
peristiwa itu akan terulang kembali.
Dan sebenarnyalah hal itu berlaku baginya.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka tenaga Sidanti itu seakan-akan benar-benar telah
habis terperas. Setiap kali, ia sendiri terdorong oleh kekuatan serangan-serangannya yang tak
mengenai sasarannya. Beberapa kali ia terjatuh dan bangun kembali. Sedang Untarapun
berbuat hal-hal serupa. Kadang-kadang mereka berdua terpaksa jatuh bersama-sama dan
kemudian dengan susah payah bangun bersama-sama pula. sedemikian sering hal-hal yang
serupa terjadi, sehingga akhirnya Widura dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu, apakah Untara
itu sebenarna kelelahanm ataukah ia masih dalam permainannya yang baik. Tetapi yang
mereka lihat kemudian, kedua-duanya itupun menjadi jatuh bangun berkali-kali.
Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi sudah tidak sabar lagi melihat peristiwa itu. Ia akan berbuat
sesuatu sebelum Sidanti benar-benar menjadi lemas. Ia ingin menunjukkan kepada Widura dan
Untara, bahwa kemauannya tak boleh diabaikan. Ia akan tetap pada pendiriannya, sepasar
sejak malam kemarin. Widura harus sudah merubah sikapnya terhadap Sidanti. Meskipun
rencana itu kemudian pasti akan terpengaruh oleh kehadiran Untara, namun Untara itu
sendiripun harus dapat ditundukkannya pula seperi Widura. Tetapi Ki Tambak Wedi itupun
sadar, bahwa agaknya pendirian Widura sukar untuk dapat ditundukkan. Ia telah bertekad
untuk memeluk kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Apalagi kini Untara ada diantara mereka,
sehingga dengan demikian pekerjaannya akan menjadi semakin sulit.
“Aku akan hadir diantara mereka” pikir Ki Tambak Wedi “Dan aku akan memberikan beberapa
pertunjukan, supaya Untara itupun meyakini keadaannya, serta keadaan Sangkal Putung.
Sedang apaliba orang yang melontarkan cemetinya itu benar-benar ingin membuat perhitungan
dengan Tambak Wedi, maka kesempatan inipun akan aku terima pula”
Setelah mendapat ketetapan itu, maka Ki Tambak Wedi itupun beringsut semakin maju lagi.
Sekali lagi matanya beredar berkeliling untuk melihat segala kemungkinan yang ada disekitar
tempat itu.
Ketika kemudian dipandanginya arena diantara lingkaran orang yang pepat, Ki Tambak Wedi
masih melihat muridnya berjuang sekuat tenaganya. Namun sekali lagi ia melihat, Sidanti
menyerang Untara dengan kakinya. Tetapi serangan itu dapat dihindari oleh lawannya,
sehingga karena tubuhnya sudah sedemikian lemahnya Sidanti terbawa oleh kekuatannya
sendiri, terhuyung-huyung hanya beberapa langkah disamping Untara. Kalau pada saat itu
Untara meloncat kesampingnya dan menghantam tengkuknya, maka pertempuran itupun akan
berakhir. Tetapi Untara tidak berbuat demikian. Dibiarkannya Sidanti menemukan
keseimbangannya kembali. Kemudian baru ia melangkah maju dan mengayunkan tangannya
menyerang dada lawannya dengan gerak yang amat lamban. Sudah tentu Sidanti telah sempat
menarik dirinya mundur, sehingga serangan Untara itu tidak mengenainya. Bahkan Sidanti itu
masih sempat dengan tangan kanannya menghantam pergelangan tangan Untara, meskipun
Untara masih cukup cepat menghindarinya.
Tetapi bagi Ki Tambak Wedi, perbuatan Untara itu adalah suatu penghinaan bagi harga dirinya.
Ki Tambak Wedi mengumpat tak habis-habisnya atas kekalahan muridnya berturut-turut.
karena itu maka tak ada jalan lain daripada dengan tenaganya, memaksa Untara dan Widura
mengakui kelebihan Sidanti dari mereka untuk beberapa persoalan, sehingga kesempatan-
kesempatan Sidanti akan menjadi lebih besar lagi dalam lingkungan Wiratamtama.
Itulah sebabnya, maka tekadnya menjadi bulat. Ia harus menampakkan dirinya.
Tetapi ketika sekali lagi ia mendesak maju, didengarnya seseorang mendehem disampingnya.
Mula-mula Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada orang lain, namun
setiap ia menyusup, maka orang itupun selalu berada disampingnya, dan bahkan selalu saja
mendehem tak habis-habisnya.
Ki Tambak Wedi itupun kemudian berpaling. Dilihatnya disampingnya seseorang yang sebaya
dengan umurnya tersenyum kepadanya.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun
matanya yang tajam dapat melihat beberapa bagian dari wajah orang yang berdiri sambil
tersenyum disampingnya itu.
Namun orang itu sama sekali tak menarik perhatian Ki Tambak Wedi, sehingga ia sama sekali
tak mempedulikannya. Tetapi ketika ia melangkah kembali, maka sekali lagi orang itu
mengikutinya, bahkan kemudian mendesaknya.
Kini Ki Tambak Wedi tidak dapat mengabaikannya lagi. Orang ini pasti bukan tidak punya
maksud dengan perbuatan-perbuatannya itu. karena itu sebagai seorang yang telah masak,
maka segera pikirannya hinggap pada seseorang yang telah melemparkan cemeti kuda
ketengah-tengah arena. Dan Ki Tambak Wedipun tak mau bertanya melingkar-lingkar.
Langsung ia bertanya kepada orang disampingnya itu perlahan-lahan “Kaukah yang memiliki
cemeti kuda itu tadi?”
Ternyata orang yang berdiri disamping Ki Tambak Wedi itupun tidak mau berputar-putar pula.
maka jawabnya lirih “Ya, aku”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. “Apa maumu?”
“Tidak apa-apa” jawab orang itu. “Aku juga ingin menonton seperti kau”
“Hanya menonton?” desak Ki Tambak Wedi.
“Ya” jawab orang itu “Selama kau juga hanya menonton”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kini ia telah berhadapan dengan orang yang selama
ini menimbulkan bermacam-macam teka-teki padana. Pasti orang ini pulalah yang kemarin
malam telah menggagalkan maksudnya membunuh Widura dengan bunyi cambuk yang
menghentak-hentak. karena itu maka katanya perlahan-lahan pula “He, kaukah yang kemarin
malam bermain-main dengan cambuk?”
“Ya” jawab orang itu pendek.
Sekali lagi Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Siapakah kau?”
Orang itu tertawa. Sesaat ia berdiam diri, sedang orang-orang disamping mereka, yang sedang
terpukau oleh perkelahian ditangah-tengah arena itu, agaknya sama sekali tak memperhatikan
percakapan itu.
Baru sesaat kemudian orang itu menjawab “Gringsing. Namaku Kiai Gringsing”
“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Nama yang dapat disebutkan oleh setiap mulut,
juga setiap mulut dapat menyebut nama sekehendak hatinya. Ki Tambak Wedi itupun segera
maklum, bahwa kl itu pasti nama yang dibuatnya untuk tujuan-tujuan tertentu. karena itu
sahutnya “Ternyata kau lebih beruntung daripadaku”
“Kenapa?” bertanya orang itu.
“Kau telah menabung satu kemenangan. Kau mengenal aku, tetapi aku tidak mengenalmu”
jawab Ki Tambak Wedi.
“Aku sudah memperkenalkan diri” berkata orang itu.
“Hem. Aku bukan anak-anak” potong Ki Tambak Wedi.
Kemudian untuk sesaat merekapun berdiam diri. Pertempuran antara Sidanti dan Untara
menjadi semakin lambat. Masing-masing hampir tak dapat lagi menguasai dirinhya. Ayunan-
ayunan tangan mereka adalah tenaga yang akan membawa mereka sendiri dalam satu tarikan
yang kadang-kadang tak dapat mereka cegah, menjerumuskan mereka sehingga terguling
ditanah. Tetapi mata-mata yang tajam akan meragukan keadaan Untara. Betapapun ia
mencoba berbuat sebaik-baiknya namun kadang-kadang kelincahannya masih tampak juga.
Tetapi sedemikian jauh, Sidanti dan orang-orang yang berdiri disekitarnya pada umumnya tak
dapat mengertinya. Bahkan didalam hati mereka, mereka berkata “Sidanti benar-benar seorang
yang tangguh. Ternyata ia mampu juga melawan orang yang bernama Untara itu. Seorang
yang namanya menjadi buah bibir setiap prajurit didaerah selatan dan barat daya. Disekitar
gunung Merapi”.
Tetapi Widura berkali-kali menarik nafas dalam-dalam, sedang Agung Sedayu yang mengetahui
keadaan sebenarnya itupun menggeretakkan giginya. Namun mereka menyadari, betapa
Untara telah mementingkan tugasnya daripada sekedar harga dirinya yang berlebih-lebihan.
Gigi Ki Tambak Wedi itupun beradu pula. seakan-akan ia sedang menahan sesuatu yang
bergelora didalam dadanya. Maka ketika kemudian ia melihat Sidanti dan Untara itu jatuh
bangun berganti-ganti, Ki Tambak Wedi itupun berkata “Aku akan masuk kedalam arena”
Kiai Gringsing itu berpaling. Kemudian ia tersenyum kecil. Katanya “Aku ikut. Boleh?”
“Jangan membuat persoalan dengan aku. Apakah kau guru Untara atau Widura?” bertanya Ki
Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tertawa pula. “Aneh” jawabnya “Apakah kau benar-benar tidak tahu, atau pura-
pura tidak tahu. Bukankah guru anak-anak itu telah mati?”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Katanya “Mungkin kau meneruskan pekerjaan Sadewa?”
Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepala. Sahutnya “Kaupun tahu, bahwa unsur-unsur
gerak mereka hampir-hampir murni. Kalau mereka memiliki guru lain, maka kau pasti akan
mengetahui”
“Hem” sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram “Persetan. Tetapi jangan ganggu aku. Apa
kepentinganmu dengan anak-anak itu?”
“Tidak apa-apa. aku bukan sanak bukan kadangnya. Tetapi sebaiknya, biarlah anak-anak itu
bermain-main sesama mereka. Bukankah Untara telah berlaku bijaksana?”
“Suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi” jawab guru Sidanti itu.
“Kau terlalu perasa” berkata Kiai Gringsing “Jangan terlalu kau manjakan muridmu itu, supaya
ia dapat menemukan kebahagiaan hidup kelak”
“Jangan gurui aku. Pergi kemana kau kehendaki. Aku akan mengajar Untara itu menilai
pendapat orang lain”
“Aku ikut”
“Jangan gila”
“Biarlah anak-anak bermain-main sesama mereka. Dan biarlah kami orang-orang tua membuat
permainan sendiri”
Mata Ki Tambak Wedi kini benar-benar memancarkan kemarahan yang menyala didalam
dadanya. Diamatinya wajah orang yang berdiri disampingnya itu dengan seksama. Wajah itu
sama sekali belum pernah dilihatnya. Tetapi tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menjadi curiga.
Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun kemudian Ki Tambak Wedi itu melihat garis-
garis yang tidak wajar pada wajah itu.
“Kenapa kau coreng-coreng mukamu?” tiba-tiba ia bertanya.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya “apakah kau melihat coreng moreng ini?”
“Aku tidak buta” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kau benar-benar bermata tajam melampaui mata burung hantu” sahut Kiai Gringsing. Dan
katanya kemudian “Ya. Aku agak sakit mata. karena itu aku menggoreskan beberapa jenis
obat-obatan dahi dan pelipisku”
“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa kemarahannya melanda-landa dadanya,
namun semakin lama menjadi semakin menyadari, bahwa orang yang menamakan diri Kiai
Gringsing itu bukanlah seseorang yang membanggakan diri hanya karena kemenangan
kemengangan kecil yang pernah dialaminya.
“Jadi bagaimanakah maksudmu?” bertanya Ki Tambak Wedi
“Biarkan mereka hidup dalam damai. Kalau Sidanti itu tidak terlalu bernafsu untuk hal-hal yang
aneh-aneh, dan kau tak mendorong-dorongnya, maka tak akan ada persoalan diantara mereka”
“Itu adalah suatu contoh dari seorang tua yang berotak beku. Ketenangan tidak selamanya baik.
Dengan ketenangan itu Sidanti selamanya akan tetap ditempatnya”
“Tetapi tingkat demi tingkat harus dicapainya dengan wajar”
“Diamlah. Jangan ganggu aku”
Ki Tambak Wedi itu kemudian melangkah setapak maju diantara beberapa orang yang berdiri
disekitarnya. Namun Kiai Gringsing itupun melangkah maju pula.
“Aku peringatkan kau sekali lagi” desah Ki Tambak Wedi.
“Peringatan buatmu sendiri” sahut Kiai Gringsing.
Kini Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. Tetapi untuk bertempur dengan
orang yang menyebut namanya Kiai Gringsing itupun masih memerlukan berbagai
pertimbangan. Sidanti telah benar-benar payah. Sedang agaknya Untara masih cukup segar
untuk menundukkan apabila mau. Bahkan untuk membinasakan sekali. Kalau orang yang
bernama Kiai Gringsing itu tidak dapat dikalahkannya dengan segera, maka baik Sidanti
maupun dirinya sendiri pasti akan menemui kesulitan. Widura, Agung Sedayu dan orang-orang
Widura yang lain masih ada dalam keadaan yang segar. Betapapun mereka seorang demi
seorang tak akan berarti baginya, namun kalau mereka bergerak bersama-sama dan
diantaranya orang yang bernama Kiai Gringsing ini, maka keadaannya akan sangat berbeda.
Setidak-tidaknya keadaan Sidantilah yang akan menjadi sangat berbahaya. Tidak mustahil
Untara menjadi bermata gelap dan membinasakannya.
karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu ingin mengetahui sampai dimana kemampuan kekuatan
Kiai Gringsing. Meskipun apa yang akan diketahuinya itu tidak tepat seperti keadaan
sebenarnya, namun dengan caranya maka Ki Tambak Wedi akan dapat mengira-irakan sampai
berapa jauh kemungkinan yang dimiliki oleh Kiai Gringsing itu.
Maka, ketika lg itu telah berdiri disampingnya, Ki Tambak Wedi itupun berkata sambil menepuk
bahu Kiai Gringsing “Ki sanak, apakah kau benar-benar tidak menghendaki aku ikut serta
dalam permainan itu?”
Tetapi Kiai Gringsingpun bukan anak-anak yang menundukkan wajahnya apabila seseorang
membelai pundaknya. Ketika Kiai Gringsing melihat tangan Ki Tambak Wedi bergerak untuk
menepuk pundaknya, maka segera orang itu seakan-akan mengerutkan tubuhnya, sehingga
ketika pundaknya tersentuh tangan Ki Tambak Wedi, kedua-duanya menjadi kagum akan
kekuatan masing-masing. Sentuhan itu seolah-olah beradunya dua batang besi baja yang
berlaga.
Ketika Ki Tambak Wedi kemudian berpaling dan memandang wajah Kiai Gringsing, dilihatnya
wajah itu tersenyum. katanya “Kau akan mematahkan pundakku. Tanganmu keras seperti batu”
“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Orang ini benar-benar bukan orang yang sekedar
menyombongkan diri. Ketika ia meraba pundak Kiai Gringsing, seluruh kekuatannya telah
dipusatkannya diujung jari-jarinya. Seandainya Kiai Gringsing tidak memiliki daya tahan yang
seimbang, maka pundak itu pasti akan luka didalam. Bahkan mungkin sebelah tangannya akan
lumpuh. Apalagi orang kebanyakan, maka tulang-tulang bahunya pasti akan remuk.
Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu, ternyata telah memberikan perlawanan
yang wajar tanpa menggerakkan badannya selain sekedar berkerut. Agaknya Kiai Gringsing itu
telah menyalurkan kekuatan daya tahannya dipundaknya. Sehingga karena itu ketukan tangan
Ki Tambak Wedi tak melukainya.
Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi benar-benar harus berpikir. Diarena, pertempuran
menjadi semakin lambat. Bahkan hampir berhenti sama sekali. Sekali-sekali dilihatnya Sidanti
menebarkan pandangan matanya berkeliling. Agaknya anak itu benar-benar mengharapkan
kehadiran gurunya. Tetapi kini disamping Ki Tambak Wedi, berdiri seorang yang dapat
mengimbangi kekuatannya.
Namun Ki Tambak Wedi agaknya belum puas dengan percobaannya. Ketukan tangannya itu
belum meyakinkannya. Ia ingin sekali lagi melihat apakah ia harus mempertimbangkan orang
itu benar-benar. karena itu maka desisnya “Ki sanak. Aku akan mengucapkan selamat atas
kesentausaan ki sanak. Pundak Ki Sanak itu benar-benar sekeras baja. Aku kira aku belum
pernah melihat seorangpun dari daerah gunung Merapi ini yang kuat seperti Ki Sanak. Dan
nama Kiai Gringsingpun merupakan nama baru bagiku”
Kiai Gringsing itupun tiba-tiba tertawa, meskipun ia berusaha untuk menahannya, sehingga
satu dua orang berpaling kepadanya. Tetapi karena kemudian suara tertawa itu terputus, maka
orang-orang itupun tidak memperhatikannya lagi.
Kiai Gringsing itu segera menyadai tantangan Ki Tambak Wedi. bahkan didalam hati ia berkata
“Tantangan yang bijaksana. Kami harus bertempur tanpa seorangpun yang mengetahuinya”
“bagaimana ki Sanak?” desak Ki Tambak Wedi.
“Terima kasih atas ucapan selamat ini” belum lagi Kiai Gringsing selesai berkata, dilihatnya Ki
Tambak Wedi mengulurkan tangannya. Kiai Gringsingpun kemudian menyambut tangan itu.
Dan keduanya bersalaman. Namun tak seorangpun yang mengetahui, bahwa sebenarnya
mereka itu sedang bertempur. Masing-masing mengerahkan segenap kekuatan lahir dan
batinnya ketelapak tangannya, yang sedang bersalaman itu. Masing-masing menekankan jari-
jarinya sekuat-kuat tenaga mereka dan berusaha meremukkan tulang-tulang lawannya. Namun
ternyata mereka berdua adalah orang-orang yang benar-benar sakti. Kedua tangan itupun
seakan-akan berubah menjadi gumpalan-gumpalan besi baja yang saling himpit menghimpit.
Betapa mereka berjuang untuk melumatkan tangan lawannya. Tetapi mereka akhirnya harus
mengakui bahwa mereka satu sama lain tak akan dapat saling mengalahkan. Meskipun
demikian, keringat mengalir dari seluruh permukaan kulit mereka, melampaui keringat mereka
yang sedang bertempur, namun mereka harus menyadari, bahwa kekuatan mereka berimbang.
Sedemikian kuatnya mereka memeras tenaga lahir dan batin mereka, sehingga terasa tubuh-
tubuh mereka menjadi panas, dan leher mereka serasa kering. Tetapi genggaman mereka tidak
juga menjadi berubah. Keseimbangan itu tetap berlangsung sehingga kemudian terdengar Ki
Tambak Wedi menggeram “Bukan main”
“Apa yang bukan main?” sahut Kiai Gringsing.
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. dicobanya unruk menuntaskan tenaganya, namun Kiai
Gringsingpun berbuat serupa. Sehingga karenanya maka keadaan itupun tidak juga berubah.
Akhirnya Ki Tambak Wedi melihat, bahwa tidak ada gunanya pertempuran yang aneh itu
diteruskan. karena itu maka katanya “Aku sudah menyampaikan ucapan selamat itu”
Kiai Gringsing masih belum melemahkan genggamannya. Jawabnya “Terima kasih atas ucapan
selamat yang cukup hangat ini”
Akhirnya keduanya sedikit demi sedikit mengurangi tekanan-tekanan pada telapak-telapak
tangan mereka. Sehingga dengan demikian maka akhirnya tangan mereka itupun terurai.
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil tersenyum ia berkata “Baru
sekali ini aku menerima ucapan selamat yang sedemikian hangatnya melampaui hangatnya api
neraka”
“karena itu sebabnya maka kau berani menghalang-halangi maksudku” berkata Ki Tambak
Wedi tanpa menjawab kata-kata Kiai Gringsing “Ternyata orang yang menamakan diri Kiai
Gringsing adalah orang yang mampu menyamai kekuatan kitw. Namun apakah ilmu kanuragan
dan tata perkelahianmu dapat menyamai Ki Tambak Wedi?”
Kiai Gringsing menggeleng “Entahlah, aku belum pernah berkelahi melawan Ki Tambak Wedi.
sebenarnyalah bahwa aku tidak senang berkelahi seperti anak-anak berebut tulang tanpa arti”
“Omong kosong” desak Ki Tambak Wedi.
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi kini ia melihat perkelahian diarena. Dan Ki Tambak
Wedipun kemudian melihat kesana pula.
Sekali-sekali mereka masih mengayunkan serangan-serangan mereka berganti-ganti. Tetapi
perkelahian itu sudah tidak merupakan perkelahian lagi. Mereka hanya sekedar berdiri
berhadap-hadapan dan kadang-kadang menggerakkan tangan-tangan mereka atau kaki-kaki
mereka, untuk kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah. Kalau tangan mereka sekali-
sekali beradu. Maka mereka kedua-duanya terdorong kebelakang dan jatuh bersama-sama.
Kini Untara dan Sidanti itu berdiri berhadap-hadapan. Hanya mata mereka sajalah yang masih
tetap menyala. Sidanti sekali-sekali masih menggeram penuh kemarahan. Namun kemudian
terdengar Untara berkata “Sidanti, apakah hasil dari perkelahian ini?”
Terdengat gigi Sidanti gemeretak. Nyala yang memancar dari matanya itu seakan-akan ingin
membakar hangus lawannya. Namun demikian ia menjawab dengan bangganya “Untara,
ternyata namamu hanya sekedar untuk menakut-nakuti lawan-lawanmu. Disini sekarang orang
dapat melihat bahwa kau tidak lebih dari Sidanti”
“Ya” sahut Untara “Itukah hasil yang memang kau inginkan dari perkelahian ini, sehingga orang
dapat menilai keunggulan Sidanti dari setiap orang di Sangkal Putung?”
“Ya, Sidanti ingin membuktikan, bahwa Sidanti berhak untuk menamakan dirina sejajar dengan
Untara”
“Bagus” berkata Untara “Kalau hanya itu yang kau inginkan, kenapa tidak kau katakan sejak
tadi? Dengan demikian kita tidak perlu membuang-buang tenaga. Kau lihat bukan? Tenaga kita
terbuang tanpa arti”
“Cukup berarti bagiku”
“Kau menjadi puas karenanya?”
“Belum, aku ingin menundukkanmu”
“Apakah kausangka akan berhasil?”
“Kalau tidak sekarang, pada kesempatan lain”
“Baik, kalau begitu biarlah kita bicarakan pada kesempatan lain itu. Sekarang kau sudah puas?”
Sekali lagi Sidanti menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ya,
apakah ia sudah puas? Kalau tidak, apakah yang akan dilakukan?
Sidanti itu terdiam sesaat. Tetapi untuk menutupi kegelisahannya ia bertanya “Apakah
perkelahian ini kita lanjutkan Untara?”
Untara tersenyum pahit. Jawabnya “Apakah kau memandang bahwa perkelahian seterusnya
akan bermanfaat bagimu?”
“Persetan. Aku bertanya kepadamu”
Sekarang Untara terdiam sesaat. Tetapi tiba-tiba kemudian ia berkata “Persoalan antara aku
dan Sidanti telah kami anggap selesai saat ini. Terserahlah apabila pada masa-masa yang
akan datang, persoalan itu akan diungkapkan kembali. Sekarang kembali ke kademangan”
“Jangan menganggap soal diantara kita sudah selesai. Soal itu baru selesai apabila Untara
telah mengakui keunggulan Sidanti daripadanya” berkata Sidanti dengan sombongnya.
Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan sekali lagi ia mengangkat
wajahnya sambil berkata “Paman Widura, kembali ke kademangan”
Widura itupun seakan-akan menjadi tersadar dari mimpinya yang dahsyat. karena itu dengan
tergagap ia menjawab “Baik, Untara. Kita akan segera kembali”
Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata “Tinggalkan lapangan ini. Kembali ke
kademangan”
Orang-orang Widurapun kemudian mulai bergerak dari tempat mereka, setelah mereka terpaku
beberapa lama. Orang-orang lainpun kemudian menghambur pula dari lingkaran itu, pulang
kerumah masing-masing dengan kesan yang aneh didalam hati mereka. Mereka melihat
perkelahian yang tanpa ujung dan pangkal itu. Sebagian dari mereka bertanya-tanya pula
didalam hati mereka “Apakah Untara benar-benar tak mampu mengalahkan Sidanti?” Sedang
orang lain berkata didalam hatinya “Sidanti benar-benar seorang anak muda yang luar biasa.
Ternyata ia mampu melawan Untara dalam perkelahian yang tidak berakhir”
Tetapi Widura, Agung Sedayu, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing melihat apa yang
sebenarnya terjadi, bahkan beberapa orang anak buah Widurapun merasakan sesuatu yang
aneh dari pertempuran itu. Meskipun demikian, mereka tidak dapat mengerti, apakah yang
aneh itu.
Ketika orang-orang disekitar arena itu sudah siap meninggalkan lapangan, maka terdengar
Sidanti itu berkata “Aku tinggal disini”
“Kaupun kembali ke kademangan, Sidanti” berkata Untara.
“Tidak” jawab Sidanti.
“Kau dengar perintah ini? Kali ini aku berbicara bukan atas nama pribadiku. Kau dengar?”
Tubuh Sidanti itu menggigil karena marah. Tetapi tubuhnya benar-benar telah lemah. Sedang
gurunya masih belum juga menampakkan dirinya. Namun Sidanti itu kemudian menduga bahwa
gurunya pasti memperhitungkan juga, hadirnya seseorang yang telah melemparkan cemeti
kuda diarena itu.
Karena Sidanti itu masih tegak ditempatnya terdengar Untara mengulangi “Sidanti, kembali ke
kademangan. Jangan melawan perintah”
Sidanti menggeram. Tetapi ia telah menjadi sedikit puas, bahwa orang-orang Sangkal Putung
telah melihat, bahwa ia mampu melawan Untara yang perkasa dalam perkelahian yang tak
berakhir. Dengan demikian, maka meskipun ia terpaksa menuruti perintahnya, namun itu
adalah karena tugasnya sebagai seorang prajurit. Tetapi nilai seorang-seorang, ia adalah
sejajar dengan Untara. Dan karena kebanggaannya itulah, maka ia tidak menjadi terlalu
berkeras hati. Betapapun segannya, ia berjalan juga meninggalkan lapangan itu menuju
kekademangan. Disepanjang jalan ia masih dapat menengadahkan wajahnya, seakan-akan
berkata kepada setiap orang yang dijumpainya “Inilah Sidanti, yang mampu menyamai
keperwiraan Untara, orang yang mendapat kuasa langsung dari pimpinan tertinggi
Wiratamtama”
Demikianlah maka satu demi satu orang-orang yang berada dilapangan itu pergi dengan kesan
masing-masing. Dibelakang Sidanti yang sedang menikmati kebanggaannya, berjalan Untara
dan Widura. Dibelakang mereka berjalan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu itu kini tidak
lagi berjalan menunduk, tetapi wajahnyapun tengadah seperti juga Sidanti. Dan orang-
orangpun memandangnya dengan penuh kekaguman. Apabila Sidanti mampu menyamai
keperwiraan Untara, maka Agung Sedayu memiliki ketangkasan memanah melampaui Sidanti.
Bahkan ada diantara mereka yang bertanya-tanya didalam hati mereka “Apakah Agung Sedayu
ini melampaui kakak kandungnya, sehingga iapun akan sanggup mengalahkan Sidanti?”
Namun perlombaan dilapangan itu telah benar-benar berkesan dihati para penontonnya, orang-
orang Sangkal Putung. Mereka itu kini tahu dengan jelas, bahkan hampir pasti, siapakah orang-
orangnya yang menjadi tiang kademangannya, Sidanti, Agung Sedayu dan sekarang hadir
Untara disamping Widura sendiri. Meskipun mereka ternyata seakan-akan bersaing satu
dengan yang lain, namun berkumpulnya tokoh-tokoh itu di Sangkal Putung, agaknya telah
memberi sedikit ketenangan kepada penduduk yang menyimpan berbagai macam perbekalan
dipadukuhan dan kademangan mereka itu.
Sekar Mirah kini tak dapat berlari-lari menyusul Agung Sedayu maupun Sidanti. Ayahnya
membimbingnya tanpa melepaskan tangannya, sedang Swandaru berjalan agak jauh
dibelakang mereka sambil menuntun kudanya. Tetapi wajahnya kini telah menjadi lebih terang.
Untunglah bahwa dipalangan itu benar-benar tidak jatuh korban. Ia menjadi menyesal juga atas
perbuatannya. Namun sebenarnya, disudut hatinya, terasa juga kekecewaannya atas Untara.
Ternyata Untatra itu tidak mampu untuk melumpuhkan Sidanti. Meskipun kadang-kadang ia
berpikir juga, ketika ia melihat Untara dan Widura lewat dimukanya, langkah Untara itu masih
jauh lebih tegap dari langkah Sidanti yang hampir terhuyung-huyung meskipun dengan wajah
tengadah.
Ketika mereka telah meninggalkan lapangan, dan berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan,
Widura yang berjalan disamping kemenakannya itu tiba-tiba menggamit pundaknya “Untara”
Untara berpaling. “Ya” katanya.
“Aku belum sempat bertanya kepadamu, kemana kau selama ini, namun aku masih menyimpan
pertanyaan lain yang ingin aku katakan lebih dahulu kepadamu. Kenapa kau biarkan Sidanti
masih menepuk dadanya?”
Untara tersenyum sambil menarik nafas. Ketika ia menoleh dilihatnya adiknya berjalan
dibelakangnya. Tiba-tiba terbesitlah sesuatu didalam dadanya. Adiknya kini benar-benar telah
menjadi seorang anak laki-laki. Karena itu, sebelum ia menjawab pertanyaan pamannya ia
berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri “Hem, Sedayu agaknya telah menemukan dirinya
sendiri
Agung Sedayu yang berjalan sambil mengangkat wajahnya itu terkejut. Tiba-tiba saja
kepalanya itu ditundukkannya. Meskipun demikian, ia menjadi terharu juga mendengar kata-
kata kakaknya itu. Namun ia masih berdiam diri saja.
Sesaat kemudian baru Untara itu menjawab pertanyaan Widura “Sidanti adalah seorang anak
perasa dan pendendam. Karena itu ia sebenarnya sangat berbahaya. Biarlah ia menikmati
kebanggaan-kebanggaan yang dapat sekedar membujuknya. Kalau anak itu memberontak
terhadap perintah-perintah paman bersamaan waktunya dengan kedatangan Tohpati, maka
keadaan paman disini akan menjadi sangat kalut. Biarlah anak itu mendapat sekedar kepuasan
dan besok kalau Tohpati itu datang, maka kita akan dapat melawannya dengan kekuatan
sepenuhnya”
“Hem” Widura menarik nafas panjang-panjang. Katanya “Sudah aku usahakan dengan beribu-
ribu cara. Aku biarkan ia berbuat sekehendaknya, meskipun kadang-kadang aku memaksanya
dengan kekerasan. Namun anak itu memang mempunyai tuntutan pribadi yang berlebih-lebihan.
Apalagi agaknya gurunya selalu memberinya harapan-harapan, sehingga karena itu perbuatan-
perbuatannya kadang-kadang melampaui batas”
“Mudah-mudahan paman bijaksana” sahut Untara.
“Tetapi” tiba-tiba Agung Sedayu menyela “Apabila paman telah memanjakannya, maka ia akan
bertambah berani menentang kehendak paman”
Widura dan Untara berpaling bersama-sama. Namun kemudian Widura itu tersenyum. Katanya
“Tentu tidak mungkin kalau aku sendiri harus memaksanya dalam suatu persoalan. Anak-anak
yang lainpun menganggap demikian. Namun bukankah berkali-kali aku memberi kesempatan
kepadamu, Agung Sedayu? Aku mengharap bahwa kaulah, sebelum kedatangan kakakmu,
seperti juga harapan anak buahku, akan dapat sedikit memberinya peringatan. Tersenyum
agaknya kau selama ini terlalu baik hati, sehingga kau tidak pernah melayaninya, betapapun
Sidanti itu menyakiti hatimu”
Agung Sedayu menggigit bibirnya sambil menundukkan wajahnya. Sedang Untarapun
tersenyum pula karenanya. Katanya “Paman, apakah yang dikerjakan Agung Sedayu selama
ini?”
“Ia datang sebagai pahlawan” sehut pamannya. “Namun seterusnya ia lebih senang duduk
dipringgitan siang dan malam”
“Ah” desah Agung Sedayu.
Untara tertawa. Kemudian katanya “Aku dengar, kau telah berhasil mengalahkan genderuwo
bermata satu ditikungan randu alas, Sedayu?”
Agung Sedayu masih menundukkan wajahnya. Sudah beberapa lama ia lupa pada genderuwo
itu. Dan tiba-tiba ia kini menjadi geli terhadap dirinya sendiri. Betapa ia takut kepada nama-
nama yang belum pernah dikenal adanya. Genderuwo bermata satu, macan putih dari Lemah
Cengkar, namun ia lebih geli lagi kalau diingatnya, lututnya dua-duanya menjadi gemetar ketika
tiba-tiba Sidanti marah kepadanya, pada saat ia sedang bercakap-cakap dengan Sekar Mirah.
“Sekar Mirah. Ya, Sekar Mirah” tiba-tiba hatinya berteriak “Aku kehilangan setiap kesempatan
bertemu dengan gadis itu, bukankah karena aku takut kepada Sidanti? Kini aku tidak takut lagi
kepadanya. Dan aku tidak akan menghindari setiap pertemuan dengan gadis itu”
Tetapi yang kemudian didengarnya adalah kata-kata pamannya “Untara, kedatanganmu aku
harap akan membawa angin baru bagi kademangan ini. Dan malam nanti jangan kau harap kau
akan dapat tidur. Betapapun letihnya, kau harus bercerita kepada kami disini, dimana kau
selama ini, dan apa yang telah terjadi dengan dirimu. Berhari-hari aku dan Agung Sedayu
mencarimu, namun yang kami ketemukan adalah seorang bertopeng yang menyebut dirinya
Kiai Gringsing”.
Betapapun dinginnya malam, namun Untara itupun merasa, bahwa keringatnya tidak juga
menjadi kering. Ketika ia sampai dikademangan, maka pertama kali yang dilakukannya adalah
mandi. Tetapi demikian ia selesai berpakaian, peluhnya telah mulai mengaliri tubuhnya kembali.
Sedang dikepalanya selalu berputar-putar berbagai pertanyaan yang nanti pasti harus
dijawabnya. Apakah yang akan dikatakan, seandainya seseorang bertanya kepadanya,
kemanakah ia selama ini, dan apa sajakah yang sudah dilakukannya?
Tetapi akhirnya yan dicemaskannya itupun terjadi. Ketika ia duduk dipringgitan bersama-sama
dengan Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung, maka dari pintu berunculan
parapemimpin laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung. Satu demi satu, tanpa
dipersilakan. Mereka kemudian duduk melingkar diatas tikar anyaman ditengah-tengah
pringgitan itu.
Dipendapa Sidanti duduk ditempatnya sambil meniang-bimang senjatanya yang masih terbalut
wrangka dikedua ujungnya, kemudian dengan rapinya senjatanya itu diselubunginya dengan
kain putih.
Keitka ia melihat beberapa orang masuk kepringgitan, ia mencibirkan bibirnya. “Buat apa
mengerumuni anak yang sombong itu?” katanya dalam hati. “Aku sangka Untara itu setidak-
tidaknya dapat menyamai kesaktian Macan Kepatihan. Tetapi ternyata ia tidak lebih baik dari
Widura sendiri”
Dengan mata yang redup ia memandangi setiap orang yang berjalan didekatnya. Bahkan
kemudian dengan malasnya ia berbaring sambil menguap keras-keras.
Seorang prajurit yang tidak jauh daripadanya berkata “Ah, kakang Sidanti, kau mengejutkan
aku”
‘Huh” sahut Sidanti “Kenapa kau tidak ikut masuk kepringgitan saja?”
“Hanya para pemimpin kelompok yang boleh masuk. Pringgitan itu terlalu sempit” jawab orang
itu. “Kenapa kakang tidak ikut masuk dan mendengarkan cerita Untara itu?”
“Buat apa aku mendengarkan bualannya? Ternyata aku kecewa setelah aku menilai sendiri
kekuatan orang yang bernama Untara itu. Dahulu aku kagum apabila aku mendengar namanya.
Sekarang ternyata aku sama sekali tidak mempunyai harapan apapun atas kehadirannya.
Kalau Macan Kepatihan itu datang kembali, maka nasib kita masih akan sama saja. Apalagi
agaknya Macan Kepatihan telah melihat kekuatan yang ada di Sangkal Putung. Ia psati tidak
akan datang dengan kekuatan yang sama dengan pada saat ia datang dahulu”
Prajurit itu tidak menjawab. iapun mempunyai perasaan yang sama seperti apa yang dikatakan
oleh Sidanti. Ada juga rasa kecewa didadanya, setelah ia melihat Untara dan Sidanti bertempur.
Sedang hasilnya, keduanya tak dapat saling mengalahkan. Dengan demikian, maka apa yang
diharapkan dari Untara untuk melawan Macan Kepatihan akan tidak terpenuhi.
Apabila kelak Macan Kepatihan itu dtang beserta laskarnya yang lebih kuat, serta apabila
Macan Kepatihan berhasil mengumpulkan orang-orang ternama yang tersebar, maka keadaan
Sangkal Putung pasti benar-benar ada dalam bahaya.
Tetapi prajurit itu tidak bertanya apapun. Perlahan-lahan ia berjalan kehalaman dan duduk
termenung diatas sebuah batu. Dilihatnya beberapa kawannya yang berada diregol halaman,
tampak selalu berwaspada, sedang dimuka gandok dilihatnya beberapa orang tidur
mendengkur sambil memeluk pedang-pedang mereka.
Tetapi sebentar kemudian prajurit itupun menjadi mengantuk pula, sehingga dengan segannya
iapun berjalan kegandok wetan, dan merebahkan diri disamping kawan-kawannya. Tetapi ia
tidak berhasil memejamkan matanya. Berkali-kali ia tersadar karena kegelisahannya.
Dipringgitan, Untara terpaksa mendengarkan berbagai pertanyaan yang bertubi-tubi
menghujaninya. Beberapa pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah. Namun yang lain telah
membingungkannya.
Pelun dingin mengalir dikening Untara ketika ia mendengar pamannya bertanya “Untara, aku
telah sampai kerumah Ki Tanu Metir, sehari setelah kau hilang. Aku tidak dapat menemukan
jejakmu dan Ki Tanu Metir. Seseorang mengatakan bahwa kau telah diculik oleh gerombolan
Alap-alap Jalatunda. Tetapi sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dengan segar bugar. Apakah
yang sebenarnya telah terjadi di dukuh Pakuwon?”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia berpikir, kemudian ia menjawab “Ya, aku
memang dalam kesulitan waktu itu. Tetapi seseorang telah menyelamatkan aku”
“Siapa?” bertanya Widura.
Untara itu kemudian memandang berkeliling. Satu per satu, wajah-wajah yang penuh minat
memperhatikannya itu ditatapnya. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab “Aku ditolong oleh
seorang yang tak kukenal, karena wajahnya ditutup oleh sebuah topeng”
“Kiai Gringsing?” sela Widura.
“Ya”
Widura tertawa. Agung Sedayupun tersenyum juga. Tetapi orang lain, yang belum pernah
mengenal Kiai Gringsing menjadi terkejut karenanya. Tetapi mereka berdiam diri. Mereka
menunggu pertanyaan-pertanyaan Widura selanjutnya.
Tetapi yang berkata kemudian adalah Untara “Kenapa paman tertawa?”
“Aku pernah bertemu dengan Kiai Gringsing”
“Lalu?”
“Aku pernah melihat jejak-jejak kuda dari kandang Ki Tanu Metir”
“Apa hubungannya dengan Kiai Gringsing?”
“Kiai Gringsing menyangkal bahwa ia pernah datang kerumah Ki Tanu Metir”
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian iapun tersenyum pula. katanya “Kiai
Gringsing memang orang yang aneh. Karena itu biarlah untuk sementara aku tidak bercerita
tentang orang itu”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memahami jawaban Untara. Kiai Gringsing pasti
berpesan kepadanya, untuk merahasiakan dirinya.
“Tetapi” berkata Untara kemudian “Aku mengharap bahwa waktu itu tidak terlalu lama.
Syukurlah kalau Kiai Gringsing sendiri datang kepada kita disini dan bercerita tentang dirinya”.
“Bukankah Kiai Gringsing hadir juga dilapangan siang tadi?” bertanya Widura.
“Ya” sahut Untara “Aku melihat ciri-cirinya dilemparkan ketengah-tengah arena, ketika
seseorang melemparkan ciri-cirinya yang lain, yang agaknya Ki Tambak Wedi”
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya “Kau kenal juga ciri Ki Tambak Wedi?”
Untara tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum.
Beberapa orang lain yang mendengarkan cerita itu, sebagian besar sama sekali tidak tahu
ujung pangkalnya. karena itu mereka hanya berdiam diri mendengarkan. Swandaru yang
kemudian duduk dibelakang ayahnyapun sama sekali tidak mengerti apa saja yang sedang
dipersoalkan.
Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lebih lama lagi. Beberapa orang menjadi sangat
mengantuk dan Untara sendiri menjadi sangat lelah. karena itu katanya “Aku minta maaf,
karena aku sangat lelah, apakah aku boleh meninggalkan pertemuan ini?”
Widura tersenyum, jawabnya “Pertemuan tanpa kau tidak akan ada gunanya. karena itu, biarlah
pertemuan ini berakhir. Kita harus beristirahat, meskipun kita hampir sampai keujung malam.
Sebentar lagi kita harus sudah bangun dan menunaikan kewajiban kita masing-masing.”
Pringgitan itu sesaat kemudian menjadi sepi. Untara tidak mau tidur dipembaringan Widura. Ia
lebih senang tidur diatas sehelai tikar bersama adiknya.
Ketika semuanya telah pergi, dan ketika Untara telah membaringkan dirinya disamping adiknya,
maka katanya perlahan-lahan “Apakah yang kau kerjakan selama ini?”
Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya “Aku hampir mati kecemasan”
Untara tersenyum. Katanya “Kalau tidak karena terpaksa oleh keadaan, aku kira kau masih saja
suka merengek-rengek. Aku turut berbangga dengan keadaanmu sekarang. Mudah-mudahan
penyakitmu tidak kambuh lagi setelah aku datang”
“Mudah-mudahan” gumam Agung Sedayu. Dalam pada itu, terasa sesuatu bergolak didalam
dadanya. Ia tiba-tiba saja memiliki perasaan yang asing tentang dirinya. Tentang dunia
sekitarnya. Tiba-tiba tanpa disengaja ia meraba luka dipundaknya yang telah dibalut rapi. Luka
itu tidak seberapa. Tetapi luka itu seakan-akan telah membangunkannya dari tidur yang
nyenyak. Apa yang telah dilakukannya dilapangan, ternyata mampu membangkitkan
kebanggaan atas diri sendiri, sehingga karena itu, Agung Sedayu kini melihat kemampuan yang
dimilikinya. karena itulah maka kini ia percaya akan dirinya sendiri.
Dihari berikutnya, hampir seluruh penduduk Sangkal Putung bercerita sesamanya tentang apa
yang mereka saksikan dilapangan. Mereka menjadi kagum kepada Agung Sedayu, yang dalam
ketangkasan memanah dapat melampaui Sidanti. Mereka menjadi kagum pula, bahwa
sebelumnya Agung Sedayu sama sekali tidak berhasrat untuk ikut serta dalam perlombaan itu.
“Alangkah rendah hatinya anak muda itu” beberapa orang diatara mereka memujinya
Namun ada pula yang menjadi semakin kagum kepada Sidanti, atau yang menjadi kecewa
terhadap Untara. Meskipun demikian, maka mereka menjadi agak tenang juga dengan
kehadiran Untara. Dengan demikian maka kekuatan di Sangkal Putung itu menjadi bertambah.
Tetapi dalam pada itu, penduduk Sangkal Putung menjadi cemas ketika mereka melihat
kesiagaan laskar Pajang itu meningkat. Setiap hari mereka melihat, peronda-peronda berkuda
hilir mudik dipadukuhan mereka. Peronda-peronda berkuda yang menghubungkan satu desa
dengan desa yang lain dalam lingkungan kademangan Sangkal Putung. Bahkan kesiap-
siagaan anak-anak muda Sangkal Putungpun meningkat pula. gardu-gardu peronda yang
dikhususkan bagi merekapun selalu dipenuhi oleh anak-anak muda itu. Setiap saat mereka
berlatih mempergunakan senjata. Sebab mereka merasa, bahwa ilmu tata berkelahi yang ada
pada mereka, masih belum mencukupi dibandingkan dengan laskar Pajang, maupun laskar
Jipang. Namun tekad merekalah yang agaknya telah memperkuat ketahanan mereka
menghadapi setia keadaan.
Sebenarnyalah Widura telah memberikan beberapa peringatan kepada laskarnya, bahwa
kemungkinan Macan Kepatihan akan menyergap mereka setiap saat. Karena itulah maka
setiap gardu peronda diujung-ujung desa selalu diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya
yang sebaik-baiknya serta beberapa ekor kuda. Dihalaman kademanganpun telah dikumpulkan
beberapa ekor kuda yang cukup baik dari segenap penduduk Sangkal Putung. Setiap saat
laskar Pajang itu harus bergerak cepat ketempat-tempat yang dianggap sangat berbahaya.
Sedang pada hari itu pula Untara sedang mengagumi cara adiknya untuk meningkatkan
ilmunya. Untara melihat beberapa lembar rontal yang telah dilukis oleh Agung Sedayu. Dengan
pengetahuan yang jauh lebih luas, Untara berhasil memberikan beberapa petunjuk kepada
adiknya mengenai lukisan-lukisannya. Beberapa unsur gerak ternyata menjadi lebih mantap
dan lebih sempurna. Untara mencoba mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada didalam
lukisan adiknya. “Nanti malam biarlah aku melihat ketangkasanmu” berkata Untara kepada
adiknya “mudah-mudahan Tohpati tidak menyergap kita hari ini”
Sehari itu dilalui dengan berbagai ketegangan dihati anggota laskar Pajang. Dan bahkan oleh
segenap penduduk Sangkal Putung. Pagi-pagi mereka sudah pergi kewarung diujung desa,
kemudian memasak agak lebih banyak dari biasanya. Apabila sewaktu-waktu datang keributan,
mereka sudah menyimpan makanan dirumahnya. Bahkan beberapa orang telah
mempersiapkan barang-barang yang mereka anggap berharga.
Ketika seorang perempuan sibuk membungkus barang-barangnya, bertanyalah suaminya
“Untuk apa barang-barang itu kau kumpulkan?”
“Apakah kita tidak pergi mengungsi saja kakang?”
“Kemana kita akan mengungsi?”
“Ke kademangan- kademangan sebelah”
“Tak ada gunanya. Di kademangan ini ditempatkan sejumlah laskar Pajang. Di kademangan-
kademangan lain sama sekali tidak, selain hanya kadang-kadang saja dilewati oleh para
peronda dari kademangan ini juga”
Istrinya termenung sesaat, namun kemudian jawabnya “Tetapi aku dengar, kademangan ini
menjadi tujuan penyerbuan dari laskar Jipang, sebab kademangan inilah yang dianggap
menjadi sumber perbekalan. Sedang kademangan lain tidak”
“Sesudah kademangan ini, akan datang gilirannya kademangan- kademangan lain. Dan kita
akan mengungsi dari satu kademangan kelain kademangan”
Istrinya tidak berkata-kata lagi. Meloncat dari satu tempat ketempat lain dengan seluruh anak-
anaknya adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan. Tetapi tinggal dirumahpun hatinya selalu
gelisah. Sehingga kemudian suaminya berkata “Yang sebaik-baiknya adalah mempertahankan
kademangan ini bersama-sama dengan laskar Pajang”
“Sampai berapa tahun laskar Pajang itu akan tinggal disini? Bukankah dengan demikian
akibatnya akan hampir sama?”
”Kenapa?”
“Mereka makan beras kita yang kita pertahankan dari sergapan laskar Jipang”
“Tidak seberapa. Mereka makan hanya sepenuh-penuh perut mereka. Sedang laskar Jipang
akan mengambil semuanya, bahkan dengan semua benda-benda berharga dari kademangan
ini”
Kembali istrinya berdiam diri. Ketika suaminya kemudian berkata lagi, hatinya berdebar-debar.
Katanya “Nyai, sebaiknya kita pertahankan kademangan ini. Sebaiknya setiap laki-laki ikut serta.
Tidak hanya anak-anak muda saja”
“Kau akan pergi juga?”
“Ya” jawab suaminya “Seperti Ranu dan Harda”
Alangkah cemasnya istrinya mendengar kata-kata itu. Kenapa timbul perselisihan dipusat
kerajaan, sehingga daerah-daerah yang jauhpun mengalamai akibatnya? Peperangan benar-
benar merupakan sesuatu yang mengerikan sekali. Yang memisahkan suami-suami dari istri-
istri mereka, ayah dari anak-anak mereka, dan anak dari ibu-ibu mereka. Peperangan telah
mematahkan cinta manusia. Cinta sesama.
Tetapi laki-laki itu kemudian pergi juga ke banjar desa bersama dengan laki-laki yang lain.
Mereka mengganti cangkul, bajak dan garu dengan pedang digenggaman tangannya.
Demikianlah tidak saja anak-anak muda, kemudian orang-orang yang telah meningkat
kepertengahan abadpun ikut serta menyerahkan dirinya pada pengabdian bagi tanah
kelahirannya, bagi kampung halamannya. Mereka menempatkan diri dibawah pengawasan
langsung Demang Sangkal Putung. Dan bagi mereka telah dibagikan tugas, untuk menjaga
kademangan dan lumbung-lumbung desa pada saat-saat yang genting. Sedang anak-anak
muda diperkenankan ikut dalam perlawanan langsung apabila musuh-musuh mereka benar-
benar datang.
Tetapi hari itu telah dilewati dengan aman. Laskar Macan Kepatihan sama sekali tidak
menampakkan diri. Tetapi tidak mustahil bahwa mereka akan menyergap dimalam hari.
“Setan itu benar-benar mengganggu kademangan ini” gerutu Widura, ketika malam turun.
“Mereka barangkali kini sedang tidur dengan nyenyaknya, sedang kita harus selalu berjaga-
jaga menunggu kedatangan mereka”
“Pada suatu ketika, kitalah yang mengambil prakarsa. Bukan mereka. Sebab dengan demikian,
keadaan kita merekalah yang menentukan” sahut Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Seharusnyalah demikian. Apabila datang saatnya,
laskar Pajanglah yang harus mencari sisa-sisa laskar Macan Kepatihan untuk dimusnahkan.
Malam itu seperti yang biasa dilakukan oleh Widura, adalah pergi berkeliling gardu-gardu
peronda. Kali ini Widura tidak hanya pergi berdua dengan Agung Sedayu, tetapi Untara turut
serta bersama mereka.
Satu persatu Widura mengunjungi gardu-gardu besar, dan pusat-pusat penjagaan. Ternyata tak
seorangpun dari anak buahnya yang mengabaikan segala perintahnya. Sebab sedikit
kelengahan yang mereka lakukan, maka akibatnya dapat mengerikan sekali. Sehingga dengan
dem dengan penuh kesadaran mereka melakukan tugas-tugas mereka dengan penuh
tanggung jawab.
Yang terakhir dilakukan oleh Widura adalah pergi kegunung Gowok. Untara ingin melihat,
bagaimanakah perkembangan adiknya selama ini. karena itu, maka ketika mereka telah
beristirahat sejenak, Untara itupun berkata “Nah Agung Sedayu. Aku ingin melihat, apakah kau
hanya sekedar pandai melukis diatas rontal-rontal itu, ataukah kau pandai juga melakukannya”
“Anak itu luar biasa” berkata Widura “Kalau ia memiliki keteguhan hati, maka ia tak akan kalah
dengan aku atau Sidanti.”
Untara tersenyum. Katanya kepada adiknya “Hatimu sekecil hati kelinci. Namun agaknya
sekarang kau telah menemukan harga dirimu, sehingga karena itu hatimu akan berkembang.
Dengan demikian maka kau akan dapat menjadi seorang laki-laki yang tidak menggantungkan
nasibmu kepada orang lain.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia ingin menunjukkan kepada kakaknya, apakah yang
telah yang dimilikinya selama ini.
BUKU 06
Untara dan Agung Sedayu kemudian tidak membuang-buang waktu lagi. Segera mereka mulai
dengan suatu latihan yang keras. Ternyata Untara benar-benar ingin melihat, sampai dimana
puncak kemampuan adiknya.
Ketika latihan itu telah berjalan beberapa lama, maka tahulah Untara bahwa apa yang
dikatakan oleh Widura itu memang sebenarnya demikian. Agung Sedayu mempunyai bekal
yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa. Ketangkasan, kekuatan tenaga
dan kelincahan. Apalagi kini, setelah anak muda itu menemukan kepercayaannya kepada diri
sendiri, maka setiap geraknyapun seolah-olah menjadi lebih mantap. Meskipun beberapa kali
Untara melihat kesalahan-kesalahan yang masih dilakukan oleh adiknya, namun kesalahan-
kesalahan kecil itu segera dapat diperbaikinya.
Dalam latihan-latihan itulah, maka Widura melihat betapa Untara sebenarnya mempunyai ilmu
yang hampir mumpuni. Bahkan kemudian Widura itu tersenyum sendiri mengenangkan
perkelahian antara Untara dan Sidanti. “Aneh” pikirnya “Jarang aku temui anak muda sesabar
Untara dalam menghadapi lawan perkelahian apapun alasannya. Tetapi terbawa oleh tugas
yang diembannya, maka agaknya Untara harus berlaku bijaksana. Kalau ia mau, maka Sidanti
adalah bukan lawannya.”
Namun Agung Sedayu ternyata telah mengagumkan pula. Kini anak itu tampaknya tidak ragu-
ragu lagi untuk sekali-sekali membenturkan tenaganya apabila perlu. Meskipun beberapa kali ia
terdorong surut oleh kekuatan Untara, namun segera ia berhasil menguasai keseimbangan
dengan kelincahannya.
Untara melihat ketangkasan adiknya itu dengan penuh kebanggaan didalam dadanya. Apa
yang dilakukan oleh Agung Sedayu, benar-benar jarang ditemuinya. Melatih diri dalam lukisan-
lukisan. Membuat perhitungan-perhitungan dengan gambar. Tetapi ternyata dalam
pelaksanaannyapun Agung Sedayu mampu melakukan sebagian besar dari angan-
angannyayang dituangkannya diatas rontal-rontal. Hanya disana-sini Untara masih perlu
memberinya beberapa petunjuk dan perubahan, sehingga dengan demikian ilmu Sedayu itupun
menjadi semakin sempurna.
Ketika Untara telah cukup mengenal ilmu adiknya, serta menganggap latihan itu telah cukup,
maka segera ia menghentikannya. Agung Sedayu,yang sebenarnya telah menjadi kelelahan,
sgera meloncat surut dan dengan wajah yang riang ia berdiri bertolak pinggang. Meskipun
demikian, tampak juga dadanya menggelombang karena nafasnya yang terengah-engah.
“Kau lelah” bertanya Untara.
Agung Sedayu mengangguk, jawabnya “latihan ini terlalu keras bagiku.”
“Belum sekeras perkelahian sebenarnya” Untara menyahut “Apalagi kalau kau bertemu dengan
Macan Kepatihan dengan tongkatnya yang mengerikan itu.”
Agung Sedayu menarik nafas. Kemudian iapun segera duduk diatas seonggok tanah disamping
pamannya. Sedang Untara masih saja berdiri untuk kemudian memberikan beberapa petunjuk
tentenag kesakahan-kesalahan yang dibuat oleh Agung Sedayu.
“Sedayu” berkata kakaknya “kau ternyata mampu bertempur seorang lawan seorang. Tetapi
suatu ketika kau akan turut serta dalam pertempuran brubuh. Pertempuran antara laskar
Pajang dan laskar Jipang. Dalam pertempuran yang demikian kau tidak hanya dapat
membanggakan kekuatan pertempuran seorang lawan seorang. Tetapi kau harus dapat
menempatkan dirimu diantara kawan dan lawan.”
Agung Sedayu kemudian memperhatikan dengan seksama petunjuk-petunjuk yang diberikan
oelah kakaknya. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi didalam perang atara dua
kekuatan dalam jumlah yang banyak. Hal-hal yang sebagian lagi pamannya telah
memberitahukannya kepadanya.
Tetapi Untara itupun berhenti ketika dilihatnya sebuah bayangan yang bergerak-gerak
dibelakang pucuk kecil itu. Namun mereka tidak menjadi cemas karenanya. Orang itu telah
mereka kenal baik-baik. Kiai Gringsing.
Namun mereka menjadi heran ketika melihat Kiai Gringsing itu tidak datang sendiri.
Ketika Untara melihat orang yang datang bersama dengan Kiai Gringsing itu, tampak wajahnya
menjadi tegang. Dengan agak tergesa-gesa ia kemudian bertanya “Apakah ada sesuatu yang
penting dengan pekerjaanmu?”
Sebelum orang itu menjawab, terdengar Kiai Gringsing tertawa. Katanya “Kenapa kau tidak
mempersilahkan aku dahulu, baru bertanya kepada orang ini?”
Untara tertawa. Jawabnya “Marilah Kiai. Aku mempersilahkan Kiai.”
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “ Apakah
muridmu bertambah seoang lagi Sedayu?”
Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia tidak menjawab. Bahkan yang berkata kemudian adalah
Kiai Gringsing “Nah, sekarang bertanyalah kepada orang itu.”
Untara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada orang yang datang bersama
dengan Kiai Gringsing “Kemarilah”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dan Widura berganti-ganti.
Untara yang dapat meraba keraguan orang itu berkata “Mereka adalah pemimpin laskar-laskar
Pajang di Sangkal Putung. Yang satu adalah adikku Agung Sedayu dan yang lain adalah
paman Widura.”
Orang itu menganggukkan kepalanya sambil berkata “Aku pernah mendengar tentang paman
Widura di Sangkal Putung, tetapi baru kali ini aku melihat orangnya.”
Widura tersenyum, sahutnya “inilah orangnya. Tak ada yang menarik.”
Orang itu tertawa pendek, yang mendengarpin tertawa pula. kemudian Untaralah yang berkata
“Soma, berkatalah. Biarlah paman Widura mendengar pula.”
Soma menarik nafas dalam-dalam, kemudian setelah menelan ludahnya ia berkata “Ada
beberapa berita tentang orang itu.”
Sebelum Soma meneruskan, terdengar Widura menyela “Untara,aku telah memperkenalkan
diriku, tetapi siapakah kisanak ini?”
Untara mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian jawabnya “ia salah
seorang pembantuku.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia mengerti, orang itu pasti dari pasukan
sandi. Karena itu maka Widura tidak bertanya lagi.
Kemudian berkatalah Soma itu seterusnya “Ketika aku datang kepondokan kakang, ternyata
kakang telah tidak ada. Menurut pesan kakang terakhir, aku harus datang kerumah itu. Dan
yang aku jumpai adalah Kiai Gringsing.”
“Aku meninggalkan rumah itu dengan tergesa-gesa tanpa aku rencanakan terlebih dahulu.
Tetapi bukankah aku telah berpesan kepada Kiai Gringsing?”
“Pesan yang aneh” gumam Kiai Gringsing.
Untara tersenyum dan Soma itupun tersenyum.
“Tak ada orang yang dapat berbicara dalam bahasamu Untara” berkata Kiai Gringsing
kemudian “dan pesan itu sudah aku sampaikan. “Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai
Gringsing berkata “He, Sedayu apakah kau dapat mengerti bahasa Untara itu. Bulan
muda,angin selatan, bintang utara. Laju bersama gubug penceng. “Kiai Gringsing itupun
kemudian tertawa terkekeh-kekeh. “Ayo Sedayu apakah kau tahu artinya?”
“Aku tahu Kiai” jawab Agung Sedayu.
“Apa?”
“Kisanak itu harus datang bersama Kiai menemui kakang Untara disini.” Jawab Agung Sedayu
sambil tertawa.
Untara tertawa, Soma itupun tertawa dan yang lain-lain juga tertawa.
“Akupun dapat memberikan arti menurut kehendakku” berkata Kiai Gringsing.
“Tetapi bukankah Kisanak itu datang kemari bersama Kiai?” berkata Sedayu.
Kembali mereka tertawa. Tetapi Untara tidak berkata apa-apa tentang kata-kata sandi itu.
“Nah,Soma” berkata Untara kemudian “katakan berita itu?”
“Macan Kepatihan menempatkan beberapa orang untuk mengamat-amati Benda, namun
kemudian pergi ke Timur.”
Untara mengerutkan keningnya, katanya “Apakah dapat diketahui, pada siapakah orang-orang
Tohpati itu bersembunyi?”
“Sudah, tetapi kami belum mengetahui jumlah itu.” Jawab Soma “sedang dihutan-hutan
disebelah barat kadang-kadang tampak juga beberapa orang Jipang. Diantara mereka adalah
Plasa Ireng.”
Kini tidak saja Untara yang mengerutkan keningnya. Tetapi Widurapun kemudian
memperhatikan berita itu dengan seksama. Bahkan dengan serta-merta ia berkata “Ada tanda-
tanda Tohpati akan menyergap dari barat?”
Untara mengangguk “Ya” jawabnya “Mereka sedang menyusun kekuatannya di barat. Plasa
Ireng dan pasti Alap-alap Jalatunda telah ditarik pula kedalamnya.”
Widura kemudian termenung sejenak. Agaknya Tohpati benar-benar mengerahkan segala
kekuatan dari sisa-sisa laskar Jipang Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan mungkin pula
pimpinan laskar Jipang didaerah utara, yang terkenal dengan nama Sanakeling.
Sesaat gunuk Gowok itu menjadi sepi. Mereka masing-masing hanyut dalam arus angan-
angannya. Widura merasa bersyukur bahwa sampai saat ini Sidanti masih dapat dikuasainya
atas kebijaksanaan Untara,sehingga apabila sergapan Tohpati itu datang beserta beberapa
orang terkenal dari laskar Jipang, tenaganya masih dapat dipergunakan. Widurapun
mengharap Agung Sedayu akan memperkuat laskarnya pula disamping Untara sendiri.
Untara itupun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada pembantunya
“Aku terima beritamu. Hubungi Trigata. Aku berada di Sangkal Putung. Beritahukan setiap
perkembangan keadaan.”
Orang itu mengangguk. Jawabnya “Tetapi pasti tidak malam ini. Mungkin besok malam atau
lusa.”
“Apakah ada tanda-tanda Tohpati menyergap malam hari?”
“Mungkin. Mereka menyiapkan obor dan panah-panah api.”
“Setan” Untara menggeram “Tetapi bukan tujuan mereka menghancurkan Sangkal
Putung,sebab mereka memerlukan lumbung-lumbung padi disini. Tetapi bahwa mereka
menyerang pada malam hari adalah mungkin sekali.”
“Nah, aku akan pergi dulu kakang. Mungkin keadaan berkembang terlalu cepat.”
“Baik,aku akan berada di Sangkal Putung .”
Orang itupun kemudian mengangguk, minta diri kepada semua yang hadir ditempat itu, dan
menghilang diantara gelapnya malam.
“Petygas yang baik” gumam Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tegang. Sebagai seorang
yang bertanggung jawab atas daerah itu, maka segera Widura membuat perhitungan.-
perhitungan.
Tiba-tiba ia teringat kepada Tambak Wedi. “Sepasar” katanaya dalam hati. Kini dua hari telah
dilampauinya. Tiga dengan besok. “Gila orang yang tak tahu keadaan itu. Ia terlalu
mementingkan diri sendiri dan muridnya tanpa memandang segenap persoalan dalam
jangkauan yang luas. Tetapi tiba-tiba ia teringat pula pada orang yang bertopeng yang duduk
dimukanya. Dan dengan serta-merta Widura itu bertanya “Kiai” katanya “apakah Kaia bertemu
dengan Tambak Wedi di lapangan. Bukankah Kiai telah melemparkan cemeti Kiai setelah
Tambak Wedi melemparkan gelang besinya.”
Orang itu tertawa “ya” jawabnya “ia memberi aku salam yang hangat, sehangat api neraka.
Tetapi setelah kalian bubar orang itu pergi juga tanpa berbuat sesuatu. Aku sangka ia akan
marah kepadaku. Tetapi ia hanya mengancamku.”
“Apakah katanya?”
Kiai Gringsing itu diam sesaat. Kemudian dijawabnya “Ki Tambak Wedi minta aku tidak ikut
mencampuri urusannya dengan kau. Kalau aku tidak memenuhinya, maka aku akan
dibunuhnya.”
Widura mengangkat alisnya. Setelah termenung sejenak ia bertanya pula “Bagaimanakah
jawaban Kiai
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas. Kemudian katanya “Aku kira tak seorang pun yang berhak
berbuat seperti Ki Tambak Wedi itu. Kalau ia ingin berbuat sekehendaknya, maka akupun akan
berbuat sekehendakku. Bukankah nanti apabila Ki Tambak Wedi marah aku mencari
perlindungan kepada Agung Sedayu?”
“Ah” Agung Sedayu mendesah, tetapi Widura dan Untara tertawa.
Dan Kiai Gringsing itupun berkata seterusnya “Tetapi lupakan sajalah Ki Tambak Wedi itu. Aku
harap ia tidak bersungguh-sungguh. Yang perlu kau pikirkan, bagaimana kau dapat
menghindarkan Sangkal Putung dari bencana yang akan dapat ditimbulkan oleh Tohpati.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untarapun kemudian berdiam diri, sedang Agung
Sedayu memandang jauh kelangit, seakan-akan sedang menghitung bintang yang
berhamburan diatas dataran yang biru pekat.
Sesaat mereka saling berdiam diri. Widura sedang mencoba menghitung-hitung kekuatan
dipihaknya dan membandingkan dengan kekuatan Tohpati. Dalam jumlah, maka Widura dapat
berbesar hati. Dengan anak-anak muda Sangkal Putung, laskarnya pasti berjumlah lebih
banyak dari jumlah laskar Tohpati. Namun dalam penilaian seorang-seorang, maka Widura
masih harus berkeprihatin. Meskipun setiap orang di dalam laskarnya tidak akan kalah dari
setiap orang dalam laskar Jipang, tetapi anak-anak muda Sangkal Putung, Widurapun tidak
yakin kalau jumlah laskarnya akan memadai. Karena laskar Jipang dapat berada dimana saja
yang mereka kehendaki, sehingga suatu ketika, jumlah laskar Jipang itu dapat menjadi banyak
sekali.
Karena itu maka Widura mengambil kesimpulan, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung
itupun selagi sempat harus mendapat penempaan sejauh-jauh mungkin. Bahkan orang-orang
yang sudah agak lanjut usianya, asal mereka sanggup dan bersedia, pasti akan menjadi tenaga
bantuan yang berarti.
Sesaat kemudian, maka Kiai Gringsing itupun pergi meninggalkan mereka. Katanya “Aku akan
pulang kerumahku diantara rumpun-rumpun bambu. Hati-hatilah, setiap saat Tohpati itu akan
datang. Mungkin benar ia akan menyergap dari arah barat. Karena itu, awasilah arah itu baik-
baik. Namun jangan lengahkan penjagaan-penjagaan ditempat-tempat lain.”
“Baik Kiai” jawab Widura.
Namun Kiai Gringsing itu berpalingpun tidak. Orang itu berjalan mendaki puntuk kecil, lewat
dibawah pohon kelapa sawit dan seterusnya hilang dibalik puntuk kecil itu.
Belum lagi Untara sempat berpaling, terdengar Agung Sedayu bertanya”Siapakah sebenarnya
orang itu?”
Untara tersenyum, jawabnya “Kiai Gringsing.”
Agung Sedayu hanya dapat menggigit bibirnya. Ketika kemudian Untara dan Widura tertawa,
maka anak muda itu berdiri sambil menggeliat. Katanya ‘Apakah kita akan tidur disini?”
Widura bahkan tertawa semakin keras. Katanya ‘Apakah kau berani tidur disini? Bukankah
setiap malam, apabila kita berada ditempat ini kau selalu saja mengajak pulang? apalagi ketika
kau dengar Tohpati sedang berkeliaran didaerah ini?”
“Ketika itu tidak ada kakang Untara” jawab Sedayu.
“Bagaimanakah kalau aku lari apabila ada bahaya?”bertanya Untara.
“Apa kakang sangka aku tidak bisa lari secepat kakang?” bantah Agung Sedayu.
Kembali mereka tertawa. Namun terasa oleh Widura, betapa kemenakannya itu mengalami
banyak perubahan. Kini ia sama sekali tidak tampak menjadi cemas seandainya bahaya betul-
betul mengancamnya. Apalagi setelah ia mendapat beberapa petunjuk oleh kakaknya. Baik
lukisan-lukisannya maupun pelaksanaannya, maka ternyata Agung Sedayu benar-benar dapat
menjadi seorang anak muda yang perkasa. Apalagi hatinya benar-benar menjadi besar dan
tangguh. Maka kekuatan Agung Sedayu pantas diperhitungkan.
Sesaat kemudian Widura dan Untarapun berdiri pula. keperluan mereka agaknya sudah cukup
buat kali ini. Sehingga dengan demikian segera merekapun kembali ke kademangan.
Hari itu setiap penjagaan menjadi lebih diperkuat. Gardu-gardu peronda dan peronda-peronda
keliling. Tohpati yang berada disekitar tempat mereka, setiap saat dapat menyergap. Namun
yang harus mendapat pengawasan paling ketat adalah justru daerah barat.
Sedang kerja Widura hari itu adalah menangani sendiri latihan-latihan bagi anak-anak muda
Sangkal Putung disamping beberapa orang anak buahnya. Langsung diberikannya beberapa
petunjuk penting apa dan bagaimana mereka harus berbuat di dalam pertempuran-
pertempuran. Swandaru, yang memimpin anak-anak muda itupun berlatih dengan sekuat-kuat
tenaganya, supaya namanya tidak terlalu jauh dibawah nama-nama yang dikaguminya.
Sidanti,Sedayu,Widura dan Untara.
Hanya Sidantilah yang selalu bersikap acuh tak acuh atas semua kesibukan itu. Meskipun
demikian, sampai saat itu, Sidanti masih berada dalam barisan Widura.
Hari itupun ternyata Tohpati belum menyergap Sangkal Putung. Sehingga pada malam
harinyau dan Agung Sedayu masih dapat memanfaatkannya dengan beberapa latihan penting.
Juga anak-anak muda Sangkal Putung, oleh Widura diajarinya bertempur dimalam hari.
Bagaimana mereka harus mengenal kawan dan lawan di dalam gelap dan bagaimana mereka
harus memberikan ciri masing-masing dan tanda-tanda sandi. Selain itu Widurapun telah
membuat beberapa persiapan untuk bertempur malam hari. Obor-obor dan panah-panah api
untuk mengimbangi laskar Tohpati yang dengan api akan mencoba mengacaukan pertahanan
pasukan yang berada di Sangkal Putung.
Namun dipagi hari berikutnya,ketika Untara dan Agung Sedayu sedang sibuk mengurai
lukisannya datanglah seorang penjual keris yang ingin menemui Untara. Kepada para penjaga
dikatakannya bahwa ia mendapat pesanan dari Untara itu.
Ketika seseorang menyampaikannya kepada Untara, maka Untara itupun mengerutkan
keningnya, kemudian katanya “Ya, aku memang memesan sebuah keris. Bawalah orang itu
masuk.”
Sesaat kemudian orang yang menyebut dirinya pedagang keris itu diantar masuk ke pringgitan.
“Duduklah” Untara mempersilahkan.
Orang itupun kemudian duduk diatas sehelai tikar pandan. Dipunggungnya terselip sebilah keris,
dan dianggarnya pula keris yang lain, pada sangkutannya didalam jumbai dibagian depan ikat
pinggangnya.
“Paman” berkata Untara kemudian kepada Widura “apakah paman tidak ingin melihat beberapa
bilah keris?”
Widura tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Namun demikian ia duduk pula dihadapan orang
yang menyebut dirinya pedagang keris itu. Agung Sedayupun kemudian hadir juga diantara
mereka.
Sesaat kemudian barulah Untara berkata kepada orang itu “Apakah kau membawa keris itu?”
Orang itu menggangguk. Kemudian dijawabnya “Ya, Soma telah menyampaikan pesan itu.”
Untara mengangguk-angguk. Bahkan Widurapun mengangguk-angguk pula. Sedang Agung
Sedayu sekali-sekali mencoba memandang wajah orang itu.
“Nah, marilah aku perkenalkan dengan pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung” berkata
Untara sambil menunjuk Widura “Paman Widura.”
Orang itu mengangguk dalam sambil berkata “Aku adalah utusan kakang Untara.”
Kembali Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia tahu bahwa orang itu sama
sekali bukan pedagang keris. Tetapi orang itu adalah salah seorang pembantu sandi dari
Untara dalam kedudukannya sebagai seorang senopati yang memegang kekuasaan atas nama
Panglima Wira Tamtama. Ki Gede Pemanahan.
“Namanya Trigata” sambung Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. nama
itu pernah didengarnya di Gunung Gowok dahulu, ketika kakaknya berpesan pada Soma.
“Nah sekarang, apakah yang akan kau sampaikan?”
“Kelanjutan dari berita-berita yangdibawa oleh Soma.”
“Ya”
“Tohpati hari ini berada dihutan-hutan sebelah barat padukuhan Benda.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “apakah sangkamu
persiapannya sudah selesai?”
“Kami menyangka demikian. Orang menyelundup kami yang disekitar lingkungan mereka yang
dapat kami hubungi telah mendengar perintah untuk tetap ditempat bagi mereka.”
Kembali Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagaimanakah dengan obor dan panah
api?”
Trigata berpikir sejenak, kemudian jawabnya “Mungkin akan benar-benar mereka pergunakan.
Mereka tidak mau gagal kali ini. Karena itu mereka akan mempergunakan alat-alat untuk
mengacaukan pertahanan kita disini.”
Sesaat mereka kini berdiam diri. Masing-masing mencoba membayangkan apakah kira-kira
yang akan terjadi seandainya laskar Macan Kepatihan itu benar-benar akan datang.
Yang mula-mula berbicara adalah Widura, katanya “Aku harus menyiapkan orang-orangku.”
“Ya” berkata Untara “Tetapi tidak sekarang. Nanti sore setelah matahari hampir tenggelam,
supaya Tohpati tidak sempat mengetahui, bahwa rencananya telah kita mengerti sebelumnya.”
“Kau benar” berkata Widura “aku hanya akan membuat latihan-latihan khusus pagi ini.”
Untara menggangguk. Kemudian kepada Trigata Untara itu berkata “Apakah menurut
dugaanmu malam nanti Tohpati akan bergerak.”
“Demikianlah” sahut Trigata.
“Baik” berkata Untara “usahakan melihat gerakan mereka meskipun dari jarak yang jauh.
Berilah tanda dengan panah sanderan. Tetapi ingat, kau tidak usah membunuh diri. Demikian
kau melepaskan anak panah sanderan, kau harus segera melarikan dirimu. Terserahlah
kepadamu, siapakah yang berani bertaruh nyawa berdiri diujung, yang lain akan menerima
tanda itu dan meneruskan ke Sangkal Putung.”
“Ah pekerjaan itu tidak terlalu berbahaya” sahut Trigata “apalagi dimalam hari, kami akan dapat
melakukannya dengan aman. Sebab dapat kami lakukan dari jarak yang cukup jauh. Pekerjaan
ini jauh lebih aman dari melakukan pertempuran itu sendiri.”
“Bagus, dimana kalian berada?”
“Di Tegal” jawab Trigata “dirumah seorang petani miskin bernama Pada.”
“Kelak, apabila kau tidak datang sesudah serangan selesai, kami akan mencari kalian.”
“Terima kasih” sahut Trigata.
Kembali kemudian mereka berdiam diri. Wajah Agung Sedayu tampak tegang. Ada sesuatu
yang bergolak didalam dadanya. Setelah ia menemukan kepercayaannya pada kekuatan yang
tersimpan dalam dirinya, tiba-tiba timbullah keinginannya untuk ikut serta dalam pertempuran itu.
Meskipun demikian maksudnya itu tidak segera disampaikannya kepada kakaknya maupun
pamannya. Ia akan menunggu sampai nanti apabila diadakan pertemuan diantara para
pemimpiin laskar di Sangkal Putung.
Widura kemudian meninggalkan Pringgitan. Diberinya anak buahnya beberapa petunjuk khusus.
Meskipun belum diberitahukannya bahwa Tohpati mungkin sekali akan menyergap malam nanti,
namun secara tidak langsung telah dipersiapkannya anak buahnya untuk menghadapi
kemungkinan itu. Dipersiapkannya pula anak-anak muda Sangkal Putung untuk menghadapi
setiap kemungkinan,pula laki-laki yang telah berumur agak lanjut. Diberikannya petunjuk
tempat-tempat yang harus mereka pertahankan dan diberitahukannya pula cara-cara untuk
melawan api apabila timbul kebakaran.
Meskipun Widura belum mengatakan, namun sudah terasa oleh anak buahnya, bahwa bahaya
itu semakin dekat. Karena itu, maka merekapun telah mulai mengatur hati masing-masing. Siap
menghadapi setiap kemungkinan.
Penduduk Sangkal Putung merasa pula, bahwa mereka harus ikut serta mempersiapkan diri.
Perempuan-perempuan telah membuat persiapan secukupnya menghadapi masa-masa yang
sulit. Kalau terjadi pertempuran, belum pasti sehari, dua hari akan selesai. Dan yang paling
mengerikan bagi mereka, bagaimanakah kalau laskar Pajang bersama-sama anak-anak muda
Sangkal Putung tidak mampu menahan arus Macan Kepatihan?
Siang itu juga, Trigata meninggalkan Sangkal Putung kembali ketempatnya. Di tempat
persembunyiannya ternyata telah berkumpul lima orang yang sipa melakukan tugas-tugas
mereka. Beberapa tanda sandi harus mereka berikan lewat panah sanderan yang nanti akan
memberitahukan beberapa masalah mengenai gerakan Tohpati.
Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk. Dimuka banjar anak-anak Sangkal Putung
sibuk berlatih. Sedang anak buah Widura sibuk pula mempersiapkan senjata-senjata mereka.
“Jangan memeras tenaga kalian” Widura menasehati anak-anak muda Sangkal Putung “nanti
apabila setiap saat diperlukan, kalian telah menjadi kelelahan.”
Anak-anak muda itupun menurut pula. Mereka kini tinggal mendengarkan beberapa petunjuk-
petunjuk yang harus mereka lakukan dalam pertempuran yang setiap saat mungkin akan
datang.
Ketika matahari telah condong kebarat, beberapa orang penjaga diujung induk desa Sangkal
Putung terkejut mendengar pandah sanderan yang meraung-raung dilangit, kemudian jatuh
didekat mereka. Seseorang segera memungut anak panah itu. Namun mereka tidak melihat
sesuatu pada anak panah itu. Karena itu, maka seorang dari mereka segera meloncat keatas
punggung kuda dan langsung berpacu ke Kademangan.
Widura dan beberapa orang terkejut karenanya, ketika seorang dengan tergesa-gesa lari naik
ke pringgitan.
“Ki Lurah” berkata orang itu kepada Widura “sebuah anak panah sanderan telah jatuh didekat
gardu penjagaan kami. Tetapi kami tidak menemukan sesuatu apapun pada anak panah itu”
Widura mengerutkan keningnya. “Bawalah kemari” berkata Widura. ketika Untara ikut serta
melihat anak panah itu, maka iapun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada
peronda yang menemukan anak panah itu ia berkata “Perkuat penjagaan digardumu”
“Baik tuan” jawab orang itu.
“Kembalilah. Setiap perkembangan akan kami beritahukan, tetapi kaupun harus melaporkan
setiap perkembangan yang kau ketahui” berkata Untara pula.
Orang itupun kemudian pergi meninggalkan pringgitan. Disepanjang jalan ia menggerutu “Tidak
juga mau memberitahukan apakah sebenarnya yang akan terjadi” Namun karena itulah maka
para peronda itu menjadi semakin berhati-hati.
Sepeninggal orang itu, maka Untarapun berkata kepada Widura “Paman, anak-anak buahku
telah mendapat kepastian. Malam nanti Tohpati akan mulai menyergap Sangkal Putung. Anak
panah yang dikirim saat ini hanya sebuah. Menurut pesan yang aku berikan kepada mereka,
kalau Tohpati akan bergerak sebelum tengah malam, mereka harus mengirimkan dua anak
panah. Sedang kalau kira-kira antara tengah malam atau sesudah itu, satu anak panah.
Sehingga dengan demikian maka kemungkinan terbesar, Tohpati nanti akan bergerak pada
tengah malam”
Widura mengerutkan keningnya. “Waktu yang baik” gumamnya. “Mungkin Tohpati
memperhitungkan, bahwa pada saat fajar mereka akan memasuki Sangkal Putung”
Keduanya kemudian berdiam diri. Masing-masing sedang mencoba melihat setiap
kemungkinan yang dapat terjadi. Yang mula-mula berbicara adalah Agung Sedayu “Kakang,
apakah Alap-alap Jalatunda akan ikut serta dengan Tohpati?”
Untara mengangguk “Mungkin sekali”
Agung Sedayu menarik nafas. Namun ia tidak berkata apapun. Untara yang melihat wajahnya,
segera mengerti perasaan adiknya. “Apakah kau sudah rindu kepadanya?”
Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia masih belum menjawab
“Kalau begitu, apakah kau ingin bertemu malam nanti?”
Kini Agung Sedayu mengangguk “Ya” jawabnya “Aku sangka Alap-alap Jalatunda itu tidak
terlalu menakutkan”
Untara tersenyum, namun kini ia berkata kepada Widura “Paman, barangkali sudah sampai
waktunya paman memberitahukan persoalan Sangkal Putung kepada para pemimpin kelompok
anak buah paman”
Widura mengangguk “Ya. Aku sangka demikian. Aku akan memanggilnya beserta beberapa
pemimpin anak-anak muda Sangkal Putung, bapak Ki Demang Sangkal Putung dan bapak
Jagabaya”
“Jagabaya?” bertanya Untara
V
0 comments:
Posting Komentar