SATU
Hari sudah agak siang. Sang surya pun telah hampir di
atas kepala. Tapi karena ada awan tebal yang
menutupinya, suasana di bumi jadi agak gelap. Mendung.
Dalam suasana yang tidak panas dan angin bertiup
lembut, tampak empat orang berwajah kasar sedang me-
langkah memasuki sebuah kedai di Desa Koneng. Rata-
rata mereka mengenakan rompi dengan sebilah golok ter-
selip di pinggang.
Dengan sikap kasar dan jumawa mereka masuk ke
dalam kedai, lalu mengedarkan pandangan berkeliling.
Pengunjung kedai itu ternyata ramai juga, terbukti hampir
semua bangku terisi.
Melihat kedatangan empat orang itu, pemilik kedai yang
ternyata seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun dan bertubuh kurus kering tergopoh-gopoh me-
langkah menghampiri. Wajahnya yang kurus dan terlihat
kering itu dihiasi kumis dan jenggot yang jarang-jarang.
Sehingga, makin menambah kegersangan wajahnya.
Menilik dari sikapnya, jelas kalau pemilik kedai ini
mengenal empat orang kasar itu
"Aduh, Den ...!" Belum apa apa pemilik kedai itu sudah
meratap-ratap. "Kasihani aku, Den. Tolong, jangan buat
keributan di sini"
Sambil berkata demikian, laki-laki kurus kering ini
merangkapkan kedua tangan di depan dada sambil
membungkuk-bungkukkan badan. Sementara pengunjung
lain yang tengah menikmati makan pun tampak ketakutan.
Kini, mereka tidak lagi menyantap makanan, melainkan
bersiap-siap kaliur dari situ. Ini bisa dibuktikan dari
sepasang mata mereka yang menatap liar ke sana kemari.
Tapi, rupanya keempat orang kasar itu sudah
memperhitungkannya. Maka begitu masuk ke dalam kedai,
dua di antara mereka telah berdiri menghadang di ambang
pintu. Tangan kiri bertolak pinggang. Sementara tangan
kanan mengelus-elus dagu.
"Hmh...! Kau berani menantangku, Giri?!"
Salah satu dari dua orang kasar yang dihampiri pemilik
kedai itu, mendengus. Tangan kanannya mencengkeram
leher baju laki-laki bertubuh kurus kering yang ternyata
bernama Giri. Sementara penduduk sekitar Desa Koneng
sering memanggil dengan sebutan Ki Giri.
Dan sekali tangannya bergerak mengangkat, tubuh Ki
Giri telah terangkat naik. Mau tak mau kedua kakinya kini
tergantung sekitar dua jengkal di atas tanah. Apalagi orang
yang melakukannya memiliki tubuh tinggi besar, dan yang
pasti kepandaiannya patut diperhitungkan. Cambang bauk
yang lebat tampak menghias wajahnya. Kedua tangannya
yang besar-besar, juga berbulu lebat Seperti layaknya
seekor monyet
Seketika wajah Ki Giri pucat karena mendapat per-
lakuan seperti itu. Kakinya coba digerak-gerakkan untuk
mencapai lantai. Dan memang keadaan seperti itu
menyakitkan lehernya. Tapi, usahanya ini sia-sia. Kedua
kakinya tetap saja tidak bisa mencapai lantai. Jarak antara
kakinya dengan lantai terlalu jauh untuk bisa dijangkau.
"Ti… ti.... Tidak, Den Jagar...," meskipun terputus-putus,
Giri berhasil juga membuka suara. "Mana aku berani..."
"Ha... ha... ha...!"
Jagar tertawa terbahak-bahak. Keras sekali suaranya,
dan jelas dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam
tinggi. Sehingga pemilik kedai itu sampai menekapkan
kedua tangan pada telinganya karena merasa bising.
Begitu tawa itu selesai, tangan yang mencengkeram
leher baju itu bergerak melemparkan tubuh Ki Giri. Enak
saja laki-laki bertubuh tinggi besar itu melakukannya.
Seolah-olah, tubuh laki-laki kurus kering itu tak ubahnya
sehelai karung basah.
Ki Giri langsung menjerit ketakutan begitu tubuhnya
melayang deras ke belakang. Dan....
Brakkk...!
Suara berderak keras seketika terdengar begitu tubuh
pemilik kedai yang malang itu menghantam bangku dan
meja. Tak pelak lagi, bangku-bangku itu terguling ke sana
kemari.
Ki Giri mengaduh-aduh kesakitan. Apalagi tubuhnya
sebagian besar hanya terdiri dari tulang-tulang saja. Bisa
dibayangkan, betapa sakitnya terbentur bangku dan meja.
Jagar tidak mempedulikan keadaan laki-laki kurus
kering itu. Begitu kepalanya diegoskan, maka seketika itu
juga ketiga orang rekannya bergerak menghampiri para
pengunjung kedai. Sedangkan Jagar hanya berdiam diri,
sambil mengawasi dengan kedua tangan berkacak
pinggang. Jelas, laki-laki bertubuh tinggi besar ini adalah
pimpinan gerombolan itu.
Jagar tersenyum sambil memilin-milin kumisnya yang
tebal. Matanya terus mengawasi ketiga orang rekannya
yang telah mulai dengan tugas yang memang sudah
direncanakan. Merampok harta para pengunjung kedai
memang sudah jadi rencana mereka. Maka tentu saja hal
itu membuat para pengunjung kedai panik bukan
kepalang. Apalagi, bagi mereka yang kebetulan habis men-
jual barang dagangannya.
"Cepat serahkan semua hartamu...!" bentak rekan Jagar
yang bertubuh kurus dan berkulit kuning, pada salah
seorang pengunjung kedai tanpa menghunus goloknya.
Rupanya, dia merasa tidak perlu menggunakan golok-
nya. Dan sambil berkata demikian tangan kanannya diulur-
kan untuk merampas buntalan uang yang terselip di
pinggang.
Tapi, rupanya calon korban itu tidak sudi membiarkan
begitu saja uangnya diambil. Maka diputuskanlah untuk
mengadakan perlawanan, begitu melihat orang yang
hendak merampas buntalan uangnya seperti orang
penyakitan. Kebetulan, pengunjung ini memiliki bentuk
tubuh kekar dan berotot.
Maka begitu tangan laki-laki bertubuh kurus itu me-
luncur ke arah pinggang, bergegas tangannya menangkap.
Kreppp...!
Begitu tangan laki-laki berkulit kuning ini berhasil
ditangkap, langsung dilayangkannya tinju kanan ke arah
wajah orang yang hendak merampas uangnya.
"Hmh...! Berani kau memukul Gojang?!" dengus laki-laki
bertubuh kurus yang ternyata bernama Gojang. Tangan
kirinya pun seketika bergerak. Dan...
Tappp...!
Hanya sekali gerak saja, serangan laki-laki bertubuh
kekar itu bisa dikandaskan. Bahkan jari-jari tangan Gojang
sudah mencengkeram pergelangan tangan pengunjung
kedai itu.
Gojang tidak hanya bertindak sampai di situ saja. Ber-
bareng dengan gerakan tangan kiri, pergelangan tangan-
nya pun diputar.
Gila! Hanya sekali memutar pergelangan saja, Gojang
telah membuat cekalan laki-laki bertubuh kekar itu ter-
lepas. Bahkan dengan gerak tangan luar biasa, dia malah
telah balas mencekal pergelangan lawan. Hasilnya, kini
Gojang telah berhasil menangkap kedua pergelangan
lawan.
Sebelum laki-laki bertubuh kekar itu berbuat sesuatu,
kedua tangan Gojang telah cepat bergerak membetot. Tak
pelak lagi, rubuh pengunjung kedai yang sial itu tertarik
deras ke depan, ke arah Gojang! Begitu kerasnya tenaga
betotan itu, sampai tubuhnya terhuyung-huyung.
Langsung laki-laki bertubuh kurus itu tertawa menye-
ramkan. Dan begitu tawanya habis, kepalanya digerakkan.
Jelas, maksudnya adalah mengadu kepala pengunjung
kedai itu dengan kepalanya sendiri. Dan karena terhuyung-
huyung, kepala laki-laki bertubuh kekar itu bergerak maju
lebih dulu daripada kaki atau tubuhnya.
Duggg...!
Benturan antara dua buah kepala yang begitu keras tak
dapat dielakkan lagi. Menilai dari besarnya kedua kepala,
sebenarnya kepala Gojanglah yang akan menerima akibat
yang lebih buruk. Tapi kenyataan yang terjadi justru
sebaliknya! Laki-laki bertubuh kekarlah yang justru
memekik keras kesakitan. Dari bagian dahinya yang
terluka nampak mengalir darah.
Tubuh laki-laki yang sial itu seketika terkulai. Tidak
pingsan atau mati, tapi lemas. Sementara kepala Gojang
tetap utuh! Jangankan terluka, tergores pun tidak.
"He... he... he...!"
Gojang tertawa terkekeh-kekeh, sehingga terdengar
menyeramkan sekali. Kini pegangan tangannya berpindah.
Tangan kiri mencekal leher baju, dan tangan kanannya
bergerak menampar wajah laki-laki bertubuh kekar itu.
Plak, plak, plak...!
Suara keras beradunya telapak tangan dengan pipi
terdengar berkali-kali. Kepala pengunjung kedai yang
malang itu sampai terpaling ke kanan dan ke kiri. Darah
segar muncrat-muncrat dari mulutnya. Bahkan ada be-
berapa benda putih sebesar kuku jari kelingking yang
terlompat keluar dari dalam mulutnya. Jelas, benda itu
adalah gigi.
Tanpa mengenal rasa kasihan, Gojang terus saja
meneruskan tindakannya. Darah segar pun keluar lebih
banyak lagi. Bahkan kali ini tidak hanya dari mulut saja,
tapi juga dari hidung.
Setelah merasa puas, Gojang lalu melepaskan cekalan-
nya. Akibatnya, rubuh laki-laki sial itu pun ambruk di tanah
seperti sehelai kain basah.
"Cuhhh…!”
Segumpal ludah kental keluar dari mulut Gojang, dan
mendarat dengan manisnya di wajah laki-laki bertubuh
kekar yang sudah megap-megap seperti ikan terdampar ke
darat.
Rupanya, laki-laki berkulit kuning ini masih belum puas
dengan apa yang dikerjakannya. Sambil menyeringai kejam
yang nampak di mulutnya, kakinya ditaruh di kepala laki-
laki bertubuh kekar. Dan sekali kakinya bergerak menekan,
nyawa pengunjung kedai yang sial itu melayang ke alam
baka seiring terdengarnya suara gemeretak ketika kepala
itu pecah berantakan.
Darah segar pun kembali muncrat-muncrat.
"Ha... ha... ha...!"
Gojang tertawa terbahak-bahak. Keras sekali sehingga
membuat suasana di dalam kedai menjadi gaduh. Apalagi
ketika ketiga orang kasar lainnya pun tertawa pula. Bahkan
dinding-dinding kedai itu sampai bergetar seperti akan
runtuh.
Melihat kejadian mengenaskan yang menimpa laki-laki
bertubuh kekar itu, karuan saja membuat nyali para
pengunjung lain menjadi ciut. Mereka kini pasrah saja
ketika rekan-rekan Jagar merampas semua harta benda
yang ada.
Tapi meskipun tidak ada yang mengadakan perlawanan,
bukan berarti para pengunjung kedai bebas dari ke-
kejaman. Dan memang, tetap saja mereka mendapat
hadiah dari tiga orang kasar itu.
Suara pukulan-pukulan nyaring terdengar silih berganti
diiringi jerit dan keluh kesakitan dari mulut pengunjung
kedai.
Tubuh-tubuh pengunjung yang sial itu satu persatu
roboh di lantai. Memang, tidak ada seorang pun yang
tewas kecuali laki-laki bertubuh kekar tadi. Tapi meskipun
begitu, tidak ada seorang pun di antara mereka yang
sanggup berdiri.
Darah kini telah membasahi lantai kedai. Semua
pengunjung kedai menderita luka yang lumayan. Ada yang
patah kaki, namun tidak sedikit yang patah tangan atau
copot giginya.
"Ha... ha... ha...!"
Jagar tertawa keras begitu melihat ketiga orang
rekannya telah menyelesaikan tugas, dan bergerak meng-
hampirinya dengan harta rampasan di tangan.
"Terima kasih, Ki Giri…!" seru laki laki bercambang bauk
lebat itu dengan suara keras menggelegar. "Lain kali, kami
pasti datang lagi...!"
Masih sambil tertawa-tawa, Jagar dan kawan-kawannya
melangkah meninggalkan kedai. Tidak ada seorang
penduduk pun yang mengetahui atau mendengar adanya
keributan di situ. Memang, letak kedai agak jauh dari
rumah-rumah penduduk lainnya. Tambahan lagi, pada saat
seperti ini sebagian besar penduduk Desa Koneng tengah
berada di sawah. Tidak heran, karena penduduk desa itu
sebagian besar adalah petani.
Suasana kembali menjadi sepi ketika Jagar dan rekan-
rekannya telah cukup jauh meninggalkan tempat itu. Kini
yang terdengar hanyalah suara rintihan dan keluhan dari
mulut-mulut orang yang terluka.
***
Belum berapa lama Jagar dan ketiga rekannya
meninggalkan kedai milik Ki Giri, nampak seorang laki-laki
berwajah gagah dan berpakaian kuning berjalan perlahan
mendekati kedai.
Usia laki-laki itu tak kurang dari tiga puluh tahun. Kumis
dan jenggotnya terawat baik, sehingga menambah
kegagahannya. Sebatang pedang bergagang kepala naga
juga tampak tersampir di punggung. Bisa ditebak kalau
laki-laki ini memiliki kepandaian saat ini bisa dibuktikan
dengan adanya sulaman benang hijau bergambar seekor
naga di bagian dada sebelah kiri pakaiannya.
Dengan langkah gesit dan ringan, laki-laki berkumis rapi
ini melangkah memasuki pintu kedai. Tapi baru sebelah
kakinya masuk ambang pintu, dia terperanjat melihat
sosok-sosok tubuh yang bergeletak tak tentu arah di lantai.
Bahkan beberapa buah meja dan kursi nampak terbalik.
Malah ada beberapa di antaranya yang patah-patah.
Kalau saja laki-laki berjenggot rapi ini tidak bersiul-siul
sewaktu melangkah menghampiri kedai, mungkin akan
terdengar rintihan dan keluhan dari mulut para pengunjung
kedai yang terluka.
"Ki…!”
Laki-laki berkumis rapi ini berseru ketika melihat Ki Giri
yang tengah berusaha bangkit. Memang, di antara semua
orang yang berada di situ, laki-laki bertubuh kurus kering
inilah yang menderita luka paling ringan. Dari ucapannya,
bisa diketahui kalau laki-laki berkumis rapi ini mengenal Ki
Giri.
Sambil berseru demikian, laki-laki berkumis rapi itu ber-
gerak cepat menghampiri tubuh pemilik kedai. Menilik dari
gerakannya yang cepat bisa diperkirakan kalau tingkat
kepandaiannya tidak bisa dianggap enteng.
"Apa yang terjadi, Ki?! Katakanlah...!" desak laki-laki
berkumis rapi, ketika tubuhnya sudah berjongkok di dekat
tubuh Ki Giri. Ada suara gemeretak keras keluar dari
mulutnya, pertanda kalau dirinya tengah dilanda perasaan
geram.
"Para pengacau datang, merampok dan menganiaya
para pengunjung kedai ini. Den Subarji...." Jelas Ki Giri
dengan suara tersendat-sendat
Laki-laki berjenggot rapi yang ternyata bernama Subarji
mengepalkan kedua tangannya, sehingga terdengar bunyi
berderak keras seperti ada tulang-tulang yang patah.
Ki Giri mengangguk.
"Siapa, Ki?!" tanya Subarji lagi.
"Jagar dan kawan-kawannya," jawab Ki Giri pelan, mirip
desahan.
"Hm.... Kiranya Jagar....”
Subarji mengangguk-anggukkan kepala. Dia memang
telah sering mendengar nama Jagar, sebagai orang yang
selalu membuat onar. Bukan hanya di Desa Koneng saja,
tapi juga di desa-desa sekitarnya. Maka meskipun belum
pernah bertemu, tapi Subarji telah mengetahui ciri-ciri laki-
laki bertubuh tinggi besar itu.
"Baru saja mereka pergi, Den Subarji...," Ki Giri kembali
membuka suara.
"Ke arah mana perginya, Ki?"
"Barat, Den."
Memang, Ki Giri tadi sempat melihat kepergian Jagar
dan kawan-kawannya ke samping kanan kedainya. Dan itu
berarti mereka pergi ke arah Barat
"Kalau begitu, mereka harus cepat kukejar...! Orang-
orang seperti mereka harus dilenyapkan selama-lamanya."
Setelah berkata demikian, Subarji segera bangkit berdiri
dan melesat keluar kedai. Dan secepat tubuhnya telah
berada di luar, secepat itu bergerak mengejar ke arah
Barat.
***
DUA
Subarji berlari cepat mengerahkan seluruh ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki. Ucapan Ki Giri yang
memberi tahu kalau Jagar dan rekan-rekannya belum lama
meninggalkan kedai, membuatnya bertindak seperti itu.
Ternyata, pemberitahuan pemilik kedai itu tidak salah.
Belum berapa lama Subarji berlari, di kejauhan terlihat
empat sosok tubuh yang berjalan cepat. Kontan semangat
laki-laki berkumis rapi ini bangkit. Meskipun belum pasti
kalau keempat sosok tubuh itu adalah orang yang dicari,
tapi melihat dari jumlahnya, Subarji yakin kalau yang
dilihatnya adalah Jagar dan kawan-kawannya.
Karena Subarji berlari mengerahkan ilmu meringankan
tubuh, sementara empat sosok tubuh itu berlari seenak-
nya, maka jarak di antara mereka semakin lama semakin
bertambah dekat. Seiring semakin bertambah dekatnya
jarak, maka sosok-sosok tubuh itu pun semakin jelas
terlihat
Dan begitu jarak di antara mereka terpisah lima tombak
lagi, Subarji yakin kalau empat sosok itu adalah orang-
orang yang dikejarnya.
Memang meskipun hanya melihat dari belakang, laki-
laki berjenggot rapi ini bisa mengetahui kalau empat sosok
tubuh di hadapannya adalah Jagar dan ketiga orang rekan-
nya. Dia telah mendengar kalau Jagar selalu mengenakan
rompi berwarna kuning, yang pada bagian belakangnya
bergambar seekor kelabang. Dan kini gambar itu telah
dilihatnya.
Jagar dan tiga orang rekannya yang tengah berbincang-
bincang, sama sekali tidak mengetahui kalau di belakang
ada orang yang mengejar. Mereka terus saja berlari tanpa
mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
"Berhenti...!"
Keempat orang kasar ini baru terkejut ketika mendengar
bentakan. Belum juga mereka menyadari, sesosok
bayangan kuning telah melesat melewati kepala mereka
dan tahu-tahu telah berdiri menghadang.
Bagai diberi aba-aba, keempat orang ini berhenti
melangkah. Kini kedua belah pihak berdiri berhadapan
dalam jarak sekitar tiga tombak, dengan mata saling
mengamati.
"Hmh…!"
Jagar mendengus geram begitu melihat sosok bayangan
kuning telah menghadang perjalanan mereka. Memang dia
tidak mengenal orang yang menghadang ini. Tapi dari
pakaian yang dikenakan, dan sulaman gambar naga dari
benang hijau pada dada sebelah kiri, bisa diketahui asal
perguruan laki-laki berkumis rapi ini.
"Tikus usilan dari Perguruan Naga Hijau rupanya...," kata
laki-laki bercambang bauk lebat ini sambil tersenyum
mengejek.
Jagar memaki Subarji demikian karena Perguruan Naga
Hijau beraliran putih. Para muridnya selalu menentang
tindak kejahatan. Tidak heran jika murid-murid perguruan
yang telah cukup kemampuannya, harus mengamalkan
ilmu. Mereka kebanyakan menyebar di berbagai desa. Dan
Subarji memilih tinggal di Desa Koneng, desa kelahirannya.
"Jadi, kau rupanya yang bernama Jagar...," kata Subarji.
Ada nada kegeraman dalam suara Subarji. Ditatapnya
sosok tubuh tinggi besar di hadapannya penuh selidik dari
ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ooo... Kau baru tahu rupanya?" Jagar tersenyum sinis.
"Memang! Akulah Jagar! Lalu, kau mau apa?!"
"Pasti kau dan rekan-rekanmu ini yang telah merampok
kedai Ki Giri, bukan?!"
Subarji langsung mengedarkan pandangan ke arah
buntalan kain yang dibawa keempat orang berwajah kasar
di depannya.
"Ha... ha... ha...! Tidak salah...!" jawab Jagar, lantang.
"Kau ingin merampasnya kembali? Silakan!"
Subarji menggertakkan gigi mendengar kata-kata ber
nada tantangan itu. Sementara, tiga orang rekan Jagar
segera melemparkan buntalan-buntalan kain yang berisi
harta rampasan di tanah. Memang, harta yang dirampas
dari para pengunjung kedai, biasa dimasukkan ke dalam
buntalan kain.
"Kirim tikus usilan itu ke neraka...!" perintah Jagar pada
ketiga orang rekannya.
Srattt, srattt, srattt...!
Sinar-sinar terang berkeredep tatkala ketiga orang kasar
itu menghunus golok masing-masing, seiring lenyapnya
perintah laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Mereka tahu,
lawan yang kali ini dihadapi tidak sama dengan orang-
orang di kedai. Maka, tanpa ragu-ragu mereka segera
menggunakan senjata.
Begitu golok telah berada dj tangan, ketiga orang itu
menyebar mengurung Subarji. Sudah bisa ditebak
maksudnya. Ingin menyerang laki-laki berjenggot rapi ini
dari tiga jurusan.
"Hm...."
Sambil menggumam, Subarji mencabut pedangnya.
Sepasang matanya beredar berkeliling, memperhatikan
gerak-gerik ketiga orang lawan yang semakin dekat dan
semakin mengurungnya. Telah diputuskannya untuk
melenyapkan gerombolan Jagar sebelum semakin meraja-
lela dan menimbulkan korban baru. Itulah sebabnya
Subarji langsung menghunus senjatanya.
"Haaat...! "
Sambil mengeluarkan pekik nyaring, laki-laki berkulit
kuning mendahului menyerang. Goloknya meluncur deras
ke arah dada. Memang, saat itu dia berhadapan dengan
lawannya.
Belum juga serangan laki-laki bertubuh kurus itu tiba,
serangan dari dua orang lain datang menyusul. Orang yang
berada di kanan, menyabetkan goloknya ke arah leher.
Sementara yang di kiri menusuk ke arah pinggang.
Suara angin mendesir cukup nyaring mengiringi tibanya
ketiga serangan yang masing-masing mampu mengantar
kan nyawa ke alam baka bila mendarat.
Namun Subarji tetap bersikap tenang. Melihat dari
kecepatan serangan itu, sudah bisa diketahui kalau ilmu
meringankan tubuh ketiga orang lawan cukup jauh di
bawahnya, itulah sebabnya, dia tidak terburu-buru ber-
tindak.
Baru ketika serangan itu menyambar semakin dekat,
Subarji menjejakkan kakinya. Sesaat kemudian, tubuhnya
melayang ke atas. Maka semua serangan lawan hanya
mengenai tempat kosong, lewat di bawah kakinya.
Tindakan laki-laki berkumis rapi ini tidak hanya sampai
di situ saja. Begitu tubuhnya berada di udara, pedang di
tangannya langsung meluncur deras ke arah ubun-ubun
laki-laki bertubuh kurus. Sementara kaki kanannya
menendang ke arah kepala lawan yang berada di sebelah
kanan. Sedangkan lawan yang berada di sebelah kiri,
disampok dengan tangan kirinya ke arah pelipis.
Balasan serangan mendadak ini tentu saja membuat
ketiga orang rekan Jagar terperanjat. Apalagi, datangnya
terlalu tiba-tiba! Mereka baru mengetahui adanya bahaya
setelah serangan itu mendekati sasaran. Hembusan angin
cukup keras yang mengiringi tibanya serangan, membuat
mereka sadar akan adanya bahaya mengancam.
Karena mengelak sudah tidak mungkin lagi, maka
ketiga orang kasar itu pun memutuskan untuk menangkis.
Laki-laki bertubuh kurus menangkis dengan golok,
sementara dua rekannya menangkis dengan tangan
kanan.
Tranggg, plakkk, plakkk...!
Suara berdentang keras diiringi suara tangan dan kaki
berbenturan terdengar bertubi-tubi. Akibatnya, tubuh ketiga
orang rekan Jagar terhuyung-huyung ke belakang. Sekujur
tangan yang digunakan untuk menangkis seketika bergetar
hebat dan terasa ngilu bukan main. Jelas, tenaga dalam
mereka masih jauh di bawah lawan.
Sebuah keuntungan bagi mereka, karena Subarji tidak
bisa melancarkan serangan susulan. Keadaannyalah yang
tidak memungkinkan. Tubuhnya saat itu tengah berada di
udara. Maka begitu semua lawan terhuyung-huyung
sehabis menangkis serangan, kedua kakinya pun men-
darat di tanah.
Begitu laki-laki berkumis rapi ini hinggap di tanah, ketiga
orang lawannya telah berhasil memperbaiki sikap kembali.
Bahkan kemudian kembali menyerang.
Dan kini pertarungan sengit pun terjadi. Baik Subarji
maupun ketiga orang rekan Jagar, sama-sama mengerah-
kan seluruh kemampuan masing-masing. Kedua belah
pihak memang sudah berniat merobohkan lawan secepat-
nya.
Suara bercuitan yang cukup nyaring pun terdengar
mengiringi pertarungan itu. Masing-masing pihak
mengeluarkan ilmu andalan dalam usaha untuk meroboh-
kan lawan.
Tapi, ternyata Subarji terlalu lihai untuk bisa di-
pecundangi ketiga lawannya. Belum juga pertarungan
menginjak jurus kesepuluh, laki-laki berkumis rapi itu
sudah bisa mendesak lawan-lawannya, hingga terpontang-
panting ke sana kemari dalam usaha menyelamatkan
selembar nyawa.
"Keparat..!"
Jagar menggertakkan gigi melihat keadaan rekan-
rekannya yang terdesak. Maka goloknya segera dicabut
dan dengan senjata tercekal di tangan, laki-laki bertubuh
tinggi besar ini melompat menerjang. Jadi, kini Subarji
dikeroyok empat orang!
Mau tak mau, Subarji harus berjuang lebih keras lagi
untuk menanggulanginya. Memang dengan ikut sertanya
Jagar dalam kancah pertarungan, membuat keadaan
ketiga orang rekannya tidak terlalu dikejar-kejar maut
seperti tadi.
Tapi ketiga orang berwajah kasar itu tidak bisa terlalu
lama menarik napas lega. Bantuan dari Jagar ternyata
hanya berguna tak lebih dari tiga puluh jurus saja. Setelah
masuknya laki-laki bercambang bauk lebat itu pun, justru
Subarji kembali berhasil mendesak kembali.
Betapapun Jagar dan ketiga rekannya berusaha keras
menanggulangi Subarji, tapi terap saja tidak mampu.
Kepandaian laki-laki berkumis rapi itu memang masih lebih
tinggi dibanding mereka berempat. Padahal, seluruh
kemampuan yang dimiliki telah dikeluarkan. Bahkan
semakin lama mereka semakin terdesak. Sampai pada
suatu saat...
Crasss...!
Telak dan keras sekali pedang Subarji membabat leher
laki-laki yang bertubuh kurus. Kontan darah memercik
keras dari leher yang terobek ujung pedang. Tubuh laki-laki
berkulit kuning itu terpelanting jatuh ke tanah, laki diam
tak bergerak lagi untuk selamanya. Suara mengorok
terdengar keluar dari mulutnya sebelum tewas.
Gerombolan Jagar menggeram hebat melihat kematian
salah seorang rekan mereka. Tapi apa daya? Subarji
memang terlalu lihai dihadapi! Darah yang keluar dari leher
laki-laki bertubuh kurus itu belum juga berhenti ketika dua
orang rekan Jagar yang tersisa menjerit keras. Pedang
Subarji kembali telah menelan korban! Tubuh mereka
langsung jatuh ke tanah, dan diam tidak bergerak lagi.
Jagar meraung melihat kematian ketiga orang rekannya.
Tanpa mempedulikan keselamatannya lagi, laki-laki ber-
tubuh tinggi besar itu melancarkan serangan bertubi-tubi
ke arah Subarji. Tak dipedulikan lagi pertahanannya yang
terbuka di sana-sini. Yang ada di benaknya hanya satu.
Membalas kematian ketiga orang rekannya, meskipun
harus kehilangan nyawa!
Tapi bagaimana mungkin Jagar dapat melakukannya?
Dengan dibantu tiga orang rekannya saja tidak mampu
mengalahkan Subarji, apalagi kini yang tinggal hanya dia
seorang. Semua serangannya dengan mudah dapat
dipatahkan lawan. Dan kini robohnya Jagar hanya tinggal
menunggu saat saja.
Dan belum juga pertarungan kedua orang itu ber-
langsung lama, tiba-tiba....
"Telah lama kudengar kalau orang-orang Perguruan
Naga Hijau memang usil! Tapi baru kali ini kulihat sendiri
kenyataannya. Mereka menganggap orang lain jahat
karena sering membunuhi orang. Tapi, padahal apa yang
mereka lakukan? Membelai-belai orang? Sama sekali
tidak! Justru yang kulihat malah sebaliknya! Orang Per-
guruan Naga Hijau membunuhi orang seperti membunuh
nyamuk! Keji! Sungguh keji!"
Jagar dan Subarji terperanjat. Meskipun suara itu
terdengar pelan saja, tapi mengandung getaran yang
membuat isi dada terguncang hebat. Maka dengan sendiri-
nya, pertarungan antara kedua orang itu pun terhenti.
Baru saja gema suara itu lenyap, meluncur cepat bagai
kilat seleret benda hitam yang langsung membelit mata
pedang Subarji.
Karuan saja laki-laki berkumis rapi ini terkejut bukan
main. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, benda hitam
panjang yang ternyata sebuah cambuk berwarna hitam
telah membetot pedangnya. Keras bukan main tenaga
tarikan itu, sehingga Subarji sama sekali tidak menyangka.
Bahkan tidak mampu mempertahankan senjatanya.
Subarji tidak rela pedangnya dirampas. Maka segera
tubuhnya melompat untuk menangkap kembali senjatanya.
Matanya juga sempat sekilas melihat pemilik cambuk itu.
Seorang laki-laki bertubuh kecil kurus, mengenakan rompi
berwarna hitam. Sebaris bulu-bulu berwarna hitam dan
tebal menghias atas bibirnya.
Hanya ciri-ciri itu yang sempat dilihat Subarji, karena
dirinya harus sudah sibuk merampas kembali pedangnya.
Tapi sungguh di luar dugaan, belitan cambuk itu
mengendur. Tak pelak lagi, pedang Subarji terjatuh di
tanah. Dan sebelum laki-laki berkumis rapi ini berbuat
sesuatu, ujung cambuk itu telah memapak lompatannya,
dan langsung melecut dadanya.
Ctarrr...!
Subarji menggigit bibir untuk menahan rasa sakit yang
mendera dada ketika ujung cambuk itu telak dan keras
sekali menghantam dada. Seketika itu juga, tubuhnya
terjengkang kembali ke belakang. Darah kental langsung
menetes di sudut-sudut bibirnya.
Meskipun begitu, Subarji masih mampu membuktikan
kalau dirinya bukan tokoh sembarangan. Kedua kakinya
masih mampu mendarat di tanah walaupun agak ter-
huyung-huyung,
"Hmh...!"
Laki-laki kecil kurus berkumis tebal mendengus. Dan
kini sama sekali tidak dilancarkannya serangan lagi.
Sikapnya jelas memandang rendah sekali pada Subarji.
Subarji tidak mempedulikannya. Dirinya tengah disibuk-
kan rasa sakit yang mendera dadanya. Ditariknya napas
dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat sekadar
untuk menghilangkan rasa sakit.
Ctarrr...!
Ledakan cambuk membuat laki-laki berkumis rapi ini
terkejut dan bersiap-siap menghadapi serangan susulan.
Tapi ternyata tidak ada serangan yang tertuju ke arahnya.
Cambuk hitam itu sama sekali tidak menuju ke arahnya,
tapi ke arah pedang miliknya yang tertancap di ranah.
Rrrttt..!
Laksana ular membelit mangsanya cambuk itu melilit
batang pedang. Dan begitu laki-laki berkumis tebal ini
bergerak membetot pedang itu pun tercabut.
"Kukembalikan pedangmu...!" seru laki-laki bertubuh
kecil kurus itu.
Sesaat kemudian pedang yang terlilit cambuk itu
meluncur deras ke arah Subarji hingga mengeluarkan
suara mendesing nyaring. Padahal, kelihatannya pelan saja
cambuk itu bergerak. Dari pertunjukan ini saja sudah bisa
diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki pemilik
cambuk itu.
Sementara itu Subarji terkejut bukan kepalang.
Terdengar suara mengaung mengiringi tibanya luncuran
pedang itu. Maka laki-laki berjenggot rapi ini segera
menjumput sarung pedangnya, langsung menangkis
serangan itu. Tanpa tanggung-tanggung lagi segera
dikeluarkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
Trakkk...!
Sarung pedang itu kontan hancur berantakan ketika
kedua benda itu saling berbenturan. Subarji terkejut bukan
kepalang. Tangannya seketika terasa sakit dan ngilu bukan
kepalang Tubuhnya pun tanpa dapat ditahan lagi ter-
huyung-huyung ke belakang. Jelas kalau tenaga yang
terkandung dalam luncuran pedang itu lebih kuat daripada
tenaga dalam miliknya.
Hal ini benar-benar membuat Subarji terperanjat.
Apalagi, diketahuinya kalau tenaga dalam lawan belum
seluruhnya dikeluarkan sewaktu melemparkan pedang
dengan cambuk. Baru dengan tenaga sebegitu saja Subarji
sudah tidak mampu bertahan. Lali bagaimana kalau
pemilik cambuk itu mengerahkan seluruhnya? Sulit bagi
laki-laki berkumis rapi ini untuk membayangkannya.
Mendadak tubuh Subarji yang terhuyung-huyung, ber-
henti seketika tatkala membentur sosok tubuh berpakaian
kuning yang mendadak muncul di belakangnya.
Karuan saja hal ini membuat Subarji kaget. Secepat
tubuhnya membentur, secepat itu pula melompat ke
depan. Tubuhnya langsung berbalik dan bersikap siap
siaga menghadapi serangan mendadak.
Tapi sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot laki-laki
berkumis rapi ini mengendur kembali ketika melihat sosok
tubuh yang dibenturnya.
"Guru...!" sebut Subarji seraya melangkah menghampiri
dan memberi hormat.
Dia ternyata seorang kakek bertubuh tinggi kekar. Orang
yang dipanggil guru oleh Subarji langsung tersenyum. Raut
wajahnya memang menyenangkan bagi orang lain yang
melihatnya. Wajahnya bulat seperti juga perutnya, dan
selalu dihiasi senyum. Rambutnya yang putih, digelung ke
atas.
"Menyingkirlah, Subarji...! Dia bukan tandinganmu...!"
ujar kakek bertubuh tinggi kekar itu.
Terdengar sungguh-sungguh dan penuh perintah ucapan
yang dikeluarkan kakek itu. Tapi begitu melihat wajahnya,
orang akan mengira kalau dia tengah bercanda! Kakek itu
mengucapkan perintah begitu sungguh-sungguh, disertai
senyum di bibir dan sepasang mata bersinar-sinar seperti
orang menang lotre! Selebar wajahnya pun merautkan
kegembiraan.
Tanpa menunggu perintah dua kali, laki-laki berkumis
rapi ini segera melangkah mundur. Dibiarkan saja gurunya
itu melangkah mendekati si pemilik cambuk. Telah
diketahuinya kelihaian gurunya. Maka Subarji percaya
kalau kakek berwajah penuh senyum itu akan mampu
mengalahkan lawan.
"Ha... ha... ha...!" laki-laki berompi hitam itu tertawa ber-
gelak. "Sungguh tidak kusangka kalau kau bisa keluar dari
kandangmu yang menjijikkan itu, Buntara!"
Kakek berwajah penuh pesona yang ternyata bernama
Buntara, sama sekali tidak merasa marah atau tersinggung
atas pertanyaan yang bernada kasar. Bahkan mulutnya
tetap menyunggingkan senyum lebar.
"Aku terpaksa keluar dari kandang untuk mengambil
sisa kotoranku yang tertinggal di sini. Dan kaulah kotoran
itu. Kera Bukit Setan!"
Luar biasa sekali ucapan Buntara. Meskipun dikeluar-
kan dengan wajah penuh keceriaan, namun mampu
membuat kuping panas. Seketika selebar wajah laki-laki
berompi hitam yang berjuluk Kera Bukit Setan jadi merah
padam menahan amarah.
Sementara kedua orang itu terlibat dalam adu mulut,
Jagar dan Subarji sibuk dengan urusan masing-masing.
Jagar tampak sibuk menenangkan deru napasnya yang
masih memburu sehabis bertarung dengan Subarji.
Sementara, laki-laki berkumis rapi itu tampak menahan
geram. Sehingga, tampak wajahnya masih memerah.
Meskipun begitu, tidak berarti kalau kedua orang itu
tidak mendengar percakapan antara Buntara dengan Kera
Bukit Setan. Dan karena itulah mereka tahu, kedua orang
yang tengah berhadapan itu ternyata saling mengenal satu
sama lain.
Sama sekali Subarji dan Jagar tidak mengetahui kalau
Buntara maupun Kera Bukit Setan sudah saling mengenal.
Di samping itu, Subarji juga tidak kenal siapa Kera Bukit
Setan itu. Juga Jagar tidak tahu, siapa Buntara itu. Mereka
hanya mengetahui dari ciri-ciri yang pernah didengar.
Kera Bukit Setan menggeram. Dia memang tidak bisa
berdebat. Maka begitu mendapat balasan makian dari
Buntara, dia tidak bisa membalasnya.
Sambil menghentakkan kaki sehingga membuat tanah
amblas sampai semata kaki, laki-laki berompi hitam ini
menyelipkan cambuknya di pinggang.
"Tidak ada seorang pun yang boleh menghina Kera Bukit
Setan...!" teriak laki-laki bertubuh kecil kurus keras.
Dan belum habis gema ucapan itu, tubuhnya telah
meluruk cepat ke arah Buntara. Kedua tangannya yang
berbentuk cakar, meluncur cepat ke arah dada dan ulu hati
secara bertubi-tubi.
***
TIGA
Wuttt, Wuttt...!
Deru angin keras terdengar begitu serangan cakar Kera
Bukit Setan meluncur cepat ke arah sasaran.
Buntara tahu kedahsyatan serangan yang mengandung
tenaga dalam kuat itu. Apabila terkena, batu yang paling
keras pun akan hancur berantakan. Maka, laki-laki tua itu
tidak berani bersikap main-main. Buru-buru kaki kanannya
melangkah ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Pada
saat yang bersamaan, tangan kirinya dikibaskan ke arah
pelipis lawan.
Wukkk...!
Kera Bukit Setan tidak terkejut melihat serangan lawan,
karena memang sudah diperkirakan. Baik mengenai
serangannya yang dapat mudah dielakkan, maupun
balasan serangan itu sendiri.
Karena sudah memperkirakannya, maka laki-laki kecil
kurus ini sudah bersiap-siap menangkalnya. Buru-buru
tangan kirinya digerakkan untuk menangkis serangan itu.
Arah gerakannya dari dalam ke luar.
Takkk...!
Suara keras seperti terjadi benturan antara dua benda
logam terdengar ketika kedua tangan yang sama-sama
dialiri tenaga dalam tinggi itu beradu.
Tubuh Kera Bukit Setan langsung terhuyung-huyung ke
belakang. Mulutnya seketika menyeringai, jelas benturan
itu terasa benar akibatnya. Sekujur tulang-tulang tangan
kirinya terasa sakit bukan kepalang. Disadarinya kalau
tenaga dalam Buntara berada di atasnya. Buktinya, kakek
berwajah penuh senyum itu sama sekali tidak terpengaruh
oleh benturan tadi.
Tapi Kera Bukit Setan sama sekali tidak mempedulikan
hal itu. Begitu kekuatan yang membuat tubuhnya terdorong
habis, kembali dilancarkannya serangan susulan.
Buntara yang kini sudah bisa memperkirakan
kepandaian lawan, segera menyambutnya. Tak pelak lagi,
pertarungan antara kedua tokoh yang sama-sama sakti itu
pun berlangsung sengit.
Jagar dan Subarji memperhatikan jalannya pertarungan
dengan penuh perhatian. Meskipun mereka tidak bisa
melihat terlalu jelas karena begitu cepatnya kedua tokoh
itu bergerak, tapi setidak-tidaknya bisa memperkirakan
siapa yang mulai unggul.
Memang karena perbedaan pakaian yang dikenakan
antara kedua tokoh itu terlalu menyolok, sehingga mem-
buat Jagar dan Subarji tidak mengalami kesulitan me-
mastikannya.
Karena cepatnya pertarungan kedua tokoh itu, maka
yang terlihat hanyalah sekelebatan bayangan kuning dan
hitam. Terkadang saling belit, tapi tak jarang pula saling
pisah.
Berkali-kali Jagar dan Subarji melihat kalau bayangan
hitam sering keluar dari kancah pertarungan. Tapi itu tidak
berlangsung lama, karena sosok bayangan kuning
langsung memburunya. Sehingga, dua bayangan itu
kembali saling belit.
Ternyata perbedaan tingkat kepandaian antara kedua
tokoh itu terpaut terlalu jauh. Buktinya, belum juga
pertarungan itu berlangsung dua puluh lima jurus, Kera
Bukit Setan sudah terdesak. Kini tokoh sesat ini selalu
bermain mundur, dan hanya sesekali saja menangkis.
Namun, ternyata menangkis serangan justru merugikan
dirinya sendiri. Maka dia memutuskan untuk mengelak. Hal
ini disebabkan, tenaga dalamnya berada cukup jauh di
bawah lawan.
"Hih...!"
Kera Bukit Setan menggertakkan gigi seraya melompat
ke belakang. Dan begitu kedua kakinya menjejak tanah,
cambuknya langsung dilecutkan. Dia benar-benar khawatir
kalau lawan akan menyerangnya.
Tapi ternyata Buntara sama sekali tidak melancarkan
serangan susulan. Kakek berwajah penuh senyum itu
membiarkan lawannya melompat ke belakang, sehingga
serangan cambuk sama sekali tidak mengenainya. Ujung
cambuk itu meledak di udara, menimbulkan suara nyaring
yang memekakkan telinga.
Buntara tidak berani bertindak gegabah. Padahal tingkat
kepandaiannya memang lebih tinggi daripada tingkat
kepandaian yang dimiliki Kera Bukit Setan. Dan memang,
dia tidak mau meladeni lawan yang menggunakan senjata
andalan dengan tangan kosong. Sebab, akibat yang
dihadapinya tidak kecil.
Maka begitu melihat lawan mengeluarkan senjata
andalan, dia pun segera menjumput pedangnya.
Srattt..!
Sinar terang berpendar ketika pedang itu keluar dari
sarungnya.
Kini dengan senjata andalan di tangan masing-masing,
kedua tokoh sakti itu kembali saling gebrak. Maka, kini
serangan-serangan kedua tokoh itu berlangsung lebih
sengit. Suara mengaung, mendesing, dan meledak-ledak
meramaikan pertarungan antara Buntara dan Kera Bukit
Setan.
Tapi hanya beberapa puluh jurus saja pertarungan
antara kedua tokoh sakti itu berlangsung cukup seru.
Menginjak jurus ketiga puluh lima, Kera Bukit Setan
kembali terdesak. Suara meledak-ledak yang keluar dari
lecutan cambuknya perlahan semakin jarang terdengar.
Sebaliknya, suara mendesing dan mengaung yang kini
sering terdengar.
Menjelang jurus keempat puluh tiga, keadaan Kera
Bukit Setan semakin gawat. Tubuhnya sudah terpontang-
panting ke sana kemari dalam upaya menyelamatkan
selembar nyawa. Sudah bisa diperkirakan, tewasnya laki-
laki bertubuh kecil kurus ini hanya tinggal menunggu
saatnya saja.
Kini ledakan cambuk laki-laki berompi hitam itu sudah
hampir tidak terdengar lagi. Yang terdengar hanyalah suara
mendesing dan mengaung dari pergerakan pedang
Buntara yang memekakkan telinga.
"He... he... he...! Lucu! Lucu sekali...! Ada kambing kurus
dan kerbau gendut tengah menari-nari! Menari-nari..., la...
la... la...!"
Suara pelan dan tak jelas seperti keluar dari mulut
orang yang tengah mengigau terdengar. Itu pun masih di-
tambah lagi dengan suara tegukan keras. Tampaknya
pemilik suara itu tengah menenggak minuman dengan cara
kasar.
Hebatnya, sungguhpun terdengar pelan saja, tapi suara
itu mampu mengalahkan suara desingan dan aungan ribut
yang keluar dari gerakan pedang Buntara!
Buntara dan Kera Bukit Setan terkejut bukan main.
Sebagai tokoh sakti yang berpengalaman, mereka segera
tahu ada tokoh tangguh luar biasa datang. Bagai diberi
aba-aba, kedua orang ini segera melompat ke belakang
dan langsung menoleh ke arah asal suara. Dengan sendiri-
nya, pertarungan pun terhenti.
Sekitar lima tombak di sebelah kanan mereka, tampak
berdiri seorang kakek bertubuh pendek gemuk dan ber-
perut buncit. Kepalanya botak dan licin. Tidak ada sedikit
pun bulu yang menghiasi wajahnya. Bahkan sama sekali
tidak memiliki alis!
Karena perut kakek itu gendut sekali, rompi yang
terbuat dari anyaman bulu burung garuda itu sama sekali
tidak mampu menutupi bagian depan tubuhnya. Tampak di
tangan kanan kakek ini tergenggam sebuah guci besar
yang selalu dituang ke mulutnya.
Glek.. glek... glek...!
Suara tegukan terdengar ketika kakek berperut buncit
itu menuangkan arak dalam guci besar itu ke mulutnya.
Kini jelas sudah, mengapa tadi sewaktu kakek itu berkata-
kata terdengar juga suara tegukan.
Beberapa tetes arak jatuh ke tanah ketika kakek ber-
kepala botak itu menuangkan araknya. Bahkan sekitar
mulutnya dibasahi arak.
Dengan gerakan kasar dan sembarangan, kakek ber-
perut buncit itu mengusap mulut dengan punggung tangan,
sehabis menuangkan arak. Kemudian, guci arak itu di-
turunkan dari atas wajahnya seraya melangkah maju.
Buntara dan Kera Bukit Setan mengerutkan alisnya
melihat kakek berkepala botak itu berkali-kali hampir jatuh
ketika melangkah. Tubuhnya oleng ke sana kemari. Jelas,
kakek ini dalam keadaan mabuk.
Mendadak wajah kedua tokoh sakti itu memucat ketika
teringat seorang tokoh yang mempunyai ciri-ciri seperti itu.
Seorang tokoh sesat yang tak kenal ampun, dan sudah
lama mengasingkan diri. Sehingga, julukannya sudah mulai
dilupakan orang! Setan Mabuk, itulah julukannya! Tapi
bukankah tokoh yang menggiriskan ini tinggal di Gunung
Langkat, yang jauh dari tempat ini? Mengapa sampai tiba
di sini? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak kedua
orang itu.
***
"He he he...! Mengapa berhenti. Sapi Gendut..?!" sambil
melangkah sempoyongan, kakek berkepala botak yang
berjuluk Setan Mabuk itu menegur Buntara. "Mengapa
tarian sapi gendut itu dihentikan?!"
Mendengar kata-kata yang bernada hinaan, selebar
wajah Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau itu merah padam.
Meskipun begitu, tetap saja raut wajahnya tidak
menampakkan kemarahan. Wajah Buntara tetap cerah,
dan senyum tetap mengembang di bibirnya. Sepasang
matanya pun berbinar-binar.
"Kau juga, Kambing Kurus. Mengapa berhenti menari?
Teruskan...!"
Sambil berkata demikian. Setan Mabuk kembali
mengangkat guci araknya yang besar, dan menuangkan ke
mulutnya.
Glek... glek... glek...!
Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melalui
tenggorokan kakek berkepala botak itu.
"Ah...! Nikmaaat..!"
Dengan punggung tangan. Setan Mabuk mengusap
tumpahan arak yang membasahi sekitar mulutnya. Kasar
sekali caranya. Bahkan berkesan menjijikkan.
"Keparat...!"
Kera Bukit Setan berteriak memaki. Laki-laki berompi
hitam ini tidak tahan dihina seperti itu. Maka....
Ctarrr...!
Suara menggelegar keras diiringi mengepulnya asap
berwarna putih terdengar ketika ujung cambuk itu melecut
di udara. Baru kemudian, ujung cambuk itu meluncur cepat
ke arah ubun-ubun kepala Setan Mabuk.
Kejam dan telengas sekali gerakan Kera Bukit Setan.
Sekali menyerang sudah meluncurkan serangan yang
dapat membuat nyawa kakek berkepala botak itu pergi ke
alam baka. Ubun-ubun merupakan salah satu bagian
terlemah pada tubuh manusia. Dan kini, ujung cambuk
yang mampu menghancurkan batu karang itu meluncur
deras ke bagian itu.
Buntara terperanjat juga melihat serangan maut itu.
Apalagi, tampaknya Setan Mabuk seperti tidak mengetahui
adanya bahaya. Dia masih sibuk mencium-cium bau arak-
nya.
Melihat hal ini, semula kakek berwajah penuh senyum
itu ingin menolong. Tapi niatnya segera diurungkan ketika
teringat kalau kakek ini memiliki kepandaian amat tinggi.
Hal itu bisa diketahui dari suara Setan Mabuk yang mampu
menindih suara gerakan pedangnya. Padahal, tokoh sesat
pemabukan itu hanya pelan saja mengucapkannya.
Tindakan Buntara menahan gerakannya ternyata tepat
sekali. Buktinya, begitu ujung cambuk itu hampir mengenai
sasaran, tanpa mengangkat wajah, Setan Mabuk mengulur
tangan menyambut.
Wajah Buntara dan Kera Bukit Setan berubah seketika.
Apa yang dilakukan Setan Mabuk benar-benar di luar
dugaan! Ujung cambuk yang mampu menghancurkan batu
yang paling keras sekalipun, hanya ditangkis dengan
tangan kosong! Suatu hal yang tidak akan mungkin dapat
dilakukan Buntara!
Itulah sebabnya, tindakan Setan Mabuk benar-benar
menimbulkan keterkejutan Buntara dan Kera Bukit Setan.
Apalagi, cara kakek berkepala botak itu memapak, seperti-
nya tanpa mengerahkan tenaga dalam sama sekali.
Gerakannya begitu sembarangan saja!
Prattt..!
Telak dan keras sekali ujung cambuk itu berbenturan
dengan tangan Setan Mabuk. Dan sebelum Kera Bukit
Setan sempat berbuat sesuatu, tangan kakek berbaju
rompi bulu burung itu bergerak menangkap. Dan...
Tappp...!
Tanpa mampu dicegah, ujung cambuk Kera Bukit Setan
telah tertangkap tangan Setan Mabuk. Dan secepat
cambuk itu tercekal, secepat itu pula kakek berkepala
botak ini membetotnya.
Kera Bukit Setan tentu saja tidak merelakan senjata
andalannya dirampas. Maka begitu lawan membetot,
seluruh tenaga dalamnya dikerahkan untuk mempertahan-
kannya.
Tapi usaha yang dilakukan laki-laki berompi hitam ini
sia-sia. Tenaga betotan itu memang terlalu kuat. Karena
bersikeras mempertahankan cambuk, maka Kera Bukit
Setan pun ikut tertarik ke depan.
Masih bersikap sembarangan, Setan Mabuk kembali
menggerakkan tangannya. Kali ini tangan yang meng-
genggam cambuk diputar-putarkan.
Gila! Betapapun Kera Bukit Setan berusaha memper-
tahankannya, tetap saja tubuhnya ikut terbawa arah
gerakan tangan Setan Mabuk. Dan kini tubuh laki-laki
berompi hitam itu terputar-putar di udara. Dan dengan
sendirinya, Kera Bukit Setan tidak mampu mengadakan
perlawanan lagi. Tidak ada lagi landasan baginya untuk
dijadikan tempat menahan putaran tangan lawan. Kini, dia
hanya bisa pasrah saja.
"He... he... he...! Menarik sekali..! Ada kambing kurus
yang bisa terbang dan berputaran di udara...!"
Setan Mabuk tertawa-tawa gembira. Bahkan juga
menambah tenaga putaran tangannya, sehingga membuat
putaran tubuh Kera Bukit Setan semakin cepat.
Laki-laki kecil kurus itu menggigit bibir. Pening kepala-
nya karena diputar-putar seperti itu. Sekelilingnya tampak
berputar cepat. Disadari, kalau tidak berbuat sesuatu,
keadaannya semakin gawat.
***
Buntara memperhatikan semua itu dengan mata
terbelalak. Kalau tidak melihatnya sendiri, dia mungkin
tidak akan percaya akan kenyataan ini. Telah dibuktikan-
nya sendiri kelihaian Kera Bukit Setan. Tapi, mengapa
Setan Mabuk mampu melumpuhkannya dalam se-
gebrakan? Sulit dibayangkan, sampai di mana ketinggian
ilmu kakek berkepala botak ini.
Melihat kenyataan ini saja, Buntara tahu kalau dirinya
pun bukan tandingan kakek pemabukan itu. Tapi meskipun
begitu, kakek berwajah penuh senyum ini tidak sudi ber-
sikap pengecut dan melarikan diri. Buntara memutus-kan
untuk tetap berada di situ, dan melihat perkembangan
yang akan terjadi.
Sementara itu putaran tubuh Kera Bukit Setan semakin
menjadi-jadi. Tubuh laki-laki berompi hitam itu sudah tidak
tampak lagi oleh pandangan mata, karena tubuhnya begitu
cepat berputar. Yang terlihat kini hanyalah sekelebatan
bayangan hitam yang berputaran cepat di atas kepala
Setan Mabuk.
"He... he... he...! Sekarang kambing kurus ini akan pergi
ke neraka...!"
Setelah berkata demikian, kakek berkepala botak itu
melepaskan cekatannya pada cambuk itu. Tak pelak lagi,
tubuh yang tengah berputaran itu terlontar jauh!
Bagai diberi aba-aba, tiga buah kepala sama-sama
memandang ke arah tubuh Kera Bukit Setan melayang.
Kepala Buntara, Jagar, dan Subarji mengikuti arah tubuh
Kera Bukit Setan yang meluncur deras.
Kera Bukit Setan saat itu sudah setengah sadar. Rasa
pusing dan mual seketika berkumpul menjadi satu. Bahkan
telah hampir pingsan! Mungkin kalau Setan Mabuk sedikit
menunda lemparannya, laki-laki kecil kurus ini sudah
pingsan.
Karena masih ada kesadaran yang tersisa, sehingga
membuat Kera Bukit Setan berusaha menyelamatkan
selembar nyawanya. Dia berusaha melihat keadaan tempat
tubuhnya meluncur. Tapi rasa pusing yang mendera,
membuat pandangannya tetap berputar.
Dalam kesadaran yang hanya tinggal sedikit itu, laki-laki
berompi hitam ini berusaha terus menggunakan akalnya.
Dia tahu, saat ini pandangannya tidak bisa diandalkan.
Betapapun telah dipaksakan melihat ke depan, tetap saja
seperti berputar.
Maka, untung-untungan laki-laki kecil kurus ini men-
julurkan kedua tangannya ke depan seraya mengerahkan
seluruh tenaga dalam. Maksudnya, agar bila membentur
pohon besar atau batu, kedua tangannya itulah yang
menahannya lebih dulu. Dan karena tangannya telah
dilindungi pengerahan tenaga dalam, kemungkinan untuk
celaka kecil sekali.
Srakkk...!
Rupanya keberuntungan masih bersahabat dengan Kera
Bukit Setan. Dan memang, ternyata tubuhnya meluncur
deras ke arah semak-semak. Suara berkerosakan nyaring
yang diakhiri suara berdebuk keras terdengar ketika tubuh
laki-laki berompi hitam itu menerobos kerimbunan semak
dan roboh di tanah.
"He... he... he...! Rupanya nasib kambing kurus itu bagus
juga...!" kata Setan Mabuk sambil terkekeh.
Setan Mabuk dan juga tiga orang lainnya terus mem-
perhatikan tubuh Kera Bukit Setan. Guci arak kakek
berkepala botak itu segera diangkat kembali ke arah
wajah, lalu menuangkan isinya ke mulut. Suara tegukan
nyaring kembali terdengar ketika arak itu meluncur menuju
perutnya.
Dengan gerakan kasar, kakek berkepala botak itu
menurunkan kembali guci araknya, lalu dipegang dengan
tangan kiri. Sementara tangan kanannya, dengan gerakan
kasar mengusap mulutnya yang penuh ceceran arak di
sana-sini.
"He... he... he. .! Kalian pun akan mengalami hal yang
serupa apabila tidak mau menunjukkan di mana Dewa
Arak sekarang berada. He... he... he...!"
Dengan terputus-putus karena pengaruh hawa arak,
kakek berkepala botak itu mengucapkan ancaman seraya
melangkah terhuyung-huyung mendekati Buntara.
"Dewa Arak...?!"
Hampir berbareng Buntara, Subarji, dan Jagar meng-
gumamkan julukan itu. Raut wajah mereka seketika mem-
bayangkan keterkejutan yang hebat.
"He... he... he...! Benar! Dewa Arak...!" dengan suara
tawa terkekeh yang tidak pernah tinggal dari mulutnya,
kakek berkepala botak itu menyahuti. Jelas, pengaruh
araklah yang membuatnya mudah sekali tertawa. "Kalau
tidak mau memberi tahu di mana dia berada, kalian akan
mengalami nasib yang sama."
Sambil berkata demikian, Setan Mabuk menatap tajam
ke arah Buntara. Sepasang mata kakek berkepala botak ini
tampak merah menyala. Entah karena memang warna
matanya yang demikian, atau karena terlalu banyak minum
arak.
"Aku memang sering mendengar nama besarnya. Tapi
aku tidak tahu di mana adanya pendekar besar itu.
Andaikan tahu, tidak bakalan akan kuberitahukan pada-
mu!"
Tegas dan mantap kata-kata yang keluar dari mulut
kakek berwajah penuh senyum itu. Jelas, seperti men-
cerminkan kekukuhan yang tidak mungkin mampu
digoyahkan. Apalagi sehabis mengucapkan kata-kata itu,
Buntara menyilangkan pedangnya di depan dada. Semakin
terlihat keteguhan hatinya memegang ucapannya. Hanya
saja, raut wajah kakek ini tidak terlihat bersungguh-
sungguh. Sehingga orang yang melihatnya, akan mengira
Buntara bersikap main-main.
"He... he... he...!" Setan Mabuk kembali tertawa
terkekeh-kekeh. "Rupanya sapi gendut ini minta cepat-
cepat disembelih!"
Buntara sama sekali tidak mempedulikan hinaan itu.
Bahkan tanpa ragu-ragu lagi segera melangkah mendekati.
Langkahnya tidak sembarangan, tapi menyilang. Semen-
tara sepasang matanya beredar mencari-cari bagian tubuh
lawan yang akan diserang.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh saja melihat sikap
lawannya, dan tampak memandang remeh sekali.
"Haaat..!"
Diiringi teriakan keras yang menggetarkan jantung, dan
membuat kedua kaki Jagar dan Subarji mendadak lemas,
Buntara menusukkan pedang ke arah dada Setan Mabuk.
Suara mendesing nyaring dari udara yang terobek
terdengar ketika pedang itu meluncur menuju sasaran.
***
EMPAT
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Kemudian dengan
langkah terhuyung seperti akan jatuh, kakinya melangkah
ke kanan sambil mendoyongkan tubuh. Maka serangan itu
pun kandas, lewat setengah jengkal di samping kiri tubuh-
nya.
Buntara menggertakkan giginya. Rasa penasaran
melanda hatinya. Maka begitu serangan pertamanya ber-
hasil dielakkan, segera disusuli dengan serangan bertubi-
tubi lainnya.
Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini mengerahkan
seluruh kemampuannya. Pedang di tangannya ber-
kelebatan cepat ke arah berbagai bagian tubuh lawan.
Menusuk, membacok, menetak, dan menyontek. Tapi, tak
satu pun yang mengenal sasaran. Setan Mabuk dengan
gerakan seperti akan jatuh, membuat semua serangan
Buntara kandas percuma!
Meskipun berkali-kali serangannya gagal, kakek ber-
wajah penuh senyum itu tidak putus asa. Dia terus
melancarkan serangan bertubi-tubi. Tekadnya tidak akan
membiarkan lawan melancarkan serangan balasan.
Sampai dua puluh jurus lebih, Buntara mengerahkan
seluruh kemampuannya untuk menjatuhkan serangan
pada anggota tubuh Setan Mabuk. Tapi semua usahanya
sama sekali tidak membuahkan hasil seperti yang diharap-
kan. Setan Mabuk dengan gerakan-gerakan aneh benar-
benar membuat serangan Buntara jadi kandas.
"He... he... he...! Kini giliranku, Sapi Gendut..!" kata Setan
Mabuk.
Dan begitu ucapannya selesai, gerakannya pun berubah
mendadak. Tidak lagi lemas dan meliuk-liuk seperti akan
jatuh. Namun kejang, keras, dan kasar penuh kekuatan.
Dan kini tangan kanan Setan Mabuk mendadak dan
tiba-tiba meluncur deras ke arah pelipis.
Buntara terkejut bukan kepalang menghadapi
perubahan yang begitu mendadak ini, sehingga membuat-
nya agak gugup. Tanpa pikir panjang lagi dia melompat ke
belakang.
Usaha kakek berwajah penuh senyum ini ternyata tidak
sia-sia. Sambaran tangan itu berhasil dielakkan, lewat
beberapa jengkal dari sasaran semula.
Tapi serangan Setan Mabuk ternyata tidak hanya
sampai di situ. Begitu serangan pertama berhasil dielak-
kan, segera menyusuli dengan serangan selanjutnya.
Kini setelah kakek berkepala botak itu melancarkan
serangan balasan, dan tidak hanya mengelak saja seperti
sebelumnya, Buntara baru merasakan betapa dahsyat
lawannya. Memang diakui dia kalah dalam segala-galanya
dibanding Setan Mabuk. Baik ilmu meringankan tubuh,
tenaga dalam, maupun mutu ilmu silat.
Dan begitu kakek berkepala botak mulai balas
menyerang, serangan Buntara berhenti seketika. Wakil
Ketua Perguruan Naga Hijau ini hanya mampu mengelak.
Tubuhnya harus terpontang-panting ke sana kemari untuk
menghindari serangan yang berkali-kali hampir merenggut
nyawanya.
Kini Buntara hanya mampu mengelak. Menangkis pun
hanya kalau ada kesempatan saja. Bila mengelak sudah
tidak memungkinkan lagi, sementara menyerang pun
hanya sekali-sekali saja dilakukannya. Kakek berpakaian
kuning ini benar-benar terdesak hebat. Sudah bisa dipasti-
kan kalau robohnya Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau ini
hanya tinggal menunggu waktu saja.
Wuttt..!
Dengan gerakan tidak terduga-duga karena posisi
kakinya tidak tetap. Setan Mabuk mengayunkan gucinya ke
arah kepala Buntara.
Karena tidak ada kesempatan mengelakkan serangan,
terpaksa Buntara memutuskan untuk menangkis demi
menyelamatkan selembar nyawanya.
Tranggg..!
Suara berdentang nyaring terdengar ketika pedang
Buntara berbenturan dengan guci Setan Mabuk. Akibatnya,
kakek berwajah penuh senyum itu langsung memekik
tertahan. Tangannya terasa lumpuh, sehingga tanpa dapat
ditahan pedangnya terlepas dari pegangan dan terlempar
jauh.
Sebelum Buntara berhasil memperbaiki posisi, tangan
Setan Mabuk telah meluncur deras ke arah dadanya.
Dan....
Bukkk...!
Tubuh Buntara terlempar ke belakang diiringi suara
berderak keras dari tulang-tulang yang patah terkena
pukulan. Darah segar langsung berceceran seiring
melayangnya tubuh kakek berwajah penuh senyum itu.
Brukkk...!
Tidak ada geliat-geliat pada tubuh Buntara begitu
menghantam tanah. Memang, nyawa Wakil Ketua
Perguruan Naga Hijau ini telah melayang selagi tubuhnya
berada di udara.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh-kekeh melihat lawannya
kini diam tidak bergerak lagi. Sejenak, diperhatikannya
tubuh yang tergolek diam di tanah.
***
Subarji terpaku menatap mayat gurunya. Tapi, hanya
sesaat saja dia berlaku demikian. Karena, kemarahan yang
amat sangat telah menyadarkannya kembali dari ke-
terpakuan.
Maka, sambil meraung keras seperti binatang buas ter-
luka, Subarji melompat ke atas. Beberapa kali tubuhnya
berputar di udara, lalu dari atas pedangnya menusuk cepat
ke arah ubun-ubun.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh. Dengan gerakan
sembarangan, tangan kanannya segera terulur. Dan….
Tappp…!
Sungguh di luar dugaan, mata pedang Subarji berhasil
ditangkap! Bahkan tidak sedikit pun tangan Setan Mabuk
terluka. Dan secepat senjata itu tertangkap, secepat itu
pula dibetotnya.
Tak pelak lagi, tubuh Subarji pun tertarik ke bawah.
Tenaganya memang jauh di bawah tenaga Setan Mabuk.
Jadi, tidak aneh jika dia ikut tertarik ke bawah sewaktu
kakek berkepala botak itu membetotnya. Apalagi,
keadaannya memang tidak memungkinkan. Tubuhnya
tengah berada di udara, dan tidak memiliki tandasan untuk
berpijak.
Begitu tubuh Subarji telah tertarik. Setan Mabuk
langsung menyodokkan pedang yang digenggamnya.
Blesss...!
"Akh...!”
Subarji menjerit keras ketika gagang pedang miliknya
amblas ke dalam perutnya sendiri hingga sampai ke
punggung. Darah segar seketika muncrat-muncrat dari
lukanya. Dan begitu kakek berkepala botak itu melepaskan
pegangan, tubuh Subarji ambruk ke tanah. Sebentar laki-
laki berkumis rapi itu menggelepar, lalu diam tak berkutik
lagi. Mati.
Perhatian Setan Mabuk kini beralih pada Jagar yang
berdiri dalam jarak sekitar tujuh tombak di hadapannya.
"Tahan, Setan Mabuk..!" seru Jagar keras seraya men-
julurkan kedua tangannya ke depan.
Laki-laki bertubuh tinggi besar ini sengaja buru-buru
berteriak mencegah, sebelum kakek berkepala botak itu
melakukan tindakan terhadapnya.
"He... he... he...! Mengapa, Lutung Jelek?! Apakah kau
tahu di mana Dewa Arak sehingga berani mencegahku?
Perlu kau ketahui, aku tidak akan mengampunimu kalau
kau tidak memberi tahu di mana adanya orang yang berani-
beraninya menyaingi julukanku!"
Jagar menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya
yang mendadak kering. Ucapan kakek berkepala botak itu
membuatnya merasa gentar bukan kepalang.
"Aku memang tidak mengetahui di mana Dewa Arak,
Setan Mabuk. Tapi aku tahu, bagaimana caranya supaya
dia datang mencarimu!"
Setan Mabuk mengangguk-anggukkan kepala.
"He... he... he...! Bagus! Bagus sekali...! Bagaimana cara-
nya, Lutung Jelek?!"
Sambil berkata begitu. Setan Mabuk melangkah meng-
hampiri Jagar. Tentu saja dengan langkahnya yang ter-
huyung-huyung seperti akan jatuh.
Kedua kaki Jagar mendadak lemas tatkala kakek ber-
kepala botak itu mendekatinya. Rasa gentar dan ngeri
membuat kedua kakinya lemas mendadak.
"Buat kekacauan saja...! Pasti, Dewa Arak akan datang."
"Kalau dia tidak muncul, bagaimana...?!"
"Pasti datang, Setan Mabuk'" sahut Jagar yakin. "Aku
tahu betul, Dewa Arak adalah orang yang mempunyai sifat
usilan. Dia selalu ikut campur urusan orang lain."
Jagar menghentikan ucapannya sejenak. Diperhatikan-
nya wajah Setan Mabuk lekat-lekat. Tegang hatinya ketika
melihat kakek berkepala botak itu mengernyitkan dahinya,
pertanda tengah berpikir keras. Dua pilihan kini tengah
ditunggunya. Apakah Setan Mabuk ini menolak, atau
menerimanya.
"Aku yakin, dia akan muncul ke tempat kekacauan itu,
Setan Mabuk. Karena aku tahu. Dewa Arak telah berada di
wilayah ini. Itu kudengar dari mulut perampok Hutan
Gembor yang diampuninya."
"He... he... he...! Kau benar, Lutung Jelek! Aku pun men-
dengarnya. Itulah sebabnya, mengapa aku keluar dari
tempatku. Ingin kulihat, seperti apa orang yang berani
menyaingi julukanku! He... he... he..!"
"Kalau begitu, aku akan menghubungi rekan-rekanku
dulu. Setan Mabuk."
"He... he... he.... Untuk apa, Lutung Jelek?!"
"Tentu saja untuk membuat kekacauan di mana-mana.
Tapi..."
"Tapi apa?!" sentak Setan Mabuk begitu Jagar meng-
hentikan ucapannya.
Terlihat Jelas, laki-laki bercambang bauk lebat itu
merasa ragu-ragu meneruskan ucapannya. Jagar tidak
langsung menjawab, dan hanya berdiam diri dengan sikap
gugup.
"Cepat katakan, sebelum kesabaranku hilang dan kau
kujadikan bangkai..!" ancam Setan Mabuk.
Wajah Jagar seketika memucat mendengar ancaman
kakek berkepala botak itu. Dia tahu. Setan Mabuk tidak
pernah bermain-main dengan ancamannya. Laki-laki ber-
tubuh tinggi besar ini merasakan adanya nada kesung-
guhan dalam ucapan tokoh sesat yang menggiriskan itu.
"Selama ini, tindakan kami selalu dihalang-halangi
murid-murid Perguruan Naga Hijau...," sahut Jagar dengan
nada terpaksa.
"He... he... he...! Kukira apa! Tak tahunya hanya itu saja,
Lutung Jelek?! Mengenai Perguruan Naga Hijau, biar aku
yang urus! Aku akan datang ke sana untuk memusnahkan
perguruan itu selama-lamanya!" tandas Setan Mabuk.
Keras dan lantang suaranya.
"Tapi... Tapi..., di tiap desa ada murid-murid Perguruan
Naga Hijau yang menetap, Setan Mabuk...!"
Kakek berkepala botak itu kebingungan sesaat.
"Kau boleh pergi dengan si kambing kurus itu...!" kata
tokoh sesat pemabukan itu sambil menudingkan telunjuk-
nya ke arah kerimbunan semak-semak, tempat Kera Bukit
Setan tadi terjatuh.
Tak puas hanya dengan menunjuk. Setan Mabuk
melangkah menghampiri kerimbunan semak-semak itu.
Luar biasa! Hanya sekali langkah saja, tubuhnya telah
melesat sejauh sebelas tombak. Dari sini saja sudah bisa
diketahui, betapa tingginya ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki kakek berkepala botak ini. Tidak heran dalam
sekejapan saja, dia sudah berada di tempat yang dituju.
Srakkk…!
Terdengar suara berkerosak ketika semak itu tersibak.
Dan bertepatan dengan terkuaknya kerimbunan semak-
semak itu. Kera Bukit Setan baru saja bangkit dari ber-
baringnya.
"Kau mau menjadi anak buahku, Kambing Kurus?!"
tanpa menunggu lebih lama lagi. Setan Mabuk langsung
mengajukan pertanyaan.
Tanpa pikir panjang lagi. Kera Bukit Setan mengangguk-
kan kepala.
"Jawab kalau kutanya, Kambing Kurus?!" sergah kakek
berkepala botak itu keras.
"Aku bersedia...!" jawab Kera Bukit Setan.
"He... he... he...! Sekarang dengar baik-baik perintahku."
Langsung saja Setan Mabuk memberi perintah. "Kau ber-
sama lutung jelek itu harus membuat kekacauan di setiap
desa. Dan bila telah melihat kedatangan Dewa Arak,
segera beri tahu aku...! Mengerti?!"
"Mengerti, Setan Mabuk."
"He... he... he...! Bagus...! Bagus...! Kau memang tidak
terlalu dungu, Kambing Kurus!"
Sambil berkata demikian, tangan Setan Mabuk bergerak
menepuk-nepuk pipi Kera Bukit Setan yang hanya bisa
berdiam diri saja. Laki-laki berompi hitam ini tahu, tidak
ada gunanya melawan kakek berperut buncit itu. Melawan,
berarti mati. Maka lebih baik mengalah saja.
"Ada satu lagi yang perlu kau ingat, Kambing Kurus,"
sambung Setan Mabuk lagi.
"Apa itu, Setan Mabuk?!"
"Setiap membuat kekacauan, jangan kau membinasa-
kan semua orang. Sisakan beberapa orang agar memberi
laporan pada Dewa Arak. Katakan! Bila Dewa Arak tidak
ingin semua ini terjadi, dia harus datang dan meladeni
tantanganku! Jelas?!"
"Jelas!" Kera Bukit Setan menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, pergilah...!"
Kakek berkepala botak ini lalu mengibaskan tangannya.
Perlahan saja kelihatannya, tapi akibatnya tubuh Kera
Bukit Setan terlempar jauh. Apalagi laki-laki kecil kurus ini
sama sekali tidak menduga mendapat perlakuan seperti
itu.
Baru ketika tubuhnya telah berada di udara, Kera Bukit
Setan berusaha keras agar tubuhnya tidak terbanting di
tanah. Dengan kelihaiannya, tidak sulit mematahkan daya
lontaran itu. Kemudian, kakinya mendarat ringan dan
mantap di sebetah Jagar.
"Ingat! Kalau main-main, tahu sendiri akibatnya...!"
Seketika tubuh Setan Mabuk pun berkelebat dari situ.
Hanya dalam beberapa kali lesatan saja, tubuhnya sudah
berupa titik hitam. Semakin lama semakin mengecil, dan
akhirnya lenyap di kejauhan.
"Hhh...!"
Hampir berbareng Jagar dan Kera Bukit Setan menghela
napas lega. Kini hati mereka tenang kembali begitu Setan
Mabuk tidak terlihat lagi. Keduanya kemudian saling
pandang sejenak
"Kau bersedia menjadi anak buahnya?" tanya Kera Bukit
Setan sambil menatap wajah Jagar lekat-lekat.
"Apa boleh buat, daripada nyawaku melayang," sahut
laki-laki bercambang bauk lebat itu. "Toh, tidak ada ruginya
mempunyai pimpinan seperti dia. Kepandaiannya luar
biasa! Bersama dia, aku akan bebas berbuat semauku
tanpa takut lagi pada orang-orang usilan dari Perguruan
Naga Hijau! Dan pasti perguruan itu tak lama lagi akan
musnah!"
"Heh...?!" Kera Bukit Setan terperanjat "Benarkah
ucapanmu itu?"
Jagar mengangguk.
"Setan Mabuk pergi ke sana untuk menghancurkannya."
Kera Bukit Setan mengangguk-anggukkan kepala per-
tanda mengerti.
***
LIMA
Setan Mabuk berlari cepat mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu meringankan tubuhnya. Tokoh sesat
berkepala botak itu ingin buru-buru tiba di tempat yang
ditujunya. Padahal, markas Perguruan Naga Hijau terletak
cukup jauh dari tempatnya sekarang berada. Namun bila
dibanding desa-desa lainnya. Desa Koneng memang ter-
letak paling dekat dengan Perguruan Naga Hijau di lereng
Gunung Koneng.
Berkat ilmu meringankan tubuh yang sudah amat tinggi,
dalam waktu tak berapa lama kakek berkepala botak ini
telah berada di kaki Gunung Koneng. Dan kini, dia mulai
sibuk mendaki ke atas.
Lincah dan gesit laksana kera, Setan Mabuk ber-
lompatan ke sana kemari. Tubuhnya melenting ke atas,
kemudian hinggap pada batu-batuan yang menonjol. Begitu
ujung kakinya menotok bebatuan, tubuhnya kembali
melenting ke atas. Begitu seterusnya. Memang bagi
seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuh sepertinya
bukan merupakan hal yang sulit untuk melakukan semua
itu.
Tak lama kemudian, pandangan matanya sudah
menangkap bangunan besar dan megah di kejauhan.
Melihat hal ini, semangat Setan Mabuk pun semakin
bertambah. Dan dengan demikian, larinya pun semakin
cepat pula.
Sementara itu di Perguruan Naga Hijau, dua orang murid
penjaga gerbang tampak mengernyitkan dahi. Mereka
melihat di kejauhan ada sesosok tubuh yang tengah
bergerak mendekati perguruan. Karena belum mengetahui
maksud kedatangan sosok tubuh yang tengah bergerak,
kedua orang itu harus bersikap waspada.
"He... he... he...!"
Begitu telah berjarak dua tombak dengan kedua orang
penjaga pintu gerbang. Setan Mabuk tertawa terkekeh,
setelah terlebih dahulu menghentikan langkahnya.
Kemudian, diangkatnya guci yang sejak tadi digenggam
dengan tangan kiri.
Dan kini terdengar suara tegukan ketika cairan arak
melewati tenggorokan kakek berkepala botak itu.
"Siapa kau?!" tegur seorang murid Perguruan Naga Hijau
yang berkulit kemerahan. "Apa keperluanmu datang
kemari?"
"He... he... he...!"
Setan Mabuk menurunkan guci araknya, seraya
mengusap sekitar mulutnya yang basah dengan punggung
tangan. Kemudian dengan keadaan tubuh doyong ke sana
kemari, kakinya melangkah mendekati kedua orang murid
Perguruan Naga Hijau.
"Aku? Kau bertanya siapa diriku. Kodok Buduk?! He...
he... he...! Lucu! Kau tidak mengenalku? Aku Setan Mabuk!
Dengar, Setan Mabuk! Dan keperluanku adalah akan
membasmi perguruan kalian!"
"Keparat!" maki penjaga pintu gerbang yang seorang
lagi.
Dan...
Srattt...!
Sinar terang berkilatan ketika penjaga itu meloloskan
pedang dari sarungnya.
"Cabut senjatamu, Setan Mabuk! Sebelum pedang di
tanganku merobek-robek perutnya yang bulat seperti guci
arakmu!"
"Hm...!" terdengar suara gumaman dari hidung Setan
Mabuk.
Mendadak...
Pruhhh...!
Dari mulut Setan Mabuk tiba-tiba keluar butir-butir arak.
Rupanya kakek berperut buncit ini tadi tidak meminum
arak seluruhnya. Sebagian disimpannya di mulut, dan
langsung disemburkan ke arah murid Perguruan Naga
Hijau yang telah menantangnya.
Semburan arak Setan Mabuk tidak bisa dianggap
remeh, karena dikeluarkan lewat pengerahan tenaga
dalam tinggi. Sehingga, semburan itu tak ubahnya luncuran
anak panah.
Kedua orang murid Perguruan Naga Hijau yang menjaga
pintu gerbang seketika terperanjat Apalagi, rekan si laki-
laki berkulit kemerahan yang mendapat serangan itu.
Dengan agak gugup pedangnya digerakkan untuk
menangkis serangan semburan arak itu.
Tring, tring. tring...!
Tasss, tasss, tasss…!
"Akh...!"
Murid Perguruan Naga Hijau menjerit memilukan ketika
butiran-butiran arak itu mengenai beberapa bagian
wajahnya. Akibatnya mengerikan sekali. Sekujur wajah
yang terkena semburan arak itu berlubang. Darah segar
langsung menetes dari bagian yang terkena. Tak pelak lagi,
selebar wajah murid yang sial itu dipenuhi darah. Rasa
sakit dan perih yang amat sangat mendera rekan laki-laki
berkulit kemerahan itu.
Dan belum sempat murid yang sial itu berbuat sesuatu,
tangan Setan Mabuk telah bergerak melambai. Seketika
murid Perguruan Naga Hijau itu tertarik keras ke depan.
Dan begitu tubuhnya telah dekat, kakek berkepala botak
itu mengayunkan gucinya ke arah kepala.
Wuttt ! Prakkk..!
Suara berderak keras mengiringi pecahnya kepala rekan
laki-laki berkulit kemerahan. Cairan merah bercampur
putih seketika muncrat-muncrat. Tubuh orang itu langsung
ambruk tanpa bersuara lagi. Saat itu juga, nyawa murid
Perguruan Naga Hijau seketika melayang meninggalkan
raganya
Laki-laki berkulit kemerahan terperanjat melihat
kematian kawannya secara begitu mudah dan mengerikan.
Tapi sesaat kemudian, rasa terkejutnya segera sirna dan
berganti kemarahan yang amat sangat. Kakek ini datang-
datang telah menurunkan tangan maut pada rekannya. Ini
tidak bisa didiamkan.
Srattt...!
Laki-laki berkulit kemerahan itu pun mencabut pedang,
dan langsung menusukkannya ke arah dada kakek ber-
perut buncit.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh. Sama sekali tidak
dipedulikannya sambaran pedang yang meluncur cepat ke
arah perutnya.
Takkk...!
Pedang murid Perguruan Naga Hijau langsung terpental
kembali begitu mengenal sasaran. Sepertinya, yang ditusuk
laki-laki berkulit kemerahan adalah gumpalan karet kenyal!
Maka laki-laki berkulit kemerahan itu terperanjat begitu
melihat perut lawan sama sekali tidak terpengaruh oleh
tusukan pedangnya. Bahkan justru tangannya yang terasa
bergetar hebat.
Belum lagi rasa terkejutnya hilang, tangan Setan Mabuk
telah mencengkeram pangkal lehernya. Langsung dibentur-
kannya kepala murid Perguruan Naga Hijau dengan
kepalanya sendiri.
Prakkk...!
Terdengar suara berderak keras ketika kepala laki-laki
berkulit kemerahan itu hancur berantakan. Tubuhnya
limbung sejenak, lalu ambruk ke tanah. Sebentar dia
menggelepar, kemudian tak berkutik lagi.
"He... he... he...!”
Setan Mabuk tertawa terkekeh melihat lawan tak ber-
daya lagi. Kemudian bagaikan melempar sebuah karung
basah, mayat laki-laki berkulit kemerahan itu dicampakkan
begitu saja ke tanah. Lalu, tokoh sesat itu melesat ke
dalam.
***
Baru saja melewati pintu gerbang yang memang
terbuka, di hadapan Setan Mabuk telah berdiri belasan
orang berseragam kuning bergambar naga pada dada
kirinya. Semuanya murid Perguruan Naga Hijau. Rupanya,
mereka mendengar adanya keributan di luar, sehingga
berbondong-bondong menuju ke luar.
Betapa terkejutnya hati murid-murid Perguruan Naga
Hijau begitu melihat seorang kakek berkepala botak telah
melesat masuk sambil tertawa terkekeh-kekeh. Dari
sikapnya yang kasar, bisa diduga golongan kakek gendut
itu berasal. Tidak salah lagi! Pasti golongan hitam!
Melihat orang kasar seperti kakek itu bisa masuk ke
dalam, sudah dapat dipastikan kalau masuknya pasti
dengan cara paksa. Dan itu berarti dua orang penjaga
pintu gerbang telah berhasil digilasnya. Tanda noda darah
di bagian kepala Setan Mabuk kian memperjelas per-
soalannya.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh melihat keterkejutan
belasan murid Perguruan Naga Hijau di hadapannya.
Kakek berkepala botak ini memang sudah memutuskan
untuk menghancurkan Perguruan Naga Hijau, bukan
karena ingin membantu Jagar, tapi karena ingin membuat
kerusuhan sebanyak mungkin agar Dewa Arak muncul.
Maka tanpa sungkan-sungkan lagi, segera diserbunya
belasan murid Perguruan Naga Hijau yang memang sudah
bersiap dengan senjata di tangan.
Sekali menyerang, Setan Mabuk langsung mengeluar-
kan ilmu andalannya, 'Seribu Satu Gerakan Setan Mabuk'.
Kedua tangannya yang terbentuk cakar aneh, guci, dan
juga araknya dikeluarkan untuk menghadapi belasan orang
pengeroyoknya.
Sepak terjang Setan Mabuk benar-benar menggiriskan.
Setiap kali tangan, guci, atau araknya meluncur, sudah
dapat dipastikan ada sosok tubuh yang ambruk ke tanah.
Dalam waktu sebentar saja, empat orang murid Perguruan
Naga Hijau roboh bergelimpangan untuk selama-lamanya.
Murid-murid Perguruan Naga Hijau yang tersisa terkejut
bukan main melihat kehebatan kakek berperut buncit itu.
Sungguh tidak disangka kalau dalam beberapa gebrakan
saja, Setan Mabuk mampu membinasakan keempat rekan
mereka.
Pikiran seperti itu membuat mereka memaksakan diri
untuk mengeluarkan seluruh kemampuan yang dimiliki.
Senjata-senjata mereka pun berkelebat mencari sasaran.
Tapi perlawanan keras murid-murid Perguruan Naga
Hijau sama sekali tidak berarti banyak. Setan Mabuk
terlalu tangguh untuk dapat ditandingi. Setiap serangan
pedang yang menyambar, selain ke arah matanya dibiar-
kan saja.
Hebatnya, setiap serangan yang menyambar berbagai
bagian tubuh Setan Mabuk kembali membalik seperti
menghantam gumpalan karet kenyal. Tidak hanya itu saja.
Tangan yang menggenggam pedang pun bergetar hebat
seperti akan lumpuh.
Sebaliknya, setiap serangan kakek berperut buncit itu
selalu diakhiri oleh lolong kesakitan yang menyayat hati.
Kedua tangan, guci, dan arak kakek itu sudah beberapa
kali merenggut nyawa. Penjagalan manusia secara tak ber-
perikemanusiaan pun berlangsung di halaman Perguruan
Naga Hijau.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk kembali tertawa terkekeh begitu tidak ada
lagi lawannya yang berdiri tegak. Semua tergolek di tanah
dalam keadaan tidak bernyawa.
Setelah puas memperhatikan mayat-mayat yang ter-
kapar di tanah. Setan Mabuk bergerak menghampiri
bangunan Perguruan Naga Hijau. Diambilnya beberapa
batang kayu dari sekitar bangunan, lalu digosokkannya
satu sama lain.
Dengan tenaga dalam yang dimilikinya, bukan hal yang
sulit untuk menyalakan api. Sesaat kemudian, api pun
memercik dan mulai membakar kayu-kayu itu.
"He... he... he...!"
Masih dengan tawa terkekeh, Setan Mabuk melempar-
kan potongan-potongan kayu itu ke arah bangunan.
Tak lama kemudian, api mulai membakar bangunan itu.
Semakin lama, api semakin besar dan membumbung
tinggi. Asap tebal dan hitam pun memenuhi angkasa. Tidak
ada jerit kematian, karena seluruh murid Perguruan Naga
Hijau memang telah dibinasakannya. Namun, entah berada
di mana ketua perguruan itu. Mungkin saja dia tengah
bersemadi di puncak Gunung Koneng.
Seiring semakin membesarnya api, sekeliling tempat itu
pun terasa panas di kulit Setan Mabuk laki melangkah ke
belakang, karena hawa panas mulai menyengat kulit
tubuhnya. Kakek berperut buncit ini memperhatikan api
yang membakar bangunan perguruan itu dari jarak yang
cukup jauh.
"He... he... he...!"
Dengan tawa terkekeh yang selalu keluar dari mulutnya,
Setan Mabuk melangkah meninggalkan tempat itu. Dengan
langkah agak terhuyung-huyung, tubuhnya melesat cepat
bagai kilat.
Semakin lama, suara tawa kakek berkepala botak itu
semakin mengecil. Suara tawa itu akhirnya lenyap, seiring
dengan tubuhnya yang lenyap di kejauhan.
***
Suara gemeretak kayu yang terbakar diiringi meletiknya
beberapa gelintir bara api, menyemaraki kesibukan
seorang pemuda tampan berambut putih keperakan yang
tengah memanggang seekor ayam hutan.
Dengan jakun turun naik dan air liur yang hampir
menitik, pemuda berpakaian ungu itu terus tenggelam
dalam kesibukannya. Tangan kanannya mengebut-
ngebutkan daun nangka yang dijadikannya kipas. Sedang-
kan tangan kirinya sibuk memutar-mutar bambu yang
memanggang ayam.
Cuping hidung pemuda itu kembang kempis begitu
mencium bau sedap daging terbakar. Memang sebelum
memanggang, dia telah membubuhkan bumbu secukup
nya. Tidak aneh jika akhirnya tercium bau sedap, sehingga
perut yang sudah lapar semakin menjerit-jerit minta segera
diisi.
Setelah yakin kalau panggangannya telah matang,
pemuda berambut putih keperakan itu mulai menik-
matinya. Tentu saja setelah tidak terasa panas menyengat
mulut lagi.
Rupanya, pemuda itu dilanda lapar yang amat sangat.
Terbukti begitu potongan yang pertama telah habis disikat
lalu dilanjutkan dengan potongan selanjutnya. Dalam
waktu tak lama, panggang ayam hutan itu telah habis
dilahap.
"Ahhh...!"
Pemuda berambut putih keperakan itu mendesah puas.
Diusapnya pinggir-pinggir mulut yang penuh minyak dengan
punggung tangan. Kemudian, tubuhnya disandarkan di
pohon seraya menepuk-nepuk perutnya yang kini sudah
tidak kempes lagi.
Perlahan-lahan dijumput guci arak yang tadi diletakkan
di dekatnya, lalu didekatkan ke mulut. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Terdengar tegukan ketika arak itu melewati
tenggorokan. Menilik dari warna rambut, pakaian yang
dikenakan, dan guci arak yang terbuat dari perak, sudah
bisa diterka sosok pemuda itu. Ya! Dialah Arya Buana alias
Dewa Arak.
Tentu saja sewaktu meminum arak, Dewa Arak tidak
bermaksud mempergunakan ilmu 'Belalang Sakti'. Pemuda
berambut putih keperakan itu hanya minum sekadarnya
saja. Itulah sebabnya. Begitu araknya diminum, dia tidak
terpengaruh sama sekali.
Perut kenyang, tubuh bersandar, dan angin pagi yang
semilir, tidak aneh kalau membuat orang mengantuk.
Begitu pula dengan Arya. Rasa kantuk ini mulai menyerang
matanya. Perlahan-lahan sepasang matanya terpejam
sendiri.
Tapi rasa kantuknya kontan menguap entah ke mana
ketika terdengar langkah-langkah kaki mendekati tempat-
nya. Seketika itu juga sekujur urat-urat syaraf dan otot-otot
Arya menegang waspada, siap menghadapi segala
kemungkinan.
Semakin lama, langkah kaki itu semakin jelas terdengar.
Jelas, pemilik langkah itu tengah bergerak mendekati Dewa
Arak. Maka pemuda berambut putih keperakan ini lang-
sung bergerak bangkit.
Guci arak yang tergeletak di samping kanannya,
dibiarkan saja, karena saat ini memang belum diperlukan.
Kini Dewa Arak duduk tegak menunggu. Ingin diketahui-
nya pemilik langkah itu. Menilik dari suaranya, dia tahu
kalau pemilik langkah itu tidak hanya seorang saja.
Tak lama kemudian, dari arah sebelah kiri Dewa Arak
tampak muncul serombongan orang berwajah angker.
Empat orang di antara mereka memikul sebuah tandu.
Melihat hal ini, kewaspadaan Dewa Arak mulai
mengendur. Menilik dari tandu itu, bisa diduga kalau
rombongan yang seluruhnya berjumlah enam belas orang
adalah pengawal pemilik tandu yang akan pindah tempat.
Arya melirik sekilas ke arah rombongan itu. Tampak
empat orang berada di depan tandu yang dipikul oleh
empat orang bertubuh kekar dan kuat. Sementara di
belakang, berjalan tak kurang dari delapan orang.
Kemudian tanpa mempedulikan lagi, Dewa Arak segera
menyandarkan punggungnya kembali ke pohon. Memang
pohon tempatnya bersandar berada di hadapan bagian
hutan yang biasa dijadikan orang untuk menempuh
perjalanan. Maka, sudah bisa ditebak kalau tidak lama lagi
rombongan orang itu akan berlalu di depan Arya.
Semula Arya menduga kalau pemilik banyak langkah itu
adalah rombongan perampok. Itulah sebabnya, mengapa
sikapnya begitu waspada. Maka begitu tahu kalau pemilik
langkah itu hanyalah rombongan orang yang mengawal
sebuah tandu yang sudah pasti dimiliki seorang saudagar,
dia pun tidak ambil peduli lagi.
Semakin lama rombongan itu semakin dekat dengan
tempat Arya bersandar. Meskipun terlihat tidak peduli, tapi
tetap saja Dewa Arak memasang pendengarannya tajam-
tajam. Maka dia bisa tahu, rombongan itu semakin men-
dekati tempatnya.
Mendadak, terdengar suara pelan seperti ada kain ter-
singkap. Dewa Arak yang merasa curiga segera membuka
mata. Secepat matanya terbuka, secepat itu pula hatinya
tercekat. Suara kain yang tersingkap ternyata berasal dari
samping kanan tandu.
Yang mengejutkan Arya bukan tirai yang tersingkap, tapi
'sesuatu' yang melesat cepat dari dalam tandu. Ternyata,
empat bilah pisau melesat ke arahnya disertai suara
mendesing nyaring.
Namun Dewa Arak tidak berani bertindak ceroboh.
Menilik dari suara mendesing nyaring yang mengawali
tibanya serangan, sudah bisa diterka kekuatan tenaga
dalam yang terkandung di dalamnya. Dewa Arak tidak
berani menangkis, karena tidak ada kesempatan lagi untuk
mengambil guci.
Arya tidak punya pilihan lain lagi kecuali menggulingkan
tubuhnya ke samping.
Cappp, cappp...!
Tiga bilah pisau langsung menancap sampai gagangnya
di batang pohon tempat bersandar Dewa Arak tadi. Dari
sini saja sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam
orang yang melemparkannya.
Belum juga Arya sempat memperbaiki keadaannya, dari
batik tirai tandu melesat sesosok bayangan putih.
Langsung dicecarnya pemuda berambut putih keperakan
itu dengan pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan ulu hati.
Kali ini Dewa Arak terpaksa menyalahi kebiasaannya.
Biasanya, pemuda berpakaian ungu ini tidak pernah
menangkis langsung serangan sebelum bisa memper-
kirakan kekuatan tenaga dalam lawan. Tapi kali ini, karena
kesempatan yang dimiliki tidak memungkinkan, terpaksa
tangannya bergerak menangkis. Sadar akan kekuatan
tenaga dalam lawan, tanpa sungkan-sungkan lagi segera
seluruh tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan dalam
tangkisan itu.
***
ENAM
Plak, plak…!”
Serangan sosok bayangan putih itu semuanya berhasil
dikandaskan Dewa Arak. Bahkan tubuh sosok bayangan itu
pun terpental balik ke belakang. Sementara kedua tangan
Arya hanya terasa bergetar hebat.
Lagi-lagi sebelum pemuda berambut putih keperakan itu
berhasil memperbaiki keadaannya, kembali datang
serangan dahsyat. Kali ini bukan dari sosok bayangan
putih, melainkan dari orang-orang berwajah angker yang
mengawal tandu.
Secara serempak, mereka semua meluruk memburu
tubuh Dewa Arak yang masih tergeletak di tanah. Senjata-
senjata yang tergenggam dj tangan segera berkelebatan
cepat ke arah berbagai bagian tubuh Dewa Arak.
Sing, sing, sing...!
Suara-suara mendesing nyaring mengawali tibanya
serangan senjata para pengawal tandu itu.
Kali ini, Dewa Arak sama sekali tidak mengelakkan
serangan. Arya tahu, perbedaan kekuatan tenaga dalam
antara dirinya dengan orang-orang berwajah angker itu
sangat jauh. Dengan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki,
semua senjata itu mampu ditangkisnya tanpa terluka.
Tak, tak, tak...!
Suara berdetak keras terdengar berulang-ulang ketika
senjata-senjata itu berbenturan dengan kedua tangan
Dewa Arak. Arya yang tidak mau bersikap main-main lagi,
langsung mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki.
Akibatnya sudah bisa diduga. Seketika terdengar jeritan-
jeritan kaget dari mulut para pengawal tandu itu ketika
tangan mereka mendadak lumpuh. Tak pelak lagi, senjata
yang digenggam pun terlepas dari tangan dan berpentalan
entah ke mana.
Tidak hanya sampai di situ saja tindakan Dewa Arak.
Kedua tangannya pun diputar di depan dada. Kontan dari
kedua tangan yang berputaran itu muncul angin keras.
Akibatnya, tubuh para pengeroyoknya berpentalan tak
tentu arah seperti dilanda angin topan.
“Hih…!”
Sambil mengeluarkan teriakan keras menggetarkan
jantung, sosok bayangan putih itu melompat menerjang
Dewa Arak. Tapi kali ini, Arya sama sekali tidak ingin
menangkis serangan, karena empat orang pemikul tandu
telah bergerak menghampiri guci araknya yang tertinggal.
Sudah bisa diperkirakan tindakan yang akan dilakukan
mereka.
Maka seketika tubuh Arya melenting ke atas, melompati
tubuh sosok bayangan putih. Pemuda berambut putih
keperakan ini berburu dengan waktu. Guci araknya harus
cepat diambil lebih dulu sebelum empat orang pemikul
tandu itu merampasnya.
Menyadari kalau tidak akan sampai lebih dulu, karena
jaraknya dengan guci terlalu jauh, dan sementara empat
orang itu sudah hampir mencapainya. Dewa Arak tidak
mempunyai pilihan lain lagi. Sambil melompat, langsung
dilancarkannya pukulan jarak jauh ke arah dua di antara
empat orang yang sudah hampir mencapai guci.
Wuttt..!
Bresss...!
Jeritan-jeritan ngeri terdengar ketika pukulan jarak jauh
Dewa Arak telak dan keras sekali menghantam punggung
dua orang yang ditujunya. Seketika itu juga, darah segar
muncrat dari mulut ketika tubuh dua orang pemikul tandu
itu terjungkal ke depan. Tubuh kedua orang yang sial itu
menggelepar-gelepar sejenak, kemudian diam tidak
bergerak lagi selama-lamanya.
Sementara dua orang lainnya terkejut bukan main
melihat kejadian ini. Dengan sendirinya, langkah mereka
terhenti. Dan di saat itulah tubuh Arya melayang cepat.
Seperti seekor burung garuda menyambar mangsa, dia
meluruk dan menyambar guci araknya.
Tappp...!
Dewa Arak melentingkan tubuhnya beberapa kali. Dan
begitu kedua kakinya hinggap di tanah, pandangannya
langsung beredar ke arah para pengeroyoknya yang
ternyata tidak melancarkan serangan kembali. Arya sempat
melihat kalau sosok bayangan putih itu melarang para
pengawalnya untuk melancarkan serangan lagi. Kini, sosok
bayangan putih itu melangkah menghampiri pemuda
berpakaian ungu itu.
"Siapa kalian? Mengapa menyerangku?" tanya Dewa
Arak, penuh wibawa.
Mata pemuda itu langsung menatap sosok bayangan
putih yang ternyata seorang laki-laki berwajah pucat seperti
mayat. Tampangnya benar-benar menyeramkan. Pakaian-
nya yang berwarna putih, semakin menambah seram
penampilannya.
"Aku berjuluk Mayat Kuburan Koneng," sahut orang ber-
pakaian putih itu. Suaranya terdengar aneh. Pelan, tapi
bergaung mirip hantu kuburan. Kedua belah pipinya
hampir tidak bergerak sama sekali ketika berbicara.
Mungkin itulah yang membuat suaranya terdengar tidak
jelas. "Memang tidak setenar julukanmu, Dewa Arak!"
Arya mengernyitkan alisnya. Dia memang tidak
mengenal Mayat Kuburan Koneng.
"Mengapa kau menyerangku, Mayat Kuburan Koneng?"
tanya Arya lagi, karena laki-laki berpakaian putih bersih itu
sama sekali tidak menyahuti pertanyaannya.
"Aku hanya ingin menjajal kepandaianmu saja, Dewa
Arak. Apakah julukan yang kau sandang sebanding dengan
kepandaianmu, sehingga menggemparkan dunia per-
silatan?!"
"Hhh...!"
Arya mengela napas berat. Disadari kalau pertarungan
tidak bisa dielakkan lagi.
"Kudengar, Setan Mabuk menantangmu. Terpaksa aku
mendahuluinya. Karena apabila dia lebih dulu bertarung
denganmu, kau tidak akan pernah bisa bertarung kembali
denganku, Dewa Arak'" sambung Mayat Kuburan Koneng
Pemuda berambut putih keperakan ini mengerutkan
alisnya.
"Setan Mabuk menantangku? Mengapa aku tidak tahu?
Jangankan tahu tentang tantangan itu, mendengar julukan-
nya saja baru kali ini! Tapi yang jelas, tokoh itu pasti
memiliki kepandaian yang amat tinggi. Mayat Kuburan
Koneng yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi,
secara tidak langsung mengakui kalau Setan Mabuk
memiliki kepandaian di atasnya," kata hati Dewa Arak
"Ada satu hal lagi yang membuatku terpaksa men-
dahului Setan Mabuk, Dewa Arak'"
Kali ini suara laki-laki berpakaian putih itu terdengar ber-
sungguh-sungguh. Ada nada ancaman dalam suaranya
yang terdengar mengerikan itu.
"Kau kenal Janggulapati?"
Arya mengernyitkan alisnya sebentar, mengingat-ingat
nama yang diucapkan Mayat Kuburan Koneng. Baru sesaat
kemudian, dia teringat Janggulapati adalah suami Gayatri.
Mereka berdua terkenal berjuluk Sepasang Alap-Alap Bukit
Gantar (Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak
dalam episode "Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar").
Perlahan-lahan kepala pemuda berpakaian ungu itu ter-
angguk-angguk. Sementara tangan kanannya memegang
dagu.
"Dia tewas di tanganmu, bukan?!" desak laki-laki ber-
pakaian putih dengan suara semakin tidak enak didengar.
"Benar!" sahut Dewa Arak, mantap. Memang dialah yang
telah menewaskan Janggulapati.
"Perlu kau ketahui, Dewa Arak. Janggulapati terhitung
saudara seperguruanku. Walaupun setelah itu kami
menempuh cara sendiri-sendiri untuk memperdalam ilmu,
tapi aku tidak rela dia dibunuh orang! Bersiaplah, Dewa
Arak. Aku akan membuat perhitungan denganmu atas
pembunuhan yang kau lakukan terhadap Janggulapati!"
Belum juga gema suara itu habis. Mayat Kuburan
Koneng telah meluruk menerjang Dewa Arak. Laki-laki
berpakaian putih ini membuka serangan dengan sebuah
tendangan lurus ke arah dada.
Arya segera menarik kaki kanan ke belakang seraya
mendoyongkan tubuh. Maka serangan itu tidak mencapai
sasaran, masih berjarak sekitar sejengkal di hadapannya.
Tapi, Mayat Kuburan Koneng tidak sudi memberi
kesempatan. Begitu Dewa Arak berhasil mengelakkan
serangan, segera disusulinya dengan serangan berikut.
Kaki kanannya kini sedikit ditarik pulang, lalu meluncur lagi
mengancam leher Arya dengan sebuah tendangan miring
Kali ini Arya terpaksa melompat ke belakang untuk
mengelakkan serangan itu. Kemudian dia bersalto
beberapa kali di udara. Dan begitu hinggap, tangannya
telah menggenggam sebuah guci arak.
Gluk.. gluk.. gluk..!
Suara tegukan terdengar ketika Arya menuangkan arak
ke mulutnya. Sesaat kemudian, hawa hangat merayapi
perutnya, dan perlahan naik ke atas kepala membuat
tubuhnya oleng ke kanan dan ke kiri.
Dan bertepatan dengan pemuda berpakaian ungu itu
menurunkan guci araknya, serangan dari Mayat Kuburan
Koneng telah datang menyambar.
Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun tidak bisa
dihindari.
Mayat Kuburan Koneng mengamuk seperti banteng
terluka. Dia rupanya sangat mendendam atas kematian
Janggutapati di tangan Dewa Arak. Terbukti, setiap
serangannya selalu mengancam bagian-bagian yang
mematikan. Bahkan selalu dilepaskan lewat pengerahan
tenaga dalam penuh.
Suara angin bercicitan mengiringi tibanya setiap
serangan yang dilancarkan Mayat Kuburan Koneng. Jelas,
setiap serangannya mengandung tenaga dalam tinggi.
Tapi orang yang diserangnya kali ini adalah Dewa Arak.
Seorang pendekar yang meskipun masih berusia muda,
tapi telah memiliki kepandaian amat tinggi. Ilmu
andalannya, yang bernama 'Belalang Sakti' merupakan
sebuah ilmu aneh yang dahsyat. Dan kini menghadapi
lawannya, ilmu andalannya itu langsung dikeluarkan.
Mayat Kuburan Koneng menggertakkan gigi karena
perasaan geram yang melanda hatinya. Telah belasan jurus
menyerang kalang kabut, tapi tak satu pun yang mengenai
sasaran. Padahal sepertinya Dewa Arak hanya mengelak
dengan gerakan-gerakan tidak teratur.
Tapi anehnya, setiap serangan yang dikirimkan Mayat
Kuburan Koneng selalu mengenai tempat kosong.
Serangan itu selalu dielakkan Dewa Arak dengan gerakan-
gerakan seperti orang akan jatuh. Bahkan terkadang
seperti memapak serangan yang dilancarkan dengan
tubuhnya. Anehnya, justru dengan berbuat seperti itu,
serangan lawan bisa dikandaskan.
Semula, Arya sama sekali tidak bermaksud mengadakan
perlawanan. Dia sama sekali tidak mempunyai perselisihan
dengan Mayat Kuburan Koneng. Tambahan lagi, rasanya
tak ada alasan untuk membunuh laki-laki berpakaian putih
ini. Arya belum melihat adanya kejahatan yang tidak
terampunkan pada Mayat Kuburan Koneng.
Tapi rupanya sikap mengalah Dewa Arak ditafsirkan lain
oleh Mayat Kuburan Koneng. Laki-laki berpakaian putih ini
malah menganggap pemuda berambut putih keperakan itu
meremehkannya. Dan sebagai akibatnya, serangan-
serangannya pun berlangsung semakin dahsyat.
Kesabaran Dewa Arak pun habis. Tokoh sesat ber-
pakaian putih ini benar-benar tidak bisa dikasih hati. Dia
yakin, Mayat Kuburan Koneng tahu kalau dirinya telah
terlalu banyak mengalah. Laki-laki berpakaian putih itu
adalah seorang tokoh sesat yang memiliki kepandaian
tinggi. Jadi, mustahil bila tidak mengetahui kalau dirinya
telah terlalu banyak mengalah! Begitu kesimpulan yang
didapat Arya.
Maka, setelah pertarungan berlangsung lebih dari tiga
puluh lima jurus, dan serangan-serangan Mayat Kuburan
Koneng malah semakin membabi buta, Arya pun memutus
kan untuk mengadakan perlawanan.
Seketika itu pula gerakan Dewa Arak berubah dahsyat.
Kini gerakan-gerakannya tidak lagi meliuk-liuk dan lemas
seperti sebelumnya, tapi diselingi gerakan-gerakan kasar
dan keras secara mendadak. Bahkan boleh dibilang, sulit
ditebak. Terkadang lemas seperti tidak bertenaga, dan ter-
huyung-huyung seperti akan jatuh. Tapi di lain saat,
berubah menjadi kasar, keras, dan penuh kekuatan.
Gerakan-gerakannya pun jadi terlihat liar! Ini pertanda
kalau pemuda berpakaian ungu itu telah mengeluarkan
Jurus 'Belalang Mabuk'nya.
Mayat Kuburan Koneng terperanjat begitu merasakan
perubahan yang begitu mendadak ini. Terasa adanya
tekanan-tekanan berat dari setiap serangan Dewa Arak.
Seketika itu juga, porsi serangan laki-laki berpakaian putih
ini berkurang banyak.
Memang setelah Arya mulai balas menyerang, Mayat
Kuburan Koneng tidak lagi bisa leluasa melancarkan
serangan membabi buta seperti sebelumnya. Dan biasanya
melakukan penyerangan berarti membuka pertahanan.
Semakin banyak menyerang, semakin banyak pertahanan
yang terbuka di sana-sini.
Tadi sewaktu Dewa Arak sama sekali tidak melakukan
perlawanan, laki-laki berpakaian putih ini bebas menge-
luarkan serangan, tanpa mempedulikan pertahanan lagi.
Tapi kini pemuda berpakaian ungu itu mulai balas me-
nyerang. Dan bila Mayat Kuburan Koneng terus menyerang
membabi buta seperti sebelumnya, maka mudah bagi
Dewa Arak untuk memasukkan serangan ke berbagai
bagian tubuh yang terbuka.
Memang hebat bukan kepalang, Jurus 'Belalang Mabuk'
itu. Sesuai dengan nama jurusnya, serangan-serangan itu
memang terlihat liar, ganas, dan penuh tekanan. Tidak
aneh kalau dalam beberapa jurus saja, Mayat Kuburan
Koneng telah kewalahan.
Serangan-serangan Mayat Kuburan Koneng semakin
berkurang. Bahkan sebaliknya lebih banyak mengelak
karena menangkis pun akan menimbulkan akibat buruk.
Tenaga dalam Dewa Arak jelas-jelas masih berada di
atasnya. Maka bila terus-menerus menangkis serangan,
jelas akan menderita kerugian.
Berbeda dengan Mayat Kuburan Koneng, keadaan Dewa
Arak malah sebaliknya. Serangan-serangan pemuda ini
semakin bertubi-tubi menghujani lawan.
Dalam menghadapi Mayat Kuburan Koneng, Arya tidak
menguras seluruh kemampuannya. Bahkan gucinya tidak
digunakan, karena lawan belum menggunakan senjata.
Meskipun begitu, sesekali guci araknya dijumput dan
ditenggak isinya. Kemudian gucinya disampirkan kembali
ke punggung.
Tentu saja hati Mayat Kuburan Koneng semakin ber-
tambah geram. Pemuda berambut putih keperakan itu
dianggap sengaja memperlihatkan, kalau sambil minum
arak, mampu bertarung. Berarti, Mayat Kuburan Koneng
sama sekali tidak dianggap Dewa Arak. Maka, kontan
kemarahannya semakin berkobar.
Kemarahan hebat yang membakar dada, membuat
Mayat Kuburan Koneng mengambil keputusan untuk
mengadu nyawa. Dia tahu, Dewa Arak terlalu sakti untuk
bisa dikalahkan. Pemuda berambut putih keperakan itu
telah terlalu banyak membuatnya malu di hadapan anak
buahnya. Padahal, dendam atas kematian Janggulapati
saja belum bisa terbalaskan. Yang jelas, kalau tak bisa
menewaskan Dewa Arak, dia tidak akan bisa mati meram.
Dengan munculnya tekad untuk mengadu nyawa, kini
Mayat Kuburan Koneng kembali melancarkan serangan
secara membabi buta. Bahkan tidak dipedulikan lagi per-
tahanan dirinya. Yang ada di benaknya hanya satu.
Meningkatkan serangan terhadap Dewa Arak.
Arya terkejut begitu merasakan perubahan mendadak
pada serangan lawan yang menjadi liar dan kalang-kabut
kembali. Sama sekali tidak mempedulikan pertahanan diri
sendiri.
Plak... plak... plak..!
Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Mayat Kuburan
Koneng berhasil ditangkis Dewa Arak. Akibatnya, tubuh
laki-laki berpakaian putih itu terhuyung-huyung ke belakang
seraya meringis kesakitan. Kedua tangan terasa linu dan
sulit digerakkan.
Tapi, Mayat Kuburan Koneng yang telah kalap langsung
mematahkan kekuatan yang mendorong tubuhnya itu.
Kembali dilancarkannya serangan bertubi-tubi ke arah ber-
bagai bagian tubuh Dewa Arak.
Melihat hal ini, Arya sadar kalau lawan mengajaknya me-
ngadu nyawa. Tentu saja pemuda berambut putih ke-
perakan itu tidak meladeninya. Maka kembali di-
gunakannya jurus 'Delapan Langkah Belalang' untuk
menghindari diri dari setiap serangan lawan.
Kembali pertarungan berlangsung seperti pada jurus-
jurus awal Mayat Kuburan Koneng menyerang kalang
kabut, sementara Dewa Arak mengelak ke sana kemari
dengan jurus 'Delapan Langkah Belalang’.
Mayat Kuburan Koneng menggertakkan gigi. Rasa
marah, malu, sakit hati, dan penasaran bercampur aduk
dalam hatinya. Keinginan untuk membunuh Dewa Arak
telah begitu menggebu-gebu. Tapi sayangnya hal itu tidak
mampu diwujudkannya, sehingga membuat dadanya
terasa seperti akan pecah menahan berbagai macam
luapan perasaan yang bergejolak.
Lebih dari dua puluh jurus laki-laki berpakaian putih ini
menyerang kalang kabut. Tapi, tetap saja tidak mampu
menyarangkan tangan atau kakinya pada sasaran. Bahkan,
mendesak Dewa Arak pun belum mampu.
Mayat Kuburan Koneng ingin menjerit keras saking
bingungnya. Pertarungan telah berlangsung lebih dari
seratus lima puluh jurus, tapi sampai selama itu tetap saja
belum mampu mendesak Dewa Arak.
Sementara kelelahan perlahan mulai melandanya.
Padahal lawannya tampak masih segar seperti sediakala.
Melihat keadaan ini, Mayat Kuburan Koneng khawatir
tidak akan bisa mewujudkan maksudnya untuk membunuh
Dewa Arak. Maka tanpa ragu-ragu lagi, anak buahnya
segera diberi isyarat untuk membantunya.
Begitu melihat tanda dari pemimpinnya, belasan orang
itu segera bergerak meluruk ke arah Dewa Arak. Memang,
sejak tadi orang-orang berwajah angker itu tinggal
menunggu perintah saja. Mereka sudah bersiap-siap
dengan senjata terhunus di tangan.
Tak pelak lagi, hujan belasan senjata itu menyerang ke
arah Dewa Arak disertai desingan-desingan nyaring yang
merobek udara.
Arya terkejut bukan kepalang melihat hai ini. Serangan
belasan orang berwajah angker itu sama sekali tidak
diduga. Padahal, serangan Mayat Kuburan Koneng baru
saja dielakkannya. Tambahan lagi, para pengeroyok itu
menyerangnya dari berbagai jurusan. Sudah dapat diterka
kalau belasan orang itu sudah terbiasa melakukan
serangan secara bersama-sama.
Tanpa membuang-buang waktu lagi. Dewa Arak segera
memutar-mutarkan kedua tangannya di depan dada. Maka
kejadian seperti yang sebelumnya terulang kembali. Tubuh
sebagian para pengeroyoknya berpentalan ke belakang
seperti dilanda angin topan. Senjata-senjata mereka pun
berpentalan tak tentu arah.
Sedangkan serangan dari yang lainnya dibiarkan saja
mengenai tubuhnya. Arya memang langsung mengerahkan
tenaga dalam agar tubuhnya tak mempan dihantam
senjata. Memang dengan perbedaan tenaga dalam di
antara kedua pihak yang terlalu jauh, pemuda berambut
putih keperakan itu sama sekali tidak mengalami kesulitan
membuat tubuhnya tidak bisa dilukai senjata.
Sementara, sungguh di luar dugaan Dewa Arak kalau
pada saat yang sama, Mayat Kuburan Koneng melancar-
kan serangan susulan ke arahnya. Bertubi-tubi, dan meng-
ancam berbagai bagian tubuhnya. Tidak ada kesempatan
lagi bagi Dewa Arak untuk mengelakkan serangan itu. Dan
andaikata bisa, serangan lanjutan dari laki-laki berpakaian
putih itu sulit dielakkannya. Memang sebagai seorang
tokoh tingkat tinggi, Arya tahu kalau serangan yang di-
lancarkan Mayat Kuburan Koneng kali ini merupakan
serangan dalam satu rangkaian. Susul-menyusul dan
sambung-menyambung laksana gelombang laut.
Karena tidak ada pilihan lain lagi, terpaksa Dewa Arak
menghentakkan kedua tangannya ke depan. Langsung
digunakannya jurus 'Pukulan Belalang".
Wusss...!
Angin keras berhawa panas berhembus keras dari
kedua tangan Arya yang dihentakkan.
Mayat Kuburan Koneng terperanjat. Apalagi tubuhnya
tengah berada di udara, dan jaraknya sudah terlalu dekat
dengan Dewa Arak. Maka tidak ada lagi kesempatan
baginya untuk menghindari serangan itu, dan hanya
sempat membelalakkan sepasang matanya. Maka....
Bresss...!
"Aaa...!"
Jeritan ngeri terdengar dari mulut laki-laki berpakaian
putih itu, begitu pukulan jarak jauh Dewa Arak keras dan
telak sekali menghantam perutnya.
Seketika itu juga tubuh Mayat Kuburan Koneng
terlempar jauh ke belakang, dan baru mendarat keras di
tanah ketika telah melayang-layang jauh. Laki-laki ber-
pakaian putih ini tewas dalam keadaan seluruh tubuh
gosong. Bau sangit daging yang terbakar seketika
menyebar di tempat itu.
Belasan pasang mata anak buah Mayat Kuburan
Koneng terbelalak begitu melihat kematian laki-laki ber-
wajah pucat itu. Tahu kalau lawan yang masih muda itu
memiliki kepandaian luar biasa, mereka pun cepat-cepat
membalikkan tubuh dan berlari tunggang-langgang. Sama
sekali tidak dihiraukan rekan-rekan mereka yang belum
mampu bangkit karena luka yang diderita.
Namun Arya sama sekali tidak mengejar, dan juga tidak
mempedulikan para pengeroyok yang merintih-rintih di
tanah tak mampu bangkit.
Sambil menghela napas berat, dihampirinya tubuh
Mayat Kuburan Koneng yang tergolek di tanah. Kini tokoh
sesat yang berjuluk 'mayat’ itu benar-benar telah menjadi
mayat. Untuk kesekian kalinya, ada perasaan sesal di hati
Dewa Arak karena telah menjatuhkan tangan maut pada
lawannya. Memang, Arya sebenarnya tidak ingin mem-
bunuh.
Pemuda berambut putih keperakan itu menatap
sebentar mayat yang tergolek dalam keadaan hangus itu.
Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-
kuat. Paling tidak itu untuk mengusir perasaan sesal yang
merayapi hatinya. Arya menghibur hatinya sendiri agar
perasaan sesalnya hilang. Toh, dia memang tidak ber-
maksud membunuh. Tapi, lawanlah yang terlalu
memaksanya.
"Urus mayat pemimpin kalian. Mengerti?!" ujar Dewa
Arak pada beberapa orang anak buah Mayat Kuburan
Koneng yang masih tergolek di situ. Mereka semua
menundukkan kepala, karena khawatir Dewa Arak akan
melepaskan tangan kejam.
"Mengerti, Tuan Pendekar...." Hampir berbareng para
pengeroyok yang tergolek, dan berjumlah lima orang itu
menganggukkan kepala.
Arya tersenyum pahit, kemudian melangkah meninggal-
kan tempat itu. Masih sempat didengarnya desah kelegaan
dari kelima orang pengeroyoknya. Pemuda berambut putih
keperakan ini tahu penyebabnya. Apa lagi kalau bukan
karena tidak jadi dibunuh?
***
TUJUH
Matahari sudah naik tinggi ketika di kejauhan Dewa Arak
melihat tembok batas sebuah desa. Kontan wajah pemuda
berambut putih keperakan itu jadi berseri. Dia memang
merasa agak lelah, dan ingin singgah sebentar di sebuah
kedai. Di samping untuk minum dan sedikit melepaskan
lelah, juga untuk mengisi guci araknya kembali. Memang,
guci araknya telah hampir kosong.
Terdorong perasan ingin buru-buru tiba, Dewa Arak
menambah kecepatan larinya. Hasilnya, dalam waktu
sekejap saja sudah berada dalam jarak sekitar delapan
tombak dari tembok batas gerbang desa.
Mendadak dahi pemuda berambut putih keperakan ini
berkernyit, ketika melihat sesuatu pada tembok batas desa
itu. Perasaan penasaran mendorongnya untuk bergerak
lebih mendekati.
Hanya dalam sekejap saja, Dewa Arak telah berada di
dekat tembok batas desa itu. Sepasang matanya yang
sejak tadi menatap penuh rasa ingin tahu, kini malah ter-
belalak.
Pada tembok batas desa itu tertancap sebatang kayu
sebesar jari telunjuk sepanjang tiga jengkal. Tapi bukan itu
yang menyebabkan Dewa Arak terkejut. Sebagai seorang
pendekar yang telah memiliki kekuatan tenaga dalam
tinggi, dia tidak kaget melihat ada sebatang kayu tertancap
di tembok batu sedalam lebih dari setengah jengkal. Dia
sendiri pun mampu melakukan hal yang sama. Bahkan
tidak hanya dengan kayu, tapi sebatang lidi!
Yang membuat Arya terkejut adalah sehelai kain berisi
tulisan yang tertancap oleh kayu itu. Dengan perasaan
ingin tahu, pemuda berpakaian ungu itu membacanya.
Dewa Arak....
Melalui surat ini, kuberitahukan padamu.... Kalau kau
sampai tidak datang menemuiku, di Kuburan Desa
Koneng, kejadian yang menimpa desa ini akan terulang
lagi di desa lain.
Setan Mabuk
"Setan Mabuk..?" sebut Dewa Arak dengan kening
berkernyit.
Lagi-lagi didengarnya julukan tokoh itu. Pertama kali dari
mulut Mayat Kuburan Koneng. Dan kini dari surat
tantangan yang ditancapkan di tembok desa. Tokoh itu
sendirilah yang mengirimkannya.
Baru saja Arya mengulurkan tangan hendak mencabut
kayu itu, pendengarannya yang tajam menangkap suara
langkah kaki. Arahnya dari dalam desa.
Maka, terpaksa niatnya diurungkan. Kemudian kepala-
nya menoleh ke arah asal suara itu.
Dari suara langkah kaki itu, Arya tahu kalau orang yang
datang memiliki kepandaian. Dan dari situ pula, diketahui
kalau kepandaian yang dimiliki orang itu tidak terlalu tinggi.
Sesaat kemudian, di hadapan Dewa Arak telah muncul
seorang gadis cantik. Rambutnya digelung ke atas. Pakai-
annya kuning dan ada gambar seekor naga yang disulam
dari benang berwarna hijau pada dada kiri pakaiannya.
Jelas kalau gadis itu ada hubungannya dengan Perguruan
Naga Hijau.
"Kaukah orang yang berjuluk Dewa Arak?!" tanya gadis
berambut digelung itu tatkala telah berada di hadapan
Arya.
"Benar," jawab Arya sambil menatap gadis itu penuh
selidik.
Pemuda berambut putih keperakan ini sama sekali tidak
terkejut mendengar gadis yang baru saja dilihatnya itu
telah tepat menebak dirinya. Dan memang, ciri-ciri yang
dimilikinya amat mencolok.
Yang membuat Arya terkejut adalah ketika melihat ada
kesedihan di wajah gadis cantik itu. Bahkan sepasang
matanya yang bening dan indah itu terlihat menyimpan
kesedihan yang mendalam. Bisa diterka kalau gadis itu
telah mengalami kejadian yang menyedihkan.
"Kau harus bertanggung jawab atas semua musibah
yang terjadi di sini, Dewa Arak!"
Keras dan penuh tekanan ucapan yang keluar dari
mulut gadis berpakaian kuning itu. Sepasang matanya pun
berkilat-kilat pertanda hatinya tengah dilanda kemarahan
hebat. Bahkan tangannya pun telah menyentuh gagang
pedangnya.
"Sabar, Nisanak..!" bujuk Arya menenangkan, sambil
menjulurkan kedua tangan ke depan untuk mencegah
gadis itu melanjutkan tindakannya. "Aku sama sekali tidak
mengetahui maksudmu."
Gadis berambut digelung itu menatap wajah Arya penuh
selidik. Dia melihat adanya kesungguhan, baik pada raut
wajah maupun pada ucapan pemuda yang berdiri di
hadapannya. Maka perlahan tangan yang telah mengejang
itu mengendur, kemudian turun kembari ke sisi pinggang.
"Kau benar-benar tidak mengerti?'' tanya gadis itu ber-
usaha memastikan. Nada suaranya terdengar bergetar.
Arya menggelengkan kepala sambil tersenyum pahit.
"Apakah wajahku mirip wajah seorang penipu?" pemuda
berpakaian ungu itu balas bertanya, setengah bergurau
"Aku baru saja tiba di daerah sini, Nisanak. Jadi, sama
sekali tidak mengerti maksud pembicaraanmu ini!"
Gadis berpakaian kuning itu mengalihkan pandangan ke
arah kain yang tertancap di tembok batas desa.
"Kau sudah membaca tulisan itu?" tanya gadis berambut
digelung itu lagi, seraya menudingkan telunjuknya ke arah
kain yang terpampang di tembok batas desa.
"Sudah," jawab Dewa Arak, mantap.
"Dan kau masih belum mengerti?!" tanya gadis ber-
pakaian kuning itu setengah tidak percaya. Dahinya
nampak berkernyit ketika mengajukan pertanyaan itu.
"Sedikit," sahut Arya kalem.
Semakin dalam kerutan pada dahi gadis berambut di-
gelung itu.
"Apa kesimpulan yang kau dapat dari surat itu?" desak
gadis berpakaian kuning.
"Ada orang yang mengajakku bertarung untuk alasan
yang aku sendiri belum tahu. Anehnya, kenapa dia mem-
bawa-bawa penduduk dalam masalah ini?"
"Karena Setan Mabuk khawatir kau tidak berani me-
menuhi tantangannya," sabut gadis berambut digelung,
cepat.
"Hm..." gumam Arya pelan, untuk menyambuti ucapan
gadis berpakaian kuning itu.
"Kau tahu..., sudah berapa lama surat itu terpampang di
situ?"
Arya menggelengkan kepala. Dan memang, hal itu sama
sekali tidak diketahuinya.
"Sudah dua hari. Setan Mabuk tidak sabar lagi me-
nunggu. Dikiranya, kau menganggap ancamannya hanya
gertak sambal belaka. Maka, ancamannya pun diwujudkan.
Gerombolannya kemudian menghancurkan Desa Gempol."
"Ah...!"
Dewa Arak mendesah kaget. Memang pemuda be-
rambut putih keperakan itu terkejut bukan kepalang.
Betapa tidak? Dia sama sekali tidak tahu tentang
tantangan, tapi kenapa para penduduk yang menjadi
sasaran.
"Kalau hari ini kau tidak datang menemuinya..., desa
lain akan menjadi giliran selanjutnya," sambung gadis
berambut digelung itu. "Di mulut Desa Gempol pun
dipancangkan surat tantangan seperti ini."
Sambil berkata demikian, gadis berpakaian kuning itu
menudingkan telunjuk kanannya ke arah carikan kain yang
terpampang di tempat batas Desa Koneng.
"Apakah..., tidak ada orang yang menentang tindakan
Setan Mabuk itu?" tanya Arya setelah beberapa saat lama-
nya terdiam.
"Memang ada. Tapi hanya ada beberapa gelintir saja.
Dan mereka adalah murid Perguruan Naga Hijau." jawab
gadis berambut digelung seraya tersenyum getir.
"Lalu..., hasilnya bagaimana?" tanya Dewa Arak
setengah hati.
Namun Arya seketika baru menyadari, betapa bodoh
pertanyaannya, ketika teringat sesuatu. Tidak mungkin
usaha murid-murid Perguruan Naga Hijau akan berhasil.
Buktinya sudah jelas, sudah banyak desa dihancurkan. Itu
saja sudah merupakan jawaban ketidakberhasilan usaha
mereka.
"Mereka semua tewas," Jawab gadis berpakaian kuning
dengan suara bergetar. Jelas kalau ucapannya diutarakan
penuh perasaan.
Arya pun mengerutkan alisnya. Terdengar ada nada
kesedihan yang mendalam pada suara gadis berambut
digelung itu. Apakah ada hubungan antara gadis itu
dengan murid-murid Perguruan Naga Hijau yang terbunuh?
Tanpa sadar, pandangan Dewa Arak tertumbuk pada
sulaman benang hijau bergambar naga yang menempel di
bagian dada kiri pakaian gadis itu. Naga hijau! Apakah
gadis ini juga murid Perguruan Naga Hijau? Kembali
pertanyaan itu menggayuti benak Dewa Arak.
"Apakah mereka saudara seperguruanmu?" tanya Arya
hati-hati.
Gadis berambut digelung itu hanya menganggukkan
kepala. Tapi hal itu sudah cukup untuk menjadi jawaban
bagi pertanyaan yang diajukan Dewa Arak.
"Ah...! Maaf...!" ucap Arya buru-buru. "Aku sama sekali
tidak mengira akan hal itu. Aku turut berduka cita."
"Terima kasih," hanya ucapan itu yang keluar dari mulut
gadis berpakaian kuning itu.
"Apakah hal itu sudah kau beritahukan pada gurumu?"
tanya Arya lagi.
Gadis berambut digelung itu menggelengkan kepalanya.
"Mengapa?" kejar Arya lagi.
"Guruku yang sekaligus ayah kandungku tengah ber-
semadi di puncak Gunung Koneng. Beliau tak ingin terjun
dalam rimba persilatan, karena sudah benar-benar tidak
mau mencampuri urusan duniawi lagi. Dan yang jelas,
Perguruan Naga Hijau telah musnah."
"Ah...!"
Keluh keterkejutan keluar dari mulut Dewa Arak begitu
gadis berambut digelung itu mengakhiri ucapannya. Ada
isak tertahan yang keluar dari mulut gadis itu seiring
ucapannya selesai.
Terdengar suara gemeretak dari mulut Dewa Arak. Jelas,
pemuda berambut putih keperakan ini dilanda kemarahan
yang amat sangat.
"Keji...!" Arya mendesis pelan, tapi tajam penuh tekanan
karena keluar dari hati yang penuh diliputi amarah. "Siapa
yang melakukan semua kekejian itu?"
"Setan Mabuk..." jawab gadis berpakaian kuning masih
dengan suara serak. "Dia seorang diri mengamuk dan
membasmi semua murid Perguruan Naga Hijau, dalam
usahanya untuk memancing kedatanganmu. Itulah sebab-
nya, ada beberapa murid Perguruan Naga Hijau yang tidak
dibinasakannya. Dia berharap, murid-murid itu akan
menyampaikan pesannya kepadamu. Apakah kau bertemu
mereka?''
Arya menggelengkan kepala.
"Sedangkan murid-murid Perguruan Naga Hijau yang
berada di desa-desa dibasmi kaki tangan Setan Mabuk.
Memang, dengan lenyapnya Perguruan Naga Hijau, mereka
bebas berbuat kejahatan."
"Heh...?!" Dewa Arak terperanjat "Mengapa begitu?"
"Karena selama ini, semua orang yang bermaksud jahat
selalu berhasil dipukul mundur murid-murid Perguruan
Naga Hijau," gadis berpakaian kuning tersenyum getir.
Rupanya, dia teringat kembali sewaktu Perguruan Naga
Hijau masih berdiri.
Kali ini Arya sama sekali tidak menyahuti ucapan gadis
berpakaian kuning itu. Dan karena gadis itu sendiri tidak
melanjutkan ucapannya, suasana pun menjadi hening.
"O, ya.... Siapakah namamu, Nisanak?" tanya Arya tiba
tiba. "Rasanya aneh kalau kita telah berbincang-bincang
sekian lamanya, tapi belum saling mengenal nama."
"Aku sudah tahu julukanmu," kalem suara gadis
berambut digelung itu. Sebuah senyuman yang dipaksakan
tersungging di bibirnya.
"O, ya?" Dewa Arak yang ingin membuat gadis itu terlupa
dengan kesedihannya mencoba melucu.
"Ayah sudah sering membicarakanmu. Rupanya beliau
amat mengagumimu."
Dewa Arak hanya tersenyum getir mendengar namanya
banyak dikagumi tokoh persilatan. Dia memang paling risih
namanya dipuja-puja orang.
"Lalu, bagaimana kejadiannya hingga murid-murid Per-
guruan Naga Hijau dibantai Setan Mabuk?" tanya Dewa
Arak mengalihkan pembicaraan.
"Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya. Yang jelas, ku-
temui mayat Wakil Ketua Perguruan Naga Hijau bersama
mayat Kakang Subarji di tengah jalan..."
"Kakang Subarji..?" Dewa Arak mengerutkan alisnya.
"Murid Perguruan Naga Hijau yang telah keluar
perguruan," jelas putri Ketua Perguruan Naga Hijau itu
dengan suara yang tidak begitu serak lagi. Rupanya dia
sudah mulai bisa menguasai perasaannya.
Dewa Arak menganggukkan kepala pertanda mengerti.
"Jadi..., kau tidak melihat siapa pembunuh mereka?"
Gadis berpakaian kuning itu mengangguk.
"Lalu..., dari mana kau tahu kalau pembunuhnya adalah
Setan Mabuk?" desak Dewa Arak ingin tahu.
"Dari mulut Kakang Subarji, sebelum tewas," jawab
gadis berambut digelung itu.
"Rupanya kau mengikuti kepergian mereka secara diam-
diam...," tuduh Arya dengan nada mendesah.
Wajah gadis itu kontan memerah.
"Ayah telah berpesan agar aku tidak pergi ke mana-
mana. Maka diam-diam aku mengikuti Paman Buntara. Aku
juga ingin mengetahui, seperti apa orang yang julukannya
telah begitu menggemparkan...."
"Tak seperti yang kau bayangkan, bukan," tukas Arya
buru-buru.
"Terus terang, aku agak kaget melihatmu, Arya? Nama-
mu Arya, kan?"
Pemuda berpakaian ungu itu tersenyum getir.
"Kau curang, Nisanak."
"Curang?!" dahi gadis berpakaian kuning itu berkenyit.
"Ya! Kau telah tahu namaku, tapi aku sama sekali tidak
tahu namamu."
"Namaku Malinda," sebut gadis itu malu-malu.
"Malinda... sebuah nama yang bagus," tanggap Arya.
Pujian Dewa Arak membuat wajah gadis berpakaian
kuning yang ternyata bernama Malinda jadi bersemu
merah. Rupanya, dia risih juga menerima pujian. Apalagi
datangnya dari mulut orang seperti Dewa Arak! Seorang
pemuda berwajah tampan dan berkepandaian tinggi. Hati
siapa yang tidak berbunga-bunga?
"Laki, apa tindakanmu selanjutnya, Dewa Arak?" tanya
Malinda, pelan.
"Memenuhi tantangan yang diajukan Setan Mabuk!"
jawab Arya tegas.
"Kalau begitu, mari kita ke sana!" ajak Malinda cepat.
"Kau tahu tempatnya, Malinda?" Malinda mengangguk-
kan kepala.
"Bagaimana? Setuju?"
Mulut Dewa Arak menyunggingkan senyuman lebar,
kemudian perlahan kepalanya terangguk.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, gadis berambut
digelung ini melesat meninggalkan tempat itu.
Arya menggeleng-gelengkan kepala. Bisa diduga kalau
gadis berpakaian kuning itu ingin menguji kepandaiannya.
Maka begitu gadis itu melesat kabur, dia pun bergerak
menyusulnya.
Sesaat kemudian, yang terlihat hanyalah dua sosok
bayangan yang berkelebatan cepat. Yang satu berwarna
ungu, sementara yang satu lagi berwarna kuning.
Malinda berlari cepat mengerahkan seluruh kemampu
annya. Dia memang bermaksud menguji kemampuan
Dewa Arak. Maka tanpa ragu-ragu lagi, segera dikeluarkan
seluruh ilmu meringankan tubuhnya.
Semula Malinda sudah merasa gembira begitu tidak
melihat adanya bayangan pemuda berpakaian ungu itu di
belakangnya. Tapi, keceriaannya langsung memupus tat-
kala mendadak di samping kanannya muncul sesosok
bayangan ungu. Seketika senyum yang tadi mengembang
di bibirnya pun lenyap.
Karuan saja hal ini membuat Malinda merasa pe-
nasaran bukan kepalang. Digertakkan gigi dalam usahanya
menambah kecepatan larinya. Tapi semua usaha yang di-
lakukannya sia-sia saja. Tetap saja Dewa Arak berada di
samping kanannya.
Malinda semakin terkejut ketika melihat raut wajah
Dewa Arak. Wajah itu sama sekali tidak menunjukkan
kalau tengah mengerahkan tenaga sewaktu berlari. Raut
wajah itu masih tetap tenang seperti semula.
Setelah cukup lama berlari sambil mengerahkan seluruh
tenaga, nampak Dewa Arak masih tetap berada di
sebelahnya. Maka, gadis berpakaian kuning itu akhirnya
mengalah. Perlahan-lahan kecepatan larinya dikendurkan,
dan akhirnya berhenti sama sekali.
Bertepatan dengan berhentinya kaki Malinda, Arya pun
menghentikan langkah kakinya pula.
Malinda menatap wajah Dewa Arak. Perasaan terkejut
semakin melanda hatinya tatkala melihat wajah Arya sama
sekali tidak menampakkan perubahan apa pun. Wajah itu
tetap mulus, seperti sediakala. Setetes pun tak ada peluh
menggantung di sana. Deru napas pemuda itu pun biasa-
biasa saja, tidak terengah-engah.
Sedangkan dirinya? Peluh membasahi sekujur wajah.
Terutama sekali dahi dan lehernya. Napasnya pun
menderu-deru hebat. Meskipun tidak melihat sendiri,
Malinda sudah bisa memperkirakan kalau wajahnya merah
padam.
"Masih jauhkah tempat itu dari sini, Malinda?" tanya
Arya. Suaranya terdengar biasa saja, tidak terputus-putus
dan memburu seperti layaknya orang habis berlari jauh.
Gadis berpakaian kuning itu tidak langsung menjawab
pertanyaan, dan malah sibuk menenangkan deru napasnya
yang memburu. Memang dia tadi berlari dengan mengerah-
kan seluruh kemampuan yang dimilikinya.
"Tidak jauh lagi." sahut Malinda.
Mendengar jawaban itu, Arya melayangkan pandangan
ke depan. Tak jauh di depannya, tampak mulut sebuah
hutan.
"Hutan...?!" Dewa Arak mengerutkan alisnya. Padahal,
belum lama dia keluar dari hutan itu.
"Ah...! Hanya sebuah hutan kecil, Dewa Arak. Tapi di
hutan itulah letaknya Kuburan Koneng."
Arya mengangguk-anggukkan kepala saja. Dewa Arak
memang tidak mengetahui, di mana letaknya kuburan yang
dimaksudkan Setan Mabuk. Maka begitu mendengar
jawaban itu, dia tidak membantahnya. Tanpa bicara lagi,
langkah kakinya dilanjutkan.
Kini Dewa Arak dan Malinda melanjutkan perjalanannya
dengan berjalan biasa. Dan tak lama kemudian, mulut
hutan pun sudah dilalui. Malinda terus saja melangkah.
Begitu pula Arya yang berada di sampingnya.
Mendadak Malinda menghunus pedang yang tergantung
di pinggang. Dan secepat pedang itu lolos dari sarungnya,
secepat itu pula disabetkannya ke leher Dewa Arak.
Singgg..!
Suara mendesing nyaring yang terdengar menjadi
pertanda kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam
serangan pedang itu.
Arya terperanjat. Keterkejutan yang amat sangat
seketika melandanya. Memang serangan itu sama sekali
tidak disangkanya. Tapi meskipun begitu, karena memang
sudah terbiasa berhadapan dengan hal yang tiba-tiba,
Dewa Arak masih bisa mengelak.
Crasss...!
Namun tak urung, ujung pedang Malinda berhasil juga
menyerempet pundak Arya. Kontan darah segar mengalir
keluar dari bagian yang terluka.
Tidak hanya itu saja menimpa pemuda berpakaian ungu.
Begitu kedua kakinya mendarat, mendadak landasan yang
diinjaknya naik ke atas. Tahu-tahu, tubuh Dewa Arak telah
terkurung dalam sebuah jaring yang tergantung di atas
pohon.
Arya terperanjat begitu menyadari tubuhnya telah
terkurung dalam jaring. Segera dicengkeram tali-tali jaring
itu, laki dikerahkan tenaga dalam untuk memutuskannya.
Tapi ternyata tali-tali itu alot bukan main. Betapapun telah
dikerahkan seluruh tenaga dalamnya, tetap saja tidak
mampu.
"Hi hi hi...!”
Malinda tertawa terkikih. Lenyap sudah sorot kesedihan
dari sinar matanya. Yang terlihat kini hanyalah sorot
kebengisan dan dendam. Dan semua itu tertuju pada Dewa
Arak.
Arya terperanjat melihat sorot mata gadis itu. Namun dia
masih belum mengerti maksud gadis berpakaian kuning ini
bertindak seperti itu terhadapnya.
"Malinda...! Apa maksud perbuatanmu ini..?!" tanya
Dewa Arak ingin tahu.
"Maksudku sudah jelas. Pemuda Sombong! Aku ingin
membalaskan kematian ayahku!" tandas gadis berambut
digelung dengan nada bengis.
"Heh ..?! Bukankah ayahmu tengah bersemadi, dan
saudara seperguruanmu dibunuh oleh Setan Mabuk?"
kejar Arya penasaran.
"Kau percaya dengan semua cerita itu, Pemuda
Dungu?!" sergah Malinda keras.
"Jadi..?!" Dewa Arak mulai paham.
"Ya! Semua cerita itu hanya karanganku saja! Ayahku
telah mati terbunuh di tanganmu, Dewa Arak! Kutegaskan
sekali lagi, ayahku tewas di tanganmu!"
Pemuda berpakaian ungu itu pun terdiam.
"Siapakah ayahmu, Malinda?" tanya Arya, masih tetap
lembut suaranya. Pemuda berpakaian ungu ini masih
mengharapkan semua hanya sebuah kesalahpahaman
belaka.
Suiiit...!
Terdengar suitan nyaring dari mulut Malinda. Keras dan
melengking pertanda didukung pengerahan tenaga dalam.
Tak lama kemudian terdengar suara berkerosakan,
disusul munculnya beberapa sosok tubuh yang dikenal
Dewa Arak. Mereka adalah anak buah Mayat Kuburan
Koneng.
Sekejap kemudian, orang-orang berwajah angker yang
jumlahnya tak kurang dari sebelas orang itu telah berdiri di
belakang Malinda dengan kepala tertunduk. Jelas kalau
kedudukan gadis itu lebih tinggi dari mereka.
"Kau kenal mereka, Dewa Arak?" tanya Malinda dengan
bibir menyunggingkan senyuman sinis.
"Kenal sih, tidak. Tapi aku memang pernah bentrok
dengan mereka," jawab Dewa Arak, tenang.
"Kini kau bisa menerka, siapa ayahku bukan?"
Arya mengerutkan keningnya sejenak.
"Mayat Kuburan Koneng?" duga Dewa Arak, pelan.
Arya masih merasa ragu mengingat Malinda mengena-
kan pakaian seragam yang bersulamkan gambar naga,
yang dikatakan gadis itu adalah lambang Perguruan Naga
Hijau. Ataukah cerita gadis itu semua hanyalah hasil
karangan belaka, termasuk cerita mengenai Perguruan
Naga Hijau dan kehancurannya?
"Jadi, semua ceritamu tadi hanya hasil karanganmu
saja?" tanya Arya sambil memikirkan cara untuk melolos-
kan diri.
"Tidak seluruhnya, Dewa Arak!" gadis berpakaian kuning
itu menyahut, namun tetap menyunggingkan senyum sinis.
“Perguruan Naga Hijau memang benar ada dan hancur di
tangan Setan Mabuk. Begitu pula tentang maksud ke-
pergiannya untuk menemuimu."
Pemuda berpakaian ungu itu terdiam. Kini sudah
dimengerti masalahnya.
"Kini sudah tiba saatnya bagiku untuk membalas
dendam, Dewa Arak!"
"He... he... he...!"
Mendadak terdengar suara tawa yang menggetarkan
jantung, menggema di sekitar tempat itu. Jelas, suara itu
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam.
Semua yang berada di situ terperanjat mendengar tawa
mendadak itu. Hanya saja, ada perbedaan tanggapan di
antara mereka. Dewa Arak hanya terkejut saja. Tapi, tidak
demikian halnya dengan Malinda dan anak buah ayahnya.
Wajah mereka mendadak pucat pasi. Dan memang,
mereka tahu pemilik suara tawa itu. Siapa lagi kalau bukan
Setan Mabuk!
Dan sebelum suara tawa itu lenyap, berhembus angin
berkesiur pelan. Tak lama kemudian, muncul seorang
kakek bertubuh pendek gemuk, berperut buncit, dan ber-
kepala botak. Benar! Dialah Setan Mabuk.
Malinda menggertakkan gigi. Dia tahu kalau tidak ber-
tindak cepat, maka Dewa Arak tidak akan bisa dibunuhnya.
Dan yang jelas Setan Mabuk akan mendahuluinya. Maka
tanpa mempedulikan akibatnya nanti, gadis itu melompat.
Pedangnya meluncur deras ke arah tubuh Dewa Arak yang
tengah terkurung di dalam jaring.
***
DELAPAN
Singgg...!
Menilik dari suara mendesing nyaring yang mengiringi
tibanya serangan, sudah bisa diperkirakan kekuatan
tenaga dalam yang terkandung dalam serangan itu.
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Tubuhnya yang pendek
berkelebat, memotong serangan Malinda. Tangan
kanannya cepat terulur. Dan....
Tappp...!
Sungguh mengagumkan! Pedang di tangan gadis ber-
pakaian kuning itu telah tertangkap tangan Setan Mabuk.
Dan sekali tangan kakek berkepala botak itu bergerak
menekan, maka pedang di tangan putri Mayat Kuburan
Koneng pun patah jadi dua.
Dan sebelum Malinda sempat berbuat sesuatu, tangan
kiri Setan Mabuk telah meluncur cepat ke arah dadanya.
Seketika gadis berambut digelung ini kaget bukan
kepalang. Apalagi, tubuhnya tengah berada di udara.
Dengan sebisa-bisanya tubuhnya digeliatkan untuk
mengelakkan serangan itu. Tapi....
Plakkk…!
Tangan kakek berkepala botak itu tetap saja meng-
hantam tubuhnya. Hanya saja tidak mengenai dada,
melainkan bahu. Seketika itu juga tubuh putri Mayat
Kuburan Koneng terlempar ke belakang dan bergulingan di
tanah. Darah segar langsung muncrat dari mulutnya. Jelas
Malinda telah terluka dalam.
"He... he... he...!"
Begitu kedua kakinya mendarat di tanah, kakek ber-
perut buncit itu sudah tertawa terkekeh-kekeh. Dengan
sorot mata penuh ancaman, kakinya melangkah meng-
hampiri tubuh Malinda.
"Jangan harap bisa mendahuluiku, Wanita Liar! Kau
tahu, di semua mulut desa telah kusebar anak buahku.
Dan mereka langsung memberitahuku begitu melihat Dewa
Arak. Dan atas kelancanganmu berani mendahului tin-
dakanku, kau akan menerima akibatnya!"
Melihat bahaya mengancam putri majikannya, anak
buah Mayat Kuburan Koneng tidak tinggal diam. Walaupun
dalam hati merasa jeri terhadap Setan Mabuk tetapi
mereka tetap bergerak menyerang kakek berkepala botak
itu. Senjata-senjata di tangan mereka berkelebatan cepat,
menyambar berbagai bagian tubuh Setan Mabuk yang
mematikan, diiringi suara mendesing nyaring,
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Tanpa mempedulikan
semua serangan yang bertubi-tubi mengancam, guci arak-
nya diangkat.
Glek… glek... glek...!
Suara tegukan dari arak yang melewati tenggorokan
Setan Mabuk terdengar. Dan di saat itulah senjata-senjata
anak buah Mayat Kuburan Koneng tiba.
Takkk, takkk, takkk..!
Gila! Semua senjata yang mengenai berbagai bacaan
tubuh kakek berkepala botak itu terpental balik, seakan-
akan menghantam gumpalan karet keras. Bukan hanya itu
saja. Tangan yang menggenggam senjata itu pun terasa
sakit-sakit
"He... he... he...!”
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh seraya meng-
gerakkan tangannya. Jerit-jerit kesakitan pun terdengar
diiringi robohnya satu persatu anak buah Mayat Kuburan
Koneng. Pukulan jarak jauh yang dilepaskan Setan Mabuk
sungguh dahsyat! Buktinya tidak seorang pun dari para
pengeroyok yang tersisa. Mereka semua roboh, dan tak
bangun lagi.
Kini sambil tertawa terkekeh-kekeh, Setan Mabuk me-
langkah menghampiri Malinda yang belum mampu bangkit.
Memang, akibat serangan kakek berperut buncit itu hebat
bukan main, meskipun hanya mengenai bahu.
tahu, di semua mulut desa telah kusebar anak buahku.
Dan mereka langsung memberitahuku begitu melihat Dewa
Arak. Dan atas kelancanganmu berani mendahului tin-
dakanku, kau akan menerima akibatnya!"
Melihat bahaya mengancam putri majikannya, anak
buah Mayat Kuburan Koneng tidak tinggal diam. Walaupun
dalam hati merasa jeri terhadap Setan Mabuk tetapi
mereka tetap bergerak menyerang kakek berkepala botak
itu. Senjata-senjata di tangan mereka berkelebatan cepat,
menyambar berbagai bagian tubuh Setan Mabuk yang
mematikan, diiringi suara mendesing nyaring,
"He... he... he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Tanpa mempedulikan
semua serangan yang bertubi-tubi mengancam, guci arak-
nya diangkat.
Glek… glek... glek...!
Suara tegukan dari arak yang melewati tenggorokan
Setan Mabuk terdengar. Dan di saat itulah senjata-senjata
anak buah Mayat Kuburan Koneng tiba.
Takkk, takkk, takkk..!
Gila! Semua senjata yang mengenai berbagai bacaan
tubuh kakek berkepala botak itu terpental balik, seakan-
akan menghantam gumpalan karet keras. Bukan hanya itu
saja. Tangan yang menggenggam senjata itu pun terasa
sakit-sakit
"He... he... he...!”
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh seraya meng-
gerakkan tangannya. Jerit-jerit kesakitan pun terdengar
diiringi robohnya satu persatu anak buah Mayat Kuburan
Koneng. Pukulan jarak jauh yang dilepaskan Setan Mabuk
sungguh dahsyat! Buktinya tidak seorang pun dari para
pengeroyok yang tersisa. Mereka semua roboh, dan tak
bangun lagi.
Kini sambil tertawa terkekeh-kekeh, Setan Mabuk me-
langkah menghampiri Malinda yang belum mampu bangkit.
Memang, akibat serangan kakek berperut buncit itu hebat
bukan main, meskipun hanya mengenai bahu.
Putri Mayat Kuburan Koneng itu berusaha bangkit, tapi
tidak mampu. Sebuah seringai kesakitan yang muncul di
mulutnya telah menjadi tanda kalau gadis itu telah terluka
dalam yang cukup parah. Dan Malinda hanya bisa menatap
Setan Mabuk yang menghampirinya dengan dada berdebar
tegang.
Setan Mabuk menghentikan suara tawanya begitu telah
berada di dekat Malinda. Sesaat sepasang matanya meng-
awasi sekujur tubuh gadis berpakaian kuning itu, kemudian
tangan kanannya bergerak.
Brettt..!
Suara dari kain robek terdengar ketika tangan Setan
Mabuk merenggutnya. Malinda langsung terpekik ngeri.
Pakaian yang dikenakan, dari bagian dada sampai perut
telah sobek.
Arya terkejut bukan kepalang melihat hal ini. Diakui,
Malinda adalah seorang wanita sesat, dan mendendam
padanya. Tapi biar bagaimanapun, dia tidak tega kalau
gadis itu diperkosa Setan Mabuk.
Sementara kakek berkepala botak yang sudah
kerasukan nafsu setan, begitu melihat pemandangan
indah yang terpampang di hadapannya, segera menubruk
tubuh Malinda dan menciuminya dengan kasar. Tangannya
juga mulai sibuk melucuti sisa pakaian putri Mayat
Kuburan Koneng itu.
Malinda yang tengah tertuka dalam, tidak mampu
berbuat apa-apa selain menjerit-jerit keras dan meronta-
ronta. Tapi hal itu justru menambah nafsu setan kakek ber-
perut buncit itu membara. Dan dengan sendirinya,
tindakannya pun semakin brutal
"Setan Mabuk! Tahan...!" teriak Arya keras. "Kalau per-
buatanmu dilanjutkan, aku tidak akan sudi meladeni
tantanganmu!"
Kakek berkepala botak itu langsung menoleh dengan
napas menderu hebat. Sepasang matanya telah memerah,
karena nafsu telah bergolak dalam dirinya. Tapi peringatan
Dewa Arak-lah yang membuatnya bimbang.
Setan Mabuk memang bukan orang yang suka mem-
perkosa wanita. Dan perbuatan yang akan dilakukannya
terhadap Malinda, semula bukan terdorong nafsu. Melain-
kan, keinginan untuk menghancurkan gadis itu. Namun,
begitu melihat kemulusan tubuh gadis itu, dia menjadi ter-
pengaruh. Hanya saja, ancaman Dewa Arak telah mem-
buatnya bimbang.
Beberapa saat lamanya Setan Mabuk tercenung
memikirkannya.
"Kali ini kau kuampuni, Wanita Liar! Menyingkirlah cepat
sebelum pikiranku berubah!"
Dengan kedua tangan menutupi bagian tubuhnya yang
terbuka lebar, Malinda berusaha bangkit. Luar biasa! Kali
ini usaha gadis berambut digelung itu berhasil. Rupanya
rasa takut yang melanda akan terjadinya peristiwa yang
mengerikan, membuat kekuatannya muncul kembali.
Memang, meskipun seorang wanita sesat, tapi Malinda
masih seorang gadis tulen.
"Akan kuingat budimu. Dewa Arak...!"
Setelah berkata demikian, gadis berpakaian kuning ini
melangkah terseok-seok meninggalkan tempat itu. Tak
lama kemudian, bayangan tubuhnya lenyap ditelan lebat-
nya pepohonan.
Setan Mabuk memungut pedang yang berserakan di
tanah, kemudian melontarkannya ke arah tali yang
menggantung Jaring pengurung tubuh Dewa Arak
Tasss...!
Tali itu putus seketika. Dengan sendirinya, jaring yang
membungkus tubuh Dewa Arak pun terjatuh ke tanah.
Maka, Arya pun bergegas keluar dari dalam jaring.
Begitu Arya keluar dari jaring. Setan Mabuk langsung
saja menyerang. Kedua tangannya terkembang mem-
bentuk cakar dan menyambar bertubi-tubi ke arah perut,
dada, dan ulu hati pemuda berpakaian ungu itu.
Arya langsung terperanjat. Datangnya serangan yang ter-
lampau tiba-tiba, membuatnya terkejut bukan kepalang.
Disadari kalau dirinya tidak akan bisa mengelakkan
serangan itu. Tidak ada pilihan lagi, kecuali menangkisnya.
Tanpa ragu-ragu lagi, segera dikerahkan seluruh tenaga
dalam yang dimiliki untuk menangkis.
Plak, plak, plak...!
Suara berderak keras terdengar berkali-kali ketika
kedua tangan yang sama-sama mengandung tenaga dalam
tinggi berbenturan. Akibatnya, kedua belah pihak sama-
sama terhuyung mundur selangkah ke belakang. Jelas,
tenaga dalam kedua tokoh ini berimbang.
Setan Mabuk mengawasi Dewa Arak dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Namun Dewa Arak pun berbuat serupa.
"He... he... he...! Semua berita yang kudengar tentang
dirimu ternyata cocok sekali dengan kenyataan yang
kulihat," kata Setan Mabuk setelah puas memperhatikan
Dewa Arak. "Tapi aku belum puas, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, Setan Mabuk kembali
menerjang Dewa Arak. Gucinya yang besar itu sama sekali
tidak dipergunakan. Memang, kakek ini belum mau
mengeluarkan ilmu simpanannya.
Sebagai seorang tokoh persilatan yang mempunyai
kepandaian tinggi, Arya tentu saja tahu kalau lawan belum
menggunakan ilmu andalan. Maka Dewa Arak pun hanya
mengeluarkan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'
dan ilmu 'Sepasang Tangan Penakluk Naga' untuk meng-
hadapinya.
Kedua macam ilmu yang dimiliki Dewa Arak, menitik-
beratkan pada penyerangan. Begitu pula ilmu yang dimiliki
Setan Mabuk. Tak pelak lagi, pertarungan sengit pun
terjadi.
Dalam sekejap saja, pertarungan sudah berlangsung
tiga puluh lima jurus. Dan selama itu, belum nampak ada
tanda-tanda yang akan terdesak.
"Cukup, Dewa Arak..!"
Terdengar seruan keras dari mulut Setan Mabuk. Pada
saat yang bersamaan, tubuhnya pun melenting ke
belakang menjauhi kancah pertarungan.
Arya pun menghentikan gerakannya. Kini kedua belah
pihak saling menatap, dengan penuh selidik.
"Kau tahu, mengapa aku mencari dan menantangmu,
Dewa Arak?" tanya Setan Mabuk dengan senyum ter-
kembang di bibir. Kakek berperut buncit ini merasa puas
begitu mengetahui kelihaian Dewa Arak.
Memang sudah menjadi penyakit seorang ahli silat dia
merasa gembira bila bertemu lawan yang setingkatan.
Arya menggelengkan kepala. Memang, pemuda ber-
pakaian ungu itu belum mengetahuinya.
"Karena kau berani berjuluk Dewa Arak!" tandas Setan
Mabuk lagi. "Kau tahu, sebelum kau lahir ke dunia ini, aku
sudah terkenal sebagai dedengkotnya arak. Sudah tidak
terhitung lagi, berapa kali aku mengadu kuat minum arak.
Dan karena tidak pernah terkalahkan, aku mendapat
julukan-julukan Setan Mabuk."
Kakek berperut buncit itu menghentikan ucapannya
sejenak untuk mengambil napas. Ditatapnya wajah Dewa
Arak untuk mengetahui tanggapannya.
"Karena merasa sudah tua, sekitar satu tahun yang lalu,
aku mengundurkan diri dari dunia persilatan. Tapi, ter-
paksa aku keluar lagi, karena kudengar di dunia persilatan
ada tokoh muda yang berani berjuluk Dewa Arak. Jadi, aku
merasa tertantang ingin kubuktikan sendiri, apakah orang
itu berhak mendapat julukan seperti itu."
Kini Arya mengerti akan duduk permasalahannya.
"Baiklah. Agar tidak terjadi korban di antara orang yang
tidak bersalah, aku menerima tantanganmu, Setan Mabuk"
"Bagus!" sahut Setan Mabuk gembira. "Tapi perlu kau
ketahui, Dewa Arak. Kita tidak hanya bertanding dalam
minum arak saja. Tapi, juga dalam ilmu silat."
"Aku mengerti," kata pemuda berambut putih keperakan
itu. "Kapan waktunya, Setan Mabuk?"
"Purnama depan!"
"Purnama depan?!" Arya mengerutkan alisnya. Karena
waktu yang ditentukan masih lebih dari sepekan.
"Mengapa harus menunggu begitu lama, Setan Mabuk?"
"Karena, bulan purnama depan adalah waktu bagi raja
raja arak untuk mengadu kekuatan minum dan ilmu silat,"
jelas kakek berperut buncit itu. "Bertahun-tahun akulah
juaranya. Tapi tahun kemarin, aku tidak mengikutinya.
Sehingga, aku tidak tahu, siapa yang menjadi juaranya."
Arya mengernyitkan dahinya. Sungguh tidak disangka
kalau persoalannya jadi semakin membesar begini.
"Bila ingin julukanmu diresmikan raja-raja arak, kau
harus mengikuti pertarungan di sana, Dewa Arak. Dan
kalau tidak, hanya dunia persilatan saja yang mengakuimu.
Tapi, tidak bagi jago-jago minum. Bagaimana? Kau ber-
sedia?!"
"Aku sudah berjanji, Setan Mabuk. Jadi, mau tak mau
harus memenuhinya. Aku akan datang. Tapi..., di mana
pertarungan itu dilangsungkan?"
"Tempatnya selalu berpindah-pindah, Dewa Arak" jawab
Setan Mabuk. "Tapi yang jelas, mereka selalu memilih
tempat-tempat yang sepi. Kudengar, tahun ini tempat
pertarungan itu akan berlangsung di Pulau Selaksa Setan.
Kau tahu tempatnya, Dewa Arak?!"
Arya menganggukkan kepala. Memang dia tahu, di
mana letak pulau itu.
"Kau ingin bersamaku atau ingin pergi sendiri, Dewa
Arak?!" tanya Setan Mabuk.
"Aku pergi sendiri saja," Jawab Dewa Arak mantap.
"He... he... he...!”
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Dan seiring suara
tawanya, tubuh kakek berperut buncit itu berkelebat dari
situ. Hanya dalam sekejapan saja, dia telah berada dalam
jarak lebih dari sebelas tombak.
Arya menggeleng-gelengkan kepala. Dia memang sudah
menduga kelihaian kakek ini dari pertarungan tadi,
meskipun hanya bertarung sebentar saja. Disadari kalau
Setan Mabuk adalah seorang lawan yang amat tangguh.
"Hhh....!”
Pemuda berambut putih keperakan itu menghela napas
berat. Dipandanginya tubuh Setan Mabuk yang semakin
lama semakin mengecil, dan akhirnya lenyap di kejauhan.
Kemudian baru kakinya melangkah meninggalkan tempat
itu. Dia harus bergegas menuju tempat yang dimaksud,
untuk memenuhi janjinya terhadap Setan Mabuk.
Apa yang akan ditemui Dewa Arak di Pulau Selaksa
Setan? Siapakah yang akan memenangkan pertarungan
adu minum itu? Dan bagaimana nasib Malinda yang
mendendam pada Dewa Arak, tapi juga ingin membalas
budi? Lalu bagaimanakah Kera Bukit Setan, Jagar, dan
yang lain-lain? Apakah Arya tidak membasmi mereka?
Jawaban untuk semua itu ada dalam judul "Pertarungan
Raja-Raja Arak'. Di sana, Dewa Arak akan menemui
kejadian yang sama sekali tidak pernah diduganya
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar