google-site-verification=cSn3zY91K5xHQX-0bucKyuc1sekuKxINnC2W51SOAPw PENDEKAR KEMBAR EPISODE PENGHIANAT BUDIMAN
  • Posted by : matjenuh khairil Jumat, 05 September 2025

     

    Penghianat Budiman


    SUARA kokok ayam dari desa nelayan terden-

    gar sampai di pesanggrahan Pantai Rangsang. Kokok 

    ayam itu bukan sekadar ayam iseng berkokok, tapi ka-

    rena sang ayam ingin menyapa salam kepada muncul-

    nya mentari di awal fajar.

    Penguasa Pantai Rangsang yang dikenal dengan 

    nama Ratu Sedap Malam, terbangun di awal fajar, ka-

    rena suara gaduh yang terjadi di pesanggrahannya. 

    Pesanggrahan itu bagaikan sebuah istana kecil yang 

    mempunyai bangunan-bangunan bagai suatu perkam-

    pungan. Ruang lingkupnya yang sempit, membuat ke-

    gaduhan mudah terdengar sampai ke dalam ruang ti-

    dur sang Ratu.

    Seorang pengawal dipanggil agar mendekati 

    sang Ratu yang menongolkan kepala dari balik pintu. 

    Tentu saja si gadis yang bertugas sebagai pengawal 

    pribadi Ratu Sedap Malam itu segera bergegas mene-

    mui atasannya.

    "Muryana, kegaduhan apa yang terjadi sepagi 

    ini?!" Muryana, si pengawal pribadi, menjawab dengan 

    suara tegas.

    "Bintari bunuh diri, Gusti!" "Bintari...?!" sang 

    Ratu terperanjat.

    "Benar. Dia bunuh diri di dalam kamar tempat 

    ia di penjara, Gusti Ratu!"

    Sang Ratu yang cantik dan bertubuh seksi ber-

    gegas kenakan jubah jingganya, kemudian memeriksa 

    ke kamar tempat Bintari dipenjara. Ternyata apa yang 

    di katakan Muryana memang benar. Bintari bunuh diri 

    dengan membenturkan kepalanya sekeras-kerasnya 

    pada dinding kamar. Tak perlu diceritakan bagaimana 

    bentuk kepala yang remuk itu, jelasnya, Bintari akhir


    nya tewas sebelum sempat sampaikan sesuatu kepada 

    sang Ratu.

    "Guss... ti... ad... ada...," lalu nyawanya pun 

    amblas tak berbekas.

    Bintari adalah seorang mata-mata yang bekerja 

    untuk Raja Amuk Jagal. Tokoh aliran hitam yang ter-

    singkir ke Pulau Kucil itu bermaksud menyingkirkan 

    Ratu Sedap Malam untuk kuasai wilayah Pantai Rang-

    sang. Bintari tertangkap dan diketahui sebagai mata-

    mata Raja Amuk Jagal ketika utusan Raja Amuk Jagal 

    yang bertugas membuat kacau suasana Pantai Rang-

    sang itu tertangkap. Si Dewa Pancung, yang telah ber-

    hasil memenggal beberapa kepala anak buah Ratu Se-

    dap Malam, dan kepala mereka dipajang di sepanjang 

    Pantai Rangsang, telah memberi tahukan secara tak 

    langsung bahwa Bintari adalah mata-mata untuk pi-

    hak Raja Amuk Jagal. Akhirnya, Bintari ditangkap un-

    tuk dipidana alias dihukum, namun bukan hukuman 

    mati. Sedangkan si Dewa Pancung sendiri tewas di 

    tangan kepala Suku Ampar, (Baca serial Pendekar 

    Kembar dalam episode: "Geger Pantai Rangsang").

    Tetapi sebelum sang Ratu memutuskan masa 

    hukuman bagi Bintari, rupanya gadis itu tak mau di-

    korek keterangannya tentang kekuatan pihak Raja 

    Amuk Jagal, atau karena alasan tak kuat menahan ra-

    sa malu terhadap pihak Ratu Sedap Malam, maka ia 

    lakukan mati cepat alias bunuh diri. Dengan begitu, 

    pihak Ratu Sedap Malam tak bisa mendapatkan kete-

    rangan yang di butuhkan tentang Raja Amuk Jagal.

    Pada saat Itu, para tamu sang Ratu masih be-

    rada di pesanggrahan. Para tamu itu antara lain: Nyai 

    Sangkal Putung, Si Lahar Jalanan alias Ki Sela Giri, 

    juga seorang gadis murid si Mulut Guntur yang ber-

    nama Kirana, dan Pendekar Kembar sulung yang di-

    kenal dengan nama Raka Pura. Para tamu itu juga ter


    kejut mendengar kabar Bintari lakukan bunuh diri.

    Tetapi ketika Raka Pura memeriksa keadaan 

    mayat Bintari, ia menjadi tertegun dan mempunyai re-

    nungan sendiri. Batinnya berkecamuk dalam kebisuan 

    mulutnya. Pemuda tampan itu segera menyendiri, wa-

    lau bukan berarti jauh dari mereka yang berkumpul di 

    bangsal paseban. Sesekali memang si pemuda tampan 

    itu menanggapi pembicaraan siapa saja, termasuk un-

    gkapan rasa penyesalan Kirana terhadap tindakan 

    yang dilakukan oleh Bintari. Tapi pemuda berbaju 

    buntung warna putih seperti warna celananya itu un-

    gkapan rasa sendiri yang belum berani dibeberkan di 

    depan siapa saja.

    "Mengapa kau tampak murung sekali, Raka? 

    Kau merasa kehilangan pujaan hati?" pancing Kirana 

    yang sebenarnya sudah tahu, tak mungkin Raka Pura 

    merasa kehilangan seorang kekasih atas kematian Bin-

    tari. Gadis itu tahu, bahwa hati Raka Pura lebih terpi-

    kat padanya ketimbang kepada Bintari. Sebab hubun-

    gannya selama ini berjalan dengan baik-baik saja. 

    Bahkan Raka sesekali menampakkan kemesraannya 

    yang melambungkan jiwa Kirana.

    "Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku setelah 

    kulihat mayat Bintari."

    Kirana berkerut dahi. "Apa maksudmu?"

    "Ada yang janggal dari kematian itu."

    "Maksudmu, kepala Bintari hancur adalah sua-

    tu kejanggalan? Ah, kau ini terlalu berlebihan jika 

    memikirkan sesuatu, Raka. Bintari tak punya cara lain 

    untuk bunuh diri kecuali dengan cara membenturkan 

    kepalanya ke dinding."

    "Kurasa dia bukan bunuh diri. Tapi ada seseo-

    rang yang membunuhnya."

    Kirana terkesip. Bicaranya semakin pelan, ta-

    kut didengar orang lain.


    "Hati-hati bicaramu. Khayalan mu bisa mem-

    buat Nyai Ratu menjadi lebih tegang lagi," bisik Kirana.

    "Ini bukan khayalan, tapi dugaan yang punya 

    alasan, Kirana."

    "Apa alasanmu menduga begitu?"

    "Rahang mayat Bintari tampak membiru, seper-

    ti bekas pukulan atau tendangan," bisik Raka Pura 

    makin pelan, membuat Kirana semakin tegang.

    "Coba perhatikan lagi mayat itu. Perhatikan pa-

    da rahangnya, Kirana!"

    "Aku... aku tadi tak sempat memperhatikan ra-

    hangnya."

    "Kurasa ada seseorang yang sengaja membu-

    nuhnya! Entah siapa orangnya."

    "Kalau begitu perlu dibicarakan dengan Nyai 

    Ratu!" bisikan Kirana tetap bernada tegang.

    "Aku tak berani bicara, karena takut membuat 

    suasana menjadi keruh kembali."

    "Aku yang akan bicara pada Nyai Ratu!" tegas 

    Kirana, si gadis berlesung pipit dan bergigi gingsul itu.

    Kirana pun akhirnya bicara kepada Ratu Sedap 

    Malam. Pembicaraan itu semula ingin dilakukan seca-

    ra empat mata, tapi Kirana takut menyinggung tamu-

    tamu lainnya. Akhirnya para tamu dan beberapa pen-

    gawal Ratu Sedap Malam pun mendengar apa yang di-

    katakan Kirana.

    "Aku juga melihat luka memar di rahang mayat 

    Bintari," sahut si Lahar Jalanan yang berusia sekitar 

    tujuh puluh tahun itu. "Aku sependapat dengan Raka 

    Pura, bahwa ada seseorang yang sengaja membunuh 

    Bintari."

    "Apa maksud orang itu membunuh Bintari?" uji 

    Nyai Sangkal Putung yang agak sangsi dengan penda-

    pat tersebut.

    "Mungkin orang itu tak ingin Bintari membe


    berkan beberapa rahasia di depan kita. Terutama ra-

    hasia tentang kekuatan Raja Amuk Jagal!"

    "Tepat sekali, Paman!" sahut Raka Pura. "Aku 

    pun mempunyai pendapat seperti itu. Bintari tertang-

    kap atau tidak tertangkap, Raja Amuk Jagal tetap 

    akan menyerang Pantai Rangsang. Tentu saja ia mem-

    punyai beberapa rahasia, termasuk rahasia kekuatan 

    handalnya atau rahasia siasatnya! Orang yang mem-

    bunuh Bintari tak ingin rahasia itu kita dengar pada 

    saat Bintari diadili. Maka satu-satunya jalan untuk 

    menjaga agar rahasia itu tidak bocor, Bintari harus di-

    bunuh!"

    "Kalau begitu di sini masih ada mata-matanya 

    si Amuk Jagal?!" ujar Nyai Sangkal Putung menyim-

    pulkan kata-kata Pendekar Kembar sulung.

    "Kurasa memang begitu, Nyai," jawab Raka Pu-

    ra tanpa ragu-ragu lagi. Ratu Sedap Malam tertegun 

    mendengar percakapan tersebut. Hatinya berdebar-

    debar dalam kesedihan.

    "Tak kusangka pengikut ku banyak yang men-

    jadi seorang pengkhianat. Apa salahku sehingga mere-

    ka tega mengkhianatiku?" ujar sang Ratu seperti bica-

    ra pada diri sendiri. Nada duka yang terucap dari mu-

    lut sang Ratu membuat para tamu yang mendengarnya 

    menjadi terharu sekali. Mereka memendam keharuan 

    itu dengan mulut terbungkam dan membiarkan sang 

    Ratu mencurahkan keluhan hati.

    "Kurasa selama ini aku selalu bersikap baik ke-

    pada mereka. Mereka bukan kuanggap sebagai pega-

    wai ku, tapi kuanggap sebagai muridku sendiri, bah-

    kan lebih dari itu, kadang aku merasa mereka itu sau-

    daraku, mengingat aku hidup tanpa seorang saudara 

    pun...."

    Wajah cantik Ratu Sedap Malam diselimuti 

    mendung kedukaan yang kian menebal. Pada saat-saat


    seperti itu, Ratu Sedap Malam yang bernama asli Wu-

    landani mulai teringat akan nasibnya yang hidup tan-

    pa sanak saudara.

    Wulandani dilahirkan dalam istana sebuah ke-

    rajaan yang bernama Purwanagari. Tetapi sejak bayi ia 

    dibuang oleh ayahnya, karena dianggap anak haram, 

    hasil hubungan gelap sang permaisuri dengan pemuda 

    lain, ia dibuang di Pantai Rangsang yang masih men-

    jadi wilayah kekuasaan Kerajaan Purwanagari. Ia di-

    asuh oleh seorang inang yang amat setia kepadanya, 

    sampai akhirnya sang inang pun meninggal ketika Wu-

    landani berusia empat belas tahun.

    Ia pun berpindah asuhan ke tangan Resi Bala-

    suma dan menjadi murid sang Resi. Sedangkan kera-

    jaan milik ayahnya itu kini telah dihancurkan oleh pi-

    hak musuh dan dikuasainya. Seluruh keluarga istana 

    tewas dalam pertempuran tersebut. Resi Balasuma 

    sendiri kini telah tewas. Praktis hidup Wulandani men-

    jadi sebatang kara. Satu-satunya guru yang masih ser-

    ing mendengar keluh kesahnya adalah Nyai Sangkal 

    Putung.

    Sekalipun Ratu Sedap Malam hanya perdalam 

    ilmu pengobatan kepada Nyai Sangkal Putung dalam 

    waktu beberapa bulan saja, namun hubungan Itu sela-

    lu dijaganya agar tetap baik, mengingat ia butuh seo-

    rang yang dapat dijadikan pengganti guru sekaligus 

    orang tuanya.

    Dalam usia tiga puluh lima tahun, Wulandani 

    sudah berhasil mendirikan sebuah pesanggrahan yang 

    menyerupai istana kecil itu. Ia menobatkan dirinya se-

    bagai Ratu di Pantai Rangsang, karena merasa Pantai 

    Rangsang adalah wilayah kekuasaan ayahnya; Raja 

    Purwanagari. Dengan menobatkan diri sebagai Ratu, 

    pihak musuh lama Kerajaan Purwanagari tidak bisa 

    semena-mena menguasai wilayah Pantai Rangsang.


    Selama ini Ratu Sedap Malam selalu menjalin 

    hubungan baik dengan tokoh-tokoh persilatan, seperti 

    Ki Sela Giri alias si Lahar Jalanan dan yang lainnya. 

    Bahkan ia juga bersahabat baik dengan Nyai Rempah 

    Arum serta si Mulut Guntur, gurunya Kirana. Hubun-

    gan baik itu membuat mereka tak rela jika ketenangan 

    pesanggrahan Pantai Rangsang diusik oleh pihak lain, 

    sehingga Nyai Sangkal Putung dan muridnya; si Mata 

    Bidadari, juga Lahar Jalanan yang kebetulan waktu itu 

    berkenalan dengan Pendekar Kembar, merasa perlu 

    mendampingi Ratu Sedap Malam untuk beberapa saat, 

    karena ada kabar dari si Mata Bidadari bahwa pe-

    sanggrahan Pantai Rangsang akan diserang oleh Raja 

    Amuk Jagal.

    Tentu saja jiwa Ratu Sedap Malam terpukul se-

    kali atas munculnya mata-mata di antara para murid 

    dan pengawalnya. Sekalipun demikian, Ratu Sedap 

    Malam tidak bermaksud menjatuhkan hukuman mati 

    untuk Bintari. Sebenarnya ia hanya ingin membuat 

    Bintari sadar dan melepaskan 'obyek sampingannya' 

    sebagai mata-mata Raja Amuk Jagal. Tapi ternyata ga-

    dis itu telah tewas dengan kesan bunuh diri.

    Setelah mendengar penuturan Raka Pura dan 

    Kirana, sang Ratu pun ingat saat Bintari belum meng-

    hembuskan napas terakhirnya. Mata-mata cantik itu 

    ingin sampaikan sesuatu padanya, namun sang nyawa 

    keburu pergi tinggalkan raga selama-lamanya.

    "Gus... ti... ad... ada...," itulah kalimat yang 

    terngiang di telinga Ratu Sedap Malam ketika meme-

    riksa keadaan Bintari. Kalimat itu pun ditirukan kem-

    bali di depan para tamunya, sehingga Raka Pura, si 

    Pendekar Kembar sulung, segera angkat bicara me-

    nyimpulkannya.

    "Barangkali maksud Bintari saat itu ingin men-

    gatakan: 'Gusti, ada mata-mata lain yang perlu segera



    di cari dan ditangkap'. Kira-kira begitulah yang ingin di 

    sampaikan oleh Bintari, Nyai Ratu!"

    Ratu Sedap Malam diam sesaat, hatinya mem-

    benarkan kesimpulan Pendekar Kembar sulung. Tapi 

    ia pun tak tahu, siapa mata-mata lain yang ada di da-

    lam pesanggrahannya itu. Hanya saja, setelah ia diam 

    beberapa saat, ia bangkit dari tempat duduknya dan 

    melangkah dengan mata menerawang.

    "Lebih dari setahun yang lalu Bintari kutemu-

    kan terdampar di pantai sebelah barat. Ia mengaku se-

    bagai penumpang kapal dari Selat Seberang yang ter-

    kena musibah. Kapal itu dirampas oleh para peram-

    pok, penumpangnya dibantai. Hanya dia dan Trimira 

    yang selamat. Kemudian kami menolong mereka, dan 

    selanjutnya kuanggap sebagai orangku sendiri. Selama 

    ini Bintari dan Trimira selalu menunjukkan sikap baik 

    padaku, patuh dan penuh pengabdian, sehingga aku 

    sering terkesan oleh sikap mereka itu."

    Lahar Jalanan segera menyahut, "Sebagai apa 

    Trimira di sini?"

    "Karena ternyata Trimira mempunyai ilmu lebih 

    tinggi dari Bintari, maka ia ku tempatkan sebagai pen-

    gawal depan. Ia selalu berhasil menyingkirkan para 

    tamu yang bermaksud tidak baik pada kami, Paman."

    "Apakah kau pernah melihat gelagat yang tak 

    beres pada diri Trimira?" tanya Nyai Sangka! Putung.

    "Tidak, Nyai Guru! Seperti kataku tadi, Trimira 

    dan Bintari selalu tunjukkan sikap baik di depanku, 

    dan aku tak pernah mendapat pengaduan dari rekan-

    rekannya tentang hal-hal yang tidak beres dari mereka. 

    Jadi aku sama sekali tak menduga kalau Bintari ter-

    nyata mata-matanya Raja Amuk Jagal."

    "Dari mana dia bisa berhubungan dengan pihak 

    Pulau Kucil itu?!" tanya Lahar Jalanan, yang seper-

    tinya juga ditujukan untuk dirinya sendiri.


    "Barangkali ketika dia dan beberapa orang kuu-

    tus untuk mengejar si pencuri pusaka dari pulau ke 

    pulau itulah ia sempat bertemu dengan Raja Amuk 

    Jagal. Karena menurut pengakuan Bintari, mereka ju-

    ga sempat singgah ke Pulau Kucil mencari si pencuri 

    pusakaku itu."

    "Apakah pencuri pusaka itu sudah tertangkap?" 

    sela Pendekar Kembar sulung.

    "Ya. Kami sudah berhasil dapatkan pusaka itu 

    kembali. Ternyata pencurinya orang Tanah Keramat 

    yang bernama Panji Doyok."

    Hati si pemuda tampan itu sedikit tersentak 

    kaget, karena ia juga mengenal nama Panji Doyok. Ia 

    jadi tak enak hati, walau tak mengatakan bahwa ia 

    kenal dengan keluarga Panji Doyok, termasuk Nyai 

    Gantari dan si Bunga Dewi; nenek dan adik Panji 

    Doyok itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-

    sode: "Korban Kitab Leluhur).

    "Peristiwa itu terjadi sekitar empat bulan yang 

    lalu," tambah Ratu Sedap Malam.

    Nyai Sangkal Putung segera berkata, "Supaya 

    tak menjadi berlarut-larut, sebaiknya periksalah se-

    mua orang-orang tanpa kecuali, termasuk si juru ma-

    sak itu."

    Kirana menimpali, "Kurasa itu langkah yang 

    terbaik, Nyai Ratu! Aku sependapat dengan Nyai Sang-

    kal Putung! Periksa semua orang pesanggrahan seka-

    rang juga, sebelum mata-mata itu akhirnya melarikan 

    diri atau memakan korban lain."

    Ratu Sedap Malam menatap Raka Pura. Pemu-

    da itu manggut-manggut kecil, pertanda mendukung 

    pendapat Kirana. Kemudian mata sang Ratu pun meli-

    rik ke arah Lahar Jalanan. Pak Tua berbaju hijau cela-

    na coklat yang tak pernah lepas dari tudung kepalanya 

    itu segera mengendurkan tali tudung, karena tudung


    itu dalam keadaan digantungkan ke punggung.

    "Lakukan saja saran itu. Tak ada salahnya kita 

    mencegah bahaya sedini mungkin," ujar si Lahar Jala-

    nan.

    Ratu Sedap Malam segera keluarkan perintah 

    kepada Muryana yang sejak tadi berdiri jauh di bela-

    kang sang Ratu, menjaga keamanan ratu cantik itu.

    "Kumpulkan semua orang di halaman samp-

    ing!"

    "Baik, Gusti." Muryana pun bergegas pergi, se-

    mentara yang tinggal di paseban sebagai pengawal pri-

    badi sang Ratu adalah gadis bertubuh sintal dengan 

    mengenakan baju buntung warna coklat tanah dan ce-

    lana ketatnya yang juga berwarna coklat tanah. Ia ada-

    lah wakil Muryana yang bertugas menyelamatkan 

    nyawa Ratu jika sewaktu-waktu terjadi bahaya.

    Gadis itu bernama Umbari. Pendekar Kembar 

    sulung dan para tamu lainnya mengetahui nama itu 

    lantaran si gadis segera menghadap sang Ratu dan 

    namanya disebutkan oleh sang Ratu.

    "Ada apa, Umbari?!" sambil sang Ratu kerutkan 

    dahinya pertanda heran melihat Umbari tahu-tahu 

    menghadap dan memberi hormat. Badannya sedikit 

    dibungkukkan, kepala ditundukkan, kedua tangan sal-

    ing genggam menjadi satu di dada.

    "Gusti Ratu, saya mohon ampun, Gusti Ratu!"

    "Kenapa kau mohon ampun?! Apa maksudmu, 

    Umbari!"

    "Kematian Bintari memang bukan karena bu-

    nuh diri! Sayalah yang membunuhnya, Gusti Ratu!"

    Bagai petir menyambar tengkuk, Raka Pura ter-

    sentak kaget bersama para tamu lainnya, termasuk

    sang Ratu sendiri. Pengakuan tegas itu dilontarkan 

    oleh Umbari dengan suara jelas, seakan menendang 

    jantung siapa pun yang mendengarnya. Kirana pun


    segera bergegas ke belakang Umbari dengan wajah pe-

    nuh curiga.

    Umbari justru jatuh berlutut dan semakin tun-

    dukkan kepala.

    "Umbari, apakah kau sadar dengan bicaramu?!" 

    ujar sang Ratu seperti tak percaya dengan pendenga-

    rannya.

    "Saya sadar, Gusti Ratu! Memang saya yang 

    membunuh Bintari. Kebetulan semalam saya meng-

    gantikan tugas Wujati menjaga kamar tahanan Bintari. 

    Saya masuk dan menghantamnya dua kali hingga ke-

    pala Bintari membentur dinding."

    "Edan!" gumam Nyai Sangkal Putung yang tam-

    pak mulai gusar.

    Pengakuan itu dilontarkan dengan polos, dan 

    sepertinya Umbari siap hadapi hukuman apa pun yang 

    bakal dijatuhkan oleh sang Ratu. Raka Pura meman-

    dang gadis itu tak berkedip, karena merasa salut meli-

    hat keberanian Umbari yang melontarkan pengakuan-

    nya di depan Ratu dan para tamunya.

    "Jika benar kau yang membunuh Bintari, men-

    gapa hal itu kau lakukan, Umbari?!" tanya sang Ratu, 

    dan para tamu pun menunggu jawaban dari Umbari 

    dengan hati berdebar-debar. Bahkan Kirana tampak 

    mulai tegang, sepertinya memendam kegeraman dan 

    memendam hasrat untuk menghajar Umbari.

    *

    * *

    2


    RUPANYA Umbari mendengar percakapan sang 

    Ratu dan para tamunya sejak tadi. Apa yang di dengarnya secara samar-samar itu mendorong hatinya un-

    tuk mengakui perbuatannya. Tentu saja Umbari mem-

    punyai alasan tersendiri dan sudah siap hadapi risiko 

    apa pun.

    Gadis berambut pirang yang panjangnya seba-

    hu dan menyandang pedang di punggung itu tetap 

    tundukkan kepala dl depan ratunya. Sesekali ia men-

    gangkat kepala jika sedang menjawab pertanyaan sang 

    Ratu. Wajah cantiknya yang berhidung bangir dengan 

    bibir mungil itu tidak menampakkan rasa takut sedikit 

    pun. Bahkan ia kelihatan tenang saat menjelaskan 

    alasannya kepada sang Ratu.

    "Bintari mata-mata Raja Amuk Jagal, jadi harus 

    dibunuh! Ia tak layak untuk hidup di dalam pe-

    sanggrahan ini, Gusti Ratu!"

    "Tapi itu wewenangku, Umbari! Menjatuhkan 

    hukuman mati atau tidak, itu bukan wewenang mu!"

    "Ampun, Gusti! Jika Bintari tidak dibunuh, se-

    kalipun sudah mendapat pengampunan, maka ia akan 

    kembali berpihak kepada Raja Amuk Jagal, Gusti!" 

    "Dari mana kau tahu?!"

    "Saya adalah orang paling dekat dengannya!"

    "Itu bukan alasan, Umbari! Kurasa kau hanya 

    takut kalau Bintari beberkan rahasia yang dimilikinya, 

    terutama rahasia yang ada pada Raja Amuk Jagal!" 

    pancing sang Ratu dengan tuduhan langsung. "Kau 

    pasti mata-mata mereka, Umbari! Akuilah itu!"

    "Benar, Gusti!"

    Para tamu tersentak bersama. Pengakuan itu 

    terucap dengan jelas dan tegas, dengan wajah terang-

    kat menatap sang Ratu. Pengakuan itu justru mem-

    buat Ratu Sedap Malam mundur selangkah. Kirana 

    tampak semakin menggeram, kedua tangannya sudah 

    menggenggam kuat-kuat. Tapi ketika ia melirik Raka 

    Pura, si Pendekar Kembar sulung memberi isyarat


    dengan kedipan mata dan gerakan tangan halus agar 

    Kirana jangan bertindak apa pun. Akhirnya Kirana 

    hanya tarik napas dalam-dalam.

    "Tak kusangka kau tega mengkhianatiku, Um-

    bari!" ujar sang Ratu bernada sedih.

    "Gusti Ratu, Bintari dan saya menjadi mata-

    mata pihak Pulau Kucil sejak tiga bulan yang lalu, se-

    pulangnya Bintari dari mengejar pencuri pusaka itu. 

    Tetapi saya belum pernah lakukan sesuatu yang bersi-

    fat mengkhianati pesanggrahan," ujar Umbari dengan 

    tegas.

    "Jelaskan maksudmu, Umbari!"

    "Bintari berkenalan dengan seorang pemuda 

    dari Pulau Kucil yang bernama Laksamada! Tujuh hari 

    setelah Bintari pulang dari mengejar pencuri pusaka 

    itu.

    Laksamada datang ke Pantai Rangsang bersa-

    ma sahabatnya yang bernama Runggana. Kebetulan 

    pada waktu itu, Bintari mengajak saya untuk berjalan-

    jalan dl pantai, ternyata ia bermaksud perkenalkan si 

    Laksamada dan Runggana kepada saya."

    Sampai di situ, Umbari hentikan ucapannya 

    sebentar. Ia melirik ke arah Raka Pura. Entah apa 

    maksudnya, tapi setelah itu ia berkata lagi dengan na-

    da ragu-ragu.

    "Runggana mempunyai wajah dan potongan tu-

    buh seperti Raka Pura. Ia tampan dan menarik hari."

    "Kalau begitu, Raka Pura juga tampan dan me-

    narik hati?!" sela Nyai Sangkal Putung. Umbari tun-

    dukkan kepala, menggigit bibirnya, tak berani menja-

    wab pertanyaan itu. Sementara Kirana menjadi berang, 

    namun keberangannya tetap hanya bisa ditahan dalam 

    hati. Raka Pura sunggingkan senyum dikulum sambil 

    buang muka sebentar.

    "Lanjutkan penjelasan mu tadi, Umbari!" perin


    tah sang Ratu.

    "Terus terang, saya sempat terpikat dengan 

    Runggana yang bertutur kata lembut dan mengesan-

    kan itu. Sedangkan Bintari terpikat kepada Laksama-

    da. Kami berdua sering lakukan pertemuan secara 

    sembunyi-sembunyi dengan kedua pemuda tersebut. 

    Bintari melangkah terlalu jauh, sementara saya masih 

    jaga jarak dengan Runggana."

    Ratu Sedap Malam manggut-manggut sambil 

    tetap pandangi wajah Umbari. Yang lain pun menatap 

    Umbari dengan mulut terbungkam. Seakan mereka 

    menyimak betul apa yang dituturkan oleh Umbari.

    "Kedua pemuda itulah yang membujuk kami 

    untuk memihak Raja Amuk Jagal. Mereka mengha-

    rapkan agar kami mau menjadi mata-mata Raja Amuk 

    Jagal untuk yang selalu memberi kabar tentang kele-

    mahan-kelemahan Gusti Ratu dan orang-orang pe-

    sanggrahan ini. Secara empat mata dengan Bintari, 

    saya menolak tawaran itu. Tapi Bintari mendesak saya 

    terus agar mau sepakat dengannya."

    "Mengapa akhirnya Bintari mau menjadi mata-

    mata?"

    "Karena Bintari selalu ingin mendapatkan ke-

    puasan dari Laksamada, yang menurutnya pandai 

    memuaskan gairahnya. Padahal Bintari sendiri juga 

    naksir Prapanca...."

    "Adiknya muridku itu?!" sahut Nyai Sangkal 

    Putung.

    "Benar, Nyai!" jawab Umbari. "Tapi Prapanca 

    tak pernah mau memberikan kepuasan kepada Bintari! 

    Akhirnya Bintari nekat menjadi mata-mata pihak Pu-

    lau Kucil agar selalu dapatkan kepuasan dari Laksa-

    mada."

    "Mengapa kau tidak katakan hal itu padaku?" 

    tanya sang Ratu.


    "Tentunya Bintari akan menyuruh Laksamada 

    dan Runggana untuk membunuh saya jika sampai hal 

    itu saya sampaikan kepada Ratu. Sejujurnya saja, se-

    jak saat itu saya jadi tidak tertarik lagi dengan Rung-

    gana. Tapi saya harus berlagak tetap tertarik, dan 

    bahkan saya berpura-pura mendukung tindakan Bin-

    tari, menjadi mata-matanya pihak mereka. Dengan be-

    gitu, seluruh rencana dan rahasia yang dimiliki Raja 

    Amuk Jagal dapat saya ketahui juga."

    Lahar Jalanan manggut-manggut, pertanda 

    memahami apa yang dituturkan oleh Umbari. Nyai 

    Sangkal Putung pun tampak menyimak baik-baik tiap 

    ucapan gadis itu. Raka Pura diam-diam bergeser hing-

    ga ia berada di dekat Kirana.

    "Tapi saya tak menyangka kalau Raja Amuk 

    Jagal kirimkan si Dewa Pancung untuk lakukan keke-

    jaman seperti yang sudah kita lihat itu. Saya pun ma-

    sih sering melihat Laksamada berkeliaran di sekitar 

    pesanggrahan kita, menjaga keselamatan Bintari dan 

    saya. Sebab dalam perjanjian itu, Bintari minta perlin-

    dungan sepenuhnya oleh Laksamada, dan Laksamada 

    menyanggupinya. Runggana sendiri menyanggupi akan 

    selamatkan nyawa saya jika sewaktu-waktu saya te-

    rancam. Tapi kesanggupan itu tidak saya hiraukan."

    "Lalu, mengapa kau bunuh Bintari?"

    "Bagaimanapun juga, ia tetap akan menjadi du-

    ri dalam tubuh kita, Gusti Ratu! Selama ia masih in-

    ginkan kehangatan asmara Laksamada, maka ia tetap 

    akan berbakti kepada Laksamada. Apa yang diperin-

    tahkan pemuda itu akan dituruti oleh Bintari. Hanya 

    satu yang tidak berani dilakukan oleh Bintari, yaitu 

    membunuh Gusti Ratu sendiri! Namun sekalipun de-

    mikian, saya selalu waspada terhadap segala gerak-

    gerik Bintari. Jika sampai ia mulai punya keberanian 

    untuk membunuh Gusti Ratu, maka sayalah orang


    pertama yang akan tewas dibunuhnya!"

    Hati sang Ratu tersiram keharuan mendengar 

    pengakuan itu. Namun keharuan itu tetap saja dipen-

    dam dalam hatinya dan dijaga agar tak terlihat oleh 

    Umbari.

    "Untuk menghilangkan duri dalam tubuh kita, 

    Bintari harus dibunuh! Dengan begitu, tak ada lagi 

    mata-mata di pihak kita yang selalu membocorkan be-

    berapa rahasia penting kepada pihak Raja Amuk Jagal. 

    Dengan terbunuhnya Bintari, saya bebas bicarakan 

    beberapa rahasia pihak lawan. Ke mana pun saya per-

    gi, saya tidak akan merasa terancam oleh orang-orang 

    Pulau Kucil yang sering kunjungi Pantai Rangsang 

    dengan berbagai macam penyamaran."

    "Apakah kau yakin kalau kematian Bintari ti-

    dak tercium oleh Laksamada?"

    "Laksamada sudah tahu bahwa yang membuat 

    Bintari diketahui sebagai mata-mata adalah Dewa 

    Pancung."

    "Kapan dia mengetahuinya?"

    "Pada saat orang-orang Suku Ampar melabrak 

    kita, lalu kepala sukunya memenggal Dewa Pancung, 

    saya melihat Laksamada bersembunyi di atas pohon. 

    Dengan begitu dia tahu, Bintari tertangkap bukan ka-

    rena saya, tapi karena Dewa Pancung."

    "Hmmm...," Nyai Sangkal Putung perdengarkan 

    gumamnya sambil angguk-anggukkan kepala. "Kalau 

    begitu, sekarang Laksamada masih ada di sekitar si-

    ni?"

    "Dia memang mempunyai tempat di sekitar 

    Pantai Rangsang, Nyai! Enam bulan yang lalu dia iba-

    rat ditanam oleh Raja Amuk Jagal dl salah satu tempat 

    sekitar Pantai Rangsang."

    "Kau tahu tempatnya?" tanya Raka Pura.

    "Ya, aku tahu!" jawab Umbari sambil sedikit


    menengok ke belakang, karena Raka Pura ada di bela-

    kangnya.

    "Kau bisa tunjukkan padaku di mana tempat 

    tinggal si Laksamada itu?"

    "Bisa!" jawab Umbari tegas menyatakan ke-

    sanggupannya.

    "Tunggu dulu," sergah si Lahar Jalanan. "Um-

    bari, kesimpulanku mengatakan bahwa kau sebenar-

    nya masih setia pada ratumu ini! Justru kau menjadi 

    mata-matanya pihak pesanggrahan ini! Tentunya kau 

    banyak mengetahui rahasia di pihak lawan. Apakah 

    kau bisa jelaskan rahasia apa yang kau ketahui ten-

    tang rencana penyerangan si Raja Amuk Jagal itu?"

    "Berdirilah, bicara dengan bebas!" sela sang Ra-

    tu yang merasa kasihan melihat Umbari berlutut terus. 

    Maka Umbari pun berdiri dengan sikapnya yang tetap 

    menghormat.

    "Laksamada dan Runggana yakin, pesanggra-

    han Pantai Rangsang akan berhasil direbut oleh Raja 

    Amuk Jagal. Sudah lama Raja Amuk Jagal mengincar 

    tempat ini. Karena menurutnya, tempat ini menyimpan 

    sesuatu yang amat berharga."

    "Apa yang dimaksud sesuatu yang amat ber-

    harga itu?!"

    "Laksamada tidak katakan. Tapi Runggana 

    pernah ceritakan pada saya, bahwa beberapa tahun 

    yang silam, ketika pantai ini belum ditempati dan ma-

    sih perawan, sebuah kapal bajak laut singgah kemari 

    dan menanam harta karun di sini! Ketua bajak laut itu 

    berjuluk si Naga Barong!"

    "Hmmm... cerita itu adalah sebuah dongeng. 

    Ayah ku pernah ceritakan hal itu ketika aku masih be-

    rusia empat-lima tahun," ujar Nyai Sangkal Putung.

    Umbari berkata lagi, "Naga Barong adalah ka-

    kek buyutnya Raja Amuk Jagal. Menurutnya, harta


    karun itu sampai sekarang masih terpendam di salah 

    satu tempat di wilayah Pantai Rangsang. Tapi entah di 

    sebelah mana. Raja Amuk Jagal ingin mencari harta 

    karun itu. Tentunya jika Pantai Rangsang masih diku-

    asai oleh Gusti Ratu, maka ia tak akan bebas mencari 

    harta karun tersebut. Karenanya, ia perlu menyingkir-

    kan Gusti Ratu dan mengambil alih kekuasaan di Pan-

    tai Rangsang ini!"

    Semua orang saling beradu pandang ketika 

    Umbari diam sesaat, suasana hening sebentar. Raka 

    Pura pun menatap Kirana, dan Kirana balas meman-

    dang sambil perdengarkan bisikannya kepada Raka.

    "Percayakah kau pada kisah itu?"

    Raka Pura sentakkan kedua pundak. "Kita lihat 

    saja kelanjutannya!"

    Nyai Sangkal Putung berkata kepada Lahar Ja-

    lanan.

    "Cerita itu hanya isapan jempol yang dipercaya 

    oleh si Amuk Jagal!"

    "Belum tentu!" ujar Lahar Jalanan. "Bagi kita 

    mungkin cerita tersebut memang layak dianggap seba-

    gai isapan jempol. Tapi bagi keturunan si Naga Barong, 

    mungkin bukan sebagai isapan jempol, melainkan se-

    bagai kenyataan!"

    "Maksud Paman...," ujar sang Ratu. "Amuk 

    Jagal mendapatkan keterangan yang sangat bisa di-

    percaya, sehingga ia nekat ingin memburu harta karun 

    itu?"

    "Kira-kira begitulah yang dialami si Raja Amuk 

    Jagal! Sebab kalau tidak, mengapa ia harus repot-repot 

    merebut wilayah mu ini, Nyai Ratu? Mengapa ia tidak 

    merebut wilayah Lembah Gerhana yang dulu adalah 

    wilayahnya sendiri? Memang Lembah Gerhana sudah 

    dikuasai oleh pihak Ratu Rias Rindu. Tapi bukankah 

    sekarang Ratu Rias Rindu sudah dikabarkan tewas di


    tangan Dewa Perintang?! Tentunya si Raja Amuk Jagal 

    punya kesempatan untuk kuasai Lembah Gerhana 

    kembali?!"

    "Raja Amuk Jagal bukan orang tuli, Sela Giri!" 

    ujar Nyai Sangkal Putung. "Tentunya Raja Amuk Jagal 

    tahu bahwa saat sebelum Ratu Rias Rindu mengejar 

    pusakanya yang bernama Pedang Bulan Madu dan ak-

    hirnya tewas di tangan Dewa Perintang, ia sudah me-

    nebarkan racun di seluruh Lembah Gerhana. Racun 

    itu menyatu dengan tanah dan menyebarkan asap be-

    racun, sehingga wilayah itu tak bisa ditempati lagi.. 

    Mana mungkin Raja Amuk Jagal mau kuasai Lembah 

    Gerhana lagi?!"

    Raka Pura diam-diam membatin, "Oooh, jadi 

    Ratu Rias Rindu akhirnya tewas di tangan Eyang Dewa 

    Perintang?! Kurasa Soka pun belum tahu hal itu. Ka-

    rena terakhir aku dan Soka berhadapan dengan Ratu 

    Rias Rindu, perempuan itu masih bisa larikan diri wa-

    lau sudah terluka dan tetap dikejar oleh Eyang Dewa 

    Perintang," sambil Raka mengenang peristiwa itu, (Ba-

    ca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Pemburu 

    Mahkota Dara").

    Sang Ratu berkata lagi kepada Umbari, "Jika 

    benar di sini ada harta karun terpendam, perkiraan 

    mereka ada di sebelah mana harta karun tersebut? 

    Apakah kau mendapatkan keterangan itu juga, Umba-

    ri?"

    "Tidak, Ratu! Seperti yang saya katakan tadi. 

    Raja Amuk Jagal belum tahu di mana persisnya harta 

    karun itu dipendam. Tapi menurut Runggana, harta 

    karun itu bernilai tinggi, dapat dipakai membangun 

    sebuah istana megah dan tak habis dimakan tujuh tu-

    runan!"

    Sang Ratu angguk-anggukkan kepala kembali.

    "Laksamada dan Runggana termasuk ditu


    gaskan mencari perkiraan letak harta karun itu, Gus-

    ti!" tambah Umbari.

    "Baiklah, itu urusan mereka. Aku belum bisa 

    percaya apa yang dikatakan Runggana kepadamu, 

    Umbari. Tapi kau tadi menyebutkan bahwa Raja Amuk 

    Jagal yakin bahwa ia dapat kuasai Pantai Rangsang 

    ini. Apakah dia mempunyai kekuatan yang melebihi 

    kekuatan kita?"

    "Menurut pengakuan Laksamada terhadap Bin-

    tari, dan Bintari ceritakan kepada saya, kekuatan itu 

    terletak pada diri Raja Amuk Jagal sendiri, Gusti Ratu. 

    Karena sekarang Raja Amuk Jagal telah perdalam il-

    munya dan mempunyai satu senjata pusaka yang da-

    pat untuk meleburkan seluruh penghuni pesanggra-

    han ini!"

    "Pusaka apa itu?!" sergah Raka Pura dengan 

    bernafsu ingin segera mengetahuinya.

    "Ia memiliki Sabuk Biang Neraka!"

    "Hhah...?!" Lahar Jalanan dan Nyai Sangkal Pu-

    tung sama-sama tersentak kaget dengan wajah terpe-

    rangah tegang. Rupanya kedua tokoh tua itu tahu per-

    sis tentang kehebatan Sabuk Biang Neraka.

    "Itu tak mungkin!" bantah Nyai Sangkal Pu-

    tung. "Sabuk Biang Neraka adalah milik tokoh dalam 

    dongeng masa lalu, yaitu si Naga Barong! Aku yakin 

    semua ini hanya bualan si Amuk Jagal sendiri!"

    Lahar Jalanan menyahut, "Jika Amuk Jagal 

    mengaku sebagai cucu buyut dari si Naga Barong, ma-

    ka tentu saja dia memiliki pusaka warisan buyutnya 

    yang bernama Sabuk Blang Neraka itu! Atau jika me-

    mang ia benar-benar memiliki Sabuk Biang Neraka, 

    maka ia memang benar-benar buyutnya si Naga Ba-

    rong!"

    "Celaka! Tempat ini bisa rata dengan tanah jika 

    benar ia memiliki pusaka itu!" ujar Nyai Sangkal Pu


    tung sambil menggeram dengan tegang.

    *

    * *

    3


    BUNGA-BUNGA karang yang tumbuh di sekitar 

    Pantai Rangsang mempunyai bentuk keindahan ter-

    sendiri. Dilihat sepintas, pantai itu memang tampak 

    cantik dan menarik. Bentuk bebatuan karang yang 

    bertebaran di sana-sini menyerupai taman laut yang 

    jarang dimiliki pantai lain. Oleh sebab itulah, pantai 

    tersebut dinamakan Pantai Rangsang, karena merang-

    sang seseorang untuk mengagumi keindahan alamnya.

    Pantai tersebut juga mempunyai hutan yang 

    berbukit-bukit. Bahkan bukit karang dengan tebingnya 

    yang curam pun mempunyai keindahan yang bercam-

    pur hanya bisa dipandang dari jarak jauh.

    Di sela-sela tebing curam itu, terdapat sebuah 

    gua tempat Pendekar Kembar bungsu dan si Mata Bi-

    dadari diselamatkan oleh Dedengkot Iblis dari anca-

    man maut asap beracun milik almarhum Dewa Pan-

    cung, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: 

    "Geger Pantai Rangsang"). Gua itu berhadapan lang-

    sung dengan permukaan air laut. Tidak setiap orang 

    bisa mencapai gua tersebut, karena kemiringan te-

    bingnya dan ketinggiannya dapat mendatangkan ke-

    matian bagi orang yang coba-coba mendaki atau me-

    nuruni tebing tersebut. Gua

    tersebut dapat dicapai dari daratan di atasnya 

    dengan cara menggunakan jurus peringan tubuh yang

    cukup tinggi, demikian pula jika ingin mendaki tebing


    tersebut. Karena dinding karang tebing itu mempunyai 

    ketajaman yang bisa merobek kulit buaya, apalagi kulit 

    manusia.

    Namun berkat jurus 'Badai Terbang', Soka Pura 

    alias si Pendekar Kembar bungsu berhasil membawa 

    gadis cantik bermata sangat indah itu mendaki tebing 

    curam yang mengerikan itu. Si Mata Bidadari berterus 

    terang bahwa ia tak sanggup mendaki medan yang 

    sangat berbahaya itu. Karena sedikit saja kaki tergelin-

    cir maka ia akan jatuh dan menjadi sate di atas beba-

    tuan karang runcing.

    Tetapi Soka Pura melakukan pendakian itu 

    dengan menotok si Mata Bidadari lebih dulu. Gadis itu 

    terkulai lemas karena jalan darahnya terhenti. Kemu-

    dian Soka Pura memanggul tubuh si gadis tinggi sekal 

    itu di pundak kirinya. Wuuuz...! Dengan pergunakan 

    jurus 'Badai Terbang' yang menyerupai roket melun-

    cur, Soka Pura berhasil hinggap di salah satu batu ka-

    rang runcing di pertengahan tebing. Sekalipun batu 

    karang itu seruncing ujung tombak, namun kaki Soka 

    Pura tidak tertembus keruncingan tersebut, karena il-

    mu peringan tubuhnya membuat badannya seringan 

    kapas.

    Huup, tab, tab, tab...!

    Kejap kemudian si Pendekar Kembar bungsu 

    berhasil mencapai daratan di atas tebing karang terse-

    but. Gadis cantik berbaju buntung warna merah tua 

    segera direbahkan di atas rerumputan. Soka Pura le-

    paskan totokan si Mata Bidadari dengan menyodok 

    bagian bawah ketiak gadis itu memakai dua jari, seper-

    ti paruh seekor burung yang mematuknya. Dees...!

    "Setan urap! Lain kali kalau mau menotok ku 

    bilang-bilang dulu! Jangan main totok seenaknya!" 

    sentak gadis itu dengan berang, karena Soka tidak 

    meminta izin lebih dulu ketika ingin menotok dan


    membawa si gadis tinggalkan gua tersebut.

    "Maaf, aku lupa caranya meminta izin! Kuharap 

    kau jangan marah, Bidadari ku," sambil senyum Soka 

    yang menawan itu dipamerkan. Kemarahan gadis itu 

    pun reda jika melihat senyum si Pendekar Kembar 

    bungsu. Sekalipun wajah masih cemberut, tapi hati ti-

    dak lagi merengut.

    "Soka, mengapa kau tak pamit kepada Dedeng-

    kot iblis saat mau meninggalkan gua? Aku takut dia 

    tersinggung dan marah padamu!"

    "Seperti kau dengar sendiri kata-katanya kema-

    rin, dia bersedia untuk tidak ikut campur urusan kita, 

    tapi kita diminta tinggal di gua itu sampai bulan pur-

    nama tiba. Mau makan apa kita di gua itu? Bayangkan

    saja!"

    "Mungkin dia punya rencana sendiri untuk ki-

    ta. Entah rencana apa, yang jelas bukan rencana ja-

    hat!"

    "Memang. Tapi kita punya urusan akan ter-

    bengkalai! Bayangkan saja, kalau kita harus tinggal di 

    dalam gua itu bersamanya sampai malam bulan pur-

    nama, sedangkan malam bulan purnama akan terjadi 

    sekitar dua belas hari lagi. Lantas berapa korban yang 

    akan berjatuhan dipenggal oleh si Dewa Pancung, ka-

    rena orang itu masih bebas berkeliaran memburu 

    mangsanya!"

    Dedengkot Iblis, tokoh berilmu tinggi yang dulu 

    menjadi penjaga Bambu Gading Mandul dan pernah 

    dikalahkan oleh Pendekar Kembar, (Baca serial Pende-

    kar Kembar dalam episode: "Rahasia Dedengkot Iblis"), 

    kini memihak kepada Pendekar Kembar. Hal itu terjadi 

    akibat Soka Pura dalam siasatnya ketika bertarung 

    dengan Dedengkot Iblis mengaku sebagai keturunan 

    Prabawinih. Sedangkan Prabawinih adalah bekas istri 

    Dedengkot Iblis yang melarikan diri dan menikah den


    gan orang lain karena Dedengkot Iblis menjadi murid 

    si Raja iblis. Kala itu Dedengkot Iblis yang mantan ksa-

    tria dari sebuah negeri itu belum menggunakan nama 

    julukannya itu.

    Soka Pura tahu tingkat ketinggian ilmu De-

    dengkot Iblis dan cukup paham dengan watak tokoh 

    sakti itu yang liar dan ganas kepada lawannya. Dikha-

    watirkan jika Dedengkot Iblis ikut campur urusan So-

    ka, maka akan banyak korban yang menjadi salah sa-

    saran dari jurus-jurus mautnya si Dedengkot Iblis.

    Oleh karenanya, Soka Pura berusaha membu-

    juk Dedengkot Iblis agar tak campuri urusannya. De-

    dengkot Iblis mau turuti permintaan Soka, tapi ia min-

    ta Soka tinggal di gua tersebut sampai bulan purnama 

    tiba. Ia tak jelaskan apa alasannya meminta Soka ting-

    gal di gua karang tersebut, sehingga Soka memilih un-

    tuk pergi secara diam-diam dari gua itu dengan mem-

    bawa si Mata Bidadari, karena memang dia dan si Ma-

    ta Bidadari ditugaskan oleh Lahar Jalanan untuk 

    memburu si Dewa Pancung. Soka dan si Mata Bidadari 

    belum tahu bahwa Dewa Pancung sudah tewas di tan-

    gan kepala Suku Ampar.

    "Kita pulang dulu ke pesanggrahan saja," usul 

    si Mata Bidadari.

    "Tidak lanjutkan mencari Dewa Pancung lagi?!"

    "Kita sudah tiga hari tinggal di dalam gua itu. 

    Guru ku pasti ingin tahu kabar kita. Jangan sampai 

    kita menjadi bahan kegelisahan mereka."

    Soka Pura angkat dua pundaknya pertanda ter-

    serah kepada putusan si Mata Bidadari. Gadis cantik 

    berambut keriting lembut sepanjang bahunya itu lang-

    kahkan kaki lebih dulu sebagai bukti ketegasan dalam 

    bersikap. Soka Pura segera mengikutinya.

    "Aku tak menyangka akan jumpa dengan tokoh 

    seangker Dedengkot Iblis itu," ujar si Mata Bidadari.


    "Apakah kau masih takut padanya?"

    "Sejak awal melihatnya aku tak punya rasa ta-

    kut, hawa waswas saja. Tapi setelah tahu dia baik pa-

    da kita, rasa waswas itu hilang."

    "Beruntung sekali kita bertemu dia. Selain 

    nyawa kita tak jadi gentayangan, ilmu kita pun ber-

    tambah."

    "Ya, tapi aku tak tahu apakah ilmu pemberian 

    si Dedengkot Iblis itu tidak dilarang oleh guruku. Jika 

    memang Guru melarangku memakai ilmu itu, maka 

    lebih baik ku buang saja ilmu itu. Aku tak berani 

    membantah ketentuan Guru!"

    "Nanti aku yang akan bicara pada Nyai Sangkal

    Putung, gurumu! Aku akan berusaha meyakinkan pa-

    da gurumu bahwa ilmu itu bukan ilmu hitam. Hitam 

    dan putih, tergantung pemiliknya. Jika dipakai untuk 

    kejahatan, maka ilmu yang putih apa pun akan men-

    jadi hitam. Demikian pula sebaliknya, jika kita pakai 

    untuk kebaikan, maka ilmu itu tetap putih."

    "Memang benar apa katamu. Tapi kadang gu-

    ruku perasaannya terlalu peka. Beliau bisa saja mera-

    sa tersinggung jika aku memiliki ilmu dari orang lain."

    "Yah, kita coba saja bicara dengan beliau apa 

    adanya. Aku pun akan bicara pada ayahku, jika ayah-

    ku melarang aku menggunakan jurus tersebut, maka 

    aku tak akan menggunakannya!" ujar Soka Pura sam-

    bil terbayang saat berada di dalam gua bersama De-

    dengkot Iblis.

    "Senang sekali aku melihat kemesraan kalian. 

    Aku teringat masa-masa indah bersama Prabawinih," 

    ujar Dedengkot Iblis kala itu. Suaranya bernada duka, 

    karena dalam hatinya mengalami penyesalan besar 

    atas musibah cintanya sampai ia kehilangan Prabawi-

    nih.

    "Kalian adalah pasangan yang kuanggap serasi.


    Soka tampan, seperti aku di masa muda, dan Mata Bi-

    dadari cantik, seperti Prabawinih. Kau memang punya 

    kemiripan dengan Prabawinih!" ungkapnya kepada si 

    Mata Bidadari.

    "Keindahan matamu, bentuk rambutmu, pera-

    wakan mu yang tinggi sekal begitu, membuat aku se-

    perti berhadapan dengan Prabawinih."

    Dedengkot Iblis tarik napas dalam-dalam. Se-

    jengkal duka berusaha disingkirkan dari hatinya. Wa-

    lau akhirnya hanya terpendam ke dasar hati.

    "Kenyataan ini membuatku ingin menitipkan 

    ilmu pada kalian berdua."

    "Ilmu apa itu?" tanya Soka Pura.

    "Ilmu ini bukan milik Raja Iblis, tapi milik gu-

    ruku yang pertama, yang kini tentunya sudah dima-

    kamkan di Pegunungan Tibet. Ilmu ini dinamakan ilmu 

    'Sentuhan Dewata'."

    "Apa kehebatan ilmu itu?"

    "Dengan menguasai ilmu 'Sentuhan Dewata' 

    kalian bisa menyentuh lawan jenis dengan hanya 

    membayangkan apa yang ingin kalian sentuh. Kalian

    juga bisa memukul dan menendang lawan jenis, sesuai 

    dengan bagian yang kalian pukul dan kalian tendang 

    dalam khayalan. Syaratnya, hanya bisa dilakukan ter-

    hadap lawan jenis saja, dan lawan jenis itu harus bisa 

    tertangkap oleh pandangan mata. Sejauh apa pun ia 

    berada, jika masih bisa tertangkap oleh pandangan 

    mata, maka kalian bisa pergunakan jurus atau ilmu 

    'Sentuhan Dewata' itu."

    "Hebat juga?!" gumam Soka Pura tak sadar. Si 

    Mata Bidadari segera meliriknya, seakan ia tahu ren-

    cana usil dalam benak Soka. Akibatnya pemuda tam-

    pan itu tersipu malu sendiri.

    "Jika kalian tak bersedia, aku tidak memaksa," 

    ujar Dedengkot Iblis dengan suaranya yang serak na


    mun bernada tegas dan penuh wibawa.

    "Aku bersedia!" sahut Soka Pura dengan kesan

    bersemangat sekali. Si Mata Bidadari melirik kembali 

    ke arah Soka Pura. Pandangan mata Soka memberikan 

    isyarat agar si Mata Bidadari memberi pernyataan se-

    pertinya. Maka murid cantik Nyai Sangkal Putung itu 

    akhirnya anggukkan kepala ketika pandangan mala 

    cekung Dedengkot Iblis tertuju kepadanya.

    "Baik. Aku pun bersedia jika tidak mengandung 

    akibat buruk bagiku."

    "Buruk dan baiknya akibat itu tergantung pada 

    dirimu sendiri," kata Dedengkot Iblis.

    "Sebentar lagi aku pasti akan mati, karena ke-

    tuaan usiaku," tambah Dedengkot Iblis. "Banyak ilmu 

    yang bisa kuturunkan, tapi aku tak akan sempat 

    mempunyai murid. Beberapa ilmu yang bisa kuturun-

    kan akan ku berikan kepadamu Pendekar Kembar, 

    termasuk ilmu 'Getaran Senyawa'. Khusus untuk ilmu 

    'Getaran Senyawa' hanya bisa dimiliki oleh dua orang 

    yang sejenis; pria dengan pria, atau wanita dengan 

    wanita. Kebetulan kau adalah pemuda kembar. Ilmu 

    itu cocok untuk kalian. Panggil kakak kembar mu itu 

    dan akan kuturunkan ilmu 'Getaran Senyawa' kepada 

    kalian."

    "Akan kuberi tahu kakakku nanti. Tapi... sebe-

    lumnya aku ingin tahu apa kehebatan ilmu atau jurus 

    'Getaran Senyawa itu?"

    "Kalian dapat bicara melalui batin sejauh apa 

    pun kalian terpisah. Dengan menahan napas dan 

    membayangkan kakak kembar mu, kau dapat bicara 

    dengannya dari gua ini."

    "Menarik sekali! Kurasa kakakku akan bersedia

    menerima ilmu itu!" ujar Soka Pura dengan berseri-

    seri.

    "Hanya ilmu-ilmu pemberian Guru pertama ku


    yang ingin kutitipkan kepada kalian. Ilmu yang ku pe-

    roleh dari Paduka Raja Iblis, tak baik kuberikan kepa-

    da siapa pun!"

    Rupanya sejak tugasnya sebagai penjaga 

    'Bambu Gading Mandul' sudah berakhir, karena bam-

    bu itu sudah ditebang oleh Pendekar Kembar, si De-

    dengkot Iblis mulai berhasrat untuk kembali pada jati 

    dirinya yang asli; sebagai seorang ksatria aliran putih. 

    Ia pun sadar bahwa usianya tak akan lama lagi berak-

    hir. Sang maut akan datang dan ia akan menjadi pen-

    gikut Raja Iblis yang abadi jika kematian itu sudah ti-

    ba. Sisa hidupnya itu ingin dipergunakan untuk mem-

    bagi ilmu kesaktiannya kepada orang-orang tertentu, 

    karena ia merasa tak punya waktu untuk mengangkat 

    seseorang untuk dijadikan muridnya. Kematian itu bi-

    sa datang sewaktu-waktu, sedangkan menurunkan il-

    mu membutuhkan waktu tersendiri. Ada yang singkat, 

    ada yang pendek.

    Dedengkot Iblis sengaja memilih gua yang ter-

    pencil itu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Gua 

    itu akan dijadikan tempatnya menurunkan ilmu kepa-

    da orang yang berkenan di hatinya.

    "Barangkali karena alasan itulah maka aku dan 

    si Mata Bidadari tak diizinkan memasuki lorong gua 

    yang lebih dalam lagi. Mungkin di sana ia menyimpan 

    setumpuk pusaka yang akan diwariskan kepada orang 

    yang terpilih oleh hatinya," ujar Soka Pura dalam hati, 

    sebelum menerima ilmu 'Sentuhan Dewata' itu.

    Akhirnya ilmu tersebut diterima oleh Soka Pura 

    dan si Mata Bidadari hari berikutnya mereka berada di 

    dalam gua tersebut. Peresapan ilmu itu membutuhkan 

    tenaga besar, hingga Soka dan si Mata Bidadari seperti 

    terkuras tenaganya dan menjadi lemah, letih, lesu, dan 

    lelah. Mereka nyaris tak bisa berdiri selama seharian 

    penuh. Ketika kekuatan mereka sudah pulih kembali


    pada esok harinya, tanpa setahu Dedengkot Iblis, me-

    reka mencoba ilmu 'Sentuhan Dewata' itu. Diawali oleh 

    kenakalan Soka Pura yang memperhatikan si Mata Bi-

    dadari secara diam-diam. Waktu itu, si Mata Bidadari 

    sedang pandangi ombak di tengah lautan jauh yang 

    bergulung-gulung. Tiba-tiba dalam benak Soka mem-

    bayangkan sedang mencium tengkuk kepala si Mata 

    Bidadari, karena rambut gadis itu tersingkap oleh 

    hembusan angin. Cup...!

    Tiba-tiba si Mata Bidadari terkejut dan cepat 

    berpaling sambil mengusap tengkuknya. Ia merasa se-

    perti sedang dikecup oleh sepasang bibir hangat yang 

    nakal. Ketika ia tahu Soka Pura berada di belakangnya 

    sedang menatap dengan tersenyum-senyum, si Mata 

    Bidadari pun segera ingat tentang ilmu 'Sentuhan De-

    wata'. Hatinya segera membatin sendiri.

    "Hmmm, dia mulai nakal! Mungkin mencoba 

    ilmu itu. Bagaimana kalau sekarang kubayangkan se-

    dang mencium bibirnya?"

    Soka Pura terkejut, bibirnya merasa seperti di-

    lumat dengan nakal oleh sepasang bibir hangat. Luma-

    tan itu sangat jelas dirasakan, sampai timbulkan de-

    bar-debar keindahan dalam hatinya.

    Dengan mata menjadi sayu, Soka Pura berk-

    hayal membalas lumatan bibir tersebut. Ternyata si 

    gadis semakin menggeliat. Kedua tangannya dibayang-

    kan sedang merangkul tubuh Soka Pura yang berjarak 

    enam langkah darinya itu. Ternyata Soka pun merasa-

    kan pelukan itu dengan sangat jelas.

    Maka mereka pun akhirnya bercumbu dalam 

    bayangan, namun terasa dalam kenyataan. Sekujur 

    tubuh si gadis merasa dijamah dengan mesra oleh tan-

    gan Soka Pura. Gairah bercinta pun semakin terbakar. 

    Si gadis sengaja menikmati jamahan tangan dan sa-

    puan lidah hangat yang merayapi sekujur tubuh, hingga menyentuh pusat keindahannya. Si Mata Bidadari 

    hanya bisa bersandar pada batu tinggi dan mengeluh 

    mesra dengan keringat dingin mulai bercucuran.

    Ia meresapi kemesraan aneh itu dengan meme-

    jamkan mata. Jika ia ingin membalas kemesraan itu, 

    matanya sedikit dipicingkan agar bisa melihat Soka, la-

    lu bayangan dalam benaknya membalas kemesraan itu 

    dengan mencium tubuh Soka dengan usapan tangan 

    yang juga menjelajahi tubuh kekar itu.

    Ternyata kemesraan bayangan itu mampu 

    membuat si gadis mencapai puncak keindahannya be-

    berapa kali. Ia seperti benar-benar sedang berlayar ke 

    lautan cinta dengan Soka Pura, sehingga pucuk-pucuk 

    kenikmatannya dapat diraihnya dengan sejuta keinda-

    han.

    Si Mata Bidadari pun terkulai lemas. Nafasnya 

    terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat. Gera-

    kannya yang tidak sadar membuat pakaiannya menja-

    di morat-marit sendiri. Ketika ia memandang Soka Pu-

    ra di seberang sana, pemuda itu pun mengalami hal 

    serupa. Mereka akhirnya saling sunggingkan senyum. 

    Si Mata Bidadari tampak malu namun wajahnya berse-

    ri-seri dengan mata indahnya yang sayu karena masih 

    tersimpan sisa kemesraannya.

    "Ternyata... Indah sekali, bukan?" bisik Soka 

    Pura saat mendekati gadis itu yang buru-buru merapi-

    kan pakaiannya, takut si Dedengkot Iblis tahu-tahu 

    pulang dari kepergiannya.

    "Mungkin lebih indah jika... jika...."

    "Jika terjadi dalam kenyataan?" sahut Soka Pu-

    ra. Si gadis makin tersipu lagi.

    "Ah, entahlah! Kau memang nakal, Soka!"

    Beberapa saat setelah itu, Dedengkot Iblis be-

    nar-benar pulang dari kepergiannya. Rupanya ia pergi 

    untuk mencarikan makanan buat kedua anak muda


    yang keringatnya masih tampak tersisa di sela-sela tu-

    buh mereka. Pandangan mata cekung si tokoh beram-

    but putih acak-acakan itu membuat mereka malu dan 

    salah tingkah.

    "Rupanya kalian habis mencoba ilmu 'Sentuhan 

    Dewata' itu!" ujar Dedengkot Iblis.

    Soka Pura dan si Mata Bidadari hanya terse-

    nyum dan berusaha untuk tidak menatap mata si ju-

    bah merah yang mempunyai tubuh kurus, jangkung 

    dengan kuku tajamnya yang berwarna hitam itu. Sorot 

    pandangan mata Dedengkot Iblis yang tanpa senyum 

    itu membuat mereka menjadi gelisah, ada perasaan 

    takut karena telah menggunakan ilmu baru mereka 

    untuk bercumbu. Sekalipun mereka sudah hindari 

    pandangan mata, tapi si Dedengkot Iblis tetap menatap 

    mereka dengan kesan angker. Mereka tak tahu apa 

    maksud pandangan mata tersebut.

    *

    * *

    4


    KETIKA Soka Pura membayangkan percum-

    buan dengan si Mata Bidadari itu, tiba-tiba terdengar 

    suara ledakan yang cukup keras dari arah kedalaman 

    hutan. Duaaar...!

    Langkah pun segera dihentikan, demikian pula 

    langkah si Mata Bidadari. Mereka saling pandang seje-

    nak dengan wajah sedikit tegang.

    "Suara pertarungan siapa itu?" gumam si Mata 

    Bidadari.

    "Mungkin Dewa Pancung melawan orang lain! 

    Kita lihat saja ke sana!"


    Mereka pun bergegas hampiri ke arah datang-

    nya ledakan tersebut. Dari balik dua pohon berjajar, 

    Soka dan si Mata Bidadari memperhatikan sebuah per-

    tarungan yang dilakukan oleh seorang pemuda berwa-

    jah tampan, berkumis tipis dengan rambut ikalnya 

    yang sebahu diikat memakai ikat kepala biru tua.

    Pemuda berpakaian serba biru itu sedang 

    menghadapi lawannya yang jauh lebih tua darinya. 

    Sang lawan berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih, 

    sedangkan pemuda itu baru berusia sekitar dua puluh 

    lima tahun. Sekalipun si pemuda bersenjata kapak 

    dua mata yang masih terselip di sabuk hitamnya itu 

    mempunyai tubuh gempal dan kekar seperti Soka Pu-

    ra, tapi agaknya ia terdesak oleh pukulan jarak jauh si 

    kakek berjubah hijau lumut yang badannya kurus itu. 

    Kakek berambut putih pendek dengan ikat kepala hi-

    tam itu juga belum mengangkat senjatanya berupa 

    cambuk hitam yang masih terselip di ikat pinggangnya 

    yang berwarna merah itu. Namun agaknya pukulan-

    pukulan jarak jauhnya sukar ditahan oleh si pemuda.

    "Siapa mereka? Kau kenal dengan mereka?" bi-

    sik Soka.

    Mata Bidadari gelengkan kepala, pertanda tak 

    mengenal keduanya. Soka sendiri masih merasa asing 

    kepada mereka yang bertarung itu. Karenanya ia ma-

    sih belum mau bertindak apa-apa kecuali hanya diam 

    di tempat dan memperhatikan jurus-jurus si kakek 

    berjubah hijau lumut itu.

    "Agaknya kakek itu dari aliran hitam," bisik si 

    Mata Bidadari.

    "Dari mana kau tahu?"

    "Wajahnya berkesan angker, menyeramkan. 

    Matanya yang cekung itu mempunyai ketajaman pan-

    dang yang berkesan dingin. Mungkin ia bekas pembu-

    nuh berdarah dingin!"


    Soka Pura hanya manggut-manggut tipis. Pan-

    dangannya berusaha diarahkan ke wajah si kakek 

    yang berkumis tebal beruban itu. Kedua alisnya yang 

    juga putih tebal itu membentuk garis naik, sehingga 

    wajahnya tampak angker. Sementara si pemuda la-

    wannya berkesan simpatik, dan tergolong cukup ru-

    pawan.

    Sayang sekali ia tak bisa hindari sodokan dua 

    jari si kakek dari jarak lima langkah di depannya. So-

    dokan dua jari itu keluarkan sinar putih perak yang 

    berbentuk seperti bintang kecil itu. Claap...!

    Pada waktu itu si pemuda sedang bergegas 

    bangkit dari jatuhnya akibat pukulan tenaga dalam 

    tanpa sinar yang kenal dadanya tadi. Baru saja ia 

    mengangkat wajah, sinar putih perak seperti bintang 

    kecil itu melesat ke arahnya. Wees...! Pemuda itu 

    menghindar dengan sentakkan wajah ke samping. Tapi 

    sedikit terlambat, sehingga pipi kanannya terserempet 

    sinar putih tersebut. Sraaat...!

    "Aaaow...!" pemuda itu memekik seketika sam-

    bil jatuh terpelanting. Pipinya yang berkulit coklat 

    koyak dan menjadi hangus, seperti habis disambar be-

    si panas. Ia mengerang kesakitan. Sementara sinar pu-

    tih yang hanya menyerempet pipinya itu segera meng-

    hantam batu di belakangnya. Taarr...! Benturan itu 

    timbulkan letupan kecil, tapi batu sebesar anak sapi 

    itu hancur seketika menjadi seperti serpihan kristal. 

    Pruuul...!

    "Gila! Sinar putih itu berbahaya sekali?!" gu-

    mam hati Soka Pura. "Hampir saja kepala pemuda itu 

    hancur seperti batu tersebut."

    Sebenarnya si pemuda sudah mulai lemah. Ka-

    rena luka yang mengoyakkan pipi kanannya hingga 

    menjadi hitam hangus dan berasap itu membutuhkan 

    tenaga besar untuk menahan rasa sakitnya. Namun


    karena sang kakek berjubah hijau lumut masih le-

    paskan serangannya yang serupa tadi, pemuda terse-

    but segera cabut senjatanya. Kapak dua mata diha-

    dangkan di depan dadanya yang menjadi sasaran sinar 

    putih perak berbentuk bintang itu. Claaap...! Wuut...! 

    Sinar putih tersebut akhirnya menghantam mata ka-

    pak yang sudah memancarkan cahaya biru bening. 

    Blaaarr...!

    Suara ledakan lebih dahsyat dari yang tadi ter-

    dengar menggema memenuhi hutan pantai. Pemuda 

    itu terlempar ke belakang, terguling-guling sejauh tu-

    juh langkah dari tempatnya tadi. Namun ia hanya 

    mengerang panjang menahan rasa sakit, karena ka-

    paknya tadi menghantam dadanya sangat kuat, un-

    tung bukan bagian yang tajam. Dada itu terasa mau 

    jebol, karena gelombang ledakan yang menghantam 

    tadi cukup besar dan keras.

    Si pemuda bergegas bangkit, seakan tak mau 

    menyerah walau sudah mengalami luka parah pada 

    dua tempat: pipi dan dada. Kapak dua mata itu seka-

    rang dimainkan, menebas ke kanan dan ke kiri.

    "Hiah, hiah, hiah, hiah, heeeaah...!"

    Pemuda itu lebarkan kaki rendahkan badan. 

    Kedua tangannya merentang, yang satu mengangkat 

    kapak di atas kepala, yang satu menggenggam kuat 

    sedikit ditekuk ke depan. Rupanya ia tunjukkan bah-

    wa dirinya masih sanggup melawan si kakek berjubah 

    hijau.

    "Sekarang saatnya ku cabut nyawamu untuk 

    menebus kematian cucuku, Jahanam!" geram si kakek 

    dengan pandangan mata semakin ganas.

    "Aku bukan pembunuh cucumu, Bandot Se-

    brang! Tapi jika kau mampu cabut nyawaku, aku pun 

    akan lebih dulu cabut nyawamu!"

    "Keparaaaat...!"


    Setelah berseru dengan ganas, si kakek yang 

    rupanya bernama Bandot Sebrang itu layangkan tu-

    buhnya dalam gerakan bersalto cepat. Kedua kakinya 

    merapat, tubuhnya berguling di udara, dan ketika ka-

    kinya menapak ke bumi, kaki itu tetap rapat, lalu ber-

    jumpalitan kembali di udara. Gerakan tersebut dilaku-

    kan dengan cepat dan berulang-ulang, membuat ja-

    raknya semakin dekat dengan si pemuda.

    Wuk, tap, wuk, tap, wuk, tap, wuk, tap.

    Pemuda itu justru menerjang maju dengan 

    lompatan cepat membuat dirinya seperti bayangan 

    berkelebat. Weeess...! Siaap...! Soka Pura sempat bin-

    gung ikuti gerakan si pemuda dengan pandangan ma-

    ta. Tahu-tahu si pemuda sudah bertukar tempat, ia 

    berada di tempat si kakek berdiri tadi. Sementara si 

    kakek berada di tempat berdirinya si pemuda tadi.

    Mereka beradu punggung sekejap, kemudian 

    sama-sama berbalik arah hingga berhadapan lagi. Si 

    Mata Bidadari terbelalak, demikian pula dengan Soka 

    Pura, karena begitu Bandot Sebrang berbalik arah, me-

    reka melihat dada Bandot Sebrang terluka lebar oleh 

    tebasan kapak pada saat si pemuda menerjangnya. 

    Luka itu cukup panjang, dari pinggang kanan sampai 

    ke pundak kiri. Luka itu juga berwarna hitam dan ma-

    kin lama bergerak semakin lebar.

    Rupanya kapak itu bukan saja beracun ganas, 

    namun juga mempunyai hawa pembusuk yang cepat 

    membuat luka menjadi berbelatung.

    Bandot Sebrang masih berdiri tegak, seakan tak 

    bisa ditumbangkan. Luka yang cepat busuk dan berbe-

    latung itu segera diusap dengan tangan kanannya. Ke-

    tika telapak tangan kanan menempel pada luka, asap 

    putih segera keluar dari tangan tersebut. Usapan tan-

    gan bergerak sepanjang luka yang ada. Dalam sekejap, 

    luka itu lenyap tak tersisa sedikit pun. Bekas yang ter


    sisa hanya pada baju dalam putih yang masih tetap 

    robek dari perut sampai pundak.

    Tentu saja hal itu membuat pemuda itu tercen-

    gang. Bahkan si Pendekar Kembar bungsu dan Mata 

    Bidadari juga tercengang melihat luka itu lenyap dalam 

    satu kali usapan tangan.

    "Hebat juga ilmu si Bandot Sebrang itu!" bisik 

    Soka kepada Mata Bidadari. Tapi gadis itu tak perden-

    garkan jawaban atau gumam pendek, ia sibuk perhati-

    kan keadaan Bandot Sebrang yang tegar kembali.

    Pemuda berpakaian serba biru itu serukan ka-

    ta.

    "Boleh juga ilmumu, Bandot Sebrang. Tapi be-

    lum tentu bisa hadapi jurusku ini!"

    Si pemuda segera ayunkan kapak dua mata itu 

    ke arah Bandot Sebrang dalam jarak sekitar enam 

    langkah, sambil ia serukan kata kembali.

    "Rahang Siluman...!!"

    Wuuusss...!

    Begitu kapak diayunkan ke depan, salah satu 

    mata kapak terlepas dari gagangnya dalam keadaan 

    bercahaya pijar biru. Mata kapak itu melayang terbang 

    dengan gerakan memutar dengan cepat bagai piringan. 

    Arahnya ke leher Bandot Sebrang. "Rahang Silu-

    man...!!"

    Pemuda itu berseru kembali sambil sabetkan 

    kapaknya. Kini satu mata kapak yang tersisa itu juga 

    melayang terbang dalam gerakan memutar dengan 

    memancarkan cahaya biru pijar. Arahnya tetap tertuju 

    ke leher si Bandot Sebrang. Bedanya, mata kapak yang 

    kedua bergerak dari kiri, mata kapak pertama bergerak 

    dari kanan.

    Wees, wees, wees, wees, wees...!

    Rupanya 'Rahang Siluman' adalah nama jurus 

    yang membuat kedua mata kapak itu memutar cepat


    dalam gerak layangnya, hingga menyerupai gumpalan 

    cahaya biru pijar. Kecepatan geraknya sempat mem-

    buat Bandot Sebrang sedikit menggeragap, maka ia se-

    gera bersalto mundur dengan lincahnya. Wuk, wuk, 

    wuk!

    Jleeg...!

    Dua mata kapak itu nyaris saling bertabrakan 

    di depan si Bandot Sebrang. Tapi gerakan melayang 

    kedua mata kapak itu ternyata berputar arah dan 

    kembali menuju kepada si Bandot Sebrang.

    Dengan cepat Bandot Sebrang mencabut cam-

    buknya. Kemudian cambuk itu dilecutkan secara be-

    runtun ke kanan kiri, timbulkan letupan dan percik-

    kan bunga api yang cukup keras.

    Tar, tar, tar, tar, tar, tar!

    Gerakan cambuk yang mirip ekor naga itu ak-

    hirnya menyabet kedua mata kapak itu secara bertu-

    rut-turut. Akibatnya timbul ledakan menggelegar dua 

    kali yang mengguncangkan tanah sekitarnya dan 

    menggetarkan pohon-pohon sekeliling mereka.

    Blegaaar... blegaar...!

    Kedua mata kapak itu padam seketika. War-

    nanya menjadi putih mengkilap kembali. Tapi kedua 

    mata kapak itu tidak hancur atau gompal sedikit pun. 

    Bahkan retak pun tidak. Dan anehnya, gerakan mata 

    kapak yang semestinya terpental ke arah yang berla-

    wanan, ternyata justru dengan cepat dan kembali ke 

    arah semula.

    Pemuda itu masih acungkan gagang kapaknya 

    ke atas kepala. Maka kedua mata kapak itu pun hing-

    gap kembali ke gagangnya seperti semula, seakan ga-

    gang kapak itu mempunyai daya magnet tersendiri 

    yang mampu menyedot kedua mata kapak tersebut.

    Trak, trak...!

    Wuk, wuk, wuk, wuk...!


    Pemuda itu mainkan kapaknya kembali dengan 

    diputar-putar ke samping atau di atas kepala. Ia pun 

    melangkah ke kiri dengan mata masih memandangi si 

    Bandot Sebrang. Luka di pipi dan dada tidak dihirau-

    kan. Ia masih kuat menahannya.

    Bandot Sebrang sendiri semakin geram melihat 

    lawannya sulit ditumbangkan. Dengan cepat ia melesat 

    maju sambil lecutkan cambuknya dalam dua kali sen-

    takan beruntun. Ctar, tar...!

    Di luar dugaan, cambuk tersebut mampu mele-

    cut dalam gerakan meliuk dari arah semestinya. Aki-

    batnya, kedua lecutan tersebut kenal lengan si pemu-

    da dan merobek pergelangan tangannya.

    "Aaow...!" pemuda itu terpekik karena luka 

    cambuk seperti luka bacokan senjata tajam. Kapaknya 

    jatuh ke tanah, karena pergelangan tangannya yang 

    robek mengerikan itu. Ia berusaha menyambar kapak-

    nya dengan sedikit membungkuk, tapi lecutan cambuk 

    maut si Bandot Sebrang kembali kenal punggungnya 

    dengan telak.

    Ctaaarr...!

    "Aaaaaahk...!" pemuda itu berteriak keras den-

    gan tubuh mengejang sesaat. Punggungnya robek ba-

    gaikan terkena tebasan pedang. Ia pun segera jatuh 

    tersungkur sambil mengerang panjang. Brruuk...!

    Bandot Sebrang sudah berdiri tiga langkah di 

    samping kanan pemuda itu.

    "Kini saatnya kepalamu menjadi penebus ke-

    matian cucuku, Jahanam! Heaaaah...!"

    Bandot Sebrang seperti orang tak kenal ampun 

    lagi. Cambuknya yang mempunyai ketajaman seperti 

    pedang itu dilecutkan ke leher pemuda tersebut untuk 

    memenggal kepala si pemuda. Namun baru saja ia 

    mengangkat cambuknya, tiba-tiba tubuhnya tersentak 

    ke belakang secara berkali-kali seperti ada yang me


    nendangnya secara beruntun. Bahkan suara dada di 

    tendang pun terdengar jelas di telinga Soka Pura.

    Druk, druk, druk, druk, druk...!

    Ploook...! Suara wajah disambar oleh tendangan 

    keras juga terdengar jelas di telinga Pendekar Kembar 

    bungsu. Anak muda berpedang kristal di pinggang ka-

    nan itu terbelalak dan terheran-heran melihat Bandot 

    Sebrang terlempar ke samping sejauh empat langkah. 

    Tentu saja Bandot Sebrang sendiri kebingungan men-

    cari lawan yang menyerangnya secara tiba-tiba itu.

    Bahkan ketika ia berusaha untuk bangkit, tiba-

    tiba tubuhnya tersentak ke belakang dengan keras 

    hingga terkapar menyedihkan.

    "Aaahk...!" Bandot Sebrang semburkan darah 

    dari mulutnya. Ia merasa menerima tendangan berte-

    naga dalam tinggi di dadanya, sehingga darahnya 

    muncrat dari mulut.

    "Celaka! Ada orang yang membantu si jahanam 

    itu! Tapi di mana dia?!" pikir Bandot Sebrang. Ia segera 

    bangkit untuk mencari penyerangnya. Tapi ia tidak 

    temukan siapa pun. Hanya saja, tiba-tiba perutnya 

    merasa disodok dengan telapak tangan dari bawah ke 

    atas. Seakan ada orang di depannya dalam jarak satu 

    langkah kurang. Paak...! Tubuh kakek berjubah hijau 

    lumut itu tersentak naik, darah pun muncrat kembali 

    dari mulutnya.

    Soka Pura yang tertegun bengong melihat nasib 

    si Bandot Sebrang segera ingat kekuatan ilmu 

    'Sentuhan Dewata' yang baru diperolehnya bersama si 

    Mata Bidadari. Dengan cepat wajah Soka berpaling 

    menatap Mata Bidadari.

    "Hei, kaukah yang melakukannya?!"

    Mata Bidadari berhenti, tapi pandangannya 

    masih tertuju kepada si Bandot Sebrang. Kakek itu ter-

    lempar kembali merasa ditendang dengan tenaga besar


    hingga tubuhnya terpental membentur pohon besar. 

    Duuuurr...! Pohon itu bergetar, daunnya berjatuhan.

    "Hentikan!" sentak Soka sambil mengguncang 

    pundak Mata Bidadari. "Hentikan tindakanmu, Tolol!"

    Wajah gadis itu dipaksakan berpaling ke arah-

    nya. Mata mereka saling bertatap tajam.

    "Jangan gunakan ilmu itu untuk campuri uru-

    san mereka, Bodoh!" hardik Soka dalam bisikan.

    "Dia ingin membunuh pemuda itu!"

    "Itu urusan dia!"

    "Tapi pemuda itu tidak membunuh cucu si 

    Bandot Sebrang! Pemuda itu sudah tak berdaya masih 

    ingin diserang juga!"

    "Itu urusan mereka, Bidadari! Kita belum tahu 

    persis siapa yang bersalah!"

    "Tap... tapi aku tak tega melihat pemuda itu 

    terluka sebegitu parah dan, oh... lihat! Dia sudah mu-

    lai sekarat!"

    Tubuh pemuda itu memang menyentak-

    nyentak dalam keadaan tengkurap. Darah mengalir de-

    ras dari punggungnya yang koyak lebar itu. Sedangkan 

    si Bandot Sebrang sudah tak tampak. Rupanya kakek 

    itu melarikan diri begitu sadar bahwa ia sekarang ber-

    hadapan dengan lawan yang tak bisa dilihat oleh mata 

    normal. Di samping itu, Bandot Sebrang merasa lu-

    kanya cukup parah, sehingga ia butuh tempat dan 

    waktu untuk sembuhkan luka dalam tersebut. Maka ia 

    lebih baik tinggalkan tempat daripada mati tanpa me-

    lihat rupa lawannya.

    Luka yang amat parah membuat pemuda itu 

    hampir saja kehilangan nyawanya. Beruntung sekali di 

    situ ada Pendekar Kembar bungsu yang mempunyai 

    jurus penyembuhan bernama 'Sambung Nyawa' itu. 

    Maka tangan Soka yang sudah memancarkan cahaya 

    ungu pijar itu ditempelkan ke tengkuk kepala si pemu


    da malang.

    Cahaya ungu dari perpaduan antara hawa 

    murni dengan tenaga inti gaib itu bagaikan meresap ke 

    dalam tubuh si pemuda. Tubuh tersebut akhirnya juga 

    memancarkan cahaya ungu pijar bagaikan fosfor. Se-

    kalipun telapak tangan Soka sudah tidak menempel di 

    tengkuk pemuda itu dan cahaya ungunya sudah pa-

    dam, namun tubuh tersebut masih memancarkan ca-

    haya ungu pijar sebagai proses penyembuhan luka-

    lukanya.

    Mata Bidadari berdiri di bawah pohon tak jauh 

    dari tempat si pemuda tengkurap di tanah. Wajah ga-

    dis itu tampak cemas dan menaruh rasa iba melihat 

    keadaan si pemuda. Soka dekati Mata Bidadari dan 

    berkata dengan suara sedikit geram.

    "Kau naksir pemuda itu, ya?!"

    "Hmmm...!" Mata Bidadari mendengus sambil 

    melengos. Wajahnya berubah menjadi cemberut.

    "Tindakanmu menyerang Bandot Sebrang den-

    gan ilmu 'Sentuhan Dewata', seperti orang yang tak re-

    la melihat kekasihnya tewas di pertarungan."

    "Jangan picik otakmu!" sentak Mata Bidadari 

    dengan ketus. "Aku hanya tak tega melihat keadaan-

    nya yang sudah parah masih mau diserang juga! Tak 

    ada maksud apa pun di balik tindakanku tadi!"

    Sambil menunggu proses penyembuhan si pe-

    muda baju biru itu, Soka Pura sengaja menggoda Mata 

    Bidadari dengan senyum kecurigaan.

    "Kukira kau terpikat padanya dan tak ingin ia 

    tewas di tangan Bandot Sebrang."

    "Kau pikir dia lebih menarik daripada dirimu?"

    "Apakah tidak begitu?"

    "Tidak!" ketus Mata Bidadari. Soka Pura terta-

    wa dalam gumam pelan. Si gadis cepat berpaling me-

    natap Soka.


    "Kuharap jangan punya prasangka seperti itu, 

    Soka! Kau pikir aku mudah tertarik pada seorang pe-

    muda?"

    "Buktinya kau tertarik padaku."

    "Karena kau nakal dan usil!" Mata Bidadari 

    mengulum senyum sambil buang pandangan ke arah 

    lain.

    "Jadi kau...." Soka Pura tak jadi lanjutkan uca-

    pannya, karena ia segera melihat si pemuda baju biru 

    itu mulai menggeliat dan mengerang pelan. Erangan 

    itu bukan erangan kesakitan, namun erangan seperti 

    orang baru bangun dari tidur nyenyaknya.

    Pemuda tersebut terkejut memandang ke arah 

    Soka Pura dan Mata Bidadari. Lebih terkejut lagi sete-

    lah ia sadari bahwa luka-lukanya sudah merapat dan 

    pulih seperti sediakala, tanpa bekas apa pun kecuali 

    lumuran darah. Rasa sakit sama sekali tak dirasakan

    lagi. Bahkan tubuhnya merasa segar dan kekuatannya 

    pulih kembali. Ia juga meraba pipinya, ternyata mulus 

    kembali tanpa luka bakar seujung jarum pun.

    "Ajaib sekali?!" gumam hati pemuda itu. "Siapa 

    yang menolongku? Mereka berdua itukah yang sela-

    matkan nyawaku dan sembuhkan luka secara ajaib 

    ini?"

    Pemuda berambut ikal segera bangkit men-

    gambil kapaknya. Kemudian la sengaja melangkah te-

    mui Soka dan Mata Bidadari di bawah pohon teduh.

    "Kaliankah yang mengobati lukaku?" tanyanya 

    dengan sikap ramah dan bersahabat.

    "Ya, kami yang selamatkan nyawamu!" Jawab 

    Soka Pura. Sementara itu, si Mata Bidadari hanya ber-

    sikap tenang, sesekali memandang ke arah lain, sese-

    kali tertuju pada pemuda tersebut.

    "Jika begitu, kuucapkan terima kasih banyak 

    kepada kalian atas pertolongan kalian yang telah sela


    matkan nyawaku dari amukan si Bandot Sebrang ta-

    di!"

    "Aku melihat pertarungan mu dengan kakek 

    tua tadi."

    "Bandot Sebrang nama orang Itu!" jelas si pe-

    muda.

    "Ya, aku tahu namanya Bandot Sebrang, kare-

    na kau tadi sempat menyebutkannya. Tapi kami belum 

    tahu namamu, Sobat!"

    "Namaku, hmm.... Surogoto. Hmm, ya.... Suro-

    goto itu namaku," Jawab si pemuda agak grogi, karena 

    ekor matanya menangkap seraut wajah cantik dengan 

    daya tarik sangat kuat pada mata. Wajah cantik itu 

    milik si Mata Bidadari yang berdiri di samping Soka 

    Pura, sedikit ke belakang.

    "Namaku sendiri.... Soka Pura, dan ini... pasan-

    gan ku: si Mata Bidadari!"

    Gadis itu menggerutu lirih, "Pasangan, pasan-

    gan...! Apa dikiranya sandal jepit?! Pakai istilah pasan-

    gan segala?!".

    Soka Pura geli dalam hati, terwujud dalam se-

    nyum tipis yang ditahan agar tidak menjadi tawa. Su-

    rogoto pun tersenyum walau tak mendengar Jejas ge-

    rutuan Mata Bidadari, tapi ia anggukkan kepala sedikit 

    bungkukkan badan sebagai tanda menghormat dalam 

    perkenalan tersebut.

    "Namaku.... Surogoto, Nona!"

    "Masa bodoh!" ucap Mata Bidadari dengan lirih. 

    hanya Soka yang mendengarnya.

    "Kalau boleh ku tahu, kau dari mana dan mau 

    ke mana, Surogoto?!" tanya Soka Pura alihkan suasa-

    na menjadi lebih serius sedikit.

    "Aku, hmmm... sebenarnya aku tinggal tak jauh 

    dari sini. Masih termasuk orangnya Ratu Sedap Malam 

    yang bertugas di tapal batas wilayah utara sana."


    "Ooo...!" Soka Pura manggut-manggut.

    "Aku baru saja dari pesanggrahan dan ingin 

    kembali ke tempat jaga ku. Tiba-tiba aku diserang oleh 

    Bandot Sebrang dengan tuduhan memenggal kepala 

    cucunya yang bernama: Sindarwati."

    "Apakah Sindarwati itu orangnya Ratu Sedap 

    Malam juga?" tukas Pendekar Kembar bungsu.

    "Benar. Sindarwati bergabung dengan pihak 

    pesanggrahan beberapa bulan yang lalu. Waktu tadi 

    kutemukan kepala Sindarwati tertancap pada bambu 

    dan dipajang di pantai. Saat itulah si Bandot Sebrang 

    muncul dan menyangka diriku yang memenggal kepala 

    Sindarwati."

    "Ooo...?!" Soka manggut-manggut lagi. Tapi 

    manggut-manggutnya segera dihentikan setelah sadari 

    apa yang dikatakan Surogoto. Wajah Soka Pura mulai 

    tegang.

    "Ja... jadi sekarang ada korban terpenggal la-

    gi?!"

    "Benar. Aku tak sempat memberitahukan ke-

    pada Nyai Ratu karena belum-belum sudah diserang 

    oleh Bandot Sebrang. Jika kau ingin melihatnya, pergi-

    lah ke pantai, maka kau akan menemukan kepala Sin-

    darwati. Aku harus segera kembali ke tempat penja-

    gaanku."

    "Celaka! Pasti si Dewa Pancung lagi pela-

    kunya?" gumam Mata Bidadari dengan tegang. Tanpa 

    pamit apa pun kepada Surogoto, Mata Bidadari mele-

    sat pergi ke arah pantai. Mau tak mau Soka Pura ha-

    rus segera menyusulnya, setelah lebih dulu pamit ke-

    pada Surogoto dan Surogoto pun bergegas pergi ke 

    arah lain.

    Mata Bidadari dan Soka Pura menelusuri pan-

    tai. Tapi mereka tidak temukan kepala Sindarwati. 

    Hanya saja, mereka segera menemukan sebatang


    bambu hijau yang bagian atasnya runcing dan masih 

    berlumur darah. Agaknya bambu itulah yang dipakai 

    untuk menancapkan kepala Sindarwati.

    "Masih basah sekali darahnya. Berarti keja-

    diannya belum lama ini, Soka!" ujar Mata Bidadari 

    sambil memeriksa darah yang melumuri bambu terse-

    but.

    "Ya, darah ini memang masih segar. Berarti 

    Dewa Pancung ada di sekitar tempat ini! Aku akan 

    mencarinya, Bidadari."

    "Tunggu!" sergah Mata Bidadari. "Bagaimana 

    dengan kepalanya Sindarwati itu? Bukankah kepala 

    itu tak ada di bambu ini?"

    "O, ya. Benar!" ujar Soka terperangah, seperti 

    baru saja teringat sesuatu yang nyaris terlupakan.

    "Ke mana kepala itu? Ke mana pula raga si Sin-

    darwati?" sambung Soka seperti bertanya pada diri 

    sendiri.

    *

    * *

    5


    TIDAK ada langkah yang lebih baik kecuali pu-

    lang ke pesanggrahan secepatnya, dan memberitahu-

    kan kepada Ratu Sedap Malam bahwa seorang gadis 

    dari pesanggrahan tewas terpenggal lagi. Namun 

    alangkah terkejutnya Soka Pura dan Mata Bidadari ke-

    tika tiba di pesanggrahan, ternyata suasana di sana 

    sudah menjadi heboh. Kepala Sindarwati sudah ada di 

    pesanggrahan bersama raganya dalam keadaan terpi-

    sah.

    "Ke mana saja kau?! Kalau sudah bersama gadis cantik selalu melantur terus kerjamu! Kebiasaan!" 

    omel Raka Pura begitu bertemu dengan adik kembar-

    nya.

    "Kepalamu bopak!" maki Soka Pura bersungut-

    sungut. "Aku bukan melantur, tapi hampir saja mati 

    kena racunnya si Dewa Pancung bersama Mata Bida-

    dari! Kalau tidak ditolong oleh Dedengkot Iblis kau su-

    dah tak bisa bertemu denganku lagi, tahu?!"

    "Dedengkot Iblis?!" Raka Pura terkejut. "Kau di-

    tolong oleh Dedengkot Iblis?!"

    Tentu saja Pendekar Kembar sulung terheran-

    heran mendengar pengakuan adiknya. Hampir saja ia 

    tak mempercayai kata-kata Soka Pura, karena ia ingat 

    mereka berdua pernah diserang habis-habisan oleh 

    Dedengkot Iblis. Jika si Mata Bidadari tidak menceri-

    takan kejadian yang sebenarnya, mungkin Raka tak 

    akan pernah percaya bahwa Dedengkot Iblis berbalik 

    sikap memihaknya.

    Soka Pura dan Mata Bidadari semakin terpe-

    ranjat kaget ketika mereka menemukan seraut wajah 

    di antara orang-orang yang mengerumuni mayat Sin-

    darwati. Soka Pura sempat beradu pandang dengan 

    Mata Bidadari sebagai tanda sama-sama merasa he-

    ran.

    "Dia...?!" Mata Bidadari nyaris tak bisa bicara. 

    Tapi Raka Pura segera tanggap dengan orang yang di-

    maksud Mata Bidadari itu.

    "Ada apa?! Mengapa kalian terheran-heran me-

    lihat kakek berjubah hijau itu?!"

    "Ap... apakah kau kenal dengannya, Raka?" 

    tanya Soka Pura.

    "Baru saja aku dikenalkan dengannya oleh Nyai 

    Ratu. Dia adalah kakeknya si gadis yang menjadi kor-

    ban kali ini. Kudengar Nyai Ratu menyebut namanya: 

    Bandot Sebrang."


    Tentu saja Soka dan Mata Bidadari menjadi 

    terheran-heran karena tak menyangka bahwa Bandot 

    Sebrang ternyata kenal baik dengan Ratu Sedap Ma-

    lam. Rupanya kakek berjubah hijau itu sedang dalam 

    perjalanan menuju ke pesanggrahan ketika ia memer-

    goki cucunya dibantai oleh si pemuda berpakaian ser-

    ba biru yang mengaku bernama Surogoto tadi. Mata 

    Bidadari tampak lebih tegang dan cemas dibanding 

    Soka, karena gadis itu tadi secara diam-diam menye-

    rang Bandot Sebrang. Ia merasa berdosa, karena ter-

    nyata Bandot Sebrang adalah tokoh aliran putih yang 

    memihak Ratu Sedap Malam.

    "Jangan ceritakan apa yang telah kulakukan 

    padanya tadi, Soka!" bisik Mata Bidadari membuat So-

    ka Pura nyaris tertawa geli memandang ketegangan 

    wajah gadis itu.

    "Bagaimana kalau kuceritakan kepada gurumu: 

    Nyai Sangkal Putung itu?" goda Soka.

    "Jangan gila kau! Lihat saja hubungan mereka 

    itu, tampak akrab sekali. Ternyata guruku adalah sa-

    habat si Bandot Sebrang! Sial! Menyesal sekali tadi aku 

    ikut menyerangnya secara sembunyi-sembunyi!" geru-

    tu Mata Bidadari.

    Ketika mereka sudah diperkenalkan kepada si 

    Bandot Sebrang, Soka Pura segera ajukan tanya kepa-

    da si jubah hijau yang wajahnya berkesan angker itu.

    "Apakah... apakah benar Ki Bandot Sebrang 

    melihat sendiri pemenggalan ini dilakukan oleh pemu-

    da berbaju biru yang bernama Surogoto itu?!"

    "Aku melihatnya sendiri dari kejauhan. Tapi 

    aku datang terlambat!" jawab Bandot Sebrang dengan 

    nada sedih.

    "Jadi bukan si Dewa Pancung yang memenggal 

    kepala Sindarwati ini?!" tanya Mata Bidadari.

    Ratu Sedap Malam dan yang lainnya saling


    pandang. Nyai Sangkal Putung segera perdengarkan 

    suaranya kepada Mata Bidadari dan Soka Pura.

    "Kau dan Soka pergi terlalu lama, sehingga tak 

    tahu bahwa Dewa Pancung sudah tewas dengan kepala 

    terpenggal juga!"

    "Ooh...?!" Soka dan Mata Bidadari sama-sama 

    terkejut.

    "Siapa yang membunuhnya, Nyai?" tanya Soka.

    "Yang membunuhnya adalah kepala Suku Am-

    par, sedangkan yang menangkapnya adalah kakakmu 

    sendiri dan Kirana!" jawab Nyai Sangkal Putung.

    "Suku Ampar...?!" Soka Pura sempat heran 

    mendengar Suku Ampar terbawa-bawa dalam kasus 

    tersebut. Kemudian, Lahar Jalanan menjelaskan selu-

    ruh peristiwa penangkapan Dewa Pancung sampai pa-

    da kematian si mata-mata cantik: Bintari.

    Rangkaian cerita itu disimpulkan oleh Soka Pu-

    ra, bahwa pada saat ia dan Mata Bidadari diserang 

    oleh Dewa Pancung, saat itu sebenarnya yang ditemui 

    Bintari bukan Prapanca, melainkan si Dewa Pancung. 

    Mungkin setelah lakukan pertemuan dengan Dewa 

    Pancung untuk memberitahukan keadaan di pe-

    sanggrahan yang banyak tamu itu, Bintari bertemu 

    dengan Prapanca. Mereka segera bentrok, karena Pra-

    panca tak mau layani gairah Bintari, sampai akhirnya 

    Soka dan Mata Bidadari muncul meleraikan bentrokan 

    tersebut, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: 

    "Geger Pantai Rangsang").

    Bandot Sebrang berujar kepada Soka, "Aku ti-

    dak tahu siapa nama pemuda itu, karena aku baru se-

    kali melihatnya. Yang jelas aku kecewa sekali tak bisa 

    ganti memenggal kepalanya karena ia mempunyai te-

    man yang tak bisa dilihat. Semacam hantu yang me-

    mihaknya, dan menghalangiku saat akan memenggal 

    kepalanya dengan cambuk ku. Aku segera lari karena


    aku terluka berbahaya. Setelah tiba di sini dan menye-

    rahkan jenazah cucuku kepada Ratu, kuobati sendiri 

    lukaku ini! Tapi aku masih simpan dendam padanya 

    dan belum puas hatiku jika belum melihat kepalanya 

    terpenggal."

    Bandot Sebrang mendengar ada keributan di 

    Pantai Rangsang. Ia mengkhawatirkan keselamatan 

    cucunya: Sindarwati. Karenanya ia bermaksud untuk 

    datang ke pesanggrahan sang Ratu Sedap Malam un-

    tuk ikut menghalau keributan di sana. Tapi ternyata ia 

    justru melihat sendiri cucunya dipenggal oleh kapak 

    Surogoto.

    "Pemuda Itu pasti orangnya Raja Amuk Jagal," 

    ujar Raka Pura.

    "Hmmm, Jadi si Amuk Jagal yang sengaja bikin 

    geger di sini?" geram tokoh tua dari Pulau Sebrang itu. 

    Kemudian Nyai Sangkal Putung segera beberkan se-

    muanya tentang bahaya maut dari Raja Amuk Jagal 

    yang akan menyerang pesanggrahan Pantai Rangsang.

    Mendengar penjelasan itu, Bandot Sebrang 

    yang berdiri berseberangan dengan Soka Pura segera 

    berkata dengan nada berang.

    "Keparat si Amuk Jagal itu! Esok pagi aku akan 

    berangkat ke Pulau Kucil untuk bikin perhitungan

    sendiri padanya!"

    "Itu berbahaya, Bandot Sebrang," ujar Lahar 

    Jalanan yang juga kenal baik dengan Bandot Sebrang. 

    "Sekarang si Amuk Jagal mempunyai pusaka Sabuk 

    Neraka yang cukup dahsyat itu!"

    "Omong kosong! Tak mungkin ia memiliki Sa-

    buk Biang Neraka, karena sabuk itu hanya ada pada 

    dongeng-dongeng masa lalu! Mengapa kau mudah per-

    caya dengan kabar seperti itu, Lahar Jalanan?!"

    "Karena orangnya sendiri yang bercerita kepada 

    anak buahku, Paman Bandot Sebrang!" sela sang Ratu.

    "Aku tak percaya! Cerita itu sengaja dikarang 

    oleh orangnya Amuk Jagal untuk menakut-nakuti kita, 

    Sedap Malam! Siapa yang bilang Amuk Jagal punya 

    pusaka Sabuk Biang Neraka?!"

    "Laksamada...," jawab Ratu Sedap Malam, ke-

    mudian menuturkan kembali apa yang pernah ditu-

    turkan oleh Umbari.

    "Jadi kapan si Raja Amuk Jagal itu akan da-

    tang kemari, Nyai Ratu?" tanya Soka Pura yang masih 

    berdiri di samping Mata Bidadari, sementara Raka ber-

    diri di samping Kirana.

    "Umbari tidak sebutkan kapan Raja Amuk Jag-

    al menyerang kemari! Itu repotnya. Jika kita tahu ka-

    pan serangan itu akan datang kita dapat persiapkan 

    diri sedini mungkin!"

    "Pada saat kita merasa jenuh bersiap diri, saat 

    itulah ia akan datang. Tapi semasa kita belum jenuh 

    bersiap diri, dia tak akan datang!" ujar Lahar Jalanan.

    "Dari mana dia tahu kalau kita jenuh bersiap 

    diri?"

    "Mungkin saja pemuda yang bernama Laksa-

    mada atau Runggana memberitahukan kapan saat 

    yang bagus untuk menyerang bagi pihak Amuk Jagal!" 

    jawab Ki Sela Giri, alias si Lahar Jalanan.

    "Jika begitu kita harus mencari Laksamada 

    atau Runggana!" sela Raka Pura. Sang adik kembar 

    pun menimpali.

    "Setuju! Aku akan cari dia dan mendesaknya 

    agar memberi tahu kapan saatnya penyerangan itu ti-

    ba!"

    Mata Bidadari berani bicara kepada Ratu Sedap 

    Malam, setelah selama ini hanya diam saja menjadi 

    pendamping gurunya. Rasa gembiranya berdampingan 

    dengan Pendekar Kembar bungsu membuatnya berani


    angkat bicara di depan sang Ratu dan para tamu lain-

    nya.

    "Nyai Ratu, bisakah kami bertemu dengan Um-

    bari?!"

    "Untuk apa?!"

    "Ia harus antar kami temui si Laksamada itu!"

    "Sebaiknya biar aku dan Soka Pura saja yang 

    menemui Laksamada!" ujar Pendekar Kembar sulung. 

    Semua diam, saling memandang Pendekar Kembar.

    Pada mulanya Umbari merasa keberatan untuk 

    memberi tahu tempat persembunyian Laksamada dan 

    Runggana. Ia takut nyawanya melayang jika sampai 

    Laksamada dan Runggana mengetahui tindakannya. 

    Tetapi kedua pemuda kembar yang sama-sama tam-

    pan itu membujuknya dengan berbagai cara, akhirnya 

    Umbari menyerah juga. Ia yakin kedua pemuda kem-

    bar itu akan melindungi nyawanya dari ancaman maut 

    Laksamada dan Runggana.

    "Aku tidak bisa memberikan petunjuk secara li-

    san saja. Bahkan digambarkan dalam sebuah denah 

    pun tak mungkin bisa kalian temukan," ujar Umbari.

    "Jadi harus bagaimana?" tanya Raka Pura.

    "Aku harus memandu kalian sampai ke tempat 

    tersebut. Tapi aku hanya akan sampai kaki bukit saja! 

    Selanjutnya kalian berdua yang menangani mereka!"

    "Itu gagasan yang cantik sekali, secantik wa-

    jahmu, Umbari," ujar Soka Pura memuji. Sang kakak 

    menyodokkan siku dengan pelan ke pinggang adiknya.

    "Ini bukan saatnya merayu, Soka!" bisik Raka 

    dalam hardikan. Soka Pura hanya cengar-cengir sam-

    bil mengedipkan mata kirinya kepada sang kakak. 

    Sang kakak hanya bersungut-sungut dengan gerutu 

    tak jelas.

    Tanpa pamit kepada Kirana, juga tanpa bilang-

    bilang kepada si Mata Bidadari, Pendekar Kembar akhirnya pergi ke tempat persembunyian Laksamada 

    dengan dipandu oleh Umbari. Mereka hanya meminta 

    izin kepada Ratu Sedap Malam dan Ki Sela Giri alias si 

    Lahar Jalanan.

    Rupanya Laksamada mempunyai tempat per-

    sembunyian di sebuah gua di lereng bukit. Bukit itu 

    tak jauh dari tebing karang yang di bawahnya terdapat 

    gua sebagai tempat tinggal si Dedengkot Iblis. Karena 

    dari kaki bukit tersebut, mereka dapat melihat pantai 

    dan tebing karang tersebut walau gua di bawah tebing 

    itu tak terlihat dengan jelas.

    Umbari hentikan langkahnya saat Pendekar 

    Kembar ingin mendaki lereng bukit itu. Berhentinya 

    langkah Umbari mengundang perhatian Raka dan So-

    ka, sehingga kedua pemuda berperawakan tinggi dan 

    gagah itu menatap Umbari dengan dahi berkerut.

    Soka mendekati Umbari beberapa langkah. 

    "Mengapa berhenti?"

    "Sudah dekat dengan gua tempat mereka ber-

    sembunyi!" jawab Umbari dengan wajah memancarkan 

    kecemasan.

    "Di mana gua itu berada?"

    Umbari menunjuk ke satu arah. "Kau melihat 

    dua batu besar berjajar sama-sama condong ke timur 

    itu?"

    Raka Pura ikut-ikutan memandang ke arah 

    yang dimaksud, seperti yang dilakukan oleh adiknya. 

    mereka sama-sama menggumam tanda mengerti arah 

    yang dimaksud Umbari.

    "Di balik kedua batu itu ada gua kecil, namun 

    bagian dalamnya lebar. Di sanalah mereka bersem-

    bunyi selama ini. Tapi...," Umbari hentikan kata seke-

    jap.

    "Kau tak usah takut!" ujar Soka. "Aku akan ke 

    sana bersama kakakku, sedangkan kau tetaplah ting


    gal di sini. Bersembunyilah dl atas pohon, biar tak 

    mudah dilihat oleh siapa pun."

    "Tak perlu takut, Umbari," timpal Raka.

    "Bukan soal takut atau tidak takut," sangkal 

    Umbari. "Tapi lihatlah ke arah pantai itu!"

    Dari tempat mereka berdiri memang bisa me-

    mandang ke arah pantai berpasir putih. Pendekar 

    Kembar segera layangkan pandangan matanya ke arah 

    pantai, mengikuti arah telunjuk Umbari. Ternyata di 

    sana ada dua orang yang sedang bercakap-cakap den-

    gan serius. Mereka adalah dua pemuda yang usianya 

    sebaya.

    Yang satu mengenakan pakaian serba biru 

    dengan senjata kapak dua mata tergenggam di tangan 

    kanan. Pemuda yang satunya lagi berpakaian serba hi-

    tam, namun tampak rapi. Rambutnya sedikit panjang, 

    tak sampai sepundak. Mengenakan ikat kepala merah 

    darah. Bajunya yang berlengan buntung tampak ketat 

    membentuk kegempalan tubuhnya yang kekar.

    "Pemuda itulah yang bertarung dengan Ki Ban-

    dot Sebrang!" ujar Soka Pura seperti bicara sendiri.

    "Rundukkan kepala kalian!" sergah Umbari saat 

    ia melihat si pemuda berbaju hitam itu ingin menga-

    rahkan pandangannya ke tempat mereka berada. Den-

    gan merendahkan badan, berlindung di balik pepoho-

    nan, mereka masih bisa melihat keadaan kedua pemu-

    da itu dari tempat tersebut.

    "Yang berpakaian biru itu bernama Laksama-

    da!" ujar Umbari.

    "Kalau begitu benar juga apa kata Ki Bandot 

    Sebrang; pemuda itu adalah si Laksamada, yang me-

    menggal cucunya!" bisik Soka Pura.

    "Lalu, yang berpakaian hitam dan bersenjata 

    samurai di punggungnya itu apakah yang bernama 

    Runggana?!" tanya Raka kepada Umbari.


    "Benar! Dialah yang bernama Runggana!"

    Sementara si Pendekar Kembar sulung mang-

    gut-manggut dan menggumam lirih, Soka Pura per-

    dengarkan suaranya dengan pelan.

    "Kalau begitu kita tak perlu repot-repot mencari 

    tempat persembunyian mereka! Kita hampiri mereka 

    sekarang juga, Raka!"

    "Baik! Bersiaplah, Soka!"

    "Tunggu dulu!" sergah Umbari. Tanpa sadar 

    tangannya menahan lengan Raka yang ingin bangkit.

    "Tampaknya ada sesuatu yang ingin mereka la-

    kukan dl sana," sambung Umbari. "Kita lihat dulu apa 

    yang ingin mereka lakukan itu?!"

    "Mungkin mereka ingin lakukan latihan!" bisik 

    Soka Pura.

    "Mengapa hanya Laksamada sendiri yang ingin 

    lakukan gerakan. Kita lihat dulu, Soka!" ujar kakak-

    nya.

    Pemuda berpakaian serba biru itu jauhi teman-

    nya beberapa langkah. Kemudian dengan mengguna-

    kan kapaknya, pemuda tersebut lakukan gerakan ce-

    pat, seperti jurus pembuka untuk menyerang seorang 

    lawan. Namun tiba-tiba kapak berpindah ke tangan ki-

    ri, kemudian disentakkan lurus ke atas. Telapak tan-

    gan kanan pemuda itu menghantam bagian bawah ga-

    gang kapak tersebut. Wuuut, dees...!

    Pendekar Kembar dan Umbari sedikit terperan-

    jat begitu melihat sinar merah lurus yang melesat dari 

    pertengahan kedua mata kapak tersebut. Sinar itu 

    berbentuk bintang bertangkai panjang yang melesat 

    bagai ingin menembus langit. Sampai di ketinggian ter-

    tentu, sinar merah berbentuk bintang itu menyebar 

    menjadi butiran-butiran kecil bagai kembang api, di-

    awali dengan letupan kecil yang sangat pelan sekali. 

    Tuuus...! Zrrraak...!

    Pendekar Kembar dan Umbari terkesima sesaat. 

    Bunga-bunga api yang menyebar di langit itu dan tam-

    pak merimbun indah bagai daun-daun pohon yang 

    membentuk payung.

    Tiba-tiba Raka Pura dapatkan kesimpulan yang 

    sedikit menegangkan hatinya.

    "Kurasa ia bukan lakukan latihan, Soka!"

    "Lalu, apa yang ia lakukan dengan cara begitu, 

    sementara di langit tidak ada lawan siapa pun?!"

    "Kurasa itu hanya sebuah isyarat untuk seseo-

    rang!"

    "Isyarat...?!" Soka Pura menggumam pelan. Ma-

    tanya masih memandang ke arah dua pemuda di pan-

    tai yang kini saling memandang ke arah cakrawala.

    "Mungkin si Laksamada memberikan isyarat 

    kepada orang yang ada di tengah lautan. Entah apa ar-

    ti sinar merah itu, yang jelas ia mencoba berhubungan 

    dengan seseorang melalui sinar tersebut," Raka menje-

    laskannya dengan suara pelan juga.

    Sinar tersebut telah lenyap, tapi pandangan 

    mata kedua pemuda di pantai masih diarahkan ke ten-

    gah lautan. Seolah-olah mereka menunggu jawaban 

    dari tengah lautan itu, Sedangkan di tengah lautan tak 

    terlihat seseorang berdiri di sana, atau sebuah kapal 

    yang sedang berlayar melintasi cakrawala.

    "Hei, lihat! Ada sinar hijau yang melesat ke lan-

    git di seberang sana!" ujar Umbari bernada tegang.

    Sinar hijau yang dimaksud Umbari itu menye-

    rupai sinar merahnya Laksamada tadi. Di angkasa si-

    nar itu mengembang berbintik-bintik mirip kembang 

    api, indah sekali.

    "Balasan...," ujar Raka Pura menggumam lirih.

    "Balasan bagaimana maksudmu?" tanya Soka.

    "Sinar hijau itu pasti merupakan isyarat bala-

    san yang artinya... kurasa hanya mereka berdua yang


    mengetahui artinya!"

    Ternyata jauh di seberang lautan sana terdapat 

    sebuah titik hitam sangat kecil. Titik hitam itu segera 

    disimpulkan oleh Pendekar Kembar sebagai sebuah 

    kapal yang letaknya amat jauh. Kapal atau perahu 

    yang ada di kejauhan sana diduga adalah tempat si 

    Raja Amuk Jagal dan pengikutnya menunggu aba-aba 

    untuk bergerak menyerang ke Pantai Rangsang. Pen-

    dekar Kembar tak tahu dengan pasti, apakah sinar 

    merahnya Laksamada itu adalah aba-aba untuk me-

    nyerang atau menunda serangan mereka, yang jelas 

    Pendekar Kembar segera bergegas menuju ke pantai, 

    temui kedua pemuda tersebut.

    "Kau kembali ke pesanggrahan, Umbari!" ujar 

    Raka sebelum bergerak. "Katakan kepada Ratu Sedap 

    Malam dan yang lainnya agar menambah kewaspadaan 

    dan penjagaan diperketat lagi. Ceritakan apa yang kita 

    lihat dari sini dan apa yang ku simpulkan tadi!"

    "Akan kusampaikan pesanmu!" jawab Umbari 

    tegas, kemudian gadis cantik itu melesat lebih dulu 

    sebelum Pendekar Kembar bergegas ke pantai.

    Setelah merasa yakin gerakan Umbari tidak di-

    ketahui oleh Laksamada ataupun Runggana, Pendekar 

    Kembar pun segera temui kedua pemuda tersebut. So-

    ka Pura tampil lebih dulu, sementara Raka Pura ber-

    sembunyi di balik dua pohon kelapa yang tumbuh me-

    rapat.

    "Surogoto!" sapa Soka Pura mengingat Laksa-

    mada perkenalkan dirinya secara baik-baik dengan 

    nama Surogoto.

    Laksamada terperanjat melihat kehadiran Soka 

    Pura, demikian pula halnya dengan Runggana. Tetapi 

    rasa kaget Laksamada segera dapat ditutupi dengan 

    tawa ramah yang tampak dipaksakan itu.

    "Hei, Soka Pura... hah, hah, hah, hah! Tak ku


    sangka kita bertemu lagi, Soka!" sambil Laksamada 

    mendekat dan menepuk pundak Soka dengan keakra-

    ban yang dipaksakan juga. Pada waktu itu, diam-diam 

    Soka memperhatikan Runggana yang hampir saja tan-

    gannya bergerak mencabut samurainya karena merasa 

    kedatangan tamu tak diundang yang sangat mencuri-

    gakan. Tetapi begitu melihat Laksamada bersikap ra-

    mah kepada Soka, maka Runggana pun urungkan 

    niatnya dan ikut-ikutan bersikap ramah walau se-

    nyumnya terkesan kaku.

    "Soka Pura, perkenalkan ini sahabatku yang 

    bernama... hmmm... yang bernama Badayun! Heh, 

    heh, heh, heh... namanya memang lucu. Badayun!"

    Runggana sempat kelihatan bingung. Mungkin 

    ia belum tahu apa maksud Laksamada memperkenal-

    kan diri dengan nada Badayun. Tapi begitu Laksamada 

    kedipkan mata kepadanya dengan tetap tertawa, maka 

    Runggana pun berlagak tersipu malu sambil sedikit 

    bungkukkan badan, membalas sikap hormat yang di-

    lakukan oleh Soka Pura.

    "Benar. Namaku memang Badayun!" ujarnya 

    pelan.

    "Senang sekali hatiku mendapat seorang saha-

    bat satu lagi, Badayun," ujar Soka dengan kalem, tak 

    menunjukkan kejanggalan sedikit pun.

    "Hei, mengapa kau tak bersama gadismu yang 

    kemarin? Siapa dia namanya...?!"

    "Mata Bidadari!"

    "O, ya! Si Mata Bidadari! Ke mana dia? Menga-

    pa tidak bersamamu?"

    "Kami berpisah!" jawab Soka sambil masih le-

    barkan senyumannya.

    Laksamada menyahut, "Sayang sekali! Seha-

    rusnya gadis secantik dia jangan sampai berpisah da-

    rimu Walau hanya sekejap."


    Laksamada mendekatkan wajah bernada bisik, 

    "Kalau dia disambar pemuda lain, kau bisa mati bu-

    nuh diri!" kemudian tawanya menghambur ditimpali 

    oleh tawa Runggana. Soka Pura ikut-ikutan berlagak 

    geli dengan tawanya yang tak kalah meriah.

    "Surogoto, apa yang kau lakukan di sini?!" 

    tanya Soka setelah tawa mereka berhenti.

    "Hmmm, eeh...."

    "Kami sedang mencari seorang teman yang tadi 

    kami lihat ada di sini!" sahut Runggana ketika Laksa-

    mada tampak menggeragap. "Ia tahu-tahu hilang begi-

    tu saja tanpa ada jejaknya yang bisa kami ikuti."

    "Siapa teman yang kau maksudkan itu, Ba-

    dayun?!"

    "Hmmm... hmmm...." Runggana ganti mengge-

    ragap. Laksamada buru-buru menutupi dengan jawa-

    bannya.

    "Sulaksana! Heh, heh, heh... namanya lucu ju-

    ga, bukan?! Tapi memang itulah nama teman yang se-

    dang kami cari. Sulaksana!"

    Tentu saja Soka Pura tahu persis bahwa nama 

    itu hanya sebuah nama palsu yang dikarang dalam 

    waktu singkat. Tapi Soka Pura berlagak tidak menge-

    tahui tipuan tersebut.

    "Kau sendiri sedang apa di daerah pantai ini, 

    Soka?" Laksamada ganti bertanya.

    "O, aku...?! Aku sama juga dengan kalian, se-

    dang mencari dua orang yang selama ini selalu meng-

    hilang di sekitar pantai ini."

    "Siapa dua orang yang kau cari itu? Barangkali 

    aku atau Badayun mengenal nama orang tersebut?!"

    "Hmmm... orang yang kucari itu adalah Laksa-

    mada dan Runggana!"

    "Ooh...?!" Runggana tampak terperanjat kaget, 

    demikian halnya dengan Laksamada. Namun pemuda


    berbaju biru itu masih bisa menutupi kekagetan mere-

    ka dengan tawa terkesan cengar-cengir hambar itu.

    "Ehh, sayang sekali kami merasa asing dengan

    kedua nama itu, Soka!" ujar Laksamada dengan cepat. 

    Lalu ia bicara kepada Runggana.

    "Kita belum pernah kenal dengan kedua nama 

    itu, bukan?"

    "Belum! Ya, memang belum!" jawab Runggana. 

    Kemudian ia bertanya kepada Soka.

    "Kalau boleh ku tahu, untuk apa kau mencari 

    kedua orang tersebut? Apakah mereka sahabatmu?"

    "Ya, mereka sahabatku!" jawab Soka tegas. "Me-

    reka adalah mata-mata dari Pulau Kucil yang dita-

    namkan oleh Raja Amuk Jagal untuk menciptakan ke-

    kacauan di Pulau Rangsang ini!"

    Soka Pura sengaja beberkan apa yang diketa-

    huinya, membuat Laksamada dan Runggana menjadi 

    salah tingkah, serba kikuk dalam bersikap.

    "Belakangan ini, setelah Dewa Pancung tewas, 

    mereka bikin kehebohan sendiri dengan melakukan 

    pemenggalan kepala terhadap orang-orangnya Ratu 

    Sedap Malam," tambah Soka dengan kalem. "Tapi me-

    reka belum tahu bahwa Ratu Sedap Malam tidak sen-

    dirian. Banyak pihak yang membela Ratu Sedap Ma-

    lam, sehingga mau tak mau nyawa Laksamada dan 

    Runggana terancam modar! Mungkin dalam waktu tak 

    lama lagi, jika mereka tidak segera tinggalkan Pantai 

    Rangsang ini, maka mereka akan menjadi bangkai bu-

    suk yang terkapar di pantai tanpa ada yang mengu-

    burnya. Karena sang Ratu punya rencana akan mengi-

    rimkan kepala Laksamada dan Runggana ke Pulau 

    Kucil sebagai hadiah istimewa bagi Raja Amuk Jagal! 

    Untuk itu aku mencari mereka dan ingin mengin-

    gatkan agar mereka cepat-cepat pergi dari Pulau Rang-

    sang sebelum masing-masing kehilangan kepalanya!"


    Sebuah tantangan dilontarkan Soka secara tak 

    langsung. Kata-kata itu membuat darah Runggana 

    mendidih dan napas Laksamada menjadi seperti badai. 

    Mereka menggeram dalam hati. Senyum mereka sangat 

    kaku. Bahkan Runggana kehilangan senyumnya. Ke-

    dua tangan Runggana menggenggam kuat-kuat per-

    tanda menahan amarah yang telah berkobar dalam 

    dadanya.

    Laksamada masih berusaha untuk tetap te-

    nang.

    "Kurasa, Ratu Sedap Malam lupa bahwa mere-

    ka bukan anak kecil yang takut dengan gertakan!"

    "Apa yang kau katakan itu memang benar, Su-

    rogoto! Tapi kabar yang akan kusampaikan kepada 

    mereka itu bukan semata-mata gertakan, tapi kenya-

    taan! Dengan kabar ini, aku berharap mereka segera 

    tinggalkan Pantai Rangsang tanpa harus saling bunuh 

    dengan pihak pesanggrahan sang Ratu. Tapi kalau me-

    reka nekat, yaah... apa boleh buat! Mereka harus rela 

    korbankan nyawanya. Itu sangat ku sayangkan, Suro-

    goto!"

    Runggana mulai geregetan sekali. Dengan gigi 

    setengah menggeletuk, ia berkata kepada Soka Pura.

    "Kau belum tahu, Soka... sebenarnya orang 

    yang kau cari itu sudah mengirim kabar kepada Raja 

    Amuk Jagal. Kabar itu telah diterima oleh Raja Amuk 

    Jagal di kapalnya yang sebentar lagi akan mendarat di 

    Pantai Rangsang ini!"

    "Ah, kurasa itu hanya dugaanmu saja, Ba-

    dayun! Seandainya kau tahu betul akan hal itu, pasti 

    kau akan ikut melarang mereka mendarat di Pantai 

    Rangsang, karena Pantai Rangsang ini akan menjadi 

    kuburan mereka jika mereka nekat mendarat kemari!" 

    Jawab Soka dengan tetap tenang.

    Rupanya Runggana sudah tak tahan lagi membendung gejolak marahnya dalam hati. Telinganya 

    sangat panas mendengar ucapan Soka yang dianggap 

    sebuah sindiran meremehkan dirinya. Maka dengan 

    suara keras, Runggana akhirnya berkata kepada Pen-

    dekar Kembar bungsu itu.

    "Soka Pura! Terus terang saja, akulah orang 

    yang bernama Runggana dan dia adalah Laksamada!" 

    seraya ia menuding pemuda berpakaian biru.

    Pernyataan dengan suara keras itu tidak mem-

    buat Soka Pura terkejut, tapi hanya tersenyum kecil 

    sambil memandang ke arah Runggana. Senyum itu 

    mulai terasa sebagai minyak pembakar amarah bagi 

    Runggana. Bersamaan dengan ucapan Laksamada, 

    Runggana pun segera cabut samurainya yang ada di 

    pinggang.

    Sreet..!

    "Maaf, Soka... sekalipun kau pernah sela-

    matkan nyawaku, tapi kenyataannya memang akulah 

    yang bernama Laksamada! Sedangkan yang bernama 

    Surogoto adalah kapak pusakaku ini!" sambil Laksa-

    mada mengangkat kapaknya.

    "Di pihak mana sebenarnya kau berdiri, Soka 

    Pura?!" gertak Runggana.

    Soka menjawab dengan kalem, "Tentu saja aku 

    di pihak Ratu Sedap Malam, karena dialah penguasa 

    asli di pantai ini yang akan kalian gulingkan!"

    "Keparat!" geram Runggana. "Kalau begitu kau 

    harus berhadapan denganku, Soka Pura! Heeeaaat...!"

    Runggana melompat dengan samurai dite-

    baskan ke leher Soka. Tetapi Pendekar Kembar bungsu 

    segera berkelebat ke kiri dengan sangat cepat, bagai 

    menghilang ditelan bumi. Wuuuz...!

    Tahu-tahu ia berada di belakang Laksamada. 

    Tebasan samurai Runggana ini hanya berhasil mero-

    bek udara. Dan begitu Laksamada berpaling ke bela


    kang, ia segera menyerang dengan kapak mautnya ke 

    arah Soka Pura.

    "Heeeaah...!!"

    Soka Pura miringkan badan ke kiri ketika ka-

    pak itu diayunkan dari atas ke bawah, ingin membelah 

    pundaknya. Salah satu kaki diangkat ke atas dengan 

    kokoh, menahan siku si pemegang kapak tersebut. 

    Dess...! Krak...! Suara tulang retak terdengar bersama 

    jeritan Laksamada yang kesakitan.

    "Aaoow...!"

    Belum sempat Laksamada bergerak, tangan 

    Soka Pura segera menghantam secara beruntun ke 

    arah perut pemuda berbaju biru itu.

    Buhk, buhk, buhk...!

    Pukulan cepat itu tak dapat dihindari, bahkan 

    dilihat pun sulit. Akibatnya, pukulan bertenaga dalam 

    itu membuat Laksamada terlempar ke belakang sejauh 

    lima langkah dan jatuh terjungkal di samping Rungga-

    na. Serta-merta Runggana melompat menyambar Soka 

    Pura dengan samurai dihujamkan ke arah dada Soka.

    Wees...!

    Wuuuz...!

    Sekelebat bayangan menerjang Runggana dari 

    samping. Bruuuss...!

    "Aaahk...!" Runggana terlempar dan jatuh ber-

    guling-guling dl pasir pantai. Bayangan yang mener-

    jangnya dari samping itu tak lain adalah si Pendekar 

    Kembar sulung yang sudah tak sabar lagi dengan ba-

    sa-basi tadi.

    "Terlalu bertele-tele kau!" kecam Raka kepada 

    adiknya. Sang adik justru nyengir dan sentakkan pun-

    daknya.

    "Aku sudah mencoba dengan cara damai tapi 

    mereka tetap ngotot, apa boleh buat jika harus terjadi 

    pertumpahan darah di sini!"


    "Modar kau, Soka! Rahang Silumaaan...!!" te-

    riak Laksamada yang mulai menggunakan jurus 

    'Rahang Siluman'-nya.

    Kapak itu diayunkan ke depan. Mata kapak su-

    dah memancarkan cahaya biru bening. Salah satu ma-

    ta kapak melesat memutar ke arah Soka Pura. Wees...!

    Soka Pura segera mencabut pedang kristalnya. 

    Sreet..! Kedatangan mata kapak yang bercahaya biru 

    bening itu disambut oleh Pedang Tangan Malaikat.

    Wees...! Blaaarrr...!

    Mata kapak itu pecah seketika, menjadi serbuk 

    halus yang berjatuhan di pasir pantai. Namun mata 

    kapak yang satunya lagi segera melayang dengan gera-

    kan memutar seperti piring terbang. Wees...!

    Blaaarr...!

    Mata kapak itu pun hancur kembali disabet 

    oleh Pedang Tangan Malaikat yang menjadi pusaka si 

    Pendekar Kembar. Pedang tersebut segera diputar se-

    kelebat begitu selesai hancurkan senjata lawan.

    Wik, wik, wik...!

    Laksamada terperangah bengong melihat ka-

    paknya hancur menjadi debu. Kemarahannya kian ber-

    tambah, membuatnya semakin gusar dan liar.

    "Laksamada, ku ingatkan sekali lagi, kau akan 

    kehilangan nyawa jika masih tetap ingin merebut ke-

    kuasaan Ratu Sedap Malam di pantai ini!" ujar Soka 

    sambil acungkan pedangnya ke arah Laksamada.

    "Jahanam kauuu...!!" teriak Laksamada, kemu-

    dian ia melepaskan pukulan bersinar kuning dari tela-

    pak tangannya. Sinar kuning itu melesat lurus ke dada 

    Soka Pura tanpa putus sedikit pun. Dengan sigap, So-

    ka Pura menghadangkan pedang kristalnya di depan 

    dada. Sinar kuning itu menghantam pedang kristal, la-

    lu memantul ke arah pemiliknya sendiri. Clap, 

    siaaat...!


    Jegaaar...!

    Laksamada tak sempat terpekik. Tubuhnya se-

    gera hancur terpotong-potong akibat terkena sinarnya 

    sendiri. Darahnya menyebar ke berbagai arah. Perci-

    kan darah itu kenai wajah Runggana yang sedang ber-

    tarung melawan Raka Pura. Prrot...!

    Runggana terkejut begitu mengetahui terkena 

    percikan darah dari temannya. Lebih kaget lagi melihat 

    Laksamada hancur terpotong-potong menjadi beberapa 

    bagian.

    "Biadab!" geramnya berang sekali.

    Raka Pura sejak tadi belum mencabut pedang 

    kristalnya. Ia ingin menundukkan lawan tanpa meng-

    gunakan senjata.

    Kail ini, Runggana menggunakan jurus anda-

    lannya yang paling tinggi dari ilmu yang dimilikinya.

    "Ku rajang habis tubuhmu, Setan!!" geram 

    Runggana, kemudian ia menebaskan samurainya ke 

    sana-sini dengan sangat cepat. Samurai itu meman-

    carkan sinar merah pijar. Gerakannya sangat sukar di-

    ikuti oleh pandangan mata. Tebasan samurai itu kelu-

    arkan bunyi desing yang mengiris hati.

    Zuing, zuing, zuing, zuing...!

    "Hiaaah...!" Raka Pura sengaja bersalto ke bela-

    kang. Wuuuk...! Dalam sekejap ia sudah berada di atas 

    gugusan batu karang setinggi pundak orang dewasa. 

    Jleeg...!

    Dari atas sana ia melepaskan jurus mautnya 

    yang bernama jurus 'Cakar Matahari'. Sinar putih se-

    perti pisau runcing melesat cepat dari tangan Raka 

    yang membentuk cakar tengkurap. Wuut...! Claaap...!

    Blaar...! Praang...! 

    Samurai itu hancur berkeping-keping dihantam 

    sinar putihnya Raka. Runggana terbelalak kaget me-

    nyadari hal itu.


    "Celaka! Mereka bukan tandinganku! Aku ha-

    rus lari selamatkan diri!" geram hati Runggana.

    Serta-merta ia sentakkan tangan kirinya ke de-

    pan. Wees...! Dari telapak tangan kiri yang membentuk 

    cakar tersebut keluar asap abu-abu. Wooss...!

    "Asap beracun!" teriak Soka Pura. "Hindari, Ra-

    ka! Hindari...!"

    Dengan satu sentakan kaki, tubuh Raka Pura 

    telah melesat dari atas batu tersebut. Wuuuz...! Ia su-

    dah jauh dari tempat semula. Terhindar dari asap be-

    racun.

    "Dia melarikan diri!" teriak Soka Pura begitu 

    melihat Runggana kabur dengan cepat.

    "Aku akan menangkapnya hidup-hidup! Kem-

    balilah ke pesanggrahan!" seru Raka Pura sambil 

    memburu lawannya yang melarikan diri.

    "Tunggu...!" seru Soka Pura ikut berkelebat 

    mengejar Runggana juga. Tapi yang dikejar ternyata 

    mempunyai kecepatan lari yang hampir menyamai 

    dengan kecepatan gerak jurus 'Jalur Badai'-nya Pen-

    dekar Kembar. Bedanya, gerakan lari Runggana mele-

    sat ke sana-sini secara zig-zag, hingga membingung-

    kan pengejarnya, sedangkan Raka Pura dan adiknya 

    cenderung bergerak lurus bagaikan anak panah dile-

    paskan dari busurnya.

    "Kalau kita bisa menangkapnya hidup-hidup, 

    kita bisa korek keterangan lebih banyak tentang ren-

    cana kedatangan si Raja Amuk Jagal itu!" ujar Raka 

    Pura kepada adiknya yang sudah ada di sampingnya.

    Sambil tetap mengejar, Soka berseru juga, "Jika 

    ia lari sebegini membingungkannya, apakah kita bisa 

    menangkapnya hidup-hidup?! Bagaimana kalau kita 

    habisi saja dari kejauhan?!"

    Raka Pura diam, mempertimbangkan gagasan 

    adiknya sambil terus mengejar lawannya yang sesekali

    kelihatan sesekali lenyap di balik kerimbunan semak.

    *

    * *

    6


    TUBUH kekar berwajah tampan itu kini terka-

    par berlumur darah. Dadanya hancur, berlubang sebe-

    sar kepala kucing. Mulutnya ternganga dengan mata 

    mendelik tak berkedip lagi.

    Kedua pemuda tampan yang berjuluk Pendekar 

    Kembar itu sama-sama tertegun pandangi jasad orang 

    tak bernyawa itu. Mereka sama sekali tak menyangka 

    akan menyaksikan pemandangan seperti itu. Buronan 

    yang dikejarnya sempat menghilang beberapa saat. Se-

    telah dicari ke sana-sini, tahu-tahu sang buronan telah 

    menjadi mayat yang jebol dadanya.

    "Siapa yang membunuhnya?" Itulah pertanyaan 

    di dalam batin Raka Pura mau pun Soka Pura. Mereka 

    sempat memeriksa sekeliling tempat itu, tapi tak ada 

    seseorang yang dapat dicurigai sebagai pembunuh 

    Runggana. Timbul dugaan di hati Raka, bahwa ada pi-

    hak yang sengaja membunuh Runggana agar pemuda 

    bernasib malang itu tidak membocorkan rahasia keda-

    tangan Raja Amuk Jagal.

