SUARA kokok ayam dari desa nelayan terden-
gar sampai di pesanggrahan Pantai Rangsang. Kokok
ayam itu bukan sekadar ayam iseng berkokok, tapi ka-
rena sang ayam ingin menyapa salam kepada muncul-
nya mentari di awal fajar.
Penguasa Pantai Rangsang yang dikenal dengan
nama Ratu Sedap Malam, terbangun di awal fajar, ka-
rena suara gaduh yang terjadi di pesanggrahannya.
Pesanggrahan itu bagaikan sebuah istana kecil yang
mempunyai bangunan-bangunan bagai suatu perkam-
pungan. Ruang lingkupnya yang sempit, membuat ke-
gaduhan mudah terdengar sampai ke dalam ruang ti-
dur sang Ratu.
Seorang pengawal dipanggil agar mendekati
sang Ratu yang menongolkan kepala dari balik pintu.
Tentu saja si gadis yang bertugas sebagai pengawal
pribadi Ratu Sedap Malam itu segera bergegas mene-
mui atasannya.
"Muryana, kegaduhan apa yang terjadi sepagi
ini?!" Muryana, si pengawal pribadi, menjawab dengan
suara tegas.
"Bintari bunuh diri, Gusti!" "Bintari...?!" sang
Ratu terperanjat.
"Benar. Dia bunuh diri di dalam kamar tempat
ia di penjara, Gusti Ratu!"
Sang Ratu yang cantik dan bertubuh seksi ber-
gegas kenakan jubah jingganya, kemudian memeriksa
ke kamar tempat Bintari dipenjara. Ternyata apa yang
di katakan Muryana memang benar. Bintari bunuh diri
dengan membenturkan kepalanya sekeras-kerasnya
pada dinding kamar. Tak perlu diceritakan bagaimana
bentuk kepala yang remuk itu, jelasnya, Bintari akhir
nya tewas sebelum sempat sampaikan sesuatu kepada
sang Ratu.
"Guss... ti... ad... ada...," lalu nyawanya pun
amblas tak berbekas.
Bintari adalah seorang mata-mata yang bekerja
untuk Raja Amuk Jagal. Tokoh aliran hitam yang ter-
singkir ke Pulau Kucil itu bermaksud menyingkirkan
Ratu Sedap Malam untuk kuasai wilayah Pantai Rang-
sang. Bintari tertangkap dan diketahui sebagai mata-
mata Raja Amuk Jagal ketika utusan Raja Amuk Jagal
yang bertugas membuat kacau suasana Pantai Rang-
sang itu tertangkap. Si Dewa Pancung, yang telah ber-
hasil memenggal beberapa kepala anak buah Ratu Se-
dap Malam, dan kepala mereka dipajang di sepanjang
Pantai Rangsang, telah memberi tahukan secara tak
langsung bahwa Bintari adalah mata-mata untuk pi-
hak Raja Amuk Jagal. Akhirnya, Bintari ditangkap un-
tuk dipidana alias dihukum, namun bukan hukuman
mati. Sedangkan si Dewa Pancung sendiri tewas di
tangan kepala Suku Ampar, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Geger Pantai Rangsang").
Tetapi sebelum sang Ratu memutuskan masa
hukuman bagi Bintari, rupanya gadis itu tak mau di-
korek keterangannya tentang kekuatan pihak Raja
Amuk Jagal, atau karena alasan tak kuat menahan ra-
sa malu terhadap pihak Ratu Sedap Malam, maka ia
lakukan mati cepat alias bunuh diri. Dengan begitu,
pihak Ratu Sedap Malam tak bisa mendapatkan kete-
rangan yang di butuhkan tentang Raja Amuk Jagal.
Pada saat Itu, para tamu sang Ratu masih be-
rada di pesanggrahan. Para tamu itu antara lain: Nyai
Sangkal Putung, Si Lahar Jalanan alias Ki Sela Giri,
juga seorang gadis murid si Mulut Guntur yang ber-
nama Kirana, dan Pendekar Kembar sulung yang di-
kenal dengan nama Raka Pura. Para tamu itu juga ter
kejut mendengar kabar Bintari lakukan bunuh diri.
Tetapi ketika Raka Pura memeriksa keadaan
mayat Bintari, ia menjadi tertegun dan mempunyai re-
nungan sendiri. Batinnya berkecamuk dalam kebisuan
mulutnya. Pemuda tampan itu segera menyendiri, wa-
lau bukan berarti jauh dari mereka yang berkumpul di
bangsal paseban. Sesekali memang si pemuda tampan
itu menanggapi pembicaraan siapa saja, termasuk un-
gkapan rasa penyesalan Kirana terhadap tindakan
yang dilakukan oleh Bintari. Tapi pemuda berbaju
buntung warna putih seperti warna celananya itu un-
gkapan rasa sendiri yang belum berani dibeberkan di
depan siapa saja.
"Mengapa kau tampak murung sekali, Raka?
Kau merasa kehilangan pujaan hati?" pancing Kirana
yang sebenarnya sudah tahu, tak mungkin Raka Pura
merasa kehilangan seorang kekasih atas kematian Bin-
tari. Gadis itu tahu, bahwa hati Raka Pura lebih terpi-
kat padanya ketimbang kepada Bintari. Sebab hubun-
gannya selama ini berjalan dengan baik-baik saja.
Bahkan Raka sesekali menampakkan kemesraannya
yang melambungkan jiwa Kirana.
"Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku setelah
kulihat mayat Bintari."
Kirana berkerut dahi. "Apa maksudmu?"
"Ada yang janggal dari kematian itu."
"Maksudmu, kepala Bintari hancur adalah sua-
tu kejanggalan? Ah, kau ini terlalu berlebihan jika
memikirkan sesuatu, Raka. Bintari tak punya cara lain
untuk bunuh diri kecuali dengan cara membenturkan
kepalanya ke dinding."
"Kurasa dia bukan bunuh diri. Tapi ada seseo-
rang yang membunuhnya."
Kirana terkesip. Bicaranya semakin pelan, ta-
kut didengar orang lain.
"Hati-hati bicaramu. Khayalan mu bisa mem-
buat Nyai Ratu menjadi lebih tegang lagi," bisik Kirana.
"Ini bukan khayalan, tapi dugaan yang punya
alasan, Kirana."
"Apa alasanmu menduga begitu?"
"Rahang mayat Bintari tampak membiru, seper-
ti bekas pukulan atau tendangan," bisik Raka Pura
makin pelan, membuat Kirana semakin tegang.
"Coba perhatikan lagi mayat itu. Perhatikan pa-
da rahangnya, Kirana!"
"Aku... aku tadi tak sempat memperhatikan ra-
hangnya."
"Kurasa ada seseorang yang sengaja membu-
nuhnya! Entah siapa orangnya."
"Kalau begitu perlu dibicarakan dengan Nyai
Ratu!" bisikan Kirana tetap bernada tegang.
"Aku tak berani bicara, karena takut membuat
suasana menjadi keruh kembali."
"Aku yang akan bicara pada Nyai Ratu!" tegas
Kirana, si gadis berlesung pipit dan bergigi gingsul itu.
Kirana pun akhirnya bicara kepada Ratu Sedap
Malam. Pembicaraan itu semula ingin dilakukan seca-
ra empat mata, tapi Kirana takut menyinggung tamu-
tamu lainnya. Akhirnya para tamu dan beberapa pen-
gawal Ratu Sedap Malam pun mendengar apa yang di-
katakan Kirana.
"Aku juga melihat luka memar di rahang mayat
Bintari," sahut si Lahar Jalanan yang berusia sekitar
tujuh puluh tahun itu. "Aku sependapat dengan Raka
Pura, bahwa ada seseorang yang sengaja membunuh
Bintari."
"Apa maksud orang itu membunuh Bintari?" uji
Nyai Sangkal Putung yang agak sangsi dengan penda-
pat tersebut.
"Mungkin orang itu tak ingin Bintari membe
berkan beberapa rahasia di depan kita. Terutama ra-
hasia tentang kekuatan Raja Amuk Jagal!"
"Tepat sekali, Paman!" sahut Raka Pura. "Aku
pun mempunyai pendapat seperti itu. Bintari tertang-
kap atau tidak tertangkap, Raja Amuk Jagal tetap
akan menyerang Pantai Rangsang. Tentu saja ia mem-
punyai beberapa rahasia, termasuk rahasia kekuatan
handalnya atau rahasia siasatnya! Orang yang mem-
bunuh Bintari tak ingin rahasia itu kita dengar pada
saat Bintari diadili. Maka satu-satunya jalan untuk
menjaga agar rahasia itu tidak bocor, Bintari harus di-
bunuh!"
"Kalau begitu di sini masih ada mata-matanya
si Amuk Jagal?!" ujar Nyai Sangkal Putung menyim-
pulkan kata-kata Pendekar Kembar sulung.
"Kurasa memang begitu, Nyai," jawab Raka Pu-
ra tanpa ragu-ragu lagi. Ratu Sedap Malam tertegun
mendengar percakapan tersebut. Hatinya berdebar-
debar dalam kesedihan.
"Tak kusangka pengikut ku banyak yang men-
jadi seorang pengkhianat. Apa salahku sehingga mere-
ka tega mengkhianatiku?" ujar sang Ratu seperti bica-
ra pada diri sendiri. Nada duka yang terucap dari mu-
lut sang Ratu membuat para tamu yang mendengarnya
menjadi terharu sekali. Mereka memendam keharuan
itu dengan mulut terbungkam dan membiarkan sang
Ratu mencurahkan keluhan hati.
"Kurasa selama ini aku selalu bersikap baik ke-
pada mereka. Mereka bukan kuanggap sebagai pega-
wai ku, tapi kuanggap sebagai muridku sendiri, bah-
kan lebih dari itu, kadang aku merasa mereka itu sau-
daraku, mengingat aku hidup tanpa seorang saudara
pun...."
Wajah cantik Ratu Sedap Malam diselimuti
mendung kedukaan yang kian menebal. Pada saat-saat
seperti itu, Ratu Sedap Malam yang bernama asli Wu-
landani mulai teringat akan nasibnya yang hidup tan-
pa sanak saudara.
Wulandani dilahirkan dalam istana sebuah ke-
rajaan yang bernama Purwanagari. Tetapi sejak bayi ia
dibuang oleh ayahnya, karena dianggap anak haram,
hasil hubungan gelap sang permaisuri dengan pemuda
lain, ia dibuang di Pantai Rangsang yang masih men-
jadi wilayah kekuasaan Kerajaan Purwanagari. Ia di-
asuh oleh seorang inang yang amat setia kepadanya,
sampai akhirnya sang inang pun meninggal ketika Wu-
landani berusia empat belas tahun.
Ia pun berpindah asuhan ke tangan Resi Bala-
suma dan menjadi murid sang Resi. Sedangkan kera-
jaan milik ayahnya itu kini telah dihancurkan oleh pi-
hak musuh dan dikuasainya. Seluruh keluarga istana
tewas dalam pertempuran tersebut. Resi Balasuma
sendiri kini telah tewas. Praktis hidup Wulandani men-
jadi sebatang kara. Satu-satunya guru yang masih ser-
ing mendengar keluh kesahnya adalah Nyai Sangkal
Putung.
Sekalipun Ratu Sedap Malam hanya perdalam
ilmu pengobatan kepada Nyai Sangkal Putung dalam
waktu beberapa bulan saja, namun hubungan Itu sela-
lu dijaganya agar tetap baik, mengingat ia butuh seo-
rang yang dapat dijadikan pengganti guru sekaligus
orang tuanya.
Dalam usia tiga puluh lima tahun, Wulandani
sudah berhasil mendirikan sebuah pesanggrahan yang
menyerupai istana kecil itu. Ia menobatkan dirinya se-
bagai Ratu di Pantai Rangsang, karena merasa Pantai
Rangsang adalah wilayah kekuasaan ayahnya; Raja
Purwanagari. Dengan menobatkan diri sebagai Ratu,
pihak musuh lama Kerajaan Purwanagari tidak bisa
semena-mena menguasai wilayah Pantai Rangsang.
Selama ini Ratu Sedap Malam selalu menjalin
hubungan baik dengan tokoh-tokoh persilatan, seperti
Ki Sela Giri alias si Lahar Jalanan dan yang lainnya.
Bahkan ia juga bersahabat baik dengan Nyai Rempah
Arum serta si Mulut Guntur, gurunya Kirana. Hubun-
gan baik itu membuat mereka tak rela jika ketenangan
pesanggrahan Pantai Rangsang diusik oleh pihak lain,
sehingga Nyai Sangkal Putung dan muridnya; si Mata
Bidadari, juga Lahar Jalanan yang kebetulan waktu itu
berkenalan dengan Pendekar Kembar, merasa perlu
mendampingi Ratu Sedap Malam untuk beberapa saat,
karena ada kabar dari si Mata Bidadari bahwa pe-
sanggrahan Pantai Rangsang akan diserang oleh Raja
Amuk Jagal.
Tentu saja jiwa Ratu Sedap Malam terpukul se-
kali atas munculnya mata-mata di antara para murid
dan pengawalnya. Sekalipun demikian, Ratu Sedap
Malam tidak bermaksud menjatuhkan hukuman mati
untuk Bintari. Sebenarnya ia hanya ingin membuat
Bintari sadar dan melepaskan 'obyek sampingannya'
sebagai mata-mata Raja Amuk Jagal. Tapi ternyata ga-
dis itu telah tewas dengan kesan bunuh diri.
Setelah mendengar penuturan Raka Pura dan
Kirana, sang Ratu pun ingat saat Bintari belum meng-
hembuskan napas terakhirnya. Mata-mata cantik itu
ingin sampaikan sesuatu padanya, namun sang nyawa
keburu pergi tinggalkan raga selama-lamanya.
"Gus... ti... ad... ada...," itulah kalimat yang
terngiang di telinga Ratu Sedap Malam ketika meme-
riksa keadaan Bintari. Kalimat itu pun ditirukan kem-
bali di depan para tamunya, sehingga Raka Pura, si
Pendekar Kembar sulung, segera angkat bicara me-
nyimpulkannya.
"Barangkali maksud Bintari saat itu ingin men-
gatakan: 'Gusti, ada mata-mata lain yang perlu segera
di cari dan ditangkap'. Kira-kira begitulah yang ingin di
sampaikan oleh Bintari, Nyai Ratu!"
Ratu Sedap Malam diam sesaat, hatinya mem-
benarkan kesimpulan Pendekar Kembar sulung. Tapi
ia pun tak tahu, siapa mata-mata lain yang ada di da-
lam pesanggrahannya itu. Hanya saja, setelah ia diam
beberapa saat, ia bangkit dari tempat duduknya dan
melangkah dengan mata menerawang.
"Lebih dari setahun yang lalu Bintari kutemu-
kan terdampar di pantai sebelah barat. Ia mengaku se-
bagai penumpang kapal dari Selat Seberang yang ter-
kena musibah. Kapal itu dirampas oleh para peram-
pok, penumpangnya dibantai. Hanya dia dan Trimira
yang selamat. Kemudian kami menolong mereka, dan
selanjutnya kuanggap sebagai orangku sendiri. Selama
ini Bintari dan Trimira selalu menunjukkan sikap baik
padaku, patuh dan penuh pengabdian, sehingga aku
sering terkesan oleh sikap mereka itu."
Lahar Jalanan segera menyahut, "Sebagai apa
Trimira di sini?"
"Karena ternyata Trimira mempunyai ilmu lebih
tinggi dari Bintari, maka ia ku tempatkan sebagai pen-
gawal depan. Ia selalu berhasil menyingkirkan para
tamu yang bermaksud tidak baik pada kami, Paman."
"Apakah kau pernah melihat gelagat yang tak
beres pada diri Trimira?" tanya Nyai Sangka! Putung.
"Tidak, Nyai Guru! Seperti kataku tadi, Trimira
dan Bintari selalu tunjukkan sikap baik di depanku,
dan aku tak pernah mendapat pengaduan dari rekan-
rekannya tentang hal-hal yang tidak beres dari mereka.
Jadi aku sama sekali tak menduga kalau Bintari ter-
nyata mata-matanya Raja Amuk Jagal."
"Dari mana dia bisa berhubungan dengan pihak
Pulau Kucil itu?!" tanya Lahar Jalanan, yang seper-
tinya juga ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Barangkali ketika dia dan beberapa orang kuu-
tus untuk mengejar si pencuri pusaka dari pulau ke
pulau itulah ia sempat bertemu dengan Raja Amuk
Jagal. Karena menurut pengakuan Bintari, mereka ju-
ga sempat singgah ke Pulau Kucil mencari si pencuri
pusakaku itu."
"Apakah pencuri pusaka itu sudah tertangkap?"
sela Pendekar Kembar sulung.
"Ya. Kami sudah berhasil dapatkan pusaka itu
kembali. Ternyata pencurinya orang Tanah Keramat
yang bernama Panji Doyok."
Hati si pemuda tampan itu sedikit tersentak
kaget, karena ia juga mengenal nama Panji Doyok. Ia
jadi tak enak hati, walau tak mengatakan bahwa ia
kenal dengan keluarga Panji Doyok, termasuk Nyai
Gantari dan si Bunga Dewi; nenek dan adik Panji
Doyok itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode: "Korban Kitab Leluhur).
"Peristiwa itu terjadi sekitar empat bulan yang
lalu," tambah Ratu Sedap Malam.
Nyai Sangkal Putung segera berkata, "Supaya
tak menjadi berlarut-larut, sebaiknya periksalah se-
mua orang-orang tanpa kecuali, termasuk si juru ma-
sak itu."
Kirana menimpali, "Kurasa itu langkah yang
terbaik, Nyai Ratu! Aku sependapat dengan Nyai Sang-
kal Putung! Periksa semua orang pesanggrahan seka-
rang juga, sebelum mata-mata itu akhirnya melarikan
diri atau memakan korban lain."
Ratu Sedap Malam menatap Raka Pura. Pemu-
da itu manggut-manggut kecil, pertanda mendukung
pendapat Kirana. Kemudian mata sang Ratu pun meli-
rik ke arah Lahar Jalanan. Pak Tua berbaju hijau cela-
na coklat yang tak pernah lepas dari tudung kepalanya
itu segera mengendurkan tali tudung, karena tudung
itu dalam keadaan digantungkan ke punggung.
"Lakukan saja saran itu. Tak ada salahnya kita
mencegah bahaya sedini mungkin," ujar si Lahar Jala-
nan.
Ratu Sedap Malam segera keluarkan perintah
kepada Muryana yang sejak tadi berdiri jauh di bela-
kang sang Ratu, menjaga keamanan ratu cantik itu.
"Kumpulkan semua orang di halaman samp-
ing!"
"Baik, Gusti." Muryana pun bergegas pergi, se-
mentara yang tinggal di paseban sebagai pengawal pri-
badi sang Ratu adalah gadis bertubuh sintal dengan
mengenakan baju buntung warna coklat tanah dan ce-
lana ketatnya yang juga berwarna coklat tanah. Ia ada-
lah wakil Muryana yang bertugas menyelamatkan
nyawa Ratu jika sewaktu-waktu terjadi bahaya.
Gadis itu bernama Umbari. Pendekar Kembar
sulung dan para tamu lainnya mengetahui nama itu
lantaran si gadis segera menghadap sang Ratu dan
namanya disebutkan oleh sang Ratu.
"Ada apa, Umbari?!" sambil sang Ratu kerutkan
dahinya pertanda heran melihat Umbari tahu-tahu
menghadap dan memberi hormat. Badannya sedikit
dibungkukkan, kepala ditundukkan, kedua tangan sal-
ing genggam menjadi satu di dada.
"Gusti Ratu, saya mohon ampun, Gusti Ratu!"
"Kenapa kau mohon ampun?! Apa maksudmu,
Umbari!"
"Kematian Bintari memang bukan karena bu-
nuh diri! Sayalah yang membunuhnya, Gusti Ratu!"
Bagai petir menyambar tengkuk, Raka Pura ter-
sentak kaget bersama para tamu lainnya, termasuk
sang Ratu sendiri. Pengakuan tegas itu dilontarkan
oleh Umbari dengan suara jelas, seakan menendang
jantung siapa pun yang mendengarnya. Kirana pun
segera bergegas ke belakang Umbari dengan wajah pe-
nuh curiga.
Umbari justru jatuh berlutut dan semakin tun-
dukkan kepala.
"Umbari, apakah kau sadar dengan bicaramu?!"
ujar sang Ratu seperti tak percaya dengan pendenga-
rannya.
"Saya sadar, Gusti Ratu! Memang saya yang
membunuh Bintari. Kebetulan semalam saya meng-
gantikan tugas Wujati menjaga kamar tahanan Bintari.
Saya masuk dan menghantamnya dua kali hingga ke-
pala Bintari membentur dinding."
"Edan!" gumam Nyai Sangkal Putung yang tam-
pak mulai gusar.
Pengakuan itu dilontarkan dengan polos, dan
sepertinya Umbari siap hadapi hukuman apa pun yang
bakal dijatuhkan oleh sang Ratu. Raka Pura meman-
dang gadis itu tak berkedip, karena merasa salut meli-
hat keberanian Umbari yang melontarkan pengakuan-
nya di depan Ratu dan para tamunya.
"Jika benar kau yang membunuh Bintari, men-
gapa hal itu kau lakukan, Umbari?!" tanya sang Ratu,
dan para tamu pun menunggu jawaban dari Umbari
dengan hati berdebar-debar. Bahkan Kirana tampak
mulai tegang, sepertinya memendam kegeraman dan
memendam hasrat untuk menghajar Umbari.
*
* *
2
RUPANYA Umbari mendengar percakapan sang
Ratu dan para tamunya sejak tadi. Apa yang di dengarnya secara samar-samar itu mendorong hatinya un-
tuk mengakui perbuatannya. Tentu saja Umbari mem-
punyai alasan tersendiri dan sudah siap hadapi risiko
apa pun.
Gadis berambut pirang yang panjangnya seba-
hu dan menyandang pedang di punggung itu tetap
tundukkan kepala dl depan ratunya. Sesekali ia men-
gangkat kepala jika sedang menjawab pertanyaan sang
Ratu. Wajah cantiknya yang berhidung bangir dengan
bibir mungil itu tidak menampakkan rasa takut sedikit
pun. Bahkan ia kelihatan tenang saat menjelaskan
alasannya kepada sang Ratu.
"Bintari mata-mata Raja Amuk Jagal, jadi harus
dibunuh! Ia tak layak untuk hidup di dalam pe-
sanggrahan ini, Gusti Ratu!"
"Tapi itu wewenangku, Umbari! Menjatuhkan
hukuman mati atau tidak, itu bukan wewenang mu!"
"Ampun, Gusti! Jika Bintari tidak dibunuh, se-
kalipun sudah mendapat pengampunan, maka ia akan
kembali berpihak kepada Raja Amuk Jagal, Gusti!"
"Dari mana kau tahu?!"
"Saya adalah orang paling dekat dengannya!"
"Itu bukan alasan, Umbari! Kurasa kau hanya
takut kalau Bintari beberkan rahasia yang dimilikinya,
terutama rahasia yang ada pada Raja Amuk Jagal!"
pancing sang Ratu dengan tuduhan langsung. "Kau
pasti mata-mata mereka, Umbari! Akuilah itu!"
"Benar, Gusti!"
Para tamu tersentak bersama. Pengakuan itu
terucap dengan jelas dan tegas, dengan wajah terang-
kat menatap sang Ratu. Pengakuan itu justru mem-
buat Ratu Sedap Malam mundur selangkah. Kirana
tampak semakin menggeram, kedua tangannya sudah
menggenggam kuat-kuat. Tapi ketika ia melirik Raka
Pura, si Pendekar Kembar sulung memberi isyarat
dengan kedipan mata dan gerakan tangan halus agar
Kirana jangan bertindak apa pun. Akhirnya Kirana
hanya tarik napas dalam-dalam.
"Tak kusangka kau tega mengkhianatiku, Um-
bari!" ujar sang Ratu bernada sedih.
"Gusti Ratu, Bintari dan saya menjadi mata-
mata pihak Pulau Kucil sejak tiga bulan yang lalu, se-
pulangnya Bintari dari mengejar pencuri pusaka itu.
Tetapi saya belum pernah lakukan sesuatu yang bersi-
fat mengkhianati pesanggrahan," ujar Umbari dengan
tegas.
"Jelaskan maksudmu, Umbari!"
"Bintari berkenalan dengan seorang pemuda
dari Pulau Kucil yang bernama Laksamada! Tujuh hari
setelah Bintari pulang dari mengejar pencuri pusaka
itu.
Laksamada datang ke Pantai Rangsang bersa-
ma sahabatnya yang bernama Runggana. Kebetulan
pada waktu itu, Bintari mengajak saya untuk berjalan-
jalan dl pantai, ternyata ia bermaksud perkenalkan si
Laksamada dan Runggana kepada saya."
Sampai di situ, Umbari hentikan ucapannya
sebentar. Ia melirik ke arah Raka Pura. Entah apa
maksudnya, tapi setelah itu ia berkata lagi dengan na-
da ragu-ragu.
"Runggana mempunyai wajah dan potongan tu-
buh seperti Raka Pura. Ia tampan dan menarik hari."
"Kalau begitu, Raka Pura juga tampan dan me-
narik hati?!" sela Nyai Sangkal Putung. Umbari tun-
dukkan kepala, menggigit bibirnya, tak berani menja-
wab pertanyaan itu. Sementara Kirana menjadi berang,
namun keberangannya tetap hanya bisa ditahan dalam
hati. Raka Pura sunggingkan senyum dikulum sambil
buang muka sebentar.
"Lanjutkan penjelasan mu tadi, Umbari!" perin
tah sang Ratu.
"Terus terang, saya sempat terpikat dengan
Runggana yang bertutur kata lembut dan mengesan-
kan itu. Sedangkan Bintari terpikat kepada Laksama-
da. Kami berdua sering lakukan pertemuan secara
sembunyi-sembunyi dengan kedua pemuda tersebut.
Bintari melangkah terlalu jauh, sementara saya masih
jaga jarak dengan Runggana."
Ratu Sedap Malam manggut-manggut sambil
tetap pandangi wajah Umbari. Yang lain pun menatap
Umbari dengan mulut terbungkam. Seakan mereka
menyimak betul apa yang dituturkan oleh Umbari.
"Kedua pemuda itulah yang membujuk kami
untuk memihak Raja Amuk Jagal. Mereka mengha-
rapkan agar kami mau menjadi mata-mata Raja Amuk
Jagal untuk yang selalu memberi kabar tentang kele-
mahan-kelemahan Gusti Ratu dan orang-orang pe-
sanggrahan ini. Secara empat mata dengan Bintari,
saya menolak tawaran itu. Tapi Bintari mendesak saya
terus agar mau sepakat dengannya."
"Mengapa akhirnya Bintari mau menjadi mata-
mata?"
"Karena Bintari selalu ingin mendapatkan ke-
puasan dari Laksamada, yang menurutnya pandai
memuaskan gairahnya. Padahal Bintari sendiri juga
naksir Prapanca...."
"Adiknya muridku itu?!" sahut Nyai Sangkal
Putung.
"Benar, Nyai!" jawab Umbari. "Tapi Prapanca
tak pernah mau memberikan kepuasan kepada Bintari!
Akhirnya Bintari nekat menjadi mata-mata pihak Pu-
lau Kucil agar selalu dapatkan kepuasan dari Laksa-
mada."
"Mengapa kau tidak katakan hal itu padaku?"
tanya sang Ratu.
"Tentunya Bintari akan menyuruh Laksamada
dan Runggana untuk membunuh saya jika sampai hal
itu saya sampaikan kepada Ratu. Sejujurnya saja, se-
jak saat itu saya jadi tidak tertarik lagi dengan Rung-
gana. Tapi saya harus berlagak tetap tertarik, dan
bahkan saya berpura-pura mendukung tindakan Bin-
tari, menjadi mata-matanya pihak mereka. Dengan be-
gitu, seluruh rencana dan rahasia yang dimiliki Raja
Amuk Jagal dapat saya ketahui juga."
Lahar Jalanan manggut-manggut, pertanda
memahami apa yang dituturkan oleh Umbari. Nyai
Sangkal Putung pun tampak menyimak baik-baik tiap
ucapan gadis itu. Raka Pura diam-diam bergeser hing-
ga ia berada di dekat Kirana.
"Tapi saya tak menyangka kalau Raja Amuk
Jagal kirimkan si Dewa Pancung untuk lakukan keke-
jaman seperti yang sudah kita lihat itu. Saya pun ma-
sih sering melihat Laksamada berkeliaran di sekitar
pesanggrahan kita, menjaga keselamatan Bintari dan
saya. Sebab dalam perjanjian itu, Bintari minta perlin-
dungan sepenuhnya oleh Laksamada, dan Laksamada
menyanggupinya. Runggana sendiri menyanggupi akan
selamatkan nyawa saya jika sewaktu-waktu saya te-
rancam. Tapi kesanggupan itu tidak saya hiraukan."
"Lalu, mengapa kau bunuh Bintari?"
"Bagaimanapun juga, ia tetap akan menjadi du-
ri dalam tubuh kita, Gusti Ratu! Selama ia masih in-
ginkan kehangatan asmara Laksamada, maka ia tetap
akan berbakti kepada Laksamada. Apa yang diperin-
tahkan pemuda itu akan dituruti oleh Bintari. Hanya
satu yang tidak berani dilakukan oleh Bintari, yaitu
membunuh Gusti Ratu sendiri! Namun sekalipun de-
mikian, saya selalu waspada terhadap segala gerak-
gerik Bintari. Jika sampai ia mulai punya keberanian
untuk membunuh Gusti Ratu, maka sayalah orang
pertama yang akan tewas dibunuhnya!"
Hati sang Ratu tersiram keharuan mendengar
pengakuan itu. Namun keharuan itu tetap saja dipen-
dam dalam hatinya dan dijaga agar tak terlihat oleh
Umbari.
"Untuk menghilangkan duri dalam tubuh kita,
Bintari harus dibunuh! Dengan begitu, tak ada lagi
mata-mata di pihak kita yang selalu membocorkan be-
berapa rahasia penting kepada pihak Raja Amuk Jagal.
Dengan terbunuhnya Bintari, saya bebas bicarakan
beberapa rahasia pihak lawan. Ke mana pun saya per-
gi, saya tidak akan merasa terancam oleh orang-orang
Pulau Kucil yang sering kunjungi Pantai Rangsang
dengan berbagai macam penyamaran."
"Apakah kau yakin kalau kematian Bintari ti-
dak tercium oleh Laksamada?"
"Laksamada sudah tahu bahwa yang membuat
Bintari diketahui sebagai mata-mata adalah Dewa
Pancung."
"Kapan dia mengetahuinya?"
"Pada saat orang-orang Suku Ampar melabrak
kita, lalu kepala sukunya memenggal Dewa Pancung,
saya melihat Laksamada bersembunyi di atas pohon.
Dengan begitu dia tahu, Bintari tertangkap bukan ka-
rena saya, tapi karena Dewa Pancung."
"Hmmm...," Nyai Sangkal Putung perdengarkan
gumamnya sambil angguk-anggukkan kepala. "Kalau
begitu, sekarang Laksamada masih ada di sekitar si-
ni?"
"Dia memang mempunyai tempat di sekitar
Pantai Rangsang, Nyai! Enam bulan yang lalu dia iba-
rat ditanam oleh Raja Amuk Jagal dl salah satu tempat
sekitar Pantai Rangsang."
"Kau tahu tempatnya?" tanya Raka Pura.
"Ya, aku tahu!" jawab Umbari sambil sedikit
menengok ke belakang, karena Raka Pura ada di bela-
kangnya.
"Kau bisa tunjukkan padaku di mana tempat
tinggal si Laksamada itu?"
"Bisa!" jawab Umbari tegas menyatakan ke-
sanggupannya.
"Tunggu dulu," sergah si Lahar Jalanan. "Um-
bari, kesimpulanku mengatakan bahwa kau sebenar-
nya masih setia pada ratumu ini! Justru kau menjadi
mata-matanya pihak pesanggrahan ini! Tentunya kau
banyak mengetahui rahasia di pihak lawan. Apakah
kau bisa jelaskan rahasia apa yang kau ketahui ten-
tang rencana penyerangan si Raja Amuk Jagal itu?"
"Berdirilah, bicara dengan bebas!" sela sang Ra-
tu yang merasa kasihan melihat Umbari berlutut terus.
Maka Umbari pun berdiri dengan sikapnya yang tetap
menghormat.
"Laksamada dan Runggana yakin, pesanggra-
han Pantai Rangsang akan berhasil direbut oleh Raja
Amuk Jagal. Sudah lama Raja Amuk Jagal mengincar
tempat ini. Karena menurutnya, tempat ini menyimpan
sesuatu yang amat berharga."
"Apa yang dimaksud sesuatu yang amat ber-
harga itu?!"
"Laksamada tidak katakan. Tapi Runggana
pernah ceritakan pada saya, bahwa beberapa tahun
yang silam, ketika pantai ini belum ditempati dan ma-
sih perawan, sebuah kapal bajak laut singgah kemari
dan menanam harta karun di sini! Ketua bajak laut itu
berjuluk si Naga Barong!"
"Hmmm... cerita itu adalah sebuah dongeng.
Ayah ku pernah ceritakan hal itu ketika aku masih be-
rusia empat-lima tahun," ujar Nyai Sangkal Putung.
Umbari berkata lagi, "Naga Barong adalah ka-
kek buyutnya Raja Amuk Jagal. Menurutnya, harta
karun itu sampai sekarang masih terpendam di salah
satu tempat di wilayah Pantai Rangsang. Tapi entah di
sebelah mana. Raja Amuk Jagal ingin mencari harta
karun itu. Tentunya jika Pantai Rangsang masih diku-
asai oleh Gusti Ratu, maka ia tak akan bebas mencari
harta karun tersebut. Karenanya, ia perlu menyingkir-
kan Gusti Ratu dan mengambil alih kekuasaan di Pan-
tai Rangsang ini!"
Semua orang saling beradu pandang ketika
Umbari diam sesaat, suasana hening sebentar. Raka
Pura pun menatap Kirana, dan Kirana balas meman-
dang sambil perdengarkan bisikannya kepada Raka.
"Percayakah kau pada kisah itu?"
Raka Pura sentakkan kedua pundak. "Kita lihat
saja kelanjutannya!"
Nyai Sangkal Putung berkata kepada Lahar Ja-
lanan.
"Cerita itu hanya isapan jempol yang dipercaya
oleh si Amuk Jagal!"
"Belum tentu!" ujar Lahar Jalanan. "Bagi kita
mungkin cerita tersebut memang layak dianggap seba-
gai isapan jempol. Tapi bagi keturunan si Naga Barong,
mungkin bukan sebagai isapan jempol, melainkan se-
bagai kenyataan!"
"Maksud Paman...," ujar sang Ratu. "Amuk
Jagal mendapatkan keterangan yang sangat bisa di-
percaya, sehingga ia nekat ingin memburu harta karun
itu?"
"Kira-kira begitulah yang dialami si Raja Amuk
Jagal! Sebab kalau tidak, mengapa ia harus repot-repot
merebut wilayah mu ini, Nyai Ratu? Mengapa ia tidak
merebut wilayah Lembah Gerhana yang dulu adalah
wilayahnya sendiri? Memang Lembah Gerhana sudah
dikuasai oleh pihak Ratu Rias Rindu. Tapi bukankah
sekarang Ratu Rias Rindu sudah dikabarkan tewas di
tangan Dewa Perintang?! Tentunya si Raja Amuk Jagal
punya kesempatan untuk kuasai Lembah Gerhana
kembali?!"
"Raja Amuk Jagal bukan orang tuli, Sela Giri!"
ujar Nyai Sangkal Putung. "Tentunya Raja Amuk Jagal
tahu bahwa saat sebelum Ratu Rias Rindu mengejar
pusakanya yang bernama Pedang Bulan Madu dan ak-
hirnya tewas di tangan Dewa Perintang, ia sudah me-
nebarkan racun di seluruh Lembah Gerhana. Racun
itu menyatu dengan tanah dan menyebarkan asap be-
racun, sehingga wilayah itu tak bisa ditempati lagi..
Mana mungkin Raja Amuk Jagal mau kuasai Lembah
Gerhana lagi?!"
Raka Pura diam-diam membatin, "Oooh, jadi
Ratu Rias Rindu akhirnya tewas di tangan Eyang Dewa
Perintang?! Kurasa Soka pun belum tahu hal itu. Ka-
rena terakhir aku dan Soka berhadapan dengan Ratu
Rias Rindu, perempuan itu masih bisa larikan diri wa-
lau sudah terluka dan tetap dikejar oleh Eyang Dewa
Perintang," sambil Raka mengenang peristiwa itu, (Ba-
ca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Pemburu
Mahkota Dara").
Sang Ratu berkata lagi kepada Umbari, "Jika
benar di sini ada harta karun terpendam, perkiraan
mereka ada di sebelah mana harta karun tersebut?
Apakah kau mendapatkan keterangan itu juga, Umba-
ri?"
"Tidak, Ratu! Seperti yang saya katakan tadi.
Raja Amuk Jagal belum tahu di mana persisnya harta
karun itu dipendam. Tapi menurut Runggana, harta
karun itu bernilai tinggi, dapat dipakai membangun
sebuah istana megah dan tak habis dimakan tujuh tu-
runan!"
Sang Ratu angguk-anggukkan kepala kembali.
"Laksamada dan Runggana termasuk ditu
gaskan mencari perkiraan letak harta karun itu, Gus-
ti!" tambah Umbari.
"Baiklah, itu urusan mereka. Aku belum bisa
percaya apa yang dikatakan Runggana kepadamu,
Umbari. Tapi kau tadi menyebutkan bahwa Raja Amuk
Jagal yakin bahwa ia dapat kuasai Pantai Rangsang
ini. Apakah dia mempunyai kekuatan yang melebihi
kekuatan kita?"
"Menurut pengakuan Laksamada terhadap Bin-
tari, dan Bintari ceritakan kepada saya, kekuatan itu
terletak pada diri Raja Amuk Jagal sendiri, Gusti Ratu.
Karena sekarang Raja Amuk Jagal telah perdalam il-
munya dan mempunyai satu senjata pusaka yang da-
pat untuk meleburkan seluruh penghuni pesanggra-
han ini!"
"Pusaka apa itu?!" sergah Raka Pura dengan
bernafsu ingin segera mengetahuinya.
"Ia memiliki Sabuk Biang Neraka!"
"Hhah...?!" Lahar Jalanan dan Nyai Sangkal Pu-
tung sama-sama tersentak kaget dengan wajah terpe-
rangah tegang. Rupanya kedua tokoh tua itu tahu per-
sis tentang kehebatan Sabuk Biang Neraka.
"Itu tak mungkin!" bantah Nyai Sangkal Pu-
tung. "Sabuk Biang Neraka adalah milik tokoh dalam
dongeng masa lalu, yaitu si Naga Barong! Aku yakin
semua ini hanya bualan si Amuk Jagal sendiri!"
Lahar Jalanan menyahut, "Jika Amuk Jagal
mengaku sebagai cucu buyut dari si Naga Barong, ma-
ka tentu saja dia memiliki pusaka warisan buyutnya
yang bernama Sabuk Blang Neraka itu! Atau jika me-
mang ia benar-benar memiliki Sabuk Biang Neraka,
maka ia memang benar-benar buyutnya si Naga Ba-
rong!"
"Celaka! Tempat ini bisa rata dengan tanah jika
benar ia memiliki pusaka itu!" ujar Nyai Sangkal Pu
tung sambil menggeram dengan tegang.
*
* *
3
BUNGA-BUNGA karang yang tumbuh di sekitar
Pantai Rangsang mempunyai bentuk keindahan ter-
sendiri. Dilihat sepintas, pantai itu memang tampak
cantik dan menarik. Bentuk bebatuan karang yang
bertebaran di sana-sini menyerupai taman laut yang
jarang dimiliki pantai lain. Oleh sebab itulah, pantai
tersebut dinamakan Pantai Rangsang, karena merang-
sang seseorang untuk mengagumi keindahan alamnya.
Pantai tersebut juga mempunyai hutan yang
berbukit-bukit. Bahkan bukit karang dengan tebingnya
yang curam pun mempunyai keindahan yang bercam-
pur hanya bisa dipandang dari jarak jauh.
Di sela-sela tebing curam itu, terdapat sebuah
gua tempat Pendekar Kembar bungsu dan si Mata Bi-
dadari diselamatkan oleh Dedengkot Iblis dari anca-
man maut asap beracun milik almarhum Dewa Pan-
cung, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Geger Pantai Rangsang"). Gua itu berhadapan lang-
sung dengan permukaan air laut. Tidak setiap orang
bisa mencapai gua tersebut, karena kemiringan te-
bingnya dan ketinggiannya dapat mendatangkan ke-
matian bagi orang yang coba-coba mendaki atau me-
nuruni tebing tersebut. Gua
tersebut dapat dicapai dari daratan di atasnya
dengan cara menggunakan jurus peringan tubuh yang
cukup tinggi, demikian pula jika ingin mendaki tebing
tersebut. Karena dinding karang tebing itu mempunyai
ketajaman yang bisa merobek kulit buaya, apalagi kulit
manusia.
Namun berkat jurus 'Badai Terbang', Soka Pura
alias si Pendekar Kembar bungsu berhasil membawa
gadis cantik bermata sangat indah itu mendaki tebing
curam yang mengerikan itu. Si Mata Bidadari berterus
terang bahwa ia tak sanggup mendaki medan yang
sangat berbahaya itu. Karena sedikit saja kaki tergelin-
cir maka ia akan jatuh dan menjadi sate di atas beba-
tuan karang runcing.
Tetapi Soka Pura melakukan pendakian itu
dengan menotok si Mata Bidadari lebih dulu. Gadis itu
terkulai lemas karena jalan darahnya terhenti. Kemu-
dian Soka Pura memanggul tubuh si gadis tinggi sekal
itu di pundak kirinya. Wuuuz...! Dengan pergunakan
jurus 'Badai Terbang' yang menyerupai roket melun-
cur, Soka Pura berhasil hinggap di salah satu batu ka-
rang runcing di pertengahan tebing. Sekalipun batu
karang itu seruncing ujung tombak, namun kaki Soka
Pura tidak tertembus keruncingan tersebut, karena il-
mu peringan tubuhnya membuat badannya seringan
kapas.
Huup, tab, tab, tab...!
Kejap kemudian si Pendekar Kembar bungsu
berhasil mencapai daratan di atas tebing karang terse-
but. Gadis cantik berbaju buntung warna merah tua
segera direbahkan di atas rerumputan. Soka Pura le-
paskan totokan si Mata Bidadari dengan menyodok
bagian bawah ketiak gadis itu memakai dua jari, seper-
ti paruh seekor burung yang mematuknya. Dees...!
"Setan urap! Lain kali kalau mau menotok ku
bilang-bilang dulu! Jangan main totok seenaknya!"
sentak gadis itu dengan berang, karena Soka tidak
meminta izin lebih dulu ketika ingin menotok dan
membawa si gadis tinggalkan gua tersebut.
"Maaf, aku lupa caranya meminta izin! Kuharap
kau jangan marah, Bidadari ku," sambil senyum Soka
yang menawan itu dipamerkan. Kemarahan gadis itu
pun reda jika melihat senyum si Pendekar Kembar
bungsu. Sekalipun wajah masih cemberut, tapi hati ti-
dak lagi merengut.
"Soka, mengapa kau tak pamit kepada Dedeng-
kot iblis saat mau meninggalkan gua? Aku takut dia
tersinggung dan marah padamu!"
"Seperti kau dengar sendiri kata-katanya kema-
rin, dia bersedia untuk tidak ikut campur urusan kita,
tapi kita diminta tinggal di gua itu sampai bulan pur-
nama tiba. Mau makan apa kita di gua itu? Bayangkan
saja!"
"Mungkin dia punya rencana sendiri untuk ki-
ta. Entah rencana apa, yang jelas bukan rencana ja-
hat!"
"Memang. Tapi kita punya urusan akan ter-
bengkalai! Bayangkan saja, kalau kita harus tinggal di
dalam gua itu bersamanya sampai malam bulan pur-
nama, sedangkan malam bulan purnama akan terjadi
sekitar dua belas hari lagi. Lantas berapa korban yang
akan berjatuhan dipenggal oleh si Dewa Pancung, ka-
rena orang itu masih bebas berkeliaran memburu
mangsanya!"
Dedengkot Iblis, tokoh berilmu tinggi yang dulu
menjadi penjaga Bambu Gading Mandul dan pernah
dikalahkan oleh Pendekar Kembar, (Baca serial Pende-
kar Kembar dalam episode: "Rahasia Dedengkot Iblis"),
kini memihak kepada Pendekar Kembar. Hal itu terjadi
akibat Soka Pura dalam siasatnya ketika bertarung
dengan Dedengkot Iblis mengaku sebagai keturunan
Prabawinih. Sedangkan Prabawinih adalah bekas istri
Dedengkot Iblis yang melarikan diri dan menikah den
gan orang lain karena Dedengkot Iblis menjadi murid
si Raja iblis. Kala itu Dedengkot Iblis yang mantan ksa-
tria dari sebuah negeri itu belum menggunakan nama
julukannya itu.
Soka Pura tahu tingkat ketinggian ilmu De-
dengkot Iblis dan cukup paham dengan watak tokoh
sakti itu yang liar dan ganas kepada lawannya. Dikha-
watirkan jika Dedengkot Iblis ikut campur urusan So-
ka, maka akan banyak korban yang menjadi salah sa-
saran dari jurus-jurus mautnya si Dedengkot Iblis.
Oleh karenanya, Soka Pura berusaha membu-
juk Dedengkot Iblis agar tak campuri urusannya. De-
dengkot Iblis mau turuti permintaan Soka, tapi ia min-
ta Soka tinggal di gua tersebut sampai bulan purnama
tiba. Ia tak jelaskan apa alasannya meminta Soka ting-
gal di gua karang tersebut, sehingga Soka memilih un-
tuk pergi secara diam-diam dari gua itu dengan mem-
bawa si Mata Bidadari, karena memang dia dan si Ma-
ta Bidadari ditugaskan oleh Lahar Jalanan untuk
memburu si Dewa Pancung. Soka dan si Mata Bidadari
belum tahu bahwa Dewa Pancung sudah tewas di tan-
gan kepala Suku Ampar.
"Kita pulang dulu ke pesanggrahan saja," usul
si Mata Bidadari.
"Tidak lanjutkan mencari Dewa Pancung lagi?!"
"Kita sudah tiga hari tinggal di dalam gua itu.
Guru ku pasti ingin tahu kabar kita. Jangan sampai
kita menjadi bahan kegelisahan mereka."
Soka Pura angkat dua pundaknya pertanda ter-
serah kepada putusan si Mata Bidadari. Gadis cantik
berambut keriting lembut sepanjang bahunya itu lang-
kahkan kaki lebih dulu sebagai bukti ketegasan dalam
bersikap. Soka Pura segera mengikutinya.
"Aku tak menyangka akan jumpa dengan tokoh
seangker Dedengkot Iblis itu," ujar si Mata Bidadari.
"Apakah kau masih takut padanya?"
"Sejak awal melihatnya aku tak punya rasa ta-
kut, hawa waswas saja. Tapi setelah tahu dia baik pa-
da kita, rasa waswas itu hilang."
"Beruntung sekali kita bertemu dia. Selain
nyawa kita tak jadi gentayangan, ilmu kita pun ber-
tambah."
"Ya, tapi aku tak tahu apakah ilmu pemberian
si Dedengkot Iblis itu tidak dilarang oleh guruku. Jika
memang Guru melarangku memakai ilmu itu, maka
lebih baik ku buang saja ilmu itu. Aku tak berani
membantah ketentuan Guru!"
"Nanti aku yang akan bicara pada Nyai Sangkal
Putung, gurumu! Aku akan berusaha meyakinkan pa-
da gurumu bahwa ilmu itu bukan ilmu hitam. Hitam
dan putih, tergantung pemiliknya. Jika dipakai untuk
kejahatan, maka ilmu yang putih apa pun akan men-
jadi hitam. Demikian pula sebaliknya, jika kita pakai
untuk kebaikan, maka ilmu itu tetap putih."
"Memang benar apa katamu. Tapi kadang gu-
ruku perasaannya terlalu peka. Beliau bisa saja mera-
sa tersinggung jika aku memiliki ilmu dari orang lain."
"Yah, kita coba saja bicara dengan beliau apa
adanya. Aku pun akan bicara pada ayahku, jika ayah-
ku melarang aku menggunakan jurus tersebut, maka
aku tak akan menggunakannya!" ujar Soka Pura sam-
bil terbayang saat berada di dalam gua bersama De-
dengkot Iblis.
"Senang sekali aku melihat kemesraan kalian.
Aku teringat masa-masa indah bersama Prabawinih,"
ujar Dedengkot Iblis kala itu. Suaranya bernada duka,
karena dalam hatinya mengalami penyesalan besar
atas musibah cintanya sampai ia kehilangan Prabawi-
nih.
"Kalian adalah pasangan yang kuanggap serasi.
Soka tampan, seperti aku di masa muda, dan Mata Bi-
dadari cantik, seperti Prabawinih. Kau memang punya
kemiripan dengan Prabawinih!" ungkapnya kepada si
Mata Bidadari.
"Keindahan matamu, bentuk rambutmu, pera-
wakan mu yang tinggi sekal begitu, membuat aku se-
perti berhadapan dengan Prabawinih."
Dedengkot Iblis tarik napas dalam-dalam. Se-
jengkal duka berusaha disingkirkan dari hatinya. Wa-
lau akhirnya hanya terpendam ke dasar hati.
"Kenyataan ini membuatku ingin menitipkan
ilmu pada kalian berdua."
"Ilmu apa itu?" tanya Soka Pura.
"Ilmu ini bukan milik Raja Iblis, tapi milik gu-
ruku yang pertama, yang kini tentunya sudah dima-
kamkan di Pegunungan Tibet. Ilmu ini dinamakan ilmu
'Sentuhan Dewata'."
"Apa kehebatan ilmu itu?"
"Dengan menguasai ilmu 'Sentuhan Dewata'
kalian bisa menyentuh lawan jenis dengan hanya
membayangkan apa yang ingin kalian sentuh. Kalian
juga bisa memukul dan menendang lawan jenis, sesuai
dengan bagian yang kalian pukul dan kalian tendang
dalam khayalan. Syaratnya, hanya bisa dilakukan ter-
hadap lawan jenis saja, dan lawan jenis itu harus bisa
tertangkap oleh pandangan mata. Sejauh apa pun ia
berada, jika masih bisa tertangkap oleh pandangan
mata, maka kalian bisa pergunakan jurus atau ilmu
'Sentuhan Dewata' itu."
"Hebat juga?!" gumam Soka Pura tak sadar. Si
Mata Bidadari segera meliriknya, seakan ia tahu ren-
cana usil dalam benak Soka. Akibatnya pemuda tam-
pan itu tersipu malu sendiri.
"Jika kalian tak bersedia, aku tidak memaksa,"
ujar Dedengkot Iblis dengan suaranya yang serak na
mun bernada tegas dan penuh wibawa.
"Aku bersedia!" sahut Soka Pura dengan kesan
bersemangat sekali. Si Mata Bidadari melirik kembali
ke arah Soka Pura. Pandangan mata Soka memberikan
isyarat agar si Mata Bidadari memberi pernyataan se-
pertinya. Maka murid cantik Nyai Sangkal Putung itu
akhirnya anggukkan kepala ketika pandangan mala
cekung Dedengkot Iblis tertuju kepadanya.
"Baik. Aku pun bersedia jika tidak mengandung
akibat buruk bagiku."
"Buruk dan baiknya akibat itu tergantung pada
dirimu sendiri," kata Dedengkot Iblis.
"Sebentar lagi aku pasti akan mati, karena ke-
tuaan usiaku," tambah Dedengkot Iblis. "Banyak ilmu
yang bisa kuturunkan, tapi aku tak akan sempat
mempunyai murid. Beberapa ilmu yang bisa kuturun-
kan akan ku berikan kepadamu Pendekar Kembar,
termasuk ilmu 'Getaran Senyawa'. Khusus untuk ilmu
'Getaran Senyawa' hanya bisa dimiliki oleh dua orang
yang sejenis; pria dengan pria, atau wanita dengan
wanita. Kebetulan kau adalah pemuda kembar. Ilmu
itu cocok untuk kalian. Panggil kakak kembar mu itu
dan akan kuturunkan ilmu 'Getaran Senyawa' kepada
kalian."
"Akan kuberi tahu kakakku nanti. Tapi... sebe-
lumnya aku ingin tahu apa kehebatan ilmu atau jurus
'Getaran Senyawa itu?"
"Kalian dapat bicara melalui batin sejauh apa
pun kalian terpisah. Dengan menahan napas dan
membayangkan kakak kembar mu, kau dapat bicara
dengannya dari gua ini."
"Menarik sekali! Kurasa kakakku akan bersedia
menerima ilmu itu!" ujar Soka Pura dengan berseri-
seri.
"Hanya ilmu-ilmu pemberian Guru pertama ku
yang ingin kutitipkan kepada kalian. Ilmu yang ku pe-
roleh dari Paduka Raja Iblis, tak baik kuberikan kepa-
da siapa pun!"
Rupanya sejak tugasnya sebagai penjaga
'Bambu Gading Mandul' sudah berakhir, karena bam-
bu itu sudah ditebang oleh Pendekar Kembar, si De-
dengkot Iblis mulai berhasrat untuk kembali pada jati
dirinya yang asli; sebagai seorang ksatria aliran putih.
Ia pun sadar bahwa usianya tak akan lama lagi berak-
hir. Sang maut akan datang dan ia akan menjadi pen-
gikut Raja Iblis yang abadi jika kematian itu sudah ti-
ba. Sisa hidupnya itu ingin dipergunakan untuk mem-
bagi ilmu kesaktiannya kepada orang-orang tertentu,
karena ia merasa tak punya waktu untuk mengangkat
seseorang untuk dijadikan muridnya. Kematian itu bi-
sa datang sewaktu-waktu, sedangkan menurunkan il-
mu membutuhkan waktu tersendiri. Ada yang singkat,
ada yang pendek.
Dedengkot Iblis sengaja memilih gua yang ter-
pencil itu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Gua
itu akan dijadikan tempatnya menurunkan ilmu kepa-
da orang yang berkenan di hatinya.
"Barangkali karena alasan itulah maka aku dan
si Mata Bidadari tak diizinkan memasuki lorong gua
yang lebih dalam lagi. Mungkin di sana ia menyimpan
setumpuk pusaka yang akan diwariskan kepada orang
yang terpilih oleh hatinya," ujar Soka Pura dalam hati,
sebelum menerima ilmu 'Sentuhan Dewata' itu.
Akhirnya ilmu tersebut diterima oleh Soka Pura
dan si Mata Bidadari hari berikutnya mereka berada di
dalam gua tersebut. Peresapan ilmu itu membutuhkan
tenaga besar, hingga Soka dan si Mata Bidadari seperti
terkuras tenaganya dan menjadi lemah, letih, lesu, dan
lelah. Mereka nyaris tak bisa berdiri selama seharian
penuh. Ketika kekuatan mereka sudah pulih kembali
pada esok harinya, tanpa setahu Dedengkot Iblis, me-
reka mencoba ilmu 'Sentuhan Dewata' itu. Diawali oleh
kenakalan Soka Pura yang memperhatikan si Mata Bi-
dadari secara diam-diam. Waktu itu, si Mata Bidadari
sedang pandangi ombak di tengah lautan jauh yang
bergulung-gulung. Tiba-tiba dalam benak Soka mem-
bayangkan sedang mencium tengkuk kepala si Mata
Bidadari, karena rambut gadis itu tersingkap oleh
hembusan angin. Cup...!
Tiba-tiba si Mata Bidadari terkejut dan cepat
berpaling sambil mengusap tengkuknya. Ia merasa se-
perti sedang dikecup oleh sepasang bibir hangat yang
nakal. Ketika ia tahu Soka Pura berada di belakangnya
sedang menatap dengan tersenyum-senyum, si Mata
Bidadari pun segera ingat tentang ilmu 'Sentuhan De-
wata'. Hatinya segera membatin sendiri.
"Hmmm, dia mulai nakal! Mungkin mencoba
ilmu itu. Bagaimana kalau sekarang kubayangkan se-
dang mencium bibirnya?"
Soka Pura terkejut, bibirnya merasa seperti di-
lumat dengan nakal oleh sepasang bibir hangat. Luma-
tan itu sangat jelas dirasakan, sampai timbulkan de-
bar-debar keindahan dalam hatinya.
Dengan mata menjadi sayu, Soka Pura berk-
hayal membalas lumatan bibir tersebut. Ternyata si
gadis semakin menggeliat. Kedua tangannya dibayang-
kan sedang merangkul tubuh Soka Pura yang berjarak
enam langkah darinya itu. Ternyata Soka pun merasa-
kan pelukan itu dengan sangat jelas.
Maka mereka pun akhirnya bercumbu dalam
bayangan, namun terasa dalam kenyataan. Sekujur
tubuh si gadis merasa dijamah dengan mesra oleh tan-
gan Soka Pura. Gairah bercinta pun semakin terbakar.
Si gadis sengaja menikmati jamahan tangan dan sa-
puan lidah hangat yang merayapi sekujur tubuh, hingga menyentuh pusat keindahannya. Si Mata Bidadari
hanya bisa bersandar pada batu tinggi dan mengeluh
mesra dengan keringat dingin mulai bercucuran.
Ia meresapi kemesraan aneh itu dengan meme-
jamkan mata. Jika ia ingin membalas kemesraan itu,
matanya sedikit dipicingkan agar bisa melihat Soka, la-
lu bayangan dalam benaknya membalas kemesraan itu
dengan mencium tubuh Soka dengan usapan tangan
yang juga menjelajahi tubuh kekar itu.
Ternyata kemesraan bayangan itu mampu
membuat si gadis mencapai puncak keindahannya be-
berapa kali. Ia seperti benar-benar sedang berlayar ke
lautan cinta dengan Soka Pura, sehingga pucuk-pucuk
kenikmatannya dapat diraihnya dengan sejuta keinda-
han.
Si Mata Bidadari pun terkulai lemas. Nafasnya
terengah-engah. Tubuhnya basah oleh keringat. Gera-
kannya yang tidak sadar membuat pakaiannya menja-
di morat-marit sendiri. Ketika ia memandang Soka Pu-
ra di seberang sana, pemuda itu pun mengalami hal
serupa. Mereka akhirnya saling sunggingkan senyum.
Si Mata Bidadari tampak malu namun wajahnya berse-
ri-seri dengan mata indahnya yang sayu karena masih
tersimpan sisa kemesraannya.
"Ternyata... Indah sekali, bukan?" bisik Soka
Pura saat mendekati gadis itu yang buru-buru merapi-
kan pakaiannya, takut si Dedengkot Iblis tahu-tahu
pulang dari kepergiannya.
"Mungkin lebih indah jika... jika...."
"Jika terjadi dalam kenyataan?" sahut Soka Pu-
ra. Si gadis makin tersipu lagi.
"Ah, entahlah! Kau memang nakal, Soka!"
Beberapa saat setelah itu, Dedengkot Iblis be-
nar-benar pulang dari kepergiannya. Rupanya ia pergi
untuk mencarikan makanan buat kedua anak muda
yang keringatnya masih tampak tersisa di sela-sela tu-
buh mereka. Pandangan mata cekung si tokoh beram-
but putih acak-acakan itu membuat mereka malu dan
salah tingkah.
"Rupanya kalian habis mencoba ilmu 'Sentuhan
Dewata' itu!" ujar Dedengkot Iblis.
Soka Pura dan si Mata Bidadari hanya terse-
nyum dan berusaha untuk tidak menatap mata si ju-
bah merah yang mempunyai tubuh kurus, jangkung
dengan kuku tajamnya yang berwarna hitam itu. Sorot
pandangan mata Dedengkot Iblis yang tanpa senyum
itu membuat mereka menjadi gelisah, ada perasaan
takut karena telah menggunakan ilmu baru mereka
untuk bercumbu. Sekalipun mereka sudah hindari
pandangan mata, tapi si Dedengkot Iblis tetap menatap
mereka dengan kesan angker. Mereka tak tahu apa
maksud pandangan mata tersebut.
*
* *
4
KETIKA Soka Pura membayangkan percum-
buan dengan si Mata Bidadari itu, tiba-tiba terdengar
suara ledakan yang cukup keras dari arah kedalaman
hutan. Duaaar...!
Langkah pun segera dihentikan, demikian pula
langkah si Mata Bidadari. Mereka saling pandang seje-
nak dengan wajah sedikit tegang.
"Suara pertarungan siapa itu?" gumam si Mata
Bidadari.
"Mungkin Dewa Pancung melawan orang lain!
Kita lihat saja ke sana!"
Mereka pun bergegas hampiri ke arah datang-
nya ledakan tersebut. Dari balik dua pohon berjajar,
Soka dan si Mata Bidadari memperhatikan sebuah per-
tarungan yang dilakukan oleh seorang pemuda berwa-
jah tampan, berkumis tipis dengan rambut ikalnya
yang sebahu diikat memakai ikat kepala biru tua.
Pemuda berpakaian serba biru itu sedang
menghadapi lawannya yang jauh lebih tua darinya.
Sang lawan berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih,
sedangkan pemuda itu baru berusia sekitar dua puluh
lima tahun. Sekalipun si pemuda bersenjata kapak
dua mata yang masih terselip di sabuk hitamnya itu
mempunyai tubuh gempal dan kekar seperti Soka Pu-
ra, tapi agaknya ia terdesak oleh pukulan jarak jauh si
kakek berjubah hijau lumut yang badannya kurus itu.
Kakek berambut putih pendek dengan ikat kepala hi-
tam itu juga belum mengangkat senjatanya berupa
cambuk hitam yang masih terselip di ikat pinggangnya
yang berwarna merah itu. Namun agaknya pukulan-
pukulan jarak jauhnya sukar ditahan oleh si pemuda.
"Siapa mereka? Kau kenal dengan mereka?" bi-
sik Soka.
Mata Bidadari gelengkan kepala, pertanda tak
mengenal keduanya. Soka sendiri masih merasa asing
kepada mereka yang bertarung itu. Karenanya ia ma-
sih belum mau bertindak apa-apa kecuali hanya diam
di tempat dan memperhatikan jurus-jurus si kakek
berjubah hijau lumut itu.
"Agaknya kakek itu dari aliran hitam," bisik si
Mata Bidadari.
"Dari mana kau tahu?"
"Wajahnya berkesan angker, menyeramkan.
Matanya yang cekung itu mempunyai ketajaman pan-
dang yang berkesan dingin. Mungkin ia bekas pembu-
nuh berdarah dingin!"
Soka Pura hanya manggut-manggut tipis. Pan-
dangannya berusaha diarahkan ke wajah si kakek
yang berkumis tebal beruban itu. Kedua alisnya yang
juga putih tebal itu membentuk garis naik, sehingga
wajahnya tampak angker. Sementara si pemuda la-
wannya berkesan simpatik, dan tergolong cukup ru-
pawan.
Sayang sekali ia tak bisa hindari sodokan dua
jari si kakek dari jarak lima langkah di depannya. So-
dokan dua jari itu keluarkan sinar putih perak yang
berbentuk seperti bintang kecil itu. Claap...!
Pada waktu itu si pemuda sedang bergegas
bangkit dari jatuhnya akibat pukulan tenaga dalam
tanpa sinar yang kenal dadanya tadi. Baru saja ia
mengangkat wajah, sinar putih perak seperti bintang
kecil itu melesat ke arahnya. Wees...! Pemuda itu
menghindar dengan sentakkan wajah ke samping. Tapi
sedikit terlambat, sehingga pipi kanannya terserempet
sinar putih tersebut. Sraaat...!
"Aaaow...!" pemuda itu memekik seketika sam-
bil jatuh terpelanting. Pipinya yang berkulit coklat
koyak dan menjadi hangus, seperti habis disambar be-
si panas. Ia mengerang kesakitan. Sementara sinar pu-
tih yang hanya menyerempet pipinya itu segera meng-
hantam batu di belakangnya. Taarr...! Benturan itu
timbulkan letupan kecil, tapi batu sebesar anak sapi
itu hancur seketika menjadi seperti serpihan kristal.
Pruuul...!
"Gila! Sinar putih itu berbahaya sekali?!" gu-
mam hati Soka Pura. "Hampir saja kepala pemuda itu
hancur seperti batu tersebut."
Sebenarnya si pemuda sudah mulai lemah. Ka-
rena luka yang mengoyakkan pipi kanannya hingga
menjadi hitam hangus dan berasap itu membutuhkan
tenaga besar untuk menahan rasa sakitnya. Namun
karena sang kakek berjubah hijau lumut masih le-
paskan serangannya yang serupa tadi, pemuda terse-
but segera cabut senjatanya. Kapak dua mata diha-
dangkan di depan dadanya yang menjadi sasaran sinar
putih perak berbentuk bintang itu. Claaap...! Wuut...!
Sinar putih tersebut akhirnya menghantam mata ka-
pak yang sudah memancarkan cahaya biru bening.
Blaaarr...!
Suara ledakan lebih dahsyat dari yang tadi ter-
dengar menggema memenuhi hutan pantai. Pemuda
itu terlempar ke belakang, terguling-guling sejauh tu-
juh langkah dari tempatnya tadi. Namun ia hanya
mengerang panjang menahan rasa sakit, karena ka-
paknya tadi menghantam dadanya sangat kuat, un-
tung bukan bagian yang tajam. Dada itu terasa mau
jebol, karena gelombang ledakan yang menghantam
tadi cukup besar dan keras.
Si pemuda bergegas bangkit, seakan tak mau
menyerah walau sudah mengalami luka parah pada
dua tempat: pipi dan dada. Kapak dua mata itu seka-
rang dimainkan, menebas ke kanan dan ke kiri.
"Hiah, hiah, hiah, hiah, heeeaah...!"
Pemuda itu lebarkan kaki rendahkan badan.
Kedua tangannya merentang, yang satu mengangkat
kapak di atas kepala, yang satu menggenggam kuat
sedikit ditekuk ke depan. Rupanya ia tunjukkan bah-
wa dirinya masih sanggup melawan si kakek berjubah
hijau.
"Sekarang saatnya ku cabut nyawamu untuk
menebus kematian cucuku, Jahanam!" geram si kakek
dengan pandangan mata semakin ganas.
"Aku bukan pembunuh cucumu, Bandot Se-
brang! Tapi jika kau mampu cabut nyawaku, aku pun
akan lebih dulu cabut nyawamu!"
"Keparaaaat...!"
Setelah berseru dengan ganas, si kakek yang
rupanya bernama Bandot Sebrang itu layangkan tu-
buhnya dalam gerakan bersalto cepat. Kedua kakinya
merapat, tubuhnya berguling di udara, dan ketika ka-
kinya menapak ke bumi, kaki itu tetap rapat, lalu ber-
jumpalitan kembali di udara. Gerakan tersebut dilaku-
kan dengan cepat dan berulang-ulang, membuat ja-
raknya semakin dekat dengan si pemuda.
Wuk, tap, wuk, tap, wuk, tap, wuk, tap.
Pemuda itu justru menerjang maju dengan
lompatan cepat membuat dirinya seperti bayangan
berkelebat. Weeess...! Siaap...! Soka Pura sempat bin-
gung ikuti gerakan si pemuda dengan pandangan ma-
ta. Tahu-tahu si pemuda sudah bertukar tempat, ia
berada di tempat si kakek berdiri tadi. Sementara si
kakek berada di tempat berdirinya si pemuda tadi.
Mereka beradu punggung sekejap, kemudian
sama-sama berbalik arah hingga berhadapan lagi. Si
Mata Bidadari terbelalak, demikian pula dengan Soka
Pura, karena begitu Bandot Sebrang berbalik arah, me-
reka melihat dada Bandot Sebrang terluka lebar oleh
tebasan kapak pada saat si pemuda menerjangnya.
Luka itu cukup panjang, dari pinggang kanan sampai
ke pundak kiri. Luka itu juga berwarna hitam dan ma-
kin lama bergerak semakin lebar.
Rupanya kapak itu bukan saja beracun ganas,
namun juga mempunyai hawa pembusuk yang cepat
membuat luka menjadi berbelatung.
Bandot Sebrang masih berdiri tegak, seakan tak
bisa ditumbangkan. Luka yang cepat busuk dan berbe-
latung itu segera diusap dengan tangan kanannya. Ke-
tika telapak tangan kanan menempel pada luka, asap
putih segera keluar dari tangan tersebut. Usapan tan-
gan bergerak sepanjang luka yang ada. Dalam sekejap,
luka itu lenyap tak tersisa sedikit pun. Bekas yang ter
sisa hanya pada baju dalam putih yang masih tetap
robek dari perut sampai pundak.
Tentu saja hal itu membuat pemuda itu tercen-
gang. Bahkan si Pendekar Kembar bungsu dan Mata
Bidadari juga tercengang melihat luka itu lenyap dalam
satu kali usapan tangan.
"Hebat juga ilmu si Bandot Sebrang itu!" bisik
Soka kepada Mata Bidadari. Tapi gadis itu tak perden-
garkan jawaban atau gumam pendek, ia sibuk perhati-
kan keadaan Bandot Sebrang yang tegar kembali.
Pemuda berpakaian serba biru itu serukan ka-
ta.
"Boleh juga ilmumu, Bandot Sebrang. Tapi be-
lum tentu bisa hadapi jurusku ini!"
Si pemuda segera ayunkan kapak dua mata itu
ke arah Bandot Sebrang dalam jarak sekitar enam
langkah, sambil ia serukan kata kembali.
"Rahang Siluman...!!"
Wuuusss...!
Begitu kapak diayunkan ke depan, salah satu
mata kapak terlepas dari gagangnya dalam keadaan
bercahaya pijar biru. Mata kapak itu melayang terbang
dengan gerakan memutar dengan cepat bagai piringan.
Arahnya ke leher Bandot Sebrang. "Rahang Silu-
man...!!"
Pemuda itu berseru kembali sambil sabetkan
kapaknya. Kini satu mata kapak yang tersisa itu juga
melayang terbang dalam gerakan memutar dengan
memancarkan cahaya biru pijar. Arahnya tetap tertuju
ke leher si Bandot Sebrang. Bedanya, mata kapak yang
kedua bergerak dari kiri, mata kapak pertama bergerak
dari kanan.
Wees, wees, wees, wees, wees...!
Rupanya 'Rahang Siluman' adalah nama jurus
yang membuat kedua mata kapak itu memutar cepat
dalam gerak layangnya, hingga menyerupai gumpalan
cahaya biru pijar. Kecepatan geraknya sempat mem-
buat Bandot Sebrang sedikit menggeragap, maka ia se-
gera bersalto mundur dengan lincahnya. Wuk, wuk,
wuk!
Jleeg...!
Dua mata kapak itu nyaris saling bertabrakan
di depan si Bandot Sebrang. Tapi gerakan melayang
kedua mata kapak itu ternyata berputar arah dan
kembali menuju kepada si Bandot Sebrang.
Dengan cepat Bandot Sebrang mencabut cam-
buknya. Kemudian cambuk itu dilecutkan secara be-
runtun ke kanan kiri, timbulkan letupan dan percik-
kan bunga api yang cukup keras.
Tar, tar, tar, tar, tar, tar!
Gerakan cambuk yang mirip ekor naga itu ak-
hirnya menyabet kedua mata kapak itu secara bertu-
rut-turut. Akibatnya timbul ledakan menggelegar dua
kali yang mengguncangkan tanah sekitarnya dan
menggetarkan pohon-pohon sekeliling mereka.
Blegaaar... blegaar...!
Kedua mata kapak itu padam seketika. War-
nanya menjadi putih mengkilap kembali. Tapi kedua
mata kapak itu tidak hancur atau gompal sedikit pun.
Bahkan retak pun tidak. Dan anehnya, gerakan mata
kapak yang semestinya terpental ke arah yang berla-
wanan, ternyata justru dengan cepat dan kembali ke
arah semula.
Pemuda itu masih acungkan gagang kapaknya
ke atas kepala. Maka kedua mata kapak itu pun hing-
gap kembali ke gagangnya seperti semula, seakan ga-
gang kapak itu mempunyai daya magnet tersendiri
yang mampu menyedot kedua mata kapak tersebut.
Trak, trak...!
Wuk, wuk, wuk, wuk...!
Pemuda itu mainkan kapaknya kembali dengan
diputar-putar ke samping atau di atas kepala. Ia pun
melangkah ke kiri dengan mata masih memandangi si
Bandot Sebrang. Luka di pipi dan dada tidak dihirau-
kan. Ia masih kuat menahannya.
Bandot Sebrang sendiri semakin geram melihat
lawannya sulit ditumbangkan. Dengan cepat ia melesat
maju sambil lecutkan cambuknya dalam dua kali sen-
takan beruntun. Ctar, tar...!
Di luar dugaan, cambuk tersebut mampu mele-
cut dalam gerakan meliuk dari arah semestinya. Aki-
batnya, kedua lecutan tersebut kenal lengan si pemu-
da dan merobek pergelangan tangannya.
"Aaow...!" pemuda itu terpekik karena luka
cambuk seperti luka bacokan senjata tajam. Kapaknya
jatuh ke tanah, karena pergelangan tangannya yang
robek mengerikan itu. Ia berusaha menyambar kapak-
nya dengan sedikit membungkuk, tapi lecutan cambuk
maut si Bandot Sebrang kembali kenal punggungnya
dengan telak.
Ctaaarr...!
"Aaaaaahk...!" pemuda itu berteriak keras den-
gan tubuh mengejang sesaat. Punggungnya robek ba-
gaikan terkena tebasan pedang. Ia pun segera jatuh
tersungkur sambil mengerang panjang. Brruuk...!
Bandot Sebrang sudah berdiri tiga langkah di
samping kanan pemuda itu.
"Kini saatnya kepalamu menjadi penebus ke-
matian cucuku, Jahanam! Heaaaah...!"
Bandot Sebrang seperti orang tak kenal ampun
lagi. Cambuknya yang mempunyai ketajaman seperti
pedang itu dilecutkan ke leher pemuda tersebut untuk
memenggal kepala si pemuda. Namun baru saja ia
mengangkat cambuknya, tiba-tiba tubuhnya tersentak
ke belakang secara berkali-kali seperti ada yang me
nendangnya secara beruntun. Bahkan suara dada di
tendang pun terdengar jelas di telinga Soka Pura.
Druk, druk, druk, druk, druk...!
Ploook...! Suara wajah disambar oleh tendangan
keras juga terdengar jelas di telinga Pendekar Kembar
bungsu. Anak muda berpedang kristal di pinggang ka-
nan itu terbelalak dan terheran-heran melihat Bandot
Sebrang terlempar ke samping sejauh empat langkah.
Tentu saja Bandot Sebrang sendiri kebingungan men-
cari lawan yang menyerangnya secara tiba-tiba itu.
Bahkan ketika ia berusaha untuk bangkit, tiba-
tiba tubuhnya tersentak ke belakang dengan keras
hingga terkapar menyedihkan.
"Aaahk...!" Bandot Sebrang semburkan darah
dari mulutnya. Ia merasa menerima tendangan berte-
naga dalam tinggi di dadanya, sehingga darahnya
muncrat dari mulut.
"Celaka! Ada orang yang membantu si jahanam
itu! Tapi di mana dia?!" pikir Bandot Sebrang. Ia segera
bangkit untuk mencari penyerangnya. Tapi ia tidak
temukan siapa pun. Hanya saja, tiba-tiba perutnya
merasa disodok dengan telapak tangan dari bawah ke
atas. Seakan ada orang di depannya dalam jarak satu
langkah kurang. Paak...! Tubuh kakek berjubah hijau
lumut itu tersentak naik, darah pun muncrat kembali
dari mulutnya.
Soka Pura yang tertegun bengong melihat nasib
si Bandot Sebrang segera ingat kekuatan ilmu
'Sentuhan Dewata' yang baru diperolehnya bersama si
Mata Bidadari. Dengan cepat wajah Soka berpaling
menatap Mata Bidadari.
"Hei, kaukah yang melakukannya?!"
Mata Bidadari berhenti, tapi pandangannya
masih tertuju kepada si Bandot Sebrang. Kakek itu ter-
lempar kembali merasa ditendang dengan tenaga besar
hingga tubuhnya terpental membentur pohon besar.
Duuuurr...! Pohon itu bergetar, daunnya berjatuhan.
"Hentikan!" sentak Soka sambil mengguncang
pundak Mata Bidadari. "Hentikan tindakanmu, Tolol!"
Wajah gadis itu dipaksakan berpaling ke arah-
nya. Mata mereka saling bertatap tajam.
"Jangan gunakan ilmu itu untuk campuri uru-
san mereka, Bodoh!" hardik Soka dalam bisikan.
"Dia ingin membunuh pemuda itu!"
"Itu urusan dia!"
"Tapi pemuda itu tidak membunuh cucu si
Bandot Sebrang! Pemuda itu sudah tak berdaya masih
ingin diserang juga!"
"Itu urusan mereka, Bidadari! Kita belum tahu
persis siapa yang bersalah!"
"Tap... tapi aku tak tega melihat pemuda itu
terluka sebegitu parah dan, oh... lihat! Dia sudah mu-
lai sekarat!"
Tubuh pemuda itu memang menyentak-
nyentak dalam keadaan tengkurap. Darah mengalir de-
ras dari punggungnya yang koyak lebar itu. Sedangkan
si Bandot Sebrang sudah tak tampak. Rupanya kakek
itu melarikan diri begitu sadar bahwa ia sekarang ber-
hadapan dengan lawan yang tak bisa dilihat oleh mata
normal. Di samping itu, Bandot Sebrang merasa lu-
kanya cukup parah, sehingga ia butuh tempat dan
waktu untuk sembuhkan luka dalam tersebut. Maka ia
lebih baik tinggalkan tempat daripada mati tanpa me-
lihat rupa lawannya.
Luka yang amat parah membuat pemuda itu
hampir saja kehilangan nyawanya. Beruntung sekali di
situ ada Pendekar Kembar bungsu yang mempunyai
jurus penyembuhan bernama 'Sambung Nyawa' itu.
Maka tangan Soka yang sudah memancarkan cahaya
ungu pijar itu ditempelkan ke tengkuk kepala si pemu
da malang.
Cahaya ungu dari perpaduan antara hawa
murni dengan tenaga inti gaib itu bagaikan meresap ke
dalam tubuh si pemuda. Tubuh tersebut akhirnya juga
memancarkan cahaya ungu pijar bagaikan fosfor. Se-
kalipun telapak tangan Soka sudah tidak menempel di
tengkuk pemuda itu dan cahaya ungunya sudah pa-
dam, namun tubuh tersebut masih memancarkan ca-
haya ungu pijar sebagai proses penyembuhan luka-
lukanya.
Mata Bidadari berdiri di bawah pohon tak jauh
dari tempat si pemuda tengkurap di tanah. Wajah ga-
dis itu tampak cemas dan menaruh rasa iba melihat
keadaan si pemuda. Soka dekati Mata Bidadari dan
berkata dengan suara sedikit geram.
"Kau naksir pemuda itu, ya?!"
"Hmmm...!" Mata Bidadari mendengus sambil
melengos. Wajahnya berubah menjadi cemberut.
"Tindakanmu menyerang Bandot Sebrang den-
gan ilmu 'Sentuhan Dewata', seperti orang yang tak re-
la melihat kekasihnya tewas di pertarungan."
"Jangan picik otakmu!" sentak Mata Bidadari
dengan ketus. "Aku hanya tak tega melihat keadaan-
nya yang sudah parah masih mau diserang juga! Tak
ada maksud apa pun di balik tindakanku tadi!"
Sambil menunggu proses penyembuhan si pe-
muda baju biru itu, Soka Pura sengaja menggoda Mata
Bidadari dengan senyum kecurigaan.
"Kukira kau terpikat padanya dan tak ingin ia
tewas di tangan Bandot Sebrang."
"Kau pikir dia lebih menarik daripada dirimu?"
"Apakah tidak begitu?"
"Tidak!" ketus Mata Bidadari. Soka Pura terta-
wa dalam gumam pelan. Si gadis cepat berpaling me-
natap Soka.
"Kuharap jangan punya prasangka seperti itu,
Soka! Kau pikir aku mudah tertarik pada seorang pe-
muda?"
"Buktinya kau tertarik padaku."
"Karena kau nakal dan usil!" Mata Bidadari
mengulum senyum sambil buang pandangan ke arah
lain.
"Jadi kau...." Soka Pura tak jadi lanjutkan uca-
pannya, karena ia segera melihat si pemuda baju biru
itu mulai menggeliat dan mengerang pelan. Erangan
itu bukan erangan kesakitan, namun erangan seperti
orang baru bangun dari tidur nyenyaknya.
Pemuda tersebut terkejut memandang ke arah
Soka Pura dan Mata Bidadari. Lebih terkejut lagi sete-
lah ia sadari bahwa luka-lukanya sudah merapat dan
pulih seperti sediakala, tanpa bekas apa pun kecuali
lumuran darah. Rasa sakit sama sekali tak dirasakan
lagi. Bahkan tubuhnya merasa segar dan kekuatannya
pulih kembali. Ia juga meraba pipinya, ternyata mulus
kembali tanpa luka bakar seujung jarum pun.
"Ajaib sekali?!" gumam hati pemuda itu. "Siapa
yang menolongku? Mereka berdua itukah yang sela-
matkan nyawaku dan sembuhkan luka secara ajaib
ini?"
Pemuda berambut ikal segera bangkit men-
gambil kapaknya. Kemudian la sengaja melangkah te-
mui Soka dan Mata Bidadari di bawah pohon teduh.
"Kaliankah yang mengobati lukaku?" tanyanya
dengan sikap ramah dan bersahabat.
"Ya, kami yang selamatkan nyawamu!" Jawab
Soka Pura. Sementara itu, si Mata Bidadari hanya ber-
sikap tenang, sesekali memandang ke arah lain, sese-
kali tertuju pada pemuda tersebut.
"Jika begitu, kuucapkan terima kasih banyak
kepada kalian atas pertolongan kalian yang telah sela
matkan nyawaku dari amukan si Bandot Sebrang ta-
di!"
"Aku melihat pertarungan mu dengan kakek
tua tadi."
"Bandot Sebrang nama orang Itu!" jelas si pe-
muda.
"Ya, aku tahu namanya Bandot Sebrang, kare-
na kau tadi sempat menyebutkannya. Tapi kami belum
tahu namamu, Sobat!"
"Namaku, hmm.... Surogoto. Hmm, ya.... Suro-
goto itu namaku," Jawab si pemuda agak grogi, karena
ekor matanya menangkap seraut wajah cantik dengan
daya tarik sangat kuat pada mata. Wajah cantik itu
milik si Mata Bidadari yang berdiri di samping Soka
Pura, sedikit ke belakang.
"Namaku sendiri.... Soka Pura, dan ini... pasan-
gan ku: si Mata Bidadari!"
Gadis itu menggerutu lirih, "Pasangan, pasan-
gan...! Apa dikiranya sandal jepit?! Pakai istilah pasan-
gan segala?!".
Soka Pura geli dalam hati, terwujud dalam se-
nyum tipis yang ditahan agar tidak menjadi tawa. Su-
rogoto pun tersenyum walau tak mendengar Jejas ge-
rutuan Mata Bidadari, tapi ia anggukkan kepala sedikit
bungkukkan badan sebagai tanda menghormat dalam
perkenalan tersebut.
"Namaku.... Surogoto, Nona!"
"Masa bodoh!" ucap Mata Bidadari dengan lirih.
hanya Soka yang mendengarnya.
"Kalau boleh ku tahu, kau dari mana dan mau
ke mana, Surogoto?!" tanya Soka Pura alihkan suasa-
na menjadi lebih serius sedikit.
"Aku, hmmm... sebenarnya aku tinggal tak jauh
dari sini. Masih termasuk orangnya Ratu Sedap Malam
yang bertugas di tapal batas wilayah utara sana."
"Ooo...!" Soka Pura manggut-manggut.
"Aku baru saja dari pesanggrahan dan ingin
kembali ke tempat jaga ku. Tiba-tiba aku diserang oleh
Bandot Sebrang dengan tuduhan memenggal kepala
cucunya yang bernama: Sindarwati."
"Apakah Sindarwati itu orangnya Ratu Sedap
Malam juga?" tukas Pendekar Kembar bungsu.
"Benar. Sindarwati bergabung dengan pihak
pesanggrahan beberapa bulan yang lalu. Waktu tadi
kutemukan kepala Sindarwati tertancap pada bambu
dan dipajang di pantai. Saat itulah si Bandot Sebrang
muncul dan menyangka diriku yang memenggal kepala
Sindarwati."
"Ooo...?!" Soka manggut-manggut lagi. Tapi
manggut-manggutnya segera dihentikan setelah sadari
apa yang dikatakan Surogoto. Wajah Soka Pura mulai
tegang.
"Ja... jadi sekarang ada korban terpenggal la-
gi?!"
"Benar. Aku tak sempat memberitahukan ke-
pada Nyai Ratu karena belum-belum sudah diserang
oleh Bandot Sebrang. Jika kau ingin melihatnya, pergi-
lah ke pantai, maka kau akan menemukan kepala Sin-
darwati. Aku harus segera kembali ke tempat penja-
gaanku."
"Celaka! Pasti si Dewa Pancung lagi pela-
kunya?" gumam Mata Bidadari dengan tegang. Tanpa
pamit apa pun kepada Surogoto, Mata Bidadari mele-
sat pergi ke arah pantai. Mau tak mau Soka Pura ha-
rus segera menyusulnya, setelah lebih dulu pamit ke-
pada Surogoto dan Surogoto pun bergegas pergi ke
arah lain.
Mata Bidadari dan Soka Pura menelusuri pan-
tai. Tapi mereka tidak temukan kepala Sindarwati.
Hanya saja, mereka segera menemukan sebatang
bambu hijau yang bagian atasnya runcing dan masih
berlumur darah. Agaknya bambu itulah yang dipakai
untuk menancapkan kepala Sindarwati.
"Masih basah sekali darahnya. Berarti keja-
diannya belum lama ini, Soka!" ujar Mata Bidadari
sambil memeriksa darah yang melumuri bambu terse-
but.
"Ya, darah ini memang masih segar. Berarti
Dewa Pancung ada di sekitar tempat ini! Aku akan
mencarinya, Bidadari."
"Tunggu!" sergah Mata Bidadari. "Bagaimana
dengan kepalanya Sindarwati itu? Bukankah kepala
itu tak ada di bambu ini?"
"O, ya. Benar!" ujar Soka terperangah, seperti
baru saja teringat sesuatu yang nyaris terlupakan.
"Ke mana kepala itu? Ke mana pula raga si Sin-
darwati?" sambung Soka seperti bertanya pada diri
sendiri.
*
* *
5
TIDAK ada langkah yang lebih baik kecuali pu-
lang ke pesanggrahan secepatnya, dan memberitahu-
kan kepada Ratu Sedap Malam bahwa seorang gadis
dari pesanggrahan tewas terpenggal lagi. Namun
alangkah terkejutnya Soka Pura dan Mata Bidadari ke-
tika tiba di pesanggrahan, ternyata suasana di sana
sudah menjadi heboh. Kepala Sindarwati sudah ada di
pesanggrahan bersama raganya dalam keadaan terpi-
sah.
"Ke mana saja kau?! Kalau sudah bersama gadis cantik selalu melantur terus kerjamu! Kebiasaan!"
omel Raka Pura begitu bertemu dengan adik kembar-
nya.
"Kepalamu bopak!" maki Soka Pura bersungut-
sungut. "Aku bukan melantur, tapi hampir saja mati
kena racunnya si Dewa Pancung bersama Mata Bida-
dari! Kalau tidak ditolong oleh Dedengkot Iblis kau su-
dah tak bisa bertemu denganku lagi, tahu?!"
"Dedengkot Iblis?!" Raka Pura terkejut. "Kau di-
tolong oleh Dedengkot Iblis?!"
Tentu saja Pendekar Kembar sulung terheran-
heran mendengar pengakuan adiknya. Hampir saja ia
tak mempercayai kata-kata Soka Pura, karena ia ingat
mereka berdua pernah diserang habis-habisan oleh
Dedengkot Iblis. Jika si Mata Bidadari tidak menceri-
takan kejadian yang sebenarnya, mungkin Raka tak
akan pernah percaya bahwa Dedengkot Iblis berbalik
sikap memihaknya.
Soka Pura dan Mata Bidadari semakin terpe-
ranjat kaget ketika mereka menemukan seraut wajah
di antara orang-orang yang mengerumuni mayat Sin-
darwati. Soka Pura sempat beradu pandang dengan
Mata Bidadari sebagai tanda sama-sama merasa he-
ran.
"Dia...?!" Mata Bidadari nyaris tak bisa bicara.
Tapi Raka Pura segera tanggap dengan orang yang di-
maksud Mata Bidadari itu.
"Ada apa?! Mengapa kalian terheran-heran me-
lihat kakek berjubah hijau itu?!"
"Ap... apakah kau kenal dengannya, Raka?"
tanya Soka Pura.
"Baru saja aku dikenalkan dengannya oleh Nyai
Ratu. Dia adalah kakeknya si gadis yang menjadi kor-
ban kali ini. Kudengar Nyai Ratu menyebut namanya:
Bandot Sebrang."
Tentu saja Soka dan Mata Bidadari menjadi
terheran-heran karena tak menyangka bahwa Bandot
Sebrang ternyata kenal baik dengan Ratu Sedap Ma-
lam. Rupanya kakek berjubah hijau itu sedang dalam
perjalanan menuju ke pesanggrahan ketika ia memer-
goki cucunya dibantai oleh si pemuda berpakaian ser-
ba biru yang mengaku bernama Surogoto tadi. Mata
Bidadari tampak lebih tegang dan cemas dibanding
Soka, karena gadis itu tadi secara diam-diam menye-
rang Bandot Sebrang. Ia merasa berdosa, karena ter-
nyata Bandot Sebrang adalah tokoh aliran putih yang
memihak Ratu Sedap Malam.
"Jangan ceritakan apa yang telah kulakukan
padanya tadi, Soka!" bisik Mata Bidadari membuat So-
ka Pura nyaris tertawa geli memandang ketegangan
wajah gadis itu.
"Bagaimana kalau kuceritakan kepada gurumu:
Nyai Sangkal Putung itu?" goda Soka.
"Jangan gila kau! Lihat saja hubungan mereka
itu, tampak akrab sekali. Ternyata guruku adalah sa-
habat si Bandot Sebrang! Sial! Menyesal sekali tadi aku
ikut menyerangnya secara sembunyi-sembunyi!" geru-
tu Mata Bidadari.
Ketika mereka sudah diperkenalkan kepada si
Bandot Sebrang, Soka Pura segera ajukan tanya kepa-
da si jubah hijau yang wajahnya berkesan angker itu.
"Apakah... apakah benar Ki Bandot Sebrang
melihat sendiri pemenggalan ini dilakukan oleh pemu-
da berbaju biru yang bernama Surogoto itu?!"
"Aku melihatnya sendiri dari kejauhan. Tapi
aku datang terlambat!" jawab Bandot Sebrang dengan
nada sedih.
"Jadi bukan si Dewa Pancung yang memenggal
kepala Sindarwati ini?!" tanya Mata Bidadari.
Ratu Sedap Malam dan yang lainnya saling
pandang. Nyai Sangkal Putung segera perdengarkan
suaranya kepada Mata Bidadari dan Soka Pura.
"Kau dan Soka pergi terlalu lama, sehingga tak
tahu bahwa Dewa Pancung sudah tewas dengan kepala
terpenggal juga!"
"Ooh...?!" Soka dan Mata Bidadari sama-sama
terkejut.
"Siapa yang membunuhnya, Nyai?" tanya Soka.
"Yang membunuhnya adalah kepala Suku Am-
par, sedangkan yang menangkapnya adalah kakakmu
sendiri dan Kirana!" jawab Nyai Sangkal Putung.
"Suku Ampar...?!" Soka Pura sempat heran
mendengar Suku Ampar terbawa-bawa dalam kasus
tersebut. Kemudian, Lahar Jalanan menjelaskan selu-
ruh peristiwa penangkapan Dewa Pancung sampai pa-
da kematian si mata-mata cantik: Bintari.
Rangkaian cerita itu disimpulkan oleh Soka Pu-
ra, bahwa pada saat ia dan Mata Bidadari diserang
oleh Dewa Pancung, saat itu sebenarnya yang ditemui
Bintari bukan Prapanca, melainkan si Dewa Pancung.
Mungkin setelah lakukan pertemuan dengan Dewa
Pancung untuk memberitahukan keadaan di pe-
sanggrahan yang banyak tamu itu, Bintari bertemu
dengan Prapanca. Mereka segera bentrok, karena Pra-
panca tak mau layani gairah Bintari, sampai akhirnya
Soka dan Mata Bidadari muncul meleraikan bentrokan
tersebut, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Geger Pantai Rangsang").
Bandot Sebrang berujar kepada Soka, "Aku ti-
dak tahu siapa nama pemuda itu, karena aku baru se-
kali melihatnya. Yang jelas aku kecewa sekali tak bisa
ganti memenggal kepalanya karena ia mempunyai te-
man yang tak bisa dilihat. Semacam hantu yang me-
mihaknya, dan menghalangiku saat akan memenggal
kepalanya dengan cambuk ku. Aku segera lari karena
aku terluka berbahaya. Setelah tiba di sini dan menye-
rahkan jenazah cucuku kepada Ratu, kuobati sendiri
lukaku ini! Tapi aku masih simpan dendam padanya
dan belum puas hatiku jika belum melihat kepalanya
terpenggal."
Bandot Sebrang mendengar ada keributan di
Pantai Rangsang. Ia mengkhawatirkan keselamatan
cucunya: Sindarwati. Karenanya ia bermaksud untuk
datang ke pesanggrahan sang Ratu Sedap Malam un-
tuk ikut menghalau keributan di sana. Tapi ternyata ia
justru melihat sendiri cucunya dipenggal oleh kapak
Surogoto.
"Pemuda Itu pasti orangnya Raja Amuk Jagal,"
ujar Raka Pura.
"Hmmm, Jadi si Amuk Jagal yang sengaja bikin
geger di sini?" geram tokoh tua dari Pulau Sebrang itu.
Kemudian Nyai Sangkal Putung segera beberkan se-
muanya tentang bahaya maut dari Raja Amuk Jagal
yang akan menyerang pesanggrahan Pantai Rangsang.
Mendengar penjelasan itu, Bandot Sebrang
yang berdiri berseberangan dengan Soka Pura segera
berkata dengan nada berang.
"Keparat si Amuk Jagal itu! Esok pagi aku akan
berangkat ke Pulau Kucil untuk bikin perhitungan
sendiri padanya!"
"Itu berbahaya, Bandot Sebrang," ujar Lahar
Jalanan yang juga kenal baik dengan Bandot Sebrang.
"Sekarang si Amuk Jagal mempunyai pusaka Sabuk
Neraka yang cukup dahsyat itu!"
"Omong kosong! Tak mungkin ia memiliki Sa-
buk Biang Neraka, karena sabuk itu hanya ada pada
dongeng-dongeng masa lalu! Mengapa kau mudah per-
caya dengan kabar seperti itu, Lahar Jalanan?!"
"Karena orangnya sendiri yang bercerita kepada
anak buahku, Paman Bandot Sebrang!" sela sang Ratu.
"Aku tak percaya! Cerita itu sengaja dikarang
oleh orangnya Amuk Jagal untuk menakut-nakuti kita,
Sedap Malam! Siapa yang bilang Amuk Jagal punya
pusaka Sabuk Biang Neraka?!"
"Laksamada...," jawab Ratu Sedap Malam, ke-
mudian menuturkan kembali apa yang pernah ditu-
turkan oleh Umbari.
"Jadi kapan si Raja Amuk Jagal itu akan da-
tang kemari, Nyai Ratu?" tanya Soka Pura yang masih
berdiri di samping Mata Bidadari, sementara Raka ber-
diri di samping Kirana.
"Umbari tidak sebutkan kapan Raja Amuk Jag-
al menyerang kemari! Itu repotnya. Jika kita tahu ka-
pan serangan itu akan datang kita dapat persiapkan
diri sedini mungkin!"
"Pada saat kita merasa jenuh bersiap diri, saat
itulah ia akan datang. Tapi semasa kita belum jenuh
bersiap diri, dia tak akan datang!" ujar Lahar Jalanan.
"Dari mana dia tahu kalau kita jenuh bersiap
diri?"
"Mungkin saja pemuda yang bernama Laksa-
mada atau Runggana memberitahukan kapan saat
yang bagus untuk menyerang bagi pihak Amuk Jagal!"
jawab Ki Sela Giri, alias si Lahar Jalanan.
"Jika begitu kita harus mencari Laksamada
atau Runggana!" sela Raka Pura. Sang adik kembar
pun menimpali.
"Setuju! Aku akan cari dia dan mendesaknya
agar memberi tahu kapan saatnya penyerangan itu ti-
ba!"
Mata Bidadari berani bicara kepada Ratu Sedap
Malam, setelah selama ini hanya diam saja menjadi
pendamping gurunya. Rasa gembiranya berdampingan
dengan Pendekar Kembar bungsu membuatnya berani
angkat bicara di depan sang Ratu dan para tamu lain-
nya.
"Nyai Ratu, bisakah kami bertemu dengan Um-
bari?!"
"Untuk apa?!"
"Ia harus antar kami temui si Laksamada itu!"
"Sebaiknya biar aku dan Soka Pura saja yang
menemui Laksamada!" ujar Pendekar Kembar sulung.
Semua diam, saling memandang Pendekar Kembar.
Pada mulanya Umbari merasa keberatan untuk
memberi tahu tempat persembunyian Laksamada dan
Runggana. Ia takut nyawanya melayang jika sampai
Laksamada dan Runggana mengetahui tindakannya.
Tetapi kedua pemuda kembar yang sama-sama tam-
pan itu membujuknya dengan berbagai cara, akhirnya
Umbari menyerah juga. Ia yakin kedua pemuda kem-
bar itu akan melindungi nyawanya dari ancaman maut
Laksamada dan Runggana.
"Aku tidak bisa memberikan petunjuk secara li-
san saja. Bahkan digambarkan dalam sebuah denah
pun tak mungkin bisa kalian temukan," ujar Umbari.
"Jadi harus bagaimana?" tanya Raka Pura.
"Aku harus memandu kalian sampai ke tempat
tersebut. Tapi aku hanya akan sampai kaki bukit saja!
Selanjutnya kalian berdua yang menangani mereka!"
"Itu gagasan yang cantik sekali, secantik wa-
jahmu, Umbari," ujar Soka Pura memuji. Sang kakak
menyodokkan siku dengan pelan ke pinggang adiknya.
"Ini bukan saatnya merayu, Soka!" bisik Raka
dalam hardikan. Soka Pura hanya cengar-cengir sam-
bil mengedipkan mata kirinya kepada sang kakak.
Sang kakak hanya bersungut-sungut dengan gerutu
tak jelas.
Tanpa pamit kepada Kirana, juga tanpa bilang-
bilang kepada si Mata Bidadari, Pendekar Kembar akhirnya pergi ke tempat persembunyian Laksamada
dengan dipandu oleh Umbari. Mereka hanya meminta
izin kepada Ratu Sedap Malam dan Ki Sela Giri alias si
Lahar Jalanan.
Rupanya Laksamada mempunyai tempat per-
sembunyian di sebuah gua di lereng bukit. Bukit itu
tak jauh dari tebing karang yang di bawahnya terdapat
gua sebagai tempat tinggal si Dedengkot Iblis. Karena
dari kaki bukit tersebut, mereka dapat melihat pantai
dan tebing karang tersebut walau gua di bawah tebing
itu tak terlihat dengan jelas.
Umbari hentikan langkahnya saat Pendekar
Kembar ingin mendaki lereng bukit itu. Berhentinya
langkah Umbari mengundang perhatian Raka dan So-
ka, sehingga kedua pemuda berperawakan tinggi dan
gagah itu menatap Umbari dengan dahi berkerut.
Soka mendekati Umbari beberapa langkah.
"Mengapa berhenti?"
"Sudah dekat dengan gua tempat mereka ber-
sembunyi!" jawab Umbari dengan wajah memancarkan
kecemasan.
"Di mana gua itu berada?"
Umbari menunjuk ke satu arah. "Kau melihat
dua batu besar berjajar sama-sama condong ke timur
itu?"
Raka Pura ikut-ikutan memandang ke arah
yang dimaksud, seperti yang dilakukan oleh adiknya.
mereka sama-sama menggumam tanda mengerti arah
yang dimaksud Umbari.
"Di balik kedua batu itu ada gua kecil, namun
bagian dalamnya lebar. Di sanalah mereka bersem-
bunyi selama ini. Tapi...," Umbari hentikan kata seke-
jap.
"Kau tak usah takut!" ujar Soka. "Aku akan ke
sana bersama kakakku, sedangkan kau tetaplah ting
gal di sini. Bersembunyilah dl atas pohon, biar tak
mudah dilihat oleh siapa pun."
"Tak perlu takut, Umbari," timpal Raka.
"Bukan soal takut atau tidak takut," sangkal
Umbari. "Tapi lihatlah ke arah pantai itu!"
Dari tempat mereka berdiri memang bisa me-
mandang ke arah pantai berpasir putih. Pendekar
Kembar segera layangkan pandangan matanya ke arah
pantai, mengikuti arah telunjuk Umbari. Ternyata di
sana ada dua orang yang sedang bercakap-cakap den-
gan serius. Mereka adalah dua pemuda yang usianya
sebaya.
Yang satu mengenakan pakaian serba biru
dengan senjata kapak dua mata tergenggam di tangan
kanan. Pemuda yang satunya lagi berpakaian serba hi-
tam, namun tampak rapi. Rambutnya sedikit panjang,
tak sampai sepundak. Mengenakan ikat kepala merah
darah. Bajunya yang berlengan buntung tampak ketat
membentuk kegempalan tubuhnya yang kekar.
"Pemuda itulah yang bertarung dengan Ki Ban-
dot Sebrang!" ujar Soka Pura seperti bicara sendiri.
"Rundukkan kepala kalian!" sergah Umbari saat
ia melihat si pemuda berbaju hitam itu ingin menga-
rahkan pandangannya ke tempat mereka berada. Den-
gan merendahkan badan, berlindung di balik pepoho-
nan, mereka masih bisa melihat keadaan kedua pemu-
da itu dari tempat tersebut.
"Yang berpakaian biru itu bernama Laksama-
da!" ujar Umbari.
"Kalau begitu benar juga apa kata Ki Bandot
Sebrang; pemuda itu adalah si Laksamada, yang me-
menggal cucunya!" bisik Soka Pura.
"Lalu, yang berpakaian hitam dan bersenjata
samurai di punggungnya itu apakah yang bernama
Runggana?!" tanya Raka kepada Umbari.
"Benar! Dialah yang bernama Runggana!"
Sementara si Pendekar Kembar sulung mang-
gut-manggut dan menggumam lirih, Soka Pura per-
dengarkan suaranya dengan pelan.
"Kalau begitu kita tak perlu repot-repot mencari
tempat persembunyian mereka! Kita hampiri mereka
sekarang juga, Raka!"
"Baik! Bersiaplah, Soka!"
"Tunggu dulu!" sergah Umbari. Tanpa sadar
tangannya menahan lengan Raka yang ingin bangkit.
"Tampaknya ada sesuatu yang ingin mereka la-
kukan dl sana," sambung Umbari. "Kita lihat dulu apa
yang ingin mereka lakukan itu?!"
"Mungkin mereka ingin lakukan latihan!" bisik
Soka Pura.
"Mengapa hanya Laksamada sendiri yang ingin
lakukan gerakan. Kita lihat dulu, Soka!" ujar kakak-
nya.
Pemuda berpakaian serba biru itu jauhi teman-
nya beberapa langkah. Kemudian dengan mengguna-
kan kapaknya, pemuda tersebut lakukan gerakan ce-
pat, seperti jurus pembuka untuk menyerang seorang
lawan. Namun tiba-tiba kapak berpindah ke tangan ki-
ri, kemudian disentakkan lurus ke atas. Telapak tan-
gan kanan pemuda itu menghantam bagian bawah ga-
gang kapak tersebut. Wuuut, dees...!
Pendekar Kembar dan Umbari sedikit terperan-
jat begitu melihat sinar merah lurus yang melesat dari
pertengahan kedua mata kapak tersebut. Sinar itu
berbentuk bintang bertangkai panjang yang melesat
bagai ingin menembus langit. Sampai di ketinggian ter-
tentu, sinar merah berbentuk bintang itu menyebar
menjadi butiran-butiran kecil bagai kembang api, di-
awali dengan letupan kecil yang sangat pelan sekali.
Tuuus...! Zrrraak...!
Pendekar Kembar dan Umbari terkesima sesaat.
Bunga-bunga api yang menyebar di langit itu dan tam-
pak merimbun indah bagai daun-daun pohon yang
membentuk payung.
Tiba-tiba Raka Pura dapatkan kesimpulan yang
sedikit menegangkan hatinya.
"Kurasa ia bukan lakukan latihan, Soka!"
"Lalu, apa yang ia lakukan dengan cara begitu,
sementara di langit tidak ada lawan siapa pun?!"
"Kurasa itu hanya sebuah isyarat untuk seseo-
rang!"
"Isyarat...?!" Soka Pura menggumam pelan. Ma-
tanya masih memandang ke arah dua pemuda di pan-
tai yang kini saling memandang ke arah cakrawala.
"Mungkin si Laksamada memberikan isyarat
kepada orang yang ada di tengah lautan. Entah apa ar-
ti sinar merah itu, yang jelas ia mencoba berhubungan
dengan seseorang melalui sinar tersebut," Raka menje-
laskannya dengan suara pelan juga.
Sinar tersebut telah lenyap, tapi pandangan
mata kedua pemuda di pantai masih diarahkan ke ten-
gah lautan. Seolah-olah mereka menunggu jawaban
dari tengah lautan itu, Sedangkan di tengah lautan tak
terlihat seseorang berdiri di sana, atau sebuah kapal
yang sedang berlayar melintasi cakrawala.
"Hei, lihat! Ada sinar hijau yang melesat ke lan-
git di seberang sana!" ujar Umbari bernada tegang.
Sinar hijau yang dimaksud Umbari itu menye-
rupai sinar merahnya Laksamada tadi. Di angkasa si-
nar itu mengembang berbintik-bintik mirip kembang
api, indah sekali.
"Balasan...," ujar Raka Pura menggumam lirih.
"Balasan bagaimana maksudmu?" tanya Soka.
"Sinar hijau itu pasti merupakan isyarat bala-
san yang artinya... kurasa hanya mereka berdua yang
mengetahui artinya!"
Ternyata jauh di seberang lautan sana terdapat
sebuah titik hitam sangat kecil. Titik hitam itu segera
disimpulkan oleh Pendekar Kembar sebagai sebuah
kapal yang letaknya amat jauh. Kapal atau perahu
yang ada di kejauhan sana diduga adalah tempat si
Raja Amuk Jagal dan pengikutnya menunggu aba-aba
untuk bergerak menyerang ke Pantai Rangsang. Pen-
dekar Kembar tak tahu dengan pasti, apakah sinar
merahnya Laksamada itu adalah aba-aba untuk me-
nyerang atau menunda serangan mereka, yang jelas
Pendekar Kembar segera bergegas menuju ke pantai,
temui kedua pemuda tersebut.
"Kau kembali ke pesanggrahan, Umbari!" ujar
Raka sebelum bergerak. "Katakan kepada Ratu Sedap
Malam dan yang lainnya agar menambah kewaspadaan
dan penjagaan diperketat lagi. Ceritakan apa yang kita
lihat dari sini dan apa yang ku simpulkan tadi!"
"Akan kusampaikan pesanmu!" jawab Umbari
tegas, kemudian gadis cantik itu melesat lebih dulu
sebelum Pendekar Kembar bergegas ke pantai.
Setelah merasa yakin gerakan Umbari tidak di-
ketahui oleh Laksamada ataupun Runggana, Pendekar
Kembar pun segera temui kedua pemuda tersebut. So-
ka Pura tampil lebih dulu, sementara Raka Pura ber-
sembunyi di balik dua pohon kelapa yang tumbuh me-
rapat.
"Surogoto!" sapa Soka Pura mengingat Laksa-
mada perkenalkan dirinya secara baik-baik dengan
nama Surogoto.
Laksamada terperanjat melihat kehadiran Soka
Pura, demikian pula halnya dengan Runggana. Tetapi
rasa kaget Laksamada segera dapat ditutupi dengan
tawa ramah yang tampak dipaksakan itu.
"Hei, Soka Pura... hah, hah, hah, hah! Tak ku
sangka kita bertemu lagi, Soka!" sambil Laksamada
mendekat dan menepuk pundak Soka dengan keakra-
ban yang dipaksakan juga. Pada waktu itu, diam-diam
Soka memperhatikan Runggana yang hampir saja tan-
gannya bergerak mencabut samurainya karena merasa
kedatangan tamu tak diundang yang sangat mencuri-
gakan. Tetapi begitu melihat Laksamada bersikap ra-
mah kepada Soka, maka Runggana pun urungkan
niatnya dan ikut-ikutan bersikap ramah walau se-
nyumnya terkesan kaku.
"Soka Pura, perkenalkan ini sahabatku yang
bernama... hmmm... yang bernama Badayun! Heh,
heh, heh, heh... namanya memang lucu. Badayun!"
Runggana sempat kelihatan bingung. Mungkin
ia belum tahu apa maksud Laksamada memperkenal-
kan diri dengan nada Badayun. Tapi begitu Laksamada
kedipkan mata kepadanya dengan tetap tertawa, maka
Runggana pun berlagak tersipu malu sambil sedikit
bungkukkan badan, membalas sikap hormat yang di-
lakukan oleh Soka Pura.
"Benar. Namaku memang Badayun!" ujarnya
pelan.
"Senang sekali hatiku mendapat seorang saha-
bat satu lagi, Badayun," ujar Soka dengan kalem, tak
menunjukkan kejanggalan sedikit pun.
"Hei, mengapa kau tak bersama gadismu yang
kemarin? Siapa dia namanya...?!"
"Mata Bidadari!"
"O, ya! Si Mata Bidadari! Ke mana dia? Menga-
pa tidak bersamamu?"
"Kami berpisah!" jawab Soka sambil masih le-
barkan senyumannya.
Laksamada menyahut, "Sayang sekali! Seha-
rusnya gadis secantik dia jangan sampai berpisah da-
rimu Walau hanya sekejap."
Laksamada mendekatkan wajah bernada bisik,
"Kalau dia disambar pemuda lain, kau bisa mati bu-
nuh diri!" kemudian tawanya menghambur ditimpali
oleh tawa Runggana. Soka Pura ikut-ikutan berlagak
geli dengan tawanya yang tak kalah meriah.
"Surogoto, apa yang kau lakukan di sini?!"
tanya Soka setelah tawa mereka berhenti.
"Hmmm, eeh...."
"Kami sedang mencari seorang teman yang tadi
kami lihat ada di sini!" sahut Runggana ketika Laksa-
mada tampak menggeragap. "Ia tahu-tahu hilang begi-
tu saja tanpa ada jejaknya yang bisa kami ikuti."
"Siapa teman yang kau maksudkan itu, Ba-
dayun?!"
"Hmmm... hmmm...." Runggana ganti mengge-
ragap. Laksamada buru-buru menutupi dengan jawa-
bannya.
"Sulaksana! Heh, heh, heh... namanya lucu ju-
ga, bukan?! Tapi memang itulah nama teman yang se-
dang kami cari. Sulaksana!"
Tentu saja Soka Pura tahu persis bahwa nama
itu hanya sebuah nama palsu yang dikarang dalam
waktu singkat. Tapi Soka Pura berlagak tidak menge-
tahui tipuan tersebut.
"Kau sendiri sedang apa di daerah pantai ini,
Soka?" Laksamada ganti bertanya.
"O, aku...?! Aku sama juga dengan kalian, se-
dang mencari dua orang yang selama ini selalu meng-
hilang di sekitar pantai ini."
"Siapa dua orang yang kau cari itu? Barangkali
aku atau Badayun mengenal nama orang tersebut?!"
"Hmmm... orang yang kucari itu adalah Laksa-
mada dan Runggana!"
"Ooh...?!" Runggana tampak terperanjat kaget,
demikian halnya dengan Laksamada. Namun pemuda
berbaju biru itu masih bisa menutupi kekagetan mere-
ka dengan tawa terkesan cengar-cengir hambar itu.
"Ehh, sayang sekali kami merasa asing dengan
kedua nama itu, Soka!" ujar Laksamada dengan cepat.
Lalu ia bicara kepada Runggana.
"Kita belum pernah kenal dengan kedua nama
itu, bukan?"
"Belum! Ya, memang belum!" jawab Runggana.
Kemudian ia bertanya kepada Soka.
"Kalau boleh ku tahu, untuk apa kau mencari
kedua orang tersebut? Apakah mereka sahabatmu?"
"Ya, mereka sahabatku!" jawab Soka tegas. "Me-
reka adalah mata-mata dari Pulau Kucil yang dita-
namkan oleh Raja Amuk Jagal untuk menciptakan ke-
kacauan di Pulau Rangsang ini!"
Soka Pura sengaja beberkan apa yang diketa-
huinya, membuat Laksamada dan Runggana menjadi
salah tingkah, serba kikuk dalam bersikap.
"Belakangan ini, setelah Dewa Pancung tewas,
mereka bikin kehebohan sendiri dengan melakukan
pemenggalan kepala terhadap orang-orangnya Ratu
Sedap Malam," tambah Soka dengan kalem. "Tapi me-
reka belum tahu bahwa Ratu Sedap Malam tidak sen-
dirian. Banyak pihak yang membela Ratu Sedap Ma-
lam, sehingga mau tak mau nyawa Laksamada dan
Runggana terancam modar! Mungkin dalam waktu tak
lama lagi, jika mereka tidak segera tinggalkan Pantai
Rangsang ini, maka mereka akan menjadi bangkai bu-
suk yang terkapar di pantai tanpa ada yang mengu-
burnya. Karena sang Ratu punya rencana akan mengi-
rimkan kepala Laksamada dan Runggana ke Pulau
Kucil sebagai hadiah istimewa bagi Raja Amuk Jagal!
Untuk itu aku mencari mereka dan ingin mengin-
gatkan agar mereka cepat-cepat pergi dari Pulau Rang-
sang sebelum masing-masing kehilangan kepalanya!"
Sebuah tantangan dilontarkan Soka secara tak
langsung. Kata-kata itu membuat darah Runggana
mendidih dan napas Laksamada menjadi seperti badai.
Mereka menggeram dalam hati. Senyum mereka sangat
kaku. Bahkan Runggana kehilangan senyumnya. Ke-
dua tangan Runggana menggenggam kuat-kuat per-
tanda menahan amarah yang telah berkobar dalam
dadanya.
Laksamada masih berusaha untuk tetap te-
nang.
"Kurasa, Ratu Sedap Malam lupa bahwa mere-
ka bukan anak kecil yang takut dengan gertakan!"
"Apa yang kau katakan itu memang benar, Su-
rogoto! Tapi kabar yang akan kusampaikan kepada
mereka itu bukan semata-mata gertakan, tapi kenya-
taan! Dengan kabar ini, aku berharap mereka segera
tinggalkan Pantai Rangsang tanpa harus saling bunuh
dengan pihak pesanggrahan sang Ratu. Tapi kalau me-
reka nekat, yaah... apa boleh buat! Mereka harus rela
korbankan nyawanya. Itu sangat ku sayangkan, Suro-
goto!"
Runggana mulai geregetan sekali. Dengan gigi
setengah menggeletuk, ia berkata kepada Soka Pura.
"Kau belum tahu, Soka... sebenarnya orang
yang kau cari itu sudah mengirim kabar kepada Raja
Amuk Jagal. Kabar itu telah diterima oleh Raja Amuk
Jagal di kapalnya yang sebentar lagi akan mendarat di
Pantai Rangsang ini!"
"Ah, kurasa itu hanya dugaanmu saja, Ba-
dayun! Seandainya kau tahu betul akan hal itu, pasti
kau akan ikut melarang mereka mendarat di Pantai
Rangsang, karena Pantai Rangsang ini akan menjadi
kuburan mereka jika mereka nekat mendarat kemari!"
Jawab Soka dengan tetap tenang.
Rupanya Runggana sudah tak tahan lagi membendung gejolak marahnya dalam hati. Telinganya
sangat panas mendengar ucapan Soka yang dianggap
sebuah sindiran meremehkan dirinya. Maka dengan
suara keras, Runggana akhirnya berkata kepada Pen-
dekar Kembar bungsu itu.
"Soka Pura! Terus terang saja, akulah orang
yang bernama Runggana dan dia adalah Laksamada!"
seraya ia menuding pemuda berpakaian biru.
Pernyataan dengan suara keras itu tidak mem-
buat Soka Pura terkejut, tapi hanya tersenyum kecil
sambil memandang ke arah Runggana. Senyum itu
mulai terasa sebagai minyak pembakar amarah bagi
Runggana. Bersamaan dengan ucapan Laksamada,
Runggana pun segera cabut samurainya yang ada di
pinggang.
Sreet..!
"Maaf, Soka... sekalipun kau pernah sela-
matkan nyawaku, tapi kenyataannya memang akulah
yang bernama Laksamada! Sedangkan yang bernama
Surogoto adalah kapak pusakaku ini!" sambil Laksa-
mada mengangkat kapaknya.
"Di pihak mana sebenarnya kau berdiri, Soka
Pura?!" gertak Runggana.
Soka menjawab dengan kalem, "Tentu saja aku
di pihak Ratu Sedap Malam, karena dialah penguasa
asli di pantai ini yang akan kalian gulingkan!"
"Keparat!" geram Runggana. "Kalau begitu kau
harus berhadapan denganku, Soka Pura! Heeeaaat...!"
Runggana melompat dengan samurai dite-
baskan ke leher Soka. Tetapi Pendekar Kembar bungsu
segera berkelebat ke kiri dengan sangat cepat, bagai
menghilang ditelan bumi. Wuuuz...!
Tahu-tahu ia berada di belakang Laksamada.
Tebasan samurai Runggana ini hanya berhasil mero-
bek udara. Dan begitu Laksamada berpaling ke bela
kang, ia segera menyerang dengan kapak mautnya ke
arah Soka Pura.
"Heeeaah...!!"
Soka Pura miringkan badan ke kiri ketika ka-
pak itu diayunkan dari atas ke bawah, ingin membelah
pundaknya. Salah satu kaki diangkat ke atas dengan
kokoh, menahan siku si pemegang kapak tersebut.
Dess...! Krak...! Suara tulang retak terdengar bersama
jeritan Laksamada yang kesakitan.
"Aaoow...!"
Belum sempat Laksamada bergerak, tangan
Soka Pura segera menghantam secara beruntun ke
arah perut pemuda berbaju biru itu.
Buhk, buhk, buhk...!
Pukulan cepat itu tak dapat dihindari, bahkan
dilihat pun sulit. Akibatnya, pukulan bertenaga dalam
itu membuat Laksamada terlempar ke belakang sejauh
lima langkah dan jatuh terjungkal di samping Rungga-
na. Serta-merta Runggana melompat menyambar Soka
Pura dengan samurai dihujamkan ke arah dada Soka.
Wees...!
Wuuuz...!
Sekelebat bayangan menerjang Runggana dari
samping. Bruuuss...!
"Aaahk...!" Runggana terlempar dan jatuh ber-
guling-guling dl pasir pantai. Bayangan yang mener-
jangnya dari samping itu tak lain adalah si Pendekar
Kembar sulung yang sudah tak sabar lagi dengan ba-
sa-basi tadi.
"Terlalu bertele-tele kau!" kecam Raka kepada
adiknya. Sang adik justru nyengir dan sentakkan pun-
daknya.
"Aku sudah mencoba dengan cara damai tapi
mereka tetap ngotot, apa boleh buat jika harus terjadi
pertumpahan darah di sini!"
"Modar kau, Soka! Rahang Silumaaan...!!" te-
riak Laksamada yang mulai menggunakan jurus
'Rahang Siluman'-nya.
Kapak itu diayunkan ke depan. Mata kapak su-
dah memancarkan cahaya biru bening. Salah satu ma-
ta kapak melesat memutar ke arah Soka Pura. Wees...!
Soka Pura segera mencabut pedang kristalnya.
Sreet..! Kedatangan mata kapak yang bercahaya biru
bening itu disambut oleh Pedang Tangan Malaikat.
Wees...! Blaaarrr...!
Mata kapak itu pecah seketika, menjadi serbuk
halus yang berjatuhan di pasir pantai. Namun mata
kapak yang satunya lagi segera melayang dengan gera-
kan memutar seperti piring terbang. Wees...!
Blaaarr...!
Mata kapak itu pun hancur kembali disabet
oleh Pedang Tangan Malaikat yang menjadi pusaka si
Pendekar Kembar. Pedang tersebut segera diputar se-
kelebat begitu selesai hancurkan senjata lawan.
Wik, wik, wik...!
Laksamada terperangah bengong melihat ka-
paknya hancur menjadi debu. Kemarahannya kian ber-
tambah, membuatnya semakin gusar dan liar.
"Laksamada, ku ingatkan sekali lagi, kau akan
kehilangan nyawa jika masih tetap ingin merebut ke-
kuasaan Ratu Sedap Malam di pantai ini!" ujar Soka
sambil acungkan pedangnya ke arah Laksamada.
"Jahanam kauuu...!!" teriak Laksamada, kemu-
dian ia melepaskan pukulan bersinar kuning dari tela-
pak tangannya. Sinar kuning itu melesat lurus ke dada
Soka Pura tanpa putus sedikit pun. Dengan sigap, So-
ka Pura menghadangkan pedang kristalnya di depan
dada. Sinar kuning itu menghantam pedang kristal, la-
lu memantul ke arah pemiliknya sendiri. Clap,
siaaat...!
Jegaaar...!
Laksamada tak sempat terpekik. Tubuhnya se-
gera hancur terpotong-potong akibat terkena sinarnya
sendiri. Darahnya menyebar ke berbagai arah. Perci-
kan darah itu kenai wajah Runggana yang sedang ber-
tarung melawan Raka Pura. Prrot...!
Runggana terkejut begitu mengetahui terkena
percikan darah dari temannya. Lebih kaget lagi melihat
Laksamada hancur terpotong-potong menjadi beberapa
bagian.
"Biadab!" geramnya berang sekali.
Raka Pura sejak tadi belum mencabut pedang
kristalnya. Ia ingin menundukkan lawan tanpa meng-
gunakan senjata.
Kail ini, Runggana menggunakan jurus anda-
lannya yang paling tinggi dari ilmu yang dimilikinya.
"Ku rajang habis tubuhmu, Setan!!" geram
Runggana, kemudian ia menebaskan samurainya ke
sana-sini dengan sangat cepat. Samurai itu meman-
carkan sinar merah pijar. Gerakannya sangat sukar di-
ikuti oleh pandangan mata. Tebasan samurai itu kelu-
arkan bunyi desing yang mengiris hati.
Zuing, zuing, zuing, zuing...!
"Hiaaah...!" Raka Pura sengaja bersalto ke bela-
kang. Wuuuk...! Dalam sekejap ia sudah berada di atas
gugusan batu karang setinggi pundak orang dewasa.
Jleeg...!
Dari atas sana ia melepaskan jurus mautnya
yang bernama jurus 'Cakar Matahari'. Sinar putih se-
perti pisau runcing melesat cepat dari tangan Raka
yang membentuk cakar tengkurap. Wuut...! Claaap...!
Blaar...! Praang...!
Samurai itu hancur berkeping-keping dihantam
sinar putihnya Raka. Runggana terbelalak kaget me-
nyadari hal itu.
"Celaka! Mereka bukan tandinganku! Aku ha-
rus lari selamatkan diri!" geram hati Runggana.
Serta-merta ia sentakkan tangan kirinya ke de-
pan. Wees...! Dari telapak tangan kiri yang membentuk
cakar tersebut keluar asap abu-abu. Wooss...!
"Asap beracun!" teriak Soka Pura. "Hindari, Ra-
ka! Hindari...!"
Dengan satu sentakan kaki, tubuh Raka Pura
telah melesat dari atas batu tersebut. Wuuuz...! Ia su-
dah jauh dari tempat semula. Terhindar dari asap be-
racun.
"Dia melarikan diri!" teriak Soka Pura begitu
melihat Runggana kabur dengan cepat.
"Aku akan menangkapnya hidup-hidup! Kem-
balilah ke pesanggrahan!" seru Raka Pura sambil
memburu lawannya yang melarikan diri.
"Tunggu...!" seru Soka Pura ikut berkelebat
mengejar Runggana juga. Tapi yang dikejar ternyata
mempunyai kecepatan lari yang hampir menyamai
dengan kecepatan gerak jurus 'Jalur Badai'-nya Pen-
dekar Kembar. Bedanya, gerakan lari Runggana mele-
sat ke sana-sini secara zig-zag, hingga membingung-
kan pengejarnya, sedangkan Raka Pura dan adiknya
cenderung bergerak lurus bagaikan anak panah dile-
paskan dari busurnya.
"Kalau kita bisa menangkapnya hidup-hidup,
kita bisa korek keterangan lebih banyak tentang ren-
cana kedatangan si Raja Amuk Jagal itu!" ujar Raka
Pura kepada adiknya yang sudah ada di sampingnya.
Sambil tetap mengejar, Soka berseru juga, "Jika
ia lari sebegini membingungkannya, apakah kita bisa
menangkapnya hidup-hidup?! Bagaimana kalau kita
habisi saja dari kejauhan?!"
Raka Pura diam, mempertimbangkan gagasan
adiknya sambil terus mengejar lawannya yang sesekali
kelihatan sesekali lenyap di balik kerimbunan semak.
*
* *
6
TUBUH kekar berwajah tampan itu kini terka-
par berlumur darah. Dadanya hancur, berlubang sebe-
sar kepala kucing. Mulutnya ternganga dengan mata
mendelik tak berkedip lagi.
Kedua pemuda tampan yang berjuluk Pendekar
Kembar itu sama-sama tertegun pandangi jasad orang
tak bernyawa itu. Mereka sama sekali tak menyangka
akan menyaksikan pemandangan seperti itu. Buronan
yang dikejarnya sempat menghilang beberapa saat. Se-
telah dicari ke sana-sini, tahu-tahu sang buronan telah
menjadi mayat yang jebol dadanya.
"Siapa yang membunuhnya?" Itulah pertanyaan
di dalam batin Raka Pura mau pun Soka Pura. Mereka
sempat memeriksa sekeliling tempat itu, tapi tak ada
seseorang yang dapat dicurigai sebagai pembunuh
Runggana. Timbul dugaan di hati Raka, bahwa ada pi-
hak yang sengaja membunuh Runggana agar pemuda
bernasib malang itu tidak membocorkan rahasia keda-
tangan Raja Amuk Jagal.
"Berarti Runggana dan Laksamada masih
mempunyai orang lagi. Mungkin juga keberadaan
orang tersebut tidak diketahui oleh mereka berdua,
sehingga Runggana tak menyangka akan mengalami
nasib sedemikian naasnya setelah ia berhasil lolos dari
pengejaran kita," ujar Soka Pura kepada kakaknya.
"Kurasa memang begitu. Siapa orang tersebut,
itu yang perlu kita selidiki!"
"Tak ada waktu untuk menyelidiki!" potong So-
ka. "Waktu kita hanya tinggal sedikit. Yang harus kita
lakukan adalah menangkap orang tersebut hidup-
hidup! Sebab aku yakin, Runggana mempunyai raha-
sia penting yang dijaga agar jangan sampai bocor dari
mulutnya!"
Setelah diam sesaat, Raka pun berkata kepada
adiknya, "Apakah kau mempunyai kecurigaan terha-
dap seseorang yang pernah kita kenal atau pernah ber-
temu denganmu?!"
Soka Pura pun diam sebentar, lalu menjawab,
"Kecurigaan ku tipis sekali! hampir-hampir aku tak
mempercayai kecurigaan hatiku sendiri."
"Siapa orang yang kau curigai?"
"Umbari!"
Jawaban pendek dan jelas itu tidak membuat
Raka Pura terkejut, karena di dalam hatinya ia juga
menaruh kecurigaan terhadap Umbari. Menurut mere-
ka, hanya Umbari yang mengetahui tempat persembu-
nyian Laksamada dan Runggana. Jika Umbari bukan
orangnya mereka, tak mungkin mereka mempercayai
Umbari untuk mengetahui tempat persembunyian me-
reka.
"Barangkali Laksamada dan Runggana sendiri
tidak tahu bahwa Umbari juga orangnya yang ditu-
gaskan Raja Amuk Jagal untuk membunuh kedua pe-
muda itu jika rahasia nyaris bocor dari mulut mereka!"
ujar Raka Pura.
"Lebih jelasnya lagi, kita cari dulu si Umbari di
sekitar sini sampai ke pesanggrahan! Kita bisa korek
keterangan dari mulutnya melalui sedikit gertakan
yang menciutkan nyalinya!"
"Apakah kau mampu menyiksa gadis secantik
Umbari?" tanya Raka Pura yang menyangsikan ke-
sanggupan Soka untuk bertindak kejam terhadap ga
dis cantik mana pun.
"Lihat saja nanti!" jawab Soka sambil sungging-
kan senyum berlagak angkuh. Raka Pura mencibir tak
percaya, namun keduanya segera bergegas mencari
Umbari.
"Aku akan mencari di sekitar pantai," ujar Ra-
ka. "Kau pulang ke pesanggrahan, dan cari dia di sana.
Jika kau temukan dia di pesanggrahan, jaga agar ia
jangan sampai keluar."
"Sampai kapan kau akan mencari di sekitar
pantai?"
"Sebelum petang aku akan kembali ke pe-
sanggrahan, bersama Umbari ataupun tanpa Umbari!"
Keputusan itu diambil karena mereka tak me-
nemukan siapa-siapa di dalam hutan tersebut. Soka
Pura setuju dengan gagasan kakaknya. Maka ia pun
segera pulang ke pesanggrahan.
Sebelum ia menemui Ratu Sedap Malan, terle-
bih dulu ia dihadang oleh si Mata Bidadari yang berwa-
jah cemberut. Rupanya gadis itu sempat merasa be-
rang setelah tahu Pendekar Kembar pergi bersama
Umbari. Hampir saja ia pergi mencari mereka setelah
Ki Sela Giri alias si Lahar Jalanan memberitahukan
hai itu padanya.
Kirana pun ikut jengkel mendengar pengaduan
dari si Mata Bidadari. Tapi Kirana tak sempat berniat
menyusul Raka, karena hari itu sang Ratu kedatangan
tamu lagi; seorang lelaki tua berambut abu-abu den-
gan jubah putih dan sabuk hitamnya. Ia tak lain ada-
lah ketua Perguruan Tapak Syiwa, gurunya Kirana
sendiri, yaitu si Mulut Guntur.
Pak Tua yang bisa keluarkan suara sekeras ge-
ledek itu juga mendengar kabar tentang ancaman
maut yang terjadi di Pantai Rangsang dari mulut seo-
rang muridnya yang bertemu dengan salah seorang
murid Ratu Sedap Malam. Menyadari Kirana, murid
tercantiknya sudah berada di Pantai Rangsang, si Mu-
lut Guntur alias Eyang Wirata itu, segera menyusui ke
pesanggrahan. ia bukan saja mencemaskan muridnya,
tapi juga mencemaskan keselamatan sang Ratu yang
selama ini menjalin hubungan baik dengannya.
Tetapi Soka Pura belum mengetahui kedatan-
gan si Mulut Guntur yang pernah berjasa pada Pende-
kar Kembar dalam mendapatkan Bambu Gading Man-
dul itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Tumbal Asmara Buta"). Kehadiran Soka dihadang oleh
si Mata Bidadari yang segera lemparkan pandangan
sinis kepadanya dan lontarkan tuduhan tak senonoh
akibat tumbuhnya rasa cemburu dalam hati Mata Bi-
dadari.
"Sudah puaskah kau dan kakakmu berkencan
dengan Umbari?!"
Soka Pura nyengir geli mendengar tuduhan itu.
Ia justru garuk-garuk kepala sambil sembunyikan se-
nyumannya dengan berpaling ke arah lain. Mata Bida-
dari tetap berdiri tegak di depannya dengan kaki sedi-
kit merenggang dan salah satu tangannya bertolak
pinggang.
"Kurang puaskah kau mencumbu ku habis-
habisan di dalam gua itu?"
"Kurang," jawab Soka Pura dengan konyol.
"Kalau kurang puas, mengapa kau cari kepua-
sannya pada diri gadis lain?! Apakah Umbari bisa me-
muaskan kehendakmu?!"
"Entah, ya?!" Soka masih menjawab dengan
konyol juga, padahal ia tahu Mata Bidadari sedang se-
wot.
"Akan kubunuh dia kalau memang cumbuan-
nya lebih unggul dariku!"
Tawa Soka Pura pun meledak panjang. Mata
Bidadari mendengus semakin dongkol terhadap pemu-
da tampan yang mulai dianggapnya mata keranjang
itu.
Tiba-tiba wajah Soka tersentak ke kanan, pipi
kirinya terasa ada yang menamparnya dengan keras.
Plaaak...!
"Auh...!" Soka Pura terpelanting ke kanan,
hampir jatuh.
"Sialan! Dia mulai gunakan jurus 'Sentuhan
Dewata' untuk menamparku!" gerutu hati Soka Pura,
karena ia segera ingat bahwa hanya dirinya dan si Ma-
ta Bidadari yang mempunyai Jurus 'Sentuhan Dewata',
pemberian dari Dedengkot Iblis.
Soka Pura membalas dengan cara membayang-
kan sedang mengecup bibir Mata Bidadari. Mereka pun
merasa saling berciuman. Mata Bidadari merasa bibir-
nya sedang dilumat nakal oleh Soka, sehingga gadis itu
gelagapan dan kedua tangannya menepis-nepis bagai
ingin mendorong wajah Soka. Sejenak kemudian,
bayangan mencium gadis itu hilang dari benak Soka.
Pemuda ganteng itu tersenyum memandang si gadis
yang terengah-engah.
"Kurang ajar!" geram Mata Bidadari, sambil me-
lirik ke kanan-kiri, takut adegan aneh tadi dilihat oleh
para murid pesanggrahan yang lalu lalang di sekitar
mereka.
"Kau tak perlu menaruh kecurigaan seburuk
itu, Mata Bidadari. Aku dan Raka pergi bersama Um-
bari untuk mencari Runggana dan Laksamada."
"Mengapa tak mengajakku?!"
"Kau sedang sibuk bicara dengan gurumu: Nyai
Sangkal Putung! Aku tak berani mengganggu pembica-
raan kalian."
"Hmmh, alasan saja!"
"Lagi pula, bukankah Umbari sudah pulang lebih awal dari kami?!"
"Dia belum pulang!" sentak Mata Bidadari.
"Jangan mengelabui ku, Soka! Aku bukan anak kema-
rin sore!"
"Umbari belum pulang?!" Soka justru berkerut
dahi dan bernada heran. Kecurigaan di dalam hatinya
mulai mengembang lebih besar lagi. Ia pun buru-buru
temui Ratu Sedap Malam.
"Soka, tunggu dulu!" sergah Mata Bidadari.
"Jika benar Umbari belum pulang, berarti kecu-
rigaan ku menjadi kenyataan!"
"Apa maksudmu, Soka?!" Mata Bidadari buru-
buru ikuti langkah si Pendekar Kembar bungsu itu.
Soka Pura menceritakan apa yang telah dialami ber-
sama kakaknya, termasuk kematian Runggana yang
mengerikan itu.
"Kalau terbukti Umbari di pihak lawan, biar ku
tangani sendiri gadis itu!" geram Mata Bidadari sambil
menyertai Soka menghadap sang Ratu.
Melihat si Mulut Guntur sudah berada di bang-
sal paseban, Soka Pura segera haturkan hormatnya
kepada tokoh tua yang disegani itu. Si Mulut Guntur
segera tanyakan tentang Raka.
"Di mana kakakmu, Soka?!" "Dia sedang men-
cari Umbari, Eyang," Jawab Soka sambil sempatkan
melirik Kirana yang tampak gelisah, seolah-olah pem-
beritahuan itu ditujukan pula kepada Kirana.
"Ada apa dengan Umbari, Soka?!" tanya Ratu
Sedap Malam dengan kedua alisnya berkernyit pertan-
da menyimpan kecemasan dalam batinnya. "Apakah ia
belum pulang, Nyai Ratu?" "Setahuku, Umbari belum
pulang. Jika ia sudah pulang pasti langsung mengha-
dap ku. Begitulah peraturan yang berlaku selama ini."
Lahar Jalanan menimpali dengan tanya, "Apa-
kah kalian berpisah dengan Umbari?"
"Kami sengaja menyuruhnya pulang lebih dulu,
karena kami melihat Laksamada dan Runggana mengi-
rim isyarat kepada Raja Amuk Jagal yang agaknya su-
dah menunggu kabar dari mereka di atas kapalnya...,"
Soka Pura pun segera ceritakan apa yang di alaminya
bersama Pendekar Kembar sulung. Cerita itu membuat
para tamu dan Ratu Sedap Malam tertegun sesaat dili-
puti ketegangan.
"Apakah maksudmu, Umbari mempunyai ting-
kat lebih tinggi dari Runggana dan Laksamada?" tanya
Nyai Sangkal Putung kepada Soka.
"Setidaknya ia termasuk orang istimewanya Ra-
ja Amuk Jagal yang tidak diketahui oleh sesama pi-
haknya, Nyai."
"Tapi itu baru dugaanmu saja, bukan?" sela
Lahar Jalanan.
"Benar, Paman. Ini baru dugaanku dan Raka."
Ratu Sedap Malam berkata, "Akan kuperintah-
kan orang-orangku untuk mencari Umbari sampai da-
pat!"
"Kalau bisa jangan sampai terbunuh, Nyai Ra-
tu!" ujar Soka mengingatkan. "Kita butuh keterangan
dari mulutnya tentang kedatangan si Raja Amuk Jagal
itu!"
Mulut Guntur ikut bicara juga. "Jika benar ceri-
tamu, bahwa Runggana dan Laksamada telah menga-
ku mengirim berita agar kapalnya si Raja Amuk Jagal
mendarat ke pantai, maka perkiraan ku esok sore me-
reka baru bisa tiba di sini. Perjalanan dari batas ca-
krawala itu mungkin membutuhkan waktu sehari-
semalam."
Nyai Sangkal Putung menyahut, "Kalau begitu,
siagakan sekarang juga orang-orangmu di sepanjang
Pantai Rangsang, Wulandani!"
"Bukan orang-orangnya yang siaga, tapi kita!"
tukas Lahar Jalanan. "Biarkan orang-orangnya Wu-
landani mencari Umbari, kita bersiap hadapi kedatan-
gan Raja Amuk Jagal di sepanjang pantai, terutama di
tempat Laksamada kirimkan isyarat sinar merah se-
perti yang diceritakan Soka Pura tadi!"
"Timbulkan suara ledakan tiga kali jika ada
yang melihat kedatangan kapalnya si Raja Amuk Jag-
al," sela Mulut Guntur. "Kita segera bersatu dl tempat
datangnya kapal tersebut!"
Nyai Sangkal Putung ajukan usul lagi, "Ada
baiknya kita serang lebih dulu kapal itu sebelum men-
dekati pantai!"
Soka Pura pun segera berkata kepada sang Ra-
tu, "Nyai, aku akan membantu Raka mencari Umbari.
Tentang gadis itu, biar kami yang menanganinya!"
"Aku ikut!" sergah Mata Bidadari.
"Aku Juga ikut!" timpal Kirana.
SI Mulut Guntur segera berkata kepada murid-
nya, "Kau boleh ikut dengan Soka, tapi kapan saja kau
mendengar suara ledakan tiga kali berturut-turut, kau
harus segera bergabung dengan kami, Kirana! Seti-
daknya aku dapat menjaga keselamatanmu jika orang-
orangnya Raja Amuk Jagal mulai mendarat di Pantai
Rangsang ini!"
Nyai Sangkal Putung pun berkata kepada mu-
ridnya, "Mata Bidadari, kau boleh ikut Soka Pura, tapi
tak boleh bertindak gegabah! ikuti saran Soka, karena
aku yakin ia tak ingin kau terluka sedikit pun!"
Soka Pura jadi tak enak hati, seakan isi hatinya
bisa ditebak oleh Nyai Sangkal Putung. Bukan saja
Nyai Sangkal Putung yang mengetahui isi hatinya, na-
mun mereka yang ada di situ pun menjadi tahu bahwa
antara dirinya dengan Mata Bidadari mulai menjalin
hubungan pribadi yang seharusnya tidak perlu diketa-
hui oleh mereka.
Sebenarnya Soka lebih suka pergi sendiri me-
nyusul kakaknya. Tapi kedua gadis yang menaruh
simpati terhadap kakaknya dan dirinya sendiri itu
akan bikin ulah yang menjengkelkan jika mereka di-
tinggalkan begitu saja. Mau tak mau Soka Pura mem-
biarkan kedua gadis itu ikut bersamanya.
Mereka tidak tahu bahwa Raka Pura sudah
berhasil temukan Umbari. Namun keadaan gadis itu
cukup mengkhawatirkan. Umbari ditemukan dalam
keadaan terkapar penuh luka. Cahaya senja yang kian
menua menampakkan wajahnya yang pucat itu nyaris
seperti wajah mayat.
Tubuh Umbari penuh luka senjata tajam, dan
pukulan bertenaga dalam tinggi yang membuat bebe-
rapa bagian tubuhnya memar membiru. Dagunya tam-
pak mau pecah akibat terkena hantaman keras yang
tentu saja dialiri tenaga dalam cukup besar.
"Umbari...?! Umbari, apa yang terjadi?!" tanya
Raka dengan sedikit panik. Umbari tak bisa menjawab.
Bibirnya yang pecah itu hanya bergerak-gerak pelan,
namun tak ada suara yang keluar selain erangan dan
desah kesakitan.
Raka Pura segera mengobatinya dengan jurus
'Sambung Nyawa'-nya. Dalam waktu singkat, gadis itu
akhirnya tertolong juga. Luka-lukanya merapat kemba-
li dan hilang tanpa bekas sedikit pun. Tubuh gadis itu
tak lagi merasakan sakit, bahkan justru merasa segar
kembali. Dalam keadaan sudah sesehat itu, Umbari
baru bisa menjawab pertanyaan Raka tadi.
"Seseorang mengetahui gerak-gerik kita saat ki-
ta mengintai Runggana dan Laksamada. Orang itu se-
gera menghadangku dan menghajar ku. Aku kalah il-
mu dengannya, lalu aku melarikan diri. Ternyata dia
mengejarku dan membuatku sekarat seperti tadi."
"Siapa orang itu? Apakah kau kenal dengan
nya?"
Umbari gelengkan kepala. "Baru kali ini aku
jumpa dengannya. Wajahnya menyeramkan, seperti
hantu gentayangan. Ia ganas dan liar."
"Kau masih ingat ciri-cirinya?"
"Rambutnya putih panjang dan acak-acakan.
Tubuhnya kurus, wajahnya menyeramkan, matanya
cekung, kukunya panjang-panjang," Umbari diam se-
bentar berusaha mengingat orang yang nyaris mem-
buat nyawanya melayang.
Sambungnya lagi, "Ia mengenakan jubah merah
kusam, demikian pula warna celananya yang banyak
robekannya di bagian kaki."
"Siapa dia, ya?!" gumam Raka sambil tertegun
membayangkan ciri-ciri tersebut.
"Apakah dia orang Pulau Kucil?" tanya Raka se-
telah diam beberapa saat.
"Aku tak tahu dia di pihak mana. Yang jelas dia
menyerangku tanpa berkata sepatah pun. Agaknya ia
tak suka aku menunjukkan tempat persembunyian
Runggana dan Laksamada!"
"Aneh. Kenapa ia tidak turun tangan waktu aku
dan Soka bertarung melawan mereka berdua?" gumam
Raka, seperti bicara pada dirinya sendiri.
*
* *
7
ANGIN mulai berhembus kencang. Raka Pura
bergegas dampingi Umbari pulang ke pesanggrahan
Pantai Rangsang. Mereka berusaha mencapai pe-
sanggrahan sebelum alam menjadi petang dan hembu
san angin akan menjadi badai yang dapat menum-
bangkan pepohonan.
"Lewat jalan sini, Raka!" seru Umbari menun-
jukkan jalan yang harus mereka lewati karena cuaca
semakin buruk, pemandangan menjadi buram. Ia ter-
paksa bersuara keras untuk imbangi deru angin yang
membisingkan telinga.
"Bukankah jalan lewat pantai lebih mudah?!
Mengapa harus menerabas hutan?"
"Jika angin sekencang ini, maka permukaan air
laut akan naik. Pasir pantai tak akan kelihatan karena
terendam air. Badai akan datang menggulung ombak
lautan sampai ke pantai! Berbahaya jika lewat sana!"
ujar Umbari menjelaskan. Karena penjelasan itu ma-
suk akal, maka Raka ikuti panduan Umbari dengan
menerabas kerimbunan hutan belukar.
Mendung semakin tebal, langit kian gelap. Ma-
tahari sama sekali tak bisa tembuskan sinarnya ke
permukaan bumi lagi. Angin telah berubah menjadi
badai kencang.
Sebenarnya Raka Pura ingin hentikan badai
dengan jurus penjinak badainya yang bernama 'Gugah
Jinak' itu. Tapi karena hujan pun turun, maka hem-
busan badai itu dianggap hal yang wajar terjadi. Bu-
kan kiriman dari seorang tokoh sakti. Karenanya, Raka
merasa tak perlu menjinakkan sang badai semasa ba-
dai yang hadir tidak menimbulkan bencana besar.
"Kita harus meneduh dulu, Umbari!" seru Raka
di sela guyuran hujan deras. "Kalau kita nekat berjalan
dalam guyuran hujan dan badai seperti ini, aku kha-
watir kau akan sakit!"
"Di sebelah sana ada gubuk tua, tempat para
pencari kayu beristirahat. Kita ke sana saja!"
Kecurigaan Raka Pura terhadap Umbari sudah
hilang sejak ia menemukan gadis itu dalam keadaan
nyaris mati. Raka berani bertaruh dengan adiknya,
bahwa Umbari sama sekali bukan pembunuh Rungga-
na, seperti dugaan mereka semula. Justru orang yang
menyerang Umbari itulah yang kini diduga oleh Raka
sebagai orang yang membunuh Runggana. Hati si pe-
muda tampan itu menjadi iba terhadap Umbari, se-
hingga ia merasa perlu menebus dosanya dengan
memperhatikan dan menjaga Umbari sebaik mungkin.
Gadis itu menggigil ketika mereka berada di
rumah gubuk yang berdinding bambu separo bagian
itu. Hembusan angin menerpa tubuh Umbari yang ba-
sah kuyup, sehingga tubuh gadis itu pun menggigil
dengan gigi gemeretuk.
Alam yang telah menjadi gelap masih membuat
Raka dapat melihat bayangan si gadis secara samar-
samar. Gadis itu memeluk dirinya sendiri dengan
menggigil dan bersuara terputus-putus.
"Raka, dapatkah kau menolongku?"
"Tentu saja. Apa yang harus kulakukan untuk
menolongmu?"
"Aku dingin sekali. Luar biasa dinginnya. Da-
rahku bagaikan menjadi beku."
"Hmm, eeh... ya, aku juga begitu," Jawab Raka
gugup. "Lalu, apa maksudmu?"
"Maukah kau memeluk ku untuk menghan-
gatkan tubuhku?! Aku paling tak tahan hawa dingin,
Raka."
"Hmm, hm... eeh... bagaimana, ya?" Raka men-
jadi salah tingkah dan kebingungan sendiri.
"Sebentar saja, Raka. Kalau tubuhku sudah
menjadi hangat kembali, lepaskanlah pelukan mu.
Jantung ku akan semakin lemah jika terlalu lama di-
cekam kedinginan. Oh, tolong aku, Raka. Hangatkan
tubuhku dengan pelukan mu," pinta Umbari tanpa
malu-malu lagi, karena ia merasa benar-benar sangat
terpaksa ajukan permintaan seperti itu.
Raka Pura pun akhirnya memeluk gadis itu
dengan jantung berdebar-debar cukup keras dan ce-
pat. Debaran itu membuat tubuh Raka Pura semakin
menggigil, sehingga mereka berpelukan dalam keadaan
terguncang-guncang.
"Jangan menilai ku terlalu rendah, Raka. Aku
hanya membutuhkan pelukan mu untuk mengatasi
kebiasaan buruk pada jantungku ini. Aku tidak ber-
maksud nakal padamu, karena aku tahu kau adalah
kekasihnya Kirana, dan Kirana berteman baik padaku.
Aku tak ingin menodai hubungan suci kalian! Bila per-
lu, setibanya di pesanggrahan aku akan bilang kepada
Kirana dan meminta maaf atas keterpaksaan ini!"
"Ehhm, hmm... sebaiknya tak perlu bicara ten-
tang hal ini kepada Kirana."
"Oh, apakah kau bermaksud mendustainya?"
"Bukan mendustainya, tapi... tapi hanya seka-
dar menjaga keamanan dalam negeri saja," Raka Pura
tertawa sumbang sambil masih memeluk Umbari.
Sambungnya lagi, "Sekalipun kita bermaksud
jujur, tapi Kirana akan berang padaku jika mendengar
apa yang kita lakukan di sini, Umbari! Jadi sebaiknya,
demi keamanan hati bersama, anggap saja hal ini tak
pernah terjadi. Setuju?"
"Baiklah jika memang begitu maumu!" jawab
Umbari sambil meletakkan kepalanya ke pundak Raka,
wajahnya menempel di leher pemuda tampan itu.
Dalam keadaan di tengah kerimbunan hutan
dan cuaca seburuk itu, rumah gubuk tersebut telah
memberikan perlindungan yang nyaman bagi mereka
berdua. Irama deru hujan mendatangkan rasa kantuk
yang tak disadari, sehingga mereka pun tertidur dalam
keadaan duduk dan saling berpelukan.
Menjelang fajar tiba, hujan telah reda dan badai
pun jinak dengan sendirinya. Raka Pura dan Umbari
berlari-lari menuju ke pesanggrahan. Mereka dike-
jutkan dengan satu pemandangan yang amat menarik
perhatian. Umbari adalah orang pertama yang melihat
sebuah benda terdampar tak jauh dari pesanggrahan.
"Kapal...?! Lihat itu, Raka! Lihat...! Ada kapal
berlabuh dl pantai dekat pesanggrahan!"
Raka Pura terbelalak tegang melihat sebuah
kapal merapat di pantai dekat pesanggrahan. Kapal itu
tak terlalu besar dengan dua tiang layar di mana salah
satu tiang layarnya telah patah. Kain layar pada tiang
yang masih utuh itu telah robek dan tak mengembang.
"Kapal siapa itu?"
"Lihat bagian haluan kapal, ada gambar teng-
korak dengan pedang bersilang. Setahuku, itu lam-
bangnya Raja Amuk Jagal," ujar Umbari.
"Celaka!" Raka Pura semakin cemas. Ia segera
mencabut pedangnya, demikian pula Umbari. Mereka
mendekati kapal yang berkesan kandas di perairan
pantai.
"Sebaiknya kau segera ke pesanggrahan dan
beri tahukan kepada Nyai Ratu serta yang lainnya! Aku
akan memeriksa kapal itu!"
"Sendirian?! Oh, jangan sendiri, Raka! Nanti
kau...."
"Aku bisa menjaga diriku sendiri, Umbari! La-
kukan saja perintahku tadi!"
"Baiklah. Hati-hati, Raka!"
Umbari segera pergi ke pesanggrahan. Kalau
saja mereka tak terhalang bukit karang yang menjorok
ke laut, maka kapal tersebut dapat terlihat dari ger-
bang utama pesanggrahan. Tapi karena kapal itu ter-
halang bukit karang yang tak seberapa tinggi itu, maka
penjaga di gerbang utama tidak melihat munculnya
kapal berwarna hitam itu.
Raka Pura semakin mendekat dengan langkah
sangat hati-hati. Matanya memandang penuh waspa-
da. Pedangnya sudah siap ditebaskan jika sewaktu-
waktu datang serangan ke arahnya.
"O, rupanya kapal itu terjepit batu karang hing-
ga tak dapat bergerak?!" gumam hati Raka Pura sambil
memperhatikan dua batu karang besar yang menjepit
bagian buritan kapal.
"Air laut telah surut. Mungkin pada saat air
laut pasang, kapal itu meluncur dengan seenak udel-
nya sendiri. Dan tak tahu kalau sudah mencapai pe-
rairan pantai."
Sementara si Pendekar Kembar sulung men-
gendap-endap dekati kapal tersebut, suasana dl pe-
sanggrahan menjadi gaduh. Kabar yang dibawa Umba-
ri itulah yang membuat suasana pesanggrahan menja-
di heboh.
"Kapal dari Pulau Kucil telah merapat di pantai,
Gusti Ratu! Sekarang sedang dalam pengawasan Ra-
ka!"
Sekalipun matahari mulai memancarkan sinar
paginya, tapi beberapa orang masih tertidur dengan
nyenyak, termasuk Nyai Sangkal Putung. Begitu men-
dengar suara gaduh, Nyai Sangkal Putung segera me-
lompat dari ranjangnya dan berkelebat keluar hampiri
Ratu Sedap Malam.
"Ada apa, Wulandani?!"
"Raja Amuk Jagal telah mendarat bersama ka-
palnya!" Lahar Jalanan yang menjawab pertanyaan
tersebut.
"Kalau begitu harus segera bertindak!"
"Aku sudah perintahkan kepada orang-orangku
untuk mengepung kapal itu, Nyai!" ujar sang Ratu
sambil bergegas ke arah kapal tersebut.
Mereka yang bergegas ke arah kapal tersebut
sudah siap dengan senjata masing-masing. Tenaga da-
lam mulai mengalir ke tangan mereka, siap dilepaskan
kapan saja. SI Mulut Guntur dan Bandot Sebrang lebih
dulu berkelebat ke arah kapal tersebut.
Dalam waktu singkat, tempat di mana kapal
berlambang tengkorak dengan pedang bersilang itu
kandas telah dikepung oleh pihak Ratu Sedap Malam
dalam jarak beberapa puluh langkah.
"Jangan biarkan seorang pun yang turun dari
kapal itu lolos tanpa syarat!" ujar Bandot Sebrang ke-
pada para pengepung.
Mereka tak berani langsung dekati kapal itu.
Suasana sepi tanpa suara apa pun membuat mereka
curiga dan waswas. Tak ada seorang pun muncul di
permukaan geladak kapal tersebut. Hal itu menimbul-
kan ketegangan tersendiri bagi mereka. Mereka hanya
berani mengamati dari jarak jauh sambil mencari di
mana Raka Pura berada.
Raka tak kelihatan sejak kapal sudah terke-
pung.
Hal itu membuat mereka menjadi cemas, bah-
kan Umbari, si pengkhianat budiman yang sudah ter-
bukti tak bersalah, kini menjadi tak sabar dan ingin
segera melesat dekati kapal tersebut. Namun tangan-
nya segera dicekal oleh sang Ratu hingga langkahnya
tertunda.
"Jangan bergerak dulu sebelum Raka muncul
di atas geladak!" ujar sang Ratu yang juga didengar
oleh beberapa orang di dekatnya, termasuk si Mata Bi-
dadari yang baru saja muncul bersama Soka dan Kira-
na.
Ketiga orang yang gagal mencari Raka itu baru
saja tiba di pesanggrahan. Tapi penjaga gerbang mem-
beritahukan tentang kapal tersebut. Maka Soka dan
kedua gadis cantik itu segera menyusul mereka ke
tempat kapal tersebut kandas.
Tentu saja Soka Pura tak bisa menuruti perin-
tah Ratu Sedap Malam. Begitu mendengar kakaknya
memeriksa kapal tersebut dan sampai saat itu belum
tampak batang hidungnya, Soka Pura pun segera ber-
kelebat menyusul sang kakak. Gerakan jurus 'Jalur
Badai' yang amat cepat membuat mereka terperangah
melihat Soka Pura sudah berada di atas geladak kapal.
"Rakaaaa...!!" teriak Soka Pura setelah merasa
heran melihat keadaan di atas kapal sepi-sepi saja.
Sreet...! Pedang kristal pun dicabut oleh Soka
Pura, kemudian ia melangkah pelan-pelan dekati tang-
ga menuju ruang bawah.
Wuuzz...! Tiba-tiba dari ruang bawah melesat
bayangan putih yang hampir saja ditebas dengan pe-
dang kristal oleh Soka Pura. Bayangan putih itu segera
bertengger di atas reruntuhan tiang layar. Jleeg...!
"Setan gendeng kau!" maki Soka Pura setelah
tahu bayangan putih itu adalah kakaknya sendiri.
"Rakaaa...!" seru Kirana, namun gadis itu ma-
sih tak bisa ikut naik ke atas kapal karena lengannya
digenggam kuat-kuat oleh si Mulut Guntur.
Raka Pura tersenyum kalem, sempat menjeng-
kelkan hati adiknya yang tegang dan mencemaskan di-
ri sang kakak itu.
"Hei, Jangan cengar-cengir saja! Apa yang kau
temukan dl ruang bawah sana?! Mengapa kapal ini tak
ada penumpangnya satu pun?!" seru Soka Pura.
"Kapal ini bermuatan mayat!" jawab Raka den-
gan keras, membuat mereka yang ada di darat terpe-
ranjat mendengarnya.
"Jangan bergurau kau, Raka!" seru si Mulut
Guntur.
Raka bicara kepada mereka yang di darat.
"Aku hanya menemukan mayat-mayat yang
bertumpuk di ruang bawah! Tak ada satu pun yang hi-
dup. Kalau tak percaya, silakan periksa sendiri!"
Rasa penasaran membuat mereka akhirnya
menyerbu kapal dan memeriksanya. Ternyata semua
awak kapal dalam keadaan tak bernyawa. Mayat mere-
ka tertumpuk di ruang lambung kapal. Pada umumnya
mereka mengalami luka hangus di bagian dada atau
punggung.
"Tak salah lagi, mereka adalah orang-orang si
Raja Amuk Jagal!" ujar Nyai Sangka! Putung yang
mengenali tato di lengan para mayat. Tato gambar
tengkorak dengan pedang bersilang adalah lambang
yang selalu dipakai oleh para pengikut Raja Amuk
Jagal.
"Siapa yang membunuh mereka dan mengirim-
kannya kemari?!" tanya si Mulut Guntur.
Bandot Sebrang berujar, "Kurasa seseorang te-
lah membantai habis seluruh awak kapal itu, dan me-
numpuk mayatnya di ruangan ini. Badai besar sema-
lam telah menghanyutkan kapal ini dan tanpa disenga-
ja telah terdampar kemari."
"Aku sependapat denganmu," ujar Lahar Jala-
nan. "Sebab jika tanpa didorong oleh badai kencang
semalaman, perjalanan kapal ini akan memakan wak-
tu sehari semalam untuk mencapai kemari. Itu menu-
rut perhitunganku!"
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh seruan si Ma-
ta Bidadari kepada Nyai Sangkal Putung.
"Guru, aku menemukan mayat tanpa kepala!"
Mereka bergegas memeriksa mayat yang ter-
penggal tanpa kepala itu. Mayat tersebut berperawa-
kan tinggi, besar, mengenakan jubah kuning emas dan
perhiasan mewah. Di sampingnya terdapat abu yang
membentuk sabuk selebar satu jengkal dengan pan-
jang sekitar lima jengkal.
"Apakah abu ini adalah abu dari 'Sabuk Biang
Neraka' milik Naga Barong?!" Lahar Jalanan bagai ber-
tanya pada diri sendiri.
"Jika benar begitu," sahut Nyai Sangkal Pu-
tung,"... kurasa mayat tanpa kepala ini adalah mayat-
nya si Amuk Jagal!"
"Ya, aku pun yakin mayat ini adalah mayatnya
si Raja Amuk Jagal. Aku masih ingat dengan kulitnya
yang berwarna hitam keling Ini!" ujar si Mulut Guntur.
"Lalu ke mana kepalanya, Eyang?!" tanya Soka
Pura kepada si Mulut Guntur.
Untuk memastikan mayat tanpa kepala itu ada-
lah mayat Raja Amuk Jagal, mereka segera mencari
kepala tersebut. Namun ternyata mereka tidak berhasil
temukan kepala yang terpenggal.
Akhirnya mereka naik ke geladak dengan masih
mencari kepala tersebut dan bertanya-tanya, "Siapa
orang yang telah memenggal kepala Raja Amuk Jagal
itu?"
"Sumpah mampus! Bukan aku yang memeng-
galnya!" ujar Raka Pura ketika dipandangi adiknya dan
si Mata Bidadari.
"Aku pun tidak menganggap kau pemenggal-
nya! aku hanya...."
Kata-kata Soka terhenti seketika itu juga, kare-
na tiba-tiba mereka melihat sekelebat bayangan mele-
sat dengan cepat. Hampir saja menyambar tubuh Ki-
rana jika gadis itu tidak segera ditarik ke belakang oleh
Raka Pura.
Weess...!
Bayangan yang berkelebat itu hinggap di atas
tong kayu. Mereka yang ada di geladak terperanjat bu-
kan kepalang, termasuk para tokoh tua yang memihak
Ratu Sedap Malam itu. Orang yang baru datang itu be-
rambut putih dengan wajah angker dan berkuku runcing.
Melihat si wajah angker berjubah merah kusam
dengan celana merah robek di bagian kakinya, Umbari
menjadi gemetar dan berdebar-debar. Ia berusaha
mendekati Raka Pura. Dari belakang Raka gadis itu
berbisik dengan suaranya yang bergetar.
"Orang inilah yang menyerangku kemarin sore!"
"Ooo...," Raka Pura menggumam pelan dan
manggut-manggut. "Tenanglah, kau tak perlu takut la-
gi selama bersamaku, Umbari."
Wajah-wajah tegang yang memandangi si tokoh
berambut putih acak-acakan itu tak luput dari pera-
saan ngeri di dalam hati mereka. Bukan saja wajah
angker sang tokoh yang membuat mereka ngeri, na-
mun juga sesuatu yang ditenteng oleh tangan si tokoh
bertubuh kurus bermata cekung itu.
Tangan kiri orang tersebut menggenggam ram-
but kepala yang telah terpenggal. Kepala itu dikenali
oleh Nyai Sangkal Putung dan beberapa tokoh tua
lainnya sebagai kepalanya si Raja Amuk Jagal. Ru-
panya orang Inilah yang memenggal kepala Raja Amuk
Jagal dan membunuh para awak kapal tersebut sebe-
lum mereka mencapai Pantai Rangsang.
Hanya beberapa orang yang tak menyimpan
kengerian melihat penampilan tokoh berkulit keriput
itu. Mereka yang tak mempunyai rasa ngeri dan takut
sedikit pun adalah Pendekar Kembar, si Mulut Guntur
dan Mata Bidadari. Bahkan gadis murid Nyai Sangkal
Putung itu segera berkata dengan suara pelan, namun
sangat jelas didengar oleh mereka karena suasana
hening yang tercipta dalam beberapa kejap itu.
"Eyang Dedengkot Iblis...?!"
Melihat Soka Pura dan Mata Bidadari maju de-
kati tokoh angker yang ternyata adalah si Dedengkot
Iblis, Raka Pura pun segera memisahkan diri dari Ki
rana dan Umbari. Ia melangkah maju dari arah berla-
wanan dengan Soka. Ketiga anak muda itu segera
memberi hormat dengan sedikit bungkukkan badan
dan merapatkan tangan di depan dada masing-masing.
"Rupanya kaulah yang memenggal Raja Amuk
Jagal itu, Dedengkot Iblis!" ujar Raka Pura.
Pandangan mata Dedengkot Iblis diarahkan ke-
pada Ratu Sedap Malam yang didampingi oleh si Mulut
Guntur dan Lahar Jalanan. Sang Ratu yang belum
mengenal siapa Dedengkot Iblis sempat merinding me-
nerima tatapan mata dingin itu.
Tiba-tiba Dedengkot Iblis lemparkan kepala
yang ditentengnya itu. Wes, bruuk...! Kepala si Raja
Amuk Jagal jatuh menggelinding dan berhenti tepat di
depan kaki Ratu Sedap Malam. Semua mulut masih
terbungkam bagai terhipnotis. Mereka pandangi seje-
nak kepala berlumur darah itu, kemudian segera me-
natap Dedengkot Iblis lagi setelah tokoh angker bekas
penjaga Bambu Gading Mandul itu perdengarkan sua-
ranya yang serak.
"Kau tak perlu meminta bantuan lagi kepada
cucu-cucuku: Pendekar Kembar! Wilayah mu dalam
perlindungan ku, karena cucu-cucuku berada di pi-
hakmu!"
Kemudian pandangan mata Dedengkot Iblis di
arahkan kepada Umbari. Gadis itu semakin deg-degan
lagi.
"Rupanya kau ada di pihak cucuku; si Raka
Pura! Kusangka kau bersekongkol dengan pemuda
berbaju biru yang tewas di tangan Soka Pura itu, kare-
na aku pernah melihatmu berciuman dengan pemuda
tersebut! Maafkan aku! Untung nasibmu tidak kubuat
seperti Runggana!"
Kini mata cekung itu diarahkan kepada Pende-
kar Kembar secara bergantian.
"Aku terpaksa ikut campur urusanmu, Soka.
Raja Amuk Jagal bukan tandingan kalian berdua!"
Sebelum Raka maupun Soka ingin ucapkan ka-
ta, Dedengkot Iblis sudah pindahkan tatapan matanya
kepada si Mulut Guntur yang dikenalnya sebagai ketu-
runan dari Nyai Prabawinih, mantan istrinya.
"Jika kau ingin bertemu denganku, suruh si
Kembar mengantarkannya, atau si Mata Bidadari. Me-
reka tahu tempatku yang baru. Bukan lagi di kaki Gu-
nung Mercapada!"
Mulut Guntur hanya anggukkan kepala sedikit
membungkuk pertanda bersikap hormat kepada De-
dengkot Iblis.
Setelah berkata demikian, tanpa basa-basi lagi
Dedengkot Iblis melesat dengan cepat bagaikan sinar
merah suram yang berkilat di udara. Kejap kemudian
ia lenyap di kerimbunan hutan, tak seorang pun dapat
melihat gerakannya kecuali Pendekar Kembar dan si
Mulut Guntur.
Kejap berikutnya barulah mereka bisa bicara
dan saling bergemuruh seperti pasukan lebah lewat.
Mereka sama sekali tak menduga bahwa si Dedengkot
Iblis tokoh hitam yang dikalahkan Pendekar Kembar
itu sudah bertindak lebih dulu dari mereka. Dedengkot
Iblis mengetahui rencana kedatangan Raja Amuk Jagal
berkat mencuri percakapan Laksamada dan Runggana
secara diam-diam. Ia membantai seluruh awak kapal,
termasuk si Raja Amuk Jagal ketika hujan turun den-
gan lebat tadi malam. Pertarungannya dengan pihak
Raja Amuk Jagal dilakukan di tengah laut, sebelum
kapal itu akhirnya terdampar di Pantai Rangsang.
"Rupanya secara diam-diam selama ini kau di-
pantau terus oleh Dedengkot Iblis, sehingga ia tak rela
jika kekuasaan dan wilayah mu diusik oleh pihak lain,"
ujar si Mulut Guntur setelah jelaskan kepada sang Ratu siapa sebenarnya Dedengkot Iblis itu.
"Hanya saja, aku tak habis pikir mengapa Pen-
dekar Kembar bisa disebut sebagai cucu-cucunya,"
ujar Nyai Sangkal Putung kepada si Mulut Guntur.
"Apakah Raka dan Soka memang keturunan si De-
dengkot Iblis?!"
Mulut Guntur tersenyum geli. "Itu hanya siasat
mereka. Ketika mereka bertarung melawan Dedengkot
Iblis untuk mendapatkan Bambu Gading Mandul, me-
reka mengaku keturunannya Nyai Prabawinih. Men-
dengar nama Nyai Prabawinih, Dedengkot Iblis menjadi
takut dan segera melarikan diri. Ia tak berani melawan
keturunan dari mantan istrinya yang dicintai itu. Begi-
tulah cerita Raka kepadaku beberapa waktu yang lalu."
"Ooo... cerdik juga rupanya si kembar itu?!"
gumam Nyai Sangkal Putung, yang lain pun ikut ang-
guk-anggukkan kepala.
Sejak itu, Pantai Rangsang dalam keadaan se-
nantiasa aman dari gangguan siapa pun. Kabar ke-
munculan Dedengkot Iblis di Pantai Rangsang yang
memenggal kepala Raja Amuk Jagal lambat laun me-
nyebar dan sampai di telinga para tokoh sesat lainnya,
sehingga para tokoh sesat tak ada yang berani mengu-
sik kedamaian Ratu Sedap Malam dan para penduduk
di Pantai Rangsang, termasuk desa nelayan tempat di
mana Lahar Jalanan mengasingkan diri menjadi seorang nelayan.
SELESAI