..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 07 Februari 2025

DEWA ARAK EPISODE PERTARUNGAN RAJA RAJA ARAK

Pertarungan Raja Raja Arak

 

PERTARUNGAN RAJA-RAJA ARAK
Oleh Aji Saka
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Aji Saka
Serial Dewa Arak
dalam episode: Pertarungan Raja-Raja Arak
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Matahari belum bergulir jauh ketika sosok tubuh berpakaian ungu
dan berambut putih keperakan keluar dari mulut sebuah hutan kecil.
Wajahnya tampan, dan bentuk badannya tegap berisi. Melihat sebuah guci
arak yang tersampir di pinggang, bisa ditebak kalau pemuda itu adalah
peminum kelas kakap. Namun dari ciri-cirinya, tak salah lagi. Dia adalah
Arya Buana, yang berjuluk Dewa Arak!
Dewa Arak kini melesat cepat meninggalkan Hutan Koneng.
Tujuannya adalah Pulau Selaksa Setan! Mau tak mau, dia harus kembali ke
Desa Koneng, lalu terus berjalan ke Utara.

Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi, dalam waktu sebentar saja pemuda berambut putih keperakan itu
telah tiba di tembok batas Desa Koneng.
Sesampainya di sini, Arya menghentikan larinya. Pandangannya
tertumbuk pada carikan kain yang menempel di tembok. Surat tantangan
yang ditulis di atas sehelai kain, dan diajukan oleh Setan Mabuk. Beberapa
saat lamanya pemuda berambut putih keperakan itu memperhatikan, lalu
mencabutnya. Dewa Arak merobek-robek carikan kain itu, lalu
membuangnya. Kemudian, kakinya melangkah memasuki mulut desa (Agar
jelas, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Setan Mabuk").
Arya sama sekali tidak merasa heran melihat suasana sepi yang
melingkupi sekeliling Desa Koneng. Jalan utama desa begitu lengang.
Rumah-rumah penduduk tampak menyedihkan. Sebagian besar telah porak-
poranda. Daun-daun pintu telah copot dari ambangnya. Begitu pula daun
jendela yang pergi entah ke mana.
Sambil terus menoleh ke sana kemari, pemuda berpakaian ungu itu
terus melangkah masuk ke dalam desa. Seperti juga sebelumnya, hanya
kesunyianlah yang dijumpainya. Desa Koneng benar-benar telah menjadi
desa mati.
Secara sambil lalu, Arya melangkah menghampiri sebuah rumah
yang sudah tidak memiliki daun pintu lagi. Tapi begitu melongok ke dalam,
secepat itu pula kepalanya ditolehkan keluar. Ada suara menggeretak keras
keluar dari mulutnya ketika kepalanya berpaling. Jelas kalau Dewa Arak
dilanda kemarahan hebat.
Betapa tidak? Di ruang tengah rumah itu nampak empat sosok
tubuh tengah tergolek mengerikan! Sekali lihat saja, bisa diketahui kalau
semuanya telah tewas.
Dua di antara empat mayat itu adalah anak-anak. Sementara yang
dua orang lagi adalah laki-laki dan wanita, berusia sekitar tiga puluh
tahunan. Yang laki-laki tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya.
Sedangkan yang wanita lebih mengerikan lagi keadaannya. Dia tewas dalam
keadaan pakaian tidak karuan. Dapat diduga sebelum dibunuh, lebih dulu
diperkosa!
Dengan dada terasa sesak oleh amarah bergelora, Arya melangkah
meninggalkan rumah itu. Dan kini perjalanannya dilanjutkan kembali.
Kini Dewa Arak tidak melangkah lambat-lambat seperti
sebelumnya, tapi melesat cepat mengerahkan seluruh ilmu meringankan
tubuhnya yang telah mencapai taraf kesempurnaan. Sehingga yang terlihat
kini hanyalah sekelebatan bayangan ungu yang melesat cepat keluar desa!
***
Entah berapa lama berlari, Arya sama sekali tidak menghitungnya.
Yang ada di benaknya hanya berlari sejauh-jauhnya dari tempat yang
membuat hatinya terguncang.
Pemuda berpakaian ungu itu baru melambatkan larinya begitu
melihat tembok batas sebuah desa, tak jauh di hadapannya.
Mendadak pandang mata Arya terbelalak begitu melihat sesosok
tubuh tengah berlari tersaruk-saruk dari dalam desa. Menilik dari gerak-
gerik orang itu, seperti ada sesuatu yang ditakutinya. Hal ini membuat
Dewa Arak semakin mempercepat larinya. Dia ingin tahu, apa yang
membuat orang itu bertindak demikian.
Tapi selagi jarak di antara mereka masih terpisah tak kurang dari
tujuh tombak, tubuh orang yang berlari-lari itu jatuh tersungkur. Bahkan
langsung diam tak bergerak lagi.
Gigi Arya bergemeletuk keras menahan kegeraman yang amat
sangat. Pandangan matanya yang tajam, tadi melihat sekelebatan benda
berkilauan menyambar punggung orang itu. Dan benda itulah yang
menyebabkan orang tadi roboh tersungkur.
Bertepatan robohnya orang yang berlari-lari itu, muncul sesosok
tubuh tinggi besar dan bercambang bauk lebat. Sambil tertawa terbahak-
bahak, kakinya menjejak tubuh orang yang tersungkur tadi. Maka akibatnya
sudah bisa diduga. Terdengar suara berderak keras dari tulang-belulang
yang berpatahan.
Terdengar geram kemarahan dari mulut Dewa Arak melihat
kekejaman yang berlangsung di depan matanya. Meskipun berada dalam
jarak sekitar dua batang tombak, tangan kanannya segera dikibaskan ke
depan.
Hebat luar biasa kibasan Dewa Arak. Apalagi dilakukan dalam
keadaan murka. Angin yang menderu hebat menyambar ke arah laki-laki
pemimpin perampok, yang dikenal bernama Jagar (Untuk jelasnya, baca
serial Dewa Arak dalam episode "Setan Mabuk").
Laki-laki tinggi besar itu terkejut bukan kepalang tatkala
mengetahui serangan mendadak itu. Dia tadi memang telah melihat
kedatangan Dewa Arak, tapi sama sekali memandang remeh. Bahkan tak
mempedulikannya. Jagar baru terperanjat begitu merasakan angin keras
yang menyambar ke arahnya.
Dan belum sempat berbuat sesuatu, tubuh Jagar sudah terlempar ke
belakang. Dan jatuh bergulingan di tanah. Rasa sesak yang amat sangat
seketika mendera dadanya. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, laki-laki
bercambang bauk lebat ini tidak segera bangkit berdiri. Dicobanya untuk

bangkit tapi tetap tidak mampu. Yang dapat dilakukannya hanya merangkak
bangun. Itu pun sambil menyeringai kesakitan.
Tapi belum juga berhasil bangkit berdiri, pandangan matanya
sudah tertumbuk pada sepasang kaki kokoh yang berdiri di hadapannya.
Tanpa mendongakkan kepala lagi pun, Jagar sudah bisa memperkirakan
orang yang berdiri itu. Siapa lagi kalau bukan pemuda berambut putih
keperakan itu?
Pemuda berambut putih keperakan? Mendadak laki-laki tinggi
besar itu teringat. Bukankah Setan Mabuk mencari seorang pemuda yang
berambut putih keperakan dan berjuluk Dewa Arak? Dan memang, salah
satu ciri-ciri tokoh muda yang menggemparkan itu adalah warna rambutnya
yang putih keperakan, di samping pakaiannya yang berwarna ungu dan
sebuah guci arak terbuat dari perak yang selalu tersandang di punggung.
Keinginan untuk membuktikan kebenaran dugaan yang tiba-tiba
muncul membuat Jagar mendongakkan kepala untuk meneliti lebih lanjut.
Wajah laki-laki bertubuh tinggi besar ini kontan memucat ketika
ciri-ciri itu ada pada pemuda yang berdiri di hadapannya adalah benar-benar
sosok Dewa Arak! Maka dia harus cepat memberitahukannya kepada Setan
Mabuk.
Sementara itu, Arya yang telah dilanda amarah menggelegak, telah
mengambil keputusan untuk melenyapkan orang di hadapannya. Telah
dilihatnya sendiri bukti kekejaman laki-laki tinggi besar ini.
Meskipun kemarahan melandanya, namun Dewa Arak tidak mau
bertindak saat lawan tengah berada dalam keadaan tidak siap. Maka kakinya
hanya melangkah ke belakang, memberi kesempatan pada lawan untuk
mempersiapkan diri.
Jagar menarik dan menghembuskan napas berulang-ulang untuk
menghilangkan rasa sesak yang melanda dada. Baru ketika rasa sesak itu
sudah tidak terasa lagi, dia bangkit berdiri dan langsung mencabut
goloknya. Laki-laki bercambang bauk lebat ini tahu kalau lawan adalah
tokoh berkepandaian luar biasa. Itulah sebabnya, tanpa ragu-ragu lagi
senjata andalannya langsung dicabut.
Dan begitu golok itu telah tercabut, Jagar langsung menerjang
sambil berteriak melengking nyaring. Golok di tangannya disabetkan ke
arah kepala Dewa Arak, dengan arah gerakan dari atas ke bawah. Rupanya
laki-laki tinggi besar ini ingin membelah tubuh Arya menjadi dua bagian.
Namun Arya segera mengulurkan tangan kanannya ke depan.
Dan....
Tappp...!
Mata golok Jagar kini sudah terjepit di antara telunjuk dan jari
tengah Arya.

"Uh... uh...!"
Jagar berusaha keras menarik kembali senjatanya. Tapi golok itu
tetap tak bisa ditariknya kembali. Bahkan wajahnya sampai merah padam,
dan napasnya terengah-engah. Seolah-olah, bukan dua buah jari tangan
yang menjepitnya, tapi jepitan baja yang amat kuat.
Dan begitu kedua jari tangan Dewa Arak bergerak menekuk,
terdengar suara berderak keras disusul patahnya mata golok Jagar.
Akibatnya, Jagar yang pada saat itu tengah berjuang keras menarik
pulang senjatanya, langsung terjengkang ke belakang terbawa tenaga
tarikannya sendiri. Goloknya yang kini tinggal sepotong ikut terbawa
tubuhnya yang terjengkang.
Di saat itulah, Dewa Arak mengibaskan tangan kanannya. Maka,
patahan mata golok yang berada dalam jepitan kedua jarinya melesat cepat
ke arah Jagar.
Sepasang mata laki-laki tinggi besar ini terbelalak lebar karena
perasaan kaget melihat ancaman maut yang menuju ke arahnya. Serangan
itu ingin dielakkan, tapi apa daya? Jangankan mengelakkan serangan itu,
untuk mematahkan kekuatan yang membuat tubuhnya terhuyung-huyung
saja tidak mampu! Maka....
Cappp...!
Jagar menjerit ngeri ketika mata golok itu menancap di dahinya,
sampai tidak nampak lagi. Semua patahan senjata itu amblas ke dalam
kepala laki-laki tinggi besar itu.
Berbarengan habisnya kekuatan yang membuat Jagar terjengkang,
tubuhnya pun ambruk ke tanah. Nyawanya kini telah melayang
meninggalkan raganya.
***
Dewa Arak menoleh begitu mendengar langkah kaki mendekati
tempatnya berada. Berkat pendengarannya yang tajam luar biasa, bisa
diperkirakan jumlah orang yang melangkah itu. Enam orang!
Memang, dugaan pemuda berambut putih keperakan itu tidak
salah. Beberapa saat kemudian, muncul enam sosok tubuh yang menatap ke
arahnya dengan sorot mata penuh ancaman. Mereka kini telah berdiri di
hadapan Dewa Arak, dalam jarak sekitar empat tombak.
Arya memperhatikan enam sosok tubuh itu. Yang berdiri paling
depan adalah seorang laki-laki bertubuh kecil kurus berkumis sedikit dan
berompi hitam. Di tangannya tergenggam sebatang cambuk yang juga
berwarna hitam. Dialah yang berjuluk Kera Bukit Setan. Di belakangnya,

berdiri lima sosok tubuh berwajah dan bersikap kasar. Rata-rata mereka me-
ngenakan rompi.
"Diakah orang yang kau beritahukan pada Setan Mabuk?" tanya
Kera Bukit Setan seraya menolehkan kepala, menatap salah satu dari lima
orang yang berdiri di belakangnya, yang berkulit kemerahan.
"Benar, Kera Bukit Setan," sahut laki-laki berkulit kemerahan itu
sambil menganggukkan kepala.
"Hm...!" gumam Kera Bukit Setan pelan. Kepalanya dipalingkan
kembali ke arah Arya. "Jadi kau rupanya yang berjuluk Dewa Arak?
Memang, orang usil sepertimu sudah lama ingin kulenyapkan. Apalagi kau
telah membinasakan kawan kami!"
Usai berkata demikian, laki-laki kecil kurus ini melecutkan
cambuknya ke udara.
Ctarrr...!
Arya diam saja, dan sama sekali tidak kaget atau terkejut ketika
cambuk itu meledak. Wajah pemuda berpakaian ungu ini tetap saja tenang.
Namun sebenarnya, hati Arya sama sekali tidak tenang. Bahkan
sebaliknya, hatinya malah hampir hangus terbakar amarah. Hanya berkat
kemampuan menyimpan perasaan, semua itu tidak tampak di wajahnya.
Yang jelas, pemuda berambut putih keperakan ini telah mengambil
keputusan melenyapkan para penjahat itu selama-lamanya. Bayangan sosok
tubuh anak-anak dan wanita kembali terbayang di benaknya. Dan inilah
yang menyebabkan dia mengambil keputusan demikian.
Kera Bukit Setan menjadi geram melihat Dewa Arak sama sekali
tidak menanggapi pertanyaannya. Tidak tampak kalau pemuda berambut
putih keperakan itu kaget mendengar lecutan cambuknya. Bahkan sepasang
matanya sama sekali tidak berkedip!
"Bunuh dia...!"
Kera Bukit Setan menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah
Dewa Arak. Sengaja disuruhnya lima orang kasar itu bergerak menyerang
lebih dulu. Ingin diketahuinya lebih dulu kelihaian lawan. Lebih bagus lagi,
kalau sampai bisa mengetahui perkembangan ilmunya. Dengan begitu akan
mudah diukur, bagaimana harus menghadapi pemuda berambut putih ke-
perakan itu.
Tanpa menunggu perintah dua kali, lima orang kasar itu mencabut
senjata masing-masing.
Begitu senjata itu terhunus di tangan, mereka segera bergerak
mengurung Dewa Arak. Lima orang itu tahu kalau lawan amat tangguh.
Maka mereka harus bersikap hati-hati. Mereka tidak langsung menyerang,
melainkan bergerak menghampiri dalam sikap mengurung.

Tapi, orang yang mereka kurung sama sekali tidak memberi
tanggapan apa-apa. Dewa Arak tetap diam saja, seolah-olah tidak
mempedulikan adanya ancaman bahaya.
"Seraaang...!"
Laki-laki berkulit kemerahan memberi aba-aba begitu kurungan
mereka terhadap Arya semakin mengecil.
Seiring dengan keluar teriakannya, laki-laki berkulit kemerahan itu
melompat menerjang. Golok di tangannya membabat kepala dari atas ke
bawah. Maksudnya, ingin membelah tubuh Dewa Arak menjadi dua bagian!
Pada saat yang sama, dari berbagai penjuru meluncur serangan
empat orang lainnya. Senjata-senjata di tangan mereka yang berupa pedang
dan golok berhamburan ke arah berbagai bagian tubuh pemuda berambut
putih keperakan itu.
Dewa Arak bersikap tenang, tidak nampak adanya tanda-tanda
kalau akan melakukan tindakan menghadapi serangan lawan-lawannya.
Baru ketika serangan-serangan menyambar dekat dan hampir mengenai
sasaran, kedua tangannya bergerak cepat. Seolah-olah, tangannya tidak lagi
dua buah, tapi puluhan banyaknya.
Terdengar suara berdebuk keras disusul berpentalannya tubuh lima
orang kasar itu. Senjata-senjata yang semula tergenggam di tangan,
berpentalan entah ke mana.
Berbarengan jatuhnya senjata-senjata itu di tanah, tubuh lima orang
itu pun jatuh berdebuk keras dan tak mampu bangkit lagi. Mereka semua
tewas seketika. Darah segar langsung mengalir keluar dari mulut dan
hidung mereka.
Kera Bukit Setan terperanjat melihat hal ini. Sungguh di luar
dugaan kalau lima orang itu akan roboh tewas dalam segebrakan. Begitu
tinggikah kepandaian pemuda itu? Ataukah lima orang itu yang terlalu
ceroboh? Rasanya mustahil kalau lawan yang semuda itu memiliki
kepandaian yang begitu tinggi.
Perasaan penasaran membuat Kera Bukit Setan cepat melupakan
keterkejutannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tangan kanannya
digerakkan. Cambuk hitam di tangannya segera meluncur deras ke arah
ubun-ubun Dewa Arak. Angin berkesiutan nyaring menjadi pertanda
kuatnya tenaga dalam yang terkandung dalam serangannya.

Tappp!
Ujung cambuk itu berhasil ditangkap Arya. Kera Bukit Setan
terperanjat bukan main. Dia tidak menyangka kalau Dewa Arak berani
menangkap cambuknya! Bahkan tanpa terluka sama sekali. Dari sini saja
sudah bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak.

Dewa Arak kali ini benar-benar tidak main-main lagi. Segera
seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pada tangan kanan. Dan begitu ujung
cambuk itu hampir mengenai sasaran, tangannya bergerak cepat me-
nyambar. Dan....
Tappp!
Ujung cambuk itu berhasil ditangkap Dewa Arak.
Untuk yang kedua kalinya, Kera Bukit Setan terperanjat. Tapi
kekagetan kali ini jauh lebih besar daripada sebelumnya. Memang tidak
disangka kalau pemuda berpakaian ungu itu berani menangkap cambuknya.
Bahkan tanpa terluka sama sekali. Dari sini saja sudah bisa diperkirakan
kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Dewa Arak.
Tapi Kera Bukit Setan memang terlalu keras kepala. Meskipun
sudah bisa menerka kalau tenaga dalam lawan berada di atas tenaga
dalamnya, tapi tetap saja tidak mau melepaskan cambuknya. Bahkan
sebaliknya malah membetot. Maksudnya sudah jelas. Dia ingin menarik
kembali senjatanya.
Selebar wajah laki-laki berompi hitam ini sampai merah padam.
Dari mulutnya pun keluar suara keluhan pertanda telah mengeluarkan
tenaga melewati batas dalam usaha menarik pulang senjatanya. Tapi, usaha-
nya tetap saja sia-sia. Padahal, Dewa Arak sepertinya tidak mengeluarkan
tenaga sama sekali. Wajah pemuda berpakaian ungu itu biasa-biasa saja.
Setelah membiarkan Kera Bukit Setan sibuk dengan usahanya
beberapa saat mendadak Arya melepaskan cekalannya. Tak pelak lagi,
tubuh laki-laki berompi hitam itu terjengkang ke belakang terbawa tenaga
tarikannya sendiri.
Tindakan Arya tidak berhenti sampai di situ saja. Kaki kanannya
langsung menendang sebuah batu sebesar jempol kaki yang tergolek di
tanah. Pelan saja kelihatannya, tapi kenyataan yang terlihat tidak
sesederhana itu.
Singgg...!
Diiringi suara mendesing nyaring yang menyakitkan telinga, batu
itu meluncur deras ke arah Kera Bukit Setan laksana anak panah lepas dari
busur.
Laki-laki bertubuh kecil kurus itu terkejut bukan main melihat
adanya bahaya maut yang mengancamnya. Dia ingin mengelak, tapi
terlambat. Apalagi keadaannya saat itu sama sekali tidak menguntungkan.
Maka....
Takkk!
"Aaakh!"

Tubuh Kera Bukit Setan kontan terjengkang. Seketika, nyawanya
melayang meninggalkan raga. Ubun-ubunnya pecah seketika terkena
sambaran batu itu.
Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikannya lagi. Pemuda
berambut putih keperakan itu langsung melesat meninggalkan tempat itu.
Dia ingin buru-buru tiba di Pulau Selaksa Setan.
Hanya dalam beberapa kali melangkah, tubuh Arya sudah terlihat
sebesar telapak kaki di kejauhan. Semakin lama, tubuh pemuda berpakaian
ungu itu semakin mengecil. Dan akhirnya lenyap di kejauhan.

DUA

Kicau burung sudah tidak terdengar lagi. Sinar sang mentari sudah
tidak begitu nikmat lagi di kulit. Memang, hari sudah mulai beranjak siang.
Dalam suasana seperti itu, sebuah perahu yang ditumpangi dua
sosok tubuh meluncur ke tengah laut. Menilik dari laju perahu, bisa
diperkirakan kalau mereka tengah terburu-buru.
"Sudah bisa kuperkirakan kalau pertarungan kali ini jauh lebih
ramai daripada sebelumnya, Malaikat Jari Besi," kata salah seorang dari
mereka yang tengah duduk di lantai perahu seraya terus mengayuhkan
dayung.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh sedang. Rambutnya panjang
melewati bahu. Wajahnya dipenuhi bintik hitam, bekas jerawat.
"Aku pun berpikiran demikian, Saratoga," sahut orang yang
dipanggil Malaikat Jari Besi.
Malaikat Jari Besi bertubuh kekar berotot. Jari-jari tangannya
terlihat keras bukan kepalang. Laki-laki kekar ini juga terus mengayuh
dayungnya.
Perahu itu meluncur cepat sekali, mantap dan tanpa hambatan.
Gelombang yang terkadang membuat perahu mereka terombang-ambing,
kontan hancur terbelah diterjang moncong perahu. Sesekali mereka berada
di puncak gelombang, tepi tak jarang seperti terbenam. Dan nampaknya,
mereka bukan orang sembarangan.
Malaikat Jari Besi adalah tokoh persilatan aliran putih yang cukup
ternama. Disegani kawan dan ditakuti lawan. Telah tidak terhitung lagi,
tokoh persilatan aliran hitam yang tewas di tangannya. Dan berkat
keberadaannya, Desa Ampel dan desa-desa sekitarnya aman dari gangguan
orang jahat.
Tokoh yang bernama Saratoga pun bukan orang sembarangan.
Memang diakui, dia tidak setenar Malaikat Jari Besi, rekannya. Tapi,
kelihaiannya mungkin tidak di bawah laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
Malaikat Jari Besi dan Saratoga terus saja mengayuh dayungnya.
Dan tentu saja kayuhan itu disertai pengerahan tenaga dalam, karena
mereka tengah tergesa-gesa.
"Bisa kuperkirakan, sekarang Pulau Selaksa Setan telah dipenuhi
tokoh persilatan," Saratoga kembali membuka percakapan.
"Sudah pasti," sahut Malaikat Jari Besi. "Tahun-tahun sebelumnya
saja, ramai. Apalagi sekarang? Kudengar, Dewa Arak tokoh yang
menggemparkan itu akan ikut dalam pertarungan kali ini."
"Kudengar juga begitu, Malaikat Jari Besi."

"Makanya kita harus bergegas, agar tidak bingung memilih
tempat," tandas Malaikat Jari Besi seraya menambah tenaga kayuhan pada
dayungannya.
"Kau benar."
Setelah berkata demikian, Saratoga menambah tenaga kayuhan
pada dayungannya pula, sehingga perahu itu meluncur laksana anak panah
melesat dari busur.
Saratoga dan Malaikat Jari Besi terus saja mengayuh disertai
pengerahan tenaga dalam. Sehingga, ketika matahari hampir berada di atas
kepala, pulau yang dimaksud telah tampak. Sebuah pulau yang berbentuk
tengkorak kepala manusia.
"Itu Pulau Selaksa Setan, Saratoga...!" seru Malaikat Jari Besi
seraya menudingkan telunjuk ke arah pulau yang dimaksud.
Laki-laki berwajah penuh bintik mengangguk pertanda
membenarkan. Memang, dia juga telah melihat pulau yang begitu
menyeramkan itu.
"Mengapa pulau itu mempunyai nama yang begitu seram, Malaikat
Jari Besi?" tanya Saratoga sambil menatap wajah laki-laki bertubuh kekar
berotot itu.
"Cerita sebenarnya aku pun tidak tahu, Saratoga," sahut Malaikat
Jari Besi setelah beberapa saat lamanya tercenung. "Tapi menurut berita
yang terdengar, dulu tempat ini didiami makhluk-makhluk pemakan
manusia."
"Makhluk pemakan manusia?" selak Saratoga setengah tidak
percaya. "Bagaimana bentuk mereka?"
Malaikat Jari Besi menggeleng.
"Aku pun tidak tahu karena hanya bersumber dari berita saja. Dan
menurut berita yang kudengar pula, makhluk-makhluk itu lenyap dua tahun
yang lalu ketika badai mengamuk. Rupanya, mereka semua hanyut dilanda
badai. Dan sejak itu, mereka tidak ketahuan lagi beritanya," jelas laki-laki
bertubuh kekar berotot itu mengakhiri ceritanya.
"Ahhh...! Syukurlah...!" desah Saratoga. Ada nada kelegaan dalam
suaranya begitu mendengar akhir cerita tentang makhluk-makhluk itu.
Suasana menjadi hening sejenak ketika Malaikat Jari Besi tidak
malanjutkan ucapan. Sementara Saratoga pun tidak menanggapi lagi.
Sekarang yang terdengar hanyalah suara riak air yang terbelah oleh dayung-
dayung mereka, dan suara gelombang laut.
Kini kedua tokoh aliran putih itu mulai mengarahkan perahu
mereka ke tepi Pulau Selaksa Setan. Dan dengan tenaga dalam yang
dimiliki, Malaikat Jari Besi dan Saratoga tidak mengalami kesulitan untuk

melawan arah gelombang laut, dan mengarahkan perahu ke Pulau Selaksa
Setan.
Begitu perahu mereka menepi, Saratoga dan Malaikat Jari Besi
melompat ke pantai. Seperti sudah disepakati dari semula, begitu mendarat
Saratoga langsung menarik perahu ke tepi dan menambatkannya.
Sedangkan Malaikat Jari Besi langsung saja mengedarkan pandangan ke
sekeliling.
"Aneh...," gumam laki-laki kekar berotot itu pelan. Dahinya pun
berkernyit. Jelas ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti itu.
"Ada apa, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga.
Dia kini telah selesai menambatkan perahunya pada sebuah batu
karang di pinggir laut. Rupanya, laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini
mendengar adanya nada keheranan dalam ucapan rekan seperjalanannya.
Malaikat Jari Besi merayapi selebar wajah Saratoga dengan sorot
mata sungguh-sungguh.
"Kau tidak melihat adanya keanehan di sini, Saratoga?" Malaikat
Jari Besi malah balik bertanya. Nada suaranya menyiratkan keheranan dan
juga tuntutan jawaban.
Laki-laki yang berwajah penuh bintik-bintik hitam itu tidak
langsung menjawab pertanyaan rekannya. Tapi malah mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Dia ingin mengetahui keanehan yang dimaksud
kawannya.
"Bagaimana, Saratoga?" desak Malaikat Jari Besi, tidak sabar.
Saratoga menggelengkan kepala.
"Aku tidak melihat adanya keanehan yang kau maksudkan itu,
Malaikat Jari Besi," sahut Saratoga seraya menatap wajah laki-laki kekar
berotot itu lekat-lekat "Kecuali, yahhh.... Suasana sepi yang melingkupi
tempat ini..."
"Justru itulah keanehan yang kumaksudkan!" tandas Malaikat Jari
Besi cepat.
"Maksudmu...?" Saratoga kini mulai mengerti maksud
pembicaraan rekannya. Dan ini kontan membuat jantungnya berdebar
tegang.
"Kau tahu, Saratoga," laki-laki kekar berotot itu memulai
penjelasannya, dengan perasaan tegang. "Tahun-tahun sebelumnya, suasana
pertemuan ini ramai bukan main. Padahal, pertarungan masih lima hari lagi.
Tapi sekarang...? Apa yang kau lihat Saratoga?"
Malaikat Jari Besi menghentikan ucapannya sejenak, seraya
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang hanya kesunyian dan
suasana lengang yang melingkupi sekeliling tempat itu. Sejauh mata

memandang, yang terlihat hanyalah tanah lapangan luas dan bukit-bukit
batu terjal. Tidak tampak adanya tanda-tanda kehidupan.
Laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu menggelengkan kepala.
"Sepi...," jawab Saratoga serak "Tapi, barangkali saja banyak
orang persilatan yang tidak mengetahui tempat ini...."
Malaikat Jari Besi menggelengkan kepala.
"Pulau Selaksa Setan amat terkenal, Saratoga. Hampir tidak ada
tokoh persilatan yang belum mendengar namanya. Jadi, dugaanmu sama
sekali tidak masuk akal."
Saratoga terdiam. Memang diakui, bantahan Malaikat Jari Besi
mengandung kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
"Lalu..., bagaimana kesimpulanmu, Malaikat Jari Besi?" tanya
Saratoga.
Suara laki-laki berwajah penuh bintik hitam itu tercekat di
tenggorokan. Hatinya berdebar tegang. Meskipun telah mempunyai dugaan
sendiri, tapi dia ingin mendengar dugaan laki-laki kekar berotot itu. Ingin
diketahuinya, apakah dugaan mereka sama.
Malaikat Jari Besi tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dihembuskannya kuat-kuat. Seolah-olah
dengan bertindak seperti itu, semua ketegangan yang melanda ingin
dibuangnya.
Betapa tidak tegang? Biasanya lima hari menjelang pertarungan,
belasan tokoh persilatan telah bermunculan di tempat pertarungan. Tapi
sekarang? Tidak datangkah mereka? Rasanya mustahil! Berita tentang akan
ikut sertanya Dewa Arak dalam pertarungan kali ini, telah membuat dunia
persilatan gempar. Mustahil kalau sampai dua hari menjelang pertarungan,
tak ada seorang pun yang datang? Tapi kalau benar mereka datang, ke
manakah lenyapnya? Ngeri hati kedua tokoh itu membayangkan belasan
tokoh persilatan yang lenyap begitu saja. Lenyap tanpa jejak.
"Aku tidak berani menyimpulkan apa-apa, Saratoga," kata
Malaikat Jari Besi akhirnya. "Hanya saja..., aku mempunyai firasat buruk..."
Jantung dalam dada Saratoga semakin berderak tegang. Dia kenal
betul siapa rekannya. Malaikat Jari Besi memang mempunyai firasat yang
amat peka. Sepertinya, dia memiliki indera keenam sehingga dapat
mengetahui bahaya yang akan terjadi. Mungkin firasatnya yang tajam
karena kebiasaannya bergaul dengan binatang-binatang peliharaannya.
Bahkan sepertinya dia telah paham bahasa-bahasa binatang.
"Bulu tengkukku berdiri semua, Saratoga...," sambung Malaikat
Jari Besi dengan suara semakin bergetar. "Aku yakin, bahaya yang kali ini
mengancam tidak main-main lagi. Hatiku gelisah bukan main."

"Kalau begitu..., bagaimana kalau kita kembali saja?" usul
Saratoga tiba-tiba. "Kau setuju?"
Malaikat Jari Besi tercenung sejenak. Rupanya, usul rekannya itu
tengah dipertimbangkannya.
"Sebuah usul yang baik," sambut laki-laki kekar berotot itu.
Setelah mendengar persetujuan Malaikat Jari Besi, Saratoga
langsung bergerak kembali ke pinggir laut, tempat perahunya ditambatkan.
Sedangkan di belakang, rekannya bergerak mengikuti.
"Celaka...!"
Mendadak Saratoga berteriak keras. Wajah laki berwajah penuh
bintik hitam ini pucat pasi menatap ke arah tempat perahu ditambatkan.
Tempat kini kosong, tidak tampak ada sepotong papan pun di sana. Apalagi
perahu! Bukan hanya Saratoga saja yang terperanjat. Malaikat Jari Besi pun
dilanda perasaan yang sama. Sesaat lamanya mereka menatap penuh
perasaan tak percaya pada tempat perahu ditambatkan yang kini telah
kosong melompong.
"Firasatku ternyata benar...," tegas Malaikat Jari Besi dengan
suara kering. "Bersiap-siaplah, Saratoga! Aku yakin bahaya yang akan
menimpa kita akan sangat mengerikan! Hanya saja, aku tidak tahu, bahaya
apa itu. Tapi yang jelas, naluriku telah memperingatkan demikian."
Setelah berkata demikian, tangan laki-laki kekar rotot itu segera
bergerak ke arah punggung. Sesaat kemudian, tangannya bergerak ke depan.
Seketika sinar terang berkeredep begitu Malaikat Jari Besi mencabut
senjatanya. Kini di tangan laki-laki kekar berotot itu telah tergenggam
sebatang golok besar!
Saratoga tidak mau ketinggalan. Seketika senjata andalannya
dikeluarkan. Sebatang pedang yang berwarna putih berkilat.
"Tidak ada jalan lain. Kita harus terus masuk ke dalam pulau."
Meskipun agak bergetar, tapi ucapan yang keluar dari mulut
Malaikat Jari Besi terdengar mantap.
"Aku belum pernah merasa setakut ini, Malaikat Jari Besi,"
Saratoga berbisik pelan.
"Mengapa merasa takut, Saratoga?" tanya laki-laki kekar berotot
seraya menatap rekannya lekat-lekat.
Laki-laki berwajah penuh bintik-bintik itu menarik napas panjang-
panjang dan menghembuskannya kuat-kuat sebelum menjawab pertanyaan
rekannya tadi.
"Karena melihat rasa takut yang melandamu, Malaikat Jari Besi,"
jawab Saratoga. "Aku tahu, siapa dirimu sebenarnya. Kau adalah seorang
manusia yang mempunyai naluri binatang. Dan dari rasa takut luar biasa

yang melandamu, aku sudah bisa memperkirakan kalau bahaya yang
mengancam akan sangat mengerikan."
Laki-laki bertubuh kekar berotot itu tidak menyahuti ucapan
Saratoga, karena memang semua ucapan Saratoga itu benar belaka. Indera
keenamnya sering memperingatkan adanya bahaya yang mengancam. Tapi,
rasanya belum pernah seperti ini, sehingga membuatnya gelisah bukan
kepalang. Bahaya seperti apakah yang akan mengancam?
Malaikat Jari Besi dan Saratoga melangkah perlahan-lahan, kian
memasuki pulau. Sepasang mata mereka menatap ke sekeliling, bersikap
waspada.
Senjata-senjata yang tergenggam erat di tangan, menjadi pertanda
betapa besar perasaan tegang yang melanda hati mereka.
Kalau tidak mengalami sendiri, baik Malaikat Jari Besi maupun
Saratoga tentu tidak akan percaya. Mereka benar-benar dicekam rasa takut
yang menggelegak, padahal bahaya yang diduga belum tentu ada.
"Saratoga...! Lihat..!"
Dengan pandangan mata masih tetap mengawasi sekeliling,
Malaikat Jari Besi menudingkan telunjuk tangan kiri ke tanah. Sementara
tangan kanan tetap menggenggam golok andalannya erat-erat.
Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam itu mengalihkan pandang ke
arah yang ditunjuk rekannya.
"Apa dugaanmu, Saratoga?" tanya Malaikat Jari Besi setelah laki-
laki berwajah penuh bintik hitam itu selesai memperhatikan tanah yang
ditunjukkannya. Keadaan tanah di situ tampak porak poranda.
"Sepertinya telah terjadi sebuah pertarungan di sini, Malaikat Jari
Besi," sahut Saratoga mengajukan dugaan. "Melihat keadaan tanah di sini,
aku yakin telah terjadi sebuah pertarungan besar-besaran."
Laki-laki kekar berotot itu menganggukkan kepala, pertanda
membenarkan dugaan rekannya.
"Tingkatkan kewaspadaan, Saratoga. Kekhawatiran kita
nampaknya beralasan...."
Ucapan Malaikat Jari Besi terpaksa dihentikan karena Saratoga
memberi isyarat pada laki-laki bertubuh kekar itu untuk menghentikan
ucapannya.
"Aku mendengar langkah-langkah kaki yang menuju kemari,
Malaikat Jari Besi...," jelas laki-laki berwajah penuh bintik-bintik hitam itu,
sebelum rekannya sempat mengajukan pertanyaan. Nada suaranya terdengar
pelan, dan lebih mirip bisikan.
Malaikat Jari Besi pun memusatkan perhatian pada kedua
telinganya. Memang, ucapan rekannya sama sekali tidak keliru. Ada banyak
langkah kaki yang bergerak mendekati mereka.

"Arahnya dari sana...," tunjuk laki-laki bertubuh kekar berotot itu.
Tangannya menuding ke tempat yang penuh gundukan batu-batu besar.
Saratoga menganggukkan kepala pertanda membenarkan, karena
memang telah menduga demikian.
"Langkah-langkah kaki yang ringan," sambung Malaikat Jari Besi
lagi. "Mengingatkanku pada binatang-binatang yang tengah memburu
mangsa."
Saratoga mengernyitkan dahinya.
"Aku belum mengerti maksudmu, Malaikat Jari Besi."
"Langkah-langkah kaki yang tidak begitu jelas menapak di tanah.
Padahal, jumlah mereka cukup banyak ini membuktikan kalau gerombolan
itu sudah terbiasa dengan pekerjaan seperti ini. Dugaanku lebih condong ke
situ daripada kalau gerombolan itu rata-rata memiliki tingkat kepandaian
tinggi," jawab Malaikat Jari Besi memberi penjelasan.
"Maksudmu...?"
Meskipun sudah cukup mengerti maksud pembicaraan rekannya,
Saratoga tetap mengajukan pertanyaan. Ingin dipastikannya ucapan yang
keluar dari mulut laki-laki kekar berotot itu. Jantung laki-laki berwajah
penuh bintik hitam ini berdebar tegang ketika mendengar penjelasan
panjang lebar rekannya.
"Kita berhadapan dengan sekelompok orang yang telah biasa
berburu.... Dan menilik kegelisahanku..., aku khawatir kita berhadapan
dengan para pemburu manusia."
Saratoga menelan air liur untuk membasahi tenggorokannya yang
mendadak kering.
"M…, ma..., maksudmu.... Kita berhadapan dengan manusia yang
doyan makan daging manusia...?" terdengar suara serak ketika Saratoga
mengajukan pertanyaan itu.
Belum sempat Malaikat Jari Besi menjawab pertanyaan itu, dari
balik gundukan batu-batu bermunculan sosok-sosok tubuh kekar berkulit
coklat gelap.
Dan secepat mereka bermunculan, secepat itu pula bergerak
mengurung Malaikat Jari Besi dan Saratoga. Jelas, kalau mereka sudah
terbiasa dengan perbuatan seperti itu.
"Ambil posisi saling melindungi, Saratoga," bisik Malaikat Jari
Besi.
Saratoga mengerti maksud ucapan rekannya. Maka, dia pun
bergerak ke belakang Malaikat Jari Besi. Kini, kedua orang itu mengambil
posisi saling membelakangi. Punggung Malaikat Jari Besi dan Saratoga
saling beradu satu sama lain.

"Dugaanku ternyata benar, Saratoga. Kita berhadapan dengan
orang-orang yang terbiasa makan daging manusia...," jelas Malaikat Jari
Besi sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Di sekeliling Malaikat Jari Besi dan Saratoga, tampak belasan
orang yang bertubuh rata-rata kekar dan bertelanjang dada. Wajah dan
sekujur tubuh mereka penuh coreng-moreng. Penutup tubuh berbentuk
rumbai-rumbai bertengger di bagian bawah tubuh mereka. Jelas kalau
mereka adalah kelompok manusia terasing yang terpisah dari manusia
umumnya.
"Kenapa mereka tidak langsung menyerang kita, Malaikat Jari
Besi?" tanya Saratoga ketika melihat gerombolan orang berpakaian
seadanya itu hanya mengurung seraya mengamang-amangkan senjata di ta-
ngan.
Senjata-senjata gerombolan itu aneh dan mengerikan sekali.
Kapak-kapaknya terbuat dari batu-batu cadas yang keras, dan agak
diruncingi pada bagian ujungnya.
"Kurasa menunggu pimpinan mereka dulu, Saratoga," jawab
Malaikat Jari Besi mengajukan dugaan.
Laki-laki berwajah penuh bintik-bintik hitam terdiam. Jawaban
Malaikat Jari Besi rasanya tidak mungkin salah lagi. Memang, sejak tadi
Saratoga telah mengedarkan pandangan untuk menerka pimpinan
gerombolan itu. Tapi sampai lelah menolehkan lehernya, tetap saja tidak
melihat sosok yang pantas menjadi pemimpin. Semua anggota gerombolan
yang mengurung mereka mempunyai penutup tubuh yang hampir sama satu
sama lain. Sang pemimpin pasti akan berbeda dengan anak buahnya.
"Sang pemimpin telah datang, Saratoga...," kata Malaikat Jari Besi
ketika melihat dua sosok tubuh yang berjalan tenang mendekati tempat
mereka.

TIGA

Saratoga segera membalikkan tubuh. Hatinya kini tidak merasa
khawatir lagi. Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini yakin, gerombolan
itu tidak akan menyerang sebelum ada perintah dari sang pemimpin.
Gerombolan pengepung yang berada di depan Malaikat Jari Besi
menyibak, memberi jalan ketika pemimpin mereka muncul. Padahal, kedua
sosok itu masih berjarak lebih dari dua tombak.
Mata Saratoga dan Malaikat Jari Besi terbelalak memandang dua
sosok tubuh yang bergerak mendatangi. Dua sosok yang sudah pasti adalah
sang pemimpin.
Sosok pertama adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dan
berotot kekar. Kulit tubuhnya berwarna hitam kecoklatan, sehingga semakin
menambah keangkerannya. Apalagi dengan adanya bulu-bulu kasar yang
tumbuh di sekujur wajahnya. Sehingga membuat laki-laki ini kian terlihat
garang.
Tapi yang membuatnya kelihatan lebih garang lagi adalah topi bulu
burung garuda di kepalanya. Hal ini membuktikan kalau laki-laki ini adalah
pemimpin gerombolan itu.
Baik Saratoga maupun Malaikat Jari Besi sama sekali tidak merasa
kaget melihat penampilan pemimkn gerombolan itu. Mereka memang sudah
menduganya. Tapi, sosok kedua yang berada di sebelah siang ketua itulah
yang membuat mereka terperanjat. Betapa tidak? Sosok kedua adalah
seorang gadis yang wajahnya tidak jelas terlihat. Memang, di bagian
dahinya terlilit akar bahar yang dihiasi tirai penutup wajah, dari rumbai-
rumbai. Tapi meskipun begitu bisa ditebak kalau gadis itu memiliki wajah
yang cantik biar biasa.
Tubuh gadis itu tidak tertutup rapat. Memang, tubuhnya hanya
ditutupi ala kadarnya. Sehingga, terlihat putih, halus, dan mulus. Bentuk
tubuhnya pun menggiurkan. Sehingga Malaikat Jari Besi dan Saratoga yang
sudah tidak terbilang muda lagi, mau tak mau menelan air liur melihat
pemandangan yang terpampang di hadapan mereka.
"Bagaimana, Dewi?" tanya pemimpin gerombolan sambil menoleh
ke arah gadis cantik yang berada di sebelahnya. "Apakah kedua orang ini
harus menerima nasib yang sama dengan orang-orang sebelumnya?"
Wanita cantik jelita yang dipanggil Dewi itu menatap Malaikat Jari
Besi dan Saratoga dari balik rumbai-rumbai yang menutupi wajahnya.
"Mereka bukan orang yang kucari, Dedemit Alam Akhirat" tegas
wanita cantik itu.

Laki-laki berwajah kasar yang ternyata berjuluk Dedemit Alam
Akhirat itu mendengus. "Bunuh mereka!"
Setelah berkata demikian, pemimpin gerombolan itu lalu
melingkarkan tangannya ke bahu Dewi.
"Mari, Dewi! Kita saksikan tontonan menarik ini dari tempat yang
teduh."
Wanita berkulit putih itu sama sekali tidak membantah. Kakinya
kemudian melangkah mengikuti Dedemit Alam Akhirat yang telah
meninggalkan tempat itu lebih dulu.
***
Saratoga, terutama sekali Malaikat Jari Besi terkejut bukan
kepalang tatkala mendengar Dewi memanggil pemimpin gerombolan
pemakan manusia itu dengan julukan Dedemit Alam Akhirat. Jelas, kalau
panggilan itu mempunyai arti luar biasa bagi kedua tokoh itu.
Dan memang, dua tokoh aliran putih itu tahu, siapa Dedemit Alam
Akhirat. Dia adalah seorang tokoh sesat yang mengerikan. Julukannya saja
sudah membuat nyali semua orang ciut. Tokoh itu memang terkenal
memiliki kekejaman yang tidak ada taranya. Dan lagi, kepandaiannya pun
sulit diukur.
Yang lebih mengerikan lagi, adalah kekejamannya! Dedemit Alam
Akhirat ini gemar makan daging manusia hidup-hidup begitu saja. Lalu,
mengapa tahu-tahu tokoh itu berada di sini? Itulah pertanyaan yang
bergayut di benak Malaikat Jari Besi dan Saratoga.
Tapi kedua orang itu tidak bisa terlalu lama disibuki pikiran-
pikiran semacam itu. Karena, gerombolan pemakan manusia itu sudah
mendapat perintah untuk menyerang.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Saratoga segera bergerak ke
belakang Malaikat Jari Besi. Maksudnya sudah bisa diterka. Apa lagi kalau
bukan untuk membuat posisi saling melindungi? Sesaat kemudian, kedua
sahabat ini telah saling mengadu punggung
"Hati-hati, Saratoga," Malaikat Jari Besi memberi nasihat
"Tampaknya mereka bukan lawan ringan...."
Peringatan Malaikat Jari Besi sama sekali tidak mendapat
tanggapan. Dan memang, Saratoga tidak sempat lagi menanggapinya.
Bahkan ucapan laki-laki kekar berotot itu pun terhenti secara mendadak,
karena gerombolan pemakan manusia itu sudah bergerak menyerang dengan
senjata-senjata yang berbentuk aneh.
Sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring yang mendirikan
bulu kuduk, gerombolan orang kasar itu maju menyerang. Senjata-senjata

mereka terayun deras ke berbagai bagian tubuh kedua tokoh aliran putih
yang terjebak itu.
Malaikat Jari Besi dan Saratoga tentu saja tidak tinggal diam, dan
segera melakukan perlawanan. Senjata yang sejak tadi tergenggam di
tangan digerakkan, untuk menyambut serangan yang menyambar.
Sesaat kemudian dentang senjata beradu terdengar menyemaraki
pertarungan. Bunga-bunga api pun memercik ke udara, ikut menyemaraki
pertarungan.
Malaikat Jari Besi dan Saratoga bertarung mengerahkan seluruh
kemampuan yang dimiliki. Mereka tahu kalau hasil pertarungan ini
menentukan hidup dan mati. Baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga ter-
nyata memiliki tingkat kepandaian yang berada jauh di atas lawan-
lawannya. Tenaga dalam, ilmu meringankan tubuh, maupun mutu ilmu silat
kedua orang tokoh persilatan aliran putih itu ternyata jauh lebih unggul.
Kalau saja pertarungan itu berlangsung satu lawan satu, sudah
dapat dipastikan kalau Malaikat Jari Besi dan Saratoga akan dapat
merobohkan lawan-lawannya.
Tapi karena gerombolan pemakan mausia itu menyerang secara
keroyokan, pertarungan jadi berlangsung sengit. Apalagi, anak buah
Dedemit Alam Akhirat itu bertarung secara membabi buta.
Meskipun terlihat serampangan, tapi serangan gerombolan
pemakan manusia itu tampak saling susul seperti gelombang laut. Sehingga
untuk beberapa jurus lamanya, Malaikat Jari Besi dan Saratoga tidak
mampu balas menyerang. Mereka hanya mampu menghindar, dan
menangkis hujan serangan itu.
Setiap kali kedua tokoh itu melakukan tangkisan, tubuh anak buah
Dedemit Alam Akhirat terlempar balik ke belakang. Tak terdengar jerit
tertahan keluar dari mulut, meskipun tangan mereka terasa bergetar hebat
ketika senjatanya tertangkis.
Selama beberapa jurus, Malaikat Jari Besi dan Saratoga hanya
menangkis saja. Baru menjelang jurus kesepuluh mereka mulai menyerang.
"Hih...!"
Sambil menggertakkan gigi, Malaikat Jari Besi menusukkan golok
besarnya ke arah perut seorang anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Takkk!
Hampir saja laki-laki bertubuh kekar berotot ini menjerit ketika
goloknya terpental balik sewaktu mengenai sasaran. Seakan-akan, yang
ditusuk bukan perut manusia, tapi gumpalan karet keras dan kenyal.
Keterkejutan ini hampir saja mencelakakan laki-laki bertubuh
kekar berotot ini. Karena pada saat itu, serangan kapak lawan meluncur

deras ke arah kepala. Untung pada saat terakhir kepalanya mampu dimi-
ringkan.
Wusss...!
Serangan kapak itu lewat sekitar sejari di samping kepalanya.
Rambut kepalanya yang berkibar keras menjadi petunjuk, betapa kuatnya
tenaga yang terkandung dalam ayunan kapak tadi.
Malaikat Jari Besi merasa penasaran bukan kepalang. Dalam
benaknya berkecamuk berbagai macam dugaan. Benarkah gerombolan
pemakan manusia ini memiliki kulit tubuh yang kenyal? Atau tadi ada
sebuah kekeliruan?
Banyaknya pertanyaan yang bergayut di benak Malaikat Jari Besi,
sehingga membuatnya ingin membuktikan sekali lagi.
Jerit kekagetan Malaikat Jari Besi tadi, tentu saja terdengar
Saratoga. Laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini seketika khawatir akan
nasib rekannya. Maka begitu mendapat kesempatan, Saratoga menoleh.
Hati laki-laki berwajah bintik-bintik hitam ini lega ketika melihat
Malaikat Jari Besi tidak menderita apa-apa. Tapi, mengapa dia tadi
menjerit?
"Ada apa, Malaikat Jari Besi?" tanya Saratoga menyempatkan diri
begitu kembali mendapat kesempatan.
"Mereka memiliki tubuh kebal, Saratoga," jelas Malaikat Jari Besi
seraya menangkis serangan lawan.
"Benarkah itu?" tanya Saratoga seraya menangkis serangan
beruntun yang mengancam berbagai bagian tubuhnya.
Ada nada keterkejutan dalam suara Saratoga!
Memang sejak tadi, dia belum berhasil menyarangkan satu
serangan pun. Hujan serangan yang mengancamnya terlalu bertubi-tubi,
sehingga tidak ada kesempatan untuk melancarkan serangan balasan.
Tapi berapa jurus kemudian, baik Malaikat Jari Besi maupun
Saratoga sudah mulai leluasa melancarkan serangan balasan. Dan perasaan
terkejut yang amat sangat pun mulai melanda, tatkala menghadapi
kenyataan kalau para pengeroyok memang memiliki tubuh kebal.
Berkali-kali golok Malaikat Jari Besi maupun pedang Saratoga
mengenai berbagai bagian tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat. Tapi
akibatnya, senjata-senjata itu malah terpental balik seperti menghantam
gumpalan karet kenyal.
Setelah berkali-kali menghantamkan senjata ke berbagai bagian
tubuh para pengeroyoknya tanpa hasil, baru kedua tokoh aliran putih ini
yakin akan dugaan mereka. Para pengeroyok ternyata memang benar-benar
memiliki kekebalan kulit tubuh.

Meskipun begitu, Malaikat Jari Besi dan Saratoga sama sekali
tidak putus asa. Mereka berdua tetap saja melancarkan serangan bertubi-
tubi, selama mendapat kesempatan. Hanya saja, sasaran yang dituju selalu
berganti-ganti. Bila sebelumnya bahu, kemudian ganti leher. Begitu
seterusnya. Yang jelas, mereka mencoba setiap bagian tubuh lawan. Sebagai
tokoh berpengalaman, kedua orang ini tahu kalau setiap ilmu memiliki
kelemahan. Dan mereka berusaha menemukannya.
Entah sudah beberapa bagian tubuh yang dibacok, tusuk, tetak,
maupun babat. Tapi tetap saja tidak ada hasil seperti yang diharapkan.
Senjata-senjata Malaikat Jati Besi dan Saratoga sama sekali tidak mampu
berbuat apa-apa.
Keuntungan yang ada di pihak Malaikat Jari Besi dan Saratoga
adalah tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki jauh berada di atas
tawan. Sehingga, tidak terlalu sulit untuk mengelakkan serangan balasan
yang dilancarkan lawan. Tambahan lagi, tenaga dalam mereka juga jauh di
atas lawan. Sehingga setiap kali menangkis, cukup untuk membuat orang
yang ditangkis tidak mampu menyerang lagi beberapa saat.
Tapi kalau keadaan ini berlangsung terus-menerus, tentu akan
menguras seluruh kemampuan mereka. Maka tidak aneh ketika pertarungan
menginjak seratus jurus, kedua orang itu mulai merasa lelah.
Seiring perasaan lelah yang mendera, tenaga kedua tokoh yang
terjebak itu semakin berkurang. Dan dengan sendirinya, kegesitan mereka
berkurang pula. Akibatnya sudah bisa diduga. Perlawanan Malaikat Jari
Besi dan Saratoga pun mulai mengendur.
Baik Malaikat Jari Besi maupun Saratoga menyadari kalau lambat
laun akan roboh di tangan para pengeroyok Dan itu sudah pasti. Betapa
tidak? Setiap serangan yang dilancarkan sama sekali tidak berarti apa-apa.
Sedangkan serangan para pengeroyok, setiap saat dapat merenggut nyawa!
Di atas kertas, gerombolan pemakan manusia jelas lebih unggul!
***
"Ha ha ha...! Kau lihat Dewi? Tidak lama lagi kita akan melihat
sebuah tontonan menarik. Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa terbahak-bahak sambil
menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah pertarungan berlangsung.
Sementara tangan kanannya yang sejak tadi melingkar di bahu yang putih,
halus, dan mulus milik Dewi, perlahan mulai merayap turun. Persis seekor
ular merayap turun dari pohon.
Dewi diam saja. Sama sekali tidak diberikan tanggapan atas
perbuatan Dedemit Alam Akhirat. Karuan saja hal ini membuat tindakan

pemimpin gerombolan pemakan manusia ini semakin liar. Tangan itu pun
semakin merayap turun.
Telapak tangan yang semula berada di bahu kanan Dewi, kini
sudah mulai berpindah tempat. Tangan itu sudah berada di bagian dada atas.
Sehingga, laki-laki berwajah kasar itu tentu saja harus menggeser duduknya
agar lebih dekat dengan Dewi. Memang, Dedemit Alam Akhirat dan Dewi
duduk di atas sebuah batu besar yang terletak agak tinggi. Dan itu memang
disengaja pemimpin gerombolan pemakan daging manusia itu.
Dan ketika jari-jari tangan Dedemit Alam mulai menyentuh
payudara kanan, Dewi buru menepiskannya dan beranjak bangkit.
"Mengapa, Dewi?" tanya Dedemit Alam seraya bangkit berdiri
pula. Ucapannya terdengar agak terengah-engah, pertanda mulai diamuk
nafsu.
"Aku belum menemukan orang yang kucari, tapi kau sudah hendak
menagih upahnya," kata ketus.
"Tapi sampai kapan aku harus menunggu ora yang kau inginkan,
Dewi? Iya, kalau orang itu datang kemari.... Kalau tidak?!" Suara Dedemit
Alam Akhirat semakin lama semakin meninggi. Jelas kalau amarah nya
mulai bangkit. "Ingat, Dewi! Kesabaran ada batasnya. Jangan membuat aku
terpaksa bertindak kasar, Dewi. Kau tahu, akibatnya akan sangat
mengerikan bagimu!"
Suasana menjadi hening sejenak begitu Dedemit Alam Akhirat
menghentikan ancamannya. Meskipun perubahan wajah Dewi sulit
diketahui karena terlindung uraian jerami, tapi menilik dari kedua kakinya
yang menggigil keras, sudah dapat diterka kalau di tengah dilanda rasa takut
yang hebat mendengar ancaman itu.
Dewi telah melihat sendiri bukti kekejaman Dedemit Alam Akhirat
beberapa hari yang lalu. Saat itu, laki-laki berwajah kasar ini memperkosa
seorang pendekar wanita, sambil memakan tubuh wanita malang yang
berhasil ditaklukkannya.
Itulah sebabnya, hatinya merasa takut dan ngeri bukan main begitu
mendengar ancaman itu. Dewi memerlukan waktu beberapa saat untuk
menenangkan hatinya. Ditarik napasnya dalam-dalam, lalu dihembus-
kannya kuat-kuat. Dan memang, setelah berbuat demikian, perasaan hatinya
mulai tenang kembali.
"Aku tidak bohong, Dedemit Alam Akhirat. Telah kudengar
sendiri pembicaraan mereka. Kedua orang itu berjanji akan bertemu di sini
untuk mengadu ilmu.... Percayalah! Bila orang-orang yang kucari itu telah
berhasil kau tangkap, dengan sukarela akan kuserahkan diriku padamu...."
"Sebenarnya, siapa orang yang kau cari itu, Dewi?" tanya Dedemit
Alam Akhirat.

Suara laki-laki berwajah keras itu masih agak keras, meskipun
tidak sekeras sebelumnya. Kalimat terakhir yang diucapkan gadis itulah
yang telah meredakan amarahnya yang menggelegak. Tanpa sadar, laki-laki
berwajah keras ini menelan air liurnya ketika membayangkan kemolekan
tubuh gadis ini bila menyerahkan diri kepadanya.
"Dewa Arak dan Setan Mabuk!" tegas dan mantap sekali, ucapan
yang keluar dari mulut Dewi.
Dedemit Alam Akhirat mengernyitkan dahinya jenak.
"Nama Dewa Arak sama sekali belum pernah kudengar. Tapi Setan
Mabuk, sejak dulu telah kudengar. Hanya sayangnya, aku belum
mempunyai kesempatan untuk bertarung dengannya. Padahal, sudah lama
aku ingin menjajal kepandaiannya."
"Tapi Dewa Arak justru tidak kalah lihai dibanding Setan Mabuk,
Dedemit Alam Akhirat," tegas Dewi seperti memberi nasihat.
"Kalau dia adalah seorang tokoh tangguh, mengapa aku belum
pernah mendengar nama besarnya?!" sergah laki-laki berwajah kasar itu.
Nada suaranya terdengar penuh ketidakpuasan, karena mendengar gadis
yang diinginkannya justru memuji-muji lawan.
"Dia baru muncul beberapa bulan belakangan ini," jelas Dewi.
"Sedangkan kau mengurung diri tempat terpencil selama hampir dua tahun.
Jadi bagaimana mungkin bisa mendengar nama besarnya yang telah
menggegerkan dunia persilatan?"
Dedemit Alam Akhirat mengangguk-anggukkan kepala.
"Kau boleh memuji-muji Dewa Arak setinggi langit Dewi. Tapi,
satu hal yang perlu kau ketahui Dedemit Alam Akhirat tidak mungkin bisa
dikalahkan oleh siapa pun! Belasan, bahkan mungkin puluhan tahun
lamanya aku malang-melintang dalam dunia persilatan. Tapi, tak ada
seorang pun yang sanggup menghalangi tindakanku. Bahkan puluhan orang
pendekar telah mengeroyokku, tapi aku berhasil membantai mereka semua,"
tandas Dedemit Alam Akhirat, jumawa.
Laki-laki berwajah kasar itu menghentikan ucapannya sejenak.
Rupanya karena terlalu berapi-api dalam berbicara, napasnya jadi terengah-
engah.
"Bahkan tanpa ada seorang pun yang tahu, kalau aku telah
melanglang buana terlampau jauh. Bahkan sampai ke daerah kekuasaan
Iblis Hitam. Kami kemudian bertarung. Kalau saja dia tidak memiliki ke-
unggulan dalam hal senjata kapaknya yang amat beracun, dan keistimewaan
jubah pusakanya, aku pasti berhasil mengalahkannya," sambung Dedemit
Alam Akhirat penuh amarah (Untuk jelasnya mengenai tokoh Iblis Hitam,
silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Peninggalan Iblis Hitam").

"Jadi..., Iblis Hitam berhasil mengalahkanmu, Dedemit Alam
Akhirat?"
Meskipun tidak tahu-menahu mengenai tokoh yang disebutkan
pemimpin gerombolan pemakan manusia itu, tapi Dewi memaksakan diri
untuk menanyakannya. Mungkin hanya sekadar basa-basi. Suatu hal yang
wajar kalau gadis bertubuh molek ini tidak mengetahuinya, karena tempat
tinggal Iblis Hitam amat jauh dari situ. Paling tidak harus melewati
beberapa hutan, sungai, dan puluhan desa untuk bisa tiba di sana.
"Ha ha ha...! Mana mungkin Dedemit Alam Akhirat bisa
dikalahkan?! Pertarungan antara kami berlangsung seimbang. Kau tahu,
Dewi. Iblis Hitam di daerah sana telah menjadi legenda. Tak ada seorang
pun yang pernah mengalahkannya. Dia bercokol dan merajalela sampai
seratus tahun bahkan mungkin lebih."
Suasana menjadi hening sejenak ketika Dedemit Alam Akhirat
menghentikan ucapannya. Sementara, Dewi sama sekali tidak bertanya lagi.
Kini mereka berdua mengalihkan pandangan kembali ke arah pertarungan
yang tengah berlangsung.

EMPAT

Sementara itu, pertarungan antara Malaikat Jari Besi dan Saratoga
dalam menghadapi gerombolan pemakan manusia telah semakin mendekati
penyelesaian. Keadaan kedua tokoh aliran putih itu sudah semakin payah
dan mengkhawatirkan.
Pertarungan memang sudah berlangsung hampir seratus lima puluh
jurus. Bukan merupakan hal yang aneh kalau kedua tokoh aliran putih ini
merasa lelah bukan main.
Sebenarnya, bukan hanya kedua orang tokoh itu saja yang merasa
lelah. Para pengeroyoknya pun demikian pula. Tapi, rasa lelah yang
melanda gerombolan pemakan manusia itu tidak seperti yang dialami
Malaikat Jari Besi dan Saratoga.
"Akh...!"
Saratoga menjerit keras ketika tiba-tiba kapak batu lawan keras
sekali menghantam bahunya. Kontan sambungan tulang bahunya terlepas.
Darah pun mengalir dari bagian yang terluka. Akibatnya, pedang di tangan
kanan laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini terlepas dari pegangan.
Tubuhnya pun terhuyung ke belakang.
Belum sempat Saratoga berbuat sesuatu, kapak di tangan
pengeroyok yang lain telah menghantam pahanya. Suara berderak keras
terdengar mengiringi hantaman itu.
Seketika itu juga tubuh laki-laki berwajah penuh bintik hitam ini
terguling. Dan secepat itu pula, berbondong-bondong gerombolan pemakan
manusia menyergapnya.
"Saratoga...!"
Malaikat Jari Besi menjerit keras melihat peristiwa yang menimpa
rekannya. Tapi apa daya? Dia sendiri pun tengah berada dalam keadaan
terhimpit-himpit. Maka, laki-laki bertubuh kekar berotot ini hanya sempat
melihat sekilas keadaan rekannya.
Meskipun hanya sekilas, tapi tak urung semua bulu kuduk
Malaikat Jari Besi berdiri. Bahkan perutnya kontan mual! Betapa tidak?
Gerombolan pemakan manusia menghujani sekujur tubuh Saratoga dengan
senjata, tapi tidak untuk membunuhnya. Hanya membuatnya tidak berdaya
lagi.
Kemudian, setelah itu mereka mengeluarkan pisau. Namun,
sebenarnya tidak pantas bila disebut pisau, karena matanya tumpul. Dan
dengan pisau itu, anak buah Dedemit Alam Akhirat menyayat daging
Saratoga, kemudian memakannya mentah-mentah! Darah yang memancur
deras dari tubuh rekannya pun dihirup dan dijilati dengan rakusnya.

Saratoga melolong-lolong karena rasa sakit tak terkira pada sekujur
tubuhnya. Rasanya, tak tahan Malaikat Jari Besi mendengar jeritan itu.
Kalau saja bisa, sudah diterobosnya kumpulan orang-orang biadab itu.
Sayangnya, dia sendiri tidak berdaya.
Cukup lama juga Saratoga melolong-lolong menjelang maut. Dan
bertepatan dengan lenyapnya jeritan laki-laki berwajah penuh bintik hitam
itu, Malaikat Jari Besi mengalami nasib yang sama. Tanpa dapat dicegah
lagi, tubuhnya terhantam sebuah kapak batu. Keras sekali!
Seketika Malaikat Jari Besi terhuyung-huyung ke depan. Dan
sebelum sadar apa yang telah terjadi, kembali sebuah palu batu besar
menghantam dadanya. Seketika, Malaikat Jari Besi jatuh terjungkal ke
belakang. Dan di saat itulah dia disambut terkaman beberapa orang
pengeroyoknya.
Seperti juga Saratoga, laki-laki bertubuh kekar berotot itu pun
menjerit-jerit menahan rasa sakit yang tidak terhingga ketika sedikit demi
sedikit daging tubuhnya dipreteli dengan pisau tumpul. Maka, akhirnya dia
tewas secara menyedihkan.
Kini gerombolan pemakan manusia bangkit berdiri dengan
perasaan puas. Mulut mereka masih mendecap-decap menikmati santapan
yang menurut mereka lezat bukan main.
"Ha ha ha...!"
Dedemit Alam Akhirat tertawa terbahak-bahak. Tampak jelas
sekali kegembiraan di wajahnya. Sepasang matanya menatap penuh rasa
puas pada tubuh Malaikat Jari Besi dan Saratoga yang kini tinggal tulang-
belulang saja. Bahkan tidak ada darah setitik pun pada kedua tengkorak itu.
Semuanya habis dilahap.
Masih dengan suara tawa yang belum juga lenyap, Dedemit Alam
Akhirat melangkah meninggalkan tempat itu. Tangan kanannya kini
melingkar di bahu Dewi yang merasa perutnya mual dan ingin muntah
menyaksikan pemandangan di hadapannya. Kalau saja tidak ada Dedemit
Alam Akhirat yang memaksanya untuk menyaksikan, sudah sejak tadi
tempat itu ditinggalkannya.
Dengan gereng penuh kepuasan, gerombolan pemakan manusia itu
pun bergerak mengikuti. Beberapa di antara mereka membawa tulang-
belulang Malaikat Jari Besi dan Saratoga. Memang, masih ada yang belum
sempat mereka nikmati. Sumsum yang terletak di dalam tulang!
***

Dewa Arak menatap ke arah pulau berbentuk tengkorak kepala
manusia yang tampak di hadapannya. Perlahan dayungnya dikayuh dan
perahunya diarahkan ke pulau, yang tidak lain Pulau Selaksa Setan.
Tak lama kemudian, pemuda berambut putih keperakan itu telah
mulai mendekati tepi pulau. Air pun memercik pelan begitu sepasang kaki
Dewa Arak menyentuh pinggir pantai.
Arya mengedarkan pandangan sebentar ke sekeliling pulau, baru
kemudian menyeret perahu agak ke darat. Lalu, diambilnya sebuah kayu
yang panjangnya tak kurang dari dua jengkal, dan dihunjamkannya ke
dalam tanah hingga lebih dari setengahnya. Pada patok yang dibuat tadi, tali
perahunya ditambatkan. Memang, pemuda berambut putih keperakan itu
masih membutuhkan perahu untuk meninggalkan Pulau Selaksa Setan nanti.
Arya mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Aneh.... Apakah belum ada orang yang datang?" gumam Dewa
Arak pelan. Dahinya pun berkernyit dalam, pertanda tengah berpikir keras.
Dengan kepala masih tetap memperhatikan sekeliling, Dewa Arak
terus melangkah. Meskipun kewaspadaan tidak tampak pada sikapnya, tapi
sebenarnya sikapnya begitu waspada saat melihat suasana yang hening.
Seluruh urat syaraf dan otot tubuhnya menegang kaku, bersiap menghadapi
serangan mendadak.
Dan baru beberapa tombak melangkah, Dewa Arak mendengar
adanya bunyi air beriak. Memang pelan saja kedengarannya, tapi karena
tengah waspada penuh, bisa tertangkap oleh pendengarannya. Dan seketika
itu pula kepalanya menoleh ke belakang.
"Hey...!"
Pemuda berambut putih keperakan ini berseru kaget ketika melihat
beberapa sosok tubuh coklat kehitaman berpakaian ala kadarnya, telah
memotong tali perahunya.
Arya tentu saja tidak sudi membiarkan hal itu begitu saja. Tapi
sebelum dia bergerak mengejar, terdengar banyak sekali suara mendesing
nyaring disusul berkelebatannya benda-benda berkilat ke arah berbagai
bagian tubuhnya.
Dewa Arak langsung mengerutkan keningnya. Menilik suara
desingan yang begitu tajam, jelas kalau benda-benda berkilat yang meluncur
itu adalah anak panah.
Dengan pikiran masih diliputi teka-teki tentang orang-orang
berpakaian seadanya itu, Dewa Arak memutarkan kedua tangannya.
Luar biasa! Belasan anak panah yang meluncur ke arahnya semua
tertangkis. Suara berderak keras akibat beradunya kedua tangan Dewa Arak
dengan anak-anak panah, seketika terdengar. Sebagian besar runtuh ke

tanah, dalam keadaan patah-patah. Sedangkan sisanya terpental balik
kembali ke arah semula.
Baru saja pemuda berambut putih keperakan itu ingin kembali
mencegah perahunya yang dibawa kabur, terdengar suara langkah kaki
ribut, disusul bermunculannya belasan sosok tubuh seperti yang semula
dilihatnya.
Arya terperanjat melihat hal ini. Meskipun belum pernah
mendengar, tapi sudah bisa memperkirakan keganasan orang-orang yang
mengurungnya. Apalagi kalau bukan penghuni Pulau Selaksa Setan yang
terasing dan biadab! Apakah Setan Mabuk mendustainya mengenai akan
diadakannya pertarungan antara raja-raja arak. Kalau iya, untuk apa
menjebaknya? Bukankah kakek yang menggiriskan itu belum tentu kalah
olehnya?
Tapi kalau Setan Mabuk tidak menipunya, mengapa tempat ini
penuh orang yang menilik dari pakaian yang dikenakan adalah orang-orang
biadab? Bukankah syarat utama tempat pertarungan, seperti yang dikatakan
kakek berkepala botak itu, adalah tempat sepi? Tapi mengapa kini ramai?
Dan mengapa tidak tampak adanya seorang pun di sini? Baik orang-orang
yang ingin menonton, juri, maupun tokoh-tokoh yang hendak bertarung?
Ataukah Dewa Arak telah salah mendarat? Mungkinkah ini bukan
Pulau Selaksa Setan? Ah! Tidak mungkin! Arya tahu betul, perjalanannya
tidak salah! Pulau tempatnya mendarat ini memang benar-benar Pulau
Selaksa Setan!
Dan Arya kini tidak bisa berpikir lebih lama lagi, karena sosok
yang mengurung sudah bergerak mengelilinginya.
Dewa Arak memperhatikan belasan orang yang berpakaian
sekadarnya itu. Ada perasaan kaget di hati tatkala melihat ada taring yang
tersembul di sudut-sudut mulut para pengeroyoknya.
Melihat keadaan para pengepungnya, Arya jadi bersikap hati-hati.
Kelainan pada diri merekalah yang membuatnya jadi lebih bersikap
waspada. Sepasang mata Arya berputar, memperhatikan semua tindak-tan-
duk anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Agak heran juga hati Dewa Arak tatkala melihat para
pengeroyoknya sama sekali tidak bergerak menyerang, tapi hanya
mengurung saja. Melihat hal ini, Arya bisa menebak kalau ada sesuatu yang
tengah ditunggu gerombolan itu.
Dugaan Dewa Arak tidak keliru! Dari balik gundukan batu besar,
melesat sesosok tubuh ramping yang kemudian hinggap dalam jarak sekitar
satu batang tombak dari kepungan gerombolan pemakan manusia itu.
Sepasang mata Dewa Arak terbelalak lebar ketika sosok bayangan
itu telah berdiri tegak. Betapa tidak? Sosok yang baru muncul ini, amat

berbeda dengan para pengepungnya. Dia adalah seorang wanita yang begitu
cantik. Kulitnya putih, halus, dan mulus. Bahkan bentuk tubuhnya sangat
menggiurkan. Raut wajah gadis itu tidak terlihat, karena tertutup rumbai-
rumbai yang agak rapat.
"Tangkap pemuda itu...!"
Gadis cantik yang tak lain Dewi itu memberi perintah dengan suara
keras. Seketika itu juga, gerombolan pemakan manusia yang mengepung
Arya mulai bergerak.
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini mereka tidak menggunakan
kapak, melainkan tambang panjang berwarna putih. Melihat dari
keadaannya, bisa diperkirakan kalau tambang itu ulet dan alot bukan ke-
palang.
Dewa Arak langsung mengernyitkan alisnya. Meskipun bisa
memperkirakan kalau lawan akan menangkapnya hidup-hidup,
menggunakan tambang, tapi belum bisa diketahui apa yang akan dilakukan
mereka.
Itulah sebabnya, Dewa Arak hanya bisa memperhatikan sambil
memasang sikap waspada. Seluruh urat-urat dan otot-otot tubuhnya
menegang, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Mendadak gerombolan pemakan manusia itu berputar mengelilingi
Dewa Arak dengan arah masing-masing tidak seragam. Mereka berlari ke
sana kemari tidak beraturan.
Tentu saja hal ini membuat Dewa Arak kebingungan. Biji matanya
berkeliaran mengikuti gerakan berputar lawan-lawannya. Tapi karena
tubuh-tubuh yang berputar sama sekali tidak beraturan, sehingga pemuda
berambut putih keperakan itu jadi pusing sendiri. Apalagi, ketika tubuhnya
beberapa saat ikut pula berputar. Maka, kepalanya malah jadi pening.
Arya memang belum pernah mengalami peristiwa seperti ini. Jadi,
tidak aneh kalau jadi bingung karenanya. Dan tahu-tahu tubuhnya telah
terbelit tambang-tambang berwarna putih itu. Baru setelah tubuh Arya
terbelit, gerakan berputar para pengeroyoknya pun terhenti.
Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak terkejut bukan kepalang.
Buru-buru tenaga dalamnya dikerahkan untuk memutuskan tambang-
tambang yang menjeratnya. Tapi, tambang-tambang itu ternyata alot bukan
main. Entah terbuat dari bahan apa, tidak diketahuinya sama sekali.
Meskipun gagal dengan usaha pertamanya, Dewa Arak tidak putus
asa. Segera tenaga dalam simpanannya dikeluarkan. 'Tenaga Sakti Inti
Matahari'.
Seketika itu juga, ada hawa panas yang menjalar sekujur
tubuhnya. Meskipun begitu, tetap saja tambang-tambang itu tidak bisa
diputuskan.

Arya sama sekali tidak putus asa. Tetap saja 'Tenaga Sakti Inti
Matahari' dikerahkan terus. Tujuannya adalah untuk membuat para
pengeroyok melepaskan pegangan pada tambang, karena tidak kuat
menahan serangan hawa panas 'Tenaga Sakti Inti Matahari' yang merayap.
Dugaan Dewa Arak memang tepat. Belasan orang yang memegang
tambang mulai menggeram-geram, begitu tangan mereka terasa panas
bukan kepalang. Tapi, rupanya anak buah Dedemit Alam Akhirat terhitung
orang-orang yang keras hati. Betapapun menyengatnya panas yang melanda
telapak tangan, tetap saja genggaman itu tidak dilepaskan.
Dewi rupanya melihat hal itu. Hatinya khawatir juga bila lawan
tangguhnya akan berhasil lolos. Maka dia pun cepat melesat ke depan. Dan
dengan jari telunjuk menegang kaku, ditotoknya punggung Dewa Arak!
Tukkk..!
"Akh...!"
Dewi menjerit keras ketika ujung jari telunjuknya terasa patah-
patah dan panas bukan kepalang ketika menyentuh punggung Dewa Arak.
Seolah-olah, yang ditotoknya tadi bukan kulit manusia, melainkan
lempengan baja tebal yang panas membara!
"Hmh...!"
Terdengar suara mendengus keras disusul melesatnya sesosok
bayangan ke arah Dewa Arak. Dan sekali sosok bayangan itu mengulurkan
jari menotok, tubuh Dewa Arak terkulai lemas.
Di sebelah Dewi, kini berdiri sesosok tubuh berwajah kasar.
Kepalanya memakai topi terbuat dari bulu burung garuda. Siapa lagi kalau
bukan Dedemit Alam Akhirat?
"Inikah orang yang kau cari itu, Dewi?" tanya laki-laki berwajah
kasar itu.
Ada kilatan rasa gembira di wajah Dedemit Akhirat ketika
mengajukan pertanyaan itu. Terbayang di benaknya, betapa gadis yang
bertubuh molek itu akan sukarela menyerahkan diri kepadanya.
Dewi mengangguk lesu. Memang, hatinya masih merasa terkejut
manakala totokannya ternyata sama sekali tidak berarti apa-apa. Apalagi
ketika teringat akan janjinya pada Dedemit Alam Akhirat. Rasanya jijik bila
membayangkan laki-laki yang berwajah kasar dan berbau busuk itu akan
menggelutinya.
"Ha ha ha...! Kalau begitu, sudah tiba saatnya bagiku untuk
menerima upahnya...!" tagih laki-laki berwajah kasar itu keras. Sepasang
matanya merayapi sekujur tubuh Dewi.
"Berikan kesempatan padaku untuk membalas dendam pada
pemuda ini, Dedemit Alam Akhirat. Aku tidak sudi diganggu sewaktu

menyiksanya," pinta wanita bertubuh molek itu seraya menatap wajah De-
demit Alam Akhirat dengan sepasang mata penuh permohonan.
"Hm...!" pemimpin gerombolan pemakan manusia itu
menggumam. Dahinya berkemyit dalam. Tampak jelas kalau tengah
mempertimbangkan permintaan Dewi.
"Setelah puas melampiaskan dendamku padanya, aku akan
sukarela menyerahkan diri kepadamu. Terserah apa yang akan kau lakukan
pada diriku...," sambung wanita berkulit putih itu buru-buru. "Bagaimana,
Dedemit Alam Akhirat?"
Dengan susah payah laki-laki berwajah kasar itu menelan ludah
ketika di benaknya terbayang betapa nikmatnya menggeluti tubuh molek
yang memiliki kulit putih, halus, mulus, dan menggiurkan itu.
"Baiklah. Kukabulkan permintaanmu," jawab tokoh sesat yang
menggiriskan itu dengan suara yang mendadak serak.
Seketika wajah Dewi berseri.
"Terima kasih, Dedemit Alam Akhirat!"
Setelah berkata demikian, gadis bertubuh menggiurkan ini
melangkah menghampiri Dedemit Alam Akhirat. Dan....
Cuppp!
Pipi laki-laki berwajah kasar itu langsung dikecupnya.
Dedemit Alam Akhirat tidak tahan lagi menahan nafsunya. Dengan
kasar ditahannya kepala Dewi yang akan ditarik kembali. Kemudian,
dengan buas dilumatnya sepasang bibir yang merah, ranum, menggiurkan,
dan bagus bentuknya itu.
Dewi meronta-ronta, tapi Dedemit Alam Akhirat yang tengah lupa
diri tidak sudi melepaskannya. Pegangannya pun dipertahankan pada kuduk
gadis itu. Dan dengan rakus dijarahnya sepasang bibir Dewi. Baru setelah
merasa cukup puas, gadis itu dilepaskannya.
Dewi menatap dengan sinar mata berkilat-kilat. Perutnya kini
mendadak mual. Mulut Dedemit Alam Akhirat ternyata berbau busuk.
Sepertinya, di dalam mulut laki-laki berwajah kasar itu terdapat onggokan
bangkai! Sekuat tenaga, ditahannya keinginan untuk muntah.
"Sisa upahmu kutagih belakangan, Dewi," ujar Dedemit Alam
Akhirat Napasnya terdengar agak memburu.
Tapi Dewi sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan gerak
isyarat, disuruhnya beberapa orang anak buah Dedemit Alam Akhirat
membawa tubuh Dewa Arak.
Namun gerombolan pemakan manusia yang diperintahnya justru
malah menoleh ke arah Dedemit Alam Akhirat. Baru ketika tokoh sesat
yang menggariskan itu menganggukkan kepala, mereka bergerak memenuhi
permintaan Dewi.
Dewi pun berjalan mendahului. Di belakangnya, berjalan
gerombolan pemakan manusia yang memawa tubuh Dewa Arak. Baru di
belakangnya lagi, berjalan belasan orang gerombolan lainnya bersama
Dedemit Alam Akhirat.

LIMA

Dengan langkah pasti, Dewi melangkah memasuki salah satu dari
sekian banyak gua yang terdapat di dinding gundukan batu yang besar
menyerupai bukit itu.
Anak buah Dedemit Alam Akhirat yang membawa tubuh Dewa
Arak yang terkulai lemas, mau tak mau ikut pula melangkah masuk ke
dalam. Tapi yang lain, dan juga Dedemit Alam Akhirat masuk ke gua lain,
tidak ikut masuk ke gua yang dimasuki Dewi.
Gua itu ternyata mempunyai lorong yang cukup panjang dan
berliku-liku. Baru setelah jarak yang ditempuh mencapai dua belas tombak,
lorong gua mulai membesar dan melebar.
Di sini, tidak hanya ada satu lorong gua saja, tapi ada empat buah
lorong. Dewi yang rupanya sudah cukup mengetahui tempat itu segera
memilih lorong gua kanan.
Setelah menempuh jalan sekitar delapan tombak, sampailah
mereka pada sebuah ruangan yang cukup luas, dan anehnya cukup terang.
Dewi sama sekali tidak pernah ambil pusing mengenai asal sinar yang
membuat ruangan gua jadi terang. Mungkin bagian atap gua yang terbuat
dari batu itu menyerap sinar, dan memantulkannya. Namun gadis bertubuh
molek itu sama sekali tidak mempedulikannya.
"Masukkan dia ke dalam kurungan itu!" perintah Dewi sambil
menudingkan telunjuk ke arah salah satu dinding gua yang berupa ruang
tahanan. "Dan tinggalkan tempat ini!"
Dua orang anak buah Dedemit Alam Akhirat segera melemparkan
tubuh Dewa Arak ke sudut ruangan, lalu melangkah lebar meninggalkan
tempat itu. Mereka sama sekali tidak menoleh-noleh lagi.
Dewi menatap tubuh kedua orang manusia biadab itu hingga
lenyap dari pandangan, baru kemudian melangkah masuk menghampiri
Arya yang tergolek lemah tak berdaya. Totokan Dedemit Alam Akhiratlah
yang menyebabkannya demikian.
Itulah sebabnya, meskipun tubuhnya sudah tidak terikat lagi. Dewa
Arak sama sekali tidak mampu untuk bergerak lagi.
Dewi melangkah menghampiri Dewa Arak dengan sinar mata
aneh. Tapi, pemuda berpakaian ungu itu sama sekali tidak mengetahui
karena wajahnya terhalang rumbai-rumbai.
Begitu telah berada di dekat Dewa Arak yang terbaring, gadis
bertubuh molek itu menghempaskan pantarnya dan duduk di situ.
"Kau...," sebuah ucapan serak keluar dari mulut Dewi. "Betapa
inginnya aku membunuhmu. Kaulah yang telah membunuh ayahku. Tapi,

mengapa kau juga yang telah menyelamatkanku dari malapetaka yang
mengerikan?"
Arya mengernyitkan alisnya, pertanda tengah berpikir keras.
Sepertinya suara seperti ini pernah didengarnya. Tapi kapan dan di mana,
dia lupa. Hanya satu hal yang dapat diterka. Gadis yang berada di
perkampungan orang biadab itu mempunyai urusan dengannya.
"Siapakah kau sebenarnya, Nisanak?" tanya pemuda berpakaian
ungu itu setelah lama berpikir tanpa mendapat jawaban sepotong pun.
"Jangan selak ucapanku, Dewa Arak!" sergah Dewi keras.
"Dengarkan saja dulu ceritaku, baru nanti kau akan mengetahuinya."
Dewa Arak pun terdiam. Bukan karena menuruti perintah gadis
berkulit putih itu, tapi merasa tidak ada gunanya bertanya lagi.
"Aku dilanda perasaan bimbang," lanjut Dewi. "Di satu pihak, aku
ingin membalas kematian ayahku. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa
melupakan begitu saja pertolonganmu atas bahaya mengerikan yang hampir
menimpaku...."
Gadis berpakaian ala kadarnya itu menghentikan ucapan sejenak
untuk menenangkan perasaannya.
"Begitu kudengar kau akan menuju Pulau Selaksa Setan, aku
bergegas mendahuluimu. Pulau ini dulu adalah milik salah seorang yang
menjadi guru ayahku. Makanya, begitu aku datang, masalahnya langsung
kuceritakan. Namun demikian, aku tidak memberitahukan nama, sehingga
dia terpaksa memanggilku Dewi. Karena, katanya wajahku cantik bukan
kepalang. Guru ayahku itu memang bersedia membantu, tapi dengan satu
syarat..."
Sampai di sini, Dewi mendadak menghentikan ucapannya. Jelas
lanjutan cerita itu menyedihkan hatinya.
Sementara itu Arya hanya diam saja mendengarkan. Dia sama
sekali tidak bertanya, meskipun gadis bertubuh molek itu menghentikan
ceritanya.
"Aku harus bersedia menjadi pendamping hidupnya. Orang yang
telah pernah menjadi guru ayahku itu mencintaiku, Dewa Arak"
"Apakah orang yang kau maksudkan adalah laki-laki kasar yang
telah menotokku?" tanya Dewa Arak setengah hati karena khawatir tidak
akan mendapatkan jawaban Dewi. Rupanya, pemuda berpakaian ungu ini
tidak mampu juga menahan rasa ingin tahunya.
Dewi menganggukkan kepala.
"Dia berjuluk Dedemit Alam Akhirat," sahut gadis berwajah cantik
jelita itu setengah mendesah.
"Hanya untuk membalas dendam padaku saja kau harus
mempertaruhkan segalanya, Nisanak?" tanya

Dewa Arak lagi, merasa heran.
"Tidak hanya pada kau saja, Dewa Arak," sambut Dewi cepat.
"Tapi juga pada Setan Mabuk, yang telah menghinaku!"
"Ah...!"
Seruan keterkejutan terdengar dari mulut Dewa Arak begitu
mendengar ucapan Dewi yang terakhir. Kini sudah bisa diduga siapa
sebenarnya gadis yang mengenakan rumbai-rumbai pada wajahnya itu. Ha-
nya ada seorang gadis yang diselamatkannya dari bahaya mengerikan Setan
Mabuk. Dan gadis itu adalah....
"Kau..., kau..., Malinda...?" tanya Arya terbata-bata.
Baru saja Arya mengucapkan demikian, wanita bertubuh
menggiurkan itu merenggut rumbai-rumbai di wajahnya.
Pralll...!
Seketika itu juga seraut wajah cantik terpampang di hadapan Dewa
Arak. Dan memang, itu adalah wajah Malinda, putri Mayat Kuburan
Koneng!
"Sebelum aku membalas dendam atas perbuatanmu terhadap
ayahku..., aku ingin membalas budi padamu Dewa Arak," kata Dewi yang
ternyata adalah Malinda.
Putri Mayat Kuburan Koneng itu menghentikan ucapannya
sebentar. Tampak jelas kalau hatinya merasa berat melanjutkan kata-
katanya.
"Kau adalah pemuda pertama yang telah melihat tubuhku, Dewa
Arak. Padahal aku telah bersumpah, hanya orang yang akan menjadi
suamiku saja yang berhak melihat tubuhku. Dan apabila aku tidak
menyukainya, dia harus mati!"
Wajah Dewa Arak seketika memucat. Disadari kalau dirinya
sekarang akan berhadapan dengan sebuah persoalan rumit.
"Tapi.... Tapi..., Setan Mabuk toh melihatnya pula. Bahkan dia
lebih gila lagi...," bantah Arya terbata-bata.
Ngeri hati Dewa Arak membayangkan harus menjadi suami
Malinda. Bagaimana nanti dengan Melati? Ah! Betapa rindu hatinya pada
gadis berpakaian serba putih itu. Hanya Melati-lah satu-satunya wanita yang
ingin dijadikan istri. Tidak ada yang lain! Tidak pula Malinda!
"Sumpahku hanya ditujukan untuk para pemuda, Dewa Arak. Dan
kaulah orang pertamanya. Bahkan kau pula yang telah menyelamatkanku
dari bahaya mengerikan itu," tandas Malinda.
"Lalu..., bagaimana janjimu pada Dedemit Alam Akhirat?" Arya
mencoba untuk berkelit.
"Aku bukan jenis orang yang suka mengingkari janji, Dewa Arak!"
dengus gadis bertubuh molek itu. "Janjiku pada Dedemit Alam Akhirat

tetap kupenuhi. Tapi, tentu saja setelah aku membalas budi, sekaligus
dendam padamu!"
"Tapi..., bukankah kalau kau tidak menyukai pemuda yang melihat
tubuhmu, akan kau bunuh juga?" Arya masih terus mencoba berkelit.
Kontan selebar wajah Malinda memerah, bahkan sampai ke kedua
telinganya.
"Beruntunglah kau, Dewa Arak. Kau terhitung pemuda yang cukup
menarik."
Pelan sekali ucapan yang keluar dari mulut Malinda. Jelas kalau
gadis itu merasa malu mengucapkan kata-kata itu. Bahkan sewaktu
mengatakannya, sama sekali tidak berani mengangkat kepala.
"Jadi...?" Arya memutuskan ucapannya dengan suara bergetar
karena perasaan tegang.
"Kau tetap menjadi suamiku, sekalipun hanya sehari saja!"
Kali ini ucapan Malinda terdengar tegas dan mantap. Bahkan
diucapkan seraya mengangkat kepalanya.
Arya kontan terperanjat. Pemuda berambut putih keperakan ini
terkejut bukan kepalang. Bahkan seandainya ada halilintar yang menyambar
di dekatnya, masih tidak seperti ini kekagetan yang melanda hatinya.
"Bagaimana, Suamiku? Kau bersedia, bukan? Kau tahu, aku ingin
mempersembahkan kesucianku ini pada orang yang kusukai. Dan kaulah
orangnya, Dewa Arak! Aku tidak ingin orang seperti Dedemit Alam Akhirat
yang merenggutnya!"
Setelah berkata demikian, tangan Malinda membelai pipi Dewa
Arak. Perlahan tangannya merayap turun ke leher, kemudian ke dada. Gadis
itu berusaha menanggalkan pakaian Dewa Arak dengan tangan kanannya.
Sementara sebelah tangannya lagi, mulai melucuti pakaiannya sendiri.
Karuan saja hal ini membuat Dewa Arak kalap bukan kepalang.
"Kumohon, jangan lakukan itu, Malinda," pinta Arya mengiba.
Dan inilah yang pertama kali dilakukan pemuda berambut putih
keperakan itu. Mendapat ancaman siksaan ataupun maut dia tidak pernah
memohon. Tapi, kali ini Dewa Arak yang terkenal itu mengajukan
permohonan pada lawannya.
Tapi, Malinda sama sekali tidak mempedulikannya. Dia terus
melanjutkan pekerjaannya. Dan kini, dua buah bukit kembar yang padat
indah, dan membusung, mencuat keluar.
Arya menelan ludah melihat pemandangan indah yang terpampang
di hadapannya. Buru-buru matanya dimeramkan. Diusirnya pikiran kotor
yang menyelinap ke benaknya.
Arya berusaha memusatkan pikiran untuk membebaskan totokan
yang membuat tubuhnya lemas. Tapi, ternyata totokan Dedemit Alam

Akhirat memang luar biasa. Arya tidak mampu membebaskan dengan
pengerahan tenaga dalamnya.
***
"Hmh...!"
Malinda menggertakkan gigi karena kesal melihat Dewa Arak
memejamkan mata.
"Orang seperti kau rupanya ingin dipaksa, Dewa Arak!"
Setelah berkata demikian, putri Mayat Kuburan Koneng itu
melangkah meninggalkan Arya. Tapi, tak lama kemudian sudah kembali
sambil membawa sebuah kendi.
"Dengan minuman dalam kendi ini, mau tidak mau kau akan
melayani kemauanku, Dewa Arak!" Malinda yang sudah tidak mengenal
rasa malu lagi, mengacungkan kendi itu.
Dada Dewa Arak berdebar tegang. Meskipun belum pernah
merasakan, tapi dari cerita yang didengar bisa diketahui isi kendi itu.
Apalagi kalau bukan minuman perangsang nafsu birahi!
Dengan langkah perlahan-lahan, putri Mayat Kuburan Koneng itu
mendekati Dewa Arak, untuk meminumkan cairan di dalam kendi itu!
Mendadak terdengar suara mendesing nyaring disusul
meluncurnya sebuah benda sebesar ibu jari tangan ke arah Malinda. Dari
desingan itu saja, sudah bisa diterka kekuatan tenaga dalam yang
terkandung dalam lontaran itu.
Malinda terperanjat. Saat itu, seluruh perhatiannya memang tengah
tercurahkan pada Dewa Arak, sehingga kewaspadaannya agak berkurang.
Maka serangan yang datangnya begitu tiba-tiba itu membuatnya agak
gugup. Dan....
Pyarrr...!
Kendi di tangan gadis yang tengah dirasuk birahi itu kontan hancur
berantakan ketika benda sebesar ibu jari tangan yang ternyata adalah batu
menghantamnya. Isinya pun berpercikan ke sana kemari.
Malinda meraung begitu melihat minuman perangsang yang akan
diberikan pada Dewa Arak habis terbuang. Bergegas pakaiannya dirapikan
kembali, lalu...
Srattt..!
Dengan didahului suara gemeretak gigi, pedang putri Mayat
Kuburan Koneng telah tercabut. Sinar terang berkilauan ketika pedang itu
keluar dari sarungnya.
Tapi kemarahan hebat yang menggelora dalam dadanya kontan
menciut, berganti rasa gentar ketika melihat orang yang telah

menghancurkan kendinya. Dia adalah seorang kakek berkepala botak.
Tubuhnya pendek, gemuk, dan gendut. Bajunya berupa rompi yang terbuat
dari bulu burung garuda. Dan anehnya, tidak ada alis yang tampak di atas
matanya.
"He he he...! Selamat berjumpa lagi, Wanita Liar...! He he he...!"
Kakek berkepala botak itu mengangkat guci araknya yang besar ke
atas kepala. Dan....
Glek.. glek.. glek..!
Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokannya.
"Setan Mabuk..!" desis Malinda. Suaranya bergetar karena
perasaan gentar yang melanda.
Kakek berperut gendut yang memang Setan Mabuk itu hanya
terkekeh pelan. Sementara kedudukan kedua kakinya tampak terhuyung-
huyung.
"Haaat..!"
Namun dari rasa takut tiba-tiba Malinda jadi nekat. Gadis itu
melompat menerjang Setan Mabuk. Pedang di tangannya meluncur cepat ke
arah leher kakek itu.
"He he he...!"
Kakek pemabukan itu hanya tertawa terkekeh. Sambil menurunkan
guci arak, tangan kirinya bergerak menangkap pedang Malinda.
Tappp...!
Begitu pedang itu tertangkap, Setan Mabuk langsung
membetotnya. Maka putri Mayat Kuburan Koneng tak kuasa menahan. Di
samping tenaga dalamnya jauh lebih rendah, keadaan tubuhnya sekarang
sangat menguntungkan lawan. Sehingga, tubuhnya kontan tertarik ke depan!
Sebuah seringai kejam nampak tersungging di mulut Setan Mabuk.
Tangannya yang menggenggam pedang segera disorongkan ke arah perut
Malinda. Maka....
Crottt..!
Darah kontan muncrat-muncrat ketika gagang pedang itu amblas
ke dalam perut gadis bertubuh menggiurkan itu hingga ke punggung. Ada
keluhan tertahan yang keluar dari mulut putri Mayat Kuburan Koneng.
Sepasang matanya membelalak, menahan rasa sakit yang mendera.
Setan Mabuk melepaskan cekalan pada pedangnya, maka tubuh
Malinda pun ambruk ke tanah. Diam tidak bergerak lagi untuk selamanya.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat melihat semua peristiwa itu. Meskipun
ada sedikit perasaan menyesal atas nasib yang menimpa gadis berwajah

cantik jelita itu, tapi rasa syukur di hatinya jauh lebih besar. Memang,
kematian adalah jalan satu-satunya yang terbaik untuk Malinda.
Masih dengan tawa terkekeh-kekeh, dan sambil menenggak
araknya, Setan Mabuk melangkah terhuyung-huyung menghampiri Dewa
Arak.
Sekali kakek berkepala botak ini mengulurkan tangan menyentuh
tubuhnya, maka Dewa Arak terbebas dari totokan yang membelenggu.
Sejenak Arya menggerakkan tangan dan kaki untuk memperlancar
aliran darahnya.
"Dari mana kau tahu aku berada di sini, Setan Mabuk?" tanya
Dewa Arak. Memang pemuda berpakaian ungu ini merasa heran melihat
kemunculan kakek berkepala botak itu pada saat yang tepat.
"He he he...!"
Setan Mabuk tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Dengan
sikap tidak peduli, dia tertawa terkekeh seraya menenggak araknya kembali.
Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melewati tenggorokannya.
"He he he...! Aku datang lebih dulu, Dewa Arak," kata kakek itu
seraya meneguk arak kembali. Kakek berkepala botak ini ternyata benar-
benar seorang tukang minum! "Tapi ketika kulihat suasana sepi, aku jadi
curiga dan tidak langsung mendarat. Dugaanku pasti ada sesuatu yang
terjadi. Maka kuputuskan untuk kembali."
Setan Mabuk menghentikan ucapannya. Kemudian, dituangkannya
guci arak itu ke mulut. Mau tidak mau, Dewa Arak terpaksa diam
menunggu kelanjutan cerita kakek itu.
"Di tengah jalan, aku bertemu rombongan orang yang akan pergi
ke Pulau Selaksa Setan. Maka segera masalahnya kuutarakan, dan mereka
kusuruh mencari pulau terdekat untuk mendarat. Sedangkan aku kembali
menyelidiki pulau itu."
Kakek berkepala botak itu kembali menghentikan ucapannya. Guci
araknya kembali di angkat ke atas kepala, kemudian dituangkan ke mulut.
Untuk yang kesekian katinya terdengar suara tegukan keras ketika arak itu
singgah di tenggorokannya.
Setan Mabuk menurunkan guci araknya kembali, kemudian
diusapnya arak yang membasahi pinggir mulutnya dengan punggung
tangan. Kasar dan menjijikkan sekali cara kakek itu membersihkan mulut.
Bahkan tanpa mengenal malu, dia bertahak. Suaranya keras mirip lenguh
seekor kerbau.
"He he he...! Ketika tiba di sana, kulihat beberapa orang tengah
menyeret perahu. Semula, aku tidak tahu pemilik perahu itu. Tapi kemudian
kau muncul lalu diserang gerombolan orang biadab. Jelaslah sudah, siapa
pemilik perahu itu. He he he...!"

Lagi-lagi Setan Mabuk menghentikan ceritanya sebentar.
"Di saat kau terjebak tambang mereka, hampir saja aku
menolongmu. Tapi maksud itu kuurungkan, ketika muncul sesosok tubuh
yang membuatku terperanjat"
"Maksudmu..., Dedemit Alam Akhirat?" duga Arya langsung
"Heh...?! Kau mengenalnya juga, Dewa Arak?!" Sepasang mata
Setan Mabuk terbelalak lebar.
Dewa Arak menggelengkan kepala.
"Aku mendengar julukannya dari gadis itu...," Arya menudingkan
telunjuk kanan ke arah mayat Malinda.
"He he he...! Sudah kuduga...," kata Setan Mabuk sambil
mengangguk-anggukkan kepala. "Jadi, kau belum tahu persis tentang tokoh
itu, Dewa Arak?"
Pemuda berpakaian ungu itu kembali menggelengkan kepala.
"He he he...! Kau tahu, Dewa Arak. Dengan adanya Dedemit Alam
Akhirat, sudah bisa kuperkirakan kalau anak buah yang berpakaian
sekadarnya itu adalah makhluk-makhluk pemakan manusia. Dan memang,
Dedemit Alam Akhirat berasal dari suku itu pula."
"Jadi, pertarungan itu harus dibatalkan, Setani Mabuk?!"
"He he he...! Tentu saja tidak, Dewa Arak!"l sambut Setan Mabuk
cepat.
"Lalu, bagaimana dengan Dedemit Alam Akhirat dan anak
buahnya?"
"Kita harus menyingkirkan mereka terlebih dahulu!" tandas Setan
Mabuk.
Arya tercenung. Menyingkirkan mereka? Haruskah ajakan kakek
berkepala botak itu dipenuhinya. Padahal, dia tidak melihat adanya
kejahatan yang dilakukan penghuni pulau itu.
"He he he...! Kau ingin makhluk-makhluk buas itu keluar dari
pulau ini dan mengacau desa-desa, Dewa Arak?!" desak kakek berperut
gendut itu. "Kau tahu, mereka belum keluar dari pulau ini, karena tengah
menunggu mangsa-mangsa lain. Mereka telah memangsa tokoh-tokoh
persilatan yang berdatangan kemari! Itulah sebabnya, tempat ini sepi."
Arya mengernyitkan dahinya. Hati pemuda berambut putih
keperakan ini bimbang bukan kepalang. Apakah semua ucapan Setan
Mabuk harus dipercayainya saja? Tidak! Dia harus bertindak hati-hati, dan
tidak langsung percaya pada ucapan itu. Arya telah tahu, siapa Setan
Mabuk. Seorang tokoh sesat yang berhati kejam dan keji!
"He he he...! Bagaimana, Dewa Arak? Kau takut?!" Setan Mabuk
memanas-manasi.

"Tidak ada istilah takut dalam sejarah hidupku, Setan Mabuk!"
sergah Dewa Arak keras.
"He he he...! Tapi kau kelihatannya ragu-ragu, Dewa Arak! Apa
lagi kalau bukan karena takut?" sindir kakek berkepala botak itu sambil
tersenyum mengejek.
"Mari kita cari mereka!" Dewa Arak memutuskan dengan suara
setengah membentak.
"He he he...!"
Setan Mabuk hanya tertawa terkekeh-kekeh saja, kemudian
melangkah terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu sambil menuangkan
arak ke mulutnya. Dewa Arak yang telah terbakar perasaannya mengikuti di
belakang.

ENAM

Langkah Setan Mabuk dan Dewa Arak mendadak terhenti di
ambang gua. Pemandangan yang terlihat di depan gualah yang
menyebabkan mereka bersikap demikian.
Dalam jarak sekitar dua tombak di depan gua, tampak berdiri
belasan orang penghuni pulau. Yang paling depan adalah Dedemit Alam
Akhirat. Sementara di belakangnya, bergerombol makhluk pemakan
manusia.
"Grrrhhh...!"
Dedemit Alam Akhirat menggeram keras. Jelas sekali kalau laki-
laki berwajah kasar ini dilanda kemaahan hebat. Dan hal ini tidak aneh,
karena dia sudah bisa memperkirakan nasib Dewi, begitu melihat Dewa
Arak ada di sebelah Setan Mabuk. Wanita yang menarik hatinya itu pasti
telah tewas!
"Kaukah orang yang berjuluk Setan Mabuk?!" tanya pemimpin
makhluk pemakan manusia dengan suara keras mengguntur.
Kakek berkepala botak tidak langsung menjawab. Dengan sikap
tidak peduli, diangkat guci araknya ke atas kepala kemudian dituangkan ke
mulutnya.
Glek... glek... glek..!
Suara tegukan keras terdengar ketika arak itu melewati
tenggorokan.
"Keparat..!"
Dedemit Alam Akhirat berteriak memaki. Kemarahannya yang
memang sejak tadi sudah bernyala-nyala, jadi semakin berkobar-kobar.
Sikap tidak peduli Setan Mabuk-lah yang menyebabkan laki-laki berwajah
kasar itu kalap. Memang, Dedemit Alam Akhirat memiliki keangkuhan
tinggi. Pantang baginya diremehkan orang lain!
Belum juga gema makiannya lenyap, laki-laki berwajah kasar lalu
menggerakkan tangan kanannya. Jari telunjuk dan jari tengah menuding
lurus, sedangkan sisa jari yang bin dikepalkan.
Suara cicit tajam laksana puluhan ekor tikus terjepit terdengar
seiring gerakan tangan Dedemit Alam Akhirat.
Setan Mabuk tidak berani bertindak main-main lagi. Dan memang,
dia tidak pernah menganggap remeh Dedemit Alam Akhirat. Maka begitu
tangan lawan bergerak, dan ada serentetan angin tajam yang menyambar ke
arah kepalanya, buru-buru tubuhnya ditundukkan.
Pyarrr...!

Dinding atas mulut gua itu kontan hancur berantakan ketika angin
pukulan jarak jauh yang dilepaskan Dedemit Alam Akhirat
menghantamnya. Batu-batu kecil pun seketika berguguran.
Baik Dewa Arak maupun Setan Mabuk tercekat melihat hal ini.
Dalam hati, kedua tokoh besar dunia persilatan itu memuji kehebatan ilmu
pukulan jarak jauh lawan tadi.
"He he he...! Kalau aku tidak salah duga, bukankah itu 'Ilmu Jari
Pemutus Gunung' yang tersohor, Dedemit?!" kata Setan Mabuk, kalem dan
bernada merendahkan. Seakan-akan, pertunjukan yang dipamerkan
pimpinan makhluk-makhluk pemakan manusia itu sama sekali tidak
memiliki keistimewaan apa pun.
Karuan saja sikap yang ditunjukkan Setan Mabuk itu semakin
menambah kemarahan Dedemit Alam Akhirat
"Grrrhhh...!"
Diiringi geraman yang membuat suasana di sekitar tempat itu
bergetar hebat Dedemit Alam Akhirat melancarkan serangan bertubi-tubi
menggunakan 'Ilmu Jari Pemutus Gunung'!
Alhasil, suasana di sekitar tempat pun ramai dipenuhi suara
mencicit tajam menyakitkan telinga yang susul-menyusul.
Ternyata, serangan Dedemit Alam Akhirat itu tidak hanya
ditujukan pada Setan Mabuk saja. Tapi juga pada Dewa Arak! Kedua tokoh
berbeda aliran itu terpaksa dibuat pontang-panting dalam menghindari
serangan itu.
"He he he...! Lucu sekali...! Baru pertama kali terjadi tiga makhluk
luar biasa bertarung sekaligus! Dewa, Dedemit, dan Setan. He he he...!
Sungguh ajaib sekali,..!"
Sambil terus bergerak ke sana kemari, Setan Mabuk mengoceh tak
karuan. Hal ini membuat kemarahan pimpinan orang-orang biadab itu
semakin menjadi-jadi.
Di saat Dedemit Alam Akhirat, Setan Mabuk, dani Dewa Arak
terlibat pertempuran, mendadak makhluk-makhluk pemakan manusia
menoleh ke arah belakang.
Ternyata, dari arah sana berdatangan banyak sekati tokoh
persilatan! Jumlah mereka tak kurang dari seratus orang!
Kali ini tanpa menunggu persetujuan pimpinannya lagi, orang-
orang biadab itu bergerak menyerbu! Maka, serbuan ini disambut hangat
oleh tokoh-tokoh persilatan. Sesaat kemudian pertarungan besar-besaran
pun terjadi.
"Hih...!"
Mendadak Dewa Arak melenting ke belakang, kemudian bersalto
beberapa kali menjauhi kancah pertarungan. Pemuda berambut putih

keperakan ini bermaksud membiarkan Setan Mabuk bertarung menghadapi
Dedemit Alam Akhirat. Risih rasa hatinya bertarung keroyokan seperti itu.
***
Dedemit Alam Akhirat tidak bisa berbuat apa-apa, selain
membiarkan saja pemuda berpakaian ungu itu keluar dari kancah
pertarungan. Laki-laki berwajah kasar itu menyibukkan diri dalam
menghadapi Setan Mabuk.
Seandainya disuruh memilih, pimpinan makhluk pemakan manusia
ini memang lebih suka bertarung melawan Setan Mabuk, daripada Dewa
Arak. Banyak alasan yang mendasarinya. Di antaranya, karena Dewa Arak
seorang tokoh muda. Hal lainnya, karena Setan Mabuk telah banyak
menimbulkan kemarahan hatinya.
Kini dengan tidak adanya Dewa Arak, Dedemit Alam Akhirat
lebih leluasa melancarkan serangan. Kedua tangannya semakin bertubi-tubi
mengirimkan serangan-serangan jarak jauh dengan ilmu 'Jari Pemutus
Gunung'.
Tapi semua serangan itu mudah berhasil dikandaskan Setan
Mabuk. Sama seperti Dewa Arak, dia pun memiliki ilmu aneh. Langkahnya
terhuyung-huyung, tapi anehnya tidak ada satu serangan pun yang berhasil
mengenainya. Semuanya lolos dari sasaran yang dituju.
Dalam waktu sebentar saja, sepuluh jurus telah terlewati. Tapi
sampai sekian lamanya, Setan Mabuk belum mampu melancarkan serangan
balasan. Karena, masih berjarak terlalu jauh. Memang, Dedemit Alam
Akhirat berusaha mengajak lawan bertarung jarak jauh.
Ilmu 'Jari Pemutus Gunung' memang menguntungkan Dedemit
Alam Akhirat untuk bertarung dalam jarak jauh. Dan memang, ilmu itu
dikhususkan untuk pertarungan jarak jauh.
Setan Mabuk tentu saja tidak sudi diajak bertarung jarak jauh.
Itulah sebabnya, dalam setiap gerakan mengelak, kakek berperut gendut ini
selalu berusaha memperpendek jarak. Namun hal itu selalu berakhir dengan
kegagalan. Gerakannya sudah bisa ditebak Dedemit Alam Akhirat. Maka
usaha kakek berkepala botak itu segera dipatahkan.
Mau tak mau, Setan Mabuk terpaksa menggunakan semburan-
semburan araknya untuk balas menyerang. Apalagi dia tidak memiliki ilmu
khusus untuk bertarung jarak jauh seperti Dedemit Alam Akhirat.
Keadaan seperti ini tentu saja menguntungkan Dedemit Alam
Akhirat. Betapapun lihainya Setan Mabuk mengelak, tapi kalau dihujani
serangan terus-menerus, tentu saja akan kewalahan juga. Dan kalau hal

seperti ini berlangsung terus, hasil akhir dari pertarungan ini sudah bisa
ditebak! Setan Mabuk akan roboh di tangan Dedemit Alam Akhirat!
Sementara itu, setelah memperhatikan pertarungan antara Setan
Mabuk dan Dedemit Alam Akhirat sesaat Dewa Arak mengalihkan
perhatian pada pertarungan yang berlangsung antara gerombolan pemakan
manusia dengan rombongan tokoh-tokoh persilatan.
Sepasang mata pemuda berambut putih keperakan itu terbelalak
begitu melihat kejadian yang terpampang di depan matanya.
Memang, pertarungan antara dua buah kelompok itu telah
berlangsung belasan jurus. Beberapa orang pun telah menjadi korban, dan
ternyata berasal dari pihak tokoh persilatan. Sebuah hal wajar, mengingat
gerombolan pemakan manusia itu memiliki kekebalan. Sehingga meskipun
dihujani berbagai senjata, sedikit pun mereka tidak terluka sama sekali.
Sedangkan tokoh-tokoh persilatan itu tidak memiliki kekebalan.
Tapi sebenarnya bukan kekebalan tubuh penghuni Pulau Selaksa
Setan yang membuat Arya terperanjat. Tapi, tindakan yang dilakukan
orang-orang biadab itulah yang membuat matanya terbelalak. Tatkala ada
seorang lawan yang berhasil dirobohkan, berduyun-duyun anak buah
Dedemit Alam Akhirat merubung tubuh yang tergolek meregang maut.
Maka pesta yang mengerikan pun dimulai.
Sama sekali makhluk-makhluk yang tengah asyik berpesta pora itu
tidak mempedulikan serangan-serangan yang dilancarkan lawan-lawannya.
Karena saat itu mereka tengah menyantap makanan lezat yang terhidang.
Beberapa kali tubuh makhluk-makhluk yang tengah sibuk
menyantap itu terguling ketika serangan-serangan yang dilancarkan lawan
menghantam. Tapi dengan gesit, mereka bangkit kembali dan meneruskan
pestanya.
Kontan perut Arya mual melihat pemandang menjijikkan yang
terpampang di hadapannya. Hampir hampir saja isi perut yang mendadak
ingin keluar, tidak kuat ditahannya. Ternyata semua yang dikatakan Setan
Mabuk sama sekali benar. Orang-orang biadab itu memang pemakan
manusia! Ngeri rasanya membayangkan bila makhluk-makhluk itu keluar
dari pulau, lalu masuk ke desa-desa. Dengan kekebalan tubuhnya,
jangankan orang-orang desa, tokoh-tokoh persilatan pun akan mendapat
kesulitan yang tidak sedikit dalam menanggulangi mereka.
Pemuda berpakaian ungu ini tahu kalau untuk mencegah orang-
orang biadab itu tidak ada jalan lain kecuali membasminya. Mereka tidak
akan bisa dinasihati karena memang tidak ubahnya binatang buas. Manusia
sudah merupakan makanan pokoknya.
Memperhatikan sekilas saja, Dewa Arak tahu kalau tokoh-tokoh
persilatan pasti akan tewas semuanya. Padahal, jumlah tokoh itu paling

sedikit lima kali lipat dari jumlah makhluk pemakan manusia. Tapi karena
lawan tidak bisa dibinasakan, korban-korban yang berjatuhan semuanya
berasal dari gerombolan tokoh persilatan.
Maka sambil mengeluarkan suara melengking nyaring, Dewa Arak
melompat terjun dalam kancah pertarungan. Dan begitu masuk, guci
araknya langsung saja dihantamkan ke arah kepala salah seorang makhluk
biadab itu.
Tapi seperti juga kejadian yang dialami tokoh-tokoh persilatan,
kejadian yang sama pun menimpa Dewa Arak. Lawan yang terkena
hantaman guci araknya disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya,
memang terpental jauh dan jatuh berdebuk di tanah. Namun, sesaat
kemudian bangkit kembali tanpa kurang suatu apa.
Arya benar-benar takjub. Peristiwa ini mengingatkannya pada
lawan tangguhnya yang juga memiliki kekejaman luar biasa. Tokoh itu
berjuluk Raksasa Kulit Baja. Dan berkat petunjuk Ular Hitam yang
membimbingnya, Dewa Arak berhasil membunuh lawan yang luar biasa itu
(Untuk jelasnya, silakan baca serial Dewa Arak dalam episode "Dewi
Penyebar Maut").
Maka tanpa ragu-ragu lagi, Dewa Arak segera mengeluarkan
sesuatu dari bagian dalam pakaiannya. Ternyata daun kelor! Memang sejak
pertarungannya dengan Raksasa Kulit Baja, Dewa Arak selalu mengambil
daun kelor di tiap-tiap tempat.
Tapi kali ini pemuda berpakaian ungu ini kecelik. Orang-orang
biadab itu sama sekali tidak terpengaruh walaupun ranting daun kelor itu
sampai hancur lebur menggebuki sekujur tubuh mereka.
Arya tidak putus asa. Maka dikeluarkannya bambu kuning. Tapi
kejadian yang sama terulang. Sementara itu, orang-orang biadab itu kembali
berhasil melahap seorang tokoh persilatan lagi.
Dalam cekaman rasa putus asa, Dewa Arak mengumbar jurus-jurus
yang jarang digunakannya. Jurus 'Membakar Matahari' dan jurus 'Pukulan
Belalang'. Tapi, hasilnya sama sekali tidak berbeda.

TUJUH

Setan Mabuk menjadi khawatir melihat banyaknya tokoh
persilatan yang satu demi satu berguguran. Apalagi ketika ada beberapa di
antara yang tewas itu adalah jago-jago minum yang akan bertarung.
"Tahan Dedemit Bau ini, Dewa Goblok! Biar aku yang akan
membasmi mereka?" teriak Setan Mabuk.
Kakek berperut gendut ini memang masih belum bisa
memperpendek jarak. Padahal pertarungan sudah berlangsung lebih dari
empat puluh jurus. Maka tidak aneh kalau Setan Mabuk terdesak. Bahkan
beberapa bagian rompinya telah koyak-koyak terserempet angin serangan
pukulan jarak jauh Dedemit Alam Akhirat.
Arya kini tidak ragu-ragu lagi. Telah dibuktikan sendiri kebenaran
ucapan Setan Mabuk. Maka begitu mendengar seruan itu, tubuhnya melesat
memasuki kancah pertarungan antara Setan Mabuk dengan Dedemit Alam
Akhirat.
Begitu memasuki arena pertarungan, langsung saja Dewa Arak
melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Dedemit Alam Akhirat
mempergunakan ilmu 'Delapan Cara Menaklukkan Harimau'. Pemuda be-
rambut putih keperakan ini sengaja mengeluarkan ilmu itu untuk memberi
kesempatan pada Setan Mabuk agar bisa keluar dari arena pertarungan.
"Hmh...!"
Dedemit Alam Akhirat mendengus melihat serangan itu. Memang,
dari deru angin kuat yang mengawalinya, bisa diperkirakan kalau lawannya
kali ini memiliki tenaga dalam kuat bukan kepalang. Tapi, hal itu tidak
mengurangi keberaniannya untuk langsung menyambuti serangan yang
bertubi-tubi itu.
Plak, plak, plak...!
Suara keras beradunya dua pasang tangan yang sama-sama
mengandung tenaga dalam tinggi terdengar. Bunyi benturan itu layaknya
seperti benturan antara dua batang logam keras.
Baik Dewa Arak maupun Dedemit Alam Akhirat sama-sama
terdorong ke belakang akibat benturan itu. Namun ada satu hal yang
membuat pemuda berambut putih keperakan itu terkejut. Ternyata
punggung kedua tangannya berdarah! Luar biasa! Dan memang, kedua
tangan Dedemit Alam Akhirat dalam penggunaan ilmu 'Jari Pemutus
Gunung', telah menjadi lebih tajam daripada pedang pusaka. Dan
sesungguhnya, pedang pusaka sekalipun tidak akan mampu melukai kulit
Dewa Arak kalau tidak berada di tangan seorang tokoh yang memiliki
tenaga dalam amat kuat.
"Ha ha ha...!"

Dedemit Alam Akhirat tertawa terbahak-bahak.
Dengan rakus, dijilatinya darah dari luka di tangan Arya yang
menempel pada jari-jari tangannya.
Sepasang mata Dewa Arak kontan terbelalak. Bukan karena
tangannya yang terluka, tapi karena tindakan lawan yang menjilati
darahnya! Rupanya Dedemit Alam Akhirat ini tidak ubahnya anak buahnya
sendiri. Sama-sama pemakan manusia!
Tapi Arya tidak bisa berlama-lama dalam keterpakuannya karena
laki-laki berwajah kasar itu telah kembali menyerang. Jangankan tangannya,
angin pukulan serangannya saja sudah cukup untuk membuat kulit tubuh
Dewa Arak terluka.
Sadar akan ketangguhan lawan, Dewa Arak tidak mau bersikap
sungkan-sungkan lagi. Sambil mengelak, dijumputnya guci arak. Dan....
Gluk.. gluk.. gluk...!
Suara tegukan dari arak yang melewati tenggorokan Arya
terdengar. Dan seperti biasanya, tubuh pemuda berpakaian ungu itu
kemudian oleng ketika hawa arak yang hangat merayap naik dari lambung,
terus ke kepalanya.
Dan dengan ilmu 'Belalang Sakti' andalannya, Dewa Arak
mengadakan perlawanan terhadap Dedemit Alam Akhirat. Tak pelak lagi,
pertarungan sengit antara dua orang yang sama-sama memiliki kepandaian
tinggi pun berlangsung.
Arya kini benar-benar mengeluarkan seluruh kemampuan yang
dimiliki. Ilmu 'Belalang Sakti'nya di keluarkan sampai ke puncak
kemampuan. Kedua tangan, guci, dan juga semburan araknya, dikeluarkan
semua untuk menggilas habis perlawanan Dedemit Alam Akhirat.
Tapi lawan yang dihadapi Dewa Arak bukan orang sembarangan.
Setan Mabuk yang menghadapi Dedemit Alam Akhirat lebih dulu, telah
membuktikan kelihaian pemimpin orang-orang biadab itu. Buktinya, dia
tidak mampu mengajak lawannya bertarung dalam jarak dekat.
Sama seperti ketika menghadapi Setan Mabuk, melawan Dewa
Arak pun Dedemit Alam Akhirat menggunakan kelebihan ilmunya. Dia
juga mengajak Dewa Arak untuk bertarung jarak jauh. Dipaksanya pemuda
berambut putih keperakan itu untuk bertarung yang menguntungkan dirinya.
Pertarungan antara kedua tokoh itu berlangsung cepat. Hal ini tidak
aneh, mengingat kedua belah pihak memang sama-sama memiliki
kecepatan gerak luar biasa. Suara mencicit dari setiap serangan yang dilan-
carkan Dedemit Alam Akhirat terdengar, ditingkahi bunyi berdesir,
mengaung, dan bercelegukan yang keluar dari gerakan Dewa Arak.
Sehingga, suasana pertarungan jadi hingar bingar.

***
Ramainya pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Dedemit
Alam Akhirat ternyata tidak kalah ramainya lagi pertarungan antara Setan
Mabuk dan rombongan melawan anak buah Dedemit Alam Akhirat.
Ternyata, Setan Mabuk tidak hanya membual saja sewaktu
mengatakan kalau sanggup membasmi orang-orang biadab yang memiliki
kekebalan pada kulit tubuhnya. Kakek berperut gendut itu ternyata
mengetahui kelemahan anak buah Dedemit Alam Akhirat.
"Pisahkan buntalan kain hitam yang ada di pinggang mereka...!"
seru Setan Mabuk lantang.
Mendengar seruan keras itu, tokoh-tokoh persilatan yang sejak tadi
sudah putus asa menjadi timbul kembali semangatnya. Serentak pandangan
mereka dialihkan pada bagian pinggang orang-orang biadab itu.
Memang seperti yang dikatakan kakek berkepala botak itu, pada
bagian pinggang makhluk pemakan manusia itu terdapat buntalan kain
hitam kecil yang diikatkan pada tali pinggang terbuat dari tumbuh-tum-
buhan.
Sebagian besar tokoh persilatan merasa heran mendengar perintah
Setan Mabuk itu. Hanya sebagian kecil saja yang bisa mengerti kalau
buntalan kain kecil berwarna hitam itu adalah sejenis jimat. Dan itulah yang
menyebabkan kulit tubuh anak buah Dedemit Alam Akhirat kebal. Selama
ada buntalan hitam itu, mereka tetap tidak bisa dilukai. Dan apabila tidak
ada buntalan itu, baru mereka bisa dibunuh.
Meskipun tidak mengerti, tapi tokoh persilatan yang sebagian
besar itu menuruti juga perintah Setan Mabuk. Dan memang, tidak ada
salahnya mencoba-coba.
Kali ini tokoh-tokoh persilatan itu menujukan serangan-serangan
untuk memisahkan buntalan kain hitam itu dari bagian pinggang.
Keragu-raguan yang menghinggapi perasaan sebagian tokoh
persilatan mulai memudar ketika melihat tanggapan makhluk-makhluk
pemakan manusia itu atas serangan yang tertuju ke arah buntalan kain
hitam.
Anak buah Dedemit Alam Akhirat terlihat cemas. Kini mereka
selalu mengelak dan tidak membiarkan serangan-serangan mengenai tubuh
mereka.
Hasil yang diperoleh benar-benar membuat hati mereka berbunga-
bunga. Makhluk-makhluk yang semula kebal itu, kini bisa dilukai setelah
buntalan kain hitam itu berhasil dilepaskan. Maka semakin besarlah
semangat mereka jadinya.

Sekarang keadaan berubah banyak! Makhluk-makhluk pemakan
manusia kini mulai terdesak hebat. Memang kalau dibuat perbandingan,
kepandaian yang dimiliki oleh seorang makhluk pemakan manusia itu
paling hanya menyamai seorang murid persilatan yang baru masuk
perguruan. Mereka memang tidak memiliki kepandaian yang terlalu hebat,
karena Dedemit Alam Akhirat tidak mengajari ilmu silat.
Tidak aneh jika korban di antara mereka pun berguguran, karena
satu orang di antara mereka menghadapi beberapa orang lawan.
Tak lama kemudian, makhluk-makhluk pemakan manusia itu pun
sudah tidak ada yang berdiri tegak lagi. Semua bergeletakan di tanah dalam
keadaan tidak bernyawa lagi.
Begitu semua orang biadab Penghuni Pulau Selaksa Setan itu
tewas, Setan Mabuk dan sisa tokoh-tokoh persilatan mengalihkan perhatian
pada pertarungan antara Dewa Arak menghadapi Dedemit Alam Akhirat.
Dedemit Alam Akhirat meskipun tidak bisa memperhatikan secara jelas
karena dia harus memusatkan perhatian pada Dewa Arak, ternyata
mengetahui semua kejadian yang menimpa anak buahnya. Berbagai
perasaan kini mendera hatinya.
Memang bukan Dedemit Alam Akhirat yang memberikan jimat
itu. Tapi dukun suku makhluk pemakan manusia, yang kini telah tewas
tersapu badai. Dukun itu memang ahli dalam ilmu hitam. Berbagai ilmu
hitam dimilikinya. Bermacam-macam jimat dibuatnya. Di antaranya adalah
jimat yang membuat tubuh tidak bisa dilukai!
Kalau tidak melihat buktinya sendiri, Dedemit Alam akhirat tidak
akan percaya. Betapa tidak? Isi buntalan itu hanya berupa tulang-tulang
manusia. Ada yang tulang jempol, kelingking, dan macam-macam lagi.
Sementara itu, pertarungan Dewa Arak melawan Dedemit Alam
Akhirat telah lebih dari tujuh puluh jurus. Dan selama itu belum nampak
ada tanda-tanda yang akan keluar sebagai pemenang. Meskipun begitu,
tampak jelas kalau Dewa Arak berada dalam pihak yang terdesak. Pemuda
berambut putih keperakan itu sama sekali tidak mampu balas menyerang.
Dan andaikata menyerang, hanya dengan semburan araknya saja. Dewa
Arak lebih sering menggunakan jurus 'Delapan Langkah Belalang', untuk
mengelakkan setiap serangan Sedangkan jurus 'Belalang Mabuk'nya mati
kutu!
Beberapa kali Dewa Arak berusaha mengadakan pertarungan jarak
dekat, tapi usahanya selalu kandas. Dia malah kadang-kadang terpaksa
melompat mundur kembali, karena cecaran serangan lawan yang bertubi-
tubi. Dedemit Alam Akhirat juga melompat mundur ke belakang, untuk
mempertahankan jarak.

Arya mengeluh dalam hati, menyadari betapa sulitnya mendekati
lawan. Disadarinya kalau keadaan begini terus, dia akan mengalami
kerugian sendiri. Betapapun hebatnya langkah ajaib dalam jurus 'Delapan
Langkah Belalang', tapi serangan yang datang ke arahnya bagaikan hujan.
Jadi, bukan suatu hal yang mustahil kalau serangan lawan akhirnya akan
berhasil mengenainya. Maka harus dicari terobosan untuk melakukan
serangan balasan agar lawan tidak terus-menerus menghujani serangan.
"Hih...!"
Sambil melenting ke atas untuk menghindari serangan lawan,
Dewa Arak menghentakkan kedua tangannya ke depan. Arya menggunakan
jurus 'Pukulan Belalang', untuk membuat serangan lawan berhenti beberapa
saat. Ini dilakukan agar bisa mendesak lawan.
Wusss...!
Angin keras berhawa panas menyengat berhembus keras ke arah
Dedemit Alam Akhirat. Karuan saja hal ini membuat laki-laki berwajah
kasar itu terperanjat. Serangan Dewa Arak memang sama sekali tidak
diduga, karena datangnya secara tiba-tiba.
Tahu akan kedahsyatan serangan pukulan jarak jauh itu, Dedemit
Alam Akhirat melempar tubuh ke samping dan bergulingan di tanah.
Dewa Arak tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Buru-
buru dia melompat, memburu tubuh yang tengah bergulingan. Ini adalah
satu-satunya kesempatan untuk memaksa lawan bertarung dalam jarak
dekat.
Dedemit Alam Akhirat tahu maksud lawannya. Maka, dia pun
terus bergerak menjauh.
Tapi, Arya pun tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Maka,
pemuda berambut putih keperakan itu terus melompat memburu seraya
melancarkan serangan bertabi-tubi.
Tak pelak lagi, sebuah kejar-kejaran yang aneh pun terjadi.
Dedemit Alam Akhirat yang terus menerus bergulingan untuk menjauhkan
diri, dan Dewa Arak yang tak henti-hentinya bergerak memburu.
Akhirnya, Dedemit Alam Akhirat tidak punya pilihan lagi. Kalau
dipaksakan terus berguling, bukan tidak mungkin akan celaka di tangan
Dewa Arak. Maka terpaksa tangannya digerakkan untuk menangkis.
Plakkk, plakkk, plakkk..!
Kembali terjadi benturan keras antara dua pasang tangan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi. Dan untuk yang kedua
kalinya, tangan Dewa Arak terluka kembali.
Kali ini Arya bertindak cepat. Buru-buru ditotoknya jalan darah di
sekitar luka untuk menghentikan aliran darah. Kemudian, langsung
dilancarkannya serangan bertubi-tubi kembali.

Dedemit Alam Akhirat tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Terpaksa
keinginan lawannya harus diladeni untuk bertarung dalam jarak dekat.
Dengan terjadinya pertarungan jarak dekat ini, pertempuran yang
terlihat jadi lebih menarik. Kedua belah pihak kini dapat saling melancarkan
serangan.
Sebenarnya, ilmu 'Jari Pemutus Gunung' sama sekali tidak
berkurang kedahsyatannya bila bertarung dalam jarak dekat. Sementara
ilmu 'Belalang Sakti' juga lebih mengandalkan pertarungan jarak dekat. Bila
dilakukan dalam jarak jauh, akan pupus keampuhannya.
Dedemit Alam Akhirat mengeluh dalam hati. Kini setelah
bertarung dalam jarak dekat, baru dirasakan beratnya serangan-serangan
Dewa Arak. Ilmu lawan yang begitu aneh, dan mempunyai perkembangan
tidak terduga-duga, benar-benar membuatnya kewalahan. Sukar
diperkirakan serangan lanjutan yang akan dilancarkan Dewa Arak.
Satu hal lagi yang membuat hati pemimpin orang-orang biadab itu
heran adalah, pemuda berambut putih keperakan itu seperti tidak peduli dan
malah menenggak araknya. Tapi anehnya, justru setelah menenggak
araknya dan kemudian kedudukan kalanya oleng, serangan yang
dilancarkan terhadapnya malah berhasil dielakkan.
Meskipun memang ilmu 'Belalang Sakti' yang dimiliki Dewa Arak
adalah sebuah ilmu yang luar biasa, tapi karena yang dihadapi pun bukan
lawan sembarangan, maka baru setelah melewati dua ratus jurus, lawan
mulai terdesak. Itu pun karena yang dihadapinya sudah mulai merasa lelah.
Seiring timbulnya perasaan lelah itu, tenaga Dedemit Alam Akhirat
pun mulai mengendur. Dan dengan sendirinya, serangan-serangan yang
dilancarkannya tidak sedahsyat sebelumnya. Bahkan gerakannya pun tidak
sigap lagi.
Sementara serangan-serangan dan kegesitan Dewa Arak tampak
seperti tidak berkurang. Gerakan-gerakan pemuda berambut putih
keperakan itu masih terlihat gesit. Serangan-serangannya pun masih terasa
dahsyat. Seakan-akan, tenaga Arya sama sekali tidak berkurang.
Tidak merasa lelahkah pemuda berpakaian ungu ini? Ah, mustahil!
Tidak mungkin Dewa Arak tidak merasa lelah! Apalagi sampai empat puluh
jurus lamanya, seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkan untuk
memaksanya bertarung dalam jarak dekat. Berbagai macam pertanyaan dan
bantahan berkecamuk dalam benak Dedemit Alam Akhirat.
Sama sekali Dedemit Alam Akhirat tidak tahu kalau arak yang
diminum pemuda berambut putih keperakan itulah yang telah membuat
tenaganya pulih kembali.
Semakin lama, keadaan Dedemit Alam Akhirat semakin
mengkhawatirkan, karena tenaganya terus merosot. Dan dengan sendirinya

keampuhan ilmu 'Jari Pemutus Gunung'nya pun jadi berkurang pula. Me-
mang ilmu itu amat mengandalkan pada kekuatan tenaga dalam. Orang
yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi, tidak akan mampu memiliki ilmu
'Jari Pemutus Gunung'.
Tidak aneh kalau kini laki-laki berwajah kasar ini mulai terdesak
hebat. Keampuhan ilmunya semakin merosot seiring semakin lemah
tenaganya. Sementara keampuhan ilmu Dewa Arak sama sekali tidak beru-
bah, karena tenaga dalam yang dimilikinya sama sekali tidak berkurang.
Semula, benturan tangan Dewa Arak sama sekali tidak
berpengaruh pada Dedemit Alam Akhirat. Tapi kini, keadaan banyak
berubah. Setiap kali terjadi benturan, membuat tangannya terasa sakit dan
ngilu bukan kepalang. Bahkan beberapa kali pemimpin makhluk pemakan
manusia itu terhuyung-huyung ke belakang setiap kali terjadi benturan.
"Hih...!"
Sambil mengeluarkan seruan melengking nyaring Dewa Arak
kembali melancarkan serangan bertubi-tubi. Kedua punggung tangannya
dalam permainan jurus 'Belalang Mabuk', memukul bertubi-tubi ke arah ulu
hati dan dada dengan kekuatan penuh. Namun mana mampu Dedemit Alam
Akhirat berbuat banyak?
Tak pelak lagi, tubuhnya pun terhuyung-huyung ke belakang.
Dadanya seketika terasa sesak bukan kepalang. Terutama sekali tangannya.
Kedua tangan itu seperti patah-patah!
Di saat itulah, Dewa Arak melompat melakukan tendangan dengan
kedua kaki ke arah dada lawan. Persis seperti seekor ayam jago yang
merangsek lawannya.
Desss...!
Suara berderak keras dari tulang dada yang berpatahan dan
semburan darah segar dari mulut, mengiringi terlemparnya tubuh Dedemit
Alam Akhirat. Seketika itu juga, tokoh yang menggiriskan itu tewas tanpa
sempat bersambat lagi.
Brukkk!
Diiringi suara berdebuk nyaring, tubuh tokoh sesat yang
menggiriskan itu jatuh ke tanah sekitar dua belas tombak dari tempat
semula. Setelah berkelojotan sejenak kemudian dia diam tidak bergerak lagi
untuk selamanya. Mati!
"Horeee...!"
Sambutan meriah dari tokoh-tokoh persilatan bergemuruh
menyambut kemenangan Dewa Arak. Tapi tentu saja tidak semuanya
bersikap seperti itu. Ada sebagian yang diam saja melihat kemenangan
Dewa Arak. Satu di antara mereka adalah Setan Mabuk. Dan kakek berperut
gendut itu malah menenggak araknya.
Glek...glek... glek...!


DELAPAN

Waktu berlalu tak terasa. Terkadang cepat seperti anak panah yang
terlepas dari busurnya, tapi tak jarang seperti seekor keong merayap.
Akhirnya waktu yang dinantikan untuk pertarungannya raja-raja
arak tiba. Bulan bulat penuh yang tampak di langit memancarkan sinarnya
yang berwarna kuning keemasan di Pulau Selaksa Setan. Sehingga, suasana
di pulau itu cukup terang.
Di Pulau Selaksa Setan sendiri telah berkumpul tokoh-tokoh
persilatan baik dari aliran hitam, maupun dari aliran putih. Memang,
pertarungan memperebutkan kedudukan sebagai jago minum arak ini tidak
hanya terbatas untuk satu golongan saja. Tapi terbuka bebas bagi siapa saja
yang berminat.
Belasan orang tokoh persilatan yang bertindak sebagai penonton,
sekaligus juri dan saksi untuk melihat siapa di antara mereka yang unggul,
telah ramai berkumpul. Mereka berdiri mengelilingi sebuah lapangan luas
terbuka, dari di bagian tengahnya terdapat batu-batu yang berbentuk sebagai
meja dan kursi.
Di kanan kiri dua batu besar, lebar, dan pipih terdapat dua buah
batu yang jauh lebih kecil daripada batu yang dipakai sebagai pengganti
meja itu. Tapi seperti juga batu besar, batu kecil itu pun mempunyai
permukaan pipih. Bisa diperkirakan kalau kegunaan batu kecil itu adalah
sebagai pengganti bangku.
Dugaan itu tidak keliru, karena pada batu kecil yang berada di
sebelah kanan batu lebar tengah duduk seorang laki-laki bertubuh tinggi
besar. Perutnya buncit. Tampak cambang bauk lebat menghias wajahnya.
Dialah tokoh yang berjuluk Raja Minum Danau Sengon.
Dari julukannya, bisa diketahui dari mana asal tokoh tua
bercambang bauk lebat ini. Asalnya, dari Danau Sengon. Dialah yang telah
menjadi pemenang dalam pertarungan antara raja-raja arak tahun kemarin.
Di desa-desa sekitar Danau Sengon, julukan Raja Minum Danau
Sengon amat terkenal. Dia mendapat julukan Raja Minum, setelah tidak
seorang pun jago-jago minum di daerahnya yang mampu mengalahkannya.
Telah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali dia bertarung minum tanpa
pernah kalah!
Oleh karena itu, timbul keinginannya untuk menjadi raja minum
tak terkalahkan bukan hanya di tempatnya saja. Tapi juga di dunia
persilatan.
Ternyata bukan hanya dia saja yang berpikiran demikian. Jago-
jago minum wilayah lain pun memiliki maksud sama. Maka diadakanlah
pertemuan antara mereka, dan ditentukan pertarungan minum itu.

Selama beberapa kali pertemuan, Setan Mabuk yang menjadi juara,
baru tahun kemarin Raja Minum Danau Sengon keluar sebagai pemenang.
Karena telah menjadi juara, maka Raja Minum Danau Sengon
yang terlebih dulu duduk di arena pertarungan. Laki-laki pemabukan ini
akan berusaha mempertahankan gelar sebagai Jago Arak Nomor Satu.
"Siapa yang akan menjadi penantang pertamaku?" tanya laki-laki
bertubuh tinggi besar itu. Suaranya keras mengguntur. Jelas kalau
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam yang tidak rendah. Dan me-
mang, Raja Minum Danau Sengon ini bukan hanya jago minum saja, tapi
juga dalam hal ilmu silat.
Laki-laki bercambang bauk lebat ini segera mengalihkan
pandangannya ke arah tiga orang yang akan menjadi lawannya, karena
beberapa di antara raja-raja arak yang akan mengikuti pertarungan telah
tewas di tangan anak buah Dedemit Alam Akhirat. Sementara yang lain
sama sekali tidak diketahui nasibnya. Sama sekali semua orang itu tidak
tahu kalau raja-raja arak dan para tokoh persilatan yang akan menonton
telah habis dibantai makhluk-makhluk pemakan manusia itu.
Ketiga orang itu adalah Dewa Arak, Setan Mabuk, dan seorang
laki-laki yang juga berperut buncit. Tubuhnya tinggi besar, dan berkumis
tebal. Dialah yang menjadi lawan berat Raja Minum Danau Sengon tahun
lalu. Laki-laki berkumis tebal itu berjuluk Biang Guci Gunung Kari, karena
dia memang berasal dari Gunung Kari.
"Ha ha ha...!"
Sambil tertawa terbahak-bahak, laki-laki berkumis tebal yang
berjuluk Biang Guci Gunung Kari ini melangkah meninggalkan kerumunan
orang. Dia kemudian menghampiri arena pertarungan. Bukan sembarangan
tawa yang dikeluarkan Biang Guci Gunung Kari ini. Suara tawanya ternyata
dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Rupanya, dia tidak mau
kalah dalam hal unjuk gigi kepada musuh bebuyutannya, Raja Minum
Danau Sengon.
Berbarengan langkah majunya laki-laki berkumis tebal itu,
beberapa orang persilatan pun bergerak maju sambil membawa guci-guci
besar yang berisi arak. Mereka kemudian membawanya ke arah tempat Raja
Minum Danau Sengon.
"Akulah yang akan menjadi lawan pertamamu, Raja Minum!"
sambut Biang Guci Gunung Kari, tak kalah keras.
"Ha ha ha...!" Raja Minum Danau Sengon tertawai bergelak.
"Apakah kau sudah berlatih keras untuk mengalahkanku, Biang Guci?!
Kalau tidak, lebih baik kau kembali daripada jatuh di tempat yang sama
sampai dua kali!"


"Kau boleh umbar bacotmu yang busuk itu sepuasmu, Raja
Minum! Yang jelas, gelar Jago Arak Nomor Satu akan kurebut dari
tanganmu!" Biang Guci Gunung Kari yang rupanya tidak bisa berdebat,
langsung saja memutus pembicaraan.
Belum lagi gema ucapannya habis, laki-laki berkumis tebal ini
sudah duduk di atas bangku kecil yang masih kosong.
Empat orang persilatan yang berpakaian, seragam warna kuning,
dan rupanya bertindak sebagai juri, meletakkan delapan buah guci besar
yang penuh arak di atas meja batu. Tak lupa, dua buah gelas bambu pun
diletakkan di depan kedua jago minum yang akan bertarung.
"He he he...!"
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Raja Minum Danau Sengon
menjumput guci araknya, kemudian menuangkan ke dalam gelas bambunya.
Ringan saja sepertinya guci itu di tangannya. Padahal guci itu besar sekali,
dan penuh berisi arak!
"Hmh...!"
Biang Guci Gunung Kari mendengus. Dengan sikap tidak mau
kalah dari lawannya, tangannya diulurkan ke arah guci arak. Gerakannya
tampak sembarangan saja. Dan sepertinya tanpa pengerahan tenaga sama
sekali. Tapi, toh guci arak itu berhasil diangkat dan juga dituangkan ke
dalam gelas bambunya.
Begitu Raja Minum Danau Sengon meletakkan kembali guci arak
itu di meja, Biang Guci Gunung Kari pun telah meletakkan kembali gucinya
di tempat yang sama. Tampak jelas kalau laki-laki berkumis tebal itu tidak
mau kalah lagak terhadap lawannya.
Kedua belah pihak saling tatap sejenak. Masing-masing dengan
sorot mata memancarkan ejekan. Baru kemudian, Raja Minum Danau
Sengon selaku pemenang tahun lalu, mengangkat gelas bambu dan me-
nenggak isinya.
Biang Guci Gunung Kari pun tidak mau kalah. Buru-buru
diangkatnya gelas bambu, dan ditenggak araknya. Pertarungan adu minum
pun telah dimulai.
Dewa Arak, Setan Mabuk, dan semua tokoh persilatan
memperhatikan jalannya pertarungan penuh perhatian. Sepasang mata
mereka semua hampir tidak berkedip memperhatikan gelas demi gelas arak
yang masuk ke dalam perut Biang Guci Gunung Kari dan Raja Minum
Danau Sengon.
Sebagai orang-orang persilatan, semua tokoh yang berada di situ
tahu sesuatu yang mendukung tokoh itu bertarung agar keluar sebagai
pemenang. Selain kebiasaan meminum arak, juga tenaga dalam yang kuat
memegang peranan penting.

Semua tokoh persilatan berharap, agar salah satu tokoh yang
bertarung itu menang tipis dari lawannya. Karena bila hal itu terjadi,
pertarungan akan dilanjutkan kembali dalam adu semburan arak dan
pertarungan.
Tapi ternyata hal yang diharapkan tidak terjadi. Baru satu guci arak
yang dihabiskan, Biang Guci Gunung Kari sudah kelenger. Kepalanya
sudah berputar ke sana kemari. Mulutnya pun sudah mengoceh tak karuan.
Sementara, Raja Minum Danau Sengon baru memerah saja wajahnya.
Meskipun juga sudah terpengaruh dengan arak yang diminumnya, tapi tidak
separah lawannya. Memang arak yang disuguhkan untuk pertarungan antara
raja-raja arak itu tergolong keras.
Melihat pertunjukan ini saja, sudah bisa diperkirakan siapa yang
akan keluar sebagai pemenang. Dan memang, ketika guci arak yang kedua
baru ditenggak satu gelas, Biang Guci Gunung Kari tak kuat lagi
mengangkat gelas araknya. Bukan itu saja. Laki-laki berkumis tebal ini
mendadak bangkit dari duduknya, lalu berjalan meninggalkan arena
pertarungan sambil mengoceh tak karuan. Jelas, kalau pikirannya sudah
tidak berjalan normal lagi. Jalannya pun lucu. Sekali melangkah ke depan,
tapi kemudian ke belakang dua kali. Itu pun dengan terhuyung-huyung.
Hanya beberapa langkah saja Biang Guci Gunung Kari melangkah.
Untuk kemudian, tubuhnya ambruk ke tanah.
Orang-orang persilatan yang berseragam kuning pun bergegas
menghampiri, dan membawa laki-laki berkumis tebal yang sudah setengah
tidak sadar untuk meninggalkan tempat itu.
"Ha ha ha...!" Raja Minum Danau Sengon tertawa terbahak-bahak
menyambuti kemenangannya. Meskipun begitu, melihat raut wajahnya yang
sudah mulai merah padam, semua orang tahu kalau dia tidak akan mampu
minum sampai satu setengah guci arak lagi.
***
Sesuai peraturan, tokoh yang telah bertarung minum, tidak akan
bertarung lagi sampai esok harinya. Maka kini pertarungan dilanjutkan
antara Dewa Arak melawan Setan Mabuk.
Menilik dari keadaan Arya, hampir semua orang persilatan
menjagoi Setan Mabuk Mereka semua tahu, siapa adanya kakek berkepala
botak itu. Dialah orang yang telah memegang gelar juara Jago Arak Nomor
Satu untuk berkali-kali pertarungan.
Bukan hanya itu saja. Perut Dewa Arak yang tidak, buncit, dan
usia Arya yang masih muda, lebih membuat tokoh persilatan itu condong
menjagoi Setan Mabuk!

Pertarungan seperti yang berlangsung antara Raja Minum Danau
Sengon dan Biang Guci Gunung Kari kembali berlangsung. Tapi, kali ini
antara Dewa Arak menghadapi Setan Mabuk.
Sebenarnya Arya tidak yakin kalau akan mampu menandingi
kemampuan Setan Mabuk dalam hal minum arak, setelah melihat sendiri
kemampuan Raja Minum Danau Sengon. Dewa Arak memang bukan
seorang pemabukan. Walaupun memang tidak bisa melepaskan arak dari
kehidupannya, tapi dia tidak pernah minum arak sampai berguci-guci. Dewa
Arak hanya minum sekadarnya saja karena bukan pecandu arak.
Kalau saja tidak mengingat janji, Arya lebih suka menolak
tantangan itu. Tapi sekarang hal itu tidak mungkin dilakukannya lagi. Kini,
Dewa Arak telah duduk berhadapan dengan Setan Mabuk untuk mengadu
kemampuan dalam hal meminum arak.
"He he ke...! Tunjukkan kemampuanmu kalau tidak ingin
julukanmu hapus, Dewa Arak!" ejek Setan Mabuk sambil mulai menenggak
arak yang berada dalam gelas bambunya.
Arya sama sekali tidak menanggapi ejekan itu. Dengan sikap
tenang diangkatnya arak yang berada di dalam gelas bambu dan dituangkan
ke mulutnya.
Kini pemuda berpakaian ungu ini mempunyai semangat
memenangkan pertarungan adu minum, kalau tidak ingin kehilangan
gelarnya. Padahal, dia risih mendapat julukan seperti itu. Tapi, alangkah
malunya bila julukannya tergusur. Harus menang! Begitu keputusan Dewa
Arak!
Berbeda dengan Arya yang merasa ragu bisa mengungguli lawan,
Setan Mabuk yakin sekali kalau dirinya akan mampu mengalahkan lawan.
Banyak alasan yang menyebabkan kakek berkepala botak itu begitu yakin.
Satu di antaranya adalah usia pemuda itu yang masih begitu belia!
Sedangkan dirinya telah puluhan tahun lamanya hidup bergelimang arak.
Arak baginya sudah merupakan bagian dari hidup.
Pertarungan adu minum pun dimulai. Gelas demi gelas ditenggak
kedua tokoh berbeda aliran, dan juga berbeda usia itu.
Para tokoh persilatan mulai merasa heran dan takjub ketika melihat
Dewa Arak ternyata sanggup menandingi Setan Mabuk dalam meminum
arak. Bahkan hingga habis satu buah guci, tidak tampak adanya perubahan
pada wajah Arya. Karuan saja hal itu membuat heran bukan hanya tokoh-
tokoh persilatan. Setan Mabuk dan juga Raja Minum Danau Sengon pun
kaget bukan kepalang. Dari pertunjukan itu saja sudah bisa dilihat kalau
kekuatan Dewa Arak berada di atas Biang Guci Gunung Kari dan Raja
Minum Danau Sengon. Buktinya, Raja Minum Danau Sengon sendiri
sewaktu menghabiskan seguci arak, wajahnya merah padam. Jelas, dia telah

terpengaruh hawa arak! Tapi, pemuda berambut putih keperakan itu
ternyata sama sekali tidak terpengaruh.
Jangankan semua orang yang melihat, Dewa Arak sendiri pun
merasa heran. Sama sekali di luar dugaan kalau dirinya sanggup
menghabiskan seguci arak itu tanpa terpengaruh sama sekali. Padahal,
semula dikira tidak akan sanggup, karena memang tidak pernah meminum
arak sampai sebanyak itu. Dan bila minum pun, baik dalam pertempuran
yang paling berat, biasanya tidak sampai seguci. Paling banyak hanya
setengah guci. Guci kecil lagi! Dan dia mabuk!
Sama sekali pemuda berpakaian ungu itu tidak tahu kalau arak
yang biasa diminumnya amat keras! Jauh lebih keras daripada arak yang
paling keras sekalipun! Bahkan arak untuk pertandingan ini, seperti tidak
ada apa-apanya. Oleh karena itu, karena sudah terbiasa dengan arak yang
sangat keras, Arya sama saja seperti meminum air putih biasa saat minum
arak itu!
Begitu satu guci telah selesai, dilanjutkan dengan guci kedua.
Sampai akhirnya isi guci itu pun kandas, kedua tokoh yang bertarung belum
ada yang mengalah.
Akhirnya, sampai perut kedua tokoh itu tidak mampu lagi
menenggak arak, tetap saja belum mabuk. Maka Setan Mabuk pun
menghentikan pertarungan. Memang secara pasti belum ketahuan, siapa
yang keluar sebagai pemenang. Tapi melihat raut wajah kakek berkepala
botak yang mulai merah padam, sementara wajah Arya masih biasa, sudah
bisa diduga siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dan Setan Mabuk
pun mengetahui hal itu. Maka, rasa penasarannya pun semakin menjadi-
jadi.
***
Keesokan harinya, pertarungan pun dilanjutkan. Tapi kali ini tidak
adu minum arak lagi, melainkan adu ketangkasan meruntuhkan beberapa
butir batu yang digantung di atas cabang pohon. Belasan butir batu
dijajarkan. Baik Dewa Arak maupun Setan Mabuk akan mengadu
kemampuan merobohkan batu-batu itu dalam jarak tiga tombak!
"He he he...!"
Setan Mabuk tertawa terkekeh. Dengan pongahnya kakinya
melangkah maju mengambil kesempatan menjadi peserta pertama.
Kakek berperut buncit itu menyipitkan sepasang mata, menatap
jajaran batu-batu yang digantungkan di atas cabang pohon.
Glek... glek... glek...!

Suara tegukan keras dan kasar terdengar ketika arak yang
dituangkan kakek berperut buncit itu jatuh ke dalam mulut. Tapi kali ini
tidak langsung ditelan, melainkan disimpan dalam mulutnya sehingga kedua
pipinya tampak menggembung. Dan....
Pruhhh...!
Setan Mabuk menyemburkan arak yang disimpan dalam mulutnya.
Seketika itu juga, arak itu meluncur ke arah tali-tali yang menggantung
batu-batu itu. Suara mendesing nyaring terdengar tatkala arak itu meluncur
deras menuju sasaran.
Tasss, tasss, tasss...!
Tiga belas buah batu jatuh berguguran ke tanah tatkala percikan-
percikan arak Setan Mabuk memutuskan tali-tali penggantungnya.
"He he he...!"
Sambil terkekeh-kekeh, Setan Mabuk menatap Dewa Arak, penuh
kemenangan. Tapi Arya sama sekali tidak mempedulikannya. Dengan
langkah tenang, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah
menghampiri tempat gantungan batu.
Kemudian guci araknya diangkat ke atas kepala. Dan....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu masuk ke dalam mulut
Dewa Arak. Seperti juga Setan Mabuk, Dewa Arak pun tidak menelan arak
itu melainkan, menyemburkannya!
Pruhhh...!
Laksana anak panah, percikan arak itu melesat ke arah batu yang
bergantungan di cabang lainnya Memang, batu untuk sasaran Dewa Arak
dan Setan Mabuk ditempatkan pada cabang yang berlainan.
Tasss, tasss, tasss...!
Batu-batu kontan berguguran dan jatuh ke tanah ketika tali-tali
penggantungnya putus. Seketika itu juga pandangan mata semua tokoh
persilatan yang ada di situ, beralih ke arah batu-batu yang bergeletakan di
tanah. Batu-batu kecil yang masih terlibat tali.
Dengan pandangan mata, tokoh-tokoh persilatan itu
menghitungnya. Ternyata jumlahnya empat belas! Lebih banyak satu buah
ketimbang batu yang dijatuhkan Setan Mabuk.
"Grrrhhh...! Awas serangan, Dewa Arak!"
Setan Mabuk menggeram keras melihat kekalahannya. Sudah dua
kali dia dikalahkan Dewa Arak. Meskipun yang pertama kali tidak secara
jelas, tapi semua orang yang menonton mengetahuinya.
Seiring lenyap geramannya, kakek berperut buncit itu melompat
menerjang Dewa Arak! Guci besar tangannya meluncur deras ke arah
kepala Arya.

Dewa arak yang memang sudah bersiaga sejak semula, tidak
menjadi gugup. Buru-buru kepalanya ditundukkan. Dan....
Wusss...!
Sambaran guci itu melesat lewat di atas kepala Arya. Menilik dari
rambut dan pakaian pemuda berambut putih keperakan yang berkibaran
keras, bisa diperkirakan kekuatan tenaga dalam yang terkandung dalam
ayunan guci lawan.
Dewa Arak tidak berani bertindak ayal. Buru-buru guci araknya
diangkat ke atas kepala. Lalu....
Gluk... gluk... gluk...!
Suara tegukan terdengar ketika arak itu melewati tenggorokan
Dewa Arak dalam perjalanan menuju ke perut. Seketika itu juga, ada hawa
hangat yang beredar di dalam perut Arya dan perlahan naik ke atas kepala.
Pertarungan antara dua tokoh yang sama-sama tangguh, dan sama-
sama memiliki ilmu aneh pun tidak bisa dielakkan lagi. Maka tokoh-tokoh
yang berada di sekitar tempat itu buru-buru menjauh.
Kini pertarungan yang aneh pun berlangsung. Pertarungan aneh ini
mungkin untuk pertama kalinya terjadi di dunia persilatan. Dua orang tokoh
sakti yang sama-sama memiliki ilmu aneh. Menggeliat-geliat, terkadang
lemas seperti orang mabuk akan jatuh. Tapi tak jarang secara mendadak
mengejang kaku penuh kekuatan. Perubahan gerakan kedua orang itu me-
mang terjadi secara tiba-tiba. Dari lembut berubah keras. Juga, sebaliknya.
Tapi berbeda ketika menghadapi Dedemit Alam Akhirat melawan
Setan Mabuk, Dewa Arak sama sekali tidak mengalami kesulitan. Ilmu
yang dimiliki lawan mirip ilmu yang dimilikinya. Sehingga, dia tidak
mengalami kesulitan menghadapinya.
Pertarungan antara kedua tokoh itu berlangsung menarik, karena
berkali-kali keduanya mengadu guci atau semburan arak.
Tapi setelah pertarungan berlangsung hampir seratus jurus, tampak
keunggulan Dewa Arak. Ilmu yang dimiliki Setan Mabuk meskipun mirip
dengannya, tapi mengandung banyak kelemahan di sana-sini. Dan ini jelas
berbeda jauh dengan ilmu 'Belalang Sakti'nya.
Setan Mabuk menggertakkan gigi ketika menyadari kalau tidak
akan bisa mengungguli Dewa Arak. Tampak jelas, pemuda berambut putih
keperakan itu memiliki ilmu yang lebih tinggi mutunya. Gerakan guci,
tangan, kaki, dan araknya merupakan satu kesatuan yang saling tunjang-
menunjang dan menutup celah-celah yang dapat digunakan lawan untuk
memasukkan serangan.
Sadar kalau dirinya tidak akan mungkin bisa mengalahkan Dewa
Arak, kakek berperut buncit itu jadi nekat untuk mengadu nyawa. Maka

tanpa mempedulikan keselamatan diri, kakek berkepala botak itu
melancarkan serangan secara membabi buta.
Arya tahu, kalau Setan Mabuk tidak akan bisa disadarkan. Lagi
pula, dia adalah seorang tokoh sesat yang kejam dan berbahaya. Adalah
suatu kewajiban baginya untuk melenyapkan tokoh itu selama-lamanya.
"Hattt..!"
Sambil mengeluarkan pekikan nyaring, Setan Mabuk yang telah
tidak mempedulikan keselamatan diri mengayunkan gucinya ke arah kepala
Dewa Arak.
Wuttt..!
Guci itu lewat setengah jengkal di depan wajah ketika Arya
menarik kepala ke belakang. Tidak hanya itu saja yang dilakukan pemuda
berpakaian ungu itu. Pada saat yang bersamaan, kaki kanannya mencuat ke
arah leher.
Setan Mabuk yang sejak tadi sama sekali tidak mempedulikan
pertahanan, menjadi terkejut bukan kepalang. Sedapat mungkin, dia
berusaha mengelak. Tapi...
Tukkk...!
Usaha kakek berperut buncit itu sia-sia belaka. Kala Arya telah
terlebih dulu menghantam lehernya dengan telak. Tanpa sempat bersambat
lagi, Setan Mabuk jatuh berdebuk di tanah. Dan selagi Setan Mabuk
terjerembab, Dewa Arak cepat melesat kembali. Langsung dijejaknya leher
tokoh sesat itu sekali lagi. Akibatnya, kontan kakek itu tewas.
"Hhh...!"
Arya menghela napas berat. Ditatapnya mayat Setan Mabuk.
Setelah mengedarkan pandangan pada tokoh-tokoh persilatan yang ada di
sekitarnya, pemuda berambut putih keperakan itu melangkah meninggalkan
tempat itu. Hanya dalam beberapa kali langkah saja, tubuhnya sudah berada
di pinggir pantai.
Tanpa peduli pada panggilan dan pandangan tokoh-tokoh
persilatan, Dewa Arak mengambil sebuah perahu yang berada di situ dan
mengayuhnya meninggalkan pulau.
Raja Minum Danau Sengon dan semua tokoh persilatan yang ada
di situ, hanya bisa memandangi kepergian Dewa Arak Dalam hati, mereka
mengakui kalau Dewa Arak-lah yang berhak menjadi Jago Arak Nomor
Satu!

                                  SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar