google-site-verification=cSn3zY91K5xHQX-0bucKyuc1sekuKxINnC2W51SOAPw PENDEKAR KEMBAR EPISODE GEGER PANTAI RANGSANG
  • Posted by : matjenuh khairil Kamis, 04 September 2025

    Geger Pantai Rangsang

     


    1


    GEGER di Pantai Rangsang diawali dengan di-

    temukannya sepotong kepala orang yang terpenggal. 

    Kepala itu ditancapkan pada sebatang bambu yang 

    tinggi dan besarnya seukuran dengan tongkat pramu-

    ka. Bambu berlumur darah itu tertancap dl pasir Pan-

    tai Rangsang, sedangkan kepala orang yang habis di-

    penggal tertancap di atas bambu tersebut.

    Entah ke mana badan orang yang dipenggal ke-

    palanya itu, yang jelas beberapa penduduk desa ne-

    layan di sekitar Pantai Rangsang hanya bisa menonton 

    kekejian tersebut. Mereka sudah berusaha mencari 

    badan orang itu, tapi tetap tak ditemukan. Agaknya 

    badan si korban dilemparkan ke lautan lepas dan 

    mungkin sudah habis dimakan ikan-ikan ganas.

    Orang yang mengerumuni tempat kepala ditan-

    capkan itu tak ada yang berani menyentuh atau me-

    nyingkirkan. Mereka masih saling berkasak-kusuk 

    dengan tegang, sampai akhirnya muncul dua orang 

    pemuda berpakaian putih.

    Dua pemuda itu sama-sama berwajah tampan, 

    rambutnya sama-sama sepundak tanpa ikat kepala, 

    badannya sama-sama tegap dan gagah, bajunya sama-

    sama buntung berwarna putih, juga celananya sama-

    sama putih sebatas betis, tubuhnya sama-sama tinggi, 

    pedangnya sama-sama terbuat dari kristal bening se-

    perti beling mudah pecah, dan... mereka itulah yang 

    dikenal dengan nama Pendekar Kembar: Raka Pura 

    dan Soka Pura.

    Soka Pura, sebagai adik, merasa terkejut meli-

    hat potongan kepala yang ditancapkan pada sebatang 

    bambu itu. Agaknya Soka Pura lebih mengenali sang 

    korban daripada kakaknya. Suara Soka pun menyentak menunjukkan kekagetannya.

    "Edan! Mengapa ia ada di sini?!" Raka Pura 

    yang sempat tegang menyaksikan potongan kepala itu 

    segera ajukan tanya kepada si Pendekar Kembar bung-

    su. "Apakah kau kenal dengan korban itu?" "Apakah 

    kau tidak?!" Soka ganti bertanya. "Pandanglah baik-

    balk wajah itu. Seharusnya kau yang lebih kenali si 

    korban, karena kau lebih dulu bertemu dengannya."

    "Siapa...?!" gumam Raka Pura sambil pandangi

    kepala yang tertancap di bambu itu. Bahkan ia me-

    langkah lebih mendekat, dan diperhatikan oleh orang-

    orang yang mengerumuni tempat itu.

    Korban kesadisan tersebut berusia sekitar em-

    pat puluh tahun. Hidungnya agak bundar, matanya 

    yang terbelalak mengerikan itu tampak lebar, rambut-

    nya pendek tegak seperti bulu landak. Korban tidak 

    punya jenggot tapi punya kumis sedikit tebal. Kumis-

    nya juga kaku seperti kumis landak, seandainya lan-

    dak berkumis.

    Karena wajah korban berlumur darah, maka 

    Raka Pura terpaksa memperhatikan sampai beberapa 

    saat lamanya. Setelah beberapa saat baru ia mengenali 

    si korban dengan tersentak kaget kembali.

    "Astaga...! Bukankah dia adalah si Batara Ja-

    brik?"

    "Tepat sekali!" jawab Soka Pura. "Dia adalah si 

    Batara Jabrik. Menurut pengakuannya, dia bekas 

    orang Tebing Bencana, anak buah Pangeran Laknat, 

    tapi sudah lama memisahkan diri dan bergabung den-

    gan orang-orang Kedai iblis!"

    "Ya, seingatku dia mengaku bergabung dengan 

    orang-orang Kedai iblis dan tetap menjalankan peker-

    jaannya sebagai pembunuh bayaran," tambah Raka 

    sambil mengenang masa pertemuannya dengan Batara 

    Jabrik saat Batara Jabrik ingin membunuh Raka aki


    bat Raka diduga sebagai Wisnu Galang. Pada akhirnya 

    justru Batara Jabrik menaruh simpati kepada Raka 

    Pura dan ingin pelajari ilmunya Raka Pura, namun 

    Raka tak bersedia memberikan ilmunya, (Baca serial 

    Pendekar Kembar dalam episode: "Iblis Pemburu Wani-

    ta").

    "Siapa yang melakukannya kekejaman seperti 

    ini?!" ujar Raka pelan, seperti hanya bicara pada adik 

    kembarnya saja.

    "Seingatku, Batara Jabrik pernah diburu oleh 

    Dewi Binal karena mencuri Permata Manik Jingga dari 

    Candi Apung. Ia bekerja sama dengan Bunga Dewi, ta-

    pi mungkin neneknya Bunga Dewi si Tupai Siluman 

    alias Nyai Gantari memburunya karena Batara Jabrik 

    di anggap mengkhianati Bunga Dewi," tutur Soka sam-

    bil mengenang persoalan tersebut, (Baca serial Pende-

    kar Kembar dalam episode: "Tantangan Mesra").

    "Jadi menurutmu Nyai Gantari yang lakukan 

    kekejaman seperti ini? Ah, kurasa Nyai Gantari tak 

    mungkin sekejam ini! Apalagi Bunga Dewi, juga tak 

    mungkin lakukan pembunuhan setega ini!"

    Soka Pura merenung sambil pandangi kepala 

    Batara Jabrik yang sudah memutih dengan darah su-

    dah mulai mengering itu. Raka Pura masih berdiri di 

    samping adiknya, lebih dekat dengan korban ketim-

    bang orang-orang yang berkerumun sejak tadi.

    "Siapa pelakunya?!" gumam Raka.

    "Coba kau tanyakan sendiri kepada Batara Ja-

    brik."

    "Konyol kau! Mana mungkin dia mau menja-

    wab?!"

    "Paksa dengan ancaman, mungkin dia mau 

    menjawab!"

    "Aaah...!" Raka mendesah tak mau menanggapi 

    kekonyolan adiknya yang cengar-cengir untuk hilang


    kan ketegangan itu.

    "Jangan-jangan dia bunuh diri. Soka?"

    "Eh, kalau kau tak mau konyol juga jangan 

    berkata begitu!" sergah Soka Pura. "Mana mungkin se-

    seorang lakukan bunuh diri dengan memenggal kepa-

    lanya dan menancapkannya pada sebatang bambu!" 

    Raka Pura ikut tersenyum, tak berani tertawa keras, 

    karena tak enak dilihat orang-orang di sekitarnya.

    Pendekar Kembar bergegas temui sesepuh di 

    desa nelayan itu untuk meminta kesediaannya mema-

    kamkan kepala Batara Jabrik. Sambil melangkah, Ra-

    ka Pura sempat ungkapkan kecurigaannya lagi.

    "Jangan-jangan Dewi Binal sendiri yang mem-

    bunuh Batara Jabrik, karena ingin dapatkan Permata 

    Manik Jingga yang dicuri Batara Jabrik itu?!"

    "Tapi setahuku persoalan itu sudah selesai, 

    Raka. Dewi Binal dan kakeknya sudah berhasil mere-

    but kembali tongkat pusaka Suryapati yang mempu-

    nyai Permata Manik Jingga itu dan sudah dikembali-

    kan ke Candi Apung!"

    "Hmmm... kalau begitu, kita perlu curigai ke-

    luarga Nyai Gantari dan...."

    "Hei, aku ingat, dulu dia pernah ceritakan bah-

    wa dia punya masalah dengan anak buah Pangeran 

    Laknat!"

    "O, ya. Benar, aku pun sekarang ingat, Batara 

    Jabrik punya persoalan dengan si Congor Setan. Me-

    nurutnya, persoalan itu menyangkut tentang dendam 

    si Congor Setan kepada Batara Jabrik yang telah 

    membunuh dua adiknya."

    "Hmmm, kalau begitu kita cari saja si Congor 

    Setan! Apakah dia masih menjadi orang kepercayaan 

    Pangeran Laknat di Tebing Bencana?"

    "Yang perlu kita tanyakan adalah: apakah kita 

    harus melibatkan diri dalam persoalan kematian Bata


    ra Jabrik ini?"

    "Iya, ya...," gumam Soka Pura. "Batara Jabrik 

    adalah pembunuh bayaran, Congor Setan juga pem-

    bunuh bayaran, jika kita melibatkan diri mencari siapa 

    pembunuhnya, apakah berarti kita juga penyelidik 

    bayaran?"

    Setelah menemui sesepuh desa nelayan dan 

    meminta untuk memakamkan kepala Batara Jabrik, 

    kedua pemuda tampan kembar rupa itu segera berge-

    gas pergi. Mereka bermaksud untuk temui Nyai Ganta-

    ri di Tanah Keramat. Raka Pura yang ajukan usul un-

    tuk temui Nyai Gantari, karena rasa ingin tahunya 

    menimbulkan kegelisahan tersendiri sehingga ia men-

    jadi sangat penasaran.

    "Kita hanya sekadar ingin tahu saja, Soka. Tak 

    perlu mencampuri urusan mereka!" ujar Raka Pura 

    pada saat adik kembarnya menolak usul tersebut. Ak-

    hirnya sang adik kembar pun menuruti keinginan ka-

    kaknya.

    Mereka melangkah menelusuri Pantai Rang-

    sang. Beberapa saat setelah jauh dari desa nelayan 

    tersebut, langkah mereka terhenti kembali. Jantung 

    mereka tersentak kaget dengan mata terbelalak.

    "Gila! Apa-apaan ini?!" gumam Raka Pura me-

    nenga.

    Mereka melihat sebatang bambu ditancapkan 

    di pasir pantai. Di atas bambu itu ada kepala manusia 

    seperti tadi. Mereka segera dekati dan mencoba men-

    genali wajah kepala yang terpenggal seperti nasib Ba-

    tara Jabrik itu.

    Soka Pura lebih tegang, karena ia mengenali 

    wajah Kepala yang ditancapkan pada bambu itu. Raka 

    Pura tidak mengenali wajah tersebut, namun ia ikut 

    tegang karena menemukan pemandangan yang serupa 

    dengan yang baru saja ditinggalkan.


    Kali ini korban yang terpenggal adalah seorang 

    lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan ram-

    but sepundak botak bagian tengahnya. Alis lelaki itu 

    tebal, mata lebar, kumis lebat, dan berkesan angker. 

    Secara tak sadar Soka Pura menyebut nama si korban.

    "Jurik Tunggon...?!"

    "Siapa Jurik Tunggon itu?!"

    "Orang dari Suku Ampar yang pernah kuserang 

    saat ia ingin membunuh Nilawesti!" jawab Soka Pura, 

    (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Tantan-

    gan Mesra").

    "Orang ini adalah musuh bebuyutannya Nila-

    westi!" tambah Soka, kemudian ia termangu sesaat.

    Raka Pura memeriksa keadaan sekeliling den-

    gan pandangan mata. Tapi suasana di sekitar tempat 

    itu sangat sepi. Tak ada tanda-tanda yang mencuriga-

    kan. Satu-satunya tanda yang mencurigakan hanyalah 

    sebuah benda yang mengapung di lautan. Sang ombak 

    mempermainkan benda tersebut. Ketika Raka pertegas 

    penglihatannya dengan mengangkat tangannya untuk 

    menahan silau sinar matahari, maka ia pun dapat 

    memandang benda yang mengapung itu dengan sedikit 

    jelas.

    "Raga orang ini ada di sana, Soka!"

    Soka ikut memandang ke perairan laut yang 

    berombak putih kebiruan.

    "Rupanya si pembunuh lebih suka memajang 

    kepala korbannya dan membuang raga korban ke tem-

    pat lain."

    Soka Pura kembali memandang ke arah kepala 

    Jurik Tunggon. Ia memperhatikan darah yang membe-

    kas pada sebatang bambu itu masih agak basah. Sedi-

    kit lembab. Tapi keadaan itu dapat disimpulkan bahwa 

    pemenggalan kepala Jurik Tunggon dilakukan dalam 

    waktu belum lama. Tak sampai satu hari. Mungkin ta


    di pagi, atau kemarin malam.

    Raka Pura cenderung menelusuri jejak tapak 

    kaki yang ada di pasir pantai. Jejak tapak kaki itu me-

    nuju ke perairan pantai dan menghilang di sana.

    "Soka, jejak tapak kaki ini hanya dimiliki oleh 

    satu orang!" seru Raka dari tepi perairan pantai.

    "Apa maksudmu?!" tanya Soka ketika Raka 

    mendekatinya lagi.

    "Tampaknya hanya satu orang yang melewati 

    perairan pantai. Di sekitar sini tak ada jejak kaki lain, 

    kecuali kaki kita sendiri. Aku yakin pertarungan mere-

    ka tidak terjadi di sini. Jika terjadi dl sini, maka jejak 

    tapak kakinya pun akan tampak banyak. Setidaknya 

    bekas-bekas pertarungan itu tampak di sekitar sini!"

    Setelah diam sebentar sambil pandangi sekelil-

    ing nya, Soka Pura pun berkata seperti orang mengu-

    mam.

    "Lalu apa maksud si pembunuh memajang ke-

    pala korbannya di pantai ini?"

    Raka lebih dekati adiknya lagi.

    "Apakah menurutmu... antara Batara Jabrik 

    dengan Jurik Tunggon punya masalah yang sama?!"

    "Aku tak tahu. Yang jelas, Batara Jabrik bukan 

    orang Suku Ampar."

    Tiba-tiba sekelebat bayangan melesat hampiri 

    mereka dari arah tempat mereka datang tadi. Kedatan-

    gan bayangan itu diawali dengan hembusan angin ke-

    cil yang berlawanan dengan arah angin sebenarnya. 

    Wees...! Jleeg...!

    "Ooh...?!" Raka Pura terkejut sampai mundur 

    satu langkah. Soka Pura tetap di tempat walau ma-

    tanya terkesip pandangi kemunculan seorang lelaki 

    tua berbaju hijau celana hitam. Pak Tua yang berjeng-

    got pendek warna abu-abu dan mengenakan tudung 

    pandan itu tak lain adalah sesepuh desa nelayan yang


    tadi ditemui Raka dan Soka.

    Sang sesepuh segera memandang ke arah kepa-

    la Jurik Tunggon. Tudung pandannya diangkat ke atas 

    sedikit, sehingga ia dapat memandang lebih jelas dan 

    wajahnya pun dapat dipandang lebih jelas pula.

    "Celaka! Ternyata dugaanku benar. Ada lagi 

    korban seperti tadi," gumam sang sesepuh.

    "Apakah kau kenal dengan korban yang ini, Pak

    Tua?"

    "Tidak. Sama seperti korban yang ada di sana, 

    juga tak kukenal. Tapi... bagaimana dengan kalian? 

    Apakah kalian kenal dengan korban yang ini?"

    "Aku mengenalinya," jawab Soka Pura sebelum 

    kakaknya perdengarkan suara. "Orang ini adalah Suku 

    Ampar yang bernama Jurik Tunggon!"

    "Suku Ampar...?!" gumam Pak Tua bertudung 

    pandan.

    Soka Pura masih perhatikan orang itu, semen-

    tara orang itu sendiri lebih dekati bambu berkepala 

    manusia. Soka Pura sempat membatin dalam hatinya,

    "Kurasa orang ini punya ilmu simpanan yang 

    cukup tinggi. Kemunculannya yang begitu cepat dan 

    disertai hembusan angin pasti menggunakan ilmu pe-

    ringan tubuh yang bukan rendahan. Hmmm... siapa 

    sebenarnya Pak Tua ini?!"

    Setelah pandangi kepala Jurik Tunggon, lelaki 

    berusia sekitar tujuh puluh tahun itu perdengarkan 

    suara seperti bicara pada diri sendiri. Tapi Pendekar 

    Kembar mendengarnya dengan jelas.

    "Ini sudah keterlaluan. Apa maksudnya menan-

    tangku dengan cara begini?"

    Raka Pura buru-buru berujar dengan sopan.

    "Maaf, Pak Tua... apakah kau tahu siapa pela-

    kunya?!"

    Pak Tua itu melangkah jauhi kepala Jurik


    Tunggon. la tidak langsung menjawab, sepertinya san-

    gat berat untuk mengatakan hal yang sebenarnya. 

    Pendekar Kembar mengikuti langkahnya yang mema-

    suki hutan pantai. Di bawah pohon rindang, kakek 

    berkulit hitam akibat banyak terbakar sinar matahari 

    itu hentikan langkahnya. Raka dan Soka pun berhenti 

    di situ. Mereka ikut memandang ke arah pantai di ma-

    na kepala Jurik Tunggon masih kelihatan jelas dari 

    tempat mereka berada.

    "Seandainya aku tahu siapa pelakunya, lantas 

    apa yang ingin kalian lakukan?!" tanya Pak Tua itu.

    Pemuda kembar wajah dan penampilan itu sa-

    ma-sama bungkam, saling pandang beberapa saat. So-

    ka Pura tarik napas, setelah itu baru perdengarkan 

    suaranya yang bernada serius, bukan main-main se-

    perti biasanya.

    "Apa yang kau harapkan dari kami, Pak Tua?!"

    "Tidak ada," jawab si Pak Tua dengan kalem. 

    "Tidak ada yang kuharapkan dari kalian, karena kalian 

    bukan apa-apa ku!"

    "Apakah kedua korban itu ada hubungannya 

    dengan pribadimu, Pak Tua?" tanya Raka.

    "Jika dugaanku benar, kedua korban yang ke-

    palanya dipajang di Pantai Rangsang ini memang ditu-

    jukan untukku! Seseorang telah menantang pertarun-

    gan denganku. Tandanya adalah dengan membuang 

    mayat siapa pun di daerah ku ini!"

    "Apakah pantai ini wilayah kekuasaanmu, Pak 

    Tua?!" pancing Raka untuk mengetahui siapa sebenar-

    nya sesepuh desa nelayan itu.

    "Pantai Rangsang ini memang bukan daerah 

    kekuasaanku, melainkan daerah kekuasaan Ratu Se-

    dap Malam. Tapi keberadaanku di desa nelayan tadi 

    membuat seseorang sengaja memancingku untuk ke-

    luar dari pengasingan."


    Soka Pura dapat menyimpulkan, Pak Tua itu 

    sebenarnya seorang tokoh di dunia persilatan yang su-

    dah mengasingkan diri. Desa nelayan adalah tempat 

    pengasingannya, menjauhi dunia persilatan. Tetapi 

    agaknya seseorang telah memaksa si Pak Tua agar ke-

    luar dari pengasingannya untuk lakukan sesuatu. 

    Mungkin menyelesaikan persoalan masa lalu.

    "Apa salahnya jika aku hanya ingin tahu siapa

    pelakunya, Pak Tua? Setidaknya aku dan adikku: So-

    ka, bisa lebih berhati-hati lagi jika bertemu orang keji 

    itu," pancing Raka kembali dengan rasa ingin tahu 

    makin menggelitik.

    "Kalian ini sebenarnya siapa?!"

    "Kami dari Gunung Merana, anak angkat Pa-

    wang Badai," jawab Raka. Ia sengaja sebutkan nama 

    ayah angkat mereka untuk memancing sejauh mana 

    Pak Tua itu mengetahui tentang rimba persilatan.

    Ternyata Pak Tua itu justru terperanjat dan 

    menatap kedua pemuda kembar secara bergantian.

    "Pawang Badai adalah sahabatku! Jika benar 

    kalian anak angkatnya, berarti kalian adalah Pendekar 

    Kembar yang bernama Raka Pura dan Soka Pura?!"

    Senyum kedua pemuda itu mengembang seba-

    gai jawaban membenarkan dugaan orang tersebut.

    "Dari mana kau tahu nama lengkap kami, Pak 

    tua?!"

    Kini si kakek yang masih kenakan tudung agak 

    membuka ke atas itu ganti tersenyum ramah.

    "Beberapa sahabatku yang sempat singgah di 

    Pantai Rangsang ini menceritakan tentang perkemban-

    gan baru di rimba persilatan, terutama munculnya se-

    pasang anak kembar yang berjuluk Pendekar Kembar 

    dari Gunung Merana, anak angkat si Pawang Badai. 

    Tentu saja aku kenal betul dengan orangtua angkat 

    kalian, Nak!"


    Pak Tua itu tampak senang dan manggut-

    manggut.

    "Kalau kalian tak percaya bahwa aku adalah 

    sahabat si Pawang Badai, katakan kepada ayah angkat 

    kalian bahwa kalian bertemu dengan si Lahar Jalanan. 

    Aku yakin beliau akan langsung ingat padaku dan me-

    nanyakan kabar ku pada kalian."

    "Kami percaya. Ayah pasti akan banyak berceri-

    ta tentang dirimu, Paman Lahar Jalanan," ujar Raka 

    yang segera memanggilnya 'paman' sebagai panggilan 

    kehormatan kepada sahabat ayah angkat mereka itu.

    "Kurasa ayah kalian juga tahu dengan nama: 

    Iblis Tambak Getih."

    "Siapa orang yang berjuluk Iblis Tambak Getih 

    itu, Paman?" desak Raka secara halus.

    "Dia musuh lamaku yang gemar membuang 

    mayat sebagai tantangan bagi lawannya."

    "Kalau begitu, Iblis Tambak Getih adalah orang 

    yang memenggal Batara Jabrik dan Jurik Tunggon itu 

    Paman?"

    "Hmmm..., akhirnya kalian mengetahuinya ju-

    ga! gumam Lahar Jalanan seperti orang menggerutu.

    Di dalam hatinya, Soka berkecamuk sendiri.

    "Ketika tadi kutemui orang ini di desa nelayan, 

    ia tampak lugu dan polos, sebagaimana layaknya seo-

    rang nelayan yang tak mengenal dunia persilatan. 

    Bahkan ia tak menanyakan siapa diriku dan Raka. Ta-

    pi sekarang ia tampak berwibawa dan pancaran ma-

    tanya menandakan orang berilmu tinggi. Hmmm. 

    sungguh pandai ia menempatkan diri. Di dunia ne-

    layan, ia menjadi nelayan. Di dunia persilatan, ia men-

    jadi tokoh berilmu tinggi. Rasa-rasanya aku patut me-

    niru sikap seperti itu."

    Setelah mereka bertiga sama-sama diam dan 

    lemparkan pandangan ke pantai, Raka Pura segera


    memecah kebisuan tersebut dengan suaranya yang ka-

    lem.

    "Paman Lahar Jalanan, jika aku boleh tahu, 

    apakah Paman akan melayani tantangan ini?!"

    "Mestinya si Iblis Tambak Getih sudah perda-

    lam ilmunya, sehingga ia berani menantangku. Jika 

    tantangan ini tidak kulayani, maka la akan bikin ulah 

    seperti ini, dan itu berarti mengorbankan orang tak 

    bersalah," ujar si Lahar Jalanan dengan kalem juga.

    "Apakah mungkin kami berdua mencegah tin-

    dakan keji si iblis Tambak Getih itu, Paman?" tanya 

    Raka.

    "Aku sangsi, apakah dia mau melayani kalian. 

    Sebab, sepanjang hidupnya, Iblis Tambak Getih hanya 

    mempunyai dua musuh utama, yaitu aku dan seorang 

    lagi dari Bukit Gamping: si Tabib Kubur!"

    "Hahh...?!" Soka Pura terkejut lebih kuat ke-

    timbang kakaknya.

    Tentu saja Pendekar Kembar terkejut menden-

    gar nama Tabib Kubur sebagai: salah satu musuh 

    utama si Iblis Tambak Getih. Pendekar Kembar sangat 

    kenal dengan Tabib Kubur, kakeknya Dewi Binal. Bah-

    kan beberapa waktu yang lalu, Tabib Kubur menyela-

    matkan Soka dan Raka dari perkawinan adat yang se-

    mestinya harus dilakukan atau dibatalkan melalui per-

    tumpahan darah, (Baca serial Pendekar Kembar dalam 

    episode:"Tantangan Mesra").

    Kini kedua pemuda itu menjadi punya beban 

    untuk lindungi Tabib Kubur, sekalipun mungkin Tabib 

    Kubur bisa atasi sendiri dendam si Iblis Tambak Getih 

    itu. Namun sebagai balas jasa Pendekar Kembar, me-

    reka harus bisa cegah si Iblis Tambak Getih agar tidak 

    menyentuh Tabib Kubur, yang sudah dianggap seperti 

    kakek sendiri oleh Raka dan Soka itu.

    "Oh...?!" Lahar Jalanan terperanjat sendiri tan


    pa sebab tak pasti. Yang jelas ia segera tertegun den-

    gan wajah sedikit tegang. Hal itu memancing perhatian 

    dan rasa ingin tahu bagi Raka Pura.

    "Ada apa, Paman?"

    "Hatiku Jadi tak enak. Jangan-jangan Tabib 

    Kubur sudah berhasil dibunuh oleh si Iblis Tambak 

    Getih itu?! Kini Raka Pura dan adiknya ikut-ikutan te-

    gang. Mereka saling pandang dan sama-sama punya 

    niat untuk lekas-lekas pergi ke Bukit Gamping.

    *

    * *

    2


    PADA mulanya Lahar Jalanan ingin merahasia-

    kan tempat tinggal si Iblis Tambak Getih. Lahar Jala-

    nan tak ingin kedua pemuda kembar itu terlibat dalam 

    urusan dendam pribadinya.

    Tapi setelah Pendekar Kembar pamit mau ke 

    Bukit Gamping untuk membantu Tabib Kubur, Lahar 

    Jalanan berubah pikiran. Ia pun akhirnya ikut ke Bu-

    kit Gamping. Mereka menelusuri tepian hutan Pantai 

    Rangsang.

    Tiba-tiba Soka Pura berseru mengagetkan, 

    "Tunggu sebentar, Paman!"

    Langkah mereka berhenti. Dua orang itu mena-

    tap Soka, sementara Soka menatap ke arah pantai. 

    Rupanya di pantai ada pemandangan yang menarik 

    perhatian Soka. Pandangan mata Raka dan Lahar Ja-

    lanan segera diarahkan ke pantai.

    "Ada dua kepala lagi, Paman!" "Gila!" gumam 

    Lahar Jalanan, kemudian mendahului Pendekar Kem-

    bar melesat ke pasir pantai.


    Lahar Jalanan memandang dengan mata tak 

    berkedip ke arah dua kepala yang tertancap di atas 

    dua batang bambu. Dua kepala yang terpenggal itu 

    adalah kepala gadis berusia sekitar dua puluh tiga ta-

    hun. Masing-masing korban berambut pendek dan 

    berwajah cantik.

    Raka Pura merasa sedang dipermainkan oleh si 

    pemenggal kepala, karena kali ini Jantung Raka berde-

    tak lebih kuat lagi. Bahkan tak bisa berucap kata ka-

    rena tak tega melihat dua wajah cantik yang terpenggal 

    secara sadis itu.

    "Darahnya masih basah, Paman," ujar Soka Pu-

    ra dengan dada bergemuruh. Kemarahannya mulai 

    terpancing begitu melihat kedua korban kali ini adalah 

    gadis-gadis cantik yang tampaknya berilmu sedang-

    sedang saja itu. Baik Raka maupun Soka tidak men-

    genal kedua korban tersebut, tapi kemarahan mereka 

    sama-sama terpancing, sehingga hasrat untuk beradu 

    muka dengan si pembunuh sadis membuat mereka 

    sangat penasaran.

    "Kali ini kami tidak tahu siapa kedua gadis itu, 

    Paman."

    "Pengawalnya Ratu Sedap Malam," Jawab Lahar 

    Jalanan dengan datar. Agaknya Pak Tua itu juga me-

    nahan kegeraman dalam hatinya, karena menaruh ra-

    sa haru dan tak tega melihat korban masih muda-

    muda.

    Dua kepala gadis cantik yang dipajang berjeje-

    ran itu berlumur darah basah, sekalipun sudah tidak 

    segar lagi. Tapi mereka dapat memperkirakan pemeng-

    galan itu terjadi dalam waktu kurang dari setengah ha-

    ri. Sementara itu, tetesan darah di sekitar tempat ter-

    sebut tidak ada. Tetesan darah hanya ada di sekitar 

    kedua batang bambu yang dipakai menancapkan ke-

    pala yang terpenggal itu.


    Raka Pura perhatikan jejak telapak kaki yang 

    menuju ke perairan pantai. Ternyata badan kedua ga-

    dis ada di lautan, agak jauh dari pantai, namun keliha-

    tan sedang terapung-apung dipermainkan ombak.

    Jejak kaki itu hanya milik satu orang yang se-

    pertinya melangkah dari tempat ditancapkannya kepa-

    la itu menuju ke perairan laut, setelah sampai di sana 

    ia tak kembali lagi ke hutan pantai, karena tak ada je-

    jak telapak kaki yang kembali ke arah semula.

    "Paman, coba perhatikan Jejak telapak kaki ini. 

    Sepertinya si pelaku berjalan dari tempat kepala ini ke 

    perairan sana, lalu menghilang di sana tanpa kembali 

    lagi kemari. Aneh sekali, Paman," ujar Raka Pura.

    Lahar Jalanan memperhatikan Jejak telapak 

    kaki tersebut. Untuk sesaat ia diam merenunginya. 

    Soka Pura pun ikut memikirkan jejak telapak kaki itu. 

    Sepintas dugaannya mengatakan, pelaku pemenggalan 

    kepala itu adalah orang yang mampu berjalan di atas 

    air, membuang raga korban dan lenyap di tengah sa-

    mudera. Seolah-olah pelakunya adalah orang yang 

    mampu hidup di kedalaman laut.

    "Bagi si iblis Tambak Getih, bukan hal yang su-

    lit untuk melompat dari tepian perairan kembali ke hu-

    tan. Ia bisa melayang seperti terbang sejauh sepuluh 

    tombak lebih," ujar si Lahar Jalanan yang membuat 

    Pendekar Kembar segera perhatikan ke arahnya.

    "Maksud Paman, Iblis Tambah Getih mem-

    buang raga ke lautan, kemudian kembali ke hutan 

    dengan cara melayang seperti terbang?" ujar Raka Pu-

    ra.

    "Benar. Tapi... tapi mengapa kedua pengawal 

    Nyai Ratu yang dijadikan korban?!" Lahar Jalanan 

    menggumam seperti bicara sendiri.

    "Seharusnya ia tidak lakukan terhadap orang-

    nya Ratu Sedap Malam," tambah Lahar Jalanan dalam


    gumamannya.

    "Mengapa seharusnya demikian, Paman?" de-

    sak Raka.

    "Iblis Tambak Getih pantang membunuh pe-

    rempuan, kecuali hanya melukai atau mencederai. ia 

    punya ilmu yang akan hilang jika membunuh kaum 

    perempuan. Ilmu itu bernama ilmu 'Taring Betina', 

    yang membuat ia selalu dikasihani oleh kaum wanita."

    "Mungkin... mungkin ilmu itu sudah punah, 

    sehingga ia tega lakukan kekejamannya terhadap ke-

    dua gadis malang ini, Paman," ujar Soka Pura.

    "Hmmm, ya. Mungkin saja begitu," Lahar Jala-

    nan pun manggut-manggut. "Sebaiknya hal ini kula-

    porkan dulu kepada Nyai Ratu, agar ia perintahkan 

    kepada para pengawalnya untuk berhati-hati jika ber-

    temu iblis Tambak Getih!"

    "Aku ikut mendampingimu, Paman!" sergah So-

    ka Pura. Kemudian ia berkata kepada kakaknya.

    "Sebaiknya kau lekas ke Bukit Gamping, Raka. 

    Siapa tahu Iblis Tambak Getih sedang menuju ke sana. 

    Kalau bisa kau temui Kakek Tabib sebelum Iblis Tam-

    bak Getih menemui beliau."

    "Kurasa itu gagasan yang bagus. Aku akan ke 

    Bukit Gamping sekarang juga!" ujar Raka Pura merasa 

    tak keberatan dengan usul adiknya yang selaras den-

    gan jalan pikirannya.

    Raka Pura pun segera berkelebat ke Bukit 

    Gamping dengan gerakan secepat hembusan badai 

    yang paling cepat, karena ia menggunakan jurus 'Jalur 

    Badai'-nya. Sementara itu, Soka Pura mendampingi si 

    Lahar Jalanan untuk menghadap Ratu Sedap Malam, 

    memberitahukan tentang nasib kedua gadis itu. Raka 

    potong kompas menerabas hutan, sedangkan Soka dan 

    Lahar Jalanan menelusuri tepian hutan pantai. Karena 

    menurut Lahar Jalanan, letak pesanggrahan Ratu Se


    dap Malam yang mirip Istana kecil itu ada di hutan te-

    pian pantai.

    Tapi sebelum mereka tiba di pesanggrahan 

    sang Ratu, mereka kembali temukan kepala tiga orang

    gadis yang dipajang seperti yang sudah-sudah. Soka 

    Pura semakin gemetar menahan kemarahan melihat 

    tiga kepala gadis muda yang ditusukkan pada tiga ba-

    tang bambu. Darah mereka masih tampak segar, per-

    tanda peristiwa pemenggalan itu terjadi belum lama. 

    Mungkin juga pelakunya belum seberapa jauh dari 

    tempat tersebut.

    "Jangan-jangan iblis Tambak Getih menuju ke 

    pesanggrahan sang Ratu, Paman!" ujar Soka dengan 

    napas mulai memburu karena menahan kemarahan.

    "Jika begitu kita harus cepat-cepat sampai di 

    pesanggrahan sebelum iblis Tambak Getih membantai

    habis orang-orangnya Nyai Ratu Sedap Malam!"

    Soka Pura dan Lahar Jalanan cepat-cepat ber-

    kelebat ke arah pesanggrahan. Kecepatan gerakan La-

    har Jalanan ternyata bisa mengimbangi kecepatan Ju-

    rus 'Jalur Badai'-nya Pendekar Kembar bungsu, se-

    hingga dalam waktu singkat mereka sudah sampai di 

    batas pesanggrahan yang diberi tanda bangunan gapu-

    ra berbatu tinggi. Di depan gerbang yang menjadi sim-

    bol batas pesanggrahan atau istana kecil itu ada tiga 

    orang penjaga. Satu di antaranya seorang pemuda be-

    rusia sebaya dengan Soka Pura bersenjata tombak, 

    dua penjaga lainnya gadis cantik bersenjata pedang di 

    pinggang. Agaknya tingkatan ilmu kedua gadis itu le-

    bih tinggi dari pemuda tersebut.

    Rupanya mereka sudah kenali si Lahar Jala-

    nan, sehingga sikap mereka menjadi ramah dan penuh 

    hormat. Tapi terhadap Soka Pura, pandangan mata 

    mereka tampak penuh curiga, membuat Soka tak enak 

    hati.


    "Siapa pemuda ini, Ki Lahar?!" tanya salah seo-

    rang gadis penjaga yang berpakaian abu-abu.

    "Dia adalah satu dari Pendekar Kembar yang 

    bernama Soka Pura."

    Kedua gadis itu memandang dengan terperan-

    gah, tapi si pemuda bersenjata tombak kerutkan dahi. 

    sepertinya tak percaya bahwa Soka Pura adalah salah 

    satu dari Pendekar Kembar. Kedua gadis itu sungging-

    kan senyum kikuk ketika membalas senyuman Soka, 

    tapi pemuda berompi coklat dengan celana hitam itu 

    tak membalas senyuman Soka sedikit pun. Justru 

    tombaknya sedikit diarahkan kepada Soka. Lahar Ja-

    lanan mengetahui hal itu, tapi ia bersikap pura-pura 

    tidak tahu.

    "Kami ingin menghadap Nyai Ratu. Ada berita 

    penting yang harus kami sampaikan," ujar Lahar Jala-

    nan kepada kedua gadis berambut pendek itu.

    "Gusti Ratu sedang ada tamu, Ki Lahar. Sudi 

    kiranya menunggu beberapa saat," tutur si gadis ber-

    pakaian kuning kunyit itu.

    Pemuda berompi coklat menyahut, "Kurasa 

    buat Ki Lahar Jalanan bisa saja langsung masuk dan 

    menunggu di regol dalam. Tapi untuk pemuda itu, ha-

    rus tetap dl sini."

    "Mengapa ia tak kau izinkan ikut denganku?!" 

    tanya si Lahar Jalanan kepada pemuda berompi cok-

    lat.

    "Kami belum tahu persis siapa dia. Bisa saja 

    dia mengaku-aku sebagai salah satu dari Pendekar 

    Kembar yang namanya sedang ramai dibicarakan 

    orang itu. Demi keamanan, sebaiknya pemuda itu te-

    tap tinggal di sini, Ki Lahar!"

    Soka Pura tersenyum kalem. Hatinya memba-

    tin. "Heh, heh, heh... belum tahu dia?!"

    Lahar Jalanan menyapa pemuda itu lagi, "Siapa


    namamu, Nak?"

    "Prawira, Ki!"

    "Hmmm, begin! maksudku, Prawira...," Lahar 

    Jalanan tetap kalem. "Kau boleh saja tidak percaya 

    dengan pengakuannya, tapi kau harus mencoba dulu 

    ilmunya. Jika orang mengaku-aku sebagai Pendekar 

    Kembar, maka ia tak akan dapat tumbangkan dirimu. 

    Tapi jika ia benar salah satu dari Pendekar Kembar 

    tentunya ia dapat tumbangkan dirimu dengan mudah."

    Lahar Jalanan menatap Soka, "Bukankah begi-

    tu Soka?"

    "Itu terlalu muluk-muluk, Paman. Mungkin 

    memang aku tak bisa tumbangkan sobat kita itu. Tapi 

    jika hanya membuatnya sekarat, kurasa aku masih bi-

    sa. Itu pun untung-untungan," ujar Soka Pura meren-

    dah dengar sindiran.

    "Kau dengar sendiri, Prawira?!" ujar Lahar Ja-

    lanan.

    Prawira semakin tajam menatap Soka. Sikap 

    permusuhannya kian ditonjolkan. ia bicara dengan 

    menuding Soka seenaknya saja.

    "Hei, kau pikir siapa aku sehingga akan mudah 

    kau buat sekarat, hah?! Coba rasakan jurus tombakku 

    ini! Hiaaah...!"

    Prawira menyentakkan tombaknya ke depan. 

    Arahnya ke dada Soka. Tapi tusukan tombak itu di-

    hindari Soka dengan memiringkan badan secara cepat. 

    Seet, wuut...!

    Tombak yang tak kenai sasaran itu segera di

    sambarkan ke kanan, sedikit naik. Sasarannya ingin 

    merobek dagu Soka. Namun dengan cepat Soka Pura 

    sentakkan kepala ke belakang dengan sedikit leng-

    kungkan tubuh. Wees...! Tombak itu lolos dari sasa-

    ran.

    Prawira lompat ke samping, agar berhadapan


    dengan lawannya lagi. Tombak pun dihujamkan ke 

    leher Soka. Wuuut...! Soka Pura kembali miringkan 

    tubuhnya ke kiri, dan tangan kirinya segera menyam-

    bar tombak tersebut. Seet...!

    Tangan itu sedikit melilit di batang tombak, dan 

    sikunya menghentak ke bawah. Krrakk...! Gerakan ce-

    pat yang nyaris tak terlihat itu mematahkan tombak 

    bergagang kayu jati besi yang seharusnya sulit dipa-

    tahkan.

    Prawira dan dua gadis temannya terbelalak me-

    lihat tombak itu patah. Kedua gadis itu lebih kaget lagi 

    setelah melihat Soka Pura memutar tubuh dan ka-

    kinya menjejak ke belakang. Beet...! Dada Prawira ter-

    kena jejakkan itu dengan telak. Buuhk...!

    Wees...! Bruuuk...!

    Prawira terpental sejauh lima tombak. Tubuh-

    nya jatuh terbanting dengan dada memar membiru. 

    Pemuda itu tersengal-sengal nyaris tak bisa bernapas. 

    Sementara Soka Pura berdiri dengan tegak, kedua ka-

    kinya sedikit merenggang. Ia tampil dalam keadaan ga-

    gah dan tampak perkasa.

    Kedua gadis itu segera membantu Prawira un-

    tuk bangkit. Pemuda tersebut terbatuk-batuk, lalu ke-

    luarkan darah kental dari mulutnya.

    "Ki Lahar.... Prawira terluka! Kurasa ini lukanya 

    cukup berbahaya, Ki Lahar! Tolonglah dia!"

    "Biarkan saja dia merasakan rasa tidak per-

    cayanya!"

    "Ta... tapi...," gadis berpakaian abu-abu tak jadi 

    bicara, karena Lahar Jalanan segera berkata kepada 

    Soka.

    "Apakah luka itu akan mematikan?!"

    "Tidak, Paman!" tegas Soka. "Hanya akan mem-

    buat tulang dadanya sedikit retak, namun tujuh hari 

    kemudian ia akan sehat kembali!"


    "Perlu diobati?"

    "Kurasa tidak perlu, Paman. Prawira sudah cu-

    kup sakti. Aku yakin dia bisa mengobati lukanya itu."

    Prawira yang mendengar percakapan tersebut 

    merasa dongkol sekali, namun ia tak bisa lakukan 

    apa-apa, karena sekujur tubuhnya kini merasa seperti 

    dicambuki. Sakit semua.

    "Sebaiknya minta tukar saja," kata Soka kepada 

    gadis berpakaian kuning kunyit. "Mintalah tukar te-

    man jaga yang kokoh dan tidak selembek getuk macam 

    dia."

    Gadis berpakaian kuning kunyit itu hanya me-

    narik napas. Ia serba salah dalam bersikap, karena ia 

    pun sebenarnya kurang suka dengan sikap Prawira 

    yang selalu merasa sok jago itu.

    "Apakah kami masih tak boleh masuk bersama-

    sama?" tanya Lahar Jalanan kepada gadis berpakaian 

    abu-abu.

    "Hmm, eeh... sebaiknya memang Ki Lahar Jala-

    nan masuk bersama Pendekar Kembar itu. Kurasa... 

    kurasa sebentar lagi tamu kami akan pulang dan Ki 

    Lahar bisa segera menghadap Gusti Ratu!"

    "Baik. Terima kasih atas izinmu, Nona Manis," 

    ujar Lahar Jalanan dengan tudungnya yang tadi sedi-

    kit diangkat, kini diturunkan lagi hingga menutupi se-

    bagian wajahnya.

    Sebelum melangkah, Soka Pura sempat ajukan 

    tanya kepada gadis berpakaian abu-abu.

    "Maaf, kalau boleh kami ingin tahu, siapa tamu 

    yang menghadap Nyai Ratu kalian itu?!"

    "Nyai Sangkal Putung!"

    "Siapa...??!" Lahar Jalanan tersentak kaget 

    mendengar jawaban gadis berpakaian abu-abu itu. Ia 

    segera dekati gadis yang masih pegangi lengan Prawira 

    itu.


    "Nyai Sangkal Putung datang bertamu kema-

    ri?!"

    "Benar, Ki! Beliau datang bersama muridnya 

    yang bernama Mata Bidadari," tegas gadis itu.

    Soka Pura merasa heran melihat Lahar Jalanan 

    sedikit tegang, bahkan beberapa kejap setelah terte-

    gun, Lahar Jalanan segera melangkah memasuki ga-

    pura tersebut.

    "Cepat kita temui Nyai Ratu!" ujar Lahar Jala-

    nan kepada Soka Pura. Tentu saja Soka hanya ikut-

    ikutan bergegas dengan langkah cepat.

    Namun di ambang gapura, langkah Pak Tua itu 

    terhenti lagi. Ia berpaling memandang gadis berpa-

    kaian abu-abu.

    "Panggil penjaga lainnya untuk perkuat penja-

    gaan.

    Jangan biarkan Nyai Sangkal Putung atau mu-

    ridnya tinggalkan tempat ini tanpa bersamaku!" "Apa 

    maksudmu, Ki?"

    "Lakukan apa yang kuperintahkan tadi demi 

    keselamatan kalian dan Nyai Ratu!"

    Setelah berkata demikian, Lahar Jalanan te-

    ruskan langkah yang segera disusul oleh Soka Pura.

    "Agaknya ada sesuatu yang menegangkan hati 

    Paman Lahar Jalanan. Siapa sebenarnya orang yang 

    bernama Nyai Sangkal Putung itu, Paman?!" tanya So-

    ka sambil mengiringi langkah Pak Tua itu.

    "Sangkal Putung adalah adik dari Iblis Tambak 

    Getih!"

    "Oo...?!" Soka Pura sedikit terperanjat.

    "Besar kemungkinan ia membantu kakaknya 

    dalam pemenggalan itu. Mungkin sekarang sasarannya 

    adalah Ratu Sedap Malam sendiri!"

    "Apakah Nyai Ratu tidak bisa selamatkan diri 

    sendiri jika hal itu sampai terjadi, Paman?"


    "Ratu Sedap Malam akan tumbang di tangan 

    Sangkal Putung, karena ilmu silatnya tidak lebih tinggi 

    dari ilmu silat yang dimiliki Sangkal Putung!" Jawab 

    Lahar Jalanan dengan nada masih terkesan tegang.

    "Bagaimana dengan muridnya; si Mata Bidadari 

    itu, Paman?"

    "Kurasa kau bisa mengurusnya sendiri. Aku 

    akan mengurus si Sangkal Putung!" tegas Lahar Jala-

    nan. "Tapi pertama kali kita harus timbulkan kesan 

    baik-baik

    saja. Jangan tampakkan permusuhan agar 

    Sangkal Putung tidak curiga terhadap kehadiran kita, 

    Soka!"

    "Bagaimana jika ternyata Nyai Sangkal Putung 

    sudah menyerang Ratu Sedap Malam?!"

    "Apa boleh buat! Kita membaur dalam perta-

    rungan itu! Apakah kau sudah siap, Soka?!"

    "Aku sudah slap, Paman!" tegas Soka Pura den-

    gan menarik napas panjang dan mengencangkan dada 

    serta kedua tangannya.

    *

    * *

    3


    PANTAS jika penguasa Pantai Rangsang itu 

    bernama Ratu Sedap Malam. Soka Pura melihat ba-

    nyak tanaman bunga Sedap Malam yang tumbuh di 

    sepanjang perjalanan dari gerbang utama sampai ke 

    pesanggrahan atau istana kecil itu. Bunga putih itu ti-

    dak menyebarkan harum wangi pada siang hari. Tapi 

    pada malam hari, bunga itu akan menyebarkan aroma 

    wangi, yang jika angin bertiup ke arah laut, maka


    orang-orang kapal yang sedang berlayar melalui lautan 

    itu akan mencium aroma wanginya.

    Rupanya sang Ratu adalah pecinta bunga Se-

    dap Malam, sehingga nama bunga itu dipakai sebagai 

    ganti nama aslinya. Menurut si Lahar Jalanan, sang 

    Ratu mempunyai nama asli Wulandani. Ia putri seo-

    rang raja yang terbuang karena dianggap sebagai anak 

    haram hasil hubungan gelap antara ibunya dengan 

    seorang lelaki simpanan. Ia diasingkan ke pantai ter-

    sebut, sampai akhirnya ia berhasil membangun istana 

    kecil yang sering disebut sebagai pesanggrahan. Se-

    mentara sanak saudaranya sekarang sudah tiada. Ke-

    rajaan milik ayahnya sudah dikuasai oleh raja lain, 

    dan Wulandani tak berani merebut takhta kekuasaan 

    tersebut karena tak memiliki kekuatan cukup diband-

    ing lawannya.

    Kekuasaan sang Ratu meliputi seluruh Pantai 

    Rangsang sebelah timur dan sebelah barat. Desa ne-

    layan tempat si Lahar Jalanan tinggal bersama masya-

    rakat nelayan itu termasuk daerah kekuasaan sang 

    Ratu untuk wilayah timur. Menurut penuturan si La-

    har Jalanan, sang Ratu sering membantu penduduk 

    desa yang kekurangan sandang maupun pangan. 

    Hampir semua penduduk yang tinggal di sekitar wi-

    layah Pantai Rangsang bersikap memihak kepada Ratu 

    Sedap Malam, menaruh hormat dan mengagungkan 

    sang Ratu.

    Bagi sang Ratu sendiri, nama Lahar Jalanan 

    bukanlah nama asing lagi. Sang Ratu yang juga terma-

    suk tokoh di rimba persilatan itu mempunyai seorang 

    guru, dan gurunya itu adalah sahabat dengan si Lahar 

    Jalanan. Namun sang Ratu sangat paham dengan pen-

    gasingan diri si Lahar Jalanan, sehingga ia tak pernah 

    bicara kepada tokoh lainnya tentang di mana tempat 

    tinggal Lahar Jalanan sekarang. Sang Ratu sering ber


    kunjung ke rumah Lahar Jalanan atau sesekali me-

    nyuruh pengawalnya menjemput Lahar Jalanan untuk 

    dibawa ke istana kecilnya hanya sekadar untuk dimin-

    tai pendapat dalam beberapa hal yang akan dilakukan 

    sang Ratu.

    Oleh sebab itu, kehadiran si Lahar Jalanan se-

    gera disambut oleh pengawal gerbang dalam. Biasanya 

    Jika sang Ratu sedang ada tamu, maka tamu lain di-

    persilakan menunggu di ruangan lain. Tapi kali ini ka-

    rena Lahar Jalanan mendesak, maka sang pengawal 

    pun sampaikan desakan itu kepada Ratu Sedap Ma-

    lam.

    Penyampaian tersebut dilakukan secara bisik-

    bisik, karena Lahar Jalanan memang berpesan agar si 

    pengawal melakukannya demikian.

    Kejap kemudian, si pengawal kembali kepada 

    Lahar Jalanan dan Soka Pura. Kemudian ia memandu 

    ke dua tamunya itu untuk masuk ke ruang paseban 

    alias ruang pertemuan yang biasa untuk menerima 

    tamu atau mengadakan rapat antara sang Ratu den-

    gan bawahannya.

    "Selamat datang, Paman Lahar Jalanan! Men-

    gapa tak memberi kabar lebih dulu jika ingin datang 

    kemari? sapa Ratu Sedap Malam dengan senyum ra-

    mah.

    Lahar Jalanan bersikap kalem. Tudung kepa-

    lanya dilepas dan digantungkan di punggungnya. Ratu 

    Sedap Malam lemparkan pandangan kepada pemuda 

    tampan yang masih asing baginya. Pemuda tersebut 

    juga pandangi sang Ratu dengan senyum ramah dan 

    hati menggumam penuh pujian.

    "Cantik juga rupanya. Kurasa ia masih berusia 

    sekitar tiga puluh lima tahun. Tapi kecantikannya be-

    lum pudar sedikit pun. Hmmm... mana suaminya?!"

    Sambil luncurkan gumam hati yang nakal, So


    ka Pura pandangi perempuan bersanggul indah den-

    gan wajah cantiknya yang berkulit putih itu. Rupanya 

    Ratu Sedap Malam bukan saja mempunyai kecantikan 

    yang menawan, namun juga mempunyai bentuk tubuh 

    yang sintal dan sekal. Cukup menarik perhatian kaum 

    pria.

    Ratu Sedap Malam kenakan jubah sutera war-

    na jingga dengan pakaian dalam pinjung sutera den-

    gan bintik-bintik emas. Selain perhiasannya lengkap 

    walau ini berlebihan, ia juga mengenakan mahkota ke-

    cil dari batu-batu berkilauan.

    "Nyai Ratu, kedatanganku ini memang tak 

    sempat kuberitahukan sebelumnya, karena sifatnya 

    sangat mendadak," ujar Lahar Jalanan. "Ada sesuatu 

    yang umat penting untuk kita bicarakan, Nyai Ratu. 

    Tapi sebelumnya... perkenalkan, aku membawa seo-

    rang pemuda yang ternyata adalah murid sahabatku 

    sendiri. Pemuda ini bernama Soka Pura, dia adalah...."

    Soka Pura buru-buru menyahut sebelum di-

    perkenalkan sebagai Pendekar Kembar.

    "Aku hanya seorang pengelana biasa, Nyai Ra-

    tu! Kebetulan aku...."

    Soka Pura belum selesai bicara sudah disahut 

    seorang tamu tua yang sejak tadi sudah ada di depan 

    sang Ratu.

    "Tak perlu merendahkan diri dan sembunyikan 

    nama besarmu, Anak Muda. Soka Pura adalah nama 

    salah satu dari Pendekar Kembar. Aku tahu persis hal 

    itu."

    Soka Pura terpaksa nyengir tersipu. Sang Ratu 

    sedikit terperangah dan matanya tak berkedip pandan-

    gi Soka Pura. Sementara itu, ada juga sepasang mata 

    yang tak berkedip pandangi Soka dari arah samping 

    kanan. Sepasang mata itu milik seorang gadis berusia 

    sekitar dua puluh dua tahun, namun bertubuh tinggi,


    sekal, padat, dan montok. Gadis itu mempunyai mata 

    yang indah dan bening. Jika memandang, pandangan 

    matanya menyejukkan hati, menghadirkan bunga-

    bunga indah dalam hati lawan jenisnya. Si gadis cantik 

    berbaju buntung warna merah tua dengan celana ke-

    tatnya yang merah tua juga itu tak lain adalah si Mata 

    Bidadari, murid Nyai Sangkal Putung yang ada di 

    samping kirinya.

    Soka Pura semakin berdebar-debar ketika pan-

    dangan matanya beradu dengan tatapan pandang si 

    Mata Bidadari. Ia sempat rasakan hadirnya keindahan 

    yang menggelisahkan, namun rasa itu segera dikuasai 

    dan pandangannya segera dialihkan kepada Ratu Se-

    dap Malam. Karena pada saat itu, sang Ratu pun sege-

    ra menyapa Soka Pura dengan penyambutannya yang 

    ramah.

    "Selamat datang di pesanggrahan ku, Pendekar 

    Kembar. Senang sekali menerima kunjungan mu yang 

    sangat di luar dugaan ini."

    "Terima kasih atas sambutan mu, Nyai Ratu. 

    Tapi perlu diketahui, bahwa kunjungan ku ini hanya 

    sekadar mendampingi Paman Lahar Jalanan. Jadi ku-

    rasa tak perlu ada sambutan yang berlebihan, Nyai Ra-

    tu." Nenek berusia tujuh puluh tahun kurang yang 

    berjubah biru tua kusam itu segera perdengarkan sua-

    ranya lagi, khususnya ditujukan kepada Ratu Sedap 

    Malam.

    "Rupanya nasibmu sedang beruntung, Sedap 

    Malam. Kedua tamumu yang datang kali ini siap dija-

    dikan tumbal apa yang kubicarakan tadi."

    "Jaga mulutmu, Sangkal Putung!" sergah si La-

    har Jalanan. "Apa maksudmu berkata demikian?!"

    Nyai Sangkal Putung yang bertubuh kurus, 

    tinggi, dan bermata cekung itu sunggingkan senyum 

    sinis. Sambil pegangi tongkat berukir kepala singa


    dengan diberi rambut-rambut palsu dari serat rami, 

    Nyai Sangkal Putung pindah posisi agar lebih dekat 

    dengan si Lahar Jalanan.

    "Apakah kau tahu, ada bahaya sedang mengin-

    car Pantai Rangsang?!"

    "Tentu saja kau lebih tahu, karena kakakmu 

    yang menjadi pelakunya!" ketus Lahar Jalanan. Nyai 

    Sangkal Putung menggeram dengan mata cekungnya 

    menatap tajam sekali.

    "Jangan sebut-sebut lagi mendiang kakakku. 

    Lahar Jalanan! Bisa kubunuh di sini kau!"

    Soka Pura sedikit berkerut dahi mendengar

    ucapan Nyai Sangkal Putung.

    "Aku bicara apa adanya, Sangkal Putung! Kepa-

    la-kepala yang terpenggal dan ditancapkan di sepan-

    jang Pantai Rangsang itu adalah pekerjaan kakakmu; 

    si iblis Tambak Getih!"

    "Lahar Jalanan...!!" geram Nyai Sangkal Putung 

    dengan tangan menggenggam tongkatnya kuat-kuat. 

    Geram yang bernada ancaman itu tidak membuat La-

    har Jalanan merasa gentar sedikit pun. Pak Tua itu ju-

    stru tersenyum sinis dan memandang ke arah Ratu 

    Sedap Malam.

    "Mengapa kau tidak segera menugaskan orang-

    orang untuk memakamkan mereka yang menjadi kor-

    ban terpenggal itu, Nyai?!"

    "Korban terpenggal bagaimana maksudmu, 

    Paman?!" Ratu Sedap Malam kerutkan dahi dan sedikit 

    tegang.

    "Jadi kau belum tahu kalau lima orangmu, ga-

    dis-gadis muda itu, kepalanya dipenggal dan dipajang 

    di sepanjang pantai bagian timur?!"

    "Ooh...?! Benarkah itu?" Ratu Sedap Malam 

    semakin gusar.

    "Bahkan ada dua kepala dari pihak lain yang


    ikut dipajang di dekat desa ku sana! Justru aku da-

    tang kemari bersama Soka Pura untuk memberitahu-

    kan padamu tentang hal itu!"

    Ternyata bukan hanya Ratu Sedap Malam yang 

    menjadi tegang, melainkan si Mata Bidadari dan Nyai 

    Sangkal Putung juga menjadi tegang, sepertinya guru 

    dan murid itu baru tahu tentang adanya kepala-kepala 

    yang terpenggal di wilayah timur Pantai Rangsang itu. 

    Sang Ratu pun segera memanggil utusannya.

    "Bintari...!" serunya kepada sang utusan yang 

    cepat menghadap begitu mendengar panggilannya.

    "Periksa daerah timur! Buktikan berita tentang 

    lima orang kita yang terpenggal kepalanya di sana!"

    "Baik, Gusti Ratu!" Bintari pun bergegas pergi 

    dengan langkah tegap, penuh keberanian dan ketaatan 

    terhadap ratunya.

    "Sedap Malam," ujar Nyai Sangkal Putung. 

    "Jangan mau terkecoh oleh kabar yang hanya akan bi-

    kin suasana di sini menjadi semakin keruh! Apa yang 

    dikatakan si tua busuk Lahar Jalanan itu hanya 

    omong kosong belaka!"

    "Nyai Sangkal Putung, seingatku Paman Lahar 

    Jalanan tak pernah dusta dalam ucapannya. Aku per-

    caya dengan apa yang dikatakan beliau tadi!"

    "Kau akan menyesal mempercayainya, Sedap 

    Malam! Bahaya yang ku maksud tadi bukan soal pe-

    menggalan kepala! Mungkin si tua busuk itu punya ca-

    ra sendiri untuk memperkeruh keadaan di Pantai 

    Rangsang ini!"

    "Mengapa kau takut kalau kabar dariku ini 

    menjadi kenyataan, Sangkal Putung?!" potong si Lahar 

    Jalanan. "Apakah kau takut kalau kekejaman kakak-

    mu: si Iblis Tambak Getih, diketahui oleh Nyai Ratu 

    ini?! Hmmm...! Sudah bukan rahasia lagi bagiku, 

    Sangkal Putung! Kakakmu selalu melemparkan mayat


    di sekitar orang yang ditantangnya! Kali ini ia ingin 

    menantangku kembali dengan memajang kepala-

    kepala orang tak bersalah itu di sekitar tempat tinggal-

    ku! Katakan kepadanya, aku tidak akan mundur seta-

    pak pun jika harus bertarung kembali dengannya se-

    kalipun usiaku sudah semakin tua begini!"

    "Keparat kau, Lahar Jalanan!" geram Nyai 

    Sangkal Putung, kemudian ia menyodokkan ujung 

    tongkatnya dari samping kiri ke arah rahang si Lahar 

    Jalanan. Wuuut...! Taap...! Dengan gerakan tak kenta-

    ra, tangan Lahar Jalanan menadah ke rahangnya dan 

    ujung tongkat pun berhasil ditangkap kuat-kuat.

    Nyai Sangkal Putung kerahkan tenaga untuk 

    menekan tongkatnya, tapi Lahar Jalanan segera mem-

    buka genggamannya dan sentakkan tangannya dengan 

    tenaga dalam, sehingga tubuh Nyai Sangkal Putung 

    tersentak ke belakang. Wuuut...!

    "Guru...!" pekik si Mata Bidadari yang segera 

    menangkap tubuh gurunya hingga tak jadi terpelanting 

    jatuh.

    "Biar kuhadapi dia, Guru!" tambah si gadis se-

    telah sang Guru tegak kembali. Ia segera maju ke de-

    pan gurunya, menghadap ke arah Lahar Jalanan.

    Soka Pura tersenyum kalem. Ia mencolek pun-

    dak si Lahar Jalanan.

    "Paman, agaknya sekarang giliranku! Mundur-

    lah sedikit, Paman!" ujarnya dengan kalem sekali. La-

    har Jalanan pun mundur dan berikan tempat untuk 

    Soka Pura yang ingin berhadapan dengan si Mata Bi-

    dadari.

    "Hentikan! Hentikan semua ini!" seru sang Ratu 

    sambil bergegas bangkit dari tempat duduknya.

    "Aku tak ingin tempat ini menjadi arena perta-

    rungan!" tambahnya lagi dengan tegas, membuat Soka 

    Pura menjadi hembuskan napas dan menyisih, semen


    tara si Mata Bidadari pun ikut kendorkan ketegangan-

    nya.

    "Paman Lahar Jalanan...," ujar sang Ratu. "Nyai 

    Sangkal Putung datang kemari untuk sampaikan ka-

    bar penting tentang bahaya yang akan melanda Pantai 

    Rangsang! Mengapa Paman bersikap bermusuhan ke-

    pada Nyai Sangkal Putung?!"

    "Kakaknya punya dendam pribadi denganku. 

    Tapi aku tak suka jika ia menantangku dengan cara 

    memenggal kepala orang lain sebagai undangan ke 

    pertarungannya. Terlebih yang menjadi korban ter-

    penggal adalah lima orangmu, Nyai Ratu. Aku sangat 

    tak suka dengan cara seperti itu!"

    "Lahar Jalanan!" sentak Nyai Sangkal Putung. 

    "Ku ingatkan padamu sekali lagi, jangan sangkut 

    pautkan masalah ini dengan mendiang kakakku: si Ib-

    lis Tambak Getih! Dia memang musuh bebuyutan mu. 

    Tapi itu dulu, semasa ia masih hidup!"

    Lahar Jalanan mulai sadar dengan ucapan itu.

    "Apa maksudmu? Semasa dia masih hidup?! 

    Apakah sekarang dia...."

    "Jangan berlagak tolol, Lahar Jalanan! Kakak-

    ku sudah terkubur satu tahun yang lalu!"

    Lahar Jalanan terkejut, dahinya berkerut tajam 

    sekali. Pandangan matanya segera beralih kepada Soka 

    Pura. Ternyata pemuda itu berwajah heran. Lahar Ja-

    lanan melangkah dekati Soka dan bicara dengan pelan 

    sekali.

    "Menurutmu, apakah aku harus percayai kata-

    katanya?"

    "Sebaiknya begitu, Paman. Dari tadi sebenarnya 

    ia tersinggung karena Paman sangkut pautkan nama 

    mendiang kakaknya itu."

    "Paman," ujar Ratu Sedap Malam. "Apa yang 

    dikatakan Nyai Sangkal Putung itu memang benar. Iblis Tambak Getih sudah tewas sekitar satu tahun yang 

    lalu. Apakah Paman belum mendengar tewasnya Iblis 

    Tambak Getih itu?!"

    Lahar Jalanan mulai salah tingkah dan sedikit

    menggeragap karena merasa bersalah. Nyai Sangkal 

    Pulung segera berujar kembali kepada Lahar Jalanan. 

    "Kalau kau tak percaya, kau bisa kubawa ke makam-

    nya dan bongkarlah makam itu! Maka kau akan me-

    nemukan kerangka kakakku bersama beberapa senja-

    ta pusakanya yang ikut dikuburkan juga!"

    Soka Pura berbisik dari belakang Lahar Jala-

    nan. "Paman, agaknya kita salah duga!" Dengan suara 

    jelas didengar oleh siapa saja, Lahar Jalanan berkata 

    dengan nada sesal.

    "Barangkali kepikunan ku sudah terlalu berle-

    bihan. Tapi jika bukan dia. lalu siapa yang lakukan 

    pemenggalan kepala sekejam itu?!"

    Si Mata Bidadari berbisik kepada gurunya. Tak 

    jelas apa yang dibisikkan, tapi Soka Pura memperhati-

    kan terus dengan penuh waspada. Kejap berikut, Nyai 

    Sangkal Putung bicara kepada Ratu Sedap Malam. 

    "Kalau begitu apa yang baru saja kusampaikan pada-

    mu sudah terjadi, Sedap Malam! Sebaiknya bersiap-

    siaplah!"

    *

    * *

    4


    PEMBANTAIAN lima gadis cantik itu membuat 

    Ratu Sedap Malam merasa terpukul jiwanya. Lima ga-

    dis yang tewas dengan kepala dipenggal itu adalah 

    orang-orang andalannya yang selalu memperkuat ben


    teng pertahanan Pantai Rangsang.

    Pulangnya Bintari dan kawan-kawan yang 

    membawa lima potong kepala itu telah membuat Nyai 

    Sangkal Putung sendiri menjadi tercengang dan nyaris 

    tak bisa berkata apa pun. Ia sendiri tidak menyangka 

    sedikit pun bahwa apa yang dikatakan Lahar Jalanan 

    itu benar-benar terjadi. Sang Nyai pun ikut berduka 

    atas musibah yang menimpa Ratu Sedap Malam.

    "Mengapa Nyai Sangkal Putung justru tampak 

    bersahabat sekali dengan Ratu Sedap Malam, Paman?" 

    tanya Soka membisik, ketika mereka memakamkan ke-

    lima gadis tersebut. Sebagian ada yang dimakamkan 

    bersama raganya, sebagian lagi raganya tak ditemu-

    kan. Mungkin sudah hanyut terbawa ombak ke tengah 

    lautan lepas sana.

    "Setahuku...," ujar Lahar Jalanan, menjawab 

    pertanyaan Soka. ".... Iblis Tambak Getih dulu pernah 

    bentrok dengan Sedap Malam, karena perkara sepele. 

    Tapi Sedap Malam pernah berguru kepada Sangkal Pu-

    tung, terutama dalam mempelajari ilmu pengobatan." 

    "O, Nyai Sangkal Putung ahli dalam pengobatan?" 

    "Termasuk ahli, karena ia pernah berguru dengan gu-

    runya si Tabib Kubur, tapi hanya sebentar."

    Soka Pura menggumam dan manggut-manggut. 

    "Jika melihat keakrabannya sekarang, aku dapat sim-

    pulkan bahwa ketika Iblis Tambak Getih bentrok den-

    gan Sedap Malam, yang saat itu masih muda belia, 

    mungkin segera ditengahi oleh Sangkal Putung dan di-

    aku sebagai muridnya, sehingga Iblis Tambak Getih 

    sungkan untuk lanjutkan persoalannya dengan Sedap 

    Malam. Barangkali hubungan itu masih berlanjut 

    hingga sekarang. Aku tak tahu persis kalau Sedap Ma-

    lam berhubungan baik dengan Sangkal Putung."

    "Lalu, kabar bahaya apa yang dibawa oleh Nyai 

    Sangkal Putung kepada sang Ratu, Paman? Sebab


    agaknya Nyai Sangkal Putung sendiri kaget melihat li-

    ma gadis itu terpenggal sekejam itu."

    "Benar. Agaknya ia memang tidak tahu menahu 

    tentang kelima gadis yang terpenggal itu. Tapi... entah-

    lah, aku sendiri belum tahu tentang kabar adanya ba-

    haya yang dibawa oleh Sangkal Putung itu. Sebaiknya 

    kutanyakan saja setelah pemakaman nanti selesai."

    Pemakaman itu selesai ketika senja makin pu-

    dar, sebentar lagi gelap petang akan datang. Ratu Se-

    dap Malam yang sedang berduka mengharap para ta-

    munya bermalam di pesanggrahannya, setidaknya 

    akan ada penghibur bagi hati sang Ratu cantik yang 

    duka itu. Soka Pura merasa tidak keberatan, mengin-

    gat jika ia harus menyusul kakaknya ke Bukit Gamp-

    ing pun perjalanannya akan memakan waktu sampai 

    lewat tengah malam. Ia tak akan dapat tempat untuk 

    tidur senyaman di dalam istana kecilnya Ratu Sedap 

    Malam.

    Pada kesempatan itulah, Lahar Jalanan sempat 

    bicara dengan Nyai Sangkal Putung yang didengarkan 

    oleh Soka dan si Mata Bidadari. Percakapan itu mere-

    ka lakukan tanpa Ratu Sedap Malam. Mereka ada di 

    taman belakang pesanggrahan, ketika malam mulai 

    hembuskan udara dingin dan suara deburan ombak 

    menjadi irama khas dari Pantai Rangsang.

    "Pemenggalan kepala itu hanya suatu awal dari 

    bencana yang akan melanda wilayah kekuasaan si Wu-

    landani," ujar Nyai Sangkal Putung.

    "Apa sebenarnya bencana atau bahaya yang 

    kau maksud itu, Sangkal Putung?!"

    "Muridku baru pulang dari Pulau Kucil. Di sana 

    ia mendengar rencana makar dari si Raja Amuk Jagal. 

    Ia akan menyerang Pantai Rangsang untuk rebut wi-

    layah ini. Karena ia ingin berjaya lagi di tanah Jawa, 

    seperti pada waktu sebelum kekuasaannya di Lembah


    Gerhana direbut oleh Ratu Rias Rindu."

    "Amuk Jagal...?!" gumam Lahar Jalanan den-

    gan wajah sedikit tegang. Cahaya obor penerang taman 

    menampakkan pula wajah Soka Pura yang terkejut 

    mendengar nama Raja Amuk Jagal. Wajah yang terke-

    jut itu diperhatikan oleh si Mata Bidadari secara diam-

    diam.

    Pendekar Kembar pernah dengar tentang nama

    Raja Amuk Jagal. Mereka mendapat penjelasan seperti 

    itu ketika terlibat dalam kasus perebutan pedang pu-

    saka yang kini ada di tangan si Dewa Perintang. Penje-

    lasan tersebut sama seperti yang dituturkan oleh Nyai 

    Sangkal Putung, tentang Raja Amuk Jagal yang mela-

    rikan diri ke Pulau Kucil karena wilayah kekuasaannya 

    direbut oleh Ratu Rias Rindu, (Baca serial Pendekar 

    Kembar dalam episode: "Pedang Bulan Madu").

    Lahar Jalanan juga mengenal nama itu dan ta-

    hu persis tentang Raja Amuk Jagal. Wajahnya meman-

    carkan sedikit ketegangan yang ditutupi dengan tari-

    kan napas penenang hati itu. Mungkin juga di dalam 

    hati si Lahar Jalanan tersimpan kecemasan, karena 

    agaknya Lahar Jalanan tak suka jika Raja Amuk Jagal 

    berkuasa kembali ke tanah Jawa, terlebih dengan cara 

    merebut wilayah Pantai Rangsang.

    "Apakah kabar ini tidak keliru, Sangkal Pu-

    tung? Atau mungkin hanya suatu tipuan belaka?"

    "Aku tak pernah mendidik muridku menjadi 

    seorang pembohong!" tegas Nyai Sangkal Putung. "Ku-

    harap kau tidak menilai dengan kepicikan mu, Sela Gi-

    ri!

    Soka Pura sempat merasa sedikit aneh men-

    dengar Nyai Sangkal Putung menyebut Lahar Jalanan 

    dengan nama Sela Giri. Tapi anak muda yang dari tadi 

    dilirik si Mata Bidadari itu segera tanggap bahwa Sela 

    Giri pasti nama asli dari si Lahar Jalanan.


    "Jika benar begitu, maka Sedap Malam benar-

    benar dalam ancaman maut, sebab kekuatan Sedap 

    Malam tidak setanding dengan kekuatan si Raja Amuk 

    Jagal," ujar Lahar Jalanan.

    "Itulah sebabnya aku datang kemari, bukan sa-

    ja untuk mengabarkan datangnya ancaman maut ter-

    sebut, namun juga akan ikut memperkuat pertahanan 

    si Sedap Malam."

    "Tunggu dulu!" sergah Ki Sela Giri. "Mengapa 

    Raja Amuk Jagal mengincar tempat ini? Bukankah ada 

    wilayah lain yang lebih luas dari wilayah Pantai Rang-

    sang?!"

    "Amuk Jagal menilai tempat ini mudah dijang-

    kau dari Pulau Kucil. Amuk Jagal juga tahu, kekuatan 

    Sedap Malam mudah dilumpuhkan. Mungkin bagi 

    Amuk Jagal, melumpuhkan Wulandani lebih muda da-

    ripada melumpuhkan pihak lain. Barangkali saja sete-

    lah ia berhasil kuasai Pantai Rangsang, ia akan lebar-

    kan sayap dengan menguasai daerah-daerah lain, teru-

    tama yang terdekat dari tempat ini."

    "Termasuk akan kuasai Bukit Bangkai, tempat 

    tinggalmu itu?" potong Lahar Jalanan.

    "Kurasa begitulah rencana dalam otak si jaha-

    nam Amuk Jagal itu!"

    Pendekar Kembar bungsu berujar dalam ha-

    tinya, "Ooo... gadis ini tinggal bersama gurunya di Bu-

    kit Bangkai?! Hmmm... kapan-kapan aku akan bertan-

    dang ke sana jika suasana hubungan tetap baik."

    Sejak tadi Soka Pura memang hanya diam saja, 

    tak ikut dalam pembicaraan itu. Demikian pula yang 

    dilakukan oleh si Mata Bidadari. Dia tidak akan bicara 

    jika tidak ditanya. Soka Pura dan si Mata Bidadari sa-

    ma-sama bersikap sebagai pendengar yang baik, yang 

    selalu menyimak percakapan dua tokoh tua tersebut.

    Menurut dugaanku...," sambung Nyai Sangkal


    Putung."... pemenggal kepala yang dipajang di sepan-

    jang Pantai Rangsang itu adalah si Amuk Jagal sendiri. 

    Setidaknya ia mengutus orang kepercayaannya untuk 

    lakukan tindakan keji seperti itu."

    "Lalu menurutmu, dengan maksud apa si 

    Amuk Jagal memenggali kepala manusia dan mema-

    jangnya di sepanjang Pantai Rangsang itu?"

    "Aku tidak tahu apa maksudnya. Tapi secara 

    mudah saja, terpajangnya kepala-kepala korban di se-

    panjang Pantai Rangsang akan membuat Sedap Malam 

    menjadi panik dan kacau. Dalam keadaan panik dan 

    kacau, siapa pun akan mudah ditumbangkan, lebih-

    lebih si Wulandani yang ilmunya di bawah ilmu silat si 

    Amuk Jagal. Pasti akan sangat lebih mudah lagi untuk 

    dihancurkan."

    "Berarti Amuk Jagal punya mata-mata di sini, 

    di dalam pesanggrahan ini!" ujar Ki Sela Girl setelah 

    diam sesaat bersama renungannya.

    "Kurasa memang begitu. Tapi aku tak berani 

    bicara kepada Sedap Malam, takut disangka memfit-

    nah orang-orangnya."

    "Kalau begitu, aku saja yang bicara padanya. 

    Mata-mata itu harus disingkirkan sebelum ia buka 

    mulut kepada Amuk Jagal tentang keberadaan kita di 

    pihak Sedap Malam," sambil Lahar Jalanan bangkit 

    berdiri dari duduknya, hendak bergegas temui sang 

    Ratu.

    "Kurasa bukan sekarang saatnya bicara den-

    gannya, Sela Giri! Ia sedang dalam masa berkabung!"

    "Tidak ada waktu lagi buat menunda hal sema-

    cam ini, Sangkal Putung! Aku akan bicara sekarang 

    juga!"

    "Jika begitu, aku akan membantumu meyakin-

    kan dia!" ujar Nyai Sangkal Putung sambil bergegas 

    mengikuti langkah Lahar Jalanan.


    "Apakah aku perlu ikut, Guru?" si Mata Bida-

    dari perdengarkan suaranya. Sang Guru hentikan 

    langkah sebentar dan menatapnya.

    "Tetaplah di tempat. Aku akan kembali lagi se-

    telah sampaikan pesan-pesan berikut ini!"

    Nyai Sangkal Putung pun pergi temui Ratu Se-

    dap Malam bersama si Lahar Jalanan. Si Mata Bidada-

    ri duduk di batu taman yang berseberangan dengan 

    tempat duduk Soka Pura. Pandangan matanya tertuju 

    pada langkah sang Guru, sementara pandangan mata 

    Soka tertuju ke arah gadis itu. Sikap duduknya yang 

    tegak dengan kaki sedikit merenggang membuat si Ma-

    ta Bidadari kelihatan tegar dan tegas. Postur tubuhnya 

    yang tinggi, padat berisi, menimbulkan kesan sebagai 

    gadis pemberani yang tak punya rasa takut kepada 

    siapa pun. Soka Pura amat terkesan dengan si Mata 

    Bidadari. Bukan saja terkesan karena kecantikan dan 

    kesemokan tubuhnya, namun juga terkesan dengan 

    sikap pendiamnya yang mirip air: diam-diam mengha-

    nyutkan.

    Gadis berambut sepanjang punggung keriting 

    lembut yang diikat dengan ikat kepala warna kuning 

    itu tiba-tiba arahkan pandangan mata indahnya kepa-

    da Soka Pura. Deerr...! Jantung Soka Pura bergetar se-

    ketika itu juga. Hampir saja ia salah tingkah jika tidak 

    segera kuasai diri dengan nekat tetap memandang ma-

    ta pemikat itu.

    "Mengapa pandangi ku terus?" tegur si Mata 

    Bidadari dengan nada sedikit ketus. Soka Pura terse-

    nyum, lebih tepat dikatakan: cengar-cengir.

    Agaknya sekalipun Nyai Sangkal Putung den-

    gan Lahar Jalanan sudah kurangi sikap permusuhan-

    nya, namun Mata Bidadari masih bersikap ketus ke-

    pada Soka Pura. Anggapannya, Soka Pura adalah 

    orangnya Lahar Jalanan yang siap bersaing dengan


    nya.

    Gadis itu memang kelihatan angkuh di depan 

    Soka Pura. Tapi pemuda itu tak kaget dengan sikap 

    angkuhnya. Ia sudah sering temukan gadis bersikap 

    angkuh, namun pada akhirnya tak kuasa lepas dari

    pelukannya.

    "Terus terang saja, mengapa sejak tadi kau 

    mencuri pandang padaku?!" tegur si Mata Bidadari lagi 

    dengan nada ketus belum berkurang.

    "Apakah bukan sebaliknya; kau yang mencuri 

    pandang padaku sejak tadi?"

    "Hmmm... terus terang saja, aku mencuri pan-

    dang padamu lantaran aku tak suka melihat sikapmu 

    yang berlagak jadi pembela di depan Ki Selo Giri, si 

    Lahar Jalanan itu," sambil si gadis alihkan pandangan 

    ke arah lain.

    Soka lebarkan senyum. "Begitu pun aku, jika 

    aku sering mencuri pandang kepadamu, terus te-

    rang...."

    Karena ucapan Soka terhenti dengan kesan ra-

    gu, maka si Mata Bidadari mendesak dengan perta-

    nyaan ketusnya.

    "Terus terang apa?!"

    "Terus terang... wajahmu memang terang te-

    rus!" jawab Soka Pura bernada konyol. Ia nyengir sen-

    diri, sedangkan si gadis mendengus kecil sambil buang 

    muka. Beer...! Untung mukanya tak benar-benar ter-

    buang. Muka itu sekalipun ketus dan angkuh, namun 

    masih memancarkan kecantikan yang memikat. Daya 

    pikat tertinggi terletak pada sepasang matanya yang 

    tak terlalu lebar, namun juga tak begitu kecil. Bening 

    dan memancarkan keteduhan aneh yang jarang dimili-

    ki oleh gadis lain.

    "Sejak kapan kau pulang dari Pulau Kucil?" So-

    ka Pura memecah kebisuan dl antara mereka.


    "Kau tidak perlu tahu!" jawab si Mata Bidadari.

    "Tapi aku perlu tahu tentang orang yang ber-

    nama Raja Amuk Jagal itu. Aku belum pernah bertemu 

    dengannya."

    "Hmmm...!" Mata Bidadari mencibir. "Kalau kau 

    bertemu dengannya kau akan lari terbirit-birit! Dia 

    orang yang paling kejam yang pernah kutemui, terlebih 

    setelah ia kuasai ilmu baru yang diperdalam selama di 

    Pulau Kucil!"

    "O, jadi karena Raja Amuk Jagal merasa sudah 

    dapatkan ilmu baru, dan merasa kekuatannya lebih 

    besar dari sebelumnya, maka ia mulai lancarkan kega-

    nasannya ke tanah Jawa ini?!"

    "Yah, kurasa memang begitu jalan pikirannya!"

    "Kau pernah menjadi pengikutnya?"

    "Jangan bicara seenak mulutmu!" hardik si Ma-

    ta Bidadari.

    "Kau banyak mengetahui tentang dia, termasuk 

    rencana yang ingin merebut Pantai Rangsang. Jika kau 

    bukan bekas orangnya, tak mungkin kau mengetahui 

    rencana rahasia tersebut!"

    Gadis itu tampak ngotot. "Aku ke Pulau Kucil 

    karena mengejar musuhku! Ternyata ia adalah orang-

    nya Raja Amuk Jagal. Aku sempat tertangkap di sana, 

    Tolol!"

    "Oh, kau tertangkap?! Kasihan!" gumam Soka 

    Pura sambil geleng-geleng kepala bernada menyindir. 

    "Lalu kau dibebaskan setelah memenuhi syarat yang 

    diminta Raja Amuk Jagal?!"

    "Sekali lagi kau bicara seenaknya di depanku, 

    ku rontokkan semua gigimu!" ancam si Mata Bidadari 

    dengan berang. Soka justru senang dan tertawa tanpa 

    suara, senyumnya kian melebar.

    "Aku berhasil meloloskan diri karena bantuan 

    teman yang dijadikan budak paksa! Bukan merengek


    rengek dan memenuhi syarat apa pun yang diminta di 

    manusia terkutuk itu!"

    "Oooo...," Soka Pura sengaja menggumam agak 

    keras dan manggut-manggut. Tapi senyumnya masih 

    berkesan senyum mengejek dan membuat si Mata Bi-

    dadari simpan kedongkolan dalam hatinya.

    "Bahkan aku tahu, Amuk Jagal mengirim orang 

    pilihannya untuk mempersiapkan segala sesuatunya 

    sebelum penyerangan itu tiba! Ku tahu hal itu dari te-

    manku yang dijadikan budak paksaan itu!"

    Wajah tampan Pendekar Kembar bungsu itu 

    segera berubah menjadi serius, walau tak sampai ber-

    kerut dahi dan menjadi tegang.

    "Apakah kau tahu siapa orang utusannya itu?!" 

    "Mandrakala, yang dikenal dengan julukan si Dewa

    Pancung!"

    Kali ini Soka baru berkerut dahi. "Dewa Pan-

    cung?!"

    "Ya. Apakah kau kenal? Agaknya kau memang 

    sahabatnya!"

    "Jangan bicara seenak mulutmu!" Soka berla-

    gak menghardik. "Sekali lagi kau bicara seenak mu-

    lutmu di depanku... kulumat habis bibirmu!"

    "Hmm, dasar otak kotor!" kecam si Mata Bida-

    dari sambil mendengus sinis. Soka nyengir sebentar, 

    lalu bicara dengan serius.

    "Apakah kau sudah bicara dengan Nyai Sangkal 

    Putung tentang si Dewa Pancung itu?"

    "Belum. Kurasa itu tak perlu. Yang perlu dike-

    tahui oleh Guru hanya rencana Raja Amuk Jagal ingin 

    merebut kekuasaan Ratu Sedap Malam di Pantai 

    Rangsang ini!"

    "Bodoh!" gumam Soka pelan, tapi kedengaran 

    pula oleh Mata Bidadari. Gadis itu menjadi gusar.

    "Siapa yang bodoh?! Kaukah yang bodoh?!"


    "Kau...!" Jawab Soka Pura masih kalem tapi se-

    rius Mata Bidadari bangkit lag! ingin melabrak Soka 

    karena tersinggung dikatakan bodoh. Tapi sebelum 

    Mata Bidadari bergerak, Soka Pura sudah lebih dulu 

    berkata dengan suaranya yang tegas.

    "Mestinya kau ceritakan pula tentang Dewa 

    Pancung yang menjadi utusan Raja Amuk Jagal itu!"

    "Apa perlunya? Diceritakan atau tidak, Nyai Ra-

    tu tetap akan diserang oleh Raja Amuk Jagal!"

    "Tapi setidaknya Nyai Sangkal Putung bisa 

    mengambil kesimpulan bahwa pemenggalan kepala ini 

    pasti dilakukan oleh si Dewa Pancung itu!"

    "Hmmm!" Mata Bidadari mencibir sinis. "Sok 

    tahu! Belum tentu Dewa Pancung yang melakukan-

    nya!" "Nama julukannya saja 'Dewa Pancung'. Berarti 

    kerjanya memancung orang alias memenggal kepala 

    orang!"

    Mata Bidadari diam, ia duduk lagi dengan sikap 

    tegak, mirip gadis jagoan tak takut mati. Agaknya ka-

    ta-kata Soka Pura itu direnungkan baik-baik. Hati pun 

    berkecamuk walau bibir terkatup rapat.

    "Kupikir... benar juga apa kata si tampan ko-

    nyol itu! Dewa Pancung... jelas kerjanya memancung 

    orang. Hmmm... kurasa tugas Dewa Pancung adalah 

    membuat suasana Pantai Rangsang ini menjadi tegang 

    lebih dulu. Dengan dipancungnya beberapa pengawal 

    Ratu Sedap Malam, dan dengan dipajangnya kepala 

    mereka, diharapkan dapat membuat sang Ratu menja-

    di panik atau gugup. Dalam keadaan sang Ratu gugup, 

    Raja Amuk Jagal akan datang menyerang dan mem-

    buat suasana semakin bertambah kacau! Hmmm... bi-

    ar konyol, agaknya pemuda itu punya otak yang lu-

    mayan cerdasnya."

    Soka Pura berani mendekat karena ia punya 

    alasan untuk bicara pelan kepada Mata Bidadari. Si


    gadis hanya memandang dengan dahi berkerut, tak Je-

    las maksud pendekatan Soka itu. Ia tampak sedikit cu-

    riga dan bersiap lakukan gebrakan jika Soka ingin ber-

    tingkah macam-macam padanya.

    "Apakah kau tahu di mana si Dewa Pancung 

    bersembunyi?"

    "Kau sangka aku begundalnya?!" ketus Mata 

    Bidadari. Sikap itu masih diterima Soka dengan sabar. 

    Pendekar Kembar bungsu justru sunggingkan senyum 

    kecil.

    "Kalau begitu, aku akan mencari Dewa Pancung 

    malam ini juga! Katakan kepada gurumu atau Paman 

    Lahar Jalanan atau kepada Nyai Ratu, aku pergi men-

    cari Dewa Pancung!"

    Soka Pura bergegas tinggalkan taman, tapi Ma-

    ta Bidadari cepat mencegat langkah pemuda itu.

    "Malam-malam begini kau ingin pergi menca-

    rinya?!"

    "Jika tertunda, maka akan muncul kepala-

    kepala korban lainnya yang dipancung oleh utusan Ra-

    ja Amuk Jagal itu!"

    "Memang benar. Tapi tindakanmu ini tindakan 

    yang tolol!" kecam Mata Bidadari. "Kau tidak akan me-

    nemukan dia dalam keadaan gelap begini! Kau hanya 

    akan...."

    "Jadi apa maumu?!" potong Soka Pura.

    Mata Bidadari sempat salah tingkah sesaat ke-

    tika ditatap Soka yang sunggingkan senyum tipis. Se-

    nyuman itu bagaikan menembus relung hati Mata Bi-

    dadari dengan kelembutan yang mendesis menggeli-

    sahkan.

    "Kita bicarakan dulu kepada Guru dan yang 

    lainnya itu! Jangan bertindak bodoh, karena hal itu 

    akan merugikan dirimu sendiri!" ujar Mata Bidadari 

    menutupi kegelisahannya.


    "Kalau aku nekat pergi malam ini juga, apa tin-

    dakanmu?!"

    Mata Bidadari agak jengkel, karena Soka diang-

    gap pemuda yang suka ngotot dan tak mau terima sa-

    ran orang. Padahal sikap ngotot itu sengaja dilakukan 

    Soka sebagai pancingan untuk mengetahui sejauh 

    mana perasaan Mata Bidadari terhadap dirinya. Ter-

    nyata gadis itu seperti merasa tak ingin diri Soka cela-

    ka dengan melakukan tindakan sembrononya.

    "Terserah kalau kau mau nekat pergi! Kalau 

    kau celaka, kau sendiri yang merasakannya! Tapi ka-

    lau kau bukan pemuda gila, kau akan turuti saran ku 

    untuk tidak mencari Dewa Pancung malam ini juga!"

    Soka Pura ingin tertawa, namun hanya bisa di-

    lakukan dalam hati. Soka takut membuat Mata Bida-

    dari merasa semakin malu dan akhirnya akan berang 

    jika ucapannya itu ditertawakan. Namun Soka senang 

    sekali menggoda perasaan gadis itu dengan permainan 

    kata-katanya.

    "Aku tak betah tinggal di sini. Bagiku di sini 

    terlalu sepi. Yang kudengar hanya suara ombak dan 

    desiran angin pantai saja."

    "Dasar tuli!" gerutu Mata Bidadari dengan ber-

    sungut-sungut. "Apakah kau tak mendengar suaraku 

    ini?!"

    "Suaramu akan hilang sebentar lagi, ketika ma-

    lam semakin larut dan rasa kantukmu mulai tiba!"

    "Kalau kau menantangku untuk melek sema-

    laman, akan kulayani tantanganmu. Kau pikir aku ga-

    dis yang tak kuat menahan kantuk?!"

    "Untuk apa melek semalaman jika tidak disertai 

    percakapan yang enak didengar dan indah dirasakan 

    dalam hati."

    "Apa maumu sebenarnya, hah?!" hardik Mata 

    Bidadari dengan jengkel. "Kau memancingku untuk


    ngobrol semalam suntuk? Kau merasa suka ngobrol 

    denganku?! Kau menyimpan maksud di balik obrolan 

    itu?! Jawab terus terang! Jawab!" sambil si gadis ma-

    kin mendekat.

    Soka Pura geragapan dicecar pertanyaan bertu-

    bi-tubi. Setiap ia ingin bicara, baru membuka mulut 

    sudah diburu oleh pertanyaan berikutnya. Akhirnya 

    Soka pun hembuskan napas dan tak mau menjawab

    pertanyaan itu sepatah kata pun. Soka justru berbalik 

    ke tempat duduknya semula, dan duduk di situ den-

    gan senyum geli menghiasi bibirnya.

    Setelah mereka saling membisu sekitar lima he-

    laan napas, Mata Bidadari melangkah dekati Soka Pu-

    ra. Gadis itu memandang dengan pancaran mata yang 

    sepertinya menghadirkan sejuta ketenangan di batin 

    Soka.

    "Aku mulai sadar, malam ini kau butuh teman 

    bicara!"

    "Mungkin benar juga kesadaranmu itu."

    "Baik. Aku akan menjadi lawan bicaramu! Apa 

    yang ingin kau bicarakan. Hmmm...?" sambil Mata Bi-

    dadari duduk di samping Soka Pura.

    Tantangan itu justru membuat Soka menjadi 

    salah tingkah. Soka hanya berkata dalam hatinya.

    "Ternyata ia lebih berani terus terang daripada 

    aku. Sialan!"

    *

    * *

    5


    MATAHARI memancarkan cahaya fajar ke per-

    mukaan air laut. Cahaya merah lembayung itu memantul dan membuat permukaan air laut bagai seperti 

    segara api. Sayangnya keindahan alam seperti itu tak 

    bisa dinikmati oleh orang-orang pesanggrahan Pantai 

    Rangsang, karena di ujung pagi itu, peristiwa menye-

    dihkan terulang kembali.

    Tujuh orang pengawal Ratu Sedap Malam dite-

    mukan sudah tak bernyawa di sepanjang pantai sebe-

    lah timur. Kepala mereka ditancapkan pada batang-

    batang bambu yang berdiri tegak di permukaan pasir 

    pantai. Dua orang petugas pantai yang akan menggan-

    tikan tugas temannya menemukan ketujuh kepala itu, 

    termasuk kepala teman yang mau digantikan tugas-

    nya. Dua orang tersebut berlari temui Bintari yang ber-

    tugas menampung kabar apa pun selama sang Ratu 

    sedang tidur atau sibuk lakukan sesuatu.

    Kabar itu cepat menyebar dan jerit tangis ke-

    dukaan terdengar oleh para tamu sang Ratu. Bintari 

    yang semula tak ingin bangunkan sang Ratu, akhirnya 

    ikut bingung sendiri setelah sang Ratu ternyata ter-

    bangun karena suara tangis para sahabat korban. Pe-

    sanggrahan itu pun menjadi gempar, kepanikan dan 

    ketegangan menyelimuti alam pagi di Pantai Rangsang. 

    "Pemenggalan itu terjadi lagi, Paman," ujar Soka Pura 

    kepada si Lahar Jalanan yang baru bangun dari tidur-

    nya. Lahar Jalanan menggeram penuh murka yang ter-

    tahan.

    "Keparat! Rupanya dugaan Sangkal Putung 

    memang benar. Amuk Jagal ingin membuat panik dan 

    menggegerkan Pantai Rangsang sebelum penyeran-

    gannya tiba!"

    "Pelakunya bukan Amuk Jagal sendiri, Paman." 

    "Lalu siapa menurutmu?"

    "Utusan Raja Amuk Jagal yang mungkin me-

    mang ditugaskan untuk lebih dulu membuat geger 

    Panti Rangsang ini dengan pemenggalan tersebut.


    Orang itu adalah si Dewa Pancung!"

    "Dari mana kau tahu?!"

    "Semalam aku bicara dengan si Mata Bidadari. 

    Ada beberapa hal yang tak diceritakan kepada gurunya 

    karena dianggap tak terlalu penting. Hal yang tak dibi-

    carakan itu antara lain tentang si Dewa Pancung yang 

    diutus Raja Amuk Jagal untuk mempersiapkan segala 

    sesuatunya sebelum penyerangan tiba. Persiapan ter-

    sebut, menurut pendapatku, adalah mengacaukan su-

    asana di sini dengan tindakan pemenggalan kepala 

    tersebut, Paman!"

    "Kalau begitu, kita cari sekarang Juga si Dewa 

    Pancung itu!"

    Saat berkata demikian, Lahar Jalanan segera 

    berpaling ke samping kanannya, ternyata Nyai Sangkal 

    Putung dan si Mata Bidadari sudah tiba di dekatnya. 

    Nyai Sangkal Putung mendengar nama Dewa Pancung 

    disebutkan, sehingga ia ajukan tanya kepada Lahar 

    Jalanan. Soka Pura yang menjelaskan tentang Dewa 

    Pancung kepada Nyai Sangkal Putung.

    "Benarkah apa yang dikatakannya, Mata Bida-

    dari?!"

    "Benar, Guru...!" Mata Bidadari pun kembali je-

    laskan perihal si Dewa Pancung, seperti yang dikata-

    kannya kepada Soka semalaman.

    Nyai Sangkal Putung berujar kepada Lahar Ja-

    lanan.

    "Bukan kau yang harus mencari Dewa Pan-

    cung, Sela Giri! Kurasa cukup Soka Pura dan muridku; 

    si Mata Bidadari ini!"

    "Lalu apa yang harus kita lakukan jika tidak 

    mencari Dewa Pancung?!"

    Nyai Sangkal Putung menjawab, "Seperti kepu-

    tusan yang kita bicarakan dengan Wulandani tadi ma-

    lam, kita cari mata-mata yang bersembunyi di antara


    orang-orang pesanggrahan ini! Sementara itu, Dewa 

    Pancung biar ditangani muridku, dibantu oleh Soka 

    Pura."

    "Hmmm...," Lahar Jalanan menggumam pen-

    dek. Setelah diam dua kejap, ia segera berkata kepada 

    Soka Pura.

    "Bantu si Mata Bidadari untuk mencari Dewa 

    Pancung. Seret dia kemari dalam keadaan hidup atau 

    mati!" "Dengan senang hati akan kukerjakan, Paman!" 

    Pendekar Kembar bungsu segera pergi bersama Mata 

    Bidadari. Pada saat itu, sikap si Mata Bidadari sudah 

    tak seketus tadi malam. Obrolan panjang lebar tadi 

    malam telah membuat Mata Bidadari mulai mengenal 

    pribadi Soka Pura, dan keakraban mereka pun kian 

    bertambah. Namun sikap tegas si Mata Bidadari tetap 

    terjaga, karena ia tak ingin disepelekan oleh pemuda 

    mana pun.

    Secara diam-diam, Soka ingin mencoba keting-

    gian ilmu si Mata Bidadari melalui kecepatan gerak-

    nya. Pendekar Kembar bungsu menggunakan jurus 

    'Jalur Badai' yang mampu berlari cepat secepat hem-

    busan badai yang paling cepat. Ia ingin tahu, apakah si 

    Mata Bidadari mampu imbangi kecepatan gerak terse-

    but.

    WUUUZ, WUUUZ, WUUUZ...!

    Ternyata si gadis tertinggal sejauh sepuluh 

    tombak di belakang Soka Pura. Gadis itu sudah kerah-

    kan tenaganya untuk menyusul Soka, namun tetap tak 

    berhasil. Akhirnya si Mata Bidadari berseru dengan 

    dongkol.

    "Hei, kau mau mencari seseorang atau mau adu 

    cepat denganku?!"

    Soka Pura pun kurangi kecepatannya sambil 

    cengar-cengir dan membatin dalam hatinya,

    "Ternyata hanya segitu dia. Tapi sudah cukup


    cepat untuk sebuah gerakan lari. Untuk ukuran ma-

    nusia biasa, ia dapat disangka menghilang jika berpin-

    dah tempat dengan pergunakan kecepatan gerak se-

    perti itu"

    Kini gerakan mereka sejajar. Mata Bidadari 

    menggerutu dengan wajah kesal. Soka hanya tertawa-

    tawa kecil. Sampai di sebuah bukit yang sebenarnya 

    hanya gugusan tanah meninggi itu, Soka Pura sengaja 

    hentikan langkah tanpa ada penyebab apa pun. Mata 

    Bidadari juga ikut hentikan langkahnya. Nafasnya ter-

    pacu cepat, namun ia bisa menguasai pernapasan 

    dengan baik hingga dalam waktu singkat dapat tenang 

    kembali.

    "Mengapa berhenti di sini?" tanya si Mata Bida-

    dari.

    "Kita seperti berlari tanpa tujuan. Siapa tahu 

    orang yang kita cari ada di sebelah timur, bukan ke 

    arah barat ini?!"

    "Yang jelas dia ada di sekitar Pantai Rangsang. 

    Kita jelajahi saja seluruh wilayah Pantai Rangsang. 

    Pasti akan menemukan dia!"

    "Apakah kau pernah melihat wajah si Dewa 

    Pancung?!"

    "Pernah! Sebelum aku lolos, aku sempat diberi 

    tahu oleh sahabatku yang dijadikan budak di Pulau 

    Kucil itu tentang si Dewa Pancung. Tapi Dewa Pancung 

    tak melihatku, karena aku masih berada di atas loteng, 

    di tempat persembunyian ku. Malamnya baru aku lo-

    loskan diri. Siang sebelumnya, kudengar Raja Amuk 

    Jagal perintahkan si Dewa Pancung untuk berangkat 

    ke Pantai Rangsang secepatnya. Berarti setelah dia be-

    rangkat ke Pantai Rangsang pada siang hari, aku pun 

    lolos pada malam harinya."

    "Hmmm...," Soka Pura manggut-manggut.

    "Pada waktu itu, kulihat ia mengenakan pa


    kaian serba merah, bertubuh kekar, berambut panjang 

    dikuncir ke belakang. Ia masih semuda kita. Tapi kata 

    temanku, ilmu pedangnya cukup tinggi."

    Soka menggumam pelan, mencatat penjelasan 

    itu dalam benaknya.

    "Lalu, bagaimana dengan musuh yang kau keji 

    itu?!"

    "Aku sudah berhasil membunuhnya sebelum 

    akhirnya aku tertangkap oleh orang-orangnya Raja 

    Amuk Jagal!" sambil si Mata Bidadari sedikit men-

    gangkat pedang yang ada di pinggangnya. Soka men-

    gerti maksudnya, bahwa Mata Bidadari berhasil bunuh 

    lawannya dengan pedang itu. Soka Pura kembali 

    manggut-manggut, kemudian segera lemparkan pan-

    dangan mata ke sekeliling tempat itu.

    "Kita cari lagi dia di sepanjang hutan barat ini!" 

    "Baik. Tapi jangan jauh-jauh dari pantai. Siapa tahu 

    kita bisa memergoki dia sedang memajang kepala kor-

    bannya lagi di sekitar pantai!"

    Sebelum mereka bergerak, tiba-tiba mereka 

    mendengar suara pekikan seorang wanita yang seper-

    tinya menderita pukulan berat. Suara itu membuat 

    Mata Bidadari dan Pendekar Kembar bungsu terperan-

    jat dan saling pandang.

    "Suara itu dari pantai!" ucap Mata Bidadari, 

    tanpa tunggu tanggapan Soka, Mata Bidadari melesat 

    ke arah pantai lebih dulu. Soka Pura pun segera me-

    nyusulnya. Wuuuzz...!

    Mereka tiba di pantai bersamaan. Pandangan 

    mata mereka segera tertuju ke arah seorang gadis yang 

    sedang diserang oleh seorang pemuda berpakaian ser-

    ba merah. Soka Pura mengenali gadis yang berpakaian 

    putih dengan jubah kuning kunyit itu. Mata Bidadari 

    pun tentunya kenali gadis tersebut yang tak lain ada-

    lah Bintari, pengawal Ratu Sedap Malam.


    Melihat Bintari terpental dan baru saja bangkit 

    sudah diserang lagi oleh pemuda berpakaian serba me-

    rah terang itu, maka Soka Pura pun segera berkelebat 

    menerjang pemuda tersebut. Wuuut, bruuuss...!

    Pemuda berpakaian merah terpental karena 

    terjangan kaki Soka. Tendangan kaki Soka yang me-

    layang bagaikan terbang itu tepat kenai kepala pemu-

    da tersebut. Tendangan bertenaga dalam itu membuat 

    pemuda berpakaian merah terlempar sejauh delapan 

    langkah dan jatuh terbanting di perairan pantai. Je-

    buuur...!

    "Cabut pedangmu dan penggal kepalaku kalau 

    memang kau jago penggal, Dewa Pancung!" seru Soka 

    Pura dengan berang. "Rupanya kaulah orangnya yang 

    selama ini tega lakukan kekejaman terhadap diri para 

    gadis di Pantai Rangsang!"

    Pemuda berusia sedikit lebih muda dari Soka 

    itu segera bangkit berdiri, namun ia segera sempoyon-

    gan karena kepalanya terasa sangat sakit dan pandan-

    gan matanya masih gelap akibat terjangan Soka tadi. 

    Soka Pura segera mencabut pedang kristalnya yang 

    ada di pinggang kanan dengan tangan kirinya, karena 

    ia memang bertangan kidal. Tapi sebelum pedang pu-

    saka yang bernama Pedang Tangan Malaikat itu dica-

    but, si Mata Bidadari berkelebat menghadang di depan 

    Soka Pura.

    Wuuut, jleeg...!

    "Hentikan, Tolol!" bentak Mata Bidadari. Soka 

    Pura terkesip melihat sikap Mata Bidadari yang terang-

    terangan membela pemuda berpakaian merah itu. Se-

    dangkan Bintari yang ada di belakang Soka saat itu 

    sedang merintih sambil sesekali terbatuk-batuk. Da-

    rahnya keluar dari mulut dan hidung. Rupanya ia ter-

    kena pukulan berbahaya dan melukai bagian dalam-

    nya.


    "Apa maksudmu memihak si Dewa Pancung itu, 

    Mata Bidadari?!" hardik Pendekar Kembar bungsu.

    "Dia bukan Dewa Pancung!" bentak si Mata Bi-

    dadari. Soka Pura berkerut dahi dan mulai slap-slap 

    kendurkan ketegangannya. Murid cantik Nyai Sangkal 

    Putung itu berseru lagi dengan nada marahnya.

    "Dasar bodoh! Dia adalah adikku yang bernama 

    Prapanca!"

    "Adikmu...?!" Soka Pura jadi bingung dan salah 

    tingkah. Ketegangannya berubah menjadi rasa malu 

    yang tidak karuan.

    Mata Bidadari segera membantu pemuda tam-

    pan berambut ikal sepanjang bahu itu. Soka perhati-

    kan ketampanan pemuda itu, ternyata memang punya 

    kemiripan dengan si Mata Bidadari. Hidungnya man-

    cung, matanya indah, tanpa kumis dan jenggot sedikit 

    pun. Usianya sekitar dua puluh satu tahun. Memang 

    tampak lebih muda dari si Mata Bidadari.

    Soka Pura alihkan rasa malu dan tak enak hati 

    dengan memperhatikan Bintari. Gadis itu berwajah 

    pucat. Agaknya luka dalamnya cukup parah. Soka Pu-

    ra membawanya ke tempat teduh.

    "Benarkah pemuda itu bernama Prapanca?!" bi-

    sik Soka Pura.

    "Iy... iya...! Dia memm... memang si bangsat 

    Prapanca...!"

    "Ada persoalan apa kau sampai bentrok den-

    gannya?!"

    "Uuhk...!" Bintari tersentak dengan mulut tern-

    ganga dan darahnya keluar kembali dari mulut itu.

    Soka Pura terpaksa lakukan pengobatan terha-

    dap luka dalam yang diderita Bintari. Jurus 'Sambung 

    Nyawa' yang membuat tubuh Bintari memancarkan bi-

    as cahaya ungu seperti fosfor itu membuat si Mata Bi-

    dadari tertegun kagum, sedangkan Bintari sendiri


    tampak tegang dan kebingungan melihat tubuhnya 

    seolah-olah menjadi ungu seperti kristal.

    "Maaf, aku tak menyangka sama sekali kalau 

    dia adikmu. Sebaiknya kulakukan pengobatan juga 

    kepada adikmu itu!" ujar Soka Pura membuat si Mata 

    Bidadari hanya mendengus kesal, tapi ia biarkan Pra-

    panca di sembuhkan oleh Soka Pura. Tubuh pemuda 

    itu segera pancarkan cahaya ungu setelah Soka Pura 

    tempelkan telapak tangannya ke lengan Prapanca sete-

    lah telapak tangan itu keluarkan bias cahaya ungu.

    Pengobatan yang baru kali ini dilihat oleh si 

    Mata Bidadari itu ternyata mampu sembuhkan kedua 

    orang tersebut dalam waktu singkat. Baik pihak Binta-

    ri maupun Prapanca segera merasa segar, tak ada rasa 

    sakit sedikit pun pada tubuh mereka.

    "Prapanca, mengapa kau lakukan hal ini terha-

    dap diri Bintari?!" tanya si Mata Bidadari dengan suara 

    jelas, Soka dan Bintari pun mendengarnya. Tapi Pra-

    panca justru memandang ke arah Bintari yang berwa-

    jah oval cantik dalam usia sekitar dua puluh empat 

    tahun itu.

    "Haruskah kukatakan kepada kakakku, Binta-

    ri?!"

    "Persetan dengan dirimu, Prapanca! Cuih...!" 

    Bintari meludah dengan mata menyipit benci, setelah 

    itu ia berkelebat lari tinggalkan mereka ke arah pe-

    sanggrahan.

    "Hei, berhenti! Kau menghina adikku, Bintari!" 

    si Mata Bidadari tersinggung mendengar ucapan dan 

    sikap Bintari terhadap adiknya. Ia ingin mengejar, na-

    mun tangannya segera dicekal oleh Prapanca.

    "Tak perlu dikejar, Kak! ini urusan antara pri-

    badiku dengan pribadinya. Kau tak perlu ikut cam-

    pur!"

    "Urusan pribadi bagaimana?! Kau dihina sebegitu rendahnya, aku tersinggung sekali, Prapanca!"

    "Kalem saja, Kak. Kalem...!" bujuk Prapanca 

    yang tampak cukup akrab dengan kakak perempuan-

    nya itu.

    "Tolong jelaskan supaya aku dan kakakmu ti-

    dak penasaran!" ujar Soka Pura.

    Prapanca diam, memandang Soka dengan pan-

    dangan merasa asing. Kemudian ia menarik kakaknya 

    agar sedikit lebih jauh dari Soka Pura. Prapanca bicara 

    pelan dalam bisikan. Rupanya penjelasan itu tak ingin 

    didengar oleh Soka Pura, sehingga Soka pun akhirnya 

    menjauh dengan hati dongkol.

    Sesaat kemudian, kasak-kusuk mereka pun se-

    lesai. Soka Pura hanya pandangi mereka dari kejau-

    han. Mata Bidadari dekati Soka Pura setelah adiknya 

    berkelebat pergi tinggalkan tempat itu ke arah berla-

    wanan dengan kepergian Bintari.

    "Maaf, adikku tak bisa bicara di depanmu ten-

    tang urusannya dengan Bintari."

    "Tak apa. Aku memaklumi," ujar Soka bernada 

    datar. Mata Bidadari jadi tak enak, akhirnya jelaskan 

    dengan suara pelan.

    "Prapanca dipaksa untuk layani gairah Bintari. 

    Rupanya sudah lama mereka saling jumpa dan Bintari 

    naksir sekali kepada Prapanca. Tapi adikku sudah 

    punya kekasih sendiri dan tak mau layani Bintari. Ak-

    hirnya, tadi mereka bertemu dan Bintari ingin paksa 

    adikku dengan kekerasan agar mau layani gairahnya. 

    Adik ku melawan, dan... terjadilah seperti apa yang ki-

    ta lihat tadi!"

    "Hmmm!" Soka hanya menggumam dan mang-

    gut-manggut kecil, ia melangkah pelan didampingi si 

    Mata Bidadari.

    "Dia malu untuk pamit padamu. Aku disuruh 

    mewakilinya."


    "Ke mana dia pergi?"

    "Ke rumah paman. Dia murid paman ku, dan 

    sekaligus menjadi anak kesayangan paman ku, karena 

    paman dan bibiku tidak punya keturunan. Tadi dia ba-

    ru saja pulang dari rumah kekasihnya yang tak jauh 

    dari wilayah Pantai Rangsang itu. Aku kenal dengan 

    kekasihnya yang bernama Merak Jelita. Aku per-

    nah...."

    "Merak Jelita?!" Soka terkejut. "Aku pernah 

    mendengar nama Merak Jelita. Apakah dia murid dari 

    Nyai Rempah Arum?!"

    "Benar sekali! Kau mengenalnya?"

    "Aku pernah membebaskan si Merak Jelita ke-

    tika ia ingin menjadi korbannya Darah Kula," ujar So-

    ka sambil mengenang peristiwa di Bukit Maut, (Baca 

    serial Pendekar Kembar dalam episode: "Rahasia De-

    dengkot Iblis").

    "Aku dan Guru juga kenal baik dengan pihak 

    Nyai Rempah Arum," ujar Mata Bidadari sambil tetap 

    melangkah pelan di samping Soka Pura. Mereka lan-

    jutkan perjalanan dengan menyisir pantai arah barat.

    "Tunggu sebentar," cegah Soka seraya hentikan 

    langkah, sepertinya ada sesuatu yang baru saja di in-

    gatnya dan harus dibicarakan dengan si Mata Bidada-

    ri.

    "Adikmu dari rumah kekasihnya, menuju ke 

    rumah pamanmu dengan melewati Pantai Rang-

    sang...."

    "Dia potong kompas biar dekat! Ada apa? Kau 

    kelihatannya menaruh curiga pada adikku?!"

    "Bukan adikmu yang membuatku agak curiga, 

    tapi keberadaan Bintari di sini! Mengapa dia ada di si-

    ni? Bukankah seharusnya dia berada di pesanggrahan, 

    menghibur sang Ratu yang sedang berkabung itu?"

    "Mungkin dia hanya ingin menemui Prapanca."


    "Apakah dia tahu kalau Prapanca akan lewat 

    sini?!"

    Mata Bidadari diam sejenak, kemudian menja-

    wab pelan, "Mestinya dia tidak tahu kalau Prapanca 

    akan lewat sini."

    "Jangan-jangan adikmu dan Bintari memang 

    punya kencan untuk saling bertemu di sini? Lalu, ka-

    rena suatu masalah pribadi, maka mereka akhirnya 

    bentrok seperti tadi."

    Mata Bidadari tertegun beberapa saat. Hatinya 

    sempat dongkol jika sampai Prapanca sengaja bikin 

    janji bertemu Bintari di tempat itu.

    "Mungkinkah adikku berkata bohong padaku?" 

    gumam si Mata Bidadari seperti bicara pada diri sendi-

    ri. "Setahuku, Prapanca tak pernah berani berbohong 

    kepadaku. Selama ini...."

    Kata-kata itu terputus tiba-tiba. Mata Bidadari 

    melihat sekelebat sinar merah berekor yang meluncur 

    cepat ingin menghantam punggung Soka. Sinar merah 

    itu datang dari kedalaman hutan pantai.

    Mata Bidadari tak sempat memberi tahu Soka 

    Pura. Pemuda itu segera disingkirkan dengan sapuan 

    tangannya. Wuus...! Bruuk...! Soka Pura yang bertu-

    buh kekar bagaikan dibanting tenaga raksasa. Ru-

    panya saat menyingkirkan Soka, tenaga gadis itu ke-

    luar secara refleks, karena kejap berikutnya telapak 

    tangan kanannya disentakkan ke arah depan. Dari te-

    lapak tangan itu melesat sinar hijau lurus tanpa pu-

    tus. Claap...!

    Sinar hijau lurus itu menghantam sinar merah 

    berekor panjang yang sebenarnya ditujukan pada 

    punggung Pendekar Kembar bungsu.

    Blaaam, blegaaarrr...!

    Dentuman dahsyat terjadi dan mengguncang-

    kan alam sekitar tempat itu. Mata Bidadari terpental


    ke belakang karena hentakan gelombang ledak tadi. 

    Soka Pura semakin rapatkan tubuh ke tanah begitu 

    menyadari ada bahaya datang. Namun kejap berikut-

    nya ia gulingkan badan ke kiri dan tubuhnya menyen-

    tak bangkit seketika itu juga. Wut, jleeg...!

    Mata Pendekar Kembar bungsu pun meman-

    dang liar ke arah datangnya sinar merah tadi. Sekele-

    bat bayangan terlihat melesat tinggalkan tempat per-

    sembunyian. Soka Pura pun berseru sambil mengejar 

    bayangan yang melarikan diri itu.

    "Berhenti...!!"

    Wuuuz...! Soka Pura pergunakan jurus Jalur 

    Badai-nya untuk mengejar bayangan yang melarikan 

    diri itu Si Mata Bidadari mengerang kecil, lalu segera 

    bangkit dengan tarikan napas panjang. Melihat Soka 

    Pura mengejar seseorang, Mata Bidadari pun bergegas 

    menyusulnya. Wees...!

    *

    * *

    6


    ORANG yang dikejar Soka dan Mata Bidadari 

    itu mempunyai kecepatan gerak yang hampir sama 

    dengan jurus 'Jalur Badai'-nya Pendekar Kembar. Na-

    mun kecepatan jurus 'Jalur Badai' masih unggul, se-

    hingga orang tersebut dalam waktu singkat sudah be-

    rada dalam jangkauan pandang Soka Pura.

    Mata Bidadari tertinggal di belakang Soka, da-

    lam jarak sekitar sepuluh tombak. Ia berusaha kerah-

    kan tenaga untuk bisa susul Soka Pura. Pengejaran itu 

    di lakukan tanpa suara apa pun, walau sebenarnya ia 

    tahu arah pelarian tersebut sudah melewati batas utara wilayah Pantai Rangsang.

    Tiba-tiba orang tersebut seperti membuang se-

    suatu ke belakang sambil tetap berlari. Wes, wes, 

    wes...

    Sesuatu yang dibuangnya itu jatuh ke tanah 

    dan meletup dengan suara kecil. Bluub...! Wuuus...! 

    Asap kebiru-biruan mengepul dari sesuatu yang mele-

    tup itu. Tiga letupan menghasilkan asap tebal yang 

    membuat pandangan mata menjadi kabur.

    Tapi Soka Pura maupun Mata Bidadari tetap 

    lakukan pengejaran dengan menembus asap yang kian 

    menebal itu. Hanya saja, beberapa saat setelah mereka 

    keluar dari gumpalan asap kebiruan itu napas Soka

    Pura menjadi sesak. Makin lama makin terasa 

    menyakitkan dada. Otot pun terasa mengendur, gera-

    kan tak bisa lincah dan cepat lagi. Kepala Soka terasa 

    pening dengan mata pedas dan sulit memandang den-

    gan bebas.

    "Uhuk, uhuk, uhuk...!" Soka Pura terbatuk-

    batuk, ia hentikan langkahnya. Keadaan tubuhnya te-

    rasa semakin lemah. Jalan pernapasan bagai tersum-

    bat oleh sesuatu.

    "Celaka! Dia melemparkan asap beracun!" ge-

    ram hati Soka Pura sambil berusaha untuk menarik 

    napas. Namun darah terasa menggumpal dan me-

    nyumbat pernafasannya. Ia ingin memberi tahu Mata 

    Bidadari agar jangan lewati asap kebiruan itu. Tapi ga-

    dis tersebut sudah terlanjur menerabas gumpalan 

    asap karena takut tertinggal jauh oleh Soka. Ia lebih 

    takut lagi kalau sampai kehilangan jejak Soka dan 

    orang yang dikejarnya.

    Akibatnya, Mata Bidadari pun mengalami nasib 

    seperti Soka Pura. Suara batuk si gadis terdengar sa-

    mar-samar dari tempat Soka yang akhirnya jatuh ber-

    sandar pada sebatang pohon itu.


    Bahkan Soka masih sempat melihat secara sa-

    mar-samar pada saat Mata Bidadari jatuh tersungkur 

    di depannya. Gadis itu keluarkan suara erangan dan 

    tarikan nafasnya terdengar melebihi orang punya pe-

    nyakit bengek atau asma. Tapi Soka Pura tak bisa la-

    kukan apa-apa, karena seluruh tulangnya bagai dilolos 

    dan urat-uratnya terasa putus semua.

    "Soo.... Sookaa...! Soookaa...!" panggil si Mata 

    Bidadari dengan suara makin lama makin melemah. 

    Soka Pura tak bisa menjawab walau telinganya masih 

    bisa mendengar suara itu. Kerongkongan Pendekar 

    Kembar bungsu bagaikan kering kerontang dan tak bi-

    sa keluarkan suara apa pun.

    Angin berhembus ke arah pantai. Asap tadi se-

    gera buyar terbawa angin. Maka tampak jelas dua so-

    sok anak manusia tergeletak di atas rerumputan hutan 

    tepi pantai itu dengan wajah pucat membiru melebihi 

    mayat.

    Entah berapa lama mereka sama-sama tak sa-

    darkan diri. Ketika mereka sadar, mereka sudah bera-

    da di sebuah gua tebing karang, tepat pinggir laut. Se-

    bagian air laut ada yang masuk ke gua tersebut. Bau 

    air laut pun tercium kuat di dalam gua karang itu.

    Soka Pura siuman lebih dulu, selang beberapa 

    saat kemudian baru si Mata Bidadari siuman juga. Me-

    reka sama-sama bingung pandangi gua yang cukup le-

    bar dan mempunyai lorong ke dalam. Tapi lorong ter-

    sebut dalam keadaan gelap, tak terjangkau bias sinar 

    matahari dari mulut gua. Dinding gua yang jelas-jelas 

    terbuat dari karang putih membuat mereka tak mau 

    mendekatinya karena dinding karang itu mempunyai 

    ketajaman yang bisa mengoyakkan tubuh mereka. 

    "Siapa yang membawa kita kemari, Soka?!" "Entahlah. 

    Yang jelas, orang yang membawa kita kemari adalah 

    orang yang telah selamatkan nyawa kita dari asap be


    racun tadi!" jawab Soka Pura sambil masih memeriksa 

    keadaan dalam gua tersebut.

    "Hai, ada orang di sini?!" seru Soka Pura. Tak 

    ada jawaban apa pun kecuali suaranya sendiri yang 

    menggema. Ternyata gua itu memang kosong, tak ada 

    penghuninya. Bahkan tak ada tanda-tanda bahwa gua 

    itu pernah dipakai oleh si penolong.

    "Kurasa orang yang selamatkan kita dari asap 

    beracun itu tidak tinggal di gua ini. Mungkin tinggal di 

    tempat lain. Tapi dia tahu ada gua di sini. Maka ia pun 

    membawa kita kemari," tutur Soka Pura sambil berada 

    di tepian mulut gua.

    Lantai mulut gua berpasir putih dan basah oleh 

    riak ombak yang sesekali menyapu sampai kedalaman 

    gua. Barangkali jika air laut dalam keadaan pasang, 

    gua tersebut akan terendam sepenuhnya.

    Soka dan Mata Bidadari memeriksa keadaan 

    sekitar mulut gua. Ternyata tak ada jalan yang bisa di-

    lalui untuk menuju ke daratan. Gua itu selain berha-

    dapan langsung dengan permukaan air laut, juga ber-

    tebing karang tinggi. Mereka seperti berada di bawah 

    tebing karang yang sukar dijangkau oleh orang berilmu 

    rendah.

    "Jangan-jangan yang menolong kita adalah 

    orang gila!" ujar si Mata Bidadari dengan sedikit dong-

    kol. "Ia dapat selamatkan kita dari asap beracun itu. Ia 

    dapat membuat tubuh kita segar kembali. Tapi ia tem-

    patkan kita dl tempat separah ini! Kita sama saja diku-

    rung olehnya, Soka!"

    "Tenang dulu. Jangan buru-buru marah. 

    Mungkin orang itu punya sisi baik tersendiri dari niat-

    nya menaruh kita di dalam gua ini," ujar Soka Pura 

    mencoba menenangkan hati si mata Bidadari yang gu-

    sar itu.

    Rupanya mereka pingsan cukup lama. Terbukti


    saat mereka sadar sudah berada di gua karang itu, 

    matahari sudah tenggelam di cakrawala seperempat 

    bagian. Cahayanya sudah mulai redup, tidak seterang 

    saat mereka mengejar orang berpakaian merah tadi.

    "Orang itu berpakaian merah," ujar Soka. "Ku-

    rasa dialah si Dewa Pancung!"

    "Agaknya memang begitu. Aku juga sempat me-

    lihat rambutnya yang diikat ke belakang seperti pe-

    rempuan. Tapi aku tak sempat lihat wajahnya. Sean-

    dainya aku sempat melihat wajahnya, pasti aku dapat 

    lebih yakin lagi bahwa dia adalah si Dewa Pancung."

    Soka Pura dekati si Mata Bidadari yang duduk 

    di atas batu karang tumpul sebesar dua kali kepala 

    kerbau. Batu itu bisa dipakai duduk bertiga dengan 

    ketinggian sebatas paha orang dewasa. Soka Pura ma-

    sih tak mau duduk di samping gadis itu. Ia hanya ber-

    diri dan bicara dengan memandang si gadis.

    "Ada sesuatu yang terasa janggal bagiku sehu-

    bungan dengan orang yang kita kejar tadi. Tahukah 

    kau di mana letak kejanggalan yang ku maksud tad!?!"

    Mata Bidadari diam sebentar, menatap Soka, lalu alih-

    kan pandang ke arah mulut gua.

    "Mungkin maksudmu senjata orang yang kita 

    kejar itu terasa aneh bagimu. Senjata itu seperti tong-

    kat yang ujungnya seperti paruh seekor burung ban-

    gau. Hmmm...! Kurasa kau baru melihat senjata seper-

    ti itu," si gadis tersenyum kecil berkesan meremehkan 

    Soka.

    Ia menatap Soka dan berkata lagi, "Itu yang 

    namanya senjata pemancung! Alias Senjata El Maut, 

    karena hanya Malaikat El Maut yang memiliki senjata 

    pemenggal kepala seperti itu!"

    Soka Pura tersenyum kalem. "Bukan itu ke-

    janggalan yang ku maksud."

    Si gadis berkerut dahi.


    "Jika kita yakin orang tadi adalah Dewa Pan-

    cung, maka berarti ia muncul tak jauh dari tempat 

    pemunculan adikmu: Prapanca. Mengapa ia harus 

    muncul di situ? Mengapa Prapanca ambil jalan pintas 

    melewati tempat di mana kita diserang oleh Dewa Pan-

    cung tadi? itulah kejanggalan yang ku maksud, Mata 

    Bidadari."

    "O, jadi kau mencurigai adikku?! Kau sangka 

    adik ku ada bersekongkol dengan si Dewa Pancung?!" 

    Mata Bidadari mulai gusar, agaknya ia tersinggung 

    dengan kata-kata Pendekar Kembar bungsu itu.

    "Dengar, Soka...!" tegas Mata Bidadari. "Pra-

    panca tidak pernah pergi ke Pulau Kucil. Dia tidak 

    pernah jumpa dengan Dewa Pancung, dan dia bukan 

    pemuda berjiwa pengkhianat! Dia tidak mau berse-

    kongkol dengan orang-orang aliran hitam seperti Raja 

    Amuk Jagal atau Dewa Pancung itu!"

    "Maaf, itu hanya kejanggalan yang ku rasakan," 

    ujar Soka Pura dengan kikuk. "Bisa saja dugaanku itu 

    salah. Mungkin aku terlalu mudah menghubung-

    hubungkan kemunculan mereka yang bisa saja bersi-

    fat kebetulan."

    Sekalipun Soka Pura sudah menetralisir ang-

    gapannya, namun Mata Bidadari masih merasa ter-

    singgung. Gadis cantik bertubuh tinggi sekal itu tam-

    pakkan wajah cemberutnya. Soka Pura makin tak enak 

    hati.

    "Aku dan adikku bukan dari keluarga sesat! 

    Ayah kami bekas seorang senopati di Kerajaan Purwa-

    nagari!" Mata Bidadari terpaksa beberkan masa la-

    lunya. Ia bicara seperti orang melamun, tak mau me-

    natapi Soka Pura. Dari pancaran matanya tampak se-

    genggam kesedihan ditahannya dalam hati.

    "Ibu kami sendiri seorang prajurit di kerajaan 

    tersebut. Kami dilahirkan dari darah orang-orang kesa


    tria, bukan keturunan orang-orang sesat! Sayang da-

    lam suatu pertempuran besar, Ayah kami tewas. ibu 

    menuntut balas, maju ke peperangan. Ternyata ibu 

    pun tewas. Kami menjadi yatim piatu. Hanya mempu-

    nyai seorang paman dan seorang bibi. Mereka juga 

    orang-orang aliran putih. Bukan orang-orang jahat se-

    perti dugaanmu!"

    "Mata Bidadari, sekali lagi aku minta maaf. Aku 

    tidak mengatakan kau dan Prapanca keturunan orang 

    jahat!" ujar Soka dengan lembut. Ia ikut duduk di 

    samping Mata Bidadari yang semakin tampak kedu-

    kaannya.

    "Dulu aku memang sering bertengkar dengan 

    Prapanca. Akhirnya ku pilih untuk berguru kepada 

    Nyai Sangkal Putung, sahabat bibiku yang beraliran 

    putih. Walau guruku punya kakak beraliran hitam, ta-

    pi beliau tidak ikut aliran Iblis Tambak Getih, men-

    diang kakaknya itu. Guru juga mendidik ku agar men-

    jadi gadis berjiwa satria. Bahkan berbohong kepada 

    Guru pun aku tak berani. Demikian pula Prapanca 

    yang dibesarkan oleh paman dan bibi tidak berani ber-

    kata bohong kepada kami. Jika sekarang kau mencuri-

    gai adikku, sungguh itu merupakan tamparan yang 

    menyakitkan bagi hatiku, Soka! Kuanggap itu suatu 

    penghinaan besar jika kau menganggap Prapanca ber-

    sekongkol dengan Dewa Pancung!"

    "Sekali lagi aku minta maaf, Mata Bidadari," 

    ucap Soka pelan dan hati-hati sekali. "Lupakan kata-

    kataku tadi. Kejanggalan itu wajar saja timbul dalam 

    hatiku dan menumbuhkan seribu macam dugaan. Ba-

    rangkali suatu saat kau pun akan mengalami seperti 

    apa yang ku rasakan saat ini, Mata Bidadari."

    Soka Pura sengaja pindah ke depan gadis itu 

    agar dapat beradu pandang. Dengan sedikit mem-

    bungkuk, Soka Pura menatap mata indah si gadis yang


    juga memandangnya setelah Soka Pura berkata,

    "Tak bisakah kau memaafkan diriku, Bidadari 

    Cantik?"

    Bibir ranum yang sensual dan menggemaskan 

    sekali itu terkatup rapat. Namun pandangan si Mata 

    Bidadari tertuju lekat-lekat ke wajah Soka Pura.

    "Jangan sedih, Bidadariku. Cerialah kembali. 

    Aku sudah meminta maaf padamu, haruskah aku me-

    nebusnya dengan hukuman? Hukumlah jika memang 

    itu layak kuterima dan dapat membuat hatimu ceria

    kembali."

    "Jangan sekali lagi menghina keluargaku. Aku 

    mudah tersinggung jika seseorang menghina keluarga

    ku."

    "Baik. Akan kuingat hal itu! Sekarang kau ma-

    sih marah padaku?" tutur Soka lebih lembut lagi. Si 

    gadis gelengkan kepala, namun tetap menatap Soka.

    "Kau ingin menghukumku?"

    Sekali lagi gadis itu gelengkan kepala.

    "Tersenyumlah jika kau sudah tak marah pa-

    daku. Tersenyumlah, Bidadariku...."

    "Bibirku kaku," ucap Mata Bidadari dalam nada 

    berbisik. Soka Pura justru tersenyum geli sendiri.

    "Bibirmu kaku? Oh, apakah aku perlu mele-

    maskannya?"

    "Dengan apa kau ingin melemaskan bibirku?"

    "Hmmm, hhhhmmm... barangkali... barangkali 

    dengan sebuah kecupan?"

    "Apakah kau mampu?" ujar si gadis semakin li-

    rih. Soka Pura berdebar-debar, merasa tawarannya 

    disambut dengan tantangan.

    Ketika mata mereka saling beradu pandang da-

    lam kebisuan, Soka Pura pun akhirnya dekatkan wa-

    jahnya ke wajah cantik si Mata Bidadari. Gadis itu mu-

    lai pejamkan matanya, bibirnya sedikit merekah, sea


    kan menunggu sambutan dari lawan jenisnya.

    Maka, tanpa bisa menahan diri lagi, Soka Pura 

    pun menempelkan bibirnya ke bibir si Mata Bidadari. 

    Bibir ranum itu dikecup oleh Soka dengan pelan-pelan 

    sekali. Kecupan lembut itu membuat hati si gadis ba-

    gaikan ditaburi bunga-bunga indah. Maka si gadis pun 

    tak kuasa untuk diam saja. Kecupan itu dibalas den-

    gan lumatan lembut, sampai akhirnya mereka saling 

    melumat dan berpelukan dengan hangat dan mesra.

    Ketika mereka merasa puas sesaat dengan ke-

    cupan yang membakar darah kemesraan itu, mereka 

    pun saling pandang lagi. Kali ini Mata Bidadari bangkit 

    berdiri. Tingginya sama dengan Soka Pura. Kedua tan-

    gan gadis itu masih melingkar di leher Soka, bahkan 

    sempat memainkan anak rambut yang meriap di dada 

    Soka Pura.

    "Indah sekali sambutan bibirmu," ucap Soka 

    dalam bisikan. Si Mata Bidadari menjadi tersipu malu. 

    Kemudian ia lepaskan kedua tangannya dan berpaling 

    muka ke arah lain. Ketika ia ingin melangkah, Soka 

    menahan pundaknya. Bahkan pemuda tampan itu me-

    raih ujung dagunya dan menghadapkan wajah cantik 

    itu agar beradu pandang kembali.

    "Jangan bilang-bilang gurumu kalau kita per-

    nah berciuman seperti tadi."

    "Mengapa tak boleh bilang?"

    "Aku takut gurumu akan marah, karena aku 

    hanya menciummu saja."

    Mata Bidadari akhirnya tersenyum geli men-

    dengar kelakar Pendekar Kembar bungsu itu. Senyu-

    man itu menambah kecantikan di wajah si Mata Bida-

    dari, sampai-sampai Soka Pura terkesima pandangi 

    kecantikan dalam senyuman itu. Mata Bidadari men-

    jadi malu, dan buru-buru menjauh sambil alihkan 

    pandang.


    "Bidadari, apakah kau sudah punya kekasih?" 

    tanya Soka Pura sambil memburu.

    "Sebentar lagi gua ini akan gelap! Kita harus 

    cepat tinggalkan gua ini, Soka!" si Mata Bidadari alih-

    kan pembicaraan, karena ia tak sanggup hadapi Soka 

    Pura, jantungnya yang berdetak makin lama makin 

    kencang itu dapat putus seketika jika terlalu lama ber-

    tatapan dengan pemuda tampan tersebut.

    Soka Pura tak mau memburu pertanyaan tadi. 

    Ia sadar, sesuatu yang membuat si gadis tersipu dapat 

    menjengkelkan hati gadis itu. Jika sudah demikian 

    maka kemesraan pun akan hilang dan berganti dengan 

    kesan muak yang menjengkelkan hati si gadis. Soka 

    harus melayani alih bicara itu agar si gadis tetap me-

    nyimpan kesan indah dalam hatinya.

    "Kita harus memanjat tebing karang ini jika in-

    gin kembali ke pesanggrahan. Tak ada jalan lain kecu-

    ali dengan cara memanjat tebing setinggi itu, Bidadari!" 

    "Apakah kau tak sanggup melakukannya?!"

    "Bukan diriku yang ku cemaskan, tapi dirimu. 

    Kalau kau merasa sanggup memanjat tebing karang di 

    atas gua ini, apa salahnya jika kita cepat-cepat kemba-

    li ke pesanggrahan sekarang juga?!"

    Mereka bergegas di depan mulut gua. Kaki me-

    reka sesekali basah oleh riak ombak yang menepi. Ma-

    ta mereka memandangi tebing karang yang tinggi, 

    sampai-sampai hijaunya daun-daun pohon di atas sa-

    na hanya tampak samar-samar.

    Cahaya yang memudar juga menjadi pertim-

    bangan mereka. Salah-salah mereka tak bisa melihat 

    dengan jelas keadaan batuan karang yang dipijak saat 

    memanjat, akibatnya dapat membuat mereka jatuh 

    tergelincir dari ketinggian yang membahayakan nyawa.

    "Bagaimana jika kita bermalam di gua ini? Esok 

    setelah matahari bersinar terang, kita lakukan penda


    kian itu," usul Soka Pura. Si gadis masih belum mem-

    berikan jawaban apa-apa. Namun langkah kakinya se-

    gera menuju ke dalam gua lagi. Soka Pura mengiku-

    tinya.

    "Kau keberatan dengan usulku, Bidadari?"

    Gadis itu berpaling memandang Soka.

    "Selama bersamamu, aku tak akan merasa ke-

    beratan tinggal di dalam liang kubur sekalipun!"

    Soka Pura tertawa pelan. "Kau mulai merayuku 

    lagi, Bidadari!"

    Si gadis tertawa kecil, nyaris tak terdengar. 

    Kemudian ia duduk di batu yang tadi. Soka Pura du-

    duk di sampingnya dengan tangan merangkul dari 

    samping kanan.

    "Aku lelah sekali. Semalam kita ngobrol sampai 

    menjelang fajar. Aku kurang tidur, Soka."

    "Kalau begitu, tidurlah di pangkuan ku!" ujar 

    Soka Pura, kemudian ia duduk di lantai gua, bersan-

    dar batu tempat duduk itu. Mata Bidadari juga duduk 

    di lantai gua berpasir putih. Lalu ia merebah, kepa-

    lanya berada di pangkuan Soka Pura. Tangan Soka 

    mengusap-usap kening si gadis dengan lembut sambil 

    menyingkapkan anak rambut yang meriap di kening, 

    terhimpit ikat kepala kuning.

    "Rasa-rasanya tidur ku akan nyenyak jika begi-

    ni." ujar si gadis sambil pejamkan mata.

    "Mengapa kau yakin begitu?" "Aku tak pernah 

    rasakan kedamaian hati seperti saat ini."

    "Benarkah kau merasa damai?"

    "Entahlah," si gadis buka mata lagi, pandangi 

    Soka. "Yang jelas, kedamaian ini lain dengan keinda-

    han yang pernah ku rasakan bersama...."

    "Bersama siapa?" desak Soka ketika Mata Bida-

    dari hentikan ucapan nya. Gadis itu tak mau menja-

    wab, hanya pejamkan mata kembali seperti mau tidur.


    "Bersama kekasihmu, begitu?" pancing Soka.

    "Kami sudah putus hubungan enam bulan yang 

    lalu."

    "O, ya...?! Mengapa sampai putus?" "Ternyata 

    dia seorang pengkhianat! Ku pergoki saat ia bercinta 

    dengan sahabatku sendiri. Lalu aku..., Mata Bidadari 

    berhenti lagi, seperti ragu melanjutkannya.

    "Lalu, bagaimana?" desak Soka. "Ah, sudahlah! 

    Jangan bicara soal itu. Luka di hatiku dapat terbakar 

    dendam lagi!"

    Si gadis membuka matanya, menatap lembut 

    dan berkata lirih, sedikit parau.

    "Aku tak ingin membicarakan hal itu. Aku ingin 

    menikmati kedamaian yang ku rasakan bersamamu 

    ini, Soka!"

    Soka Pura sunggingkan senyum indah yang 

    amat menawan. Tangannya mengusap-usap pipi si ga-

    dis. Mata si gadis terpejam kembali, bagai sedang me-

    resapi trap sentuhan tangan Soka yang makin lama 

    makin nakal, makin turun ke leher, sampai ke dada, 

    lalu menelusup di sana. Si gadis diam terpejam, benar-

    benar resapi betul tiap kenakalan tangan Soka yang 

    menghadirkan debar-debar keindahan itu.

    Sesekali si Mata Bidadari mendesis atau meng-

    gigit bibirnya ketika tangan Soka berada di puncak ke-

    nakalannya. Kadang juga keluarkan suara mendesah 

    dengan mata kian memejam kuat, pertanda menahan 

    sesuatu yang telah meledak dan tak berani dilontarkan 

    melalui suara keras-keras. Ia masih malu untuk mele-

    paskan kelegaan hasratnya ketika tangan Soka menja-

    lar sampai ke bawah. Gadis itu hanya bisa menggigit 

    tangan Soka yang satunya, sebagai tanda bahwa ia te-

    lah merasakan puncak keindahan dan kedamaian dari 

    kenakalan tangan pemuda itu.

    Tanpa sadar mereka tertidur dalam gelap. Tak


    ada cahaya rembulan yang muncul menyinari bumi. 

    Seandainya malam itu rembulan menyinarkan ca-

    hayanya, maka suasana di dalam gua tidak akan men-

    jadi gelap pekat seperti saat itu. Setidaknya permu-

    kaan air laut akan memantulkan sinar rembulan hing-

    ga bias cahaya itu masuk ke dalam gua.

    Kelegaan yang dirasakan si Mata Bidadari 

    membuat sekujur tubuhnya menjadi letih, akhirnya ia 

    tertidur dalam pangkuan Pendekar Kembar bungsu. 

    Soka Pura pun lelah sendiri dengan kenakalannya, ia 

    pun ikut tertidur dalam keadaan duduk bersandar ba-

    tu sambil memangku kepala Mata Bidadari. Kira-kira 

    pertengahan malam, mereka terbangun secara serem-

    pak. Suara gemeritik seperti kayu terbakar itulah yang 

    membuat mereka terbangun dan segera menggeragap. 

    Mereka terkejut, karena gua itu menjadi terang. Ada 

    nyala api dl tumpukan batu karang kecil-kecil yang 

    tersusun rapi tumpukan batu bara itu. Mereka sama-

    sama berpendapat, pasti ada orang yang menyalakan 

    tumpukan batu itu dengan satu kekuatan ilmu pem-

    bakar, sehingga batu-batu itu menjadi pengganti kayu 

    api unggun.

    "Terang sekali?!" gumam Soka Pura. "Api dari 

    mana itu, Bidadari?!"

    "Entahlah. Pasti ada orang selain kita. Dan, 

    ooh... di dekat lorong sana pun ada tumpukan batu 

    mengobarkan api terang, Soka?!" si Mata Bidadari me-

    nuding arah menuju lorong kedalaman gua tersebut.

    "Tetaplah di sini, aku akan memeriksa lorong 

    itu!". "Aku ikut!" sergah si Mata Bidadari setelah mera-

    pikan pakaiannya yang tadi sempat morat-marit dalam 

    kegelapan akibat kenakalan tangan Soka.

    Namun sebelum mereka berdua bergegas me-

    nuju ke lorong, tiba-tiba dari dalam lorong muncul se-

    sosok tubuh kurus berambut putih acak-acakan.


    "Hahhh...?!" si Mata Bidadari terpekik, Soka 

    Pura hanya terperanjat dengan tarikan napas menyen-

    tak. Si rambut putih yang panjangnya sepunggung 

    tanpa ikat kepala itu melangkah mendekati mereka. 

    Ketika berada tak jauh dari nyala api unggun, lang-

    kahnya berhenti. Nyala api memperjelas raut wajahnya 

    yang keriput, bermata cekung, menyeramkan sekali. Ia 

    mengenakan jubah dan celana merah kusam. Kuku-

    kuku tangannya panjang dan hitam. Ia seperti seorang 

    kakek berusia sekitar delapan puluh tahun yang ber-

    tubuh jangkung dan berkesan angker.

    Sreet...! Si Mata Bidadari segera mencabut pe-

    dangnya yang saat mau tidur tadi sempat dilepas dari 

    selipan pinggangnya. Namun tangan Soka Pura segera 

    menahan tangan si Mata Bidadari agar tak mengguna-

    kan pedangnya untuk menyerang sosok angker terse-

    but.

    "Masukkan kembali pedangmu!" perintah Soka 

    Pura.

    "Tapi dia...."

    "Aku mengenalnya! Aku tahu siapa dia! Biar 

    kuhadapi dia dengan baik-baik. Siapa tahu tak perlu 

    harus lakukan pertarungan dengannya."

    Akhirnya si gadis turuti kata-kata Soka. Pende-

    kar Kembar bungsu maju dua langkah, berada di de-

    pan si Mata Bidadari, bersikap menjadi pelindung bagi 

    si gadis. Dengan suara tegas, Soka Pura menyapa si 

    wajah angker yang sudah dikenainya itu.

    "Rupanya kau sekarang tinggal di sini, Dedeng-

    kot Iblis?!"

    Mata Bidadari menggumam dalam hati, "De-

    dengkot Iblis?! Oh, siapa itu si Dedengkot Iblis?! Baru 

    sekarang aku mendengar nama seangker itu!"

    Tentu saja si Mata Bidadari merasa asing den-

    gan tokoh angker tersebut selama ini tak berani ting


    galkan tanah Kubangan Berdarah yang ada di kaki 

    Gunung Mercapada itu. Dedengkot Iblis adalah penja-

    ga Bambu Gading Mandul atas perintah Raja iblis.

    Sejak ia dikalahkan oleh Soka Pura, dan Pen-

    dekar Kembar berhasil memotong Bambu Gading 

    Mandul untuk membunuh si Darah Kula, Dedengkot 

    Iblis sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai penjaga 

    bambu keramat itu. Sebab bambu tersebut telah ter-

    bakar habis tak akan tumbuh lagi sejak dipotong 

    ujungnya oleh Soka Pura, (Baca serial Pendekar Kem-

    bar dalam episode: "Rahasia Dedengkot Iblis").

    Pada waktu itu, Dedengkot Iblis segera larikan 

    diri dari pertarungannya melawan Soka Pura, karena 

    Soka mengaku keturunan dari Prabawinih. Sedangkan 

    perempuan yang bernama Nyai Prabawinih itu adalah 

    mantan istri tercinta dari si Dedengkot Iblis yang me-

    ninggalkan lari darinya karena Dedengkot iblis menjadi 

    pengikut aliran sesat si Raja iblis. Namun rasa cinta 

    Dedengkot Iblis kepada Nyai Prabawinih masih melekat 

    dalam hati tuanya, sehingga ia tak berani mengganggu 

    keturunan Nyai Prabawinih.

    Sekalipun Dedengkot iblis pernah dikalahkan 

    oleh pemuda tampan itu, namun ternyata ia tidak me-

    nyimpan dendam. Wajahnya memang angker, tapi si-

    kapnya terhadap Soka Pura bukan lagi sikap seorang 

    musuh yang perlu ditakuti.

    "Mendekatlah kemari, Anakku...." Soka Pura 

    terperanjat dalam hati mendengar ucapan si Dedeng-

    kot Iblis yang bersuara serak itu. Melihat pancaran 

    mata cekungnya yang tajam namun tidak punya kesan 

    permusuhan itu, Soka Pura pun akhirnya mendekati 

    nyala api yang menerangi gua tersebut. Si Mata Bida-

    dari pun diajak ikut mendekat dengan tangan Soka 

    memegangi tangan gadis itu dari belakang.

    "Senang sekali aku melihat kalian bisa tertidur


    nyenyak. Kusangka kekuatanku tadi tak bisa untuk 

    kalahkan racun yang bersarang dalam tubuh kalian. 

    Ternyata hasilnya lumayan juga!"

    "Jadi kaulah orangnya yang membawa kami ke 

    dalam gua ini, Dedengkot Iblis?!"

    "Yah, memang aku! Kutemukan pemuda tam-

    pan keturunan Prabawinih dalam keadaan sekarat. 

    Kulihat gadis cantik ada di sampingmu. Aku yakin dia 

    pasti kekasihmu yang ikut terancam bahaya racun. 

    Maka ku bawa kalian kemari dan ku coba salurkan 

    kekuatan inti gaib suci ku, ternyata berhasil sela-

    matkan jiwa kalian!"

    Soka dan gadis cantik itu saling beradu pan-

    dang. Ketegangan si Mata Bidadari mulai berkurang 

    setelah ia mendengar penjelasan dari Dedengkot Iblis.

    "Hmm, hmmm... terima kasih atas pertolon-

    ganmu, Dedengkot Iblis!"

    "Terima kasih mu tak kuperlukan. Yang kuper-

    lukan adalah sesuatu yang ingin kuketahui. Siapa 

    orang yang telah melukaimu, Nak?!"

    "Hmm, ehh...," Soka ragu-ragu menjawabnya. 

    Ia memandang Mata Bidadari dengan maksud mem-

    pertimbangan. Si gadis berbisik pelan sekali.

    "Katakan saja apa adanya!"

    "Hmmm, kalau boleh ku tahu lebih dulu, apa 

    maksudmu ingin tahu orang yang menyerangku den-

    gan asap beracun itu, Dedengkot Iblis?!"

    Si wajah angker itu duduk di atas batu karang 

    depan kobaran api unggunnya. Pantatnya tak merasa 

    sakit, bahkan ia seperti duduk dl permukaan yang da-

    tar. Padahal batu karang itu mempunyai permukaan

    runcing-runcing seperti sekelompok paku. Dalam kea-

    daan duduk begitu, nyala api semakin menerangi wa-

    jah angkernya, membuat wajah itu semakin seperti wa-

    jah mayat yang sudah terkubur selama beberapa bu


    lan, Menyeramkan sekali.

    "Kau dan saudara kembar mu itu adalah ketu-

    runan dari Prabawinih. Siapa pun yang mengusik ke-

    damaian keturunan Prabawinih harus berhadapan 

    denganku! Aku tak rela keturunan Prabawinih digang-

    gu oleh siapa pun!"

    Suara serak itu menggema, membuat bulu ku-

    duk Soka sempat merinding.

    "Karena itulah, aku ingin tahu, siapa orang 

    yang telah berani mencelakaimu dengan racunnya itu, 

    Kembar?!"

    "Hmmm... hmmm... aku tak tahu dengan pasti, 

    Dedengkot Iblis! Aku hanya menduga, orang itu adalah 

    Dewa Pancung, yang telah memenggal kepala para 

    pengawal Ratu Sedap Malam dan...."

    "Dan kepala-kepala itu dipamerkan di sepan-

    jang pantai ini?" sahut Dedengkot Iblis.

    "Benar! Kami berdua sedang mencari Dewa 

    Pancung. Tapi tiba-tiba seseorang menyerangku, dan 

    berhasil dipatahkan oleh si Mata Bidadari ini! Lalu 

    kami mengejarnya dan ia membuang sesuatu, ternyata 

    asap beracun!"

    "Apakah kau ada di pihak si Ratu yang kau se-

    but itu?"

    "Ya, kami ada di pihak Ratu Sedap Malam, pen-

    guasa Pantai Rangsang ini!"

    "Hmmm...! Kalau begitu, serahkan persoalan ini 

    padaku! Akan kucari si Dewa Pancung, dan akan ku

    pajang serpihan kepalanya di sepanjang pantai ini!"

    "Hmmm... kurasa itu tak perlu, Dedengkot Iblis! 

    Aku bisa mengatasinya sendiri!"

    "Tidak bisa! Dia telah mengganggumu, maka 

    dia harus hancur di tanganku!"

    Duuuurrr...! Sentakan kaki Dedengkot Iblis ke 

    lantai gua membuat dinding dan atap gua bergetar.


    Karang-karang kecil berjatuhan. Dinding gua seakan 

    ingin retak akibat getaran tersebut. Soka buru-buru 

    memeluk si Mata Bidadari sambil sama-sama runduk-

    kan kepala.

    *

    * *

    7


    ORANG yang melemparkan benda berasap ra-

    cun itu memang si Dewa Pancung. Ia melarikan diri 

    lantaran pukulan mautnya yang bersinar merah itu bi-

    sa dihancurkan oleh lawan. Karena pukulan bersinar 

    merah itu adalah jurus 'Pukulan Keramat' yang selama 

    ini tak pernah meleset, selalu dapat lumpuhkan lawan.

    Jurus 'Pukulan Keramat' memang benar-benar 

    punya kekuatan keramat. Jika 'Pukulan Keramat' itu 

    gagal lumpuhkan lawan, maka sebagai akibatnya akan 

    datang musibah kepadanya. Baik dari lawannya sendi-

    ri maupun dari keadaan sekitarnya.

    Ternyata jurus pemberian almarhum kakeknya 

    itu dapat dihancurkan oleh kekuatan pukulan si Mata 

    Bidadari. Kegagalan itu membuat Dewa Pancung me-

    rasa akan ditimpa bencana jika tidak segera melarikan 

    diri. Mudahnya, orang yang bisa patahkan jurus 

    'Pukulan Keramat' berarti ilmunya lebih tinggi dari 

    Dewa Pancung sendiri. Karenanya, Dewa Pancung ha-

    rus hindari orang tersebut karena ia akan kalah jika 

    lakukan pertarungan dengan orang itu.

    Ia tidak tahu bahwa gelombang ledakan dari ju-

    rus 'Pukulan Keramat'-nya itu melukai bagian dalam 

    dada si Mata Bidadari. Luka itu akan memborok dan 

    cepat atau lambat si Mata Bidadari akan tewas akibat


    luka tersebut.

    Hanya saja, ketika itu si Mata Bidadari masih 

    punya sisa tenaga untuk lakukan pengejaran. Secara 

    kebetulan, Mata Bidadari jatuh terkena racun yang di-

    gunakan si Dewa Pancung. Kemudian ditemukan oleh 

    Dedengkot Iblis, dan diobati bersama-sama Soka. Pen-

    gobatan itu bukan saja menyingkirkan racun, namun 

    juga menyembuhkan luka di dalam dada si Mata Bida-

    dari.

    Dewa Pancung merasa lega, karena ia bisa hin-

    dari bencana yang memburunya dengan pergunakan 

    senjata rahasianya yang bernama 'Telur Kematian', se-

    bab senjata rahasia itu berbentuk telur burung yang 

    diisi dengan gas beracun, terbuat dari kulit telur bu-

    rung asli yang sudah dikosongkan.

    Namun di luar dugaan, dari arah tikungan ja-

    lan muncul seorang pemuda tampan berpedang kristal 

    dengan baju buntung putih dan celana putih. Pemuda 

    itu bersama seorang gadis berompi ketat warna merah 

    dan celana ketatnya pun berwarna merah. Dewa Pan-

    cung terperanjat sekali dan menjadi agak panik. Kedua 

    orang yang muncul dari tikungan itu pun terkejut den-

    gan wajah tegang dan langkah terhenti.

    Dewa Pancung segera ambil posisi kuda-kuda 

    dengan senjata El Maut-nya siap dibabatkan ke leher 

    lawan. Dewa Pancung membatin dalam hatinya.

    "Edan! Ternyata mereka tidak mempan oleh ra-

    cun 'Telur Busuk'-ku?"

    Dewa Pancung menyangka pemuda berpedang 

    kristal itu adalah Soka Pura, orang yang tadi menge-

    jarnya. Padahal pemuda itu adalah Raka Pura, si Pen-

    dekar Kembar sulung. Sedangkan gadis berompi me-

    rah itu disangka si Mata Bidadari, karena pakaiannya 

    serba merah.

    Padahal gadis itu adalah Kirana, murid Pergu


    ruan Tapak Syiwa yang sengaja pergi dari padepokan 

    untuk mencari buah kerinduannya, yaitu Raka Pura, 

    (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Tumbal 

    Asmara Buta"). Ia menemukan Raka saat pemuda itu 

    pulang dari Bukit Gamping, setelah Raka Pura diberi 

    tahu oleh Tabib Kubur bahwa Iblis Tambak Getih su-

    dah lama tewas di tangannya.

    Raka Pura dan Kirana sama-sama tegang dan 

    siap hadapi Dewa Pancung, karena semula mereka 

    hanya terkejut. Tapi begitu melihat Dewa Pancung pa-

    sang kuda-kuda, mereka pun bersiaga lakukan perta-

    rungan.

    “Siapa dia, Raka?"

    "Entah. Aku tidak kenal!" bisik Raka.

    Sebenarnya Raka Pura ingin menyapa Dewa 

    Pancung secara baik-baik untuk mengetahui siapa 

    orang yang di depannya itu. Tapi Dewa Pancung sudah 

    lebih dulu berseru dengan nada bermusuhan.

    "Jangan merasa bangga dulu kalau kalian bisa 

    lolos dari asap beracun ku! Tapi coba hadapi senjata El 

    Maut-ku yang tak pernah gagal memenggal kepala, 

    orang! Heeeaah...!"

    Dewa Pancung melompat sambil ayunkan tom-

    bak bersabit seperti paruh burung bangau itu. Wees...! 

    Sasarannya diarahkan ke leher Pendekar Kembar su-

    lung. Tapi dengan gesit Raka Pura merunduk, lang-

    sung berguling maju ke tanah depannya. Wuus...! Ka-

    kinya menendang selangkangan Dewa Pancung. Bet, 

    plook...!

    "Uhk...!" Dewa Pancung memang berhasil hin-

    dari tendangan tersebut, namun pinggulnya menjadi 

    sasaran. Padahal tendangan tersebut bertenaga dalam 

    cukup besar, sehingga Dewa Pancung terlempar mun-

    dur dan jatuh terduduk.

    "Jahanam kau!" geram pemuda berambut pan


    jang dikuncir ke belakang. Ia cepat bangkit dengan 

    senjata panjangnya diarahkan ke depan. Kirana ingin 

    mencabut pedangnya, bermaksud menyerang Dewa 

    Pancung. Tapi Raka Pura cepat berseru padanya. 

    "Jangan! Biar kuhadapi sendiri orang ini!" Dewa Pan-

    cung tertawa sumbang. "Hah, hah, hah... kepala gadis 

    itu pun akan ku pajang di depan pesanggrahan Pantai 

    Rangsang seperti yang lainnya! Kalau perlu kepalamu 

    akan ku tumpuk menjadi satu dengan kepala gadismu 

    itu, Keparat!"

    Raka Pura jadi tahu, bahwa Dewa Pancung itu-

    lah yang memenggal kepala orangnya Ratu Sedap Ma-

    lam dan tentu saja Juga kepala si Batara Jabrik serta 

    si Jurik Tunggon. Hati Pendekar Kembar sulung justru 

    merasa senang dapat bertemu dengan si pemenggal 

    kepala yang tanpa dipaksa sudah mengakui sendiri 

    perbuatannya.

    Padahal Dewa Pancung lontarkan pengakuan 

    secara tak langsung karena ia mendengar Soka Pura 

    lontarkan tantangan ketika berhadapan dengan Pra-

    panca. Setahu Dewa Pancung, pemuda itu sudah men-

    getahui bahwa Dewa Pancunglah pemenggal kepala 

    para korban. Maka menurutnya tak perlu lagi ia menu-

    tupi tindakannya itu. Justru dengan berterus terang 

    begitu diharapkan pemuda lawannya akan menjadi 

    ciut nyali. Ia tak tahu gertakannya itu sangat mengun-

    tungkan bagi Raka Pura.

    "O, jadi kau yang memenggal kepala mereka?!"

    "Iya! Sebentar lagi kepala kalian yang akan 

    membuat geger Pantai Rangsang!"

    "Hmmm...!" Raka Pura bersikap tenang, bahkan 

    sempat manggut-manggut kecil. Sementara itu, Kirana 

    tetap siap dengan pedangnya dan berjaga-jaga. Ia akan 

    bertindak jika Raka dalam keadaan sangat terdesak, 

    atau tiba-tiba diserang oleh lawannya.


    "Mengapa kau penggal mereka dan memajang 

    kepalanya di Pantai Rangsang?!"

    "Hmmmrr! Karena kalian sudah akan mati 

    menjadi korbanku, maka tak ada buruknya jika ku je-

    laskan maksud pemenggalan itu! Ratu Sedap Malam 

    akan ciut nyalinya jika melihat banyak korban di seki-

    tar Pantai Rangsang. Bahkan aku juga memenggal ke-

    pala orang yang bukan dari pihaknya, agar pihak 

    orang-orang yang ku penggal itu akan menuntut balas 

    kepada Ratu Sedap Malam. Dengan begitu, pesanggra-

    han Pantai Rangsang akan diserang oleh beberapa pi-

    hak dan menjadi lemah."

    "Setelah itu apa yang kau harapkan?!" tanya

    Raka kembali, karena ia belum tahu bahwa Dewa Pan-

    cung adalah orangnya Raja Amuk Jagal.

    "Tugasku hanya membuat geger di Pantai 

    Rangsang. Dalam keadaan kacau begitu, pihakku akan 

    lebih mudah hancurkan kekuasaan Ratu Sedap Ma-

    lam, dan kami orang-orang Pulau Kucil di bawah pim-

    pinan Raja Amuk Jagal akan menguasai Pantai Rang-

    sang! Haa, haa, haa, haa!"

    "Ooo, begitu?!" gumam hati Raka sambil melirik 

    Kirana. Gadis itu pun menggumam hal yang sama. Se-

    bab sepanjang perjalanan menuju Pantai Rangsang, 

    gadis itu sempat merasa heran mendengar cerita dari 

    Raka tentang kasus tersebut. Tapi sekarang ikut men-

    jadi lega karena sudah tahu duduk persoalannya dan 

    siapa pelaku pemenggalan kepala tersebut.

    "Karena kau sudah banyak tahu tentang renca-

    na kami, maka sekarang terimalah ajalmu lebih dulu! 

    Heeah...!"

    Dewa Pancung tebaskan senjatanya dengan ce-

    pat secara beruntun. Wuung, wuung, wuuung...! Pen-

    dekar Kembar sulung berkelit hindari sambaran benda 

    tajam yang melengkung seperti paruh burung itu. Se


    rangan Dewa Pancung kali ini datang secara bertubi-

    tubi, sehingga Raka merasa sulit mencuri kesempatan 

    untuk membalas serangan tersebut. Ia hanya berjum-

    palitan ke sana-sini hindari senjata El Maut yang sela-

    lu nyaris merobek dada atau lehernya itu. 

    "Heeeaaat...!!"

    Dewa Pancung melambung ke atas dalam gera-

    kan bersalto. Senjatanya berkelebat ingin membelah 

    kepala Raka dari atas ke bawah. Raka Pura maju se-

    langkah dari menyilangkan kedua tangannya di atas 

    kepala. Plaak...! Kedua tangan yang menyilang itu ber-

    hasil menahan gagang senjata El Maut pada saat Dewa 

    Pancung daratkan kaki ke tanah. Begitu senjata terse-

    but tertahan sekejap di atas kepala Raka, kaki si Pen-

    dekar Kembar sulung itu segera berkelebat menendang 

    ke depan. Bet!

    "Uuhk...!" Tendangan itu tepat kenai ulu hati 

    Dewa Pancung. Rasa mual bercampur sakit membuat 

    pernafasan Dewa Pancung bagal tersumbat. Matanya 

    mendelik, mulutnya ternganga.

    Dengan cepat, Raka Pura putar tubuhnya dan 

    tendangannya melayang kembali. Wut, bet... Plook...! 

    Rahang kanan Dewa Pancung menjadi sasaran telak 

    tendangan kaki putar itu. Tubuh sama kekarnya den-

    gan Pendekar Kembar itu terlempar ke samping, jatuh 

    terhempas dengan amat menyedihkan. Bruus...! Dewa 

    Pancung mengerang panjang, karena raganya seperti 

    pecah seketika itu juga.

    Namun agaknya ia masih kuat menahan rasa 

    sakit itu. Tenaganya yang masih tersisa digunakan un-

    tuk sodokkan gagang senjata pedang tersebut. Sodo-

    kan itu sangat tak disangka-sangka oleh Raka. Maka 

    ketika Raka ingin menyerangnya lagi, perutnya terkena 

    sodokan tersebut dengan telak. Buuhk...!

    "Heekkh...!" Raka Pura terdorong mundur dan


    terhuyung-huyung dengan menyeringai menahan sakit 

    di perutnya. Rasa mual pun dialami oleh Raka Pura 

    dengan napas tersendat-sendat.

    Melihat lawannya terhuyung-huyung, Dewa 

    Pancung segera sambarkan senjata El Maut ke arah 

    kaki Raka Pura. Wees...! Tapi Kirana yang ada tak jauh 

    dari Raka itu segera melompat mendorong Raka Pura 

    hingga jatuh terpental ke samping. Tapi akibat doron-

    gan Kirana, maka senjata El Maut gagal membuntungi 

    kaki Pendekar Kembar sulung.

    "Gadis busuk!" maki Dewa Pancung, ia segera 

    ayunkan senjatanya sekali putar. Ketajaman senjata di 

    ujung tongkat itu nyaris menyambar perut Kirana jika 

    gadis itu tidak segera melompat mundur dan menang-

    kiskan pedangnya ke depan perut. Traaang...!

    Kedua kaki Kirana menyentak dan tubuhnya 

    pun meluncur ke atas dalam gerakan bersalto maju.

    "Hiaaaah...!!"

    Kirana tiba di belakang Dewa Pancung yang ba-

    ru sempat bangkit berdiri. Kirana yang beradu pung-

    gung dengan Dewa Pancung segera membalik arah pe-

    dangnya dan menusukkan ke belakang melalui sisi 

    pinggang kanannya. Wuut, jruuub...!

    "Aahk...!" Dewa Pancung terpekik karena ginjal 

    kirinya tertusuk pedang Kirana. Bahkan gadis lincah 

    itu segera melompat ke depan, kedua kaki menjejak ke 

    belakang. Beet...! Buuuhk...!

    "Haaaggh...!" Punggung si Dewa Pancung men-

    jadi sasaran telak kedua kaki Kirana. Tubuh itu pun 

    terlempar ke depan, ke tempat Raka Pura sedang ber-

    lutut ingin bangkit.

    Maka si Pendekar Kembar pun segera menyam-

    but kedatangan tubuh sang lawan dengan sentakkan 

    tangan kiri untuk singkirkan arah senjata El Maut, 

    dan tangan kanan menyodok dada lawan dengan kuat.


    Buuhk...!

    "Haakhh...!" Darah segar mulai tersembur dari 

    mulut Dewa Pancung. Untung Raka segera berguling 

    ke samping, sehingga wajahnya tidak menjadi korban 

    semburan darah dari mulut Dewa Pancung.

    Begitu Dewa Pancung jatuh tengkurap, Raka 

    Pura yang dalam posisi duduk segera ayunkan kakinya 

    dari atas ke bawah, tumitnya menghantam kuat teng-

    kuk kepala Dewa Pancung. Dees...!|

    Bruuk...! Kepala Dewa Pancung yang ingin di-

    angkat menjadi tersentak mencium tanah dengan da-

    rah keluar dari lubang telinga dan hidungnya. Bekas 

    tendangan tumit Raka itu mengepulkan asap di teng-

    kuk Dewa Pancung. Tentu saja tenaga dalam Raka 

    yang tersalur pada kaki membuat Dewa Pancung ter-

    kulai tak mampu bergerak lagi.

    Kirana segera mengayunkan pedangnya untuk 

    memenggal kepala Dewa Pancung. "Heeaaah...!!"

    "Tahan!" seru Raka Pura yang membuat gera-

    kan Kirana terhenti seketika dengan napas terengah-

    engah diburu kemarahan.

    "Jangan bunuh dia! Aku ingin serahkan orang 

    ini kepada Ratu Sedap Malam atau kepada Paman La-

    har Jalanan! Ia harus diserahkan dalam keadaan ma-

    sih hidup, sehingga mau akui perbuatannya di depan 

    sang Ratu dan yang lainnya."

    Kirana hembuskan napas penahan kesabaran.

    "Kalau begitu, seret dia ke sana! Kita harus se-

    gera sampai ke pesanggrahan Pantai Rangsang!"

    "Tapi aku tak tahu di mana letak pesanggrahan 

    itu, Kirana!"

    "Aku tahu!" jawab Kirana dengan tegas. "Bu-

    kankah tadi di perjalanan sudah kukatakan, aku per-

    nah ke sana bertemu dengan Ratu Sedap Malam bebe-

    rapa kali karena diutus oleh Eyang Guru Mulut Gun


    tur?!"

    "O, ya, ya... aku hampir lupa kata-katamu ta-

    di," Raka Pura tersenyum sumbang. Rupanya pihak 

    Kirana punya hubungan baik dengan pihak Ratu Se-

    dap Malam, sehingga bagi Kirana bukan hal yang sulit 

    untuk menuju ke pesanggrahan Pantai Rangsang itu.

    Kirana membawa senjata El Maut-nya si Dewa 

    Pancung, sedangkan Raka Pura menyeret tubuh Dewa 

    Pancung dengan menggunakan akar yang mirip tam-

    bang itu. Dewa Pancung masih tak sadarkan diri kare-

    na luka-luka di dalam tubuhnya sangat parah. Namun 

    Raka merasa mampu sembuhkan luka itu dengan ju-

    rus 'Sambung Nyawa'-nya jika mereka sudah tiba di 

    depan Ratu Sedap Malam. Dengan begitu, mereka da-

    pat mendengar pengakuan Dewa Pancung sebagai pe-

    laku pemenggalan kepala yang bikin geger Pantai 

    Rangsang.

    Pesanggrahan memang sempat menjadi geger, 

    karena orang-orang Suku Ampar dari pihak Jurik 

    Tunggon melabrak Ratu Sedap Malam. Mereka menu-

    duh Ratu Sedap Malam telah mengutus orangnya un-

    tuk memenggal kepala Jurik Tunggon. Sebab, pada 

    saat Jurik Tunggon berhadapan dengan Dewa Pan-

    cung, ia tidak sendirian. Ia bersama seorang sauda-

    ranya yang juga dari perkampungan Suku Ampar. De-

    wa Pancung menyerang dengan mengaku sebagai utu-

    san Ratu Sedap Malam. Jurik Tunggon hadapi Dewa 

    Pancung, saudaranya itu melarikan diri memberi tahu 

    kepada kepala Suku Ampar yang berjuluk si Macan 

    Seribu.

    Pesanggrahan dikepung oleh orang-orang Suku 

    Ampar. Ki Sela Giri alias si Lahar Jalanan dan Nyai 

    Sangkal Putung tampil hadapi mereka dengan kepala 

    dingin. Macan Seribu sudah mencabut parangnya, itu 

    pertanda siap tempur bagi orang-orang Suku Ampar


    yang dikenal juga sebagai manusia kelelawar, karena 

    mereka bertelinga tinggi dan bermulut monyong, men-

    genakan pakaian serba hitam.

    "Tahan dulu murka mu, Kepala Suku!" ujar La-

    har Jalanan. "Ratu Sedap Malam tak pernah mengutus 

    orangnya untuk lakukan kekejian seperti itu!"

    "Omong kosong! Seraaang...!!"

    Seruan itu membuat orang-orang Suku Ampar 

    bergegas menyerang pihak Ratu Sedap Malam. Namun 

    Lahar Jalanan yang berhadapan dengan si Macan Se-

    ribu yang berpakaian loreng hitam itu segera sentak-

    kan suara dengan mulut terbuka lebar.

    "Tahaaaann...!"

    Sentakan suara itu membuat mulut Ki Sela Giri 

    semburkan api yang menyebar ke mana-mana. Nyaris 

    membakar tubuh si Macan Seribu jika orang itu tak 

    segera melompat mundur. Kesaktian Lahar Jalanan 

    membuat Macan Seribu tercengang dan mulai pikir-

    pikir untuk lakukan serangan langsung kepada kakek 

    itu.

    Nyai Sangkal Putung kibaskan tongkatnya yang 

    memutar cepat di atas kepala. Kibasan tongkat itu ha-

    dirkan angin kencang yang sukar ditembus lawan. 

    Tiap tubuh yang mendekat selalu terlempar bagai dis-

    apu badai. Hal itu pun diketahui oleh si Macan Seribu, 

    sehingga kepala Suku Ampar itu berseru kepada 

    orang-orangnya.

    "Hentikaaan...! Hentikan dulu serangan ini!"

    Serangan dihentikan. Suasana hening sesaat. 

    Pada waktu suasana menjadi hening itulah, mereka 

    mendengar suara teriakan orang yang sedang menuju 

    ke pesanggrahan.

    "Pamaaan...! Aku menangkap orangnyaaaa...!"

    "Raka Pura atau Soka Pura itu?!" gumam si La-

    har Jalanan. Nyai Sangkal Putung dan Ratu Sedap Malam sendiri juga sempat merasa heran, karena gadis 

    yang disangka berjalan dengan Soka Pura itu bukan si 

    Mata Bidadari.

    "Kirana...?!" gumam Ratu Sedap Malam dengan 

    lirih.

    Kemunculan Raka Pura membuat orang-orang 

    Suku Ampar terperanjat kaget dan menjadi tegang. 

    Wajah Raka Pura yang serupa dengan adik kembarnya: 

    Soka Pura, adalah wajah yang ditakuti oleh Suku Am-

    par. Karena Suku Ampar pernah dibuat kalang kabut 

    oleh amukan Soka Pura ketika mereka menyerang Su-

    ku Kano, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: 

    "Tantangan Mesra").

    Karena mereka menyangka Raka adalah Soka 

    Pura, maka si Macan Seribu memberi isyarat kepada 

    orang-orangnya untuk lebih mundur lagi. Tentu saja 

    Raka melangkah dengan cuek kepada orang-orang Su-

    ku Ampar, sebab ia memang belum pernah jumpa 

    dengan orang-orang Suku Ampar itu. Tapi pusat per-

    hatian mereka segera tertuju pada tubuh seorang pe-

    muda yang diseret oleh Raka Pura dalam keadaan te-

    lentang. Mereka merasa asing dengan wajah pemuda 

    yang diseret tak sadarkan diri itu.

    "Paman, orang inilah yang memenggal para 

    korban. Ternyata ia orangnya Raja Amuk Jagal!" seru 

    Raka Pura sengaja dikeraskan suaranya agar didengar 

    oleh orang-orang Suku Ampar itu.

    "Kirana," sapa sang Ratu. "Bagaimana kau bisa 

    bersama Soka Pura?"

    "Nyai Ratu, dia bukan Soka Pura, tapi kekasih-

    ku, Raka Pura!"

    "Ooh...?!" Nyai Ratu dan yang lainnya terperan-

    gah.

    Raka segera sembuhkan keadaan Dewa Pan-

    cung dengan jurus 'Sambung Nyawa'-nya yang men


    cengangkan orang-orang Suku Ampar dan pihak Ratu 

    Sedap Malam sendiri itu. Dewa Pancung segera sadar 

    dan sehat kembali. Namun ia terpaksa tak berkutik 

    karena menyadari sudah berada di pihak lawannya. 

    Senjata El Maut masih berada di tangan Kirana yang 

    jauh dari jangkauan, sehingga tak memungkinkan un-

    tuk dirampas kembali.

    Sang Ratu berseru kepada Dewa Pancung di 

    depan Suku Ampar juga, setelah Dewa Pancung me-

    nyebutkan namanya.

    "Aku akan meringankan hukumanmu jika kau 

    mau berterus terang apa yang telah kau lakukan di wi-

    layah ku ini!"

    "Ak... aku...." Dewa Pancung ragu-ragu. Ma-

    tanya melirik ke arah orang-orangnya Ratu Sedap Ma-

    lam. Ia menemukan wajah Bintari di samping kanan 

    sang Ratu, bersebelah dengan Nyai Sangkal Putung.

    Dewa Pancung segera berkata, "Bintari, cepat 

    lari dan kabarkan kegagalanku kepada Raja Amuk 

    Jagal! Heeaaat...!"

    Dewa Pancung segera melepaskan pukulan ke 

    arah Ratu Sedap Malam. Sinar merah berekor yang 

    merupakan Jurus 'Pukulan Keramat' melesat menga-

    rah kepada sang Ratu. Tapi dengan cepat si Lahar Ja-

    lanan melepaskan tudungnya dan tudung itu dilem-

    parkan hingga menahan sinar merah sebelum sinar itu 

    kenai dada sang Ratu.

    Claap! Wuuut! Blegaar...!

    Ledakan itu terjadi ketika sinar merah meng-

    hantam tudung si Lahar Jalanan yang sudah dialiri te-

    naga dalam. Ledakan itu membuat Ratu Sedap Malam 

    tersentak mundur, namun segera ditangkap oleh tan-

    gan para pengawal lainnya, hingga tak sempat jatuh. 

    Sedangkan Bintari yang ingin berkelebat pergi dilum-

    puhkan oleh Nyai Sangkal Putung dengan sodokan


    tongkatnya yang kenai punggung Bintari dengan cepat. 

    Rupanya Bintari itulah mata-mata Raja Amuk Jagal 

    yang menelusup pesanggrahan Pantai Rangsang.

    Melihat 'Pukulan Keramat'-nya gagal, Dewa 

    Pancung segera larikan diri. Namun si Macan Seribu 

    segera menerjangnya dengan penuh dendam.

    "Heeeaaat...!"

    Crraass...!

    Parang tajam milik si Macan Seribu menebas

    cepat, tak bisa dihindari oleh Dewa Pancung. Akibat-

    nya leher Dewa Pancung pun putus seketika, jatuh 

    menggelinding seakan siap ditancapkan di ujung bam-

    bu seperti kepala korbannya.

    Dengan tertangkapnya Bintari sebagai mata-

    mata pihak Raja Amuk Jagal, dan terpenggalnya kepa-

    la Dewa Pancung oleh tangan kepala Suku Ampar, 

    maka orang-orang Suku Ampar pun segera tinggalkan 

    Pantai Rangsang. Mereka tak berani menuntut lebih 

    dari itu, karena mereka tahu, Pendekar Kembar ada di 

    pihak Ratu Sedap Malam.

    Sang Ratu sendiri sudah merasa sedikit lega, 

    karena si tukang penggal yang menggegerkan Pantai 

    Rangsang itu sudah binasa. Kini sang Ratu dan orang-

    orang yang memihaknya tinggal menunggu kedatangan 

    si tukang Jagal, alias Raja Amuk Jagal, yang tentunya 

    berilmu lebih tinggi dari si Dewa Pancung.

    "Raja Amuk Jagal pasti akan datang, dan kita 

    harus siap hadapi kedatangan mereka, Raka Pura," 

    ujar Lahar Jalanan. Pendekar Kembar sulung angguk-

    kan kepala.

    "Sekarang yang ku pikirkan bukan kedatangan 

    Raja Amuk Jagal, Paman. Tapi dl mana adikku: Soka 

    Pura?"

    "Soka dan si Mata Bidadari, murid Nyai Sangkal 

    Putung, sedang mencari Dewa Pancung. Tapi... entah


    di mana mereka sekarang berada. Karena terbukti 

    kaulah yang berhasil menangkap Dewa Pancung itu!"

    "Celaka! Jangan-jangan mereka berdua sudah 

    di penggal oleh si Dewa Pancung?!" ujar Kirana dengan 

    wajah tegang. Mau tak mau yang lainnya pun ikut te-

    gang, mencemaskan nasib Soka Pura dan si Mata Bi-

    dadari.

    Mereka tak tahu bahwa malam itu, Soka dan si 

    Mata Bidadari ada di dalam gua tebing karang bersama 

    Dedengkot Iblis. Soka Pura sedang membujuk Dedeng-

    kot Iblis agar tidak mencampuri urusannya karena 

    amukan Dedengkot Iblis dikhawatirkan akan mema-

    kan korban tak bersalah. Karena Soka tahu, Dedeng-

    kot Iblis kalau sudah murka menjadi ngawur. Tak per-

    nah pedulikan serangannya lukai orang lain atau ti-

    dak. Tapi mampukah Soka Pura membujuk Dedengkot 

    Iblis, jika Dedengkot Iblis merasa tak rela melihat Pen-

    dekar Kembar yang dianggap keturunan dari mantan 

    istrinya itu dulu dilukai oleh orang lain?


    SELESAI


    Segera terbit!!!

    PENGKHIANAT BUDIMAN













    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © matjenuhkhairil.blogspot.com - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -