1
TERHITUNG cukup lama kedua pemuda kem-
bar yang dikenal sebagai Pendekar Kembar dari Gu-
nung Merana itu saling berpisah. Sejak selesaikan per-
tarungan di Bukit Maut melawan si pengisap darah pe-
rawan; Darah Kula, Raka dan Soka saling berpisah.
Raka Pura menuju ke Perguruan Tapak Syiwa
untuk temui Kirana. Hatinya sempat berbunga-bunga
indah terhadap gadis berlesung pipit dan bergigi ging-
sul itu. Raka Pura ingin menyajikan hati yang berbun-
ga-bunga itu kepada Kirana, sebab itulah ia tinggalkan
adik kembarnya di Bukit Maut, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Rahasia Dedengkot Iblis").
Soka Pura sendiri tak merasa sepi walau tanpa
kakaknya, karena ia didampingi oleh Bulan Berkabut,
murid Resi Bayakumba. Gadis itu benar-benar mem-
buat hati Soka Pura bergetar, bahkan merasa ingin se-
lalu berada di samping Bulan Berkabut. Oleh kare-
nanya, setelah selesai tumbangkan si Darah Kula, So-
ka pun pergi ke Lembah Semangit bersama Bulan Ber-
kabut. Ia tinggal di pondok Resi Bayakumba menikma-
ti kedamaian hatinya bersama Bulan Berkabut selama
delapan hari.
Rasa rindu kepada sang kakak kembar mem-
buat Soka Pura terpaksa pamit kepada Resi Bayakum-
ba untuk pergi ke kaki Gunung Mercapada.
"Aku harus menjemput Raka ke sana, Eyang
Resi. Aku takut Raka lupa daratan kalau sudah dibuai
mesra oleh Kirana."
Resi Bayakumba tertawa pendek dan pelan.
"Semenarik itukah Kirana, murid sahabatku
itu, bagi Raka Pura?"
"Entahlah, Eyang. Setahuku Raka tak pernah
jatuh cinta. Apakah kali ini ia akan jatuh cinta atau ja-
tuh dari pohon kelapa, itu aku tak dapat memastikan,
Eyang."
"Jika memang itu hal yang baik menurutmu,
susullah kakakmu dan sampaikan salamku kepada si
Mulut Guntur."
"Baik, Eyang Resi."
"Sebaiknya jangan lupa pamitlah kepada Bulan
Berkabut. Jangan sampai ia menjadi sedih karena ke-
pergianmu. Berilah pengertian sebaik mungkin."
"Baik, Eyang. Jika begitu, sekarang pun akan
kutemui Bulan Berkabut dan...."
"Jangan sekarang!" sergah sang Resi.
"Mengapa tidak boleh sekarang, Eyang?"
"Anak itu sedang mandi. Kalau kau temui seka-
rang, bisa kacau nanti...," sambil sang Resi tersenyum
lebar, dan Soka Pura tersipu-sipu.
Ketika matahari mulai merayapi langit menuju
ke pertengahannya, pemuda tampan dan bertubuh ke-
kar serta selalu tampak gagah itu akhirnya meninggal-
kan Lembah Semangit. Tentu saja hal itu dilakukan
setelah ia pamit kepada Bulan Berkabut. Pada mu-
lanya memang Bulan Berkabut merasa keberatan,
bahkan ia ingin ikut ke padepokannya si Mulut Gun-
tur. Tetapi mengingat perjalanan itu cukup jauh, Soka
Pura tak bersedia membawa Bulan Berkabut ke sana.
"Perjalanan ini hanya akan melelahkan bagimu,
Bulan!"
"Selama bersamamu, ke ujung dunia pun aku
tak merasa lelah, Soka," ujar Bulan Berkabut sambil
merapikan pakaian Soka yang terdiri dari baju bun-
tung warna putih, celana warna putih, dan ikat ping-
gang dari kain merah. Kain merah itu dipakai untuk
menyelipkan sebilah pedang kristal yang bernama Pe-
dang Tangan Malaikat.
"Itu hanya sebuah kiasan hati, Bulan! Pada ke-
nyataannya walau kau bersamaku, kalau harus berja-
lan sampai ke ujung dunia tetap akan gempor. Aku
pun juga akan gempor!" sambil Soka Pura tertawa, dan
si gadis lepaskan tawa kecil yang menyejukkan hati
Soka.
"Mengapa kau keberatan jika aku ikut dengan-
mu, Soka?"
"Karena aku tak ingin kau capek, Bulan. Jika
kau capek, lalu kau sakit, maka aku akan sedih. Jadi
sebaiknya biarlah aku yang menjemput Raka. Ia akan
kubawa kemari dan kita akan bersama-sama menik-
mati ulang tahun mu nanti, Bulan."
"Hah...? Ulang tahun ku? Oh, aku tak pernah
berulang tahun, Soka. Sebab aku tak tahu kapan aku
lahir.”
"O, kalau begitu... kalau begitu... ulang tahun
ku saja yang akan kita nikmati bersama-sama," ujar
Soka Pura mengalihkan rasa malunya akibat kecele. Ia
jadi tertawa geli sendiri. Tawa itu menghibur hati Bu-
lan Berkabut, sehingga si gadis akhirnya mengizinkan
Soka pergi menjemput kakaknya.
"Baiklah. Pergi dan jemputlah kakakmu. Tapi
jangan lama-lama, Soka. Aku akan menderita jika kau
pergi terlalu lama."
"Tidak, Bulan! Aku pergi tak sampai sebulan,"
kata Soka masih dengan nada-nada kelakar. Senyum-
nya mengembang lepas bersama tawa yang mirip gu-
mam itu.
Soka Pura akhirnya menempelkan bibirnya ke
kening Bulan Berkabut, setelah si gadis sedikit men-
dongak dan memejamkan matanya. Kecupan lembut
itu terasa menghangat sampai di dasar hati Bulan
Berkabut. Ia mulai merapatkan tubuh.
Soka Pura segera memeluk, kemudian kecu
pannya merayap hingga mencapai bibir si gadis. Bibir
itu dikecupnya pelan-pelan, seakan benar-benar dire-
sapi setiap sentuhannya. Tapi si gadis membalas den-
gan lumatan yang sedikit nakal namun menghadirkan
sejuta keindahan bagi Soka Pura.
"Ingat, Jangan berpindah ke lain hati," ujar Bu-
lan Berkabut sambil menjentikkan jarinya ke bibir So-
ka dengan lembut. "Bibir ini jangan berikan kepada
gadis mana pun!"
"Tidak, Bulan. Kau tak perlu khawatir, aku ti-
dak akan berikan bibir ini kepada gadis mana pun, ke-
cuali kepepet...."
"Iiih...!" Bulan Berkabut cemberut, dan Soka
Pura tertawa lepas. Lalu direngkuhnya gadis itu dalam
pelukan yang mendalam.
"Aku hanya bercanda, Bulan. Aku senang jika
melihat kau cemberut begitu. ini akan membuatku se-
lalu merindukan dirimu dan tak akan betah mening-
galkan mu terlalu lama."
Si gadis akhirnya tertawa di sela cemberutnya.
Cubitan mesra diberikan oleh Bulan Berkabut di dada
Soka Pura yang bidang itu.
Seiring dengan lambaian tangan seperti dalam
dongeng klasik, Soka Pura pun melangkah tinggalkan
pondok sang Resi, sementara Bulan Berkabut meman-
danginya dari depan pondok dengan kedua mata ber-
kaca-kaca. Hati keduanya saling terharu, lambaian
tangan pun menjadi lama. Karena lamanya melambai-
kan tangan sambil melangkah, akhirnya Soka Pura ja-
tuh terjerembab karena kakinya menyandung batu.
Brrruk...!
"Soka...!" pekik Bulan Berkabut sepintas, sete-
lah itu ia justru menertawakan pemuda tampan yang
juga tertawa geli sendiri sambil teruskan langkah.
Wuuuz...! Akhirnya Soka pun gunakan jurus 'Jalur
Badai'-nya untuk percepat langkah menuju kaki Gu-
nung Mercapada.
Bayang-bayang wajah Bulan Berkabut yang be-
rambut cepak seperti potongan rambut lelaki itu beru-
saha dihapus dari pelupuk mata Soka Pura. Ternyata
bayang-bayang itu tak bisa hilang begitu saja. Akhir-
nya Soka hanya bisa menyimpan bayang-bayang wajah
Bulan Berkabut di dasar ingatannya. Sewaktu-waktu
ia akan mengenangnya sebagai obat kerinduan jika
sampai sang kerinduan itu datang menghampirinya.
Sepanjang perjalanan itu, Soka Pura alias si
Pendekar Kembar bungsu, diliputi pertanyaan batin
yang belum pernah ada jawaban pastinya. Pertanyaan
batin selalu ditujukan pada dirinya sendiri, sehingga
Soka sering merasa dibuat bingung oleh sang diri sen-
diri itu.
"Benarkah aku mencintai Bulan Berkabut?! Ra-
sa ingin selalu berdekatan dengannya memang selalu
menggebu-gebu dalam hatiku, tapi apakah itu na-
manya jatuh cinta?"
Soka pun berpikir, "Alangkah hebatnya gadis
itu jika benar-benar bisa membuatku jatuh cinta pa-
danya. Selama ini aku tak pernah merasakan jatuh
cinta yang benar-benar tulus kepada siapa pun. Aku
hanya merasa senang dan bahagia jika bisa bersama
seorang gadis dalam kemesraan. Tapi Bulan Berkabut
itu... oh, dia sepertinya membuatku senang bukan
hanya karena kemesraan saja, melainkan seperti me-
rupakan suatu kebutuhan bagi jiwaku untuk selalu
ada di sampingnya. Apakah benar jiwaku menuntut
hal demikian?!"
Soka Pura merasa aneh dengan jiwanya sendiri.
Sebab ia memang belum pernah mempunyai rasa se-
perti itu, ia pun menjadi sangsi pada tuntutan batin-
nya.
"Jangan-jangan hanya semusim saja?" pikirnya
di sela keraguan hati.
Langkah dan lamunan itu terhenti seketika, ka-
rena tiba-tiba Soka Pura mendengar suara ledakan di
sebelah kirinya. Suara ledakan itu datang dari balik
gugusan tanah cadas yang membukit. Soka merasa
yakin bahwa ledakan itu timbul karena suatu perta-
rungan. Khawatir kalau yang bertarung adalah kakak-
nya, maka Soka pun segera mengintip pertarungan
tersebut dari celah-celah pepohonan hutan rindang.
Ternyata pertarungan itu dilakukan oleh seo-
rang gadis berusia sekitar dua puluh tiga tahun yang
melawan seorang lelaki berusia sekitar empat puluh
tahun. Si gadis mengenakan jubah biru tipis tanpa
lengan, pakaian dalamnya berwarna kuning gading. Ia
menyandang sebilah pedang di punggungnya. Gadis
itu berambut pendek setengkuk, lurus, dan lembut,
dengan bagian depan diponi rata menutupi keningnya.
Sementara lawannya yang berkumis lebat itu
mengenakan pakaian serba coklat dengan kalung tali
hitam berbandul kayu putih berbentuk tengkorak.
Orang itu tampak ganas, karena wajahnya pun seang-
ker kuburan keramat. Alisnya tebal, matanya lebar.
Tubuhnya besar dan gempal, tampak berotot. Ia men-
genakan sabuk hitam yang dipakai untuk selipkan go-
lok besar.
Gerakannya sangat cepat, berkesan ganas dan
membabi buta.
Tampaknya pertarungan itu benar-benar mem-
pertaruhkan nyawa. Sang gadis tak segan-segan men-
cabut pedangnya setelah gagal menghantam lawannya
dengan pukulan jarak jauh maupun jarak pendek. Le-
laki yang berambut botak tengah itu juga segera men-
cabut goloknya. Ia bagai tak mau dilukai lebih dulu.
Dengan langkah menyamping pelan-pelan, mereka saling bergerak memutar, memandang sama tajamnya,
seakan mencari kelengahan lawan.
Dalam sekejap tertentu, mereka sama-sama
hentikan langkah dan saling pasang jurus siap serang.
Terdengar si lelaki berseru dengan suaranya yang be-
sar.
"Kali ini kau akan mati di tanganku, Nilawesti!
Cukup lama aku mengharapkan ajalmu tiba secepat
mungkin."
"Aku pun sudah sediakan liang kubur untuk-
mu, Jurik Tunggon! Bersiaplah menuju ke tempatmu
yang baru!"
Soka Pura membatin dari persembunyiannya,
"O, rupanya gadis itu bernama Nilawesti dan lawannya
adalah si Jurik Tunggon. Agaknya mereka sudah cu-
kup lama saling memendam permusuhan, sehingga
pertarungan kali ini diharapkan menjadi pertarungan
terakhir."
Memang begitulah harapan Jurik Tunggon dan
Nilawesti. Mereka inginkan salah satu ada yang mati
dalam pertarungan tersebut, karena mereka sama-
sama telah merasa bosan saling bermusuhan. Dua ta-
hun lamanya mereka saling bermusuhan karena den-
dam leluhur mereka, tapi tak satu pun ada yang tum-
bang dalam setiap pertemuan. Padahal setiap mereka
bertemu selalu saja terjadi pertarungan.
Agaknya kali ini Nilawesti benar-benar kerah-
kan segenap ilmunya untuk tumbangkan si Jurik
Tunggon. Gadis itu menebas-nebaskan pedangnya
dengan kecepatan tinggi pada saat Jurik Tunggon me-
nyerang dengan satu terjangan melayang. Wuuus...!
Golok pun membabat leher Nilawesti dengan cepat.
Namun tertangkis oleh tebasan pedang yang tak kalah
cepatnya itu.
Trang, trang...!
Jurik Tunggon sentakkan kakinya ketika pe-
dang Nilawesti menahan sabetan goloknya. Wees...!
Tapi tangan kiri Nilawesti menyentak ke samping dan
kenai mata kaki Jurik Tunggon. Dees...! Kruuk...!
"AOOW...!" Jurik Tunggon memekik kesakitan.
Tulang mata kakinya bagaikan pecah. Sodokan tangan
kiri si gadis ternyata mengandung kekuatan tenaga da-
lam cukup besar. Pangkal telapak tangan itu bagaikan
berubah menjadi besi baja yang dihantamkan ke tu-
lang mata kaki.
Jurik Tunggon terhempas dan jatuh terduduk.
Nilawesti sabetkan pedangnya dari atas ke bawah,
arahnya ke kepala Jurik Tunggon. Tapi golok lelaki itu
segera melintang di atas kepala. Pedang Nilawesti be-
radu dengan golok lebar lagi. Traaang...!
Saat pedang beradu, golok diputar satu kali
dengan sentakan kuat. Akibatnya pedang Nilawesti ter-
lempar ke bagian belakang Jurik Tunggon. Sraaang...
weesss...!
Melihat gadis itu tak berpedang lagi, Jurik
Tunggon segera membabat kaki si gadis dari kanan ke
kiri. Wes, wuuut...! Si gadis lompat ke atas tinggi-
tinggi, sehingga tebasan golok itu luput dari kakinya.
Tapi ketika Nilawesti melambung di udara, Ju-
rik Tunggon cepat-cepat sentakkan tangan kirinya da-
lam posisi setengah terbaring. Wuuut...! Claaap...! Si-
nar merah lurus sebesar tongkat melesat dari telapak
tangannya dan mengenai bawah leher si gadis.
Zuuubs...!
"Aaah...!" Nilawesti terpekik dengan kepala ter-
dongak mata terpejam dan mulut menyeringai kesaki-
tan. Tubuhnya terlempar dan melayang-layang hingga
jatuh terbanting sejauh enam langkah dari tempat se-
mula. Bruuukk...!
Di Sana Nilawesti mengerang sesaat sambil berusaha bangkit, namun terjatuh kembali. Bagian ba-
wah leher menjadi hitam hangus dan berasap tipis.
Jurik Tunggon merasa dapat angin begitu meli-
hat lawannya terluka. Walau kaki masih sakit, ia pak-
sakan untuk bangkit dan kerahkan tenaga untuk la-
kukan lompatan melayang. Goloknya siap ditebaskan
ke arah kepala Nilawesti.
"Modar kau sekarang! Heeeeaaahhh...!"
"Aku menyerah...!" seru Nilawesti, tapi seruan
itu tak dihiraukan oleh Jurik Tunggon. Melihat kea-
daan seperti itu, Soka Pura segera lepaskan jurus
'Tangan Batu'-nya beberapa kali. Kedua tangannya
menggenggam dan disodokkan ke depan beberapa kali.
Maka tenaga dalam yang keluar dari kedua genggaman
tangan itu melesat dan menghantam tubuh si Jurik
Tunggon.
Buuhk, buuuhk, buuhk...!
"Aaaaa...!!"
Jurik Tunggon meraung panjang sambil tubuh-
nya melayang ke belakang cukup jauh. Akhirnya tu-
buh itu membentur pohon. Bruuuss...! Ia jatuh terku-
lai dengan napas tersentak-sentak dalam jarak lebih
dari sepuluh langkah dari tempatnya melompat tadi.
"Sudah menyerah masih mau diserang terus?!"
gerutu hati Soka ketika itu.
Nilawesti sadar, ada orang yang membantunya.
Tapi ia tak bisa berpaling ke belakang, tak bisa menca-
ri di mana orang yang membantunya, karena luka ba-
kar di bawah lehernya kian melebar. Nilawesti menjadi
semakin lemah, nafasnya pun tersengal-sengal dengan
tubuh menyentak-nyentak kecil.
"Gawat! Gadis itu mulai sekarat!" pikir Soka,
maka ia segera berkelebat cepat bagaikan badai lewat.
Wuuzz...! Jurus 'Jalur Badai' dipakai untuk
menyambar tubuh Nilawesti dan dibawa lari dari tempat tersebut.
Wuuut. WUUZ...!
*
* *
2
SEBUAH gubuk kosong dan reot ditemukan di
hutan pantai. Debur ombak terdengar dari gubuk ko-
song itu. Bahkan gulungan ombak tampak samar-
samar dari depan gubuk reot tersebut.
Soka Pura membawa Nilawesti ke gubuk itu.
Setelah meletakkan tubuh Nilawesti ke lantai gubuk
yang ditumbuhi rumput pendek itu, Soka memeriksa
keadaan sekeliling dengan teliti. Ternyata tempat itu
cukup aman, sepi dan tak ada hal-hal yang mencuri-
gakan. Rupanya gubuk itu bekas persinggahan seseo-
rang, mungkin seorang kelana, yang sudah cukup la-
ma di tinggalkan.
Keadaan Nilawesti yang sekarat itu segera di-
tangani oleh Pendekar Kembar bungsu. Jurus pengo-
batan 'Sambung Nyawa' digunakan. Dengan menem-
pelkan telapak tangan ke perut Nilawesti yang tersing-
kap dari kain penutupnya, tubuh Nilawesti segera
memancarkan cahaya ungu, seperti besi membara,
hanya bedanya warna cahayanya bukan merah me-
lainkan ungu.
Hawa murni dan tenaga inti gaib yang disalur-
kan ke dalam tubuh Nilawesti membuat luka di bawah
leher yang menghitam itu mulai berwarna suram. Ma-
kin lama
warna suram itu menjadi terang dan akhirnya
berubah seperti warna kulit aslinya. Bagian bawah
leher itu seperti tak pernah terkena luka bakar sedikit
pun.
Kepucatan wajah Nilawesti pun mulai pudar.
Ketika cahaya ungu itu redup, wajah Nilawesti kembali
tampak segar. Rasa sakit yang dideritanya sirna sama
sekali. Nafasnya kembali lancar, dan Nilawesti peroleh
kesadarannya kembali.
Ia terkejut menyadari keadaan dirinya sudah
tergeletak di dalam rumah gubuk kotor itu. Lebih ter-
kejut lagi setelah ia melihat seraut wajah tampan be-
rambut sepundak tanpa ikat kepala. Ia merasa asing
dengan wajah tampan berdada bidang itu. Ia buru-
buru bangkit, dan semakin heran lagi setelah rasakan
tubuhnya menjadi segar, lebih segar dari sebelumnya.
Soka Pura sengaja diam di luar gubuk. Ia berdi-
ri bersandar pada pohon memperhatikan ke arah Nila-
westi dengan senyum lembut mempesona hati setiap
gadis.
"Kaukah yang telah menyelamatkan nyawaku?!"
"Mungkin," jawab Soka Pura dengan pundak
tersentak pelan, tangan yang bersidekap dilepaskan,
lalu ia melangkah ke satu sisi dan memandang ke arah
pantai. Sok jual mahal.
Nilawesti mendekat, pandangi Soka dengan da-
hi sedikit berkerut.
Hati si gadis pun membatin, "Satria dari mana
dia? Begitu gagah dan tampan, sampai hatiku deg-
degan memandanginya. Rasa-rasanya aku seperti
mimpi masuk ke negeri dongeng bertemu dengan pe-
muda setampan ini. Seingatku aku tadi terluka oleh
pukulan si Jurik Tunggon, dan aku tahu pukulan itu
adalah jurus mautnya si Jurik Tunggon yang selama
ini berhasil ku hindari, tapi tadi sempat kenai dadaku.
hanya saja, mengapa luka ini bisa hilang sama sekali,
bahkan tak tersisa seujung jarum pun? Apakah dia
yang mengobatinya?! Sesakti itukah dia? Ah, rasa-
rasanya tak mungkin. Barangkali guru si pemuda ini
yang mengobati ku."
Maka Nilawesti pun mengungkapkan rasa ingin
tahunya dengan sebuah pertanyaan bersuara pelan,
bernada ragu-ragu.
"Kau yang mengobati lukaku ini?"
Soka Pura hanya melirik masih sok angkuh.
Senyumnya tipis sekali, seperti senyum seorang pange-
ran yang tak mau diobral di depan sembarang orang.
"Kalau memang aku yang sembuhkan lukamu,
kenapa? Kau tak percaya?"
"Hmm, eeh... percaya saja," jawab Nilawesti
agak gugup. "Aku hanya ingin mengucapkan terima
kasih dan....'
"Dan kasih mu kuterima," Jawab Soka Pura
memotong cepat. Gadis itu menjadi geragapan sekejap,
karena jawaban Soka tak ada hubungannya dengan
apa yang diucapkan tadi. Ia ingin membantah tapi me-
rasa kikuk dan canggung.
"Mengapa kau menyelamatkan nyawaku dari
pertarungan?" tanya si gadis menutupi rasa gelisah-
nya.
"Kudengar tadi kau sudah menyerah, tapi si
Jurik Tunggon tetap menyerangnya. itu tidak adil.
Maka ku singkirkan dia dan kuselamatkan dirimu. Ke-
lak kau bisa bertarung lagi dengannya, membalas ke-
kalahanmu tadi. itu pun kalau si Jurik Tunggon masih
hidup."
"Apakah kau punya dugaan kalau dia tewas?"
"Bisa saja. Walau aku hanya menyingkirkannya
dengan jurus tak mematikan, tapi jika ia jatuh tertan-
cap tonggak bambu, tentu saja dia bisa tewas."
Nilawesti diam merenung, tapi kecamuk batin-
nya tidak bicara tentang ucapan Soka tadi. Kecamuk
batinnya bicara tentang gaya bicara Soka yang see-
naknya. Ia merasa suka dengan gaya bicara seenaknya
yang sedikit konyol itu.
"Kau kenal dengan Jurik Tunggon?" tanya si
gadis memecah kebisuan mereka.
"Aku hanya tahu namanya pada saat kau bica-
ra dengannya tadi. Aku juga tahu namamu: Nilawesti,
dari suara si Jurik Tunggon saat mengancam mu. Ja-
di, sebenarnya aku tak kenal dia dan mengenalmu.
Maka sebaiknya sekarang perkenalkan dirimu. Siapa
namamu, Nilawesti?!"
Gadis itu sunggingkan senyum kecil berkesan
geli. "Kau sudah tahu namaku, tapi aku belum tahu
namamu."
Kini Soka perlebar senyum dengan posisi berdi-
ri menghadap total ke arah gadis cantik berbibir meng-
gemaskan itu.
"Namaku.... Soka Pura. Pernah dengar nama
itu?"
Nilawesti gelengkan kepala.
"Kalau begitu sekarang dengarlah baik-baik,
mumpung tak ada orang di sini." Soka agak mendekat
dan berbisik, "Namaku.... Soka Pura!"
"Iya, aku dengar!" sentak si gadis dengan cem-
berut, namun mengulum senyum. Hal itu membuat
mereka menjadi bertambah akrab lagi.
Soka Pura sengaja melangkah ke pantai. Ia in-
gin menikmati pemandangan pantai lebih luas, semen-
tara si gadis mengikutinya dari samping, karena Soka
ajukan beberapa pertanyaan sehubungan dengan se-
suatu yang ditemukan di pinggang belakang si gadis.
Pada saat Soka membawa gadis itu dalam keadaan ter-
luka, ia sempat memegang pinggang belakang. Terasa
ada sesuatu yang mengganjal di pinggang belakang Ni-
lawesti. Soka sempat memeriksanya sebentar, ternyata
sebuah kitab kecil yang diselipkan di pinggang bela-
kang di balik jubah birunya.
"Kau membawa sebuah kitab pusaka, Nilawes-
ti?"
"Hmm, ya...!" jawab Nilawesti sambil memeriksa
kitab itu dengan memegangnya. Ia merasa lega karena
kitab itu masih mengganjal di pinggang belakang.
"Apakah kitab itu yang diinginkan oleh si Jurik
Tunggon?"
"Bukan. Jurik Tunggon adalah musuh bebuyu-
tan ku. Leluhur ku bermusuhan dengan leluhurnya,
sampai pada keturunan kami ini. Dulu kakekku ber-
hasil membunuh kakeknya, tapi ayahku berhasil di-
bunuh oleh pamannya. Begitu seterusnya, dan kini ia
keturunan terakhir dari leluhurnya yang berusaha un-
tuk membantai habis keturunan leluhur ku."
"Ooo... jadi dendam leluhur mengalir dalam da-
rah daging kalian?!"
"Setiap kali aku bertemu dengannya selalu la-
kukan pertarungan."
"Kalian tak merasa jemu bertarung terus?"
Nilawesti hanya tersenyum tipis. Soka pun me-
rasa tak membutuhkan jawaban, karenanya ia segera
menggumam dan geleng-geleng kepala. Langkah pun
berhenti ketika kaki mereka menginjak pasir pantai.
"Ada yang ingin kau tanyakan lagi tentang diri-
ku?" ujar si gadis. Soka. Pura berpaling memandang-
nya dengan senyum menawan. Kecantikan si gadis
yang berdada sekal diperhatikan baik-baik.
"Jika tak ada yang kutanyakan lagi, bagaima-
na?"
"Aku akan lanjutkan perjalananku mengantar
kitab pusaka ini!"
"Ke mana kau akan pergi?"
"Menemui paman ku di Sungai Berang."
Soka Pura berkerut dahi. "Jauhkah Sungai Be-
rang itu?!"
"Lumayan," jawab Nilawesti. "Arahnya ke teng-
gara."
"O, kalau begitu sama dengan arah yang ku tu-
ju. Aku juga ke arah tenggara. Sebenarnya dari tempat
tadi aku harus ke selatan agak serong ke tenggara agar
cepat mencapai Gunung Mercapada, tapi...."
"Kau ingin ke Gunung Mercapada?!"
"Hmmm..., ya. Di kaki gunung itu ada padepo-
kan, dan aku akan menuju ke sana. Kalau begitu kita
bersama-sama saja menuju ke tenggara. Akan kuantar
kau sampai di Sungai Berang. Kau keberatan?"
"Kurasa tidak," jawab si gadis sambil tersenyum
ceria. "Paman ku pasti akan senang jika berkenalan
denganmu, terlebih jika kuceritakan kau telah menjadi
penyelamat ku."
"Benarkah begitu?!" Soka tersenyum bangga.
"Tapi sebelumnya aku harus kembali ke tem-
patku bertarung tadi."
"Mengapa harus ke sana?"
"Pedangku jatuh di sana! Aku harus menemu-
kannya kembali, karena pedang itu warisan dari men-
diang ibuku!"
Soka Pura merasa tak keberatan, dan mereka
melangkah kembali ke arah pertarungan tadi.
"Ibumu sudah tiada, Nilawesti?"
"Ya. Semua keluargaku telah tiada. Aku hanya
tinggal mempunyai seorang paman dan seorang Guru
yang kuanggap orangtua ku sendiri."
"Siapa gurumu?"
"Nini Lebak Gintur."
Soka Pura berkerut dahi, merasa belum pernah
mendengar nama itu. Namun ia segera tak hiraukan
nama itu, karena tak punya urusan dengan Nini Lebak
Gintur. Ia hanya mencatat nama itu dalam ingatannya.
"Sedangkan pamanmu sendiri siapa?"
"Damangsara, alias si Uban Karang," Jawab Ni-
lawesti dengan tegas. "Kau mengenai nama itu, Soka?"
Pendekar Kembar bungsu gelengkan kepala
sambil nyengir. "Aku orang baru di persilatan."
"Ooo...." Nilawesti menggumam dan manggut-
manggut.
"Aku masih hijau untuk mengenal tokoh-tokoh
sakti di rimba persilatan. Karenanya, aku sangat se-
nang jika bisa berkenalan dengan para tokoh termasuk
pamanmu; si Uban Karang itu."
Soka Pura sengaja merendah, karena ia sendiri
merasa malu dan agak kesal, sebab namanya juga ti-
dak dikenal oleh Nilawesti. Gadis itu tak tahu bahwa
Soka Pura adalah nama salah satu dari Pendekar
Kembar yang sebenarnya sering dibicarakan oleh
orang-orang perguruannya.
Bagi Nilawesti, nama Soka Pura memang masih
asing. Tapi nama Pendekar Kembar sudah tidak asing
lagi di telinganya. Sang Guru maupun para murid per-
guruannya sering membicarakan nama Pendekar
Kembar yang dikagumi ketinggian ilmunya dan ketam-
panannya. Soka tak mau perkenalkan dirinya sebagai
Pendekar Kembar, karena ia menduga nama itu justru
akan membuat Nilawesti semakin merasa asing lagi.
Bagi Soka, dikenali sebagai Pendekar Kembar
atau tidak, bukan masalah. Saat itu yang sedang jadi
buah pikirannya adalah siapa sebenarnya Nilawesti
itu. Karena setiap gadis itu tersenyum, Soka merasa-
kan ada getaran aneh dalam hati yang menenteramkan
Jiwanya. Padahal kalau dipikir-pikir, senyum itu wa-
jar-wajar saja. Tak terlalu istimewa. Tanpa lesung pi-
pit, tanpa gigi gingsul seperti Kirana, dan tanpa kesan
menggoda. Namun getaran yang hadir di hatinya sejak
tadi Jelas-jelas dirasakan akibatnya. Jiwa menjadi ten-
teram, selalu merasa riang, dan sering membuat Soka
merasa hanyut dalam keindahan yang tak jelas mak-
nanya.
Bahkan ketika mereka tiba di tempat pertarun-
gan Nilawesti dengan Jurik Tunggon tadi, hati Soka
Pura masih diliputi perasaan senang yang sukar dije-
laskan alasannya. Terlebih setelah Nilawesti menemu-
kan pedangnya kembali dan tersenyum memandangi
pedang itu, Soka Pura yang menatapnya ikut merasa
gembira, seperti mendapat sesuatu yang berharga se-
kali bagi hidupnya. Padahal ia tidak mendapatkan apa-
apa baik dari Nilawesti maupun dari alam sekitarnya.
Ia hanya mengetahui bahwa Jurik Tunggon sudah ti-
dak ada di tempat itu. Berarti Jurik Tunggon tidak te-
was, melainkan pergi dengan membawa luka.
Perjalanan menuju Sungai Berang dilanjutkan.
Nilawesti jelaskan tentang kitab pusaka yang harus di-
jaganya dengan bertaruh nyawa itu.
"Kitab ini adalah kitab kuno yang ditemukan
oleh paman Uban Karang di sebuah gua. Tulisannya
tak bisa dibaca. Namun guruku bisa membaca tulisan
kuno itu, sehingga paman meminta bantuan Guru un-
tuk menerjemahkannya."
"Mengapa harus kau jaga dengan pertaruhkan
nyawa segala?"
"Karena menurut Guru, kitab kuno ini mempu-
nyai kesaktian yang cukup dahsyat. Keanehannya, jika
kitab kuno ini dipelajari isinya, maka orang tersebut
akan mati dalam waktu empat puluh hari setelah ta-
mat pelajari isinya. Tapi jika yang mempelajari isinya
adalah si penemu kitab itu sendiri, maka orang terse-
but akan selamat dan terhindar dari kutukan maut
yang akan datang empat puluh hari setelah usai dipe-
lajari itu."
"Aneh sekali. Baru sekarang kudengar ada ki-
tab seaneh itu."
"Guruku sendiri tak berani pelajari Jurus-jurus
dan ilmu kutukan di dalam kitab ini. Menurut Guru, di
halaman depan kitab ini sudah tertulis peringatan ter-
sebut, sehingga Guru tak berani mempelajarinya, se-
lain hanya menerjemahkan ke dalam bahasa sekarang.
Kata Guru, kitab kuno ini milik seorang Raja Siluman
yang pernah hidup seratus tahun yang lalu. Kitab ini
bernama...."
Nilawesti hentikan ucapannya. Soka Pura me-
mandang dengan heran sambil tetap melangkah. Nila-
westi salah tingkah dan tampak gelisah.
"Mengapa kau berhenti bicara?" "Hampir saja
ku lupa pesan Guru." "Pesan apa?"
"Aku tak boleh sebutkan nama kitab ini kepada
orang lain. Dikhawatirkan akan menjadi bahan rebu-
tan. Jadi, sebaiknya aku tak perlu sebutkan nama ki-
tab ini. Apakah kau kecewa?"
Soka Pura tertawa seperti gumam pendek dan
pelan.
"Aku tak perlu merasa kecewa. Suatu saat
mungkin aku akan tahu sendiri nama kitab itu jika pi-
hakmu sudah tidak menaruh curiga padaku dan tahu
persis bahwa aku bukan orang yang gila kitab pusaka!"
"Kuharap kau jangan tersinggung, Soka!"
"Aku tak pernah merasa tersinggung, karena
aku memang pemuda muka tembok!" Jawab Soka Pura
bernada canda untuk hilangkan kecanggungan di an-
tara mereka.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti saat mereka
mau menuruni tanggul sungai besar. Padahal menurut
Nilawesti, tempat kediaman pamannya ada di seberang
sungai tersebut. Tinggal menyeberangi sungai, dan
berjalan beberapa saat lagi, mereka akan tiba di tempat yang dituju.
Tapi langkah itu terhenti akibat munculnya tiga
batang tombak yang melesat dari balik kerimbunan
pohon. Werrs...! Tiga batang tombak itu mengarah ke-
pada Nilawesti. Ekor mata Soka Pura melihat muncul
nya bahaya tersebut. Maka, tubuh Nilawesti se-
gera ditarik dari kanan ke samping kirinya. Wuuut...!
Dan tiga tombak yang meluncur cepat itu segera dipa-
tahkan dengan satu tendangan berputar cepat dalam
satu lompatan.
Wuut, praaaak...!
Tiga batang tombak yang patah menjadi dua
bagian tiap satu tombaknya, kini berserakan di tanah
depan mereka.
*
* *
3
DARI arah barat muncul tiga orang bersenjata
parang. Dari arah timur juga muncul tiga orang ber-
senjata parang, satu di antaranya masih memegang go-
lok yang siap dilemparkan.
Soka Pura pandangi mereka dengan menyim-
pan rasa heran dalam hatinya, karena enam orang le-
laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu ternyata se-
muanya bertelinga lebar dan tinggi. Mirip telinga kele-
lawar. Pakaian mereka serba hitam, dengan baju long-
gar berlengan panjang, sehingga ketika mereka me-
lompat muncul dari semak-semak tampak seperti kele-
lawar terbang. Mereka Juga mempunyai mata sembu-
rat merah dan bentuknya sedikit naik. Alis mereka
tebal dengan bentuk naik ke atas. Kulit mereka ber
warna gelap, namun bukan berarti hitam keling.
"Siapa mereka ini, Nila?" bisik Soka Pura. "Ma-
nusia Kelelawar!" Jawab Nilawesti dalam bisikan. "Me-
reka orang-orang Suku Ampar."
"O, pantas mulut mereka rata-rata monyong ke
depan," ujar Soka dalam hati sambil melirik keenam
lawan yang mengepungnya. Nilawesti pun segera men-
cabut pedang dan lebih merapatkan diri kepada Soka
Pura, sesekali mereka beradu punggung penuh waspa-
da.
Tiba-tiba salah seorang yang ada di timur, yang
berambut panjang sebahu, berseru memberikan perin-
tah, "Seraaang...!"
Weers, weers...!
Tiga orang yang ada di barat melayang seperti
tiga ekor kelelawar terbang hendak menerjang lawan.
Dua orang yang ada di timur juga lakukan lompatan
seperti kelelawar terbang. Soka Pura hadapi tiga orang
yang segera menebaskan parang kepadanya. Nilawesti
hadapi dua orang yang salah satunya masih mengan-
dalkan tombak untuk dihujamkan ke dada Nilawesti.
Pedang Nilawesti segera beraksi dengan cepat.
Trang, trang, traak...! Dua kali menangkis tebasan pa-
rang lawan, satu kali menangkis datangnya tombak
yang nyaris kenal bagian bawah pundaknya. Tangki-
san pedang Nilawesti disusul dengan tubuh yang me-
mutar dan kaki menendang cepat. Satu tendangan ke-
nai perut lawan, buuhk...! Orang itu pun jatuh terpen-
tal. Satu orang yang masih memegang tombak disabet
dengan pedang kembali. Cras...!
"Aaaaaa...!" orang itu memekik keras-keras ka-
rena pergelangan tangannya putus seketika sehingga
tombaknya pun jatuh bersama potongan tangan ka-
nannya itu.
Di sisi lain, Soka Pura sempat lepaskan jurus
'Tangan Batu'-nya, sehingga dua orang lawannya ter-
hempas ke belakang dengan mata mendelik dan sukar
bernafas. Satu orang lagi masih selamat dan men-
gayunkan parangnya secara membabi buta ke tubuh
Soka. Tetapi Soka dapat menghindari serangan parang
tajam itu dengan meliuk-liukkan badan, lalu ia jatuh-
kan diri ke tanah dan berguling maju satu kali. Tahu-
tahu kakinya menyodok kuat ke atas dan tepat kenai
'jimat lanang'-nya si lawan. Ploook...!
"Aaaow...!!" orang itu tersentak mundur dengan
tangan pegangi bagian yang terasa pecah seketika aki-
bat sodokan kaki Soka Pura itu.
"Bangsat keparat! Telurku pecah, Saudara-
saudara! Aaaaa...!" orang yang terkena sodokan kaki
Soka itu akhirnya tumbang dan meraung-raung dan
berguling-guling di tanah. Dua temannya yang sempat
kesulitan bernafas itu mencoba bangkit dan menye-
rang kembali saat Soka Pura belum berdiri kembali.
"Heaaaat...!!" teriakan mereka yang bersama-
sama itu menimbulkan kesan liar dan ganas, penuh
nafsu membunuh.
Tapi Pendekar Kembar bungsu segera sentak-
kan kedua tangan ke tanah, maka tubuh pun melam-
bung ke atas dengan cepat. Wuuut...! Satu kali gera-
kan bersalto membuat tebasan parang kedua lawannya
luput dari dirinya. Wes, wees...!
Namun ketika tubuh Pendekar Kembar bungsu
melayang turun, kedua kakinya cepat-cepat menyen-
tak ke kedua arah. Sentakan kaki itu kenal kepala
masing-masing lawannya. Krak, krak...!
"Aaaaa...!" kedua lawan sama-sama menjerit
karena darah mereka kontan mengucur keluar dari lu-
bang telinga, hidung, dan mulut semburkan darah se-
gar. Mereka sempoyongan sesaat, lalu jatuh sambil pe-
gangi kepala yang terasa retak itu.
Soka Pura berdiri tegak pandangi lawannya se-
saat, kemudian menatap pertarungan Nilawesti dengan
satu orang yang tadi terkena tendangan kaki pada
lambungnya. Orang itu masih bersenjata dan mempu-
nyai kecepatan jurus memainkan parang dengan cu-
kup baik. Pedang Nilawesti berkali-kali gagal melukai
lawan karena selalu dapat ditangkis dengan parang,
sementara si pemegang parang pun sukar menembus
jurus pedang Nilawesti.
Salah seorang yang tadi berseru keluarkan pe-
rintah serang masih berdiri di belakang temannya yang
sedang hadapi Nilawesti, sementara orang yang terpo-
tong tangan kanannya itu dalam keadaan terkulai le-
mas karena banyak kehilangan darah. Suaranya yang
merintih hampir tak terdengar lagi.
Tiba-tiba orang berambut sebahu dan berka-
lung taring babi hutan itu lepaskan pukulan bersinar
dari telapak tangannya. Claaap...! Sinar kuning ber-
bentuk seperti bintang itu melesat ke arah pinggang
Nilawesti yang sibuk beradu senjata itu. Melihat sinar
kuning ingin celakai Nilawesti, Soka Pura segera per-
gunakan jurus 'Cakar Matahari'-nya, berupa sinar pu-
tih berbentuk pisau runcing yang keluar dari tangan
yang disodokkan membentuk cakar tengkurap.
Claap...! Sinar putih itu menghantam sinar kuning se-
belum sinar kuning dekati pertengahan jarak antara
Nilawesti dan si pemilik sinar tersebut.
Blegaaar...! Terjadilah ledakan cukup dahsyat
akibat tabrakan kedua sinar tenaga dalam itu. Leda-
kan tersebut sempat getarkan tanah sekitar mereka
dan pepohonannya. Ledakan itu membuat lawan yang
sedang berhadapan dengan Nilawesti sempat tersentak
kaget dan sedikit oleng karena terkena getaran gelom-
bang ledakan itu. Maka kesempatan tersebut diman-
faatkan oleh Nilawesti untuk segera menghujamkan
pedangnya dengan satu lompatan pendek.
"Hiaaah...!"
Jruus...!
"Aaah...!" orang itu terpekik keras karena pe-
dang Nilawesti menusuk dada kirinya, dekat ketiak.
Tusukan itu tembus ke belakang, dan kaki Nilawesti
segera menendang tubuh orang tersebut, sehingga pe-
dang pun tercabut dan orang itu pun tumbang ke be-
lakang sambil keluarkan suara meraung-raung kelojo-
tan.
"Biadab kau, Nilawesti!" teriak orang berkalung
taring babi hutan itu. Ia segera menerjang Nilawesti
dengan lompatan seperti seekor kelelawar terbang.
Weeerss...! Suara getaran pakaian longgarnya terden-
gar mirip kepak sayap kelelawar. Tapi Nilawesti tidak
merasa gentar sedikit pun. Ia segera melompat ke
samping hindari terjangan lawan yang mengandalkan
kedua tangan berkuku tajam itu. Kemudian pedang Ni-
lawesti pun disabetkan ke arah tubuh lawan. Wees...!
Namun meleset dan hanya menyambar kain baju sang
lawan. Sementara itu, lawan sendiri segera menabrak
pohon. Tapi ternyata ia tidak jatuh terpental, melain-
kan menempel pada pohon seperti cicak. Pleek...!
"Edan! Bisa menempel di pohon begitu?!" gu-
mam Soka heran. "Benar-benar seperti kelelawar!"
Orang itu sempat berseru, "Nilawesti! Kalau kau
tak mau serahkan kitab di pinggang belakangmu itu,
akan kubunuh kau dengan begundal tengik itu!" sam-
bil matanya melirik Soka sekejap.
"Usahamu akan sia-sia, Bajak Rempo!" seru Ni-
lawesti dengan suara lantang.
Soka Pura ingin lepaskan pukulan jarak jauh-
nya ke arah Bajak Rempo, tapi Nilawesti cepat serukan
larangan.
"Jangaaan...!!"
Seruan itu membuat Pendekar Kembar bungsu
tak jadi lepaskan pukulan jarak jauhnya, tapi hati So-
ka memendam rasa heran atas larangan yang menyen-
tak itu. Sepertinya Nilawesti takut jika si Bajak Rempo
terluka atau tewas di tangan Soka Pura.
Pada saat itu, Bajak Rempo segera naik ke sa-
lah satu dahan dengan gerakan memanjat seperti ci-
cak. Plek, plek, plek, plek...! Lalu kedua kakinya meng-
gantung pada dahan tersebut, kepalanya terjungkir ke
bawah. Kedua tangannya bergerak memainkan Jurus
dengan cepat. Tiba-tiba salah satu tangannya berkele-
bat bagai lemparkan sesuatu ke arah Nilawesti. Clap,
clap...!
Dua sinar merah berbentuk seperti mata tom-
bak keluar dari kedua tangan itu. Dua sinar merah itu
berkelebat sangat cepat, sehingga hampir saja tak bisa
dilihat gerakannya.
"Nila, awaas...!" seru Pendekar Kembar bungsu
secara spontan. Nilawesti kelebatkan pedangnya ke
kanan kiri dan tepat kenai kedua sinar merah terse-
but. Tring, tring...!
Soka Pura sempat heran mendengar tangkisan
pedang dengan sinar merah. Ternyata yang dilempar-
kan dari tangan Bajak Rempo bukan sekadar sinar
merah, melainkan senjata rahasia dari logam putih
yang memancarkan sinar merah seperti besi membara.
Terbukti setelah tangkisan itu dilakukan, kedua sinar
merah tersebut melesat ke kedua arah. Salah satunya
nyaris menyambar kepala Soka. Untung pemuda tam-
pan itu segera tarik kepala ke samping belakang dan
senjata rahasia tersebut menancap dl pohon belakang
Soka. Jruuubs...! Senjata rahasia yang satunya lagi
terpental jatuh ke sungai! Jroooss...! Suaranya seperti
besi membara dicelupkan dalam air. Sedangkan senja-
ta yang menancap di pohon telah membuat pohon itu
menjadi kering dalam waktu dua helaan napas. Daun-
daunnya berguguran menaburi kepala Soka Pura.
"Oh, hebat sekali senjata rahasia itu?! Pohon
itu bisa menjadi kering sebegitu cepatnya?!" gumam
hati Soka Pura sambil membersihkan daun-daun ker-
ing yang menaburi kepalanya itu.
"Hiaaat...!!" Nilawesti segera melesat bagai see-
kor merpati terbang cepat. Pedangnya yang berujung
runcing itu diarahkan ke dada Bajak Rempo yang ma-
sih bergelantungan di dahan pohon. Namun tiba-tiba
tubuh itu mengayun, dan, wuuuss...! Seperti terbang
bersalto cepat dan hinggap di pohon lain, menempel
seperti cicak. Pleek...! Nilawesti kecele, tak berhasil ke-
nai lawannya.
"Nila, mundurlah... biar ku tangani dia!" seru
Soka Pura. Tapi gadis yang sudah berdiri tegak lagi itu
segera berpaling ke arah Soka dan berseru melarang.
"Jangan! Jangan turun tangan, Soka!"
"Tanganku tidak turun, tapi aku hanya...."
"Heeeaaahh...!"
Kata-kata Soka terhenti karena tubuh Bajak
Rempo segera melayang cepat dengan teriakan ganas.
Lawan yang bertolak dari sebatang pohon itu segera
mencabut parangnya dan dikibaskan ke leher Nilawesti
Wees...!
Trang, biaarr...!
Terjadi sebuah ledakan cukup keras ketika pe-
dang Nilawesti berhasil menangkis tebasan parang Ba-
jak Rempo. Rupanya parang itu sudah dialiri tenaga
dalam yang membuat benda tersebut berasap tipis.
Melihat parang lawan berasap, Nilawesti pun segera
salurkan tenaga dalamnya ke dalam pedangnya, se-
hingga kedua tenaga dalam itu saling beradu dan tim-
bulkan daya ledak cukup menyentak.
Nilawesti oleng ke kiri karena sentakan gelombang ledak tadi. Bajak Rempo masih kokoh, tak ter-
goyahkan oleh gelombang ledakan tadi. Ia Justru me-
mutar tubuhnya dan sabetkan parangnya ke tubuh Ni-
lawesti.
Wuut, cras...!
"Aauh...!!" Nilawesti terpekik dengan suara ter-
tahan. Pergelangan tangan kirinya terkena sabetan pa-
rang, namun tak sampai putus. Hanya robek agak da-
lam dan luka itu nyaris memutari pergelangan tangan.
Namun rupanya parang itu adalah parang be-
racun tinggi. Begitu parang tersebut berhasil lukai tu-
buh lawan, maka racun yang ada pada parang tersebut
mulai bekerja dan meracuni darah dalam tubuh lawan.
Nilawesti tampak semakin limbung dengan tan-
gan kiri mulai berasap tipis. Gadis itu sempat berpe-
gangan pada sebatang pohon untuk menahan kedua
kakinya agar tetap berdiri.
Melihat keadaan Nilawesti menjadi lemah, Ba-
jak Rempo segera mencecarkan serangannya agar ber-
hasil lumpuhkan Nilawesti dan menyambar kitab yang
ada di balik jubah si gadis. Namun ketika ia melompat
seperti seekor kelelawar terbang ke arah Nilawesti, ti-
ba-tiba, di pertengahan jarak tubuhnya terpental ke
samping dan jatuh terhempas di bawah pohon berakar
seperti batu-batu berserakan. Bruuus, bruuuk...!
"Uuhk...!" Bajak Rempo tersentak dalam pekik
kesakitan. Ia sempat perhatikan pemuda yang mener-
jangnya dengan sorot pandangan mata penuh nafsu
untuk membunuh. Tapi si pemuda justru dekati Nila-
westi dengan wajah cemas.
"Nila, lukamu kian melebar...?!"
"Uuhk, Soka.... Oouh... aku terkena racun
'Parang Mayat' ini. Ooouh...!" Nilawesti bukan saja me-
nyeringai kesakitan, namun juga berusaha menarik
napas dalam-dalam. Tapi sang napas bagai enggan
terhirup oleh si gadis cantik itu.
"Biadab kau, Bocah Laknat! Heaaat...!"
Bajak Rempo menyerang Pendekar Kembar
bungsu dengan parangnya yang sudah memancarkan
cahaya merah seperti besi membara. Soka Pura yang
semula jongkok, akibat membantu Nilawesti berbaring
di bawah pohon, segera mencabut pedangnya dengan
tangan kiri, dalam keadaan terdesak datangnya seran-
gan yang sudah sangat dekat itu. Wess, traang...! Pe-
dang kristal yang tampaknya ringkih dan mudah pe-
cah itu berkelebat menangkis parang. Traak...!
Blaaarr...!
Terjadilah ledakan cukup dahsyat. Parang itu
hancur menjadi berkeping-keping. Prraak...! Dada si
Bajak Rempo sendiri terkena angin sabetan Pedang
Tangan Malaikat tersebut. Dada itu robek lebar dari
ulu hati sampai ke pundak kanan.
"Uuuhgkk...!" Bajak Rempo menggeloyor mun-
dur sambil mata terbeliak menahan luka. Sekalipun
demikian, ia masih ingin bangkit dan membalaskan
dada nya yang terluka itu.
Bajak Rempo membuka mulut, dan nafasnya di
sentakkan dari mulut yang ternganga itu.
"Haaaaahh...!!"
Dari dalam mulut itu keluar lidah api yang in-
gin menyambar Pedang Tangan Malaikat. Namun lidah
api itu segera hindari Soka Pura dengan melesat ke
arah lain menggunakan jurus 'Jalur Badai'-nya.
Wuuuzz...!
Lidah api itu menyambar sebatang pohon, ma-
ka pohon tersebut langsung terbakar dan cepat menja-
di arang tak berdaun lagi, namun masih berdiri tegak
tanpa guncangan sedikit pun.
Soka Pura buru-buru masukkan pedang ke sa-
rungnya yang diselipkan di pinggang kanan. Karena ia
tak mau melawan musuhnya yang sudah tidak bersen-
jata lagi itu.
Bajak Rempo lebih penasaran lagi. Ia berpaling
ke arah Soka dan ingin lepaskan jurus lidah apinya
melalui mulut. Namun baru saja mulut terbuka, Soka
Pura temukan batu dengan kakinya. Batu sebesar se-
tengah genggaman orang dewasa itu segera ditendang-
nya dalam sentakan kecil. Dees, wuuut...! Batu pun
melayang sangat cepat, lalu masuk ke mulut Bajak
Rempo. Srook...!
"Ooohkf...!" mulut Bajak Rempo tersumbat ba-
tu. Tapi jurus lidah apinya sudah telanjur dihentakkan
lewat mulut, sehingga jurus itu membalik dan memba-
kar bagian dalam tubuh Bajak Rempo sendiri Bajak
Rempo jatuh berguling-guling dalam keadaan sekarat.
Pada saat itu, Soka Pura melihat beberapa bayangan
berkelebat melintasi sungai sepertinya mereka mena-
pakkan kakinya di permukaan air sungai. Padahal me-
reka menggunakan batu-batu yang tersumbul tipis di
permukaan air tersebut. Tapi gerakan bayangan-
bayangan itu sangat cepat, sehingga dalam waktu
singkat mereka sudah berada di tanah pertarungan
tersebut.
Soka Pura segera mengangkat pedangnya dan
slap menghadapi serangan dari berbagai penjuru. Ka-
rena pada saat itu ia melihat ada delapan orang yang
mengurung tempat tersebut. Pada umumnya mereka
bertubuh tegap walau tak sekekar Soka sendiri.
"Tahaaan...!" seru Nilawesti dengan suara berat
dan parau sekali. Ia masih menahan sakit dan sesak
napas. Kerongkongannya pun terasa kering dan panas
akibat racun dari lukanya itu.
Delapan orang yang mengurung tempat terse-
but dengan senjata siap tarung tak ada yang bergerak
menyerang Soka Pura, justru mata mereka memandang ke arah Bajak Rempo yang kelojotan dengan tu-
buh berasap dan kulit badannya menjadi melepuh.
Mereka pun melihat dengan jelas pada saat Bajak
Rempo mengejang satu kali, kemudian hembuskan
napas lewat hidung dengan tubuh melemas. Bajak
Rempo akhirnya tewas dalam akibat terkena jurus
mautnya sendiri.
Nilawesti yang juga melihat dengan mata kepala
sendiri kematian Bajak Rempo, kini hanya bisa menge-
rang lirih dengan luka kian merambat sampai ke si-
kunya. Ia berusaha bangkit dengan susah payah, na-
mun hanya bisa duduk bersandar batang pohon yang
sudah lama tumbang di situ.
"Sokaaa... bawa aku ke seberang sungai!!" pin-
tanya dengan wajah memucat.
"Nila... siapa orang-orang yang baru datang
ini?"
"Mereka... mereka orang-orangku!"
Salah seorang maju dan berkata kepada Soka
Pura.
"Benar. Kami orang Suku Kano, seperti halnya
Nilawesti sendiri. Kami akan memandu mu menyebe-
rang sungai!"
"Suku Kano...?!" gumam Soka Pura dengan pe-
rasaan aneh, karena ia belum pernah mendengar na-
ma Suku Kano.
*
* *
4
SEBUAH perkampungan yang diberi benteng
tinggi terbuat dari balok-balok kayu jati merupakan
tempat kediaman masyarakat Suku Kano. Mereka
mendiami bagian tepi Sungai Berang yang lebar dan
berair dalam, menyerupai 'anak segara'. Sungai itu
memang bermuara di Laut Kidul.
Nilawesti adalah salah satu gadis Suku Kano
yang pada umumnya mempunyai mata pencarian
mencari ikan dengan perahu panjang tapi kecil. Perahu
panjang itu dinamakan Kano. Maka suku tersebut
bernama Suku Kano.
Delapan orang yang menyeberang sungai itu
ternyata adalah orang-orang Suku Kano yang tergolong
sebagai 'prajurit' suku tersebut. Soka Pura membawa
Nilawesti pulang ke perkampungan itu dengan dipandu
oleh beberapa 'prajurit' penjemput. Sebagian 'prajurit'
lainnya membereskan anak buah Bajak Rempo. Ada
yang tak sempat melarikan diri. Mereka ditangkap dan
digiring ke perkampungan sebagai tawanan Suku Ka-
no.
Pendekar Kembar bungsu sempat merasa he-
ran, mengapa para penjemput Nilawesti itu tidak ada
yang berani menyentuh gadis itu. Soka disuruh me-
mapah Nilawesti sendiri sampai di depan sang kepala
suku.
Orang yang menjadi kepala suku itu adalah le-
laki berusia sekitar lima puluh tahun, tapi ia mempu-
nyai rambut sudah memutih. Rambutnya yang putih
rata dengan kumis dan jenggot pendeknya yang juga
putih rata itu ternyata agak aneh. Serat-serat rambut
lebih tebal daripada rambut pada umumnya. Berkesan
lengket antara helai rambut yang satu dengan yang
lain.
Rupanya orang itulah yang bernama Uban Ka-
rang, paman dari Nilawesti sendiri. Soka Pura tak me-
nyangka bahwa Nilawesti ternyata keponakan dari Ke-
pala Suku Kano yang masih bertubuh tegap dan gagah
itu. Badannya yang belum berkeriput itu dibungkus
dengan baju lengan panjang warna merah bertepian
benang emas, sama dengan warna celananya. Uban
Karang juga mengenakan ikat kepala berbulu merak
tiga helai sebagai tanda bahwa ia adalah kepala suku
tersebut.
Kedua bola matanya memancarkan pandangan
yang berkharisma dan berwibawa. Senyumnya jarang
sekali terlihat, namun ia tetap berkesan ramah terha-
dap siapa pun. Dilihat dari caranya memandang, Uban
Karang terlihat sebagai kepala suku yang bersikap te-
gas namun cukup bijaksana.
Ketika ia mengetahui Nilawesti mengalami luka
beracun, wajah itu tampak menyimpan kecemasan.
Bahkan ia terdengar menggumam pelan di depan Soka
Pura.
"Racun 'Parang Mayat' adalah racun yang sukar
terobati. Bajak Rempo benar-benar mengarah nyawa
keponakan ku untuk dapatkan kitab kuno ini!"
"Ketua, perintahkan pada kami untuk mencari
'Pasir Jelaga' di puncak Gunung Makar, sebagai satu-
satunya obat penawar racun di tubuh Nilawesti!" ujar
salah seorang penjemput Nilawesti itu.
"Kalau begitu, pilihlah tiga orang untuk men-
dampingimu pergi ke Gunung Makar sekarang juga,
Rurusada!" perintah sang kepala suku.
"Baik. Saya akan berangkat bersama Datuna,
Winggi, dan Tandon."
"Eh, maaf, Paman...," sela Soka Pura. "Benar-
kah racun itu sulit disembuhkan?"
"Ya. Yang bisa menawarkan racun itu hanyalah
'Pasir Jelaga' dari puncak Gunung Makar. Tanpa pasir
keramat itu, Nilawesti akan kehilangan nyawanya da-
lam waktu tiga hari lagi!"
"Bagaimana jika... jika aku mencoba menyem
buhkannya, Paman?!"
Uban Karang menatap dengan tetap tenang
tanpa reaksi apa-apa. Tapi dari sorot matanya itu Soka
merasa ada keraguan di dalam hati Uban Karang ter-
hadap kemampuan Soka. Oleh karenanya, Soka berka-
ta lagi dengan nada merendahkan diri.
"Barangkali tak ada jeleknya jika ku coba
menggunakan ilmu pengobatan ku yang pas-pasan ini,
Paman."
"Hmmm... baiklah. Memang tak ada buruknya
jika mencoba daripada tidak mencoba sama sekali."
Di depan sang kepala suku dan beberapa
'prajurit' lainnya itu, Pendekar Kembar bungsu laku-
kan pengobatan terhadap diri Nilawesti. Ia mengguna-
kan jurus 'Sambung Nyawa' yang membuat tubuh Ni-
lawesti pancarkan cahaya ungu itu. Sementara si gadis
sudah tak bisa bicara lagi karena kerongkongannya
bagaikan hangus terbakar oleh racun 'Parang Mayat'
itu.
Orang-orang Suku Kano tercengang heran me-
lihat tubuh Nilawesti memancarkan cahaya ungu.
Uban Karang hanya diam sambil menahan debar-
debar kecemasan dalam hatinya. Baru sekarang ia me-
lihat cara pengobatan yang dianggap sesakti itu. Da-
lam hati sang paman pun bertanya-tanya, apakah ra-
cun 'Parang Mayat' dapat dilawan dengan cara pengo-
batan seperti itu?
Orang-orang Suku Kano belum tahu siapa Soka
Pura. Bahkan mereka belum sempat menanyakan na-
ma pemuda tampan berpedang kristal itu. Mereka me-
nyangka Soka adalah seorang ksatria dari sebuah ke-
rajaan, sehingga mereka bersikap hormat kepada Pen-
dekar Kembar bungsu itu.
Mereka semakin tercengang heran ketika meli-
hat perubahan pada luka beracun di tangan Nilawesti.
Bertambah kagum hati mereka kepada Soka Pura sete-
lah akhirnya Nilawesti menjadi sehat seperti sediakala
dan luka beracunnya itu lenyap tanpa bekas. Beberapa
orang yang keluar dari tempat kediaman sang kepala
suku segera mengabarkan keajaiban tersebut kepada
seluruh masyarakat perkampungan tersebut, sehingga
mereka berbondong-bondong datang ke rumah kepala
suku hanya untuk melihat seorang pemuda yang dika-
barkan mempunyai kemampuan seperti dewa.
"Luar biasa! Sungguh tinggi kesaktianmu, Anak
Muda!" ujar Uban Karang. "Siapa kau sebenarnya,
Anak Muda?!"
Sebelum Soka menjawab, Nilawesti lebih dulu
jelaskan siapa Soka Pura dan apa yang telah dilakukan
Soka pada saat menyelamatkan sang gadis dari anca-
man maut si Jurik Tunggon itu. Soka Pura duduk ber-
sila di depan kepala suku dengan wajah sedikit tertun-
duk karena merasa malu diperhatikan penuh rasa ka-
gum oleh beberapa orang di sekitarnya.
"Dua kali kau telah selamatkan nyawa gadis
kami, Soka Pura. Lebih-lebih kami melihat sendiri kau
telah lakukan pengobatan sebegitu dahsyatnya. Kami
juga telah melihat kau memapah Nilawesti tanpa
sungkan-sungkan lagi. Maka layaknya kami memberi-
mu hadiah yang tentunya sudah kalian harapkan."
Ucapan si kepala suku itu sempat mengundang
pertanyaan dalam hati Soka Pura. "Mengapa ia me-
nyangka aku dan Nila mengharapkan hadiah? Padahal
apa yang kulakukan hanya sebuah pertolongan bi-
asa?!"
Soka Pura segera dibawa ke tanah lapang di
depan rumah kepala suku. Ternyata di sana sudah
banyak orang berkumpul, baik yang lelaki maupun
yang perempuan, yang tua maupun yang muda. Pada
umumnya para gadis yang ada di antara mereka memandang Soka Pura dengan mata tak berkedip dan
mulut sedikit terperangah.
Namun anehnya, hati Soka Pura menjadi san-
gat tenteram dan damai jika matanya menatap senyum
para gadis Suku Kano itu, termasuk senyum Nilawesti
yang berada di samping Soka. Gadis itu sering melirik
Soka bersama senyum tipisnya yang menyejukkan ji-
wa, seakan Soka berada dalam kebahagiaan yang me-
luap-luap.
"O, rupanya para gadis Suku Kano mempunyai
kelainan dalam senyumnya. Atau mungkin orang-
orang Suku Kano mempunyai kehebatan dalam setiap
senyumannya yang mendatangkan kedamaian di hati
lawan jenisnya," pikir Soka.
"Saudaraku, hari Ini kita kedatangan tamu,
seorang satria yang telah menyelamatkan keturunan
leluhur Suku Kano!" ujar Uban Karang di depan mere-
ka yang berkumpul.
"Soka Pura, bukan saja sahabat baru bagi kita,
bukan pula hanya sekadar tamu, namun juga sebagai
dewa penyelamat dan penyandang kehormatan terting-
gi bagi Suku Kano di kemudian hari," lanjut Uban Ka-
rang. "Soka Pura sendiri yang membawa Nilawesti den-
gan kedua tangannya saat terluka racun 'Parang
Mayat' dari si Bajak Rempo," Uban Karang peragakan
cara Soka membawa Nilawesti dengan kedua tangan-
nya. Soka tak mengerti mengapa hal itu harus ditun-
jukkan kepada masyarakat Suku Kano.
"Seperti kalian ketahui, Bajak Rempo adalah
adik ketua Suku Ampar yang menjadi wakil ketua. Se-
perti pula yang telah kalian ketahui, Bajak Rempo
mempunyai ilmu silat cukup tinggi, namun sekarang ia
tewas di tangan ksatria kita ini saat sang ksatria me-
nyelamatkan nyawa Nilawesti!"
"Hiduuup, Ksatria...!! Hidup, Sokaaa...!!" seru
mereka serentak membuat Soka tak enak hati, namun
juga menyimpan keheranan yang ingin sekali segera
ditanyakan kepada Nilawesti. Tapi saat mulut Soka in-
gin ucapkan kata, Nilawesti buru-buru memberi isya-
rat dengan telunjuk diletakkan di bibirnya yang ra-
num, pertanda Soka dilarang bicara dulu.
Soka pura akhirnya hanya hembuskan napas
dan tak jadi bicara. Ia tetap berdiri di belakang Uban
Karang berdampingan dengan Nilawesti.
"Maka pada hari ini juga, Saudara-
saudaraku.... Soka Pura berhak mendapatkan hadiah
istimewa dari ku berupa 'Daupan' bersama Nilawesti!"
"Setujuuuu...!!" seru mereka. "Pesta 'Daupan'
akan kita selenggarakan bersama-sama pada malam
purnama yang kurang tiga hari lagi ini. Bersiaplah me-
nyambut 'Daupan' mereka, Saudara-saudara!''
"Hidup Sokaaa.... Hidup Nilawesti...!!" seru me-
reka lagi yang membuat Soka Pura menjadi tambah
bingung.
"Daupan itu apa?!" tanyanya dalam hati. Ingin
sekali hal itu segera ditanyakan kepada Nilawesti, tapi
Uban Karang belum selesai bicara dl depan masyara-
kat Suku Kano, sehingga Soka terpaksa masih harus
memendam pertanyaan itu dalam hatinya.
Malamnya, Soka Pura dijamu dengan hidangan
lezat. Mereka mengadakan pesta taman yang cukup
mewah, dimeriahkan oleh beberapa tari-tarian adat
Suku Kano. Soka Pura duduk bersama Uban Karang
dan Nilawesti. Pemuda itu sedikit kikuk karena diper-
lakukan seperti raja. Mengenakan mahkota kehorma-
tan berjubah anyaman bulu merak yang tersusun in-
dah.
Sejauh itu, Soka Pura masih belum berani ba-
nyak tanya tentang hal-hal yang mengherankan ha-
tinya. Karena, pada saat itu, Uban Karang berbicara
panjang lebar tentang silsilah leluhur Suku Kano yang
selalu bermusuhan dengan Suku Ampar.
"Neneknya buyut kami dulu adalah saudara se-
kandung," ujar si Uban Karang menjelaskan hubungan
antara Suku Kano dan Suku Ampar. Soka Pura me-
nyimak baik-baik, menunjukkan sikap sangat meng-
hargai penjelasan tersebut. Senyumnya sesekali mekar
tipis dan membuat wajahnya semakin tampan, sema-
kin banyak dilirik gadis-gadis sebaya Nilawesti.
"Tapi karena tanah kekuasaan, maka Suku Ka-
no dan Suku Ampar saling bermusuhan. Mereka men-
diami sebelah utara Sungai Berang, dan kami men-
diami sebelah selatannya."
"Jurik Tunggon termasuk orang Suku Ampar
juga!" timpal Nilawesti ketika pamannya diam sesaat.
Soka Pura hanya menggumam dan manggut-manggut.
"Benar. Jurik Tunggon adalah orang Suku Am-
par. Leluhurnya itulah yang menjadi cikal bakal per-
musuhan antara suku kami dan sukunya."
"Siapa kepala Suku Ampar, Paman?"
"Kertajala, alias si Macan Seribu!" jawab Uban
Karang. "Nilawesti selalu menjadi bahan incarannya
untuk dibunuh."
"Mengapa begitu?"
"Karena Nilawesti adalah keturunan yang tersi-
sa dari Bumitala!"
"Bumitala itu mendiang ayahku," timpal Nila-
westi
"Ooo...," Soka Pura manggut-manggut.
"Aku adalah adik dari Bumitala. Dan hanya da-
ri keturunan Bumitala saja yang boleh menjabat seba-
gai kepala Suku Kano," tutur Uban Karang.
"Jadi sebenarnya kepala sukunya adalah Nila-
westi sendiri, Paman?"
"Benar, Soka! Tapi karena ia belum menikah,
maka ia tidak boleh menjabat sebagai kepala suku dl
sini. Untuk sementara, akulah yang menjabat Ketua
Suku Kano sampai batas waktu Nilawesti menikah. Ji-
ka sebelum Nilawesti menikah tapi ia sudah tewas,
maka Suku Kano tidak akan mempunyai ketua lagi,
dan suku kami dianggap telah punah. Aku tidak boleh
menjabat kepala suku lagi, karena bukan keturunan
dari mendiang kakakku; si Bumitala itu."
"O, jadi si Macan Seribu selalu berusaha mem-
bunuh Nilawesti karena la punya maksud agar Suku
Kano punah?!"
"Benar!" jawab Uban Karang dengan tegas. "Ka-
renanya, penyerangan si Bajak Rempo itu selain untuk
dapatkan kitab kuno yang dibawa Nilawesti, ia juga in-
gin bunuh Nilawesti agar kami tak akan punya kepala
suku lagi."
"Tapi... tapi dari mana Bajak Rempo tahu kalau
Nilawesti sembunyikan kitab di balik jubahnya?"
"Pandangan mata Manusia Kelelawar, seperti si
Bajak Rempo, dapat menembus lapisan kain, sehingga
ia dapat melihat apa yang ada di balik pakaian kami."
"Ooh...?! Hebat sekali penglihatan mereka?"
ujar Soka Pura. "Apakah orang Suku Kano juga punya
mata tembus pandang seperti itu?!"
"Ya, mata kami semua memang tembus pan-
dang."
"Celaka! Jadi apa yang ada di balik celana ku
juga dapat dilihat oleh Nilawesti?!" ujar Soka dalam ha-
ti dengan sedikit tegang dan mulai merasa malu, kare-
na Nilawesti segera tundukkan kepala sambil terse-
nyum-senyum.
Uban Karang lanjutkan ucapannya, "Tapi hal
itu terjadi jika kami menggunakan ilmu 'Pancar Netra'
yang kami miliki sejak lahir. Jika kami tidak menggu-
nakan ilmu 'Pancar Netra' maka mata kami tak bisa
tembus pandang."
Sambil berbincang-bincang tentang leluhur dan
permusuhan kedua suku tersebut, mereka menikmati
hidangan pesta, termasuk panggang rusa dan minu-
man arak yang terbaik pada masa itu. Soka Pura yang
tak biasa minum arak, mulai terasa pening setelah ma-
lam semakin larut.
"Agaknya kau telah mengantuk, Soka?" tegur
Uban Karang.
"Benar, Paman!" jawab Soka karena ingin sege-
ra rebahkan badan untuk hilangkan rasa peningnya.
"Sebaiknya segeralah masuk ke Kamar Pelamin.
Istirahatlah senyaman mungkin."
"Balk, Paman!" Soka tak menolak tawaran itu,
karena memang sejak tadi ia Ingin cepat-cepat tinggal-
kan pesta tersebut, tapi merasa tak enak hati.
"Nilawesti, antar dia ke Kamar Pelamin!"
"Baik, Paman!" ujar si gadis cantik yang segera
membimbing Soka Pura menuju ke Kamar Pelamin.
Soka berjalan agak sempoyongan karena mabuk arak.
Namun ia berusaha untuk tetap tampak gagah dan bi-
sa berjalan lurus agar tak ditertawakan oleh mereka.
Kenyataannya, Soka justru tersandung batu dan ham-
pir jatuh tersungkur. Untung segera dipegangi oleh Ni-
lawesti, sehingga ia tak sampai jatuh di depan orang
banyak.
"Payah kau ini. Baru minum arak beberapa te-
guk saja sudah sempoyongan," ujar Nilawesti dengan
berbisik.
"Aku tak biasa minum arak," ujar Soka Pura.
"Kalau toh minum, tak sampai sebanyak tadi."
Nilawesti membantu membaringkan Soka Pura
di atas dipan berkasur. Dipan itu terbuat dari kayu jati
berukir, terletak di dalam Kamar Pelamin. Soka Pura
sempat perhatikan keadaan di dalam Kamar Pelamin
yang diterangi dengan lampu minyak pada keempat
sudutnya.
Kamar tersebut tak terlalu lebar, namun dalam
keadaan bersih dan rapi. Aroma wewangian rempah-
rempah tercium lembut di dalam kamar tersebut. Ke-
remangan cahaya dan aroma rempah-rempah merupa-
kan paduan selaras yang menciptakan suasana di ka-
mar itu menjadi sangat romantis.
"Kamar siapa ini?" tanya Soka Pura pelan.
"Kamar Pelamin!"
"Lalu, si Pelamin sendiri pergi ke mana?" Nila-
westi yang duduk di tepian dipan mulai sunggingkan
senyum geli mendengar pertanyaan itu. Gadis itu per-
dengarkan tawa renyah yang lirih ketika Soka Pura
ajukan tanya dengan suara sedikit sumbang karena
pengaruh minuman arak tadi.
"Pelamin itu siapa?! Wakil kepala suku?"
"Kamar Pelamin itu adalah kamar untuk calon
pengantin."
"Ooo...," Soka Pura masih tenang. "Lalu, siapa
yang mau jadi pengantin?"
"Siapa lagi kalau bukan kita."
"Hahh...?!" Soka Pura terbelalak kaget.
Gadis itu masih sunggingkan senyum yang me-
nebarkan rasa indah dan bahagia di dalam hati Soka
Pura. Tangannya mengusap-usap anak rambut yang
meriap di kening Soka. Usapan itu membuat Soka Pu-
ra semakin rasakan debar-debar keindahan yang
menggoda jiwanya.
"Nila, aku ingin jawaban yang benar dari perta-
nyaanku tadi."
"Aku sudah menjawab dengan benar," ujar Ni-
lawesti. "Apakah kau tak dengar bahwa tiga hari lagi
kita akan merayakan pesta 'Daupan', tepat di malam
purnama nanti?!"
"Daupan itu apa?!" Soka kuatkan diri untuk
menahan rasa peningnya.
"Daup adalah kawin. Daupan artinya perkawi-
nan. Jadi pesta 'Daupan' adalah pesta perkawinan.
Dan orang yang akan dinikahkan pada malam
'Daupan' nanti adalah kita berdua!"
"Edan!" Soka Pura tersentak bangun, ia me-
mandang si gadis dalam posisi duduk terbengong.
"Mengapa kau terkejut?! Apakah itu hal yang
buruk bagimu?!" Nilawesti bersuara lembut, tangannya
melepaskan pedangnya sendiri yang ada di punggung.
"Aku... aku tidak bilang itu hal yang buruk. Ta-
pi... tapi aku sama sekali tidak bermaksud menikah
dengan mu, Nila! Aku belum melamar mu dan...
dan...."
"Paman ku dan beberapa orang sudah melihat
kau menyentuh kulitku saat kau membawa tubuhku
yang terluka itu."
"Habis, apakah aku harus menyeret tubuhmu!"
"Persoalannya bukan itu, Soka," sambil Nila-
westi menggantungkan pedangnya pada dinding, ke-
mudian ia juga melepaskan jubah birunya, hingga kini
hanya kenakan kain penutup dada dan kain pem-
bungkus pinggul.
"Aku adalah calon kepala suku, dan aku masih
perawan. Pemuda mana pun yang berani menyentuh
tubuhku, berarti dia sudah dianggap menodai kesu-
cianku. Itu menurut hukum adat Suku Kano."
"Ah, aku.... aku hanya melakukan sebatas ke-
butuhan saja. Artinya... artinya...."
"Hukum adat tak bisa dibantah, Soka," sambil
Nilawesti duduk kembali di tepian dipan berkasur, de-
kat sekali dengan Soka Pura.
Lanjutnya, "Hukum adat Suku Kano juga me-
nyebutkan, siapa pun yang menyelamatkan nyawa pu
tri Ketua Suku Kano, maka ia berhak mendapatkan
hadiah istimewa, yaitu menikah dengan putri tersebut.
Kebetulan, aku bukan saja putri keturunan Ketua Su-
ku Kano, tapi juga calon ketua suku ini. Kebetulan ju-
ga, kau telah berhasil membunuh orang kedua dari
Suku Ampar, yaitu si Bajak Rempo. Dalam kitab hu-
kum adat Suku Kano, siapa pun yang berhasil mem-
bunuh orang pertama, orang kedua atau orang ketiga
dari musuh Suku Kano, maka ia harus menjadi ma-
syarakat Suku Kano dengan melakukan perkawinan
dengan salah satu masyarakat kami."
Soka Pura semakin tertegun. bagai kehilangan
seribu bahasa. Tapi pandangan matanya masih tertuju
pada wajah cantik Nilawesti yang mempunyai senyum
penghibur ketegangan hati itu. Seandainya tanpa se-
nyum itu, Soka Pura pasti akan lebih panik lagi dan
mungkin ia akan membantah keras ketentuan tersebut
"Karenanya ketika kau ingin lepaskan pukulan
maut mu kepada Bajak Rempo, aku melarangmu, se-
bab aku takut kau tak mau menikah denganku! Tapi...
akhirnya Bajak Rempo tewas juga olehmu. Mau tak
mau kita harus menikah karena sudah banyak meme-
nuhi ketentuan hukum adat kami."
"Tapi... kita belum saling mencintai, Nila! Kau
sendiri juga tidak mencintai ku dan...."
"Mencintai atau tidak, aku harus mau dinikah-
kan dengan orang yang telah menyelamatkan nyawaku
dan membunuh orang kedua dari musuh kami. Sean-
dainya wajahmu rusak, tubuhmu pendek, cebol, boro-
kan, tapi jika memenuhi ketentuan hukum adat itu,
aku harus tetap mau dinikahkan denganmu!"
"Bagaimana kalau aku menolak hadiah terse-
but?"
"Kami akan merasa tersinggung. Semua masya-
rakat Suku Kano akan merasa sakit hati, karena penolakan seperti itu adalah penghinaan bagi kehormatan
Suku Kano. Akhirnya, kita akan menjadi seteru, saling
bermusuhan dan... bisa jadi kau akan dibunuh oleh
pamanku atau para pengawalnya."
"Kenapa jadi begini?!" gumam Soka Pura lirih
sekali sambil garuk-garuk kepala. Rasa pening di kepa-
lanya semakin bertambah, sehingga Pendekar Kembar
bungsu akhirnya hanya bisa tertegun tanpa suara.
Namun telinganya masih bisa mendengar apa yang di-
katakan Nilawesti saat tangan gadis itu mengusap-
usap punggung Soka, sesekali merapikan rambut Soka
ke belakang telinga.
"Sebagai calon mempelai, kita diberi waktu un-
tuk saling memadu rasa di dalam Kamar Pelamin ini.
Maksudnya, agar saling mengenali pribadi masing-
masing dengan kemesraan dan asmara yang diha-
rapkan kian berbunga-bunga. Diharapkan pula pada
waktunya nanti, setelah upacara 'Daupan' dilaksana-
kan, kami sudah saling memahami apa yang dibutuh-
kan oleh masing-masing pihak. Biasanya malam pen-
genalan itu dilakukan selama tujuh hari sebelum upa-
cara 'Daupan' tiba. Begitulah ketentuan hukum adat di
Suku Kano!"
"Aku tak tahu harus bicara apa jika sudah be-
gini," gumam Soka lirih. Ia justru terbaring lagi dengan
napas terhempas.
"Apakah kau kecewa mendapat istri seperti-
ku?!" tanya Nilawesti sambil sedikit rundukkan kepala
agar suaranya yang lirih didengar oleh Soka. Tapi pe-
muda tampan itu hanya diam menatap dengan bibir
sedikit merekah karena tak tahu harus menjawab apa.
"Apakah menurutmu aku gadis yang tidak me-
narik?"
Ucapan itu menyentuh hati Soka. Rasa iba pun
timbul di sela-sela kebingungannya. Maka tangan Soka
pun mengusap kepala Nilawesti dengan lembut.
Si gadis sengaja geserkan kepala agar usapan
tangan Soka menyentuh wajah. Maka tangan itu pun
mulai mengusap lembut pipi si gadis. Senyum tipis Ni-
lawesti semakin menaburkan bunga indah di hati So-
ka, membuat kebingungan itu lekas reda dengan sen-
dirinya.
"Kau sudah punya istri sendiri, Soka?"
Pendekar Kembar bungsu gelengkan kepala.
"Mungkin sudah punya kekasih atau tunan-
gan?
Soka bingung memberi reaksi atas pertanyaan
itu. Ia sempat teringat wajah Bulan Berkabut, tapi
bayangan wajah itu cepat sirna ketika Nilawesti beri-
kan senyum tipis kembali.
Senyum itu menggetarkan gairah, membuat
Soka Pura sentuhkan jemarinya di bibir Nilawesti. Si
gadis menggigit jari itu lembut sekali. Detak jantung
Soka menjadi cepat karena hasrat bercumbunya mulai
terpancing.
Akhirnya kedua tangan Soka memegangi kepala
Nilawesti dan sedikit menariknya turun. Kepala itu
bergerak lembut mendekati wajah Soka Pura. Mata si
gadis segera terpejam dengan bibir merekah penuh
tantangan.
Kedua bibir itu pun akhirnya saling bertemu.
Soka mengecup bibir itu dengan lembut sekali. Nila-
westi membalas kecupan tak kalah lembut dengan
tangan mengusap-usap dada Soka. Usapan itu terasa
menghangat di sekujur tubuh Soka, membuat batin
Soka menuntut untuk meraih keindahan yang lebih
tinggi lagi. Maka tangan pemuda tampan itu pun sege-
ra melepaskan tali pengikat kain penutup dada Nila-
westi. Tees...! Dengan sekali sentak tali pengikat itu
terlepas, maka dada si gadis pun bebas tanpa hambatan. Soka Pura yang sudah lupa dengan sakit kepa-
lanya segera memeluk gadis itu. Ciumannya makin
memburu dan si gadis sengaja memberikan apa yang
diinginkan Soka. ia mengeluh dengan suara lirih, lalu
meremas rambut Soka dengan pelan-pelan ketika Soka
Pura menyambar dada sekal itu dengan mulutnya.
Haap...!
"Oh, Sokaaa...," desah si gadis membuat Soka
Pura kian bertambah hanyut. Ia makin lupa dengan
sakit kepalanya, juga lupa dengan kebingungannya da-
lam mengambil sikap atas pertanyaan batinnya: "ha-
ruskah aku menikah dengannya?!"
Repotnya lagi, Nilawesti semakin berikan kesan
hangat bagi Soka Pura. Ciuman gadis itu bagaikan ko-
baran api yang dapat melelehkan besi baja. Soka Pura
dibuat melayang-layang dibuai sejuta keindahan. Hal
itu telah membuat Soka Pura merasa sulit menghenti-
kan cumbuannya, sulit menahan gairahnya dan sulit
menghindari kehadiran asmara yang ada.
"Dia memang masih polos dan lugu dalam ber-
cinta. Tapi nalurinya sangat peka terhadap apa yang
kuharapkan," pikir Soka. "Keluguannya ini membuat
semangat bercumbu ku justru meluap-luap, dan ke-
bahagiaan yang ku rasakan benar-benar telah mem-
buatku terkesan sekali. Ooh... haruskah kuteruskan
cumbuan ini hingga pada puncak keindahan yang se-
benarnya?!"
Jantung pemuda itu berdetak sangat cepat pa-
da saat benak menimbang-nimbang tindakan selan-
jutnya. Sampai si gadis menggigit pundak Soka dengan
lembut seperti menahan luapan sesuatu yang ingin
meledak dalam hatinya, Soka Pura masih belum punya
keputusan untuk langkah berikutnya.
"Bagaimana ini?! Bagaimana kalau sudah begi-
ni?! Terus saja atau berhenti sampai di sini?! Aduh, celaka! Sepertinya naluri ku sulit diajak untuk berhenti
sampai di sini?! Bagaimana kalau sudah begini?! Sial!
Sial!"
*
* *
5
SEBELUM fajar menyingsing, perkampungan
Suku Kano diserang oleh orang-orang Suku Ampar.
Penyerangan itu dipimpin oleh si Macan Seribu sendiri;
Kepala Suku Ampar.
Rupanya si Macan Seribu ingin menuntut balas
atas kematian adiknya: si Bajak Rempo. Sasaran me-
reka adalah membunuh Nilawesti dan seorang pemuda
tampan berpakaian serba putih. Si pelapor tidak tahu
bahwa pemuda berpakaian serba putih itu bernama
Soka Pura.
Suku Ampar lakukan penyerangan besar-
besaran. Jumlah mereka yang menyeberangi sungai
cukup banyak. Benteng pertahanan Suku Kano sem-
pat dirobohkan. Tentu saja tindakan itu tidak mem-
buat Soka Pura diam saja. Ia segera tampil sebagai
benteng hidup bagi masyarakat Suku Kano.
Dengan menggunakan Pedang Tangan Malaikat
yang berbentuk kristal itu, Pendekar Kembar bungsu
berhasil memukul mundur orang-orang Suku Ampar.
Bahkan Soka lakukan pengejaran sampai ke seberang
sungai. Hanya Soka seorang yang melakukan pengeja-
ran sampai ke seberang Sungai Berang. Para 'pra Jurit'
Suku Kano tak ada yang berani menyeberang.
Pengejaran itu dilakukan oleh Soka karena ia
mendapat kabar dari salah seorang 'prajurit' Suku Kano, bahwa Nilawesti berhasil dibawa lari oleh anak
buah Macan Seribu. Tentu saja hati Soka Pura menjadi
berang dan mengincar si Macan Seribu.
Pada waktu itu, Macan Seribu segera larikan
diri karena ia merasa tak sanggup hadapi kesaktian
Pedang Tangan Malaikat-nya si pemuda tampan itu. Di
samping itu, banyak anak buahnya yang tumbang di
tangan Soka Pura, sehingga Macan Seribu merasa ka-
lah ilmu dan lebih baik melarikan diri untuk menyu-
sun kekuatan baru.
Nilawesti sendiri sebenarnya tidak diculik oleh
si Macan Seribu. Yang dibawa lari oleh salah satu
orangnya si Macan Seribu adalah Indardari. Gadis itu
juga seorang 'prajurit' perempuan dari Suku Kano yang
kebetulan pada malam itu kenakan jubah biru hampir
mirip dengan jubahnya Nilawesti.
Tetapi Indardari segera dapat loloskan diri seca-
ra tak sengaja, karena orang yang membawa lari di-
rinya jatuh ke sungai saat menyeberangi sungai terse-
but. Indardari pun ikut jatuh ke sungai, lalu segera
menyelam dan bersembunyi di dalam relung mirip gua
yang ada di kedalaman sungai tersebut.
Ketika para penyerang itu telah angkat kaki
semua dari tanah perkampungan Suku Kano, barulah
mereka sadar bahwa Nilawesti masih ada di tempat.
Gadis itu lakukan perlawanan di sisi barat bersama
beberapa orang lainnya. Indardari sendiri segera pu-
lang ke perkampungannya ketika matahari mulai terbit
separo bagian.
"Celaka! Jika begitu Soka Pura lakukan penge-
jaran yang sia-sia!" geram Nilawesti dengan cemas. Ia
segera temui pamannya.
"Paman, aku harus menyusul Soka Pura. Ia
pasti lakukan pengejaran sampai ke perkampungan
Suku Ampar, karena ia menyangka diriku dibawa lari
oleh si Macan Seribu!"
"Jangan ada yang menginjakkan kaki ke tanah
perkampungan mereka!" ujar si Uban Karang. "Ingat
pesan leluhur kita, jika kita injakkan kaki di tanah
perkampungan Suku Ampar, maka kita akan menderi-
ta kekalahan dan Suku Kano akan habis binasa."
"Tapi Soka Pura sendirian ke sana, Paman!"
rengek Nilawesti dengan semakin cemas.
"Aku akan mengutus beberapa orang untuk
mengawasi dari luar batas wilayah perkampungan Su-
ku Ampar! Tapi jangan kau yang ke sana! Kau harus
bisa menjaga dirimu sendiri agar tetap hidup sebagai
pemegang tampuk pimpinan Suku Kano ini, Nila!"
Mengingat dirinya adalah calon Kepala Suku
Ampar yang asli jika ia telah menikah nanti, maka Ni-
lawesti pun terpaksa menahan diri untuk tidak pergi
dari samping pamannya. Tiga orang segera dikirim un-
tuk membayang-bayangi Soka Pura. Tapi mereka tetap
tak diizinkan injakkan kaki di tanah perkampungan
Suku Ampar.
Sementara itu, pengejaran yang dilakukan Soka
Pura adalah benar-benar pengejaran yang sia-sia. Kea-
daan yang masih gelap membuat Soka Pura salah
arah, tak mengetahui ke mana larinya si Macan Seri-
bu. Akibatnya ketika cahaya pagi kian terang, Soka
Pura clingak-clinguk di atas sebuah bukit yang tak se-
berapa tinggi.
"Ke mana orang-orang Suku Ampar itu?! Gawat
kalau begini! Agaknya aku telah salah arah. Sejak tadi
tidak kulihat gerakan manusia yang melintas di sekitar
tempat ini. Tak kulihat pula atap-atap rumah yang
mestinya sudah bisa kulihat dari tempat ini, sebab
tempat ini sudah jauh dari Sungai Berang. Sial! Lewat
jalan mana kalau mau kembali ke perkampungan Su-
ku Kano?!"
Akhirnya pemuda itu mempunyai ide untuk
menelusuri tepian sungai. Ia yakin dengan cara begitu
maka ia akan sampai ke perkampungan Suku Kano
yang ada di tepi sungai. Soka Pura tak tahu bahwa
yang disusuri dengan langkahnya itu adalah anak
sungai yang menuju ke arah lain. Soka memang tidak
tahu bahwa Sungai Berang sebelum mencapai mua-
ranya pecah menuju ke arah timur. Akibatnya, Soka
Pura tersesat semakin jauh dari perkampungan Suku
Kano maupun perkampungan Suku Ampar.
Langkah Soka pun segera dihentikan begitu ia
melihat sekelebat bayangan melintas di depannya.
Bayangan itu bergerak cepat dan tak jelas sosoknya.
Soka Pura hanya melihat kelebatan bayangan berwar-
na biru yang segera menghilang di balik kerimbunan
semak ilalang.
"Itu dia si Nilawesti!" sentak hati Soka, sehingga
ia pun segera memburu bayangan biru tersebut. Wees,
wees...!
Tapi sebelum Soka Pura berhasil menyusul
bayangan biru tersebut, tiba-tiba dari arah lain mun-
cul juga sekelebat bayangan hitam. Agaknya bayangan
hitam itu sedang memburu si bayangan biru, karena ia
mengarah ke balik semak ilalang juga. Soka Pura
mempercepat langkahnya, menggunakan jurus' Jalur
Badai' agar lebih dulu menyusul si bayangan biru ter-
sebut.
Dengan satu lompatan bersalto dari gugusan
tanah cadas. Soka Pura berhasil mencegat langkah si
bayangan biru. Wuuuk, jleeg...! Maka si bayangan biru
itu pun hentikan langkah seketika dengan wajah terpe-
ranjat kaget. Wajah tegang itu bermata bundar lebar
dan nafasnya terengah-engah.
"Ooh...?! Kau...?!"
Ternyata si pemilik bayangan biru Itu adalah
seorang gadis cantik berusia sekitar dua puluh dua ta-
hun. Tapi gadis itu bukan Nilawesti. Gadis yang men-
genakan jubah buntung warna biru dengan kutang
dan kain bawahnya berwarna merah itu mempunyai
rambut panjang diikat ke belakang. Tubuhnya sekal
dan berdada lebih montok dari Nilawesti.
Gadis itu sangat mengenal Soka Pura. Demi-
kian pula halnya dengan Soka. Bahkan gadis itu tahu
bahwa pemuda yang tiba-tiba menghadangnya itu ada-
lah Soka Pura, bukan Raka Pura. Ia hafal betul dengan
letak pedang kristal yang ada dl pinggang kanan, yang
merupakan ciri-ciri Soka, sebab Soka adalah pendekar
bertangan kidal. Berbeda dengan kakaknya; Raka Pu-
ra, yang selalu selipkan pedangnya di pinggang kiri,
sehingga sewaktu-waktu dapat dicabut dengan meng-
gunakan tangan kanan.
"Soka, oh... beruntung kau ada di sini!" ujar si
gadis dengan nada tegang. Ia bergegas dekati Soka Pu-
ra, sementara Soka masih memandang dengan heran
sebab tak menyangka akan jumpa dengan gadis terse-
but di tempat sejauh itu.
"Mengapa kau sampai ada di tempat in!, Dewi
Binal?!" tanya Soka kepada si gadis yang tak lain ada-
lah Dewi Binal, cucunya Tabib Kubur dari Bukit
Gamping. Tentu saja si gadis tak segan-segan meraih
lengan Soka dan memeluknya, karena Dewi Binal me-
rasa pernah memadu kasih dengan Soka Pura, (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode: "Setan Cabul").
"Soka, aku dikejar-kejar oleh...."
Belum selesai Dewi Binal bicara, sosok bayan-
gan hitam yang mengejarnya sudah muncul dl depan
mereka bersamaan dengan melesatnya seberkas sinar
merah ke arah Dewi Binal. Claap...!
Soka Pura cepat ambil tindakan secara refleks.
Tangannya menyentak ke depan dalam keadaan tan
gan tengkurap berbentuk cakar. Sinar putih seperti pi-
sau runcing keluar dari tangannya. Claaap...!
Jurus 'Cakar Matahari' melesat menghantam
sinar merah tersebut. Hantaman itu timbulkan leda-
kan yang cukup dahsyat.
Blegaaarrr...!
Tanah di sekitar tempat itu menjadi bergetar,
juga pohon-pohon merontokkan daunnya karena ikut
digetarkan oleh gelombang ledakan tersebut. Si jubah
hitam sempat terpelanting ke belakang saat terkena ge-
lombang ledakan yang menyentak kuat itu. Sedangkan
Soka Pura sendiri hanya terdorong mundur selangkah,
hampir membuat Dewi Binal terpelanting jika tidak se-
gera berpegangan pada lengan kekar si Pendekar Kem-
bar bungsu itu.
"Hati-hati, Soka...! Ilmunya cukup berbahaya!"
bisik Dewi Binal yang secara tidak langsung mengakui
kalah ilmu dengan perempuan tua berjubah hitam itu.
Soka Pura tak komentari bisikan Dewi Binal. Ia
justru memandang perempuan tua berjubah hitam
dengan dahi berkerut dan mulut sedikit ternganga
bengong.
Perempuan berusia sekitar tujuh puluh tahun
dan berambut abu-abu dengan kalung tasbih putih
sebesar kelereng itu juga menatap Soka Pura dengan
tercengang. Kejap berikutnya ia melangkah lebih dekat
sambil menggeram penuh kejengkelan.
"Dasar tikus jelek!" maki si perempuan jubah
hitam itu. "Kenapa kau jadi ada di sini, Soka Pura?!
Rupanya pemuda bengal sepertimu juga mengenal ga-
dis keparat itu, hah?!"
Soka Pura segera kendorkan ketegangan, beri-
kan senyum seulas dengan tenang.
"Tak kusangka kau yang menjadi lawan si Dewi
Binal ini, Nyai Gantari," ujar Soka Pura yang sudah
kenal betul dengan Nyai Gantari alias si Tupai Siluman
itu. Soka dan Raka pernah menyelamatkan Nyai Gan-
tari dan cucunya yang mungil: Bunga Dewi, dari keja-
ran maut orang-orang kadipaten. Nyai Gantari bersa-
ma kedua cucunya: Bunga Dewi dan Panji Doyok, ada-
lah penghuni perkampungan Tanah Keramat yang se-
luruh penduduknya bekerja sebagai pencuri, peram-
pok, penodong, dan pe-pe lainnya, (Baca serial Pende-
kar Kembar dalam episode: "Korban Kitab Leluhur").
Karenanya, Nyai Gantari menjadi agak sungkan
ketika buronannya dilindungi oleh Soka Pura. Lebih-
lebih ia tahu betul bahwa Soka Pura dan kakak kem-
barnya adalah anak muda yang berilmu tinggi dan
sempat menjadi idola baik oleh cucu-cucunya maupun
oleh dirinya sendiri. Tak heran jika Nyai Gantari tidak
lanjutkan serangannya, kecuali hanya mengecam tin-
dakan Soka yang melindungi musuhnya itu.
"Nyai Gantari, perlu kau ketahui, bahwa Dewi
Binal ini adalah sahabat dekat ku. Mungkin lebih de-
kat dari yang terdekat denganku," ujar Soka sedikit
menaburkan rayuan. "Jadi jika Dewi Binal terluka, aku
akan merasakan sakitnya, Nyai. Jika Dewi Binal tewas,
aku akan merasakan capeknya menguburkan mayat-
nya!"
"Yang benar kalau ngomong, ah!" sentak Dewi
Binal dalam bisikan sambil mencubit belakang lengan
Soka. Yang dicubit hanya cengar-cengir antara sakit
dan geli.
"Soka Pura!" ujar sang Nyai tegas. 'Kalau bukan
karena kau yang menjadi pelindungnya, akan kuhabisi
nyawa sahabatmu itu saat ini juga!"
"Persoalannya apa, Nyai? Mungkin aku bisa
menghajarnya sendiri jika Dewi Binal memang di pihak
yang salah!"
"Dia ingin membunuh Srigita, alias si Bunga
Dewi, cucuku itu!"
Dewi Binal menyahut, "Karena cucumu telah
mencuri Permata Manik Jingga dari Candi Apung!
Permata itu milik leluhur ku yang dipercayakan penja-
gaannya oleh Pendeta Tambang Dewa...."
"Siapa Pendeta Tambang Dewa itu?" potong So-
ka dalam bisikan.
"Kakak mendiang nenek ku!" Jawab Dewi Binal
dengan cepat, lalu bicara lagi kepada si Tupai Siluman.
"Cucumu, si Bunga Dewi, ngotot ketika kusu-
ruh serahkan Permata Manik Jingga itu. Ia justru me-
nyerangku, sehingga aku perlu menghajarnya daripada
aku yang dihajarnya!"
"Keparat! Kau pikir aku tak bisa menghajarmu
dengan mengirimmu ke neraka, hah?! Terimalah ini...."
"Tahan, Nyai!" seru Soka secepatnya karena
Nyai Gantari tampak ingin lepaskan pukulan mautnya
lagi. Seruan Soka Pura masih didengar dan dihargai
oleh Nyai Gantari sehingga sang nenek terpaksa
urungkan niatnya. Ia hanya menggeram kembali pe-
nuh dengan kedongkolan yang terpaksa hanya bisa di-
pendam dalam hati.
"Hmmrrh...! Kalau bukan memandang hubun-
gan baik kita, sudah kubuat arang gadismu itu, Soka!"
"Sabar, Nyai. Orang sabar itu awet muda, Nyai,"
ujar Soka mulai konyol agar suasana tegang menjadi
berkurang.
"Aku sendiri memang pernah dengar rencana
Bunga Dewi yang ingin mencuri Permata Manik Jingga,
Nyai. Bahkan kakakku; Raka Pura, juga mendengar
kabar tentang rencana pencurian permata di Candi
Apung. Menurutku, sebaiknya kembalikan saja perma-
ta tersebut, Nyai. Sebab...."
"Kalau cucuku berhasil mencuri permata itu,
sekarang aku sudah kaya dan jubahku tidak selusuh
ini, tahu?!" bentak Nyai Gantari dengan berang. Si Tu-
pai Siluman maju selangkah lagi, pandangan matanya
di arahkan kepada Dewi Binal.
"Cucuku tidak membawa permata itu. Dia ju-
stru ditipu oleh teman kerja samanya! Kalau kau ingin
temukan permata itu, carilah orang yang bernama Ba-
tara Jabrik! Karena permata itu justru dibawa lari oleh
Batara Jabrik dengan menyiasati si Bunga Dewi lebih
dulu!"
Dewi Binal menyahut, "Jangan libatkan orang
lain yang...."
"Apa yang dikatakannya memang benar, Dewi!"
sambar Soka lebih cepat. Dewi Binal segera berpaling
menatap pemuda tampan itu.
"Aku percaya dengan kata-kata Nyai Gantari.
Masuk akal sekali jika permata itu ada di tangan Bata-
ra Jabrik!"
"Semudah itukah kau mempercayai mulut
orang Tanah Keramat?!"
"Aku dan Raka mendengar sendiri, bahwa Bun-
ga Dewi pergi ke Candi Apung untuk mencuri Permata
Manik Jingga bersama si Batara Jabrik!"
Kemudian, Soka menceritakan pertemuannya
dengan Bulan Berkabut yang secara tak sengaja men-
jelaskan tentang rencana tersebut di depan Soka dan
Raka. Pada waktu itu, Soka dan kakak kembarnya se-
dang mencari Bunga Dewi yang diduga diculik oleh
orangnya si Jagat Lancang dari Perguruan Tengkorak
Sungsang, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode: "Pemburu Mahkota Dara").
Akhirnya persoalan itu diselesaikan oleh Soka
Pura secara damai. Kemarahan Nyai Gantari atas tin-
dakan Dewi Binal yang hampir merenggut nyawa sang
cucu, berhasil diredamkan oleh kata-kata lembut dan
menghibur.
"Aku justru mau bikin perhitungan sendiri den-
gan si Batara Jabrik!" ujar sang Nyai seperti orang
menggerutu.
"Kau boleh bikin perhitungan sendiri dengan si
Batara Jabrik, tapi jangan coba-coba berusaha me-
rampas permata itu dari tangannya!" ujar Dewi Binal
bernada mengancam. Nyai Gantari hanya memandang
tajam dengan mendengus kesal.
"Jaga dirimu, Gadis Bonyok! Jangan sampai
kau jumpa denganku tanpa Soka Pura. Kau akan kehi-
langan nyawa pada saat itu juga!"
Setelah lontarkan ancaman juga, Nyai Gantari
segera pergi dengan lakukan lompatan cepat ke arah
semak-semak. Dalam sekejap saja nenek berjubah hi-
tam itu sudah lenyap dari pandangan mata Soka Pura.
Pemuda itu hembuskan napas lega.
Namun napas kelegaan belum sempat terhem-
bus sampai tuntas. Ia terpaksa tahan napas seketika
karena Dewi Binal segera memeluk dan menciuminya
dengan suara bisikan manja.
"Cup, cup, cup...."
"Hhhmmh.... Aku rindu padamu! Aku kangen
sekali, Soka...!"
"Aku juga hmmm...," Soka tak bisa lanjutkan
kata-katanya karena tiba-tiba bibirnya disambar oleh
bibir Dewi Binal, kemudian bibir itu dilumat oleh si
gadis dengan luapan api kerinduan yang mengganas.
Soka Pura sempat geragapan sesaat. Semula ia ingin
sentakkan tubuh Dewi Binal agar menjauh. Tapi Soka
segera sadar bahwa mereka sudah lama tak saling
jumpa, sehingga kerinduan di hati Dewi Binal yang
naksir berat padanya itu meledak saat itu juga. Soka
Pura terpaksa memberi balasan alakadarnya dengan
memagut-magut bibir Dewi Binal. Si gadis berselera
tinggi itu mengerang panjang ketika pagutan mulut
Soka merayap ke leher, lalu turun ke bawah lagi, dan
tangan Dewi Binal pun meremas apa yang ada di ba-
wah Soka.
"Sssh, aah.... Soka, aku... aku rindu sekali.
Uuuhk...!"
Dewi Binal mulai merengek bergairah. Tapi So-
ka Pura segera hentikan serangan balasan tersebut.
Saat itu, Soka kurang berselera karena di benaknya
masih menyimpan masalah yang membingungkan se-
kaligus sering membuatnya berpikir tegang. Dewi Binal
merengek manja, minta diteruskan, tapi Soka Pura te-
tap menghindar dengan pelan-pelan.
"Tunda dulu hasrat mu, Dewi. Bukankah kau
sedang hadapi masalah yang harus segera kau selesai-
kan?!"
Dewi Binal terpaksa menunda hasratnya walau
ia mengeluh kecewa.
"Bisakah kau membantuku mencari Batara Ja-
brik?!"
"Sebenarnya bisa saja. Tapi karena aku sendiri
sedang hadapi masalah besar, jadi kali ini agaknya aku
tak bisa membantumu, Dewi."
Dewi Binal hembuskan napas, sekali lagi ia
tampak kecewa mendengar ucapan Soka Pura.
"Sayang sekali...," ujarnya seperti orang meng-
gumam. "Padahal permata itu harus segera kuda-
patkan. Jika tidak, maka selain permata itu akan di-
jual oleh pencurinya, permata itu sangat berbahaya ji-
ka sampai jatuh ke tangan orang sesat."
"Apa keistimewaan dari permata itu, Dewi?"
"Permata Manik Jingga ada di tongkat pendek
berlapis emas. Tongkat itu adalah pusaka milik men-
diang Ratu Kaliswara, yang menjadi cikal bakal dari le-
luhur ku. Pusaka itu bernama pusaka 'Suryapati'. Jika
batu Permata Manik Jingga yang ada di ujung tongkat
itu ditembus sinar matahari, maka bias sinarnya dapat
meleburkan gunung, menghancurkan karang, juga bi-
sa membuat besi baja menjadi bubur panas!"
"Dahsyat sekali pusaka itu?!" gumam Soka Pu-
ra.
"Itulah sebabnya aku diutus kakek Tabib Ku-
bur untuk membantu kesulitan mantan kakak Ipar-
nya: Pendeta Tambang Dewa, untuk dapatkan kembali
Permata Manik Jingga."
"Sayang sekali...," gumam Soka Pura dengan
wajah sedikit murung. "Aku sendiri harus selesaikan
masalah ku secepatnya. Jika tidak, bisa-bisa aku men-
jadi... menjadi... ah, tak tahulah aku ini mau jadi apa
jika masalah ku tidak kuselesaikan secepatnya."
Setelah diam sesaat, Dewi Binal ajukan tanya
sambil masih menggelendot di pundak Soka.
"Apa sebenarnya masalah mu itu, Soka?!"
"Berkaitan dengan orang-orang Suku Kano
yang sedang bermusuhan dengan Suku Ampar!" jawab
Soka pelan. Dewi Binal tampak lebih serius lagi me-
mandang Soka. Ia tidak bergelendotan lagi, melainkan
menatap dengan dahi berkerut, tampak sedikit terpe-
ranjat.
"Suku Kano...?!" gumam si gadis cantik berhi-
dung mancung itu.
"Apakah kau pernah dengar nama Suku Kano
atau Suku Ampar?"
"Bukan pernah lagi. Kakekku; Tabib Kubur,
adalah keturunan dari Suku Datu."
"Suku Datu...? Apa hubungannya dengan per-
soalanku?!"
"Suku Datu punya tingkatan lebih tua dan le-
bih tinggi dari Suku Kano dan Suku Ampar. Jika orang
keturunan Suku Datu bertemu dengan orang keturu-
nan Suku Kano atau Suku Ampar, maka mereka akan
bersujud di depan orang keturunan Suku Datu. Dapat
kau bayangkan seberapa tingkat ketinggian derajat
Suku Datu itu pada mereka."
Soka Pura menggumam dan manggut-manggut.
"Suku Datu adalah nenek moyang dari leluhur
kedua suku itu," lanjut Dewi Binal. "Mereka tak akan
berani melawan Suku Datu, juga tak berani menen-
tang keputusan maupun perintah orang Suku Datu.
Sebab jika menentang atau melawan Suku Datu, maka
menurut kepercayaan ketiga suku itu, mereka akan
binasa semua dalam waktu singkat. Entah karena
bencana alam, entah karena peperangan, atau karena
wabah penyakit. Sebab itulah, Suku Kano dan Suku
Ampar tunduk kepada Suku Datu!"
"Hebat! Diam-diam kakekmu punya gigi juga di
depan kedua suku itu, ya?!"
"Kakek keturunan terakhir dari Suku Datu
murni. Aku keturunan campuran dari Suku Datu, ka-
rena kakek menikah dengan mendiang nenek ku yang
bukan dari Suku Datu. Jadi jika kau ada masalah
dengan kedua suku itu, sebaiknya bicaralah kepada
kakekku agar kakek yang turun tangan menyelesai-
kannya. Sebab, jika kau bertarung melawan kedua su-
ku itu, maka Suku Datu akan turun tangan juga me-
wakili kedua suku tersebut. Perlu kau ketahui, orang-
orang Suku Datu selalu siap mati untuk membela ke-
dua suku tersebut. Mereka ibarat adik dari Suku Da-
tu."
Soka Pura diam merenung, merasa mulai dapat
jalan keluar untuk atasi persoalannya. Tapi ia belum
yakin, apakah si Tabib Kubur mampu selesaikan per-
soalan yang menyangkut masalah perkawinan gadis
Suku Kano? Sebab agaknya penolakan perkawinan itu
merupakan penghinaan bagi Suku Kano.
"Jangan-jangan Tabib Kubur juga merasa ter
hina kehormatannya jika mendengar penolakan per-
kawinanku dengan Nilawesti?" pikir Soka Pura, karena
dalam hati kecilnya ia belum mantap betul untuk me-
nikahi Nilawesti. Ia masih ingin bebas berkelana tanpa
ikatan batin yang terlalu kuat, seperti ikatan tali per-
kawinan.
"Kita menghadap kakek saja!" ujar Dewi Binal.
"Biar kakek yang selesaikan persoalanmu. Tapi kalau
boleh ku tahu, persoalan apa yang terjadi antara diri-
mu dengan Suku Kano?"
"Aku... aku mau dikawinkan dengan Nilawesti,
dan...."
"Hahhh...?!" Dewi Binal terpekik dengan mata
mendelik. Wajahnya menjadi semburat merah. Tak je-
las, apakah gadis itu marah atau cemburu atau keta-
kutan. Yang pasti, gadis itu segera melangkah mundur
pelan-pelan dengan mata terbuka lebar-lebar.
"Heh, kenapa sikapmu jadi begitu, Dewi?! Ada
apa?! Kau pikir aku dusta padamu?!"
"Nilawesti adalah calon kepala suku. Jika ia
sudah menikah, maka ia akan menjadi kepala suku
dan suaminya akan menjadi raja di antara masyarakat
Suku Kano. Aku... aku sangsi, apakah kakekku mau
membantumu jika persoalan itu menyangkut masalah
perkawinan dan kehormatan suku."
"Celaka kalau kakekmu tak bisa membantuku."
"Ap... apakah kau telah menyentuh tubuh Ni-
lawesti, sekalipun hanya menggenggam tangannya?"
"Su... sudah," jawab Soka. "Bahkan lebih dari
sekadar menggandeng," lanjut hati Soka.
Dewi Binal makin berwajah tegang, membuat
Soka pun akhirnya berdebar-debar juga.
*
* *
6
BATIN sepasang anak kembar memang selalu
berkaitan. Mereka mempunyai 'sambung rasa' yang ti-
dak dimiliki kakak-beradik yang tidak lahir kembar.
Tak heran jika Raka Pura, si Pendekar Kembar sulung
merasa gelisah dan resah selama dalam perjalanannya.
Raka Pura pun merasakan rindu kepada adik
kembarnya. Setelah sekian hari ia berada di padepo-
kan Perguruan Tapak Syiwa, dalam rangka menebar
rindu menuai kasih bersama Kirana, Raka Pura pun
ingin berjumpa dengan adik kembarnya. Maka ia sege-
ra pamit kepada Kirana dan gurunya: si Mulut Guntur,
untuk pergi ke Lembah Semangit, temui Soka dl pon-
doknya Resi Bayakumba.
Pada mulanya, Kirana yang cantik berlesung
pipit dan bergigi gingsul itu merengek ingin ikut Raka.
Tapi mengingat perjalanan cukup jauh dan harus di-
tempuh dengan langkah 'Jalur Badai' agar tak sampai
memakan waktu perjalanan berhari-hari, Raka tidak
izinkan gadis yang sedang menjadi bunga hatinya itu
ikut ke Lembah Semangit. Kirana ngotot dan sempat
sewot. Tapi Raka Pura membujuknya dengan sabar,
sehingga rencana pamit tertunda sampai dua hari.
Akhirnya dengan bantuan si Mulut Guntur da-
lam membujuk Kirana, Raka pun berhasil tinggalkan
padepokan di kaki Gunung Mercapada itu tanpa pen-
damping siapa pun. Tentu saja hal itu bisa dilakukan
setelah Raka bersumpah dan berjanji berkali-kali di
depan Kirana, bahwa la akan kembali lagi ke padepo-
kan tersebut untuk temui si gadis yang naksir berat
kepadanya itu.
Perjalanan menuju Lembah Semangit sempat
berjalan mulus, lancar-lancar saja. Tetapi ketika Raka
Pura sudah lakukan perjalanan setengah hari, tiba-
tiba langkahnya harus dihentikan karena ia merasa
ada yang mengikuti dari belakang. Setiap kali ia me-
nengok ke belakang, suara langkah kaki yang samar-
samar itu terhenti seketika dan tak tampak bayangan
seseorang yang menguntitnya.
Sekali dua kali ha; itu dibiarkan oleh Raka Pu-
ra. Tapi makin lama ia menjadi semakin risi karena
merasa dikuntit seseorang. Bahkan ia yakin ada orang
yang bermaksud tak beres padanya dan ingin mencuri
kelengangannya.
Pada saat ia melewati gugusan batu-batu hitam
yang cukup besar dan tingginya mencapai tiga tombak,
Pendekar Kembar sulung segera menyelinap di sela-
sela bebatuan besar itu. Sleep...! Di sana ia menunggu
si penguntit lewat. Rasa ingin tahu siapa orang yang
menguntitnya membuat Raka Pura terpaksa menahan
rasa gatal-gatal panas, karena kakinya dikerumuni
semut merah.
"Kurang ajar! Dasar semut-semut ganjen!
Aduh... ada yang merayap masuk celana segala! lih,
iih...!" Raka Pura dibuat sibuk oleh semut-semut me-
rah yang gigitannya cukup panas itu. Akibatnya ketika
si penguntit berkelebat di depan tempat persembu-
nyiannya, ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa
orangnya.
"Sepertinya tadi ada bayangan yang berkelebat
di jalanan depan situ! Pasti dia orang yang mengikuti-
ku sejak tadi. Ah, sial! Gara-gara semut-semut ini aku
jadi tak perhatikan orang tersebut!" gerutu Raka Pura
dalam hati.
Pemuda yang serupa betul dengan Soka Pura
itu segera sentakkan kakinya ke bumi dan tubuh pun
melesat naik dengan cepat. Wuuut...! Jleeg...! ia hing-
gap di atas salah satu batu tertinggi dari kelompok be
batuan itu. Dari sana ia dapat memandang ke arah ja-
lan yang akan dilaluinya.
"Ooh...?! Itu dia orang yang mengikutiku!" ujar-
nya dalam hati sambil memandang seseorang yang se-
dang menyelinap di balik pepohonan. Orang tersebut
memandang sekelilingnya dengan clingak-clinguk se-
perti maling kesiangan. Rupanya ia mencari buronan-
nya yang dianggap lenyap tak berbekas. Ia tak tahu
bahwa orang yang diikutinya sekarang sedang mem-
perhatikan tingkah polahnya dari atas gugusan batu-
batu besar.
Orang tersebut bertubuh tinggi, besar, berku-
mis lebat, bermata lebar, mempunyai codet di pipi ki-
rinya. Wajah angker yang mengenakan pakaian kotak-
kotak seperti papan catur itu sebenarnya sudah tidak
asing lagi bagi Raka Pura. Orang itu tak lain adalah
Bomapati, yang pernah bertarung dengannya ketika ia
menyelamatkan Kirana, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Tumbal Asmara Buta"). Namun kali ini
Bomapati tidak bersenjata bola besi berduri yang
punya rantai bisa panjang-pendek itu, tapi menye-
lipkan sebilah kapak di pinggang kanannya.
"Rupanya ia ingin balas dendam padaku, kare-
na pernah kulukai ketika ia ingin membunuh Kirana,"
gumam hati Raka Pura dengan tetap tenang. Hatinya
pun mulai mempertimbangkan langkah selanjutnya.
"Haruskah kuhadapi, atau kutinggal pergi sa-
ja?"
Setelah beberapa kejap mempertimbangkan,
Raka Pura akhirnya putuskan niatnya untuk bikin ka-
pok si Bomapati biar tak berani simpan dendam lagi
padanya. Dengan gerakan jurus 'Jalur Badai', tahu-
tahu Pendekar Kembar sulung sudah berdiri di bela-
kang Bomapati. Wuuuzz...! Jleeg...!
Angin gerakan Raka Pura dirasakan oleh orang
Perguruan Cakar Hantu itu. Ia segera berpaling ke be-
lakang, matanya yang lebar pun cepat terbelalak te-
gang karena terkejut mengetahui Raka Pura sudah ada
di belakangnya.
"Haah...?!" mulut Bomapati ternganga lebar se-
perti liang tikus wirok.
Raka Pura sunggingkan senyum kalem. Kedua
tangannya bersidekap di dada, kakinya sedikit me-
renggang tegak.
"Rupanya kau tak lupa caranya kaget yang
baik, Bomapati," sindir Raka Pura dengan mata mena-
tap lurus namun berkesan tenang. Bomapati tampak
menggeragap dan salah tingkah.
"Sejak kapan kau menjadi seorang penguntit?!
Percuma saja tubuhmu besar, wajahmu seangker ku-
buran keramat, tapi jiwamu licik dan tak berani ber-
hadapan dengan lawan secara jantan!"
"Hhhmmmrr...! Keparat kau! Heeah...!"
Bomapati hantamkan tangan kanannya ke wa-
jah Raka yang berjarak kurang dari dua langkah itu.
Wuuut...! Genggaman tangannya yang besar berhasil
ditangkap dengan tangan kanan Raka. Plek...! Tubuh
Raka cepat berputar dan sedikit merendah. Sikunya
langsung menyodok ke belakang. Buuhk...!
"Heehg...!!" Bomapati tak dapat hindari gerakan
cepat Pendekar Kembar sulung. Ulu hatinya menjadi
sasaran sodokan siku Raka yang cukup kuat itu. Nafas
bagai menggumpal di dada dan perutnya segera men-
jadi mual.
Tubuh besar itu sempat terdorong mundur tiga
langkah. Hal itu menandakan sodokan siku Raka Pura
mengandung kekuatan tenaga dalam yang tergolong
besar. Bomapati tak menyangka akan menerima sodo-
kan seperti itu. Mulutnya ingin melontarkan makian,
tapi tak bisa bersuara karena sibuk menarik
napas untuk tahan rasa sakit di ulu hatinya itu.
"Setan! Perutku seperti disodok pakai sebatang
besi baja. Uuhf...! Sakitnya bukan main. Sodokan ju-
rus apa itu tadi?" ujar Bomapati dalam hatinya.
Raka Pura undur diri dua langkah. Sikapnya
kembali tenang, berdiri dengan kaki sedikit mereng-
gang, tapi kedua tangannya tidak bersidekap di dada
lagi.
"Rupanya kau ingin membalas kekalahanmu
tempo hari, Bomapati?! Hmmm... sebaiknya perlu kau
ingat, setiap lawan yang datang padaku untuk ketiga
kalinya, berarti ia sudah ikhlas menyerahkan nya-
wanya padaku. Jadi kuharap kau tidak datang lagi pa-
daku untuk ketiga kalinya." ......
Bomapati semakin menggeram dengan gigi
menggeletuk. Tahu-tahu ia melompat menyerang Raka
Pura sambil cabut kapaknya. Wees...! Kapak diayun-
kan ke arah kepala Pendekar Kembar sulung.
Wuuut...! Namun Pendekar Kembar sulung lebih cepat
gulingkan badan ke tanah. dan kakinya menendang
tulang kering Bomapati. Duuhk...!
"Aaow...!" Bomapati terlonjak mundur. Wajah
angkernya semakin menyeramkan karena menyeringai
dengan gigi meringis menahan sakit. Tulang kering ka-
kinya seperti dihantam dengan sebatang besi. Rasa-
rasanya tulang kering itu remuk di dalam.
"Bangsat kauuu...! Auuuh...! Bangsat sekali
kau..." makinya sambil terbungkuk memegangi ka-
kinya yang menjadi memar membiru.
Pendekar Kembar sulung cepat bangkit dan ka-
kinya menendang kepala Bomapati dengan keras.
Plook...!
"Aooow...!" Bomapati makin memekik sambil
tubuhnya terlempar dan jatuh terbanting secara men-
genaskan. Bruuuk...! Hampir saja pelipisnya terkena
kapaknya sendiri.
Tendangan bertenaga dalam yang tepat kenai
rahang kiri itu membuat rahang tersebut seperti pe-
cah. Mulut Bomapati tak bisa terkatup untuk sesaat.
Darah keluar dari mulut karena gigi gerahamnya ada
yang copot satu. Untung tidak tertelan, sehingga ia tak
perlu lakukan operasi usus buntu.
Raka Pura berdiri dengan gagah. Dadanya yang
bidang tampak membusung kencang. Kedua tangan-
nya menggenggam dengan otot bertonjolan. Tapi si-
kapnya masih tenang dan kalem.
"Kalau kau masih belum jera, terimalah Jurus
Tapak Sunyi'-ku ini, Bomapati! Hieeeaah...!"
"Ukup, ukup, ukup...!" Bomapati mengangkat
tangannya. Maksudnya mau bilang 'cukup', tapi kare-
na rahangnya sakit maka yang terucap hanya kata
'ukup'. Raka memahami maksud tersebut, maka ia
pun tak jadi lepaskan jurus 'Tapak Sunyi'-nya yang bi-
sa membuat kepala Bomapati hancur selembut tepung.
Padahal Raka sendiri hanya menggertak lelaki berkulit
tebal itu dan ternyata gertakannya membuat lawan
benar-benar ketakutan. Bomapati bergegas bangkit
dan mundur beberapa langkah sambil terpincang-
pincang.
"Aku hanya diuruh..."
"Apa itu diuruh?!"
Bomapati menggerak-gerakkan rahangnya, me-
lemaskan mulut agar bisa bicara normal kembali. Ia
meludah beberapa kali, karena darah yang keluar dari
gigi yang tanggal cukup banyak. Setelah itu ia bisa bi-
cara dengan jelas kembali.
"Aku hanya disuruh seseorang untuk membu-
nuh mu dengan upah tinggi."
Raka Pura terkesip dalam tatapannya yang tajam.
"Siapa yang menyuruhmu?!"
"Nilawesti! Tentunya kau kenal dengan gadis
itu."
Raka Pura kerutkan dahi tajam-tajam. "Nila-
westi...?!" gumamnya lirih, merasa asing dengan nama
tersebut.
"Kau jangan membual di depanku, Bomapati!"
hardik Raka sambil melangkah dekati lawan. Bomapati
mundur ketakutan.
"Sumpah! Sumpah, aku hanya disuruh dia.
Bukan maksudku ingin balas kekalahan ku tempo ha-
ri, tapi sekadar ingin dapatkan upah tinggi dari Nila-
westi!"
"Aku tidak kenal Nilawesti!"
"Kau yang membual di depanku jika begitu!"
sergah Bomapati ngotot. "Tak perlu berlagak bodoh di
depanku! Kau pasti kenai dengan Nilawesti, kepona-
kannya Uban Karang itu."
"Orang mana dia?!" tanya Raka setelah pertim-
bangkan bahwa ngototnya Bomapati itu tampak benar-
benar ingin buktikan bahwa dirinya adalah orang upa-
han dari Nilawesti. Tentu saja Raka Pura bingung
mendengar nama yang masih asing baginya.
"Orang mana mereka?! Jawab...!" bentak Raka
Pura sambil mendekat ingin lepaskan pukulannya un-
tuk menggertak Bomapati.
Bomapati mundur hingga merapat dengan se-
batang pohon besar.
"Dia orang Suku Kano! Aku... aku tak tahu apa
alasannya, yang jelas dia memberi ku upah tinggi agar
aku membunuhmu. Ia memberikan ciri-ciri mu, terma-
suk menyebutkan pedang kristal itu. Maka aku ingat
denganmu dan kucari kau untuk kutunggu kelenga-
hanmu. Karenanya aku tak berani langsung menye-
rangmu, karena aku tahu kau punya ilmu lebih tinggi
dariku. Aku terpaksa harus menguntit mu beberapa
saat, sampai kulihat ada kesempatan balk untuk
membunuhmu! Tapi.., tapi ternyata kau adalah orang
yang sukar dibunuh dan... dan aku akan tinggalkan
pekerjaan ini!"
"Tunjukkan di mana Nilawesti berada!"
"Di perkampungan Suku Kano, di tepi Sungai
Berang!"
"Bawa aku ke sana!" desak Raka Pura yang pe-
nasaran ingin melihat tampang si perempuan yang
bernama Nilawesti itu. Tapi agaknya Bomapati kebera-
tan dan tak berani memenuhi permintaan Raka Pura.
Namun ia juga takut dicederai lagi oleh pemuda tam-
pan berambut sepundak itu.
"Se... sebetulnya kau mudah mencapai ke sana.
Kau lihat bukit di seberang sana itu...?" Bomapati me-
nunjuk satu arah. Raka Pura memandang dengan ma-
ta mengecil.
"Bukit yang sebelah mana? itu ada tiga bukit!"
Blaassss...!
Raka Pura segera berpaling ke arah semula.
Ternyata Bomapati sudah minggat dengan kecepatan
tinggi.
"Berhenti kau, Pengecut!" seru Raka Pura, na-
mun Bomapati tetap larikan diri dan segera lenyap di
balik kerimbunan hutan.
"Kampret! Mudah sekali ia mengecoh ku?!" ge-
ram Pendekar Kembar sulung. Sebenarnya bisa saja ia
mengejar Bomapati dengan menggunakan jurus 'Jalur
Badai'-nya. Tapi perhatian Raka Pura segera tertarik
pada suara jeritan di arah lain. Pekikan itu terdengar
memanjang dan menggema, sepertinya jeritan kema-
tian. Raka Pura bukan mengejar Bomapati tapi justru
berlari menuju ke arah datangnya jeritan panjang itu.
Wuuz, wuuuz, wuuz...!
Langkah cepatnya dihentikan sebelum ia me-
nyeberangi padang rumput yang tak seberapa luas.
Matanya menatap ke arah seorang yang tergeletak di
tanah dalam keadaan berlumur darah.
"Oh, rupanya orang itu yang tadi menjerit pan-
jang?!" ujar Raka membatin, lalu bergegas hampiri
orang tersebut.
Ternyata orang berpakaian hitam dengan daun
telinga lebar dan tinggi mulut agak monyong itu sudah
tidak bernyawa lagi. Luka-lukanya cukup parah dan
mengerikan. Raka dapat kenali luka tersebut sebagai
luka senjata tajam sejenis pedang atau golok. Tapi di
tangan orang yang sudah tak bernyawa itu terdapat
parang yang masih bersih. Berarti orang itu belum
sempat lukai lawannya, namun sang lawan lebih dulu
membunuhnya.
Raka Pura tak tahu bahwa orang yang baru sa-
ja tewas itu adalah orang Suku Ampar yang dikenal
sebagai Manusia Kelelawar. Orang itu bertemu dengan
tiga orang Suku Kano, yang segera menyerangnya ber-
sama-sama hingga tewas. Ketiga orang itu pun segera
pergi tinggalkan lawannya. Raka Pura tak tahu ke ma-
na perginya ketiga orang tersebut.
Kini benak Raka diliputi tanda tanya besar ten-
tang nama Nilawesti dan nama Suku Kano. Merasa tak
mengenal nama itu, tapi terancam nyawanya, Raka
Pura bermaksud mencari tahu di mana Nilawesti bera-
da. Ia ingin bertemu dengan si pemilik nama itu untuk
tanyakan alasan orang tersebut mengupah Bomapati
untuk membunuhnya.
"Kucing kurap betul orang yang bernama Nila-
westi itu! Tak pernah jumpa, tak pernah kenal, tak
pernah berselisih, tahu-tahu menyuruh orang untuk
membunuhku! Hmm...! Siapa sebenarnya si pemilik
nama Nilawesti itu?! Atau... atau mungkin Bomapati
mengelabui ku agar aku tak mencederainya lebih pa-
rah lagi?!"
*
* *
7
KEPERGIAN Soka Pura dari perkampungan
Suku Kano menimbulkan kecemasan semakin kuat di
hati Nilawesti. Repotnya lagi, tiga orang yang ditu-
gaskan membayang-bayangi Soka saat mengejar si
Macan Seribu ternyata pulang dengan tangan kosong.
Artinya, mereka mengaku tidak melihat Soka Pura,
baik di perbatasan tanah Suku Ampar maupun di be-
berapa tempat lainnya.
Berbagai dugaan timbul di hati Nilawesti dan
pamannya. Dari beberapa dugaan hanya ada dua du-
gaan yang sangat mempengaruhi jiwa gadis Suku Kano
dan pamannya itu.
"Mungkin dia dibunuh oleh Macan Seribu den-
gan siasat licik, mungkin juga dia melarikan diri kare-
na tak mau dikawinkan denganku?!"
Sehari semalam Soka Pura tak kembali. Akhir-
nya sang kepala suku segera perintahkan orang-
orangnya untuk mencari Soka Pura di luar batas tanah
Suku Ampar, serta di beberapa tempat lainnya. Uban
Karang menjadi ikut resah karena keponakannya ber-
wajah murung dan selalu mengungkapkan kecema-
sannya. "Jika tak berhasil bertemu dengan orangnya,
bawa pulang jejaknya!" perintah Uban Karang kepada
tim pencari Soka Pura. Mereka terdiri dari beberapa
kelompok yang menyebar ke berbagai arah.
"Jika ia bermaksud lari dari perkawinan hukum
adat, tangkap dan paksa dia. Hadapkan segera pada
ku!"
"Tapi pelan-pelan saja menangkapnya. Jangan
kasar-kasar," timpal Nilawesti yang merasa tak rela ji-
ka Soka diperlakukan dengan kasar.
Sebenarnya Nilawesti ingin lakukan pencarian
sendiri. Tapi sang paman melarang, mengingat bahaya
yang sewaktu-waktu dapat muncul dan merenggut
nyawanya. Jika hal itu terjadi, maka lenyap sudah ke-
beradaan Suku Kano.
Salah satu kelompok yang dipimpin oleh Ruru-
sada akhirnya menemukan Soka Pura yang sedang
berdiri di tepi Sungai Berang. Pemuda itu tampak ra-
gu-ragu untuk lakukan penyeberangan. Anehnya, pe-
muda itu menjadi tegang dan memandang curiga ke-
pada Rurusada dan ketujuh orangnya. Tentu saja begi-
tu, karena pemuda tersebut sebenarnya bukan Soka
Pura, melainkan Raka Pura, kakak kembarnya.
"Siapa kalian?!" tegur Raka Pura dengan tangan
mulai menggenggam. "Apa maksud kalian mendatangi
ku di sini?! Apakah kalian orang-orang Suku Kano?!"
"Benar! Kami utusan dari Suku Kano. Seharus-
nya kau tak perlu menanyakannya lagi!" kata Rurusa-
da.
"O, Jadi kau orang-orangnya perempuan yang
bernama Nilawesti itu?!"
"Benar!" jawab Rurusada, kemudian ia segera
berbisik kepada temannya. "Mengapa ia merasa asing
kepada kita?!"
"Mungkin dia punya maksud tersendiri, seperti
yang dikhawatirkan sang ketua. Barangkali dengan ca-
ra begini dia mudah melarikan diri dari perkawinan-
nya."
"Kalau begitu, bersiaplah! Jaga dia agar Jangan
sampai lolos!" perintah Rurusada, lalu memberi isyarat
kepada ketujuh temannya. Mereka pun segera lakukan
pengepungan. Kecurigaan Raka semakin buruk. Ia pun
bersiap hadapi delapan orang yang dianggap ingin
membunuhnya atas perintah Nilawesti.
"Kami diutus membawamu pulang ke perkam-
pungan!" ujar Rurusada.
"Katakan kepada Nilawesti, aku tak kenal ke-
padanya! Tak perlu bikin persoalan denganku!" tegas
Raka Pura. Pernyataan itu semakin membuat Rurusa-
da dan orang-orangnya menduga bahwa Soka Pura in-
gin ingkar dari kenyataan dan lari dari perkawinan.
"Kami diberi izin untuk memaksamu!"
"O, baik! Kalau kalian bisa memaksaku, sila-
kan! Kau pikir aku akan gentar berhadapan dengan
kalian?" hardik Raka Pura. Maka suasana permusu-
han semakin tercipta dengan jelas.
Rurusada memberi isyarat kepada orangnya
yang bernama Tandon. Orang tersebut segera melesat
pergi menerabas kerimbunan semak ilalang. Bruusk...!
Raka Pura tak mengerti maksudnya. Ia hanya me-
nyangka, Tandon akan memanggil bala bantuan untuk
menangkapnya.
Namun sebelum Raka Pura temukan cara un-
tuk atasi bantuan yang diperkirakan akan datang lebih
banyak lagi itu, tiba-tiba dua orang menyerangnya dari
arah samping kanan-kiri. Wuuut...! Keduanya me-
layang dengan kaki siap menerjang kepala Raka.
Pendekar Kembar sulung memutar tubuh hing-
ga bergeser dari tempat berdirinya. Kaki menendang
cepat ke arah salah satu orang, kemudian tubuh ber-
putar cepat lagi bersama lompatan yang melayangkan
kakinya. Bet, bet...! Buhk...!
"Aahk...!"
"Oow...!"
Kedua orang itu terpental berbeda arah dan sal
ing jatuh terbanting dengan sangat menyedihkan. Sa-
lah satu dari mereka membentur pohon dan kepalanya
beradu dengan batang pohon cukup keras. Praak...!
Rupanya mereka sudah menyiapkan cara sen-
diri untuk hadapi Soka Pura jika sampai terjadi tindak
kekerasan seperti itu. Tandon ditugaskan untuk ber-
sembunyi, bukan mencari bantuan. Sementara itu,
yang lain menyerang Soka, membuat sibuk pemuda
tampan berilmu tinggi itu. Dan rencana tersebut be-
nar-benar mereka lakukan dalam menghadapi Raka
Pura yang mereka sangka sebagai Soka Pura.
Tandon menyiapkan sebatang bambu kecil
ukuran tiga jengkal. Bambu sumpit itu diisi dengan ja-
rum beracun. Racun tersebut dapat lumpuhkan selu-
ruh urat dan lemahkan tenaga si korban. Namun da-
lam beberapa waktu kemudian, segalanya kembali lagi
tanpa harus diberi obat penawar racun.
Maka ketika Raka Pura sibuk hadapi serangan
dari Rurusada dan yang lainnya. diam-diam Tandon
sudah siapkan bambu sumpit alias tulup. Bambu itu
sudah menempel di mulutnya. jarum beracun sudah
ada di dalam bambu kecil.
Raka Pura hindari tendangan kaki beruntun
dari Rurusada. Pada saat itulah, ia memunggungi tem-
pat persembunyian Tandon. Lalu, nafas Tandon pun
menyentak melalui mulut.
"Fuuih...!"
Slaap...! Juubs...!
Jarum beracun menancap di tengkuk kepala
Raka Pura. Pendekar Kembar sulung masih sibuk hin-
dari serangan lawan dari tiga arah. Sesekali ia masih
bisa balas menyerang dan membuat lawannya terjung-
kal atau jatuh terpelanting. Ketika jarum itu kenai
tengkuknya, Raka Pura hanya rasakan seperti digigit
semut. Sangkanya, semut-semut yang merayapi ka
kinya saat bersembunyi dari incaran Bomapati itu ma-
sih ada yang tersisa dan merayap di tengkuk, lalu
membalas dendam padanya. Raka Pura tak hiraukan
gigitan kecil itu. Hanya saja, beberapa saat kemudian
pandangan matanya mulai buram. Tubuhnya terasa
lemas. Pernafasannya tersendat-sendat.
"Aneh. Padahal aku tidak terkena pukulan me-
reka, tapi mengapa pandangan mataku jadi buram dan
badanku jadi lemas begini?!" pikir Raka Pura sambil
masih mencoba bertahan untuk siap siaga hadapi se-
rangan lawan berikutnya. Namun ternyata lawan-
lawannya justru mundur dan diam di kejauhan.
Penglihatan yang semakin memburam telah
membuat Raka Pura tak tahu di mana lawan-lawannya
berada. Ketika ia melangkah, langkahnya menjadi lim-
bung. Kepala pun menjadi pusing, seperti gangsing di-
putar. Akhirnya, Pendekar Kembar sulung itu jatuh
terkulai lemas, namun ia masih sadar terhadap apa
yang terjadi berikutnya. Hanya saja, ia tidak mampu
lakukan apa pun, seperti saat terkena totokan si Ke-
cubung Manis dulu.
"Dia sudah tak berdaya, Rurusada!" ujar Tan-
don setelah mencabut jarum yang menancap di teng-
kuk Raka. Pada saat itu Raka pun mendengar suara
Rurusada bicara kepada Tandon.
"Bidikan mu ternyata masih bisa diandalkan,
Tandon. Kalau saja ia tadi menghindar ke samping,
maka jarum beracun itu akan kenai leherku atau
mungkin justru akan kenai mataku!"
Tandon tertawa bangga, yang lain pun tertawa
lega, walau ada yang harus menahan rasa sakit akibat
terkena pukulan dan tendangan Raka Pura. Mereka
segera menggotong Raka Pura menyeberang sungai,
menuju ke perkampungan mereka. Saat itu, Raka
hanya bisa membatin sendiri.
"Kurang ajar! Rupanya si Tandon bukan cari
bantuan tapi cari kesempatan untuk melepaskan ja-
rum beracunnya! Celaka aku kalau begini! Bisa-bisa
riwayatku habis pada hari ini juga di depan perem-
puan bernama Nilawesti itu! Benar-benar keparat pe-
rempuan itu!"
Kemarahan Raka menggumpal di dalam hati,
membuat dada terasa ingin meledak. Hati Raka meren-
canakan pertarungan tanpa ampun dengan perem-
puan yang bernama Nilawesti itu.
Tapi ketika ia tahu siapa pemilik nama Nilawes-
ti itu, hati Raka hanya bisa tertegun bengong dan tak
mampu berucap kata apa pun. ia dibaringkan di Ka-
mar Pelamin, dan seraut wajah cantik milik gadis be-
rusia muda berada di sampingnya, merawatnya den-
gan keharuan dan kelembutan yang sama sekali ba-
gaikan mimpi bagi si Pendekar Kembar sulung. Terle-
bih setelah Raka melihat gadis itu sunggingkan se-
nyum tipis, walau masih diwarnai rasa haru, maka se-
luruh kemarahan dan rencana pertarungan tanpa am-
pun itu lenyap seketika. Hati Raka mengalami debar-
debar keindahan yang menenteramkan jiwanya, mem-
buat ia bagai diliputi sejuta rasa bahagia. Raka sendiri
terheran-heran terhadap perasaannya saat itu.
Hampir setengah hari Raka tak berdaya. Ketika
ia mulai sadar dan mampu bergerak, Nilawesti men-
gangkat kepalanya dan memberinya minum dengan
hati-hati.
Raka mulai bisa duduk dan pandangan ma-
tanya semakin jelas. Wajah cantik berhidung bangir itu
dipandanginya dengan lidah kelu sesaat. Bahkan na-
fasnya sempat terhenti sekejap ketika Nilawesti men-
cium pipinya dengan lembut.
"Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi," ujar Ni-
lawesti seperti bicara pada diri sendiri. Raka Pura masih belum bisa berkomentar apa-apa karena ia masih
bingung dengan sikap manis Nilawesti.
"Benarkah kau ingin lari dariku?"
Raka Pura paksakan diri untuk menjawab. Su-
aranya masih sedikit parau.
"Karena kau ingin membunuhku. Kau mengu-
pah seseorang untuk membunuhku, sedangkan aku
tak tahu apa kesalahanku."
"Oh, kau salah duga! Mereka bukan ingin
membunuhmu, tapi menyelamatkan dirimu dari ba-
haya Suku Ampar dan mengawalmu pulang kemari,
Kasihku!"
Tentu saja Raka Pura menjadi semakin bin-
gung, terlebih setelah la dipanggil dengan sebutan
'kasihku'. Sedangkan yang dimaksud Raka sebagai
orang upah an yang ingin membunuhnya adalah Bo-
mapati, tapi Nilawesti menyangka orang upahan yang
dimaksud Raka adalah Rurusada dan kawan-
kawannya.
"Sama sekali tak ada niat di hatiku untuk
membunuhmu, Kasihku. Aku dan paman Uban Karang
sangat mengkhawatirkan keselamatanmu, karenanya
kami kerahkan orang-orang kami untuk mencarimu."
"Be... benarkah kau tidak ingin membunuh-
ku?!"
"Sebagai calon kepala suku, aku bersumpah,
tidak ada niat sedikit pun untuk membunuhmu! Aku
dan paman Uban Karang hanya inginkan kau kembali
sebelum esok malam. Karena esok malam adalah ma-
lam bulan purnama dan...."
"Mengapa kau mengharapkan aku ada di sini
sebelum esok malam?!"
Nilawesti tersenyum manis, sedikit berkesan
malu-malu. Sambil rapikan pakaian Raka dengan si-
kap mesra, Nilawesti pun berkata lirih tak berani menatap Raka Pura.
"Apakah kau lupa, esok malam adalah malam
perkawinan kita!"
"Hahhh...?! Perkawinan...?!!" Raka Pura terbela-
lak kaget, seperti disambar petir lubang hidungnya.
Jantungnya berdetak-detak dan mulutnya ternganga
dengan lidah kelu kembali.
"Modar aku kalau begini! Katanya aku mau di-
bunuh, sekarang begitu ketemu orang yang bernama
Nilawesti, aku justru akan dikawinkan dengannya!
Edan! Lakon apa yang kujalani di muka bumi ini sebe-
narnya?!" ujar hati Raka dalam kebengongannya.
"Apakah kau tadi tidak melihat rumah-rumah
sudah diberi pajangan dengan pelita hias yang warna-
warni?! Itu tandanya mereka sedang menyambut da-
tangnya malam perkawinan kita, Soka!" ujar Nilawesti
dengan mengusap-usap lengan Raka.
"Oooo... begitu?!" ujar Raka Pura dalam ha-
tinya. "Rupanya aku disangka sebagai Soka?! Dan ru-
panya si kunyuk edan itu ingin menikah dengan gadis
ini?! Benar-benar brengsek adikku itu! Mau kawin ti-
dak bilang-bilang, malah kabur-kaburan begini. Akhir-
nya aku yang ketempuhan!" geram hati Raka penuh
gerutu. Kini ia tahu persoalan yang sebenarnya.
"Tapi...," ujarnya kepada Nilawesti. "Mengapa
kau mengupah Bomapati untuk membunuhku, Nila-
westi?!"
Gadis itu terkejut. "Bomapati?! Maksudmu
orang dari Perguruan Cakar Hantu itu?!"
Raka Pura membenarkan dengan anggukkan
kepala. Ia sempat ceritakan sedikit tentang perte-
muannya dengan Bomapati dan mengutip pengakuan
Bomapati.
"Fitnah! itu jelas-jelas fitnah! Pasti rekayasanya
si Macan Seribu. Bomapati adalah sahabat dekatnya si
Macan Seribu. Mungkin Kepala Suku Ampar menyewa
Bomapati untuk menyebarkan fitnah kepadamu agar
kau membunuhku sebelum aku kau duga ingin mem-
bunuhmu! Keparat betul si Macan Seribu. Dia memang
sangat licik dan sangat memuakkan sikapnya!" gadis
itu pun menggeram penuh kedongkolan.
Macan Seribu memang pergunakan siasat se-
perti itu. Setelah mencoba menghadapi Soka, si Macan
Seribu merasa kalah ilmu dan harus pergunakan sia-
sat untuk menewaskan Nilawesti. Hampir saja siasat
itu berhasil menewaskan Nilawesti. Karena jika sampai
terjadi pertarungan antara Raka dengan Nilawesti, ten-
tu saja gadis itu akan tumbang dalam sekejap.
Raka Pura masih diliputi ketegangan yang tak
membuatnya panik. Ketegangan yang dirasakan sung-
guh aneh. Separo hatinya menjadi tegang karena meli-
hat kesibukan orang-orang Suku Kano menyiapkan
malam perkawinan Nilawesti dengannya, separo ha-
tinya lagi tetap tenang merasakan keindahan yang
berdesir-desir menenteramkan jiwa. Mungkin akibat
dari melihat senyum Nilawesti itu, maka ketenteraman
jiwa dirasakan oleh Raka Pura walau sebenarnya ia in-
gin memberontak keras terhadap rencana mereka.
Di depan Uban Karang dan Nilawesti yang di-
dampingi beberapa orang kepercayaan sang kepala su-
ku, termasuk Rurusada juga, akhirnya Raka Pura bi-
carakan tentang siapa dirinya. Ia bicara dengan tegas
dan tanpa ragu-ragu lagi.
"Sebenarnya aku bukan Soka Pura. Aku adalah
Raka Pura, kakak kembar Soka Pura!"
Mereka tertegun memandangi Raka. Mulut me-
reka terkatup bagai tak bisa bicara lagi.
"Kami memang mempunyai persamaan wajah,
pakaian, tubuh, dan seluruh yang ada pada kami me-
mang serupa persis. Perbedaan kami hanya ada pada
pedang ini!" sambil Raka tunjukkan pedang di ping-
gang kiri.
"Bentuk pedang kami memang serupa juga, tapi
Soka selalu selipkan pedang di pinggang kanannya,
sedangkan aku selipkan pedang di pinggang kiri. Soka
akan mencabut pedang dengan tangan kiri, sebab adik
ku itu memang kidal. Hanya itu bedanya antara aku
dan Soka."
Mereka saling pandang. Wajah mereka pun sa-
ma-sama menegang. Untuk beberapa saat mereka sal-
ing membisu, hingga suasana menjadi hening sesaat.
Tiba-tiba Nilawesti berkata dengan suara me-
nyentak.
"Tidak! Kau mendustai ku, Soka! Kau hanya in-
gin hindari perkawinan denganku!"
"Aku berkata yang sejujurnya, Nilawesti! Aku
bukan Soka Pura, melainkan Raka Pura! Kami adalah
Pendekar Kembar dari Gunung Merana."
"Hahh...?" semua mata melebar semakin te-
gang. Mereka sangat terkejut mendengar nama Pende-
kar Kembar dari Gunung Merana. Mereka tahu tentang
keberadaan Pendekar Kembar di rimba persilatan. Tapi
hati kecil mereka mulai sangsi dan menganggap Raka
hanya bersandiwara.
"Aku tidak percaya!" ujar Uban Karang. "ini su-
atu penolakan halus atas rencana perkawinanmu den-
gan Nilawesti! ini sudah merupakan penghinaan besar
yang harus diselesaikan dengan pertarungan!"
"Paman, kuharap jangan ada korban di antara
kita. Aku benar-benar Raka Pura, bukan Soka! Sean-
dainya aku memang Soka Pura, maka... terus terang
saja, aku akan menjadi orang sangat bodoh di dunia
ini jika menolak dikawinkan dengan Nilawesti!"
"Tidak bisa! Pengakuanmu sebagai Pendekar
Kembar hanya siasat untuk membatalkan perkawinan
ini! Kau telah menyentuh kulit tubuh Nilawesti, yang
menurut hukum adat sudah dianggap zina dan harus
dikawinkan!"
"Aku tidak menyentuhnya! Nilawesti yang me-
nyentuhnya waktu aku sadar dari pengaruh jarum be-
racun itu!"
"Tapi kau telah memeluk Nilawesti dan...."
"Itu Soka! Bukan aku!" bantah Raka dengan
cepat.
Mereka saling bungkam sebentar. Nafas si
Uban Karang mulai memburu, pertanda hatinya telah
terbakar oleh kemarahan. Nilawesti sendiri semakin
murung dalam kebisuannya. Ia tak mau memandang
pamannya maupun Raka.
"Ketentuan hukum adat Suku Kano adalah me-
nyelesaikan persoalan seperti ini dengan pertarungan.
Jika kau bisa tumbangkan diriku dalam pertarungan
nanti, sehingga aku yang sementara ini menjabat se-
bagai kepala suku bisa tewas, maka kau bebas dari
tuntutan perkawinan dengan Nilawesti! Sekarang juga
kita lakukan pertarungan di depan rakyat Suku Kano!"
Uban Karang mendahului keluar dari ruang
pertemuan itu. Ia menunggu Raka Pura di halaman
depan yang menjadi pusat kegiatan masyarakat Suku
Kano. Raka Pura membujuk Nilawesti agar pertarun-
gan itu bisa dibatalkan. Tapi Nilawesti justru berkata
dengan ketus.
"Kau telah menghina martabat suku kami. Kau
harus menebusnya dengan pertarungan melawan ke-
pala suku!"
"Konyol!" sentak Raka Pura ketika ditinggal ke-
luar oleh Nilawesti. Ia menjadi bingung sendiri dan ak-
hirnya bergegas keluar dari ruangan tersebut. Ternyata
Rurusada sudah menyebarkan kabar tersebut dengan
cepat kepada para penghuni perkampungan, sehingga
mereka berkumpul membentuk lingkaran lebar dan
Uban Karang ada di tengah-tengah. Kepala suku itu
sudah mencabut pedang milik Nilawesti dan siap ha-
dapi pertarungan melawan Pendekar Kembar sulung.
"Kacau sekali kalau begini! Sial! Ini gara-gara si
kambing kudis Soka! Mengapa ia harus lari kalau
hanya dikawinkan dengan gadis secantik Nilawesti?!
Ah, benar-benar brengsek adikku itu! Kalau begini ca-
ranya, mau tak mau aku harus lakukan pertarungan
dan harus bisa menewaskan si kepala suku. Padahal...
padahal aku tidak menyukai keputusan ini. Aku tidak
ingin ada korban di antara aku dan mereka. Tapi dari-
pada aku yang dibunuh, lebih baik aku yang membu-
nuh!"
Raka Pura sendiri merasa keberatan jika harus
beristri. Ia tidak mau terikat oleh tali perkawinan. Le-
bih-lebih ia kurang galak terhadap cinta seorang wani-
ta, sehingga kecantikan Nilawesti hanya menimbulkan
rasa kagum dan senang saja, namun tak bisa timbul-
kan rasa cinta di hatinya. Wajah Kirana lebih kuat
membayang di pelupuk mata Raka, walau wajah cantik
bergigi gingsul itu sering lenyap dari ingatannya jika
sedang melihat senyum Nilawesti.
Dengan malas-malasan, Raka Pura akhirnya
melangkah ke tengah arena pertarungan. Ia masih
berpikir mencari cara hindari pertarungan tersebut,
karenanya ia sengaja memperlambat langkahnya un-
tuk maju ke tengah arena.
Namun si Uban Karang tak sabar, ia segera me-
lesat dengan cepat menerjang Raka Pura bersama pe-
dangnya yang segera ditebaskan. Wuuut...! Weess...!
Raka Pura tersentak. kemudian cepat meng-
hindar dengan lompatan jurus 'Jalur Badai'-nya.
Wuuuzz...! Tahu-tahu ia sudah berada di tempat lain
di belakang Uban Karang dalam jarak sekitar delapan
langkah.
"Paman, aku tak inginkan pertarungan ini!" se-
ru Raka Pura. "Kita bukan musuh, Paman!"
"Kau hina martabat Suku Kano dengan penola-
kan mu! Perkawinan itu bisa dibatalkan kalau kau bi-
sa membunuh Kepala Suku Kano! Heeat...!"
Weess...! Uban Karang menerjang kembali, tapi
Raka Pura menghindari dengan cepat. Setiap Uban Ka-
rang menyerang, Raka Pura hanya bisa lakukan peng-
hindaran dan tak mau lepaskan balasan, karena ia te-
tap tak ingin ada korban di antara mereka. Akibatnya,
pertarungan itu seperti kucing-kucingan, lompat sana
lompat sini, kejar sana kejar sini.
Wees, wuuz...! Wees, wuuuz...! Weess, wuuuz...!
"Hentikaaaan...!!" seru sebuah suara yang ter-
dengar cukup lantang dan mengagetkan. Bersamaan
dengan itu, sekelebat bayangan putih melesat bagai-
kan badai berhembus. Tahu-tahu bayangan itu sudah
tampakkan wujudnya di tengah arena, di pertengahan
Jarak antara Raka dan Uban Karang.
"Ooh...?! Tabib Kubur...?!" mereka terkejut, juga
segenap masyarakat Suku Kano yang berkeliling mem-
bentuk arena pertarungan itu. Mereka segera tunduk-
kan wajah sambil berlutut secara serentak. Mereka
tampak memberi hormat dengan rasa takut kepada si
Tabib Kubur, kakek Dewi Binal. Hanya Raka Pura yang
masih berdiri bengong pandangi mereka setelah mena-
tap kehadiran si Tabib Kubur yang sudah dikenalnya
itu.
Kakek berjubah putih dengan rambut putih
pendek dan jenggot pendek putih itu berdiri tegak den-
gan pegangi tongkat hitamnya. Matanya memandang
penuh wibawa kepada mereka. Suaranya masih ter-
dengar lantang walau usianya sudah mencapai sekitar
tujuh puluh lima tahun.
"Berdiri semua! Hormat kalian sudah kuteri-
ma!"
Maka mereka pun berdiri, namun masih den-
gan sikap menghormat, sedikit membungkuk badan
dan tak banyak yang berani tegakkan wajah. Sikap
mereka menunjukkan bahwa Suku Kano sangat hor-
mat dan takut kepada Tabib Kubur yang dikenal seba-
gai keturunan terakhir dari Suku Datu, yaitu suku
yang lebih tinggi derajatnya dari suku mereka.
"Uban Karang! Aku datang untuk memberi tahu
padamu, batalkan rencana perkawinan si Nilawesti
dengan Soka Pura!"
Uban Karang tegakkan wajah. "Ini suatu peng-
hinaan, Kakang Tabib!"
"Bukan penghinaan, tapi bencana besar bagi
Suku Kano jika perkawinan itu tetap berlangsung!"
"Soka Pura telah membunuh orang kedua dari
musuh kami. Soka Pura telah menyentuh tubuh Nila-
westi, juga menyelamatkan nyawa calon kepala suku
kami. Ia harus menikah dengan Nilawesti sesuai keten-
tuan dalam hukum adat!"
"Ingat kau pada ketentuan terakhir dalam hu-
kum adat perihal perkawinan?"
Uban Karang yang hafal dengan undang-
undang hukum adat segera sebutkan ketentuan terak-
hir dalam hukum adat tersebut perihal perkawinan
suku.
"Suku Datu, Suku Kano, dan Suku Ampar ti-
dak boleh lakukan perkawinan silang dengan keturu-
nan kembar!"
"Kau tahu apa akibatnya jika kita lakukan per-
kawinan silang dengan orang kembar yang bukan dari
keturunan tiga suku itu?!" uji si Tabib Kubur.
"Ya, aku tahu akibatnya, Kakang Tabib. Ketiga
suku kita akan mengalami bencana dalam waktu empat puluh hari setelah perkawinan itu berlangsung. Ki-
ta semua akan binasa, sesuai kutukan leluhur kita di
masa lalu."
"Apakah kau ingin kita binasa, Uban Karang?!"
"Aku tak tahu maksudmu, Kakang Tabib!"
"Soka Pura adalah anak kembar!" tegas Tabib
Kubur yang mencengangkan mereka. "Dan yang kau
hadapi ini adalah Raka Pura, kakak kembar dari Soka
Pura!" sambil Tabib Kubur menuding Raka yang ada di
samping kanannya, empat langkah dari tempatnya
berdiri.
"Mereka adalah Pendekar Kembar dari Gunung
Merana, murid si Dewa Kencan, anak angkat dari Pa-
wang Badai!"
Uban Karang masih berusaha membela diri.
"Jika Kakang bisa buktikan hal itu, maka kami akan
memilih lebih baik membatalkan perkawinan Nilawesti
dengan Soka Pura!"
"Kau ingin bukti?! Baik. Lihat ke arah pintu
gerbang, siapa yang datang kemari itu!"
Semua mata tertuju ke pintu gerbang yang su-
dah dibangun kembali dari reruntuhannya akibat se-
rangan Suku Ampar dua hari yang lalu. Mata mereka
tak berkedip memandang dua orang melangkah men-
dekati arena pertarungan. Dua orang itu adalah Soka
Pura yang didampingi oleh Dewi Binal.
"Ooh.... Paman, ternyata mereka memang Pen-
dekar Kembar!" ujar Nilawesti dengan suara berbisik
tegang.
Soka Pura segera berdiri di samping kakaknya
sambil cengar-cengir. Sang kakak cemberut dan meng-
gerutu tak jelas. Semua mata masih tetap tak berkedip
pandangi dua pemuda kembar yang sukar dibedakan
itu. Nilawesti pun menatap tak berkedip, namun lama-
lama air matanya meleleh di pipi. Hatinya dirundung
duka yang memilu, karena kenyataan yang dihadapi
sungguh mengecewakan hati. Soka Pura ternyata ada-
lah anak kembar yang tak boleh menikah dengan gadis
Suku Kano maupun Suku Ampar dan Suku Datu.
"Paman... aku tak kuat, Paman...," rintih Nila-
westi, akhirnya gadis itu jatuh pingsan dan segera di-
tangkap oleh pamannya. Suasana pun menjadi heboh,
masing-masing orang mencemaskan Nilawesti yang se-
gera dibawa masuk ke rumah sang kepala suku.
Soka Pura nyengir di depan kakaknya. "Tak ku
sangka kau nyelonong kemari juga, Raka?! Heh, heh,
heh...!"
"Dasar monyong!" sambil Raka Pura mendorong
kepala adiknya dengan satu sentakan tangan. Sang
adik hanya tertawa cekikikan.
"Lain kali kalau belum siap kawin jangan bikin
ulah macam buaya darat!" kecam Raka.
"Aku tak tahu hukum adat yang berlaku di sini!
Aku hanya terjebak dalam perkawinan aneh ini! Aku
tak tahu kalau gadis Suku Kano itu tak boleh disen-
tuh."
"Kau memang mata keranjang dan bertangan
usil"
"Tanganku tidak usil! Aku hanya...."
"Kau pengecut! Tak berani hadapi tantangan
seperti ini!"
"Tantangan yang lain berani kuhadapi, tapi tan-
tangan mesra seperti ini, bikin aku pikir-pikir seratus
kali!"
"Kalau tak berani hadapi tantangan mesra se-
perti ini, jangan bikin ulah konyol, Goblok!"
"Aku tidak konyol! Kau jangan salahkan aku.
Sebab aku tidak sengaja konyol...," dan mereka pun ri-
but sendiri, saling berdebat dengan seru di luar rumah
kepala suku.
Ketika Nilawesti sudah siuman, Tabib Kubur
perintahkan pada Pendekar Kembar, terutama Soka
Pura, untuk meminta maaf kepada gadis itu. Mereka
mau meminta maaf demi perdamaian bersama.
"Sekalipun kau urung menjadi suamiku, kuha-
rap kau tetap sering hadir menengok ku di sini, Soka,"
ujar Nilawesti yang sudah bisa kendalikan emosi ji-
wanya.
"Tentu saja aku akan sering kemari, Nila!"
Tabib Kubur segera bicara, "Sebagai orang yang
batal menikah dengan gadis Suku Kano, kau harus
menebusnya, Soka!"
"Tebusan apa yang harus kuberikan kepada
Suku Kano, Kek?!"
"Kau harus menjadi benteng Suku Kano dari
serangan lawan, dan menjadi perisai pribadi bagi Nila-
westi sendiri!"
"Aku bersedia!" sahut Raka.
"Hei, yang harus menebusnya aku, bukan kau!"
sentak Soka Pura kepada kakaknya. Yang lain pun ak-
hirnya tertawa juga melihat kekonyolan Pendekar
Kembar.
"Kalian memang harus menebusnya bersama-
sama, karena kalian adalah anak kembar yang gagal
menikah dengan Nilawesti!" ujar Tabib Kubur dan
Uban Karang manggut-manggut dalam senyumannya.
"Kami bersedia menjadi benteng Suku Kano
dan perisai Nilawesti!" ujar Soka mewakili Pendekar
Kembar.
Keputusan itu menyebar sampai di telinga
orang-orang Suku Kano, bahwa Suku Kano dilindungi
oleh Pendekar Kembar: Raka Pura dan Soka Pura. Ma-
ka sejak itu, Macan Seribu dan orang-orang Suku Am-
par tak ada yang berani mengusik orang-orang Suku
Kano, karena mereka tahu kekuatan Suku Kano menjadi besar setelah dalam perlindungan Pendekar Kem-
bar.
SELESAI
Segera terbit!!!
GEGER PANTAI RANGSANG