1
GEGER di Pantai Rangsang diawali dengan di-
temukannya sepotong kepala orang yang terpenggal.
Kepala itu ditancapkan pada sebatang bambu yang
tinggi dan besarnya seukuran dengan tongkat pramu-
ka. Bambu berlumur darah itu tertancap dl pasir Pan-
tai Rangsang, sedangkan kepala orang yang habis di-
penggal tertancap di atas bambu tersebut.
Entah ke mana badan orang yang dipenggal ke-
palanya itu, yang jelas beberapa penduduk desa ne-
layan di sekitar Pantai Rangsang hanya bisa menonton
kekejian tersebut. Mereka sudah berusaha mencari
badan orang itu, tapi tetap tak ditemukan. Agaknya
badan si korban dilemparkan ke lautan lepas dan
mungkin sudah habis dimakan ikan-ikan ganas.
Orang yang mengerumuni tempat kepala ditan-
capkan itu tak ada yang berani menyentuh atau me-
nyingkirkan. Mereka masih saling berkasak-kusuk
dengan tegang, sampai akhirnya muncul dua orang
pemuda berpakaian putih.
Dua pemuda itu sama-sama berwajah tampan,
rambutnya sama-sama sepundak tanpa ikat kepala,
badannya sama-sama tegap dan gagah, bajunya sama-
sama buntung berwarna putih, juga celananya sama-
sama putih sebatas betis, tubuhnya sama-sama tinggi,
pedangnya sama-sama terbuat dari kristal bening se-
perti beling mudah pecah, dan... mereka itulah yang
dikenal dengan nama Pendekar Kembar: Raka Pura
dan Soka Pura.
Soka Pura, sebagai adik, merasa terkejut meli-
hat potongan kepala yang ditancapkan pada sebatang
bambu itu. Agaknya Soka Pura lebih mengenali sang
korban daripada kakaknya. Suara Soka pun menyentak menunjukkan kekagetannya.
"Edan! Mengapa ia ada di sini?!" Raka Pura
yang sempat tegang menyaksikan potongan kepala itu
segera ajukan tanya kepada si Pendekar Kembar bung-
su. "Apakah kau kenal dengan korban itu?" "Apakah
kau tidak?!" Soka ganti bertanya. "Pandanglah baik-
balk wajah itu. Seharusnya kau yang lebih kenali si
korban, karena kau lebih dulu bertemu dengannya."
"Siapa...?!" gumam Raka Pura sambil pandangi
kepala yang tertancap di bambu itu. Bahkan ia me-
langkah lebih mendekat, dan diperhatikan oleh orang-
orang yang mengerumuni tempat itu.
Korban kesadisan tersebut berusia sekitar em-
pat puluh tahun. Hidungnya agak bundar, matanya
yang terbelalak mengerikan itu tampak lebar, rambut-
nya pendek tegak seperti bulu landak. Korban tidak
punya jenggot tapi punya kumis sedikit tebal. Kumis-
nya juga kaku seperti kumis landak, seandainya lan-
dak berkumis.
Karena wajah korban berlumur darah, maka
Raka Pura terpaksa memperhatikan sampai beberapa
saat lamanya. Setelah beberapa saat baru ia mengenali
si korban dengan tersentak kaget kembali.
"Astaga...! Bukankah dia adalah si Batara Ja-
brik?"
"Tepat sekali!" jawab Soka Pura. "Dia adalah si
Batara Jabrik. Menurut pengakuannya, dia bekas
orang Tebing Bencana, anak buah Pangeran Laknat,
tapi sudah lama memisahkan diri dan bergabung den-
gan orang-orang Kedai iblis!"
"Ya, seingatku dia mengaku bergabung dengan
orang-orang Kedai iblis dan tetap menjalankan peker-
jaannya sebagai pembunuh bayaran," tambah Raka
sambil mengenang masa pertemuannya dengan Batara
Jabrik saat Batara Jabrik ingin membunuh Raka aki
bat Raka diduga sebagai Wisnu Galang. Pada akhirnya
justru Batara Jabrik menaruh simpati kepada Raka
Pura dan ingin pelajari ilmunya Raka Pura, namun
Raka tak bersedia memberikan ilmunya, (Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode: "Iblis Pemburu Wani-
ta").
"Siapa yang melakukannya kekejaman seperti
ini?!" ujar Raka pelan, seperti hanya bicara pada adik
kembarnya saja.
"Seingatku, Batara Jabrik pernah diburu oleh
Dewi Binal karena mencuri Permata Manik Jingga dari
Candi Apung. Ia bekerja sama dengan Bunga Dewi, ta-
pi mungkin neneknya Bunga Dewi si Tupai Siluman
alias Nyai Gantari memburunya karena Batara Jabrik
di anggap mengkhianati Bunga Dewi," tutur Soka sam-
bil mengenang persoalan tersebut, (Baca serial Pende-
kar Kembar dalam episode: "Tantangan Mesra").
"Jadi menurutmu Nyai Gantari yang lakukan
kekejaman seperti ini? Ah, kurasa Nyai Gantari tak
mungkin sekejam ini! Apalagi Bunga Dewi, juga tak
mungkin lakukan pembunuhan setega ini!"
Soka Pura merenung sambil pandangi kepala
Batara Jabrik yang sudah memutih dengan darah su-
dah mulai mengering itu. Raka Pura masih berdiri di
samping adiknya, lebih dekat dengan korban ketim-
bang orang-orang yang berkerumun sejak tadi.
"Siapa pelakunya?!" gumam Raka.
"Coba kau tanyakan sendiri kepada Batara Ja-
brik."
"Konyol kau! Mana mungkin dia mau menja-
wab?!"
"Paksa dengan ancaman, mungkin dia mau
menjawab!"
"Aaah...!" Raka mendesah tak mau menanggapi
kekonyolan adiknya yang cengar-cengir untuk hilang
kan ketegangan itu.
"Jangan-jangan dia bunuh diri. Soka?"
"Eh, kalau kau tak mau konyol juga jangan
berkata begitu!" sergah Soka Pura. "Mana mungkin se-
seorang lakukan bunuh diri dengan memenggal kepa-
lanya dan menancapkannya pada sebatang bambu!"
Raka Pura ikut tersenyum, tak berani tertawa keras,
karena tak enak dilihat orang-orang di sekitarnya.
Pendekar Kembar bergegas temui sesepuh di
desa nelayan itu untuk meminta kesediaannya mema-
kamkan kepala Batara Jabrik. Sambil melangkah, Ra-
ka Pura sempat ungkapkan kecurigaannya lagi.
"Jangan-jangan Dewi Binal sendiri yang mem-
bunuh Batara Jabrik, karena ingin dapatkan Permata
Manik Jingga yang dicuri Batara Jabrik itu?!"
"Tapi setahuku persoalan itu sudah selesai,
Raka. Dewi Binal dan kakeknya sudah berhasil mere-
but kembali tongkat pusaka Suryapati yang mempu-
nyai Permata Manik Jingga itu dan sudah dikembali-
kan ke Candi Apung!"
"Hmmm... kalau begitu, kita perlu curigai ke-
luarga Nyai Gantari dan...."
"Hei, aku ingat, dulu dia pernah ceritakan bah-
wa dia punya masalah dengan anak buah Pangeran
Laknat!"
"O, ya. Benar, aku pun sekarang ingat, Batara
Jabrik punya persoalan dengan si Congor Setan. Me-
nurutnya, persoalan itu menyangkut tentang dendam
si Congor Setan kepada Batara Jabrik yang telah
membunuh dua adiknya."
"Hmmm, kalau begitu kita cari saja si Congor
Setan! Apakah dia masih menjadi orang kepercayaan
Pangeran Laknat di Tebing Bencana?"
"Yang perlu kita tanyakan adalah: apakah kita
harus melibatkan diri dalam persoalan kematian Bata
ra Jabrik ini?"
"Iya, ya...," gumam Soka Pura. "Batara Jabrik
adalah pembunuh bayaran, Congor Setan juga pem-
bunuh bayaran, jika kita melibatkan diri mencari siapa
pembunuhnya, apakah berarti kita juga penyelidik
bayaran?"
Setelah menemui sesepuh desa nelayan dan
meminta untuk memakamkan kepala Batara Jabrik,
kedua pemuda tampan kembar rupa itu segera berge-
gas pergi. Mereka bermaksud untuk temui Nyai Ganta-
ri di Tanah Keramat. Raka Pura yang ajukan usul un-
tuk temui Nyai Gantari, karena rasa ingin tahunya
menimbulkan kegelisahan tersendiri sehingga ia men-
jadi sangat penasaran.
"Kita hanya sekadar ingin tahu saja, Soka. Tak
perlu mencampuri urusan mereka!" ujar Raka Pura
pada saat adik kembarnya menolak usul tersebut. Ak-
hirnya sang adik kembar pun menuruti keinginan ka-
kaknya.
Mereka melangkah menelusuri Pantai Rang-
sang. Beberapa saat setelah jauh dari desa nelayan
tersebut, langkah mereka terhenti kembali. Jantung
mereka tersentak kaget dengan mata terbelalak.
"Gila! Apa-apaan ini?!" gumam Raka Pura me-
nenga.
Mereka melihat sebatang bambu ditancapkan
di pasir pantai. Di atas bambu itu ada kepala manusia
seperti tadi. Mereka segera dekati dan mencoba men-
genali wajah kepala yang terpenggal seperti nasib Ba-
tara Jabrik itu.
Soka Pura lebih tegang, karena ia mengenali
wajah Kepala yang ditancapkan pada bambu itu. Raka
Pura tidak mengenali wajah tersebut, namun ia ikut
tegang karena menemukan pemandangan yang serupa
dengan yang baru saja ditinggalkan.
Kali ini korban yang terpenggal adalah seorang
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan ram-
but sepundak botak bagian tengahnya. Alis lelaki itu
tebal, mata lebar, kumis lebat, dan berkesan angker.
Secara tak sadar Soka Pura menyebut nama si korban.
"Jurik Tunggon...?!"
"Siapa Jurik Tunggon itu?!"
"Orang dari Suku Ampar yang pernah kuserang
saat ia ingin membunuh Nilawesti!" jawab Soka Pura,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Tantan-
gan Mesra").
"Orang ini adalah musuh bebuyutannya Nila-
westi!" tambah Soka, kemudian ia termangu sesaat.
Raka Pura memeriksa keadaan sekeliling den-
gan pandangan mata. Tapi suasana di sekitar tempat
itu sangat sepi. Tak ada tanda-tanda yang mencuriga-
kan. Satu-satunya tanda yang mencurigakan hanyalah
sebuah benda yang mengapung di lautan. Sang ombak
mempermainkan benda tersebut. Ketika Raka pertegas
penglihatannya dengan mengangkat tangannya untuk
menahan silau sinar matahari, maka ia pun dapat
memandang benda yang mengapung itu dengan sedikit
jelas.
"Raga orang ini ada di sana, Soka!"
Soka ikut memandang ke perairan laut yang
berombak putih kebiruan.
"Rupanya si pembunuh lebih suka memajang
kepala korbannya dan membuang raga korban ke tem-
pat lain."
Soka Pura kembali memandang ke arah kepala
Jurik Tunggon. Ia memperhatikan darah yang membe-
kas pada sebatang bambu itu masih agak basah. Sedi-
kit lembab. Tapi keadaan itu dapat disimpulkan bahwa
pemenggalan kepala Jurik Tunggon dilakukan dalam
waktu belum lama. Tak sampai satu hari. Mungkin ta
di pagi, atau kemarin malam.
Raka Pura cenderung menelusuri jejak tapak
kaki yang ada di pasir pantai. Jejak tapak kaki itu me-
nuju ke perairan pantai dan menghilang di sana.
"Soka, jejak tapak kaki ini hanya dimiliki oleh
satu orang!" seru Raka dari tepi perairan pantai.
"Apa maksudmu?!" tanya Soka ketika Raka
mendekatinya lagi.
"Tampaknya hanya satu orang yang melewati
perairan pantai. Di sekitar sini tak ada jejak kaki lain,
kecuali kaki kita sendiri. Aku yakin pertarungan mere-
ka tidak terjadi di sini. Jika terjadi dl sini, maka jejak
tapak kakinya pun akan tampak banyak. Setidaknya
bekas-bekas pertarungan itu tampak di sekitar sini!"
Setelah diam sebentar sambil pandangi sekelil-
ing nya, Soka Pura pun berkata seperti orang mengu-
mam.
"Lalu apa maksud si pembunuh memajang ke-
pala korbannya di pantai ini?"
Raka lebih dekati adiknya lagi.
"Apakah menurutmu... antara Batara Jabrik
dengan Jurik Tunggon punya masalah yang sama?!"
"Aku tak tahu. Yang jelas, Batara Jabrik bukan
orang Suku Ampar."
Tiba-tiba sekelebat bayangan melesat hampiri
mereka dari arah tempat mereka datang tadi. Kedatan-
gan bayangan itu diawali dengan hembusan angin ke-
cil yang berlawanan dengan arah angin sebenarnya.
Wees...! Jleeg...!
"Ooh...?!" Raka Pura terkejut sampai mundur
satu langkah. Soka Pura tetap di tempat walau ma-
tanya terkesip pandangi kemunculan seorang lelaki
tua berbaju hijau celana hitam. Pak Tua yang berjeng-
got pendek warna abu-abu dan mengenakan tudung
pandan itu tak lain adalah sesepuh desa nelayan yang
tadi ditemui Raka dan Soka.
Sang sesepuh segera memandang ke arah kepa-
la Jurik Tunggon. Tudung pandannya diangkat ke atas
sedikit, sehingga ia dapat memandang lebih jelas dan
wajahnya pun dapat dipandang lebih jelas pula.
"Celaka! Ternyata dugaanku benar. Ada lagi
korban seperti tadi," gumam sang sesepuh.
"Apakah kau kenal dengan korban yang ini, Pak
Tua?"
"Tidak. Sama seperti korban yang ada di sana,
juga tak kukenal. Tapi... bagaimana dengan kalian?
Apakah kalian kenal dengan korban yang ini?"
"Aku mengenalinya," jawab Soka Pura sebelum
kakaknya perdengarkan suara. "Orang ini adalah Suku
Ampar yang bernama Jurik Tunggon!"
"Suku Ampar...?!" gumam Pak Tua bertudung
pandan.
Soka Pura masih perhatikan orang itu, semen-
tara orang itu sendiri lebih dekati bambu berkepala
manusia. Soka Pura sempat membatin dalam hatinya,
"Kurasa orang ini punya ilmu simpanan yang
cukup tinggi. Kemunculannya yang begitu cepat dan
disertai hembusan angin pasti menggunakan ilmu pe-
ringan tubuh yang bukan rendahan. Hmmm... siapa
sebenarnya Pak Tua ini?!"
Setelah pandangi kepala Jurik Tunggon, lelaki
berusia sekitar tujuh puluh tahun itu perdengarkan
suara seperti bicara pada diri sendiri. Tapi Pendekar
Kembar mendengarnya dengan jelas.
"Ini sudah keterlaluan. Apa maksudnya menan-
tangku dengan cara begini?"
Raka Pura buru-buru berujar dengan sopan.
"Maaf, Pak Tua... apakah kau tahu siapa pela-
kunya?!"
Pak Tua itu melangkah jauhi kepala Jurik
Tunggon. la tidak langsung menjawab, sepertinya san-
gat berat untuk mengatakan hal yang sebenarnya.
Pendekar Kembar mengikuti langkahnya yang mema-
suki hutan pantai. Di bawah pohon rindang, kakek
berkulit hitam akibat banyak terbakar sinar matahari
itu hentikan langkahnya. Raka dan Soka pun berhenti
di situ. Mereka ikut memandang ke arah pantai di ma-
na kepala Jurik Tunggon masih kelihatan jelas dari
tempat mereka berada.
"Seandainya aku tahu siapa pelakunya, lantas
apa yang ingin kalian lakukan?!" tanya Pak Tua itu.
Pemuda kembar wajah dan penampilan itu sa-
ma-sama bungkam, saling pandang beberapa saat. So-
ka Pura tarik napas, setelah itu baru perdengarkan
suaranya yang bernada serius, bukan main-main se-
perti biasanya.
"Apa yang kau harapkan dari kami, Pak Tua?!"
"Tidak ada," jawab si Pak Tua dengan kalem.
"Tidak ada yang kuharapkan dari kalian, karena kalian
bukan apa-apa ku!"
"Apakah kedua korban itu ada hubungannya
dengan pribadimu, Pak Tua?" tanya Raka.
"Jika dugaanku benar, kedua korban yang ke-
palanya dipajang di Pantai Rangsang ini memang ditu-
jukan untukku! Seseorang telah menantang pertarun-
gan denganku. Tandanya adalah dengan membuang
mayat siapa pun di daerah ku ini!"
"Apakah pantai ini wilayah kekuasaanmu, Pak
Tua?!" pancing Raka untuk mengetahui siapa sebenar-
nya sesepuh desa nelayan itu.
"Pantai Rangsang ini memang bukan daerah
kekuasaanku, melainkan daerah kekuasaan Ratu Se-
dap Malam. Tapi keberadaanku di desa nelayan tadi
membuat seseorang sengaja memancingku untuk ke-
luar dari pengasingan."
Soka Pura dapat menyimpulkan, Pak Tua itu
sebenarnya seorang tokoh di dunia persilatan yang su-
dah mengasingkan diri. Desa nelayan adalah tempat
pengasingannya, menjauhi dunia persilatan. Tetapi
agaknya seseorang telah memaksa si Pak Tua agar ke-
luar dari pengasingannya untuk lakukan sesuatu.
Mungkin menyelesaikan persoalan masa lalu.
"Apa salahnya jika aku hanya ingin tahu siapa
pelakunya, Pak Tua? Setidaknya aku dan adikku: So-
ka, bisa lebih berhati-hati lagi jika bertemu orang keji
itu," pancing Raka kembali dengan rasa ingin tahu
makin menggelitik.
"Kalian ini sebenarnya siapa?!"
"Kami dari Gunung Merana, anak angkat Pa-
wang Badai," jawab Raka. Ia sengaja sebutkan nama
ayah angkat mereka untuk memancing sejauh mana
Pak Tua itu mengetahui tentang rimba persilatan.
Ternyata Pak Tua itu justru terperanjat dan
menatap kedua pemuda kembar secara bergantian.
"Pawang Badai adalah sahabatku! Jika benar
kalian anak angkatnya, berarti kalian adalah Pendekar
Kembar yang bernama Raka Pura dan Soka Pura?!"
Senyum kedua pemuda itu mengembang seba-
gai jawaban membenarkan dugaan orang tersebut.
"Dari mana kau tahu nama lengkap kami, Pak
tua?!"
Kini si kakek yang masih kenakan tudung agak
membuka ke atas itu ganti tersenyum ramah.
"Beberapa sahabatku yang sempat singgah di
Pantai Rangsang ini menceritakan tentang perkemban-
gan baru di rimba persilatan, terutama munculnya se-
pasang anak kembar yang berjuluk Pendekar Kembar
dari Gunung Merana, anak angkat si Pawang Badai.
Tentu saja aku kenal betul dengan orangtua angkat
kalian, Nak!"
Pak Tua itu tampak senang dan manggut-
manggut.
"Kalau kalian tak percaya bahwa aku adalah
sahabat si Pawang Badai, katakan kepada ayah angkat
kalian bahwa kalian bertemu dengan si Lahar Jalanan.
Aku yakin beliau akan langsung ingat padaku dan me-
nanyakan kabar ku pada kalian."
"Kami percaya. Ayah pasti akan banyak berceri-
ta tentang dirimu, Paman Lahar Jalanan," ujar Raka
yang segera memanggilnya 'paman' sebagai panggilan
kehormatan kepada sahabat ayah angkat mereka itu.
"Kurasa ayah kalian juga tahu dengan nama:
Iblis Tambak Getih."
"Siapa orang yang berjuluk Iblis Tambak Getih
itu, Paman?" desak Raka secara halus.
"Dia musuh lamaku yang gemar membuang
mayat sebagai tantangan bagi lawannya."
"Kalau begitu, Iblis Tambak Getih adalah orang
yang memenggal Batara Jabrik dan Jurik Tunggon itu
Paman?"
"Hmmm..., akhirnya kalian mengetahuinya ju-
ga! gumam Lahar Jalanan seperti orang menggerutu.
Di dalam hatinya, Soka berkecamuk sendiri.
"Ketika tadi kutemui orang ini di desa nelayan,
ia tampak lugu dan polos, sebagaimana layaknya seo-
rang nelayan yang tak mengenal dunia persilatan.
Bahkan ia tak menanyakan siapa diriku dan Raka. Ta-
pi sekarang ia tampak berwibawa dan pancaran ma-
tanya menandakan orang berilmu tinggi. Hmmm.
sungguh pandai ia menempatkan diri. Di dunia ne-
layan, ia menjadi nelayan. Di dunia persilatan, ia men-
jadi tokoh berilmu tinggi. Rasa-rasanya aku patut me-
niru sikap seperti itu."
Setelah mereka bertiga sama-sama diam dan
lemparkan pandangan ke pantai, Raka Pura segera
memecah kebisuan tersebut dengan suaranya yang ka-
lem.
"Paman Lahar Jalanan, jika aku boleh tahu,
apakah Paman akan melayani tantangan ini?!"
"Mestinya si Iblis Tambak Getih sudah perda-
lam ilmunya, sehingga ia berani menantangku. Jika
tantangan ini tidak kulayani, maka la akan bikin ulah
seperti ini, dan itu berarti mengorbankan orang tak
bersalah," ujar si Lahar Jalanan dengan kalem juga.
"Apakah mungkin kami berdua mencegah tin-
dakan keji si iblis Tambak Getih itu, Paman?" tanya
Raka.
"Aku sangsi, apakah dia mau melayani kalian.
Sebab, sepanjang hidupnya, Iblis Tambak Getih hanya
mempunyai dua musuh utama, yaitu aku dan seorang
lagi dari Bukit Gamping: si Tabib Kubur!"
"Hahh...?!" Soka Pura terkejut lebih kuat ke-
timbang kakaknya.
Tentu saja Pendekar Kembar terkejut menden-
gar nama Tabib Kubur sebagai: salah satu musuh
utama si Iblis Tambak Getih. Pendekar Kembar sangat
kenal dengan Tabib Kubur, kakeknya Dewi Binal. Bah-
kan beberapa waktu yang lalu, Tabib Kubur menyela-
matkan Soka dan Raka dari perkawinan adat yang se-
mestinya harus dilakukan atau dibatalkan melalui per-
tumpahan darah, (Baca serial Pendekar Kembar dalam
episode:"Tantangan Mesra").
Kini kedua pemuda itu menjadi punya beban
untuk lindungi Tabib Kubur, sekalipun mungkin Tabib
Kubur bisa atasi sendiri dendam si Iblis Tambak Getih
itu. Namun sebagai balas jasa Pendekar Kembar, me-
reka harus bisa cegah si Iblis Tambak Getih agar tidak
menyentuh Tabib Kubur, yang sudah dianggap seperti
kakek sendiri oleh Raka dan Soka itu.
"Oh...?!" Lahar Jalanan terperanjat sendiri tan
pa sebab tak pasti. Yang jelas ia segera tertegun den-
gan wajah sedikit tegang. Hal itu memancing perhatian
dan rasa ingin tahu bagi Raka Pura.
"Ada apa, Paman?"
"Hatiku Jadi tak enak. Jangan-jangan Tabib
Kubur sudah berhasil dibunuh oleh si Iblis Tambak
Getih itu?! Kini Raka Pura dan adiknya ikut-ikutan te-
gang. Mereka saling pandang dan sama-sama punya
niat untuk lekas-lekas pergi ke Bukit Gamping.
*
* *
2
PADA mulanya Lahar Jalanan ingin merahasia-
kan tempat tinggal si Iblis Tambak Getih. Lahar Jala-
nan tak ingin kedua pemuda kembar itu terlibat dalam
urusan dendam pribadinya.
Tapi setelah Pendekar Kembar pamit mau ke
Bukit Gamping untuk membantu Tabib Kubur, Lahar
Jalanan berubah pikiran. Ia pun akhirnya ikut ke Bu-
kit Gamping. Mereka menelusuri tepian hutan Pantai
Rangsang.
Tiba-tiba Soka Pura berseru mengagetkan,
"Tunggu sebentar, Paman!"
Langkah mereka berhenti. Dua orang itu mena-
tap Soka, sementara Soka menatap ke arah pantai.
Rupanya di pantai ada pemandangan yang menarik
perhatian Soka. Pandangan mata Raka dan Lahar Ja-
lanan segera diarahkan ke pantai.
"Ada dua kepala lagi, Paman!" "Gila!" gumam
Lahar Jalanan, kemudian mendahului Pendekar Kem-
bar melesat ke pasir pantai.
Lahar Jalanan memandang dengan mata tak
berkedip ke arah dua kepala yang tertancap di atas
dua batang bambu. Dua kepala yang terpenggal itu
adalah kepala gadis berusia sekitar dua puluh tiga ta-
hun. Masing-masing korban berambut pendek dan
berwajah cantik.
Raka Pura merasa sedang dipermainkan oleh si
pemenggal kepala, karena kali ini Jantung Raka berde-
tak lebih kuat lagi. Bahkan tak bisa berucap kata ka-
rena tak tega melihat dua wajah cantik yang terpenggal
secara sadis itu.
"Darahnya masih basah, Paman," ujar Soka Pu-
ra dengan dada bergemuruh. Kemarahannya mulai
terpancing begitu melihat kedua korban kali ini adalah
gadis-gadis cantik yang tampaknya berilmu sedang-
sedang saja itu. Baik Raka maupun Soka tidak men-
genal kedua korban tersebut, tapi kemarahan mereka
sama-sama terpancing, sehingga hasrat untuk beradu
muka dengan si pembunuh sadis membuat mereka
sangat penasaran.
"Kali ini kami tidak tahu siapa kedua gadis itu,
Paman."
"Pengawalnya Ratu Sedap Malam," Jawab Lahar
Jalanan dengan datar. Agaknya Pak Tua itu juga me-
nahan kegeraman dalam hatinya, karena menaruh ra-
sa haru dan tak tega melihat korban masih muda-
muda.
Dua kepala gadis cantik yang dipajang berjeje-
ran itu berlumur darah basah, sekalipun sudah tidak
segar lagi. Tapi mereka dapat memperkirakan pemeng-
galan itu terjadi dalam waktu kurang dari setengah ha-
ri. Sementara itu, tetesan darah di sekitar tempat ter-
sebut tidak ada. Tetesan darah hanya ada di sekitar
kedua batang bambu yang dipakai menancapkan ke-
pala yang terpenggal itu.
Raka Pura perhatikan jejak telapak kaki yang
menuju ke perairan pantai. Ternyata badan kedua ga-
dis ada di lautan, agak jauh dari pantai, namun keliha-
tan sedang terapung-apung dipermainkan ombak.
Jejak kaki itu hanya milik satu orang yang se-
pertinya melangkah dari tempat ditancapkannya kepa-
la itu menuju ke perairan laut, setelah sampai di sana
ia tak kembali lagi ke hutan pantai, karena tak ada je-
jak telapak kaki yang kembali ke arah semula.
"Paman, coba perhatikan Jejak telapak kaki ini.
Sepertinya si pelaku berjalan dari tempat kepala ini ke
perairan sana, lalu menghilang di sana tanpa kembali
lagi kemari. Aneh sekali, Paman," ujar Raka Pura.
Lahar Jalanan memperhatikan Jejak telapak
kaki tersebut. Untuk sesaat ia diam merenunginya.
Soka Pura pun ikut memikirkan jejak telapak kaki itu.
Sepintas dugaannya mengatakan, pelaku pemenggalan
kepala itu adalah orang yang mampu berjalan di atas
air, membuang raga korban dan lenyap di tengah sa-
mudera. Seolah-olah pelakunya adalah orang yang
mampu hidup di kedalaman laut.
"Bagi si iblis Tambak Getih, bukan hal yang su-
lit untuk melompat dari tepian perairan kembali ke hu-
tan. Ia bisa melayang seperti terbang sejauh sepuluh
tombak lebih," ujar si Lahar Jalanan yang membuat
Pendekar Kembar segera perhatikan ke arahnya.
"Maksud Paman, Iblis Tambah Getih mem-
buang raga ke lautan, kemudian kembali ke hutan
dengan cara melayang seperti terbang?" ujar Raka Pu-
ra.
"Benar. Tapi... tapi mengapa kedua pengawal
Nyai Ratu yang dijadikan korban?!" Lahar Jalanan
menggumam seperti bicara sendiri.
"Seharusnya ia tidak lakukan terhadap orang-
nya Ratu Sedap Malam," tambah Lahar Jalanan dalam
gumamannya.
"Mengapa seharusnya demikian, Paman?" de-
sak Raka.
"Iblis Tambak Getih pantang membunuh pe-
rempuan, kecuali hanya melukai atau mencederai. ia
punya ilmu yang akan hilang jika membunuh kaum
perempuan. Ilmu itu bernama ilmu 'Taring Betina',
yang membuat ia selalu dikasihani oleh kaum wanita."
"Mungkin... mungkin ilmu itu sudah punah,
sehingga ia tega lakukan kekejamannya terhadap ke-
dua gadis malang ini, Paman," ujar Soka Pura.
"Hmmm, ya. Mungkin saja begitu," Lahar Jala-
nan pun manggut-manggut. "Sebaiknya hal ini kula-
porkan dulu kepada Nyai Ratu, agar ia perintahkan
kepada para pengawalnya untuk berhati-hati jika ber-
temu iblis Tambak Getih!"
"Aku ikut mendampingimu, Paman!" sergah So-
ka Pura. Kemudian ia berkata kepada kakaknya.
"Sebaiknya kau lekas ke Bukit Gamping, Raka.
Siapa tahu Iblis Tambak Getih sedang menuju ke sana.
Kalau bisa kau temui Kakek Tabib sebelum Iblis Tam-
bak Getih menemui beliau."
"Kurasa itu gagasan yang bagus. Aku akan ke
Bukit Gamping sekarang juga!" ujar Raka Pura merasa
tak keberatan dengan usul adiknya yang selaras den-
gan jalan pikirannya.
Raka Pura pun segera berkelebat ke Bukit
Gamping dengan gerakan secepat hembusan badai
yang paling cepat, karena ia menggunakan jurus 'Jalur
Badai'-nya. Sementara itu, Soka Pura mendampingi si
Lahar Jalanan untuk menghadap Ratu Sedap Malam,
memberitahukan tentang nasib kedua gadis itu. Raka
potong kompas menerabas hutan, sedangkan Soka dan
Lahar Jalanan menelusuri tepian hutan pantai. Karena
menurut Lahar Jalanan, letak pesanggrahan Ratu Se
dap Malam yang mirip Istana kecil itu ada di hutan te-
pian pantai.
Tapi sebelum mereka tiba di pesanggrahan
sang Ratu, mereka kembali temukan kepala tiga orang
gadis yang dipajang seperti yang sudah-sudah. Soka
Pura semakin gemetar menahan kemarahan melihat
tiga kepala gadis muda yang ditusukkan pada tiga ba-
tang bambu. Darah mereka masih tampak segar, per-
tanda peristiwa pemenggalan itu terjadi belum lama.
Mungkin juga pelakunya belum seberapa jauh dari
tempat tersebut.
"Jangan-jangan iblis Tambak Getih menuju ke
pesanggrahan sang Ratu, Paman!" ujar Soka dengan
napas mulai memburu karena menahan kemarahan.
"Jika begitu kita harus cepat-cepat sampai di
pesanggrahan sebelum iblis Tambak Getih membantai
habis orang-orangnya Nyai Ratu Sedap Malam!"
Soka Pura dan Lahar Jalanan cepat-cepat ber-
kelebat ke arah pesanggrahan. Kecepatan gerakan La-
har Jalanan ternyata bisa mengimbangi kecepatan Ju-
rus 'Jalur Badai'-nya Pendekar Kembar bungsu, se-
hingga dalam waktu singkat mereka sudah sampai di
batas pesanggrahan yang diberi tanda bangunan gapu-
ra berbatu tinggi. Di depan gerbang yang menjadi sim-
bol batas pesanggrahan atau istana kecil itu ada tiga
orang penjaga. Satu di antaranya seorang pemuda be-
rusia sebaya dengan Soka Pura bersenjata tombak,
dua penjaga lainnya gadis cantik bersenjata pedang di
pinggang. Agaknya tingkatan ilmu kedua gadis itu le-
bih tinggi dari pemuda tersebut.
Rupanya mereka sudah kenali si Lahar Jala-
nan, sehingga sikap mereka menjadi ramah dan penuh
hormat. Tapi terhadap Soka Pura, pandangan mata
mereka tampak penuh curiga, membuat Soka tak enak
hati.
"Siapa pemuda ini, Ki Lahar?!" tanya salah seo-
rang gadis penjaga yang berpakaian abu-abu.
"Dia adalah satu dari Pendekar Kembar yang
bernama Soka Pura."
Kedua gadis itu memandang dengan terperan-
gah, tapi si pemuda bersenjata tombak kerutkan dahi.
sepertinya tak percaya bahwa Soka Pura adalah salah
satu dari Pendekar Kembar. Kedua gadis itu sungging-
kan senyum kikuk ketika membalas senyuman Soka,
tapi pemuda berompi coklat dengan celana hitam itu
tak membalas senyuman Soka sedikit pun. Justru
tombaknya sedikit diarahkan kepada Soka. Lahar Ja-
lanan mengetahui hal itu, tapi ia bersikap pura-pura
tidak tahu.
"Kami ingin menghadap Nyai Ratu. Ada berita
penting yang harus kami sampaikan," ujar Lahar Jala-
nan kepada kedua gadis berambut pendek itu.
"Gusti Ratu sedang ada tamu, Ki Lahar. Sudi
kiranya menunggu beberapa saat," tutur si gadis ber-
pakaian kuning kunyit itu.
Pemuda berompi coklat menyahut, "Kurasa
buat Ki Lahar Jalanan bisa saja langsung masuk dan
menunggu di regol dalam. Tapi untuk pemuda itu, ha-
rus tetap dl sini."
"Mengapa ia tak kau izinkan ikut denganku?!"
tanya si Lahar Jalanan kepada pemuda berompi cok-
lat.
"Kami belum tahu persis siapa dia. Bisa saja
dia mengaku-aku sebagai salah satu dari Pendekar
Kembar yang namanya sedang ramai dibicarakan
orang itu. Demi keamanan, sebaiknya pemuda itu te-
tap tinggal di sini, Ki Lahar!"
Soka Pura tersenyum kalem. Hatinya memba-
tin. "Heh, heh, heh... belum tahu dia?!"
Lahar Jalanan menyapa pemuda itu lagi, "Siapa
namamu, Nak?"
"Prawira, Ki!"
"Hmmm, begin! maksudku, Prawira...," Lahar
Jalanan tetap kalem. "Kau boleh saja tidak percaya
dengan pengakuannya, tapi kau harus mencoba dulu
ilmunya. Jika orang mengaku-aku sebagai Pendekar
Kembar, maka ia tak akan dapat tumbangkan dirimu.
Tapi jika ia benar salah satu dari Pendekar Kembar
tentunya ia dapat tumbangkan dirimu dengan mudah."
Lahar Jalanan menatap Soka, "Bukankah begi-
tu Soka?"
"Itu terlalu muluk-muluk, Paman. Mungkin
memang aku tak bisa tumbangkan sobat kita itu. Tapi
jika hanya membuatnya sekarat, kurasa aku masih bi-
sa. Itu pun untung-untungan," ujar Soka Pura meren-
dah dengar sindiran.
"Kau dengar sendiri, Prawira?!" ujar Lahar Ja-
lanan.
Prawira semakin tajam menatap Soka. Sikap
permusuhannya kian ditonjolkan. ia bicara dengan
menuding Soka seenaknya saja.
"Hei, kau pikir siapa aku sehingga akan mudah
kau buat sekarat, hah?! Coba rasakan jurus tombakku
ini! Hiaaah...!"
Prawira menyentakkan tombaknya ke depan.
Arahnya ke dada Soka. Tapi tusukan tombak itu di-
hindari Soka dengan memiringkan badan secara cepat.
Seet, wuut...!
Tombak yang tak kenai sasaran itu segera di
sambarkan ke kanan, sedikit naik. Sasarannya ingin
merobek dagu Soka. Namun dengan cepat Soka Pura
sentakkan kepala ke belakang dengan sedikit leng-
kungkan tubuh. Wees...! Tombak itu lolos dari sasa-
ran.
Prawira lompat ke samping, agar berhadapan
dengan lawannya lagi. Tombak pun dihujamkan ke
leher Soka. Wuuut...! Soka Pura kembali miringkan
tubuhnya ke kiri, dan tangan kirinya segera menyam-
bar tombak tersebut. Seet...!
Tangan itu sedikit melilit di batang tombak, dan
sikunya menghentak ke bawah. Krrakk...! Gerakan ce-
pat yang nyaris tak terlihat itu mematahkan tombak
bergagang kayu jati besi yang seharusnya sulit dipa-
tahkan.
Prawira dan dua gadis temannya terbelalak me-
lihat tombak itu patah. Kedua gadis itu lebih kaget lagi
setelah melihat Soka Pura memutar tubuh dan ka-
kinya menjejak ke belakang. Beet...! Dada Prawira ter-
kena jejakkan itu dengan telak. Buuhk...!
Wees...! Bruuuk...!
Prawira terpental sejauh lima tombak. Tubuh-
nya jatuh terbanting dengan dada memar membiru.
Pemuda itu tersengal-sengal nyaris tak bisa bernapas.
Sementara Soka Pura berdiri dengan tegak, kedua ka-
kinya sedikit merenggang. Ia tampil dalam keadaan ga-
gah dan tampak perkasa.
Kedua gadis itu segera membantu Prawira un-
tuk bangkit. Pemuda tersebut terbatuk-batuk, lalu ke-
luarkan darah kental dari mulutnya.
"Ki Lahar.... Prawira terluka! Kurasa ini lukanya
cukup berbahaya, Ki Lahar! Tolonglah dia!"
"Biarkan saja dia merasakan rasa tidak per-
cayanya!"
"Ta... tapi...," gadis berpakaian abu-abu tak jadi
bicara, karena Lahar Jalanan segera berkata kepada
Soka.
"Apakah luka itu akan mematikan?!"
"Tidak, Paman!" tegas Soka. "Hanya akan mem-
buat tulang dadanya sedikit retak, namun tujuh hari
kemudian ia akan sehat kembali!"
"Perlu diobati?"
"Kurasa tidak perlu, Paman. Prawira sudah cu-
kup sakti. Aku yakin dia bisa mengobati lukanya itu."
Prawira yang mendengar percakapan tersebut
merasa dongkol sekali, namun ia tak bisa lakukan
apa-apa, karena sekujur tubuhnya kini merasa seperti
dicambuki. Sakit semua.
"Sebaiknya minta tukar saja," kata Soka kepada
gadis berpakaian kuning kunyit. "Mintalah tukar te-
man jaga yang kokoh dan tidak selembek getuk macam
dia."
Gadis berpakaian kuning kunyit itu hanya me-
narik napas. Ia serba salah dalam bersikap, karena ia
pun sebenarnya kurang suka dengan sikap Prawira
yang selalu merasa sok jago itu.
"Apakah kami masih tak boleh masuk bersama-
sama?" tanya Lahar Jalanan kepada gadis berpakaian
abu-abu.
"Hmm, eeh... sebaiknya memang Ki Lahar Jala-
nan masuk bersama Pendekar Kembar itu. Kurasa...
kurasa sebentar lagi tamu kami akan pulang dan Ki
Lahar bisa segera menghadap Gusti Ratu!"
"Baik. Terima kasih atas izinmu, Nona Manis,"
ujar Lahar Jalanan dengan tudungnya yang tadi sedi-
kit diangkat, kini diturunkan lagi hingga menutupi se-
bagian wajahnya.
Sebelum melangkah, Soka Pura sempat ajukan
tanya kepada gadis berpakaian abu-abu.
"Maaf, kalau boleh kami ingin tahu, siapa tamu
yang menghadap Nyai Ratu kalian itu?!"
"Nyai Sangkal Putung!"
"Siapa...??!" Lahar Jalanan tersentak kaget
mendengar jawaban gadis berpakaian abu-abu itu. Ia
segera dekati gadis yang masih pegangi lengan Prawira
itu.
"Nyai Sangkal Putung datang bertamu kema-
ri?!"
"Benar, Ki! Beliau datang bersama muridnya
yang bernama Mata Bidadari," tegas gadis itu.
Soka Pura merasa heran melihat Lahar Jalanan
sedikit tegang, bahkan beberapa kejap setelah terte-
gun, Lahar Jalanan segera melangkah memasuki ga-
pura tersebut.
"Cepat kita temui Nyai Ratu!" ujar Lahar Jala-
nan kepada Soka Pura. Tentu saja Soka hanya ikut-
ikutan bergegas dengan langkah cepat.
Namun di ambang gapura, langkah Pak Tua itu
terhenti lagi. Ia berpaling memandang gadis berpa-
kaian abu-abu.
"Panggil penjaga lainnya untuk perkuat penja-
gaan.
Jangan biarkan Nyai Sangkal Putung atau mu-
ridnya tinggalkan tempat ini tanpa bersamaku!" "Apa
maksudmu, Ki?"
"Lakukan apa yang kuperintahkan tadi demi
keselamatan kalian dan Nyai Ratu!"
Setelah berkata demikian, Lahar Jalanan te-
ruskan langkah yang segera disusul oleh Soka Pura.
"Agaknya ada sesuatu yang menegangkan hati
Paman Lahar Jalanan. Siapa sebenarnya orang yang
bernama Nyai Sangkal Putung itu, Paman?!" tanya So-
ka sambil mengiringi langkah Pak Tua itu.
"Sangkal Putung adalah adik dari Iblis Tambak
Getih!"
"Oo...?!" Soka Pura sedikit terperanjat.
"Besar kemungkinan ia membantu kakaknya
dalam pemenggalan itu. Mungkin sekarang sasarannya
adalah Ratu Sedap Malam sendiri!"
"Apakah Nyai Ratu tidak bisa selamatkan diri
sendiri jika hal itu sampai terjadi, Paman?"
"Ratu Sedap Malam akan tumbang di tangan
Sangkal Putung, karena ilmu silatnya tidak lebih tinggi
dari ilmu silat yang dimiliki Sangkal Putung!" Jawab
Lahar Jalanan dengan nada masih terkesan tegang.
"Bagaimana dengan muridnya; si Mata Bidadari
itu, Paman?"
"Kurasa kau bisa mengurusnya sendiri. Aku
akan mengurus si Sangkal Putung!" tegas Lahar Jala-
nan. "Tapi pertama kali kita harus timbulkan kesan
baik-baik
saja. Jangan tampakkan permusuhan agar
Sangkal Putung tidak curiga terhadap kehadiran kita,
Soka!"
"Bagaimana jika ternyata Nyai Sangkal Putung
sudah menyerang Ratu Sedap Malam?!"
"Apa boleh buat! Kita membaur dalam perta-
rungan itu! Apakah kau sudah siap, Soka?!"
"Aku sudah slap, Paman!" tegas Soka Pura den-
gan menarik napas panjang dan mengencangkan dada
serta kedua tangannya.
*
* *
3
PANTAS jika penguasa Pantai Rangsang itu
bernama Ratu Sedap Malam. Soka Pura melihat ba-
nyak tanaman bunga Sedap Malam yang tumbuh di
sepanjang perjalanan dari gerbang utama sampai ke
pesanggrahan atau istana kecil itu. Bunga putih itu ti-
dak menyebarkan harum wangi pada siang hari. Tapi
pada malam hari, bunga itu akan menyebarkan aroma
wangi, yang jika angin bertiup ke arah laut, maka
orang-orang kapal yang sedang berlayar melalui lautan
itu akan mencium aroma wanginya.
Rupanya sang Ratu adalah pecinta bunga Se-
dap Malam, sehingga nama bunga itu dipakai sebagai
ganti nama aslinya. Menurut si Lahar Jalanan, sang
Ratu mempunyai nama asli Wulandani. Ia putri seo-
rang raja yang terbuang karena dianggap sebagai anak
haram hasil hubungan gelap antara ibunya dengan
seorang lelaki simpanan. Ia diasingkan ke pantai ter-
sebut, sampai akhirnya ia berhasil membangun istana
kecil yang sering disebut sebagai pesanggrahan. Se-
mentara sanak saudaranya sekarang sudah tiada. Ke-
rajaan milik ayahnya sudah dikuasai oleh raja lain,
dan Wulandani tak berani merebut takhta kekuasaan
tersebut karena tak memiliki kekuatan cukup diband-
ing lawannya.
Kekuasaan sang Ratu meliputi seluruh Pantai
Rangsang sebelah timur dan sebelah barat. Desa ne-
layan tempat si Lahar Jalanan tinggal bersama masya-
rakat nelayan itu termasuk daerah kekuasaan sang
Ratu untuk wilayah timur. Menurut penuturan si La-
har Jalanan, sang Ratu sering membantu penduduk
desa yang kekurangan sandang maupun pangan.
Hampir semua penduduk yang tinggal di sekitar wi-
layah Pantai Rangsang bersikap memihak kepada Ratu
Sedap Malam, menaruh hormat dan mengagungkan
sang Ratu.
Bagi sang Ratu sendiri, nama Lahar Jalanan
bukanlah nama asing lagi. Sang Ratu yang juga terma-
suk tokoh di rimba persilatan itu mempunyai seorang
guru, dan gurunya itu adalah sahabat dengan si Lahar
Jalanan. Namun sang Ratu sangat paham dengan pen-
gasingan diri si Lahar Jalanan, sehingga ia tak pernah
bicara kepada tokoh lainnya tentang di mana tempat
tinggal Lahar Jalanan sekarang. Sang Ratu sering ber
kunjung ke rumah Lahar Jalanan atau sesekali me-
nyuruh pengawalnya menjemput Lahar Jalanan untuk
dibawa ke istana kecilnya hanya sekadar untuk dimin-
tai pendapat dalam beberapa hal yang akan dilakukan
sang Ratu.
Oleh sebab itu, kehadiran si Lahar Jalanan se-
gera disambut oleh pengawal gerbang dalam. Biasanya
Jika sang Ratu sedang ada tamu, maka tamu lain di-
persilakan menunggu di ruangan lain. Tapi kali ini ka-
rena Lahar Jalanan mendesak, maka sang pengawal
pun sampaikan desakan itu kepada Ratu Sedap Ma-
lam.
Penyampaian tersebut dilakukan secara bisik-
bisik, karena Lahar Jalanan memang berpesan agar si
pengawal melakukannya demikian.
Kejap kemudian, si pengawal kembali kepada
Lahar Jalanan dan Soka Pura. Kemudian ia memandu
ke dua tamunya itu untuk masuk ke ruang paseban
alias ruang pertemuan yang biasa untuk menerima
tamu atau mengadakan rapat antara sang Ratu den-
gan bawahannya.
"Selamat datang, Paman Lahar Jalanan! Men-
gapa tak memberi kabar lebih dulu jika ingin datang
kemari? sapa Ratu Sedap Malam dengan senyum ra-
mah.
Lahar Jalanan bersikap kalem. Tudung kepa-
lanya dilepas dan digantungkan di punggungnya. Ratu
Sedap Malam lemparkan pandangan kepada pemuda
tampan yang masih asing baginya. Pemuda tersebut
juga pandangi sang Ratu dengan senyum ramah dan
hati menggumam penuh pujian.
"Cantik juga rupanya. Kurasa ia masih berusia
sekitar tiga puluh lima tahun. Tapi kecantikannya be-
lum pudar sedikit pun. Hmmm... mana suaminya?!"
Sambil luncurkan gumam hati yang nakal, So
ka Pura pandangi perempuan bersanggul indah den-
gan wajah cantiknya yang berkulit putih itu. Rupanya
Ratu Sedap Malam bukan saja mempunyai kecantikan
yang menawan, namun juga mempunyai bentuk tubuh
yang sintal dan sekal. Cukup menarik perhatian kaum
pria.
Ratu Sedap Malam kenakan jubah sutera war-
na jingga dengan pakaian dalam pinjung sutera den-
gan bintik-bintik emas. Selain perhiasannya lengkap
walau ini berlebihan, ia juga mengenakan mahkota ke-
cil dari batu-batu berkilauan.
"Nyai Ratu, kedatanganku ini memang tak
sempat kuberitahukan sebelumnya, karena sifatnya
sangat mendadak," ujar Lahar Jalanan. "Ada sesuatu
yang umat penting untuk kita bicarakan, Nyai Ratu.
Tapi sebelumnya... perkenalkan, aku membawa seo-
rang pemuda yang ternyata adalah murid sahabatku
sendiri. Pemuda ini bernama Soka Pura, dia adalah...."
Soka Pura buru-buru menyahut sebelum di-
perkenalkan sebagai Pendekar Kembar.
"Aku hanya seorang pengelana biasa, Nyai Ra-
tu! Kebetulan aku...."
Soka Pura belum selesai bicara sudah disahut
seorang tamu tua yang sejak tadi sudah ada di depan
sang Ratu.
"Tak perlu merendahkan diri dan sembunyikan
nama besarmu, Anak Muda. Soka Pura adalah nama
salah satu dari Pendekar Kembar. Aku tahu persis hal
itu."
Soka Pura terpaksa nyengir tersipu. Sang Ratu
sedikit terperangah dan matanya tak berkedip pandan-
gi Soka Pura. Sementara itu, ada juga sepasang mata
yang tak berkedip pandangi Soka dari arah samping
kanan. Sepasang mata itu milik seorang gadis berusia
sekitar dua puluh dua tahun, namun bertubuh tinggi,
sekal, padat, dan montok. Gadis itu mempunyai mata
yang indah dan bening. Jika memandang, pandangan
matanya menyejukkan hati, menghadirkan bunga-
bunga indah dalam hati lawan jenisnya. Si gadis cantik
berbaju buntung warna merah tua dengan celana ke-
tatnya yang merah tua juga itu tak lain adalah si Mata
Bidadari, murid Nyai Sangkal Putung yang ada di
samping kirinya.
Soka Pura semakin berdebar-debar ketika pan-
dangan matanya beradu dengan tatapan pandang si
Mata Bidadari. Ia sempat rasakan hadirnya keindahan
yang menggelisahkan, namun rasa itu segera dikuasai
dan pandangannya segera dialihkan kepada Ratu Se-
dap Malam. Karena pada saat itu, sang Ratu pun sege-
ra menyapa Soka Pura dengan penyambutannya yang
ramah.
"Selamat datang di pesanggrahan ku, Pendekar
Kembar. Senang sekali menerima kunjungan mu yang
sangat di luar dugaan ini."
"Terima kasih atas sambutan mu, Nyai Ratu.
Tapi perlu diketahui, bahwa kunjungan ku ini hanya
sekadar mendampingi Paman Lahar Jalanan. Jadi ku-
rasa tak perlu ada sambutan yang berlebihan, Nyai Ra-
tu." Nenek berusia tujuh puluh tahun kurang yang
berjubah biru tua kusam itu segera perdengarkan sua-
ranya lagi, khususnya ditujukan kepada Ratu Sedap
Malam.
"Rupanya nasibmu sedang beruntung, Sedap
Malam. Kedua tamumu yang datang kali ini siap dija-
dikan tumbal apa yang kubicarakan tadi."
"Jaga mulutmu, Sangkal Putung!" sergah si La-
har Jalanan. "Apa maksudmu berkata demikian?!"
Nyai Sangkal Putung yang bertubuh kurus,
tinggi, dan bermata cekung itu sunggingkan senyum
sinis. Sambil pegangi tongkat berukir kepala singa
dengan diberi rambut-rambut palsu dari serat rami,
Nyai Sangkal Putung pindah posisi agar lebih dekat
dengan si Lahar Jalanan.
"Apakah kau tahu, ada bahaya sedang mengin-
car Pantai Rangsang?!"
"Tentu saja kau lebih tahu, karena kakakmu
yang menjadi pelakunya!" ketus Lahar Jalanan. Nyai
Sangkal Putung menggeram dengan mata cekungnya
menatap tajam sekali.
"Jangan sebut-sebut lagi mendiang kakakku.
Lahar Jalanan! Bisa kubunuh di sini kau!"
Soka Pura sedikit berkerut dahi mendengar
ucapan Nyai Sangkal Putung.
"Aku bicara apa adanya, Sangkal Putung! Kepa-
la-kepala yang terpenggal dan ditancapkan di sepan-
jang Pantai Rangsang itu adalah pekerjaan kakakmu;
si iblis Tambak Getih!"
"Lahar Jalanan...!!" geram Nyai Sangkal Putung
dengan tangan menggenggam tongkatnya kuat-kuat.
Geram yang bernada ancaman itu tidak membuat La-
har Jalanan merasa gentar sedikit pun. Pak Tua itu ju-
stru tersenyum sinis dan memandang ke arah Ratu
Sedap Malam.
"Mengapa kau tidak segera menugaskan orang-
orang untuk memakamkan mereka yang menjadi kor-
ban terpenggal itu, Nyai?!"
"Korban terpenggal bagaimana maksudmu,
Paman?!" Ratu Sedap Malam kerutkan dahi dan sedikit
tegang.
"Jadi kau belum tahu kalau lima orangmu, ga-
dis-gadis muda itu, kepalanya dipenggal dan dipajang
di sepanjang pantai bagian timur?!"
"Ooh...?! Benarkah itu?" Ratu Sedap Malam
semakin gusar.
"Bahkan ada dua kepala dari pihak lain yang
ikut dipajang di dekat desa ku sana! Justru aku da-
tang kemari bersama Soka Pura untuk memberitahu-
kan padamu tentang hal itu!"
Ternyata bukan hanya Ratu Sedap Malam yang
menjadi tegang, melainkan si Mata Bidadari dan Nyai
Sangkal Putung juga menjadi tegang, sepertinya guru
dan murid itu baru tahu tentang adanya kepala-kepala
yang terpenggal di wilayah timur Pantai Rangsang itu.
Sang Ratu pun segera memanggil utusannya.
"Bintari...!" serunya kepada sang utusan yang
cepat menghadap begitu mendengar panggilannya.
"Periksa daerah timur! Buktikan berita tentang
lima orang kita yang terpenggal kepalanya di sana!"
"Baik, Gusti Ratu!" Bintari pun bergegas pergi
dengan langkah tegap, penuh keberanian dan ketaatan
terhadap ratunya.
"Sedap Malam," ujar Nyai Sangkal Putung.
"Jangan mau terkecoh oleh kabar yang hanya akan bi-
kin suasana di sini menjadi semakin keruh! Apa yang
dikatakan si tua busuk Lahar Jalanan itu hanya
omong kosong belaka!"
"Nyai Sangkal Putung, seingatku Paman Lahar
Jalanan tak pernah dusta dalam ucapannya. Aku per-
caya dengan apa yang dikatakan beliau tadi!"
"Kau akan menyesal mempercayainya, Sedap
Malam! Bahaya yang ku maksud tadi bukan soal pe-
menggalan kepala! Mungkin si tua busuk itu punya ca-
ra sendiri untuk memperkeruh keadaan di Pantai
Rangsang ini!"
"Mengapa kau takut kalau kabar dariku ini
menjadi kenyataan, Sangkal Putung?!" potong si Lahar
Jalanan. "Apakah kau takut kalau kekejaman kakak-
mu: si Iblis Tambak Getih, diketahui oleh Nyai Ratu
ini?! Hmmm...! Sudah bukan rahasia lagi bagiku,
Sangkal Putung! Kakakmu selalu melemparkan mayat
di sekitar orang yang ditantangnya! Kali ini ia ingin
menantangku kembali dengan memajang kepala-
kepala orang tak bersalah itu di sekitar tempat tinggal-
ku! Katakan kepadanya, aku tidak akan mundur seta-
pak pun jika harus bertarung kembali dengannya se-
kalipun usiaku sudah semakin tua begini!"
"Keparat kau, Lahar Jalanan!" geram Nyai
Sangkal Putung, kemudian ia menyodokkan ujung
tongkatnya dari samping kiri ke arah rahang si Lahar
Jalanan. Wuuut...! Taap...! Dengan gerakan tak kenta-
ra, tangan Lahar Jalanan menadah ke rahangnya dan
ujung tongkat pun berhasil ditangkap kuat-kuat.
Nyai Sangkal Putung kerahkan tenaga untuk
menekan tongkatnya, tapi Lahar Jalanan segera mem-
buka genggamannya dan sentakkan tangannya dengan
tenaga dalam, sehingga tubuh Nyai Sangkal Putung
tersentak ke belakang. Wuuut...!
"Guru...!" pekik si Mata Bidadari yang segera
menangkap tubuh gurunya hingga tak jadi terpelanting
jatuh.
"Biar kuhadapi dia, Guru!" tambah si gadis se-
telah sang Guru tegak kembali. Ia segera maju ke de-
pan gurunya, menghadap ke arah Lahar Jalanan.
Soka Pura tersenyum kalem. Ia mencolek pun-
dak si Lahar Jalanan.
"Paman, agaknya sekarang giliranku! Mundur-
lah sedikit, Paman!" ujarnya dengan kalem sekali. La-
har Jalanan pun mundur dan berikan tempat untuk
Soka Pura yang ingin berhadapan dengan si Mata Bi-
dadari.
"Hentikan! Hentikan semua ini!" seru sang Ratu
sambil bergegas bangkit dari tempat duduknya.
"Aku tak ingin tempat ini menjadi arena perta-
rungan!" tambahnya lagi dengan tegas, membuat Soka
Pura menjadi hembuskan napas dan menyisih, semen
tara si Mata Bidadari pun ikut kendorkan ketegangan-
nya.
"Paman Lahar Jalanan...," ujar sang Ratu. "Nyai
Sangkal Putung datang kemari untuk sampaikan ka-
bar penting tentang bahaya yang akan melanda Pantai
Rangsang! Mengapa Paman bersikap bermusuhan ke-
pada Nyai Sangkal Putung?!"
"Kakaknya punya dendam pribadi denganku.
Tapi aku tak suka jika ia menantangku dengan cara
memenggal kepala orang lain sebagai undangan ke
pertarungannya. Terlebih yang menjadi korban ter-
penggal adalah lima orangmu, Nyai Ratu. Aku sangat
tak suka dengan cara seperti itu!"
"Lahar Jalanan!" sentak Nyai Sangkal Putung.
"Ku ingatkan padamu sekali lagi, jangan sangkut
pautkan masalah ini dengan mendiang kakakku: si Ib-
lis Tambak Getih! Dia memang musuh bebuyutan mu.
Tapi itu dulu, semasa ia masih hidup!"
Lahar Jalanan mulai sadar dengan ucapan itu.
"Apa maksudmu? Semasa dia masih hidup?!
Apakah sekarang dia...."
"Jangan berlagak tolol, Lahar Jalanan! Kakak-
ku sudah terkubur satu tahun yang lalu!"
Lahar Jalanan terkejut, dahinya berkerut tajam
sekali. Pandangan matanya segera beralih kepada Soka
Pura. Ternyata pemuda itu berwajah heran. Lahar Ja-
lanan melangkah dekati Soka dan bicara dengan pelan
sekali.
"Menurutmu, apakah aku harus percayai kata-
katanya?"
"Sebaiknya begitu, Paman. Dari tadi sebenarnya
ia tersinggung karena Paman sangkut pautkan nama
mendiang kakaknya itu."
"Paman," ujar Ratu Sedap Malam. "Apa yang
dikatakan Nyai Sangkal Putung itu memang benar. Iblis Tambak Getih sudah tewas sekitar satu tahun yang
lalu. Apakah Paman belum mendengar tewasnya Iblis
Tambak Getih itu?!"
Lahar Jalanan mulai salah tingkah dan sedikit
menggeragap karena merasa bersalah. Nyai Sangkal
Pulung segera berujar kembali kepada Lahar Jalanan.
"Kalau kau tak percaya, kau bisa kubawa ke makam-
nya dan bongkarlah makam itu! Maka kau akan me-
nemukan kerangka kakakku bersama beberapa senja-
ta pusakanya yang ikut dikuburkan juga!"
Soka Pura berbisik dari belakang Lahar Jala-
nan. "Paman, agaknya kita salah duga!" Dengan suara
jelas didengar oleh siapa saja, Lahar Jalanan berkata
dengan nada sesal.
"Barangkali kepikunan ku sudah terlalu berle-
bihan. Tapi jika bukan dia. lalu siapa yang lakukan
pemenggalan kepala sekejam itu?!"
Si Mata Bidadari berbisik kepada gurunya. Tak
jelas apa yang dibisikkan, tapi Soka Pura memperhati-
kan terus dengan penuh waspada. Kejap berikut, Nyai
Sangkal Putung bicara kepada Ratu Sedap Malam.
"Kalau begitu apa yang baru saja kusampaikan pada-
mu sudah terjadi, Sedap Malam! Sebaiknya bersiap-
siaplah!"
*
* *
4
PEMBANTAIAN lima gadis cantik itu membuat
Ratu Sedap Malam merasa terpukul jiwanya. Lima ga-
dis yang tewas dengan kepala dipenggal itu adalah
orang-orang andalannya yang selalu memperkuat ben
teng pertahanan Pantai Rangsang.
Pulangnya Bintari dan kawan-kawan yang
membawa lima potong kepala itu telah membuat Nyai
Sangkal Putung sendiri menjadi tercengang dan nyaris
tak bisa berkata apa pun. Ia sendiri tidak menyangka
sedikit pun bahwa apa yang dikatakan Lahar Jalanan
itu benar-benar terjadi. Sang Nyai pun ikut berduka
atas musibah yang menimpa Ratu Sedap Malam.
"Mengapa Nyai Sangkal Putung justru tampak
bersahabat sekali dengan Ratu Sedap Malam, Paman?"
tanya Soka membisik, ketika mereka memakamkan ke-
lima gadis tersebut. Sebagian ada yang dimakamkan
bersama raganya, sebagian lagi raganya tak ditemu-
kan. Mungkin sudah hanyut terbawa ombak ke tengah
lautan lepas sana.
"Setahuku...," ujar Lahar Jalanan, menjawab
pertanyaan Soka. ".... Iblis Tambak Getih dulu pernah
bentrok dengan Sedap Malam, karena perkara sepele.
Tapi Sedap Malam pernah berguru kepada Sangkal Pu-
tung, terutama dalam mempelajari ilmu pengobatan."
"O, Nyai Sangkal Putung ahli dalam pengobatan?"
"Termasuk ahli, karena ia pernah berguru dengan gu-
runya si Tabib Kubur, tapi hanya sebentar."
Soka Pura menggumam dan manggut-manggut.
"Jika melihat keakrabannya sekarang, aku dapat sim-
pulkan bahwa ketika Iblis Tambak Getih bentrok den-
gan Sedap Malam, yang saat itu masih muda belia,
mungkin segera ditengahi oleh Sangkal Putung dan di-
aku sebagai muridnya, sehingga Iblis Tambak Getih
sungkan untuk lanjutkan persoalannya dengan Sedap
Malam. Barangkali hubungan itu masih berlanjut
hingga sekarang. Aku tak tahu persis kalau Sedap Ma-
lam berhubungan baik dengan Sangkal Putung."
"Lalu, kabar bahaya apa yang dibawa oleh Nyai
Sangkal Putung kepada sang Ratu, Paman? Sebab
agaknya Nyai Sangkal Putung sendiri kaget melihat li-
ma gadis itu terpenggal sekejam itu."
"Benar. Agaknya ia memang tidak tahu menahu
tentang kelima gadis yang terpenggal itu. Tapi... entah-
lah, aku sendiri belum tahu tentang kabar adanya ba-
haya yang dibawa oleh Sangkal Putung itu. Sebaiknya
kutanyakan saja setelah pemakaman nanti selesai."
Pemakaman itu selesai ketika senja makin pu-
dar, sebentar lagi gelap petang akan datang. Ratu Se-
dap Malam yang sedang berduka mengharap para ta-
munya bermalam di pesanggrahannya, setidaknya
akan ada penghibur bagi hati sang Ratu cantik yang
duka itu. Soka Pura merasa tidak keberatan, mengin-
gat jika ia harus menyusul kakaknya ke Bukit Gamp-
ing pun perjalanannya akan memakan waktu sampai
lewat tengah malam. Ia tak akan dapat tempat untuk
tidur senyaman di dalam istana kecilnya Ratu Sedap
Malam.
Pada kesempatan itulah, Lahar Jalanan sempat
bicara dengan Nyai Sangkal Putung yang didengarkan
oleh Soka dan si Mata Bidadari. Percakapan itu mere-
ka lakukan tanpa Ratu Sedap Malam. Mereka ada di
taman belakang pesanggrahan, ketika malam mulai
hembuskan udara dingin dan suara deburan ombak
menjadi irama khas dari Pantai Rangsang.
"Pemenggalan kepala itu hanya suatu awal dari
bencana yang akan melanda wilayah kekuasaan si Wu-
landani," ujar Nyai Sangkal Putung.
"Apa sebenarnya bencana atau bahaya yang
kau maksud itu, Sangkal Putung?!"
"Muridku baru pulang dari Pulau Kucil. Di sana
ia mendengar rencana makar dari si Raja Amuk Jagal.
Ia akan menyerang Pantai Rangsang untuk rebut wi-
layah ini. Karena ia ingin berjaya lagi di tanah Jawa,
seperti pada waktu sebelum kekuasaannya di Lembah
Gerhana direbut oleh Ratu Rias Rindu."
"Amuk Jagal...?!" gumam Lahar Jalanan den-
gan wajah sedikit tegang. Cahaya obor penerang taman
menampakkan pula wajah Soka Pura yang terkejut
mendengar nama Raja Amuk Jagal. Wajah yang terke-
jut itu diperhatikan oleh si Mata Bidadari secara diam-
diam.
Pendekar Kembar pernah dengar tentang nama
Raja Amuk Jagal. Mereka mendapat penjelasan seperti
itu ketika terlibat dalam kasus perebutan pedang pu-
saka yang kini ada di tangan si Dewa Perintang. Penje-
lasan tersebut sama seperti yang dituturkan oleh Nyai
Sangkal Putung, tentang Raja Amuk Jagal yang mela-
rikan diri ke Pulau Kucil karena wilayah kekuasaannya
direbut oleh Ratu Rias Rindu, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Pedang Bulan Madu").
Lahar Jalanan juga mengenal nama itu dan ta-
hu persis tentang Raja Amuk Jagal. Wajahnya meman-
carkan sedikit ketegangan yang ditutupi dengan tari-
kan napas penenang hati itu. Mungkin juga di dalam
hati si Lahar Jalanan tersimpan kecemasan, karena
agaknya Lahar Jalanan tak suka jika Raja Amuk Jagal
berkuasa kembali ke tanah Jawa, terlebih dengan cara
merebut wilayah Pantai Rangsang.
"Apakah kabar ini tidak keliru, Sangkal Pu-
tung? Atau mungkin hanya suatu tipuan belaka?"
"Aku tak pernah mendidik muridku menjadi
seorang pembohong!" tegas Nyai Sangkal Putung. "Ku-
harap kau tidak menilai dengan kepicikan mu, Sela Gi-
ri!
Soka Pura sempat merasa sedikit aneh men-
dengar Nyai Sangkal Putung menyebut Lahar Jalanan
dengan nama Sela Giri. Tapi anak muda yang dari tadi
dilirik si Mata Bidadari itu segera tanggap bahwa Sela
Giri pasti nama asli dari si Lahar Jalanan.
"Jika benar begitu, maka Sedap Malam benar-
benar dalam ancaman maut, sebab kekuatan Sedap
Malam tidak setanding dengan kekuatan si Raja Amuk
Jagal," ujar Lahar Jalanan.
"Itulah sebabnya aku datang kemari, bukan sa-
ja untuk mengabarkan datangnya ancaman maut ter-
sebut, namun juga akan ikut memperkuat pertahanan
si Sedap Malam."
"Tunggu dulu!" sergah Ki Sela Giri. "Mengapa
Raja Amuk Jagal mengincar tempat ini? Bukankah ada
wilayah lain yang lebih luas dari wilayah Pantai Rang-
sang?!"
"Amuk Jagal menilai tempat ini mudah dijang-
kau dari Pulau Kucil. Amuk Jagal juga tahu, kekuatan
Sedap Malam mudah dilumpuhkan. Mungkin bagi
Amuk Jagal, melumpuhkan Wulandani lebih muda da-
ripada melumpuhkan pihak lain. Barangkali saja sete-
lah ia berhasil kuasai Pantai Rangsang, ia akan lebar-
kan sayap dengan menguasai daerah-daerah lain, teru-
tama yang terdekat dari tempat ini."
"Termasuk akan kuasai Bukit Bangkai, tempat
tinggalmu itu?" potong Lahar Jalanan.
"Kurasa begitulah rencana dalam otak si jaha-
nam Amuk Jagal itu!"
Pendekar Kembar bungsu berujar dalam ha-
tinya, "Ooo... gadis ini tinggal bersama gurunya di Bu-
kit Bangkai?! Hmmm... kapan-kapan aku akan bertan-
dang ke sana jika suasana hubungan tetap baik."
Sejak tadi Soka Pura memang hanya diam saja,
tak ikut dalam pembicaraan itu. Demikian pula yang
dilakukan oleh si Mata Bidadari. Dia tidak akan bicara
jika tidak ditanya. Soka Pura dan si Mata Bidadari sa-
ma-sama bersikap sebagai pendengar yang baik, yang
selalu menyimak percakapan dua tokoh tua tersebut.
Menurut dugaanku...," sambung Nyai Sangkal
Putung."... pemenggal kepala yang dipajang di sepan-
jang Pantai Rangsang itu adalah si Amuk Jagal sendiri.
Setidaknya ia mengutus orang kepercayaannya untuk
lakukan tindakan keji seperti itu."
"Lalu menurutmu, dengan maksud apa si
Amuk Jagal memenggali kepala manusia dan mema-
jangnya di sepanjang Pantai Rangsang itu?"
"Aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi secara
mudah saja, terpajangnya kepala-kepala korban di se-
panjang Pantai Rangsang akan membuat Sedap Malam
menjadi panik dan kacau. Dalam keadaan panik dan
kacau, siapa pun akan mudah ditumbangkan, lebih-
lebih si Wulandani yang ilmunya di bawah ilmu silat si
Amuk Jagal. Pasti akan sangat lebih mudah lagi untuk
dihancurkan."
"Berarti Amuk Jagal punya mata-mata di sini,
di dalam pesanggrahan ini!" ujar Ki Sela Girl setelah
diam sesaat bersama renungannya.
"Kurasa memang begitu. Tapi aku tak berani
bicara kepada Sedap Malam, takut disangka memfit-
nah orang-orangnya."
"Kalau begitu, aku saja yang bicara padanya.
Mata-mata itu harus disingkirkan sebelum ia buka
mulut kepada Amuk Jagal tentang keberadaan kita di
pihak Sedap Malam," sambil Lahar Jalanan bangkit
berdiri dari duduknya, hendak bergegas temui sang
Ratu.
"Kurasa bukan sekarang saatnya bicara den-
gannya, Sela Giri! Ia sedang dalam masa berkabung!"
"Tidak ada waktu lagi buat menunda hal sema-
cam ini, Sangkal Putung! Aku akan bicara sekarang
juga!"
"Jika begitu, aku akan membantumu meyakin-
kan dia!" ujar Nyai Sangkal Putung sambil bergegas
mengikuti langkah Lahar Jalanan.
"Apakah aku perlu ikut, Guru?" si Mata Bida-
dari perdengarkan suaranya. Sang Guru hentikan
langkah sebentar dan menatapnya.
"Tetaplah di tempat. Aku akan kembali lagi se-
telah sampaikan pesan-pesan berikut ini!"
Nyai Sangkal Putung pun pergi temui Ratu Se-
dap Malam bersama si Lahar Jalanan. Si Mata Bidada-
ri duduk di batu taman yang berseberangan dengan
tempat duduk Soka Pura. Pandangan matanya tertuju
pada langkah sang Guru, sementara pandangan mata
Soka tertuju ke arah gadis itu. Sikap duduknya yang
tegak dengan kaki sedikit merenggang membuat si Ma-
ta Bidadari kelihatan tegar dan tegas. Postur tubuhnya
yang tinggi, padat berisi, menimbulkan kesan sebagai
gadis pemberani yang tak punya rasa takut kepada
siapa pun. Soka Pura amat terkesan dengan si Mata
Bidadari. Bukan saja terkesan karena kecantikan dan
kesemokan tubuhnya, namun juga terkesan dengan
sikap pendiamnya yang mirip air: diam-diam mengha-
nyutkan.
Gadis berambut sepanjang punggung keriting
lembut yang diikat dengan ikat kepala warna kuning
itu tiba-tiba arahkan pandangan mata indahnya kepa-
da Soka Pura. Deerr...! Jantung Soka Pura bergetar se-
ketika itu juga. Hampir saja ia salah tingkah jika tidak
segera kuasai diri dengan nekat tetap memandang ma-
ta pemikat itu.
"Mengapa pandangi ku terus?" tegur si Mata
Bidadari dengan nada sedikit ketus. Soka Pura terse-
nyum, lebih tepat dikatakan: cengar-cengir.
Agaknya sekalipun Nyai Sangkal Putung den-
gan Lahar Jalanan sudah kurangi sikap permusuhan-
nya, namun Mata Bidadari masih bersikap ketus ke-
pada Soka Pura. Anggapannya, Soka Pura adalah
orangnya Lahar Jalanan yang siap bersaing dengan
nya.
Gadis itu memang kelihatan angkuh di depan
Soka Pura. Tapi pemuda itu tak kaget dengan sikap
angkuhnya. Ia sudah sering temukan gadis bersikap
angkuh, namun pada akhirnya tak kuasa lepas dari
pelukannya.
"Terus terang saja, mengapa sejak tadi kau
mencuri pandang padaku?!" tegur si Mata Bidadari lagi
dengan nada ketus belum berkurang.
"Apakah bukan sebaliknya; kau yang mencuri
pandang padaku sejak tadi?"
"Hmmm... terus terang saja, aku mencuri pan-
dang padamu lantaran aku tak suka melihat sikapmu
yang berlagak jadi pembela di depan Ki Selo Giri, si
Lahar Jalanan itu," sambil si gadis alihkan pandangan
ke arah lain.
Soka lebarkan senyum. "Begitu pun aku, jika
aku sering mencuri pandang kepadamu, terus te-
rang...."
Karena ucapan Soka terhenti dengan kesan ra-
gu, maka si Mata Bidadari mendesak dengan perta-
nyaan ketusnya.
"Terus terang apa?!"
"Terus terang... wajahmu memang terang te-
rus!" jawab Soka Pura bernada konyol. Ia nyengir sen-
diri, sedangkan si gadis mendengus kecil sambil buang
muka. Beer...! Untung mukanya tak benar-benar ter-
buang. Muka itu sekalipun ketus dan angkuh, namun
masih memancarkan kecantikan yang memikat. Daya
pikat tertinggi terletak pada sepasang matanya yang
tak terlalu lebar, namun juga tak begitu kecil. Bening
dan memancarkan keteduhan aneh yang jarang dimili-
ki oleh gadis lain.
"Sejak kapan kau pulang dari Pulau Kucil?" So-
ka Pura memecah kebisuan dl antara mereka.
"Kau tidak perlu tahu!" jawab si Mata Bidadari.
"Tapi aku perlu tahu tentang orang yang ber-
nama Raja Amuk Jagal itu. Aku belum pernah bertemu
dengannya."
"Hmmm...!" Mata Bidadari mencibir. "Kalau kau
bertemu dengannya kau akan lari terbirit-birit! Dia
orang yang paling kejam yang pernah kutemui, terlebih
setelah ia kuasai ilmu baru yang diperdalam selama di
Pulau Kucil!"
"O, jadi karena Raja Amuk Jagal merasa sudah
dapatkan ilmu baru, dan merasa kekuatannya lebih
besar dari sebelumnya, maka ia mulai lancarkan kega-
nasannya ke tanah Jawa ini?!"
"Yah, kurasa memang begitu jalan pikirannya!"
"Kau pernah menjadi pengikutnya?"
"Jangan bicara seenak mulutmu!" hardik si Ma-
ta Bidadari.
"Kau banyak mengetahui tentang dia, termasuk
rencana yang ingin merebut Pantai Rangsang. Jika kau
bukan bekas orangnya, tak mungkin kau mengetahui
rencana rahasia tersebut!"
Gadis itu tampak ngotot. "Aku ke Pulau Kucil
karena mengejar musuhku! Ternyata ia adalah orang-
nya Raja Amuk Jagal. Aku sempat tertangkap di sana,
Tolol!"
"Oh, kau tertangkap?! Kasihan!" gumam Soka
Pura sambil geleng-geleng kepala bernada menyindir.
"Lalu kau dibebaskan setelah memenuhi syarat yang
diminta Raja Amuk Jagal?!"
"Sekali lagi kau bicara seenaknya di depanku,
ku rontokkan semua gigimu!" ancam si Mata Bidadari
dengan berang. Soka justru senang dan tertawa tanpa
suara, senyumnya kian melebar.
"Aku berhasil meloloskan diri karena bantuan
teman yang dijadikan budak paksa! Bukan merengek
rengek dan memenuhi syarat apa pun yang diminta di
manusia terkutuk itu!"
"Oooo...," Soka Pura sengaja menggumam agak
keras dan manggut-manggut. Tapi senyumnya masih
berkesan senyum mengejek dan membuat si Mata Bi-
dadari simpan kedongkolan dalam hatinya.
"Bahkan aku tahu, Amuk Jagal mengirim orang
pilihannya untuk mempersiapkan segala sesuatunya
sebelum penyerangan itu tiba! Ku tahu hal itu dari te-
manku yang dijadikan budak paksaan itu!"
Wajah tampan Pendekar Kembar bungsu itu
segera berubah menjadi serius, walau tak sampai ber-
kerut dahi dan menjadi tegang.
"Apakah kau tahu siapa orang utusannya itu?!"
"Mandrakala, yang dikenal dengan julukan si Dewa
Pancung!"
Kali ini Soka baru berkerut dahi. "Dewa Pan-
cung?!"
"Ya. Apakah kau kenal? Agaknya kau memang
sahabatnya!"
"Jangan bicara seenak mulutmu!" Soka berla-
gak menghardik. "Sekali lagi kau bicara seenak mu-
lutmu di depanku... kulumat habis bibirmu!"
"Hmm, dasar otak kotor!" kecam si Mata Bida-
dari sambil mendengus sinis. Soka nyengir sebentar,
lalu bicara dengan serius.
"Apakah kau sudah bicara dengan Nyai Sangkal
Putung tentang si Dewa Pancung itu?"
"Belum. Kurasa itu tak perlu. Yang perlu dike-
tahui oleh Guru hanya rencana Raja Amuk Jagal ingin
merebut kekuasaan Ratu Sedap Malam di Pantai
Rangsang ini!"
"Bodoh!" gumam Soka pelan, tapi kedengaran
pula oleh Mata Bidadari. Gadis itu menjadi gusar.
"Siapa yang bodoh?! Kaukah yang bodoh?!"
"Kau...!" Jawab Soka Pura masih kalem tapi se-
rius Mata Bidadari bangkit lag! ingin melabrak Soka
karena tersinggung dikatakan bodoh. Tapi sebelum
Mata Bidadari bergerak, Soka Pura sudah lebih dulu
berkata dengan suaranya yang tegas.
"Mestinya kau ceritakan pula tentang Dewa
Pancung yang menjadi utusan Raja Amuk Jagal itu!"
"Apa perlunya? Diceritakan atau tidak, Nyai Ra-
tu tetap akan diserang oleh Raja Amuk Jagal!"
"Tapi setidaknya Nyai Sangkal Putung bisa
mengambil kesimpulan bahwa pemenggalan kepala ini
pasti dilakukan oleh si Dewa Pancung itu!"
"Hmmm!" Mata Bidadari mencibir sinis. "Sok
tahu! Belum tentu Dewa Pancung yang melakukan-
nya!" "Nama julukannya saja 'Dewa Pancung'. Berarti
kerjanya memancung orang alias memenggal kepala
orang!"
Mata Bidadari diam, ia duduk lagi dengan sikap
tegak, mirip gadis jagoan tak takut mati. Agaknya ka-
ta-kata Soka Pura itu direnungkan baik-baik. Hati pun
berkecamuk walau bibir terkatup rapat.
"Kupikir... benar juga apa kata si tampan ko-
nyol itu! Dewa Pancung... jelas kerjanya memancung
orang. Hmmm... kurasa tugas Dewa Pancung adalah
membuat suasana Pantai Rangsang ini menjadi tegang
lebih dulu. Dengan dipancungnya beberapa pengawal
Ratu Sedap Malam, dan dengan dipajangnya kepala
mereka, diharapkan dapat membuat sang Ratu menja-
di panik atau gugup. Dalam keadaan sang Ratu gugup,
Raja Amuk Jagal akan datang menyerang dan mem-
buat suasana semakin bertambah kacau! Hmmm... bi-
ar konyol, agaknya pemuda itu punya otak yang lu-
mayan cerdasnya."
Soka Pura berani mendekat karena ia punya
alasan untuk bicara pelan kepada Mata Bidadari. Si
gadis hanya memandang dengan dahi berkerut, tak Je-
las maksud pendekatan Soka itu. Ia tampak sedikit cu-
riga dan bersiap lakukan gebrakan jika Soka ingin ber-
tingkah macam-macam padanya.
"Apakah kau tahu di mana si Dewa Pancung
bersembunyi?"
"Kau sangka aku begundalnya?!" ketus Mata
Bidadari. Sikap itu masih diterima Soka dengan sabar.
Pendekar Kembar bungsu justru sunggingkan senyum
kecil.
"Kalau begitu, aku akan mencari Dewa Pancung
malam ini juga! Katakan kepada gurumu atau Paman
Lahar Jalanan atau kepada Nyai Ratu, aku pergi men-
cari Dewa Pancung!"
Soka Pura bergegas tinggalkan taman, tapi Ma-
ta Bidadari cepat mencegat langkah pemuda itu.
"Malam-malam begini kau ingin pergi menca-
rinya?!"
"Jika tertunda, maka akan muncul kepala-
kepala korban lainnya yang dipancung oleh utusan Ra-
ja Amuk Jagal itu!"
"Memang benar. Tapi tindakanmu ini tindakan
yang tolol!" kecam Mata Bidadari. "Kau tidak akan me-
nemukan dia dalam keadaan gelap begini! Kau hanya
akan...."
"Jadi apa maumu?!" potong Soka Pura.
Mata Bidadari sempat salah tingkah sesaat ke-
tika ditatap Soka yang sunggingkan senyum tipis. Se-
nyuman itu bagaikan menembus relung hati Mata Bi-
dadari dengan kelembutan yang mendesis menggeli-
sahkan.
"Kita bicarakan dulu kepada Guru dan yang
lainnya itu! Jangan bertindak bodoh, karena hal itu
akan merugikan dirimu sendiri!" ujar Mata Bidadari
menutupi kegelisahannya.
"Kalau aku nekat pergi malam ini juga, apa tin-
dakanmu?!"
Mata Bidadari agak jengkel, karena Soka diang-
gap pemuda yang suka ngotot dan tak mau terima sa-
ran orang. Padahal sikap ngotot itu sengaja dilakukan
Soka sebagai pancingan untuk mengetahui sejauh
mana perasaan Mata Bidadari terhadap dirinya. Ter-
nyata gadis itu seperti merasa tak ingin diri Soka cela-
ka dengan melakukan tindakan sembrononya.
"Terserah kalau kau mau nekat pergi! Kalau
kau celaka, kau sendiri yang merasakannya! Tapi ka-
lau kau bukan pemuda gila, kau akan turuti saran ku
untuk tidak mencari Dewa Pancung malam ini juga!"
Soka Pura ingin tertawa, namun hanya bisa di-
lakukan dalam hati. Soka takut membuat Mata Bida-
dari merasa semakin malu dan akhirnya akan berang
jika ucapannya itu ditertawakan. Namun Soka senang
sekali menggoda perasaan gadis itu dengan permainan
kata-katanya.
"Aku tak betah tinggal di sini. Bagiku di sini
terlalu sepi. Yang kudengar hanya suara ombak dan
desiran angin pantai saja."
"Dasar tuli!" gerutu Mata Bidadari dengan ber-
sungut-sungut. "Apakah kau tak mendengar suaraku
ini?!"
"Suaramu akan hilang sebentar lagi, ketika ma-
lam semakin larut dan rasa kantukmu mulai tiba!"
"Kalau kau menantangku untuk melek sema-
laman, akan kulayani tantanganmu. Kau pikir aku ga-
dis yang tak kuat menahan kantuk?!"
"Untuk apa melek semalaman jika tidak disertai
percakapan yang enak didengar dan indah dirasakan
dalam hati."
"Apa maumu sebenarnya, hah?!" hardik Mata
Bidadari dengan jengkel. "Kau memancingku untuk
ngobrol semalam suntuk? Kau merasa suka ngobrol
denganku?! Kau menyimpan maksud di balik obrolan
itu?! Jawab terus terang! Jawab!" sambil si gadis ma-
kin mendekat.
Soka Pura geragapan dicecar pertanyaan bertu-
bi-tubi. Setiap ia ingin bicara, baru membuka mulut
sudah diburu oleh pertanyaan berikutnya. Akhirnya
Soka pun hembuskan napas dan tak mau menjawab
pertanyaan itu sepatah kata pun. Soka justru berbalik
ke tempat duduknya semula, dan duduk di situ den-
gan senyum geli menghiasi bibirnya.
Setelah mereka saling membisu sekitar lima he-
laan napas, Mata Bidadari melangkah dekati Soka Pu-
ra. Gadis itu memandang dengan pancaran mata yang
sepertinya menghadirkan sejuta ketenangan di batin
Soka.
"Aku mulai sadar, malam ini kau butuh teman
bicara!"
"Mungkin benar juga kesadaranmu itu."
"Baik. Aku akan menjadi lawan bicaramu! Apa
yang ingin kau bicarakan. Hmmm...?" sambil Mata Bi-
dadari duduk di samping Soka Pura.
Tantangan itu justru membuat Soka menjadi
salah tingkah. Soka hanya berkata dalam hatinya.
"Ternyata ia lebih berani terus terang daripada
aku. Sialan!"
*
* *
5
MATAHARI memancarkan cahaya fajar ke per-
mukaan air laut. Cahaya merah lembayung itu memantul dan membuat permukaan air laut bagai seperti
segara api. Sayangnya keindahan alam seperti itu tak
bisa dinikmati oleh orang-orang pesanggrahan Pantai
Rangsang, karena di ujung pagi itu, peristiwa menye-
dihkan terulang kembali.
Tujuh orang pengawal Ratu Sedap Malam dite-
mukan sudah tak bernyawa di sepanjang pantai sebe-
lah timur. Kepala mereka ditancapkan pada batang-
batang bambu yang berdiri tegak di permukaan pasir
pantai. Dua orang petugas pantai yang akan menggan-
tikan tugas temannya menemukan ketujuh kepala itu,
termasuk kepala teman yang mau digantikan tugas-
nya. Dua orang tersebut berlari temui Bintari yang ber-
tugas menampung kabar apa pun selama sang Ratu
sedang tidur atau sibuk lakukan sesuatu.
Kabar itu cepat menyebar dan jerit tangis ke-
dukaan terdengar oleh para tamu sang Ratu. Bintari
yang semula tak ingin bangunkan sang Ratu, akhirnya
ikut bingung sendiri setelah sang Ratu ternyata ter-
bangun karena suara tangis para sahabat korban. Pe-
sanggrahan itu pun menjadi gempar, kepanikan dan
ketegangan menyelimuti alam pagi di Pantai Rangsang.
"Pemenggalan itu terjadi lagi, Paman," ujar Soka Pura
kepada si Lahar Jalanan yang baru bangun dari tidur-
nya. Lahar Jalanan menggeram penuh murka yang ter-
tahan.
"Keparat! Rupanya dugaan Sangkal Putung
memang benar. Amuk Jagal ingin membuat panik dan
menggegerkan Pantai Rangsang sebelum penyeran-
gannya tiba!"
"Pelakunya bukan Amuk Jagal sendiri, Paman."
"Lalu siapa menurutmu?"
"Utusan Raja Amuk Jagal yang mungkin me-
mang ditugaskan untuk lebih dulu membuat geger
Panti Rangsang ini dengan pemenggalan tersebut.
Orang itu adalah si Dewa Pancung!"
"Dari mana kau tahu?!"
"Semalam aku bicara dengan si Mata Bidadari.
Ada beberapa hal yang tak diceritakan kepada gurunya
karena dianggap tak terlalu penting. Hal yang tak dibi-
carakan itu antara lain tentang si Dewa Pancung yang
diutus Raja Amuk Jagal untuk mempersiapkan segala
sesuatunya sebelum penyerangan tiba. Persiapan ter-
sebut, menurut pendapatku, adalah mengacaukan su-
asana di sini dengan tindakan pemenggalan kepala
tersebut, Paman!"
"Kalau begitu, kita cari sekarang Juga si Dewa
Pancung itu!"
Saat berkata demikian, Lahar Jalanan segera
berpaling ke samping kanannya, ternyata Nyai Sangkal
Putung dan si Mata Bidadari sudah tiba di dekatnya.
Nyai Sangkal Putung mendengar nama Dewa Pancung
disebutkan, sehingga ia ajukan tanya kepada Lahar
Jalanan. Soka Pura yang menjelaskan tentang Dewa
Pancung kepada Nyai Sangkal Putung.
"Benarkah apa yang dikatakannya, Mata Bida-
dari?!"
"Benar, Guru...!" Mata Bidadari pun kembali je-
laskan perihal si Dewa Pancung, seperti yang dikata-
kannya kepada Soka semalaman.
Nyai Sangkal Putung berujar kepada Lahar Ja-
lanan.
"Bukan kau yang harus mencari Dewa Pan-
cung, Sela Giri! Kurasa cukup Soka Pura dan muridku;
si Mata Bidadari ini!"
"Lalu apa yang harus kita lakukan jika tidak
mencari Dewa Pancung?!"
Nyai Sangkal Putung menjawab, "Seperti kepu-
tusan yang kita bicarakan dengan Wulandani tadi ma-
lam, kita cari mata-mata yang bersembunyi di antara
orang-orang pesanggrahan ini! Sementara itu, Dewa
Pancung biar ditangani muridku, dibantu oleh Soka
Pura."
"Hmmm...," Lahar Jalanan menggumam pen-
dek. Setelah diam dua kejap, ia segera berkata kepada
Soka Pura.
"Bantu si Mata Bidadari untuk mencari Dewa
Pancung. Seret dia kemari dalam keadaan hidup atau
mati!" "Dengan senang hati akan kukerjakan, Paman!"
Pendekar Kembar bungsu segera pergi bersama Mata
Bidadari. Pada saat itu, sikap si Mata Bidadari sudah
tak seketus tadi malam. Obrolan panjang lebar tadi
malam telah membuat Mata Bidadari mulai mengenal
pribadi Soka Pura, dan keakraban mereka pun kian
bertambah. Namun sikap tegas si Mata Bidadari tetap
terjaga, karena ia tak ingin disepelekan oleh pemuda
mana pun.
Secara diam-diam, Soka ingin mencoba keting-
gian ilmu si Mata Bidadari melalui kecepatan gerak-
nya. Pendekar Kembar bungsu menggunakan jurus
'Jalur Badai' yang mampu berlari cepat secepat hem-
busan badai yang paling cepat. Ia ingin tahu, apakah si
Mata Bidadari mampu imbangi kecepatan gerak terse-
but.
WUUUZ, WUUUZ, WUUUZ...!
Ternyata si gadis tertinggal sejauh sepuluh
tombak di belakang Soka Pura. Gadis itu sudah kerah-
kan tenaganya untuk menyusul Soka, namun tetap tak
berhasil. Akhirnya si Mata Bidadari berseru dengan
dongkol.
"Hei, kau mau mencari seseorang atau mau adu
cepat denganku?!"
Soka Pura pun kurangi kecepatannya sambil
cengar-cengir dan membatin dalam hatinya,
"Ternyata hanya segitu dia. Tapi sudah cukup
cepat untuk sebuah gerakan lari. Untuk ukuran ma-
nusia biasa, ia dapat disangka menghilang jika berpin-
dah tempat dengan pergunakan kecepatan gerak se-
perti itu"
Kini gerakan mereka sejajar. Mata Bidadari
menggerutu dengan wajah kesal. Soka hanya tertawa-
tawa kecil. Sampai di sebuah bukit yang sebenarnya
hanya gugusan tanah meninggi itu, Soka Pura sengaja
hentikan langkah tanpa ada penyebab apa pun. Mata
Bidadari juga ikut hentikan langkahnya. Nafasnya ter-
pacu cepat, namun ia bisa menguasai pernapasan
dengan baik hingga dalam waktu singkat dapat tenang
kembali.
"Mengapa berhenti di sini?" tanya si Mata Bida-
dari.
"Kita seperti berlari tanpa tujuan. Siapa tahu
orang yang kita cari ada di sebelah timur, bukan ke
arah barat ini?!"
"Yang jelas dia ada di sekitar Pantai Rangsang.
Kita jelajahi saja seluruh wilayah Pantai Rangsang.
Pasti akan menemukan dia!"
"Apakah kau pernah melihat wajah si Dewa
Pancung?!"
"Pernah! Sebelum aku lolos, aku sempat diberi
tahu oleh sahabatku yang dijadikan budak di Pulau
Kucil itu tentang si Dewa Pancung. Tapi Dewa Pancung
tak melihatku, karena aku masih berada di atas loteng,
di tempat persembunyian ku. Malamnya baru aku lo-
loskan diri. Siang sebelumnya, kudengar Raja Amuk
Jagal perintahkan si Dewa Pancung untuk berangkat
ke Pantai Rangsang secepatnya. Berarti setelah dia be-
rangkat ke Pantai Rangsang pada siang hari, aku pun
lolos pada malam harinya."
"Hmmm...," Soka Pura manggut-manggut.
"Pada waktu itu, kulihat ia mengenakan pa
kaian serba merah, bertubuh kekar, berambut panjang
dikuncir ke belakang. Ia masih semuda kita. Tapi kata
temanku, ilmu pedangnya cukup tinggi."
Soka menggumam pelan, mencatat penjelasan
itu dalam benaknya.
"Lalu, bagaimana dengan musuh yang kau keji
itu?!"
"Aku sudah berhasil membunuhnya sebelum
akhirnya aku tertangkap oleh orang-orangnya Raja
Amuk Jagal!" sambil si Mata Bidadari sedikit men-
gangkat pedang yang ada di pinggangnya. Soka men-
gerti maksudnya, bahwa Mata Bidadari berhasil bunuh
lawannya dengan pedang itu. Soka Pura kembali
manggut-manggut, kemudian segera lemparkan pan-
dangan mata ke sekeliling tempat itu.
"Kita cari lagi dia di sepanjang hutan barat ini!"
"Baik. Tapi jangan jauh-jauh dari pantai. Siapa tahu
kita bisa memergoki dia sedang memajang kepala kor-
bannya lagi di sekitar pantai!"
Sebelum mereka bergerak, tiba-tiba mereka
mendengar suara pekikan seorang wanita yang seper-
tinya menderita pukulan berat. Suara itu membuat
Mata Bidadari dan Pendekar Kembar bungsu terperan-
jat dan saling pandang.
"Suara itu dari pantai!" ucap Mata Bidadari,
tanpa tunggu tanggapan Soka, Mata Bidadari melesat
ke arah pantai lebih dulu. Soka Pura pun segera me-
nyusulnya. Wuuuzz...!
Mereka tiba di pantai bersamaan. Pandangan
mata mereka segera tertuju ke arah seorang gadis yang
sedang diserang oleh seorang pemuda berpakaian ser-
ba merah. Soka Pura mengenali gadis yang berpakaian
putih dengan jubah kuning kunyit itu. Mata Bidadari
pun tentunya kenali gadis tersebut yang tak lain ada-
lah Bintari, pengawal Ratu Sedap Malam.
Melihat Bintari terpental dan baru saja bangkit
sudah diserang lagi oleh pemuda berpakaian serba me-
rah terang itu, maka Soka Pura pun segera berkelebat
menerjang pemuda tersebut. Wuuut, bruuuss...!
Pemuda berpakaian merah terpental karena
terjangan kaki Soka. Tendangan kaki Soka yang me-
layang bagaikan terbang itu tepat kenai kepala pemu-
da tersebut. Tendangan bertenaga dalam itu membuat
pemuda berpakaian merah terlempar sejauh delapan
langkah dan jatuh terbanting di perairan pantai. Je-
buuur...!
"Cabut pedangmu dan penggal kepalaku kalau
memang kau jago penggal, Dewa Pancung!" seru Soka
Pura dengan berang. "Rupanya kaulah orangnya yang
selama ini tega lakukan kekejaman terhadap diri para
gadis di Pantai Rangsang!"
Pemuda berusia sedikit lebih muda dari Soka
itu segera bangkit berdiri, namun ia segera sempoyon-
gan karena kepalanya terasa sangat sakit dan pandan-
gan matanya masih gelap akibat terjangan Soka tadi.
Soka Pura segera mencabut pedang kristalnya yang
ada di pinggang kanan dengan tangan kirinya, karena
ia memang bertangan kidal. Tapi sebelum pedang pu-
saka yang bernama Pedang Tangan Malaikat itu dica-
but, si Mata Bidadari berkelebat menghadang di depan
Soka Pura.
Wuuut, jleeg...!
"Hentikan, Tolol!" bentak Mata Bidadari. Soka
Pura terkesip melihat sikap Mata Bidadari yang terang-
terangan membela pemuda berpakaian merah itu. Se-
dangkan Bintari yang ada di belakang Soka saat itu
sedang merintih sambil sesekali terbatuk-batuk. Da-
rahnya keluar dari mulut dan hidung. Rupanya ia ter-
kena pukulan berbahaya dan melukai bagian dalam-
nya.
"Apa maksudmu memihak si Dewa Pancung itu,
Mata Bidadari?!" hardik Pendekar Kembar bungsu.
"Dia bukan Dewa Pancung!" bentak si Mata Bi-
dadari. Soka Pura berkerut dahi dan mulai slap-slap
kendurkan ketegangannya. Murid cantik Nyai Sangkal
Putung itu berseru lagi dengan nada marahnya.
"Dasar bodoh! Dia adalah adikku yang bernama
Prapanca!"
"Adikmu...?!" Soka Pura jadi bingung dan salah
tingkah. Ketegangannya berubah menjadi rasa malu
yang tidak karuan.
Mata Bidadari segera membantu pemuda tam-
pan berambut ikal sepanjang bahu itu. Soka perhati-
kan ketampanan pemuda itu, ternyata memang punya
kemiripan dengan si Mata Bidadari. Hidungnya man-
cung, matanya indah, tanpa kumis dan jenggot sedikit
pun. Usianya sekitar dua puluh satu tahun. Memang
tampak lebih muda dari si Mata Bidadari.
Soka Pura alihkan rasa malu dan tak enak hati
dengan memperhatikan Bintari. Gadis itu berwajah
pucat. Agaknya luka dalamnya cukup parah. Soka Pu-
ra membawanya ke tempat teduh.
"Benarkah pemuda itu bernama Prapanca?!" bi-
sik Soka Pura.
"Iy... iya...! Dia memm... memang si bangsat
Prapanca...!"
"Ada persoalan apa kau sampai bentrok den-
gannya?!"
"Uuhk...!" Bintari tersentak dengan mulut tern-
ganga dan darahnya keluar kembali dari mulut itu.
Soka Pura terpaksa lakukan pengobatan terha-
dap luka dalam yang diderita Bintari. Jurus 'Sambung
Nyawa' yang membuat tubuh Bintari memancarkan bi-
as cahaya ungu seperti fosfor itu membuat si Mata Bi-
dadari tertegun kagum, sedangkan Bintari sendiri
tampak tegang dan kebingungan melihat tubuhnya
seolah-olah menjadi ungu seperti kristal.
"Maaf, aku tak menyangka sama sekali kalau
dia adikmu. Sebaiknya kulakukan pengobatan juga
kepada adikmu itu!" ujar Soka Pura membuat si Mata
Bidadari hanya mendengus kesal, tapi ia biarkan Pra-
panca di sembuhkan oleh Soka Pura. Tubuh pemuda
itu segera pancarkan cahaya ungu setelah Soka Pura
tempelkan telapak tangannya ke lengan Prapanca sete-
lah telapak tangan itu keluarkan bias cahaya ungu.
Pengobatan yang baru kali ini dilihat oleh si
Mata Bidadari itu ternyata mampu sembuhkan kedua
orang tersebut dalam waktu singkat. Baik pihak Binta-
ri maupun Prapanca segera merasa segar, tak ada rasa
sakit sedikit pun pada tubuh mereka.
"Prapanca, mengapa kau lakukan hal ini terha-
dap diri Bintari?!" tanya si Mata Bidadari dengan suara
jelas, Soka dan Bintari pun mendengarnya. Tapi Pra-
panca justru memandang ke arah Bintari yang berwa-
jah oval cantik dalam usia sekitar dua puluh empat
tahun itu.
"Haruskah kukatakan kepada kakakku, Binta-
ri?!"
"Persetan dengan dirimu, Prapanca! Cuih...!"
Bintari meludah dengan mata menyipit benci, setelah
itu ia berkelebat lari tinggalkan mereka ke arah pe-
sanggrahan.
"Hei, berhenti! Kau menghina adikku, Bintari!"
si Mata Bidadari tersinggung mendengar ucapan dan
sikap Bintari terhadap adiknya. Ia ingin mengejar, na-
mun tangannya segera dicekal oleh Prapanca.
"Tak perlu dikejar, Kak! ini urusan antara pri-
badiku dengan pribadinya. Kau tak perlu ikut cam-
pur!"
"Urusan pribadi bagaimana?! Kau dihina sebegitu rendahnya, aku tersinggung sekali, Prapanca!"
"Kalem saja, Kak. Kalem...!" bujuk Prapanca
yang tampak cukup akrab dengan kakak perempuan-
nya itu.
"Tolong jelaskan supaya aku dan kakakmu ti-
dak penasaran!" ujar Soka Pura.
Prapanca diam, memandang Soka dengan pan-
dangan merasa asing. Kemudian ia menarik kakaknya
agar sedikit lebih jauh dari Soka Pura. Prapanca bicara
pelan dalam bisikan. Rupanya penjelasan itu tak ingin
didengar oleh Soka Pura, sehingga Soka pun akhirnya
menjauh dengan hati dongkol.
Sesaat kemudian, kasak-kusuk mereka pun se-
lesai. Soka Pura hanya pandangi mereka dari kejau-
han. Mata Bidadari dekati Soka Pura setelah adiknya
berkelebat pergi tinggalkan tempat itu ke arah berla-
wanan dengan kepergian Bintari.
"Maaf, adikku tak bisa bicara di depanmu ten-
tang urusannya dengan Bintari."
"Tak apa. Aku memaklumi," ujar Soka bernada
datar. Mata Bidadari jadi tak enak, akhirnya jelaskan
dengan suara pelan.
"Prapanca dipaksa untuk layani gairah Bintari.
Rupanya sudah lama mereka saling jumpa dan Bintari
naksir sekali kepada Prapanca. Tapi adikku sudah
punya kekasih sendiri dan tak mau layani Bintari. Ak-
hirnya, tadi mereka bertemu dan Bintari ingin paksa
adikku dengan kekerasan agar mau layani gairahnya.
Adik ku melawan, dan... terjadilah seperti apa yang ki-
ta lihat tadi!"
"Hmmm!" Soka hanya menggumam dan mang-
gut-manggut kecil, ia melangkah pelan didampingi si
Mata Bidadari.
"Dia malu untuk pamit padamu. Aku disuruh
mewakilinya."
"Ke mana dia pergi?"
"Ke rumah paman. Dia murid paman ku, dan
sekaligus menjadi anak kesayangan paman ku, karena
paman dan bibiku tidak punya keturunan. Tadi dia ba-
ru saja pulang dari rumah kekasihnya yang tak jauh
dari wilayah Pantai Rangsang itu. Aku kenal dengan
kekasihnya yang bernama Merak Jelita. Aku per-
nah...."
"Merak Jelita?!" Soka terkejut. "Aku pernah
mendengar nama Merak Jelita. Apakah dia murid dari
Nyai Rempah Arum?!"
"Benar sekali! Kau mengenalnya?"
"Aku pernah membebaskan si Merak Jelita ke-
tika ia ingin menjadi korbannya Darah Kula," ujar So-
ka sambil mengenang peristiwa di Bukit Maut, (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode: "Rahasia De-
dengkot Iblis").
"Aku dan Guru juga kenal baik dengan pihak
Nyai Rempah Arum," ujar Mata Bidadari sambil tetap
melangkah pelan di samping Soka Pura. Mereka lan-
jutkan perjalanan dengan menyisir pantai arah barat.
"Tunggu sebentar," cegah Soka seraya hentikan
langkah, sepertinya ada sesuatu yang baru saja di in-
gatnya dan harus dibicarakan dengan si Mata Bidada-
ri.
"Adikmu dari rumah kekasihnya, menuju ke
rumah pamanmu dengan melewati Pantai Rang-
sang...."
"Dia potong kompas biar dekat! Ada apa? Kau
kelihatannya menaruh curiga pada adikku?!"
"Bukan adikmu yang membuatku agak curiga,
tapi keberadaan Bintari di sini! Mengapa dia ada di si-
ni? Bukankah seharusnya dia berada di pesanggrahan,
menghibur sang Ratu yang sedang berkabung itu?"
"Mungkin dia hanya ingin menemui Prapanca."
"Apakah dia tahu kalau Prapanca akan lewat
sini?!"
Mata Bidadari diam sejenak, kemudian menja-
wab pelan, "Mestinya dia tidak tahu kalau Prapanca
akan lewat sini."
"Jangan-jangan adikmu dan Bintari memang
punya kencan untuk saling bertemu di sini? Lalu, ka-
rena suatu masalah pribadi, maka mereka akhirnya
bentrok seperti tadi."
Mata Bidadari tertegun beberapa saat. Hatinya
sempat dongkol jika sampai Prapanca sengaja bikin
janji bertemu Bintari di tempat itu.
"Mungkinkah adikku berkata bohong padaku?"
gumam si Mata Bidadari seperti bicara pada diri sendi-
ri. "Setahuku, Prapanca tak pernah berani berbohong
kepadaku. Selama ini...."
Kata-kata itu terputus tiba-tiba. Mata Bidadari
melihat sekelebat sinar merah berekor yang meluncur
cepat ingin menghantam punggung Soka. Sinar merah
itu datang dari kedalaman hutan pantai.
Mata Bidadari tak sempat memberi tahu Soka
Pura. Pemuda itu segera disingkirkan dengan sapuan
tangannya. Wuus...! Bruuk...! Soka Pura yang bertu-
buh kekar bagaikan dibanting tenaga raksasa. Ru-
panya saat menyingkirkan Soka, tenaga gadis itu ke-
luar secara refleks, karena kejap berikutnya telapak
tangan kanannya disentakkan ke arah depan. Dari te-
lapak tangan itu melesat sinar hijau lurus tanpa pu-
tus. Claap...!
Sinar hijau lurus itu menghantam sinar merah
berekor panjang yang sebenarnya ditujukan pada
punggung Pendekar Kembar bungsu.
Blaaam, blegaaarrr...!
Dentuman dahsyat terjadi dan mengguncang-
kan alam sekitar tempat itu. Mata Bidadari terpental
ke belakang karena hentakan gelombang ledak tadi.
Soka Pura semakin rapatkan tubuh ke tanah begitu
menyadari ada bahaya datang. Namun kejap berikut-
nya ia gulingkan badan ke kiri dan tubuhnya menyen-
tak bangkit seketika itu juga. Wut, jleeg...!
Mata Pendekar Kembar bungsu pun meman-
dang liar ke arah datangnya sinar merah tadi. Sekele-
bat bayangan terlihat melesat tinggalkan tempat per-
sembunyian. Soka Pura pun berseru sambil mengejar
bayangan yang melarikan diri itu.
"Berhenti...!!"
Wuuuz...! Soka Pura pergunakan jurus Jalur
Badai-nya untuk mengejar bayangan yang melarikan
diri itu Si Mata Bidadari mengerang kecil, lalu segera
bangkit dengan tarikan napas panjang. Melihat Soka
Pura mengejar seseorang, Mata Bidadari pun bergegas
menyusulnya. Wees...!
*
* *
6
ORANG yang dikejar Soka dan Mata Bidadari
itu mempunyai kecepatan gerak yang hampir sama
dengan jurus 'Jalur Badai'-nya Pendekar Kembar. Na-
mun kecepatan jurus 'Jalur Badai' masih unggul, se-
hingga orang tersebut dalam waktu singkat sudah be-
rada dalam jangkauan pandang Soka Pura.
Mata Bidadari tertinggal di belakang Soka, da-
lam jarak sekitar sepuluh tombak. Ia berusaha kerah-
kan tenaga untuk bisa susul Soka Pura. Pengejaran itu
di lakukan tanpa suara apa pun, walau sebenarnya ia
tahu arah pelarian tersebut sudah melewati batas utara wilayah Pantai Rangsang.
Tiba-tiba orang tersebut seperti membuang se-
suatu ke belakang sambil tetap berlari. Wes, wes,
wes...
Sesuatu yang dibuangnya itu jatuh ke tanah
dan meletup dengan suara kecil. Bluub...! Wuuus...!
Asap kebiru-biruan mengepul dari sesuatu yang mele-
tup itu. Tiga letupan menghasilkan asap tebal yang
membuat pandangan mata menjadi kabur.
Tapi Soka Pura maupun Mata Bidadari tetap
lakukan pengejaran dengan menembus asap yang kian
menebal itu. Hanya saja, beberapa saat setelah mereka
keluar dari gumpalan asap kebiruan itu napas Soka
Pura menjadi sesak. Makin lama makin terasa
menyakitkan dada. Otot pun terasa mengendur, gera-
kan tak bisa lincah dan cepat lagi. Kepala Soka terasa
pening dengan mata pedas dan sulit memandang den-
gan bebas.
"Uhuk, uhuk, uhuk...!" Soka Pura terbatuk-
batuk, ia hentikan langkahnya. Keadaan tubuhnya te-
rasa semakin lemah. Jalan pernapasan bagai tersum-
bat oleh sesuatu.
"Celaka! Dia melemparkan asap beracun!" ge-
ram hati Soka Pura sambil berusaha untuk menarik
napas. Namun darah terasa menggumpal dan me-
nyumbat pernafasannya. Ia ingin memberi tahu Mata
Bidadari agar jangan lewati asap kebiruan itu. Tapi ga-
dis tersebut sudah terlanjur menerabas gumpalan
asap karena takut tertinggal jauh oleh Soka. Ia lebih
takut lagi kalau sampai kehilangan jejak Soka dan
orang yang dikejarnya.
Akibatnya, Mata Bidadari pun mengalami nasib
seperti Soka Pura. Suara batuk si gadis terdengar sa-
mar-samar dari tempat Soka yang akhirnya jatuh ber-
sandar pada sebatang pohon itu.
Bahkan Soka masih sempat melihat secara sa-
mar-samar pada saat Mata Bidadari jatuh tersungkur
di depannya. Gadis itu keluarkan suara erangan dan
tarikan nafasnya terdengar melebihi orang punya pe-
nyakit bengek atau asma. Tapi Soka Pura tak bisa la-
kukan apa-apa, karena seluruh tulangnya bagai dilolos
dan urat-uratnya terasa putus semua.
"Soo.... Sookaa...! Soookaa...!" panggil si Mata
Bidadari dengan suara makin lama makin melemah.
Soka Pura tak bisa menjawab walau telinganya masih
bisa mendengar suara itu. Kerongkongan Pendekar
Kembar bungsu bagaikan kering kerontang dan tak bi-
sa keluarkan suara apa pun.
Angin berhembus ke arah pantai. Asap tadi se-
gera buyar terbawa angin. Maka tampak jelas dua so-
sok anak manusia tergeletak di atas rerumputan hutan
tepi pantai itu dengan wajah pucat membiru melebihi
mayat.
Entah berapa lama mereka sama-sama tak sa-
darkan diri. Ketika mereka sadar, mereka sudah bera-
da di sebuah gua tebing karang, tepat pinggir laut. Se-
bagian air laut ada yang masuk ke gua tersebut. Bau
air laut pun tercium kuat di dalam gua karang itu.
Soka Pura siuman lebih dulu, selang beberapa
saat kemudian baru si Mata Bidadari siuman juga. Me-
reka sama-sama bingung pandangi gua yang cukup le-
bar dan mempunyai lorong ke dalam. Tapi lorong ter-
sebut dalam keadaan gelap, tak terjangkau bias sinar
matahari dari mulut gua. Dinding gua yang jelas-jelas
terbuat dari karang putih membuat mereka tak mau
mendekatinya karena dinding karang itu mempunyai
ketajaman yang bisa mengoyakkan tubuh mereka.
"Siapa yang membawa kita kemari, Soka?!" "Entahlah.
Yang jelas, orang yang membawa kita kemari adalah
orang yang telah selamatkan nyawa kita dari asap be
racun tadi!" jawab Soka Pura sambil masih memeriksa
keadaan dalam gua tersebut.
"Hai, ada orang di sini?!" seru Soka Pura. Tak
ada jawaban apa pun kecuali suaranya sendiri yang
menggema. Ternyata gua itu memang kosong, tak ada
penghuninya. Bahkan tak ada tanda-tanda bahwa gua
itu pernah dipakai oleh si penolong.
"Kurasa orang yang selamatkan kita dari asap
beracun itu tidak tinggal di gua ini. Mungkin tinggal di
tempat lain. Tapi dia tahu ada gua di sini. Maka ia pun
membawa kita kemari," tutur Soka Pura sambil berada
di tepian mulut gua.
Lantai mulut gua berpasir putih dan basah oleh
riak ombak yang sesekali menyapu sampai kedalaman
gua. Barangkali jika air laut dalam keadaan pasang,
gua tersebut akan terendam sepenuhnya.
Soka dan Mata Bidadari memeriksa keadaan
sekitar mulut gua. Ternyata tak ada jalan yang bisa di-
lalui untuk menuju ke daratan. Gua itu selain berha-
dapan langsung dengan permukaan air laut, juga ber-
tebing karang tinggi. Mereka seperti berada di bawah
tebing karang yang sukar dijangkau oleh orang berilmu
rendah.
"Jangan-jangan yang menolong kita adalah
orang gila!" ujar si Mata Bidadari dengan sedikit dong-
kol. "Ia dapat selamatkan kita dari asap beracun itu. Ia
dapat membuat tubuh kita segar kembali. Tapi ia tem-
patkan kita dl tempat separah ini! Kita sama saja diku-
rung olehnya, Soka!"
"Tenang dulu. Jangan buru-buru marah.
Mungkin orang itu punya sisi baik tersendiri dari niat-
nya menaruh kita di dalam gua ini," ujar Soka Pura
mencoba menenangkan hati si mata Bidadari yang gu-
sar itu.
Rupanya mereka pingsan cukup lama. Terbukti
saat mereka sadar sudah berada di gua karang itu,
matahari sudah tenggelam di cakrawala seperempat
bagian. Cahayanya sudah mulai redup, tidak seterang
saat mereka mengejar orang berpakaian merah tadi.
"Orang itu berpakaian merah," ujar Soka. "Ku-
rasa dialah si Dewa Pancung!"
"Agaknya memang begitu. Aku juga sempat me-
lihat rambutnya yang diikat ke belakang seperti pe-
rempuan. Tapi aku tak sempat lihat wajahnya. Sean-
dainya aku sempat melihat wajahnya, pasti aku dapat
lebih yakin lagi bahwa dia adalah si Dewa Pancung."
Soka Pura dekati si Mata Bidadari yang duduk
di atas batu karang tumpul sebesar dua kali kepala
kerbau. Batu itu bisa dipakai duduk bertiga dengan
ketinggian sebatas paha orang dewasa. Soka Pura ma-
sih tak mau duduk di samping gadis itu. Ia hanya ber-
diri dan bicara dengan memandang si gadis.
"Ada sesuatu yang terasa janggal bagiku sehu-
bungan dengan orang yang kita kejar tadi. Tahukah
kau di mana letak kejanggalan yang ku maksud tad!?!"
Mata Bidadari diam sebentar, menatap Soka, lalu alih-
kan pandang ke arah mulut gua.
"Mungkin maksudmu senjata orang yang kita
kejar itu terasa aneh bagimu. Senjata itu seperti tong-
kat yang ujungnya seperti paruh seekor burung ban-
gau. Hmmm...! Kurasa kau baru melihat senjata seper-
ti itu," si gadis tersenyum kecil berkesan meremehkan
Soka.
Ia menatap Soka dan berkata lagi, "Itu yang
namanya senjata pemancung! Alias Senjata El Maut,
karena hanya Malaikat El Maut yang memiliki senjata
pemenggal kepala seperti itu!"
Soka Pura tersenyum kalem. "Bukan itu ke-
janggalan yang ku maksud."
Si gadis berkerut dahi.
"Jika kita yakin orang tadi adalah Dewa Pan-
cung, maka berarti ia muncul tak jauh dari tempat
pemunculan adikmu: Prapanca. Mengapa ia harus
muncul di situ? Mengapa Prapanca ambil jalan pintas
melewati tempat di mana kita diserang oleh Dewa Pan-
cung tadi? itulah kejanggalan yang ku maksud, Mata
Bidadari."
"O, jadi kau mencurigai adikku?! Kau sangka
adik ku ada bersekongkol dengan si Dewa Pancung?!"
Mata Bidadari mulai gusar, agaknya ia tersinggung
dengan kata-kata Pendekar Kembar bungsu itu.
"Dengar, Soka...!" tegas Mata Bidadari. "Pra-
panca tidak pernah pergi ke Pulau Kucil. Dia tidak
pernah jumpa dengan Dewa Pancung, dan dia bukan
pemuda berjiwa pengkhianat! Dia tidak mau berse-
kongkol dengan orang-orang aliran hitam seperti Raja
Amuk Jagal atau Dewa Pancung itu!"
"Maaf, itu hanya kejanggalan yang ku rasakan,"
ujar Soka Pura dengan kikuk. "Bisa saja dugaanku itu
salah. Mungkin aku terlalu mudah menghubung-
hubungkan kemunculan mereka yang bisa saja bersi-
fat kebetulan."
Sekalipun Soka Pura sudah menetralisir ang-
gapannya, namun Mata Bidadari masih merasa ter-
singgung. Gadis cantik bertubuh tinggi sekal itu tam-
pakkan wajah cemberutnya. Soka Pura makin tak enak
hati.
"Aku dan adikku bukan dari keluarga sesat!
Ayah kami bekas seorang senopati di Kerajaan Purwa-
nagari!" Mata Bidadari terpaksa beberkan masa la-
lunya. Ia bicara seperti orang melamun, tak mau me-
natapi Soka Pura. Dari pancaran matanya tampak se-
genggam kesedihan ditahannya dalam hati.
"Ibu kami sendiri seorang prajurit di kerajaan
tersebut. Kami dilahirkan dari darah orang-orang kesa
tria, bukan keturunan orang-orang sesat! Sayang da-
lam suatu pertempuran besar, Ayah kami tewas. ibu
menuntut balas, maju ke peperangan. Ternyata ibu
pun tewas. Kami menjadi yatim piatu. Hanya mempu-
nyai seorang paman dan seorang bibi. Mereka juga
orang-orang aliran putih. Bukan orang-orang jahat se-
perti dugaanmu!"
"Mata Bidadari, sekali lagi aku minta maaf. Aku
tidak mengatakan kau dan Prapanca keturunan orang
jahat!" ujar Soka dengan lembut. Ia ikut duduk di
samping Mata Bidadari yang semakin tampak kedu-
kaannya.
"Dulu aku memang sering bertengkar dengan
Prapanca. Akhirnya ku pilih untuk berguru kepada
Nyai Sangkal Putung, sahabat bibiku yang beraliran
putih. Walau guruku punya kakak beraliran hitam, ta-
pi beliau tidak ikut aliran Iblis Tambak Getih, men-
diang kakaknya itu. Guru juga mendidik ku agar men-
jadi gadis berjiwa satria. Bahkan berbohong kepada
Guru pun aku tak berani. Demikian pula Prapanca
yang dibesarkan oleh paman dan bibi tidak berani ber-
kata bohong kepada kami. Jika sekarang kau mencuri-
gai adikku, sungguh itu merupakan tamparan yang
menyakitkan bagi hatiku, Soka! Kuanggap itu suatu
penghinaan besar jika kau menganggap Prapanca ber-
sekongkol dengan Dewa Pancung!"
"Sekali lagi aku minta maaf, Mata Bidadari,"
ucap Soka pelan dan hati-hati sekali. "Lupakan kata-
kataku tadi. Kejanggalan itu wajar saja timbul dalam
hatiku dan menumbuhkan seribu macam dugaan. Ba-
rangkali suatu saat kau pun akan mengalami seperti
apa yang ku rasakan saat ini, Mata Bidadari."
Soka Pura sengaja pindah ke depan gadis itu
agar dapat beradu pandang. Dengan sedikit mem-
bungkuk, Soka Pura menatap mata indah si gadis yang
juga memandangnya setelah Soka Pura berkata,
"Tak bisakah kau memaafkan diriku, Bidadari
Cantik?"
Bibir ranum yang sensual dan menggemaskan
sekali itu terkatup rapat. Namun pandangan si Mata
Bidadari tertuju lekat-lekat ke wajah Soka Pura.
"Jangan sedih, Bidadariku. Cerialah kembali.
Aku sudah meminta maaf padamu, haruskah aku me-
nebusnya dengan hukuman? Hukumlah jika memang
itu layak kuterima dan dapat membuat hatimu ceria
kembali."
"Jangan sekali lagi menghina keluargaku. Aku
mudah tersinggung jika seseorang menghina keluarga
ku."
"Baik. Akan kuingat hal itu! Sekarang kau ma-
sih marah padaku?" tutur Soka lebih lembut lagi. Si
gadis gelengkan kepala, namun tetap menatap Soka.
"Kau ingin menghukumku?"
Sekali lagi gadis itu gelengkan kepala.
"Tersenyumlah jika kau sudah tak marah pa-
daku. Tersenyumlah, Bidadariku...."
"Bibirku kaku," ucap Mata Bidadari dalam nada
berbisik. Soka Pura justru tersenyum geli sendiri.
"Bibirmu kaku? Oh, apakah aku perlu mele-
maskannya?"
"Dengan apa kau ingin melemaskan bibirku?"
"Hmmm, hhhhmmm... barangkali... barangkali
dengan sebuah kecupan?"
"Apakah kau mampu?" ujar si gadis semakin li-
rih. Soka Pura berdebar-debar, merasa tawarannya
disambut dengan tantangan.
Ketika mata mereka saling beradu pandang da-
lam kebisuan, Soka Pura pun akhirnya dekatkan wa-
jahnya ke wajah cantik si Mata Bidadari. Gadis itu mu-
lai pejamkan matanya, bibirnya sedikit merekah, sea
kan menunggu sambutan dari lawan jenisnya.
Maka, tanpa bisa menahan diri lagi, Soka Pura
pun menempelkan bibirnya ke bibir si Mata Bidadari.
Bibir ranum itu dikecup oleh Soka dengan pelan-pelan
sekali. Kecupan lembut itu membuat hati si gadis ba-
gaikan ditaburi bunga-bunga indah. Maka si gadis pun
tak kuasa untuk diam saja. Kecupan itu dibalas den-
gan lumatan lembut, sampai akhirnya mereka saling
melumat dan berpelukan dengan hangat dan mesra.
Ketika mereka merasa puas sesaat dengan ke-
cupan yang membakar darah kemesraan itu, mereka
pun saling pandang lagi. Kali ini Mata Bidadari bangkit
berdiri. Tingginya sama dengan Soka Pura. Kedua tan-
gan gadis itu masih melingkar di leher Soka, bahkan
sempat memainkan anak rambut yang meriap di dada
Soka Pura.
"Indah sekali sambutan bibirmu," ucap Soka
dalam bisikan. Si Mata Bidadari menjadi tersipu malu.
Kemudian ia lepaskan kedua tangannya dan berpaling
muka ke arah lain. Ketika ia ingin melangkah, Soka
menahan pundaknya. Bahkan pemuda tampan itu me-
raih ujung dagunya dan menghadapkan wajah cantik
itu agar beradu pandang kembali.
"Jangan bilang-bilang gurumu kalau kita per-
nah berciuman seperti tadi."
"Mengapa tak boleh bilang?"
"Aku takut gurumu akan marah, karena aku
hanya menciummu saja."
Mata Bidadari akhirnya tersenyum geli men-
dengar kelakar Pendekar Kembar bungsu itu. Senyu-
man itu menambah kecantikan di wajah si Mata Bida-
dari, sampai-sampai Soka Pura terkesima pandangi
kecantikan dalam senyuman itu. Mata Bidadari men-
jadi malu, dan buru-buru menjauh sambil alihkan
pandang.
"Bidadari, apakah kau sudah punya kekasih?"
tanya Soka Pura sambil memburu.
"Sebentar lagi gua ini akan gelap! Kita harus
cepat tinggalkan gua ini, Soka!" si Mata Bidadari alih-
kan pembicaraan, karena ia tak sanggup hadapi Soka
Pura, jantungnya yang berdetak makin lama makin
kencang itu dapat putus seketika jika terlalu lama ber-
tatapan dengan pemuda tampan tersebut.
Soka Pura tak mau memburu pertanyaan tadi.
Ia sadar, sesuatu yang membuat si gadis tersipu dapat
menjengkelkan hati gadis itu. Jika sudah demikian
maka kemesraan pun akan hilang dan berganti dengan
kesan muak yang menjengkelkan hati si gadis. Soka
harus melayani alih bicara itu agar si gadis tetap me-
nyimpan kesan indah dalam hatinya.
"Kita harus memanjat tebing karang ini jika in-
gin kembali ke pesanggrahan. Tak ada jalan lain kecu-
ali dengan cara memanjat tebing setinggi itu, Bidadari!"
"Apakah kau tak sanggup melakukannya?!"
"Bukan diriku yang ku cemaskan, tapi dirimu.
Kalau kau merasa sanggup memanjat tebing karang di
atas gua ini, apa salahnya jika kita cepat-cepat kemba-
li ke pesanggrahan sekarang juga?!"
Mereka bergegas di depan mulut gua. Kaki me-
reka sesekali basah oleh riak ombak yang menepi. Ma-
ta mereka memandangi tebing karang yang tinggi,
sampai-sampai hijaunya daun-daun pohon di atas sa-
na hanya tampak samar-samar.
Cahaya yang memudar juga menjadi pertim-
bangan mereka. Salah-salah mereka tak bisa melihat
dengan jelas keadaan batuan karang yang dipijak saat
memanjat, akibatnya dapat membuat mereka jatuh
tergelincir dari ketinggian yang membahayakan nyawa.
"Bagaimana jika kita bermalam di gua ini? Esok
setelah matahari bersinar terang, kita lakukan penda
kian itu," usul Soka Pura. Si gadis masih belum mem-
berikan jawaban apa-apa. Namun langkah kakinya se-
gera menuju ke dalam gua lagi. Soka Pura mengiku-
tinya.
"Kau keberatan dengan usulku, Bidadari?"
Gadis itu berpaling memandang Soka.
"Selama bersamamu, aku tak akan merasa ke-
beratan tinggal di dalam liang kubur sekalipun!"
Soka Pura tertawa pelan. "Kau mulai merayuku
lagi, Bidadari!"
Si gadis tertawa kecil, nyaris tak terdengar.
Kemudian ia duduk di batu yang tadi. Soka Pura du-
duk di sampingnya dengan tangan merangkul dari
samping kanan.
"Aku lelah sekali. Semalam kita ngobrol sampai
menjelang fajar. Aku kurang tidur, Soka."
"Kalau begitu, tidurlah di pangkuan ku!" ujar
Soka Pura, kemudian ia duduk di lantai gua, bersan-
dar batu tempat duduk itu. Mata Bidadari juga duduk
di lantai gua berpasir putih. Lalu ia merebah, kepa-
lanya berada di pangkuan Soka Pura. Tangan Soka
mengusap-usap kening si gadis dengan lembut sambil
menyingkapkan anak rambut yang meriap di kening,
terhimpit ikat kepala kuning.
"Rasa-rasanya tidur ku akan nyenyak jika begi-
ni." ujar si gadis sambil pejamkan mata.
"Mengapa kau yakin begitu?" "Aku tak pernah
rasakan kedamaian hati seperti saat ini."
"Benarkah kau merasa damai?"
"Entahlah," si gadis buka mata lagi, pandangi
Soka. "Yang jelas, kedamaian ini lain dengan keinda-
han yang pernah ku rasakan bersama...."
"Bersama siapa?" desak Soka ketika Mata Bida-
dari hentikan ucapan nya. Gadis itu tak mau menja-
wab, hanya pejamkan mata kembali seperti mau tidur.
"Bersama kekasihmu, begitu?" pancing Soka.
"Kami sudah putus hubungan enam bulan yang
lalu."
"O, ya...?! Mengapa sampai putus?" "Ternyata
dia seorang pengkhianat! Ku pergoki saat ia bercinta
dengan sahabatku sendiri. Lalu aku..., Mata Bidadari
berhenti lagi, seperti ragu melanjutkannya.
"Lalu, bagaimana?" desak Soka. "Ah, sudahlah!
Jangan bicara soal itu. Luka di hatiku dapat terbakar
dendam lagi!"
Si gadis membuka matanya, menatap lembut
dan berkata lirih, sedikit parau.
"Aku tak ingin membicarakan hal itu. Aku ingin
menikmati kedamaian yang ku rasakan bersamamu
ini, Soka!"
Soka Pura sunggingkan senyum indah yang
amat menawan. Tangannya mengusap-usap pipi si ga-
dis. Mata si gadis terpejam kembali, bagai sedang me-
resapi trap sentuhan tangan Soka yang makin lama
makin nakal, makin turun ke leher, sampai ke dada,
lalu menelusup di sana. Si gadis diam terpejam, benar-
benar resapi betul tiap kenakalan tangan Soka yang
menghadirkan debar-debar keindahan itu.
Sesekali si Mata Bidadari mendesis atau meng-
gigit bibirnya ketika tangan Soka berada di puncak ke-
nakalannya. Kadang juga keluarkan suara mendesah
dengan mata kian memejam kuat, pertanda menahan
sesuatu yang telah meledak dan tak berani dilontarkan
melalui suara keras-keras. Ia masih malu untuk mele-
paskan kelegaan hasratnya ketika tangan Soka menja-
lar sampai ke bawah. Gadis itu hanya bisa menggigit
tangan Soka yang satunya, sebagai tanda bahwa ia te-
lah merasakan puncak keindahan dan kedamaian dari
kenakalan tangan pemuda itu.
Tanpa sadar mereka tertidur dalam gelap. Tak
ada cahaya rembulan yang muncul menyinari bumi.
Seandainya malam itu rembulan menyinarkan ca-
hayanya, maka suasana di dalam gua tidak akan men-
jadi gelap pekat seperti saat itu. Setidaknya permu-
kaan air laut akan memantulkan sinar rembulan hing-
ga bias cahaya itu masuk ke dalam gua.
Kelegaan yang dirasakan si Mata Bidadari
membuat sekujur tubuhnya menjadi letih, akhirnya ia
tertidur dalam pangkuan Pendekar Kembar bungsu.
Soka Pura pun lelah sendiri dengan kenakalannya, ia
pun ikut tertidur dalam keadaan duduk bersandar ba-
tu sambil memangku kepala Mata Bidadari. Kira-kira
pertengahan malam, mereka terbangun secara serem-
pak. Suara gemeritik seperti kayu terbakar itulah yang
membuat mereka terbangun dan segera menggeragap.
Mereka terkejut, karena gua itu menjadi terang. Ada
nyala api dl tumpukan batu karang kecil-kecil yang
tersusun rapi tumpukan batu bara itu. Mereka sama-
sama berpendapat, pasti ada orang yang menyalakan
tumpukan batu itu dengan satu kekuatan ilmu pem-
bakar, sehingga batu-batu itu menjadi pengganti kayu
api unggun.
"Terang sekali?!" gumam Soka Pura. "Api dari
mana itu, Bidadari?!"
"Entahlah. Pasti ada orang selain kita. Dan,
ooh... di dekat lorong sana pun ada tumpukan batu
mengobarkan api terang, Soka?!" si Mata Bidadari me-
nuding arah menuju lorong kedalaman gua tersebut.
"Tetaplah di sini, aku akan memeriksa lorong
itu!". "Aku ikut!" sergah si Mata Bidadari setelah mera-
pikan pakaiannya yang tadi sempat morat-marit dalam
kegelapan akibat kenakalan tangan Soka.
Namun sebelum mereka berdua bergegas me-
nuju ke lorong, tiba-tiba dari dalam lorong muncul se-
sosok tubuh kurus berambut putih acak-acakan.
"Hahhh...?!" si Mata Bidadari terpekik, Soka
Pura hanya terperanjat dengan tarikan napas menyen-
tak. Si rambut putih yang panjangnya sepunggung
tanpa ikat kepala itu melangkah mendekati mereka.
Ketika berada tak jauh dari nyala api unggun, lang-
kahnya berhenti. Nyala api memperjelas raut wajahnya
yang keriput, bermata cekung, menyeramkan sekali. Ia
mengenakan jubah dan celana merah kusam. Kuku-
kuku tangannya panjang dan hitam. Ia seperti seorang
kakek berusia sekitar delapan puluh tahun yang ber-
tubuh jangkung dan berkesan angker.
Sreet...! Si Mata Bidadari segera mencabut pe-
dangnya yang saat mau tidur tadi sempat dilepas dari
selipan pinggangnya. Namun tangan Soka Pura segera
menahan tangan si Mata Bidadari agar tak mengguna-
kan pedangnya untuk menyerang sosok angker terse-
but.
"Masukkan kembali pedangmu!" perintah Soka
Pura.
"Tapi dia...."
"Aku mengenalnya! Aku tahu siapa dia! Biar
kuhadapi dia dengan baik-baik. Siapa tahu tak perlu
harus lakukan pertarungan dengannya."
Akhirnya si gadis turuti kata-kata Soka. Pende-
kar Kembar bungsu maju dua langkah, berada di de-
pan si Mata Bidadari, bersikap menjadi pelindung bagi
si gadis. Dengan suara tegas, Soka Pura menyapa si
wajah angker yang sudah dikenainya itu.
"Rupanya kau sekarang tinggal di sini, Dedeng-
kot Iblis?!"
Mata Bidadari menggumam dalam hati, "De-
dengkot Iblis?! Oh, siapa itu si Dedengkot Iblis?! Baru
sekarang aku mendengar nama seangker itu!"
Tentu saja si Mata Bidadari merasa asing den-
gan tokoh angker tersebut selama ini tak berani ting
galkan tanah Kubangan Berdarah yang ada di kaki
Gunung Mercapada itu. Dedengkot Iblis adalah penja-
ga Bambu Gading Mandul atas perintah Raja iblis.
Sejak ia dikalahkan oleh Soka Pura, dan Pen-
dekar Kembar berhasil memotong Bambu Gading
Mandul untuk membunuh si Darah Kula, Dedengkot
Iblis sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai penjaga
bambu keramat itu. Sebab bambu tersebut telah ter-
bakar habis tak akan tumbuh lagi sejak dipotong
ujungnya oleh Soka Pura, (Baca serial Pendekar Kem-
bar dalam episode: "Rahasia Dedengkot Iblis").
Pada waktu itu, Dedengkot Iblis segera larikan
diri dari pertarungannya melawan Soka Pura, karena
Soka mengaku keturunan dari Prabawinih. Sedangkan
perempuan yang bernama Nyai Prabawinih itu adalah
mantan istri tercinta dari si Dedengkot Iblis yang me-
ninggalkan lari darinya karena Dedengkot iblis menjadi
pengikut aliran sesat si Raja iblis. Namun rasa cinta
Dedengkot Iblis kepada Nyai Prabawinih masih melekat
dalam hati tuanya, sehingga ia tak berani mengganggu
keturunan Nyai Prabawinih.
Sekalipun Dedengkot iblis pernah dikalahkan
oleh pemuda tampan itu, namun ternyata ia tidak me-
nyimpan dendam. Wajahnya memang angker, tapi si-
kapnya terhadap Soka Pura bukan lagi sikap seorang
musuh yang perlu ditakuti.
"Mendekatlah kemari, Anakku...." Soka Pura
terperanjat dalam hati mendengar ucapan si Dedeng-
kot Iblis yang bersuara serak itu. Melihat pancaran
mata cekungnya yang tajam namun tidak punya kesan
permusuhan itu, Soka Pura pun akhirnya mendekati
nyala api yang menerangi gua tersebut. Si Mata Bida-
dari pun diajak ikut mendekat dengan tangan Soka
memegangi tangan gadis itu dari belakang.
"Senang sekali aku melihat kalian bisa tertidur
nyenyak. Kusangka kekuatanku tadi tak bisa untuk
kalahkan racun yang bersarang dalam tubuh kalian.
Ternyata hasilnya lumayan juga!"
"Jadi kaulah orangnya yang membawa kami ke
dalam gua ini, Dedengkot Iblis?!"
"Yah, memang aku! Kutemukan pemuda tam-
pan keturunan Prabawinih dalam keadaan sekarat.
Kulihat gadis cantik ada di sampingmu. Aku yakin dia
pasti kekasihmu yang ikut terancam bahaya racun.
Maka ku bawa kalian kemari dan ku coba salurkan
kekuatan inti gaib suci ku, ternyata berhasil sela-
matkan jiwa kalian!"
Soka dan gadis cantik itu saling beradu pan-
dang. Ketegangan si Mata Bidadari mulai berkurang
setelah ia mendengar penjelasan dari Dedengkot Iblis.
"Hmm, hmmm... terima kasih atas pertolon-
ganmu, Dedengkot Iblis!"
"Terima kasih mu tak kuperlukan. Yang kuper-
lukan adalah sesuatu yang ingin kuketahui. Siapa
orang yang telah melukaimu, Nak?!"
"Hmm, ehh...," Soka ragu-ragu menjawabnya.
Ia memandang Mata Bidadari dengan maksud mem-
pertimbangan. Si gadis berbisik pelan sekali.
"Katakan saja apa adanya!"
"Hmmm, kalau boleh ku tahu lebih dulu, apa
maksudmu ingin tahu orang yang menyerangku den-
gan asap beracun itu, Dedengkot Iblis?!"
Si wajah angker itu duduk di atas batu karang
depan kobaran api unggunnya. Pantatnya tak merasa
sakit, bahkan ia seperti duduk dl permukaan yang da-
tar. Padahal batu karang itu mempunyai permukaan
runcing-runcing seperti sekelompok paku. Dalam kea-
daan duduk begitu, nyala api semakin menerangi wa-
jah angkernya, membuat wajah itu semakin seperti wa-
jah mayat yang sudah terkubur selama beberapa bu
lan, Menyeramkan sekali.
"Kau dan saudara kembar mu itu adalah ketu-
runan dari Prabawinih. Siapa pun yang mengusik ke-
damaian keturunan Prabawinih harus berhadapan
denganku! Aku tak rela keturunan Prabawinih digang-
gu oleh siapa pun!"
Suara serak itu menggema, membuat bulu ku-
duk Soka sempat merinding.
"Karena itulah, aku ingin tahu, siapa orang
yang telah berani mencelakaimu dengan racunnya itu,
Kembar?!"
"Hmmm... hmmm... aku tak tahu dengan pasti,
Dedengkot Iblis! Aku hanya menduga, orang itu adalah
Dewa Pancung, yang telah memenggal kepala para
pengawal Ratu Sedap Malam dan...."
"Dan kepala-kepala itu dipamerkan di sepan-
jang pantai ini?" sahut Dedengkot Iblis.
"Benar! Kami berdua sedang mencari Dewa
Pancung. Tapi tiba-tiba seseorang menyerangku, dan
berhasil dipatahkan oleh si Mata Bidadari ini! Lalu
kami mengejarnya dan ia membuang sesuatu, ternyata
asap beracun!"
"Apakah kau ada di pihak si Ratu yang kau se-
but itu?"
"Ya, kami ada di pihak Ratu Sedap Malam, pen-
guasa Pantai Rangsang ini!"
"Hmmm...! Kalau begitu, serahkan persoalan ini
padaku! Akan kucari si Dewa Pancung, dan akan ku
pajang serpihan kepalanya di sepanjang pantai ini!"
"Hmmm... kurasa itu tak perlu, Dedengkot Iblis!
Aku bisa mengatasinya sendiri!"
"Tidak bisa! Dia telah mengganggumu, maka
dia harus hancur di tanganku!"
Duuuurrr...! Sentakan kaki Dedengkot Iblis ke
lantai gua membuat dinding dan atap gua bergetar.
Karang-karang kecil berjatuhan. Dinding gua seakan
ingin retak akibat getaran tersebut. Soka buru-buru
memeluk si Mata Bidadari sambil sama-sama runduk-
kan kepala.
*
* *
7
ORANG yang melemparkan benda berasap ra-
cun itu memang si Dewa Pancung. Ia melarikan diri
lantaran pukulan mautnya yang bersinar merah itu bi-
sa dihancurkan oleh lawan. Karena pukulan bersinar
merah itu adalah jurus 'Pukulan Keramat' yang selama
ini tak pernah meleset, selalu dapat lumpuhkan lawan.
Jurus 'Pukulan Keramat' memang benar-benar
punya kekuatan keramat. Jika 'Pukulan Keramat' itu
gagal lumpuhkan lawan, maka sebagai akibatnya akan
datang musibah kepadanya. Baik dari lawannya sendi-
ri maupun dari keadaan sekitarnya.
Ternyata jurus pemberian almarhum kakeknya
itu dapat dihancurkan oleh kekuatan pukulan si Mata
Bidadari. Kegagalan itu membuat Dewa Pancung me-
rasa akan ditimpa bencana jika tidak segera melarikan
diri. Mudahnya, orang yang bisa patahkan jurus
'Pukulan Keramat' berarti ilmunya lebih tinggi dari
Dewa Pancung sendiri. Karenanya, Dewa Pancung ha-
rus hindari orang tersebut karena ia akan kalah jika
lakukan pertarungan dengan orang itu.
Ia tidak tahu bahwa gelombang ledakan dari ju-
rus 'Pukulan Keramat'-nya itu melukai bagian dalam
dada si Mata Bidadari. Luka itu akan memborok dan
cepat atau lambat si Mata Bidadari akan tewas akibat
luka tersebut.
Hanya saja, ketika itu si Mata Bidadari masih
punya sisa tenaga untuk lakukan pengejaran. Secara
kebetulan, Mata Bidadari jatuh terkena racun yang di-
gunakan si Dewa Pancung. Kemudian ditemukan oleh
Dedengkot Iblis, dan diobati bersama-sama Soka. Pen-
gobatan itu bukan saja menyingkirkan racun, namun
juga menyembuhkan luka di dalam dada si Mata Bida-
dari.
Dewa Pancung merasa lega, karena ia bisa hin-
dari bencana yang memburunya dengan pergunakan
senjata rahasianya yang bernama 'Telur Kematian', se-
bab senjata rahasia itu berbentuk telur burung yang
diisi dengan gas beracun, terbuat dari kulit telur bu-
rung asli yang sudah dikosongkan.
Namun di luar dugaan, dari arah tikungan ja-
lan muncul seorang pemuda tampan berpedang kristal
dengan baju buntung putih dan celana putih. Pemuda
itu bersama seorang gadis berompi ketat warna merah
dan celana ketatnya pun berwarna merah. Dewa Pan-
cung terperanjat sekali dan menjadi agak panik. Kedua
orang yang muncul dari tikungan itu pun terkejut den-
gan wajah tegang dan langkah terhenti.
Dewa Pancung segera ambil posisi kuda-kuda
dengan senjata El Maut-nya siap dibabatkan ke leher
lawan. Dewa Pancung membatin dalam hatinya.
"Edan! Ternyata mereka tidak mempan oleh ra-
cun 'Telur Busuk'-ku?"
Dewa Pancung menyangka pemuda berpedang
kristal itu adalah Soka Pura, orang yang tadi menge-
jarnya. Padahal pemuda itu adalah Raka Pura, si Pen-
dekar Kembar sulung. Sedangkan gadis berompi me-
rah itu disangka si Mata Bidadari, karena pakaiannya
serba merah.
Padahal gadis itu adalah Kirana, murid Pergu
ruan Tapak Syiwa yang sengaja pergi dari padepokan
untuk mencari buah kerinduannya, yaitu Raka Pura,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Tumbal
Asmara Buta"). Ia menemukan Raka saat pemuda itu
pulang dari Bukit Gamping, setelah Raka Pura diberi
tahu oleh Tabib Kubur bahwa Iblis Tambak Getih su-
dah lama tewas di tangannya.
Raka Pura dan Kirana sama-sama tegang dan
siap hadapi Dewa Pancung, karena semula mereka
hanya terkejut. Tapi begitu melihat Dewa Pancung pa-
sang kuda-kuda, mereka pun bersiaga lakukan perta-
rungan.
“Siapa dia, Raka?"
"Entah. Aku tidak kenal!" bisik Raka.
Sebenarnya Raka Pura ingin menyapa Dewa
Pancung secara baik-baik untuk mengetahui siapa
orang yang di depannya itu. Tapi Dewa Pancung sudah
lebih dulu berseru dengan nada bermusuhan.
"Jangan merasa bangga dulu kalau kalian bisa
lolos dari asap beracun ku! Tapi coba hadapi senjata El
Maut-ku yang tak pernah gagal memenggal kepala,
orang! Heeeaah...!"
Dewa Pancung melompat sambil ayunkan tom-
bak bersabit seperti paruh burung bangau itu. Wees...!
Sasarannya diarahkan ke leher Pendekar Kembar su-
lung. Tapi dengan gesit Raka Pura merunduk, lang-
sung berguling maju ke tanah depannya. Wuus...! Ka-
kinya menendang selangkangan Dewa Pancung. Bet,
plook...!
"Uhk...!" Dewa Pancung memang berhasil hin-
dari tendangan tersebut, namun pinggulnya menjadi
sasaran. Padahal tendangan tersebut bertenaga dalam
cukup besar, sehingga Dewa Pancung terlempar mun-
dur dan jatuh terduduk.
"Jahanam kau!" geram pemuda berambut pan
jang dikuncir ke belakang. Ia cepat bangkit dengan
senjata panjangnya diarahkan ke depan. Kirana ingin
mencabut pedangnya, bermaksud menyerang Dewa
Pancung. Tapi Raka Pura cepat berseru padanya.
"Jangan! Biar kuhadapi sendiri orang ini!" Dewa Pan-
cung tertawa sumbang. "Hah, hah, hah... kepala gadis
itu pun akan ku pajang di depan pesanggrahan Pantai
Rangsang seperti yang lainnya! Kalau perlu kepalamu
akan ku tumpuk menjadi satu dengan kepala gadismu
itu, Keparat!"
Raka Pura jadi tahu, bahwa Dewa Pancung itu-
lah yang memenggal kepala orangnya Ratu Sedap Ma-
lam dan tentu saja Juga kepala si Batara Jabrik serta
si Jurik Tunggon. Hati Pendekar Kembar sulung justru
merasa senang dapat bertemu dengan si pemenggal
kepala yang tanpa dipaksa sudah mengakui sendiri
perbuatannya.
Padahal Dewa Pancung lontarkan pengakuan
secara tak langsung karena ia mendengar Soka Pura
lontarkan tantangan ketika berhadapan dengan Pra-
panca. Setahu Dewa Pancung, pemuda itu sudah men-
getahui bahwa Dewa Pancunglah pemenggal kepala
para korban. Maka menurutnya tak perlu lagi ia menu-
tupi tindakannya itu. Justru dengan berterus terang
begitu diharapkan pemuda lawannya akan menjadi
ciut nyali. Ia tak tahu gertakannya itu sangat mengun-
tungkan bagi Raka Pura.
"O, jadi kau yang memenggal kepala mereka?!"
"Iya! Sebentar lagi kepala kalian yang akan
membuat geger Pantai Rangsang!"
"Hmmm...!" Raka Pura bersikap tenang, bahkan
sempat manggut-manggut kecil. Sementara itu, Kirana
tetap siap dengan pedangnya dan berjaga-jaga. Ia akan
bertindak jika Raka dalam keadaan sangat terdesak,
atau tiba-tiba diserang oleh lawannya.
"Mengapa kau penggal mereka dan memajang
kepalanya di Pantai Rangsang?!"
"Hmmmrr! Karena kalian sudah akan mati
menjadi korbanku, maka tak ada buruknya jika ku je-
laskan maksud pemenggalan itu! Ratu Sedap Malam
akan ciut nyalinya jika melihat banyak korban di seki-
tar Pantai Rangsang. Bahkan aku juga memenggal ke-
pala orang yang bukan dari pihaknya, agar pihak
orang-orang yang ku penggal itu akan menuntut balas
kepada Ratu Sedap Malam. Dengan begitu, pesanggra-
han Pantai Rangsang akan diserang oleh beberapa pi-
hak dan menjadi lemah."
"Setelah itu apa yang kau harapkan?!" tanya
Raka kembali, karena ia belum tahu bahwa Dewa Pan-
cung adalah orangnya Raja Amuk Jagal.
"Tugasku hanya membuat geger di Pantai
Rangsang. Dalam keadaan kacau begitu, pihakku akan
lebih mudah hancurkan kekuasaan Ratu Sedap Ma-
lam, dan kami orang-orang Pulau Kucil di bawah pim-
pinan Raja Amuk Jagal akan menguasai Pantai Rang-
sang! Haa, haa, haa, haa!"
"Ooo, begitu?!" gumam hati Raka sambil melirik
Kirana. Gadis itu pun menggumam hal yang sama. Se-
bab sepanjang perjalanan menuju Pantai Rangsang,
gadis itu sempat merasa heran mendengar cerita dari
Raka tentang kasus tersebut. Tapi sekarang ikut men-
jadi lega karena sudah tahu duduk persoalannya dan
siapa pelaku pemenggalan kepala tersebut.
"Karena kau sudah banyak tahu tentang renca-
na kami, maka sekarang terimalah ajalmu lebih dulu!
Heeah...!"
Dewa Pancung tebaskan senjatanya dengan ce-
pat secara beruntun. Wuung, wuung, wuuung...! Pen-
dekar Kembar sulung berkelit hindari sambaran benda
tajam yang melengkung seperti paruh burung itu. Se
rangan Dewa Pancung kali ini datang secara bertubi-
tubi, sehingga Raka merasa sulit mencuri kesempatan
untuk membalas serangan tersebut. Ia hanya berjum-
palitan ke sana-sini hindari senjata El Maut yang sela-
lu nyaris merobek dada atau lehernya itu.
"Heeeaaat...!!"
Dewa Pancung melambung ke atas dalam gera-
kan bersalto. Senjatanya berkelebat ingin membelah
kepala Raka dari atas ke bawah. Raka Pura maju se-
langkah dari menyilangkan kedua tangannya di atas
kepala. Plaak...! Kedua tangan yang menyilang itu ber-
hasil menahan gagang senjata El Maut pada saat Dewa
Pancung daratkan kaki ke tanah. Begitu senjata terse-
but tertahan sekejap di atas kepala Raka, kaki si Pen-
dekar Kembar sulung itu segera berkelebat menendang
ke depan. Bet!
"Uuhk...!" Tendangan itu tepat kenai ulu hati
Dewa Pancung. Rasa mual bercampur sakit membuat
pernafasan Dewa Pancung bagal tersumbat. Matanya
mendelik, mulutnya ternganga.
Dengan cepat, Raka Pura putar tubuhnya dan
tendangannya melayang kembali. Wut, bet... Plook...!
Rahang kanan Dewa Pancung menjadi sasaran telak
tendangan kaki putar itu. Tubuh sama kekarnya den-
gan Pendekar Kembar itu terlempar ke samping, jatuh
terhempas dengan amat menyedihkan. Bruus...! Dewa
Pancung mengerang panjang, karena raganya seperti
pecah seketika itu juga.
Namun agaknya ia masih kuat menahan rasa
sakit itu. Tenaganya yang masih tersisa digunakan un-
tuk sodokkan gagang senjata pedang tersebut. Sodo-
kan itu sangat tak disangka-sangka oleh Raka. Maka
ketika Raka ingin menyerangnya lagi, perutnya terkena
sodokan tersebut dengan telak. Buuhk...!
"Heekkh...!" Raka Pura terdorong mundur dan
terhuyung-huyung dengan menyeringai menahan sakit
di perutnya. Rasa mual pun dialami oleh Raka Pura
dengan napas tersendat-sendat.
Melihat lawannya terhuyung-huyung, Dewa
Pancung segera sambarkan senjata El Maut ke arah
kaki Raka Pura. Wees...! Tapi Kirana yang ada tak jauh
dari Raka itu segera melompat mendorong Raka Pura
hingga jatuh terpental ke samping. Tapi akibat doron-
gan Kirana, maka senjata El Maut gagal membuntungi
kaki Pendekar Kembar sulung.
"Gadis busuk!" maki Dewa Pancung, ia segera
ayunkan senjatanya sekali putar. Ketajaman senjata di
ujung tongkat itu nyaris menyambar perut Kirana jika
gadis itu tidak segera melompat mundur dan menang-
kiskan pedangnya ke depan perut. Traaang...!
Kedua kaki Kirana menyentak dan tubuhnya
pun meluncur ke atas dalam gerakan bersalto maju.
"Hiaaaah...!!"
Kirana tiba di belakang Dewa Pancung yang ba-
ru sempat bangkit berdiri. Kirana yang beradu pung-
gung dengan Dewa Pancung segera membalik arah pe-
dangnya dan menusukkan ke belakang melalui sisi
pinggang kanannya. Wuut, jruuub...!
"Aahk...!" Dewa Pancung terpekik karena ginjal
kirinya tertusuk pedang Kirana. Bahkan gadis lincah
itu segera melompat ke depan, kedua kaki menjejak ke
belakang. Beet...! Buuuhk...!
"Haaaggh...!" Punggung si Dewa Pancung men-
jadi sasaran telak kedua kaki Kirana. Tubuh itu pun
terlempar ke depan, ke tempat Raka Pura sedang ber-
lutut ingin bangkit.
Maka si Pendekar Kembar pun segera menyam-
but kedatangan tubuh sang lawan dengan sentakkan
tangan kiri untuk singkirkan arah senjata El Maut,
dan tangan kanan menyodok dada lawan dengan kuat.
Buuhk...!
"Haakhh...!" Darah segar mulai tersembur dari
mulut Dewa Pancung. Untung Raka segera berguling
ke samping, sehingga wajahnya tidak menjadi korban
semburan darah dari mulut Dewa Pancung.
Begitu Dewa Pancung jatuh tengkurap, Raka
Pura yang dalam posisi duduk segera ayunkan kakinya
dari atas ke bawah, tumitnya menghantam kuat teng-
kuk kepala Dewa Pancung. Dees...!|
Bruuk...! Kepala Dewa Pancung yang ingin di-
angkat menjadi tersentak mencium tanah dengan da-
rah keluar dari lubang telinga dan hidungnya. Bekas
tendangan tumit Raka itu mengepulkan asap di teng-
kuk Dewa Pancung. Tentu saja tenaga dalam Raka
yang tersalur pada kaki membuat Dewa Pancung ter-
kulai tak mampu bergerak lagi.
Kirana segera mengayunkan pedangnya untuk
memenggal kepala Dewa Pancung. "Heeaaah...!!"
"Tahan!" seru Raka Pura yang membuat gera-
kan Kirana terhenti seketika dengan napas terengah-
engah diburu kemarahan.
"Jangan bunuh dia! Aku ingin serahkan orang
ini kepada Ratu Sedap Malam atau kepada Paman La-
har Jalanan! Ia harus diserahkan dalam keadaan ma-
sih hidup, sehingga mau akui perbuatannya di depan
sang Ratu dan yang lainnya."
Kirana hembuskan napas penahan kesabaran.
"Kalau begitu, seret dia ke sana! Kita harus se-
gera sampai ke pesanggrahan Pantai Rangsang!"
"Tapi aku tak tahu di mana letak pesanggrahan
itu, Kirana!"
"Aku tahu!" jawab Kirana dengan tegas. "Bu-
kankah tadi di perjalanan sudah kukatakan, aku per-
nah ke sana bertemu dengan Ratu Sedap Malam bebe-
rapa kali karena diutus oleh Eyang Guru Mulut Gun
tur?!"
"O, ya, ya... aku hampir lupa kata-katamu ta-
di," Raka Pura tersenyum sumbang. Rupanya pihak
Kirana punya hubungan baik dengan pihak Ratu Se-
dap Malam, sehingga bagi Kirana bukan hal yang sulit
untuk menuju ke pesanggrahan Pantai Rangsang itu.
Kirana membawa senjata El Maut-nya si Dewa
Pancung, sedangkan Raka Pura menyeret tubuh Dewa
Pancung dengan menggunakan akar yang mirip tam-
bang itu. Dewa Pancung masih tak sadarkan diri kare-
na luka-luka di dalam tubuhnya sangat parah. Namun
Raka merasa mampu sembuhkan luka itu dengan ju-
rus 'Sambung Nyawa'-nya jika mereka sudah tiba di
depan Ratu Sedap Malam. Dengan begitu, mereka da-
pat mendengar pengakuan Dewa Pancung sebagai pe-
laku pemenggalan kepala yang bikin geger Pantai
Rangsang.
Pesanggrahan memang sempat menjadi geger,
karena orang-orang Suku Ampar dari pihak Jurik
Tunggon melabrak Ratu Sedap Malam. Mereka menu-
duh Ratu Sedap Malam telah mengutus orangnya un-
tuk memenggal kepala Jurik Tunggon. Sebab, pada
saat Jurik Tunggon berhadapan dengan Dewa Pan-
cung, ia tidak sendirian. Ia bersama seorang sauda-
ranya yang juga dari perkampungan Suku Ampar. De-
wa Pancung menyerang dengan mengaku sebagai utu-
san Ratu Sedap Malam. Jurik Tunggon hadapi Dewa
Pancung, saudaranya itu melarikan diri memberi tahu
kepada kepala Suku Ampar yang berjuluk si Macan
Seribu.
Pesanggrahan dikepung oleh orang-orang Suku
Ampar. Ki Sela Giri alias si Lahar Jalanan dan Nyai
Sangkal Putung tampil hadapi mereka dengan kepala
dingin. Macan Seribu sudah mencabut parangnya, itu
pertanda siap tempur bagi orang-orang Suku Ampar
yang dikenal juga sebagai manusia kelelawar, karena
mereka bertelinga tinggi dan bermulut monyong, men-
genakan pakaian serba hitam.
"Tahan dulu murka mu, Kepala Suku!" ujar La-
har Jalanan. "Ratu Sedap Malam tak pernah mengutus
orangnya untuk lakukan kekejian seperti itu!"
"Omong kosong! Seraaang...!!"
Seruan itu membuat orang-orang Suku Ampar
bergegas menyerang pihak Ratu Sedap Malam. Namun
Lahar Jalanan yang berhadapan dengan si Macan Se-
ribu yang berpakaian loreng hitam itu segera sentak-
kan suara dengan mulut terbuka lebar.
"Tahaaaann...!"
Sentakan suara itu membuat mulut Ki Sela Giri
semburkan api yang menyebar ke mana-mana. Nyaris
membakar tubuh si Macan Seribu jika orang itu tak
segera melompat mundur. Kesaktian Lahar Jalanan
membuat Macan Seribu tercengang dan mulai pikir-
pikir untuk lakukan serangan langsung kepada kakek
itu.
Nyai Sangkal Putung kibaskan tongkatnya yang
memutar cepat di atas kepala. Kibasan tongkat itu ha-
dirkan angin kencang yang sukar ditembus lawan.
Tiap tubuh yang mendekat selalu terlempar bagai dis-
apu badai. Hal itu pun diketahui oleh si Macan Seribu,
sehingga kepala Suku Ampar itu berseru kepada
orang-orangnya.
"Hentikaaan...! Hentikan dulu serangan ini!"
Serangan dihentikan. Suasana hening sesaat.
Pada waktu suasana menjadi hening itulah, mereka
mendengar suara teriakan orang yang sedang menuju
ke pesanggrahan.
"Pamaaan...! Aku menangkap orangnyaaaa...!"
"Raka Pura atau Soka Pura itu?!" gumam si La-
har Jalanan. Nyai Sangkal Putung dan Ratu Sedap Malam sendiri juga sempat merasa heran, karena gadis
yang disangka berjalan dengan Soka Pura itu bukan si
Mata Bidadari.
"Kirana...?!" gumam Ratu Sedap Malam dengan
lirih.
Kemunculan Raka Pura membuat orang-orang
Suku Ampar terperanjat kaget dan menjadi tegang.
Wajah Raka Pura yang serupa dengan adik kembarnya:
Soka Pura, adalah wajah yang ditakuti oleh Suku Am-
par. Karena Suku Ampar pernah dibuat kalang kabut
oleh amukan Soka Pura ketika mereka menyerang Su-
ku Kano, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Tantangan Mesra").
Karena mereka menyangka Raka adalah Soka
Pura, maka si Macan Seribu memberi isyarat kepada
orang-orangnya untuk lebih mundur lagi. Tentu saja
Raka melangkah dengan cuek kepada orang-orang Su-
ku Ampar, sebab ia memang belum pernah jumpa
dengan orang-orang Suku Ampar itu. Tapi pusat per-
hatian mereka segera tertuju pada tubuh seorang pe-
muda yang diseret oleh Raka Pura dalam keadaan te-
lentang. Mereka merasa asing dengan wajah pemuda
yang diseret tak sadarkan diri itu.
"Paman, orang inilah yang memenggal para
korban. Ternyata ia orangnya Raja Amuk Jagal!" seru
Raka Pura sengaja dikeraskan suaranya agar didengar
oleh orang-orang Suku Ampar itu.
"Kirana," sapa sang Ratu. "Bagaimana kau bisa
bersama Soka Pura?"
"Nyai Ratu, dia bukan Soka Pura, tapi kekasih-
ku, Raka Pura!"
"Ooh...?!" Nyai Ratu dan yang lainnya terperan-
gah.
Raka segera sembuhkan keadaan Dewa Pan-
cung dengan jurus 'Sambung Nyawa'-nya yang men
cengangkan orang-orang Suku Ampar dan pihak Ratu
Sedap Malam sendiri itu. Dewa Pancung segera sadar
dan sehat kembali. Namun ia terpaksa tak berkutik
karena menyadari sudah berada di pihak lawannya.
Senjata El Maut masih berada di tangan Kirana yang
jauh dari jangkauan, sehingga tak memungkinkan un-
tuk dirampas kembali.
Sang Ratu berseru kepada Dewa Pancung di
depan Suku Ampar juga, setelah Dewa Pancung me-
nyebutkan namanya.
"Aku akan meringankan hukumanmu jika kau
mau berterus terang apa yang telah kau lakukan di wi-
layah ku ini!"
"Ak... aku...." Dewa Pancung ragu-ragu. Ma-
tanya melirik ke arah orang-orangnya Ratu Sedap Ma-
lam. Ia menemukan wajah Bintari di samping kanan
sang Ratu, bersebelah dengan Nyai Sangkal Putung.
Dewa Pancung segera berkata, "Bintari, cepat
lari dan kabarkan kegagalanku kepada Raja Amuk
Jagal! Heeaaat...!"
Dewa Pancung segera melepaskan pukulan ke
arah Ratu Sedap Malam. Sinar merah berekor yang
merupakan Jurus 'Pukulan Keramat' melesat menga-
rah kepada sang Ratu. Tapi dengan cepat si Lahar Ja-
lanan melepaskan tudungnya dan tudung itu dilem-
parkan hingga menahan sinar merah sebelum sinar itu
kenai dada sang Ratu.
Claap! Wuuut! Blegaar...!
Ledakan itu terjadi ketika sinar merah meng-
hantam tudung si Lahar Jalanan yang sudah dialiri te-
naga dalam. Ledakan itu membuat Ratu Sedap Malam
tersentak mundur, namun segera ditangkap oleh tan-
gan para pengawal lainnya, hingga tak sempat jatuh.
Sedangkan Bintari yang ingin berkelebat pergi dilum-
puhkan oleh Nyai Sangkal Putung dengan sodokan
tongkatnya yang kenai punggung Bintari dengan cepat.
Rupanya Bintari itulah mata-mata Raja Amuk Jagal
yang menelusup pesanggrahan Pantai Rangsang.
Melihat 'Pukulan Keramat'-nya gagal, Dewa
Pancung segera larikan diri. Namun si Macan Seribu
segera menerjangnya dengan penuh dendam.
"Heeeaaat...!"
Crraass...!
Parang tajam milik si Macan Seribu menebas
cepat, tak bisa dihindari oleh Dewa Pancung. Akibat-
nya leher Dewa Pancung pun putus seketika, jatuh
menggelinding seakan siap ditancapkan di ujung bam-
bu seperti kepala korbannya.
Dengan tertangkapnya Bintari sebagai mata-
mata pihak Raja Amuk Jagal, dan terpenggalnya kepa-
la Dewa Pancung oleh tangan kepala Suku Ampar,
maka orang-orang Suku Ampar pun segera tinggalkan
Pantai Rangsang. Mereka tak berani menuntut lebih
dari itu, karena mereka tahu, Pendekar Kembar ada di
pihak Ratu Sedap Malam.
Sang Ratu sendiri sudah merasa sedikit lega,
karena si tukang penggal yang menggegerkan Pantai
Rangsang itu sudah binasa. Kini sang Ratu dan orang-
orang yang memihaknya tinggal menunggu kedatangan
si tukang Jagal, alias Raja Amuk Jagal, yang tentunya
berilmu lebih tinggi dari si Dewa Pancung.
"Raja Amuk Jagal pasti akan datang, dan kita
harus siap hadapi kedatangan mereka, Raka Pura,"
ujar Lahar Jalanan. Pendekar Kembar sulung angguk-
kan kepala.
"Sekarang yang ku pikirkan bukan kedatangan
Raja Amuk Jagal, Paman. Tapi dl mana adikku: Soka
Pura?"
"Soka dan si Mata Bidadari, murid Nyai Sangkal
Putung, sedang mencari Dewa Pancung. Tapi... entah
di mana mereka sekarang berada. Karena terbukti
kaulah yang berhasil menangkap Dewa Pancung itu!"
"Celaka! Jangan-jangan mereka berdua sudah
di penggal oleh si Dewa Pancung?!" ujar Kirana dengan
wajah tegang. Mau tak mau yang lainnya pun ikut te-
gang, mencemaskan nasib Soka Pura dan si Mata Bi-
dadari.
Mereka tak tahu bahwa malam itu, Soka dan si
Mata Bidadari ada di dalam gua tebing karang bersama
Dedengkot Iblis. Soka Pura sedang membujuk Dedeng-
kot Iblis agar tidak mencampuri urusannya karena
amukan Dedengkot Iblis dikhawatirkan akan mema-
kan korban tak bersalah. Karena Soka tahu, Dedeng-
kot Iblis kalau sudah murka menjadi ngawur. Tak per-
nah pedulikan serangannya lukai orang lain atau ti-
dak. Tapi mampukah Soka Pura membujuk Dedengkot
Iblis, jika Dedengkot Iblis merasa tak rela melihat Pen-
dekar Kembar yang dianggap keturunan dari mantan
istrinya itu dulu dilukai oleh orang lain?
SELESAI
Segera terbit!!!
PENGKHIANAT BUDIMAN