..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 08 Januari 2025

Api Di Bukit Manoreh Seri 2

 



“Apa yang terjadi Mirah?” bertanya anak itu. 

“Kakang Sidanti memaksa aku untuk menuruti kehendaknya“ jawabnya. Sidanti terkejut 

mendengar jawaban itu. Sedayupun terkejut pula. Dan terdengar gadis itu meneruskan 

“Menurut kakang Sidanti, aku tidak boleh bergaul dengan setiap laki-laki kecuali kakang Sidanti 

sendiri” 

“Mirah” potong Sidanti. Tetapi Sekar Mirah berkata terus “Ia mengancamku. Nah, apakah 

haknya?” 

Swandaru memandang Sidanti dengan tajamnya. Telah lama tertanam bibit-bibit ketidak-

senangannya terhadap anak muda itu. Karena itu ia berkata acuh tak acuh “Jangan hiraukan 

Mirah. Anggaplah kata-katanya seperti angin malam. Gemerisik dan lenyap bersama embun 

pagi” 

Sidanti adalah anak muda yang masih berdarah panas. Kata-katanya itu benar-benar 

menyakitkan hatinya. Karena itu tiba-tiba saja ia meloncat dan menampar mulut Swandaru 

seperti pernah dilakukannya. Swandaru terkejut, namun ia tidak mampu untuk menghindar. 

Terasa sebuah sengatan yang dahsyat dipipinya sehingga ia tersentak mundur. Namun 

Swandaru itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga ia terbanting 

jatuh, bersamaan dengan pekik adiknya Sekar Mirah. “Kakang Swandaru!” teriaknya. 

Swandaru berguling beberapa kali. Kemudian dengan susah payah ia duduk. Dirasakannya 

kepalanya pening dan ketika ia mengusap mulutnya, tampaklah tangannya menjadi merah. 

Darah. 

Sekar Mirah memandang Sidanti seperti memandang hantu. Betapa gadis itu menjadi marah 

sehingga mulutnya bergetar. Namun yang dapat diucapkannya hanyalah “Kau setan, Sidanti” 

Pekik Sekar Mirah ternyata didengar oleh beberapa orang yang sedang terkantuk-kantuk 

dipendapa. Beberapa orang berlari-larian kebelakang rumah. Mereka tertegun ketika melihat 

Swandaru masih duduk ditanah dan dari mulutnya mengalir darah, diantara mereka berdiri 

dengan dada yang bergolak pepmimpin laskar di Sangkal Putung itu. Widura. Dengan tajam 

Widura memandang satu demi satu setiap orang yang berdiri dibelakang rumah itu. Sidanti, 

Sedayu dan Swandaru. Katanya didalam hati “Celaka. Swandaru terlibat pula” 

Sidanti masih berdiri seperti tonggak. Kaki-kainya yang kokoh seakan-akan jauh menghunjam 

kedalam bumi. Dengan wajah yang tegang ia berdiri menunggu apapun yang akan terjadi. 

Namun ia sudah terlanjur mengayunkan tangannya. Dengan demikian segala akibat yang akan 

imbul pasti akan dihadapinya. 

Dalam ketegangan itu terdengarlah Widura menggeram “Apakah yang terjadi disini Sidanti?” 

Sidanti tidak segera menjawab. Sesaat matanya menyambar Agung Sedayu dan kemudian 

Sekar Mirah. 

Beberapa orang yang berdiri memagari merekapun segera dapat menebak, apa yang sudah 

terjadi. Hudaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyipitkan matanya, sedang Citra 

Gati dengan penuh perhatian menatap wajah Sidanti. 

Ketika beberapa saat Sidanti tidak menjawab, maka kembali Widura bertanya, kali ini kepada 

Agung Sedayu “Apa yang terjadi Sedayu?” 

Agung Sedayu menundukkan wajahnya, mulutnyapun seperti terkunci. Karena itu Agung 

Sedayu juga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Yang terdengar kemudian adalah kata-

katanya Swandaru “Yang aku ketahui paman, mulutku berdarah dan kepalaku serasa hampir 

terlepas” 

Widura berpaling kearah Swandaru yang masih terduduk ditanah “Berdirilah Swandaru” berkata 

Widura. 

Dengan susah- payah anak muda itu berdiri. Beberapa orang berusaha untuk menolongnya 

dan menghapus darah yang masih juga meleleh dari mulutnya. Ketika Swandaru telah berdiri 

meskipun belum tegak benar, ia mencoba memandang setiap wajah yang ada disekitarnya. 

Namun ayahnya tidak nampak. Meskipun demikian ia berkata terus “Tangan kakang Sidanti 

benar-benar seberat timah” 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ditatapnya mata Sidanti, 

sehingga dengan nanar Sidanti terpaksa melemparkan pandangan matanya jauh-jau


“Kenapa kau sakiti dia Sidanti?” 

“Anak itu mendahului kakang” sahut Sidanti 

“Ah” Widura berdesah “Benarkah demikian?” katanya kepada Swandaru. 

“Hem” Swandaru menarik nafas. “Ada dua orang saksi disini. Sekar Mirah dan Agung Sedayu” 

Sidanti menelan ludahnya. Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Dan didengarnya kembali 

Widura bertanya “Sidanti, apakah sebenarnya yang terjadi?” 

Sidanti kini tidak ingin bersembunyi dibalakang berbagai alasan yang berbelit-belit. Maka 

jawabnya dengan dada tengadah “Yang terjadi adalah persoalan antara aku dan adi Agung 

Sedayu. Persoalan antara anak-anak muda. Karena itu sama sekali tidak bersangkut paut 

dengan kelaskaran Pajang di Sangkal Putung” 

Jawaban itu benar-benar tak diduga oleh Widura dan oleh siapapun. Sidanti mencoba 

meletakkan persoalan ini diluar campur tangan pihak-pihak lain. Karena itu maka Widurapun 

menjadi berdebar-debar pula. Katanya “Aku adalah pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. 

Aku akan bertanggung jawab terhadap setiap peristiwa yang terjadi disini. Apalagi diantara 

anak buahku sendiri” 

“Tetapi apabila persoalan itu menyangkut persoalan kelaskaran” bantah Sidanti. “Persoalanku 

adalah persoalan seorang dengan seorang tanpa ada sangkut pautnya dengan kepemimpinan 

kakang disini” 

Dahi Widurapun menjadi berkerut karenanya. Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Namun ia adalah seorang pemimpin. Karena itu ia harus tetap memiliki wibawa atas 

anak buahnya. Sehingga kemudian ia bertanya “Lalu apakah kehendakmu?” 

“Biarlah kami menyelesaikan persoalan kami sebagai laki-laki” jawabnya. 

Jawaban itu sangat mendebarkan hati. Apalagi Agung Sedayu. Dengan sudut matanya ia 

memandang wajah pamannya. Namun kemudian wajahnya itupun ditundukkannya kembali. 

Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata “Ada hakku untuk berbuat 

atas kalian. Terutama atas Agung Sedayu. Dia tamuku disini, dan kedua ia adalah 

keponakanku. Aku melarang dia membuat keonaran disini” 

Terasa sesuatu berdesir didada Agung Sedayu. Ia sadar bahwa pamannya berusaha 

membebaskannya dari pertentangan ini. Karena itu tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, namun 

hanya sesaat, dan wajah itu menunduk kembali. 

Beberapa orang menjadi kecewa karenanya. Terutama Sekar Mirah sendiri. Hudaya yang 

berdiri disamping Citra Gati berbisik “Ah, kakang Widura terlalu memanjakan Sidanti yang 

sombong itu, sehingga kemenakannya sendiri dikorbankannya. Aku ingin melihat sekali-sekali 

Sidanti itu dihajar orang. Bukankah ini suatu kesempatan yang baik. Lihatlah betapa kecewa 

angger Sedayu mendengar keputusan pamannya. Untunglah ia anak yang patuh, sehingga 

keputusan itu betapapun beratnya, agaknya akan diterimanya juga” 

Mulut Citra Gati berkomat-kamit. Dari matanya menancarlah perasaan muaknya melihat 

kesombongan Sidanti, sehingga dengan pimpinannyapun ia telah berani membantah. 

Sedang Swandaru dengan wajah yang masam memandang Widura dari ujung kaki keujung 

kepalanya. Apakah mulutnya dibiarkan berdarah, dan Sidanti dibiarkannya begitu saja. Ia 

memang berharap, Sedayu turun tangan karena peristiwa itu. Ia mengharap bahwa apabila 

Sidanti marah, maka Agung Sedayupun akan marah pula. Namun tiba-tiba pamannya 

mengambil keputusan yang tak diharapkan. 

Sesaat kemudian mereka dicengkam oleh ketegangan. Bukan saja orang-orang disekitar 

Sidanti menjadi kecewa, namun Sidanti sendiri tidak kalah kecewanya. Sebagai seorang anak 

muda yang merasa dirinya mumpuni, Sidanti benar-benar ingin memperlihatkan 

kemampuannya. Ia yakin, bahwa betapapun kuatnya Agung Sedayu namun ia pasti akan dapat 

bertahan. Bahkan terhadap Untara sekalipun. Karena itu, betapa ia menyesal, namun ketika ia 

akan menyatakan sesalnya, didengarnya Widura berkata “Aku perintahkan kalian kembali 

kependapa” 

Sidanti memandang Widura dengan mata yang gelisah. Katanya “Biarlah aku disini” 

“Kau dengar perintahku” ulang Widura. 

Sidanti masih berdiri ditempatnya. Beberapa orang yang sudah mulai bergerakpun tiba-tiba


berhenti dan memandang anak muda itu dengan hati yang tegang. 

Ketika Sidanti tidak beranjak dari tempatnya, terdengar kembali Widura berkata “Sidanti, aku 

perintahkan kau kembali kependapa” 

“Aku disini” jawabnya. 

Widura pun menjadi marah karenanya. Ia sadar bahwa Sidanti merasa bahwa kesaktiannya 

telah bertambah-tambah karena kehadiran gurunya yang menempanya. Namun Widura adalah 

pemimpin yang sadar akan kedudukannya. Karena itu, selangkah ia maju sambil berkata 

lantang “Sidanti, untuk terkhir kalinya aku memberikan peringatanku. Kalau tidak, maka aku 

akan melakukan kekuasaan yang ada padaku. Tinggalkan tempat ini, dan pergi kependapa” 

Tubuh Sidantipun bergetar karena marah. Ia tahu benar bahwa Widura tidak lebih dari padanya, 

sehingga apabila Widura itu menyerangnya, maka ia tidak yakin bahwa ia tidak akan 

melawannya. “Setidak-tidaknya aku akan dapat menyamainya. Bahkan mungkin 

melampauinya” katanya didalam hatinya. Namun ketika ia melihat beberapa wajah yang keras 

dan kasar berdiri disekitarnya, Hudaya, Citra Gati, Sendawa laki-laki bertubuh raksasa bermata 

satu, Sonya yang mempunyai ciri dipelipis dan dahinya, Patra bungkik dan beberapa orang lagi. 

Meskipun Sidanti tidak gentar berhadapan dengan setiap orang yang berdiri disitu, namun 

kalau mereka maju bersama-sama dengan Widura untuk menangkapnya, maka ia pasti akan 

mengalami kesulitan. Karena itu ketika terpandang sekali lagi mata Widura yang menyala, 

Sidantipun kemudian perlahan-lahan menggerakkan kakinya. Selangkah demi selangkah, 

namun perlahan sekali, ia meninggalkan tempat itu pergi kependapa. 

Keteganganpun kemudian mereda. Sekali lagi Widura memandang setiap wajah yang ada 

disekitarnya. Kemudian terdengar kembali perintahnya “Kembali kependapa” 

Setiap orang yang berada ditempat itupun kemudian berangsur-angsur pergi. Terdengarlah 

gumam yang simpang siur diantara mereka. Sedang yang tinggal kemudian adalah Sedayu, 

Sekar Mirah dan swandaru. Perlahan-lahan Widura meraba pipi swandaru, diamat-amatinya 

noda yang merah kebiru-biruan dipipi itu “Tangan anak itu benar-benar luar biasa” katanya 

didalam hati. 

“Masuklah Swandaru” berkata Widura. “Katakanlah kepadaku nanti apabila ayah datang. Aku 

akan minta maaf kepadanya” 

Swandaru tersenyum meskipun masam “Kenapa paman minta maaf kepada ayah?” 

“Aku menyesal bahwa salah seorang anak buahku, yang seharusnya melindungi rakyat 

Sangkal Putung, bahkan telah menyakiti hati mereka. Bukankah kau pemimpin dari anak-anak 

muda disini? Karena itu maka aku harus minta maaf kepada rakyat Sangkal Putung lewat 

ayahmu” sahut Widura. 

Swandaru mengangguk-angguk. Pipinya masih terasa sakit. Dan sakit itu tidak akan sembuh 

hanya oleh permintaan maaf saja. Apalagi sakit hatinya. Namun meskipun demikian, 

dihargainya juga sikap Widura yang jujur itu. 

Swandaru dan Sekar Mirahpun kemudian masuk kerumahnya lewat pintu belakang dengan hati 

kecewa. Bagaimanapun juga Swandaru tidak dapat melupakan hinaan yang telah dua kali 

dialaminya. Karena itu tiba-tiba ia menggeram didalam hatinya “Awas Sidanti, suatu ketika aku 

harus membunuhmu. Swandaru bukan cacing yang lata, tetapi Swandaru, Swandaru Geni, 

adalah sorang anak jantan” 

Sedayupun kemudian mengikuti pamannya kepringgitan. Dipringgitan ia duduk saja sambil 

menekurkan kepalanya. ketika pamannya kemudian duduk dihadapannya, hatinya menjadi 

berdebar-debar. 

“Sedayu” berkata pamannya “Nah, peristiwa itu sekarang sudah terjadi. Apa katamu?” 

Agung Sedayu hanya dapat menundukkan wajahnya. Apalagi ketika pamannya itu berkata pula 

“Bukankah aku pernah memberimu peringatan?” 

“Aku sudah mencoba melakukannya paman” sahut Sedayu perlahan-lahan. “Tetapi apabila aku 

pergi kesumur atau kebelakang untuk keperluan lain, kadang-kadang aku masih berjumpa 

dengan gadis itu” 

“Aku tidak keberatan apapun yang kau lakukan Sedayu, asalkan kau dapat mempertanggung-

jawabkannya. Aku berbesar hati melihat ketekunanmu berlatih hampir setiap malam. Aku 

berbesar hati melihat kemajuan-kemajuan yang kau capai. Namun hatimu yang kerdil itu masih


sekerdil itu pula. Apalagi berhadapan dengan Sidanti. Karena itu Sedayu, kali ini adalah kali 

terakhir aku mencampuri persoalanmu. Seterusnya, kau sudah cukup besar untuk menjaga 

dirimu sendiri” 

Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Hampir ia menangis mendengar kata-kata pamannya. 

Ia kini telah benar-benar kehilangan pegangan. Kakaknya masih belum diketemukan, dan 

pamannya seolah-olah tak mau lagi melindunginya. “Oh” Sedayu mengeluh didalam hati. 

“Sedayu” berkata pamannya “Bagaimanakah kalau kau aku antar saja pulang ke Jati Anom?” 

Agung Sedayu menggeleng. Ia tidak berani tinggal seorang diri disana “Atau ke Banyu Asri?” 

kata pamannya pula. 

Di Banyu Asri pun keadaannya sama sekali tidak menyenangkan. Orang-orang Jipang yang 

berpencaran dapat saja menemukannya di Banyu Asri. Alap-alap Jalatunda yang berkeliaran itu, 

misalnya, sebab Alap-alap Jalatunda itu kini sudah terlanjur mengenalnya, tidak seperti dahulu 

lagi, sebelum ia pernah bertemu dengan Alap-alap Jalatunda yang mengerikan itu. 

“Biarlah aku disini paman. Aku berjanji tidak akan keluar dari pringgitan sebelum malam” 

“Oh” Widura mengeluh. “Terlalu, terlalu” gumamnya. Ia telah benar-benar menjadi jengkel. Dan 

karena itu, maka mulutnya malahan terbungkam karenanya. 

Dipendapa Sidanti masih duduk disudut diatas tikar pembaringannya. Hatinya menyala oleh 

kemarahan yang memuncak. Tanpa disadarinya, dibelainya senjatanya yang mengerikan. 

Beberapa orang yang melihatnya menjadi berdebar-debar karenanya, dan tanpa sadar pula, 

mereka duduk-duduk disamping senjata masing-masing. 

Tiba-tiba ketika Sidanti itu melihat Widura melangkah keluar, ia berdiri pula. diletakkannya 

senjatanya, dan dengan tergesa-gesa ia menyusulnya. 

“Kakang” panggil Sidanti. Widura terkejut, karena itu iapun segera berhenti. 

Tampaklah dahi Widura itu berkerut, ketika dilihatnya Sidanti dengan tergesa-gesa pergi 

mendapatkannya. Bukan saja Widura yang menjadi tegang, namun beberapa orang yang 

melihatnyapun tanpa sesadar mereka, serentak berdiri tegak ditempat masing-masing. 

Sidantipun melihat semuanya itu. Karena itu maka kini dapat diketahuinya, bagaimana sikap 

orang-orang dalam lingkungannya kepadanya. Meskipun demikian Sidanti sama sekali tidak 

berkecil hati. 

Ketika Sidanti sudah berdiri beberapa langkah dihadapannya, Widura bertanya “Apakah ada 

sesuatu yang penting?” 

“Ya kakang” jawab Sidanti. “Aku ingin mengatakan sesuatu kepada kakang Widura tanpa 

didengar oleh seorangpun” 

“Katakanlah” sahut Widura. 

Sidanti beragu sebentar, sehingga tiba-tiba wajahnya beredar kesegala sudut halaman dan 

pendapa rumah kademangan itu. 

“Kalau kau tidak berteriak-teriak maka mereka tidak akan mendengar” berkata Widura. 

Sidanti menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian tampaklah ia tersenyum. Namun senyum itu 

terasa aneh bagi Widura. 

“Kakang” berkata Sidanti perlahan-lahan sambil melangkah mendekati Widura. “Aku ingin 

mengatakan sesuatu. Tetapi tidak disini.” 

“Berkatalah sekarang” sahut Widura. 

Sidanti menarik nafas. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Ditangga pendapa ia melihat 

beberapa orang berdiri berjajar-jajar, dan beberapa orang diantaranya duduk dengan gelisah. 

Diregolpun dilihatnya beberapa orang penjaga dengan tombak ditangan mereka. 

“Baiklah kakang” berkata Sidanti “Aku hanya akan minta ijin kakang untuk menyelesaikan 

persoalanku dengan Agung Sedayu secara jantan, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut dan 

menjadi semakin dalam menghunjam didalam dadaku” 

Widura terkejut mendengar permintaan itu. Ternyata Sindanti sama sekali tidak dapat menekan 

perasaannya. Karena itu untuk sesaat Widura tidak segera dapat menjawab. Bahkan Sidanti 

sempat berkata terus “Aku bersedia memenuhi syarat apapun yang akan diberikan kepada 

kami berdua. Tanding tanpa atau dengan saksi, tanpa atau dengan senjata”


Wajah Widura tiba-tiba menjadi tegang. Terdengar ia menggeram, kemudian katanya “Tidak. 

Aku tidak memberimu ijin. Juga Agung Sedayu tidak akan aku ijinkan” 

Sidanti menjadi kecewa. Namun ia masih berkata terus “Kakang, agaknya kurang bijaksana. 

Apakah kakang ingin dendam kami masing-masing membakar dada kami, sehingga kelak 

apabila terdapat kesempatan, maka kami akan bertempur tanpa pengendalian diri? Kini kami 

masih cukup sadar, bahwa perkelahian yang akan diadakan ini adalah perkelahian antara kita. 

Hanya karena persoalan pribadi. Sehingga dengan demikian kita masih dapat membatasi diri 

kita sendiri untuk tidak menghancurkan laskar kita dihadapan laskar Jipang” 

Sekali lagi Widura menggeleng, katanya tegas “Tidak. Perkelahian diantara kita sama sekali tak 

akan menguntungkan. Apalagi bagi Agung Sedayu. Ia adalah kemenakanku. Dan aku tidak 

mau melihat salah seorang dalam aliran darahku yang berkelahi karena perempuan” 

Wajah Sidanti tiba-tiba menjadi merah membara. Kemarahannya kini menjalar kembali 

didadanya. Kata-kata Widura itu benar-benar suatu tamparan baginya. 

Dan tiba-tiba pula perasaan yang tersimpan didadanya itu kini terungkat seluruhnya. Betapa ia 

memandang Widura tidak lebih daripadanya. Apalagi ia merasa benar-benar bahwa persoalan 

yang kini dihadapinya sama sekali bukan persoalan kelaskaran, tetapi persoalan pribadi. 

Karena itu kini Sidanti tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Meskipun demikian ia 

masih berkata perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan “Kakang, apakah sebenarnya 

kakang sedang melindungi anak itu?” 

Dada Widura seakan-akan meledak mendengar pertanyaan itu. Ia sadar, bahwa Sidanti hanya 

ingin menghina Agung Sedayu. Namun karena keadaannya memang demikian, maka Widura 

hampir-hampir tak dapat menjawab pertanyaan itu. Meskipun demikian ia berkata “Jangan 

mengigau Sidanti. Kalau suatu ketika terjadi perkelahian diantara kalin, maka kalian berdua 

akan terpaksa mengalami hukuman” 

Sidanti tersenyum. Senyum yang benar-benar menyakitkan hati. Katanya “Hem, kakang Widura. 

Sebagai seorang bawahan aku menghormatimu. Namun sebagai seorang yang mempunyai 

kebebasan diri dalam persoalanku sendiri aku tidak dapat menerimanya” 

Sekali lagi dada Widura terguncang. Wajahnya menjadi merah pula karena marah. Meskipun 

demikian ia masih mencoba untuk menenangkan dirinya. 

Orang-orang yang melihat percakapan itu dari kejauhan menjadi heran. Mereka melihat wajah-

wajah yang tegang. Namun kadang-kadang mereka melihat Sidanti tersenyum-senyum seperti 

tidak pernah terjadi sesuatu. Karena itu mereka menebak-nebak apakah yang mereka 

bicarakan. Apakah Sidanti sedang minta maaf kepada Widura? 

Namun mereka tidak mendengar ketika Widura berkata “Aku mempunyai kekuasaan disini 

Sidanti” 

Sidanti masih tersenyum. Katanya “Kakang Widura ternyata telah menyalahgunakan kekuasaan 

itu untuk keuntungan pribadi” 

Dada Widura benar-benar hampir pecah karenanya. Ia harus mempertahankan kewibawaannya 

sebagai seorang pemimpin. Maka katanya “Tanpa kekuasaanpun aku dapat memaksamu 

Sidanti” 

Sidanti mengerutkan keningnya. Tiba-tiba iapun berkata “Kakang, aku ingin berbicara tanpa 

seorangpun yang melihat” 

“Bagus” berkata Widura. Ia benar-benar telah menangkap tantangan itu. Karena itu ia harus 

menerimanya apabila ia masih ingin dinamai seorang pemimpin. Maka katanya seterusnya 

“Nanti malam kita bisa bertemu tanpa seorangpun yang melihat pertemuan itu” 

Dada Sidantipun bergetar semakin cepat. Ia sudah menjerumuskan diri kedalam persoalan 

yang lebih berat. Namun ia yakin, bahwa ia akan dapat mengatasi semua persoalan itu. 

Maka kemudian Sidanti itupun mengangguk hormat, lalu pergi meninggalkan Widura yang 

masih tegak dengan tegangnya. Dilihatnya anak muda yang terlalu yakin akan dirinya itu, 

berjalan kependapa, kemudian naik dengan langkah yang tetap. 

Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya keadaan disekitarnya. Dilihatnya 

anak buahnya berdiri berjajar disamping pendapa, sedang diregol halaman dilihatnya beberapa 

orang yang sedang bertugas tegak dengan tombak ditangan.


“Apapun yang terjadi” katanya didalam hati “Mereka harus menganggap aku sebagai seorang 

laki-laki yang berani menghadapi setiap keadaan dibawah kekuasaanku. Kalau aku hindari 

tantangan Sidanti, mereka akan kehilangan kepercayaan, dan aku akan kehilangan 

kewibawaan” 

“Tetapi” terdengar pula suara yang lain “Bagaimanakah kalau aku dapat dikalahkan?” 

“Menang atau kalah bukan soal” jawabnya sendiri “Aku harus tetap pada keputusanku, 

keputusan seorang pimpinan prajurit” 

Sesaat kemudian Widura itupun melangkah kembali keregol halaman. Kemudian kepada para 

penjaga ia bertanya “Adalah kalian melihat Ki Demang sudah datang?” 

“Belum tuan” jawab salah seorang dari mereka. “Malahan Swandaru juga keluar halaman” 

“Kemana?” 

“Tak dikatakan kepada kami” 

Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Ia ingin menyampaikan sendiri kabar tentang 

persoalan antara Swandaru dan Sidanti, untuk kemudian minta maaf kepadanya. Kalau 

Swandaru sendiri yang mengatakannya, maka Ki Demang akan dapat menjadi salah paham. 

Apalagi kalau kemudian kawan-kawan Swandaru menjadi marah. Maka akibatnya akan 

menyulitkannya. 

Tetapi disamping itu tantangan Sidanti juga menggelisahkannya. Ia tidak takut menghadapi 

apapun, namun sebagai seorang pemimpin ia mempunyai tanggung jawab yang luas. 

Bahkan kemudian Widura itu mengumpat didalam hatinya. “Alangkah bodohnya Agung Sedayu. 

Ia telah membuat Sangkal Putung menjadi berantakan setelah ia berhasil menyelamatkannya. 

Kalau anak itu bukan saja seorang pengecut, maka kepalaku tidak menjadi pecah dibuatnya” 

Ketika Widura melangkah kembali kependapa, terasa seseorang menggamitnya. Orang itu 

adalah Citra Gati. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh ia berbisik “Apakah yang dikatakan 

Sidanti itu kakang?” 

Widura memandangnya bersungguh-sungguh pula. Namun kemudian ia tersenyum “Tidak apa-

apa” jawabnya. 

Citra Gati menggeleng. Katanya “Aku melihat sesuatu yang tidak wajar kakang. Jangan biarkan 

kami menebak-nebak, supaya kami tidak semakin muak melihat anak Ki Tambak Wedi yang 

sombong itu” 

“Tenaganya kita perlukan disini” sahut Widura. 

Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dirasakannya, apa yang dikatakan Widura itu 

benar. Namun apakah dengan demikian anak muda itu wenang untuk berbuat sesuka hatinya? 

Karena itu ia bertanya “Tetapi kakang, aku melihat tingkah lakunya semakin lama semakin tidak 

menyenangkan” 

“Aku akan mencoba untuk mengatasinya” jawab Widura 

“Mudah-mudahan kakang berhasil” gumam Citra Gati “Kalau perlu, kakang dapat minta bantuan 

kami. Bukankah itu juga termasuk kewajiban kami?” 

Widura mengerutkan keningnya. Katanya “Jangan. Dengan demikian dendam diantara kalian 

akan semakin menyala. Kewajiban kita masih banyak. Tohpati masih ada dimuka hidung kita. 

Alap-alap Jalatunda dan Plasa Ireng yang berkeliaran didaerah Pakuwon dan Karajan. Mungkin 

masih banyak lagi orang-orang yang bersembunyi disana-sini. Suatu ketika mereka akan 

berhimpun. Dan itu adalah pekerjaan yang berat” 

Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Ia kagum kepada anak muda yang bernama Sidanti itu, 

namun ia membencinya. Meskipun didalam hatinya ia mengakui, bahwa seorang lawan 

seorang ia tak akan dapat mengalahkan Sidanti yang hampir dapat mencapai tataran Macan 

Kepatihan, namun ia tidak senang melihat anak itu dibiarkan sesuka hatinya. 

“Kakang” tiba-tiba terdengar Citra Gati berkata pula “Kenapa kakang tidak membiarkan angger 

Agung Sedayu sekali-sekali mengajarnya untuk bersopan santun?” 

Kembali dada Widura bergetar. Namun jawabnya “Aku benci melihat perkelahian karena 

perempan



“Oh” Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak dapat berkata apapun lagi. Itu 

adalah persoalan antara paman dan kemenakannya. Karena itu maka iapun kemudian kembali 

kependapa dan duduk disamping Sonya dan Sendawa. 

“Apa katanya kakang Gati?” bertanya Sendawa setelah Citra Gati duduk disampingnya. 

“Entahlah. Terasa sesuatu dirahasiakan oleh kakang Widura” jawab Citra Gati. 

Sendawa, yang matanya cacat sebelah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya 

masih sibuk menggosok-gosok senjatanya, sebuah kelewang yang besar dan tebal, sesuai 

dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar. 

Kemudian mereka tenggelam dalam kesenyapan. Angan-angan mereka masing-masing 

terbang bersama awan dilangit. Sekali-sekali burung elang terbang melingkar-lingkar diudara, 

mencari mangsanya. Namun induk-induk ayang dengan bulu-bulunya yang tebal, segera 

menyelimuti anak-anaknya yang ketakutan. 

Widura pun kemudian kembali kepringgitan. Dilihatnya Agung Sedayu duduk terpekur. Dan tiba-

tiba saja timbullah perasaan jemu melihat anak itu. Namun ia adalah kemenakannya. Dan ia 

datang untuk keselamatannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Widura adalah 

mengumpat-umpat saja di dalam hati. 

Mataharipun semakin lama semakin condong kebarat. Dan Widura tidak melupakan janjinya. 

Malam nanti. 

Dan akhirnya malam itu datang. Ketika pringgitan itu mulai dinyalakan lampu, Widura melihat 

Demang Sangkal Putung masuk kedalamnya. 

“Silakan kakang” sambut Widura. 

Ki Demang dengan lelahnya duduk disamping Agung Sedayu yang duduk terpekur. Sejengkal 

ia menggeser diri, dan terdengar ia berkata lirih “Marilah bapak Demang” 

“Silakan, silakan ngger” jawab demang Sangkal Putung itu. “Ah, aku baru saja melihat-lihat 

apakah sawah kita masih sempat ditanami” 

“Oh “ sahut Widura sambil duduk pula “Bagaimana keadaannya?” 

“Baik” jawab ki Demang. 

“Aku mencari ki Demang sejak siang tadi” berkata Widura. 

“Ya ya. Aku mendengar dari Swandaru. Aku mendengar pula apa yang telah terjadi. Aku 

menyesal” 

“Kami harus minta maaf kepada kakang” berkata Widura. 

“Aku juga. Bukankah Sekar Mirah itu anakku? Anak itu memang seharusnya mendapat 

peringatan” 

Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia sama sekali tidak berani ikut serta dalam 

pembicaraan itu. 

Kemudian terdengar Ki Demang meneruskan “Dan itu sudah aku lakukan. mudah-mudahan hal 

yang tak diharapkan ini tidak terulang kembali” 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untunglah demang Sangkal Putung itu sudah 

cukup usianya untuk dapat memandang setiap persoalan dengan tenang. Karena itu, maka 

keadaan Widura tidak menjadi bertambah parah lagi. 

“Mudah-mudahan” berkata Widura kemudian. “Mudah-mudahan aku akan berhasil menguasai 

anak buahku” 

Ki Demang tersenyum. Namun kemudian ia berkata “Ah sudahlah, aku ingin bicara masalah 

lain” 

“Apakah itu?” bertanya Widura. 

“Aku melihat kejemuan diantara anak-anak kita. Bukankah begitu?” 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” jawabnya. “Terasa benar kejemuan itu. Dan 

karena itu pulalah maka sering terjadi hal-hal yang sama sekali tak diharapkan. Anak-anak itu 

kadang-kadang membuat hal-hal yang aneh yang kadang-kadang berbahaya” 

“Tepat” sahut ki Demang. “Jangankan anak-anak adi Widura, anak-anak muda Sangkal Putung 

yang hidup diatara keluarganyapun menjadi jemu oleh ketegangan ini. Nah, aku ada pendapat,


kalau adi menyetujui” 

“Bagaimana?” 

Anak-anak muda Sangkal Putung akan mengadakan perlombaan ketangkasan” 

“Bagus” sahut Widura dengan serta-merta. “Ketegangan mereka akan tersalur. Biarlah anak-

anakku juga mengadakannya” 

Ki Demang tersenyum. “Nah, kita tinggal membicarakan kapan dan perlombaan apa?” 

“Baik kakang” jawab Widura. “Biarlah nanti anak-anak menentukan sendiri” 

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Rencana itu adalah rencana yang baik sekali 

baginya. Tidak saja untuk menyalurkan ketegangan yang menghimpit mereka terus-menerus, 

namun juga untuk memberikan petunjuk-petunjuk bagi anak-anak muda Sangkal Putung untuk 

lebih maju dalam olah senjata. Dan lebih dari itu, permainan yang demikian akan dapat 

memberi mereka kegembiraan. 

“Baiklah” berkata ki Demang itu kemudian “Biarlah anak-anak membicarakannya. Kini aku ingin 

beristirahat” 

Ki Demang itupun kemudian berdiri dan berjalan keluar. Widura yang mengantarkannya sampai 

kepintu, melihat anak-anaknya sudah berbaring ditempat masing-masing. Tetapi ketika 

pandangan matanya hinggap disudut pendapa, tempat Sidanti, hatinya menjadi berdebar-debar. 

Tempat itu ternyata kosong. 

“Anak itu belum berada ditempatnya” gumamnya. Namun ia tidak berkata sepatah katapun. 

Ketika ki Demang telah turun kehalaman, segera Widura masuk kembali kepringgitan. 

Dibenahinya pakaiannya, dikeraskannya ikat pinggangnya dan kemudian disangkutkannya 

pedangnya dilambungnya. Ia kini sudah benar-benar siap, apapun yang akan terjadi atasnya 

malam nanti dalam kedudukannya sebagai pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung. Ia 

masih akan berusaha menguasai Sidanti seorang diri. Janjinya untuk bertemu Sidanti tanpa 

diketahui oleh siapapun benar-benar akan dipenuhi. 

Demikianlah ketika Widura telah siap benar, berkatalah ia kepada Agung Sedayu “Kau tinggal 

dirumah kali ini Sedayu. Aku akan pergi seorang diri” 

Dada Agung Sedayu berdebar-debar. Justru baru siang tadi terjadi peristiwa yang mengusutkan 

hatinya. Karena itu ia bertanya “Kenapa aku tidak ikut serta paman?” 

“Tidak apa-apa. Kau tinggal dirumah” Widura tidak menunggu jawaban Agung Sedayu. Segera 

ia melangkah keluar. Katanya dalam hati “Biarlah anak itu aku tunggu diregol halaman” 

Demikian Widura meninggalkan pringgitan, demikian hati Agung Sedayu kembali keriput. Tiba-

tiba saja terasa dadanya menjadi sesak oleh kecemasan yang menghentak-hentak. “Apakah 

paman sengaja membiarkan Sidanti membunuhku?” katanya didalam hati. Dan tiba-tiba saja 

timbullah keinginan yang aneh “Ah, apabila demikian, biarlah lebih baik aku ikut saja kepada 

Kiai Gringsing”. Namun kembali timbul ragunya “Jangan-jangan Kiai Gringsing benar-benar 

menganggapnya seorang yang sakti. Dengan demikian pada suatu kali ia harus berhadapan 

pula dengan seorang lawan apapun alasannya” 

Tiba-tiba Sedayu hampir pingsan ketika didengarnya pintu berderit dan dilihatnya kepala Sidanti 

terjulur masuk. Tetapi anak muda itu tidak meloncat masuk dan memukulnya. Dengan 

tersenyum ia bertanya “Dimanakah kakang Widura?” 

“Diluar” jawabnya singkat, tetapi terdengar suaranya bergetar. 

Tiba-tiba pandangan mata Sidanti itu menjadi aneh. Ditatapnya tiap sudut ruangan. Dan 

kembali ia bertanya “Kakang Widura tidak disini?” 

Sedayu menggeleng, dan dadanya menjadi semakin bergetar. Sidanti masih saja menjulurkan 

kepalanya sambil tersenyum. Kemudian tiba-tiba saja ia melangkah masuk. Ditatapnya wajah 

Agung Sedayu dengan nyala dendam dimatanya. Kemudian terdengarlah Sidanti berkata 

“Sayang, kakang Widura tidak mengijinkan kita menyelesaikan masalah kita sendiri” 

Betapapun dada Sedayu bergetar, namun dengan sekuat tenaga masih dicobanya untuk tidak 

berkesan diwajahnya. Dengan tergagap ia menjawab “Demikianlah” 

“Tetapi bukankah kita bisa menempuh jalan lain?” berkata Sidanti pula “Kita tidak usah minta 

ijin kepada kakang Widura”



Tetapi Sidanti terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara Widura diluar pintu “Sidanti, aku 

menunggumu disini” 

“Oh” sahut Sidanti “Aku sedang mencari kakang” 

“Marilah Sidanti, biarkan Sedayu ditempatnya. Jangan mencoba melanggar perintahku” 

Sidanti menarik alisnya. Tampaklah wajahnya menjadi tidak senang. Namun ia tidak menjawab. 

Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar sambil menggeram “Baik kakang Widura”. Tetapi 

kemarahannya kepada Widura semakan membakar dadanya. 

“Aku akan memenuhi permintaanmu” berkata Widura kemudian. 

Sidanti tersenyum “Terima kasih” sahutnya. 

“Kita pergi sekarang” Widura meneruskan. “Aku masih akan melihat gardu-gardu peronda lebih 

dahulu” 

Sidanti tidak menjawab. Namun ia melangkah kesudut pendapa. Dari dinding diatas 

pembaringannya diraihnya senjatanya yang menyeramkan itu. Kemudian katanya kepada 

Widura “Marilah kakang” 

Widura tidak menjawab. Langsung ia melangkah menuruni pendapa, sedang Sidanti berjalan 

dibelakangnya. Diregol halaman Widura berhenti sejenak. Kepada salah seorang penjaga ia 

berkata “Aku akan nganglang kademangan. Lakukan tugasmu baik-baik” 

“Baik tuan” jawab penjaga itu. Namun matanya memancarkan keheranannya. Biasanya Widura 

pergi hampir setiap malam dengan Agung Sedayu, namun kini ia pergi bersama Sidanti. 

Mereka mencoba meraba-raba apakah sebabnya. Tetapi tak seorangpun diantara mereka yang 

berani bertanya. 

Sepeninggal Widura dan Sidanti, perlahan-lahan Hudaya berjalan keregol itu pula. Gumamnya 

“Aneh” 

“Apa yang aneh kakang?” bertanya salah seorang penjaga. 

“Aku tidak bisa mengerti, apakah sebenarnya yang memukau kakang Widura. Anak muda yang 

sombong itu seakan-akan tak pernah berbuat salah dihadapan kakang Widura. Kalau aku 

menjadi kakang Widura, aku biarkan kemenakannya, angger Agung Sedayu sekali-sekali 

menghajarnya. Namun agaknya angger Sedayulah yang dianggap bermasalah. Lihat, kini anak 

yang sombong itulah yang dibawanya” 

“Akupun tak mengerti” sahut Sendawa yang berada ditempat itu pula. “Siang tadi aku melihat 

Sidanti bercakap-cakap dihalaman dengan kakang Widura. Aku tidak tahu, apakah Sidanti itu 

sedang minta maaf kepada kakang Widura. Tetapi dengan tidak dibawanya Sedayu kali ini 

benar-benar mengherankan. Tetapi aku mempunyai beberapa prasangka” 

Semua orang berpaling kepadanya “apakah prasangka itu?” bertanya Hudaya 

“Terlalu kabur” jawab Sendawa “Tetapi prasangka yang jelek” 

Semua yang mendengar kata-katanya itu menjadi semakin terpaku. Dan terdengar orang yang 

bertubuh raksasa itu meneruskan “Kakang Widura agaknya segan juga terhadap Sidanti” 

“Janganlah berkata begitu” sahut salah seorang diataranya. “Bukankah ki Widura itu telah 

berkata, menurut kakang Citra Gati, bahwa tenaga Sidanti itu sangat diperlukan disini? Ialah 

satu-satunya orang disamping ki Widura, yang setidak-tidaknya dapat menahan arus 

kemarahan Macan Kepatihan diantara kita” 

Sendawa terdiam. Namun didalam hatinya, ia membenarkan pula pendapat itu. Tetapi sikap 

Sidanti benar-benar telah memuakkan pula. Sedemikian muaknya sehingga tanpa 

disengajanya ia bergumam “Anak muda itu benar-benar anak setan” 

“Siapa?” bertanya Hudaya. 

“Sidanti, siapa lagi?” 

“Kenapa tidak kau tantang saja berkelahi?” bertanya salah seorang sambil tersenyum. 

“Tak ada sebabnya” jawab Sendawa 

“Gampang. Kalau sekali-sekali kau tangkap gadis anak Ki Demang itu, kau pasti akan berkelahi 

dengan Sidanti” 

“Belum tentu. Aku dapat juga berhadapan dengan ki Demang atau anaknya yang gemuk bulat


itu” 

“Kau bersetuju dulu dengan mereka” 

“Bagus” Sendawa berhenti sebentar “Tetapi aku tidak berani berkelahi melawan anak kecil itu” 

Yang mendengar pengakuan itupun tersenyum geli. Sendawa sendiri tersenyum. namun 

hatinya mengumpat tak habis-habisnya. Seandainya ia mampu, maka Sidanti pasti sudah 

dihajarnya. 

Regol halaman itu kemudian menjadi sepi. Hudaya kemudian melangkah kembali kependapa 

diikuti oleh Sendawa sambil menyeret kelewangnya yang besar dan tebal seperti tubuhnya. 

Hampir semua orang telah tertidur. Citra Gati tidur dengan gelisahnya. Sedang Patra dengan 

nyenyaknya mendengkur disamping Sonya. 

Widura dan Sidanti masih berjalan menyusur jalan-jalan desa, singgah dari satu gardu 

kemudian gardu yang lain seperti setiap malam dilakukan oleh Widura. Namun kali ini 

nampaknya ia sangat tergesa-gesa. Beberapa orang pun menjadi heran, hampir tidak pernah 

mereka melihat Sidanti meronda bersama Widura. Tetapi seperti orang-orang diregol halaman, 

mereka pun tidak bertanya pula. Digardu anak-anak muda Sangkal Putung Swandaru berdiri 

bertolak pinggang sambil menguap dimuka pintu. Tetapi cepat-cepat mulutnya terkatub ketika ia 

melihat Widura datang kegardu itu bersama-sama Sidanti. Tetapi Swandarupun tidak bertanya 

sesuatu. Hanya matanya sajalah yang memancarkan dendam yang tersimpan dihatinya 

terhadap anak muda yang perkasa, murid Kiai Tambak Wedi yang namanya menakutkan 

segenap daerah-daerah disekitar gunung Merapi. 

Baru setelah semuanya itu selesai, berkatalah Widura “Aku sudah selesai dengan pekerjaanku 

Sidanti, sekarang kau mendapat giliran” 

Mendengar kata-kata Widura itu, Sidanti pun menjadi berdebar-debar pula. Meskipun demikian 

ia menyimpan juga kegembiraan didalam dadanya. Jawabnya “Baik kakang. Kemana kita akan 

pergi?” 

“Terserah kepadamu” jawab Widura. 

“Kita pergi ke tegal” ajak Sidanti. 

Widura tidak menjawab. Tetapi ketika mereka sampai disimpang tiga diluar desa induk Sangkal 

Putung, Widura membelok kekanan, ke tegal. Sidanti yang berjalan disampingnya, mencoba 

untuk menenangkan dirinya. Meskipun gurunya sendiri telah memberitahukannya, bahwa 

Widura tidak lebih daripadanya, namun wibawa orang itu telah menjadikannya gelisah. 

Beberapa saat mereka pun sampai kepategalan yang luas. Diantara tanaman-tanaman buah-

buahan, terdapatlah beberapa bagian tanah yang kosong. Meskipun Widura tidak bertanya 

sesuatu, namun timbullah dugaan dalam hati, bahwa didaerah sekitar inilah Sidanti mendapat 

tempaan dari gurunya. Bahkan mungkin kali inipun gurunya ada disekitar tempat ini. Meskipun 

demikian Widura sama sekali tidak gentar. Sebagai seorang pemimpin ia akan tetap pada 

pendiriannya. Apapun yang akan dihadapi. 

Dibawah sebatang pohon jambu mete yang besar Sidanti berhenti. Katanya “Kita berhenti disini 

kakang” 

Widura pun berhenti pula. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Dalam keremangan 

malam, yang dilihatnya hanyalah batang-batang pohon buah-buahan yang tegak disekitarnya. 

Batang-batang yang seakan-akan berwana hitam kelam. Kemudian dengan suara yang berat 

Widura berkata “Nah, apakah yang akan kau lakukan Sidanti?” 

Dada Sidanti berdesir mendengar pertanyaan itu. Bagaimanapun juga Widura memiliki cukup 

pengaruh atas dirinya. Namun dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari 

pengaruh itu. Maka jawabnya “Aku ingin minta ijin itu kakang” 

“Ijin untuk berkelahi dengan Sedayu?” 

“Ya” 

“Sudah aku jawab” 

Sidanti menarik nafas. Jawabnya “Kakang tidak berhak melarang” 

“Sidanti” berkata Widura. Sebagai seorang yang lebih tua maka segera iapun tahu maksud 

Sidanti yang sebenarnya. Karena itu ia meneruskan “Kau tidak usah melingkar-lingkar. Katakan 

bahwa kau tidak puas dengan keputusan itu. Namun jangan mimpi aku akan merubah


keputusan itu” 

“Nah” sahut Sidanti “Sekarang aku tahu, bahwa Sedayu sebenarnya sama sekali bukan 

seorang pahlawan. Bukan seorang jantan. Apabila demikian, ia pasti sudah berbuat sesuatu. 

Tetapi ia lebih senang bersembunyi dibalik punggung kakang Widura. Bukankah demikian?” 

Widura memandang wajah Sidanti dengan sinar mata yang menyala. Jawabnya “Terserah atas 

penilaiannmu Sidanti” 

“Apakah bukan sebenarnya demikian?” 

Widura tidak menjawab. Tetapi ia masih menatap wajah Sidanti dengan tajamnya. Sehingga 

kemudian terdengar Sidanti mengulangi “Bukankah sebenarnya demikian?” 

Widura masih tetap berdiam diri. Dan pandangannyapun masih tetap menghunjam kedalam biji 

mata Sidanti. Dengan demikian Sidanti menjadi semakin gelisah. Untuk menutupi 

kegelisahannya tiba-tiba saja ia berkata lantang “Kakang Widura, kalau tak kau ijinkan Sedayu 

bertempur, siapakah yang akan mewakilinya?” 

Widura sudah menyangka bahwa akhirnya Sidanti akan sampai pada saatnya, menantangnya 

berkelahi. Widura pun sadar bahwa Sidanti merasa bahwa ia tidak akan dapat dikalahkannya. 

Karena itu maka terdengar Widura menjawab “Sidanti, katakan sajalah apa yang tersimpan 

didalam dadamu. Kau tidak puas dengan keputusanku. Sedang kau merasa sebagai orang 

yang tak terkalahkan di Sangkal Putung. Sekarang kau sedang mencoba memaksakan 

kehendakmu. Nah, dengarlah. Aku tetap pada pendirianku” Widura berhenti sejenak kemudian 

terdengar ia meneruskan “Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan yang ada didalam hatimu. Kau 

juga ingin mengatakan kepadaku, bahwa kau tak akan dapat aku kalahkan, sehingga setiap 

persoalan aku harus mengingat kepentinganmu. Bahkan tersimpan pula didalam otakmu, 

keinginan untuk memegang pimpinan, setidak-tidaknya apabila aku berhalangan” 

“Bohong” potong Sidanti tiba-tiba. Tetapi ia terdiam pula ketika Widura bertanya “Apakah aku 

salah duga?” 

Sidanti menjadi seakan-akan terbungkam. Kegelisahannya kini benar-benar sangat 

mengganggunya. Meskipun kemarahannya telah memuncak namun ia masih berdiri terpaku 

tanpa sepatah katapun yang dapat diucapkannya. Sehingga ia terkejut ketika Widura 

mendesaknya “Jawab” 

“Ya” kata itu meloncat begitu saja dari mulutnya. Namun sesaat kemudian barulah ia menyadari 

keadaannya. Menyadari jawaban yang sudah terlanjur meloncat dari mulutnya. Karena itu 

Sidanti sudah tidak akan menelannya kembali. Apalagi ketika ia mendengar Widura berkata 

“Bagus. Kau memiliki kejujuran juga. Namun kau seharusnya sudah memperhitungkan 

jawabannya. Aku tidak dapat dipaksa oleh siapapun juga. Juga olehmu. Nah, sekarang apa 

katamu?” 

Kembali Sidanti terdiam untuk sesaat. Namun kemudian dipaksanya juga dirinya untuk 

mengambil sikap. Karena itu maka tiba-tiba ditengadahkannya dadanya sambil berkata 

“Kakang Widura, kau harus merubah pendirianmu itu. Aku bukan anak-anak lagi. Tak ada orang 

lain yang dapat berbuat seperti yang aku lakukan. Nah, siapakah yang sudah menahan 

kemarahan Macan Kepatihan? Apakah yang kira-kira terjadi seandainya tidak ada Sidanti?” 

“Aku akui kau berjasa kepada Sangkal Putung khususnya. Namun aku tidak dapat 

membenarkan, kau berbuat sekehendakmu. Betapapun besarnya jasamu, namun kau adalah 

satu diantara kita yang telah menjalin diri dalam kehidupan bersama untuk kepentingan 

bersama” 

Tiba-tiba mata Sidanti itupun menjadi liar. Kemarahannya kini benar-benar telah membakar 

dadanya. Katanya “Aku akan memaksakan kehendakku” 

“Aku sudah menyangka” jawab Widura, “Dan aku sudah siap” 

Tetapi Sidanti masih saja berdiri ditempatnya. Hanya bola matanya sajalah yang seakan-akan 

meloncat dari kelopaknya. Widura yang sudah siap itupun menunggu apa saja yang akan 

dilakukan oleh anak muda yang sombong itu. Bahkan Widura masih juga berkata “Kalau aku 

memberimu kesempatan kali ini Sidanti, maka kesempatan yang serupa akan berulang dan 

berulang kembali. Sekali aku membiarkan perintahku dilanggar maka pelanggaran itupun akan 

selalu terjadi” 

Sidanti benar-benar telah dibakar oleh kemarahannya. Namun ia masih berdiri saja, seolah-olah


sebuah tonggak yang mati. Sehingga dengan demikian tegal itupun menjadi sepi. Kesepian 

yang tegang. 

Sesaat kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh bunyi bilalang diatas dahan-dahan kayu. 

Dalam kesepian, terdengar suara bilalang itu demikian kerasnya sehingga Widura menjadi 

terkejut karena suara itu, namun Widura terkejut, karena kedewasaannya berpikir sebagai 

seorang prajurit. Demikian telinganya mendengar bunyi bilalang itu, demikian Widura menjadi 

pasti, Ki Tambak Wedi ada disekitar tempat itu. 

Demikian suara bilalang itu berhenti, terdengar Sidanti berkata “Apakah kakang Widura tetap 

pada pendirianmu?” 

Widura tidak menjawab, tetapi ia mengangguk. 

“Bagus” berkata Sidanti lantang “Kita lihat, apakah Sidanti tidak berhak menyamai kakang 

Widura di Sangkal Putung” 

“Hak itu hanya dapat kau terima dari panglima tamtama Pajang, Ki Gede Pemanahan” sahut 

Widura. 

“Omong kosong!” bentak Sidanti 

Sekali lagi Widura membiarkan anak itu membentak-bentak. Tetapi dalam pada itu kegelisahan 

Sidanti pun tidak juga berkurang. Maka kemudian ia berkata “Sekarang bersiaplah kakang, aku 

akan memaksakan kehendakku dengan nilai-nilai seorang jantan” 

“Silakan. Meskipun penilaianmu atas kejantanan terlalu kerdil” sahut Widura. 

Sidanti sudah tidak dapat berbicara apa-apa lagi. Dengan gemetar ia berjalan kesebatang 

pohon perdu, menyangkutkan senjatanya, untuk kemudian dengan gemetar pula ia putar 

tubuhnya menghadapi Widura tanpa senjata ditangan. 

Widura heran melihat kelakuan Sidanti. Namun kedewasaannya segera menolongnya untuk 

memecahkan teka-teki itu. Sidanti adalah seorang pelaku. Dibalakangnya berdiri Ki Tambak 

Wedi. Apa yang dilakukan oleh Sidanti itu, agaknya telah diatur oleh gurunya. Dan kali ini 

gurunya memerintahkannya untuk berkelahi tanpa senjata. 

Widura kemudian melepaskan ikat pinggangnya. Dengan demikian pedangnyapun terlepas 

pula. Seperti Sidanti, Widura pun menyangkutkan pedangnya pula didahan perdu. 

Kini mereka berdua telah tegak berhadap-hadapan tanpa senjata. Sidanti agaknya sudah tidak 

dapat bersabar lagi. Dengan serta-merta ia berkata “Aku akan mulai kakang” 

Sebelum Widura menjawab Sidanti telah meloncat dengan garangnya. Kedua tangannya 

terjulur lurus kedepan mengarah satu keleher Widura dengan ibu jarinya, sedang yang lain 

menghantam dada dengan keempat ujung-ujung jarinya. 

Namun Widura tidak sedang tidur. Karena itu, dengan tangkasnya ia berputar setengah 

lingkaran sambil merendahkan dirinya. Sehingga serangan Sidanti itu terbang beberapa jengkal 

dari tubuhnya. Bahkan demikian serangan Sidanti itu lewat, segera Widura membalasnya 

dengan sebuah serangan pula. Sebuah serangan mendatar pada lambung Sidanti. 

Tetapi Sidanti itu benar-benar tangkas. Meskipun tubuhnya masih melambung karena tekanan 

serangannya, ia berhasil menggeliat dan menghindari serangan Widura. 

“Hem” Widura menggeram. Katanya dalam hati “murid Kiai Tambak Wedi ini benar-benar 

lincah” 

Sebenarnyalah Sidanti dapat bergerak selincah burung walet yang menari-nari diudara pada 

senja hari diatas pantai. Geraknya cepat dan cekatan. Sekali-sekali ia mampu menyambar 

seperti burung elang, namun kadang-kadang ia menukik seperti merpati jantan. 

Tetapi Widura sendiri mirip seekor burung rajawali yang tangguh. Dengan kedua tangannya 

yang kokoh kuat, sekuat sayap-sayap rajawali, ia selalu berhasil melindungi tubuhnya dari 

sergapan yang tiba-tiba. Bahkan sepasang kakinya itupun sangat mendebarkan jantung. 

Dengan putaran-putaran yang berbahaya kaki Widura itu merupakan sebuah perlawanan 

tersendiri disamping gerak tangannya yang cepat cekatan. Sehingga Widura itu seakan-akan 

memiliki sepasang otak yang masing-masing dapat mengatur kaki dan tangan dalam gerak 

pasangan yang tersendiri.


Demikianlah perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru. Sidanti yang lincah menjadi 

semakin lincah, dan Widura yang kokoh itupun menjadi semakin tangguh. 

Kini mereka seakan-akan telah luluh dalam satu lingkaran yang berputar-putar. Bayangan 

mereka melontar-lontar seakan-akan tak terjendali lagi. Saling menyerang dan saling melibat 

dalam gerakan-gerakan yang aneh dan membingungkan. Tetapi Sidanti dan Widura tidak 

menjadi bingung karenanya. Mereka memiliki daya pengamatan yang cukup kuat. Meskipun 

tangan Sidanti yang cepat itu bisa berubah menjadi berpasang-pasang dan menyerang dari 

segenap penjuru, namun kaki Widura itupun seolah-olah menjadi berpuluh-puluh jumlahnya, 

melontar-lontarkan tubuhnya dari satu titik ketitik yang lain. Sekali-sekali terjadi benturan antara 

keduanya. Namun ternyata bahwa kekuatan mereka pun berimbang. 

Sekali-sekali Widura terdorong surut, namun kali yang lain Sidanti terlempar beberapa langkah. 

Kalau mereka dalam kesiagaan yang sama, maka setiap benturan akan memaksa keduanya 

surut beberapa langkah mundur. 

Ketika peluh telah membasahi tubuh-tubuh mereka, maka perkelahian itupun menjadi 

bertambah sengit. Sekali-sekali Sidanti harus merasakan, betapa wajahnya menjadi panas oleh 

sengatan tangan Widura yang berat dan mantap. Sekali ia terdorong surut, dan sebelum ia 

berhasil memperbaiki keseimbangannya, tangan Widura telah menyusulnya. Kembali wajah 

Sidanti terangkat. Namun ketika sekali lagi tangan Widura menyambar wajah itu, Sidanti 

berhasil mengelakkannya. 

Kali ini, Widura sendiri terseret oleh tenaga tangannya sehingga hampir-hampir saja ia tidak 

mampu melepaskan diri dari serangan Sidanti yang tiba-tiba. Untunglah kemampuan Widura 

cukup tinggi, sehingga ketika sebuah pukulan mengarah kepelipisnya, Widura sempat 

merendahkan dirinya. Tetapi ternyata Sidantipun cukup lincah. Ketika disadarinya bahwa 

serangan tak menyentuh tubuh Widura, cepat-cepat ia menggerakkan kakinya langsung 

menyerang dada. Widura yang sedang merendahkan dirinya itu terkejut. Ia tidak sempat 

mengelak, yang dapat dilakukannya adalah, memukul kaki Sidanti dengan kedua sisi telapak 

tangannya. 

Benturan kekuatan itupun telah mendorong mereka masing-masing beberapa langkah surut. 

Dan sesaat kemudian mereka telah berloncatan kembali, saling menyerang dan saling bertahan. 

Sidanti yang lebih muda dari lawannya memiliki nafsu dan tenaga yang lebih baik dari lawannya, 

namun Widura memiliki ketenangan dan pengalaman melampaui Sidanti . Karena itu , maka 

dengan pengalamannya itu, Widura selalu dapat menempatkan dirinya, sehingga meskipun 

Sidanti lebih banyak menyerangnya, namun keadaan Widura tidak mencemaskan. 

Yang menjadi cemas kemudian adalah Sidanti . Menurut gurunya, Widura itu pasti akan dapat 

dikalahkan setelah ia mendapat tempaan yang khusus untuk kepentingan itu. Namun ternyata 

setelah ia berkelahi beberapa lama, Widura itu masih dapat melawannya dengan baik, sebaik 

pada saat mereka baru mulai. Meskipun Sidanti yakin, bahwa Widura itupun tak akan dapat 

memenangkan perkelahian itu, tetapi ia menjadi gelisah, apabila ia tak pula dapat menang 

daripadanya. 

Bahkan Widura sendiri kadang-kadang menjadi kagum pada geraknya sendiri. Tiba-tiba saja ia 

berhasil melepaskan serangan yang seolah-olah dengan sendirinya meluncur dari kedua 

tangan dan kaki-kakinya. Sebagai seorang yang cukup mempunyai pengalaman dalam 

pertempuran bersama dan seorang-seorang, maka Widura merasakan, bahwa ada sisipan ilmu 

pada ilmunya yang telah dimilikinya dari kakak iparnya, Ki Sadewa. Namun ilmu itu terasa sama 

sekali tidak mengganggunya, bahkan terasa keserasian dan nafas yang sama pula dengan 

ilmunya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada seorang aneh yang selalu datang melihat latihan-

latihan Agung Sedayu di gunung Gowok. Orang yang memakai ciri kain gringsing dan juga 

menamakan dirinya Kiai Gringsing. 

“Hem” gumam Widura dalam hati. “Agaknya ilmu orang aneh itupun telah menyusup masuk 

kedalam perbendaharaan ilmu yang telah aku miliki. Dan ternyata sikapnya yang aneh-aneh itu 

menolong aku pula kali ini” 

Dan teringatlah oeh Widura kata-katanya orang bertopeng itu “Sidantipun selalu melatih diri 

bersama gurunya” 

Tangkapannya atas kata-kata itu ternyata benar. Pada suatu saat ia harus bertempur melawan 

anak muda yang sombong itu. Dan hal itu kini telah terja


Demikianlah dengan nafsu yang bergejolak didalam dadanya, Sidanti berusaha untuk dapat 

mengalahkan Widura, dan memaksakan kehendak-kehendaknya atas pimpinannya itu. Tidak 

saja dalam persoalannya dengan Agung Sedayu, tetapi jauh dari itu. Ia ingin memaksakan 

kehendaknya dalam setiap persoalan. 

Tetapi ternyata bahwa ia tidak segera dapat menundukkann Widura. Betapapun ia telah 

berjuang. Diperasnya segenap kemampuan yang telah diterimanya dari gurunya, namun 

Widura itu masih saja dengan gigihnya melakukan perlawanan. Tetapi, baik Sidanti sendiri 

maupun Ki Tambak Wedi, sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa hampir setiap malam, 

seperti juga Sidanti yang mendapat tempaan terus-menerus, Widura pun selalu berkelahi 

melawan orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Bahkan orang aneh itu berkelahi 

tidak saja dengan tangan dan kakinya, tetapi dengan mulutnya juga. Orang itu ternyata sempat 

melihat kekurangan Widura dan bahkan kesalahan-kesalahan kecil sekalipun. 

Perkelahian yang sengit itu masih berlangsung lama. Mereka sudah hampir menumpahkan 

segenap tenaga mereka. Karena itu maka tenaga masing-masing semakin lama menjadi 

semakin susut. Bintang-bintang dilangit telah melampaui pertengahannya. Karena itulah maka 

Sidanti menjadi semakin gelisah karenanya. Kalau ia gagal mengalahkan Widura, maka 

nasibnya bukan menjadi bertambah baik, tetapi Widura pasti akan semakin bersikap keras 

kepadanya. 

Tiba-tiba Sidanti dan Widura kembali mendengar suara bilalang. Seperti suara yang semula 

mereka dengar. Karena itu Widura pun menjadi semakin berwaspada. Ia yakin, bahwa suara itu 

adalah suatu aba-aba yang harus dilakukan oleh Sidanti . 

Ternyata dugaan Widura itupun benar. Demikian Sidanti mendengar suara bilalang itu, tiba-tiba 

saja ia meloncat surut. Kemudian sambil berdiri tegak diatas kedua kakinya yang kokoh, ia 

berkata lantang “Kakang, perkelahian kita tidak akan ada akhirnya” 

Widura tidak segera menyerangnya. Iapun kemudian berdiri beberapa langkah dari Sidanti , 

katanya “Apakah yang kau inginkan kemudian?” 

“Bukankah kita membawa senjata masing-masing?” 

Widura menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah anak muda itu dengan seksama. Namun 

dalam malam yang kelam itu tak dilihatnya kesan apapun pada wajah itu, selain kesan 

kemarahan yang membakar jantung Sidanti. Dalam pada itu terdengar Widura berkata “Apakah 

kau menyadari perkataanmu itu Sidanti?” 

“Tentu” jawab Sidanti “Bukankah maksud kakang Widura mengatakan, bahwa dengan senjata-

senjata itu, dada kita masing-masing akan mungkin terbelah karenanya?” 

“Ya” 

“Aku menyadari kemungkinan itu. Namun bukan maksudku membunuh kakang Widura. Kalau 

kakang bersedia memenuhi setiap permintaanku, baik dalam hubunganku dengan Sedayu, 

maupun kedudukanku di Sangkal Putung dan seterusnya sebagai prajurit Pajang, maka aku tak 

akan menyentuh senjataku dalam perkelahian ini” 

Sekali lagi Widura menarik nafas dalam-dalam. Yang terloncat dari mulutnya adalah “Sidanti, 

aku telah siap mempertahankan keputusanku” 

“Bagus” teriak Sidanti sambil meloncat meraih pusakanya. Sesaat Widura masih tegak 

ditempatnya. Tetapi ketika ia melihat Sidanti telah menggenggam senjatanya, maka perlahan-

lahan Widura itupun berjalan mengambil senjatanya. Pedang yang tidak begitu tajam, namun 

ujungnya runcing melampaui ujung jarum. 

“Kita akan bertempur sebagai laki-laki, kakang” berkata Sidanti . 

“Tentu” sahut Widura. 

“Kita tidak ingin saling membunuh, namun siapa yang mula-mula mengalirkan darah dari 

lukanya, ialah yang kalah” 

“Bagus” sahut Widura. 

“Yang kalah harus tunduk pada setiap keputusan dari yang menang” 

Tiba-tiba Widura menggeleng “Tidak” katanya segera. “Kekalahan kita masing-masing disini 

tidak mempengaruhi kedudukan kita. Akulah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung” 

Dada Sidanti serasa menggelegar karenanya. Tiba-tiba ia berteriak “Lalu apakah gunanya kita


bertempur disini?” 

“Aku tidak tahu. Aku hanya memenuhi permintaanmu. Sebab bagaimanapun, kau tidak akan 

dapat mempersoalkan atas Sangkal Putung dan kekuasaan yang ada ditanganku. Aku akan 

mengambil keputusan menurut keyakinanku, menurut kebenaran yang aku yakini. Tidak dapat 

seorangpun yang akan mempengaruhi keputusan itu” 

“Gila. Apakah kau sangka aku tidak dapat membunuhmu kakang” teriak Sidanti pula. 

“Kalau aku mati, maka aku akan mati sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab. 

Bukan sebagai kelinci yang sedang melarikan diri dari terkaman anjing hutan” 

Tubuh Sidanti tiba-tiba bergetar karena kemarahannya. Matanya yang bulat itu sesaat menjadi 

redup. Kemudian ditariknya keningnya kesisi, namun kemudian meledaklah kata-katanya 

“Apakah kau ingin kita bertempur sampai mati?” 

“Tidak” sahut Widura. “Aku tidak mempunyai keinginan untuk berkelahi dengan kekuatan dalam 

lingkunganku sendiri. Apalagi sampai mati. Tetapi aku juga tidak ingin melihat kewibawaanku 

dikurangi. Sebab aku bertanggung jawab kepada panglima Tamtama di Pajang. Tidak 

kepadamu dan tidak kepada Agung Sedayu. Sedang panglima di Pajang itu menyalurkan 

perintah adipati Pajang yang sedang menegakkan kewibawaan Demak. Nah, kewibawaanku 

adalah sebagian dari kewibawaan adipati pajang itu” 

“Persetan” potong Sidanti hampir hangus dibakar kemarahannya “Bersiaplah” 

Widura kini benar-benar tak dapat menghindarkan diri dari perkelahian bersenjata. Tiba-tiba 

saja Sidanti telah meloncat menyerang dengan garangnya. Senjatanya yang tajam diujung dan 

pangkalnya itu berputar seperti baling-baling, kemudian melontar seperti jarum pemintalan. 

Sekali-sekali menyambar dengan ujungnya namun kemudian mematuk dengan pangkalnya. 

Widura menggigit bibirnya. Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat menghindari serangan itu. 

Pedangnyapun kemudian bergerak-gerak datar, kadang-kadang menyilang dan tiba-tiba saja 

terjulur lurus kedada lawannya. 

Kali inipun Sidanti merasakan, bahwa olah pedang Widura itu cukup mampu untuk melawan 

senjatanya. Namun ia masih akan mencoba menggunakan kelincahannya dan kecepatannya 

untuk menembus dinding baja dari putaran pedang lawannya. 

Perkelahian diantara keduanya kini menjadi bertambah mengerikan. Senjata Sidanti benar-

benar merupakan senjata yang berbahaya. Setiap sentuhan dari tajam diujung dan pangkal 

senjata itu akan menyobek tubuh lawam. Tetapi pedang Widura itupun setiap saat dapat 

membelah dada lawannya. Dengan kekuatan yang mengagumkan pedang itu menyambar-

nyambar seoerti alap-alap diudara. 

Tetapi perkelahian inipun tak akan berujung pangkal. Karena kepandaian mereka 

mempergunakan senjata masing-masing. Maka yang terjadi hanyalah benturan-benturan 

diantara senjata mereka. Demikian besar kekuatan mereka berdua, maka dalam setiap 

sentuhan diantara senjata-senjata itu, terperciklah bunga api yang seakan-akan berloncatan 

dari kedua senjata itu. 

Sidantipun telah berjuang memeras segenap ilmunya, dan Widura pun tak kalah sengitnya 

mempergunakan segenap tenaganya. Demikian dahsyatnya perkelahian itu, sehingga seakan-

akan tenaga merekapun segera terhisap habis. Baik Sidanti maupun Widura telah 

mempergunakan pula setiap tenaga cadangan didalam tubuh mereka. Kekuatan-kekuatan yang 

dilambari dengan ketekunan latihan-latihan dimasa-masa lampau telah mereka kerahkan. 

Namun keadan mereka maih tetap berimbang. Bahkan setelah tenaga mereka semakin 

susutpun, mereka tak dapat melampaui satu dari yang lain. 

Kini serangan-serangan mereka sudah tidak secermat pada saa mereka mulai. Kadang-kadang 

mereka terseret beberapa langkah karena tarikan senjata mereka sendiri. Namun dalam saat 

yang demikian, lawannyapun tidak segera sempat menyerang. Dengan lemahnya, mereka 

terpaksa melangkah terhuyung-huyung maju. 

Bahkan kadang-kadang, karena sentuhan batu-batu kecil pada kaki mereka, mereka telah 

kehilangan keseimbangan. 

Demikianlah pertempuran itu menjadi aneh. Ketika Sidanti mencoba menembus pertahanan 

Widura dengan sebuah tusukan pada lambungnya, maka Widura pun berusaha untuk 

menghindarinya. Ketika ia meloncat kesamping, tiba-tiba kakinya terperosok oleh lubang


lubang yang telah terjadi selama perkelahian itu. Widura yang kelelahan itupun tidak dapat 

menahan diri, sehingga ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Sidanti ingin mempergunakan 

kesempatan itu, tetapi ketika serangannya gagal, bahkan ia terseret beberapa langkah oleh 

senjatanya. Dalam keadaan yang demikian, masing-masing ingin mencoba mempergunakan 

kelemahan-kelemahan lawannya, namun mereka sendiri seakan-akan telah tidak mampu lagi 

menggerakkan tangan dan kaki mereka. Sehingga dengan demikian, tidak ada keseimbangan 

antara kehendak dan perhitungan mereka dalam tata perkelahian itu, dengan tenaga-tenaga 

mereka yang seakan-akan telah terperas habis. Namun tak seorangpun diatara mereka yang 

mendahului mengakhiri perkelahian yang aneh itu. 

Malam semakin lama menjadi semakin dalam, dan bintang-bintangpun menjadi semakin 

bergeser kebarat. Langit yang biru gelap tersaput leoh mega yang selembar-selembar mengalir 

dihanyutkan oleh angin yang lembut. 

Namun yang berkelahi masih berkelahi juga. Tetapi perkelahian itu kini sama sekali sudah tidak 

berbahaya lagi bagi kedua belah pihak. Meskipun sekali-sekali Sidanti masih menusukkan 

senjatanya, namun senjata itu tak akan sampai menyentuh tubh lawannya. Sedang apabila 

Widura mencoba mengayunkan pedangnya dengan kedua tangannya, maka ia sendirilah yang 

akan terpelanting jatuh. 

Nafas mereka berdua kini satu-satu tersangkut didalam kerongkongan. Peluh mereka mengalir 

seperti mereka sedang bertempur didalam hujan yang pekat. Bahkan apabila sekali-sekali 

terjadi juga benturan diantara senjata-senjata mereka, maka mereka berdua itupun terdorong 

surut dn kemudian terbanting jatuh ditanah. Dengan susah payah mereka berebut dahulu untuk 

bangkit, dan apabila mungkin menyerang sebelum lawannya menguasai diri sepenuhnya. 

Namun usaha itu tak akan pernah berhasil. Sebab lutut-lutut mereka seakan-akan sudah tidak 

berpaut lagi. 

Meskipun tenaganya sudah hampir habis terperas, namun Sidanti masih mengumpat-umpat 

dalam hati. Bahkan ia menjadi heran, bahwa Widura mampu melawan dengan baiknya. Pada 

saat mereka berdua bertempur melawan Tohpati berganti-ganti, Widura itu ternyata tidak lebih 

baik daripadanya. Kini ia telah mendapat tempaan yang padat dari gurunya, dan bahkan 

gurunya itupun berkata, bahwa ilmunya pasti akan lebih baik meskipun hanya selapis tipin dari 

Widura. Namun ternyata kini, bahwa ilmunya benar-benar tidak melampaui ilmu Widura itu 

sendiri. Apakah tempaan selama ini, dihampir setiap malam dengan ilmu-ilmu gurunya yang 

hampir sempurna itu sama sekali tak berpengaruh atasnya? 

Sedang Widura pun benar-benar kagum kepada anak muda murid Kiai Tambak Wedi itu. 

Namun didalam lekuk-lekuk hatinya, terasa juga bahwa ia sedang mengagumi dirinya sendiri. 

Ternyata bahwa merah biru diwajah-wajah kulitnya, hampir setiap malam apabila ia berkelahi 

melawan Kiai Gringsing yang memegang cemetinya ditengah-tengah itu ada juga manfaatnya 

baginya. Kini ia benar-benar menghadapi senjata Sidanti bukan sekedar cemeti kuda. Apabila 

senjata yang mengerikan itu benar-benar dapat menyentuhnya, maka akibatnya tidak saja 

sekedar merah biru diwajah-wajah kulitnya, tetapi luka-luka yang pedih akan menganga. 

Karena itu pun Widura bersyukur dalam hati. Siapakah sebenarnya orang aneh yang 

menamakan dri Kiai Gringsing itu? 

Tetapi Widura tidak sempat berangan-angan. Kini mereka berdua berhadap-hadapan dengan 

tubuh gemetar. Bukan karena marah yang membakar dada mereka, namun karena tenaga nr 

telah terkuras habis. 

Sidanti yang dengan susah payah masih mencoba tegak diatas kedua kakinya, menggeram 

dengan suara parau yang gemetar. Katanya “Mampus kau kakang Widura” 

Keadaan Widura pun tidak lebih naik dari keadaan Sidanti . namun otaknyalah yan glebih baik. 

Meskipun nafasnya telah hampir putus ditenggorokan, namun ia berkata diantara engah 

nafasnya ”Sidanti, apakah hasil yang kita dapatkan dari perkelahian ini?” 

Terdengar Sidanti menggeram. Matanya msih menyalakan kemarahannya yang meluap-luap. 

Bahkan ia menjadi semakin marah, ketika ia menyadari keadaannya. Ternyata Widura tak 

dapat ditundukkannya. Apalagi ketika ia mendengar pertanyaan Widura itu. Namun sesaat 

kemudian pertanyaan itu benar-benar membingungkannya. “Ya, apakah yang sudah 

didapatnya dari perkelahian itu?” 

Namun yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah makian yang kasar. “Setan. Bukankah


dengan demikian kau tahu bahwa kau bukan orang yang aneh di Sangkal Putung. Bahwa 

Widura pun manusia juga yang tidak lebih dari Sidanti?” 

“Tentu” sahut Widura. “Apakah aku pernah berkata bahwa aku keturunan malaikat?” 

“Tetapi kau merasa, seakan-akan dirimu tak terkena salah. Semua orang harus tunduk atas 

kehendakmu” 

“Itu bukan karena aku Widura. Tetapi itu karena wewenang yang aku terima” 

“Omong kosong” bentak Sidanti, “Sejak sekarang kau harus merubah sikap itu” 

Widura menggeleng “Tidak” jawabnya tegas. 

Dada Sidanti benar-benar akan meledak karenanya. Namun ketika ia ingin menyerang 

lawannya kembali, ia terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba untuk menemukan 

keseimbangannya kembali. “Gila” anak itu mengumpat lagi. Tetapi kali ini tak ditujukannya 

kepada siapapun. 

Sedang Widura masih tegak ditempatnya. Namun seandainya sebuah angin kencang 

menyentuhnya maka Widura itupun pasti akan roboh. Karena itu, ia tidak ingin berbuat sesuatu. 

Otaknya yang telah dipenuhi dengan berpuluh-puluh ribu macam persoalan ternyata masih 

tetap baik, betapapun tenaganya telah terhisap oleh embun malam. Kini ia yakin bahwa Sidanti 

itu sama sekali sudah tak berdaya seperti dirinya sendiri. 

Dalam pada itu, tiba-tiba mereka berdua terkejut. Namun Sidanti hanya sesaat. Tetapi 

Widuralah kemudian teruncang dadanya. Meskipun telah disangkanya lebih dahulu, namun 

kehadiran yang tiba-tiba diantara mereka, benar-benar mengejutkan. Dan dengan wajah cerah 

Sidanti berkata kepada orang yang baru datang itu “Selamat datang guru” 

Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya yang panjang runcing serta 

sepasang matanya yang tajam, setajam mata burung hantu merupakan pertanda, bahwa Kiai 

Tambak Wedi adalah seorang yang tidak dapat mengenal puas atas segenap usaha yang 

pernah dicapainya. 

Widura pun kemudian mengangguk pula. Seperti Sidanti, iapun mencoba memberi salam 

kepada orang sakti itu “Selamat datang Kiai” 

Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya, 

seperti akan ditelannya hidup-hidup. Kemudian sambil mengangguk kecil ia menjawab “Hem, 

selamat Widura” 

Widura pun mencoba untuk mengenal wajah orang yang namanya terkenal didaerah sebelah 

timur gunung Merapi itu. Semakin jelas ia mengenal wajah itu, hatinya menjadi semakin 

berdebar-debar. Diantara sepasang matanya yang tajam itu, tampaklah hidung Kiai Tambak 

Wedi besar dan melengkung seperti paruh burung. Sayang, malam yang pekat itu tak memberi 

kesempatan kepada Widura untuk melihat setiap garis yang tergores diwajah itu. 

“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi itu kemudian. Suaranya besat dan seakan-akan bergetar 

saja didalam dadanya “Ternyata kau mampu menyamai muridku” 

Widura mangguk kecil. Jawabnya “Aku hanya mecoba melayani adi Sidanti bermain-main Kiai” 

“Jangan sombong” sahut Kiai Tambak Wedi. “Meskipun kau berhasil mempertahankan namamu, 

tapi jangan berkeras kepala. Aku tidak senang melihat sikapmu” 

Widura tidak segera menjawab. Sekali lagi ia mencoba menatap wajah Kiai Tambak Wedi yang 

sedemikian saktinya, sehingga orang mengatakan bahwa ia mampu menangkap angin. 

“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi kemudian. “Aku heran, bahwa kau mampu bertempur 

dalam tataranmu sekarang. Aku sangka kau tidak akan dapat menyamai muridku. Namun 

agaknya ilmumupun bertambah. Aku sangka, setelah Sidanti menambah ilmunya akhir-akhir ini 

kau akan menjadi ketinggalan karenanya” 

Kali inipun Widura tidak menjawab. Ia masih tegak seperti patung. Patung yang kurang 

seimbang, sehingga setiap sentuhan akan dapat merobohkannya. 

“Tetapi” berkata Kiai Tambak Wedi itu pula, “Sangkaanku itu keliru” Kiai Tambak Wedi diam 

untuk sesaat. Kemudian katanya “Meskipun demikian itu bukan berarti bahwa setiap tuntutan 

Sidanti sudah dilepaskan” 

Widura menjadi semakin berdebar-debar. Guru Sidanti itu kini ternyata telah secara langsung 

turut dalam setiap persoalan di Sangkal Putung. Meskipun demikian dibiarkannya Kiai Tambak


Wedi itu berkata “Widura, sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalanmu sebagai 

pimpinana laskar Pajan di Sangkal Putung. Apabila kau tidak berbuat banyak kesalahan. Aku 

bermaksud membiarkan Sidanti melakukannya sendiri, tetapi ternyata karena Sidanti tak dapat 

mengalahkanmu, maka kau pasti masih akan berkeras kepala. Kini biarlah aku meneruskan 

permintaan Sidanti itu. Terus terang, tanpa berbelit-belit . Widura, kau harus menyingkirkan 

Agung Sedayu. Kedua, setiap kau berhalangan maka Sidanti lah pemimpin laskar Pajang di 

Sangkal Putung. Kemudian kau harus menyampaikan kemenangan Sidanti atas Tohpati. 

Seterusnya kau harus mengusulkan kepada atasanmu, panglima wiratamtama. Untuk 

kedudukan yang lebih baik bagi Sidanti, ingat, masa depan Sidanti harus berbeda dari masa 

depanmu. Kau sudah puas dengan kedudukanmu sekarang. Tetapi Sidanti tidak. Sidanti 

melihat jauh kemasa depan. Dengarlah Widura, bukankah dengan menyingkirkan Jipang, maka 

adipati Pajang sekarang ini, adalah pewaris satu-satunya kerajaan Demak. Aku kira sultan 

Cirebon, manantu Trenggana pula, tidak akan mempunyai tuntutan apa-apa. nah, apa pula 

yang kelak akan terjadi dengan janji tanah Mentaok dan Pati bagi mereka yang dapat 

membunuh adipati Jipang? Bukankah dengan demikian hari depan Pajang sendiri masih akan 

berbelit-belit. Dalam keadaan yang demikian Sidanti harus tampil kedepan. Kau dengar? Kalau 

kemudian Sidanti telah menemukan kedudukan yang pantas baginya, kau adalah salah 

seorang dari panglimanya. Begitu?” 

Widura masih berdiam diri. Namun tiba-tiba ia menjadi muak mendengar semua kata-katanya 

Kiai Tambak Wedi. Tetapi ia harus menjaga dirinya. Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang 

sakti. Bahkan ia terkejut ketika Kiai Tambak Wedi itu berkata “Kau adalah anak tangga yang 

pertama bagi Sidanti , Widura. Bagaimana?” 

Tiba-tiba Widura itupun menggeleng. Kini ia menjawab dengan ketegasan yang sama seperti 

jawabannya kepada Sidanti. “Sayang Kiai, aku tidak dapat memberikan apa-apa kepada 

Sidanti” 

Kiai Tambak Wedi menarik alisnya. Kemudian ia tersenyum. Katanya “Jangan berkeras kepala 

Widura. Ingat, nasibmu akan dapat menjadi kurang baik” 

Sekali lagi Widura menggeleng. “Kiai, mungkin aku dapat menjanjikannya disini karena aku 

takut kepada Kiai. Namun aku tidak akan dapat melaksanakannya kelak. Bukankah dengan 

demikian aku sekedar menipu Kiai. Karena itu lebih baik berkata terus terang” 

Sidanti yang mendengar percakapan itupun, wajahnya menjadi semakin membara. Bahkan 

kemudian ia menggeram “Bukankah guru dapat memaksanya?” 

“Tentu Sidanti” sahut Kiai Tambak Wedi. “Aku akan bisa memaksanya. Menangkapnya 

sekarang dan mengikatnya dibatang jambu mete ini. Kemudian dengan kukuku ini aku dapat 

menggores kulitnya sehingga terkelupas. Tetapi Widura tidak akan membiarkannya aku berbuat 

demikian, bukankah begitu?” 

Dada Widura pun menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun demikian ia menjawab “Benar 

Kiai, aku mengharap Kiai tidak akan berbuat demikian. Tetapi permintaan Kiai itupun tak akan 

dapat aku penuhi” 

Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “Jangan begitu 

Widura. Nasibmu, hidup matimu kini ada ditanganku” 

“Terserahlah kepada Kiai” 

Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawaban itu benar-benar tidak menyenangkan. 

Katanya “Widura, jangan membuat aku marah. Aku bisa membunuhmu sekarang” 

“Terserah kepada Kiai. Aku harus tetap pada perintahku. Hidup atau mati adalah akibat yang 

sudah aku ketahui sejak aku masuk menjadi seorang prajurit. Adalah sudah seharusnya aku 

mati sambil menggenggam kewajiban. Bukan mengingkari”Kiai Tambak Wedi, seorang yang 

sudah kenyang mengenyam pahit manisnya kehidupan itu, mengangguk-anggukkan kepalanya 

mendengar jawaban Widura. Ia kagum pada kejantanannya. Kagum pada tanggung-jawabnya. 

Meskipun demikian, ia sama sekali tidak senang mendengar jawaban itu. Dengan demikian 

seakan-akan Widura itu sama sekali tidak takut kepadanya. Ia ingin agar setiap orang menjadi 

gemetar dan menggigil ketakutan mendengar namanya. 


BUKU 04


Apalagi apabila mereka berhadapan. Namun agaknya Widura sama sekali tidak bersikap 

demikian. Karena itu, maka sekali lagi Ki Tambak Wedi itu berkata “Widura, orang-orang seperti 

kau ini benar-benar merupakan mutiara-mutiara yang tersimpan dalam perbendaharaan 

keprajuritan Pajang. Aku ingin agar mutiara-mutiara demikian itu tidak akan hilang tertimbun 

oleh lumpur. Karena itu Widura, aku minta kau membantu Sidanti dalam usahanya 

mendapatkan tempat yang baik dalam hidupnya yang penuh dengan cita-cita itu. Aku sendiri 

pasti akan merupakan kekuatan yang mengalasinya” 

Sekali lagi Widura menjadi muak. Bahkan ia menjadi muak melihat wajah yang panjang 

bermata seperti mata burung hantu dan berhidung terlalu runcing itu. Meskipun demikian, tak 

ada suatupun yang dapat dilakukannya. Dan ia masih mendengar Ki Tambak Wedi 

meneruskan “Apabila kelak Sidanti akan sampai ditempat itu, maka kaupun akan ikut serta 

mukti pula bersamanya” 

Widura menggeleng tegas. Jawabnya “Biarlah aku ditempatku. Apapun yang akan aku alami” 

Dada Ki Tambak Wedi itupun sudah mulai dirayapi oleh kemarahan yang semakin lama 

semakin menyala. Agaknya Widura sudah tidak mungkin dapat dibujuknya. Karena itu katanya 

“Widura, apakah kau benar-benar menunggu aku marah?” 

Widura yang berdiri seperti pucang kanginan itu menjawab “Sudah aku katakan Kiai. Namun 

aku tetap pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Bukan orang lain” 

“Widura” sahut Ki Tambak Wedi yang mulai tidak dapat mengendalikan kemarahannya. “Kau 

tetap pemimpin laskar di Sangkal Putung. Tetapi kau harus menurut perintah-perintah Sidanti 

yang akan diberikan erus menerus kepadamu. Perintah-perintahmu hanyalah saluran dari 

perintah-perintahnya. Tetapi dimata par prajurit itu, kau tetap seorang pemimpin yang 

berwibawa. Bersedia?” 

Sekali lagi Widura menggeleng tegas “Tidak” jawabnya. 

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Aku sudah menduga bahwa 

kau akan tetap pada pendirianmu. Nah, bagaimanakah kalau aku membunuhmu sekarang?” 

Widura menyadari keadaannya. Ia tidak lebih dari seorang yang kecil dihadapan Ki Tambak 

Wedi. Tetapi ia tidak mau mengorbankan kewibawaan, saluran kewajiban prajurit. Sedang 

orang seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat melakukan apa saja yang dikatakannya. 

Meskipun demikian Widura menjawab “Kiai pasti akan mampu melakukannya. Terserahlah 

kepada Kiai. Tetapi Kiai harus menyadari keadaan Sidanti . Anak itu keluar bersama aku. 

Apakah kata mereka kalau anak itu kembali seorang diri, dan besok mayatku diketemukan 

disini?” 

Mendengar jawaban itu Ki Tambak Wedi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Katanya diantara 

derai tawanya “He Widura, ternyata kau tidak sejantan yang aku sangka. Ternyata kau mulai 

ketakutan dan mencari jalan untuk menolong dirimu sendiri” 

Mendengar suara tertawa dan kata-kata Ki Tambak Wedi itu, telinga Widura seperti terjilat api. 

Sehingga ia lupa, dengan siapa ia berhadapan. hampir berteriak ia membentak “Cukup!” 

Ki Tambak Wedi terkejut mendengar bentakan itu, sehingga dengan serta-merta derai 

tertawanya itu terputus. Dengan tajamnya ia memandang wajah Widura yang masih berkata 

terus “Apakah kau sangka bahwa setiap mahluk akan menyerahkan hidupnya demikian saja 

tanpa usaha untuk menyelamatkan diri. Bukankah hak setiap hidup untuk mempertahankan 

hidupnya?” 

“Tetapi caramu adalah cara yang licik” sahut Ki Tambak Wedi. 

“Tidak” bantah Widura. “Tetapi aku hanya ingin mengatakan, kalau kau bunuh aku, maka 

pekerjaanmu itu tidak akan bermanfaat. Setiap orang dapat segera mengambil kesimpulan apa 

yang sudah terjadi” 

“Seandainya mereka mengetahui sekalipun, apa yang akan mereka lakukan terhadap Sidanti? 

Apakah mereka berani melakukan tindakan apapun terhadap anak itu?” 

“Tentu” 

“Aku akan dapat membunuh mereka semua” 

“Mereka adalah prajurit-prajurit. Kalau mereka tak dapat mengatasi seseorang, maka


atasannyalah yang akan melakukan. Bagaimana anggapan Kiai tentang seorang perwira 

tamtama yang bernama Pemanahan? Juru Mertani atau adipati Pajang sendiri?” 

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawabnya “Persetan dengan mereka. Tetapi aku 

tidak sebodoh yang kau sangka. Aku sudah bersedia alat untuk membunuhmu. Semua orang 

mengenal bahwa senjata Sidanti adalah senjata tajam. Sekarang aku akan membunuhmu 

dengan senjata pemukul” 

Dada Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Apalagi ketika tiba-tiba ia melihat, Ki Tambak 

Wedi itu menarik sebuah tongkat besi dari pinggangnya dibawah kain panjangnya. Besi itu tidak 

terlalu panjang. Hanya dua jengkal, sebesar ibu jari kaki. Diamat-amatinya senjata sambil 

bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri “Hem, bukankah orang yang bersenjata 

pemukul itu seorang senapati Jipang yang bernama Tohpati? Dan bukankah mulut Sidanti juga 

dapat berkata demikian kepada kawan-kawannya? Lihatlah wajah Sidanti itu sendiri, dan 

hampir diseluruh tubuhnya menjadi merah biru. Itu akan bagus sekali untuk melengkapi 

ceritanya. Kau berdua berjumpa dengan Tohpati dan beberapa orangnya. Kalian bertempur 

mati-matian, dan kau terbunuh dalam perkelahian itu” 

Getar didalam dada Widura menjadi semakin cepat. Kini ia benar-benar berhadapan dengan 

maut. Dan ia tidak akan dapat menemukan jalan untuk menyelamatkan diri. Meskipun demikian 

sama sekali tak terlintas didalam otaknya untuk memenuhi permintaan Sidanti, menebus 

nyawanya dengan menjual kewibawaan Pajang. 

Demikianlah maka sesaat mereka berada dalam keadaan yang tegang. Widura, Sidanti dan Ki 

Tambak Wedi seperti tonggak-tonggak yang kaku. Yang mula-mula menyobek kesepian adalah 

Ki Tambak Wedi. katanya “Bagaimana Widura. Apakah kau masih ingin bertahan pada 

pendirianmu? Memang keadaanmu masih cukup baik. Kalau kau mati, maka kau akan 

dihormati sebagai pahlawan. Namun bukankah lebih baik apabila kita dapat melihat dan 

merasakan dalam hidup kita ini kehormatan itu daripada sesudah kita mati?” 

Widura tidak menjawab sepatah katapun. Ia sedang mempersiapkan dirinya menghadapi maut. 

“Bagaimana Widura?” bentak Ki Tambak Wedi yang sudah mulai kehilangan kesabaran. “Kalau 

kau mati, aku akan berusaha Sidanti lah yang akan mengganti kedudukanmu. Aku akan 

pancing Tohpati, aku akan bunuh pula dia atas nama Sidanti” 

Widura menggeram mendengar rencana gila-gilaan itu. Namun kali inipun ia ti menjawab. 

baginya, sudah tidak ada gunanya lagi untuk berbicara apapun. Maka yang dapat dilakukan 

adalah menunggu apa saja yang akan terjadi. 

Ki Tambak Wedi ternyata benar-benar telah kehilangan kesabaran. Dengan sepotong besi itu ia 

berjalan mendekati Widura sambil berkata “Aku tidak biasa mempergunakan senjata semacam 

ini. Tetapi untuk kepentingan Sidanti, aku akan memecah batok kepalamu, sehingga orang 

benar-benar menyangka kau mati karena pukulan tongkat baja putih milik Tohpati itu” 

Sekali lagi Widura menggeram. Tanpa disengaja ia mengangkat pedangnya. Melihat gerak 

pedang itu Ki Tambak Wedi tertawa terbahak-bahak. Katanya “Gila. Apakah kau akan melawan 

aku? Dengan satu sentuhan dari anak kecil, kau pasti sudah akan roboh. Jangan gila. Kau 

hanya tinggal mempersiapkan kepalamu saja. Manakah yang sebaiknya aku pukul supaya kau 

segera mati. Dengan demikian aku sudah bermurah hati kepadamu” 

Mulut Widura benar-benar telah terkunci. Sesaat ia ingat kepada kemenakannya, Sedayu. 

Namun ia tidak menyalahkannya. Saat yang lain dikenangnya kemenakannya yang satu lagi, 

Untara. Katanya dalam hati “mudah-mudahan anak itu masih hidup, dan mudah-mudahan 

suatu ketika dijumpainya adiknya itu dan diselamatkannya dari kerakusan Sidanti yang gila ini” 

Widura kini melihat Ki Tambak Wedi itu semakin lama semakin dekat. Suara tertawanya masih 

saja terdengar berkepanjangan. 

Tetapi tiba-tiba suara tertawa itupun terputus. Mereka semua terkejut bukan buatan. Apalagi 

Widura dan Sidanti . Dalam sepi malam itu terdengar tiba-tiba sebuah ledakan dahsyat. 

Sehingga getarannya telah menggerakkan daun-daun pepohonan dan menggugurkan daun-

daun kuning yang tidak mampu berpegangan dahan-dahannya lagi. Bahkan ledakan itu telah 

menggetarkan dada mereka yang mendengarnya. Lebih-lebih Widura dan Sidanti . 

Ki Tambak Wedi itu kini tegak seperti patung. Namun tampaklah ia memusatkan perhatiannya 

memandang segenap arah. Matanya yang tajam setajam mata burung hantu itupun menjadi liar.


Dalam ketegangan itupun sekali lagi terdengar suara ledakan itu. Lebih keras dan getarannya 

semakin dalam menusuk dada. Widura dan Sidanti terpaksa memejamkan mata mereka dan 

memusatkan perlawanan mereka dengan kekuatan batin melawan getaran yang aneh itu. 

Mata Ki Tambak Wedi itupun menjadi semakin liar. Bahkan tiba-tiba ia berteriak “Dahsyat. 

Kekuatan orang itu pasti sama dengan kekuatan raksasa. Tetapi jangan seperti seorang 

pengecut. Mari, datanglah kemari. Aku bersedia menyambutmu” 

Namun tak ada jawaban. Yang terdengar sekali lagi suara ledakan itu. Lebih keras pula dari 

yang terdahulu. 

Ki Tambak Wedi itupun kemudian menjadi marah bukan kepalang. Seperti orang gila ia 

berteriak-teriak “Ayo, kemarilah. Jangan bersembunyi. Inilah Tambak Wedi” 

Tetapi kemudian tegal itu menjadi sepi. Suara ledakan itupun tak terdengar lagi. Mengerutkan 

keningnya Ki Tambak Wedi itu masih tegak seperti patung. Ia masih mencoba mengetahui dari 

manakah arah suara ledakan-ledakan itu. Namun suara itu tak terdengar lagi. 

Dalam pada itu, tumbuhlah suatu persoalan didalam dirinya. Dalam diri Ki Tambak Wedi yang 

perkasa itu. Ia tidak akan takut berhadapan dengan seitap orang bagaimanapun saktinya. Ki 

Tambak Wedi itu merasa, bahwa dirinya pasti akan mampu menghadapi siapa saja dalam 

pertempuran seorang lawan seorang. Biarpun orang itu Adiwijaya, yang terkenal memiliki aji 

Lembu sekilan, Rog-rog Asem, Sapu Angin sejak masa kanak-kanaknya, sejak ia masih 

bernama Mas Karebet. Setidak-tidaknya ia pasti akan dapat menyelamatkan dirinya dari 

lawannya. Namun orang yang meledakkan lecutan-lecutan itupun bukan orang kebanyakan, 

sehingga apabila ia mengejarnya, maka ada kemungkinan orang itu berhasil melarikan diri. 

Yang kemudian mengganggunya adalah, apabila Widura itu dibunuhnya, maka ternyata akan 

hadir sedikit-dikitnya seorang saksi. Orang yan menyuarakan lecutan-lecutan dahsyat itu. 

Dengan demikian maka cerita Sidanti lambat atau cepat, pasti akan diketahui kebohongannya. 

Karena itu, tiba-tiba Ki Tambak Wedi itupun mengumpat tak habis-habisnya. Katanya “Setan itu 

ternyata berhasil menolong memperpanjang nyawamu Widura. Ia akan merupakan saksi yang 

mengganggu jalan Sidanti . meskipun demikian, ingatlah, Sidanti tak akan pernah melepaskan 

tuntutannya. Abiarlah kali ini lau tetap hidup. Aku beri waktu kau sepasar. Kalau dalam sepasar 

kau tidak merubah pendirianmu, dalam setiap kesempatan aku akan dengan mudah 

membunuhmu. Mungkin dengan cara-cara yang sangat mengerikan” 

Widura masih berdiam diri. Apalagi kini, dadanya masih dipengaruhi oleh getaran-getaran 

leacutan yang dahsyat itu. Karena itu ia sama sekali tidak menjawab kata-kata Ki Tambak Wedi. 

“Pulanglah berdua. Jangan membuat persoalan supaya aku mempunyai pertimbangan-

pertimbangan lain” 

Widura masih tetap tegak seperti tiang-tiang yang beku. Ia mendengar kata-kata Ki Tambak 

Wedi itu, namun seakan-akan ia tidak mengerti maknanya. Setelah ia kehilangan harapan 

untuk dapat menyelesaikan tugasnya, membersihkan sisa-sisa laskar Jipang, karena keinginan 

Sidanti yang melonjak-lonjak, maka tiba-tiba dadanya digetarkan oleh suara lecutan yang 

hampir menggugurkan isi dadanya, kini ia mendengar Ki Tambak Wedi itu mengurungkan 

niatnya. 

Untuk sesaat Sidanti pun menjadi seolah-olah kehilangan kesadarannya. Namun seperti orang 

yang tersentak bangun dari tidurnya ia mendengar gurunya itu berkata, bahwa Widura akan 

dibebaskannya. Karena itu, maka timbullah berbagai pertanyaan didalam dirinya. Keadaan itu 

sudah terlanjur sedemikian buruknya. Apabila Widura itu masih tetap hidup, apakah 

keadaannya tidak menjadi semakin sulit. 

Maka dengan terbata-bata terdengarlah Sidanti itu bertanya “Guru, apakah guru akan 

memaafkan kakang Widura?” 

“Tidak” sahut gurunya. “Aku hanya memberinya waktu sepasar” 

“Kenapa guru masih memberinya waktu?” 

“ada bermacam-macam pertimbangan. Aku masih berusaha untuk mencari jalan yang baik 

bagimu. Kecuali apabila dalam sepasar Widura masih tetap keras kepala. Selain yang sudah 

akua katakan, setan yang memperdengarkan suara lecutan itupun dapat mengganggu jalanmu 

Sidanti “ 

“Kenapa guru tidak menangkapnya saja, dan membunuhnya pula?”


“Kau dengar suara lecutannya?” bertanya gurunya. “Kau merasakan getaran didadamu? Nah, 

itu pertanda bahwa orang itupun bukan orang kebanyakan. Mungkin ia dapat melepaskan diri 

dari tanganku meskipun ia tidak berani langsung melawan aku dalam satu perkelahian” 

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih tampak diwajahnya, bahwa ia 

menyesal akan keadaan itu. Seandainya Widura itu terbunuh dan orang mempercayainya, 

bahwa yang membunuh Widura itu Tohpati, menilik dari bekasnya, maka tak seorangpun yang 

berani menyatakan dirinya, mengganti kedudukan Widura. Semua orang di Sangkal Putung 

menyadari, bahwa tak seorangpun yang dapat melampaui Sidanti. kecuali kalau Pajang 

menunjuk orang lain yang dikirim langsung dari Pajang. Namun siapapun orang itu, nasibnya 

tidak akan lebih baik dari Widura. 

Kemudian terdengarlah kembali suara Ki Tambak Wedi, kali ini kepada Widura. “Nah Widura. 

Aku masih akan membiarkan kau hidup sepasar lagi. Kembalilah kalian berdua. Sekali lagi aku 

memperingatkan kau Widura. Jangan membuat persoalan atas Sidanti , supaya aku tidak 

datang kepadamu bersama-sama dengan Tohpati, untuk memengal lehermu dan seluruh 

laskarmu” 

Kini Widura telah menyadari keadaannya seluruhnya. Ia mendengar semua kata-kata Ki 

Tambak Wedi. ternyata orang itu sama sekali tidak mempunyai pendirian berpihak antara 

Pajang dan Jipang. Ia dapat berada dimana saja yang dapat memberinya keuntunga. Dengan 

demikian maka Ki Tambak Wedi maupun Sidanti adalah benar-benar orang yang sangat 

berbahaya. 

Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tambak Wedi pula “Nah Sidanti. Jangan cemas, aku 

akan terus menerus mengawasi keadaan. Kau dengar pula itu, Widura?” 

Sebelum Widura berkata sepatah katapun, dan sebelum Sidanti menjawab terdengarlah Ki 

Tambak Wedi itu menggeram. Kemudian dengan serta-merta dilemparkan potongan besi yang 

masih digenggamnya kearah kaki Widura. Kemudian dengan satu loncatan yang cepat, Ki 

Tambak Wedi itu menghilang dibalik pepohonan. Ia masih akan mencoba mencari, siapakah 

yang telah memperdengarkan suara lecutan yang dahsyat, yang telah mengganggu 

pekerjaannya. Namun karena suara itu sudah tidak terdengar lagi, serta Ki Tambak Wedi 

menyadari, bahwa belum pasti ia kan dapat menangkapnya, akhirnya Ki Tambak Wedi itupun 

melepaskan maksudnya. 

Sidanti dan Widura masih tegak ditempat masing-masing. Ketika tanpa sesadarnya Widura 

memandang potongan besi yang tergeletak beberapa jengkal dimuka kakinya ia terkejut bukan 

buatan. Besi itu kini melengkung sehingga kedua ujung-ujungnya hampir bertemu. Adalah 

kekuatan yang luar biasa yang dapat melakukannya. Sepotong besi sebesar ibu jari kaki, yang 

panjangnya tidak lebih dari dua jengkal itu dapat dilengkungkannya sedemikian, sehingga 

hanpir menjadi sebuah lingkaran. 

Widura menarik nafas dalam-dalam. Ki Tambak Wedi benar-benar luar biasa. Namanya yang 

menakutkan itu, tidak saja karena kesombongannya, namun ia benar-benar memiliki kekuatan 

yang tidak ada taranya. 

Sidanti yang melihat wajah Widura dalam keremangan malam, serta sikapnya yang gelisah, 

dan kemudian dengan serta-merta memungut besi yang hampir menjadi lingkaran itu, tertawa 

pendek. Desisnya “Apa kau heran kakang, bahwa Ki Tambak Wedi dapat melakukannya? 

Melengkungkan besi sebesar itu dengan tangannya?” 

“Tidak” jawab Widura. “Orang yang sakti seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat berbuat 

lebih banyak dari permainan ini, meskipun permainan ini telah menggoncangkan dadaku” 

Sekali lagi Sidanti tertawa. Dengan bibir yang ditarik kesisi ia berkata “Sejak saat ini kau jangan 

terlalu sombong dan berkeras kepala supaya umurmu tidak hanya terbatas pada lima hari ini 

saja” 

Widura menggeleng. Sahutnya “Aku tidak senang orang lain mencampuri persoalan dalam tata 

kelaskaran Pajang. Sudah aku katakan, hidup matiku akan aku pertaruhkan untuk kewibawaan 

Pajang” 

Sidanti mengangkat alisnya. Namun kemudian ia tertawa pula. Katanya “Marilah kita pulang. 

Setelah kakang Widura beristirahatn mungkin kakang mempunyai pertimbangan lain” 

“Pulanglah dahulu” sahu Widura “Aku masih mempunyai pekerjaan”


Sidanti menjadi heran. Apakah yang akan dilakukan oleh Widura itu. Tetapi Sidanti yang 

sombong itu tak mau merajuk. Karena itu ia menjawab “Baiklah aku pulang dahulu” 

Sidanti kemudian tidak menungu jawaban Widura. Segera ia melangkah meninggalkan tempat 

itu, kembali ke kademangan Sangkal Putung. Kini ia merasa dapat berbuat sekehendaknya. 

Sedang Widura pasti tak akan berani menghalanginya lagi. 

“Widura itu hanya malu-malu saja mengakui kekuasaanku sekarang” katanya dalam hati. 

“Namun aku yakin bahwa ia tidak akan berani mengganggu aku lagi” 

Sidanti itu tersenyum sendiri. Akan datang gilirannya Sedayu ditundukkannya. Kalau ia tak 

mampu melakukan sendiri, maka cara yang sama seperti yang dilakukan atas Widura itu akan 

ditempuhnya “Anak itu akan jauh lebih mudah diselesaikan”. Katanya pula “Kalau ia terbunuh, 

tak akan ada yang mempersoalkannya selain Widura. Dan aku yakin Widura pun kini akan 

berdiam diri” 

Sidanti itu kemudian berjalan dengan wajah yang terang, seakan-akan Sangkal Putung itu 

benar-benar telah dikuasainya. Seluruhnya. Dan terbayanglah diwajahnya, seorang gadis yang 

manis dan lincah, yang pernah mengaguminya pula, Sekar Mirah. Dengan modal pimpinan atas 

Sangkal Putung dan kemudian apabila ia berhasil membinasakan Tohpati atas namanya, maka 

pasti ia akan cepat menanjak. Seterusnya, ia harus pandai memanfaatkan setiap kesempatan. 

Widura yang masih tegak ditempatnya, memandang Sidanti itu sampai hilang dalam gelapnya 

malam. Ia tersadar ketika kemudian didengarnya ayam hutan berkokok dikejauhan. Ternyata 

malam telah jauh melampaui pusatnya. Dan sebentar lagi akan terdengar kokok ayam jantan 

yang terakhir kalinya menjelang fajar. 

Perlahan-lahan Widura itupun menyarungkan pedangnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh 

berbagai persoalan yang menekan. Ternyata tugasnya menjadi sangat berat dan berbahaya. 

Tidak saja Tohpati dan sisa-sisa laskar Jipang yang lain yang memusingkan kepalanya, namun 

Sidanti, bagian dari tubuh sendiri, itupun benar-benar hampir mencabut nyawanya. Berturut-

turut beterbanganlah angan-angannya atas pekerjaannya yang berat itu. Tohpati, Sidanti, Ki 

Tambak Wedi, Agung Sedayu, dan tak dapat diabaikan pula, usaha untuk menemukan Untara. 

Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam “Aku tidak dapat 

menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban itu. Meskipun tubuhku akan menjadi lumat 

karenanya.” 

Perlahan-lahan Widura itupun melangkahkan kakinya. Tiba-tiba saja ia merasa muak untuk 

berjalan bersama-sama dengan Sidanti . Karena itu dibiarkannya anak muda itu berjalan dahulu. 

Dan kini iapun berjalan meninggalkan tegal yang sepi, sesepi taman pekuburan. Ketika sekali ia 

menoleh, dilihatnya pohon jambu mete itu seperti hantu raksasa yang mengembangkan tangan-

tangannya yang banyak sekali jumlahnya untuk menyergapnya. Namun Widura bukan seorang 

penakut. Karena itu ia sama sekali tidak menjadi ngeri melihatnya. Dan ia masih tetap berjalan 

perlahan-lahan sambil menghirup udara malam yang segar. 

Meskipun tubuhnya menjadi bertambah segar, namun hatinya tidak dapat menjadi sesegar 

tubuhnya. Berbagai-bagai persoalan, satu demi satu membelit dihatinya. Dan ia tidak 

mempunyai seorang kawanpun yang dapat diajaknya untuk membicarakan kelusitan-

kesulitannya. Ki Demang Sangkal Putung pun tidak. Sebab dengan demikian demang Sangkal 

Putung itu akan mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda arah penelaahannya. 

Hudaya, Citra Gati dan orang lainpun pasti akan menuruti perasaannya saja, tanpa 

mempertimbangkan dengan pikiran, serta tanpa memandang kepentingan yang lebih besar dan 

jauh. Karena itu pikiran Widura itupun menjadi suram. Namun betapapun juga, dicobanya untuk 

mengatasi kesulitan itu dengan sebaik-baiknya. 

Ketika Widura telah keluar dari daerah pategalan itu, tiba-tiba saja ia membelok kekiri. Ia 

terkejut sendiri atas langkahnya “Hem” gumamnya “Akan kemanakah aku ini?” Tetapi ia 

meneruskan langkahnya. Tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk pergi ke gunung Gowok. Ia 

tidak menyadari sepenuhnya, apakah kepergiannya itu akan bermanfaat baginya. Namun, 

karena pikiran yang suram itu, inginlah ia berbuat sesuatu. Kiai Gringsing yang hampir setiap 

malam ditemuinya di gunung Gowok, kemudian ternyata mendapat tempat tersendiri didalam 

hatinya. Orang yang berbuat dan berbicara seenaknya, seakan-akan hidup ini hanyalah sebuah 

permainan yang menyenangkan saja. 

“Apakah aku dapat berbicara dengan orang itu?” gumamnya. Tetapi kemudian iapun sadar,


bahwa ia pasti akan menjadi kecewa karenanya. Orang bertopeng itu pasti akan 

mentertawakannya, ,dan menyuruhnya supaya membicarakan dengan orang yang disebutnya 

gurunya, Sedayu. Karena itu pulalah Widura itu sering mengumpat didalam hati. Namun kali ini 

ia benar-benar ingin menemuinya. 

Tetapi Widura itu menjadi ragu-ragu. Apakah Kiai Gringsing masih berada disana? Hampir 

setiap malam ia datang bersama Sedayu, tetapi sebelum tengah malam. Dan kali ini tengah 

malam itu telah jauh lampau. Meskipun demikian Widura itu berjalan terus. 

Diperjalanan itu, kadang-kadang pikirannya diganggu juga oleh suara lecutan yang dahsyat 

yang telah menyelamatkannya. Bahkan kemudian timbul juga berbagai pertanyaan didalam 

dirinya, siapakah orang yang telah berbuat itu? Apakah ada orang aneh lagi selain Kiai 

Gringsing? Apakah mungkin Kiai Gringsing pula yang melakukannya? 

Widura menjadi ragu-ragu. Ia mengagumi kesaktian Kiai Gringsing, namun apakah orang itu 

mampu menggetarkan dadanya dengan suara lecutan itu, dan memaksa Ki Tambak Wedi 

merubah rencananya? 

Gunung Gowok itu kini sudah tidak jauh lagi berada dihadapannya. Dalam keremangan malam, 

telah dilihatnya pohon kelapa sawit tegak diatas puntuk kecil itu. Namun sebelum ia meloncati 

parit dan berjalan diatas pematang, tiba-tiba Widura itu terkejut bukan kepalang, sehingga ia 

terlonjak karenanya. Dekat dibelakangnya, didengarnya sebuah letusan yang dahsyat, yang 

hampir saja menggugurkan isi dadanya. 

Secepat-cepatnya Widura berusaha untuk memutar tubuhnya. Dan dengan gerak naluriah 

tangannya meraba hulu pedangnya. Namun tenaganya yang memang belum pulih itu, seakan-

akan tidak mampu untuk melakukan sesuatu. Apalagi getaran didalam dadanya masih terasa 

memukul-mukul tak henti-hentinya. 

Namun Widura tak melihat seorangpun. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia memusatkan 

kekuatan batinnya melawan getaran-getaran yang masih saja melanda jantungnya. Sehingga 

lambat laun ia berhasil pula menenangkan dirinya. 

Tetapi ia masih belum melihat seorangpun disekitarnya. Karena itu Widura menjadi gelisah. 

Tangan kanannya masih melekat dihulu oedangnya. Dan bahkan setelah getaran-getaran 

didialam dadanya mereda, Widura itupun telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan 

yang bakal terjadi, meskipun ia sadar, bahwa tenaganya masih belum separo pulih kembali. 

Tetapi sekali lagi Widura terkejut. Bukan oleh suara lecutan yang dahsyat. Tetapi kali ini 

terdengarlah suara tertawa. Suara yang bernada tinggi dan nyaring. 

Dengan serta-merta Widura itupun berpaling. Hampir ia mengumpat ketika dilihatnya seseorang 

duduk diatas pematang diantara batang-batang padi muda. Dan Widura itupun segera 

mengenalnya. Orang itulah yang dicarinya, Kiai Gringsing. 

“Ah” desis Widura. “Kiai benar-benar mengejutkan aku” 

“Oh” sahut Kiai Gringsing “Maafkan aku. Aku kira kau senang mendengar lecutan-lecutan itu. 

Coba Widura apakah kau bisa berbuat seperti aku?” 

Sebelum Widura menjawab, Kiai Gringsing itu sudah berdiri dan diberikannya kepada Widura 

sebuah cambuk lembu yang sederhana. Bertangkai bambu cendani dan ujungnyapun 

dibuatnya dari anyaman bambu siladan pula. 

Dada Widura bergetar karena itu. Ternyata orang yang membunyikan lecutan-lecutan itu adalah 

Kiai Gringsing dengan cambuk bambu yang sangat sederhana pula. Karena itu, maka betapa 

kagumnya pemimpin laskar Pajang itu. Bahkan dengan serta-merta terloncatlah pertanyaannya 

“Jadi adakah Kiai tadi yang membunyikan cambuk itu berturut-turut tiga kali?” 

Kiai Gringsing itu tertawa. Jawabnya “Aku sedang bermain-main” 

“Tetapi perbuatan Kiai itu ternyata telah menolong jiwaku” sahut Widura. 

“He” Kiai Gringsing terkejut. Katanya “Bagaimana itu terjadi. Apa hubungannya bunyi lecutan itu 

dengan jiwamu?” 

Widura telah mengenal Kiai Gringsing beberapa lama. Karena itu maka iapun telah dapat 

mengerti seba sedikit tentang sifat orang bertopeng itu. Maka jawabnya “Suara lecutan itu telah 

menakut-nakuti orang yang akan membunuhku” 

“Kau akan dibunuh orang?” bertanya Kiai Gringsing itu

Widura kini benar-benar mengumpat didalam hati. Ia tahu benar bahwa Kiai Gringsing telah 

berbuat dengan sadar untuk menolongnya. Namun terpaksa ia menjawab pula “Ya Kiai” 

“Apakah persoalannya, sehingga seseorang berbuat demikian jahatnya?” orang bertopeng itu 

bertanya 

Widura menjadi ragu-ragu sejenak. Ingin ia mengutarakan semua persoalan-persoalan yang 

menyumbat dadanya, namun setelah ia bertemu dengan orang aneh itu, ia menjadi ragu-ragu. 

Karena itu ia ingin menjajaginya, apakah pintu terbuka baginya untuk menyatakan kesulitan-

kesulitannya. “Kiai” katanya “Aku ternyata mempunyai banyak persoalan-persoalan disini. 

Persoalan didalam lingkungan sendiri dan persoalan yang aku hadapi atas sisa-sisa laskar 

Jipang” 

Widura benar-benar menjadi kecewa ketika tiba-tiba Kiai Gringsing itu tertawa. Katanya “Kau 

benar bodoh Widura. Bukankah di Sangkal Putung ada gurumu. Nah katakan kepadanya 

kesulitan-kesulitanmu itu. Jangan kau katakan kepadaku” 

“Tetapi bukankah Kiai bertanya?” potong Widura. 

“Marilah kita tidak mempersoalkan lagi tentang hal-hal yang mengerikan. Aku takut mendengar 

perkara-perkara pembunuhan. Sekarang coba, apakah kau dapat membunyikan cambuk itu” 

Sekali lagi Widura menarik nafas panjang. Panjang sekali. Ditatapnya wajah yang bersembunyi 

dibalik topeng itu. Namun yang tampak baginya tidak lebih dari wajah mayat dari kayu yang 

menyelubungi wajah Kiai Gringsing itu. 

Widura mengangkat alisnya ketika iapun mendengar orang bertopeng itu menarik nafas dalam-

dalam. Namun hanya sesaat. Yang kemudian terdengar adalah kata-kata orang bertopeng itu 

pula “Nah, cobalah” 

Widura tidak dapat berbuat lain daripada mencoba membunyikan cambuk itu. Dengan satu 

gerakan menyentak sendal pancing ia mencobanya. Dan terdengarlah sebuah lecutan yang 

keras, namun hanya sekeras para penggembala membunyikan pecut-pecut mereka. 

“Ternyata kau tidak sepandai aku” berkata Kiai Gringsing “Berikan cambuk itu” mintanya. 

Dengan hati yang kosong Widura menyerahkan cambuk bambu itu. Dan tiba-tiba sekali lagi 

menggeletar suara cambuk yang dahsyat. Dan sekali lagi getaran yang dahsyat pula 

menghantam dada Widura. Untunglah ia segera berhasil memusatkan kekuatan batinnya, 

sehingga dadanya tidak meledak karenanya. Dengan penuh ketekunan Widura kemudian 

mencoba menenangkan hatinya. Mencoba meredakan getaran-getaran yang menghentak-

hentak jantungnya. 

Ketika ia hampir berhasil terdengarlah suara Kiai Gringsing tertawa. Katanya “Jangan marah 

Widura. Aku hanya bermain-main. Agaknya kau terkejut karenanya”. 

Widura yang menjadi jengkel itu tiba-tiba teringat pada besi yang dibawanya. Besi yang hampir 

menjadi sebuah lingkaran. Karena itu tiba-tiba ia berkata “Kiai, aku juga mempunyai permainan. 

Apakah Kiai pernah bermain-main dengan lingkaran ini?” 

Suara tertawa Kiai Gringsing itupun terputus. Diperhatikannya potongan besi ditangan Widura 

itu dengan seksama. 

Dilihatnya sepotong besi yang melengkung, sehingga kedua ujung dan pangkalnya hampir 

bertemu. 

“Permainan apakah ini?” bertanya Kiai Gringsing. 

Widura kemudian memberikan potongan besi itu kepada Kiai Gringsing sambil berkata 

“Permainan yang dibawa oleh Ki Tambak Wedi” 

Kiai Gringsing menerima sepotong besi itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Kemudian ia bertanya “Permainan aneh. Bagaimanakah Ki Tambak Wedi itu bermain? 

Dilemparkan atau diguling-gulingkan?” 

Sekali lagi Widura mengumpat didalam hati. Namun Widura pun menyadari, bahwa ada 

sesuatu yang tersembunyi dibalik sikap Kiai Gringsing yang dibuat-buat itu. Meskipun demikian, 

ia menjawab “Tidakkah Kiai pernah bermain-main dengan benda-benda yang demikian? Aku 

sangka orang-orang tua suka bermain-main dengan potongan-potongan besi demikian seperti 

Ki Tambak Wedi. aku sendiri tidak tahu, apakah yang menyenangkan Ki Tambak Wedi namun


ia membuat lingkaran-lingkaran semacam itu” 

Kiai Gringsing itupun menggeleng. Jawabnya “Aku tidak pernah bermain-main dengan benda-

benda semacam itu. Inilah” 

Sekali lagi Widura menjadi kecewa. Ia ingin mengatakan kepada Kiai Gringsing bahwa 

kekuatan Ki Tambak Wedi itu telah berhasil melengkungkan besi itu. Namun sebelum ia berkata 

apaun, dilihatnya Kiai Gringsing melemparkan besi itu kearahnya sambil berkata “Terimalah” 

Dengan gerak naluriah Widura melangkah kesamping. Potongan besi itu tepat mengarah 

kemata kakinya. Karena itu ia harus menghindarinya. Namun ketika kemudian ditatapnya 

potongan besi yang kini tergeletak disampingnya, kembali dadanya bergoncang dahsyat sekali. 

Ia menjadi lebih terkejut lagi dari pada saat ia melihat besi melengkung itu dilemparkan dibawah 

kakinya, oleh Ki Tambak Wedi. dengan dada yang bergolak, tanpa sesadarnya Widura 

memungut potongan besi itu. Dan dengan tangan gemetar ia memeganginya. Namun potongan 

besi itu kini telah lurus kembali. “Alangkah dahsyatnya!” katanya didalam hati. “Meluruskan 

potongan besi ini dengan tangan jauh lebih sulit daripada melengkungkannya. Tetapi orang 

bertopeng itu telah melakukannya” 

Sebelum getaran didalam dadanya itu mereda, terdengarlah Kiai Gringsing itu berkata “Nah 

Widura, kalau kau bertemu sekali lagi dengan Ki Tambak Wedi, tanyakanlah kepadanya. 

Apakah yang menarik hatinya untuk bermain-main dengan besi-besi semacam itu. Apakah besi-

besi semacam itu pulalah yang dipakainya sebagai gelang ditangan atau kakinya? Aku sendiri 

tidak senang bergelang dan berbinggel dikaki. Apakah bergelang akar atau besi sekalipun” 

Kini Widura telah berhasil menenangkan dirinya dari ketakjubannya. Meskipun demikian, 

kekagumannya kepada orang bertopeng itu menjadi bertambah-tambah. Katanya “Kiai, ternyata 

Kiai lebih pandai bermain dengan potongan-potongan besi daripada Ki Tambak Wedi” 

“He?” orang bertopeng itu terkejut “Apakah aku bermain-main dengan besi itu?” 

“Kiai telah berhasil meluruskannya “sahut Widura. “Aku menjadi takjub ketika aku melihat Ki 

Tambak Wedi dengan tangannya berhasil melengkungkan potongan besi itu. Aku kagum akan 

kekuatan yang tersimpan didalam tangannya. Tetapi kini, ternyata Kiai dapat pula berbuat 

demikian. bahkan lebih mentakjubkan lagi. Bukankah meluruskan besi itu lebih sulit dari 

melengkungkannya?” 

Terdengarlah kemudian Kiai Gringsing itu tertawa terkekeh-kekeh. Diantara derai tawanya itu 

terdengar ia berkata “Kau memuji aku Widura. Aku menjadi senang sekali karenanya. Apakah 

kau sudah kawin?” 

Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya. Karena itu Widura menjadi bingung, sehingga Kiai 

Gringsing itu mendesaknya “He Widura, apakah kau sudah kawin?” 

“Sudah Kiai” jawab Widura. 

“Sudah punya anak?” 

“Sudah Kiai, seorang” 

“Sayang” berkata orang bertopeng itu masih dalam derai tertawanya “Kalau belum, kau akan 

aku ambil untuk menantu meskipun aku tidak punya anak perempuan” 

Kembali Widura menarik nafas dalam-dalam sambil mengumpat didalam hati. Namun ia 

berdiam diri. Dibiarkannya Kiai Gringsing berkata sekehendak hatinya. Namun ia masih 

dicengkam oleh kekaguman pada orang itu. Orang yang dengan suara lecutan yang dahsyat 

telah memperpanjang umurnya, dan dengan kedua tangannya, tanpa dilihatnya telah berhasil 

meluruskan besi yang melengkung itu. “Kalau demikian” katanya dalam hati, “Apakah dugaan 

Ki Tambak Wedi tidak keliru? Ki Tambak Wedi menanggap bahwa tidak ada orang sakti selain 

dirinya didaerah ini. Bagaimanakah dengan orang bertopeng ini? Orang yang namanya sama 

sekali tak dikenal selain olehku dan Agung Sedayu” 

Tetapi Widura kemudian terkejut ketika dikejauhan terdengar suara ayam jantan berkokok 

bersahut-sahutan. Ketika ia memandang ketimur, membayanglah warna-warna semburat 

merah diatas garis cakrawala. 

“Hampir fajar” desisnya. 

Kiai Gringsing itupun menengadahkan wajahnya. kemudian katanya “Ya, hampir fajar. Aku 

harus segera kembali sebelum terang tanah. Orang akan menyangka aku sebagai penari


topeng yang kesiangan” 

“Kenapa Kiai pakai topeng?” tiba-tiba saja terluncur pertanyaan itu dari mulut Widura. 

Kiai Gringsing tiba-tiba terpaku pula ditempatnya. Diawasinya wajah Widura dengan tajamnya. 

Namun tanpa menjawab pertanyaan itu, Kiai Gringsing melangkah meninggalkan Widura 

seorang diri. 

Widura mengawasi langkah Kiai Gringsing dengan hati yang berdebar-debar. Tiba-tiba saja 

keinginannya untuk mengetahui siapakah sebenarnya orang bertopeng itu melonjak-lonjak 

didalam dadanya. Sehingga tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak “Kiai, berhentilah” 

Kiai Gringsing itupun berhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya Widura meloncati parit dan berlari 

kearahnya “Aku ingin tahu, siapakah Kiai sebenarnya” 

“Jangan” jawab Kiai Gringsing. “Kelak akan sampai saatnya, kau tahu siapakah aku, sekarang 

belum” 

“Tidak” jawab Widura. “Aku ingin tahu sekarang” 

“Jangan” berkata Kiai Gringsing seperti orang yang ketakutan. Ketika ia melihat Widura menjadi 

semakin dekat, tiba-tiba Kiai Gringsing itupun berlari pula, sambil berkata “Jangan Widura. 

Kenapa kau masih saja akan menangkap aku?” 

Namun Widura tidak memperdulikannya. Bahkan ia semakin mempercepat larinya. Ia benar-

benar berusaha untuk dapat menangkap Kiai Gringsing. 

Demikianlah maka mereka berdua berlari berkejar-kejaran. Kiai Gringsing itu berlari-lari 

disepanjang pematang, melingkari gunung Gowok dan berputar-putar. Meskipun demikian, 

Widura belum berhasil menangkapnya. Bahkan jarak mereka semakin lama menjadi semakin 

jauh. 

Akhirnya, Widura itupun tertegun sendiri. Kiai Gringsing itu seakan-akan lenyap begitu saja, 

seperti asap dihembus angin. Widura yang terengah-engah itu berdiri tegak seperti patung 

diatas pematang yang basah. Ketika kemudian disapukannya pandangan matanya berkeliling, 

dilihatnya dikejauhan, Kiai Gringsing melambaikan cambuknya. Hanya lamat-lamat terdengar 

suaranya “Besok kita bermain-main lagi digunung kecil itu Widura” 

Widura menarik nafas. Tiba-tiba saja ia menjadi geli sendiri atas kelakuannya. Bahkan ia 

menjadi malu pula. Gumamnya “Gila. Apakah aku telah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu 

pula? Untunglah tak seorangpun yang melihatnya” 

Widura yang kemudian menyadari keadaannya itu, kini melangkah diatas pematang menuju 

jalan kembali kekademangan Sangkal Putung. Kadang-kadang ia tersenyum sendiri. Dan 

berkali-kali iam merasa, bahwa hampir-hampir saja ia kejangkitan penyakit Kiai Gringsing yang 

aneh itu. 

Widura itupun kemudian mempercepat langkahnya. Ia tidak mau kesiangan sampai 

dikademangan. 

Warna-warna merah diujung timur semakin lama menjadi semakin tegas. Ketika Widura 

menjadi semakin dekat dengan induk desa Sangkal Putung, semakin riuhlah suara kokok ayam 

jantan yang seakan-akan menyambutnya. Namun Sangkal Putung tampaknya masih lelap 

dibalik kabut malam yang seakan-akan awan yang keabu-abuan menyelimuti raksasa yang 

kedinginan. 

Widura itupun mempercepat langkahnya. Ia masih harus sembahyang subuh, sebelum 

melakukan pekerjaannya yang lain. Karena itu, ia harus sampai dikademangan sebelum hari 

menjadi terang. 

Ketika Widura itu hampir sampai diregol halaman kademangan, ia menjadi terkejut. Dalam 

keremangan embun menjelang fajar, dilihatnya beberapa orang bergerombol dimuka regol itu, 

lebih banyak dari yang seharusnya. 

Dan Widura menjadi berdebar-debar pula, ketika tiba-tiba ia mendengar salah seorang yang 

melihatnya berteriak “Itulah Ki Widura telah datang” 

Widura itupun berjalan semakin cepat pula. Dimuka regol itu dilihatnya Hudaya, Citra Gati, 

Sonya, Sendawa dan beberapa orang lainnya. Hampir semua dari mereka itu, memegang 

senjata mereka masing-masing. 

“Apa yang terjadi?” bertanya Widura serta-merta.


Citra Gati ituppun kemudian melangkah maju. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menjawab 

“Ternyata kami hanya berprasangka” 

“Tentang apa” bertanya Widura pula. 

Citra Gati berpaling kearah Hudaya. Seakan-akan ia minta pertimbangan sahabatnya itu. 

Namun Hudaya segera memalingkan wajah kearah lain. 

Tampaklah mulut Citra Gati berkumat kamit mengumpati Hudaya. Namun yang kemudian 

dikatakannya adalah “Kami berprasangka atas Sidanti “ 

“Kenapa dengan Sidanti?” bertanya Widura pula 

Sekali lagi Citra Gati berpaling kearah Hudaya, namun Hudaya masih memandang ke bintang-

bintang yang masih bergemerlapan dilangit. Karena itu ia menjawab sendiri “Kami mengetahui 

bahwa kakang pergi bersama Sidanti, namun kemudian Sidanti itu kembali seorang diri. Ketika 

ada diantara kami yang menanyakan kepadanya, ia menjawab namun sangat meragukan kami” 

Widura itupun menarik nafas dalam-dalam. Dadanya benar-benar berguncang mendengar kata-

kata Citra Gati. Ia menjadi berbangga bahwa anak buahnya itu demikian setia kepadanya. 

Namun ia melihat bahaya yang besar pula yang ada diantara mereka. Bahaya yang setiap saat 

dapat meledak. Ternyata kawan-kawan Sidanti sudah demikian muaknya kepada anak muda 

yang sombong itu, sehingga setiap kesempatan, benturan-benturan diantara mereka agaknya 

sulit untuk dihindarkan. Namun betapapun juga Widura harus memperhitungkan kekuatan 

dibelakang Sidanti. Ki Tambak Wedi. Kalau sampau terjadi sesuatu atas muridnya itu, maka 

tidak mustahil Ki Tambak Wedi akan melakukan pembalasan dendam yang mengerikan. 

Bahkan tidak mustahil bahwa Ki Tambak Wedi dapat meminjam tangan Tohpati untuk 

melakukannya. Kalau Ki Tambak Wedi kehilangan Sidanti, maka Tohpati dapat diambilnya 

menjadi gantinya. Dan keadaannya akan menjadi semakin kalut. Karena itu, selagi ia belum 

menemukan cara penyelesaian yang sebaik-baiknya, maka ia harus menghindarkan setiap 

bentrokan yang mungkin terjadi. 

Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang kawan-kawannya itu masih berdiri diseputar Widura. 

Sehingga dengan demikian Widura itu terpaksa membubarkannya “Nah, kembalilah kalian 

ketempat kalian masing-masing. Kalian jangan terlalu berprasangka kepada seseorang. 

Untunglah belum terjadi sesuatu atas kalian. Ternyata aku sekarang aku kembali utuh”. Namun 

didalam hatinya Widura itu berkata “Hampir saja aku tidak kembali. Kalau terjadi demikian, 

maka apakah kira-kira yang dapat timbul dikademangan ini? Apakah anak-anak ini percaya 

bahwa aku terbunuh oleh Tohpati? 

Tetapi Widura itu tidak berkata apa-apa lagi. Ia langsung berjalan menyibak orang-orang yang 

berdiri dimuka regol itu masuk kepringgitan. 

Demikian ia membuka pintu pringgitan, ia melihat Agung Sedayu masih duduk terpekur. Anak 

muda itu terkejut ketika mendengar pintu bergerit, dan ketika berpaling, dan dilihatnya 

pamannya kembali, tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu itu 

menarik nafas dalam-dalam. 

Widura itupun segera pergi kepembaringannya, melepaskan ikat pinggangnya dan meletakkan 

pedangnya. 

“Apakah kau sudah bersembahyang?” terdengar ia bertanya. 

“Sudah paman” jawab Agung Sedayu. 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa berkata sepatahpun ia melangkah keluar 

kembali, pergi ke perigi. Ketika sekali lagi ia menengadahkan wajahnya kelangit, terdengar ia 

bergumam “Hampir fajar” 

Baru setelah Widura itu selesai bersembahyang, maka iapun segera duduk pula bersama-sama 

Sedayu. Widura itu menggigit bibirnya ketika dilihatnya Sekar Mirah membawa minuman hangat 

untuk mereka. Bukanlah kebiasaannya uantuk menyuguhkan makan dan minum itu dahulu. 

Tetapi sejak Agung Sedayu berada di kademangan itu, pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh 

pembantu-pembantunya, kini telah diambil alih olehnya. 

“Marilah paman” katanya “Mumpung masih hangat” 

“Terima kasih Mirah” sahut Widura. 

“Apakah kakang Sedayu tidak ingin berjalan-jalan?” terdengar gadis itu bertanya pula kepada



Agung Sedayu. 

Agung Sedayu menggeleng lemah. Jawabnya singkat “Tidak, Mirah” 

“Ah, hari cerah. Apakah kakang dapat mengantarkan aku kewarung sebentar?” ajak gadis itu. 

Sekali lagi Sedayu menggeleng.meskipun sebenarnya ingin juga ia pergi, namun ia tidak berani 

melakukannya. Karena itu jawabnya “Tidak Mirah. Aku sedang sibuk disini” 

Sekar Mirah menjadi kecewa. Ditatapnya wadah Widura seakan-akan ia minta ijin untuk Sedayu. 

Namun Widura itu menundukkan wajahnya, merenungi air jahe panas dihadapannya. Meskipun 

demikian Sekar Mirah itu masih mencoba memaksanya, katanya “Aku harus berbelanja untuk 

kalian, namun aku takut seandainya aku bertemu dengan Sidanti dijalan” 

Widura kini mengangkat wajahnya. Dilihatnya Agung Sedayu menjadi bingung untuk menjawab 

pertanyaan Sekar Mirah itu. Maka Widura itupun berkata “Mirah, jangan takut kepada Sidanti. 

Anak itu bukanlah anak yang jahat. Namun kadang-kadang ia menjadi kecewa karena sikap 

Sedayu. Nah, pergilah tanpa Sedayu. Aku menjadi jaminan, bahwa tak akan terjadi sesuatu. 

Apabila kau pergi bersama Sedayu, maka anak muda itu akan bertambah kecewa, dan ia akan 

dapat berbuat aneh-aneh di Sangkal Putung ini.” 

Wajah Sekar Mirah itu menjadi merah. Betapa ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-

katanya Widura itu. Ternyata menurut penilaiannya, Widura berpihak kepada Sidanti. “Aneh” 

katanya dalam hati. “Bukankah Sedayu itu kemenakannya sendiri?” Meskipun demikian ia tidak 

berkata apapun lagi. Ketika sekali ia memandang wajah Sedayu, dilihatnya wajah itu menunduk 

dalam-dalam. “Anak muda itu menjadi kecewa pula” pikir gadis itu. 

Perlahan-lahan Sekar Mirah pergi meninggalkan pringgitan. Sekali-sekali ia berpaling. Namun 

baik Widura maupun Agung Sedayu tidak lagi memandanginya. Meskipun demikian, Sekar 

Mirah itu masih dapat menghibur dirinya “Sedayu tidak marah kepadaku” katanya dalam hati. 

“Ia hanya takut kepada pamannya” 

Pagi itu, Sekar Mirah pergi kewarung seorang diri. Sebenarnya iapun sama sekali tidak takut 

seandainya Sidanti berbuat sesuatu atasnya. Apalagi hari telah berangsur terang, dan 

disepanjang jalan telah menjadi riuh oleh orang-orang yang pergi datang kewarung diujung 

desa. 

Widura dan Agung Sedayu yang duduk dipringgitan itu terkejut ketika mereka mendengar gerit 

pintu terbuka. Mereka menggeser duduk mereka, ketika dari pintu itu muncul Ki Demang 

Sangkal Putung. Wajahnya yang sudah mulai ditumbuhi oleh garis-garis umur itu tampak 

tersenyum. sambil duduk disamping Widura terdengar ia berkata “Hampir semalam suntuk adi 

berkeliling malam ini” 

Widura tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya “Ya kakang” 

“Bukankah tidak ada sesuatu yang mencurigakan?” bertanya ki Demang itu pula. 

Widura menggeleng “Tidak kakang” 

Ki Demang Sangkal Putung itupun kini mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya 

“Anak-anak sudah siap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan yang dapat menarik hati 

mereka dan menghilangkan kejemuan. Apakah anak-anak adi Widura berminat pula?” 

“Ya” sahut Widura “Aku senang dengan rencana itu” 

“Kita dapat segera menyelenggarakannya” berkata Ki Demang itu pula. 

Widura itupun tiba-tiba termenung. Apakah perlombaan-perlombaan itu akan dapat 

menggembirakan anak buahnya dalam keadaan seperti kini. Ia pasti bahwa perlombaan 

apapun Sidantilah yang akan memenangkannya. Namun akhirnya ia menjawab “Baiklah 

kakang, meskipun kami semuanya sudah tahu, siapakah yang akan menjadi pemenangnya. 

Namun akan menyenangkan pula bagi mereka yang akan menjadi pemenang kedua, ketiga 

dan seterusnya” 

Mendengar keputusan Widura itu, Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu 

pasti akan menyenangkan anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan-perlombaan yang 

demikian akan menghilangkan kejemuan, dan mereka merasa bahwa dengan perlombaan-

perlombaan itu, mereka mendapatkan beberapa kebanggaan. 

“Kapan perlombaan itu akan kita adakan?” bertanya ki Demang. 

Widura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terngiang ditelinganya kata-katanya Ki Tambak Wedi


bahwa waktu yang diberikan kepadanya hanyalah sepasar. Karena itu, maka apapun yang 

akan dilakukan harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan ancaman itu. 

Widura percaya bahwa orang semacam Ki Tambak Wedi itu pasti akan mampu melakukan apa 

saja yang dikatakannya. 

Karena itu maka katanya “Adakah anak-anak Sangkal Putung telah bersiap untuk melakukan 

perlombaan ini?” 

“Sudah lama mereka mempersiapkan diri“ jawab Ki Demang. “Mereka telah berlatih 

menggunakan panah, tombak dan bermacam-macam alat untuk berlomba. Sodoran diatas 

kuda dan bermacam-macam lagi” 

“Bagus” sahut Widura. namun kemudian terlintas didalam angan-angannya setiap sikap dan 

prasangka pada anak buahnya. Apakah perlombaan-perlombaan yang demikian tidak akan 

menimbulkan persoalan baru? Pedang, tombak dan semacam itu akan sangat berbahaya bagi 

anak buahnya yang sedang dibakar oleh ketidak puasan atas sikap satu dengan yang lain. 

Karena itu, maka kemudian jawabnya ”Kakang. Kita memilih segi-segi yang paling tidak 

berbahaya dalam perlombaan ini. Terutama bagi anak buahku sendiri. Mereka adalah prajurit-

prajurit yang telah mengalami pertempuran, sebenarnya pertempuran, beberapa puluh kali. 

Karena itu perlombaan-perlombaan dengan pedang dan tombak tidak akan menyenangkan 

mereka. Sekali pedang dan tombak mereka terayun, maka tujuan mereka adalah melepaskan 

nyawa lawan-lawan mereka. Sehingga dengan demikian pedang-pedang rotan dan tombak 

yang berujung bola hanya akan menimbulkan kekecewaan saja. Meskipun demikian, biarlah 

mereka diberi kesempatan untuk bermain-main. Yang paling baik adalah lomba 

mempergunakan panah. Sedang bagi anak-anak Sangkal Putung biarlah mereka mendapat 

kesempatan untuk mempergunakan segala macam senjata” 

Ki Demang Sangkal Putung itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak 

langsung menangani anak-anak Widura, namun terasa pula olehnya, sikap-sikap yang amat 

menyulitkan bagi Widura untuk mengatasinya. Karena itu maka jawabnya “Baiklah adi. Aku 

sependapat. Jadi kapan kita adakan perlombaan ini?” 

Sekali lagi Widura merenung. Harus sebelum waktu yang sepasar itu tiba. Maka jawabnya 

“Secepatnya kakang” 

“Besok?” bertanya Ki Demang. 

“Apakah hal itu mungkin?” sahut Widura. 

“Mungkin sekali bagi anak-anak Sangkal Putung” jawab Ki Demang. “Tetapi bagaimana dengan 

anak buah adi?” 

“Anak buahku bersiap setiap saat” sahut Widura, “Jangankan perlombaan, bertempurpun siap” 

Ki Demang tersenyum mendengar jawaban Widura. katanya “Tentu. Hampir aku lupa, bahwa 

mereka adalah prajurit-prajurit” 

Widura pun kemudian tersenyum pula. 

Ketika kemudian Ki Demang itu keluar dari pringgitan, Swandaru telah berdiri tegak bertolak 

pinggang di pendapa. Terdengar ia tertawa riuh sambil berkata “He paman Hudaya, kenapa 

paman tidur disitu?” 

Hudaya yang terkantuk-kantuk bersandar pohon sawo terkejut mendengar sapa Swandaru. 

Kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepala seakan-akan hendak mengusir kantuknya ia 

menjawab “Hem, semalam aku hampir tidak tidur sekejappun” 

“Kenapa? Apa paman sedang bertugas?” 

Hudaya menggeleng “Tidak. Tetapi aku bermimpi buruk” 

Swandaru tertawa pula “Mimpi apa?” 

“Aku mimpi kau digigit anjing” jawab Hudaya. 

Sekali lagi Swandaru tertawa terkekeh-kekeh. Tubuhnya yang bulat itu terguncang-guncang. 

Beberapa orang yang mendengar suara tertawanya berpaling kearahnya. Ketika mereka 

melihat Swandaru, maka mereka tidak memperdulikannya lagi. Anak itu selalu saja tertawa, 

seakan-akan ia tidak mempunyai pekerjaan lain, selain tertawa. Tetapi sekali lagi orang-orang 

itu berpaling ketika suara Swandaru itu tiba-tiba saja terputus. Dan orang-orang itulah yang 

kemudian tertawa didalam hatinya. Menggelikan sekali. Swandaru itu tiba-tiba saja menjadi


tegang ketika melihat Sidanti lewat dimukanya. Namun Sidanti itu berpalingpun tidak. 

“Apa kerjamu disini Swandaru?” terdengar Ki Demang bertanya. 

Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan lantang ia menjawab seakan-akan sengaja supaya 

Sidanti mendengarnya “Apapun yang aku lakukan, bukankah aku berada dirumahku sendiri?” 

“Hus” bentak ayahnya. “Jangan ngelindur. Pergi ke kawan-kawanmu. Katakan, perlombaan 

diadakan besok ditanah lapang dimuka bajar desa” 

“He” Swandaru menjadi sangat gembira “Besok ayah?” 

“Ya” 

Swandaru itupun segera berlari menghambur. Langsung ia berlari kebanjar desa dimana 

kawan-kawannya sering berkumpul. 

Tetapi selain Swandaru, anak buah Widurapun mendengar kata-kata ki Demang itu. Mereka 

sudah mendengar pula sebelumnya bahwa akan diadakan perlombaan bagi mereka. Meskipun 

mereka senang juga menyelenggarakannya, namun mereka tidak segembira anak-anak muda 

Sangkal Putung itu. 

Sidantipun mendengar kabar itu. Disudut pendapa, ditempatnya, ia tersenyum. Katanya dalam 

hati “Hem, siapa yang akan mencoba melawan Sidanti? Dengan rotanpun aku akan mampu 

membunuh, setidak-tidaknya melumpuhkan orang-orang macam Hudaya, Citra Gati dan tikus-

tikus bodoh itu. Apalagi dengan tombak berujung bola. Atau barangkali anak muda yang 

bernama Agung Sedayu itu?” 

Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk. Seakan-akan di Sangkal Putung akan 

diselenggarakan suatu peralatan yang maha besar. Anak-anak muda berjalan hilir mudik 

simpang siur dengan tergesa-gesa. 

Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lagi terpaksa ikut sibuk dengan anak-anak muda itu. 

Mereka terpaksa memberi mereka beberapa petunjuk tentang penyelenggaraan perlombaan 

besok dimuka banjar kademangan. 

Diberinya anak-anak muda itu petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus membuat lingkaran-

lingkaran dengan kapur ditengah-tengah lapangan kecil itu. Bagaimana mereka membuat garis 

batas bagi sodoran yang akan diselenggarakan pula. 

Semuanya dibuat dengan tergesa-gesa. Namun justru karena itu anak-anak muda Sangkal 

Putung menjadi sangat gembira. Sehari-harian mereka bekerja tampa mengenal lelah. Apalagi 

mereka yang besok akan ikut bertanding. Tetapi justru karena itu pula beberapa anak buah 

Widura yang ditugaskan membantu penyelenggaraan itu mengumpat tak habis-habisnya. 

Mereka lebih senang bertempur daripada merentang-rentang tali dipanas yang terik, membuat 

pagar dan garis-garis batas, membuat orang-orangan untuk lomba memanah. Dan masih terlalu 

banyak yang harus mereka kerjakan. 

Namun betapa sibuknya mereka, Sidanti sama sekali tidak mau turun dari pendapa. Apalagi 

membantu mereka. Bahkan hampir sehari-harian ia berbaring. Kadang-kadang ia tersenyum-

senyum sendiri sambil bergumam “Alangkah bodohnya orang-orang itu. Mereka bekerja keras 

mempersiapkan arena. Besok akulah yang akan mendapat tepuk sorak dari penonton” 

Meskipun demikian, Sidanti menjadi agak kecewa pula. Setelah ia mendengar bahwa bagi 

mereka hanya diadakan satu macam perlombaan saja. Memanah. Yang lain tidak. 

“Biarlah” katanya dalam hati. “Akupun jemu pada permainan anak-anak itu. Tetapi memanah 

adalah permainan yang mengasyikkan” 

Demikianlah hari itu telah dilampaui oleh anak-anak Sangkal Putung dengan penuh kesibukan. 

Bahkan sampai pada malam harinyapun mereka hampir tidak dapat tidur. Mereka sibuk dengan 

berbagai persoalan didalam angan-angannya. Sedangkan mereka yang besok akan turun 

kearena, masih mencoba untk menambah ketrampilannya. 

Meskipun demikian, Widura tidak kehilangan kewaspadaan. Dibiarkannya anak-anak Sangkal 

Putung sibuk dengan persoalannya. Namun Widura tetap menempatkan orang-orangnya 

disegenap penjuru. Ia tidak mau dengan tiba-tiba ditelan begitu saja oleh laskar Tohpati. 

Karena itu, setiap saat ia tetap pada kesiapsiagaan yang sebenarnya. Bukan sekedar bersiap 

untuk mengadakan perlombaan-perlombaan semacam itu. Karena itu, maka malam itupun


Widura telah bersiap untk berkeliling kademangan. Kali ini ia tidak berjalan bersama Sidanti, 

tetapi kembali ia pergi dengan Agung Sedayu. 

Agung Sedayu tidak pernah mengetahui apa yang telah terjadi dengan pamannya. Dan ia tidak 

tahu pula, mengapa semalam pamannya membawa Sidanti serta, dan kini ia harus ikut pula 

kembali seperti malam-malam sebelumnya. 

Seperti biasanya, setelah mereka berkeliling disemua gardu-gardu perondan, maka mereka 

berdua pergi ketempat mereka berlatih, gunung Gowok. Disepanjang perjalanan itu, hampir tak 

ada yang mereka percakapkan. Widura tidak memberitahukan apa saya yang pernah terjadi, 

dan Sedayu tidak mau menyatakan pertanyaan-pertanyaan yang bergelut didalam dadanya. 

Namun kemudian, ketika mereka hampir sampai kepuntuk kecil itu, terdengar Widura berkata 

“Sedayu, apakah kau tidak ingin ikut serta berlomba?” 

Agung Sedayu tidak segera menjawab. terjadilah suatu kesibukan didalam dadanya. Ia merasa, 

bahwa iapun mampu untuk melepaskan panah hampir dalam keadaan yang tak mungkin 

dilakukan oleh orang lain. Namun, sekali lagi Sedayu terpaksa menggigit bibirnya. Ia belum 

berhasil melampaui dinding yan memagari jiwanya. Alangkah kerdilnya. Ia takut, kalau ia tidak 

dapat melakukan dengan pantas, sehingga orang-orang di Sangkal Putung akan kecewa 

terhadapnya. Ia takut bahwa orang-orang itu akhirnya mengetahui tentang dirinya. Bahwa ia 

tidak lebih dari seorang pengecut. Karena kebimbangan dan kecemasan yang bercampur baur 

didalam dadanya, Sedayu masih tetap berdiam diri. 

“Sedayu” akhirnya terdengar pamannya berkata “Aku telah mencegah dilakukannya 

perlombaan-perlombaan segala macam jenis. Aku mencoba untuk menghindarkan setiap 

persoalan yang akan mempertajam ketegangan dan prasangka diantara anak buahku. Selain 

itu, aku telah menghindarkan kemungkinan, bahwa orang-orang Sangkal Putung dan anak 

buahku mengharap suatu pertandingan yang dahsyat antara Sidanti dan adik Untara yang 

mereka bangga-banggakan.” Widura terdiam sesaat. Ketika ia berpaling, dilihatnya Agung 

Sedayu berjalan sambil menekurkan kepalanya. Kata-kata pamannya itu benar-benar telah 

menampar jantungnya. Kalau benar-benar terjadi, bagaimanakah sikap yang akan diambilnya. 

Apakah ia akan melawan Sidanti? Alangkah mengerikan. Sidanti adalah seorang anak muda 

yang perkasa, yang telah mampu melawan Tohpati meskipun tidak sempurna. Karena itu, 

meskipun dengan rotan sebesar ibu jari kaku, atau dengan tongkat berujung bola rotan, Sidanti 

itu akan dapat membunuhnya. Dan ia akan mati terkapar ditengah arena, diiringi dengan 

teriakan dan umpatan-umpatan penuh kekecewaan atas dirinya. 

Tiba-tiba bulu kuduk Sedayu berdiri. Dan tiba-tiba pula ia menjawab “aku tidak ikut dalam 

perlombaan apapun paman” 

Widuralah yang kini terdiam. Kalau Agung Sedayu itu sama sekali tidak turut, maka akan 

timbullah berbagai pertanyaan diantara anak buahnya. Karena itu ia berkata “Sedayu, 

bukankah kau masih pandai melepaskan panah?” 

Mendengar pertanyaan pamannya itu sekali lagi Agung Sedayu terdiam. Sehingga terdengar 

Widura mendesaknya “Sedayu, bukankah kau masih pandai memanah? Mungkin kau dapat 

ikut dalam perlombaan itu sehingga kau akan dapat memenangkannya” 

Berbagai persoalan kini saling mendesak didalam dada Agung Sedayu. Apakah sebenarnya 

yang ditakutinya dalam perlombaan memanah? Kalah atau menang, maka ia tak akan 

menderita sakit karenanya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu itu menjadi ngeri membayangkan 

akibat dari perlombaan itu. Kalau ia kalah, maka orang akan sangat kecewa kepadanya, namun 

apabila ia memenangkan perlombaan itu dan mengalahkan Sidanti, maka jangan-jangan anak 

muda yang perkasa itu mendendamnya. 

Karena itu akhirnya Agung Sedayu menjawab “Aku tidak ikut paman” 

“He” Widura menjadi semakin tidak mengerti. “Perlombaan memanahpun kau tidak berani?” 

“Aku sedang berpikir tentang akibatnya. Kalau aku menang atas Sidanti, maka jangan-jangan 

Sidanti menjadi semakin bersakit hati” jawab Sedayu. 

“Hem” terdengar Widura menggeram. Hampir ia tidak dapat menahan kejengkelannya. 

Seandainya ia tidak mengingat bahwa anak itu adalah anak kakaknya perempuan, maka 

Sedayu pasti sudah dipukulnya dan dipaksanya untuk berbuat sesuatu. Atau malahan sudah 

dipaksanya untuk bertempur melawan Sidanti. Atau anak itu telah lama diusirnya dari Sangkal 

Putung. Tetapi apa boleh buat. Namun anak itu benar-benar telah memusingkan kepalanya,


meskipun kali ini alasannya bisa juga dimengerti. 

Akhirnya mereka sampai juga digunung Gowok. Dengan penuh kejengkelan Widura membawa 

Agung Sedayu dalam satu latihan. Karena itu maka apa yang dilakukan Widura, hampir 

merupakan pertempuran yang sebenarnya. 

Tetapi alangkah bodohnya Sedayu. Ia tidak dapat mengerti hati pamannya, sehingga ia tidak 

menyangka bahwa pamannya kali ini ingin mencobanya, supaya sekali-sekali ia mengalami 

suatu keadaan seperti yang harus dialami oleh setiap laki-laki. Sedayu hanya menganggap 

bahwa pamannya telah menuntunnya dalam suatu tingkatan yang lebih maju dari yang biasa 

dilakukannya. Maka karena ia takut bahwa pamannya akan marah kepadanya, seandainya 

ilmunya tidak maju-maju juga, maka Agung Sedayu itupun kemudian mencoba melayani 

pamannya dengan sepenuh tenaga pula. 

Demikianlah maka Widura melepaskan kejengkelan hatinya pada latihan itu. Serangannya 

datang bertubi-tubi. Ia ingin melihat apa yang dilakukan Agung Sedayu, apabila tubuhnya 

benar-benar terkena oleh serangannya. 

Tetapi sekali lagi Widura itu mengumpat tak habis-habisnya didalam hatinya. Demikian ia 

memperketat serangannya, maka pertahanan Agung Sedayupun mejadi semakin rapat. Bahkan 

untuk menyenangkan hati pamannya, sekali-sekali Sedayu berhasil menyerangnya pula 

dengan serangan-serangan yang kadang-kadang membingungkannya. Dalam keadaan yang 

demikian itu, maka Agung Sedayupun telah memeras hampir segenap kemampuannya. 

Kemampuan yang pernah dipelajarinya dari kakaknya, dari ayahnya dan dari pamannya itu. 

Sebenarnyalah Agung Sedayu bukanlah seorang anak yang kerdil dalam ilmunya, seperti 

kekerdilan jiwanya. Semakin keras serangan-serangan yang dilancarkan oleh pamannya itu, 

semakin heranlah dada Widura dibuatnya. Betapa serasinya Agung Sedayu memadukan unsur-

unsur gerak yang diwarisi dari Ki Sadewa lewat kakaknya, lewat ayahnya itu sendiri atau lewat 

dirinya dengan unsur-unsur gerak yang pernah dilihatnya dan dihayatinya dalam latihan-latihan 

melawan Kiai Gringsing di gunung Gowok itu. 

“Aneh” berkata Widura didalam hatinya. “Kalau hati anak ini sebesar hati kakaknya, bukankah 

ilmunya tidak terpaut banyak dari ilmu yang aku miliki?” 

Namun Widura itu tidak berkata apapun. Dipercepatnya setiap geraknya dan bahkan kini 

Widura telah sampai kepada puncak ilmunya. Namun Sedayu itu masih melawannya dengan 

gigih. Bahkan kadang-kadang anak muda itu mampu melakukan hal-hal yang tak pernah 

dimengertinya sebelumnya. 

Selain dari geraknya yang cepat dan cekatan, ternyata tenaga Agung Sedayupun cukup kuat 

pula. Apabila sekali-sekali terjadi benturan diantaranya, maka terasa juga tubuh pamannya itu 

bergetar. Bahkan apabila serangan-serangan Widura itu berhasil mengenainya, maka Sedayu 

itupun hanya berdesis, namun kemudian seakan-akan anak muda itu tak merasakan sesuatu. 

Dan ia mampu untuk bergerak kembali dengan lincahnya, selincah burung seriti menangkap 

mangsanya diudara. 

Namun betapa Agung Sedayu berjuang mempertahankan dirinya, tetapi Widura memiliki 

pengalaman yang jauh lebih besar daripadanya. Sehingga lambat laun, terasa juga tekanan-

tekanan Widura menjadi semakin mendesak. Tangan Widura itu semakin lama menjadi 

semakin sering menyentuh tubuhnya. Meskipun tidak ditempat-tempat yang berbahaya, namun 

sentuhan-sentuhan itu terasa sakit-sakit juga. 

Widura melihat keadaan itu. Justru Karena itu ia memperkuat serangannya. Ia ingin tahu, batas 

tertinggi dari ilmu kemenakannya. 

Tiba-tiba latihan yang keras itupun terganggu. Dari atas puntuk kecil itu, Widura dan Agung 

Sedayu mendengar suara tertawa dengan nada yang tinggi. Segera mereka mengenal suara itu, 

suara Kiai Gringsing. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu tidak saja tertawa, tetapi ia kini 

bertepuk tangan sambil memuji “Bagus Sedayu, ternyata muridmu itu menjadi bertambah 

terampil juga akhirnya” 

Gerak Widura itupun kemudian terganggu. Karena itu maka kemudian ia melontar mundur 

sambil berkata “Sudahlah Sedayu, kita hentikan dahulu latihan ini” 

Mendengar kata-kata pamannya itu, Agung Sedayu menjadi bergembira. Sebenarnya telah 

agak lama ia menahan diri supaya ia tidak mengecewakan pamannya itu.



Dengan demikian latihan yang berlangsung dengan serunya itu terhenti. Dengan 

menganggukkan kepalanya Widura berkata kepada Kiai Gringsing “Selamat malam Kiai” 

“Kenapa latihan ini berhenti?” kata Kiai Gringsing tanpa menghiraukan sapa Widura. 

Widura menarik nafas. Jawabnya “Latihan ini telah berlangsung lama. Kami telah sama-sama 

lelah” 

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya “Syukurlah kalau kau selalu 

tekun dengan latihan-latihan itu Widura. Mudah-mudahan pada suatu saat kau dapat 

menandingi Topati” 

“Mudah-mudahan Kiai” sahut Widura. Tetapi Widura itu kemudian terkejut bukan buatan ketika 

Kiai Gringsing itu berkata “Ternyata Tohpati itu benar-benar seperti hantu. Baru saja aku 

melihat ia berjalan mendekat tikungan disebelah” 

“He” bertanya Widura tersentak “Adakah Kiai melihatnya ditikungan itu?” 

Kiai Gringsing mengangguk “Ya” jawabnya. “Ia berjalan bersama dua orang pengawalnya” 

“Jadi apakah mereka melihat kita berlatih disini?” bertanya Widura pula. 

“Aku kita tidak” sahut Kiai Gringsing “Kalau demikian barangkali kalian telah menjadi mayat 

dibawah gunung Gowok ini” 

“Hem” Widura menarik nafas dalam-dalam. “Setan itu benar-benar berbahaya’ 

Dalam pada itu Widura menjadi gelisah karenanya. Kedatangan Tohpati benar-benar 

berbahaya. Ia akan dapat mendatangi setiap gardu dan membunuh segenap isinya. Namun 

apabila demikian, maka pasti telah didengarnya tanda bahaya. Tetapi agaknya Tohpati itu 

hanya sekedar lewat, dan ingin mengetahui keadaan Sangkal Putung. Tiba-tiba ia menjadi 

berdebar-debar karenanya. Mungkin Tohpati telah mendengar tentang perlombaan yang akan 

diadakan besok “Gila” Widura mengumpat didalam hatinya. “Aku telah melakukan hal-hal yang 

aku sangka baik sekali. Aku hanya memberi waktu persiapan penyelenggaraan satu hari saja, 

supaya kabar ini tidak tersiar jauh. Namun agaknya hantu itu telah mendengarnya pula”. 

Kembali berbagai persoalan telah menyesakkan dada Widura. persoalan antara laskarnya 

dengan laskar Tohpati, persoalan antara orang-orangnya sendiri, persoalan Sidanti dan 

gurunya Ki Tambak Wedi, hubungan yang menyedihkan antara Sidanti dan Sedayu. Dan 

segala macam persoalan itu setiap kali memukul-mukul otaknya sehingga kepalanya itu akan 

pecah karenanya. Dan kini Tohpati itu telah siap untuk menerkamnya. 

Dalam kegelisahannya itu Widura hampir tak dapat menahan diri ketika ia mendengar Sedayu 

berkata dengan gemetar “Paman, marilah kita kembali kekademangan” 

“Kenapa?” bentak Widura. 

Ketika ia berpaling, ia melihat betapa sikap Agung Sedayu menjadi sangat gelisah. Tetapi 

Widura itu tahu benar, bahwa anak itu sama sekali tidak gelisah memikirkan Sangkal Putung 

seperti dirinya, namun anak itu menjadi gelisah karena ketakutan. Widura itu menjadi marah 

ketika ia mendengar Agung Sedayu berkata dengan jujur “Paman, apakah yang akan terjadi 

dengan kita kalau Macan Kepatihan itu nanti mengetahui kehadiran kita disini?” 

“Persetan dengan Macan Kepatihan” sahut Widura. Namun kata-kata Widura itu terputus oleh 

kata-kata Kiai Gringsing “Widura, jangan terlalu sombong. Gurumu itu tahu benar tingkatan 

ilmumu. Kau belum waktunya melawan Tohpati seorang lawan seorang, kalau kau tidak mau 

membunuh diri. Nasehatnya itu harus kau turut. Sikap berhati-hati itulah yang akan 

membawamu kejalan keselamatan” 

“Aku bukan pengecut” teriak Widura. “Aku akan berkeliling kademangan sekali lagi. Aku akan 

memeringatkan setiap gardu peronda, bahwa bahaya berada diujung hidung mereka” 

Dada Sedayu itu menjadi semakin bergetar. Pamannya akan mengadakan pengamatan sekali 

lagi atas gardu-gardu peronda. Bukankah dengan demikian kemungkinannya untuk bertemu 

dengan Tohpati itu semakin besar. Disudut-sudut desa, di prapatan-prapatan ditengah sawah, 

atau ditikungan-tikungan yang sepi. Namun ia melihat bahwa pamannya menjadi marah 

kepadanya. Karena itu betapa Agung Sedayu mengeluh didalam hatinya. 

Yang kemudian terdengar adalah kata-kata Kiai Gringsing sambil tertawa “He kau benar-benar 

berani Widura, seperti kau berani menentang maut melawan Ki Tambak Wedi” 

Tiba-tiba pandangan mata Widura itupun terbanting diatas rerumputan liar dibawah kakinya.


Teringatlah ia kepada pertolongan yang pernah diberikan oleh Kiai Gringsing malam kemarin. 

Kini orang yang menolongnya itu memeringatkannya, supaya ia tidak melawan Tohpati itu 

seorang lawan seorang. Karena itu ia menyesal atas kekasarannya. Maka katanya ke sambil 

menganggukkan kepalanya “Maafkan aku Kiai” 

“He” sahut Kiai Gringsing. “Kenapa kepadaku. Seharusnya kau minta maaf kepada gurumu itu” 

Sekali lagi Widura mengumpat didalam hatinya. Namun katanya “Ya ya. Aku akan minta maaf 

kepadanya” 

“Bagus” berkata Kiai Gringsing. “Kau harus selalu menuruti nasehat gurumu. Dirumah, gurumu 

pasti akan memberimu beberapa petunjuk, mungkin tentang persiapan Tohpati itu. Mungkin 

tentang hal yang lain. Namun adalah perlu kau dengar seandainya gurumu itu memerintahkan 

kepadamu untuk mempersiapkan diri. Seluruh pasukan. Bukan seorang Widura yang sombong. 

Serangan itu tidak terlalu lama akan terjadi. Tetapi Tohpati itu tak akan berbuat apa-apa malam 

ini. Nah, selamat malam. Aku tidak sempat bermain-main malam ini. Besok aku akan nonton 

perlombaan yang kau adakan” 

Dada Widura berdesir mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Namun ia tidak mendapat 

kesempatan lagi untuk menanyakan sesuatu. Karena Kiai Gringsing itu kemudian melangkah 

pergi dengan langkah seenaknya meninggalkan Widura dan Agung Sedayu yang terpaku 

ditempatnya. 

Tetapi, tergoreslah didalam jantungnya, peristiwa-peristiwa yang pasti akan menggoncangkan 

lagi kehidupan Sangkal Putung. Besok atau lusa Tohpati akan menyerangnya kembali. Apa 

yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu tidak lebih dan tidak kurang dari suatu peringatan 

kepadanya dan pemberitahuan tentang persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Tohpati. 

Namun ia tidak perlu mencemaskan hari besok. Kata-kata orang bertopeng itu, bahwa besok ia 

akan menonton perlombaan yang akan diadakannya, telah agak memberinya ketenangan, 

meskipun ia tidak dapat menggantungkan nasibnya kepada orang itu. Mudah-mudahn ia masih 

berhasil menghimpun kekuatan Sangkal Putung, yang setidak-tidaknya masih seperti pada saat 

perlawanannya dahulu ketika Tohpati menyerangnya. Mudah-mudahn tenaga Sidanti masih 

dapat dipergunakannya sebaik-baiknya. Tetapi bagaimana dengan besok lusa, tiga hari, empat 

hari dan lebih-lebih lima hari lagi? Bagaimanakah nasib Sangkal Putung apabila Tohpati 

menyerang tepat pada saat Ki Tambak Wedi memuntutnya? Widura menggeleng-gelengkan 

kepalanya ketika terlintas didalam benaknya, harapan bahwa Kiai Gringsing akan menolongnya 

kembali apabila Ki Tambak Wedi akan membunuhnya. “Tidak” katanya dalam hati. “Aku tidak 

akan memperhitungkan setiap pertolongan yang belum pasti akan datang. Aku harus 

memperhitungkan kekuatan sendiri” katanya pula. Bahkan kemudian timbullah didalam 

benaknya suatu pikiran untuk mengirimkan utusan ke Pajang. Keadaan Sangkal Putung benar-

benar gawat. Biarlah salah seorang perwira yang terpercaya akan datang untuk melawan 

Tohpati lebih-lebih Ki Tambak Wedi. “Hem” gumamnya “Apabila besok aku belum menemukan 

cara lain, biarlah seseorang mengharap kedatangan Ki Gede Pemanahan sendiri 

menyelesaikan persoalan Ki Tambak Wedi, atau bekas perwira nara manggala Demak, guru 

loring pasar.” 

Widura menarik nafas dalam-dalam. Itulah keputusannya untuk sementara. Ketika ia 

memandang wajah Sedayu, timbullah kembali kejengkelannya terhadap anak itu. Apabila anak 

itu memiliki keberanian, mereka berdua pasti akan dapat membunuh Tohpati meskipun dengan 

perjuangan yang berat. Sebab ilmu Tohpati itu sendiri tidak terpaut banyak diatas ilmunya. 

Namun Sedayu itu hanya pandai mengeluh, gemetar dan ia pasti akan mati ketakutan sebelum 

tangannya mampu menarik pedang dari sarungnya. 

Karena itu Widura tidak berkata sepatahpun kepada kemenakannya itu. Langsung ia memutar 

tubuhnya dan melangkah kembali kekademangan. 

Sedayupun kemudian cepat-cepat mengikutinya. Namun kini terasa olehnya bahwa pamannya 

itu benar-benar marah kepadanya. Karena itu maka Sedayupun benar-benar menjadi bersedih 

hati. Ia tidak berani berkata apapun kepada pamannya selain berjalan saja dibelakangnya. 

Disepanjang jalan itu Widura sempat juga memikirkan kemenakannya itu. Bagaimana caranya, 

sehingga ia dapat menguasai berbagai unsur gerak dan dapat menyusunnya dalam satu 

gabungan yang serasi. Anak itu tidak pernah berbuat sesuatu selain duduk terpekur dan 

bermain-main dengan rontal dan pensil. Tak pernah dilihatnya Agung Sedayu berlatih didalam 

pringgitan yang tak begitu luas itu. Dan tak pernah dilihatnya Agung Sedayu meninggalkan


pringgitan selain apabila ia pergi mandi dan sesuci diri. Namun ia tidak mau menanyakannya. Ia 

hanya ingin mencari pemecahan dengan caranya sendiri atas teka teki itu. 

Demikian mereka sampai dikademangan, Widura langsung melepaskan pakaiannya dan 

merebahkan dirinya dipembaringannya. Tak sepatah katapun yang diucapkan kepada Agung 

Sedayu sehingga Agung Sedayu itupun menjadi semakin bersedih. Sekali-sekali ia sempat juga 

untuk menilai diri. Dan kadang-kadang timbul juga pikiran dikepalanya untuk besok mengikuti 

pertandingan memanah. “Paman marah karena aku tak ikut serta” katanya dalam hati. “atau 

karena hal-hal yang lain, atau karena keseluruhannya”. Namun ia kembali menjadi ngeri 

membayangkan akibat dari perlombaan itu. “Ah” katanya dalam hati pula “Biarlah paman marah 

kepadaku. Ia tidak akan berbuat apa-apa selain berdiam diri. Tetapi akan berbedalah sikap 

Sidanti itu” 

Sedayupun kemudian mencoba melupakan semua itu. Karena kelelahan akhirnya iapun tertidur 

pula dengan nyenyaknya. 

Sebenarnya Widura belum juga tertidur. Ia berdiam diri, dan memang ia munggu 

kemenakannya tertidur. Ia ingin tahu apa saja yang ditulis oleh Sedayu dalam rontal-rontalnya. 

Apakah ada hubungannya dengan kemajuan ilmunya yang pesat itu. Perlahan-lahan Widura itu 

bangun, dan perlahan-lahan pula ia membuka beberapa pakaian Sedayu yang diberikannya 

olehnya. Didalam lipatan-lipatan pakaian itu ditemuinya beberapa helai rontal yang pernah 

diminta oleh anak itu daripadanya. 

Demikian Widura membuka halaman pertama dari rontal itu, demikian dadanya bergetar “Inilah 

sebabnya” gumamnya seorang diri. Kini ia tahu benar, mengapa Agung Sedayu dapat maju 

dengan cepatnya. Otak anak itu ternyata cerdas pula dalam penelaahan ilmu tata bela diri. 

Didalam tubuhnya ternyata tersimpan pula darah ayahnya yang menyalakan keteguhan dan 

ketrampilan jasmaniah. Namun, sayang betapa sayangnya. Hati anak itu belum terbuka. 

Dinding yang mencengkam dirinya dalam bilik ketakutan belum dapat dipecahkannya. 

Jadi apa yang dilakukan oleh Sedayu selama ini, sama sekali tidak menulis cerita-cerita atau 

tembang dan kidung. Tetapi ia telah melukiskan beberapa unsur gerak. Mencobanya 

menggabungkan unsur yang satu dengan yang lain, dan mencoba melukiskan pula cara-cara 

untuk mempertahankan diri dan mengelak dari serangan-serangan yang keras. 

Didalam rontal-rotal itu Widura melihat beberapa gambar dengan garis-garis arah dari setiap 

gerakan. Digambarnya beberapa macam unsur gerak, kemudian digambarnya dibelakang 

gambar-gambar itu, sebuah gambar yang lain dengan garis-garis arah untuk menggabungkan 

gambar-gambar yang terdahulu. 

“Hem” Widura menarik nafas dalam-dalam “Ternyata anak ini melatih diri dengan angan-

angannya selain latihan-latihan yang kami adakan di gunung Gowok. Itulah sebabnya aku 

sering melihat unsur-unsur gerak yang tak aku ketahui darimana dipelajarinya” 

Dan Widura itu tak jemu-jemunya melihat gambar-gambar yang dibuat oleh Agung Sedayu. 

Suatu cara memperdalam ilmu yang jarang ditemuinya. Namun ternyata Agung Sedayu pandai 

juga menggambar. Gambar-gambar yang dibuatnya ternyata sedemikian jelas. Sikap, gerak 

dan tujuan-tujuan dari setiap gerakan sekaligus cara-cara untuk menghindarkannya. 

Tetapi suatu hal yang tak dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Yaitu melatih untuk percaya 

pada kekuatan dan ilmunya. Betapapun Agung Sedayu mengalami kemajuan yang pesat, 

namun ilmu itu seakan-akan pohon yang subur namun tak berbuah. 

Tiba-tiba timbullah pikiran didalam benak Widura. katanya dalam hati “Ah, biarlah pada suatu 

kali, anak ini mengalami pertentangan yang tak dapat dihindari dengan Sidanti. Aku ingin 

melihat apa yang akan dilakukan. Tetapi apabila sekali Agung Sedayu sempat mengayunkan 

tangan atau kakinya, maka untuk melawan Sidanti itupun Agung Sedayu akan dapat bertahan 

beberapa lama sampai saatnya aku memisahkannya. Namun dengan demikian, setidak-

tidaknya perkelahian itu akan berkesan bahwa keduanya memiliki ilmu yang seimbang. 

Ternyata gerak dan cara bertahan anak ini mengagumkan juga. Apabila demikian, seterusnya 

Agung Sedayu akan menjadi seorang yang jantan dan berani” 

Kemudian dengan hati-hati pula rontal-rontal itu dimasukkannya kembali ketempatnya. Dan 

dengan hati-hati pula Widura itu berdiri dan berjalan kepembaringannya, dan sesaat kemudian 

pemimpin laskar Pajang yang sedang kebingungan itu tertidur pula. 

Malam yang tinggal sepotong itu berjalan dengan tenangnya. Tohpati yang benar-benar telah



menyusup kedalam dinding perondan laskar Pajang, sebenarnyalah tidak berbuat sesuatu 

selain keinginannya untuk mengetahui keadaan. Namun Macan Kepatihan itupun mengumpat 

di dalam hatinya seperti Widura mengumpatinya. Katanya kepada kedua pengawalnya “Paman 

Widura benar-benar seperti setan. Dalam keadaan apapun peronda-perondanya tak pernah 

berlengah hati. Apakah mereka tidak terpengaruh oleh perlombaan yang akan diadakan besok? 

Sayang, aku baru mendengar rencana perlombaan itu senja tadi, sehingga aku tak sempat 

menyiapkan anak buahku. Seandainya aku mendapat waktu dua tiga hari saja, maka pada 

saat-saat perlombaan itu aku akan dapat menggulungnya lumat-lumat. 

Kedua pengawalnya tak dapat menjawab lain daripada menganggukkan kepala mereka. Sebab 

dengan mata kepala mereka sendiri melihat dari kejauhan kesiagaan laskar Pajang yang 

sedang bertugas di gardu-gardu peronda. Mereka melihat beberapa orang dari mereka berjalan 

hilir mudik dimuka gardu sambil memegang tombak atau pedang-pedang mereka yang sudah 

telanjang. 

“Tetapi” berkata Tohpati kemudian kepada pengawalnya “mudah-mudahan setelah perlombaan 

itu berakhir, laskar Sangkal Putung masih tenggelam dalam suasana itu, sehingga meskipun 

sedikit mereka melupakan tugas-tugas mereka sehari-hari. Mudah-mudahan mereka tidak 

mencium gerakanku kali ini seperti beberapa waktu yang lalu sehingga aku menjumpai 

kegagalan yang menyedihkan. 

“Persiapan kita akan sangat mudah sekali diketahui orang, sehingga petugas-petugas sandi 

Pajang segera menciumnya” berkata salah seorang pengawalnya. 

“Kita akan meninggalkan cara-cara yang pernah kita lakukan “ jawab Tohpati “aku akan 

membawa kalian dan orang-orang kita masuk ke dalam hutan. Semua kekuatan yang terpencar 

harus kita tarik. Semuanya akan berkumpul di dalam hutan yang akan aku tentukan. Dari sana 

kita akan bergerak. Mudah-mudahan tak seorangpun yang mengetahuinya, kecuali diantara kita 

ada pengkhianat atau justru orang-orang dari petugas-petugas sandi Pajang yang berhasil 

masuk kedalam lingkungan kita.” 

“Kemungkinan itu kecil sekali” sahut pengawalnya. 

“Kau benar” berkata Tohpati pula. “Alu mengenal anak buahku satu per satu dengan baiknya. 

Nah, kalau demikian, aku akan berbuat seperti paman Widura. Secepat-cepatnya sebelum 

laskarnya terpencar kesegenap penjuru” 

“Kapan kita adakan sergapan itu?” bertanya pengawalnya. 

“Secepatnya” sahut Tohpati. 

Kemudian mereka tidak bercakap-cakap lagi. Dengan hati-hati mereka berjalan didaerah 

perondan laskar Pajang. Bahkan kadang-kadang mereka berhasil menyusup halaman-halaman 

yang gelap dan mendekati tempat-tempat yang penting serta gardu-gardu perondan. Dengan 

otak yang cemerlang, Tohpati dapat mengingat-ingat daerah-daerah yang sepi, yang dapat 

dilaluinya untuk langsung mencapai jantung Sangkal Putung, meskipun masih diragukan 

apabila Tohpati berjalan bersama dengan orang-orangnya dalam jumlah yang besar. Namun 

Tohpati itu selalu mengulang-ulang rencananya. Dan ini adalah kesalahan yang terbesar yang 

dibuatnya. 

Sejak ia menginjakkan kakinya didaerah Sangkal Putung, rencana itu telah diucapkannya. Dan 

ia sama sekali tidak tahu, bahwa seseorang yang sakti, dengan diam-diam mengikutinya. Dan 

orang itu telah berhasil mendengar sebagian dari rencananya. Orang itu adalah Kiai Gringsing. 

Karena itulah maka Kiai Gringsing segera pergi kemudian gunung Gowok. Ia takut apabila 

Widura dan Sedayu berada disana, dan kemudian Tohpati itupun berjalan kesana pula. 

Untunglah mereka tidak saling berpapasan. Apabila demikian maka pertempuran tak dapat 

dihindarkan. Sedangkan Kiai Gringsing tahu benar bahwa Widura pasti harus bekerja sendiri 

melawan tiga orang yang jauh berada diatas kemampuannya. 

Dan semuanya itu telah berlalu. Widura telah tertidur nyenyak dikademangan Sangkal Putung, 

dan Tohpatipun telah meningggalkan daerah yang akan dijadikan buruannya. 

Menjelang fajar, Sangkal Putung telah menjadi riuh. Anak-anak telah bangun. Kebih-lebih lagi, 

mereka yang akan ikut serta dalam perlombaan-perlombaan. Mereka mengenakan pakaian 

mereka yang sebaik-baiknya. Menghias senjata-senjata mereka, dengan warna-warna yang 

beraneka. Bagi mereka yang akan mengikuti sodoran, tidak saja pakaian mereka sendiri yang


mereka hias dengan berbagai keoncer-keloncer kain beraneka warna, namun kuda-kuda 

merekapun mereka hias sebaik-baiknya. Ujung-ujung tombak mereka yang terbuat dari bola-

bola kayu itupun mereka hiasi dengan pita-pita berwarna. Ada pula diantara mereka yang 

membuat kalung-kalung dari rangkaian-rangkaian bunga. Melati, menur dan sebagainya. 

Mereka kalungkan rangkaian bunga itu dilehernya, dileher kuda-kuda mereka dan pada 

senjata-senjata mereka. 

Demikianlah hari itu Sangkal Putung ditandai dengan kesipbukan yang luar biasa. Hampir 

segenap penduduk Sangkal Putung tumplak blak, mengunjungi lapangan dimuka banjar desa. 

Mereka ingin menyaksikan anak-anak mereka, adik-adik mereka atau suami-suami mereka 

yang ikut serta dalam perlombaan-perlombaan itu. Ternyata hari itu merupakan hari yang 

sangat menggembirakan. Namun apabila ada diantara mereka yang mendengar bahwa 

semalam Macan Kepatihan telah mengunjungi kademangan itu, mungkin suasananya akan 

jauh berbeda. 

Tetapi ternyata Widura mengetahuinya. Karena itu, justru ia telah memperkuat setiap sudut 

kademangan. Dilengkapinya gardu-gardu peronda itu dengan kuda-kuda yang kuat dan 

diperintahkannya untuk mengadakan perondaan keliling dengan kuda-kuda itu. “Jangan 

seorang atau dua orang” pesannya kepada anak buahnya. “Pergilah berempat. Pergunakan 

kuda yang sebaik-baiknya dan bawalah tanda-tanda bahaya yang dapat kau bunyikan setiap 

saat dan disetiap tempat” 

Perintah itu agak mengherankan bagi anak buahnya. Namun mereka hanya menyangka bahwa 

karena didaerah Sangkal Putung sedang ada keramaian, maka penjagaanpun harus 

diperkuatnya. 

Demikianlah maka lapangan dimuka banjar desa itupun menjadi penuh dengan manusia. 

Beberapa anak-anak muda telah menaiki kuda masing-masing dan berjalan melingkar-lingkar 

ditengah-tengah lapangan. Beberapa orang diantaranya telah mencoba memacu kudanya dari 

satu sudut ke sudut yang lain dengan tombak-tombak mereka ditangan. Dan sekali-sekali telah 

terdengar pula sorak sorai penonton, apabila mereka melihat seorang anak muda yang tampan 

bermain dengan manisnya diatas punggung kudanya. Tepuk tangan penonton itupun seakan-

akan meledak ketika mereka melihat Swandaru masuk kelapangan dengan tombak ditangan, 

bumbung panah dilambung kudanya dan sebuah busur yang besar menyilang dipunggungnya. 

Demikian ia memasuki lapangan, disendalnya kendali kuda putihnya, dan kuda itupun segera 

nyirig. Berjalan miring dengan manisnya. Memang Swandaru itu benar-benar dapat menguasai 

kudanya. Sekali lagi ia menarik kekang kudanya sambil menyentuh perut kuda itu, dan kuda 

itupun segera nyongklang, berlari keliling lapangan. 

Laskar Widura yang akan mengikuti perlombaan itu telah hadir pula. Namun bagi mereka 

perlombaan yang boleh diikuti hanyalah perlombaan memanah. Meskipun demikian, untuk 

melepaskan kejemuan mereka, banyak juga diantara mereka yang mengikutinya. 

Widurapun kemudian hadir pula dilapangan itu bersama-sama dengan Ki Demang Sangkal 

Putung. Dibelakang mereka berjalan Sedayu dengan kepala tunduk. Ketika para penonton 

melihat kehadiran mereka, kembali tepuk tangan dan sorak mbata rubuh bergetar dilapangan 

itu. Namun perlahan-lahan mereka dirayapi oleh berbagai pertanyaan didalam hati mereka. 

Mereka tidak melihat Widura dan Agung Sedayu membawa busur dan anak panah, sehingga 

kemudian mereka menjadi kecewa. Terdengar salah seorang penonton berbisik “Apakah 

pahlawan itu tidak akan turut serta dalam perlombaan ini?” 

Kawannya itu sebenarnya menjadi kecewa juga. Namun untuk menghibur hatinya sendiri ia 

menjawab “Tak sepantasnya ia ikut dalam perlombaan yang sekecil ini. Mungkin ia akan ikut 

serta apabila perlombaan semacam ini diadakan dialun-alun Pajang” 

Kawannya yang bertanya itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawaban yang memang 

masuk diakalnya. 

Sesaat kemudian, Widura dan Ki Demang Sangkal Putung beserta Agung Sedayu telah duduk 

ditempat yang telah disediakan. Pada saat matahari mulai memanjat langit, maka Widura 

segera membuka perlombaan itu. Dengan sebuah kapak diputusnya tali yang mengikat 

pemukul bende disudut lapangan. Kemudian seseorang yang telah ditentukan memungut 

pemukul bende itu, dan dengan bunyi yang berdengung-dengung bende itu bergema. Sekali, 

dua kali dan kemudian tiga kali.


Dengan diiringi oleh tepuk tangan yang seakan-akan memecahkan selaput telinga, maka 

perlombaan segera dimulai. Beberapa orang anak buah Widura berjalan ketengah lapangan, 

memimpin perlombaan-perlombaan bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan yang 

pertama adalah perlombaan ketangkasan bermain pedang. Namun bukan sebenarnya pedang 

yang dipergunakan. Tetapi mereka mempergunakan rotan dan perisai anyaman bambu. 

Permainan ini benar-benar mengasyikkan dan menegangkan. Beberapa anak-anak muda yang 

gagah telah turut serta mengambil bagian. Berganti-ganti. Satu dua telah terpaksa keluar dari 

lapangan dengan kepala tunduk. Punggung dan dada mereka dilukisi oleh jalur-jalur merah biru. 

Namun bagi mereka yang menang, jalur-jalur itu sama sekali tidak terasa pedihnya. 

Sejalan dengan terik matahari yang semakin menyengat-nyengat tubuh mereka, maka 

permainan itupun menjadi semakin sengit. Bahkan kemudian mencapai puncaknya ketika 

diarena itu tinggal dua orang yang berhadapan untuk menentukan, siapakah diantara anak-

anak muda Sangkal Putung yang akan menjadi pemenang pertama dalam perlombaan itu. 

Mereka adalah Swandaru Geni dan seorang anak muda yang gagah, bertubuh tinggi besar, 

bernama Wisuda. 

Sejenak kedua anak muda itu, Swandaru dan Wisuda saling berhadapan, maka tepuk tangan 

dan sorak sorai membahana diudara Sangkal Putung. 

Tiga orang anak buah Widura, Hudaya, Citra Gati dan Sonya telah memimpin pertarungan yang 

sengit itu. Dengan seksama mereka memperhatikan setiap gerak, setiap sabetan rotan dan 

setiap sentuhan rotan itu ditubuh mereka. Pukulan-pukulan yang mendapat hitungan adalah 

pukulan-pukulan yang mengenai tubuh dibagian atas perut tetapi dibagian bawah leher. 

Demikian pertarungan itu berjalan dengan serunya. Wisuda bertubuh tinggi dan besar, sedang 

Swandaru lebih pendek dan bulat. Meskipun demikian ternyata tenaga Swandaru jauh lebih 

kuat dari tenaga lawannya. Apabila rotan-rotan mereka berbenturan, tampaklah bahwa tenaga 

Swandaru selalu berhasil mendorong tenaga lawannya. 

Ketika bende berbunyi, maka pertarungan itupun berhentilah. Suasana menjadi tegang ketika 

para penonton menunggu Citra Gati mengumumkan pemenangnya. Dan demikian Citra Gati 

maju selangkah, maka lapangan yang penuh dengan manusia itu seakan-akan sama sekali tak 

berpenghuni. Setelah mencocokkan hitungan masing-masing maka berkatalah Citra Gati 

“Ternyata yang akan menjadi pahlawan dalam permainan ini adalah anak muda yang bulat 

pendek, bernama Swandaru” 

Langit seakan-akan runtuh diatas mereka karena sorak para penonton. Namun Swandaru tidak 

puas dengan sebutan itu. Katanya membetulkan namanya “Sebutlah selengkapnya paman, 

Swandaru Geni” 

Citra Gati tersenyum. ketika ia mengulang nama itu, tak seorangpun yang mendengarnya, 

karena suara riuh dari pada penonton itu sendiri. 

Sidanti yang melihat sambutan yang sedemikian hangatnya atas pahlawan anak-anak muda 

Sangkal Putung itu mencibirkan bibirnya. Katanya dalam hati “Swandaru itu pasti akan menjadi 

bertambah sombong. Aku ingin sekali lagi mengajarnya untuk merasakan bahwa apa yang 

dicapainya itu belum semenir dibanding dengan ilmuku. Sayang tak ada kesepatan bagi anak 

buah laskar Pajang untuk melakukannya” 

Perlombaan yang berikut adalah sodoran. Dengan duduk dipunggung kuda mereka 

mempertunjukkan ketrampilam mereka bermain tombak yang ujungnya dibuat dari bola-bola 

kayu. Permainan ini tak kalah menariknya. Diantara sorak kekaguman ada pula yang terpaksa 

menerima ejekan-ejekan para penonton, karena sebelum mereka sempat mempertunjukkan 

keahlian mereka, ternyata mereka telah jatuh terpelanting dair kuda-kuda mereka. 

Dalam perlombaan ini sekali lagi Swandaru merajai lapangan dimuka banjar desa itu. Kuda 

putihnya seakan-akan tahu benar apa yang harus dilakukan untuk membantu tuannya. Dan 

karena itulah maka sekali lagi para penonton menyorakinya sebagai pahlawan yang lengkap 

dari anak-anak muda Sangkal Putung. 

Ki Demang yang duduk disamping Widura itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia 

berbangga atas hasil yang dicapai anaknya. Usahanya melatih dan menempa anaknya tidaklah 

sia-sia. Mudah-mudahan untuk seterusnya anaknya mendapat bimbingan dan latihan yang 

lebih baik daripada apa yang pernah dicapainya. 

Widurapun tampak tersenyum-senyum diantara sorak para penonton. Namun sekali-sekali ia


mengedarkan pandangannya kesegenap sudut. Diantara perhatiannya atas permainan-

permainan itu, diam-diam ia berusaha untuk melihat, apakah Kiai Gringsing berada diantara 

para penonton yang sekian banyaknya. Tetapi Widura itu kemudian menjadi kecewa. Adalah 

mustahil untuk menemukan seorang diantara sekian banyak orang, apalagi orang itu belum 

dikenalnya. Sudah tentu Kiai Gringsing tidak akan mengenakan topengnya, dan sudah tentu 

pula ia tidak akan memakai kain gringsingnya. Seandainya dapat dijumpainya seseorang 

memakai kain gringsing, bukanlah jaminan bahwa orang itu adalah Kiai Gringsing, sebab kain 

gringsing memang banyak digemari orang. 

Permainan yang terakhir adalah permainan yang paling menggemparkan. Panahan. Dan 

panahan ini diikuti pula oleh anak buah Widura. bahkan seorang anak muda yang sudah lama 

dikagumi di Sangkal Putung turut pula mengambil bagian. Sidanti. Namun para penonton itu 

menjadi kecewa ketika mereka benar-benar melihat, bahwa Agung Sedayu tidak ikut serta 

dalam perlombaan. Apa yang mereka nantikan, dan juga sebenarnya dinantikan oleh anak 

buah Widura sendiri, adalah pertandingan yang akan berlangsung seru antara Sidanti dan 

Agung Sedayu. Namun mereka benar-benar menjadi kecewa. Bahkan ada diantara mereka 

yang mulai dirayapi oleh berbagai pertanyaan tentang Agung Sedayu. Apakah sebenarnya 

anak muda itu mampu berbuat sesuatu? 

Swandaru dan Sekar Mirahpun menjadi kecewa pula karenanya. Dengan wajah bersunguut-

sungut Swandaru menyelinap diantara mereka dan menggamit Agung Sedayu pada lengannya. 

Katanya berbisik “Apakah tuan tidak ikut serta?” 

Dada Agung Sedayu berdesir. Namun kemudian dengan lemahnya ia menggeleng. Katanya 

“Tidak Swandaru” 

Widura mendengar pertanyaan itu. Namun sengaja berpalingpun tidak. Sebenarnya Widura 

sendiri menjadi sangat kecewa bahwa Agung Sedayu tidak mau ikut serta dalam pertandingan 

ini. 

Sesaat kemudian berjajarlah mereka yang akan mengambil bagian dalam perlombaan ini. Tidak 

terkecuali, anak buah Widura. diantaranya Sidanti yang dengan tersenyum-senyum memasuki 

lapangan. Betapa kecewa anak muda itu, melampaui semuanya setelah ia mengetahui pula 

bahwa Agung Sedayu tidak ada diantara para pengikut perlombaan. 

Dihadapan mereka tergantung lesan yang harus mereka kenai. Sasaran itu dibuat dari sabut 

kelapa yang dibalut dengan kain. Dan dibagi menjadi empat bagian. Kepala, sekecil telur angsa, 

leher, yang agak cukup panjang, badan lebih besar dan panjang dari leher dan yang terakhir 

bandul sebesar jeruk bali. 

Sasaran yang berupa orang-orangan kecil itulah yang akan menentukan siapakah diantara para 

pengikut yang paling pandai membidikkan panahnya. 

Ketika bende berbunyi, maka perlombaan itupun dimulailah. Setiap pengikut memiliki lima buah 

anak panah. Dan oleh kelima buah anak panah itu maka akan diambil nilai tertinggi diantara 

mereka. Apabila anak panah mereka mengenai kepala, maka berarti mereka akan mendapat 

lima buah nilai. Leher tiga nilai dan badan dua nilai. Sedangkan apabila pana mereka mengenai 

bandul, maka apabila mereka telah mendapat nilai, maka nilai itu akan gugur tiga nilai. 

Sesaat kemudian meluncurlah anak panah yang pertama diikuti oleh sorak para penonton. 

Namun sayang, panah itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Disusul dengan anak panah 

yang kedua, ketiga. Namun ketiga anak panah itu menyentuh sasaranpun tidak. Penonton 

bersorak-sorak kembali ketiga anak panah yang keempat kemudian tepat mengeni leher 

sasaran. Tiga nilai. 

Maka penontonpun berteriak-teriak pula “Tiga, tiga” 

Penonton mejadi tegang ketika meluncur anak panah yang kelima. Dan meledaklah sorak para 

penonton. Bukan karena mereka menjadi kagum anak panah itu, mereka tertawa geli, karena 

anak panah itu mengenai bandul. 

“Habis, habis” teriak mereka. Dan tiga nilai yang didapatnya dari panah keempat itupun menjadi 

habis karena dengan mengenai bandul itu, maka berarti tiga nilai digugurkan. 

Orang yang pertama itu sambil menundukkan kepalanya terpaksa berjalan keluar lapangan. 

Namun iapun menjadi geli juga. karena itu, sempat juga ia tersenyum-senyum sendiri. 

Maka kemudian majulah orang kedua, ketiga, keempat. Namun tak seorangpun yang dapat


menggemparkan penonton karena bidikan-bidikannya yang tepat. Sekali dua kali ada juga 

diantara mereka yang mengenai sasaran. Namun diantara lima anak panah itu, maka paling 

banyak dua diantaranya yang dapat mengenai sasarannya. 

Ketika kemudian sampai pada giliran Swandaru maju dengan anak panahnya, maka 

penontonpun menjadi gempar pula. Swandaru telah dapat merampas hati penonton dengan 

dua kemenangan berturut-turut didalam arena pertandingan itu. karena itu, maka diantara 

penonton itupun mengharap pula, agar kali ini, Swandaru akan dapat setidak-tidaknya tidak 

mengecewakan mereka. 

Sebenarnyalah, maka anak panah yang pertama yang dilepaskan oleh Swandaru benar-benar 

telah menggemparkan penonton. Meskipun tidak mengenai kepala, namun sekali bidik 

Swandaru telah mengguncangkan sasaran dengan mengenai bagian badannya. Kegemparan 

penonton menjadi semakin riuh, ketika panah Swandaru yang kedua dapat mengenai leher. 

Ketika Swandaru menarik tali busurnya yang ketiga kalinya, maka terdengarlah suara riuh 

disekitar arena “Naik sedikit Swandaru, naik sedikit” 

Dan meledaklah sorak para penonton seakan-akan memecahkan selaput telinga ketika anak 

panah Swandaru itu benar-benar mengenai kepala sasaran. 

Swandaru itupun kemudian berhenti sesaat. Setelah menarik nafas dalam-dalam, maka sekali 

lagi lapangan itu diguncangkan oleh tepuk sorak yang gemuruh. Sekali lagi anak panah 

Swandaru mengenai kepala. Namun para penonton itu menjadi kecewa ketika anak panah 

Swandaru yang kelima yang terbang dari busurnya dengan kecepatan penuh, hanya 

menyentuh saja kepala sasaran, namun tidak hinggap padanya, sehingga dengan demikian, 

anak panah itu dianggap tidak mengenai sasarannya. 

Swandaru itu memandangi anak panah yang kelima dengan penuh penyesalan. Katanya sambil 

bertolak pinggang “He, kenapa kau tidak mau berpaling sejari saja. Kalau kau berpaling sedikit 

saja, maka anak panah itu akan hinggap dikepalamu” 

Namun kemudian telah terdengar bende untuk pengikut berikutnya. Kini mulailah anak buah 

Widura dengan perlombaan itu. Namun ada pula diantaranya yang tidak lebih tepat dari anak-

anak muda Sangkal Putung. Sendawa misalnya. Betapa pandai ia mengayun-ayunkan 

kelewangnya, namun ternyata ia bukan pembidik yang tepat, ia dapat mengenai perut lawannya 

dimedan-medan pertempuran. Namun perut orang jauh lebih besar dari seluruh tubuh orang-

orangan yang harus dikenainya sebagai sasaran. 

Tetapi ternyata Hudaya ada pemanah yang baik. Sejak ia melepaskan anak panahnya yang 

pertama, maka ia telah menggemparkan lapangan itu. Anak panahnya yang pertama ternyata 

langsung mengenai kepala sasaran. Demikianlah anak panahnya yang kedua. Ketika ia merik 

busurnya untuk yang ketiga kalinya dengan berdebar-debar penonton menanti. Dan sekali lagi 

meledaklah sorak yang gemuruh. Panah ketiga itupun mengenai kepala sasaran pula. 

Demikianlah para penonton menjadi semakin tegang. Sekali lagi para penonton berteriak-teriak 

sekuat-kuatnya ketika anak panah yang keempatnya hinggap dikepala. Dengan demikian 

ketegangan diarena itu menjadi semakin memuncak. Keempat anak panah yang telah 

memenuhi kepala orang-orangan itupun dicabutlah untuk memberi tempat seandainya anak 

panah yang kelima inipun akan mengenainya pula. Dan lapangan itu seakan-akan menjadi 

benar-benar runtuh ketika penonton menyaksikan anak panah kelima yang lepas dari busur 

Hudaya. Anak panah itupun tepat pula mengenai kepala orang-orangan itu. Sehingga dengan 

demikian pemanah itupun telah menunjukkan kesempurnaan bidikannya. Bukanlah karena 

kebetulan ia dapat mengenai kepala sasaran. Namun sebenarnyalah memang Hudaya adalah 

pembidik yang baik. 

Ketika kemudian terdengar bende berbunyi, masuklah Citra Gati ketengah-tengah lingkaran. 

Dengan tersenyum-senyum ia memberi ucapan selamat kepada Hudaya, katanya “Hudaya, 

ternyata kau tidak memberi aku tempat. Apa yang dapat kau kerjakan? Tak ada yang dapat 

berbuat lebih baik daripadamu” 

Hudaya itupun tersenyum pula. Namun ia tidak menjawab. ketika ia bergeser dari tempatnya, ia 

terkejut ketika ia melihat mata Sidanti menyala-nyala. 

Ternyata Sidanti tidak rela melihat kecakapan Hudaya membidikkan anak panahya. Sambutan 

rakyat Sangkal Putung atas kemenangannya itupun tak menyenangkannya. Tetapi ternyata 

Hudaya itu tak menghiraukannya. Ia langsung berjalan kembali ketempatnya. Berdiri dalam


jajaran para peserta untuk melihat bagaimana hasil bidikan kawan-kawannya yang lain. 

Dan ternyata Citra Gati itupun tidak mengecewakan. Dengan tersenyum ia menarik busurnya 

untuk yang pertama kalinya. Ketika anak panahnya terlepas, maka dengan tegangnya ia 

mengikutinya dengan pandangan matanya. Ia tersenyum pula ketika didengarnya sorak 

penonton. Anak panah itupun hinggap dikepala. Demikianlah anak panahnya yang kedua, 

ketiga dan keempat. Lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Ketika ia memasang anak 

panahnya yang kelima, Citra Gati berpaling kepada Hudaya. Dilihatnya Hudaya tertawa dan 

berkata “Ayo panahmu tinggal satu. Nilaimu tak akan melampaui nilaiku. Tak mungkin kau 

dapat membidik kepala orang-orangan itu hingga enam kali” 

“Berilah aku anak panah satu lagi” sahut Citra Gati. 

Hudaya tidak menjawab. Hanya telunjuknyalah yang menunjuk ke orang-orangan diujung 

lapangan. 

Citra Gati menarik nafas dalam-dalam. Panah-panahnya yang lain telah dicabut pula. Dan kini 

ia membidikkan anak panahnya yang kelima. 

Sekali lagi lapangan itu menjadi gempar. Tidak saja sorak yang membahana, namun beberapa 

orang yang todal dapat mengendalikan perasaannya telah melemparkan bermacam-macam 

benda keudara. Tutup kepala, tongkat-tongkat dan bahkan kain yang dipakainya. Anak panah 

Citra Gati yang kelimapun tepat mengenai sasara. Kepala. 

Hudayapun kemudian berlari-lari mendapatkan sahabatnya itu. Sambil memberi salam ia 

berkata “Terlalu. Kau tak mau kalah satu nilaipun daripadaku” 

Citra Gati tidak menjawab. perlahan-lahan ia bergeser dari lingkaran pembidik. 

Kini sampailah giliran yang terakhir. Demikian anak muda itu berjalan ketengah-tengah 

lingkaran, maka para penontonpun telah menyorakinya. Dengan tersenyum anak muda itu 

melambaikan tangannya. Namun senyum itu tidak begitu cerah seperti senyumnya semalam, 

pada saat ia mengenangkan kemenangan yang bakal dicapainya. Anak muda itu adalah Sidanti. 

Ia sama sekali tidak mencemaskan dirinya. Ia yakin bahwa kelima anak panahnya akan tepat 

mengenai sasaran. Namun betapapun demikian, maka Hudaya dan Citra Gati itupun dapat 

berbuat seperti apa yang akan dilakukan. Sehingga hal itu pasti akan mengurangi kebesaran 

namanya. Meskipun demikian, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Hudaya dan Citra Gati telah 

melakukannya. 

Dan apa yang diyakini itu benar-benar terjadilah. Sidanti tidak memerlukan waktu terlalu lama 

seperti Hudaya dan Citra Gati. Itulah kemenangannya yang dapat ditunjukkan kepada orang-

orang Sangkal Putung. Ia hanya memerlukan saat yang pendek. Memasang, menarik sanbil 

mengangkat busur, kemudian seakan-akan tanpa membidik, maka anak panah itupun meluncur 

menuju sasaran. Dan adalah mentakjubkan sekali. Anak panah itu seolah-olah mempunyai 

mata, sehingga dengan langsung hinggap dikepala orang-orangan. 

Orang-orang Sangkal Putung itu benar-benar tak dapat menahan diri lagi. Mereka berloncat-

loncatan dan seperti orang yang kehilangan akal kesadaran menari-nari sambil berteriak-teriak 

keras-keras. 

Dengan sebuah senyuman yang kecil Sidanti mengambil anak panahnya yang kedua. Anak 

panah inipun menggemparkan para penonton pula. Sekali Sidanti mengerling kearah Sekar 

Mirah yang duduk tidak jauh dari Ki Demang Sangkal Putung. Dilihatnya wajah gadis itu 

menjadi tegang. Namun tiba-tiba ketika ia melihat anak panah Sidanti hinggap disasarannya, 

dengan serta-merta iapun bertepuk tangan sekeras-kerasnya. 

Namun ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, Sidanti menjadi agak kecewa. Anak muda 

itu memandang anak panahnya dengan pandangan yang kosong. Ia bertepuk tnagan karena 

orang-orang lain bertepuk tangan. Tetapi tak ada kesan kekaguman memancar diwajahnya. 

“Persetan dengan anak itu” gerutunya didalam hati. “Namun adalah suatu kenyataan ia tidak 

berani turun kearena” 

Sidanti puas dengan kata-kata diangan-angannya. Kembali ia memandang sasarannya, dan 

kembali anak panahnya mematuk kepala. Demikianlah maka kegemparan meledak sejadi-

jadinya dilapangan itu ketika panah Sidanti yang kelima hinggap tepat dikepala orang-orangan 

itu pula. 

Ketika sorak sorai orang-orang Sangkal Putung itu telah mereda, maka Widura tampak berdiri


dan melangkah maju kearena. Betapapun isi dadanya, namun ia memberikan ucapan selamat 

pula kepada Hudaya, Citra Gati dan Sidanti. Kemudian dengan nyaring ia berkata “Kita masih 

harus memilih satu diantara ketiga-tiganya. Kini lepaskanlah sasaran itu. Gantungkan dengan 

tali yang agak panjang. Terbalik. Kepalanya dibawah. Dan apabila tanda berbunyi, ayunkan 

orang-orangan itu. Nah, ketiga-tiganya mendapat kesempatan yang sama. Membidikkan anak 

panahnya pada waktu yang bersamaan. Masing-masing dengan tiga buah anak panah, dalam 

hitungan sampai angka kelima belas” 

Hudaya dan Citra Gati tertawa masam. Terdengar Hudaya berbisik “Sekarang aku harus 

mengaku kalah. Kalau ada satu saja anak panahku yang hinggap, ambillah nilainya” 

“Kita tidak sedang membagi makan. Ambillah angkamu untukmu. Atau barangkali dapat kau 

simpan untuk perlombaan yang akan datang” sahut Citra Gati. 

Keduanya kemudian terdiam. Mereka melihat beberapa orang sedang menggantungkan 

sasaran dengan tali yang cukup panjang. Kemudian mereka menerima tiga anak panah 

masing-masing. Dan ketika bende berbunyi, mereka harus sudah siap berdiri pada satu baris 

lurus menghadap orang-orangan yang telah siap untuk diayunkan. 

Sesaat kemudian sasaran itupun telah dilepaskan. Terayun-ayun seperti buaian tertiup angin 

yang kencang. 

Hudaya, Citra Gati dan Sidanti berdiri dengan tegangnya. Sedang Sidanti tampak tersenyum-

senyum kecil. Kali ini ia yakin, bahwa ia akan memenangkan pertandingan ini. 

Penonton benar-benar menjadi tegang ketika terdengar Widura mulai dengan hitungannya 

“Satu, dua, tiga, ………..” 

Panah yang pertama lepas adalah anak panah Sidanti. Anak panah itu benar-benar seperti 

mempunyai mata. Meskipun sasarannya masih juga terayun-ayun, namun anak panah Sidanti 

tepat mengenai kepala. Dan lapangan itupun menjadi semakin gemuruh pula. 

“Uh” geram Hudaya, ketika ia melihat ayunan orang-orangan itu dan menjadi goyah karena 

anak panah Sidanti. “Makin sulit” gerutunya. Citra Gati tidak menyahut. Ia membidik dengan 

cermatnya, dan anak panahnya yang pertama terbang seperti dikejar setan. Dan sorak 

dilapangan itupun membahana pula. Kali ini Citra Gatipun tepat mengenai kepala sasaran. 

Belum lagi sorak itu berhenti, maka seolah-olah disusul pula dengan ledakan tepuk tangan 

yang tak kalah kerasnya. Panah Hudayapun menyusul kedua anak panah yang mendahuluinya. 

Kepala. 

Citra Gati menyeringai. “Setan kau Hudaya” gumamnya. 

Namun Hudaya hanya tersenyum saja. Tetapi segera senyumnya lenyap ketika terdengar para 

penonton berteriak-teriak seperti orang mabuk. Panah kedua Sidanti tepat mengenai 

sasarannya pula. 

Kini sasaran itu terayun berputaran tidak menentu. karena itu, para pemanah itu menjadi 

semakin sulit. Hudaya masih membidkkan anak panahnya. Namun anak panah Citra Gati lah 

yang terbang lebih dulu. Yang terdengar adalah pekik penyesalan. Anak panah Citra Gati itu 

hanya menyentuh kepala sasaran, namun karena kepala sasaran itu goyah, dan padanya telah 

melekat beberapa anak panah, maka anak panah Citra Gati itu meloncat dan jatuh beberapa 

langkah dari orang-orangan itu. 

“Gila” teriak Citra Gati diluar sadarnya. Dan ia mengumpat kembali ketika ia mendengar sorak 

gemuruh para penonton seperti akan meruntuhkan gunung Merapi. Anak panah Sidanti yang 

ketiga telah hinggap dikepala orang-orangan itu pula.Hudaya menggeram. Ia belum 

melepaskan anak panahnya yang kedua. Dengan memgigit bibirnya, anak panah itu berlari 

kencang sekali. Namun sekali lagi penonton menyesal karenanya. 

Anak panah itu mengenai anak panah yang lain pula, yang telah lebih dahulu hinggap pada 

sasaran itu. Anak panah itupun tak dapat hinggap pula dan jatuh terpelanting beberapa langkah 

jauhnya. 

Pada saat itu Citra Gati telah mengangkat busurnya. Namun sasaran itu bergerak-gerak tak 

keruan. Kini tak ada lagi harapan baginya untuk mengenai kepala, sebab kepala sasaran itu 

seolah-olah telah penuh dengan anak panah yang bergoyang-goyang pula. hana pembidik-

pembidik yang luar biasa sajalah yang akan dapat mengenainya. Karena itu Citra Gati



membidikkan anak panahnya keleher sasaran. Namun tiba-tiba betapa ia menjadi kecewa. 

Hudayapun kecewa bukan buatan. Belum lagi mereka sempat melepaskan anak panah mereka 

yang ketiga terdengar Widura mengucapkan hitungan yang terakhir “Lima belas……” dan 

terdengarlah bende berbunyi dengan nyaringnya. 

Hitungan yang terakhir itupun disambut dengan pekik sorak dari para penonton. Mereka 

berteriak-teriak menyebut nama Sidanti. Dan Sidanti itupun kemudian melangkah maju 

ketengah-tengah lapangan sambil melambaikan tangannya. 

Anak muda itu menjadi semakin bergembira ketika ia melihat Sekar Mirah seperti anak-anak 

yang melonjak-lonjak sambil mengacungkan ibu jari kepadanya. 

“Nah, lihatlah” kata Sidanti dalam hatinya “Apa yang dapat dilakukan oleh Sedayu itu. Ternyata 

tidak lebih dari seorang perempuan cengeng yang hanya dapat bersembunyi dipunggung 

pamannya” 

Hudaya masih berdiri ditempatnya, dan Citra Gatipun masih berada disampingnya pula. 

terdengar kemudian Hudaya berkata “Aku benar-benar tidak membutuhkan nilai itu. Ambillah. 

Kau akan menjadi pemenang kedua” 

Citra Gati tersenyum. ia tidak menjawab kata-kata Hudaya. Namun katanya “Lihatlah betapa 

sombongnya anak muda itu” 

“Biarkanlah ia berbuat demikian” sahut Hudaya. “Coba kau mau apa? bukankah kau dapat 

dikalahkan dengan jujur?” 

”Aku tidak mau apa-apa” jawab Citra Gati “Aku benar-benar kalah. Tetapi bagaimana dengan 

Agung Sedayu?” 

Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya “aku menjadi agak kecewa. Mungkin ia 

mempunyai perhitungannya sendiri. Kalau ia menang maka tak ada kekaguman apapun 

padanya. Adalah lumrah ia dapat memenangkan pertandingan sekecil ini. Tetapi kalau ia 

dikalahkan Sidanti, maka namanya akan menjadi surut” 

Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang berkeliling, ternyata 

sebagian dari para penonton telah meninggalkan lapangan itu. Tak ada hadiah yang akan 

diberikan, namun Ki Demang Sangkal Putung akan menyiapkan pesta dengan memotong 

beberapa ekor lembu bagi kemenangan anaknya dan kemenangan Sidanti. 

Citra Gati itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Sidanti dan Sekar Mirah sedang 

bercakap-cakap dengan asiknya. Ketika sekali ia memandang Agung Sedayu, dilihatnya anak 

muda itu menundukkan wajahnya. 

Sesaat kemudian Widura dengan resmi menutup pertandingan itu. Disebutnya para 

pemenangnya yang disambut dengan sorak yang gemuruh. Swandaru bagi anak-anak muda 

Sangkal Putung ternyata merupakan pemenang dalam segala lapangan. Sedangkan bagi anak 

buah Widura sendiri, Sidantilah yang menjuarainya. 

Namun dalam pada itu, kekecewaan dihatinya terhadap Agung Sedayu kini benar-benar telah 

sampai kepuncaknya. Ia melihat kekecewaan pada beberapa orang lain. Dan ki Demang itupun 

telah bertanya kepadanya, kenapa Agung Sedayu tidak bersedia turut serta meramaikannya. 

karena itu, demikian ia selesai dengan kata penutupnya, ia sama sekali tidak berkata apapun 

kepada Sedayu. Langsung ia pergi meninggalkan lapangan itu dengan kepala tunduk. 

Beberapa anak buahnya segera mengikutinya dibelakang. Ki Demangpun berjalan pula 

disampingnya. Katanya “Dimanakah angger Sedayu?” 

“Masih dibelakang kakang “ sahut Widura kosong. 

Ki Demang itupun berpaling. Dilihatnya Sidanti berjalan bersama Sekar Mirah dan dilihatnya 

Sedayu masih berada ditempatnya bersama Swandaru. 

Tetapi Ki Demang itu tidak bertanya lagi. Betapapun juga dirasakannya sesuatu berdesir 

didadanya. Sebagai seorang ayah, Ki Demang prihatin atas pilihan anak gadisnya. Karena 

sikap Sekar Mirah itu, maka pada suatu saat dapat terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Sebagai 

seorang yang telah cukup usianya, ia tahu benar apa yang tersembunyi didalam hati Agung 

Sedayu dan Sidanti. Tetapi ia belum dapat berbuat sesuatu. Dan memang sedang 

dipikirkannya, bagaimana ia dapat mengendalikan gadis itu. 

Agung Sedayu melihat arus manusia itu dengan berdebar-debar pula. lapangan itu seakan


akan sebuah telaga yang mengalir kesegenap penjuru, semakin lama menjadi semakin kering, 

sehingga akhirnya tinggallah beberapa orang saja yang masih hilir mudik dilapangan itu. 

“apakah tuan akan kembali?” bertanya Swandaru kepada Sedayu. 

Sedayu mengangguk “Ya’jawabnya singkat. Tetapi ia masih duduk ditempatnya. 

“Marilah” ajak Swandaru. 

Agung Sedayu memandang berkeliling untuk sesaat. Kemudian iapun berdiri. Katanya 

“Sebentar Swandaru, apakah kau tergesa-gesa?” 

“Tidak” jawab Swandaru. “Tetapi apakah ada sesuatu yang penting dilapangan ini?” 

Sekali lagi Swandaru memandang berkeliling. Orang-orang yang bertugas membersihkan 

lapangan itupun telah hampir selesai dengan pekerjaannya. Dan sesaat kemudian lapangan 

itupun benar-benar telah sepi. 

Tiba-tiba terdengarlah Swandaru itu bertanya “Tuan, kenapa tuan tidak ikut dalam perlombaan 

ini?” 

Sedayu menggeleng lemah “Tidak Swandaru” 

“Aku muak melihat kesombongan Sidanti. Dan aku muak pula melihat Sidanti,” berkata 

Swandaru pula. “Biarlah nanti dirumah aku hajar perempuan itu” 

“Jangan Swandaru” cegah Sedayu. “Tak ada gunanya. Biarlah ia berbuat apa saja yang 

disukainya” 

Swandaru terdiam. Namun ia menjadi heran. Sedayu masih belum beranjak dari tempatnya 

“Apakah yang tuan tunggu?” ia bertanya. 

Sekali lagi Sedayu memandang berkeliling. Lapangan oi telah benar-benar menjadi sepi. Hanya 

satu dua orang saja yang masih sibuk melipat tikar dan beberapa perlengkapan. 

“Swandaru” berkata Agung Sedayu lirih. Namun kemudian kata-katanya terputus, dan ia 

menjadi ragu-ragu. 

Swandaru memperhatikan wajah Agung Sedayu dengan seksama. Setelah beberapa lama 

Agung Sedayu berdiam diri, maka bertanyalah Swandaru “Apakah yang akan tuan katakan?” 

Sekali lagi pandangan mata Agung Sedayu beredar. Kemudian katanya “apakah aku dapat 

meminjam panahmu itu?” 

“Apakah yang akan tuan lakukan?” bertanya Swandaru. 

“Aku ingin berlatih memanah, supaya lain kali aku dapat ikut serta dalamplb-perlombaan seperti 

ini” 

“Sekarang?” 

“Ya” 

“Apakah tuan belum pandai memanah?” 

Agung Sedayu menggeleng. “Belum Swandaru” 

Swandaru menarik nafas. Ia benar-benar kecewa mendengar pengakuan itu. karena itu ia 

bertanya “Apakah tuan berkata sebenarnya?” 

“Apakah kau sangka aku pandai memanah?” bertanya Agung Sedayu. 

“Tuan adalah anak muda yang kami kagun=mi. ataukah mengkin tuan hanya pandai bertempur 

dalam jarak yang pendek? Dengan pedang dan tombak?” 

“Entahlah Swandaru. Cobalah lihat, bagaimanakah penilaianmu atas diriku” 

Swandaru tidak menjawab. dengan tergesa-gesa ia melepaskan busur yang menyilang 

dipunggungnya/ dan diambilnya anak panahnya dari bumbung dilambung kuda putihnya. “Inilah 

tuan” katanya. “Namun berlatih memanah bukanlah dapat dilakukan sehari dua hari” 

“Itulah sebabnya kau mulai dari sekarang” 

Swandaru tidak menjawab. ia menjadi tegang ketika ia melihat Sedayu memegang busur dan 

anak panahnya. 

“Swandaru” berkata Sedayu “Aku akan mencoba mengenai sasaran yang masih bergantung itu. 

Tolong, ayunkanlah seperti pada saat perlombaan tadi” 

Swandaru menjadi heran. Kalau Agung Sedayu masih ingin belajar, mengapa sasaran itu harus


diayunkannya? Tetapi ia tidak menjawab. Ia berjalan saja kearah sasaran yang masih 

tergantung terbalik itu. Ditariknya orang-orangan itu dan kemudian dilepaskannya seperti pada 

saat perlombaan kedua antara Hudaya, Citra Gati dan Sidanti. 

Tetapi Swandaru menjadi bertambah heran ketika ia melihat Agung Sedayu menggelengkan 

kepalanya. Dengan tangan Agung Sedayu memberi isyarat, supaya Swandaru mempercepat 

ayunan orang-orangan itu. 

“Aneh”” pikir Swandaru “Apakah yang akan dilakukannya?” 

Kini Swandaru itupun tidak bertanya. Ditariknya orang-orangan itu semakin jauh, dan kemudian 

sasaran itu tidak saja dilepaskan namun didorongnya sehingga ayunannya menjadi bertambah 

cepat. 

Tetapi kemudian Swandaru itu melihat Agung Sedayu melambaikan tangannya memanggil. 

Berlari-lari kecil Swandaru pergi mendekati Agung Sedayu, katanya setelah ia berdiri disamping 

anak muda itu “Nah, sekarang apakah yang akan tuan lakukan?” 

“Swandaru” berkata Agung Sedayu “Apakah yang harus aku kenai?” 

“Terserahlah kepada tuan” jawab Swandaru. “namun dalam perlombaan-perlombaan, 

kepalanyalah yang diangap mempunyai nilai tertinggi” 

Sedayu tidak menjawab lagi. Perlahan-lahan ia mengangkat busurnya, sedang Swandaru 

memandanginya dengan wajah yang tegang. 

“Aku akan mengenainya dari atas berturut-turut” berkata Agung Sedayu. “Mulai dari bandul, 

kemudian badan, leher dan yang terakhir kepala” 

Swandaru tidak menjawab. Meskipun untuk mengenai kepala sasaran itu cukup sulit, namun 

mengenai semua bagian berturut-turut menurut rencana itupun bukan pekerjaan yang mudah. 

Apalagi ia belum pernah melihat, apakah Sedayu itu benar-benar dpat membidikkan panahnya. 

Tetapi kemudian Swandaru itupun terpaku melihat anak panah Sedayu. Anak panah yang 

pertama itu laju dengan cepatnya, dan seperti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu, anak 

panah itu mengenai bandulnya tepat ditengah-tengah. 

“Tuan” berkata Swandaru dengan serta-merta. “Ternyata tuan tidak sedang belajar memanah. 

Tuan dapatmengenai sasaran yang tuan bidik dengan tepat” 

“Aku akan mencoba mengenai badannya” sahut Sedayu. Namun ia meneruskan kata-katanya 

“Tetapi kau harus berjanji” 

“Apakah yang harus aku janjikan?” 

“Jangan berkata kepada siapapun tentang apa yang akan kau lihat” 

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tidak mengerti sikap Agung Sedayu. 

Apakah ia sedang merahasiakan sesuatu? Seandainya ia mempunyai cara yang khusus, 

supaya cara itu tidak dapat ditiru oleh orang lain, apakah salahnya kalau ia mengatakan 

hasilnya saja? Meskipun demikian, namun Swandaru itu mengguk kosong sambil menjawab 

“Baiklah tuan” 

“Kau berjanji?” 

“Ya” 

“Bagus” sahut Sedayu. Dalam pada itu ia telah mengangkat busurnya kembali. Dan panahnya 

yang kedua itupun benar-benar mengenai bagian badan dari orang-orangan yang masih saja 

terayun-ayun itu. 

“Luar biasa” desis Swandaru. “Tuan benar-benar mengherankan. Tuan membidik bandul, anak 

panah tuan hinggap dibandul. Tuan membidik badan dan anak panah tuan hinggap dibadan. 

Sekarang tuan akan mengenai lehernya, bukan begitu?” 

“Aku akan coba” jawab Sedayu. Namun demikian ia selesai mengucapkan kata-katanya, 

demikian anak panahnya terbang menuju sasarannya, leher. 

“Bukan main tuan” berkata Swandaru. “Sekarang bukankah tuan akan mengenai kepala orang-

orangan itu?” 

Sedayu mengangguk. 

“Seharusnya, tuan mengenainya tiga kali. Dengan demikian aku akan yakin, bahwa tuan lebih 

pandai dari anak muda yang sombong itu”


“Jangan membanding-bandingkan Swandaru” sahut Sedayu. “Aku tidak sedang berlomba. 

Perlombaan itu sudah selesai dan Sidantilah yang mendapatkan kedudukan tertinggi. Sedang 

kini aku hanya bermain-main saja. Tak ada hubungan apapun dengan perlombaan yang baru 

saja selesai.” 

Sekali lagi Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berkata apapun. Diamatinya anak 

panah dibusur Sedayu dengan seksama. Sambil membungkuk-bungkuk ia memerhatikan setiap 

gerak jari Agung Sedayu. Dan sesaat kemudian lepaslah anak panah yang keempat itu. 

Sekali lagi Swandaru berteriak “Bukan main, bukan main. Tuan telah mengenainya pula” 

Sedayu tertawa kecil. Ia senang pula melihat seseorang mengaguminya. Apabila demikian, 

sebenarnya timbul pula keinginannya agar semua prang mengetahuinya pula, bahwa 

sebenarnya iapun dapat berbuat saperti apa yang dilakukan oleh orang lain. Namun kembali ia 

menjadi cemas, apabila dibayangkannya akibat dari kelebihannya itu. Ia cemas kalau ada 

orang yang mendendamnya. Dan kini yang hadir di lapangan itu tinggal seorang saja. 

Swandaru. Dan Swandaru telah berjanji kepadanya, untuk tidak mengatakan apapun dan 

kepada siapapun tentang apa yang dilihatnya. Karena itu, sebagai imbangan dari ketakutannya, 

maka meledaklah keinginannya untuk menunjukkan setiap kemampuan yang ada pada dirinya, 

meskipun hanya terhadap seorang saja dan kepada dirinya sendiri. 

Maka katanya “Swandaru, berapakah anak panahmu seluruhnya?” 

“Sepuluh tuan” jawab Swandaru. 

“Marilah, berilah aku dua lagi, supaya aku dapat mengenai kepala sasaran itu tiga kali” 

Swandaru yang menjadi gembira melihat permainan Agung Sedayu itupun berlari-lari 

kekudanya. Diambilnya seluruh anak panahnya dan diserahkannya kepada Agung Sedayu 

“Inilah tuan” 

Agung Sedayu menerima anak panah itu. Kemudian dengan cepatnya ia melepaskan dua anak 

panah berturu-turut. Dan keduanya itupun hinggap dikepala sasaran pula. 

Swandaru itupun bertepuk tangan sambil berteriak-teriak “Mengagumkan, mengagumkan”. 

Namun kemudian ia terdiam ketika Agung Sedayu berdesis “Jangan ribut Swandaru, aku tidak 

mau bermain-main lagi” 

“Ternyata tuan melampaui setiap orang yang ikut dalam perlombaan itu. Kenapa tuan sendiri 

tidak ikut serta?” 

Sekali lagi Agung Sedayu membantah, katanya “Tidak, tak ada hubungannya dengan 

perlombaan yang baru saja berakhir” 

“Ya” sahut Swandaru. “Memang tak ada hubungannya. Tetapi tuan benar-benar telah 

mengagumkan aku. Seandainya tuan melakukannya selagi masih banyak orang dilapangan ini, 

maka lapangan ini pasti akan meledak karena sorak mereka yang gemuruh” 

“Sudahlah. Lupakan perlombaan itu” potong Agung Sedayu. “Apakah kita masih akan bermain-

main?” 

“Tentu” jawab Swandaru. “Apakah tuan masih mempunyai permainan yang lebih baik lagi?” 

“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian. “Apakah yang lebih kecil dari kepala sasaran 

itu?” 

Swandaru mengerutkan keningnya.jnya “Tak ada tuan” 

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya sasaran yang bergerak-gerak 

terayun kian kemari meskipun sudah semakin lambat. Dan kemudian terdengar ia bertanya 

“Swandaru, bahan apakah yang dibuat untuk tali pengikat orang-orangan itu?” 

Swandaru menjadi heran. Ia tidak tahu maksud pertanyaan Agung Sedayu. Meskipun demikian 

ia menjawab juga “Serat tuan, serat nanas yangdipilin menjadi tali yang kuat” 

“Apakah bukan jangat?” 

“Oh, bukan tuan. Jangat kulit terlalu kaku” 

“Marilah kita buktikan” 

Sekali lagi Swandaru menjadi keheran-heranan. Apakah hubungannya antara panah-panah 

dan serat nanas itu? karena itu maka ia bertanya “Bagaimanakah tuan akan membuktikan? 

Dan apakah gunanya


Agung Sedayu tidak menjawab. namun dipasangnya sebatang anak panah dibusurnya. 

Perlahan-lahan busur itupun diangkatnya. Kini ia membidikkan anak panah itu. 

Swandaru yang masih belum tahu maksud Agung Sedayu memperhatikannya dengan berbagai 

pertanyaan memenuhi dadanya. Kali ini Agung Sedayu menarik tali busur sepenuhnya, 

sehingga busur itu seakan-akan hampir menjadi patah. Dengan hati yang berdebar-debar 

Swandaru memandangi busurnya. Namun tiba-tiba Agung Sedayu melepaskan anak panah itu, 

dan anak panah itu terbang secepat angin. 

Betapa Swandaru menjadi terkejut menyaksikan hasil bidikan Agung Sedayu. Sehingga untuk 

beberapa saat ia tegak seperti patung. Dengan mulut ternganga ia menyaksikan anak panah 

yang lepas dari busutnya dengan laju yang tinggi itu telah memutus tali penggantung orang-

orangan yang terayun-ayun. Demikian cepatnya dan demikian kerasnya. Barulah ia tahu 

maksud pertanyaan Agung Sedayu, tentang bahan pembuat tali itu. 

Swandarupun pernah juga melihat tali penggantung sasaran itu terputus karena anak panah. 

Namun justru karena sama sekali tak disengaja. Justru karena anak panah yang condong dari 

arah bidikan. Tetapi kini Agung Sedayu telah dengan sengaja membidik tali itu. Tali yang jauh 

lebih kecil dari sasaran itu sendiri. Dan Agung Sedayu ternyata tepat mengenainya. 

Karena itu, ketika ia menyadari tentang apa yang dilihatnya maka dengan serta-merta ia 

meloncat maju. Dengan gairahnya ia mengguncang-guncang bahu Agung Sedayu sambil 

berkata terbata-bata “Tuan. Ternyata dugaanku benar. Tuan ternyata benar-benar melampaui 

setiap orang yang pernah aku lihat. Bukankah dengan mengenai tali itu terbukti tuan tak 

mungkin dikalahkan oleh siapapun juga. Tali itu jauh lebih kecil dari kepala sasaran itu. Dan tali 

itu sedang bergerak-gerak. Ternyata tuan dapat mengenainya. Tidak saja tepat, namun tuan 

sudah berhasil memutuskannya. Bukankah dengan demikian berarti bahwa tuan mengenainya 

tepat ditengah-tengah?” 

Agung Sedayu yang terguncang-guncang itupun melepaskan dirinya. Sambil tertawa ia berkata 

“Jangan Swandaru. Nanti tubuhku rontok karena guncanganmu. Ternyata tenagamu luar biasa 

pula, sehingga tulang-tulangku hampir remuk karenanya” 

Swandaru menarik nafas. Dengan penuh kekaguman sekali lagi ia memandangi ujung tali yang 

terputus oleh anak panah Agung Sedayu. Sambil menggeleng-gelengkan kepala ia 

bergumam ”Apakah tuan dapat menaruh biji-biji mata diujung-ujung anak panah itu?” 

Agung Sedayu tidak menjawab. namun ia tertawa. Kini iapun menjadi bergembira pula seperti 

Swandaru. Bahkan ia menjadi semakin berbangga. Timbullah keinginannya untuk menunjukkan 

berbagai macam permainan, yang dapat menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya 

dari orang lain sebagai pencurahan hatinya yang selalu terkekang oleh kekerdilan jiwanya. 

“Swandaru” berkata Agung Sedayu kemudian “Didalam pertempuran orang tidak saja terikat 

kepada sasaran tertentu. Mungkin ia harus membidik lawan yang sedang berlari kencang 

bahkan diatas punggung kuda. Mungkin ia harus membidik tubuh lawannya yang hanya 

nampak sebagian kecil karena bersembunyi dibalik pepohonan. Nah, maukah kau membantu 

aku bermain-main dengan anak panah?” 

“Tentu tuan” jawab Swandaru. 

“Tetapi kau harus tatag. Jangan cemas, apabila kau melihat anak panah yang mendatang” 

“Apakah yang harus aku lakukan?” 

“Bawalah orang-orangan itu sambil berpacu dipunggung kuda. Aku akan mencoba 

mengenainya” 

“Ah, bukankah itu berbahaya?” 

Agung Sedayu berpikir sejenak. Kemudian jawabnya “Baiklah. Aku mempunyai cara lain. 

Lepaskanlah kepala sasaran itu. Lemparkan keudara. Biarlah aku mengenainya dengan anak 

panah” 

“Bagus. Permainan yang mengasyikan” sahut Swandaru yang kemudian berlari-lari mengambil 

sasaran yang telah terjatuh ditanah. Dilepasnya bagian kepalanya dan dengan isyarat ia 

menunjukkan kepala orang-orangan itu kepada Agung Sedayu. 

Agung Sedayu kemudian bersiap. Dengan isyarat pula ia memberi tanda kepada Swandaru 

untuk melemparkan sasaran itu keudara.


Kedua anak muda itu benar-benar menjadi bergembira, seperti sepasang anak-anak yang 

sedang bermain-main. Dalam kegembiraan itu maka Agung Sedayu telah melupakan 

segalanya. Melupakan kecemasannya dan melupakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat 

menyeretnya kedalam persoalan-persoalan yang tidak dikehendakinya. 

Swandaru yang berdiri beberapa puluh langkah dari Agung Sedayu itupun kemudian 

melemparkan sasarannya kearah Agung Sedayu. Ternyata betapa besarnya tenaga Swandaru. 

Meskipun sasatan itu hempir tak memiliki berat, namun Swandaru berhasil melemparkan 

melambung melampaui tempat Agung Sedayu berada. 

Tetapi sasaran itu tidak sempat melampauinya. Ketika benda itu hampir sampai diatas 

kepalanya, maka meluncurlah anak panah Agung Sedayu dengan kecepatan tinggi. 

Apa yang dilihat oleh Swandaru benar-benar mentakjubkannya. Kini ia bertepuk sejadi-jadinya. 

Ia melihat anak panah itu menyambar sasarannya dan bahkan sasaran itupun ikut serta 

melambung keatas dibawa oleh arus anak panah Agung Sedayu, hampir tegak lurus keudara. 

Tetapi tepuk tangan Swandaru itupun kemudian terhenti. Ia melihat Agung Sedayu melangkah 

beberapa langkah maju. Dengan tegangnya ia menunggu, apalagi yang akan dilakukan oleh 

Agung Sedayu itu, yang kini berdiri tepat dibawah sasarannya yang hampir mencapai puncak 

ketinggian. Dan ternyatalah sesaat kemudian sasaran itupun seolah-olah terhenti diudara, dan 

sesaat pula sasaran itu menukik turun dengan cepatnya. 

Namun kembali Swandaru terkejut. Ia melihat Agung Sedayu menarik busurnya dan sebuah 

anak panah terbang secepat tatit menyambar sasaran yang sedang meluncur turun itu. Sesaat 

kemudian kedua benda itupun seolah-olah beradu. Anak panah Agung Sedayu yang 

kesembilan telah berhasil mematuk sasarannya pula, sehingga benda itupun kemudian 

berputar seperti baling-baling diudara. Dua batang anak panah yang saling bertentangan itu 

seolah-olah sengaja dipasang sebagai jari-jari dari sebuah baling-baling. Swandaru kini tak 

dapat menguasai diri lagi. Dengan cepatnya ia berlari mendekati Agung Sedayu sambil 

berteriak-teriak “Gila, bagaimana tuan dapat melakukan itu?” 

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia melingkar beberapa langkah surut. Sasaran yang 

dikenainya melambung pula keatas, namun tidak setinggi semula. Karena itu, kini Agung 

Sedayu siap melakukan permainannya yang terakhir. Panahnya tinggal sebatang, dan panah 

itu akan dihabiskannya. Dengan cepatnya ia memasang anak panah itu dan sebelum 

sasarannya jatuh menyentuh tanah, maka Agung Sedayu masih sempat menyambarnya 

dengan anak panahnya yang kesepuluh. 

Sasaran itu terlempar beberapa langkah, dan kemudian terjatuh ditanah. Namun seakan-akan 

sasaran itu terseret oleh kekuatan anak panah Sedayu beberapa langkah lagi. 

Apa yang dilihat oleh Swandaru itu hampir-hampir tak masuk diakalnya. Tiga anak panah 

hinggap pada satu sasaran yang sedang melambung diudara. 

Seperti orang yang benar-benar kehilangan kesadaran Swandaru berteriak-teriak kegirangan. 

Bahkan kemudian anak itu telah kehilangan keseimbangan berpikir. Dengan serta-merta ia 

berteriak “Tuan. Setiap orang Sangkal Putung harus tahu apa yang telah tuan lakukan. ternyata 

Sidanti tidak sepantasnya untuk menamakan dirinya pemanah terbaik dari Sangkal Putung. 

Sebab tuan dapat memanah jauh lebih baik daripadanya” 

Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata Swandaru itu. Dengan cemasnya ia berkata 

“Jangan Swandaru, bukankah kau telah berjanji?” 

“Tuan terlalu merendahkan diri” sahut Swandaru. “Tetapi sekali lagi anak yang sombong itu 

harus menyadari keadaannya, ia bukan manusia yang tak ada bendingnya. Bahkan Sidanti itu 

pasti tak akan dapat melakukan seperti apa yang tuan lakukan itu” 

“Jangan Swandaru” cegah Agung Sedayu. 

Namun Swandaru solah-olah sudha tidak mendengar lagi kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan 

cepatnya ia berlari kearah kuda putihnya. Dan sebelum Agung Sedayu sempat berbuat sesuatu, 

Swandaru telah meloncat kepunggung kudanya itu dan seperti sedang berpacu dengan hantu 

kuda itu lari kencang-kencang. 

Agung Sedayu menjadi bingung. Untunglah bahwa dalam endongnya sudah tidak terselip lagi 

sebatang anak panahpun. Seandainya, ya seandainya demikian, maka sudah pasti kuda 

Swandaru itu tak akan dapat pulang kekandang


Tetapi yang terjadi, Agung Sedayu itu berdiri dengan kaki gemetar melihat kuda Swandaru itu 

terbang meninggalkan lapangan. Sekilas berterbangan pulalah didalam benaknya, apakah kira-

kira yang akan dilakukan oleh Swandaru itu. Terbayanglah kemudian, Sidanti akan datang 

dengan wajah yang merah membara karena kemarahannya. 

Didalam hati Agung Sedayu itu, timbullah suatu penyesalan. Betapa dengan sombongnya ia 

telah menunjukkan beberapa permainan yang akan dapat membawa kesulitan kepadanya. 

Apalagi kini pamannya sedang marah pula kepadanya.Namun ia sudah tidak dapat berbuat 

sesuatu. Swandaru itu kini telah hilang dibalik rimbunnya dedaunan. 

Yang tinggal adalah sebuah kepulan debu yang putih, semakin lama semakin tipis dan akhirnya 

lenyap ditiup angin yang sepoi-sepoi. karena itu, maka keringat yang dingin segera mengalir 

membasahi segenap tubuh Agung Sedayu. 

Swandaru itupun memacu kudanya menyusul Sidanti yang sedang berjalan perlahan-lahan 

kembali kekademangan. Dengan asyiknya ia bercakap-cakap dengan beberapa orang yang 

sedang mengaguminya. Bahkan Sekar Mirah yang kemudian berjalan disamping ayahnya 

itupun berkali-kali berpaling dan sekali-sekali dipujinya anak muda itu dihadapan ayahnya. 

Ki Demang Sangkal Putung hanya kadang-kadang saja menanggapi pujian-pujian itu. Namun 

didalam hatinya, orang tua itu benar-benar mengeluh. Gadisnya harus benar-benar dikuasainya. 

karena itu, maka Ki Demang Sangkal Putung itu, bahkan bertekad untuk bersikap lebih keras 

lagi terhadap Sekar Mirah. Ia menyesal bahwa anak gadisnya satu-satunya itu terlalu 

dimanjakannya. Baik oleh dirinya sendiri maupun oleh ibunya, sehingga Sekar Mirah itu 

mempunyai sifat yang sukar dikendalikan. Ia berbuat seenaknya seperti yang dikehendakinya. 

Perasaannya terlalu tampil kedepan, jauh kedepan dari pikiran wajarnya. 

Widura berjalan saja tanpa menghiraukan apapun. Hanya kadang-kadang saja ia memandang 

orang-orang yang lalu lalang disekitarnya. Ditatapnya wajah-wajah yang dengan gembira 

pulang dari lapangan menyaksikan perlombaan-perlombaan yang sangat menarik hati. 

Perlombaan-perlombaan yang jarang terjadi di kademangan yang subur itu. 

Tetapi langkah Widura itupun kemudian terhenti, ketika ia melihat dua orang berkuda menuju 

kearahnya. Dua orang yang dikenal baik oleh Widura, sebagai laskarnya yang patuh. Bahkan 

kedatangan dua orang berkuda itupun sangat menarik perhatian orang-orang yang sedang 

berjalan pulang dari lapangan itu. Sehingga ada diantaranya yang ikut berhenti pula, menanti 

kalau-kalau ada sesuatu yang penting bagi Sangkal Putung. Tetapi kedua orang itu ternyata 

sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang mencemaskan, dengan tersenyum-senyum ia 

kemudian turun dari kudanya dan kemudian mengangguk hormat kepada Widura. 

Widurapun mengangguk pula. dilihatnya juga kedua orang itu hanya tersenyum-senyum, 

namun bagi Widura, senyum mereka adalah senyum yang tak begitu wajar. Meskipun demikian 

Widura tahu benar maksud kedua orang itu. Mereka tidak mau merampas kegembiraan orang-

orang Sangkal Putung dengan sikap-sikap yang tegang dan tergesa-gesa. 

Widurapun kemudian tidak bertanya langsung apa keperluan mereka. Tetapi ia yakin pasti ada 

sesuatu. Kedua orang itu adalah or yang sedang bertugas berjaga-jaga diujung kademangan. 

“Perlombaan sudah selesai” berkata Widura kepada mereka. “Marilah kita ke kademangan” 

Kedua orang itupun mengangguk-anggukkan kepalanya, dan dengan menuntun kuda mereka, 

mereka berjalan disamping Widura ke kademangan. 

Sidantipun melihat kedua orang itu pula, demikian juga Hudaya dan Citra Gati. Bahkan Sonya 

yang berjalan jauh-jauh dibelakang bersama Sendawa mempercepat langkah mereka. Tetapi 

mereka menjadi kecewa ketika ternyata kedua orang itu tak berkata apa-apa. 

Orang-orang Sangkal Putung yang berhenti karena kedatangan orang-orang berkuda itupun 

kemudian meneruskan langkah mereka. Ternyata dalam tanggapan mereka, kedua orang 

berkuda itupun agaknya hanya ingin menyaksikan perlombaan dilapangan, namun mereka 

sudah terlambat. 

Namun Widura yang segera ingin tahu apa yang sudah terjadi itu, ternyata tidak sabar 

menunggu sampai mereka tiba dikademangan. karena itu maka perlahan-lahan hampir berbisik 

ia berkata “Ada sesuatu?” 

Salah seorang dari kedua orang berkuda itu mengangkat wajahnya. sesaat ia memandang


orang-orang berjalan disekitarnya namun kemudian dengan berbisik pula ia berkata “Tak begitu 

penting, meskipun harus mendapat perhatian” 

“Apakah itu?” 

“Diantara beberapa orang yang lewat dimuka gardu penjagaan kami, kami melihat seorang 

yang menarik perhatian kami” 

Widura mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Siapa?” 

“Seorang yang barangkali hadir juga menyaksikan perlombaan dilapangan. Meskipun 

pakaiannya kumal dan kotor, namun tongkatnya telah meyakinkan kami” 

“Tongkat baja putih?” 

Orang itu mengangguk. 

“Berkelapa kuning berbentuk tengkorak?” 

Sekali lagi orang itu mengangguk. 

Widura itupun menggeram “Macan yang gila itu sempat menyaksikan perlombaan itu pula” 

“Aku sangka demikian. Namun kami tidak berani menangkapnya. Sebab kami tahu pasti 

kekuatan yang tersimpan pada dirinya” 

“Kalian telah berbuat benar” sahut Widura. “Juga kalian tak dapat menghitung, berapa orang 

yang dibawanya” 

Prajurit berkuda itu mengangguk. Katanya “Kami berenam didalam gardu kami. Seandainya 

kami harus bertempur, belum pasti kami berenam sempat melaporkan kehadirannya. Yang 

dapat kami lakukan hanyalah memukul tanda bahaya. Dan orang-orang itupun segera akan 

lenyap. Sedang sebagian besar dari kami, pasti sudah mati” 

“Benar” sahut Widura pula, kemudian katanya “Apakah mereka sudah meninggalkan Sangkal 

Putung?” 

“Kami menyangka demikian” jawab orang itu. 

“Aku juga menyangka demikian” berkata Widura. “Orang itu hanya ingin tahu, apakah yang 

terjadi disini, dan sekaligus ia dapat mengetahui pula, gambaran kekuatan laskar kita disini. 

Untunglah bahwa perlombaan pedang dan sodoran hanya aku peruntukkan anak-anak muda 

Sangkal Putung, sehingga Tohpati itu tidak dapat mengukur kekuatan prajurit Pajang di 

Sangkal Putung” 

Orang itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kemudian mereka itupun saling berdiam 

diri. Namun apa yang didengar oleh Widura dari penjaga-penjaganya itu, semakin 

meyakinkannya, bahwa apa yang dikatakan Kiai Gringsing semalam benar-benar akan 

dilakukan oleh Tohpati. Sekali lagi menyergap Sangkal Putung. 

Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda yang berdentang-dentang dijalan 

berbatu-batu dibelakang mereka. Semakin lama menjadi semakin keras, sehingga setiap orang 

yang mendengarnya menjadi cemas karenanya. Bahkan kedua prajurit berkuda itupun menjadi 

cemas pula. 

karena itu, maka semua mata, berpuluh-puluh pasang, seakan-akan melekat ditikungan jalan 

dibelakang mereka. 

Sesaat kemudian muncullah kuda itu, seekor kuda putih dengan penunggangnya yang gemuk 

bulat. Swandaru. 

“Oh” hampir semua mulut berdesah, ketika mereka melihat anak muda itu. Sedang Swandaru 

itupun menjadi terkejut pula ketika dilihatnya beberapa orang berhenti dijalan seakan-akan 

sedang menunggunya. Sehingga tanpa sesadarnya ia bertanya sambil menarik kekang 

kudanya. “Apakah yang kalian tunggu?” 

Kuda Swandaru itu berhenti beberapa langkah dari Sidanti. Namun Sidanti itu kemudian sama 

sekali tak memperhatikannya. Dengan langkah yang tetap Sidanti meneruskan perjalanannya 

kembali kekademangan. 

Ki Demang Sangkal Putung, yang masih agak jauh dari padanya menjawab pertanyaan 

anaknya “Kau mengejutkan kami, Swandaru” 

“Ah” sahut Swandaru. “Betapa ayah mudah menjadi terkejut, sedang kakang Sidantipun sama 

sekali tidak terkejut mendengar derap kudaku”



Langkah Sidantipun terhenti. Dengan wajah yang asam ia berpaling kearah Swandaru. Namun 

hanya sebentar, dan kembali ia tidak memperhatikan anak muda itu lagi, seakan-akan 

kehadirannya sama sekali tak berarti baginya. 

Swandaru melihat kemasaman wajah itu. karena itu maka hatinyapun menjadi semakin panas. 

Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk memanaskan hati Sidanti pula. maka katanya lantang 

“Kakang Sidanti, berhentilah sebentar” 

Sekali lagi Sidanti berpaling, kali ini ia memandang Swandaru dengan tajam, katanya “Jangan 

ribut Swandaru” 

“Aku tidak sedang ribut “Jawabnya. “Tetapi aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa 

sebenarnya bukan kaulah pemanah terbaik di Sangkal Putung” 

Kali ini Sidanti benar-benar berhenti. Ia tidak saja berpaling, namun dengan sigapnya ia 

memutar tubuhnya. Ditatapnya wajah Swandaru dengan tajamnya. Dan bertanyalah anak muda 

itu dengan suara yang bergetar “Apa katamu Swandaru?” 

Ki Demang Sangkal Putung dan Widurapun tertarik pula pada kata-kata Swandaru itu. Namun 

mereka menjadi cemas, dan berkatalah Ki Demang Sangkal Putung “Swandaru, hati-hatilah 

dengan kata-katamu” 

Swandaru tidak menghiraukan kata-kata ayahnya. Dengan masih tetap diatas punggung 

kudanya ia berkata “Aku berkata sebenarnya, bahwa kakang Sidanti bukan pemanah terbaik 

diantara kita” 

Sidanti itupun menjadi heran mendengar kata-kata Swandaru yang tiba-tiba itu. karena itu 

beberapa langkah ia maju mendekati Swandaru. katanya “Ulangi Swandaru. dan apa 

alasannya?” 

“Baik” jawab Swandaru. “Aku ulangi. Kau bukan pemanah terbaik di Sangkal Putung. Alasanku, 

dilapangan masih ada seorang pemanah yang pasti melampaui kecakapanmu” 

Dada Sidanti menjadi bergelora. Betapa hatinya menjadi panas. Seandainya pada saat itu tidak 

ada Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah maka mulut 

Swandaru itu pasti sudah ditamparnya untuk ketiga kalinya. 

Tetapi kini ia masih mencoba menahan dirinya. Sedang beberapa orang lainpun melangkah 

mendekati mereka. Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Sekar Mirah dan 

beberapa orang lainnya. 

Sekali lagi Ki Demang Sangkal Putung mencoba mencegah anaknya yang kurang dapat 

menempatkan diri itu, katanya “Swandaru, sudahlah, jangan membual. Apapun yang terjadi 

dilapangan menurut katamu, namun perlombaan sudah selesai. Dan angger Sidantilah yang 

kami anggap sebagai pemenangnya” 

Swandaru tertawa. Jawabnya “Ternyata anggapan itu salah ayah” 

“Tidak bisa” sahut ayahnya. “Kami semuanya menjadi saksi” 

Swandaru masih tertawa. Dipandangnya kemudian wajah-wajah yang tegang disekitarnya. 

Dilihatnya beberapa orang memandangnya dengan penuh pertanyaan pada sinar matanya. 

kKarena itu, maka Swandaru itupun berkata pula “Baiklah. Katakanlah dalam perlombaan itu 

kakang Sidanti ternyata menjadi pemenang. Namun aku katakan bahwa ia bukanlah pemanah 

terbaik di Sangkal Putung” 

Widura masih tetap berdiam diri. Dengan cepatnya ia memaklumi maksud Swandaru. ketika tak 

dilihatnya Agung Sedayu diantara mereka, maka pasti Agung Sedayulah yang dimaksud oleh 

Swandaru itu.dan dengan cepat pula Widura dapat mengira-irakan apakah yang telah dilakukan 

oleh Agung Sedayu. Agaknya ia telah melakukan beberapa permainan bersama Swandaru. 

Namun Widura menjadi heran, bahwa Swandaru telah menyusul Sidanti dna mengatakan apa 

yang dilihatnya. Apakah maksud Swandaru itu telah disetujui Agung Sedayu? 

Sidanti telah hampir tak dapat menahan dirinya lagi. Dengan lantang ia berteriak “Jangan 

banyak bicara Swandaru. katakan siapa orangnya!” 

Swandaru meredupkan matanya. Dipandangnya Sidanti baik-baik. Apakah yang akan terjadi 

kalau ia menyebutkan nama orang yang telah mengagumkannya itu? Dan dengan las-lasan 

disebutnya nama itu, katanya “Kau ingin tahu namanya? Namanya Agung Sedayu” 

Sidanti mendengar nama itu, seperti suara guruh yang meledak diatas kepalanya. Sesaat


wajahnya menjadi tegang, namun sesaat kemudian tubuhnya menjadi gemetar. Tiba-tiba 

semua orangpun menjadi tegang pula ketika mereka melihat Sidanti itu, tanpa sepatah katapun, 

melangkah dengan tergesa-gesa menyibak semua orang yang berdiri disekitarnya. Dengan 

dada yang bergelora ia berjalan kembali kepalangan sambil menjinjing busurnya. Namun 

demikian masih juga ia bergumam “Bagus. Kita buktikan, siapakah diantara kita yang akan 

menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung” 

Beberapa orang yang kemudian tersadar akan keadaan itu, segera berjalan pula kembali 

kelapangan. Mereka ingin menyaksikan apakah gerangan yang akan terjadi. 

Widura memandang si dengan hati yang berdebar-debar pula. sesaat ia menjadi ragu-ragu. 

Namun sesaat kemudian disadarinya, bahwa ia harus hadir pula dilapangan. Seandainya terjadi 

sesuatu dengan Sidanti dan Agung Sedayu, maka iapun harus dengan cepat dapat 

mengatasinya. Meskipun demikian, Widura itu tak dapat melupakan kehadiran Tohpati di 

Sangkal Putung. karena itu sebelum ia pergi menyusul Sidanti, dipesannya dua orang berkuda 

itu untuk segera kembali kegardunya, katanya “Kembalilah kegardumu. Beritahukan kemudian 

gardu-gardu yang lain. Dan selalu siapkanlah tanda bahaya. Jangan terlambat” 

Kedua orang itu mengangguk, jawabnya “Baik. Akan segera kami lakukan” 

Demikian kedua orang berkuda itu pergi, maka berkatalah Widura kepada ki Demang yang 

masih saja berdiri kebingungan “Marilah kita saksikan, apakah yang terjadi” 

“Baik, baik” jawab Ki Demang. Dan kepada Swandaru ia berkata “Swandaru, kau selalu saja 

bikin perkara. Bukankah dengan demikian kau telah memanaskan hati Sidanti? Apalagi kalau 

ternyata kata-katamu benar. Lalu bagaimanakah dengan hasil perlombaan itu?” 

“Kalau mereka ingin bertanding, apa salahnya ayah” jawab Swandaru. “Bukankah dengan 

demikian kita akan mendapat penilaian yang jujur atas semua orang di Sangkal Putung?” 

“Kalau ada yang ketinggalan dalam perlombaan, itu adalah karena keinginannya sendiri” jawab 

Ki Demang. Namun ia tidak dapat berkata apapun seterusnya, ketika diingatnya bahwa Agung 

Sedayu adalah kemenakan Widura. 

Tetapi Widuralah yang meneruskan “Apa yang terjadi kemudian tidak akan mempengaruhi hasil 

perlombaan. Adalah salah Agung Sedayu sendiri kenapa ia tidak ikut serta dalam perlombaan 

itu. Betapapun pandainya ia membidikkan anak panah, namun apabila itu dilakukan setelah 

perlombaan, maka tak ada sebuah nilaipun yang dapat diberikan padanya” 

Swandaru kini jadi terdiam. Ia sama sekali tak berani menjawab kata-kata Widura. Namun 

orang lainlah yang kemudian berkata “Biarlah kakang. Biarlah anak muda yang sombong itu 

dapat menilai dirinya. Seandainya seseorang dapat melampauinya, meskipun kelebihan itu tak 

dapat mempengaruhi hasil perlombaan, namun kita semua akan mengetahuinya, bahwa ada 

orang lain yang sebenarnya lebih berhak atas kemenangan itu daripada Sidanti” 

Widura berpaling kearah suara itu. Dilihatnya dibelakangnya Hudaya mengangguk-anggukkan 

kepalanya, sambil berkata “Kau benar kakang Citra Gati” 

Widura menarik nafas dalam-dalam. Meskipun demikian ia menjawab “Aku harus ada diantara 

mereka. Pertandingan yang kemudian inipun tak boleh lebih dari pertandingan memanah” 

Hudaya tersenyum masam. Sahutnya “Apa salahnya? Bukankah semuanya ini terjadi diluar 

arena yang seharusnya? Kalau kali ini kakang masih mencegahnya, maka itu hanya aka 

nberarti menunda-nunda penyelesaian” 

Didalam hatinya Widurapun membenarkan kata-katanya Hudaya itu. Namun segera terlintas 

didalam kepalanya, bayangan-bayangan yang mencemaskannya. Tohpati. Kalau orang-

orangnya sibuk dengan bentrokan-bentrokan antara sesama, apakah jadinya kalau Tohpati itu 

tiba-tiba saja menerkam Sangkal Putung,? Kalau terjadi sesuatu, maka hal itu pasti akan 

didengar oleh Macan Kepatihan itu. Sebab siapa tahu bahwa seorang dua orang dari laskar 

Jipang masih ada diantara mereka dan menyaksikan perselisihan itu. 

Hal inilah yang tak terpikirkan oleh Hudaya, Citra Gati dan orang-orang lain. Mereka hanya 

menuruti perasaan mereka saja. Kebenciannya kepada kesombongan Sidanti agaknya telah 

benar-benar memuncak. Dan mereka mengharap Agung Sedayu akan memberi beberapa 

peringatan kepada Sidanti. Namun ada hal lain lagi yang tak mereka ketahui. Agung Sedayu 

tidak lebih dari seorang penakut. 

karena itu, kali inipun Widura menjadi pening karenanya. Meskipun demikian, maka Widura


berkata tegas “Tak akan ada perkelahian diantara kita” 

Hudaya dan Citra Gati tidak berkata-kata lagi. Namun wajahnya membayangkan kekecewaan 

hatinya. Sesaat mereka saling berpandangan. Hudaya itu, kemudian tersenyum hambar ketika 

ia melihat Citra Gati mengangkat bahunya. 

Ketika mereka melihat Widura melangkah kembali kelapangan, mereka itupun mengikutinya 

pula. sedang Ki Demang Sangkal Putung dengan wajah yang masam berkata kepada anaknya 

“Swandaru, segera kau akan melihat akibat pokalmu itu” 

Swandaru menundukkan wajahnya. kini baru disadarinya, mengapa Agung Sedayu 

mencegahnya untuk tidak menyampaikan cerita tentang dirinya itu kepada siapapun juga. 

Barulah kini ia dapat menilai perbuatannya itu. Namun semuanya sudah terjadi. Dan 

sebenarnya hatinyapun terbersit harapan seperti yang diucapkan oleh Hudaya dan Citra Gati itu. 

Namun ia tidak membantah ayahnya lagi. Bahkan iapun kemudian turun dari kudanya dan 

dituntunnya kuda itu berjalan dibelakang ayahnya. Sedang Sekar Mirah ternyata berjalan jauh 

mendahului. Dengan tergesa-gesa ia berjalan dibelakang Sidanti diantara beberapa orang lain 

yang ingin juga menyaksikan pertandingan yang kedua, yang pasti tidak kalah menggemparkan 

dari pertandingan yang baru saja selesai. 

Bahkan beberapa orang sudah mulai menilai-nilai kedua anak muda yang mereka anggap 

sebagai pahlawan-pahlawan yang mengagumkan. Mereka berdua adalah anak muda yang 

namanya menjadi buah bibir orang-orang Sangkal Putung. Sidanti ternyata terkenal sebagai 

seorang yang gagah berani yang dengan kesaktiannya mampu bertahan melawan Macan 

Kepatihan. Sedang Agung Sedayu bagi mereka merupakan seorang pahlawan penyelamat 

padukuhan Sangkal Putung. 

Keduanya kini akan berhadapan dalam satu pertandingan memanah. Alangkah mengasyikkan. 

Sidanti sendiri yang berjalan paling depan dari iring-iringan yang semakin lama menjadi 

semakin panjang itu, dadanya benar-benar bergelora karena hatinya yang panas. Sejak semula 

ia berharap agar ia dapat bertanding dalam kesempatan apapun dengan Agung Sedayu. 

Namun ia menjadi kecewa ketika Agung Sedayu tidak ikut serta dalam perlombaan itu. Namun 

tiba-tiba dibelakangnya, Agung Sedayu telah membuatnya menjadi bersakit hati. Kini biarlah 

dibuktikan siapa diantara mereka berdua yang berhak menamakan dirinya pemanah terbaik di 

Sangkal Putung. 

Kabar itu, kabar tentang Agung Sedayu, segera menjalar seperti api yang membakar 

kademangan Sangkal Putung. Setiap mulut dan setiap telinga telah dirayapi oleh berita itu. 

Beberapa orang berlari-lari pulang, untuk memanggil kakak-kakak mereka, adik-adik mereka 

dan keluarga-keluarga mereka yang telah terlanjur sampai dirumah, untuk menyaksikan 

pertandingan yang pasti akan menggembirakan hati mereka, melampaui pertandingan yang 

baru saja selesai. 

Beberapa saat kemudian Sidanti itupun menjadi semakin dekat dengan lapangan dimuka 

banjar desa, sejalan dengan hatinya yang menjadi semakin bergelora oleh kemarahan. Maka 

iapun semakin mempercepat langkahnya, seakan-akan ia ingin meloncat dengan satu loncatan 

yang akan dapat mencapai sisa jarak yang sudah tidak terlalu jauh itu. 

Dilapangan, Agung Sedayu berdiri dengan dada yang berdebar-debar. Berbagai perasaan 

berkecamuk didalam dadanya. Cemas, kecewa, meyesal bercampur baur. Sehingga 

lututnyapun menjadi gemetar. Ternyata Swandaru tidak menepati janjinya, sehingga akibatnya 

benar-benar tak seperti yang diharapkan. karena itu, dalam kebingungan Agung Sedayu itu 

berjalan hilir mudik tak menentu. Sekali-sekali ingin ia pergi meninggalkan lapangan. Tetapi 

kemudian ia menjadi ragu-ragu. Sehingga akhirnya dadanya itupun serasa berdnentangan, 

ketika ia mendengar suara orang-orang yang ribut semakin lama menjadi semakin dekat. Dan 

ternyatalah kemudian apa yang ditakutkannya. Dari balik rimbunnya daun-daun, dari balik 

dinding-dinding batu, muncullah orang-orang itu. Berbondong-bondong dan kemudian pecah 

berlarian mengelilingi lapangan. 

Darah Agung Sedayu itupun hampir berhenti mengalir ketika dilihatnya, diujung iring-iringan itu 

berjalan seorang yang sanga menakutkan baginya. Sidanti. 

Dan Sidanti itu langsung berjalan kearah Agung Sedayu. Dengan langkah yang tetap namun 

tergesa-gesa, seakan-akan ia takut terlambat, meskipun hanya sekejap. 

Tetapi hati Agung Sedayu itupun kemudian menjadi agak tenteram ketika kemudian dilihatnya,


pamannya datang pula kelapangan. Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang lagi. 

Dengan demikian ia hanya dapat berdoa mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas dirinya. 

Sidanti itupun kemudian berhenti hanya beberapa langkah saja dimuka Agung Sedayu. Dengan 

wajah tegang dipandanginya wajah Agung Sedayu. 

Agung Sedayu masih saja berdiri ditempatnya. Betapapun dadanya berguncang, namun 

dicobanya juga menguasau dirinya. Bahkan kemudian dilihatnya juga Sekar Mirah yang 

memandangnya dengan penuh teka-teki. Akhirnya pamannya dan Ki Demang Sangkal 

Putungpun berdiri dilingkaran itu pula. hanya Swandarulah yang berdiri agak jauh, namun 

wajahnya masih sasa tampak memancarkan kebanggaannya atas Agung Sedayu. Sekali-sekali 

disambarnya wajah Sidanti dengan tatapan matanya. Ditariknya bibirnya kesamping dan 

kemudian ia tersenyum. 

Betapa menyesal Agung Sedayu melihat anak muda itu. Namun kini semuanya telah terlanjur. 

Dan dirinyalah kini yang menjadi pusat perhatian segenap penduduk Sangkal Putung yang 

semakin lama menjadi semakin banyak. 

Seperti guruh menggelegar dilangit, Agung Sedayu itu mendengar Sidanti berkata parau “Adi 

Agung Sedayu. Aku telah mendengar apa yang baru saja kau lakukan” 

Agung Sedayu menggigit bibirnya. Dengan sudut matanya memandang wajah Swandaru. 

namun ia pengumpat didalam hati ketika dilihatnya Swandaru itu tersenyum sambil 

mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian Agung Sedayu itu menjawab “Aku tidak 

berbuat apa-apa kakang Sidanti” 

Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian anak muda itu tersenyum masam “Jangan 

menghina aku. Kenapa kau tidak turut saja berlomba?” 

“Aku tidak berhasrat” sahut Agung Sedayu. 

“Tetapi kenapa kau membuat kericuhan setelah pertandingan selesai?” 

“Apakah yang aku lakukan?” 

Mata Sidanti menjadi semakin menyala. Dan hati Agung Sedayu menjadi semakin kecut 

karenanya. Namun dicobanya juga untuk tetap menatap wajah Sidanti dengan wajah tengadah. 

Tetapi lutunyalah yang terasa bergetaran. Meskipun demikian Agung Sedayu tidak dapat 

menghindarkan diri dari pertanggungan jawabnya atas semua perbuatannya. Kata-katanya dan 

anggapan orang-orang Sangkal Putung bahwa ia adalah seorang pahlawan. Dan anggapan-

anggapan itu belum pernah dibantahnya. Apalagi ketika dilihatnya disampingnya Sekar Mirah 

berdiri dengan wajah yang cerah. Kepada gadis itupun telah banyak diceritakannya tentang 

perjalanannya ke Sangkal Putung bersama kakaknya dahulu. Dan diceritakannya betapa ia 

berdua bertempur melawan Alap-alap Jalatunda dan pande besi dari Sendang Gabus. Betapa 

dengan dahsyatnya ia berdua berhasil membunuh tiga orang diantaranya dan cerita-cerita lain 

yang dibuatnya untuk menutupi kekerdilan jiwanya. 

Kini ia dihadapkan pada satu pembuktian. Ia tidak dapat berbuat apapun, selain berbuat 

sesuatu untuk menyelamatkan namanya. Tetapi, betapa ia memaksa dirinya, namun lututnya 

yang gemetar dan hatinya yang berdebar-debar itu sangat menyulitkannya. 

Dan kemudian terdengar Sidanti berkata pula dengan suara yang lantang “Kau telah menyuruh 

Swandaru berteriak-teriak sepanjang jalan, bahwa pemenang dalam perlombaan itu bukan 

pemanah terbaik di Sangkal Putung” 

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sekali lagi dipandanginya wajah Swandaru. dan Agung 

Sedayu itupun menjadi semakin menyesali sikap Swandaru itu. Dengan tertawa Swandaru 

mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Namun Agung Sedayu itu kemudian menggelengkan kepalanya. Jawabnya “Aku tidak 

menyuruhnya. Dan aku tidak berbuat apa-apa” 

Semua orang yang mendengar jawaban Agung Sedayu itu menjadi heran. Tanpa berjanji, maka 

semua orang berpaling kearah anak muda yang gemuk itu, seolah-olah mereka bertanya 

kepadanya, apakah yang dikatakannya itu benar-benar bukan sebuah dongengan. 

Swandarupun merasakan pertanyaan-pertanyaan yang memancar dari wajah-wajah itu. Sesaat 

ia menjadi bingung. Kenapa Agung Sedayu idak saja mengakuinya dan kalau perlu 

membuktikan dihadapan orang-orang itu? Kenapa masih saja ia merendahkan dirinya 

sedemikian? Namun tiba-tiba Swandaru itupun mundur beberapa langkah, keluar dari lingkaran


orang yang berjejal-jejal. Dengan nanar ia memandang berkeliling lapangan. Akhirnya ia berlari-

lari untuk memungut sesuatu yang tergolek dilapangan itu. 

“Inilah” teriaknya “Aku akan dapat memberikan bukti kepada kalian. Lihatlah sasaran ini. Panah-

panahku masih tertancap disini. Sasaran ini aku lemparkan keudara, dan anak muda itu telah 

mengenainya tiga kali diudara. Ya tiga kali diudara” 

Semua mata memandangi bekas kepala orang-orangan itu. Mereka melihatnya tiga anak panah 

masih melekat pada benda itu. Dan mereka mendengar pula kata-kata Swandaru itu. Tiga anak 

panah mengenai satu sasaran yang terbang diudara. Mereka tidak tahu, bagaimana cara 

Agung Sedayu mengenainya. Namun dengan serta-merta mereka bertepuk tangan gemuruh. 

Tepuk tangan yang gemuruh itu benar-benar telah menyalakan bara didada Sidanti. Selangkah 

ia maju, dan terdengarlah ia berkata lantang “Bohong, adakah kalian melihat, bagaimana 

caranya ia mengenainya?” 

Suara yang gemuruh itupun berangsur diam. Dan akhirnya sama sekali ketika mereka melihat 

Widura melangkah maju memasuki lingkaran. Dengan tenangnya ia memandang Sidanti dan 

Agung Sedayu berganti-ganti. Kemudian dipandangnya semua wajah yang berdiri mengitari 

mereka itu. 

Betapapun juga, Widura itupun berusaha untuk mengasai keadaan. Sebagai seorang pemimpin 

maka ia harus berbuat sesuatu. karena itu maka katanya “Tak ada pengaruh apapun atas 

perlombaan yang sudah berjalan. Kita sudah menetapkan pemenangnya. Namun permainan-

permainan yang lain masih akan dapat dilakukan. Tetapi bukan untuk merubah dan 

mempengaruhi perlombaan itu.” 

BUKU 05 

Kembali terdengar tepuk tangan yang gemuruh. Orang-orang yang berdiri berkeliling itu tak 

akan mau dikecewakan. Mereka benar-benar ingin menyaksikan pertandingan yang pasti akan 

menyenangkan sekali. 

Orang-orang itupun kemudian diam kembali ketika Widura berkata pula “Nah, aku sangka 

Sidanti ingin mengulangi permainan panah seperti yang telah dilakukannya, bersama-sama 

Agung Sedayu” 

“Ya kakang” sahut Sidanti. 

Kini Widura memandangi wajah Agung Sedayu. Dilihatnya beberapa titik keringat membasahi 

keningnya. Namun kali ini Widura sengaja ingin memaksa Agung Sedayu agar berbuat sesuatu 

yang dapat mendorong dirinya untuk lebih percaya kepada kemampuan diri. karena itu maka 

katanya “Agung Sedayu, biarlah kau melakukannya. Tak ada persoalan apapun. Permainan ini 

hanya sekedar kelanjutan dari keinginan orang-orang Sangkal Putung mengenalmu. 

Sedangkan Sidanti ingin pula memperkenalkan dirinya lebih banyak lagi. Bukankah dengan 

kawan bermain yang lebih baik, akan lebih banyak permainan-permainan yang dapat 

dipertunjukkan? Bukan hanya sekedar menyamai atau melampaui sedikit kemampuan-

kemampuan Hudaya atau Citra Gati” 

Hudaya dan Citra Gati yang berdiri dibelakang Widurapun tersenyum masam. Namun mereka 

tidak marah. Bahkan mereka menjadi bersenang hati, bahwa Widura memberi kesempatan 

kepada kemenakannya untuk melakukan pertandingan meskipun hanya memanah saja. 

Kata-kata pamannya itu terasa sedikit dapat menyejukkan hati Agung Sedayu. Bukankah 

dengan demikian, pamannya akan menjaminnya untuk seterusnya, apabila ada akibat dari 

permainan ini? Seandaiknya ia melampaui Sidanti, sedang Sidanti itu kemudian marah 

kepadanya, bukankah itu menjadi tanggung jawab pamannya? karena itu, terdorong pula oleh 

keadaan yang telah menyudutkannya, maka Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain. Dengan 

ragu-ragu ia menganggukkan kepalanya. Katanya lirih “Baiklah paman. Kalau paman 

menghendaki” 

Widura tersenyum. Baru kali ini sejak beberapa hari pamannya itu tersenyum kepadanya. 

karena itu hati Agung Sedayu itupun menjadi bertambah besar pula.


“Nah, baiklah kita berikatn tempat kepada mereka berdua” berkata Widura. 

Maka orang-orang yang melingkari mereka itupun kemudian berlari-larian menyibak. Sedang 

Swandaru menjadi bergembira pula. segera iapun berlari-lari pula berkeliling lapangan untuk 

memungut panah-panahnya yang berserakan disekitar orang-orangan yang telah dilepas 

kepalanya. 

Tetapi kemudian Widura menjadi sulit menentukan sasaran. Tidak menarik lagi apabila mereka 

berdua harus mengenai orang-orangan itu, walaupun diayunkannya sekali. Mereka pasti akan 

dengan mudah dapat mengenainya. Dalam pada itu tiba-tiba berkatalah Swandaru “Paman 

Widura, pertandingan ini baru dapat dimulai, seandainya kakang Sidanti mampu berbuat seperti 

yang dilakukan oleh anak muda itu. Mengenai sasaran tiga kali berturut-turut diudara” 

Widura mengerutkan keningnya. Kata-katanya itu benar juga, tetapi belum seorangpun yang 

melihat, Agung Sedayu melakukannya selain Swandaru. 

karena itu Widura ingin berbuat adil. Kedua-duanya harus mulai dengan sasaran dan 

kesempatan yang sama. Maka katanya “Swandaru, apakah sasaran orang-orangan itu masih 

ada?” 

”Masih paman” jawab Swandaru. 

“Nah, ambillah bandulnya. Ikatlah bandul itu dengan tali yang agak panjang” 

Swandaru belum tahu benar maksud Widura. meskipun demikian ia berjalan juga mengambil 

vandul orang-orangan yang masih terletak diujung lapangan. Kemudian diambilnya sisa-sisa tali 

yang masih terserak-serak disana-sini. Dengan tali itu maka bandul itupun diikatnya. 

“Sudahkah bandul itu kau ikat dengan tali?” bertanya Sonya. 

Swandaru mangangguk. Jawabnya “Bagaimanakah maksud paman Widura dengan bandul 

ini?” 

“Peganglah ujung talinya dan putarlah bandul itu diatas kepalamu” 

Sahut Sonya. 

“Ah” jawab Swandaru perlahan-lahan. “Jangan aku. Sidanti itu dapat membidikkan panahnya 

kearah perutku” 

Sonya tersenyum. Katanya “Mereka adalah pemanah-pemanah yang baik. Mereka pasti tidak 

akan mengenaimu” 

Swandaru menggeleng. “Peganglah” jawabnya “Kalau mereka membidik sasaran itu, maka 

sasaran itulah yang akan dikenainya. Tetapi kalau Sidanti itu membidik perutnku?” 

“Marilah” jawab Sonya “Berikanlah bandul itu, biarlah perutku yang dibidiknya” 

Maka kini Sonyalah yang memegang sasaran itu. Dipegangnya ujung tali yang lain, dan 

diputarnya bandul itu diatas kepalanya dalam lingkaran yang berjari-jari sepanjang tali yang 

lebih dari sedepa panjangnya, mendatar. 

Swandaru itupun kemudian berlari-lari menepi, bahkan kemudian didekatinya Agung Sedayu 

yang telah memegang busurnya dan beberapa anak panah didalam endongnya. 

“Masing-masing mendapat kesempatantiga kali” berkata Widura ketika mereka sudah hampir 

mulai “Sampai hitungan kelima belas” 

Sidantipun telah mempersiapkan busurna pula. dengan wajah tegang ia mengikuti bandul yang 

berputar diatas kepala Sonya. Ketika Widura mulai dengan hitungan pertama, maka Sidantilah 

yang lebih dahulu mengangkat busurnya. Sesaat kemudian terbanglah anak panahnya yang 

pertama, dismbut dengan sorak sorai penonton disekitar lapangan. Anak panah itu tepat 

mengenai sasarannya langsung ikut berputar pula dengan bandul itu. Dengan sudut matanya 

Sidanti melihat tangan Agung Sedayu. Dan tangan itupun telah bergerak pua. Dan meluncurlah 

anak panah Agung Sedayu. Kali inipun para penonton bersorak bergemuruh. Anak panah 

Agung Sedayupun hinggap pula pada sasarannya. 

Sidanti itupun menarik nafas panjang. Ia mengumpat didalam hatinya “Setan itu mampu juga 

mengenainya” 

Tetapi hitungan Widura sudah sampai yang keenam. karena itu maka Sidanti itupun sekali lagi 

mengangkat busurnya, dan sekali lagi anak panahnya meloncat dari busurnya. Kali inipun anak 

panah Sidanti itu tepat mengenai sasarannya, dan karena itu maka para penontonpun menjadi


semakin riuh, bersorak dan bertepuk tangan. Dan sorak sorai itu menjadi semakin membahana 

ketika anak panah Agung Sedayu seakan-akan tanpa mereka lihat, demikian saja telah melekat 

pada sasaran itu pula. agaknya ketika mereka dang asyik dengan anak panah Sidanti, Agung 

Sedayupun telah melepaskan anak panahnya yang kedua. 

Sekali lagi Sidanti mengumpat pula. Katanya dalam hati “Aku harus mengenai untuk yang 

ketiga kalinya. Kalau anak itu mampu pula mengenai tiga kali, maka harus ditempuh cara yang 

lain untuk menentukan siapakah diantara kita yang akan menjadi pemanah terbaik” 

Tetapi Sidanti itu menjadi terkejut. Tiba-tiba meledaklah sorak para penonton seperti akan 

meruntuhkan langit. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya sebuah anak panah lagi telah 

ikut serta dalam putaran bandul diatas kepala Sonya. Agaknya dengan cepat Agung Sedayu 

telah melepaskan anak panahnya yang ketiga. 

“Gila” desisnya. Ketika itu ia mendengar Widura sudah mencapai hitungan yang kesebelas. 

Dengan hati-hati Sidanti mengangkat busurnya. Kali ini ia harus benar-benar dapat 

mengenainya dengan tepat. Kalau tidak, maka Sedayu sudah akan menyisihkannya pada 

babak yang pertama. Namun ternyata Sidanti adalah pembidik yang baik. Panahnya yang 

terbang secepat kilat itupun kemudian mengenai sasarannya pula, disambut oleh sorak yang 

semakin bergelora. Lapangan dimuka banjar desa itu benar-benar seperti akan meledak. 

Agung Sedayu masih berdiri ditempatnya sambil mengamat-amati sasaran yang kini sudah 

tidak diputar lagi. Dengan kedua tangannya Sonya mengacung-acungkan bandul itu sambil 

berteriak “Enam panah!” 

Widura itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Kalian ternyata mempunyai 

kecakapan yang sama. karena itu, biarlah kita adakan permainan yang lain. Namun aku belum 

tahu, apakah sasaran yang lebih baik dapat kita gunakan” 

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya, namun iapun belum tahu sasaran apakah yang 

sebaiknya dipergunakan. Sedang Agung Sedayu lagi sibuk emdnegarkan orang menyebt-

nyebut namanya. Ia menjadi berbangga juga karenanya. Bahkan kemudian timbul juga 

keinginannya untuk mendapat pujian yang lebih besar dari para penonton itu. Untuk sesaat ia 

melupakan pula akibat-akibat yang bisa terjadi. Sebab ia telah membebankan seluruh tanggung 

jawab kepada pamannya. 

Terasa sesuatu menjalar didalam dada Agung Sedayu. Belum pernah ia sepanjang umurnya 

mendapat pujian semeriah ini. Pada masa-masa kecilnya, ibunya selalu memujinya. Namun 

bukan karena ia berbuat sesuatu. Ibunya memuji untuk menyenangkannya saja. 

Apapun yang dlakukannya maka ibunya tidak pernah mencelanya. Sedang ayahnya sekali-

sekali sering memujinya pula apabila ia berhasil berbuat sesuatu menurut kehendak ayahnya. 

Tetapi ayahnya lebih sering kecewa terhadapnya dari pada memujinya. Bahkan sering ia harus 

menangis kalau yahnya menyuruhnya mengulang dan mengulang suatu perbuatan yang tak 

dapat dilakukannya. Betapa sulitnya latihan-latihan yang diberikan ayahnya dahulu kepadanya. 

Memanah, bandil dan bermacam-macam ketangkasan membidik. Namun ayahnya selalu 

mengatakan kepadanya “Kau mampu Sedayu, kau pasti mampu melakukannya” Dan akhrinya 

ternyata, setelah ayahnya memberinya contoh berkali-kali, akhirnya ia mampu juga 

melakukannya. Berkali-kali ia diajak ayahnya berdiri dipematang dengan busur ditangan. Ia 

harus mendapatkan tiga ekor burung dengan tiga batang anak panah. Burung yang tidak boleh 

dikenainya diatas tanah atau dahan-dahan kayu. Burung itu seakan-akan harus dipetiknya dari 

udara. Namun akhirnya ia berhasil juga. Kalau ia menangis karenanya, ayahnya berkata 

kepadanya “Agung Sedayu, apakah kira-kira yang akan dapat kau lakukan? Kau tidak berani 

memegang tangkai pedang, apakah kau juga tidak mampu memegang busur?” 

Kalau ibunya mendengar pertanyaan itu, maka ibunya selalu menjawab “Apakah dalam hidup 

ini tidak ada pekerjaan yang lebih baik dari berkelahi?” 

Dan ayahnya menjawab “Tentu, tentu ada. Dan anak-anakku seharusnya tidak berkelahi. 

Tetapi mereka harus menjadi laki-laki jantan yang mampu menempatkan dirinya dalam segala 

keadaan. Ia harus menjadi seorang yang dapat melakukan pengabdian dalam segala bentuk. 

Mereka harus menghindari segala bentuk kekerasan, namun merekapun harus dapat 

melenyapkan kekerasan. Kekerasan yang bertentangan dengan rasa pengabdiannya. karena 

itu merekapun harus dibekali pula dengan ilmu yang mungkin akan berguna bagi pengabdian 

mereka. Melawan kejahatan, bukan untuk sebaliknya”


Apabila demikian, maka ibunya segera memeluknya sambil mengusap air mata. Bisiknya 

“Biarlah pekerjaan itu dilakukan orang lain. Tetapi bukan anakku. Kekerasan akan dapat 

berakibat buruk perkelahian dapat meneteskan darah. Aku tidak mau kehilangan lagi” 

Ayahnya tidak membantah lagi. Bahkan ayahnya selalu berkata dengan lembut “Maafkan aku 

nyai. Aku masih selalu ingat pada masa-masa mudaku” 

Tetapi kalau ia kemudian keluar dari bilik ibunya, Untara, kakaknya berkata kepadanya “Ibu 

sekarang berubah. Ibu dahulu ikut berbangga kalau ayah berhasil melenyapkan kejahatan. 

Meliindungi orang-orang lemah dari penindasan. Ibulah yang sering menggosok pedang ayah 

dengan minyak dan getah-getahan untuk menjadikan pedang ayah mengkilat seperti bersinar. 

Dan ibu pulalah yang menggosok busur ayah dengan angkup kayu sehingga busur itu menjadi 

gemerlapan” 

Suasana yang demikian itulah yang kemudian membentuknya menjadi seorang yang kerdil. 

Ibunya yang selalu memanjakannya dan menakut-nakutinya dengan segala macam cara. 

Menyekapnya dalam pelukannya. Apabila ia bertanya “Ibu, bukankah ibu dahulu berbangga 

atas kejantanan ayah?” Maka ibunya akan menjawab “Sebuha mimpi yang menakutkan anakku. 

Itu terjadi pada masa-masa ayahmu masih muda. Ternyata kini ayahmupun menyadarinya. 

Bahwa tak ada yang dapat dicapainya dengan pedang ditangan. Tak akan ditemui ketentraman 

dan kedamaian dihati: dan ayahnyapun pernah pula mengatakannya demikian. Namun menurut 

ayahnya, dunia masih tetap sepeti keadaannya. Parah, karena kejahatan, nafsu, kebencian, 

dan segala macam bentuk kekerasan, karena itu maka segala itu harus mendapat imbangan. 

Tetapi harus memiliki landasan yang berlawanan. Dan landasan itu adalah cinta kasih antar 

sesama. Kalau sekali-sekali harus digenggamnya tangkai pedang, maka haruslah dilandasi 

pula dengan cinta kasih. Untuk menegakkan sendi-sendi kehidupan manusia dan kemanusiaan 

berdasarkan cinta kasih itu. 

Dan terjadilah benturan-benturan perasaan didalam dada Agung Sedayu. Ia menjadi seorang 

penakut karena ibunya, namun angan-angannya kadang-kadang membumbung tinggi dalam 

sifat-sifat kejantanan dan kesatriaan. 

Perasaan-perasaan itulah yang kini sedang saling mendesak. Seorang jantan tidak boleh 

membiarkan dirinya dihina tanpa sebab. Seorang jantan harus mempertahankan namanya demi 

kebenaran seperti mempertahankan nyawanya. Kalau nama itu lenyap, maka biarlah lenyap 

pula nyawanya. Tetapi dilain pihak, betapa tiba-tiba lututnya menjadi gemetar apabila ia 

dihadapkan pada persoalan-persoalan yang dapat menimbulkan pertentangan. 

Agung Sedayu yang kini sedang berdiri diarena itu masih mendengar tepuk tangan yang 

semakin lama menjadi semakin surut. Dilihatnya pula, pamannya sedang berbicara dengan 

beberapa orang. Diantaranya Ki Demang Sangkal Putung dan Citra Gati. Agaknya mereka 

sedang sibuk mencari kemungkinan untuk membua sasaran yang lebih sulit dari sasaran-

sasaran yang pernah dibuatnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Sidanti berdiri dengan 

angkuhnya. Dengan acuh tak acuh anak muda itu melihat Widura yang sedang sibuk itu. 

Sekali-sekali Sidanti itu memandang berkeliling lapangan dan melambaikan tangannya 

menyambut lambaian tangan anak-anak muda yang mengaguminya. 

Agung Sedayupun kemudian memandang sekeliling lapangan. Orang-orang berjejal-jejal itu 

seperti sudah tidak sabar lagi menunggu. Beberapa orang yang sudah berteriak-teriak dan 

dengan tidak sabar mereka melambai-lambaikan tangan mereka. Ketika dilihatna Sekar Mirah, 

maka dada Agung Sedayu itupun berdesir. Gadis itu tersenyum kepadanya. Senyum yang aneh 

“Ah” katanya dalam hati. “Baru tadi aku lihat ia tersenyum dan memuji-muji Sidanti”. Namun 

gadis itu mempunyai kesan yang aneh didalam hatinya. Tiba-tiba timbullah keinginannya agar 

Sekar Mirah itu selalu tersenyum kepadanya, tidak kepada Sidanti. 

Sorak sorai ditepi lapangan, serta senyum Sekar Mirah itu agaknya berpengaruh juga dihati 

Agung Sedayu. Ternyata didalam hatinya yang kerdil itu tumbuh juga keinginannya untuk 

mempertahankan namanya. 

“Sidanti itu pasti tidak akan mendendam” pikirnya “Ia seharusnya bersikap jujur. Kalah atau 

menang. Akupun demikian juga. Namun aku mengharap untuk memenangkan pertandingan ini. 

Seandainya, ya seandainya Sidanti itu marah kepadaku, biarlah paman Widura 

menyelesaikannya” 

karena itulah maka kemudian Sedayu berketetapan hati untuk berbuat sebaik-baiknya. Akan


ditandinginya apa saja yang akan dilakukan oleh Sidanti. “Tetapi seandainya aku mampu” 

desanya didalam hati. 

Widura masih sibuk berbicara dengan Ki Demang Sangkal Putung. Agaknya mereka belum 

menemukan cara yang paling baik untuk mengadakan pertandingan berikutnya. 

Sidanti yang berdiri disamping Agung Sedayu itupun menjadi tidak sabar. Ia ingin segera 

mengakhiri pertandingan itu. Ia ingin segera mendengar orang-orang disekitar lapangan itu 

bertepuk gemuruh untuknya. Dan ia ingin anak-anak muda Sangkal Putung melambaikan 

tangannya kepadanya dan mengelu-elukannya, mengikutinya dibelakang sambil memujinya 

sampai dikademangan. Dan lebih dari itu, ia ingin Sekar Mirah itupun berjalan disampingnya 

sambil mengumpati Agung Sedayu yag ternyata tidak mampu melampaui kecakapannya. 

Karena itu, maka anak muda yang sombong itu tiba-tiba bereriak “Kakang Widura. marilah kita 

akhiri prtandingan ini supaya kita tidak berlarut-larut, membidik sasaran yang terlalu baik seperti 

perlombaan anak-anak saja. Biarlah sekarang aku dapat menganjurkan cara yang baik” 

Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru, dan orang-orang yang sedang sibuk berpikir 

itupun berpaling kepadanya. Dengan ragu-ragu Widura berkata “Apakah cara itu?” 

Seklai Sidanti berpaling kepada Agung Sedayu, kemudian katanya “Namun terserah juga, 

apakah adi Sedayu sanggup melakukannya. Kalau tidak, biarlah aku mempertunjukkan 

permainan itu sendiri. Dengan demikian pemenang pertandingan ini segera dapat ditentukan” 

“Ya” sahut Widura “Tetapi bagaimanakan cara itu?” 

Sidanti tersenyum. jawabnya ”Agak sukar dimengerti. Tetapi aku pasti dapat melakukannya“. 

Sidanti itu berhenti sebentar. Sengaja ia membiarkan orang-orang yan gmendengar kata-

katanya itu menjadi semakin bernafsu untuk mengetahuinya. Baru sesaat kemudian ia berkata 

“Cara yang pasti akan menarik perhatian” 

“Ya” sahut Citra Gati tidak sabar “Jangan melingkar-lingkar. Sebutkan cara itu” 

“Jangan tergesa-gesa kakang Citra Gati. Kau pasti akan keheranan. Melihatpun kau tak akan 

dapat mengerti, apalagi melakukannya” 

Citra Gati tersinggung karenanya. Maka jawabnya lantang “Jangan sombong anak muda. Kau 

masih belum mampu mengalahkan Macan Kepatihan dipertempuran, dan melampaui lawanmu 

diarena pertandingan ini” 

Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi dengan cepat Widura menengahinya “Nah baiklah. 

Marilah kita mulai. Aku setuju dengan cara apapun yang kehendaki, asal masih dalam batas 

kemungkinan dan tidak berbahaya. Kalau Sedayu tidak sanggup melakukannya, maka ia dapat 

dianggap kalah” 

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kembali ia tersenyum dan sekali lagi ia 

memandang wajah Agung Sedayu. Kini Agung Sedayulah yang menjadi acuh tak acuh. Apapun 

cara itu, ia akan menerimanya. Kalau masih mungkin dilakukan oleh Sidanti maka iapun akan 

mempunyai kemungkinan yang sama. 

Citra Gati masih bersungut-sungut, bahkan katanya dalam hati “Widura terlalu memanjakannya, 

sehingga kepentingan kemenakannya sendiri sama sekali tidak diperhatikannya” 

Dalam pada itu terdengarlah Sidanti berkata “kakang Widura, perintahlah salah seorang 

melepaskan anak panah menyilang lapangan ini melambung keudara. Nah, biarlah kami 

mencoba mengenainya” 

Widura tertegun mendengar pendapat itu. Apalagi Ki Demang Sangkal Putung. Bahkan sesaat 

Citra Gatipun terbungkam, namun kemudian bergumam lirih “Aneh, benar-benar aneh” 

Sidanti melihat orang-orang itu menjadi keheranan. Karena itu, maka ia menjadi semakin 

menengadahkan dadanya. Dengan lantang ia berkata “Marilah, sebelum senja. Supaya aku 

masih dapat melihat anak panah yang terbang diudara itu” 

Widura tidak dapat berbuat lain dari menyetujuinya. Meskipun demikian sekilas ia menyambar 

wajah Agung Sedayu dengan pandangan matanya. Namun dilihatnya anak muda itu masih 

acuh tak acuh saja. Sehingga dengan demikian maka Widura itupun tidak berkata apapun 

kepadanya. 

Sidanti yang melihat Agung Sedayu sama sekali tidak terperanjat mendengar usulnya itu, maka


ialah yang menjadi heran. Apakah anak itu tidak mendengar, atau anak itupun akan acuh tak 

acuh terhadap pertandingan berikutnya. Dan teka-teki itu ternyata telah mendebarkan jantung 

Sidanti. Meskipun demikian, ia masih dapat berteriak nyaring didalam hatinya “Ayolah Agung 

Sedayu, yang merasa menjadi pemanah terbaik di Sangkal Putung, tandingilah Sidanti.” 

Widura itupun km mengumumkan cara yang akan ditempuh atas usul Sidanti. belum lagi 

mereka mulai dengan pertandingan itu, maka lapangan itu telah menjadi gempar. Para 

penonton yang keheran-heranan itu telah menyambut pengumuman Widura dengan tepuk 

tangan dan sorak sorai yang bergelora. 

Hudayalah yang mendapat tugas untuk melepaskan anak panah menyilang garis bidik Sidanti 

dan Agung Sedayu. Ia sendiri tidak dapat mengerti, bagaimana cara anak-anak muda itu akan 

membidikkan anak panahnya. Namun Hudaya itu bergumam pula didalam hatinya “Bukan siatu 

hal yang tak mungkin. Sebab laju anak panah itu dapat diperhitungkan” 

Tetapi kemudian Swandarupun menjadi gelisah. Ialah yang pertama-tama berteriak-teriak 

sepanjang jalan, bahwa bukan Sidantilah pemanah terbaik di Sangkal Putung. Namun sekarang 

ia mendengar sendiri usul Sidanti itu. Memanah sebatang anak panah yang melaju diudara, 

tentu lebih sukar mengenai sasaran kepala orang-orangan itu. Karena itu ia masih belum dapat 

menebak, apakah Agung Sedayu dapat juga berbuat sebaik Sidanti. Kalau kemudian Agung 

Sedayu tak mampu menandingi Sidanti, maka iapun pasti akan mendapat banyak kesulitan. 

Agung Sedayu pasti akan marah padanya dan Sidanti akan semakin mentertawakannya. 

Karena itu, maka Swandaru itupun mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak ditempatnya. 

Bisiknya perlahan-lahan “Bagaimanakah tuan, apakah tuan mungkin juga berbuat demikian?” 

Agung Sedayu menggeleng lemah, jawabnya “Entahlah Swandaru” 

Swandaru menjadi semakin gelisah. Dalam pada itu, Hudayapun telah siap pula. kini Widura 

sendirilah yang memegang bende untuk memberi tanda kepada Hudaya, kapan ia harus 

melepaskan anak panahnya. 

Ketika kemudian Sidanti telah menganggukkan kepalanya, maka dibunyikahlah bende itu. Dan 

Hudaya menarik tali busurnya pula. sambil tersenyum ia membidik anak panah yang terbang itu. 

Orang-orang yang berjejal-jejal ditepi lapangan itu menjadi diam kaku seperti beratus-ratus 

patting yang berjajar-jajar. Semuanya memandang kearah anak panah Sidanti. Dan sesaat 

kemudian anak panah itu meloncat dari busurnya. Cepat, melampaui kecepatan anak panah 

Hudaya. Semua matapun kemudian seakan-akan terpancang pada anak panah itu. Wajah-

wajah yang tegang dan hati yang tegang pula. 

Yang terjadi kemudian, betapa lapangan itu menjadi menggelegar, seakan-akan seribu guntur 

meledak dilangit. Tepuk tangan sorai sorai dan bahkan diantara mereka melonjak-lonjak dan 

menari-nari. Anak-anak muda saling berteriak-teriak dan orang-orang tua mengangguk-

anggukkan kepala mereka. “Luar biasa. Luar biasa” desisnya. 

Citra Gati menggigit bibirnya, sedang Hudaya menggaruk-garuk kepalanya. Widurapun sesaat 

terpaku diam ditempatnya. Semua mata melihat, anak panah Sidanti itu seakan-akan 

menyongsong anak panah Hudaya dalam garis silang. Dan pada suatu titik yang condong, 

anak panah Sidanti berhasil mengenai ekor anak panah Hudaya, sehingga kedua anak panah 

itupun kemudian terpelanting dan berubah arahnya masing-masing. 

Ketika Sidanti berpaling kearah Sekar Mirah, dilihatnya gadis itu melonjak-lonjak sambil 

mengacung-acungkan tangannya. “Dahsyat” teriaknya. Sidanti tersenyum sambil mengangguk-

anggukkan kepalanya. Kemudian dilambaikannya tangannya kepada orang-orang yang masih 

saja berteriak-teriak tak jemu-jemunya. Betapa mereka menjadi kagum. Seakan-akan mereka 

tak percaya, bahwa hal yang demikian dapat terjadi. Dua batang anak panah saling berkejaran 

diudara. 

Tetapi ternyata hal itu telah terjadi dihadapan mata kepala mereka. Dan karena itu, maka 

merekapun menjadi takjub. 

Gemuruh dilapangan itupun kemudian mereda, ketika mereka melihat Widura mengangkat 

tangannya. Kemudian dengan tangannya pula Widura memberi isyarat kepada Hudaya untuk 

bersiap-siap. Kini pertandingan itu sampai pada penentuan terakhir. Semua orang itupun kini 

terpaku memandang Agung Sedayu. Namun semua orang itupun telah menjadi ragu-ragu pula. 

Apakah Agung Sedayu juga dapat melakukannya?


Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayu telah menjadi gemetar karenanya. Ia sama 

sekali tidak menyangka bahwa Sidanti itu mampu berbuat demikian menakjubkannya. Dalam 

dada anak muda itupun kini menjalar kebimbangan yang semakin lama semakin tebal. Karena 

itu, maka tubuhnya telah menjadi basah oleh keringat dingin yang mengalir tak putus-putusnya. 

“Apakah kau sudah siap Sedayu?” terdengar suara Widura perlahan-lahan. Terasa pula pada 

nada suaranya, keragu-raguan terhadap kemenakannya itu. 

Agung Sedayu itupun mengangguk perlahan. Jawabnya “Sudah paman” 

Widura memandang kemenakannya itu dengan seksama. Seakan-akan ia menyesal juga atas 

pertandingan yang dilakukan itu. Kalau Agung Sedayu gagal, maka jiwanya yang kerdil itu akan 

menjadi semakin kerdil. Ia akan menjadi semakin merasa dirinya tak berharga. Sedang Sidanti 

telah melakukan suatu permainan yang mengagumkan. Meskipun demikian, pertandingan itu 

harus dilangsungkan. Kalah atau menang. Sedayu harus menghadapinya dengan jujur. 

Maka, setelah semuanya siap, dengan ragu-ragu Widura memukul bendenya sebagai pertanda 

bahwa Hudaya harus melepaskan satu anak panah lagi. 

Perlahan-lahan Hudaya mengangkat busurnya. Semua mata seakan-akan melekat pada anak 

panah itu. Dan sesaat kemudian, anak panah Hudaya yang kedua lepas dari busurnya, 

melambung keudara seperti anak panahnya yang pertama. 

Kini semua mata dengan cepatnya berpindah ketangan Agung Sedayu. Ternyata Agung 

Sedayu tidak membidik perlahan-lahan seperti Sidanti. Ia tidak menunggu anak panah Hudaya 

melampaui titik yang tegak lurus dihadapannya. Dengan tangkasnya ia menarik tali busurnya 

kuat-kuat, seakan-akan busur itu ingin dipatahkannya. Kemudian, semua orang menjadi tegang 

karenanya. Kini anak panah itu melontar dengan cepat, secepat petir menyambar dilangit. Para 

penonton tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk melihat anak panah itu. Namun yang 

terjadi kemudian telah memukau mereka. Bahkan karena itu, maka lapangan itu menjadi sunyi 

senyap. Seandainya sebatang jarum terjatuh, maka suaranya pasti akan mengejutkan seperti 

suara guruh. Yang terdengar kemudian adalah suatu derak diudara. Kemudian sepi kembali. 

Sesepi padang yang tak berpenghuni. 

Beratus-ratus pasang mata tak sempat berkedip, sedang beratus-ratus mulut menjadi 

ternganga karenanya. 

Seperti orang bermimpi mereka melihat anak panah Agung Sedayu secepat tati menyambar 

anak panah Hudaya tepat ditengah-tengah. Demikian kerasnya anak panah Agung Sedayu 

sehingga anak panah Hudaya menjadi retak ditengah-tengah, dan terlontar kesamping terbawa 

oleh anak panah Agung Sedayu. 

Demikian kedua anak panah itu jatuh ditanah, mak semua orang yang terpukau itu seakan-

akan terbangun dari mimpinya. Dengan serta-merta maka meledaklah sorak sorai mereka. 

Seperti gemuruhnya gunung runtuh menimpa ombak lautan yang dahsyat. Menggelegar 

beruntun susul menyusul. Tidak saja anak-anak, namun orang-orang dewasa, anak-anak muda 

Sangkal Putungpun berloncat-loncatan dilapangan itu. Menari-nari dan melemparkan apa saja 

keudara. Caping-caping mereka, ikat pinggang selebar telapak tangan, tongkat-tongkat dan 

bahkan terompah-terompah mereka. 

Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayu melihat pula penturan kedua anak panah itu. 

Terasa dadanya menjadi bergetar seakan-akan benturan anak panah itu terjadi didalam rongga 

dadanya. Ia melihat pula kedua anak panah itu jatuh ditanah. Dan dengan serta-merta, ia 

berlari sekencang-kencangnya, memungut kedua batang anak panah itu. 

Sambil berlari-lari kembali anak yang gemuk itu berteriak-teriak sekeras-kerasnya seperti 

sedang mabuk tuak. Katanya “Lihat, lihat. Anak panah paman Hudaya dikenai ditengah-tengah 

sehingga menjadi retak karenanya” 

Widurapun menjadi terpaku ditempatnya. Terasa sesuatu berdesir didadanya. Bahkan 

kemudian mulutnya seakan-akan menjadi terbungkam. Dari tempatnya berdiri, ditatapnya wajah 

Agung Sedayu. Dan seakan-akan terpancar dari wajah itu, bayangan wajah ayahnya. Ki 

Sadewa., ipar Widura itu. Wajah itupun tampaknya memancarkan kerendahan hati yang tulus. 

karena itu maka timbullah iba hatinya, kalau selama ini anak itu dibiarkannya kecemasan 

tentang nasibnya.dan tiba-tiba pula terpancarlah janji didalam hatinya “Kalau aku mampu, 

biarlah aku mencoba menjadikannya seorang anak muda yang berhati jantan. Kecakapannya


bermain panah, ketrampilannya berolah pedang dan bahkan kekuatan-kekuatan jasmaniah 

yang tersimpand didalam tubuhnya, pasti akan memungkinkan anak itu melampaui anak-anak 

sebayanya, bahkan akan dapat melampaui diriku sendiri” 

Jang benar-benar tak dapat menahan perasaannya adalah Sekar Mirah. Gadis itu benar-benar 

lupa akan dirinya. Seperti kuda yang lepas dari ikatannya ia berlari kencang-kencang kearah 

Agung Sedayu yang masih berdiri ditempatnya. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Terasa 

seseorang menangkap tangannya dan menariknya. 

“Apakah yang akan kau lakukan?” 

Sekar Mirah berpaling. Dilihatnya ayahnya memandangnya dengan tajam. Dan Sekar Mirahpun 

menundukkan wajahnya. jawabnya “Tidak apa-apa ayah” 

“Ingat Mirah” berkata ayahnya “Kau adalah seorang gadis” 

“Aku tidak akan berbuat apa-apa ayah” sahut Sekar Mirah sekali lagi. 

Ki Demang Sangkal Putung melepaskan tangannya sambil berkata “Jangan menodai namamu 

sendiri. Bersoraklah kalau kau mau bersorak. Berteriaklah kalau kau mau berteriak. Namun 

ditempatmu. Tak perlu kau pergi mendekat. Baik Sidanti maupun Agung Sedayu” 

Sekar Mirah menggigit bibirnya. Namun dengan demikian ia mulai menyadari dirinya, bahwa ia 

kini berada ditengah-tengah ratusan orang yang menyaksikan pertunjukan itu. Karena itu, ia 

harus lebih hati-hati membawa diri. Meskipun demikian ia berkata juga “Ayah, aku hanya ingin 

mengucapkan selamat atas kemenangan Agung Sedayu.” 

“Siapa bilang ia menang?” semuanya yang mendengar pertanyaan itu menjadi terkejut, 

sehingga serentak mereka berpaling. Ternyata mereka melihat Sidanti dengan wajah yang 

merah membara. Dengan tajamnya ia memandang Sekar Mirah yang masih berdiri disamping 

ayahnya. Agaknya Sidanti telah mendengar Sekar Mirah memuji Agung Sedayu dengan 

kemenangannya. 

Ketika Sekar Mirah melihat wajah Sidanti itu, hatinya menjadi berdebar-debar. Namun ia 

merasa erhak berbuat apapun sekehendaknya. karena itu, maka ia tidak mau dibentak-bentak 

oleh Sidanti. 

Tetapi sebelum ia menjawab, terasa ayahnya menggamitnya sambil berbisik “Diamkan anak itu” 

Sekar Mirah memandangi wajah ayahnya dengan kecewa. Tetapi ia tidak bernai melanggarnya. 

Namun ternyata terdengar jawab dari arah lain “Bukankah sudah, ternyata bahwa bidikan 

Agung Sedayu lebih baik dari bidikanmu” 

Warna merah di wajah Sidanti menjadi semakin menyala. Apalagi ketika ia menyadari bahwa 

suara itu suara Swandaru. demikian marahnya Sidanti sehingga untuk sesaat ia bahkan 

menjadi terbungkam. Namun tubuh dan dadanya menjadi bergetar. 

Agung Sedayu yang melihat wajah Sidanti itupun tiba-tiba menjadi cemas pula. apakah anak itu 

akan menjadi marah? Bahkan bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga Widura menjadi cemas. 

karena itu segera wajah melangkah maju. Diangkatnya kedua tangannya tinggi-tinggi sambil 

berteriak diantara sorak para penonton yang masih saja menggema, katanya “Pertandingan 

sudah selesai. Kedua-duanya berhasil mengenai panah-panah yang masih berada diudara. 

karena itu maka kedua-duanya memiliki kecakapan membidik yang sama. Dengan demikian 

dalam pertandingan ini tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah” 

Mendengar keputusan itu, sorak para penonton justru menjad idiam. Mereka merasa aneh atas 

keputusan itu. Meskipun benar, kedua-duanya dapat mengenai sasarannya, namun terasa 

bidikan Agung Sedayu lebih tepat dari bidikan Sidanti. karena itu menurut mereka Agung 

Sedayu dapat dianggap memenangkan pertandingan ini. Bahkan hampir bersamaan Hudaya, 

Citra Gati, Sendawa meloncat masuk kelapangan. Yang mula-mula berkata adalah Citra Gati 

“Apakah menilaian ini cukup adil?” 

Widura mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan itu adalah wajar dan 

bahkan didalam dirinya sendiri, timbul pula pertanyaan semacam itu. 

Namun demikian, tebaran pandangan Widura tidak saja terbatas ditengah-tengah lapangan dan 

membiarkan perasaannya berbicara. Pandangannya telah jauh melampaui batas-batas yang 

dapat dilihatnya ditempat yang sempit itu. Dilihatnya disuatu tempat Tohpati telah mulai 

menyusun kekuatannya, dan ditempat lain Ki Tambak Wedi seakan-akan selalu mengintipnya. 

karena itu, ia dengan pertimbangan yang masak ia menjawab “Kita tidak menentukan, bagian


manakah yang harus dikenaik oleh pemanah-pemanahnya. Kita hanya melepaskan anak panah 

keudara. Nah, salah seorang dari para pemanah itu membidik ekornya, yang lain membidik 

tepat ditengah-tengah. Dan keduanya mengenai tepat diarah yang dikehendakinya. Bukankah 

dengan demikian kedua-duanya telah berhasil?” 

Hudaya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menjawab “Kami menjadi saksi. Perasaan 

kami, aku dan para penonton, mengatakan bahwa Agung Sedayu lebih baik dari Sidanti.” 

Widura mengerutkan keningnya. Ia benar-benar berada ditempat yang sulit. Ia tidak mau 

melepaskan Sidanti. Tetapi Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan beberapa orang itu adalah orang-

orang yang menpunyai pengaruh yang kuat diantara laskarnya. Sudah tentu ia tidak dapat 

bekerja berdua saja dengan Sidanti, atau dengan satu dua orang yang lain. 

Sementara itu, sementara Widura sedang sibuk berpikir untuk memecahkan persoalan yang 

sulit itu, terdengar suara Sidanti parau “Kakang Widura, pertandingan dapat diulangi. Kita harus 

sampai paada penentuan, siapakah yang menang dan yang kalah. Kita tidak boleh menjadi 

orang-orang banci” 

“Bagus” teriak Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan orang-orang lain “Ulangi” teriak mereka. 

Widura benar-benar menjadi pening. Namun ia harus mempunyai sikap. Maka katanya “Tidak. 

Pertandingan sudah selesai. Tak ada gunanya kita ulangi. Aku sudah tahu pasti. Hasilnya akan 

sama saja. Keduanya akan mendapat nilai yang sama” 

“Tidak” teriak Sidanti. “Aku menuntut perlakuan yang adil. Tidak ada yang menentukan arah 

bidikan pada panah yang dilepaskan oleh kakang Hudaya. Tetapi meskipun aku mengenai 

tempat yang aku kehendaki, namun orang-orang menganggap bidikan adi Sedayu lebih tepat. 

Aku ingin menghilangkan kesan itu” 

Widura menggeleng. “Sudah aku katakan. Aku akan menyelenggarakannya lain kali” 

“Sekarang” teriak Sidanti pula. 

Suasana segera meningkat menjadi semakin tegang. Beberapa langkah Sidanti maju 

mendekati Widura dengan wajah yang merah menyala. Sedang dari arah lain, Citra Gati, 

Hudaya, Sendawa, Sonya, dan beberapa orang lagipun maju pula. wajah mereka tidak kalah 

tegangnya dengan wajah Widura sendiri. 

Sesaat Agung Sedayu menjadi bingung melihat perkembangan keadaan. Ia melihat Sidanti 

menjadi marah, dan dilihatnya pula Hudaya dan kawan-kawannyapun menjadi tegang. 

Sehingga setiap kemungkinan akan dapat terjadi. karena itu maka tiba-tiba berkata “Paman, 

seandainya pertandingan ini diadakan lagi, maka aku tidak akan dapat mengikutinya” 

Kata-kata itu seolah-olah merupakan penggerak yang menggerakkan setiap kepala untuk 

berpaling kearahnya. Sidantipun memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Dan 

bahkan Citra Gati yang tidak dapat menahan perasaannya berteriak “Kanapa?” 

Sedayu menjadi berdebar-debar. Jawabnya “Aku tidak dapat melakukan permainan yang lebih 

baik. Seandainya kakang Sidanti mempunyai cara yang lain, maka pasti aku tudak dapat 

mengikutinya. Aku sudah sampai pada puncak kecakapan yang ada padaku” 

“Bohong” teriak Sidanti dan Hudaya hampir bersamaan, meskipun maksudnya berbeda-beda, 

sehingga keduanya menjadi terkejut karenanya. Namun yang meneruskan kata-katanya 

hanyalah Sidanti “Kau hanya akan mempertahankan keadaan serupa ini. Dimana orang-orang 

mempunyai kesan bahwa kau adalah pemanah yang lebih baik daripadaku” 

Agung Sedayu menjadi bingung. karena itu ia tidak menjawab. sehingga yang menjawab 

kemudian adalah Widura “Sedayu berkata benar. Kalau Sidanti masih mungkin melakukan 

permainan yang lebih baik lagi, maka Sedayu akan kalah” 

“Tidak adil” teriak Citra Gati. 

“Tidak adil” teriak Sidanti “Kesan orang-orang akan menjadi semakin menguntungkannya. 

Seolah-olah ia sekedar mengalah untuk memberi kesempatan kepadaku. Tidak. Bukan 

perlakuan jantan bagi Sidanti. Sidanti tidak sekedar ingin mendapat perlakuan yang cengeng 

Sidanti adalah seorang anak muda yang jantan” 

Kata-kata itu benar-benar berkesan bagi Widura. bahkan Hudaya, Citra Gati dan yang lain-

lainpun terdiam pula karenanya. Betapapun mereka harus mengakui kelebihan Sidanti daripada 

mereka, meskipun apabila mereka dihadapkan pada suatu keadaan yang memaksa, mereka


tidak takut pula melawan Sidanti. 

Lapangan itu tiba-tiba menjadi hening. Dengan hati yang semakin tegang, mereka, para 

penonton itu melihat keadaan yang semakin tegang pula. Beberapa orang laki-laki telah 

mendekat mereka. Dan membentuk sebuah gelang memagari mereka yang sedang bertengkar. 

Yang berkata kemudian adalah Widura tegas “Tak akan ada pertandingan lagi” 

“Ada” sahut Sidanti. 

Sekali lagi Widura menjawab lebih keras “Tidak!” 

Tetapi tiba-tiba hati Widura itu berdesir. Ditengah-tengah lingkaran orang-orang yang melihat 

keributan itu, tiba-tiba terjatuh sebuah benda yang benar-benar mengejutkannya. Sepotong 

besi yang lengkung hampir berbentuk lingkaran. “Setan” Widura mengumpat didalam hati. “Ki 

Tambak Wedi itu ada pula disini” 

Ketika ia memandang wajah Sidanti, dilihatnya anak muda itu tersenyum. senyum yang sangat 

menyakitkan hati. Sementara itu beberapa orang menjadi heran juga. Namun tak seorangpun 

diantara mereka yang melihat, siapakah yang telah melemparkan sepotong besi ditengah-

tengah mereka. Meskipun demikian, beberapa orang menjadi berdebar-debar. Meskipun 

mereka idak tahu arti sepotong besi itu selain Widura, namun mereka merasakan sesuatu yang 

tidak wajar. 

Ternyata benda itu sangat berpengaruh bagi Widura. ia tidak tahu pasti maksud Ki Tambak 

Wedi, namun ia dapat menduga bahwa Ki Tambak Wedi telah memperkuat pendapat muridnya. 

Dengan demikian maka Widura itu berpikir dan berpikir sehingga kepalanya hampir meledak 

karenanya. Ditinjaunya segenap segi-segi. Kalai ia mengadakan pertandingan sekali lagi maka 

persoalannya tidak akan terpecahkan. Apalagi Sidanti merasa bahwa ada semacam perlakuan 

yang tidak wajar terhadapnya. Menang atau kalah, Sidanti pasti akan kecewa. Kalau ia kalah, 

maka darahnya pasti akan semakin menyala, tetapi kalau ia kalah, maka ia akan menyangka 

bahwa Agung Sedayu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi ternyata guru Sidanti itu telah ikut 

campur pula. bagi Widura yang sebaik-baiknya adalah bubar. Pulang ke kademangan. Namun 

Sidanti menolak dan gurunya memperkuat. Sehingga untuk menjaga ketenangan kademangan, 

apakah ia harus memenuhi permintaan Sidanti yang juga merupakan permintaraan dari Hudaya, 

Citra Gati dan yang lain-lain, meskipun dalam perhitungan yang berlawanan? 

Widura menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia hanyut oleh kehendak orang-orang yang 

sedang kehilangan kejernihan pikiran itu. Hampir ia kehilangan ketetapan hati sebagai seorang 

pemimpin. 

Dalam keadaan yang demikian itu, ketika dada Widura sedang bergetar karena benturan-

benturan pertimbangannya, maka sekali lagi orang-orang yang berdiri melingkar itu terkejut. 

Kali ini mereka melihat sebuah cemeti kuda melenting dan jatuh hampir menimpa Widura. 

Widurapun terkejut pula karenanya. Tetapi tiba-tiba jantungnya serasa berhenti. Dengan nanar 

ia memandang berkeliling. Namun yang dilihatnya adalah wajah-wajah yang tegang dan penuh 

kecemasan. Widura tidak berhasil melihat seseorang yang dicarinya. Ia tidak berhasil 

menemukan orang yang dapat disangkanya Kiai Gringsing. Namun ia pasti, bahwa orang aneh 

itu hadir pula ditengah-tengah lapangan. Cemeti kuda itu telah memberitahukan kepadanya, 

bahwa orang itu ada didekatnya. 

Dengan demikian, maka pertimbangan-pertimbangan Widura yang hampir condong dan roboh 

sama sekali itu itu, seakan-akan menemukan kekuatannya yang baru. Ia tahu benar maksud 

Kiai Gringsing itu. Dan ia percaya bahwa Kiai Gringsing tidak hanya sekedar mengganggunya 

seperti biasanya. Dengan cemetinya itu Kiai Gringsing pasti ingin berkata kepadanya “Jangan 

hiraukan orang yang bergelang besi itu, biarlah ia menjadi urusanku” 

Dan kini sekali lagi Widura mengangkat wajahnya. ia melihat Sidanti keheran-heranan melihat 

cemeti itu. Juga Hudaya, Citra Gati dan yang lain-lain. Namun ketika ia memandang Agung 

Sedayu dilihatnya wajah Agung Sedayu tidak lagi sepucat tadi. Agaknya Agung Sedayupun 

mengenal cemeti itu pula. dan tanpa disengaja, hatinya menjadi tenang. Kiai Gringsing yang 

belum dikenalnya baik-baik itu, telah mencengkam kepercayaannya, sehingga seakan-akan 

orang aneh itu dapat dipakainya sebagai sandaran apabila terjadi sesuatu. 

Ketegangan itu kemudian dipecahkan oleh suara Widura tegas dan lantang “Tidak ada apa-apa 

lagi. Itulah keputusanku!” 

Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Betapa dadanya dibakar oleh kemarahan. Dengan demikian,


maka setiap orang di Sangkal Putung dan setiap orang yang melihat pertandingan itu, termasuk 

kawan-kawannya sendiri, akan tetap berkesan bahwa Agung Sedayu telah mengalahkannya. 

karena itu maka sekali lagi ia mencoba memaksakan kehendaknya, katanya “Kakang Widura, 

aku minta pertandingan diadakan lagi” 

Widura menggeleng, namun sebelum ia menjawab terdengarlah Citra Gati berkata “Apakah 

keberatannya kakang. Marilah kita melihat keadaan dengan jujur. Siapa yang kalah biarlah ia 

kalah dan siapa yang menang biarlah ia menang. Setan atau malaikat. Dengan demikian kita 

melihat kenyataan dengan pasti” 

Widura mengerutkan keningnya. Dengan tajam ia memandang Citra Gati. Jawabnya “Apakah 

tujuan kita berada di Sangkal Putung ini? Apakah kita hanya sekedar ingin mengetahui 

siapakah diantara kita yang paling sakti dan paling cakap? Bahkan apakah cukup apabila kita 

menemukan siapakah diantara kita yang paling benar dan paling jujur? Sedang tujuan pokok 

dari perjuangan kita tidak selesai. Ayo, katakan kepadaku, apakah dengan saling ribut diantara 

kita, Tohpati dapat terselesaikan. Sisa-sisa laskar Jipang akan dapat kita batasi kegiatannya, 

atau bahkan kita hancurkan. Sekarang katakan padaku, apakah tujuan pertandingan ulangan 

ini jujur pula, sekedar untuk mendapatkan pemenangnya dengan kukur? Atau karena keinginan 

kita sekalian untuk menunjuk kelemahan orang lain dan menghinakannya?” 

Kata-kata itu benar-benar menusuk jantung Citra Gati. Sehingga orang itupun kemudian 

menundukkan wajahnya. demikian juga Hudaya, Sendawa yang bertubuh raksasa dan Sonya 

yang kecil serta beberapa orang lainnya. Mereka merasakan kebenaran kata-kata Widura itu. 

Sebenarnyalah bahwa pertandingan ulangan itupun tidak dilakukan dengan tujuan jujur. karena 

itu, maka merekapun menjadi terdiam karenanya. 

Tetapi ternyata kata-katawi itu tanpa disengaja telah menjadikan Sidanti makin marah. Ia 

merasa bahwa didalam kata-kata itu tersembunyi pengertian-pengertian yang seakan-akan 

memastikan bahwa Agung Sedayu akan dapat memenangkannya pula. pebih-lebih menurut 

anggapan Citra Gati. karena itu, Sidanti tidak mau diam. Apalagi ketika diingatnya bahwa 

gurunya ada pula dtempat itu. Katanya “Kenapa kakang Widura takut melihat kenyataan 

seandaiknya adi Sedayu itu tak mampu menandingi kecakapanku?” 

Sekali lagi dada Widura berdesir. Namun ia harus menahan diri. Ia tidak bileh hanyut dalam 

arus perasaannya, supaya anak buahnya tidak menjadi berantakan karenanya. Tetapi sebelum 

ia menjawab tiba-tiba meloncatlah seorang gadis yang telah kehilangan pengamatan diri. 

Digoncang-goncangnya tubuh Agung Sedayu sambil berteriak “Kenapa tuan diam saja? 

Kenapa tuan tidak menyanggupinya dan membuktikannya bahwa tuan dapat 

memenangkannya?” 

Bukan main terkejutnya Widura dan Agung Sedayu sendiri. Tetapi Hudaya, Citra Gati dan 

Sendawa sama sekali tidak terkejut. Sejak tadi mereka melihat gadis itu menjadi gelisah. 

Sekali-sekali ia maju, namun kemudian mundur kembali. Mereka melihat gadis itu meremas-

remas tangannya sendiri dan bahkan menghentak-hentakkan kakinya. Tetapi yang terkejut 

sekali adalah Ki Demang Sangkal Putung. Dengan cepatnya ia meloncat dan menarik anaknya 

itu ketepi. Dengan marahnya ia membentak “Mirah, apakah kau sudah menjadi gila?” 

Sekar Mirah, gadis yang selalu hanyut menurut arus persaannya itupun terkejut pula. karena itu 

ia menyesal, namun hal itu telah terlanjur dilakukannya. Ketika ia mencoba melihat wajah-wajah 

disekitarnya, maka seakan-akan mereka itu memandangnya dengan heran, sehingga kemudian 

Sekar Mirah itupun menundukkan wajahnya. 

Tetapi apa yang dilakukan Sekar Mirah itu ternyata seakan-akan minyak yang ditumpahkan 

kedalam api yang menyala didada Sidanti. Gadis itu benar-benar telah menggelaplan matanya. 

Gadis yang selalu mengganggu perasaannya itu. karena itu tiba-tiba ia berteriak “Aku akan 

melangsungkan pertandingan. Disetujui atau tidak disetujui. Tidak ada sasaran yang lebih baik 

yang harus kita kenai. Ayo Sedayu bersiaplah. Sasaran itu adalah kita masing-masing!” 

Kata-kata Sidanti itu seperti guruh yang menyambar setiap telinga yang mendengarnya. Kata-

kata itu jelas mereka mengerti maksudnya. Bukankah dengan demikian Sidanti telah 

menjerumuskan dirinya dalam suatu perang tanding dengan senjata panah? 

Belum lagi gema kata-kata itu lenyap, terdengar Sidanti itu berkata pula “Kita tentukan cara-

cara menurut kehendak kita sendiri. Jangan hiraukan orang lain kalau kau jantan. Kita berdiri 

beradu pungung. Kita melangkah maju masing-masing sepuluh langkah. Kemudian siapakah


diantara kita yang paling cepat memutar tubuh kita, membidikkan anak panah dan mengenai 

kepala lawan, itulah yang menang. Kita akan tahu dengan pasti, siapakah yang lebih baik 

diantara kita. Sebab yang kalah dapat segera ditandai, mati” 

Denyut nadi Sedayu terasa berhenti karenanya. Tantangan itu tak disangka-sangkanya. karena 

itu betapa tiba-tiba terasa lututnya menjadi gemetar. Mati. Kata-kata itu sangat menakutkannya. 

Ia tidak pernah berpikir untuk dibunuh atau membunuh. Apalagi dalam keadaan serupa itu. 

Swandaru yang berdiri dibelakang Agung Sedayupun jadi tergetar karenanya. Disadarilah kini, 

betapa jauh akibat yang sudah terjadi akibat kelancangannya. Kalau terjadi sesuatu atas 

mereka, apakah ia Agung Sedayu ataupun Sidanti, maka itu benar-benar akan merugikan 

Sangkal Putung. Sidanti telah berhasil menyelamatkan hidupnya pada saat ia melawan Tohpati, 

dan Sedayupun selamat pula meskipun ia berpapasan dengan pande besi Sendang Gabus, 

Alap-alap Jalatunda berempat. Dan sekarang, salah seorang dari mereka harus mati karena 

tangan keluarga sendiri. Dengan demikian maka Swandaru itupun menyesal tak habis-habinya. 

Tetapi ia sama sekali tidak tahu, bagaimana ia harus memperbaiki kesalahannya. Apalagi 

sekali-sekali ia melihat ayahnya memandanginya dengan penuh penyesalan pula. 

Widura masih tegak seperti patung. Kata-kata Sidanti itu, tak disangka-sangkanya. Juga 

Hudaya, Citra Gati dan kawan-kawannyapun tidak menyangka. Namun Widura memakluminya, 

bahwa Sekar Mirahlah sebab langsung dari keputusan Sidanti itu. 

Ketika Widura itu memandang Agung Sedayu, ia melihat anak itu gemetar. Beberapa orang 

lainpun melihat pula. namun mereka mempunyai sangkaan lain. Seperti Sidanti yang gemetar 

karena marah, maka merekapun menyangka bahwa Agung Sedayu menjadi marah pula. 

namun kemarahannya itu ditahannya, karena anak muda yang patuh itu takut benar kepada 

pamannya. Dengan demikian maka semua mata kini memandang kepada Widura, seakan-akan 

semua menunggu keputusan apakah yang akan diambilnya. 

Tetapi kepala Widura itu benar-benar akan pecah karenanya. Ia kini tidak tahu, bagaimana ia 

akan mengatasinya. Apakah ia sendiri harus mengambil keputusan yang dapat berakibat 

dirinya sendiri yang harus berkelahi seperti beberapa waktu yang lalu. Dan ternyata pula 

terdengar Sidanti berkata “Kali ini aku tidak mau dihalang-halangi. Siapapun yang mencoba 

mencegahnya, orang itulah yang akan menjadi lawanku. Sekarang atau kapanpun” 

Lapangan itu benar-benar dicengkam oleh ketegangan. Tak seorangpun yang berani berkata 

sepatah katapun. Mereka melihat wajah-wajah yang kaku. Widura, Hudaya, Citra Gati, Agung 

Sedayu. Swandaru. Ki Demang Sangkal Putung. Sekar Mirah dan Sidanti sendiri. Bahkan 

wajah Sidanti itu kini benar-benar telah menjadi merah biru. 

Widura yang tahu benar perasaan Agung Sedayu, menjadi semakin bingung. Kalau saja anak 

itu berani dan menghadapinya dengan tatag, maka ia yakin bahwa Sidanti tak akan dapat 

mendahuluinya. Widura itu yakin benar, bahwa anak-anak Ki Sadewa telah mewarisi 

keahliannya dalam berbagai senjata bidik. Tetapi hati Agung Sedayu adalah hati yang kerdil. 

Meskipun demikian, apabila keadaan memaksa ia harus membesarkan hati anak itu. Ia harus 

mencoba meyakinkah bahwa ia akan menang. Dan keputusan itu akhirnya menjadi bulat 

didada Widura. Ia tidak melihat persoalan lain lagi. Namun ia hanya ingin merubah tata cara 

pertandingan itu. Tidak sampai mati. Dan yang harus dikenai bukanlah tempat-tempat yang 

berbahaya. Namun apakah Sidanti yang menjadi seolah-olah gila itu mau menerimanya dan 

apakah meskipun sudah diperlunak itu Agung Sedayu berani menghadapinya. 

Dada Widura menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mendengar Sidanti berteriak “Minggir. 

Pertandingan akan dimulai” 

Ketika semua orang menyibak, maka Agung Sedayu menjadi semakin takut. Dipandangnya 

wajah pamannya, dan hampir-hampir ia berteriak memanggilnya. Hampir ia kehilangan rasa 

malunya untuk sedikit saja mepertahankan namanya yang selama ini menjadi semakin 

dikagumi. 

Lingkaran yang mengitari mereka yang sedang dibakar oleh ketegangan itu, semakin lama 

menjadi semakin luas. Sementara itu Sidanti sudah bergerak setapak maju. Namun Widura 

dengan wajah yang tegang kaku masih berdiri ditempatnya. Ketika ia memandang wajah 

Sidanti, dilihatnya wajah itu telah benar-benar menjadi sedemikian liarnya. Dalam pada itu, 

Widurapun menyadari, bahwa Sidanti benar-benar tak akan dapat diajak berbicara. Kehadiran 

gurunya agaknya berpengaruh juga kepadanya. Sebab dengan demikian ia menyangka, bahwa


apa yang dikehendakinya pasti akan terpenuhi. 

Tetapi Widura itupun memperhitungkan kehadiran Kiai Gringsing. Ia tidak tahu pasti, apakah 

Kiai Gringsing akan dapat mengimbangi kekuatan Ki Tambak Wedi apabila diperlukan. Namun 

ia pernah melihat, tangan Kiai Gringsing itu mampu meluruskan kembali sepotong besi yang 

melengkung karena tangan Ki Tambak Wedi, sehingga untuk sementara, maka ia dapat 

mengabaikan kehadiran guru Sidanti. Biarlah Kiai Gringsing mengurusnya. 

Ketika keadaan semakin meningkat, maka Widura tidak dapat tetap berdiam diri ditempatnya. Ia 

harus berbuat sesuatu. Kalau mungkin mengurungkannya. Kalau tidak, apapun yang dapat 

mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan. 

karena itu, maka dengan lantang ia berkata “Bagus, pertandingan akan segera dimulai. Tetapi 

kita belum menentukan peraturannya” 

“Aku tidak memerlukannya” teriak Sidanti. Aku sudah menetapkan peraturan itu” 

“Apakah hakmu?” bertanya Widura. 

“Akulah yang berkepentingan” jawab Sidanti. 

“Aku yang berkuasa disini” sahut Widura tidak kalah lantangnya “Aku akan membuat peraturan” 

“Tidak” jawab Sidanti pula “Apapun yang akan kau lakukan, aku tetap pada pendirianku. Aku 

akan membidik jantung Agung Sedayu dan membunuhnya. Meskipun Agung Sedayu tidak 

melawan” 

Dada Widura kini telah bergetar semakin cepat. Sedemikian peningnya kepalanya, sehingga ia 

hampir muntah karenanya. Kini ternyata Sidanti tak dapat diajaknya berbicara. karena itu maka 

ia harus berbuat sesuatu. Adalah tidak adil apabila dibiarkannya Agung Sedayu mati ketakutan. 

“Apakah kau sudah tetap pada pendirianmu?” bertanya Widura kepada Sidanti. 

“Jangan hiraukan aku” kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “Aku akan berdiri 

dibelakangmu beradu punggung. Aku mengharap seseorang menghitung sampai hitungan yang 

kesepuluh. Nah, kemudian kau atau aku yang akan mati” 

Widura telah benar-benar kehilangan kesempatan. Maka tak ada yang dapat dilakukan kecuali 

mencoba menyelamatkan Agung Sedayu. karena itu dengan langkah yang panjang ia berjalan 

disamping Agung Sedayu. Widura itupun berhenti sesaat. Ditatapknya wajah kemenakannya itu 

dengan penuh iba. Namun dari mulutnya meluncurlah kata-katanya perlahan sekali “Matilah 

kau pengecut. Apapun yang akan kau lakukan, kau pasti akan mati dilapangan ini. Satu-

satunya jalan untuk menyelamatkan dirimu adalah melawan. Melawan. Mendahuluinya, 

membidik dadanya, atau kepalanya atau bahu kanannya. Kalau kau tak sampai hati untuk 

membunuh, maka yang dapat kau kenai adalah tangannya yang memegang busur itu. 

Secepatnya, sebelum panahnya menembus otakmu. Kalau kau tak mampu melakukannya, 

maka otakmulah yang akan dirobeknya dengan anak panahnya, dan jangan mencoba 

menyebut nama Ki Sadewa. Itu hanya akan menodai nama kakak iparku. Hanya mulut yang 

jantan sajalah yang pantas menyebut namanya” 

Mendengar kata-kata pamannya, dada Agung Sedayu yang sudah gemetar menjadi semakin 

gemetar. Namun tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh dikepalanya. Ia akan mati. Dan 

sebenarnya ia takut sekali kepada mati itu. Sedang kini, tanpa diduganya ia dihadapkan pada 

kekuasaan maut. Namun pamannya itu berkata “Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan 

dirimu adalah melawan” 

Kata-kata itu melingkar-lingkar saja didalam benaknya. Betapa ia takut menghadapi lawannya, 

namun betapa ia lebih takut lagi kepada maut. karena itu maka tiba-tiba ia dahadapkan pada 

dua pilihan. Mati atau melawan. 

Tubuh Agung Sedayu masih bergetar. Namun tiba-tiba ia mengangkat wajahnya. dipandangnya 

wajah Sidanti yang menyala. Sesaat getar didadanya menjadi bertambah cepat. Namun 

ketakutannya kepada maut itu telah semakin mendesaknya. Ia tidak mau mati, apalagi 

ditengah-tengah lapangan dihadapan beratus-ratus orang, dan diantaranya adalah Sekar 

Mirah.Terasa sesuatu bergolak didadanya. Dan karena itulah maka tubuhnya menjadi semakin 

bergetar. Namun kini ia menemukan suatu sikap untuk menyelamatkan dirinya. Dan jalan satu-

satunya adalah melawan. Tak ada jalan lain. Kalau ia masih mungkin melarikan dirinya, maka ia 

akan lari dan bersembunyi


Namun ia tahu pasti, demikian ia melangkah, maka anak panah Sidanti pasti akan hinggap 

dipunggungnya. karena itu Agung Sedayu tidak berani melarikan diri. 

Sedayupun terkejut ketika terdengar suara Sidanti menggelegar ditelinganya “Ayo Sedayu. 

Siapkan busurmu” 

Sedayu mengangkat wajahnya. dan tiba-tiba terdengar ia berkata dengan suaranya yang 

bergetar “Swandaru, berilah aku anak panah” 

Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Dan keteganganpun menjadi semakin 

memuncak. Mereka segera akan menyaksikan suatu perang tanding antara dua anak muda 

yang mereka angap memiliki kekuatan-kekuatan diluar kekuatan kebanyakan orang, sehingga 

dengan demikian maka perang tanding ini pasti akan menjadi sangat dahsyatnya. 

Widurapun terkejut mendengar jawaban Sedayu. Namun tiba-tiba dadanyapun bergelora. Ia 

menjadi terharu melihat Agung Sedayu berusaha untuk mempertahankan hidupnya. 

Tetapi meskipun demikian, perasaan khawatir merayap-rayap didalam dada Widura. meskipun 

Agung Sedayu kemudian berusaha untuk menyelamatkan dirinya, namun betapapun juga, 

hatinya yang kerdil pasti masih akan mengganggunya. Dengan demikian, Widura kembali 

menjadi ragu-ragu apakah Agung Sedayu akan berhasil menyelamatkan dirinya. Tetapi 

seandainya terjadi sesuatu, maka lebih baik apabila Agung Sedayu itu menghadapinya secara 

jantan daripada mati seperti kelinci betina. 

Swandarupun dengan tangan yang gemetar pula menyerahkan sebatang anak panah kepada 

Agung Sedayu. Betapa ia menyesal. Namun semuanya telah terjadi, dan kini ia tinggal 

menunggu akibat dari perbuatannya. 

Sementara itu Sidantipun telah memegang sebatang anak panah pula. kini ia maju lagi 

beberapa langkah. Kemudian ia berkata dengan lantang “Siapakah yang akan mengucapkan 

hitungan sampai sepuluh?” 

Lapangan itu menjadi hening seketika. Tak seorangpun yang menjawab. karena itu Sidanti 

mengulangi lebih keras lagi “Ayo, siapakah yang akan mengucapkan hitungan?” 

Kembali lapangan itu tenggelam dalam kesepian. Gema suara Sidanti itupun kemudian lenyap 

pula. sehingga dengan demikian Sidanti menjadi semakin marah karenanya. Ia merasa seakan-

akan semua orang dilapangan itu sama sekali tidak menghargainya. Karena itu tiba-tiba ia 

berkata “Ayo adi Sedayu. Suapaya aku tidak disangka curang, kaulah yang mengucapkan 

hitungan itu” 

Agung Sedayu tidak dapat menjawab kata-kata itu. Ia sedang sibuk berjuang melawan 

perasaannya sendiri yang saling berbenturan. Namun Sidanti tidak menunggu Agung Sedayu 

menjawab. ia langsung berjalan mendekati anak muda itu dan berdiri dibelakangnya beradu 

punggung. 

Sementara itu, sepasang mata yang tajam diatara para penonton, memperhatika 

nperkembangan keadaan dengan seksama. Ia tersenyum ketika melihat Sedayu menerima 

sebatang anak panah dari Swandaru. ia tersenyum pula ketika melihat Sedayu menempatkan 

anak panah ditali busurnya. Namun meskipun demikian, orang yang bermata tajam itu dapat 

menilai apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Seandainya Agung Sedayu 

itu berhati jantan, maka kekalahannya tak usah dikhawatirkan. Namun didalam dada orang itu 

bergolaklah perasaan seperti perasaan yang tersimpan didalam dada Widura. dan karena itu 

pula ia menjadi cemas akan nasib anak muda itu. 

Dalam pada itu, Sidanti sudah tidak sabar lagi. Ia sudah berdiri tegak dibelakang Agung Sedayu 

beradu punggung. Namun Agung Sedayu masih belum mulai dengan hitungannya. Sehingga 

Sidanti sekali lagi berteriak “Mulailah adi Sedayu. Kalau tidak akulah yang akan menghitung, 

dan aku akan melangkah menurut irama hitungan itu. Aku tidak peduli apa yang akan kau 

kalukan, namun sesudah hitungan kesepuluh aku akan melepaskan anak panahku ini” 

Debar didada Agung Sedayu menjadi semakin cepat dan cepat saja. Sedang mulutnya masih 

saja terbungkam. Ia sengaja tidak mau mulai dengan mengucapkan hitungan. Dibiarkannya 

Sidanti menghitungnya. Ia ingin dapat memusatkan segenap kekuatan yang ada padanya untuk 

menindas perasaannya. Perasaan yang selalu mengganggunya. Bahkan kemudian dicobanya 

untuk membulatkan tekadnya. “ Kalau aku ingin menghindari kematian, aku harus melawan. 

Menghentikan sumber gerak dari terkaman kematian itu.”



Ssidanti kemudian benar-benar tidak sabar lagi. Apalagi ketika dilihatnya matahari telah 

semakin rendah diatas cakrawala. Dengan agak silau Sidanti memandang punggung-punggung 

bukit disebelah barat, sebagaimana ia menghadap. Kemudian katanya “Lihat, matahari hampir 

terbenam.” 

Tetapi Agung Sedayu masih berdiam diri, sehingga Sidanti yang telah kehabisan kesabaran itu 

berteriak “Aku akan mulai dengan hitungan itu.” 

Anak muda yang sedang dibakar oleh nyala kemarahan itu tidak menunggu lebih lama lagi. 

Maka terdengarlah suaranya lantang “Satu” kemudian “Dua” dan sejalan dengan itu, 

kakinyapun terayun maju, selangkah demi selangkah. Pada saat yang bersamaan Agung 

Sedayupun bergerak pula, setapak demi setapak. 

Tetapi tiba-tiba terdengar sebuah tawa yang lunak bergetar diantara para penonton yang 

berjejalan itu. Meskipun demikian suara itu telah mengejutkan setiap orang yang berdiri 

dilapangan. Apalagi ketika diantara derai tertawanya terdengar kata-katanya “Sidanti, ternyata 

kau curang.” 

Langkah dan hitungan Sidantipun terhenti pula. Mendengar kata-kata itu nyala didalam 

dadanya serasa tersiram minyak. Dengan serta-merta ia berpaling sambil berteriak “tidak. Aku 

tidak curang” namun Sidanti tidak segera dapat melihat orang itu. Orang yang telah 

mentertawakannya. 

Sementara itu terdengar orang itu berkata pula “Kenapa kau memilih arah itu? Bukankah 

dengan demikian kau mengharap, bahwa apabila hitunganmu telah sampai hitungan ke 

sepuluh, dan Agung Sedayu itupun berbalik maka sinar matahari yang silau ini akan 

melindungimu” 

“Gila” teriak Sidanti “Siapakah kau?” Sidanti benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu. 

Memang, keadaan itupun mendapat perhatiannya pula, dan bahkan diperhitungkannya. Tetapi 

ketika seseorang menebak dengan tepat, maka kemarahannya menjadi semakin menggelegak. 

Bukan saja Sidanti namun Agung Sedayu,Widura, dan bahkan setiap orang menjadi sibuk 

mencari orang yang berkata demikian itu. Setiap orang dengan menegakkan lehernya 

memandang kesatu arah, ketempat orang yang telah menghentikan perang tanding yang 

mendebarkan itu. 

Dan akhirnya mereka melihat juga. Melihat orang yang berbicara itu sedang berjalan menyibak 

orang-orang yang berdiri berjejalan dihadapannya. 

Kata-kata orang yang belum diketahui itupun merupakan sebuah singgungan pada perasaan 

Widura. Kenapa ia tidak melihat ketidakadilan itu? Baru kemudian ia menyadari, bahwa 

alangkah berbahayanya seandainya pertandingan itu berlangsung. Demikian Agung Sedayu 

memutar tubuhnya, maka segera ia akan segera menjadi silau karena matahari sudah 

sedemikian rendahnya. Ternyata kemudian orang lainlah yang memberi peringatan akan hal itu. 

Bukan dirinya pemimpin laskar Pajang yang bertanggung jawab di Sangkal Putung. 

Karena itu Widurapun segera ingin tahu, siapakah orang itu. Dan orang itupun datanglah 

kepadanya. Semakin lama menjadi semakin dekat menyusup diantara penonton yang sengaja 

memberi jalan, sehingga akhirnya, muncullah orang itu ditengah-tengah lingkaran. 

Demikian yang muncul dari antara para penonton, maka berdesirlah dada Widura. Betapa ia 

terkejut melihat kehadirannya. Seorang anak muda yang sebaya dengan Sidanti. Bertubuh 

kekar padat berwajah tenang dan terang. Dengan sebuah senyum yang segar anak muda itu 

mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Tetapi sebelum Widura sempat berkata sesuatu karena getar dadanya, terdengar Agung 

Sedayu seakan-akan menjerit tinggi “Kakang. Kakang Untara. Kaukah itu?” 

Untara, ia sebenarnyalah anak muda itu Untara, berpaling kepada adiknya. Kini ia tertawa. 

Suara tertawanya masih selunak seperti suaranya yang pertama-tama diperdengarkan. 

Kemudian terdengar ia berkata “aku datang untuk menyaksikan pertunjukkan yang 

diselenggarakan oleh paman Widura” 

Sekali lagi dada Widura berdesir. Dan yang didengarnya kemudian adalah suara ribut diantara 

penonton. Ternyata mereka terkejut pula melihat kehadiran anak muda itu, apalagi setelah 

Agung Sedayu menyebut namanya, Untara. Jadi itulah orangnya yang bernama Untara, kakak 

Agung Sedayu. Dengan demikian, maka kembali para penonton itu berjejalan mendesak maju.


Mereka ingin melihat wajah anak muda yang namanya telah jauh lebih dahulu hadir daripada 

orangnya. 

Dada Widura kini telah menjadi tenang kembali. Dengan sebuah senyum yang tulus ia 

mendekati kemenakannya. Diulurkannya tangannya sambil berkata lirih “Aku tidak dapat 

mencegahnya” 

Untara menyambut uluran tangan pamannya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia 

berkata “aku senang melihat perang tanding ini. Namun aku ingin melihat perang tanding ini 

berjalan dengan sempurna” 

“Suatu kekhilafan, Untara” sahut Widura. 

Sekali lagi Untara tertawa. Wajahnya yang terang itu kemudian memandang berkeliling. Setiap 

wajah yang dipandangnya, maka tanpa sengaja, wajah itu mengangguk, dan dengan rendah 

hati Untarapun menganggukkan kepalanya pula. 

Sidanti yang melihat kehadiran Untara itu dadanya berdentang pula seperti melihat hantu yang 

palin dibencinya. Wajahnya yang merah membara itu seakan-akan benar-benar telah menyala. 

Kini ia melihat Untara itu berdiri dihadapannya. Sedang orang-orang disekitarnya telah 

mendesak maju sekedar ingin melihat wajah Untara itu. Dengan demikian, maka Sidanti itupun 

telah kehilangan segenap pertimbangannya. 

Maka semua orang yang berada dilapangan itu tiba-tiba terkejut ketika mereka mendengar 

Sidanti itu berteriak “Minggir. Pertandingan akan tetap berlangsung terus. Jangan hiraukan 

orang yang tidak tahu menahu persoalannya” 

Untara mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Widura, maka Widura itupun 

memandangnya, seakan-akan minta pertimbangan kepadanya. 

Untara mengangkat bahunya, katanya ”Kekuasaan didaerah ini berada ditangan paman Widura. 

silahkan. Aku hanya ingin melihat apakah pertandingan ini akan berlangsung dengan jujur” 

“Jangan menyindir” teriak Sidanti. “Aku tahu maksudmu. Meskipun semula aku tidak 

memperdulikan matahari itu, namun seandainya hal-hal yang tak berarti itu harus 

dipertimbangkan, baiklah kita menghadap arah utara dan selatan”. 

Kembali terdengar Untara tertawa, sambil berkata “Jangan marah Sidanti.” 

Terasa kata-kata itu menusuk jantung Sidanti seperti tusukan sembilu. Dengan 

menggeretakkan gigi ia berkata lantang “Nah Sedayu. Kau dengar?” 

Sedayu yang seakan-akan terpesona karena kehadiran kakaknya itu, tiba-tiba seperti 

terbangun dari mimpinya. Ia terkejut ketika ia merasa Sidanti mendorongnya. Dan didengarnya 

sekali lagi Sidanti berteriak “Bersiaplah”. 

Seperti seorang anak yang mengharapkan sesuatu dari bapaknya Agung Sedayu memandang 

wajah kakaknya. Dan tiba-tiba dilihatnya kakaknya itu mengangguk kepadanya. Hanya 

mengangguk, namun anggukan kepala itu seperti telah mengalirkan suatu kekuatan baru 

didalam hatinya. Kehadiran Untara yang tiba-tiba itu, benar-benar memperbesar hati Agung 

Sedayu. karena itu, maka dengan gerak yang lebih tenang kini ia berdiri menghadap keutara, 

sedang Sidanti berdiri dibelakangnya menghadap keselatan. 

Dan ketika kemudian Sidanti hampir mengulangi hitungannya, terdengarlah Untara berkata 

“Biarlah aku menolong kalian. Akulah yang akan menghitung sampai bilangan kesepuluh” 

“Bagus” teriak Sidanti. “Mulailah” 

Untara berjalan mendekati mereka yang telah berdiri beradu punggung itu. Terdengar ia 

bergumam “Aku telah melihat pertandingan ini sejak permulaan. Dan aku mengagumi kalian 

yang telah melakukan permainan yang aneh-aneh. Namun ternyata kalian hanya memanah 

benda-benda mati. Sekarang kalian akan memanah benda-benda yang hidup, yang mungkin 

mengelakkan diri dari kejaran anak panah kalian. Benar-benar pekerjaan yang tidak terlalu 

mudah” 

“Mulailah” potong Sidanti tidak sabar. Tetapi kata-kata Untara itu seakan-akan memberikan 

petunjuk-petunjuk baru bagi Agung Sedayu. Memberikan petunjuk bahwa dalam perang tanding 

yang demikian, maka mereka diperkenankan untuk mengelakkan serangan lawan. 

Demikianlah maka akhirnya Untara itupun mulai dengan hitungannya. 

Untara itu kini berdiri tegak. Sesaat ia memandang orang-orang yang melingkari mereka.


Kemudian dengan tenang ia berkata kepada para penonton “Mundurlah kalian. Jangan berdiri 

diujung utara dan selatan. Kalau anak panah itu nanti tidak mengenai sasaran, maka kalianlah 

yang akan terkena” 

Penonton diujung utara dan selatan itupun mendesak mundur. Mereka menjadi takut, kalau 

justru dada merekalah yang akan tembus oleh anak panah-anak panah itu. Namun setiap kata-

kata Untara itu, semakin meyakinkan Agung Sedayu, bahwa ia masih mungkin untuk 

menyelamatkan dirinya dari maut. Ia masih mungkin mengelak, dan panah-panah itu masih 

mungkin tidak mengenai sasaran. 

Tetapi Sidanti menjadi semakin tidak sabar. Dengan marahnya ia berteriak sekali lagi “He 

Untara. Apakah kau tidak sanggup menghitung?” 

“Baiklah” sahut Untara. “Sekarang bersiaplah” 

“Aku sudah siap sejak kau belum menampakkan dirimu” jawab Sidanti. 

Untara tersenyum. kemudian selangkah ia maju. Dan kini mulailah ia menghitung 

“Satu…dua…” 

Suasana meningkat menjadi semakin tegang, semakin tegang, sejalan dengan bilangan-

bilangan yang disebutkan Untara. Untara sendiri sebenarnya menjadi cemas juga, seperti 

Widura yang tegang kaku seperti patung batu. Namun baik Untara maupun Widura, bahkan 

beberapa orang lain, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan beberapa orang lagi, ternyata berdoa 

didalam hatinya, setidak-tidaknya Sedayu tidak menjadi binasa karenanya. 

Kini bilangan-bilangan yan diucapkan Untara sudah semakin tinggi. “Enam…tujuh…” Dan 

lapangan itu menjadi semakin hening. Tetapi dalam pada itu, tekad didalam dada Agung 

Sedayu menjadi semakin bulat. Ia tidak mau mati. 

Dan akhirnya sampailah hitungan itu pada akhirnya. Seperti bisul yang akan pecah disetiap 

ubun-ubun penonton, terdegarlah Untara menyebut bilangan terakhir dengan suara gemetar 

“Sepuluh ….” 

Sidanti yan dibakar oleh kemarahan, hampir tidak sabar menunggu bilangan yang kesepuluh. 

Dan ketidak sabarannya itu sama sekali tidak menguntungkannya. Demikian ia mendengar 

Untara menyebut bilangan kesepuluh itu, dengan serta-merta ia memutar tubuhnya sekaligus 

menarik busurnya. Hanya sesaat ia membidikkan panahnya, dan panah itu dengan cepatnya 

meluncur kedada Agung Sedayu arah kekiri. Arah jantung. 

Tetapi Agung Sedayupun telah memutar tubuhnya pula. ia tidak menyangka bahwa lawannya 

bertindak secepat itu. Ia sama sekali belum pernah melihat, mengatahui dan apalagi mengalami 

perang tanding semacam itu, sehingga karena itu ia masih ragu-ragu untuk melakukannya 

meskipun tekadnya untuk menghindari maut telah bulat didalam hatinya. karena itu, ternyata 

Sidanti berhasil mendahuluinya. 

Dan sebenarnya Sidanti adalah pembidik yang bail. Panah itu dengan lajunya menuju 

kesasarannya dengan tepat. Dada kiri Agung Sedayu. 

Tetapi Agung Sedayu itupun sebenarnya bukan sebuah patung. Didalam tubuhnya tersimpan 

berbagai macam ilmu yang tidak dapat diabaikan. Namun ilmi-ilmu itu seakan-akan tersimpan 

dalam kotak yang tertutup. 

Kini ia melihat sebuah anak panah meluncur dengan cepatnya, menuju kedadanya. karena itu, 

dengan gerak naulriah maka Sedayu yang memiliki ketangkasan yang tinggi itupun segera 

bergesar setapak sambil memiringkan tubuhnya. 

Namun panah Sidanti terlampau cepat. Betapapun cepatnya gerak Agung Sedayu, namun ia 

tidak mampu menghindari anak panah itu sepenuhnya. Sehingga dengan cepatnya panah itu 

mematuk lengan kirinya. Tetapi untunglah bahwa anak panah itu tidak mengenai bagian yang 

penting pada lengannya itu, sehingga anak panah itupun kemudian bergeser dan jatuh 

disamping Agung Sedayu. Meskipun demikian, maka segera sepercik darah mengalir dari luka 

itu. Semakin lama menjadi semakin deras. 

Tampaklah Agung Sedayu menyeringai menahan sakit. Tetapi hanya sesaat. Ternyata darah 

yang mengalir dari lukanya itu telah menghangatkan hatinya. Kini ia telah terluka, dan ternyata 

demikianlah rasa sakit yang menggigit pundaknya. Rasa sakit itu kini tidak saja ditakutkannya, 

namun sudah dirasakannya. Dan rasa sakit itu ternyata tidak seperti apa yang dibayangkannya.


Darah yang mengalir dari lukanya itu bukanlah pertanda akan kematiannya. Dan meskipun kini 

darah itu telah mengalir, tetapi ia masih tetap berdiri tegak dan hampir luka itu dapat 

diabaikannya. Tiba-tiba timbullah perasaan heran didalam dadanya. Apakah hanya perasaan ini 

yang harus ditanggungnya. Alangkah ringannya. Bahkan berkatalah Agung Sedayu didalam 

hatinya “Jadi ternyata aku tidak mati. Aku ternyata dapat juga membebaskan diri dari kematian 

itu. Dan kini aku telah melakukannya. Perang tanding” 

Terasalah sesuatu bergolak didalam dada Agung Sedayu. Terasa seakan-akan ia telah 

melampaui suatu masa yang tidak pernah dibayangkannya. Terasa seakan-akan ia telah 

menerobos suatu batas yang selama ini mengungkungnya. Dan sebenarnya dinding yang 

memagari Agung Sedayu kini telah terpecahkan. Dan lenyaplah seluruh perasaan takutnya. 

Kini Agung Sedayu itu tidak takut lagi kepada luka, kepada darah dan kepada maut sekalipun. 

Sebab ternyata ia mampu menghindari maut, apabila Tuhan belum menghendakinya. “Ya” 

katanya dalam hati, sebagai seorang yang percaya kepada Tuhan, akhirnya Sedayu itu 

menemukan keyakinan “Aku tidak perlu takut mati. Sebab kematian adalah takdir Tuhan. 

Ternyata kali ini aku telah bebas dari kematian itu, karena Tuhan belum menghendakinya”. 

Bahkan kini Agung Sedayu mengangkat wajahnya. dipandanginya Sidanti yang berdiri gemetar 

menahan marah, duapuluh langkah dihadapannya. Ditangannya kini masih tergenggam 

sebatang anak panah. Sedang Sidanti telah melepaskan satu-satunya anak panahnya. 

Ketegangan dilapangan itu segera sampai kepuncaknya. Ddg tajamnya Agung Sedayu 

menandang lawannya. Sidanti, yang dalam pandangan mata Sedayu, kini tidak lebih daripada 

dirinya sendiri. Sidanti itu tiba-tiba bukanlah seorang yang menakutkan lagi. 

Agung Sedayu, meskipun pundaknya telah terluka, namun luka yang tidak begitu dalam itu 

sama sekali tidak berpengaruh padanya. Kini ia dapat berbuat apa saja atas lawannya. 

Betapapun tangkasnya lawannya itu, namun ia mempunyai banyak waktu untuk membidiknya, 

menarik busurnya dalam-dalam dan melepaskan anak panah secepat tati. Dalam keadaan 

yang demikian, alangkah sulitnya untuk menghindari, sebab setiap kali ia dapat melepaskan 

anak panahnya dengan tiba-tiba. 

Sidanti masih berdiri tegak seperti tonggak. Kini tubuhnya bergetar semakin keras. 

Kemarahannya benar-benar telah memuncak sampai keubun-ubunnya. Meskipun demikian ia 

tidak gentar menghadapi panah Agung Sedayu. Dengan kecepatannya bergerak ia yakin 

bahwa ia mampu menghindari anak panah lawannya. 

Tetapi Agung Sedayu itu masih belum membidik lawannya. Meskipun kini ia sudah dapat 

melepaskan diri dari sebuah belenggu yang selama ini mengungkungnya dalam satu dunia 

yang gelap, namun masih belum terlintas didalam angan-angannya untuk membunuh 

seseorang. Itulah sebabnya maka ia masih berdiri dengan ragu. 

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara Sidanti serak “He Sedayu, apa yang kau tunggu?” 

Agung Sedayu terkejut mendengar suara itu. Sekali lagi ia menatap wajah lawannya dengan 

tajamnya. Wajah yang kras dan penuh dendam. Namun, betapa ia menjadi muak melihat wajah 

Sidanti, tetapi perasaan itu belum dapat memaksanya untuk mencoba membunuh seseorang. 

Dan kembali Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. 

Lapangan kecil itu kini benar-benar dikuasai oleh kesenyapan yang tegang. Matahari dilangit 

menjadi semakin rendah. Warna-warna merah dengan segarnya membayang diujung-ujung 

pepohonan dan menyangkut iditepi-tepi gumpalan mega dilagnit. Sekali-sekali tampak diudara 

burung-burung cangak berbondong-bondong terbang pulang kesarangnya. Melintas dari arah 

barat ketimur. 

Dalam kesenyapan itu, tiba-tiba terdengar suara Untara dengan nada yang rendah “Agung 

Sedayu. Pertandingan ini akan segera selesai apabila kau telah melepaskan anak panahmu itu” 

Agung Sedayu menjadi semakin bimbang. Dicobanya untuk menenangkan perasaannya. Dan 

dicobanya untuk memandang dada Sidanti. Tetapi, kembali ia tidak dapat memaksa dirinya 

untuk membunuh seseorang meskipun orang itu telah bertekad untuk membunuhnya. 

Yang terdengar kemudian kembali suara Untara “Agung Sedayu, adalah tidak bijaksana untuk 

membunuh lawan yang sudah tidak berdaya” 

Agung Sedayu berpaling kepada kakaknya, seakan-akan ia telah menemukan suatu 

penyelesaian yang baik bagi perselisihannya. Ia dapat mengerti kata-kata kakaknya, 

sebagaimana ia selalu mendengar cerita ayahnya dahulu, bahwa penyelesaian dari


persengketaan tidak harus ditandai dengan kematian. 

Tetapi tanpa disangka-sangka, maka Agung Sedayu itu mendengar suara Sidanti menggelegar 

“Agung Sedayu, aku bukan pengecut yang minta kau kasihani. Ayo kalau kau jantan. Cobalah 

membunuh Sidanti” 

Agung Sedayu mengangkat keningnya. Namun Untara itu berkata pula “Anak panah yang 

sebatang itu hakmu Sedayu. Kemana saja kau bidikkan, maka perang tanding ini sudah selesai. 

Dan semua persoalanpun selesai pula” 

“Jangan turut campur Untara. Urusan ini sama sekali bukan urusanmu” bentak Sidanti sambil 

menggertakkan giginya karena marah. 

Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata Sidanti. Bahkan Widurapun kemudian 

berkata “Kau benar Untara” 

Agung Sedayu masih tegak dengan penuh kebimbangan. Ia kini telah berhasil menerobos 

dinding yang menyekapnya dalam ketakutan. Namun ia masih belum dapat berbuat lebih jauh 

daripada melihat kenyataan diri dan melihat kekuasaan yang menguasai hidupnya dan hidup 

orang-orang lain. karena itu, ia menjadi semakin bimbang. Membunuh adalah perbuatan yang 

melawan kehendak Tuhan. 

Dalam kebimbangan itu tiba-tiba Agung Sedayu melihat serombongan brung cangak terbang 

rendah melintas dilapangan. Dan tiba-tiba pula ia ingin melepaskan ketegangan yang 

mencekam dadanya. Dengan serta-merta, ia mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian 

satu-satunya anak panahnya itu meloncat dengan cepatnya, menyambar seekor cangak yang 

terbang dengan tenang dan perlahan-lahan diatasnya. 

Semua orang terkejut melihat perbuatan Agung Sedayu. Mereka hanya sesaat melihat Agung 

Sedayu mengangkat busurnya. Dan sesaat kemudian mereka sudah melihat, seekor dari 

burung-burung cangak itu terpelanting dan jatuh ditanah. 

Agung Sedayu sendiri terkejut melihat hasil bidikannya. Cangak yang sama sekali tidak tahu 

menahu persoalannya itu tiba-tiba jatuh menjadi korbannya. Namun, adalah lebih baik 

melepaskan ketegangan didadanya dengan membunuh seekor burung daripada membunuh 

Sidanti. 

Tanpa diduga-duga sebelumnya, maka tiba-tiba semua orang yang berdiri dilapangan itupun 

kemudian melepaskan ketegangan yang selama ini mencengkam dada mereka. 

Dengan serta-merta meledaklah sorak-sorai yang gemuruh dengan dasyatnya, sedahsyat 

gunung Merapi itu meledak. Mereka bersorak karena mereka melihat akhir dari perang tanding 

itu tanpa jatuhnya korban. Mereka bersorak pula karena mereka melihat ketangkasan Agung 

Sedayu. Beberapa orang dari mereka bergumam “Alangkah dahsyatnya anak muda itu” 

Tetapi, bagi Sidanti, apa yang terjadi itu seakan-akan merupakan tamparan yang langsung 

mengenai wajahnya. karena itu, maka darhnya menjadi seakan-akan mendidih. Ia sudah tidak 

ingat lagi apakah yang sebaiknya dilakukan. Dengan gigi yang gemeretak ia meloncat maju 

sambil berteriak “Perang tanding ini belum selesai. Aku tantang kau dengan cara yang lain” 

Teriakan Sidanti itu benar-benar mengejutkan. Semua orang yang mendengar tertegun heran. 

Bahkan Widura, Untara dan bahkan Agung Sedayu sendiri. mereka melihat Sidanti dengan 

wajah yang menyala-nyala datang mendekati Sedayu. Dilemparkannya busurnya ketanah, lalu 

berkata “Agung Sedayu. Ada seribu macam cara untuk melakukan perang tanding. Marilah kita 

pilih salah satu diantaranya. Tidak mempergunakan jarak yang sejauh duapuluh langkah, tetapi 

kita lakukan dalam jarak yang dekat” 

Agung Sedayu menjadi bingung. Ia telah menghindari kemungkinan yang lebih buruk dari 

perang tanding yang baru saja dilakukan. Ia dengan sengaja tidak membidik lawannya dengan 

anak panahnya. Tetapi kini bahkan ia dihadapkan pada kemungkinan yang lebih jelek. 

Namun dengan demikian, Hudaya, Citra Gati, Sendaya dan orang-orang lain menjadi semakin 

muak melihat kesombongan Sidanti. Hampir-hampir saja mereka tidak dapat mengendalikan 

diri mereka pula. Tetapi yang maju kedepan adalah Widura “Cukup Sidanti. Jangan membuat 

persoalan menjadi lebih parah” 

Tetapi dengan kasarnya Sidanti menyahut “Apa pedulimu. Persoalan ini adalah persoalan 

antara Sidanti dan Agung Sedayu”


“Tetapi aku kali ini tidak akan mengijinkan” berkata Widura pula. 

“Aku tidak perlu ijinmu” bantah Sidanti. 

Widura itupun kemudian menjadi marah pula. meskipun demikian ia tetap pada pendiriannya, 

bahwa ia tidak ingin melihat orang-orangnya menjadi hancur karena menikam dada sendiri, 

sementara Macan Kepatihan sudah soap untuk menerkam mereka. karena itu maka katanya 

“Simpanlah tenaga kalian. Marilah kita adakan perlombaan yang lain. Kalau kalian tetap pada 

pendirian kalian ingin melihat siapakah yang lebih unggul diantara kalian, nah perlihatkanlah 

dalam perlawanan kalian atas Macan Kepatihan. Siapakah yang mampu membunuh Macan 

Kepatihan, maka ialah yang menang” 

“Aku tidak akan menunggu sampai kesempatan itu datang” jawab Sidanti. “Biarlah kita 

melakukannya sekarang. Yang menanglah yang kelak harus membunuh Macan Kepatihan. 

Kalau tidak biarlah ia dibunuh saja sama sekali” 

“Aku tidak mengijinkan” berkata Widura tegas-tegas. 

“Persetan” teriak Sidanti. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “Bersiaplah Agung 

Sedayu. Marilah kita bertempur tanpa senjata. Kita akan sampai pada suatu kepastian, 

siapakah yang akan mati diantara kita. Jangan berhenti sebelum keputusan itu jatuh” 

Dada Agung Sedayu itupun bergelora. Setelah darah tertumpah dari luka dipundaknya itu, tiba-

tiba Agung Sedayu kini seolah-olah telah menemukan dirinya sendiri dalam nilai-nilai yang 

sewajarnya. Karena itu tiba-tiba terdengar anak muda itu menggeram. Dengan tatagnya ia 

berkata “Kalau itu yang kau kehendaki Sidanti, marilah aku layani” 

Kembali suasana menjadi semakin tegang. Widura benar-benar terkejut mendengar jawaban 

Agung Sedayu. Jawaban yang sama sekali tak disangka-sangka. Dan sebenarnya memang 

Widura tidak tahu apa yang sudah bergolak didalam dada Agung Sedayu. Setelah ia 

merasakan luka ditangannya, seakan-akan tumbuhlah kepercayaannya pada diri sendiri, bahwa 

Sidanti bukanlah seorang yang tak dapat dikalahkan. 

Untara tersenyum didalam hati mendengar jawabann Agung Sedayu. Katanya dalam hati 

“Kalau anak itu selalu ikut saja bersama aku, maka tak akan ditemukannya kepercayaan pada 

dirinya. Agaknya keadaannya selama ini telah memaksa dirinya untuk mencoba 

menggantungkan nasibnya kepada diri sendiri”. namun meskipun demikian, Untara tidak 

menghendaki perkelahian itu berlangsung. Ia dapat mengerti sepenuhnya, apa yang sedang 

dijaga sebaik-baiknya oleh Widura. karena itu, maka Untara itupun berkata “Agung Sedayu. 

Tidak seharusnya setiap tantangan kau terima. Kau dapat menolaknya untuk kepentingan yang 

lebih besar dari kepentingan diri kita sendiri. Pertandingan hari ini sebenarnyalah telah selesai. 

Laskar Pajang di Sangkal Putung hanya diperkenankan melakukan perlombaan memanah. 

Lebih daripada itu tidak. Bahkan kalian telah melakukannya melampaui kebiasaan, dimana 

kalian mempergunakan diri kalian untuk sasaran” 

“Jangan ikut campur Untara” teriak Sidanti keras-keras. “Kedatanganmu kemari sama sekali 

tidak kami harapkan. Pergilah dan kalau ingin menonton, nontonlah. Jangan ribut” 

“Sidanti” jawab Untara “aku mencoba melihat jauh seperti yang dikatakan paman Widura. 

Jangan mempertajam pertentangan diantara kita sendiri” 

“Aku tidak perlu mendengar sesorahmu” bentak Sidanti. “Jangan gurui aku. Aku tahu apa yang 

akan terjadi di Sangkal Putung. Kau sangka tanpa Agung Sedayu pekerjaan di Sangkal Putung 

ini tidak akan selesai?” 

Untara menarik alisnya. Sebelum ia menjawab, didengarnya Agung Sedayu berkata “Kakang, 

berilah aku kesempatan” 

Untara menjadi heran pula mendengar tekad adiknya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itu 

berkata pula kepada Widura “Paman, biarlah aku mencobanya” 

“Tidak Sedayu” jawab Widura dan Untara hampir bersamaan. 

Rupanya Agung Sedayu itupun menjadi kecewa. Ledakan yang meronta-ronta didalam 

dadanya setelah selama ini terkekang dalam suatu himpitan ketakutan, seakan-akan sedang 

mencari salurannya. karena itu betapa tak terduga arus yang melanda dada Agung Sedayu itu. 

Meskipun demikian, Agung Sedayu adalah seorang anak yang patuh kepada kakaknya sejak 

masa kecilnya. Karena itu, maka ia tidak akan dapat memaksa seandainya kakaknya 

mencegahnya


Tetapi Sidanti tidak menjadi reda karenanya. Seperti orang gila ia berteriak-teriak “Jangan 

halangi aku. Siapa yang menghalangi aku itulah lawanku. Aku bunuh ia tanpa sebab” 

Widura mengangkat wajahnya memandang wajah Sidanti yang telah benar-benar menjadi buas. 

Sekali lagi ia ingin mencoba melunakkannya. 

Dengan hati-hati Widura melangkah maju sambil berkata “Sidanti, sadarilah keadaanmu. 

Keadaan kita bersama di Sangkal Putung ini. Jangan memandang keadaan dalam suatu 

lingkungan yang sempit. Tetapi pandanglah seluruh persoalan yang kita hadapi” 

Namun agaknya kata-kata Widura itu sia-sia saja. Sidanti telah menjadi seakan-akan wuru. 

Yang ada didalam benaknya hanyalah kekerasan, perkelahian, dan membunun atau dibunuh. 

karena itu ia menjawab “Jangan halangi aku” 

Untarapun melihat, bahwa sama sekali tak ada kemungkinan untuk dapat mengekang Sidanti. 

Karena itu maka ia akan berusaha untuk menyingkirkan adiknya. Apabila Agung Sedayu dapat 

dijauhkannya, dan perkelahian iu dapat ditunda, maka nanti apabila kepala Sidanti telah 

bertambah dingin, segala sesuatu akan dapat diselesaikannya dengan baik. 

Karena itu, betapa kecewanya Agung Sedayu, namun ia tidak dapat berbuat apapun ketika 

kakaknya menarik tangannya dan membawanya meninggalkan tempat itu. 

Tetapi sebelum Agung Sedayu dan Untara berhasil menerobos lingkaran yang pepat itu 

terdengar Sidanti berteriak “Jangan pergi pengecut. Tak ada gunanya. Aku akan mengejarmu 

sampai keujung bukit Merapi itu sekalipun” 

Namun Untara tak menghiraukannya. Didorongnya adiknya dan disibakkannya orang-orang 

yang mengerumuninya. Meskipun demikian Sidanti yang gila itu meloncat maju sambil berteriak 

lebih keras lagi “Berhenti pengecut” 

Widuralah yang kemudian kehabisan kesabaran. Ia sudah menjadi sedemikian bingungnya 

mencegah perkelahian itu. karena itu, tiba-tiba iapun berteriak nyaring “Sidanti, berhenti 

ditempatmu. Aku adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung. Aku mempunyai 

wewenang untuk melakukan segala kebijaksanaan disini. Aku perintahkan kau tetap 

ditempatmu” 

Kata-kata itu menggelegar ditelinga Sidanti. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya 

menghadapi Widura. namun Widura benar-benar telah siap. Dan bahkan tiba-tiba Sidanti itupun 

melihat Hudaya, Citra Gati, Sendawa dan bahkan Swandaru meloncat maju. Tanpa berjanji 

mereka seakan-akan telah mengpung Sidanti yang hampir menjadi gila itu. 

Sidanti menggeram. Matanya yang buas menjadi semakin buas. Ditatapnya orang-orang yang 

berdiri disekitarnya seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Dengan kemarahan yang 

seakan-akan hendak meledakkan dadanya Sidanti berteriak “ayo, ayo. Majulah bersama-sama. 

Inilah Sidanti, murid Ki Tambak Wedi” 

Widura menatap wajah Sidanti yang menyala itu dengan mata menyala pula. tiba-tiba saja ia 

berkata “Sidanti, apakah kau sedang menunggu bantuan gurumu? Jangan kau harapkan itu, 

sebab disini hadir pula orang yang dahulu pernah mencegah gurumu membunuh aku itu. Kau 

lihat cemeti kuda yang terjatuh disamping tanda yang dilemparkan gurumu itu?” 

Kata-kata itu terasa berdentangan didada Sidanti. Namun tidak hanya Sidanti yang terkejut 

karenanya. Semua orang menjadi terkejut pula. ternyata lingkaran besi dan cemeti kuda itu 

adalah permulaan dari pertentangan-pertentangan yang akan menjadi semakin memuncak dari 

dua orang sakti yang tak mereka ketahui dan belum pernah mereka lihat pula orangnya. 

Sesaat Sidanti berdiam diri. Memang ia mengharap gurunya akan membantunya, melawan 

kelinci-kelinci yang tak berarti itu dihadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi kemudian disadarinya, 

bahwa ternyata dilapangan itu hadir pula, orang lain yang pernah mencegah langkah gurunya 

ditegalan kemarin malam. karena itu maka Sidanti itu berbimbang untuk sesaat. Tetapi 

kemarahannya telah benar-benar menguasai otaknya. Sehingga betapapun yang akan 

dihadapinya, namun ia sama sekali tidak dapat memperhitungkannya. 

Dengan demikian, maka Sidanti itu sama sekali tidak menjadi surut. Bahkan dengan lantangnya 

ia menjawab “Apakah kau sangka Sidanti hanya dapat menggantungkan dirinya kepada orang 

lain? Ki Tambak Wedi telah menempa Sidanti untuk menjadi seorang laki-laki jantan. Ayo. 

Siapakah yang pertama-tama. Agung Sedayu atau kakaknya yang bernama Untara itu.” 

Untara mencoba untuk tidak menghiraukannya. Tetapi Agung Sedayu tiba-tiba berhenti


ditempatnya. Tiba-tiba ia merasa, bahwa sebenarnya ia tidak mau pula dihinakan. Apalagi 

setelah ia menemukan penilaian yang wajar atas dirinya, justru setelah sebatang anak panah 

menyobek pundaknya. 

“Menyingkirlah Sedayu “ desah Untara. 

“Ia menghinaku kakang.” Jawab Sedayu. 

Tetapi Untara berbisik “Sidanti adalah seorang anak muda yang tangguh. Sedangkan kau, 

agaknya baru saja menyadari kelaki-lakianmu. Kau tidak akan dapat melawannya.” 

Tetapi ledakan-ledakan yang dasyat didada Agung Sedayu itupun telah membakar hatinya pula. 

karena itu ia menjawab “berilah aku kesempatan.” 

Untara menjadi jengkel karenanya. Maka dibentaknya adiknya “Pergi. Biar paman Widura 

mengurus Sidanti” 

Tiba-tiba Untara terkejut ketika ia mendengar Sidanti berteriak “Untara. Jangan kau 

sembunyikan adikmu. Atau kau sendiri yang hendak bersembunyi?” 

Terasa sesuatu berdesir didalam dada Untara. Ia dapat mencegah orang lain untuk tidak 

menghiraukan maki dan cerca, namun ketika kata-kata itu ditujukan kepada dirinya, terasa 

dadanya itu bergetar. Meskipun demikian, Untara itu tidak berpaling. Yang didengarnya 

kemudian adalah suara pamannya, Widura “Sidanti, kalau kau tetap dalam pendirianmu, maka 

perintah untuk menangkapmu segera akan aku jatuhkan” 

Ternyata Sidanti benar-benar telah kehilangan segenap pertimbangannya. Ia seolah-olah tidak 

mendengar kata-kata Widura. bahkan kemudian ia berkata kepada Untara “Untara, kalau kau 

sembunyikan adikmu maka kaulah lawanku” 

Kini Untara terpaksa berhenti. Terasa dadanya bergetar semakin cepat. Namun ketika 

dilihatnyan luka dipundak Sedayu, Untara menarik nafas. Sedayu, betapapun tinggi ilmunya, 

namun ia sama sekali belum berpengalaman dalam satu perkelahian yang benar-benar 

menentukan hidup dan mati. Apalagi kini pundaknya itu telah terluka, dan darah mengalir dari 

luka itu. karena itu maka kekuatannyapun pasti berkurang. 

Untara terkejut ketika Agung Sedayu mendesaknya “Kakang, apakah kakang akan membiarkan 

Sidanti menghina kita?” 

“Jangan Sedayu” sahut Untara “Sadarilah keadaanmu. Pundakmu telah terluka. Mungkin 

pundak itu tidak terganggu pada saat kau menarik busur, tetapi dalam pertempuran jarak dekat, 

maka luka itu akan sangat berpengaruh” 

Agung Sedayu meraba lukanya. Terasa luka itu memang pedih. Tetapi serasa sama sekali tidak 

berpengaruh baginya. Namun Untara itupun dapat memperitungkannya dengan tepat, maka 

sambungnya “Kalau kau bergerak, maka darah akan semakin banyak mengalir dari luka itu. 

Kau akan menjadi lemas, dan lehermu akan dipilin sampat patah oleh iblis itu” 

Tetapi seperti bendungan yang baru saja pecah oleh banjir, maka Agung Sedayu benar-benar 

sedang mencari saluran untuk menumpahkan ledakan-ledakan yang terjadi didadanya. Namun 

ia tidak berani melawan kehendak kakaknya. karena itu hanya dadanya sajalah yang bergelora. 

Sementara itu terdengar Sidanti berkata pula “Untara. Jangan kau sembunyikan anak itu. Atau 

kau sendiri terpaksa aku bunuh dilapangan ini” 

Sekali lagi dada Untara bergetar. Ketika ia berpaling, ia melihat Widura mengangkat tangannya. 

Hampir saja Widura menjatuhkan perintah untuk menangkap Sidanti. Tetapi segera Untara 

mencegahnya “Jangan paman” 

Widura tertegun. Tangannya itupun terkulai kembali. Dengan tegangnya ia memandang wajah 

Untara. Tetapi untara itu kemudian berkata “Paman, biarlah Agung Sedayu aku bawa kembali 

kekademangan. Aku harap Sidanti dapat menenangkan hatinya sehingga kemudian ia 

mendapat pertimbangan-pertimbangan yang wajar” 

Tetapi kata-kata Untara itu justru semakin menyakitkan telinga Sidanti. Hatinya yang marah itu 

menjadi semakin parah. Dengan serta-merta ia melontarkan dirinya, langsung menyerang 

Untara yang sekali lagi tidak bersiaga. 

Tetapi Untara bukanlah anak-anak yang menangis melihat barongan-ndadi. Ketika ia melihat 

Sidanti itu dengan satu loncatan panjang menyerangnya, segera ia menarik satu kakinya

kesamping dan dengan merendahkan dirinya, Untara berhasil menghindari tangan Sidanti yang


menyambar kepalanya. 

Agung Sedayu yang berdiri dimuka Untarapun terpaksa menghindar pula. tidak kalah 

tangkasnya, iapun meloncat surut. 

Sementara itu terdengar Widura berteriak nyaring “Sidanti. Apakah kau telah benar-benar 

menjadi gila. Hai Citra Gati, bersiaplah” 

Citra Gatipun segera meloncat maju diikuti oleh beberapa orang yang lain. Tetapi segera 

Untara berteriak pula “Jangan maju bersama-sama” 

“Aku berhak menangkapnya” sahut Widura. 

“Jangan” berkata Untara. 

“Aku adalah senapati Pajang di Sangkal Putung” desak Widura. 

“Aku adalah pememgang kuasa dari panglima Wiratamtama, Ki Gede Pemanahan untuk 

daerah disekitar gunung Merapi. Mengamati dan mengamankan segala kebijaksanaan 

panglima, termasuk daerah Sangkal Putung” potong Untara. 

“Oh” Widura itupun terdiam. Kini benar-benar disadarinya akan kedudukan kemenakannya itu. 

karena itu, maka kemudian dibiarkannya kemenakannya itu membuat kebijaksanaan sendiri. 

Sidantipun mendengar kata-kata Untara itu. Sesaat kata-kata itu berpengaruh juga didalam 

benaknya. Namun sesaat kemudian ia sudah tidak memperdulikannya lagi. Pertimbangan-

pertimbangannya sudah tidak dapat mempengaruhi kemarahannya. Dihadapan sekian banyak 

orang, Sidanti yang merasa dirinya pahlawan yang tak terkalahkan itu, harus menunjukkan 

bahwa sebenarnyalah ia tak dapat dikalahkan. Karena itu, bahkan Sidanti itu berkata “Apa yang 

akan kau lakukan Untara, pemegang kuasa penglima Wiratamtama untuk daerah ini?” 

“Sidanti” berkata Untara. “Atas nama kekuasaan yang ada padaku, jangan berbuat hal-hal yang 

dapat merugikan nama baik Wiratamtama” 

“Ini adalah kesempatan bagiku” berkata Sidanti “Seharusnya akulah yang memegang jabatan 

itu. Sebenarnya Sidanti lebih tangguh daripada Untara” 

“Jangan mengigau Sidanti” potong Untara. Betapapun ia mencoba menyabarkan dirinya, 

namun darahnyapun adalah darah seorang prajurit muda. Ketika ia melihat Agung Sedayu 

melangkah maju, didorongnya adiknya itu kesamping sambil berkata pula “Sadari 

kedudukanmu. Atau aku harus menempuh kebijaksanaan lain seperti paman Widura” 

“Terserah padamu Untara” sahut Sidanti “Tetapi aku ingin menantangmu kini. Apakah kau 

benar-benar berhak memakai pangkatmu itu. Atau ternyata akulah yang sebenarnya berhak” 

Untara menggigit bibirnya. Sidanti benar-benar keras kepala. Pengaruh kehadiran gurunyalah 

yang telah memaksanya untuk berbuat gila itu. 

Sementara itu, matahari telah temggelam dibawah garis cakrawala. Lapangan itupun menjadi 

semakin lama menjadi semakin gelap. Hanya bintang-bintang dilangit sajalah yang kemudian 

gemerlapan, seolah-olah ikut serta berdesak-desakan menyaksikan apa yang akan terjadi 

dilapangan itu. 

Untara masih berdiri sambil menggigit bibirnya. Getar didalam dadanya terasa menjadi semakin 

bergelora. Kalau ia bertindak atas nama jabatannya, serta mengerahkan anak buah Widura 

untuk menangkap Sidanti, maka dendam yang membakar hati anak muda itu masih akan 

menyala untuk selama-lamanya. Sidanti akan mungkin sekali kelak mencari kesempatan untuk 

membalas dendam terhadap orang-orang Widura itu satu per satu. Dengan demikian maka 

keadaan Sangkal Putung akan menjadi bertambah sulit. 

Namun tiba-tiba Untara itupun melangkah maju. Dengan lantang ia berkata “Aku terima 

tantangan Sidanti” 

“Untara” terdengar Widura memotong kata-kata kemenakannya. 

“Paman” sahut Untara. “Persoalan ini biarlah aku jadikan persoalan antara aku dan Sidanti. 

Persoalan perseorangan yang sama sekali tidak menyangkut kedudukan kami masing-masing. 

Persoalan perseorangan yang akan kami selesaikan secara perseorangan pula. Bukankah 

begitu Sidanti?” 

Sidanti benar-benar sudah tidak dapat membedakan antara persoalan perseorangan dan 

peroalannya dalam ikatan kelaskaran. Tiba-tiba saja ia berteriak menjawab “Ya. Aku tidak 

perduli persoalan apapun yang kau pilih. Namun biarlah kita bertakar darah, melihat siapa yang


lebih keras tulangnya dan siapakah yang lebih liat kulitnya” 

Widura sudah tidak mungkin lagi untuk mencegah perkelahian itu. Kini Sidanti dan Untara telah 

maju dan orang-orang disekitarnya dengan sendirinya, berdesakan mundur. Meskipun 

lapangan itu menjadi semakin gelap, dan sebagian dari mereka sudah tidak dapat lagi melihat 

apa yang terjadi ditengah-tengah lingkaran manusia itu, namun mereka masih belum mau 

meninggalkan lapangan itu. Mereka masih hendak menunggu, apakah yang terjadi dengan 

Untara dan Sidanti. 

Ternyata Sidanti benar-benar tak dapat mengekang dirinya. Dengan penuh nafsu ia meloncat 

menghadapi Untara. Sedang Untara itupun segera bersiaga pula. Untara itupun sadar sesadar-

sadarnya bahwa lawannya kali ini adalah murid Ki Tambak Wedi. seorang sakti yang namanya 

telah dikenal oleh setiap orang hampir dari segala penjuru. 

Sidanti itu ternyata tak mau banyak bicara lagi. Dengan suatu peringatan pendek ia menggeram 

“Untara, aku mulai” 

Sebelum Untara sempat menjawab, Sidanti telah meloncat menyerangnya. Sebuah pukulan 

mendatar mengarah kepelipis lawannya. Namun Untara telah bersiaga sepenuhnya. Betapapun 

cepatnya gerak Sidanti, namun Untara masih sempat dengan tangkasnya menghindari. Dengan 

satu gerakan yang cepat, Untara menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak membiarkan tangan 

Sidanti yang masih terjulur itu. Dengan cepatnya disambarnya tangan itu dengan sebuah 

ketukan dipergelangan. Tetapi Sidanti cukup cekatan pula. dengan kecepatan yang sama 

Sidanti berhasil menarik tangannya dan membebaskannya dari ketukan tangan Untara. 

Untara menarik nafas dalam-dalam melihat kecepatan Sidanti. Nama Ki Tambak Wedi benar-

benar bukan sekedar cerita yang berlebih-lebihan. Kini ternyata Untara mengalami sendiri, 

betapa cekatannya murid Ki Tambak Wedi. 

Ternyata pula, sesaat kemudian Sidanti telah mulai menyerangnya kembali. Dengan garangnya 

Sidanti melontarkan sebuah serangan dengan kakinya kearah lambung lawannya. Namun 

sekali lagi Untara berhasil menarik satu kakinya, dan dengan memiringkan tubuhnya ia telah 

terhindar dari serangan Sidanti. Tetapi Sidanti tidak mau membiarkan lawannya, dengan 

sebuah putaran pada satu kakinya, Sidanti melepaskan serangan kaki berganda. Demikian 

cepatnya, sehingga Untara terpaksa meloncat selangkah mundur. 

Ketika Sidanti akan mencoba mengejarnya dengan serangan pula, maka Untaralah yang kini 

mendahului lawannya. Dengan tangkasnya ia melontar menyambar dada Sidanti yang masih 

mencoba menyergapnya. Sidanti terkejut melihat serang yang tiba-tiba itu. Dengan cepat ia 

merendahkan dirinya dan bahkan kemudian ketika tangan Untara yang lain menyambar 

kepalanya, Sidanti terpaksa melontar kesamping. 

Demikianlah maka mereka sesaat kemudian tenggelam dalam satu pertempuran yang sengit. 

Sidanti yang tangkas dan lincah melawan Untara yang tangguh-tanggon. Betapa ilmu Ki 

Tambak Wedi terpaksa berbenturan dengan ilmu dari Jati Anom, 

Widura, Ki Demang Sangkal Putung, Hudaya, Citra Gati, Swandaru dan bahkan Agung Sedayu 

yang berdiri disekitar arena itu, melihat perkelahian itu dengan wajah yang tegang. Mereka 

mengenal Sidanti sebagai seorang anak muda yang telah berhasil mempertahankan diri, 

meskipun tidak sepenuhnya, terhadap serangan-serangan Tohpati. karena itu, maka mereka 

menjadi berdebar-debar. Seandainya Untara tak berhasil mempertahankan dirinya, maka 

Sidanti yang gila itu pasti dapat berbuat hal-hal diluar kemungkinan yang wajar. Namun 

sebenarnya Widura tidak menjadi cemas atas nasib Untara. Ia ahu betul bahwa kemenakannya 

yang besar itu, setidak-tidaknya pasti akan dapat menyamai Sidanti. Tetapi apakah selama ini 

lukanya telah benar-benar sembuh, sehingga segenap kekuatannya telah pulih kembali. Namun 

melihat kecepatannya bergerak Widura menduga untara telah mencapai keadaan dan 

kemantapan ilmu seperti sediakala. Sehingga dengan demikian, maka perkelahian itu pasti 

akan berlangsung dahsyat sekali. 

Sebenarnyalah pertempuran itu semakin lama menjadi semakin seru. Sidanti yang dengan 

penuh nafsu bertempur itu, segera mengerahkan segenap kemampuannya. Semakin cepat ia 

dapat menjatuhkan lawannya, semakin tinggi pula nilai dirinya. Bahkan apabila kelak Agung 

Sedayu tidak puas melihat kekalahan kakaknya, biarlah ia sendiri mencobanya. 

karena itulah maka serangan-serangan Sidanti menjadi semakin seru seperti angin ribut yang 

menghantam pepohonan. Berputar-putar dengan dahsyatnya. Namun Untara itupun tangguh


setangguh batu karang pantai. Tegak dengan kokohnya, seakan-akan berakar menghunjam 

bumi. Tetapi apabila serangannya melanda lawannya, beruntun seperti batu-batu yang 

berguguran dilereng Merapi. 

Dengan demikian maka pertempuran dilapangan dimuka banjar desa itu semakin lama menjadi 

semakin seru. Keduanya adalah anak-anak muda yang sedang berkembang. Mereka meiliki 

bekal ilmu yang tak dimiliki oleh kebanyakan orang. Maka perkelahian diantara mereka benar-

benar menjadi sedemikian sengitnya seperti petir yang sedang bersabung diudara. Sambar 

menyambar dalam kecepatan yang hampir tak dapat diikuti oleh mata. 

Sehingga karena itu, maka mereka berdua kemudian, seakan-akan telah berubah menjadi 

bayangan-bayangan yang terbang berputaran, bahkan kemudian mereka seakan-akan telah 

berubah menjadi gumpalan asap hitam dimalam yang gelap. 

Tetapi semakin lama menjadi semakin terang bagi Untara. Selah ia bertempur dengan segenap 

tenaga pada taraf permulaan, akhirnya berhasil menemukan dan mengetahui letak kekuatan 

dan kelemahan ;awannya. Meskipun Sidantipun mampu pula mengamati kelemahan lawannya, 

namun ternyata Untara menang seulas dari Sidanti. Untara, yang memegang kekuasaan dari 

Panglima Wiratamtama didaerah itu, ternyata buka nseorang yang hanya mempunyai nama 

mengagumkan. Tetapi Untara benar-benar seorang yang dapat dipercaya. Lahir dan batinnya. 

Dengan demikian, maka kemudian Untara dapat menempatkan dirinya pada keadaan yang 

tepat. 

Tetapi justru karena ia telah dapat melihat nilai dari dirinya sendiri dihadapan lawannya itu, 

maka ia menjadi semakin tenang. Dengan demikian sambil bertempur ia kini sempat mencari 

kemungkinan-kemungkinan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan persoalan yang 

disebutnya dengan persoalan pribadi. 

Namun ternyata Sidanti masih memeras tenaganya habis-habisan. Ia telah benar-benar 

waringuten. Otaknya seakan-akan telah berhenti bekerja kecuali mencari kemungkinan-

kemungkinan untuk membinasakan lawannya dalam perkelahian itu. Mula-mula memang ia 

merasakan tekanan Untara menjadi semakin bertambah tajam. Namun kemudian tekanan-

tekanan itu seolah-olah menjadi terurai kembali. Dan dalam penilaian Sidanti, keadan mereka 

menjadi seimbang kembali. 

Sebenarnyalah, kini Untara telah menemukan suatu cara untuk menyelesaikan persengketaan 

ini tampa menimbulkan dendam. Meskipun kemudian terasa olehnya, bahwa meskipun berat, 

namun ia akan dapat menguasai lawannya, tetapi Untara tidak mau berbuat demikian. Sebab, 

apabila ia menekan Sidanti, sehingga anak muda yang keras hati itu dilumpuhkan, maka 

dendam akan tetap membara didadanya. Dendam itu akan dapat berbahaya bagi Sangkal 

Putung. Apabila dendam itu meledak pada saat kedatangan laskar Jipang, maka akibatnya 

akan mengerikan sekali. 

Dengan demikian, terbesitlah kebijaksanaan didalam diri Senapati muda dari Jati Anom itu. Ai 

kini tidak benar-benar ingin menundukkan Sidanti. Meskipun ia tetap memberi kesan, bahwa ia 

bertempur mati-matian, namun sebenarnya Untara kin seakan-akan tinggal melayani segala 

solah lawannya. Sekali-sekali ia menghindar, dan sekali-sekali ia menyerang pula. Tetapi 

serangannya tidak benar-benar mengarah ketempat-tempat yang berbahaya. 

Demikian cakapnya Untara membawakan dirinya, serta karena kelebihan ilmunya yang 

kemudian meyakinkannya, maka Sidanti selama ini masih belum tahu apa yang dilakukan oleh 

Untara. Itulah sebabnya ia masih berjuang sekuat-kuat tenaganya. Dan memang demikianlah 

yang dikehendaki oleh Untara. Sekali-sekali ia menekan lawannya, kemudian melepaskannya 

dalam keadaan yang menguntungkan. Dengan demikian maka nafsu bertempur Sidanti itu 

menjadi melonjak-lonjak tak terkendali. Sebab sekali-sekali ia menjadi cemas, namun tiba-tiba 

ia melihat kesempatan terbuka. Sehingga mau tidak mau ia ingin mempergunakan kesempatan 

itu sebaik-baiknya. 

Tetapi bagi mereka yang tidak mengalami pertempuran itu, mempunyai kesempatan untuk 

menilai apa yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi tidak semua orang dapat berbuat demikian. 

Yang pertama-tama melihat permainan Untara itu adalah Widura, dan kemudian Agung Sedayu. 

Mereka dengan dada yang berdebar-debar menanti, bagaimana akhir dari pertempuran itu. 

Sebab dengan permainannya maka Untara tidak akan mau melumpuhkan lawannya. 

Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang laskar Pajangpun melihat sesuatu yang aneh. Tetapi


mereka tidak dapat mengerti, apakah sebabnya maka pertempuran itu kadang-kadang menjadi 

sangat berat sebelah, namun kemudian menjadi seimbang kembali. 

Sedang orang-orang lain yang berdiri melingkari arena itu, sama sekali tidak tahu, bagaimana 

mereka harus menilai perkelahian itu. Bahkan ada diantara mereka yang menjadi pening, dan 

ada pula yang bahkan tidak melihat sesuatu karena malam yang menjadi semakin kelam. 

Dalam pada itu, semakin lama, maka usaha Untara untuk mencapai penyelesaian menurut 

rencananya, tampaknya akan berhasil. Tenaga Sidanti yang terperas itu semakin lama menjadi 

semakin susut. Sedang Untara, yangmemiliki bekal serta pengalaman yang lebih banyak, masih 

tetap pada kesegarannya semula. Tetapi ia tidak mau menunjukkan kelebihannya itu. Ia ingin 

Sidanti menyelesaikan pertempuran tanpa menjadi kecewa, malu atau dendam. Untara ingin 

memberi kesan, bahwa perkelahian itu akan berhenti dengan sendirinya tanpa ada yang kalah 

tanpa ada yang menang. 

Meskipun hati kecilnya, kadang-kadang ingin juga menunjukkan kelebihannya, sebagai seorang 

yang mendapat kekuasaan yang luas, namun ia berpikir lebih jauh dari harga diri itu. Ia melihat 

Sangkal Putung tidak saja malam ini. Tetapi besok, lusa, beberapa hari dan minggu yang akan 

datang, bahkan Sangkal Putung untuk masa yang tak terbatas dalam lingkungan pemerintahan 

Pajang. 

Dan ternyata pula kemudian, tandang Sidanti itupun menjadi semakin susut. Kegarangannya 

lambat laun menjadi berkurang dan lincahannyapun menjadi surut pula. demikian pula 

yangdilakukan oleh Untara. Meskipun darahnya masih sesegar pada saat ia datang, namun 

dikurangi segala ketangkasan dan ketangguhannya. 

Tetapi, dalam pada itu, selain Widura dan Agung Sedayu, diantara penonton itu, seseorang 

memandangi perkelahian itu dengan nafas tertahan-tahan. Betapa matanya menyalakan 

kemarahan yang tiada taranya, dan betapa hatinya mengumpat tak habis-habisnya. 

Orang itu melihat peristiwa dilapangan sejak permulaan sampai saat-saat terakhir. Namun 

selalu saja ia menjadi kecewa dan marah. Apalagi sejak kehadiran Untara, maka berkali-kali ia 

menggeretakkan giginya. Tetapi ia masih saja selalu menahan dirinya. 

Kini ia melihat permainan yang dilakukan oleh Untara itu. Betapa iapun menjadi tersinggung 

karenanya. Ia melihat kesempatan-kesempatan untuk melumpuhkan Sidanti, namun 

kesempatan itu tak dipergunakan oleh Untara. Tetapi sudah tentu Sidanti sendiri tidak dapat 

melihat keadaan itu. Sidanti sendiri sedang memusatkan perhatiannya dalam perlawanannya, 

sehingga kempatan dan jarak yang diperlukan tidak dimilikinya. 

Orang itu adalah Ki Tambak Wedi. 

Dengan menghentak-hentakkan kakinya, ia menahan segenap perasaan yang bergelora 

didalam dadanya. Ia melihat betapa Agung Sedayu berhasil melampaui muridnya itu dalam 

perlombaan memanah. Namun didalam hati kecilnya ia bergumam “Benar-benar anak setan. 

Kecakapan Sadewa bermain panah tercermin pada anak itu” 

Sedang kini anak Ki Sadewa yang besar, Untara, sedang bertempur pula melawan muridnya. 

Dan ternyata anak Sedawa itu tak dapat dikalahkannya. Bahkan anak Sadewa itu telah 

memberi beberapa peluang kepada Sidanti. Bukankah itu suatu penghinaan bagi perguruan 

Tambak Wedi. 

Dengan nafas yang tertahan-tahan, ia melihat Sidanti masih bertempur mati-matian. Namun ia 

melihat juga bahwa sebenarnya Untara dengan segera dapat menghancurkan pertahanan 

Sidanti. 

“Hem” geramnya. 

Ki Tambak Wedi itu kemudian memandang berkeliling diantara orang-orang yang melihat 

perkelahian itu. Dadana tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia telah mencoba memaksa Widura 

untuk memenuhi tuntutan muridnya dan menakut-nekutinya dengan tanda-tanda yang 

diberikannya. Tetapi Ki Tambak Wedi itu akhirnya mengumpat habis-habisan didalam hatinya, 

ketika ia melihat sebuah cemeti yang melenting jatuh ditengah-tengah arena itu pula. Meskipun 

ia belum tahu, betapa tinggi nilai orang itu, namun itu adalah suatu pertanda bahwa seseorang 

telah bersedia untuk ikut serta melibatkan diri dalam pertentangan melawannya, apabila ia ikut 

campur dalam persoalan anak-anak muda di Sangkal Putung itu. Tetapi sampai demikian jauh,


Ki Tambak Wedi belum mengetahui, siapakah orangnya yang telah berani meletakkan diri untuk 

melawan Ki Tambak Wedi, yang berilmu hampir sempurna itu. 

Tetapi kini, ia melihat Sidanti berada dalam kesulitan. karena itu, maka apakah ia akan berdiam 

diri saja, membiarkan Sidanti menjadi bahan permainan Untara? Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu 

mendesak maju. Menyusup diantara para penonton dan kemudian berusaha untuk dapat 

melihat setiap peristiwa dengan semakin jelas. 

Pertempuran diarena itu masih saja berlangsung dengan serunya, meskipun semakin lama 

sudah menjadi semakin kendor. Namun serangan-serangan Sidanti masih cukup berbahaya 

apabila Untara sedikit kurang berwaspada. Sedangkan Untara sendiri dengan sengaja telah 

mengurangi tekanan-tekanannya atas Sidanti, sehingga kemudian Sidanti benar-benar 

mendapat kesan seperti yang diharapkan oleh Untara. Sidanti menganggap kemudian, bahwa 

perkelahian itu tidak akan dapat berakhir. Kedua-duanya pasti akan berhenti kelelahan. 

Meskipun Sidanti itu mengumpat-umpat didalam hatinya, namun hal yang demikian itu pasti 

akan lebih baik daripada apabila dirinya dilumpuhkan. Dengan keadaanya itu, maka Sidanti 

masih akan dapat menepuk dada, bahwa Sidanti tidak dapat dikalahkan oleh seeorang yang 

sekalipun mendapat kepercayaan dari pimpinan tertinggi Wiratamtama. 

Maka Sidanti itupun teringat pula akan perkelahiannya dengan Widura. mereka akhirnya 

terpaksa menghentikan perkelahian setelah mereka hampir-hampir tak mampu lagi berdiri. Kini 

peristiwa itu akan terulang kembali. 

Dan sebenarnyalah hal itu berlaku baginya. 

Ketika malam menjadi semakin dalam, maka tenaga Sidanti itu seakan-akan benar-benar telah 

habis terperas. Setiap kali, ia sendiri terdorong oleh kekuatan serangan-serangannya yang tak 

mengenai sasarannya. Beberapa kali ia terjatuh dan bangun kembali. Sedang Untarapun 

berbuat hal-hal serupa. Kadang-kadang mereka berdua terpaksa jatuh bersama-sama dan 

kemudian dengan susah payah bangun bersama-sama pula. sedemikian sering hal-hal yang 

serupa terjadi, sehingga akhirnya Widura dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu, apakah Untara 

itu sebenarna kelelahanm ataukah ia masih dalam permainannya yang baik. Tetapi yang 

mereka lihat kemudian, kedua-duanya itupun menjadi jatuh bangun berkali-kali. 

Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi sudah tidak sabar lagi melihat peristiwa itu. Ia akan berbuat 

sesuatu sebelum Sidanti benar-benar menjadi lemas. Ia ingin menunjukkan kepada Widura dan 

Untara, bahwa kemauannya tak boleh diabaikan. Ia akan tetap pada pendiriannya, sepasar 

sejak malam kemarin. Widura harus sudah merubah sikapnya terhadap Sidanti. Meskipun 

rencana itu kemudian pasti akan terpengaruh oleh kehadiran Untara, namun Untara itu 

sendiripun harus dapat ditundukkannya pula seperi Widura. Tetapi Ki Tambak Wedi itupun 

sadar, bahwa agaknya pendirian Widura sukar untuk dapat ditundukkan. Ia telah bertekad 

untuk memeluk kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Apalagi kini Untara ada diantara mereka, 

sehingga dengan demikian pekerjaannya akan menjadi semakin sulit. 

“Aku akan hadir diantara mereka” pikir Ki Tambak Wedi “Dan aku akan memberikan beberapa 

pertunjukan, supaya Untara itupun meyakini keadaannya, serta keadaan Sangkal Putung. 

Sedang apaliba orang yang melontarkan cemetinya itu benar-benar ingin membuat perhitungan 

dengan Tambak Wedi, maka kesempatan inipun akan aku terima pula” 

Setelah mendapat ketetapan itu, maka Ki Tambak Wedi itupun beringsut semakin maju lagi. 

Sekali lagi matanya beredar berkeliling untuk melihat segala kemungkinan yang ada disekitar 

tempat itu. 

Ketika kemudian dipandanginya arena diantara lingkaran orang yang pepat, Ki Tambak Wedi 

masih melihat muridnya berjuang sekuat tenaganya. Namun sekali lagi ia melihat, Sidanti 

menyerang Untara dengan kakinya. Tetapi serangan itu dapat dihindari oleh lawannya, 

sehingga karena tubuhnya sudah sedemikian lemahnya Sidanti terbawa oleh kekuatannya 

sendiri, terhuyung-huyung hanya beberapa langkah disamping Untara. Kalau pada saat itu 

Untara meloncat kesampingnya dan menghantam tengkuknya, maka pertempuran itupun akan 

berakhir. Tetapi Untara tidak berbuat demikian. Dibiarkannya Sidanti menemukan 

keseimbangannya kembali. Kemudian baru ia melangkah maju dan mengayunkan tangannya 

menyerang dada lawannya dengan gerak yang amat lamban. Sudah tentu Sidanti telah sempat 

menarik dirinya mundur, sehingga serangan Untara itu tidak mengenainya. Bahkan Sidanti itu 

masih sempat dengan tangan kanannya menghantam pergelangan tangan Untara, meskipun 

Untara masih cukup cepat menghindarinya.


Tetapi bagi Ki Tambak Wedi, perbuatan Untara itu adalah suatu penghinaan bagi harga dirinya. 

Ki Tambak Wedi mengumpat tak habis-habisnya atas kekalahan muridnya berturut-turut. 

karena itu maka tak ada jalan lain daripada dengan tenaganya, memaksa Untara dan Widura 

mengakui kelebihan Sidanti dari mereka untuk beberapa persoalan, sehingga kesempatan-

kesempatan Sidanti akan menjadi lebih besar lagi dalam lingkungan Wiratamtama. 

Itulah sebabnya, maka tekadnya menjadi bulat. Ia harus menampakkan dirinya. 

Tetapi ketika sekali lagi ia mendesak maju, didengarnya seseorang mendehem disampingnya. 

Mula-mula Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada orang lain, namun 

setiap ia menyusup, maka orang itupun selalu berada disampingnya, dan bahkan selalu saja 

mendehem tak habis-habisnya. 

Ki Tambak Wedi itupun kemudian berpaling. Dilihatnya disampingnya seseorang yang sebaya 

dengan umurnya tersenyum kepadanya. 

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun 

matanya yang tajam dapat melihat beberapa bagian dari wajah orang yang berdiri sambil 

tersenyum disampingnya itu. 

Namun orang itu sama sekali tak menarik perhatian Ki Tambak Wedi, sehingga ia sama sekali 

tak mempedulikannya. Tetapi ketika ia melangkah kembali, maka sekali lagi orang itu 

mengikutinya, bahkan kemudian mendesaknya. 

Kini Ki Tambak Wedi tidak dapat mengabaikannya lagi. Orang ini pasti bukan tidak punya 

maksud dengan perbuatan-perbuatannya itu. karena itu sebagai seorang yang telah masak, 

maka segera pikirannya hinggap pada seseorang yang telah melemparkan cemeti kuda 

ketengah-tengah arena. Dan Ki Tambak Wedipun tak mau bertanya melingkar-lingkar. 

Langsung ia bertanya kepada orang disampingnya itu perlahan-lahan “Kaukah yang memiliki 

cemeti kuda itu tadi?” 

Ternyata orang yang berdiri disamping Ki Tambak Wedi itupun tidak mau berputar-putar pula. 

maka jawabnya lirih “Ya, aku” 

“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. “Apa maumu?” 

“Tidak apa-apa” jawab orang itu. “Aku juga ingin menonton seperti kau” 

“Hanya menonton?” desak Ki Tambak Wedi. 

“Ya” jawab orang itu “Selama kau juga hanya menonton” 

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kini ia telah berhadapan dengan orang yang selama 

ini menimbulkan bermacam-macam teka-teki padana. Pasti orang ini pulalah yang kemarin 

malam telah menggagalkan maksudnya membunuh Widura dengan bunyi cambuk yang 

menghentak-hentak. karena itu maka katanya perlahan-lahan pula “He, kaukah yang kemarin 

malam bermain-main dengan cambuk?” 

“Ya” jawab orang itu pendek. 

Sekali lagi Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian katanya “Siapakah kau?” 

Orang itu tertawa. Sesaat ia berdiam diri, sedang orang-orang disamping mereka, yang sedang 

terpukau oleh perkelahian ditangah-tengah arena itu, agaknya sama sekali tak memperhatikan 

percakapan itu. 

Baru sesaat kemudian orang itu menjawab “Gringsing. Namaku Kiai Gringsing” 

“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Nama yang dapat disebutkan oleh setiap mulut, 

juga setiap mulut dapat menyebut nama sekehendak hatinya. Ki Tambak Wedi itupun segera 

maklum, bahwa kl itu pasti nama yang dibuatnya untuk tujuan-tujuan tertentu. karena itu 

sahutnya “Ternyata kau lebih beruntung daripadaku” 

“Kenapa?” bertanya orang itu. 

“Kau telah menabung satu kemenangan. Kau mengenal aku, tetapi aku tidak mengenalmu” 

jawab Ki Tambak Wedi. 

“Aku sudah memperkenalkan diri” berkata orang itu. 

“Hem. Aku bukan anak-anak” potong Ki Tambak Wedi. 

Kemudian untuk sesaat merekapun berdiam diri. Pertempuran antara Sidanti dan Untara



menjadi semakin lambat. Masing-masing hampir tak dapat lagi menguasai dirinhya. Ayunan-

ayunan tangan mereka adalah tenaga yang akan membawa mereka sendiri dalam satu tarikan 

yang kadang-kadang tak dapat mereka cegah, menjerumuskan mereka sehingga terguling 

ditanah. Tetapi mata-mata yang tajam akan meragukan keadaan Untara. Betapapun ia 

mencoba berbuat sebaik-baiknya namun kadang-kadang kelincahannya masih tampak juga. 

Tetapi sedemikian jauh, Sidanti dan orang-orang yang berdiri disekitarnya pada umumnya tak 

dapat mengertinya. Bahkan didalam hati mereka, mereka berkata “Sidanti benar-benar seorang 

yang tangguh. Ternyata ia mampu juga melawan orang yang bernama Untara itu. Seorang 

yang namanya menjadi buah bibir setiap prajurit didaerah selatan dan barat daya. Disekitar 

gunung Merapi”. 

Tetapi Widura berkali-kali menarik nafas dalam-dalam, sedang Agung Sedayu yang mengetahui 

keadaan sebenarnya itupun menggeretakkan giginya. Namun mereka menyadari, betapa 

Untara telah mementingkan tugasnya daripada sekedar harga dirinya yang berlebih-lebihan. 

Gigi Ki Tambak Wedi itupun beradu pula. seakan-akan ia sedang menahan sesuatu yang 

bergelora didalam dadanya. Maka ketika kemudian ia melihat Sidanti dan Untara itu jatuh 

bangun berganti-ganti, Ki Tambak Wedi itupun berkata “Aku akan masuk kedalam arena” 

Kiai Gringsing itu berpaling. Kemudian ia tersenyum kecil. Katanya “Aku ikut. Boleh?” 

“Jangan membuat persoalan dengan aku. Apakah kau guru Untara atau Widura?” bertanya Ki 

Tambak Wedi. 

Kiai Gringsing tertawa pula. “Aneh” jawabnya “Apakah kau benar-benar tidak tahu, atau pura-

pura tidak tahu. Bukankah guru anak-anak itu telah mati?” 

“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Katanya “Mungkin kau meneruskan pekerjaan Sadewa?” 

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepala. Sahutnya “Kaupun tahu, bahwa unsur-unsur 

gerak mereka hampir-hampir murni. Kalau mereka memiliki guru lain, maka kau pasti akan 

mengetahui” 

“Hem” sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram “Persetan. Tetapi jangan ganggu aku. Apa 

kepentinganmu dengan anak-anak itu?” 

“Tidak apa-apa. aku bukan sanak bukan kadangnya. Tetapi sebaiknya, biarlah anak-anak itu 

bermain-main sesama mereka. Bukankah Untara telah berlaku bijaksana?” 

“Suatu penghinaan bagi perguruan Tambak Wedi” jawab guru Sidanti itu. 

“Kau terlalu perasa” berkata Kiai Gringsing “Jangan terlalu kau manjakan muridmu itu, supaya 

ia dapat menemukan kebahagiaan hidup kelak” 

“Jangan gurui aku. Pergi kemana kau kehendaki. Aku akan mengajar Untara itu menilai 

pendapat orang lain” 

“Aku ikut” 

“Jangan gila” 

“Biarlah anak-anak bermain-main sesama mereka. Dan biarlah kami orang-orang tua membuat 

permainan sendiri” 

Mata Ki Tambak Wedi kini benar-benar memancarkan kemarahan yang menyala didalam 

dadanya. Diamatinya wajah orang yang berdiri disampingnya itu dengan seksama. Wajah itu 

sama sekali belum pernah dilihatnya. Tetapi tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menjadi curiga. 

Meskipun malam menjadi semakin gelap. Namun kemudian Ki Tambak Wedi itu melihat garis-

garis yang tidak wajar pada wajah itu. 

“Kenapa kau coreng-coreng mukamu?” tiba-tiba ia bertanya. 

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya “apakah kau melihat coreng moreng ini?” 

“Aku tidak buta” sahut Ki Tambak Wedi. 

“Kau benar-benar bermata tajam melampaui mata burung hantu” sahut Kiai Gringsing. Dan 

katanya kemudian “Ya. Aku agak sakit mata. karena itu aku menggoreskan beberapa jenis 

obat-obatan dahi dan pelipisku” 

“Hem” kembali Ki Tambak Wedi menggeram. Betapa kemarahannya melanda-landa dadanya, 

namun semakin lama menjadi semakin menyadari, bahwa orang yang menamakan diri Kiai 

Gringsing itu bukanlah seseorang yang membanggakan diri hanya karena kemenangan


kemengangan kecil yang pernah dialaminya. 

“Jadi bagaimanakah maksudmu?” bertanya Ki Tambak Wedi 

“Biarkan mereka hidup dalam damai. Kalau Sidanti itu tidak terlalu bernafsu untuk hal-hal yang 

aneh-aneh, dan kau tak mendorong-dorongnya, maka tak akan ada persoalan diantara mereka” 

“Itu adalah suatu contoh dari seorang tua yang berotak beku. Ketenangan tidak selamanya baik. 

Dengan ketenangan itu Sidanti selamanya akan tetap ditempatnya” 

“Tetapi tingkat demi tingkat harus dicapainya dengan wajar” 

“Diamlah. Jangan ganggu aku” 

Ki Tambak Wedi itu kemudian melangkah setapak maju diantara beberapa orang yang berdiri 

disekitarnya. Namun Kiai Gringsing itupun melangkah maju pula. 

“Aku peringatkan kau sekali lagi” desah Ki Tambak Wedi. 

“Peringatan buatmu sendiri” sahut Kiai Gringsing. 

Kini Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. Tetapi untuk bertempur dengan 

orang yang menyebut namanya Kiai Gringsing itupun masih memerlukan berbagai 

pertimbangan. Sidanti telah benar-benar payah. Sedang agaknya Untara masih cukup segar 

untuk menundukkan apabila mau. Bahkan untuk membinasakan sekali. Kalau orang yang 

bernama Kiai Gringsing itu tidak dapat dikalahkannya dengan segera, maka baik Sidanti 

maupun dirinya sendiri pasti akan menemui kesulitan. Widura, Agung Sedayu dan orang-orang 

Widura yang lain masih ada dalam keadaan yang segar. Betapapun mereka seorang demi 

seorang tak akan berarti baginya, namun kalau mereka bergerak bersama-sama dan 

diantaranya orang yang bernama Kiai Gringsing ini, maka keadaannya akan sangat berbeda. 

Setidak-tidaknya keadaan Sidantilah yang akan menjadi sangat berbahaya. Tidak mustahil 

Untara menjadi bermata gelap dan membinasakannya. 

karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu ingin mengetahui sampai dimana kemampuan kekuatan 

Kiai Gringsing. Meskipun apa yang akan diketahuinya itu tidak tepat seperti keadaan 

sebenarnya, namun dengan caranya maka Ki Tambak Wedi akan dapat mengira-irakan sampai 

berapa jauh kemungkinan yang dimiliki oleh Kiai Gringsing itu. 

Maka, ketika lg itu telah berdiri disampingnya, Ki Tambak Wedi itupun berkata sambil menepuk 

bahu Kiai Gringsing “Ki sanak, apakah kau benar-benar tidak menghendaki aku ikut serta 

dalam permainan itu?” 

Tetapi Kiai Gringsingpun bukan anak-anak yang menundukkan wajahnya apabila seseorang 

membelai pundaknya. Ketika Kiai Gringsing melihat tangan Ki Tambak Wedi bergerak untuk 

menepuk pundaknya, maka segera orang itu seakan-akan mengerutkan tubuhnya, sehingga 

ketika pundaknya tersentuh tangan Ki Tambak Wedi, kedua-duanya menjadi kagum akan 

kekuatan masing-masing. Sentuhan itu seolah-olah beradunya dua batang besi baja yang 

berlaga. 

Ketika Ki Tambak Wedi kemudian berpaling dan memandang wajah Kiai Gringsing, dilihatnya 

wajah itu tersenyum. katanya “Kau akan mematahkan pundakku. Tanganmu keras seperti batu” 

“Hem” Ki Tambak Wedi menggeram. Orang ini benar-benar bukan orang yang sekedar 

menyombongkan diri. Ketika ia meraba pundak Kiai Gringsing, seluruh kekuatannya telah 

dipusatkannya diujung jari-jarinya. Seandainya Kiai Gringsing tidak memiliki daya tahan yang 

seimbang, maka pundak itu pasti akan luka didalam. Bahkan mungkin sebelah tangannya akan 

lumpuh. Apalagi orang kebanyakan, maka tulang-tulang bahunya pasti akan remuk. 

Tetapi orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu, ternyata telah memberikan perlawanan 

yang wajar tanpa menggerakkan badannya selain sekedar berkerut. Agaknya Kiai Gringsing itu 

telah menyalurkan kekuatan daya tahannya dipundaknya. Sehingga karena itu ketukan tangan 

Ki Tambak Wedi tak melukainya. 

Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi benar-benar harus berpikir. Diarena, pertempuran 

menjadi semakin lambat. Bahkan hampir berhenti sama sekali. Sekali-sekali dilihatnya Sidanti 

menebarkan pandangan matanya berkeliling. Agaknya anak itu benar-benar mengharapkan 

kehadiran gurunya. Tetapi kini disamping Ki Tambak Wedi, berdiri seorang yang dapat 

mengimbangi kekuatannya. 

Namun Ki Tambak Wedi agaknya belum puas dengan percobaannya. Ketukan tangannya itu


belum meyakinkannya. Ia ingin sekali lagi melihat apakah ia harus mempertimbangkan orang 

itu benar-benar. karena itu maka desisnya “Ki sanak. Aku akan mengucapkan selamat atas 

kesentausaan ki sanak. Pundak Ki Sanak itu benar-benar sekeras baja. Aku kira aku belum 

pernah melihat seorangpun dari daerah gunung Merapi ini yang kuat seperti Ki Sanak. Dan 

nama Kiai Gringsingpun merupakan nama baru bagiku” 

Kiai Gringsing itupun tiba-tiba tertawa, meskipun ia berusaha untuk menahannya, sehingga 

satu dua orang berpaling kepadanya. Tetapi karena kemudian suara tertawa itu terputus, maka 

orang-orang itupun tidak memperhatikannya lagi. 

Kiai Gringsing itu segera menyadai tantangan Ki Tambak Wedi. bahkan didalam hati ia berkata 

“Tantangan yang bijaksana. Kami harus bertempur tanpa seorangpun yang mengetahuinya” 

“bagaimana ki Sanak?” desak Ki Tambak Wedi. 

“Terima kasih atas ucapan selamat ini” belum lagi Kiai Gringsing selesai berkata, dilihatnya Ki 

Tambak Wedi mengulurkan tangannya. Kiai Gringsingpun kemudian menyambut tangan itu. 

Dan keduanya bersalaman. Namun tak seorangpun yang mengetahui, bahwa sebenarnya 

mereka itu sedang bertempur. Masing-masing mengerahkan segenap kekuatan lahir dan 

batinnya ketelapak tangannya, yang sedang bersalaman itu. Masing-masing menekankan jari-

jarinya sekuat-kuat tenaga mereka dan berusaha meremukkan tulang-tulang lawannya. Namun 

ternyata mereka berdua adalah orang-orang yang benar-benar sakti. Kedua tangan itupun 

seakan-akan berubah menjadi gumpalan-gumpalan besi baja yang saling himpit menghimpit. 

Betapa mereka berjuang untuk melumatkan tangan lawannya. Tetapi mereka akhirnya harus 

mengakui bahwa mereka satu sama lain tak akan dapat saling mengalahkan. Meskipun 

demikian, keringat mengalir dari seluruh permukaan kulit mereka, melampaui keringat mereka 

yang sedang bertempur, namun mereka harus menyadari, bahwa kekuatan mereka berimbang. 

Sedemikian kuatnya mereka memeras tenaga lahir dan batin mereka, sehingga terasa tubuh-

tubuh mereka menjadi panas, dan leher mereka serasa kering. Tetapi genggaman mereka tidak 

juga menjadi berubah. Keseimbangan itu tetap berlangsung sehingga kemudian terdengar Ki 

Tambak Wedi menggeram “Bukan main” 

“Apa yang bukan main?” sahut Kiai Gringsing. 

Ki Tambak Wedi tidak menjawab. dicobanya unruk menuntaskan tenaganya, namun Kiai 

Gringsingpun berbuat serupa. Sehingga karenanya maka keadaan itupun tidak juga berubah. 

Akhirnya Ki Tambak Wedi melihat, bahwa tidak ada gunanya pertempuran yang aneh itu 

diteruskan. karena itu maka katanya “Aku sudah menyampaikan ucapan selamat itu” 

Kiai Gringsing masih belum melemahkan genggamannya. Jawabnya “Terima kasih atas ucapan 

selamat yang cukup hangat ini” 

Akhirnya keduanya sedikit demi sedikit mengurangi tekanan-tekanan pada telapak-telapak 

tangan mereka. Sehingga dengan demikian maka akhirnya tangan mereka itupun terurai. 

“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil tersenyum ia berkata “Baru 

sekali ini aku menerima ucapan selamat yang sedemikian hangatnya melampaui hangatnya api 

neraka” 

“karena itu sebabnya maka kau berani menghalang-halangi maksudku” berkata Ki Tambak 

Wedi tanpa menjawab kata-kata Kiai Gringsing “Ternyata orang yang menamakan diri Kiai 

Gringsing adalah orang yang mampu menyamai kekuatan kitw. Namun apakah ilmu kanuragan 

dan tata perkelahianmu dapat menyamai Ki Tambak Wedi?” 

Kiai Gringsing menggeleng “Entahlah, aku belum pernah berkelahi melawan Ki Tambak Wedi. 

sebenarnyalah bahwa aku tidak senang berkelahi seperti anak-anak berebut tulang tanpa arti” 

“Omong kosong” desak Ki Tambak Wedi. 

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi kini ia melihat perkelahian diarena. Dan Ki Tambak 

Wedipun kemudian melihat kesana pula. 

Sekali-sekali mereka masih mengayunkan serangan-serangan mereka berganti-ganti. Tetapi 

perkelahian itu sudah tidak merupakan perkelahian lagi. Mereka hanya sekedar berdiri 

berhadap-hadapan dan kadang-kadang menggerakkan tangan-tangan mereka atau kaki-kaki 

mereka, untuk kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah. Kalau tangan mereka sekali-

sekali beradu. Maka mereka kedua-duanya terdorong kebelakang dan jatuh bersama-sama.


Kini Untara dan Sidanti itu berdiri berhadap-hadapan. Hanya mata mereka sajalah yang masih 

tetap menyala. Sidanti sekali-sekali masih menggeram penuh kemarahan. Namun kemudian 

terdengar Untara berkata “Sidanti, apakah hasil dari perkelahian ini?” 

Terdengat gigi Sidanti gemeretak. Nyala yang memancar dari matanya itu seakan-akan ingin 

membakar hangus lawannya. Namun demikian ia menjawab dengan bangganya “Untara, 

ternyata namamu hanya sekedar untuk menakut-nakuti lawan-lawanmu. Disini sekarang orang 

dapat melihat bahwa kau tidak lebih dari Sidanti” 

“Ya” sahut Untara “Itukah hasil yang memang kau inginkan dari perkelahian ini, sehingga orang 

dapat menilai keunggulan Sidanti dari setiap orang di Sangkal Putung?” 

“Ya, Sidanti ingin membuktikan, bahwa Sidanti berhak untuk menamakan dirina sejajar dengan 

Untara” 

“Bagus” berkata Untara “Kalau hanya itu yang kau inginkan, kenapa tidak kau katakan sejak 

tadi? Dengan demikian kita tidak perlu membuang-buang tenaga. Kau lihat bukan? Tenaga kita 

terbuang tanpa arti” 

“Cukup berarti bagiku” 

“Kau menjadi puas karenanya?” 

“Belum, aku ingin menundukkanmu” 

“Apakah kausangka akan berhasil?” 

“Kalau tidak sekarang, pada kesempatan lain” 

“Baik, kalau begitu biarlah kita bicarakan pada kesempatan lain itu. Sekarang kau sudah puas?” 

Sekali lagi Sidanti menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Ya, 

apakah ia sudah puas? Kalau tidak, apakah yang akan dilakukan? 

Sidanti itu terdiam sesaat. Tetapi untuk menutupi kegelisahannya ia bertanya “Apakah 

perkelahian ini kita lanjutkan Untara?” 

Untara tersenyum pahit. Jawabnya “Apakah kau memandang bahwa perkelahian seterusnya 

akan bermanfaat bagimu?” 

“Persetan. Aku bertanya kepadamu” 

Sekarang Untara terdiam sesaat. Tetapi tiba-tiba kemudian ia berkata “Persoalan antara aku 

dan Sidanti telah kami anggap selesai saat ini. Terserahlah apabila pada masa-masa yang 

akan datang, persoalan itu akan diungkapkan kembali. Sekarang kembali ke kademangan” 

“Jangan menganggap soal diantara kita sudah selesai. Soal itu baru selesai apabila Untara 

telah mengakui keunggulan Sidanti daripadanya” berkata Sidanti dengan sombongnya. 

Tetapi Untara seakan-akan tidak mendengar kata-kata itu. Bahkan sekali lagi ia mengangkat 

wajahnya sambil berkata “Paman Widura, kembali ke kademangan” 

Widura itupun seakan-akan menjadi tersadar dari mimpinya yang dahsyat. karena itu dengan 

tergagap ia menjawab “Baik, Untara. Kita akan segera kembali” 

Kemudian kepada orang-orangnya Widura berkata “Tinggalkan lapangan ini. Kembali ke 

kademangan” 

Orang-orang Widurapun kemudian mulai bergerak dari tempat mereka, setelah mereka terpaku 

beberapa lama. Orang-orang lainpun kemudian menghambur pula dari lingkaran itu, pulang 

kerumah masing-masing dengan kesan yang aneh didalam hati mereka. Mereka melihat 

perkelahian yang tanpa ujung dan pangkal itu. Sebagian dari mereka bertanya-tanya pula 

didalam hati mereka “Apakah Untara benar-benar tak mampu mengalahkan Sidanti?” Sedang 

orang lain berkata didalam hatinya “Sidanti benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. 

Ternyata ia mampu melawan Untara dalam perkelahian yang tidak berakhir” 

Tetapi Widura, Agung Sedayu, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing melihat apa yang 

sebenarnya terjadi, bahkan beberapa orang anak buah Widurapun merasakan sesuatu yang 

aneh dari pertempuran itu. Meskipun demikian, mereka tidak dapat mengerti, apakah yang 

aneh itu. 

Ketika orang-orang disekitar arena itu sudah siap meninggalkan lapangan, maka terdengar 

Sidanti itu berkata “Aku tinggal disini”



“Kaupun kembali ke kademangan, Sidanti” berkata Untara. 

“Tidak” jawab Sidanti. 

“Kau dengar perintah ini? Kali ini aku berbicara bukan atas nama pribadiku. Kau dengar?” 

Tubuh Sidanti itu menggigil karena marah. Tetapi tubuhnya benar-benar telah lemah. Sedang 

gurunya masih belum juga menampakkan dirinya. Namun Sidanti itu kemudian menduga bahwa 

gurunya pasti memperhitungkan juga, hadirnya seseorang yang telah melemparkan cemeti 

kuda diarena itu. 

Karena Sidanti itu masih tegak ditempatnya terdengar Untara mengulangi “Sidanti, kembali ke 

kademangan. Jangan melawan perintah” 

Sidanti menggeram. Tetapi ia telah menjadi sedikit puas, bahwa orang-orang Sangkal Putung 

telah melihat, bahwa ia mampu melawan Untara yang perkasa dalam perkelahian yang tak 

berakhir. Dengan demikian, maka meskipun ia terpaksa menuruti perintahnya, namun itu 

adalah karena tugasnya sebagai seorang prajurit. Tetapi nilai seorang-seorang, ia adalah 

sejajar dengan Untara. Dan karena kebanggaannya itulah, maka ia tidak menjadi terlalu 

berkeras hati. Betapapun segannya, ia berjalan juga meninggalkan lapangan itu menuju 

kekademangan. Disepanjang jalan ia masih dapat menengadahkan wajahnya, seakan-akan 

berkata kepada setiap orang yang dijumpainya “Inilah Sidanti, yang mampu menyamai 

keperwiraan Untara, orang yang mendapat kuasa langsung dari pimpinan tertinggi 

Wiratamtama” 

Demikianlah maka satu demi satu orang-orang yang berada dilapangan itu pergi dengan kesan 

masing-masing. Dibelakang Sidanti yang sedang menikmati kebanggaannya, berjalan Untara 

dan Widura. Dibelakang mereka berjalan Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu itu kini tidak 

lagi berjalan menunduk, tetapi wajahnyapun tengadah seperti juga Sidanti. Dan orang-

orangpun memandangnya dengan penuh kekaguman. Apabila Sidanti mampu menyamai 

keperwiraan Untara, maka Agung Sedayu memiliki ketangkasan memanah melampaui Sidanti. 

Bahkan ada diantara mereka yang bertanya-tanya didalam hati mereka “Apakah Agung Sedayu 

ini melampaui kakak kandungnya, sehingga iapun akan sanggup mengalahkan Sidanti?” 

Namun perlombaan dilapangan itu telah benar-benar berkesan dihati para penontonnya, orang-

orang Sangkal Putung. Mereka itu kini tahu dengan jelas, bahkan hampir pasti, siapakah orang-

orangnya yang menjadi tiang kademangannya, Sidanti, Agung Sedayu dan sekarang hadir 

Untara disamping Widura sendiri. Meskipun mereka ternyata seakan-akan bersaing satu 

dengan yang lain, namun berkumpulnya tokoh-tokoh itu di Sangkal Putung, agaknya telah 

memberi sedikit ketenangan kepada penduduk yang menyimpan berbagai macam perbekalan 

dipadukuhan dan kademangan mereka itu. 

Sekar Mirah kini tak dapat berlari-lari menyusul Agung Sedayu maupun Sidanti. Ayahnya 

membimbingnya tanpa melepaskan tangannya, sedang Swandaru berjalan agak jauh 

dibelakang mereka sambil menuntun kudanya. Tetapi wajahnya kini telah menjadi lebih terang. 

Untunglah bahwa dipalangan itu benar-benar tidak jatuh korban. Ia menjadi menyesal juga atas 

perbuatannya. Namun sebenarnya, disudut hatinya, terasa juga kekecewaannya atas Untara. 

Ternyata Untatra itu tidak mampu untuk melumpuhkan Sidanti. Meskipun kadang-kadang ia 

berpikir juga, ketika ia melihat Untara dan Widura lewat dimukanya, langkah Untara itu masih 

jauh lebih tegap dari langkah Sidanti yang hampir terhuyung-huyung meskipun dengan wajah 

tengadah. 

Ketika mereka telah meninggalkan lapangan, dan berjalan menyusur jalan-jalan padukuhan, 

Widura yang berjalan disamping kemenakannya itu tiba-tiba menggamit pundaknya “Untara” 

Untara berpaling. “Ya” katanya. 

“Aku belum sempat bertanya kepadamu, kemana kau selama ini, namun aku masih menyimpan 

pertanyaan lain yang ingin aku katakan lebih dahulu kepadamu. Kenapa kau biarkan Sidanti 

masih menepuk dadanya?” 

Untara tersenyum sambil menarik nafas. Ketika ia menoleh dilihatnya adiknya berjalan 

dibelakangnya. Tiba-tiba terbesitlah sesuatu didalam dadanya. Adiknya kini benar-benar telah 

menjadi seorang anak laki-laki. Karena itu, sebelum ia menjawab pertanyaan pamannya ia 

berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri “Hem, Sedayu agaknya telah menemukan dirinya 

sendiri


Agung Sedayu yang berjalan sambil mengangkat wajahnya itu terkejut. Tiba-tiba saja 

kepalanya itu ditundukkannya. Meskipun demikian, ia menjadi terharu juga mendengar kata-

kata kakaknya itu. Namun ia masih berdiam diri saja. 

Sesaat kemudian baru Untara itu menjawab pertanyaan Widura “Sidanti adalah seorang anak 

perasa dan pendendam. Karena itu ia sebenarnya sangat berbahaya. Biarlah ia menikmati 

kebanggaan-kebanggaan yang dapat sekedar membujuknya. Kalau anak itu memberontak 

terhadap perintah-perintah paman bersamaan waktunya dengan kedatangan Tohpati, maka 

keadaan paman disini akan menjadi sangat kalut. Biarlah anak itu mendapat sekedar kepuasan 

dan besok kalau Tohpati itu datang, maka kita akan dapat melawannya dengan kekuatan 

sepenuhnya” 

“Hem” Widura menarik nafas panjang-panjang. Katanya “Sudah aku usahakan dengan beribu-

ribu cara. Aku biarkan ia berbuat sekehendaknya, meskipun kadang-kadang aku memaksanya 

dengan kekerasan. Namun anak itu memang mempunyai tuntutan pribadi yang berlebih-lebihan. 

Apalagi agaknya gurunya selalu memberinya harapan-harapan, sehingga karena itu perbuatan-

perbuatannya kadang-kadang melampaui batas” 

“Mudah-mudahan paman bijaksana” sahut Untara. 

“Tetapi” tiba-tiba Agung Sedayu menyela “Apabila paman telah memanjakannya, maka ia akan 

bertambah berani menentang kehendak paman” 

Widura dan Untara berpaling bersama-sama. Namun kemudian Widura itu tersenyum. Katanya 

“Tentu tidak mungkin kalau aku sendiri harus memaksanya dalam suatu persoalan. Anak-anak 

yang lainpun menganggap demikian. Namun bukankah berkali-kali aku memberi kesempatan 

kepadamu, Agung Sedayu? Aku mengharap bahwa kaulah, sebelum kedatangan kakakmu, 

seperti juga harapan anak buahku, akan dapat sedikit memberinya peringatan. Tersenyum 

agaknya kau selama ini terlalu baik hati, sehingga kau tidak pernah melayaninya, betapapun 

Sidanti itu menyakiti hatimu” 

Agung Sedayu menggigit bibirnya sambil menundukkan wajahnya. Sedang Untarapun 

tersenyum pula karenanya. Katanya “Paman, apakah yang dikerjakan Agung Sedayu selama 

ini?” 

“Ia datang sebagai pahlawan” sehut pamannya. “Namun seterusnya ia lebih senang duduk 

dipringgitan siang dan malam” 

“Ah” desah Agung Sedayu. 

Untara tertawa. Kemudian katanya “Aku dengar, kau telah berhasil mengalahkan genderuwo 

bermata satu ditikungan randu alas, Sedayu?” 

Agung Sedayu masih menundukkan wajahnya. Sudah beberapa lama ia lupa pada genderuwo 

itu. Dan tiba-tiba ia kini menjadi geli terhadap dirinya sendiri. Betapa ia takut kepada nama-

nama yang belum pernah dikenal adanya. Genderuwo bermata satu, macan putih dari Lemah 

Cengkar, namun ia lebih geli lagi kalau diingatnya, lututnya dua-duanya menjadi gemetar ketika 

tiba-tiba Sidanti marah kepadanya, pada saat ia sedang bercakap-cakap dengan Sekar Mirah. 

“Sekar Mirah. Ya, Sekar Mirah” tiba-tiba hatinya berteriak “Aku kehilangan setiap kesempatan 

bertemu dengan gadis itu, bukankah karena aku takut kepada Sidanti? Kini aku tidak takut lagi 

kepadanya. Dan aku tidak akan menghindari setiap pertemuan dengan gadis itu” 

Tetapi yang kemudian didengarnya adalah kata-kata pamannya “Untara, kedatanganmu aku 

harap akan membawa angin baru bagi kademangan ini. Dan malam nanti jangan kau harap kau 

akan dapat tidur. Betapapun letihnya, kau harus bercerita kepada kami disini, dimana kau 

selama ini, dan apa yang telah terjadi dengan dirimu. Berhari-hari aku dan Agung Sedayu 

mencarimu, namun yang kami ketemukan adalah seorang bertopeng yang menyebut dirinya 

Kiai Gringsing”. 

Betapapun dinginnya malam, namun Untara itupun merasa, bahwa keringatnya tidak juga 

menjadi kering. Ketika ia sampai dikademangan, maka pertama kali yang dilakukannya adalah 

mandi. Tetapi demikian ia selesai berpakaian, peluhnya telah mulai mengaliri tubuhnya kembali. 

Sedang dikepalanya selalu berputar-putar berbagai pertanyaan yang nanti pasti harus 

dijawabnya. Apakah yang akan dikatakan, seandainya seseorang bertanya kepadanya, 

kemanakah ia selama ini, dan apa sajakah yang sudah dilakukannya? 

Tetapi akhirnya yan dicemaskannya itupun terjadi. Ketika ia duduk dipringgitan bersama-sama


dengan Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung, maka dari pintu berunculan 

parapemimpin laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung. Satu demi satu, tanpa 

dipersilakan. Mereka kemudian duduk melingkar diatas tikar anyaman ditengah-tengah 

pringgitan itu. 

Dipendapa Sidanti duduk ditempatnya sambil meniang-bimang senjatanya yang masih terbalut 

wrangka dikedua ujungnya, kemudian dengan rapinya senjatanya itu diselubunginya dengan 

kain putih. 

Keitka ia melihat beberapa orang masuk kepringgitan, ia mencibirkan bibirnya. “Buat apa 

mengerumuni anak yang sombong itu?” katanya dalam hati. “Aku sangka Untara itu setidak-

tidaknya dapat menyamai kesaktian Macan Kepatihan. Tetapi ternyata ia tidak lebih baik dari 

Widura sendiri” 

Dengan mata yang redup ia memandangi setiap orang yang berjalan didekatnya. Bahkan 

kemudian dengan malasnya ia berbaring sambil menguap keras-keras. 

Seorang prajurit yang tidak jauh daripadanya berkata “Ah, kakang Sidanti, kau mengejutkan 

aku” 

‘Huh” sahut Sidanti “Kenapa kau tidak ikut masuk kepringgitan saja?” 

“Hanya para pemimpin kelompok yang boleh masuk. Pringgitan itu terlalu sempit” jawab orang 

itu. “Kenapa kakang tidak ikut masuk dan mendengarkan cerita Untara itu?” 

“Buat apa aku mendengarkan bualannya? Ternyata aku kecewa setelah aku menilai sendiri 

kekuatan orang yang bernama Untara itu. Dahulu aku kagum apabila aku mendengar namanya. 

Sekarang ternyata aku sama sekali tidak mempunyai harapan apapun atas kehadirannya. 

Kalau Macan Kepatihan itu datang kembali, maka nasib kita masih akan sama saja. Apalagi 

agaknya Macan Kepatihan telah melihat kekuatan yang ada di Sangkal Putung. Ia psati tidak 

akan datang dengan kekuatan yang sama dengan pada saat ia datang dahulu” 

Prajurit itu tidak menjawab. iapun mempunyai perasaan yang sama seperti apa yang dikatakan 

oleh Sidanti. Ada juga rasa kecewa didadanya, setelah ia melihat Untara dan Sidanti bertempur. 

Sedang hasilnya, keduanya tak dapat saling mengalahkan. Dengan demikian, maka apa yang 

diharapkan dari Untara untuk melawan Macan Kepatihan akan tidak terpenuhi. 

Apabila kelak Macan Kepatihan itu dtang beserta laskarnya yang lebih kuat, serta apabila 

Macan Kepatihan berhasil mengumpulkan orang-orang ternama yang tersebar, maka keadaan 

Sangkal Putung pasti benar-benar ada dalam bahaya. 

Tetapi prajurit itu tidak bertanya apapun. Perlahan-lahan ia berjalan kehalaman dan duduk 

termenung diatas sebuah batu. Dilihatnya beberapa kawannya yang berada diregol halaman, 

tampak selalu berwaspada, sedang dimuka gandok dilihatnya beberapa orang tidur 

mendengkur sambil memeluk pedang-pedang mereka. 

Tetapi sebentar kemudian prajurit itupun menjadi mengantuk pula, sehingga dengan segannya 

iapun berjalan kegandok wetan, dan merebahkan diri disamping kawan-kawannya. Tetapi ia 

tidak berhasil memejamkan matanya. Berkali-kali ia tersadar karena kegelisahannya. 

Dipringgitan, Untara terpaksa mendengarkan berbagai pertanyaan yang bertubi-tubi 

menghujaninya. Beberapa pertanyaan dapat dijawabnya dengan mudah. Namun yang lain telah 

membingungkannya. 

Pelun dingin mengalir dikening Untara ketika ia mendengar pamannya bertanya “Untara, aku 

telah sampai kerumah Ki Tanu Metir, sehari setelah kau hilang. Aku tidak dapat menemukan 

jejakmu dan Ki Tanu Metir. Seseorang mengatakan bahwa kau telah diculik oleh gerombolan 

Alap-alap Jalatunda. Tetapi sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dengan segar bugar. Apakah 

yang sebenarnya telah terjadi di dukuh Pakuwon?” 

Untara menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia berpikir, kemudian ia menjawab “Ya, aku 

memang dalam kesulitan waktu itu. Tetapi seseorang telah menyelamatkan aku” 

“Siapa?” bertanya Widura. 

Untara itu kemudian memandang berkeliling. Satu per satu, wajah-wajah yang penuh minat 

memperhatikannya itu ditatapnya. Kemudian dengan hati-hati ia menjawab “Aku ditolong oleh 

seorang yang tak kukenal, karena wajahnya ditutup oleh sebuah topeng” 

“Kiai Gringsing?” sela Widura.


“Ya” 

Widura tertawa. Agung Sedayupun tersenyum juga. Tetapi orang lain, yang belum pernah 

mengenal Kiai Gringsing menjadi terkejut karenanya. Tetapi mereka berdiam diri. Mereka 

menunggu pertanyaan-pertanyaan Widura selanjutnya. 

Tetapi yang berkata kemudian adalah Untara “Kenapa paman tertawa?” 

“Aku pernah bertemu dengan Kiai Gringsing” 

“Lalu?” 

“Aku pernah melihat jejak-jejak kuda dari kandang Ki Tanu Metir” 

“Apa hubungannya dengan Kiai Gringsing?” 

“Kiai Gringsing menyangkal bahwa ia pernah datang kerumah Ki Tanu Metir” 

Untara mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian iapun tersenyum pula. katanya “Kiai 

Gringsing memang orang yang aneh. Karena itu biarlah untuk sementara aku tidak bercerita 

tentang orang itu” 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memahami jawaban Untara. Kiai Gringsing pasti 

berpesan kepadanya, untuk merahasiakan dirinya. 

“Tetapi” berkata Untara kemudian “Aku mengharap bahwa waktu itu tidak terlalu lama. 

Syukurlah kalau Kiai Gringsing sendiri datang kepada kita disini dan bercerita tentang dirinya”. 

“Bukankah Kiai Gringsing hadir juga dilapangan siang tadi?” bertanya Widura. 

“Ya” sahut Untara “Aku melihat ciri-cirinya dilemparkan ketengah-tengah arena, ketika 

seseorang melemparkan ciri-cirinya yang lain, yang agaknya Ki Tambak Wedi” 

Widura mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya “Kau kenal juga ciri Ki Tambak Wedi?” 

Untara tidak menjawab. Tetapi ia tersenyum. 

Beberapa orang lain yang mendengarkan cerita itu, sebagian besar sama sekali tidak tahu 

ujung pangkalnya. karena itu mereka hanya berdiam diri mendengarkan. Swandaru yang 

kemudian duduk dibelakang ayahnyapun sama sekali tidak mengerti apa saja yang sedang 

dipersoalkan. 

Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lebih lama lagi. Beberapa orang menjadi sangat 

mengantuk dan Untara sendiri menjadi sangat lelah. karena itu katanya “Aku minta maaf, 

karena aku sangat lelah, apakah aku boleh meninggalkan pertemuan ini?” 

Widura tersenyum, jawabnya “Pertemuan tanpa kau tidak akan ada gunanya. karena itu, biarlah 

pertemuan ini berakhir. Kita harus beristirahat, meskipun kita hampir sampai keujung malam. 

Sebentar lagi kita harus sudah bangun dan menunaikan kewajiban kita masing-masing.” 

Pringgitan itu sesaat kemudian menjadi sepi. Untara tidak mau tidur dipembaringan Widura. Ia 

lebih senang tidur diatas sehelai tikar bersama adiknya. 

Ketika semuanya telah pergi, dan ketika Untara telah membaringkan dirinya disamping adiknya, 

maka katanya perlahan-lahan “Apakah yang kau kerjakan selama ini?” 

Agung Sedayu menarik nafas. Jawabnya “Aku hampir mati kecemasan” 

Untara tersenyum. Katanya “Kalau tidak karena terpaksa oleh keadaan, aku kira kau masih saja 

suka merengek-rengek. Aku turut berbangga dengan keadaanmu sekarang. Mudah-mudahan 

penyakitmu tidak kambuh lagi setelah aku datang” 

“Mudah-mudahan” gumam Agung Sedayu. Dalam pada itu, terasa sesuatu bergolak didalam 

dadanya. Ia tiba-tiba saja memiliki perasaan yang asing tentang dirinya. Tentang dunia 

sekitarnya. Tiba-tiba tanpa disengaja ia meraba luka dipundaknya yang telah dibalut rapi. Luka 

itu tidak seberapa. Tetapi luka itu seakan-akan telah membangunkannya dari tidur yang 

nyenyak. Apa yang telah dilakukannya dilapangan, ternyata mampu membangkitkan 

kebanggaan atas diri sendiri, sehingga karena itu, Agung Sedayu kini melihat kemampuan yang 

dimilikinya. karena itulah maka kini ia percaya akan dirinya sendiri. 

Dihari berikutnya, hampir seluruh penduduk Sangkal Putung bercerita sesamanya tentang apa 

yang mereka saksikan dilapangan. Mereka menjadi kagum kepada Agung Sedayu, yang dalam 

ketangkasan memanah dapat melampaui Sidanti. Mereka menjadi kagum pula, bahwa 

sebelumnya Agung Sedayu sama sekali tidak berhasrat untuk ikut serta dalam perlombaan itu. 

“Alangkah rendah hatinya anak muda itu” beberapa orang diatara mereka memujinya


Namun ada pula yang menjadi semakin kagum kepada Sidanti, atau yang menjadi kecewa 

terhadap Untara. Meskipun demikian, maka mereka menjadi agak tenang juga dengan 

kehadiran Untara. Dengan demikian maka kekuatan di Sangkal Putung itu menjadi bertambah. 

Tetapi dalam pada itu, penduduk Sangkal Putung menjadi cemas ketika mereka melihat 

kesiagaan laskar Pajang itu meningkat. Setiap hari mereka melihat, peronda-peronda berkuda 

hilir mudik dipadukuhan mereka. Peronda-peronda berkuda yang menghubungkan satu desa 

dengan desa yang lain dalam lingkungan kademangan Sangkal Putung. Bahkan kesiap-

siagaan anak-anak muda Sangkal Putungpun meningkat pula. gardu-gardu peronda yang 

dikhususkan bagi merekapun selalu dipenuhi oleh anak-anak muda itu. Setiap saat mereka 

berlatih mempergunakan senjata. Sebab mereka merasa, bahwa ilmu tata berkelahi yang ada 

pada mereka, masih belum mencukupi dibandingkan dengan laskar Pajang, maupun laskar 

Jipang. Namun tekad merekalah yang agaknya telah memperkuat ketahanan mereka 

menghadapi setia keadaan. 

Sebenarnyalah Widura telah memberikan beberapa peringatan kepada laskarnya, bahwa 

kemungkinan Macan Kepatihan akan menyergap mereka setiap saat. Karena itulah maka 

setiap gardu peronda diujung-ujung desa selalu diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya 

yang sebaik-baiknya serta beberapa ekor kuda. Dihalaman kademanganpun telah dikumpulkan 

beberapa ekor kuda yang cukup baik dari segenap penduduk Sangkal Putung. Setiap saat 

laskar Pajang itu harus bergerak cepat ketempat-tempat yang dianggap sangat berbahaya. 

Sedang pada hari itu pula Untara sedang mengagumi cara adiknya untuk meningkatkan 

ilmunya. Untara melihat beberapa lembar rontal yang telah dilukis oleh Agung Sedayu. Dengan 

pengetahuan yang jauh lebih luas, Untara berhasil memberikan beberapa petunjuk kepada 

adiknya mengenai lukisan-lukisannya. Beberapa unsur gerak ternyata menjadi lebih mantap 

dan lebih sempurna. Untara mencoba mengurangi kelemahan-kelemahan yang ada didalam 

lukisan adiknya. “Nanti malam biarlah aku melihat ketangkasanmu” berkata Untara kepada 

adiknya “mudah-mudahan Tohpati tidak menyergap kita hari ini” 

Sehari itu dilalui dengan berbagai ketegangan dihati anggota laskar Pajang. Dan bahkan oleh 

segenap penduduk Sangkal Putung. Pagi-pagi mereka sudah pergi kewarung diujung desa, 

kemudian memasak agak lebih banyak dari biasanya. Apabila sewaktu-waktu datang keributan, 

mereka sudah menyimpan makanan dirumahnya. Bahkan beberapa orang telah 

mempersiapkan barang-barang yang mereka anggap berharga. 

Ketika seorang perempuan sibuk membungkus barang-barangnya, bertanyalah suaminya 

“Untuk apa barang-barang itu kau kumpulkan?” 

“Apakah kita tidak pergi mengungsi saja kakang?” 

“Kemana kita akan mengungsi?” 

“Ke kademangan- kademangan sebelah” 

“Tak ada gunanya. Di kademangan ini ditempatkan sejumlah laskar Pajang. Di kademangan-

kademangan lain sama sekali tidak, selain hanya kadang-kadang saja dilewati oleh para 

peronda dari kademangan ini juga” 

Istrinya termenung sesaat, namun kemudian jawabnya “Tetapi aku dengar, kademangan ini 

menjadi tujuan penyerbuan dari laskar Jipang, sebab kademangan inilah yang dianggap 

menjadi sumber perbekalan. Sedang kademangan lain tidak” 

“Sesudah kademangan ini, akan datang gilirannya kademangan- kademangan lain. Dan kita 

akan mengungsi dari satu kademangan kelain kademangan” 

Istrinya tidak berkata-kata lagi. Meloncat dari satu tempat ketempat lain dengan seluruh anak-

anaknya adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan. Tetapi tinggal dirumahpun hatinya selalu 

gelisah. Sehingga kemudian suaminya berkata “Yang sebaik-baiknya adalah mempertahankan 

kademangan ini bersama-sama dengan laskar Pajang” 

“Sampai berapa tahun laskar Pajang itu akan tinggal disini? Bukankah dengan demikian 

akibatnya akan hampir sama?” 

”Kenapa?” 

“Mereka makan beras kita yang kita pertahankan dari sergapan laskar Jipang” 

“Tidak seberapa. Mereka makan hanya sepenuh-penuh perut mereka. Sedang laskar Jipang 

akan mengambil semuanya, bahkan dengan semua benda-benda berharga dari kademangan


ini” 

Kembali istrinya berdiam diri. Ketika suaminya kemudian berkata lagi, hatinya berdebar-debar. 

Katanya “Nyai, sebaiknya kita pertahankan kademangan ini. Sebaiknya setiap laki-laki ikut serta. 

Tidak hanya anak-anak muda saja” 

“Kau akan pergi juga?” 

“Ya” jawab suaminya “Seperti Ranu dan Harda” 

Alangkah cemasnya istrinya mendengar kata-kata itu. Kenapa timbul perselisihan dipusat 

kerajaan, sehingga daerah-daerah yang jauhpun mengalamai akibatnya? Peperangan benar-

benar merupakan sesuatu yang mengerikan sekali. Yang memisahkan suami-suami dari istri-

istri mereka, ayah dari anak-anak mereka, dan anak dari ibu-ibu mereka. Peperangan telah 

mematahkan cinta manusia. Cinta sesama. 

Tetapi laki-laki itu kemudian pergi juga ke banjar desa bersama dengan laki-laki yang lain. 

Mereka mengganti cangkul, bajak dan garu dengan pedang digenggaman tangannya. 

Demikianlah tidak saja anak-anak muda, kemudian orang-orang yang telah meningkat 

kepertengahan abadpun ikut serta menyerahkan dirinya pada pengabdian bagi tanah 

kelahirannya, bagi kampung halamannya. Mereka menempatkan diri dibawah pengawasan 

langsung Demang Sangkal Putung. Dan bagi mereka telah dibagikan tugas, untuk menjaga 

kademangan dan lumbung-lumbung desa pada saat-saat yang genting. Sedang anak-anak 

muda diperkenankan ikut dalam perlawanan langsung apabila musuh-musuh mereka benar-

benar datang. 

Tetapi hari itu telah dilewati dengan aman. Laskar Macan Kepatihan sama sekali tidak 

menampakkan diri. Tetapi tidak mustahil bahwa mereka akan menyergap dimalam hari. 

“Setan itu benar-benar mengganggu kademangan ini” gerutu Widura, ketika malam turun. 

“Mereka barangkali kini sedang tidur dengan nyenyaknya, sedang kita harus selalu berjaga-

jaga menunggu kedatangan mereka” 

“Pada suatu ketika, kitalah yang mengambil prakarsa. Bukan mereka. Sebab dengan demikian, 

keadaan kita merekalah yang menentukan” sahut Untara. 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Seharusnyalah demikian. Apabila datang saatnya, 

laskar Pajanglah yang harus mencari sisa-sisa laskar Macan Kepatihan untuk dimusnahkan. 

Malam itu seperti yang biasa dilakukan oleh Widura, adalah pergi berkeliling gardu-gardu 

peronda. Kali ini Widura tidak hanya pergi berdua dengan Agung Sedayu, tetapi Untara turut 

serta bersama mereka. 

Satu persatu Widura mengunjungi gardu-gardu besar, dan pusat-pusat penjagaan. Ternyata tak 

seorangpun dari anak buahnya yang mengabaikan segala perintahnya. Sebab sedikit 

kelengahan yang mereka lakukan, maka akibatnya dapat mengerikan sekali. Sehingga dengan 

dem dengan penuh kesadaran mereka melakukan tugas-tugas mereka dengan penuh 

tanggung jawab. 

Yang terakhir dilakukan oleh Widura adalah pergi kegunung Gowok. Untara ingin melihat, 

bagaimanakah perkembangan adiknya selama ini. karena itu, maka ketika mereka telah 

beristirahat sejenak, Untara itupun berkata “Nah Agung Sedayu. Aku ingin melihat, apakah kau 

hanya sekedar pandai melukis diatas rontal-rontal itu, ataukah kau pandai juga melakukannya” 

“Anak itu luar biasa” berkata Widura “Kalau ia memiliki keteguhan hati, maka ia tak akan kalah 

dengan aku atau Sidanti.” 

Untara tersenyum. Katanya kepada adiknya “Hatimu sekecil hati kelinci. Namun agaknya 

sekarang kau telah menemukan harga dirimu, sehingga karena itu hatimu akan berkembang. 

Dengan demikian maka kau akan dapat menjadi seorang laki-laki yang tidak menggantungkan 

nasibmu kepada orang lain.” 

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia ingin menunjukkan kepada kakaknya, apakah yang 

telah yang dimilikinya selama ini. 


BUKU 06


Untara dan Agung Sedayu kemudian tidak membuang-buang waktu lagi. Segera mereka mulai 

dengan suatu latihan yang keras. Ternyata Untara benar-benar ingin melihat, sampai dimana 

puncak kemampuan adiknya. 

Ketika latihan itu telah berjalan beberapa lama, maka tahulah Untara bahwa apa yang 

dikatakan oleh Widura itu memang sebenarnya demikian. Agung Sedayu mempunyai bekal 

yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa. Ketangkasan, kekuatan tenaga 

dan kelincahan. Apalagi kini, setelah anak muda itu menemukan kepercayaannya kepada diri 

sendiri, maka setiap geraknyapun seolah-olah menjadi lebih mantap. Meskipun beberapa kali 

Untara melihat kesalahan-kesalahan yang masih dilakukan oleh adiknya, namun kesalahan-

kesalahan kecil itu segera dapat diperbaikinya. 

Dalam latihan-latihan itulah, maka Widura melihat betapa Untara sebenarnya mempunyai ilmu 

yang hampir mumpuni. Bahkan kemudian Widura itu tersenyum sendiri mengenangkan 

perkelahian antara Untara dan Sidanti. “Aneh” pikirnya “Jarang aku temui anak muda sesabar 

Untara dalam menghadapi lawan perkelahian apapun alasannya. Tetapi terbawa oleh tugas 

yang diembannya, maka agaknya Untara harus berlaku bijaksana. Kalau ia mau, maka Sidanti 

adalah bukan lawannya.” 

Namun Agung Sedayu ternyata telah mengagumkan pula. Kini anak itu tampaknya tidak ragu-

ragu lagi untuk sekali-sekali membenturkan tenaganya apabila perlu. Meskipun beberapa kali ia 

terdorong surut oleh kekuatan Untara, namun segera ia berhasil menguasai keseimbangan 

dengan kelincahannya. 

Untara melihat ketangkasan adiknya itu dengan penuh kebanggaan didalam dadanya. Apa 

yang dilakukan oleh Agung Sedayu, benar-benar jarang ditemuinya. Melatih diri dalam lukisan-

lukisan. Membuat perhitungan-perhitungan dengan gambar. Tetapi ternyata dalam 

pelaksanaannyapun Agung Sedayu mampu melakukan sebagian besar dari angan-

angannyayang dituangkannya diatas rontal-rontal. Hanya disana-sini Untara masih perlu 

memberinya beberapa petunjuk dan perubahan, sehingga dengan demikian ilmu Sedayu itupun 

menjadi semakin sempurna. 

Ketika Untara telah cukup mengenal ilmu adiknya, serta menganggap latihan itu telah cukup, 

maka segera ia menghentikannya. Agung Sedayu,yang sebenarnya telah menjadi kelelahan, 

sgera meloncat surut dan dengan wajah yang riang ia berdiri bertolak pinggang. Meskipun 

demikian, tampak juga dadanya menggelombang karena nafasnya yang terengah-engah. 

“Kau lelah” bertanya Untara. 

Agung Sedayu mengangguk, jawabnya “latihan ini terlalu keras bagiku.” 

“Belum sekeras perkelahian sebenarnya” Untara menyahut “Apalagi kalau kau bertemu dengan 

Macan Kepatihan dengan tongkatnya yang mengerikan itu.” 

Agung Sedayu menarik nafas. Kemudian iapun segera duduk diatas seonggok tanah disamping 

pamannya. Sedang Untara masih saja berdiri untuk kemudian memberikan beberapa petunjuk 

tentenag kesakahan-kesalahan yang dibuat oleh Agung Sedayu. 

“Sedayu” berkata kakaknya “kau ternyata mampu bertempur seorang lawan seorang. Tetapi 

suatu ketika kau akan turut serta dalam pertempuran brubuh. Pertempuran antara laskar 

Pajang dan laskar Jipang. Dalam pertempuran yang demikian kau tidak hanya dapat 

membanggakan kekuatan pertempuran seorang lawan seorang. Tetapi kau harus dapat 

menempatkan dirimu diantara kawan dan lawan.” 

Agung Sedayu kemudian memperhatikan dengan seksama petunjuk-petunjuk yang diberikan 

oelah kakaknya. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi didalam perang atara dua 

kekuatan dalam jumlah yang banyak. Hal-hal yang sebagian lagi pamannya telah 

memberitahukannya kepadanya. 

Tetapi Untara itupun berhenti ketika dilihatnya sebuah bayangan yang bergerak-gerak 

dibelakang pucuk kecil itu. Namun mereka tidak menjadi cemas karenanya. Orang itu telah 

mereka kenal baik-baik. Kiai Gringsing. 

Namun mereka menjadi heran ketika melihat Kiai Gringsing itu tidak datang sendiri. 

Ketika Untara melihat orang yang datang bersama dengan Kiai Gringsing itu, tampak wajahnya


menjadi tegang. Dengan agak tergesa-gesa ia kemudian bertanya “Apakah ada sesuatu yang 

penting dengan pekerjaanmu?” 

Sebelum orang itu menjawab, terdengar Kiai Gringsing tertawa. Katanya “Kenapa kau tidak 

mempersilahkan aku dahulu, baru bertanya kepada orang ini?” 

Untara tertawa. Jawabnya “Marilah Kiai. Aku mempersilahkan Kiai.” 

“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata “ Apakah 

muridmu bertambah seoang lagi Sedayu?” 

Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia tidak menjawab. Bahkan yang berkata kemudian adalah 

Kiai Gringsing “Nah, sekarang bertanyalah kepada orang itu.” 

Untara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada orang yang datang bersama 

dengan Kiai Gringsing “Kemarilah” 

Orang itu ragu-ragu sejenak. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dan Widura berganti-ganti. 

Untara yang dapat meraba keraguan orang itu berkata “Mereka adalah pemimpin laskar-laskar 

Pajang di Sangkal Putung. Yang satu adalah adikku Agung Sedayu dan yang lain adalah 

paman Widura.” 

Orang itu menganggukkan kepalanya sambil berkata “Aku pernah mendengar tentang paman 

Widura di Sangkal Putung, tetapi baru kali ini aku melihat orangnya.” 

Widura tersenyum, sahutnya “inilah orangnya. Tak ada yang menarik.” 

Orang itu tertawa pendek, yang mendengarpin tertawa pula. kemudian Untaralah yang berkata 

“Soma, berkatalah. Biarlah paman Widura mendengar pula.” 

Soma menarik nafas dalam-dalam, kemudian setelah menelan ludahnya ia berkata “Ada 

beberapa berita tentang orang itu.” 

Sebelum Soma meneruskan, terdengar Widura menyela “Untara,aku telah memperkenalkan 

diriku, tetapi siapakah kisanak ini?” 

Untara mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian jawabnya “ia salah 

seorang pembantuku.” 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia mengerti, orang itu pasti dari pasukan 

sandi. Karena itu maka Widura tidak bertanya lagi. 

Kemudian berkatalah Soma itu seterusnya “Ketika aku datang kepondokan kakang, ternyata 

kakang telah tidak ada. Menurut pesan kakang terakhir, aku harus datang kerumah itu. Dan 

yang aku jumpai adalah Kiai Gringsing.” 

“Aku meninggalkan rumah itu dengan tergesa-gesa tanpa aku rencanakan terlebih dahulu. 

Tetapi bukankah aku telah berpesan kepada Kiai Gringsing?” 

“Pesan yang aneh” gumam Kiai Gringsing. 

Untara tersenyum dan Soma itupun tersenyum. 

“Tak ada orang yang dapat berbicara dalam bahasamu Untara” berkata Kiai Gringsing 

kemudian “dan pesan itu sudah aku sampaikan. “Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai 

Gringsing berkata “He, Sedayu apakah kau dapat mengerti bahasa Untara itu. Bulan 

muda,angin selatan, bintang utara. Laju bersama gubug penceng. “Kiai Gringsing itupun 

kemudian tertawa terkekeh-kekeh. “Ayo Sedayu apakah kau tahu artinya?” 

“Aku tahu Kiai” jawab Agung Sedayu. 

“Apa?” 

“Kisanak itu harus datang bersama Kiai menemui kakang Untara disini.” Jawab Agung Sedayu 

sambil tertawa. 

Untara tertawa, Soma itupun tertawa dan yang lain-lain juga tertawa. 

“Akupun dapat memberikan arti menurut kehendakku” berkata Kiai Gringsing. 

“Tetapi bukankah Kisanak itu datang kemari bersama Kiai?” berkata Sedayu. 

Kembali mereka tertawa. Tetapi Untara tidak berkata apa-apa tentang kata-kata sandi itu. 

“Nah,Soma” berkata Untara kemudian “katakan berita itu?” 

“Macan Kepatihan menempatkan beberapa orang untuk mengamat-amati Benda, namun 

kemudian pergi ke Timur.”


Untara mengerutkan keningnya, katanya “Apakah dapat diketahui, pada siapakah orang-orang 

Tohpati itu bersembunyi?” 

“Sudah, tetapi kami belum mengetahui jumlah itu.” Jawab Soma “sedang dihutan-hutan 

disebelah barat kadang-kadang tampak juga beberapa orang Jipang. Diantara mereka adalah 

Plasa Ireng.” 

Kini tidak saja Untara yang mengerutkan keningnya. Tetapi Widurapun kemudian 

memperhatikan berita itu dengan seksama. Bahkan dengan serta-merta ia berkata “Ada tanda-

tanda Tohpati akan menyergap dari barat?” 

Untara mengangguk “Ya” jawabnya “Mereka sedang menyusun kekuatannya di barat. Plasa 

Ireng dan pasti Alap-alap Jalatunda telah ditarik pula kedalamnya.” 

Widura kemudian termenung sejenak. Agaknya Tohpati benar-benar mengerahkan segala 

kekuatan dari sisa-sisa laskar Jipang Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan mungkin pula 

pimpinan laskar Jipang didaerah utara, yang terkenal dengan nama Sanakeling. 

Sesaat gunuk Gowok itu menjadi sepi. Mereka masing-masing hanyut dalam arus angan-

angannya. Widura merasa bersyukur bahwa sampai saat ini Sidanti masih dapat dikuasainya 

atas kebijaksanaan Untara,sehingga apabila sergapan Tohpati itu datang beserta beberapa 

orang terkenal dari laskar Jipang, tenaganya masih dapat dipergunakan. Widurapun 

mengharap Agung Sedayu akan memperkuat laskarnya pula disamping Untara sendiri. 

Untara itupun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada pembantunya 

“Aku terima beritamu. Hubungi Trigata. Aku berada di Sangkal Putung. Beritahukan setiap 

perkembangan keadaan.” 

Orang itu mengangguk. Jawabnya “Tetapi pasti tidak malam ini. Mungkin besok malam atau 

lusa.” 

“Apakah ada tanda-tanda Tohpati menyergap malam hari?” 

“Mungkin. Mereka menyiapkan obor dan panah-panah api.” 

“Setan” Untara menggeram “Tetapi bukan tujuan mereka menghancurkan Sangkal 

Putung,sebab mereka memerlukan lumbung-lumbung padi disini. Tetapi bahwa mereka 

menyerang pada malam hari adalah mungkin sekali.” 

“Nah, aku akan pergi dulu kakang. Mungkin keadaan berkembang terlalu cepat.” 

“Baik,aku akan berada di Sangkal Putung .” 

Orang itupun kemudian mengangguk, minta diri kepada semua yang hadir ditempat itu, dan 

menghilang diantara gelapnya malam. 

“Petygas yang baik” gumam Untara. 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tegang. Sebagai seorang 

yang bertanggung jawab atas daerah itu, maka segera Widura membuat perhitungan.-

perhitungan. 

Tiba-tiba ia teringat kepada Tambak Wedi. “Sepasar” katanaya dalam hati. Kini dua hari telah 

dilampauinya. Tiga dengan besok. “Gila orang yang tak tahu keadaan itu. Ia terlalu 

mementingkan diri sendiri dan muridnya tanpa memandang segenap persoalan dalam 

jangkauan yang luas. Tetapi tiba-tiba ia teringat pula pada orang yang bertopeng yang duduk 

dimukanya. Dan dengan serta-merta Widura itu bertanya “Kiai” katanya “apakah Kaia bertemu 

dengan Tambak Wedi di lapangan. Bukankah Kiai telah melemparkan cemeti Kiai setelah 

Tambak Wedi melemparkan gelang besinya.” 

Orang itu tertawa “ya” jawabnya “ia memberi aku salam yang hangat, sehangat api neraka. 

Tetapi setelah kalian bubar orang itu pergi juga tanpa berbuat sesuatu. Aku sangka ia akan 

marah kepadaku. Tetapi ia hanya mengancamku.” 

“Apakah katanya?” 

Kiai Gringsing itu diam sesaat. Kemudian dijawabnya “Ki Tambak Wedi minta aku tidak ikut 

mencampuri urusannya dengan kau. Kalau aku tidak memenuhinya, maka aku akan 

dibunuhnya.” 

Widura mengangkat alisnya. Setelah termenung sejenak ia bertanya pula “Bagaimanakah 

jawaban Kiai


“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas. Kemudian katanya “Aku kira tak seorang pun yang berhak 

berbuat seperti Ki Tambak Wedi itu. Kalau ia ingin berbuat sekehendaknya, maka akupun akan 

berbuat sekehendakku. Bukankah nanti apabila Ki Tambak Wedi marah aku mencari 

perlindungan kepada Agung Sedayu?” 

“Ah” Agung Sedayu mendesah, tetapi Widura dan Untara tertawa. 

Dan Kiai Gringsing itupun berkata seterusnya “Tetapi lupakan sajalah Ki Tambak Wedi itu. Aku 

harap ia tidak bersungguh-sungguh. Yang perlu kau pikirkan, bagaimana kau dapat 

menghindarkan Sangkal Putung dari bencana yang akan dapat ditimbulkan oleh Tohpati.” 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untarapun kemudian berdiam diri, sedang Agung 

Sedayu memandang jauh kelangit, seakan-akan sedang menghitung bintang yang 

berhamburan diatas dataran yang biru pekat. 

Sesaat mereka saling berdiam diri. Widura sedang mencoba menghitung-hitung kekuatan 

dipihaknya dan membandingkan dengan kekuatan Tohpati. Dalam jumlah, maka Widura dapat 

berbesar hati. Dengan anak-anak muda Sangkal Putung, laskarnya pasti berjumlah lebih 

banyak dari jumlah laskar Tohpati. Namun dalam penilaian seorang-seorang, maka Widura 

masih harus berkeprihatin. Meskipun setiap orang di dalam laskarnya tidak akan kalah dari 

setiap orang dalam laskar Jipang, tetapi anak-anak muda Sangkal Putung, Widurapun tidak 

yakin kalau jumlah laskarnya akan memadai. Karena laskar Jipang dapat berada dimana saja 

yang mereka kehendaki, sehingga suatu ketika, jumlah laskar Jipang itu dapat menjadi banyak 

sekali. 

Karena itu maka Widura mengambil kesimpulan, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung 

itupun selagi sempat harus mendapat penempaan sejauh-jauh mungkin. Bahkan orang-orang 

yang sudah agak lanjut usianya, asal mereka sanggup dan bersedia, pasti akan menjadi tenaga 

bantuan yang berarti. 

Sesaat kemudian, maka Kiai Gringsing itupun pergi meninggalkan mereka. Katanya “Aku akan 

pulang kerumahku diantara rumpun-rumpun bambu. Hati-hatilah, setiap saat Tohpati itu akan 

datang. Mungkin benar ia akan menyergap dari arah barat. Karena itu, awasilah arah itu baik-

baik. Namun jangan lengahkan penjagaan-penjagaan ditempat-tempat lain.” 

“Baik Kiai” jawab Widura. 

Namun Kiai Gringsing itu berpalingpun tidak. Orang itu berjalan mendaki puntuk kecil, lewat 

dibawah pohon kelapa sawit dan seterusnya hilang dibalik puntuk kecil itu. 

Belum lagi Untara sempat berpaling, terdengar Agung Sedayu bertanya”Siapakah sebenarnya 

orang itu?” 

Untara tersenyum, jawabnya “Kiai Gringsing.” 

Agung Sedayu hanya dapat menggigit bibirnya. Ketika kemudian Untara dan Widura tertawa, 

maka anak muda itu berdiri sambil menggeliat. Katanya ‘Apakah kita akan tidur disini?” 

Widura bahkan tertawa semakin keras. Katanya ‘Apakah kau berani tidur disini? Bukankah 

setiap malam, apabila kita berada ditempat ini kau selalu saja mengajak pulang? apalagi ketika 

kau dengar Tohpati sedang berkeliaran didaerah ini?” 

“Ketika itu tidak ada kakang Untara” jawab Sedayu. 

“Bagaimanakah kalau aku lari apabila ada bahaya?”bertanya Untara. 

“Apa kakang sangka aku tidak bisa lari secepat kakang?” bantah Agung Sedayu. 

Kembali mereka tertawa. Namun terasa oleh Widura, betapa kemenakannya itu mengalami 

banyak perubahan. Kini ia sama sekali tidak tampak menjadi cemas seandainya bahaya betul-

betul mengancamnya. Apalagi setelah ia mendapat beberapa petunjuk oleh kakaknya. Baik 

lukisan-lukisannya maupun pelaksanaannya, maka ternyata Agung Sedayu benar-benar dapat 

menjadi seorang anak muda yang perkasa. Apalagi hatinya benar-benar menjadi besar dan 

tangguh. Maka kekuatan Agung Sedayu pantas diperhitungkan. 

Sesaat kemudian Widura dan Untarapun berdiri pula. keperluan mereka agaknya sudah cukup 

buat kali ini. Sehingga dengan demikian segera merekapun kembali ke kademangan. 

Hari itu setiap penjagaan menjadi lebih diperkuat. Gardu-gardu peronda dan peronda-peronda 

keliling. Tohpati yang berada disekitar tempat mereka, setiap saat dapat menyergap. Namun 

yang harus mendapat pengawasan paling ketat adalah justru daerah barat.


Sedang kerja Widura hari itu adalah menangani sendiri latihan-latihan bagi anak-anak muda 

Sangkal Putung disamping beberapa orang anak buahnya. Langsung diberikannya beberapa 

petunjuk penting apa dan bagaimana mereka harus berbuat di dalam pertempuran-

pertempuran. Swandaru, yang memimpin anak-anak muda itupun berlatih dengan sekuat-kuat 

tenaganya, supaya namanya tidak terlalu jauh dibawah nama-nama yang dikaguminya. 

Sidanti,Sedayu,Widura dan Untara. 

Hanya Sidantilah yang selalu bersikap acuh tak acuh atas semua kesibukan itu. Meskipun 

demikian, sampai saat itu, Sidanti masih berada dalam barisan Widura. 

Hari itupun ternyata Tohpati belum menyergap Sangkal Putung. Sehingga pada malam 

harinyau dan Agung Sedayu masih dapat memanfaatkannya dengan beberapa latihan penting. 

Juga anak-anak muda Sangkal Putung, oleh Widura diajarinya bertempur dimalam hari. 

Bagaimana mereka harus mengenal kawan dan lawan di dalam gelap dan bagaimana mereka 

harus memberikan ciri masing-masing dan tanda-tanda sandi. Selain itu Widurapun telah 

membuat beberapa persiapan untuk bertempur malam hari. Obor-obor dan panah-panah api 

untuk mengimbangi laskar Tohpati yang dengan api akan mencoba mengacaukan pertahanan 

pasukan yang berada di Sangkal Putung. 

Namun dipagi hari berikutnya,ketika Untara dan Agung Sedayu sedang sibuk mengurai 

lukisannya datanglah seorang penjual keris yang ingin menemui Untara. Kepada para penjaga 

dikatakannya bahwa ia mendapat pesanan dari Untara itu. 

Ketika seseorang menyampaikannya kepada Untara, maka Untara itupun mengerutkan 

keningnya, kemudian katanya “Ya, aku memang memesan sebuah keris. Bawalah orang itu 

masuk.” 

Sesaat kemudian orang yang menyebut dirinya pedagang keris itu diantar masuk ke pringgitan. 

“Duduklah” Untara mempersilahkan. 

Orang itupun kemudian duduk diatas sehelai tikar pandan. Dipunggungnya terselip sebilah keris, 

dan dianggarnya pula keris yang lain, pada sangkutannya didalam jumbai dibagian depan ikat 

pinggangnya. 

“Paman” berkata Untara kemudian kepada Widura “apakah paman tidak ingin melihat beberapa 

bilah keris?” 

Widura tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Namun demikian ia duduk pula dihadapan orang 

yang menyebut dirinya pedagang keris itu. Agung Sedayupun kemudian hadir juga diantara 

mereka. 

Sesaat kemudian barulah Untara berkata kepada orang itu “Apakah kau membawa keris itu?” 

Orang itu menggangguk. Kemudian dijawabnya “Ya, Soma telah menyampaikan pesan itu.” 

Untara mengangguk-angguk. Bahkan Widurapun mengangguk-angguk pula. Sedang Agung 

Sedayu sekali-sekali mencoba memandang wajah orang itu. 

“Nah, marilah aku perkenalkan dengan pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung” berkata 

Untara sambil menunjuk Widura “Paman Widura.” 

Orang itu mengangguk dalam sambil berkata “Aku adalah utusan kakang Untara.” 

Kembali Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia tahu bahwa orang itu sama 

sekali bukan pedagang keris. Tetapi orang itu adalah salah seorang pembantu sandi dari 

Untara dalam kedudukannya sebagai seorang senopati yang memegang kekuasaan atas nama 

Panglima Wira Tamtama. Ki Gede Pemanahan. 

“Namanya Trigata” sambung Untara. 

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. nama 

itu pernah didengarnya di Gunung Gowok dahulu, ketika kakaknya berpesan pada Soma. 

“Nah sekarang, apakah yang akan kau sampaikan?” 

“Kelanjutan dari berita-berita yangdibawa oleh Soma.” 

“Ya” 

“Tohpati hari ini berada dihutan-hutan sebelah barat padukuhan Benda.” 

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya “apakah sangkamu 

persiapannya sudah selesai?”


“Kami menyangka demikian. Orang menyelundup kami yang disekitar lingkungan mereka yang 

dapat kami hubungi telah mendengar perintah untuk tetap ditempat bagi mereka.” 

Kembali Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagaimanakah dengan obor dan panah 

api?” 

Trigata berpikir sejenak, kemudian jawabnya “Mungkin akan benar-benar mereka pergunakan. 

Mereka tidak mau gagal kali ini. Karena itu mereka akan mempergunakan alat-alat untuk 

mengacaukan pertahanan kita disini.” 

Sesaat mereka kini berdiam diri. Masing-masing mencoba membayangkan apakah kira-kira 

yang akan terjadi seandainya laskar Macan Kepatihan itu benar-benar akan datang. 

Yang mula-mula berbicara adalah Widura, katanya “Aku harus menyiapkan orang-orangku.” 

“Ya” berkata Untara “Tetapi tidak sekarang. Nanti sore setelah matahari hampir tenggelam, 

supaya Tohpati tidak sempat mengetahui, bahwa rencananya telah kita mengerti sebelumnya.” 

“Kau benar” berkata Widura “aku hanya akan membuat latihan-latihan khusus pagi ini.” 

Untara menggangguk. Kemudian kepada Trigata Untara itu berkata “Apakah menurut 

dugaanmu malam nanti Tohpati akan bergerak.” 

“Demikianlah” sahut Trigata. 

“Baik” berkata Untara “usahakan melihat gerakan mereka meskipun dari jarak yang jauh. 

Berilah tanda dengan panah sanderan. Tetapi ingat, kau tidak usah membunuh diri. Demikian 

kau melepaskan anak panah sanderan, kau harus segera melarikan dirimu. Terserahlah 

kepadamu, siapakah yang berani bertaruh nyawa berdiri diujung, yang lain akan menerima 

tanda itu dan meneruskan ke Sangkal Putung.” 

“Ah pekerjaan itu tidak terlalu berbahaya” sahut Trigata “apalagi dimalam hari, kami akan dapat 

melakukannya dengan aman. Sebab dapat kami lakukan dari jarak yang cukup jauh. Pekerjaan 

ini jauh lebih aman dari melakukan pertempuran itu sendiri.” 

“Bagus, dimana kalian berada?” 

“Di Tegal” jawab Trigata “dirumah seorang petani miskin bernama Pada.” 

“Kelak, apabila kau tidak datang sesudah serangan selesai, kami akan mencari kalian.” 

“Terima kasih” sahut Trigata. 

Kembali kemudian mereka berdiam diri. Wajah Agung Sedayu tampak tegang. Ada sesuatu 

yang bergolak didalam dadanya. Setelah ia menemukan kepercayaannya pada kekuatan yang 

tersimpan dalam dirinya, tiba-tiba timbullah keinginannya untuk ikut serta dalam pertempuran itu. 

Meskipun demikian maksudnya itu tidak segera disampaikannya kepada kakaknya maupun 

pamannya. Ia akan menunggu sampai nanti apabila diadakan pertemuan diantara para 

pemimpiin laskar di Sangkal Putung. 

Widura kemudian meninggalkan Pringgitan. Diberinya anak buahnya beberapa petunjuk khusus. 

Meskipun belum diberitahukannya bahwa Tohpati mungkin sekali akan menyergap malam nanti, 

namun secara tidak langsung telah dipersiapkannya anak buahnya untuk menghadapi 

kemungkinan itu. Dipersiapkannya pula anak-anak muda Sangkal Putung untuk menghadapi 

setiap kemungkinan,pula laki-laki yang telah berumur agak lanjut. Diberikannya petunjuk 

tempat-tempat yang harus mereka pertahankan dan diberitahukannya pula cara-cara untuk 

melawan api apabila timbul kebakaran. 

Meskipun Widura belum mengatakan, namun sudah terasa oleh anak buahnya, bahwa bahaya 

itu semakin dekat. Karena itu, maka merekapun telah mulai mengatur hati masing-masing. Siap 

menghadapi setiap kemungkinan. 

Penduduk Sangkal Putung merasa pula, bahwa mereka harus ikut serta mempersiapkan diri. 

Perempuan-perempuan telah membuat persiapan secukupnya menghadapi masa-masa yang 

sulit. Kalau terjadi pertempuran, belum pasti sehari, dua hari akan selesai. Dan yang paling 

mengerikan bagi mereka, bagaimanakah kalau laskar Pajang bersama-sama anak-anak muda 

Sangkal Putung tidak mampu menahan arus Macan Kepatihan? 

Siang itu juga, Trigata meninggalkan Sangkal Putung kembali ketempatnya. Di tempat 

persembunyiannya ternyata telah berkumpul lima orang yang sipa melakukan tugas-tugas 

mereka. Beberapa tanda sandi harus mereka berikan lewat panah sanderan yang nanti akan 

memberitahukan beberapa masalah mengenai gerakan Tohpati.


Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk. Dimuka banjar anak-anak Sangkal Putung 

sibuk berlatih. Sedang anak buah Widura sibuk pula mempersiapkan senjata-senjata mereka. 

“Jangan memeras tenaga kalian” Widura menasehati anak-anak muda Sangkal Putung “nanti 

apabila setiap saat diperlukan, kalian telah menjadi kelelahan.” 

Anak-anak muda itupun menurut pula. Mereka kini tinggal mendengarkan beberapa petunjuk-

petunjuk yang harus mereka lakukan dalam pertempuran yang setiap saat mungkin akan 

datang. 

Ketika matahari telah condong kebarat, beberapa orang penjaga diujung induk desa Sangkal 

Putung terkejut mendengar pandah sanderan yang meraung-raung dilangit, kemudian jatuh 

didekat mereka. Seseorang segera memungut anak panah itu. Namun mereka tidak melihat 

sesuatu pada anak panah itu. Karena itu, maka seorang dari mereka segera meloncat keatas 

punggung kuda dan langsung berpacu ke Kademangan. 

Widura dan beberapa orang terkejut karenanya, ketika seorang dengan tergesa-gesa lari naik 

ke pringgitan. 

“Ki Lurah” berkata orang itu kepada Widura “sebuah anak panah sanderan telah jatuh didekat 

gardu penjagaan kami. Tetapi kami tidak menemukan sesuatu apapun pada anak panah itu” 

Widura mengerutkan keningnya. “Bawalah kemari” berkata Widura. ketika Untara ikut serta 

melihat anak panah itu, maka iapun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada 

peronda yang menemukan anak panah itu ia berkata “Perkuat penjagaan digardumu” 

“Baik tuan” jawab orang itu. 

“Kembalilah. Setiap perkembangan akan kami beritahukan, tetapi kaupun harus melaporkan 

setiap perkembangan yang kau ketahui” berkata Untara pula. 

Orang itupun kemudian pergi meninggalkan pringgitan. Disepanjang jalan ia menggerutu “Tidak 

juga mau memberitahukan apakah sebenarnya yang akan terjadi” Namun karena itulah maka 

para peronda itu menjadi semakin berhati-hati. 

Sepeninggal orang itu, maka Untarapun berkata kepada Widura “Paman, anak-anak buahku 

telah mendapat kepastian. Malam nanti Tohpati akan mulai menyergap Sangkal Putung. Anak 

panah yang dikirim saat ini hanya sebuah. Menurut pesan yang aku berikan kepada mereka, 

kalau Tohpati akan bergerak sebelum tengah malam, mereka harus mengirimkan dua anak 

panah. Sedang kalau kira-kira antara tengah malam atau sesudah itu, satu anak panah. 

Sehingga dengan demikian maka kemungkinan terbesar, Tohpati nanti akan bergerak pada 

tengah malam” 

Widura mengerutkan keningnya. “Waktu yang baik” gumamnya. “Mungkin Tohpati 

memperhitungkan, bahwa pada saat fajar mereka akan memasuki Sangkal Putung” 

Keduanya kemudian berdiam diri. Masing-masing sedang mencoba melihat setiap 

kemungkinan yang dapat terjadi. Yang mula-mula berbicara adalah Agung Sedayu “Kakang, 

apakah Alap-alap Jalatunda akan ikut serta dengan Tohpati?” 

Untara mengangguk “Mungkin sekali” 

Agung Sedayu menarik nafas. Namun ia tidak berkata apapun. Untara yang melihat wajahnya, 

segera mengerti perasaan adiknya. “Apakah kau sudah rindu kepadanya?” 

Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia masih belum menjawab 

“Kalau begitu, apakah kau ingin bertemu malam nanti?” 

Kini Agung Sedayu mengangguk “Ya” jawabnya “Aku sangka Alap-alap Jalatunda itu tidak 

terlalu menakutkan” 

Untara tersenyum, namun kini ia berkata kepada Widura “Paman, barangkali sudah sampai 

waktunya paman memberitahukan persoalan Sangkal Putung kepada para pemimpin kelompok 

anak buah paman” 

Widura mengangguk “Ya. Aku sangka demikian. Aku akan memanggilnya beserta beberapa 

pemimpin anak-anak muda Sangkal Putung, bapak Ki Demang Sangkal Putung dan bapak 

Jagabaya” 

“Jagabaya?” bertanya Untara

















 V



Share:

0 comments:

Posting Komentar