    "Berarti Runggana dan Laksamada masih 

    mempunyai orang lagi. Mungkin juga keberadaan 

    orang tersebut tidak diketahui oleh mereka berdua, 

    sehingga Runggana tak menyangka akan mengalami 

    nasib sedemikian naasnya setelah ia berhasil lolos dari 

    pengejaran kita," ujar Soka Pura kepada kakaknya.

    "Kurasa memang begitu. Siapa orang tersebut, 

    itu yang perlu kita selidiki!"


    "Tak ada waktu untuk menyelidiki!" potong So-

    ka. "Waktu kita hanya tinggal sedikit. Yang harus kita 

    lakukan adalah menangkap orang tersebut hidup-

    hidup! Sebab aku yakin, Runggana mempunyai raha-

    sia penting yang dijaga agar jangan sampai bocor dari 

    mulutnya!"

    Setelah diam sesaat, Raka pun berkata kepada 

    adiknya, "Apakah kau mempunyai kecurigaan terha-

    dap seseorang yang pernah kita kenal atau pernah ber-

    temu denganmu?!"

    Soka Pura pun diam sebentar, lalu menjawab, 

    "Kecurigaan ku tipis sekali! hampir-hampir aku tak 

    mempercayai kecurigaan hatiku sendiri."

    "Siapa orang yang kau curigai?"

    "Umbari!"

    Jawaban pendek dan jelas itu tidak membuat 

    Raka Pura terkejut, karena di dalam hatinya ia juga 

    menaruh kecurigaan terhadap Umbari. Menurut mere-

    ka, hanya Umbari yang mengetahui tempat persembu-

    nyian Laksamada dan Runggana. Jika Umbari bukan 

    orangnya mereka, tak mungkin mereka mempercayai 

    Umbari untuk mengetahui tempat persembunyian me-

    reka.

    "Barangkali Laksamada dan Runggana sendiri 

    tidak tahu bahwa Umbari juga orangnya yang ditu-

    gaskan Raja Amuk Jagal untuk membunuh kedua pe-

    muda itu jika rahasia nyaris bocor dari mulut mereka!" 

    ujar Raka Pura.

    "Lebih jelasnya lagi, kita cari dulu si Umbari di 

    sekitar sini sampai ke pesanggrahan! Kita bisa korek 

    keterangan dari mulutnya melalui sedikit gertakan 

    yang menciutkan nyalinya!"

    "Apakah kau mampu menyiksa gadis secantik 

    Umbari?" tanya Raka Pura yang menyangsikan ke-

    sanggupan Soka untuk bertindak kejam terhadap ga


    dis cantik mana pun.

    "Lihat saja nanti!" jawab Soka sambil sungging-

    kan senyum berlagak angkuh. Raka Pura mencibir tak 

    percaya, namun keduanya segera bergegas mencari 

    Umbari.

    "Aku akan mencari di sekitar pantai," ujar Ra-

    ka. "Kau pulang ke pesanggrahan, dan cari dia di sana. 

    Jika kau temukan dia di pesanggrahan, jaga agar ia 

    jangan sampai keluar."

    "Sampai kapan kau akan mencari di sekitar 

    pantai?"

    "Sebelum petang aku akan kembali ke pe-

    sanggrahan, bersama Umbari ataupun tanpa Umbari!"

    Keputusan itu diambil karena mereka tak me-

    nemukan siapa-siapa di dalam hutan tersebut. Soka 

    Pura setuju dengan gagasan kakaknya. Maka ia pun 

    segera pulang ke pesanggrahan.

    Sebelum ia menemui Ratu Sedap Malan, terle-

    bih dulu ia dihadang oleh si Mata Bidadari yang berwa-

    jah cemberut. Rupanya gadis itu sempat merasa be-

    rang setelah tahu Pendekar Kembar pergi bersama 

    Umbari. Hampir saja ia pergi mencari mereka setelah 

    Ki Sela Giri alias si Lahar Jalanan memberitahukan 

    hai itu padanya.

    Kirana pun ikut jengkel mendengar pengaduan 

    dari si Mata Bidadari. Tapi Kirana tak sempat berniat 

    menyusul Raka, karena hari itu sang Ratu kedatangan 

    tamu lagi; seorang lelaki tua berambut abu-abu den-

    gan jubah putih dan sabuk hitamnya. Ia tak lain ada-

    lah ketua Perguruan Tapak Syiwa, gurunya Kirana 

    sendiri, yaitu si Mulut Guntur.

    Pak Tua yang bisa keluarkan suara sekeras ge-

    ledek itu juga mendengar kabar tentang ancaman 

    maut yang terjadi di Pantai Rangsang dari mulut seo-

    rang muridnya yang bertemu dengan salah seorang


    murid Ratu Sedap Malam. Menyadari Kirana, murid 

    tercantiknya sudah berada di Pantai Rangsang, si Mu-

    lut Guntur alias Eyang Wirata itu, segera menyusui ke 

    pesanggrahan. ia bukan saja mencemaskan muridnya, 

    tapi juga mencemaskan keselamatan sang Ratu yang 

    selama ini menjalin hubungan baik dengannya.

    Tetapi Soka Pura belum mengetahui kedatan-

    gan si Mulut Guntur yang pernah berjasa pada Pende-

    kar Kembar dalam mendapatkan Bambu Gading Man-

    dul itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: 

    "Tumbal Asmara Buta"). Kehadiran Soka dihadang oleh 

    si Mata Bidadari yang segera lemparkan pandangan 

    sinis kepadanya dan lontarkan tuduhan tak senonoh 

    akibat tumbuhnya rasa cemburu dalam hati Mata Bi-

    dadari.

    "Sudah puaskah kau dan kakakmu berkencan 

    dengan Umbari?!"

    Soka Pura nyengir geli mendengar tuduhan itu. 

    Ia justru garuk-garuk kepala sambil sembunyikan se-

    nyumannya dengan berpaling ke arah lain. Mata Bida-

    dari tetap berdiri tegak di depannya dengan kaki sedi-

    kit merenggang dan salah satu tangannya bertolak 

    pinggang.

    "Kurang puaskah kau mencumbu ku habis-

    habisan di dalam gua itu?"

    "Kurang," jawab Soka Pura dengan konyol.

    "Kalau kurang puas, mengapa kau cari kepua-

    sannya pada diri gadis lain?! Apakah Umbari bisa me-

    muaskan kehendakmu?!"

    "Entah, ya?!" Soka masih menjawab dengan 

    konyol juga, padahal ia tahu Mata Bidadari sedang se-

    wot.

    "Akan kubunuh dia kalau memang cumbuan-

    nya lebih unggul dariku!"

    Tawa Soka Pura pun meledak panjang. Mata


    Bidadari mendengus semakin dongkol terhadap pemu-

    da tampan yang mulai dianggapnya mata keranjang 

    itu.

    Tiba-tiba wajah Soka tersentak ke kanan, pipi 

    kirinya terasa ada yang menamparnya dengan keras. 

    Plaaak...!

    "Auh...!" Soka Pura terpelanting ke kanan, 

    hampir jatuh.

    "Sialan! Dia mulai gunakan jurus 'Sentuhan 

    Dewata' untuk menamparku!" gerutu hati Soka Pura, 

    karena ia segera ingat bahwa hanya dirinya dan si Ma-

    ta Bidadari yang mempunyai Jurus 'Sentuhan Dewata', 

    pemberian dari Dedengkot Iblis.

    Soka Pura membalas dengan cara membayang-

    kan sedang mengecup bibir Mata Bidadari. Mereka pun 

    merasa saling berciuman. Mata Bidadari merasa bibir-

    nya sedang dilumat nakal oleh Soka, sehingga gadis itu 

    gelagapan dan kedua tangannya menepis-nepis bagai 

    ingin mendorong wajah Soka. Sejenak kemudian, 

    bayangan mencium gadis itu hilang dari benak Soka. 

    Pemuda ganteng itu tersenyum memandang si gadis 

    yang terengah-engah.

    "Kurang ajar!" geram Mata Bidadari, sambil me-

    lirik ke kanan-kiri, takut adegan aneh tadi dilihat oleh 

    para murid pesanggrahan yang lalu lalang di sekitar 

    mereka.

    "Kau tak perlu menaruh kecurigaan seburuk 

    itu, Mata Bidadari. Aku dan Raka pergi bersama Um-

    bari untuk mencari Runggana dan Laksamada."

    "Mengapa tak mengajakku?!"

    "Kau sedang sibuk bicara dengan gurumu: Nyai 

    Sangkal Putung! Aku tak berani mengganggu pembica-

    raan kalian."

    "Hmmh, alasan saja!"

    "Lagi pula, bukankah Umbari sudah pulang lebih awal dari kami?!"

    "Dia belum pulang!" sentak Mata Bidadari. 

    "Jangan mengelabui ku, Soka! Aku bukan anak kema-

    rin sore!"

    "Umbari belum pulang?!" Soka justru berkerut 

    dahi dan bernada heran. Kecurigaan di dalam hatinya 

    mulai mengembang lebih besar lagi. Ia pun buru-buru 

    temui Ratu Sedap Malam.

    "Soka, tunggu dulu!" sergah Mata Bidadari.

    "Jika benar Umbari belum pulang, berarti kecu-

    rigaan ku menjadi kenyataan!"

    "Apa maksudmu, Soka?!" Mata Bidadari buru-

    buru ikuti langkah si Pendekar Kembar bungsu itu. 

    Soka Pura menceritakan apa yang telah dialami ber-

    sama kakaknya, termasuk kematian Runggana yang 

    mengerikan itu.

    "Kalau terbukti Umbari di pihak lawan, biar ku

    tangani sendiri gadis itu!" geram Mata Bidadari sambil 

    menyertai Soka menghadap sang Ratu.

    Melihat si Mulut Guntur sudah berada di bang-

    sal paseban, Soka Pura segera haturkan hormatnya 

    kepada tokoh tua yang disegani itu. Si Mulut Guntur 

    segera tanyakan tentang Raka.

    "Di mana kakakmu, Soka?!" "Dia sedang men-

    cari Umbari, Eyang," Jawab Soka sambil sempatkan 

    melirik Kirana yang tampak gelisah, seolah-olah pem-

    beritahuan itu ditujukan pula kepada Kirana.

    "Ada apa dengan Umbari, Soka?!" tanya Ratu 

    Sedap Malam dengan kedua alisnya berkernyit pertan-

    da menyimpan kecemasan dalam batinnya. "Apakah ia 

    belum pulang, Nyai Ratu?" "Setahuku, Umbari belum 

    pulang. Jika ia sudah pulang pasti langsung mengha-

    dap ku. Begitulah peraturan yang berlaku selama ini."

    Lahar Jalanan menimpali dengan tanya, "Apa-

    kah kalian berpisah dengan Umbari?"


    "Kami sengaja menyuruhnya pulang lebih dulu, 

    karena kami melihat Laksamada dan Runggana mengi-

    rim isyarat kepada Raja Amuk Jagal yang agaknya su-

    dah menunggu kabar dari mereka di atas kapalnya...," 

    Soka Pura pun segera ceritakan apa yang di alaminya 

    bersama Pendekar Kembar sulung. Cerita itu membuat 

    para tamu dan Ratu Sedap Malam tertegun sesaat dili-

    puti ketegangan.

    "Apakah maksudmu, Umbari mempunyai ting-

    kat lebih tinggi dari Runggana dan Laksamada?" tanya 

    Nyai Sangkal Putung kepada Soka.

    "Setidaknya ia termasuk orang istimewanya Ra-

    ja Amuk Jagal yang tidak diketahui oleh sesama pi-

    haknya, Nyai."

    "Tapi itu baru dugaanmu saja, bukan?" sela 

    Lahar Jalanan.

    "Benar, Paman. Ini baru dugaanku dan Raka."

    Ratu Sedap Malam berkata, "Akan kuperintah-

    kan orang-orangku untuk mencari Umbari sampai da-

    pat!"

    "Kalau bisa jangan sampai terbunuh, Nyai Ra-

    tu!" ujar Soka mengingatkan. "Kita butuh keterangan 

    dari mulutnya tentang kedatangan si Raja Amuk Jagal 

    itu!"

    Mulut Guntur ikut bicara juga. "Jika benar ceri-

    tamu, bahwa Runggana dan Laksamada telah menga-

    ku mengirim berita agar kapalnya si Raja Amuk Jagal 

    mendarat ke pantai, maka perkiraan ku esok sore me-

    reka baru bisa tiba di sini. Perjalanan dari batas ca-

    krawala itu mungkin membutuhkan waktu sehari-

    semalam."

    Nyai Sangkal Putung menyahut, "Kalau begitu, 

    siagakan sekarang juga orang-orangmu di sepanjang 

    Pantai Rangsang, Wulandani!"

    "Bukan orang-orangnya yang siaga, tapi kita!"


    tukas Lahar Jalanan. "Biarkan orang-orangnya Wu-

    landani mencari Umbari, kita bersiap hadapi kedatan-

    gan Raja Amuk Jagal di sepanjang pantai, terutama di 

    tempat Laksamada kirimkan isyarat sinar merah se-

    perti yang diceritakan Soka Pura tadi!"

    "Timbulkan suara ledakan tiga kali jika ada 

    yang melihat kedatangan kapalnya si Raja Amuk Jag-

    al," sela Mulut Guntur. "Kita segera bersatu dl tempat 

    datangnya kapal tersebut!"

    Nyai Sangkal Putung ajukan usul lagi, "Ada 

    baiknya kita serang lebih dulu kapal itu sebelum men-

    dekati pantai!"

    Soka Pura pun segera berkata kepada sang Ra-

    tu, "Nyai, aku akan membantu Raka mencari Umbari. 

    Tentang gadis itu, biar kami yang menanganinya!"

    "Aku ikut!" sergah Mata Bidadari.

    "Aku Juga ikut!" timpal Kirana.

    SI Mulut Guntur segera berkata kepada murid-

    nya, "Kau boleh ikut dengan Soka, tapi kapan saja kau 

    mendengar suara ledakan tiga kali berturut-turut, kau 

    harus segera bergabung dengan kami, Kirana! Seti-

    daknya aku dapat menjaga keselamatanmu jika orang-

    orangnya Raja Amuk Jagal mulai mendarat di Pantai 

    Rangsang ini!"

    Nyai Sangkal Putung pun berkata kepada mu-

    ridnya, "Mata Bidadari, kau boleh ikut Soka Pura, tapi 

    tak boleh bertindak gegabah! ikuti saran Soka, karena 

    aku yakin ia tak ingin kau terluka sedikit pun!"

    Soka Pura jadi tak enak hati, seakan isi hatinya 

    bisa ditebak oleh Nyai Sangkal Putung. Bukan saja 

    Nyai Sangkal Putung yang mengetahui isi hatinya, na-

    mun mereka yang ada di situ pun menjadi tahu bahwa 

    antara dirinya dengan Mata Bidadari mulai menjalin 

    hubungan pribadi yang seharusnya tidak perlu diketa-

    hui oleh mereka.


    Sebenarnya Soka lebih suka pergi sendiri me-

    nyusul kakaknya. Tapi kedua gadis yang menaruh 

    simpati terhadap kakaknya dan dirinya sendiri itu 

    akan bikin ulah yang menjengkelkan jika mereka di-

    tinggalkan begitu saja. Mau tak mau Soka Pura mem-

    biarkan kedua gadis itu ikut bersamanya.

    Mereka tidak tahu bahwa Raka Pura sudah 

    berhasil temukan Umbari. Namun keadaan gadis itu 

    cukup mengkhawatirkan. Umbari ditemukan dalam 

    keadaan terkapar penuh luka. Cahaya senja yang kian 

    menua menampakkan wajahnya yang pucat itu nyaris 

    seperti wajah mayat.

    Tubuh Umbari penuh luka senjata tajam, dan 

    pukulan bertenaga dalam tinggi yang membuat bebe-

    rapa bagian tubuhnya memar membiru. Dagunya tam-

    pak mau pecah akibat terkena hantaman keras yang 

    tentu saja dialiri tenaga dalam cukup besar.

    "Umbari...?! Umbari, apa yang terjadi?!" tanya 

    Raka dengan sedikit panik. Umbari tak bisa menjawab. 

    Bibirnya yang pecah itu hanya bergerak-gerak pelan, 

    namun tak ada suara yang keluar selain erangan dan 

    desah kesakitan.

    Raka Pura segera mengobatinya dengan jurus 

    'Sambung Nyawa'-nya. Dalam waktu singkat, gadis itu 

    akhirnya tertolong juga. Luka-lukanya merapat kemba-

    li dan hilang tanpa bekas sedikit pun. Tubuh gadis itu 

    tak lagi merasakan sakit, bahkan justru merasa segar 

    kembali. Dalam keadaan sudah sesehat itu, Umbari 

    baru bisa menjawab pertanyaan Raka tadi.

    "Seseorang mengetahui gerak-gerik kita saat ki-

    ta mengintai Runggana dan Laksamada. Orang itu se-

    gera menghadangku dan menghajar ku. Aku kalah il-

    mu dengannya, lalu aku melarikan diri. Ternyata dia 

    mengejarku dan membuatku sekarat seperti tadi."

    "Siapa orang itu? Apakah kau kenal dengan


    nya?"

    Umbari gelengkan kepala. "Baru kali ini aku 

    jumpa dengannya. Wajahnya menyeramkan, seperti 

    hantu gentayangan. Ia ganas dan liar."

    "Kau masih ingat ciri-cirinya?"

    "Rambutnya putih panjang dan acak-acakan. 

    Tubuhnya kurus, wajahnya menyeramkan, matanya 

    cekung, kukunya panjang-panjang," Umbari diam se-

    bentar berusaha mengingat orang yang nyaris mem-

    buat nyawanya melayang.

    Sambungnya lagi, "Ia mengenakan jubah merah 

    kusam, demikian pula warna celananya yang banyak 

    robekannya di bagian kaki."

    "Siapa dia, ya?!" gumam Raka sambil tertegun 

    membayangkan ciri-ciri tersebut.

    "Apakah dia orang Pulau Kucil?" tanya Raka se-

    telah diam beberapa saat.

    "Aku tak tahu dia di pihak mana. Yang jelas dia 

    menyerangku tanpa berkata sepatah pun. Agaknya ia 

    tak suka aku menunjukkan tempat persembunyian 

    Runggana dan Laksamada!"

    "Aneh. Kenapa ia tidak turun tangan waktu aku 

    dan Soka bertarung melawan mereka berdua?" gumam 

    Raka, seperti bicara pada dirinya sendiri.

    *

    * *

    7


    ANGIN mulai berhembus kencang. Raka Pura 

    bergegas dampingi Umbari pulang ke pesanggrahan 

    Pantai Rangsang. Mereka berusaha mencapai pe-

    sanggrahan sebelum alam menjadi petang dan hembu


    san angin akan menjadi badai yang dapat menum-

    bangkan pepohonan.

    "Lewat jalan sini, Raka!" seru Umbari menun-

    jukkan jalan yang harus mereka lewati karena cuaca 

    semakin buruk, pemandangan menjadi buram. Ia ter-

    paksa bersuara keras untuk imbangi deru angin yang 

    membisingkan telinga.

    "Bukankah jalan lewat pantai lebih mudah?! 

    Mengapa harus menerabas hutan?"

    "Jika angin sekencang ini, maka permukaan air 

    laut akan naik. Pasir pantai tak akan kelihatan karena 

    terendam air. Badai akan datang menggulung ombak 

    lautan sampai ke pantai! Berbahaya jika lewat sana!" 

    ujar Umbari menjelaskan. Karena penjelasan itu ma-

    suk akal, maka Raka ikuti panduan Umbari dengan 

    menerabas kerimbunan hutan belukar.

    Mendung semakin tebal, langit kian gelap. Ma-

    tahari sama sekali tak bisa tembuskan sinarnya ke 

    permukaan bumi lagi. Angin telah berubah menjadi 

    badai kencang.

    Sebenarnya Raka Pura ingin hentikan badai 

    dengan jurus penjinak badainya yang bernama 'Gugah 

    Jinak' itu. Tapi karena hujan pun turun, maka hem-

    busan badai itu dianggap hal yang wajar terjadi. Bu-

    kan kiriman dari seorang tokoh sakti. Karenanya, Raka 

    merasa tak perlu menjinakkan sang badai semasa ba-

    dai yang hadir tidak menimbulkan bencana besar.

    "Kita harus meneduh dulu, Umbari!" seru Raka 

    di sela guyuran hujan deras. "Kalau kita nekat berjalan 

    dalam guyuran hujan dan badai seperti ini, aku kha-

    watir kau akan sakit!"

    "Di sebelah sana ada gubuk tua, tempat para 

    pencari kayu beristirahat. Kita ke sana saja!"

    Kecurigaan Raka Pura terhadap Umbari sudah 

    hilang sejak ia menemukan gadis itu dalam keadaan


    nyaris mati. Raka berani bertaruh dengan adiknya, 

    bahwa Umbari sama sekali bukan pembunuh Rungga-

    na, seperti dugaan mereka semula. Justru orang yang 

    menyerang Umbari itulah yang kini diduga oleh Raka 

    sebagai orang yang membunuh Runggana. Hati si pe-

    muda tampan itu menjadi iba terhadap Umbari, se-

    hingga ia merasa perlu menebus dosanya dengan 

    memperhatikan dan menjaga Umbari sebaik mungkin.

    Gadis itu menggigil ketika mereka berada di 

    rumah gubuk yang berdinding bambu separo bagian 

    itu. Hembusan angin menerpa tubuh Umbari yang ba-

    sah kuyup, sehingga tubuh gadis itu pun menggigil 

    dengan gigi gemeretuk.

    Alam yang telah menjadi gelap masih membuat 

    Raka dapat melihat bayangan si gadis secara samar-

    samar. Gadis itu memeluk dirinya sendiri dengan 

    menggigil dan bersuara terputus-putus.

    "Raka, dapatkah kau menolongku?"

    "Tentu saja. Apa yang harus kulakukan untuk 

    menolongmu?"

    "Aku dingin sekali. Luar biasa dinginnya. Da-

    rahku bagaikan menjadi beku."

    "Hmm, eeh... ya, aku juga begitu," Jawab Raka 

    gugup. "Lalu, apa maksudmu?"

    "Maukah kau memeluk ku untuk menghan-

    gatkan tubuhku?! Aku paling tak tahan hawa dingin, 

    Raka."

    "Hmm, hm... eeh... bagaimana, ya?" Raka men-

    jadi salah tingkah dan kebingungan sendiri.

    "Sebentar saja, Raka. Kalau tubuhku sudah 

    menjadi hangat kembali, lepaskanlah pelukan mu. 

    Jantung ku akan semakin lemah jika terlalu lama di-

    cekam kedinginan. Oh, tolong aku, Raka. Hangatkan 

    tubuhku dengan pelukan mu," pinta Umbari tanpa 

    malu-malu lagi, karena ia merasa benar-benar sangat


    terpaksa ajukan permintaan seperti itu.

    Raka Pura pun akhirnya memeluk gadis itu 

    dengan jantung berdebar-debar cukup keras dan ce-

    pat. Debaran itu membuat tubuh Raka Pura semakin 

    menggigil, sehingga mereka berpelukan dalam keadaan 

    terguncang-guncang.

    "Jangan menilai ku terlalu rendah, Raka. Aku 

    hanya membutuhkan pelukan mu untuk mengatasi 

    kebiasaan buruk pada jantungku ini. Aku tidak ber-

    maksud nakal padamu, karena aku tahu kau adalah 

    kekasihnya Kirana, dan Kirana berteman baik padaku. 

    Aku tak ingin menodai hubungan suci kalian! Bila per-

    lu, setibanya di pesanggrahan aku akan bilang kepada 

    Kirana dan meminta maaf atas keterpaksaan ini!"

    "Ehhm, hmm... sebaiknya tak perlu bicara ten-

    tang hal ini kepada Kirana."

    "Oh, apakah kau bermaksud mendustainya?"

    "Bukan mendustainya, tapi... tapi hanya seka-

    dar menjaga keamanan dalam negeri saja," Raka Pura 

    tertawa sumbang sambil masih memeluk Umbari.

    Sambungnya lagi, "Sekalipun kita bermaksud 

    jujur, tapi Kirana akan berang padaku jika mendengar 

    apa yang kita lakukan di sini, Umbari! Jadi sebaiknya, 

    demi keamanan hati bersama, anggap saja hal ini tak 

    pernah terjadi. Setuju?"

    "Baiklah jika memang begitu maumu!" jawab 

    Umbari sambil meletakkan kepalanya ke pundak Raka, 

    wajahnya menempel di leher pemuda tampan itu.

    Dalam keadaan di tengah kerimbunan hutan 

    dan cuaca seburuk itu, rumah gubuk tersebut telah

    memberikan perlindungan yang nyaman bagi mereka 

    berdua. Irama deru hujan mendatangkan rasa kantuk 

    yang tak disadari, sehingga mereka pun tertidur dalam

    keadaan duduk dan saling berpelukan.

    Menjelang fajar tiba, hujan telah reda dan badai


    pun jinak dengan sendirinya. Raka Pura dan Umbari 

    berlari-lari menuju ke pesanggrahan. Mereka dike-

    jutkan dengan satu pemandangan yang amat menarik 

    perhatian. Umbari adalah orang pertama yang melihat 

    sebuah benda terdampar tak jauh dari pesanggrahan.

    "Kapal...?! Lihat itu, Raka! Lihat...! Ada kapal 

    berlabuh dl pantai dekat pesanggrahan!"

    Raka Pura terbelalak tegang melihat sebuah 

    kapal merapat di pantai dekat pesanggrahan. Kapal itu 

    tak terlalu besar dengan dua tiang layar di mana salah 

    satu tiang layarnya telah patah. Kain layar pada tiang 

    yang masih utuh itu telah robek dan tak mengembang.

    "Kapal siapa itu?"

    "Lihat bagian haluan kapal, ada gambar teng-

    korak dengan pedang bersilang. Setahuku, itu lam-

    bangnya Raja Amuk Jagal," ujar Umbari.

    "Celaka!" Raka Pura semakin cemas. Ia segera 

    mencabut pedangnya, demikian pula Umbari. Mereka 

    mendekati kapal yang berkesan kandas di perairan 

    pantai.

    "Sebaiknya kau segera ke pesanggrahan dan 

    beri tahukan kepada Nyai Ratu serta yang lainnya! Aku 

    akan memeriksa kapal itu!"

    "Sendirian?! Oh, jangan sendiri, Raka! Nanti 

    kau...."

    "Aku bisa menjaga diriku sendiri, Umbari! La-

    kukan saja perintahku tadi!"

    "Baiklah. Hati-hati, Raka!"

    Umbari segera pergi ke pesanggrahan. Kalau 

    saja mereka tak terhalang bukit karang yang menjorok 

    ke laut, maka kapal tersebut dapat terlihat dari ger-

    bang utama pesanggrahan. Tapi karena kapal itu ter-

    halang bukit karang yang tak seberapa tinggi itu, maka 

    penjaga di gerbang utama tidak melihat munculnya 

    kapal berwarna hitam itu.


    Raka Pura semakin mendekat dengan langkah 

    sangat hati-hati. Matanya memandang penuh waspa-

    da. Pedangnya sudah siap ditebaskan jika sewaktu-

    waktu datang serangan ke arahnya.

    "O, rupanya kapal itu terjepit batu karang hing-

    ga tak dapat bergerak?!" gumam hati Raka Pura sambil

    memperhatikan dua batu karang besar yang menjepit 

    bagian buritan kapal.

    "Air laut telah surut. Mungkin pada saat air 

    laut pasang, kapal itu meluncur dengan seenak udel-

    nya sendiri. Dan tak tahu kalau sudah mencapai pe-

    rairan pantai."

    Sementara si Pendekar Kembar sulung men-

    gendap-endap dekati kapal tersebut, suasana dl pe-

    sanggrahan menjadi gaduh. Kabar yang dibawa Umba-

    ri itulah yang membuat suasana pesanggrahan menja-

    di heboh.

    "Kapal dari Pulau Kucil telah merapat di pantai, 

    Gusti Ratu! Sekarang sedang dalam pengawasan Ra-

    ka!"

    Sekalipun matahari mulai memancarkan sinar 

    paginya, tapi beberapa orang masih tertidur dengan 

    nyenyak, termasuk Nyai Sangkal Putung. Begitu men-

    dengar suara gaduh, Nyai Sangkal Putung segera me-

    lompat dari ranjangnya dan berkelebat keluar hampiri 

    Ratu Sedap Malam.

    "Ada apa, Wulandani?!"

    "Raja Amuk Jagal telah mendarat bersama ka-

    palnya!" Lahar Jalanan yang menjawab pertanyaan 

    tersebut.

    "Kalau begitu harus segera bertindak!"

    "Aku sudah perintahkan kepada orang-orangku 

    untuk mengepung kapal itu, Nyai!" ujar sang Ratu 

    sambil bergegas ke arah kapal tersebut.

    Mereka yang bergegas ke arah kapal tersebut


    sudah siap dengan senjata masing-masing. Tenaga da-

    lam mulai mengalir ke tangan mereka, siap dilepaskan 

    kapan saja. SI Mulut Guntur dan Bandot Sebrang lebih 

    dulu berkelebat ke arah kapal tersebut.

    Dalam waktu singkat, tempat di mana kapal 

    berlambang tengkorak dengan pedang bersilang itu 

    kandas telah dikepung oleh pihak Ratu Sedap Malam 

    dalam jarak beberapa puluh langkah.

    "Jangan biarkan seorang pun yang turun dari 

    kapal itu lolos tanpa syarat!" ujar Bandot Sebrang ke-

    pada para pengepung.

    Mereka tak berani langsung dekati kapal itu. 

    Suasana sepi tanpa suara apa pun membuat mereka 

    curiga dan waswas. Tak ada seorang pun muncul di 

    permukaan geladak kapal tersebut. Hal itu menimbul-

    kan ketegangan tersendiri bagi mereka. Mereka hanya 

    berani mengamati dari jarak jauh sambil mencari di 

    mana Raka Pura berada.

    Raka tak kelihatan sejak kapal sudah terke-

    pung.

    Hal itu membuat mereka menjadi cemas, bah-

    kan Umbari, si pengkhianat budiman yang sudah ter-

    bukti tak bersalah, kini menjadi tak sabar dan ingin 

    segera melesat dekati kapal tersebut. Namun tangan-

    nya segera dicekal oleh sang Ratu hingga langkahnya 

    tertunda.

    "Jangan bergerak dulu sebelum Raka muncul 

    di atas geladak!" ujar sang Ratu yang juga didengar 

    oleh beberapa orang di dekatnya, termasuk si Mata Bi-

    dadari yang baru saja muncul bersama Soka dan Kira-

    na.

    Ketiga orang yang gagal mencari Raka itu baru 

    saja tiba di pesanggrahan. Tapi penjaga gerbang mem-

    beritahukan tentang kapal tersebut. Maka Soka dan 

    kedua gadis cantik itu segera menyusul mereka ke


    tempat kapal tersebut kandas.

    Tentu saja Soka Pura tak bisa menuruti perin-

    tah Ratu Sedap Malam. Begitu mendengar kakaknya 

    memeriksa kapal tersebut dan sampai saat itu belum 

    tampak batang hidungnya, Soka Pura pun segera ber-

    kelebat menyusul sang kakak. Gerakan jurus 'Jalur 

    Badai' yang amat cepat membuat mereka terperangah 

    melihat Soka Pura sudah berada di atas geladak kapal.

    "Rakaaaa...!!" teriak Soka Pura setelah merasa 

    heran melihat keadaan di atas kapal sepi-sepi saja.

    Sreet...! Pedang kristal pun dicabut oleh Soka 

    Pura, kemudian ia melangkah pelan-pelan dekati tang-

    ga menuju ruang bawah.

    Wuuzz...! Tiba-tiba dari ruang bawah melesat 

    bayangan putih yang hampir saja ditebas dengan pe-

    dang kristal oleh Soka Pura. Bayangan putih itu segera 

    bertengger di atas reruntuhan tiang layar. Jleeg...!

    "Setan gendeng kau!" maki Soka Pura setelah 

    tahu bayangan putih itu adalah kakaknya sendiri.

    "Rakaaa...!" seru Kirana, namun gadis itu ma-

    sih tak bisa ikut naik ke atas kapal karena lengannya 

    digenggam kuat-kuat oleh si Mulut Guntur.

    Raka Pura tersenyum kalem, sempat menjeng-

    kelkan hati adiknya yang tegang dan mencemaskan di-

    ri sang kakak itu.

    "Hei, Jangan cengar-cengir saja! Apa yang kau 

    temukan dl ruang bawah sana?! Mengapa kapal ini tak 

    ada penumpangnya satu pun?!" seru Soka Pura.

    "Kapal ini bermuatan mayat!" jawab Raka den-

    gan keras, membuat mereka yang ada di darat terpe-

    ranjat mendengarnya.

    "Jangan bergurau kau, Raka!" seru si Mulut 

    Guntur.

    Raka bicara kepada mereka yang di darat.

    "Aku hanya menemukan mayat-mayat yang


    bertumpuk di ruang bawah! Tak ada satu pun yang hi-

    dup. Kalau tak percaya, silakan periksa sendiri!"

    Rasa penasaran membuat mereka akhirnya 

    menyerbu kapal dan memeriksanya. Ternyata semua 

    awak kapal dalam keadaan tak bernyawa. Mayat mere-

    ka tertumpuk di ruang lambung kapal. Pada umumnya 

    mereka mengalami luka hangus di bagian dada atau 

    punggung.

    "Tak salah lagi, mereka adalah orang-orang si 

    Raja Amuk Jagal!" ujar Nyai Sangka! Putung yang 

    mengenali tato di lengan para mayat. Tato gambar 

    tengkorak dengan pedang bersilang adalah lambang 

    yang selalu dipakai oleh para pengikut Raja Amuk 

    Jagal.

    "Siapa yang membunuh mereka dan mengirim-

    kannya kemari?!" tanya si Mulut Guntur.

    Bandot Sebrang berujar, "Kurasa seseorang te-

    lah membantai habis seluruh awak kapal itu, dan me-

    numpuk mayatnya di ruangan ini. Badai besar sema-

    lam telah menghanyutkan kapal ini dan tanpa disenga-

    ja telah terdampar kemari."

    "Aku sependapat denganmu," ujar Lahar Jala-

    nan. "Sebab jika tanpa didorong oleh badai kencang 

    semalaman, perjalanan kapal ini akan memakan wak-

    tu sehari semalam untuk mencapai kemari. Itu menu-

    rut perhitunganku!"

    Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh seruan si Ma-

    ta Bidadari kepada Nyai Sangkal Putung.

    "Guru, aku menemukan mayat tanpa kepala!"

    Mereka bergegas memeriksa mayat yang ter-

    penggal tanpa kepala itu. Mayat tersebut berperawa-

    kan tinggi, besar, mengenakan jubah kuning emas dan 

    perhiasan mewah. Di sampingnya terdapat abu yang 

    membentuk sabuk selebar satu jengkal dengan pan-

    jang sekitar lima jengkal.


    "Apakah abu ini adalah abu dari 'Sabuk Biang 

    Neraka' milik Naga Barong?!" Lahar Jalanan bagai ber-

    tanya pada diri sendiri.

    "Jika benar begitu," sahut Nyai Sangkal Pu-

    tung,"... kurasa mayat tanpa kepala ini adalah mayat-

    nya si Amuk Jagal!"

    "Ya, aku pun yakin mayat ini adalah mayatnya 

    si Raja Amuk Jagal. Aku masih ingat dengan kulitnya 

    yang berwarna hitam keling Ini!" ujar si Mulut Guntur.

    "Lalu ke mana kepalanya, Eyang?!" tanya Soka 

    Pura kepada si Mulut Guntur.

    Untuk memastikan mayat tanpa kepala itu ada-

    lah mayat Raja Amuk Jagal, mereka segera mencari 

    kepala tersebut. Namun ternyata mereka tidak berhasil 

    temukan kepala yang terpenggal.

    Akhirnya mereka naik ke geladak dengan masih 

    mencari kepala tersebut dan bertanya-tanya, "Siapa 

    orang yang telah memenggal kepala Raja Amuk Jagal 

    itu?"

    "Sumpah mampus! Bukan aku yang memeng-

    galnya!" ujar Raka Pura ketika dipandangi adiknya dan 

    si Mata Bidadari.

    "Aku pun tidak menganggap kau pemenggal-

    nya! aku hanya...."

    Kata-kata Soka terhenti seketika itu juga, kare-

    na tiba-tiba mereka melihat sekelebat bayangan mele-

    sat dengan cepat. Hampir saja menyambar tubuh Ki-

    rana jika gadis itu tidak segera ditarik ke belakang oleh 

    Raka Pura.

    Weess...!

    Bayangan yang berkelebat itu hinggap di atas 

    tong kayu. Mereka yang ada di geladak terperanjat bu-

    kan kepalang, termasuk para tokoh tua yang memihak 

    Ratu Sedap Malam itu. Orang yang baru datang itu be-

    rambut putih dengan wajah angker dan berkuku runcing.

    Melihat si wajah angker berjubah merah kusam 

    dengan celana merah robek di bagian kakinya, Umbari 

    menjadi gemetar dan berdebar-debar. Ia berusaha 

    mendekati Raka Pura. Dari belakang Raka gadis itu 

    berbisik dengan suaranya yang bergetar.

    "Orang inilah yang menyerangku kemarin sore!"

    "Ooo...," Raka Pura menggumam pelan dan 

    manggut-manggut. "Tenanglah, kau tak perlu takut la-

    gi selama bersamaku, Umbari."

    Wajah-wajah tegang yang memandangi si tokoh 

    berambut putih acak-acakan itu tak luput dari pera-

    saan ngeri di dalam hati mereka. Bukan saja wajah 

    angker sang tokoh yang membuat mereka ngeri, na-

    mun juga sesuatu yang ditenteng oleh tangan si tokoh 

    bertubuh kurus bermata cekung itu.

    Tangan kiri orang tersebut menggenggam ram-

    but kepala yang telah terpenggal. Kepala itu dikenali 

    oleh Nyai Sangkal Putung dan beberapa tokoh tua 

    lainnya sebagai kepalanya si Raja Amuk Jagal. Ru-

    panya orang Inilah yang memenggal kepala Raja Amuk 

    Jagal dan membunuh para awak kapal tersebut sebe-

    lum mereka mencapai Pantai Rangsang.

    Hanya beberapa orang yang tak menyimpan 

    kengerian melihat penampilan tokoh berkulit keriput 

    itu. Mereka yang tak mempunyai rasa ngeri dan takut 

    sedikit pun adalah Pendekar Kembar, si Mulut Guntur 

    dan Mata Bidadari. Bahkan gadis murid Nyai Sangkal

    Putung itu segera berkata dengan suara pelan, namun

    sangat jelas didengar oleh mereka karena suasana 

    hening yang tercipta dalam beberapa kejap itu.

    "Eyang Dedengkot Iblis...?!"

    Melihat Soka Pura dan Mata Bidadari maju de-

    kati tokoh angker yang ternyata adalah si Dedengkot 

    Iblis, Raka Pura pun segera memisahkan diri dari Ki


    rana dan Umbari. Ia melangkah maju dari arah berla-

    wanan dengan Soka. Ketiga anak muda itu segera 

    memberi hormat dengan sedikit bungkukkan badan 

    dan merapatkan tangan di depan dada masing-masing.

    "Rupanya kaulah yang memenggal Raja Amuk 

    Jagal itu, Dedengkot Iblis!" ujar Raka Pura.

    Pandangan mata Dedengkot Iblis diarahkan ke-

    pada Ratu Sedap Malam yang didampingi oleh si Mulut 

    Guntur dan Lahar Jalanan. Sang Ratu yang belum 

    mengenal siapa Dedengkot Iblis sempat merinding me-

    nerima tatapan mata dingin itu.

    Tiba-tiba Dedengkot Iblis lemparkan kepala 

    yang ditentengnya itu. Wes, bruuk...! Kepala si Raja 

    Amuk Jagal jatuh menggelinding dan berhenti tepat di 

    depan kaki Ratu Sedap Malam. Semua mulut masih 

    terbungkam bagai terhipnotis. Mereka pandangi seje-

    nak kepala berlumur darah itu, kemudian segera me-

    natap Dedengkot Iblis lagi setelah tokoh angker bekas 

    penjaga Bambu Gading Mandul itu perdengarkan sua-

    ranya yang serak.

    "Kau tak perlu meminta bantuan lagi kepada 

    cucu-cucuku: Pendekar Kembar! Wilayah mu dalam 

    perlindungan ku, karena cucu-cucuku berada di pi-

    hakmu!"

    Kemudian pandangan mata Dedengkot Iblis di 

    arahkan kepada Umbari. Gadis itu semakin deg-degan 

    lagi.

    "Rupanya kau ada di pihak cucuku; si Raka 

    Pura! Kusangka kau bersekongkol dengan pemuda 

    berbaju biru yang tewas di tangan Soka Pura itu, kare-

    na aku pernah melihatmu berciuman dengan pemuda 

    tersebut! Maafkan aku! Untung nasibmu tidak kubuat 

    seperti Runggana!"

    Kini mata cekung itu diarahkan kepada Pende-

    kar Kembar secara bergantian.


    "Aku terpaksa ikut campur urusanmu, Soka. 

    Raja Amuk Jagal bukan tandingan kalian berdua!"

    Sebelum Raka maupun Soka ingin ucapkan ka-

    ta, Dedengkot Iblis sudah pindahkan tatapan matanya 

    kepada si Mulut Guntur yang dikenalnya sebagai ketu-

    runan dari Nyai Prabawinih, mantan istrinya.

    "Jika kau ingin bertemu denganku, suruh si 

    Kembar mengantarkannya, atau si Mata Bidadari. Me-

    reka tahu tempatku yang baru. Bukan lagi di kaki Gu-

    nung Mercapada!"

    Mulut Guntur hanya anggukkan kepala sedikit 

    membungkuk pertanda bersikap hormat kepada De-

    dengkot Iblis.

    Setelah berkata demikian, tanpa basa-basi lagi 

    Dedengkot Iblis melesat dengan cepat bagaikan sinar 

    merah suram yang berkilat di udara. Kejap kemudian 

    ia lenyap di kerimbunan hutan, tak seorang pun dapat 

    melihat gerakannya kecuali Pendekar Kembar dan si 

    Mulut Guntur.

    Kejap berikutnya barulah mereka bisa bicara 

    dan saling bergemuruh seperti pasukan lebah lewat. 

    Mereka sama sekali tak menduga bahwa si Dedengkot 

    Iblis tokoh hitam yang dikalahkan Pendekar Kembar 

    itu sudah bertindak lebih dulu dari mereka. Dedengkot 

    Iblis mengetahui rencana kedatangan Raja Amuk Jagal 

    berkat mencuri percakapan Laksamada dan Runggana 

    secara diam-diam. Ia membantai seluruh awak kapal, 

    termasuk si Raja Amuk Jagal ketika hujan turun den-

    gan lebat tadi malam. Pertarungannya dengan pihak 

    Raja Amuk Jagal dilakukan di tengah laut, sebelum 

    kapal itu akhirnya terdampar di Pantai Rangsang.

    "Rupanya secara diam-diam selama ini kau di-

    pantau terus oleh Dedengkot Iblis, sehingga ia tak rela 

    jika kekuasaan dan wilayah mu diusik oleh pihak lain," 

    ujar si Mulut Guntur setelah jelaskan kepada sang Ratu siapa sebenarnya Dedengkot Iblis itu.

    "Hanya saja, aku tak habis pikir mengapa Pen-

    dekar Kembar bisa disebut sebagai cucu-cucunya," 

    ujar Nyai Sangkal Putung kepada si Mulut Guntur. 

    "Apakah Raka dan Soka memang keturunan si De-

    dengkot Iblis?!"

    Mulut Guntur tersenyum geli. "Itu hanya siasat 

    mereka. Ketika mereka bertarung melawan Dedengkot 

    Iblis untuk mendapatkan Bambu Gading Mandul, me-

    reka mengaku keturunannya Nyai Prabawinih. Men-

    dengar nama Nyai Prabawinih, Dedengkot Iblis menjadi 

    takut dan segera melarikan diri. Ia tak berani melawan 

    keturunan dari mantan istrinya yang dicintai itu. Begi-

    tulah cerita Raka kepadaku beberapa waktu yang lalu."

    "Ooo... cerdik juga rupanya si kembar itu?!" 

    gumam Nyai Sangkal Putung, yang lain pun ikut ang-

    guk-anggukkan kepala.

    Sejak itu, Pantai Rangsang dalam keadaan se-

    nantiasa aman dari gangguan siapa pun. Kabar ke-

    munculan Dedengkot Iblis di Pantai Rangsang yang 

    memenggal kepala Raja Amuk Jagal lambat laun me-

    nyebar dan sampai di telinga para tokoh sesat lainnya, 

    sehingga para tokoh sesat tak ada yang berani mengu-

    sik kedamaian Ratu Sedap Malam dan para penduduk 

    di Pantai Rangsang, termasuk desa nelayan tempat di 

    mana Lahar Jalanan mengasingkan diri menjadi seorang nelayan.



                      SELESAI



















    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © matjenuhkhairil.blogspot.com - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -