..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 07 Februari 2025

DEWA ARAK EPISODE SETAN MABUK

Setan Mabuk

 SATU


Hari sudah agak siang. Sang surya pun telah hampir di 
atas kepala. Tapi karena ada awan tebal yang 
menutupinya, suasana di bumi jadi agak gelap. Mendung. 
Dalam suasana yang tidak panas dan angin bertiup 
lembut, tampak empat orang berwajah kasar sedang me-
langkah memasuki sebuah kedai di Desa Koneng. Rata-
rata mereka mengenakan rompi dengan sebilah golok ter-
selip di pinggang. 
Dengan sikap kasar dan jumawa mereka masuk ke 
dalam kedai, lalu mengedarkan pandangan berkeliling. 
Pengunjung kedai itu ternyata ramai juga, terbukti hampir 
semua bangku terisi. 
Melihat kedatangan empat orang itu, pemilik kedai yang 
ternyata seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh 
tahun dan bertubuh kurus kering tergopoh-gopoh me-
langkah menghampiri. Wajahnya yang kurus dan terlihat 
kering itu dihiasi kumis dan jenggot yang jarang-jarang. 
Sehingga, makin menambah kegersangan wajahnya. 
Menilik dari sikapnya, jelas kalau pemilik kedai ini 
mengenal empat orang kasar itu 
"Aduh, Den ...!" Belum apa apa pemilik kedai itu sudah 
meratap-ratap. "Kasihani aku, Den. Tolong, jangan buat 
keributan di sini" 
Sambil berkata demikian, laki-laki kurus kering ini 
merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil 
membungkuk-bungkukkan badan. Sementara pengunjung 
lain yang tengah menikmati makan pun tampak ketakutan. 
Kini, mereka tidak lagi menyantap makanan, melainkan 
bersiap-siap kaliur dari situ. Ini bisa dibuktikan dari 
sepasang mata mereka yang menatap liar ke sana kemari. 
Tapi, rupanya keempat orang kasar itu sudah 
memperhitungkannya. Maka begitu masuk ke dalam kedai, 
dua di antara mereka telah berdiri menghadang di ambang

pintu. Tangan kiri bertolak pinggang. Sementara tangan 
kanan mengelus-elus dagu. 
"Hmh...! Kau berani menantangku, Giri?!" 
Salah satu dari dua orang kasar yang dihampiri pemilik 
kedai itu, mendengus. Tangan kanannya mencengkeram 
leher baju laki-laki bertubuh kurus kering yang ternyata 
bernama Giri. Sementara penduduk sekitar Desa Koneng 
sering memanggil dengan sebutan Ki Giri. 
Dan sekali tangannya bergerak mengangkat, tubuh Ki 
Giri telah terangkat naik. Mau tak mau kedua kakinya kini 
tergantung sekitar dua jengkal di atas tanah. Apalagi orang 
yang melakukannya memiliki tubuh tinggi besar, dan yang 
pasti kepandaiannya patut diperhitungkan. Cambang bauk 
yang lebat tampak menghias wajahnya. Kedua tangannya 
yang besar-besar, juga berbulu lebat Seperti layaknya 
seekor monyet 
Seketika wajah Ki Giri pucat karena mendapat per-
lakuan seperti itu. Kakinya coba digerak-gerakkan untuk 
mencapai lantai. Dan memang keadaan seperti itu 
menyakitkan lehernya. Tapi, usahanya ini sia-sia. Kedua 
kakinya tetap saja tidak bisa mencapai lantai. Jarak antara 
kakinya dengan lantai terlalu jauh untuk bisa dijangkau. 
"Ti… ti.... Tidak, Den Jagar...," meskipun terputus-putus, 
Giri berhasil juga membuka suara. "Mana aku berani..." 
"Ha... ha... ha...!" 
Jagar tertawa terbahak-bahak. Keras sekali suaranya, 
dan jelas dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam 
tinggi. Sehingga pemilik kedai itu sampai menekapkan 
kedua tangan pada telinganya karena merasa bising. 
Begitu tawa itu selesai, tangan yang mencengkeram 
leher baju itu bergerak melemparkan tubuh Ki Giri. Enak 
saja laki-laki bertubuh tinggi besar itu melakukannya. 
Seolah-olah, tubuh laki-laki kurus kering itu tak ubahnya 
sehelai karung basah. 
Ki Giri langsung menjerit ketakutan begitu tubuhnya 
melayang deras ke belakang. Dan.... 
Brakkk...!

Suara berderak keras seketika terdengar begitu tubuh 
pemilik kedai yang malang itu menghantam bangku dan 
meja. Tak pelak lagi, bangku-bangku itu terguling ke sana 
kemari. 
Ki Giri mengaduh-aduh kesakitan. Apalagi tubuhnya 
sebagian besar hanya terdiri dari tulang-tulang saja. Bisa 
dibayangkan, betapa sakitnya terbentur bangku dan meja. 
Jagar tidak mempedulikan keadaan laki-laki kurus 
kering itu. Begitu kepalanya diegoskan, maka seketika itu 
juga ketiga orang rekannya bergerak menghampiri para 
pengunjung kedai. Sedangkan Jagar hanya berdiam diri, 
sambil mengawasi dengan kedua tangan berkacak 
pinggang. Jelas, laki-laki bertubuh tinggi besar ini adalah 
pimpinan gerombolan itu. 
Jagar tersenyum sambil memilin-milin kumisnya yang 
tebal. Matanya terus mengawasi ketiga orang rekannya 
yang telah mulai dengan tugas yang memang sudah 
direncanakan. Merampok harta para pengunjung kedai 
memang sudah jadi rencana mereka. Maka tentu saja hal 
itu membuat para pengunjung kedai panik bukan 
kepalang. Apalagi, bagi mereka yang kebetulan habis men-
jual barang dagangannya. 
"Cepat serahkan semua hartamu...!" bentak rekan Jagar 
yang bertubuh kurus dan berkulit kuning, pada salah 
seorang pengunjung kedai tanpa menghunus goloknya. 
Rupanya, dia merasa tidak perlu menggunakan golok-
nya. Dan sambil berkata demikian tangan kanannya diulur-
kan untuk merampas buntalan uang yang terselip di 
pinggang. 
Tapi, rupanya calon korban itu tidak sudi membiarkan 
begitu saja uangnya diambil. Maka diputuskanlah untuk 
mengadakan perlawanan, begitu melihat orang yang 
hendak merampas buntalan uangnya seperti orang 
penyakitan. Kebetulan, pengunjung ini memiliki bentuk 
tubuh kekar dan berotot. 
Maka begitu tangan laki-laki bertubuh kurus itu me-
luncur ke arah pinggang, bergegas tangannya menangkap.

Kreppp...! 
Begitu tangan laki-laki berkulit kuning ini berhasil 
ditangkap, langsung dilayangkannya tinju kanan ke arah 
wajah orang yang hendak merampas uangnya. 
"Hmh...! Berani kau memukul Gojang?!" dengus laki-laki 
bertubuh kurus yang ternyata bernama Gojang. Tangan 
kirinya pun seketika bergerak. Dan... 
Tappp...! 
Hanya sekali gerak saja, serangan laki-laki bertubuh 
kekar itu bisa dikandaskan. Bahkan jari-jari tangan Gojang 
sudah mencengkeram pergelangan tangan pengunjung 
kedai itu. 
Gojang tidak hanya bertindak sampai di situ saja. Ber-
bareng dengan gerakan tangan kiri, pergelangan tangan-
nya pun diputar. 
Gila! Hanya sekali memutar pergelangan saja, Gojang 
telah membuat cekalan laki-laki bertubuh kekar itu ter-
lepas. Bahkan dengan gerak tangan luar biasa, dia malah 
telah balas mencekal pergelangan lawan. Hasilnya, kini 
Gojang telah berhasil menangkap kedua pergelangan 
lawan. 
Sebelum laki-laki bertubuh kekar itu berbuat sesuatu, 
kedua tangan Gojang telah cepat bergerak membetot. Tak 
pelak lagi, rubuh pengunjung kedai yang sial itu tertarik 
deras ke depan, ke arah Gojang! Begitu kerasnya tenaga 
betotan itu, sampai tubuhnya terhuyung-huyung. 
Langsung laki-laki bertubuh kurus itu tertawa menye-
ramkan. Dan begitu tawanya habis, kepalanya digerakkan. 
Jelas, maksudnya adalah mengadu kepala pengunjung 
kedai itu dengan kepalanya sendiri. Dan karena terhuyung-
huyung, kepala laki-laki bertubuh kekar itu bergerak maju 
lebih dulu daripada kaki atau tubuhnya. 
Duggg...! 
Benturan antara dua buah kepala yang begitu keras tak 
dapat dielakkan lagi. Menilai dari besarnya kedua kepala, 
sebenarnya kepala Gojanglah yang akan menerima akibat 
yang lebih buruk. Tapi kenyataan yang terjadi justru

sebaliknya! Laki-laki bertubuh kekarlah yang justru 
memekik keras kesakitan. Dari bagian dahinya yang 
terluka nampak mengalir darah. 
Tubuh laki-laki yang sial itu seketika terkulai. Tidak 
pingsan atau mati, tapi lemas. Sementara kepala Gojang 
tetap utuh! Jangankan terluka, tergores pun tidak. 
"He... he... he...!" 
Gojang tertawa terkekeh-kekeh, sehingga terdengar 
menyeramkan sekali. Kini pegangan tangannya berpindah. 
Tangan kiri mencekal leher baju, dan tangan kanannya 
bergerak menampar wajah laki-laki bertubuh kekar itu. 
Plak, plak, plak...! 
Suara keras beradunya telapak tangan dengan pipi 
terdengar berkali-kali. Kepala pengunjung kedai yang 
malang itu sampai terpaling ke kanan dan ke kiri. Darah 
segar muncrat-muncrat dari mulutnya. Bahkan ada be-
berapa benda putih sebesar kuku jari kelingking yang 
terlompat keluar dari dalam mulutnya. Jelas, benda itu 
adalah gigi. 
Tanpa mengenal rasa kasihan, Gojang terus saja 
meneruskan tindakannya. Darah segar pun keluar lebih 
banyak lagi. Bahkan kali ini tidak hanya dari mulut saja, 
tapi juga dari hidung. 
Setelah merasa puas, Gojang lalu melepaskan cekalan-
nya. Akibatnya, rubuh laki-laki sial itu pun ambruk di tanah 
seperti sehelai kain basah. 
"Cuhhh…!” 
Segumpal ludah kental keluar dari mulut Gojang, dan 
mendarat dengan manisnya di wajah laki-laki bertubuh 
kekar yang sudah megap-megap seperti ikan terdampar ke 
darat. 
Rupanya, laki-laki berkulit kuning ini masih belum puas 
dengan apa yang dikerjakannya. Sambil menyeringai kejam 
yang nampak di mulutnya, kakinya ditaruh di kepala laki-
laki bertubuh kekar. Dan sekali kakinya bergerak menekan, 
nyawa pengunjung kedai yang sial itu melayang ke alam 
baka seiring terdengarnya suara gemeretak ketika kepala

itu pecah berantakan. 
Darah segar pun kembali muncrat-muncrat. 
"Ha... ha... ha...!" 
Gojang tertawa terbahak-bahak. Keras sekali sehingga 
membuat suasana di dalam kedai menjadi gaduh. Apalagi 
ketika ketiga orang kasar lainnya pun tertawa pula. Bahkan 
dinding-dinding kedai itu sampai bergetar seperti akan 
runtuh. 
Melihat kejadian mengenaskan yang menimpa laki-laki 
bertubuh kekar itu, karuan saja membuat nyali para 
pengunjung lain menjadi ciut. Mereka kini pasrah saja 
ketika rekan-rekan Jagar merampas semua harta benda 
yang ada. 
Tapi meskipun tidak ada yang mengadakan perlawanan, 
bukan berarti para pengunjung kedai bebas dari ke-
kejaman. Dan memang, tetap saja mereka mendapat 
hadiah dari tiga orang kasar itu. 
Suara pukulan-pukulan nyaring terdengar silih berganti 
diiringi jerit dan keluh kesakitan dari mulut pengunjung 
kedai. 
Tubuh-tubuh pengunjung yang sial itu satu persatu 
roboh di lantai. Memang, tidak ada seorang pun yang 
tewas kecuali laki-laki bertubuh kekar tadi. Tapi meskipun 
begitu, tidak ada seorang pun di antara mereka yang 
sanggup berdiri. 
Darah kini telah membasahi lantai kedai. Semua 
pengunjung kedai menderita luka yang lumayan. Ada yang 
patah kaki, namun tidak sedikit yang patah tangan atau 
copot giginya. 
"Ha... ha... ha...!" 
Jagar tertawa keras begitu melihat ketiga orang 
rekannya telah menyelesaikan tugas, dan bergerak meng-
hampirinya dengan harta rampasan di tangan. 
"Terima kasih, Ki Giri…!" seru laki laki bercambang bauk 
lebat itu dengan suara keras menggelegar. "Lain kali, kami 
pasti datang lagi...!" 
Masih sambil tertawa-tawa, Jagar dan kawan-kawannya

melangkah meninggalkan kedai. Tidak ada seorang 
penduduk pun yang mengetahui atau mendengar adanya 
keributan di situ. Memang, letak kedai agak jauh dari 
rumah-rumah penduduk lainnya. Tambahan lagi, pada saat 
seperti ini sebagian besar penduduk Desa Koneng tengah 
berada di sawah. Tidak heran, karena penduduk desa itu 
sebagian besar adalah petani. 
Suasana kembali menjadi sepi ketika Jagar dan rekan-
rekannya telah cukup jauh meninggalkan tempat itu. Kini 
yang terdengar hanyalah suara rintihan dan keluhan dari 
mulut-mulut orang yang terluka. 
*** 
Belum berapa lama Jagar dan ketiga rekannya 
meninggalkan kedai milik Ki Giri, nampak seorang laki-laki 
berwajah gagah dan berpakaian kuning berjalan perlahan 
mendekati kedai. 
Usia laki-laki itu tak kurang dari tiga puluh tahun. Kumis 
dan jenggotnya terawat baik, sehingga menambah 
kegagahannya. Sebatang pedang bergagang kepala naga 
juga tampak tersampir di punggung. Bisa ditebak kalau 
laki-laki ini memiliki kepandaian saat ini bisa dibuktikan 
dengan adanya sulaman benang hijau bergambar seekor 
naga di bagian dada sebelah kiri pakaiannya. 
Dengan langkah gesit dan ringan, laki-laki berkumis rapi 
ini melangkah memasuki pintu kedai. Tapi baru sebelah 
kakinya masuk ambang pintu, dia terperanjat melihat 
sosok-sosok tubuh yang bergeletak tak tentu arah di lantai. 
Bahkan beberapa buah meja dan kursi nampak terbalik. 
Malah ada beberapa di antaranya yang patah-patah. 
Kalau saja laki-laki berjenggot rapi ini tidak bersiul-siul 
sewaktu melangkah menghampiri kedai, mungkin akan 
terdengar rintihan dan keluhan dari mulut para pengunjung 
kedai yang terluka. 
"Ki…!” 
Laki-laki berkumis rapi ini berseru ketika melihat Ki Giri

yang tengah berusaha bangkit. Memang, di antara semua 
orang yang berada di situ, laki-laki bertubuh kurus kering 
inilah yang menderita luka paling ringan. Dari ucapannya, 
bisa diketahui kalau laki-laki berkumis rapi ini mengenal Ki 
Giri. 
Sambil berseru demikian, laki-laki berkumis rapi itu ber-
gerak cepat menghampiri tubuh pemilik kedai. Menilik dari 
gerakannya yang cepat bisa diperkirakan kalau tingkat 
kepandaiannya tidak bisa dianggap enteng. 
"Apa yang terjadi, Ki?! Katakanlah...!" desak laki-laki 
berkumis rapi, ketika tubuhnya sudah berjongkok di dekat 
tubuh Ki Giri. Ada suara gemeretak keras keluar dari 
mulutnya, pertanda kalau dirinya tengah dilanda perasaan 
geram. 
"Para pengacau datang, merampok dan menganiaya 
para pengunjung kedai ini. Den Subarji...." Jelas Ki Giri 
dengan suara tersendat-sendat 
Laki-laki berjenggot rapi yang ternyata bernama Subarji 
mengepalkan kedua tangannya, sehingga terdengar bunyi 
berderak keras seperti ada tulang-tulang yang patah. 
Ki Giri mengangguk. 
"Siapa, Ki?!" tanya Subarji lagi. 
"Jagar dan kawan-kawannya," jawab Ki Giri pelan, mirip 
desahan. 
"Hm.... Kiranya Jagar....” 
Subarji mengangguk-anggukkan kepala. Dia memang 
telah sering mendengar nama Jagar, sebagai orang yang 
selalu membuat onar. Bukan hanya di Desa Koneng saja, 
tapi juga di desa-desa sekitarnya. Maka meskipun belum 
pernah bertemu, tapi Subarji telah mengetahui ciri-ciri laki-
laki bertubuh tinggi besar itu. 
"Baru saja mereka pergi, Den Subarji...," Ki Giri kembali 
membuka suara. 
"Ke arah mana perginya, Ki?" 
"Barat, Den." 
Memang, Ki Giri tadi sempat melihat kepergian Jagar 
dan kawan-kawannya ke samping kanan kedainya. Dan itu

berarti mereka pergi ke arah Barat 
"Kalau begitu, mereka harus cepat kukejar...! Orang-
orang seperti mereka harus dilenyapkan selama-lamanya." 
Setelah berkata demikian, Subarji segera bangkit berdiri 
dan melesat keluar kedai. Dan secepat tubuhnya telah 
berada di luar, secepat itu bergerak mengejar ke arah 
Barat. 
***

DUA

Subarji berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu 
meringankan tubuh yang dimiliki. Ucapan Ki Giri yang 
memberi tahu kalau Jagar dan rekan-rekannya belum lama 
meninggalkan kedai, membuatnya bertindak seperti itu. 
Ternyata, pemberitahuan pemilik kedai itu tidak salah. 
Belum berapa lama Subarji berlari, di kejauhan terlihat 
empat sosok tubuh yang berjalan cepat. Kontan semangat 
laki-laki berkumis rapi ini bangkit. Meskipun belum pasti 
kalau keempat sosok tubuh itu adalah orang yang dicari, 
tapi melihat dari jumlahnya, Subarji yakin kalau yang 
dilihatnya adalah Jagar dan kawan-kawannya. 
Karena Subarji berlari mengerahkan ilmu meringankan 
tubuh, sementara empat sosok tubuh itu berlari seenak-
nya, maka jarak di antara mereka semakin lama semakin 
bertambah dekat. Seiring semakin bertambah dekatnya 
jarak, maka sosok-sosok tubuh itu pun semakin jelas 
terlihat 
Dan begitu jarak di antara mereka terpisah lima tombak 
lagi, Subarji yakin kalau empat sosok itu adalah orang-
orang yang dikejarnya. 
Memang meskipun hanya melihat dari belakang, laki-
laki berjenggot rapi ini bisa mengetahui kalau empat sosok 
tubuh di hadapannya adalah Jagar dan ketiga orang rekan-
nya. Dia telah mendengar kalau Jagar selalu mengenakan 
rompi berwarna kuning, yang pada bagian belakangnya 
bergambar seekor kelabang. Dan kini gambar itu telah 
dilihatnya. 
Jagar dan tiga orang rekannya yang tengah berbincang-
bincang, sama sekali tidak mengetahui kalau di belakang 
ada orang yang mengejar. Mereka terus saja berlari tanpa 
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. 
"Berhenti...!" 
Keempat orang kasar ini baru terkejut ketika mendengar

bentakan. Belum juga mereka menyadari, sesosok 
bayangan kuning telah melesat melewati kepala mereka 
dan tahu-tahu telah berdiri menghadang. 
Bagai diberi aba-aba, keempat orang ini berhenti 
melangkah. Kini kedua belah pihak berdiri berhadapan 
dalam jarak sekitar tiga tombak, dengan mata saling 
mengamati. 
"Hmh…!" 
Jagar mendengus geram begitu melihat sosok bayangan 
kuning telah menghadang perjalanan mereka. Memang dia 
tidak mengenal orang yang menghadang ini. Tapi dari 
pakaian yang dikenakan, dan sulaman gambar naga dari 
benang hijau pada dada sebelah kiri, bisa diketahui asal 
perguruan laki-laki berkumis rapi ini. 
"Tikus usilan dari Perguruan Naga Hijau rupanya...," kata 
laki-laki bercambang bauk lebat ini sambil tersenyum 
mengejek. 
Jagar memaki Subarji demikian karena Perguruan Naga 
Hijau beraliran putih. Para muridnya selalu menentang 
tindak kejahatan. Tidak heran jika murid-murid perguruan 
yang telah cukup kemampuannya, harus mengamalkan 
ilmu. Mereka kebanyakan menyebar di berbagai desa. Dan 
Subarji memilih tinggal di Desa Koneng, desa kelahirannya. 
"Jadi, kau rupanya yang bernama Jagar...," kata Subarji. 
Ada nada kegeraman dalam suara Subarji. Ditatapnya 
sosok tubuh tinggi besar di hadapannya penuh selidik dari 
ujung rambut sampai ujung kaki. 
"Ooo... Kau baru tahu rupanya?" Jagar tersenyum sinis. 
"Memang! Akulah Jagar! Lalu, kau mau apa?!" 
"Pasti kau dan rekan-rekanmu ini yang telah merampok 
kedai Ki Giri, bukan?!" 
Subarji langsung mengedarkan pandangan ke arah 
buntalan kain yang dibawa keempat orang berwajah kasar 
di depannya. 
"Ha... ha... ha...! Tidak salah...!" jawab Jagar, lantang. 
"Kau ingin merampasnya kembali? Silakan!" 
Subarji menggertakkan gigi mendengar kata-kata ber

nada tantangan itu. Sementara, tiga orang rekan Jagar 
segera melemparkan buntalan-buntalan kain yang berisi 
harta rampasan di tanah. Memang, harta yang dirampas 
dari para pengunjung kedai, biasa dimasukkan ke dalam 
buntalan kain. 
"Kirim tikus usilan itu ke neraka...!" perintah Jagar pada 
ketiga orang rekannya. 
Srattt, srattt, srattt...! 
Sinar-sinar terang berkeredep tatkala ketiga orang kasar 
itu menghunus golok masing-masing, seiring lenyapnya 
perintah laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Mereka tahu, 
lawan yang kali ini dihadapi tidak sama dengan orang-
orang di kedai. Maka, tanpa ragu-ragu mereka segera 
menggunakan senjata. 
Begitu golok telah berada dj tangan, ketiga orang itu 
menyebar mengurung Subarji. Sudah bisa ditebak 
maksudnya. Ingin menyerang laki-laki berjenggot rapi ini 
dari tiga jurusan. 
"Hm...." 
Sambil menggumam, Subarji mencabut pedangnya. 
Sepasang matanya beredar berkeliling, memperhatikan 
gerak-gerik ketiga orang lawan yang semakin dekat dan 
semakin mengurungnya. Telah diputuskannya untuk 
melenyapkan gerombolan Jagar sebelum semakin meraja-
lela dan menimbulkan korban baru. Itulah sebabnya 
Subarji langsung menghunus senjatanya. 
"Haaat...! " 
Sambil mengeluarkan pekik nyaring, laki-laki berkulit 
kuning mendahului menyerang. Goloknya meluncur deras 
ke arah dada. Memang, saat itu dia berhadapan dengan 
lawannya. 
Belum juga serangan laki-laki bertubuh kurus itu tiba, 
serangan dari dua orang lain datang menyusul. Orang yang 
berada di kanan, menyabetkan goloknya ke arah leher. 
Sementara yang di kiri menusuk ke arah pinggang. 
Suara angin mendesir cukup nyaring mengiringi tibanya 
ketiga serangan yang masing-masing mampu mengantar

kan nyawa ke alam baka bila mendarat. 
Namun Subarji tetap bersikap tenang. Melihat dari 
kecepatan serangan itu, sudah bisa diketahui kalau ilmu 
meringankan tubuh ketiga orang lawan cukup jauh di 
bawahnya, itulah sebabnya, dia tidak terburu-buru ber-
tindak. 
Baru ketika serangan itu menyambar semakin dekat, 
Subarji menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya 
melayang ke atas. Maka semua serangan lawan hanya 
mengenai tempat kosong, lewat di bawah kakinya. 
Tindakan laki-laki berkumis rapi ini tidak hanya sampai 
di situ saja. Begitu tubuhnya berada di udara, pedang di 
tangannya langsung meluncur deras ke arah ubun-ubun 
laki-laki bertubuh kurus. Sementara kaki kanannya 
menendang ke arah kepala lawan yang berada di sebelah 
kanan. Sedangkan lawan yang berada di sebelah kiri, 
disampok dengan tangan kirinya ke arah pelipis. 
Balasan serangan mendadak ini tentu saja membuat 
ketiga orang rekan Jagar terperanjat. Apalagi, datangnya 
terlalu tiba-tiba! Mereka baru mengetahui adanya bahaya 
setelah serangan itu mendekati sasaran. Hembusan angin 
cukup keras yang mengiringi tibanya serangan, membuat 
mereka sadar akan adanya bahaya mengancam. 
Karena mengelak sudah tidak mungkin lagi, maka 
ketiga orang kasar itu pun memutuskan untuk menangkis. 
Laki-laki bertubuh kurus menangkis dengan golok, 
sementara dua rekannya menangkis dengan tangan 
kanan. 
Tranggg, plakkk, plakkk...! 
Suara berdentang keras diiringi suara tangan dan kaki 
berbenturan terdengar bertubi-tubi. Akibatnya, tubuh ketiga 
orang rekan Jagar terhuyung-huyung ke belakang. Sekujur 
tangan yang digunakan untuk menangkis seketika bergetar 
hebat dan terasa ngilu bukan main. Jelas, tenaga dalam 
mereka masih jauh di bawah lawan. 
Sebuah keuntungan bagi mereka, karena Subarji tidak 
bisa melancarkan serangan susulan. Keadaannyalah yang

tidak memungkinkan. Tubuhnya saat itu tengah berada di 
udara. Maka begitu semua lawan terhuyung-huyung 
sehabis menangkis serangan, kedua kakinya pun men-
darat di tanah. 
Begitu laki-laki berkumis rapi ini hinggap di tanah, ketiga 
orang lawannya telah berhasil memperbaiki sikap kembali. 
Bahkan kemudian kembali menyerang. 
Dan kini pertarungan sengit pun terjadi. Baik Subarji 
maupun ketiga orang rekan Jagar, sama-sama mengerah-
kan seluruh kemampuan masing-masing. Kedua belah 
pihak memang sudah berniat merobohkan lawan secepat-
nya. 
Suara bercuitan yang cukup nyaring pun terdengar 
mengiringi pertarungan itu. Masing-masing pihak 
mengeluarkan ilmu andalan dalam usaha untuk meroboh-
kan lawan. 
Tapi, ternyata Subarji terlalu lihai untuk bisa di-
pecundangi ketiga lawannya. Belum juga pertarungan 
menginjak jurus kesepuluh, laki-laki berkumis rapi itu 
sudah bisa mendesak lawan-lawannya, hingga terpontang-
panting ke sana kemari dalam usaha menyelamatkan 
selembar nyawa. 
"Keparat..!" 
Jagar menggertakkan gigi melihat keadaan rekan-
rekannya yang terdesak. Maka goloknya segera dicabut 
dan dengan senjata tercekal di tangan, laki-laki bertubuh 
tinggi besar ini melompat menerjang. Jadi, kini Subarji 
dikeroyok empat orang! 
Mau tak mau, Subarji harus berjuang lebih keras lagi 
untuk menanggulanginya. Memang dengan ikut sertanya 
Jagar dalam kancah pertarungan, membuat keadaan 
ketiga orang rekannya tidak terlalu dikejar-kejar maut 
seperti tadi. 
Tapi ketiga orang berwajah kasar itu tidak bisa terlalu 
lama menarik napas lega. Bantuan dari Jagar ternyata 
hanya berguna tak lebih dari tiga puluh jurus saja. Setelah 
masuknya laki-laki bercambang bauk lebat itu pun, justru


Subarji kembali berhasil mendesak kembali. 
Betapapun Jagar dan ketiga rekannya berusaha keras 
menanggulangi Subarji, tapi terap saja tidak mampu. 
Kepandaian laki-laki berkumis rapi itu memang masih lebih 
tinggi dibanding mereka berempat. Padahal, seluruh 
kemampuan yang dimiliki telah dikeluarkan. Bahkan 
semakin lama mereka semakin terdesak. Sampai pada 
suatu saat... 
Crasss...! 
Telak dan keras sekali pedang Subarji membabat leher 
laki-laki yang bertubuh kurus. Kontan darah memercik 
keras dari leher yang terobek ujung pedang. Tubuh laki-laki 
berkulit kuning itu terpelanting jatuh ke tanah, laki diam 
tak bergerak lagi untuk selamanya. Suara mengorok 
terdengar keluar dari mulutnya sebelum tewas. 
Gerombolan Jagar menggeram hebat melihat kematian 
salah seorang rekan mereka. Tapi apa daya? Subarji 
memang terlalu lihai dihadapi! Darah yang keluar dari leher 
laki-laki bertubuh kurus itu belum juga berhenti ketika dua 
orang rekan Jagar yang tersisa menjerit keras. Pedang 
Subarji kembali telah menelan korban! Tubuh mereka 
langsung jatuh ke tanah, dan diam tidak bergerak lagi. 
Jagar meraung melihat kematian ketiga orang rekannya. 
Tanpa mempedulikan keselamatannya lagi, laki-laki ber-
tubuh tinggi besar itu melancarkan serangan bertubi-tubi 
ke arah Subarji. Tak dipedulikan lagi pertahanannya yang 
terbuka di sana-sini. Yang ada di benaknya hanya satu. 
Membalas kematian ketiga orang rekannya, meskipun 
harus kehilangan nyawa! 
Tapi bagaimana mungkin Jagar dapat melakukannya? 
Dengan dibantu tiga orang rekannya saja tidak mampu 
mengalahkan Subarji, apalagi kini yang tinggal hanya dia 
seorang. Semua serangannya dengan mudah dapat 
dipatahkan lawan. Dan kini robohnya Jagar hanya tinggal 
menunggu saat saja. 
Dan belum juga pertarungan kedua orang itu ber-
langsung lama, tiba-tiba....

"Telah lama kudengar kalau orang-orang Perguruan 
Naga Hijau memang usil! Tapi baru kali ini kulihat sendiri 
kenyataannya. Mereka menganggap orang lain jahat 
karena sering membunuhi orang. Tapi, padahal apa yang 
mereka lakukan? Membelai-belai orang? Sama sekali 
tidak! Justru yang kulihat malah sebaliknya! Orang Per-
guruan Naga Hijau membunuhi orang seperti membunuh 
nyamuk! Keji! Sungguh keji!" 
Jagar dan Subarji terperanjat. Meskipun suara itu 
terdengar pelan saja, tapi mengandung getaran yang 
membuat isi dada terguncang hebat. Maka dengan sendiri-
nya, pertarungan antara kedua orang itu pun terhenti. 
Baru saja gema suara itu lenyap, meluncur cepat bagai 
kilat seleret benda hitam yang langsung membelit mata 
pedang Subarji. 
Karuan saja laki-laki berkumis rapi ini terkejut bukan 
main. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, benda hitam 
panjang yang ternyata sebuah cambuk berwarna hitam 
telah membetot pedangnya. Keras bukan main tenaga 
tarikan itu, sehingga Subarji sama sekali tidak menyangka. 
Bahkan tidak mampu mempertahankan senjatanya. 
Subarji tidak rela pedangnya dirampas. Maka segera 
tubuhnya melompat untuk menangkap kembali senjatanya. 
Matanya juga sempat sekilas melihat pemilik cambuk itu. 
Seorang laki-laki bertubuh kecil kurus, mengenakan rompi 
berwarna hitam. Sebaris bulu-bulu berwarna hitam dan 
tebal menghias atas bibirnya. 
Hanya ciri-ciri itu yang sempat dilihat Subarji, karena 
dirinya harus sudah sibuk merampas kembali pedangnya. 
Tapi sungguh di luar dugaan, belitan cambuk itu 
mengendur. Tak pelak lagi, pedang Subarji terjatuh di 
tanah. Dan sebelum laki-laki berkumis rapi ini berbuat 
sesuatu, ujung cambuk itu telah memapak lompatannya, 
dan langsung melecut dadanya. 
Ctarrr...! 
Subarji menggigit bibir untuk menahan rasa sakit yang 
mendera dada ketika ujung cambuk itu telak dan keras

sekali menghantam dada. Seketika itu juga, tubuhnya 
terjengkang kembali ke belakang. Darah kental langsung 
menetes di sudut-sudut bibirnya. 
Meskipun begitu, Subarji masih mampu membuktikan 
kalau dirinya bukan tokoh sembarangan. Kedua kakinya 
masih mampu mendarat di tanah walaupun agak ter-
huyung-huyung, 
"Hmh...!" 
Laki-laki kecil kurus berkumis tebal mendengus. Dan 
kini sama sekali tidak dilancarkannya serangan lagi. 
Sikapnya jelas memandang rendah sekali pada Subarji. 
Subarji tidak mempedulikannya. Dirinya tengah disibuk-
kan rasa sakit yang mendera dadanya. Ditariknya napas 
dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat sekadar 
untuk menghilangkan rasa sakit. 
Ctarrr...! 
Ledakan cambuk membuat laki-laki berkumis rapi ini 
terkejut dan bersiap-siap menghadapi serangan susulan. 
Tapi ternyata tidak ada serangan yang tertuju ke arahnya. 
Cambuk hitam itu sama sekali tidak menuju ke arahnya, 
tapi ke arah pedang miliknya yang tertancap di ranah. 
Rrrttt..! 
Laksana ular membelit mangsanya cambuk itu melilit 
batang pedang. Dan begitu laki-laki berkumis tebal ini 
bergerak membetot pedang itu pun tercabut. 
"Kukembalikan pedangmu...!" seru laki-laki bertubuh 
kecil kurus itu. 
Sesaat kemudian pedang yang terlilit cambuk itu 
meluncur deras ke arah Subarji hingga mengeluarkan 
suara mendesing nyaring. Padahal, kelihatannya pelan saja 
cambuk itu bergerak. Dari pertunjukan ini saja sudah bisa 
diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemilik 
cambuk itu. 
Sementara itu Subarji terkejut bukan kepalang. 
Terdengar suara mengaung mengiringi tibanya luncuran 
pedang itu. Maka laki-laki berjenggot rapi ini segera 
menjumput sarung pedangnya, langsung menangkis

serangan itu. Tanpa tanggung-tanggung lagi segera 
dikeluarkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. 
Trakkk...! 
Sarung pedang itu kontan hancur berantakan ketika 
kedua benda itu saling berbenturan. Subarji terkejut bukan 
kepalang. Tangannya seketika terasa sakit dan ngilu bukan 
kepalang Tubuhnya pun tanpa dapat ditahan lagi ter-
huyung-huyung ke belakang. Jelas kalau tenaga yang 
terkandung dalam luncuran pedang itu lebih kuat daripada 
tenaga dalam miliknya. 
Hal ini benar-benar membuat Subarji terperanjat. 
Apalagi, diketahuinya kalau tenaga dalam lawan belum 
seluruhnya dikeluarkan sewaktu melemparkan pedang 
dengan cambuk. Baru dengan tenaga sebegitu saja Subarji 
sudah tidak mampu bertahan. Lali bagaimana kalau 
pemilik cambuk itu mengerahkan seluruhnya? Sulit bagi 
laki-laki berkumis rapi ini untuk membayangkannya. 
Mendadak tubuh Subarji yang terhuyung-huyung, ber-
henti seketika tatkala membentur sosok tubuh berpakaian 
kuning yang mendadak muncul di belakangnya. 
Karuan saja hal ini membuat Subarji kaget. Secepat 
tubuhnya membentur, secepat itu pula melompat ke 
depan. Tubuhnya langsung berbalik dan bersikap siap 
siaga menghadapi serangan mendadak. 
Tapi sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot laki-laki 
berkumis rapi ini mengendur kembali ketika melihat sosok 
tubuh yang dibenturnya. 
"Guru...!" sebut Subarji seraya melangkah menghampiri 
dan memberi hormat. 
Dia ternyata seorang kakek bertubuh tinggi kekar. Orang 
yang dipanggil guru oleh Subarji langsung tersenyum. Raut 
wajahnya memang menyenangkan bagi orang lain yang 
melihatnya. Wajahnya bulat seperti juga perutnya, dan 
selalu dihiasi senyum. Rambutnya yang putih, digelung ke 
atas. 
"Menyingkirlah, Subarji...! Dia bukan tandinganmu...!" 
ujar kakek bertubuh tinggi kekar itu.

Terdengar sungguh-sungguh dan penuh perintah ucapan 
yang dikeluarkan kakek itu. Tapi begitu melihat wajahnya, 
orang akan mengira kalau dia tengah bercanda! Kakek itu 
mengucapkan perintah begitu sungguh-sungguh, disertai 
senyum di bibir dan sepasang mata bersinar-sinar seperti 
orang menang lotre! Selebar wajahnya pun merautkan 
kegembiraan. 
Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki berkumis 
rapi ini segera melangkah mundur. Dibiarkan saja gurunya 
itu melangkah mendekati si pemilik cambuk. Telah 
diketahuinya kelihaian gurunya. Maka Subarji percaya 
kalau kakek berwajah penuh senyum itu akan mampu 
mengalahkan lawan. 
"Ha... ha... ha...!" laki-laki berompi hitam itu tertawa ber-
gelak. "Sungguh tidak kusangka kalau kau bisa keluar dari 
kandangmu yang menjijikkan itu, Buntara!" 
Kakek berwajah penuh pesona yang ternyata bernama 
Buntara, sama sekali tidak merasa marah atau tersinggung 
atas pertanyaan yang bernada kasar. Bahkan mulutnya 
tetap menyunggingkan senyum lebar. 
"Aku terpaksa keluar dari kandang untuk mengambil 
sisa kotoranku yang tertinggal di sini. Dan kaulah kotoran 
itu. Kera Bukit Setan!" 
Luar biasa sekali ucapan Buntara. Meskipun dikeluar-
kan dengan wajah penuh keceriaan, namun mampu 
membuat kuping panas. Seketika selebar wajah laki-laki 
berompi hitam yang berjuluk Kera Bukit Setan jadi merah 
padam menahan amarah. 
Sementara kedua orang itu terlibat dalam adu mulut, 
Jagar dan Subarji sibuk dengan urusan masing-masing. 
Jagar tampak sibuk menenangkan deru napasnya yang 
masih memburu sehabis bertarung dengan Subarji. 
Sementara, laki-laki berkumis rapi itu tampak menahan 
geram. Sehingga, tampak wajahnya masih memerah. 
Meskipun begitu, tidak berarti kalau kedua orang itu 
tidak mendengar percakapan antara Buntara dengan Kera 
Bukit Setan. Dan karena itulah mereka tahu, kedua orang

yang tengah berhadapan itu ternyata saling mengenal satu 
sama lain. 
Sama sekali Subarji dan Jagar tidak mengetahui kalau 
Buntara maupun Kera Bukit Setan sudah saling mengenal. 
Di samping itu, Subarji juga tidak kenal siapa Kera Bukit 
Setan itu. Juga Jagar tidak tahu, siapa Buntara itu. Mereka 
hanya mengetahui dari ciri-ciri yang pernah didengar. 
Kera Bukit Setan menggeram. Dia memang tidak bisa 
berdebat. Maka begitu mendapat balasan makian dari 
Buntara, dia tidak bisa membalasnya. 
Sambil menghentakkan kaki sehingga membuat tanah 
amblas sampai semata kaki, laki-laki berompi hitam ini 
menyelipkan cambuknya di pinggang. 
"Tidak ada seorang pun yang boleh menghina Kera Bukit 
Setan...!" teriak laki-laki bertubuh kecil kurus keras. 
Dan belum habis gema ucapan itu, tubuhnya telah 
meluruk cepat ke arah Buntara. Kedua tangannya yang 
berbentuk cakar, meluncur cepat ke arah dada dan ulu hati 
secara bertubi-tubi. 
***

TIGA

Wuttt, Wuttt...! 
Deru angin keras terdengar begitu serangan cakar Kera 
Bukit Setan meluncur cepat ke arah sasaran. 
Buntara tahu kedahsyatan serangan yang mengandung 
tenaga dalam kuat itu. Apabila terkena, batu yang paling 
keras pun akan hancur berantakan. Maka, laki-laki tua itu 
tidak berani bersikap main-main. Buru-buru kaki kanannya 
melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Pada 
saat yang bersamaan, tangan kirinya dikibaskan ke arah 
pelipis lawan. 
Wukkk...! 
Kera Bukit Setan tidak terkejut melihat serangan lawan, 
karena memang sudah diperkirakan. Baik mengenai 
serangannya yang dapat mudah dielakkan, maupun 
balasan serangan itu sendiri. 
Karena sudah memperkirakannya, maka laki-laki kecil 
kurus ini sudah bersiap-siap menangkalnya. Buru-buru 
tangan kirinya digerakkan untuk menangkis serangan itu. 
Arah gerakannya dari dalam ke luar. 
Takkk...! 
Suara keras seperti terjadi benturan antara dua benda 
logam terdengar ketika kedua tangan yang sama-sama 
dialiri tenaga dalam tinggi itu beradu. 
Tubuh Kera Bukit Setan langsung terhuyung-huyung ke 
belakang. Mulutnya seketika menyeringai, jelas benturan 
itu terasa benar akibatnya. Sekujur tulang-tulang tangan 
kirinya terasa sakit bukan kepalang. Disadarinya kalau 
tenaga dalam Buntara berada di atasnya. Buktinya, kakek 
berwajah penuh senyum itu sama sekali tidak terpengaruh 
oleh benturan tadi. 
Tapi Kera Bukit Setan sama sekali tidak mempedulikan 
hal itu. Begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terdorong 
habis, kembali dilancarkannya serangan susulan.

Buntara yang kini sudah bisa memperkirakan 
kepandaian lawan, segera menyambutnya. Tak pelak lagi, 
pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama sakti itu 
pun berlangsung sengit. 
Jagar dan Subarji memperhatikan jalannya pertarungan 
dengan penuh perhatian. Meskipun mereka tidak bisa 
melihat terlalu jelas karena begitu cepatnya kedua tokoh 
itu bergerak, tapi setidak-tidaknya bisa memperkirakan 
siapa yang mulai unggul. 
Memang karena perbedaan pakaian yang dikenakan 
antara kedua tokoh itu terlalu menyolok, sehingga mem-
buat Jagar dan Subarji tidak mengalami kesulitan me-
mastikannya. 
Karena cepatnya pertarungan kedua tokoh itu, maka 
yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning dan 
hitam. Terkadang saling belit, tapi tak jarang pula saling 
pisah. 
Berkali-kali Jagar dan Subarji melihat kalau bayangan 
hitam sering keluar dari kancah pertarungan. Tapi itu tidak 
berlangsung lama, karena sosok bayangan kuning 
langsung memburunya. Sehingga, dua bayangan itu 
kembali saling belit. 
Ternyata perbedaan tingkat kepandaian antara kedua 
tokoh itu terpaut terlalu jauh. Buktinya, belum juga 
pertarungan itu berlangsung dua puluh lima jurus, Kera 
Bukit Setan sudah terdesak. Kini tokoh sesat ini selalu 
bermain mundur, dan hanya sesekali saja menangkis. 
Namun, ternyata menangkis serangan justru merugikan 
dirinya sendiri. Maka dia memutuskan untuk mengelak. Hal 
ini disebabkan, tenaga dalamnya berada cukup jauh di 
bawah lawan. 
"Hih...!" 
Kera Bukit Setan menggertakkan gigi seraya melompat 
ke belakang. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah, 
cambuknya langsung dilecutkan. Dia benar-benar khawatir 
kalau lawan akan menyerangnya. 
Tapi ternyata Buntara sama sekali tidak melancarkan

serangan susulan. Kakek berwajah penuh senyum itu 
membiarkan lawannya melompat ke belakang, sehingga 
serangan cambuk sama sekali tidak mengenainya. Ujung 
cambuk itu meledak di udara, menimbulkan suara nyaring 
yang memekakkan telinga. 
Buntara tidak berani bertindak gegabah. Padahal tingkat 
kepandaiannya memang lebih tinggi daripada tingkat 
kepandaian yang dimiliki Kera Bukit Setan. Dan memang, 
dia tidak mau meladeni lawan yang menggunakan senjata 
andalan dengan tangan kosong. Sebab, akibat yang 
dihadapinya tidak kecil. 
Maka begitu melihat lawan mengeluarkan senjata 
andalan, dia pun segera menjumput pedangnya. 
Srattt..! 
Sinar terang berpendar ketika pedang itu keluar dari 
sarungnya. 
Kini dengan senjata andalan di tangan masing-masing, 
kedua tokoh sakti itu kembali saling gebrak. Maka, kini 
serangan-serangan kedua tokoh itu berlangsung lebih 
sengit. Suara mengaung, mendesing, dan meledak-ledak 
meramaikan pertarungan antara Buntara dan Kera Bukit 
Setan. 
Tapi hanya beberapa puluh jurus saja pertarungan 
antara kedua tokoh sakti itu berlangsung cukup seru. 
Menginjak jurus ketiga puluh lima, Kera Bukit Setan 
kembali terdesak. Suara meledak-ledak yang keluar dari 
lecutan cambuknya perlahan semakin jarang terdengar. 
Sebaliknya, suara mendesing dan mengaung yang kini 
sering terdengar. 
Menjelang jurus keempat puluh tiga, keadaan Kera 
Bukit Setan semakin gawat. Tubuhnya sudah terpontang-
panting ke sana kemari dalam upaya menyelamatkan 
selembar nyawa. Sudah bisa diperkirakan, tewasnya laki-
laki bertubuh kecil kurus ini hanya tinggal menunggu 
saatnya saja. 
Kini ledakan cambuk laki-laki berompi hitam itu sudah 
hampir tidak terdengar lagi. Yang terdengar hanyalah suara


mendesing dan mengaung dari pergerakan pedang 
Buntara yang memekakkan telinga. 
"He... he... he...! Lucu! Lucu sekali...! Ada kambing kurus 
dan kerbau gendut tengah menari-nari! Menari-nari..., la... 
la... la...!" 
Suara pelan dan tak jelas seperti keluar dari mulut 
orang yang tengah mengigau terdengar. Itu pun masih di-
tambah lagi dengan suara tegukan keras. Tampaknya 
pemilik suara itu tengah menenggak minuman dengan cara 
kasar. 
Hebatnya, sungguhpun terdengar pelan saja, tapi suara 
itu mampu mengalahkan suara desingan dan aungan ribut 
yang keluar dari gerakan pedang Buntara! 
Buntara dan Kera Bukit Setan terkejut bukan main. 
Sebagai tokoh sakti yang berpengalaman, mereka segera 
tahu ada tokoh tangguh luar biasa datang. Bagai diberi 
aba-aba, kedua orang ini segera melompat ke belakang 
dan langsung menoleh ke arah asal suara. Dengan sendiri-
nya, pertarungan pun terhenti. 
Sekitar lima tombak di sebelah kanan mereka, tampak 
berdiri seorang kakek bertubuh pendek gemuk dan ber-
perut buncit. Kepalanya botak dan licin. Tidak ada sedikit 
pun bulu yang menghiasi wajahnya. Bahkan sama sekali 
tidak memiliki alis! 
Karena perut kakek itu gendut sekali, rompi yang 
terbuat dari anyaman bulu burung garuda itu sama sekali 
tidak mampu menutupi bagian depan tubuhnya. Tampak di 
tangan kanan kakek ini tergenggam sebuah guci besar 
yang selalu dituang ke mulutnya. 
Glek.. glek... glek...! 
Suara tegukan terdengar ketika kakek berperut buncit 
itu menuangkan arak dalam guci besar itu ke mulutnya. 
Kini jelas sudah, mengapa tadi sewaktu kakek itu berkata-
kata terdengar juga suara tegukan. 
Beberapa tetes arak jatuh ke tanah ketika kakek ber-
kepala botak itu menuangkan araknya. Bahkan sekitar 
mulutnya dibasahi arak.

Dengan gerakan kasar dan sembarangan, kakek ber-
perut buncit itu mengusap mulut dengan punggung tangan, 
sehabis menuangkan arak. Kemudian, guci arak itu di-
turunkan dari atas wajahnya seraya melangkah maju. 
Buntara dan Kera Bukit Setan mengerutkan alisnya 
melihat kakek berkepala botak itu berkali-kali hampir jatuh 
ketika melangkah. Tubuhnya oleng ke sana kemari. Jelas, 
kakek ini dalam keadaan mabuk. 
Mendadak wajah kedua tokoh sakti itu memucat ketika 
teringat seorang tokoh yang mempunyai ciri-ciri seperti itu. 
Seorang tokoh sesat yang tak kenal ampun, dan sudah 
lama mengasingkan diri. Sehingga, julukannya sudah mulai 
dilupakan orang! Setan Mabuk, itulah julukannya! Tapi 
bukankah tokoh yang menggiriskan ini tinggal di Gunung 
Langkat, yang jauh dari tempat ini? Mengapa sampai tiba 
di sini? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak kedua 
orang itu. 
*** 
"He he he...! Mengapa berhenti. Sapi Gendut..?!" sambil 
melangkah sempoyongan, kakek berkepala botak yang 
berjuluk Setan Mabuk itu menegur Buntara. "Mengapa 
tarian sapi gendut itu dihentikan?!" 
Mendengar kata-kata yang bernada hinaan, selebar 
wajah Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau itu merah padam. 
Meskipun begitu, tetap saja raut wajahnya tidak 
menampakkan kemarahan. Wajah Buntara tetap cerah, 
dan senyum tetap mengembang di bibirnya. Sepasang 
matanya pun berbinar-binar. 
"Kau juga, Kambing Kurus. Mengapa berhenti menari? 
Teruskan...!" 
Sambil berkata demikian. Setan Mabuk kembali 
mengangkat guci araknya yang besar, dan menuangkan ke 
mulutnya. 
Glek... glek... glek...! 
Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melalui

tenggorokan kakek berkepala botak itu. 
"Ah...! Nikmaaat..!" 
Dengan punggung tangan. Setan Mabuk mengusap 
tumpahan arak yang membasahi sekitar mulutnya. Kasar 
sekali caranya. Bahkan berkesan menjijikkan. 
"Keparat...!" 
Kera Bukit Setan berteriak memaki. Laki-laki berompi 
hitam ini tidak tahan dihina seperti itu. Maka.... 
Ctarrr...! 
Suara menggelegar keras diiringi mengepulnya asap 
berwarna putih terdengar ketika ujung cambuk itu melecut 
di udara. Baru kemudian, ujung cambuk itu meluncur cepat 
ke arah ubun-ubun kepala Setan Mabuk. 
Kejam dan telengas sekali gerakan Kera Bukit Setan. 
Sekali menyerang sudah meluncurkan serangan yang 
dapat membuat nyawa kakek berkepala botak itu pergi ke 
alam baka. Ubun-ubun merupakan salah satu bagian 
terlemah pada tubuh manusia. Dan kini, ujung cambuk 
yang mampu menghancurkan batu karang itu meluncur 
deras ke bagian itu. 
Buntara terperanjat juga melihat serangan maut itu. 
Apalagi, tampaknya Setan Mabuk seperti tidak mengetahui 
adanya bahaya. Dia masih sibuk mencium-cium bau arak-
nya. 
Melihat hal ini, semula kakek berwajah penuh senyum 
itu ingin menolong. Tapi niatnya segera diurungkan ketika 
teringat kalau kakek ini memiliki kepandaian amat tinggi. 
Hal itu bisa diketahui dari suara Setan Mabuk yang mampu 
menindih suara gerakan pedangnya. Padahal, tokoh sesat 
pemabukan itu hanya pelan saja mengucapkannya. 
Tindakan Buntara menahan gerakannya ternyata tepat 
sekali. Buktinya, begitu ujung cambuk itu hampir mengenai 
sasaran, tanpa mengangkat wajah, Setan Mabuk mengulur 
tangan menyambut. 
Wajah Buntara dan Kera Bukit Setan berubah seketika. 
Apa yang dilakukan Setan Mabuk benar-benar di luar 
dugaan! Ujung cambuk yang mampu menghancurkan batu


yang paling keras sekalipun, hanya ditangkis dengan 
tangan kosong! Suatu hal yang tidak akan mungkin dapat 
dilakukan Buntara! 
Itulah sebabnya, tindakan Setan Mabuk benar-benar 
menimbulkan keterkejutan Buntara dan Kera Bukit Setan. 
Apalagi, cara kakek berkepala botak itu memapak, seperti-
nya tanpa mengerahkan tenaga dalam sama sekali. 
Gerakannya begitu sembarangan saja! 
Prattt..! 
Telak dan keras sekali ujung cambuk itu berbenturan 
dengan tangan Setan Mabuk. Dan sebelum Kera Bukit 
Setan sempat berbuat sesuatu, tangan kakek berbaju 
rompi bulu burung itu bergerak menangkap. Dan... 
Tappp...! 
Tanpa mampu dicegah, ujung cambuk Kera Bukit Setan 
telah tertangkap tangan Setan Mabuk. Dan secepat 
cambuk itu tercekal, secepat itu pula kakek berkepala 
botak ini membetotnya. 
Kera Bukit Setan tentu saja tidak merelakan senjata 
andalannya dirampas. Maka begitu lawan membetot, 
seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk mempertahan-
kannya. 
Tapi usaha yang dilakukan laki-laki berompi hitam ini 
sia-sia. Tenaga betotan itu memang terlalu kuat. Karena 
bersikeras mempertahankan cambuk, maka Kera Bukit 
Setan pun ikut tertarik ke depan. 
Masih bersikap sembarangan, Setan Mabuk kembali 
menggerakkan tangannya. Kali ini tangan yang meng-
genggam cambuk diputar-putarkan. 
Gila! Betapapun Kera Bukit Setan berusaha memper-
tahankannya, tetap saja tubuhnya ikut terbawa arah 
gerakan tangan Setan Mabuk. Dan kini tubuh laki-laki 
berompi hitam itu terputar-putar di udara. Dan dengan 
sendirinya, Kera Bukit Setan tidak mampu mengadakan 
perlawanan lagi. Tidak ada lagi landasan baginya untuk 
dijadikan tempat menahan putaran tangan lawan. Kini, dia 
hanya bisa pasrah saja.

"He... he... he...! Menarik sekali..! Ada kambing kurus 
yang bisa terbang dan berputaran di udara...!" 
Setan Mabuk tertawa-tawa gembira. Bahkan juga 
menambah tenaga putaran tangannya, sehingga membuat 
putaran tubuh Kera Bukit Setan semakin cepat. 
Laki-laki kecil kurus itu menggigit bibir. Pening kepala-
nya karena diputar-putar seperti itu. Sekelilingnya tampak 
berputar cepat. Disadari, kalau tidak berbuat sesuatu, 
keadaannya semakin gawat. 
*** 
Buntara memperhatikan semua itu dengan mata 
terbelalak. Kalau tidak melihatnya sendiri, dia mungkin 
tidak akan percaya akan kenyataan ini. Telah dibuktikan-
nya sendiri kelihaian Kera Bukit Setan. Tapi, mengapa 
Setan Mabuk mampu melumpuhkannya dalam se-
gebrakan? Sulit dibayangkan, sampai di mana ketinggian 
ilmu kakek berkepala botak ini. 
Melihat kenyataan ini saja, Buntara tahu kalau dirinya 
pun bukan tandingan kakek pemabukan itu. Tapi meskipun 
begitu, kakek berwajah penuh senyum ini tidak sudi ber-
sikap pengecut dan melarikan diri. Buntara memutus-kan 
untuk tetap berada di situ, dan melihat perkembangan 
yang akan terjadi. 
Sementara itu putaran tubuh Kera Bukit Setan semakin 
menjadi-jadi. Tubuh laki-laki berompi hitam itu sudah tidak 
tampak lagi oleh pandangan mata, karena tubuhnya begitu 
cepat berputar. Yang terlihat kini hanyalah sekelebatan 
bayangan hitam yang berputaran cepat di atas kepala 
Setan Mabuk. 
"He... he... he...! Sekarang kambing kurus ini akan pergi 
ke neraka...!" 
Setelah berkata demikian, kakek berkepala botak itu 
melepaskan cekatannya pada cambuk itu. Tak pelak lagi, 
tubuh yang tengah berputaran itu terlontar jauh! 
Bagai diberi aba-aba, tiga buah kepala sama-sama

memandang ke arah tubuh Kera Bukit Setan melayang. 
Kepala Buntara, Jagar, dan Subarji mengikuti arah tubuh 
Kera Bukit Setan yang meluncur deras. 
Kera Bukit Setan saat itu sudah setengah sadar. Rasa 
pusing dan mual seketika berkumpul menjadi satu. Bahkan 
telah hampir pingsan! Mungkin kalau Setan Mabuk sedikit 
menunda lemparannya, laki-laki kecil kurus ini sudah 
pingsan. 
Karena masih ada kesadaran yang tersisa, sehingga 
membuat Kera Bukit Setan berusaha menyelamatkan 
selembar nyawanya. Dia berusaha melihat keadaan tempat 
tubuhnya meluncur. Tapi rasa pusing yang mendera, 
membuat pandangannya tetap berputar. 
Dalam kesadaran yang hanya tinggal sedikit itu, laki-laki 
berompi hitam ini berusaha terus menggunakan akalnya. 
Dia tahu, saat ini pandangannya tidak bisa diandalkan. 
Betapapun telah dipaksakan melihat ke depan, tetap saja 
seperti berputar. 
Maka, untung-untungan laki-laki kecil kurus ini men-
julurkan kedua tangannya ke depan seraya mengerahkan 
seluruh tenaga dalam. Maksudnya, agar bila membentur 
pohon besar atau batu, kedua tangannya itulah yang 
menahannya lebih dulu. Dan karena tangannya telah 
dilindungi pengerahan tenaga dalam, kemungkinan untuk 
celaka kecil sekali. 
Srakkk...! 
Rupanya keberuntungan masih bersahabat dengan Kera 
Bukit Setan. Dan memang, ternyata tubuhnya meluncur 
deras ke arah semak-semak. Suara berkerosakan nyaring 
yang diakhiri suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh 
laki-laki berompi hitam itu menerobos kerimbunan semak 
dan roboh di tanah. 
"He... he... he...! Rupanya nasib kambing kurus itu bagus 
juga...!" kata Setan Mabuk sambil terkekeh. 
Setan Mabuk dan juga tiga orang lainnya terus mem-
perhatikan tubuh Kera Bukit Setan. Guci arak kakek 
berkepala botak itu segera diangkat kembali ke arah

wajah, lalu menuangkan isinya ke mulut. Suara tegukan 
nyaring kembali terdengar ketika arak itu meluncur menuju 
perutnya. 
Dengan gerakan kasar, kakek berkepala botak itu 
menurunkan kembali guci araknya, lalu dipegang dengan 
tangan kiri. Sementara tangan kanannya, dengan gerakan 
kasar mengusap mulutnya yang penuh ceceran arak di 
sana-sini. 
"He... he... he. .! Kalian pun akan mengalami hal yang 
serupa apabila tidak mau menunjukkan di mana Dewa 
Arak sekarang berada. He... he... he...!" 
Dengan terputus-putus karena pengaruh hawa arak, 
kakek berkepala botak itu mengucapkan ancaman seraya 
melangkah terhuyung-huyung mendekati Buntara. 
"Dewa Arak...?!" 
Hampir berbareng Buntara, Subarji, dan Jagar meng-
gumamkan julukan itu. Raut wajah mereka seketika mem-
bayangkan keterkejutan yang hebat. 
"He... he... he...! Benar! Dewa Arak...!" dengan suara 
tawa terkekeh yang tidak pernah tinggal dari mulutnya, 
kakek berkepala botak itu menyahuti. Jelas, pengaruh 
araklah yang membuatnya mudah sekali tertawa. "Kalau 
tidak mau memberi tahu di mana dia berada, kalian akan 
mengalami nasib yang sama." 
Sambil berkata demikian, Setan Mabuk menatap tajam 
ke arah Buntara. Sepasang mata kakek berkepala botak ini 
tampak merah menyala. Entah karena memang warna 
matanya yang demikian, atau karena terlalu banyak minum 
arak. 
"Aku memang sering mendengar nama besarnya. Tapi 
aku tidak tahu di mana adanya pendekar besar itu. 
Andaikan tahu, tidak bakalan akan kuberitahukan pada-
mu!" 
Tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut 
kakek berwajah penuh senyum itu. Jelas, seperti men-
cerminkan kekukuhan yang tidak mungkin mampu 
digoyahkan. Apalagi sehabis mengucapkan kata-kata itu,

Buntara menyilangkan pedangnya di depan dada. Semakin 
terlihat keteguhan hatinya memegang ucapannya. Hanya 
saja, raut wajah kakek ini tidak terlihat bersungguh-
sungguh. Sehingga orang yang melihatnya, akan mengira 
Buntara bersikap main-main. 
"He... he... he...!" Setan Mabuk kembali tertawa 
terkekeh-kekeh. "Rupanya sapi gendut ini minta cepat-
cepat disembelih!" 
Buntara sama sekali tidak mempedulikan hinaan itu. 
Bahkan tanpa ragu-ragu lagi segera melangkah mendekati. 
Langkahnya tidak sembarangan, tapi menyilang. Semen-
tara sepasang matanya beredar mencari-cari bagian tubuh 
lawan yang akan diserang. 
"He... he... he...!" 
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh saja melihat sikap 
lawannya, dan tampak memandang remeh sekali. 
"Haaat..!" 
Diiringi teriakan keras yang menggetarkan jantung, dan 
membuat kedua kaki Jagar dan Subarji mendadak lemas, 
Buntara menusukkan pedang ke arah dada Setan Mabuk. 
Suara mendesing nyaring dari udara yang terobek 
terdengar ketika pedang itu meluncur menuju sasaran. 
***

EMPAT

Setan Mabuk tertawa terkekeh. Kemudian dengan 
langkah terhuyung seperti akan jatuh, kakinya melangkah 
ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Maka serangan itu 
pun kandas, lewat setengah jengkal di samping kiri tubuh-
nya. 
Buntara menggertakkan giginya. Rasa penasaran 
melanda hatinya. Maka begitu serangan pertamanya ber-
hasil dielakkan, segera disusuli dengan serangan bertubi-
tubi lainnya. 
Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini mengerahkan 
seluruh kemampuannya. Pedang di tangannya ber-
kelebatan cepat ke arah berbagai bagian tubuh lawan. 
Menusuk, membacok, menetak, dan menyontek. Tapi, tak 
satu pun yang mengenal sasaran. Setan Mabuk dengan 
gerakan seperti akan jatuh, membuat semua serangan 
Buntara kandas percuma! 
Meskipun berkali-kali serangannya gagal, kakek ber-
wajah penuh senyum itu tidak putus asa. Dia terus 
melancarkan serangan bertubi-tubi. Tekadnya tidak akan 
membiarkan lawan melancarkan serangan balasan. 
Sampai dua puluh jurus lebih, Buntara mengerahkan 
seluruh kemampuannya untuk menjatuhkan serangan 
pada anggota tubuh Setan Mabuk. Tapi semua usahanya 
sama sekali tidak membuahkan hasil seperti yang diharap-
kan. Setan Mabuk dengan gerakan-gerakan aneh benar-
benar membuat serangan Buntara jadi kandas. 
"He... he... he...! Kini giliranku, Sapi Gendut..!" kata Setan 
Mabuk. 
Dan begitu ucapannya selesai, gerakannya pun berubah 
mendadak. Tidak lagi lemas dan meliuk-liuk seperti akan 
jatuh. Namun kejang, keras, dan kasar penuh kekuatan. 
Dan kini tangan kanan Setan Mabuk mendadak dan 
tiba-tiba meluncur deras ke arah pelipis.

Buntara terkejut bukan kepalang menghadapi 
perubahan yang begitu mendadak ini, sehingga membuat-
nya agak gugup. Tanpa pikir panjang lagi dia melompat ke 
belakang. 
Usaha kakek berwajah penuh senyum ini ternyata tidak 
sia-sia. Sambaran tangan itu berhasil dielakkan, lewat 
beberapa jengkal dari sasaran semula. 
Tapi serangan Setan Mabuk ternyata tidak hanya 
sampai di situ. Begitu serangan pertama berhasil dielak-
kan, segera menyusuli dengan serangan selanjutnya. 
Kini setelah kakek berkepala botak itu melancarkan 
serangan balasan, dan tidak hanya mengelak saja seperti 
sebelumnya, Buntara baru merasakan betapa dahsyat 
lawannya. Memang diakui dia kalah dalam segala-galanya 
dibanding Setan Mabuk. Baik ilmu meringankan tubuh, 
tenaga dalam, maupun mutu ilmu silat. 
Dan begitu kakek berkepala botak mulai balas 
menyerang, serangan Buntara berhenti seketika. Wakil 
Ketua Perguruan Naga Hijau ini hanya mampu mengelak. 
Tubuhnya harus terpontang-panting ke sana kemari untuk 
menghindari serangan yang berkali-kali hampir merenggut 
nyawanya. 
Kini Buntara hanya mampu mengelak. Menangkis pun 
hanya kalau ada kesempatan saja. Bila mengelak sudah 
tidak memungkinkan lagi, sementara menyerang pun 
hanya sekali-sekali saja dilakukannya. Kakek berpakaian 
kuning ini benar-benar terdesak hebat. Sudah bisa dipasti-
kan kalau robohnya Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini 
hanya tinggal menunggu waktu saja. 
Wuttt..! 
Dengan gerakan tidak terduga-duga karena posisi 
kakinya tidak tetap. Setan Mabuk mengayunkan gucinya ke 
arah kepala Buntara. 
Karena tidak ada kesempatan mengelakkan serangan, 
terpaksa Buntara memutuskan untuk menangkis demi 
menyelamatkan selembar nyawanya. 
Tranggg..!

Suara berdentang nyaring terdengar ketika pedang 
Buntara berbenturan dengan guci Setan Mabuk. Akibatnya, 
kakek berwajah penuh senyum itu langsung memekik 
tertahan. Tangannya terasa lumpuh, sehingga tanpa dapat 
ditahan pedangnya terlepas dari pegangan dan terlempar 
jauh. 
Sebelum Buntara berhasil memperbaiki posisi, tangan 
Setan Mabuk telah meluncur deras ke arah dadanya. 
Dan.... 
Bukkk...! 
Tubuh Buntara terlempar ke belakang diiringi suara 
berderak keras dari tulang-tulang yang patah terkena 
pukulan. Darah segar langsung berceceran seiring 
melayangnya tubuh kakek berwajah penuh senyum itu. 
Brukkk...! 
Tidak ada geliat-geliat pada tubuh Buntara begitu 
menghantam tanah. Memang, nyawa Wakil Ketua 
Perguruan Naga Hijau ini telah melayang selagi tubuhnya 
berada di udara. 
"He... he... he...!" 
Setan Mabuk tertawa terkekeh-kekeh melihat lawannya 
kini diam tidak bergerak lagi. Sejenak, diperhatikannya 
tubuh yang tergolek diam di tanah. 
*** 
Subarji terpaku menatap mayat gurunya. Tapi, hanya 
sesaat saja dia berlaku demikian. Karena, kemarahan yang 
amat sangat telah menyadarkannya kembali dari ke-
terpakuan. 
Maka, sambil meraung keras seperti binatang buas ter-
luka, Subarji melompat ke atas. Beberapa kali tubuhnya 
berputar di udara, lalu dari atas pedangnya menusuk cepat 
ke arah ubun-ubun. 
"He... he... he...!" 
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh. Dengan gerakan 
sembarangan, tangan kanannya segera terulur. Dan….

Tappp…! 
Sungguh di luar dugaan, mata pedang Subarji berhasil 
ditangkap! Bahkan tidak sedikit pun tangan Setan Mabuk 
terluka. Dan secepat senjata itu tertangkap, secepat itu 
pula dibetotnya. 
Tak pelak lagi, tubuh Subarji pun tertarik ke bawah. 
Tenaganya memang jauh di bawah tenaga Setan Mabuk. 
Jadi, tidak aneh jika dia ikut tertarik ke bawah sewaktu 
kakek berkepala botak itu membetotnya. Apalagi, 
keadaannya memang tidak memungkinkan. Tubuhnya 
tengah berada di udara, dan tidak memiliki tandasan untuk 
berpijak. 
Begitu tubuh Subarji telah tertarik. Setan Mabuk 
langsung menyodokkan pedang yang digenggamnya. 
Blesss...! 
"Akh...!” 
Subarji menjerit keras ketika gagang pedang miliknya 
amblas ke dalam perutnya sendiri hingga sampai ke 
punggung. Darah segar seketika muncrat-muncrat dari 
lukanya. Dan begitu kakek berkepala botak itu melepaskan 
pegangan, tubuh Subarji ambruk ke tanah. Sebentar laki-
laki berkumis rapi itu menggelepar, lalu diam tak berkutik 
lagi. Mati. 
Perhatian Setan Mabuk kini beralih pada Jagar yang 
berdiri dalam jarak sekitar tujuh tombak di hadapannya. 
"Tahan, Setan Mabuk..!" seru Jagar keras seraya men-
julurkan kedua tangannya ke depan. 
Laki-laki bertubuh tinggi besar ini sengaja buru-buru 
berteriak mencegah, sebelum kakek berkepala botak itu 
melakukan tindakan terhadapnya. 
"He... he... he...! Mengapa, Lutung Jelek?! Apakah kau 
tahu di mana Dewa Arak sehingga berani mencegahku? 
Perlu kau ketahui, aku tidak akan mengampunimu kalau 
kau tidak memberi tahu di mana adanya orang yang berani-
beraninya menyaingi julukanku!" 
Jagar menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya 
yang mendadak kering. Ucapan kakek berkepala botak itu

membuatnya merasa gentar bukan kepalang. 
"Aku memang tidak mengetahui di mana Dewa Arak, 
Setan Mabuk. Tapi aku tahu, bagaimana caranya supaya 
dia datang mencarimu!" 
Setan Mabuk mengangguk-anggukkan kepala. 
"He... he... he...! Bagus! Bagus sekali...! Bagaimana cara-
nya, Lutung Jelek?!" 
Sambil berkata begitu. Setan Mabuk melangkah meng-
hampiri Jagar. Tentu saja dengan langkahnya yang ter-
huyung-huyung seperti akan jatuh. 
Kedua kaki Jagar mendadak lemas tatkala kakek ber-
kepala botak itu mendekatinya. Rasa gentar dan ngeri 
membuat kedua kakinya lemas mendadak. 
"Buat kekacauan saja...! Pasti, Dewa Arak akan datang." 
"Kalau dia tidak muncul, bagaimana...?!" 
"Pasti datang, Setan Mabuk'" sahut Jagar yakin. "Aku 
tahu betul, Dewa Arak adalah orang yang mempunyai sifat 
usilan. Dia selalu ikut campur urusan orang lain." 
Jagar menghentikan ucapannya sejenak. Diperhatikan-
nya wajah Setan Mabuk lekat-lekat. Tegang hatinya ketika 
melihat kakek berkepala botak itu mengernyitkan dahinya, 
pertanda tengah berpikir keras. Dua pilihan kini tengah 
ditunggunya. Apakah Setan Mabuk ini menolak, atau 
menerimanya. 
"Aku yakin, dia akan muncul ke tempat kekacauan itu, 
Setan Mabuk. Karena aku tahu. Dewa Arak telah berada di 
wilayah ini. Itu kudengar dari mulut perampok Hutan 
Gembor yang diampuninya." 
"He... he... he...! Kau benar, Lutung Jelek! Aku pun men-
dengarnya. Itulah sebabnya, mengapa aku keluar dari 
tempatku. Ingin kulihat, seperti apa orang yang berani 
menyaingi julukanku! He... he... he..!" 
"Kalau begitu, aku akan menghubungi rekan-rekanku 
dulu. Setan Mabuk." 
"He... he... he.... Untuk apa, Lutung Jelek?!" 
"Tentu saja untuk membuat kekacauan di mana-mana. 
Tapi..."

"Tapi apa?!" sentak Setan Mabuk begitu Jagar meng-
hentikan ucapannya. 
Terlihat Jelas, laki-laki bercambang bauk lebat itu 
merasa ragu-ragu meneruskan ucapannya. Jagar tidak 
langsung menjawab, dan hanya berdiam diri dengan sikap 
gugup. 
"Cepat katakan, sebelum kesabaranku hilang dan kau 
kujadikan bangkai..!" ancam Setan Mabuk. 
Wajah Jagar seketika memucat mendengar ancaman 
kakek berkepala botak itu. Dia tahu. Setan Mabuk tidak 
pernah bermain-main dengan ancamannya. Laki-laki ber-
tubuh tinggi besar ini merasakan adanya nada kesung-
guhan dalam ucapan tokoh sesat yang menggiriskan itu. 
"Selama ini, tindakan kami selalu dihalang-halangi 
murid-murid Perguruan Naga Hijau...," sahut Jagar dengan 
nada terpaksa. 
"He... he... he...! Kukira apa! Tak tahunya hanya itu saja, 
Lutung Jelek?! Mengenai Perguruan Naga Hijau, biar aku 
yang urus! Aku akan datang ke sana untuk memusnahkan 
perguruan itu selama-lamanya!" tandas Setan Mabuk. 
Keras dan lantang suaranya. 
"Tapi... Tapi..., di tiap desa ada murid-murid Perguruan 
Naga Hijau yang menetap, Setan Mabuk...!" 
Kakek berkepala botak itu kebingungan sesaat. 
"Kau boleh pergi dengan si kambing kurus itu...!" kata 
tokoh sesat pemabukan itu sambil menudingkan telunjuk-
nya ke arah kerimbunan semak-semak, tempat Kera Bukit 
Setan tadi terjatuh. 
Tak puas hanya dengan menunjuk. Setan Mabuk 
melangkah menghampiri kerimbunan semak-semak itu. 
Luar biasa! Hanya sekali langkah saja, tubuhnya telah 
melesat sejauh sebelas tombak. Dari sini saja sudah bisa 
diketahui, betapa tingginya ilmu meringankan tubuh yang 
dimiliki kakek berkepala botak ini. Tidak heran dalam 
sekejapan saja, dia sudah berada di tempat yang dituju. 
Srakkk…! 
Terdengar suara berkerosak ketika semak itu tersibak.

Dan bertepatan dengan terkuaknya kerimbunan semak-
semak itu. Kera Bukit Setan baru saja bangkit dari ber-
baringnya. 
"Kau mau menjadi anak buahku, Kambing Kurus?!" 
tanpa menunggu lebih lama lagi. Setan Mabuk langsung 
mengajukan pertanyaan. 
Tanpa pikir panjang lagi. Kera Bukit Setan mengangguk-
kan kepala. 
"Jawab kalau kutanya, Kambing Kurus?!" sergah kakek 
berkepala botak itu keras. 
"Aku bersedia...!" jawab Kera Bukit Setan. 
"He... he... he...! Sekarang dengar baik-baik perintahku." 
Langsung saja Setan Mabuk memberi perintah. "Kau ber-
sama lutung jelek itu harus membuat kekacauan di setiap 
desa. Dan bila telah melihat kedatangan Dewa Arak, 
segera beri tahu aku...! Mengerti?!" 
"Mengerti, Setan Mabuk." 
"He... he... he...! Bagus...! Bagus...! Kau memang tidak 
terlalu dungu, Kambing Kurus!" 
Sambil berkata demikian, tangan Setan Mabuk bergerak 
menepuk-nepuk pipi Kera Bukit Setan yang hanya bisa 
berdiam diri saja. Laki-laki berompi hitam ini tahu, tidak 
ada gunanya melawan kakek berperut buncit itu. Melawan, 
berarti mati. Maka lebih baik mengalah saja. 
"Ada satu lagi yang perlu kau ingat, Kambing Kurus," 
sambung Setan Mabuk lagi. 
"Apa itu, Setan Mabuk?!" 
"Setiap membuat kekacauan, jangan kau membinasa-
kan semua orang. Sisakan beberapa orang agar memberi 
laporan pada Dewa Arak. Katakan! Bila Dewa Arak tidak 
ingin semua ini terjadi, dia harus datang dan meladeni 
tantanganku! Jelas?!" 
"Jelas!" Kera Bukit Setan menganggukkan kepala. 
"Kalau begitu, pergilah...!" 
Kakek berkepala botak ini lalu mengibaskan tangannya. 
Perlahan saja kelihatannya, tapi akibatnya tubuh Kera 
Bukit Setan terlempar jauh. Apalagi laki-laki kecil kurus ini

sama sekali tidak menduga mendapat perlakuan seperti 
itu. 
Baru ketika tubuhnya telah berada di udara, Kera Bukit 
Setan berusaha keras agar tubuhnya tidak terbanting di 
tanah. Dengan kelihaiannya, tidak sulit mematahkan daya 
lontaran itu. Kemudian, kakinya mendarat ringan dan 
mantap di sebetah Jagar. 
"Ingat! Kalau main-main, tahu sendiri akibatnya...!" 
Seketika tubuh Setan Mabuk pun berkelebat dari situ. 
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuhnya sudah 
berupa titik hitam. Semakin lama semakin mengecil, dan 
akhirnya lenyap di kejauhan. 
"Hhh...!" 
Hampir berbareng Jagar dan Kera Bukit Setan menghela 
napas lega. Kini hati mereka tenang kembali begitu Setan 
Mabuk tidak terlihat lagi. Keduanya kemudian saling 
pandang sejenak 
"Kau bersedia menjadi anak buahnya?" tanya Kera Bukit 
Setan sambil menatap wajah Jagar lekat-lekat. 
"Apa boleh buat, daripada nyawaku melayang," sahut 
laki-laki bercambang bauk lebat itu. "Toh, tidak ada ruginya 
mempunyai pimpinan seperti dia. Kepandaiannya luar 
biasa! Bersama dia, aku akan bebas berbuat semauku 
tanpa takut lagi pada orang-orang usilan dari Perguruan 
Naga Hijau! Dan pasti perguruan itu tak lama lagi akan 
musnah!" 
"Heh...?!" Kera Bukit Setan terperanjat "Benarkah 
ucapanmu itu?" 
Jagar mengangguk. 
"Setan Mabuk pergi ke sana untuk menghancurkannya." 
Kera Bukit Setan mengangguk-anggukkan kepala per-
tanda mengerti. 
***

LIMA

Setan Mabuk berlari cepat mengerahkan seluruh 
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Tokoh sesat 
berkepala botak itu ingin buru-buru tiba di tempat yang 
ditujunya. Padahal, markas Perguruan Naga Hijau terletak 
cukup jauh dari tempatnya sekarang berada. Namun bila 
dibanding desa-desa lainnya. Desa Koneng memang ter-
letak paling dekat dengan Perguruan Naga Hijau di lereng 
Gunung Koneng. 
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah amat tinggi, 
dalam waktu tak berapa lama kakek berkepala botak ini 
telah berada di kaki Gunung Koneng. Dan kini, dia mulai 
sibuk mendaki ke atas. 
Lincah dan gesit laksana kera, Setan Mabuk ber-
lompatan ke sana kemari. Tubuhnya melenting ke atas, 
kemudian hinggap pada batu-batuan yang menonjol. Begitu 
ujung kakinya menotok bebatuan, tubuhnya kembali 
melenting ke atas. Begitu seterusnya. Memang bagi 
seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh sepertinya 
bukan merupakan hal yang sulit untuk melakukan semua 
itu. 
Tak lama kemudian, pandangan matanya sudah 
menangkap bangunan besar dan megah di kejauhan. 
Melihat hal ini, semangat Setan Mabuk pun semakin 
bertambah. Dan dengan demikian, larinya pun semakin 
cepat pula. 
Sementara itu di Perguruan Naga Hijau, dua orang murid 
penjaga gerbang tampak mengernyitkan dahi. Mereka 
melihat di kejauhan ada sesosok tubuh yang tengah 
bergerak mendekati perguruan. Karena belum mengetahui 
maksud kedatangan sosok tubuh yang tengah bergerak, 
kedua orang itu harus bersikap waspada. 
"He... he... he...!" 
Begitu telah berjarak dua tombak dengan kedua orang

penjaga pintu gerbang. Setan Mabuk tertawa terkekeh, 
setelah terlebih dahulu menghentikan langkahnya. 
Kemudian, diangkatnya guci yang sejak tadi digenggam 
dengan tangan kiri. 
Dan kini terdengar suara tegukan ketika cairan arak 
melewati tenggorokan kakek berkepala botak itu. 
"Siapa kau?!" tegur seorang murid Perguruan Naga Hijau 
yang berkulit kemerahan. "Apa keperluanmu datang 
kemari?" 
"He... he... he...!" 
Setan Mabuk menurunkan guci araknya, seraya 
mengusap sekitar mulutnya yang basah dengan punggung 
tangan. Kemudian dengan keadaan tubuh doyong ke sana 
kemari, kakinya melangkah mendekati kedua orang murid 
Perguruan Naga Hijau. 
"Aku? Kau bertanya siapa diriku. Kodok Buduk?! He... 
he... he...! Lucu! Kau tidak mengenalku? Aku Setan Mabuk! 
Dengar, Setan Mabuk! Dan keperluanku adalah akan 
membasmi perguruan kalian!" 
"Keparat!" maki penjaga pintu gerbang yang seorang 
lagi. 
Dan... 
Srattt...! 
Sinar terang berkilatan ketika penjaga itu meloloskan 
pedang dari sarungnya. 
"Cabut senjatamu, Setan Mabuk! Sebelum pedang di 
tanganku merobek-robek perutnya yang bulat seperti guci 
arakmu!" 
"Hm...!" terdengar suara gumaman dari hidung Setan 
Mabuk. 
Mendadak... 
Pruhhh...! 
Dari mulut Setan Mabuk tiba-tiba keluar butir-butir arak. 
Rupanya kakek berperut buncit ini tadi tidak meminum 
arak seluruhnya. Sebagian disimpannya di mulut, dan 
langsung disemburkan ke arah murid Perguruan Naga 
Hijau yang telah menantangnya.

Semburan arak Setan Mabuk tidak bisa dianggap 
remeh, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga 
dalam tinggi. Sehingga, semburan itu tak ubahnya luncuran 
anak panah. 
Kedua orang murid Perguruan Naga Hijau yang menjaga 
pintu gerbang seketika terperanjat Apalagi, rekan si laki-
laki berkulit kemerahan yang mendapat serangan itu. 
Dengan agak gugup pedangnya digerakkan untuk 
menangkis serangan semburan arak itu. 
Tring, tring. tring...! 
Tasss, tasss, tasss…! 
"Akh...!" 
Murid Perguruan Naga Hijau menjerit memilukan ketika 
butiran-butiran arak itu mengenai beberapa bagian 
wajahnya. Akibatnya mengerikan sekali. Sekujur wajah 
yang terkena semburan arak itu berlubang. Darah segar 
langsung menetes dari bagian yang terkena. Tak pelak lagi, 
selebar wajah murid yang sial itu dipenuhi darah. Rasa 
sakit dan perih yang amat sangat mendera rekan laki-laki 
berkulit kemerahan itu. 
Dan belum sempat murid yang sial itu berbuat sesuatu, 
tangan Setan Mabuk telah bergerak melambai. Seketika 
murid Perguruan Naga Hijau itu tertarik keras ke depan. 
Dan begitu tubuhnya telah dekat, kakek berkepala botak 
itu mengayunkan gucinya ke arah kepala. 
Wuttt ! Prakkk..! 
Suara berderak keras mengiringi pecahnya kepala rekan 
laki-laki berkulit kemerahan. Cairan merah bercampur 
putih seketika muncrat-muncrat. Tubuh orang itu langsung 
ambruk tanpa bersuara lagi. Saat itu juga, nyawa murid 
Perguruan Naga Hijau seketika melayang meninggalkan 
raganya 
Laki-laki berkulit kemerahan terperanjat melihat 
kematian kawannya secara begitu mudah dan mengerikan. 
Tapi sesaat kemudian, rasa terkejutnya segera sirna dan 
berganti kemarahan yang amat sangat. Kakek ini datang-
datang telah menurunkan tangan maut pada rekannya. Ini

tidak bisa didiamkan. 
Srattt...! 
Laki-laki berkulit kemerahan itu pun mencabut pedang, 
dan langsung menusukkannya ke arah dada kakek ber-
perut buncit. 
"He... he... he...!" 
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh. Sama sekali tidak 
dipedulikannya sambaran pedang yang meluncur cepat ke 
arah perutnya. 
Takkk...! 
Pedang murid Perguruan Naga Hijau langsung terpental 
kembali begitu mengenal sasaran. Sepertinya, yang ditusuk 
laki-laki berkulit kemerahan adalah gumpalan karet kenyal! 
Maka laki-laki berkulit kemerahan itu terperanjat begitu 
melihat perut lawan sama sekali tidak terpengaruh oleh 
tusukan pedangnya. Bahkan justru tangannya yang terasa 
bergetar hebat. 
Belum lagi rasa terkejutnya hilang, tangan Setan Mabuk 
telah mencengkeram pangkal lehernya. Langsung dibentur-
kannya kepala murid Perguruan Naga Hijau dengan 
kepalanya sendiri. 
Prakkk...! 
Terdengar suara berderak keras ketika kepala laki-laki 
berkulit kemerahan itu hancur berantakan. Tubuhnya 
limbung sejenak, lalu ambruk ke tanah. Sebentar dia 
menggelepar, kemudian tak berkutik lagi. 
"He... he... he...!” 
Setan Mabuk tertawa terkekeh melihat lawan tak ber-
daya lagi. Kemudian bagaikan melempar sebuah karung 
basah, mayat laki-laki berkulit kemerahan itu dicampakkan 
begitu saja ke tanah. Lalu, tokoh sesat itu melesat ke 
dalam. 
*** 
Baru saja melewati pintu gerbang yang memang 
terbuka, di hadapan Setan Mabuk telah berdiri belasan

orang berseragam kuning bergambar naga pada dada 
kirinya. Semuanya murid Perguruan Naga Hijau. Rupanya, 
mereka mendengar adanya keributan di luar, sehingga 
berbondong-bondong menuju ke luar. 
Betapa terkejutnya hati murid-murid Perguruan Naga 
Hijau begitu melihat seorang kakek berkepala botak telah 
melesat masuk sambil tertawa terkekeh-kekeh. Dari 
sikapnya yang kasar, bisa diduga golongan kakek gendut 
itu berasal. Tidak salah lagi! Pasti golongan hitam! 
Melihat orang kasar seperti kakek itu bisa masuk ke 
dalam, sudah dapat dipastikan kalau masuknya pasti 
dengan cara paksa. Dan itu berarti dua orang penjaga 
pintu gerbang telah berhasil digilasnya. Tanda noda darah 
di bagian kepala Setan Mabuk kian memperjelas per-
soalannya. 
"He... he... he...!" 
Setan Mabuk tertawa terkekeh melihat keterkejutan 
belasan murid Perguruan Naga Hijau di hadapannya. 
Kakek berkepala botak ini memang sudah memutuskan 
untuk menghancurkan Perguruan Naga Hijau, bukan 
karena ingin membantu Jagar, tapi karena ingin membuat 
kerusuhan sebanyak mungkin agar Dewa Arak muncul. 
Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, segera diserbunya 
belasan murid Perguruan Naga Hijau yang memang sudah 
bersiap dengan senjata di tangan. 
Sekali menyerang, Setan Mabuk langsung mengeluar-
kan ilmu andalannya, 'Seribu Satu Gerakan Setan Mabuk'. 
Kedua tangannya yang terbentuk cakar aneh, guci, dan 
juga araknya dikeluarkan untuk menghadapi belasan orang 
pengeroyoknya. 
Sepak terjang Setan Mabuk benar-benar menggiriskan. 
Setiap kali tangan, guci, atau araknya meluncur, sudah 
dapat dipastikan ada sosok tubuh yang ambruk ke tanah. 
Dalam waktu sebentar saja, empat orang murid Perguruan 
Naga Hijau roboh bergelimpangan untuk selama-lamanya. 
Murid-murid Perguruan Naga Hijau yang tersisa terkejut 
bukan main melihat kehebatan kakek berperut buncit itu.

Sungguh tidak disangka kalau dalam beberapa gebrakan 
saja, Setan Mabuk mampu membinasakan keempat rekan 
mereka. 
Pikiran seperti itu membuat mereka memaksakan diri 
untuk mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki. 
Senjata-senjata mereka pun berkelebat mencari sasaran. 
Tapi perlawanan keras murid-murid Perguruan Naga 
Hijau sama sekali tidak berarti banyak. Setan Mabuk 
terlalu tangguh untuk dapat ditandingi. Setiap serangan 
pedang yang menyambar, selain ke arah matanya dibiar-
kan saja. 
Hebatnya, setiap serangan yang menyambar berbagai 
bagian tubuh Setan Mabuk kembali membalik seperti 
menghantam gumpalan karet kenyal. Tidak hanya itu saja. 
Tangan yang menggenggam pedang pun bergetar hebat 
seperti akan lumpuh. 
Sebaliknya, setiap serangan kakek berperut buncit itu 
selalu diakhiri oleh lolong kesakitan yang menyayat hati. 
Kedua tangan, guci, dan arak kakek itu sudah beberapa 
kali merenggut nyawa. Penjagalan manusia secara tak ber-
perikemanusiaan pun berlangsung di halaman Perguruan 
Naga Hijau. 
"He... he... he...!" 
Setan Mabuk kembali tertawa terkekeh begitu tidak ada 
lagi lawannya yang berdiri tegak. Semua tergolek di tanah 
dalam keadaan tidak bernyawa. 
Setelah puas memperhatikan mayat-mayat yang ter-
kapar di tanah. Setan Mabuk bergerak menghampiri 
bangunan Perguruan Naga Hijau. Diambilnya beberapa 
batang kayu dari sekitar bangunan, lalu digosokkannya 
satu sama lain. 
Dengan tenaga dalam yang dimilikinya, bukan hal yang 
sulit untuk menyalakan api. Sesaat kemudian, api pun 
memercik dan mulai membakar kayu-kayu itu. 
"He... he... he...!" 
Masih dengan tawa terkekeh, Setan Mabuk melempar-
kan potongan-potongan kayu itu ke arah bangunan.


Tak lama kemudian, api mulai membakar bangunan itu. 
Semakin lama, api semakin besar dan membumbung 
tinggi. Asap tebal dan hitam pun memenuhi angkasa. Tidak 
ada jerit kematian, karena seluruh murid Perguruan Naga 
Hijau memang telah dibinasakannya. Namun, entah berada 
di mana ketua perguruan itu. Mungkin saja dia tengah 
bersemadi di puncak Gunung Koneng. 
Seiring semakin membesarnya api, sekeliling tempat itu 
pun terasa panas di kulit Setan Mabuk laki melangkah ke 
belakang, karena hawa panas mulai menyengat kulit 
tubuhnya. Kakek berperut buncit ini memperhatikan api 
yang membakar bangunan perguruan itu dari jarak yang 
cukup jauh. 
"He... he... he...!" 
Dengan tawa terkekeh yang selalu keluar dari mulutnya, 
Setan Mabuk melangkah meninggalkan tempat itu. Dengan 
langkah agak terhuyung-huyung, tubuhnya melesat cepat 
bagai kilat. 
Semakin lama, suara tawa kakek berkepala botak itu 
semakin mengecil. Suara tawa itu akhirnya lenyap, seiring 
dengan tubuhnya yang lenyap di kejauhan. 
*** 
Suara gemeretak kayu yang terbakar diiringi meletiknya 
beberapa gelintir bara api, menyemaraki kesibukan 
seorang pemuda tampan berambut putih keperakan yang 
tengah memanggang seekor ayam hutan. 
Dengan jakun turun naik dan air liur yang hampir 
menitik, pemuda berpakaian ungu itu terus tenggelam 
dalam kesibukannya. Tangan kanannya mengebut-
ngebutkan daun nangka yang dijadikannya kipas. Sedang-
kan tangan kirinya sibuk memutar-mutar bambu yang 
memanggang ayam. 
Cuping hidung pemuda itu kembang kempis begitu 
mencium bau sedap daging terbakar. Memang sebelum 
memanggang, dia telah membubuhkan bumbu secukup

nya. Tidak aneh jika akhirnya tercium bau sedap, sehingga 
perut yang sudah lapar semakin menjerit-jerit minta segera 
diisi. 
Setelah yakin kalau panggangannya telah matang, 
pemuda berambut putih keperakan itu mulai menik-
matinya. Tentu saja setelah tidak terasa panas menyengat 
mulut lagi. 
Rupanya, pemuda itu dilanda lapar yang amat sangat. 
Terbukti begitu potongan yang pertama telah habis disikat 
lalu dilanjutkan dengan potongan selanjutnya. Dalam 
waktu tak lama, panggang ayam hutan itu telah habis 
dilahap. 
"Ahhh...!" 
Pemuda berambut putih keperakan itu mendesah puas. 
Diusapnya pinggir-pinggir mulut yang penuh minyak dengan 
punggung tangan. Kemudian, tubuhnya disandarkan di 
pohon seraya menepuk-nepuk perutnya yang kini sudah 
tidak kempes lagi. 
Perlahan-lahan dijumput guci arak yang tadi diletakkan 
di dekatnya, lalu didekatkan ke mulut. Dan.... 
Gluk... gluk... gluk...! 
Terdengar tegukan ketika arak itu melewati 
tenggorokan. Menilik dari warna rambut, pakaian yang 
dikenakan, dan guci arak yang terbuat dari perak, sudah 
bisa diterka sosok pemuda itu. Ya! Dialah Arya Buana alias 
Dewa Arak. 
Tentu saja sewaktu meminum arak, Dewa Arak tidak 
bermaksud mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Pemuda 
berambut putih keperakan itu hanya minum sekadarnya 
saja. Itulah sebabnya. Begitu araknya diminum, dia tidak 
terpengaruh sama sekali. 
Perut kenyang, tubuh bersandar, dan angin pagi yang 
semilir, tidak aneh kalau membuat orang mengantuk. 
Begitu pula dengan Arya. Rasa kantuk ini mulai menyerang 
matanya. Perlahan-lahan sepasang matanya terpejam 
sendiri. 
Tapi rasa kantuknya kontan menguap entah ke mana

ketika terdengar langkah-langkah kaki mendekati tempat-
nya. Seketika itu juga sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot 
Arya menegang waspada, siap menghadapi segala 
kemungkinan. 
Semakin lama, langkah kaki itu semakin jelas terdengar. 
Jelas, pemilik langkah itu tengah bergerak mendekati Dewa 
Arak. Maka pemuda berambut putih keperakan ini lang-
sung bergerak bangkit. 
Guci arak yang tergeletak di samping kanannya, 
dibiarkan saja, karena saat ini memang belum diperlukan. 
Kini Dewa Arak duduk tegak menunggu. Ingin diketahui-
nya pemilik langkah itu. Menilik dari suaranya, dia tahu 
kalau pemilik langkah itu tidak hanya seorang saja. 
Tak lama kemudian, dari arah sebelah kiri Dewa Arak 
tampak muncul serombongan orang berwajah angker. 
Empat orang di antara mereka memikul sebuah tandu. 
Melihat hal ini, kewaspadaan Dewa Arak mulai 
mengendur. Menilik dari tandu itu, bisa diduga kalau 
rombongan yang seluruhnya berjumlah enam belas orang 
adalah pengawal pemilik tandu yang akan pindah tempat. 
Arya melirik sekilas ke arah rombongan itu. Tampak 
empat orang berada di depan tandu yang dipikul oleh 
empat orang bertubuh kekar dan kuat. Sementara di 
belakang, berjalan tak kurang dari delapan orang. 
Kemudian tanpa mempedulikan lagi, Dewa Arak segera 
menyandarkan punggungnya kembali ke pohon. Memang 
pohon tempatnya bersandar berada di hadapan bagian 
hutan yang biasa dijadikan orang untuk menempuh 
perjalanan. Maka, sudah bisa ditebak kalau tidak lama lagi 
rombongan orang itu akan berlalu di depan Arya. 
Semula Arya menduga kalau pemilik banyak langkah itu 
adalah rombongan perampok. Itulah sebabnya, mengapa 
sikapnya begitu waspada. Maka begitu tahu kalau pemilik 
langkah itu hanyalah rombongan orang yang mengawal 
sebuah tandu yang sudah pasti dimiliki seorang saudagar, 
dia pun tidak ambil peduli lagi. 
Semakin lama rombongan itu semakin dekat dengan

tempat Arya bersandar. Meskipun terlihat tidak peduli, tapi 
tetap saja Dewa Arak memasang pendengarannya tajam-
tajam. Maka dia bisa tahu, rombongan itu semakin men-
dekati tempatnya. 
Mendadak, terdengar suara pelan seperti ada kain ter-
singkap. Dewa Arak yang merasa curiga segera membuka 
mata. Secepat matanya terbuka, secepat itu pula hatinya 
tercekat. Suara kain yang tersingkap ternyata berasal dari 
samping kanan tandu. 
Yang mengejutkan Arya bukan tirai yang tersingkap, tapi 
'sesuatu' yang melesat cepat dari dalam tandu. Ternyata, 
empat bilah pisau melesat ke arahnya disertai suara 
mendesing nyaring. 
Namun Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh. 
Menilik dari suara mendesing nyaring yang mengawali 
tibanya serangan, sudah bisa diterka kekuatan tenaga 
dalam yang terkandung di dalamnya. Dewa Arak tidak 
berani menangkis, karena tidak ada kesempatan lagi untuk 
mengambil guci. 
Arya tidak punya pilihan lain lagi kecuali menggulingkan 
tubuhnya ke samping. 
Cappp, cappp...! 
Tiga bilah pisau langsung menancap sampai gagangnya 
di batang pohon tempat bersandar Dewa Arak tadi. Dari 
sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam 
orang yang melemparkannya. 
Belum juga Arya sempat memperbaiki keadaannya, dari 
batik tirai tandu melesat sesosok bayangan putih. 
Langsung dicecarnya pemuda berambut putih keperakan 
itu dengan pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati. 
Kali ini Dewa Arak terpaksa menyalahi kebiasaannya. 
Biasanya, pemuda berpakaian ungu ini tidak pernah 
menangkis langsung serangan sebelum bisa memper-
kirakan kekuatan tenaga dalam lawan. Tapi kali ini, karena 
kesempatan yang dimiliki tidak memungkinkan, terpaksa 
tangannya bergerak menangkis. Sadar akan kekuatan 
tenaga dalam lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi segera
seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan dalam 
tangkisan itu. 
***
ENAM

Plak, plak…!” 
Serangan sosok bayangan putih itu semuanya berhasil 
dikandaskan Dewa Arak. Bahkan tubuh sosok bayangan itu 
pun terpental balik ke belakang. Sementara kedua tangan 
Arya hanya terasa bergetar hebat. 
Lagi-lagi sebelum pemuda berambut putih keperakan itu 
berhasil memperbaiki keadaannya, kembali datang 
serangan dahsyat. Kali ini bukan dari sosok bayangan 
putih, melainkan dari orang-orang berwajah angker yang 
mengawal tandu. 
Secara serempak, mereka semua meluruk memburu 
tubuh Dewa Arak yang masih tergeletak di tanah. Senjata-
senjata yang tergenggam dj tangan segera berkelebatan 
cepat ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak. 
Sing, sing, sing...! 
Suara-suara mendesing nyaring mengawali tibanya 
serangan senjata para pengawal tandu itu. 
Kali ini, Dewa Arak sama sekali tidak mengelakkan 
serangan. Arya tahu, perbedaan kekuatan tenaga dalam 
antara dirinya dengan orang-orang berwajah angker itu 
sangat jauh. Dengan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki, 
semua senjata itu mampu ditangkisnya tanpa terluka. 
Tak, tak, tak...! 
Suara berdetak keras terdengar berulang-ulang ketika 
senjata-senjata itu berbenturan dengan kedua tangan 
Dewa Arak. Arya yang tidak mau bersikap main-main lagi, 
langsung mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki. 
Akibatnya sudah bisa diduga. Seketika terdengar jeritan-
jeritan kaget dari mulut para pengawal tandu itu ketika 
tangan mereka mendadak lumpuh. Tak pelak lagi, senjata 
yang digenggam pun terlepas dari tangan dan berpentalan 
entah ke mana.

Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa Arak. 
Kedua tangannya pun diputar di depan dada. Kontan dari 
kedua tangan yang berputaran itu muncul angin keras. 
Akibatnya, tubuh para pengeroyoknya berpentalan tak 
tentu arah seperti dilanda angin topan. 
“Hih…!” 
Sambil mengeluarkan teriakan keras menggetarkan 
jantung, sosok bayangan putih itu melompat menerjang 
Dewa Arak. Tapi kali ini, Arya sama sekali tidak ingin 
menangkis serangan, karena empat orang pemikul tandu 
telah bergerak menghampiri guci araknya yang tertinggal. 
Sudah bisa diperkirakan tindakan yang akan dilakukan 
mereka. 
Maka seketika tubuh Arya melenting ke atas, melompati 
tubuh sosok bayangan putih. Pemuda berambut putih 
keperakan ini berburu dengan waktu. Guci araknya harus 
cepat diambil lebih dulu sebelum empat orang pemikul 
tandu itu merampasnya. 
Menyadari kalau tidak akan sampai lebih dulu, karena 
jaraknya dengan guci terlalu jauh, dan sementara empat 
orang itu sudah hampir mencapainya. Dewa Arak tidak 
mempunyai pilihan lain lagi. Sambil melompat, langsung 
dilancarkannya pukulan jarak jauh ke arah dua di antara 
empat orang yang sudah hampir mencapai guci. 
Wuttt..! 
Bresss...! 
Jeritan-jeritan ngeri terdengar ketika pukulan jarak jauh 
Dewa Arak telak dan keras sekali menghantam punggung 
dua orang yang ditujunya. Seketika itu juga, darah segar 
muncrat dari mulut ketika tubuh dua orang pemikul tandu 
itu terjungkal ke depan. Tubuh kedua orang yang sial itu 
menggelepar-gelepar sejenak, kemudian diam tidak 
bergerak lagi selama-lamanya. 
Sementara dua orang lainnya terkejut bukan main 
melihat kejadian ini. Dengan sendirinya, langkah mereka 
terhenti. Dan di saat itulah tubuh Arya melayang cepat. 
Seperti seekor burung garuda menyambar mangsa, dia

meluruk dan menyambar guci araknya. 
Tappp...! 
Dewa Arak melentingkan tubuhnya beberapa kali. Dan 
begitu kedua kakinya hinggap di tanah, pandangannya 
langsung beredar ke arah para pengeroyoknya yang 
ternyata tidak melancarkan serangan kembali. Arya sempat 
melihat kalau sosok bayangan putih itu melarang para 
pengawalnya untuk melancarkan serangan lagi. Kini, sosok 
bayangan putih itu melangkah menghampiri pemuda 
berpakaian ungu itu. 
"Siapa kalian? Mengapa menyerangku?" tanya Dewa 
Arak, penuh wibawa. 
Mata pemuda itu langsung menatap sosok bayangan 
putih yang ternyata seorang laki-laki berwajah pucat seperti 
mayat. Tampangnya benar-benar menyeramkan. Pakaian-
nya yang berwarna putih, semakin menambah seram 
penampilannya. 
"Aku berjuluk Mayat Kuburan Koneng," sahut orang ber-
pakaian putih itu. Suaranya terdengar aneh. Pelan, tapi 
bergaung mirip hantu kuburan. Kedua belah pipinya 
hampir tidak bergerak sama sekali ketika berbicara. 
Mungkin itulah yang membuat suaranya terdengar tidak 
jelas. "Memang tidak setenar julukanmu, Dewa Arak!" 
Arya mengernyitkan alisnya. Dia memang tidak 
mengenal Mayat Kuburan Koneng. 
"Mengapa kau menyerangku, Mayat Kuburan Koneng?" 
tanya Arya lagi, karena laki-laki berpakaian putih bersih itu 
sama sekali tidak menyahuti pertanyaannya. 
"Aku hanya ingin menjajal kepandaianmu saja, Dewa 
Arak. Apakah julukan yang kau sandang sebanding dengan 
kepandaianmu, sehingga menggemparkan dunia per-
silatan?!" 
"Hhh...!" 
Arya mengela napas berat. Disadari kalau pertarungan 
tidak bisa dielakkan lagi. 
"Kudengar, Setan Mabuk menantangmu. Terpaksa aku 
mendahuluinya. Karena apabila dia lebih dulu bertarung

denganmu, kau tidak akan pernah bisa bertarung kembali 
denganku, Dewa Arak'" sambung Mayat Kuburan Koneng 
Pemuda berambut putih keperakan ini mengerutkan 
alisnya. 
"Setan Mabuk menantangku? Mengapa aku tidak tahu? 
Jangankan tahu tentang tantangan itu, mendengar julukan-
nya saja baru kali ini! Tapi yang jelas, tokoh itu pasti 
memiliki kepandaian yang amat tinggi. Mayat Kuburan 
Koneng yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi, 
secara tidak langsung mengakui kalau Setan Mabuk 
memiliki kepandaian di atasnya," kata hati Dewa Arak 
"Ada satu hal lagi yang membuatku terpaksa men-
dahului Setan Mabuk, Dewa Arak'" 
Kali ini suara laki-laki berpakaian putih itu terdengar ber-
sungguh-sungguh. Ada nada ancaman dalam suaranya 
yang terdengar mengerikan itu. 
"Kau kenal Janggulapati?" 
Arya mengernyitkan alisnya sebentar, mengingat-ingat 
nama yang diucapkan Mayat Kuburan Koneng. Baru sesaat 
kemudian, dia teringat Janggulapati adalah suami Gayatri. 
Mereka berdua terkenal berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit 
Gantar (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak 
dalam episode "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar"). 
Perlahan-lahan kepala pemuda berpakaian ungu itu ter-
angguk-angguk. Sementara tangan kanannya memegang 
dagu. 
"Dia tewas di tanganmu, bukan?!" desak laki-laki ber-
pakaian putih dengan suara semakin tidak enak didengar. 
"Benar!" sahut Dewa Arak, mantap. Memang dialah yang 
telah menewaskan Janggulapati. 
"Perlu kau ketahui, Dewa Arak. Janggulapati terhitung 
saudara seperguruanku. Walaupun setelah itu kami 
menempuh cara sendiri-sendiri untuk memperdalam ilmu, 
tapi aku tidak rela dia dibunuh orang! Bersiaplah, Dewa 
Arak. Aku akan membuat perhitungan denganmu atas 
pembunuhan yang kau lakukan terhadap Janggulapati!" 
Belum juga gema suara itu habis. Mayat Kuburan

Koneng telah meluruk menerjang Dewa Arak. Laki-laki 
berpakaian putih ini membuka serangan dengan sebuah 
tendangan lurus ke arah dada. 
Arya segera menarik kaki kanan ke belakang seraya 
mendoyongkan tubuh. Maka serangan itu tidak mencapai 
sasaran, masih berjarak sekitar sejengkal di hadapannya. 
Tapi, Mayat Kuburan Koneng tidak sudi memberi 
kesempatan. Begitu Dewa Arak berhasil mengelakkan 
serangan, segera disusulinya dengan serangan berikut. 
Kaki kanannya kini sedikit ditarik pulang, lalu meluncur lagi 
mengancam leher Arya dengan sebuah tendangan miring 
Kali ini Arya terpaksa melompat ke belakang untuk 
mengelakkan serangan itu. Kemudian dia bersalto 
beberapa kali di udara. Dan begitu hinggap, tangannya 
telah menggenggam sebuah guci arak. 
Gluk.. gluk.. gluk..! 
Suara tegukan terdengar ketika Arya menuangkan arak 
ke mulutnya. Sesaat kemudian, hawa hangat merayapi 
perutnya, dan perlahan naik ke atas kepala membuat 
tubuhnya oleng ke kanan dan ke kiri. 
Dan bertepatan dengan pemuda berpakaian ungu itu 
menurunkan guci araknya, serangan dari Mayat Kuburan 
Koneng telah datang menyambar. 
Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun tidak bisa 
dihindari. 
Mayat Kuburan Koneng mengamuk seperti banteng 
terluka. Dia rupanya sangat mendendam atas kematian 
Janggutapati di tangan Dewa Arak. Terbukti, setiap 
serangannya selalu mengancam bagian-bagian yang 
mematikan. Bahkan selalu dilepaskan lewat pengerahan 
tenaga dalam penuh. 
Suara angin bercicitan mengiringi tibanya setiap 
serangan yang dilancarkan Mayat Kuburan Koneng. Jelas, 
setiap serangannya mengandung tenaga dalam tinggi. 
Tapi orang yang diserangnya kali ini adalah Dewa Arak. 
Seorang pendekar yang meskipun masih berusia muda, 
tapi telah memiliki kepandaian amat tinggi. Ilmu

andalannya, yang bernama 'Belalang Sakti' merupakan 
sebuah ilmu aneh yang dahsyat. Dan kini menghadapi 
lawannya, ilmu andalannya itu langsung dikeluarkan. 
Mayat Kuburan Koneng menggertakkan gigi karena 
perasaan geram yang melanda hatinya. Telah belasan jurus 
menyerang kalang kabut, tapi tak satu pun yang mengenai 
sasaran. Padahal sepertinya Dewa Arak hanya mengelak 
dengan gerakan-gerakan tidak teratur. 
Tapi anehnya, setiap serangan yang dikirimkan Mayat 
Kuburan Koneng selalu mengenai tempat kosong. 
Serangan itu selalu dielakkan Dewa Arak dengan gerakan-
gerakan seperti orang akan jatuh. Bahkan terkadang 
seperti memapak serangan yang dilancarkan dengan 
tubuhnya. Anehnya, justru dengan berbuat seperti itu, 
serangan lawan bisa dikandaskan. 
Semula, Arya sama sekali tidak bermaksud mengadakan 
perlawanan. Dia sama sekali tidak mempunyai perselisihan 
dengan Mayat Kuburan Koneng. Tambahan lagi, rasanya 
tak ada alasan untuk membunuh laki-laki berpakaian putih 
ini. Arya belum melihat adanya kejahatan yang tidak 
terampunkan pada Mayat Kuburan Koneng. 
Tapi rupanya sikap mengalah Dewa Arak ditafsirkan lain 
oleh Mayat Kuburan Koneng. Laki-laki berpakaian putih ini 
malah menganggap pemuda berambut putih keperakan itu 
meremehkannya. Dan sebagai akibatnya, serangan-
serangannya pun berlangsung semakin dahsyat. 
Kesabaran Dewa Arak pun habis. Tokoh sesat ber-
pakaian putih ini benar-benar tidak bisa dikasih hati. Dia 
yakin, Mayat Kuburan Koneng tahu kalau dirinya telah 
terlalu banyak mengalah. Laki-laki berpakaian putih itu 
adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian 
tinggi. Jadi, mustahil bila tidak mengetahui kalau dirinya 
telah terlalu banyak mengalah! Begitu kesimpulan yang 
didapat Arya. 
Maka, setelah pertarungan berlangsung lebih dari tiga 
puluh lima jurus, dan serangan-serangan Mayat Kuburan 
Koneng malah semakin membabi buta, Arya pun memutus

kan untuk mengadakan perlawanan. 
Seketika itu pula gerakan Dewa Arak berubah dahsyat. 
Kini gerakan-gerakannya tidak lagi meliuk-liuk dan lemas 
seperti sebelumnya, tapi diselingi gerakan-gerakan kasar 
dan keras secara mendadak. Bahkan boleh dibilang, sulit 
ditebak. Terkadang lemas seperti tidak bertenaga, dan ter-
huyung-huyung seperti akan jatuh. Tapi di lain saat, 
berubah menjadi kasar, keras, dan penuh kekuatan. 
Gerakan-gerakannya pun jadi terlihat liar! Ini pertanda 
kalau pemuda berpakaian ungu itu telah mengeluarkan 
Jurus 'Belalang Mabuk'nya. 
Mayat Kuburan Koneng terperanjat begitu merasakan 
perubahan yang begitu mendadak ini. Terasa adanya 
tekanan-tekanan berat dari setiap serangan Dewa Arak. 
Seketika itu juga, porsi serangan laki-laki berpakaian putih 
ini berkurang banyak. 
Memang setelah Arya mulai balas menyerang, Mayat 
Kuburan Koneng tidak lagi bisa leluasa melancarkan 
serangan membabi buta seperti sebelumnya. Dan biasanya 
melakukan penyerangan berarti membuka pertahanan. 
Semakin banyak menyerang, semakin banyak pertahanan 
yang terbuka di sana-sini. 
Tadi sewaktu Dewa Arak sama sekali tidak melakukan 
perlawanan, laki-laki berpakaian putih ini bebas menge-
luarkan serangan, tanpa mempedulikan pertahanan lagi. 
Tapi kini pemuda berpakaian ungu itu mulai balas me-
nyerang. Dan bila Mayat Kuburan Koneng terus menyerang 
membabi buta seperti sebelumnya, maka mudah bagi 
Dewa Arak untuk memasukkan serangan ke berbagai 
bagian tubuh yang terbuka. 
Memang hebat bukan kepalang, Jurus 'Belalang Mabuk' 
itu. Sesuai dengan nama jurusnya, serangan-serangan itu 
memang terlihat liar, ganas, dan penuh tekanan. Tidak 
aneh kalau dalam beberapa jurus saja, Mayat Kuburan 
Koneng telah kewalahan. 
Serangan-serangan Mayat Kuburan Koneng semakin 
berkurang. Bahkan sebaliknya lebih banyak mengelak


karena menangkis pun akan menimbulkan akibat buruk. 
Tenaga dalam Dewa Arak jelas-jelas masih berada di 
atasnya. Maka bila terus-menerus menangkis serangan, 
jelas akan menderita kerugian. 
Berbeda dengan Mayat Kuburan Koneng, keadaan Dewa 
Arak malah sebaliknya. Serangan-serangan pemuda ini 
semakin bertubi-tubi menghujani lawan. 
Dalam menghadapi Mayat Kuburan Koneng, Arya tidak 
menguras seluruh kemampuannya. Bahkan gucinya tidak 
digunakan, karena lawan belum menggunakan senjata. 
Meskipun begitu, sesekali guci araknya dijumput dan 
ditenggak isinya. Kemudian gucinya disampirkan kembali 
ke punggung. 
Tentu saja hati Mayat Kuburan Koneng semakin ber-
tambah geram. Pemuda berambut putih keperakan itu 
dianggap sengaja memperlihatkan, kalau sambil minum 
arak, mampu bertarung. Berarti, Mayat Kuburan Koneng 
sama sekali tidak dianggap Dewa Arak. Maka, kontan 
kemarahannya semakin berkobar. 
Kemarahan hebat yang membakar dada, membuat 
Mayat Kuburan Koneng mengambil keputusan untuk 
mengadu nyawa. Dia tahu, Dewa Arak terlalu sakti untuk 
bisa dikalahkan. Pemuda berambut putih keperakan itu 
telah terlalu banyak membuatnya malu di hadapan anak 
buahnya. Padahal, dendam atas kematian Janggulapati 
saja belum bisa terbalaskan. Yang jelas, kalau tak bisa 
menewaskan Dewa Arak, dia tidak akan bisa mati meram. 
Dengan munculnya tekad untuk mengadu nyawa, kini 
Mayat Kuburan Koneng kembali melancarkan serangan 
secara membabi buta. Bahkan tidak dipedulikan lagi per-
tahanan dirinya. Yang ada di benaknya hanya satu. 
Meningkatkan serangan terhadap Dewa Arak. 
Arya terkejut begitu merasakan perubahan mendadak 
pada serangan lawan yang menjadi liar dan kalang-kabut 
kembali. Sama sekali tidak mempedulikan pertahanan diri 
sendiri. 
Plak... plak... plak..!

Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Mayat Kuburan 
Koneng berhasil ditangkis Dewa Arak. Akibatnya, tubuh 
laki-laki berpakaian putih itu terhuyung-huyung ke belakang 
seraya meringis kesakitan. Kedua tangan terasa linu dan 
sulit digerakkan. 
Tapi, Mayat Kuburan Koneng yang telah kalap langsung 
mematahkan kekuatan yang mendorong tubuhnya itu. 
Kembali dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah ber-
bagai bagian tubuh Dewa Arak. 
Melihat hal ini, Arya sadar kalau lawan mengajaknya me-
ngadu nyawa. Tentu saja pemuda berambut putih ke-
perakan itu tidak meladeninya. Maka kembali di-
gunakannya jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk 
menghindari diri dari setiap serangan lawan. 
Kembali pertarungan berlangsung seperti pada jurus-
jurus awal Mayat Kuburan Koneng menyerang kalang 
kabut, sementara Dewa Arak mengelak ke sana kemari 
dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang’. 
Mayat Kuburan Koneng menggertakkan gigi. Rasa 
marah, malu, sakit hati, dan penasaran bercampur aduk 
dalam hatinya. Keinginan untuk membunuh Dewa Arak 
telah begitu menggebu-gebu. Tapi sayangnya hal itu tidak 
mampu diwujudkannya, sehingga membuat dadanya 
terasa seperti akan pecah menahan berbagai macam 
luapan perasaan yang bergejolak. 
Lebih dari dua puluh jurus laki-laki berpakaian putih ini 
menyerang kalang kabut. Tapi, tetap saja tidak mampu 
menyarangkan tangan atau kakinya pada sasaran. Bahkan, 
mendesak Dewa Arak pun belum mampu. 
Mayat Kuburan Koneng ingin menjerit keras saking 
bingungnya. Pertarungan telah berlangsung lebih dari 
seratus lima puluh jurus, tapi sampai selama itu tetap saja 
belum mampu mendesak Dewa Arak. 
Sementara kelelahan perlahan mulai melandanya. 
Padahal lawannya tampak masih segar seperti sediakala. 
Melihat keadaan ini, Mayat Kuburan Koneng khawatir 
tidak akan bisa mewujudkan maksudnya untuk membunuh

Dewa Arak. Maka tanpa ragu-ragu lagi, anak buahnya 
segera diberi isyarat untuk membantunya. 
Begitu melihat tanda dari pemimpinnya, belasan orang 
itu segera bergerak meluruk ke arah Dewa Arak. Memang, 
sejak tadi orang-orang berwajah angker itu tinggal 
menunggu perintah saja. Mereka sudah bersiap-siap 
dengan senjata terhunus di tangan. 
Tak pelak lagi, hujan belasan senjata itu menyerang ke 
arah Dewa Arak disertai desingan-desingan nyaring yang 
merobek udara. 
Arya terkejut bukan kepalang melihat hai ini. Serangan 
belasan orang berwajah angker itu sama sekali tidak 
diduga. Padahal, serangan Mayat Kuburan Koneng baru 
saja dielakkannya. Tambahan lagi, para pengeroyok itu 
menyerangnya dari berbagai jurusan. Sudah dapat diterka 
kalau belasan orang itu sudah terbiasa melakukan 
serangan secara bersama-sama. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi. Dewa Arak segera 
memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Maka 
kejadian seperti yang sebelumnya terulang kembali. Tubuh 
sebagian para pengeroyoknya berpentalan ke belakang 
seperti dilanda angin topan. Senjata-senjata mereka pun 
berpentalan tak tentu arah. 
Sedangkan serangan dari yang lainnya dibiarkan saja 
mengenai tubuhnya. Arya memang langsung mengerahkan 
tenaga dalam agar tubuhnya tak mempan dihantam 
senjata. Memang dengan perbedaan tenaga dalam di 
antara kedua pihak yang terlalu jauh, pemuda berambut 
putih keperakan itu sama sekali tidak mengalami kesulitan 
membuat tubuhnya tidak bisa dilukai senjata. 
Sementara, sungguh di luar dugaan Dewa Arak kalau 
pada saat yang sama, Mayat Kuburan Koneng melancar-
kan serangan susulan ke arahnya. Bertubi-tubi, dan meng-
ancam berbagai bagian tubuhnya. Tidak ada kesempatan 
lagi bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan itu. Dan 
andaikata bisa, serangan lanjutan dari laki-laki berpakaian 
putih itu sulit dielakkannya. Memang sebagai seorang

tokoh tingkat tinggi, Arya tahu kalau serangan yang di-
lancarkan Mayat Kuburan Koneng kali ini merupakan 
serangan dalam satu rangkaian. Susul-menyusul dan 
sambung-menyambung laksana gelombang laut. 
Karena tidak ada pilihan lain lagi, terpaksa Dewa Arak 
menghentakkan kedua tangannya ke depan. Langsung 
digunakannya jurus 'Pukulan Belalang". 
Wusss...! 
Angin keras berhawa panas berhembus keras dari 
kedua tangan Arya yang dihentakkan. 
Mayat Kuburan Koneng terperanjat. Apalagi tubuhnya 
tengah berada di udara, dan jaraknya sudah terlalu dekat 
dengan Dewa Arak. Maka tidak ada lagi kesempatan 
baginya untuk menghindari serangan itu, dan hanya 
sempat membelalakkan sepasang matanya. Maka.... 
Bresss...! 
"Aaa...!" 
Jeritan ngeri terdengar dari mulut laki-laki berpakaian 
putih itu, begitu pukulan jarak jauh Dewa Arak keras dan 
telak sekali menghantam perutnya. 
Seketika itu juga tubuh Mayat Kuburan Koneng 
terlempar jauh ke belakang, dan baru mendarat keras di 
tanah ketika telah melayang-layang jauh. Laki-laki ber-
pakaian putih ini tewas dalam keadaan seluruh tubuh 
gosong. Bau sangit daging yang terbakar seketika 
menyebar di tempat itu. 
Belasan pasang mata anak buah Mayat Kuburan 
Koneng terbelalak begitu melihat kematian laki-laki ber-
wajah pucat itu. Tahu kalau lawan yang masih muda itu 
memiliki kepandaian luar biasa, mereka pun cepat-cepat 
membalikkan tubuh dan berlari tunggang-langgang. Sama 
sekali tidak dihiraukan rekan-rekan mereka yang belum 
mampu bangkit karena luka yang diderita. 
Namun Arya sama sekali tidak mengejar, dan juga tidak 
mempedulikan para pengeroyok yang merintih-rintih di 
tanah tak mampu bangkit. 
Sambil menghela napas berat, dihampirinya tubuh

Mayat Kuburan Koneng yang tergolek di tanah. Kini tokoh 
sesat yang berjuluk 'mayat’ itu benar-benar telah menjadi 
mayat. Untuk kesekian kalinya, ada perasaan sesal di hati 
Dewa Arak karena telah menjatuhkan tangan maut pada 
lawannya. Memang, Arya sebenarnya tidak ingin mem-
bunuh. 
Pemuda berambut putih keperakan itu menatap 
sebentar mayat yang tergolek dalam keadaan hangus itu. 
Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-
kuat. Paling tidak itu untuk mengusir perasaan sesal yang 
merayapi hatinya. Arya menghibur hatinya sendiri agar 
perasaan sesalnya hilang. Toh, dia memang tidak ber-
maksud membunuh. Tapi, lawanlah yang terlalu 
memaksanya. 
"Urus mayat pemimpin kalian. Mengerti?!" ujar Dewa 
Arak pada beberapa orang anak buah Mayat Kuburan 
Koneng yang masih tergolek di situ. Mereka semua 
menundukkan kepala, karena khawatir Dewa Arak akan 
melepaskan tangan kejam. 
"Mengerti, Tuan Pendekar...." Hampir berbareng para 
pengeroyok yang tergolek, dan berjumlah lima orang itu 
menganggukkan kepala. 
Arya tersenyum pahit, kemudian melangkah meninggal-
kan tempat itu. Masih sempat didengarnya desah kelegaan 
dari kelima orang pengeroyoknya. Pemuda berambut putih 
keperakan ini tahu penyebabnya. Apa lagi kalau bukan 
karena tidak jadi dibunuh? 
***

TUJUH

Matahari sudah naik tinggi ketika di kejauhan Dewa Arak 
melihat tembok batas sebuah desa. Kontan wajah pemuda 
berambut putih keperakan itu jadi berseri. Dia memang 
merasa agak lelah, dan ingin singgah sebentar di sebuah 
kedai. Di samping untuk minum dan sedikit melepaskan 
lelah, juga untuk mengisi guci araknya kembali. Memang, 
guci araknya telah hampir kosong. 
Terdorong perasan ingin buru-buru tiba, Dewa Arak 
menambah kecepatan larinya. Hasilnya, dalam waktu 
sekejap saja sudah berada dalam jarak sekitar delapan 
tombak dari tembok batas gerbang desa. 
Mendadak dahi pemuda berambut putih keperakan ini 
berkernyit, ketika melihat sesuatu pada tembok batas desa 
itu. Perasaan penasaran mendorongnya untuk bergerak 
lebih mendekati. 
Hanya dalam sekejap saja, Dewa Arak telah berada di 
dekat tembok batas desa itu. Sepasang matanya yang 
sejak tadi menatap penuh rasa ingin tahu, kini malah ter-
belalak. 
Pada tembok batas desa itu tertancap sebatang kayu 
sebesar jari telunjuk sepanjang tiga jengkal. Tapi bukan itu 
yang menyebabkan Dewa Arak terkejut. Sebagai seorang 
pendekar yang telah memiliki kekuatan tenaga dalam 
tinggi, dia tidak kaget melihat ada sebatang kayu tertancap 
di tembok batu sedalam lebih dari setengah jengkal. Dia 
sendiri pun mampu melakukan hal yang sama. Bahkan 
tidak hanya dengan kayu, tapi sebatang lidi! 
Yang membuat Arya terkejut adalah sehelai kain berisi 
tulisan yang tertancap oleh kayu itu. Dengan perasaan 
ingin tahu, pemuda berpakaian ungu itu membacanya.

Dewa Arak.... 
Melalui surat ini, kuberitahukan padamu.... Kalau kau 
sampai tidak datang menemuiku, di Kuburan Desa 
Koneng, kejadian yang menimpa desa ini akan terulang 
lagi di desa lain. 
Setan Mabuk 
"Setan Mabuk..?" sebut Dewa Arak dengan kening 
berkernyit. 
Lagi-lagi didengarnya julukan tokoh itu. Pertama kali dari 
mulut Mayat Kuburan Koneng. Dan kini dari surat 
tantangan yang ditancapkan di tembok desa. Tokoh itu 
sendirilah yang mengirimkannya. 
Baru saja Arya mengulurkan tangan hendak mencabut 
kayu itu, pendengarannya yang tajam menangkap suara 
langkah kaki. Arahnya dari dalam desa. 
Maka, terpaksa niatnya diurungkan. Kemudian kepala-
nya menoleh ke arah asal suara itu. 
Dari suara langkah kaki itu, Arya tahu kalau orang yang 
datang memiliki kepandaian. Dan dari situ pula, diketahui 
kalau kepandaian yang dimiliki orang itu tidak terlalu tinggi. 
Sesaat kemudian, di hadapan Dewa Arak telah muncul 
seorang gadis cantik. Rambutnya digelung ke atas. Pakai-
annya kuning dan ada gambar seekor naga yang disulam 
dari benang berwarna hijau pada dada kiri pakaiannya. 
Jelas kalau gadis itu ada hubungannya dengan Perguruan 
Naga Hijau. 
"Kaukah orang yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya gadis 
berambut digelung itu tatkala telah berada di hadapan 
Arya. 
"Benar," jawab Arya sambil menatap gadis itu penuh 
selidik. 
Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak 
terkejut mendengar gadis yang baru saja dilihatnya itu 
telah tepat menebak dirinya. Dan memang, ciri-ciri yang 
dimilikinya amat mencolok. 
Yang membuat Arya terkejut adalah ketika melihat ada

kesedihan di wajah gadis cantik itu. Bahkan sepasang 
matanya yang bening dan indah itu terlihat menyimpan 
kesedihan yang mendalam. Bisa diterka kalau gadis itu 
telah mengalami kejadian yang menyedihkan. 
"Kau harus bertanggung jawab atas semua musibah 
yang terjadi di sini, Dewa Arak!" 
Keras dan penuh tekanan ucapan yang keluar dari 
mulut gadis berpakaian kuning itu. Sepasang matanya pun 
berkilat-kilat pertanda hatinya tengah dilanda kemarahan 
hebat. Bahkan tangannya pun telah menyentuh gagang 
pedangnya. 
"Sabar, Nisanak..!" bujuk Arya menenangkan, sambil 
menjulurkan kedua tangan ke depan untuk mencegah 
gadis itu melanjutkan tindakannya. "Aku sama sekali tidak 
mengetahui maksudmu." 
Gadis berambut digelung itu menatap wajah Arya penuh 
selidik. Dia melihat adanya kesungguhan, baik pada raut 
wajah maupun pada ucapan pemuda yang berdiri di 
hadapannya. Maka perlahan tangan yang telah mengejang 
itu mengendur, kemudian turun kembari ke sisi pinggang. 
"Kau benar-benar tidak mengerti?'' tanya gadis itu ber-
usaha memastikan. Nada suaranya terdengar bergetar. 
Arya menggelengkan kepala sambil tersenyum pahit. 
"Apakah wajahku mirip wajah seorang penipu?" pemuda 
berpakaian ungu itu balas bertanya, setengah bergurau 
"Aku baru saja tiba di daerah sini, Nisanak. Jadi, sama 
sekali tidak mengerti maksud pembicaraanmu ini!" 
Gadis berpakaian kuning itu mengalihkan pandangan ke 
arah kain yang tertancap di tembok batas desa. 
"Kau sudah membaca tulisan itu?" tanya gadis berambut 
digelung itu lagi, seraya menudingkan telunjuknya ke arah 
kain yang terpampang di tembok batas desa. 
"Sudah," jawab Dewa Arak, mantap. 
"Dan kau masih belum mengerti?!" tanya gadis ber-
pakaian kuning itu setengah tidak percaya. Dahinya 
nampak berkernyit ketika mengajukan pertanyaan itu. 
"Sedikit," sahut Arya kalem.

Semakin dalam kerutan pada dahi gadis berambut di-
gelung itu. 
"Apa kesimpulan yang kau dapat dari surat itu?" desak 
gadis berpakaian kuning. 
"Ada orang yang mengajakku bertarung untuk alasan 
yang aku sendiri belum tahu. Anehnya, kenapa dia mem-
bawa-bawa penduduk dalam masalah ini?" 
"Karena Setan Mabuk khawatir kau tidak berani me-
menuhi tantangannya," sabut gadis berambut digelung, 
cepat. 
"Hm..." gumam Arya pelan, untuk menyambuti ucapan 
gadis berpakaian kuning itu. 
"Kau tahu..., sudah berapa lama surat itu terpampang di 
situ?" 
Arya menggelengkan kepala. Dan memang, hal itu sama 
sekali tidak diketahuinya. 
"Sudah dua hari. Setan Mabuk tidak sabar lagi me-
nunggu. Dikiranya, kau menganggap ancamannya hanya 
gertak sambal belaka. Maka, ancamannya pun diwujudkan. 
Gerombolannya kemudian menghancurkan Desa Gempol." 
"Ah...!" 
Dewa Arak mendesah kaget. Memang pemuda be-
rambut putih keperakan itu terkejut bukan kepalang. 
Betapa tidak? Dia sama sekali tidak tahu tentang 
tantangan, tapi kenapa para penduduk yang menjadi 
sasaran. 
"Kalau hari ini kau tidak datang menemuinya..., desa 
lain akan menjadi giliran selanjutnya," sambung gadis 
berambut digelung itu. "Di mulut Desa Gempol pun 
dipancangkan surat tantangan seperti ini." 
Sambil berkata demikian, gadis berpakaian kuning itu 
menudingkan telunjuk kanannya ke arah carikan kain yang 
terpampang di tempat batas Desa Koneng. 
"Apakah..., tidak ada orang yang menentang tindakan 
Setan Mabuk itu?" tanya Arya setelah beberapa saat lama-
nya terdiam. 
"Memang ada. Tapi hanya ada beberapa gelintir saja.

Dan mereka adalah murid Perguruan Naga Hijau." jawab 
gadis berambut digelung seraya tersenyum getir. 
"Lalu..., hasilnya bagaimana?" tanya Dewa Arak 
setengah hati. 
Namun Arya seketika baru menyadari, betapa bodoh 
pertanyaannya, ketika teringat sesuatu. Tidak mungkin 
usaha murid-murid Perguruan Naga Hijau akan berhasil. 
Buktinya sudah jelas, sudah banyak desa dihancurkan. Itu 
saja sudah merupakan jawaban ketidakberhasilan usaha 
mereka. 
"Mereka semua tewas," Jawab gadis berpakaian kuning 
dengan suara bergetar. Jelas kalau ucapannya diutarakan 
penuh perasaan. 
Arya pun mengerutkan alisnya. Terdengar ada nada 
kesedihan yang mendalam pada suara gadis berambut 
digelung itu. Apakah ada hubungan antara gadis itu 
dengan murid-murid Perguruan Naga Hijau yang terbunuh? 
Tanpa sadar, pandangan Dewa Arak tertumbuk pada 
sulaman benang hijau bergambar naga yang menempel di 
bagian dada kiri pakaian gadis itu. Naga hijau! Apakah 
gadis ini juga murid Perguruan Naga Hijau? Kembali 
pertanyaan itu menggayuti benak Dewa Arak. 
"Apakah mereka saudara seperguruanmu?" tanya Arya 
hati-hati. 
Gadis berambut digelung itu hanya menganggukkan 
kepala. Tapi hal itu sudah cukup untuk menjadi jawaban 
bagi pertanyaan yang diajukan Dewa Arak. 
"Ah...! Maaf...!" ucap Arya buru-buru. "Aku sama sekali 
tidak mengira akan hal itu. Aku turut berduka cita." 
"Terima kasih," hanya ucapan itu yang keluar dari mulut 
gadis berpakaian kuning itu. 
"Apakah hal itu sudah kau beritahukan pada gurumu?" 
tanya Arya lagi. 
Gadis berambut digelung itu menggelengkan kepalanya. 
"Mengapa?" kejar Arya lagi. 
"Guruku yang sekaligus ayah kandungku tengah ber-
semadi di puncak Gunung Koneng. Beliau tak ingin terjun

dalam rimba persilatan, karena sudah benar-benar tidak 
mau mencampuri urusan duniawi lagi. Dan yang jelas, 
Perguruan Naga Hijau telah musnah." 
"Ah...!" 
Keluh keterkejutan keluar dari mulut Dewa Arak begitu 
gadis berambut digelung itu mengakhiri ucapannya. Ada 
isak tertahan yang keluar dari mulut gadis itu seiring 
ucapannya selesai. 
Terdengar suara gemeretak dari mulut Dewa Arak. Jelas, 
pemuda berambut putih keperakan ini dilanda kemarahan 
yang amat sangat. 
"Keji...!" Arya mendesis pelan, tapi tajam penuh tekanan 
karena keluar dari hati yang penuh diliputi amarah. "Siapa 
yang melakukan semua kekejian itu?" 
"Setan Mabuk..." jawab gadis berpakaian kuning masih 
dengan suara serak. "Dia seorang diri mengamuk dan 
membasmi semua murid Perguruan Naga Hijau, dalam 
usahanya untuk memancing kedatanganmu. Itulah sebab-
nya, ada beberapa murid Perguruan Naga Hijau yang tidak 
dibinasakannya. Dia berharap, murid-murid itu akan 
menyampaikan pesannya kepadamu. Apakah kau bertemu 
mereka?'' 
Arya menggelengkan kepala. 
"Sedangkan murid-murid Perguruan Naga Hijau yang 
berada di desa-desa dibasmi kaki tangan Setan Mabuk. 
Memang, dengan lenyapnya Perguruan Naga Hijau, mereka 
bebas berbuat kejahatan." 
"Heh...?!" Dewa Arak terperanjat "Mengapa begitu?" 
"Karena selama ini, semua orang yang bermaksud jahat 
selalu berhasil dipukul mundur murid-murid Perguruan 
Naga Hijau," gadis berpakaian kuning tersenyum getir. 
Rupanya, dia teringat kembali sewaktu Perguruan Naga 
Hijau masih berdiri. 
Kali ini Arya sama sekali tidak menyahuti ucapan gadis 
berpakaian kuning itu. Dan karena gadis itu sendiri tidak 
melanjutkan ucapannya, suasana pun menjadi hening. 
"O, ya.... Siapakah namamu, Nisanak?" tanya Arya tiba

tiba. "Rasanya aneh kalau kita telah berbincang-bincang 
sekian lamanya, tapi belum saling mengenal nama." 
"Aku sudah tahu julukanmu," kalem suara gadis 
berambut digelung itu. Sebuah senyuman yang dipaksakan 
tersungging di bibirnya. 
"O, ya?" Dewa Arak yang ingin membuat gadis itu terlupa 
dengan kesedihannya mencoba melucu. 
"Ayah sudah sering membicarakanmu. Rupanya beliau 
amat mengagumimu." 
Dewa Arak hanya tersenyum getir mendengar namanya 
banyak dikagumi tokoh persilatan. Dia memang paling risih 
namanya dipuja-puja orang. 
"Lalu, bagaimana kejadiannya hingga murid-murid Per-
guruan Naga Hijau dibantai Setan Mabuk?" tanya Dewa 
Arak mengalihkan pembicaraan. 
"Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya. Yang jelas, ku-
temui mayat Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau bersama 
mayat Kakang Subarji di tengah jalan..." 
"Kakang Subarji..?" Dewa Arak mengerutkan alisnya. 
"Murid Perguruan Naga Hijau yang telah keluar 
perguruan," jelas putri Ketua Perguruan Naga Hijau itu 
dengan suara yang tidak begitu serak lagi. Rupanya dia 
sudah mulai bisa menguasai perasaannya. 
Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda mengerti. 
"Jadi..., kau tidak melihat siapa pembunuh mereka?" 
Gadis berpakaian kuning itu mengangguk. 
"Lalu..., dari mana kau tahu kalau pembunuhnya adalah 
Setan Mabuk?" desak Dewa Arak ingin tahu. 
"Dari mulut Kakang Subarji, sebelum tewas," jawab 
gadis berambut digelung itu. 
"Rupanya kau mengikuti kepergian mereka secara diam-
diam...," tuduh Arya dengan nada mendesah. 
Wajah gadis itu kontan memerah. 
"Ayah telah berpesan agar aku tidak pergi ke mana-
mana. Maka diam-diam aku mengikuti Paman Buntara. Aku 
juga ingin mengetahui, seperti apa orang yang julukannya 
telah begitu menggemparkan...."

"Tak seperti yang kau bayangkan, bukan," tukas Arya 
buru-buru. 
"Terus terang, aku agak kaget melihatmu, Arya? Nama-
mu Arya, kan?" 
Pemuda berpakaian ungu itu tersenyum getir. 
"Kau curang, Nisanak." 
"Curang?!" dahi gadis berpakaian kuning itu berkenyit. 
"Ya! Kau telah tahu namaku, tapi aku sama sekali tidak 
tahu namamu." 
"Namaku Malinda," sebut gadis itu malu-malu. 
"Malinda... sebuah nama yang bagus," tanggap Arya. 
Pujian Dewa Arak membuat wajah gadis berpakaian 
kuning yang ternyata bernama Malinda jadi bersemu 
merah. Rupanya, dia risih juga menerima pujian. Apalagi 
datangnya dari mulut orang seperti Dewa Arak! Seorang 
pemuda berwajah tampan dan berkepandaian tinggi. Hati 
siapa yang tidak berbunga-bunga? 
"Laki, apa tindakanmu selanjutnya, Dewa Arak?" tanya 
Malinda, pelan. 
"Memenuhi tantangan yang diajukan Setan Mabuk!" 
jawab Arya tegas. 
"Kalau begitu, mari kita ke sana!" ajak Malinda cepat. 
"Kau tahu tempatnya, Malinda?" Malinda mengangguk-
kan kepala. 
"Bagaimana? Setuju?" 
Mulut Dewa Arak menyunggingkan senyuman lebar, 
kemudian perlahan kepalanya terangguk. 
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, gadis berambut 
digelung ini melesat meninggalkan tempat itu. 
Arya menggeleng-gelengkan kepala. Bisa diduga kalau 
gadis berpakaian kuning itu ingin menguji kepandaiannya. 
Maka begitu gadis itu melesat kabur, dia pun bergerak 
menyusulnya. 
Sesaat kemudian, yang terlihat hanyalah dua sosok 
bayangan yang berkelebatan cepat. Yang satu berwarna 
ungu, sementara yang satu lagi berwarna kuning. 
Malinda berlari cepat mengerahkan seluruh kemampu

annya. Dia memang bermaksud menguji kemampuan 
Dewa Arak. Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera dikeluarkan 
seluruh ilmu meringankan tubuhnya. 
Semula Malinda sudah merasa gembira begitu tidak 
melihat adanya bayangan pemuda berpakaian ungu itu di 
belakangnya. Tapi, keceriaannya langsung memupus tat-
kala mendadak di samping kanannya muncul sesosok 
bayangan ungu. Seketika senyum yang tadi mengembang 
di bibirnya pun lenyap. 
Karuan saja hal ini membuat Malinda merasa pe-
nasaran bukan kepalang. Digertakkan gigi dalam usahanya 
menambah kecepatan larinya. Tapi semua usaha yang di-
lakukannya sia-sia saja. Tetap saja Dewa Arak berada di 
samping kanannya. 
Malinda semakin terkejut ketika melihat raut wajah 
Dewa Arak. Wajah itu sama sekali tidak menunjukkan 
kalau tengah mengerahkan tenaga sewaktu berlari. Raut 
wajah itu masih tetap tenang seperti semula. 
Setelah cukup lama berlari sambil mengerahkan seluruh 
tenaga, nampak Dewa Arak masih tetap berada di 
sebelahnya. Maka, gadis berpakaian kuning itu akhirnya 
mengalah. Perlahan-lahan kecepatan larinya dikendurkan, 
dan akhirnya berhenti sama sekali. 
Bertepatan dengan berhentinya kaki Malinda, Arya pun 
menghentikan langkah kakinya pula. 
Malinda menatap wajah Dewa Arak. Perasaan terkejut 
semakin melanda hatinya tatkala melihat wajah Arya sama 
sekali tidak menampakkan perubahan apa pun. Wajah itu 
tetap mulus, seperti sediakala. Setetes pun tak ada peluh 
menggantung di sana. Deru napas pemuda itu pun biasa-
biasa saja, tidak terengah-engah. 
Sedangkan dirinya? Peluh membasahi sekujur wajah. 
Terutama sekali dahi dan lehernya. Napasnya pun 
menderu-deru hebat. Meskipun tidak melihat sendiri, 
Malinda sudah bisa memperkirakan kalau wajahnya merah 
padam. 
"Masih jauhkah tempat itu dari sini, Malinda?" tanya

Arya. Suaranya terdengar biasa saja, tidak terputus-putus 
dan memburu seperti layaknya orang habis berlari jauh. 
Gadis berpakaian kuning itu tidak langsung menjawab 
pertanyaan, dan malah sibuk menenangkan deru napasnya 
yang memburu. Memang dia tadi berlari dengan mengerah-
kan seluruh kemampuan yang dimilikinya. 
"Tidak jauh lagi." sahut Malinda. 
Mendengar jawaban itu, Arya melayangkan pandangan 
ke depan. Tak jauh di depannya, tampak mulut sebuah 
hutan. 
"Hutan...?!" Dewa Arak mengerutkan alisnya. Padahal, 
belum lama dia keluar dari hutan itu. 
"Ah...! Hanya sebuah hutan kecil, Dewa Arak. Tapi di 
hutan itulah letaknya Kuburan Koneng." 
Arya mengangguk-anggukkan kepala saja. Dewa Arak 
memang tidak mengetahui, di mana letaknya kuburan yang 
dimaksudkan Setan Mabuk. Maka begitu mendengar 
jawaban itu, dia tidak membantahnya. Tanpa bicara lagi, 
langkah kakinya dilanjutkan. 
Kini Dewa Arak dan Malinda melanjutkan perjalanannya 
dengan berjalan biasa. Dan tak lama kemudian, mulut 
hutan pun sudah dilalui. Malinda terus saja melangkah. 
Begitu pula Arya yang berada di sampingnya. 
Mendadak Malinda menghunus pedang yang tergantung 
di pinggang. Dan secepat pedang itu lolos dari sarungnya, 
secepat itu pula disabetkannya ke leher Dewa Arak. 
Singgg..! 
Suara mendesing nyaring yang terdengar menjadi 
pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam 
serangan pedang itu. 
Arya terperanjat. Keterkejutan yang amat sangat 
seketika melandanya. Memang serangan itu sama sekali 
tidak disangkanya. Tapi meskipun begitu, karena memang 
sudah terbiasa berhadapan dengan hal yang tiba-tiba, 
Dewa Arak masih bisa mengelak. 
Crasss...! 
Namun tak urung, ujung pedang Malinda berhasil juga

menyerempet pundak Arya. Kontan darah segar mengalir 
keluar dari bagian yang terluka. 
Tidak hanya itu saja menimpa pemuda berpakaian ungu. 
Begitu kedua kakinya mendarat, mendadak landasan yang 
diinjaknya naik ke atas. Tahu-tahu, tubuh Dewa Arak telah 
terkurung dalam sebuah jaring yang tergantung di atas 
pohon. 
Arya terperanjat begitu menyadari tubuhnya telah 
terkurung dalam jaring. Segera dicengkeram tali-tali jaring 
itu, laki dikerahkan tenaga dalam untuk memutuskannya. 
Tapi ternyata tali-tali itu alot bukan main. Betapapun telah 
dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, tetap saja tidak 
mampu. 
"Hi hi hi...!” 
Malinda tertawa terkikih. Lenyap sudah sorot kesedihan 
dari sinar matanya. Yang terlihat kini hanyalah sorot 
kebengisan dan dendam. Dan semua itu tertuju pada Dewa 
Arak. 
Arya terperanjat melihat sorot mata gadis itu. Namun dia 
masih belum mengerti maksud gadis berpakaian kuning ini 
bertindak seperti itu terhadapnya. 
"Malinda...! Apa maksud perbuatanmu ini..?!" tanya 
Dewa Arak ingin tahu. 
"Maksudku sudah jelas. Pemuda Sombong! Aku ingin 
membalaskan kematian ayahku!" tandas gadis berambut 
digelung dengan nada bengis. 
"Heh ..?! Bukankah ayahmu tengah bersemadi, dan 
saudara seperguruanmu dibunuh oleh Setan Mabuk?" 
kejar Arya penasaran. 
"Kau percaya dengan semua cerita itu, Pemuda 
Dungu?!" sergah Malinda keras. 
"Jadi..?!" Dewa Arak mulai paham. 
"Ya! Semua cerita itu hanya karanganku saja! Ayahku 
telah mati terbunuh di tanganmu, Dewa Arak! Kutegaskan 
sekali lagi, ayahku tewas di tanganmu!" 
Pemuda berpakaian ungu itu pun terdiam. 
"Siapakah ayahmu, Malinda?" tanya Arya, masih tetap

lembut suaranya. Pemuda berpakaian ungu ini masih 
mengharapkan semua hanya sebuah kesalahpahaman 
belaka. 
Suiiit...! 
Terdengar suitan nyaring dari mulut Malinda. Keras dan 
melengking pertanda didukung pengerahan tenaga dalam. 
Tak lama kemudian terdengar suara berkerosakan, 
disusul munculnya beberapa sosok tubuh yang dikenal 
Dewa Arak. Mereka adalah anak buah Mayat Kuburan 
Koneng. 
Sekejap kemudian, orang-orang berwajah angker yang 
jumlahnya tak kurang dari sebelas orang itu telah berdiri di 
belakang Malinda dengan kepala tertunduk. Jelas kalau 
kedudukan gadis itu lebih tinggi dari mereka. 
"Kau kenal mereka, Dewa Arak?" tanya Malinda dengan 
bibir menyunggingkan senyuman sinis. 
"Kenal sih, tidak. Tapi aku memang pernah bentrok 
dengan mereka," jawab Dewa Arak, tenang. 
"Kini kau bisa menerka, siapa ayahku bukan?" 
Arya mengerutkan keningnya sejenak. 
"Mayat Kuburan Koneng?" duga Dewa Arak, pelan. 
Arya masih merasa ragu mengingat Malinda mengena-
kan pakaian seragam yang bersulamkan gambar naga, 
yang dikatakan gadis itu adalah lambang Perguruan Naga 
Hijau. Ataukah cerita gadis itu semua hanyalah hasil 
karangan belaka, termasuk cerita mengenai Perguruan 
Naga Hijau dan kehancurannya? 
"Jadi, semua ceritamu tadi hanya hasil karanganmu 
saja?" tanya Arya sambil memikirkan cara untuk melolos-
kan diri. 
"Tidak seluruhnya, Dewa Arak!" gadis berpakaian kuning 
itu menyahut, namun tetap menyunggingkan senyum sinis. 
“Perguruan Naga Hijau memang benar ada dan hancur di 
tangan Setan Mabuk. Begitu pula tentang maksud ke-
pergiannya untuk menemuimu." 
Pemuda berpakaian ungu itu terdiam. Kini sudah 
dimengerti masalahnya.

"Kini sudah tiba saatnya bagiku untuk membalas 
dendam, Dewa Arak!" 
"He... he... he...!" 
Mendadak terdengar suara tawa yang menggetarkan 
jantung, menggema di sekitar tempat itu. Jelas, suara itu 
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam. 
Semua yang berada di situ terperanjat mendengar tawa 
mendadak itu. Hanya saja, ada perbedaan tanggapan di 
antara mereka. Dewa Arak hanya terkejut saja. Tapi, tidak 
demikian halnya dengan Malinda dan anak buah ayahnya. 
Wajah mereka mendadak pucat pasi. Dan memang, 
mereka tahu pemilik suara tawa itu. Siapa lagi kalau bukan 
Setan Mabuk! 
Dan sebelum suara tawa itu lenyap, berhembus angin 
berkesiur pelan. Tak lama kemudian, muncul seorang 
kakek bertubuh pendek gemuk, berperut buncit, dan ber-
kepala botak. Benar! Dialah Setan Mabuk. 
Malinda menggertakkan gigi. Dia tahu kalau tidak ber-
tindak cepat, maka Dewa Arak tidak akan bisa dibunuhnya. 
Dan yang jelas Setan Mabuk akan mendahuluinya. Maka 
tanpa mempedulikan akibatnya nanti, gadis itu melompat. 
Pedangnya meluncur deras ke arah tubuh Dewa Arak yang 
tengah terkurung di dalam jaring. 
***

DELAPAN

Singgg...! 
Menilik dari suara mendesing nyaring yang mengiringi 
tibanya serangan, sudah bisa diperkirakan kekuatan 
tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu. 
"He... he... he...!" 
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Tubuhnya yang pendek 
berkelebat, memotong serangan Malinda. Tangan 
kanannya cepat terulur. Dan.... 
Tappp...! 
Sungguh mengagumkan! Pedang di tangan gadis ber-
pakaian kuning itu telah tertangkap tangan Setan Mabuk. 
Dan sekali tangan kakek berkepala botak itu bergerak 
menekan, maka pedang di tangan putri Mayat Kuburan 
Koneng pun patah jadi dua. 
Dan sebelum Malinda sempat berbuat sesuatu, tangan 
kiri Setan Mabuk telah meluncur cepat ke arah dadanya. 
Seketika gadis berambut digelung ini kaget bukan 
kepalang. Apalagi, tubuhnya tengah berada di udara. 
Dengan sebisa-bisanya tubuhnya digeliatkan untuk 
mengelakkan serangan itu. Tapi.... 
Plakkk…! 
Tangan kakek berkepala botak itu tetap saja meng-
hantam tubuhnya. Hanya saja tidak mengenai dada, 
melainkan bahu. Seketika itu juga tubuh putri Mayat 
Kuburan Koneng terlempar ke belakang dan bergulingan di 
tanah. Darah segar langsung muncrat dari mulutnya. Jelas 
Malinda telah terluka dalam. 
"He... he... he...!" 
Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, kakek ber-
perut buncit itu sudah tertawa terkekeh-kekeh. Dengan 
sorot mata penuh ancaman, kakinya melangkah meng-
hampiri tubuh Malinda. 
"Jangan harap bisa mendahuluiku, Wanita Liar! Kau 

tahu, di semua mulut desa telah kusebar anak buahku. 
Dan mereka langsung memberitahuku begitu melihat Dewa 
Arak. Dan atas kelancanganmu berani mendahului tin-
dakanku, kau akan menerima akibatnya!" 
Melihat bahaya mengancam putri majikannya, anak 
buah Mayat Kuburan Koneng tidak tinggal diam. Walaupun 
dalam hati merasa jeri terhadap Setan Mabuk tetapi 
mereka tetap bergerak menyerang kakek berkepala botak 
itu. Senjata-senjata di tangan mereka berkelebatan cepat, 
menyambar berbagai bagian tubuh Setan Mabuk yang 
mematikan, diiringi suara mendesing nyaring, 
"He... he... he...!" 
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Tanpa mempedulikan 
semua serangan yang bertubi-tubi mengancam, guci arak-
nya diangkat. 
Glek… glek... glek...! 
Suara tegukan dari arak yang melewati tenggorokan 
Setan Mabuk terdengar. Dan di saat itulah senjata-senjata 
anak buah Mayat Kuburan Koneng tiba. 
Takkk, takkk, takkk..! 
Gila! Semua senjata yang mengenai berbagai bacaan 
tubuh kakek berkepala botak itu terpental balik, seakan-
akan menghantam gumpalan karet keras. Bukan hanya itu 
saja. Tangan yang menggenggam senjata itu pun terasa 
sakit-sakit 
"He... he... he...!” 
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh seraya meng-
gerakkan tangannya. Jerit-jerit kesakitan pun terdengar 
diiringi robohnya satu persatu anak buah Mayat Kuburan 
Koneng. Pukulan jarak jauh yang dilepaskan Setan Mabuk 
sungguh dahsyat! Buktinya tidak seorang pun dari para 
pengeroyok yang tersisa. Mereka semua roboh, dan tak 
bangun lagi. 
Kini sambil tertawa terkekeh-kekeh, Setan Mabuk me-
langkah menghampiri Malinda yang belum mampu bangkit. 
Memang, akibat serangan kakek berperut buncit itu hebat 
bukan main, meskipun hanya mengenai bahu.

tahu, di semua mulut desa telah kusebar anak buahku. 
Dan mereka langsung memberitahuku begitu melihat Dewa 
Arak. Dan atas kelancanganmu berani mendahului tin-
dakanku, kau akan menerima akibatnya!" 
Melihat bahaya mengancam putri majikannya, anak 
buah Mayat Kuburan Koneng tidak tinggal diam. Walaupun 
dalam hati merasa jeri terhadap Setan Mabuk tetapi 
mereka tetap bergerak menyerang kakek berkepala botak 
itu. Senjata-senjata di tangan mereka berkelebatan cepat, 
menyambar berbagai bagian tubuh Setan Mabuk yang 
mematikan, diiringi suara mendesing nyaring, 
"He... he... he...!" 
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Tanpa mempedulikan 
semua serangan yang bertubi-tubi mengancam, guci arak-
nya diangkat. 
Glek… glek... glek...! 
Suara tegukan dari arak yang melewati tenggorokan 
Setan Mabuk terdengar. Dan di saat itulah senjata-senjata 
anak buah Mayat Kuburan Koneng tiba. 
Takkk, takkk, takkk..! 
Gila! Semua senjata yang mengenai berbagai bacaan 
tubuh kakek berkepala botak itu terpental balik, seakan-
akan menghantam gumpalan karet keras. Bukan hanya itu 
saja. Tangan yang menggenggam senjata itu pun terasa 
sakit-sakit 
"He... he... he...!” 
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh seraya meng-
gerakkan tangannya. Jerit-jerit kesakitan pun terdengar 
diiringi robohnya satu persatu anak buah Mayat Kuburan 
Koneng. Pukulan jarak jauh yang dilepaskan Setan Mabuk 
sungguh dahsyat! Buktinya tidak seorang pun dari para 
pengeroyok yang tersisa. Mereka semua roboh, dan tak 
bangun lagi. 
Kini sambil tertawa terkekeh-kekeh, Setan Mabuk me-
langkah menghampiri Malinda yang belum mampu bangkit. 
Memang, akibat serangan kakek berperut buncit itu hebat 
bukan main, meskipun hanya mengenai bahu.

Putri Mayat Kuburan Koneng itu berusaha bangkit, tapi 
tidak mampu. Sebuah seringai kesakitan yang muncul di 
mulutnya telah menjadi tanda kalau gadis itu telah terluka 
dalam yang cukup parah. Dan Malinda hanya bisa menatap 
Setan Mabuk yang menghampirinya dengan dada berdebar 
tegang. 
Setan Mabuk menghentikan suara tawanya begitu telah 
berada di dekat Malinda. Sesaat sepasang matanya meng-
awasi sekujur tubuh gadis berpakaian kuning itu, kemudian 
tangan kanannya bergerak. 
Brettt..! 
Suara dari kain robek terdengar ketika tangan Setan 
Mabuk merenggutnya. Malinda langsung terpekik ngeri. 
Pakaian yang dikenakan, dari bagian dada sampai perut 
telah sobek. 
Arya terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Diakui, 
Malinda adalah seorang wanita sesat, dan mendendam 
padanya. Tapi biar bagaimanapun, dia tidak tega kalau 
gadis itu diperkosa Setan Mabuk. 
Sementara kakek berkepala botak yang sudah 
kerasukan nafsu setan, begitu melihat pemandangan 
indah yang terpampang di hadapannya, segera menubruk 
tubuh Malinda dan menciuminya dengan kasar. Tangannya 
juga mulai sibuk melucuti sisa pakaian putri Mayat 
Kuburan Koneng itu. 
Malinda yang tengah tertuka dalam, tidak mampu 
berbuat apa-apa selain menjerit-jerit keras dan meronta-
ronta. Tapi hal itu justru menambah nafsu setan kakek ber-
perut buncit itu membara. Dan dengan sendirinya, 
tindakannya pun semakin brutal 
"Setan Mabuk! Tahan...!" teriak Arya keras. "Kalau per-
buatanmu dilanjutkan, aku tidak akan sudi meladeni 
tantanganmu!" 
Kakek berkepala botak itu langsung menoleh dengan 
napas menderu hebat. Sepasang matanya telah memerah, 
karena nafsu telah bergolak dalam dirinya. Tapi peringatan 
Dewa Arak-lah yang membuatnya bimbang.

Setan Mabuk memang bukan orang yang suka mem-
perkosa wanita. Dan perbuatan yang akan dilakukannya 
terhadap Malinda, semula bukan terdorong nafsu. Melain-
kan, keinginan untuk menghancurkan gadis itu. Namun, 
begitu melihat kemulusan tubuh gadis itu, dia menjadi ter-
pengaruh. Hanya saja, ancaman Dewa Arak telah mem-
buatnya bimbang. 
Beberapa saat lamanya Setan Mabuk tercenung 
memikirkannya. 
"Kali ini kau kuampuni, Wanita Liar! Menyingkirlah cepat 
sebelum pikiranku berubah!" 
Dengan kedua tangan menutupi bagian tubuhnya yang 
terbuka lebar, Malinda berusaha bangkit. Luar biasa! Kali 
ini usaha gadis berambut digelung itu berhasil. Rupanya 
rasa takut yang melanda akan terjadinya peristiwa yang 
mengerikan, membuat kekuatannya muncul kembali. 
Memang, meskipun seorang wanita sesat, tapi Malinda 
masih seorang gadis tulen. 
"Akan kuingat budimu. Dewa Arak...!" 
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian kuning ini 
melangkah terseok-seok meninggalkan tempat itu. Tak 
lama kemudian, bayangan tubuhnya lenyap ditelan lebat-
nya pepohonan. 
Setan Mabuk memungut pedang yang berserakan di 
tanah, kemudian melontarkannya ke arah tali yang 
menggantung Jaring pengurung tubuh Dewa Arak 
Tasss...! 
Tali itu putus seketika. Dengan sendirinya, jaring yang 
membungkus tubuh Dewa Arak pun terjatuh ke tanah. 
Maka, Arya pun bergegas keluar dari dalam jaring. 
Begitu Arya keluar dari jaring. Setan Mabuk langsung 
saja menyerang. Kedua tangannya terkembang mem-
bentuk cakar dan menyambar bertubi-tubi ke arah perut, 
dada, dan ulu hati pemuda berpakaian ungu itu. 
Arya langsung terperanjat. Datangnya serangan yang ter-
lampau tiba-tiba, membuatnya terkejut bukan kepalang. 
Disadari kalau dirinya tidak akan bisa mengelakkan

serangan itu. Tidak ada pilihan lagi, kecuali menangkisnya. 
Tanpa ragu-ragu lagi, segera dikerahkan seluruh tenaga 
dalam yang dimiliki untuk menangkis. 
Plak, plak, plak...! 
Suara berderak keras terdengar berkali-kali ketika 
kedua tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam 
tinggi berbenturan. Akibatnya, kedua belah pihak sama-
sama terhuyung mundur selangkah ke belakang. Jelas, 
tenaga dalam kedua tokoh ini berimbang. 
Setan Mabuk mengawasi Dewa Arak dari ujung rambut 
sampai ujung kaki. Namun Dewa Arak pun berbuat serupa. 
"He... he... he...! Semua berita yang kudengar tentang 
dirimu ternyata cocok sekali dengan kenyataan yang 
kulihat," kata Setan Mabuk setelah puas memperhatikan 
Dewa Arak. "Tapi aku belum puas, Dewa Arak!" 
Setelah berkata demikian, Setan Mabuk kembali 
menerjang Dewa Arak. Gucinya yang besar itu sama sekali 
tidak dipergunakan. Memang, kakek ini belum mau 
mengeluarkan ilmu simpanannya. 
Sebagai seorang tokoh persilatan yang mempunyai 
kepandaian tinggi, Arya tentu saja tahu kalau lawan belum 
menggunakan ilmu andalan. Maka Dewa Arak pun hanya 
mengeluarkan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau' 
dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' untuk meng-
hadapinya. 
Kedua macam ilmu yang dimiliki Dewa Arak, menitik-
beratkan pada penyerangan. Begitu pula ilmu yang dimiliki 
Setan Mabuk. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun 
terjadi. 
Dalam sekejap saja, pertarungan sudah berlangsung 
tiga puluh lima jurus. Dan selama itu, belum nampak ada 
tanda-tanda yang akan terdesak. 
"Cukup, Dewa Arak..!" 
Terdengar seruan keras dari mulut Setan Mabuk. Pada 
saat yang bersamaan, tubuhnya pun melenting ke 
belakang menjauhi kancah pertarungan. 
Arya pun menghentikan gerakannya. Kini kedua belah


pihak saling menatap, dengan penuh selidik. 
"Kau tahu, mengapa aku mencari dan menantangmu, 
Dewa Arak?" tanya Setan Mabuk dengan senyum ter-
kembang di bibir. Kakek berperut buncit ini merasa puas 
begitu mengetahui kelihaian Dewa Arak. 
Memang sudah menjadi penyakit seorang ahli silat dia 
merasa gembira bila bertemu lawan yang setingkatan. 
Arya menggelengkan kepala. Memang, pemuda ber-
pakaian ungu itu belum mengetahuinya. 
"Karena kau berani berjuluk Dewa Arak!" tandas Setan 
Mabuk lagi. "Kau tahu, sebelum kau lahir ke dunia ini, aku 
sudah terkenal sebagai dedengkotnya arak. Sudah tidak 
terhitung lagi, berapa kali aku mengadu kuat minum arak. 
Dan karena tidak pernah terkalahkan, aku mendapat 
julukan-julukan Setan Mabuk." 
Kakek berperut buncit itu menghentikan ucapannya 
sejenak untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah Dewa 
Arak untuk mengetahui tanggapannya. 
"Karena merasa sudah tua, sekitar satu tahun yang lalu, 
aku mengundurkan diri dari dunia persilatan. Tapi, ter-
paksa aku keluar lagi, karena kudengar di dunia persilatan 
ada tokoh muda yang berani berjuluk Dewa Arak. Jadi, aku 
merasa tertantang ingin kubuktikan sendiri, apakah orang 
itu berhak mendapat julukan seperti itu." 
Kini Arya mengerti akan duduk permasalahannya. 
"Baiklah. Agar tidak terjadi korban di antara orang yang 
tidak bersalah, aku menerima tantanganmu, Setan Mabuk" 
"Bagus!" sahut Setan Mabuk gembira. "Tapi perlu kau 
ketahui, Dewa Arak. Kita tidak hanya bertanding dalam 
minum arak saja. Tapi, juga dalam ilmu silat." 
"Aku mengerti," kata pemuda berambut putih keperakan 
itu. "Kapan waktunya, Setan Mabuk?" 
"Purnama depan!" 
"Purnama depan?!" Arya mengerutkan alisnya. Karena 
waktu yang ditentukan masih lebih dari sepekan. 
"Mengapa harus menunggu begitu lama, Setan Mabuk?" 
"Karena, bulan purnama depan adalah waktu bagi raja

raja arak untuk mengadu kekuatan minum dan ilmu silat," 
jelas kakek berperut buncit itu. "Bertahun-tahun akulah 
juaranya. Tapi tahun kemarin, aku tidak mengikutinya. 
Sehingga, aku tidak tahu, siapa yang menjadi juaranya." 
Arya mengernyitkan dahinya. Sungguh tidak disangka 
kalau persoalannya jadi semakin membesar begini. 
"Bila ingin julukanmu diresmikan raja-raja arak, kau 
harus mengikuti pertarungan di sana, Dewa Arak. Dan 
kalau tidak, hanya dunia persilatan saja yang mengakuimu. 
Tapi, tidak bagi jago-jago minum. Bagaimana? Kau ber-
sedia?!" 
"Aku sudah berjanji, Setan Mabuk. Jadi, mau tak mau 
harus memenuhinya. Aku akan datang. Tapi..., di mana 
pertarungan itu dilangsungkan?" 
"Tempatnya selalu berpindah-pindah, Dewa Arak" jawab 
Setan Mabuk. "Tapi yang jelas, mereka selalu memilih 
tempat-tempat yang sepi. Kudengar, tahun ini tempat 
pertarungan itu akan berlangsung di Pulau Selaksa Setan. 
Kau tahu tempatnya, Dewa Arak?!" 
Arya menganggukkan kepala. Memang dia tahu, di 
mana letak pulau itu. 
"Kau ingin bersamaku atau ingin pergi sendiri, Dewa 
Arak?!" tanya Setan Mabuk. 
"Aku pergi sendiri saja," Jawab Dewa Arak mantap. 
"He... he... he...!” 
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Dan seiring suara 
tawanya, tubuh kakek berperut buncit itu berkelebat dari 
situ. Hanya dalam sekejapan saja, dia telah berada dalam 
jarak lebih dari sebelas tombak. 
Arya menggeleng-gelengkan kepala. Dia memang sudah 
menduga kelihaian kakek ini dari pertarungan tadi, 
meskipun hanya bertarung sebentar saja. Disadari kalau 
Setan Mabuk adalah seorang lawan yang amat tangguh. 
"Hhh....!” 
Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas 
berat. Dipandanginya tubuh Setan Mabuk yang semakin 
lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di kejauhan.


Kemudian baru kakinya melangkah meninggalkan tempat 
itu. Dia harus bergegas menuju tempat yang dimaksud, 
untuk memenuhi janjinya terhadap Setan Mabuk. 
Apa yang akan ditemui Dewa Arak di Pulau Selaksa 
Setan? Siapakah yang akan memenangkan pertarungan 
adu minum itu? Dan bagaimana nasib Malinda yang 
mendendam pada Dewa Arak, tapi juga ingin membalas 
budi? Lalu bagaimanakah Kera Bukit Setan, Jagar, dan 
yang lain-lain? Apakah Arya tidak membasmi mereka? 
Jawaban untuk semua itu ada dalam judul "Pertarungan 
Raja-Raja Arak'. Di sana, Dewa Arak akan menemui 
kejadian yang sama sekali tidak pernah diduganya

 
                                SELESAI 









Share:

0 comments:

Posting Komentar