google-site-verification=cSn3zY91K5xHQX-0bucKyuc1sekuKxINnC2W51SOAPw PENDEKAR KEMBAR EPISODE TANTANGAN MESRA
  • Posted by : matjenuh khairil Kamis, 04 September 2025

    Tantangan Mesra

     


    1


    TERHITUNG cukup lama kedua pemuda kem-

    bar yang dikenal sebagai Pendekar Kembar dari Gu-

    nung Merana itu saling berpisah. Sejak selesaikan per-

    tarungan di Bukit Maut melawan si pengisap darah pe-

    rawan; Darah Kula, Raka dan Soka saling berpisah.

    Raka Pura menuju ke Perguruan Tapak Syiwa 

    untuk temui Kirana. Hatinya sempat berbunga-bunga 

    indah terhadap gadis berlesung pipit dan bergigi ging-

    sul itu. Raka Pura ingin menyajikan hati yang berbun-

    ga-bunga itu kepada Kirana, sebab itulah ia tinggalkan 

    adik kembarnya di Bukit Maut, (Baca serial Pendekar 

    Kembar dalam episode: "Rahasia Dedengkot Iblis").

    Soka Pura sendiri tak merasa sepi walau tanpa 

    kakaknya, karena ia didampingi oleh Bulan Berkabut, 

    murid Resi Bayakumba. Gadis itu benar-benar mem-

    buat hati Soka Pura bergetar, bahkan merasa ingin se-

    lalu berada di samping Bulan Berkabut. Oleh kare-

    nanya, setelah selesai tumbangkan si Darah Kula, So-

    ka pun pergi ke Lembah Semangit bersama Bulan Ber-

    kabut. Ia tinggal di pondok Resi Bayakumba menikma-

    ti kedamaian hatinya bersama Bulan Berkabut selama 

    delapan hari.

    Rasa rindu kepada sang kakak kembar mem-

    buat Soka Pura terpaksa pamit kepada Resi Bayakum-

    ba untuk pergi ke kaki Gunung Mercapada.

    "Aku harus menjemput Raka ke sana, Eyang 

    Resi. Aku takut Raka lupa daratan kalau sudah dibuai

    mesra oleh Kirana."

    Resi Bayakumba tertawa pendek dan pelan.

    "Semenarik itukah Kirana, murid sahabatku 

    itu, bagi Raka Pura?"

    "Entahlah, Eyang. Setahuku Raka tak pernah


    jatuh cinta. Apakah kali ini ia akan jatuh cinta atau ja-

    tuh dari pohon kelapa, itu aku tak dapat memastikan, 

    Eyang."

    "Jika memang itu hal yang baik menurutmu, 

    susullah kakakmu dan sampaikan salamku kepada si 

    Mulut Guntur."

    "Baik, Eyang Resi."

    "Sebaiknya jangan lupa pamitlah kepada Bulan 

    Berkabut. Jangan sampai ia menjadi sedih karena ke-

    pergianmu. Berilah pengertian sebaik mungkin."

    "Baik, Eyang. Jika begitu, sekarang pun akan 

    kutemui Bulan Berkabut dan...."

    "Jangan sekarang!" sergah sang Resi.

    "Mengapa tidak boleh sekarang, Eyang?"

    "Anak itu sedang mandi. Kalau kau temui seka-

    rang, bisa kacau nanti...," sambil sang Resi tersenyum 

    lebar, dan Soka Pura tersipu-sipu.

    Ketika matahari mulai merayapi langit menuju 

    ke pertengahannya, pemuda tampan dan bertubuh ke-

    kar serta selalu tampak gagah itu akhirnya meninggal-

    kan Lembah Semangit. Tentu saja hal itu dilakukan 

    setelah ia pamit kepada Bulan Berkabut. Pada mu-

    lanya memang Bulan Berkabut merasa keberatan, 

    bahkan ia ingin ikut ke padepokannya si Mulut Gun-

    tur. Tetapi mengingat perjalanan itu cukup jauh, Soka 

    Pura tak bersedia membawa Bulan Berkabut ke sana.

    "Perjalanan ini hanya akan melelahkan bagimu, 

    Bulan!" 

    "Selama bersamamu, ke ujung dunia pun aku 

    tak merasa lelah, Soka," ujar Bulan Berkabut sambil 

    merapikan pakaian Soka yang terdiri dari baju bun-

    tung warna putih, celana warna putih, dan ikat ping-

    gang dari kain merah. Kain merah itu dipakai untuk 

    menyelipkan sebilah pedang kristal yang bernama Pe-

    dang Tangan Malaikat.


    "Itu hanya sebuah kiasan hati, Bulan! Pada ke-

    nyataannya walau kau bersamaku, kalau harus berja-

    lan sampai ke ujung dunia tetap akan gempor. Aku 

    pun juga akan gempor!" sambil Soka Pura tertawa, dan 

    si gadis lepaskan tawa kecil yang menyejukkan hati 

    Soka.

    "Mengapa kau keberatan jika aku ikut dengan-

    mu, Soka?"

    "Karena aku tak ingin kau capek, Bulan. Jika 

    kau capek, lalu kau sakit, maka aku akan sedih. Jadi 

    sebaiknya biarlah aku yang menjemput Raka. Ia akan 

    kubawa kemari dan kita akan bersama-sama menik-

    mati ulang tahun mu nanti, Bulan."

    "Hah...? Ulang tahun ku? Oh, aku tak pernah 

    berulang tahun, Soka. Sebab aku tak tahu kapan aku 

    lahir.”

    "O, kalau begitu... kalau begitu... ulang tahun

    ku saja yang akan kita nikmati bersama-sama," ujar 

    Soka Pura mengalihkan rasa malunya akibat kecele. Ia 

    jadi tertawa geli sendiri. Tawa itu menghibur hati Bu-

    lan Berkabut, sehingga si gadis akhirnya mengizinkan 

    Soka pergi menjemput kakaknya.

    "Baiklah. Pergi dan jemputlah kakakmu. Tapi 

    jangan lama-lama, Soka. Aku akan menderita jika kau 

    pergi terlalu lama."

    "Tidak, Bulan! Aku pergi tak sampai sebulan," 

    kata Soka masih dengan nada-nada kelakar. Senyum-

    nya mengembang lepas bersama tawa yang mirip gu-

    mam itu.

    Soka Pura akhirnya menempelkan bibirnya ke 

    kening Bulan Berkabut, setelah si gadis sedikit men-

    dongak dan memejamkan matanya. Kecupan lembut 

    itu terasa menghangat sampai di dasar hati Bulan 

    Berkabut. Ia mulai merapatkan tubuh.

    Soka Pura segera memeluk, kemudian kecu


    pannya merayap hingga mencapai bibir si gadis. Bibir 

    itu dikecupnya pelan-pelan, seakan benar-benar dire-

    sapi setiap sentuhannya. Tapi si gadis membalas den-

    gan lumatan yang sedikit nakal namun menghadirkan 

    sejuta keindahan bagi Soka Pura.

    "Ingat, Jangan berpindah ke lain hati," ujar Bu-

    lan Berkabut sambil menjentikkan jarinya ke bibir So-

    ka dengan lembut. "Bibir ini jangan berikan kepada 

    gadis mana pun!"

    "Tidak, Bulan. Kau tak perlu khawatir, aku ti-

    dak akan berikan bibir ini kepada gadis mana pun, ke-

    cuali kepepet...."

    "Iiih...!" Bulan Berkabut cemberut, dan Soka 

    Pura tertawa lepas. Lalu direngkuhnya gadis itu dalam 

    pelukan yang mendalam.

    "Aku hanya bercanda, Bulan. Aku senang jika 

    melihat kau cemberut begitu. ini akan membuatku se-

    lalu merindukan dirimu dan tak akan betah mening-

    galkan mu terlalu lama."

    Si gadis akhirnya tertawa di sela cemberutnya. 

    Cubitan mesra diberikan oleh Bulan Berkabut di dada 

    Soka Pura yang bidang itu.

    Seiring dengan lambaian tangan seperti dalam 

    dongeng klasik, Soka Pura pun melangkah tinggalkan 

    pondok sang Resi, sementara Bulan Berkabut meman-

    danginya dari depan pondok dengan kedua mata ber-

    kaca-kaca. Hati keduanya saling terharu, lambaian 

    tangan pun menjadi lama. Karena lamanya melambai-

    kan tangan sambil melangkah, akhirnya Soka Pura ja-

    tuh terjerembab karena kakinya menyandung batu. 

    Brrruk...!

    "Soka...!" pekik Bulan Berkabut sepintas, sete-

    lah itu ia justru menertawakan pemuda tampan yang 

    juga tertawa geli sendiri sambil teruskan langkah. 

    Wuuuz...! Akhirnya Soka pun gunakan jurus 'Jalur


    Badai'-nya untuk percepat langkah menuju kaki Gu-

    nung Mercapada.

    Bayang-bayang wajah Bulan Berkabut yang be-

    rambut cepak seperti potongan rambut lelaki itu beru-

    saha dihapus dari pelupuk mata Soka Pura. Ternyata 

    bayang-bayang itu tak bisa hilang begitu saja. Akhir-

    nya Soka hanya bisa menyimpan bayang-bayang wajah 

    Bulan Berkabut di dasar ingatannya. Sewaktu-waktu 

    ia akan mengenangnya sebagai obat kerinduan jika 

    sampai sang kerinduan itu datang menghampirinya.

    Sepanjang perjalanan itu, Soka Pura alias si 

    Pendekar Kembar bungsu, diliputi pertanyaan batin 

    yang belum pernah ada jawaban pastinya. Pertanyaan 

    batin selalu ditujukan pada dirinya sendiri, sehingga 

    Soka sering merasa dibuat bingung oleh sang diri sen-

    diri itu.

    "Benarkah aku mencintai Bulan Berkabut?! Ra-

    sa ingin selalu berdekatan dengannya memang selalu 

    menggebu-gebu dalam hatiku, tapi apakah itu na-

    manya jatuh cinta?"

    Soka pun berpikir, "Alangkah hebatnya gadis 

    itu jika benar-benar bisa membuatku jatuh cinta pa-

    danya. Selama ini aku tak pernah merasakan jatuh 

    cinta yang benar-benar tulus kepada siapa pun. Aku 

    hanya merasa senang dan bahagia jika bisa bersama 

    seorang gadis dalam kemesraan. Tapi Bulan Berkabut 

    itu... oh, dia sepertinya membuatku senang bukan 

    hanya karena kemesraan saja, melainkan seperti me-

    rupakan suatu kebutuhan bagi jiwaku untuk selalu 

    ada di sampingnya. Apakah benar jiwaku menuntut 

    hal demikian?!"

    Soka Pura merasa aneh dengan jiwanya sendiri. 

    Sebab ia memang belum pernah mempunyai rasa se-

    perti itu, ia pun menjadi sangsi pada tuntutan batin-

    nya.


    "Jangan-jangan hanya semusim saja?" pikirnya 

    di sela keraguan hati.

    Langkah dan lamunan itu terhenti seketika, ka-

    rena tiba-tiba Soka Pura mendengar suara ledakan di 

    sebelah kirinya. Suara ledakan itu datang dari balik 

    gugusan tanah cadas yang membukit. Soka merasa 

    yakin bahwa ledakan itu timbul karena suatu perta-

    rungan. Khawatir kalau yang bertarung adalah kakak-

    nya, maka Soka pun segera mengintip pertarungan 

    tersebut dari celah-celah pepohonan hutan rindang.

    Ternyata pertarungan itu dilakukan oleh seo-

    rang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun yang 

    melawan seorang lelaki berusia sekitar empat puluh 

    tahun. Si gadis mengenakan jubah biru tipis tanpa 

    lengan, pakaian dalamnya berwarna kuning gading. Ia 

    menyandang sebilah pedang di punggungnya. Gadis 

    itu berambut pendek setengkuk, lurus, dan lembut, 

    dengan bagian depan diponi rata menutupi keningnya.

    Sementara lawannya yang berkumis lebat itu 

    mengenakan pakaian serba coklat dengan kalung tali 

    hitam berbandul kayu putih berbentuk tengkorak. 

    Orang itu tampak ganas, karena wajahnya pun seang-

    ker kuburan keramat. Alisnya tebal, matanya lebar. 

    Tubuhnya besar dan gempal, tampak berotot. Ia men-

    genakan sabuk hitam yang dipakai untuk selipkan go-

    lok besar.

    Gerakannya sangat cepat, berkesan ganas dan 

    membabi buta.

    Tampaknya pertarungan itu benar-benar mem-

    pertaruhkan nyawa. Sang gadis tak segan-segan men-

    cabut pedangnya setelah gagal menghantam lawannya 

    dengan pukulan jarak jauh maupun jarak pendek. Le-

    laki yang berambut botak tengah itu juga segera men-

    cabut goloknya. Ia bagai tak mau dilukai lebih dulu. 

    Dengan langkah menyamping pelan-pelan, mereka saling bergerak memutar, memandang sama tajamnya, 

    seakan mencari kelengahan lawan.

    Dalam sekejap tertentu, mereka sama-sama 

    hentikan langkah dan saling pasang jurus siap serang. 

    Terdengar si lelaki berseru dengan suaranya yang be-

    sar.

    "Kali ini kau akan mati di tanganku, Nilawesti! 

    Cukup lama aku mengharapkan ajalmu tiba secepat 

    mungkin."

    "Aku pun sudah sediakan liang kubur untuk-

    mu, Jurik Tunggon! Bersiaplah menuju ke tempatmu 

    yang baru!"

    Soka Pura membatin dari persembunyiannya, 

    "O, rupanya gadis itu bernama Nilawesti dan lawannya 

    adalah si Jurik Tunggon. Agaknya mereka sudah cu-

    kup lama saling memendam permusuhan, sehingga 

    pertarungan kali ini diharapkan menjadi pertarungan 

    terakhir."

    Memang begitulah harapan Jurik Tunggon dan

    Nilawesti. Mereka inginkan salah satu ada yang mati 

    dalam pertarungan tersebut, karena mereka sama-

    sama telah merasa bosan saling bermusuhan. Dua ta-

    hun lamanya mereka saling bermusuhan karena den-

    dam leluhur mereka, tapi tak satu pun ada yang tum-

    bang dalam setiap pertemuan. Padahal setiap mereka 

    bertemu selalu saja terjadi pertarungan.

    Agaknya kali ini Nilawesti benar-benar kerah-

    kan segenap ilmunya untuk tumbangkan si Jurik 

    Tunggon. Gadis itu menebas-nebaskan pedangnya 

    dengan kecepatan tinggi pada saat Jurik Tunggon me-

    nyerang dengan satu terjangan melayang. Wuuus...! 

    Golok pun membabat leher Nilawesti dengan cepat. 

    Namun tertangkis oleh tebasan pedang yang tak kalah 

    cepatnya itu.

    Trang, trang...!


    Jurik Tunggon sentakkan kakinya ketika pe-

    dang Nilawesti menahan sabetan goloknya. Wees...! 

    Tapi tangan kiri Nilawesti menyentak ke samping dan 

    kenai mata kaki Jurik Tunggon. Dees...! Kruuk...!

    "AOOW...!" Jurik Tunggon memekik kesakitan.

    Tulang mata kakinya bagaikan pecah. Sodokan tangan 

    kiri si gadis ternyata mengandung kekuatan tenaga da-

    lam cukup besar. Pangkal telapak tangan itu bagaikan 

    berubah menjadi besi baja yang dihantamkan ke tu-

    lang mata kaki.

    Jurik Tunggon terhempas dan jatuh terduduk. 

    Nilawesti sabetkan pedangnya dari atas ke bawah, 

    arahnya ke kepala Jurik Tunggon. Tapi golok lelaki itu 

    segera melintang di atas kepala. Pedang Nilawesti be-

    radu dengan golok lebar lagi. Traaang...!

    Saat pedang beradu, golok diputar satu kali 

    dengan sentakan kuat. Akibatnya pedang Nilawesti ter-

    lempar ke bagian belakang Jurik Tunggon. Sraaang... 

    weesss...!

    Melihat gadis itu tak berpedang lagi, Jurik 

    Tunggon segera membabat kaki si gadis dari kanan ke 

    kiri. Wes, wuuut...! Si gadis lompat ke atas tinggi-

    tinggi, sehingga tebasan golok itu luput dari kakinya.

    Tapi ketika Nilawesti melambung di udara, Ju-

    rik Tunggon cepat-cepat sentakkan tangan kirinya da-

    lam posisi setengah terbaring. Wuuut...! Claaap...! Si-

    nar merah lurus sebesar tongkat melesat dari telapak 

    tangannya dan mengenai bawah leher si gadis. 

    Zuuubs...!

    "Aaah...!" Nilawesti terpekik dengan kepala ter-

    dongak mata terpejam dan mulut menyeringai kesaki-

    tan. Tubuhnya terlempar dan melayang-layang hingga 

    jatuh terbanting sejauh enam langkah dari tempat se-

    mula. Bruuukk...!

    Di Sana Nilawesti mengerang sesaat sambil berusaha bangkit, namun terjatuh kembali. Bagian ba-

    wah leher menjadi hitam hangus dan berasap tipis.

    Jurik Tunggon merasa dapat angin begitu meli-

    hat lawannya terluka. Walau kaki masih sakit, ia pak-

    sakan untuk bangkit dan kerahkan tenaga untuk la-

    kukan lompatan melayang. Goloknya siap ditebaskan 

    ke arah kepala Nilawesti.

    "Modar kau sekarang! Heeeeaaahhh...!"

    "Aku menyerah...!" seru Nilawesti, tapi seruan 

    itu tak dihiraukan oleh Jurik Tunggon. Melihat kea-

    daan seperti itu, Soka Pura segera lepaskan jurus 

    'Tangan Batu'-nya beberapa kali. Kedua tangannya 

    menggenggam dan disodokkan ke depan beberapa kali. 

    Maka tenaga dalam yang keluar dari kedua genggaman 

    tangan itu melesat dan menghantam tubuh si Jurik 

    Tunggon.

    Buuhk, buuuhk, buuhk...!

    "Aaaaa...!!"

    Jurik Tunggon meraung panjang sambil tubuh-

    nya melayang ke belakang cukup jauh. Akhirnya tu-

    buh itu membentur pohon. Bruuuss...! Ia jatuh terku-

    lai dengan napas tersentak-sentak dalam jarak lebih 

    dari sepuluh langkah dari tempatnya melompat tadi.

    "Sudah menyerah masih mau diserang terus?!" 

    gerutu hati Soka ketika itu.

    Nilawesti sadar, ada orang yang membantunya. 

    Tapi ia tak bisa berpaling ke belakang, tak bisa menca-

    ri di mana orang yang membantunya, karena luka ba-

    kar di bawah lehernya kian melebar. Nilawesti menjadi 

    semakin lemah, nafasnya pun tersengal-sengal dengan 

    tubuh menyentak-nyentak kecil.

    "Gawat! Gadis itu mulai sekarat!" pikir Soka, 

    maka ia segera berkelebat cepat bagaikan badai lewat.

    Wuuzz...! Jurus 'Jalur Badai' dipakai untuk 

    menyambar tubuh Nilawesti dan dibawa lari dari tempat tersebut.

    Wuuut. WUUZ...!

    *

    * *

    2


    SEBUAH gubuk kosong dan reot ditemukan di 

    hutan pantai. Debur ombak terdengar dari gubuk ko-

    song itu. Bahkan gulungan ombak tampak samar-

    samar dari depan gubuk reot tersebut.

    Soka Pura membawa Nilawesti ke gubuk itu. 

    Setelah meletakkan tubuh Nilawesti ke lantai gubuk 

    yang ditumbuhi rumput pendek itu, Soka memeriksa 

    keadaan sekeliling dengan teliti. Ternyata tempat itu 

    cukup aman, sepi dan tak ada hal-hal yang mencuri-

    gakan. Rupanya gubuk itu bekas persinggahan seseo-

    rang, mungkin seorang kelana, yang sudah cukup la-

    ma di tinggalkan.

    Keadaan Nilawesti yang sekarat itu segera di-

    tangani oleh Pendekar Kembar bungsu. Jurus pengo-

    batan 'Sambung Nyawa' digunakan. Dengan menem-

    pelkan telapak tangan ke perut Nilawesti yang tersing-

    kap dari kain penutupnya, tubuh Nilawesti segera 

    memancarkan cahaya ungu, seperti besi membara, 

    hanya bedanya warna cahayanya bukan merah me-

    lainkan ungu.

    Hawa murni dan tenaga inti gaib yang disalur-

    kan ke dalam tubuh Nilawesti membuat luka di bawah 

    leher yang menghitam itu mulai berwarna suram. Ma-

    kin lama

    warna suram itu menjadi terang dan akhirnya 

    berubah seperti warna kulit aslinya. Bagian bawah


    leher itu seperti tak pernah terkena luka bakar sedikit 

    pun.

    Kepucatan wajah Nilawesti pun mulai pudar. 

    Ketika cahaya ungu itu redup, wajah Nilawesti kembali 

    tampak segar. Rasa sakit yang dideritanya sirna sama 

    sekali. Nafasnya kembali lancar, dan Nilawesti peroleh 

    kesadarannya kembali.

    Ia terkejut menyadari keadaan dirinya sudah 

    tergeletak di dalam rumah gubuk kotor itu. Lebih ter-

    kejut lagi setelah ia melihat seraut wajah tampan be-

    rambut sepundak tanpa ikat kepala. Ia merasa asing 

    dengan wajah tampan berdada bidang itu. Ia buru-

    buru bangkit, dan semakin heran lagi setelah rasakan 

    tubuhnya menjadi segar, lebih segar dari sebelumnya.

    Soka Pura sengaja diam di luar gubuk. Ia berdi-

    ri bersandar pada pohon memperhatikan ke arah Nila-

    westi dengan senyum lembut mempesona hati setiap 

    gadis.

    "Kaukah yang telah menyelamatkan nyawaku?!"

    "Mungkin," jawab Soka Pura dengan pundak 

    tersentak pelan, tangan yang bersidekap dilepaskan, 

    lalu ia melangkah ke satu sisi dan memandang ke arah 

    pantai. Sok jual mahal.

    Nilawesti mendekat, pandangi Soka dengan da-

    hi sedikit berkerut.

    Hati si gadis pun membatin, "Satria dari mana 

    dia? Begitu gagah dan tampan, sampai hatiku deg-

    degan memandanginya. Rasa-rasanya aku seperti 

    mimpi masuk ke negeri dongeng bertemu dengan pe-

    muda setampan ini. Seingatku aku tadi terluka oleh 

    pukulan si Jurik Tunggon, dan aku tahu pukulan itu 

    adalah jurus mautnya si Jurik Tunggon yang selama 

    ini berhasil ku hindari, tapi tadi sempat kenai dadaku. 

    hanya saja, mengapa luka ini bisa hilang sama sekali, 

    bahkan tak tersisa seujung jarum pun? Apakah dia


    yang mengobatinya?! Sesakti itukah dia? Ah, rasa-

    rasanya tak mungkin. Barangkali guru si pemuda ini 

    yang mengobati ku."

    Maka Nilawesti pun mengungkapkan rasa ingin 

    tahunya dengan sebuah pertanyaan bersuara pelan, 

    bernada ragu-ragu.

    "Kau yang mengobati lukaku ini?"

    Soka Pura hanya melirik masih sok angkuh. 

    Senyumnya tipis sekali, seperti senyum seorang pange-

    ran yang tak mau diobral di depan sembarang orang.

    "Kalau memang aku yang sembuhkan lukamu, 

    kenapa? Kau tak percaya?"

    "Hmm, eeh... percaya saja," jawab Nilawesti 

    agak gugup. "Aku hanya ingin mengucapkan terima 

    kasih dan....'

    "Dan kasih mu kuterima," Jawab Soka Pura 

    memotong cepat. Gadis itu menjadi geragapan sekejap, 

    karena jawaban Soka tak ada hubungannya dengan 

    apa yang diucapkan tadi. Ia ingin membantah tapi me-

    rasa kikuk dan canggung.

    "Mengapa kau menyelamatkan nyawaku dari 

    pertarungan?" tanya si gadis menutupi rasa gelisah-

    nya.

    "Kudengar tadi kau sudah menyerah, tapi si 

    Jurik Tunggon tetap menyerangnya. itu tidak adil. 

    Maka ku singkirkan dia dan kuselamatkan dirimu. Ke-

    lak kau bisa bertarung lagi dengannya, membalas ke-

    kalahanmu tadi. itu pun kalau si Jurik Tunggon masih 

    hidup."

    "Apakah kau punya dugaan kalau dia tewas?"

    "Bisa saja. Walau aku hanya menyingkirkannya 

    dengan jurus tak mematikan, tapi jika ia jatuh tertan-

    cap tonggak bambu, tentu saja dia bisa tewas."

    Nilawesti diam merenung, tapi kecamuk batin-

    nya tidak bicara tentang ucapan Soka tadi. Kecamuk


    batinnya bicara tentang gaya bicara Soka yang see-

    naknya. Ia merasa suka dengan gaya bicara seenaknya 

    yang sedikit konyol itu.

    "Kau kenal dengan Jurik Tunggon?" tanya si 

    gadis memecah kebisuan mereka.

    "Aku hanya tahu namanya pada saat kau bica-

    ra dengannya tadi. Aku juga tahu namamu: Nilawesti, 

    dari suara si Jurik Tunggon saat mengancam mu. Ja-

    di, sebenarnya aku tak kenal dia dan mengenalmu. 

    Maka sebaiknya sekarang perkenalkan dirimu. Siapa 

    namamu, Nilawesti?!"

    Gadis itu sunggingkan senyum kecil berkesan 

    geli. "Kau sudah tahu namaku, tapi aku belum tahu 

    namamu."

    Kini Soka perlebar senyum dengan posisi berdi-

    ri menghadap total ke arah gadis cantik berbibir meng-

    gemaskan itu.

    "Namaku.... Soka Pura. Pernah dengar nama 

    itu?"

    Nilawesti gelengkan kepala.

    "Kalau begitu sekarang dengarlah baik-baik, 

    mumpung tak ada orang di sini." Soka agak mendekat 

    dan berbisik, "Namaku.... Soka Pura!"

    "Iya, aku dengar!" sentak si gadis dengan cem-

    berut, namun mengulum senyum. Hal itu membuat 

    mereka menjadi bertambah akrab lagi.

    Soka Pura sengaja melangkah ke pantai. Ia in-

    gin menikmati pemandangan pantai lebih luas, semen-

    tara si gadis mengikutinya dari samping, karena Soka 

    ajukan beberapa pertanyaan sehubungan dengan se-

    suatu yang ditemukan di pinggang belakang si gadis. 

    Pada saat Soka membawa gadis itu dalam keadaan ter-

    luka, ia sempat memegang pinggang belakang. Terasa 

    ada sesuatu yang mengganjal di pinggang belakang Ni-

    lawesti. Soka sempat memeriksanya sebentar, ternyata


    sebuah kitab kecil yang diselipkan di pinggang bela-

    kang di balik jubah birunya.

    "Kau membawa sebuah kitab pusaka, Nilawes-

    ti?"

    "Hmm, ya...!" jawab Nilawesti sambil memeriksa 

    kitab itu dengan memegangnya. Ia merasa lega karena 

    kitab itu masih mengganjal di pinggang belakang.

    "Apakah kitab itu yang diinginkan oleh si Jurik 

    Tunggon?"

    "Bukan. Jurik Tunggon adalah musuh bebuyu-

    tan ku. Leluhur ku bermusuhan dengan leluhurnya, 

    sampai pada keturunan kami ini. Dulu kakekku ber-

    hasil membunuh kakeknya, tapi ayahku berhasil di-

    bunuh oleh pamannya. Begitu seterusnya, dan kini ia 

    keturunan terakhir dari leluhurnya yang berusaha un-

    tuk membantai habis keturunan leluhur ku."

    "Ooo... jadi dendam leluhur mengalir dalam da-

    rah daging kalian?!"

    "Setiap kali aku bertemu dengannya selalu la-

    kukan pertarungan."

    "Kalian tak merasa jemu bertarung terus?"

    Nilawesti hanya tersenyum tipis. Soka pun me-

    rasa tak membutuhkan jawaban, karenanya ia segera 

    menggumam dan geleng-geleng kepala. Langkah pun 

    berhenti ketika kaki mereka menginjak pasir pantai.

    "Ada yang ingin kau tanyakan lagi tentang diri-

    ku?" ujar si gadis. Soka. Pura berpaling memandang-

    nya dengan senyum menawan. Kecantikan si gadis 

    yang berdada sekal diperhatikan baik-baik.

    "Jika tak ada yang kutanyakan lagi, bagaima-

    na?"

    "Aku akan lanjutkan perjalananku mengantar 

    kitab pusaka ini!"

    "Ke mana kau akan pergi?"

    "Menemui paman ku di Sungai Berang."


    Soka Pura berkerut dahi. "Jauhkah Sungai Be-

    rang itu?!"

    "Lumayan," jawab Nilawesti. "Arahnya ke teng-

    gara."

    "O, kalau begitu sama dengan arah yang ku tu-

    ju. Aku juga ke arah tenggara. Sebenarnya dari tempat 

    tadi aku harus ke selatan agak serong ke tenggara agar 

    cepat mencapai Gunung Mercapada, tapi...."

    "Kau ingin ke Gunung Mercapada?!"

    "Hmmm..., ya. Di kaki gunung itu ada padepo-

    kan, dan aku akan menuju ke sana. Kalau begitu kita 

    bersama-sama saja menuju ke tenggara. Akan kuantar 

    kau sampai di Sungai Berang. Kau keberatan?"

    "Kurasa tidak," jawab si gadis sambil tersenyum 

    ceria. "Paman ku pasti akan senang jika berkenalan 

    denganmu, terlebih jika kuceritakan kau telah menjadi 

    penyelamat ku."

    "Benarkah begitu?!" Soka tersenyum bangga.

    "Tapi sebelumnya aku harus kembali ke tem-

    patku bertarung tadi."

    "Mengapa harus ke sana?"

    "Pedangku jatuh di sana! Aku harus menemu-

    kannya kembali, karena pedang itu warisan dari men-

    diang ibuku!"

    Soka Pura merasa tak keberatan, dan mereka 

    melangkah kembali ke arah pertarungan tadi.

    "Ibumu sudah tiada, Nilawesti?"

    "Ya. Semua keluargaku telah tiada. Aku hanya 

    tinggal mempunyai seorang paman dan seorang Guru 

    yang kuanggap orangtua ku sendiri."

    "Siapa gurumu?"

    "Nini Lebak Gintur."

    Soka Pura berkerut dahi, merasa belum pernah 

    mendengar nama itu. Namun ia segera tak hiraukan 

    nama itu, karena tak punya urusan dengan Nini Lebak


    Gintur. Ia hanya mencatat nama itu dalam ingatannya.

    "Sedangkan pamanmu sendiri siapa?"

    "Damangsara, alias si Uban Karang," Jawab Ni-

    lawesti dengan tegas. "Kau mengenai nama itu, Soka?"

    Pendekar Kembar bungsu gelengkan kepala 

    sambil nyengir. "Aku orang baru di persilatan."

    "Ooo...." Nilawesti menggumam dan manggut-

    manggut.

    "Aku masih hijau untuk mengenal tokoh-tokoh 

    sakti di rimba persilatan. Karenanya, aku sangat se-

    nang jika bisa berkenalan dengan para tokoh termasuk 

    pamanmu; si Uban Karang itu."

    Soka Pura sengaja merendah, karena ia sendiri

    merasa malu dan agak kesal, sebab namanya juga ti-

    dak dikenal oleh Nilawesti. Gadis itu tak tahu bahwa 

    Soka Pura adalah nama salah satu dari Pendekar 

    Kembar yang sebenarnya sering dibicarakan oleh 

    orang-orang perguruannya.

    Bagi Nilawesti, nama Soka Pura memang masih 

    asing. Tapi nama Pendekar Kembar sudah tidak asing 

    lagi di telinganya. Sang Guru maupun para murid per-

    guruannya sering membicarakan nama Pendekar 

    Kembar yang dikagumi ketinggian ilmunya dan ketam-

    panannya. Soka tak mau perkenalkan dirinya sebagai 

    Pendekar Kembar, karena ia menduga nama itu justru 

    akan membuat Nilawesti semakin merasa asing lagi.

    Bagi Soka, dikenali sebagai Pendekar Kembar 

    atau tidak, bukan masalah. Saat itu yang sedang jadi 

    buah pikirannya adalah siapa sebenarnya Nilawesti 

    itu. Karena setiap gadis itu tersenyum, Soka merasa-

    kan ada getaran aneh dalam hati yang menenteramkan 

    Jiwanya. Padahal kalau dipikir-pikir, senyum itu wa-

    jar-wajar saja. Tak terlalu istimewa. Tanpa lesung pi-

    pit, tanpa gigi gingsul seperti Kirana, dan tanpa kesan 

    menggoda. Namun getaran yang hadir di hatinya sejak


    tadi Jelas-jelas dirasakan akibatnya. Jiwa menjadi ten-

    teram, selalu merasa riang, dan sering membuat Soka 

    merasa hanyut dalam keindahan yang tak jelas mak-

    nanya.

    Bahkan ketika mereka tiba di tempat pertarun-

    gan Nilawesti dengan Jurik Tunggon tadi, hati Soka 

    Pura masih diliputi perasaan senang yang sukar dije-

    laskan alasannya. Terlebih setelah Nilawesti menemu-

    kan pedangnya kembali dan tersenyum memandangi 

    pedang itu, Soka Pura yang menatapnya ikut merasa 

    gembira, seperti mendapat sesuatu yang berharga se-

    kali bagi hidupnya. Padahal ia tidak mendapatkan apa-

    apa baik dari Nilawesti maupun dari alam sekitarnya. 

    Ia hanya mengetahui bahwa Jurik Tunggon sudah ti-

    dak ada di tempat itu. Berarti Jurik Tunggon tidak te-

    was, melainkan pergi dengan membawa luka.

    Perjalanan menuju Sungai Berang dilanjutkan. 

    Nilawesti jelaskan tentang kitab pusaka yang harus di-

    jaganya dengan bertaruh nyawa itu.

    "Kitab ini adalah kitab kuno yang ditemukan 

    oleh paman Uban Karang di sebuah gua. Tulisannya 

    tak bisa dibaca. Namun guruku bisa membaca tulisan 

    kuno itu, sehingga paman meminta bantuan Guru un-

    tuk menerjemahkannya."

    "Mengapa harus kau jaga dengan pertaruhkan 

    nyawa segala?"

    "Karena menurut Guru, kitab kuno ini mempu-

    nyai kesaktian yang cukup dahsyat. Keanehannya, jika 

    kitab kuno ini dipelajari isinya, maka orang tersebut 

    akan mati dalam waktu empat puluh hari setelah ta-

    mat pelajari isinya. Tapi jika yang mempelajari isinya 

    adalah si penemu kitab itu sendiri, maka orang terse-

    but akan selamat dan terhindar dari kutukan maut 

    yang akan datang empat puluh hari setelah usai dipe-

    lajari itu."


    "Aneh sekali. Baru sekarang kudengar ada ki-

    tab seaneh itu."

    "Guruku sendiri tak berani pelajari Jurus-jurus 

    dan ilmu kutukan di dalam kitab ini. Menurut Guru, di 

    halaman depan kitab ini sudah tertulis peringatan ter-

    sebut, sehingga Guru tak berani mempelajarinya, se-

    lain hanya menerjemahkan ke dalam bahasa sekarang. 

    Kata Guru, kitab kuno ini milik seorang Raja Siluman 

    yang pernah hidup seratus tahun yang lalu. Kitab ini 

    bernama...."

    Nilawesti hentikan ucapannya. Soka Pura me-

    mandang dengan heran sambil tetap melangkah. Nila-

    westi salah tingkah dan tampak gelisah.

    "Mengapa kau berhenti bicara?" "Hampir saja 

    ku lupa pesan Guru." "Pesan apa?"

    "Aku tak boleh sebutkan nama kitab ini kepada 

    orang lain. Dikhawatirkan akan menjadi bahan rebu-

    tan. Jadi, sebaiknya aku tak perlu sebutkan nama ki-

    tab ini. Apakah kau kecewa?"

    Soka Pura tertawa seperti gumam pendek dan 

    pelan.

    "Aku tak perlu merasa kecewa. Suatu saat 

    mungkin aku akan tahu sendiri nama kitab itu jika pi-

    hakmu sudah tidak menaruh curiga padaku dan tahu 

    persis bahwa aku bukan orang yang gila kitab pusaka!"

    "Kuharap kau jangan tersinggung, Soka!"

    "Aku tak pernah merasa tersinggung, karena 

    aku memang pemuda muka tembok!" Jawab Soka Pura 

    bernada canda untuk hilangkan kecanggungan di an-

    tara mereka.

    Tiba-tiba langkah mereka terhenti saat mereka 

    mau menuruni tanggul sungai besar. Padahal menurut 

    Nilawesti, tempat kediaman pamannya ada di seberang 

    sungai tersebut. Tinggal menyeberangi sungai, dan 

    berjalan beberapa saat lagi, mereka akan tiba di tempat yang dituju.

    Tapi langkah itu terhenti akibat munculnya tiga 

    batang tombak yang melesat dari balik kerimbunan

    pohon. Werrs...! Tiga batang tombak itu mengarah ke-

    pada Nilawesti. Ekor mata Soka Pura melihat muncul

    nya bahaya tersebut. Maka, tubuh Nilawesti se-

    gera ditarik dari kanan ke samping kirinya. Wuuut...! 

    Dan tiga tombak yang meluncur cepat itu segera dipa-

    tahkan dengan satu tendangan berputar cepat dalam 

    satu lompatan.

    Wuut, praaaak...!

    Tiga batang tombak yang patah menjadi dua 

    bagian tiap satu tombaknya, kini berserakan di tanah 

    depan mereka.

    *

    * *

    3


    DARI arah barat muncul tiga orang bersenjata 

    parang. Dari arah timur juga muncul tiga orang ber-

    senjata parang, satu di antaranya masih memegang go-

    lok yang siap dilemparkan.

    Soka Pura pandangi mereka dengan menyim-

    pan rasa heran dalam hatinya, karena enam orang le-

    laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu ternyata se-

    muanya bertelinga lebar dan tinggi. Mirip telinga kele-

    lawar. Pakaian mereka serba hitam, dengan baju long-

    gar berlengan panjang, sehingga ketika mereka me-

    lompat muncul dari semak-semak tampak seperti kele-

    lawar terbang. Mereka Juga mempunyai mata sembu-

    rat merah dan bentuknya sedikit naik. Alis mereka 

    tebal dengan bentuk naik ke atas. Kulit mereka ber


    warna gelap, namun bukan berarti hitam keling.

    "Siapa mereka ini, Nila?" bisik Soka Pura. "Ma-

    nusia Kelelawar!" Jawab Nilawesti dalam bisikan. "Me-

    reka orang-orang Suku Ampar."

    "O, pantas mulut mereka rata-rata monyong ke 

    depan," ujar Soka dalam hati sambil melirik keenam 

    lawan yang mengepungnya. Nilawesti pun segera men-

    cabut pedang dan lebih merapatkan diri kepada Soka 

    Pura, sesekali mereka beradu punggung penuh waspa-

    da.

    Tiba-tiba salah seorang yang ada di timur, yang 

    berambut panjang sebahu, berseru memberikan perin-

    tah, "Seraaang...!"

    Weers, weers...!

    Tiga orang yang ada di barat melayang seperti 

    tiga ekor kelelawar terbang hendak menerjang lawan. 

    Dua orang yang ada di timur juga lakukan lompatan 

    seperti kelelawar terbang. Soka Pura hadapi tiga orang 

    yang segera menebaskan parang kepadanya. Nilawesti 

    hadapi dua orang yang salah satunya masih mengan-

    dalkan tombak untuk dihujamkan ke dada Nilawesti.

    Pedang Nilawesti segera beraksi dengan cepat. 

    Trang, trang, traak...! Dua kali menangkis tebasan pa-

    rang lawan, satu kali menangkis datangnya tombak 

    yang nyaris kenal bagian bawah pundaknya. Tangki-

    san pedang Nilawesti disusul dengan tubuh yang me-

    mutar dan kaki menendang cepat. Satu tendangan ke-

    nai perut lawan, buuhk...! Orang itu pun jatuh terpen-

    tal. Satu orang yang masih memegang tombak disabet 

    dengan pedang kembali. Cras...!

    "Aaaaaa...!" orang itu memekik keras-keras ka-

    rena pergelangan tangannya putus seketika sehingga 

    tombaknya pun jatuh bersama potongan tangan ka-

    nannya itu.

    Di sisi lain, Soka Pura sempat lepaskan jurus


    'Tangan Batu'-nya, sehingga dua orang lawannya ter-

    hempas ke belakang dengan mata mendelik dan sukar

    bernafas. Satu orang lagi masih selamat dan men-

    gayunkan parangnya secara membabi buta ke tubuh 

    Soka. Tetapi Soka dapat menghindari serangan parang 

    tajam itu dengan meliuk-liukkan badan, lalu ia jatuh-

    kan diri ke tanah dan berguling maju satu kali. Tahu-

    tahu kakinya menyodok kuat ke atas dan tepat kenai 

    'jimat lanang'-nya si lawan. Ploook...!

    "Aaaow...!!" orang itu tersentak mundur dengan 

    tangan pegangi bagian yang terasa pecah seketika aki-

    bat sodokan kaki Soka Pura itu.

    "Bangsat keparat! Telurku pecah, Saudara-

    saudara! Aaaaa...!" orang yang terkena sodokan kaki 

    Soka itu akhirnya tumbang dan meraung-raung dan 

    berguling-guling di tanah. Dua temannya yang sempat 

    kesulitan bernafas itu mencoba bangkit dan menye-

    rang kembali saat Soka Pura belum berdiri kembali.

    "Heaaaat...!!" teriakan mereka yang bersama-

    sama itu menimbulkan kesan liar dan ganas, penuh 

    nafsu membunuh.

    Tapi Pendekar Kembar bungsu segera sentak-

    kan kedua tangan ke tanah, maka tubuh pun melam-

    bung ke atas dengan cepat. Wuuut...! Satu kali gera-

    kan bersalto membuat tebasan parang kedua lawannya 

    luput dari dirinya. Wes, wees...!

    Namun ketika tubuh Pendekar Kembar bungsu 

    melayang turun, kedua kakinya cepat-cepat menyen-

    tak ke kedua arah. Sentakan kaki itu kenal kepala 

    masing-masing lawannya. Krak, krak...!

    "Aaaaa...!" kedua lawan sama-sama menjerit 

    karena darah mereka kontan mengucur keluar dari lu-

    bang telinga, hidung, dan mulut semburkan darah se-

    gar. Mereka sempoyongan sesaat, lalu jatuh sambil pe-

    gangi kepala yang terasa retak itu.


    Soka Pura berdiri tegak pandangi lawannya se-

    saat, kemudian menatap pertarungan Nilawesti dengan 

    satu orang yang tadi terkena tendangan kaki pada 

    lambungnya. Orang itu masih bersenjata dan mempu-

    nyai kecepatan jurus memainkan parang dengan cu-

    kup baik. Pedang Nilawesti berkali-kali gagal melukai 

    lawan karena selalu dapat ditangkis dengan parang, 

    sementara si pemegang parang pun sukar menembus 

    jurus pedang Nilawesti.

    Salah seorang yang tadi berseru keluarkan pe-

    rintah serang masih berdiri di belakang temannya yang 

    sedang hadapi Nilawesti, sementara orang yang terpo-

    tong tangan kanannya itu dalam keadaan terkulai le-

    mas karena banyak kehilangan darah. Suaranya yang 

    merintih hampir tak terdengar lagi.

    Tiba-tiba orang berambut sebahu dan berka-

    lung taring babi hutan itu lepaskan pukulan bersinar 

    dari telapak tangannya. Claaap...! Sinar kuning ber-

    bentuk seperti bintang itu melesat ke arah pinggang 

    Nilawesti yang sibuk beradu senjata itu. Melihat sinar 

    kuning ingin celakai Nilawesti, Soka Pura segera per-

    gunakan jurus 'Cakar Matahari'-nya, berupa sinar pu-

    tih berbentuk pisau runcing yang keluar dari tangan 

    yang disodokkan membentuk cakar tengkurap. 

    Claap...! Sinar putih itu menghantam sinar kuning se-

    belum sinar kuning dekati pertengahan jarak antara 

    Nilawesti dan si pemilik sinar tersebut.

    Blegaaar...! Terjadilah ledakan cukup dahsyat 

    akibat tabrakan kedua sinar tenaga dalam itu. Leda-

    kan tersebut sempat getarkan tanah sekitar mereka 

    dan pepohonannya. Ledakan itu membuat lawan yang 

    sedang berhadapan dengan Nilawesti sempat tersentak 

    kaget dan sedikit oleng karena terkena getaran gelom-

    bang ledakan itu. Maka kesempatan tersebut diman-

    faatkan oleh Nilawesti untuk segera menghujamkan


    pedangnya dengan satu lompatan pendek.

    "Hiaaah...!"

    Jruus...!

    "Aaah...!" orang itu terpekik keras karena pe-

    dang Nilawesti menusuk dada kirinya, dekat ketiak. 

    Tusukan itu tembus ke belakang, dan kaki Nilawesti

    segera menendang tubuh orang tersebut, sehingga pe-

    dang pun tercabut dan orang itu pun tumbang ke be-

    lakang sambil keluarkan suara meraung-raung kelojo-

    tan.

    "Biadab kau, Nilawesti!" teriak orang berkalung 

    taring babi hutan itu. Ia segera menerjang Nilawesti 

    dengan lompatan seperti seekor kelelawar terbang. 

    Weeerss...! Suara getaran pakaian longgarnya terden-

    gar mirip kepak sayap kelelawar. Tapi Nilawesti tidak 

    merasa gentar sedikit pun. Ia segera melompat ke 

    samping hindari terjangan lawan yang mengandalkan 

    kedua tangan berkuku tajam itu. Kemudian pedang Ni-

    lawesti pun disabetkan ke arah tubuh lawan. Wees...! 

    Namun meleset dan hanya menyambar kain baju sang 

    lawan. Sementara itu, lawan sendiri segera menabrak 

    pohon. Tapi ternyata ia tidak jatuh terpental, melain-

    kan menempel pada pohon seperti cicak. Pleek...!

    "Edan! Bisa menempel di pohon begitu?!" gu-

    mam Soka heran. "Benar-benar seperti kelelawar!"

    Orang itu sempat berseru, "Nilawesti! Kalau kau 

    tak mau serahkan kitab di pinggang belakangmu itu, 

    akan kubunuh kau dengan begundal tengik itu!" sam-

    bil matanya melirik Soka sekejap.

    "Usahamu akan sia-sia, Bajak Rempo!" seru Ni-

    lawesti dengan suara lantang.

    Soka Pura ingin lepaskan pukulan jarak jauh-

    nya ke arah Bajak Rempo, tapi Nilawesti cepat serukan 

    larangan.

    "Jangaaan...!!"


    Seruan itu membuat Pendekar Kembar bungsu 

    tak jadi lepaskan pukulan jarak jauhnya, tapi hati So-

    ka memendam rasa heran atas larangan yang menyen-

    tak itu. Sepertinya Nilawesti takut jika si Bajak Rempo 

    terluka atau tewas di tangan Soka Pura.

    Pada saat itu, Bajak Rempo segera naik ke sa-

    lah satu dahan dengan gerakan memanjat seperti ci-

    cak. Plek, plek, plek, plek...! Lalu kedua kakinya meng-

    gantung pada dahan tersebut, kepalanya terjungkir ke 

    bawah. Kedua tangannya bergerak memainkan Jurus 

    dengan cepat. Tiba-tiba salah satu tangannya berkele-

    bat bagai lemparkan sesuatu ke arah Nilawesti. Clap, 

    clap...!

    Dua sinar merah berbentuk seperti mata tom-

    bak keluar dari kedua tangan itu. Dua sinar merah itu 

    berkelebat sangat cepat, sehingga hampir saja tak bisa 

    dilihat gerakannya.

    "Nila, awaas...!" seru Pendekar Kembar bungsu 

    secara spontan. Nilawesti kelebatkan pedangnya ke 

    kanan kiri dan tepat kenai kedua sinar merah terse-

    but. Tring, tring...!

    Soka Pura sempat heran mendengar tangkisan 

    pedang dengan sinar merah. Ternyata yang dilempar-

    kan dari tangan Bajak Rempo bukan sekadar sinar 

    merah, melainkan senjata rahasia dari logam putih 

    yang memancarkan sinar merah seperti besi membara. 

    Terbukti setelah tangkisan itu dilakukan, kedua sinar 

    merah tersebut melesat ke kedua arah. Salah satunya 

    nyaris menyambar kepala Soka. Untung pemuda tam-

    pan itu segera tarik kepala ke samping belakang dan 

    senjata rahasia tersebut menancap dl pohon belakang 

    Soka. Jruuubs...! Senjata rahasia yang satunya lagi 

    terpental jatuh ke sungai! Jroooss...! Suaranya seperti 

    besi membara dicelupkan dalam air. Sedangkan senja-

    ta yang menancap di pohon telah membuat pohon itu


    menjadi kering dalam waktu dua helaan napas. Daun-

    daunnya berguguran menaburi kepala Soka Pura.

    "Oh, hebat sekali senjata rahasia itu?! Pohon 

    itu bisa menjadi kering sebegitu cepatnya?!" gumam 

    hati Soka Pura sambil membersihkan daun-daun ker-

    ing yang menaburi kepalanya itu.

    "Hiaaat...!!" Nilawesti segera melesat bagai see-

    kor merpati terbang cepat. Pedangnya yang berujung 

    runcing itu diarahkan ke dada Bajak Rempo yang ma-

    sih bergelantungan di dahan pohon. Namun tiba-tiba 

    tubuh itu mengayun, dan, wuuuss...! Seperti terbang 

    bersalto cepat dan hinggap di pohon lain, menempel 

    seperti cicak. Pleek...! Nilawesti kecele, tak berhasil ke-

    nai lawannya.

    "Nila, mundurlah... biar ku tangani dia!" seru 

    Soka Pura. Tapi gadis yang sudah berdiri tegak lagi itu 

    segera berpaling ke arah Soka dan berseru melarang.

    "Jangan! Jangan turun tangan, Soka!"

    "Tanganku tidak turun, tapi aku hanya...."

    "Heeeaaahh...!"

    Kata-kata Soka terhenti karena tubuh Bajak 

    Rempo segera melayang cepat dengan teriakan ganas. 

    Lawan yang bertolak dari sebatang pohon itu segera 

    mencabut parangnya dan dikibaskan ke leher Nilawesti 

    Wees...!

    Trang, biaarr...!

    Terjadi sebuah ledakan cukup keras ketika pe-

    dang Nilawesti berhasil menangkis tebasan parang Ba-

    jak Rempo. Rupanya parang itu sudah dialiri tenaga 

    dalam yang membuat benda tersebut berasap tipis. 

    Melihat parang lawan berasap, Nilawesti pun segera 

    salurkan tenaga dalamnya ke dalam pedangnya, se-

    hingga kedua tenaga dalam itu saling beradu dan tim-

    bulkan daya ledak cukup menyentak.

    Nilawesti oleng ke kiri karena sentakan gelombang ledak tadi. Bajak Rempo masih kokoh, tak ter-

    goyahkan oleh gelombang ledakan tadi. Ia Justru me-

    mutar tubuhnya dan sabetkan parangnya ke tubuh Ni-

    lawesti.

    Wuut, cras...!

    "Aauh...!!" Nilawesti terpekik dengan suara ter-

    tahan. Pergelangan tangan kirinya terkena sabetan pa-

    rang, namun tak sampai putus. Hanya robek agak da-

    lam dan luka itu nyaris memutari pergelangan tangan.

    Namun rupanya parang itu adalah parang be-

    racun tinggi. Begitu parang tersebut berhasil lukai tu-

    buh lawan, maka racun yang ada pada parang tersebut 

    mulai bekerja dan meracuni darah dalam tubuh lawan.

    Nilawesti tampak semakin limbung dengan tan-

    gan kiri mulai berasap tipis. Gadis itu sempat berpe-

    gangan pada sebatang pohon untuk menahan kedua 

    kakinya agar tetap berdiri.

    Melihat keadaan Nilawesti menjadi lemah, Ba-

    jak Rempo segera mencecarkan serangannya agar ber-

    hasil lumpuhkan Nilawesti dan menyambar kitab yang 

    ada di balik jubah si gadis. Namun ketika ia melompat 

    seperti seekor kelelawar terbang ke arah Nilawesti, ti-

    ba-tiba, di pertengahan jarak tubuhnya terpental ke 

    samping dan jatuh terhempas di bawah pohon berakar 

    seperti batu-batu berserakan. Bruuus, bruuuk...!

    "Uuhk...!" Bajak Rempo tersentak dalam pekik 

    kesakitan. Ia sempat perhatikan pemuda yang mener-

    jangnya dengan sorot pandangan mata penuh nafsu 

    untuk membunuh. Tapi si pemuda justru dekati Nila-

    westi dengan wajah cemas.

    "Nila, lukamu kian melebar...?!"

    "Uuhk, Soka.... Oouh... aku terkena racun 

    'Parang Mayat' ini. Ooouh...!" Nilawesti bukan saja me-

    nyeringai kesakitan, namun juga berusaha menarik 

    napas dalam-dalam. Tapi sang napas bagai enggan


    terhirup oleh si gadis cantik itu.

    "Biadab kau, Bocah Laknat! Heaaat...!"

    Bajak Rempo menyerang Pendekar Kembar 

    bungsu dengan parangnya yang sudah memancarkan 

    cahaya merah seperti besi membara. Soka Pura yang 

    semula jongkok, akibat membantu Nilawesti berbaring 

    di bawah pohon, segera mencabut pedangnya dengan 

    tangan kiri, dalam keadaan terdesak datangnya seran-

    gan yang sudah sangat dekat itu. Wess, traang...! Pe-

    dang kristal yang tampaknya ringkih dan mudah pe-

    cah itu berkelebat menangkis parang. Traak...! 

    Blaaarr...!

    Terjadilah ledakan cukup dahsyat. Parang itu 

    hancur menjadi berkeping-keping. Prraak...! Dada si 

    Bajak Rempo sendiri terkena angin sabetan Pedang 

    Tangan Malaikat tersebut. Dada itu robek lebar dari 

    ulu hati sampai ke pundak kanan.

    "Uuuhgkk...!" Bajak Rempo menggeloyor mun-

    dur sambil mata terbeliak menahan luka. Sekalipun 

    demikian, ia masih ingin bangkit dan membalaskan 

    dada nya yang terluka itu.

    Bajak Rempo membuka mulut, dan nafasnya di 

    sentakkan dari mulut yang ternganga itu.

    "Haaaaahh...!!"

    Dari dalam mulut itu keluar lidah api yang in-

    gin menyambar Pedang Tangan Malaikat. Namun lidah 

    api itu segera hindari Soka Pura dengan melesat ke 

    arah lain menggunakan jurus 'Jalur Badai'-nya. 

    Wuuuzz...!

    Lidah api itu menyambar sebatang pohon, ma-

    ka pohon tersebut langsung terbakar dan cepat menja-

    di arang tak berdaun lagi, namun masih berdiri tegak 

    tanpa guncangan sedikit pun.

    Soka Pura buru-buru masukkan pedang ke sa-

    rungnya yang diselipkan di pinggang kanan. Karena ia


    tak mau melawan musuhnya yang sudah tidak bersen-

    jata lagi itu.

    Bajak Rempo lebih penasaran lagi. Ia berpaling 

    ke arah Soka dan ingin lepaskan jurus lidah apinya 

    melalui mulut. Namun baru saja mulut terbuka, Soka 

    Pura temukan batu dengan kakinya. Batu sebesar se-

    tengah genggaman orang dewasa itu segera ditendang-

    nya dalam sentakan kecil. Dees, wuuut...! Batu pun 

    melayang sangat cepat, lalu masuk ke mulut Bajak 

    Rempo. Srook...!

    "Ooohkf...!" mulut Bajak Rempo tersumbat ba-

    tu. Tapi jurus lidah apinya sudah telanjur dihentakkan 

    lewat mulut, sehingga jurus itu membalik dan memba-

    kar bagian dalam tubuh Bajak Rempo sendiri Bajak 

    Rempo jatuh berguling-guling dalam keadaan sekarat. 

    Pada saat itu, Soka Pura melihat beberapa bayangan 

    berkelebat melintasi sungai sepertinya mereka mena-

    pakkan kakinya di permukaan air sungai. Padahal me-

    reka menggunakan batu-batu yang tersumbul tipis di 

    permukaan air tersebut. Tapi gerakan bayangan-

    bayangan itu sangat cepat, sehingga dalam waktu 

    singkat mereka sudah berada di tanah pertarungan 

    tersebut.

    Soka Pura segera mengangkat pedangnya dan 

    slap menghadapi serangan dari berbagai penjuru. Ka-

    rena pada saat itu ia melihat ada delapan orang yang 

    mengurung tempat tersebut. Pada umumnya mereka 

    bertubuh tegap walau tak sekekar Soka sendiri.

    "Tahaaan...!" seru Nilawesti dengan suara berat 

    dan parau sekali. Ia masih menahan sakit dan sesak 

    napas. Kerongkongannya pun terasa kering dan panas 

    akibat racun dari lukanya itu.

    Delapan orang yang mengurung tempat terse-

    but dengan senjata siap tarung tak ada yang bergerak 

    menyerang Soka Pura, justru mata mereka memandang ke arah Bajak Rempo yang kelojotan dengan tu-

    buh berasap dan kulit badannya menjadi melepuh. 

    Mereka pun melihat dengan jelas pada saat Bajak 

    Rempo mengejang satu kali, kemudian hembuskan 

    napas lewat hidung dengan tubuh melemas. Bajak 

    Rempo akhirnya tewas dalam akibat terkena jurus 

    mautnya sendiri.

    Nilawesti yang juga melihat dengan mata kepala 

    sendiri kematian Bajak Rempo, kini hanya bisa menge-

    rang lirih dengan luka kian merambat sampai ke si-

    kunya. Ia berusaha bangkit dengan susah payah, na-

    mun hanya bisa duduk bersandar batang pohon yang 

    sudah lama tumbang di situ.

    "Sokaaa... bawa aku ke seberang sungai!!" pin-

    tanya dengan wajah memucat.

    "Nila... siapa orang-orang yang baru datang 

    ini?"

    "Mereka... mereka orang-orangku!"

    Salah seorang maju dan berkata kepada Soka 

    Pura.

    "Benar. Kami orang Suku Kano, seperti halnya 

    Nilawesti sendiri. Kami akan memandu mu menyebe-

    rang sungai!"

    "Suku Kano...?!" gumam Soka Pura dengan pe-

    rasaan aneh, karena ia belum pernah mendengar na-

    ma Suku Kano.

    *

    * *

    4


    SEBUAH perkampungan yang diberi benteng 

    tinggi terbuat dari balok-balok kayu jati merupakan


    tempat kediaman masyarakat Suku Kano. Mereka 

    mendiami bagian tepi Sungai Berang yang lebar dan 

    berair dalam, menyerupai 'anak segara'. Sungai itu 

    memang bermuara di Laut Kidul.

    Nilawesti adalah salah satu gadis Suku Kano 

    yang pada umumnya mempunyai mata pencarian 

    mencari ikan dengan perahu panjang tapi kecil. Perahu 

    panjang itu dinamakan Kano. Maka suku tersebut 

    bernama Suku Kano.

    Delapan orang yang menyeberang sungai itu 

    ternyata adalah orang-orang Suku Kano yang tergolong 

    sebagai 'prajurit' suku tersebut. Soka Pura membawa 

    Nilawesti pulang ke perkampungan itu dengan dipandu 

    oleh beberapa 'prajurit' penjemput. Sebagian 'prajurit' 

    lainnya membereskan anak buah Bajak Rempo. Ada 

    yang tak sempat melarikan diri. Mereka ditangkap dan 

    digiring ke perkampungan sebagai tawanan Suku Ka-

    no.

    Pendekar Kembar bungsu sempat merasa he-

    ran, mengapa para penjemput Nilawesti itu tidak ada 

    yang berani menyentuh gadis itu. Soka disuruh me-

    mapah Nilawesti sendiri sampai di depan sang kepala 

    suku.

    Orang yang menjadi kepala suku itu adalah le-

    laki berusia sekitar lima puluh tahun, tapi ia mempu-

    nyai rambut sudah memutih. Rambutnya yang putih 

    rata dengan kumis dan jenggot pendeknya yang juga 

    putih rata itu ternyata agak aneh. Serat-serat rambut 

    lebih tebal daripada rambut pada umumnya. Berkesan 

    lengket antara helai rambut yang satu dengan yang 

    lain.

    Rupanya orang itulah yang bernama Uban Ka-

    rang, paman dari Nilawesti sendiri. Soka Pura tak me-

    nyangka bahwa Nilawesti ternyata keponakan dari Ke-

    pala Suku Kano yang masih bertubuh tegap dan gagah


    itu. Badannya yang belum berkeriput itu dibungkus 

    dengan baju lengan panjang warna merah bertepian 

    benang emas, sama dengan warna celananya. Uban 

    Karang juga mengenakan ikat kepala berbulu merak 

    tiga helai sebagai tanda bahwa ia adalah kepala suku 

    tersebut.

    Kedua bola matanya memancarkan pandangan 

    yang berkharisma dan berwibawa. Senyumnya jarang 

    sekali terlihat, namun ia tetap berkesan ramah terha-

    dap siapa pun. Dilihat dari caranya memandang, Uban 

    Karang terlihat sebagai kepala suku yang bersikap te-

    gas namun cukup bijaksana.

    Ketika ia mengetahui Nilawesti mengalami luka 

    beracun, wajah itu tampak menyimpan kecemasan. 

    Bahkan ia terdengar menggumam pelan di depan Soka 

    Pura.

    "Racun 'Parang Mayat' adalah racun yang sukar 

    terobati. Bajak Rempo benar-benar mengarah nyawa 

    keponakan ku untuk dapatkan kitab kuno ini!"

    "Ketua, perintahkan pada kami untuk mencari 

    'Pasir Jelaga' di puncak Gunung Makar, sebagai satu-

    satunya obat penawar racun di tubuh Nilawesti!" ujar 

    salah seorang penjemput Nilawesti itu.

    "Kalau begitu, pilihlah tiga orang untuk men-

    dampingimu pergi ke Gunung Makar sekarang juga, 

    Rurusada!" perintah sang kepala suku.

    "Baik. Saya akan berangkat bersama Datuna, 

    Winggi, dan Tandon."

    "Eh, maaf, Paman...," sela Soka Pura. "Benar-

    kah racun itu sulit disembuhkan?"

    "Ya. Yang bisa menawarkan racun itu hanyalah 

    'Pasir Jelaga' dari puncak Gunung Makar. Tanpa pasir 

    keramat itu, Nilawesti akan kehilangan nyawanya da-

    lam waktu tiga hari lagi!"

    "Bagaimana jika... jika aku mencoba menyem


    buhkannya, Paman?!"

    Uban Karang menatap dengan tetap tenang 

    tanpa reaksi apa-apa. Tapi dari sorot matanya itu Soka 

    merasa ada keraguan di dalam hati Uban Karang ter-

    hadap kemampuan Soka. Oleh karenanya, Soka berka-

    ta lagi dengan nada merendahkan diri.

    "Barangkali tak ada jeleknya jika ku coba 

    menggunakan ilmu pengobatan ku yang pas-pasan ini, 

    Paman."

    "Hmmm... baiklah. Memang tak ada buruknya 

    jika mencoba daripada tidak mencoba sama sekali."

    Di depan sang kepala suku dan beberapa 

    'prajurit' lainnya itu, Pendekar Kembar bungsu laku-

    kan pengobatan terhadap diri Nilawesti. Ia mengguna-

    kan jurus 'Sambung Nyawa' yang membuat tubuh Ni-

    lawesti pancarkan cahaya ungu itu. Sementara si gadis 

    sudah tak bisa bicara lagi karena kerongkongannya 

    bagaikan hangus terbakar oleh racun 'Parang Mayat' 

    itu.

    Orang-orang Suku Kano tercengang heran me-

    lihat tubuh Nilawesti memancarkan cahaya ungu. 

    Uban Karang hanya diam sambil menahan debar-

    debar kecemasan dalam hatinya. Baru sekarang ia me-

    lihat cara pengobatan yang dianggap sesakti itu. Da-

    lam hati sang paman pun bertanya-tanya, apakah ra-

    cun 'Parang Mayat' dapat dilawan dengan cara pengo-

    batan seperti itu?

    Orang-orang Suku Kano belum tahu siapa Soka 

    Pura. Bahkan mereka belum sempat menanyakan na-

    ma pemuda tampan berpedang kristal itu. Mereka me-

    nyangka Soka adalah seorang ksatria dari sebuah ke-

    rajaan, sehingga mereka bersikap hormat kepada Pen-

    dekar Kembar bungsu itu.

    Mereka semakin tercengang heran ketika meli-

    hat perubahan pada luka beracun di tangan Nilawesti.


    Bertambah kagum hati mereka kepada Soka Pura sete-

    lah akhirnya Nilawesti menjadi sehat seperti sediakala 

    dan luka beracunnya itu lenyap tanpa bekas. Beberapa 

    orang yang keluar dari tempat kediaman sang kepala 

    suku segera mengabarkan keajaiban tersebut kepada 

    seluruh masyarakat perkampungan tersebut, sehingga 

    mereka berbondong-bondong datang ke rumah kepala 

    suku hanya untuk melihat seorang pemuda yang dika-

    barkan mempunyai kemampuan seperti dewa.

    "Luar biasa! Sungguh tinggi kesaktianmu, Anak 

    Muda!" ujar Uban Karang. "Siapa kau sebenarnya, 

    Anak Muda?!"

    Sebelum Soka menjawab, Nilawesti lebih dulu 

    jelaskan siapa Soka Pura dan apa yang telah dilakukan 

    Soka pada saat menyelamatkan sang gadis dari anca-

    man maut si Jurik Tunggon itu. Soka Pura duduk ber-

    sila di depan kepala suku dengan wajah sedikit tertun-

    duk karena merasa malu diperhatikan penuh rasa ka-

    gum oleh beberapa orang di sekitarnya.

    "Dua kali kau telah selamatkan nyawa gadis 

    kami, Soka Pura. Lebih-lebih kami melihat sendiri kau 

    telah lakukan pengobatan sebegitu dahsyatnya. Kami 

    juga telah melihat kau memapah Nilawesti tanpa 

    sungkan-sungkan lagi. Maka layaknya kami memberi-

    mu hadiah yang tentunya sudah kalian harapkan."

    Ucapan si kepala suku itu sempat mengundang 

    pertanyaan dalam hati Soka Pura. "Mengapa ia me-

    nyangka aku dan Nila mengharapkan hadiah? Padahal 

    apa yang kulakukan hanya sebuah pertolongan bi-

    asa?!"

    Soka Pura segera dibawa ke tanah lapang di 

    depan rumah kepala suku. Ternyata di sana sudah 

    banyak orang berkumpul, baik yang lelaki maupun 

    yang perempuan, yang tua maupun yang muda. Pada 

    umumnya para gadis yang ada di antara mereka memandang Soka Pura dengan mata tak berkedip dan 

    mulut sedikit terperangah.

    Namun anehnya, hati Soka Pura menjadi san-

    gat tenteram dan damai jika matanya menatap senyum 

    para gadis Suku Kano itu, termasuk senyum Nilawesti 

    yang berada di samping Soka. Gadis itu sering melirik 

    Soka bersama senyum tipisnya yang menyejukkan ji-

    wa, seakan Soka berada dalam kebahagiaan yang me-

    luap-luap.

    "O, rupanya para gadis Suku Kano mempunyai 

    kelainan dalam senyumnya. Atau mungkin orang-

    orang Suku Kano mempunyai kehebatan dalam setiap 

    senyumannya yang mendatangkan kedamaian di hati 

    lawan jenisnya," pikir Soka.

    "Saudaraku, hari Ini kita kedatangan tamu, 

    seorang satria yang telah menyelamatkan keturunan 

    leluhur Suku Kano!" ujar Uban Karang di depan mere-

    ka yang berkumpul.

    "Soka Pura, bukan saja sahabat baru bagi kita, 

    bukan pula hanya sekadar tamu, namun juga sebagai 

    dewa penyelamat dan penyandang kehormatan terting-

    gi bagi Suku Kano di kemudian hari," lanjut Uban Ka-

    rang. "Soka Pura sendiri yang membawa Nilawesti den-

    gan kedua tangannya saat terluka racun 'Parang 

    Mayat' dari si Bajak Rempo," Uban Karang peragakan 

    cara Soka membawa Nilawesti dengan kedua tangan-

    nya. Soka tak mengerti mengapa hal itu harus ditun-

    jukkan kepada masyarakat Suku Kano.

    "Seperti kalian ketahui, Bajak Rempo adalah 

    adik ketua Suku Ampar yang menjadi wakil ketua. Se-

    perti pula yang telah kalian ketahui, Bajak Rempo 

    mempunyai ilmu silat cukup tinggi, namun sekarang ia 

    tewas di tangan ksatria kita ini saat sang ksatria me-

    nyelamatkan nyawa Nilawesti!"

    "Hiduuup, Ksatria...!! Hidup, Sokaaa...!!" seru


    mereka serentak membuat Soka tak enak hati, namun 

    juga menyimpan keheranan yang ingin sekali segera 

    ditanyakan kepada Nilawesti. Tapi saat mulut Soka in-

    gin ucapkan kata, Nilawesti buru-buru memberi isya-

    rat dengan telunjuk diletakkan di bibirnya yang ra-

    num, pertanda Soka dilarang bicara dulu.

    Soka pura akhirnya hanya hembuskan napas 

    dan tak jadi bicara. Ia tetap berdiri di belakang Uban 

    Karang berdampingan dengan Nilawesti.

    "Maka pada hari ini juga, Saudara-

    saudaraku.... Soka Pura berhak mendapatkan hadiah 

    istimewa dari ku berupa 'Daupan' bersama Nilawesti!"

    "Setujuuuu...!!" seru mereka. "Pesta 'Daupan' 

    akan kita selenggarakan bersama-sama pada malam 

    purnama yang kurang tiga hari lagi ini. Bersiaplah me-

    nyambut 'Daupan' mereka, Saudara-saudara!''

    "Hidup Sokaaa.... Hidup Nilawesti...!!" seru me-

    reka lagi yang membuat Soka Pura menjadi tambah 

    bingung.

    "Daupan itu apa?!" tanyanya dalam hati. Ingin 

    sekali hal itu segera ditanyakan kepada Nilawesti, tapi 

    Uban Karang belum selesai bicara dl depan masyara-

    kat Suku Kano, sehingga Soka terpaksa masih harus 

    memendam pertanyaan itu dalam hatinya.

    Malamnya, Soka Pura dijamu dengan hidangan 

    lezat. Mereka mengadakan pesta taman yang cukup 

    mewah, dimeriahkan oleh beberapa tari-tarian adat 

    Suku Kano. Soka Pura duduk bersama Uban Karang 

    dan Nilawesti. Pemuda itu sedikit kikuk karena diper-

    lakukan seperti raja. Mengenakan mahkota kehorma-

    tan berjubah anyaman bulu merak yang tersusun in-

    dah.

    Sejauh itu, Soka Pura masih belum berani ba-

    nyak tanya tentang hal-hal yang mengherankan ha-

    tinya. Karena, pada saat itu, Uban Karang berbicara


    panjang lebar tentang silsilah leluhur Suku Kano yang 

    selalu bermusuhan dengan Suku Ampar.

    "Neneknya buyut kami dulu adalah saudara se-

    kandung," ujar si Uban Karang menjelaskan hubungan 

    antara Suku Kano dan Suku Ampar. Soka Pura me-

    nyimak baik-baik, menunjukkan sikap sangat meng-

    hargai penjelasan tersebut. Senyumnya sesekali mekar 

    tipis dan membuat wajahnya semakin tampan, sema-

    kin banyak dilirik gadis-gadis sebaya Nilawesti.

    "Tapi karena tanah kekuasaan, maka Suku Ka-

    no dan Suku Ampar saling bermusuhan. Mereka men-

    diami sebelah utara Sungai Berang, dan kami men-

    diami sebelah selatannya."

    "Jurik Tunggon termasuk orang Suku Ampar 

    juga!" timpal Nilawesti ketika pamannya diam sesaat. 

    Soka Pura hanya menggumam dan manggut-manggut.

    "Benar. Jurik Tunggon adalah orang Suku Am-

    par. Leluhurnya itulah yang menjadi cikal bakal per-

    musuhan antara suku kami dan sukunya."

    "Siapa kepala Suku Ampar, Paman?"

    "Kertajala, alias si Macan Seribu!" jawab Uban

    Karang. "Nilawesti selalu menjadi bahan incarannya 

    untuk dibunuh."

    "Mengapa begitu?"

    "Karena Nilawesti adalah keturunan yang tersi-

    sa dari Bumitala!"

    "Bumitala itu mendiang ayahku," timpal Nila-

    westi

    "Ooo...," Soka Pura manggut-manggut.

    "Aku adalah adik dari Bumitala. Dan hanya da-

    ri keturunan Bumitala saja yang boleh menjabat seba-

    gai kepala Suku Kano," tutur Uban Karang.

    "Jadi sebenarnya kepala sukunya adalah Nila-

    westi sendiri, Paman?"

    "Benar, Soka! Tapi karena ia belum menikah,


    maka ia tidak boleh menjabat sebagai kepala suku dl 

    sini. Untuk sementara, akulah yang menjabat Ketua 

    Suku Kano sampai batas waktu Nilawesti menikah. Ji-

    ka sebelum Nilawesti menikah tapi ia sudah tewas, 

    maka Suku Kano tidak akan mempunyai ketua lagi, 

    dan suku kami dianggap telah punah. Aku tidak boleh 

    menjabat kepala suku lagi, karena bukan keturunan 

    dari mendiang kakakku; si Bumitala itu."

    "O, jadi si Macan Seribu selalu berusaha mem-

    bunuh Nilawesti karena la punya maksud agar Suku 

    Kano punah?!"

    "Benar!" jawab Uban Karang dengan tegas. "Ka-

    renanya, penyerangan si Bajak Rempo itu selain untuk 

    dapatkan kitab kuno yang dibawa Nilawesti, ia juga in-

    gin bunuh Nilawesti agar kami tak akan punya kepala 

    suku lagi."

    "Tapi... tapi dari mana Bajak Rempo tahu kalau 

    Nilawesti sembunyikan kitab di balik jubahnya?"

    "Pandangan mata Manusia Kelelawar, seperti si 

    Bajak Rempo, dapat menembus lapisan kain, sehingga 

    ia dapat melihat apa yang ada di balik pakaian kami."

    "Ooh...?! Hebat sekali penglihatan mereka?" 

    ujar Soka Pura. "Apakah orang Suku Kano juga punya 

    mata tembus pandang seperti itu?!"

    "Ya, mata kami semua memang tembus pan-

    dang."

    "Celaka! Jadi apa yang ada di balik celana ku 

    juga dapat dilihat oleh Nilawesti?!" ujar Soka dalam ha-

    ti dengan sedikit tegang dan mulai merasa malu, kare-

    na Nilawesti segera tundukkan kepala sambil terse-

    nyum-senyum.

    Uban Karang lanjutkan ucapannya, "Tapi hal 

    itu terjadi jika kami menggunakan ilmu 'Pancar Netra' 

    yang kami miliki sejak lahir. Jika kami tidak menggu-

    nakan ilmu 'Pancar Netra' maka mata kami tak bisa


    tembus pandang."

    Sambil berbincang-bincang tentang leluhur dan 

    permusuhan kedua suku tersebut, mereka menikmati 

    hidangan pesta, termasuk panggang rusa dan minu-

    man arak yang terbaik pada masa itu. Soka Pura yang 

    tak biasa minum arak, mulai terasa pening setelah ma-

    lam semakin larut.

    "Agaknya kau telah mengantuk, Soka?" tegur 

    Uban Karang.

    "Benar, Paman!" jawab Soka karena ingin sege-

    ra rebahkan badan untuk hilangkan rasa peningnya.

    "Sebaiknya segeralah masuk ke Kamar Pelamin. 

    Istirahatlah senyaman mungkin."

    "Balk, Paman!" Soka tak menolak tawaran itu, 

    karena memang sejak tadi ia Ingin cepat-cepat tinggal-

    kan pesta tersebut, tapi merasa tak enak hati.

    "Nilawesti, antar dia ke Kamar Pelamin!"

    "Baik, Paman!" ujar si gadis cantik yang segera 

    membimbing Soka Pura menuju ke Kamar Pelamin. 

    Soka berjalan agak sempoyongan karena mabuk arak. 

    Namun ia berusaha untuk tetap tampak gagah dan bi-

    sa berjalan lurus agar tak ditertawakan oleh mereka. 

    Kenyataannya, Soka justru tersandung batu dan ham-

    pir jatuh tersungkur. Untung segera dipegangi oleh Ni-

    lawesti, sehingga ia tak sampai jatuh di depan orang 

    banyak.

    "Payah kau ini. Baru minum arak beberapa te-

    guk saja sudah sempoyongan," ujar Nilawesti dengan 

    berbisik.

    "Aku tak biasa minum arak," ujar Soka Pura. 

    "Kalau toh minum, tak sampai sebanyak tadi."

    Nilawesti membantu membaringkan Soka Pura 

    di atas dipan berkasur. Dipan itu terbuat dari kayu jati 

    berukir, terletak di dalam Kamar Pelamin. Soka Pura 

    sempat perhatikan keadaan di dalam Kamar Pelamin


    yang diterangi dengan lampu minyak pada keempat 

    sudutnya.

    Kamar tersebut tak terlalu lebar, namun dalam 

    keadaan bersih dan rapi. Aroma wewangian rempah-

    rempah tercium lembut di dalam kamar tersebut. Ke-

    remangan cahaya dan aroma rempah-rempah merupa-

    kan paduan selaras yang menciptakan suasana di ka-

    mar itu menjadi sangat romantis.

    "Kamar siapa ini?" tanya Soka Pura pelan.

    "Kamar Pelamin!"

    "Lalu, si Pelamin sendiri pergi ke mana?" Nila-

    westi yang duduk di tepian dipan mulai sunggingkan 

    senyum geli mendengar pertanyaan itu. Gadis itu per-

    dengarkan tawa renyah yang lirih ketika Soka Pura 

    ajukan tanya dengan suara sedikit sumbang karena 

    pengaruh minuman arak tadi.

    "Pelamin itu siapa?! Wakil kepala suku?"

    "Kamar Pelamin itu adalah kamar untuk calon 

    pengantin."

    "Ooo...," Soka Pura masih tenang. "Lalu, siapa 

    yang mau jadi pengantin?"

    "Siapa lagi kalau bukan kita."

    "Hahh...?!" Soka Pura terbelalak kaget.

    Gadis itu masih sunggingkan senyum yang me-

    nebarkan rasa indah dan bahagia di dalam hati Soka 

    Pura. Tangannya mengusap-usap anak rambut yang 

    meriap di kening Soka. Usapan itu membuat Soka Pu-

    ra semakin rasakan debar-debar keindahan yang 

    menggoda jiwanya.

    "Nila, aku ingin jawaban yang benar dari perta-

    nyaanku tadi."

    "Aku sudah menjawab dengan benar," ujar Ni-

    lawesti. "Apakah kau tak dengar bahwa tiga hari lagi 

    kita akan merayakan pesta 'Daupan', tepat di malam 

    purnama nanti?!"


    "Daupan itu apa?!" Soka kuatkan diri untuk 

    menahan rasa peningnya.

    "Daup adalah kawin. Daupan artinya perkawi-

    nan. Jadi pesta 'Daupan' adalah pesta perkawinan. 

    Dan orang yang akan dinikahkan pada malam 

    'Daupan' nanti adalah kita berdua!"

    "Edan!" Soka Pura tersentak bangun, ia me-

    mandang si gadis dalam posisi duduk terbengong.

    "Mengapa kau terkejut?! Apakah itu hal yang 

    buruk bagimu?!" Nilawesti bersuara lembut, tangannya 

    melepaskan pedangnya sendiri yang ada di punggung.

    "Aku... aku tidak bilang itu hal yang buruk. Ta-

    pi... tapi aku sama sekali tidak bermaksud menikah 

    dengan mu, Nila! Aku belum melamar mu dan... 

    dan...."

    "Paman ku dan beberapa orang sudah melihat 

    kau menyentuh kulitku saat kau membawa tubuhku 

    yang terluka itu."

    "Habis, apakah aku harus menyeret tubuhmu!"

    "Persoalannya bukan itu, Soka," sambil Nila-

    westi menggantungkan pedangnya pada dinding, ke-

    mudian ia juga melepaskan jubah birunya, hingga kini 

    hanya kenakan kain penutup dada dan kain pem-

    bungkus pinggul.

    "Aku adalah calon kepala suku, dan aku masih 

    perawan. Pemuda mana pun yang berani menyentuh 

    tubuhku, berarti dia sudah dianggap menodai kesu-

    cianku. Itu menurut hukum adat Suku Kano."

    "Ah, aku.... aku hanya melakukan sebatas ke-

    butuhan saja. Artinya... artinya...."

    "Hukum adat tak bisa dibantah, Soka," sambil 

    Nilawesti duduk kembali di tepian dipan berkasur, de-

    kat sekali dengan Soka Pura.

    Lanjutnya, "Hukum adat Suku Kano juga me-

    nyebutkan, siapa pun yang menyelamatkan nyawa pu


    tri Ketua Suku Kano, maka ia berhak mendapatkan 

    hadiah istimewa, yaitu menikah dengan putri tersebut. 

    Kebetulan, aku bukan saja putri keturunan Ketua Su-

    ku Kano, tapi juga calon ketua suku ini. Kebetulan ju-

    ga, kau telah berhasil membunuh orang kedua dari 

    Suku Ampar, yaitu si Bajak Rempo. Dalam kitab hu-

    kum adat Suku Kano, siapa pun yang berhasil mem-

    bunuh orang pertama, orang kedua atau orang ketiga 

    dari musuh Suku Kano, maka ia harus menjadi ma-

    syarakat Suku Kano dengan melakukan perkawinan 

    dengan salah satu masyarakat kami."

    Soka Pura semakin tertegun. bagai kehilangan 

    seribu bahasa. Tapi pandangan matanya masih tertuju 

    pada wajah cantik Nilawesti yang mempunyai senyum 

    penghibur ketegangan hati itu. Seandainya tanpa se-

    nyum itu, Soka Pura pasti akan lebih panik lagi dan 

    mungkin ia akan membantah keras ketentuan tersebut

    "Karenanya ketika kau ingin lepaskan pukulan 

    maut mu kepada Bajak Rempo, aku melarangmu, se-

    bab aku takut kau tak mau menikah denganku! Tapi... 

    akhirnya Bajak Rempo tewas juga olehmu. Mau tak 

    mau kita harus menikah karena sudah banyak meme-

    nuhi ketentuan hukum adat kami."

    "Tapi... kita belum saling mencintai, Nila! Kau 

    sendiri juga tidak mencintai ku dan...."

    "Mencintai atau tidak, aku harus mau dinikah-

    kan dengan orang yang telah menyelamatkan nyawaku 

    dan membunuh orang kedua dari musuh kami. Sean-

    dainya wajahmu rusak, tubuhmu pendek, cebol, boro-

    kan, tapi jika memenuhi ketentuan hukum adat itu, 

    aku harus tetap mau dinikahkan denganmu!"

    "Bagaimana kalau aku menolak hadiah terse-

    but?"

    "Kami akan merasa tersinggung. Semua masya-

    rakat Suku Kano akan merasa sakit hati, karena penolakan seperti itu adalah penghinaan bagi kehormatan 

    Suku Kano. Akhirnya, kita akan menjadi seteru, saling 

    bermusuhan dan... bisa jadi kau akan dibunuh oleh 

    pamanku atau para pengawalnya."

    "Kenapa jadi begini?!" gumam Soka Pura lirih 

    sekali sambil garuk-garuk kepala. Rasa pening di kepa-

    lanya semakin bertambah, sehingga Pendekar Kembar 

    bungsu akhirnya hanya bisa tertegun tanpa suara. 

    Namun telinganya masih bisa mendengar apa yang di-

    katakan Nilawesti saat tangan gadis itu mengusap-

    usap punggung Soka, sesekali merapikan rambut Soka 

    ke belakang telinga.

    "Sebagai calon mempelai, kita diberi waktu un-

    tuk saling memadu rasa di dalam Kamar Pelamin ini. 

    Maksudnya, agar saling mengenali pribadi masing-

    masing dengan kemesraan dan asmara yang diha-

    rapkan kian berbunga-bunga. Diharapkan pula pada 

    waktunya nanti, setelah upacara 'Daupan' dilaksana-

    kan, kami sudah saling memahami apa yang dibutuh-

    kan oleh masing-masing pihak. Biasanya malam pen-

    genalan itu dilakukan selama tujuh hari sebelum upa-

    cara 'Daupan' tiba. Begitulah ketentuan hukum adat di 

    Suku Kano!"

    "Aku tak tahu harus bicara apa jika sudah be-

    gini," gumam Soka lirih. Ia justru terbaring lagi dengan 

    napas terhempas.

    "Apakah kau kecewa mendapat istri seperti-

    ku?!" tanya Nilawesti sambil sedikit rundukkan kepala 

    agar suaranya yang lirih didengar oleh Soka. Tapi pe-

    muda tampan itu hanya diam menatap dengan bibir 

    sedikit merekah karena tak tahu harus menjawab apa.

    "Apakah menurutmu aku gadis yang tidak me-

    narik?"

    Ucapan itu menyentuh hati Soka. Rasa iba pun 

    timbul di sela-sela kebingungannya. Maka tangan Soka


    pun mengusap kepala Nilawesti dengan lembut.

    Si gadis sengaja geserkan kepala agar usapan 

    tangan Soka menyentuh wajah. Maka tangan itu pun 

    mulai mengusap lembut pipi si gadis. Senyum tipis Ni-

    lawesti semakin menaburkan bunga indah di hati So-

    ka, membuat kebingungan itu lekas reda dengan sen-

    dirinya.

    "Kau sudah punya istri sendiri, Soka?"

    Pendekar Kembar bungsu gelengkan kepala.

    "Mungkin sudah punya kekasih atau tunan-

    gan?

    Soka bingung memberi reaksi atas pertanyaan 

    itu. Ia sempat teringat wajah Bulan Berkabut, tapi 

    bayangan wajah itu cepat sirna ketika Nilawesti beri-

    kan senyum tipis kembali.

    Senyum itu menggetarkan gairah, membuat 

    Soka Pura sentuhkan jemarinya di bibir Nilawesti. Si 

    gadis menggigit jari itu lembut sekali. Detak jantung 

    Soka menjadi cepat karena hasrat bercumbunya mulai 

    terpancing.

    Akhirnya kedua tangan Soka memegangi kepala 

    Nilawesti dan sedikit menariknya turun. Kepala itu 

    bergerak lembut mendekati wajah Soka Pura. Mata si 

    gadis segera terpejam dengan bibir merekah penuh 

    tantangan.

    Kedua bibir itu pun akhirnya saling bertemu. 

    Soka mengecup bibir itu dengan lembut sekali. Nila-

    westi membalas kecupan tak kalah lembut dengan 

    tangan mengusap-usap dada Soka. Usapan itu terasa 

    menghangat di sekujur tubuh Soka, membuat batin 

    Soka menuntut untuk meraih keindahan yang lebih 

    tinggi lagi. Maka tangan pemuda tampan itu pun sege-

    ra melepaskan tali pengikat kain penutup dada Nila-

    westi. Tees...! Dengan sekali sentak tali pengikat itu 

    terlepas, maka dada si gadis pun bebas tanpa hambatan. Soka Pura yang sudah lupa dengan sakit kepa-

    lanya segera memeluk gadis itu. Ciumannya makin 

    memburu dan si gadis sengaja memberikan apa yang 

    diinginkan Soka. ia mengeluh dengan suara lirih, lalu 

    meremas rambut Soka dengan pelan-pelan ketika Soka 

    Pura menyambar dada sekal itu dengan mulutnya. 

    Haap...!

    "Oh, Sokaaa...," desah si gadis membuat Soka 

    Pura kian bertambah hanyut. Ia makin lupa dengan 

    sakit kepalanya, juga lupa dengan kebingungannya da-

    lam mengambil sikap atas pertanyaan batinnya: "ha-

    ruskah aku menikah dengannya?!"

    Repotnya lagi, Nilawesti semakin berikan kesan 

    hangat bagi Soka Pura. Ciuman gadis itu bagaikan ko-

    baran api yang dapat melelehkan besi baja. Soka Pura 

    dibuat melayang-layang dibuai sejuta keindahan. Hal 

    itu telah membuat Soka Pura merasa sulit menghenti-

    kan cumbuannya, sulit menahan gairahnya dan sulit 

    menghindari kehadiran asmara yang ada.

    "Dia memang masih polos dan lugu dalam ber-

    cinta. Tapi nalurinya sangat peka terhadap apa yang 

    kuharapkan," pikir Soka. "Keluguannya ini membuat 

    semangat bercumbu ku justru meluap-luap, dan ke-

    bahagiaan yang ku rasakan benar-benar telah mem-

    buatku terkesan sekali. Ooh... haruskah kuteruskan 

    cumbuan ini hingga pada puncak keindahan yang se-

    benarnya?!"

    Jantung pemuda itu berdetak sangat cepat pa-

    da saat benak menimbang-nimbang tindakan selan-

    jutnya. Sampai si gadis menggigit pundak Soka dengan 

    lembut seperti menahan luapan sesuatu yang ingin 

    meledak dalam hatinya, Soka Pura masih belum punya 

    keputusan untuk langkah berikutnya.

    "Bagaimana ini?! Bagaimana kalau sudah begi-

    ni?! Terus saja atau berhenti sampai di sini?! Aduh, celaka! Sepertinya naluri ku sulit diajak untuk berhenti 

    sampai di sini?! Bagaimana kalau sudah begini?! Sial! 

    Sial!"

    *

    * *

    5


    SEBELUM fajar menyingsing, perkampungan 

    Suku Kano diserang oleh orang-orang Suku Ampar. 

    Penyerangan itu dipimpin oleh si Macan Seribu sendiri; 

    Kepala Suku Ampar.

    Rupanya si Macan Seribu ingin menuntut balas 

    atas kematian adiknya: si Bajak Rempo. Sasaran me-

    reka adalah membunuh Nilawesti dan seorang pemuda 

    tampan berpakaian serba putih. Si pelapor tidak tahu 

    bahwa pemuda berpakaian serba putih itu bernama 

    Soka Pura.

    Suku Ampar lakukan penyerangan besar-

    besaran. Jumlah mereka yang menyeberangi sungai 

    cukup banyak. Benteng pertahanan Suku Kano sem-

    pat dirobohkan. Tentu saja tindakan itu tidak mem-

    buat Soka Pura diam saja. Ia segera tampil sebagai 

    benteng hidup bagi masyarakat Suku Kano.

    Dengan menggunakan Pedang Tangan Malaikat 

    yang berbentuk kristal itu, Pendekar Kembar bungsu 

    berhasil memukul mundur orang-orang Suku Ampar. 

    Bahkan Soka lakukan pengejaran sampai ke seberang 

    sungai. Hanya Soka seorang yang melakukan pengeja-

    ran sampai ke seberang Sungai Berang. Para 'pra Jurit' 

    Suku Kano tak ada yang berani menyeberang.

    Pengejaran itu dilakukan oleh Soka karena ia 

    mendapat kabar dari salah seorang 'prajurit' Suku Kano, bahwa Nilawesti berhasil dibawa lari oleh anak 

    buah Macan Seribu. Tentu saja hati Soka Pura menjadi 

    berang dan mengincar si Macan Seribu.

    Pada waktu itu, Macan Seribu segera larikan 

    diri karena ia merasa tak sanggup hadapi kesaktian 

    Pedang Tangan Malaikat-nya si pemuda tampan itu. Di 

    samping itu, banyak anak buahnya yang tumbang di 

    tangan Soka Pura, sehingga Macan Seribu merasa ka-

    lah ilmu dan lebih baik melarikan diri untuk menyu-

    sun kekuatan baru.

    Nilawesti sendiri sebenarnya tidak diculik oleh 

    si Macan Seribu. Yang dibawa lari oleh salah satu 

    orangnya si Macan Seribu adalah Indardari. Gadis itu 

    juga seorang 'prajurit' perempuan dari Suku Kano yang 

    kebetulan pada malam itu kenakan jubah biru hampir 

    mirip dengan jubahnya Nilawesti.

    Tetapi Indardari segera dapat loloskan diri seca-

    ra tak sengaja, karena orang yang membawa lari di-

    rinya jatuh ke sungai saat menyeberangi sungai terse-

    but. Indardari pun ikut jatuh ke sungai, lalu segera 

    menyelam dan bersembunyi di dalam relung mirip gua 

    yang ada di kedalaman sungai tersebut.

    Ketika para penyerang itu telah angkat kaki 

    semua dari tanah perkampungan Suku Kano, barulah 

    mereka sadar bahwa Nilawesti masih ada di tempat. 

    Gadis itu lakukan perlawanan di sisi barat bersama 

    beberapa orang lainnya. Indardari sendiri segera pu-

    lang ke perkampungannya ketika matahari mulai terbit 

    separo bagian.

    "Celaka! Jika begitu Soka Pura lakukan penge-

    jaran yang sia-sia!" geram Nilawesti dengan cemas. Ia 

    segera temui pamannya.

    "Paman, aku harus menyusul Soka Pura. Ia 

    pasti lakukan pengejaran sampai ke perkampungan 

    Suku Ampar, karena ia menyangka diriku dibawa lari

    oleh si Macan Seribu!"

    "Jangan ada yang menginjakkan kaki ke tanah 

    perkampungan mereka!" ujar si Uban Karang. "Ingat 

    pesan leluhur kita, jika kita injakkan kaki di tanah 

    perkampungan Suku Ampar, maka kita akan menderi-

    ta kekalahan dan Suku Kano akan habis binasa."

    "Tapi Soka Pura sendirian ke sana, Paman!" 

    rengek Nilawesti dengan semakin cemas.

    "Aku akan mengutus beberapa orang untuk 

    mengawasi dari luar batas wilayah perkampungan Su-

    ku Ampar! Tapi jangan kau yang ke sana! Kau harus 

    bisa menjaga dirimu sendiri agar tetap hidup sebagai

    pemegang tampuk pimpinan Suku Kano ini, Nila!"

    Mengingat dirinya adalah calon Kepala Suku 

    Ampar yang asli jika ia telah menikah nanti, maka Ni-

    lawesti pun terpaksa menahan diri untuk tidak pergi 

    dari samping pamannya. Tiga orang segera dikirim un-

    tuk membayang-bayangi Soka Pura. Tapi mereka tetap 

    tak diizinkan injakkan kaki di tanah perkampungan 

    Suku Ampar.

    Sementara itu, pengejaran yang dilakukan Soka 

    Pura adalah benar-benar pengejaran yang sia-sia. Kea-

    daan yang masih gelap membuat Soka Pura salah 

    arah, tak mengetahui ke mana larinya si Macan Seri-

    bu. Akibatnya ketika cahaya pagi kian terang, Soka 

    Pura clingak-clinguk di atas sebuah bukit yang tak se-

    berapa tinggi.

    "Ke mana orang-orang Suku Ampar itu?! Gawat 

    kalau begini! Agaknya aku telah salah arah. Sejak tadi 

    tidak kulihat gerakan manusia yang melintas di sekitar 

    tempat ini. Tak kulihat pula atap-atap rumah yang 

    mestinya sudah bisa kulihat dari tempat ini, sebab 

    tempat ini sudah jauh dari Sungai Berang. Sial! Lewat 

    jalan mana kalau mau kembali ke perkampungan Su-

    ku Kano?!"


    Akhirnya pemuda itu mempunyai ide untuk 

    menelusuri tepian sungai. Ia yakin dengan cara begitu 

    maka ia akan sampai ke perkampungan Suku Kano 

    yang ada di tepi sungai. Soka Pura tak tahu bahwa 

    yang disusuri dengan langkahnya itu adalah anak 

    sungai yang menuju ke arah lain. Soka memang tidak 

    tahu bahwa Sungai Berang sebelum mencapai mua-

    ranya pecah menuju ke arah timur. Akibatnya, Soka 

    Pura tersesat semakin jauh dari perkampungan Suku 

    Kano maupun perkampungan Suku Ampar.

    Langkah Soka pun segera dihentikan begitu ia

    melihat sekelebat bayangan melintas di depannya. 

    Bayangan itu bergerak cepat dan tak jelas sosoknya. 

    Soka Pura hanya melihat kelebatan bayangan berwar-

    na biru yang segera menghilang di balik kerimbunan 

    semak ilalang.

    "Itu dia si Nilawesti!" sentak hati Soka, sehingga 

    ia pun segera memburu bayangan biru tersebut. Wees, 

    wees...!

    Tapi sebelum Soka Pura berhasil menyusul 

    bayangan biru tersebut, tiba-tiba dari arah lain mun-

    cul juga sekelebat bayangan hitam. Agaknya bayangan 

    hitam itu sedang memburu si bayangan biru, karena ia 

    mengarah ke balik semak ilalang juga. Soka Pura 

    mempercepat langkahnya, menggunakan jurus' Jalur 

    Badai' agar lebih dulu menyusul si bayangan biru ter-

    sebut.

    Dengan satu lompatan bersalto dari gugusan 

    tanah cadas. Soka Pura berhasil mencegat langkah si 

    bayangan biru. Wuuuk, jleeg...! Maka si bayangan biru 

    itu pun hentikan langkah seketika dengan wajah terpe-

    ranjat kaget. Wajah tegang itu bermata bundar lebar 

    dan nafasnya terengah-engah.

    "Ooh...?! Kau...?!"

    Ternyata si pemilik bayangan biru Itu adalah


    seorang gadis cantik berusia sekitar dua puluh dua ta-

    hun. Tapi gadis itu bukan Nilawesti. Gadis yang men-

    genakan jubah buntung warna biru dengan kutang 

    dan kain bawahnya berwarna merah itu mempunyai 

    rambut panjang diikat ke belakang. Tubuhnya sekal 

    dan berdada lebih montok dari Nilawesti.

    Gadis itu sangat mengenal Soka Pura. Demi-

    kian pula halnya dengan Soka. Bahkan gadis itu tahu 

    bahwa pemuda yang tiba-tiba menghadangnya itu ada-

    lah Soka Pura, bukan Raka Pura. Ia hafal betul dengan 

    letak pedang kristal yang ada dl pinggang kanan, yang 

    merupakan ciri-ciri Soka, sebab Soka adalah pendekar 

    bertangan kidal. Berbeda dengan kakaknya; Raka Pu-

    ra, yang selalu selipkan pedangnya di pinggang kiri, 

    sehingga sewaktu-waktu dapat dicabut dengan meng-

    gunakan tangan kanan.

    "Soka, oh... beruntung kau ada di sini!" ujar si 

    gadis dengan nada tegang. Ia bergegas dekati Soka Pu-

    ra, sementara Soka masih memandang dengan heran 

    sebab tak menyangka akan jumpa dengan gadis terse-

    but di tempat sejauh itu.

    "Mengapa kau sampai ada di tempat in!, Dewi 

    Binal?!" tanya Soka kepada si gadis yang tak lain ada-

    lah Dewi Binal, cucunya Tabib Kubur dari Bukit 

    Gamping. Tentu saja si gadis tak segan-segan meraih 

    lengan Soka dan memeluknya, karena Dewi Binal me-

    rasa pernah memadu kasih dengan Soka Pura, (Baca 

    serial Pendekar Kembar dalam episode: "Setan Cabul").

    "Soka, aku dikejar-kejar oleh...."

    Belum selesai Dewi Binal bicara, sosok bayan-

    gan hitam yang mengejarnya sudah muncul dl depan 

    mereka bersamaan dengan melesatnya seberkas sinar 

    merah ke arah Dewi Binal. Claap...!

    Soka Pura cepat ambil tindakan secara refleks. 

    Tangannya menyentak ke depan dalam keadaan tan


    gan tengkurap berbentuk cakar. Sinar putih seperti pi-

    sau runcing keluar dari tangannya. Claaap...!

    Jurus 'Cakar Matahari' melesat menghantam 

    sinar merah tersebut. Hantaman itu timbulkan leda-

    kan yang cukup dahsyat.

    Blegaaarrr...!

    Tanah di sekitar tempat itu menjadi bergetar, 

    juga pohon-pohon merontokkan daunnya karena ikut 

    digetarkan oleh gelombang ledakan tersebut. Si jubah 

    hitam sempat terpelanting ke belakang saat terkena ge-

    lombang ledakan yang menyentak kuat itu. Sedangkan 

    Soka Pura sendiri hanya terdorong mundur selangkah, 

    hampir membuat Dewi Binal terpelanting jika tidak se-

    gera berpegangan pada lengan kekar si Pendekar Kem-

    bar bungsu itu.

    "Hati-hati, Soka...! Ilmunya cukup berbahaya!" 

    bisik Dewi Binal yang secara tidak langsung mengakui 

    kalah ilmu dengan perempuan tua berjubah hitam itu.

    Soka Pura tak komentari bisikan Dewi Binal. Ia 

    justru memandang perempuan tua berjubah hitam 

    dengan dahi berkerut dan mulut sedikit ternganga 

    bengong.

    Perempuan berusia sekitar tujuh puluh tahun 

    dan berambut abu-abu dengan kalung tasbih putih 

    sebesar kelereng itu juga menatap Soka Pura dengan 

    tercengang. Kejap berikutnya ia melangkah lebih dekat 

    sambil menggeram penuh kejengkelan.

    "Dasar tikus jelek!" maki si perempuan jubah 

    hitam itu. "Kenapa kau jadi ada di sini, Soka Pura?! 

    Rupanya pemuda bengal sepertimu juga mengenal ga-

    dis keparat itu, hah?!"

    Soka Pura segera kendorkan ketegangan, beri-

    kan senyum seulas dengan tenang.

    "Tak kusangka kau yang menjadi lawan si Dewi 

    Binal ini, Nyai Gantari," ujar Soka Pura yang sudah


    kenal betul dengan Nyai Gantari alias si Tupai Siluman 

    itu. Soka dan Raka pernah menyelamatkan Nyai Gan-

    tari dan cucunya yang mungil: Bunga Dewi, dari keja-

    ran maut orang-orang kadipaten. Nyai Gantari bersa-

    ma kedua cucunya: Bunga Dewi dan Panji Doyok, ada-

    lah penghuni perkampungan Tanah Keramat yang se-

    luruh penduduknya bekerja sebagai pencuri, peram-

    pok, penodong, dan pe-pe lainnya, (Baca serial Pende-

    kar Kembar dalam episode: "Korban Kitab Leluhur").

    Karenanya, Nyai Gantari menjadi agak sungkan 

    ketika buronannya dilindungi oleh Soka Pura. Lebih-

    lebih ia tahu betul bahwa Soka Pura dan kakak kem-

    barnya adalah anak muda yang berilmu tinggi dan 

    sempat menjadi idola baik oleh cucu-cucunya maupun 

    oleh dirinya sendiri. Tak heran jika Nyai Gantari tidak 

    lanjutkan serangannya, kecuali hanya mengecam tin-

    dakan Soka yang melindungi musuhnya itu.

    "Nyai Gantari, perlu kau ketahui, bahwa Dewi 

    Binal ini adalah sahabat dekat ku. Mungkin lebih de-

    kat dari yang terdekat denganku," ujar Soka sedikit 

    menaburkan rayuan. "Jadi jika Dewi Binal terluka, aku 

    akan merasakan sakitnya, Nyai. Jika Dewi Binal tewas, 

    aku akan merasakan capeknya menguburkan mayat-

    nya!"

    "Yang benar kalau ngomong, ah!" sentak Dewi 

    Binal dalam bisikan sambil mencubit belakang lengan 

    Soka. Yang dicubit hanya cengar-cengir antara sakit 

    dan geli.

    "Soka Pura!" ujar sang Nyai tegas. 'Kalau bukan 

    karena kau yang menjadi pelindungnya, akan kuhabisi 

    nyawa sahabatmu itu saat ini juga!"

    "Persoalannya apa, Nyai? Mungkin aku bisa 

    menghajarnya sendiri jika Dewi Binal memang di pihak 

    yang salah!"

    "Dia ingin membunuh Srigita, alias si Bunga


    Dewi, cucuku itu!"

    Dewi Binal menyahut, "Karena cucumu telah 

    mencuri Permata Manik Jingga dari Candi Apung! 

    Permata itu milik leluhur ku yang dipercayakan penja-

    gaannya oleh Pendeta Tambang Dewa...."

    "Siapa Pendeta Tambang Dewa itu?" potong So-

    ka dalam bisikan.

    "Kakak mendiang nenek ku!" Jawab Dewi Binal 

    dengan cepat, lalu bicara lagi kepada si Tupai Siluman.

    "Cucumu, si Bunga Dewi, ngotot ketika kusu-

    ruh serahkan Permata Manik Jingga itu. Ia justru me-

    nyerangku, sehingga aku perlu menghajarnya daripada

    aku yang dihajarnya!"

    "Keparat! Kau pikir aku tak bisa menghajarmu 

    dengan mengirimmu ke neraka, hah?! Terimalah ini...."

    "Tahan, Nyai!" seru Soka secepatnya karena 

    Nyai Gantari tampak ingin lepaskan pukulan mautnya 

    lagi. Seruan Soka Pura masih didengar dan dihargai 

    oleh Nyai Gantari sehingga sang nenek terpaksa 

    urungkan niatnya. Ia hanya menggeram kembali pe-

    nuh dengan kedongkolan yang terpaksa hanya bisa di-

    pendam dalam hati.

    "Hmmrrh...! Kalau bukan memandang hubun-

    gan baik kita, sudah kubuat arang gadismu itu, Soka!"

    "Sabar, Nyai. Orang sabar itu awet muda, Nyai," 

    ujar Soka mulai konyol agar suasana tegang menjadi 

    berkurang.

    "Aku sendiri memang pernah dengar rencana 

    Bunga Dewi yang ingin mencuri Permata Manik Jingga, 

    Nyai. Bahkan kakakku; Raka Pura, juga mendengar 

    kabar tentang rencana pencurian permata di Candi 

    Apung. Menurutku, sebaiknya kembalikan saja perma-

    ta tersebut, Nyai. Sebab...."

    "Kalau cucuku berhasil mencuri permata itu, 

    sekarang aku sudah kaya dan jubahku tidak selusuh


    ini, tahu?!" bentak Nyai Gantari dengan berang. Si Tu-

    pai Siluman maju selangkah lagi, pandangan matanya 

    di arahkan kepada Dewi Binal.

    "Cucuku tidak membawa permata itu. Dia ju-

    stru ditipu oleh teman kerja samanya! Kalau kau ingin 

    temukan permata itu, carilah orang yang bernama Ba-

    tara Jabrik! Karena permata itu justru dibawa lari oleh 

    Batara Jabrik dengan menyiasati si Bunga Dewi lebih 

    dulu!"

    Dewi Binal menyahut, "Jangan libatkan orang 

    lain yang...."

    "Apa yang dikatakannya memang benar, Dewi!" 

    sambar Soka lebih cepat. Dewi Binal segera berpaling 

    menatap pemuda tampan itu.

    "Aku percaya dengan kata-kata Nyai Gantari. 

    Masuk akal sekali jika permata itu ada di tangan Bata-

    ra Jabrik!"

    "Semudah itukah kau mempercayai mulut 

    orang Tanah Keramat?!"

    "Aku dan Raka mendengar sendiri, bahwa Bun-

    ga Dewi pergi ke Candi Apung untuk mencuri Permata 

    Manik Jingga bersama si Batara Jabrik!"

    Kemudian, Soka menceritakan pertemuannya 

    dengan Bulan Berkabut yang secara tak sengaja men-

    jelaskan tentang rencana tersebut di depan Soka dan 

    Raka. Pada waktu itu, Soka dan kakak kembarnya se-

    dang mencari Bunga Dewi yang diduga diculik oleh 

    orangnya si Jagat Lancang dari Perguruan Tengkorak 

    Sungsang, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-

    sode: "Pemburu Mahkota Dara").

    Akhirnya persoalan itu diselesaikan oleh Soka 

    Pura secara damai. Kemarahan Nyai Gantari atas tin-

    dakan Dewi Binal yang hampir merenggut nyawa sang 

    cucu, berhasil diredamkan oleh kata-kata lembut dan 

    menghibur.

    "Aku justru mau bikin perhitungan sendiri den-

    gan si Batara Jabrik!" ujar sang Nyai seperti orang 

    menggerutu.

    "Kau boleh bikin perhitungan sendiri dengan si 

    Batara Jabrik, tapi jangan coba-coba berusaha me-

    rampas permata itu dari tangannya!" ujar Dewi Binal 

    bernada mengancam. Nyai Gantari hanya memandang 

    tajam dengan mendengus kesal.

    "Jaga dirimu, Gadis Bonyok! Jangan sampai 

    kau jumpa denganku tanpa Soka Pura. Kau akan kehi-

    langan nyawa pada saat itu juga!"

    Setelah lontarkan ancaman juga, Nyai Gantari 

    segera pergi dengan lakukan lompatan cepat ke arah 

    semak-semak. Dalam sekejap saja nenek berjubah hi-

    tam itu sudah lenyap dari pandangan mata Soka Pura. 

    Pemuda itu hembuskan napas lega.

    Namun napas kelegaan belum sempat terhem-

    bus sampai tuntas. Ia terpaksa tahan napas seketika 

    karena Dewi Binal segera memeluk dan menciuminya 

    dengan suara bisikan manja.

    "Cup, cup, cup...."

    "Hhhmmh.... Aku rindu padamu! Aku kangen 

    sekali, Soka...!"

    "Aku juga hmmm...," Soka tak bisa lanjutkan 

    kata-katanya karena tiba-tiba bibirnya disambar oleh 

    bibir Dewi Binal, kemudian bibir itu dilumat oleh si 

    gadis dengan luapan api kerinduan yang mengganas. 

    Soka Pura sempat geragapan sesaat. Semula ia ingin 

    sentakkan tubuh Dewi Binal agar menjauh. Tapi Soka 

    segera sadar bahwa mereka sudah lama tak saling

    jumpa, sehingga kerinduan di hati Dewi Binal yang 

    naksir berat padanya itu meledak saat itu juga. Soka 

    Pura terpaksa memberi balasan alakadarnya dengan 

    memagut-magut bibir Dewi Binal. Si gadis berselera 

    tinggi itu mengerang panjang ketika pagutan mulut


    Soka merayap ke leher, lalu turun ke bawah lagi, dan 

    tangan Dewi Binal pun meremas apa yang ada di ba-

    wah Soka.

    "Sssh, aah.... Soka, aku... aku rindu sekali. 

    Uuuhk...!"

    Dewi Binal mulai merengek bergairah. Tapi So-

    ka Pura segera hentikan serangan balasan tersebut. 

    Saat itu, Soka kurang berselera karena di benaknya 

    masih menyimpan masalah yang membingungkan se-

    kaligus sering membuatnya berpikir tegang. Dewi Binal 

    merengek manja, minta diteruskan, tapi Soka Pura te-

    tap menghindar dengan pelan-pelan.

    "Tunda dulu hasrat mu, Dewi. Bukankah kau 

    sedang hadapi masalah yang harus segera kau selesai-

    kan?!"

    Dewi Binal terpaksa menunda hasratnya walau 

    ia mengeluh kecewa.

    "Bisakah kau membantuku mencari Batara Ja-

    brik?!"

    "Sebenarnya bisa saja. Tapi karena aku sendiri 

    sedang hadapi masalah besar, jadi kali ini agaknya aku 

    tak bisa membantumu, Dewi."

    Dewi Binal hembuskan napas, sekali lagi ia 

    tampak kecewa mendengar ucapan Soka Pura.

    "Sayang sekali...," ujarnya seperti orang meng-

    gumam. "Padahal permata itu harus segera kuda-

    patkan. Jika tidak, maka selain permata itu akan di-

    jual oleh pencurinya, permata itu sangat berbahaya ji-

    ka sampai jatuh ke tangan orang sesat."

    "Apa keistimewaan dari permata itu, Dewi?"

    "Permata Manik Jingga ada di tongkat pendek 

    berlapis emas. Tongkat itu adalah pusaka milik men-

    diang Ratu Kaliswara, yang menjadi cikal bakal dari le-

    luhur ku. Pusaka itu bernama pusaka 'Suryapati'. Jika 

    batu Permata Manik Jingga yang ada di ujung tongkat


    itu ditembus sinar matahari, maka bias sinarnya dapat 

    meleburkan gunung, menghancurkan karang, juga bi-

    sa membuat besi baja menjadi bubur panas!"

    "Dahsyat sekali pusaka itu?!" gumam Soka Pu-

    ra.

    "Itulah sebabnya aku diutus kakek Tabib Ku-

    bur untuk membantu kesulitan mantan kakak Ipar-

    nya: Pendeta Tambang Dewa, untuk dapatkan kembali

    Permata Manik Jingga."

    "Sayang sekali...," gumam Soka Pura dengan 

    wajah sedikit murung. "Aku sendiri harus selesaikan 

    masalah ku secepatnya. Jika tidak, bisa-bisa aku men-

    jadi... menjadi... ah, tak tahulah aku ini mau jadi apa 

    jika masalah ku tidak kuselesaikan secepatnya."

    Setelah diam sesaat, Dewi Binal ajukan tanya 

    sambil masih menggelendot di pundak Soka.

    "Apa sebenarnya masalah mu itu, Soka?!"

    "Berkaitan dengan orang-orang Suku Kano 

    yang sedang bermusuhan dengan Suku Ampar!" jawab 

    Soka pelan. Dewi Binal tampak lebih serius lagi me-

    mandang Soka. Ia tidak bergelendotan lagi, melainkan 

    menatap dengan dahi berkerut, tampak sedikit terpe-

    ranjat.

    "Suku Kano...?!" gumam si gadis cantik berhi-

    dung mancung itu.

    "Apakah kau pernah dengar nama Suku Kano 

    atau Suku Ampar?"

    "Bukan pernah lagi. Kakekku; Tabib Kubur, 

    adalah keturunan dari Suku Datu."

    "Suku Datu...? Apa hubungannya dengan per-

    soalanku?!"

    "Suku Datu punya tingkatan lebih tua dan le-

    bih tinggi dari Suku Kano dan Suku Ampar. Jika orang 

    keturunan Suku Datu bertemu dengan orang keturu-

    nan Suku Kano atau Suku Ampar, maka mereka akan


    bersujud di depan orang keturunan Suku Datu. Dapat 

    kau bayangkan seberapa tingkat ketinggian derajat 

    Suku Datu itu pada mereka."

    Soka Pura menggumam dan manggut-manggut.

    "Suku Datu adalah nenek moyang dari leluhur 

    kedua suku itu," lanjut Dewi Binal. "Mereka tak akan 

    berani melawan Suku Datu, juga tak berani menen-

    tang keputusan maupun perintah orang Suku Datu. 

    Sebab jika menentang atau melawan Suku Datu, maka 

    menurut kepercayaan ketiga suku itu, mereka akan 

    binasa semua dalam waktu singkat. Entah karena 

    bencana alam, entah karena peperangan, atau karena 

    wabah penyakit. Sebab itulah, Suku Kano dan Suku 

    Ampar tunduk kepada Suku Datu!"

    "Hebat! Diam-diam kakekmu punya gigi juga di 

    depan kedua suku itu, ya?!"

    "Kakek keturunan terakhir dari Suku Datu 

    murni. Aku keturunan campuran dari Suku Datu, ka-

    rena kakek menikah dengan mendiang nenek ku yang 

    bukan dari Suku Datu. Jadi jika kau ada masalah 

    dengan kedua suku itu, sebaiknya bicaralah kepada 

    kakekku agar kakek yang turun tangan menyelesai-

    kannya. Sebab, jika kau bertarung melawan kedua su-

    ku itu, maka Suku Datu akan turun tangan juga me-

    wakili kedua suku tersebut. Perlu kau ketahui, orang-

    orang Suku Datu selalu siap mati untuk membela ke-

    dua suku tersebut. Mereka ibarat adik dari Suku Da-

    tu."

    Soka Pura diam merenung, merasa mulai dapat 

    jalan keluar untuk atasi persoalannya. Tapi ia belum 

    yakin, apakah si Tabib Kubur mampu selesaikan per-

    soalan yang menyangkut masalah perkawinan gadis 

    Suku Kano? Sebab agaknya penolakan perkawinan itu 

    merupakan penghinaan bagi Suku Kano.

    "Jangan-jangan Tabib Kubur juga merasa ter


    hina kehormatannya jika mendengar penolakan per-

    kawinanku dengan Nilawesti?" pikir Soka Pura, karena 

    dalam hati kecilnya ia belum mantap betul untuk me-

    nikahi Nilawesti. Ia masih ingin bebas berkelana tanpa 

    ikatan batin yang terlalu kuat, seperti ikatan tali per-

    kawinan.

    "Kita menghadap kakek saja!" ujar Dewi Binal. 

    "Biar kakek yang selesaikan persoalanmu. Tapi kalau 

    boleh ku tahu, persoalan apa yang terjadi antara diri-

    mu dengan Suku Kano?"

    "Aku... aku mau dikawinkan dengan Nilawesti, 

    dan...."

    "Hahhh...?!" Dewi Binal terpekik dengan mata 

    mendelik. Wajahnya menjadi semburat merah. Tak je-

    las, apakah gadis itu marah atau cemburu atau keta-

    kutan. Yang pasti, gadis itu segera melangkah mundur 

    pelan-pelan dengan mata terbuka lebar-lebar.

    "Heh, kenapa sikapmu jadi begitu, Dewi?! Ada 

    apa?! Kau pikir aku dusta padamu?!"

    "Nilawesti adalah calon kepala suku. Jika ia 

    sudah menikah, maka ia akan menjadi kepala suku 

    dan suaminya akan menjadi raja di antara masyarakat 

    Suku Kano. Aku... aku sangsi, apakah kakekku mau 

    membantumu jika persoalan itu menyangkut masalah 

    perkawinan dan kehormatan suku."

    "Celaka kalau kakekmu tak bisa membantuku."

    "Ap... apakah kau telah menyentuh tubuh Ni-

    lawesti, sekalipun hanya menggenggam tangannya?"

    "Su... sudah," jawab Soka. "Bahkan lebih dari 

    sekadar menggandeng," lanjut hati Soka.

    Dewi Binal makin berwajah tegang, membuat 

    Soka pun akhirnya berdebar-debar juga.

    *

    * *


    6


    BATIN sepasang anak kembar memang selalu 

    berkaitan. Mereka mempunyai 'sambung rasa' yang ti-

    dak dimiliki kakak-beradik yang tidak lahir kembar. 

    Tak heran jika Raka Pura, si Pendekar Kembar sulung 

    merasa gelisah dan resah selama dalam perjalanannya.

    Raka Pura pun merasakan rindu kepada adik 

    kembarnya. Setelah sekian hari ia berada di padepo-

    kan Perguruan Tapak Syiwa, dalam rangka menebar 

    rindu menuai kasih bersama Kirana, Raka Pura pun 

    ingin berjumpa dengan adik kembarnya. Maka ia sege-

    ra pamit kepada Kirana dan gurunya: si Mulut Guntur,

    untuk pergi ke Lembah Semangit, temui Soka dl pon-

    doknya Resi Bayakumba.

    Pada mulanya, Kirana yang cantik berlesung 

    pipit dan bergigi gingsul itu merengek ingin ikut Raka. 

    Tapi mengingat perjalanan cukup jauh dan harus di-

    tempuh dengan langkah 'Jalur Badai' agar tak sampai 

    memakan waktu perjalanan berhari-hari, Raka tidak 

    izinkan gadis yang sedang menjadi bunga hatinya itu 

    ikut ke Lembah Semangit. Kirana ngotot dan sempat 

    sewot. Tapi Raka Pura membujuknya dengan sabar, 

    sehingga rencana pamit tertunda sampai dua hari.

    Akhirnya dengan bantuan si Mulut Guntur da-

    lam membujuk Kirana, Raka pun berhasil tinggalkan 

    padepokan di kaki Gunung Mercapada itu tanpa pen-

    damping siapa pun. Tentu saja hal itu bisa dilakukan 

    setelah Raka bersumpah dan berjanji berkali-kali di 

    depan Kirana, bahwa la akan kembali lagi ke padepo-

    kan tersebut untuk temui si gadis yang naksir berat 

    kepadanya itu.

    Perjalanan menuju Lembah Semangit sempat 

    berjalan mulus, lancar-lancar saja. Tetapi ketika Raka


    Pura sudah lakukan perjalanan setengah hari, tiba-

    tiba langkahnya harus dihentikan karena ia merasa 

    ada yang mengikuti dari belakang. Setiap kali ia me-

    nengok ke belakang, suara langkah kaki yang samar-

    samar itu terhenti seketika dan tak tampak bayangan 

    seseorang yang menguntitnya.

    Sekali dua kali ha; itu dibiarkan oleh Raka Pu-

    ra. Tapi makin lama ia menjadi semakin risi karena 

    merasa dikuntit seseorang. Bahkan ia yakin ada orang 

    yang bermaksud tak beres padanya dan ingin mencuri 

    kelengangannya.

    Pada saat ia melewati gugusan batu-batu hitam 

    yang cukup besar dan tingginya mencapai tiga tombak, 

    Pendekar Kembar sulung segera menyelinap di sela-

    sela bebatuan besar itu. Sleep...! Di sana ia menunggu 

    si penguntit lewat. Rasa ingin tahu siapa orang yang 

    menguntitnya membuat Raka Pura terpaksa menahan 

    rasa gatal-gatal panas, karena kakinya dikerumuni 

    semut merah.

    "Kurang ajar! Dasar semut-semut ganjen! 

    Aduh... ada yang merayap masuk celana segala! lih, 

    iih...!" Raka Pura dibuat sibuk oleh semut-semut me-

    rah yang gigitannya cukup panas itu. Akibatnya ketika 

    si penguntit berkelebat di depan tempat persembu-

    nyiannya, ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa 

    orangnya.

    "Sepertinya tadi ada bayangan yang berkelebat 

    di jalanan depan situ! Pasti dia orang yang mengikuti-

    ku sejak tadi. Ah, sial! Gara-gara semut-semut ini aku

    jadi tak perhatikan orang tersebut!" gerutu Raka Pura 

    dalam hati.

    Pemuda yang serupa betul dengan Soka Pura 

    itu segera sentakkan kakinya ke bumi dan tubuh pun 

    melesat naik dengan cepat. Wuuut...! Jleeg...! ia hing-

    gap di atas salah satu batu tertinggi dari kelompok be


    batuan itu. Dari sana ia dapat memandang ke arah ja-

    lan yang akan dilaluinya.

    "Ooh...?! Itu dia orang yang mengikutiku!" ujar-

    nya dalam hati sambil memandang seseorang yang se-

    dang menyelinap di balik pepohonan. Orang tersebut 

    memandang sekelilingnya dengan clingak-clinguk se-

    perti maling kesiangan. Rupanya ia mencari buronan-

    nya yang dianggap lenyap tak berbekas. Ia tak tahu 

    bahwa orang yang diikutinya sekarang sedang mem-

    perhatikan tingkah polahnya dari atas gugusan batu-

    batu besar.

    Orang tersebut bertubuh tinggi, besar, berku-

    mis lebat, bermata lebar, mempunyai codet di pipi ki-

    rinya. Wajah angker yang mengenakan pakaian kotak-

    kotak seperti papan catur itu sebenarnya sudah tidak 

    asing lagi bagi Raka Pura. Orang itu tak lain adalah 

    Bomapati, yang pernah bertarung dengannya ketika ia 

    menyelamatkan Kirana, (Baca serial Pendekar Kembar 

    dalam episode: "Tumbal Asmara Buta"). Namun kali ini 

    Bomapati tidak bersenjata bola besi berduri yang 

    punya rantai bisa panjang-pendek itu, tapi menye-

    lipkan sebilah kapak di pinggang kanannya.

    "Rupanya ia ingin balas dendam padaku, kare-

    na pernah kulukai ketika ia ingin membunuh Kirana," 

    gumam hati Raka Pura dengan tetap tenang. Hatinya 

    pun mulai mempertimbangkan langkah selanjutnya.

    "Haruskah kuhadapi, atau kutinggal pergi sa-

    ja?"

    Setelah beberapa kejap mempertimbangkan, 

    Raka Pura akhirnya putuskan niatnya untuk bikin ka-

    pok si Bomapati biar tak berani simpan dendam lagi 

    padanya. Dengan gerakan jurus 'Jalur Badai', tahu-

    tahu Pendekar Kembar sulung sudah berdiri di bela-

    kang Bomapati. Wuuuzz...! Jleeg...!

    Angin gerakan Raka Pura dirasakan oleh orang


    Perguruan Cakar Hantu itu. Ia segera berpaling ke be-

    lakang, matanya yang lebar pun cepat terbelalak te-

    gang karena terkejut mengetahui Raka Pura sudah ada 

    di belakangnya.

    "Haah...?!" mulut Bomapati ternganga lebar se-

    perti liang tikus wirok.

    Raka Pura sunggingkan senyum kalem. Kedua 

    tangannya bersidekap di dada, kakinya sedikit me-

    renggang tegak.

    "Rupanya kau tak lupa caranya kaget yang 

    baik, Bomapati," sindir Raka Pura dengan mata mena-

    tap lurus namun berkesan tenang. Bomapati tampak 

    menggeragap dan salah tingkah.

    "Sejak kapan kau menjadi seorang penguntit?! 

    Percuma saja tubuhmu besar, wajahmu seangker ku-

    buran keramat, tapi jiwamu licik dan tak berani ber-

    hadapan dengan lawan secara jantan!"

    "Hhhmmmrr...! Keparat kau! Heeah...!"

    Bomapati hantamkan tangan kanannya ke wa-

    jah Raka yang berjarak kurang dari dua langkah itu. 

    Wuuut...! Genggaman tangannya yang besar berhasil 

    ditangkap dengan tangan kanan Raka. Plek...! Tubuh 

    Raka cepat berputar dan sedikit merendah. Sikunya 

    langsung menyodok ke belakang. Buuhk...!

    "Heehg...!!" Bomapati tak dapat hindari gerakan 

    cepat Pendekar Kembar sulung. Ulu hatinya menjadi 

    sasaran sodokan siku Raka yang cukup kuat itu. Nafas 

    bagai menggumpal di dada dan perutnya segera men-

    jadi mual.

    Tubuh besar itu sempat terdorong mundur tiga 

    langkah. Hal itu menandakan sodokan siku Raka Pura 

    mengandung kekuatan tenaga dalam yang tergolong 

    besar. Bomapati tak menyangka akan menerima sodo-

    kan seperti itu. Mulutnya ingin melontarkan makian,

    tapi tak bisa bersuara karena sibuk menarik


    napas untuk tahan rasa sakit di ulu hatinya itu.

    "Setan! Perutku seperti disodok pakai sebatang 

    besi baja. Uuhf...! Sakitnya bukan main. Sodokan ju-

    rus apa itu tadi?" ujar Bomapati dalam hatinya.

    Raka Pura undur diri dua langkah. Sikapnya 

    kembali tenang, berdiri dengan kaki sedikit mereng-

    gang, tapi kedua tangannya tidak bersidekap di dada 

    lagi.

    "Rupanya kau ingin membalas kekalahanmu 

    tempo hari, Bomapati?! Hmmm... sebaiknya perlu kau 

    ingat, setiap lawan yang datang padaku untuk ketiga 

    kalinya, berarti ia sudah ikhlas menyerahkan nya-

    wanya padaku. Jadi kuharap kau tidak datang lagi pa-

    daku untuk ketiga kalinya." ......

    Bomapati semakin menggeram dengan gigi 

    menggeletuk. Tahu-tahu ia melompat menyerang Raka 

    Pura sambil cabut kapaknya. Wees...! Kapak diayun-

    kan ke arah kepala Pendekar Kembar sulung. 

    Wuuut...! Namun Pendekar Kembar sulung lebih cepat 

    gulingkan badan ke tanah. dan kakinya menendang 

    tulang kering Bomapati. Duuhk...!

    "Aaow...!" Bomapati terlonjak mundur. Wajah 

    angkernya semakin menyeramkan karena menyeringai 

    dengan gigi meringis menahan sakit. Tulang kering ka-

    kinya seperti dihantam dengan sebatang besi. Rasa-

    rasanya tulang kering itu remuk di dalam.

    "Bangsat kauuu...! Auuuh...! Bangsat sekali 

    kau..." makinya sambil terbungkuk memegangi ka-

    kinya yang menjadi memar membiru.

    Pendekar Kembar sulung cepat bangkit dan ka-

    kinya menendang kepala Bomapati dengan keras. 

    Plook...!

    "Aooow...!" Bomapati makin memekik sambil 

    tubuhnya terlempar dan jatuh terbanting secara men-

    genaskan. Bruuuk...! Hampir saja pelipisnya terkena


    kapaknya sendiri.

    Tendangan bertenaga dalam yang tepat kenai 

    rahang kiri itu membuat rahang tersebut seperti pe-

    cah. Mulut Bomapati tak bisa terkatup untuk sesaat. 

    Darah keluar dari mulut karena gigi gerahamnya ada 

    yang copot satu. Untung tidak tertelan, sehingga ia tak 

    perlu lakukan operasi usus buntu.

    Raka Pura berdiri dengan gagah. Dadanya yang 

    bidang tampak membusung kencang. Kedua tangan-

    nya menggenggam dengan otot bertonjolan. Tapi si-

    kapnya masih tenang dan kalem.

    "Kalau kau masih belum jera, terimalah Jurus 

    Tapak Sunyi'-ku ini, Bomapati! Hieeeaah...!"

    "Ukup, ukup, ukup...!" Bomapati mengangkat 

    tangannya. Maksudnya mau bilang 'cukup', tapi kare-

    na rahangnya sakit maka yang terucap hanya kata 

    'ukup'. Raka memahami maksud tersebut, maka ia 

    pun tak jadi lepaskan jurus 'Tapak Sunyi'-nya yang bi-

    sa membuat kepala Bomapati hancur selembut tepung. 

    Padahal Raka sendiri hanya menggertak lelaki berkulit 

    tebal itu dan ternyata gertakannya membuat lawan 

    benar-benar ketakutan. Bomapati bergegas bangkit 

    dan mundur beberapa langkah sambil terpincang-

    pincang.

    "Aku hanya diuruh..."

    "Apa itu diuruh?!"

    Bomapati menggerak-gerakkan rahangnya, me-

    lemaskan mulut agar bisa bicara normal kembali. Ia 

    meludah beberapa kali, karena darah yang keluar dari 

    gigi yang tanggal cukup banyak. Setelah itu ia bisa bi-

    cara dengan jelas kembali.

    "Aku hanya disuruh seseorang untuk membu-

    nuh mu dengan upah tinggi."

    Raka Pura terkesip dalam tatapannya yang tajam.


    "Siapa yang menyuruhmu?!"

    "Nilawesti! Tentunya kau kenal dengan gadis 

    itu."

    Raka Pura kerutkan dahi tajam-tajam. "Nila-

    westi...?!" gumamnya lirih, merasa asing dengan nama 

    tersebut.

    "Kau jangan membual di depanku, Bomapati!" 

    hardik Raka sambil melangkah dekati lawan. Bomapati 

    mundur ketakutan.

    "Sumpah! Sumpah, aku hanya disuruh dia. 

    Bukan maksudku ingin balas kekalahan ku tempo ha-

    ri, tapi sekadar ingin dapatkan upah tinggi dari Nila-

    westi!"

    "Aku tidak kenal Nilawesti!"

    "Kau yang membual di depanku jika begitu!" 

    sergah Bomapati ngotot. "Tak perlu berlagak bodoh di 

    depanku! Kau pasti kenai dengan Nilawesti, kepona-

    kannya Uban Karang itu."

    "Orang mana dia?!" tanya Raka setelah pertim-

    bangkan bahwa ngototnya Bomapati itu tampak benar-

    benar ingin buktikan bahwa dirinya adalah orang upa-

    han dari Nilawesti. Tentu saja Raka Pura bingung 

    mendengar nama yang masih asing baginya.

    "Orang mana mereka?! Jawab...!" bentak Raka 

    Pura sambil mendekat ingin lepaskan pukulannya un-

    tuk menggertak Bomapati.

    Bomapati mundur hingga merapat dengan se-

    batang pohon besar.

    "Dia orang Suku Kano! Aku... aku tak tahu apa 

    alasannya, yang jelas dia memberi ku upah tinggi agar 

    aku membunuhmu. Ia memberikan ciri-ciri mu, terma-

    suk menyebutkan pedang kristal itu. Maka aku ingat 

    denganmu dan kucari kau untuk kutunggu kelenga-

    hanmu. Karenanya aku tak berani langsung menye-

    rangmu, karena aku tahu kau punya ilmu lebih tinggi


    dariku. Aku terpaksa harus menguntit mu beberapa 

    saat, sampai kulihat ada kesempatan balk untuk 

    membunuhmu! Tapi.., tapi ternyata kau adalah orang 

    yang sukar dibunuh dan... dan aku akan tinggalkan 

    pekerjaan ini!"

    "Tunjukkan di mana Nilawesti berada!"

    "Di perkampungan Suku Kano, di tepi Sungai 

    Berang!"

    "Bawa aku ke sana!" desak Raka Pura yang pe-

    nasaran ingin melihat tampang si perempuan yang 

    bernama Nilawesti itu. Tapi agaknya Bomapati kebera-

    tan dan tak berani memenuhi permintaan Raka Pura. 

    Namun ia juga takut dicederai lagi oleh pemuda tam-

    pan berambut sepundak itu.

    "Se... sebetulnya kau mudah mencapai ke sana. 

    Kau lihat bukit di seberang sana itu...?" Bomapati me-

    nunjuk satu arah. Raka Pura memandang dengan ma-

    ta mengecil.

    "Bukit yang sebelah mana? itu ada tiga bukit!" 

    Blaassss...!

    Raka Pura segera berpaling ke arah semula. 

    Ternyata Bomapati sudah minggat dengan kecepatan 

    tinggi.

    "Berhenti kau, Pengecut!" seru Raka Pura, na-

    mun Bomapati tetap larikan diri dan segera lenyap di 

    balik kerimbunan hutan.

    "Kampret! Mudah sekali ia mengecoh ku?!" ge-

    ram Pendekar Kembar sulung. Sebenarnya bisa saja ia 

    mengejar Bomapati dengan menggunakan jurus 'Jalur 

    Badai'-nya. Tapi perhatian Raka Pura segera tertarik 

    pada suara jeritan di arah lain. Pekikan itu terdengar 

    memanjang dan menggema, sepertinya jeritan kema-

    tian. Raka Pura bukan mengejar Bomapati tapi justru 

    berlari menuju ke arah datangnya jeritan panjang itu.

    Wuuz, wuuuz, wuuz...!


    Langkah cepatnya dihentikan sebelum ia me-

    nyeberangi padang rumput yang tak seberapa luas. 

    Matanya menatap ke arah seorang yang tergeletak di 

    tanah dalam keadaan berlumur darah.

    "Oh, rupanya orang itu yang tadi menjerit pan-

    jang?!" ujar Raka membatin, lalu bergegas hampiri 

    orang tersebut.

    Ternyata orang berpakaian hitam dengan daun 

    telinga lebar dan tinggi mulut agak monyong itu sudah 

    tidak bernyawa lagi. Luka-lukanya cukup parah dan 

    mengerikan. Raka dapat kenali luka tersebut sebagai 

    luka senjata tajam sejenis pedang atau golok. Tapi di 

    tangan orang yang sudah tak bernyawa itu terdapat 

    parang yang masih bersih. Berarti orang itu belum 

    sempat lukai lawannya, namun sang lawan lebih dulu 

    membunuhnya.

    Raka Pura tak tahu bahwa orang yang baru sa-

    ja tewas itu adalah orang Suku Ampar yang dikenal 

    sebagai Manusia Kelelawar. Orang itu bertemu dengan 

    tiga orang Suku Kano, yang segera menyerangnya ber-

    sama-sama hingga tewas. Ketiga orang itu pun segera 

    pergi tinggalkan lawannya. Raka Pura tak tahu ke ma-

    na perginya ketiga orang tersebut.

    Kini benak Raka diliputi tanda tanya besar ten-

    tang nama Nilawesti dan nama Suku Kano. Merasa tak 

    mengenal nama itu, tapi terancam nyawanya, Raka 

    Pura bermaksud mencari tahu di mana Nilawesti bera-

    da. Ia ingin bertemu dengan si pemilik nama itu untuk 

    tanyakan alasan orang tersebut mengupah Bomapati 

    untuk membunuhnya.

    "Kucing kurap betul orang yang bernama Nila-

    westi itu! Tak pernah jumpa, tak pernah kenal, tak 

    pernah berselisih, tahu-tahu menyuruh orang untuk 

    membunuhku! Hmm...! Siapa sebenarnya si pemilik

    nama Nilawesti itu?! Atau... atau mungkin Bomapati


    mengelabui ku agar aku tak mencederainya lebih pa-

    rah lagi?!"

    *

    * *

    7


    KEPERGIAN Soka Pura dari perkampungan 

    Suku Kano menimbulkan kecemasan semakin kuat di 

    hati Nilawesti. Repotnya lagi, tiga orang yang ditu-

    gaskan membayang-bayangi Soka saat mengejar si 

    Macan Seribu ternyata pulang dengan tangan kosong. 

    Artinya, mereka mengaku tidak melihat Soka Pura, 

    baik di perbatasan tanah Suku Ampar maupun di be-

    berapa tempat lainnya.

    Berbagai dugaan timbul di hati Nilawesti dan 

    pamannya. Dari beberapa dugaan hanya ada dua du-

    gaan yang sangat mempengaruhi jiwa gadis Suku Kano 

    dan pamannya itu.

    "Mungkin dia dibunuh oleh Macan Seribu den-

    gan siasat licik, mungkin juga dia melarikan diri kare-

    na tak mau dikawinkan denganku?!"

    Sehari semalam Soka Pura tak kembali. Akhir-

    nya sang kepala suku segera perintahkan orang-

    orangnya untuk mencari Soka Pura di luar batas tanah 

    Suku Ampar, serta di beberapa tempat lainnya. Uban 

    Karang menjadi ikut resah karena keponakannya ber-

    wajah murung dan selalu mengungkapkan kecema-

    sannya. "Jika tak berhasil bertemu dengan orangnya, 

    bawa pulang jejaknya!" perintah Uban Karang kepada 

    tim pencari Soka Pura. Mereka terdiri dari beberapa 

    kelompok yang menyebar ke berbagai arah.

    "Jika ia bermaksud lari dari perkawinan hukum


    adat, tangkap dan paksa dia. Hadapkan segera pada 

    ku!"

    "Tapi pelan-pelan saja menangkapnya. Jangan 

    kasar-kasar," timpal Nilawesti yang merasa tak rela ji-

    ka Soka diperlakukan dengan kasar.

    Sebenarnya Nilawesti ingin lakukan pencarian 

    sendiri. Tapi sang paman melarang, mengingat bahaya 

    yang sewaktu-waktu dapat muncul dan merenggut 

    nyawanya. Jika hal itu terjadi, maka lenyap sudah ke-

    beradaan Suku Kano.

    Salah satu kelompok yang dipimpin oleh Ruru-

    sada akhirnya menemukan Soka Pura yang sedang 

    berdiri di tepi Sungai Berang. Pemuda itu tampak ra-

    gu-ragu untuk lakukan penyeberangan. Anehnya, pe-

    muda itu menjadi tegang dan memandang curiga ke-

    pada Rurusada dan ketujuh orangnya. Tentu saja begi-

    tu, karena pemuda tersebut sebenarnya bukan Soka 

    Pura, melainkan Raka Pura, kakak kembarnya.

    "Siapa kalian?!" tegur Raka Pura dengan tangan 

    mulai menggenggam. "Apa maksud kalian mendatangi 

    ku di sini?! Apakah kalian orang-orang Suku Kano?!"

    "Benar! Kami utusan dari Suku Kano. Seharus-

    nya kau tak perlu menanyakannya lagi!" kata Rurusa-

    da.

    "O, Jadi kau orang-orangnya perempuan yang 

    bernama Nilawesti itu?!"

    "Benar!" jawab Rurusada, kemudian ia segera 

    berbisik kepada temannya. "Mengapa ia merasa asing 

    kepada kita?!"

    "Mungkin dia punya maksud tersendiri, seperti 

    yang dikhawatirkan sang ketua. Barangkali dengan ca-

    ra begini dia mudah melarikan diri dari perkawinan-

    nya."

    "Kalau begitu, bersiaplah! Jaga dia agar Jangan 

    sampai lolos!" perintah Rurusada, lalu memberi isyarat


    kepada ketujuh temannya. Mereka pun segera lakukan 

    pengepungan. Kecurigaan Raka semakin buruk. Ia pun 

    bersiap hadapi delapan orang yang dianggap ingin 

    membunuhnya atas perintah Nilawesti.

    "Kami diutus membawamu pulang ke perkam-

    pungan!" ujar Rurusada.

    "Katakan kepada Nilawesti, aku tak kenal ke-

    padanya! Tak perlu bikin persoalan denganku!" tegas 

    Raka Pura. Pernyataan itu semakin membuat Rurusa-

    da dan orang-orangnya menduga bahwa Soka Pura in-

    gin ingkar dari kenyataan dan lari dari perkawinan.

    "Kami diberi izin untuk memaksamu!"

    "O, baik! Kalau kalian bisa memaksaku, sila-

    kan! Kau pikir aku akan gentar berhadapan dengan 

    kalian?" hardik Raka Pura. Maka suasana permusu-

    han semakin tercipta dengan jelas.

    Rurusada memberi isyarat kepada orangnya 

    yang bernama Tandon. Orang tersebut segera melesat 

    pergi menerabas kerimbunan semak ilalang. Bruusk...! 

    Raka Pura tak mengerti maksudnya. Ia hanya me-

    nyangka, Tandon akan memanggil bala bantuan untuk 

    menangkapnya.

    Namun sebelum Raka Pura temukan cara un-

    tuk atasi bantuan yang diperkirakan akan datang lebih 

    banyak lagi itu, tiba-tiba dua orang menyerangnya dari 

    arah samping kanan-kiri. Wuuut...! Keduanya me-

    layang dengan kaki siap menerjang kepala Raka.

    Pendekar Kembar sulung memutar tubuh hing-

    ga bergeser dari tempat berdirinya. Kaki menendang 

    cepat ke arah salah satu orang, kemudian tubuh ber-

    putar cepat lagi bersama lompatan yang melayangkan 

    kakinya. Bet, bet...! Buhk...!

    "Aahk...!"

    "Oow...!"

    Kedua orang itu terpental berbeda arah dan sal


    ing jatuh terbanting dengan sangat menyedihkan. Sa-

    lah satu dari mereka membentur pohon dan kepalanya

    beradu dengan batang pohon cukup keras. Praak...!

    Rupanya mereka sudah menyiapkan cara sen-

    diri untuk hadapi Soka Pura jika sampai terjadi tindak 

    kekerasan seperti itu. Tandon ditugaskan untuk ber-

    sembunyi, bukan mencari bantuan. Sementara itu, 

    yang lain menyerang Soka, membuat sibuk pemuda 

    tampan berilmu tinggi itu. Dan rencana tersebut be-

    nar-benar mereka lakukan dalam menghadapi Raka 

    Pura yang mereka sangka sebagai Soka Pura.

    Tandon menyiapkan sebatang bambu kecil 

    ukuran tiga jengkal. Bambu sumpit itu diisi dengan ja-

    rum beracun. Racun tersebut dapat lumpuhkan selu-

    ruh urat dan lemahkan tenaga si korban. Namun da-

    lam beberapa waktu kemudian, segalanya kembali lagi 

    tanpa harus diberi obat penawar racun.

    Maka ketika Raka Pura sibuk hadapi serangan 

    dari Rurusada dan yang lainnya. diam-diam Tandon 

    sudah siapkan bambu sumpit alias tulup. Bambu itu 

    sudah menempel di mulutnya. jarum beracun sudah 

    ada di dalam bambu kecil.

    Raka Pura hindari tendangan kaki beruntun 

    dari Rurusada. Pada saat itulah, ia memunggungi tem-

    pat persembunyian Tandon. Lalu, nafas Tandon pun 

    menyentak melalui mulut.

    "Fuuih...!"

    Slaap...! Juubs...!

    Jarum beracun menancap di tengkuk kepala 

    Raka Pura. Pendekar Kembar sulung masih sibuk hin-

    dari serangan lawan dari tiga arah. Sesekali ia masih 

    bisa balas menyerang dan membuat lawannya terjung-

    kal atau jatuh terpelanting. Ketika jarum itu kenai 

    tengkuknya, Raka Pura hanya rasakan seperti digigit 

    semut. Sangkanya, semut-semut yang merayapi ka


    kinya saat bersembunyi dari incaran Bomapati itu ma-

    sih ada yang tersisa dan merayap di tengkuk, lalu 

    membalas dendam padanya. Raka Pura tak hiraukan 

    gigitan kecil itu. Hanya saja, beberapa saat kemudian 

    pandangan matanya mulai buram. Tubuhnya terasa 

    lemas. Pernafasannya tersendat-sendat.

    "Aneh. Padahal aku tidak terkena pukulan me-

    reka, tapi mengapa pandangan mataku jadi buram dan 

    badanku jadi lemas begini?!" pikir Raka Pura sambil 

    masih mencoba bertahan untuk siap siaga hadapi se-

    rangan lawan berikutnya. Namun ternyata lawan-

    lawannya justru mundur dan diam di kejauhan.

    Penglihatan yang semakin memburam telah 

    membuat Raka Pura tak tahu di mana lawan-lawannya 

    berada. Ketika ia melangkah, langkahnya menjadi lim-

    bung. Kepala pun menjadi pusing, seperti gangsing di-

    putar. Akhirnya, Pendekar Kembar sulung itu jatuh 

    terkulai lemas, namun ia masih sadar terhadap apa 

    yang terjadi berikutnya. Hanya saja, ia tidak mampu 

    lakukan apa pun, seperti saat terkena totokan si Ke-

    cubung Manis dulu.

    "Dia sudah tak berdaya, Rurusada!" ujar Tan-

    don setelah mencabut jarum yang menancap di teng-

    kuk Raka. Pada saat itu Raka pun mendengar suara 

    Rurusada bicara kepada Tandon.

    "Bidikan mu ternyata masih bisa diandalkan, 

    Tandon. Kalau saja ia tadi menghindar ke samping, 

    maka jarum beracun itu akan kenai leherku atau 

    mungkin justru akan kenai mataku!"

    Tandon tertawa bangga, yang lain pun tertawa 

    lega, walau ada yang harus menahan rasa sakit akibat 

    terkena pukulan dan tendangan Raka Pura. Mereka 

    segera menggotong Raka Pura menyeberang sungai, 

    menuju ke perkampungan mereka. Saat itu, Raka 

    hanya bisa membatin sendiri.


    "Kurang ajar! Rupanya si Tandon bukan cari 

    bantuan tapi cari kesempatan untuk melepaskan ja-

    rum beracunnya! Celaka aku kalau begini! Bisa-bisa 

    riwayatku habis pada hari ini juga di depan perem-

    puan bernama Nilawesti itu! Benar-benar keparat pe-

    rempuan itu!"

    Kemarahan Raka menggumpal di dalam hati, 

    membuat dada terasa ingin meledak. Hati Raka meren-

    canakan pertarungan tanpa ampun dengan perem-

    puan yang bernama Nilawesti itu.

    Tapi ketika ia tahu siapa pemilik nama Nilawes-

    ti itu, hati Raka hanya bisa tertegun bengong dan tak 

    mampu berucap kata apa pun. ia dibaringkan di Ka-

    mar Pelamin, dan seraut wajah cantik milik gadis be-

    rusia muda berada di sampingnya, merawatnya den-

    gan keharuan dan kelembutan yang sama sekali ba-

    gaikan mimpi bagi si Pendekar Kembar sulung. Terle-

    bih setelah Raka melihat gadis itu sunggingkan se-

    nyum tipis, walau masih diwarnai rasa haru, maka se-

    luruh kemarahan dan rencana pertarungan tanpa am-

    pun itu lenyap seketika. Hati Raka mengalami debar-

    debar keindahan yang menenteramkan jiwanya, mem-

    buat ia bagai diliputi sejuta rasa bahagia. Raka sendiri 

    terheran-heran terhadap perasaannya saat itu.

    Hampir setengah hari Raka tak berdaya. Ketika 

    ia mulai sadar dan mampu bergerak, Nilawesti men-

    gangkat kepalanya dan memberinya minum dengan 

    hati-hati.

    Raka mulai bisa duduk dan pandangan ma-

    tanya semakin jelas. Wajah cantik berhidung bangir itu 

    dipandanginya dengan lidah kelu sesaat. Bahkan na-

    fasnya sempat terhenti sekejap ketika Nilawesti men-

    cium pipinya dengan lembut.

    "Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi," ujar Ni-

    lawesti seperti bicara pada diri sendiri. Raka Pura masih belum bisa berkomentar apa-apa karena ia masih 

    bingung dengan sikap manis Nilawesti.

    "Benarkah kau ingin lari dariku?"

    Raka Pura paksakan diri untuk menjawab. Su-

    aranya masih sedikit parau.

    "Karena kau ingin membunuhku. Kau mengu-

    pah seseorang untuk membunuhku, sedangkan aku 

    tak tahu apa kesalahanku."

    "Oh, kau salah duga! Mereka bukan ingin 

    membunuhmu, tapi menyelamatkan dirimu dari ba-

    haya Suku Ampar dan mengawalmu pulang kemari, 

    Kasihku!"

    Tentu saja Raka Pura menjadi semakin bin-

    gung, terlebih setelah la dipanggil dengan sebutan 

    'kasihku'. Sedangkan yang dimaksud Raka sebagai 

    orang upah an yang ingin membunuhnya adalah Bo-

    mapati, tapi Nilawesti menyangka orang upahan yang 

    dimaksud Raka adalah Rurusada dan kawan-

    kawannya.

    "Sama sekali tak ada niat di hatiku untuk 

    membunuhmu, Kasihku. Aku dan paman Uban Karang 

    sangat mengkhawatirkan keselamatanmu, karenanya 

    kami kerahkan orang-orang kami untuk mencarimu."

    "Be... benarkah kau tidak ingin membunuh-

    ku?!"

    "Sebagai calon kepala suku, aku bersumpah, 

    tidak ada niat sedikit pun untuk membunuhmu! Aku 

    dan paman Uban Karang hanya inginkan kau kembali 

    sebelum esok malam. Karena esok malam adalah ma-

    lam bulan purnama dan...."

    "Mengapa kau mengharapkan aku ada di sini 

    sebelum esok malam?!"

    Nilawesti tersenyum manis, sedikit berkesan 

    malu-malu. Sambil rapikan pakaian Raka dengan si-

    kap mesra, Nilawesti pun berkata lirih tak berani menatap Raka Pura.

    "Apakah kau lupa, esok malam adalah malam 

    perkawinan kita!"

    "Hahhh...?! Perkawinan...?!!" Raka Pura terbela-

    lak kaget, seperti disambar petir lubang hidungnya. 

    Jantungnya berdetak-detak dan mulutnya ternganga 

    dengan lidah kelu kembali.

    "Modar aku kalau begini! Katanya aku mau di-

    bunuh, sekarang begitu ketemu orang yang bernama 

    Nilawesti, aku justru akan dikawinkan dengannya! 

    Edan! Lakon apa yang kujalani di muka bumi ini sebe-

    narnya?!" ujar hati Raka dalam kebengongannya.

    "Apakah kau tadi tidak melihat rumah-rumah 

    sudah diberi pajangan dengan pelita hias yang warna-

    warni?! Itu tandanya mereka sedang menyambut da-

    tangnya malam perkawinan kita, Soka!" ujar Nilawesti 

    dengan mengusap-usap lengan Raka.

    "Oooo... begitu?!" ujar Raka Pura dalam ha-

    tinya. "Rupanya aku disangka sebagai Soka?! Dan ru-

    panya si kunyuk edan itu ingin menikah dengan gadis 

    ini?! Benar-benar brengsek adikku itu! Mau kawin ti-

    dak bilang-bilang, malah kabur-kaburan begini. Akhir-

    nya aku yang ketempuhan!" geram hati Raka penuh 

    gerutu. Kini ia tahu persoalan yang sebenarnya.

    "Tapi...," ujarnya kepada Nilawesti. "Mengapa 

    kau mengupah Bomapati untuk membunuhku, Nila-

    westi?!"

    Gadis itu terkejut. "Bomapati?! Maksudmu 

    orang dari Perguruan Cakar Hantu itu?!"

    Raka Pura membenarkan dengan anggukkan 

    kepala. Ia sempat ceritakan sedikit tentang perte-

    muannya dengan Bomapati dan mengutip pengakuan 

    Bomapati.

    "Fitnah! itu jelas-jelas fitnah! Pasti rekayasanya 

    si Macan Seribu. Bomapati adalah sahabat dekatnya si


    Macan Seribu. Mungkin Kepala Suku Ampar menyewa 

    Bomapati untuk menyebarkan fitnah kepadamu agar 

    kau membunuhku sebelum aku kau duga ingin mem-

    bunuhmu! Keparat betul si Macan Seribu. Dia memang 

    sangat licik dan sangat memuakkan sikapnya!" gadis 

    itu pun menggeram penuh kedongkolan.

    Macan Seribu memang pergunakan siasat se-

    perti itu. Setelah mencoba menghadapi Soka, si Macan 

    Seribu merasa kalah ilmu dan harus pergunakan sia-

    sat untuk menewaskan Nilawesti. Hampir saja siasat 

    itu berhasil menewaskan Nilawesti. Karena jika sampai 

    terjadi pertarungan antara Raka dengan Nilawesti, ten-

    tu saja gadis itu akan tumbang dalam sekejap.

    Raka Pura masih diliputi ketegangan yang tak 

    membuatnya panik. Ketegangan yang dirasakan sung-

    guh aneh. Separo hatinya menjadi tegang karena meli-

    hat kesibukan orang-orang Suku Kano menyiapkan 

    malam perkawinan Nilawesti dengannya, separo ha-

    tinya lagi tetap tenang merasakan keindahan yang 

    berdesir-desir menenteramkan jiwa. Mungkin akibat 

    dari melihat senyum Nilawesti itu, maka ketenteraman 

    jiwa dirasakan oleh Raka Pura walau sebenarnya ia in-

    gin memberontak keras terhadap rencana mereka.

    Di depan Uban Karang dan Nilawesti yang di-

    dampingi beberapa orang kepercayaan sang kepala su-

    ku, termasuk Rurusada juga, akhirnya Raka Pura bi-

    carakan tentang siapa dirinya. Ia bicara dengan tegas 

    dan tanpa ragu-ragu lagi.

    "Sebenarnya aku bukan Soka Pura. Aku adalah 

    Raka Pura, kakak kembar Soka Pura!"

    Mereka tertegun memandangi Raka. Mulut me-

    reka terkatup bagai tak bisa bicara lagi.

    "Kami memang mempunyai persamaan wajah, 

    pakaian, tubuh, dan seluruh yang ada pada kami me-

    mang serupa persis. Perbedaan kami hanya ada pada


    pedang ini!" sambil Raka tunjukkan pedang di ping-

    gang kiri.

    "Bentuk pedang kami memang serupa juga, tapi 

    Soka selalu selipkan pedang di pinggang kanannya, 

    sedangkan aku selipkan pedang di pinggang kiri. Soka 

    akan mencabut pedang dengan tangan kiri, sebab adik 

    ku itu memang kidal. Hanya itu bedanya antara aku 

    dan Soka."

    Mereka saling pandang. Wajah mereka pun sa-

    ma-sama menegang. Untuk beberapa saat mereka sal-

    ing membisu, hingga suasana menjadi hening sesaat.

    Tiba-tiba Nilawesti berkata dengan suara me-

    nyentak.

    "Tidak! Kau mendustai ku, Soka! Kau hanya in-

    gin hindari perkawinan denganku!"

    "Aku berkata yang sejujurnya, Nilawesti! Aku 

    bukan Soka Pura, melainkan Raka Pura! Kami adalah 

    Pendekar Kembar dari Gunung Merana."

    "Hahh...?" semua mata melebar semakin te-

    gang. Mereka sangat terkejut mendengar nama Pende-

    kar Kembar dari Gunung Merana. Mereka tahu tentang 

    keberadaan Pendekar Kembar di rimba persilatan. Tapi 

    hati kecil mereka mulai sangsi dan menganggap Raka 

    hanya bersandiwara.

    "Aku tidak percaya!" ujar Uban Karang. "ini su-

    atu penolakan halus atas rencana perkawinanmu den-

    gan Nilawesti! ini sudah merupakan penghinaan besar 

    yang harus diselesaikan dengan pertarungan!"

    "Paman, kuharap jangan ada korban di antara 

    kita. Aku benar-benar Raka Pura, bukan Soka! Sean-

    dainya aku memang Soka Pura, maka... terus terang 

    saja, aku akan menjadi orang sangat bodoh di dunia 

    ini jika menolak dikawinkan dengan Nilawesti!"

    "Tidak bisa! Pengakuanmu sebagai Pendekar 

    Kembar hanya siasat untuk membatalkan perkawinan


    ini! Kau telah menyentuh kulit tubuh Nilawesti, yang 

    menurut hukum adat sudah dianggap zina dan harus 

    dikawinkan!"

    "Aku tidak menyentuhnya! Nilawesti yang me-

    nyentuhnya waktu aku sadar dari pengaruh jarum be-

    racun itu!"

    "Tapi kau telah memeluk Nilawesti dan...."

    "Itu Soka! Bukan aku!" bantah Raka dengan 

    cepat.

    Mereka saling bungkam sebentar. Nafas si 

    Uban Karang mulai memburu, pertanda hatinya telah 

    terbakar oleh kemarahan. Nilawesti sendiri semakin 

    murung dalam kebisuannya. Ia tak mau memandang 

    pamannya maupun Raka.

    "Ketentuan hukum adat Suku Kano adalah me-

    nyelesaikan persoalan seperti ini dengan pertarungan. 

    Jika kau bisa tumbangkan diriku dalam pertarungan 

    nanti, sehingga aku yang sementara ini menjabat se-

    bagai kepala suku bisa tewas, maka kau bebas dari 

    tuntutan perkawinan dengan Nilawesti! Sekarang juga 

    kita lakukan pertarungan di depan rakyat Suku Kano!"

    Uban Karang mendahului keluar dari ruang 

    pertemuan itu. Ia menunggu Raka Pura di halaman 

    depan yang menjadi pusat kegiatan masyarakat Suku 

    Kano. Raka Pura membujuk Nilawesti agar pertarun-

    gan itu bisa dibatalkan. Tapi Nilawesti justru berkata 

    dengan ketus.

    "Kau telah menghina martabat suku kami. Kau 

    harus menebusnya dengan pertarungan melawan ke-

    pala suku!"

    "Konyol!" sentak Raka Pura ketika ditinggal ke-

    luar oleh Nilawesti. Ia menjadi bingung sendiri dan ak-

    hirnya bergegas keluar dari ruangan tersebut. Ternyata 

    Rurusada sudah menyebarkan kabar tersebut dengan 

    cepat kepada para penghuni perkampungan, sehingga


    mereka berkumpul membentuk lingkaran lebar dan 

    Uban Karang ada di tengah-tengah. Kepala suku itu 

    sudah mencabut pedang milik Nilawesti dan siap ha-

    dapi pertarungan melawan Pendekar Kembar sulung.

    "Kacau sekali kalau begini! Sial! Ini gara-gara si 

    kambing kudis Soka! Mengapa ia harus lari kalau 

    hanya dikawinkan dengan gadis secantik Nilawesti?! 

    Ah, benar-benar brengsek adikku itu! Kalau begini ca-

    ranya, mau tak mau aku harus lakukan pertarungan 

    dan harus bisa menewaskan si kepala suku. Padahal... 

    padahal aku tidak menyukai keputusan ini. Aku tidak 

    ingin ada korban di antara aku dan mereka. Tapi dari-

    pada aku yang dibunuh, lebih baik aku yang membu-

    nuh!"

    Raka Pura sendiri merasa keberatan jika harus 

    beristri. Ia tidak mau terikat oleh tali perkawinan. Le-

    bih-lebih ia kurang galak terhadap cinta seorang wani-

    ta, sehingga kecantikan Nilawesti hanya menimbulkan 

    rasa kagum dan senang saja, namun tak bisa timbul-

    kan rasa cinta di hatinya. Wajah Kirana lebih kuat 

    membayang di pelupuk mata Raka, walau wajah cantik 

    bergigi gingsul itu sering lenyap dari ingatannya jika 

    sedang melihat senyum Nilawesti.

    Dengan malas-malasan, Raka Pura akhirnya 

    melangkah ke tengah arena pertarungan. Ia masih 

    berpikir mencari cara hindari pertarungan tersebut, 

    karenanya ia sengaja memperlambat langkahnya un-

    tuk maju ke tengah arena.

    Namun si Uban Karang tak sabar, ia segera me-

    lesat dengan cepat menerjang Raka Pura bersama pe-

    dangnya yang segera ditebaskan. Wuuut...! Weess...!

    Raka Pura tersentak. kemudian cepat meng-

    hindar dengan lompatan jurus 'Jalur Badai'-nya. 

    Wuuuzz...! Tahu-tahu ia sudah berada di tempat lain 

    di belakang Uban Karang dalam jarak sekitar delapan


    langkah.

    "Paman, aku tak inginkan pertarungan ini!" se-

    ru Raka Pura. "Kita bukan musuh, Paman!"

    "Kau hina martabat Suku Kano dengan penola-

    kan mu! Perkawinan itu bisa dibatalkan kalau kau bi-

    sa membunuh Kepala Suku Kano! Heeat...!"

    Weess...! Uban Karang menerjang kembali, tapi 

    Raka Pura menghindari dengan cepat. Setiap Uban Ka-

    rang menyerang, Raka Pura hanya bisa lakukan peng-

    hindaran dan tak mau lepaskan balasan, karena ia te-

    tap tak ingin ada korban di antara mereka. Akibatnya, 

    pertarungan itu seperti kucing-kucingan, lompat sana 

    lompat sini, kejar sana kejar sini.

    Wees, wuuz...! Wees, wuuuz...! Weess, wuuuz...!

    "Hentikaaaan...!!" seru sebuah suara yang ter-

    dengar cukup lantang dan mengagetkan. Bersamaan 

    dengan itu, sekelebat bayangan putih melesat bagai-

    kan badai berhembus. Tahu-tahu bayangan itu sudah 

    tampakkan wujudnya di tengah arena, di pertengahan 

    Jarak antara Raka dan Uban Karang.

    "Ooh...?! Tabib Kubur...?!" mereka terkejut, juga 

    segenap masyarakat Suku Kano yang berkeliling mem-

    bentuk arena pertarungan itu. Mereka segera tunduk-

    kan wajah sambil berlutut secara serentak. Mereka 

    tampak memberi hormat dengan rasa takut kepada si 

    Tabib Kubur, kakek Dewi Binal. Hanya Raka Pura yang 

    masih berdiri bengong pandangi mereka setelah mena-

    tap kehadiran si Tabib Kubur yang sudah dikenalnya 

    itu.

    Kakek berjubah putih dengan rambut putih 

    pendek dan jenggot pendek putih itu berdiri tegak den-

    gan pegangi tongkat hitamnya. Matanya memandang 

    penuh wibawa kepada mereka. Suaranya masih ter-

    dengar lantang walau usianya sudah mencapai sekitar 

    tujuh puluh lima tahun.


    "Berdiri semua! Hormat kalian sudah kuteri-

    ma!"

    Maka mereka pun berdiri, namun masih den-

    gan sikap menghormat, sedikit membungkuk badan 

    dan tak banyak yang berani tegakkan wajah. Sikap 

    mereka menunjukkan bahwa Suku Kano sangat hor-

    mat dan takut kepada Tabib Kubur yang dikenal seba-

    gai keturunan terakhir dari Suku Datu, yaitu suku 

    yang lebih tinggi derajatnya dari suku mereka.

    "Uban Karang! Aku datang untuk memberi tahu 

    padamu, batalkan rencana perkawinan si Nilawesti 

    dengan Soka Pura!"

    Uban Karang tegakkan wajah. "Ini suatu peng-

    hinaan, Kakang Tabib!"

    "Bukan penghinaan, tapi bencana besar bagi 

    Suku Kano jika perkawinan itu tetap berlangsung!"

    "Soka Pura telah membunuh orang kedua dari 

    musuh kami. Soka Pura telah menyentuh tubuh Nila-

    westi, juga menyelamatkan nyawa calon kepala suku 

    kami. Ia harus menikah dengan Nilawesti sesuai keten-

    tuan dalam hukum adat!"

    "Ingat kau pada ketentuan terakhir dalam hu-

    kum adat perihal perkawinan?"

    Uban Karang yang hafal dengan undang-

    undang hukum adat segera sebutkan ketentuan terak-

    hir dalam hukum adat tersebut perihal perkawinan 

    suku.

    "Suku Datu, Suku Kano, dan Suku Ampar ti-

    dak boleh lakukan perkawinan silang dengan keturu-

    nan kembar!"

    "Kau tahu apa akibatnya jika kita lakukan per-

    kawinan silang dengan orang kembar yang bukan dari 

    keturunan tiga suku itu?!" uji si Tabib Kubur.

    "Ya, aku tahu akibatnya, Kakang Tabib. Ketiga 

    suku kita akan mengalami bencana dalam waktu empat puluh hari setelah perkawinan itu berlangsung. Ki-

    ta semua akan binasa, sesuai kutukan leluhur kita di 

    masa lalu."

    "Apakah kau ingin kita binasa, Uban Karang?!"

    "Aku tak tahu maksudmu, Kakang Tabib!"

    "Soka Pura adalah anak kembar!" tegas Tabib 

    Kubur yang mencengangkan mereka. "Dan yang kau 

    hadapi ini adalah Raka Pura, kakak kembar dari Soka 

    Pura!" sambil Tabib Kubur menuding Raka yang ada di 

    samping kanannya, empat langkah dari tempatnya 

    berdiri.

    "Mereka adalah Pendekar Kembar dari Gunung 

    Merana, murid si Dewa Kencan, anak angkat dari Pa-

    wang Badai!"

    Uban Karang masih berusaha membela diri. 

    "Jika Kakang bisa buktikan hal itu, maka kami akan 

    memilih lebih baik membatalkan perkawinan Nilawesti 

    dengan Soka Pura!"

    "Kau ingin bukti?! Baik. Lihat ke arah pintu 

    gerbang, siapa yang datang kemari itu!"

    Semua mata tertuju ke pintu gerbang yang su-

    dah dibangun kembali dari reruntuhannya akibat se-

    rangan Suku Ampar dua hari yang lalu. Mata mereka 

    tak berkedip memandang dua orang melangkah men-

    dekati arena pertarungan. Dua orang itu adalah Soka 

    Pura yang didampingi oleh Dewi Binal.

    "Ooh.... Paman, ternyata mereka memang Pen-

    dekar Kembar!" ujar Nilawesti dengan suara berbisik 

    tegang.

    Soka Pura segera berdiri di samping kakaknya 

    sambil cengar-cengir. Sang kakak cemberut dan meng-

    gerutu tak jelas. Semua mata masih tetap tak berkedip 

    pandangi dua pemuda kembar yang sukar dibedakan 

    itu. Nilawesti pun menatap tak berkedip, namun lama-

    lama air matanya meleleh di pipi. Hatinya dirundung


    duka yang memilu, karena kenyataan yang dihadapi 

    sungguh mengecewakan hati. Soka Pura ternyata ada-

    lah anak kembar yang tak boleh menikah dengan gadis 

    Suku Kano maupun Suku Ampar dan Suku Datu.

    "Paman... aku tak kuat, Paman...," rintih Nila-

    westi, akhirnya gadis itu jatuh pingsan dan segera di-

    tangkap oleh pamannya. Suasana pun menjadi heboh, 

    masing-masing orang mencemaskan Nilawesti yang se-

    gera dibawa masuk ke rumah sang kepala suku.

    Soka Pura nyengir di depan kakaknya. "Tak ku 

    sangka kau nyelonong kemari juga, Raka?! Heh, heh, 

    heh...!"

    "Dasar monyong!" sambil Raka Pura mendorong 

    kepala adiknya dengan satu sentakan tangan. Sang 

    adik hanya tertawa cekikikan.

    "Lain kali kalau belum siap kawin jangan bikin 

    ulah macam buaya darat!" kecam Raka.

    "Aku tak tahu hukum adat yang berlaku di sini! 

    Aku hanya terjebak dalam perkawinan aneh ini! Aku 

    tak tahu kalau gadis Suku Kano itu tak boleh disen-

    tuh."

    "Kau memang mata keranjang dan bertangan 

    usil"

    "Tanganku tidak usil! Aku hanya...."

    "Kau pengecut! Tak berani hadapi tantangan 

    seperti ini!"

    "Tantangan yang lain berani kuhadapi, tapi tan-

    tangan mesra seperti ini, bikin aku pikir-pikir seratus 

    kali!"

    "Kalau tak berani hadapi tantangan mesra se-

    perti ini, jangan bikin ulah konyol, Goblok!"

    "Aku tidak konyol! Kau jangan salahkan aku. 

    Sebab aku tidak sengaja konyol...," dan mereka pun ri-

    but sendiri, saling berdebat dengan seru di luar rumah 

    kepala suku.


    Ketika Nilawesti sudah siuman, Tabib Kubur 

    perintahkan pada Pendekar Kembar, terutama Soka 

    Pura, untuk meminta maaf kepada gadis itu. Mereka 

    mau meminta maaf demi perdamaian bersama.

    "Sekalipun kau urung menjadi suamiku, kuha-

    rap kau tetap sering hadir menengok ku di sini, Soka," 

    ujar Nilawesti yang sudah bisa kendalikan emosi ji-

    wanya.

    "Tentu saja aku akan sering kemari, Nila!"

    Tabib Kubur segera bicara, "Sebagai orang yang 

    batal menikah dengan gadis Suku Kano, kau harus 

    menebusnya, Soka!"

    "Tebusan apa yang harus kuberikan kepada 

    Suku Kano, Kek?!"

    "Kau harus menjadi benteng Suku Kano dari 

    serangan lawan, dan menjadi perisai pribadi bagi Nila-

    westi sendiri!"

    "Aku bersedia!" sahut Raka.

    "Hei, yang harus menebusnya aku, bukan kau!" 

    sentak Soka Pura kepada kakaknya. Yang lain pun ak-

    hirnya tertawa juga melihat kekonyolan Pendekar 

    Kembar.

    "Kalian memang harus menebusnya bersama-

    sama, karena kalian adalah anak kembar yang gagal 

    menikah dengan Nilawesti!" ujar Tabib Kubur dan 

    Uban Karang manggut-manggut dalam senyumannya.

    "Kami bersedia menjadi benteng Suku Kano 

    dan perisai Nilawesti!" ujar Soka mewakili Pendekar 

    Kembar.

    Keputusan itu menyebar sampai di telinga 

    orang-orang Suku Kano, bahwa Suku Kano dilindungi 

    oleh Pendekar Kembar: Raka Pura dan Soka Pura. Ma-

    ka sejak itu, Macan Seribu dan orang-orang Suku Am-

    par tak ada yang berani mengusik orang-orang Suku 

    Kano, karena mereka tahu kekuatan Suku Kano menjadi besar setelah dalam perlindungan Pendekar Kem-

    bar.

    SELESAI



    Segera terbit!!!



    GEGER PANTAI RANGSANG
































    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © matjenuhkhairil.blogspot.com - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -